Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 6-10

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 6-10 "Nona Bok, rupanya engkau terlalu menilai rendah orang she Toan ini," sahut Toan Ki tertawa, "Masa orang she Toan adalah manusia berkualitas demikian?"
Jilid 06
"Nona Bok, rupanya engkau terlalu menilai rendah orang she Toan ini," sahut Toan Ki tertawa, "Masa orang she Toan adalah manusia berkualitas demikian?"

Dengan matanya yang jeli si nona memandang termangu-mangu sejenak kepada pemuda itu dengan penuh haru dan pilu, katanya kemudian dengan suara mesra, "Guna apakah kau ikut mati bersama aku? Kau ... kau tidak tahu betapa ganasnya orang itu."

Sejak kenal belum pernah Toan Ki mendengar gadis itu bicara dengan suara sedemikian halus, ia merasa datangnya suara suitan tadi benar-benar telah mengubah Hiang-yok-jeh menjadi seorang manusia lain.

Toan Ki menjadi girang malah, sahutnya dengan tersenyum, "Nona Bok, aku senang sekali mendengar suara ucapanmu ini, dengan demikian, engkau barulah benar-benar seorang nona yang cantik molek."

"Hm," mendadak Bok Wan-jing menjengek dan tanya dengan suara bengis, "dari mana kau tahu aku cantik? Jadi benar telah kau lihat wajahku, ya?"

Habis berkata, genggaman tangannya terus diperkeras sehingga tangan Toan Ki seperti terjepit tanggam, saling kesakitan hampir-hampir pemuda itu menjerit.

"Aku tidak melihat wajahmu," sahut Toan Ki kemudian dengan menghela napas, "tapi ketika memberi air minum padamu, aku memang melihat sebagian mukamu, walaupun hanya sebagian saja, namun sudah jelas engkau pasti cantik molek tiada taranya."

Betapa pun ganasnya Bok Wan-jing, sekali wanita tetap wanita. Dan wanita mana di dunia ini yang tidak suka akan pujian? Apalagi dipuji berwajah cantik?

Maka sekali hati merasa senang, genggamannya lantas dikendurkan, katanya, "Baiklah, lekas kau cari suatu tempat untuk bersembunyi, tak peduli apa pun yang terjadi, jangan sekali-kali keluar. Sebentar lagi orang itu akan naik ke sini."

Toan Ki terperanjat, serunya, "Wah, jangan sampai dia naik ke sini!"

Segera ia berlari ke tepi gunung, tapi pandangannya menjadi silau oleh berkelebatnya bayangan seorang berbaju kuning yang lagi melompat-lompat ke atas tebing dengan kecepatan dan kegesitan luar biasa.

Tebing jurang itu sangat curam dan licin, tapi orang itu dapat mendaki bagai di tanah datar saja, jauh lebih gesit daripada bangsa kera.

Diam-diam Toan Ki berkhawatir, segera ia menggembor, "Hai, orang itu! Jangan kau naik lagi! Jika tak menurut, awas akan kutimpuk dengan batu!"

Orang itu menyambutnya dengan terbahak-bahak, lompatannya ke atas menjadi terlebih cepat malah.

Melihat sedemikian lihainya orang itu dan Bok Wan-jing sedemikian takut padanya, Toan Ki pikir betapa pun orang ini harus dirintangi ke atas, tapi ia tidak ingin membunuh orang lagi, segera ia ambil sepotong batu dan ditimpukkan ke samping orang itu.

Walaupun batu itu tidak terlalu besar, tapi ditimpukkan dari atas, suaranya cukup keras menakutkan.

Toan Ki berseru pula, "Hai, kau lihat tidak? Kalau kutimpuk kepalamu, pasti jiwamu akan melayang! Maka lekas kau turun ke bawah saja!"

"Kau bocah ini rupanya sudah bosan hidup, berani kurang ajar padaku!" tiba-tiba orang itu tertawa dingin. Suaranya tidak keras, tapi seucap dan sekata dapat didengar Toan Ki dengan jelas.

Melihat orang sudah melompat naik lebih dekat lagi, keadaan sudah gawat, Toan Ki segera angkat dua potong batu terus ditimpukkan ke atas kepala orang itu sambil pejam mata, ia tidak berani menyaksikan adegan ngeri atas nasib orang yang bakal tergelincir ke bawah jurang.

Ia dengar suara gedebukan batu-batu yang menggelinding ke bawah, menyusul terdengar suara menderu dua kali dibarengi suara tertawa panjang orang itu.

Keruan Toan Ki heran, cepat ia buka mata, ia lihat kedua potong batu tadi lagi melayang ke tengah jurang, sebaliknya orang itu baik-baik saja tak kurang suatu apa pun.

Sekali ini Toan Ki benar-benar khawatir, lekas ia memberondongi orang itu dengan timpukan batu lagi. Tapi setiap batu yang melayang sampai di atas kepalanya, sekali lengan baju orang itu mengebut, batu itu lantas mencelat ke samping dan jatuh ke jurang, terkadang orang itu malah melompat ke atas lagi sehingga timpukan batu itu luput.

Dalam gugupnya, sekaligus Toan Ki telah berondongi orang itu dengan puluhan potong batu. Namun orang itu sedikit pun tidak cedera, bahkan sejengkal pun tak dapat merintangi majunya orang itu ke atas.

Melihat gelagat bakal celaka, lekas Toan Ki berlari kembali ke samping Bok Wan-jing dan berkata dengan suara terputus-putus, "No ... nona Bok, orang itu sang ... sangat lihai, ma ... marilah kita lekas lari!"

"Sudah terlambat!" sahut Bok Wan-jing dengan dingin.

Dan selagi Toan Ki hendak bicara pula, sekonyong-konyong tubuhnya terasa didorong oleh suatu tenaga mahadahsyat hingga mencelat ke depan bagai terbang, "bluk", akhirnya ia terbanting di dalam semak-semak pohon hingga kepala pusing tujuh keliling dan hampir-hampir jatuh kelengar.

Untung tanah di situ banyak tumbuh pepohonan pendek, hanya mukanya saja lecet sedikit, tapi tidak sampai terluka berat.

Buru-buru ia merangkak bangun, sementara itu tertampak orang berbaju kuning tadi sudah berdiri di depan Bok Wan-jing.

Khawatir orang itu mencelakai Bok Wan-jing, cepat Toan Ki lari maju dan mengadang di tengah-tengah mereka sambil menegur, "Siapakah engkau? Kenapa menganiaya orang dengan cara semena-mena?"

"Le ... lekas kau lari, jangan tinggal di sini!" seru Bok Wan-jing khawatir.

Hati Toan Ki berdebar-debar juga, namun ia tenangkan diri sebisanya sambil memerhatikan pendatang itu.

Ternyata buah kepala orang itu besarnya luar biasa, sebaliknya kedua matanya bundar kecil hingga mirip dua biji kacang menyelempit di atas semangka. Namun sinar matanya menyorot tajam ketika menatap Toan Ki, tanpa merasa pemuda itu bergidik.

Perawakan orang itu pun sedang saja, berewoknya pendek kaku seperti sikat kawat, tapi usianya sukar diduga. Kedua tangannya panjang melampaui lutut, sedang jarinya panjang lancip serupa cakar.

Waktu mula-mula Toan Ki melihat orang itu, ia merasa wajah orang sangat jelek. Tapi kini timbul perasaan lain, makin dipandang, semakin terasa perawakan orang itu dan anggota badannya, bahkan dandanannya sangat cocok dengan orangnya.

"Kemarilah sini berdiri di sampingku!" demikian kata Bok Wan-jing pula.

"Tapi dia ... dia akan mencelakaimu?" ujar Toan Ki khawatir.

"Hm, melihat lagakmu ini, apakah kau tahan sekali hantam dari 'Lam-hay-gok-sin'?" jengek Bok Wan-jing. Tapi mau tak mau ia terharu juga melihat pemuda itu ingin melindunginya tanpa pikirkan keselamatan sendiri.

Toan Ki pikir memang benar kalau orang aneh ini hendak mengenyahkan dirinya, memang tidak perlu susah payah, lebih baik jangan membikin marah padanya.

Segera ia berdiri di samping Bok Wan-jing dan berkata pula, "Apakah Anda yang berjuluk 'Lam-hay-gok-sin'? Dalam beberapa hari ini sudah banyak aku bertemu dengan berbagai Enghiong-hohan (pahlawan dan kesatria), tapi ilmu silat Anda tampaknya adalah yang paling lihai. Telah kutimpuk engkau dengan berpuluh potong batu, tapi tiada sepotong pun yang mengenaimu."

Dasar watak manusia, siapa yang tidak suka dipuji dan diumpak? Begitu pula dengan Lam-hay-gok-sin atau si malaikat buaya dari laut selatan ini. Sifat Lam-hay-gok-sin ini biasanya kejam tak kenal ampun, tapi demi mendengar Toan Ki memuji ilmu silatnya sangat lihai, ia menjadi senang juga.

Ia terkekek tawa dua kali, lalu berkata, "Kepandaianmu tidak berarti, tapi pandanganmu masih boleh juga. Baiklah, kau enyah saja, kuampuni jiwamu!"

Girang Toan Ki tidak kepalang, sahutnya cepat, "Jika demikian, engkau juga mengampuni Bok-kohnio sekalian!"

Lam-hay-gok-sin itu tidak menjawab, hanya kedua matanya yang bulat kecil itu mendelik, mendadak ia melangkah maju, sekali kebut, lengan bajunya membuat Toan Ki terhuyung-huyung mundur beberapa tindak, lalu katanya dengan suara bengis, "Sekali lagi berani kau melangkah maju, tentu takkan kuampuni jiwamu

lagi!"

Toan Ki percaya orang berani berkata tentu berani berbuat, ia pikir lebih selamat biarlah kulihat gelagat dulu. Maka ia tidak berani sembarang bertindak pula.

Dalam pada itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi berkata kepada Bok Wan-jing, "Kau inikah yang bernama Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing?"

"Benar," sahut si nona. "Sudah lama kudengar nama besar Lam-hay-gok-sin Gak-loyacu, ternyata memang tidak bernama kosong. Siaulicu (aku perempuan kecil) terluka parah, maaf tak dapat memberi hormat kepada engkau orang tua!"

Mendengar itu, diam-diam Toan Ki mendengus di dalam hari, "Hm, terhadap diriku kau garang melebihi setan, tak tahunya kau juga seorang yang cuma berani kepada kaum lemah tapi jeri pada yang jahat. Melihat orang lebih galak daripadamu, lantas kau panggil Loyacu (kakek) segala!"

Sementara itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi menjengek, "Hah, kabarnya kau mempunyai beberapa jurus juga, kenapa bisa terluka parah?"

"Aku dikeroyok Su An, Cin Goan-cun, Sin Si-nio dan Hui-sian berempat, kedua kepalanku tak dapat melawan delapan tangan mereka, maka aku kena dilukai oleh gurdi baja Sin Si-nio," tutur Bok Wan-jing.

"Berengsek, tak kenal malu, orang begitu banyak mengerubut seorang nona!" kata Lam-hay-gok-sin dengan gusar.

"Benar itu, engkau orang tua ternyata lebih bijaksana!" segera Toan Ki menanggapi. "Jangankan main keroyok, setiap lelaki memangnya juga tidak pantas berkelahi dengan wanita. Tapi mereka justru mengerubuti seorang nona lemah, terhitung orang gagah macam apakah itu? Kalau cerita ini tersiar di kalangan Kangouw, bukankah akan dibuat buah tertawaan orang?"

Lam-hay-gok-sin tidak menjawab, hanya mengangguk sambil mendelik.

Diam-diam Toan Ki bergirang, "Telah kukunci dia dengan kata-kata tadi, lalu mengumpaknya lagi setinggi langit, yang penting semoga dapat terhindar dari kesulitan di depan mata ini."

Tapi ia dengar Lam-hay-gok-sin sedang tanya pula, "Sun He-khek dibunuh olehmu atau bukan?"

"Benar!" sahut Bok Wan-jing.

"Dia adalah murid kesayanganku, kau tahu tidak?" tanya Lam-hay-gok-sin alias si malaikat buaya dari laut selatan.

Mendengar itu, diam-diam Toan Ki mengeluh, "Wah, celaka! Kiranya Bok-kohnio telah membunuh murid kesayangannya, urusan ini menjadi susah diselesaikan."

Ia dengar Bok Wan-jing lagi menjawab, "Waktu kubunuh dia tidak tahu, beberapa hari kemudian baru tahu."

"Kau takut padaku tidak?" tanya Lam-hay-gok-sin.

"Tidak!" sahut si nona tegas.

Lam-hay-gok-sin menjadi murka, ia meraung sekali hingga lembah gunung itu seakan-akan terguncang. "Kau berani tidak takut padaku, besar amat nyalimu, ya? Siapakah yang kau andalkan, hah?"

"Engkaulah yang kuandalkan!" sahut Bok Wan-jing dengan dingin.

Lam-hay-gok-sin melengak oleh jawaban itu, segera ia membentak, "Ngaco belo! Kenapa aku yang kau andalkan?"

"Engkau orang tua diagungkan di dunia persilatan, kepandaianmu tiada bandingannya, mana mungkin engkau bergebrak dengan seorang perempuan yang terluka parah!" sahut Wan-jing.

Ucapan ini setengahnya mengandung umpakan, tapi memaksa Lam-hay-gok-sin tidak bisa berbuat apa-apa.

Benar juga, setelah tertegun sejenak, malaikat buaya lautan selatan itu lantas terbahak-bahak, serunya, "Benar juga ucapanmu."

Habis ini, mendadak ia tarik muka lagi dan berkata, "Hari ini biarlah aku tidak membunuh kau. Ingin kutanya padamu, kabarnya kau senantiasa memakai kedok, siapa pun dilarang melihat wajahmu. Kalau ada orang yang melihatnya, jika tidak kau bunuh dia, maka kau akan kawin padanya. Apakah betul kabar ini?"

Toan Ki terperanjat oleh pertanyaan itu, ia lihat Bok Wan-jing mengangguk sebagai jawaban, keruan ia tambah sangsi.

"Sebab apa kau pakai peraturan aneh itu?" tanya Lam-hay-gok-sin.

"Itu adalah sumpah yang kuucapkan di hadapan Suhuku." sahut si nona. "Jika tidak demikian, Suhu takkan mengajarkan ilmu silat padaku."

"Siapakah gurumu itu?" tanya Gok-sin. "Mengapa begitu aneh dan tidak kenal peradaban orang hidup."

Sahut Wan-jing dengan angkuh, "Aku menghormatimu sebagai kaum Cianpwe, tapi kau gunakan kata-kata tidak pantas untuk menghina guruku, itulah tidak patut."

"Praak!" mendadak Lam-hay-gok-sin menghantam sepotong batu padas di sampingnya, seketika batu kerikil berhamburan, muka Toan Ki kesakitan juga terciprat oleh batu kerikil itu.

Diam-diam ia terkesiap, "Sedemikian lihai ilmu silat orang ini, sekali hantam membikin batu hancur lebur, kalau badan manusia yang digenjot, apakah masih bisa hidup?"

Namun ketika dia memandang ke arah Bok Wan-jing, ia lihat gadis itu bersikap dingin-dingin saja, sedikit pun tidak gentar oleh ilmu silat Lam-hay-gok-sin yang tiada taranya itu.

Sementara itu, sesudah memelototi Bok Wan-jing sekejap, lalu Lam-hay-gok-sin berkata lagi, "Baik, anggap ucapanmu tadi memang benar. Sekarang aku ingin tanya, siapakah gelaran gurumu yang terhormat itu?"

"Guruku bernama "Bu-beng-khek" (orang tak bernama)", sahut Wan-jing.

"Bu-beng-khek?" demikian Lam-hay-gok-sin mengulangi nama itu sambil mengingat-ingat kembali. "Tidak

pernah kudengar nama itu!"

"Sudah tentu, rasanya kau pun takkan pernah mengenalnya," jengek Bok Wan-jing.

Sekonyong-konyong Lam-hay-gok-sin perkeras suaranya dan membentak, "Kematian muridku Sun He-khek itu apakah disebabkan dia ingin melihat wajahmu?"

"Yang paling kenal sang murid tiada lebih daripada sang guru," sahut Bok Wan-jing dengan dingin. "Baik sekali bila engkau sudah kenal tabiat muridmu itu."

Memangnya Lam-hay-gok-sin cukup kenal muridnya itu berwatak bajul buntung, kalau mati akibat perbuatannya itu juga tidak perlu heran. Cuma, menurut peraturan "Lam-hay-pay" mereka, selamanya satu guru satu murid. Dengan tewasnya Sun He-khek, itu berarti jerih payahnya mendidik murid selama berpuluh tahun itu ikut hanyut ke laut.

Maka semakin dipikir semakin gusar, sekonyong-konyong ia berteriak, "Baik, aku akan menuntut balas bagi muridku itu!"

Melihat wajah orang mendadak berubah beringas menakutkan, begitu murka hingga air mukanya ikut berubah merah padam, Bok Wan-jing dan Toan Ki menjadi jeri. Sungguh tak tersangka oleh mereka bahwa air muka seorang bisa berubah begitu hebat.

Cepat Toan Ki melangkah maju, tapi segera teringat akan ancaman orang tadi, kembali ia melangkah mundur, lalu berkata, "Gak-locianpwe, bukankah engkau tadi sudah menyatakan takkan membunuh dia?"

Tapi Lam-hay-gok-sin tak menggubrisnya, ia tanya Bok Wan-jing lagi, "Dan muridku itu berhasil melihat wajahmu tidak?"

"Tidak!" sahut si nona.

"Bagus!" seru Lam-hay-gok-sin. "He-khek mati pun tentu tidak rela, biarlah aku mewakili dia melihat wajahmu. Ingin kulihat apakah mukamu seburuk setan atau secantik bidadari!"

Kejut Bok Wan-jing sungguh bukan buatan. Sesuai sumpahnya di hadapan sang guru, kalau sekarang Lam-hay-

gok-sin memaksa melihat wajahnya, sedang dirinya tak mampu membunuhnya, lalu apakah harus kawin dengan dia?

Dalam gugupnya, cepat ia berkata, "Engkau adalah tokoh terkemuka kalangan Bu-lim, mana boleh berbuat serendah dan sekotor ini?"

"Hm, di antara 'Sam-sian-su-ok' (tiga tokoh bajik dan empat orang jahat), akulah satu di antara 'Su-ok' itu, kejahatanku memang sudah terkenal di mana-mana, takut apa lagi?" sahut Lam-hay-gok-sin dengan tertawa dingin. "Selama hidupku hanya kenal suatu aturan, yaitu tidak membunuh orang yang tidak mampu melawan. Kecuali itu, tiada sesuatu kejahatan lain yang tak kulakukan. Maka lebih baik kau menurut dan tanggalkan kedokmu sendiri, agar aku tidak perlu turun tangan lagi."

"Apakah engkau harus ... harus melihat?" sahut Bok Wan-jing dengan suara gemetar.

"Jangan kau banyak cincong lagi, jika rewel lagi, sebentar tidak hanya kedokmu yang kubuka, bahkan antero pakaianmu bisa kulucuti bulat-bulat," ancam Lam-hay-gok-sin dengan bengis. "Apakah kau tidak mendengar bahwa tahun yang lalu di kota Kayhong, dalam semalam saja aku telah memerkosa dan membunuh sembilan putri keluarga pembesar dan bangsawan?"

Bok Wan-jing sadar urusan hari ini pasti tak dapat dihindarkan lagi, ia coba mengedipi Toan Ki dengan maksud mendesak pemuda itu lekas melarikan diri. Tapi Toan Ki hanya menggeleng kepala saja.

Lam-hay-gok-sin sudah tidak sabar lagi, berewoknya yang mirip sikat kawat itu menjengkit. "Huk!" sekali bersuara, terus saja kelima jarinya yang mirip cakar itu terus mencengkeram kedok Bok Wan-jing.

Tanpa pikir Wan-jing tekan pesawat rahasianya, tiga batang panah kecil sekaligus menyambar ke depan secepat kilat dan semuanya tepat mengenai perut Lam-hay-gok-sin.

Tak terduga hanya terdengar "cret-cret-cret" tiga kali, ketiga panah itu jatuh semua ke tanah. Sedikit Bok Wanjing bergerak, kembali tiga panah berbisa terbang ke depan, yang dua batang mengarah dada Lam-hay-gok-sin, yang satu mengincar mukanya.

Tapi- kedua batang panah yang mengenai dada Lam-hay-gok-sin tetap seperti membentur papan baja saja, semuanya jatuh ke tanah. Bedanya cuma tidak menerbitkan suara "crang-creng" yang nyaring, tapi hanya bersuara "blak-blek" yang aneh.

Sedang panah ketiga ketika hampir mencapai sasarannya, tiba-tiba Lam-hay-gok-sin ulur dua jarinya dan menyelentik perlahan batang panah kecil itu, kontan panah itu mencelat entah ke mana!

Hendaklah diketahui bahwa panah berbisa yang dibidikkan Bok Wan-jing secepat kilat, banyak jago kelas wahid telah tewas di bawah panahnya itu sebelum melihat bayangan panah, Sekalipun tangkas dan gesit, paling-paling juga cuma melompat berkelit saja.

Tapi kini Lam-hay-gok-sin bukan saja tidak mempan dipanah, bahkan sempat angkat jarinya menyelentik, sungguh selama hidup Bok Wan-jing belum pernah menghadapi tokoh selihai ini, saking jerinya hampirhampir nyalinya pecah, cepat ia berseru, "Nanti dulu, jangan main kasar!"

Lam-hay-gok-sin tertawa dingin, sahutnya, "Menurut aturanku, aku hanya tidak membunuh orang yang tidak mampu membalas seranganku, tapi kau telah menyerang aku. Maka aku akan melihat macam apa wajahmu, kemudian mencabut nyawamu. Ini adalah salahmu sendiri yang menyerang lebih dulu, jangan kau salahkan aku melanggar aturan."

"Salah, salah!" tiba-tiba Toan Ki berteriak.

"Ada apa?" tanya Lam-hay-gok-sin sambil menoleh.

"Menurut aturan Locianpwe, engkau 'tidak membunuh orang yang tidak mampu membalas seranganmu' bukan?" Toan Ki menegas.

"Benar!" sahut Lam-hay-gok-sin dengan mata mendelik.

"Ketetapan itu bisa diubah atau tidak?" tanya Toan Ki.

Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, sahutnya, "Sekali aturan sudah kutetapkan tidak bisa ditawar-tawar lagi!"

"Tapi kalau ada yang mengubahnya, orang macam apakah dia itu?" desak Toan Ki.

"Orang itu adalah anak kura-kura (anak germo) dan keturunan haram!" sahut si malaikat buaya dari laut selatan.

"Bagus, bagus!" seru Toan Ki. "Tadi sebelum kau serang Bok-kohnio, dia yang memanahmu dulu, itu bukan 'balas menyerang', tapi harus disebut 'menyerang lebih dulu'. Jika kau serang dia, dalam keadaan terluka parah, pasti dia tidak mampu membalas sedikit pun. Sebab itulah harus dikatakan dia mampu menyerang, tapi tidak mampu balas menyerang. Bila kau bunuh dia, itu berarti engkau telah mengubah peraturanmu sendiri, dan kalau engkau mengubah aturanmu sendiri, itu berarti engkau anak kura-kura dan keturunan haram!"

Ternyata dalam keadaan kepepet, Toan Ki terus main pokrol bambu. Ia sengaja pancing omongan Lam-haygok-sin untuk menjebaknya, lalu berdebat dengan dia secara pokrol-pokrolan.

Keruan Lam-hay-gok-sin meraung murka bagai guntur kerasnya, sekali melompat, segera kedua tangan Toan Ki dipegangnya sambil membentak, "Kurang ajar! Kau berani memaki aku sebagai anak kura-kura dan keturunan haram!"

Berbareng tangan lain diangkat terus hendak menghantam kepala pemuda itu.

Tapi dengan tenang Toan Ki masih menjawab, "Jika kau ganti peraturanmu, tentu engkau harus mengaku sebagai anak kura-kura, kalau tidak, ya bukan. Dan suka atau tidak engkau menjadi anak kura-kura, tergantung padamu akan mengubah peraturanmu atau tidak."

Melihat anak muda itu sedemikian teguh pendiriannya, biarpun jiwa terancam, tapi sama sekali tidak gentar, bahkan berani memaki orang sebagai "anak kura-kura" terus-menerus, Bok Wan-jing menjadi khawatir Lamhay-gok-sin akan murka hingga sekali hantam kepala Toan Ki bisa remuk.

Saking takutnya, air matanya bercucuran, ia berpaling ke arah lain dan tidak tega menyaksikannya.

Tak terduga Lam-hay-gok-sin menjadi terkesima oleh karena debat kusir Toan Ki tadi, ia pikir, kalau sekali hantam kubinasakan dia berarti membunuh seorang yang tak mampu membalas seranganku, dan bukankah benar-benar aku akan menjadi anak kura-kura dan keturunan haram?

Karena itulah tangannya yang terangkat tadi perlahan diturunkan kembali, sebaliknya tangan lain yang memegang kedua tangan Toan Ki diperkeras dengan mata mendelik.

Begitu kuat remasannya itu hingga Toan Ki meringis kesakitan tidak kepalang, tulang tangannya sampai berkerutukan seakan-akan patah, hampir ia jatuh pingsan.

Tapi dasar wataknya memang sangat bandel, walaupun meringis, segera ia berseru, "Aku tidak mampu membalas seranganmu, lekas kau bunuh aku saja!"

"Huh, aku justru tidak mau masuk perangkapmu! Kau ingin aku menjadi anak kura-kura dan keturunan haram, ya?" sahut Lam-hay-gok-sin.

Habis berkata, tiba-tiba ia angkat tubuh pemuda itu dan dibanting ke tanah. Keruan mata Toan Ki berkunangkunang, isi perutnya serasa jungkir balik dan hancur luluh.

"Aku tidak mau terperangkap! Aku takkan membunuh kalian dua setan cilik ini!" demikian Lam-hay-gok-sin berkomat-kamit sendiri.

Mendadak ia membentak kepada Bok Wan-jing, "Buka kain kedokmu!"

Wan-jing merasa air mata sendiri meleleh di kedua pipi, tiba-tiba hatinya tergugah, "Dahulu pernah kunyatakan bahwa selama hidupku ini takkan menikah, kecuali bila aku menangis bagi laki-laki itu!"

Karena urusan sudah mendesak, tanpa pikir lagi segera ia memanggil Toan Ki, "Kemarilah kau!"

Dengan masih meringis kesakitan Toan Ki mendekati si nona dan tanya, "Ada apa?"

"Engkau adalah laki-laki pertama di dunia ini yang melihat wajahku!" demikian Bok Wan-jing berbisik sambil berpaling ke hadapan pemuda itu dan menyingkap kain kedoknya.

Seketika hati Toan Ki terguncang seakan-akan kena aliran listrik.

Ternyata apa yang dilihatnya itu adalah sebuah wajah cantik ayu bagai bidadari, cuma agak putih pucat, tentunya disebabkan selama ini gadis itu menutupi mukanya dengan kedok, jarang terkena cahaya matahari. Kedua bibirnya yang tipis mungil itu pun kepucat-pucatan. Namun bagi Toan Ki, rasanya gadis ini menjadi lebih harus dikasihani, lemah lembut, sama sekali tiada mirip sebagai Hiang-yok-jeh yang membunuh orang tanpa berkedip.

Kemudian Bok Wan-jing menutup kedoknya lagi dan berkata kepada Lam-hay-gok-sin, "Nah, sekarang jika kau ingin melihat mukaku, harus kau minta izin dulu kepada suamiku."

"Hah, kau sudah bersuami?" Gok-sin menegas dengan heran. "Siapakah suamimu itu?"

"Aku pernah bersumpah bahwa laki-laki mana saja yang pertama kali melihat wajahku, kalau aku tidak membunuh dia, maka aku harus menikah padanya," sahut Wan-jing sambil menunjuk Toan Ki, "Kini orang ini telah melihat wajahku, aku tidak ingin membunuh dia, terpaksa aku menjadi istrinya."

Lam-hay-gok-sin tercengang, ia berpaling dan mengamat-amati Toan Ki

Toan Ki merasa kedua mata orang yang kecil mirip kacang kedelai itu sedang memandang dirinya, dimulai dari ujung rambut sampai ke kaki, dan dari jari kaki kembali ke ubun-ubun, keruan Toan Ki menjadi risi dan merinding pula, khawatir kalau orang menjadi kalap dan sekali hantam membinasakan dirinya.

Siapa tahu mendadak mulut Lam-hay-gok-sin tiada hentinya berkecek-kecek memuji, katanya, "Ck-ck-ck-ck, bagus sekali, bagus sekali! Coba kau menghadap ke sini!"

Toan Ki tidak berani membangkang, ia menurut dan berputar ke hadapan orang.

"Ehm, benar-benar hebat, benar-benar cakap! Sangat mirip aku, sangat mirip aku!" demikian kembali Lamhay-gok-sin memuji.

Mendengar ucapan yang tak jelas ujung pangkalnya itu, Bok Wan-jing dan Toan Ki sama heran, pikir mereka, "Ilmu silatmu memang benar tiada bandingannya, tapi rupamu jelek, bagian manakah yang mirip dengan Toan Ki yang tampan?"

Tiba-tiba Lam-hay-gok-sin melompat ke samping Toan Ki, ia raba-raba tulang kepala belakang pemuda itu, lalu pijat-pijat tangan dan kakinya, kemudian meremas-remas pula pinggangnya.

Keruan Toan Ki merasa geli seakan-akan dikilik-kilik, hampir saja ia berteriak tertawa. Tapi ia dengar Lamhay-gok-sin sedang terbahak-bahak dan berkata, "Kau sangat mirip aku, ya, sangat mirip aku!"

Berbareng itu tangan Toan Ki digandengnya sambil berkata pula, "Marilah ikut padaku!"

"Locianpwe suruh aku ke mana?" tanya Toan Ki dengan bingung.

"Ke istana Gok-sin-kiong di pulau Gok-to, di lautan selatan," sahut Gok-sin. "Aku telah menerima dirimu sebagai murid, lekas kau menjura padaku!"

Hal ini sungguh di luar dugaan Toan Ki, keruan ia kelabakan, "Ini ... ini ...."

Akan tetapi Lam-hay-gok-sin tidak mau tahu ini itu, saking senangnya ia berjingkrak-jingkrak seakan-akan orang putus lotre hadiah pertama, katanya, "Tangan dan kakimu panjang, tulang kepalamu bagian belakang menonjol keluar, tulang pinggangmu lemas, kau pintar dan cerdik, aku yakin bakatmu sangat baik, umurmu belum banyak lagi, benar-benar suatu bakat pilihan untuk belajar silat. Lihatlah ini, bukankah tulang kepalaku ini sama seperti kau?"

Sembari berkata, ia terus membalik tubuhnya.

Benar juga, Toan Ki melihat tulang kepala belakang orang memang sangat mirip dengan dirinya.

Buset! Jadi apa yang dimaksudkan "sangat mirip aku" tadi tidak lebih disebabkan persamaan sekerat tulang kepala belakang belaka!

Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin telah putar tubuh lagi, katanya dengan berseri-seri, "Lam-hay-pay kita selamanya ada suatu peraturan, yaitu setiap turunan hanya satu guru satu murid. Muridku yang sudah mati itu, Sun He-khek, tulang kepalanya tidak sebagus kau punya, kepandaiannya juga tiada dua bagian yang diterimanya dari ajaranku, kini dia sudah mati, biarlah, daripada sekarang aku repot membunuhnya, mendingan aku menerima kau sebagai murid saja."

Toan Ki bergidik oleh ucapan itu. Pikirnya, sifat orang ini sedemikian biadabnya, bila ada orang yang dipenujui olehnya, murid lantas akan dibunuhnya juga. Jangankan dirinya memang tidak sudi belajar silat, sekalipun mau juga tidak nanti mengangkat orang demikian sebagai guru.

Tapi Toan Ki juga tahu bila secara tegas menolaknya sekarang, seketika malapetaka pasti akan menimpa dirinya.

Tengah ia bingung tak berdaya, sekonyong-konyong terdengar Lam-hay-gok-sin membentak, "Kalian lagi berbuat apa main sembunyi-sembunyi di situ? Ayo, semuanya menggelinding kemari!"

Maka tertampaklah dari semak-semak pohon sana muncul tujuh orang.

Su An, Hui-sian, Cin Goan-cun termasuk di antaranya. Menyusul dari sebelah kiri sana juga menongol dua orang, mereka adalah Co Cu-bok dan Siang-jing dari "Bu-liang-kiam."

Kiranya sesudah Lam-hay-gok-sin naik ke atas tebing itu, Toan Ki tidak bisa menimpuk batu dan merintangi mereka lagi, maka kesempatan itu telah digunakan orang-orang itu untuk memanjat ke atas. Empat orang lagi di antara rombongan Su An itu adalah para Cecu (gembong-gembong) dari Hok-gu-ceh, semuanya jago terkenal dari kalangan Hek-to (hitam) yang kerjanya merampok dan membegal.

Meski orang-orang itu bersembunyi di tengah semak-semak dengan menahan napas, namun mana bisa mengelabui telinga Lam-hay-gok-sin yang tajam?

Tapi dasar orang aneh ini lagi senang karena memperoleh seorang murid berbakat bagus seperti Toan Ki, seketika ia tidak menjadi marah, dengan masih berseri-seri ia memelototi Co Cu-bok dan lain-lain, lalu membentak, "Ada apa kalian naik ke sini? Apakah hendak mengaturkan selamat padaku karena baru menerima seorang murid bagus?"

Dengan tabahkan diri, Jicecu (gembong kedua) dari Hok-gu-ceh yang bernama Coh Thian-koat menjawab, "Kami ingin menangkap perempuan hina si Hiang-yok-jeh ini untuk membalas sakit hati saudara kami."

"Tidak, tidak boleh!" seru Gok-sin sambil goyang kepala. "Hiang-yok-jeh adalah istrinya muridku, lekas kalian enyah semua!"

Keruan semua orang sama melongo heran sambil saling pandang.

"Tidak, aku tak mau mengangkatmu sebagai guru, sudah lama aku mempunyai guru," seru Toan Ki tiba-tiba.

Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, bentaknya, "Siapakah gurumu? Apakah kepandaiannya bisa lebih tinggi daripadaku?"

"Kepandaian guruku itu kuyakin sedikit pun tak dapat kau bandingi," sahut Toan Ki. "Coba, apakah kau paham intisari 'Kong-yang-thoan'? Apa pernah kau belajar ilmu 'Ciong-ting-kah-kut' segala?"

Lam-hay-gok-sin garuk-garuk kepala, sebab dia memang tidak kenal apa itu, "Kong-yang-thoan" segala, bahkan dengar pun belum pernah.

Melihat wajah orang mengunjuk rasa bingung, diam-diam Toan Ki merasa geli, ia pikir ilmu silat orang ini sangat tinggi, tapi otaknya ternyata bebal, segera katanya lagi, "Makanya, kebaikan Locianpwe biarlah kuterima di dalam hati saja, kelak aku akan mengundang guruku untuk coba-coba bertanding dengan Locianpwe, bila Locianpwe dapat mengalahkannya, barulah aku mau mengangkat engkau sebagai Suhu."

"Siapa Suhumu? Masakan aku jeri padanya? Ayo, tetapkan kapan harus bertanding?" teriak Gok-sin dengan gusar.

Padahal apa yang diucapkan Toan Ki itu hanya sekadar untuk mengulur waktu saja, siapa duga orang benarbenar minta diadakan janji bertanding.

Keruan ia tak bisa menjawab.

Tengah bingung tak berdaya, tiba-tiba dari jauh sana terdengar kumandang suara suitan orang yang panjang bagai auman naga, suara itu bergelombang tak terputus-putus melintasi lereng gunung.

Kalau tadi Toan Ki merasa ngeri dan seram oleh suara suitan Lam-hay-gok-sin yang melengking tajam itu, adalah suara suitan sekarang ini kedengarannya keras tenang dan kuat mengguncangkan lembah gunung, sedikit pun tidak kalah hebatnya daripada suara Lam-hay-gok-sin tadi.

Mendengar suara ini tiba-tiba Gok-sin keplak batok kepala sendiri sambil berseru, "Haya, orang ini sudah tiba, aku tidak sempat banyak bicara lagi denganmu. Nah, kapan gurumu akan Pi-bu (bertanding silat) denganku dan di mana tempatnya? Ayo, lekas katakan, lekas!"

"Wah, aku ... aku tidak enak me ... mewakili guruku mengadakan perjanjian dengan engkau," sahut Toan Ki tergegap-gegap. "Apalagi sekali engkau sudah pergi, orang-orang ini tentu akan membunuh kami berdua, lalu cara bagaimana aku akan memberitahukan hal ini pada guruku?"

Sembari berkata, ia tuding-tuding Hui-sian dan lain-lain.

Mendengar itu, tanpa menoleh Lam-hay-gok-sin membaliki tangan kiri meraup ke belakang, seketika tangan Coh Thian-koat, Jicecu dari Hok-gu-ceh itu kena dipegangnya, menyusul tangan kanan Gok-sin menjojoh pula ke belakang, "cret", kelima jarinya menancap masuk dada Coh Thian-koat, kontan terdengar jeritan ngeri gembong Hok-gu-ceh itu.

Waktu tangan kanan Lam-hay-gok-sin ditarik kembali, di tengah tangannya yang berlumuran darah itu sudah memegang sepotong hati manusia.

Kedua kali gerakan Lam-hay-gok-sin itu cepat bukan main, percuma saja Coh Thian-koat memiliki kepandaian tinggi, sedikit pun ternyata tak mampu dikeluarkan. Keruan semua orang yang menyaksikan itu sama melenggong kesima.

Buah hati manusia tadi oleh Lam-hay-gok-sin terus dimasukkan ke mulutnya, "kruk", ia gigit sekali dan dikunyah dengan lezatnya bagai makan mentimun saja.

Sungguh pedih dan gusar tidak kepalang ketiga Cecu yang lain dari Hok-gu-ceh. Berbareng mereka meraung murka terus menubruk maju. Akan tetapi sama sekali Lam-hay-gok-sin tidak berpaling, bahkan mulutnya masih terus makan dengan lezatnya, sedang kaki kanan lantas mendepak tiga kali sekaligus ke belakang.

Kontan tertampak tubuh ketiga Cecu dari Hok-gu-ceh itu mencelat ke udara dan jatuh ke dalam jurang semua. Suara jeritan ngeri yang berkumandang di angkasa lembah pegunungan itu dan membuat Toan Ki merinding.

Menampak betapa ganas dan buasnya Lam-hay-gok-sin, ilmu silatnya sedemikian lihai pula, Hui-sian, Co Cubok dan lain-lain menjadi jeri dan menyurut mundur ketakutan.

Sambil mulutnya masih mengunyah sisa hati manusia tadi, samar-samar Lam-hay-gok-sin berseru pula, "Locu tidak cukup hanya makan sebuah hati, aku masih ... masih inginkan yang kedua, siapa yang larinya paling lambat, dia itulah akan menjadi mangsaku."

Mendengar itu, takut Co Cu-bok, Siang-jing, Cin Goan-cun dan lain-lain bukan buatan, sukma mereka hampir terbang ke awang-awang, cepat saja mereka berebut melarikan diri, begitu sampai di tepi jurang, tanpa pikir lagi mereka memberosot ke bawah begitu saja.

Hanya Oh-pek-kiam Su An saja yang masih tinggal di situ dengan mata mendelik sambil menghunus pedang, katanya dengan gagah berani, "Di dunia ini ternyata ada manusia sekejam dan seganas ini, sungguh melebihi

binatang. Bila aku Su An juga takut mati dan melarikan diri, ke manakah mukaku harus ditaruh kalau berkelana di Kangouw lagi?"

Habis berkata, ia sentil batang pedangnya hingga berbunyi mendengung, bukannya mundur, sebaliknya melangkah maju dan membentak, "Awas pedang!"

Tanpa bicara lagi ia menusuk dada Lam-hay-gok-sin.

Di bawah cahaya matahari yang terang benderang itu, sinar pedang gemerlapan menyilaukan mata, tapi Lamhay-gok-sin anggap seperti tidak melihatnya saja, ia asyik menikmati penganannya sendiri yang istimewa itu.

Ujung pedang Su An tampaknya sudah akan menembus dadanya, segera Su An kerahkan tenaga lebih kuat. "Kret", ternyata bukan dada Lam-hay-gok-sin yang tertembus, melainkan pedang Su An yang patah menjadi dua.

Sungguh luar biasa, tubuh Lam-hay-gok-sin itu ternyata kebal, tidak mempan senjata. Meski pedang Su An itu bukan Po-kiam atau pedang pusaka, tapi juga tergolong senjata pilihan yang sangat tajam. Keruan ia kaget, cepat ia melompat mundur sambil melolos pedang yang lain.

"Apakah kau ini Oh-pek-kiam Su An?" tanya Lam-hay-gok-sin.

"Benar," sahut Su An. "Kalau orang she Su hari ini tewas di tangan manusia buas seperti kau, kelak pasti ada yang menuntut balaskan."

Ia tahu ilmu sendiri terpaut sangat jauh dengan lawan dan pasti bukan tandingannya. Namun sedikit pun ia tidak gentar, ia sudah ambil keputusan, bila akhirnya tetap kalah, segera ia akan bunuh diri dan terjun ke bawah jurang daripada jatuh di tangan musuh dan dimakan hatinya.

Saat itu Lam-hay-gok-sin baru menjejalkan sisa hati manusia tadi ke dalam mulutnya, lalu berkata, "Oh-pekkiam Su An, ehm, sudah lama kudengar namamu. Lam-hay-gok-sin justru paling suka makan buah hati Enghiong-hohan (orang gagah dan kaum kesatria), sebab lebih lezat daripada hati manusia pengecut yang tak berguna. Hahaha, tentu boleh juga hati manusia Su An ini!"

Habis berkata, sekonyong-konyong tubuhnya melejit ke depan secepat panah. Segera Su An memapak dengan tusukan pedang ke tenggorokan lawan.

Tapi sedikit Lam-hay-gok-sin egos kepala, tahu-tahu bahu Su An kena dicengkeramnya.

Seketika Su An merasa separuh tubuhnya kaku pegal, sepenuh sisa tenaga ia ketok-ketok batok kepala orang dengan gagang pedangnya, "tak", bukannya kepala lawan yang pecah, tapi pedangnya yang hitam mulus itu terpental dan tangannya terluka oleh getaran itu.

Dalam kejutnya Su An meronta sebisanya terus hendak terjun ke bawah jurang, namun sekali lengan sudah terpegang oleh Lam-hay-gok-sin, mana bisa terlepas begitu saja.

Dalam keadaan bahaya, tiba-tiba di angkasa raya berkumandang lagi suara suitan macam naga berbunyi, menyusul suara seorang berkata, "Hiong-sin-ok-sat Gak-losam, apa kau takut, maka tidak berani kemari?"

Suara itu berkumandang dari jauh, tapi kedengarannya orangnya seperti berada di dekat situ.

"Huh, selama hidup Gak-losam pernah gentar kepada siapa? Segera kudatang ke situ!" sahut Lam-hay-gok-sin dengan keras. Sembari berkata, tangannya terangkat terus hendak mencakar dada Su An.

Dalam keadaan begitu, Su An hanya pejamkan mata menunggu ajal saja.

Untunglah mendadak Toan Ki berseru, "Locianpwe, hati orang ini berbisa, jangan kau makan!"

Lam-hay-gok-sin tertegun, tanyanya, "Dari mana kau tahu?"

"Kemarin dulu orang ini berani main gila pada Sin-long-pang, maka Sikong-pangcu telah cekoki dia dengan Toan-jiong-san dan Hui-sim-tan (pil pembusuk hati)," demikian Toan Ki sengaja mengibul. "Dan kemarin dia bermusuhan lagi dengan Bok-kohnio hingga kena dipanah sekali oleh nona Bok dengan panahnya yang beracun, mungkin saat ini racun sudah mulai merasuk ke dalam hatinya. Apalagi pagi tadi dia kena digigit pula sekali oleh seekor ular emas kecil ...."

"Apakah Kim-leng-cu?" sela Lam-hay-gok-sin.

"Benar, Kim-leng-cu!" sahut Toan Ki sembari melepaskan Jin-leng-cu dari pinggangnya, lalu menyambung,

"Lihat ini, Kim-leng-cu dan Jing-leng-cu selalu berada bersama. Bisa binatang kecil ini teramat lihainya, sekalipun Lwekang Locianpwe sangat tinggi dan tidak takut terkena racun, tapi hati orang ini tentu sejak tadi sudah membusuk dan tak enak dimakan, jangan-jangan malah akan bikin sakit perut Locianpwe nanti!"

Ada benarnya juga pikir Lam-hay-gok-sin. Segera ia lemparkan Su An ke samping, lalu katanya kepada Toan Ki, "Kau bocah ini meski belum resmi mengangkat guru padaku, tapi kau ternyata sudah baik hati terhadap gurumu."

Sekonyong-konyong suara raungan aneh tadi berjangkit lagi dengan keras dan sahut-menyahut bagai paduan suara raungan binatang buas dan gesekan logam yang mengilukan perasaan dan memekak telinga.

Cepat Lam-hay-gok-sin mengeluarkan suaranya yang mirip hantu merintih, sekali lompat, tahu-tahu ia terjun ke bawah jurang.

Kejut dan girang Toan Ki, pikirnya, "Mampus kau sekarang melompat ke dalam jurang!"

Cepat ia berlari-lari melongok ke tepi jurang, ia lihat si malaikat buaya dari laut selatan itu lagi berlompatan ke bawah, sekali lompat belasan tombak jauhnya, tangannya digunakan menahan dinding jurang, habis itu tubuhnya menurun pula ke bawah dan begitu seterusnya hingga akhirnya bayangannya lenyap di balik awan yang menutupi jurang itu.

Toan Ki melelet lidah oleh kepandaian Lam-hay-gok-sin yang sukar dibayangkan itu. Ketika berpaling kembali, ia lihat Su An sedang jemput kembali pedang hitamnya dan dimasukkan sarungnya, lalu katanya sambil hormat dengan muka jengah, "Hari ini berkat pertolongan Toan-heng, sungguh aku Su An takkan melupakan budi kebaikan ini."

"Cayhe telah mengoceh sekenanya, untuk itu masih mengharapkan Su-heng jangan marah," sahut Toan Ki sambil membalas hormat.

"Lam-hay-gok-sin Gak Jong-liong ini tinggal di Ban-gok-to (pulau berlaksa buaya) di laut selatan, kali ini tibatiba datang ke Tionggoan, tentu tidak datang sendirian, mungkin masih banyak begundal yang dibawanya," kata Su An. "Konon orang ini sekali omong pasti dilaksanakan, maka sekali kalau dia penujui Toan-heng, tentu takkan berhenti begini saja. Kedatanganku merecoki istrimu sebenarnya adalah atas permintaan kawan saja, maka selanjutnya akan kuanggap selesai. Sekarang juga biar kuantar kalian suami istri turun gunung untuk menghindari gangguan begundal Lam-hay-gok-sin."

Toan Ki menjadi merah jengah mendengar orang berulang kali menyebut "suami istri" antara dia dan Bok

Wan-jing, cepat ia goyang tangan dan berkata dengan tak lancar, "Ti ... tidak ... bu ... bukan ...."

Namun Bok Wan-jing lantas bersuara dengan dingin, "Su An, silakan kau pergi saja. Keselamatanmu sendiri saja menjadi persoalan, masih berlagak gagah perwira segala?"

Merah padam Su An oleh olok-olok itu, tanpa bicara ia putar tubuh dan tinggal pergi.

"Nanti dulu, Su-heng!" cepat Toan Ki berseru.

Namun Su An sudah ngambek, ia berlari ke tepi jurang dan memberosot turun.

Sekilas Toan Ki melihat di lereng gunung depan sana ada setitik benda kuning lagi bergerak dengan sangat cepat. Waktu ditegaskan, kiranya adalah Lam-hay-gok-sin, hanya dalam sekejap saja si malaikat buaya dari laut selatan itu sudah merayap sampai di sana.

Toan Ki kembali ke samping Bok Wan-jing dan berkata, "Apa yang dikatakan orang she Su itu bukan tiada beralasan, kenapa kau bikin menyesal dia?"

Bok Wan-jing menjadi gusar, sahutnya, "Baru menjadi suamiku, lantas hendak kau perintah aku, ya? Kalau kubunuhmu, paling-paling aku pun bunuh diri mengiringimu, apanya yang perlu dibuat ribut-ribut?"

Toan Ki tertegun, katanya pula, "Hal ini hanya untuk menipu Lam-hay-gok-sin karena keadaan mendesak tadi, kenapa kau anggap sungguhan? Mana dapat aku menjadi suami nona?"

"Apa katamu?" seru Bok Wan-jing sambil berbangkit dengan terhuyung-huyung memegangi dinding batu. "Jadi kau tidak sudi padaku? Kau cela diriku, bukan?"

Melihat nona itu sedemikian gusarnya, cepat Toan Ki berkata lagi, "Harap nona pikirkan kesehatanmu dulu, soal ucapan main-main tadi buat apa kau pikirkan dalam hati?"

"Plok", mendadak Bok Wan-jing melangkah maju dan persen Toan Ki dengan sekali tempelengan. Tapi badannya terlalu lemah, sekali sempoyongan, ia jatuh ke pangkuan anak muda itu. Cepat Toan Ki memeluknya agar tidak roboh.

Karena berada dalam pelukan pemuda itu, teringat pula dirinya sudah diakui sebagai istri, Bok Wan-jing merasa badan menjadi hangat, rasa gusarnya ikut berkurang pula beberapa bagian, katanya kemudian, "Lekas lepaskan aku!"

Toan Ki dukung nona itu duduk bersandar dinding batu, pikirnya, "Perangainya memang sangat aneh, setelah terluka parah mungkin akan menjadi lebih ganjil lagi wataknya. Kini terpaksa kuturuti dia, apa pun dia bilang akan kuturuti saja, toh aku ...."

Ia coba menghitung-hitung dengan jari, jarak waktu bekerjanya racun Toan-jiong-san sudah dekat, ia pikir walaupun racun itu tidak jadi kumat, dirinya juga takkan mampu turun dari gunung yang dikelilingi jurangjurang curam itu dengan hidup.

Maka dengan suara halus kemudian ia menghibur Bok Wan-jing, "Sudahlah, jangan kau marah. Yang benar, marilah kita mencari apa-apa yang dapat kita makan."

"Di atas bukit tandus begini, apa yang dapat kita makan?" sahut Bok Wan-jing. "Biarlah aku mengaso sebentar, kalau sudah cukup kuat, akan kugendong turun ke bawah gunung saja."

"Wah, mana ... mana boleh," seru Toan Ki sambil goyang-goyang tangan. "Untuk jalan sendiri saja engkau belum kuat, mana dapat menggendongku pula?"

"Kau lebih suka korbankan jiwa sendiri ketimbang mengingkari aku," kata Wan-jing. "Karena itu, demi Longkun (suamiku), meskipun aku Bok Wan-jing biasanya membunuh orang tanpa berkedip juga rela berkorban untuk sang suami."

Kata-kata itu diucapkan dengan tegas, cuma ia tidak biasa mengutarakan perasaan yang haru dan mesra itu, dengan sendirinya nadanya menjadi rada kaku, tidak sesuai dengan rasa hatinya yang penuh cinta kasih itu.

"Banyak terima kasih, biarlah engkau mengaso dulu, nanti kita bicarakan lagi." Sampai di sini sekonyongkonyong perutnya terasa sakit, tak tertahan lagi ia menjerit, "Aduh!"

Begitu sakit perutnya itu hingga mirip disayat-sayat pisau, usus seakan-akan dipotong-potong. Dengan meringis Toan Ki menahan sakit perutnya, keringat berbutir-butir merembes keluar di jidatnya.

"He, ken ... kenapa kau?" tanya Bok Wan-jing khawatir.

"Sikong ... Sikong Hian dari Sin-long-pang men ... mencekoki aku dengan Toan-jiong-san ...." demikian Toan Ki bertutur dengan terputus-putus.

Keruan kejut Bok Wan-jing tak terkatakan, pikirnya, "Kabarnya Sin-long-pang paling ahli menggunakan obat, jika Pangcu mereka sendiri yang memberi racun, mungkin sukar ditolong lagi."

Ia lihat Toan Ki kesakitan hingga megap-megap, hatinya tidak tega, ia tarik pemuda itu duduk di sampingnya dan menghiburnya, "Kuatkanlah perasaanmu! Sekarang sudah baikan bukan?"

Tapi saking kesakitan sampai mata Toan Ki seakan-akan berkunang-kunang, maka dengan merintih ia berkata, "Aduh, sakitnya! Ma ... makin lama main sakit!"

Si gadis mengusap keringat Toan Ki dengan lengan bajunya, ketika melihat wajah pemuda itu pucat pasi, hatinya menjadi sedih dan air mata pun berlinang-linang, katanya dengan terguguk, "Jang ... jangan kau mati begini saja!"

Sembari berkata ia terus tarik kedoknya itu dan menempelkan pipi kanan sendiri ke pipi kiri Toan Ki, "O, Longkun, engkau ... engkau jangan mati!"

Selama hidup Toan Ki belum pernah berdekatan dengan gadis jelita, apalagi kini setengah dirangkul Bok Wanjing, pipi menempel pipi, terdengar pula rayuan "Longkun" yang meresap, keruan sukma Toan Ki seakan-akan terbang ke awang-awang.

Kebetulan juga saat itu sakit perutnya agak reda. Sudah tentu Toan Ki merasa berat untuk berpisah dari rangkulan si gadis, maka katanya, "Selanjutnya jangan lagi kau pakai topeng, ya?"

"Jika kau minta begitu, pasti akan kuturut," sahut Bok Wan-jing. "Dan sekarang perutmu sudah baikan belum?"

"Sudah agak baik," sahut Toan Ki. "Tapi ...."

"Tapi apa?" tanya Wan-jing.

"Ta ... tapi kalau kau lepaskan aku, tentu akan kesakitan lagi."

"Cis, jadi kau hanya pura-pura saja," omel si nona dengan muka merah sambil mendorong Toan Ki.

Sebenarnya Toan Ki adalah seorang pemuda lugu dan polos, keruan ia menjadi malu juga. Ia tidak tahu cara bekerja racun Toan-jiong-san itu mula-mula agak lama baru berjangkit sekali, kemudian berjangkit makin kerap hingga akhirnya akan kesakitan tiada henti-hentinya dan orangnya akan mati.

Tadi ia salah sangka atas rayuan Bok Wan-jing yang penuh kasih manisnya madu, perasaannya terguncang hingga lupa sakit.

Sebaliknya Bok Wan-jing rada kenal sifat bekerjanya racun itu, kalau pemuda itu kesakitan terus-menerus malah masih bisa ditolong, tapi hanya kesakitan sebentar lantas berhenti, umumnya tentu terkena racun jahat yang susah disembuhkan, si penderita pasti akan tersiksa mati tidak hidup pun tidak, jauh lebih mengenaskan daripada mati.

Dan ketika melihat pemuda itu mengunjuk rasa malu, ia menjadi pedih, ia pegang tangan Toan Ki dan berkata pula, "Bila kau mati, Longkun, aku pun tidak ingin hidup sendirian, biarlah kita berdua menjadi suami istri di alam baka nanti."

Tapi Toan Ki tidak ingin gadis itu mati setia baginya, katanya, "Tidak, tidak! Engkau harus membalaskan sakit hatiku dulu, kemudian setiap tahun sekali engkau berziarah ke kuburanku. Kuminta engkau bersembahyang di kuburanku selama berpuluh tahun, dengan demikian barulah aku dapat tenteram di alam baka."

"Aneh juga engkau ini," ujar Wan-jing. "Sesudah mati, apa yang bisa dirasakan lagi? Aku datang berziarah atau tidak ke kuburanmu, apa gunanya bagimu?"

"Jika begitu, bila kau mati bersamaku lebih-lebih tiada berguna," sahut Toan Ki. "O, betapa cantiknya engkau, bila setiap tahun engkau sudi berziarah sekali ke kuburanku, kalau aku mengetahui di alam baka tentu akan senang juga hatiku melihatmu. Tapi bila engkau ikut mati bersamaku, kita sama-sama akan menjadi tulang belulang belaka, ini kan tidak bagus lagi untuk dilihat."

Mendengar dirinya dipuji cantik, senang hati Bok Wan-jing. Tapi segera terpikir pula olehnya baru hari ini mendapatkan seorang suami yang diidam-idamkan, sekejap lagi orangnya sudah akan mati, tak tertahan air matanya segera bercucuran.

Toan Ki rangkul pinggang si nona yang ramping itu, hatinya terguncang ketika tangan menyentuh badan yang halus kenyal itu, tak tertahan lagi ia menunduk dan mengecup sekali bibir si gadis.

Mendadak ia mengendus bau harum semerbak. Ia tidak berani lama-lama mencium, cepat ia mengangkat kepalanya dan berkata, "Orang menyebutmu 'Hiang-yok-jeh', wanginya memang nyata benar, kalau di alam halus benar-benar ada setan wangi sedemikian cantiknya, mungkin setiap laki-laki di jagat ini akan membunuh diri dan menjadi setan untuk mencari setan wangi secantikmu."

Setelah dicium tadi, hati Bok Wan-jing masih dak-dik-duk berdebar-debar, pipi bersemu merah, muka yang tadinya kepucat-pucatan itu menjadi lebih cantik molek. Katanya kemudian, "Engkau adalah laki-laki satusatunya di dunia ini yang pernah melihat wajahku, setelah kau mati, segera kurusak mukaku agar tak dilihat lagi oleh laki-laki kedua."

Sebenarnya Toan Ki hendak mencegah maksud orang, tapi aneh juga, timbul semacam rasa cemburu di dalam hatinya, betapa pun ia juga tidak ingin ada laki-laki lain yang melihat lagi wajah cantik si gadis, maka kata-kata yang hampir diucapkan itu urung dikeluarkan, sebaliknya lantas tanya, "Sebab apa dahulu engkau bersumpah sekeji ini."

"Engkau sudah menjadi suamiku, tiada alangan kuceritakan padamu," sahut Wan-jing. "Aku yatim piatu, begitu lahir lantas dibuang orang di tepi jalan, beruntung guruku telah menolong diriku, dengan susah payah aku dibesarkan serta diberi pelajaran ilmu silat setinggi sekarang ini. Kata guruku, setiap laki-laki di dunia ini memang berhati palsu, kalau melihat wajahku, pasti aku akan digoda dan dipikat hingga terjerumus. Sebab itulah sejak kecil aku diberi kedok penutup muka. Sampai berumur 16 tahun, kecuali guruku, aku tidak pernah melihat orang lain. Dua tahun yang lalu, Suhu perintahkan aku turun gunung untuk menyelesaikan suatu urusan ...."

"Jadi tahun ini engkau berusia 18 tahun?" sela Toan Ki. "Aku lebih tua dua tahun."

Wan-jing menganggut-anggut, katanya pula, "Waktu turun gunung, Suhu suruh aku bersumpah, bila ada orang melihat wajahku, kalau aku tidak membunuh dia harus kukawin padanya. Dan bila orang itu tidak mau memperistrikan diriku atau sesudah menikah meninggalkanku, maka aku diharuskan membunuh manusia berhati palsu itu. Kalau aku tidak turut perintah Suhu ini, sekali diketahui Suhu, beliau akan membunuh diri di hadapanku."

Toan Ki merinding mendengar sumpah aneh itu, pikirnya, "Umumnya orang bersumpah tentu akan menyatakan bersedia dibunuh atau ditimpa malapetaka. Tapi gurunya sebaliknya mengancam hendak membunuh diri. Sumpah demikian sekali-kali tak boleh terjadi."

"Betapa besar budi kebaikan Suhu padaku, mana boleh kubangkang perintahnya itu?" demikian Wan-jing melanjutkan. "Apalagi pesannya itu adalah demi kebaikanku sendiri. Maka tanpa pikir tatkala itu aku menurut dan bersumpah. Selama dua tahun ini, tugas yang diberikan Suhu padaku masih belum terlaksana, sebaliknya aku telah banyak mengikat permusuhan. Padahal orang-orang yang tewas di bawah pedang dan panahku itu adalah salah mereka sendiri, mereka yang lebih dulu merecoki aku karena hendak menyingkap kedok mukaku."

Toan Ki menghela napas, baru sekarang ia mengerti duduknya perkara, mengapa seorang gadis jelita begitu bisa mempunyai musuh sedemikian banyak.

"Kenapa kau menghela napas?" tanya Bok Wan-jing.

"Agaknya mereka melihatmu selalu berada sendirian, perawakan ramping menggiurkan, tapi sepanjang tahun memakai kedok muka, saking ingin tahu mereka ingin melihat mukamu sebenarnya cantik atau jelek, padahal belum pasti mereka mempunyai maksud jahat. Siapa tahu, karena sedikit kesalahan itu, jiwa mereka sama melayang."

"Bagiku, sudah pasti kubunuh mereka," ujar Wan-jing. "Kalau tidak, bukankah aku harus menjadi istri manusia-manusia yang menjemukan itu? Cuma aku pun tidak pikir bahwa orang-orang itu masih banyak mempunyai sanak kadang. Satu kubunuh, lantas berekor dengan beberapa orang sobat andainya datang mencari perkara padaku. Sampai akhirnya, bahkan Hwesio dan Tosu juga ikut-ikutan menjadi musuhku. Pernah kutinggal beberapa bulan di Ban-jiat-kok, suami istri she Ciong itu cukup menghormati aku, tak terduga Cionghujin bisa memalsukan namaku, coba, kan tidak pantas perbuatannya itu?"

Rupanya ia menjadi letih karena banyak bicara, ia pejamkan mata mengumpulkan semangat, sebentar kemudian berkata pula, "Semula aku mengira kau pun serupa laki-laki lainnya, hanya manusia yang tidak kenal budi kebaikan. Siapa duga setelah engkau berangkat meminjam Oh-bi-kui, engkau lari kembali lagi untuk memberi kabar padaku. Hal ini sungguh tidak mudah dilakukan setiap orang. Belakangan ketika Lam-hay-goksin mendesak terus, terpaksa kubiarkan engkau melihat wajahku."

Berkata sampai di sini, ia memandang Toan Ki dengan sorot mata yang penuh kasih mesra.

Keruan Toan Ki berdebar-debar, pikirnya, "Apa benar dia menjadi cinta padaku?"

Segera ia pun berkata, "Sudahlah, keadaan tadi hanya terpaksa, soal sumpahmu itu boleh juga tak perlu ditaati."

Bok Wan-jing menjadi gusar.

"Sumpah yang pernah kuucapkan mana boleh berubah." katanya dengan bengis. "Kalau engkau tidak sudi memperistrikan aku, lekas kau katakan terus terang, biar sekali panah kubinasakanmu, agar aku tidak melanggar sumpahku."

Selagi Toan Ki hendak memberi penjelasan lagi, sekonyong-konyong perutnya kesakitan pula, dengan kedua tangan menahan perut, ia merintih-rintih.

"Lekas katakan, kau mau memperistrikan diriku tidak?" tanya Bok Wan-jing lagi.

"Per ... perutku sakit .... Aduh! Sakit sekali!" keluh Toan Ki.

"Sebenarnya kau mau menjadi suamiku tidak?" Wan-jing mendesak pula.

Toan Ki pikir perutnya sedemikian sakit, hidupnya tentu tidak lama lagi, buat apa sebelum mati mesti melukai hati seorang nona. Maka ia pun mengangguk dan berkata, "Aku ... aku mau memperistrikanmu!"

Sebenarnya Bok Wan-jing sudah siapkan panah beracun di tangan, demi mendengar jawaban Toan Ki itu, seketika girangnya tak terkatakan, dengan senyum gembira ia rangkul pemuda itu dan berkata, "O, suamiku yang baik, biarlah kupijat perutmu."

"Tidak, tidak!" jawab Toan Ki cepat. "Kita masih belum menikah, laki-laki dan perempuan ada batasnya, ini ... ini tidak boleh."

Tergerak pikiran Bok Wan-jing tiba-tiba, katanya, "Eh, tentu kau sudah kelaparan, maka sakitnya menjadi tambah hebat. Biarlah kupotong sedikit daging keparat itu untuk kau makan."

Habis berkata, ia berbangkit dan merayap mendekati mayat Coh Thian-koat untuk memotong dagingnya.

Keruan kejut Toan Ki tidak kepalang, seketika terlupakan sakit perutnya, cepat ia menggembor, "Jangan, jangan! Daging manusia mana boleh dimakan, biarpun mati juga aku tidak mau makan!"

"Aneh, sebab apa tak boleh dimakan?" tanya Wan-jing heran. "Bukankah Lam-hay-gok-sin tadi sudah makan buah hatinya?"

"Lam-hay-gok-sin itu teramat kejam dan buas melebihi binatang, kita mana ... mana boleh kita tiru dia?"

"Ketika tinggal bersama dengan Suhu di gunung, sering kami makan daging harimau, daging menjangan. Kalau menurut pendirianmu, tentunya tak boleh dimakan juga?" kata si nona.

"Daging binatang itu dengan sendirinya boleh dimakan, tapi daging manusia tak boleh dimakan!" sahut Toan Ki.

"Apa daging manusia beracun?"

"Bukan beracun," sahut Toan Ki. "Tapi kita kan sama-sama manusia. Engkau manusia, aku pun manusia, Coh Thian-koat juga manusia. Manusia tak boleh makan manusia."

"Sebab apa?" tanya si gadis. "Kulihat waktu kawanan serigala kelaparan, mereka lantas makan serigala yang lain."

"Makanya," sahut Toan Ki gegetun. "Bila manusia pun makan manusia, bukankah tiada ubahnya seperti serigala?"

Sejak kecil Bok Wan-jing selalu berdampingan dengan sang guru, selamanya tidak pernah bergaul dengan orang ketiga, watak gurunya sangat aneh pula, biasanya tidak pernah bicara tentang urusan keduniawian dengan dia. Sebab itulah, tentang sopan santun dan peradaban manusia sedikit pun ia tidak paham.

Kini mendengar Toan Ki bilang "manusia tidak boleh makan manusia", ia menjadi heran dan ragu.

"Engkau sembarangan membunuh orang, itu pun tidak boleh," kata Toan Ki lagi. "Sebaliknya, bila orang lain ada kesukaran, harus kau bantu dia. Dengan demikian barulah sesuai dengan tujuan orang hidup."

"Jika begitu, kalau aku ada kesukaran, orang lain apakah juga akan membantuku?" tanya si gadis. "Tapi kenapa orang yang kujumpai, kecuali guruku, setiap orang selalu ingin membunuh, mencelakai dan menghina aku, selamanya tiada yang baik padaku? Kalau harimau hendak menerkam dan makan aku, aku lantas

membunuhnya. Begitu pula orang-orang itu, bila mereka hendak membunuh aku, dengan sendirinya kubunuh mereka, apa bedanya?"

Pertanyaan ini benar-benar membikin Toan Ki bungkam dan tak bisa menjawab, terpaksa ia berkata, "Kiranya urusan peradaban sedikit pun engkau tidak paham, kenapa gurumu membiarkan engkau turun gunung begini saja?"

"Suhu bilang kedua urusannya itu betapa pun harus diselesaikan dan tidak dapat menunggu lagi," kata Wanjing.

"Dua urusan apakah itu, dapatkah kau ceritakan?"

"Engkau adalah suamiku, dengan sendirinya boleh kuceritakan, kalau orang lain tentu tidak," sahut Wan-jing. "Suhu suruh aku turun gunung untuk membunuh dua orang."

"Ai, sudahlah!" cepat Toan Ki menyela sambil dekap telinganya. "Bicara ke sana kemari sejak tadi, kalau bukan hal makan manusia, tentu soal membunuh orang, auuuuh ... aduh ...."

Kiranya perutnya mendadak terasa kesakitan lagi hingga ia menjerit.

Si gadis coba mengurut perut Toan Ki dari luar baju. Sekonyong-konyong tangannya menyentuh sesuatu yang hangat-hangat, seperti ada sesuatu barang yang bergerak-gerak.

"Apakah ini?" tanyanya terus merogoh keluar benda itu dari baju Toan Ki.

Kiranya itu adalah sebuah kotak kemala kecil. Waktu diperhatikan, di dalam kotak terdengar ada suara "krakkrok."

Segera Wan-jing bermaksud membuka tutup kotak itu, tapi Toan Ki cepat mencegahnya, "Jangan, nona Ciong bilang tidak boleh membuka kotak ini, Jing-leng-cu sangat takut pada benda ini, begitu dibuka, segera dia akan lari."

"Ciong Ling bilang jangan dibuka, aku justru ingin membukanya," ujar Bok Wan-jing.

Segera ia buka tutup kotak perlahan hingga tertampak celah-celah kecil, waktu diintip di bawah sinar matahari, terlihatlah di dalam kotak itu berisi sepasang katak kecil yang antero badannya berwarna merah darah.

Begitu katak merah itu melihat cahaya, mendadak terus bersuara "koak-koak-koak" beberapa kali, suaranya keras bagai menguaknya kerbau hingga telinga orang seakan-akan pekak.

Keruan Toan Ki dan Bok Wan-jing terkejut, dan karena itu, hampir saja kotak yang dipegang Bok Wan-jing itu terjatuh.

Sungguh tak tersangka olehnya bahwa kedua katak sekecil itu bisa bersuara begitu keras, cepat saja ia tutup kembali kotak itu. Dan karena kotak ditutup, suara katak itu lantas berhenti.

"Ah, tahulah aku!" tiba-tiba Bok Wan-jing berseru. "Pernah kudengar cerita guruku, katanya binatang ini bernama ... bernama ...." ia mengingat-ingat sejenak, lalu menyambung, "bernama Cu-hap! Ya, benar, inilah 'Bong-koh-cu-hap' (katak kerbau merah), adalah binatang antisegala macam ular. Ya, memang benar inilah dia, entah mengapa bisa berada pada Ciong Ling ...."

"He, lihatlah!" tiba-tiba Toan Ki berseru.

Ternyata Jing-leng-cu yang melilit di pinggangnya itu tahu-tahu jatuh ke tanah terus meringkuk dengan lemas, sedikit pun tidak berani bergerak. Kim-leng-cu yang tadi sudah menyusup ke semak-semak rumput itu, kini pun merayap keluar bersama beberapa ekor ular kecil, semuanya meringkuk di situ tanpa bergerak sedikit pun seakan-akan lagi memberi sembah kepada kotak kemala.

Bok Wan-jing menjadi girang, katanya, "Hah, sepasang katak kecil ini ternyata bisa memanggil ular, sungguh menarik sekali, marilah kita coba-coba lagi!"

"Jangan!" cepat Toan Ki mencegah, "demikian banyak ularnya, apakah tidak menjemukan?"

"Kita memegang kedua ekor katak ini, betapa banyak ular berbisa juga kita tidak takut," ujar Wan-jing. Habis itu, kembali ia buka sedikit kotak kemala dan segera sepasang "Bong-koh-cu-hap" itu menguak lagi dengan ramainya.

"Bagus juga nama binatang ini, suaranya memang mirip banteng menguak," kata Toan Ki dengan tertawa geli.

"Kau bilang apa?" tanya Bok Wan-jing.

Kiranya suara Toan Ki itu kalah kerasnya daripada suara menguaknya katak-katak itu, biarpun si gadis berada di depannya juga tidak jelas ucapan anak muda itu.

Toan Ki hanya goyang-goyang tangan sambil mendengarkan suara menguak katak-katak itu yang semakin keras, ketika diperhatikan, di antara suara ngorek katak-katak itu terseling pula suara mendesis-desis.

Tiba-tiba Wan-jing menarik baju Toan Ki dan menunjuk ke kiri. Pandangan Toan Ki menjadi silau seketika, belasan ular yang beraneka warnanya gemilapan terkena sinar matahari sedang merayap datang dengan cepat sekali.

Bahwasanya katak-katak merah itu bisa memanggil ular memang sudah diduga oleh Toan Ki, tapi hanya dalam sekejap itu bisa datang ular sebanyak itu, betapa pun ia terkejut.

Cepat ia jemput dua potong batu untuk persiapan bila perlu.

Tidak lama, dari sebelah kanan datang pula segerombol ular dengan macam-macam warnanya, merah, kuning, hitam, putih, loreng dan sebagainya, yang besar sampai 2-3 meter, yang kecil hanya belasan senti saja.

Sudah banyak Toan Ki melihat ular, tapi kalau digabungkan seluruhnya, rasanya tiada satu bagian daripada jumlah yang dilihatnya sekarang.

Beribu ekor ular itu merayap sampai di depan kedua muda-mudi itu, lalu mendekam di tanah tanpa bergerak, kepala menjulai ke bawah dengan jinak, sedikit pun tidak berani menegak sebagaimana biasanya kalau hendak memagut orang.

Menghadapi ular sebanyak itu dengan bau amis yang memuakkan, tanpa terasa Bok Wan-jing menjadi jeri juga, pikirnya, "Katak ini menguak terus, mungkin ular-ular yang lain akan membanjir lagi. Untuk memanggil ular adalah gampang, hendak mengusirnya nanti mungkin susah."

Maka cepat ia tutup kembali kotak kemala itu.

Walaupun suara menguak katak-katak merah itu sudah berhenti, tapi kawanan ular itu tetap tidak bergerak.

Aneh juga, biarpun sebanyak itu ularnya, namun tiada seekor pun yang berani mendekati Toan Ki berdua dalam jarak lingkaran kira-kira tiga meter.

"Mari kita coba keluar sana!" ajak Wan-jing sambil memayang Toan Ki.

Dan baru mereka melangkah satu tindak ke depan, beratus ekor ular di depan mereka lantas menyingkir ke pinggir, biarpun ular yang paling besar dan menakutkan juga menggeser mundur dengan jeri.

Waktu mereka melangkah maju beberapa tindak lagi, kembali kawanan ular itu menyingkir dan memberi jalan.

Bok Wan-jing menjadi girang, katanya, "Menurut Suhuku, katanya Bong-koh-cu-hap ini adalah makhluk ajaib dari alam semesta ini, beliau juga cuma kenal namanya, tapi belum pernah melihat wujudnya."

Habis berkata, tiba-tiba ia ingat sesuatu, ia tanya pada Toan Ki, "Benda mestika sedemikian pentingnya, mengapa si anak dara Ciong Ling itu rela memberikannya padamu?"

Melihat sinar mata si gadis menyorot aneh, cepat Toan Ki menjawab, "Ia ... ia hanya meminjamkannya padaku. Ia bilang dengan membawa kotak ini, Jing-leng-cu akan turut pada perintahku."

Baru selesai ia berkata, sekonyong-konyong perutnya kesakitan lagi, begitu melilit sampai batu yang dipegangnya terjatuh di tanah, badan gemetar dan sempoyongan.

Lekas Bok Wan-jing memayangnya duduk di samping batu tadi. Saking kesakitan, bibir Toan Ki sampai pecah digigit sendiri, lengan Wan-jing yang dipegangnya matang biru karena diremas dengan kuat.

Sungguh kasih sayang Bok Wan-jing sukar dilukiskan, tiba-tiba ia ingat sesuatu, katanya, "Longkun, perutmu makin lama makin sakit, melihat gelagatnya lebih banyak celaka daripada selamatnya."

"Ya, aku ... aku tidak ... tidak tahan lagi," demikian Toan Ki merintih-rintih. "Lekas ... lekas kau bunuh aku saja."

"Pernah kudengar dari Suhu, katanya ada racun sangat lihai yang tak dapat ditolong," kata Wan-jing pula. "Tapi kalau pakai racun lain untuk menggempur racun itu, hasilnya akan sangat mujarab. Sekarang apakah kau berani menelan beberapa buah kepala ular berbisa?"

Saat itu yang diharapkan Toan Ki secepatnya mati saja, maka tanpa pikir lagi ia menjawab, "Segala apa pun boleh, lekas beri makan padaku!"

Segera Bok Wan-jing mengeluarkan sebilah pisau dan memotong leher seekor ular berbisa di depannya.

Walaupun disembelih terang-terangan, namun ular itu sedikit pun tidak berani melawan. Maka dengan mudah saja berturut-turut Bok Wan-jing memotong tiga buah kepala ular berbisa yang berbentuk segitiga, ia siapkan di bibir Toan Ki dan berkata, "Nih, telan lekas!"

Dengan mata terpejam, Toan Ki telan mentah-mentah ketiga kepala ular itu.

Ketiga ular yang dipilih Bok Wan-jing itu semuanya adalah ular loreng yang paling berbisa. Maka dalam sekejap saja Toan Ki merasa perutnya bertambah melilit bagai dipuntir-puntir, ia tidak tahan lagi, ia bergulingguling di tanah, akhirnya hanya berkelojotan saja dengan napas tersengal-sengal.

Keruan Bok Wan-jing sangat terkejut, cepat ia periksa nadi pemuda itu, ia merasa denyutnya semakin lemah, ia tahu cara pengobatannya itu bukan menolong, sebaliknya mempercepat matinya sang suami. Saking pedihnya, air matanya bercucuran, ia rangkul leher Toan Ki dan meratap, "O, Longkun, pasti akan kuiringi kepergianmu!"

Toan Ki hanya goyang kepala saja tak sanggup bersuara lagi.

Tiba-tiba pisau Bok Wan-jing bekerja lagi, tiga buah kepala ular berbisa dipotongnya pula untuk ditelan sendiri. Tapi mulutnya terlalu sempit untuk dimasuki kepala ular, pikirnya, "Racun ular berada pada air liurnya, biarlah kuisap saja."

Segera ia kecup kepala ular itu dan mengisap liurnya yang berbisa. Tapi baru sebuah kepala ular itu diisapnya sudah terasa mata berkunang-kunang dan kepala pusing, akhirnya jatuh pingsan.

Melihat si nona rela berkorban baginya, seketika tak keruan rasa hati Toan Ki, sungguh tak tersangka olehnya bahwa seorang "iblis wanita" yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip itu bisa jatuh cinta sedalam ini

kepadanya.

Segera ia meronta sekuatnya untuk merangkul Bok Wan-jing, ia merasa perut kesakitan pula, akhirnya ia tak sadarkan diri lagi.

Jilid 07
Entah lewat berapa lama, perlahan Toan Ki siuman, waktu membuka mata, ia menjadi silau oleh cahaya matahari, kembali ia pejamkan mata lagi. Tapi segera terasa dirinya dirangkul sesosok tubuh yang lunak hangat. Ia membuka mata lagi untuk melihat, ternyata muka Bok Wan-jing yang putih pucat itu masih bersandar di dadanya.

Ia membatin, "Setelah kami menuju akhirat, ternyata masih berada bersama, suatu tanda bahwa cerita tentang alam halus segala bukanlah dongeng belaka."

Tiba-tiba ia dengar di tempat agak jauh sana ada suara orang lagi berkata, "Jika binatang melata ini merintangi jalan kita, marilah kita menggunakan Am-gi!"

Tapi seorang telah membentaknya, "Jangan! Sin-kun suruh kita menawannya hidup-hidup, kalau mencelakai dia, apakah tidak takut dimarahi Sin-kun?"

Waktu Toan Ki memandang ke arah datangnya suara itu, ia lihat ada empat laki-laki berbaju kuning lagi berdiri di tepi jurang situ, tangan mereka membawa tangkai kayu sedang menuding dirinya. Tampaknya sangat jeri pada ular yang merayap di situ, maka tidak berani mendekat.

Ketika Toan Ki memandang lagi sekelilingnya, ia lihat dirinya dilingkari kawanan ular yang lagi merayaprayap, cahaya sang surya terang benderang, suasana demikian tiada ubahnya seperti waktu dirinya "mati" tadi, seketika pikirannya tergerak, "He, jangan-jangan aku tidak jadi mati?"

Segera ia merasa badan Bok Wan-jing yang berada di pangkuannya itu masih lunak-lunak hangat, napasnya mengeluarkan bau harum yang semerbak, nyata, gadis itu pun selamat tak kurang suatu apa pun.

Saking girangnya, terus saja Toan Ki berteriak-teriak, "Hura, aku belum mati, aku tidak mati!"

Keempat laki-laki berbaju kuning itu memang sudah lama menunggu di situ, soalnya karena dirintangi kawanan ular, maka tidak berani mendekat. Ketika mendadak mendengar teriakan Toan Ki, mereka menjadi kaget juga.

Dalam pada itu, dengan bersuara perlahan Bok Wan-jing juga sudah siuman, begitu membuka mata, segera ia tanya perlahan, "Longkun, apa kita sudah sampai di akhirat!"

"Tidak, tidak, engkau belum mati, aku pun tidak mati! Sungguh ajaib sekali bukan?" seru Toan Ki.

"Sekarang belum mati, kalau ingin mati sebentar lagi masih belum telat!" bentak seorang laki-laki berbaju kuning tadi. "Ayo lekas kemari, Sin-kun panggil kau!"

Sudah sekarat, kini dapat hidup kembali, tentu saja girang Toan Ki tidak kepalang. Mana ia mau gubris gemboran orang itu? Segera ia berkata pula kepada Bok Wan-jing, "Sungguh aneh bin ajaib, kita ternyata tidak jadi mati, bahkan sakit perutku juga sudah sembuh. Caramu menyerang racun dengan racun itu ternyata sangat manjur. Eh, lukamu sendiri sudah baik belum?"

Ketika Wan-jing geraki badannya, ia merasa luka di punggungnya kesakitan lagi. Tapi hal mana tidak mengurangi rasa girangnya yang luar biasa, sahutnya dengan tertawa, "Lukaku bukan keracunan, maka racun ular ini tidak bisa menyembuhkan luka luar ini. Ternyata kita berdua tidak mati oleh racun ular, tampaknya kita berdua jauh lebih lihai daripada ular berbisa!"

Nyata Toan Ki dan Bok Wan-jing yang tidak luas pengetahuannya itu tidak tahu bahwa racun ular itu baru bisa mencelakai orang bila masuk ke dalam darah melalui suatu luka. Tapi kalau dimakan ke dalam perut, asal di antara mulut, lidah, tenggorokan dan usus tiada sesuatu luka, racun ular itu tiada berbahaya sama sekali. Sebab itulah, makanya bila orang dipagut ular berbisa, orang berani mengisap racun dari luka pagutan itu tanpa ikut keracunan.

Kini secara ngawur kedua muda-mudi itu sembarangan menelan kepala ular dan mengisap racun ular, sebaliknya malah membawa hasil yang di luar dugaan mereka.

Toan-jiong-san yang lihai itu benar-benar lenyap digempur oleh racun tiga buah kepala ular yang dimakan Toan Ki itu. Cuma mereka sudah tak sadarkan diri selama semalam suntuk, kini sudah menginjak esok pagi hari kedua.

Sementara itu seorang laki-laki baju kuning di antaranya yang berperawakan paling tinggi di sana sedang membentak lagi, "Hai, kedua bocah itu, lekas kalian ke sini!"

Perlahan Bok Wan-jing berbangkit dari pelukan Toan Ki, dengan wajah yang masih tersenyum simpul, mendadak ia sambar seekor ular di tanah terus dilemparkan ke arah laki-laki itu.

Keruan laki-laki itu kaget, cepat ia berkelit. Di luar dugaan, Bok Wan-jing menyambar dan menimpuk lagi berulang-ulang dengan ular berbisa di sekitarnya itu. Tentu saja keempat laki-laki itu kelabakan dihujani ular sebanyak itu, sambil berteriak kaget diseling caci maki, mereka menghindar kian kemari sembari putar tangkai kayu untuk menyampuk.

Begitu terlepas dari pengaruh "Bong-koh-cu-hap", ular-ular berbisa itu seketika bergerak dengan gesit sekali, dua ekor di antaranya yang berbuntut panjang terus membelit di atas batang kayu yang disabetkan itu, menyusul terus melejit maju untuk memagut. Seketika seorang baju kuning kena gigit mukanya dan tak terlepas lagi.

Sementara itu Bok Wan-jing masih terus melemparkan ular, keruan laki-laki berbaju kuning itu semakin kelabakan, sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri, laki-laki yang bertubuh paling tinggi tadi saking gugupnya telah tergelincir ke dalam jurang.

Seorang lagi menjadi kaget hingga lehernya kena digigit ular berbisa yang lain. Rupanya racun ular ini teramat jahatnya, yang digigit adalah pembuluh darah besar di leher, kontan saja orang itu menggeletak binasa.

Sisa seorang lagi bertubuh pendek kecil, tapi gerak-geriknya sangat lincah dan gesit. Belasan ular yang ditimpukkan Bok Wan-jing dapat dihindarkan. Tapi begitu ular itu jatuh ke tanah, segera merayap dan menggigit pula bagian kakinya.

Laki-laki itu benar-benar hebat juga, ia bisa menghindar kian kemari dengan cekatan sekali, namun keadaannya makin lama juga makin berbahaya.

"Lekas turun ke bawah, jiwamu akan diampuni!" seru Toan Ki.

"Sekali sudah turun tangan, tidak kenal ampun lagi!" ujar Bok Wan-jing. Berbareng empat ular dilemparkan sekaligus.

Saat itu orang berbaju kuning lagi sibuk menghindari pagutan ular di tanah, ia sudah mundur sampai di tepi jurang, maka timpukan keempat ular itu terang tak dapat dihindarkannya.

Mendadak serangkum angin keras menyampuk dari belakang, seketika belasan ular di sekitar laki-laki itu tersapu jauh ke depan, menyusul sesosok bayangan kuning melayang ke atas karang, sekali dorong, laki-laki baju kuning tadi kena disodok ke tempat luang yang ditinggalkan kawanan ular itu.

Orang yang baru melompat ke atas itu mengekek tawa tiga kali dan berdiri di tempatnya dengan mata jelalatan, siapa lagi dia kalau bukan Lam-hay-gok-sin.

Ketika laki-laki baju kuning itu dapat berdiri tegak dan melihat yang datang itu adalah malaikat buaya laut selatan, ia ketakutan setengah mati, ia hanya sanggup menyebut, "Sin-kun!"

Pikirnya hendak berlutut, tapi saking ketakutan, badannya gemetar sedemikian rupa hingga serasa lumpuh, hendak berlutut pun tak bisa lagi.

Melihat Lam-hay-gok-sin datang kembali, seketika wajah Toan Ki dan Wan-jing sama berubah.

"Kusuruh kau tangkap bocah she Toan ini, kenapa sampai sekian lamanya masih belum terlaksana?" kata Lamhay-gok-sin pada laki-laki baju kuning tadi. "Apa barangkali kau hendak melarikan diri, ya?"

Saking ketakutan, gigi orang itu sampai gemertukan, sahutnya dengan tak lancar, "Hamb ... hamba ti ... tidak ...." sampai di sini, ia tidak sanggup lagi meneruskan saking gemetarnya.

Tiba-tiba Lam-hay-gok-sin sedikit bergerak, tidak jelas cara bagaimana dia melangkah maju, tahu-tahu dada laki-laki itu sudah dijambretnya terus diangkat, ia terkekeh-kekeh beberapa kali, mendadak tangan yang lain menjambak rambut laki-laki itu, sekali puntir, "kriut", buah kepala orang itu dipuntir patah mentah-mentah.

Kontan saja darah segar muncrat dengan derasnya hingga membasahi antero tubuh Lam-hay-gok-sin, tapi sedikit pun iblis aneh itu tidak ambil pusing, bahkan tampak sangat senang.

"Kepala anjing!" dampratnya kepada kepala yang patah itu, dan sekali lempar, kedua potong mayat itu dilemparkan ke jurang.

Mendadak ia hantam ke depan lagi, di mana angin pukulannya menyambar, kawanan ular itu terpaksa menyingkir jauh ke pinggir, dengan langkah lebar ia melangkah maju.

Cepat Bok Wan-jing menarik Toan Ki hendak menyingkir, tapi sudah terlambat. Tiba-tiba Lam-hay-gok-sin ulur tangan kiri ke depan, seketika lengannya seakan-akan mulur sekali lipat panjangnya hingga kuduk baju Bok Wan-jing kena dijambretnya terus diangkat ke atas.

Toan Ki menyangka orang juga hendak melemparkan si gadis ke jurang, dengan khawatir ia berteriak, "Jangan, jangan! Boleh kau bunuh diriku saja!"

Terhadap kawanan ular yang masih merayap di sekitar situ, Lam-hay-gok-sin agak jeri juga. Ketika tangannya menghantam pula, di bawah hamburan batu pasir, kembali belasan ular kena dibinasakan olehnya.

Tiba-tiba ia melompat mundur ke tepi jurang sambil mengangkat Bok Wan-jing, kaki kirinya terangkat tinggitinggi ke atas, hanya kaki kanan saja yang berdiri di tepi jurang dengan gaya "Kim-khe-tok-lip" atau ayam emas berdiri dengan kaki tunggal, tubuhnya setengah tergontai seakan-akan setiap detik bisa terjerumus ke jurang bersama si gadis.

Toan Ki tidak tahu kalau orang aneh itu lagi pamer kepandaiannya, ia khawatirkan jiwa Bok Wan-jing, cepat ia berteriak-teriak, "Awas, hati-hati, jangan sampai terpeleset!"

Sedikit pun Bok Wan-jing tak bisa berkutik karena dicengkeram oleh Lam-hay-gok-sin. Ia lihat Toan Ki berada di tengah kepungan ular, kawanan ular itu tampak merayap-rayap maju, cepat ia lemparkan kotak kemala kepada pemuda itu sambil berseru, "Awas, terimalah ini!"

Dengan gugup Toan Ki menangkap kotak itu dan syukurlah dapat diterimanya dengan baik walaupun rada kerepotan. Dan begitu, "Bong-koh-cu-hap" itu berada di tangannya, serentak kawanan ular itu mendekam di tanah dan tak berani bergerak lagi.

"Locianpwe, su ... sudilah kau lepaskan dia," demikian Toan Ki memohon.

"Siaucu, kau sangat mirip aku, mau tidak mau harus kuterima kau sebagai murid," sahut Gok-sin. "Cuma menurut peraturan Lam-hay-pay kita, selamanya hanya murid yang memohon diterima sang guru, tidak pernah sang guru yang memohon pada si murid. Makanya aku akan menunggumu di puncak bukit sana ...." sembari berkata, ia tunjuk ke arah puncak paling tinggi yang penuh tertimbun salju di kejauhan sana, lalu menyambung pula, "bila kau datang memohon aku menerimamu sebagai murid, aku lantas mengampuni nyawa binimu ini. Kalau tidak, ha, ha, kreeekk ...." ia sengaja memberi contoh cara bagaimana akan memuntir patah kepala Bok Wan-jing.

Habis itu, mendadak ia berputar terus melompat ke bawah, tangan kiri menahan dinding jurang terus memberosot turun sambil menggondol Bok Wan-jing dengan cepat luar biasa.

Tiap-tiap kali kalau meluncur ke bawah, bila terlalu cepat, mendadak terasa tubuh kedua orang bisa mengerem sedetik untuk kemudian baru menurun lagi. Agaknya tangan Lam-hay-gok-sin yang menahan di dinding jurang itu yang mengeremnya.

Dalam keadaan begitu, jangankan Bok Wan-jing sama sekali tak bisa berkutik, sekalipun bisa juga tidak berani sembarangan meronta selagi tubuh kedua orang terapung di udara. Sampai akhirnya, gadis itu pejamkan mata dan membiarkan dirinya dibawa turun.

Selang sebentar, terasa tubuhnya mental sekali, nyata mereka sudah sampai di dasar jurang. Begitu menginjak tanah, Lam-hay-gok-sin tidak lantas berhenti, tapi terus berlari lagi sambil menjinjing Bok Wan-jing.

Perawakan Lam-hay-gok-sin hanya sedang saja, sebaliknya perawakan Bok Wan-jing di kalangan wanita boleh dikatakan terhitung jangkung, kalau keduanya berdiri sejajar hampir sama tingginya. Tapi Lam-hay-gok-sin dapat mencengkeram leher baju gadis itu bagai menjinjing anak kecil, sedikit pun tidak membuang tenaga.

Dengan gerakan yang gesit tangkas itu, sebentar saja Lam-hay-gok-sin sudah keluar dari dasar lembah yang penuh batu dan kabut itu. Segera ia mendaki pula ke bukit di depannya, karena lereng bukit itu lebih landai, maka mendakinya lebih mudah.

Berada di bawah jinjingan Lam-hay-gok-sin, diam-diam Bok Wan-jing berpikir, "Aku masih mempunyai sisa lima batang panah berbisa, kalau saat ini aku menyerangnya mungkin bisa gugur bersama. Tapi kemarin aku sudah memanah dia dan tidak mempan semuanya, Entah badannya memang kebal atau karena dia memakai baju lapis baja yang tak tembus senjata?"

Berpikir begitu, ia coba menyentuh perlahan punggung orang, terasa lunak-lunak saja tiada lapisan baja segala, hanya saja kulit dagingnya jauh lebih keras daripada orang biasa, diam-diam Wan-jing membatin pula, "Tampaknya pembawaan orang ini memang luar biasa, ilmu silatnya aneh pula. Kalau aku sembarangan turun tangan, bila sampai dia murka, apa akibatnya susah dibayangkan."

Tiba-tiba terdengar Lam-hay-gok-sin mengekek tawa dan berkata, "Hehe, apa kau hendak menusuk atau memanah aku? Hm, jangan harap, aku takkan mati dibunuh dan takkan luka diserang. Kau adalah bininya muridku, sementara ini aku takkan bikin susah padamu. Tapi kalau dia tidak datang mengangkat guru padaku, hehe, tatkala mana ia bukan lagi muridku dan kau pun bukan bini muridku lagi. Setiap kali Lam-hay-gok-sin melihat nona cantik, selalu perkosa dulu bunuh belakang, sekali-kali tidak main sungkan lagi."

Bok Wan-jing mengirik oleh ucapan itu, sahutnya, "Suamiku sedikit pun tak bisa ilmu silat, di atas jurang securam itu, cara bagaimana ia bisa turun? Tapi saking khawatir akan diriku, tentu dia akan mati-matian berusaha datang kemari mengangkat guru padamu, kalau terpeleset, ia akan jatuh hancur lebur ke dalam

jurang. Bila begitu, engkau akan kehilangan seorang murid lagi. Bahan bagus, mutu tinggi, ke mana akan kau cari murid pula?"

Seketika Lam-hay-gok-sin berhenti, katanya, "Benar juga katamu. Aku tidak ingat bahwa Siaucu itu tak bisa turun ke bawah gunung."

Sekonyong-konyong ia bersuit nyaring, segera di atas bukit sebelah timur sana ada orang menyahut, lalu Lamhay-gok-sin berteriak, "Pergi ke atas karang tandus itu, gendonglah bocah itu ke sini, jangan mencelakai jiwanya!"

Kembali orang di sebelah sana bersuara mengiakan.

Diam-diam Bok Wan-jing tercengang, "Lam-hay-gok-sin ini hanya bicara biasa saja, dan suaranya lantas tersiar ke lereng yang jauh itu, kepandaian setinggi ini biarpun guruku juga tak mampu menandinginya. Sebaliknya begundalnya yang di atas bukit sana harus menggembor baru bisa terdengar dari sini."

Selesai memberi perintah, Lam-hay-gok-sin menjinjing Bok Wan-jing dan melanjutkan perjalanan lagi. Diamdiam Wan-jing rada lega, ia tahu sebelum Toan Ki datang, dirinya takkan berbahaya. Cuma watak sang "suami" itu sangat kukuh, bila dia dipaksa angkat Lam-hay-gok-sin yang buas dan kejam itu sebagai guru, mungkin biarpun mati juga tidak sudi.

Pikirnya pula, "Terhadapku, rupanya ia cuma ingin membela keadilan saja dan bukan karena cinta kasih suami istri, mungkin dia takkan sudi berkorban bagiku dengan mengangkat guru orang jahat ini. Ai, baik atau jelek aku harus melihatnya sekali lagi, asal dia selamat tak kurang apa pun dan tidak terjatuh ke jurang, barulah aku merasa lega."

Berpikir sampai di sini, diam-diam ia heran sendiri, "He, kenapa aku sedemikian memerhatikan dia dan mencintainya sedalam ini? Wahai, Bok Wan-jing, tidak pernah begini selama hidupmu!"

Tengah Bok Wan-jing terombang-ambing oleh pikirannya sendiri, sementara itu Lam-hay-gok-sin sudah membawanya ke atas puncak sana. Tenaga Gok-sin ini benar-benar luar biasa, tanpa berhenti sedikit pun ia terus melintasi empat bukit lagi, akhirnya baru mencapai puncak tertinggi yang dikelilingi lereng bukit itu.

Begitu Lam-hay-gok-sin lepaskan Bok Wan-jing, terus saja ia buka celana dan kencing di situ.

Sungguh gusar Bok Wan-jing tidak kepalang. Ia pikir manusia ini sungguh kasar, rendah dan jahat tiada ubahnya seperti binatang. Cepat ia menyingkir agak jauh serta memakai kedoknya lagi. Ia pikir wajah sendiri yang cantik manis ini bila lebih banyak dipandang olehnya, bukan mustahil setiap waktu sifat kebinatangannya akan kambuh, tatkala mana soal bini murid segala tentu tak dipedulikan lagi.

Selesai Lam-hay-gok-sin buang air, segera ia berkata, "Ehm, bagus juga kau pakai kedok lagi. Sebentar ada beberapa orang jahat akan datang, semuanya adalah manusia yang tidak kenal aturan, bila wajahmu yang cantik itu dilihat mereka, mungkin bisa runyam."

"Aku adalah istri murid kesayanganmu, masakah orang lain berani kurang ajar padaku?" ujar Wan-jing.

"Tapi beberapa keparat anjing ini terlalu jahat, terlalu buas!" sahut Gok-sin sambil geleng kepala dan berkerut kening.

"Aku tidak percaya, masakah di jagat ini masih ada orang yang lebih galak dan jahat daripadamu?" ujar Wanjing dengan tertawa.

Mendadak Lam-hay-gok-sin menabok paha sendiri, lalu berseru dengan marah-marah, "Ya, memang tidak adil! Di antara Su-ok di jagat ini, urutan Locu adalah nomor tiga. Sungguh tidak adil, aku harus berusaha mencapai nomor satu!"

Diam-diam Bok Wan-jing berpikir, "Nama 'Sam-sian-su-ok' pernah kudengar dari Suhu. Ketika aku akan membunuh Sun He-khek, pernah kutanya jelas wajah dan kelakuan gurunya, maka kutahu begitu suara suitannya terdengar, segera Lam-hay-gok-sin akan muncul. Tapi aku tidak tahu kalau menurut urutan Su-ok dia terhitung nomor tiga. Ternyata di dunia ini masih ada yang jauh lebih jahat dari dia, sungguh susah untuk dimengerti."

Segera Bok Wan-jing tanya, "Lalu, siapakah yang nomor satu dan nomor dua?"

"Buat apa kau tanya?" bentak Gok-sin dengan mata mendelik sebesar kedelai itu. "Apa kau bermaksud mengejek aku? Jika kau anggap Locu kurang jahat, segera kusembelih kau dulu, bisa jadi karena itu akan terus naik tingkat menjadi nomor dua!"

Habis berkata, "brak", mendadak ia menghantam sebatang pohon di sampingnya. Seketika pohon itu patah bagian tengah dan tumbang dengan gemuruh.

Meski pohon itu tidak terlalu besar, paling sedikit juga ada sebulatan mangkuk besarnya, tapi sekali hantam sudah dipatahkan olehnya, diam-diam Bok Wan-jing melelet lidah, Pikirnya, "Apa gunanya umpama dapat rebut sebutan juara orang jahat di seluruh jagat ini? Tapi oleh orang ini dianggapnya sebagai noda yang memalukan bila tidak bisa menduduki juara, maka sebaiknya aku jangan mengorek-ngorek boroknya itu, supaya aku tidak telan pil pahit."

Segera ia tidak buka suara lagi, tapi pejamkan mata sambil bersandar di batu padas untuk memulihkan semangat.

"Kenapa bungkam? Dalam hati kau pandang hina padaku bukan?" tiba-tiba Lam-hay-gok-sin berkata pula.

"Tidak," sahut Wan-jing, "Aku justru lagi berpikir kenapa sebutan orang jahat nomor satu di seluruh jagat ini bukan dimiliki olehmu, padahal soal kejahatan dan kebuasan, sekalipun orang lain mungkin melebihimu, namun ilmu silatnya apa bisa lebih unggul daripadamu?"

Mendadak Lam-hay-gok-sin meludah dengan marah-marah, katanya, "Makanya kami harus mengulangi bertanding lagi untuk mengoreksi urutan masing-masing."

Melihat gelagatnya, Bok Wan-jing dapat menduga keempat orang mahajahat itu pasti sudah pernah bertanding. Agar tidak membikin marah orang, ia pikir jangan menyinggungnya lagi, maka katanya, "Gak-locianpwe, sebenarnya siapakah nama engkau orang tua? Dapatkah kau beri tahu agar kelak mudah memanggilmu bila suamiku sudah menjadi muridmu?"

"Aku bernama Gak ... Gak ... ah, keparat!" mendadak Lam-hay-gok-sin memaki sebelum menyebut namanya sendiri. "Namaku adalah pemberian ayahku, tapi namaku ini terlalu jelek, ayahku selamanya tidak berbuat sesuatu yang baik, sungguh anjing keparat!"

Hampir saja Bok Wan-jing tertawa geli, pikirnya, "Orang ini benar-benar lebih durhaka daripada binatang, masakah ayah sendiri juga dicaci maki. Dan kalau ayahmu anjing keparat, lalu engkau sendiri apa?"

Ia lihat Lam-hay-gok-sin lagi mondar-mandir kian kemari, tampaknya merasa gopoh sekali. Tiba-tiba Wan-jing teringat kepada Toan Ki, pikirnya, "Entah sekarang dia sudah turun gunung dengan selamat tidak? Jika dirintangi kawanan ular, apakah orang suruhan Lam-hay-gok-sin itu bisa melintasi kepungan ular itu?"

Pada saat itulah, tiba-tiba di udara tersiar suara tangisan yang perlahan, suaranya sangat memilukan, sayupsayup seperti seorang wanita lagi meratap, "O, anakku! O, sayangku!"

Hanya dua kalimat itu saja suara tangisan itu sudah membikin perasaan Bok Wan-jing terguncang hebat seakan-akan sukma akan meninggalkan raganya.

"Fui", mendadak Gok-sin meludah lagi dan berkata, "Hm, si penangis kematian itu sudah datang!" lalu ia menggembor, "Kau menangisi apa? Locu sudah lama menanti di sini!"

Namun suara itu sayup-sayup masih terus menangis dengan pilunya, "O, anakku, betapa ibu mengenangkan engkau!"

Perasaan Bok Wan-jing menjadi kacau oleh pengaruh suara itu, tanyanya, "Apakah ini si jahat nomor empat?"

"Perempuan ini adalah 'Bu-ok-put-cok' Yap Ji-nio, gelar 'Ok' itu berurut pada tempat kedua, tapi pada suatu ketika aku 'Hiong-sin-ok-sat' pasti akan bertukar gelar dengan dia," demikian sahut Lam-hay-gok-sin.

Baru sekarang Bok Wan-jing mengerti seluk-beluknya urutan "Su-ok" itu. Kiranya yang menjadi ancar-ancar urutan mereka itu adalah pada huruf "Ok" itu.

Yap Ji-nio bergelar "Bu-ok-put-cok" atau tiada kejahatan yang tak dilakukannya, karena huruf "Ok" itu jatuh pada huruf kedua, maka ia adalah orang jahat nomor dua di dunia ini.

Sedang Lam-hay-gok-sin itu berjuluk "Hiong-sin-ok-sat" atau malaikat buas setan jahat, huruf "Ok" adalah huruf ketiga, maka menurut urutan ia menduduki tempat ketiga.

Segera Wan-jing tanya lagi, "Lalu, siapakah julukan orang jahat nomor satu di jagat ini? Dan siapa pula yang nomor empat itu?"

"Buat apa kau tanya? Aku tidak tahu!" seru Lam-hay-gok-sin marah-marah.

Tapi mendadak suara seorang wanita yang halus menyambungnya, "Lotoa kami berjuluk 'Ok-koan-boan-eng' dan Losi kami bergelar 'Kiong-hiong-kek-ok'."

Sungguh heran sekali Bok Wan-jing oleh nama-nama yang aneh itu. Nyata, sesuai dengan urut-urutan huruf

"Ok" itu, Lotoa atau yang tertua, berjuluk Ok-koan-boan-eng atau kejahatan melebihi takaran. Dan Losi, si nomor empat, bergelar Kiong-hiong-kek-ok atau buas dan kejam luar biasa. Ia terkejut pula oleh betapa cepat datangnya Yap Ji-nio itu, kedengarannya tadi masih jauh, tahu-tahu sekarang sudah muncul di situ.

Dalam kejutnya itu ia coba perhatikan wanita itu. Ia lihat orang mengenakan baju panjang warna hijau muda, rambutnya panjang terurai, usianya kurang lebih 40 tahun, air mukanya cukup cantik, cuma kedua pipinya masing-masing terdapat tiga jalur merah darah seperti bekas cakaran. Pada tangannya membopong seorang anak laki-laki berumur kira-kira dua tahun, mungil dan menyenangkan.

Semula Wan-jing sangka "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio yang menurut urut-urutan masih di atas Lam-hay-goksin, tentu orangnya jauh lebih bengis, menakutkan, siapa tahu orangnya ternyata rada cantik juga. Karena itu, tanpa terasa ia pandang orang beberapa kejap.

Tiba-tiba Yap Ji-nio tersenyum padanya, seketika Bok Wan-jing mengirik, ia merasa di antara senyum wanita itu lamat-lamat mengandung rasa sedih dan duka luar biasa hingga bagi siapa yang memandangnya rasanya menjadi terharu seakan-akan ikut menangis. Maka lekas-lekas ia berpaling ke arah lain, ia tidak berani memandangnya lagi.

"Sammoay, kenapa Toako dan Site masih belum datang?" tanya Lam-hay-gok-sin.

Dengan perlahan Yap Ji-nio menjawab, "Sudah terang gamblang kau adalah Losam, tapi kau mati-matian ingin melampaui aku, ya? Coba kau panggil lagi sekali Sammoay, hm, tentu Encimu ini tidak sungkan-sungkan lagi padamu!"

Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, teriaknya, "Tidak sungkan-sungkan lagi, lalu mau apa? Apa mau mengajak berkelahi?"

"Untuk berkelahi tentu tidak kekurangan waktu, memangnya aku jeri padamu?" sahut Yap Ji-nio. "Benar tidak, Bok Wan-jing?"

Mendengar nama sendiri disebut, seketika Bok Wan-jing tergetar, sukma seakan-akan melayang-layang terlepas dari raganya. Dalam kejutnya segera ia menjadi sadar juga.

Kiranya Yap Ji-nio itu lagi menggunakan ilmu "Liap-hun-tay-hoat", yaitu semacam hipnotisme pada zaman kuno yang lihai, bila sinar mata kedua orang kebentrok, seketika orang akan jatuh di bawah pengaruhnya serta menurut segala perintahnya.

Hal ini pernah Bok Wan-jing dengar dari gurunya. Maka ia tidak berani sembrono lagi, lekas ia pusatkan semangat dan kerahkan Lwekang sambil menarik kain kedoknya untuk menutupi mukanya, bahkan kedua mata juga ditutupnya sekalian.

"Bok Wan-jing," terdengar Yap Ji-nio berkata lagi dengan tertawa, "paling akhir ini nama jahatmu sangat tersohor, kalau kau angkat saudara dengan kami serta menjadi Gomoay (adik kelima) kami, rasanya boleh juga. Betul tidak, Samte?"

"Tidak!" sahut Lam-hay-gok-sin ketus.

"Kenapa tidak?" tanya Yap Ji-nio dengan ramah.

"Dia adalah bininya muridku, mana boleh menjadi Gomoayku? Toh sudah cukup mempunyai seorang Sammoay seperti kau!" demikian sahut Gok-sin. Mendadak ia membentak ke arah lain, "Gelinding kemari! Di mana bocah she Toan itu? Kenapa tidak dibawa kemari?"

Kiranya orang yang tadi disuruhnya mencari Toan Ki itu telah datang. Maka tertampaklah orang itu menjawab dari tempat sejauh belasan tombak dengan gelagapan, "Ham ... hamba sampai di atas karang tadi, tapi ... tapi orangnya sudah menghilang. Hamba telah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak ... tidak ketemu!"

Keruan Bok Wan-jing terkejut, ia menjadi khawatir jangan-jangan Toan Ki mati terjatuh ke dalam jurang.

Segera ia dengar Lam-hay-gok-sin lagi membentak, "Apakah disebabkan kau terlambat datang ke sana, maka bocah itu mati jatuh ke jurang?"

Orang itu tidak berani mendekat, jawabnya bertambah gelagapan, "Tapi hamba ... hamba sudah mencari ke seluruh lembah dan tidak menemukan mayatnya, juga tidak melihat sesuatu tanda bekas darah."

"Mustahil! Apa mungkin dia mampu terbang ke langit? Kau berani dusta padaku, ya?" bentak Gok-sin dengan murka.

Saking ketakutan, orang itu menyembah minta ampun sambil membentur-benturkan kepalanya ke atas batu di depannya.

Mendadak terdengar suara menyambarnya angin, sesuatu benda melayang ke sana, "plok", seketika orang itu tidak bersuara lagi. Tapi dari suara angin itu, Bok Wan-jing menduga pasti Lam-hay-gok-sin telah menimpukkan sepotong batu hingga membinasakan orang itu.

Sebenarnya Bok Wan-jing sendiri adalah seorang iblis pembunuh orang tanpa berkedip, orang itu tidak mampu menemukan Toan Ki, ia pun gemas tidak kepalang, andaikan Lam-hay-gok-sin tidak membinasakan orang itu, ia sendiri pun tidak mau mengampuninya.

Sesaat itu pikirannya jadi bergolak, "Dia sudah menghilang dari sana, tapi mayatnya tidak kelihatan di dasar jurang, lalu ke mana dia pergi? Apa mungkin ditelan ular besar? Ah, tidak mungkin, dia membawa 'Bong-kohcu-hap', segala jenis ular tidak berani mengganggunya. Ya, tentu dia terjatuh di tempat yang terpencil sehingga orang itu tak bisa menemukannya, atau mungkin mayatnya telah diketemukan orang itu, tapi tidak berani bicara terus terang."

Semakin dipikir, ia merasa kemungkinan besar Toan Ki sudah meninggal. Waktu berpisah dari pemuda itu, ia sudah ambil keputusan bila Toan Ki mati, pasti dia juga akan menyusulnya. Apalagi sekarang dirinya berada di bawah cengkeraman Lam-hay-gok-sin, kalau tidak mati, entah siksaan keji apa yang akan dirasakannya.

Tapi sebelum melihat mayat Toan Ki, betapa pun toh masih ada harapan bahwa pemuda itu masih hidup? Karena itulah, ia pun tidak rela mati begitu saja.

Sedang pikiran Bok Wan-jing kacau, tiba-tiba terdengar anak kecil yang dipondong Yap Ji-nio itu berteriakteriak menangis, "Ibu, ibu, mana ibuku?"

"Anak baik, aku inilah ibumu!" demikian Yap Ji-nio membujuknya.

Tapi tangis bocah itu semakin keras malah, "Tidak, engkau bukan ibuku! Aku minta ibu, mana ibuku?"

Perlahan Yap Ji-nio tepuk-tepuk badan anak itu sambil meninabobokannya dengan nyanyi kecil. Namun bukannya diam, sebaliknya tangis anak itu semakin keras. Tapi Yap Ji-nio tetap meninabobokannya dengan sabar sambil melagukan, "O, tidurlah anakku ...."

Lam-hay-gok-sin menjadi geregetan oleh suara orang yang membisingkan itu, dasar wataknya memang kasar, ditambah kehilangan calon murid kesayangannya, ia menjadi lebih gopoh lagi, tiba-tiba ia membentak, "Kau bujuk kentut! Kalau mau isap darahnya, lekas lakukan!"

Namun Yap Ji-nio tidak gubris padanya, ia masih terus meninabobokan bayi itu.

Sampai mengirik Bok Wan-jing mendengarnya, makin dipikir makin takut dia. Semula ketika melihat Yap Jinio yang bergelar orang jahat nomor dua di dunia ini ternyata membawa seorang bayi yang mungil, memangnya ia sudah heran. Kini mendengar ucapan Lam-hay-gok-sin itu, jadi Yap Ji-nio bakal mengisap darah anak itu, mau tak mau timbul rasa gusarnya dan takut pula.

Pikirnya, "Cara bagaimanakah supaya aku bisa menyelamatkan anak kecil ini?"

Tapi bila ingat mati hidup Toan Ki masih belum diketahui, terpaksa ia tidak berani pikirkan urusan orang lain. Namun suara timangan Yap Ji-nio yang penuh rasa kasih sayang itu, makin lama makin memuakkan perasaannya.

Dalam pada itu Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, dampratnya, "Setiap hari kau pasti minta korban seorang bayi, tapi kau sengaja berlagak welas asih, sungguh memuakkan dan tidak tahu malu!"

"Janganlah gembar-gembor hingga bikin kaget anakku!" sahut Yap Ji-nio dengan suara halus.

Gok-sin menjadi murka, mendadak anak di pondongan Yap Ji-nio itu hendak dijambretnya untuk dibanting. Tapi betapa pun cepatnya ternyata masih kalah cepat daripada Yap Ji-nio. Hanya sedikit berputar, cengkeraman Gok-sin itu sudah luput.

"Haya, Samte, tanpa sebab apa, kenapa kau ganggu anakku ini?" demikian dengan nada yang penuh rasa kasih sayang seorang ibu, Yap Ji-nio mengomel.

Walaupun kedua mata Bok Wan-jing ditutup sendiri dengan kain kedoknya, namun ia dapat mengikuti kejadian tadi dengan telinganya. Ia pikir, "Urutan Yap Ji-nio ini memang pantas berada di atas Lam-hay-gok-sin. Malaikat buaya ini selama hidup jangan harap akan melampaui wanita itu."

Benar juga, sekali jambret tidak kena, rupanya Lam-hay-gok-sin tahu juga kalau bergebrak tentu akan sia-sia belaka. Hanya mulutnya yang masih memaki, "Kurang ajar, Lotoa dan Losi kedua anak kura-kura ini kenapa sampai saat kini belum lagi datang, aku tidak sabar menunggunya lagi."

"Kau tahu tidak bahwa kemarin Losi telah kepergok musuh di tengah jalan dan menelan pil pahit?" tiba-tiba Yap Ji-nio tanya.

"He, Losi kepergok musuh? Siapa dia?" tanya Gok-sin heran.

Tiba-tiba Yap Ji-nio menuding Bok Wan-jing dan berkata, "Budak ini tampaknya tidak beres, kau sembelih dia dahulu baru kemudian kuceritakan."

Lam-hay-gok-sin menjadi ragu, sahutnya, "Dia adalah bini muridku, kalau kusembelih dia, muridku tentu akan ngambek tak mau mengangkat guru padaku."

"Jika begitu, biarlah aku yang kerjakan," ujar Yap Ji-nio dengan tertawa. "Kalau muridmu ngambek, suruh dia mencari balas padaku. Habis, kedua matanya itulah terlalu menggiurkan bagi siapa pun yang melihatnya, aku menjadi iri tak memiliki mata sejeli dia. Biarlah kucolok dulu kedua biji matanya!"

Sungguh kaget Bok Wan-jing tidak kepalang hingga keringat dingin seketika membasahi tubuhnya. Syukurlah ia dengar Lam-hay-gok-sin mencegah pula, "Jangan! Biar kututuk saja Hiat-to pingsannya, biar dia tidur selama sehari dua malam!"

Tanpa menunggu jawaban Yap Ji-nio lagi, sekonyong-konyong ia melompat ke samping Bok Wan-jing dan menutuk dua kali. Seketika Bok Wan-jing merasa kepala pening, lalu tak sadarkan diri lagi ....

Entah sudah berapa lama, ketika perlahan Bok Wan-jing siuman kembali, ia merasa badannya sangat dingin, segera terdengar pula serentetan suara tertawa mengikik. Meski dikatakan tertawa, hakikatnya tiada rasa tawa sedikit pun, tapi lebih mirip dikatakan suara mengilukan dan beradunya benda logam misalnya sebilah golok yang digosok-gosokkan di atas papan baja.

Bok Wan-jing sangat cerdik, ia tahu sekali dirinya bergerak, seketika pasti akan diketahui pihak lawan, boleh jadi akan mengakibatkan dirinya disiksa. Maka meski badan merasa kaku pegal sekali, ia tidak berani sembarangan bergerak.

Dalam pada itu terdengar Lam-hay-gok-sin lagi berkata, "Losi, tidak perlu omong gede! Sammoay telah memberi tahu padaku bahwa kau telan pil pahit dari orang, buat apa masih menyangkal? Sebenarnya kau dikeroyok berapa orang musuh?"

Suara orang yang mirip logam digosok itu segera menjawab, "Huh, apa yang diketahui Jici? Aku dikerubut tujuh orang musuh, semuanya tergolong jago kelas satu, sudah tentu, betapa tinggi kepandaianku juga tak bisa sekaligus membunuh musuh sebanyak itu."

"Eh, kiranya Losi yang berjuluk 'Kiong-hiong-kek-ok' itu juga sudah datang," demikian pikir Bok Wan-jing. Sebenarnya ia sangat ingin tahu macam apakah Kiong-hiong-kek-ok itu, namun betapa pun ia tidak berani sembarangan menarik kain kedoknya.

Terdengar Yap Ji-nio ikut berkata, "Ah, Losi memang suka omong besar. Sudah terang pihak lawan cuma dua orang, dari mana bisa muncul lima orang lagi? Masakah di dunia ini terdapat jago pilihan sebanyak itu?"

"Hm, dari mana pula kau mengetahuinya? Apa kau menyaksikan dengan mata hidungmu sendiri?" sahut Losi dengan gusar.

"Kalau aku tidak menyaksikan sendiri, dengan sendirinya aku takkan tahu," kata Yap Ji-nio dengan tersenyum. "Bukankah kedua orang itu masing-masing menggunakan senjata sebatang pancing ikan dan yang lain memakai kapak? Hihihi, kelima orang lain yang kau karang sendiri itu lalu memakai senjata apa, coba katakan?"

Sekonyong-konyong Losi berbangkit, dengan suara keras ia berkata, "Keparat! Jadi waktu itu kau berada di sana, kenapa kau tidak membantuku? Kau ingin aku mati di tangan orang, dan kau senang, ya?"

Tapi Yap Ji-nio tetap menjawabnya dengan senyum tak acuh, "Ah, kenapa kau merendahkan nama 'Kionghiong-kek-ok' In Tiong-ho? Siapa yang tidak kenal Ginkangmu tiada bandingan di jagat ini? Kalau kau kalah, masa kau tak bisa lari?"

Kiranya si mahajahat keempat ini bernama In Tiong-ho atau bangau terbang di angkasa, suatu tanda Ginkang atau ilmu entengi tubuhnya pasti sangat lihai.

Ia semakin gusar demi mendengar ucapan Yap Ji-nio tadi, teriaknya lebih keras, "Kalau Losi terjungkal di tangan orang, apakah kau ikut bahagia? Hm, apa maksud tujuan kita Su-ok berkumpul di sini? Bukankah hendak berunding cara bagaimana cari perkara ke istana raja di negeri Tayli? Peristiwa ini bukankah berarti beralamat jelek?"

"Site," demikian Yap Ji-nio berkata pula dengan senyumnya yang tidak berubah, "selamanya aku tidak pernah melihat Ginkang sehebatmu, bangau terbang di angkasa, sungguh tidak bernama kosong. Wah, bagai asap terapung, seperti burung melayang, mana bisa kedua manusia itu menyusulmu?"

"Losi," tiba-tiba Lam-hay-gok-sin menyela, "sebenarnya siapakah yang mengerubuti dirimu itu? Apakah kaki tangan dari istana Tayli?"

"Ya, pasti dari sana," sahut In Tiong-ho dengan gusar. "Aku tidak percaya di daerah Tayli ada orang kosen lain lagi kecuali orang mereka."

"Makanya jangan kalian suka anggap enteng mereka, sekarang kalian percaya tidak pada omonganku?" ujar Jinio.

"Jici," kata In Tiong-ho tiba-tiba, "sampai saat ini Lotoa masih belum tampak batang hidungnya, padahal sudah lewat tiga hari daripada waktu yang kita tetapkan, selamanya ia tidak pernah langgar janji, jangan-jangan ...."

"Jangan-jangan terjadi apa-apa, maksudmu?" potong Yap Ji-nio.

"Fui! Mana bisa jadi," seru Lam-hay-gok-sin dengan gusar. "Macam apakah Lotoa kita itu, memangnya dia seperti kalian, kalau kalah lantas mengacir?"

"Kalau kalah lantas mengacir, itu namanya bisa lihat gelagat!" sahut Yap Ji-nio. "Aku justru khawatir dia benar-benar dikeroyok musuh, tapi kepala batu tidak mau menyerah kalah, akhirnya tamatlah riwayatnya sesuai dengan julukannya 'Ok-koan-boan-eng' (kejahatan sudah melebihi takaran)!"

"Fui! Omong kosong!" semprot Lam-hay-gok-sin. "Selama hidup Lotoa malang melintang, pernah dia jeri pada siapa? Sudah belasan tahun ia menjagoi Tionggoan, masa di negeri Tayli sekecil ini malah dia terjungkal? Wah, kurang ajar, perut lapar lagi!"

Segera ia sambar sepotong daging paha lembu terus dipanggang di atas api unggun di sampingnya.

Tidak lama, bau sedap teruar perlahan.

Pikir Bok Wan-jing, "Dari percakapan mereka tadi, tampaknya aku sudah tak sadarkan diri selama tiga hari di sini. Entah Toan-long sudah ada kabar beritanya tidak?"

Dan karena sudah empat hari tidak makan apa-apa, perutnya terasa amat lapar, ketika dia mengendus bau daging panggang, tak tertahan perutnya berkeruyukan.

"Siaumoaymoay, perutmu lapar bukan?" tiba-tiba Yap Ji-nio berkata dengan tertawa. "Sejak tadi kau sudah sadar, kenapa pura-pura diam saja? Apa kau tidak ingin lihat bagaimana macamnya 'Kiong-hiong-kek-ok' Inlosi kami?"

Lam-hay-gok-sin kenal watak In Tiong-ho paling gemar paras cantik, bila tahu Bok Wan-jing luar biasa ayunya, biarpun mati juga dia ingin mendapatkannya, berbeda seperti dirinya, kalau perlu barulah memerkosa dan membunuh.

Maka cepat ia sobek sepotong daging panggang dan dilemparkannya kepada Bok Wan-jing sambil membentak, "Nih, makanlah ke sana, jauh sedikit, jangan mencuri dengar pembicaraan kami!"

Bok Wan-jing sengaja bikin kasar suara sendiri hingga kedengarannya lucu, tanyanya, "Suamiku sudah datang belum?"

Lam-hay-gok-sin menjadi gusar, sahutnya, "Keparat, aku sendiri sudah mencari ke sekitar jurang sana, tapi sedikit pun tidak menemukan jejak bocah itu. Dapat dipastikan bocah itu belum mampus, entah telah digondol siapa, aku sudah menunggu di sini tiga hari, biar kutunggu lagi empat hari, dalam tujuh hari kalau bocah itu tidak datang, hm, nanti kupanggang dirimu untuk dimakan!"

Hati Wan-jing sangat terhibur oleh keterangan orang, kalau dia sendiri sudah mencari ke sana dan yakin Toanlong belum mati, rasanya tentu betul. Ai, cuma entah dia masih ingat padaku atau tidak dan apakah akan datang kemari untuk menolong diriku?

Segera ia jemput daging panggang yang dilemparkan padanya tadi, perlahan ia berjalan ke balik karang sana untuk memakannya. Dalam keadaan lapar, ia merasa sangat letih dan lemas karena habis kelaparan empat hari, tapi karena itu, luka di punggungnya malah sudah sembuh.

Ia dengar Yap Ji-nio lagi tanya, "Sebenarnya di mana letak kebagusan bocah itu hingga membikin kau sedemikian suka padanya?"

Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak bangga, sahutnya. "Justru karena bocah itu sangat mirip aku, bila belajar silat Lam-hay-pay kami, pasti dia akan berhasil dan melebihi sang guru. Hehe, di antara Su-ok kita, aku Gak-lo ... Gak-loji (ia sengaja naikkan diri menjadi "Ji" atau nomor dua dan bukan "Sam" atau nomor tiga) meski tak bisa

mencapai nomor satu, tapi bicara tentang murid, rasanya tiada seorang murid orang lain yang mampu menandingi muridku."

Sementara itu Bok Wan-jing sudah makin jauh menyingkir dari ketiga manusia mahajahat itu, demi mendengar Lam-hay-gok-sin memuji kebagusan bakat Toan Ki jarang ada bandingannya, diam-diam ia merasa senang dan sedih pula, tapi rada geli juga, "Toan-long hanya seorang sekolahan yang ketolol-tololan, ilmu silat apa yang dia miliki? Kecuali nyalinya yang besar, segala apa tidak bisa. Kalau Lam-hay-pay menerima murid mestika semacam itu, rasanya Lam-hay-pay sendiri yang bakal sial!"

Ia cari suatu tempat terpencil dan duduk di atas batu padas, lalu menikmati daging panggang tadi. Meski sangat lapar, namun daging panggang itu masih terlalu banyak baginya, hanya separuh saja dapat dihabiskannya dan perutnya sudah kenyang.

Diam-diam ia membatin pula, "Sampai hari ketujuh nanti kalau Toan-long lupa dan mengingkari aku serta tidak datang kemari, aku lantas cari jalan untuk melarikan diri."

Berpikir sampai di sini, ia menjadi pedih, "Andaikan aku bisa melarikan diri, lalu akan menjadi manusia apa lagi?"

Begitulah, dengan rasa tidak tenteram, kembali lewat pula dua hari. Namun bagi Bok Wan-jing, dua hari itu rasanya lebih lama daripada dua tahun. Siang malam yang dia harapkan senantiasa adalah semoga terdengar sesuatu suara dari bawah gunung, sekalipun bukan suaranya Toan Ki, paling tidak juga dapat menghibur hatinya yang lara merana.

Lebih-lebih bilamana sang malam tiba, rasa deritanya semakin bertambah, perasaannya bergolak mengombak, selalu terpikir olehnya, "Bila dia benar-benar niat mencari aku, hari pertama atau kedua tentu dia sudah datang kemari. Dan kalau sampai hari ini masih belum datang, rasanya tidak mungkin dia kemari lagi. Meski dia tak mahir silat, tapi mempunyai jiwa kesatria, betapa pun dia pasti tidak sudi mengangkat guru pada Lam-hay-goksin ini. Namun terhadap diriku, apa benar dia tak mempunyai rasa kasih sedikit pun?"

Begitulah jalan pikiran Bok Wan-jing, kalau hari-hari pertama dan kedua ia masih menaruh harapan dan menunggu dengan sabar, tapi makin lama makin merana, pesan gurunya bahwa "laki-laki di dunia ini adalah manusia palsu semua" selalu mendenging-denging terus di telinganya. Walaupun perasaannya sendiri selalu menyangkal Toan-long pasti bukan manusia demikian, namun sesungguhnya ia pun tidak berani yakin apakah sangkalan itu bukan menipu pada diri sendiri?

Syukur juga selama beberapa hari ini Lam-hay-gok-sin, Yap Ji-nio dan In Tiong-ho tidak urus dirinya. Ketiga manusia durjana itu hanya tekun menanti datangnya "Ok-koan-boan-eng", yaitu si juara orang jahat di seluruh

jagat ini, meski mereka tidak segopoh Wan-jing, tapi mirip juga semut di tengah kuali panas, mereka kelabakan dan kesal luar biasa. Meski jarak Bok Wan-jing dengan mereka agak jauh, namun suara ribut dan cekcok mulut mereka sayup-sayup dapat terdengar dengan jelas.

Sampai malam hari keenam, pikir Bok Wan-jing, "Besok adalah hari terakhir, rasanya laki-laki palsu itu takkan datang. Biarlah malam nanti aku berusaha melarikan diri, kalau tidak, sampai esok pagi, untuk lari pasti sukar. Jangankan In Tiong-ho yang tersohor Ginkangnya tiada tandingan di seluruh jagat, cukup Lam-hay-gok-sin saja, asal dia sengaja mengejar, pasti aku pun tak bisa lolos."

Ia coba berdiri untuk melemaskan otot-ototnya, ia merasa semangatnya meski masih lesu, namun tenaga sudah pulih 7-8 bagian. Ia membatin, "Sebaiknya bila ketiga orang itu ribut terus dan diam-diam aku dapat melarikan diri beberapa ratus tombak jauhnya, lalu aku akan mencari suatu tempat sembunyi seperti gua dan sebagainya, dengan demikian mereka tentu menyangka aku sudah kabur jauh dan tidak mengejar lagi, kemudian dengan bebas dapatlah aku keluar lagi dan melarikan diri."

Di luar dugaan, meski rencananya sudah muluk-muluk, beberapa kali ia bermaksud angkat kaki, tapi hatinya selalu terkenang pada Toan Ki, ia menjadi ragu kalau-kalau pemuda itu akhirnya benar-benar datang mencarinya, lalu bagaimana? Jika besok tidak berjumpa dengan pemuda itu, mungkin untuk seterusnya tak bisa saling bertemu lagi. Padahal dia sengaja datang untuk sehidup semati dengan aku, tapi aku malah kabur pergi. Jelas dia tidak sudi mengangkat guru hingga mungkin dibunuh oleh Lam-hay-gok-sin, bila terjadi demikian, bukankah aku yang berdosa padanya?"

Begitulah bolak-balik ia berpikir, sampai akhirnya fajar pun menyingsing, tetap dia belum dapat ambil keputusan.

Tapi dengan datangnya fajar, maksud larinya menjadi batal juga. Jika sudah terang tak dapat melarikan diri, biarlah aku tetap menunggu, apakah dia datang atau tidak, aku tetap menunggu di sini sampai mati.

Selagi hatinya hampa sedih itulah, sekonyong-konyong terdengar suara gedebukan jatuhnya sesuatu benda ke tengah semak-semak rumput, segera ia merayap ke sana untuk memeriksanya.

Ketika sudah dekat, lebih dulu hidungnya mencium bau darah. Waktu rumput lebat di situ ia singkap ke samping dan melongok, seketika bulu romanya berdiri semua.

Ternyata di tengah semak rumput tergeletak enam sosok mayat bayi dengan tergelimpang tak teratur. Di antaranya terdapat pula bayi yang tempo hari dininabobokan oleh Yap Ji-nio itu.

Seketika Bok Wan-jing terkesima. Bila kemudian ia periksa mayat bayi itu, ia lihat di samping lehernya terdapat dua baris bekas gigitan hingga berwujud suatu lubang kecil dan tepat di atas urat darah leher.

Ia menjadi teringat pada apa yang dikatakan Lam-hay-gok-sin, maka tahulah dia akan duduknya perkara.

Kiranya "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio itu memang benar setiap hari harus mengisap darah seorang bayi. Sudah enam hari dia berada di atas puncak gunung itu, maka sudah ada enam bayi menjadi korbannya. Kalau melihat baju yang dipakai bayi-bayi itu terdiri dari kain kasar saja, dapat diduga Yap Ji-nio telah menculik dari keluarga pegunungan di sekitar Bu-liang-san.

Satu di antara enam mayat bayi itu terasa masih hangat, tapi kulitnya kisut, darahnya sudah kering terisap. Tentu itulah mayat yang dilemparkan Yap Ji-nio barusan.

Sungguhpun Bok Wan-jing juga banyak membunuh orang, tapi orang Kangouw yang dibunuhnya itu adalah akibat perbuatan sendiri karena ingin melihat mukanya. Sebaliknya perbuatan kejam membunuh anak bayi demikian, betapa pun juga membuatnya gusar dan kejut hingga badan ikut gemetar.

Sekonyong-konyong sesosok bayangan hijau berkelebat, seorang bagai burung cepatnya telah melayang turun ke bawah gunung. Begitu cepat bayangan itu hingga mirip setan hantu. Itulah "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio.

Melihat betapa cepat Ginkang wanita iblis itu, sekalipun gurunya juga selisih jauh dengan kepandaian orang, seketika Bok Wan-jing lemas rasanya, ia duduk terkulai terduduk dengan macam-macam perasaan bercampur aduk.

Setelah termangu-mangu sejenak, Bok Wan-jing kumpulkan keenam mayat bayi itu menjadi satu, lalu menguruknya dengan batu pasir seadanya di situ.

Tengah sibuk bekerja, tiba-tiba Wan-jing merasa tengkuk rada silir dingin. Ia dapat bergerak dengan cepat sekali, begitu kaki kanan bergerak, segera tubuhnya melesat ke depan.

Maka terdengarlah suara tertawa seorang yang mirip logam digosok dan berkata, "Nona cilik, suamimu telah meninggalkanmu, ia tidak sudi padamu lagi, marilah ikut aku saja!"

Siapa lagi dia kalau bukan "Kiong-hiong-kek-ok" In Tiong-ho, ia memang mahajahat dan buas luar biasa. Begitu bicara, terus saja tangan meraih hendak memegang Bok Wan-jing.

"Plak" mendadak dari samping menyela sebuah tangan hingga cengkeraman In Tiong-ho tertangkis.

Kiranya penangkis itu adalah Lam-hay-gok-sin, dengan marah-marah ia membentak, "Losi, orang Lam-haypay kami dilarang kau ganggu!"

Dalam pada itu In Tiong-ho sudah melompat mundur, sahutnya dengan tertawa, "Muridmu tak jadi kau terima, dengan sendirinya ia bukan orang Lam-hay-pay lagi."

Baru sekarang Bok Wan-jing dapat melihat jelas perawakan In Tiong-ho itu ternyata sangat tinggi, tapi sangat kurus pula hingga mirip galah bambu, raut mukanya sangat menakutkan juga, bila tertawa, lidahnya seakanakan bisa mulur mengkeret mirip lidah ular.

"Dari mana kau tahu aku akan gagal menerima murid?" demikian Lam-hay-gok-sin membentak lagi. "Apakah karena bocah itu telah dibunuh olehmu? Ya, tentu demikian halnya! Atau mungkin kau pun menaksir pada calon muridku yang bertulang bagus itu, lalu kau sembunyikan dia hendak mengangkanginya sebagai muridmu. Jadi kau yang mengacaukan rencanaku, biarlah aku cekik mampus kau dahulu dan urusan belakang!"

Si malaikat buaya laut selatan ini benar-benar kasar dan tidak kenal aturan segala, tanpa tanya-tanya lagi apakah benar In Tiong-ho yang menghilangkan calon muridnya atau bukan, terus saja ia menubruk maju dan menyerang bertubi-tubi.

Namun In Tiong-ho dapat berkelit dengan gesit dan cepat sekali sambil menjawab, "He, he! Muridmu itu bundar atau gepeng, lonjong atau cekak, selamanya aku belum kenal, dari mana bisa kau bilang aku yang mengumpetkan dia?"

"Kentut!" damprat Lam-hay-gok-sin. "Siapa yang mau percaya padamu! Pasti lantaran kau habis dihajar orang, lalu rasa dongkolmu kau lampiaskan atas diri muridku itu, begitu bukan?"

"Muridmu itu laki-laki atau perempuan atau banci?" tanya Tiong-ho.

"Sudah tentu laki-laki, guna apa aku menerima murid perempuan?" sahut Gok-sin.

"Nah, itu dia!" seru Tiong-ho. "Bukankah kau tahu, In Tiong-ho selamanya hanya suka pada orang perempuan

dan tidak lelaki?'

Saat itu Lam-hay-gok-sin lagi menubruk maju, mendengar ucapan itu, ia pikir masuk di akal juga. Maka mendadak ia mengerem tubuhnya yang lagi terapung itu dan anjlok ke bawah hingga berdiri di atas sebuah batu padas, lalu membentak lagi, "Lantas ke mana perginya muridku itu? Kenapa sampai sekarang belum datang mengangkat guru?"

"Hehe, urusan Lam-hay-pay kalian peduli apa denganku?" kata In Tiong-ho dengan mengekek.

Dasar watak Lam-hay-gok-sin memang kasar, ditambah lagi sudah menunggu selama tujuh hari tanpa hasil, ia menjadi gelisah tak keruan, rasa dongkolnya lagi meluap, maka kembali ia membentak, "Setan alas, kau berani mengejek aku?"

Melihat kedua orang mahajahat itu saling ngotot, Bok Wan-jing tidak mau sia-siakan kesempatan baik itu, segera ia membakar Lam-hay-gok-sin katanya, "Ya, ya, Toan-long pasti dicelakai In Tiong-ho ini, kalau tidak, di atas karang securam itu, mana dapat ia turun? Ginkang In Tiong-ho ini sangat hebat, pasti dia yang memanjat ke atas karang itu untuk menggondolnya pergi dan dibunuh di lain tempat agar Lam-hay-pay tidak mempunyai bibit tokoh yang lihai."

Mendadak Lam-hay-gok-sin keplak batok kepala sendiri sambil menggembor, "Nah, kau dengar tidak! Bininya muridku juga bilang begitu, masa kau difitnah?"

Segera Bok Wan-jing pura-pura menangis dan berseru, "Suhu, kata suamiku, kalau dia mendapatkan seorang guru seperti engkau, sungguh suatu rezeki besar baginya, dia berjanji pasti akan belajar sepenuh tenaga demi kejayaan Lam-hay-pay, agar nama Lam-hay-gok-sin lebih mengguncangkan dunia, supaya itu 'Ok-koan-boaneng' dan 'Bu-ok-put-cok' mengiri setengah mati pada engkau orang tua. Siapa duga In Tiong-ho ini juga cemburu padamu dan sengaja membunuh calon murid kesayanganmu itu, selanjutnya engkau orang tua sukar mendapatkan murid sebagus itu lagi."

Begitulah, setiap kalimat Bok Wan-jing diucapkan, setiap kali Lam-hay-gok-sin mengeplak batok kepala dan mengepal tangan dengan geregetan.

Maka Bok Wan-jing menyambung pula, "Tulang kepala suamiku terlalu mirip denganmu, kecerdasannya juga serupa. Coba, seorang ahli waris sebagus dan sepintar itu, ke mana akan dicari lagi. Tapi In Tiong-ho ini sengaja memusuhi engkau, mengapa engkau orang tua tidak lekas balaskan sakit hati muridmu?"

Mendengar sampai di sini, sinar mata Gok-sin berubah beringas. Kembali ia menubruk ke arah In Tiong-ho.

In Tiong-ho tahu ilmu silat sendiri setingkat lebih rendah daripada orang, tapi tidak setolol Gok-sin yang mudah diakali. Sudah terang Bok Wan-jing sengaja mengadu domba, tapi untuk menjelaskan padanya tidaklah gampang, ia pun tidak sudi bergebrak dengan dia, maka begitu ditubruk Gok-sin, segera ia angkat kaki melarikan diri.

Sudah tentu Gok-sin tidak tinggal diam, terus saja ia mengudak.

"Nah, dia lari, itu tandanya takut!" demikian Wan-jing menambahi minyak pula. "Dan orang takut, itu tandanya salah!"

Keruan Lam-hay-gok-sin tambah panas hatinya, ia menggerung murka, "Bayar kembali jiwa muridku!"

Dan kejar-mengejar pun terjadi dan dalam sekejap saja sudah menghilang di balik gunung sana.

Diam-diam Bok Wan-jing bergirang. Sekejap kemudian, terdengar suara raungan Lam-hay-gok-sin makin mendekat lagi, kedua orang itu putar kembali dengan saling uber. Ginkang In Tiong-ho ternyata jauh lebih tinggi daripada Lam-hay-gok-sin, badannya yang jangkung bagai galah bambu seakan-seakan bergontai ke kanan dan ke kiri, tapi larinya cepat tidak kepalang, Lam-hay-gok-sin selalu ketinggalan dalam suatu jarak tertentu.

Ketika sampai di depan Bok Wan-jing, sekonyong-konyong In Tiong-ho melesat ke arah gadis itu, terus mencengkeram pundaknya.

Keruan Wan-jing terkejut, sekali bergerak, kontan ia sambut orang dengan sebatang panah berbisa.

Tapi Ginkang In Tiong-ho memang benar tiada taranya, entah cara bagaimana dia bergerak, tahu-tahu tubuh bisa menggeser sedikit hingga panah itu luput mengenainya, sebaliknya tangannya masih terus terjulur ke muka si gadis.

Dengan gugup lekas Bok Wan-jing berkelit, namun toh terlambat sedikit, mukanya terasa segar seketika, kain kedoknya telah disambar oleh In Tiong-ho.

Melihat wajah Wan-jing yang cantik molek itu, seketika In Tiong-ho terkesima. Kemudian dengan menyengir

ia berkata, "Hebat, sungguh hebat! Cantik sekali anak dara ini. Cuma kurang genit, belum sempurna ...."

Tengah berkata, kembali Lam-hay-gok-sin memburu tiba terus menghantam punggungnya.

Sekuatnya In Tiong-ho tancap kakinya di tanah, ia kerahkan tenaga dalam dan menangkis ke belakang, "plak", dua telapak tangan saling bentur dengan keras, Bok Wan-jing merasa dada menjadi sesak, hampir tak bisa bernapas oleh gencetan dua tenaga pukulan yang hebat itu, batu pasir pun bertebaran di seputar situ. Dan dengan meminjam tenaga benturan itu, In Tiong-ho mencelat pergi dua tombak jauhnya.

"Nih, rasakan lagi tiga kali pukulanku!" teriak Gok-sin sengit.

Namun In Tiong-ho menjawabnya dengan tertawa, "Kau tak mampu mengejarku, sebaliknya aku tak berdaya berkelahi dengan kau. Biarpun kita bertempur tiga-hari tiga-malam lagi juga tetap begini saja!"

Begitulah kembali kedua orang itu uber-menguber dengan sengitnya.

Diam-diam Bok Wan-jing pikir harus berusaha untuk merintangi In Tiong-ho agar kedua orang jahat itu saling genjot berhadapan. Maka ia tunggu waktu In Tiong-ho berputar kembali lagi, mendadak ia memapak maju sambil geraki tangannya, kontan 6-7 panah berbisa sekaligus dibidikkan sambil berseru, "Bayar kembali jiwa suamiku!"

In Tiong-ho kenal kelihaian panah yang mendenging datang itu, tapi semuanya dapat dihindarinya dengan mengegos atau mendekam ke bawah.

Tiba-tiba Bok Wan-jing melolos pedang, beruntun ia menusuk dua kali. Namun In Tiong-ho tahu maksud gadis itu, ia tidak mau menangkis dan hanya berkelit ke samping.

Dan karena sedikit rintangan itu, dari belakang Lam-hay-gok-sin sudah menyusul tiba terus menghantam dengan kedua tangannya.

"Losam", seru In Tiong-ho akhirnya dengan gemas, "berulang kali aku mengalah padamu, memangnya kau sangka aku takut?"

Sekali tangannya meraba pinggang, tahu-tahu sepasang cakar baja telah dikeluarkan.

Cakar baja itu panjangnya masing-masing cuma setengah meteran, ujung cakar berbentuk tangan manusia dengan lima jari terpentang seakan-akan hendak mencengkeram. Ia mainkan senjatanya itu dengan rapat, tapi tetap menjaga diri saja tanpa balas menyerang.

Melihat itu, Lam-hay-gok-sin menjadi senang, serunya, "Wah, bagus! Sepuluh tahun tidak berjumpa, kiranya kau berhasil melatih semacam senjata aneh. Nih, lihat juga aku punya!"

Sembari bicara, ia terus buka ransel di punggungnya dan mengeluarkan semacam senjata yang lebih aneh.

Melihat kedua orang jahat itu akan main senjata, Bok Wan-jing pikir akan percuma saja bila dirinya ikut-ikutan bertempur. Segera ia undurkan diri ke pinggir.

Ia lihat senjata yang dikeluarkan Lam-hay-gok-sin itu adalah sebuah gunting aneh yang pakai gagang panjang, bagian mata gunting berbentuk gigi-gigi yang tajam hingga mirip moncong buaya. Sedang tangan lain memegang sebuah pecut yang bergigi juga serupa ekor buaya.

Bila orang kena digigit sekali oleh mulut gunting atau kena disabat sekali oleh pecut ekor buaya itu, kalau tidak mampus tentu juga akan sekarat.

In Tiong-ho melirik heran juga kepada kedua macam senjata aneh itu, tapi mendadak ia geraki cakar baja sebelah kanan terus mencakar ke muka Lam-hay-gok-sin.

"Tring", kontan Gok-sin angkat gunting buayanya menangkis hingga cakar baja lawan terpental ke samping. Namun In Tiong-ho cepat luar biasa, belum cakar kanan itu ditarik kembali, lagi-lagi cakar sebelah kiri menyambar ke depan pula.

"Krak", sekonyong-konyong gunting congor buaya Lam-hay-gok-sin memutar dan menggunting jari cakar baja itu, sungguh luar biasa tajamnya gunting yang entah terbuat dari bahan apa, tahu-tahu dua jari dari cakar In Tiong-ho tergunting putus, padahal cakar itu sendiri terbuat dari baja murni yang sangat kuat.

Masih untung bagi In Tiong-ho, ia sempat menarik secepatnya hingga cuma dua jari cakarnya yang terkutung. Namun begitu, berarti juga mengurangi daya gunanya dari kesepuluh jari senjatanya yang hebat itu.

Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak, mendadak pecut ekor buaya menyabat pula selagi In Tiong-ho tertegun tadi. Namun tiba-tiba sesosok bayangan hijau menyelinap tiba, itulah dia Yap Ji-nio adanya. Dengan gesit ia menyela ke tengah, sekali tangannya meraih, ujung pecut Gok-sin kena disambarnya terus ditarik ke samping, kesempatan mana telah digunakan In Tiong-ho untuk melompat ke pinggir.

"Losam, Losi, urusan apa hingga kalian saling gebrak dengan senjata?" demikian tanya Yap Ji-nio kemudian.

Ketika sekilas dilihatnya wajah Bok Wan-jing yang cantik itu, seketika air mukanya berubah hebat. Biasanya yang paling dibenci olehnya ialah wanita yang berparas lebih cantik daripada dirinya. Kini melihat kecantikan Bok Wan-jing yang susah dilukiskan itu, seketika ia terkesiap.

Dalam pada itu Wan-jing juga melihat wanita jahat nomor dua di dunia ini sudah menggondol kembali seorang anak kecil kira-kira berumur 3-4 tahun. Tahulah dia sekarang, kiranya wanita jahat itu turun gunung tadi hanya untuk mencari korban bayi lain yang akan diisap darahnya.

Dengan datangnya Yap Ji-nio, terang pertarungan Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho takkan berlangsung terus. Ketika melihat sorot mata wanita jahat itu bersinar aneh, Bok Wan-jing jadi mengirik sendiri dan lekas berpaling, tidak berani memandangnya lagi.

Dalam pada itu terdengar anak yang dipondong Yap Ji-nio itu sedang berteriak-teriak dan menangis, "Ayah! Di mana ayah?"

"Diamlah, San-san sayangku! Ayah sebentar lagi akan datang, diamlah, jangan menangis, manisku!" demikian Yap Ji-nio menimang dengan kasih sayang seperti seorang ibu.

Bila teringat pada mayat bayi yang dilihatnya di tengah semak-semak itu, lalu dibandingkan dengan suara lembut yang penuh rasa kasih sayang Yap Ji-nio ini, bulu roma Bok Wan-jing seketika menegak semua.

Kemudian terdengar In Tiong-ho berkata dengan tertawa, "Jici, Losam telah berhasil meyakinkan ilmu gunting congor buaya dan pecut buntut buaya yang lihai, baru saja aku telah bergebrak beberapa jurus dengan dia dan aku merasa sulit melawannya. Selama sepuluh tahun ini, Jici sendiri berhasil meyakinkan ilmu apa? Dapatlah menandingi kedua macam senjata Losam yang aneh ini?"

Sama sekali ia tidak menyinggung tentang Lam-hay-gok-sin menuduhnya mencelakai calon muridnya, sebaliknya ia sengaja mengucapkan pancingan halus itu untuk mengadu domba Yap Ji-nio bergebrak dengan Lam-hay-gok-sin.

Yap Ji-nio sendiri ketika naik ke atas puncak tadi, dari jauh sudah melihat cara bagaimana kedua kawannya lagi saling hantam, maka dengan tertawa tawar saja ia menjawab, "Ah, selama sepuluh tahun ini aku hanya mengutamakan berlatih Lwekang, soal ilmu pukulan dan main senjata menjadi asing bagiku, tentu aku bukan tandingan Losam dan kau lagi."

Jawaban sederhana ini membikin Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho terkesiap juga, pikir mereka, "Selamanya dia unggul dalam hal kegesitan dan kelemasan, soal Lwekang hanya biasa saja. Tapi selama 10 tahun ini dia justru giat berlatih Lwekang, apa barangkali dia ketemu guru kosen atau beruntung menemukan sesuatu kitab pusaka ilmu Lwekang dan sebagainya?"

Selagi Lam-hay-gok-sin hendak tanya, tiba-tiba di pinggang gunung sana ada suara bentakan orang, "Perempuan bangsat, untuk apa kau menculik anakku? Lekas kembalikan!"

Baru lenyap suaranya, tahu-tahu orangnya juga sudah melayang naik ke atas puncak dengan cekatan sekali.

Waktu Bok Wan-jing mengawasi, ternyata orang ini tak-lain tak-bukan adalah Co Cu-bok, itu ketua Bu-liangkiam. Ia terkejut, tapi segera mengerti pula duduknya perkara, "Ya, tentu Yap Ji-nio tidak mendapatkan anak kecil di sekitar Bu-liang-san ini, akhirnya anak ketua Bu-liang-kiam yang ditemukan olehnya terus digondol lari!"

Maka terdengar Yap Ji-nio sedang menjawab, "Co-siansing, putramu ini sungguh lincah dan menyenangkan, aku membawanya ke sini untuk bermain, besok tentu akan kupulangkan padamu, jangan kau khawatir!"

Sembari berkata, ia mencium sekali di pipi San-san yang kecil itu, lalu mengusap-usap kepala anak itu dengan sayangnya.

Co San-san, anak yang bernasib malang itu, segera berteriak-teriak demi tampak datangnya sang ayah dan minta digendong.

Co Cu-bok terharu, ia ulur tangan dan melangkah maju sambil berkata, "Anak kecil yang nakal, tiada apaapanya yang menarik, silakan engkau kembalikan padaku saja!"

"Haha!" tiba-tiba Lam-hay-gok-sin tertawa. "Sekali anak kecil sudah jatuh di tangan 'Bu-ok-put-cok' Yap Samnio, biarpun anak raja juga tidak mungkin dikembalikan olehnya."

Co Cu-bok tergetar mendengar ucapan itu, dengan suara gemetar ia tanya, "Kau ... kau bernama Yap Sam-nio? Pernah ... pernah hubungan apakah dengan Yap Ji-nio?"

Rupanya sudah lama ia dengar nama jahat Yap Ji-nio yang setiap hari mesti mengisap darah segar seorang bayi, maka ia menjadi khawatir jangan-jangan "Yap Sam-nio" ini adalah saudara Yap Ji-nio dan mempunyai hobi yang sama, kan anaknya itu bisa celaka?

Ia tidak tahu bahwa Lam-hay-gok-sin yang sengaja menurunkan urutan wanita jahat itu dari "Ji" atau kedua menjadi "Sam" atau ketiga, supaya bertukar urutan dengan dia dalam kedudukan "Su-ok" itu.

Namun Yap Ji-nio tidak gusar, sebaliknya ia mengikik tawa, lalu menyahut, "Ah, jangan kau percaya pada ocehannya. Aku sendirilah Yap Ji-nio! Di dunia ini mana ada lagi Yap Ji-nio yang lain atau Yap Sam-nio segala?"

Sekejap itu air muka Co Cu-bok menjadi pucat bagai mayat.

Semula waktu ia tahu anaknya diculik orang, sepenuh tenaga ia terus mengejar, meski di tengah jalan ia sudah merasakan ilmu silat penculik itu masih jauh di atas dirinya, namun ia masih menaruh harapan semoga wanita penculik yang tak dikenal dan tiada punya permusuhan apa-apa dengan dirinya ini mungkin takkan bikin susah putranya.

Siapa duga wanita itu justru adalah "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio, si wanita mahajahat nomor dua dari dunia ini. Keruan seketika mulut Co Cu-bok ternganga seakan-akan tersumbat.

"Lihatlah betapa mungilnya anakmu ini, kulitnya halus, dagingnya gemuk, warnanya kemerah-merahan, sungguh pintar sekali piaraanmu, tentu banyak kau beri makan jamu kuat padanya. Ya, betapa pun memang lain anak orang terkemuka daripada anak orang desa yang kurus kurang makan!" demikian Yap Ji-nio berkata sembari memegang-megang dan mengangkat tangan si bocah ke arah sinar matahari, mulutnya tiada hentihentinya berkecek-kecek memuji, seolah-olah seorang nyonya rumah yang lagi memilih sayur atau ayam daging bila sedang belanja di pasar.

Melihat wanita jahat yang itu hampir mengiler oleh karena bakal korbannya yang bermutu pilihan itu, Co Cubok menjadi khawatir dan gusar sekali. Walaupun tahu bukan tandingan orang, tapi mengingat sekejap lagi putranya bakal dimakan, tanpa pikir lagi pedangnya terus menusuk ke depan dengan tipu serangan "Yu-hongtiau-gi" atau ada burung Hong datang menghadap, kontan ia tusuk tenggorokan Yap Ji-nio.

Namun Yap Ji-nio hanya tersenyum saja, ia sodorkan badan Co San-san ke depan, kalau tusukan Co Cu-bok itu diteruskan, pasti akan menembus badan putranya sendiri.

Syukur ilmu pedangnya sudah mencapai puncaknya, belum sepenuhnya pedang ditusukkan cepat ia tarik sedikit, ujung pedang menyendal, sekali putar, segera tipu serangannya sudah berganti dengan "Thian-ma-hingkong" atau kuda langit terbang di angkasa, tahu-tahu pundak kanan Yap Ji-nio yang diarahnya sekarang.

Tapi Yap Ji-nio tetap tidak berkelit, kembali tubuh Co San-san digeser ke samping untuk dijadikan tameng lagi.

Hanya sekejap saja berturut-turut Co Cu-bok menusuk lima kali, tapi Yap Ji-nio hanya melayani dengan seenaknya saja, selalu ia sodorkan badan Co San-san ke arah tusukan Co Cu-bok, sudah tentu, terpaksa ketua Bu-liang-kiam itu urung menyerang.

Dalam pada itu, sesudah diudak Lam-hay-gok-sin, rasa dongkol In Tiong-ho belum terlampiaskan, melihat kelakuan Co Cu-bok itu, ia menjadi gemas, mendadak ia melompat maju, cakar baja sebelah kiri terus mencengkeram kepala Co Cu-bok.

Namun Cu-bok sempat menangkis dengan pedangnya, "trang", kedua senjata saling beradu, pikir Co Cu-bok sekalian hendak mendorong ujung pedangnya ke tenggorokan lawan dengan gerakan "Sun-cui-tui-ciu" atau mendorong perahu menurut arus air, tapi mendadak jari cakar baja lawan bisa mencakup hingga batang pedangnya tergenggam dengan kencang.

Kiranya senjata In Tiong-ho itu terpasang alat jeplakan yang sangat praktis, asal tekan pegasnya, segera jari baja mencengkeram menurut keinginan pemakainya, hingga mirip benar dengan jari manusia.

Sebagai seorang ketua sesuatu aliran persilatan, dalam hal ilmu pedang, Co Cu-bok mempunyai latihan yang sangat mendalam, meski kepandaiannya masih kalah tinggi daripada In Tiong-ho, tapi juga tidak sampai keok hanya dalam satu dua gebrakan saja.

Dalam kagetnya tadi, ia tidak rela melepaskan pedangnya begitu saja, cepat ia kerahkan tenaga dalam untuk menarik sekuatnya. Tapi pada saat itu juga, "cret", cakar baja In Tiong-ho yang lain telah mencengkeram pula pundaknya.

Masih untung baginya karena jari cakar itu sebelumnya sudah terkutung dua oleh gunting congor buayanya Lam-hay-gok-sin, maka lukanya tidak parah, namun darah segera bercucuran juga, sedang ketiga jari cakar baja itu masih tetap mencengkeram kencang tulang pundaknya. Terus saja In Tiong-ho melangkah maju

menambahi sekali depakan hingga Co Cu-bok ditendang roboh.

Hanya sekali dua gebrakan saja ternyata seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka itu sama sekali tak bisa berkutik.

Segera Lam-hay-gok-sin berseru, "Hebat, Losi! Dua jurusmu barusan ini tidak jelek, tidak sampai bikin malu kawanmu ini!"

Sebaliknya Yap Ji-nio berkata dengan tertawa, "Co-tayciangbun, ingin kutanya padamu, apakah kau lihat Lotoa kami atau tidak?"

"Siapakah Lotoa kalian? Aku tidak melihatnya!" sahut Cu-bok dengan meringis menahan sakit karena tulang pundaknya masih dicengkeram oleh cakar baja.

"Kau bilang tidak tahu siapa Lotoa kami, kenapa kau jawab tidak melihatnya?" tiba-tiba Lam-hay-gok-sin menyela. "Hm, Sammoay, lekas kau makan saja anaknya!"

Jilid 08
"Pagi hari ini aku sudah sarapan, sekarang masih kenyang," sahut Yap Ji-nio. "Co-tayciangbun, boleh kau pergi saja, kami takkan cabut nyawamu!"

"Jika demikian, Yap ... Yap Ji-nio, harap kembalikan putraku itu, biar kucarikan 3-4 anak lain untukmu. Sungguh aku terima kasih tak terhingga."

"Ehm, baik juga!" seru Yap Ji-nio dengan berseri-seri. "Pergilah kau carikan delapan anak yang lain. Kami berjumlah empat orang, masing-masing membopong dua, cukup untuk makananku selama delapan hari. Nah, Losi, boleh kau lepaskan dia!"

Segera In Tiong-ho kendurkan jari cakarnya melepaskan Co Cu-bok. Dengan menahan sakit, Co Cu-bok berbangkit, lalu memberi hormat kepada Yap Ji-nio sambil ulur tangan hendak terima kembali putranya.

"Eh, sebagai tokoh kalangan Kangouw, kenapa Co-tayciangbun tidak kenal aturan?" ujar Yap Ji-nio dengan tertawa. "Tanpa ditukar delapan orang anak, masakah demikian gampang kuserahkan kembali putramu?"

Melihat putranya berada dalam rangkulan wanita itu, walaupun dalam hati sebenarnya seribu kali tidak rela, tapi apa daya, kepandaian sendiri jauh di bawah orang, terpaksa Co Cu-bok manggut dan menjawab, "Baiklah, biar kupergi mencarikan delapan anak yang putih gemuk untukmu, harap engkau menjaga baik-baik anakku."

Yap Ji-nio tak mau menggubrisnya lagi, kembali ia bernyanyi-nyanyi kecil menimang anak dalam pangkuannya itu.

"San-san anakku yang baik, sebentar ayah akan datang lagi untuk membawamu pulang ke rumah!" seru Cubok kemudian.

Co San-san menangis keras-keras minta ikut sang ayah dan meronta-ronta di pangkuan Yap Ji-nio.

Dengan rasa berat Co Cu-bok pandang beberapa kali pada sang putra, sambil memegangi luka di pundak, segera ia putar tubuh hendak berangkat.

Apa yang terjadi itu dapat diikuti Bok Wan-jing. Ia pikir, Co Cu-bok tentu akan memerintahkan anak muridnya pergi menculik anak kecil keluarga petani di sekitar Bu-liang-san untuk menukar putranya sendiri, hal itu dapat dikatakan demi cinta kasih ayah pada anaknya, soalnya terpaksa.

Tapi betapa pun juga adalah terlalu egoist, terlalu mementingkan diri sendiri, sebaliknya delapan anak keluarga orang lain yang tak berdosa akan menjadi korban.

Tanpa pikir lagi, segera ia melompat keluar dan mengadang di depan Co Cu-bok, bentaknya, "Orang she Co, kau kenal malu tidak, hendak merebut anak orang lain untuk menukar jiwa putramu sendiri? Apakah kau masih ada muka buat menjadi ketua suatu aliran persilatan?"

"Pertanyaan nona memang tepat," sahut Co Cu-bok dengan kepala menunduk. "Co Cu-bok selanjutnya tiada muka buat tancap kaki di kalangan Bu-lim lagi, segera aku akan simpan pedang dan cuci tangan mengasingkan diri."

"Aku melarang kau turun gunung!" bentak Wan-jing pula dengan pedang terhunus.

Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari jauh berkumandang suara suitan orang yang nyaring. Dengan girang Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho berseru, "Itu dia, Lotoa sudah datang!"

Berbareng kedua orang terus melompat pergi sambil bersuit sahut-menyahut ke arah datangnya suara nyaring tadi, hanya sekejap saja keduanya sudah menghilang di balik batu karang sana.

Sebaliknya Yap Ji-nio masih acuh tak acuh sambil menimang-nimang anak di pangkuannya, bahkan ia melirik sekejap kepada Bok Wan-jing, lalu katanya dengan tertawa, "Nona Bok, ternyata kau masih mempunyai jiwa kesatria pula."

Kontan Wan-jing mengirik ketika sinar matanya kebentrok dengan pandangan Yap Ji-nio yang tajam itu, cepat ia tenangkan diri sambil genggam pedangnya kencang-kencang.

Dengan tersenyum Yap Ji-nio berkata pula, "Sepasang matamu ini sungguh sangat jeli, aku ingin sekali bisa bertukar denganmu. Kemarilah, boleh kau cungkil dulu kedua biji matanya itu!"

Ucapan terakhir itu ditujukan kepada Co Cu-bok.

Sebenarnya Co Cu-bok tidak bermaksud memusuhi Bok Wan-jing, tapi putra sendiri berada di bawah cengkeraman orang, terpaksa ia menurut perintah. Begitu pedang bergerak, segera ia membentak, "Nona Bok, lebih baik kau turut pada perintah Yap Ji-nio saja, supaya tidak lebih banyak menderita siksaan."

Sambil berkata, segera ia menusuk.

"Manusia hina!" damprat Bok Wan-jing sambil menangkis. "Trang", kedua pedang saling beradu, tapi ujung pedang si gadis tahu-tahu menyelonong ke bahu musuh.

Tipu serangan ini sebenarnya hanya pura-pura belaka, maka sesudah tiga jurus, ia sengaja geser tubuh sedikit, sekonyong-konyong tiga panah berbisa dibidikkan ke belakang mengarah Yap Ji-nio.

Serangan itu sangat keji dan di luar dugaan, Bok Wan-jing berharap dapat mengenai sasarannya dalam keadaan musuh tidak berjaga-jaga.

"Jangan melukai putraku!" demikian Co Cu-bok menjerit khawatir.

Di luar dugaan, walaupun meluncurnya ketiga panah itu cepat luar biasa, tapi hanya sekali Yap Ji-nio kebas lengan bajunya, semua panah itu sudah disampuk jatuh ke samping. Berbareng itu sekenanya ia copot sebelah sepatu kecil yang dipakai Co San-san, terus ditimpukkan ke punggung Bok Wan-jing.

Mendengar sambaran angin dari belakang, cepat Wan-jing putar pedangnya menangkis ke belakang, namun biarpun menyerempet batang pedang, sepatu kecil itu tetap meluncur ke depan, "plak", tepat pinggang Bok Wan-jing tertimpuk.

Ternyata Yap Ji-nio telah memakai daya efek dalam sambitannya. Dalam keadaan sudah terluka, cepat Bok Wan-jing mengerahkan tenaga dalam untuk bertahan.

Sementara itu sepatu kedua sudah disambitkan lagi oleh Yap Ji-nio, sekali ini dengan tepat mengenai punggung Bok Wan-jing. Pandangan Wan-jing menjadi gelap, tak tertahan lagi ia jatuh terkulai ke tanah.

Kesempatan itu segera digunakan Co Cu-bok, ujung pedangnya mengancam di dada si gadis, sedang tangan lain diulur hendak mencolok biji mata Bok Wan-jing.

Dalam keadaan tak berdaya, Wan-jing hanya menjerit tertahan sekali, "O, Toan-long!"

Sekonyong-konyong ia menubruk maju memapak ujung pedang lawan. Nyata ia sudah bertekad daripada menderita siksaan dicukil matanya, lebih baik mati di ujung pedang saja.

Syukurlah pada saat itu juga sekonyong-konyong menyambar tiba sinar kilat, tahu-tahu pedang yang dipegang Co Cu-bok itu mencelat ke udara, begitu hebat daya pental itu sampai ketua Bu-liang-kiam itu ikut sempoyongan ke belakang dan hampir-hampir terjungkal.

Keruan ketiga orang di atas puncak itu kaget semua. Berbareng mereka berpaling ke arah pedang yang mencelat ke atas itu.

Kiranya pedang itu terlilit oleh seutas tali pancing ikan yang panjang, ujung tali pancing itu adalah sebatang galah bambu, pemegangnya adalah seorang nelayan yang memakai caping dan bermantel ijuk.

Usia nelayan itu kira-kira 30 tahun, gagah berwibawa dan sedang tertawa dingin.

Segera Yap Ji-nio dapat mengenalnya sebagai orang yang tempo hari bertempur dengan In Tiong-ho, ilmu silatnya tidak lemah, tapi kalau dibanding dirinya masih selisih setingkat, maka ia tidak perlu takut. Cuma tak diketahuinya, apakah seorang kawannya yang lain ikut datang atau tidak?

Ketika ia melirik, benar juga segera tertampak seorang laki-laki berbaju pendek dan bersepatu rumput sudah berdiri di sebelah kiri sana. Pada pinggang laki-laki ini terikat seutas tali rumput yang kasar, di tengah tali itu terselip sebatang kapak pendek.

Sedang Yap Ji-nio hendak buka suara, tiba-tiba terdengar pula ada suara keresek perlahan di belakangnya. Cepat ia berpaling. Maka tertampaklah di sana-sini masing-masing juga sudah berdiri pula seorang.

Yang di sisi sana berdandan sebagai sastrawan, tangan kanan membawa kipas lempit, tangan kiri menggenggam segulung buku. Dan yang berdiri di sebelah sini adalah seorang laki-laki berkaki telanjang, alisnya tebal, matanya besar, pundaknya memanggul cangkul garuk bergigi lima. Keempat orang terbagi pada empat jurusan hingga berbentuk mengepung.

Diam-diam Yap Ji-nio pikir, "Jika ilmu silat keempat orang ini setara, seorang diri mungkin aku tak sanggup

melawan mereka. Baiknya Lotoa berada di sekitar sini, kalau mendengar suaraku, tentu segera datang. Biarlah orang-orang ini kubereskan dahulu, agar kelak kalau menyerbu istana Tayli bisa banyak menghemat tenaga."

Tapi sebelum ia berteriak, tiba-tiba terdengar Co Cu-bok berseru, "Eh, keempat tokoh 'Hi-jiau-keng-dok' dari istana telah datang semua, terimalah hormatku Co Cu-bok dari Bu-liang-kiam ini!"

Sembari berkata ia terus memberi hormat kepada keempat laki-laki itu.

Hanya si sastrawan tadi yang membalas hormat dengan sopan, sedang ketiga laki-laki lainnya hanya diam saja tak menggubris.

Tiba-tiba si nelayan tertawa dingin sambil menggoyang-goyangkan alat pancingnya hingga pedang Co Cu-bok yang masih terlilit tali pancing itu berkilat-kilat oleh sinar sang surya, lalu ejeknya, "Huh, 'Bu-liang-kiam' kan juga suatu aliran persilatan terkemuka di negeri Tayli ini, sungguh tidak nyana bahwa Ciangbunjinnya justru adalah seorang yang begini rendah memalukan. Bagaimana dengan Toan-kongcu? Di mana dia?"

Dalam keadaan putus asa dan sudah bertekad untuk mati, kini tiba-tiba datang penolong, tentu saja Bok Wanjing sangat girang, kini mendengar pula orang menanyakan Toan-kongcu, keruan ia tambah menaruh perhatian.

Maka terdengarlah jawaban Co Cu-bok, "Toan-kongcu? Ya, beberapa hari yang lalu memang pernah kulihat Toan-kongcu, dia ... dia berada bersama dengan ... dengan nona ini."

Segera pandangan si nelayan beralih kepada Bok Wan-jing dengan penuh tanda tanya.

Maka kata Wan-jing, "Tadinya Toan-kongcu berada di atas puncak karang sana, tapi selama beberapa hari ini ia menghilang, mati-hidupnya tidak diketahui."

Nelayan itu mengamat-amatinya sejenak, lalu membentak, "Jadi engkau inilah Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing yang terkenal jahat itu? Di manakah Kongcuya kami? Lekas katakan!"

Semula sebenarnya Bok Wan-jing rada suka pada si nelayan karena kata-katanya yang sangat memerhatikan dirinya Toan Ki. Tapi kini mendadak dirinya dibentak dan ditanya seperti pesakitan, seakan-akan dirinya dituduh membikin celaka Toan Ki.

Dasar watak Bok Wan-jing memang juga angkuh, mana ia sudi dihina seperti itu. Kontan ia balas tertawa dingin dan menjawab, "Siapakah kau? Berani kau tanya aku dengan sikap demikian?"

Nelayan itu menjadi gusar, katanya, "Kau malang melintang di wilayah Tayli, membunuh orang dengan semena-mena, memang sudah lama kami ingin mencari kau. Sekarang kebetulan bisa bertemu di sini, jika kau mengaku terus terang di mana beradanya Toan-kongcu, urusan dapat diakhiri dengan mudah, kalau tidak, hm, hm!"

"Toan Ki sudah dibinasakan oleh kawan perempuan itu," seru Wan-jing tiba-tiba sambil menuding Yap Ji-nio, lalu menyambung, "Orang itu katanya bernama 'Kiong-hiong-kek-ok' In Tiong-ho, tubuhnya tinggi kurus bagai galah bambu ...."

Nelayan itu sangat terkejut, bentaknya memotong, "Apa benar katamu ini? Benar-benar orang itu yang membunuh Toan-kongcu?"

Di antara keempat laki-laki itu, si petani yang membawa pacul garuk itu berwatak paling berangasan. Demi mendengar Toan Ki sudah mati, seketika ia menangis keras-keras, serunya, "Toan-kongcu, biarlah kubalaskan sakit hatimu!"

Berbareng garuknya terus menyambar kepala Yap Ji-nio.

Namun sekali mengegos Yap Ji-nio dapat menghindar, tanyanya dengan tertawa, "Apa engkau ini Tiam-jongsan-long di antara 'Hi-jiau-keng-dok' itu?"

"Benar! Rasakan dulu garukku ini!" sahut petani itu sambil menyerampang pula dengan senjatanya yang khas itu.

Beberapa hari yang lalu Yap Ji-nio pernah menyaksikan si nelayan dan si tukang kayu menempur In Tiong-ho, kini berhadapan sendiri dengan Tiam-jong-san-long atau si petani dari pegunungan Tiam-jong, nyata memang sangat hebat kedua kali serangan tadi.

Mendadak Yap Ji-nio tertawa terkekeh-kekeh. Tapi hanya beberapa kali tertawa, tiba-tiba suara tawa itu berubah menjadi menangis sambil sesambatan, "Aduh, 'Hi-jiau-keng-dok' keempat anakku dari negeri Tayli, kalian telah mati semua dalam usia pendek, sungguh ibumu ini sedih tak terhingga! O, anak-anakku, tunggulah ibumu Yap Ji-nio ini di akhirat!"

Padahal tokoh 'Hi-jiau-keng-dok' atau si nelayan, si tukang kayu, si petani dan si sastrawan, semuanya berusia setaraf dengan Yap Ji-nio. Tapi kini ia sendiri menyebut sebagai ibu mereka, sambil sesambatan, "O, anakanakku sayang" dan sebagainya. Keruan Tiam-jong-san-long menjadi gusar, ia mainkan pacul garuknya terlebih kencang hingga berwujud segulung kabut putih yang mengurung rapat lawannya.

Namun Yap Ji-nio tidak balas menyerang, ia tetap peluk Co San-san sambil berkelit kian kemari, betapa pun kencang Tiam-jong-san-long memutar garuknya, tetap tak bisa menyenggol ujung baju lawannya.

Sebaliknya ratap tangis Yap Ji-nio masih tetap berkumandang dengan sedih memilukan, suaranya makin lama makin keras.

Tiba-tiba hati Bok Wan-jing tergerak, serunya segera, "He, dia sedang memanggil kawan-kawannya. Kalau 'Thian-he-su-ok' (empat durjana di dunia) datang semua, mungkin kalian tak sanggup melawannya."

Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari balik gunung sana berkumandang suara seruling yang nyaring merdu hingga suara tangis Yap Ji-nio yang memilukan itu terpengaruh seakan-akan paduan suara dari dua nada yang tinggi dan rendah.

Diam-diam Bok Wan-jing terkejut, "Jangan-jangan orang jahat nomor satu di jagat ini sudah datang sekarang."

Dalam pada itu si tukang kayu sudah cabut kapak pendek dari pinggangnya terus membentak, "Bu-ok-put-cok Yap Ji-nio memang tidak bernama kosong, biarlah aku 'Jay-sin-khek' (si Tukang Pencari Kayu) belajar kenal dengan kepandaianmu."

Habis berkata, segera ia membuka serangan dengan cepat.

Ternyata ilmu kepandaian si tukang kayu itu adalah 'Boan-kin-co-ciat-cap-pek-poh' atau 18 jurus ilmu permainan kapak pembabat akar, ia mengapak ke sini dan ke sana, yang diincar selalu bagian bawah musuh.

"Hah, bocah ini hanya mengganggu saja. Ini, boleh kau bacok mati dia!" ujar Yap Ji-nio dengan tertawa sambil sodorkan Co San-san ke arah kapak.

Keruan Jay-sin-khek terkejut, lekas ia tarik kembali senjatanya. Tak terduga, sedikit ayal itulah ia sendiri harus telan pil pahit, mendadak Yap Ji-nio ayun kakinya mendepak hingga tepat kena pundaknya. Syukur perawakan Jay-sin-khek kekar kuat, hingga depakan itu hanya membuatnya terhuyung-huyung dan tidak sampai terluka.

Dan dengan memperalat anak itu sebagai tameng, Tiam-jong-san-long dan Jay-sin-khek menjadi rada repot, pada waktu menyerang mereka menjadi ragu-ragu. Apalagi dari samping Co Cu-bok bergembar-gembor, "Awas anakku! Jangan melukai anakku!"

Sedang pertarungan itu berlangsung dengan sengit, terdengar suara seruling tadi semakin mendekat. Dari balik karang sana muncul seorang laki-laki berjubah longgar dan bertali pinggang kendur. Kedua tangan memegang sebuah seruling kemala sedang ditiup dengan asyiknya.

Bok Wan-jing melihat orang ini berjenggot cabang tiga, mukanya tampan, kulit badannya putih bagai salju, jari-jarinya yang memegang suling itu tampak sama putihnya dengan kulit mukanya.

Menampak datangnya orang itu, dengan langkah cepat si sastrawan tadi terus mendekati dan bisik-bisik berbicara dengan dia dengan sangat hormat. Tapi orang itu masih terus meniup serulingnya, hanya sinar matanya yang tampak mengerling ke arah Bok Wan-jing.

"Kiranya orang ini adalah segolongan dengan keempat tokoh Hi-jiau-keng-dok ini," demikian Bok Wan-jing membatin.

Dalam pada itu, sambil masih meniup seruling, perlahan orang itu lantas mendekati Yap Ji-nio bertiga yang masih bertempur dengan seru itu.

Meski si tukang kayu ayun kapaknya begitu keras dan Tiam-jong-san-long putar garuknya begitu kencang, namun orang itu seakan-akan tidak melihatnya saja, mendadak suara serulingnya meninggi keras hingga anak telinga semua orang serasa pekak.

Dan sekali jari-jari orang itu menutup rapat lubang-lubang serulingnya dan meniupnya dengan keras, tahu-tahu dari ujung seruling menyembur keluar serangkum angin tajam ke muka Yap Ji-nio.

Dalam kagetnya, Yap Ji-nio cepat menghindar, namun pada saat lain, ujung seruling lawan tahu-tahu sudah mengancam tenggorokannya.

Dua kali serangan itu dilakukan dengan kecepatan dan kegesitan yang mengejutkan, biarpun Yap Ji-nio dapat berkelit dengan cepat, tidak urung ia merasa kerepotan juga. Dalam seribu kerepotannya itu, ia paksakan diri

mendoyong badan bagian atas ke belakang untuk menghindari tutukan seruling yang mengancam tenggorokan itu.

Tak tersangka, mendadak Koan-bau-khek atau si jubah longgar itu, menggunakan tenaga dalam dengan seruling menimpuk ke ulu hati Yap Ji-nio yang sedang mendoyong itu.

Dalam keadaan demikian, Yap Ji-nio tidak berani sembrono lagi, segera ia lemparkan Co San-san ke tanah dan ulur tangan hendak merampas seruling orang. Namun sekali Koan-bau-khek kebas lengan bajunya yang longgar itu, anak itu kena digulung olehnya, katanya, "Serahkan sini!"

Sambil berkata, ia pun angsurkan tangan kirinya.

Saat itu tepat Yap Ji-nio baru saja dapat memegang seruling yang diluncurkan pemiliknya, seketika ia merasa seruling itu panas seperti dibakar, hal ini benar-benar di luar dugaan Yap Ji-nio, pikirnya, "Jangan-jangan seruling ini dipoles racun?"

Maka cepat ia lepas tangan dan tak jadi merampasnya.

Dalam pada itu tangan kiri Koan-bau-khek yang terulur tadi tepat dapat merebut kembali serulingnya, sekalian ia terus sodokkan senjata itu ke bahu Yap Ji-nio, berbareng lengan bajunya yang menggulung Co San-san itu dikipratkan hingga bocah itu terlempar ke arah Co Cu-bok. Dengan tersipu-sipu cepat Co Cu-bok menangkap putranya itu.

Dua gerakan Koan-bau-khek, merebut anak dan menyerang musuh itu dilakukannya dengan cepat dan sewajarnya tanpa dipaksakan, gayanya indah, sasarannya jitu, sampai Bok Wan-jing pun ternganga saking kagumnya.

Yap Ji-nio sendiri, ketika orang menangkap kembali serulingnya tadi, sekilas dapat melihat telapak tengah Koan-bau-khek itu merah membara, ia menjadi kaget, "Jangan-jangan dia sudah berhasil meyakinkan Cu-se-jiu (tangan pasir merah) yang sudah lama hilang di kalangan Bu-lim itu? Jika demikian, terang di atas serulingnya bukannya dipoles dengan racun, tapi adalah tenaga dalamnya yang lihai itu telah membakar serulingnya hingga panasnya mirip habis dikeluarkan dari tungku."

Maka cepat ia mundur beberapa tindak, lalu katanya dengan tertawa, "Wah, ilmu silat saudara sungguh hebat. Tidak nyana bahwa di wilayah Tayli ini masih ada tokoh lihai begini. Numpang tanya siapakah namamu yang terhormat?"

Si jubah longgar hanya tersenyum saja, sahutnya, "Atas kunjungan Ji-nio ke wilayah kami ini, harap maaf kami tidak menyambut sebelumnya. Biarpun negeri Tayli ini hanya negeri kecil dan rakyatnya miskin, tapi sepantasnya memenuhi juga sekadar kewajiban sebagai tuan rumah."

Dalam pada itu Co Cu-bok yang sudah mendapatkan kembali putranya dengan selamat, dalam girang dan herannya itu, tiba-tiba teringat seseorang olehnya, pikirnya, "Dilihat dari wajahnya, orang ini memang mirip benar dengan tokoh yang sering dibuat cerita itu, tapi beliau mengapa bisa berkecimpung di kalangan Kangouw lagi?"

Namun begitu, tak tertahan juga rasa ingin tahunya, segera ia tanya, "Apakah tuan ini adalah ... adalah Kohouya?"

Si jubah longgar itu tidak menjawab benar atau tidak, tapi lantas berkata kepada Yap Ji-nio, "Di manakah Toan-kongcu kami, bagaimana keadaannya, harap suka memberi tahu?"

"Aku tidak tahu," sahut Ji-nio dengan tertawa dingin. "Andaikan tahu juga takkan kukatakan."

Habis itu, sekonyong-konyong ia melayang turun ke bawah gunung.

"Nanti dulu!" seru si jubah longgar terus mengudak. Tapi mendadak pandangannya menjadi silau, tahu-tahu senjata rahasia musuh bagai hujan menghambur ke arahnya. Cepat ia putar serulingnya, sebagian senjata gelap itu dapat dihindari, sebagian lagi kena dipukul jatuh dengan seruling. Namun tangannya terasa pegal juga terbentur oleh sambitan senjata gelap yang kuat itu, diam-diam ia membatin, "Sungguh hebat perempuan ini."

Sementara itu Yap Ji-nio sudah sempat melayang pergi bagai hantu cepatnya, untuk mengejarnya terang tak keburu lagi. Ketika senjata gelap tadi ditegasi, ternyata terdiri dari macam-macam bentuk mainan. Segera Koan-bau-khek teringat, "Ya, barang-barang ini tentu diperolehnya dari anak-anak yang menjadi korbannya. Penyakit ini kalau tak dibasmi, entah betapa banyak anak kecil di negeri Tayli ini akan dicelakai pula!"

Di sebelah sana, si nelayan lantas ayun pancingnya hingga pedang yang terlilit oleh tali pancingnya mendadak mencelat ke arah Co Cu-bok dengan gagang pedang di depan. Dengan gugup, cepat Co Cu-bok menangkap pedangnya sendiri itu dengan wajah merah malu.

Lalu nelayan itu berpaling kepada Bok Wan-jing dan membentaknya dengan bengis, "Sebenarnya bagaimana keadaan Toan-kongcu? Apa benar telah dicelakai oleh In Tiong-ho?"

Walaupun dalam hati Bok Wan-jing rada mendongkol karena dibentak, tapi pikirnya, "Ilmu silat orang-orang ini sangat tinggi, tampaknya mereka adalah kawannya Toan-long. Biarlah kukatakan apa yang sebenarnya kepada mereka agar bersama-sama mereka bisa mencarinya ke sekitar jurang sana."

Tapi sebelum ia buka suara, tiba-tiba di bawah gunung sana ada suara teriakan seorang, "Bok-kohnio ... Bokkohnio ... apakah engkau berada di sini?... Lam-hay-gok-sin, aku sudah datang, jangan engkau bikin susah Bok-kohnio!"

Mendengar suara itu, Koan-bau-khek dan kawan-kawannya itu tampak kegirangan luar biasa. Berbareng mereka berkata, "Itulah Kongcuya!"

Memang benar itulah suara Toan Ki. Dengan susah payah Bok Wan-jing telah menanti tujuh-hari tujuh-malam, kini mendadak mendengar suara orang yang diharapkan itu, saking girang dan kejutnya, sekonyong-konyong pandangannya terasa gelap terus jatuh pingsan ....

Dalam keadaan sadar tak sadar, ia dengar ada suara orang menyebut namanya, "Bok-kohnio! Aku sudah berada di sini, lekas engkau siuman!"

Perlahan Bok Wan-jing siuman kembali, ia merasa dirinya berada di dalam pelukan orang, seketika ia ingin melompat bangun, tapi lantas teringat olehnya, "Ah, ini Toan-long yang memeluk aku."

Dengan rasa manis madu bercampur masam getir, perlahan ia membuka matanya, segera tertampak sepasang mata jeli yang berkilau-kilau sedang memandang padanya, siapa lagi dia kalau bukan Toan Ki.

"Hura, akhirnya engkau siuman juga!" demikian Toan Ki berseru girang.

Sementara itu Bok Wan-jing tak dapat lagi menahan air matanya yang bercucuran bagai hujan. Mendadak ia baliki tangannya, "plok", kontan ia persen Toan Ki sekali tamparan. Meski ia menggampar Toan Ki sekali, tapi badannya masih tetap berada dalam pangkuan pemuda itu, seketika ia pun tiada tenaga untuk melompat bangun.

Sejenak Toan Ki melongo sambil meraba-raba pipi yang ditampar itu, kemudian katanya dengan tertawa, "Kenapa engkau selalu suka memukul orang? Sungguh tiada nona sewenang-wenang seperti engkau ini!"

Habis ini, mendadak wajahnya berubah muram dan tanya, "Di manakah Lam-hay-gok-sin? Kenapa dia tidak menungguku di sini?"

"Orang sudah menunggu selama tujuh-hari tujuh-malam, apa masih belum cukup?" sahut Wan-jing. "Dia sudah pergi sekarang!"

Seketika Toan Ki berubah girang, serunya, "Bagus, bagus! Aku justru khawatir setengah mati. Bila dia paksa aku mengangkat guru padanya, kan runyam?"

"Dan kalau engkau tidak suka menjadi muridnya, kenapa kau datang lagi ke sini?" tanya Wan-jing.

"Eh, lalu bagaimana dengan dirimu?" sahut Toan Ki. "Bukankah engkau berada di bawah cengkeramannya. Kalau aku tidak datang kemari, dia tentu akan bikin susah padamu, mana aku tega tinggal diam?"

Hati Wan-jing terasa bahagia, katanya pula, "Hm, engkau ini sungguh jahat, ingin sekali kutusuk membinasakanmu. Coba katakan, sebab apa tidak lambat dan tidak telat engkau justru datang pada saat sudah mendapat bala bantuan dan musuh sudah pergi, lalu berlagak kesatria hendak menolong aku? Kenapa selama tujuh-hari tujuh-malam engkau tidak datang mencariku?"

Toan Ki menghela napas, sahutnya, "Sudah tentu engkau tidak tahu bahwa selama itu aku berada di bawah cengkeraman orang dan tak bisa berkutik. Padahal siang dan malam aku selalu merindukan dirimu, sungguh aku khawatir setengah mati, coba kalau aku bisa melepaskan diri, tentu sejak tadi aku sudah datang. Nona Bok, apakah lukamu sudah sembuh? Orang jahat itu tidak ... tidak menganiaya engkau bukan?"

"Pernah apa aku dengan engkau? Kenapa masih panggil nona apa segala terus-menerus?" omel Wan-jing.

Melihat paras si gadis yang kemerah-merahan dan semakin menambah kecantikannya, perasaan Toan Ki terguncang hebat. Sesungguhnya selama tujuh hari ini ia memang sangat merindukan gadis itu. Tak tertahan lagi ia merangkul lebih erat dan berkata, "Baiklah, Wan-jing, Wan-jing! Kupanggil demikian padamu, suka tidak engkau?"

Habis itu, terus saja ia tunduk kepala ke bawah hendak mencium bibir si nona.

Keruan Bok Wan-jing kaget, ia menjerit sekali sambil melompat bangun dengan wajah merah, serunya, "Ada orang luar di sini? Mana boleh engkau .... He, di manakah orang-orang itu?"

Waktu ia perhatikan, ternyata di sekitar situ sudah tidak kelihatan lagi bayangan Koan-bau-khek alias si jubah longgar bersama keempat jago Hi-jiau-keng-dok itu.

"Siapakah yang berada di sini? Apakah Lam-hay-gok-sin?" tanya Toan Ki dengan wajah menampilkan rasa takut pula.

"Sudah berapa lama engkau berada di sini?" tanya Wan-jing.

"Baru saja, belum lama," sahut Toan Ki. "Begitu aku naik ke sini lantas kulihat engkau rebah tak sadarkan diri di sini, kecuali itu, tiada lagi bayangan orang lain. He, Wan-jing, marilah kita lekas pergi, jangan-jangan nanti akan tertawan pula oleh Lam-hay-gok-sin yang jahat itu!"

"Baiklah!" sahut Wan-jing. Lalu ia bergumam sendiri, "Aneh, hanya sekejap saja mengapa sudah menghilang semua?"

Saat itulah tiba-tiba dari balik batu karang sana terdengar seorang sedang bersenandung, lalu muncul seorang yang membawa kipas dan buku, itulah dia si sastrawan dari empat tokoh "Hi-jiau-keng-dok."

"Cu-heng!" seru Toan Ki girang.

Cepat sastrawan itu masukkan kitab dan kipasnya ke dalam baju, lalu memburu maju dan menjura kepada Toan Ki sambil berkata dengan girang, "Kongcuya, syukur engkau dalam keadaan selamat, tadi ketika mendengar ucapan nona ini, sungguh kami khawatir tak terhingga!"

Dengan ramah Toan Ki membalas hormat orang, sahutnya, "Jadi kalian sudah bertemu tadi? Ken ... kenapa baru sekarang muncul? Sungguh sangat kebetulan!"

"Kami berempat saudara diperintahkan menjemput Kongcuya pulang dan bukannya bertemu secara kebetulan," ujar si sastrawan. "Kongcuya, engkau juga terlalu gegabah, seorang diri merantau Kangouw, untunglah kami mencari ke rumah Be Ngo-tek, lalu menyusul ke Bu-liang-san sini, selama beberapa hari kami benar-benar teramat khawatir."

"Banyak juga penderitaan yang kurasakan," ujar Toan Ki tertawa. "Paman dan ayah tentu marah-marah

bukan?"

"Sudah tentu," sahut si sastrawan. "Cuma pada waktu kami berangkat, kedua junjungan sudah reda marahnya dan sebaliknya merasa khawatir atas diri Kongcuya, kemudian Sian-tan-hou juga mendapat berita kedatangan Su-tay-ok-jin ke Tayli sini, beliau khawatir kalau Kongcuya dipergoki mereka, maka beliau sendiri pun ikut datang mencari engkau."

"Su-tay-ok-jin apa? Jadi Ko-sioksiok juga ikut datang mencariku? Ah, aku jadi tak enak, di manakah beliau sekarang?"

"Barusan kami berada di sini semua," sahut si sastrawan. "Ko-houya telah berhasil mengusir seorang wanita jahat, dan ketika mendengar suara datangnya Kongcuya, mereka merasa lega dan suruh aku menunggu engkau di sini, sedang mereka pergi menguber si wanita jahat itu. Kongcuya, marilah sekarang juga kita pulang ke istana agar tidak dibuat beban pikiran lebih lama oleh kedua tuan besar."

"Kiranya sejak tadi engkau sudah berada di sini," ujar Toan Ki kikuk. Teringat olehnya apa yang dia bicarakan dengan Bok Wan-jing yang meresap tadi, semua itu tentu telah didengar juga oleh sastrawan ini, tak tertahan lagi wajahnya menjadi merah jengah.

"Tadi aku lagi asyik membaca syair indah gubahan Ong Jiang-ling yang penuh semangat itu, di luar dugaan Kongcuya sudah lama berada di sini," demikian kata si sastrawan dengan maksud menghilangkan rasa malu Toan Ki.

Maka dengan masih rada kikuk Toan Ki berpaling kepada Bok Wan-jing dan berkata, "Bok ... Bok-kohnio, ini adalah Cu Tan-sin, Cu-siko, dia adalah kawanku yang paling karib."

Segera Cu Tan-sin melangkah maju dan memberi hormat kepada si nona, katanya, "Terimalah hormat Cu Tansin, nona!"

Dengan ramah Wan-jing membalas hormat, ia menjadi senang melihat orang begitu merendah padanya, sahutnya, "Cu-siko, engkau sungguh sangat ramah, tidak seperti kawan-kawanmu tadi yang kasar dan bengis itu."

Cu Tan-sin tertawa, katanya, "Ketiga saudaraku itu tentu khawatir karena mendengar berita buruk atas diri Kongcuya, maka ucapannya rada kurang sopan, harap nona suka memaafkan."

Dalam hati Cu Tan-sin heran juga, kejahatan "Hiang-yok-jeh" paling akhir ini sering didengar olehnya, tak terduga olehnya bahwa tokoh itu ternyata seorang gadis sedemikian cantiknya. Ia menjadi khawatir atas Kongcuya yang masih muda dan belum berpengalaman itu akan tenggelam dalam pengaruh kecantikan si nona hingga akhirnya merusak nama baik sendiri.

Cu Tan-sin adalah seorang yang lihai, biarpun diam-diam ia sudah waspada kepada Bok Wan-jing, tapi lahirnya ia tidak mengunjuk sesuatu tanda, bahkan dengan tertawa ia berkata, "Kedua tuan besar sangat mengkhawatirkan diri Kongcuya, maka hendaknya Kongcuya lekas pulang saja. Bila Bok-kohnio juga tiada urusan lain, silakan ikut bertamu ke rumah Kongcu barang beberapa hari."

Ia menduga melulu kekuatan sendiri mungkin tak mampu mengatasi Bok Wan-jing, tapi kalau nona ini juga diajak pulang tentu Toan Ki akan merasa senang.

Dengan ragu Toan Ki menyahut, "Tapi cara bagaimana aku ... aku harus berkata pada paman dan ayah?"

Wajah Bok Wan-jing menjadi merah, cepat ia berpaling ke arah lain.

"Kudengar bahwa ilmu silat Su-tay-ok-jin itu sangat tinggi, tadi meski Sian-tan-hou dapat mengenyahkan Yap Ji-nio yang jahat itu pun berkat serangan di luar perhitungan musuh. Demi keselamatan Kongcuya, marilah kita lekas berangkat saja," demikian kata Cu Tan-sin pula.

Bila ingat betapa buasnya Lam-hay-gok-sin, kembali Toan Ki merinding. Ia manggut dan berkata, "Baiklah, mari kita berangkat. Cu-siko, jika musuh terlalu lihai, lebih baik engkau pergi membantu Ko-sioksiok saja, biar aku pulang sendiri bersama nona Bok."

"Tidak," sahut Cu Tan-sin. "Dengan susah payah akhirnya Kongcuya dapat kutemukan, sepantasnya aku mengawal engkau pulang. Betapa tinggi kepandaian nona Bok, memang sudah lama juga kukagumi. Cuma melihat keadaannya, agaknya lukanya masih belum pulih sama sekali, bila di tengah jalan nanti kepergok musuh lagi, tentu akan susah, maka lebih baik Cayhe mengawal pulang saja."

Sebenarnya Toan Ki tidak ingin langsung pulang, tapi sekali sudah diketemukan Cu Tan-sin, untuk minggat lagi terang tidak gampang. Terpaksa ia menurut dan bertiga lantas turun ke bawah gunung.

Dalam hati Bok Wan-jing ingin sekali tanya Toan Ki ke mana perginya selama tujuh-hari tujuh-malam, cuma Cu Tan-sin berada di samping mereka, untuk bicara rasanya kurang leluasa, terpaksa ia bersabar sebisanya.

Tan-sin membawa ransum kering, di tengah jalan ia keluarkan dan dibagikan kepada Toan Ki dan Wan-jing.

Sampai di bawah gunung, tertampaklah di bawah pohon tertambat lima ekor kuda bagus, itulah kuda tunggangan rombongan Jay-sin-khek.

Segera Tan-sin membawakan tiga ekor di antaranya, ia silakan Toan Ki dan Wan-jing naik dulu, kemudian ia sendiri mencemplak ke atas kuda yang lain terus mengikut dari belakang.

Malamnya mereka bertiga menginap di suatu hotel kecil dan masing-masing mendiami sebuah kamar. Setelah tutup kamar, Bok Wan-jing duduk termangu-mangu bertopang dagu menghadapi api lilin di atas meja, pikirnya, "Tanpa menghiraukan keselamatan sendiri Toan-long sudi datang sendiri mencari aku, suatu tanda cintanya yang mendalam padaku. Sebaliknya selama beberapa hari ini dalam hatiku selalu menyumpahi dia berhati palsu segala, nyata aku telah keliru menyalahkan dia.

"Melihat sikap Cu Tan-sin yang sangat hormat, agaknya Toan-long kalau bukan putra keluarga bangsawan, tentu adalah angkatan muda dari tokoh persilatan terkemuka. Seorang nona seperti aku meski sudah bertunangan dengan dia, tapi begini saja aku lantas ikut pulang ke rumahnya, betapa pun aku merasa kikuk.

"Tampaknya ayah dan pamannya juga sangat bengis padanya, bila nanti aku pun dihina olehnya, lantas bagaimana baiknya? Hm, paling-paling kulepaskan panah beracun untuk membunuh mereka semua, hanya Toan-long seorang yang kubela."

Selagi berpikir cara bagaimana kelak akan mengganas, tiba-tiba terdengar suara keletakan perlahan dua kali di daun jendela. Cepat Bok Wan-jing ayun tangannya hingga api lilin tersirap.

Maka terdengarlah suara Toan Ki lagi berkata perlahan di luar jendela, "Akulah, nona Bok!"

Mendengar pemuda itu tengah malam datang ke kamarnya, hati Wan-jing menjadi berdebar-debar, dalam kegelapan ia merasa wajahnya merah membara. Dengan berbisik ia coba tanya, "Ada urusan apa?"

"Bukalah jendelamu, biar kukatakan padamu," sahut Toan Ki.

"Tidak, aku tak mau buka," ujar si nona. Sungguh aneh, dengan ilmu silatnya yang sangat tinggi itu, biasanya ia tidak gentar pada siapa pun juga, tapi kini ia merasa jeri hanya kepada seorang pelajar yang lemah, sungguh ia sendiri pun tidak tahu apa sebabnya.

Toan Ki heran juga mengapa si gadis tak mau membuka jendela, segera ia membisiki lagi, "Jika begitu, lekas engkau keluar, kita harus segera berangkat."

Mendengar itu, cepat Wan-jing bertanya lagi, "Sebab apa?"

"Cu-siko sedang tidur nyenyak, jangan kita bikin mendusin dia, aku tidak ingin pulang!" demikian kata Toan Ki.

Wan-jing menjadi girang, ia memang sedang khawatir cara bagaimana nanti kalau bertemu dengan ayah-bunda pemuda itu. Kini diajak minggat, tentu saja ia akur tanpa syarat. Segera ia buka jendela perlahan, lalu melompat keluar.

"Ssst! Perlahan, jangan sampai diketahui Cu-siko!" demikian Toan Ki mendesis. "Kau tunggu di sini, biar kupergi mengambil kuda."

Tapi Wan-jing lantas menggoyang tangannya, sekali ia rangkul pinggang Toan Ki, ia terus lompat ke atas rumah dan melayang keluar tembok sana. Katanya kemudian, "Jangan kita naik kuda, suara lari kuda akan mengejutkan Cu-sikomu."

"Benar juga, cermat sekali engkau," sahut Toan Ki dengan tertawa.

Maka dengan bergandengan tangan mereka cepat berjalan ke arah timur. Setelah beberapa li jauhnya tidak terdengar orang mengejar, mereka merasa lega. Kata Bok Wan-jing, "Sebab apa engkau tidak suka pulang?"

"Begitu pulang, tentu paman dan ayah akan menyekap aku dan dilarang keluar lagi," sahut Toan Ki. "Dan untuk bertemu lagi dengan engkau tentu susah."

Senang sekali hati Bok Wan-jing mendengar pernyataan itu, katanya, "Engkau tidak suka pulang, itulah sangat baik, biarlah mulai sekarang kita merantau, bukankah kita bisa hidup bebas tenteram? Dan sekarang kita harus pergi ke mana?"

"Pertama kita harus menghindari pengejaran Cu-siko, Ko-sioksiok dan lain-lain," sahut Toan Ki. "Lalu kita menghindari Lam-hay-gok-sin yang buas itu."

"Benar," kata Wan-jing. "Paling baik kita menuju ke barat-laut, kita memondok dulu di rumah seorang desa untuk menghindari pengejaran, lewat belasan hari kemudian, kalau luka di pundakku sembuh sama sekali, tentu kita takkan khawatir lagi terhadap apa pun."

Segera mereka berdua membelok ke arah barat-laut dengan cepat, di tengah jalan mereka tak berani berhenti dan banyak bicara, harapan mereka adalah semakin jauh meninggalkan Bu-liang-san, semakin baik.

Sampai fajar menyingsing, sudah sepuluh li mereka tempuh. Kata Wan-jing, "Musuhku terlalu banyak, kalau kita berjalan siang hari tentu akan menarik perhatian orang. Lebih baik kita mencari suatu tempat mengaso, siang hari kita makan-tidur dan malam hari meneruskan perjalanan."

Terhadap urusan-urusan Kangouw, sedikit pun Toan Ki tidak paham, maka sahutnya, "Baiklah, terserah kepada keputusanmu."

"Nanti sehabis kita sarapan, harus kau ceritakan ke mana engkau telah pergi selama tujuh-hari tujuh-malam ini," kata si nona pula. "Tapi kalau kau bohong, hm, awas ...." berkata sampai di sini, mendadak ia berseru heran sambil menuding ke depan.

Ternyata di bawah pohon yang rindang tertambat tiga ekor kuda, di atas sepotong batu besar duduk seorang yang sedang membaca kitab sambil goyang-goyang kepala asyik bersyair. Siapa lagi dia kalau bukan Cu Tansin.

"Wah, celaka!" segera Toan Ki tarik tangan si nona dan diajak lari ke jurusan lain.

Namun Wan-jing cukup paham bahwa rencananya melarikan diri semalam tentu sudah didengar semua oleh Cu Tan-sin. Sastrawan itu menduga Toan Ki tak bisa Ginkang, tentu larinya takkan cepat, maka setelah tahu arah lari mereka, lalu ia naik kuda mengitari jalan lain untuk mengadang di depan.

Maka dengan bekernyit kening Wan-jing berkata, "Tolol, sudah diketahui orang, masakan masih bisa lari lagi?"

Terus saja ia mendekati Cu Tan-sin dan menegur, "Wah, pagi-pagi buta sudah asyik membaca di sini, senang benar tampaknya!"

Tan-sin manggut-manggut sambil tertawa, katanya kepada Toan Ki, "Kongcu, coba terka syair apa yang sedang kubaca?"

Lalu ia keraskan suaranya bersenandung sebait syair.

Selesai mendengarkan, segera Toan Ki menjawab, "Bukankah ini 'bisikan kalbu' gubahan Gui Tin?"

Tan-sin tertawa, katanya, "Pengetahuan Kongcuya sungguh sangat luas dan dalam, Tan-sin merasa sangat kagum!"

Toan Ki dapat memahami maksud syair orang yang mengatakan sebabnya malam buta mau menyusul dan mencarinya, yaitu karena merasa utang budi pada ayah dan pamanmu, maka tidak berani mengecewakan kepercayaan yang kuterima dari beliau-beliau itu.

Maka Toan Ki menjadi rikuh untuk minggat lagi, segera ia ajak Bok Wan-jing ikut pulang.

"Entah jalan yang kami tempuh ini benar tidak menuju ke Tayli?" dengan kikuk Bok Wan-jing tanya.

"Toh tiada urusan penting yang lain, ke timur atau ke barat serupa saja, akhirnya juga sampai di Tayli," sahut Tan-sin.

Kalau kemarin ia memberi Toan Ki seekor kuda yang paling bagus, adalah sekarang kuda bagus itu ia tunggangi sendiri untuk berjaga-jaga kalau pemuda itu melarikan diri lagi dan dirinya tentu akan sukar menyusulnya.

Segera Toan Ki mencemplak ke atas kuda dan berangkat ke jurusan timur. Khawatir pemuda itu mendongkol padanya, sepanjang jalan Tan-sin berusaha membikin senang hatinya dengan mengajak bicara tentang syair dan sastra.

Saking asyiknya Toan Ki dibuai oleh syair, hingga Bok Wan-jing yang berada di sampingnya itu tak terurus.

Keruan gadis itu mendongkol, pikirnya, "Pelajar tolol ini bila sudah asyik bicara tentang syair segala menjadi lupa daratan."

Tidak lama, sampailah mereka di jalan raya. Kemudian mereka berhenti di suatu kedai di tepi jalan untuk sarapan pagi sekadarnya. Baru selesai mereka pesan makanan, tiba-tiba dari luar melangkah masuk pula seorang yang bertubuh tinggi kurus.

Begitu ambil tempat duduk, segera si jangkung itu menggebrak meja sambil membentak, "Lekas bawakan lima kati arak, tiga kati daging rebus, lekas, cepat!"

Mendengar suara orang, tak usah melihat, segera Bok Wan-jing dapat mengenali si jangkung itu pasti In Tiongho adanya. Syukur ia menghadap ke dalam hingga tidak dilihat oleh tokoh jahat keempat itu. Segera ia gunakan jarinya mencelup air kuah untuk menulis nama In Tiong-ho di atas meja.

Tan-sin terkejut, segera ia pun menulis di atas meja, "Lekas berangkat, tak perlu menunggu aku!"

Terus saja Wan-jing berbangkit, ia tarik baju Toan Ki dan diajak menuju ke ruangan belakang.

Sejak masuk tadi, In Tiong-ho lantas duduk menghadap ke luar seperti sedang mengintai orang lewat. Tapi dia sangat cerdik, begitu mendengar ada suara orang bergerak di belakangnya, ia lantas menoleh dan masih keburu melihat bayangan Bok Wan-jing menghilang di balik pintu, segera ia membentak, "Siapa itu? Berhenti!"

Berbareng ia terus berbangkit dan memburu ke belakang.

Saat itu Cu Tan-sin sedang memegangi semangkuk bakmi kuah panas, ia sengaja menjerit keras sekali seakanakan orang kaget, semangkuk bakmi panas itu disiramkan ke muka In Tiong-ho.

Jarak kedua orang memang sangat dekat, gerakan Cu Tan-sin itu sangat cepat pula, ditambah lagi sama sekali In Tiong-ho tak menyangka si sastrawan yang lemah itu mendadak bisa menyerang, pula ruangan kedai itu terlalu sempit untuk menghindar, mendingan juga Ginkangnya sudah mencapai tingkat tiada taranya, dengan cepat ia masih sempat mengegos sedikit hingga semangkuk bakmi panas itu dapat dielakkan sebagian, tinggal isi setengah mangkuk yang tetap mengguyur mukanya hingga pandangannya seketika menjadi kabur.

Dalam gusarnya segera In Tiong-ho mencakar dada Cu Tan-sin dengan niat sekaligus binasakan orang. Tak tersangka, begitu Tan-sin guyurkan bakminya tadi, menyusul ia lantas angkat meja hingga mangkuk piring berhamburan ke arah In Tiong-ho. "Crat," kelima jari In Tiong-ho yang mencakar itu pun menancap di muka meja.

Betapa tinggi ilmu silat In Tiong-ho, karena mendadak diserang ia menjadi kalang kabut juga dan kerepotan.

Lekas ia kerahkan tenaga dalam untuk melindungi tubuh sendiri hingga mangkuk piring yang berhamburan ke badannya itu semua terpental jatuh dan tak melukainya. Namun begitu, bajunya menjadi basah kuyup juga oleh siraman kuah bakmi itu.

Pada saat lain, terdengarlah derap lari kuda yang ramai di luar kedai, ada dua penunggang kuda telah kabur ke utara.

Cepat In Tiong-ho mengusap mukanya yang tersiram bakmi tadi, tapi pada saat itu juga sekonyong-konyong angin tajam menyambar pula, suatu benda keras telah menutuk ke arah dadanya. Cepat ia tarik napas dalamdalam hingga dadanya tertarik mundur beberapa senti, berbareng telapak tangan kiri lantas menebas dan dua jari tangan lain dipakai menjepit kipas orang.

Ruji kipas milik Cu Tan-sin itu terbuat dari baja murni dan merupakan senjata ampuh yang diyakinkan sejak kecil, ia dapat memainkannya dengan cepat dan sesuka hati. Maka ia menduga dalam keadaan kelabakan terkena siraman bakmi panas tadi, sekali serang dapatlah merobohkan In Tiong-ho yang lihai itu.

Tak tersangka, bukan saja In Tiong-ho dapat menghindar serangan itu dengan baik, bahkan kipasnya hendak dijepit pula. Keruan Tan-sin terkejut, cepat ia tarik kembali kipasnya.

Bicara tentang tenaga dalam, Cu Tan-sin masih kalah setingkat daripada lawannya, tapi kipas adalah senjata kesayangannya, maka sekuatnya ia tarik, untung juga tangan In Tiong-ho basah oleh kuah bakmi, jarinya menjadi licin hingga kurang kencang jepitannya, maka dapatlah Tan-sin merebut kembali kipasnya itu.

Dalam keadaan demikian, mendadak Tan-sin mendapat akal, cepat ia berteriak-teriak, "Hai, kawan-kawan yang memakai pancing dan kapak, lekas kalian tutup pintu, si jangkung ini takkan mampu lari lagi!"

Kiranya Tan-sin pernah mendengar ceritanya "Bu-sian-tio-to" atau si tukang pancing dari danau Bu-sian, dan Jay-sin-khek, bahwa malam itu mereka pergoki seorang jangkung bagai galah bambu, dengan tenaga mereka berdua barulah sekadar bisa mengalahkan lawan. Sebab itulah sekarang ia sengaja main gertak, ia menggembor pura-pura memanggil kawan untuk menakutkan lawan itu.

In Tiong-ho tidak menyangka itu cuma gertakan belaka, ia pikir bisa celaka kalau benar si nelayan dan tukang kayu itu muncul, tentu dirinya sukar untuk meloloskan diri.

Ia menjadi gugup dan tidak mau bertempur lebih lama, terus saja ia terjang ke ruangan belakang dan melarikan diri melintasi pagar tembok.

"Wah, sudah lari, si jangkung sudah lari! Lekas kejar, lekas kejar!" demikian Tan-sin masih berteriak sambil berlari keluar kedai dan mencemplak ke atas kudanya, tapi bukan mengejar si jangkung, melainkan menyusul Toan Ki berdua.

Saat itu Toan Ki dan Wan-jing sudah melarikan kuda mereka beberapa li jauhnya, lalu melambatkan kudanya perlahan. Tidak lama, terdengar derapan kuda yang cepat dari belakang, waktu menoleh, kiranya Cu Tan-sin sudah menyusul tiba.

Mereka hentikan kuda untuk menunggu, setelah dekat, belum lagi mereka sempat tanya kawan itu, sekonyongkonyong Wan-jing berseru, "Celaka, orang itu mengejar kemari!"

Maka tertampaklah sesosok tubuh yang jangkung sedang memburu datang dengan cepat luar biasa, saking tinggi tubuh orang hingga mirip galah bambu dalam permainan jelangkung yang bergontai-gontai sempoyongan ke kanan dan ke kiri.

Kejut Tan-sin tak terhingga, sungguh tak terduga olehnya bahwa Ginkang si jangkung bisa begini hebat. Cepat ia menyabat beberapa kali bokong kuda tunggangan Toan Ki dan Wan-jing, dalam kagetnya, kuda-kuda itu meringkik sekali terus membedal ke depan dengan kencang. Maka hanya sekejap saja In Tiong-ho sudah jauh ketinggalan di belakang.

Kira-kira beberapa li lagi, Bok Wan-jing mendengar napas kudanya sudah megap-megap, terpaksa ia lambatkan larinya, membiarkan binatang itu bernapas. Tapi karena sedikit ayal itu, kembali In Tiong-ho menyusul datang.

Biarpun kecepatan lari dalam jarak pendek In Tiong-ho tidak bisa memadai kuda, tapi tenaga untuk jangka lama ternyata tidak putus, ia masih mampu mengejar terus.

Cu Tan-sin tahu akal menggertaknya tadi sudah diketahui orang, untuk menakut-nakuti pula terang takkan mempan lagi, tampaknya dalam jarak belasan li tentu akan disusul olehnya.

Padahal asal bisa sampai di kota Tayli, betapa pun besarnya urusan tentu tidak perlu takut. Soalnya cuma ketiga ekor kuda mereka yang sudah payah, makin lama makin lambat, keadaan pun makin lama makin gawat.

Beberapa li lagi, sekonyong-konyong kuda Toan Ki kesandung hingga pemuda itu terbanting jatuh ke bawah. Syukur Bok Wan-jing dapat bertindak cepat, belum lagi tubuh Toan Ki menempel tanah, tangan si nona sudah sempat menjambret kuduk bajunya terus diangkat ke atas kuda sendiri.

Terhadap gadis itu sebenarnya Cu Tan-sin mempunyai kesan jelek, tapi ketika Toan Ki terjungkal dari kudanya, ia sendiri masih ketinggalan di belakang untuk merintangi musuh bila perlu, untuk menolong terang tidak keburu. Syukur gadis itu sempat turun tangan dengan cepat, melihat gerakan Bok Wan-jing yang cekatan itu, mau tak mau ia memuji juga.

Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong dari belakang angin tajam menyambar, sepotong senjata rahasia menyerang ke arahnya.

Cepat Tan-sin putar kipasnya untuk menangkis, "trang", cakar baja In Tiong-ho tersampuk ke samping, tapi senjata aneh itu tidak lantas ditarik kembali oleh In Tiong-ho, sebaliknya terus menggaruk ke bawah hingga pantat kuda tercakar dan terluka.

Saking kesakitan, kuda itu meringkik terus mencongklang terlebih cepat hingga lagi-lagi In Tiong-ho tertinggal di belakang.

Namun demikian, kini Toan Ki dan Wan-jing harus bersatu kuda, sedang kuda Cu Tan-sin terluka pula, dengan sendirinya mereka sangat khawatir. Hanya Toan Ki yang sama sekali tidak kenal bahaya, ia masih tanya, "Wanjing, apakah orang itu sangat lihai? Dapatkah Cu-siko melawan dia?"

"Tidak, biarpun aku bersama dia mengeroyoknya juga tak bisa menang," sahut si gadis.

Tiba-tiba timbul suatu akal dalam hatinya, katanya pula, "Eh, aku dapat pura-pura jatuh dari kuda dan rebah di tanah, nanti kalau dia mendekati aku, dalam keadaan tak tersangka-sangka akan kulepaskan panah, tentu dapat kurobohkan dia. Nah, lekas kau larikan kuda sendirian, tak perlu tunggu aku!"

Keruan Toan Ki gugup, tanpa pikir sebelah tangannya memeluk leher si gadis dan tangan lain merangkul pinggangnya sambil berkata, "Jangan, jangan! Aku takkan membiarkan engkau menempuh bahaya itu!"

Wan-jing menjadi jengah, omelnya, "Tolol, kenapa main pegang-pegang? Lekas lepaskan aku! Kalau dilihat Cu-siko, macam apa kelakuanmu ini?"

"O, ya! Maaf, jangan engkau marah!" seru Toan Ki terkejut sambil melepaskan rangkulannya.

"Engkau adalah suamiku, masakah pakai minta maaf segala?" ujar si nona.

Tengah bicara, dari jauh tampak In Tiong-ho memburu tiba lagi dengan gayanya yang gentayangan.

Sekilas Toan Ki melihat wajah Wan-jing mengunjuk rasa khawatir, seketika timbul rasa kasih sayangnya. Saat itulah tiba-tiba si gadis menjerit tertahan, tertampak Cu Tan-sin melompat turun dari kudanya dan sedang memberi tangan menyuruh mereka lari cepat. Lalu ia pentang kipasnya mengadang di tengah jalan hendak menempur In Tiong-ho.

Tak terduga maksud tujuan In Tiong-ho adalah ingin menawan Bok Wan-jing yang cantik itu. Sekonyongkonyong ia membelok ke pinggir hingga Cu Tan-sin dilalui, lalu mengejar terlebih cepat ke arah Toan Ki berdua.

Terus-menerus Bok Wan-jing mencambuk kudanya agar berlari lebih cepat, mulut binatang itu sudah berbusa, napasnya megap-megap, tapi masih tetap lari mati-matian.

"Wan-jing," ujar Toan Ki dengan menyesal, "coba kalau kuda yang kita tunggangi ini adalah si Mawar Hitam milikmu itu, jangan harap orang jahat itu mampu menyusul kita."

"Tentu saja," sahut Wan-jing.

Dan setelah kuda itu membelok ke suatu bukit, tiba-tiba di depan tampak sebuah jalan lapang lurus, di samping jalan juga tanah datar yang luas tanpa sesuatu tempat yang dapat dibuat sembunyi, hanya di ujung barat jalan sana tampak tetumbuhan rindang menghijau mengelilingi sebuah telaga kecil, di sisi telaga sana tampak menongol sebagian dinding berwarna kuning.

Melihat itu, Toan Ki bersorak, "Hura, lekas kita menuju ke sana!"

"Di sana adalah jalan buntu, apa cari mampus menuju ke sana?" sahut Wan-jing.

"Turutlah kataku, tentu kita akan selamat," ujar Toan Ki sambil bedal kudanya lebih cepat menuju ke semak pohon yang rindang itu.

Sesudah dekat, ketika Bok Wan-jing menegas, ia lihat dinding tembok yang kuning itu kiranya adalah sebuah bangunan kuil, di atas papan kuil itu tertulis "Jing-hoa-koan", nyata itulah sebuah To-koan atau kuil pemeluk agama To (Tao).

Hanya sepintas saja Wan-jing memandang kuil itu, dalam hati ia sedang berpikir, "Si tolol ini ajak lari ke sini, terang menghadapi jalan buntu, bagaimana baiknya sekarang? Ah, biarlah kusembunyi dulu untuk menyerang In Tiong-ho itu dengan panahku."

Saat itu kuda mereka sudah berlari sampai di depan kuil dan sedang Wan-jing hendak menoleh ke belakang, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa orang terbahak-bahak di belakang, terang itulah In Tiong-ho adanya.

Tiba-tiba Bok Wan-jing merasa kudanya berhenti serentak sambil menegak dan meringkik keras, hendak melangkah maju setindak lagi juga tak bisa. Dalam keadaan hampir merosot dari pelana kuda, cepat Wan-jing berpaling ke belakang, ia lihat kedua tangan In Tiong-ho memegangi ekor kudanya, pantas binatang itu berjingkrak dan meringkik sebab ekornya diganduli dari belakang.

Tenaga Kiong-hiong-kek-ok ini sungguh mengejutkan, kuda yang lagi membedal dengan cepat begitu ekornya ditarik lantas tak bisa berkutik sama sekali.

Segera terdengar juga Toan Ki lagi berteriak-teriak, "Ibu, Ibu! Lekas kemari, lekas!"

Sungguh mendongkol sekali Bok Wan-jing oleh gembar-gembor Toan Ki yang lucu seperti anak kecil itu, bentaknya gusar, "Tutup mulut, tolol!"

In Tiong-ho menjadi geli juga, ia terbahak-bahak dan mengejek, "Hahaha, biar kau panggil nenek moyangmu juga percuma!"

Mendadak Bok Wan-jing ayun tangan kanan ke belakang, sebatang panah terus menyambar ke tenggorokan In Tiong-ho.

Tapi sedikit mengegos, dapatlah Tiong-ho hindarkan serangan itu. Dari demi tampak Wan-jing hendak melompat pergi dari pelana kudanya, cepat cakar baja di tangan kiri terus mencengkeram pundak gadis itu.

Tapi Bok Wan-jing sangat cerdik dan cekatan, sekonyong-konyong ia merosot ke bawah terus menyelusup ke bawah perut kuda.

Dan selagi Tiong-ho melepaskan ekor kuda yang diganduli tadi dengan maksud hendak melabrak si gadis lebih jauh, ia menjadi tertegun ketika tiba-tiba dilihatnya dari dalam kuil itu berjalan keluar seorang To-koh (imam wanita) setengah umur dan berparas cantik, wajahnya tersenyum simpul, tangan kanan membawa sebuah kebut pertapaan.

Melihat To-koh itu, cepat Toan Ki berlari mendekatinya. Segera To-koh itu merangkul bahu anak muda itu sambil berkata dengan tertawa, "Kembali kau bikin onar lagi, ada apa bergembar-gembor!"

Melihat To-koh secantik itu sedemikian mesranya terhadap Toan Ki, bahkan tampak pemuda itu pun gunakan tangan kanan memeluk pinggang si To-koh dengan kegirangan, seketika timbul rasa cemburu Bok Wan-jing, tak terpikir olehnya bahwa musuh masih berada di situ, ia terus menubruk maju, telapak tangan lantas membacok kepala si To-koh sambil membentak, "Kau ... kau apanya?"

"Jangan kurang sopan, Wan-jing!" cepat Toan Ki berseru.

Mendengar pemuda itu membela si To-koh, rasa dongkol Wan-jing semakin berkobar, bacokannya tadi dilontarkan lebih keras lagi.

Tapi dengan tenang To-koh itu angkat kebutnya ke atas, sedikit berputar, tahu-tahu pergelangan tangan Bok Wan-jing terlilit oleh benang kebutnya. Seketika Wan-jing merasa tenaga lilitan kebut itu tidak kepalang kuatnya, tapi lunak pula, sedikit To-koh itu kebas kebutnya, kontan Wan-jing terhuyung-huyung ke samping.

Dalam gugup dan kalapnya, Wan-jing terus memaki, "Engkau adalah Cut-keh-lang (orang beragama), kenapa sedemikian tidak tahu malu!"

Semula, ketika tiba-tiba melihat muncul seorang To-koh yang cantik, diam-diam In Tiong-ho sangat girang, pikirnya hari ini aku benar-benar lagi dirundung dewi amor, sekali tangkap dua wanita cantik, biar nanti kugondol pulang semuanya.

Tapi kemudian demi menyaksikan cara bagaimana To-koh itu mematahkan serangan Bok Wan-jing dengan mudah. Sebagai seorang jago silat berpengalaman, hanya sejurus itu saja lantas diketahuinya ilmu silat si Tokoh sangat hebat. Segera ia mencemplak ke atas kuda Toan Ki tadi, tapi tidak lantas turun tangan.

Terdengar To-koh tadi sedang berkata dengan gusar, "Kau sembarangan omong apa, nona cilik? Kau … kau sendiri pernah apanya?"

"Aku ... aku istri Toan-long!" demikian Wan-jing menjawab. "Lekas engkau melepaskan dia!"

To-koh itu tercengang sejenak, tiba-tiba air mukanya berubah senang berseri-seri, ia jewer kuping Toan Ki, tanyanya dengan tertawa, "Apa betul perkataannya?"

"Dapat dikata betul, boleh dibilang tidak betul pula," sahut Toan Ki.

To-koh itu cubit sekali pipi pemuda itu sambil mengomel, "Huh, suruh kau belajar silat tidak mau, tapi lebih suka meniru watak ayahmu yang bangor, ya? Hm, lihatlah kalau aku tidak hajar kau."

Lalu ia berpaling mengamat-amati Bok Wan-jing, kemudian katanya, "Ehm, nona ini juga sangat cantik, cuma terlalu liar, perlu dididik dulu."

"Liar atau tidak peduli apa?" semprot Wan-jing dengan gusar. "Jika engkau tidak lekas lepaskan dia, jangan menyesal bila aku menyerang dengan panah."

"Jika kau suka, boleh kau coba-coba," ujar si To-koh tertawa.

"Jangan, Wan-jing!" demikian Toan Ki menyela. "Kau tahu tidak siapa beliau?"

Namun Bok Wan-jing sudah kadung minum cuka (cemburu), ia tak tahan lagi, begitu ayun tangan, "ser-ser", dua panah kecil terus menyambar ke arah si To-koh.

Melihat bidikan panah berbisa gadis itu, wajah si To-koh yang tadinya berseri-seri itu seketika berubah hebat. Sekali kebutnya mengebas, setiap benang perak dari kebut itu seakan-akan bertenaga sembrani, kedua panah itu dibungkus oleh bulu kebut.

"Kau pernah apanya 'Siu-lo-to' Cin Ang-bian?" tiba-tiba To-koh itu membentak.

"Apa itu 'Siu-lo-to' Cin Ang-bian segala? Aku tak pernah dengar!" sahut Wan-jing.

Melihat wajah si To-koh yang pucat pasi saking marahnya, cepat Toan Ki menghiburnya, "Engkau jangan marah, ibu!"

"Apa katamu, dia ibumu?" jerit Wan-jing terkejut oleh ucapan Toan Ki itu. Sungguh ia tidak percaya akan telinganya sendiri.

"Memang tadi aku sudah memanggil ibu, masakah engkau tidak dengar?" sahut Toan Ki tertawa. Lalu ia berpaling pada si To-koh dan berkata, "Mak, inilah nona Bok Wan-jing, selama beberapa hari ini anak banyak menghadapi bahaya dan kepergok orang jahat, tapi berkat pertolongan nona Bok ini, jiwa anak masih selamat sampai sekarang."

Pada saat itulah tiba-tiba dari sana terdengar seorang lagi berteriak-teriak, "Yau-toan-siancu, Yau-toan-siancu! Engkau harus hati-hati, ini dia satu di antara Su-ok!"

Kiranya yang datang ini adalah Cu Tan-sin yang ketinggalan di belakang tadi. Sesudah dekat dan melihat wajah si To-koh rada aneh, ia sangka orang telah dicederai oleh In Tiong-ho, dengan khawatir segera ia tanya, "Yau-toan-siancu, apa engkau … engkau sudah bergebrak dengan dia?"

Tiba-tiba In Tiong-ho bergelak tertawa, serunya, "Dimulai sekarang juga belum terlambat!"

Habis berkata, ia terus berdiri di atas pelana kuda.

Dasar perawakan In Tiong-ho sudah jangkung, berdiri lagi di atas kuda, keruan mirip tiang bendera menegak. Sekonyong-konyong tubuhnya mendoyong ke depan, ia gantol pelana kuda dengan kaki kanan, kedua cakar baja terus menggaruk ke arah si To-koh alias Yau-toan-siancu.

Cepat Yau-toan-siancu mengisar ke sisi kiri kuda, sekali kebutnya menyabat, segera kaki kiri In Tiong-ho diincar.

Sama sekali In Tiong-ho tidak menghindar, sebaliknya ia tetap ulur cakar baja sebelah kiri untuk mencengkeram punggung si To-koh. Tapi cepat sekali To-koh itu mendak tubuh terus menerobos lewat di bawah perut kuda, menyusul kebutnya mengebas, beribu benang perak yang kemilauan terus menancap ke kaki kanan lawan.

Namun kaki kanan In Tiong-ho segera melangkah maju, ia berdiri di atas kepala kuda dengan ringan, dari tempat yang lebih tinggi itu kembali ia menyerang, cakar baja kanan terus menyerampang.

"Turun!" tiba-tiba Cu Tan-sin membentak terus ikut terjun ke kalangan pertempuran. Mendadak ia pun melompat ke atas pinggul kuda, dari situ ia memukul pinggang lawan dengan kepalan kiri, sedangkan kipas di tangan kanan berbareng menutuk kaki.

Senjata yang dipakai Cu Tan-sin sangat pendek dan sangat menguntungkan untuk bertempur dari jarak dekat.

Cepat In Tiong-ho menangkis dengan cakar sebelah kiri, berbareng cakar baja yang lebih panjang itu mencengkeram ke depan. Namun dengan cepat Yau-toan-siancu sudah tarik kembali kebutnya terus menyabat pula kaki lawan.

In Tiong-ho benar-benar sangat lihai, biarpun dikeroyok dua ia masih dapat memainkan sepasang cakar bajanya dengan kencang, sedikit pun tidak terdesak di bawah angin.

Melihat orang berdiri di atas kuda, kedudukannya lebih menguntungkan. Segera Bok Wan-jing membidikkan sebatang panah kecil hingga menancap di mata kiri kuda itu.

Racun panahnya itu sangat lihai, begitu masuk mata, seketika binatang itu roboh binasa.

Pada saat itu juga kebut Yau-toan-siancu dapat melilit sebelah cakar baja lawan, berbareng Cu Tan-sin ikut menubruk maju dan menyerang tiga kali beruntun-runtun.

Karena kedua senjata terlilit menjadi satu, Yau-toan-siancu dan In Tiong-ho saling betot sekuatnya. Meski tenaga dalam In Tiong-ho lebih kuat dari lawannya, karena sebagian tenaganya harus dipakai menangkis serangan kipas baja Cu Tan-sin, pula mesti berjaga-jaga serangan panah beracun dari Bok Wan-jing, maka ia tak kuat lagi memegangi senjatanya itu, cakar baja dan kebut pertapaan mencelat ke udara berbareng.

Namun sekali tangan kiri Yau-toan-siancu terayun, tahu-tahu seutas selendang sutera yang melibat di pinggangnya ditarik dan disabatkan pula.

"Huh, kawanan bangsat negeri Tayli hanya pintar main keroyok saja!" damprat In Tiong-ho. Ia insaf takkan bisa menang lagi, sekali entak kaki di atas pelana kuda, secepat panah orangnya terus melesat ke sana, cakar

baja yang masih tertinggal itu menggantol pagar tembok, orangnya terus mengapung ke atas dan sekali berjumpalitan, menghilanglah dia keluar.

Pada waktu yang sama Bok Wan-jing membidikkan pula sebatang panah, tapi tetap kalah cepat, "plok", panah itu menancap di atas pagar tembok, sedang In Tiong-ho sudah lenyap bayangannya.

Menyusul mana terdengarlah suara gemerantang yang nyaring, kebut dan cakar baja jatuh ke tanah bersama. Diam-diam Yau-toan-siancu saling pandang dengan Cu Tan-sin dan Bok Wan-jing, mereka tercengang oleh kecepatan In Tiong-ho yang luar biasa itu.

Selang sejenak, barulah Cu Tan-sin membuka suara, "Yau-toan-siancu, kalau engkau tidak turun tangan, hari ini Tan-sin pasti tewas di tangan musuh."

Yau-toan-siancu tersenyum, sahutnya, "Sudah belasan tahun tidak pakai senjata, sudah kaku rasanya. Cuhiante, siapakah sebenarnya orang tadi?"

"Kabarnya Su-tay-ok-jin (empat orang mahajahat) telah datang ke Tayli, orang tadi adalah nomor empat dari Su-tay-ok-jin itu. Tapi ilmu silatnya sudah begini tinggi, maka tiga orang yang lain tak usah ditanya lagi," demikian sahut Tan-sin. "Maka lebih baik engkau menghindarinya sementara ke Onghu saja sampai nanti kalau keempat durjana itu sudah dibereskan."

Wajah Yau-toan-siancu rada berubah, sahutnya kurang senang, "Guna apa aku pulang ke Onghu (istana pangeran)? Kalau Su-tay-ok-jin datang semua dan aku tak bisa melawannya, biarlah aku terima nasib saja."

Cu Tan-sin ternyata sangat menghormat pada padri wanita itu, ia tidak berani bicara lagi, sebaliknya berulang kali mengedipi Toan Ki agar anak muda itu ikut membujuk.

Maka berkatalah Toan Ki, "Mak, keempat durjana itu benar-benar terlalu jahat dan kejam, jika engkau tidak mau pulang, marilah kita pergi ke tempat Pekhu (paman) saja!"

"Tidak, aku tidak mau!" sahut Yau-toan-siancu sambil menggeleng, matanya lantas merah seakan-akan meneteskan air mata.

"Kalau ibu tidak mau pulang, biarlah aku menemanimu di sini," ujar Toan Ki. Lalu katanya pada Cu Tan-sin, "Cu-toako, harap engkau suka laporkan pada Empek dan ayahku, katakan bahwa kami ibu dan anak tetap

tinggal di sini untuk melawan musuh."

Yau-toan-siancu tertawa, katanya, "Tidak malu, kepandaian apa yang kau miliki, berani bilang akan melawan musuh bersamaku?"

Walaupun ia tertawa geli karena kelakuan Toan Ki itu, tidak urung air mata yang mengembeng di kelopak mata itu menetes juga, lekas ia berpaling dan mengusap air mata dengan lengan baju.

Diam-diam Bok Wan-jing heran, "Kenapa ibu Toan-long seorang padri? Dan dengan perginya In Tiong-ho, selekasnya akan datang pula bersama ketiga orang kawannya, lalu apa ibunya sanggup melawannya? Tapi dia sudah bertekad tak mau menyingkir pergi. Ah, tahulah aku! Memang laki-laki di dunia ini berhati palsu semua, pasti ayah Toan-long punya kekasih baru lagi, hingga ibunya tirakat menyucikan diri."

Berpikir demikian, ia menjadi solider pada Yau-toan-siancu, katanya segera, "Yau-toan-siancu, biar aku membantumu melawan musuh."

Yau-toan-siancu mengamat-amati paras Bok Wan-jing sejenak, mendadak ia tanya dengan suara bengis, "Kau harus mengaku terus terang, sebenarnya 'Siu-lo-to' Cin Ang-bian itu pernah apamu?"

Bok Wan-jing mendongkol juga oleh sikap orang, sahutnya, "Bukankah sudah kukatakan bahwa selamanya aku tidak pernah kenal nama itu. Apakah Cin Ang-bian itu laki-laki atau perempuan, manusia atau setan, sama sekali aku tidak tahu."

Baru sekarang Yau-toan-siancu mau percaya, sebab kalau gadis ini adalah sanak keturunan Siu-lo-to, tidak mungkin berkata tentang "setan" segala. Maka sikapnya berubah ramah kembali, katanya dengan tersenyum, "Nona jangan marah, soalnya karena tadi aku melihat cara kau melepaskan panah sangat mirip seorang wanita yang kukenal, parasmu juga rada mirip, maka timbul rasa curigaku. Nona Bok, siapakah nama kedua orang tuamu? Ilmu silatmu sangat bagus, tentu juga keluaran perguruan ternama!"

Bok Wan-jing menggeleng kepala, sahutnya, "Sejak kecil aku sudah piatu, Suhu yang membesarkan aku. Maka aku tidak tahu siapa ayah-bundaku."

"Jika begitu, siapakah gerangan gurumu itu?" tanya Yau-toan-siancu lagi.

"Guruku bernama 'Bu-beng-khek'," sahut Wan-jing.

"Namanya Bu-beng-khek?" Yau-toan-siancu mengulangi nama itu sambil termenung sejenak, kemudian ia pandang Cu Tan-sin dengan maksud tanya apakah kenal akan nama itu.

Tapi Cu Tan-sin menggeleng kepala, katanya, "Tan-sin tinggal terpencil di daerah selatan, sempit pengalamannya, maka banyak kaum kesatria gagah di Tionggoan tidak dikenalnya. Cianpwe Bu-beng-khek itu tentunya seorang kosen yang mengasingkan diri di pegunungan sunyi."

Tengah bicara, tiba-tiba di luar sana ramai dengan suara derap lari kuda, dari jauh ada seorang sedang berseru, "Site, Kongcuya baik-baik bukan?"

"Ya, Toako, Kongcuya tidak kurang sesuatu apa!" sahut Tan-sin.

Hanya sebentar saja, empat penunggang kuda sudah berhenti di depan Jing-hoa-koan, Bu-sian-tio-to, Jay-sinkhek dan Tiam-jong-san-long bertiga tampak masuk, terus menyembah kepada Yau-toan-siancu.

Sejak kecil Bok Wan-jing dibesarkan di pegunungan sunyi, ia menjadi heran melihat tata krama yang kolot itu, pikirnya, "Orang-orang ini sangat hebat ilmu silatnya, mengapa melihat seorang wanita lantas menyembah semua?"

Keadaan ketiga orang itu kelihatan rada runyam, muka Tiam-jong-san-long, si petani dari pegunungan Tiamjong, tampak terluka pula hingga perlu dibalut, Jay-sin-khek, si tukang kayu, badannya juga berlepotan darah, sedang alat pancing Bu-sian-tio-to, si tukang pancing dari danau Bu-sian, sudah terkutung sebagian.

Maka cepat Yau-toan-siancu tanya, "Bagaimana, apa musuh terlalu hebat? Parah tidak luka Su-kui?"

Tang Su-kui adalah nama Tiam-jong-san-long, si petani.

Mendengar pertanyaan itu, matanya seakan-akan berapi saking penasaran, sahutnya keras-keras, "Su-kui percuma belajar, sungguh memalukan hingga Onghui ikut berkhawatir."

"Kau sebut aku Onghui apa segala?" omel Yau-toan-siancu dengan perlahan. "Masa ingatanmu begitu jelek, ya?"

Seketika Tang Su-kui menunduk, sahutnya, "Ya, harap Onghui memaafkan!"

Walaupun mengaku salah, tapi mulutnya tetap menyebut "Onghui" atau nyonya pangeran. Rupanya panggilan itu sudah terlalu biasa diucapkan hingga sukar berubah.

"Di manakah Ko-houya? Kenapa tidak ikut datang?" demikian tanya Tan-sin.

"Houya berada di luar, ia terluka sedikit, tidak leluasa untuk turun dari kudanya," sahut Bu-sian-tio-to, si nelayan, yang bernama Leng Jian-li.

"Ah, jadi Houya juga terluka? Apa ... apa parah?" seru Yau-toan-siancu terkejut.

"Ko-houya tadi mengadu tenaga dalam dengan keadaan tak terpisahkan, sekonyong-konyong Yap Ji-nio menyerangnya dari belakang hingga punggungnya digaplok sekali," tutur Leng Jian-li.

Setelah ragu-ragu sejenak, mendadak Yau-toan-siancu menarik Toan Ki dan berkata, "Marilah, anak Ki, kita keluar menjenguk Ko-sioksiok."

Segera mereka mendahului keluar diikuti empat tokoh "Hi-jiau-keng-dok" atau si nelayan, si tukang kayu, si petani dan si pelajar. Begitu pula Bok Wan-jing ikut keluar.

Jilid 09
Benar juga, segera tampak Sian-tan-hou Ko Sing-thay tengkurap di atas kudanya, baju di bagian punggung tampak robek dan jelas kelihatan bekas telapak tangan. Cepat Toan Ki memburu maju dan tanya, "Ko-sioksiok, bagaimana keadaanmu?"

Waktu Ko Sing-thay mendongak dan tampak Yau-toan-siancu berdiri di depan pintu, cepat ia meronta turun dari kuda untuk memberi hormat.

"Ko-houya, engkau terluka, tidak perlu banyak adat lagi," kata Yau-toan-siancu.

Namun Ko Sing-thay sudah menyembah dari jauh dan berkata, "Sing-thay menyampaikan salam bakti kepada Onghui!"

"Anak Ki, lekas bangunkan Ko-sioksiok!" seru Siancu segera.

Diam-diam Bok Wan-jing bertambah curiga, pikirnya, "Ilmu silat orang she Ko ini sangat lihai, dengan serulingnya yang pendek itu, hanya dalam beberapa gebrak saja sudah mengalahkan Yap Ji-nio, tentu ia sangat terkemuka di dunia persilatan, tapi kenapa melihat ibu Toan-long, ia lantas begitu menghormat dan menyebutnya 'Onghui'? Apa mungkin Toan-long adalah ... adalah Ongcu (pangeran) segala? Tapi, ah, seorang pelajar ketolol-tololan seperti dia masa mirip seorang Ongcu?"

Dalam pada itu terdengar Yau-toan-siancu lagi berkata, "Jika Ko-houya terluka, silakan segera pulang Tayli untuk merawat dirimu."

Ko Sing-thay mengiakan sambil berbangkit. Tapi segera katanya pula, "Su-tay-ok-jin telah datang ke Tayli, keadaan sangat berbahaya, harap Onghui suka pulang istana untuk menghindarinya sementara."

Yau-toan-siancu menghela napas, sahutnya, "Selama hidupku ini takkan pulang ke sana lagi."

"Jika begitu, biarlah kami tinggal dan menjaga di luar Jing-hoa-koan ini," ujar Sing-thay. Lalu ia berpaling pada Tang Su-kui dan berkata, "Su-kui, pulanglah dan lekas laporkan kepada Hongsiang dan Ongya."

Su-kui mengiakan terus mencemplak ke atas kudanya. Meski lukanya tidak ringan, tapi gerak-geriknya masih sangat cekatan.

"Nanti dulu!" tiba-tiba Yau-toan-siancu mencegah. Ia menunduk dan berpikir. Sorot mata semua orang terpusat padanya, tapi dari air muka Siancu yang berubah-ubah itu, terang dia lagi menghadapi pertentangan batin yang serbasulit.

Selang agak lama, mendadak ia menengadah dan berkata, "Baiklah, marilah kita pulang ke Tayli semua, tidaklah patut kalau melulu lantaran diriku mesti bikin susah semua orang tinggal di sini."

Keruan Toan Ki berjingkrak saking girang, terus saja ia peluk sang ibu dan berkata, "Beginilah ibuku yang baik!"

"Biar kupergi memberi kabar dulu!" seru Su-kui terus melarikan kudanya.

Dalam pada itu Leng Jian-li sudah membawakan kuda untuk Yau-toan-siancu, Toan Ki dan Bok Wan-jing.

Begitulah beramai-ramai mereka lantas berangkat ke Tayli. Yau-toan-siancu, Toan Ki, Bok Wan-jing dan Ko Sing-thay berempat menunggang kuda, sedang Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li, Jay-sin-khek Siau Tiok-sing dan Pit-bak-seng Cu Tan-sin berjalan kaki.

Tidak jauh, dari depan tampak datang seregu pasukan berkuda negeri Tayli, Leng Jian-li memberi tanda kepada komandan pasukan itu serta berkata beberapa patah padanya. Segera komandan pasukan itu memberi perintah, semua prajurit melompat turun dari kudanya serta menyembah di tanah.

Toan Ki memberi tanda dan berkata, "Silakan berdiri, tak perlu banyak adat!"

Segera komandan pasukan itu membawakan tiga ekor kuda lain untuk Leng Jian-li bertiga. Lalu ia pimpin pasukannya mendahului di depan.

Melihat suasana yang luar biasa itu, Bok Wan-jing menduga Toan Ki pasti bukan orang biasa, tiba-tiba ia menjadi khawatir, "Semula kusangka dia hanya seorang pelajar miskin, makanya aku pasrahkan diriku padanya. Tapi melihat gelagatnya sekarang, kalau bukan sanak keluarga kerajaan, tentu dia pembesar negeri, bukan mustahil aku akan dipandang hina olehnya. Suhu pernah berkata bahwa laki-laki itu semakin kaya dan berpangkat, semakin tidak punya Liangsim (perasaan), cari istri juga minta yang sederajat. Hm, syukurlah bila

dia tetap memperistrikan aku dengan baik, kalau tidak, bila ragu dan macam-macam, huh, lihat saja kalau tidak kubacok kepalanya, peduli apakah dia anggota keluarga raja atau pembesar negeri!"

Karena berpikir begitu, ia tak tahan perasaannya lagi, segera ia larikan kudanya menjajari Toan Ki dan tanya, "He, sebenarnya siapakah kau? Apa yang kita putuskan di atas gunung itu masih tetap berlaku tidak?"

Melihat di depan umum si gadis terang-terangan menegur padanya tentang urusan perjodohan, keruan Toan Ki menjadi kikuk, sahutnya dengan tersenyum, "Setiba di kota Tayli, tentu akan kujelaskan padamu."

"Awas kalau kau ingkar janji ... aku ...." berkata sampai di sini, suaranya menjadi tersendat dan tak sanggup diteruskan lagi.

Melihat wajah si gadis kemerah-merahan menahan isak tangis, air matanya mengembeng berkilau-kilau hingga makin menambah cantiknya, rasa cinta Toan Ki menjadi berkobar, katanya dengan lirih, "Wan-jing, janganlah khawatir, lihatlah, ibuku juga sangat suka padamu."

Seketika dari menangis Bok Wan-jing berubah tertawa, sahutnya perlahan, "Ibumu suka atau tidak padaku, aku tidak urus!"

Di balik kata-katanya ini seakan-akan menyatakan, "asal saja kau suka padaku, sudahlah cukup."

Tentu saja perasaan Toan Ki terguncang, waktu ia berpaling ke arah ibunya, ia lihat Yau-toan-siancu lagi memandang kepada mereka dengan paras yang tertawa tidak tertawa. Keruan muka Toan Ki merah jengah.

Menjelang petang, kira-kira masih 30 li di luar kota Tayli, tiba-tiba kelihatan debu mengepul tinggi di depan sana, sepasukan tentara yang berjumlah beberapa ratus orang mendatangi dengan cepat. Dua buah panji kuning jingga tampak berkibar, yang sebuah tertulis dua huruf sulam "Tin-lam" dan yang lain "Po-kok" (menduduki selatan dan membela negara).

Segera Toan Ki berseru, "Mak, ayah sendiri datang memapak engkau!"

Yau-toan-siancu hanya mendengus saja dan menghentikan kudanya.

Ko Sing-thay dan lain-lain lantas turun dari kuda dan berdiri di pinggir jalan. Sedang Toan Ki segera bedal

kudanya ke depan. Bok Wan-jing ragu-ragu sejenak, tapi cepat ia pun larikan kudanya menyusul ke sana.

Tidak lama, pasukan itu sudah dekat, segera Toan Ki berseru, "Tiatia (ayah), ibu sudah pulang!"

Maka tertampaklah dari tengah pasukan itu muncul seorang berjubah kuning menunggang seekor kuda putih yang tinggi besar, begitu datang terus membentak, "Anak Ki, gara-garamu sehingga Ko-sioksiok ikut terluka parah, lihatlah nanti kalau tidak kuhajar patah kedua kakimu!"

Bok Wan-jing menjadi khawatir, pikirnya, "Hm, kedua kaki Toan-long hendak kau patahkan? Tidak bisa, pasti akan kurintangi, biarpun engkau adalah ayahnya!"

Ia lihat orang yang berjubah kuning ini bermuka lebar, sikapnya sangat gagah dan kereng, alis tebal, mata besar, berwibawa sebangsa raja atau pangeran. Meski ucapannya tadi kedengarannya bengis, tapi melihat sang putra telah pulang dengan selamat, air mukanya lebih banyak girangnya daripada gusarnya.

Diam-diam Wan-jing membatin, "Untung paras Toan-long lebih banyak mirip ibunya, kalau macammu yang garang bengis begini, tentu aku takkan suka."

Ia lihat Toan Ki sudah memapak maju sambil berkata dengan tertawa, "Ayah, engkau baik-baik saja bukan?"

"Baik, hitung-hitung tidak mati gusar oleh perbuatanmu!" sahut orang berjubah kuning itu dengan marah.

"Tapi kalau anak tidak keluar rumah, ibu tentu juga takkan pulang. Jasa anak ini rasanya bolehlah mengimbangi kesalahannya, harap ayah jangan gusar lagi," demikian kata Toan Ki dengan tertawa.

"Seumpama aku tidak menghajarmu, Empek (paman) pasti juga tidak mau mengampunimu," ujar si jubah kuning. Dan sekali ia kempit kudanya, secepat terbang kuda putih itu lantas mencongklang ke arah Yau-toansiancu.

Melihat prajurit pasukan itu semua berbaju perang yang mengilat dengan senjata lengkap, 20 orang di baris depan membawa panji dan papan yang bercat emas bentuk naga dan harimau, di atas salah sebuah papan merah itu tertulis tanda pangkat ayah Toan Ki sebagai Po-kok-tay-ciang-kun atau panglima besar pembela negara, papan lain bertulis gelar kebangsawanannya sebagai Tin-lam-ong she Toan dari negeri Tayli.

Meski biasanya Bok Wan-jing tidak takut langit dan tak gentar bumi, tapi menyaksikan perbawa barisan yang angker itu, mau tak mau ia prihatin juga. Tiba-tiba tanyanya pada Toan Ki, "He, apakah Tin-lam-ong, Po-koktay-ciang-kun ini adalah ayahmu?"

Toan Ki mengangguk, sahutnya lirih, "Dan juga ayah mertuamu."

Sesaat Bok Wan-jing menjadi termangu, di sekitar jalan besar itu penuh dengan orang, tapi ia merasa hampa tak terkatakan, ia menjadi lega setelah berdampingan dengan Toan Ki.

Sementara itu Tin-lam-ong tampak sudah berhadapan dengan Yau-toan-siancu, kedua orang saling pandang kian kemari, tapi tiada satu pun yang mulai bicara.

"Mak, ayah sendiri datang menyambutmu," seru Toan Ki.

"Kau pergi dan katakan pada Pekbo (bibi) bahwa aku akan tinggal beberapa hari di tempatnya, sesudah menghalau musuh, segera kukembali ke Jing-hoa-koan," demikian kata Yau-toan-siancu.

Maka dengan tertawa, Tin-lam-ong berkata, "Hujin, apakah engkau masih marah padaku? Marilah pulang dulu, nanti akan kuminta maaf padamu."

Yau-toan-siancu menarik muka, sahutnya, "Tidak, aku tidak pulang, aku akan ke istana."

"Bagus," seru Toan Ki tertawa, "kita ke istana dulu untuk menjumpai paman dan bibi. Mak, anak telah keluyuran keluar tanpa permisi, paman tentu akan marah, ayah jelas tidak mau membelaku, mohon ibu suka mintakan ampun pada paman."

"Tidak, semakin besar semakin bandel kau, biar paman memberi hajaran setimpal padamu," sahut Yau-toansiancu.

"Tapi kalau anak dihajar, yang merasa sakit tentu ibu, maka lebih baik jangan sampai dihajar," kata Toan Ki dengan manja.

Yau-toan-siancu tertawa, katanya lagi, "Tidak, semakin keras kau dihajar, semakin senang aku."

Begitulah, suasana pertemuan kembali Tin-lam-ong dengan sang istri itu sebenarnya serbakikuk, tapi karena banyolan Toan Ki itu, perasaan suami istri itu seketika terasa bahagia.

"Ayah," tiba-tiba Toan Ki berseru pula, "kudamu lebih bagus, kenapa tidak bertukar kuda dengan ibu?"

"Tidak," kata Yau-toan-siancu terus larikan kudanya ke depan.

Segera Toan Ki memburunya dan menahan kuda sang ibu. Sementara itu Tin-lam-ong sudah turun dari kudanya serta menyusul.

Dengan tertawa Toan Ki terus pondong sang ibu ke atas kuda putih ayahnya dan berkata, "Mak, wanita secantik engkau menjadi lebih ayu bila menunggang kuda putih ini."

"Nonamu she Bok itu barulah benar-benar cantik tiada bandingannya, kau sengaja menertawai ibumu yang sudah nenek-nenek ini ya?" sahut Siancu tertawa.

Baru sekarang Tin-lam-ong berpaling ke arah Bok Wan-jing, tanyanya pada Toan Ki, "Anak Ki, siapakah nona ini?"

"Ia adalah ... nona Bok, ia adalah ... adalah kawan baik anak," sahut Toan Ki gelagapan.

Melihat sikap putranya itu, segera Tin-lam-ong tahu apa artinya. Ia lihat Bok Wan-jing cantik molek, putih halus, diam-diam ia memuji kepandaian putranya yang pintar pilih pasangan.

Tapi demi tampak sifat liar Bok Wan-jing, sama sekali tidak memberi hormat atau menyapa, diam-diam pikirnya dalam hati, "Kiranya dia seorang gadis desa yang tidak kenal peradaban."

Ia khawatir keadaan luka Ko Sing-thay, segera ia mendekatinya dan memeriksa urat nadinya.

"Hanya terluka sedikit, tidak apa-apa, jangan engkau buang tenaga ...." demikian kata Ko Sing-thay.

Namun Tin-lam-ong sudah lantas ulur jari telunjuk kanan dan menutuk tiga kali di punggung dan tengkuknya, berbareng telapak tangan kiri menahan pinggangnya.

Lambat laun tampak asap putih mengepul dari ubun-ubun Tin-lam-ong, selang sejenak lagi barulah melepaskan tangan kirinya.

"Kakak Sun, kita bakal menghadapi musuh tangguh, buat apa engkau membuang tenaga dalammu?" ujar Ko Sing-thay.

"Lukamu tidak enteng, lebih cepat disembuhkan lebih baik, kalau terlihat Toako, tanpa diminta tentu dia akan turun tangan sendiri," sahut Tin-lam-ong alias Toan Cing-sun.

Melihat wajah Ko Sing-thay yang tadinya sepucat mayat itu, hanya dalam sekejap saja sudah bersemu merah, lukanya sudah disembuhkan, diam-diam Bok Wan-jing terkejut, "Kiranya ayah Toan-long memiliki Lwekang mahatinggi, tapi ken ... kenapa ia sendiri tak bisa ilmu silat?"

Sementara itu Leng Jian-li sudah membawakan seekor kuda lain untuk Tin-lam-ong dan meladeni pangeran itu naik ke atas kuda. Tin-lam-ong larikan kudanya berjajar dengan Ko Sing-thay dan mengajaknya bicara tentang kekuatan musuh.

Toan Ki juga pasang omong dengan senangnya dengan sang ibu, berbondong-bondong pasukan tentara kerajaan Tayli itu berangkat kembali, hanya Bok Wan-jing yang merasa kesepian karena tiada yang mengajak bicara.

Petangnya rombongan sudah memasuki kota Tayli, di mana panji bertuliskan "Tin-lam" dan "Po-kok" tiba, di situ rakyat jelata bersorak-sorai memuji kebesaran panglimanya.

Tin-lam-ong balas memberi tangan kepada rakyat yang mengelu-elukannya itu, tampaknya ia sangat dicintai oleh rakyat.

Bok Wan-jing melihat kota Tayli sangat ramai, gedung berdiri di sana-sini dengan megah, jalan raya yang berlapiskan batu hijau besar rata penuh berjubel orang yang berlalu-lalang.

Setelah melalui sebuah jalan kota, kemudian tampak di depan membentang sebuah jalan batu yang lebar, di ujung jalan itu tampak berdiri beberapa istana berwarna kuning indah dengan kaca yang kemilauan tersorot

oleh cahaya matahari waktu senja.

Rombongan sampai di depan sebuah gapura, semuanya lantas turun dari kuda. Bok Wan-jing melihat di atas papan gapura itu tertulis empat huruf "Cip-to-kiong-cu," artinya jalan menuju istana bijaksana.

Bok Wan-jing pikir, "Tentu inilah istana raja Tayli. Paman Toan-long tinggal di dalam istana, agaknya kedudukannya sangat tinggi, kalau bukan pangeran, tentu sebangsa panglima besar dan sebagainya."

Setelah lewat gapura itu, sampailah di depan istana raja "Seng-cu-kiong." Tiba-tiba seorang Thaykam (dayang kebiri) berlari keluar dengan cepat, katanya sambil menyembah, "Lapor Ongya, Hongsiang dan Nionio (baginda raja dan permaisuri) sedang menunggu di Onghu, silakan Ongya dan Onghui pulang ke Tin-lamonghu untuk menghadap Hongsiang!"

Tin-lam-ong mengiakan dengan girang. Begitu pula Toan Ki lantas berseru, "Aha, bagus, bagus!"

"Apanya yang bagus?" omel Onghui dengan melototi sang putra, "kutunggu Nionio di dalam istana sini."

"Tapi Nionio pesan agar Onghui diharuskan menghadapnya sekarang juga, beliau ingin berunding sesuatu yang penting dengan Onghui," demikian Thaykam itu menutur.

"Ada urusan penting apa? Huh, tipu muslihat belaka!" Yau-toan-siancu menggerundel perlahan.

Toan Ki tahu itulah rencana yang sengaja diatur oleh Honghou (permaisuri), sebab diduganya ibu tentu tak mau pulang ke istana pangeran, maka sengaja menunggu di Tin-lam-onghu untuk mempertemukan kembali ayahbundanya di sana. Maka ia pun tidak mau banyak bicara lagi, cepat ia bawakan kuda untuk sang ibu dan menaikkannya ke atas kuda.

Rombongan segera putar balik ke istana pangeran. Di sana suasana tampak sangat khidmat, pasukan pengawal berdiri dengan rajin memberi hormat atas pulangnya Tin-lam-ong dan permaisuri.

Tin-lam-ong mendahului masuk ke pintu istana, tapi Yau-toan-siancu masih ogah-ogahan, begitu naik ke atas undak-undakan, segera matanya basah. Namun dengan setengah mendorong dan setengah menyeret Toan Ki dapat mengajak sang ibu ke dalam istana, katanya, "Ayah, anak telah mengajak ibu pulang ke rumah, jasa anak sebesar ini, hadiah apa yang akan ayah berikan padaku?"

Saking senangnya, Tin-lam-ong menyahut, "Boleh kau tanya ibumu, ibu bilang hadiah apa, segera kuberikan."

"Kubilang paling tepat beri hadiah gebukan," kata Yau-toan-siancu dengan tertawa.

Toan Ki melelet lidah dan tak berani bicara lagi.

Setelah ikut masuk ke ruangan pendopo, Ko Sing-thay dan lain-lain tidak ikut masuk lebih jauh. Kata Toan Ki kepada Wan-jing, "Bok ... Bok-kohnio, silakan menunggu sebentar di sini, setelah kuhadap Hongsiang, segera kudatang lagi."

Terpaksa Wan-jing mengangguk, walaupun dalam hati sangat berat ditinggal pemuda itu. Tanpa peduli lagi ia terus duduk di atas kursi pertama yang tersedia di situ. Sebaliknya Ko Sing-thay dan lain-lain tetap berdiri, setelah Tin-lam-ong bertiga masuk ke ruangan dalam, barulah Ko Sing-thay ambil tempat duduk, yang lain-lain tetap berdiri dengan tangan lurus tegak.

Bok Wan-jing tidak ambil pusing terhadap mereka, ia lihat di dalam pendopo penuh terhias pigura lukisan dan seni tulis, begitu banyak hingga dia bingung melihatnya, apalagi memang banyak juga huruf yang tak dikenalnya. Maklum gadis gunung yang tak banyak "makan" sekolah.

Tidak lama, seorang dayang membawakan teh, dengan berlutut dayang itu angkat nampan tinggi-tinggi menyuguhkan minuman itu kepada Bok Wan-jing dan Ko Sing-thay.

Diam-diam si gadis menjadi heran mengapa hanya dirinya dan Ko Sing-thay yang mendapat minum, sedang Cu Tan-sin dan lain-lain tidak. Padahal jago itu ketika menghadapi musuh di puncak gunung, perbawanya tak terkatakan kerengnya. Tapi berada di dalam Tin-lam-onghu, mereka menjadi begitu prihatin, sampai bernapas pun tak berani keras-keras.

Sesudah lama menunggu, ternyata Toan Ki belum juga keluar. Wan-jing menjadi tak sabar, teriaknya tak peduli, "Toan Ki, Toan Ki, kerja apa kau di dalam, lekas keluar!"

Ruangan itu hening sunyi, bahkan setiap orang berdiam dengan menahan napas, tapi mendadak Bok Wan-jing menggembor, keruan mereka kaget. Tapi segera mereka merasa geli juga. Kata Ko Sing-thay, "Harap nona Bok suka sabar, sebentar Siauongya akan keluar."

"Siauongya apa katamu?" tanya Wan-jing.

"Toan-kongcu adalah putra Tin-lam-ong, bukankah Siauongya (putra pangeran) namanya?" sahut Sing-thay.

Bok Wan-jing menjadi heran, gumamnya, "Siauongya? Huh, pelajar ketolol-tololan begitu masakah mirip seorang Ongya segala?"

Sejenak kemudian, dari dalam keluarlah seorang Thaykam dan berseru, "Titah baginda, Sian-tan-hou dan Bok Wan-jing diperintahkan masuk menghadap!"

Waktu melihat keluarnya Thaykam itu, Ko Sing-thay sudah lantas berdiri dengan sikap hormat. Tapi Bok Wanjing sama sekali tak peduli, ia tetap duduk di tempatnya dengan enaknya.

Dan demi mendengar namanya disebut begitu saja, ia menjadi kurang senang, omelnya perlahan, "Masakan menyebut nona juga tidak, apakah namaku boleh sembarangan kau panggil?"

Ko Sing-thay tersenyum, katanya segera, "Marilah nona Bok, kita masuk menghadap Hongsiang."

Biarpun Bok Wan-jing tidak pernah gentar terhadap siapa dan apa pun, tapi mendengar akan menghadap raja, tanpa terasa ia jadi merinding. Terpaksa ia ikut di belakang Ko Sing-thay, setelah menyusur serambi panjang dan menerobos beberapa ruangan lagi, akhirnya sampailah di sebuah ruangan besar yang indah.

Segera Thaykam tadi berseru sembari menyingkap kerai, "Sian-tan-hou dan Bok Wan-jing datang menghadap Hongsiang dan Nionio."

Ko Sing-thay mengedipi Bok Wan-jing agar mengikuti caranya, lalu ia mendahului masuk ke ruangan dan berlutut ke hadapan seorang laki-laki dan seorang wanita agung yang berduduk di tengah.

Sebaliknya Wan-jing tidak ikut berlutut, bahkan ia mengamat-amati laki-laki yang berjubah sulam kuning dan berjenggot panjang itu, lalu tanya, "Apakah engkau ini Hongte (kaisar)?"

Memang laki-laki yang duduk di tengah dengan agungnya itu adalah Toan Cing-beng, raja Tayli sekarang yang arif bijaksana dengan gelar Po-ting-te.

Tay-li-kok atau negeri Tayli itu berdiri sejak zaman Ngotay, sudah bersejarah lebih 150 tahun. Po-ting-te sudah belasan tahun naik takhta, tatkala itu seluruh negeri aman sentosa, rakyat hidup sejahtera, negara makmur, rakyat subur.

Melihat Bok Wan-jing tidak berlutut, sebaliknya tanya apakah dirinya kaisar atau bukan, Po-ting-te menjadi geli malah, sahutnya, "Ya, akulah kaisar. Bagaimana, senang tidak pesiar di kota Tayli ini?"

"Begitu masuk kota aku lantas datang kemari, belum ada waktu untuk pesiar," sahut si nona.

"Biarlah besok anak Ki mengajakmu pesiar menikmati keindahan kota Tayli ini," ujar Po-ting-te dengan tersenyum.

"Baiklah," kata Wan-jing. "Dan engkau juga akan mengiringi kami?"

Mendengar itu, semua orang ikut tertawa geli. Namun Po-ting-te menoleh kepada permaisurinya dan tanya, "Honghou, anak dara ini minta kita mengiringi dia, bagaimana pendapatmu?"

Belum lagi permaisuri itu menjawab, Bok Wan-jing sudah lantas buka suara pula, "Apakah engkau Honghounionio? Sungguh cantik sekali!"

Po-ting-te terbahak-bahak, serunya, "Anak Ki, nona Bok ini memang polos dan kekanak-kanakan, sungguh menarik."

"Kenapa kau panggil dia anak Ki?" tiba-tiba Wan-jing tanya lagi. "Empek (paman) yang sering dia sebut itu apakah engkau adanya? Kali ini dia berkeluyuran keluar, dia takut dimarahi olehmu. Harap jangan kau hajar dia, ya?"

"Sebenarnya aku akan persen dia 50 kali rangketan," sahut Po-ting-te dengan tertawa. "Tapi engkau mintakan ampun baginya, baiklah kuampuni dia. Nah, anak Ki, lekas kau berterima kasih kepada nona Bok?"

Melihat Bok Wan-jing membikin hati sri baginda sangat senang, Toan Ki ikut bergirang juga, ia cukup kenal watak sang paman yang suka turuti permintaan orang, maka cepat ia berkata kepada Wan-jing, "Terima kasih atas kebaikanmu, nona Bok."

Si gadis membalas hormat serta menyahut dengan perlahan, "Tak perlu berterima kasih, asal kau tak dihajar pamanmu aku sudah merasa lega."

Lalu ia berkata pula kepada Po-ting-te, "Semula kusangka seorang kaisar tentu sangat bengis menakutkan, siapa tahu engkau ... engkau sangat baik!"

Sebagai kaisar, umumnya orang hanya disegani dan dihormati, tapi belum pernah ada orang memujinya "engkau sangat baik", keruan Po-ting-te sangat senang, terutama lihat sifat si gadis yang polos kekanakkanakan itu, maka katanya pada permaisurinya, "Honghou, barang apa yang akan kau hadiahkan padanya?"

Segera Honghou tanggalkan sebuah gelang kemala dari pergelangan tangannya dan disodorkan pada Bok Wanjing dan berkata, "Nih, kuhadiahkan padamu!"

Wan-jing tidak menolak, ia terima hadiah itu dan dipakai di tangan sendiri, katanya kemudian dengan tertawa, "Terima kasih, ya! Lain kali aku pun akan mencari sesuatu barang bagus untuk dipersembahkan padamu."

Honghou tersenyum dan belum lagi menjawab, sekonyong-konyong di luar rumah sana, terdengar atap rumah berbunyi keresek sekali. Segera Honghou berpaling pada Po-ting-te dan berkata, "Itu dia, ada orang mengantar hadiah untukmu!"

Belum selesai ucapannya, kembali suara keresek berbunyi pula di atas rumah sebelah.

Bok Wan-jing terperanjat, ia tahu musuh yang datang itu berilmu Ginkang yang mahatinggi, entengnya laksana daun jatuh, bahkan cepat luar biasa.

Dalam pada itu segera terdengar juga beberapa orang telah melompat ke atas rumah, menyusul terdengar suara Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li lagi menegur, "Siapakah tuan ini, ada urusan apa malam-malam mengunjungi Onghu?"

"Aku ingin mencari muridku! Di mana muridku sayang itu? Lekas suruh dia keluar!" demikian jawab seorang yang mengerikan mirip logam digesek. Itulah dia suara Lam-hay-gok-sin.

Diam-diam Bok Wan-jing berkhawatir, meski ia pun tahu penjagaan di luar istana itu sangat keras dan kuat,

Tin-lam-ong sendiri dan Yau-toan-siancu serta tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok sangat tinggi ilmu silatnya, tapi Lam-hay-gok-sin itu memang teramat lihai, pula dibantu Yap Ji-nio dan In Tiong-ho, belum lagi "orang jahat nomor satu di dunia" yang belum muncul itu, jika mereka bersatu untuk merampas Toan Ki, mungkin tidak mudah untuk melawannya.

Sementara itu Leng Jian-li lagi tanya, "Siapakah muridmu? Di dalam Tin-lam-onghu dari mana ada seorang muridmu?"

Sekonyong-konyong terdengar "brak" sekali, tahu-tahu dari udara menyelonong turun sebuah tangan besar hingga kerai di depan pintu tersingkap semua, menyusul bayangan orang berkelebat, Lam-hay-gok-sin sudah berdiri di tengah ruangan dengan matanya yang mirip kedelai itu lagi mengamat-amati setiap orang yang hadir di situ.

Ketika melihat Toan Ki, segera ia terbahak-bahak, "Haha, memang benar apa yang dikatakan Losi, muridku sayang ternyata berada di sini, marilah lekas ikut pergi bersamaku untuk belajar."

Sembari berkata, tangannya yang mirip cakar itu terus mencengkeram badan pemuda itu.

Mendengar sambaran angin cengkeraman Lam-hay-gok-sin itu sangat keras, Tin-lam-ong menjadi khawatir sang putra bisa dilukai. Tanpa pikir ia memapak dengan sebelah telapak tangannya hingga kedua tangan saling beradu dan sama-sama merasakan getaran tenaga dalam masing-masing.

Diam-diam Lam-hay-gok-sin terperanjat, tanyanya, "Siapakah kau? Aku hendak mengambil muridku, peduli apa denganmu?"

"Cayhe Toan Cing-sun," sahut Tin-lam-ong. "Pemuda ini putraku, bilakah dia mengangkat guru padamu?"

"Dia yang paksa menerimaku sebagai murid," demikian Toan Ki menyela dengan tertawa. "Sudah kukatakan padanya bahwa aku sudah punya guru, tapi ia tidak percaya."

Lam-hay-gok-sin memandang Toan Ki, lalu perhatikan Tin-lam-ong Toan Cing-sun pula, kemudian berkata, "Yang tua ilmu silatnya sangat hebat, tapi yang muda sedikit pun tidak becus, aku tidak percaya kalian adalah ayah dan anak. Toan Cing-sun, sekalipun dia benar anakmu, namun cara mengajar ilmu silatmu tidak tepat, anakmu ini terlalu goblok. Sayang, hehe, sungguh sayang."

"Apanya yang sayang?" tanya Toan Cing-sun.

"Bangun tubuh putramu ini lebih mirip diriku, boleh dikatakan adalah bahan belajar silat yang sukar dicari di dunia ini, asal dia belajar 10 tahun padaku, tanggung dia akan jadi seorang jago muda kelas satu di Bu-lim," sahut Gok-sin.

Sungguh geli dan mendongkol Toan Cing-sun. Tapi dengan gebrakan tadi ia pun tahu ilmu silat orang sangat hebat.

Selagi hendak buka suara, tiba-tiba Toan Ki telah mendahului, "Gak-losam, ilmu silatmu masih terlalu cetek, tidak sesuai untuk menjadi guruku. Silakan kau pulang ke Ban-gok-to di Lam-hay untuk berlatih lagi 10 tahun, habis itu barulah engkau ada nilainya buat bicara tentang ilmu silat."

Keruan Gok-sin menjadi gusar, bentaknya, "Kau bocah ingusan ini tahu apa?"

"Kenapa aku tidak tahu?" sahut Toan Ki. "Coba, ingin kutanya padamu, apa artinya, 'Hong-lui-ek, kun-cu-ihkian-sian-cek-ih, yu-ko-cek-kay'. Ayo jawab, lekas!"

Lam-hay-gok-sin melongo tak bisa menjawab, tapi segera ia menjadi gusar, bentaknya, "Ngaco-belo! Apakah artinya itu? Artinya kentut!"

"Hahaha!" Toan Ki terbahak-bahak. "Hanya kalimat yang cetek artinya saja engkau tak paham, tapi engkau masih bicara tentang ilmu silat segala?"

Semua orang ikut geli mendengar Toan Ki menggunakan isi kitab "Ih-keng" untuk mempermainkan Lam-haygok-sin itu. Meski Bok Wan-jing juga tidak paham apa yang diuraikan Toan Ki itu, tapi ia dapat menduga tentu si pelajar tolol itu lagi putar lidah.

Sebaliknya Lam-hay-gok-sin lantas sadar dirinya lagi dipermainkan demi tampak wajah semua orang menertawai dirinya. Dengan menggerung sekali, segera ia hendak menyerang.

Namun Toan Cing-sun telah melangkah ke depan sang putra.

Dengan tertawa Toan Ki berkata lagi, "Apa yang kukatakan tadi adalah istilah ilmu silat yang mukjizat, engkau

terang takkan paham. Haha, katak dalam sumur macammu ini juga ingin menjadi guru orang, sungguh gigi orang bisa copot tertawa geli. Padahal semua guruku, kalau bukan kaum terpelajar, tentu adalah padri saleh. Sebaliknya macam dirimu, biarpun belajar 10 tahun lagi juga belum tentu sesuai untuk menjadi guruku."

Lam-hay-gok-sin menggerung murka, bentaknya, "Siapa gurumu, ayo suruh dia keluar dan unjukkan beberapa jurus padaku!"

Melihat Lam-hay-gok-sin hanya datang sendirian, untuk melawannya tidaklah sulit, maka Toan Cing-sun tidak mencegah kelakuan Toan Ki, apalagi suami istri bisa berkumpul kembali, ia pikir biar putranya menggoda orang jahat ketiga itu sekadar bikin senang hati sang istri.

Keruan Toan Ki bertambah berani, ia berkata pula, "Baiklah, jika kau berani, tunggulah sebentar, biar kupanggil guruku dulu, kalau jantan sejati, jangan kau lari!"

Gok-sin menjerit murka, "Selama hidup Gak-loji malang melintang di seluruh jagat, pernah kutakut pada siapa? Ayo lekas panggil, lekas!"

Benar juga Toan Ki lantas pergi keluar. Tinggal Lam-hay-gok-sin yang memandangi setiap orang yang hadir di situ dengan sikap menantang, sama sekali ia tidak jeri biarpun seorang diri berada di tengah lawan sebanyak itu.

Tiada lama, terdengarlah suara tindakan orang, dua orang kedengaran mendatangi. Ketika Gok-sin mendengarkan, langkah orang yang datang itu kacau tak bertenaga, terang orang yang tak paham ilmu silat.

Terdengar suara seruan Toan Ki dari luar, "Mana itu Gak-losam, tentu dia sudah lari ketakutan? Ayah, jangan biarkan dia lolos, ini, Suhuku sudah datang!"

"Buat apa aku lari?" bentak Gok-sin dengan gusar. "Kurang ajar, bocah ini bikin gusar padaku melulu."

Belum selesai ucapannya, tertampak Toan Ki melangkah masuk sambil menyeret satu orang. Melihat itu, seketika semua orang bergelak tertawa.

Ternyata orang yang dibawa datang Toan Ki itu kurus kecil, pakai topi bentuk kulit semangka, berjubah panjang longgar, berkumis tikus, kedua matanya merah sepat seakan-akan kurang tidur selalu, kepalanya mengkeret takut-takut, sikapnya lucu menggelikan.

Segera Yau-toan-siancu dapat mengenal orang ini sebagai juru tulis di kantor Tin-lam-onghu. Juru tulis she Ho ini setiap hari suka mengantuk saja dan kerjanya berjudi dengan para pelayan di dalam istana. Dalam keadaan setengah mabuk, ia diseret Toan Ki ke dalam ruangan, dengan takut cepat juru tulis itu berlutut dan menyembah ke hadapan Po-ting-te dan permaisuri.

Sudah tentu Po-ting-te tidak kenal siapa juru tulis kecil itu, ia perintahkan orang berbangkit. Segera Toan Ki gandeng Ho-sinshe itu ke hadapan Lam-hay-gok-sin, katanya, "Nah, Gak-losam, di antara guru-guruku, Suhuku inilah ilmu silatnya paling rendah. Maka lebih dulu kau perlu mengalahkan dia, baru ada harganya buat menantang guru-guruku yang lain."

Gok-sin berkaok-kaok murka, teriaknya, "Macam begini gurumu? Haha, dalam tiga jurus saja kalau aku tak bisa bikin dia hancur seperti perkedel, biar aku angkat guru padamu."

Seketika sinar mata Toan Ki terbeliak mendengar itu, tanyanya cepat, "Ucapanmu ini benar-benar atau tidak? Seorang lelaki sejati, sekali bicara harus bisa pegang janji, kalau ingkar janji, itu berarti anak kura-kura, haram jadah!"

"Baik, mari, mari!" Gok-sin berteriak-teriak.

"Dan kalau cuma tiga jurus saja, tidak usah guruku turun tangan, biarlah aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk melayanimu," ujar Toan Ki.

Mendengar pemuda itu hendak maju sendiri, keruan Lam-hay-gok-sin bergirang. Datangnya ke istana pangeran ini atas berita In Tiong-ho yang menyatakan calon muridnya yang hilang itu diketemukan di dalam istana, maka tujuannya melulu ingin "jemput" Toan Ki untuk menjadi ahli waris Lam-hay-pay.

Tapi ketika bergebrak sekali dengan Toan Cing-sun, ia menjadi kaget oleh kepandaian pangeran itu. Apalagi di samping itu masih banyak juga lainnya, kalau hendak menggondol Toan Ki begitu saja rasanya tidaklah mudah. Ia menjadi girang mendengar pemuda itu sendiri yang akan bergebrak dengan dirinya, sekali ulur tangan ia yakin dapat menawan anak muda itu.

Maka katanya segera, "Bagus, jika kau yang maju aku pasti takkan menggunakan tenaga dalam untuk melukaimu."

"Kita janji dulu di muka, dalam tiga jurus kalau engkau tak bisa menjatuhkan aku, lantas bagaimana?" tanya

Toan Ki.

Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak, ia tahu pemuda itu adalah seorang pelajar lemah yang ibaratnya memegang ayam saja tidak kuat, apalagi hendak bertanding tiga jurus dengan dirinya, mungkin setengah jurus saja tidak tahan. Maka sahutnya segera, "Dalam tiga jurus kalau aku tak bisa menang, segera aku angkat guru padamu!"

"Nah, semua hadirin di sini sudah dengar semua, jangan engkau mungkir janji nanti!" seru Toan Ki.

Gok-sin menjadi gusar, teriaknya, "Aku Gak-loji selamanya kalau bilang satu ya satu, bilang dua tetap dua!"

"Gak-losam!" seru Toan Ki.

"Gak-loji!" bentak Gok-sin.

"Gak-losam!" Toan Ki mengulang.

"Sudahlah, cerewet apa lagi, ayo lekas mulai!" teriak Gok-sin tak sabar.

Segera Toan Ki melangkah maju hingga berhadapan dengan tokoh ketiga Su-ok ini.

Di antara hadirin, dimulai Po-ting-te dan permaisuri ke bawah, setiap orang menyaksikan dewasanya Toan Ki, semuanya tahu anak muda itu gemar sastra dan tidak suka ilmu silat, selama hidupnya tidak pernah belajar silat sejurus pun. Malahan ketika dipaksa oleh Po-ting-te dan ayahnya supaya belajar silat, ia lebih suka minggat dari rumah. Jangankan bertanding melawan jago kelas wahid macam Lam-hay-gok-sin, biarpun melawan seorang prajurit biasa juga kalah. Semula semua orang mengira pemuda itu sengaja menggoda Lam-hay-goksin, siapa duga benar-benar akan bertanding.

Sebagai seorang ibu yang sangat sayang pada putranya, segera Yau-toan-siancu membuka suara, "Ki-ji, jangan sembrono, orang liar macam begitu jangan kau gubris padanya."

Cepat Honghou pun memberi perintah, "Sian-tan-hou, lekas kau perintahkan tangkap perusuh ini!"

Sian-tan-hou Ko Sing-thay mengiakan dan segera berseru, "Leng Jian-li, Tang Su-kui, Siau Tiok-sing dan Cu Tan-sin berempat dengarkan perintah, atas titah Nionio, lekas tangkap perusuh kurang ajar ini!"

Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li berempat menerima perintah itu.

Melihat dirinya hendak dikerubut, segera Lam-hay-gok-sin membentak, "Biarpun kalian maju semua juga aku tidak gentar. Ayo, Hongte dan Honghou juga silakan maju sekalian!"

"Nanti dulu, nanti dulu!" demikian cepat Toan Ki mencegah sambil goyang-goyang kedua tangannya. "Biarlah kuselesaikan tiga jurus dahulu denganmu."

Po-ting-te kenal tindak tanduk keponakannya itu sering di luar dugaan, boleh jadi diam-diam dia sudah atur perangkap untuk menjebak musuh, apalagi dirinya dan saudaranya berjaga di samping, kalau Lam-hay-gok-sin hendak bikin susah pemuda itu, rasanya juga tidak bisa. Maka dengan tersenyum ia berkata, "Mundurlah kalian, biarkan perusuh ini belajar kenal betapa lihainya Ongcu dari Tay-li-kok, supaya dia tahu rasa!"

Mendengar perintah itu, Leng Jian-li berempat yang sudah bersiap-siap mengerubut maju itu lantas mengundurkan diri.

"Gak-losam," segera Toan Ki berkata, "marilah kita janji sebelumnya secara tegas. Kalau dalam tiga jurus engkau tak bisa merobohkan aku, harus kau angkat guru padaku. Tapi meski aku menjadi gurumu, melihat tampangmu yang tolol begini, rasanya percuma kuajarkan ilmu silat padamu. Jadi aku tak mau ajarkan apa-apa padamu, setuju?"

"Siapa ingin belajar silat padamu?" bentak Gok-sin gusar. "Huh, ilmu silat kentut anjing apa yang kau miliki?"

"Baik, itu artinya sudah kau terima syaratku," ujar Toan Ki. "Dan sesudah kau angkat guru, segala perintah guru selanjutnya harus kau turuti. Kalau membangkang, itu berarti durhaka dan akan dikutuk oleh setiap orang Bu-lim. Kau terima tidak syarat kedua ini."

"Hahaha, sudah tentu," Gok-sin terbahak-bahak. "Dan begitu pula bila kau yang mengangkat guru padaku."

"Ya, namun kalau kau ingin menerima aku sebagai murid, kau harus kalahkan dulu setiap Suhuku untuk membuktikan bahwa kepandaianmu memang lebih tinggi daripada guru-guruku itu, dengan begitu baru ada harganya mengangkat guru padamu."

"Baik, baik, tak perlu cerewet, ayo lekas maju!" sahut Gok-sin tak sabar.

"Buat apa buru-buru? Lihatlah seorang guruku sudah berdiri di belakangmu ...." kata Toan Ki dengan tersenyum sambil menuding ke belakang Gok-sin.

Lam-hay-gok-sin tidak merasa kalau di belakangnya ada orang, namun begitu toh dia menoleh juga. Kesempatan itu segera digunakan Toan Ki dengan baik, mendadak ia melangkah miring ke kiri, dengan cepat dan lucu ia terus mencengkeram "To-to-hiat" di punggung Gok-sin.

Gerak-gerik Toan Ki sama sekali tidak mirip seorang pesilat, tapi Hiat-to yang dipegangnya itu adalah salah satu jalan darah penting di tubuh manusia. Begitu tercengkeram, seketika Lam-hay-gok-sin merasa dadanya sesak. Sementara itu tangan Toan Ki yang lain lantas tekan di "Ih-sik-hiat" bagian pinggangnya, jari jempol tepat menekan di tengah Hiat-to itu.

Dalam kagetnya cepat Lam-hay-gok-sin meronta dengan tenaga dalam. Tapi dua Hiat-to penting sudah diatasi orang, sekali tenaga dalam dikerahkan, bukannya terlepas dari cengkeraman Toan Ki, sebaliknya kedua tenaga itu saling terjang hingga seketika ia menjadi lemas tak bisa berkutik. Terus saja Toan Ki angkat tubuh Lamhay-gok-sin dan dibanting ke lantai. Untung lantai di ruangan pendopo itu digelari permadani hingga kepalanya yang botak itu tidak sampai benjut.

Walaupun begitu, dengan nama besar Lam-hay-gok-sin, dengan begitu saja ia kena dibanting Toan Ki, tentu saja ia malu. Saking murkanya, sekali lompat dengan gerakan "Le-hi-tah-ting" atau ikan lele melejit, begitu berdiri, ia terus balas mencengkeram Toan Ki.

Hadirin yang berada di ruangan itu adalah jago terkemuka semua, tapi tiada seorang pun yang menyangka Toan Ki yang diketahui sama sekali tidak pernah belajar silat dan lemah itu, ternyata bisa membanting Lam-haygok-sin dengan begitu mudah. Dalam kaget mereka, sementara itu Lam-hay-gok-sin sudah melancarkan serangan tadi kepada Toan Ki.

Toan Cing-sun menjadi khawatir, tapi belum sempat turun tangan melindungi sang putra, tahu-tahu anak muda itu sudah menggeser miring ke kiri, langkahnya aneh gesit, hanya satu langkah itu saja sudah dapat menghindarkan serangan kilat Lam-hay-gok-sin.

"Bagus!" seru Toan Cing-sun memuji.

Menyusul mana serangan Gok-sin yang kedua sudah dilontarkan lagi. Tapi Toan Ki tetap tidak membalas, hanya melangkah maju dua tindak malah dan kembali serangan itu luput.

Dua kali menyerang tidak kena sasaran, Lam-hay-gok-sin menjadi gusar dan kejut. Ia lihat Toan Ki hanya berdiri satu meter di depannya, sekonyong-konyong ia menggerung keras-keras, kedua tangannya berbareng mencengkeram dada dan perut pemuda itu.

Ini adalah salah satu ilmu silat tunggal mahalihai yang dilatihnya sepuluh tahun ini, namanya "Tok-liong-jiau" atau cakaran naga berbisa. Ilmu ini sebenarnya disiapkan untuk melawan Yap Ji-nio guna merebut gelar dari Thian-he-su-ok atau empat orang mahajahat sedunia.

Tapi kini, setelah dibanting, pula balas menyerang berulang tidak kena, Gok-sin menjadi kalap, tak terpikir lagi olehnya apakah cakarannya itu bakal membinasakan "calon ahli waris" itu atau tidak.

Dalam pada itu Po-ting-te, Honghou, Toan Cing-sun, Yau-toan-siancu dan Ko Sing-thay menjadi khawatir juga, berbareng mereka memperingatkan Toan Ki, "Awas!"

Namun dengan enteng pemuda itu melangkah ke kanan setindak menyusul menggeser pula ke kiri selangkah, tahu-tahu ia sudah berputar sampai ke belakang Lam-hay-gok-sin. "Plok," ia keplak sekali atas kepala Gok-sin yang botak itu.

Sungguh sedikit pun Gok-sin tidak menduga bahwa anak muda itu bisa menabok kepalanya secara demikian ajaibnya. Ketika merasa tangan orang sudah sampai di atas kepala, diam-diam ia menjerit, "Matilah aku!"

Tapi demi kepala kena dikeplak, segera ia tahu serangan Toan Ki itu sedikit pun tidak bertenaga dalam. Tanpa ayal lagi ia angkat tangan kiri ke atas, "cret," kontan punggung tangan Toan Ki tercakar lima jalur luka oleh kuku jarinya.

Waktu Toan Ki tarik kembali tangannya dengan cepat, serangan Gok-sin itu masih belum bisa direm, cakarannya masih merosot ke bawah hingga jidatnya juga ikut tercakar.

Sebenarnya sesudah berhasil menghindarkan tiga jurus serangan lawan, Toan Ki sudah menang dan dapat mengakhiri pertandingan itu. Tapi dasar sifat bocahnya masih belum hilang, biarpun dirinya tak bisa Lwekang, namun ketika tampak ada kesempatan untuk menabok kepala orang, terus saja ia keplak sekali kepala Lamhay-gok-sin yang gundul itu, akibatnya hampir dirinya kena tertawan. Keruan kejutnya bukan buatan, buruburu ia sembunyi ke belakang sang ayah dengan muka pucat ketakutan.

Yau-toan-siancu melotot sekali ke arah putranya itu, katanya dalam hati, "Bagus, jadi selama ini diam-diam kau belajar Kungfu sehebat itu kepada ayah dan pamanmu, tapi aku sama sekali tak diberi tahu."

Dalam pada itu Bok Wan-jing telah berseru, "Nah, Gak-losam, sudah tiga jurus tak mampu kau robohkan dia, sebaliknya kau sendiri kena dibanting olehnya. Sekarang lekas menyembah dan panggil Suhu padanya."

Muka Lam-hay-gok-sin menjadi merah, ia garuk-garuk kepalanya yang tak gatal itu dan menyahut, "Dia toh belum bergebrak sungguh-sungguh denganku, kejadian tadi tak bisa dihitung."

"He, tidak malu?" seru Bok Wan-jing. "Kau tidak mau mengaku guru padanya, itu berarti kau rela menjadi anak kura-kura. Sebenarnya kau mau mengangkat guru saja atau terima menjadi anak kura-kura?"

"Tidak semua," sahut Gok-sin. "Aku ingin mengulangi bertanding dengan dia."

Melihat gerak langkah putranya tadi sangat hebat dan bagus luar biasa, sampai dirinya juga tidak paham di mana rahasia kepandaian itu. Segera Toan Cing-sun membisiki Toan Ki, "Boleh maju lagi, jangan pukul dia, tapi cari kesempatan mencengkeram Hiat-tonya."

"Tapi anak menjadi takut sekarang, mungkin takkan berhasil," sahut Toan Ki lirih.

"Jangan khawatir, aku mengawasimu dari samping," kata Cing-sun.

Nyali Toan Ki menjadi besar lagi karena mendapat dukungan sang ayah. Segera ia melangkah ke depan dan berkata pada Lam-hay-gok-sin, "Sudah tiga jurus tak mampu kau robohkan aku, kau harus menyembah guru padaku!"

Tapi tanpa menjawab lagi, Gok-sin menggerung sekali terus menghantam dengan telapak tangannya.

Lekas Toan Ki melangkah miring ke kiri, dengan enteng saja ia hindarkan serangan itu. "Brak," pukulan Goksin menghancurkan sebuah meja.

Toan Ki pusatkan pikiran sambil mulutnya perlahan mengucapkan istilah, "San-ta-pak, Hwe-te-cin ...." dan

seterusnya, yaitu istilah di dalam kitab Ih-keng. Sama sekali ia tidak hiraukan datangnya serangan Lam-haygok-sin, ia hanya urus langkah sendiri yang ke kanan, ke kiri, maju dan mundur sesukanya.

Dalam pada itu semakin lama makin cepat dan keras pukulan Lam-hay-gok-sin hingga terdengar suara gedubrakan dan gemerantang yang riuh di dalam ruangan pendopo, meja kursi dan mangkuk cangkir sama pecah berantakan kena pukulan Gok-sin. Tapi dari mulai sampai akhir, sedikit pun ia belum mampu menyenggol ujung baju Toan Ki.

Hanya sekejap saja lebih 30 jurus sudah berlangsung. Selama itu Po-ting-te Toan Cing-beng dan Tin-lam-ong Toan Cing-sun dapat melihat langkah Toan Ki enteng tetapi kaku, memang sedikit pun tak bisa ilmu silat. Cuma entah dari mana pemuda itu mendapatkan ajaran seorang kosen dalam sejenis ilmu gerak langkah yang ajaib dengan mengikuti perhitungan Pat-kwa ciptaan Hok-hi di zaman baheula, yaitu yang mempunyai dasar hitungan 8x8=64 segi.

Padahal kalau dia benar-benar bertempur dengan Lam-hay-gok-sin, mungkin cuma sejurus saja pemuda itu akan dibinasakan orang. Tapi dia justru mengurusi gerak langkah sendiri sambil mulut mengucapkan istilahistilah yang bersangkutan, dan sebegitu jauh pukulan Lam-hay-gok-sin tetap tak bisa menyenggolnya.

Diam-diam Toan Cing-beng dan Toan Cing-sun saling pandang sekejap, sekilas mereka mengunjuk rasa khawatir juga. Dalam hati mereka sama berpikir, "Bila Lam-hay-gok-sin itu menyerang dengan memejamkan mata misalnya dan tak perlu melihat ke mana anak Ki melangkah, sekenanya ia lontarkan sejurus pukulan saja dan tanpa susah lagi tentu pemuda itu akan dirobohkannya."

Tapi Lam-hay-gok-sin ternyata tidak mempunyai pikiran seperti mereka. Sebaliknya wajahnya makin lama makin beringas, matanya juga semakin mendelik hingga biji mata yang tadinya sebesar kacang, kini melotot sebesar gundu, ia masih tetap memukul sejurus demi sejurus dan tetap tak bisa mengenai sasaran, biarpun ia telah berganti tipu serangan dengan cepat, Toan Ki selalu dapat menghindar ke tempat yang sama sekali di luar perhitungannya.

Namun pertarungan demikian itu kalau diteruskan, sekalipun Toan Ki tidak sampai dirobohkan, tapi untuk mengalahkan lawan juga tidaklah mungkin.

Setelah melihat sebentar, tiba-tiba Po-ting-te berkata, "Anak Ki, melangkah perlahan sedikit, papak dari depan dan cengkeram Hiat-to di dadanya."

Toan Ki mengiakan sambil melambatkan langkahnya, segera ia memapak Lam-hay-gok-sin dari depan. Tapi ketika sinar matanya kebentur dengan sorot mata Gok-sin yang beringas itu, ia menjadi jeri, sedikit kakinya merandek, tempat kedudukannya menjadi rada menceng. Sekali cakar Lam-hay-gok-sin menyambar, kebetulan

menyerempet samping kuping kirinya hingga berdarah. Bila cakaran itu sedikit geser ke kanan, tentu Toan Ki sudah menjadi mayat di situ.

Dan karena kupingnya terasa kesakitan, Toan Ki semakin jeri, ia percepat langkahnya menyingkir ke samping, terus mundur ke belakang sang ayah sambil berseru dengan menyengir, "Pekhu, aku tak sanggup!"

Cing-sun menjadi gusar, serunya, "Keturunan keluarga Toan dari Tayli tidak ada yang mundur ketakutan di garis depan? Ayo, lekas maju lagi, apa yang dianjurkan Pekhu tadi memang tidak salah!"

Yau-toan-siancu terlalu sayang pada sang putra, cepat ia menyela, "Ki-ji sudah bergebrak hampir 60 jurus dengan dia, keluarga Toan mempunyai keturunan sehebat ini, apakah engkau masih belum puas? Ki-ji, sejak tadi kau sudah menang, tak perlu diteruskan lagi."

"Tidak," kata Toan Cing-sun, "tak perlu kau ikut campur putraku, aku tanggung dia takkan mati."

Sedih dan dongkol rasa Yau-toan-siancu, air matanya berkilau-kilau akan menetes.

Melihat itu, Toan Ki menjadi tak tega, ia beranikan diri, segera ia melangkah maju dengan membusungkan dada, bentaknya, "Marilah kita teruskan bertempur!"

Sekali ini ia sudah nekat, ia berputar kian kemari dengan teratur, makin lama makin lambat, ketika berhadapan dengan Gok-sin, ia tidak mau beradu sinar mata lagi, tapi kedua tangan terus mencengkeram dada lawan.

Melihat tangan Toan Ki yang terulur itu lemas tak bertenaga, Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak geli, ia miringkan tubuh terus hendak pegang bahu pemuda itu malah. Tak terduga gerak langkah Toan Ki ternyata bisa berubah dengan sukar diraba, kedua orang berbareng menggeser tubuh hingga kebetulan dada Lam-hay-goksin seakan-akan disodorkan pada jari tangan Toan Ki.

Tanpa ayal lagi Toan Ki incar "Tan-tiong-hiat" dan "Gi-ko-hiat" dengan tepat, sekaligus terus mencengkeram.

Sama sekali Toan Ki tidak punya tenaga dalam, meski berhasil memegang kedua tempat Hiat-to di badan lawan, kalau Lam-hay-gok-sin tidak menggunakan tenaga dalam dan perlahan meronta melepaskan diri secara biasa, sebenarnya Toan Ki juga tak bisa mengapa-apakan dia.

Namun karena merasa Hiat-to penting kena dicengkeram lawan, dalam kagetnya tanpa pikir Lam-hay-gok-sin mengerahkan tenaga dalam untuk menutup kedua Hiat-to itu, berbareng kedua tangannya balas menyerang muka Toan Ki.

Serangan Gok-sin ini mengarah kedua mata Toan Ki, sebenarnya sangat tepat pemakaiannya, yaitu sesuai apa yang disebut "menyerang tempat musuh yang terpaksa harus menolong diri sendiri lebih dulu", betapa pun lihainya musuh, kalau menghadapi serangan demikian, terpaksa harus tarik kembali tangannya untuk melindungi diri sendiri. Dan bagi Lam-hay-gok-sin akan dapatlah terhindar dari malapetaka.

Tak tersangka olehnya bahwa Toan Ki sedikit pun tidak paham tentang menyerang atau diserang segala, ketika jari Gok-sin mencolok ke arah matanya, hakikatnya ia tidak pikir harus cepat tarik kembali tangannya untuk menangkis, sebaliknya kedua tangannya masih tetap mencengkeram kencang di tempat Hiat-to tadi.

Dan kesalahan ini ternyata malah membawa kebetulan baginya. Ketika Lam-hay-gok-sin mengerahkan Lwekang tadi, sekonyong-konyong ketemu rintangan di tempat kedua Hiat-to itu, seketika hawa murni dan darah bergolak hebat dalam tubuh, kedua tangan yang sudah terjulur kira-kira belasan senti di depan mata Toan Ki tahu-tahu terasa lemas tak mau turut perintah lagi. Ia masih belum terima, ia kerahkan tenaga dalam lebih kuat.

Tapi lebih celaka lagi baginya, sekali tenaga dikerahkan, ia merasa dua arus tenaga mahadahsyat saling terjang di dalam tubuh hingga aliran darah ikut kacau dan mogok, seketika matanya berkunang-kunang.

Sebaliknya mendadak Toan Ki juga merasakan dua arus tenaga mahakuat membanjir ke tangannya hingga tubuhnya ikut sempoyongan. Ia sadar keadaan waktu itu, asal kedua tangannya melepaskan Hiat-to lawan, segera jiwanya akan terancam. Sebab itulah meski rasanya menderita sekali, sedapat mungkin ia bertahan.

Jaraknya waktu itu dengan Toan Cing-sun hanya satu meteran saja. Ketika melihat air muka sang putra makin lama makin merah, terang anak muda itu lagi menahan rasa derita, segera Cing-sun ulur jari telunjuknya untuk menahan "Tay-cui-hiat" di punggung Toan Ki.

"It-yang-ci" atau ilmu jari betara surya dari keluarga Toan di negeri Tayli sudah tersohor di seluruh jagat. Maka begitu jari Toan Cing-sun menempel punggung Toan Ki, seketika suatu arus hawa hangat yang halus tersalur ke badan pemuda itu. Kontan badan Lam-hay-gok-sin tergetar, perlahan roboh dengan lemas.

Segera Toan Cing-sun pegang Toan Ki sambil mengerahkan tenaga jarinya lebih kuat. Hanya sebentar saja, lambat laun air muka Toan Ki sudah kembali merah, tapi untuk sejenak ia pun belum sanggup bicara.

Bagaimana diam-diam Toan Cing-sun memakai ilmu "It-yang-ci" untuk membantu sang putra hingga Lamhay-gok-sin dapat dirobohkan, hal ini dapat diketahui setiap orang di ruangan itu. Namun begitu toh Lam-haygok-sin tetap jatuh di bawah tangan Toan Ki, betapa pun hal ini tak bisa dibantah.

Hiong-sat-ok-sin itu benar-benar lihai luar biasa. Begitu tangan Toan Ki melepaskan Hiat-to di badannya, seketika ia melompat bangun. Ia pandang Toan Ki dengan kedua matanya yang bundar kecil itu penuh rasa heran, gemas dan sedih pula.

"Nah, Gak-losam," demikian Bok Wan-jing lantas berteriak, "sekarang kau sudah kalah lagi, kulihat engkau lebih suka menjadi anak kura-kura daripada mengangkat guru, bukan?"

"Tidak, justru kuingin berbuat di luar dugaanmu," seru Gok-sin murka. "Angkat guru ya angkat guru, malumalu apa? Aku Gak-loji sekali-kali tidak sudi menjadi anak kura-kura."

Habis berkata, benar juga ia terus berlutut dan menyembah empat kali kepada Toan Ki sambil berteriak, "Suhu, Tecu Gak-loji memberi hormat padamu!"

Untuk sejenak Toan Ki terkesima, dan belum lagi sempat menjawab, mendadak Lam-hay-gok-sin sudah melompat bangun terus mencelat ke atas wuwungan rumah. Tiba-tiba terdengar suara jeritan sekali di atas rumah menyusul suara gedebuk sekali, dari atas terbanting ke bawah tubuh seorang.

Waktu semua orang menegasi, kiranya seorang pengawal istana pangeran, dadanya sudah berlumuran darah dan berlubang, buah hatinya telah dikorek oleh Lam-hay-gok-sin untuk dimakan. Wi-su atau pengawal itu masih berkelojotan, keadaannya sangat mengerikan.

Sebenarnya kepandaian pengawal itu pun tidak rendah, walaupun tidak setingkat dengan empat tokoh Hi-jiaukeng-dok, tapi hanya dalam satu gebrakan saja ternyata hatinya sudah kena dikorek orang. Keruan semua orang saling pandang dengan terkejut.

"Longkun, muridmu itu benar-benar kurang ajar, lain kali kalau ketemu, harus kau hajar dia sampai minta ampun," seru Bok Wan-jing dengan gusar.

"Kemenanganku tadi hanya secara kebetulan saja berkat bantuan Tiatia," sahut Toan Ki tersenyum. "Tapi lain kali kalau ketemu lagi, mungkin buah hatiku sendiri juga bisa dikorek olehnya, kepandaian apa yang kumiliki untuk hajar dia?"

Waktu bicara itulah, Leng Jian-li dan Siau Tiok-sing sudah gotong keluar mayat pengawal tadi. Toan Cing-sun memberi perintah agar diberi pensiun pada keluarganya dan suruh Ho-sinshe tadi mengundurkan diri.

"Ki-ji," kata Po-ting-te kemudian. "Poh-hoat (ilmu gerak langkah) yang kau mainkan tadi berasal dari falsafah Pat-kwa ciptaan Hok-hi, kau boleh belajar dari siapa?"

"Anak mempelajarinya secara ngawur dari dalam sebuah gua, entah tepat atau tidak, masih mengharapkan petunjuk dari Pekhu," sahut Toan Ki.

"Dari sebuah gua bagaimana, coba ceritakan."

Maka berceritalah Toan Ki tentang pengalamannya.

Kiranya tempo hari waktu dia ditinggal di atas puncak karang, Bok Wan-jing digondol pergi oleh Lam-haygok-sin, dalam keadaan bingung Toan Ki terus mengudak. Tapi baru beberapa tindak tiba-tiba ia menginjak badan seekor ular sawah besar. Bundar dan licin badan ular itu penuh lendir yang basah. Toan Ki terpeleset dan tergelincir ke pinggir jurang.

Dalam keadaan bahaya, untung tangannya yang meraih serabutan itu dapat memegang akar pohon hingga badannya tidak terjerumus lebih jauh ke bawah, mati-matian ia pegang erat akar pohon itu tak dilepaskan lagi demi keselamatannya.

Dalam keadaan badan setengah terjuntai, kaki Toan Ki merasa menginjak di atas batu karang, telinganya mendengar pula suara gemuruh, air sungai mendebur-debur hebat di bawah sana.

Ia coba tenangkan diri dan mengawasi sekitarnya, ternyata dirinya berada di tengah tebing yang terjal sekali, untuk merambat ke atas terang tidak mampu, kalau turun ke bawah akan kecebur ke sungai. Terpaksa merembet ke kiri sana, di situ masih ada tempat untuk berpijak. Begitulah segera ia menggeremet ke sana dengan hati-hati.

Setelah merayap sebentar, ia mengaso sejenak. Kalau ketemukan tempat yang curam, terpaksa tabahkan diri dan akhirnya dapat merayap lewat juga dengan selamat.

Sampai hari sudah magrib, ia lihat di depan masih tetap tebing jurang yang terjal, sedikit pun belum ada tandatanda akan sampai di tempat datar, diam-diam Toan Ki putus asa. Ia coba merayap lagi sebentar, sekonyong-

konyong pikirannya tergerak, pemandangan di depan ini lamat-lamat seperti sudah dikenalnya.

Waktu ia perhatikan lebih jauh, tak tertahan lagi ia berteriak, "Aha, ingatlah aku! Ketika aku keluar dari gua di luar danau itu, pemandangan yang kulihat tak-lain tak-bukan adalah seperti ini!"

Toan Ki senang sekali demi mengenal keadaan tempat itu, ia masih ingat bila dia merayap lewat beberapa tebing curam, ia akan sampai di suatu jalan kecil dan kalau jalan terus belasan li pula, ia akan tiba di jembatan "Sian-jin-toh".

Jadi mulut gua itu berada tidak jauh dari tempatnya sekarang ini, bila teringat pada patung dewi di dalam gua yang cantik tiada bandingannya itu, perasaannya lantas bergolak, ia tak tahan lagi, betapa pun ia ingin pergi menjenguk patung itu.

Tanpa pikir lagi segera ia merangkak terus. Tiada belasan meter jauhnya, benar juga ia sudah sampai di mulut gua tempat keluarnya dari bawah danau tempo hari. Cepat ia menyusup ke dalam gua, mengikuti jalan lama dan akhirnya mencapai kamar batu yang dulu.

Hari sudah gelap, tapi di dalam kamar batu itu tetap terang benderang oleh cahaya mutiara mestika yang menghias seputar dinding kamar. Toan Ki termangu-mangu memandangi patung dewi itu, pikirnya, "Untung ini hanya patung belaka dan bukan manusia. Bila di dunia benar-benar ada gadis secantik ini, aku Toan Ki bukan mustahil rela mati asal dapat mempersuntingkannya."

Begitulah ia terkesima di hadapan patung ayu itu sampai kakinya sudah terasa lemas toh dia masih belum merasa capek, nyata saat itu segala Bok Wan-jing, Lam-hay-gok-sin dan lain-lain sudah dibuang olehnya ke awang-awang. Sampai akhirnya ia benar-benar tidak tahan lagi, lalu ia rebah di bawah kaki patung itu dan terpulas.

Dalam mimpi, patung itu bisa bergerak dan memberikan Toan Ki sebilah pisau serta menyuruh dia membunuh 36 orang laki-laki dan wanita yang tak berdosa. Tanpa membantah, Toan Ki terima pisau itu dan membunuh serabutan hingga dalam sekejap lebih dari 50 orang telah dibunuhnya hingga mayat bergelimpangan dan darah berceceran.

Patung itu tersenyum senang seakan-akan memuji perbuatan Toan Ki itu, lalu menyuruh pergi membunuh ayahnya sendiri. Tentu saja Toan Ki tidak mau, patung itu menjadi marah, katanya, "Kau tidak turut perintah, lebih baik kau bunuh diri saja!"

Tanpa ragu Toan Ki terus angkat pisau dan menikam ulu hatinya sendiri. Dalam kagetnya ia menjerit hingga

tersadar dari tidurnya dengan berkeringat dingin, hatinya masih berdebar dengan kerasnya. Ia lihat di dalam kamar sudah terang benderang oleh cahaya matahari, nyata ia sudah tertidur semalam.

Ia pandang patung itu pula, macam-macam pikiran berkecamuk, tiba-tiba teringat olehnya, "He, kamar ini berada di dasar danau, dari mana datangnya sinar matahari itu?"

Ia coba pandang ke arah datangnya sinar sang surya, ia lihat di ujung kanan atas kamar itu tergantung sebuah cermin perunggu, sinar matahari itu memantul balik dari cermin itu. Ketika cermin perunggu itu diperhatikannya lebih jelas, lamat-lamat ternyata di atas cermin ada ukirannya.

Tergerak pikiran Toan Ki, "Di dalam kamar ini penuh cermin seperti ini, bukan mustahil ada udang di balik batu?"

Segera ia ambil cermin tadi, ia kebut debu di atasnya dan diusap lebih bersih, maka tertampaklah di atas cermin itu memang terukir banyak sekali garis-garis tegak dan miring, di samping garis-garis itu terukir pula huruf "Itpoh", "Liang-poh", "Poan-poh" (satu langkah, dua langkah, setengah langkah) dan seterusnya. Dan tiap ujung garis itu terukir pula penjelasan "Tong-jin", "Tay-yu" dan macam-macam huruf kecil lain.

Toan Ki pernah membaca "Ih-keng," maka tahu "Tong-jin", "Tay-yu" dan sebagainya itu adalah nama segi-segi Pat-kwa yang seluruhnya berjumlah 8x8=64 segi itu.

Waktu cermin itu ia balik, di punggung cermin terukir pula empat huruf kuno "Leng-po-wi-poh" atau langkah lembut dewi cantik. Kalimat ini mengingatkan Toan Ki pada syair Co Cu-kian, putra Co Cho di zaman Samkok, yaitu syair yang memuja wanita cantik. Tapi bagi Toan Ki, ia merasa syair itu masih belum cukup untuk melukiskan betapa cantiknya patung di depan matanya ini.

Untuk sekian lamanya ia termenung-menung di situ sambil memegangi cermin perunggu. Kemudian teringat pula olehnya tulisan di papan perunggu di bawah kaki patung yang pernah dibacanya itu. Kata tulisan itu, "Sesudah kau genap menjura seribu kali padaku, itu berarti sudah menjadi muridku. Pengalamanmu selanjutnya akan sangat mengenaskan, hendaklah kau jangan menyesal. Ilmu silat perguruan kita yang tiada bandingannya di jagat ini berada di dalam ruangan batu ini, harap melatihnya dengan tekun."

Malahan tempo hari waktu dia berpisah dari patung itu pernah mengatakan, "Enci Dewi, aku tidak mau menjadi muridmu, ilmu silatmu yang tiada bandingannya itu juga takkan kupelajarinya."

Tapi kini sesudah memandang lebih mesra terhadap patung itu, pikirannya menjadi kabur tak terkendali, pikirnya sekarang, "Di manakah beradanya ilmu silat tiada bandingannya itu? Apa barangkali terukir di atas cermin-cermin perunggu ini? Enci Dewi suruh aku belajar silat, tak boleh tidak aku harus mempelajarinya

sekarang."

Berpikir begitu, segera ia balik cermin perunggu tadi dan menghafalkan hitungan ke-64 segi Pat-kwa itu lalu setindak demi setindak mulai berlatih.

Semula ia hanya melangkah mengikuti petunjuk yang terukir di atas cermin itu tanpa mengetahui di mana letak keajaibannya, terkadang tulisan di cermin itu sangat aneh, setelah melangkah setindak, langkah selanjutnya menjadi buntu rasanya. Tapi ketika kemudian mesti melompat sambil berputar tubuh, jalan selanjutnya terbuka lagi dengan lancar. Sering pula harus disertai dengan melompat maju atau mundur untuk bisa cocok dengan petunjuk di atas cermin itu.

Dasar Toan Ki memang sudah biasa tekun belajar, maka sekali sudah mau, biarpun menemukan persoalan sulit tentu dipecahkannya dengan peras otak baru mau berhenti. Dan bila kemudian sudah paham, ia lantas berjingkrak girang seperti orang sinting. Pikirnya, "Elok benar! Jadi ilmu silat juga bisa membikin orang senang, bahkan tidak kurang menariknya daripada orang membaca kitab."

Lalu pikirnya pula, "Aku tidak suka bikin susah atau membunuh orang, makanya selama ini aku tidak sudi belajar silat. Tapi Poh-hoat (ilmu gerak langkah) ini tak bisa dipakai membunuh orang, sebaliknya dapat menghindarkan maksud jahat musuh, kalau dipelajari, ada manfaatnya tiada jeleknya. Sekalipun ilmu silat lainnya kalau digunakan untuk menolong sesamanya, sebenarnya juga tidak jelek."

Begitulah, sekali dia sudah suka, ia lantas merasa tiada salahnya belajar silat. Dan dengan demikian, ia lantas belajar terlebih giat. Hanya dalam satu hari saja, Poh-hoat yang tertulis di atas cermin itu sudah 2-3 bagian dapat dipahaminya.

Malamnya, ia merasa sangat lapar. Segera ia keluarkan "Bong-koh-cu-hap" agar binatang itu bersuara memanggil ular. Ia pilih seekor ular yang gemuk, lalu menyembelihnya, ia keluar ke tepi sungai itu untuk mencari kayu bakar dan memanggang daging ular untuk dimakan.

Selama beberapa hari, kecuali makan ular dan tidur, senantiasa Toan Ki terbenam dalam pelajaran "Leng-powi-poh" yang aneh itu. Terkadang kalau sudah malas, begitu mendongak dan memandang patung dewi itu, ia lantas merasa patung cantik itu lagi mengomeli dia, ia terkesiap dan kembali belajar lagi dengan tekun.

Hari keempat, seluruh pelajaran ilmu langkah itu sudah dapat dihafalkannya. Selama itu sering juga teringat olehnya akan Bok Wan-jing yang tak diketahui bagaimana nasibnya selama digondol Lam-hay-gok-sin itu, tentu gadis itu lagi menunggu pertolongannya, demikian pikirnya.

Tapi bila sinar matanya kebentrok dengan pandangan patung cantik itu, ia menjadi seperti kesurupan dan lupa daratan. Tapi kini ia telah ambil ketetapan yang tegas, "Aku harus pergi menolong nona Bok dahulu, kemudian baru aku kembali lagi ke sini!"

Segera ia kembalikan cermin perunggu itu ke tempat asalnya, sekilas ia dapat melihat pula bahwa di atas cermin perunggu lain yang berada di lantai juga lorang-loreng penuh terukir tulisan dan garis-garis. Ia tahu bila terus melatih ilmu di atas cermin itu, tentu akan makan waktu beberapa hari lagi, padahal nona Bok masih berada di bawah cengkeraman orang jahat dan sedang menanti kedatangannya untuk menolong.

Namun begitu, dalam hati kecilnya timbul juga semacam rasa berat untuk meninggalkan patung cantik itu Kalau dia pergi, jelas dirinya takkan mampu mengalahkan Lam-hay-gok-sin dan terpaksa mengangkat guru padanya baru nona Bok mau dibebaskan. Padahal bila dia disuruh angkat orang sejahat itu menjadi guru, Toan Ki merasa lebih suka mati daripada mesti menurut.

Sebab itulah, pertentangan batinnya menjadi hebat, ia ragu sampai sekian lama. Akhirnya merasa bila dirinya tidak pergi menolong Bok Wan-jing, itu berarti tidak berbudi dan tak bisa dipercaya, seorang laki-laki sejati tidak nanti berbuat demikian, sekalipun akhirnya dirinya mesti celaka, sekali sudah berjanji harus ditepati.

Karena itu, segera ia menjura kepada patung dewi itu, katanya, "Enci Dewi, bila aku bisa meloloskan diri dari Lam-hay-gok-sin yang jahat itu dengan ilmu 'Leng-po-wi-poh' ajaranmu, kelak tiap tahun aku pasti akan tinggal bersamamu di sini setengah tahun lamanya."

Habis itu, segera ia bertindak keluar gua dengan gaya berlenggang menurut gerak langkah Leng-po-wi-poh.

Tak tersangka, baru saja ia menginjak sudut "Tay" dan menggeser ke segi "Koh," sekonyong-konyong suatu arus hawa panas menerjang ke atas dari dalam perutnya. Seketika badannya terasa lumpuh, kontan ia ambruk ke lantai.

Dalam kagetnya cepat Toan Ki bermaksud menahan lantai dengan tangannya untuk merangkak bangun. Tak terduga semua anggota badannya juga terasa kaku pegal tak mau turut perintah lagi, bahkan untuk menggerakkan sebuah jari saja terasa susah.

Kiranya "Leng-po-wi-poh" yang tertera di atas cermin perunggu itu adalah semacam ilmu silat mahatinggi, kalau orang melatihnya sudah mempunyai dasar ilmu silat yang baik, maka setiap gerak-geriknya akan selalu disertai dengan tenaga dalam yang kuat.

Sebaliknya Toan Ki sedikit pun tidak mempunyai dasar Lwekang, jalannya tergantung ingatannya melulu,

melangkah sekali, pikir sekali dulu, lalu berhenti, kemudian melangkah pula, cara demikian tidak menjadi alangan karena pergolakan darah yang disebabkan gerak langkah itu mendapat cukup waktu untuk berhenti.

Tapi kini sesudah dia hafal, lalu sekaligus berjalan begitu saja, seketika darahnya berontak sehingga menerjang balik, seketika ia lumpuh di lantai, hampir darahnya tersesat atau apa yang disebut "Cau-hwe-jip-mo" dalam ilmu silat. Untung dia baru melangkah dua tindak dan tidak terlalu cepat pula, maka urat nadinya tidak sampai pecah atau putus.

Dalam keadaan kaget itulah, Toan Ki coba meronta bangun, tapi semakin bergerak semakin kaku, rasanya ingin tumpah, tapi tidak tumpah. Akhirnya ia menghela napas dan pasrah nasib.

Aneh juga, sesudah dia pasrah masa bodoh, rasa mualnya malah hilang lambat laun.

Dan sekali dia sudah menggeletak tak berkutik, keadaan itu berlangsung hingga esok paginya masih tetap begitu. Diam-diam ia pikir, "Papan perunggu di bawah kaki Enci Dewi itu tertulis bahwa pengalamanku selanjutnya akan sangat mengenaskan, aku diminta jangan menyesal. Kalau aku cuma mati kelaparan begini saja, rasanya masih belum terhitung mengenaskan."

kira-kira pukul 10 pagi itu, sinar matahari menyorot miring dari luar hingga persis menerangi sebuah cermin perunggu. Mata Toan Ki menjadi silau oleh pantulan cahaya matahari itu. Pikirnya ingin menghindari sinar menyilaukan itu, tapi apa daya, antero badan tak bisa bergerak. Tiba-tiba ia melihat di atas cermin itu samarsamar seperti terukir huruf "Bi-ce", "Soi-ko" dan lain-lain. Oleh karena kepalanya tak bisa bergerak, ia lantas baca tulisan itu secara cermat, lalu direnungkan dalam-dalam.

Dari cermin pertama tadi ia hanya dapat belajar 32 segi dari 64 segi itu. Kebetulan apa yang terukir di atas cermin sekarang ini adalah sisa 32 segi yang lain. Segera ia mempelajarinya lebih jauh.

Meskipun kakinya tak bisa bergerak, tapi pikirannya bekerja seakan-akan kakinya lagi bergerak menurut langkah yang ditunjukkan di atas cermin itu. Sampai petang, sudah ada belasan langkah dapat dipahaminya, rasa muaknya jauh berkurang.

Jilid 10
Sampai esok paginya lagi, ke-32 langkah itu sudah dapat dipecahkan seluruhnya. Diam-diam ia menghafalkan lagi seluruh ke-64 segi itu dari awal sampai akhir. Dan nyatanya memang berjalan dengan lancar.

Ibaratnya orang yang mogok di tengah jalan karena menghadapi jalan buntu, kini mendadak jalan itu dapat ditembus, keruan Toan Ki sangat girang, terus saja ia meloncat bangun sambil bertepuk tangan dan berseru, "Bagus, bagus!”

Mendadak ia tertegun heran teringat pada dirinya kini sudah dapat bergerak lagi tanpa terasa.

Kejut dan girang Toan Ki tidak terkira, ia khawatir lupa, maka ke-64 gerak langkah itu diulanginya beberapa kali hingga hafal benar-benar, ia melangkah perlahan setindak demi setindak hingga akhirnya tercapai dengan bulat, ia merasa semangatnya tambah kuat dan segar. Meski sudah beberapa hari tidak makan, tapi toh tidak terasa lapar.

Ia memberi hormat ke arah patung dan mengucapkan terima kasih, lalu cepat berlari keluar dari gua itu. Dengan mengikuti jalan yang pernah dilaluinya, ia melintasi "Sian-jin-toh” dan kembali ke Bu-liang-san, akhirnya berjumpa pula dengan Bok Wan-jing.

Demikianlah ia ceritakan pengalamannya itu kepada ayah dan paman, hanya mengenai patung cantik itu tidak ia ceritakan, ia bilang menemukan dua buah cermin perunggu dan dari tulisan ukiran di atas cermin itulah dapat diperoleh ilmu gerak langkah yang ajaib itu.

Ia merasa di hadapan orang sebanyak itu tidak pantas menceritakan dirinya kesengsem atas sebuah patung ayu, apalagi Bok Wan-jing tentu akan marah besar dan bukan mustahil dirinya bisa digampar pula.

Selesai Toan Ki bercerita, Po-ting-te lantas berkata, "Ke-64 gerak langkah itu terang mengandung semacam ilmu Lwekang yang mahatinggi, coba kau lakukan sekali lagi dari awal sampai akhir.”

Toan Ki mengiakan dan segera mulai berjalan selangkah demi selangkah menurut perhitungan Pat-kwa.

Po-ting-te, Toan Cing-sun dan Ko Sing-thay adalah ahli Lwekang, tapi terhadap keajaiban ilmu langkah itu

mereka cuma bisa menangkap satu-dua bagian saja, selebihnya mereka pun merasa bingung.

Selesai Toan Ki melangkah ke-64 segi itu, persis ia putar suatu lingkaran besar dan tiba kembali di tempat semula.

Po-ting-te sangat girang, serunya, "Bagus sekali! Poh-hoat ini tiada bandingannya di seluruh jagat, sungguh beruntung sekali Ki-ji dapat memperolehnya, harap Ki-ji melatihnya lebih masak. Sekarang silakan omong dengan ibumu yang baru pulang istana.”

Lalu ia berpaling pada permaisurinya, "Marilah kita pulang!”

Honghou mengiakan sambil berbangkit. Segera Toan Cing-sun dan lain-lain mengantar Hongte dan Honghou keluar istana Tin-lam-ong.

Setelah berada di dalam istana sendiri, segera Toan Cing-sun mengadakan perjamuan untuk menyambut pulangnya sang istri dan datangnya Bok Wan-jing. Satu meja perjamuan hanya empat orang, yaitu Toan Cingsun suami istri, Toan Ki dan Wan-jing, tapi dayang yang melayani hampir 20 orang banyaknya.

Sudah tentu selama hidup Bok Wan-jing belum pernah melihat kemewahan demikian, begitu pula semua masakan yang disuguhkan di situ jangankan melihat, bahkan mendengar pun tidak pernah. Tapi demi tampak ayah-bunda Toan Ki memandang dirinya sebagai anggota keluarga sendiri, diam-diam ia pun sangat senang.

Melihat sikap ibunya terhadap ayahnya tetap dingin saja, tidak mau minum arak dan tidak makan daging, hanya dahar sedikit sayuran saja, segera Toan Ki menuang satu cawan arak dan berkata, "Mak, marilah anak menghormati engkau secawan!”

"Tidak, aku tidak minum arak,” sahut Yau-toan-siancu.

Tapi Toan Ki menuang lagi secawan dan mengedipi Wan-jing, katanya pula, "Minumlah Mak, nona Bok juga ingin menyuguh engkau secawan!”

Segera Bok Wan-jing mengangkat cawan yang diangsurkan Toan Ki itu dan berdiri. Yau-toan-siancu menjadi tidak enak kalau bersikap dingin terhadap Bok Wan-jing, maka katanya dengan tersenyum, "Nona, putraku ini terlalu nakal, ayah-bundanya sukar mengendalikan dia, selanjutnya perlu kau bantu mengawasi dia lebih keras.”

"Tentu,” sahut Wan-jing, "kalau dia tidak menurut, kontan kujewer dia!”

Yau-toan-siancu mengikik geli oleh jawaban itu sambil melirik sang suami. Dengan kikuk Toan Cing-sun tertawa, ujarnya, "Memang harus begitu!”

Lalu Yau-toan-siancu menerima cawan arak suguhan Bok Wan-jing itu. Di bawah sinar lilin yang terang, Wanjing melihat lengan nyonya pangeran itu putih halus bagai salju. Tiba-tiba dapat dilihatnya pula di punggung tangan dekat pergelangan terdapat sebuah andeng-andeng (tembong) merah sebesar mata uang. Seketika badan Wan-jing tergetar, cepat ia tanya dengan suara gemetar, "Apa ... apakah engkau ber ... bernama Si Pek-hong?”

"Dari mana kau tahu namaku?” sahut Yau-toan-siancu dengan tertawa.

"Engkau ... benar-benar Si Pek-hong?” Wan-jing menegas pula dengan terputus-putus. "Bukankah dahulu engkau memakai senjata ... senjata pecut?”

Melihat sikap gadis itu rada aneh, namun Yau-toan-siancu alias Si Pek-hong masih belum curiga, sahutnya pula dengan tersenyum, "Sungguh Ki-ji sangat baik padamu, sampai nama kecilku juga diberitahukan padamu.”

Mendadak Bok Wan-jing berteriak, "Budi guru mahatinggi, perintah guru tidak boleh dibangkang!”

Berbareng tangannya bergerak, dua batang panah beracun lantas menyambar ke dada Yau-toan-siancu.

Dalam perjamuan yang diliputi suasana riang gembira di antara anggota keluarga sendiri itu, sudah tentu siapa pun tidak menyangka bakal terjadi penyerangan mendadak dari Bok Wan-jing. Biarpun ilmu silat Yau-toansiancu jauh lebih tinggi daripada Bok Wan-jing, tapi jarak kedua orang sangat dekat, pula terjadinya secara tiba-tiba, tampaknya kedua panah itu segera akan menancap di dada sasarannya.

Toan Cing-sun duduk di sebelah kiri Bok Wan-jing, begitu melihat gelagat jelek, cepat jarinya menutuk, tapi Ityang-ci yang lihai itu juga cuma membikin Bok Wan-jing tak bisa berkutik, sedang kedua panah masih tetap menyambar ke depan.

Sebaliknya Toan Ki duduk di sisi kanan, sudah beberapa kali ia pernah menyaksikan Bok Wan-jing menyerang dengan panahnya yang berbisa maut itu. Maka begitu tampak gadis itu ayun tangannya, segera ia tahu bakal celaka.

Ia tak mahir ilmu silat, tapi dengan "Leng-po-wi-poh” yang cepat luar biasa, tahu-tahu ia menyelinap mengadang di depan sang ibu hingga kedua panah berbisa tepat menancap di dadanya. Berbareng itu Bok Wanjing sendiri merasa badan kaku dan tak bisa berkutik karena ditutuk Toan Cing-sun.

Betapa cepatnya Tin-lam-ong, menyusul sekaligus ia tutuk pula beberapa kali di sekitar luka Toan Ki yang terpanah itu agar racun tidak menyerang lebih dalam. Habis itu, ia putar balik dan memuntir tangan Bok Wanjing hingga terlepas dari ruasnya, dengan demikian supaya gadis itu tak bisa melepaskan panah pula. Lalu ia bebaskan Hiat-to yang ditutuknya dan membentak, "Lekas keluarkan obat penawarnya!”

"Aku ... aku tidak bermaksud memanah Toan-long, aku ingin ... ingin membunuh Si Pek-hong!” demikian jerit Wan-jing setengah meratap. Dengan menahan sakit lengannya yang keseleo, cepat ia keluarkan dua botol kecil obat penawar racun, katanya, "Yang merah diminum, yang putih bubuhkan pada lukanya, lekas, harus lekas! Kalau terlambat tidak keburu tertolong lagi!”

Yau-toan-siancu melotot sekali kepada gadis itu, melihat begitu perhatiannya terhadap putranya yang sungguhsungguh timbul dari lubuk hatinya, diam-diam ia dapat menduga sebab musabab kejadian ini. Segera ia rebut obat penawar itu dan mengobati Toan Ki menurut petunjuk Bok Wan-jing tadi.

"Terima kasih kepada langit dan bumi bahwa ... bahwa jiwanya dapat diselamatkan, kalau ... kalau tidak ....” demikian Bok Wan-jing tak sanggup meneruskan lagi ratapannya.

Sementara itu setelah terpanah, Toan Ki lantas jatuh pingsan di pangkuan sang ibu. Suami-istri Toan Cing-sun terus memerhatikan luka Toan Ki, melihat darah yang mengalir keluar dari luka itu dari hitam sudah berubah ungu, lalu menjadi merah kembali, mereka baru merasa lega karena tahu jiwa sang putra sudah dapat diselamatkan.

Segera Yau-toan-siancu pondong putranya ke dalam kamar, lalu keluar lagi ke ruangan makan itu.

"Tidak apa-apa bukan?” tanya Toan Cing-sun pada sang istri.

Tapi Yau-toan-siancu tak menjawabnya, sebaliknya lantas berkata kepada Bok Wan-jing, "Pergilah kau dan katakan pada Siu-lo-to Cin Ang-bian bahwa ....”

Mendengar disebutnya "Siu-lo-to Cin Ang-bian” itu, seketika air muka Toan Cing-sun berubah hebat, tanyanya dengan tergegap, "Kau ... kau bilang apa?”

Tapi Yau-toan-siancu tak menggubrisnya, ia tetap berkata kepada Wan-jing, "Katakanlah padanya, jika dia menginginkan jiwaku, pakailah cara terbuka dan terang-terangan, tapi kalau main licik begini, tentu akan dibuat tertawaan orang saja.”

"Aku tidak kenal siapa gerangan Siu-lo-to Cin Ang-bian!” jawab Wan-jing keras-keras.

"Habis, siapa yang menyuruhmu membunuh diriku!” tanya Siancu.

"Guruku,” sahut Wan-jing. "Guruku menyuruhku membunuh dua orang. Yang seorang adalah engkau. Beliau menerangkan padaku bahwa pada tanganmu ada tembong merah besar, namanya Si Pek-hong, parasnya cantik, bersenjata pecut. Tapi dia tidak bilang engkau berdandan sebagai To-koh (imam wanita). Kulihat engkau memakai kebut pertapaan, bernama Yau-toan-siancu pula, sungguh tidak nyana bahwa engkaulah orang yang harus kubunuh menurut perintah guruku, lebih-lebih tak kusangka bahwa engkau adalah ibu Toan-long ....”

Berkata sampai di sini, tak tertahan lagi air matanya bercucuran.

"Dan orang kedua yang ingin dibunuh gurumu bukankah juga seorang wanita cantik, tangan kanannya kehilangan tiga jari?” tanya Si Pek-hong alias Yau-toan-siancu.

"Benar,” seru Wan-jing heran. "Dari mana engkau tahu? Wanita itu katanya she Keng ....”

Tiba-tiba pipi Si Pek-hong basah oleh air mata yang berlinang-linang, ia pikir sejenak, lalu berkata kepada sang suami, "Cing-sun, harap kau rawat Ki-ji baik-baik!”

"Pek-hong,” sahut Tin-lam-ong, "suka duka masa lalu buat apa tetap kau pikir?”

"Kau tidak pikir, tapi aku tetap memikirnya dan orang lain pun tidak pernah melupakannya,” sahut Si Pek-hong dengan rasa pedih. Habis ini, sekonyong-konyong ia melompat keluar melalui jendela.

Cepat Toan Cing-sun hendak menarik lengan bajunya, namun Si Pek-hong sempat angkat tangannya terus dan mengebas ke muka sang suami, untung Tin-lam-ong sempat mengegoskan kepalanya, "bret,” hanya kain lengan baju Si Pek-hong kena dirobeknya.

"Apa kau ajak berkelahi?” seru Si Pek-hong dengan gusar sambil menoleh.

"Pek-hong, kau ....” baru sekian Toan Cing-sun menjawab, segera Si Pek-hong melesat pergi dengan cepat.

Dari jauh terdengar bentakan Leng Jian-li yang keras, "Siapa itu?”

Lalu terdengar Si Pek-hong menjawab, "Aku!”

Terdengar Leng Jian-li berseru gugup, "Ah, kiranya Onghui!”

Habis itu, lalu sunyi senyap tiada suara lagi.

Cing-sun termangu-mangu berdiri di tempatnya, akhirnya ia menghela napas dan memandang Bok Wan-jing yang sementara itu tampak pucat pasi menahan sakit, tapi toh tidak melarikan diri. Ia mendekati gadis itu dan pegang lengannya, "krak,” ia betulkan lagi ruas tulang yang sengaja dipuntir keseleo tadi.

"Aku telah panah istrinya, entah siksaan keji apa yang hendak dilakukannya atas diriku?” demikian Wan-jing membatin.

Tak terduga Toan Cing-sun hanya diam saja, dengan lesu kemudian ia berduduk di atas kursinya, perlahan ia angkat cawan araknya tadi dan diminum habis sekaligus. Pandangannya terpaku ke arah perginya Si Pek-hong tadi dengan termangu-mangu.

Sejenak kemudian, ia menuang arak dan ditenggak habis lagi. Dengan cara menuang sendiri dan minum sendiri, tidak lama sudah 13 cawan dikeringkannya, kalau poci arak yang satu sudah kering, lantas menuang dari poci yang lain. Menuangnya sangat lambat, tapi meneguknya sangat cepat.

Makin lama Bok Wan-jing menjadi semakin kesal, saking tak tahan, akhirnya ia berteriak keras-keras, "Cara bagaimana hendak kau siksa aku, lekas kau lakukan!”

Baru sekarang Toan Cing-sun mendongak ke arahnya serta memandangnya tanpa berkedip. Selang agak lama, ia berkata, "Sungguh mirip! Seharusnya dapat kulihat sejak tadi. Ya, beginilah wajahnya dan beginilah tabiatnya ....”

Mendengar ucapan yang tak keruan tujuannya, Bok Wan-jing berseru pula, "Kau bilang apa? Ngaco-belo!”

Tapi Cing-sun tak menjawabnya, tiba-tiba ia berbangkit, perlahan telapak tangan kiri memotong miring ke belakang dengan perlahan, tahu-tahu sumbu lilin yang berkobar di belakangnya terpadam sebatang. Menyusul telapak tangan kanan memotong pula ke belakang dan lagi-lagi api lilin yang lain disirapkan.

Berturut-turut ia memadamkan lima batang api lilin, tapi pandangannya selalu melihat ke depan, gerak tangannya perlahan, tapi enteng dan indah gayanya.

"He, bukankah ini ... ‘Ngo-lo-gin-yan-ciang’? Kenapa engkau juga bisa?” demikian tanya Wan-jing dengan heran dan terkejut.

"Pernahkah gurumu mengajarkan ilmu ini kepadamu?” tanya Cing-sun dengan tersenyum getir.

"Tidak pernah,” sahut si gadis. "Suhu bilang kepandaianku belum cukup masak untuk berlatih ilmu pukulan ini. Pula, Suhu menyatakan ilmu pukulannya ini pasti takkan diturunkan pada orang lain, kelak akan dibawa serta ke liang kubur.”

"O, jadi dia bilang takkan mengajarkannya pada orang lain dan akan dibawa serta ke liang kubur kelak?” Cingsun menegas.

"Ya,” sahut Wan-jing. "Cuma Suhu masih sering melatihnya di luar tahuku, karena itu diam-diam aku sudah sering melihatnya juga.”

"Dia sering berlatih ilmu pukulan ini seorang diri?” Cing-sun menegas pula.

Wan-jing mengangguk, sahutnya, "Ya, setiap kali Suhu berlatih ilmu pukulan ini, tentu dia uring-uringan dan mendamprat aku. Tapi ken ... kenapa kau pun bisa? Eh, malahan engkau seperti lebih pandai memainkannya daripada guruku.”

Toan Cing-sun menghela napas, katanya, "Ilmu ‘Ngo-lo-gin-yan-ciang’ ini akulah yang mengajarkan kepada Suhumu.”

Wan-jing terkejut, tapi ia percaya. Sebab setiap kali gurunya berlatih pukulan ini, sering kali diperlukan duatiga kali gerakan baru dapat memadamkan api lilin. Tapi Toan Cing-sun cukup sekali kebas sudah bisa sirapkan api lilin, geraknya indah dan dilakukan seperti seenaknya saja. Maka dengan tak lancar ia tanya pula, "Jadi engkau adalah gurunya Suhuku? Engkau adalah ... adalah kakek guruku?”

"Bukan!” sahut Tin-lam-ong dengan menggeleng kepala. Kemudian ia komat-kamit sendiri sambil bertopang dagu, "Setiap kali dia berlatih tentu uring-uringan dan menyatakan ilmu ini takkan diajarkan pada orang lain, tapi akan dibawa ke liang kubur ....”

"Dan bagaimana engkau ....?”

Baru Wan-jing hendak tanya, tiba-tiba Toan Cing-sun menggoyang tangan mencegahnya supaya jangan bersuara. Lewat sebentar, ia tanya pula, "Tahun ini kau berumur 18, kau lahir dalam bulan sembilan, betul tidak?”

"He, dari mana kau tahu? Engkau pernah hubungan apa dengan Suhuku?” tanya Wan-jing heran.

Maka tertampaklah air muka Toan Cing-sun penuh rasa derita, dengan suara parau ia menjawab, "Aku merasa ber ... berdosa pada gurumu, berdosa pula ... padamu, Wan-jing, kau ....”

"Ada apa?” sahut si nona. "Kulihat engkau ini sangat ramah tamah, sangat baik.”

"Apakah nama gurumu tak pernah diberitahukan padamu?” tanya Cing-sun pula.

"Suhu bilang namanya ‘Bu-beng-khek’, tapi sebenarnya she apa dan namanya siapa, aku tidak mengetahuinya.”

"Bagaimana penghidupan gurumu selama bertahun-tahun ini? Di mana kalian tinggal?” tanya Cing-sun lebih jauh.

"Kami tinggal di balik suatu gunung yang tinggi dan tidak pernah bertemu dengan siapa pun, sejak kecil aku pun demikian.” sahut si gadis.

"Siapakah ayah-bundamu, apakah tak diberi tahu oleh gurumu?”

"Kata Suhu, aku adalah anak piatu yang dibuang oleh orang tua, Suhu menemukan aku di tepi jalan.”

"Kau benci pada ayah-bundamu atau tidak?”

Bok Wan-jing tidak lantas menjawab, ia menggigit-gigit kuku jarinya, berpikir sambil miringkan kepala.

Melihat sikap demikian itu, tak tertahan lagi hati Toan Cing-sun menjadi pilu dan meneteskan air mata.

Wan-jing tambah heran melihat pangeran itu menangis, tanyanya, "He, kenapa engkau menangis?”

Lekas Tin-lam-ong berpaling dan mengusap air matanya, lalu paksakan diri tertawa dan menjawab, "Ah, masakah aku menangis? Karena pengaruh arak, mataku menjadi pedas!”

Sudah tentu si gadis tak percaya, katanya, "Terang kulihat engkau menangis. Biasanya cuma wanita yang menangis, jadi laki-laki juga bisa menangis? Aku tak pernah melihat orang laki-laki menangis, kecuali anak kecil.”

Melihat gadis itu sama sekali tidak mengerti peradaban orang hidup, Tin-lam-ong menjadi lebih terharu, katanya kemudian, "Wan-jing, harus kujaga baik-baik dirimu barulah dapat sekadar mengganti kesalahanku yang lalu, adakah sesuatu cita-citamu, coba katakan padaku, pasti akan kulaksanakan sepenuh tenaga bagimu.”

Sebenarnya hati Bok Wan-jing kebat-kebit karena habis memanah nyonya Toan, tapi demi mendengar ucapan Toan Cing-sun ini, ia menjadi girang, serunya, "Jadi engkau tidak marah lagi karena aku memanah istrimu?”

"Justru seperti apa yang kau katakan tadi, ‘budi guru mahatinggi, perintah guru sukar dibantah’, urusan orang tua masa dahulu tiada sangkut pautnya dengan dirimu, maka aku takkan marah padamu. Cuma lain kali jangan lagi kurang sopan kepada istriku.”

"Tapi kelak bila ditanya Suhuku lantas bagaimana?” kata Wan-jing.

"Bawalah aku menemui gurumu, biar kubicara padanya,” kata Cing-sun.

"Bagus!” seru Wan-jing dengan girang sambil bertepuk tangan. Tapi segera ia berkata pula dengan berkerut kening, "Namun guruku sering bilang bahwa laki-laki di dunia ini semuanya berhati palsu. Selamanya dia tidak sudi menemui orang laki-laki.”

Sekilas Cing-sun mengunjuk rasa heran, tanyanya cepat, "Gurumu selamanya tidak mau bertemu dengan orang laki-laki?”

"Ya, untuk keperluan sehari-hari, Suhu selalu suruh pelayan perempuan tua yang melakukannya,” sahut Wanjing. "Satu kali, pelayan tua itu sakit dan suruh putranya mewakili belanja keperluan dapur, Suhu menjadi marah dan suruh dia taruh jauh-jauh di luar pintu dan melarangnya masuk ke rumah.”

"Ai, Ang-bian! Buat apa engkau menyiksa diri begitu?” demikian gumam Cing-sun sambil menghela napas.

"Kau sebut ‘Ang-bian’ lagi, sebenarnya siapakah gerangan ‘Ang-bian’ itu?” tanya Wan-jing.

"Urusan ini tak dapat membohongimu selamanya, biarlah kukatakan padamu. Gurumu asalnya bernama Cin Ang-bian, orang memberi julukan Siu-lo-to (si Hantu Ayu) padanya.”

"O, kiranya begitu! Pantas begitu melihat caraku membidikkan panah, nyonyamu lantas tanya aku pernah hubungan apa dengan Siu-lo-to Cin Ang-bian. Tatkala itu aku benar-benar tidak tahu, jadi bukan sengaja berdusta. Kiranya guruku bernama Cin Ang-bian. Ehm, indah benar namanya!”

"Tadi aku telah puntir tanganmu, masih sakit tidak sekarang?” tanya Cing-sun dengan menyesal.

Melihat sikap pangeran itu begitu ramah tamah, dengan tersenyum Wan-jing menjawab, "Sekarang sudah baik. Marilah kita pergi menjenguknya? Kukhawatir racun panahku itu belum lagi bersih dari lukanya.”

"Baiklah.” sahut Cing-sun sambil berbangkit. Lalu katanya pula, "Kau mempunyai keinginan apa, coba katakan padaku.”

Paras Bok Wan-jing menjadi merah jengah, ia menunduk dan menyahut, "Sesudah ... sesudah kupanah istrimu, kukhawatir dia ... dia akan marah padaku.”

"Kita minta maaf padanya, boleh jadi dia takkan marah lagi,” kata Cing-sun.

"Sebenarnya aku tidak pernah minta maaf pada siapa pun juga. Tapi demi Toan-long, tidak apalah biar kuminta ampun padanya kelak,” habis ini, tiba-tiba Wan-jing memberanikan diri dan berkata pula, "Tin-lam-ong, apabila kukatakan cita-citaku, apa benar engkau akan ... akan melaksanakannya bagiku?”

"Sudah tentu, asal tenagaku mampu untuk melakukannya, pasti akan kulaksanakan bagimu,” sahut Cing-sun.

"Apa yang kau katakan ini, jangan kau mungkir janji,” ujar Wan-jing.

Tin-lam-ong tersenyum, ia mendekati si gadis dan membelai rambutnya dengan penuh rasa kasih sayang, jawabnya, "Aku pasti takkan mungkir janji.”

"Baiklah, jika begitu, urusan pernikahan kami harap engkau melaksanakannya, dia tidak boleh mengingkari janji dan berhati palsu,” habis mengucapkan kata-kata ini, wajah Wan-jing tampak berseri-seri.

Sebaliknya air muka Toan Cing-sun berubah guram dan perlahan menyurut mundur, lalu jatuhkan diri di atas kursinya dengan lesu. Sampai lama sekali tetap tidak bicara.

Melihat gelagatnya kurang benar, segera Bok Wan-jing mendesak lebih jauh, "Engkau ... engkau menyanggupi tidak?”

"Tidak, kau pasti tidak boleh menikah dengan Ki-ji,” sahut Cing-sun kemudian dengan suara parau berat, tapi tegas.

Seketika hati Bok Wan-jing menjadi dingin, seakan-akan diguyur seember air, tanyanya dengan terputus-putus, "Sebab apa? Se ... sebab? Dia ... dia sendiri sudah berjanji padaku.”

Tapi Toan Cing-sun hanya menjawab singkat, "Karma, karma!”

Wan-jing semakin gugup, serunya, "Jika dia tidak mau lagi padaku, aku ... aku lantas membunuhnya, lalu ... lalu membunuh diri. Sebab aku telah ... telah bersumpah di hadapan Suhu.”

"Tidak bisa!” sahut Cing-sun sambil geleng kepala perlahan.

"Mengapa tidak? Biar kutanya dia!”

"Ki-ji sendiri pun tidak tahu,” ujar Cing-sun. Dan ketika melihat rasa duka si gadis yang memilukan itu mirip benar dengan kejadian 18 tahun yang lalu, di mana ketika mendadak Cin Ang-bian mendengar berita duka, tidak bisa menahan perasaannya lagi, tercetuslah dari mulutnya, "Kau tak boleh menikah dengan Ki-ji, juga tak boleh membunuhnya!”

"Sebab apa?”

"Sebab ... sebab Toan Ki adalah kakakmu sendiri!”

Seketika mata Bok Wan-jing terbelalak lebar, sungguh ia tidak percaya pada telinga sendiri, tanyanya dengan suara gemetar, "Ap ... apa katamu? Kau ... kau bilang Toan-long adalah kakakku?”

"Ya,” sahut Cing-sun tegas. "Wan-jing, apa kau tidak tahu siapakah sebenarnya gurumu itu? Dia adalah ibu kandungmu dan aku ini ayahmu!”

Terperanjat dan gusar tak terhingga rasa Bok Wan-jing hingga wajahnya pucat pasi, katanya dengan terputusputus, "Aku tidak ... tidak percaya, aku tidak percaya!”

Sekonyong-konyong terdengar seorang menghela napas panjang di luar jendela, lalu suara seorang wanita berkata, "Wan-jing, marilah kita pulang saja!”

"Hei, Suhu!” teriak Wan-jing sambil putar tubuh dengan cepat.

"Srek,” mendadak jendela terbuka, maka tertampaklah di luar berdiri seorang wanita setengah umur, berwajah bulat telur, alis lentik, mata jeli, parasnya sangat cantik, sinar matanya bercahaya bengis menandakan kekerasan hatinya.

Melihat bekas kekasihnya, yaitu Siu-lo-to Cin Ang-bian mendadak muncul di situ, Toan Cing-sun kaget dan

girang, serunya keras, "Ang-bian, Ang-bian! Selama beberapa tahun ini, entah betapa aku merindukan dikau!”

Namun Cin Ang-bian tidak menjawab, katanya pula kepada Bok Wan-jing, "Wan-jing, marilah keluar! Rumah manusia yang tipis budi dan berhati palsu, jangan tinggal terlalu lama di sini!”

Melihat sikap sang guru terhadap Toan Cing-sun itu, perasaan Bok Wan-jing menjadi lebih tertekan, serunya tak lancar, "Suhu, dia ... dia dusta padaku, katanya engkau adalah ... adalah ibuku dan dia ... dia ayahku.”

"Ibumu sudah lama meninggal, begitu pula ayahmu,” sahut Cin Ang-bian dengan dingin.

Mendadak Toan Cing-sun berlari ke ambang jendela, serunya dengan suara memohon, "Ang-bian, marilah masuk ke sini, biar kupandang engkau barang sebentar. Jangan lagi engkau tinggalkan daku, marilah selanjutnya kita hidup berdampingan bersama.”

Tiba-tiba sinar mata Cin Ang-bian berkilat-kilat, tanyanya, "Kau bilang kita akan hidup berdampingan untuk selama-lamanya? Benar demikian maksudmu?”

"Ya, benar, benar!” sahut Cing-sun. "O, Ang-bian, selama ini tidak pernah sedetik pun kulupakan dikau.”

"Tapi apa engkau tega meninggalkan Si Pek-hong?” tanya Ang-bian.

Cing-sun tertegun, ia ragu dan tidak bisa menjawab, wajahnya mengunjuk rasa serbasulit.

Maka Cin Ang-bian berkata pula, "Bila engkau masih menaruh kasihan kepada putri kita ini, maka marilah engkau ikut pergi bersamaku dan selanjutnya tidak boleh ingat lagi pada Si Pek-hong, untuk selama-lamanya jangan pulang lagi ke sini.”

Mengikuti percakapan itu, perasaan Bok Wan-jing jadi semakin tenggelam, makin tertekan, air matanya berkilau di kelopak matanya hingga bayangan sang guru dan Toan Cing-sun tampak samar-samar.

Sekarang ia yakin bahwa kedua orang di hadapannya ini memang benar-benar adalah ayah-bunda kandung sendiri. Dan yang lebih memukul perasaannya adalah kekasih yang selama ini dicintainya itu ternyata adalah saudara laki-laki sendiri dari satu ayah lain ibu. Maka segala impian muluk yang pernah dibayangkan olehnya

selama ini dalam sekejap saja telah buyar sirna semua!

Terdengar Toan Cing-sun menjawab, "Tapi, Ang-bian, aku adalah ... adalah Tin-lam-ong kerajaan Tayli ini, aku memegang kekuasaan militer dan sipil, sebentar ... sebentar pun tak boleh meninggalkannya ....”

"Delapan belas tahun yang lalu kau bilang demikian, delapan belas tahun kemudian engkau tetap berkata begini, Toan Cing-sun, wahai Toan Cing-sun, engkau manusia berhati palsu dan tipis budi ini, aku benci ... benci padamu ....” demikian mendadak Cin Ang-bian mendamprat dengan suara bengis.

Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar di atas rumah sebelah timur sana ada suara orang bertepuk tangan beberapa kali, lalu dari sebelah barat juga ada orang membalas dengan bertepuk tangan, begitu pula dari kedua jurusan yang lain.

Menyusul mana lantas terdengar suara Ko Sing-thay dan Leng Jian-li sedang berseru, "Ada musuh! Para saudara harap jaga di tempat masing-masing dan jangan sembarangan bergerak.”

Melihat keadaan mulai genting, segera Cin Ang-bian membentak, "Wan-jing, kenapa kau belum keluar?”

Wan-jing mengiakan dan melayang keluar jendela dan menubruk ke pangkuan sang guru merangkap ibunda tercinta.

"Ang-bian, apa benar-benar engkau akan meninggalkan aku begini saja?” tanya Cing-sun. Ketika ia pandang ke atas rumah, ternyata di empat penjuru sudah penuh terjaga dengan orang.

Hendaklah diketahui bahwa di dalam istana pangeran Tin-lam-ong ini banyak berkumpul tamu terhormat, tidak sedikit jago silat kelas tinggi yang mengabdi di bawahnya dan dipimpin oleh Sian-tan-hou Ko Sing-thay bersama tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok, maka sekali ada tanda bahaya, serentak para jago itu lantas siap siaga di tempatnya masing-masing.

Tiba-tiba Cin Ang-bian menjawab dengan suara rawan, "Sun-ko, sudah berpuluh tahun engkau menjadi Ongya, rasanya juga sudah cukup. Marilah ikut padaku, selanjutnya aku akan menurut pada segala keinginan dan perintahmu, sekecap pun aku takkan memakimu dan sedikit pun aku takkan memukulmu. Lihatlah putri kita yang cantik ini, masakah tidak disayang olehmu?”

Tergerak hati Toan Cing-sun, serunya tanpa pikir, "Baik, aku ikut pergi bersamamu!”

Girang sekali Cin Ang-bian, ia ulurkan tangan kanan menantikan jabatan tangan Toan Cing-sun.

Tapi mendadak terdengar suara seorang wanita sedang berkata dengan dingin di belakang, "Cici, kembali engkau diakali lagi. Paling-paling dia cuma mempermainkan engkau beberapa hari saja, lalu pulang ke sini pula untuk menjadi Ongya!”

Terguncang perasaan Toan Cing-sun demi mengenali suara itu, serunya, "He, A Po, jadi engkau juga datang!”

Waktu Wan-jing berpaling, ia lihat orang yang bicara itu adalah seorang wanita berbaju sutra hijau, ternyata adalah Ciong-hujin dari Ban-jiat-kok. Di belakangnya terdapat pula tiga orang, yaitu Yap Ji-nio dan In Tiongho, seorang lagi adalah Lam-hay-gok-sin yang sudah pergi tadi, tahu-tahu kini kembali lagi. Bahkan yang lebih mengejutkan Bok Wan-jing adalah Lam-hay-gok-sin itu memondong pula seorang yang ternyata adalah Toan Ki.

"He, Toan-long, bagaimana engkau?” seru Wan-jing khawatir.

Tadinya Toan Ki rebah di tempat tidurnya dalam keadaan terluka, dalam keadaan sadar tak sadar, tiba-tiba Lam-hay-gok-sin melompat masuk ke kamarnya serta memondongnya lari. Saking kagetnya pikiran Toan Ki menjadi sadar malah, sebab itulah ia dapat mendengar sebagian percakapan antara ayahnya dan Bok Wan-jing serta Cin Ang-bian. Meski tidak seluruhnya dapat didengar, namun ia sudah dapat meraba sebagian besar duduknya perkara.

Kini mendengar gadis itu masih memanggil dirinya sebagai "Toan-long,” ia menjadi pilu, sahutnya dengan rawan, "Moaycu (adikku), selanjutnya asalkan kita kakak beradik selalu kasih sayang, bukankah serupa juga.”

"Tidak, jauh bedanya!” seru Wan-jing dengan gusar, "Engkau adalah lelaki pertama yang telah melihat wajahku.”

Tapi bila dia ingat bahwa pemuda itu adalah saudara satu ayah dengan dirinya, betapa pun kakak dan adik tidak mungkin boleh kawin. Bila dalam hal ini kekuatan manusia yang coba merintangi pernikahan mereka, tentu ia bisa binasakan orang itu dengan panah beracunnya. Tapi kini yang menjadi pengalang mereka adalah takdir Ilahi, biarpun setinggi langit ilmu silatnya atau mempunyai kekuasaan juga tidak mampu menghapusnya.

Seketika itu perasaan Bok Wan-jing serasa hampa. Dalam keadaan putus asa, tanpa pikir ia melompat keluar kamar terus berlari pergi.

"Wan-jing, Wan-jing! Hendak ke mana kau?” seru Cin Ang-bian khawatir.

Namun Wan-jing tidak gubris lagi pada sang guru merangkap ibunda tersayang itu, serunya, "Engkau bikin susah padaku, aku takkan peduli padamu lagi.”

Berbareng itu, larinya bertambah cepat.

"Siapa itu?” tiba-tiba di depan mengadang seorang pengawal istana.

Tanpa menjawab lagi Bok Wan-jing terus bidikkan sebatang panah hingga mengenai tenggorokan pengawal itu dan roboh terjungkal. Si gadis sendiri setindak pun tidak berhenti, hanya dalam sekejap saja bayangan tubuhnya yang ramping itu sudah menghilang dalam kegelapan.

Melihat putranya digondol Lam-hay-gok-sin, Toan Cing-sun menjadi khawatir, ia tidak urus lagi ke mana putrinya lari pergi, tapi jarinya terus bekerja, kontan Lam-hay-gok-sin hendak ditutuk.

Namun dari samping Yap Ji-nio menangkis sambil memotong urat nadi pergelangan Cing-sun. Cepat pangeran itu baliki tangannya untuk menangkap tangan lawan, tapi tahu-tahu Yap Ji-nio malah menjentik punggung tangan Cing-sun dengan jari tengahnya.

Begitulah dengan cepat lawan cepat, hanya sekejap saja kedua orang sudah saling serang beberapa jurus. Diam-diam Toan Cing-sun terkesiap, "Sungguh hebat perempuan ini.”

"Toan Cing-sun!” tiba-tiba Cin Ang-bian berseru sambil ulur tangan mengancam di atas kepala Toan Ki. "Kau masih inginkan jiwa putramu atau tidak?”

Cing-sun terkejut, cepat ia berhenti menyerang lagi. Ia cukup kenal wataknya Cin Ang-bian yang aneh, bencinya kepada Si Pek-hong, yaitu istrinya sendiri sekarang ini boleh dikata merasuk tulang, maka bukan mustahil bila jiwa Toan Ki benar ditamatkan olehnya. Cepat ia menjawab, "Ang-bian, luka anakku sangat parah karena dipanah oleh putrimu.”

"Dia sudah diberi obat penawar, takkan mati, biarlah sementara ini aku membawanya pergi,” demikian kata Cin Ang-bian pula. "Dan kau boleh pilih, inginkan putramu atau lebih suka tetap menjadi Ongya.”

"Hahahaha!” tiba-tiba Lam-hay-gok-sin terbahak-bahak. "Bocah ini akhirnya toh harus juga mengangkat guru padaku!”

"Ang-bian,” sahut Cing-sun kemudian, "biarlah kuterima segala permintaanmu, asal engkau bebaskan putraku.”

Sebenarnya cinta Cin Ang-bian kepada Toan Cing-sun belum pernah tawar biarpun sudah lewat 18 tahun lamanya. Maka demi mendengar ucapan Toan Cing-sun yang penuh rasa khawatir itu, hatinya menjadi lemas, sahutnya, "Apa ben ... benar engkau akan menurut segala permintaanku?”

"Ya, ya!” seru Cing-sun tanpa pikir.

"Cici, jangan kau percaya lagi kepada laki-laki yang berhati palsu ini,” tiba-tiba Ciong-hujin menyela, "Gaksiansing, marilah kita pergi!”

Tanpa bicara lagi Lam-hay-gok-sin melompat ke atas, sekali membalik badan di udara, ia tancap kaki di atas rumah seberang sana, menyusul terdengar suara gedebuk dua kali, Yap Ji-nio dan In Tiong-ho masing-masing telah merobohkan dua jago pengawal istana yang berusaha hendak merintangi Lam-hay-gok-sin.

Toan Cing-sun tahu meski mengerahkan antero kekuatan penjaga istana belum tentu kawanan musuh itu bisa dicegat. Namun keselamatan putranya sendiri terancam, betapa pun tidak boleh bertindak gegabah, tindakan kekerasan bukan tindakan yang baik, apalagi dua wanita di hadapannya ini sangat luar biasa hubungannya dengan dirinya. Maka terpaksa ia menyahut dengan halus, "A Po, ken ... kenapa engkau juga ikut-ikut memusuhi aku?”

"Aku adalah istri Ciong Ban-siu, jangan sembarangan kau panggil, tahu?” seru Ciong-hujin.

"A Po, selama ini, sungguh aku sangat merindukan dikau,” demikian Toan Cing-sun merayu pula.

Ciong-hujin menjadi terharu, matanya merah basah, sikapnya berubah lunak seketika, sahutnya rawan, "Tempo hari, begitu kulihat Toan-kongcu, segera aku ... aku tahu dia adalah anakmu.”

"Sumoay, sekarang kau sendiri kena dibujuk olehnya!” seru Cin Ang-bian.

"Ya, baiklah, mari kita pergi!” sahut Ciong-hujin sambil tarik tangan Ang-bian. Lalu ia berpaling kepada Cingsun, "Bila engkau menginginkan putramu dengan baik-baik, bawalah Si Pek-hong sambil menyembah tiap langkah pergi ke Ban-jiat-kok.”

"Ban-jiat-kok?” Cing-sun menegas.

Sementara itu dilihatnya Lam-hay-gok-sin sudah makin jauh berlari pergi dengan menggondol Toan Ki. Ko Sing-thay, Leng Jian-li dan lain-lain tampak sedang mengudak dan mencegat dari berbagai jurusan.

Cing-sun menghela napas, serunya kemudian, "Ko-hiante, biarkan mereka pergi!”

Sahut Ko Sing-thay, "Tapi Siauongya ....”

"Biarlah, perlahan kita cari akal lain,” kata Cing-sun. Sembari bicara, ia terus memburu Ko Sing-thay dan berkata pula, "Musuh sudah pergi, semua orang supaya kembali ke tempatnya masing-masing.”

Habis itu, mendadak ia melompat ke samping Ciong-hujin, katanya dengan suara halus, "A Po, baik-baikkah engkau selama ini?”

"Sudah tentu, apa yang kurang baik?” sahut Ciong-hujin ketus.

Sekonyong-konyong jari Toan Cing-sun terus bekerja, secepat kilat ia telah tutuk "Tan-tiong-hiat” di dada nyonya itu. Dalam keadaan tak berjaga-jaga, kontan Ciong-hujin roboh.

Cepat Cing-sun tahan tubuh nyonya itu dengan tangan kiri sambil pura-pura kaget dan berseru, "He, A Po, ken ... kenapa engkau?”

Keruan Cin Ang-bian ikut terkejut, tanpa curiga ia lantas mendekat dan tanya dengan khawatir, "Ada apa, Sumoay?”

Dan tatkala Ang-bian berjongkok hendak memeriksa keadaan Ciong-hujin, secepat kilat jari Toan Cing-sun bekerja lagi, tepat Hiat-to Cin Ang-bian kena ditutuknya juga.

Dalam keadaan tertutuk kaku, Cin Ang-bian dan Ciong-hujin dipeluk oleh kedua belah tangan Toan Cing-sun, mereka sama melototi pangeran bangor itu, dalam hati masing-masing sama berpikir, "Ai, kembali aku teperdaya lagi! Kenapa aku begini sembrono, dulu sudah pernah masuk perangkapnya, mengapa sekarang aku tertipu pula?”

Dalam pada itu Toan Cing-sun telah berkata pada Ko Sing-thay, "Ko-hiante, lukamu belum sembuh, harap engkau pulang ke kamarmu untuk mengaso saja. Jian-li, kau pimpin kawan yang lain berjaga di sekitar sini.”

Dengan hormat Ko Sing-thay dan Leng Jian-li mengiakan sambil membungkuk badan. Lalu Cing-sun kempit kedua wanita itu kembali ke ruangan tadi dan suruh koki menyediakan hidangan pula, perjamuan segera diperbarui lagi.

Setelah selesai menyediakan santapan dan para dayang sudah mengundurkan diri, Cing-sun tutuk pula Hiat-to bagian kaki kedua tawanannya supaya mereka tidak bisa berjalan, lalu melepaskan Hiat-to yang ditutuknya semula.

Segera Cin Ang-bian berteriak sesudah bisa bersuara, "Toan Cing-sun, sampai sekarang engkau masih ingin menghina kami berdua?”

Toan Cing-sun berputar ke hadapan kedua wanita itu, ia memberi hormat sambil berkata, "Maafkan aku berbuat kasar, terimalah hormatku ini.”

"Siapa ingin kau beri hormat?” seru Cin Ang-bian dengan gusar. "Lekas lepaskan kami!”

"Kita bertiga sudah belasan tahun tidak berjumpa, kebetulan hari ini bisa berkumpul lagi, banyak sekali ingin kubicarakan pada kalian,” demikian sahut Cing-sun. "Ang-bian, ternyata watakmu masih keras begini. Dan kau, A Po, makin lama engkau makin ayu, kenapa sedikit pun tidak kentara tambah tua?”

"Lekas kau lepaskan aku,” teriak Ang-bian dengan gusar sebelum Ciong-hujin berkata, "Kalau A Po makin tua makin cantik, jadi aku makin tua makin jelek bukan? Ayo lepaskan aku, buat apa kau tahan seorang nenek jelek seperti aku?”

"Ang-bian,” kata Cing-sun dengan gegetun, "cobalah engkau berkaca, bila engkau seorang nenek reyot dan jelek, maka sastrawan yang biasa melukiskan kecantikan wanita perlu ganti ungkapan menjadi sejelek bidadari.”

Karena geli, tak tertahan Cin Ang-bian mengikik tawa, karena kaki tak bisa bergerak, terpaksa ia menggerutu, "Huh, siapa yang ajak berguyon denganmu? Cengar-cengir, masa begitulah kelakuan seorang pangeran?”

Melihat sikap orang yang bersungut tapi menawan hati itu, hati Cing-sun terguncang, terkenang olehnya cinta kasih masa lampau, tak tertahan lagi ia mendekati Cin Ang-bian, "ngok”, ia cium sekali pipi wanita itu.

Meski kakinya tak bisa bergerak, tapi tubuh bagian atas Cin Ang-bian dapat bergerak dengan bebas, "plok”, kontan ia persen sekali tamparan di muka pangeran bangor itu.

Kalau mau menghindar sebenarnya tidak susah bagi Toan Cing-sun, tapi ia sengaja menerima pukulan itu, bahkan ia terus berbisik di telinga orang, "Mati digampar Siu-lo-to, jadi setan juga rela!”

Seketika badan Cin Ang-bian tergetar mendengar itu, air matanya bercucuran, ia menangis keras-keras, ucapnya dengan parau, "Kembali ... kembali engkau gunakan kata-kata demikian lagi.”

Kiranya pada masa dulu Cin Ang-bian pernah malang melintang di kalangan Kangouw dengan sepasang senjatanya yang berupa golok Siu-lo-to, karena itu juga ia mendapat julukan dari nama senjatanya itu. Ketika kesuciannya dirusak oleh Toan Cing-sun, kejadian itu adalah mirip seperti sekarang, yaitu dicium dulu, lalu ia tampar pipi pangeran itu, lalu ia lantas dirayu dengan bisikan "mati di bawah Siu-lo-to, jadi setan pun rela”.

Kalimat itu entah sudah beratus ribu kali mengiang di telinganya selama belasan tahun ini. Kini, mendadak didengarnya pula dari mulut Toan Cing-sun, sungguh ia merasa sangat bahagia dengan aneka macam perasaan yang bercampur aduk.

"Suci, orang ini paling pandai merayu, pintar bermulut manis, tapi jangan kau percaya lagi padanya,” tiba-tiba Ciong-hujin memperingatkan sang Suci atau kakak seperguruan.

"Ya, benar, aku tidak mau percaya lagi pada bujukanmu!” demikian kata Ang-bian yang ditujukan kepada Toan Cing-sun.

Tapi dengan cengar-cengir Toan Cing-sun lantas mendekati Ciong-hujin, katanya, "A Po, kalau aku juga ‘ngok’ pipimu, boleh tidak?”

Keruan Ciong-hujin rada kelabakan dan khawatir, dalam keadaan tak bisa berjalan, kalau orang benar-benar

berbuat seperti apa yang dikatakan, kan bisa runyam.

Cepat ia berseru, "Tidak, jangan kurang ajar! Aku adalah wanita bersuami, sekali-kali tidak boleh kucemarkan nama baik suamiku, asal kau berani menyentuh badanku, segera akan kugigit lidah sendiri biar mati di hadapanmu.”

Melihat kata-kata itu diucapkan dengan nekat dan sungguh-sungguh, Cing-sun tidak berani sembrono lagi, tanyanya kemudian, "A Po, bagaimanakah macam suamimu itu?”

"Suamiku sangat jelek, tabiatnya juga aneh, ilmu silatnya jauh di bawahmu, orangnya tidak segagah engkau pula, lebih-lebih tiada punya pangkat dan kedudukan seperti dirimu. Namun demikian, dengan hati suci murni ia mencintai aku, maka aku pun membalasnya dengan sama baiknya. Bila aku berbuat sedikit menyeleweng, itu berarti aku berdosa padanya, biarlah aku terkutuk, untuk selama-lamanya tak bisa menjelma kembali.”

Mau tak mau Toan Cing-sun menaruh hormat kepada sikap tegas nyonya Ciong itu, maka ia tidak berani mengungkat-ungkat peristiwa asmara masa lalu lagi. Katanya kemudian, "Kalian telah menculik putraku, sebenarnya apa maksud tujuan kalian? A Po, Ban-jiat-kok yang kau katakan itu letaknya di mana?”

"Jangan katanya padanya!” tiba-tiba seorang berkata di luar jendela dengan suara serak.

Keruan Toan Cing-sun terkejut. Ia sudah perintahkan Leng Jian-li dan kawan-kawannya berjaga di luar, kenapa diam-diam ada orang asing menyusup sampai di luar kamar situ?

Maka terdengar Ciong-hujin buka suara dengan menarik muka, "Lukamu belum sembuh, buat apa engkau menyusul kemari?”

Lalu terdengar pula suara seorang wanita sedang berkata, "Silakan masuk, Ciong-siansing!”

Mendengar suara itu, Toan Cing-sun terlebih kejut hingga air mukanya merah jengah. Dan begitu kerai tersingkap, masuklah seorang wanita yang bukan lain adalah Yau-toan-siancu, di belakangnya menyusul seorang laki-laki bermuka sangat jelek, panjang mukanya itu hingga mirip muka kuda. Itulah dia muka yang istimewa dari Ciong Ban-siu, Kokcu atau pemilik lembah Ban-jiat-kok.

Ciong-hujin menjadi heran demi tampak sang suami mendadak juga datang ke situ, ternyata datangnya bersama nyonya Toan alias Si Pek-hong itu.

Kiranya sesudah lama Bok Wan-jing berkelana dan belum pulang, Cin Ang-bian menjadi khawatir, segera ia keluar mencarinya ke tempat sang Sumoay, yaitu Ciong-hujin dari Ban-jiat-kok, kemudian mereka berdua lantas keluar pula mencari jejak Wan-jing.

Di tengah jalan mereka telah bertemu dengan Yap Ji-nio, Lam-hay-gok-sin dan In Tiong-ho. Ang-bian sudah kenal dengan Yap Ji-nio, sebab di antara perguruan mereka ada sedikit hubungan, cuma biasanya tidak pernah saling bergaul. Ketika mendengar Bok Wan-jing telah ikut pergi ke Tayli, segera "Sam-ok” itu ikut menyusul ke situ.

Sebaliknya Ciong Ban-siu yang sangat mencintai sang istri itu, rasa cemburunya juga sangat besar, sejak sang istri pergi, ia menjadi tidak enak makan dan sukar tidur, tanpa peduli lagi bahwa lukanya belum sembuh, serta tak pikir bahwa selama ini dirinya pura-pura mati dan mengasingkan diri di lembah sunyi itu, segera ia berangkat menyusul sang istri.

Sampai di luar istana pangeran, kebetulan ia pergoki Si Pek-hong sedang berlari keluar dengan marah-marah, begitu kepergok, segera kedua orang saling gebrak. Tengah sengit pertarungan mereka, tiba-tiba sesosok bayangan orang berbaju hitam melayang lewat di samping mereka, orang itu tampak menutupi mukanya sambil menangis, ternyata Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing.

Melihat gadis itu, Ciong Ban-siu menjadi khawatir atas diri sang istri, katanya segera, "Paling penting harus kucari istriku dulu, aku tiada tempo buat menempurmu lagi.”

"Ke mana hendak kau cari istrimu?” tanya Si Pek-hong.

"Ke rumah si bangsat Toan Cing-sun,” sahut Ciong Ban-siu. "Bila istriku ketemu Toan Cing-sun, wah, bisa runyam!”

"Sebab apa bisa runyam?” tanya Pek-hong pula.

"Toan Cing-sun bermulut manis, pintar membujuk rayu, ia seorang hidung belang ahli pikat wanita, harus kubunuh dia nanti!” sahut Ban-siu gemas.

Diam-diam Si Pek-hong pikir sang suami sudah berumur lebih empat puluh, jenggotnya sudah panjang, masakah disamakan pemuda hidung belang segala? Tapi tentang sifat sang suami yang memang bangor itu, ia percaya kepada apa yang dikatakan orang bermuka kuda itu.

Segera ia coba tanya nama dan asal usul suami-istri Ciong Ban-siu. Dan ketika mengetahui Ciong-hujin adalah salah satu bekas kekasih sang suami, Pek-hong menjadi curiga, segera ia lari kembali ke istana bersama Ciong Ban-siu.

Meski waktu itu penjagaan di sekitar Tin-lam-onghu dilakukan dengan sangat ketat, tapi demi tampak Onghui, para pengawal tidak berani merintangi. Sebab itulah Si Pek-hong dan Ciong Ban-siu dapat mendekati ruangan belakang tanpa sesuatu peringatan dari para penjaga. Dan dengan sendirinya bujuk rayu Toan Cing-sun kepada Cin Ang-bian dan Ciong-hujin yang dilakukan dengan cengar-cengir dapat didengar semua oleh kedua orang di luar jendela itu.

Keruan hampir-hampir meledak dada Si Pek-hong saking gusarnya oleh kelakuan sang suami itu. Sebaliknya Ciong Ban-siu girang tidak kepalang mendengar istrinya sedemikian teguh imannya.

Cepat Ciong Ban-siu lari ke samping sang istri dengan rasa kasih sayang tercampur girang, ia terus mengitar kian kemari mengelilingi sang istri sambil berkata, "Biar, bila dia berani menghina engkau, segera aku adu jiwa dengan dia!”

Dan selang sejenak, baru teringat olehnya bahwa Hiat-to sang istri masih tertutuk, segera ia berpaling kepada Toan Cing-sun dan berkata, "Lekas, lekas lepaskan Hiat-to istriku!”

"Kalian telah menculik putraku, asal putraku itu kalian bebaskan lebih dulu, dengan sendirinya akan kulepaskan istrimu,” demikian sahut Cing-sun.

Saking khawatir cepat Ciong Ban-siu memijat dan menepuk pinggang sang istri, tapi biarpun Lwekangnya sangat tinggi, betapa pun ia tak mampu memunahkan tutukan "It-yang-ci” keluarga Toan yang tiada bandingannya itu.

Sebaliknya karena dipijat dan ditepuk, Ciong-hujin menjadi sakit dan geli, sedang Hiat-to kaki yang tertutuk itu belum lagi bebas, maka omelnya, "Tolol, bikin malu saja!”

Terpaksa Ciong Ban-siu berhenti dengan kikuk, saking dongkolnya, terus saja ia membentak, "Toan Cing-sun, marilah maju, biar kita bertempur 300 jurus dulu!”

Sembari gosok-gosok kepalan segera ia hendak melabrak Toan Cing-sun.

Namun Ciong-hujin telah berkata, "Toan-ongya, putramu diculik oleh Lam-hay-gok-sin dan begundalnya, biarpun suamiku minta mereka bebaskan putramu belum tentu mereka mau menurut. Tapi kalau aku dan Suci sudah pulang dan mencari kesempatan untuk menolong, mungkin ada harapan. Paling sedikit putramu takkan dibikin susah oleh mereka!”

"Tapi aku tidak percaya,” sahut Cing-sun sambil menggeleng kepala. "Ciong-siansing, silakan pulang saja, bawalah putraku kemari untuk ditukar dengan istrimu.”

Ciong Ban-siu menjadi gusar, teriaknya, "Istanamu ini tempat cabul dan kotor, kalau istriku ditinggalkan di sini, wah, berbahaya!”

Muka Toan Cing-sun menjadi merah, bentaknya, "Tutup mulutmu! Berani mengoceh tidak keruan lagi, jangan menyesal bila aku berlaku kasar.”

Sejak masuk tadi Si Pek-hong diam saja, kini mendadak menyela, "Kau ingin menahan kedua wanita di sini, sebenarnya apa maksud tujuanmu? Untuk kepentingan sendiri atau demi keselamatan Ki-ji?”

Cing-sun menghela napas, sahutnya, "Ternyata engkau juga tidak percaya padaku.”

Mendadak ia menutuk pinggang Cin Ang-bian untuk melepaskan jalan darahnya. Menyusul segera hendak menutuk juga pinggang Ciong-hujin.

Tapi cepat Ciong Ban-siu mengadang di depan sang istri sambil goyang kedua tangannya kepada Toan Cingsun, katanya, "Jangan kau main pegang-pegang badan wanita, orang macam kau suka main cubit, tubuh istriku tidak boleh kau sentuh!”

"Namun istrimu tertutuk, biarpun kepandaianku tidak berarti, tapi cara Tiam-hiat ini tak dapat ditolong oleh orang lain, kalau terlalu lama, mungkin kedua kaki istrimu akan cacat,” ujar Cing-sun tersenyum mendongkol.

Ban-siu menjadi murka, dampratnya, "Bila istriku yang cantik molek ini benar-benar menjadi cacat, pasti akan kucencang juga putramu.”

"Kau ingin kulepaskan Hiat-to istrimu, tapi melarang aku menyentuh tubuhnya pula, lantas bagaimana aku harus berbuat?” ujar Cing-sun tertawa.

Ban-siu bungkam tak bisa menjawab, sekonyong-konyong ia menjadi gusar, bentaknya, "Habis, mengapa kau tutuk dia tadi? He, wah, celaka! Kalau begitu, waktu kau tutuk dia tadi tentu sudah menyentuh tubuhnya. Biar aku pun menutuk sekali tubuh istrimu!”

"Kembali engkau ngaco-belo tak keruan!” omel Ciong-hujin sambil melototi sang suami.

"Habis, aku tidak mau dirugikan!” sahut Ban-siu.

Tengah ribut-ribut, tiba-tiba tirai tersingkap, dengan langkah perlahan masuk seorang berjubah sutra kuning, berjenggot cabang tiga, alis panjang, mata besar, muka putih, itulah dia Toan Cing-beng, raja Po-ting-te dari negeri Tayli.

"Hong-heng (kakak baginda)!” segera Cing-sun menyapa.

Po-ting-te mengangguk tanpa menjawab, tiba-tiba dari jauh ia angkat jarinya menutuk pinggang Ciong-hujin, samar-samar seperti ada seutas benang putih mirip asap terpancar dari ujung jarinya ke samping pinggang nyonya itu. Seketika Ciong-hujin merasa perutnya hangat, dua arus hawa panas terus mengalir ke kaki, cepat darahnya berjalan dengan lancar dan bisa berdiri dengan leluasa.

Melihat raja Tayli itu mengunjukkan ilmu sakti "Keh-kong-kay-hiat” atau membuka jalan darah dari tempat jauh, saking kagum dan kagetnya sampai Ciong Ban-siu ternganga tak bisa bicara, sungguh tak tersangka olehnya bahwa di dunia ini ada orang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.

"Hong-heng,” kata Cing-sun kemudian, "Ki-ji telah digondol lari oleh mereka!”

Po-ting-te mengangguk, sahutnya, "Ya, Sian-tan-hou sudah lapor padaku. Adik Sun, kalau keturunan keluarga Toan kita ada yang jatuh di tangan musuh, tentu orang tua atau pamannya yang harus pergi menolongnya, kita jangan menahan orang lain sebagai sandera.”

Muka Toan Cing-sun menjadi merah, sahutnya membenarkan ucapan kakak bagindanya itu.

Ucapan Po-ting-te itu sangat gagah penuh harga diri, yaitu merasa merosotkan pamor keluarga Toan bila adik pangeran itu menahan musuh sebagai jaminan keselamatan putranya. Dan sesudah merandek sejenak,

kemudian katanya pula, "Sekarang silakan kalian pergi saja. Dalam tiga hari, keluarga Toan tentu ada orang akan mengunjungi Ban-jiat-kok.”

"Tapi tempat Ban-jiat-kok kami itu sangat dirahasiakan, kalian belum tentu mampu menemukannya, untuk mana perlukah kuberi tahukan tempatnya?” tanya Ciong Ban-siu. Dalam hati ia berharap Po-ting-te akan minta diberitahukan tempatnya itu, dan kalau lawan tanya, ia justru tidak mau menerangkan.

Tak tersangka Po-ting-te tidak gubris pertanyaannya itu, sekali mengebas lengan baju, katanya pula, "Antarkan tamu keluar!”

Ciong Ban-siu sendiri berjuluk "Kian-jin-ciu-sat” atau melihat orang lantas membunuh, suatu tanda sifatnya yang kejam tak kenal ampun, dengan sendirinya wataknya sangat keras, terutama pada waktu sebelum dia mengasingkan diri, namanya sangat ditakuti oleh orang Kangouw umumnya, asal mendengar kedatangannya, setiap orang tentu kebat-kebit khawatir dibunuh olehnya.

Sebab itulah, maka Sikong Hian, itu ketua dari Sin-long-pang menjadi sangat ketakutan juga ketika mengetahui bahwa Ciong Ling adalah putri Ciong Ban-siu. Tapi berdiri di depan Po-ting-te yang berwibawa itu, aneh juga, gembong iblis yang tak kenal apa artinya takut itu menjadi jeri dengan sendirinya dan bingung. Begitu mendengar Po-ting-te bilang antar tamu pergi, segera ia berseru, "Baik, marilah kita pergi! Hm, selamanya aku paling benci pada orang she Toan, tiada seorang she Toan pun di dunia ini adalah manusia baik-baik!”

Habis bicara, ia gandeng tangan sang istri terus melangkah keluar dengan marah-marah.

"Cici, marilah kita pergi!” demikian Ciong-hujin menjawil lengan baju Cin Ang-bian.

Sekilas Cin Ang-bian memandang Toan Cing-sun, ia lihat pangeran itu berdiri terpaku dengan bungkam, hatinya menjadi pedih, dengan mata basah dan gemas ia melotot sekali ke arah Si Pek-hong, lalu ikut pergi dengan menunduk.

Begitu keluar ruangan, segera ketiga orang melompat ke atas wuwungan rumah.

Di atas emperan situ sudah berdiri Ko Sing-thay, ia membungkuk tubuh sambil berkata, "Selamat jalan!”

"Cuh!” Ciong Ban-siu meludah dengan sengit. "Huh, munafik, tiada satu pun manusia baik-baik!”

Dengan cepat mereka melompat pergi melintasi rumah sekitar situ, ketika kompleks istana pangeran itu hampir habis dilalui, tinggal melintasi pagar tembok luar saja, segera Ciong Ban-siu genjot tubuh sekuatnya, kaki kiri hendak berpijak di atas pagar tembok kurung istana pangeran itu.

Tak tersangka, mendadak di depan bertambah seorang yang persis berdiri di atas pagar tembok tempat yang akan dipijaknya itu.

Orang itu berjubah longgar, ikat pinggangnya kendur, siapa lagi kalau bukan Ko Sing-thay yang tadi berdiri di emper istana sana, entah dari mana tahu-tahu sudah mendahului berada di hadapan Ciong Ban-siu, bahkan begitu tepat perhitungannya bahwa tempat itulah yang akan dipijak oleh kaki Ciong Ban-siu, maka ia mendahului mengadang di situ.

Dalam keadaan tubuh terapung di udara, untuk mundur lagi terang tidak mungkin, membelok ke jurusan lain juga tak bisa, keruan Ciong Ban-siu kelabakan, terpaksa ia sodok kedua tangannya ke depan sambil membentak, "Minggir!”

Dengan tenaga sodokan kedua tangan yang bisa menghancurkan batu itu, Ban-siu taksir bila lawan menangkis, tentu lawan itu akan terpental ke bawah. Andaikan tenaga lawan sama kuatnya dengan dirinya, paling sedikit juga dapat meminjam tenaga aduan itu untuk bergeser ke atas pagar tembok di sampingnya.

Sungguh tak tersangka, ketika kedua tangan hampir menyodok dada orang, sekonyong-konyong Ko Sing-thay doyongkan tubuh ke belakang, dengan separuh tubuh terapung Ko Sing-thay gunakan gerakan "Tiat-pan-kio” atau jembatan papan baja, hanya kedua kakinya yang menancap di atas tembok. Dan karena tubuhnya mendoyong ke belakang itulah, ia dapat menghindarkan tenaga sodokan Ciong Ban-siu yang hebat itu.

Sekali menyerang tidak kena, diam-diam Ciong Ban-siu mengeluh bisa celaka. Sementara itu tubuhnya sudah melayang lewat di atas tubuh Ko Sing-thay yang mendoyong ke belakang itu. Dalam keadaan begitu, Ciong Ban-siu takkan mampu berbuat apa-apa bila diserang oleh Ko Sing-thay.

Untung baginya sama sekali Ko Sing-thay tidak melontarkan serangan hingga dengan selamat Ciong Ban-siu dapat menancapkan kakinya di tanah. Menyusul mana Cin Ang-bian dan Ciong-hujin juga melompat keluar.

Sementara itu Ko Sing-thay sudah berdiri tegak lagi di atas pagar tembok dengan gagah, katanya, "Maaf tidak mengantar lebih jauh!”

Ban-siu menjengek, mendadak celananya melorot ke bawah, hampir ia kedodoran di depan umum, untung

cepat ia sempat menariknya ke atas lagi. Baru sekarang ia tahu bahwa tali kolornya telah putus.

Rupanya tadi waktu melayang lewat di atas tubuh Ko Sing-thay, tali kolor celananya kena diputus orang. Coba bayangkan, bila bukan Ko Sing-thay sengaja murah hati, sekali tutuk di bagian Hiat-to penting, mungkin jiwanya sudah melayang sejak tadi.

Mengingat itu, Ciong Ban-siu tidak berani lama-lama lagi tinggal di situ, cepat ia ajak sang istri dan Cin Angbian meninggalkan Tayli ....

(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)

Kembali bercerita tentang Hiang-yok-jeh Bok Wan-jing.

Ketika berlari keluar dari istana Tin-lam-ong sambil mendekap mukanya, meski kepergok dan ditegur oleh Si Pek-hong dan Ciong Ban-siu, namun ia tidak ambil peduli dan berlari terus ke depannya tanpa tujuan.

Ia lari di lereng gunung dan hutan belukar, sampai fajar sudah menyingsing baru merasakan kedua kakinya linu pegal, ia berhenti sambil bersandar pada pohon besar, mulutnya komat-kamit sendiri, "Lebih baik aku mati saja, lebih baik aku mati saja!”

Meski hatinya penuh rasa benci dan sesal, tapi ia tidak tahu siapa yang harus dibencinya.

"Toan-long tidak mengingkari diriku, soalnya karena takdir Ilahi, ia justru adalah saudaraku sendiri satu ayah. Sedang guruku sendiri ternyata adalah ibu kandungku. Selama belasan tahun ini dengan susah payah ibu telah membesarkan aku, budi sebesar itu mana dapat kusalahkan dia?

"Adapun Tin-lam-ong Toan Cing-sun itu adalah ayahku, meski dia berdosa kepada ibu, namun bukan mustahil di dalam persoalannya ada banyak kesulitan yang sukar dijelaskan. Dia sangat ramah dan kasih sayang padaku, katanya kalau aku mempunyai sesuatu cita-cita, beliau pasti akan berusaha untuk memenuhi harapanku.

"Tetapi untuk persoalanku ini beliau justru tak mampu berbuat apa-apa. Sebabnya ibu tak bisa menikah dengan ayah mungkin disebabkan adanya rintangan Si Pek-hong, maka ibu menyuruh aku membunuhnya. Tapi diukur menurut hati nurani, bila aku menikah dengan Toan-long, rasanya sekali-kali aku pun tak mengizinkan dia menyukai wanita lain.

"Apalagi Si Pek-hong sudah menjadi padri, dapat diduga karena ayah juga berbuat salah padanya dan melukai hatinya. Aku telah panah dia dua kali, tapi putra satu-satunya juga terluka, namun dia tidak dendam padaku, tampaknya dia toh bukan seorang wanita yang kejam dan galak ....”

Begitulah makin dipikir hati Bok Wan-jing makin berduka, gumamnya, "Sejak kini aku akan melupakan Toan Ki, aku takkan pikirkan dia lagi!”

Namun omong memang gampang, untuk melupakan begitu saja masakah begitu mudah? Setiap detik bayangan Toan Ki yang tampan itu selalu timbul dalam benaknya.

Kemudian dia coba menghibur diri sendiri, "Biarlah untuk selanjutnya aku anggap dia sebagai kakak. Asalnya aku adalah anak yatim piatu, kini ayah sudah punya, ibu pun sudah ada, malah bertambah pula seorang saudara tua, kurang apa lagi? Bukankah aku sebenarnya harus bergirang, sungguh tolol aku ini!”

Akan tetapi, seorang kalau terlibat dalam jaring asmara, makin meronta semakin ruwet dan sukar melepaskan diri. Kalau dia sabar menanti selama tujuh-hari tujuh-malam di puncak Bu-liang-san, nyata akar cintanya sudah bersemi secara mendalam dan susah dihapus lagi.

Ia dengar suara gemuruh ombak yang mendebur semakin keras, dalam keadaan putus asa, timbul juga maksudnya membunuh diri. Ia mendekati arah suara ombak itu, setelah melintasi sebuah bukit, akhirnya tertampak ombak sungai Lanjong mengalir cepat di bawah tebing sungai itu. Ia menghela napas dan berkata seorang diri, "Ai, bila aku menceburkan diri ke dalam sungai, rasa kesalku tentu takkan terasa lagi.”

Perlahan ia menyusuri tepi sungai. Sang surya yang baru menyingsing itu mulai memancarkan cahayanya yang gemerlapan menyilaukan mata. Ia termangu-mangu berdiri di atas batu karang di tepi sungai dengan perasaan bergolak sehebat ombak yang mendebur.

Sekonyong-konyong sekilas dilihatnya di atas sebuah batu karang sebelah sana duduk seorang. Cuma orang itu sejak tadi tak bergerak sama sekali, bajunya berwarna hijau mirip warna batu karang yang berlumut, maka tak diketahui olehnya sejak tadi.

Waktu Wan-jing memandang lagi lebih jelas, ia terkejut, "Tentu orang ini sudah mati.”

Sudah banyak manusia yang dia bunuh, dengan sendirinya Bok Wan-jing tidak takut pada orang mati. Karena tertarik, segera ia mendekatinya, ia lihat orang berbaju hijau itu adalah seorang kakek, jenggotnya panjang

sampai di dada dan hitam gilap, matanya terpentang lebar sedang menatap pusar sungai tanpa berkedip.

"Kiranya bukan orang mati!” ujar Wan-jing sendiri.

Tapi ketika ditegasi pula, ia lihat tubuh orang itu sedikit pun tidak bergerak, bahkan kelopak matanya juga tidak berkedip sama sekali, terang juga bukan orang hidup. Maka gumamnya pula, "Ah, kiranya orang mati!”

Tapi sesudah diamat-amati sebentar lagi, ia merasa kedua mata orang mati itu bersemangat, wajahnya bercahaya merah pula. Ia coba periksa pernapasan hidung orang, terasa napasnya seakan-akan ada dan seperti tak ada, waktu meraba pipinya, tiba-tiba terasa dingin dan lain saat berubah hangat. Dalam herannya terus saja Wan-jing meraba dada orang, kini terasa jantung orang kedat-kedut, seperti berdenyut, seperti juga berhenti.

Keruan Wan-jing bertambah heran, katanya seorang diri, "Orang ini sungguh aneh, katakan dia orang mati, toh seperti orang hidup, bilang dia orang hidup, mirip orang mati pula.”

"Aku adalah orang hidup-mati!” tiba-tiba terdengar suara orang berkata.

Wan-jing menjadi kaget, cepat ia menoleh, tapi tiada bayangan seorang pun yang dilihatnya. Di sekitar itu adalah batu karang tandus yang tak dapat dibuat sembunyi orang. Sejak tadi dia berhadapan dengan orang aneh itu dan tidak kelihatan bibirnya bergerak ketika terdengar suara tadi.

Dengan penasaran segera Bok Wan-jing berseru, "Siapa berani menggoda nonamu? Apa barangkali kau sudah bosan hidup?”

Sembari berkata ia terus putar tubuh membelakangi sungai, maka ketiga arah lain dapat dilihatnya dengan jelas.

Tapi lantas terdengar suara tadi berkata pula, "Ya, aku memang sudah bosan hidup, sangat bosan hidup!”

Kejut Wan-jing sungguh tak terkatakan, sudah terang, kecuali orang aneh yang berada di depannya ini, dapat dipastikan tiada orang lain lagi. Namun terang gamblang kelihatan bibir orang aneh ini sama sekali tidak bergerak, mengapa bisa bicara?

Segera Wan-jing membentak lagi, "Siapa yang sedang bicara?”

"Kau sendiri sedang bicara?” sahut suara itu.

"Dan siapa yang bicara dengan aku?” seru Wan-jing.

"Tidak ada orang bicara denganmu!” sahut suara itu pula.

Dengan cepat Wan-jing putar tubuhnya tiga kali, tapi selain bayangan sendiri, tiada sesuatu tanda aneh yang kelihatan.

Ia yakin pasti Jing-bau-khek atau orang berbaju hijau di hadapannya ini yang sedang menggoda padanya, dengan tabahkan hati segera ia mendekat lebih rapat, ia coba dekap bibir orang, lalu tanya pula, "Apakah engkau yang bicara denganku?”

"Bukan!” kembali suara itu menjawab.

Sedikit pun tangan Wan-jing tidak merasakan getaran suara, maka tanyanya lagi, "Sudah jelas ada orang sedang bicara padaku, kenapa bilang tidak?”

"Aku bukan orang, aku pun bukan aku, di dunia ini tiada seorang aku lagi!” demikian sahut suara itu.

Seketika Bok Wan-jing mengirik, pikirnya, "Jangan-jangan ada setan?”

Segera ia tanya lagi, "Apakah eng ... engkau setan?”

"Kau sendiri tadi bilang tidak ingin hidup lagi, tentu kau akan menjadi setan juga, tapi mengapa kau ketakutan pada setan?” sahut suara itu.

"Siapa bilang aku takut pada setan? Aku tidak takut pada langit juga tidak gentar pada bumi!” seru Wan-jing dengan berani.

"Jika begitu, ada sesuatu yang kau takutkan,” kata suara itu.

"Hm, tidak, segala apa pun aku tidak takut!” sahut Wan-jing tegas.

"Takut, jelas kau takut! Yang kau takutkan ialah seorang calon suami yang mendadak berubah menjadi saudara sendiri!”

Kepala Bok Wan-jing seperti dikemplang oleh ucapan itu, dengan lemas ia duduk terkulai di tanah. Ia termangu-mangu sejenak, lalu katanya dengan komat-kamit, "Engkau adalah setan, engkau setan!”

"Jangan khawatir, aku dapat menolongmu,” demikian kata suara tadi. "Aku dapat menjadikan Toan Ki bukan kakakmu, dapat pula menjadikannya suamimu yang tercinta.”

"Tidak, kau ... kau tipu aku,” kata Wan-jing dengan suara gemetar. "Nasibku ini sudah ditakdirkan, tak bisa ... tak bisa berubah lagi.”

"Peduli apa dengan takdir segala,” ujar suara itu. "Aku mempunyai akal untuk mengubah kakakmu menjadi suamimu, kau mau tidak?”

Dalam keadaan putus asa dan hilang harapan, ucapan itu benar-benar merupakan suara wahyu yang turun dari langit, meski ragu juga, cepat Wan-jing menjawab, "Ya, mau, aku mau!”

"Sesudah aku selesai membantumu, dengan apa kau berterima kasih padaku?”

"Apa yang kumiliki? Aku tidak punya apa-apa!” sahut Wan-jing dengan pilu.

"Kini kau tak punya, tapi kelak mungkin akan punya.”

"Baiklah, apa yang kau inginkan, akan kuberikan padamu.”

"Tapi sampai saatnya nanti, jangan-jangan kau ingkar janji,” ujar suara itu.

"Aku pasti akan pegang janji!” seru Wan-jing. Dalam hati ia pikir, "Di dunia ini ada barang apakah yang bisa melebihi Toan-long yang akan menjadi suamiku? Seumpama aku menjadi raja, rela juga kuberikan takhtaku kepada orang aneh ini.”

Namun suara itu berkata pula, "Ucapan kaum wanita sukar dipercaya. Bila kelak tidak kau berikan padaku, lantas bagaimana?”

"Kepandaianmu begini sakti, bolehlah kau bunuh aku!” ujar Wan-jing.

"Tidak, aku takkan membunuhmu. Kalau kau tidak pegang janji, suamimu yang akan kubunuh,” kata suara itu.

Diam-diam Wan-jing berpikir, "Kecuali Toan-long, aku pasti takkan menikah. Dan bila Toan-long berubah bukan lagi kakakku tapi menjadi suamiku, maka segala apa aku tidak mau lagi, tidak mungkin aku merasa berat memberi apa pun kepada hantu ini.

Maka segera jawabnya, "Baiklah, aku menerima syaratmu.”

"Dan sampai waktunya nanti, jangan lagi meminta-minta padaku dengan menangis, sebab aku paling benci bila ditangisi wanita,” kata suara itu.

"Aku pasti takkan memohon padamu,” sahut Wan-jing. "Eh, siapakah engkau sebenarnya? Dapatkah engkau unjukkan mukamu padaku?”

"Sudah sekian lamanya kau lihat aku, masakah masih belum cukup?” kata suara itu pula. Sejak mula sampai sekarang nada suara itu selalu sama saja, tidak keras, tidak rendah, datar tanpa irama pula.

"Jadi engkau adalah ... adalah engkau ini?” tanya Wan-jing.

"Entahlah, aku pun tidak tahu apakah aku ini aku. Ai ....” demikian suara itu. Helaan napas paling akhir itu telah menandakan rasa masygul hatinya yang tak terkatakan.

Keruan Bok Wan-jing bertambah sangsi, tapi kini ia sudah yakin benar bahwa suara itu memang keluar dari kakek berbaju hijau di depannya ini. Segera ia tanya pula, "Engkau tidak buka mulut, mengapa bisa bicara?”

"Aku adalah orang hidup-mati, bibir tak dapat bergerak, tapi bersuara dari dalam perut,” sahut suara itu.

Dasar sifat kanak-kanak Bok Wan-jing belum hilang sama sekali, kalau tadi ia sangat berduka dan putus asa, adalah sekarang demi mendengar ada orang mampu bicara tanpa buka mulut dan gerak bibirnya, ia menjadi sangat ketarik, segera ia tanya pula, "Engkau bicara dengan perut? Sungguh aneh!”

"Kau tidak percaya?” sahut Jing-bau-khek itu. "Cobalah kau pegang perutku, tentu kau akan percaya nanti.”

Tanpa pikir Wan-jing terus ulur tangan untuk meraba perut orang.

"Kau merasakan getaran perutku atau tidak?” tanya Jing-bau-khek.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar