Jilid 06
"Nona Bok, rupanya engkau
terlalu menilai rendah orang she Toan ini," sahut Toan Ki tertawa,
"Masa orang she Toan adalah manusia berkualitas demikian?"
Dengan matanya yang jeli si
nona memandang termangu-mangu sejenak kepada pemuda itu dengan penuh haru dan
pilu, katanya kemudian dengan suara mesra, "Guna apakah kau ikut mati
bersama aku? Kau ... kau tidak tahu betapa ganasnya orang itu."
Sejak kenal belum pernah Toan
Ki mendengar gadis itu bicara dengan suara sedemikian halus, ia merasa
datangnya suara suitan tadi benar-benar telah mengubah Hiang-yok-jeh menjadi
seorang manusia lain.
Toan Ki menjadi girang malah,
sahutnya dengan tersenyum, "Nona Bok, aku senang sekali mendengar suara
ucapanmu ini, dengan demikian, engkau barulah benar-benar seorang nona yang
cantik molek."
"Hm," mendadak Bok
Wan-jing menjengek dan tanya dengan suara bengis, "dari mana kau tahu aku
cantik? Jadi benar telah kau lihat wajahku, ya?"
Habis berkata, genggaman
tangannya terus diperkeras sehingga tangan Toan Ki seperti terjepit tanggam, saling
kesakitan hampir-hampir pemuda itu menjerit.
"Aku tidak melihat
wajahmu," sahut Toan Ki kemudian dengan menghela napas, "tapi ketika
memberi air minum padamu, aku memang melihat sebagian mukamu, walaupun hanya
sebagian saja, namun sudah jelas engkau pasti cantik molek tiada taranya."
Betapa pun ganasnya Bok
Wan-jing, sekali wanita tetap wanita. Dan wanita mana di dunia ini yang tidak
suka akan pujian? Apalagi dipuji berwajah cantik?
Maka sekali hati merasa
senang, genggamannya lantas dikendurkan, katanya, "Baiklah, lekas kau cari
suatu tempat untuk bersembunyi, tak peduli apa pun yang terjadi, jangan
sekali-kali keluar. Sebentar lagi orang itu akan naik ke sini."
Toan Ki terperanjat, serunya,
"Wah, jangan sampai dia naik ke sini!"
Segera ia berlari ke tepi
gunung, tapi pandangannya menjadi silau oleh berkelebatnya bayangan seorang
berbaju kuning yang lagi melompat-lompat ke atas tebing dengan kecepatan dan
kegesitan luar biasa.
Tebing jurang itu sangat curam
dan licin, tapi orang itu dapat mendaki bagai di tanah datar saja, jauh lebih
gesit daripada bangsa kera.
Diam-diam Toan Ki berkhawatir,
segera ia menggembor, "Hai, orang itu! Jangan kau naik lagi! Jika tak
menurut, awas akan kutimpuk dengan batu!"
Orang itu menyambutnya dengan
terbahak-bahak, lompatannya ke atas menjadi terlebih cepat malah.
Melihat sedemikian lihainya
orang itu dan Bok Wan-jing sedemikian takut padanya, Toan Ki pikir betapa pun
orang ini harus dirintangi ke atas, tapi ia tidak ingin membunuh orang lagi,
segera ia ambil sepotong batu dan ditimpukkan ke samping orang itu.
Walaupun batu itu tidak
terlalu besar, tapi ditimpukkan dari atas, suaranya cukup keras menakutkan.
Toan Ki berseru pula,
"Hai, kau lihat tidak? Kalau kutimpuk kepalamu, pasti jiwamu akan
melayang! Maka lekas kau turun ke bawah saja!"
"Kau bocah ini rupanya
sudah bosan hidup, berani kurang ajar padaku!" tiba-tiba orang itu tertawa
dingin. Suaranya tidak keras, tapi seucap dan sekata dapat didengar Toan Ki
dengan jelas.
Melihat orang sudah melompat
naik lebih dekat lagi, keadaan sudah gawat, Toan Ki segera angkat dua potong
batu terus ditimpukkan ke atas kepala orang itu sambil pejam mata, ia tidak
berani menyaksikan adegan ngeri atas nasib orang yang bakal tergelincir ke
bawah jurang.
Ia dengar suara gedebukan
batu-batu yang menggelinding ke bawah, menyusul terdengar suara menderu dua
kali dibarengi suara tertawa panjang orang itu.
Keruan Toan Ki heran, cepat ia
buka mata, ia lihat kedua potong batu tadi lagi melayang ke tengah jurang,
sebaliknya orang itu baik-baik saja tak kurang suatu apa pun.
Sekali ini Toan Ki benar-benar
khawatir, lekas ia memberondongi orang itu dengan timpukan batu lagi. Tapi
setiap batu yang melayang sampai di atas kepalanya, sekali lengan baju orang
itu mengebut, batu itu lantas mencelat ke samping dan jatuh ke jurang,
terkadang orang itu malah melompat ke atas lagi sehingga timpukan batu itu
luput.
Dalam gugupnya, sekaligus Toan
Ki telah berondongi orang itu dengan puluhan potong batu. Namun orang itu
sedikit pun tidak cedera, bahkan sejengkal pun tak dapat merintangi majunya
orang itu ke atas.
Melihat gelagat bakal celaka,
lekas Toan Ki berlari kembali ke samping Bok Wan-jing dan berkata dengan suara
terputus-putus, "No ... nona Bok, orang itu sang ... sangat lihai, ma ...
marilah kita lekas lari!"
"Sudah terlambat!"
sahut Bok Wan-jing dengan dingin.
Dan selagi Toan Ki hendak
bicara pula, sekonyong-konyong tubuhnya terasa didorong oleh suatu tenaga
mahadahsyat hingga mencelat ke depan bagai terbang, "bluk", akhirnya
ia terbanting di dalam semak-semak pohon hingga kepala pusing tujuh keliling
dan hampir-hampir jatuh kelengar.
Untung tanah di situ banyak
tumbuh pepohonan pendek, hanya mukanya saja lecet sedikit, tapi tidak sampai
terluka berat.
Buru-buru ia merangkak bangun,
sementara itu tertampak orang berbaju kuning tadi sudah berdiri di depan Bok
Wan-jing.
Khawatir orang itu mencelakai
Bok Wan-jing, cepat Toan Ki lari maju dan mengadang di tengah-tengah mereka
sambil menegur, "Siapakah engkau? Kenapa menganiaya orang dengan cara
semena-mena?"
"Le ... lekas kau lari,
jangan tinggal di sini!" seru Bok Wan-jing khawatir.
Hati Toan Ki berdebar-debar
juga, namun ia tenangkan diri sebisanya sambil memerhatikan pendatang itu.
Ternyata buah kepala orang itu
besarnya luar biasa, sebaliknya kedua matanya bundar kecil hingga mirip dua
biji kacang menyelempit di atas semangka. Namun sinar matanya menyorot tajam
ketika menatap Toan Ki, tanpa merasa pemuda itu bergidik.
Perawakan orang itu pun sedang
saja, berewoknya pendek kaku seperti sikat kawat, tapi usianya sukar diduga.
Kedua tangannya panjang melampaui lutut, sedang jarinya panjang lancip serupa
cakar.
Waktu mula-mula Toan Ki
melihat orang itu, ia merasa wajah orang sangat jelek. Tapi kini timbul
perasaan lain, makin dipandang, semakin terasa perawakan orang itu dan anggota
badannya, bahkan dandanannya sangat cocok dengan orangnya.
"Kemarilah sini berdiri
di sampingku!" demikian kata Bok Wan-jing pula.
"Tapi dia ... dia akan
mencelakaimu?" ujar Toan Ki khawatir.
"Hm, melihat lagakmu ini,
apakah kau tahan sekali hantam dari 'Lam-hay-gok-sin'?" jengek Bok
Wan-jing. Tapi mau tak mau ia terharu juga melihat pemuda itu ingin
melindunginya tanpa pikirkan keselamatan sendiri.
Toan Ki pikir memang benar
kalau orang aneh ini hendak mengenyahkan dirinya, memang tidak perlu susah
payah, lebih baik jangan membikin marah padanya.
Segera ia berdiri di samping
Bok Wan-jing dan berkata pula, "Apakah Anda yang berjuluk
'Lam-hay-gok-sin'? Dalam beberapa hari ini sudah banyak aku bertemu dengan
berbagai Enghiong-hohan (pahlawan dan kesatria), tapi ilmu silat Anda tampaknya
adalah yang paling lihai. Telah kutimpuk engkau dengan berpuluh potong batu,
tapi tiada sepotong pun yang mengenaimu."
Dasar watak manusia, siapa
yang tidak suka dipuji dan diumpak? Begitu pula dengan Lam-hay-gok-sin atau si
malaikat buaya dari laut selatan ini. Sifat Lam-hay-gok-sin ini biasanya kejam
tak kenal ampun, tapi demi mendengar Toan Ki memuji ilmu silatnya sangat lihai,
ia menjadi senang juga.
Ia terkekek tawa dua kali,
lalu berkata, "Kepandaianmu tidak berarti, tapi pandanganmu masih boleh
juga. Baiklah, kau enyah saja, kuampuni jiwamu!"
Girang Toan Ki tidak kepalang,
sahutnya cepat, "Jika demikian, engkau juga mengampuni Bok-kohnio
sekalian!"
Lam-hay-gok-sin itu tidak
menjawab, hanya kedua matanya yang bulat kecil itu mendelik, mendadak ia
melangkah maju, sekali kebut, lengan bajunya membuat Toan Ki terhuyung-huyung
mundur beberapa tindak, lalu katanya dengan suara bengis, "Sekali lagi
berani kau melangkah maju, tentu takkan kuampuni jiwamu
lagi!"
Toan Ki percaya orang berani
berkata tentu berani berbuat, ia pikir lebih selamat biarlah kulihat gelagat
dulu. Maka ia tidak berani sembarang bertindak pula.
Dalam pada itu terdengar
Lam-hay-gok-sin lagi berkata kepada Bok Wan-jing, "Kau inikah yang bernama
Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing?"
"Benar," sahut si
nona. "Sudah lama kudengar nama besar Lam-hay-gok-sin Gak-loyacu, ternyata
memang tidak bernama kosong. Siaulicu (aku perempuan kecil) terluka parah, maaf
tak dapat memberi hormat kepada engkau orang tua!"
Mendengar itu, diam-diam Toan
Ki mendengus di dalam hari, "Hm, terhadap diriku kau garang melebihi
setan, tak tahunya kau juga seorang yang cuma berani kepada kaum lemah tapi
jeri pada yang jahat. Melihat orang lebih galak daripadamu, lantas kau panggil
Loyacu (kakek) segala!"
Sementara itu terdengar
Lam-hay-gok-sin lagi menjengek, "Hah, kabarnya kau mempunyai beberapa
jurus juga, kenapa bisa terluka parah?"
"Aku dikeroyok Su An, Cin
Goan-cun, Sin Si-nio dan Hui-sian berempat, kedua kepalanku tak dapat melawan
delapan tangan mereka, maka aku kena dilukai oleh gurdi baja Sin Si-nio,"
tutur Bok Wan-jing.
"Berengsek, tak kenal
malu, orang begitu banyak mengerubut seorang nona!" kata Lam-hay-gok-sin
dengan gusar.
"Benar itu, engkau orang
tua ternyata lebih bijaksana!" segera Toan Ki menanggapi. "Jangankan
main keroyok, setiap lelaki memangnya juga tidak pantas berkelahi dengan
wanita. Tapi mereka justru mengerubuti seorang nona lemah, terhitung orang
gagah macam apakah itu? Kalau cerita ini tersiar di kalangan Kangouw, bukankah
akan dibuat buah tertawaan orang?"
Lam-hay-gok-sin tidak
menjawab, hanya mengangguk sambil mendelik.
Diam-diam Toan Ki bergirang,
"Telah kukunci dia dengan kata-kata tadi, lalu mengumpaknya lagi setinggi
langit, yang penting semoga dapat terhindar dari kesulitan di depan mata
ini."
Tapi ia dengar Lam-hay-gok-sin
sedang tanya pula, "Sun He-khek dibunuh olehmu atau bukan?"
"Benar!" sahut Bok
Wan-jing.
"Dia adalah murid
kesayanganku, kau tahu tidak?" tanya Lam-hay-gok-sin alias si malaikat
buaya dari laut selatan.
Mendengar itu, diam-diam Toan
Ki mengeluh, "Wah, celaka! Kiranya Bok-kohnio telah membunuh murid
kesayangannya, urusan ini menjadi susah diselesaikan."
Ia dengar Bok Wan-jing lagi
menjawab, "Waktu kubunuh dia tidak tahu, beberapa hari kemudian baru
tahu."
"Kau takut padaku
tidak?" tanya Lam-hay-gok-sin.
"Tidak!" sahut si
nona tegas.
Lam-hay-gok-sin menjadi murka,
ia meraung sekali hingga lembah gunung itu seakan-akan terguncang. "Kau
berani tidak takut padaku, besar amat nyalimu, ya? Siapakah yang kau andalkan,
hah?"
"Engkaulah yang
kuandalkan!" sahut Bok Wan-jing dengan dingin.
Lam-hay-gok-sin melengak oleh
jawaban itu, segera ia membentak, "Ngaco belo! Kenapa aku yang kau andalkan?"
"Engkau orang tua
diagungkan di dunia persilatan, kepandaianmu tiada bandingannya, mana mungkin
engkau bergebrak dengan seorang perempuan yang terluka parah!" sahut
Wan-jing.
Ucapan ini setengahnya
mengandung umpakan, tapi memaksa Lam-hay-gok-sin tidak bisa berbuat apa-apa.
Benar juga, setelah tertegun
sejenak, malaikat buaya lautan selatan itu lantas terbahak-bahak, serunya,
"Benar juga ucapanmu."
Habis ini, mendadak ia tarik
muka lagi dan berkata, "Hari ini biarlah aku tidak membunuh kau. Ingin
kutanya padamu, kabarnya kau senantiasa memakai kedok, siapa pun dilarang
melihat wajahmu. Kalau ada orang yang melihatnya, jika tidak kau bunuh dia,
maka kau akan kawin padanya. Apakah betul kabar ini?"
Toan Ki terperanjat oleh
pertanyaan itu, ia lihat Bok Wan-jing mengangguk sebagai jawaban, keruan ia
tambah sangsi.
"Sebab apa kau pakai
peraturan aneh itu?" tanya Lam-hay-gok-sin.
"Itu adalah sumpah yang kuucapkan
di hadapan Suhuku." sahut si nona. "Jika tidak demikian, Suhu takkan
mengajarkan ilmu silat padaku."
"Siapakah gurumu
itu?" tanya Gok-sin. "Mengapa begitu aneh dan tidak kenal peradaban
orang hidup."
Sahut Wan-jing dengan angkuh,
"Aku menghormatimu sebagai kaum Cianpwe, tapi kau gunakan kata-kata tidak
pantas untuk menghina guruku, itulah tidak patut."
"Praak!" mendadak
Lam-hay-gok-sin menghantam sepotong batu padas di sampingnya, seketika batu
kerikil berhamburan, muka Toan Ki kesakitan juga terciprat oleh batu kerikil
itu.
Diam-diam ia terkesiap,
"Sedemikian lihai ilmu silat orang ini, sekali hantam membikin batu hancur
lebur, kalau badan manusia yang digenjot, apakah masih bisa hidup?"
Namun ketika dia memandang ke
arah Bok Wan-jing, ia lihat gadis itu bersikap dingin-dingin saja, sedikit pun
tidak gentar oleh ilmu silat Lam-hay-gok-sin yang tiada taranya itu.
Sementara itu, sesudah
memelototi Bok Wan-jing sekejap, lalu Lam-hay-gok-sin berkata lagi, "Baik,
anggap ucapanmu tadi memang benar. Sekarang aku ingin tanya, siapakah gelaran
gurumu yang terhormat itu?"
"Guruku bernama
"Bu-beng-khek" (orang tak bernama)", sahut Wan-jing.
"Bu-beng-khek?"
demikian Lam-hay-gok-sin mengulangi nama itu sambil mengingat-ingat kembali.
"Tidak
pernah kudengar nama
itu!"
"Sudah tentu, rasanya kau
pun takkan pernah mengenalnya," jengek Bok Wan-jing.
Sekonyong-konyong
Lam-hay-gok-sin perkeras suaranya dan membentak, "Kematian muridku Sun
He-khek itu apakah disebabkan dia ingin melihat wajahmu?"
"Yang paling kenal sang
murid tiada lebih daripada sang guru," sahut Bok Wan-jing dengan dingin.
"Baik sekali bila engkau sudah kenal tabiat muridmu itu."
Memangnya Lam-hay-gok-sin
cukup kenal muridnya itu berwatak bajul buntung, kalau mati akibat perbuatannya
itu juga tidak perlu heran. Cuma, menurut peraturan "Lam-hay-pay"
mereka, selamanya satu guru satu murid. Dengan tewasnya Sun He-khek, itu
berarti jerih payahnya mendidik murid selama berpuluh tahun itu ikut hanyut ke
laut.
Maka semakin dipikir semakin
gusar, sekonyong-konyong ia berteriak, "Baik, aku akan menuntut balas bagi
muridku itu!"
Melihat wajah orang mendadak
berubah beringas menakutkan, begitu murka hingga air mukanya ikut berubah merah
padam, Bok Wan-jing dan Toan Ki menjadi jeri. Sungguh tak tersangka oleh mereka
bahwa air muka seorang bisa berubah begitu hebat.
Cepat Toan Ki melangkah maju,
tapi segera teringat akan ancaman orang tadi, kembali ia melangkah mundur, lalu
berkata, "Gak-locianpwe, bukankah engkau tadi sudah menyatakan takkan
membunuh dia?"
Tapi Lam-hay-gok-sin tak
menggubrisnya, ia tanya Bok Wan-jing lagi, "Dan muridku itu berhasil
melihat wajahmu tidak?"
"Tidak!" sahut si
nona.
"Bagus!" seru
Lam-hay-gok-sin. "He-khek mati pun tentu tidak rela, biarlah aku mewakili
dia melihat wajahmu. Ingin kulihat apakah mukamu seburuk setan atau secantik
bidadari!"
Kejut Bok Wan-jing sungguh
bukan buatan. Sesuai sumpahnya di hadapan sang guru, kalau sekarang Lam-hay-
gok-sin memaksa melihat
wajahnya, sedang dirinya tak mampu membunuhnya, lalu apakah harus kawin dengan
dia?
Dalam gugupnya, cepat ia
berkata, "Engkau adalah tokoh terkemuka kalangan Bu-lim, mana boleh
berbuat serendah dan sekotor ini?"
"Hm, di antara
'Sam-sian-su-ok' (tiga tokoh bajik dan empat orang jahat), akulah satu di
antara 'Su-ok' itu, kejahatanku memang sudah terkenal di mana-mana, takut apa
lagi?" sahut Lam-hay-gok-sin dengan tertawa dingin. "Selama hidupku
hanya kenal suatu aturan, yaitu tidak membunuh orang yang tidak mampu melawan.
Kecuali itu, tiada sesuatu kejahatan lain yang tak kulakukan. Maka lebih baik
kau menurut dan tanggalkan kedokmu sendiri, agar aku tidak perlu turun tangan
lagi."
"Apakah engkau harus ...
harus melihat?" sahut Bok Wan-jing dengan suara gemetar.
"Jangan kau banyak
cincong lagi, jika rewel lagi, sebentar tidak hanya kedokmu yang kubuka, bahkan
antero pakaianmu bisa kulucuti bulat-bulat," ancam Lam-hay-gok-sin dengan
bengis. "Apakah kau tidak mendengar bahwa tahun yang lalu di kota Kayhong,
dalam semalam saja aku telah memerkosa dan membunuh sembilan putri keluarga
pembesar dan bangsawan?"
Bok Wan-jing sadar urusan hari
ini pasti tak dapat dihindarkan lagi, ia coba mengedipi Toan Ki dengan maksud
mendesak pemuda itu lekas melarikan diri. Tapi Toan Ki hanya menggeleng kepala
saja.
Lam-hay-gok-sin sudah tidak
sabar lagi, berewoknya yang mirip sikat kawat itu menjengkit. "Huk!"
sekali bersuara, terus saja kelima jarinya yang mirip cakar itu terus
mencengkeram kedok Bok Wan-jing.
Tanpa pikir Wan-jing tekan
pesawat rahasianya, tiga batang panah kecil sekaligus menyambar ke depan
secepat kilat dan semuanya tepat mengenai perut Lam-hay-gok-sin.
Tak terduga hanya terdengar
"cret-cret-cret" tiga kali, ketiga panah itu jatuh semua ke tanah.
Sedikit Bok Wanjing bergerak, kembali tiga panah berbisa terbang ke depan, yang
dua batang mengarah dada Lam-hay-gok-sin, yang satu mengincar mukanya.
Tapi- kedua batang panah yang
mengenai dada Lam-hay-gok-sin tetap seperti membentur papan baja saja, semuanya
jatuh ke tanah. Bedanya cuma tidak menerbitkan suara "crang-creng"
yang nyaring, tapi hanya bersuara "blak-blek" yang aneh.
Sedang panah ketiga ketika
hampir mencapai sasarannya, tiba-tiba Lam-hay-gok-sin ulur dua jarinya dan
menyelentik perlahan batang panah kecil itu, kontan panah itu mencelat entah ke
mana!
Hendaklah diketahui bahwa
panah berbisa yang dibidikkan Bok Wan-jing secepat kilat, banyak jago kelas
wahid telah tewas di bawah panahnya itu sebelum melihat bayangan panah,
Sekalipun tangkas dan gesit, paling-paling juga cuma melompat berkelit saja.
Tapi kini Lam-hay-gok-sin
bukan saja tidak mempan dipanah, bahkan sempat angkat jarinya menyelentik,
sungguh selama hidup Bok Wan-jing belum pernah menghadapi tokoh selihai ini,
saking jerinya hampirhampir nyalinya pecah, cepat ia berseru, "Nanti dulu,
jangan main kasar!"
Lam-hay-gok-sin tertawa
dingin, sahutnya, "Menurut aturanku, aku hanya tidak membunuh orang yang
tidak mampu membalas seranganku, tapi kau telah menyerang aku. Maka aku akan
melihat macam apa wajahmu, kemudian mencabut nyawamu. Ini adalah salahmu
sendiri yang menyerang lebih dulu, jangan kau salahkan aku melanggar
aturan."
"Salah, salah!"
tiba-tiba Toan Ki berteriak.
"Ada apa?" tanya
Lam-hay-gok-sin sambil menoleh.
"Menurut aturan
Locianpwe, engkau 'tidak membunuh orang yang tidak mampu membalas seranganmu'
bukan?" Toan Ki menegas.
"Benar!" sahut
Lam-hay-gok-sin dengan mata mendelik.
"Ketetapan itu bisa
diubah atau tidak?" tanya Toan Ki.
Lam-hay-gok-sin menjadi gusar,
sahutnya, "Sekali aturan sudah kutetapkan tidak bisa ditawar-tawar
lagi!"
"Tapi kalau ada yang
mengubahnya, orang macam apakah dia itu?" desak Toan Ki.
"Orang itu adalah anak
kura-kura (anak germo) dan keturunan haram!" sahut si malaikat buaya dari
laut selatan.
"Bagus, bagus!" seru
Toan Ki. "Tadi sebelum kau serang Bok-kohnio, dia yang memanahmu dulu, itu
bukan 'balas menyerang', tapi harus disebut 'menyerang lebih dulu'. Jika kau
serang dia, dalam keadaan terluka parah, pasti dia tidak mampu membalas sedikit
pun. Sebab itulah harus dikatakan dia mampu menyerang, tapi tidak mampu balas
menyerang. Bila kau bunuh dia, itu berarti engkau telah mengubah peraturanmu
sendiri, dan kalau engkau mengubah aturanmu sendiri, itu berarti engkau anak
kura-kura dan keturunan haram!"
Ternyata dalam keadaan
kepepet, Toan Ki terus main pokrol bambu. Ia sengaja pancing omongan
Lam-haygok-sin untuk menjebaknya, lalu berdebat dengan dia secara
pokrol-pokrolan.
Keruan Lam-hay-gok-sin meraung
murka bagai guntur kerasnya, sekali melompat, segera kedua tangan Toan Ki
dipegangnya sambil membentak, "Kurang ajar! Kau berani memaki aku sebagai
anak kura-kura dan keturunan haram!"
Berbareng tangan lain diangkat
terus hendak menghantam kepala pemuda itu.
Tapi dengan tenang Toan Ki
masih menjawab, "Jika kau ganti peraturanmu, tentu engkau harus mengaku
sebagai anak kura-kura, kalau tidak, ya bukan. Dan suka atau tidak engkau
menjadi anak kura-kura, tergantung padamu akan mengubah peraturanmu atau tidak."
Melihat anak muda itu
sedemikian teguh pendiriannya, biarpun jiwa terancam, tapi sama sekali tidak
gentar, bahkan berani memaki orang sebagai "anak kura-kura"
terus-menerus, Bok Wan-jing menjadi khawatir Lamhay-gok-sin akan murka hingga
sekali hantam kepala Toan Ki bisa remuk.
Saking takutnya, air matanya
bercucuran, ia berpaling ke arah lain dan tidak tega menyaksikannya.
Tak terduga Lam-hay-gok-sin
menjadi terkesima oleh karena debat kusir Toan Ki tadi, ia pikir, kalau sekali
hantam kubinasakan dia berarti membunuh seorang yang tak mampu membalas
seranganku, dan bukankah benar-benar aku akan menjadi anak kura-kura dan
keturunan haram?
Karena itulah tangannya yang
terangkat tadi perlahan diturunkan kembali, sebaliknya tangan lain yang
memegang kedua tangan Toan Ki diperkeras dengan mata mendelik.
Begitu kuat remasannya itu
hingga Toan Ki meringis kesakitan tidak kepalang, tulang tangannya sampai
berkerutukan seakan-akan patah, hampir ia jatuh pingsan.
Tapi dasar wataknya memang
sangat bandel, walaupun meringis, segera ia berseru, "Aku tidak mampu
membalas seranganmu, lekas kau bunuh aku saja!"
"Huh, aku justru tidak
mau masuk perangkapmu! Kau ingin aku menjadi anak kura-kura dan keturunan
haram, ya?" sahut Lam-hay-gok-sin.
Habis berkata, tiba-tiba ia
angkat tubuh pemuda itu dan dibanting ke tanah. Keruan mata Toan Ki
berkunangkunang, isi perutnya serasa jungkir balik dan hancur luluh.
"Aku tidak mau
terperangkap! Aku takkan membunuh kalian dua setan cilik ini!" demikian
Lam-hay-gok-sin berkomat-kamit sendiri.
Mendadak ia membentak kepada
Bok Wan-jing, "Buka kain kedokmu!"
Wan-jing merasa air mata
sendiri meleleh di kedua pipi, tiba-tiba hatinya tergugah, "Dahulu pernah
kunyatakan bahwa selama hidupku ini takkan menikah, kecuali bila aku menangis
bagi laki-laki itu!"
Karena urusan sudah mendesak,
tanpa pikir lagi segera ia memanggil Toan Ki, "Kemarilah kau!"
Dengan masih meringis
kesakitan Toan Ki mendekati si nona dan tanya, "Ada apa?"
"Engkau adalah laki-laki
pertama di dunia ini yang melihat wajahku!" demikian Bok Wan-jing berbisik
sambil berpaling ke hadapan pemuda itu dan menyingkap kain kedoknya.
Seketika hati Toan Ki
terguncang seakan-akan kena aliran listrik.
Ternyata apa yang dilihatnya
itu adalah sebuah wajah cantik ayu bagai bidadari, cuma agak putih pucat,
tentunya disebabkan selama ini gadis itu menutupi mukanya dengan kedok, jarang
terkena cahaya matahari. Kedua bibirnya yang tipis mungil itu pun
kepucat-pucatan. Namun bagi Toan Ki, rasanya gadis ini menjadi lebih harus
dikasihani, lemah lembut, sama sekali tiada mirip sebagai Hiang-yok-jeh yang
membunuh orang tanpa berkedip.
Kemudian Bok Wan-jing menutup
kedoknya lagi dan berkata kepada Lam-hay-gok-sin, "Nah, sekarang jika kau
ingin melihat mukaku, harus kau minta izin dulu kepada suamiku."
"Hah, kau sudah
bersuami?" Gok-sin menegas dengan heran. "Siapakah suamimu itu?"
"Aku pernah bersumpah
bahwa laki-laki mana saja yang pertama kali melihat wajahku, kalau aku tidak
membunuh dia, maka aku harus menikah padanya," sahut Wan-jing sambil
menunjuk Toan Ki, "Kini orang ini telah melihat wajahku, aku tidak ingin
membunuh dia, terpaksa aku menjadi istrinya."
Lam-hay-gok-sin tercengang, ia
berpaling dan mengamat-amati Toan Ki
Toan Ki merasa kedua mata
orang yang kecil mirip kacang kedelai itu sedang memandang dirinya, dimulai
dari ujung rambut sampai ke kaki, dan dari jari kaki kembali ke ubun-ubun,
keruan Toan Ki menjadi risi dan merinding pula, khawatir kalau orang menjadi kalap
dan sekali hantam membinasakan dirinya.
Siapa tahu mendadak mulut
Lam-hay-gok-sin tiada hentinya berkecek-kecek memuji, katanya,
"Ck-ck-ck-ck, bagus sekali, bagus sekali! Coba kau menghadap ke
sini!"
Toan Ki tidak berani
membangkang, ia menurut dan berputar ke hadapan orang.
"Ehm, benar-benar hebat,
benar-benar cakap! Sangat mirip aku, sangat mirip aku!" demikian kembali
Lamhay-gok-sin memuji.
Mendengar ucapan yang tak
jelas ujung pangkalnya itu, Bok Wan-jing dan Toan Ki sama heran, pikir mereka,
"Ilmu silatmu memang benar tiada bandingannya, tapi rupamu jelek, bagian
manakah yang mirip dengan Toan Ki yang tampan?"
Tiba-tiba Lam-hay-gok-sin
melompat ke samping Toan Ki, ia raba-raba tulang kepala belakang pemuda itu,
lalu pijat-pijat tangan dan kakinya, kemudian meremas-remas pula pinggangnya.
Keruan Toan Ki merasa geli
seakan-akan dikilik-kilik, hampir saja ia berteriak tertawa. Tapi ia dengar
Lamhay-gok-sin sedang terbahak-bahak dan berkata, "Kau sangat mirip aku,
ya, sangat mirip aku!"
Berbareng itu tangan Toan Ki
digandengnya sambil berkata pula, "Marilah ikut padaku!"
"Locianpwe suruh aku ke
mana?" tanya Toan Ki dengan bingung.
"Ke istana Gok-sin-kiong
di pulau Gok-to, di lautan selatan," sahut Gok-sin. "Aku telah
menerima dirimu sebagai murid, lekas kau menjura padaku!"
Hal ini sungguh di luar dugaan
Toan Ki, keruan ia kelabakan, "Ini ... ini ...."
Akan tetapi Lam-hay-gok-sin
tidak mau tahu ini itu, saking senangnya ia berjingkrak-jingkrak seakan-akan
orang putus lotre hadiah pertama, katanya, "Tangan dan kakimu panjang,
tulang kepalamu bagian belakang menonjol keluar, tulang pinggangmu lemas, kau
pintar dan cerdik, aku yakin bakatmu sangat baik, umurmu belum banyak lagi,
benar-benar suatu bakat pilihan untuk belajar silat. Lihatlah ini, bukankah
tulang kepalaku ini sama seperti kau?"
Sembari berkata, ia terus
membalik tubuhnya.
Benar juga, Toan Ki melihat
tulang kepala belakang orang memang sangat mirip dengan dirinya.
Buset! Jadi apa yang
dimaksudkan "sangat mirip aku" tadi tidak lebih disebabkan persamaan
sekerat tulang kepala belakang belaka!
Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin
telah putar tubuh lagi, katanya dengan berseri-seri, "Lam-hay-pay kita
selamanya ada suatu peraturan, yaitu setiap turunan hanya satu guru satu murid.
Muridku yang sudah mati itu, Sun He-khek, tulang kepalanya tidak sebagus kau
punya, kepandaiannya juga tiada dua bagian yang diterimanya dari ajaranku, kini
dia sudah mati, biarlah, daripada sekarang aku repot membunuhnya, mendingan aku
menerima kau sebagai murid saja."
Toan Ki bergidik oleh ucapan
itu. Pikirnya, sifat orang ini sedemikian biadabnya, bila ada orang yang
dipenujui olehnya, murid lantas akan dibunuhnya juga. Jangankan dirinya memang
tidak sudi belajar silat, sekalipun mau juga tidak nanti mengangkat orang
demikian sebagai guru.
Tapi Toan Ki juga tahu bila
secara tegas menolaknya sekarang, seketika malapetaka pasti akan menimpa
dirinya.
Tengah ia bingung tak berdaya,
sekonyong-konyong terdengar Lam-hay-gok-sin membentak, "Kalian lagi
berbuat apa main sembunyi-sembunyi di situ? Ayo, semuanya menggelinding
kemari!"
Maka tertampaklah dari
semak-semak pohon sana muncul tujuh orang.
Su An, Hui-sian, Cin Goan-cun
termasuk di antaranya. Menyusul dari sebelah kiri sana juga menongol dua orang,
mereka adalah Co Cu-bok dan Siang-jing dari "Bu-liang-kiam."
Kiranya sesudah Lam-hay-gok-sin
naik ke atas tebing itu, Toan Ki tidak bisa menimpuk batu dan merintangi mereka
lagi, maka kesempatan itu telah digunakan orang-orang itu untuk memanjat ke
atas. Empat orang lagi di antara rombongan Su An itu adalah para Cecu
(gembong-gembong) dari Hok-gu-ceh, semuanya jago terkenal dari kalangan Hek-to
(hitam) yang kerjanya merampok dan membegal.
Meski orang-orang itu
bersembunyi di tengah semak-semak dengan menahan napas, namun mana bisa
mengelabui telinga Lam-hay-gok-sin yang tajam?
Tapi dasar orang aneh ini lagi
senang karena memperoleh seorang murid berbakat bagus seperti Toan Ki, seketika
ia tidak menjadi marah, dengan masih berseri-seri ia memelototi Co Cu-bok dan
lain-lain, lalu membentak, "Ada apa kalian naik ke sini? Apakah hendak
mengaturkan selamat padaku karena baru menerima seorang murid bagus?"
Dengan tabahkan diri, Jicecu
(gembong kedua) dari Hok-gu-ceh yang bernama Coh Thian-koat menjawab,
"Kami ingin menangkap perempuan hina si Hiang-yok-jeh ini untuk membalas
sakit hati saudara kami."
"Tidak, tidak
boleh!" seru Gok-sin sambil goyang kepala. "Hiang-yok-jeh adalah
istrinya muridku, lekas kalian enyah semua!"
Keruan semua orang sama
melongo heran sambil saling pandang.
"Tidak, aku tak mau
mengangkatmu sebagai guru, sudah lama aku mempunyai guru," seru Toan Ki
tiba-tiba.
Lam-hay-gok-sin menjadi gusar,
bentaknya, "Siapakah gurumu? Apakah kepandaiannya bisa lebih tinggi
daripadaku?"
"Kepandaian guruku itu
kuyakin sedikit pun tak dapat kau bandingi," sahut Toan Ki. "Coba,
apakah kau paham intisari 'Kong-yang-thoan'? Apa pernah kau belajar ilmu
'Ciong-ting-kah-kut' segala?"
Lam-hay-gok-sin garuk-garuk
kepala, sebab dia memang tidak kenal apa itu, "Kong-yang-thoan"
segala, bahkan dengar pun belum pernah.
Melihat wajah orang mengunjuk
rasa bingung, diam-diam Toan Ki merasa geli, ia pikir ilmu silat orang ini
sangat tinggi, tapi otaknya ternyata bebal, segera katanya lagi, "Makanya,
kebaikan Locianpwe biarlah kuterima di dalam hati saja, kelak aku akan
mengundang guruku untuk coba-coba bertanding dengan Locianpwe, bila Locianpwe
dapat mengalahkannya, barulah aku mau mengangkat engkau sebagai Suhu."
"Siapa Suhumu? Masakan
aku jeri padanya? Ayo, tetapkan kapan harus bertanding?" teriak Gok-sin
dengan gusar.
Padahal apa yang diucapkan
Toan Ki itu hanya sekadar untuk mengulur waktu saja, siapa duga orang
benarbenar minta diadakan janji bertanding.
Keruan ia tak bisa menjawab.
Tengah bingung tak berdaya,
tiba-tiba dari jauh sana terdengar kumandang suara suitan orang yang panjang
bagai auman naga, suara itu bergelombang tak terputus-putus melintasi lereng
gunung.
Kalau tadi Toan Ki merasa
ngeri dan seram oleh suara suitan Lam-hay-gok-sin yang melengking tajam itu,
adalah suara suitan sekarang ini kedengarannya keras tenang dan kuat
mengguncangkan lembah gunung, sedikit pun tidak kalah hebatnya daripada suara
Lam-hay-gok-sin tadi.
Mendengar suara ini tiba-tiba
Gok-sin keplak batok kepala sendiri sambil berseru, "Haya, orang ini sudah
tiba, aku tidak sempat banyak bicara lagi denganmu. Nah, kapan gurumu akan
Pi-bu (bertanding silat) denganku dan di mana tempatnya? Ayo, lekas katakan,
lekas!"
"Wah, aku ... aku tidak
enak me ... mewakili guruku mengadakan perjanjian dengan engkau," sahut
Toan Ki tergegap-gegap. "Apalagi sekali engkau sudah pergi, orang-orang
ini tentu akan membunuh kami berdua, lalu cara bagaimana aku akan
memberitahukan hal ini pada guruku?"
Sembari berkata, ia
tuding-tuding Hui-sian dan lain-lain.
Mendengar itu, tanpa menoleh
Lam-hay-gok-sin membaliki tangan kiri meraup ke belakang, seketika tangan Coh
Thian-koat, Jicecu dari Hok-gu-ceh itu kena dipegangnya, menyusul tangan kanan
Gok-sin menjojoh pula ke belakang, "cret", kelima jarinya menancap
masuk dada Coh Thian-koat, kontan terdengar jeritan ngeri gembong Hok-gu-ceh
itu.
Waktu tangan kanan
Lam-hay-gok-sin ditarik kembali, di tengah tangannya yang berlumuran darah itu
sudah memegang sepotong hati manusia.
Kedua kali gerakan
Lam-hay-gok-sin itu cepat bukan main, percuma saja Coh Thian-koat memiliki
kepandaian tinggi, sedikit pun ternyata tak mampu dikeluarkan. Keruan semua
orang yang menyaksikan itu sama melenggong kesima.
Buah hati manusia tadi oleh
Lam-hay-gok-sin terus dimasukkan ke mulutnya, "kruk", ia gigit sekali
dan dikunyah dengan lezatnya bagai makan mentimun saja.
Sungguh pedih dan gusar tidak
kepalang ketiga Cecu yang lain dari Hok-gu-ceh. Berbareng mereka meraung murka
terus menubruk maju. Akan tetapi sama sekali Lam-hay-gok-sin tidak berpaling,
bahkan mulutnya masih terus makan dengan lezatnya, sedang kaki kanan lantas
mendepak tiga kali sekaligus ke belakang.
Kontan tertampak tubuh ketiga
Cecu dari Hok-gu-ceh itu mencelat ke udara dan jatuh ke dalam jurang semua.
Suara jeritan ngeri yang berkumandang di angkasa lembah pegunungan itu dan
membuat Toan Ki merinding.
Menampak betapa ganas dan
buasnya Lam-hay-gok-sin, ilmu silatnya sedemikian lihai pula, Hui-sian, Co
Cubok dan lain-lain menjadi jeri dan menyurut mundur ketakutan.
Sambil mulutnya masih
mengunyah sisa hati manusia tadi, samar-samar Lam-hay-gok-sin berseru pula,
"Locu tidak cukup hanya makan sebuah hati, aku masih ... masih inginkan
yang kedua, siapa yang larinya paling lambat, dia itulah akan menjadi
mangsaku."
Mendengar itu, takut Co
Cu-bok, Siang-jing, Cin Goan-cun dan lain-lain bukan buatan, sukma mereka
hampir terbang ke awang-awang, cepat saja mereka berebut melarikan diri, begitu
sampai di tepi jurang, tanpa pikir lagi mereka memberosot ke bawah begitu saja.
Hanya Oh-pek-kiam Su An saja
yang masih tinggal di situ dengan mata mendelik sambil menghunus pedang,
katanya dengan gagah berani, "Di dunia ini ternyata ada manusia sekejam
dan seganas ini, sungguh melebihi
binatang. Bila aku Su An juga
takut mati dan melarikan diri, ke manakah mukaku harus ditaruh kalau berkelana
di Kangouw lagi?"
Habis berkata, ia sentil
batang pedangnya hingga berbunyi mendengung, bukannya mundur, sebaliknya
melangkah maju dan membentak, "Awas pedang!"
Tanpa bicara lagi ia menusuk
dada Lam-hay-gok-sin.
Di bawah cahaya matahari yang
terang benderang itu, sinar pedang gemerlapan menyilaukan mata, tapi
Lamhay-gok-sin anggap seperti tidak melihatnya saja, ia asyik menikmati
penganannya sendiri yang istimewa itu.
Ujung pedang Su An tampaknya
sudah akan menembus dadanya, segera Su An kerahkan tenaga lebih kuat.
"Kret", ternyata bukan dada Lam-hay-gok-sin yang tertembus, melainkan
pedang Su An yang patah menjadi dua.
Sungguh luar biasa, tubuh
Lam-hay-gok-sin itu ternyata kebal, tidak mempan senjata. Meski pedang Su An
itu bukan Po-kiam atau pedang pusaka, tapi juga tergolong senjata pilihan yang
sangat tajam. Keruan ia kaget, cepat ia melompat mundur sambil melolos pedang
yang lain.
"Apakah kau ini
Oh-pek-kiam Su An?" tanya Lam-hay-gok-sin.
"Benar," sahut Su
An. "Kalau orang she Su hari ini tewas di tangan manusia buas seperti kau,
kelak pasti ada yang menuntut balaskan."
Ia tahu ilmu sendiri terpaut
sangat jauh dengan lawan dan pasti bukan tandingannya. Namun sedikit pun ia
tidak gentar, ia sudah ambil keputusan, bila akhirnya tetap kalah, segera ia
akan bunuh diri dan terjun ke bawah jurang daripada jatuh di tangan musuh dan
dimakan hatinya.
Saat itu Lam-hay-gok-sin baru
menjejalkan sisa hati manusia tadi ke dalam mulutnya, lalu berkata,
"Oh-pekkiam Su An, ehm, sudah lama kudengar namamu. Lam-hay-gok-sin justru
paling suka makan buah hati Enghiong-hohan (orang gagah dan kaum kesatria),
sebab lebih lezat daripada hati manusia pengecut yang tak berguna. Hahaha,
tentu boleh juga hati manusia Su An ini!"
Habis berkata,
sekonyong-konyong tubuhnya melejit ke depan secepat panah. Segera Su An memapak
dengan tusukan pedang ke tenggorokan lawan.
Tapi sedikit Lam-hay-gok-sin
egos kepala, tahu-tahu bahu Su An kena dicengkeramnya.
Seketika Su An merasa separuh
tubuhnya kaku pegal, sepenuh sisa tenaga ia ketok-ketok batok kepala orang
dengan gagang pedangnya, "tak", bukannya kepala lawan yang pecah,
tapi pedangnya yang hitam mulus itu terpental dan tangannya terluka oleh
getaran itu.
Dalam kejutnya Su An meronta
sebisanya terus hendak terjun ke bawah jurang, namun sekali lengan sudah
terpegang oleh Lam-hay-gok-sin, mana bisa terlepas begitu saja.
Dalam keadaan bahaya,
tiba-tiba di angkasa raya berkumandang lagi suara suitan macam naga berbunyi,
menyusul suara seorang berkata, "Hiong-sin-ok-sat Gak-losam, apa kau
takut, maka tidak berani kemari?"
Suara itu berkumandang dari
jauh, tapi kedengarannya orangnya seperti berada di dekat situ.
"Huh, selama hidup
Gak-losam pernah gentar kepada siapa? Segera kudatang ke situ!" sahut
Lam-hay-gok-sin dengan keras. Sembari berkata, tangannya terangkat terus hendak
mencakar dada Su An.
Dalam keadaan begitu, Su An
hanya pejamkan mata menunggu ajal saja.
Untunglah mendadak Toan Ki
berseru, "Locianpwe, hati orang ini berbisa, jangan kau makan!"
Lam-hay-gok-sin tertegun,
tanyanya, "Dari mana kau tahu?"
"Kemarin dulu orang ini
berani main gila pada Sin-long-pang, maka Sikong-pangcu telah cekoki dia dengan
Toan-jiong-san dan Hui-sim-tan (pil pembusuk hati)," demikian Toan Ki
sengaja mengibul. "Dan kemarin dia bermusuhan lagi dengan Bok-kohnio
hingga kena dipanah sekali oleh nona Bok dengan panahnya yang beracun, mungkin
saat ini racun sudah mulai merasuk ke dalam hatinya. Apalagi pagi tadi dia kena
digigit pula sekali oleh seekor ular emas kecil ...."
"Apakah
Kim-leng-cu?" sela Lam-hay-gok-sin.
"Benar,
Kim-leng-cu!" sahut Toan Ki sembari melepaskan Jin-leng-cu dari
pinggangnya, lalu menyambung,
"Lihat ini, Kim-leng-cu
dan Jing-leng-cu selalu berada bersama. Bisa binatang kecil ini teramat
lihainya, sekalipun Lwekang Locianpwe sangat tinggi dan tidak takut terkena
racun, tapi hati orang ini tentu sejak tadi sudah membusuk dan tak enak dimakan,
jangan-jangan malah akan bikin sakit perut Locianpwe nanti!"
Ada benarnya juga pikir
Lam-hay-gok-sin. Segera ia lemparkan Su An ke samping, lalu katanya kepada Toan
Ki, "Kau bocah ini meski belum resmi mengangkat guru padaku, tapi kau
ternyata sudah baik hati terhadap gurumu."
Sekonyong-konyong suara
raungan aneh tadi berjangkit lagi dengan keras dan sahut-menyahut bagai paduan
suara raungan binatang buas dan gesekan logam yang mengilukan perasaan dan
memekak telinga.
Cepat Lam-hay-gok-sin
mengeluarkan suaranya yang mirip hantu merintih, sekali lompat, tahu-tahu ia
terjun ke bawah jurang.
Kejut dan girang Toan Ki,
pikirnya, "Mampus kau sekarang melompat ke dalam jurang!"
Cepat ia berlari-lari melongok
ke tepi jurang, ia lihat si malaikat buaya dari laut selatan itu lagi
berlompatan ke bawah, sekali lompat belasan tombak jauhnya, tangannya digunakan
menahan dinding jurang, habis itu tubuhnya menurun pula ke bawah dan begitu
seterusnya hingga akhirnya bayangannya lenyap di balik awan yang menutupi
jurang itu.
Toan Ki melelet lidah oleh
kepandaian Lam-hay-gok-sin yang sukar dibayangkan itu. Ketika berpaling
kembali, ia lihat Su An sedang jemput kembali pedang hitamnya dan dimasukkan
sarungnya, lalu katanya sambil hormat dengan muka jengah, "Hari ini berkat
pertolongan Toan-heng, sungguh aku Su An takkan melupakan budi kebaikan
ini."
"Cayhe telah mengoceh
sekenanya, untuk itu masih mengharapkan Su-heng jangan marah," sahut Toan
Ki sambil membalas hormat.
"Lam-hay-gok-sin Gak
Jong-liong ini tinggal di Ban-gok-to (pulau berlaksa buaya) di laut selatan,
kali ini tibatiba datang ke Tionggoan, tentu tidak datang sendirian, mungkin
masih banyak begundal yang dibawanya," kata Su An. "Konon orang ini
sekali omong pasti dilaksanakan, maka sekali kalau dia penujui Toan-heng, tentu
takkan berhenti begini saja. Kedatanganku merecoki istrimu sebenarnya adalah
atas permintaan kawan saja, maka selanjutnya akan kuanggap selesai. Sekarang
juga biar kuantar kalian suami istri turun gunung untuk menghindari gangguan
begundal Lam-hay-gok-sin."
Toan Ki menjadi merah jengah
mendengar orang berulang kali menyebut "suami istri" antara dia dan
Bok
Wan-jing, cepat ia goyang
tangan dan berkata dengan tak lancar, "Ti ... tidak ... bu ... bukan
...."
Namun Bok Wan-jing lantas
bersuara dengan dingin, "Su An, silakan kau pergi saja. Keselamatanmu
sendiri saja menjadi persoalan, masih berlagak gagah perwira segala?"
Merah padam Su An oleh
olok-olok itu, tanpa bicara ia putar tubuh dan tinggal pergi.
"Nanti dulu,
Su-heng!" cepat Toan Ki berseru.
Namun Su An sudah ngambek, ia
berlari ke tepi jurang dan memberosot turun.
Sekilas Toan Ki melihat di
lereng gunung depan sana ada setitik benda kuning lagi bergerak dengan sangat
cepat. Waktu ditegaskan, kiranya adalah Lam-hay-gok-sin, hanya dalam sekejap
saja si malaikat buaya dari laut selatan itu sudah merayap sampai di sana.
Toan Ki kembali ke samping Bok
Wan-jing dan berkata, "Apa yang dikatakan orang she Su itu bukan tiada
beralasan, kenapa kau bikin menyesal dia?"
Bok Wan-jing menjadi gusar,
sahutnya, "Baru menjadi suamiku, lantas hendak kau perintah aku, ya? Kalau
kubunuhmu, paling-paling aku pun bunuh diri mengiringimu, apanya yang perlu
dibuat ribut-ribut?"
Toan Ki tertegun, katanya
pula, "Hal ini hanya untuk menipu Lam-hay-gok-sin karena keadaan mendesak
tadi, kenapa kau anggap sungguhan? Mana dapat aku menjadi suami nona?"
"Apa katamu?" seru
Bok Wan-jing sambil berbangkit dengan terhuyung-huyung memegangi dinding batu.
"Jadi kau tidak sudi padaku? Kau cela diriku, bukan?"
Melihat nona itu sedemikian
gusarnya, cepat Toan Ki berkata lagi, "Harap nona pikirkan kesehatanmu
dulu, soal ucapan main-main tadi buat apa kau pikirkan dalam hati?"
"Plok", mendadak Bok
Wan-jing melangkah maju dan persen Toan Ki dengan sekali tempelengan. Tapi
badannya terlalu lemah, sekali sempoyongan, ia jatuh ke pangkuan anak muda itu.
Cepat Toan Ki memeluknya agar tidak roboh.
Karena berada dalam pelukan
pemuda itu, teringat pula dirinya sudah diakui sebagai istri, Bok Wan-jing
merasa badan menjadi hangat, rasa gusarnya ikut berkurang pula beberapa bagian,
katanya kemudian, "Lekas lepaskan aku!"
Toan Ki dukung nona itu duduk
bersandar dinding batu, pikirnya, "Perangainya memang sangat aneh, setelah
terluka parah mungkin akan menjadi lebih ganjil lagi wataknya. Kini terpaksa
kuturuti dia, apa pun dia bilang akan kuturuti saja, toh aku ...."
Ia coba menghitung-hitung
dengan jari, jarak waktu bekerjanya racun Toan-jiong-san sudah dekat, ia pikir
walaupun racun itu tidak jadi kumat, dirinya juga takkan mampu turun dari
gunung yang dikelilingi jurangjurang curam itu dengan hidup.
Maka dengan suara halus
kemudian ia menghibur Bok Wan-jing, "Sudahlah, jangan kau marah. Yang
benar, marilah kita mencari apa-apa yang dapat kita makan."
"Di atas bukit tandus
begini, apa yang dapat kita makan?" sahut Bok Wan-jing. "Biarlah aku
mengaso sebentar, kalau sudah cukup kuat, akan kugendong turun ke bawah gunung
saja."
"Wah, mana ... mana
boleh," seru Toan Ki sambil goyang-goyang tangan. "Untuk jalan
sendiri saja engkau belum kuat, mana dapat menggendongku pula?"
"Kau lebih suka korbankan
jiwa sendiri ketimbang mengingkari aku," kata Wan-jing. "Karena itu,
demi Longkun (suamiku), meskipun aku Bok Wan-jing biasanya membunuh orang tanpa
berkedip juga rela berkorban untuk sang suami."
Kata-kata itu diucapkan dengan
tegas, cuma ia tidak biasa mengutarakan perasaan yang haru dan mesra itu,
dengan sendirinya nadanya menjadi rada kaku, tidak sesuai dengan rasa hatinya
yang penuh cinta kasih itu.
"Banyak terima kasih,
biarlah engkau mengaso dulu, nanti kita bicarakan lagi." Sampai di sini
sekonyongkonyong perutnya terasa sakit, tak tertahan lagi ia menjerit,
"Aduh!"
Begitu sakit perutnya itu
hingga mirip disayat-sayat pisau, usus seakan-akan dipotong-potong. Dengan
meringis Toan Ki menahan sakit perutnya, keringat berbutir-butir merembes
keluar di jidatnya.
"He, ken ... kenapa
kau?" tanya Bok Wan-jing khawatir.
"Sikong ... Sikong Hian
dari Sin-long-pang men ... mencekoki aku dengan Toan-jiong-san ...."
demikian Toan Ki bertutur dengan terputus-putus.
Keruan kejut Bok Wan-jing tak
terkatakan, pikirnya, "Kabarnya Sin-long-pang paling ahli menggunakan
obat, jika Pangcu mereka sendiri yang memberi racun, mungkin sukar ditolong
lagi."
Ia lihat Toan Ki kesakitan
hingga megap-megap, hatinya tidak tega, ia tarik pemuda itu duduk di sampingnya
dan menghiburnya, "Kuatkanlah perasaanmu! Sekarang sudah baikan
bukan?"
Tapi saking kesakitan sampai
mata Toan Ki seakan-akan berkunang-kunang, maka dengan merintih ia berkata,
"Aduh, sakitnya! Ma ... makin lama main sakit!"
Si gadis mengusap keringat
Toan Ki dengan lengan bajunya, ketika melihat wajah pemuda itu pucat pasi,
hatinya menjadi sedih dan air mata pun berlinang-linang, katanya dengan
terguguk, "Jang ... jangan kau mati begini saja!"
Sembari berkata ia terus tarik
kedoknya itu dan menempelkan pipi kanan sendiri ke pipi kiri Toan Ki, "O,
Longkun, engkau ... engkau jangan mati!"
Selama hidup Toan Ki belum
pernah berdekatan dengan gadis jelita, apalagi kini setengah dirangkul Bok
Wanjing, pipi menempel pipi, terdengar pula rayuan "Longkun" yang
meresap, keruan sukma Toan Ki seakan-akan terbang ke awang-awang.
Kebetulan juga saat itu sakit
perutnya agak reda. Sudah tentu Toan Ki merasa berat untuk berpisah dari
rangkulan si gadis, maka katanya, "Selanjutnya jangan lagi kau pakai
topeng, ya?"
"Jika kau minta begitu,
pasti akan kuturut," sahut Bok Wan-jing. "Dan sekarang perutmu sudah
baikan belum?"
"Sudah agak baik,"
sahut Toan Ki. "Tapi ...."
"Tapi apa?" tanya
Wan-jing.
"Ta ... tapi kalau kau
lepaskan aku, tentu akan kesakitan lagi."
"Cis, jadi kau hanya
pura-pura saja," omel si nona dengan muka merah sambil mendorong Toan Ki.
Sebenarnya Toan Ki adalah
seorang pemuda lugu dan polos, keruan ia menjadi malu juga. Ia tidak tahu cara
bekerja racun Toan-jiong-san itu mula-mula agak lama baru berjangkit sekali,
kemudian berjangkit makin kerap hingga akhirnya akan kesakitan tiada
henti-hentinya dan orangnya akan mati.
Tadi ia salah sangka atas
rayuan Bok Wan-jing yang penuh kasih manisnya madu, perasaannya terguncang
hingga lupa sakit.
Sebaliknya Bok Wan-jing rada
kenal sifat bekerjanya racun itu, kalau pemuda itu kesakitan terus-menerus
malah masih bisa ditolong, tapi hanya kesakitan sebentar lantas berhenti,
umumnya tentu terkena racun jahat yang susah disembuhkan, si penderita pasti
akan tersiksa mati tidak hidup pun tidak, jauh lebih mengenaskan daripada mati.
Dan ketika melihat pemuda itu
mengunjuk rasa malu, ia menjadi pedih, ia pegang tangan Toan Ki dan berkata
pula, "Bila kau mati, Longkun, aku pun tidak ingin hidup sendirian,
biarlah kita berdua menjadi suami istri di alam baka nanti."
Tapi Toan Ki tidak ingin gadis
itu mati setia baginya, katanya, "Tidak, tidak! Engkau harus membalaskan
sakit hatiku dulu, kemudian setiap tahun sekali engkau berziarah ke kuburanku.
Kuminta engkau bersembahyang di kuburanku selama berpuluh tahun, dengan
demikian barulah aku dapat tenteram di alam baka."
"Aneh juga engkau
ini," ujar Wan-jing. "Sesudah mati, apa yang bisa dirasakan lagi? Aku
datang berziarah atau tidak ke kuburanmu, apa gunanya bagimu?"
"Jika begitu, bila kau
mati bersamaku lebih-lebih tiada berguna," sahut Toan Ki. "O, betapa
cantiknya engkau, bila setiap tahun engkau sudi berziarah sekali ke kuburanku,
kalau aku mengetahui di alam baka tentu akan senang juga hatiku melihatmu. Tapi
bila engkau ikut mati bersamaku, kita sama-sama akan menjadi tulang belulang
belaka, ini kan tidak bagus lagi untuk dilihat."
Mendengar dirinya dipuji
cantik, senang hati Bok Wan-jing. Tapi segera terpikir pula olehnya baru hari
ini mendapatkan seorang suami yang diidam-idamkan, sekejap lagi orangnya sudah
akan mati, tak tertahan air matanya segera bercucuran.
Toan Ki rangkul pinggang si
nona yang ramping itu, hatinya terguncang ketika tangan menyentuh badan yang
halus kenyal itu, tak tertahan lagi ia menunduk dan mengecup sekali bibir si
gadis.
Mendadak ia mengendus bau
harum semerbak. Ia tidak berani lama-lama mencium, cepat ia mengangkat
kepalanya dan berkata, "Orang menyebutmu 'Hiang-yok-jeh', wanginya memang
nyata benar, kalau di alam halus benar-benar ada setan wangi sedemikian
cantiknya, mungkin setiap laki-laki di jagat ini akan membunuh diri dan menjadi
setan untuk mencari setan wangi secantikmu."
Setelah dicium tadi, hati Bok
Wan-jing masih dak-dik-duk berdebar-debar, pipi bersemu merah, muka yang
tadinya kepucat-pucatan itu menjadi lebih cantik molek. Katanya kemudian,
"Engkau adalah laki-laki satusatunya di dunia ini yang pernah melihat
wajahku, setelah kau mati, segera kurusak mukaku agar tak dilihat lagi oleh
laki-laki kedua."
Sebenarnya Toan Ki hendak
mencegah maksud orang, tapi aneh juga, timbul semacam rasa cemburu di dalam
hatinya, betapa pun ia juga tidak ingin ada laki-laki lain yang melihat lagi
wajah cantik si gadis, maka kata-kata yang hampir diucapkan itu urung
dikeluarkan, sebaliknya lantas tanya, "Sebab apa dahulu engkau bersumpah
sekeji ini."
"Engkau sudah menjadi
suamiku, tiada alangan kuceritakan padamu," sahut Wan-jing. "Aku
yatim piatu, begitu lahir lantas dibuang orang di tepi jalan, beruntung guruku
telah menolong diriku, dengan susah payah aku dibesarkan serta diberi pelajaran
ilmu silat setinggi sekarang ini. Kata guruku, setiap laki-laki di dunia ini
memang berhati palsu, kalau melihat wajahku, pasti aku akan digoda dan dipikat
hingga terjerumus. Sebab itulah sejak kecil aku diberi kedok penutup muka.
Sampai berumur 16 tahun, kecuali guruku, aku tidak pernah melihat orang lain.
Dua tahun yang lalu, Suhu perintahkan aku turun gunung untuk menyelesaikan
suatu urusan ...."
"Jadi tahun ini engkau
berusia 18 tahun?" sela Toan Ki. "Aku lebih tua dua tahun."
Wan-jing menganggut-anggut,
katanya pula, "Waktu turun gunung, Suhu suruh aku bersumpah, bila ada
orang melihat wajahku, kalau aku tidak membunuh dia harus kukawin padanya. Dan
bila orang itu tidak mau memperistrikan diriku atau sesudah menikah
meninggalkanku, maka aku diharuskan membunuh manusia berhati palsu itu. Kalau
aku tidak turut perintah Suhu ini, sekali diketahui Suhu, beliau akan membunuh
diri di hadapanku."
Toan Ki merinding mendengar
sumpah aneh itu, pikirnya, "Umumnya orang bersumpah tentu akan menyatakan
bersedia dibunuh atau ditimpa malapetaka. Tapi gurunya sebaliknya mengancam
hendak membunuh diri. Sumpah demikian sekali-kali tak boleh terjadi."
"Betapa besar budi
kebaikan Suhu padaku, mana boleh kubangkang perintahnya itu?" demikian
Wan-jing melanjutkan. "Apalagi pesannya itu adalah demi kebaikanku
sendiri. Maka tanpa pikir tatkala itu aku menurut dan bersumpah. Selama dua
tahun ini, tugas yang diberikan Suhu padaku masih belum terlaksana, sebaliknya
aku telah banyak mengikat permusuhan. Padahal orang-orang yang tewas di bawah
pedang dan panahku itu adalah salah mereka sendiri, mereka yang lebih dulu
merecoki aku karena hendak menyingkap kedok mukaku."
Toan Ki menghela napas, baru
sekarang ia mengerti duduknya perkara, mengapa seorang gadis jelita begitu bisa
mempunyai musuh sedemikian banyak.
"Kenapa kau menghela
napas?" tanya Bok Wan-jing.
"Agaknya mereka melihatmu
selalu berada sendirian, perawakan ramping menggiurkan, tapi sepanjang tahun
memakai kedok muka, saking ingin tahu mereka ingin melihat mukamu sebenarnya
cantik atau jelek, padahal belum pasti mereka mempunyai maksud jahat. Siapa
tahu, karena sedikit kesalahan itu, jiwa mereka sama melayang."
"Bagiku, sudah pasti
kubunuh mereka," ujar Wan-jing. "Kalau tidak, bukankah aku harus
menjadi istri manusia-manusia yang menjemukan itu? Cuma aku pun tidak pikir
bahwa orang-orang itu masih banyak mempunyai sanak kadang. Satu kubunuh, lantas
berekor dengan beberapa orang sobat andainya datang mencari perkara padaku.
Sampai akhirnya, bahkan Hwesio dan Tosu juga ikut-ikutan menjadi musuhku.
Pernah kutinggal beberapa bulan di Ban-jiat-kok, suami istri she Ciong itu
cukup menghormati aku, tak terduga Cionghujin bisa memalsukan namaku, coba, kan
tidak pantas perbuatannya itu?"
Rupanya ia menjadi letih
karena banyak bicara, ia pejamkan mata mengumpulkan semangat, sebentar kemudian
berkata pula, "Semula aku mengira kau pun serupa laki-laki lainnya, hanya
manusia yang tidak kenal budi kebaikan. Siapa duga setelah engkau berangkat
meminjam Oh-bi-kui, engkau lari kembali lagi untuk memberi kabar padaku. Hal
ini sungguh tidak mudah dilakukan setiap orang. Belakangan ketika
Lam-hay-goksin mendesak terus, terpaksa kubiarkan engkau melihat wajahku."
Berkata sampai di sini, ia
memandang Toan Ki dengan sorot mata yang penuh kasih mesra.
Keruan Toan Ki berdebar-debar,
pikirnya, "Apa benar dia menjadi cinta padaku?"
Segera ia pun berkata,
"Sudahlah, keadaan tadi hanya terpaksa, soal sumpahmu itu boleh juga tak
perlu ditaati."
Bok Wan-jing menjadi gusar.
"Sumpah yang pernah
kuucapkan mana boleh berubah." katanya dengan bengis. "Kalau engkau
tidak sudi memperistrikan aku, lekas kau katakan terus terang, biar sekali
panah kubinasakanmu, agar aku tidak melanggar sumpahku."
Selagi Toan Ki hendak memberi
penjelasan lagi, sekonyong-konyong perutnya kesakitan pula, dengan kedua tangan
menahan perut, ia merintih-rintih.
"Lekas katakan, kau mau
memperistrikan diriku tidak?" tanya Bok Wan-jing lagi.
"Per ... perutku sakit
.... Aduh! Sakit sekali!" keluh Toan Ki.
"Sebenarnya kau mau
menjadi suamiku tidak?" Wan-jing mendesak pula.
Toan Ki pikir perutnya
sedemikian sakit, hidupnya tentu tidak lama lagi, buat apa sebelum mati mesti
melukai hati seorang nona. Maka ia pun mengangguk dan berkata, "Aku ...
aku mau memperistrikanmu!"
Sebenarnya Bok Wan-jing sudah
siapkan panah beracun di tangan, demi mendengar jawaban Toan Ki itu, seketika
girangnya tak terkatakan, dengan senyum gembira ia rangkul pemuda itu dan
berkata, "O, suamiku yang baik, biarlah kupijat perutmu."
"Tidak, tidak!"
jawab Toan Ki cepat. "Kita masih belum menikah, laki-laki dan perempuan
ada batasnya, ini ... ini tidak boleh."
Tergerak pikiran Bok Wan-jing
tiba-tiba, katanya, "Eh, tentu kau sudah kelaparan, maka sakitnya menjadi
tambah hebat. Biarlah kupotong sedikit daging keparat itu untuk kau
makan."
Habis berkata, ia berbangkit
dan merayap mendekati mayat Coh Thian-koat untuk memotong dagingnya.
Keruan kejut Toan Ki tidak
kepalang, seketika terlupakan sakit perutnya, cepat ia menggembor,
"Jangan, jangan! Daging manusia mana boleh dimakan, biarpun mati juga aku
tidak mau makan!"
"Aneh, sebab apa tak
boleh dimakan?" tanya Wan-jing heran. "Bukankah Lam-hay-gok-sin tadi
sudah makan buah hatinya?"
"Lam-hay-gok-sin itu
teramat kejam dan buas melebihi binatang, kita mana ... mana boleh kita tiru
dia?"
"Ketika tinggal bersama
dengan Suhu di gunung, sering kami makan daging harimau, daging menjangan.
Kalau menurut pendirianmu, tentunya tak boleh dimakan juga?" kata si nona.
"Daging binatang itu
dengan sendirinya boleh dimakan, tapi daging manusia tak boleh dimakan!"
sahut Toan Ki.
"Apa daging manusia
beracun?"
"Bukan beracun,"
sahut Toan Ki. "Tapi kita kan sama-sama manusia. Engkau manusia, aku pun
manusia, Coh Thian-koat juga manusia. Manusia tak boleh makan manusia."
"Sebab apa?" tanya
si gadis. "Kulihat waktu kawanan serigala kelaparan, mereka lantas makan serigala
yang lain."
"Makanya," sahut
Toan Ki gegetun. "Bila manusia pun makan manusia, bukankah tiada ubahnya
seperti serigala?"
Sejak kecil Bok Wan-jing
selalu berdampingan dengan sang guru, selamanya tidak pernah bergaul dengan
orang ketiga, watak gurunya sangat aneh pula, biasanya tidak pernah bicara
tentang urusan keduniawian dengan dia. Sebab itulah, tentang sopan santun dan
peradaban manusia sedikit pun ia tidak paham.
Kini mendengar Toan Ki bilang
"manusia tidak boleh makan manusia", ia menjadi heran dan ragu.
"Engkau sembarangan
membunuh orang, itu pun tidak boleh," kata Toan Ki lagi. "Sebaliknya,
bila orang lain ada kesukaran, harus kau bantu dia. Dengan demikian barulah
sesuai dengan tujuan orang hidup."
"Jika begitu, kalau aku
ada kesukaran, orang lain apakah juga akan membantuku?" tanya si gadis.
"Tapi kenapa orang yang kujumpai, kecuali guruku, setiap orang selalu
ingin membunuh, mencelakai dan menghina aku, selamanya tiada yang baik padaku?
Kalau harimau hendak menerkam dan makan aku, aku lantas
membunuhnya. Begitu pula
orang-orang itu, bila mereka hendak membunuh aku, dengan sendirinya kubunuh
mereka, apa bedanya?"
Pertanyaan ini benar-benar
membikin Toan Ki bungkam dan tak bisa menjawab, terpaksa ia berkata,
"Kiranya urusan peradaban sedikit pun engkau tidak paham, kenapa gurumu
membiarkan engkau turun gunung begini saja?"
"Suhu bilang kedua
urusannya itu betapa pun harus diselesaikan dan tidak dapat menunggu
lagi," kata Wanjing.
"Dua urusan apakah itu,
dapatkah kau ceritakan?"
"Engkau adalah suamiku,
dengan sendirinya boleh kuceritakan, kalau orang lain tentu tidak," sahut
Wan-jing. "Suhu suruh aku turun gunung untuk membunuh dua orang."
"Ai, sudahlah!"
cepat Toan Ki menyela sambil dekap telinganya. "Bicara ke sana kemari
sejak tadi, kalau bukan hal makan manusia, tentu soal membunuh orang, auuuuh
... aduh ...."
Kiranya perutnya mendadak
terasa kesakitan lagi hingga ia menjerit.
Si gadis coba mengurut perut
Toan Ki dari luar baju. Sekonyong-konyong tangannya menyentuh sesuatu yang
hangat-hangat, seperti ada sesuatu barang yang bergerak-gerak.
"Apakah ini?"
tanyanya terus merogoh keluar benda itu dari baju Toan Ki.
Kiranya itu adalah sebuah
kotak kemala kecil. Waktu diperhatikan, di dalam kotak terdengar ada suara
"krakkrok."
Segera Wan-jing bermaksud
membuka tutup kotak itu, tapi Toan Ki cepat mencegahnya, "Jangan, nona
Ciong bilang tidak boleh membuka kotak ini, Jing-leng-cu sangat takut pada
benda ini, begitu dibuka, segera dia akan lari."
"Ciong Ling bilang jangan
dibuka, aku justru ingin membukanya," ujar Bok Wan-jing.
Segera ia buka tutup kotak
perlahan hingga tertampak celah-celah kecil, waktu diintip di bawah sinar matahari,
terlihatlah di dalam kotak itu berisi sepasang katak kecil yang antero badannya
berwarna merah darah.
Begitu katak merah itu melihat
cahaya, mendadak terus bersuara "koak-koak-koak" beberapa kali,
suaranya keras bagai menguaknya kerbau hingga telinga orang seakan-akan pekak.
Keruan Toan Ki dan Bok
Wan-jing terkejut, dan karena itu, hampir saja kotak yang dipegang Bok Wan-jing
itu terjatuh.
Sungguh tak tersangka olehnya
bahwa kedua katak sekecil itu bisa bersuara begitu keras, cepat saja ia tutup
kembali kotak itu. Dan karena kotak ditutup, suara katak itu lantas berhenti.
"Ah, tahulah aku!"
tiba-tiba Bok Wan-jing berseru. "Pernah kudengar cerita guruku, katanya
binatang ini bernama ... bernama ...." ia mengingat-ingat sejenak, lalu
menyambung, "bernama Cu-hap! Ya, benar, inilah 'Bong-koh-cu-hap' (katak
kerbau merah), adalah binatang antisegala macam ular. Ya, memang benar inilah
dia, entah mengapa bisa berada pada Ciong Ling ...."
"He, lihatlah!"
tiba-tiba Toan Ki berseru.
Ternyata Jing-leng-cu yang
melilit di pinggangnya itu tahu-tahu jatuh ke tanah terus meringkuk dengan
lemas, sedikit pun tidak berani bergerak. Kim-leng-cu yang tadi sudah menyusup
ke semak-semak rumput itu, kini pun merayap keluar bersama beberapa ekor ular
kecil, semuanya meringkuk di situ tanpa bergerak sedikit pun seakan-akan lagi
memberi sembah kepada kotak kemala.
Bok Wan-jing menjadi girang,
katanya, "Hah, sepasang katak kecil ini ternyata bisa memanggil ular,
sungguh menarik sekali, marilah kita coba-coba lagi!"
"Jangan!" cepat Toan
Ki mencegah, "demikian banyak ularnya, apakah tidak menjemukan?"
"Kita memegang kedua ekor
katak ini, betapa banyak ular berbisa juga kita tidak takut," ujar
Wan-jing. Habis itu, kembali ia buka sedikit kotak kemala dan segera sepasang
"Bong-koh-cu-hap" itu menguak lagi dengan ramainya.
"Bagus juga nama binatang
ini, suaranya memang mirip banteng menguak," kata Toan Ki dengan tertawa
geli.
"Kau bilang apa?"
tanya Bok Wan-jing.
Kiranya suara Toan Ki itu
kalah kerasnya daripada suara menguaknya katak-katak itu, biarpun si gadis
berada di depannya juga tidak jelas ucapan anak muda itu.
Toan Ki hanya goyang-goyang
tangan sambil mendengarkan suara menguak katak-katak itu yang semakin keras,
ketika diperhatikan, di antara suara ngorek katak-katak itu terseling pula
suara mendesis-desis.
Tiba-tiba Wan-jing menarik
baju Toan Ki dan menunjuk ke kiri. Pandangan Toan Ki menjadi silau seketika,
belasan ular yang beraneka warnanya gemilapan terkena sinar matahari sedang
merayap datang dengan cepat sekali.
Bahwasanya katak-katak merah
itu bisa memanggil ular memang sudah diduga oleh Toan Ki, tapi hanya dalam
sekejap itu bisa datang ular sebanyak itu, betapa pun ia terkejut.
Cepat ia jemput dua potong
batu untuk persiapan bila perlu.
Tidak lama, dari sebelah kanan
datang pula segerombol ular dengan macam-macam warnanya, merah, kuning, hitam,
putih, loreng dan sebagainya, yang besar sampai 2-3 meter, yang kecil hanya
belasan senti saja.
Sudah banyak Toan Ki melihat
ular, tapi kalau digabungkan seluruhnya, rasanya tiada satu bagian daripada
jumlah yang dilihatnya sekarang.
Beribu ekor ular itu merayap
sampai di depan kedua muda-mudi itu, lalu mendekam di tanah tanpa bergerak,
kepala menjulai ke bawah dengan jinak, sedikit pun tidak berani menegak
sebagaimana biasanya kalau hendak memagut orang.
Menghadapi ular sebanyak itu
dengan bau amis yang memuakkan, tanpa terasa Bok Wan-jing menjadi jeri juga,
pikirnya, "Katak ini menguak terus, mungkin ular-ular yang lain akan
membanjir lagi. Untuk memanggil ular adalah gampang, hendak mengusirnya nanti
mungkin susah."
Maka cepat ia tutup kembali
kotak kemala itu.
Walaupun suara menguak
katak-katak merah itu sudah berhenti, tapi kawanan ular itu tetap tidak
bergerak.
Aneh juga, biarpun sebanyak
itu ularnya, namun tiada seekor pun yang berani mendekati Toan Ki berdua dalam
jarak lingkaran kira-kira tiga meter.
"Mari kita coba keluar
sana!" ajak Wan-jing sambil memayang Toan Ki.
Dan baru mereka melangkah satu
tindak ke depan, beratus ekor ular di depan mereka lantas menyingkir ke
pinggir, biarpun ular yang paling besar dan menakutkan juga menggeser mundur
dengan jeri.
Waktu mereka melangkah maju
beberapa tindak lagi, kembali kawanan ular itu menyingkir dan memberi jalan.
Bok Wan-jing menjadi girang,
katanya, "Menurut Suhuku, katanya Bong-koh-cu-hap ini adalah makhluk ajaib
dari alam semesta ini, beliau juga cuma kenal namanya, tapi belum pernah
melihat wujudnya."
Habis berkata, tiba-tiba ia
ingat sesuatu, ia tanya pada Toan Ki, "Benda mestika sedemikian
pentingnya, mengapa si anak dara Ciong Ling itu rela memberikannya
padamu?"
Melihat sinar mata si gadis
menyorot aneh, cepat Toan Ki menjawab, "Ia ... ia hanya meminjamkannya
padaku. Ia bilang dengan membawa kotak ini, Jing-leng-cu akan turut pada
perintahku."
Baru selesai ia berkata,
sekonyong-konyong perutnya kesakitan lagi, begitu melilit sampai batu yang
dipegangnya terjatuh di tanah, badan gemetar dan sempoyongan.
Lekas Bok Wan-jing memayangnya
duduk di samping batu tadi. Saking kesakitan, bibir Toan Ki sampai pecah
digigit sendiri, lengan Wan-jing yang dipegangnya matang biru karena diremas
dengan kuat.
Sungguh kasih sayang Bok
Wan-jing sukar dilukiskan, tiba-tiba ia ingat sesuatu, katanya, "Longkun,
perutmu makin lama makin sakit, melihat gelagatnya lebih banyak celaka daripada
selamatnya."
"Ya, aku ... aku tidak
... tidak tahan lagi," demikian Toan Ki merintih-rintih. "Lekas ...
lekas kau bunuh aku saja."
"Pernah kudengar dari
Suhu, katanya ada racun sangat lihai yang tak dapat ditolong," kata
Wan-jing pula. "Tapi kalau pakai racun lain untuk menggempur racun itu,
hasilnya akan sangat mujarab. Sekarang apakah kau berani menelan beberapa buah
kepala ular berbisa?"
Saat itu yang diharapkan Toan
Ki secepatnya mati saja, maka tanpa pikir lagi ia menjawab, "Segala apa
pun boleh, lekas beri makan padaku!"
Segera Bok Wan-jing
mengeluarkan sebilah pisau dan memotong leher seekor ular berbisa di depannya.
Walaupun disembelih
terang-terangan, namun ular itu sedikit pun tidak berani melawan. Maka dengan
mudah saja berturut-turut Bok Wan-jing memotong tiga buah kepala ular berbisa
yang berbentuk segitiga, ia siapkan di bibir Toan Ki dan berkata, "Nih,
telan lekas!"
Dengan mata terpejam, Toan Ki
telan mentah-mentah ketiga kepala ular itu.
Ketiga ular yang dipilih Bok
Wan-jing itu semuanya adalah ular loreng yang paling berbisa. Maka dalam
sekejap saja Toan Ki merasa perutnya bertambah melilit bagai dipuntir-puntir, ia
tidak tahan lagi, ia bergulingguling di tanah, akhirnya hanya berkelojotan saja
dengan napas tersengal-sengal.
Keruan Bok Wan-jing sangat
terkejut, cepat ia periksa nadi pemuda itu, ia merasa denyutnya semakin lemah,
ia tahu cara pengobatannya itu bukan menolong, sebaliknya mempercepat matinya
sang suami. Saking pedihnya, air matanya bercucuran, ia rangkul leher Toan Ki
dan meratap, "O, Longkun, pasti akan kuiringi kepergianmu!"
Toan Ki hanya goyang kepala
saja tak sanggup bersuara lagi.
Tiba-tiba pisau Bok Wan-jing
bekerja lagi, tiga buah kepala ular berbisa dipotongnya pula untuk ditelan
sendiri. Tapi mulutnya terlalu sempit untuk dimasuki kepala ular, pikirnya,
"Racun ular berada pada air liurnya, biarlah kuisap saja."
Segera ia kecup kepala ular itu
dan mengisap liurnya yang berbisa. Tapi baru sebuah kepala ular itu diisapnya
sudah terasa mata berkunang-kunang dan kepala pusing, akhirnya jatuh pingsan.
Melihat si nona rela berkorban
baginya, seketika tak keruan rasa hati Toan Ki, sungguh tak tersangka olehnya
bahwa seorang "iblis wanita" yang biasanya membunuh orang tanpa
berkedip itu bisa jatuh cinta sedalam ini
kepadanya.
Segera ia meronta sekuatnya
untuk merangkul Bok Wan-jing, ia merasa perut kesakitan pula, akhirnya ia tak
sadarkan diri lagi.
Jilid 07
Entah lewat berapa lama,
perlahan Toan Ki siuman, waktu membuka mata, ia menjadi silau oleh cahaya
matahari, kembali ia pejamkan mata lagi. Tapi segera terasa dirinya dirangkul
sesosok tubuh yang lunak hangat. Ia membuka mata lagi untuk melihat, ternyata
muka Bok Wan-jing yang putih pucat itu masih bersandar di dadanya.
Ia membatin, "Setelah
kami menuju akhirat, ternyata masih berada bersama, suatu tanda bahwa cerita
tentang alam halus segala bukanlah dongeng belaka."
Tiba-tiba ia dengar di tempat
agak jauh sana ada suara orang lagi berkata, "Jika binatang melata ini
merintangi jalan kita, marilah kita menggunakan Am-gi!"
Tapi seorang telah
membentaknya, "Jangan! Sin-kun suruh kita menawannya hidup-hidup, kalau
mencelakai dia, apakah tidak takut dimarahi Sin-kun?"
Waktu Toan Ki memandang ke
arah datangnya suara itu, ia lihat ada empat laki-laki berbaju kuning lagi
berdiri di tepi jurang situ, tangan mereka membawa tangkai kayu sedang menuding
dirinya. Tampaknya sangat jeri pada ular yang merayap di situ, maka tidak berani
mendekat.
Ketika Toan Ki memandang lagi
sekelilingnya, ia lihat dirinya dilingkari kawanan ular yang lagi merayaprayap,
cahaya sang surya terang benderang, suasana demikian tiada ubahnya seperti
waktu dirinya "mati" tadi, seketika pikirannya tergerak, "He,
jangan-jangan aku tidak jadi mati?"
Segera ia merasa badan Bok
Wan-jing yang berada di pangkuannya itu masih lunak-lunak hangat, napasnya
mengeluarkan bau harum yang semerbak, nyata, gadis itu pun selamat tak kurang
suatu apa pun.
Saking girangnya, terus saja
Toan Ki berteriak-teriak, "Hura, aku belum mati, aku tidak mati!"
Keempat laki-laki berbaju
kuning itu memang sudah lama menunggu di situ, soalnya karena dirintangi
kawanan ular, maka tidak berani mendekat. Ketika mendadak mendengar teriakan
Toan Ki, mereka menjadi kaget juga.
Dalam pada itu, dengan
bersuara perlahan Bok Wan-jing juga sudah siuman, begitu membuka mata, segera
ia tanya perlahan, "Longkun, apa kita sudah sampai di akhirat!"
"Tidak, tidak, engkau
belum mati, aku pun tidak mati! Sungguh ajaib sekali bukan?" seru Toan Ki.
"Sekarang belum mati,
kalau ingin mati sebentar lagi masih belum telat!" bentak seorang
laki-laki berbaju kuning tadi. "Ayo lekas kemari, Sin-kun panggil
kau!"
Sudah sekarat, kini dapat
hidup kembali, tentu saja girang Toan Ki tidak kepalang. Mana ia mau gubris
gemboran orang itu? Segera ia berkata pula kepada Bok Wan-jing, "Sungguh
aneh bin ajaib, kita ternyata tidak jadi mati, bahkan sakit perutku juga sudah
sembuh. Caramu menyerang racun dengan racun itu ternyata sangat manjur. Eh,
lukamu sendiri sudah baik belum?"
Ketika Wan-jing geraki
badannya, ia merasa luka di punggungnya kesakitan lagi. Tapi hal mana tidak
mengurangi rasa girangnya yang luar biasa, sahutnya dengan tertawa,
"Lukaku bukan keracunan, maka racun ular ini tidak bisa menyembuhkan luka
luar ini. Ternyata kita berdua tidak mati oleh racun ular, tampaknya kita
berdua jauh lebih lihai daripada ular berbisa!"
Nyata Toan Ki dan Bok Wan-jing
yang tidak luas pengetahuannya itu tidak tahu bahwa racun ular itu baru bisa
mencelakai orang bila masuk ke dalam darah melalui suatu luka. Tapi kalau
dimakan ke dalam perut, asal di antara mulut, lidah, tenggorokan dan usus tiada
sesuatu luka, racun ular itu tiada berbahaya sama sekali. Sebab itulah, makanya
bila orang dipagut ular berbisa, orang berani mengisap racun dari luka pagutan
itu tanpa ikut keracunan.
Kini secara ngawur kedua
muda-mudi itu sembarangan menelan kepala ular dan mengisap racun ular,
sebaliknya malah membawa hasil yang di luar dugaan mereka.
Toan-jiong-san yang lihai itu
benar-benar lenyap digempur oleh racun tiga buah kepala ular yang dimakan Toan
Ki itu. Cuma mereka sudah tak sadarkan diri selama semalam suntuk, kini sudah
menginjak esok pagi hari kedua.
Sementara itu seorang
laki-laki baju kuning di antaranya yang berperawakan paling tinggi di sana
sedang membentak lagi, "Hai, kedua bocah itu, lekas kalian ke sini!"
Perlahan Bok Wan-jing
berbangkit dari pelukan Toan Ki, dengan wajah yang masih tersenyum simpul,
mendadak ia sambar seekor ular di tanah terus dilemparkan ke arah laki-laki
itu.
Keruan laki-laki itu kaget,
cepat ia berkelit. Di luar dugaan, Bok Wan-jing menyambar dan menimpuk lagi
berulang-ulang dengan ular berbisa di sekitarnya itu. Tentu saja keempat
laki-laki itu kelabakan dihujani ular sebanyak itu, sambil berteriak kaget diseling
caci maki, mereka menghindar kian kemari sembari putar tangkai kayu untuk
menyampuk.
Begitu terlepas dari pengaruh
"Bong-koh-cu-hap", ular-ular berbisa itu seketika bergerak dengan
gesit sekali, dua ekor di antaranya yang berbuntut panjang terus membelit di
atas batang kayu yang disabetkan itu, menyusul terus melejit maju untuk
memagut. Seketika seorang baju kuning kena gigit mukanya dan tak terlepas lagi.
Sementara itu Bok Wan-jing
masih terus melemparkan ular, keruan laki-laki berbaju kuning itu semakin
kelabakan, sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri, laki-laki yang bertubuh
paling tinggi tadi saking gugupnya telah tergelincir ke dalam jurang.
Seorang lagi menjadi kaget
hingga lehernya kena digigit ular berbisa yang lain. Rupanya racun ular ini
teramat jahatnya, yang digigit adalah pembuluh darah besar di leher, kontan
saja orang itu menggeletak binasa.
Sisa seorang lagi bertubuh
pendek kecil, tapi gerak-geriknya sangat lincah dan gesit. Belasan ular yang
ditimpukkan Bok Wan-jing dapat dihindarkan. Tapi begitu ular itu jatuh ke
tanah, segera merayap dan menggigit pula bagian kakinya.
Laki-laki itu benar-benar
hebat juga, ia bisa menghindar kian kemari dengan cekatan sekali, namun
keadaannya makin lama juga makin berbahaya.
"Lekas turun ke bawah,
jiwamu akan diampuni!" seru Toan Ki.
"Sekali sudah turun
tangan, tidak kenal ampun lagi!" ujar Bok Wan-jing. Berbareng empat ular
dilemparkan sekaligus.
Saat itu orang berbaju kuning
lagi sibuk menghindari pagutan ular di tanah, ia sudah mundur sampai di tepi
jurang, maka timpukan keempat ular itu terang tak dapat dihindarkannya.
Mendadak serangkum angin keras
menyampuk dari belakang, seketika belasan ular di sekitar laki-laki itu tersapu
jauh ke depan, menyusul sesosok bayangan kuning melayang ke atas karang, sekali
dorong, laki-laki baju kuning tadi kena disodok ke tempat luang yang
ditinggalkan kawanan ular itu.
Orang yang baru melompat ke
atas itu mengekek tawa tiga kali dan berdiri di tempatnya dengan mata
jelalatan, siapa lagi dia kalau bukan Lam-hay-gok-sin.
Ketika laki-laki baju kuning
itu dapat berdiri tegak dan melihat yang datang itu adalah malaikat buaya laut
selatan, ia ketakutan setengah mati, ia hanya sanggup menyebut,
"Sin-kun!"
Pikirnya hendak berlutut, tapi
saking ketakutan, badannya gemetar sedemikian rupa hingga serasa lumpuh, hendak
berlutut pun tak bisa lagi.
Melihat Lam-hay-gok-sin datang
kembali, seketika wajah Toan Ki dan Wan-jing sama berubah.
"Kusuruh kau tangkap
bocah she Toan ini, kenapa sampai sekian lamanya masih belum terlaksana?"
kata Lamhay-gok-sin pada laki-laki baju kuning tadi. "Apa barangkali kau
hendak melarikan diri, ya?"
Saking ketakutan, gigi orang
itu sampai gemertukan, sahutnya dengan tak lancar, "Hamb ... hamba ti ...
tidak ...." sampai di sini, ia tidak sanggup lagi meneruskan saking
gemetarnya.
Tiba-tiba Lam-hay-gok-sin
sedikit bergerak, tidak jelas cara bagaimana dia melangkah maju, tahu-tahu dada
laki-laki itu sudah dijambretnya terus diangkat, ia terkekeh-kekeh beberapa
kali, mendadak tangan yang lain menjambak rambut laki-laki itu, sekali puntir,
"kriut", buah kepala orang itu dipuntir patah mentah-mentah.
Kontan saja darah segar
muncrat dengan derasnya hingga membasahi antero tubuh Lam-hay-gok-sin, tapi
sedikit pun iblis aneh itu tidak ambil pusing, bahkan tampak sangat senang.
"Kepala anjing!"
dampratnya kepada kepala yang patah itu, dan sekali lempar, kedua potong mayat
itu dilemparkan ke jurang.
Mendadak ia hantam ke depan
lagi, di mana angin pukulannya menyambar, kawanan ular itu terpaksa menyingkir
jauh ke pinggir, dengan langkah lebar ia melangkah maju.
Cepat Bok Wan-jing menarik
Toan Ki hendak menyingkir, tapi sudah terlambat. Tiba-tiba Lam-hay-gok-sin ulur
tangan kiri ke depan, seketika lengannya seakan-akan mulur sekali lipat
panjangnya hingga kuduk baju Bok Wan-jing kena dijambretnya terus diangkat ke
atas.
Toan Ki menyangka orang juga
hendak melemparkan si gadis ke jurang, dengan khawatir ia berteriak, "Jangan,
jangan! Boleh kau bunuh diriku saja!"
Terhadap kawanan ular yang
masih merayap di sekitar situ, Lam-hay-gok-sin agak jeri juga. Ketika tangannya
menghantam pula, di bawah hamburan batu pasir, kembali belasan ular kena
dibinasakan olehnya.
Tiba-tiba ia melompat mundur
ke tepi jurang sambil mengangkat Bok Wan-jing, kaki kirinya terangkat
tinggitinggi ke atas, hanya kaki kanan saja yang berdiri di tepi jurang dengan
gaya "Kim-khe-tok-lip" atau ayam emas berdiri dengan kaki tunggal,
tubuhnya setengah tergontai seakan-akan setiap detik bisa terjerumus ke jurang
bersama si gadis.
Toan Ki tidak tahu kalau orang
aneh itu lagi pamer kepandaiannya, ia khawatirkan jiwa Bok Wan-jing, cepat ia
berteriak-teriak, "Awas, hati-hati, jangan sampai terpeleset!"
Sedikit pun Bok Wan-jing tak
bisa berkutik karena dicengkeram oleh Lam-hay-gok-sin. Ia lihat Toan Ki berada
di tengah kepungan ular, kawanan ular itu tampak merayap-rayap maju, cepat ia
lemparkan kotak kemala kepada pemuda itu sambil berseru, "Awas, terimalah
ini!"
Dengan gugup Toan Ki menangkap
kotak itu dan syukurlah dapat diterimanya dengan baik walaupun rada kerepotan.
Dan begitu, "Bong-koh-cu-hap" itu berada di tangannya, serentak
kawanan ular itu mendekam di tanah dan tak berani bergerak lagi.
"Locianpwe, su ...
sudilah kau lepaskan dia," demikian Toan Ki memohon.
"Siaucu, kau sangat mirip
aku, mau tidak mau harus kuterima kau sebagai murid," sahut Gok-sin.
"Cuma menurut peraturan Lam-hay-pay kita, selamanya hanya murid yang
memohon diterima sang guru, tidak pernah sang guru yang memohon pada si murid.
Makanya aku akan menunggumu di puncak bukit sana ...." sembari berkata, ia
tunjuk ke arah puncak paling tinggi yang penuh tertimbun salju di kejauhan
sana, lalu menyambung pula, "bila kau datang memohon aku menerimamu
sebagai murid, aku lantas mengampuni nyawa binimu ini. Kalau tidak, ha, ha,
kreeekk ...." ia sengaja memberi contoh cara bagaimana akan memuntir patah
kepala Bok Wan-jing.
Habis itu, mendadak ia
berputar terus melompat ke bawah, tangan kiri menahan dinding jurang terus
memberosot turun sambil menggondol Bok Wan-jing dengan cepat luar biasa.
Tiap-tiap kali kalau meluncur
ke bawah, bila terlalu cepat, mendadak terasa tubuh kedua orang bisa mengerem
sedetik untuk kemudian baru menurun lagi. Agaknya tangan Lam-hay-gok-sin yang
menahan di dinding jurang itu yang mengeremnya.
Dalam keadaan begitu,
jangankan Bok Wan-jing sama sekali tak bisa berkutik, sekalipun bisa juga tidak
berani sembarangan meronta selagi tubuh kedua orang terapung di udara. Sampai
akhirnya, gadis itu pejamkan mata dan membiarkan dirinya dibawa turun.
Selang sebentar, terasa
tubuhnya mental sekali, nyata mereka sudah sampai di dasar jurang. Begitu
menginjak tanah, Lam-hay-gok-sin tidak lantas berhenti, tapi terus berlari lagi
sambil menjinjing Bok Wan-jing.
Perawakan Lam-hay-gok-sin
hanya sedang saja, sebaliknya perawakan Bok Wan-jing di kalangan wanita boleh
dikatakan terhitung jangkung, kalau keduanya berdiri sejajar hampir sama
tingginya. Tapi Lam-hay-gok-sin dapat mencengkeram leher baju gadis itu bagai
menjinjing anak kecil, sedikit pun tidak membuang tenaga.
Dengan gerakan yang gesit
tangkas itu, sebentar saja Lam-hay-gok-sin sudah keluar dari dasar lembah yang
penuh batu dan kabut itu. Segera ia mendaki pula ke bukit di depannya, karena
lereng bukit itu lebih landai, maka mendakinya lebih mudah.
Berada di bawah jinjingan
Lam-hay-gok-sin, diam-diam Bok Wan-jing berpikir, "Aku masih mempunyai
sisa lima batang panah berbisa, kalau saat ini aku menyerangnya mungkin bisa
gugur bersama. Tapi kemarin aku sudah memanah dia dan tidak mempan semuanya,
Entah badannya memang kebal atau karena dia memakai baju lapis baja yang tak
tembus senjata?"
Berpikir begitu, ia coba
menyentuh perlahan punggung orang, terasa lunak-lunak saja tiada lapisan baja
segala, hanya saja kulit dagingnya jauh lebih keras daripada orang biasa,
diam-diam Wan-jing membatin pula, "Tampaknya pembawaan orang ini memang
luar biasa, ilmu silatnya aneh pula. Kalau aku sembarangan turun tangan, bila
sampai dia murka, apa akibatnya susah dibayangkan."
Tiba-tiba terdengar
Lam-hay-gok-sin mengekek tawa dan berkata, "Hehe, apa kau hendak menusuk
atau memanah aku? Hm, jangan harap, aku takkan mati dibunuh dan takkan luka
diserang. Kau adalah bininya muridku, sementara ini aku takkan bikin susah
padamu. Tapi kalau dia tidak datang mengangkat guru padaku, hehe, tatkala mana
ia bukan lagi muridku dan kau pun bukan bini muridku lagi. Setiap kali
Lam-hay-gok-sin melihat nona cantik, selalu perkosa dulu bunuh belakang,
sekali-kali tidak main sungkan lagi."
Bok Wan-jing mengirik oleh
ucapan itu, sahutnya, "Suamiku sedikit pun tak bisa ilmu silat, di atas
jurang securam itu, cara bagaimana ia bisa turun? Tapi saking khawatir akan
diriku, tentu dia akan mati-matian berusaha datang kemari mengangkat guru
padamu, kalau terpeleset, ia akan jatuh hancur lebur ke dalam
jurang. Bila begitu, engkau
akan kehilangan seorang murid lagi. Bahan bagus, mutu tinggi, ke mana akan kau
cari murid pula?"
Seketika Lam-hay-gok-sin
berhenti, katanya, "Benar juga katamu. Aku tidak ingat bahwa Siaucu itu
tak bisa turun ke bawah gunung."
Sekonyong-konyong ia bersuit
nyaring, segera di atas bukit sebelah timur sana ada orang menyahut, lalu
Lamhay-gok-sin berteriak, "Pergi ke atas karang tandus itu, gendonglah
bocah itu ke sini, jangan mencelakai jiwanya!"
Kembali orang di sebelah sana
bersuara mengiakan.
Diam-diam Bok Wan-jing
tercengang, "Lam-hay-gok-sin ini hanya bicara biasa saja, dan suaranya
lantas tersiar ke lereng yang jauh itu, kepandaian setinggi ini biarpun guruku
juga tak mampu menandinginya. Sebaliknya begundalnya yang di atas bukit sana
harus menggembor baru bisa terdengar dari sini."
Selesai memberi perintah,
Lam-hay-gok-sin menjinjing Bok Wan-jing dan melanjutkan perjalanan lagi.
Diamdiam Wan-jing rada lega, ia tahu sebelum Toan Ki datang, dirinya takkan
berbahaya. Cuma watak sang "suami" itu sangat kukuh, bila dia dipaksa
angkat Lam-hay-gok-sin yang buas dan kejam itu sebagai guru, mungkin biarpun
mati juga tidak sudi.
Pikirnya pula,
"Terhadapku, rupanya ia cuma ingin membela keadilan saja dan bukan karena
cinta kasih suami istri, mungkin dia takkan sudi berkorban bagiku dengan
mengangkat guru orang jahat ini. Ai, baik atau jelek aku harus melihatnya
sekali lagi, asal dia selamat tak kurang apa pun dan tidak terjatuh ke jurang,
barulah aku merasa lega."
Berpikir sampai di sini,
diam-diam ia heran sendiri, "He, kenapa aku sedemikian memerhatikan dia
dan mencintainya sedalam ini? Wahai, Bok Wan-jing, tidak pernah begini selama
hidupmu!"
Tengah Bok Wan-jing
terombang-ambing oleh pikirannya sendiri, sementara itu Lam-hay-gok-sin sudah
membawanya ke atas puncak sana. Tenaga Gok-sin ini benar-benar luar biasa,
tanpa berhenti sedikit pun ia terus melintasi empat bukit lagi, akhirnya baru
mencapai puncak tertinggi yang dikelilingi lereng bukit itu.
Begitu Lam-hay-gok-sin
lepaskan Bok Wan-jing, terus saja ia buka celana dan kencing di situ.
Sungguh gusar Bok Wan-jing
tidak kepalang. Ia pikir manusia ini sungguh kasar, rendah dan jahat tiada
ubahnya seperti binatang. Cepat ia menyingkir agak jauh serta memakai kedoknya
lagi. Ia pikir wajah sendiri yang cantik manis ini bila lebih banyak dipandang
olehnya, bukan mustahil setiap waktu sifat kebinatangannya akan kambuh, tatkala
mana soal bini murid segala tentu tak dipedulikan lagi.
Selesai Lam-hay-gok-sin buang
air, segera ia berkata, "Ehm, bagus juga kau pakai kedok lagi. Sebentar
ada beberapa orang jahat akan datang, semuanya adalah manusia yang tidak kenal
aturan, bila wajahmu yang cantik itu dilihat mereka, mungkin bisa runyam."
"Aku adalah istri murid
kesayanganmu, masakah orang lain berani kurang ajar padaku?" ujar
Wan-jing.
"Tapi beberapa keparat
anjing ini terlalu jahat, terlalu buas!" sahut Gok-sin sambil geleng
kepala dan berkerut kening.
"Aku tidak percaya,
masakah di jagat ini masih ada orang yang lebih galak dan jahat
daripadamu?" ujar Wanjing dengan tertawa.
Mendadak Lam-hay-gok-sin
menabok paha sendiri, lalu berseru dengan marah-marah, "Ya, memang tidak
adil! Di antara Su-ok di jagat ini, urutan Locu adalah nomor tiga. Sungguh
tidak adil, aku harus berusaha mencapai nomor satu!"
Diam-diam Bok Wan-jing
berpikir, "Nama 'Sam-sian-su-ok' pernah kudengar dari Suhu. Ketika aku
akan membunuh Sun He-khek, pernah kutanya jelas wajah dan kelakuan gurunya,
maka kutahu begitu suara suitannya terdengar, segera Lam-hay-gok-sin akan
muncul. Tapi aku tidak tahu kalau menurut urutan Su-ok dia terhitung nomor
tiga. Ternyata di dunia ini masih ada yang jauh lebih jahat dari dia, sungguh
susah untuk dimengerti."
Segera Bok Wan-jing tanya,
"Lalu, siapakah yang nomor satu dan nomor dua?"
"Buat apa kau tanya?"
bentak Gok-sin dengan mata mendelik sebesar kedelai itu. "Apa kau
bermaksud mengejek aku? Jika kau anggap Locu kurang jahat, segera kusembelih
kau dulu, bisa jadi karena itu akan terus naik tingkat menjadi nomor dua!"
Habis berkata,
"brak", mendadak ia menghantam sebatang pohon di sampingnya. Seketika
pohon itu patah bagian tengah dan tumbang dengan gemuruh.
Meski pohon itu tidak terlalu
besar, paling sedikit juga ada sebulatan mangkuk besarnya, tapi sekali hantam
sudah dipatahkan olehnya, diam-diam Bok Wan-jing melelet lidah, Pikirnya,
"Apa gunanya umpama dapat rebut sebutan juara orang jahat di seluruh jagat
ini? Tapi oleh orang ini dianggapnya sebagai noda yang memalukan bila tidak
bisa menduduki juara, maka sebaiknya aku jangan mengorek-ngorek boroknya itu,
supaya aku tidak telan pil pahit."
Segera ia tidak buka suara
lagi, tapi pejamkan mata sambil bersandar di batu padas untuk memulihkan
semangat.
"Kenapa bungkam? Dalam
hati kau pandang hina padaku bukan?" tiba-tiba Lam-hay-gok-sin berkata
pula.
"Tidak," sahut
Wan-jing, "Aku justru lagi berpikir kenapa sebutan orang jahat nomor satu
di seluruh jagat ini bukan dimiliki olehmu, padahal soal kejahatan dan
kebuasan, sekalipun orang lain mungkin melebihimu, namun ilmu silatnya apa bisa
lebih unggul daripadamu?"
Mendadak Lam-hay-gok-sin
meludah dengan marah-marah, katanya, "Makanya kami harus mengulangi
bertanding lagi untuk mengoreksi urutan masing-masing."
Melihat gelagatnya, Bok
Wan-jing dapat menduga keempat orang mahajahat itu pasti sudah pernah
bertanding. Agar tidak membikin marah orang, ia pikir jangan menyinggungnya
lagi, maka katanya, "Gak-locianpwe, sebenarnya siapakah nama engkau orang
tua? Dapatkah kau beri tahu agar kelak mudah memanggilmu bila suamiku sudah
menjadi muridmu?"
"Aku bernama Gak ... Gak
... ah, keparat!" mendadak Lam-hay-gok-sin memaki sebelum menyebut namanya
sendiri. "Namaku adalah pemberian ayahku, tapi namaku ini terlalu jelek,
ayahku selamanya tidak berbuat sesuatu yang baik, sungguh anjing keparat!"
Hampir saja Bok Wan-jing
tertawa geli, pikirnya, "Orang ini benar-benar lebih durhaka daripada
binatang, masakah ayah sendiri juga dicaci maki. Dan kalau ayahmu anjing
keparat, lalu engkau sendiri apa?"
Ia lihat Lam-hay-gok-sin lagi
mondar-mandir kian kemari, tampaknya merasa gopoh sekali. Tiba-tiba Wan-jing
teringat kepada Toan Ki, pikirnya, "Entah sekarang dia sudah turun gunung
dengan selamat tidak? Jika dirintangi kawanan ular, apakah orang suruhan
Lam-hay-gok-sin itu bisa melintasi kepungan ular itu?"
Pada saat itulah, tiba-tiba di
udara tersiar suara tangisan yang perlahan, suaranya sangat memilukan,
sayupsayup seperti seorang wanita lagi meratap, "O, anakku! O,
sayangku!"
Hanya dua kalimat itu saja
suara tangisan itu sudah membikin perasaan Bok Wan-jing terguncang hebat
seakan-akan sukma akan meninggalkan raganya.
"Fui", mendadak
Gok-sin meludah lagi dan berkata, "Hm, si penangis kematian itu sudah
datang!" lalu ia menggembor, "Kau menangisi apa? Locu sudah lama
menanti di sini!"
Namun suara itu sayup-sayup
masih terus menangis dengan pilunya, "O, anakku, betapa ibu mengenangkan
engkau!"
Perasaan Bok Wan-jing menjadi
kacau oleh pengaruh suara itu, tanyanya, "Apakah ini si jahat nomor
empat?"
"Perempuan ini adalah
'Bu-ok-put-cok' Yap Ji-nio, gelar 'Ok' itu berurut pada tempat kedua, tapi pada
suatu ketika aku 'Hiong-sin-ok-sat' pasti akan bertukar gelar dengan dia,"
demikian sahut Lam-hay-gok-sin.
Baru sekarang Bok Wan-jing
mengerti seluk-beluknya urutan "Su-ok" itu. Kiranya yang menjadi
ancar-ancar urutan mereka itu adalah pada huruf "Ok" itu.
Yap Ji-nio bergelar
"Bu-ok-put-cok" atau tiada kejahatan yang tak dilakukannya, karena
huruf "Ok" itu jatuh pada huruf kedua, maka ia adalah orang jahat
nomor dua di dunia ini.
Sedang Lam-hay-gok-sin itu
berjuluk "Hiong-sin-ok-sat" atau malaikat buas setan jahat, huruf
"Ok" adalah huruf ketiga, maka menurut urutan ia menduduki tempat
ketiga.
Segera Wan-jing tanya lagi,
"Lalu, siapakah julukan orang jahat nomor satu di jagat ini? Dan siapa
pula yang nomor empat itu?"
"Buat apa kau tanya? Aku
tidak tahu!" seru Lam-hay-gok-sin marah-marah.
Tapi mendadak suara seorang
wanita yang halus menyambungnya, "Lotoa kami berjuluk 'Ok-koan-boan-eng'
dan Losi kami bergelar 'Kiong-hiong-kek-ok'."
Sungguh heran sekali Bok
Wan-jing oleh nama-nama yang aneh itu. Nyata, sesuai dengan urut-urutan huruf
"Ok" itu, Lotoa atau
yang tertua, berjuluk Ok-koan-boan-eng atau kejahatan melebihi takaran. Dan
Losi, si nomor empat, bergelar Kiong-hiong-kek-ok atau buas dan kejam luar
biasa. Ia terkejut pula oleh betapa cepat datangnya Yap Ji-nio itu,
kedengarannya tadi masih jauh, tahu-tahu sekarang sudah muncul di situ.
Dalam kejutnya itu ia coba
perhatikan wanita itu. Ia lihat orang mengenakan baju panjang warna hijau muda,
rambutnya panjang terurai, usianya kurang lebih 40 tahun, air mukanya cukup
cantik, cuma kedua pipinya masing-masing terdapat tiga jalur merah darah
seperti bekas cakaran. Pada tangannya membopong seorang anak laki-laki berumur
kira-kira dua tahun, mungil dan menyenangkan.
Semula Wan-jing sangka
"Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio yang menurut urut-urutan masih di atas
Lam-hay-goksin, tentu orangnya jauh lebih bengis, menakutkan, siapa tahu
orangnya ternyata rada cantik juga. Karena itu, tanpa terasa ia pandang orang
beberapa kejap.
Tiba-tiba Yap Ji-nio tersenyum
padanya, seketika Bok Wan-jing mengirik, ia merasa di antara senyum wanita itu
lamat-lamat mengandung rasa sedih dan duka luar biasa hingga bagi siapa yang
memandangnya rasanya menjadi terharu seakan-akan ikut menangis. Maka
lekas-lekas ia berpaling ke arah lain, ia tidak berani memandangnya lagi.
"Sammoay, kenapa Toako
dan Site masih belum datang?" tanya Lam-hay-gok-sin.
Dengan perlahan Yap Ji-nio
menjawab, "Sudah terang gamblang kau adalah Losam, tapi kau mati-matian
ingin melampaui aku, ya? Coba kau panggil lagi sekali Sammoay, hm, tentu Encimu
ini tidak sungkan-sungkan lagi padamu!"
Lam-hay-gok-sin menjadi gusar,
teriaknya, "Tidak sungkan-sungkan lagi, lalu mau apa? Apa mau mengajak
berkelahi?"
"Untuk berkelahi tentu
tidak kekurangan waktu, memangnya aku jeri padamu?" sahut Yap Ji-nio.
"Benar tidak, Bok Wan-jing?"
Mendengar nama sendiri
disebut, seketika Bok Wan-jing tergetar, sukma seakan-akan melayang-layang
terlepas dari raganya. Dalam kejutnya segera ia menjadi sadar juga.
Kiranya Yap Ji-nio itu lagi
menggunakan ilmu "Liap-hun-tay-hoat", yaitu semacam hipnotisme pada
zaman kuno yang lihai, bila sinar mata kedua orang kebentrok, seketika orang
akan jatuh di bawah pengaruhnya serta menurut segala perintahnya.
Hal ini pernah Bok Wan-jing
dengar dari gurunya. Maka ia tidak berani sembrono lagi, lekas ia pusatkan
semangat dan kerahkan Lwekang sambil menarik kain kedoknya untuk menutupi
mukanya, bahkan kedua mata juga ditutupnya sekalian.
"Bok Wan-jing,"
terdengar Yap Ji-nio berkata lagi dengan tertawa, "paling akhir ini nama
jahatmu sangat tersohor, kalau kau angkat saudara dengan kami serta menjadi
Gomoay (adik kelima) kami, rasanya boleh juga. Betul tidak, Samte?"
"Tidak!" sahut
Lam-hay-gok-sin ketus.
"Kenapa tidak?"
tanya Yap Ji-nio dengan ramah.
"Dia adalah bininya
muridku, mana boleh menjadi Gomoayku? Toh sudah cukup mempunyai seorang Sammoay
seperti kau!" demikian sahut Gok-sin. Mendadak ia membentak ke arah lain,
"Gelinding kemari! Di mana bocah she Toan itu? Kenapa tidak dibawa
kemari?"
Kiranya orang yang tadi
disuruhnya mencari Toan Ki itu telah datang. Maka tertampaklah orang itu
menjawab dari tempat sejauh belasan tombak dengan gelagapan, "Ham ...
hamba sampai di atas karang tadi, tapi ... tapi orangnya sudah menghilang.
Hamba telah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak ... tidak ketemu!"
Keruan Bok Wan-jing terkejut,
ia menjadi khawatir jangan-jangan Toan Ki mati terjatuh ke dalam jurang.
Segera ia dengar
Lam-hay-gok-sin lagi membentak, "Apakah disebabkan kau terlambat datang ke
sana, maka bocah itu mati jatuh ke jurang?"
Orang itu tidak berani
mendekat, jawabnya bertambah gelagapan, "Tapi hamba ... hamba sudah
mencari ke seluruh lembah dan tidak menemukan mayatnya, juga tidak melihat
sesuatu tanda bekas darah."
"Mustahil! Apa mungkin
dia mampu terbang ke langit? Kau berani dusta padaku, ya?" bentak Gok-sin
dengan murka.
Saking ketakutan, orang itu
menyembah minta ampun sambil membentur-benturkan kepalanya ke atas batu di
depannya.
Mendadak terdengar suara
menyambarnya angin, sesuatu benda melayang ke sana, "plok", seketika
orang itu tidak bersuara lagi. Tapi dari suara angin itu, Bok Wan-jing menduga
pasti Lam-hay-gok-sin telah menimpukkan sepotong batu hingga membinasakan orang
itu.
Sebenarnya Bok Wan-jing
sendiri adalah seorang iblis pembunuh orang tanpa berkedip, orang itu tidak
mampu menemukan Toan Ki, ia pun gemas tidak kepalang, andaikan Lam-hay-gok-sin
tidak membinasakan orang itu, ia sendiri pun tidak mau mengampuninya.
Sesaat itu pikirannya jadi
bergolak, "Dia sudah menghilang dari sana, tapi mayatnya tidak kelihatan
di dasar jurang, lalu ke mana dia pergi? Apa mungkin ditelan ular besar? Ah,
tidak mungkin, dia membawa 'Bong-kohcu-hap', segala jenis ular tidak berani
mengganggunya. Ya, tentu dia terjatuh di tempat yang terpencil sehingga orang
itu tak bisa menemukannya, atau mungkin mayatnya telah diketemukan orang itu,
tapi tidak berani bicara terus terang."
Semakin dipikir, ia merasa
kemungkinan besar Toan Ki sudah meninggal. Waktu berpisah dari pemuda itu, ia
sudah ambil keputusan bila Toan Ki mati, pasti dia juga akan menyusulnya.
Apalagi sekarang dirinya berada di bawah cengkeraman Lam-hay-gok-sin, kalau
tidak mati, entah siksaan keji apa yang akan dirasakannya.
Tapi sebelum melihat mayat
Toan Ki, betapa pun toh masih ada harapan bahwa pemuda itu masih hidup? Karena
itulah, ia pun tidak rela mati begitu saja.
Sedang pikiran Bok Wan-jing
kacau, tiba-tiba terdengar anak kecil yang dipondong Yap Ji-nio itu
berteriakteriak menangis, "Ibu, ibu, mana ibuku?"
"Anak baik, aku inilah
ibumu!" demikian Yap Ji-nio membujuknya.
Tapi tangis bocah itu semakin
keras malah, "Tidak, engkau bukan ibuku! Aku minta ibu, mana ibuku?"
Perlahan Yap Ji-nio
tepuk-tepuk badan anak itu sambil meninabobokannya dengan nyanyi kecil. Namun
bukannya diam, sebaliknya tangis anak itu semakin keras. Tapi Yap Ji-nio tetap
meninabobokannya dengan sabar sambil melagukan, "O, tidurlah anakku
...."
Lam-hay-gok-sin menjadi
geregetan oleh suara orang yang membisingkan itu, dasar wataknya memang kasar,
ditambah kehilangan calon murid kesayangannya, ia menjadi lebih gopoh lagi,
tiba-tiba ia membentak, "Kau bujuk kentut! Kalau mau isap darahnya, lekas
lakukan!"
Namun Yap Ji-nio tidak gubris
padanya, ia masih terus meninabobokan bayi itu.
Sampai mengirik Bok Wan-jing
mendengarnya, makin dipikir makin takut dia. Semula ketika melihat Yap Jinio
yang bergelar orang jahat nomor dua di dunia ini ternyata membawa seorang bayi
yang mungil, memangnya ia sudah heran. Kini mendengar ucapan Lam-hay-gok-sin
itu, jadi Yap Ji-nio bakal mengisap darah anak itu, mau tak mau timbul rasa
gusarnya dan takut pula.
Pikirnya, "Cara
bagaimanakah supaya aku bisa menyelamatkan anak kecil ini?"
Tapi bila ingat mati hidup
Toan Ki masih belum diketahui, terpaksa ia tidak berani pikirkan urusan orang
lain. Namun suara timangan Yap Ji-nio yang penuh rasa kasih sayang itu, makin
lama makin memuakkan perasaannya.
Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin
menjadi gusar, dampratnya, "Setiap hari kau pasti minta korban seorang
bayi, tapi kau sengaja berlagak welas asih, sungguh memuakkan dan tidak tahu
malu!"
"Janganlah gembar-gembor
hingga bikin kaget anakku!" sahut Yap Ji-nio dengan suara halus.
Gok-sin menjadi murka,
mendadak anak di pondongan Yap Ji-nio itu hendak dijambretnya untuk dibanting.
Tapi betapa pun cepatnya ternyata masih kalah cepat daripada Yap Ji-nio. Hanya
sedikit berputar, cengkeraman Gok-sin itu sudah luput.
"Haya, Samte, tanpa sebab
apa, kenapa kau ganggu anakku ini?" demikian dengan nada yang penuh rasa
kasih sayang seorang ibu, Yap Ji-nio mengomel.
Walaupun kedua mata Bok
Wan-jing ditutup sendiri dengan kain kedoknya, namun ia dapat mengikuti
kejadian tadi dengan telinganya. Ia pikir, "Urutan Yap Ji-nio ini memang
pantas berada di atas Lam-hay-gok-sin. Malaikat buaya ini selama hidup jangan
harap akan melampaui wanita itu."
Benar juga, sekali jambret
tidak kena, rupanya Lam-hay-gok-sin tahu juga kalau bergebrak tentu akan
sia-sia belaka. Hanya mulutnya yang masih memaki, "Kurang ajar, Lotoa dan
Losi kedua anak kura-kura ini kenapa sampai saat kini belum lagi datang, aku
tidak sabar menunggunya lagi."
"Kau tahu tidak bahwa
kemarin Losi telah kepergok musuh di tengah jalan dan menelan pil pahit?"
tiba-tiba Yap Ji-nio tanya.
"He, Losi kepergok musuh?
Siapa dia?" tanya Gok-sin heran.
Tiba-tiba Yap Ji-nio menuding
Bok Wan-jing dan berkata, "Budak ini tampaknya tidak beres, kau sembelih
dia dahulu baru kemudian kuceritakan."
Lam-hay-gok-sin menjadi ragu,
sahutnya, "Dia adalah bini muridku, kalau kusembelih dia, muridku tentu
akan ngambek tak mau mengangkat guru padaku."
"Jika begitu, biarlah aku
yang kerjakan," ujar Yap Ji-nio dengan tertawa. "Kalau muridmu
ngambek, suruh dia mencari balas padaku. Habis, kedua matanya itulah terlalu
menggiurkan bagi siapa pun yang melihatnya, aku menjadi iri tak memiliki mata
sejeli dia. Biarlah kucolok dulu kedua biji matanya!"
Sungguh kaget Bok Wan-jing
tidak kepalang hingga keringat dingin seketika membasahi tubuhnya. Syukurlah ia
dengar Lam-hay-gok-sin mencegah pula, "Jangan! Biar kututuk saja Hiat-to
pingsannya, biar dia tidur selama sehari dua malam!"
Tanpa menunggu jawaban Yap
Ji-nio lagi, sekonyong-konyong ia melompat ke samping Bok Wan-jing dan menutuk
dua kali. Seketika Bok Wan-jing merasa kepala pening, lalu tak sadarkan diri
lagi ....
Entah sudah berapa lama,
ketika perlahan Bok Wan-jing siuman kembali, ia merasa badannya sangat dingin,
segera terdengar pula serentetan suara tertawa mengikik. Meski dikatakan
tertawa, hakikatnya tiada rasa tawa sedikit pun, tapi lebih mirip dikatakan
suara mengilukan dan beradunya benda logam misalnya sebilah golok yang
digosok-gosokkan di atas papan baja.
Bok Wan-jing sangat cerdik, ia
tahu sekali dirinya bergerak, seketika pasti akan diketahui pihak lawan, boleh
jadi akan mengakibatkan dirinya disiksa. Maka meski badan merasa kaku pegal
sekali, ia tidak berani sembarangan bergerak.
Dalam pada itu terdengar
Lam-hay-gok-sin lagi berkata, "Losi, tidak perlu omong gede! Sammoay telah
memberi tahu padaku bahwa kau telan pil pahit dari orang, buat apa masih
menyangkal? Sebenarnya kau dikeroyok berapa orang musuh?"
Suara orang yang mirip logam
digosok itu segera menjawab, "Huh, apa yang diketahui Jici? Aku dikerubut
tujuh orang musuh, semuanya tergolong jago kelas satu, sudah tentu, betapa
tinggi kepandaianku juga tak bisa sekaligus membunuh musuh sebanyak itu."
"Eh, kiranya Losi yang
berjuluk 'Kiong-hiong-kek-ok' itu juga sudah datang," demikian pikir Bok
Wan-jing. Sebenarnya ia sangat ingin tahu macam apakah Kiong-hiong-kek-ok itu,
namun betapa pun ia tidak berani sembarangan menarik kain kedoknya.
Terdengar Yap Ji-nio ikut
berkata, "Ah, Losi memang suka omong besar. Sudah terang pihak lawan cuma
dua orang, dari mana bisa muncul lima orang lagi? Masakah di dunia ini terdapat
jago pilihan sebanyak itu?"
"Hm, dari mana pula kau
mengetahuinya? Apa kau menyaksikan dengan mata hidungmu sendiri?" sahut
Losi dengan gusar.
"Kalau aku tidak
menyaksikan sendiri, dengan sendirinya aku takkan tahu," kata Yap Ji-nio
dengan tersenyum. "Bukankah kedua orang itu masing-masing menggunakan
senjata sebatang pancing ikan dan yang lain memakai kapak? Hihihi, kelima orang
lain yang kau karang sendiri itu lalu memakai senjata apa, coba katakan?"
Sekonyong-konyong Losi
berbangkit, dengan suara keras ia berkata, "Keparat! Jadi waktu itu kau
berada di sana, kenapa kau tidak membantuku? Kau ingin aku mati di tangan
orang, dan kau senang, ya?"
Tapi Yap Ji-nio tetap
menjawabnya dengan senyum tak acuh, "Ah, kenapa kau merendahkan nama
'Kionghiong-kek-ok' In Tiong-ho? Siapa yang tidak kenal Ginkangmu tiada
bandingan di jagat ini? Kalau kau kalah, masa kau tak bisa lari?"
Kiranya si mahajahat keempat
ini bernama In Tiong-ho atau bangau terbang di angkasa, suatu tanda Ginkang
atau ilmu entengi tubuhnya pasti sangat lihai.
Ia semakin gusar demi
mendengar ucapan Yap Ji-nio tadi, teriaknya lebih keras, "Kalau Losi
terjungkal di tangan orang, apakah kau ikut bahagia? Hm, apa maksud tujuan kita
Su-ok berkumpul di sini? Bukankah hendak berunding cara bagaimana cari perkara
ke istana raja di negeri Tayli? Peristiwa ini bukankah berarti beralamat
jelek?"
"Site," demikian Yap
Ji-nio berkata pula dengan senyumnya yang tidak berubah, "selamanya aku
tidak pernah melihat Ginkang sehebatmu, bangau terbang di angkasa, sungguh
tidak bernama kosong. Wah, bagai asap terapung, seperti burung melayang, mana
bisa kedua manusia itu menyusulmu?"
"Losi," tiba-tiba Lam-hay-gok-sin
menyela, "sebenarnya siapakah yang mengerubuti dirimu itu? Apakah kaki
tangan dari istana Tayli?"
"Ya, pasti dari
sana," sahut In Tiong-ho dengan gusar. "Aku tidak percaya di daerah
Tayli ada orang kosen lain lagi kecuali orang mereka."
"Makanya jangan kalian
suka anggap enteng mereka, sekarang kalian percaya tidak pada omonganku?"
ujar Jinio.
"Jici," kata In
Tiong-ho tiba-tiba, "sampai saat ini Lotoa masih belum tampak batang
hidungnya, padahal sudah lewat tiga hari daripada waktu yang kita tetapkan,
selamanya ia tidak pernah langgar janji, jangan-jangan ...."
"Jangan-jangan terjadi
apa-apa, maksudmu?" potong Yap Ji-nio.
"Fui! Mana bisa
jadi," seru Lam-hay-gok-sin dengan gusar. "Macam apakah Lotoa kita
itu, memangnya dia seperti kalian, kalau kalah lantas mengacir?"
"Kalau kalah lantas
mengacir, itu namanya bisa lihat gelagat!" sahut Yap Ji-nio. "Aku
justru khawatir dia benar-benar dikeroyok musuh, tapi kepala batu tidak mau
menyerah kalah, akhirnya tamatlah riwayatnya sesuai dengan julukannya
'Ok-koan-boan-eng' (kejahatan sudah melebihi takaran)!"
"Fui! Omong kosong!"
semprot Lam-hay-gok-sin. "Selama hidup Lotoa malang melintang, pernah dia
jeri pada siapa? Sudah belasan tahun ia menjagoi Tionggoan, masa di negeri
Tayli sekecil ini malah dia terjungkal? Wah, kurang ajar, perut lapar
lagi!"
Segera ia sambar sepotong
daging paha lembu terus dipanggang di atas api unggun di sampingnya.
Tidak lama, bau sedap teruar
perlahan.
Pikir Bok Wan-jing, "Dari
percakapan mereka tadi, tampaknya aku sudah tak sadarkan diri selama tiga hari
di sini. Entah Toan-long sudah ada kabar beritanya tidak?"
Dan karena sudah empat hari
tidak makan apa-apa, perutnya terasa amat lapar, ketika dia mengendus bau
daging panggang, tak tertahan perutnya berkeruyukan.
"Siaumoaymoay, perutmu
lapar bukan?" tiba-tiba Yap Ji-nio berkata dengan tertawa. "Sejak
tadi kau sudah sadar, kenapa pura-pura diam saja? Apa kau tidak ingin lihat
bagaimana macamnya 'Kiong-hiong-kek-ok' Inlosi kami?"
Lam-hay-gok-sin kenal watak In
Tiong-ho paling gemar paras cantik, bila tahu Bok Wan-jing luar biasa ayunya,
biarpun mati juga dia ingin mendapatkannya, berbeda seperti dirinya, kalau
perlu barulah memerkosa dan membunuh.
Maka cepat ia sobek sepotong
daging panggang dan dilemparkannya kepada Bok Wan-jing sambil membentak,
"Nih, makanlah ke sana, jauh sedikit, jangan mencuri dengar pembicaraan kami!"
Bok Wan-jing sengaja bikin
kasar suara sendiri hingga kedengarannya lucu, tanyanya, "Suamiku sudah
datang belum?"
Lam-hay-gok-sin menjadi gusar,
sahutnya, "Keparat, aku sendiri sudah mencari ke sekitar jurang sana, tapi
sedikit pun tidak menemukan jejak bocah itu. Dapat dipastikan bocah itu belum
mampus, entah telah digondol siapa, aku sudah menunggu di sini tiga hari, biar
kutunggu lagi empat hari, dalam tujuh hari kalau bocah itu tidak datang, hm,
nanti kupanggang dirimu untuk dimakan!"
Hati Wan-jing sangat terhibur
oleh keterangan orang, kalau dia sendiri sudah mencari ke sana dan yakin
Toanlong belum mati, rasanya tentu betul. Ai, cuma entah dia masih ingat padaku
atau tidak dan apakah akan datang kemari untuk menolong diriku?
Segera ia jemput daging
panggang yang dilemparkan padanya tadi, perlahan ia berjalan ke balik karang
sana untuk memakannya. Dalam keadaan lapar, ia merasa sangat letih dan lemas
karena habis kelaparan empat hari, tapi karena itu, luka di punggungnya malah
sudah sembuh.
Ia dengar Yap Ji-nio lagi
tanya, "Sebenarnya di mana letak kebagusan bocah itu hingga membikin kau
sedemikian suka padanya?"
Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak
bangga, sahutnya. "Justru karena bocah itu sangat mirip aku, bila belajar
silat Lam-hay-pay kami, pasti dia akan berhasil dan melebihi sang guru. Hehe,
di antara Su-ok kita, aku Gak-lo ... Gak-loji (ia sengaja naikkan diri menjadi
"Ji" atau nomor dua dan bukan "Sam" atau nomor tiga) meski
tak bisa
mencapai nomor satu, tapi
bicara tentang murid, rasanya tiada seorang murid orang lain yang mampu
menandingi muridku."
Sementara itu Bok Wan-jing
sudah makin jauh menyingkir dari ketiga manusia mahajahat itu, demi mendengar
Lam-hay-gok-sin memuji kebagusan bakat Toan Ki jarang ada bandingannya, diam-diam
ia merasa senang dan sedih pula, tapi rada geli juga, "Toan-long hanya
seorang sekolahan yang ketolol-tololan, ilmu silat apa yang dia miliki? Kecuali
nyalinya yang besar, segala apa tidak bisa. Kalau Lam-hay-pay menerima murid
mestika semacam itu, rasanya Lam-hay-pay sendiri yang bakal sial!"
Ia cari suatu tempat terpencil
dan duduk di atas batu padas, lalu menikmati daging panggang tadi. Meski sangat
lapar, namun daging panggang itu masih terlalu banyak baginya, hanya separuh
saja dapat dihabiskannya dan perutnya sudah kenyang.
Diam-diam ia membatin pula,
"Sampai hari ketujuh nanti kalau Toan-long lupa dan mengingkari aku serta
tidak datang kemari, aku lantas cari jalan untuk melarikan diri."
Berpikir sampai di sini, ia
menjadi pedih, "Andaikan aku bisa melarikan diri, lalu akan menjadi
manusia apa lagi?"
Begitulah, dengan rasa tidak
tenteram, kembali lewat pula dua hari. Namun bagi Bok Wan-jing, dua hari itu
rasanya lebih lama daripada dua tahun. Siang malam yang dia harapkan senantiasa
adalah semoga terdengar sesuatu suara dari bawah gunung, sekalipun bukan
suaranya Toan Ki, paling tidak juga dapat menghibur hatinya yang lara merana.
Lebih-lebih bilamana sang
malam tiba, rasa deritanya semakin bertambah, perasaannya bergolak mengombak,
selalu terpikir olehnya, "Bila dia benar-benar niat mencari aku, hari
pertama atau kedua tentu dia sudah datang kemari. Dan kalau sampai hari ini
masih belum datang, rasanya tidak mungkin dia kemari lagi. Meski dia tak mahir
silat, tapi mempunyai jiwa kesatria, betapa pun dia pasti tidak sudi mengangkat
guru pada Lam-hay-goksin ini. Namun terhadap diriku, apa benar dia tak
mempunyai rasa kasih sedikit pun?"
Begitulah jalan pikiran Bok
Wan-jing, kalau hari-hari pertama dan kedua ia masih menaruh harapan dan
menunggu dengan sabar, tapi makin lama makin merana, pesan gurunya bahwa
"laki-laki di dunia ini adalah manusia palsu semua" selalu
mendenging-denging terus di telinganya. Walaupun perasaannya sendiri selalu
menyangkal Toan-long pasti bukan manusia demikian, namun sesungguhnya ia pun
tidak berani yakin apakah sangkalan itu bukan menipu pada diri sendiri?
Syukur juga selama beberapa
hari ini Lam-hay-gok-sin, Yap Ji-nio dan In Tiong-ho tidak urus dirinya. Ketiga
manusia durjana itu hanya tekun menanti datangnya "Ok-koan-boan-eng",
yaitu si juara orang jahat di seluruh
jagat ini, meski mereka tidak
segopoh Wan-jing, tapi mirip juga semut di tengah kuali panas, mereka kelabakan
dan kesal luar biasa. Meski jarak Bok Wan-jing dengan mereka agak jauh, namun
suara ribut dan cekcok mulut mereka sayup-sayup dapat terdengar dengan jelas.
Sampai malam hari keenam,
pikir Bok Wan-jing, "Besok adalah hari terakhir, rasanya laki-laki palsu
itu takkan datang. Biarlah malam nanti aku berusaha melarikan diri, kalau
tidak, sampai esok pagi, untuk lari pasti sukar. Jangankan In Tiong-ho yang
tersohor Ginkangnya tiada tandingan di seluruh jagat, cukup Lam-hay-gok-sin
saja, asal dia sengaja mengejar, pasti aku pun tak bisa lolos."
Ia coba berdiri untuk
melemaskan otot-ototnya, ia merasa semangatnya meski masih lesu, namun tenaga
sudah pulih 7-8 bagian. Ia membatin, "Sebaiknya bila ketiga orang itu
ribut terus dan diam-diam aku dapat melarikan diri beberapa ratus tombak jauhnya,
lalu aku akan mencari suatu tempat sembunyi seperti gua dan sebagainya, dengan
demikian mereka tentu menyangka aku sudah kabur jauh dan tidak mengejar lagi,
kemudian dengan bebas dapatlah aku keluar lagi dan melarikan diri."
Di luar dugaan, meski
rencananya sudah muluk-muluk, beberapa kali ia bermaksud angkat kaki, tapi
hatinya selalu terkenang pada Toan Ki, ia menjadi ragu kalau-kalau pemuda itu
akhirnya benar-benar datang mencarinya, lalu bagaimana? Jika besok tidak
berjumpa dengan pemuda itu, mungkin untuk seterusnya tak bisa saling bertemu
lagi. Padahal dia sengaja datang untuk sehidup semati dengan aku, tapi aku
malah kabur pergi. Jelas dia tidak sudi mengangkat guru hingga mungkin dibunuh
oleh Lam-hay-gok-sin, bila terjadi demikian, bukankah aku yang berdosa
padanya?"
Begitulah bolak-balik ia
berpikir, sampai akhirnya fajar pun menyingsing, tetap dia belum dapat ambil
keputusan.
Tapi dengan datangnya fajar,
maksud larinya menjadi batal juga. Jika sudah terang tak dapat melarikan diri,
biarlah aku tetap menunggu, apakah dia datang atau tidak, aku tetap menunggu di
sini sampai mati.
Selagi hatinya hampa sedih
itulah, sekonyong-konyong terdengar suara gedebukan jatuhnya sesuatu benda ke
tengah semak-semak rumput, segera ia merayap ke sana untuk memeriksanya.
Ketika sudah dekat, lebih dulu
hidungnya mencium bau darah. Waktu rumput lebat di situ ia singkap ke samping
dan melongok, seketika bulu romanya berdiri semua.
Ternyata di tengah semak
rumput tergeletak enam sosok mayat bayi dengan tergelimpang tak teratur. Di
antaranya terdapat pula bayi yang tempo hari dininabobokan oleh Yap Ji-nio itu.
Seketika Bok Wan-jing
terkesima. Bila kemudian ia periksa mayat bayi itu, ia lihat di samping
lehernya terdapat dua baris bekas gigitan hingga berwujud suatu lubang kecil
dan tepat di atas urat darah leher.
Ia menjadi teringat pada apa
yang dikatakan Lam-hay-gok-sin, maka tahulah dia akan duduknya perkara.
Kiranya
"Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio itu memang benar setiap hari harus
mengisap darah seorang bayi. Sudah enam hari dia berada di atas puncak gunung
itu, maka sudah ada enam bayi menjadi korbannya. Kalau melihat baju yang
dipakai bayi-bayi itu terdiri dari kain kasar saja, dapat diduga Yap Ji-nio
telah menculik dari keluarga pegunungan di sekitar Bu-liang-san.
Satu di antara enam mayat bayi
itu terasa masih hangat, tapi kulitnya kisut, darahnya sudah kering terisap.
Tentu itulah mayat yang dilemparkan Yap Ji-nio barusan.
Sungguhpun Bok Wan-jing juga
banyak membunuh orang, tapi orang Kangouw yang dibunuhnya itu adalah akibat
perbuatan sendiri karena ingin melihat mukanya. Sebaliknya perbuatan kejam
membunuh anak bayi demikian, betapa pun juga membuatnya gusar dan kejut hingga
badan ikut gemetar.
Sekonyong-konyong sesosok
bayangan hijau berkelebat, seorang bagai burung cepatnya telah melayang turun
ke bawah gunung. Begitu cepat bayangan itu hingga mirip setan hantu. Itulah
"Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio.
Melihat betapa cepat Ginkang
wanita iblis itu, sekalipun gurunya juga selisih jauh dengan kepandaian orang,
seketika Bok Wan-jing lemas rasanya, ia duduk terkulai terduduk dengan
macam-macam perasaan bercampur aduk.
Setelah termangu-mangu
sejenak, Bok Wan-jing kumpulkan keenam mayat bayi itu menjadi satu, lalu
menguruknya dengan batu pasir seadanya di situ.
Tengah sibuk bekerja,
tiba-tiba Wan-jing merasa tengkuk rada silir dingin. Ia dapat bergerak dengan
cepat sekali, begitu kaki kanan bergerak, segera tubuhnya melesat ke depan.
Maka terdengarlah suara
tertawa seorang yang mirip logam digosok dan berkata, "Nona cilik, suamimu
telah meninggalkanmu, ia tidak sudi padamu lagi, marilah ikut aku saja!"
Siapa lagi dia kalau bukan
"Kiong-hiong-kek-ok" In Tiong-ho, ia memang mahajahat dan buas luar
biasa. Begitu bicara, terus saja tangan meraih hendak memegang Bok Wan-jing.
"Plak" mendadak dari
samping menyela sebuah tangan hingga cengkeraman In Tiong-ho tertangkis.
Kiranya penangkis itu adalah
Lam-hay-gok-sin, dengan marah-marah ia membentak, "Losi, orang Lam-haypay
kami dilarang kau ganggu!"
Dalam pada itu In Tiong-ho
sudah melompat mundur, sahutnya dengan tertawa, "Muridmu tak jadi kau
terima, dengan sendirinya ia bukan orang Lam-hay-pay lagi."
Baru sekarang Bok Wan-jing
dapat melihat jelas perawakan In Tiong-ho itu ternyata sangat tinggi, tapi
sangat kurus pula hingga mirip galah bambu, raut mukanya sangat menakutkan
juga, bila tertawa, lidahnya seakanakan bisa mulur mengkeret mirip lidah ular.
"Dari mana kau tahu aku
akan gagal menerima murid?" demikian Lam-hay-gok-sin membentak lagi.
"Apakah karena bocah itu telah dibunuh olehmu? Ya, tentu demikian halnya!
Atau mungkin kau pun menaksir pada calon muridku yang bertulang bagus itu, lalu
kau sembunyikan dia hendak mengangkanginya sebagai muridmu. Jadi kau yang
mengacaukan rencanaku, biarlah aku cekik mampus kau dahulu dan urusan
belakang!"
Si malaikat buaya laut selatan
ini benar-benar kasar dan tidak kenal aturan segala, tanpa tanya-tanya lagi
apakah benar In Tiong-ho yang menghilangkan calon muridnya atau bukan, terus
saja ia menubruk maju dan menyerang bertubi-tubi.
Namun In Tiong-ho dapat
berkelit dengan gesit dan cepat sekali sambil menjawab, "He, he! Muridmu
itu bundar atau gepeng, lonjong atau cekak, selamanya aku belum kenal, dari
mana bisa kau bilang aku yang mengumpetkan dia?"
"Kentut!" damprat
Lam-hay-gok-sin. "Siapa yang mau percaya padamu! Pasti lantaran kau habis
dihajar orang, lalu rasa dongkolmu kau lampiaskan atas diri muridku itu, begitu
bukan?"
"Muridmu itu laki-laki
atau perempuan atau banci?" tanya Tiong-ho.
"Sudah tentu laki-laki,
guna apa aku menerima murid perempuan?" sahut Gok-sin.
"Nah, itu dia!" seru
Tiong-ho. "Bukankah kau tahu, In Tiong-ho selamanya hanya suka pada orang
perempuan
dan tidak lelaki?'
Saat itu Lam-hay-gok-sin lagi
menubruk maju, mendengar ucapan itu, ia pikir masuk di akal juga. Maka mendadak
ia mengerem tubuhnya yang lagi terapung itu dan anjlok ke bawah hingga berdiri
di atas sebuah batu padas, lalu membentak lagi, "Lantas ke mana perginya
muridku itu? Kenapa sampai sekarang belum datang mengangkat guru?"
"Hehe, urusan Lam-hay-pay
kalian peduli apa denganku?" kata In Tiong-ho dengan mengekek.
Dasar watak Lam-hay-gok-sin
memang kasar, ditambah lagi sudah menunggu selama tujuh hari tanpa hasil, ia
menjadi gelisah tak keruan, rasa dongkolnya lagi meluap, maka kembali ia
membentak, "Setan alas, kau berani mengejek aku?"
Melihat kedua orang mahajahat
itu saling ngotot, Bok Wan-jing tidak mau sia-siakan kesempatan baik itu,
segera ia membakar Lam-hay-gok-sin katanya, "Ya, ya, Toan-long pasti
dicelakai In Tiong-ho ini, kalau tidak, di atas karang securam itu, mana dapat
ia turun? Ginkang In Tiong-ho ini sangat hebat, pasti dia yang memanjat ke atas
karang itu untuk menggondolnya pergi dan dibunuh di lain tempat agar
Lam-hay-pay tidak mempunyai bibit tokoh yang lihai."
Mendadak Lam-hay-gok-sin
keplak batok kepala sendiri sambil menggembor, "Nah, kau dengar tidak!
Bininya muridku juga bilang begitu, masa kau difitnah?"
Segera Bok Wan-jing pura-pura
menangis dan berseru, "Suhu, kata suamiku, kalau dia mendapatkan seorang
guru seperti engkau, sungguh suatu rezeki besar baginya, dia berjanji pasti
akan belajar sepenuh tenaga demi kejayaan Lam-hay-pay, agar nama
Lam-hay-gok-sin lebih mengguncangkan dunia, supaya itu 'Ok-koan-boaneng' dan
'Bu-ok-put-cok' mengiri setengah mati pada engkau orang tua. Siapa duga In
Tiong-ho ini juga cemburu padamu dan sengaja membunuh calon murid kesayanganmu
itu, selanjutnya engkau orang tua sukar mendapatkan murid sebagus itu
lagi."
Begitulah, setiap kalimat Bok
Wan-jing diucapkan, setiap kali Lam-hay-gok-sin mengeplak batok kepala dan
mengepal tangan dengan geregetan.
Maka Bok Wan-jing menyambung
pula, "Tulang kepala suamiku terlalu mirip denganmu, kecerdasannya juga
serupa. Coba, seorang ahli waris sebagus dan sepintar itu, ke mana akan dicari
lagi. Tapi In Tiong-ho ini sengaja memusuhi engkau, mengapa engkau orang tua
tidak lekas balaskan sakit hati muridmu?"
Mendengar sampai di sini,
sinar mata Gok-sin berubah beringas. Kembali ia menubruk ke arah In Tiong-ho.
In Tiong-ho tahu ilmu silat
sendiri setingkat lebih rendah daripada orang, tapi tidak setolol Gok-sin yang
mudah diakali. Sudah terang Bok Wan-jing sengaja mengadu domba, tapi untuk
menjelaskan padanya tidaklah gampang, ia pun tidak sudi bergebrak dengan dia,
maka begitu ditubruk Gok-sin, segera ia angkat kaki melarikan diri.
Sudah tentu Gok-sin tidak
tinggal diam, terus saja ia mengudak.
"Nah, dia lari, itu
tandanya takut!" demikian Wan-jing menambahi minyak pula. "Dan orang
takut, itu tandanya salah!"
Keruan Lam-hay-gok-sin tambah
panas hatinya, ia menggerung murka, "Bayar kembali jiwa muridku!"
Dan kejar-mengejar pun terjadi
dan dalam sekejap saja sudah menghilang di balik gunung sana.
Diam-diam Bok Wan-jing
bergirang. Sekejap kemudian, terdengar suara raungan Lam-hay-gok-sin makin
mendekat lagi, kedua orang itu putar kembali dengan saling uber. Ginkang In
Tiong-ho ternyata jauh lebih tinggi daripada Lam-hay-gok-sin, badannya yang
jangkung bagai galah bambu seakan-seakan bergontai ke kanan dan ke kiri, tapi
larinya cepat tidak kepalang, Lam-hay-gok-sin selalu ketinggalan dalam suatu
jarak tertentu.
Ketika sampai di depan Bok
Wan-jing, sekonyong-konyong In Tiong-ho melesat ke arah gadis itu, terus
mencengkeram pundaknya.
Keruan Wan-jing terkejut,
sekali bergerak, kontan ia sambut orang dengan sebatang panah berbisa.
Tapi Ginkang In Tiong-ho
memang benar tiada taranya, entah cara bagaimana dia bergerak, tahu-tahu tubuh
bisa menggeser sedikit hingga panah itu luput mengenainya, sebaliknya tangannya
masih terus terjulur ke muka si gadis.
Dengan gugup lekas Bok
Wan-jing berkelit, namun toh terlambat sedikit, mukanya terasa segar seketika,
kain kedoknya telah disambar oleh In Tiong-ho.
Melihat wajah Wan-jing yang
cantik molek itu, seketika In Tiong-ho terkesima. Kemudian dengan menyengir
ia berkata, "Hebat,
sungguh hebat! Cantik sekali anak dara ini. Cuma kurang genit, belum sempurna
...."
Tengah berkata, kembali
Lam-hay-gok-sin memburu tiba terus menghantam punggungnya.
Sekuatnya In Tiong-ho tancap
kakinya di tanah, ia kerahkan tenaga dalam dan menangkis ke belakang,
"plak", dua telapak tangan saling bentur dengan keras, Bok Wan-jing
merasa dada menjadi sesak, hampir tak bisa bernapas oleh gencetan dua tenaga
pukulan yang hebat itu, batu pasir pun bertebaran di seputar situ. Dan dengan
meminjam tenaga benturan itu, In Tiong-ho mencelat pergi dua tombak jauhnya.
"Nih, rasakan lagi tiga
kali pukulanku!" teriak Gok-sin sengit.
Namun In Tiong-ho menjawabnya
dengan tertawa, "Kau tak mampu mengejarku, sebaliknya aku tak berdaya
berkelahi dengan kau. Biarpun kita bertempur tiga-hari tiga-malam lagi juga
tetap begini saja!"
Begitulah kembali kedua orang
itu uber-menguber dengan sengitnya.
Diam-diam Bok Wan-jing pikir
harus berusaha untuk merintangi In Tiong-ho agar kedua orang jahat itu saling
genjot berhadapan. Maka ia tunggu waktu In Tiong-ho berputar kembali lagi,
mendadak ia memapak maju sambil geraki tangannya, kontan 6-7 panah berbisa sekaligus
dibidikkan sambil berseru, "Bayar kembali jiwa suamiku!"
In Tiong-ho kenal kelihaian
panah yang mendenging datang itu, tapi semuanya dapat dihindarinya dengan
mengegos atau mendekam ke bawah.
Tiba-tiba Bok Wan-jing melolos
pedang, beruntun ia menusuk dua kali. Namun In Tiong-ho tahu maksud gadis itu,
ia tidak mau menangkis dan hanya berkelit ke samping.
Dan karena sedikit rintangan
itu, dari belakang Lam-hay-gok-sin sudah menyusul tiba terus menghantam dengan
kedua tangannya.
"Losam", seru In
Tiong-ho akhirnya dengan gemas, "berulang kali aku mengalah padamu,
memangnya kau sangka aku takut?"
Sekali tangannya meraba
pinggang, tahu-tahu sepasang cakar baja telah dikeluarkan.
Cakar baja itu panjangnya
masing-masing cuma setengah meteran, ujung cakar berbentuk tangan manusia
dengan lima jari terpentang seakan-akan hendak mencengkeram. Ia mainkan
senjatanya itu dengan rapat, tapi tetap menjaga diri saja tanpa balas
menyerang.
Melihat itu, Lam-hay-gok-sin
menjadi senang, serunya, "Wah, bagus! Sepuluh tahun tidak berjumpa,
kiranya kau berhasil melatih semacam senjata aneh. Nih, lihat juga aku
punya!"
Sembari bicara, ia terus buka
ransel di punggungnya dan mengeluarkan semacam senjata yang lebih aneh.
Melihat kedua orang jahat itu
akan main senjata, Bok Wan-jing pikir akan percuma saja bila dirinya
ikut-ikutan bertempur. Segera ia undurkan diri ke pinggir.
Ia lihat senjata yang
dikeluarkan Lam-hay-gok-sin itu adalah sebuah gunting aneh yang pakai gagang
panjang, bagian mata gunting berbentuk gigi-gigi yang tajam hingga mirip
moncong buaya. Sedang tangan lain memegang sebuah pecut yang bergigi juga
serupa ekor buaya.
Bila orang kena digigit sekali
oleh mulut gunting atau kena disabat sekali oleh pecut ekor buaya itu, kalau
tidak mampus tentu juga akan sekarat.
In Tiong-ho melirik heran juga
kepada kedua macam senjata aneh itu, tapi mendadak ia geraki cakar baja sebelah
kanan terus mencakar ke muka Lam-hay-gok-sin.
"Tring", kontan
Gok-sin angkat gunting buayanya menangkis hingga cakar baja lawan terpental ke
samping. Namun In Tiong-ho cepat luar biasa, belum cakar kanan itu ditarik
kembali, lagi-lagi cakar sebelah kiri menyambar ke depan pula.
"Krak",
sekonyong-konyong gunting congor buaya Lam-hay-gok-sin memutar dan menggunting
jari cakar baja itu, sungguh luar biasa tajamnya gunting yang entah terbuat
dari bahan apa, tahu-tahu dua jari dari cakar In Tiong-ho tergunting putus,
padahal cakar itu sendiri terbuat dari baja murni yang sangat kuat.
Masih untung bagi In Tiong-ho,
ia sempat menarik secepatnya hingga cuma dua jari cakarnya yang terkutung.
Namun begitu, berarti juga mengurangi daya gunanya dari kesepuluh jari
senjatanya yang hebat itu.
Lam-hay-gok-sin
terbahak-bahak, mendadak pecut ekor buaya menyabat pula selagi In Tiong-ho
tertegun tadi. Namun tiba-tiba sesosok bayangan hijau menyelinap tiba, itulah
dia Yap Ji-nio adanya. Dengan gesit ia menyela ke tengah, sekali tangannya
meraih, ujung pecut Gok-sin kena disambarnya terus ditarik ke samping,
kesempatan mana telah digunakan In Tiong-ho untuk melompat ke pinggir.
"Losam, Losi, urusan apa
hingga kalian saling gebrak dengan senjata?" demikian tanya Yap Ji-nio
kemudian.
Ketika sekilas dilihatnya
wajah Bok Wan-jing yang cantik itu, seketika air mukanya berubah hebat.
Biasanya yang paling dibenci olehnya ialah wanita yang berparas lebih cantik
daripada dirinya. Kini melihat kecantikan Bok Wan-jing yang susah dilukiskan
itu, seketika ia terkesiap.
Dalam pada itu Wan-jing juga
melihat wanita jahat nomor dua di dunia ini sudah menggondol kembali seorang
anak kecil kira-kira berumur 3-4 tahun. Tahulah dia sekarang, kiranya wanita
jahat itu turun gunung tadi hanya untuk mencari korban bayi lain yang akan
diisap darahnya.
Dengan datangnya Yap Ji-nio,
terang pertarungan Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho takkan berlangsung terus.
Ketika melihat sorot mata wanita jahat itu bersinar aneh, Bok Wan-jing jadi
mengirik sendiri dan lekas berpaling, tidak berani memandangnya lagi.
Dalam pada itu terdengar anak
yang dipondong Yap Ji-nio itu sedang berteriak-teriak dan menangis, "Ayah!
Di mana ayah?"
"Diamlah, San-san
sayangku! Ayah sebentar lagi akan datang, diamlah, jangan menangis,
manisku!" demikian Yap Ji-nio menimang dengan kasih sayang seperti seorang
ibu.
Bila teringat pada mayat bayi
yang dilihatnya di tengah semak-semak itu, lalu dibandingkan dengan suara
lembut yang penuh rasa kasih sayang Yap Ji-nio ini, bulu roma Bok Wan-jing
seketika menegak semua.
Kemudian terdengar In Tiong-ho
berkata dengan tertawa, "Jici, Losam telah berhasil meyakinkan ilmu
gunting congor buaya dan pecut buntut buaya yang lihai, baru saja aku telah
bergebrak beberapa jurus dengan dia dan aku merasa sulit melawannya. Selama sepuluh
tahun ini, Jici sendiri berhasil meyakinkan ilmu apa? Dapatlah menandingi kedua
macam senjata Losam yang aneh ini?"
Sama sekali ia tidak
menyinggung tentang Lam-hay-gok-sin menuduhnya mencelakai calon muridnya,
sebaliknya ia sengaja mengucapkan pancingan halus itu untuk mengadu domba Yap
Ji-nio bergebrak dengan Lam-hay-gok-sin.
Yap Ji-nio sendiri ketika naik
ke atas puncak tadi, dari jauh sudah melihat cara bagaimana kedua kawannya lagi
saling hantam, maka dengan tertawa tawar saja ia menjawab, "Ah, selama
sepuluh tahun ini aku hanya mengutamakan berlatih Lwekang, soal ilmu pukulan
dan main senjata menjadi asing bagiku, tentu aku bukan tandingan Losam dan kau
lagi."
Jawaban sederhana ini membikin
Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho terkesiap juga, pikir mereka, "Selamanya
dia unggul dalam hal kegesitan dan kelemasan, soal Lwekang hanya biasa saja.
Tapi selama 10 tahun ini dia justru giat berlatih Lwekang, apa barangkali dia
ketemu guru kosen atau beruntung menemukan sesuatu kitab pusaka ilmu Lwekang
dan sebagainya?"
Selagi Lam-hay-gok-sin hendak
tanya, tiba-tiba di pinggang gunung sana ada suara bentakan orang,
"Perempuan bangsat, untuk apa kau menculik anakku? Lekas kembalikan!"
Baru lenyap suaranya,
tahu-tahu orangnya juga sudah melayang naik ke atas puncak dengan cekatan
sekali.
Waktu Bok Wan-jing mengawasi,
ternyata orang ini tak-lain tak-bukan adalah Co Cu-bok, itu ketua Bu-liangkiam.
Ia terkejut, tapi segera mengerti pula duduknya perkara, "Ya, tentu Yap
Ji-nio tidak mendapatkan anak kecil di sekitar Bu-liang-san ini, akhirnya anak
ketua Bu-liang-kiam yang ditemukan olehnya terus digondol lari!"
Maka terdengar Yap Ji-nio
sedang menjawab, "Co-siansing, putramu ini sungguh lincah dan
menyenangkan, aku membawanya ke sini untuk bermain, besok tentu akan
kupulangkan padamu, jangan kau khawatir!"
Sembari berkata, ia mencium
sekali di pipi San-san yang kecil itu, lalu mengusap-usap kepala anak itu
dengan sayangnya.
Co San-san, anak yang bernasib
malang itu, segera berteriak-teriak demi tampak datangnya sang ayah dan minta
digendong.
Co Cu-bok terharu, ia ulur
tangan dan melangkah maju sambil berkata, "Anak kecil yang nakal, tiada
apaapanya yang menarik, silakan engkau kembalikan padaku saja!"
"Haha!" tiba-tiba
Lam-hay-gok-sin tertawa. "Sekali anak kecil sudah jatuh di tangan
'Bu-ok-put-cok' Yap Samnio, biarpun anak raja juga tidak mungkin dikembalikan olehnya."
Co Cu-bok tergetar mendengar
ucapan itu, dengan suara gemetar ia tanya, "Kau ... kau bernama Yap
Sam-nio? Pernah ... pernah hubungan apakah dengan Yap Ji-nio?"
Rupanya sudah lama ia dengar
nama jahat Yap Ji-nio yang setiap hari mesti mengisap darah segar seorang bayi,
maka ia menjadi khawatir jangan-jangan "Yap Sam-nio" ini adalah
saudara Yap Ji-nio dan mempunyai hobi yang sama, kan anaknya itu bisa celaka?
Ia tidak tahu bahwa
Lam-hay-gok-sin yang sengaja menurunkan urutan wanita jahat itu dari
"Ji" atau kedua menjadi "Sam" atau ketiga, supaya bertukar
urutan dengan dia dalam kedudukan "Su-ok" itu.
Namun Yap Ji-nio tidak gusar,
sebaliknya ia mengikik tawa, lalu menyahut, "Ah, jangan kau percaya pada
ocehannya. Aku sendirilah Yap Ji-nio! Di dunia ini mana ada lagi Yap Ji-nio
yang lain atau Yap Sam-nio segala?"
Sekejap itu air muka Co Cu-bok
menjadi pucat bagai mayat.
Semula waktu ia tahu anaknya
diculik orang, sepenuh tenaga ia terus mengejar, meski di tengah jalan ia sudah
merasakan ilmu silat penculik itu masih jauh di atas dirinya, namun ia masih
menaruh harapan semoga wanita penculik yang tak dikenal dan tiada punya
permusuhan apa-apa dengan dirinya ini mungkin takkan bikin susah putranya.
Siapa duga wanita itu justru
adalah "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio, si wanita mahajahat nomor dua dari
dunia ini. Keruan seketika mulut Co Cu-bok ternganga seakan-akan tersumbat.
"Lihatlah betapa
mungilnya anakmu ini, kulitnya halus, dagingnya gemuk, warnanya
kemerah-merahan, sungguh pintar sekali piaraanmu, tentu banyak kau beri makan
jamu kuat padanya. Ya, betapa pun memang lain anak orang terkemuka daripada
anak orang desa yang kurus kurang makan!" demikian Yap Ji-nio berkata
sembari memegang-megang dan mengangkat tangan si bocah ke arah sinar matahari,
mulutnya tiada hentihentinya berkecek-kecek memuji, seolah-olah seorang nyonya
rumah yang lagi memilih sayur atau ayam daging bila sedang belanja di pasar.
Melihat wanita jahat yang itu
hampir mengiler oleh karena bakal korbannya yang bermutu pilihan itu, Co Cubok
menjadi khawatir dan gusar sekali. Walaupun tahu bukan tandingan orang, tapi
mengingat sekejap lagi putranya bakal dimakan, tanpa pikir lagi pedangnya terus
menusuk ke depan dengan tipu serangan "Yu-hongtiau-gi" atau ada
burung Hong datang menghadap, kontan ia tusuk tenggorokan Yap Ji-nio.
Namun Yap Ji-nio hanya
tersenyum saja, ia sodorkan badan Co San-san ke depan, kalau tusukan Co Cu-bok
itu diteruskan, pasti akan menembus badan putranya sendiri.
Syukur ilmu pedangnya sudah
mencapai puncaknya, belum sepenuhnya pedang ditusukkan cepat ia tarik sedikit,
ujung pedang menyendal, sekali putar, segera tipu serangannya sudah berganti
dengan "Thian-ma-hingkong" atau kuda langit terbang di angkasa,
tahu-tahu pundak kanan Yap Ji-nio yang diarahnya sekarang.
Tapi Yap Ji-nio tetap tidak
berkelit, kembali tubuh Co San-san digeser ke samping untuk dijadikan tameng
lagi.
Hanya sekejap saja
berturut-turut Co Cu-bok menusuk lima kali, tapi Yap Ji-nio hanya melayani
dengan seenaknya saja, selalu ia sodorkan badan Co San-san ke arah tusukan Co
Cu-bok, sudah tentu, terpaksa ketua Bu-liang-kiam itu urung menyerang.
Dalam pada itu, sesudah diudak
Lam-hay-gok-sin, rasa dongkol In Tiong-ho belum terlampiaskan, melihat kelakuan
Co Cu-bok itu, ia menjadi gemas, mendadak ia melompat maju, cakar baja sebelah
kiri terus mencengkeram kepala Co Cu-bok.
Namun Cu-bok sempat menangkis
dengan pedangnya, "trang", kedua senjata saling beradu, pikir Co
Cu-bok sekalian hendak mendorong ujung pedangnya ke tenggorokan lawan dengan
gerakan "Sun-cui-tui-ciu" atau mendorong perahu menurut arus air,
tapi mendadak jari cakar baja lawan bisa mencakup hingga batang pedangnya
tergenggam dengan kencang.
Kiranya senjata In Tiong-ho
itu terpasang alat jeplakan yang sangat praktis, asal tekan pegasnya, segera
jari baja mencengkeram menurut keinginan pemakainya, hingga mirip benar dengan
jari manusia.
Sebagai seorang ketua sesuatu
aliran persilatan, dalam hal ilmu pedang, Co Cu-bok mempunyai latihan yang
sangat mendalam, meski kepandaiannya masih kalah tinggi daripada In Tiong-ho,
tapi juga tidak sampai keok hanya dalam satu dua gebrakan saja.
Dalam kagetnya tadi, ia tidak
rela melepaskan pedangnya begitu saja, cepat ia kerahkan tenaga dalam untuk menarik
sekuatnya. Tapi pada saat itu juga, "cret", cakar baja In Tiong-ho
yang lain telah mencengkeram pula pundaknya.
Masih untung baginya karena
jari cakar itu sebelumnya sudah terkutung dua oleh gunting congor buayanya
Lam-hay-gok-sin, maka lukanya tidak parah, namun darah segera bercucuran juga,
sedang ketiga jari cakar baja itu masih tetap mencengkeram kencang tulang
pundaknya. Terus saja In Tiong-ho melangkah maju
menambahi sekali depakan
hingga Co Cu-bok ditendang roboh.
Hanya sekali dua gebrakan saja
ternyata seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka itu sama sekali tak
bisa berkutik.
Segera Lam-hay-gok-sin
berseru, "Hebat, Losi! Dua jurusmu barusan ini tidak jelek, tidak sampai
bikin malu kawanmu ini!"
Sebaliknya Yap Ji-nio berkata
dengan tertawa, "Co-tayciangbun, ingin kutanya padamu, apakah kau lihat
Lotoa kami atau tidak?"
"Siapakah Lotoa kalian?
Aku tidak melihatnya!" sahut Cu-bok dengan meringis menahan sakit karena
tulang pundaknya masih dicengkeram oleh cakar baja.
"Kau bilang tidak tahu
siapa Lotoa kami, kenapa kau jawab tidak melihatnya?" tiba-tiba
Lam-hay-gok-sin menyela. "Hm, Sammoay, lekas kau makan saja anaknya!"
Jilid 08
"Pagi hari ini aku sudah
sarapan, sekarang masih kenyang," sahut Yap Ji-nio. "Co-tayciangbun,
boleh kau pergi saja, kami takkan cabut nyawamu!"
"Jika demikian, Yap ...
Yap Ji-nio, harap kembalikan putraku itu, biar kucarikan 3-4 anak lain untukmu.
Sungguh aku terima kasih tak terhingga."
"Ehm, baik juga!"
seru Yap Ji-nio dengan berseri-seri. "Pergilah kau carikan delapan anak
yang lain. Kami berjumlah empat orang, masing-masing membopong dua, cukup untuk
makananku selama delapan hari. Nah, Losi, boleh kau lepaskan dia!"
Segera In Tiong-ho kendurkan
jari cakarnya melepaskan Co Cu-bok. Dengan menahan sakit, Co Cu-bok berbangkit,
lalu memberi hormat kepada Yap Ji-nio sambil ulur tangan hendak terima kembali
putranya.
"Eh, sebagai tokoh
kalangan Kangouw, kenapa Co-tayciangbun tidak kenal aturan?" ujar Yap
Ji-nio dengan tertawa. "Tanpa ditukar delapan orang anak, masakah demikian
gampang kuserahkan kembali putramu?"
Melihat putranya berada dalam
rangkulan wanita itu, walaupun dalam hati sebenarnya seribu kali tidak rela,
tapi apa daya, kepandaian sendiri jauh di bawah orang, terpaksa Co Cu-bok
manggut dan menjawab, "Baiklah, biar kupergi mencarikan delapan anak yang
putih gemuk untukmu, harap engkau menjaga baik-baik anakku."
Yap Ji-nio tak mau
menggubrisnya lagi, kembali ia bernyanyi-nyanyi kecil menimang anak dalam
pangkuannya itu.
"San-san anakku yang
baik, sebentar ayah akan datang lagi untuk membawamu pulang ke rumah!"
seru Cubok kemudian.
Co San-san menangis
keras-keras minta ikut sang ayah dan meronta-ronta di pangkuan Yap Ji-nio.
Dengan rasa berat Co Cu-bok
pandang beberapa kali pada sang putra, sambil memegangi luka di pundak, segera
ia putar tubuh hendak berangkat.
Apa yang terjadi itu dapat
diikuti Bok Wan-jing. Ia pikir, Co Cu-bok tentu akan memerintahkan anak
muridnya pergi menculik anak kecil keluarga petani di sekitar Bu-liang-san
untuk menukar putranya sendiri, hal itu dapat dikatakan demi cinta kasih ayah
pada anaknya, soalnya terpaksa.
Tapi betapa pun juga adalah
terlalu egoist, terlalu mementingkan diri sendiri, sebaliknya delapan anak
keluarga orang lain yang tak berdosa akan menjadi korban.
Tanpa pikir lagi, segera ia
melompat keluar dan mengadang di depan Co Cu-bok, bentaknya, "Orang she
Co, kau kenal malu tidak, hendak merebut anak orang lain untuk menukar jiwa
putramu sendiri? Apakah kau masih ada muka buat menjadi ketua suatu aliran
persilatan?"
"Pertanyaan nona memang
tepat," sahut Co Cu-bok dengan kepala menunduk. "Co Cu-bok
selanjutnya tiada muka buat tancap kaki di kalangan Bu-lim lagi, segera aku
akan simpan pedang dan cuci tangan mengasingkan diri."
"Aku melarang kau turun
gunung!" bentak Wan-jing pula dengan pedang terhunus.
Pada saat itulah,
sekonyong-konyong dari jauh berkumandang suara suitan orang yang nyaring.
Dengan girang Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho berseru, "Itu dia, Lotoa
sudah datang!"
Berbareng kedua orang terus
melompat pergi sambil bersuit sahut-menyahut ke arah datangnya suara nyaring
tadi, hanya sekejap saja keduanya sudah menghilang di balik batu karang sana.
Sebaliknya Yap Ji-nio masih
acuh tak acuh sambil menimang-nimang anak di pangkuannya, bahkan ia melirik
sekejap kepada Bok Wan-jing, lalu katanya dengan tertawa, "Nona Bok,
ternyata kau masih mempunyai jiwa kesatria pula."
Kontan Wan-jing mengirik
ketika sinar matanya kebentrok dengan pandangan Yap Ji-nio yang tajam itu,
cepat ia tenangkan diri sambil genggam pedangnya kencang-kencang.
Dengan tersenyum Yap Ji-nio
berkata pula, "Sepasang matamu ini sungguh sangat jeli, aku ingin sekali
bisa bertukar denganmu. Kemarilah, boleh kau cungkil dulu kedua biji matanya
itu!"
Ucapan terakhir itu ditujukan
kepada Co Cu-bok.
Sebenarnya Co Cu-bok tidak
bermaksud memusuhi Bok Wan-jing, tapi putra sendiri berada di bawah cengkeraman
orang, terpaksa ia menurut perintah. Begitu pedang bergerak, segera ia
membentak, "Nona Bok, lebih baik kau turut pada perintah Yap Ji-nio saja,
supaya tidak lebih banyak menderita siksaan."
Sambil berkata, segera ia
menusuk.
"Manusia hina!"
damprat Bok Wan-jing sambil menangkis. "Trang", kedua pedang saling
beradu, tapi ujung pedang si gadis tahu-tahu menyelonong ke bahu musuh.
Tipu serangan ini sebenarnya
hanya pura-pura belaka, maka sesudah tiga jurus, ia sengaja geser tubuh
sedikit, sekonyong-konyong tiga panah berbisa dibidikkan ke belakang mengarah
Yap Ji-nio.
Serangan itu sangat keji dan
di luar dugaan, Bok Wan-jing berharap dapat mengenai sasarannya dalam keadaan
musuh tidak berjaga-jaga.
"Jangan melukai
putraku!" demikian Co Cu-bok menjerit khawatir.
Di luar dugaan, walaupun
meluncurnya ketiga panah itu cepat luar biasa, tapi hanya sekali Yap Ji-nio
kebas lengan bajunya, semua panah itu sudah disampuk jatuh ke samping.
Berbareng itu sekenanya ia copot sebelah sepatu kecil yang dipakai Co San-san,
terus ditimpukkan ke punggung Bok Wan-jing.
Mendengar sambaran angin dari
belakang, cepat Wan-jing putar pedangnya menangkis ke belakang, namun biarpun
menyerempet batang pedang, sepatu kecil itu tetap meluncur ke depan,
"plak", tepat pinggang Bok Wan-jing tertimpuk.
Ternyata Yap Ji-nio telah
memakai daya efek dalam sambitannya. Dalam keadaan sudah terluka, cepat Bok
Wan-jing mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan.
Sementara itu sepatu kedua
sudah disambitkan lagi oleh Yap Ji-nio, sekali ini dengan tepat mengenai
punggung Bok Wan-jing. Pandangan Wan-jing menjadi gelap, tak tertahan lagi ia
jatuh terkulai ke tanah.
Kesempatan itu segera
digunakan Co Cu-bok, ujung pedangnya mengancam di dada si gadis, sedang tangan
lain diulur hendak mencolok biji mata Bok Wan-jing.
Dalam keadaan tak berdaya,
Wan-jing hanya menjerit tertahan sekali, "O, Toan-long!"
Sekonyong-konyong ia menubruk
maju memapak ujung pedang lawan. Nyata ia sudah bertekad daripada menderita
siksaan dicukil matanya, lebih baik mati di ujung pedang saja.
Syukurlah pada saat itu juga
sekonyong-konyong menyambar tiba sinar kilat, tahu-tahu pedang yang dipegang Co
Cu-bok itu mencelat ke udara, begitu hebat daya pental itu sampai ketua
Bu-liang-kiam itu ikut sempoyongan ke belakang dan hampir-hampir terjungkal.
Keruan ketiga orang di atas
puncak itu kaget semua. Berbareng mereka berpaling ke arah pedang yang mencelat
ke atas itu.
Kiranya pedang itu terlilit
oleh seutas tali pancing ikan yang panjang, ujung tali pancing itu adalah
sebatang galah bambu, pemegangnya adalah seorang nelayan yang memakai caping
dan bermantel ijuk.
Usia nelayan itu kira-kira 30
tahun, gagah berwibawa dan sedang tertawa dingin.
Segera Yap Ji-nio dapat
mengenalnya sebagai orang yang tempo hari bertempur dengan In Tiong-ho, ilmu
silatnya tidak lemah, tapi kalau dibanding dirinya masih selisih setingkat,
maka ia tidak perlu takut. Cuma tak diketahuinya, apakah seorang kawannya yang
lain ikut datang atau tidak?
Ketika ia melirik, benar juga
segera tertampak seorang laki-laki berbaju pendek dan bersepatu rumput sudah
berdiri di sebelah kiri sana. Pada pinggang laki-laki ini terikat seutas tali
rumput yang kasar, di tengah tali itu terselip sebatang kapak pendek.
Sedang Yap Ji-nio hendak buka
suara, tiba-tiba terdengar pula ada suara keresek perlahan di belakangnya.
Cepat ia berpaling. Maka tertampaklah di sana-sini masing-masing juga sudah
berdiri pula seorang.
Yang di sisi sana berdandan
sebagai sastrawan, tangan kanan membawa kipas lempit, tangan kiri menggenggam
segulung buku. Dan yang berdiri di sebelah sini adalah seorang laki-laki
berkaki telanjang, alisnya tebal, matanya besar, pundaknya memanggul cangkul
garuk bergigi lima. Keempat orang terbagi pada empat jurusan hingga berbentuk
mengepung.
Diam-diam Yap Ji-nio pikir,
"Jika ilmu silat keempat orang ini setara, seorang diri mungkin aku tak
sanggup
melawan mereka. Baiknya Lotoa
berada di sekitar sini, kalau mendengar suaraku, tentu segera datang. Biarlah
orang-orang ini kubereskan dahulu, agar kelak kalau menyerbu istana Tayli bisa
banyak menghemat tenaga."
Tapi sebelum ia berteriak,
tiba-tiba terdengar Co Cu-bok berseru, "Eh, keempat tokoh 'Hi-jiau-keng-dok'
dari istana telah datang semua, terimalah hormatku Co Cu-bok dari Bu-liang-kiam
ini!"
Sembari berkata ia terus
memberi hormat kepada keempat laki-laki itu.
Hanya si sastrawan tadi yang
membalas hormat dengan sopan, sedang ketiga laki-laki lainnya hanya diam saja
tak menggubris.
Tiba-tiba si nelayan tertawa
dingin sambil menggoyang-goyangkan alat pancingnya hingga pedang Co Cu-bok yang
masih terlilit tali pancing itu berkilat-kilat oleh sinar sang surya, lalu
ejeknya, "Huh, 'Bu-liang-kiam' kan juga suatu aliran persilatan terkemuka
di negeri Tayli ini, sungguh tidak nyana bahwa Ciangbunjinnya justru adalah
seorang yang begini rendah memalukan. Bagaimana dengan Toan-kongcu? Di mana
dia?"
Dalam keadaan putus asa dan
sudah bertekad untuk mati, kini tiba-tiba datang penolong, tentu saja Bok
Wanjing sangat girang, kini mendengar pula orang menanyakan Toan-kongcu, keruan
ia tambah menaruh perhatian.
Maka terdengarlah jawaban Co
Cu-bok, "Toan-kongcu? Ya, beberapa hari yang lalu memang pernah kulihat
Toan-kongcu, dia ... dia berada bersama dengan ... dengan nona ini."
Segera pandangan si nelayan
beralih kepada Bok Wan-jing dengan penuh tanda tanya.
Maka kata Wan-jing,
"Tadinya Toan-kongcu berada di atas puncak karang sana, tapi selama
beberapa hari ini ia menghilang, mati-hidupnya tidak diketahui."
Nelayan itu mengamat-amatinya
sejenak, lalu membentak, "Jadi engkau inilah Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing yang
terkenal jahat itu? Di manakah Kongcuya kami? Lekas katakan!"
Semula sebenarnya Bok Wan-jing
rada suka pada si nelayan karena kata-katanya yang sangat memerhatikan dirinya
Toan Ki. Tapi kini mendadak dirinya dibentak dan ditanya seperti pesakitan, seakan-akan
dirinya dituduh membikin celaka Toan Ki.
Dasar watak Bok Wan-jing
memang juga angkuh, mana ia sudi dihina seperti itu. Kontan ia balas tertawa
dingin dan menjawab, "Siapakah kau? Berani kau tanya aku dengan sikap
demikian?"
Nelayan itu menjadi gusar,
katanya, "Kau malang melintang di wilayah Tayli, membunuh orang dengan
semena-mena, memang sudah lama kami ingin mencari kau. Sekarang kebetulan bisa
bertemu di sini, jika kau mengaku terus terang di mana beradanya Toan-kongcu,
urusan dapat diakhiri dengan mudah, kalau tidak, hm, hm!"
"Toan Ki sudah
dibinasakan oleh kawan perempuan itu," seru Wan-jing tiba-tiba sambil
menuding Yap Ji-nio, lalu menyambung, "Orang itu katanya bernama
'Kiong-hiong-kek-ok' In Tiong-ho, tubuhnya tinggi kurus bagai galah bambu
...."
Nelayan itu sangat terkejut,
bentaknya memotong, "Apa benar katamu ini? Benar-benar orang itu yang
membunuh Toan-kongcu?"
Di antara keempat laki-laki
itu, si petani yang membawa pacul garuk itu berwatak paling berangasan. Demi
mendengar Toan Ki sudah mati, seketika ia menangis keras-keras, serunya,
"Toan-kongcu, biarlah kubalaskan sakit hatimu!"
Berbareng garuknya terus
menyambar kepala Yap Ji-nio.
Namun sekali mengegos Yap
Ji-nio dapat menghindar, tanyanya dengan tertawa, "Apa engkau ini Tiam-jongsan-long
di antara 'Hi-jiau-keng-dok' itu?"
"Benar! Rasakan dulu
garukku ini!" sahut petani itu sambil menyerampang pula dengan senjatanya
yang khas itu.
Beberapa hari yang lalu Yap
Ji-nio pernah menyaksikan si nelayan dan si tukang kayu menempur In Tiong-ho,
kini berhadapan sendiri dengan Tiam-jong-san-long atau si petani dari
pegunungan Tiam-jong, nyata memang sangat hebat kedua kali serangan tadi.
Mendadak Yap Ji-nio tertawa
terkekeh-kekeh. Tapi hanya beberapa kali tertawa, tiba-tiba suara tawa itu
berubah menjadi menangis sambil sesambatan, "Aduh, 'Hi-jiau-keng-dok'
keempat anakku dari negeri Tayli, kalian telah mati semua dalam usia pendek,
sungguh ibumu ini sedih tak terhingga! O, anak-anakku, tunggulah ibumu Yap
Ji-nio ini di akhirat!"
Padahal tokoh
'Hi-jiau-keng-dok' atau si nelayan, si tukang kayu, si petani dan si sastrawan,
semuanya berusia setaraf dengan Yap Ji-nio. Tapi kini ia sendiri menyebut
sebagai ibu mereka, sambil sesambatan, "O, anakanakku sayang" dan
sebagainya. Keruan Tiam-jong-san-long menjadi gusar, ia mainkan pacul garuknya
terlebih kencang hingga berwujud segulung kabut putih yang mengurung rapat
lawannya.
Namun Yap Ji-nio tidak balas
menyerang, ia tetap peluk Co San-san sambil berkelit kian kemari, betapa pun
kencang Tiam-jong-san-long memutar garuknya, tetap tak bisa menyenggol ujung
baju lawannya.
Sebaliknya ratap tangis Yap
Ji-nio masih tetap berkumandang dengan sedih memilukan, suaranya makin lama
makin keras.
Tiba-tiba hati Bok Wan-jing
tergerak, serunya segera, "He, dia sedang memanggil kawan-kawannya. Kalau
'Thian-he-su-ok' (empat durjana di dunia) datang semua, mungkin kalian tak
sanggup melawannya."
Pada saat itulah,
sekonyong-konyong dari balik gunung sana berkumandang suara seruling yang
nyaring merdu hingga suara tangis Yap Ji-nio yang memilukan itu terpengaruh
seakan-akan paduan suara dari dua nada yang tinggi dan rendah.
Diam-diam Bok Wan-jing
terkejut, "Jangan-jangan orang jahat nomor satu di jagat ini sudah datang
sekarang."
Dalam pada itu si tukang kayu
sudah cabut kapak pendek dari pinggangnya terus membentak, "Bu-ok-put-cok
Yap Ji-nio memang tidak bernama kosong, biarlah aku 'Jay-sin-khek' (si Tukang
Pencari Kayu) belajar kenal dengan kepandaianmu."
Habis berkata, segera ia
membuka serangan dengan cepat.
Ternyata ilmu kepandaian si
tukang kayu itu adalah 'Boan-kin-co-ciat-cap-pek-poh' atau 18 jurus ilmu
permainan kapak pembabat akar, ia mengapak ke sini dan ke sana, yang diincar
selalu bagian bawah musuh.
"Hah, bocah ini hanya
mengganggu saja. Ini, boleh kau bacok mati dia!" ujar Yap Ji-nio dengan
tertawa sambil sodorkan Co San-san ke arah kapak.
Keruan Jay-sin-khek terkejut,
lekas ia tarik kembali senjatanya. Tak terduga, sedikit ayal itulah ia sendiri
harus telan pil pahit, mendadak Yap Ji-nio ayun kakinya mendepak hingga tepat
kena pundaknya. Syukur perawakan Jay-sin-khek kekar kuat, hingga depakan itu
hanya membuatnya terhuyung-huyung dan tidak sampai terluka.
Dan dengan memperalat anak itu
sebagai tameng, Tiam-jong-san-long dan Jay-sin-khek menjadi rada repot, pada
waktu menyerang mereka menjadi ragu-ragu. Apalagi dari samping Co Cu-bok
bergembar-gembor, "Awas anakku! Jangan melukai anakku!"
Sedang pertarungan itu
berlangsung dengan sengit, terdengar suara seruling tadi semakin mendekat. Dari
balik karang sana muncul seorang laki-laki berjubah longgar dan bertali
pinggang kendur. Kedua tangan memegang sebuah seruling kemala sedang ditiup
dengan asyiknya.
Bok Wan-jing melihat orang ini
berjenggot cabang tiga, mukanya tampan, kulit badannya putih bagai salju,
jari-jarinya yang memegang suling itu tampak sama putihnya dengan kulit
mukanya.
Menampak datangnya orang itu,
dengan langkah cepat si sastrawan tadi terus mendekati dan bisik-bisik
berbicara dengan dia dengan sangat hormat. Tapi orang itu masih terus meniup
serulingnya, hanya sinar matanya yang tampak mengerling ke arah Bok Wan-jing.
"Kiranya orang ini adalah
segolongan dengan keempat tokoh Hi-jiau-keng-dok ini," demikian Bok
Wan-jing membatin.
Dalam pada itu, sambil masih
meniup seruling, perlahan orang itu lantas mendekati Yap Ji-nio bertiga yang
masih bertempur dengan seru itu.
Meski si tukang kayu ayun
kapaknya begitu keras dan Tiam-jong-san-long putar garuknya begitu kencang,
namun orang itu seakan-akan tidak melihatnya saja, mendadak suara serulingnya
meninggi keras hingga anak telinga semua orang serasa pekak.
Dan sekali jari-jari orang itu
menutup rapat lubang-lubang serulingnya dan meniupnya dengan keras, tahu-tahu
dari ujung seruling menyembur keluar serangkum angin tajam ke muka Yap Ji-nio.
Dalam kagetnya, Yap Ji-nio
cepat menghindar, namun pada saat lain, ujung seruling lawan tahu-tahu sudah
mengancam tenggorokannya.
Dua kali serangan itu
dilakukan dengan kecepatan dan kegesitan yang mengejutkan, biarpun Yap Ji-nio
dapat berkelit dengan cepat, tidak urung ia merasa kerepotan juga. Dalam seribu
kerepotannya itu, ia paksakan diri
mendoyong badan bagian atas ke
belakang untuk menghindari tutukan seruling yang mengancam tenggorokan itu.
Tak tersangka, mendadak
Koan-bau-khek atau si jubah longgar itu, menggunakan tenaga dalam dengan
seruling menimpuk ke ulu hati Yap Ji-nio yang sedang mendoyong itu.
Dalam keadaan demikian, Yap
Ji-nio tidak berani sembrono lagi, segera ia lemparkan Co San-san ke tanah dan
ulur tangan hendak merampas seruling orang. Namun sekali Koan-bau-khek kebas
lengan bajunya yang longgar itu, anak itu kena digulung olehnya, katanya,
"Serahkan sini!"
Sambil berkata, ia pun
angsurkan tangan kirinya.
Saat itu tepat Yap Ji-nio baru
saja dapat memegang seruling yang diluncurkan pemiliknya, seketika ia merasa
seruling itu panas seperti dibakar, hal ini benar-benar di luar dugaan Yap
Ji-nio, pikirnya, "Jangan-jangan seruling ini dipoles racun?"
Maka cepat ia lepas tangan dan
tak jadi merampasnya.
Dalam pada itu tangan kiri
Koan-bau-khek yang terulur tadi tepat dapat merebut kembali serulingnya,
sekalian ia terus sodokkan senjata itu ke bahu Yap Ji-nio, berbareng lengan
bajunya yang menggulung Co San-san itu dikipratkan hingga bocah itu terlempar
ke arah Co Cu-bok. Dengan tersipu-sipu cepat Co Cu-bok menangkap putranya itu.
Dua gerakan Koan-bau-khek,
merebut anak dan menyerang musuh itu dilakukannya dengan cepat dan sewajarnya
tanpa dipaksakan, gayanya indah, sasarannya jitu, sampai Bok Wan-jing pun
ternganga saking kagumnya.
Yap Ji-nio sendiri, ketika
orang menangkap kembali serulingnya tadi, sekilas dapat melihat telapak tengah
Koan-bau-khek itu merah membara, ia menjadi kaget, "Jangan-jangan dia
sudah berhasil meyakinkan Cu-se-jiu (tangan pasir merah) yang sudah lama hilang
di kalangan Bu-lim itu? Jika demikian, terang di atas serulingnya bukannya dipoles
dengan racun, tapi adalah tenaga dalamnya yang lihai itu telah membakar
serulingnya hingga panasnya mirip habis dikeluarkan dari tungku."
Maka cepat ia mundur beberapa
tindak, lalu katanya dengan tertawa, "Wah, ilmu silat saudara sungguh
hebat. Tidak nyana bahwa di wilayah Tayli ini masih ada tokoh lihai begini.
Numpang tanya siapakah namamu yang terhormat?"
Si jubah longgar hanya
tersenyum saja, sahutnya, "Atas kunjungan Ji-nio ke wilayah kami ini,
harap maaf kami tidak menyambut sebelumnya. Biarpun negeri Tayli ini hanya
negeri kecil dan rakyatnya miskin, tapi sepantasnya memenuhi juga sekadar
kewajiban sebagai tuan rumah."
Dalam pada itu Co Cu-bok yang
sudah mendapatkan kembali putranya dengan selamat, dalam girang dan herannya
itu, tiba-tiba teringat seseorang olehnya, pikirnya, "Dilihat dari
wajahnya, orang ini memang mirip benar dengan tokoh yang sering dibuat cerita
itu, tapi beliau mengapa bisa berkecimpung di kalangan Kangouw lagi?"
Namun begitu, tak tertahan
juga rasa ingin tahunya, segera ia tanya, "Apakah tuan ini adalah ...
adalah Kohouya?"
Si jubah longgar itu tidak
menjawab benar atau tidak, tapi lantas berkata kepada Yap Ji-nio, "Di
manakah Toan-kongcu kami, bagaimana keadaannya, harap suka memberi tahu?"
"Aku tidak tahu,"
sahut Ji-nio dengan tertawa dingin. "Andaikan tahu juga takkan
kukatakan."
Habis itu, sekonyong-konyong
ia melayang turun ke bawah gunung.
"Nanti dulu!" seru
si jubah longgar terus mengudak. Tapi mendadak pandangannya menjadi silau,
tahu-tahu senjata rahasia musuh bagai hujan menghambur ke arahnya. Cepat ia
putar serulingnya, sebagian senjata gelap itu dapat dihindari, sebagian lagi
kena dipukul jatuh dengan seruling. Namun tangannya terasa pegal juga terbentur
oleh sambitan senjata gelap yang kuat itu, diam-diam ia membatin, "Sungguh
hebat perempuan ini."
Sementara itu Yap Ji-nio sudah
sempat melayang pergi bagai hantu cepatnya, untuk mengejarnya terang tak keburu
lagi. Ketika senjata gelap tadi ditegasi, ternyata terdiri dari macam-macam
bentuk mainan. Segera Koan-bau-khek teringat, "Ya, barang-barang ini tentu
diperolehnya dari anak-anak yang menjadi korbannya. Penyakit ini kalau tak
dibasmi, entah betapa banyak anak kecil di negeri Tayli ini akan dicelakai
pula!"
Di sebelah sana, si nelayan
lantas ayun pancingnya hingga pedang yang terlilit oleh tali pancingnya
mendadak mencelat ke arah Co Cu-bok dengan gagang pedang di depan. Dengan
gugup, cepat Co Cu-bok menangkap pedangnya sendiri itu dengan wajah merah malu.
Lalu nelayan itu berpaling
kepada Bok Wan-jing dan membentaknya dengan bengis, "Sebenarnya bagaimana
keadaan Toan-kongcu? Apa benar telah dicelakai oleh In Tiong-ho?"
Walaupun dalam hati Bok Wan-jing
rada mendongkol karena dibentak, tapi pikirnya, "Ilmu silat orang-orang
ini sangat tinggi, tampaknya mereka adalah kawannya Toan-long. Biarlah
kukatakan apa yang sebenarnya kepada mereka agar bersama-sama mereka bisa
mencarinya ke sekitar jurang sana."
Tapi sebelum ia buka suara,
tiba-tiba di bawah gunung sana ada suara teriakan seorang, "Bok-kohnio ...
Bokkohnio ... apakah engkau berada di sini?... Lam-hay-gok-sin, aku sudah
datang, jangan engkau bikin susah Bok-kohnio!"
Mendengar suara itu, Koan-bau-khek
dan kawan-kawannya itu tampak kegirangan luar biasa. Berbareng mereka berkata,
"Itulah Kongcuya!"
Memang benar itulah suara Toan
Ki. Dengan susah payah Bok Wan-jing telah menanti tujuh-hari tujuh-malam, kini
mendadak mendengar suara orang yang diharapkan itu, saking girang dan kejutnya,
sekonyong-konyong pandangannya terasa gelap terus jatuh pingsan ....
Dalam keadaan sadar tak sadar,
ia dengar ada suara orang menyebut namanya, "Bok-kohnio! Aku sudah berada
di sini, lekas engkau siuman!"
Perlahan Bok Wan-jing siuman
kembali, ia merasa dirinya berada di dalam pelukan orang, seketika ia ingin
melompat bangun, tapi lantas teringat olehnya, "Ah, ini Toan-long yang
memeluk aku."
Dengan rasa manis madu
bercampur masam getir, perlahan ia membuka matanya, segera tertampak sepasang
mata jeli yang berkilau-kilau sedang memandang padanya, siapa lagi dia kalau
bukan Toan Ki.
"Hura, akhirnya engkau
siuman juga!" demikian Toan Ki berseru girang.
Sementara itu Bok Wan-jing tak
dapat lagi menahan air matanya yang bercucuran bagai hujan. Mendadak ia baliki
tangannya, "plok", kontan ia persen Toan Ki sekali tamparan. Meski ia
menggampar Toan Ki sekali, tapi badannya masih tetap berada dalam pangkuan
pemuda itu, seketika ia pun tiada tenaga untuk melompat bangun.
Sejenak Toan Ki melongo sambil
meraba-raba pipi yang ditampar itu, kemudian katanya dengan tertawa,
"Kenapa engkau selalu suka memukul orang? Sungguh tiada nona
sewenang-wenang seperti engkau ini!"
Habis ini, mendadak wajahnya
berubah muram dan tanya, "Di manakah Lam-hay-gok-sin? Kenapa dia tidak
menungguku di sini?"
"Orang sudah menunggu
selama tujuh-hari tujuh-malam, apa masih belum cukup?" sahut Wan-jing.
"Dia sudah pergi sekarang!"
Seketika Toan Ki berubah
girang, serunya, "Bagus, bagus! Aku justru khawatir setengah mati. Bila
dia paksa aku mengangkat guru padanya, kan runyam?"
"Dan kalau engkau tidak
suka menjadi muridnya, kenapa kau datang lagi ke sini?" tanya Wan-jing.
"Eh, lalu bagaimana
dengan dirimu?" sahut Toan Ki. "Bukankah engkau berada di bawah
cengkeramannya. Kalau aku tidak datang kemari, dia tentu akan bikin susah
padamu, mana aku tega tinggal diam?"
Hati Wan-jing terasa bahagia,
katanya pula, "Hm, engkau ini sungguh jahat, ingin sekali kutusuk
membinasakanmu. Coba katakan, sebab apa tidak lambat dan tidak telat engkau
justru datang pada saat sudah mendapat bala bantuan dan musuh sudah pergi, lalu
berlagak kesatria hendak menolong aku? Kenapa selama tujuh-hari tujuh-malam
engkau tidak datang mencariku?"
Toan Ki menghela napas, sahutnya,
"Sudah tentu engkau tidak tahu bahwa selama itu aku berada di bawah
cengkeraman orang dan tak bisa berkutik. Padahal siang dan malam aku selalu
merindukan dirimu, sungguh aku khawatir setengah mati, coba kalau aku bisa
melepaskan diri, tentu sejak tadi aku sudah datang. Nona Bok, apakah lukamu
sudah sembuh? Orang jahat itu tidak ... tidak menganiaya engkau bukan?"
"Pernah apa aku dengan
engkau? Kenapa masih panggil nona apa segala terus-menerus?" omel
Wan-jing.
Melihat paras si gadis yang
kemerah-merahan dan semakin menambah kecantikannya, perasaan Toan Ki terguncang
hebat. Sesungguhnya selama tujuh hari ini ia memang sangat merindukan gadis
itu. Tak tertahan lagi ia merangkul lebih erat dan berkata, "Baiklah, Wan-jing,
Wan-jing! Kupanggil demikian padamu, suka tidak engkau?"
Habis itu, terus saja ia
tunduk kepala ke bawah hendak mencium bibir si nona.
Keruan Bok Wan-jing kaget, ia
menjerit sekali sambil melompat bangun dengan wajah merah, serunya, "Ada
orang luar di sini? Mana boleh engkau .... He, di manakah orang-orang
itu?"
Waktu ia perhatikan, ternyata
di sekitar situ sudah tidak kelihatan lagi bayangan Koan-bau-khek alias si
jubah longgar bersama keempat jago Hi-jiau-keng-dok itu.
"Siapakah yang berada di
sini? Apakah Lam-hay-gok-sin?" tanya Toan Ki dengan wajah menampilkan rasa
takut pula.
"Sudah berapa lama engkau
berada di sini?" tanya Wan-jing.
"Baru saja, belum
lama," sahut Toan Ki. "Begitu aku naik ke sini lantas kulihat engkau
rebah tak sadarkan diri di sini, kecuali itu, tiada lagi bayangan orang lain.
He, Wan-jing, marilah kita lekas pergi, jangan-jangan nanti akan tertawan pula
oleh Lam-hay-gok-sin yang jahat itu!"
"Baiklah!" sahut
Wan-jing. Lalu ia bergumam sendiri, "Aneh, hanya sekejap saja mengapa
sudah menghilang semua?"
Saat itulah tiba-tiba dari
balik batu karang sana terdengar seorang sedang bersenandung, lalu muncul
seorang yang membawa kipas dan buku, itulah dia si sastrawan dari empat tokoh
"Hi-jiau-keng-dok."
"Cu-heng!" seru Toan
Ki girang.
Cepat sastrawan itu masukkan
kitab dan kipasnya ke dalam baju, lalu memburu maju dan menjura kepada Toan Ki
sambil berkata dengan girang, "Kongcuya, syukur engkau dalam keadaan
selamat, tadi ketika mendengar ucapan nona ini, sungguh kami khawatir tak
terhingga!"
Dengan ramah Toan Ki membalas
hormat orang, sahutnya, "Jadi kalian sudah bertemu tadi? Ken ... kenapa
baru sekarang muncul? Sungguh sangat kebetulan!"
"Kami berempat saudara
diperintahkan menjemput Kongcuya pulang dan bukannya bertemu secara
kebetulan," ujar si sastrawan. "Kongcuya, engkau juga terlalu
gegabah, seorang diri merantau Kangouw, untunglah kami mencari ke rumah Be
Ngo-tek, lalu menyusul ke Bu-liang-san sini, selama beberapa hari kami
benar-benar teramat khawatir."
"Banyak juga penderitaan
yang kurasakan," ujar Toan Ki tertawa. "Paman dan ayah tentu
marah-marah
bukan?"
"Sudah tentu," sahut
si sastrawan. "Cuma pada waktu kami berangkat, kedua junjungan sudah reda
marahnya dan sebaliknya merasa khawatir atas diri Kongcuya, kemudian
Sian-tan-hou juga mendapat berita kedatangan Su-tay-ok-jin ke Tayli sini, beliau
khawatir kalau Kongcuya dipergoki mereka, maka beliau sendiri pun ikut datang
mencari engkau."
"Su-tay-ok-jin apa? Jadi
Ko-sioksiok juga ikut datang mencariku? Ah, aku jadi tak enak, di manakah
beliau sekarang?"
"Barusan kami berada di
sini semua," sahut si sastrawan. "Ko-houya telah berhasil mengusir
seorang wanita jahat, dan ketika mendengar suara datangnya Kongcuya, mereka
merasa lega dan suruh aku menunggu engkau di sini, sedang mereka pergi menguber
si wanita jahat itu. Kongcuya, marilah sekarang juga kita pulang ke istana agar
tidak dibuat beban pikiran lebih lama oleh kedua tuan besar."
"Kiranya sejak tadi
engkau sudah berada di sini," ujar Toan Ki kikuk. Teringat olehnya apa
yang dia bicarakan dengan Bok Wan-jing yang meresap tadi, semua itu tentu telah
didengar juga oleh sastrawan ini, tak tertahan lagi wajahnya menjadi merah
jengah.
"Tadi aku lagi asyik
membaca syair indah gubahan Ong Jiang-ling yang penuh semangat itu, di luar
dugaan Kongcuya sudah lama berada di sini," demikian kata si sastrawan
dengan maksud menghilangkan rasa malu Toan Ki.
Maka dengan masih rada kikuk
Toan Ki berpaling kepada Bok Wan-jing dan berkata, "Bok ... Bok-kohnio,
ini adalah Cu Tan-sin, Cu-siko, dia adalah kawanku yang paling karib."
Segera Cu Tan-sin melangkah
maju dan memberi hormat kepada si nona, katanya, "Terimalah hormat Cu
Tansin, nona!"
Dengan ramah Wan-jing membalas
hormat, ia menjadi senang melihat orang begitu merendah padanya, sahutnya,
"Cu-siko, engkau sungguh sangat ramah, tidak seperti kawan-kawanmu tadi
yang kasar dan bengis itu."
Cu Tan-sin tertawa, katanya,
"Ketiga saudaraku itu tentu khawatir karena mendengar berita buruk atas
diri Kongcuya, maka ucapannya rada kurang sopan, harap nona suka
memaafkan."
Dalam hati Cu Tan-sin heran
juga, kejahatan "Hiang-yok-jeh" paling akhir ini sering didengar
olehnya, tak terduga olehnya bahwa tokoh itu ternyata seorang gadis sedemikian
cantiknya. Ia menjadi khawatir atas Kongcuya yang masih muda dan belum
berpengalaman itu akan tenggelam dalam pengaruh kecantikan si nona hingga
akhirnya merusak nama baik sendiri.
Cu Tan-sin adalah seorang yang
lihai, biarpun diam-diam ia sudah waspada kepada Bok Wan-jing, tapi lahirnya ia
tidak mengunjuk sesuatu tanda, bahkan dengan tertawa ia berkata, "Kedua
tuan besar sangat mengkhawatirkan diri Kongcuya, maka hendaknya Kongcuya lekas
pulang saja. Bila Bok-kohnio juga tiada urusan lain, silakan ikut bertamu ke
rumah Kongcu barang beberapa hari."
Ia menduga melulu kekuatan
sendiri mungkin tak mampu mengatasi Bok Wan-jing, tapi kalau nona ini juga
diajak pulang tentu Toan Ki akan merasa senang.
Dengan ragu Toan Ki menyahut,
"Tapi cara bagaimana aku ... aku harus berkata pada paman dan ayah?"
Wajah Bok Wan-jing menjadi
merah, cepat ia berpaling ke arah lain.
"Kudengar bahwa ilmu
silat Su-tay-ok-jin itu sangat tinggi, tadi meski Sian-tan-hou dapat
mengenyahkan Yap Ji-nio yang jahat itu pun berkat serangan di luar perhitungan
musuh. Demi keselamatan Kongcuya, marilah kita lekas berangkat saja,"
demikian kata Cu Tan-sin pula.
Bila ingat betapa buasnya
Lam-hay-gok-sin, kembali Toan Ki merinding. Ia manggut dan berkata,
"Baiklah, mari kita berangkat. Cu-siko, jika musuh terlalu lihai, lebih
baik engkau pergi membantu Ko-sioksiok saja, biar aku pulang sendiri bersama
nona Bok."
"Tidak," sahut Cu
Tan-sin. "Dengan susah payah akhirnya Kongcuya dapat kutemukan,
sepantasnya aku mengawal engkau pulang. Betapa tinggi kepandaian nona Bok,
memang sudah lama juga kukagumi. Cuma melihat keadaannya, agaknya lukanya masih
belum pulih sama sekali, bila di tengah jalan nanti kepergok musuh lagi, tentu
akan susah, maka lebih baik Cayhe mengawal pulang saja."
Sebenarnya Toan Ki tidak ingin
langsung pulang, tapi sekali sudah diketemukan Cu Tan-sin, untuk minggat lagi
terang tidak gampang. Terpaksa ia menurut dan bertiga lantas turun ke bawah
gunung.
Dalam hati Bok Wan-jing ingin
sekali tanya Toan Ki ke mana perginya selama tujuh-hari tujuh-malam, cuma Cu
Tan-sin berada di samping mereka, untuk bicara rasanya kurang leluasa, terpaksa
ia bersabar sebisanya.
Tan-sin membawa ransum kering,
di tengah jalan ia keluarkan dan dibagikan kepada Toan Ki dan Wan-jing.
Sampai di bawah gunung,
tertampaklah di bawah pohon tertambat lima ekor kuda bagus, itulah kuda
tunggangan rombongan Jay-sin-khek.
Segera Tan-sin membawakan tiga
ekor di antaranya, ia silakan Toan Ki dan Wan-jing naik dulu, kemudian ia
sendiri mencemplak ke atas kuda yang lain terus mengikut dari belakang.
Malamnya mereka bertiga
menginap di suatu hotel kecil dan masing-masing mendiami sebuah kamar. Setelah
tutup kamar, Bok Wan-jing duduk termangu-mangu bertopang dagu menghadapi api
lilin di atas meja, pikirnya, "Tanpa menghiraukan keselamatan sendiri
Toan-long sudi datang sendiri mencari aku, suatu tanda cintanya yang mendalam padaku.
Sebaliknya selama beberapa hari ini dalam hatiku selalu menyumpahi dia berhati
palsu segala, nyata aku telah keliru menyalahkan dia.
"Melihat sikap Cu Tan-sin
yang sangat hormat, agaknya Toan-long kalau bukan putra keluarga bangsawan,
tentu adalah angkatan muda dari tokoh persilatan terkemuka. Seorang nona
seperti aku meski sudah bertunangan dengan dia, tapi begini saja aku lantas
ikut pulang ke rumahnya, betapa pun aku merasa kikuk.
"Tampaknya ayah dan
pamannya juga sangat bengis padanya, bila nanti aku pun dihina olehnya, lantas
bagaimana baiknya? Hm, paling-paling kulepaskan panah beracun untuk membunuh
mereka semua, hanya Toan-long seorang yang kubela."
Selagi berpikir cara bagaimana
kelak akan mengganas, tiba-tiba terdengar suara keletakan perlahan dua kali di
daun jendela. Cepat Bok Wan-jing ayun tangannya hingga api lilin tersirap.
Maka terdengarlah suara Toan
Ki lagi berkata perlahan di luar jendela, "Akulah, nona Bok!"
Mendengar pemuda itu tengah
malam datang ke kamarnya, hati Wan-jing menjadi berdebar-debar, dalam kegelapan
ia merasa wajahnya merah membara. Dengan berbisik ia coba tanya, "Ada
urusan apa?"
"Bukalah jendelamu, biar
kukatakan padamu," sahut Toan Ki.
"Tidak, aku tak mau
buka," ujar si nona. Sungguh aneh, dengan ilmu silatnya yang sangat tinggi
itu, biasanya ia tidak gentar pada siapa pun juga, tapi kini ia merasa jeri
hanya kepada seorang pelajar yang lemah, sungguh ia sendiri pun tidak tahu apa
sebabnya.
Toan Ki heran juga mengapa si
gadis tak mau membuka jendela, segera ia membisiki lagi, "Jika begitu,
lekas engkau keluar, kita harus segera berangkat."
Mendengar itu, cepat Wan-jing
bertanya lagi, "Sebab apa?"
"Cu-siko sedang tidur
nyenyak, jangan kita bikin mendusin dia, aku tidak ingin pulang!" demikian
kata Toan Ki.
Wan-jing menjadi girang, ia
memang sedang khawatir cara bagaimana nanti kalau bertemu dengan ayah-bunda
pemuda itu. Kini diajak minggat, tentu saja ia akur tanpa syarat. Segera ia buka
jendela perlahan, lalu melompat keluar.
"Ssst! Perlahan, jangan
sampai diketahui Cu-siko!" demikian Toan Ki mendesis. "Kau tunggu di
sini, biar kupergi mengambil kuda."
Tapi Wan-jing lantas
menggoyang tangannya, sekali ia rangkul pinggang Toan Ki, ia terus lompat ke
atas rumah dan melayang keluar tembok sana. Katanya kemudian, "Jangan kita
naik kuda, suara lari kuda akan mengejutkan Cu-sikomu."
"Benar juga, cermat
sekali engkau," sahut Toan Ki dengan tertawa.
Maka dengan bergandengan
tangan mereka cepat berjalan ke arah timur. Setelah beberapa li jauhnya tidak
terdengar orang mengejar, mereka merasa lega. Kata Bok Wan-jing, "Sebab
apa engkau tidak suka pulang?"
"Begitu pulang, tentu
paman dan ayah akan menyekap aku dan dilarang keluar lagi," sahut Toan Ki.
"Dan untuk bertemu lagi dengan engkau tentu susah."
Senang sekali hati Bok
Wan-jing mendengar pernyataan itu, katanya, "Engkau tidak suka pulang,
itulah sangat baik, biarlah mulai sekarang kita merantau, bukankah kita bisa
hidup bebas tenteram? Dan sekarang kita harus pergi ke mana?"
"Pertama kita harus
menghindari pengejaran Cu-siko, Ko-sioksiok dan lain-lain," sahut Toan Ki.
"Lalu kita menghindari Lam-hay-gok-sin yang buas itu."
"Benar," kata
Wan-jing. "Paling baik kita menuju ke barat-laut, kita memondok dulu di
rumah seorang desa untuk menghindari pengejaran, lewat belasan hari kemudian,
kalau luka di pundakku sembuh sama sekali, tentu kita takkan khawatir lagi
terhadap apa pun."
Segera mereka berdua membelok
ke arah barat-laut dengan cepat, di tengah jalan mereka tak berani berhenti dan
banyak bicara, harapan mereka adalah semakin jauh meninggalkan Bu-liang-san,
semakin baik.
Sampai fajar menyingsing,
sudah sepuluh li mereka tempuh. Kata Wan-jing, "Musuhku terlalu banyak,
kalau kita berjalan siang hari tentu akan menarik perhatian orang. Lebih baik
kita mencari suatu tempat mengaso, siang hari kita makan-tidur dan malam hari
meneruskan perjalanan."
Terhadap urusan-urusan
Kangouw, sedikit pun Toan Ki tidak paham, maka sahutnya, "Baiklah,
terserah kepada keputusanmu."
"Nanti sehabis kita
sarapan, harus kau ceritakan ke mana engkau telah pergi selama tujuh-hari
tujuh-malam ini," kata si nona pula. "Tapi kalau kau bohong, hm, awas
...." berkata sampai di sini, mendadak ia berseru heran sambil menuding ke
depan.
Ternyata di bawah pohon yang
rindang tertambat tiga ekor kuda, di atas sepotong batu besar duduk seorang
yang sedang membaca kitab sambil goyang-goyang kepala asyik bersyair. Siapa
lagi dia kalau bukan Cu Tansin.
"Wah, celaka!"
segera Toan Ki tarik tangan si nona dan diajak lari ke jurusan lain.
Namun Wan-jing cukup paham
bahwa rencananya melarikan diri semalam tentu sudah didengar semua oleh Cu
Tan-sin. Sastrawan itu menduga Toan Ki tak bisa Ginkang, tentu larinya takkan
cepat, maka setelah tahu arah lari mereka, lalu ia naik kuda mengitari jalan
lain untuk mengadang di depan.
Maka dengan bekernyit kening
Wan-jing berkata, "Tolol, sudah diketahui orang, masakan masih bisa lari
lagi?"
Terus saja ia mendekati Cu
Tan-sin dan menegur, "Wah, pagi-pagi buta sudah asyik membaca di sini,
senang benar tampaknya!"
Tan-sin manggut-manggut sambil
tertawa, katanya kepada Toan Ki, "Kongcu, coba terka syair apa yang sedang
kubaca?"
Lalu ia keraskan suaranya
bersenandung sebait syair.
Selesai mendengarkan, segera
Toan Ki menjawab, "Bukankah ini 'bisikan kalbu' gubahan Gui Tin?"
Tan-sin tertawa, katanya,
"Pengetahuan Kongcuya sungguh sangat luas dan dalam, Tan-sin merasa sangat
kagum!"
Toan Ki dapat memahami maksud
syair orang yang mengatakan sebabnya malam buta mau menyusul dan mencarinya,
yaitu karena merasa utang budi pada ayah dan pamanmu, maka tidak berani
mengecewakan kepercayaan yang kuterima dari beliau-beliau itu.
Maka Toan Ki menjadi rikuh
untuk minggat lagi, segera ia ajak Bok Wan-jing ikut pulang.
"Entah jalan yang kami
tempuh ini benar tidak menuju ke Tayli?" dengan kikuk Bok Wan-jing tanya.
"Toh tiada urusan penting
yang lain, ke timur atau ke barat serupa saja, akhirnya juga sampai di
Tayli," sahut Tan-sin.
Kalau kemarin ia memberi Toan
Ki seekor kuda yang paling bagus, adalah sekarang kuda bagus itu ia tunggangi
sendiri untuk berjaga-jaga kalau pemuda itu melarikan diri lagi dan dirinya
tentu akan sukar menyusulnya.
Segera Toan Ki mencemplak ke
atas kuda dan berangkat ke jurusan timur. Khawatir pemuda itu mendongkol
padanya, sepanjang jalan Tan-sin berusaha membikin senang hatinya dengan mengajak
bicara tentang syair dan sastra.
Saking asyiknya Toan Ki dibuai
oleh syair, hingga Bok Wan-jing yang berada di sampingnya itu tak terurus.
Keruan gadis itu mendongkol,
pikirnya, "Pelajar tolol ini bila sudah asyik bicara tentang syair segala
menjadi lupa daratan."
Tidak lama, sampailah mereka
di jalan raya. Kemudian mereka berhenti di suatu kedai di tepi jalan untuk
sarapan pagi sekadarnya. Baru selesai mereka pesan makanan, tiba-tiba dari luar
melangkah masuk pula seorang yang bertubuh tinggi kurus.
Begitu ambil tempat duduk,
segera si jangkung itu menggebrak meja sambil membentak, "Lekas bawakan
lima kati arak, tiga kati daging rebus, lekas, cepat!"
Mendengar suara orang, tak
usah melihat, segera Bok Wan-jing dapat mengenali si jangkung itu pasti In
Tiongho adanya. Syukur ia menghadap ke dalam hingga tidak dilihat oleh tokoh
jahat keempat itu. Segera ia gunakan jarinya mencelup air kuah untuk menulis
nama In Tiong-ho di atas meja.
Tan-sin terkejut, segera ia
pun menulis di atas meja, "Lekas berangkat, tak perlu menunggu aku!"
Terus saja Wan-jing
berbangkit, ia tarik baju Toan Ki dan diajak menuju ke ruangan belakang.
Sejak masuk tadi, In Tiong-ho
lantas duduk menghadap ke luar seperti sedang mengintai orang lewat. Tapi dia
sangat cerdik, begitu mendengar ada suara orang bergerak di belakangnya, ia
lantas menoleh dan masih keburu melihat bayangan Bok Wan-jing menghilang di
balik pintu, segera ia membentak, "Siapa itu? Berhenti!"
Berbareng ia terus berbangkit
dan memburu ke belakang.
Saat itu Cu Tan-sin sedang
memegangi semangkuk bakmi kuah panas, ia sengaja menjerit keras sekali
seakanakan orang kaget, semangkuk bakmi panas itu disiramkan ke muka In
Tiong-ho.
Jarak kedua orang memang
sangat dekat, gerakan Cu Tan-sin itu sangat cepat pula, ditambah lagi sama
sekali In Tiong-ho tak menyangka si sastrawan yang lemah itu mendadak bisa
menyerang, pula ruangan kedai itu terlalu sempit untuk menghindar, mendingan
juga Ginkangnya sudah mencapai tingkat tiada taranya, dengan cepat ia masih
sempat mengegos sedikit hingga semangkuk bakmi panas itu dapat dielakkan
sebagian, tinggal isi setengah mangkuk yang tetap mengguyur mukanya hingga
pandangannya seketika menjadi kabur.
Dalam gusarnya segera In
Tiong-ho mencakar dada Cu Tan-sin dengan niat sekaligus binasakan orang. Tak
tersangka, begitu Tan-sin guyurkan bakminya tadi, menyusul ia lantas angkat
meja hingga mangkuk piring berhamburan ke arah In Tiong-ho. "Crat,"
kelima jari In Tiong-ho yang mencakar itu pun menancap di muka meja.
Betapa tinggi ilmu silat In
Tiong-ho, karena mendadak diserang ia menjadi kalang kabut juga dan kerepotan.
Lekas ia kerahkan tenaga dalam
untuk melindungi tubuh sendiri hingga mangkuk piring yang berhamburan ke
badannya itu semua terpental jatuh dan tak melukainya. Namun begitu, bajunya
menjadi basah kuyup juga oleh siraman kuah bakmi itu.
Pada saat lain, terdengarlah
derap lari kuda yang ramai di luar kedai, ada dua penunggang kuda telah kabur ke
utara.
Cepat In Tiong-ho mengusap
mukanya yang tersiram bakmi tadi, tapi pada saat itu juga sekonyong-konyong
angin tajam menyambar pula, suatu benda keras telah menutuk ke arah dadanya.
Cepat ia tarik napas dalamdalam hingga dadanya tertarik mundur beberapa senti,
berbareng telapak tangan kiri lantas menebas dan dua jari tangan lain dipakai
menjepit kipas orang.
Ruji kipas milik Cu Tan-sin
itu terbuat dari baja murni dan merupakan senjata ampuh yang diyakinkan sejak
kecil, ia dapat memainkannya dengan cepat dan sesuka hati. Maka ia menduga
dalam keadaan kelabakan terkena siraman bakmi panas tadi, sekali serang
dapatlah merobohkan In Tiong-ho yang lihai itu.
Tak tersangka, bukan saja In
Tiong-ho dapat menghindar serangan itu dengan baik, bahkan kipasnya hendak
dijepit pula. Keruan Tan-sin terkejut, cepat ia tarik kembali kipasnya.
Bicara tentang tenaga dalam,
Cu Tan-sin masih kalah setingkat daripada lawannya, tapi kipas adalah senjata
kesayangannya, maka sekuatnya ia tarik, untung juga tangan In Tiong-ho basah
oleh kuah bakmi, jarinya menjadi licin hingga kurang kencang jepitannya, maka
dapatlah Tan-sin merebut kembali kipasnya itu.
Dalam keadaan demikian,
mendadak Tan-sin mendapat akal, cepat ia berteriak-teriak, "Hai,
kawan-kawan yang memakai pancing dan kapak, lekas kalian tutup pintu, si
jangkung ini takkan mampu lari lagi!"
Kiranya Tan-sin pernah
mendengar ceritanya "Bu-sian-tio-to" atau si tukang pancing dari
danau Bu-sian, dan Jay-sin-khek, bahwa malam itu mereka pergoki seorang
jangkung bagai galah bambu, dengan tenaga mereka berdua barulah sekadar bisa
mengalahkan lawan. Sebab itulah sekarang ia sengaja main gertak, ia menggembor
pura-pura memanggil kawan untuk menakutkan lawan itu.
In Tiong-ho tidak menyangka
itu cuma gertakan belaka, ia pikir bisa celaka kalau benar si nelayan dan
tukang kayu itu muncul, tentu dirinya sukar untuk meloloskan diri.
Ia menjadi gugup dan tidak mau
bertempur lebih lama, terus saja ia terjang ke ruangan belakang dan melarikan
diri melintasi pagar tembok.
"Wah, sudah lari, si
jangkung sudah lari! Lekas kejar, lekas kejar!" demikian Tan-sin masih
berteriak sambil berlari keluar kedai dan mencemplak ke atas kudanya, tapi
bukan mengejar si jangkung, melainkan menyusul Toan Ki berdua.
Saat itu Toan Ki dan Wan-jing
sudah melarikan kuda mereka beberapa li jauhnya, lalu melambatkan kudanya
perlahan. Tidak lama, terdengar derapan kuda yang cepat dari belakang, waktu
menoleh, kiranya Cu Tan-sin sudah menyusul tiba.
Mereka hentikan kuda untuk
menunggu, setelah dekat, belum lagi mereka sempat tanya kawan itu,
sekonyongkonyong Wan-jing berseru, "Celaka, orang itu mengejar
kemari!"
Maka tertampaklah sesosok
tubuh yang jangkung sedang memburu datang dengan cepat luar biasa, saking
tinggi tubuh orang hingga mirip galah bambu dalam permainan jelangkung yang
bergontai-gontai sempoyongan ke kanan dan ke kiri.
Kejut Tan-sin tak terhingga,
sungguh tak terduga olehnya bahwa Ginkang si jangkung bisa begini hebat. Cepat
ia menyabat beberapa kali bokong kuda tunggangan Toan Ki dan Wan-jing, dalam
kagetnya, kuda-kuda itu meringkik sekali terus membedal ke depan dengan
kencang. Maka hanya sekejap saja In Tiong-ho sudah jauh ketinggalan di
belakang.
Kira-kira beberapa li lagi,
Bok Wan-jing mendengar napas kudanya sudah megap-megap, terpaksa ia lambatkan
larinya, membiarkan binatang itu bernapas. Tapi karena sedikit ayal itu,
kembali In Tiong-ho menyusul datang.
Biarpun kecepatan lari dalam
jarak pendek In Tiong-ho tidak bisa memadai kuda, tapi tenaga untuk jangka lama
ternyata tidak putus, ia masih mampu mengejar terus.
Cu Tan-sin tahu akal
menggertaknya tadi sudah diketahui orang, untuk menakut-nakuti pula terang
takkan mempan lagi, tampaknya dalam jarak belasan li tentu akan disusul
olehnya.
Padahal asal bisa sampai di
kota Tayli, betapa pun besarnya urusan tentu tidak perlu takut. Soalnya cuma
ketiga ekor kuda mereka yang sudah payah, makin lama makin lambat, keadaan pun
makin lama makin gawat.
Beberapa li lagi,
sekonyong-konyong kuda Toan Ki kesandung hingga pemuda itu terbanting jatuh ke
bawah. Syukur Bok Wan-jing dapat bertindak cepat, belum lagi tubuh Toan Ki
menempel tanah, tangan si nona sudah sempat menjambret kuduk bajunya terus
diangkat ke atas kuda sendiri.
Terhadap gadis itu sebenarnya
Cu Tan-sin mempunyai kesan jelek, tapi ketika Toan Ki terjungkal dari kudanya,
ia sendiri masih ketinggalan di belakang untuk merintangi musuh bila perlu,
untuk menolong terang tidak keburu. Syukur gadis itu sempat turun tangan dengan
cepat, melihat gerakan Bok Wan-jing yang cekatan itu, mau tak mau ia memuji
juga.
Belum lenyap suaranya,
sekonyong-konyong dari belakang angin tajam menyambar, sepotong senjata rahasia
menyerang ke arahnya.
Cepat Tan-sin putar kipasnya
untuk menangkis, "trang", cakar baja In Tiong-ho tersampuk ke
samping, tapi senjata aneh itu tidak lantas ditarik kembali oleh In Tiong-ho,
sebaliknya terus menggaruk ke bawah hingga pantat kuda tercakar dan terluka.
Saking kesakitan, kuda itu
meringkik terus mencongklang terlebih cepat hingga lagi-lagi In Tiong-ho
tertinggal di belakang.
Namun demikian, kini Toan Ki
dan Wan-jing harus bersatu kuda, sedang kuda Cu Tan-sin terluka pula, dengan
sendirinya mereka sangat khawatir. Hanya Toan Ki yang sama sekali tidak kenal
bahaya, ia masih tanya, "Wanjing, apakah orang itu sangat lihai? Dapatkah
Cu-siko melawan dia?"
"Tidak, biarpun aku
bersama dia mengeroyoknya juga tak bisa menang," sahut si gadis.
Tiba-tiba timbul suatu akal
dalam hatinya, katanya pula, "Eh, aku dapat pura-pura jatuh dari kuda dan
rebah di tanah, nanti kalau dia mendekati aku, dalam keadaan tak
tersangka-sangka akan kulepaskan panah, tentu dapat kurobohkan dia. Nah, lekas kau
larikan kuda sendirian, tak perlu tunggu aku!"
Keruan Toan Ki gugup, tanpa
pikir sebelah tangannya memeluk leher si gadis dan tangan lain merangkul
pinggangnya sambil berkata, "Jangan, jangan! Aku takkan membiarkan engkau
menempuh bahaya itu!"
Wan-jing menjadi jengah,
omelnya, "Tolol, kenapa main pegang-pegang? Lekas lepaskan aku! Kalau
dilihat Cu-siko, macam apa kelakuanmu ini?"
"O, ya! Maaf, jangan
engkau marah!" seru Toan Ki terkejut sambil melepaskan rangkulannya.
"Engkau adalah suamiku, masakah
pakai minta maaf segala?" ujar si nona.
Tengah bicara, dari jauh
tampak In Tiong-ho memburu tiba lagi dengan gayanya yang gentayangan.
Sekilas Toan Ki melihat wajah
Wan-jing mengunjuk rasa khawatir, seketika timbul rasa kasih sayangnya. Saat
itulah tiba-tiba si gadis menjerit tertahan, tertampak Cu Tan-sin melompat
turun dari kudanya dan sedang memberi tangan menyuruh mereka lari cepat. Lalu
ia pentang kipasnya mengadang di tengah jalan hendak menempur In Tiong-ho.
Tak terduga maksud tujuan In
Tiong-ho adalah ingin menawan Bok Wan-jing yang cantik itu. Sekonyongkonyong ia
membelok ke pinggir hingga Cu Tan-sin dilalui, lalu mengejar terlebih cepat ke
arah Toan Ki berdua.
Terus-menerus Bok Wan-jing
mencambuk kudanya agar berlari lebih cepat, mulut binatang itu sudah berbusa,
napasnya megap-megap, tapi masih tetap lari mati-matian.
"Wan-jing," ujar
Toan Ki dengan menyesal, "coba kalau kuda yang kita tunggangi ini adalah
si Mawar Hitam milikmu itu, jangan harap orang jahat itu mampu menyusul
kita."
"Tentu saja," sahut
Wan-jing.
Dan setelah kuda itu membelok
ke suatu bukit, tiba-tiba di depan tampak sebuah jalan lapang lurus, di samping
jalan juga tanah datar yang luas tanpa sesuatu tempat yang dapat dibuat
sembunyi, hanya di ujung barat jalan sana tampak tetumbuhan rindang menghijau
mengelilingi sebuah telaga kecil, di sisi telaga sana tampak menongol sebagian
dinding berwarna kuning.
Melihat itu, Toan Ki bersorak,
"Hura, lekas kita menuju ke sana!"
"Di sana adalah jalan
buntu, apa cari mampus menuju ke sana?" sahut Wan-jing.
"Turutlah kataku, tentu
kita akan selamat," ujar Toan Ki sambil bedal kudanya lebih cepat menuju
ke semak pohon yang rindang itu.
Sesudah dekat, ketika Bok
Wan-jing menegas, ia lihat dinding tembok yang kuning itu kiranya adalah sebuah
bangunan kuil, di atas papan kuil itu tertulis "Jing-hoa-koan", nyata
itulah sebuah To-koan atau kuil pemeluk agama To (Tao).
Hanya sepintas saja Wan-jing
memandang kuil itu, dalam hati ia sedang berpikir, "Si tolol ini ajak lari
ke sini, terang menghadapi jalan buntu, bagaimana baiknya sekarang? Ah, biarlah
kusembunyi dulu untuk menyerang In Tiong-ho itu dengan panahku."
Saat itu kuda mereka sudah
berlari sampai di depan kuil dan sedang Wan-jing hendak menoleh ke belakang,
sekonyong-konyong terdengar suara tertawa orang terbahak-bahak di belakang,
terang itulah In Tiong-ho adanya.
Tiba-tiba Bok Wan-jing merasa
kudanya berhenti serentak sambil menegak dan meringkik keras, hendak melangkah
maju setindak lagi juga tak bisa. Dalam keadaan hampir merosot dari pelana
kuda, cepat Wan-jing berpaling ke belakang, ia lihat kedua tangan In Tiong-ho
memegangi ekor kudanya, pantas binatang itu berjingkrak dan meringkik sebab
ekornya diganduli dari belakang.
Tenaga Kiong-hiong-kek-ok ini
sungguh mengejutkan, kuda yang lagi membedal dengan cepat begitu ekornya
ditarik lantas tak bisa berkutik sama sekali.
Segera terdengar juga Toan Ki
lagi berteriak-teriak, "Ibu, Ibu! Lekas kemari, lekas!"
Sungguh mendongkol sekali Bok
Wan-jing oleh gembar-gembor Toan Ki yang lucu seperti anak kecil itu, bentaknya
gusar, "Tutup mulut, tolol!"
In Tiong-ho menjadi geli juga,
ia terbahak-bahak dan mengejek, "Hahaha, biar kau panggil nenek moyangmu
juga percuma!"
Mendadak Bok Wan-jing ayun
tangan kanan ke belakang, sebatang panah terus menyambar ke tenggorokan In
Tiong-ho.
Tapi sedikit mengegos,
dapatlah Tiong-ho hindarkan serangan itu. Dari demi tampak Wan-jing hendak
melompat pergi dari pelana kudanya, cepat cakar baja di tangan kiri terus
mencengkeram pundak gadis itu.
Tapi Bok Wan-jing sangat
cerdik dan cekatan, sekonyong-konyong ia merosot ke bawah terus menyelusup ke
bawah perut kuda.
Dan selagi Tiong-ho melepaskan
ekor kuda yang diganduli tadi dengan maksud hendak melabrak si gadis lebih
jauh, ia menjadi tertegun ketika tiba-tiba dilihatnya dari dalam kuil itu
berjalan keluar seorang To-koh (imam wanita) setengah umur dan berparas cantik,
wajahnya tersenyum simpul, tangan kanan membawa sebuah kebut pertapaan.
Melihat To-koh itu, cepat Toan
Ki berlari mendekatinya. Segera To-koh itu merangkul bahu anak muda itu sambil
berkata dengan tertawa, "Kembali kau bikin onar lagi, ada apa
bergembar-gembor!"
Melihat To-koh secantik itu
sedemikian mesranya terhadap Toan Ki, bahkan tampak pemuda itu pun gunakan
tangan kanan memeluk pinggang si To-koh dengan kegirangan, seketika timbul rasa
cemburu Bok Wan-jing, tak terpikir olehnya bahwa musuh masih berada di situ, ia
terus menubruk maju, telapak tangan lantas membacok kepala si To-koh sambil
membentak, "Kau ... kau apanya?"
"Jangan kurang sopan,
Wan-jing!" cepat Toan Ki berseru.
Mendengar pemuda itu membela
si To-koh, rasa dongkol Wan-jing semakin berkobar, bacokannya tadi dilontarkan
lebih keras lagi.
Tapi dengan tenang To-koh itu
angkat kebutnya ke atas, sedikit berputar, tahu-tahu pergelangan tangan Bok
Wan-jing terlilit oleh benang kebutnya. Seketika Wan-jing merasa tenaga lilitan
kebut itu tidak kepalang kuatnya, tapi lunak pula, sedikit To-koh itu kebas
kebutnya, kontan Wan-jing terhuyung-huyung ke samping.
Dalam gugup dan kalapnya,
Wan-jing terus memaki, "Engkau adalah Cut-keh-lang (orang beragama),
kenapa sedemikian tidak tahu malu!"
Semula, ketika tiba-tiba
melihat muncul seorang To-koh yang cantik, diam-diam In Tiong-ho sangat girang,
pikirnya hari ini aku benar-benar lagi dirundung dewi amor, sekali tangkap dua
wanita cantik, biar nanti kugondol pulang semuanya.
Tapi kemudian demi menyaksikan
cara bagaimana To-koh itu mematahkan serangan Bok Wan-jing dengan mudah.
Sebagai seorang jago silat berpengalaman, hanya sejurus itu saja lantas
diketahuinya ilmu silat si Tokoh sangat hebat. Segera ia mencemplak ke atas
kuda Toan Ki tadi, tapi tidak lantas turun tangan.
Terdengar To-koh tadi sedang
berkata dengan gusar, "Kau sembarangan omong apa, nona cilik? Kau … kau
sendiri pernah apanya?"
"Aku ... aku istri
Toan-long!" demikian Wan-jing menjawab. "Lekas engkau melepaskan
dia!"
To-koh itu tercengang sejenak,
tiba-tiba air mukanya berubah senang berseri-seri, ia jewer kuping Toan Ki,
tanyanya dengan tertawa, "Apa betul perkataannya?"
"Dapat dikata betul,
boleh dibilang tidak betul pula," sahut Toan Ki.
To-koh itu cubit sekali pipi
pemuda itu sambil mengomel, "Huh, suruh kau belajar silat tidak mau, tapi
lebih suka meniru watak ayahmu yang bangor, ya? Hm, lihatlah kalau aku tidak
hajar kau."
Lalu ia berpaling
mengamat-amati Bok Wan-jing, kemudian katanya, "Ehm, nona ini juga sangat
cantik, cuma terlalu liar, perlu dididik dulu."
"Liar atau tidak peduli
apa?" semprot Wan-jing dengan gusar. "Jika engkau tidak lekas
lepaskan dia, jangan menyesal bila aku menyerang dengan panah."
"Jika kau suka, boleh kau
coba-coba," ujar si To-koh tertawa.
"Jangan, Wan-jing!"
demikian Toan Ki menyela. "Kau tahu tidak siapa beliau?"
Namun Bok Wan-jing sudah
kadung minum cuka (cemburu), ia tak tahan lagi, begitu ayun tangan,
"ser-ser", dua panah kecil terus menyambar ke arah si To-koh.
Melihat bidikan panah berbisa
gadis itu, wajah si To-koh yang tadinya berseri-seri itu seketika berubah
hebat. Sekali kebutnya mengebas, setiap benang perak dari kebut itu seakan-akan
bertenaga sembrani, kedua panah itu dibungkus oleh bulu kebut.
"Kau pernah apanya
'Siu-lo-to' Cin Ang-bian?" tiba-tiba To-koh itu membentak.
"Apa itu 'Siu-lo-to' Cin
Ang-bian segala? Aku tak pernah dengar!" sahut Wan-jing.
Melihat wajah si To-koh yang
pucat pasi saking marahnya, cepat Toan Ki menghiburnya, "Engkau jangan marah,
ibu!"
"Apa katamu, dia
ibumu?" jerit Wan-jing terkejut oleh ucapan Toan Ki itu. Sungguh ia tidak
percaya akan telinganya sendiri.
"Memang tadi aku sudah
memanggil ibu, masakah engkau tidak dengar?" sahut Toan Ki tertawa. Lalu
ia berpaling pada si To-koh dan berkata, "Mak, inilah nona Bok Wan-jing,
selama beberapa hari ini anak banyak menghadapi bahaya dan kepergok orang
jahat, tapi berkat pertolongan nona Bok ini, jiwa anak masih selamat sampai
sekarang."
Pada saat itulah tiba-tiba
dari sana terdengar seorang lagi berteriak-teriak, "Yau-toan-siancu,
Yau-toan-siancu! Engkau harus hati-hati, ini dia satu di antara Su-ok!"
Kiranya yang datang ini adalah
Cu Tan-sin yang ketinggalan di belakang tadi. Sesudah dekat dan melihat wajah
si To-koh rada aneh, ia sangka orang telah dicederai oleh In Tiong-ho, dengan
khawatir segera ia tanya, "Yau-toan-siancu, apa engkau … engkau sudah
bergebrak dengan dia?"
Tiba-tiba In Tiong-ho bergelak
tertawa, serunya, "Dimulai sekarang juga belum terlambat!"
Habis berkata, ia terus
berdiri di atas pelana kuda.
Dasar perawakan In Tiong-ho
sudah jangkung, berdiri lagi di atas kuda, keruan mirip tiang bendera menegak.
Sekonyong-konyong tubuhnya mendoyong ke depan, ia gantol pelana kuda dengan
kaki kanan, kedua cakar baja terus menggaruk ke arah si To-koh alias
Yau-toan-siancu.
Cepat Yau-toan-siancu mengisar
ke sisi kiri kuda, sekali kebutnya menyabat, segera kaki kiri In Tiong-ho
diincar.
Sama sekali In Tiong-ho tidak
menghindar, sebaliknya ia tetap ulur cakar baja sebelah kiri untuk mencengkeram
punggung si To-koh. Tapi cepat sekali To-koh itu mendak tubuh terus menerobos
lewat di bawah perut kuda, menyusul kebutnya mengebas, beribu benang perak yang
kemilauan terus menancap ke kaki kanan lawan.
Namun kaki kanan In Tiong-ho segera
melangkah maju, ia berdiri di atas kepala kuda dengan ringan, dari tempat yang
lebih tinggi itu kembali ia menyerang, cakar baja kanan terus menyerampang.
"Turun!" tiba-tiba
Cu Tan-sin membentak terus ikut terjun ke kalangan pertempuran. Mendadak ia pun
melompat ke atas pinggul kuda, dari situ ia memukul pinggang lawan dengan
kepalan kiri, sedangkan kipas di tangan kanan berbareng menutuk kaki.
Senjata yang dipakai Cu
Tan-sin sangat pendek dan sangat menguntungkan untuk bertempur dari jarak
dekat.
Cepat In Tiong-ho menangkis
dengan cakar sebelah kiri, berbareng cakar baja yang lebih panjang itu
mencengkeram ke depan. Namun dengan cepat Yau-toan-siancu sudah tarik kembali
kebutnya terus menyabat pula kaki lawan.
In Tiong-ho benar-benar sangat
lihai, biarpun dikeroyok dua ia masih dapat memainkan sepasang cakar bajanya
dengan kencang, sedikit pun tidak terdesak di bawah angin.
Melihat orang berdiri di atas
kuda, kedudukannya lebih menguntungkan. Segera Bok Wan-jing membidikkan
sebatang panah kecil hingga menancap di mata kiri kuda itu.
Racun panahnya itu sangat
lihai, begitu masuk mata, seketika binatang itu roboh binasa.
Pada saat itu juga kebut
Yau-toan-siancu dapat melilit sebelah cakar baja lawan, berbareng Cu Tan-sin
ikut menubruk maju dan menyerang tiga kali beruntun-runtun.
Karena kedua senjata terlilit
menjadi satu, Yau-toan-siancu dan In Tiong-ho saling betot sekuatnya. Meski
tenaga dalam In Tiong-ho lebih kuat dari lawannya, karena sebagian tenaganya
harus dipakai menangkis serangan kipas baja Cu Tan-sin, pula mesti berjaga-jaga
serangan panah beracun dari Bok Wan-jing, maka ia tak kuat lagi memegangi
senjatanya itu, cakar baja dan kebut pertapaan mencelat ke udara berbareng.
Namun sekali tangan kiri
Yau-toan-siancu terayun, tahu-tahu seutas selendang sutera yang melibat di
pinggangnya ditarik dan disabatkan pula.
"Huh, kawanan bangsat
negeri Tayli hanya pintar main keroyok saja!" damprat In Tiong-ho. Ia
insaf takkan bisa menang lagi, sekali entak kaki di atas pelana kuda, secepat
panah orangnya terus melesat ke sana, cakar
baja yang masih tertinggal itu
menggantol pagar tembok, orangnya terus mengapung ke atas dan sekali
berjumpalitan, menghilanglah dia keluar.
Pada waktu yang sama Bok
Wan-jing membidikkan pula sebatang panah, tapi tetap kalah cepat,
"plok", panah itu menancap di atas pagar tembok, sedang In Tiong-ho
sudah lenyap bayangannya.
Menyusul mana terdengarlah
suara gemerantang yang nyaring, kebut dan cakar baja jatuh ke tanah bersama.
Diam-diam Yau-toan-siancu saling pandang dengan Cu Tan-sin dan Bok Wan-jing,
mereka tercengang oleh kecepatan In Tiong-ho yang luar biasa itu.
Selang sejenak, barulah Cu
Tan-sin membuka suara, "Yau-toan-siancu, kalau engkau tidak turun tangan,
hari ini Tan-sin pasti tewas di tangan musuh."
Yau-toan-siancu tersenyum,
sahutnya, "Sudah belasan tahun tidak pakai senjata, sudah kaku rasanya.
Cuhiante, siapakah sebenarnya orang tadi?"
"Kabarnya Su-tay-ok-jin
(empat orang mahajahat) telah datang ke Tayli, orang tadi adalah nomor empat
dari Su-tay-ok-jin itu. Tapi ilmu silatnya sudah begini tinggi, maka tiga orang
yang lain tak usah ditanya lagi," demikian sahut Tan-sin. "Maka lebih
baik engkau menghindarinya sementara ke Onghu saja sampai nanti kalau keempat
durjana itu sudah dibereskan."
Wajah Yau-toan-siancu rada
berubah, sahutnya kurang senang, "Guna apa aku pulang ke Onghu (istana
pangeran)? Kalau Su-tay-ok-jin datang semua dan aku tak bisa melawannya,
biarlah aku terima nasib saja."
Cu Tan-sin ternyata sangat
menghormat pada padri wanita itu, ia tidak berani bicara lagi, sebaliknya
berulang kali mengedipi Toan Ki agar anak muda itu ikut membujuk.
Maka berkatalah Toan Ki,
"Mak, keempat durjana itu benar-benar terlalu jahat dan kejam, jika engkau
tidak mau pulang, marilah kita pergi ke tempat Pekhu (paman) saja!"
"Tidak, aku tidak
mau!" sahut Yau-toan-siancu sambil menggeleng, matanya lantas merah
seakan-akan meneteskan air mata.
"Kalau ibu tidak mau
pulang, biarlah aku menemanimu di sini," ujar Toan Ki. Lalu katanya pada
Cu Tan-sin, "Cu-toako, harap engkau suka laporkan pada Empek dan ayahku,
katakan bahwa kami ibu dan anak tetap
tinggal di sini untuk melawan
musuh."
Yau-toan-siancu tertawa,
katanya, "Tidak malu, kepandaian apa yang kau miliki, berani bilang akan
melawan musuh bersamaku?"
Walaupun ia tertawa geli
karena kelakuan Toan Ki itu, tidak urung air mata yang mengembeng di kelopak
mata itu menetes juga, lekas ia berpaling dan mengusap air mata dengan lengan
baju.
Diam-diam Bok Wan-jing heran,
"Kenapa ibu Toan-long seorang padri? Dan dengan perginya In Tiong-ho,
selekasnya akan datang pula bersama ketiga orang kawannya, lalu apa ibunya
sanggup melawannya? Tapi dia sudah bertekad tak mau menyingkir pergi. Ah,
tahulah aku! Memang laki-laki di dunia ini berhati palsu semua, pasti ayah
Toan-long punya kekasih baru lagi, hingga ibunya tirakat menyucikan diri."
Berpikir demikian, ia menjadi
solider pada Yau-toan-siancu, katanya segera, "Yau-toan-siancu, biar aku
membantumu melawan musuh."
Yau-toan-siancu mengamat-amati
paras Bok Wan-jing sejenak, mendadak ia tanya dengan suara bengis, "Kau
harus mengaku terus terang, sebenarnya 'Siu-lo-to' Cin Ang-bian itu pernah
apamu?"
Bok Wan-jing mendongkol juga
oleh sikap orang, sahutnya, "Bukankah sudah kukatakan bahwa selamanya aku
tidak pernah kenal nama itu. Apakah Cin Ang-bian itu laki-laki atau perempuan,
manusia atau setan, sama sekali aku tidak tahu."
Baru sekarang Yau-toan-siancu
mau percaya, sebab kalau gadis ini adalah sanak keturunan Siu-lo-to, tidak
mungkin berkata tentang "setan" segala. Maka sikapnya berubah ramah
kembali, katanya dengan tersenyum, "Nona jangan marah, soalnya karena tadi
aku melihat cara kau melepaskan panah sangat mirip seorang wanita yang kukenal,
parasmu juga rada mirip, maka timbul rasa curigaku. Nona Bok, siapakah nama
kedua orang tuamu? Ilmu silatmu sangat bagus, tentu juga keluaran perguruan
ternama!"
Bok Wan-jing menggeleng
kepala, sahutnya, "Sejak kecil aku sudah piatu, Suhu yang membesarkan aku.
Maka aku tidak tahu siapa ayah-bundaku."
"Jika begitu, siapakah
gerangan gurumu itu?" tanya Yau-toan-siancu lagi.
"Guruku bernama
'Bu-beng-khek'," sahut Wan-jing.
"Namanya
Bu-beng-khek?" Yau-toan-siancu mengulangi nama itu sambil termenung
sejenak, kemudian ia pandang Cu Tan-sin dengan maksud tanya apakah kenal akan
nama itu.
Tapi Cu Tan-sin menggeleng
kepala, katanya, "Tan-sin tinggal terpencil di daerah selatan, sempit
pengalamannya, maka banyak kaum kesatria gagah di Tionggoan tidak dikenalnya.
Cianpwe Bu-beng-khek itu tentunya seorang kosen yang mengasingkan diri di
pegunungan sunyi."
Tengah bicara, tiba-tiba di
luar sana ramai dengan suara derap lari kuda, dari jauh ada seorang sedang
berseru, "Site, Kongcuya baik-baik bukan?"
"Ya, Toako, Kongcuya
tidak kurang sesuatu apa!" sahut Tan-sin.
Hanya sebentar saja, empat
penunggang kuda sudah berhenti di depan Jing-hoa-koan, Bu-sian-tio-to,
Jay-sinkhek dan Tiam-jong-san-long bertiga tampak masuk, terus menyembah kepada
Yau-toan-siancu.
Sejak kecil Bok Wan-jing
dibesarkan di pegunungan sunyi, ia menjadi heran melihat tata krama yang kolot
itu, pikirnya, "Orang-orang ini sangat hebat ilmu silatnya, mengapa melihat
seorang wanita lantas menyembah semua?"
Keadaan ketiga orang itu
kelihatan rada runyam, muka Tiam-jong-san-long, si petani dari pegunungan
Tiamjong, tampak terluka pula hingga perlu dibalut, Jay-sin-khek, si tukang
kayu, badannya juga berlepotan darah, sedang alat pancing Bu-sian-tio-to, si
tukang pancing dari danau Bu-sian, sudah terkutung sebagian.
Maka cepat Yau-toan-siancu
tanya, "Bagaimana, apa musuh terlalu hebat? Parah tidak luka Su-kui?"
Tang Su-kui adalah nama
Tiam-jong-san-long, si petani.
Mendengar pertanyaan itu,
matanya seakan-akan berapi saking penasaran, sahutnya keras-keras, "Su-kui
percuma belajar, sungguh memalukan hingga Onghui ikut berkhawatir."
"Kau sebut aku Onghui apa
segala?" omel Yau-toan-siancu dengan perlahan. "Masa ingatanmu begitu
jelek, ya?"
Seketika Tang Su-kui menunduk,
sahutnya, "Ya, harap Onghui memaafkan!"
Walaupun mengaku salah, tapi
mulutnya tetap menyebut "Onghui" atau nyonya pangeran. Rupanya
panggilan itu sudah terlalu biasa diucapkan hingga sukar berubah.
"Di manakah Ko-houya?
Kenapa tidak ikut datang?" demikian tanya Tan-sin.
"Houya berada di luar, ia
terluka sedikit, tidak leluasa untuk turun dari kudanya," sahut
Bu-sian-tio-to, si nelayan, yang bernama Leng Jian-li.
"Ah, jadi Houya juga
terluka? Apa ... apa parah?" seru Yau-toan-siancu terkejut.
"Ko-houya tadi mengadu
tenaga dalam dengan keadaan tak terpisahkan, sekonyong-konyong Yap Ji-nio
menyerangnya dari belakang hingga punggungnya digaplok sekali," tutur Leng
Jian-li.
Setelah ragu-ragu sejenak,
mendadak Yau-toan-siancu menarik Toan Ki dan berkata, "Marilah, anak Ki,
kita keluar menjenguk Ko-sioksiok."
Segera mereka mendahului
keluar diikuti empat tokoh "Hi-jiau-keng-dok" atau si nelayan, si
tukang kayu, si petani dan si pelajar. Begitu pula Bok Wan-jing ikut keluar.
Jilid 09
Benar juga, segera tampak
Sian-tan-hou Ko Sing-thay tengkurap di atas kudanya, baju di bagian punggung
tampak robek dan jelas kelihatan bekas telapak tangan. Cepat Toan Ki memburu
maju dan tanya, "Ko-sioksiok, bagaimana keadaanmu?"
Waktu Ko Sing-thay mendongak
dan tampak Yau-toan-siancu berdiri di depan pintu, cepat ia meronta turun dari
kuda untuk memberi hormat.
"Ko-houya, engkau
terluka, tidak perlu banyak adat lagi," kata Yau-toan-siancu.
Namun Ko Sing-thay sudah
menyembah dari jauh dan berkata, "Sing-thay menyampaikan salam bakti
kepada Onghui!"
"Anak Ki, lekas bangunkan
Ko-sioksiok!" seru Siancu segera.
Diam-diam Bok Wan-jing
bertambah curiga, pikirnya, "Ilmu silat orang she Ko ini sangat lihai,
dengan serulingnya yang pendek itu, hanya dalam beberapa gebrak saja sudah
mengalahkan Yap Ji-nio, tentu ia sangat terkemuka di dunia persilatan, tapi
kenapa melihat ibu Toan-long, ia lantas begitu menghormat dan menyebutnya
'Onghui'? Apa mungkin Toan-long adalah ... adalah Ongcu (pangeran) segala?
Tapi, ah, seorang pelajar ketolol-tololan seperti dia masa mirip seorang
Ongcu?"
Dalam pada itu terdengar
Yau-toan-siancu lagi berkata, "Jika Ko-houya terluka, silakan segera
pulang Tayli untuk merawat dirimu."
Ko Sing-thay mengiakan sambil
berbangkit. Tapi segera katanya pula, "Su-tay-ok-jin telah datang ke
Tayli, keadaan sangat berbahaya, harap Onghui suka pulang istana untuk
menghindarinya sementara."
Yau-toan-siancu menghela
napas, sahutnya, "Selama hidupku ini takkan pulang ke sana lagi."
"Jika begitu, biarlah
kami tinggal dan menjaga di luar Jing-hoa-koan ini," ujar Sing-thay. Lalu
ia berpaling pada Tang Su-kui dan berkata, "Su-kui, pulanglah dan lekas
laporkan kepada Hongsiang dan Ongya."
Su-kui mengiakan terus
mencemplak ke atas kudanya. Meski lukanya tidak ringan, tapi gerak-geriknya
masih sangat cekatan.
"Nanti dulu!"
tiba-tiba Yau-toan-siancu mencegah. Ia menunduk dan berpikir. Sorot mata semua
orang terpusat padanya, tapi dari air muka Siancu yang berubah-ubah itu, terang
dia lagi menghadapi pertentangan batin yang serbasulit.
Selang agak lama, mendadak ia
menengadah dan berkata, "Baiklah, marilah kita pulang ke Tayli semua,
tidaklah patut kalau melulu lantaran diriku mesti bikin susah semua orang
tinggal di sini."
Keruan Toan Ki berjingkrak
saking girang, terus saja ia peluk sang ibu dan berkata, "Beginilah ibuku
yang baik!"
"Biar kupergi memberi
kabar dulu!" seru Su-kui terus melarikan kudanya.
Dalam pada itu Leng Jian-li
sudah membawakan kuda untuk Yau-toan-siancu, Toan Ki dan Bok Wan-jing.
Begitulah beramai-ramai mereka
lantas berangkat ke Tayli. Yau-toan-siancu, Toan Ki, Bok Wan-jing dan Ko
Sing-thay berempat menunggang kuda, sedang Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li,
Jay-sin-khek Siau Tiok-sing dan Pit-bak-seng Cu Tan-sin berjalan kaki.
Tidak jauh, dari depan tampak
datang seregu pasukan berkuda negeri Tayli, Leng Jian-li memberi tanda kepada
komandan pasukan itu serta berkata beberapa patah padanya. Segera komandan
pasukan itu memberi perintah, semua prajurit melompat turun dari kudanya serta
menyembah di tanah.
Toan Ki memberi tanda dan
berkata, "Silakan berdiri, tak perlu banyak adat!"
Segera komandan pasukan itu
membawakan tiga ekor kuda lain untuk Leng Jian-li bertiga. Lalu ia pimpin
pasukannya mendahului di depan.
Melihat suasana yang luar
biasa itu, Bok Wan-jing menduga Toan Ki pasti bukan orang biasa, tiba-tiba ia
menjadi khawatir, "Semula kusangka dia hanya seorang pelajar miskin,
makanya aku pasrahkan diriku padanya. Tapi melihat gelagatnya sekarang, kalau
bukan sanak keluarga kerajaan, tentu dia pembesar negeri, bukan mustahil aku akan
dipandang hina olehnya. Suhu pernah berkata bahwa laki-laki itu semakin kaya
dan berpangkat, semakin tidak punya Liangsim (perasaan), cari istri juga minta
yang sederajat. Hm, syukurlah bila
dia tetap memperistrikan aku
dengan baik, kalau tidak, bila ragu dan macam-macam, huh, lihat saja kalau
tidak kubacok kepalanya, peduli apakah dia anggota keluarga raja atau pembesar
negeri!"
Karena berpikir begitu, ia tak
tahan perasaannya lagi, segera ia larikan kudanya menjajari Toan Ki dan tanya,
"He, sebenarnya siapakah kau? Apa yang kita putuskan di atas gunung itu
masih tetap berlaku tidak?"
Melihat di depan umum si gadis
terang-terangan menegur padanya tentang urusan perjodohan, keruan Toan Ki
menjadi kikuk, sahutnya dengan tersenyum, "Setiba di kota Tayli, tentu akan
kujelaskan padamu."
"Awas kalau kau ingkar
janji ... aku ...." berkata sampai di sini, suaranya menjadi tersendat dan
tak sanggup diteruskan lagi.
Melihat wajah si gadis
kemerah-merahan menahan isak tangis, air matanya mengembeng berkilau-kilau hingga
makin menambah cantiknya, rasa cinta Toan Ki menjadi berkobar, katanya dengan
lirih, "Wan-jing, janganlah khawatir, lihatlah, ibuku juga sangat suka
padamu."
Seketika dari menangis Bok
Wan-jing berubah tertawa, sahutnya perlahan, "Ibumu suka atau tidak
padaku, aku tidak urus!"
Di balik kata-katanya ini
seakan-akan menyatakan, "asal saja kau suka padaku, sudahlah cukup."
Tentu saja perasaan Toan Ki
terguncang, waktu ia berpaling ke arah ibunya, ia lihat Yau-toan-siancu lagi
memandang kepada mereka dengan paras yang tertawa tidak tertawa. Keruan muka
Toan Ki merah jengah.
Menjelang petang, kira-kira
masih 30 li di luar kota Tayli, tiba-tiba kelihatan debu mengepul tinggi di
depan sana, sepasukan tentara yang berjumlah beberapa ratus orang mendatangi
dengan cepat. Dua buah panji kuning jingga tampak berkibar, yang sebuah
tertulis dua huruf sulam "Tin-lam" dan yang lain "Po-kok"
(menduduki selatan dan membela negara).
Segera Toan Ki berseru,
"Mak, ayah sendiri datang memapak engkau!"
Yau-toan-siancu hanya
mendengus saja dan menghentikan kudanya.
Ko Sing-thay dan lain-lain
lantas turun dari kuda dan berdiri di pinggir jalan. Sedang Toan Ki segera
bedal
kudanya ke depan. Bok Wan-jing
ragu-ragu sejenak, tapi cepat ia pun larikan kudanya menyusul ke sana.
Tidak lama, pasukan itu sudah
dekat, segera Toan Ki berseru, "Tiatia (ayah), ibu sudah pulang!"
Maka tertampaklah dari tengah
pasukan itu muncul seorang berjubah kuning menunggang seekor kuda putih yang
tinggi besar, begitu datang terus membentak, "Anak Ki, gara-garamu
sehingga Ko-sioksiok ikut terluka parah, lihatlah nanti kalau tidak kuhajar
patah kedua kakimu!"
Bok Wan-jing menjadi khawatir,
pikirnya, "Hm, kedua kaki Toan-long hendak kau patahkan? Tidak bisa, pasti
akan kurintangi, biarpun engkau adalah ayahnya!"
Ia lihat orang yang berjubah
kuning ini bermuka lebar, sikapnya sangat gagah dan kereng, alis tebal, mata
besar, berwibawa sebangsa raja atau pangeran. Meski ucapannya tadi
kedengarannya bengis, tapi melihat sang putra telah pulang dengan selamat, air
mukanya lebih banyak girangnya daripada gusarnya.
Diam-diam Wan-jing membatin,
"Untung paras Toan-long lebih banyak mirip ibunya, kalau macammu yang garang
bengis begini, tentu aku takkan suka."
Ia lihat Toan Ki sudah memapak
maju sambil berkata dengan tertawa, "Ayah, engkau baik-baik saja
bukan?"
"Baik, hitung-hitung
tidak mati gusar oleh perbuatanmu!" sahut orang berjubah kuning itu dengan
marah.
"Tapi kalau anak tidak
keluar rumah, ibu tentu juga takkan pulang. Jasa anak ini rasanya bolehlah
mengimbangi kesalahannya, harap ayah jangan gusar lagi," demikian kata
Toan Ki dengan tertawa.
"Seumpama aku tidak
menghajarmu, Empek (paman) pasti juga tidak mau mengampunimu," ujar si
jubah kuning. Dan sekali ia kempit kudanya, secepat terbang kuda putih itu
lantas mencongklang ke arah Yau-toansiancu.
Melihat prajurit pasukan itu
semua berbaju perang yang mengilat dengan senjata lengkap, 20 orang di baris depan
membawa panji dan papan yang bercat emas bentuk naga dan harimau, di atas salah
sebuah papan merah itu tertulis tanda pangkat ayah Toan Ki sebagai
Po-kok-tay-ciang-kun atau panglima besar pembela negara, papan lain bertulis
gelar kebangsawanannya sebagai Tin-lam-ong she Toan dari negeri Tayli.
Meski biasanya Bok Wan-jing
tidak takut langit dan tak gentar bumi, tapi menyaksikan perbawa barisan yang
angker itu, mau tak mau ia prihatin juga. Tiba-tiba tanyanya pada Toan Ki,
"He, apakah Tin-lam-ong, Po-koktay-ciang-kun ini adalah ayahmu?"
Toan Ki mengangguk, sahutnya
lirih, "Dan juga ayah mertuamu."
Sesaat Bok Wan-jing menjadi
termangu, di sekitar jalan besar itu penuh dengan orang, tapi ia merasa hampa
tak terkatakan, ia menjadi lega setelah berdampingan dengan Toan Ki.
Sementara itu Tin-lam-ong
tampak sudah berhadapan dengan Yau-toan-siancu, kedua orang saling pandang kian
kemari, tapi tiada satu pun yang mulai bicara.
"Mak, ayah sendiri datang
menyambutmu," seru Toan Ki.
"Kau pergi dan katakan
pada Pekbo (bibi) bahwa aku akan tinggal beberapa hari di tempatnya, sesudah
menghalau musuh, segera kukembali ke Jing-hoa-koan," demikian kata
Yau-toan-siancu.
Maka dengan tertawa,
Tin-lam-ong berkata, "Hujin, apakah engkau masih marah padaku? Marilah
pulang dulu, nanti akan kuminta maaf padamu."
Yau-toan-siancu menarik muka,
sahutnya, "Tidak, aku tidak pulang, aku akan ke istana."
"Bagus," seru Toan
Ki tertawa, "kita ke istana dulu untuk menjumpai paman dan bibi. Mak, anak
telah keluyuran keluar tanpa permisi, paman tentu akan marah, ayah jelas tidak
mau membelaku, mohon ibu suka mintakan ampun pada paman."
"Tidak, semakin besar
semakin bandel kau, biar paman memberi hajaran setimpal padamu," sahut
Yau-toansiancu.
"Tapi kalau anak dihajar,
yang merasa sakit tentu ibu, maka lebih baik jangan sampai dihajar," kata
Toan Ki dengan manja.
Yau-toan-siancu tertawa,
katanya lagi, "Tidak, semakin keras kau dihajar, semakin senang aku."
Begitulah, suasana pertemuan
kembali Tin-lam-ong dengan sang istri itu sebenarnya serbakikuk, tapi karena
banyolan Toan Ki itu, perasaan suami istri itu seketika terasa bahagia.
"Ayah," tiba-tiba
Toan Ki berseru pula, "kudamu lebih bagus, kenapa tidak bertukar kuda
dengan ibu?"
"Tidak," kata
Yau-toan-siancu terus larikan kudanya ke depan.
Segera Toan Ki memburunya dan
menahan kuda sang ibu. Sementara itu Tin-lam-ong sudah turun dari kudanya serta
menyusul.
Dengan tertawa Toan Ki terus
pondong sang ibu ke atas kuda putih ayahnya dan berkata, "Mak, wanita
secantik engkau menjadi lebih ayu bila menunggang kuda putih ini."
"Nonamu she Bok itu
barulah benar-benar cantik tiada bandingannya, kau sengaja menertawai ibumu
yang sudah nenek-nenek ini ya?" sahut Siancu tertawa.
Baru sekarang Tin-lam-ong
berpaling ke arah Bok Wan-jing, tanyanya pada Toan Ki, "Anak Ki, siapakah
nona ini?"
"Ia adalah ... nona Bok,
ia adalah ... adalah kawan baik anak," sahut Toan Ki gelagapan.
Melihat sikap putranya itu,
segera Tin-lam-ong tahu apa artinya. Ia lihat Bok Wan-jing cantik molek, putih
halus, diam-diam ia memuji kepandaian putranya yang pintar pilih pasangan.
Tapi demi tampak sifat liar
Bok Wan-jing, sama sekali tidak memberi hormat atau menyapa, diam-diam pikirnya
dalam hati, "Kiranya dia seorang gadis desa yang tidak kenal
peradaban."
Ia khawatir keadaan luka Ko
Sing-thay, segera ia mendekatinya dan memeriksa urat nadinya.
"Hanya terluka sedikit,
tidak apa-apa, jangan engkau buang tenaga ...." demikian kata Ko Sing-thay.
Namun Tin-lam-ong sudah lantas
ulur jari telunjuk kanan dan menutuk tiga kali di punggung dan tengkuknya,
berbareng telapak tangan kiri menahan pinggangnya.
Lambat laun tampak asap putih
mengepul dari ubun-ubun Tin-lam-ong, selang sejenak lagi barulah melepaskan
tangan kirinya.
"Kakak Sun, kita bakal
menghadapi musuh tangguh, buat apa engkau membuang tenaga dalammu?" ujar
Ko Sing-thay.
"Lukamu tidak enteng, lebih
cepat disembuhkan lebih baik, kalau terlihat Toako, tanpa diminta tentu dia
akan turun tangan sendiri," sahut Tin-lam-ong alias Toan Cing-sun.
Melihat wajah Ko Sing-thay
yang tadinya sepucat mayat itu, hanya dalam sekejap saja sudah bersemu merah, lukanya
sudah disembuhkan, diam-diam Bok Wan-jing terkejut, "Kiranya ayah
Toan-long memiliki Lwekang mahatinggi, tapi ken ... kenapa ia sendiri tak bisa
ilmu silat?"
Sementara itu Leng Jian-li
sudah membawakan seekor kuda lain untuk Tin-lam-ong dan meladeni pangeran itu
naik ke atas kuda. Tin-lam-ong larikan kudanya berjajar dengan Ko Sing-thay dan
mengajaknya bicara tentang kekuatan musuh.
Toan Ki juga pasang omong
dengan senangnya dengan sang ibu, berbondong-bondong pasukan tentara kerajaan
Tayli itu berangkat kembali, hanya Bok Wan-jing yang merasa kesepian karena
tiada yang mengajak bicara.
Petangnya rombongan sudah
memasuki kota Tayli, di mana panji bertuliskan "Tin-lam" dan
"Po-kok" tiba, di situ rakyat jelata bersorak-sorai memuji kebesaran
panglimanya.
Tin-lam-ong balas memberi
tangan kepada rakyat yang mengelu-elukannya itu, tampaknya ia sangat dicintai
oleh rakyat.
Bok Wan-jing melihat kota
Tayli sangat ramai, gedung berdiri di sana-sini dengan megah, jalan raya yang
berlapiskan batu hijau besar rata penuh berjubel orang yang berlalu-lalang.
Setelah melalui sebuah jalan
kota, kemudian tampak di depan membentang sebuah jalan batu yang lebar, di
ujung jalan itu tampak berdiri beberapa istana berwarna kuning indah dengan
kaca yang kemilauan tersorot
oleh cahaya matahari waktu
senja.
Rombongan sampai di depan
sebuah gapura, semuanya lantas turun dari kuda. Bok Wan-jing melihat di atas
papan gapura itu tertulis empat huruf "Cip-to-kiong-cu," artinya
jalan menuju istana bijaksana.
Bok Wan-jing pikir,
"Tentu inilah istana raja Tayli. Paman Toan-long tinggal di dalam istana,
agaknya kedudukannya sangat tinggi, kalau bukan pangeran, tentu sebangsa
panglima besar dan sebagainya."
Setelah lewat gapura itu,
sampailah di depan istana raja "Seng-cu-kiong." Tiba-tiba seorang
Thaykam (dayang kebiri) berlari keluar dengan cepat, katanya sambil menyembah,
"Lapor Ongya, Hongsiang dan Nionio (baginda raja dan permaisuri) sedang
menunggu di Onghu, silakan Ongya dan Onghui pulang ke Tin-lamonghu untuk
menghadap Hongsiang!"
Tin-lam-ong mengiakan dengan
girang. Begitu pula Toan Ki lantas berseru, "Aha, bagus, bagus!"
"Apanya yang bagus?"
omel Onghui dengan melototi sang putra, "kutunggu Nionio di dalam istana
sini."
"Tapi Nionio pesan agar
Onghui diharuskan menghadapnya sekarang juga, beliau ingin berunding sesuatu
yang penting dengan Onghui," demikian Thaykam itu menutur.
"Ada urusan penting apa?
Huh, tipu muslihat belaka!" Yau-toan-siancu menggerundel perlahan.
Toan Ki tahu itulah rencana
yang sengaja diatur oleh Honghou (permaisuri), sebab diduganya ibu tentu tak
mau pulang ke istana pangeran, maka sengaja menunggu di Tin-lam-onghu untuk
mempertemukan kembali ayahbundanya di sana. Maka ia pun tidak mau banyak bicara
lagi, cepat ia bawakan kuda untuk sang ibu dan menaikkannya ke atas kuda.
Rombongan segera putar balik
ke istana pangeran. Di sana suasana tampak sangat khidmat, pasukan pengawal
berdiri dengan rajin memberi hormat atas pulangnya Tin-lam-ong dan permaisuri.
Tin-lam-ong mendahului masuk
ke pintu istana, tapi Yau-toan-siancu masih ogah-ogahan, begitu naik ke atas
undak-undakan, segera matanya basah. Namun dengan setengah mendorong dan
setengah menyeret Toan Ki dapat mengajak sang ibu ke dalam istana, katanya,
"Ayah, anak telah mengajak ibu pulang ke rumah, jasa anak sebesar ini,
hadiah apa yang akan ayah berikan padaku?"
Saking senangnya, Tin-lam-ong
menyahut, "Boleh kau tanya ibumu, ibu bilang hadiah apa, segera
kuberikan."
"Kubilang paling tepat
beri hadiah gebukan," kata Yau-toan-siancu dengan tertawa.
Toan Ki melelet lidah dan tak
berani bicara lagi.
Setelah ikut masuk ke ruangan
pendopo, Ko Sing-thay dan lain-lain tidak ikut masuk lebih jauh. Kata Toan Ki
kepada Wan-jing, "Bok ... Bok-kohnio, silakan menunggu sebentar di sini,
setelah kuhadap Hongsiang, segera kudatang lagi."
Terpaksa Wan-jing mengangguk,
walaupun dalam hati sangat berat ditinggal pemuda itu. Tanpa peduli lagi ia
terus duduk di atas kursi pertama yang tersedia di situ. Sebaliknya Ko
Sing-thay dan lain-lain tetap berdiri, setelah Tin-lam-ong bertiga masuk ke
ruangan dalam, barulah Ko Sing-thay ambil tempat duduk, yang lain-lain tetap
berdiri dengan tangan lurus tegak.
Bok Wan-jing tidak ambil
pusing terhadap mereka, ia lihat di dalam pendopo penuh terhias pigura lukisan
dan seni tulis, begitu banyak hingga dia bingung melihatnya, apalagi memang
banyak juga huruf yang tak dikenalnya. Maklum gadis gunung yang tak banyak
"makan" sekolah.
Tidak lama, seorang dayang
membawakan teh, dengan berlutut dayang itu angkat nampan tinggi-tinggi
menyuguhkan minuman itu kepada Bok Wan-jing dan Ko Sing-thay.
Diam-diam si gadis menjadi
heran mengapa hanya dirinya dan Ko Sing-thay yang mendapat minum, sedang Cu
Tan-sin dan lain-lain tidak. Padahal jago itu ketika menghadapi musuh di puncak
gunung, perbawanya tak terkatakan kerengnya. Tapi berada di dalam
Tin-lam-onghu, mereka menjadi begitu prihatin, sampai bernapas pun tak berani
keras-keras.
Sesudah lama menunggu,
ternyata Toan Ki belum juga keluar. Wan-jing menjadi tak sabar, teriaknya tak
peduli, "Toan Ki, Toan Ki, kerja apa kau di dalam, lekas keluar!"
Ruangan itu hening sunyi,
bahkan setiap orang berdiam dengan menahan napas, tapi mendadak Bok Wan-jing
menggembor, keruan mereka kaget. Tapi segera mereka merasa geli juga. Kata Ko
Sing-thay, "Harap nona Bok suka sabar, sebentar Siauongya akan
keluar."
"Siauongya apa
katamu?" tanya Wan-jing.
"Toan-kongcu adalah putra
Tin-lam-ong, bukankah Siauongya (putra pangeran) namanya?" sahut
Sing-thay.
Bok Wan-jing menjadi heran,
gumamnya, "Siauongya? Huh, pelajar ketolol-tololan begitu masakah mirip
seorang Ongya segala?"
Sejenak kemudian, dari dalam
keluarlah seorang Thaykam dan berseru, "Titah baginda, Sian-tan-hou dan
Bok Wan-jing diperintahkan masuk menghadap!"
Waktu melihat keluarnya
Thaykam itu, Ko Sing-thay sudah lantas berdiri dengan sikap hormat. Tapi Bok
Wanjing sama sekali tak peduli, ia tetap duduk di tempatnya dengan enaknya.
Dan demi mendengar namanya
disebut begitu saja, ia menjadi kurang senang, omelnya perlahan, "Masakan
menyebut nona juga tidak, apakah namaku boleh sembarangan kau panggil?"
Ko Sing-thay tersenyum,
katanya segera, "Marilah nona Bok, kita masuk menghadap Hongsiang."
Biarpun Bok Wan-jing tidak
pernah gentar terhadap siapa dan apa pun, tapi mendengar akan menghadap raja,
tanpa terasa ia jadi merinding. Terpaksa ia ikut di belakang Ko Sing-thay,
setelah menyusur serambi panjang dan menerobos beberapa ruangan lagi, akhirnya
sampailah di sebuah ruangan besar yang indah.
Segera Thaykam tadi berseru
sembari menyingkap kerai, "Sian-tan-hou dan Bok Wan-jing datang menghadap
Hongsiang dan Nionio."
Ko Sing-thay mengedipi Bok
Wan-jing agar mengikuti caranya, lalu ia mendahului masuk ke ruangan dan
berlutut ke hadapan seorang laki-laki dan seorang wanita agung yang berduduk di
tengah.
Sebaliknya Wan-jing tidak ikut
berlutut, bahkan ia mengamat-amati laki-laki yang berjubah sulam kuning dan
berjenggot panjang itu, lalu tanya, "Apakah engkau ini Hongte
(kaisar)?"
Memang laki-laki yang duduk di
tengah dengan agungnya itu adalah Toan Cing-beng, raja Tayli sekarang yang arif
bijaksana dengan gelar Po-ting-te.
Tay-li-kok atau negeri Tayli
itu berdiri sejak zaman Ngotay, sudah bersejarah lebih 150 tahun. Po-ting-te
sudah belasan tahun naik takhta, tatkala itu seluruh negeri aman sentosa,
rakyat hidup sejahtera, negara makmur, rakyat subur.
Melihat Bok Wan-jing tidak
berlutut, sebaliknya tanya apakah dirinya kaisar atau bukan, Po-ting-te menjadi
geli malah, sahutnya, "Ya, akulah kaisar. Bagaimana, senang tidak pesiar
di kota Tayli ini?"
"Begitu masuk kota aku
lantas datang kemari, belum ada waktu untuk pesiar," sahut si nona.
"Biarlah besok anak Ki
mengajakmu pesiar menikmati keindahan kota Tayli ini," ujar Po-ting-te
dengan tersenyum.
"Baiklah," kata
Wan-jing. "Dan engkau juga akan mengiringi kami?"
Mendengar itu, semua orang
ikut tertawa geli. Namun Po-ting-te menoleh kepada permaisurinya dan tanya,
"Honghou, anak dara ini minta kita mengiringi dia, bagaimana
pendapatmu?"
Belum lagi permaisuri itu
menjawab, Bok Wan-jing sudah lantas buka suara pula, "Apakah engkau
Honghounionio? Sungguh cantik sekali!"
Po-ting-te terbahak-bahak,
serunya, "Anak Ki, nona Bok ini memang polos dan kekanak-kanakan, sungguh
menarik."
"Kenapa kau panggil dia
anak Ki?" tiba-tiba Wan-jing tanya lagi. "Empek (paman) yang sering
dia sebut itu apakah engkau adanya? Kali ini dia berkeluyuran keluar, dia takut
dimarahi olehmu. Harap jangan kau hajar dia, ya?"
"Sebenarnya aku akan
persen dia 50 kali rangketan," sahut Po-ting-te dengan tertawa. "Tapi
engkau mintakan ampun baginya, baiklah kuampuni dia. Nah, anak Ki, lekas kau
berterima kasih kepada nona Bok?"
Melihat Bok Wan-jing membikin
hati sri baginda sangat senang, Toan Ki ikut bergirang juga, ia cukup kenal
watak sang paman yang suka turuti permintaan orang, maka cepat ia berkata
kepada Wan-jing, "Terima kasih atas kebaikanmu, nona Bok."
Si gadis membalas hormat serta
menyahut dengan perlahan, "Tak perlu berterima kasih, asal kau tak dihajar
pamanmu aku sudah merasa lega."
Lalu ia berkata pula kepada
Po-ting-te, "Semula kusangka seorang kaisar tentu sangat bengis
menakutkan, siapa tahu engkau ... engkau sangat baik!"
Sebagai kaisar, umumnya orang
hanya disegani dan dihormati, tapi belum pernah ada orang memujinya
"engkau sangat baik", keruan Po-ting-te sangat senang, terutama lihat
sifat si gadis yang polos kekanakkanakan itu, maka katanya pada permaisurinya,
"Honghou, barang apa yang akan kau hadiahkan padanya?"
Segera Honghou tanggalkan
sebuah gelang kemala dari pergelangan tangannya dan disodorkan pada Bok Wanjing
dan berkata, "Nih, kuhadiahkan padamu!"
Wan-jing tidak menolak, ia
terima hadiah itu dan dipakai di tangan sendiri, katanya kemudian dengan
tertawa, "Terima kasih, ya! Lain kali aku pun akan mencari sesuatu barang
bagus untuk dipersembahkan padamu."
Honghou tersenyum dan belum
lagi menjawab, sekonyong-konyong di luar rumah sana, terdengar atap rumah
berbunyi keresek sekali. Segera Honghou berpaling pada Po-ting-te dan berkata,
"Itu dia, ada orang mengantar hadiah untukmu!"
Belum selesai ucapannya,
kembali suara keresek berbunyi pula di atas rumah sebelah.
Bok Wan-jing terperanjat, ia
tahu musuh yang datang itu berilmu Ginkang yang mahatinggi, entengnya laksana
daun jatuh, bahkan cepat luar biasa.
Dalam pada itu segera
terdengar juga beberapa orang telah melompat ke atas rumah, menyusul terdengar
suara Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li lagi menegur, "Siapakah tuan ini, ada
urusan apa malam-malam mengunjungi Onghu?"
"Aku ingin mencari
muridku! Di mana muridku sayang itu? Lekas suruh dia keluar!" demikian
jawab seorang yang mengerikan mirip logam digesek. Itulah dia suara
Lam-hay-gok-sin.
Diam-diam Bok Wan-jing
berkhawatir, meski ia pun tahu penjagaan di luar istana itu sangat keras dan
kuat,
Tin-lam-ong sendiri dan
Yau-toan-siancu serta tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok sangat tinggi ilmu silatnya,
tapi Lam-hay-gok-sin itu memang teramat lihai, pula dibantu Yap Ji-nio dan In
Tiong-ho, belum lagi "orang jahat nomor satu di dunia" yang belum
muncul itu, jika mereka bersatu untuk merampas Toan Ki, mungkin tidak mudah
untuk melawannya.
Sementara itu Leng Jian-li
lagi tanya, "Siapakah muridmu? Di dalam Tin-lam-onghu dari mana ada
seorang muridmu?"
Sekonyong-konyong terdengar
"brak" sekali, tahu-tahu dari udara menyelonong turun sebuah tangan
besar hingga kerai di depan pintu tersingkap semua, menyusul bayangan orang
berkelebat, Lam-hay-gok-sin sudah berdiri di tengah ruangan dengan matanya yang
mirip kedelai itu lagi mengamat-amati setiap orang yang hadir di situ.
Ketika melihat Toan Ki, segera
ia terbahak-bahak, "Haha, memang benar apa yang dikatakan Losi, muridku
sayang ternyata berada di sini, marilah lekas ikut pergi bersamaku untuk
belajar."
Sembari berkata, tangannya
yang mirip cakar itu terus mencengkeram badan pemuda itu.
Mendengar sambaran angin
cengkeraman Lam-hay-gok-sin itu sangat keras, Tin-lam-ong menjadi khawatir sang
putra bisa dilukai. Tanpa pikir ia memapak dengan sebelah telapak tangannya
hingga kedua tangan saling beradu dan sama-sama merasakan getaran tenaga dalam
masing-masing.
Diam-diam Lam-hay-gok-sin
terperanjat, tanyanya, "Siapakah kau? Aku hendak mengambil muridku, peduli
apa denganmu?"
"Cayhe Toan
Cing-sun," sahut Tin-lam-ong. "Pemuda ini putraku, bilakah dia
mengangkat guru padamu?"
"Dia yang paksa
menerimaku sebagai murid," demikian Toan Ki menyela dengan tertawa.
"Sudah kukatakan padanya bahwa aku sudah punya guru, tapi ia tidak
percaya."
Lam-hay-gok-sin memandang Toan
Ki, lalu perhatikan Tin-lam-ong Toan Cing-sun pula, kemudian berkata,
"Yang tua ilmu silatnya sangat hebat, tapi yang muda sedikit pun tidak
becus, aku tidak percaya kalian adalah ayah dan anak. Toan Cing-sun, sekalipun
dia benar anakmu, namun cara mengajar ilmu silatmu tidak tepat, anakmu ini
terlalu goblok. Sayang, hehe, sungguh sayang."
"Apanya yang
sayang?" tanya Toan Cing-sun.
"Bangun tubuh putramu ini
lebih mirip diriku, boleh dikatakan adalah bahan belajar silat yang sukar
dicari di dunia ini, asal dia belajar 10 tahun padaku, tanggung dia akan jadi
seorang jago muda kelas satu di Bu-lim," sahut Gok-sin.
Sungguh geli dan mendongkol
Toan Cing-sun. Tapi dengan gebrakan tadi ia pun tahu ilmu silat orang sangat
hebat.
Selagi hendak buka suara,
tiba-tiba Toan Ki telah mendahului, "Gak-losam, ilmu silatmu masih terlalu
cetek, tidak sesuai untuk menjadi guruku. Silakan kau pulang ke Ban-gok-to di
Lam-hay untuk berlatih lagi 10 tahun, habis itu barulah engkau ada nilainya
buat bicara tentang ilmu silat."
Keruan Gok-sin menjadi gusar,
bentaknya, "Kau bocah ingusan ini tahu apa?"
"Kenapa aku tidak
tahu?" sahut Toan Ki. "Coba, ingin kutanya padamu, apa artinya,
'Hong-lui-ek, kun-cu-ihkian-sian-cek-ih, yu-ko-cek-kay'. Ayo jawab,
lekas!"
Lam-hay-gok-sin melongo tak
bisa menjawab, tapi segera ia menjadi gusar, bentaknya, "Ngaco-belo!
Apakah artinya itu? Artinya kentut!"
"Hahaha!" Toan Ki
terbahak-bahak. "Hanya kalimat yang cetek artinya saja engkau tak paham,
tapi engkau masih bicara tentang ilmu silat segala?"
Semua orang ikut geli
mendengar Toan Ki menggunakan isi kitab "Ih-keng" untuk mempermainkan
Lam-haygok-sin itu. Meski Bok Wan-jing juga tidak paham apa yang diuraikan Toan
Ki itu, tapi ia dapat menduga tentu si pelajar tolol itu lagi putar lidah.
Sebaliknya Lam-hay-gok-sin
lantas sadar dirinya lagi dipermainkan demi tampak wajah semua orang menertawai
dirinya. Dengan menggerung sekali, segera ia hendak menyerang.
Namun Toan Cing-sun telah
melangkah ke depan sang putra.
Dengan tertawa Toan Ki berkata
lagi, "Apa yang kukatakan tadi adalah istilah ilmu silat yang mukjizat,
engkau
terang takkan paham. Haha,
katak dalam sumur macammu ini juga ingin menjadi guru orang, sungguh gigi orang
bisa copot tertawa geli. Padahal semua guruku, kalau bukan kaum terpelajar,
tentu adalah padri saleh. Sebaliknya macam dirimu, biarpun belajar 10 tahun
lagi juga belum tentu sesuai untuk menjadi guruku."
Lam-hay-gok-sin menggerung
murka, bentaknya, "Siapa gurumu, ayo suruh dia keluar dan unjukkan
beberapa jurus padaku!"
Melihat Lam-hay-gok-sin hanya
datang sendirian, untuk melawannya tidaklah sulit, maka Toan Cing-sun tidak
mencegah kelakuan Toan Ki, apalagi suami istri bisa berkumpul kembali, ia pikir
biar putranya menggoda orang jahat ketiga itu sekadar bikin senang hati sang
istri.
Keruan Toan Ki bertambah
berani, ia berkata pula, "Baiklah, jika kau berani, tunggulah sebentar,
biar kupanggil guruku dulu, kalau jantan sejati, jangan kau lari!"
Gok-sin menjerit murka,
"Selama hidup Gak-loji malang melintang di seluruh jagat, pernah kutakut
pada siapa? Ayo lekas panggil, lekas!"
Benar juga Toan Ki lantas
pergi keluar. Tinggal Lam-hay-gok-sin yang memandangi setiap orang yang hadir
di situ dengan sikap menantang, sama sekali ia tidak jeri biarpun seorang diri
berada di tengah lawan sebanyak itu.
Tiada lama, terdengarlah suara
tindakan orang, dua orang kedengaran mendatangi. Ketika Gok-sin mendengarkan,
langkah orang yang datang itu kacau tak bertenaga, terang orang yang tak paham
ilmu silat.
Terdengar suara seruan Toan Ki
dari luar, "Mana itu Gak-losam, tentu dia sudah lari ketakutan? Ayah,
jangan biarkan dia lolos, ini, Suhuku sudah datang!"
"Buat apa aku lari?"
bentak Gok-sin dengan gusar. "Kurang ajar, bocah ini bikin gusar padaku
melulu."
Belum selesai ucapannya,
tertampak Toan Ki melangkah masuk sambil menyeret satu orang. Melihat itu,
seketika semua orang bergelak tertawa.
Ternyata orang yang dibawa
datang Toan Ki itu kurus kecil, pakai topi bentuk kulit semangka, berjubah
panjang longgar, berkumis tikus, kedua matanya merah sepat seakan-akan kurang
tidur selalu, kepalanya mengkeret takut-takut, sikapnya lucu menggelikan.
Segera Yau-toan-siancu dapat
mengenal orang ini sebagai juru tulis di kantor Tin-lam-onghu. Juru tulis she
Ho ini setiap hari suka mengantuk saja dan kerjanya berjudi dengan para pelayan
di dalam istana. Dalam keadaan setengah mabuk, ia diseret Toan Ki ke dalam
ruangan, dengan takut cepat juru tulis itu berlutut dan menyembah ke hadapan
Po-ting-te dan permaisuri.
Sudah tentu Po-ting-te tidak
kenal siapa juru tulis kecil itu, ia perintahkan orang berbangkit. Segera Toan
Ki gandeng Ho-sinshe itu ke hadapan Lam-hay-gok-sin, katanya, "Nah,
Gak-losam, di antara guru-guruku, Suhuku inilah ilmu silatnya paling rendah.
Maka lebih dulu kau perlu mengalahkan dia, baru ada harganya buat menantang
guru-guruku yang lain."
Gok-sin berkaok-kaok murka,
teriaknya, "Macam begini gurumu? Haha, dalam tiga jurus saja kalau aku tak
bisa bikin dia hancur seperti perkedel, biar aku angkat guru padamu."
Seketika sinar mata Toan Ki
terbeliak mendengar itu, tanyanya cepat, "Ucapanmu ini benar-benar atau
tidak? Seorang lelaki sejati, sekali bicara harus bisa pegang janji, kalau
ingkar janji, itu berarti anak kura-kura, haram jadah!"
"Baik, mari, mari!"
Gok-sin berteriak-teriak.
"Dan kalau cuma tiga
jurus saja, tidak usah guruku turun tangan, biarlah aku sendiri sudah lebih
dari cukup untuk melayanimu," ujar Toan Ki.
Mendengar pemuda itu hendak
maju sendiri, keruan Lam-hay-gok-sin bergirang. Datangnya ke istana pangeran
ini atas berita In Tiong-ho yang menyatakan calon muridnya yang hilang itu
diketemukan di dalam istana, maka tujuannya melulu ingin "jemput"
Toan Ki untuk menjadi ahli waris Lam-hay-pay.
Tapi ketika bergebrak sekali
dengan Toan Cing-sun, ia menjadi kaget oleh kepandaian pangeran itu. Apalagi di
samping itu masih banyak juga lainnya, kalau hendak menggondol Toan Ki begitu
saja rasanya tidaklah mudah. Ia menjadi girang mendengar pemuda itu sendiri
yang akan bergebrak dengan dirinya, sekali ulur tangan ia yakin dapat menawan
anak muda itu.
Maka katanya segera,
"Bagus, jika kau yang maju aku pasti takkan menggunakan tenaga dalam untuk
melukaimu."
"Kita janji dulu di muka,
dalam tiga jurus kalau engkau tak bisa menjatuhkan aku, lantas bagaimana?"
tanya
Toan Ki.
Lam-hay-gok-sin
terbahak-bahak, ia tahu pemuda itu adalah seorang pelajar lemah yang ibaratnya
memegang ayam saja tidak kuat, apalagi hendak bertanding tiga jurus dengan
dirinya, mungkin setengah jurus saja tidak tahan. Maka sahutnya segera,
"Dalam tiga jurus kalau aku tak bisa menang, segera aku angkat guru
padamu!"
"Nah, semua hadirin di
sini sudah dengar semua, jangan engkau mungkir janji nanti!" seru Toan Ki.
Gok-sin menjadi gusar,
teriaknya, "Aku Gak-loji selamanya kalau bilang satu ya satu, bilang dua
tetap dua!"
"Gak-losam!" seru
Toan Ki.
"Gak-loji!" bentak
Gok-sin.
"Gak-losam!" Toan Ki
mengulang.
"Sudahlah, cerewet apa
lagi, ayo lekas mulai!" teriak Gok-sin tak sabar.
Segera Toan Ki melangkah maju
hingga berhadapan dengan tokoh ketiga Su-ok ini.
Di antara hadirin, dimulai
Po-ting-te dan permaisuri ke bawah, setiap orang menyaksikan dewasanya Toan Ki,
semuanya tahu anak muda itu gemar sastra dan tidak suka ilmu silat, selama
hidupnya tidak pernah belajar silat sejurus pun. Malahan ketika dipaksa oleh
Po-ting-te dan ayahnya supaya belajar silat, ia lebih suka minggat dari rumah.
Jangankan bertanding melawan jago kelas wahid macam Lam-hay-gok-sin, biarpun
melawan seorang prajurit biasa juga kalah. Semula semua orang mengira pemuda
itu sengaja menggoda Lam-hay-goksin, siapa duga benar-benar akan bertanding.
Sebagai seorang ibu yang
sangat sayang pada putranya, segera Yau-toan-siancu membuka suara, "Ki-ji,
jangan sembrono, orang liar macam begitu jangan kau gubris padanya."
Cepat Honghou pun memberi perintah,
"Sian-tan-hou, lekas kau perintahkan tangkap perusuh ini!"
Sian-tan-hou Ko Sing-thay
mengiakan dan segera berseru, "Leng Jian-li, Tang Su-kui, Siau Tiok-sing
dan Cu Tan-sin berempat dengarkan perintah, atas titah Nionio, lekas tangkap
perusuh kurang ajar ini!"
Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li
berempat menerima perintah itu.
Melihat dirinya hendak
dikerubut, segera Lam-hay-gok-sin membentak, "Biarpun kalian maju semua
juga aku tidak gentar. Ayo, Hongte dan Honghou juga silakan maju
sekalian!"
"Nanti dulu, nanti
dulu!" demikian cepat Toan Ki mencegah sambil goyang-goyang kedua
tangannya. "Biarlah kuselesaikan tiga jurus dahulu denganmu."
Po-ting-te kenal tindak tanduk
keponakannya itu sering di luar dugaan, boleh jadi diam-diam dia sudah atur
perangkap untuk menjebak musuh, apalagi dirinya dan saudaranya berjaga di
samping, kalau Lam-hay-gok-sin hendak bikin susah pemuda itu, rasanya juga
tidak bisa. Maka dengan tersenyum ia berkata, "Mundurlah kalian, biarkan
perusuh ini belajar kenal betapa lihainya Ongcu dari Tay-li-kok, supaya dia
tahu rasa!"
Mendengar perintah itu, Leng
Jian-li berempat yang sudah bersiap-siap mengerubut maju itu lantas
mengundurkan diri.
"Gak-losam," segera
Toan Ki berkata, "marilah kita janji sebelumnya secara tegas. Kalau dalam
tiga jurus engkau tak bisa merobohkan aku, harus kau angkat guru padaku. Tapi
meski aku menjadi gurumu, melihat tampangmu yang tolol begini, rasanya percuma
kuajarkan ilmu silat padamu. Jadi aku tak mau ajarkan apa-apa padamu,
setuju?"
"Siapa ingin belajar
silat padamu?" bentak Gok-sin gusar. "Huh, ilmu silat kentut anjing
apa yang kau miliki?"
"Baik, itu artinya sudah
kau terima syaratku," ujar Toan Ki. "Dan sesudah kau angkat guru,
segala perintah guru selanjutnya harus kau turuti. Kalau membangkang, itu
berarti durhaka dan akan dikutuk oleh setiap orang Bu-lim. Kau terima tidak
syarat kedua ini."
"Hahaha, sudah
tentu," Gok-sin terbahak-bahak. "Dan begitu pula bila kau yang
mengangkat guru padaku."
"Ya, namun kalau kau
ingin menerima aku sebagai murid, kau harus kalahkan dulu setiap Suhuku untuk
membuktikan bahwa kepandaianmu memang lebih tinggi daripada guru-guruku itu,
dengan begitu baru ada harganya mengangkat guru padamu."
"Baik, baik, tak perlu
cerewet, ayo lekas maju!" sahut Gok-sin tak sabar.
"Buat apa buru-buru?
Lihatlah seorang guruku sudah berdiri di belakangmu ...." kata Toan Ki
dengan tersenyum sambil menuding ke belakang Gok-sin.
Lam-hay-gok-sin tidak merasa
kalau di belakangnya ada orang, namun begitu toh dia menoleh juga. Kesempatan itu
segera digunakan Toan Ki dengan baik, mendadak ia melangkah miring ke kiri,
dengan cepat dan lucu ia terus mencengkeram "To-to-hiat" di punggung
Gok-sin.
Gerak-gerik Toan Ki sama
sekali tidak mirip seorang pesilat, tapi Hiat-to yang dipegangnya itu adalah
salah satu jalan darah penting di tubuh manusia. Begitu tercengkeram, seketika
Lam-hay-gok-sin merasa dadanya sesak. Sementara itu tangan Toan Ki yang lain
lantas tekan di "Ih-sik-hiat" bagian pinggangnya, jari jempol tepat
menekan di tengah Hiat-to itu.
Dalam kagetnya cepat
Lam-hay-gok-sin meronta dengan tenaga dalam. Tapi dua Hiat-to penting sudah
diatasi orang, sekali tenaga dalam dikerahkan, bukannya terlepas dari
cengkeraman Toan Ki, sebaliknya kedua tenaga itu saling terjang hingga seketika
ia menjadi lemas tak bisa berkutik. Terus saja Toan Ki angkat tubuh
Lamhay-gok-sin dan dibanting ke lantai. Untung lantai di ruangan pendopo itu
digelari permadani hingga kepalanya yang botak itu tidak sampai benjut.
Walaupun begitu, dengan nama
besar Lam-hay-gok-sin, dengan begitu saja ia kena dibanting Toan Ki, tentu saja
ia malu. Saking murkanya, sekali lompat dengan gerakan
"Le-hi-tah-ting" atau ikan lele melejit, begitu berdiri, ia terus
balas mencengkeram Toan Ki.
Hadirin yang berada di ruangan
itu adalah jago terkemuka semua, tapi tiada seorang pun yang menyangka Toan Ki
yang diketahui sama sekali tidak pernah belajar silat dan lemah itu, ternyata
bisa membanting Lam-haygok-sin dengan begitu mudah. Dalam kaget mereka,
sementara itu Lam-hay-gok-sin sudah melancarkan serangan tadi kepada Toan Ki.
Toan Cing-sun menjadi
khawatir, tapi belum sempat turun tangan melindungi sang putra, tahu-tahu anak
muda itu sudah menggeser miring ke kiri, langkahnya aneh gesit, hanya satu
langkah itu saja sudah dapat menghindarkan serangan kilat Lam-hay-gok-sin.
"Bagus!" seru Toan
Cing-sun memuji.
Menyusul mana serangan Gok-sin
yang kedua sudah dilontarkan lagi. Tapi Toan Ki tetap tidak membalas, hanya
melangkah maju dua tindak malah dan kembali serangan itu luput.
Dua kali menyerang tidak kena
sasaran, Lam-hay-gok-sin menjadi gusar dan kejut. Ia lihat Toan Ki hanya
berdiri satu meter di depannya, sekonyong-konyong ia menggerung keras-keras,
kedua tangannya berbareng mencengkeram dada dan perut pemuda itu.
Ini adalah salah satu ilmu
silat tunggal mahalihai yang dilatihnya sepuluh tahun ini, namanya
"Tok-liong-jiau" atau cakaran naga berbisa. Ilmu ini sebenarnya
disiapkan untuk melawan Yap Ji-nio guna merebut gelar dari Thian-he-su-ok atau
empat orang mahajahat sedunia.
Tapi kini, setelah dibanting,
pula balas menyerang berulang tidak kena, Gok-sin menjadi kalap, tak terpikir
lagi olehnya apakah cakarannya itu bakal membinasakan "calon ahli
waris" itu atau tidak.
Dalam pada itu Po-ting-te,
Honghou, Toan Cing-sun, Yau-toan-siancu dan Ko Sing-thay menjadi khawatir juga,
berbareng mereka memperingatkan Toan Ki, "Awas!"
Namun dengan enteng pemuda itu
melangkah ke kanan setindak menyusul menggeser pula ke kiri selangkah,
tahu-tahu ia sudah berputar sampai ke belakang Lam-hay-gok-sin.
"Plok," ia keplak sekali atas kepala Gok-sin yang botak itu.
Sungguh sedikit pun Gok-sin tidak
menduga bahwa anak muda itu bisa menabok kepalanya secara demikian ajaibnya.
Ketika merasa tangan orang sudah sampai di atas kepala, diam-diam ia menjerit,
"Matilah aku!"
Tapi demi kepala kena
dikeplak, segera ia tahu serangan Toan Ki itu sedikit pun tidak bertenaga
dalam. Tanpa ayal lagi ia angkat tangan kiri ke atas, "cret," kontan
punggung tangan Toan Ki tercakar lima jalur luka oleh kuku jarinya.
Waktu Toan Ki tarik kembali
tangannya dengan cepat, serangan Gok-sin itu masih belum bisa direm, cakarannya
masih merosot ke bawah hingga jidatnya juga ikut tercakar.
Sebenarnya sesudah berhasil
menghindarkan tiga jurus serangan lawan, Toan Ki sudah menang dan dapat
mengakhiri pertandingan itu. Tapi dasar sifat bocahnya masih belum hilang,
biarpun dirinya tak bisa Lwekang, namun ketika tampak ada kesempatan untuk
menabok kepala orang, terus saja ia keplak sekali kepala Lamhay-gok-sin yang
gundul itu, akibatnya hampir dirinya kena tertawan. Keruan kejutnya bukan
buatan, buruburu ia sembunyi ke belakang sang ayah dengan muka pucat ketakutan.
Yau-toan-siancu melotot sekali
ke arah putranya itu, katanya dalam hati, "Bagus, jadi selama ini
diam-diam kau belajar Kungfu sehebat itu kepada ayah dan pamanmu, tapi aku sama
sekali tak diberi tahu."
Dalam pada itu Bok Wan-jing
telah berseru, "Nah, Gak-losam, sudah tiga jurus tak mampu kau robohkan
dia, sebaliknya kau sendiri kena dibanting olehnya. Sekarang lekas menyembah
dan panggil Suhu padanya."
Muka Lam-hay-gok-sin menjadi
merah, ia garuk-garuk kepalanya yang tak gatal itu dan menyahut, "Dia toh
belum bergebrak sungguh-sungguh denganku, kejadian tadi tak bisa
dihitung."
"He, tidak malu?"
seru Bok Wan-jing. "Kau tidak mau mengaku guru padanya, itu berarti kau
rela menjadi anak kura-kura. Sebenarnya kau mau mengangkat guru saja atau
terima menjadi anak kura-kura?"
"Tidak semua," sahut
Gok-sin. "Aku ingin mengulangi bertanding dengan dia."
Melihat gerak langkah putranya
tadi sangat hebat dan bagus luar biasa, sampai dirinya juga tidak paham di mana
rahasia kepandaian itu. Segera Toan Cing-sun membisiki Toan Ki, "Boleh
maju lagi, jangan pukul dia, tapi cari kesempatan mencengkeram
Hiat-tonya."
"Tapi anak menjadi takut
sekarang, mungkin takkan berhasil," sahut Toan Ki lirih.
"Jangan khawatir, aku
mengawasimu dari samping," kata Cing-sun.
Nyali Toan Ki menjadi besar
lagi karena mendapat dukungan sang ayah. Segera ia melangkah ke depan dan
berkata pada Lam-hay-gok-sin, "Sudah tiga jurus tak mampu kau robohkan
aku, kau harus menyembah guru padaku!"
Tapi tanpa menjawab lagi,
Gok-sin menggerung sekali terus menghantam dengan telapak tangannya.
Lekas Toan Ki melangkah miring
ke kiri, dengan enteng saja ia hindarkan serangan itu. "Brak,"
pukulan Goksin menghancurkan sebuah meja.
Toan Ki pusatkan pikiran
sambil mulutnya perlahan mengucapkan istilah, "San-ta-pak, Hwe-te-cin
...." dan
seterusnya, yaitu istilah di
dalam kitab Ih-keng. Sama sekali ia tidak hiraukan datangnya serangan
Lam-haygok-sin, ia hanya urus langkah sendiri yang ke kanan, ke kiri, maju dan
mundur sesukanya.
Dalam pada itu semakin lama
makin cepat dan keras pukulan Lam-hay-gok-sin hingga terdengar suara gedubrakan
dan gemerantang yang riuh di dalam ruangan pendopo, meja kursi dan mangkuk
cangkir sama pecah berantakan kena pukulan Gok-sin. Tapi dari mulai sampai
akhir, sedikit pun ia belum mampu menyenggol ujung baju Toan Ki.
Hanya sekejap saja lebih 30
jurus sudah berlangsung. Selama itu Po-ting-te Toan Cing-beng dan Tin-lam-ong
Toan Cing-sun dapat melihat langkah Toan Ki enteng tetapi kaku, memang sedikit
pun tak bisa ilmu silat. Cuma entah dari mana pemuda itu mendapatkan ajaran
seorang kosen dalam sejenis ilmu gerak langkah yang ajaib dengan mengikuti
perhitungan Pat-kwa ciptaan Hok-hi di zaman baheula, yaitu yang mempunyai dasar
hitungan 8x8=64 segi.
Padahal kalau dia benar-benar
bertempur dengan Lam-hay-gok-sin, mungkin cuma sejurus saja pemuda itu akan
dibinasakan orang. Tapi dia justru mengurusi gerak langkah sendiri sambil mulut
mengucapkan istilahistilah yang bersangkutan, dan sebegitu jauh pukulan
Lam-hay-gok-sin tetap tak bisa menyenggolnya.
Diam-diam Toan Cing-beng dan
Toan Cing-sun saling pandang sekejap, sekilas mereka mengunjuk rasa khawatir
juga. Dalam hati mereka sama berpikir, "Bila Lam-hay-gok-sin itu menyerang
dengan memejamkan mata misalnya dan tak perlu melihat ke mana anak Ki
melangkah, sekenanya ia lontarkan sejurus pukulan saja dan tanpa susah lagi
tentu pemuda itu akan dirobohkannya."
Tapi Lam-hay-gok-sin ternyata
tidak mempunyai pikiran seperti mereka. Sebaliknya wajahnya makin lama makin
beringas, matanya juga semakin mendelik hingga biji mata yang tadinya sebesar
kacang, kini melotot sebesar gundu, ia masih tetap memukul sejurus demi sejurus
dan tetap tak bisa mengenai sasaran, biarpun ia telah berganti tipu serangan
dengan cepat, Toan Ki selalu dapat menghindar ke tempat yang sama sekali di
luar perhitungannya.
Namun pertarungan demikian itu
kalau diteruskan, sekalipun Toan Ki tidak sampai dirobohkan, tapi untuk
mengalahkan lawan juga tidaklah mungkin.
Setelah melihat sebentar,
tiba-tiba Po-ting-te berkata, "Anak Ki, melangkah perlahan sedikit, papak
dari depan dan cengkeram Hiat-to di dadanya."
Toan Ki mengiakan sambil
melambatkan langkahnya, segera ia memapak Lam-hay-gok-sin dari depan. Tapi
ketika sinar matanya kebentur dengan sorot mata Gok-sin yang beringas itu, ia
menjadi jeri, sedikit kakinya merandek, tempat kedudukannya menjadi rada
menceng. Sekali cakar Lam-hay-gok-sin menyambar, kebetulan
menyerempet samping kuping
kirinya hingga berdarah. Bila cakaran itu sedikit geser ke kanan, tentu Toan Ki
sudah menjadi mayat di situ.
Dan karena kupingnya terasa
kesakitan, Toan Ki semakin jeri, ia percepat langkahnya menyingkir ke samping,
terus mundur ke belakang sang ayah sambil berseru dengan menyengir,
"Pekhu, aku tak sanggup!"
Cing-sun menjadi gusar,
serunya, "Keturunan keluarga Toan dari Tayli tidak ada yang mundur
ketakutan di garis depan? Ayo, lekas maju lagi, apa yang dianjurkan Pekhu tadi
memang tidak salah!"
Yau-toan-siancu terlalu sayang
pada sang putra, cepat ia menyela, "Ki-ji sudah bergebrak hampir 60 jurus
dengan dia, keluarga Toan mempunyai keturunan sehebat ini, apakah engkau masih
belum puas? Ki-ji, sejak tadi kau sudah menang, tak perlu diteruskan lagi."
"Tidak," kata Toan
Cing-sun, "tak perlu kau ikut campur putraku, aku tanggung dia takkan
mati."
Sedih dan dongkol rasa
Yau-toan-siancu, air matanya berkilau-kilau akan menetes.
Melihat itu, Toan Ki menjadi
tak tega, ia beranikan diri, segera ia melangkah maju dengan membusungkan dada,
bentaknya, "Marilah kita teruskan bertempur!"
Sekali ini ia sudah nekat, ia
berputar kian kemari dengan teratur, makin lama makin lambat, ketika berhadapan
dengan Gok-sin, ia tidak mau beradu sinar mata lagi, tapi kedua tangan terus
mencengkeram dada lawan.
Melihat tangan Toan Ki yang
terulur itu lemas tak bertenaga, Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak geli, ia
miringkan tubuh terus hendak pegang bahu pemuda itu malah. Tak terduga gerak
langkah Toan Ki ternyata bisa berubah dengan sukar diraba, kedua orang
berbareng menggeser tubuh hingga kebetulan dada Lam-hay-goksin seakan-akan
disodorkan pada jari tangan Toan Ki.
Tanpa ayal lagi Toan Ki incar
"Tan-tiong-hiat" dan "Gi-ko-hiat" dengan tepat, sekaligus
terus mencengkeram.
Sama sekali Toan Ki tidak
punya tenaga dalam, meski berhasil memegang kedua tempat Hiat-to di badan
lawan, kalau Lam-hay-gok-sin tidak menggunakan tenaga dalam dan perlahan
meronta melepaskan diri secara biasa, sebenarnya Toan Ki juga tak bisa
mengapa-apakan dia.
Namun karena merasa Hiat-to
penting kena dicengkeram lawan, dalam kagetnya tanpa pikir Lam-hay-gok-sin
mengerahkan tenaga dalam untuk menutup kedua Hiat-to itu, berbareng kedua
tangannya balas menyerang muka Toan Ki.
Serangan Gok-sin ini mengarah
kedua mata Toan Ki, sebenarnya sangat tepat pemakaiannya, yaitu sesuai apa yang
disebut "menyerang tempat musuh yang terpaksa harus menolong diri sendiri
lebih dulu", betapa pun lihainya musuh, kalau menghadapi serangan
demikian, terpaksa harus tarik kembali tangannya untuk melindungi diri sendiri.
Dan bagi Lam-hay-gok-sin akan dapatlah terhindar dari malapetaka.
Tak tersangka olehnya bahwa
Toan Ki sedikit pun tidak paham tentang menyerang atau diserang segala, ketika
jari Gok-sin mencolok ke arah matanya, hakikatnya ia tidak pikir harus cepat
tarik kembali tangannya untuk menangkis, sebaliknya kedua tangannya masih tetap
mencengkeram kencang di tempat Hiat-to tadi.
Dan kesalahan ini ternyata
malah membawa kebetulan baginya. Ketika Lam-hay-gok-sin mengerahkan Lwekang
tadi, sekonyong-konyong ketemu rintangan di tempat kedua Hiat-to itu, seketika
hawa murni dan darah bergolak hebat dalam tubuh, kedua tangan yang sudah
terjulur kira-kira belasan senti di depan mata Toan Ki tahu-tahu terasa lemas
tak mau turut perintah lagi. Ia masih belum terima, ia kerahkan tenaga dalam
lebih kuat.
Tapi lebih celaka lagi
baginya, sekali tenaga dikerahkan, ia merasa dua arus tenaga mahadahsyat saling
terjang di dalam tubuh hingga aliran darah ikut kacau dan mogok, seketika matanya
berkunang-kunang.
Sebaliknya mendadak Toan Ki
juga merasakan dua arus tenaga mahakuat membanjir ke tangannya hingga tubuhnya
ikut sempoyongan. Ia sadar keadaan waktu itu, asal kedua tangannya melepaskan
Hiat-to lawan, segera jiwanya akan terancam. Sebab itulah meski rasanya
menderita sekali, sedapat mungkin ia bertahan.
Jaraknya waktu itu dengan Toan
Cing-sun hanya satu meteran saja. Ketika melihat air muka sang putra makin lama
makin merah, terang anak muda itu lagi menahan rasa derita, segera Cing-sun
ulur jari telunjuknya untuk menahan "Tay-cui-hiat" di punggung Toan
Ki.
"It-yang-ci" atau
ilmu jari betara surya dari keluarga Toan di negeri Tayli sudah tersohor di
seluruh jagat. Maka begitu jari Toan Cing-sun menempel punggung Toan Ki,
seketika suatu arus hawa hangat yang halus tersalur ke badan pemuda itu. Kontan
badan Lam-hay-gok-sin tergetar, perlahan roboh dengan lemas.
Segera Toan Cing-sun pegang
Toan Ki sambil mengerahkan tenaga jarinya lebih kuat. Hanya sebentar saja,
lambat laun air muka Toan Ki sudah kembali merah, tapi untuk sejenak ia pun
belum sanggup bicara.
Bagaimana diam-diam Toan
Cing-sun memakai ilmu "It-yang-ci" untuk membantu sang putra hingga
Lamhay-gok-sin dapat dirobohkan, hal ini dapat diketahui setiap orang di
ruangan itu. Namun begitu toh Lam-haygok-sin tetap jatuh di bawah tangan Toan Ki,
betapa pun hal ini tak bisa dibantah.
Hiong-sat-ok-sin itu
benar-benar lihai luar biasa. Begitu tangan Toan Ki melepaskan Hiat-to di
badannya, seketika ia melompat bangun. Ia pandang Toan Ki dengan kedua matanya
yang bundar kecil itu penuh rasa heran, gemas dan sedih pula.
"Nah, Gak-losam,"
demikian Bok Wan-jing lantas berteriak, "sekarang kau sudah kalah lagi,
kulihat engkau lebih suka menjadi anak kura-kura daripada mengangkat guru,
bukan?"
"Tidak, justru kuingin
berbuat di luar dugaanmu," seru Gok-sin murka. "Angkat guru ya angkat
guru, malumalu apa? Aku Gak-loji sekali-kali tidak sudi menjadi anak
kura-kura."
Habis berkata, benar juga ia
terus berlutut dan menyembah empat kali kepada Toan Ki sambil berteriak,
"Suhu, Tecu Gak-loji memberi hormat padamu!"
Untuk sejenak Toan Ki
terkesima, dan belum lagi sempat menjawab, mendadak Lam-hay-gok-sin sudah
melompat bangun terus mencelat ke atas wuwungan rumah. Tiba-tiba terdengar
suara jeritan sekali di atas rumah menyusul suara gedebuk sekali, dari atas
terbanting ke bawah tubuh seorang.
Waktu semua orang menegasi,
kiranya seorang pengawal istana pangeran, dadanya sudah berlumuran darah dan
berlubang, buah hatinya telah dikorek oleh Lam-hay-gok-sin untuk dimakan. Wi-su
atau pengawal itu masih berkelojotan, keadaannya sangat mengerikan.
Sebenarnya kepandaian pengawal
itu pun tidak rendah, walaupun tidak setingkat dengan empat tokoh
Hi-jiaukeng-dok, tapi hanya dalam satu gebrakan saja ternyata hatinya sudah
kena dikorek orang. Keruan semua orang saling pandang dengan terkejut.
"Longkun, muridmu itu
benar-benar kurang ajar, lain kali kalau ketemu, harus kau hajar dia sampai
minta ampun," seru Bok Wan-jing dengan gusar.
"Kemenanganku tadi hanya
secara kebetulan saja berkat bantuan Tiatia," sahut Toan Ki tersenyum.
"Tapi lain kali kalau ketemu lagi, mungkin buah hatiku sendiri juga bisa
dikorek olehnya, kepandaian apa yang kumiliki untuk hajar dia?"
Waktu bicara itulah, Leng
Jian-li dan Siau Tiok-sing sudah gotong keluar mayat pengawal tadi. Toan
Cing-sun memberi perintah agar diberi pensiun pada keluarganya dan suruh
Ho-sinshe tadi mengundurkan diri.
"Ki-ji," kata
Po-ting-te kemudian. "Poh-hoat (ilmu gerak langkah) yang kau mainkan tadi
berasal dari falsafah Pat-kwa ciptaan Hok-hi, kau boleh belajar dari
siapa?"
"Anak mempelajarinya
secara ngawur dari dalam sebuah gua, entah tepat atau tidak, masih mengharapkan
petunjuk dari Pekhu," sahut Toan Ki.
"Dari sebuah gua
bagaimana, coba ceritakan."
Maka berceritalah Toan Ki
tentang pengalamannya.
Kiranya tempo hari waktu dia
ditinggal di atas puncak karang, Bok Wan-jing digondol pergi oleh
Lam-haygok-sin, dalam keadaan bingung Toan Ki terus mengudak. Tapi baru
beberapa tindak tiba-tiba ia menginjak badan seekor ular sawah besar. Bundar
dan licin badan ular itu penuh lendir yang basah. Toan Ki terpeleset dan
tergelincir ke pinggir jurang.
Dalam keadaan bahaya, untung
tangannya yang meraih serabutan itu dapat memegang akar pohon hingga badannya
tidak terjerumus lebih jauh ke bawah, mati-matian ia pegang erat akar pohon itu
tak dilepaskan lagi demi keselamatannya.
Dalam keadaan badan setengah
terjuntai, kaki Toan Ki merasa menginjak di atas batu karang, telinganya
mendengar pula suara gemuruh, air sungai mendebur-debur hebat di bawah sana.
Ia coba tenangkan diri dan
mengawasi sekitarnya, ternyata dirinya berada di tengah tebing yang terjal
sekali, untuk merambat ke atas terang tidak mampu, kalau turun ke bawah akan
kecebur ke sungai. Terpaksa merembet ke kiri sana, di situ masih ada tempat
untuk berpijak. Begitulah segera ia menggeremet ke sana dengan hati-hati.
Setelah merayap sebentar, ia
mengaso sejenak. Kalau ketemukan tempat yang curam, terpaksa tabahkan diri dan
akhirnya dapat merayap lewat juga dengan selamat.
Sampai hari sudah magrib, ia
lihat di depan masih tetap tebing jurang yang terjal, sedikit pun belum ada
tandatanda akan sampai di tempat datar, diam-diam Toan Ki putus asa. Ia coba
merayap lagi sebentar, sekonyong-
konyong pikirannya tergerak,
pemandangan di depan ini lamat-lamat seperti sudah dikenalnya.
Waktu ia perhatikan lebih
jauh, tak tertahan lagi ia berteriak, "Aha, ingatlah aku! Ketika aku
keluar dari gua di luar danau itu, pemandangan yang kulihat tak-lain tak-bukan
adalah seperti ini!"
Toan Ki senang sekali demi
mengenal keadaan tempat itu, ia masih ingat bila dia merayap lewat beberapa
tebing curam, ia akan sampai di suatu jalan kecil dan kalau jalan terus belasan
li pula, ia akan tiba di jembatan "Sian-jin-toh".
Jadi mulut gua itu berada
tidak jauh dari tempatnya sekarang ini, bila teringat pada patung dewi di dalam
gua yang cantik tiada bandingannya itu, perasaannya lantas bergolak, ia tak
tahan lagi, betapa pun ia ingin pergi menjenguk patung itu.
Tanpa pikir lagi segera ia
merangkak terus. Tiada belasan meter jauhnya, benar juga ia sudah sampai di
mulut gua tempat keluarnya dari bawah danau tempo hari. Cepat ia menyusup ke
dalam gua, mengikuti jalan lama dan akhirnya mencapai kamar batu yang dulu.
Hari sudah gelap, tapi di
dalam kamar batu itu tetap terang benderang oleh cahaya mutiara mestika yang
menghias seputar dinding kamar. Toan Ki termangu-mangu memandangi patung dewi
itu, pikirnya, "Untung ini hanya patung belaka dan bukan manusia. Bila di
dunia benar-benar ada gadis secantik ini, aku Toan Ki bukan mustahil rela mati
asal dapat mempersuntingkannya."
Begitulah ia terkesima di
hadapan patung ayu itu sampai kakinya sudah terasa lemas toh dia masih belum
merasa capek, nyata saat itu segala Bok Wan-jing, Lam-hay-gok-sin dan lain-lain
sudah dibuang olehnya ke awang-awang. Sampai akhirnya ia benar-benar tidak
tahan lagi, lalu ia rebah di bawah kaki patung itu dan terpulas.
Dalam mimpi, patung itu bisa
bergerak dan memberikan Toan Ki sebilah pisau serta menyuruh dia membunuh 36
orang laki-laki dan wanita yang tak berdosa. Tanpa membantah, Toan Ki terima
pisau itu dan membunuh serabutan hingga dalam sekejap lebih dari 50 orang telah
dibunuhnya hingga mayat bergelimpangan dan darah berceceran.
Patung itu tersenyum senang
seakan-akan memuji perbuatan Toan Ki itu, lalu menyuruh pergi membunuh ayahnya
sendiri. Tentu saja Toan Ki tidak mau, patung itu menjadi marah, katanya,
"Kau tidak turut perintah, lebih baik kau bunuh diri saja!"
Tanpa ragu Toan Ki terus
angkat pisau dan menikam ulu hatinya sendiri. Dalam kagetnya ia menjerit hingga
tersadar dari tidurnya dengan
berkeringat dingin, hatinya masih berdebar dengan kerasnya. Ia lihat di dalam
kamar sudah terang benderang oleh cahaya matahari, nyata ia sudah tertidur
semalam.
Ia pandang patung itu pula,
macam-macam pikiran berkecamuk, tiba-tiba teringat olehnya, "He, kamar ini
berada di dasar danau, dari mana datangnya sinar matahari itu?"
Ia coba pandang ke arah
datangnya sinar sang surya, ia lihat di ujung kanan atas kamar itu tergantung
sebuah cermin perunggu, sinar matahari itu memantul balik dari cermin itu. Ketika
cermin perunggu itu diperhatikannya lebih jelas, lamat-lamat ternyata di atas
cermin ada ukirannya.
Tergerak pikiran Toan Ki,
"Di dalam kamar ini penuh cermin seperti ini, bukan mustahil ada udang di
balik batu?"
Segera ia ambil cermin tadi,
ia kebut debu di atasnya dan diusap lebih bersih, maka tertampaklah di atas
cermin itu memang terukir banyak sekali garis-garis tegak dan miring, di
samping garis-garis itu terukir pula huruf "Itpoh",
"Liang-poh", "Poan-poh" (satu langkah, dua langkah,
setengah langkah) dan seterusnya. Dan tiap ujung garis itu terukir pula
penjelasan "Tong-jin", "Tay-yu" dan macam-macam huruf kecil
lain.
Toan Ki pernah membaca
"Ih-keng," maka tahu "Tong-jin", "Tay-yu" dan
sebagainya itu adalah nama segi-segi Pat-kwa yang seluruhnya berjumlah 8x8=64
segi itu.
Waktu cermin itu ia balik, di
punggung cermin terukir pula empat huruf kuno "Leng-po-wi-poh" atau
langkah lembut dewi cantik. Kalimat ini mengingatkan Toan Ki pada syair Co
Cu-kian, putra Co Cho di zaman Samkok, yaitu syair yang memuja wanita cantik.
Tapi bagi Toan Ki, ia merasa syair itu masih belum cukup untuk melukiskan
betapa cantiknya patung di depan matanya ini.
Untuk sekian lamanya ia
termenung-menung di situ sambil memegangi cermin perunggu. Kemudian teringat
pula olehnya tulisan di papan perunggu di bawah kaki patung yang pernah
dibacanya itu. Kata tulisan itu, "Sesudah kau genap menjura seribu kali
padaku, itu berarti sudah menjadi muridku. Pengalamanmu selanjutnya akan sangat
mengenaskan, hendaklah kau jangan menyesal. Ilmu silat perguruan kita yang
tiada bandingannya di jagat ini berada di dalam ruangan batu ini, harap
melatihnya dengan tekun."
Malahan tempo hari waktu dia
berpisah dari patung itu pernah mengatakan, "Enci Dewi, aku tidak mau
menjadi muridmu, ilmu silatmu yang tiada bandingannya itu juga takkan
kupelajarinya."
Tapi kini sesudah memandang
lebih mesra terhadap patung itu, pikirannya menjadi kabur tak terkendali,
pikirnya sekarang, "Di manakah beradanya ilmu silat tiada bandingannya
itu? Apa barangkali terukir di atas cermin-cermin perunggu ini? Enci Dewi suruh
aku belajar silat, tak boleh tidak aku harus mempelajarinya
sekarang."
Berpikir begitu, segera ia
balik cermin perunggu tadi dan menghafalkan hitungan ke-64 segi Pat-kwa itu
lalu setindak demi setindak mulai berlatih.
Semula ia hanya melangkah
mengikuti petunjuk yang terukir di atas cermin itu tanpa mengetahui di mana
letak keajaibannya, terkadang tulisan di cermin itu sangat aneh, setelah
melangkah setindak, langkah selanjutnya menjadi buntu rasanya. Tapi ketika
kemudian mesti melompat sambil berputar tubuh, jalan selanjutnya terbuka lagi
dengan lancar. Sering pula harus disertai dengan melompat maju atau mundur
untuk bisa cocok dengan petunjuk di atas cermin itu.
Dasar Toan Ki memang sudah
biasa tekun belajar, maka sekali sudah mau, biarpun menemukan persoalan sulit
tentu dipecahkannya dengan peras otak baru mau berhenti. Dan bila kemudian
sudah paham, ia lantas berjingkrak girang seperti orang sinting. Pikirnya,
"Elok benar! Jadi ilmu silat juga bisa membikin orang senang, bahkan tidak
kurang menariknya daripada orang membaca kitab."
Lalu pikirnya pula, "Aku
tidak suka bikin susah atau membunuh orang, makanya selama ini aku tidak sudi
belajar silat. Tapi Poh-hoat (ilmu gerak langkah) ini tak bisa dipakai membunuh
orang, sebaliknya dapat menghindarkan maksud jahat musuh, kalau dipelajari, ada
manfaatnya tiada jeleknya. Sekalipun ilmu silat lainnya kalau digunakan untuk
menolong sesamanya, sebenarnya juga tidak jelek."
Begitulah, sekali dia sudah
suka, ia lantas merasa tiada salahnya belajar silat. Dan dengan demikian, ia
lantas belajar terlebih giat. Hanya dalam satu hari saja, Poh-hoat yang
tertulis di atas cermin itu sudah 2-3 bagian dapat dipahaminya.
Malamnya, ia merasa sangat
lapar. Segera ia keluarkan "Bong-koh-cu-hap" agar binatang itu
bersuara memanggil ular. Ia pilih seekor ular yang gemuk, lalu menyembelihnya,
ia keluar ke tepi sungai itu untuk mencari kayu bakar dan memanggang daging
ular untuk dimakan.
Selama beberapa hari, kecuali
makan ular dan tidur, senantiasa Toan Ki terbenam dalam pelajaran
"Leng-powi-poh" yang aneh itu. Terkadang kalau sudah malas, begitu mendongak
dan memandang patung dewi itu, ia lantas merasa patung cantik itu lagi
mengomeli dia, ia terkesiap dan kembali belajar lagi dengan tekun.
Hari keempat, seluruh
pelajaran ilmu langkah itu sudah dapat dihafalkannya. Selama itu sering juga
teringat olehnya akan Bok Wan-jing yang tak diketahui bagaimana nasibnya selama
digondol Lam-hay-gok-sin itu, tentu gadis itu lagi menunggu pertolongannya,
demikian pikirnya.
Tapi bila sinar matanya
kebentrok dengan pandangan patung cantik itu, ia menjadi seperti kesurupan dan
lupa daratan. Tapi kini ia telah ambil ketetapan yang tegas, "Aku harus
pergi menolong nona Bok dahulu, kemudian baru aku kembali lagi ke sini!"
Segera ia kembalikan cermin
perunggu itu ke tempat asalnya, sekilas ia dapat melihat pula bahwa di atas
cermin perunggu lain yang berada di lantai juga lorang-loreng penuh terukir
tulisan dan garis-garis. Ia tahu bila terus melatih ilmu di atas cermin itu,
tentu akan makan waktu beberapa hari lagi, padahal nona Bok masih berada di
bawah cengkeraman orang jahat dan sedang menanti kedatangannya untuk menolong.
Namun begitu, dalam hati
kecilnya timbul juga semacam rasa berat untuk meninggalkan patung cantik itu
Kalau dia pergi, jelas dirinya takkan mampu mengalahkan Lam-hay-gok-sin dan
terpaksa mengangkat guru padanya baru nona Bok mau dibebaskan. Padahal bila dia
disuruh angkat orang sejahat itu menjadi guru, Toan Ki merasa lebih suka mati
daripada mesti menurut.
Sebab itulah, pertentangan
batinnya menjadi hebat, ia ragu sampai sekian lama. Akhirnya merasa bila
dirinya tidak pergi menolong Bok Wan-jing, itu berarti tidak berbudi dan tak
bisa dipercaya, seorang laki-laki sejati tidak nanti berbuat demikian,
sekalipun akhirnya dirinya mesti celaka, sekali sudah berjanji harus ditepati.
Karena itu, segera ia menjura
kepada patung dewi itu, katanya, "Enci Dewi, bila aku bisa meloloskan diri
dari Lam-hay-gok-sin yang jahat itu dengan ilmu 'Leng-po-wi-poh' ajaranmu,
kelak tiap tahun aku pasti akan tinggal bersamamu di sini setengah tahun
lamanya."
Habis itu, segera ia bertindak
keluar gua dengan gaya berlenggang menurut gerak langkah Leng-po-wi-poh.
Tak tersangka, baru saja ia
menginjak sudut "Tay" dan menggeser ke segi "Koh,"
sekonyong-konyong suatu arus hawa panas menerjang ke atas dari dalam perutnya.
Seketika badannya terasa lumpuh, kontan ia ambruk ke lantai.
Dalam kagetnya cepat Toan Ki
bermaksud menahan lantai dengan tangannya untuk merangkak bangun. Tak terduga
semua anggota badannya juga terasa kaku pegal tak mau turut perintah lagi,
bahkan untuk menggerakkan sebuah jari saja terasa susah.
Kiranya
"Leng-po-wi-poh" yang tertera di atas cermin perunggu itu adalah
semacam ilmu silat mahatinggi, kalau orang melatihnya sudah mempunyai dasar
ilmu silat yang baik, maka setiap gerak-geriknya akan selalu disertai dengan
tenaga dalam yang kuat.
Sebaliknya Toan Ki sedikit pun
tidak mempunyai dasar Lwekang, jalannya tergantung ingatannya melulu,
melangkah sekali, pikir sekali
dulu, lalu berhenti, kemudian melangkah pula, cara demikian tidak menjadi
alangan karena pergolakan darah yang disebabkan gerak langkah itu mendapat
cukup waktu untuk berhenti.
Tapi kini sesudah dia hafal,
lalu sekaligus berjalan begitu saja, seketika darahnya berontak sehingga
menerjang balik, seketika ia lumpuh di lantai, hampir darahnya tersesat atau
apa yang disebut "Cau-hwe-jip-mo" dalam ilmu silat. Untung dia baru
melangkah dua tindak dan tidak terlalu cepat pula, maka urat nadinya tidak
sampai pecah atau putus.
Dalam keadaan kaget itulah,
Toan Ki coba meronta bangun, tapi semakin bergerak semakin kaku, rasanya ingin
tumpah, tapi tidak tumpah. Akhirnya ia menghela napas dan pasrah nasib.
Aneh juga, sesudah dia pasrah
masa bodoh, rasa mualnya malah hilang lambat laun.
Dan sekali dia sudah
menggeletak tak berkutik, keadaan itu berlangsung hingga esok paginya masih
tetap begitu. Diam-diam ia pikir, "Papan perunggu di bawah kaki Enci Dewi
itu tertulis bahwa pengalamanku selanjutnya akan sangat mengenaskan, aku
diminta jangan menyesal. Kalau aku cuma mati kelaparan begini saja, rasanya
masih belum terhitung mengenaskan."
kira-kira pukul 10 pagi itu,
sinar matahari menyorot miring dari luar hingga persis menerangi sebuah cermin
perunggu. Mata Toan Ki menjadi silau oleh pantulan cahaya matahari itu.
Pikirnya ingin menghindari sinar menyilaukan itu, tapi apa daya, antero badan
tak bisa bergerak. Tiba-tiba ia melihat di atas cermin itu samarsamar seperti
terukir huruf "Bi-ce", "Soi-ko" dan lain-lain. Oleh karena
kepalanya tak bisa bergerak, ia lantas baca tulisan itu secara cermat, lalu
direnungkan dalam-dalam.
Dari cermin pertama tadi ia
hanya dapat belajar 32 segi dari 64 segi itu. Kebetulan apa yang terukir di
atas cermin sekarang ini adalah sisa 32 segi yang lain. Segera ia
mempelajarinya lebih jauh.
Meskipun kakinya tak bisa
bergerak, tapi pikirannya bekerja seakan-akan kakinya lagi bergerak menurut
langkah yang ditunjukkan di atas cermin itu. Sampai petang, sudah ada belasan
langkah dapat dipahaminya, rasa muaknya jauh berkurang.
Jilid 10
Sampai esok paginya lagi,
ke-32 langkah itu sudah dapat dipecahkan seluruhnya. Diam-diam ia menghafalkan
lagi seluruh ke-64 segi itu dari awal sampai akhir. Dan nyatanya memang
berjalan dengan lancar.
Ibaratnya orang yang mogok di
tengah jalan karena menghadapi jalan buntu, kini mendadak jalan itu dapat
ditembus, keruan Toan Ki sangat girang, terus saja ia meloncat bangun sambil
bertepuk tangan dan berseru, "Bagus, bagus!”
Mendadak ia tertegun heran
teringat pada dirinya kini sudah dapat bergerak lagi tanpa terasa.
Kejut dan girang Toan Ki tidak
terkira, ia khawatir lupa, maka ke-64 gerak langkah itu diulanginya beberapa
kali hingga hafal benar-benar, ia melangkah perlahan setindak demi setindak
hingga akhirnya tercapai dengan bulat, ia merasa semangatnya tambah kuat dan
segar. Meski sudah beberapa hari tidak makan, tapi toh tidak terasa lapar.
Ia memberi hormat ke arah
patung dan mengucapkan terima kasih, lalu cepat berlari keluar dari gua itu.
Dengan mengikuti jalan yang pernah dilaluinya, ia melintasi "Sian-jin-toh”
dan kembali ke Bu-liang-san, akhirnya berjumpa pula dengan Bok Wan-jing.
Demikianlah ia ceritakan
pengalamannya itu kepada ayah dan paman, hanya mengenai patung cantik itu tidak
ia ceritakan, ia bilang menemukan dua buah cermin perunggu dan dari tulisan
ukiran di atas cermin itulah dapat diperoleh ilmu gerak langkah yang ajaib itu.
Ia merasa di hadapan orang
sebanyak itu tidak pantas menceritakan dirinya kesengsem atas sebuah patung
ayu, apalagi Bok Wan-jing tentu akan marah besar dan bukan mustahil dirinya
bisa digampar pula.
Selesai Toan Ki bercerita,
Po-ting-te lantas berkata, "Ke-64 gerak langkah itu terang mengandung
semacam ilmu Lwekang yang mahatinggi, coba kau lakukan sekali lagi dari awal
sampai akhir.”
Toan Ki mengiakan dan segera
mulai berjalan selangkah demi selangkah menurut perhitungan Pat-kwa.
Po-ting-te, Toan Cing-sun dan
Ko Sing-thay adalah ahli Lwekang, tapi terhadap keajaiban ilmu langkah itu
mereka cuma bisa menangkap
satu-dua bagian saja, selebihnya mereka pun merasa bingung.
Selesai Toan Ki melangkah
ke-64 segi itu, persis ia putar suatu lingkaran besar dan tiba kembali di
tempat semula.
Po-ting-te sangat girang,
serunya, "Bagus sekali! Poh-hoat ini tiada bandingannya di seluruh jagat,
sungguh beruntung sekali Ki-ji dapat memperolehnya, harap Ki-ji melatihnya
lebih masak. Sekarang silakan omong dengan ibumu yang baru pulang istana.”
Lalu ia berpaling pada
permaisurinya, "Marilah kita pulang!”
Honghou mengiakan sambil
berbangkit. Segera Toan Cing-sun dan lain-lain mengantar Hongte dan Honghou
keluar istana Tin-lam-ong.
Setelah berada di dalam istana
sendiri, segera Toan Cing-sun mengadakan perjamuan untuk menyambut pulangnya
sang istri dan datangnya Bok Wan-jing. Satu meja perjamuan hanya empat orang,
yaitu Toan Cingsun suami istri, Toan Ki dan Wan-jing, tapi dayang yang melayani
hampir 20 orang banyaknya.
Sudah tentu selama hidup Bok
Wan-jing belum pernah melihat kemewahan demikian, begitu pula semua masakan
yang disuguhkan di situ jangankan melihat, bahkan mendengar pun tidak pernah.
Tapi demi tampak ayah-bunda Toan Ki memandang dirinya sebagai anggota keluarga
sendiri, diam-diam ia pun sangat senang.
Melihat sikap ibunya terhadap
ayahnya tetap dingin saja, tidak mau minum arak dan tidak makan daging, hanya
dahar sedikit sayuran saja, segera Toan Ki menuang satu cawan arak dan berkata,
"Mak, marilah anak menghormati engkau secawan!”
"Tidak, aku tidak minum
arak,” sahut Yau-toan-siancu.
Tapi Toan Ki menuang lagi
secawan dan mengedipi Wan-jing, katanya pula, "Minumlah Mak, nona Bok juga
ingin menyuguh engkau secawan!”
Segera Bok Wan-jing mengangkat
cawan yang diangsurkan Toan Ki itu dan berdiri. Yau-toan-siancu menjadi tidak
enak kalau bersikap dingin terhadap Bok Wan-jing, maka katanya dengan
tersenyum, "Nona, putraku ini terlalu nakal, ayah-bundanya sukar
mengendalikan dia, selanjutnya perlu kau bantu mengawasi dia lebih keras.”
"Tentu,” sahut Wan-jing,
"kalau dia tidak menurut, kontan kujewer dia!”
Yau-toan-siancu mengikik geli
oleh jawaban itu sambil melirik sang suami. Dengan kikuk Toan Cing-sun tertawa,
ujarnya, "Memang harus begitu!”
Lalu Yau-toan-siancu menerima
cawan arak suguhan Bok Wan-jing itu. Di bawah sinar lilin yang terang, Wanjing
melihat lengan nyonya pangeran itu putih halus bagai salju. Tiba-tiba dapat
dilihatnya pula di punggung tangan dekat pergelangan terdapat sebuah
andeng-andeng (tembong) merah sebesar mata uang. Seketika badan Wan-jing
tergetar, cepat ia tanya dengan suara gemetar, "Apa ... apakah engkau ber
... bernama Si Pek-hong?”
"Dari mana kau tahu
namaku?” sahut Yau-toan-siancu dengan tertawa.
"Engkau ... benar-benar
Si Pek-hong?” Wan-jing menegas pula dengan terputus-putus. "Bukankah
dahulu engkau memakai senjata ... senjata pecut?”
Melihat sikap gadis itu rada
aneh, namun Yau-toan-siancu alias Si Pek-hong masih belum curiga, sahutnya pula
dengan tersenyum, "Sungguh Ki-ji sangat baik padamu, sampai nama kecilku
juga diberitahukan padamu.”
Mendadak Bok Wan-jing
berteriak, "Budi guru mahatinggi, perintah guru tidak boleh dibangkang!”
Berbareng tangannya bergerak,
dua batang panah beracun lantas menyambar ke dada Yau-toan-siancu.
Dalam perjamuan yang diliputi
suasana riang gembira di antara anggota keluarga sendiri itu, sudah tentu siapa
pun tidak menyangka bakal terjadi penyerangan mendadak dari Bok Wan-jing.
Biarpun ilmu silat Yau-toansiancu jauh lebih tinggi daripada Bok Wan-jing, tapi
jarak kedua orang sangat dekat, pula terjadinya secara tiba-tiba, tampaknya
kedua panah itu segera akan menancap di dada sasarannya.
Toan Cing-sun duduk di sebelah
kiri Bok Wan-jing, begitu melihat gelagat jelek, cepat jarinya menutuk, tapi
Ityang-ci yang lihai itu juga cuma membikin Bok Wan-jing tak bisa berkutik,
sedang kedua panah masih tetap menyambar ke depan.
Sebaliknya Toan Ki duduk di
sisi kanan, sudah beberapa kali ia pernah menyaksikan Bok Wan-jing menyerang
dengan panahnya yang berbisa maut itu. Maka begitu tampak gadis itu ayun
tangannya, segera ia tahu bakal celaka.
Ia tak mahir ilmu silat, tapi
dengan "Leng-po-wi-poh” yang cepat luar biasa, tahu-tahu ia menyelinap
mengadang di depan sang ibu hingga kedua panah berbisa tepat menancap di
dadanya. Berbareng itu Bok Wanjing sendiri merasa badan kaku dan tak bisa
berkutik karena ditutuk Toan Cing-sun.
Betapa cepatnya Tin-lam-ong,
menyusul sekaligus ia tutuk pula beberapa kali di sekitar luka Toan Ki yang
terpanah itu agar racun tidak menyerang lebih dalam. Habis itu, ia putar balik
dan memuntir tangan Bok Wanjing hingga terlepas dari ruasnya, dengan demikian
supaya gadis itu tak bisa melepaskan panah pula. Lalu ia bebaskan Hiat-to yang
ditutuknya dan membentak, "Lekas keluarkan obat penawarnya!”
"Aku ... aku tidak
bermaksud memanah Toan-long, aku ingin ... ingin membunuh Si Pek-hong!”
demikian jerit Wan-jing setengah meratap. Dengan menahan sakit lengannya yang
keseleo, cepat ia keluarkan dua botol kecil obat penawar racun, katanya,
"Yang merah diminum, yang putih bubuhkan pada lukanya, lekas, harus lekas!
Kalau terlambat tidak keburu tertolong lagi!”
Yau-toan-siancu melotot sekali
kepada gadis itu, melihat begitu perhatiannya terhadap putranya yang
sungguhsungguh timbul dari lubuk hatinya, diam-diam ia dapat menduga sebab
musabab kejadian ini. Segera ia rebut obat penawar itu dan mengobati Toan Ki
menurut petunjuk Bok Wan-jing tadi.
"Terima kasih kepada
langit dan bumi bahwa ... bahwa jiwanya dapat diselamatkan, kalau ... kalau
tidak ....” demikian Bok Wan-jing tak sanggup meneruskan lagi ratapannya.
Sementara itu setelah
terpanah, Toan Ki lantas jatuh pingsan di pangkuan sang ibu. Suami-istri Toan
Cing-sun terus memerhatikan luka Toan Ki, melihat darah yang mengalir keluar
dari luka itu dari hitam sudah berubah ungu, lalu menjadi merah kembali, mereka
baru merasa lega karena tahu jiwa sang putra sudah dapat diselamatkan.
Segera Yau-toan-siancu pondong
putranya ke dalam kamar, lalu keluar lagi ke ruangan makan itu.
"Tidak apa-apa bukan?”
tanya Toan Cing-sun pada sang istri.
Tapi Yau-toan-siancu tak
menjawabnya, sebaliknya lantas berkata kepada Bok Wan-jing, "Pergilah kau
dan katakan pada Siu-lo-to Cin Ang-bian bahwa ....”
Mendengar disebutnya
"Siu-lo-to Cin Ang-bian” itu, seketika air muka Toan Cing-sun berubah
hebat, tanyanya dengan tergegap, "Kau ... kau bilang apa?”
Tapi Yau-toan-siancu tak
menggubrisnya, ia tetap berkata kepada Wan-jing, "Katakanlah padanya, jika
dia menginginkan jiwaku, pakailah cara terbuka dan terang-terangan, tapi kalau
main licik begini, tentu akan dibuat tertawaan orang saja.”
"Aku tidak kenal siapa
gerangan Siu-lo-to Cin Ang-bian!” jawab Wan-jing keras-keras.
"Habis, siapa yang
menyuruhmu membunuh diriku!” tanya Siancu.
"Guruku,” sahut Wan-jing.
"Guruku menyuruhku membunuh dua orang. Yang seorang adalah engkau. Beliau
menerangkan padaku bahwa pada tanganmu ada tembong merah besar, namanya Si
Pek-hong, parasnya cantik, bersenjata pecut. Tapi dia tidak bilang engkau
berdandan sebagai To-koh (imam wanita). Kulihat engkau memakai kebut pertapaan,
bernama Yau-toan-siancu pula, sungguh tidak nyana bahwa engkaulah orang yang
harus kubunuh menurut perintah guruku, lebih-lebih tak kusangka bahwa engkau adalah
ibu Toan-long ....”
Berkata sampai di sini, tak
tertahan lagi air matanya bercucuran.
"Dan orang kedua yang
ingin dibunuh gurumu bukankah juga seorang wanita cantik, tangan kanannya
kehilangan tiga jari?” tanya Si Pek-hong alias Yau-toan-siancu.
"Benar,” seru Wan-jing
heran. "Dari mana engkau tahu? Wanita itu katanya she Keng ....”
Tiba-tiba pipi Si Pek-hong
basah oleh air mata yang berlinang-linang, ia pikir sejenak, lalu berkata
kepada sang suami, "Cing-sun, harap kau rawat Ki-ji baik-baik!”
"Pek-hong,” sahut
Tin-lam-ong, "suka duka masa lalu buat apa tetap kau pikir?”
"Kau tidak pikir, tapi
aku tetap memikirnya dan orang lain pun tidak pernah melupakannya,” sahut Si
Pek-hong dengan rasa pedih. Habis ini, sekonyong-konyong ia melompat keluar melalui
jendela.
Cepat Toan Cing-sun hendak
menarik lengan bajunya, namun Si Pek-hong sempat angkat tangannya terus dan
mengebas ke muka sang suami, untung Tin-lam-ong sempat mengegoskan kepalanya,
"bret,” hanya kain lengan baju Si Pek-hong kena dirobeknya.
"Apa kau ajak berkelahi?”
seru Si Pek-hong dengan gusar sambil menoleh.
"Pek-hong, kau ....” baru
sekian Toan Cing-sun menjawab, segera Si Pek-hong melesat pergi dengan cepat.
Dari jauh terdengar bentakan
Leng Jian-li yang keras, "Siapa itu?”
Lalu terdengar Si Pek-hong
menjawab, "Aku!”
Terdengar Leng Jian-li berseru
gugup, "Ah, kiranya Onghui!”
Habis itu, lalu sunyi senyap
tiada suara lagi.
Cing-sun termangu-mangu
berdiri di tempatnya, akhirnya ia menghela napas dan memandang Bok Wan-jing yang
sementara itu tampak pucat pasi menahan sakit, tapi toh tidak melarikan diri.
Ia mendekati gadis itu dan pegang lengannya, "krak,” ia betulkan lagi ruas
tulang yang sengaja dipuntir keseleo tadi.
"Aku telah panah
istrinya, entah siksaan keji apa yang hendak dilakukannya atas diriku?”
demikian Wan-jing membatin.
Tak terduga Toan Cing-sun
hanya diam saja, dengan lesu kemudian ia berduduk di atas kursinya, perlahan ia
angkat cawan araknya tadi dan diminum habis sekaligus. Pandangannya terpaku ke
arah perginya Si Pek-hong tadi dengan termangu-mangu.
Sejenak kemudian, ia menuang
arak dan ditenggak habis lagi. Dengan cara menuang sendiri dan minum sendiri,
tidak lama sudah 13 cawan dikeringkannya, kalau poci arak yang satu sudah
kering, lantas menuang dari poci yang lain. Menuangnya sangat lambat, tapi
meneguknya sangat cepat.
Makin lama Bok Wan-jing
menjadi semakin kesal, saking tak tahan, akhirnya ia berteriak keras-keras,
"Cara bagaimana hendak kau siksa aku, lekas kau lakukan!”
Baru sekarang Toan Cing-sun
mendongak ke arahnya serta memandangnya tanpa berkedip. Selang agak lama, ia
berkata, "Sungguh mirip! Seharusnya dapat kulihat sejak tadi. Ya,
beginilah wajahnya dan beginilah tabiatnya ....”
Mendengar ucapan yang tak
keruan tujuannya, Bok Wan-jing berseru pula, "Kau bilang apa? Ngaco-belo!”
Tapi Cing-sun tak menjawabnya,
tiba-tiba ia berbangkit, perlahan telapak tangan kiri memotong miring ke
belakang dengan perlahan, tahu-tahu sumbu lilin yang berkobar di belakangnya
terpadam sebatang. Menyusul telapak tangan kanan memotong pula ke belakang dan
lagi-lagi api lilin yang lain disirapkan.
Berturut-turut ia memadamkan
lima batang api lilin, tapi pandangannya selalu melihat ke depan, gerak
tangannya perlahan, tapi enteng dan indah gayanya.
"He, bukankah ini ...
‘Ngo-lo-gin-yan-ciang’? Kenapa engkau juga bisa?” demikian tanya Wan-jing
dengan heran dan terkejut.
"Pernahkah gurumu
mengajarkan ilmu ini kepadamu?” tanya Cing-sun dengan tersenyum getir.
"Tidak pernah,” sahut si
gadis. "Suhu bilang kepandaianku belum cukup masak untuk berlatih ilmu
pukulan ini. Pula, Suhu menyatakan ilmu pukulannya ini pasti takkan diturunkan
pada orang lain, kelak akan dibawa serta ke liang kubur.”
"O, jadi dia bilang takkan
mengajarkannya pada orang lain dan akan dibawa serta ke liang kubur kelak?”
Cingsun menegas.
"Ya,” sahut Wan-jing.
"Cuma Suhu masih sering melatihnya di luar tahuku, karena itu diam-diam
aku sudah sering melihatnya juga.”
"Dia sering berlatih ilmu
pukulan ini seorang diri?” Cing-sun menegas pula.
Wan-jing mengangguk, sahutnya,
"Ya, setiap kali Suhu berlatih ilmu pukulan ini, tentu dia uring-uringan
dan mendamprat aku. Tapi ken ... kenapa kau pun bisa? Eh, malahan engkau
seperti lebih pandai memainkannya daripada guruku.”
Toan Cing-sun menghela napas,
katanya, "Ilmu ‘Ngo-lo-gin-yan-ciang’ ini akulah yang mengajarkan kepada
Suhumu.”
Wan-jing terkejut, tapi ia
percaya. Sebab setiap kali gurunya berlatih pukulan ini, sering kali diperlukan
duatiga kali gerakan baru dapat memadamkan api lilin. Tapi Toan Cing-sun cukup
sekali kebas sudah bisa sirapkan api lilin, geraknya indah dan dilakukan
seperti seenaknya saja. Maka dengan tak lancar ia tanya pula, "Jadi engkau
adalah gurunya Suhuku? Engkau adalah ... adalah kakek guruku?”
"Bukan!” sahut
Tin-lam-ong dengan menggeleng kepala. Kemudian ia komat-kamit sendiri sambil
bertopang dagu, "Setiap kali dia berlatih tentu uring-uringan dan
menyatakan ilmu ini takkan diajarkan pada orang lain, tapi akan dibawa ke liang
kubur ....”
"Dan bagaimana engkau
....?”
Baru Wan-jing hendak tanya,
tiba-tiba Toan Cing-sun menggoyang tangan mencegahnya supaya jangan bersuara.
Lewat sebentar, ia tanya pula, "Tahun ini kau berumur 18, kau lahir dalam
bulan sembilan, betul tidak?”
"He, dari mana kau tahu?
Engkau pernah hubungan apa dengan Suhuku?” tanya Wan-jing heran.
Maka tertampaklah air muka
Toan Cing-sun penuh rasa derita, dengan suara parau ia menjawab, "Aku
merasa ber ... berdosa pada gurumu, berdosa pula ... padamu, Wan-jing, kau
....”
"Ada apa?” sahut si nona.
"Kulihat engkau ini sangat ramah tamah, sangat baik.”
"Apakah nama gurumu tak
pernah diberitahukan padamu?” tanya Cing-sun pula.
"Suhu bilang namanya
‘Bu-beng-khek’, tapi sebenarnya she apa dan namanya siapa, aku tidak
mengetahuinya.”
"Bagaimana penghidupan
gurumu selama bertahun-tahun ini? Di mana kalian tinggal?” tanya Cing-sun lebih
jauh.
"Kami tinggal di balik
suatu gunung yang tinggi dan tidak pernah bertemu dengan siapa pun, sejak kecil
aku pun demikian.” sahut si gadis.
"Siapakah ayah-bundamu,
apakah tak diberi tahu oleh gurumu?”
"Kata Suhu, aku adalah
anak piatu yang dibuang oleh orang tua, Suhu menemukan aku di tepi jalan.”
"Kau benci pada
ayah-bundamu atau tidak?”
Bok Wan-jing tidak lantas
menjawab, ia menggigit-gigit kuku jarinya, berpikir sambil miringkan kepala.
Melihat sikap demikian itu,
tak tertahan lagi hati Toan Cing-sun menjadi pilu dan meneteskan air mata.
Wan-jing tambah heran melihat
pangeran itu menangis, tanyanya, "He, kenapa engkau menangis?”
Lekas Tin-lam-ong berpaling
dan mengusap air matanya, lalu paksakan diri tertawa dan menjawab, "Ah,
masakah aku menangis? Karena pengaruh arak, mataku menjadi pedas!”
Sudah tentu si gadis tak
percaya, katanya, "Terang kulihat engkau menangis. Biasanya cuma wanita
yang menangis, jadi laki-laki juga bisa menangis? Aku tak pernah melihat orang
laki-laki menangis, kecuali anak kecil.”
Melihat gadis itu sama sekali
tidak mengerti peradaban orang hidup, Tin-lam-ong menjadi lebih terharu,
katanya kemudian, "Wan-jing, harus kujaga baik-baik dirimu barulah dapat
sekadar mengganti kesalahanku yang lalu, adakah sesuatu cita-citamu, coba
katakan padaku, pasti akan kulaksanakan sepenuh tenaga bagimu.”
Sebenarnya hati Bok Wan-jing
kebat-kebit karena habis memanah nyonya Toan, tapi demi mendengar ucapan Toan
Cing-sun ini, ia menjadi girang, serunya, "Jadi engkau tidak marah lagi
karena aku memanah istrimu?”
"Justru seperti apa yang
kau katakan tadi, ‘budi guru mahatinggi, perintah guru sukar dibantah’, urusan
orang tua masa dahulu tiada sangkut pautnya dengan dirimu, maka aku takkan
marah padamu. Cuma lain kali jangan lagi kurang sopan kepada istriku.”
"Tapi kelak bila ditanya
Suhuku lantas bagaimana?” kata Wan-jing.
"Bawalah aku menemui
gurumu, biar kubicara padanya,” kata Cing-sun.
"Bagus!” seru Wan-jing
dengan girang sambil bertepuk tangan. Tapi segera ia berkata pula dengan
berkerut kening, "Namun guruku sering bilang bahwa laki-laki di dunia ini
semuanya berhati palsu. Selamanya dia tidak sudi menemui orang laki-laki.”
Sekilas Cing-sun mengunjuk
rasa heran, tanyanya cepat, "Gurumu selamanya tidak mau bertemu dengan
orang laki-laki?”
"Ya, untuk keperluan
sehari-hari, Suhu selalu suruh pelayan perempuan tua yang melakukannya,” sahut
Wanjing. "Satu kali, pelayan tua itu sakit dan suruh putranya mewakili
belanja keperluan dapur, Suhu menjadi marah dan suruh dia taruh jauh-jauh di
luar pintu dan melarangnya masuk ke rumah.”
"Ai, Ang-bian! Buat apa
engkau menyiksa diri begitu?” demikian gumam Cing-sun sambil menghela napas.
"Kau sebut ‘Ang-bian’
lagi, sebenarnya siapakah gerangan ‘Ang-bian’ itu?” tanya Wan-jing.
"Urusan ini tak dapat
membohongimu selamanya, biarlah kukatakan padamu. Gurumu asalnya bernama Cin
Ang-bian, orang memberi julukan Siu-lo-to (si Hantu Ayu) padanya.”
"O, kiranya begitu!
Pantas begitu melihat caraku membidikkan panah, nyonyamu lantas tanya aku
pernah hubungan apa dengan Siu-lo-to Cin Ang-bian. Tatkala itu aku benar-benar
tidak tahu, jadi bukan sengaja berdusta. Kiranya guruku bernama Cin Ang-bian.
Ehm, indah benar namanya!”
"Tadi aku telah puntir
tanganmu, masih sakit tidak sekarang?” tanya Cing-sun dengan menyesal.
Melihat sikap pangeran itu
begitu ramah tamah, dengan tersenyum Wan-jing menjawab, "Sekarang sudah
baik. Marilah kita pergi menjenguknya? Kukhawatir racun panahku itu belum lagi
bersih dari lukanya.”
"Baiklah.” sahut Cing-sun
sambil berbangkit. Lalu katanya pula, "Kau mempunyai keinginan apa, coba
katakan padaku.”
Paras Bok Wan-jing menjadi
merah jengah, ia menunduk dan menyahut, "Sesudah ... sesudah kupanah
istrimu, kukhawatir dia ... dia akan marah padaku.”
"Kita minta maaf padanya,
boleh jadi dia takkan marah lagi,” kata Cing-sun.
"Sebenarnya aku tidak
pernah minta maaf pada siapa pun juga. Tapi demi Toan-long, tidak apalah biar
kuminta ampun padanya kelak,” habis ini, tiba-tiba Wan-jing memberanikan diri
dan berkata pula, "Tin-lam-ong, apabila kukatakan cita-citaku, apa benar
engkau akan ... akan melaksanakannya bagiku?”
"Sudah tentu, asal
tenagaku mampu untuk melakukannya, pasti akan kulaksanakan bagimu,” sahut
Cing-sun.
"Apa yang kau katakan
ini, jangan kau mungkir janji,” ujar Wan-jing.
Tin-lam-ong tersenyum, ia
mendekati si gadis dan membelai rambutnya dengan penuh rasa kasih sayang,
jawabnya, "Aku pasti takkan mungkir janji.”
"Baiklah, jika begitu,
urusan pernikahan kami harap engkau melaksanakannya, dia tidak boleh
mengingkari janji dan berhati palsu,” habis mengucapkan kata-kata ini, wajah
Wan-jing tampak berseri-seri.
Sebaliknya air muka Toan
Cing-sun berubah guram dan perlahan menyurut mundur, lalu jatuhkan diri di atas
kursinya dengan lesu. Sampai lama sekali tetap tidak bicara.
Melihat gelagatnya kurang
benar, segera Bok Wan-jing mendesak lebih jauh, "Engkau ... engkau
menyanggupi tidak?”
"Tidak, kau pasti tidak
boleh menikah dengan Ki-ji,” sahut Cing-sun kemudian dengan suara parau berat,
tapi tegas.
Seketika hati Bok Wan-jing
menjadi dingin, seakan-akan diguyur seember air, tanyanya dengan
terputus-putus, "Sebab apa? Se ... sebab? Dia ... dia sendiri sudah
berjanji padaku.”
Tapi Toan Cing-sun hanya
menjawab singkat, "Karma, karma!”
Wan-jing semakin gugup,
serunya, "Jika dia tidak mau lagi padaku, aku ... aku lantas membunuhnya,
lalu ... lalu membunuh diri. Sebab aku telah ... telah bersumpah di hadapan
Suhu.”
"Tidak bisa!” sahut
Cing-sun sambil geleng kepala perlahan.
"Mengapa tidak? Biar
kutanya dia!”
"Ki-ji sendiri pun tidak
tahu,” ujar Cing-sun. Dan ketika melihat rasa duka si gadis yang memilukan itu
mirip benar dengan kejadian 18 tahun yang lalu, di mana ketika mendadak Cin
Ang-bian mendengar berita duka, tidak bisa menahan perasaannya lagi,
tercetuslah dari mulutnya, "Kau tak boleh menikah dengan Ki-ji, juga tak
boleh membunuhnya!”
"Sebab apa?”
"Sebab ... sebab Toan Ki
adalah kakakmu sendiri!”
Seketika mata Bok Wan-jing
terbelalak lebar, sungguh ia tidak percaya pada telinga sendiri, tanyanya
dengan suara gemetar, "Ap ... apa katamu? Kau ... kau bilang Toan-long
adalah kakakku?”
"Ya,” sahut Cing-sun
tegas. "Wan-jing, apa kau tidak tahu siapakah sebenarnya gurumu itu? Dia
adalah ibu kandungmu dan aku ini ayahmu!”
Terperanjat dan gusar tak
terhingga rasa Bok Wan-jing hingga wajahnya pucat pasi, katanya dengan
terputusputus, "Aku tidak ... tidak percaya, aku tidak percaya!”
Sekonyong-konyong terdengar
seorang menghela napas panjang di luar jendela, lalu suara seorang wanita
berkata, "Wan-jing, marilah kita pulang saja!”
"Hei, Suhu!” teriak
Wan-jing sambil putar tubuh dengan cepat.
"Srek,” mendadak jendela
terbuka, maka tertampaklah di luar berdiri seorang wanita setengah umur,
berwajah bulat telur, alis lentik, mata jeli, parasnya sangat cantik, sinar
matanya bercahaya bengis menandakan kekerasan hatinya.
Melihat bekas kekasihnya,
yaitu Siu-lo-to Cin Ang-bian mendadak muncul di situ, Toan Cing-sun kaget dan
girang, serunya keras,
"Ang-bian, Ang-bian! Selama beberapa tahun ini, entah betapa aku
merindukan dikau!”
Namun Cin Ang-bian tidak
menjawab, katanya pula kepada Bok Wan-jing, "Wan-jing, marilah keluar!
Rumah manusia yang tipis budi dan berhati palsu, jangan tinggal terlalu lama di
sini!”
Melihat sikap sang guru
terhadap Toan Cing-sun itu, perasaan Bok Wan-jing menjadi lebih tertekan,
serunya tak lancar, "Suhu, dia ... dia dusta padaku, katanya engkau adalah
... adalah ibuku dan dia ... dia ayahku.”
"Ibumu sudah lama
meninggal, begitu pula ayahmu,” sahut Cin Ang-bian dengan dingin.
Mendadak Toan Cing-sun berlari
ke ambang jendela, serunya dengan suara memohon, "Ang-bian, marilah masuk
ke sini, biar kupandang engkau barang sebentar. Jangan lagi engkau tinggalkan
daku, marilah selanjutnya kita hidup berdampingan bersama.”
Tiba-tiba sinar mata Cin
Ang-bian berkilat-kilat, tanyanya, "Kau bilang kita akan hidup
berdampingan untuk selama-lamanya? Benar demikian maksudmu?”
"Ya, benar, benar!” sahut
Cing-sun. "O, Ang-bian, selama ini tidak pernah sedetik pun kulupakan
dikau.”
"Tapi apa engkau tega
meninggalkan Si Pek-hong?” tanya Ang-bian.
Cing-sun tertegun, ia ragu dan
tidak bisa menjawab, wajahnya mengunjuk rasa serbasulit.
Maka Cin Ang-bian berkata
pula, "Bila engkau masih menaruh kasihan kepada putri kita ini, maka
marilah engkau ikut pergi bersamaku dan selanjutnya tidak boleh ingat lagi pada
Si Pek-hong, untuk selama-lamanya jangan pulang lagi ke sini.”
Mengikuti percakapan itu,
perasaan Bok Wan-jing jadi semakin tenggelam, makin tertekan, air matanya
berkilau di kelopak matanya hingga bayangan sang guru dan Toan Cing-sun tampak
samar-samar.
Sekarang ia yakin bahwa kedua
orang di hadapannya ini memang benar-benar adalah ayah-bunda kandung sendiri.
Dan yang lebih memukul perasaannya adalah kekasih yang selama ini dicintainya
itu ternyata adalah saudara laki-laki sendiri dari satu ayah lain ibu. Maka
segala impian muluk yang pernah dibayangkan olehnya
selama ini dalam sekejap saja
telah buyar sirna semua!
Terdengar Toan Cing-sun
menjawab, "Tapi, Ang-bian, aku adalah ... adalah Tin-lam-ong kerajaan
Tayli ini, aku memegang kekuasaan militer dan sipil, sebentar ... sebentar pun
tak boleh meninggalkannya ....”
"Delapan belas tahun yang
lalu kau bilang demikian, delapan belas tahun kemudian engkau tetap berkata
begini, Toan Cing-sun, wahai Toan Cing-sun, engkau manusia berhati palsu dan
tipis budi ini, aku benci ... benci padamu ....” demikian mendadak Cin Ang-bian
mendamprat dengan suara bengis.
Pada saat itu juga tiba-tiba
terdengar di atas rumah sebelah timur sana ada suara orang bertepuk tangan
beberapa kali, lalu dari sebelah barat juga ada orang membalas dengan bertepuk
tangan, begitu pula dari kedua jurusan yang lain.
Menyusul mana lantas terdengar
suara Ko Sing-thay dan Leng Jian-li sedang berseru, "Ada musuh! Para
saudara harap jaga di tempat masing-masing dan jangan sembarangan bergerak.”
Melihat keadaan mulai genting,
segera Cin Ang-bian membentak, "Wan-jing, kenapa kau belum keluar?”
Wan-jing mengiakan dan
melayang keluar jendela dan menubruk ke pangkuan sang guru merangkap ibunda
tercinta.
"Ang-bian, apa
benar-benar engkau akan meninggalkan aku begini saja?” tanya Cing-sun. Ketika
ia pandang ke atas rumah, ternyata di empat penjuru sudah penuh terjaga dengan
orang.
Hendaklah diketahui bahwa di
dalam istana pangeran Tin-lam-ong ini banyak berkumpul tamu terhormat, tidak
sedikit jago silat kelas tinggi yang mengabdi di bawahnya dan dipimpin oleh
Sian-tan-hou Ko Sing-thay bersama tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok, maka sekali ada
tanda bahaya, serentak para jago itu lantas siap siaga di tempatnya
masing-masing.
Tiba-tiba Cin Ang-bian
menjawab dengan suara rawan, "Sun-ko, sudah berpuluh tahun engkau menjadi
Ongya, rasanya juga sudah cukup. Marilah ikut padaku, selanjutnya aku akan
menurut pada segala keinginan dan perintahmu, sekecap pun aku takkan memakimu
dan sedikit pun aku takkan memukulmu. Lihatlah putri kita yang cantik ini,
masakah tidak disayang olehmu?”
Tergerak hati Toan Cing-sun,
serunya tanpa pikir, "Baik, aku ikut pergi bersamamu!”
Girang sekali Cin Ang-bian, ia
ulurkan tangan kanan menantikan jabatan tangan Toan Cing-sun.
Tapi mendadak terdengar suara
seorang wanita sedang berkata dengan dingin di belakang, "Cici, kembali
engkau diakali lagi. Paling-paling dia cuma mempermainkan engkau beberapa hari
saja, lalu pulang ke sini pula untuk menjadi Ongya!”
Terguncang perasaan Toan
Cing-sun demi mengenali suara itu, serunya, "He, A Po, jadi engkau juga datang!”
Waktu Wan-jing berpaling, ia
lihat orang yang bicara itu adalah seorang wanita berbaju sutra hijau, ternyata
adalah Ciong-hujin dari Ban-jiat-kok. Di belakangnya terdapat pula tiga orang,
yaitu Yap Ji-nio dan In Tiongho, seorang lagi adalah Lam-hay-gok-sin yang sudah
pergi tadi, tahu-tahu kini kembali lagi. Bahkan yang lebih mengejutkan Bok
Wan-jing adalah Lam-hay-gok-sin itu memondong pula seorang yang ternyata adalah
Toan Ki.
"He, Toan-long, bagaimana
engkau?” seru Wan-jing khawatir.
Tadinya Toan Ki rebah di
tempat tidurnya dalam keadaan terluka, dalam keadaan sadar tak sadar, tiba-tiba
Lam-hay-gok-sin melompat masuk ke kamarnya serta memondongnya lari. Saking
kagetnya pikiran Toan Ki menjadi sadar malah, sebab itulah ia dapat mendengar
sebagian percakapan antara ayahnya dan Bok Wan-jing serta Cin Ang-bian. Meski
tidak seluruhnya dapat didengar, namun ia sudah dapat meraba sebagian besar
duduknya perkara.
Kini mendengar gadis itu masih
memanggil dirinya sebagai "Toan-long,” ia menjadi pilu, sahutnya dengan
rawan, "Moaycu (adikku), selanjutnya asalkan kita kakak beradik selalu
kasih sayang, bukankah serupa juga.”
"Tidak, jauh bedanya!”
seru Wan-jing dengan gusar, "Engkau adalah lelaki pertama yang telah
melihat wajahku.”
Tapi bila dia ingat bahwa
pemuda itu adalah saudara satu ayah dengan dirinya, betapa pun kakak dan adik
tidak mungkin boleh kawin. Bila dalam hal ini kekuatan manusia yang coba
merintangi pernikahan mereka, tentu ia bisa binasakan orang itu dengan panah
beracunnya. Tapi kini yang menjadi pengalang mereka adalah takdir Ilahi,
biarpun setinggi langit ilmu silatnya atau mempunyai kekuasaan juga tidak mampu
menghapusnya.
Seketika itu perasaan Bok
Wan-jing serasa hampa. Dalam keadaan putus asa, tanpa pikir ia melompat keluar
kamar terus berlari pergi.
"Wan-jing, Wan-jing!
Hendak ke mana kau?” seru Cin Ang-bian khawatir.
Namun Wan-jing tidak gubris
lagi pada sang guru merangkap ibunda tersayang itu, serunya, "Engkau bikin
susah padaku, aku takkan peduli padamu lagi.”
Berbareng itu, larinya
bertambah cepat.
"Siapa itu?” tiba-tiba di
depan mengadang seorang pengawal istana.
Tanpa menjawab lagi Bok
Wan-jing terus bidikkan sebatang panah hingga mengenai tenggorokan pengawal itu
dan roboh terjungkal. Si gadis sendiri setindak pun tidak berhenti, hanya dalam
sekejap saja bayangan tubuhnya yang ramping itu sudah menghilang dalam kegelapan.
Melihat putranya digondol
Lam-hay-gok-sin, Toan Cing-sun menjadi khawatir, ia tidak urus lagi ke mana
putrinya lari pergi, tapi jarinya terus bekerja, kontan Lam-hay-gok-sin hendak
ditutuk.
Namun dari samping Yap Ji-nio
menangkis sambil memotong urat nadi pergelangan Cing-sun. Cepat pangeran itu
baliki tangannya untuk menangkap tangan lawan, tapi tahu-tahu Yap Ji-nio malah
menjentik punggung tangan Cing-sun dengan jari tengahnya.
Begitulah dengan cepat lawan
cepat, hanya sekejap saja kedua orang sudah saling serang beberapa jurus.
Diam-diam Toan Cing-sun terkesiap, "Sungguh hebat perempuan ini.”
"Toan Cing-sun!”
tiba-tiba Cin Ang-bian berseru sambil ulur tangan mengancam di atas kepala Toan
Ki. "Kau masih inginkan jiwa putramu atau tidak?”
Cing-sun terkejut, cepat ia
berhenti menyerang lagi. Ia cukup kenal wataknya Cin Ang-bian yang aneh,
bencinya kepada Si Pek-hong, yaitu istrinya sendiri sekarang ini boleh dikata
merasuk tulang, maka bukan mustahil bila jiwa Toan Ki benar ditamatkan olehnya.
Cepat ia menjawab, "Ang-bian, luka anakku sangat parah karena dipanah oleh
putrimu.”
"Dia sudah diberi obat
penawar, takkan mati, biarlah sementara ini aku membawanya pergi,” demikian
kata Cin Ang-bian pula. "Dan kau boleh pilih, inginkan putramu atau lebih
suka tetap menjadi Ongya.”
"Hahahaha!” tiba-tiba
Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak. "Bocah ini akhirnya toh harus juga
mengangkat guru padaku!”
"Ang-bian,” sahut
Cing-sun kemudian, "biarlah kuterima segala permintaanmu, asal engkau
bebaskan putraku.”
Sebenarnya cinta Cin Ang-bian
kepada Toan Cing-sun belum pernah tawar biarpun sudah lewat 18 tahun lamanya.
Maka demi mendengar ucapan Toan Cing-sun yang penuh rasa khawatir itu, hatinya
menjadi lemas, sahutnya, "Apa ben ... benar engkau akan menurut segala permintaanku?”
"Ya, ya!” seru Cing-sun
tanpa pikir.
"Cici, jangan kau percaya
lagi kepada laki-laki yang berhati palsu ini,” tiba-tiba Ciong-hujin menyela,
"Gaksiansing, marilah kita pergi!”
Tanpa bicara lagi
Lam-hay-gok-sin melompat ke atas, sekali membalik badan di udara, ia tancap
kaki di atas rumah seberang sana, menyusul terdengar suara gedebuk dua kali,
Yap Ji-nio dan In Tiong-ho masing-masing telah merobohkan dua jago pengawal
istana yang berusaha hendak merintangi Lam-hay-gok-sin.
Toan Cing-sun tahu meski
mengerahkan antero kekuatan penjaga istana belum tentu kawanan musuh itu bisa
dicegat. Namun keselamatan putranya sendiri terancam, betapa pun tidak boleh
bertindak gegabah, tindakan kekerasan bukan tindakan yang baik, apalagi dua
wanita di hadapannya ini sangat luar biasa hubungannya dengan dirinya. Maka
terpaksa ia menyahut dengan halus, "A Po, ken ... kenapa engkau juga
ikut-ikut memusuhi aku?”
"Aku adalah istri Ciong
Ban-siu, jangan sembarangan kau panggil, tahu?” seru Ciong-hujin.
"A Po, selama ini,
sungguh aku sangat merindukan dikau,” demikian Toan Cing-sun merayu pula.
Ciong-hujin menjadi terharu,
matanya merah basah, sikapnya berubah lunak seketika, sahutnya rawan,
"Tempo hari, begitu kulihat Toan-kongcu, segera aku ... aku tahu dia
adalah anakmu.”
"Sumoay, sekarang kau
sendiri kena dibujuk olehnya!” seru Cin Ang-bian.
"Ya, baiklah, mari kita
pergi!” sahut Ciong-hujin sambil tarik tangan Ang-bian. Lalu ia berpaling
kepada Cingsun, "Bila engkau menginginkan putramu dengan baik-baik,
bawalah Si Pek-hong sambil menyembah tiap langkah pergi ke Ban-jiat-kok.”
"Ban-jiat-kok?” Cing-sun
menegas.
Sementara itu dilihatnya
Lam-hay-gok-sin sudah makin jauh berlari pergi dengan menggondol Toan Ki. Ko
Sing-thay, Leng Jian-li dan lain-lain tampak sedang mengudak dan mencegat dari
berbagai jurusan.
Cing-sun menghela napas,
serunya kemudian, "Ko-hiante, biarkan mereka pergi!”
Sahut Ko Sing-thay, "Tapi
Siauongya ....”
"Biarlah, perlahan kita
cari akal lain,” kata Cing-sun. Sembari bicara, ia terus memburu Ko Sing-thay
dan berkata pula, "Musuh sudah pergi, semua orang supaya kembali ke
tempatnya masing-masing.”
Habis itu, mendadak ia
melompat ke samping Ciong-hujin, katanya dengan suara halus, "A Po,
baik-baikkah engkau selama ini?”
"Sudah tentu, apa yang
kurang baik?” sahut Ciong-hujin ketus.
Sekonyong-konyong jari Toan
Cing-sun terus bekerja, secepat kilat ia telah tutuk "Tan-tiong-hiat” di
dada nyonya itu. Dalam keadaan tak berjaga-jaga, kontan Ciong-hujin roboh.
Cepat Cing-sun tahan tubuh
nyonya itu dengan tangan kiri sambil pura-pura kaget dan berseru, "He, A
Po, ken ... kenapa engkau?”
Keruan Cin Ang-bian ikut
terkejut, tanpa curiga ia lantas mendekat dan tanya dengan khawatir, "Ada
apa, Sumoay?”
Dan tatkala Ang-bian
berjongkok hendak memeriksa keadaan Ciong-hujin, secepat kilat jari Toan
Cing-sun bekerja lagi, tepat Hiat-to Cin Ang-bian kena ditutuknya juga.
Dalam keadaan tertutuk kaku,
Cin Ang-bian dan Ciong-hujin dipeluk oleh kedua belah tangan Toan Cing-sun,
mereka sama melototi pangeran bangor itu, dalam hati masing-masing sama
berpikir, "Ai, kembali aku teperdaya lagi! Kenapa aku begini sembrono,
dulu sudah pernah masuk perangkapnya, mengapa sekarang aku tertipu pula?”
Dalam pada itu Toan Cing-sun
telah berkata pada Ko Sing-thay, "Ko-hiante, lukamu belum sembuh, harap
engkau pulang ke kamarmu untuk mengaso saja. Jian-li, kau pimpin kawan yang
lain berjaga di sekitar sini.”
Dengan hormat Ko Sing-thay dan
Leng Jian-li mengiakan sambil membungkuk badan. Lalu Cing-sun kempit kedua
wanita itu kembali ke ruangan tadi dan suruh koki menyediakan hidangan pula,
perjamuan segera diperbarui lagi.
Setelah selesai menyediakan
santapan dan para dayang sudah mengundurkan diri, Cing-sun tutuk pula Hiat-to bagian
kaki kedua tawanannya supaya mereka tidak bisa berjalan, lalu melepaskan
Hiat-to yang ditutuknya semula.
Segera Cin Ang-bian berteriak
sesudah bisa bersuara, "Toan Cing-sun, sampai sekarang engkau masih ingin
menghina kami berdua?”
Toan Cing-sun berputar ke
hadapan kedua wanita itu, ia memberi hormat sambil berkata, "Maafkan aku
berbuat kasar, terimalah hormatku ini.”
"Siapa ingin kau beri
hormat?” seru Cin Ang-bian dengan gusar. "Lekas lepaskan kami!”
"Kita bertiga sudah
belasan tahun tidak berjumpa, kebetulan hari ini bisa berkumpul lagi, banyak
sekali ingin kubicarakan pada kalian,” demikian sahut Cing-sun. "Ang-bian,
ternyata watakmu masih keras begini. Dan kau, A Po, makin lama engkau makin
ayu, kenapa sedikit pun tidak kentara tambah tua?”
"Lekas kau lepaskan aku,”
teriak Ang-bian dengan gusar sebelum Ciong-hujin berkata, "Kalau A Po
makin tua makin cantik, jadi aku makin tua makin jelek bukan? Ayo lepaskan aku,
buat apa kau tahan seorang nenek jelek seperti aku?”
"Ang-bian,” kata Cing-sun
dengan gegetun, "cobalah engkau berkaca, bila engkau seorang nenek reyot
dan jelek, maka sastrawan yang biasa melukiskan kecantikan wanita perlu ganti
ungkapan menjadi sejelek bidadari.”
Karena geli, tak tertahan Cin
Ang-bian mengikik tawa, karena kaki tak bisa bergerak, terpaksa ia menggerutu,
"Huh, siapa yang ajak berguyon denganmu? Cengar-cengir, masa begitulah
kelakuan seorang pangeran?”
Melihat sikap orang yang
bersungut tapi menawan hati itu, hati Cing-sun terguncang, terkenang olehnya
cinta kasih masa lampau, tak tertahan lagi ia mendekati Cin Ang-bian,
"ngok”, ia cium sekali pipi wanita itu.
Meski kakinya tak bisa
bergerak, tapi tubuh bagian atas Cin Ang-bian dapat bergerak dengan bebas,
"plok”, kontan ia persen sekali tamparan di muka pangeran bangor itu.
Kalau mau menghindar
sebenarnya tidak susah bagi Toan Cing-sun, tapi ia sengaja menerima pukulan
itu, bahkan ia terus berbisik di telinga orang, "Mati digampar Siu-lo-to,
jadi setan juga rela!”
Seketika badan Cin Ang-bian
tergetar mendengar itu, air matanya bercucuran, ia menangis keras-keras,
ucapnya dengan parau, "Kembali ... kembali engkau gunakan kata-kata
demikian lagi.”
Kiranya pada masa dulu Cin
Ang-bian pernah malang melintang di kalangan Kangouw dengan sepasang senjatanya
yang berupa golok Siu-lo-to, karena itu juga ia mendapat julukan dari nama
senjatanya itu. Ketika kesuciannya dirusak oleh Toan Cing-sun, kejadian itu
adalah mirip seperti sekarang, yaitu dicium dulu, lalu ia tampar pipi pangeran
itu, lalu ia lantas dirayu dengan bisikan "mati di bawah Siu-lo-to, jadi
setan pun rela”.
Kalimat itu entah sudah
beratus ribu kali mengiang di telinganya selama belasan tahun ini. Kini,
mendadak didengarnya pula dari mulut Toan Cing-sun, sungguh ia merasa sangat
bahagia dengan aneka macam perasaan yang bercampur aduk.
"Suci, orang ini paling
pandai merayu, pintar bermulut manis, tapi jangan kau percaya lagi padanya,”
tiba-tiba Ciong-hujin memperingatkan sang Suci atau kakak seperguruan.
"Ya, benar, aku tidak mau
percaya lagi pada bujukanmu!” demikian kata Ang-bian yang ditujukan kepada Toan
Cing-sun.
Tapi dengan cengar-cengir Toan
Cing-sun lantas mendekati Ciong-hujin, katanya, "A Po, kalau aku juga
‘ngok’ pipimu, boleh tidak?”
Keruan Ciong-hujin rada
kelabakan dan khawatir, dalam keadaan tak bisa berjalan, kalau orang
benar-benar
berbuat seperti apa yang
dikatakan, kan bisa runyam.
Cepat ia berseru, "Tidak,
jangan kurang ajar! Aku adalah wanita bersuami, sekali-kali tidak boleh
kucemarkan nama baik suamiku, asal kau berani menyentuh badanku, segera akan
kugigit lidah sendiri biar mati di hadapanmu.”
Melihat kata-kata itu
diucapkan dengan nekat dan sungguh-sungguh, Cing-sun tidak berani sembrono
lagi, tanyanya kemudian, "A Po, bagaimanakah macam suamimu itu?”
"Suamiku sangat jelek,
tabiatnya juga aneh, ilmu silatnya jauh di bawahmu, orangnya tidak segagah
engkau pula, lebih-lebih tiada punya pangkat dan kedudukan seperti dirimu.
Namun demikian, dengan hati suci murni ia mencintai aku, maka aku pun
membalasnya dengan sama baiknya. Bila aku berbuat sedikit menyeleweng, itu
berarti aku berdosa padanya, biarlah aku terkutuk, untuk selama-lamanya tak
bisa menjelma kembali.”
Mau tak mau Toan Cing-sun
menaruh hormat kepada sikap tegas nyonya Ciong itu, maka ia tidak berani
mengungkat-ungkat peristiwa asmara masa lalu lagi. Katanya kemudian,
"Kalian telah menculik putraku, sebenarnya apa maksud tujuan kalian? A Po,
Ban-jiat-kok yang kau katakan itu letaknya di mana?”
"Jangan katanya padanya!”
tiba-tiba seorang berkata di luar jendela dengan suara serak.
Keruan Toan Cing-sun terkejut.
Ia sudah perintahkan Leng Jian-li dan kawan-kawannya berjaga di luar, kenapa
diam-diam ada orang asing menyusup sampai di luar kamar situ?
Maka terdengar Ciong-hujin
buka suara dengan menarik muka, "Lukamu belum sembuh, buat apa engkau
menyusul kemari?”
Lalu terdengar pula suara
seorang wanita sedang berkata, "Silakan masuk, Ciong-siansing!”
Mendengar suara itu, Toan
Cing-sun terlebih kejut hingga air mukanya merah jengah. Dan begitu kerai
tersingkap, masuklah seorang wanita yang bukan lain adalah Yau-toan-siancu, di
belakangnya menyusul seorang laki-laki bermuka sangat jelek, panjang mukanya
itu hingga mirip muka kuda. Itulah dia muka yang istimewa dari Ciong Ban-siu,
Kokcu atau pemilik lembah Ban-jiat-kok.
Ciong-hujin menjadi heran demi
tampak sang suami mendadak juga datang ke situ, ternyata datangnya bersama
nyonya Toan alias Si Pek-hong itu.
Kiranya sesudah lama Bok
Wan-jing berkelana dan belum pulang, Cin Ang-bian menjadi khawatir, segera ia
keluar mencarinya ke tempat sang Sumoay, yaitu Ciong-hujin dari Ban-jiat-kok,
kemudian mereka berdua lantas keluar pula mencari jejak Wan-jing.
Di tengah jalan mereka telah
bertemu dengan Yap Ji-nio, Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho. Ang-bian sudah
kenal dengan Yap Ji-nio, sebab di antara perguruan mereka ada sedikit hubungan,
cuma biasanya tidak pernah saling bergaul. Ketika mendengar Bok Wan-jing telah
ikut pergi ke Tayli, segera "Sam-ok” itu ikut menyusul ke situ.
Sebaliknya Ciong Ban-siu yang
sangat mencintai sang istri itu, rasa cemburunya juga sangat besar, sejak sang
istri pergi, ia menjadi tidak enak makan dan sukar tidur, tanpa peduli lagi
bahwa lukanya belum sembuh, serta tak pikir bahwa selama ini dirinya pura-pura
mati dan mengasingkan diri di lembah sunyi itu, segera ia berangkat menyusul
sang istri.
Sampai di luar istana
pangeran, kebetulan ia pergoki Si Pek-hong sedang berlari keluar dengan
marah-marah, begitu kepergok, segera kedua orang saling gebrak. Tengah sengit
pertarungan mereka, tiba-tiba sesosok bayangan orang berbaju hitam melayang
lewat di samping mereka, orang itu tampak menutupi mukanya sambil menangis,
ternyata Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing.
Melihat gadis itu, Ciong
Ban-siu menjadi khawatir atas diri sang istri, katanya segera, "Paling
penting harus kucari istriku dulu, aku tiada tempo buat menempurmu lagi.”
"Ke mana hendak kau cari
istrimu?” tanya Si Pek-hong.
"Ke rumah si bangsat Toan
Cing-sun,” sahut Ciong Ban-siu. "Bila istriku ketemu Toan Cing-sun, wah,
bisa runyam!”
"Sebab apa bisa runyam?”
tanya Pek-hong pula.
"Toan Cing-sun bermulut
manis, pintar membujuk rayu, ia seorang hidung belang ahli pikat wanita, harus
kubunuh dia nanti!” sahut Ban-siu gemas.
Diam-diam Si Pek-hong pikir
sang suami sudah berumur lebih empat puluh, jenggotnya sudah panjang, masakah
disamakan pemuda hidung belang segala? Tapi tentang sifat sang suami yang
memang bangor itu, ia percaya kepada apa yang dikatakan orang bermuka kuda itu.
Segera ia coba tanya nama dan
asal usul suami-istri Ciong Ban-siu. Dan ketika mengetahui Ciong-hujin adalah
salah satu bekas kekasih sang suami, Pek-hong menjadi curiga, segera ia lari
kembali ke istana bersama Ciong Ban-siu.
Meski waktu itu penjagaan di sekitar
Tin-lam-onghu dilakukan dengan sangat ketat, tapi demi tampak Onghui, para
pengawal tidak berani merintangi. Sebab itulah Si Pek-hong dan Ciong Ban-siu
dapat mendekati ruangan belakang tanpa sesuatu peringatan dari para penjaga.
Dan dengan sendirinya bujuk rayu Toan Cing-sun kepada Cin Ang-bian dan
Ciong-hujin yang dilakukan dengan cengar-cengir dapat didengar semua oleh kedua
orang di luar jendela itu.
Keruan hampir-hampir meledak
dada Si Pek-hong saking gusarnya oleh kelakuan sang suami itu. Sebaliknya Ciong
Ban-siu girang tidak kepalang mendengar istrinya sedemikian teguh imannya.
Cepat Ciong Ban-siu lari ke
samping sang istri dengan rasa kasih sayang tercampur girang, ia terus mengitar
kian kemari mengelilingi sang istri sambil berkata, "Biar, bila dia berani
menghina engkau, segera aku adu jiwa dengan dia!”
Dan selang sejenak, baru
teringat olehnya bahwa Hiat-to sang istri masih tertutuk, segera ia berpaling
kepada Toan Cing-sun dan berkata, "Lekas, lekas lepaskan Hiat-to istriku!”
"Kalian telah menculik
putraku, asal putraku itu kalian bebaskan lebih dulu, dengan sendirinya akan
kulepaskan istrimu,” demikian sahut Cing-sun.
Saking khawatir cepat Ciong
Ban-siu memijat dan menepuk pinggang sang istri, tapi biarpun Lwekangnya sangat
tinggi, betapa pun ia tak mampu memunahkan tutukan "It-yang-ci” keluarga
Toan yang tiada bandingannya itu.
Sebaliknya karena dipijat dan
ditepuk, Ciong-hujin menjadi sakit dan geli, sedang Hiat-to kaki yang tertutuk
itu belum lagi bebas, maka omelnya, "Tolol, bikin malu saja!”
Terpaksa Ciong Ban-siu
berhenti dengan kikuk, saking dongkolnya, terus saja ia membentak, "Toan
Cing-sun, marilah maju, biar kita bertempur 300 jurus dulu!”
Sembari gosok-gosok kepalan
segera ia hendak melabrak Toan Cing-sun.
Namun Ciong-hujin telah
berkata, "Toan-ongya, putramu diculik oleh Lam-hay-gok-sin dan
begundalnya, biarpun suamiku minta mereka bebaskan putramu belum tentu mereka
mau menurut. Tapi kalau aku dan Suci sudah pulang dan mencari kesempatan untuk
menolong, mungkin ada harapan. Paling sedikit putramu takkan dibikin susah oleh
mereka!”
"Tapi aku tidak percaya,”
sahut Cing-sun sambil menggeleng kepala. "Ciong-siansing, silakan pulang
saja, bawalah putraku kemari untuk ditukar dengan istrimu.”
Ciong Ban-siu menjadi gusar,
teriaknya, "Istanamu ini tempat cabul dan kotor, kalau istriku
ditinggalkan di sini, wah, berbahaya!”
Muka Toan Cing-sun menjadi
merah, bentaknya, "Tutup mulutmu! Berani mengoceh tidak keruan lagi,
jangan menyesal bila aku berlaku kasar.”
Sejak masuk tadi Si Pek-hong
diam saja, kini mendadak menyela, "Kau ingin menahan kedua wanita di sini,
sebenarnya apa maksud tujuanmu? Untuk kepentingan sendiri atau demi keselamatan
Ki-ji?”
Cing-sun menghela napas,
sahutnya, "Ternyata engkau juga tidak percaya padaku.”
Mendadak ia menutuk pinggang
Cin Ang-bian untuk melepaskan jalan darahnya. Menyusul segera hendak menutuk
juga pinggang Ciong-hujin.
Tapi cepat Ciong Ban-siu
mengadang di depan sang istri sambil goyang kedua tangannya kepada Toan
Cingsun, katanya, "Jangan kau main pegang-pegang badan wanita, orang macam
kau suka main cubit, tubuh istriku tidak boleh kau sentuh!”
"Namun istrimu tertutuk,
biarpun kepandaianku tidak berarti, tapi cara Tiam-hiat ini tak dapat ditolong
oleh orang lain, kalau terlalu lama, mungkin kedua kaki istrimu akan cacat,”
ujar Cing-sun tersenyum mendongkol.
Ban-siu menjadi murka,
dampratnya, "Bila istriku yang cantik molek ini benar-benar menjadi cacat,
pasti akan kucencang juga putramu.”
"Kau ingin kulepaskan
Hiat-to istrimu, tapi melarang aku menyentuh tubuhnya pula, lantas bagaimana
aku harus berbuat?” ujar Cing-sun tertawa.
Ban-siu bungkam tak bisa
menjawab, sekonyong-konyong ia menjadi gusar, bentaknya, "Habis, mengapa
kau tutuk dia tadi? He, wah, celaka! Kalau begitu, waktu kau tutuk dia tadi
tentu sudah menyentuh tubuhnya. Biar aku pun menutuk sekali tubuh istrimu!”
"Kembali engkau
ngaco-belo tak keruan!” omel Ciong-hujin sambil melototi sang suami.
"Habis, aku tidak mau
dirugikan!” sahut Ban-siu.
Tengah ribut-ribut, tiba-tiba tirai
tersingkap, dengan langkah perlahan masuk seorang berjubah sutra kuning,
berjenggot cabang tiga, alis panjang, mata besar, muka putih, itulah dia Toan
Cing-beng, raja Po-ting-te dari negeri Tayli.
"Hong-heng (kakak
baginda)!” segera Cing-sun menyapa.
Po-ting-te mengangguk tanpa
menjawab, tiba-tiba dari jauh ia angkat jarinya menutuk pinggang Ciong-hujin,
samar-samar seperti ada seutas benang putih mirip asap terpancar dari ujung
jarinya ke samping pinggang nyonya itu. Seketika Ciong-hujin merasa perutnya
hangat, dua arus hawa panas terus mengalir ke kaki, cepat darahnya berjalan
dengan lancar dan bisa berdiri dengan leluasa.
Melihat raja Tayli itu
mengunjukkan ilmu sakti "Keh-kong-kay-hiat” atau membuka jalan darah dari
tempat jauh, saking kagum dan kagetnya sampai Ciong Ban-siu ternganga tak bisa
bicara, sungguh tak tersangka olehnya bahwa di dunia ini ada orang memiliki
kepandaian sedemikian hebatnya.
"Hong-heng,” kata
Cing-sun kemudian, "Ki-ji telah digondol lari oleh mereka!”
Po-ting-te mengangguk,
sahutnya, "Ya, Sian-tan-hou sudah lapor padaku. Adik Sun, kalau keturunan
keluarga Toan kita ada yang jatuh di tangan musuh, tentu orang tua atau
pamannya yang harus pergi menolongnya, kita jangan menahan orang lain sebagai
sandera.”
Muka Toan Cing-sun menjadi
merah, sahutnya membenarkan ucapan kakak bagindanya itu.
Ucapan Po-ting-te itu sangat
gagah penuh harga diri, yaitu merasa merosotkan pamor keluarga Toan bila adik
pangeran itu menahan musuh sebagai jaminan keselamatan putranya. Dan sesudah
merandek sejenak,
kemudian katanya pula,
"Sekarang silakan kalian pergi saja. Dalam tiga hari, keluarga Toan tentu
ada orang akan mengunjungi Ban-jiat-kok.”
"Tapi tempat Ban-jiat-kok
kami itu sangat dirahasiakan, kalian belum tentu mampu menemukannya, untuk mana
perlukah kuberi tahukan tempatnya?” tanya Ciong Ban-siu. Dalam hati ia berharap
Po-ting-te akan minta diberitahukan tempatnya itu, dan kalau lawan tanya, ia
justru tidak mau menerangkan.
Tak tersangka Po-ting-te tidak
gubris pertanyaannya itu, sekali mengebas lengan baju, katanya pula,
"Antarkan tamu keluar!”
Ciong Ban-siu sendiri berjuluk
"Kian-jin-ciu-sat” atau melihat orang lantas membunuh, suatu tanda
sifatnya yang kejam tak kenal ampun, dengan sendirinya wataknya sangat keras,
terutama pada waktu sebelum dia mengasingkan diri, namanya sangat ditakuti oleh
orang Kangouw umumnya, asal mendengar kedatangannya, setiap orang tentu
kebat-kebit khawatir dibunuh olehnya.
Sebab itulah, maka Sikong
Hian, itu ketua dari Sin-long-pang menjadi sangat ketakutan juga ketika
mengetahui bahwa Ciong Ling adalah putri Ciong Ban-siu. Tapi berdiri di depan
Po-ting-te yang berwibawa itu, aneh juga, gembong iblis yang tak kenal apa
artinya takut itu menjadi jeri dengan sendirinya dan bingung. Begitu mendengar
Po-ting-te bilang antar tamu pergi, segera ia berseru, "Baik, marilah kita
pergi! Hm, selamanya aku paling benci pada orang she Toan, tiada seorang she
Toan pun di dunia ini adalah manusia baik-baik!”
Habis bicara, ia gandeng
tangan sang istri terus melangkah keluar dengan marah-marah.
"Cici, marilah kita
pergi!” demikian Ciong-hujin menjawil lengan baju Cin Ang-bian.
Sekilas Cin Ang-bian memandang
Toan Cing-sun, ia lihat pangeran itu berdiri terpaku dengan bungkam, hatinya
menjadi pedih, dengan mata basah dan gemas ia melotot sekali ke arah Si
Pek-hong, lalu ikut pergi dengan menunduk.
Begitu keluar ruangan, segera
ketiga orang melompat ke atas wuwungan rumah.
Di atas emperan situ sudah
berdiri Ko Sing-thay, ia membungkuk tubuh sambil berkata, "Selamat jalan!”
"Cuh!” Ciong Ban-siu
meludah dengan sengit. "Huh, munafik, tiada satu pun manusia baik-baik!”
Dengan cepat mereka melompat
pergi melintasi rumah sekitar situ, ketika kompleks istana pangeran itu hampir
habis dilalui, tinggal melintasi pagar tembok luar saja, segera Ciong Ban-siu
genjot tubuh sekuatnya, kaki kiri hendak berpijak di atas pagar tembok kurung
istana pangeran itu.
Tak tersangka, mendadak di
depan bertambah seorang yang persis berdiri di atas pagar tembok tempat yang
akan dipijaknya itu.
Orang itu berjubah longgar,
ikat pinggangnya kendur, siapa lagi kalau bukan Ko Sing-thay yang tadi berdiri
di emper istana sana, entah dari mana tahu-tahu sudah mendahului berada di
hadapan Ciong Ban-siu, bahkan begitu tepat perhitungannya bahwa tempat itulah
yang akan dipijak oleh kaki Ciong Ban-siu, maka ia mendahului mengadang di
situ.
Dalam keadaan tubuh terapung
di udara, untuk mundur lagi terang tidak mungkin, membelok ke jurusan lain juga
tak bisa, keruan Ciong Ban-siu kelabakan, terpaksa ia sodok kedua tangannya ke
depan sambil membentak, "Minggir!”
Dengan tenaga sodokan kedua
tangan yang bisa menghancurkan batu itu, Ban-siu taksir bila lawan menangkis,
tentu lawan itu akan terpental ke bawah. Andaikan tenaga lawan sama kuatnya
dengan dirinya, paling sedikit juga dapat meminjam tenaga aduan itu untuk
bergeser ke atas pagar tembok di sampingnya.
Sungguh tak tersangka, ketika kedua
tangan hampir menyodok dada orang, sekonyong-konyong Ko Sing-thay doyongkan
tubuh ke belakang, dengan separuh tubuh terapung Ko Sing-thay gunakan gerakan
"Tiat-pan-kio” atau jembatan papan baja, hanya kedua kakinya yang menancap
di atas tembok. Dan karena tubuhnya mendoyong ke belakang itulah, ia dapat
menghindarkan tenaga sodokan Ciong Ban-siu yang hebat itu.
Sekali menyerang tidak kena,
diam-diam Ciong Ban-siu mengeluh bisa celaka. Sementara itu tubuhnya sudah
melayang lewat di atas tubuh Ko Sing-thay yang mendoyong ke belakang itu. Dalam
keadaan begitu, Ciong Ban-siu takkan mampu berbuat apa-apa bila diserang oleh
Ko Sing-thay.
Untung baginya sama sekali Ko
Sing-thay tidak melontarkan serangan hingga dengan selamat Ciong Ban-siu dapat
menancapkan kakinya di tanah. Menyusul mana Cin Ang-bian dan Ciong-hujin juga
melompat keluar.
Sementara itu Ko Sing-thay
sudah berdiri tegak lagi di atas pagar tembok dengan gagah, katanya, "Maaf
tidak mengantar lebih jauh!”
Ban-siu menjengek, mendadak
celananya melorot ke bawah, hampir ia kedodoran di depan umum, untung
cepat ia sempat menariknya ke
atas lagi. Baru sekarang ia tahu bahwa tali kolornya telah putus.
Rupanya tadi waktu melayang
lewat di atas tubuh Ko Sing-thay, tali kolor celananya kena diputus orang. Coba
bayangkan, bila bukan Ko Sing-thay sengaja murah hati, sekali tutuk di bagian
Hiat-to penting, mungkin jiwanya sudah melayang sejak tadi.
Mengingat itu, Ciong Ban-siu
tidak berani lama-lama lagi tinggal di situ, cepat ia ajak sang istri dan Cin
Angbian meninggalkan Tayli ....
(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)
Kembali bercerita tentang
Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing.
Ketika berlari keluar dari
istana Tin-lam-ong sambil mendekap mukanya, meski kepergok dan ditegur oleh Si
Pek-hong dan Ciong Ban-siu, namun ia tidak ambil peduli dan berlari terus ke
depannya tanpa tujuan.
Ia lari di lereng gunung dan
hutan belukar, sampai fajar sudah menyingsing baru merasakan kedua kakinya linu
pegal, ia berhenti sambil bersandar pada pohon besar, mulutnya komat-kamit
sendiri, "Lebih baik aku mati saja, lebih baik aku mati saja!”
Meski hatinya penuh rasa benci
dan sesal, tapi ia tidak tahu siapa yang harus dibencinya.
"Toan-long tidak
mengingkari diriku, soalnya karena takdir Ilahi, ia justru adalah saudaraku
sendiri satu ayah. Sedang guruku sendiri ternyata adalah ibu kandungku. Selama
belasan tahun ini dengan susah payah ibu telah membesarkan aku, budi sebesar
itu mana dapat kusalahkan dia?
"Adapun Tin-lam-ong Toan
Cing-sun itu adalah ayahku, meski dia berdosa kepada ibu, namun bukan mustahil
di dalam persoalannya ada banyak kesulitan yang sukar dijelaskan. Dia sangat
ramah dan kasih sayang padaku, katanya kalau aku mempunyai sesuatu cita-cita,
beliau pasti akan berusaha untuk memenuhi harapanku.
"Tetapi untuk persoalanku
ini beliau justru tak mampu berbuat apa-apa. Sebabnya ibu tak bisa menikah
dengan ayah mungkin disebabkan adanya rintangan Si Pek-hong, maka ibu menyuruh
aku membunuhnya. Tapi diukur menurut hati nurani, bila aku menikah dengan
Toan-long, rasanya sekali-kali aku pun tak mengizinkan dia menyukai wanita
lain.
"Apalagi Si Pek-hong
sudah menjadi padri, dapat diduga karena ayah juga berbuat salah padanya dan
melukai hatinya. Aku telah panah dia dua kali, tapi putra satu-satunya juga
terluka, namun dia tidak dendam padaku, tampaknya dia toh bukan seorang wanita
yang kejam dan galak ....”
Begitulah makin dipikir hati
Bok Wan-jing makin berduka, gumamnya, "Sejak kini aku akan melupakan Toan
Ki, aku takkan pikirkan dia lagi!”
Namun omong memang gampang,
untuk melupakan begitu saja masakah begitu mudah? Setiap detik bayangan Toan Ki
yang tampan itu selalu timbul dalam benaknya.
Kemudian dia coba menghibur
diri sendiri, "Biarlah untuk selanjutnya aku anggap dia sebagai kakak.
Asalnya aku adalah anak yatim piatu, kini ayah sudah punya, ibu pun sudah ada,
malah bertambah pula seorang saudara tua, kurang apa lagi? Bukankah aku sebenarnya
harus bergirang, sungguh tolol aku ini!”
Akan tetapi, seorang kalau
terlibat dalam jaring asmara, makin meronta semakin ruwet dan sukar melepaskan
diri. Kalau dia sabar menanti selama tujuh-hari tujuh-malam di puncak
Bu-liang-san, nyata akar cintanya sudah bersemi secara mendalam dan susah
dihapus lagi.
Ia dengar suara gemuruh ombak
yang mendebur semakin keras, dalam keadaan putus asa, timbul juga maksudnya
membunuh diri. Ia mendekati arah suara ombak itu, setelah melintasi sebuah
bukit, akhirnya tertampak ombak sungai Lanjong mengalir cepat di bawah tebing
sungai itu. Ia menghela napas dan berkata seorang diri, "Ai, bila aku
menceburkan diri ke dalam sungai, rasa kesalku tentu takkan terasa lagi.”
Perlahan ia menyusuri tepi
sungai. Sang surya yang baru menyingsing itu mulai memancarkan cahayanya yang
gemerlapan menyilaukan mata. Ia termangu-mangu berdiri di atas batu karang di
tepi sungai dengan perasaan bergolak sehebat ombak yang mendebur.
Sekonyong-konyong sekilas
dilihatnya di atas sebuah batu karang sebelah sana duduk seorang. Cuma orang
itu sejak tadi tak bergerak sama sekali, bajunya berwarna hijau mirip warna
batu karang yang berlumut, maka tak diketahui olehnya sejak tadi.
Waktu Wan-jing memandang lagi
lebih jelas, ia terkejut, "Tentu orang ini sudah mati.”
Sudah banyak manusia yang dia
bunuh, dengan sendirinya Bok Wan-jing tidak takut pada orang mati. Karena
tertarik, segera ia mendekatinya, ia lihat orang berbaju hijau itu adalah
seorang kakek, jenggotnya panjang
sampai di dada dan hitam
gilap, matanya terpentang lebar sedang menatap pusar sungai tanpa berkedip.
"Kiranya bukan orang
mati!” ujar Wan-jing sendiri.
Tapi ketika ditegasi pula, ia
lihat tubuh orang itu sedikit pun tidak bergerak, bahkan kelopak matanya juga
tidak berkedip sama sekali, terang juga bukan orang hidup. Maka gumamnya pula,
"Ah, kiranya orang mati!”
Tapi sesudah diamat-amati
sebentar lagi, ia merasa kedua mata orang mati itu bersemangat, wajahnya
bercahaya merah pula. Ia coba periksa pernapasan hidung orang, terasa napasnya
seakan-akan ada dan seperti tak ada, waktu meraba pipinya, tiba-tiba terasa
dingin dan lain saat berubah hangat. Dalam herannya terus saja Wan-jing meraba
dada orang, kini terasa jantung orang kedat-kedut, seperti berdenyut, seperti
juga berhenti.
Keruan Wan-jing bertambah
heran, katanya seorang diri, "Orang ini sungguh aneh, katakan dia orang
mati, toh seperti orang hidup, bilang dia orang hidup, mirip orang mati pula.”
"Aku adalah orang
hidup-mati!” tiba-tiba terdengar suara orang berkata.
Wan-jing menjadi kaget, cepat
ia menoleh, tapi tiada bayangan seorang pun yang dilihatnya. Di sekitar itu
adalah batu karang tandus yang tak dapat dibuat sembunyi orang. Sejak tadi dia
berhadapan dengan orang aneh itu dan tidak kelihatan bibirnya bergerak ketika
terdengar suara tadi.
Dengan penasaran segera Bok
Wan-jing berseru, "Siapa berani menggoda nonamu? Apa barangkali kau sudah
bosan hidup?”
Sembari berkata ia terus putar
tubuh membelakangi sungai, maka ketiga arah lain dapat dilihatnya dengan jelas.
Tapi lantas terdengar suara
tadi berkata pula, "Ya, aku memang sudah bosan hidup, sangat bosan hidup!”
Kejut Wan-jing sungguh tak
terkatakan, sudah terang, kecuali orang aneh yang berada di depannya ini, dapat
dipastikan tiada orang lain lagi. Namun terang gamblang kelihatan bibir orang
aneh ini sama sekali tidak bergerak, mengapa bisa bicara?
Segera Wan-jing membentak
lagi, "Siapa yang sedang bicara?”
"Kau sendiri sedang
bicara?” sahut suara itu.
"Dan siapa yang bicara
dengan aku?” seru Wan-jing.
"Tidak ada orang bicara
denganmu!” sahut suara itu pula.
Dengan cepat Wan-jing putar
tubuhnya tiga kali, tapi selain bayangan sendiri, tiada sesuatu tanda aneh yang
kelihatan.
Ia yakin pasti Jing-bau-khek
atau orang berbaju hijau di hadapannya ini yang sedang menggoda padanya, dengan
tabahkan hati segera ia mendekat lebih rapat, ia coba dekap bibir orang, lalu
tanya pula, "Apakah engkau yang bicara denganku?”
"Bukan!” kembali suara
itu menjawab.
Sedikit pun tangan Wan-jing
tidak merasakan getaran suara, maka tanyanya lagi, "Sudah jelas ada orang
sedang bicara padaku, kenapa bilang tidak?”
"Aku bukan orang, aku pun
bukan aku, di dunia ini tiada seorang aku lagi!” demikian sahut suara itu.
Seketika Bok Wan-jing
mengirik, pikirnya, "Jangan-jangan ada setan?”
Segera ia tanya lagi,
"Apakah eng ... engkau setan?”
"Kau sendiri tadi bilang
tidak ingin hidup lagi, tentu kau akan menjadi setan juga, tapi mengapa kau
ketakutan pada setan?” sahut suara itu.
"Siapa bilang aku takut
pada setan? Aku tidak takut pada langit juga tidak gentar pada bumi!” seru
Wan-jing dengan berani.
"Jika begitu, ada sesuatu
yang kau takutkan,” kata suara itu.
"Hm, tidak, segala apa
pun aku tidak takut!” sahut Wan-jing tegas.
"Takut, jelas kau takut!
Yang kau takutkan ialah seorang calon suami yang mendadak berubah menjadi
saudara sendiri!”
Kepala Bok Wan-jing seperti
dikemplang oleh ucapan itu, dengan lemas ia duduk terkulai di tanah. Ia
termangu-mangu sejenak, lalu katanya dengan komat-kamit, "Engkau adalah
setan, engkau setan!”
"Jangan khawatir, aku
dapat menolongmu,” demikian kata suara tadi. "Aku dapat menjadikan Toan Ki
bukan kakakmu, dapat pula menjadikannya suamimu yang tercinta.”
"Tidak, kau ... kau tipu
aku,” kata Wan-jing dengan suara gemetar. "Nasibku ini sudah ditakdirkan,
tak bisa ... tak bisa berubah lagi.”
"Peduli apa dengan takdir
segala,” ujar suara itu. "Aku mempunyai akal untuk mengubah kakakmu
menjadi suamimu, kau mau tidak?”
Dalam keadaan putus asa dan
hilang harapan, ucapan itu benar-benar merupakan suara wahyu yang turun dari
langit, meski ragu juga, cepat Wan-jing menjawab, "Ya, mau, aku mau!”
"Sesudah aku selesai
membantumu, dengan apa kau berterima kasih padaku?”
"Apa yang kumiliki? Aku
tidak punya apa-apa!” sahut Wan-jing dengan pilu.
"Kini kau tak punya, tapi
kelak mungkin akan punya.”
"Baiklah, apa yang kau
inginkan, akan kuberikan padamu.”
"Tapi sampai saatnya
nanti, jangan-jangan kau ingkar janji,” ujar suara itu.
"Aku pasti akan pegang
janji!” seru Wan-jing. Dalam hati ia pikir, "Di dunia ini ada barang
apakah yang bisa melebihi Toan-long yang akan menjadi suamiku? Seumpama aku
menjadi raja, rela juga kuberikan takhtaku kepada orang aneh ini.”
Namun suara itu berkata pula,
"Ucapan kaum wanita sukar dipercaya. Bila kelak tidak kau berikan padaku,
lantas bagaimana?”
"Kepandaianmu begini
sakti, bolehlah kau bunuh aku!” ujar Wan-jing.
"Tidak, aku takkan
membunuhmu. Kalau kau tidak pegang janji, suamimu yang akan kubunuh,” kata
suara itu.
Diam-diam Wan-jing berpikir,
"Kecuali Toan-long, aku pasti takkan menikah. Dan bila Toan-long berubah
bukan lagi kakakku tapi menjadi suamiku, maka segala apa aku tidak mau lagi,
tidak mungkin aku merasa berat memberi apa pun kepada hantu ini.
Maka segera jawabnya,
"Baiklah, aku menerima syaratmu.”
"Dan sampai waktunya
nanti, jangan lagi meminta-minta padaku dengan menangis, sebab aku paling benci
bila ditangisi wanita,” kata suara itu.
"Aku pasti takkan memohon
padamu,” sahut Wan-jing. "Eh, siapakah engkau sebenarnya? Dapatkah engkau
unjukkan mukamu padaku?”
"Sudah sekian lamanya kau
lihat aku, masakah masih belum cukup?” kata suara itu pula. Sejak mula sampai
sekarang nada suara itu selalu sama saja, tidak keras, tidak rendah, datar
tanpa irama pula.
"Jadi engkau adalah ...
adalah engkau ini?” tanya Wan-jing.
"Entahlah, aku pun tidak
tahu apakah aku ini aku. Ai ....” demikian suara itu. Helaan napas paling akhir
itu telah menandakan rasa masygul hatinya yang tak terkatakan.
Keruan Bok Wan-jing bertambah
sangsi, tapi kini ia sudah yakin benar bahwa suara itu memang keluar dari kakek
berbaju hijau di depannya ini. Segera ia tanya pula, "Engkau tidak buka
mulut, mengapa bisa bicara?”
"Aku adalah orang
hidup-mati, bibir tak dapat bergerak, tapi bersuara dari dalam perut,” sahut
suara itu.
Dasar sifat kanak-kanak Bok
Wan-jing belum hilang sama sekali, kalau tadi ia sangat berduka dan putus asa,
adalah sekarang demi mendengar ada orang mampu bicara tanpa buka mulut dan
gerak bibirnya, ia menjadi sangat ketarik, segera ia tanya pula, "Engkau
bicara dengan perut? Sungguh aneh!”
"Kau tidak percaya?”
sahut Jing-bau-khek itu. "Cobalah kau pegang perutku, tentu kau akan
percaya nanti.”
Tanpa pikir Wan-jing terus
ulur tangan untuk meraba perut orang.
"Kau merasakan getaran
perutku atau tidak?” tanya Jing-bau-khek.