Jilid 51
"Memangnya siapa bilang
kau pintar?” timbrung Pau Put-tong. "Kau memang orang tolol mahabesar,
seorang goblok tulen!”
"Kan tidak lebih tolol
daripadamu,” sahut si kakek yang bernama Kheng Kong-leng itu dengan marah.
"Tentu saja lebih tolol,
kau lebih tolol sepuluh kali daripadaku,” sahut Put-tong.
"Kau lebih tolol seratus
kali daripadaku!” teriak si kakek dengan ganas.
"Dan kau lebih tolol
seribu kali daripadaku!” Put-tong juga ngotot.
"Sudahlah, sudahlah! Buat
apa kalian ribut urusan yang tak berguna,” sela si Tabib Sakti Sih Boh-hoa.
"Bahwasanya bila nanti Hui-keng dan Hui-si kedua Taysu pulang lapor ke
Siau-lim-si dan kalian ditanya Hongtiang Taysu, mungkin kalian tak bisa memberi
keterangan yang jelas, maka biarlah kuceritakan sedikit.”
"Sebenarnya urusan ini
adalah rahasia perguruan kami dan tidak perlu diketahui orang luar, tapi demi
untuk membasmi racun dunia persilatan yang terkutuk ini, bila padri sakti
Siau-lim-si tidak ikut dalam usaha ini tentu akan sukar dilaksanakan. Sekarang
akan kuceritakan seluk-beluk urusan kami ini, cuma diharap dengan hormat agar
kalian jangan lagi membocorkan hal ini kepada orang luar selain memberi laporan
kepada Hongtiang kalian saja.”
Berbareng Hui-keng dan Hui-si
mengiakan dan berjanji takkan menyiarkan rahasia cerita itu.
Lalu Sih Boh-hoa berkata
kepada Kheng Kong-leng, "Toasuko, tentang urusan kita dahulu akan Siaute
ceritakan, lho!
"Aneh,” sahut Kheng
Kong-leng tanpa pikir, "mulutmu tumbuh di kepalamu, mau katakan boleh kau
bicara, kenapa mesti tanya padaku?”
Lalu Sih-sin-ih berkata,
"Hian-lan Taysu dan Ting-heng sekalian, adapun guru kami namanya di dunia
persilatan terkenal sebagai
Cong-pian Siansing....”
"Hah, Cong-pian
Siansing?” berbareng Hian-lan, Pek-jwan dan lain-lain tercengang dan menegas
bersama.
Seperti pernah diceritakan,
Cong-pian Siansing adalah sama dengan Liong-ah Lojin. Tokoh ini tuli dan bisu,
tapi justru memakai alias "Cong-pian Siansing” atau tajam telinga dan
tangkas mulut.
Setiap orang Kangouw
mengetahui bahwa semua anak muridnya juga dibikin cacat pula, yaitu ditulikan
dan dibisukan. Tapi kini Kheng Kong-leng berdelapan semuanya pandai bicara dan
pintar mendengar, sudah tentu hal ini mengherankan jika mereka mengaku sebagai
anak murid Liong-ah Lojin.
Dalam pada itu Sih-sin-ih
telah melanjutkan ceritanya, "Tentang anak murid perguruan kami semua tuli
dan bisu, hal ini adalah kejadian 30 tahun paling akhir ini, dahulu Suhu kami
bukan orang tuli, lebih-lebih bukan orang bisu. Beliau hanya dipaksa menjadi
tuli dan bisu oleh sutenya sendiri, yaitu Sing-siok Lokoay Ting Junjiu.”
Hian-lan dan lain-lain kembali
bersuara heran.
Namun Sih Boh-hoa menyambung
terus, "Cosuya (kakek guru) seluruhnya cuma menerima dua orang murid,
murid pertama she So bernama Sing-ho, yaitu guru kami. Murid kedua adalah Ting
Jun-jiu yang sekarang terkenal sebagai Sing-siok Lokoay. Semula ilmu silat
mereka berdua setingkat, tapi akhirnya menjadi selisih jauh.”
"Hehe, tak usah
diterangkan juga orang akan tahu pasti susiokmu menjadi jauh lebih lihai
daripada gurumu,” tiba-tiba Put-tong menyela.
"Bukan begitu soalnya,”
kata Boh-hoa. "Sebab Cosuya kami adalah seorang genius, beliau memahami segala
ilmu pengetahuan di jagat ini....”
"Ai, ai, masa iya?”
Put-tong mengacau pula.
Tapi Sih-sin-ih tak
menggubrisnya, ia tahu orang itu memang sok membantah setiap pendapat orang
lain. Maka ia tetap melanjutkan ceritanya, "Semula guruku dan Susiok sama-sama
mempelajari ilmu silat, tapi kemudian guruku berubah minat dan mempelajari ilmu
seni budaya pada Cosuya....”
"Hahaha, kiranya caramu
memetik kecapi setan itu diperoleh dari situ,” Put-tong menyela pula, ia
maksudkan Kheng Kong-leng.
"Dan kalau Suhu kami
melulu mempelajari sejenis ilmu saja, misalnya petik kecapi, tentulah takkan
beralangan,” demikian Sih-sin-ih menyambung, "tapi apa yang dimiliki
Cosuya itu sungguh terlalu banyak, terlalu luas, baik seni musik, seni catur,
seni tulis, seni ukir, seni bunga, pertabiban, ilmu nujum, perbintangan dan
macam-macam lagi, pendek kata beliau serbabisa serta pintar.
"Semula guruku hanya
mempelajari seni musik saja, tapi kemudian belajar seni catur pula, lalu
belajar seni tulis dan seni lukis juga. Coba kalian pikir, setiap ilmu
pengetahuan itu sudah barang tentu memakan waktu yang cukup lama. Sebaliknya
Ting Jun-jiu itu mula-mula juga pura-pura ikut belajar, tapi lama-kelamaan ia
bilang bakatnya terlalu bodoh, susah mempelajari ilmu pengetahuan sebanyak itu,
maka yang dipelajarinya benar-benar hanya khusus ilmu silat saja. Dengan
begitu, setelah setahun dua tahun dan sepuluh tahun, dengan sendirinya ilmu
silat mereka berdua saudara seperguruan menjadi kelihatan berbeda secara
mencolok.”
"Ya, melulu semacam ilmu
pengetahuan saja sudah makan tenaga dan pikiran setiap orang yang
mempelajarinya, tapi Cong-pian Siansing ternyata mahir dan begitu luas
pengetahuannya, hal ini benar-benar luar biasa,” demikian kata Hian-lan.
"Dan kalau Ting Jun-jiu itu mencurahkan pikirannya dalam satu ilmu khusus
saja hingga ilmu silatnya lebih tinggi dari sang suheng, hal ini pun bukan
sesuatu yang mengherankan.”
"He, Longo, masih ada
yang lebih penting, mengapa tidak kau ceritakan? Ayo, lekas ceritakan, lekas!”
demikian Kheng Kong-leng berseru.
Maka Sih-sin-ih menurut pula,
"Bahwasanya Ting Jun-jiu itu tekun belajar ilmu silat saja, hal ini boleh
dikata ada baiknya juga. Cuma... cuma... ai, urusan ini kalau diceritakan
sungguh agak memalukan nama baik guru kami. Pendek kata Ting Jun-jiu telah
menggunakan macam-macam cara licik hingga dapat meyakinkan pula beberapa macam
ilmu sesat yang lihai dan akhirnya Cosuya kami diserang olehnya hingga terluka
parah.
"Maksudnya sebenarnya
hendak membunuh Cosuya, tapi apa pun juga Cosuya adalah seorang kosen yang
serbalihai, biarpun dalam keadaan tak terduga dan mendadak diserang, namun
untuk mengarah jiwanya juga tidak gampang.
"Maka sesudah terluka
parah, sekuat mungkin Cosuya bertahan, syukur Suhu kami juga keburu datang
menolong. Tapi sebelumnya Ting Jun-jiu juga sudah mengatur rencananya dengan
rapi, apa lagi ilmu silat guruku memang kalah kuat, maka setelah terjadi
pertarungan sengit akhirnya guruku juga terluka parah, sedangkan Cosuya
tergelincir ke dalam jurang dan tak diketahui mati-hidupnya.
"Sebabnya ilmu silat
guruku kalah daripada Ting Jun-jiu adalah disebabkan perhatiannya terpencar
untuk mempelajari ilmu pengetahuan lain, tapi ilmu pengetahuan yang lain tidak
berarti tiada manfaatnya, tatkala
terancam bahaya itulah guruku
telah keluarkan ilmu pengetahuannya yang luas itu, beliau mengatur jalan
‘Ngo-heng-pat-kwa’ (Lima Unsur dan Delapan Segi) yang aneh dan sudah dipecahkan
itu untuk mengacaukan pikiran Ting Jun-jiu dan akhirnya dapat menyelamatkan
diri. Tapi Ting Jun-jiu telah mengancam, asalkan sejak itu guruku tidak membuka
suara maka untuk selanjutnya beliau takkan diutik-utik.
"Tatkala itu dalam
perguruan terdapat kami berdelapan, Suhu lantas menulis pernyataan dan kami
dibubarkan serta tak diakui sebagai muridnya lagi. Sejak itu Suhu benar-benar
berlagak tuli dan bisu, tidak bicara dan tidak mau mendengar, waktu menerima
murid pula semuanya juga dibikin tuli dan bisu hingga terkenal sebagai
‘Liong-ah-bun’ di kalangan Kangouw.
"Menurut hematku boleh
jadi Suhu menyesal karena terlalu banyak belajar ilmu pengetahuan lain hingga
ilmu silatnya telantar dan dikalahkan Ting Jun-jiu, maka sesudah berlagak tuli
dan bisu, beliau tidak mempelajari ilmu pengetahuan lain lagi.
"Tentang kami berdelapan
saudara, selain kami belajar silat kepada Suhu, kami masing-masing mempelajari
pula sejenis pengetahuan yang lain, hal ini terjadi sebelum Ting Jun-jiu
mendurhakai Cosuya dan Suhu kami belum menyadari tentang bahayanya mempelajari
ilmu lain sehingga pemusatan pikiran terpencar, maka beliau tidak melarang,
bahkan menganjurkan dan memberi pujian pada kami. Adapun kepandaian lain yang
dipelajari Kheng-toasuheng adalah memetik kecapi dan....”
Ia menunjuk orang yang
bersenjata papan catur itu, "Dan Hoan Pek-ling Hoan-jisuheng, mempelajari
seni catur, selama ini beliau belum menemukan tandingan. Hoan-jisuheng boleh
dikatakan adalah juara catur pada zaman ini.”
"Pantas makanya kau
gunakan papan catur sebagai senjata,” tukas Pau Put-tong sambil memandang Hoan
Pekling. "Cuma papan caturmu terbuat dari besi sembrani untuk dipakai
menyedot senjata musuh, hal ini terus agak licik dan bukan perbuatan seorang
kesatria sejati.”
"Ilmu main catur memang
baik dilakukan serang-menyerang secara terang-terangan, tapi soal mengatur
siasat dan tipu untuk menjebak musuh kan juga tidak dilarang, demikian pula
halnya dengan papan caturku ini,” sahut Hoan Pek-ling.
"Sebenarnya maksud tujuan
Hoan-jisuko menggunakan papan catur besi sembrani ialah untuk mempelajari ilmu
permainan catur setiap saat, baik waktu makan, tatkala berjalan atau pada saat
duduk termenung, bila mendadak ia mendapat ilham atau tiba-tiba ingat sesuatu
langkah caturnya yang bagus, maka segera papan catur itu lantas digunakan.
"Buah caturnya terbuat
dari besi, bila ditaruh di atas papan catur besi sembrani itu akan terkantil,
dengan demikian Jisuko dapat menyelami ilmu permainan caturnya di mana dan
bilamana pun dia berada,” demikian
Sih-sin-ih menerangkan.
"Dan Samsuko kami itu she Koh bernama thok (baca), sesuai dengan namanya
itu, maka beliau sangat suka membaca, tak peduli kitab apa pun pasti dibacanya,
beliau adalah seorang cendekia yang sangat luas pengetahuannya. Hal ini mungkin
kalian sudah menyaksikan tadi.”
"Ah, cendekia apa? Lebih
mirip badut!” demikian Put-tong berolok-olok.
"Apa? Badut? Memangnya
kau sendiri kesatria?” balas si sastrawan linglung alias Kou Thok itu.
Sih-sin-ih tahu watak kedua
orang itu, jika mereka dibiarkan berdebat, mungkin tiga hari tiga malam pun
takkan habis-habis. Maka cepat ia potong pembicaraan mereka dan memperkenalkan
si sastrawan bersenjata boan-koan-pit itu, "Dan ini adalah sisuko kami,
beliau mahir melukis, baik lukisan pemandangan alam, binatang atau
tumbuh-tumbuhan, semuanya dapat dilukisnya dengan hidup. Dia she Go, sebelum
masuk perguruan kami pernah menjadi komandan tentara dalam Kerajaan Song. Sebab
itulah orang suka memanggilnya Komandan Go.”
"Komandan tentara yang
selalu kalah perang, apa gunanya?” demikian Pau Put-tong berolok-olok lagi.
Tapi sekali ini tiada orang
menggubris padanya. Maka Sih-sin-ih melanjutkan ceritanya, "Adapun aku
sendiri adalah nomor lima, yang kupelajari adalah ilmu tabib, syukurlah selama
ini namaku tidak terlalu jelek di kalangan Kangouw dan tidak sia-siakan ajaran
guruku.”
"Ya, kalau cuma batuk
pilek sih dapat disembuhkan, tapi bila menghadapi penyakit seperti aku ini
lantas tak bisa berbuat apa-apa, ini namanya penyakit besar tak mampu
mengobati, penyakit kecil tidak sampai mati. Hehe, gelaran Sih-sin-ih memang
tidak bernama kosong!” demikian lagi-lagi Pau Put-tong mengejek.
Kheng Kong-leng menjadi
geregetan, ia melirik gemas kepada Put-tong dan menjengek, "Sifat saudara
ini benar-benar aneh bin luar biasa, sungguh tidak sama dengan orang lain!”
"Haha, memangnya aku she
Pau (tanggung) dan bernama put-tong (tidak sama), dan dengan sendirinya
tanggung tidak sama dengan orang lain,” sahut Put-tong dengan tertawa.
"Hahahaha,” Kheng
Kong-leng terbahak-bahak. "Kau benar-benar she Pau dan bernama put-tong?”
"Sudah tentu benar,
masakan palsu? Kalau palsu uang kembali!” sahut Put-tong, "dan si abang
yang pandai membongkar alat rahasia ini apa barangkali murid keturunan Loh Pan?”
Loh Pan adalah seorang
arsitek, seorang pencipta di Zaman Ciankok.
Maka Sih-sin-ih menjawab,
"Ya, benar, Laksite bernama Thio A Sam, asalnya memang tukang kayu.
Sebelum masuk perguruan kami dia sudah terkenal sebagai seorang ahli
pertukangan, setelah belajar lagi pada guru kami, kepandaiannya makin tambah
hebat. Dan Jitsumoay she Ciok, dia paling suka pada bunga, segala jenis
tumbuh-tumbuhan bunga di dunia ini pasti ditanamnya dan dirawat dengan baik.”
"Obat yang menjatuhkan
aku yang digunakan nona Ciok tadi tentulah serbuk bunga dan bukan racun,” ujar
Ting Pek-jwan.
Wanita cantik she Ciok itu,
nama gadisnya adalah Jing-loh, dengan tersenyum ia menyahut, "Ya, tadi
banyak membikin susah padamu, harap maaf.”
"Cayhe juga berlaku
kasar, harap nona jangan dendam,” sahut Pek-jwan.
Akhirnya Sih-sin-ih menunjuk
si pemain sandiwara pula, katanya, "Dan Patsute ini bernama Li Gui-lui (Si
Wayang Golek), sesuai dengan namanya, selama hidup ia suka jadi dalang dan membawakan
lakon tingkah laku angin-anginan sehingga dalam hal ilmu silat menjadi agak
telantar.”
"Oo, aku Li Si-bin
adanya, aku tidak suka kerajaan tapi lebih suka main sandiwara, aha, puas
sekali hatiku,” demikian seniman sinting itu menembang lagi.
Sih-sin-ih menutur lebih
lanjut, "Meski kami berdelapan telah dibubarkan dari perguruan, tapi kami
tidak pernah melupakan budi kebaikan Suhu, kami memberi nama sendiri sebagai
‘Yu-kok-pat-yu’ sebagai kenangan tatkala kami belajar pada guru kami yang baik
hati di lembah sunyi itu. Bagi orang lalu mungkin akan menyangka kami cuma
delapan sekawan yang wataknya cocok satu cuma lain, tapi tidak tahu kami
sebenarnya adalah saudara seperguruan.
"Untuk menjaga
kemungkinan datangnya Sing-siok Lokoay dan kami akan dihancurkan sekaligus,
maka setiap lima tahun kami mengadakan pertemuan satu kali di sini, biasanya
kami terpencar tiada tempat tinggal tertentu. Sebab itulah bahwasanya nona A
Pik adalah murid Toasuheng hal ini sama sekali tak diketahui oleh kami, kalau
tahu tentu takkan terjadi salah paham seperti tadi.”
Mendengar cerita tentang
asal-usul kedelapan orang aneh itu, barulah rasa waswas Hian-lan dan lain-lain
lenyap sebagian besar.
Lalu Kongya Kian bertanya
pula, "Sebabnya Sih-siansing pura-pura meninggal dan menaruh racun dalam
peti mati, apakah khusus dipasang untuk menghadapi Sing-siok Lokoay? Dan dari
mana Sih-siansing tahu iblis itu akan datang ke sini?”
"Kejadian itu kalau
diceritakan memang sangat aneh,” sahut Sih-sin-ih. "Dua hari yang lalu
ketika aku duduk iseng dalam rumah, tiba-tiba datang empat orang penumpang kuda
minta obat padaku. Soal memberi obat dan menolong orang sakit memang menjadi
kewajibanku sebagai tabib dan sangat umum. Yang aneh adalah si penderita sakit.
Satu di antaranya adalah seorang hwesio gemuk buntek, tulang iga depan dan
belakang patah semua, badannya yang besar bulat itu hampir-hampir menjadi
gepeng, jadi mirip habis dipres, ditempa dan digencet dalam suatu benda keras.”
"Memangnya siapa bilang
kau pintar?" timbrung Pau Put-tong, "Kamu memang orang tolol maha
besar, seorang goblok tulen!"
"Kan tidak lebih tolol
dari padamu," sahut sikakek yang bernama Kheng Kong-leng itu dengan marah.
"Tentu saja lebih tolol,
kamu lebih tolol sepuluh kali dari padaku," sahut Put-tong.
"Kamu lebih tolol seratus
kali dari padaku!" teriak sikakek dengan gemas.
"Dan kamu lebih tolol
seribu kali dari padaku!" Put-tong juga ngotot.
"Sudahlah, sudahlah! Buat
apa kalian ribut urusan yang tak berguna," sela sitabib sakti Sih Boh-hoa,
"Bahwasanya bila nanti Hui-keng dan Hui-si kedua Taisu pulang lapor ke
Siau-lim-si, dan kalian ditanya Hongtiang Taisu, mungkin kalian tak bisa
memberi keterangan yang jelas, maka biarlah kuceritakan sedikit.
Sebenarnya urusan ini adalah
rahasia perguruan kami dan tidak perlu diketahui orang luar, tapi demi untuk
membasmi racun dunia persilatan yang terkutuk ini, bila para padri sakti
Siau-lim-si tidak ikut dalam usaha ini tentu akan sukar dilaksanakan, Sekarang
akan kuceritakan seluk-beluk urusan kami ini, cuma diharap dengan hormat agar
kalian jangan lagi membocorkan hal ini kepada orang luar selain memberi laporan
kepada Hongtiang kalian saja."
Berbareng Hui-keng dan Hui-si
mengiakan dan berjanji takkan menyiarkan rahasia cerita itu.
Lalu Sih Boh-hoa berkata
kepada Kheng Kong-leng, "Toasuko, tentang urusan kita dahulu akan Siaute
ceritakan, lho!"
"Aneh," sahut Kheng
Kong-leng tanpa pikir, "Mulutmu tumbuh dikepalamu, mau katakan boleh kau
bicarakan, kenapa mesti tanya padaku?"
Lalu Sih-sin-ih berkata,
"Hian-lan Taisu dan Ting-heng sekalian, adapun guru kami namanya didunia
persilatan terkenal sebagai Cong-pian Sian-sing....."
"Hah, Cong-pian
Siansing?" berbareng Hian-lan, Pek-jwan dan lain-lain tercengang dan
menegas bersama.
Seperti pernah diceritakan
Cong-pian Sian-sing adalah sama dengan Liong-ah Lojin, Tokoh ini tuli dan bisu,
tapi justru memakai alias 'Cong-pian Sian-sing' atau tajam telinga dan tangkas
mulut.
Setiap orang kangouw
mengetahui bahwa semua anak muridnya juga dibikin cacat pula, yaitu ditulikan
dan dibisukan, Tapi kini Kheng Kong-leng berdelapan semuanya pandai bicara dan
pintar mendengar, sudah tentu hal ini mengherankan jika mereka mengaku sebagai
anak murid Liong-ah Lojin.
Dalam pada itu Sih-sin-ih
telah melanjutkan ceritanya, "Tentang anak murid perguruan kami semua tuli
dan bisu, hal ini adalah kejadian tigapuluh tahun paling akhir ini, dahulu Suhu
kami bukan orang tuli, lebih-lebih bukan orang bisu, Beliau hanya dipaksa
menjadi tuli dan bisu oleh Sutenya sendiri, yaitu Sing-siok Lokoai Ting
Jun-jiu."
Hian-lan dan lain-lain kembali
bersuara heran. Namun Sih Boh-hoa menyambung terus;
"Cosuya (kakek guru) kami
seluruhnya cuma menerima dua orang murid, murid pertama she So bernama Singho,
yaitu guru kami, Murid kedua adalah Ting Jun-jiu yang sekarang terkenal sebagai
Sing-siok Lokoai, Semula ilmu silat mereka berdua setingkat, tapi akhirnya
menjadi selisih jauh."
"Hehe, tak usah diterangkan
juga orang akan tahu pasti Susiokmu menjadi jauh lebih lihai daripada
gurumu," tiba-tiba Put-tong menyela.
"Bukan begitu
soalnya," kata Boh-hoa, "Sebab Cosuya kami adalah seorang jenius,
beliau memahami segala ilmu pengetahuan di jagat ini......"
"Ai, ai, masa iya?"
Put-tong mengacau pula.
Tapi Sih-sin-ih tak
menggubrisnya, ia tahu orang itu memang sok membantah setiap pendapat orang
lain, Maka ia tetap melanjutkan ceritanya.
"Semula guruku dan Susiok
sama-sama mempelajari ilmu silat, tapi kemudian guruku berubah minatnya dan
mempelajari ilmu seni budaya pada Cosuya....."
"Hahaha, kiranya caramu
memetik kecapi setan itu diperoleh dari situ," Put-tong menyela pula, ia
maksudkan Kheng Kong-leng.
"Dan kalau Suhu kami
melulu mempelajari sejenis ilmu saja, misalnya memetik kecapi, tentulah takkan
berhalangan," demikian Sih-sin-ih menyambung, "tapi apa yang dimiliki
Cosuya itu sungguh terlalu banyak, terlalu luas, baik seni musik, seni catur,
seni tulis, seni lukis, seni ukir, seni bunga, pertabiban, ilmu nujum,
perbintangan dan macam-macam lagi, pendek kata beliau serba bisa, serta
pintar."
"Semula guruku hanya
mempelajari seni musik saja, tapi kemudian belajar seni catur pula, lalu
belajar seni tulis dan seni lukis juga, Coba kalian pikir, setiap ilmu
pengetahuan itu sudah barang tentu memakan waktu yang cukup lama, Sebaliknya
Ting Jun-jiu itu mula-mula juga pura-pura ikut belajar, tapi lama kelamaan ia
bilang bakatnya terlalu bodoh, susah mempelajari ilmu pengetahuan sebanyak itu,
maka yang dipelajari benarbenar hanya khusus ilmu silat saja, Dengan begitu,
setelah setahun dua tahun dan sepuluh tahun, dengan sendirinya ilmu silat
mereka berdua saudara seperguruan menjadi kelihatan berbeda secara
menyolok."
"Ya, melulu semacam ilmu
pengetahuan saja sudah makan tenaga dan pikiran setiap orang yang
mempelajarinya, tapi Cong-pian Siansing ternyata mahir dan begitu luas
pengetahuannya, hal ini benar-benar luar biasa," demikian kata Hian-lan,
"Dan kalau Ting Jun-jiu itu mencurahkan pikirannya dalam satu ilmu khusus
saja hingga ilmu silatnya lebih tinggi dari sang Suheng, hal ini pun bukan
sesuatu yang mengherankan."
"He, Lo-ngo, masih ada
yang lebih penting, mengapa tidak kau ceritakan? Ayo, lekas ceritakan
lekas!" demikian Kheng Kong-leng berseru.
Maka Sih-sin-ih menurut pula,
"Bahwasanya Ting Jun-jiu itu tekun belajar ilmu silat saja, hal ini boleh
dikata ada baiknya juga, Cuma....cuma... ai, urusan ini kalau diceritakan
sungguh agak memalukan nama baik guru kami, Pendek kata Ting Jun-jiu telah
menggunakan macam-macam cara licik hingga dapat meyakinkan pula beberapa macam
ilmu sesat yang lihai dan akhirnya mendadak Cosuya kami diserang olehnya hingga
terluka parah.
"Maksudnya sebenarnya
hendak membunuh Cosuya, tapi apa pun juga Cosuya adalah seorang kosen yang
serba lihai, biarpun dalam keadaan tak terduga dan mendadak diserang, namun
untuk mengarah jiwanya juga tidak gampang.Maka sesudah terluka parah, sekuat
mungkin Cosuya bertahan, syukur Suhu kami juga keburu datang menolong, Tapi
sebelumnya Ting Jun-jiu juga sudah mengatur rencananya dengan rapi, apa lagi
ilmu silat guruku memang kalah kuat, maka setelah terjadi pertarungan sengit
akhirnya guruku juga terluka parah, sedangkan Cosuya tergelincir kedalam jurang
dan tak diketahui mati-hidupnya."
"Sebabnya ilmu silat
guruku kalah dari pada Ting Jun-jiu adalah disebabkan perhatiannya terpencar
untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang lain, tapi ilmu pengetahuan yang lain
tidak berarti tiada manfaatnya, tatkala terancam bahaya itulah guruku telah
keluarkan ilmu pengetahuannya yang luas itu, beliau mengatur jalan
'Ngo-heng-pat-kwa'(lima unsur dan delapan segi) yang aneh dan susah dipecahkan
itu untuk mengacaukan pikiran Ting Jun-jiu dan akhirnya dapat menyelamatkan
diri, Tapi Ting Jun-jiu telah mengancam, asalkan sejak itu guruku tidak membuka
suara, maka untuk selanjutnya beliau takkan diutik-utik."
"Tatkala itu dalam
perguruan terdapat kami berdelapan, Suhu lantas menulis pernyataan dan kami
dibubarkan serta tak diakui sebagai muridnya lagi, Sejak itu Suhu benar-benar
berlagak tuli dan bisu, tidak bicara dan tidak mau mendengar, waktu menerima
murid pula semuanya juga dibikin tuli dan bisu hingga terkenal sebagai
'Liong-oh-bun' dikalangan kangouw.Menurut hematku, boleh jadi Suhu menyesal
karena beliau terlalu banyak belajar ilmu pengetahuan lain hingga ilmu silatnya
terlantar dan dikalahkan Ting Jun-jiu, maka sesudah berlagak tuli dan bisu,
beliau tidak mempelajari ilmu pengetahuan lain lagi."
"Tentang kami berdelapan
saudara, selain kami belajar silat kepada Suhu, kami masing-masing mempelajari
pula sejenis pengetahuan yang lain, hal ini terjadi sebelum Ting Jun-jiu
mendurhakai Cosuya dan Suhu kami belum menyadari tentang bahayanya mempelajari
ilmu lain sehingga pemusatan pikirannya terpencar, maka beliau tidak melarang,
bahkan menganjurkan dan memberi pujian pada kami, Adapun kepandaian lain yang
dipelajari Kheng-toasuheng adalah memetik kecapi dan..." Ia menunjuk orang
yang bersenjata papan catur itu, "Dan Hoan Pek-ling, Hoan-jisuheng
mempelajari seni catur, selama ini beliau belum menemukan tandingan,
Hoan-jisuheng boleh dikatakan adalah juara catur pada jaman ini."
"Pantas, makanya kau
gunakan papan catur sebagai senjata," tukas Pau Put-tong sambil memandang
Hoan Pekliong, "Cuma papan caturmu itu terbuat dari besi sembrani untuk
dipakai menyedot senjata musuh, hal ini terasa agak licik dan bukan perbuatan
seorang ksatria sejati."
"Ilmu main catur memang
baik dilakukan serang menyerang secara terang-terangan, tapi soal mengatur
siasat dan tipu untuk menjebak musuh kan juga tidak dilarang, demikian pula
halnya dengan papan caturku ini." sahut Hoan Pek-ling.
"Sebenarnya maksud tujuan
Hoan-jisuko menggunakan papan catur besi sembrani ialah untuk mempelajari ilmu
permainan catur setiap saat baik waktu makan, tatkala berjalan atau pada saat
duduk termenung, Bila mendadak ia mendapat ilham atau tiba-tiba ingat sesuatu
langkah caturnya yang bagus, maka segera papan catur itu lantas digunakan.'
"Buah caturnya terbuat
dari besi, bila ditaruh diatas papan catur besi sembrani itu akan terus kantil,
dengan demikian Jisuko dapat menyelami ilmu permainan caturnya dimana dan
bilamana pun dia berada," demikian Sih-sin-ih menerangkan. "Dan
Samsuko kami itu she Kou bernama Thok (baca), sesuai dengan namanya itu, maka
beliau sangat suka membaca, tak peduli kitab apa pun pasti dibacanya, beliau
adalah seorang cendikia yang sangat luas pengetahuannya, Hal ini mungkin kalian
sudah menyaksikan tadi."
"Ah, cendikia apa? Lebih
mirip badut!" demikian Put-tong berolok-olok.
"Apa? Badut? Memangnya
kamu sendiri kesatria?" balas si sastrawan linglung alias Kou Thok itu.
Sih-sin-ih tahu watak kedua
orang itu, jika mereka dibiarkan berdebat, mungkin tiga hari tiga malam pun
takkan habis-habisnya, Maka cepat ia potong pembicaraan mereka dan
memperkenalkan si sastrawan bersenjata Boan-koan-pit itu, "Dan ini adalah
Sisuko kami, beliau mahir melukis, baik lukisan pemandangan alam, binatang atau
tumbuh-tumbuhan, semuanya dapat dilukisnya dengan hidup, Dia she Go, sebelum
masuk perguruan kami pernah menjadi komandan tentara dalam kerajaan Song, Sebab
itulah orang suka memanggilnya Komandan Go."
"Komandan tentara yang selalu
kalah perang, apa gunanya?" demikian Pau Put-tong berolok-olok lagi.
Tapi sekali ini tiada orang
menggubris padanya, Maka Sih-sin-ih melanjutkan ceritanya, "Adapun aku
sendiri adalah nomor lima, yang kupelajari adalah ilmu tabib, syukurlah selama
ini namaku tidak terlalu jelek dikalangan kangouw dan tidak sia-siakan ajaran
guruku."
"Ya, kalau cuma batuk
pilek sih dapat disembuhkan, tapi bila menghadapi penyakit seperti aku ini
lantas tak bisa berbuat apa-apa, ini namanya penyakit besar tak mampu mengobati,
penyakit kecil tidak sampai mati, Hehe, gelaran Sih-sin-ih memang tidak bernama
kosong!" demikian lagi-lagi Pau Put-tong mengejek.
Kheng Kong-leng menjadi
gregetan, ia melirik gemas kepada Put-tong dan menjengek, "Sifat saudara
ini benar-benar aneh bin luar biasa, sungguh tidak sama dengan orang
lain!"
"Haha, memangnya aku she
Pau (tanggung) dan bernama Put-tong (tidak sama), dan dengan sendirinya
tanggung tidak sama dengan orang lain," sahut Put-tong dengan tertawa.
"Hahahaha," Kheng
Kong-leng terbahak-bahak, "Kamu benar-benar she Pau dan bernama
Put-tong?"
"Sudah tentu benar,
masakah palsu? Kalau palsu uang kembali!" sahut Put-tong, "dan abang
yang pandai membongkar alat rahasia ini apa barangkali murid keturunan Loh
Pan?"
Loh Pan adalah seorang
arsitek, seorang pencipta dijaman Ciankok.
Maka Sih-sin-ih menjawab,
"Ya, benar, Lak-sute bernama Thio A Sam, asalnya memang tukang kayu,
Sebelum masuk perguruan kami dia sudah terkenal sebagai seorang ahli
pertukangan, setelah belajar lagi pada guru kami, kepandaiannya makin tambah
hebat, Dan Jit-sumoai she Ciok, dia paling suka pada bunga, segala jenis
tumbuh-tumbuhan bunga didunia ini pasti ditanamnya dan dirawat dengan
baik."
"Obat yang menjatuhkan
aku yang digunakan nona Ciok tadi tentulah serbuk bunga dan bukan racun,"
ujar Ting Pek-jwan.
Wanita cantik she Ciok itu,
nama gadisnya adalah Jing-loh, dengan tersenyum ia menyahut, "Ya, tadi
banyak membikin susah padamu harap maaf."
"Caihe juga berlaku
kasar, harap nona jangan dendam," sahut Pek-jwan.
Akhirnya Sih-sin-ih menunjuk
sipemain sandiwara pula, katanya, "Dan Pat-sute ini bernama Li Gui-in ( si
wayang golek), sesuai dengan namanya, selama hidup ia suka jadi dalang dan membawakan
lakon tingkah-laku angin2an sehingga dalam hal ilmu silat menjadi agak
terlantar."
"Oo, aku Li Si-bin
adanya, aku tidak suka kerajaan tapi lebih suka main sandiwara, aha, puas
sekali hatiku!" demikian seniman sinting itu menembang lagi.
Sih-sin-ih menutur lebih
lanjut, "Meski kami berdelapan telah dibubarkan dari perguruan, tapi kami
tidak pernah melupakan budi kebaikan Suhu, kami memberi nama sendiri sebagai
'Yu-kok-pat-yu' sebagai kenangan tatkala kami belajar pada guru kami yang baik
hati dilembah sunyi itu, Bagi orang lain mungkin akan menyangka kami cuma
delapan sekawan yang wataknya cocok satu sama lain, tapi tidak tahu kami
sebenarnya adalah saudara seperguruan. Untuk menjaga kemungkinan datangnya
Sing-siok Lokoai dan kami akan dihancurkan sekaligus, maka setiap lima tahun
kami mengadakan pertemuan satu kali disini, biasanya kami terpencar tiada
tempat tinggal tertentu, Sebab itulah bahwasanya nona Apik adalah murid
Toasuheng hal ini sama sekali tak diketahui oleh kami, kalau tahu tentu takkan
terjadi salah paham seperti tadi."
Mendengar cerita tentang
asal-usul kedelapan orang aneh itu, barulah rasa was-was Hian-lan dan lain-lain
lenyap sebagian besar.
Lalu Kongya Kian bertanya
pula, "Sebabnya Sih-siansing pura-pura meninggal dan menaruh racun dalam
peti mati, apakah khusus dipasang untuk menghadapi Sing-siok Lokoai? Dan dari
mana Sih-siansing tahu iblis itu akan datang kesini?"
"Kejadian itu kalau
diceritakan memang sangat aneh," sahut Sih-sin-ih. "Dua hari yang
lalu, ketika aku duduk iseng dalam rumah, tiba-tiba datang empat orang
penumpang kuda minta obat padaku, Soal memberi obat dan menolong orang sakit
memang menjadi kewajibanku sebagai tabib dan sangat umum, Yang aneh adalah
sipenderita sakit, Satu diantaranya adalah seorang hwesio gemuk buntek, tulang
iga depan dan belakang patah semua, badannya yang besar bulat itu hampir2
menjadi gepeng, jadi mirip habis dipres, ditempa dan digencet dalam suatu benda
keras."
"Hah, itulah Sam-ceng
Hwesio, orang Siau-lim-si kami," kata Hian-lan, "Orang ini tidak taat
kepada peraturan, makanya dihukum kurung dalam kamar batu, Rupanya badannya
kelewat gede hingga dia tergencet gepeng dalam kamar batu itu, Siapakah
gerangan yang mengantar dia minta obat pada Sih-siansing?"
"Orang yang datang
bersama dia itu, wah, dia lebih-lebih aneh lagi, kepalanya memakai sebuah
kerudung besi....."
Baru sekian Sih-sin-ih menutur
lagi, serentak Pau Put-tong dan Hong Po-ok melonjak dan berseru, "Keparat
itu dia anak jadah yang kami cari, Syukur alhamdullilah, dia terkena penyakit
apakah?"
"Dia tidak sakit, tapi
maksudnya ingin melepaskan kerudung besi pada kepalanya itu," tutur
Sih-sin-ih, "Tapi setelah kuperiksa, ternyata kerudung besi itu sudah
melengket erat dengan kepalanya dan tidak dapat dilepaskan lagi."
"Aha, aneh! Apa mungkin
kerudung besi itu sudah tumbuh diatas kepalanya sejak ia jebrol dari kandungan
ibunya?" ujar Put-tong.
"Tidak," sahut
Sih-sin-ih, "Kerudung besi itu tampaknya sengaja dipasang orang, yaitu
ditangkupkan tatkala kerudung besi itu masih panas menganga sehingga kulit
dagingnya meleleh, setelah lukanya sembuh, maka kerudung besi itu pun
seakan-akan dicor diatas kepalanya dan tak bisa dilepas lagi, Untuk membukanya,
hanya bisa dilakukan bila mau hidungnya ikut dikoyak-koyak.
"Dia yang minta
kerudungnya dilepaskan, biarpun akibatnya muka hancur semua juga tak dapat
menyalahkanmu," ujar Put-tong dengan dingin.
"Tapi persoalannya tidak
begitu mudah," tutur Sih-sin-ih, "Tulang Sam-ceng Hwesio yang patah
itu gampang disembuhkan, untuk itu kukira Siau-lim-si juga mampu mengobatinya,
Tapi kerudung besi Thi-thau-jin itu tidak mudah dilepas, Dan selagi aku ragu,
dua orang kawannya yang mengantar itu menjadi tak sabar, tiba-tiba mereka
berteriak-teriak suruh aku lekas bekerja.
"Hendaknya hadirin maklum
bahwa orang she Shi ini mempunyai suatu sifat yang jelek, yaitu bila orang
minta obat padaku, maka dia harus memohon dengan baik-baik, kalau main gertak
dan main paksa, haha, orang she Shi ini lebih suka mati juga tak mau
menyembuhkannya.Seperti waktu pertemuan para ksatria di Cip-hian-ceng dahulu
dimana Kiau Hong rela menyerempet bahaya dengan mengantar seorang nona cilik
untuk minta obat padaku, Biasanya orang itu sangat ganas dan malang melintang
tiada yang berani melawannya, tapi karena dia ingin minta tolong padaku, betapa
pun dia harus bicara secara halus dan mohon dengan baik-baik padaku......"
Bercerita sampai disini, ia
jadi teringat ketika ia diselomoti A Cu dan tertutuk tak bisa berkutik serta
jenggotnya dicukur hingga kelimis, hal itu adalah kejadian yang paling
memalukan selama hidupnya, maka ia tidak jadi meneruskan lagi ceritanya.
Saat itu A Pik masih terpulas
karena keracunan, coba kalau dia ikut mendengar cerita Sih-sin-ih tentang Kiau
Hong membawa seorang nona cilik segala, tentu ia akan mengusut lebih jauh dan
boleh jadi jejak A Cu akan dapat diketahuinya.
Dalam pada itu Pau Put-tong
ikut menimbrung pula, "Ah, jangan omong besar? Ini, orang she Pau juga
mempunyai suatu sifat yang aneh, kalau ada orang hendak mengobati penyakitku,
maka dia harus memohon dengan baik-baik, bahkan perlu berlutut dan menyembah
dulu padaku, Tapi kalau dipaksa dan digertak, haha, orang she Pau ini lebih
suka mati, aku juga tidak sudi diobati orang."
"Hahaha! Kamu ini mestika
juwita apa?" tiba-tiba Kheng Kong-leng ter-bahak2 geli, "Masakah
orang hendak menyembuhkan penyakitmu malah diharuskan menyambah dan memohon
padamu, hahaha, kecuali.....kecuali....."
"Kecuali kalau kamu
adalah putraku," sambung Put-tong.
Kong-leng melengak, Tapi
setelah dipikir-pikir, ia anggap ucapan Pau Put-tong memang ada benarnya juga,
Coba, kalau ayah jatuh sakit dan tidak mau diperiksa tabib, dengan sendirinya
anak akan terpaksa memohon dengan sangat padanya, Sama sekali tak terpikir
olehnya bahwa ucapan Pau-Put-tong itu justru sengaja hendak mengolok-oloknya,
Maka ia pun menyahut, "Ya, benar! Tapi aku toh bukan putramu."
"Kamu putraku atau bukan
hanya ibumu yang tahu, kau sendiri mana bisa tahu?" kata Put-tong.
Kembali Kong-leng melengak,
lalu mengangguk-angguk dan berkata pula, "Ya, benar juga."
"Hahahaha!" Put-tong
terbahak-bahak geli, pikirnya dalam hati, "Guru Lak-moai ini sungguh
seorang tolol!"
Maka Kongya Kian lantas
menyela, "Sin-siansing, jika kedua orang itu main kasar padamu, tentu saja
kamu menolak untuk menolong mereka."
"Ya, tatkala itu kontan
juga aku menolaknya," sahut Sih-sin-ih. "Tapi Thi-thau-jin itu
ternyata sangat menghormat padaku, katanya, "Sih-siansing, kepandaianmu
tiada tandingannya didunia ini, orang kangouw menamakanmu 'Giam-ong-dek' tidak
sedikit jiwa orang yang telah kau hidupkan kembali, setiap orang Bu-lim sangat
kagum dan menghormat padamu, Selamanya hamba juga sangat mengindahkanmu,
malahan ayahku juga kenalan lama Sih-siansing, maka mohon engkau sudi menaruh
belas kasihan dan tolonglah putra mendiang sobatmu ini."
Asal-usul Thi-thau-jin alias
Yu Goan-ci itu memang sangat menarik perhatian semua orang, maka demi mendengar
cerita Sih-sin-ih bahwa bocah berkerudung besi itu mengaku sebagai 'putra
mendiang sobatmu' itu, segera mereka sama bertanya,
"Siapakah ayahnya ?"
"Siapa ayahnya hanya
ibunya yang tahu, dia sendiri mana bisa tahu?" tiba-tiba Li Gui-lui alias
siwayang golek menukas, Yang ditirukan adalah lagu suara Pau Put-tong dengan
persis sekali.
Maka tertawalah Pau Put-tong,
katanya, "Bagus, pintar sekali kamu menirukan suaraku, Kamu memang darah
daging keturunanku!"
"Pau-siansing ini suka
berkelakar, Pat-te tidak perlu bersungguh-sungguh dengan dia," kata
Sih-sin-ih sebelum Li Gui-lui membalas olok-olok.
Lalu ia pun menyambung
ceritanya, "Demi mendengar Thi-thau-jin itu mengaku sebagai putra mendiang
sobatku, segera aku tanya siapakah ayahnya, Tapi dia bilang, 'Nasib Siaujin
terlalu jelek dan banyak membikin malu nama baik orang tua, maka tentang nama
beliau Siaujin tidak berani menyebutnya lagi, Tapi waktu hidup ayahku memang
benar adalah sobat baik Sih-siansing, hal ini seribu kali betul, Siaujin tidak
berani memperalat nama mendiang ayahku untuk menipu orang', Kudengar ucapannya
sungguh-sungguh, rasanya tidak bohong, Tapi kenalanku terlalu banyak, meski aku
sudah mengingat-ingat tetap tidak tahu siapakah ayahnya yang sudah
meninggal itu, Kupikir bila
kerudung besinya sudah dapat dilepaskan, dari mukanya tentu akan dapat ditaksir
siapakah gerangan ayahnya.
"Tengah aku berpikir
salah seorang yang mengantar mereka itu sudah berteriak lagi, 'Menurut titah
Suhu, yang penting adalah menyembuhkan Sam-ceng Hwesio ini, tentang kerudung
besi Thi-thau-jin itu dapat dibuka atau tidak bukan soal', Aku jadi naik darah
oleh ucapannya itu, jawabku, 'Siapakah gurumu? Titahnya hanya dapat
memerintahmu dan tak dapat memerintah aku, tahu?' Tapi sikap orang itu memang
sangat kasar dan sewenangwenang, katanya, 'Kalau aku sebut nama guruku, mungkin
nyalimu akan pecah ketakutan, Beliau hanya suruh kau lekas menyembuhkan luka
Hwesio gendut ini dan habis perkara, kalau terlambat hingga bikin runyam urusan
beliau, seketika juga kamu bisa dikirim melaporkan diri kepada Giam-lo-ong
(raja akhirat)'.
"Semula gusarku sungguh
tidak kepalang, tapi kemudian kudengar logat suaranya agak aneh, rada mirip
orang asing yang menirukan bahasa kita, Waktu aku mengamat-amati mukanya,
kulihat rambutnya keriting dan matanya cekung, agak berbeda daripada bangsa Han
kita, Mendadak aku teringat kepada seorang, segera kutanya dia, 'Apakah kau datang
dari Sing-siok-hai?'
"Orang itu agak terkejut
dan menjawab, ' Tajam juga matamu, ya? Memang betul aku datang dari
Sing-siokhai, Nah, jika sudah tahu, lekas mengobati hwesio gendut ini
sebisanya!' Kupikir sakit hati perguruan belum terbalas, mumpung anak murid
Sing-siok Lokoai kupergoki sekarang, aku harus cari jalan untuk menuntut balas,
Maka aku lantas pura-pura takut dan bertanya, 'Sudah lama kukagumi kepandaian
Sing-siok Losian yang maha sakti sayang selama ini tidak sempat bertemu entah
sekarang Losian (dewa tua) juga datang ke Tionggoan atau tidak?"
"Cis tidak kenal
malu!" mendadak Pau Put-tong berolok-olk lagi, "Kau dapat menyebutnya
sebagai Sing-siok Lokoai atau Sing-siok Lomo, mengapa begitu pengecut hingga
menyebutnya 'Losian' segala! Huh, tidak kenal malu!"
"Teguran Pau-siansing
memang betul juga," sahut Sih-sin-ih dengan tenang, "Sebenarnya
maksudku hanya untuk memancing pengakuan orang itu saja, tapi dasar aku memang
tidak biasa berpura-pura hingga air mukaku kelihatan rasa dendamku, Dan orang
itu juga sangat licin, sekilat lihat saja lantas curiga dan segera mendahului
mencengkeram pergelangan tanganku sambil membentak, 'Apa maksudmu mencari tahu
jejak Suhuku?' Karena urusan sudah runyam, tanpa bicara lagi aku balas menutuk
hingga kena hiat-to mematikan ditubuhnya, Segera kawannya mencabut belati
berbisa terus menikam kearahku, waktu itu aku tak bersenjata, ilmu silat
jahanam itu cukup lihai pula, untunglah dalam keadaan bahaya itu mendadak
Thi-thau-jin memisah, ia rampas belati kawannya itu dan berkata, Suhu suruh
kita kesini untuk minta obat dan tidak suruh kita membunuh orang."
"Capji Sute sudah dibunuh
dia, apa kamu tidak lihat?" teriak orang itu dengan gusar. "Apa
barangkali kau.....putra mendiang sobatnya, maka kau berani membela orang luar
malah? Tapi si Thi-thau-jin menjawab, 'Soal tabib ini akan kau bunuh atau tidak
aku tak peduli, yang terang kalau hwesio gendut ini tak ditolong dulu tentu
jiwanya akan melayang, Dan kalau hwesio ini mati, maka tiada orang lagi yang
dapat menunjukkan jalan untuk mencari Peng-jan (ulat sutra es), dan untuk ini
kamu harus bertanggung jawab kepada Suhu."
"Thi-thau-jin itu juga
murid Sing-siok Lokoai," kata Put-tong. "Mereka bilang Sam-ceng
Hwesio akan menunjukkan jalan untuk mencar Peng-jan apa segala?"
"Hanya begitulah kudengar
pembicaraan mereka, adapun duduk perkara yang sebenarnya aku sendiri tidak tahu,"
sahut Sih-sin-ih. "Dan tatkala mereka sedang bertengkar sendiri, segera
aku menyiapkan senjata, Tapi rupanya orang itu menjadi keder, lalu katanya,
'Jika begitu, baiklah, tangkaplah sekarang tabib setan ini untuk menghadap
Suhu'
"Baik!" sahut
Thi-thau-jin itu dan mendadak tangan menggaplok dada orang itu hingga terbinasa
seketika itu."
Semua orang berseru kaget oleh
kejadian tak terduga-duga itu, Hanya Pau Put-tong lantas berkata,
"Itu tidak mengherankan,
Thi-thau-jin itu ada kepentingan dan ingin minta pertolonganmu, maka lebih dulu
ia membunuh kawan sendiri untuk mengambil hatimu."
Tapi Sih Boh-hoa menghela
napas, katanya, "Sesaat itu aku pun tidak paham apa maksud tujuannya itu,
entah disebabkan aku adalah sobat baik mendiang ayahnya, atau dia sengaja
hendak mengambil hatiku, Selagi aku hendak tanya dia, tiba-tiba dari jauh
terdengar suara suitan nyaring, Sekonyong-konyong Thi-thau-jin itu tergetar,
katanya, 'Suhuku sedang memanggil, Sih-pekhu, sebaiknya kau suka menyembuhkan
hwesio gendut ini, dengan demikian mungkin Suhu takkan mempersoalkan
terbunuhnya kedua muridnya ini', Habis berkata, terus saja ia bertindak pergi
dengan tergesa-gesa dengan meninggalkan hwesio gendut itu."
"Dan dimanakah murid
durhaka Sam-ceng itu?" tanya Hian-lan.
"Itu, telentang
disana," kata Sih-sin-ih, "Mungkin setengah bulan saja akan dapat
sembuh kembali."
"Jika demikian jadi peti
mati dan lain-lain yang Sih-siansing pasang itu adalah untuk melayani Susiok
kalian?" tanya Hian-lan.
"Benar," sahut
Sih-sin-ih, "Jika Sing-siok Lokoai sudah datang ke Tionggoan, dua orang
muridnya terbunuh pula dirumahku, Lambat atau cepat pasti dia akan datang
kesini, Andaikan Thi-thau-jin itu dapat menutupi kejadian ini juga takkan lama
mengelabuhi iblis itu, Sebab itulah aku pura-pura mati dan memasang racun jahat
didalam peti mati untuk memancingnya, Lalu aku memboyong segenap anggota
keluargaku kedalam goa sini, Dasar memang kebetulan, dua hari lagi adalah waktu
pertemuan kami berdelapan saudara yang diadakan tiap-
tiap lima tahun satu kali,
beramai-ramai para saudara seperguruan itu sudah berada disekitar sini dan
kebetulan pula Hian-lan Taisu dan lain-lain keburu berkunjung kemari, seorang
budak tua kurang pintar, ia salah sangka kalian adalah musuh yang kutakuti
itu......"
"Haha, mungkin dia sangka
Hian-lan Taisu adalah Sing-siok Lokoai dan kami ini adalah anak murid
Sing-siokpai," tiba-tiba Put-tong menyela, "Tapi aneh juga, kalau
tampangku dan kawan-kawanku ini terlalu jelek dan mirip siluman, maka dapat
dimengerti jika kami disangka begundalnya Sing-siok Lokoai, namun Hian-lan
Taisu toh kelihatan welas asih, kelihatan alim, kalau beliau disangka sebagai
Sing-siok Lokoai, wah, sungguh keterlaluan!"
Semua orang mengangguk-angguk
dan dapat menerima ucapan Pau Put-tong itu.
Sih-sin-ih juga berkata,
"Ya, hal ini memang salah si budak tua itu, Malahan budak itu khawatir
kalau kami sekeluarga menjadi korban keganasan Lokoai, maka dia telah melanggar
pesanku terus menyalakan 'Liu-singhwe-bau'(bunga api bentuk roket) yang
biasanya dipakai saling memberi tanda dengan para saudaraseperguruanku.
Liu-sing-hwe-bau itu buatan Liok-sute kami, bila dinyalakan segera menjulang
kelangit dengan cahaya yang beraneka warna, Kami berdelapan saudara
masing-masing mempunyai bunga api tanda pengenal sendiri-sendiri dan segera
akan diketahui siapa yang datang jika bunga api dilepaskan, Kejadian tadi boleh
dikata ada untung dan tidak beruntung, Untungnya tatkala terancam bahaya kami
berdelapan bisa berkumpul untuk bersama-sama melawan musuh, Tapi karena itu juga
dapat dijaring sekaligus oleh Sing-siok Lokoai, maka boleh juga dikatakan tidak
beruntung."
"Biarpun kepandaian
Sing-siok Lokoai teramat lihai juga belum tentu mampu menandingi padri sakti
Siau-limsi seperti Hian-lan Taisu," kata Pau Put-tong. "Apalagi kalau
ditambah dengan kita kaum keroco ini, jika kita melawannya dengan mati-matian,
rasanya juga belum tentu akan kalah, mengapa mesti....mesti......"
Sampai disini ucapannya,
mendadak giginya berkerutukan, racun dingin dalam badannya kembali kumat hingga
tidak sanggup bicara.
Pada saat itulah suara halus
tajam tadi kembali berkumandang masuk kedalam gua, kata suara itu, "Ayo,
itu anak murid So Sing-ho, lekas keluar saja dan menyerahkan diri, dengan
demikian mungkin jiwa kalian akan dapat diampuni, jika ayal-ayalan, awas jangan
menyesal jika aku tidak ingat kepada sesama perguruan lagi!"
"Huh, dia masih punya
muka untuk bicara tentang sesama perguruan segala?" jengek Kheng
Kong-leng.
Hoan Pek-ling orangnya lebih
sabar dan dapat berpikir panjang, katanya, "Thio-lakte, jika kita tinggal
diam tidak menggubris dia, kira-kira saja Ting-lokoai dapat menyerbu kesini
atau tidak?"
Tapi Thio A Sam tidak menjawab,
sebaliknya ia tanya malah kepada Sih-sin-ih, "Goko, kalau melihat batu
dalam gua ini, agaknya ini adalah bangunan pada tigaratus tahun yang lalu,
entah atas ciptaan arsitek siapakah?"
"Tempat ini adalah
warisan leluhurku, turun temurun sudah ada gua pelindung ini, tentang siapa
yang membangunnya, aku sendiri tidak tahu," sahut Sih Boh-hoa alias
Sih-sih-ih.
"Bagus, kamu mempunyai
liang kura-kura sebagus ini, tapi selamanya tidak pernah kau katakan pada
kami," seru Kheng Kong-leng.
Sih-sin-ih tampak merasa
jengah, katanya, "Harap Toako suka maafkan, Gua semacam ini bukan sesuatu
yang dapat dibanggakan, maka tiada harganya untuk dibicarakan....."
Sampai disini,
sekonyong-konyong terdengar suara letusan yang dahsyat bagaikan gempa, Kaki
semua orang yang berada dalam gua merasa bumi seolah-olah tergucang hingga
berdiri pun tak bisa tegak.
"Celaka! Ting-lokoai
menggunakan dinamit untuk meledakkan gua ini, dalam sekejap saja tentu dia akan
menyerbu kesini," seru Thio A Sam dengan khawatir.
"Keparat, dasar manusia
rendah, iblis laknak!" maki Kheng Kong-leng dengan gusar. "Cosuya dan
Suhu kami adalah ahli bangunan dan arsitek terpandai segala ilmu pesawat
rahasia bagi beliau-beliau itu adalah kepandaian yang sepele, Tapi Sing-siok
Lokoai ini tidak becus memecahkan jalan pesawat rahasia gua ini, dia terus
menggunakan obat peledak! Huh, masakah dia ada harganya untuk disebut anak
murid perguruan kita?"
Segera Pau Put-tong mengejek,
"Dia sudah membunuh guru dan melukai Su-heng, masakah kalian masih mengaku
dia sebagai Susiok?"
Belum lagi Kheng Kong-leng
menjawab, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang hebat hingga debu pasir
beterbangan dalam gua dan keadaan menjadi tegang.
"Dari pada mati konyol
disini, lebih baik kita serbu keluar untuk mengadu jiwa dengan dia saja,"
ujar Hian-lan.
Segera Ting Pek-jwan, Kongya
Kian, Pau Put-tong dan Hong Po-ok berempat menyatakan akur, Hoan Pek-ling dan
kawan-kawannya juga tahu Hian-lan adalah padri terkemuka Siau-lim-pai, kalau
dia disuruh sembunyi didalam gua dan tidak berani menghadapi musuh, hal ini
sesungguhnya sangat merugikan nama kebesaran Siau-lim-si, Toh akhirnya juga
mesti mati, terang pertarungan sengit tak bisa dihindarkan, maka Pek-ling
lantas
menanggapi,
"Baiklah, jika begitu
kita keluar bersama untuk mengadu jiwa dengan Lokoai! Tapi Hian-lan Taisu tiada
permusuhan apa-apa dengan Ting-lokoai, lebih baik jangan ikut campur urusan
kami, dan para Taisu dari Siaulim-pai disilakan menonton saja nanti."
"Tidak, setiap urusan
dunia persilatan menjadi kewajiban Siau-lim-pai untuk ikut ambil bagian, maka
harap maaf, terpaksa Siau-lim-pai nanti juga akan ikut campur," kata
Hian-lan.
"Atas budi luhur Taisu
yang sudi membantu sudah tentu kami berdelapan saudara sangat berterima
kasih." kata Thio A Sam, "Sekarang kita boleh keluar melalui jalan semula
saja, biar Lokoai itu terperanjat diluar dugaan."
Semua orang menyatakan tepat
pikiran Thio A Sam itu.
Lalu A Sam berkata lagi,
"Adapun anggota keluarga Sih-goko dan kedua saudara Pau dan Hong disilakan
tinggal disini saja, rasanya Ting-lokoai tidak sampai menggeledah kedalam
sini!"
"Kau sendiri saja yang
ditinggalkan disini!" kontan Pau Put-tong menyahut dengan mata melotot.
"Bukannya kupandang
rendah kepada saudara berdua," lekas A Sam memberi penjelasan, "Cuma
kalian sudah menderita keracunan, kalau mesti bertempur lagi tentu akan kurang
leluasa."
"Semakin parah aku
menderita, semakin bersemangat aku akan bertempur," sahut Put-tong.
Keruan Hoan Pek-ling dan
lain-lain berkerut kening, merasa Pau Put-tong ini benar-benar seorang kepala
batu dan susah diberi mengerti.
Segera A Sam putar tombol
pesawat rahasia, lalu mendahului bertindak keluar dengan cepat, baru saja suara
berkeriat-keriut itu berbunyi dan lubang keluar itu baru terbuka sedikit, terus
saja Thio A Sam melemparkan dulu tiga buah peluru keluar, maka terdengarlah
suara letusan tiga kali menyusul asap tebal lantas memenuhi udara hingga jalan
keluar itu hampir tidak kelihatan.
Maksud Thio A Sam dengan
meledakkan granat asap itu adalah supaya Sing-siok Lokoai tidak berani
mendekat, sebab kalau iblis itu sampai berjaga dimulut gua itu, maka setiap
orang yang baru menongol keluar
tentu akan dibekuknya dengan
gampang.
Begitulah setelah tiga suara
letusan itu lenyap, sementara itu lubang papan batu itu sudah terbuka lebih
lebar dan cukup untuk dilalui orang, maka kembali A Sam melemparkan pula tiga
buah granat itu, menyusul ia lantas melompat keluar.
Dan belum lagi Thio A Sam
berdiri atau mendadak sesosok bayangan orang sudah menyelinap lewat
disebelahnya, Dan sekali melompat lagi, terus saja orang itu menerjang kearah
gerombolan orang yang berdiri disana sambil berteriak,
"Mana Sing-siok Lokoai?
Ini, biar orang she Hong berkenalan dengan dia!"
Kiranya orang itu
tak-lain-tak-bukan adalah In-tin-hong Hong Po-ok, si-angin puyuh, Ia lihat
seorang lelaki berbaju kain belacu sudah menghadang didepannya, segera ia
membentak pula, "Meski kamu bukan Sing-siok Lokoai, tapi rasakan juga
kepalanku ini!"
Kontan ia menghantam,
"Blang", dengan tepat sekali dada orang itu kena digenjotnya.
Lelaki itu adalah murid
kesembilan Sing-siok-pai, dalam keadaan tak berjaga-jaga dan tak terduga ia
kena dihantam sekali dengan keras, untung ilmu silatnya juga tidak lemah, ia
hanya sempoyongan sedikit saja, lalu balas menjotos, "plok",
serangannya juga tepat kena pundak Hong Po-ok.
Maka terdengarlah suara
"plak-plok" berulang-ulang, kedua orang saling genjot kian kemari,
setiap hantaman mereka selalu mengenai sasarannya, cuma pukulan dari dekat
tidak terlalu hebat, hingga tidak membahayakan jiwa masing-masing.
Dalam pada itu dari bawah
tanah terdengar "siat-siut" berulang-ulang, Hian-lan, Ting Pek-jwan,
Kheng Kongleng dan lain-lain berturut-turut juga sudah melompat keluar, Segera
mereka melihat ditengah kabut asap yang tebal disebelah sana berdiri seorang
kakek berperawakan tinggi besar, di kanan kirinya berdiri pula dua baris orang
lelaki yang beraneka ragam bangun tubuhnya, ada yang jangkung dan ada yang
pendek.
"Hah, Ting-locat, kiranya
kamu belum mati, apa kamu masih kenal padaku?" segera Kong-leng berteriak.
Kakek tinggi besar itu memang
betul adalah Sing-siok Lokoai Ting Jun-jiu, Sekilas pandang saja ia sudah dapat
mengenali para lawannya itu, Ia tidak menjawab olok-olok Kheng Kong-leng,
sebaliknya berkata,
""Boh-hoa Hiantit
(keponakan yang baik), apa sudah kau sembuhkan hwesio gendut dari Siau-lim-si
itu? Jika sudah, aku akan mengampuni jiwamu asalkan kau mau masuk kedalam
perguruan Sing-siok-pai kami."
Rupanya yang dia pikirkan
waktu itu adalah secepat mungkin supaya Sih Boh-hoa dapat menyembuhkan Samceng
Hwesio, lalu akan suruh padri buntek itu menunjukkan jalan ke Kun-lun-san untuk
mencari ulat sutra es.
Melihat lagak Ting-lokoai
seakan-akan menganggap sepi semua orang yang berada dihadapannya itu,
seolaholah mati hidup setiap orang yang berada disitu adalah tergantung pada
dia, maka diam-diam Sih-sin-ih sangat takut, sebab ia cukup kenal betapa
lihainya sang Susiok durhaka itu.
Tapi ia pun menjawab dengan
ketus, "Ting-locat, didunia ini hanya ada seorang saja yang mampu
memerintah aku, apa yang dia katakan tentu aku akan menurut, Jika kamu hendak
membunuh aku, hal ini memang sangat mudah bagimu, Tapi bila kau suruh aku
mengobati seorang, tidak nanti aku tunduk padamu, ya, kecuali kau minta izin
kepada beliau."
"Hm, kamu hanya tunduk
kepada perintah So Sing-ho saja, begitu?" tanya Ting Jun-jiu.
"Memang hanya hewan saja
yang berani mendurhakai guru sendiri." sahut Boh-hoa.
Serentak Kheng Kong-leng, Hoan
Pek-ling dan kawan-kawannya bersorak memuji atas jawaban Sih-sin-ih yang gagah
berani itu.
"Hm, bagus, bagus! Kalian
betul-betul murid Si Sing-ho yang baik," kata Ting Jun-jiu, "Tapi So
Sing-ho pernah memberi tahu padaku, katanya, "Kalian berdelapan sudah
diusir dan tidak diakui sebagai murid lagi, Apa barangkali ucapan So Sing-ho
itu hanya kentut belaka dan diam-diam dia masih menganggap kalian sebagai
muridnya?"
"Sekali beliau adalah
guru kami, tetap beliau adalah guru kami sampai akhir zaman," sahut Hoan
Pek-ling. "Memang betul selama ini kami telah diusir dari perguruan dan
dilarang berkunjung kepada beliau. Namun rasa cinta kasih kami kepada Suhu
sedikitpun tidak menjadi berkurang. Nah, orang she Ting, bicara terus terang,
kami berdelapan orang ini sampai berubah menjadi setan gentayangan tanpa tempat
tinggal yang tetap, semuanya itu adalah gara-gara perbuatan kau bangsat tua
ini."
"Benar juga ucapanmu
ini," sahut Ting Jin-jiu dengan tersenyum. "So Sing-ho takut kalau
aku membunuh kalian, dia mengusir kalian keluar perguruan adalah supaya jiwa
anjing kalian ini bisa selamat. Hehe, bagus
juga, nah katakanlah sendiri,
sampai sekarang So Sing-ho masih terhitung guru kalian atau bukan?"
Kheng Kong-leng dan
kawan-kawan insaf jika tidak melepaskan hak sebagai 'murid So Sing-ho', maka
segera Sing-siok Lokoay pasti akan membunuh mereka. Tapi betapapun hubungan
antara guru dan murid tidak dapat dihapuskan dengan ancaman, apalagi Sing-siok
Lokoay sangat kejam, sekali sudah menyalahi dia, memang tiada ampun lagi bagi
mereka. Kini kecuali si wanita cantik yang terluka itu tertinggal di dalam gua,
mereka bertujuh segera menjawab dengan tegas, "Kami meski sudah diusir
keluar perguruan, tapi tentang hubungan guru dan murid sudah tentu tetap kami
pertahankan."
Mendadak Li, Gui-lui berseru
pula, "Aku ini Thian-sian Tong-lo adanya! Kau binatang bedebah ini, biar
tongkatku ini mematahkan kaki anjingmu!" Ia bicara dengan menirukan nada
wanita tua, suaranya keparauparauan, tapi sangat lantang.
Sejak tadi sebenarnya Ting
Jun-jiu tenang dan senang saja, tapi demi mendengar nama 'Thian-sian Tong-lo'
(si nenek bocah dewi kahyangan), tiba-tiba air mukanya berubah juga, matanya
memantulkan sinar tajam yang aneh, mendadak ia mengebas lengan bajunya,
tahu-tahu setitik api fosfor secepat bintang meluncur, terus melayang ke tubuh
Li Gui-lui. Ada maksud si anak wayang itu buat berkelit, tapi sudah terlambat,
"nyos", bajunya sudah terjilat api dan terus berkobar-kobar. Lekas ia
menjatuhkan diri di tanah sambil bergulingguling, tapi celaka, makin berguling
makin keras api fosfor itu.
Cepat Hoan Pek-ling menangkup
pasir dari tanah terus ditebarkan di atas badan Li Gui-lui. Dan pada saat itu
juga lengan baju Ting Jun-jiu berulang-ulang mengebas pula, lima titik api
berbareng menyambar ke arah Kheng Kong-leng berlima, hanya Sih-sin-ih saja yang
tidak diincar.
Segera Kong-leng menghantam
dengan kedua tangannya, ia tolak ke samping titik api yang menyambar ke
arahnya. Hian-lan juga menggerakkan kedua tangannya dan membantu menghantam
jatuh dua titik api, namun dua titik api yang lain sudah mengenai tubuh Thio A
Sam dan Hoan Pek-ling.
Api fosfor yang dilepaskan
Sing-siok Lokoay sudah barang tentu lebih lihai daripada muridnya yang tertua
yaitu Ti-sing-cu. Maka dalam sekejap saja di tengah taman itu lantas penuh bau
hangus, Thio A Sam bertiga berkaok-kaok kesakitan karena terbakar.
Serentak suara puja-puji anak
murid Sing-siok Lokoay berjangkit, ada yang memuja kepandaian Suhu mereka yang
dikatakan setinggi langit, ada yang mengejek Thio A Sam dan kawan-kawannya yang
terbakar sebagai babi panggang itu dan disuruh lekas menyerah saja.
Tapi Pau Put-tong lantas
berteriak-teriak, "Ai, baunya busuk amat! Kalian jangan kentut terus, aku
bisa mati sesak! Wahai, Ting-locat, kulit mukamu benar-benar sangat
tebal!"
Sementara itu Ting Pek Jwan
dan Kongya Kian sudah bersiap-siap. Benar saja, belum lagi ucapan Pau Put-tong
lenyap, dua titik api sudah menyambar ke arahnya. Cepat Pek-jwan dan Kongya
Kian berdua menghantamkan sebelah tangannya, dua rangkum tenaga pukulan telah
membentur jatuh kedua titik api itu. Namun tidak urung dada mereka juga terasa
seperti di-godam kerasnya hingga terhuyung-huyung mundur beberapa tindak.
Kiranya Ting Jun-jiu
menggunakan tenaga dalam yang sangat kuat untuk mengebas api fosfornya itu.
Lwekang Hian-lan lebih kuat daripada Pek-jwan berdua, maka ia tidak tergetar
ketika menghantam jatuh titik api dengan tenaga pukulannya tadi. Sebaliknya
Pek-jwan dan Kongya Kian jauh lebih lemah daripada Sing-siok Lokoay, maka
ketika tenaga dalam iblis itu mendesak, kedua orang itu tidak sanggup bertahan.
Dalam pada itu Hian-lan telah
melompat ke samping Li Gui-liu, ia menghantamkan sebelah tangannya, tenaga pukulannya
menyambar lewat di atas badan si anak wayang yang masih berguling-guling di
tanah. "Bret", terdengar baju Li Gui-lui terobek dan api yang sedang
membakar itupun kena dipadamkan oleh angin pukulannya.
"Hah, boleh juga tenaga
pukulan keledai gundul ini, kira-kira mencapai sepersepuluh kekuatan
Suhu," seru seorang murid Sing-siok-pai.
"Mana bisa, paling-paling
hanya seperseratus Suhu saja!" ujar kawannya.
Setelah memadamkan api dibadan
Li Gui-lui, menyusul Hian-lan mengerahkan angin pukulannya pula hingga api
ditubuh Hoan Pek-ling dan Thio A Sam juga dipadamkan.
Tatkala itu Ting Pek-jwan,
Kongya Kian, Kheng Kong-leng dan lain-lain sudah menerjang kearah anak murid
Sing-siok-pai dan terjadilah pertarungan sengit.
Ting Jun-jiu mengelus-elus
jenggotnya dan berkata, "Ehm, padri sakti Siau-lim-si memang lain dari
pada yang lain, hari ini dapatlah kubelajar kenal, mari!"
Ia terus melangkah maju,
pukulan pertama dilontarkan dengan enteng sekali kelihatannya kearah Hian-lan.
Meski Hian-lan belum pernah bertempur
melawan orang Sing-siok-pai, tapi ia cukup kenal "Hoa-kang-taihoat"
Ting-lokoai yang lihai, ia tahu ilmu golongan Sia-pai ini dapat menghapus
lwekang lawan hingga lawan tak bisa berkutik lagi, dan ilmu silat yang
dimilikinya akan musnah seluruhnya.
Karena itu, Hian-lan tidak
berani ayal, sekali ia menarik napas panjang-panjang, menyusul kedua tangan
terus bergerak sebagai kitiran cepatnya, sekaligus ia lontarkan delapanbelas
kali pukulan secara berantai, belum lagi pukulan yang satu ditarik kembali atau
pukulan yang lain sudah dilontarkan, dengan demikian, Hoa-kang-taihoat yang
hendak digunakan Ting Jun-jiu menjadi tidak menemukan sasarannya.
Dan "pukulan kilat"
model Siau-lim-si ini ternyata sangat hebat daya tekanannya, hingga Ting
Jun-jiu terdesak mundur berulang-ulang, Secepat kilat Hian-lan melontarkan
delapanbelas kali pukulan dan Ting Jun-jiu dipaksa mundur delapanbelas tindak.
Habis melontarkan delapanbelas
kali pukulan, segera tendangan kedua kaki secara berantai dikeluarkan lagi,
kembali tigapuluhenam kali tendangan kilat melayang-layang, bayangan kaki
menyambar hingga sukar dilihat kai kanan atau kaki kiri.
Dengan cepat Ting Jun-jiu juga
menggeser kian kemari untuk menghindar dan semua tendangan baru saja dapat
dielakkan, tahu-tahu terdengar suara "plak-plok" dua kali, pundak
kena digebuk oleh kepalan Hian-lan.
Kiranya dalam
"Lian-hoan-sah-cap-lak-tui" atau 36 kali tendangan secara berantai
itu, tatkala dua kali tendangan terakhir dilontarkan, berbareng Hian-lan juga
menghantam, Maka Ting Jun-jiu hanya dapat menghindar tendangannya dan tidak
sempat berkelit atas pukulan itu.
"Lihai benar!"
teriak Ting Jun-jiu terkena kedua kali pukulan itu dan tubuh pun tergeliat dua
kali.
Sebaliknya Hian-lan lantas
merasa dada seperti "blong" kosong, seketika terasa seperti hilang
sesuatu, Ia insaf gelagat jelek, cepat ia tarik napas panjang-panjang hingga
hawa murni dalam tubuh merata lagi, menyusul kepalan menghantam pula.
Sekali ini Ting Jun-jiu
sengaja membalik tubuhnya, ia sambut pukulan lawan dengan punggung,
"bluk", tepat punggung terhantam, menyusul kelima jari Hain-lan
sebagai cakar terus mencengkeram kuduknya, Tapi mendadak ia merasa tangan
seperti melengket, seperti tersedot dan susah ditarik kembali.
Dalam keadaan demikian mau
tidak mau ia harus mengadu tenaga dalam, kalau tidak lantas mengerahkan tenaga
sekuatnya, bukan mustahil keadaan akan lebih runyam.
Tak terduga, sekali Hian-lan
mengerahkan tenaganya, seketika tenaga murni itu seakan-akan air mencurah
kelaut saja, hilang tak berbekas, bahkan terus merembes keluar dan susah
ditahan kembali.
Tiada seminuman teh, ketika
Ting Jun-jiu bergelak tertawa sekali sambil mengangkat pundak "bluk"
tahu-tahu Hian-lan jatuh terkulai tenaganya habis dan lemas tubuhnya, untuk
berdiri saja tak bisa lagi.
Setelah menjatuhkan Hian-lan
dengan sikapnya yang kereng Ting Jun-jiu memandang sekelilingnya, ia lihat
Kongya Kian dan Hoan Pek-ling juga sudah menggeletak ditanah dengan badan
menggigil, kiranya terkena pukulan racun dingin Yu Goan-ci.
Sedangkan Ting Pek-jwan, Sih
Boh-hoa dan lain-lain masih bertempur dengan sengit melawan murid Singsiok-pai
dan sudah ada empat orang yang dirobohkan juga.
Dengan lengan baju yang
komprang Ting Jun-jiu terus mengebas sambil melompat maju, ia menubruk kearah
Ting Pek-jwan dan mengadu pukulan dengan dia, sedangkan kaki menyapu kesamping
hingga Pau Put-tong didepak terjungkal.
Begitu tangan Ting Pek-jwan
beradu dengan tangan Sing-siok Lokoai, seketika ia merasa seperti badan
meriang, kaki enteng mengambang, cepat ia bermaksud menenangkan pikiran dan
menghimpun tenaga, namun kembali pukulan Ting Jun-jiu yang lain dilontarkan
pula, terpaksa Pek-jwan memapak lagi dengan sebelah tangannya, tapi seketika
lengan terasa beku, semangat buyar, pandangan kabur.
Ketika seorang murid
Sing-siok-pai mendekatinya dan sekali sikut, kontan Pek-jwan jatuh lemas
ketanah.
Hanya dalam sekejap saja anak
buah Buyung-kongcu, para padri Siau-lim-si dengan Hian-lan sendiri beserta Yu-kok-pat-yu
yang dikepalai Kheng Kong-leng telah dirobohkan oleh Ting Jun-jiu dan Yu
Goan-ci.
Sebenarnya Goan-ci cuma
memiliki tenaga dalam yang maha kuat, sedangkan ilmu silat hanya biasa saja,
Namun selama ikut Ting Jun-jiu ia telah banyak mendapat petunjuk iblis tua itu
hingga hal tipu pukulan sudah banyak mendapat kemajuan walau pun belum sempurna
cara penggunaannya, tapi untuk mengerahkan Pek-janhan-tok (racun dingin ulat
sutra es) dalam tubuhnya sudah lebih dari cukup.
Sebab itulah, ketika Kongya Kian
dan lain-lain mengadu tangan dengan dia, meski nyata-nyata ilmu pukulan dan
tenaga pukulan mereka jauh lebih hebat dari pada Goan-ci, tapi setelah tangan
membentur tangan, seketika mereka dirobohkan dengan terluka dalam.
Diantara mereka hanya tinggal
Sih Boh-hoa alias Sih-sin-ih saja yang tidak diganggu gugat, Beberapa kali ia
terjang lawan, tapi anak murid Sing-siok-pai selalu menghindarinya dengan
tersenyum dan tidak balas menyerang.
"Sih-hiantit," kata
Ting Jun-jiu dengan tertawa, "Diantara kalian berdelapan nyata
kepandaianmu yang paling tinggi, apakah kau ingin jajal-jajal juga dengan
Susiokmu ini?"
Melihat para saudara
seperguruannya menggeletak semua dan hanya dia sendiri tidak diapa-apakan,
sudah tentu Sih Boh-hoa tahu pihak lawan sengaja tidak mau mengganggunya,
maksud tujuan lawan tidak lain adalah supaya dia menyembuhkan hwesio gendut
itu.
Maka berkatalah Sih-sin-ih
dengan menghela napas, "Ting-locat, maksudmu memaksa aku mengobati orang,
hendaklah jangan kau harap akan dapat memaksa diriku!"
"Coba maju kesini,
Sih-hiantit," kata Ting-lokoai.
Sih-sin-ih pikir tiada gunanya
buat membangkang, sebab kalau iblis itu hendak mencabut nyawanya boleh dikata
segampang mengambil barang dikantung sendiri, Karena itu ia lantas melangkah
maju kedepan Singsiok Lokoai.
Tiba-tiba Ting Jun-jiu
mengangsurkan tangan kirinya dan memegang pundak Sih Boh-hoa, lalu katanya
dengan tersenyum, "Sih-hiantit, sudah berapa lama kau belajar ilmu
silat?"
"Tiga puluh lima
tahun," sahut Sih-sin-ih.
"Wah, ketekunan selama
tigapuluhlima tahun sesungguhnya tidaklah gampang," ujar iblis tua itu
dengan menghela napas, "Kabarnya kau suka menukar ilmu silat orang dengan
jasa pengobatanmu, maka sudah tidak sedikit tipu ilmu silat bagus berbagai
golongan yang telah kau pelajari betul tidak hal ini?"
"Ya, tapi kepandaian yang
tiada artinya ini sudah tentu tak bernilai dalam pandanganmu," sahut si
tabib sakti.
"Bukan demikian
maksudku," ujar Ting-lokoai sambil geleng kepala. "Meski tenaga dalam
merupakan alas dasar dan tipu gerakan cuma ranting dan daunnya saja, namun
kalau alas dasarnya kuat, dengan sendirinya ranting dan daunnya juga tumbuh
dengan subur, tipu gerakan juga bukannya tiada berguna, Misalnya muridku ini....."
Ia tunjuk Yu Goan-ci, lalu
meneruskan, "Tenaga dalamnya sangat kuat, bila ditambah lagi tipu serangan
seluas apa yang dipahami Sih-hiantit, maka miriplah harimau tumbuh sayap dan
akan dapat malang melintang didunia persilatan Tionggoan, Adapun lwekang
Sih-hiantit memang agak lemah sedikit, tapi bukannya tidak dapat dipenuhi
kekurangan itu dengan tipu serangan yang hebat, Cuma saja kalau tenaga dalam
sampai hilang sama sekali, maka itu berarti kelumpuhan, sama saja seperti orang
cacat, bukan cuma ilmu silatnya saja yang punah, bahkan ketajaman otak juga
akan terganggu, untuk bisa mengobati orang lagi jelas jangan harap. Juga
seorang yang mengaku sebagai 'Cong-pian Sian-sing' alias So Sing-ho."
"Kau berani mengganggu
seujung rambut guruku? Ting-locat?" teriak Sih-sin-ih dengan murka.
"Kenapa tidak
berani?" jawab Ting-lokoai. "Tindak-tanduk Sing-siok Losian selamanya
bebas merdeka Apa yang kukatakan sekarang, besok juga boleh kulupakan, Meski
aku pernah berjanji kepada So Sing-ho asalkan dia selanjutnya tidak membuka
suara, maka aku berjanji takkan membunuh dia, Tapi sekarang kamu membikin marah
padaku, akibat perbuatanmu ini akan kuperhitungkan juga atas hutang gurumu, dan
kalau kubunuh dia, didunia ini siapa yang berani melarang aku?"
Pikiran Sih Boh-hoa
kusut-marut, ia tahu segala perbuatan keji dapat dilakukan Susiok durhaka ini,
jika dirinya sekarang berkeras kepala tidak mau mengobati Sam-ceng, terang jiwa
ketujuh saudara seperguruannya akan menjadi korban, bahkan keselamatan Suhu
mungkin juga tidak terjamin lagi, Sebaliknya kalau hwesio gendut itu
disembuhkan, hal ini berarti membantu kejahatan iblis tua itu, sebab maksud
tujuannya menyembuhkan hwesio gendut itu tentu mempunyai rencana keji lain.
Sesudah berpikir, akhirnya
Sih-sin-ih menjawab juga, "Baiklah, aku menyerah padamu, Tapi sesudah
hwesio gendut ini kusembuhkan, tidak boleh lagi kau bikin susah Suhu dan
kawan-kawan yang berada disini."
"Boleh, boleh,
boleh!" sahut Ting-lokoai dengan girang, "Aku berjanji akan
mengampuni jiwa anjing mereka."
"Siapa sudi diampuni
olehmu?" tiba-tiba Pek-jwan menyela. "Seorang laki-laki sejati kenapa
mesti takut mati? Tapi perbuatanmu yang keji ini kelak tentu akan mendapatkan
ganjaran yang setimpal."
"Keparat, Sih Boh-hoa,
jangan mau tertipu bangsat itu tadi sudah mengaku sendiri bahwa apa yang pernah
dikatakan besok juga bisa dilupakan, masakah kamu masih percaya padanya?"
segera Pau Put-tong juga menimbrung.
Namun Ting-lokoai tak peduli,
ia tanya lagi, "Sih-hiantit, nah, sekarang aku akan mulai tanya padamu,
kau mau mengobati hwesio gendut itu tidak?"
Habis berkata, sebelah kakinya
terus terangkat dengan ujung kaki mengarah "Thai-yang-hiat", yaitu
bagian pelipis kepala Kheng Kong-leng.
Nyata, asal sitabib sakti
menjawab tidak, seketika kakinya akan menendang dari jauh dan jiwa Kheng
Kongleng seketika akan melayang.
Menghadapi detik demikian,
hati semua orang ikut berdebar-debar, Mendadak terdengar seorang berteriak,
"Tidak mau!"
Yang berteriak ini ternyata
bukan Sih-sin-ih, tapi Kheng Kong-leng sendiri.
"Hm, ingin sekali tendang
kucabut nyawamu? Tidak begitu gampang urusannya?" jengek Ting-lokoai, Lalu
ia berpaling kepada Sih-sin-ih dan bertanya lagi, "Apakah kau ingin
membunuh Toa-suhengmu melalui kakiku ini ?"
"Ya, sudahlah, aku akan
menyembuhkan hwesio gendut itu menurut keinginanmu," sahut Sih-sin-ih
akhirnya dengan patah semangat.
"Sih-longo!" segera
Kheng Kong-leng memaki, "Kenapa kamu begini pengecut? Ting-locat adalah
musuh perguruan kita, tapi kamu kena ditaklukkan dibawah ancamannya?"
"Soal kita berdelapan
akan dibunuhnya bukanlah hal yang luar biasa," sahut Sih Boh-hoa,
"Tapi kau sendiri kan dengar juga bahwa bangsat tua ini juga akan
mengganggu Suhu?"
Demi teringat kepada
keselamatan sang guru, Kheng Kong-leng dan lain-lain menjadi tak berani buka
suara lagi.
"Penge....."
mendadak Pau Put-tong hendak mengejek, tapi keburu didekap mulutnya oleh Ting
Pek-jwan.
"Nah, Ting-locat, akan
kuturut keinginanmu untuk menyembuhkan hwesio gendut itu, dan kamu harus
ramahtamah terhadap kawan-kawanku ini." kata Sih-sin-ih.
"Baik, kuturut
permintaanmu," sahut Ting-lokoai.
Segera Sih-sin-ih masuk
kembali kedalam gua dan suruh centeng2nya menggotong keluar orang-orang
terluka, Sam-ceng hwesio yang tubuhnya mirip gentong itu menjadi ketakutan demi
melihat Hian-lan juga berada disitu.
Si tabib sakti tidak banyak
bicara lagi, segera ia lakukan tugasnya mengobati orang-orang yang terluka itu,
ia sambung tulang yang patah, memberi obat yang luka, sampai pagi hari barulah
selesai, Orang-orang luka itu dibaringkan diatas daun pintu atau ditempat
tidur, centeng keluarga Sih lantas membuatkan bakmi untuk semua orang.
Setelah sabet dua mangkuk
bakmi, dengan tertawa Ting-lokoai berkata kepada Sih Boh-hoa, "Hahaha,
kamu cukup tahu gelagat, tidak menaruh racun dalam bakmi ini."
"Bicara tentang pakai
racun, didunia ini rasanya tiada yang lebih pandai dari padamu, buat apa aku
mesti main kayu terhadap kaum ahli?" sahut sitabib sakti.
"Baiklah, sekarang kau
suruh orang menyewakan sepuluh buah kereta keledai," kata Ting-lokoai
kemudian.
"Sepuluh buah kereta akan
dibuat apa?" tanya Boh-hoa.
Tiba-tiba Ting-lokoai
mendelik, katanya, "Urusanku kau berani ikut campur tangan? Nama
Sih-sin-ih cukup terkenal disekitar sini, untuk menyewa sepuluh buah kereta
tentu bukan sesuatu yang sukar."
Terpaksa Sih Boh-hoa
memerintahkan centengnya pergi mencari kereta, Lewat lohor, datanglah kembali
centeng itu dengan sepuluh buah kereta kedelai.
Mendadak Ting Jun-jiu memberi
perintah, "Bunuh semua kusir kereta itu!"
Keruan Sih Boh-hoa terkejut,
ia menegas, "Apa katamu ?"
Dalam pada itu para murid
Sing-siok-pai sudah bekerja cepat, dimana tangan mereka naik turun,
terdengarlah suara 'plak-plok' berulang-ulang, sepuluh kusir kereta keledai itu
kontan menggeletak tak bernyawa lagi.
"Ting-locat?" teriak
Sih Boh-hoa dengan gusar, "Dosa apa para kusir ini hingga mesti mem...
membunuh mereka sekeji ini ?"
"Hah, orang Sing-siok-pai
ingin membunuh beberapa orang masakah mesti permisi dan bicara tentang dosa
atau tidak?" jengek Ting-lokoai. "Pendek kata, kalian semua lekas
naik keatas kereta, satu pun tidak boleh ketinggalan, Nah, Sih-hiantit, apa
kamu hendak membawa sedikit kitab dan obat-obatan, kalau ada lekas ambil,
segera akan kubakar rumahmu."
Kembali Sih Boh-hoa
terperanjat, Tapi ia pikir segala kejahatan dapat diperbuat Susiok durhaka itu,
untuk membantahnya juga tak berguna, Tentang kitab pertabiban sudah
diapalkannya diluar kepala, maka tidak perlu dibawa, Hanya sedikit obat-obatan
yang telah dibuatnya dengan susah payah itu perlu dibawa serta, Maka sambil
mencaci maki ia pun bebenah apa yang perlu.
Selesai bebenah, sementara itu
murid Sing-siok-pai sudah mulai menyalakan api disana-sini.
Hian-lan, Pek-jwan, Kheng
Kong-leng dan lain-lain yang tinggi ilmu silatnya kini sudah tak berdaya semua,
kalau bukan lumpuh terkena Hoa-kang-tai-hoat Ting-lokoai, tentu keracunan oleh
pukulan Peng-jan-han-tok Yu Goan-ci.
Menurut perintah, Hui-keng dan
Hui-si dari Siau-lim-pai mestinya akan kabur pulang ke Siau-lim-si untuk
melaporkan peristiwa ini, siapa duga Ting Jun-jiu sudah memasang jaring-jaring
dengan sangat rapat, baru saja kedua padri itu memencarkan diri melalui dua
arah atau mereka sudah keburu ditangkap kembali.
Jadi diantara tujuh padri
Siau-lim-si, yaitu Hian-lan bersama keenam padri lain, A Pik dan Ting Pek-jwan
berlima, Yu-kok-pat-yu berdelapan, jumlah seluruhnya dua puluh orang, hanya
Sih-sin-ih saja yang tidak terganggu seujung rambutpun, sedangkan sembilanbelas
orang yang lain semuanya terluka dan tak berdaya.
Bahkan keadaan A Pik paling
payah, namun Ting-lokoai tidak ingin gadis itu mati segera, ia memberinya
sedikit obat penawar sehingga keadaan A Pik agak baikan, tidak mati juga tidak
hidup.
Selain ke-duapuluh orang itu,
ditambah lagi anggota keluarga Sih Boh-hoa, beberapa puluh orang itu dijejalkan
kedalam sepuluh buah kereta, Murid-murid Sing-siok-pai ada yang menjadi kusir,
ada yang mengawal disamping, kereta-kereta lantas diberangkatkan.
Hian-lan dan lain-lain
mempunyai sesuatu pertanyaan yang sama, yaitu 'Kemanakah iblis ini hendak
membawa
kita?'
Mereka tahu kalau membuka
suara dan tanya tentu akan dijawab dengan ejekan dan hinaan belaka, maka mereka
pun tidak mau tanya melainkan tunggu dan lihat saja nanti.
Celakanya sesudah mereka
berjejal-jejal didalam kereta, segera murid-murid Sing-siok-pai menutup tenda
kereta rapat-rapat dan diikat pula dengan tali hingga semua orang tidak dapat melihat
keadaan diluar.
Kereta dijalankan terus siang
dan malam tanpa berhenti, Hian-lan, Ting Pek-jwan, Kheng Kong-leng dan lainlain
adalah tokoh persilatan terkemuka semua, tapi kini ilmu silat mereka telah
punah hingga menjadi tawanan musuh, keruan semangat mereka sama patah.
Semula mereka pikir akan dapat
membedakan arah tujuan kereta dengan sinar matahari, namun ketika malam tiba,
Ting Jun-jiu lantas suruh murid-muridnya memutar kereta kesana dan kesini untuk
membingungkan arah bagi para tawanannya, Dan kalau tiba dikota, Ting-lokoai
lantas membeli keledai untuk menggantikan keledai yang sudah letih, Karena itu
semua orang hanya dapat membedakan arah yang mereka tuju itu seperti tenggara.
Begitulah berturut-turut
delapan hari mereka digiring, sampai pagi hari kesembilan jalan terasa
menanjak, agaknya jalan pegunungan yang berliku-liku dan tidak rata hingga
semua orang didalam kereta terguncang setengah mati, Masih mendingan bagi
Hian-lan dan lain-lain yang kehilangan tenaga dalam, yang paling menderita
adalah Pau Put-tong dan Hong Po-ok, karena guncangan itu mereka tersiksa lebih
hebat oleh racun dingin dalam tubuh.
Sampai lohor, jalan makin
menanjak dan makin tinggi, akhirnya sampai disuatu tempat, kereta tidak dapat
naik lagi, Lalu murid-murid Sing-siok-pai menyuruh Hian-lan dan lain-lain turun
dari kereta.
Ternyata pegunungan itu penuh
pohon bambu yang rindang, pemandangan indah permai, ditepi selat pegunungan itu
dibangun sebuah gardu bambu yang artistik, Melihat bangunan gardu yang indah
itu, Thio A Sam terpesona dan memuji tak habis-habisnya.
Dan baru semua orang mengambil
tempat duduk disekitar gardu bambu, tiba-tiba terlihat empat orang berlari
turun dari jalan pegunungan sana, Sesudah dekat, ternyata dua diantaranya
adalah murid Sing-siok-pai, mungkin tadi disuruh mendahului naik keatas gunung
untuk menyelidiki atau memberi kabar.
Dua orang lagi yang tak
dikenal itu adalah pemuda berdandan sebagai petani, Sampai didepan Ting Jun-jiu
mereka lantas memberi hormat dan tanpa bicara lalu menyerahkan sepucuk surat.
Setelah Ting-lokoai membaca
surat itu, tiba-tiba ia tertawa dingin dan berkata, "Bagus, bagus! Kamu
belum kapok dan ingin mengadu jiwa lagi, sudah tentu akan kupenuhi keinginanmu."
Tiba-tiba salah seorang pemuda
petani itu mengeluarkan sebuah mercon roket terus dinyalakan dan dilepaskan
keudara.
Pada umumnya mercon roket itu
mesti berbunyi dulu, menyusul akan meletus lagi diatas tapi mercon yang
digunakannya ini agak luar biasa semula tidak berbunyi, setelah menjulang
tinggi diangkasa baru meletus tiga kali berturut-turut dengan suara yang keras.
Melihat itu, Thio A Sam tidak
sangsi lagi dengan pelahan katanya kepada Kheng Kong-leng, "Toako, inilah
barang buatan perguruan kita sendiri."
Dan tidak lama sesudah suara
letusan mercon itu, mendadak dari atas gunung berlari datang serombongan orang
sejumlah tiga puluhan orang, semuanya berdandan sebagai petani dan membawa
senjata panjang.
Sesudah dekat, ternyata yang
mereka bawa bukan senjata melainkan gala bambu, setiap dua batang bambu itu
terikat jaring tambang yang dapat dipakai sebagai usungan.
"Wah, tuan rumahnya cukup
menghormati kita, maka kita pun tidak perlu sungkan-sungkan, marilah naik
saja," kata Ting-lokoai dengan tertawa dingin.
Maka Hian-lan dan lain-lain
lantas naik keatas usungan jaring tambang itu, para pemuda petani itu lantas
membagi tugas, dua orang menggotong satu usungan, dengan cepat mereka berlari
pula keatas gunung.
Ting Jun-jiu sendiri
mendahului didepan, Tampaknya larinya tidak terlalu cepat, tapi di jalan
pegunungan yang terjal dan tidak rata itu ia dapat melesat secepat terbang
seakan-akan kaki tidak menyentuh tanah, hanya dalam sekejap saja orangnya sudah
menghilang di balik hutam bambu diatas sana.
Selama beberapa hari ini,
Hian-lan, Ting Pek-jwan dan lain-lain yang terkena Hoa-kang-tai-hoat atau
terkena racun dingin pukulan Yu Goan-ci, selalu merasa penasaran karena
menganggap diselomoti ilmu sihir musuh yang jahat dan bukan dikalahkan dengan
ilmu sejati, Tapi kini demi menyaksikan betapa hebat ginkang iblis tua itu,
kepandaian demikian terang adalah kepandaian sejati, mau tidak mau mereka
tunduk dengan rela.
Pikir mereka, "Andaiakan
dia tidak memakai ilmu siluman yang jahat juga kami pasti bukan tandingannya."
Sebagai ksatria, Hong Po-ok
adalah seorang yang jujur, tanpa tedeng aling-aling lagi ia memuji, "Ya,
ginkang iblis tua itu memang sangat hebat, sungguh aku sangat kagum."
Dan sekali ia memuji, serentak
anak murid Sing-siok-pai yang mengawal disamping itu terus mengoceh, mereka
memuji setinggi langit guru mereka, katanya ilmu silat Ting Jun-jiu tiada
tandingannya didunia ini, bahkan dari dahulu kala hingga sekarang tiada seorang
sarjana ilmu silat yang mampu melebihi Ting-lokoai.
Dasar murid-murid
Sing-siok-pai itu sudah biasa dan terlatih dalam hal memuji dan menjilat, maka
cara mereka mendewa-dewakan Ting Jun-jiu sungguh luar biasa dan tidak pernah
didengar oleh Hian-lan dan lainlain.
Pau Put-tong lantas
menanggapi, "Hai, para saudara Sing-siok-pai, ilmu silat golongan kalian
memang tak bisa ditandingi golongan lain, benar-benar sedari dahulu kala tidak
pernah ada dan kelak pun takkan terjadi."
"Emangnya, masakah kami
mendustai kalian?" sahut murid-murid Sing-siok-pai dengan senang, Lalu mereka
pun tanya, "Dan menurut pendapatmu, ilmu silat kami manakah yang paling
lihai?"
"Kukira tidak hanya
semacam saja ilmu silat kalian yang lihai, paling sedikit ada tiga macam."
sahut Put-tong.
Karuan anak murid
Sing-siok-pai tambah girang, "Ketiga macam yang mana?" tanya mereka
berbareng.
"Masakah kalian sendiri
tidak tahu?" demikian Put-tong sengaja jual mahal.
"Kami? Ya... ya, kami
tidak tahu, tolonglah suka menjelaskan!" pinta orang-orang Sing-siok-pai
itu.
"Ini dia, coba pentang
telinga kalian dan dengarkan dengan baik," ucap Put-tong dengan sikap
sungguhsungguh. "Pertama adalah Ma-bi-kang (ilmu menjilat pantat), Menurut
pendapatku, Wah! ilmu ini sangat penting, sebab kalau kalian tidak melatihnya
dengan masak benar, mungkin akan susah menempatkan diri dalam perguruan, Dan
ilmu kedua adalah Hoat-le-kang (ilmu meniup kulit keong, maksudnya omong
besar), Ilmu ini juga sangat penting, kalau kalian tidak dapat membual setinggi
langit ilmu silat perguruan kalian sendiri, bukan saja kalian akan dipandang
rendah oleh gurumu, bahkan kedudukan diantara sesama saudara seperguruan juga
akan terdesak, Dan akhirnya ilmu yang ketiga ini adalah Ho-gan-kang (ilmu muka
tebal), Ilmu ini terlebih penting lagi, jika kalian tidak berani tutup mata dan
bermuka tebal, mana dapat kalian
meyakinkan kedua ilmu mujizat
Ma-bi-kang dan Hoat-le-kang?"
Habis berkata, Put-tong
mengira anak murid Sing-siok-pai pasti akan menghujaninya caci-maki dan pukulan
serta tendangan, Eh, siapa tahu tidak demikian halnya, bahkan semuanya tampak
mengangguk-angguk seakanakan membenarkan ucapan Pau Put-tong.
Seorang diantaranya bahkan
berkata, "Saudara ini sungguh sangat pintar hingga cukup paham terhadap
selukbeluk golongan kami, Tentang Ma-bi-kang, Hoat-le-kang dan Ho-gan-kang,
tiga macam ilmu sakti ini juga sangat susah dipelajari, Pada umumnya orang sok
risi dan suka membeda-bedakan apa yang baik dan mana yang jelek. Dan siapa saja
kalau sudah cenderung kepada pikiran demikian itu, terang akan susah
menyakinkan Ho-gan-kang, andaikan bisa, sampai saat terakhir tentu juga akan
gagal."
Sebenarnya ucapan Pau Put-tong
tadi hanya sindiran belaka, siapa tahu malah mendapat tanggapan sungguhsungguh
dari orang Sing-siok-pai dan tidak sirik sedikit pun, karuan ia tidak habis
heran.
Maka dengan tertawa ia berkata
pula, "Wah, rupanya ilmu sakti ajaran golongan kalian teramat luas dan
mendalam hingga aku tidak dapat menyelaminya, dengan setulus hati aku ingin
mohon Taisian suka memberi petunjuk."
Mendengar kata 'Taisian' atau
dewa besar, orang itu benar-benar merasa seolah-olah sudah menjadi dewa
sungguhan, Dan dengan lagak 'dewa' ia pun berkata, "Tapi kamu bukan orang
golongan kami, dimana letak kunci rahasia ilmu mujizat kami sudah tentu tidak
boleh dikatakan padamu, Pendek kata, kunci utama dari ilmu mujizat kami
terletak pada diri Suhu yang harus kami junjung sebagai malaikat dewata,
biarpun beliau mendadak kentut......"
"Tentu berbau wangi
juga." sambung Pau Put-tong mendadak.
"Tepat," kata orang
itu sambil mengangguk-angguk, "Kamu memang sangat berbakat, tanpa diajar
juga sudah tahu, Jika kau mau masuk perguruan kami, kukira akan mencapai
tingkatan yang tertinggi, cuma sayang jalanmu tersesat dan telah kesasar
kekalangan tak beres, namun juga tidak berhalangan asalkan kamu dapat pegang
teguh kepada kunci rahasia tadi."
"Untuk masuk perguruan
kami jangan diikra gampang." sela seorang lagi dengan tersenyum,
"Melulu ujian penerimaan yang maha sulit itu sudah cukup membikin kamu
kapok dan akan mundur teratur."
"Disini terlalu banyak orang,
tidak enak untuk dibicarakan dengan dia," demikian seorang kawannya
menimbrung, "Pendek kata, hai, orang she Pau, jika kamu sungguh-sungguh
ada maksud masuk perguruan
kami, boleh juga aku nanti
membantu memberi sokongan suara dihadapan Suhu."
Kongya Kian dan Ting Pek-jwan
tahu bahwa ucapan Pau Put-tong itu hanya untuk menggoda anak murid Singsiok-pai
saja tak terduga manusia-manusia goblok itu justru menganggapnya
sungguh-sungguh, karuan Pekjwan dan Kongya Kian sangat mendongkol dan geli
pula, pikir mereka,
"Didunia ini ternyata ada
manusia rendah yang membanggakan kepandaian mengumpak dan menjilat, sungguh
tidak kenal malu dan keterlaluan."
Tengah bicara, sementara itu
rombongan mereka sudah memasuki sebuah lembah pegunungan, Dilembah itu penuh tumbuh
pohon cemara yang rindang, bilamana angin bertiup, terdengarlah suara gemersek
daun pohon yang menyerupai lidi itu.
Setelah menyusur hutan
sejenak, akhirnya sampailah mereka didepan tiga petak rumah kayu, dibawah
sebatang pohon besar didepan rumah tertampak ada dua orang sedang main catur,
selain itu ada pula dua orang yang sedang menonton permainan catur mereka.
Sesudah dekat, tiba-tiba Pau
Put-tong mendengar Li Gui-lui yang digotong di usungan belakang bersuara,
seperti hendak bicara tapi urung karena ditahan kembali, Waktu Put-tong
menoleh, ia lihat air muka sianak wayang itu pucat pasi, sikapnya cemas
khawatir.
Seketika Put-tong tidak tahu
apa sebabnya sianak wayang yang biasanya suka menembang itu kini mendadak
berubah ketakutan, Waktu ia berpaling kembali, ia lihat kedua penonton
pertandingan catur itu seorang adalah Ting Jun-jiu dan yang lain adalah seorang
nona cantik.
Sedangkan kedua pemain catur
itu, yang duduk disisi kanan sana adalah seorang tua kurus kecil, dan lawannya
adalah seorang Kongcu muda dan cakap.
Put-tong kenal Kongcu itu dan
si nona cantik, tanpa terasa ia berseru, "He, nona Ong, mengapa engkau
berada disini? Apa engkau datang bersama orang she Toan ini?"
Kiranya nona cantik itu adalah
Ong Giok Yan dan Kongcu muda itu dengan sendirinya Toah Ki adanya.
Tempo dulu waktu dikediaman A
Cu, yaitu di papilyun 'Thing-hiang-eing-sik', Pau Put-tong pernah bertemu
sekali dengan Toan Ki, malahan tangan Toan Ki hampir dipuntir patah olehnya,
Sedangkan Ong Giok-yan
adalah adik misan
Buyung-kongcu, ternyata sekarang berada bersama pula dengan pemuda cakap itu,
karuan Pau Put-tong merasa tidak senang.
Maka Giok-yan mengiakan sekali
dengan acuh tak acuh, sama sekali ia tidak menoleh dan masih asyik mengikuti
pertandingan catur itu.
Ada pun papan catur yang
digunakan itu terukir diatas sepotong batu hijau yang besar, baik biji catur
putih maupun hitam, semuanya halus mengkilat, sementara itu kedua belah pihak
sudah menjatuhkan ratusan biji catur masing-masing (catur disini serupa
permainan damdaman).
Disebelah lain Ting Jun-jiu
juga berdiri dekat dibelakang sikakek kurus kecil dan asyik juga mengikuti
pertandingan catur itu.
Tatkala itu Toan Ki sedang
memegang satu biji catur dan belum dijalankan, tapi lagi berpikir dimana biji
catur itu harus dipasang.
Tiba-tiba Pau Put-tong
berseru, "Hai, Lo siansing, ada tamu, kenapa engkau diam saja dan masih
terus main catur apa segala?"
Dalam pada itu Kheng Kong-leng
berdelapan buru-buru meronta turun dari usungan terus berlutut kira-kira dua
meter didepan batu hijau tempat papan catur itu.
Karuan Put-tong terkejut,
serunya, "He, apa-apaan kalian ini?"
Tapi segera ia paham duduknya
perkara, Jelas sikakek kurus kecil itu tak lain tak bukan adalah Liong-ah Lojin
alias 'Cong-pian Siansing' yang termashur alias guru Kheng Kong-leng
berdelapan.
Sudah terang musuh besar telah
berada disebelahnya, mengapa dia masih enak2 main catur dengan orang? Apalagi
lawan caturnya juga bukan seorang juara catur atau pemain ternama, tapi seorang
pelajar yang ketololtololan.
Maka terdengar Kong-leng
berkata, "Engkau orang tua masih sehat walafiat melebihi duu, sungguh kami
berdelapan girang tak terhingga."
Yu-kok-pat-yu sudah diusir
keluar perguruan, maka sekarang mereka tidak berani menyebutnya sebagai Suhu,
lalu ia menyambung lagi, "Hian-lan Taisu dari Siau-lim-pai juga berkunjung
kemari."
Sebagai Sute ketua
Siau-lim-si, sudah tentu kedudukan Hian-lan dalam Bu-lim adalah sangat tinggi
dan dihormati, sekarang So Sing-ho tidak menyambutnya sebagaimana mestinya, hal
ini sudah kurang sopan, bahkan sang tamu sudah berada didepannya dan dia masih enak-enak
main catur, sikap demikian terang kurang menghormati tamunya.
Tapi tertampak badan So
Sing-ho tergetar demi mendengar laporan Kong-leng tadi, segera ia berdiri dan
memberi hormat kepada para tamunya sambil berkata, "Atas kunjungan
Hian-lan Taisu, harap maafkan aku tidak mengadakan penyambutan, maaf!"
Waktu bicara sinar matanya
sama sekali tidak memandang kearah Hian-lan, sebaliknya masih terus
memperhatikan papan caturnya, dan sehabis berkata, ia duduk kembali menghadapi
lawan caturnya.
Keruan semua orang terperanjat
demi mendengar Liong-ah Lojin (si kakek tuli dan bisu) ternyata dapat
mendengar, bahkan pandai bicara pula.
Maka Hian-lan lantas menjawab,
"Terima kasih!"
Ia lihat So Sing-ho sedemikian
menitikberatkan permainan catur, diam-diam ia pikir, "Orang ini terlalu
banyak memperdalam permainan catur dan lain sebagainya, pantas ilmu silatnya
kalah jauh dari pada sang Sute."
Begitulah keadaan menjadi
sunyi senyap, mau tidak mau semua orang harus mengikuti pertandingan catur itu.
Tiba-tiba Toan Ki berkata,
"Baiklah, disini saja!" Lalu ia taruh satu biji catur hitam diatas
papan catur batu itu.
Sebaliknya Si Sing-ho sama
sekali tidak berpikir, ia terus menaruh sebiji catur putih dengan cepat, Karena
Toan Ki sebelumnya sudah merancangkan balasan langkah caturnya, maka menyusul
ia pun menaruh satu biji hitam lagi, lalu So Sing-ho juga menaruh satu biji
putih dan begitu seterusnya hingga masing-masing menaruh belasan biji.
Akhirnya terdengarlah Toan Ki
berkata dengan gegetun, "Wah, ilmu catur Losiansing memang sangat tinggi
dan sukar dijajaki dalamnya, Wanpwe tidak dapat memecahkannya."
Dengan demikian, jadi terang
So Sing-ho telah menang, tapi bukannya senang, sebaliknya ia malah mengunjuk
rasa sedih, katanya, "Daya pikir Kongcu sebenarnya sangat rapi dan dapat
mencapai jauh, belasan langkah caturmu ini sudah mencapai tingkatan teknik yang
tinggi, Cuma sayang tak dapat berpikir lebih dalam lagi sedikit, sungguh
sayang! Ai, benar-benar sayang!"
Lalu Toan Ki menjemput sumua
biji caturnya yang berwarna hitam itu dan dimasukkan kedalam kotak, So Sing-ho
juga menjemput kembali belasan biji catur warna putih yang dipasangnya tadi.
Sebagai seorang penggemar dan
juara catur, sudah tentu Hoan Pek-ling dari Yu-kok-pai-yu itu sangat tertarik
kepada setiap pertandingan catur, Setelah mengikuti dari jauh pertandingan itu,
maka tahulah dia bahwa sang 'Suhu' bukan lagi bertanding dengan Kongcu muda
yang cakap itu, melainkan membuat sebuah 'problem' dan Kongcu muda itu disuruh
coba memecahkan problem catur itu dan ternyata pemuda itu tidak sanggup.
Pek-ling berlutut ditanah,
sudah tentu tidak begitu jelas mengikuti "problem catur" itu, sungguh
ia ingin berdiri untuk melihatnya, Syukurlah waktu itu So Sing-ho lantas
berkata,
"Sudahlah, kalian boleh
berdiri saja! Pek-ling, 'problem' ini sangat luas tali-temali antara langkah
satu dengan langkah lainnya, Coba kau periksa kesini, kalau kau dapat
memecahkannya, siapa tahu ?"
Girang sekali Pek-ling, ia
mengiakan dan cepat mendekati papan catur itu serta mempelajari problem catur
itu dengan tekun, 'Problem' umumnya hanya pakai belasan biji catur saja paling
banyak juga cuma beberapa puluh biji, tapi sekarang ia lihat biji catur yang
dipakai ada lebih dua ratus biji banyaknya, dan memang problem yang diatur ini
sangat ruwet dan susah dipecahkan.
Sudah berpuluh tahun Pek-ling
mempelajari seni catur, tapi kini baru pikir sebentar saja kepalanya sudah
pusing dan mata berkunang-kunang, Baru saja ia hendak memecahkan satu langkah
disudut kanan atau napasnya lantas sesak, darah seakan-akan bergolak dalam
rongga dadanya.
Ia coba tenangkan diri, untuk
kedua kalinya ia mengulangi lagi langkah biji hitam disudut kanan itu, semula
ia kira langkah itu langkah mati, tapi sebenarnya masih ada jalan hidupnya,
untuk itu ternyata harus makan dulu biji putih disebelahnya, tapi sangkut-paut
selanjutnya menjadi sangat luas dan ruwet, ia coba menghitung lagi, mendadak
matanya menjadi gelap, tenggorokan terasa amis, tahu-tahu darah segar menyembur
keluar dari mulutnya.
Dengan dingin saja So Sing-ho
menyaksikan keadaan Hoan Pek-ling itu, katanya kemudian, "Problem ini
memang sangat sulit, kebetulan hari ini adalah hari pembukaan untuk umum yang
diadakan setiap sepuluh tahun satu kali, dan justru sempat hadir juga, Namun
kutahu bakatmu terbatas, dua puluh tahun yang lalu aku tidak memberi kesempatan
padamu untuk ikut memecahkan problem catur ini, hari ini kebetulan kamu dapat
mengikkutinya, apakah kamu akan berpikir lagi untuk memecahkan atau tidak
?"
"Mati atau hidup sudah
takdir ilahi, maka Te....aku....bertekad akan berusaha sebisa tenagaku untuk
memecahkannya," sahut Pek-ling.
"Jika begitu, semoga kamu
berhasil," kata So Sing-ho sambil mengangguk.
Jilid 52
Maka Pek-ling mulai lagi peras
otak memikirkan problem catur itu, tapi hanya sebentar saja tubuhnya lantas
sempoyongan dam kembali muntah darah.
"Huh, cari mampus
sendiri, apa gunanya?" jengek Ting-lokoai tiba-tiba, "Perangkap yang
dipasang Lojat (bangsat tua) ini memang sengaja dipakai untuk menyiksa dan
membunuh orang, apa gunanya kau antarkan nyawamu dengan percuma ?"
Mendadak So Sing-ho melirik
Ting-lokoai, lalu bertanya, "Kau sebut Suhu sebagai apa ?"
"Memangnya dia adalah
Lojat, maka aku pun panggil dia Lojat!" sahut Ting Jun-jiu.
"Si kakek tuli dan bisu
hari ini sudah tidak tuli dan bisu lagi, tentu kau tahu apa sebabnya,
bukan?" tanya So Sing-ho pula.
"Bagus!" sahut Ting
Jun-jiu, "Kau sendiri yang melanggar sumpah dan mencari mampus, maka
jangan menyalahkan aku lagi."
Seketika Kheng Kong-leng cuma
saling pandang dengan Sih-sin-ih dan lain-lain, Pikir mereka, "Dahulu
iblis ini memaksa Suhu menjadi orang bisu tuli, dengan demikian ia berjanji
takkan mengganggu Suhu, Tapi kini mendadak Suhu membuka suara, ini berarti
beliau sudah bertekad akan menentukan mati-hidup dengan Tinglokoai."
Begitulah Kheng Kong-leng dan
kawan-kawannya menjadi khawatir, tapi bersemangat juga.
Kemudian So Sing-ho mengangkat
sepotong batu besar disebelahnya dan ditarik kedepan Hian-lan, katanya,
"Silakan duduk, Taisu!"
"Terima kasih!"
sahut Hian-lan sambil memberi hormat, Diam-diam ia pun terkesiap melihat tenaga
orang.
Perawakan So Sing-ho kurus
kecil, bobotnya paling-paling cuma delapanpuluh kati, tapi dengan mudah ia
dapat mengangkat sepotong batu
besar yang beratnya ditaksir tidak kurang dari limaratus kati, hal ini
menandakan kepandaian kakek kecil ini tidak boleh dipandang enteng, Baginya
sebenarnya juga tidak sukar mengangkat batu sebesar itu, bilamana ilmu silatnya
belum punah, tapi rasanya juga tidak segampang sikakek kecil yang tampaknya
seperti mengangkat sebuah dengklik kecil saja.
Lalu terdengar So Sing-ho
berkata pula, "Problem catur ini adalah hasil jerih-payah pemikiran
mendiang guruku selama tiga tahun, beliau mengarang problem catur ini dengan
harapan agar ahli catur pada jaman ini ada yang dapat memecahkannya, Aku
sendiri sudah mempelajarinya selama tigapuluh tahun dengan tekun, tapi hasilnya
tetap nihil dan belum dapat memecahkannya."
Berkata sampai disini, ia
berhenti, sinar matanya melayang kearah Hian-lan, Toan-ki, Hoan Pek-ling dan
lainlain, lalu sambungnya pula,
"Sebagai seorang padri
berilmu, tentu Hian-lan Taisu paham akan kunci ajaran Buddha terletak pada
'kesadaran', Seorang yang tekun belajar belum tentu dapat sadar begitu saja
seperti orang biasa, Begitu pula problem catur ini, seorang anak kecil mungkin
akan dapat menangkan ahli catur kelas satu, Aku sendiri tidak dapat memecahkan
problem ini, tapi orang berbakat didunia ini masih sangat banyak, tentu ada
yang dapat memecahkannya, Sewaktu guruku akan wafat dulu, beliau meninggalkan
harapan ini, apabila ada orang dapat memecahkan problem catur ini hingga
harapan guruku itu terkabul, maka arwah beliau tentu akan merasa senang dan
terhibur."
Diam-diam Hian-lan pikir,
"Antara gurunya dan Cong-pian Siansing serta murid-muridnya ini mempunyai
banyak persamaan, terhadap seni musik, melukis, catur dan lain-lain, semuanya
seperti kesetanan dan mencurahkan segenap tenaga dan pikiran mereka untuk
menyelami permainan-permainan itu sehingga Ting Jun-jiu sempat malang melintang
dalam perguruannya tanpa ada yang mampu mengatasinya, sungguh hal ini harus
disesalkan."
"Dan Suteku ini."
demikian So Sing-ho melanjutkan bicaranya sambil menuding Ting-lokoai,
"Dahulu dia mendurhakai perguruan sendiri, membunuh guru dan melukai aku
pula, Mestinya aku harus mati menyusul guru, tapi demi mengingat ada sesuatu cita-cita
guruku yang belum terkabul, bila aku tidak mendapatkan orang untuk memecahkan
problem catur ciptaannya ini, andaikan aku mati juga malu untuk menemui Suhu
dialam baka. Sebab itulah aku terima dihina dan mempertahankan hidup sampai
sekarang, Selama beberapa tahun ini aku tetap memenuhi janjiku kepada Sute,
tidak bicara dan tidak mendengar, bukan saja aku telah menjadi Liong-ah Lojin,
bahkan murid-muridku yang baru juga kupaksa menjadi orang tuli dan bisu,
Ai, selama tigapuluh tahun ini
tetap tiada mendapatkan sesuatu kemajuan, problem catur ini tetap tiada
seorangpun mampu memecahkannya, Tapi belasan langkah yang dilakukan Toan-kongcu
ini sungguh sangat bagus, aku menaruh harapan sangat besar padanya, siapa tahu
satu kali keliru, akhirnya gagal juga usahanya."
Toan Ki kelihatan malu-malu,
katanya, "Bakatku terlalu bodoh hingga sangat mengecewakan harapan Lotiang
(bapak), sungguh aku merasa
malu....."
Belum habis ia berkata,
mendadak Hoan Pek-ling menjerit sekali, mulutnya menyemburkan darah dan
orangnya terus roboh kebelakang.
Cepat sekali So Sing-ho geraki
tangan kirinya, sekaligus tiga biji catur menyambar dan mengenai tiga hiat-to
didada Pek-ling untuk menghentikan semburan darahnya.
Selagi semua orang tercengang
bingung, tiba-tiba terdengar pula suara "plok" sekali, dari udara
tahu-tahu menyambar turun sebiji benda entah apa dan jatuh tepat diatas papan
catur.
Waktu So Sing-ho
memperhatikan, ia lihat benda itu adalah sepotong kulit pohon cemara yang
kehitamhitaman dan tepat jatuh dibagian "G", yaitu tempat antara
garis silang 8 x 9, Langkah itu adalah kunci utama memecahkan
"problem" yang harus dilakukan setiap pemain.
Ketika Sing-ho mendongak, ia
lihat diatas pohon Siong (cemara) beberapa meter disebelah kiri sana terlihat
satu bagian jubah panjang orang, terang disitu ada orang bersembunyi.
Diam-diam So Sing-ho terkejut
dan bergirang pula, pikirnya, "Ada orang bersembunyi disitu, tapi aku sama
sekali tidak tahu, hal ini menandakan ilmu silat orang ini sudah mencapai
tingkatan yang sukar dibayangkan, Walaupun jarak tempat sembunyinya cukup jauh,
aku lagi asyik main catur dengan Toan-kongcu ini dan tidak menaruh perhatian,
tapi orang itu mampu menggunakan kulit pohon sebagai biji catur dan disambitkan
dari jauh, dan baru sekarang aku dapat mengetahuinya, tentu dia seorang tokoh
yang hebat, bilamana ia dapat memecahkan problem catur Suhu ini, maka terima
kasihlah kepada langit dan bumi."
Tadi waktu Toan Ki menjalankan
biji caturnya, pertama kali ia pun mengadakan pembukaan pada tempat
"G" digaris lintang 8 x 9 itu, Dan selagi So Sing-ho hendak menaruh
biji catur warna putih untuk menyambut biji catur lawan itu, sekonyong-konyong
didengarnya suara mendesir pelahan ditepi telinga, tahu-tahu sebiji benda putih
menyambar dari belakang dan jatuh ditempat yang akan ditaruh biji caturnya So
Sing-ho.
Karuan semua orang bersuara
heran dan berbareng menoleh, tapi tiada bayangan seorang pun yang kelihatan,
Pohon-pohon disebelah sana tidak terlalu besar, kalau disitu bersembunyi orang
tentu akan kelihatan, Maka semua orang menjadi heran dimanakah orang itu
bersembunyi?
Yang paling heran adalah So
Sing-ho, Ia lihat benda putih itu adalah cukilan kayu pohon siong yang baru
saja dikorek keluar dari batang pohon.
Bahkan setelah "biji
catur putih" itu jatuh diatas papan catur, kembali dari pohon sebelah kiri
tadi menyambar tiba pula sebiji benda hitam dan jatuh digaris lintang 5 x 6,
Karena itu, pandangan semua orang terarah kesisi kanan untuk melihat biji putih
akan menyambar keluar dari mana.
Mendadak terdengar suara
"crit" sekali, sebiji benda putih berputar-putar mumbul keatas udara,
habis itu lantas menurun secara lurus dan dengan tepat jatuh diatas papan catur
pada gairs lintang 4 x 5, yaitu tempat yang tepat untuk menghadapi biji catur
lawan.
Karena biji putih itu melayang
keudara secara berputar, jadi timbul dari arah mana menjadi susah untuk
diketahui orang, Tapi sesudah biji putih itu melayang-layang keatas secara
melingkar-lingkar, dan jatuhnya ternyata masih begitu jitu, maka kepandaian menggunakan
am-gi atau senjata gelap si penimpuk sungguh mengejutkan.
Saking kagumnya, tanpa terasa
tercetuslah suara sorak puji semua orang, Dan belum lenyap suara sorak pujian
itu, tiba-tiba dari balik pohon yang rindang disebelah kiri tadi berkumandang suara
seorang yang lantang, "Ilmu kepandaian am-gi maha sakti Buyung-kongcu
sungguh tiada bandingannya didunia ini, kagum, sungguh kagum!"
Mendengar sebutan
"Buyung-kongcu" seketika Giok-yan berseru, "Piauko, apa engkau
berada disini?"
Dan Sekonyong-konyong
disamping mereka sudah bertambah seorang. Orang itu berjubah padri, sikapnya
kereng dan gagah, wajahnya bercahaya dan mengulum senyum, cara bagaimana dia
melayang turun dari tempat sembunyinya diatas pohon itu ternyata tiada seorang
pun yang tahu.
Yang paling terkejut adalah
Toan Ki, katanya dalam hati, "Kiranya iblis Ciumoti ini juga datang
kesini?"
Kiranya orang itu memang
Tai-lun-beng-ong alias Ciumoti dari Turfan.
Lebih dulu ia memberi hormat
kepada So Sing-ho, Ting Jun-jiu dan Hian-lan, lalu ia mencomot sebiji catur
hitam terus ditaruh diatas papan catur.
Disebelah sana Giok-yan
menjadi jengah karena orang yang muncul ini bukan sang Piauko yang
dirindukannya itu, Tapi ia tetap tidak percaya, ia lari cepat kebelakang batu
sisi kanan sana untuk mencari Buyung-kongcu sambil memanggil-manggil,
"Piauko, Piauko, dimanakah kau?"
Cemas perasaan Toan Ki
seakan-akan kehilangan sesuatu menyaksikan kelakuan nona pujaannya itu.
Mendadak terdengar Giok-yan
bersorak gembira, "Nah, disini, Kenapa engkau diam saja tidak menjawab
panggilanku ?"
Menyusul dari balik pohon sana
muncul dua orang, Seorang berbaju kuning muda, itulah Giok-yan adanya, Gadis
ini menggandeng tangan seorang kongcu muda dan mendatang dengan langkah
pelahan.
Kongcu itu berusia anatara
27-28 tahun, juga memakai baju kuning, cuma kuning tua sedikit, pedang
tergantung dipinggangnya, jalannya ringan tanpa menimbulkan suara, perawakannya
gagah, wajahnya cakap, hanya air mukanya kepucat-pucatan, tapi sikap dan
tindak-tanduknya tampak sangat agung dan ganteng.
Baru sekarang Toan Ki melihat
jelas Buyung-kongcu atau lengkapnya Buyung Hok yang di-dengung2kan dan dipuja
seolah-olah malaikat dewata oleh Giok-yan, A Cu, A Pik, Ting Pek-jwan dan
kawan-kawannya itu, Dan nyatanya memang benar-benar luar biasa.
"Orang bilang
Buyung-kongcu adalah naga diantara manusia (orang pilihan), dan memang bukan
omong kosong kenyataannya, Pantas nona Ong begitu kesemsem kepada sang Piauko,
Maka, ai, hidupku ini sudah terang ditakdirkan akan merana selamanya." demikian
pikir Toan Ki dengan putus asa.
Ia menyesal dan gegetun,
berduka dan susah, ia tidak berani memandang Giok-yan, Tapi akhirnya tidak
tahan dan diam-diam mengintip sekejap, Ia lihat air muka Giok-yan berseri-seri,
penuh gembira, ia belum pernah melihat si nona begitu girang seperti sekarang,
Kembali ia pikir, "Memang pada hakikatnya diriku tidak pernah terisi dalam
hatinya, hanya bila melihat sang piauko barulah ia merasa gembira
benar-benar."
Sementara itu Buyung Hok telah
mendekati papan catur, ia mengangguk-angguk pada semua orang, lalu ia menjemput
sebiji catur putih dan ditaruh diatas papan catur batu itu.
Ciumoti tersenyum, katanya,
"Buyung-kongcu, meski ilmu silatmu sangat tinggi, tapi dalam hal main
catur mungkin hanya kelas menengah saja." Berbareng ia pun balas sebiji
catur hitam.
"Ya, tapi rasanya toh
takkan kalah darimu," sahut Buyung Hok, Lalu ia pun menaruh biji caturnya
lagi.
Dalam pada itu Ting Pek-jwan,
Kongya Kian, Pau Put-tong dan Hong Po-ok sudah lantas berkumpul dan
berdiri dibelakang sang
junjungan. Buyung Hok sendiri lagi tekun memikirkan langkah catur selanjutnya
untuk menghadapi Ciumoti yang ternyata tidak lemah dalam ilmu permainan catur
itu, maka ia hanya berpaling sekejap saja kepada para punggawanya itu, lalu
mencurahkan perhatiannya pada biji caturnya.
Selang agak lama barulah
Buyung Hok menjalankan sebiji caturnya lagi, sebaliknya Ciumoti sangat cekatan
tanpa banyak berpikir ia taruh pula biji caturnya, Jadi Buyung-kongcu main
lambat dan Ciumoti main cepat.
Tidak lama kemudian,
masing-masing sudah menjalankan lebih dua puluh biji catur, tiba-tiba Ciumoti
terbahak-bahak dan berkata, "Buyung-kongcu, apakah tidak sebaiknya kita
anggap remis saja ?"
"Huh, kau sendiri main
ngawur, masakah kau sendiri mampu mematahkan seranganku?" sahut Buyung
Hok.
"Memangnya problem ini
sangat sulit, didunia ini tiada orang lagi mampu memecahkannya, problem ini
hanya digunakan untuk mempermainkan orang, aku cukup tahu diri, maka tidak mau
banyak membuang pikiran percuma," demikian kata Ciumoti, "Tapi
bagimu, Buyung-kongcu, kepungan sudut yang kupasang ini saja tidak mampu kau
lepaskan diri, masakah masih kau pikir untuk merebut kemenangan di Tionggoan
segala ?"
Seketika hati Buyung Hok
tergetar, ia merasa ucapan orang itu mempunyai makna berganda, sesaat itu
pikirannya menjadi kusut, ucapan Ciumoti itu seakan-akan mendengung terus
ditelinganya.
Seperti pernah diceritakan
oleh Giok-yan kepada Toan Ki, Buyung-kongcu itu bercita-cita menjadi raja dan
memerintah diseluruh Tiongkok, Kini ucapan Ciumoti itu kena betul-betul dalam
lubuk hatinya, lamat-lamat terbayang olehnya biji catur hitam dan putih diatas
papan catur itu seolah-olah berubah menjadi prajurit dan perwiranya, disana
satu pasukan dan disini satu pangkalan lagi, yang satu dikepung oleh yang lain
dan sedang bertempur mati-matian.
Buyung Hok seperti menyaksikan
pasukan kerajaan Yan sendiri terkepung oleh pasukan musuh dan tidak berhasil
membobol keluar, meski ia sudah berusaha dengan susah payah tetap tidak dapat
menyelamatkan pasukannya, Makin lama ia makin khawatir, pikirnya,
"Kerajaan Yan kami sudah
ditakdirkan akan tamat sampai disini, betapa pun tidak dapat dibangun kembali
dan perjuangan selama berabad-abad ini akhirnya akan gagal dan lenyap sebagai
impian, jika memang begitulah takdir ilahi, apa mau dikata lagi ?" Mendadak
ia menjerit sekali, ia lolos pedang terus menggorok leher sendiri.
Tatkala Buyung Hok berdiri
termangu-mangu dengan sikapnya yang aneh itu, memangnya Giok-yan, Toan Ki Ting
Pek-jwan dan kawan-kawannya juga sudah menaruh perhatian padanya, Tapi mendadak
Buyung Hok melolos pedang hendak membunuh diri, hal ini benar-benar tidak
pernah terduga oleh mereka, Pek-jwan dan
Kongya Kian bermaksud menubruk
maju untuk menolong, tapi mereka sendiri sudah kehilangan tenaga, maka tidak
berdayalah mereka.
Syukur mendadak Toan Ki
berseru, "Eh, jangan begitu!"
Kontan jari telunjuknya terus
menuding kedepan, maka terdengarlah suara "crit" sekali, tahu-tahu
pedang yang dipegang Buyung Hok itu tergetar jatuh kelantai hingga menerbitkan
suara nyaring.
"Wa, sejurus
Lak-meh-sin-kiam yang bagus, Toan-kongcu!" puji Ciumoti dengan tertawa.
Dan karena pedang terlepas
dari cekalan, barulah Buyung Hok terkejut dan sadar dari dunia khayalnya.
Dalam pada itu Giok-yan sudah
lantas memburu maju sambil memegangi tangan sang Piauko, ia menangis dan
berkata, "O, Piauko, cuma urusan catur saja masa perlu berpikir pendek
hendak menghabiskan jiwa sendiri ?"
"Ada apa atas
diriku?" demikian Buyung Hok menegas dengan bingung.
"Barusan, ya, untung
Toan-kongcu telah menghantam jatuh pedangmu, kalau tidak....kalau tidak,
wah....." kata Giok-yan.
"Kongcu," Kongya
Kian ikut bicara, "problem catur ini bisa menyesatkan pikiran orang,
kukira didalamnya tentu mengandung ilmu sihir, hendaklah Kongcu jangan mau
banyak pikir lagi."
Tapi Buyung Hok lantas
berpaling kepada Toan Ki dan bertanya, "Apakah benar barusan saudara telah
menggunakan jurus ilmu pedang Lak-meh-sin-kiam? Cuma sayang aku tidak
melihatnya, Apakah dapat saudara mengulanginya lagi sekali agar Caihe bisa
menambah pengalaman?"
"Barusan tidak kau
lihat?" Toan Ki menegas.
Tiba-tiba Buyung Hok merasa
malu, sahutnya, "Seketika pikiranku kabur hingga mirip orang linglung dan
seperti kena sihir."
"Ya, tentu Sing-siok
Lokoai ini yang diam-diam telah menggunakan ilmu sihirnya yang jahat."
seru Pau Puttong mendadak, "Awas, Kongcu, harap engkau berlaku hati-hati
padanya!"
Pada saat itulah, tiba-tiba
dari jauh terdengar suara seruan seorang wanita, "Ooi, engkoh Jun-jiu
tercinta, betapa rindu hatiku padamu, telah kucari dikau sekian lamanya,
akhirnya engkau datang juga ke Tionggoan sini, Ya, tentu engkau juga lagi
mencari daku, sungguh aku sangat gembira!"
Suara itu kedengaran
sayup-sayup terbawa angin, tapi sangat nyaring dan jelas.
"Ah, itu dia
Bu-ok-put-cok Yap Ji-nio!" kata Toan Ki.
Ting Lokoai lantas kelihatan
kikuk dan serba salah demi mendengar suara tadi, serentak matanya menyorotkan
napsu membunuh yang kejam.
Dalam pada itu suara Yap
Ji-nio berseru lagi, "Ooi, engkoh Jun-jiu yang baik, mengapa engkau diam
saja dan tidak menjawab? Apakah engkau tega membuang diriku, dan tidak
pedulikan aku lagi?"
Meski seruannya halus dan enak
didengar, tapi karena nadanya terlalu genit hingga menimbulkan rasa muak bagi
pendengarnya.
Mendadak Pau Put-tong
menanggapi dengan menirukan suara Ting Jun-jiu, "Ooi, adik yang tercinta,
inilah dia aku berada disini! Aku Ting Jun-jiu juga amat merindukan
dikau!"
Sekonyong-konyong terdengar
pula suara seorang lain disana sedang berkata, "Ting Jun-jiu berada
disana, aku tidak mau ikut kesitu."
"Hah, itulah muridku si
Lam-hai-gok-sin Gak-losam juga ikut datang!" demikian pikir Toan Ki.
Maka terdengar Yap Ji-nio
sedang menjawab, "Kenapa takut? Masakah kau khawatir akan dimakan
dia?"
"Bukan takut," ujar Lam-hai-gok-sin,
"Tapi setiap kali kulihat tampangnya, aku tentu mendongkol sehari suntuk,
Nah, buat apa aku menemuinya?"
"Tapi sekali ini Lotoa
juga berada bersama kita, masakah kamu tetap takut pada engkoh Jun-jiu?"
ujar Ji-nio.
"Eh, Lotoa, engkau bagaimana?"
terdengar Lam-hai-gok-sin bertanya.
Diam-diam Toan Ki membatin,
"Kiranya Yan-khing Taicu juga datang, Biasanya muridku itu tidak takut
kepada langit dan tidak gentar kepada bumi, kenapa sekarang begitu ketakutan
kepada seorang yang bernama Ting Jun-jiu, Ai, benar-benar tidak becus!"
Dalam pada itu terdengar suara
seorang seperti suara ditahan sedang menjawab, "Ting Jun-jiu bukan manusia
berkepala tiga dan bertangan enam, aku Toan Yan-khing justru ingin bertemu
dengan dia."
Tengah bicara itulah tertampak
dari bawah gunung muncul empat orang, Yang jalan paling depan memang benar
adalah "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio, si segala kejahatan diperbuatnya.
Orang kedua adalah seorang
berjubah hijau dan memakai dua tongkat sebagai gantinya kaki itulah dia
"Okkoan-boan-eng" Toan Yan-khing, si kejahatan sudah melebihi
takaran.
Lalu Lam-hai-gok-sin kelihatan
mengikuti dibelakangnya, jalannya tampak ogah-ogahan dan sangat dipaksakan.
Semula Toan Ki percaya bahwa
orang keempat tentu "Kiong-hiong-kek-ok" In Tiong-ho, si maha jahat
dan maha ganas, Tak tahunya adalah seorang kepala gundul alias hwesio.
Sesudah dekat barulah
kelihatan bahwa hwesio ini berperawakan sedang, usianya baru duapuluh tiga
tahun atau duapuluh empat tahun, kedua matanya bersinar, tapi mukanya merah
bengap bekas dihajar orang, jubahnya juga terkoyak-koyak, jidat dan matanya
tampak matang biru, jalannya juga beringsut pincang, terang lukanya habis
dihajar orang itu tidaklah ringan.
Sejak muncul, jalan Yap Ji-nio
kelihatan dipercepat seperti orang memapak kekasih, bahkan sambil berseru,
"Ai, engkoh tercinta, ternyata engkau makin gagah dan tambah muda, Sekali
ini aku tidak mau ditinggalkan olehmu lagi!" Sambil berkata ia terus
memburu lebih mendekati Ting Jun-jiu.
Melihat tingkahnya yang genit
itu, semua orang menyangka dia pasti akan terus menjatuhkan diri kedalam
pelukan Ting Jun-jiu, bahkan
boleh jadi terus peluk cium, Diluar dugaan sesudah kira-kira dua meter didepan
Ting Lokoai, lalu Yap Ji-nio berhenti dan berkata pula dengan tertawa,
"He, kekasih, aku hendak bermesramesraan denganmu, mengapa engkau tidak
memberi sambutan hangat? Apa engkau marah padaku ?"
Tapi sikap Ting Jun-jiu masih
tetap tenang, kereng dan berwibawa, Ia tidak gubris olok-olok itu, ia berdehem
sekali, lalu berkata, "Hari ini Cong-pian Siansing telah mengundang para
cerdik pandai dan tokoh-tokoh terkenal jaman ini untuk memecahkan problem
catur, Kebetulan Toan-siansing, Yap-kohnio dan Gak-heng kalian juga datang
kesini, sungguh sangat kebetulan, Dan siapakah Taisu ini ?" Ia maksudkan
hwesio yang babak belur habis dihajar orang tak dikenalnya itu.
Dan sebelum menjawab,
sekonyong-konyong hwesio muda itu berseru, "He, Susiokco (paman kakek
guru) kiranya engkau juga berada disini!" Segera ia melangkah kehadapan
Hian-lan terus memberi sembah hormat.
Waktu Hian-lan memperhatikan
padri muda itu, segera ia kenal orang sebagai murid angkatan ketiga dari biara
sendiri, Cuma murid-murid Siau-lim-si angkatan ketiga itu lebih seratus orang,
dengan kedudukannya yang tinggi, biasanya Hian-lan jarang bicara dengan mereka
kecuali terhadap beberapa orang yang usianya paling tua atau yang ilmu silatnya
lebih istimewa daripada yang lain, maka pada umumnya Hian-lan tidak kenal nama
anak murid angkatan muda itu.
Sedangkan padri muda
dihadapannya sekarang mukanya jelek, kepandaiannya juga tidak menonjol, maka
Hian-lan hanya ingat dia adalah anak murid biara sendiri, adapun siapa nama
agamanya tak dikenalnya, Tapi ia pun balas tanya, "Dan kamu.... kenapa
kamu sampai disini?"
"Tecu Hi-tiok sedang
melakukan tugas Suhu agar menyampaikan sepucuk surat ke Jing-liang-si di
Ngo-taisan." demikian tutur padri muda yang bernama Hi-tiok itu,
"Ditengah jalan Tecu berjumpa dengan ketiga Sicu ini, Tecu melihat Sicu
yang ini....."
Jarinya terus menunjuk Yap
Ji-nio, lalu menyambung, "Sicu ini sedang memegangi seorang orok dan lagi
hendak mengorek hatinya untuk dimakan."
Hian-lan menggeram sekali,
alisnya menegak sikapnya sangat kereng, ia melotot kearah Yap Ji-nio.
Tapi dengan tertawa Ji-nio
berkata, "Setiap orang suka menyebut anak kecil sebagai 'jantung hati'
maka dapat dibayangkan betapa lezat jantung hati kaum anak-anak, Boleh jadi
hwesio dari Siau-lim-si kalian ini sudah banyak merasakan enaknya jantung hati
anak kecil bukan?"
"Wah, dosa! Dosa!"
kata Hian-lan dengan tenang, Padahal dalam hati ia sangat gusar, Coba kalau
ilmu silatnya
tidak punah, bukan mustahil
segera ia hantam perempaun siluman itu.
Maka dengan tertawa Yap Ji-nio
berkata lagi, "Cucu muridmu ini masih sangat muda, tapi sok alim dan sok
suci, eh, malahan berani memberi ceramah padaku agar suka membebaskan orok itu,
Waktu kutanya dia berdasarkan apa berani ikut campur urusan orang, dia menjawab
secara ngawur dan tidak mau mengaku asalusulnya, Samte menjadi murka terus
memberi persen beberapa kali tempelengan, E-eh, nyalinya boleh juga berani dia
melawan, Karuan saja Samte tambah gemas dan mestinya hendak mengorek jantung
hatinya untuk dimakan, untung Lotoa mencegahnya, Lotoa menaksir dia mungkin anak
murid Siau-lim-pai dan mengatakan jangan mengganggu jawanya, Maka Samte hanya
memberi hajaran setimpal saja padanya dan membawanya serta dalam perjalanan
kesini."
"Tecu terlalu bodoh,
belajar kurang giat sehingga merusak nama kebesaran Siau-lim-si kita, sungguh
Tecu harus mendapat hukuman setimpal," demikian Hi-tiok berkata kepada
Hian-lan, "Susiokco, Lisicu ini membelek perut seorang orok montok dan
mungil, mengorek jantung hatinya untuk dimakan, Harap Susiokco suka turun
tangan untuk membasmi kejahatan didunia ini,"
Melihat potongan Hian-lan yang
kereng, mendengar pula Hi-tiok menyebutnya "Susiokco", segera
Yan-khing Taicu, Yap Ji-nio dan Lam-hai-gok-sin tahu dia adalah tokoh terkemuka
Siau-lim-pai, maka diam-diam mereka bertiga sudah siap siaga, Mereka tidak tahu
bahwa kini lwekang Hian-lan sudah punah, ilmu silatnya tidak lebih hanya
seperti orang biasa saja.
Maka dengan tertawa Yap Ji-nio
berkata, "Engkoh Jun-jiu, coba lihat, hwesio cilik ini benar-benar seorang
yang tidak kenal kebaikan, kita sudah mengampuni jiwanya, tapi dia malah
mengadu biru segala."
Baru habis ucapannya, mendadak
terdengar suara "bret" sekali, menyusul berbunyi "plak"
sekali pula, Sekilas bayangan seorang berkelebat, lalu semua orang sama berseru
kaget.
Malahan Giok-yan kelihatan
merah malu sambil berseru, "Piauko, kenapa kau......"
Ternyata, baju dada Yap Ji-nio
telah robek hingga kelihatan dadanya yang putih itu, Kiranya Buyung-kongcu
tidak dapat menahan rasa gusarnya demi mendengar cerita Hi-tiok itu, pula
dilihatnya Hian-lan tidak lantas ambil tindakan, maka segera ia menggunakan
"Hou-jiau-kang" (ilmu cakar harimau), kelima jarinya seperti kuku
macan terus mencengkeram dada Yap Ji-nio.
Serangan ini cepat luar biasa,
caranya adalah khas Buyung-si dari Koh-soh yang terkenal dengan nama
"In-pici-to, hoan-si-pi-sin", dengan cara yang sama untuk digunakan
atas dirinya, Karena Yap Ji-nio suka mengorek dada anak bayi untuk mengambil
hatinya dan dimakan, maka Buyung Hok juga hendak mengorek keluar jantung hati
wanita jahat itu.
Karena serangan kilat itu,
tampaknya Yap Ji-nio tidak sempat mengelakkan diri lagi dan dadanya segera akan
berlubang, Untung baginya Ting Jun-jiu juga bertindak dengan cepat, mendadak
tangan kirinya menghantam pergelangan tangan Buyung Hok.
Dalam keadaan begitu, kalau
serangan Buyung Hok diteruskan, meski Yap Ji-nio pasti akan tamat riwayatnya,
tapi tangan sendiri juga akan cacat terkena serangan Ting Jun-jiu itu.
Maka mendadak Buyung Hok
berganti haluan dari mencengkeram tangan terus dipakai memapak serangan
Ting-lokoai hingga kedua telapak tangan saling bentur, Dan karena saat itu
tangan Buyung Hok sebenarnya sudah menempel dada Yap Ji-nio, kini mendadak
ditarik kembali kearah lain, baju dada Ji-nio jadi ikut terkait dan sobek
sebagian.
"Plak", kedua orang
sama-sama tergetar mundur setindak, Karena dalam keadaan mendadak Ting Jun-jiu
tidak sempat menggunakan Hoa-kang-tai-hoat, jadi adu tangan dengan Buyung Hok
itu dilakukan dengan keras lawan keras, Maka kedua pihak sama-sama merasakan
kepandaian lawan memang sangat hebat dan diam-diam sama mengakui kelihaian
masing-masing yang memang tidak bernama kosong belaka.
Serangannya tidak berhasil,
sebaliknya tanpa sengaja merobek baju Yap Ji-nio, mau-tak-mau Buyung Hok merasa
rikuh, "Maaf!" katanya.
Sesudah baju robek hingga
kelihatan dadanya, semua orang mengira Yap Ji-nio pasti akan merasa malu dan
mungkin akan terus menyingkir untuk membetulkan pakaiannya.
Eh, siapa tahu, sama sekali
Yap Ji-nio anggap biasa saja, bahkan dengan berseri gembira ia berkata dengan
genit, "Ai, orang muda memang kebanyakan mata keranjang, pada siang hari
bolong dan ditengah orang banyak juga berani main gila kepada nyonya besar,
Tapi kaupun tidak perlu minum cuka (cemburu), engkoh Jun-jiu! Dalam hatiku ini
hanya terisi engkau seorang, tidak nanti aku menyeleweng pada orang lain,
Pemuda muka putih (maksudnya hidung belang) begini masakah aku suka main cinta
dengan dia!?"
Sungguh gusar Giok-yan tidak
kepalang hingga air mukanya merah padam, kontan ia menyemprot "Ken... kenapa
kamu tidak kenal malu, masakah orang perempuan bicara hal-hal begituan?"
Mendadak Yap Ji-nio malah
sengaja pentang baju yang robek itu lebih lebar hingga buah dadanya yang putih
montok itu makin menyolok, katanya dengan tertawa, "Ai, nona cilik ini mana
tahu seluk beluk orang hidup, Pemuda muka putih begini tak mungkin suka kepada
nona seperti kamu ini, Kalau tidak, masakah dihadapanmu terang-terangan dia
main raba dan pegang segala padaku?"
"Tidak, dia tidak! Kamu
ngaco-belo!" seru Giok-yan gusar.
Yap Ji-nio masih terus beraksi
dengan genit, dan Giok-yan dibikin marah hingga muka merah padam, sebenarnya
Toan Ki hendak menghiburnya, tapi ia justru tidak tahu cara bagaimana harus
bicara, Sebaliknya Buyung Hok hanya melirik dingin sekali kepada Yap Ji-nio,
lalu tidak menggubrisnya lagi, dan mencurahkan perhatiannya kepada Toan
Yan-khing yang sementara itu sudah mendekati papan catur batu.
Hian-lan, Cumoti, Ting
Jun-jiu, So Sing-ho dan lain-lain juga sedang mengikuti gerak-gerik Toa-ok itu,
Tertampak orang jahat nomor satu sedang memandangi catur dengan mata tak
berkedip, rupanya sedang memeras otak memikirkan pemecahannya.
Lama dan lama sekali,
tiba-tiba Toa-ok itu menutulkan tongkat bambunya kekotak catur, ujung
tongkatnya seperti mengandung daya sembrani baja, segera satu biji catur hitam
tersedot diujung tongkat, lalu ditaruh diatas papan catur.
"Ilmu silat keluarga Toan
dari Tayli menjagoi dunia selatan, nyata memang bukan kabar kosong
belaka!" demikian Hian-lan memuji.
Dahulu Toan Ki pernah menyaksikan
Yan-khing Taicu bertanding catur dengan Ui-bi-ceng, maka ia tahu bukan saja
lwekang Toa-ok ini sangat hebat, bahkan ilmu caturnya juga sangat tinggi, Bukan
mustahil bahwa 'problem catur' ini akan dapat dipecahkan olehnya, siapa tahu?
Sebagai pemegang problem catur
itu, sudah tentu So Sing-ho sangat apal terhadap segala perubahan langkah catur
lawan yang hendak memecahkan problem itu, maka tanpa pikir segera ia pun
menaruh sebiji putih diatas papan catur.
Yan-khing Taicu berpikir lagi
sejenak, lalu menaruh pula satu biji.
"Ehm, langkah saudara ini
sangat pandai, cobalah apakah dapat membobol kepungan ini dan mendapatkan jalan
keluarnya," ujar So Sing-ho terus menaruh sebiji putih untuk menutup jalan
biji lawan.
Tiba-tiba Hian-lan berkata,
"Toan-sicu, sepuluh langkahmu yang pertama itu adalah langkah yang tepat,
tapi mulai langkah kesebelas engkau telah tersesat, makin jalan makin kesasar
dan sukar ditolong lagi."
Air muka Toan Yan-khing selalu
kaku tanpa perasaan, maka hanya terdengar suara dalam perutnya berkata,
"Siau-lim-pai kalian adalah golongan yang jujur dan baik kalau menurut
cara kalian, apakah problem ini dapat dipecahkan?"
Hian-lan menghela napas,
sahutnya, "Ya, problem catur ini seperti jujur, tapi tampaknya juga
menyesatkan, kalau mesti dipecahkan dengan cara jujur memang susah, tapi bila
memecahkannya dengan jalan menyimpang, terang juga tidak dapat."
Dalam pada itu tongkat bambu
Toan Yan-khing sedang terangkat keatas dan rada gemetar, rasanya serba salah
untuk menaruh lagi biji caturnya yang berikut, Selang agak lama, terdengar ia
berkata, "Jalan kedepan buntu, mundur kebelakang ada musuh, Jujur salah,
sesat lebih celaka, Ai, sulit!"
Ilmu silat keturunan keluarga
Toan di Tayli sebenarnya dari golongan Cing-pai, tapi kemudian Yan-khing Taicu
tersesat kejalan yang tidak benar hingga orang menganggapnya dari golongan
Sia-pai, Kata-kata Hian-lan tadi rupanya telah menggugah hati nuraninya hingga
dia mirip Buyung-kongcu tadi, tanpa terasa kehilangan pegangan dan linglung
seperti orang tak sadarkan diri.
Kiranya problem catur itu
memang berdaya gaib dan dapat menyesatkan orang menurut kelemahan masingmasing,
Orang tamak akan jatuh karena harta, orang pemarah akan celaka karena buru
napsu, Dan selama hidup Toan Yan-khing hal yang menjadi menyesalannya adalah
karena dia cacat sehingga terpaksa mesti meninggalkan ilmu silat golongan
Cing-pai dari leluhur sendiri dan ganti belajar ilmu jahat dari kalangan
Siapai, Karena perhatiannya sekarang terpencar dan pikirannya menyeleweng, maka
semangatnya mulai goyah.
Dengan tersenyum simpul Ting
Jun-jiu lantas menanggapi, "Benar, seorang dari golongan Cing telah
tersesat kejalan Sia, untuk kembali kejalan yang benar tidaklah gampang, maka
hidupmu ini boleh dikatakan sudah musnah, ya, musnahlah, sungguh sayang,
musnahlah! Sekali keperosot, menyesal pun sudah terlambat dan tidak dapat
ditarik kembali lagi! Sayang!"
Lagu suara Ting-lokoai itu
penuh rasa kasih sayang, Tapi Hian-lan dan tokoh lain tahu bahwa iblis itu tidak
bermaksud baik, bahkan ingin mendorong, menjerumuskan Toan Yan-khing tersesat
lebih jauh dalam lamunannya, dengan demikian akan berkurang seorang lawan lihai
baginya.
Benar juga, Yan-khing tampak
berdiri terpaku, kemudian berkata dengan sedih, "Ya, sebagai putra mahkota
negeri Tayli yang diagungkan, hari ini aku terluntang-lantung di kangouw hingga
sedemikian rupa, sungguh aku malu terhadap leluhurku."
"Sesudah meningga, tentu
kamu juga tiada muka buat menemui leluhurmu dialam baka, jika kau tahu malu, akan
lebih baik kau bunuh diri saja, paling tidak hal ini akan menunjukkan
perbuatanmu sebagai seorang
ksatria, Ai, lebih baik bunuh
diri saja, ya, lebih baik bunuh diri saja!" demikian Ting Jun-jiu
mendorong pula dengan suaranya yang lemah-lembut enak didengar, tapi penuh daya
pengaruh hingga bagi orang yang lwekangnya kurang kuat, langsung terasa
mengantuk dan hendak terpulas.
"Ya, lebih baik bunuh
diri saja!" demikian Toan Yan-khing menirukan suara itu, Lalu ia angkat
tongkat bambu sendiri dan pelahan hendak menutuk dadanya sendiri.
Namun betapapun lwekang Toa-ok
itu memang sangat tinggi, biarpun terpengaruh tenaga gaib itu, tapi lamatlamat
dalam hati kecilnya juga merasakan sesuatu yang tidak benar dan menginsafi bila
tutukan itu diteruskan, maka celakalah dia, Namun demikian toh tongkat bambu
itu masih terus menutuk kedalam sendiri sedikit lebih mendekat.
"Wah, celaka!"
diam-diam Hian-lan berkata dalam hati, Ada maksudnya hendak bersuara untuk
menyadarkan orang, tapi suara itu harus dilakukan dengan mengertak, untuk mana
diperlukan lwekang yang sama kuatnya baru dapat berhasil, kalau tidak, bukan
mustahil malah akan bikin celaka dirinya sendiri.
Diantara tokoh-tokoh tertinggi
yang berada disitu, selain Hian-lan yang bermaksud menolong tapi sayang tenaga
kurang, sedangkan So Sing-ho terikat oleh peraturan yang ditetapkan mendiang
gurunya yang melarang memberi pertolongan kepada orang yang hendak memecahkan
problem catur itu.
Buyung Hok tahu Toan Yan-khing
bukan manusia baik-baik, jika iblis itu sesat jalan dan mati, hal ini berarti
dunia akan kehilangan suatu bencana besar, maka ia tidak sudi menolong,
Sebaliknya Cumoti merasa syukur dan ingin Toan Yan-khing mati konyol, maka ia
pun berpeluk tangan menyaksikannya dengan tersenyum.
Toan Ki dan Yu Goan-ci
memiliki lwekang yang tinggi, tapi mereka tidak paham sebab musabab
persoalannya, Adapun Giok-yan meski sangat luas pengetahuannya tentang ilmu
silat dari berbagai golongan dan aliran, tapi lwekangnya tiada artinya,
terhadap ilmu sesat dari Sia-pai ia pun setengah paham setengah tidak.
Yap Ji-nio lagi ingin memikat
Ting Jun-jiu, dengan sendirinya ia tidak mau menggagalkan maksud tujuan iblis
tua itu, Ting Pek-jwan, Kheng Kong-leng dan lain-lain sudah kehilangan lwekang,
andaikan bisa juga mereka tidak sudi menolong.
Diantara orang-orang itu hanya
Lam-hai-gok-sin yang merasa gopoh, ia lihat tongkat sang Toako sudah hampir
menempel dada sendiri, sebentar lagi pasti hiat-to mematikan didada akan
tertutuk, Maka cepat ia cengkeram Hi-tiok sambil berseru, "Lotoa,
peganglah kepala gundul ini!"
Sembari berkata, ia terus
lemparkan Hi-tiok kearah Toan Yan-khing. Namun Ting Jun-jiu terus melontarkan
sekali pukulan sambil membentak, "Enyahlah! Jangan mengacau!"
Sebenarnya tenaga lemparan
Lam-hai-gok-sin itu sangat keras, tapi hanya kena tenaga pukulan Ting-lokoai
yang kelihatan lemah itu, mendadak tubuh Hi-tiok mencelat balik dan menerjang
kearah Lam-hai-gok-sin sendiri.
Lekas Lam-hai-gok-sin pasang
kuda-kuda dengan kuat, ia pegang Hi-tiok terus hendak dilemparkan kembali
kearah Toan Yan-khing, Diluar dugaannya, tenaga pukulan Ting Jun-jiu itu
membawa tiga gelombang tenaga susulan.
Ketika Hi-tiok kena
dipegangnya, segera Lam-hai-gok-sin mendelik karena tekanan tenaga Ting-lokoai
itu hingga tergentak mundur tiga tindak, Dan baru saja ia dapat berdiri tegak,
gelombang tenaga kedua sudah tiba lagi, sekuatnya Lam-hai-gok-sin bertahan
hingga kaki sampai tertekuk dan akhirnya jatuh terduduk.
Dengan demikian ia sangka
selesailah sudah perkaranya, Eh, siapa tahu masih ada tenaga gelombang ketiga,
Sekali ini Lam-hai-gok-sin tak tahan lagi, ia tergentak berjungkir-balik dengan
kedua tangan tetap mencengkeram kencang tubuh Hi-tiok sehingga tubuh hwesio
muda itu tertindih dibawah untuk kemudian berjungkir-balik sekali lagi.
Sekali ini Lam-hai-gok-sin
sudah kapok, ia sangka Sing-siok Lokoai masih akan melontarkan tenaga lebih
keras lagi, ia pikir 'sebelum hujan lebih baik sedia payung', maka lebih dulu
ia mendorong tubuh Hi-tiok kedepan sebagai tameng.
Tapi ia kecelik, gelombang
tenaga lain sudah tidak ada lagi.
Sebaliknya setelah Hi-tiok
terlepaS dari cengkereman Lam-hai-gok-sin, ia lantas pandang Hian-lan, ia ingin
tahu bagaimana reaksi kakek gurunya itu, Tapi dilihatnya wajah Hian-lan
mengunjuk rasa sedih, sikap seorang yang tak bisa berbuat apa-apa.
Dimata anak murid
Siau-lim-pai, para padri angkatan "Hian" dipandang seolah-olah Buddha
maha sakti, segala kesulitan tentu akan gampang dipecahkan oleh padri angkatan
tua itu, Tapi sekarang Hian-lan ternyata tidak berdaya sama sekali, hal ini
benar-benar membuat Hi-tiok merasa heran dan bingung.
Tapi meski ilmu silatnya
rendah, otaknya ternyata sangat cerdik, walaupun tidak menduga bahwa lwekang
sang kakek guru itu sudah hilang semua, tapi ia dapat melihat padri tua itu
sangat ingin menyelamatkan Toan Yankhing, Seketika hati Hi-tiok tergerak,
segera katanya, "Susiokco, penyakit batin harus disembuhkan dengan obat
batin juga, Toan-cianpwe tersesat oleh karena main catur, maka untuk
menolongnya perlu hapuskan permainan itu."
"Sudah telat, sudah
terlambat!" demikian Ting Jun-jiu berkata, "Nah, Yan-khing Taicu,
kunasehatkan lebih baik kau bunuh diri saja, Ya, lebih baik bunuh diri
saja!"
Tengah bicara, tongkat
bambunya sudah tinggal dua-tiga senti saja diatas hiat-to mematikan didadanya.
Semenjak ditawan dan sepanjang
jalan Hi-tiok telah kenyang dihajar dan disiksa oleh Toan Yan-khing, Yap Jinio
dan Kam-hai-gok-sin, Tapi dasar jiwanya memang besar, ia tidak dendam kejadian
yang sudah-sudah itu, sebaliknya ia pikir Cut-keh-lang (seorang yang sudah
meninggalkan rumah, maksudnya sudah menjadi padri) harus mengutamakan kebajikan
serta menolong sesamanya.
Ia tahu maksud Susiokco hendak
menolong orang ia sendiri juga tidak suka Toan Yan-khing mati konyol, tapi
untuk menolongnya ia harus pandai main catur, bicara tentang memecahkan problem
catur itu, mungkin belajar tigapuluh tahun lagi juga belum tentu mampu, Padahal
saat itu, dilihatnya Toan Yan-khing masih termangumangu memandangi papan catur,
jiwanya tinggal sekejap saja.
Mendadak ia mendapat akal,
"Untuk memecahkan problem catur ini terang tidak bisa, kalau membikin
kacau permainannya setiap orang pun bisa, Dan asal perhatiannya terpencar sejenak
saja, tentu dia akan selamat!" Berpikir begitu, cepat Hi-tiok berkata,
"Biar kucoba memecahkan problem catur ini."
Lalu ia mendekati So Sing-ho,
terus saja ia comot satu biji catur hitam dari kotak, ia pejamkan mata dan biji
catur itu ditaruh diatas papan catur sekenanya, habis itu ia lantas tertawa
terbahak-bahak.
Dan belum lagi ia membuka
mata, ia dengar So Sing-ho marah-marah dan berkata, "Ngaco, ngaco! Biji
caturmu telah bikin buntu dan membunuh satu biji caturnya sendiri, mana ada
cara main catur seperti ini?"
Waktu Hi-tiok membuka mata, ia
jadi merah jengah, Kiranya biji catur yang ditaruh secara ngawur itu tepat
menutup jalan sebuah biji hitam sendiri yang terkepung rapat oleh biji putih
lawan itu.
Mestinya biji hitam yang
terkepung itu belum lagi mati, walaupun biji putih setiap saat dapat
mencaploknya, tapi asal lawan belum sempat makan, itu berarti biji hitam yang
terkepung itu masih bisa bergulat mati-matian untuk mencari jalan hidup.
Tapi sekarang ia bikin buntu
satu-satunya jalan bagi biji hitam sendiri, dan ini berarti makan bijinya
sendiri, dalam permainan catur selamanya tidak pernah ada cara membunuh diri
demikian.
Karuan Cumoti, Buyung Hok,
Toan Ki dan lain-lain merasa geli dan terbahak-bahak, Begitu pula Hoan Pekling
dalam keadaan payah pun ikut berkata, "Cara demikian bukanlah permainan
guyon saja?"
Tapi So Sing-ho berkata,
"Menurut pesan guruku, problem catur ini terbuka untuk umum, siapa pun
boleh ikut, Meski langkah Hi-tiok Siau-suhu barusan sama sekali menyimpang dari
kebiasaan orang bercatur, tapi toh juga terhitung satu langkah." Sembari
berkata, ia terus ambil biji hitam yang dibunuh sendiri oleh Hi-tiok itu.
Mendadak Toan Yan-khing
berteriak sekali dan sadar dari dunia khayalnya, Dengan mata melotot ia pandang
Ting Jun-jiu dan berkata, "Sing-siok Lokoai, diam-diam kau turun tangan
keji pada saat orang lagi menghadapi bahaya, nanti kita mesti bikin
perhitungan."
Ting Jun-jiu tidak menjawab,
ia pandang sekejap kearah Hi-tiok dengan penuh benci.
Yan-khing dapat melihat semuanya
itu, Waktu ia melongok kepapan catur, ia lihat perubahan yang dilakukan Hi-tiok
barusan itu, maka tahulah dia bahwa berhasilnya dia lolos dari renggutan maut
adalah berkat pertolongan hwesio muda itu.
Diam-diam ia sangat berterima
kasih, ia tahu Ting-lokoai sudah dendam dan setiap saat bisa menggempur Hitiok,
Tapi ia tidak membuka suara lagi, hanya mengawasi disamping sambil berpikir,
"Padri sakti Siau-lim-pai Hian-lan berada disini, rasanya Sing-siok Lokoai
tidak berani mengganggu anak muridnya, Tapi kalau Hian-lan sudah tua dan tidak
sanggup melindungi orangnya, tentu tidak boleh kubiarkan hwesio cilik ini gugur
disebabkan urusanku."
Dalam pada itu terdengar So
Sing-ho lagi berkata kepada Hi-tiok, "Siau-suhu, kamu telah membunuh satu
biji sendiri, sekarang biji putih mendesak pula, cara bagaimana akan kau
lawan?"
Dengan tertawa Hi-tiok
menjawab, "Siauceng memang tidak pandai main catur, barusan juga menaruh
secara ngawur, maksudku hanya untuk menolong Sicu ini, Maka, Siauceng tidak
berani melanjutkan permainan ini, harap Locianpwe suka maaf."
Mendadak Sing-ho menarik muka,
katanya dengan suara bengis, "Tujuan guruku mengatur problem catur ini
ialah ingin mengundang para ahli dari dunia ini untuk memecahkannya, Kalau
tidak dapat juga tidak menjadi soal, Tapi kalau tertimpa akibatnya harus
ditanggung sendiri, Namun kalau ada orang sengaja hendak mengacaukan permainan
ini untuk merusak hasil jerih-payah mendiang guruku, hehe, biarpun kalian
berjumlah banyak dan aku sudah tua lagi loyo, betapapun juga aku siap untuk
menghadapi sampai detik terakhir."
Melihat tuan rumah naik darah
dan bicara dengan bengis, maka Hi-tiok jadi ketakutan, Dengan memberi hormat ia
berkata, Harap Locienpwe jangan salah paham......"
"Mau main catur lekas
main catur, apa gunanya banyak bicara?" bentak lagi So Sing-ho,
"Memangnya kau kira datang kesini hanya untuk piknik saja?"
Habis berkata, mendadak
sebelah tangannya menggaplok kesamping, "Blang", seketika debu, pasir
bertebaran, tanah didepan Hi-tiok amblong menjadi sebuah lubang besar, Coba
kalau pukulan yang maha hebat itu diarahkan tepat ketubuh Hi-tiok, tentu padri
muda itu sudah remuk dan mati seketika.
Karuan Hi-tiok kebat-kebit, ia
coba melirik sang Susiokco dengan harapan orang tua itu suka tampil kemuka
untuk membebaskan dia dari ancaman bahaya itu, Tapi Hian-lan sendiri tidak
tinggi ilmu permainan caturnya, ilmu silatnya sekarang punah lagi, Sudah tentu
ia pun tak berdaya.
Setelah suasana hening
sejenak, selagi Hian-lan hendak coba-coba mintakan ampun kepada So Sing-ho,
tibatiba terlihat Hi-tiok mencomot pula sebiji catur hitam dan ditaruh diatas
papan catur, Tempat yang ditaruh itu adalah tempat luang biji hitam yang
diangkat oleh So Sing-ho tadi.
Langkah ini ternyata cukup
memenuhi syarat bercatur.
Selama tigapuluh tahun ini So
Sing-ho boleh dikatakan sudah apal sekali terhadap setiap langkah catur yang
mungkin dilakukan lawan, bagaimana pun lawan akan menjalankan biji caturnya
pasti sudah terduga olehnya, Eh, siapa duga sekali ini ia benar-benar ketemu
batunya, Datang-datang Hi-tiok terus tutup mata dan main secara ngawur hingga
satu biji hitam dimakan sendiri.
Cara ini benar-benar sangat
berlawanan dengan teori catur, sebab setiap orang yang sedikit paham ilmu catur
saja tidak mungkin akan menjalankan caturnya seperti Hi-tiok tadi, Sama halnya
setiap orang persilatan tidak mungkin menghunuskan pedang untuk membunuh diri.
Tak tersangka bahwa setelah
makan biji sendiri secara ngawur itu, posisi percaturan itu lantas berubah
walaupun pihak putih masih menduduki posisi lebih kuat, tapi pihak hitam sudah
ada tempat luang untuk bergerak, tidak seperti tadi selalu terdesak dipihak
yang terkepung melulu.
Sudah tentu perubahan demikian
mimpi pun tidak pernah terpikir oleh So Sing-ho, Karena itu, sesudah pikir agak
lama, akhirnya ia mengimbangi satu biji putih.
Kiranya tadi waktu Hi-tiok
digertak So Sing-ho, sedangkan Hian-lan yang diharapkan menolongnya juga tidak
memberi reaksi apa-apa, tengah merasa bingung, tiba-tiba didengarnya suatu
suara yang sangat halus bergema ditepi telinganya, "Taruh ditempat 'peng'
pada garis lintang 3x9."
Tanpa pikir suara siapakah itu
dan tepat tidak langkah yang diajarkan, terus saja Hi-tiok mengambil satu biji
hitam dan ditaruh pada garis silang 3x9 seperti apa yang dikatakan itu.
Dan setelah So Sing-ho juga
balas menjalankan satu biji putih, Kembali suara lembut tadi berkata ditelinga
Hitiok, "Sekarang tepat 'peng' pada garis silang 2x8."
Sudah tentu Hi-tiok menurut
saja, kembali ia ambil satu biji hitam dan ditaruh ditempat yang dikatakan itu.
Langkah ini ternyata
menimbulkan rasa heran pada Cumoti, Buyung Hok, Toan Ki dan lain-lain, Waktu
Hi-tiok mengangkat kepalanya, ia lihat wajah beberapa orang itu penuh mengunjuk
rasa heran dan kagum, terang disebabkan langkahnya barusan ini sangat tepat dan
bagus, Lalu dilihatnya pula wajah So Sing-ho juga berseriseri dan gegetun serta
khawatir pula, kedua alisnya yang panjang tampak berkerut-kerut.
Diam-diam Hi-tiok merasa
curiga, pikirnya, "Aneh, mengapa dia merasa senang? Wah, tentu disebabkan
langkahku barusan ini salah?"
Tapi lantas terpikir lagi
olehnya, "Ah, peduli salah atau tidak, pendek kata asal aku dapat melayani
dia hingga belasan langkah, paling tidak akan menunjukkan bahwa aku juga cukup
mahir main catur dan bukan melulu main ngawur belaka, Dengan demikian tentu dia
takkan marah-marah lagi padaku."
Maka setelah So Sing-ho
melayani satu biji lagi, segera ia menjalankan satu biji juga sesuai petunjuk
suara yang menyusup pula ketelinganya.
Sambil menaruh biji caturnya,
diam-diam Hi-tiok juga mengawasi apakah sang Susiokco yang diam-diam
mengajarnya atau bukan, Tapi ia lihat, sikap Hian-lan sendiri sangat khawatir,
terang bukan dia, apalagi mulutnya juga tidak terlihat bergerak.
Nyata suara yang menyusup
ketelinganya itu, adalah semacam lwekang maha sakti yang disebut "Thoan-imjip-bit"
atau mengirimkan gelombang suara pembicara itu mengirimkan suaranya dengan
lwekang yang tinggi ketelinga pendengarnya, meski banyak orang yang berdiri
disamping juga takkan dengar.
Meski bibir semua orang tidak
kelihatan bergerak, tapi suara itu masih didengar oleh Hi-tiok, sekarang suara
itu suruh dia menaruh biji hitam ditempat "G" pada garis silang 5 X 6
untuk makan tiga biji putih lawan.
Kembali Hi-tiok menurut saja
dan menjalankan biji caturnya, Ia pikir, "Orang yang mengajarkan aku ini
terang bukan lain daripada Susiokco, Orang lain tiada hubungan apa-apa
denganku, mana mungkin mereka mau memberi petunjuk padaku, Diantara mereka ini
hanya Susiokco yang belum ikut main catur ini, sedang yang lain-lain sudah
mencoba dan dikalahkan, Ilmu sakti Susiokco memang hebat, tanpa gerak bibir
beliau dapat mengirimkan suaranya ketelingaku, entah sampai kapan aku baru
dapat berlatih hingga tingkat ini?"
Sudah tentu ia tidak tahu
bahwa orang yang memberi petunjuk padanya itu tak-lain-tak-bukan adalah sidurjana
nomor satu "Ok-koan-boan-ing" Toan Yan-khing.
Tadi Toan Yan-khing lagi
tenggelam dalam lamunannya tatkala menghadapi catur, kesempatan itu digunakan
Ting Jun-jiu untuk mendorongnya lebih menuju kejalan yang sesat hingga
pikirannya menyeleweng dan hampir-hampir membunuh diri, Untung Hi-tiok
mengacaukan permainan catur itu hingga jiwanya diselamatkan, Kemudian ia lihat
So Sing-ho marah-marah pada Hi-tiok dan akan membunuhnya jika permainan catur
itu tidak diteruskan, maka diam-diam Yan-khing memberi petunjuk dengan maksud
membebaskan Hi-tiok dari bencana.
Yan-khing Taicu mahir ilmu
"bicara dengan perut", suaranya keluar dari perut tanpa gerak bibir,
lalu menggunakan lwekang yang tinggi untuk mengirimkan gelombang suara itu
ketelinga Hi-tiok, sebab itulah meski disitu banyak terdapat tokoh lain toh
tiada seorang pun yang tahu akan kejadian itu, Dan diluar dugaan, beberapa
langkah kemudian, percaturan itu telah mengalami perubahan besar-besaran.
Kiranya kunci dari pada
"problem catur" itu memang harus demikian, ialah pertama-tama harus
membunuh diri satu biji hitam sendiri, habis itu baru akan timbul
langkah-langkah lain yang aneh dan bagus, Sudah tentu tindakan "membunuh
diri" demikian selamanya tidak dipakai oleh ahli catur yang mana pun juga,
apa yang mereka pikir juga tidak mungkin menjurus kearah demikian.
Coba kalau Hi-tiok tidak
memejamkam mata dan menaruh biji caturnya dengan ngawur hingga tanpa sengaja
menjalankan bijinya secara bodoh itu, mungkin seribu tahun lagi juga
"problem catur" itu tiada orang yang sanggup memecahkannya.
Ilmu main catur Toan Yan-khing
memang sangat tinggi, dahulu waktu bertanding dengan Wi-bi-ceng di negeri
Tayli, padri alis kuning itu juga dicecer hingga kewalahan, Maka kini setelah
posisi diatas papan catur berubah, dengan segera pihak hitam dapat bergerak
dengan leluasa, menyerang atau bertahan dapat berjalan dengan bebas.
Cumoti, Buyung Hok dan
lain-lain tidak tahu bahwa Toan Yan-khing yang diam-diam telah membantu
Hi-tiok, mereka hanya melihat hwesio muda itu dapat menjalankan caturnya dengan
lancar, setiap langkahnya tepat dan bagus, berulang-ulang dua biji putih
dimakan lagi, saking kagumnya mereka bersorak memuji.
Sebaliknya pikiran Toan Ki
sendiri lagi melayang-layang, Semula dia juga memperhatikan pertandingan catur
itu, tapi kemudian pandangannya menyeleweng, yang ditatap melulu Ong Giok-yan
saja, makin memandang makin terpesona, sedangkan sinar mata Ong Giok-yan justru
tidak pernah meninggalkan Buyung Hok, dengan kesemsem nona itu sedang
memandangi sang Piauko.
Diam-diam Toan Ki berduka,
pikirnya, "Biarlah kupergi saja! Ya, lebih baik pergi saja! jika tinggal
lebih lama disini tentu akan menderita lebih hebat, bisa jadi aku akan muntah
darah."
Akan tetapi tidak mudah
baginya untuk meninggalkan si nona, makin dipikir makin berat rasanya untuk
tinggal pergi, "Jika nona Ong menoleh padaku, segera aku akan bilang
padanya, 'Nona Ong, engkau sudah ketemu Piaukomu, sekarang aku akan pergi!' dan
kalau dia menjawab, 'Baiklah, boleh kau pergi!' maka terpaksa aku harus angkat
kaki, Sebaliknya kalau dia berkata, Eh, jangan terburu-buru, aku ingin bicara
lagi denganmu, maka aku akan menunggunya, ingin kulihat apa yang hendak dia
bicarakan padaku."
Padahal apa yang timbul dari
pikiran Toan Ki itu hanya sengaja mencari sesuatu alasan agar dia dapat tinggal
lebih lama disitu, Ia cukup jelas bahwa sesudah Ong Giok-yan bertemu dengan
sang Piauko, maka tidak mungkin lagi berpaling untuk memperhatikan dia.
Tapi mendadak gelung Giok-yan
dibelakang kepala tampak terguncang sedikit, Hati Toan-ki seketika juga
terguncang, diam-diam ia berharap, "Hah, menolehlah! Menolehlah!"
Siapa duga Giok-yan cuma
menghela napas dengan pelahan dan menyapa dengan suara lirih,
"Piauko!"
Namun Buyung Hok saat itu lagi
asyik mengikuti permainan catur, ia lihat biji hitam telah berubah dipihak yang
unggul dan sedang mendesak lawannya, Ia sedang berpikir, "Beberapa langkah
hitam itu pun dapat kulakukannya, Soalnya hanya langkah permulaan saja, melulu
satu langkah yang ajaib itulah yang susah dipecahkan."
Oleh sebab itulah sama sekali
Buyung Hok tidak mendengar suara panggilan Giok-yan tadi, Pelahan si nona
menghela napas lagi dengan kecewa dan menoleh pelahan.
Hati Toan Ki berdebar-debar
hebat, ia membatin, "Aha, dia menoleh sekarang! Dia menoleh
sekarang!"
Benar juga, wajah si nona yang
ayu itu pelahan berpaling kearahnya. Dengan jelas Toan Ki dapat melihat air
muka si nona muram durja, sorot matanya memantulkan rasa hampa dan kecewa,
Sejak dia bertemu dengan Buyung Hok ia selalu gembira, mengapa mendadak menjadi
sedih?
Selagi Toan Ki merasa heran,
ia lihat sinar mata Giok-yan bergeser pula hinga kebentrok dengan sinar
matanya, Terus saja Toan Ki melangkah maju satu tindak dan mestinya ingin
berkata, "Nona Ong, apa yang hendak kau katakan?"
Tapi ia kecelik, pelahan sinar
mata si nona berpindah dan memandang jauh kesana dengan termenung, sejenak
kemudian, kembali si nona berpaling lagi kearah Buyung Hok.
Perasaan Toan Ki benar-benar
mencelos, rasanya getir tak terkatakan, Ia pikir, "Dia melihat aku, tapi
anggap tidak tahu, hal ini lebih celaka sepuluh kali dari pada sama sekali ia
tidak memandang padaku, Sudah terang dia melihat aku, tapi bayanganku sama
sekali tidak masuk dalam hatinya, Yang dia pikirkan adalah Piaukonya saja,
sedikitpun aku tidak mendapat tempat dalam benaknya, Ai, lebih baik aku pergi
saja, lebih baik aku pergi saja!" Tapi toh dia tidak lantas pergi.
Dalam pada itu berkat petunjuk
Yan-khing Taicu, Hi-tiok telah dapat menjalankan biji hitam dengan baik,
keadaan sudah memuncak pada detik menentukan, tampaknya pihak putih berbalik
kewalahan.
Kalau pihak putih menutup
setiap tindakan pihak hitam, maka setiap kali biji putih tentu akan dicaplok
satu biji, Bila jalan hitam tidak ditutup maka pihak hitam akan lebih leluasa
menerjang keluar dari kepungan, Dalam keadaan serba salah begini, pihak putih
menjadi tidak berdaya apa-apa lagi.
Saat itu So Sing-ho lagi
berpikir, tidak lama kemudian, dengan tersenyum ia menjalankan satu biji putih.
"Pasang ditempat 'siang'
digaris silang 7x8!" demikian gelombang suara Toan Yan-khing terkirim lagi
ketelinga Hi-tiok.
Sudah tentu Hi-tiok hanya
menurut saja, Pengetahuannya dalam ilmu catur hanya sedikit saja, Tapi ia pun
dapat merasakan dengan langkahnya itu, maka pecahlah problem catur itu, Segera
dengan tertawa ia bertanya, "Rupanya sudah berakhir bukan?"
Dengan wajah girang So Sing-ho
menjawab sambil kiongchiu, "Selamat bahagia atas bakat Siau-sin-ceng
(padri cilik sakti) yang luar
biasa ini."
"Ah, mana aku berani
terima, ini bukan....." demikian baru Hi-tiok hendak menjelaskan bahwa dia
telah mendapat petunjuk dari Susiokco, namun suara halus tadi kembali berbunyi
lagi ditelinganya, "Awas, rahasia ini jangan diungkap, Keadaan bahaya
belum lenyap, harus lebih hati-hati terhadap segala kemungkinan."
Hi-tiok mengira kembali
Hian-lan yang telah memberi petunjuk, maka berulang ia mengangguk dan
mengiakan.
Maka So Sing-ho lantas
berbangkit, katanya, "Sejak Siancu (mendiang guru) memasang problem catur
ini, selama tiga puluh tahun belum ada orang mampu memecahkannya, Sekarang
Siau-sin-ceng telah berhasil memecahkannya secara sempurna, sungguh aku merasa
sangat berterima kasih."
Karena tidak tahu
seluk-beluknya, Hi-tiok terpaksa menjawab dengan rendah hati, "Ah,
Siau-ceng hanya bermain secara ngawur dan kebetulan dapat menang, semua berkat
Locianpwe suka mengalah, maka atas segala pujian Cianpwe sungguh aku merasa
malu untuk menerimanya."
Namun Sing-ho tidak berkata
lagi, ia berjalan kedepan ketiga petak rumah papan kayu itu, ia menjulurkan
tangan kearah rumah dan berkata, "Silakan masuk, Siausianceng!"
Hi-tiok melihat bentuk
bangunan ketiga petak rumah papan itu sangat aneh, rapat tidak terdapat pintu,
ia tidak tahu cara bagaimana harus masuk, lebih-lebih tidak tahu untuk apa
disuruh masuk kesana, Maka ia hanya terpaku ditempatnya dengan bingung.
Tapi suara halus tadi lantas
terdengar lagi, "Kamu dapat membobol kepungan catur hal itu adalah hasil
perjuangan mati-matian, Jika rumah papan itu tiada pintu, boleh kamu
membelahnya saja dengan ilmu silat Siau-lim-pai."
Maka Hi-tiok menurut, ia
berkata, "Maaflah jika begitu!"
Segera ia melangkah maju, ia
pasang kuda-kuda, tangan kanan diangkat, terus saja ia membelah papan rumah itu
dengan telapak tangan.
Dalam pandangan semua tokoh
yang hadir disitu, tenaga pukulan Hi-tiok itu terang tiada nilainya untuk dipuji,
Untung papan pintu itu tidak terlalu kuat, maka terdengarlah suara
"brak" sekali, papan itu lantas pecah merekah, Waktu Hi-tiok
menambahi dua kali pukulan lagi, maka bobol juga papan rumah itu, namun tangan
juga pedas kesakitan.
Dengan terkekeh-kekeh
Lam-hai-gok-sin berolok-olok, "Hah, itu dia ngekang (tenaga luar) dari
Siau-lim-pai, kiranya cuma begini saja kekuatannya!"
"Siauceng cuma seorang
murid Siau-lim-pai yang paling tidak becus, kepandaianku memang rendah, mana
boleh dibanggakan sebagai kepandaian asli perguruanku?" demikian Hi-tiok
menjawab sambil menoleh.
Dalam pada itu terdengar suara
halus tadi membisikinya lagi, "Lekas masuk kerumah itu, jangan menoleh
lagi, jangan peduli orang lain!"
Hi-tiok mengiakan dan segera
ia hendak melangkah masuk kerumah papan melalui pintu yang dibobolnya itu.
Namun Ting Jun-jiu lantas
berteriak, "Disitu adalah pintu perguruan kami, kamu hwesio cilik ini mana
boleh sembarangan masuk?"
Menyusul lantas terdengar
suara "blang-blang" dua kali, serangkum angin menyambar kearah
Hi-tiok untuk menariknya mundur, Tapi menyusul dua arus tenaga besar telah
menumbuk punggung dan bokongnya, tanpa kuasa lagi ia terjungkal dan mencelat
masuk kedalam rumah papan itu.
Ia tidak tahu bahwa dalam
sekejap itu sebenarnya jiwanya sudah hampir melayang, Barusan Ting Jun-jiu
melontarkan pukulan hendak membinasakan dia, Sedangkan Cumoti telah menggunakan
tenaga "Kong-hokang"(ilmu membekuk bangau) dan secara paksa hendak
menariknya mundur.
Namun Toan Yan-khing telah
menggunakan tenaga tersembunyi pada tongkatnya untuk menolak sebagian tenaga
pukulan Ting-lokoai, sedangkan So Sing-ho yang berdiri diantara Hi-tiok dan
Cumoti telah menghalau tenaga 'Kong-ho-kang' padri Turfan itu dengan tangan
kiri, menyusul tangan kanan terus menolak kedepan hingga tanpa kuasa Hi-tiok
didorong masuk kedalam rumah papan itu.
Tenaga tolakan So Sing-ho itu
sangat hebat hingga Hi-tiok mencelat kedepan, "blang", selapis
dinding papan dibagian dalam rumah kena diterjang bobol, bahkan kembali
"blang" lagi sekali, batok kepalanya kebentur pula pada suatu lapis dinding
papan lagi, Seketika ia merasa mata berkunang-kunang, pikiran menjadi gelap dan
hampir-hampir kelengar.
Selang sebentar barulah ia
sanggup berbangkit, ia coba meraba-raba jidat sendiri, ternyata sudah benjut
dan
melepuh, Ia lihat dirinya
berada didalam sebuah kamar yang kosong melompong tiada sesuatu isi.
Ia coba mencari pintu kamar
itu, tapi kamar itu ternyata tiada pintu dan tanpa jendela, yang ada cuma
lubang papan yang dibenturnya hingga bobol tadi, Dan sesudah termangu-mangu
sejenak segera ia bermaksud merangkak keluar melalui lubang papan rusak itu.
Tapi baru saja ia putar tubuh,
tiba-tiba terdengar disebelah sana ada suara seorang yang serak tua sedang
berkata, "Jika sudah datang, mengapa hendak keluar lagi?"
Cepat Hi-tiok membalik tubuh,
ia tidak melihat sesuatu apa pun, Segera ia menjawab, "Mohon Cianpwe suka
memberi petunjuk jalan."
"Jalannya kau sendiri
yang membikin dan akhirnya masuk kesini, tiada orang lain yang dapat
mengajarkan padamu," demikian kata suara itu, "Problem catur sudah
kupasang selama tigapuluh tahun dan tidak pernah dipecahkan orang, tapi
akhirnya hari ini dapat dipecahkan olehmu, Nah, kenapa kamu belum mau
kemari!"
Mendengar itu, seketika
Hi-tiok merinding, Dengan suara gemetar ia tanya, "Engkau... kau..."
Tapi ia tidak sanggup meneruskan
lagi, Ia ingat So Sing-ho mengatakan problem catur itu adalah ciptaan
"Siansu atau mendiang gurunya, Jika begitu, suara orang tua ini manusia
atau setan?"
Ia dengar suara itu berkata
pula, "Kesempatan dalam sekejap segera akan lalu, aku sudah menunggu selama
tigapuluh tahun dan tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Anak baik, marilah
lekas masuk kesini!"
Hi-tiok dengar suara ucapan
itu sangat ramah-tamah, maka tanpa pikir lagi ia tumbuk papan dinding itu
dengan bahunya, "krak", memangnya papan itu sudah tua, maka segera
terbobol sebuah lubang, ia terus menerobos kedalam.
Tapi ia terperanjat ketika
dilihatnya didalam kamar juga kosong melompong, sebaliknya ada seorang yang
duduk tergantung diudara, Melihat orang itu duduk dengan terapung diudara, maka
pikiran pertama yang timbul dalam benak Hi-tiok adalah "setan"!
Dan saking ketakutan segera ia
putar tubuh hendak lari, Namun orang itu sudah berkata lagi, "Ai, kiranya
seorang hwesio cilik! Ai, malahan hwesio yang bermuka jelek! Ai, susah, susah,
susah!"
Mendengar orang menghela napas
dan berulang mengucapkan "susah", waktu Hi-tiok memperhatikan lebih
lanjut, baru sekarang ia dapat melihat jelas.
Kiranya tubuh orang itu
hinggap diatas seutas tali warna hitam, ujung tali terikat dibelandar sehingga
tubuhnya tergantung diudara, Karena dinding dibelakangnya ber-cat hitam, warna
tali juga hitam maka tali itu tidak jelas kelihatan, dipandang sepintas lalu
mirip orang duduk terapung diudara.
Adapun muka Hi-tiok memang
agak jelek, alisnya ketel, matanya besar, hidungnya pesek pakai mendongak lagi
lubang hidungnya, kedua daun telinga berkepak kayak kuping gajah, ketambahan
pula bibirnya sangat tebal, Malahan sepanjang jalan ia kenyang dihajar Lam-hai-gok-sin
hingga babak belur, waktu menumbuk dinding papan tadi juga terluka lagi, karuan
rupanya semakin jelek.
Sejak kecil Hi-tiok sudah
yatim-piatu dan dipelihara oleh hwesio yang menaruh kasihan padanya di
Siau-limsi, Para Hwesio dibiara itu adalah biksu yang saleh, kalau tidak tekun
belajar silat tentu tenggelam dialam keagamaan mereka, maka tiada seorang pun
yang perhatikan muka Hi-tiok itu jelek atau bagus.
Menurut Buddha, badan manusia
itu adalah sebuah "kantung kulit busuk", kantung kulit busuk yang
jelek atau bagus tidak menjadi soal bagi mereka, jika banyak memikirkannya
berarti pikirannya sudah mulai menyeleweng.
Sebab itulah, selama hidup
Hi-tiok baru pertama kali ini didengarnya orang mengatakan dia seorang
"hwesio cilik yang jelek".
Waktu dia ditawan
Lam-hai-gok-sin sepanjang jalan Yap Ji-nio juga suka menyebutnya sebagai
"Ti-pak-kai" (siluman babi), "hwesio siluman" dan
macam-macam lagi, Tapi ketika itu Hi-tiok lagi tersiksa karena kenyang dihajar,
maka ia tidak sempat memperhatikan soal jelek atau bagusnya tampang manusia.
Kini demi mendengar orang itu
juga mengatakan dia bermuka jelek, tiba-tiba hatinya tergerak, ia pikir,
"Memangnya kamu bagus?" Segera ia mendongak untuk mengamati-amati
orang.
Kiranya orang itu sangat tua,
jenggotnya ada satu meter panjangnya, anehnya tetap hitam pekat, tiada seujung
pun yang ubanan, Mukanya putih bersih, sedikit pun tidak berkerut sebagaimana
umumnya terlihat pada muka keriput orang tua, Nyata orang ini berusia tua, tapi
bermuka muda, bahkan boleh dikatakan sangat cakap.
Hi-tiok jadi malu, pikirnya,
"Bicara tentang muka, memang aku dan dia berbeda seperti langit dan
bumi."
Jilid 53
Sekarang rasa takutnya sudah
hilang, segera ia membungkuk memberi hormat, katanya,"Siauceng Hi-tiok
memberi hormat kepada Cianpwe."
Orang itu manggut-manggut dan
bertanya;
"Kamu she apa ?"
Hi-tiok tercengang sejenak,
lalu menjawab;
"Seorang Cut-keh-lang,
sudah lama tidak kenal she lagi."
"Sebelum menjadi hwesio,
kamu she apa?" tanya pula orang itu.
"Siauceng sejak kecil
sudah Cut-keh, maka tidak tahu," sahut Hi-tiok.
Lalu orang itu mengamat-amati
Hi-tiok sejenak, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata;
"Kamu dapat memecahkah
problem catur yang kupasang itu, tentang kepintaran dan kecerdasan sudah tentu
lain daripada yang lain, Tapi mukamu begini, betapapun tidak bisa jadi, Ai,
susah amat, Kukira nanti hanya siasia membuang pikiran saja, bahkan jiwamu bisa
melayang percuma, Baik begini saja, Siau-hwesio, akan kuberi semacam hadiah
padamu dan boleh kau pergi saja!"
Watak Hi-tiok bukan seorang
yang sombong dan tinggi hati, biar orang tua itu mengatakan mukanya jelek juga
dia tidak ambil pusing, Tapi dia mempunyai sifat yang keras hati, kemauannya
teguh dan tidak kenal apa artinya susah atau sulit, berulang ia dengar orang
tua tadi mengatakan 'susah', hal ini membangkitkan semangat jantannya malah.
Maka ia lantas berkata,
"Dalam hal main catur sebenarnya pengetahuan Siauceng teramat dangkal,
adapun problem catur Locianpwe itu pun bukan Siauceng sendiri yang
memecahkannya, Tetapi bila Locianpwe ada urusan sulit apa-apa yang perlu
diselesaikan, meski kepandaian Siauceng sangat rendah juga siap untuk
melakukannya dengan sebisa tenaga,
Sedangkan soal hadiah apa segala Siauceng tidak berani menerimanya."
"Kamu berbudi luhur dan
berjiwa ksatria sungguh harus dipuji," kata orang tua itu, "Tentang
kepandaian main catur dan ilmu silatmu rendah, semuanya tidak menjadi soal,
Tapi kamu dapat masuk kesini, itu berarti ada jodoh, Cuma saja.....ya, mukamu
sesungguhnya terlampau jelek......"
Hi-tiok tersenyum, sahutnya,
"Jelek atau bagus muka seseorang adalah pemberian alam, jangankan diri
sendiri tak berkuasa, bahkan ayah-ibu juga tak bisa menentukan, Mukaku memang
jelek hingga membikin Cianpwe kurang senang, biarlah sekarang kumohon diri saja."
Habis berkata, ia mundur dua
tindak dan hendak membalik tubuh untuk keluar, Namun orang tua itu telah
mencegahnya,
"Nanti dulu!"
Mendadak lengan bajunya mengebas pelahan dan semampir dipundak kanan Hi-tiok.
Lengan baju adalah benda yang
lemas, tapi sekali menyentuh pundak, seketika Hi-tiok tertahan kebawah sedikit,
Ia merasa langan baju itu seperti sebuah tangan yang memegang tubuhnya.
Lalu dengan tertawa orang tua
itu berkata,;
"Orang muda mempunyai
sifat angkuh begini, sungguh harus dipuji."
"Siauceng mana berani
bersikjap angkuh terhadap Cianpwe," sahut Hi-tiok, "Cuma Siauceng
kuatir membikin Locianpwe kurang senang, maka lekas pergi saja dari sini."
Orang tua itu manggut-manggut
lagi dan bertanya, "Siapa saja orang-orang yang ikut datang memecahkan
problem catur itu ?"
Hi-tiok lantas menuturkan satu
per-satu.
Orang tua itu termenung
sejenak, katanya kemudian;
"Tokoh-tokoh terkemuka
didunia ini sudah sebagian besar datang kemari, Apakah Kok-eng Taisu dari Tayli
Thian-liong-si tidak datang ?"
"Selain padri dari biara
kami, tidak kulihat ada padri golongan lain." sahut Hi-tiok.
Terdengar orang tua itu
menghela napas, lalu berguman sendiri, "Aku sudah menunggu selama tiga
puluh tahun, andaiakan menunggu lagi tiga puluh tahun juga belum tentu dapat
menemukan bahan yang serba bagus lahir dan batin, Segala apa didunia ini memang
banyak yang tidak dapat memenuhi harapan orang, Kini terpaksa apa adanya
saja."
Rupanya ia sudah ambil sesuatu
ketetapan, lalu ia tanya pula, "Tadi kau bilang problem catur itu bukan
kau sendiri yang memecahkannya, habis mengapa Sing-ho memasukkan kamu kesini
?"
Maka Hi-tiok bercerita lagi,
"Pertama karena Siauceng secara sembrono telah menjalankan satu biji catur
dengan mata tertutup, sedangkan langkah-langkah selanjutnya adalah bantuan
Susiokco kami yang bergelar Thian-hian Taisu, beliau telah memberi petunjuk dengan
diam-diam dan mengirimkan bisikan suara ketelinga Siauceng."
Habis itu, segera ia
menguraikan pula gambaran singkat waktu memecahkan problem catur tadi.
"Takdir, takdir!"
demikian orang tua itu berkata, Dan mendadak berseri-seri, lalu katanya pula,"
"Jika memang sudah ditakdirkan begitu, secara ngawur dapat kau buka kunci
pemecahan problem yang kuatur itu, ini menandakan kamu ada jodoh dan mempunyai
rejeki yang baik, siapa tahu kalau kamu akan dapat melaksanakan tugas yang akan
kuberikan padamu, Baik, baik, marilah anak baik, berlututlah dan menyembah
padaku."
Perangai Hi-tiok juga sangat
baik, ia suka menghormati siapa pun juga, Kini mendengar orang tua itu menyuruh
dia berlutut dan menyembah, meski tidak tahu duduknya perkara, tapi orang itu
dianggapnya sebagai kaum angkatan tua Bu-lim, untuk menyembah kepadanya juga
pantas, maka tanpa pikir lagi ia lantas berlutut, dengan penuh hormat ia
menyembah empat kali hingga kepala membentur lantai.
Selagi ia hendak berbangkit,
tiba-tiba orang tua itu berkata pula dengan tertawa, "Sembah lima kali
lagi ini adalah peraturan perguruan!"
Hi-tiok mengiakan dan tanpa
pikir menyukupi lima kali sembah lagi.
"Ehm, anak baik, anak
baik! Coba, kemarilah!" kata siorang tua.
Menurut saja Hi-tiok, ia
berdiri dan mendekati orang.
Kakek itu pegang tangan
Hi-tiok dan mengamat-amati perawakannya, Tiba-tiba Hi-tiok merasa urat nadi
dipergelangan tangan yang dipegang orang tua itu ada suatu arus hawa hangat
dengan cepat sekali menerjang kepusat nadinya.
Tanpa pikir ia terus
menggunakan lwekang Siau-lim-si yang dimilikinya serba sedikit itu untuk
melawan, Namun tenaga dalam siorang tua lantas ditarik kembali hingga keadaan
kembali biasa lagi.
Hi-tiok tahu orang lagi
menjajal sampai dimana tingkat lwekangnya sendiri, maka ia menjadi merah
jengah, katanya dengan menyengir. "Siauceng biasanya lebih banyak membaca
kitab, pada waktu kecil juga terlalu malas hingga tidak mempelajari lwekang
ajaran guruku dengan baik, harap Cianpwe jangan mentertawakan kepandaianku yang
cetek ini."
Diluar dugaan, orang tua itu
malah sangat senang, katanya dengan tertawa, "Ehm, bagus, bagus! Lwekangmu
dari Siau-lim-si masih sangat cetek, hal ini akan banyak mengurangi kesukaranku
malah."
Tengah bicara, mendadak
Hi-tiok merasa badan lemas, rasanya hangat-hangat seperti rendam didalam sebuah
bak yang berisi air panas, liang pori diseluruh badan seperti mengeluarkan uap
hingga rasanya sangat segar.
Selang sebantar orang tua itu
melepaskan tangan Hi-tiok dan berkata dengan tertawa, "Cukuplah, Aku sudah
menggunakan 'Hoa-kang-tai-hoat' perguruan kita sendiri untuk menghapus tenaga
dalam Siau-lim-pai yang kau miliki ini !"
Keruan Hi-tiok melonjak kaget,
ia menjerit, "Ap....apa katamu?"
Tapi mendadak kaki terasa
lemas dan jatuh terduduk ditanah, Ia merasa tiada memiliki sedikit tenaga pun,
pikiran menjadi kacau dan mata berkunang-kunang, Ia tahu apa yang dikatakan
orang tua itu pasti tidak bohong.
Sejak kecil Hi-tiok tinggal di
Siau-lim-si, untuk pertama kalinya sekarang ia ditugaskan keluar biara, sudah
tentu ia belum berpengalaman dan tidak kenal seluk-beluk kalangan kang-ouw
serta tindak kekejaman sesama manusia.
Ia hanya pernah mendengar
cerita gurunya bahwa 'Hoa-kang-tai-hoat' Sing-siok-pai sangat lihai, asal kedua
badan saling menempel, maka lwekang lawan yang terhimpun selama berpuluh tahun
juga dapat dipunahkan dalam waktu sekejap, Dan orang tua ini terang adalah
tokoh angkatan tua Sing-siok-pai, kenapa aku begini gegabah berdekatan dengan
dia? Mengapa tidak sejak tadi aku melarikan diri agar tidak menjadi korban
kekejiannya?
Berpikir demikian, seketika
Hi-tiok tak bisa menahan rasa menyesal dan sedihnya, air mata terus bercucuran,
katanya sambil menangis, "Aku....aku toh tiada permusuhan apa-apa dan juga
tidak menyalahimu, mengapa engkau membikin celaka diriku?"
"Hei, cara bicaramu
mengapa begini kurang ajar?" sahut orang itu dengan tertawa, "Kamu
tidak panggil 'Suhu', sebaliknya menyebut 'kau-aku' segala, sedikit pun tidak
kenal aturan?"
"Apa katamu? Mana boleh
jadi engkau adalah guruku?" seru Hi-tiok terkejut.
"Baru saja kamu
mengangkat guru padaku, masakah sekarang kamu sudah lupa," kata si kakek,
"Kamu telah menyembah sembilan kali padaku, itu adalah adat pengangkatan
guru menurut peraturan perguruan kita."
"He, tidak, tidak bisa
jadi!" teriak Hi-tiok, "Aku adalah murid Siau-lim-pai, mana boleh
mengangkatmu lagi sebagai guruku? Apalagi ilmu siluman kalian yang suka
membikin celaka orang, biar bagaimana pun aku tidak sudi belajar."
"Benar-benar kamu tidak
mau belajar?" kata si orang tua dengan tertawa.
Mendadak kedua lengan bajunya
mengebas kedepan hingga semampir dipundak Hi-tiok, Seketika Hi-tiok merasa
pundak dibebani beratus kati beratnya hingga tidak sanggup berdiri tegak lagi,
tanpa kuasa ia tekuklutut dan jatuh terduduk ditanah.
Biarpun sudah tidak berdaya,
namun Hi-tiok tidak menyerah mentah-mentah, mulut tetap menolak tegas,
"Meski kau pukul mati aku juga tetap aku tidak mau belajar."
Kembali orang itu tertawa, mendadak
ia lompat keatas, sekali jumpalitan diudara, tahu-tahu ikat kepala yang
dipakainya mencelat kesudut ruangan, sedang orangnya terus memancalkan sebelah
kakinya pada belandar, lalu dengan terjungkir ia jatuh kebawah, dengan tepat
sekali kepalanya menindih diatas kepala Hi-tiok, Jadi kepala menyungging
kepala.
"He, kau....kau mau
apa?" seru Hi-tiok dengan kuatir, Ia goyang-goyang kepala dengan maksud
membikin orang tua itu terperosot jatuh.
Tapi aneh, sekali kepala orang
tua itu mendempel kepala Hi-tiok, maka eratnya seperti dipaku, biarpun Hi-tiok
menggelang kepala sampai leher serasa patah juga tetap tidak terlepas.
Asal kepala Hi-tiok menggeleng
ke-timur, maka tubuh siorang tua yang terjungkir itu juga mendoyong ketimur,
kalau Hi-tiok menggoyang ke-barat, tubuh sikakek juga ikut miring ke-barat,
Jadi kedua kepala mereka seperti sudah melengket.
Karuan Hi-tiok tambah kuatir,
dengan kedua tangan ia coba menarik dan mendorong, ia harap dapat menjatuhkan
siorang tua yang disungginya itu, Tapi mendadak terasa tangan tak bertenaga
sedikitpun, ia jadi gugup, pikirnya, "Setelah kena Hoa-kang-tai-hoat orang
ini, selain punah ilmu silatku, mungkin untuk makan dan pakai baju juga tiada
tenaga lagi, Wah, kan celaka! Mati aku!"
Ia merasa kepala makin lama
makin panas, dalam sekejap saja kepala sudah terasa pusing dan serasa akan
meledak, tapi hawa panas itu masih terus mencurah kebawah, selang tak lama,
Hi-tiok tidak tahan lagi, akhirnya ia pingsan.
Walaupun pingsan, tapi banyak
sekali timbul alam khayalan dalam benaknya, terkadang ia merasa seperti naik
mega dan terapung diawang-awang, lain saat seperti menyelam kedasar laut yang
hijau permai dan berkawankan ikan, kemudian merasa berada di Siau-lim-si sedang
giat belajar silat dan membaca kitab, tapi meski sudah dilatih kesana-kesini
tetap tidak jadi.
Dan entah lewat berapa lama
lagi, tiba-tiba terasa hujan lebat, air hujan menetes diatas badan, Segera
Hi-tiok membuka mata, benar juga dilihatnya butiran air yang tak terhitung
banyaknya sedang menetes pada mukanya, Tapi waktu diperhatikan, kiranya itu
bukan air hujan melainkan air keringat si-kakek.
Ternyata seluruh muka, seluruh
badan kakek itu basah kuyup dengan air keringat sehingga menetesi badan Hitiok.
Saat itu Hi-tiok mendapatkan
dirinya menggeletak telentang ditanahdan orang tua itu duduk disampingnya,
kedua kepala yang saling lengket tadi sekarang sudah terpisah.
Cepat Hi-tiok merangkak
bangun, "Kau....baru hendak bicara mendadak ia terkejut, ketika
diketahuinya
sikakek sudah berubah menjadi
seorang lain.
Sebenarnya wajah kakek itu
putih bersih dan cakap seperti pemuda, kini mendadak berubah menjadi penuh
keriput, yang lebih aneh adalah rambutnya yang semula penuh menutupi kepala itu
sekarang sudah rontok semua, sedangkan jenggotnya yang semula hitam pekat
sekarang juga berubah menjadi putih semua.
Melihat itu, pikiran yang
pertama-tama timbul dalam benak Hi-tiok adalah, "Sebenarnya aku telah
pingsan berapa lama? Apa tigapuluh tahun? Limapuluh tahun? Mengapa orang ini
mendadak berubah lebih tua beberapa puluh tahun?"
Ia lihat kakek yang berada
didepannya sekarang benar-benar sudah sangat tua, sudah loyo, usianya ditaksir
kalau tidak 120 tahun tentu juga lebih dari seratus tahun.
"Jadilah sekarang
jerih-payahku!" demikian kakek itu berkata dengan senyum lemas, "Anak
baik, rejekimu teramat bagus, jauh melebihi harapanku, Sekarang coba kau pukul
dinding papan itu dari jauh."
Hi-tiok tak tahu
seluk-beluknya, ia hanya menurut saja, dari jauh ia hantamkan sebelah telapak
tangannya, Mendadak terdengar suara "krak-brak" yang keras, dinding
papan itu ambrok sebagian besar, jauh lebih keras daripada dia menumbuk dengan
bahunya belasan kali umpamanya.
Keruan Hi-tiok terkesima,
katanya kemudian, "Ken....kenapa bisa begini ?"
Dengan wajah berseri-seri
sikakek juga berkata dengan sangat girang, "Ya, kenapa bisa begitu ?"
"Mengapa mendadak
aku....memiliki tenaga sebesar ini?" tanya Hi-tiok dengan ragu.
Dengan tersenyum sikakek
memberitahu, "Kamu belum mempelajari Ciang-hoat (ilmu pukulan) maka tenaga
dalam yang kau lontarkan barusan belum ada satu per-sepuluh besarnya dan tenaga
yang kau miliki sekarang, Hasil jerih-payah gurumu selama tujuhpuluh tahun, ini
sudah tentu lain daripada yang lain!"
"Hah, kau bilang
jerih....jerih-payah selama tujuhpuluh tahun apa?" seru Hi-tiok sambil
melonjak bangun, Ia tahu tentu ada sesuatu yang tak beres.
"Masakah kamu belum
paham, berlagak pilon atau memang tidak tahu?" ucap sikakek dengan
tersenyum.
Dalam hati Hi-tiok memang
sudah merasakan maksud tujuan sebenarnya perbuatan sikakek itu, Cuma kejadian
ini terlalu mendadak, juga susah untuk dipercaya bisa terjadi demikian, Maka
dengan tergagap ia tanya lagi, "Apakah....apakah Locianpwe telah...telah
menurunkan semacam Sin-kang (ilmu sakti) kepada Siauceng?"
"Sampai sekarang kamu
masih tidak sudi menyebut Suhu padaku?" tanya sikakek.
"Siauceng adalah murid
Siau-lim-pai," demikian sahut Hi-tiok sambil menunduk, "Maka Siauceng
tidak berani durhaka, untuk masuk keperguruan lain lagi."
"Didalam badanmu sudah
tiada sedikitpun kepandaian Siau-lim-pai, mengapa kamu masih mengaku sebagai
murid Siau-lim-pai?" kata sikakek. "Dalam badanmu sekarang sudah
terhimpun ilmu sakti jerih-payah tujuhpuluh tahun dari Siau-yau-pai. Masakah
kamu tidak mau mengaku sebagai anak muris perguruan kita?"
"Siau-yau-pai?"
demikian Hi-tiok menegas, Selamanya ia tidak pernah mendengar nama Siau-yau-pai
atau "golongan bebas merdeka" itu.
"Ya, orang hidup didunia
ini yang dituju adalah hidup bebas merdeka," sahut sikakek, Lalu ia
berkata pula, "Coba sekarang kau lompat sekali keatas."
Karena rasa ingin tahu,
Hi-tiok lantas menurut saja, ia sedikit tekuk lutut, lalu menggenjot pelahan,
eh, tahutahu tubuh terus membal kesana.
"Blang," kepala
menyundul genteng hingga kesakitan, mendadak matanya terbeliak, separoh
tubuhnya menerobos keluar atap rumah, bahkan rasanya badan masih hendak
melayang terus keatas.
Khawatir kalau-kalau badan
'terbang' ke-langit, lekas saja Hi-tiok pegang atap rumah sehingga daya
mumbulnya itu tertahan, Lalu ia merosot turun, dan begitu kaki menyentuh tanah,
badan masih mendal beberapa kali mirip bola saja, Gin-kang demikian benar-benar
susah untuk dibayangkan sebelumnya, Seketika Hi-tiok menjadi bingung malah, ia
tidak tahu harus girang atau sedih.
"Bagaimana?" tanya
si-kakek.
"Apakah....apakah aku
kemasukan ilmu sihir?" sahut Hi-tiok.
"Tidak, coba duduk dengan
tenang, dengarkan uraianku, Waktunya sudah mendesak, aku tidak dapat banyak
bicara, aku hanya mengambil pokok persoalannya saja," kata sikakek,
"Begini, jika kamu berkeras tidak mau menyebut aku sebagai Suhu dan tidak
suka ganti perguruan, untuk itu aku pun tidak memaksa Siausuhu, jika kuminta
bantuanmu untuk sesuatu urusan besar, apakah dapat kau terima?"
Walaupun bakal untung atau
buntung belum diketahui akibat mendadak bertambahnya lwekang yang diperoleh
dari orang tua itu, namun paling tidak hal ini sudah berarti dia telah menerima
budi kebaikan siorang tua, Kalau orang tua itu sampai membuka mulut meminta
bantuannya guna menyelesaiakn sesuatu urusan, maka betapa pun dirinya harus
mengerjakannya dengan baik.
Hi-tiok lantas menjawab,
"Asal Cianpwe mengatakan, sudah tentu akan kulaksanakan dengan sekuat
tenaga."
Sampai disini, tiba-tiba
teringat olehnya orang mahir "Hoa-kang-tai-hoat", agaknya tergolong
kaum Sia-pai, maka segera ia menambahi lagi, Tetapi bila Cianpwe suruh Siauceng
berbuat sesuatu yang tidak baik, maka sekali-kali tidak dapat kuterima
permintaan Cianpwe."
"Apa yang kau maksudkan
sebagai 'sesuatu yang tidak baik'?" tanya sikakek dengan tersenyum getir.
"Siauceng adalah murid Buddha, jadi urusan yang merugikan atau membikin
susah orang lain sekali-kali tidak dapat kukerjakan," sahut Hi-tiok.
"Tetapi jika ada manusia
didunia ini selalu membuat sesuatu yang merugikan dan membikin susah orang
lain, selalu berbuat kejahatan membunuh orang semau-maunya, untuk itu kusuruh
kamu membasminya, akan kau terima atau tidak?" tanya sikakek.
"Siauceng akan memberi
nasehat sedapatnya agar dia suka memperbaiki kesalahannya itu?" kata
Hi-tiok.
"Dan kalau dia tetap
tidak mau sadar ?"
"Itu adalah kewajiban
kaum kita untuk membasminya," sahut Hi-tiok tegas, "Cuma kepandaian
Siauceng terlalu rendah, mungkin tidak mampu memenuhi kewajiban berat
ini."
"Jadi tegasnya kau terima
permintaanku?" sikakek menegas.
"Ya, kuterima!"
sahut Hi-tiok sambil mengangguk.
Si-kakek berubah girang, katanya
pula, "Bagus, bagus! Nah, maksudku adalah supaya kau bunuh seseorang,
seorang durjana maha jahat, yaitu muridku sendiri yang bernama Ting Jun-jiu,
kini tersohor dalam Bu-lim dengan gelar Sing-siok Lokoai."
Mendengar itu, barulah Hi-tiok
merasa lega, Sudah lama ia dengar nama jahat Sing-siok Lokoai, tidak cuma
sekali ia pernah mendengar para angkatan tua dalam Siau-lim-si bicara tentang
perbuatan Ting Jun-jiu yang terkutuk, semua orang bertekad akan membasminya
dari muka bumi ini.
Maka sahutnya kemudian,
"Menumpas Sing-siok Lokoai memang kewajiban setiap orang persilatan, cuma
sedikit kepandaian Siauceng ini mana dapat....."
Mendadak ia berhenti, Ketika
dilihatnya sorot mata sikakek seperti lagi mengejek padanya, ia jadi ingat bahwa
'sedikit kepandaian' yang diucapkannya itu sekarang memang tidak tepat lagi.
Benar juga, segera orang tua
itu berkata, "Sedikit kepandaianmu sekarang sudah tidak dibawah kepandaian
Sing-siok Lokoai, Tapi untuk bisa membasminya memang benar belum cukup kuat,
Tapi kau pun tidak perlu kuatir, sudah tentu aku akan mengatur apa yang
perlu."
"Jika Locianpwe adalah
Suhu Sing-siok Lokoai, mengapa dia dibiarkan malang melintang didunia kang-ouw
untuk berbuat kejahatan semau-maunya dan tidak dibasmi sejak dulu?" demikian
tanya Hi-tiok.
Orang tua itu menghela napas,
sahutnya,
"Teguranmu memang betul,
Hal itu memang salahku, Dahulu murid durhaka itu mendadak menyerangku hingga
aku terjerumus kedalam jurang, hampir jiwaku melayang ditangannya, untung
muridku yang tertua, So Sing-ho pura-pura bisu dan tuli hingga murid durhaka
itu kena dikelabui, dengan demikian barulah jiwaku mendapat kesempatan
diperpanjang tiga puluh tahun lagi, Tapi dalam tigapuluh tahun ini aku sudah
berjanji pada diriku sendiri untuk membuang semua kegemaranku dahulu seperti
main catur, seni lukis, seni musik dan lain-lain dan melulu akan memperdalam
ilmu silat saja, dengan harapan akan menemukan seorang pemuda pintar dan cakap
untuk menerima warisan ilmu silat yang kupelajari dan kuselami selama hidup
ini."
Mendengar sikakek bicara
tentang pemuda 'pintar dan cakap', diam-diam Hi-tiok mengukur dirinya sendiri,
dalam hal bakat dirinya masih boleh juga, tapi bicara tentang 'cakap', terang
bagaimana pun dirinya tidak masuk hitungan.
Maka katanya kemudian sambil
menunduk,
"Bicara tentang orang
cakap sebenarnya didunia ini terlalu banyak, misalnya diluar sana sekarang juga
ada dua orang, yang satu adalah Buyung-kongcu dan yang lain pemuda she Toan,
Apakah sekiranya perlu Siauceng mengundang mereka kesini agar dapat dilihat
Locianpwe sendiri?"
Si-kakek tertawa, katanya,
"Setiap tindak-tanduk orang Siau-yau-pai selalu mengutamakan soal jodoh,
Tentang kejadian Ting Jun-jiu mendurhakai perguruan juga bukan tiada
persoalannya, Sekarang aku sudah mencurahkan saripati peyakinanku selama tujuh
puluh tahun kedalam tubuhmu, masakah masih dapat diturunkan lagi kepada orang
kedua?"
"Apa....apa benar Cianpwe
sudah....sudah menurunkan antero saripati peyakinan Cianpwe kwpada
Siauceng?" Hi-tiok menegas dengan ragu. "Jika....jika begitu cara
bagaimana Siauceng harus menerima budi kebaikanmu ini?"
"Tentang ini aku pun
tidak tahu apakah akan membawa untung atau celaka bagimu kelak," sahut
sikakek, "Sebab, biarpun memiliki ilmu silat setinggi langit, hal ini pun
tidak berarti bahagia bagi orang itu? Coba dahulu bila aku cuma belajar manabuh
harpa, main catur dan melukis saja, tapi tidak kemaruk tentang ilmu silat
segala, maka dapat dipastikan hidupku ini tentu akan jauh lebih gembira, Ya,
anak baik, Ting Jun-jiu itu menyangka jiwaku sudah melayang ditangannya, maka
dia dapat berbuat sewenang-wenang tanpa kuatir kepada siapa pun juga! Disini
ada sebuah peta yang melukiskan tempat dahulu aku pernah tirakat, yaitu
terletak di Thian-san wilayah barat, Dengan peta ini dapat kau cari tempat
simpanan semua kitab ilmu silat yang aku kumpulkan selama ini dan boleh kau
pelajari menurut cacatan dalam kitab-kitab itu, Tidak sampai setahun pasti ilmu
silatmu akan dapat menimpali Ting Jun-jiu."
Sembari berkata ia terus
mengeluarkan sebuah gulungan kertas kecil dan diserahkan kepada Hi-tiok.
Perasaan Hi-tiok rada rikuh,
katanya dengan terharu, "Sebenarnya kepandaian Siauceng masih hijau, kali
ini ditugaskan guruku untuk mengirimkan surat, maka sekarang seharusnya aku
cepat pulang kegunung untuk memberi laporan, Dan tentang tindakanku selanjutnya
harus terserah kepada perintah guruku, Jika nanti Suhu dan Hong-tiang kami
melarang Siauceng turun gunung lagi, maka terpaksa tak dapat melaksanakan pesan
Locianpwe ini."
"Ya, bila memang begitu
ditakdirkan sehingga orang jahat mesti dibiarkan tetap malang melintang, ya,
apa mau dikata lagi," demikian kata orang tua itu dengan tersenyum getir,
"Dan kau....kau...."
Sampai disini, mendadak
seluruh badannya menggigil, pelahan ia tiarap, dengan kedua tangan ia bertahan
ditanah, semangat tampak loyo
dan lemas.
Keruan Hi-tiok terkejut, cepat
ia pegang badan kakek itu dan berkata, "Ken... kenapa, Locianpwe ?"
"Jerih-payahku selama
tiga puluh tahun menunggu saripati peyakinan selama tujuh puluh tahun kini
telah seluruhnya keserahkan padamu, hari ini ajalku sudah tiba." demikian
kata kakek itu dengan suara lemah, "anak baik, apakah sampai detik
terakhir kamu tetap tidak sudi memanggil 'Suhu' padaku?"
Dasar perangai Hi-tiok memang
luhur, melihat sikakek sangat harus dikasihani, terang jiwanya hanya tinggal
dalam sekejap saja, apalagi melihat sorot matanya yang penuh rasa memohon itu,
hati Hi-tiok menjadi tidak tega, tak tertahan lagi panggilan 'Suhu' lantas
tercetus dari mulutnya.
Karuan orang tua itu sangat
girang, sekuat tenaga ia melepaskan sebuah cincin besi hitam dari jari kiri dan
hendak dimasukkan ke-jari Hi-tiok, tapi karena tenaga sudah habis, maka tangan
Hi-tiok saja hampir tidak kuat dipegangnya.
"Suhu!" kembali
Hi-tiok memanggil pula, lalu ia pakai sendiri cincin hitam itu pada jari
sendiri.
"Anak baik." kata
pula sikakek dengan sangat lemah. "Sekarang kamu terhitung mu... muridku
yang ketiga, Bila ketemu So Sing-ho, pang....panggil dia Toasuko, Kamu...
sebenarnya she apa ?"
"Sungguh aku tidak
tahu." sahut Hi-tiok.
"Sayang tampangmu kurang
bagus, dalam hidupmu ini masih akan banyak mengalami rintangan, tetapi hal itu
terpaksa terserah kepada takdir, Ai, sayang, sayang...." makin lama makin
lemah dan tambah lirih suaranya, sampai akhirnya menjadi tidak kedengaran lagi
dan mendadak tubuhnya roboh kedepan, "bluk", batok kepalanya
membentur lantai, lalu tidak bergerak lagi.
"Suhu, Suhu!" teriak
Hi-tiok dan cepat memayangnya bangun, waktu ia periksa pernapasan orang tua itu,
namun sudah berhenti, ternyata sudah meninggal dunia.
Belum ada satu jam lamanya,
Hi-tiok berkenalan dengan sikakek, memangnya tak bisa dikatakan ada sesuatu
hubungan baik, tapi dalam tubuhnya telah mengeram ilmu sakti hasil jerih-payah
sikakek selama tujuh puluh tahun, dirasakan orang tua itu seperti sangat erat
hubungannya dengan dia, jauh lebih baik daripada orang lain, Maklum, keadaan
badan Hi-tiok boleh dikatakan setengah bagian berasal dari sikakek atau separoh
bagian
tubuh sikakek sekarang sudah
berubah menjadi dia.
Kini melihat orang tua itu
sudah mati, tanpa terasa ia sangat berduka, maka menangislah dia dengan
tergerunggerung.
Sesudah puas menangis,
kemudian ia berbangkit, Pikirnya, "Tentang kejadian ini harus
keberitahukan kepada So-locianpwe, Losianseng (tuan tua) ini tadi mengharuskan
kupanggil 'Suhu' padanya, kalau tidak matinya takkan tenteram, untuk itu aku
terpaksa memanggilnya dua kali, hak ini tidak lebih hanya supaya hatinya
terhibur dan lega sebelum meninggal, Padahal aku adalah murid Siau-lim-pai
tulen, mana boleh masuk lagi perguruan lain? Untung kejadian tadi hanya aku dan
dia yang tahu, sekarang Losianseng ini sudah meninggal, asal aku sendiri tidak
katakan kepada orang lain, tentu didunia ini tak ada lagi orang yang
tahu."
Maka ia berlutut dan memberi
sembah hormat beberapa kali kepada jenazah orang tua itu, diam-diam ia
memanjatkan doa. "Locianpwe, tadi aku memanggil Suhu padamu, hal itu cuma
para-pura saja, janganlah engkau anggap sungguh-sungguh, Jika engkau mengetahui
didalam baka, harap suka memaafkan."
Selesai berdoa, lalu ia putar
tubuh dan keluar dari rumah papan itu, Ia tetap melalui lubang dinding yang dibobolnya
itu, Hanya sekali lompat saja, tahu-tahu sudah melayang keluar secepat burung,
Tapi ia jadi tercengang begitu berada diluar rumah.
Ternyata dipelataran situ
banyak sekali pohon siong sama tumbang, Dilihatnya diatas tanah situ terdapat
pula sebuah liang yang sangat dalam. Rupanya selama kurang dari satu jam ia
berada dalam rumah dan diluar situ sudah terjadi geger, mungkin pohon-pohon itu
dirobohkan orang tatkala ia jatuh pingsan dalam rumah tadi, sebab itulah ia
sama sekali tidak merasa dan mendengar sesuatu suara.
Dalam pada itu dilihatnya
orang yang berada diluar rumah kini telah terbagi menjadi dua kelompok,
Liong-ah Lojin So Sing-ho duduk disisi kanan, dibelakangnya berdiri Hian-lan,
Kheng Kong-leng, Sih Boh-hoa dan kawan-kawannya.
Disebelah lain duduk Sing-siok
Lokoai dan yang berdiri dibelakangnya adalah Yap Ji-nio, Yu Goan-ci dan anak
murid Sing-siok-pai yang lain.
Sedangkan Buyung Hok,
Giok-yan, Toan Ki, Cumoti, Toan Yan-khing dan Lam-hai-gok-sin tampak berdiri
terpencar disana-sini, agaknya mereka adalah pihak yang netral, tidak membantu
sesuatu pihak.
Ditengah antara So Sing-ho dan
Ting Jun-jiu sedang menyala suatu tiang api dan kedua orang itu lagi
mengerahkan tenaga dalam masing-masing untuk mendesak gundukan api itu agar
membakar pihak lawan,
Tatkala itu tampak ujung api
agak miring kekanan, nyata Ting Juh-jiu sudah berada diatas angin.
Karena semua orang lagi
memperhatikan tiang api yang berkobar itu, maka tentang keluarnya Hi-tiok dari
rumah papan itu tiada diperhatikan oleh siapa pun.
Sudah tentu yang diperhatikan
Giok-yan adalah sang Piauko Buyung Hok, sedangkan Toan Ki juga cuma
memperhatikan Giok-yan saja, yang dipandang kedua muda mudi itu bukanlah tiang
api, tapi juga mereka tidak mau memandang sekejap pun kepada Hi-tiok.
Maka dari jauh Hi-tiok
mengitar dari belakang semua orang dan memutar kesisi kanan untuk berdiri
disamping Supeknya yaitu Hui-bu, murid angkatan "Hui" dari
Siau-lim-si.
Dalam pada itu tiang api
semakin mendoyong kekanan, pakaian So Sing-ho melembung seakan-akan layar
perahu yang tertiup angin kencang dan kedua tangan berulang menolak kedepan
sekuatnya, sebaliknya Ting Jun-jiu tampak enak-enak saja seperti tidak
merasakan sesuatu yang berat, ia hanya mengebaskan lengan bajunya dengan enteng
tanpa makan tenaga.
Dalam pada itu anak muridnya
lantas menghamburkan puja-puji lagi atas nama sang guru,
"Nah, biar kalian
menyaksikan betapa sakti Sing-siok Losian sekarang, supaya kalian menjadi
melek! Suhu kami sengaja hendak memberi hajaran sedikit demi sedikit, makanya
beliau cuma mengerahkan ilmu saktinya dengan pelahan, Kalau mau, huh, sekali gebrak
saja tua bangka she So itu tentu sudah mampus! Ya, jika ada yang tidak takluk,
sebentar boleh maju lagi satu per-satu untuk meresakan betapa lihainya ilmu
sakti Sing-siokpai. Dan sudah tentu, jika ada manusia rendah yang tidak kenal
malu ingin main keroyok juga boleh! Ilmu sakti Sing-siok-pai sudah ditakdirkan
tiada tandingannya di-jagat ini, bila ada yang berani coba melawan, itu berarti
cari mampus sendiri!"
Sebenarnya kalau Cumoti,
Buyung Hok, Toan Yan-khing dan lain-lain mau maju mengerubut Ting Jun-jiu,
betapa lihainya Lokoai juga pasti tidak mampu melawan tokoh-tokoh terkemuka
itu.
Tapi, pertama karena Cumoti
dan lain-lain ini sok menjaga harga diri, tidak nanti mereka sudi main keroyok,
Kedua, mereka tidak mempunyai hubungan baik dengan Liong-ah Lojin dan tiada
maksud mereka untuk menolong kesukarannya ini, Ketiga, diantara mereka
masing-masing juga saling sirik dan curiga mencurigai, kuatir kalau mendadak
diserang oleh pihak lain.
Sebab itulah biarpun anak
murid Sing-siok-pai itu mengobral pujian setinggi langit kepada Sing-siok
Lokoai, tetap Cumoti dan lain-lain mendengarkan dengan tersenyum saja dan tidak
ambil pusing.
Sekonyong-konyong tiang api
itu menjilat kedepan hingga mencapai tubuh Si Sing-ho, sesudah terendus bau
sangit, maka tertampaklah jenggot So Sing-ho yang panjang itu sudah terbakar
habis bersih.
Sekuat tenaga So Sing-ho
melawan dan akhirnya dapat menolak kembali tiang api itu, Tapi api itu tetap
tidak lebih jauh satu dua meter dari tubuhnya dan berulang masih menjulur kian
kemari bagaikan seekor ular raksasa hendak memagut mangsanya.
Diam-diam Hi-tiok menjadi
kuatir, pikirnya, "Meski aku tidak mengakui orang she So ini sebagai
Suheng, tapi sedikit banyak aku sudah terhitung mempunyai hubungan dari sumber
yang sama, Tampaknya segera ia akan terbakar, lantas bagaimana aku harus
bertindak?"
Mendadak terdengar suara
'dung-dung' dua kali, menyusul terdengar pula suara 'creng-creng-breng', maka
ramailah suara tambur dan gembreng.
Kiranya diantara murid
Sing-siok-pai ada yang membawa kecer, tambur, gembreng, sempritan ada alat-alat
tabuhan lain, Kini mereka terus mengeluarkan dan ditabuh dengan ramai untuk
memamerkan kegagahan guru mereka. Bahkan ada diantaranya terus mengibarkan
panji dan diobat-abitkan kian-kemari sambil berteriakteriak untuk menambah
perbawa pihaknya.
Sungguh belum pernah terjadi
didunia ini bahwa pertandingan lwekang diantara kedua jago silat mesti disertai
dengan tetabuhan yang riuh ramai. Karuan Cumoti ketawa geli cekakakan, katanya,
"Betapa tebal muka Singsiok Lokoai, sungguh sejak dulu dan sampai sekarang
tiada tandingannya!"
Ditengah suara riuh-rendah
itu, tiba-tiba seorang muris Sing-siok-pai mengeluarkan secarik kertas, ia
melangkah maju beberapa tindak dan membentang kertas itu, lalu membacanya
dengan suara lantang.
Kiranya itu adalah suatu
karangan yang berjudul "Pujian kepada Sing-siok Lokoai yang mengguncangkan
Tiong-goan".
Murid Sing-siok-pai itu entah
berhasil minta tolong sastrawan dari mana hingga dapat membuatkan sebuah sajak
yang penuh terisi kata-kata puji-sanjung kepada sang guru. Suasana disitu
seketika berhamburan "Ma-bikang", "Hoat-le-kang" dan
"He-gan-kang" sebagaimana pernah dikatakan Pau Put-tong, yaitu penuh
orang menjilat, omong besar dan muka tebal alias tidak kenal malu.
Tapi jangan dikira suara
sanjung-puji itu tiada gunanya, ternyata itu pun merupakan tenaga dorongan bagi
lweekang Sing-siok Lokoai.
Ditengah suara tetabuhan yang
keras disertai puja-puji itu, tiang api yang berkobar-kobar itu tambah hebat
dan kembali mendesak lebih dekat lagi kearah So Sing-ho.
Sekonyong-konyong terdengar
suara tindakan orang banyak, tahu-tahu lebih duapuluh orang laki2 berlari
keluar dari belakang rumah sana, mereka terus menghadang didepannya So Sing-ho.
Kiranya mereka ini adalah para
laki-laki tuli-bisu yang mengusung Hian-lan dan lain-lain keatas gunung tadi,
Mereka adalah muridnya So Sing-ho.
Waktu Ting Jun-jiu mengerahkan
lagi tenaganya, terus saja tiang api itu menjilat tubuh dua-puluhan orang
lakilaki itu. Seketika terdengarlah suara mencicit, suara hangusnya kulit dan
daging manusia disertai bau sangit.
Tapi orang-orang itu tetap
berdiri tegak ditempatnya, meski tubuh mereka sudah terbakar merata, tetap
mereka tidak bergerak sedikit pun. Dan karena mereka sudah bisu, maka sikap
mereka menjadi lebih perkasa dan mengharukan pula.
Semua orang menjadi gempar
menyaksikan sikap para laki-laki bisu-tuli yang gagah berani itu, biar pun
sudah terbakar, tapi sedikitpun mereka tidak bergerak, Saking seram kejadian
itu hingga Ong Giok-yan dan Toan Ki mau tak mau juga berpaling.
Maka hanya dalam sekejap saja
beberapa orang diantara laki-laki bisu-tuli itu sudah terbakar hangus ditengah2
lautan api yang terus berkobar-kobar itu.
"He, jangan begitu
kejam!" seru Toan Ki mendadak, lalu tangan kanan menuding kedepan, ia
bermaksud menusuk Ting Jun-jiu dengan "Lak-meh-sin-kiam", Tapi dia
tidak mahir melontarkan ilmu pedang tanpa wujud itu, tenaga dalamnya memang
penuh bergolak didalam badan, tapi tidak dapat dipantulkan melalui jarinya.
Karuan ia kelabakan dan
akhirnya ia berteriak lagi, "Buyung-heng, lekas turun tangan menghentikan
perbuatan kejam itu!"
Tadi ketika Buyung Hok
tenggelam dalam khayalnya dan hampir membunuh diri, syukur berkat
"Lak-meh-sinkiam" Toan Ki itulah hingga pedangnya dipukul jatuh
ketanah, Cuma saat itu ia lagi hilang ingatan, maka tidak menyaksikan bagaimana
gaya "lak-meh-sin-kiam" itu, Sekarang didengarnya seruan Toan Ki,
segera ia menjawab;
"Toan-heng sendiri adalah
seorang ahli, mana keberani main pamer disini? Apakah tidak lebih baik silahkan
Toan-heng mencoba sekali lagi Lak-meh-sin-kiam!"
Datangnya Toan Yan-khing tadi
lebih belakang maka tidak melihat Lak-meh-sin-kiam yang dilontarkan Toan Ki,
Dia adalah keturunan lurus keluarga Toan di Tayli, Sudah tentu ia pun kenal
nama ilmu sakti keluarganya sendiri itu, Maka ia tergetar ketika mendengar
Buyung Hok menyebut "lak-meh-sin-kiam".
Ia coba melirik Toan Ki ia
ingin tahu apa benar pemuda itu mahir ilmu sakti yang cuma dikenal namanya saja
itu, Tapi ia lihat jari Toan Ki menuding sini dan menggores kesana, gayanya
memang bukan sembarangan, tapi tenaganya sedikitpun tidak ada.
Sudah tentu Toan Yan-khing
tidak tahu bahwa Toan Ki sudah mempelajari ilmu pedang itu dengan baik, soalnya
cuma tidak dapat menggunakan dengan leluasa. Maka pikirnya. "Hah,
Lak-meh-sin-kiam apa? Hanya membikin kaget aku saja, Bocah ini rupanya membual
belaka untuk menipu orang Lak-meh-sin-kiam dari keluarga Toan kami memang
terkenal, tapi sejak dulu cuma dikenal namanya saja dan tidak pernah ada orang
mampu meyakinkannya."
Karena melihat Toan Ki tidak
mau turun tangan, maka Buyung Hok mengira Toan Ki sengaja bersikap begitu,
Sebagai orang yang pintar berpikir, Buyung Hok sendiri tidak mau sembarangan
pamer, maka ia pun berdiri ditempatnya saja untuk menyaksikan kejadian selanjutnya.
Selang sebentar saja, sebagian
besar laki-laki bisu-tuli itu sudah terbakar mati, sisanya juga terluka parah
dan setengah mati. Dalam pada itu terdengar suara gembreng dan tambur masih
bertalu-talu, mendadak Ting Junjiu mengebas lengan jubahnya, tiang api itu
melampaui para laki-laki tuli-bisu itu terus menyambar kearah So Sing-ho.
"Jangan mengganggu
guruku?" seru Sih-sin-ih terus hendak menubruk maju untuk menghadang
didepan sang guru.
Tapi So Sing-ho telah
menggeraki tangannya untuk menolaknya mundur, berbareng tangan lain menghimpun
segenap sisa tenaga terus menghamtam kearah api itu, Tapi karena tenaga
dalamnya sekarang sudah hampir terkuras habis, maka tenaga pukulannya hanya
dapat menahan sementara tiang api itu, segera ia merasa tubuh panas dingin,
didepan mata hanya api yang merah menganga belaka.
Sungguh tak tersangka olehnya
bahwa kemajuan Sing-siok Lokoai selama tigapuluh tahun ini jauh lebih pesat
daripada dirinya hingga selisih kekuatan mereka berdua makin jauh. Sekarang
tenaga murni dalam tubuhnya
sudah mendekat babak seperti
pelita yang kehabisan minyak dan susah terhindar dari tangan keji Lokoai.
Teringat olehnya sudah
tigapuluh tahun gurunya pura-pura mati, setelah dirinya dibunuh Lokoai, tentu
iblis itu akan menyerbu kedalam rumah dan mungkin nasib gurunya akhirnya akan
tetap dicelakai Sing-siok Lokoai.
Begitulah selagi badan
tersiksa oleh ancaman api, batinnya jauh lebih menderita pula.
Melihat keadaan So Sing-ho
sangat berbahaya, tapi tetap berdiri ditempatnya pantang mundur, Hi-tiok tidak
tahan lagi, terus saja ia lari maju, ia pegang punggung So Sing-ho, katanya,
"Lekas menyingkir saja, tiada gunanya mati konyol!"
Dan mungkin memang sangat
kebetulan, pada saat yang sama So Sing-ho lagi menghantam kedepan dengan
sekuatnya. Sebenarnya tenaga pukulannya sangat lemah, boleh dikata takkan ada
manfaatnya, tujuannya tidak lebih hanya bertempur sampai titik darah
penghabisan saja.
Siapa duga mendadak terasa ada
suatu arus tenaga maha kuat menyalur masuk dari punggungnya, bahkan tenaga baru
ini serupa dengan ajaran perguruan sendiri sehingga pukulan yang dilontarkan
itu seketika bertambah kuat entah berapa kali lipat.
Maka, kontan saja jalur api
itu menyambar balik hingga menjilat tubuh Ting Jun-jiu sendiri, bahkan masih
terus menyambar kebelakang hingga beberapa murid Sing-siok-pai juga terlihat
dilautan api itu.
Keruan para murid
Sing-siok-pai itu kelabakan, seketika tambur, gembreng, kecer dan alat
tetabuhan lain kacau-balau tak karuan, menyusul alat-alat tetabuhan itu lantas
dibuang hingga menerbitkan suara gemerantang nyaring, banyak diantara murid
Sing-siok-pai itu terguling-guling ditanah sambil menjerit tobat dan minta
ampun.
Lokoai terkejut juga, Padahal
tenaga Hi-tiok itu ditambah dengan tenaga pukulan So Sing-ho belum tentu mampu
mengalahkan Ting Jun-jiu, Soalnya iblis tua itu yakin pasti menang sehingga
lupa daratan, maka ketika mendadak mengalami serangan balasan, hak ini sama
sekali diluar dugaan dan seketika menjadi bingung pula, Berbareng ia pun
merasakan tenaga pukulan balasan lawan itu sangat hebat dan ulet, jauh diatas
kekuatan So Sing-ho sendiri, tapi jelas pula adalah kungfu perguruan sendiri,
ia jadi ragu jangan-jangan arwah halus sang guru yang telah ditewaskan itu
sedang membantu So Sing-ho dan hendak membikin perhitungan atas dosanya?
Berpikir demikian, sedikit
keder saja tenaga dalamnya lantas terhambat hingga ketika api menyambar balik
ia tidak dapat menghindarinya.
Perubahan yang mendadak itu
tidak hanya diluar dugaan So Sing-ho dan Sing-siok Lokoai, bahkan Hi-tiok
sendiri juga bingung, ia lihat api sudah membungkus Ting-lokoai dan sedang
membakar dengan hebat.
"Thi-thau muridku, lekas
turun tangan!" seru Lokoai minta tolong kepada Yu Goan-ci.
Seketika itu Goan-ci juga
tidak sempat berpikir, segera ia lompat maju dan kedua tangannya terus bekerja,
maka terdengarlah suara mencicit berulang-ulang, api yang berkobar-kobar itu
tersambar oleh hawa maha dingin pukulannya itu hingga padam seketika, bahkan
asap juga lantas buyar tanpa bekas, yang tertinggal hanya beberapa potong kayu
yang sudah menjadi arang.
Baju Ting-lokoai sendiri sudah
terbakar koyak, alis jenggotnya juga hangus, keadaannya sangat runyam, dalam
hatinya masih ketakutan kalau arwah sang guru akan mengganggunya lagi, maka ia
tidak berani mengganas lebih lama disitu, segera ia berseru,
"Ayolah pergi!"
Sekali melayang, tahu-tahu sudah berada ditempat belasan meter jauhnya.
Segera anak murid
Sing-siok-pai ikut melarikan diri dengan ketakutan, seketika terdengar pula
suara nyaring jatuhnya gembreng, tambur, terompet dan alat-alat tetabuhan lain
yang dibuang memenuhi tanah.
Naskah yang memuat
"pujian kepada Sing-siok Losian" sebelum selesai terbaca juga sudah terbakar
sebagian dan menari-nari terbawa angin, seakan-akan sedang mengejek Sing-siok
Lokoai yang lagaknya seperti "macan Kertas", galak dimuka dan ngacir
kemudian.
Semua orang menjadi
terheran-heran melihat larinya orang-orang Sing-siok-pai itu, Yap Ji-nio lantas
berteriakteriak, "Ooi, engkoh Jun-jiu, tunggulah daku! Tega amat kembali
kau tinggalkan aku lagi!" Lalu ia pun berlari pergi secepat terbang.
Toan Yan-khing,
Lam-hai-gok-sin, Cumoti dan lain-lain sama mengira apa yang terjadi itu adalah
tipu akalnya So Sing-ho, mengalah lebih dulu untuk kemudian memberi gempuran
balasan, hingga Sing-siok Lokoai dibikin ngacir.
Pada awal pertarungannya
melawan Sing-siok Lokoai tadi, saking dahsyatnya pertempuran mereka hingga
banyak pohon siong bergelimpangan dirobohkan mereka apalagi Liong-ah Lojin
terkenal sangat lihai, kalau akhirnya ia dapat mengalahkan Sing-siok Lokoai
juga tidak mustahil. Pula, Hi-tiok hanya murid angkatan ketiga dari
Siau-lim-si, ilmu silatnya rendah, dengan sendirinya tiada seorang pun yang
menaruh curiga pada Hi-tiok yang telah menolong So Sing-ho.
Padahal Hi-tiok sendiri juga
merasa bingung oleh berakhirnya pertempuran sengit itu, Hanya So Sing-ho
sendiri paham duduknya perkara ketika sekilas dilihatnya pada jari Hi-tiok
memakai cincin besi milik gurunya, diam-diam ia berduka dan bergirang pula.
Kemudian Buyung Hok berkata,
"Dengan ilmu sakti Locianpwe telah mengenyahkan Lokoai, rasanya dia pasti
pecah nyalinya dan tidak berani menginjak tanah Tiong-goan lagi, Sungguh jasa
Locianpwe bagi kesejahteraan Bu-lim harus dipuji."
So Sing-ho sendiri karena
melihat anak muridnya sebagian besar mati dan terluka, ia sangat berduka, pula
teringat akan keselamatan gurunya, maka ia cuma memberi jawaban sekedarnya,
lalu Hi-tiok ditariknya dan berkata, "Siausuhu, marilah ikut aku
kedalam."
Tapi Hi-tiok memandang
Hian-lan dengan ragu untuk menantikan petunjuk orang tua itu.
Maka Hian-lan berkata,
"So-cianpwe adalah tokoh terhormat, jika beliau ada pesan apa-apa,
hendaklah kamu menurut saja."
Hi-tiok mengiakan, lalu ikut
So Sing-ho masuk kerumah itu melalui lubang papan yang bobol tadi, Sekilas So
Sing-ho lantas tarik sepotong papan lain untuk menutup lubang itu.
Sebagai orang kang-ouw yang
banyak berpengalaman, dengan sendirinya semua orang yang berada diluar itu
paham maksud So Sing-ho agar orang lain tidak dapat ikut masuk untuk mengintip,
dan sudah tentu tiada seorang pun yang suka ikut campur urusan itu,
Satu-satunya orang yang tidak berpengalaman itu adalah Toan Ki saja, Tapi kini
perhatian pemuda itu lagi ditumplekkan kepada Giok-yan seorang, bahkan masuknya
So Sing-ho dan Hi-tiok kedalam rumah juga tak diketahuinya, sudah tentu ia
tidak sempat lagi untuk mengurusi kejadian itu.
Setelah So Sing-ho membawa
masuk Hi-tiok kedalam rumah dan beruntun menerobos kedua dinding papan,
akhirnya tertampaklah sikakek meringkuk diatas lantai, waktu diperiksa, nyata
orangnya sudah meninggal, Hal ini memang sudah diduga sebelumnya, tapi Toh
berduka juga So Sing-ho, ia terus berlutut dan menjura beberapa kali, katanya
dengan menangis,
"Suhu, engkau telah
meninggalkan Tecu untuk selamanya!"
Baru sekarang Hi-tiok percaya
penuh bahwa sikakek memang benar adalah guru So Sing-ho.
Lalu Si Sing-ho berhenti
menangis dan berbangkit, ia pondong jenazah gurunya dan membiarkannya duduk
bersandar dinding, lalu ia tarik Hi-tiok dan suruh dia juga duduk bersandar
dinding sejajar dengan jenazah sikakek.
Diam-diam Hi-tiok heran,
"Untuk apa dia suruh aku duduk disamping mayat orang tua ini?
Jangan....janganjangan dia ingin aku mati bersama dengan gurunya?"
Berpikir begitu, ia merasa
ngeri, ia bermaksud berdiri, tapi tidak berani, Ia lihat So Sing-ho lagi
membetulkan pakaiannya yang hangus itu, habis itu mendadak berlutut dan
menyembah padanya, sambil berkata,
"Murid Siau-yau-pai yang
celaka, So Sing-ho! Memberi sembah bakti kepada Ciangbunjin baru."
Karuan Hi-tiok bingung, ia
kira orang ini barangkali sudah gila? Maka cepat ia pun berlutut dan balas
menjura kepada So Sing-ho dan menjawab, "Ai, kenapa Locianpwe memberi hormat
sedemikian rupa kepadaku, sungguh Siauceng tidak berani terima."
Tapi So Sing-ho berkata lagi
dengan sungguh-sungguh, "Sute, engkau adalah murid 'tutup pintu'(maksudnya
murid paling buncit) guruku dan adalah ketua pula dari golongan kita, Meski aku
adalah Suhengmu, tapi juga mesti menyembah padamu!"
"Ini...ini..." sahut
Hi-tiok dengan serba berabe, Ia tahu sekarang bahwa So Sing-ho cukup waras dan
bukan orang gila seperti disangkanya tadi. Ia jadi lebih serba susah untuk
bicara.
"Sute," kata So Sing-ho
pula, "Jiwaku ini berkat pertolonganmu, cita-cita Suhu juga engkau yang
melaksanakannya, maka sudah selayaknya engkau menerima beberapa kali sembahku
tadi, Suhu suruh engkau mengangkat guru padanya, untuk itu engkau harus menjura
sembilan kali, engkau sudah melakukannya tidak?"
"Menjura memang sudah,
cuma waktu itu aku tidak tahu itulah upacara mengangkat guru," sahut
Hi-tiok. "Aku adalah anak murid Siau-lim-pai, aku tidak dapat masuk lagi
keperguruan lain."
"Kuyakin Suhu juga sudah
memikirkan hal ini," ujar Sing-ho, "maka sebelumnya ilmu silat yang
kau miliki pasti sudah dipunahkan oleh beliau dengan Hoa-kang-tai-hoat, lalu
mengajarkan kungfu golongan kita sendiri, Suhu sudah menurunkan segenap
kekuatan yang diyakinkannya selama hidup kepadamu, betul tidak?"
Terpaksa Hi-tiok mengangguk
dan membenarkan.
"Cincin besi tanda
pengenal sebagai Ciangbunjin golongan kita ini adalah Suhu sendiri yang telah
pasang pada jarimu, betul tidak?" tanya So Sing-ho lagi.
"Benar," sahut
Hi-tiok, "Tapi....tapi sama sekali aku tidak tahu tanda pengenal
Ciangbunjin apa cincin ini."
Segera Sing-ho duduk bersila
menghadapi Hi-tiok, katanya, "Sute, rejekimu sungguh maha besar. Aku dan
Ting Jun-jiu sudah mengimpikan cincin besi ini selama beberapa puluh tahun dan
tetap tidak berhasil mendapatkannya, sebaliknya hanya dalam waktu tiada satu
jam berkumpul dengan Suhu dan beliau sudah penujui dirimu."
Lekas-lekas Hi-tiok mencopot
cincin besi itu dan berkata, "Boleh Cianpwe ambil saja cincin ini, toh
bagiku tiada gunanya sedikit pun."
Ternyata cincin besi itu
banyak terukir guratan yang tajam, karena Hi-tiok melepaskannya dengan keras
hingga jarinya tergores lecet.
So Sing-ho menjadi kurang
senang, katanya, "Sute, pesan penting sebelum Suhu wafat itu mana boleh
kau hindarkan kewajibanmu itu? Suhu telah menyerahkan cincin ini padamu, ini
menandakan beliau menyuruhmu membasmi keparat Ting Jun-jiu, betul tidak?"
"Benar, tapi kepandaianku
terlalu rendah mana dapat memikul kewajiban seberat itu?"
"Tadi sekali turun tangan
saja sudah kau bikin Ting Jun-jiu terbakar ngacir, bukti sudah nyata, masakah
dapat disangkal lagi?"
"Aku....aku yang turun
tangan? Ah, mana....mana bisa jadi?" ujar Hi-tiok dengan heran.
"Sute." kata Sing-ho
dengan menghela napas, "Seluk-beluk urusan kita ini banyak yang belum kau
ketahui, sekarang biarlah kuceritakan secara ringkas saja, Golongan kita ini
bernama Siau-yau-pai, selamanya kita berpegang pada suatu peraturan, yaitu
jabatan Ciangbunjin kita tidak perlu harus dipegang oleh murid tertua, tapi
didasarkan atas ilmu silat masing-masing, Kepandaian siapa paling kuat, dialah
yang menjadi ketua. Guru kita mempunyai dua orang Suheng, tapi pada saat kakek
guru hendak meninggal, sesudah tiga muridnya
bertanding, Suhu kita keluar
sebagai juara dan menjabat sebagai ketua, Kedua Supek kita itu merasa penasaran
dan masing-masing lantas pergi jauh kenegeri asing......
Kemudian Suhu menerima aku dan
Ting Jun-jiu sebagai murid, Suhu menetapkan suatu aturan, karena ilmu yang dipelajari
beliau sangat luas, maka barang siapa diantara kami ingin menjadi Ciangbunjin
diharuskan juga bertanding segala macam ilmu ajaran Suhu itu, tidak cuma
bertanding silat saja, tapi juga mesti berlomba tentang senilukis, seni musik,
seni catur, seni tulis dan lain-lain. Ting Jun-jiu sendiri selain meyakinkan
ilmu silat, ilmu lain-lainnya boleh dikatakan tidak becus, karena merasa tiada
harapan untuk menjadi Ciangbunjin, ia lantas turun tangan keji lebih dulu, Suhu
telah disergapnya hingga terjerumus kedalam jurang, kemudian aku dilukai pula
hingga parah."
"Waktu itu ternyata Ting
Jun-jiu tidak tega membunuhmu." ujar Hi-tiok.
"Jangan kau kira dia
punya rasa kasihan pedaku hingga tidak mengganggu jiwaku." tutur Sing-ho.
"Soalnya waktu itu aku telah berkata padanya, 'Jun-jiu, saat ini ilmu
silatmu meski lebih tinggi dari padaku, tapi ilmu silat Siau-yau-pai yang paling
mujizat sedikitpun belum kau temukan, Apakah kamu tidak ingin membaca kitab
Siau-yau-gi-hong?', Sute, hendaklah diketahui bahwa golongan kita disebut
'Siau-yau-pai' asalnya adalah karena kitab 'Siau-yau-gi-hong' itu, Ilmu silat
yang tercantum dalam kitab pusaka itu boleh dikatakan susah dijajaki luasnya,
Kitab ini biasanya dipegang oleh Ciangbunjin, Tapi Ciangbunjin dari setiap
angkatan palingpaling juga cuma dapat memahami sebagian kecil saja dari ilmu
sakti dalam kitab itu. Ketika mendengar ucapan itu, Ting Jun-jiu lantas
berkata, 'Baiklah, boleh kau serahkan kitab itu dan jiwamu akan kuampuni',
Tapi aku menjawab, "Aku
bukan Ciangbunjin, darimana bisa kuserahkan kitab itu padamu? Namun aku tahu
dimana Suhu menyimpan kitab itu, kalau ingin kau bunuhku, nah, silahkan turun
tangan, lekas!'
"Lalu ia main gertak,
'Hm, kitab itu sudah tentu disimpan ditepi Sing-siok-hai, masakah aku tidak
tahu?', Kataku, 'Benar, memang disimpan disana, kalau kau yakin dapat
menemukannya, silakan lekas kesana', Ia menjadi ragu, ia tahu luas
Sing-siok-hai meliputi beberapa ratus li persegi, tempat penyimpanan satu jilid
kitab sekecil itu sudah tentu sukar ditemukan, Akhirnya ia menjawab, 'Baik, aku
takkan membunuhmu, Tapi sejak kini kamu harus pura-pura tuli dan berlagak bisu,
dilarang membocorkan rahasia golongan kita ini kepada orang luar'.
Nah, coba dengarkan, sebabnya
dia tidak membunuhku adalah karena dia masih mengharapkan akan mendapatkan
petunjuk tempat penyimpanan kitab pusaka itu dari mulutku, Kemudian dia menetap
ditepi Singsiok-hai, boleh dikatakan hampir setiap potong batu pun sudah
dibalik dan kitab 'Siau-yau-gi-hong' tetap tidak ditemukan olehnya, Tapi setiap
sepuluh tahun satu kali tentu ia cari perkara padaku, baik minta secara halus
maupun main gertak secara kasar, semua akal telah dipakainya, Dan sekali ini
kembali dia datang lagi hendak tanya padaku, tampaknya tiada harapan lagi, pula
melihat aku telah melanggar sumpah, maka aku lantas hendak dibunuh
olehnya."
"Dan untung
Cianpwe....."
"Engkau adalah Ciangbun
golongan kita, mengapa memanggilku sebagai Cianpwe, harus panggil Suko
saja," potong So Sing-ho.
Diam-diam Hi-tiok merasa
pusing oleh persoalan Ciangbunjin segala, maka sahutnya, "Engkau benar
Suhengku atau bukan sementara ini tak perlu kita bicarakan, andaikan benar
Suhengku toh juga terhitung Cianpwe."
"Ya, benar juga,"
sahut Sing-ho menganggukkan, "Dan untung tentang apa?"
"Untung Cianpwe dapat
menguasai diri, sudah cukup piara tenaga, sampai detik terakhir barulah memberi
gempuran dahsyat, sehingga Sing-siok Lokoai dibikin ngacir."
"Sute, engkau salah
tentang hal ini," kata Sing-ho sambil goyang-goyang tangan, "Sudah
terang engkau yang membantuku dengan menggunakan ilmu sakti ajaran Suhu kita,
maka jiwaku dapat diselamatkan, tapi mengapa engkau masih merendah hati dan
tidak mau mengaku? Kita adalah sesama saudara seperguruan, jabatan Ciangbun
sudah ditetapkan, jiwaku engkau pula yang menolong, betapapun aku tidak nanti
mengincar jabatan Ciangbun ini, selanjutnya hendaknya kau anggap saja seperti
orang sendiri."
"Bilakah aku pernah
membantumu? Apalagi tentang menolong jiwamu, lebih-lebih aku tidak tahu."
ujar Hitiok.
So Sing-ho berpikir sejenak,
lalu katanya, "Ya, mungkin hal itu terjadi atas ketidak sengajaanmu, Tapi,
pendek kata ketika tanganmu memegang punggungku, ilmu sakti perguruan kita
lantas menyalur kebadanku dan sebab itulah aku dapat mengalahkan Ting
Jun-jiu."
"O, kiranya begitu, Dan
itu pun Suhumu yang menolong jiwamu dan bukan aku."
"Kalau kau bilang Suhu
yang menolongku dengan melalui tanganmu, dapatkah engkau menyetujui?"
"Ya, jika engkau berkeras
ingin aku mengaku bolehlah aku menyetujui." sahut Hi-tiok terpaksa.
Lalu So Sing-ho bicara pula,
"Ting Jun-jiu sebenarnya ingin merampas cincin besi jika Suhu ditewaskan,
lalu
ia akan minta petunjuk kepada
seseorang tentang ilmu silat dalam kitab 'Siau-yau-gi-hong', Tak ia duga Suhu
jatuh kejurang dan menghilang untuk seterusnya, Lebih-lebih tak terduga olehnya
bahwa Suhu tidak tewas, hanya terluka parah dan kedua kaki patah sebatas lutut,
Beberapa tahun kemudian Suhu dapat berjumpa pula dengan aku, beliau lalu
memperhitungkan cara untuk mengatasi Ting Jun-jiu, beliau merasa perlu mencari
seorang pemuda yang cakap lahir batin, tidak hanya wajahnya bagus tapi otaknya
juga harus tajam.. "
Mendengar kata-kata
"pemuda", diam-diam Hi-tiok berkerut kening, pikirnya, "Untuk
melatih ilmu silat, apa sangkut pautnya dengan muka bagus atau jelek? Berulang
mereka guru dan murid menyebut muka bagus bagi ahli-waris yang hendak mereka cari,
entah apa sebabnya?"
So Sing-ho melirik sekejap
padanya, lalu menghela napas pelahan.
Hi-tiok lantas berkata,
"Mukaku jelek, pasti tidak memenuhi syarat untuk menjadi ahli-waris
gurumu, Locianpwe lebih baik kau cari lagi seorang pemuda cakap dan ganteng, lalu
ilmu sakti gurumu ini akan kuserahkan padanya."
So Sing-ho melengak, sahutnya,
"Ilmu sakti golongan kita ini harus se-jiwa se-daging dengan orangnya,
ilmu ada orangnya hidup, ilmu lenyap orangnya mampus, Seperti Suhu, setelah
menurunkan ilmu saktinya padamu, lalu beliau wafat, masakah kamu tidak
menyaksikannya?"
"Ai, celaka, lantas
bagaimana baiknya?" seru Hi-tiok sambil mengentak kaki. "Bukankah aku
akan bikin runyam urusan gurumu dan Locianpwe ini?"
"Sute, justru itulah
tugas yang dibebankan atas pundakmu," sahut Sing-ho. "Sebabnya Suhu
memasang problem catur itu, tujuannya adalah untuk seleksi kepandaian setiap
pemain, Beliau berkata padaku, biarpun kutahu kamu bukan orang yang cocok, tapi
aku pun tidak mau pilih kasih, kamu juga boleh ikut coba-coba, asal keu mampu
memecahkan problem ini, maka aku pun akan menurunkan ilmu sakti dan menyerahkan
cincin besi ini padamu."
"Tapi meski aku sudah
peras otak selama tigapulh tahun tetap tidak sanggup memecahkan problem catur
ciptaan Suhu itu, Sute, akhirnya hanya engkau saja yang dapat memecahkannya,
tentang kecakapan batin pembawaanmu sudah terang memenuhi syarat."
"Tidak," sahut
Hi-tiok. "Aku justru tidak memenuhi semua syarat, Sebab problem catur itu
pada hakikatnya bukan aku yang memecahkannya."
Lalu ia ceritakan apa yang
terjadi itu, ia katakan Hian-lan yang diam-diam telah membisikinya tentang
langkah
catur itu.
Sudah tentu So Sing-ho merasa
sangsi, katanya, "Tapi kalau melihat keadaan Hian-lan Taisu, tampaknya dia
sudah terkena tangan keji Ting Jun-jiu, ilmu saktinya sudah punah dan rasanya
tidak dapat lagi menggunakannya."
Sesudah merandek, lalu ia
menyambung, "Namun Siau-lim-pai adalah pusatnya dunia persilatan, boleh
jadi Hian-lan Taisu memang sengaja pura-pura lemah, Sute, untuk mencari orang
agar dapat ikut memecahkan problem catur itu, maka dengan segala daya-upaya
telah kupancing orang supaya datang kemari, Buyungkongcu dari Koh-soh itu
berwajah bagus, ilmu silatnya serba pintar, sebenarnya dia seorang calon
pilihan yang sangat baik, tapi dia justru tidak mampu memecahkan problem catur
itu."
"Benar, Buyung-kongcu
terang beratus kali lebih hebat dari padaku," kata Hi-tiok, "Dan ada
pula Toan-kongcu dari Tayli, dia juga seorang pemuda tampan."
"Ai, hal ini jangan
disebut lagi." kata Sing-ho. "Sudah lama aku mendengar bahwa
Tin-lam-ong Toan Cing-sun dari Tayli mahir ilmu sakti It-yang-ci, yang paling
susah dicari bandingannya, adalah kepandaiannya memikat kaum wanita, tak peduli
apakah perawan suci atau gadis basi, asal ketemu dia tentu kesemsem dan jatuh
hati."
"Dengan susah payah aku
mendapat akal untuk memancingnya kemari, kukirim anak muridku ke Tayli, dan
mengatakan padanya bahwa 'Koh-soh Buyung-si telah menciptakan suatu ilmu yang
khusus dipakai mengalahkan It-yang-ci'. Siapa tahu dia sendiri tidak datang
kemari, yang muncul justru putranya yang ketololtololan."
"Aku tidak memperhatikan
dia, cuma kulihat pandangannya seakan-akan melekat pada diri nona Ong
itu," kata Hi-tiok dengan tersenyum.
So Sing-ho goyang-goyang
kepala, katanya, "Sialan, Toan Cing-sun itu terkenal sebagai lelaki paling
romantis didunia persilatan, wanita manapun tentu suka padanya, tapi putranya
sedikit pun tidak mirip dia, benar-benar tidak becus dan membikin malu ayahnya,
Dengan mati-matian ia hendak merebut hati nona Ong itu, tapi nona Ong justru
acuh tak acuh padanya, Ai, sungguh menjengkelkan orang."
"Cinta Toan-kongcu itu
tampak sungguh-sungguh, seharusnya jauh lebih baik daripada kelakuan pemuda
bangor umumnya, mengapa Cianpwe bilang 'sialan'?" ujar Hi-tiok.
"Habis, mukanya memang
bagus, tapi otaknya bebal, terhadap kaum perempuan sedikitpun tidak berdaya,
makanya kita pun tidak bisa memakai dia." sahut Sing-ho.
"O!" Hi-tiok
bersuara singkat, Diam-diam ia girang juga, pikirnya, "Kiranya kalian
ingin mencari seorang pemuda cakap untuk melayani kaum wanita, Jika demikian,
untunglah aku, Sebab betapa pun juga tidak mungkin hwesio jelek seperti siluman
macamku itu akan dapat kau pakai."
Lalu Sing-ho bertanya pula,
"Sute, apa Suhu tidak memberi sesuatu petunjuk jalan supaya kau pergi
mencari seseorang? Atau mungkin memberikan sesuatu peta dan benda
lainnya?"
Hi-tiok melengak sejenak, ia
merasa urusan bisa runyam lagi, hendak dia sangkal, tapi sejak kecil ia
digembleng di Siau-lim-si, sebagai seorang padri alim ia tidak suka berdusta,
maka akhirnya ia menjawab juga dengan tergagap. "Ya, hanya....hanya ini
saja gurumu memberikan padaku."
Lalu ia mengeluarkan gulungan
kertas itu dari dalam bajunya.
Tertampak So Sing-ho bersikap
sangat menghormat dan tidak berani menyentuh gulungan kertas itu, Maka Hitiok
lantas membukanya sendiri.
Sesudah gulungan kertas itu
terbentang, kedua orang sama-sama kesima dan tanpa terasa bersuara heran
berbareng, Kiranya gulungan kertas itu bukan melukiskan sesuatu peta bumi atau
pemandangan alam segala, tapi adalah gambar seorang gadis cantik dengan
dandanan sebagai putri keraton.
"Hah, kiranya potret nona
Ong diluar itu." ujar Hi-tiok.
Namun lukisan itu tampak
sangat tua kertasnya sudah bersemu kuning, andaikan tidak ratusan tahun
sedikitnya juga ada tigapuluh-empatpuluh tahun lamanya, begitu pula cat lukisan
itu jauh lebih tua daripada Ong Giokyan, tapi toh ada orang bisa melukis muka Giok-yan
pada ratusan atau beberapa puluh tahun yang lalu, sungguh hal ini sukar untuk
dimengerti.
Lukisan itu sangat indah,
goresannya jelas, orang yang dilukis itu laksana hidup saja, benar-benar
seperti Ong Giok-yan yang diperkecil, lalu digepengkan dan ditrapkan dalam
lukisan itu.
Kalau diam-diam Hi-tiok sangat
heran, ketika ia pandang So Sing-ho, tampak orang tua itu lagi corat-coret
dengan jarinya untuk menirukan goresan lukisan itu, sesudah memuji dan
termangu-mangu sejenak, akhirnya mendadak seperti tersadar dari impian dan
berkata, "Sute, maafkan sifat Suhengmu ini telah kumat lagi, asal melihat
lukisan indah Suhu, segera aku lupa daratan dan ingin mempelajarinya, Ai, dasar
tamak, segalanya aku ingin belajar, sampai akhirnya tiada sesuatu yang dapat
kuyakinkan benar-benar dan terpaksa mesti menelan
kekalahan besar dari Ting
Jun-jiu."
Sembari bicara, ia terus
menggulung kembali lukisan itu dan cepat-cepat diserahkan pada Hi-tiok seperti
kuatir akan terpengaruh lagi oleh gaya lukisan itu. Lalu ia pejamkan mata
sambil goyang-goyang kepala sekeraskerasnya seolah-olah hendak membuang lukisan
yang telah dilihatnya itu dari ingatannya, Sejenak kemudian, ia membuka mata
dan berkata pula, "Dan apa yang dikatakan Suhu ketika menyerahkan lukisan
ini padamu?"
"Beliau mengatakan
kepandaianku sekarang ini tidak cukup untuk membasmi Ting Jun-jiu, maka harus
menuruti petunjuk gulungan lukisan ini dan pergi ke Thian-san wilayah Barat
untuk mencari kitab pusaka ilmu silat yang disimpannya disana dahulu, Tapi aneh,
beliau mengatakan lukisan ini menggambarkan tempat semayamnya dahulu,
seharusnya kan suatu gambar pemandangan alam dipegunungan yang indah, mengapa
adalah potret nona Ong malah? Jangan-jangan beliau salah memberikan lukisan ini
padaku?"
"Setiap tindakan Suhu
memang susah untuk diperkirakan orang lain, tapi bakatmu sangat tinggi sampai
waktunya nanti tentu kamu akan paham sendiri," ujar So Sing-ho, "Dan
kamu harus tunduk kepada perintah Suhu, lekas berdaya menyaksikan ilmu yang
dimaksudnya itu untuk membunuh Ting Jun-jiu."
"Tapi....tapi Siauceng
adalah murid Siau-lim-pai dan harus segera pulang melapor kesana." sahut
Hi-tiok dengan tergegap. "Dan sepulangnya disana, aku....aku takkan keluar
lagi."
Keruan Sing-ho terkejut, ia
melompat bangun sambil menangis, lalu ia berlutut pula didepan Hi-tiok dan
menyembah tiada hentinya, Katanya,
"Ciangbunjin, jika engkau
tidak taat pada pesan Suhu itu bukankah berarti beliau telah mati
sia-sia."
Cepat Hi-tiok berlutut juga
dan balas menyembah, sahutnya, "Siauceng sudah masuk pintu suci, dilarang
marah dan pantang membunuh, tadi aku menyanggupi pada gurumu akan membunuh Ting
Jun-jiu, tapi sekarang aku merasa menyesal, Peraturan Siau-lim-pai kami sangat
keras, betapa pun Siauceng tidak berani menyeleweng dan masuk perguruan lain
serta berbuat sembarangan."
Begitulah meski So Sing-ho
telah memohon dengan sangat sambil menangis, membujuk dengan kata-kata manis,
bahkan dengan cara menggertak dan mengancam, tapi Hi-tiok tetap tidak mau
terima.
Saking tidak berdaya lagi dan
merasa putus asa, akhirnya Sing-ho berkata kepada jenazah gurunya, "Suhu,
Ciangbunjin tidak mau taat kepada pesan tinggalanmu, aku pun tidak berdaya
menyadarkan dia, maka biarlah aku menyusul engkau dialam baka saja."
Habis berkata, sekali lompat
keatas, dengan kepala dibawah dan kaki diatas ia terus terjun kebawah dengan
maksud membenturkan kepalanya pada lantai batu yang keras itu.
"He, hei! Jangan!"
teriak Hi-tiok kaget dan cepat ia sambar tubuh Sing-ho dan dirangkulnya
erat-erat, Sekarang tenaga dalamnya sudah sangat kuat, gerak-geriknya juga
gesit dan cepat, maka sekali terpegang So Sing-ho lantas tak bisa berkutik lagi.
"Kenapa engkau melarang
aku membunuh diri?" tanya So Sing-ho.
"Cut-keh-lang
mengutamakan welas-asih, sudah tentu aku tidak boleh menyaksikan engkau mati
tanpa menolong," sahut Hi-tiok.
"Lepaskan, aku tidak
ingin hidup lagi!"
"Tidak, takkan
kulepaskan!"
"Habis, apakah selama
hidup akan kau pegang aku seperti ini ?"
Hi-tiok pikir benar juga
teguran ini, maka ia lantas putar tubuh orang hingga kepala ditegakkan keatas
dan taruh kakinya diatas tanah, Lalu katanya, "Baiklah, biar kulepaskan
engkau, tapi engkau tidak boleh membunuh diri!"
Jilid 54
Tiba-tiba So Sing-ho tergerak
kecerdikannya, katanya, "Engkau melarang aku membunuh diri? Baik, sudah
seharusnya aku tunduk kepada perintah Ciangbunjin, Haha, bagus, akhirnya engkau
sanggup juga menjadi Ciangbunjin kita!"
"Tidak, aku tidak mau,
bilamana aku menyanggupi?" sahut Hi-tiok sambil menggeleng kepala.
"Hahahaha, tiada gunanya
engkau mungkir lagi, Ciangbunjin," kata Sing-ho dengan tertawa,
"Engkau sudah memberi perintah padaku dan aku sudah menuruti perintahmu,
selanjutnya aku tidak berani membunuh diri lagi. Hm, aku Cong-pian Siansing ini
tokoh macam apa? Kecuali kata-kata Ciangbunjin sendiri, siapa lagi yang berani
main perintah padaku? Kalau tidak percaya, boleh kau tanya Hian-lan Taisu,
sekalipun ketua Siau-lim-si juga tidak berani memberi perintah padaku."
Nama Cong-pian Siansing alias
Liong-ah Lojin didunia kang-ouw memang sangat kesohor, Bahwasanya tiada orang
yang berani main perintah padanya memang bukan omong kosong. Maka Hi-tiok
menjawab, "Bukan aku berani memberi perintah padamu, tapi aku cuma
menganjurkan supaya sayang pada jiwamu sendiri, itu adalah maksud baikku
saja."
"Aku tidak tanya apakah
engkau bermaksud baik atau bermaksud jelek, pendek kata engkau suruh aku mati,
segera aku akan mati, jika kau suruh aku hidup, maka aku pun tidak berani tidak
hidup. Perintah mati atau hidup ini adalah hak tertinggi didunia ini, jika
engkau bukan Ciangbunjin kita, mana boleh sembarang suruh aku mati atau
hidup?"
Karena kewalahan, terpaksa
Hi-tiok bilang, "Ya, sudah, Jika begitu, perkataanku tadi kubatalkan
saja."
"Kau batalkan perintah
'melarang aku bunuh diri', itu berarti suruh aku membunuh diri, Baik, aku
menurut, sekarang juga aku lantas bunuh diri."
Caranya membunuh diri ternyata
sangat istimewa, lebih dulu ia loncat keatas, lalu dengan terjungkir ia terjun
kebawah.
Tapi segera Hi-tiok merangkulnya,
katanya, "Jangan, jangan! Aku tidak minta kau bunuh diri."
"O, kamu melarang aku
bunuh diri lagi?" kata Sing-ho. "Baik, aku terima perintah
Ciangbunjin ini."
Hi-tiok lepaskan Sing-ho pula,
ia garuk-garuk kepala sendiri yang gundul kelimis itu dan tidak sanggup bicara.
Nyata So Sing-ho memang tidak
percuma berjuluk sebagai "Cong-pian Sian-sing", si-tajam mulut, dia
memang seorang yang pandai bicara dan pintar berdebat, Sebaliknya Hi-tiok masih
muda, masih hijau plonco, tidak berpengalaman apa-apa, sudah tentu tidak dapat
meleyani debatan Sing-ho itu.
Maka sesudah tertegun sejenak,
akhirnya ia berkata. "Cianpwe, aku tidak mampu berdebat denganmu, Tapi
jika kau ingin aku masuk ke-perguruanmu, betapa pun aku tetap keberatan."
"Waktu kita masuk kesini
tadi, apa yang telah Hian-lan Taisu pesan padamu?" ujar Sing-ho.
"Kamu tunduk kepada apa yang dikatakan Hian-lan Taisu atau tidak?"
Hi-tiok melengak, sahutnya
dengan tergegap, "Su....Susiokco suruh...suruh aku menurut kepada segala
ucapanmu."
"Nah, itu dia!" seru
Sing-ho dengan senang. "Hian-lan Taisu suruh kamu menurut perkataanku maka
kubilang kamu harus taat kepada pesan tinggalan Suhu kita dan jadilah
Ciangbunjin. Tapi sebagai Ciangbunjin Siau-yaupai, kaupun boleh tidak gubris
kepada kata-kata padri Siau-lim-pai itu, Maka bila kau turut pesan Hian-lan
Taisu, kamu harus menjadi Ciangbunjin Siau-yau-pai, dan bila kamu tidak tunduk
kepada kata-kata Hian-lan Taisu, kaupun Ciangbunjin Siau-yau-pai, sebab hanya
sesudah menjadi Ciangbunjin barulah boleh kau kesampingkan pesan Hian-lan Taisu
itu."
Uraian So Sing-ho ini membikin
Hi-tiok termangu-mangu lagi, ia merasa apa yang dikatakan itu bolak-balik
memang betul juga.
Lalu Sing-ho melanjutkan,
"Sute, Hian-lan Taisu dan beberapa padri Siau-lim-si lain telah terkena
tangan jahat Ting Jun-jiu, kalau mereka tidak ditolong, jiwa tentu akan
melayang dalam waktu singkat, Didunia ini sekarang hanya engkau saja seorang
yang mampu menolong mereka. Tapi soal apa kau akan menolong mereka atau tidak
adalah tergantung kepada keputusanmu."
"Hah, apa benar Susiokco
terkena tangan jahat Ting Jun-jiu?" seru Hi-tiok kaget.
"Masakah aku berani dusta
pada Ciangbunjin?" sahut Sing-ho. "Jika Ciangbunjin tidak percaya,
silahkan coba
tanya padanya diluar."
"Bukan aku tidak percaya,
tapi kupikir ilmu sakti Susiokco jarang ada tandingannya di-jagat ini,
mengapa....mengapa bisa dikalahkan Ting Jun-jiu?"
"Hian-lan Taisu adalah
padri saleh jaman ini, tadi waktu aku terancam Ting Jun-jiu, tampaknya Hian-lan
Taisu ada maksud buat membantu, cuma sayang kepandaiannya sudah punah, maksud
ada tenaga kurang, hingga tidak dapat berbuat apa-apa, Tapi aku tetap sangat
terima kasih kepada maksud baiknya."
Hi-tiok pikir apa yang
dikatakan itu memang benar, tatkala berbahaya tadi, tidak mungkin sang Susiokco
berpeluk tangan tanpa menolong kecuali kalau Susiokco sudah tahu bahwa So
Sing-ho sengaja memancing musuh dan yakin pasti akan menang. Dan apakah benar
kepandaian orang tua itu sudah punah, sebentar tentu akan dapat diketahui,
rasanya So Sing-ho tidak sampai berdusta.
Maka ia lantas tanya,
"Kau bilang aku dapat menolong dia? Tapi cara bagaimana aku harus
menolongnya?"
"Sute." kata Sing-ho
dengan tersenyum, "Golongan kita tidak melulu terkenal dalam ilmu silat
saja, tapi kepandaian kita meliputi ilmu pertabiban, perbintangan,
kesusastraan, pendek kata segala ilmu pengetahuan tentang apa saja. Ada seorang
Sutitmu yang bernama Sih Boh-hoa, sebenarnya ilmu pertabiban yang dia pahami
cuma sekelumit saja, tapi orang kang-ouw sudah lantas menyebutnya sebagai
'tabib sakti' dan dijuluki sebagai 'Giam-ong-tek'(musuh raja akhirat). Haha,
sungguh menggelikan! Nah, ketahuilah bahwa Hian-lan Taisu telah kena
Hoa-kang-tai-hoat Ting Jun-jiu, Taisu yang bermuka lebar itu terluka oleh
pukulan 'Peng-janciang' sikepala besi itu dan Taisu yang jangkung itu terluka
urat nadi dibawah iga kiri karena tendangan Ting Jun-jiu...." Begitulah ia
mencerocos terus menguraikan keadaan luka setiap orang.
Karuan Hi-tiok sangat kagum
dan terkejut pula. katanya, "Cianpwe, kulihat tadi engkau asyik benar
memperhatikan catur, mengapa kau tahu sedemikian jelas tentang keadaan orang
yang terluka itu?"
"Luka yang terjadi dalam
pertarungan adalah paling gampang untuk diketahui, sekali lihat saja pasti
tahu, Hanya penyakit seperti demam, pilek, mencret, itulah yang sukar
diketahui. Sute, sekarang kamu memiliki Siau-yau-sin-kang yang dilatih Suhu
selama tujuhpuluh tahun, kalau digunakan untuk menyembuhkan penyakit boleh
dikatakan pasti 'tok-cer', sekali pegang tentu jadi. Misalnya untuk memulihkan
tenaga Hian-lan Taisu yang sudah dipunahkan itu memang tidak mudah, tapi untuk
menyembuhkan lukanya dan menyelamatkan jiwanya boleh dikata segampang ambil
barang disaku sendiri."
Habis itu ia lantas
mengajarkan kepada Hi-tiok cara-cara membuka hiat-to mengurut dan mengerahkan
tenaga, untuk menawarkan racun dingin yang terkena pukulan Yu Goan-ci itu.
Karena niat Hi-tiok memang
ingin menolong sang Susiokco dan para paman gurunya, maka ia ingat dengan baik
semua ajaran So Sing-ho itu.
Cuma saja praktek ia paham
tapi teori tidak tahu, jadi tahu cara menyembuhkan penderita-penderita itu,
tapi tidak tahu sebab apa penderita-penderita bisa disembuhkan.
Sesudah So Sing-ho suruh
Hi-tiok mencoba beberapa kali apa yang diajarkan itu dan ternyata betul semua,
maka dengan tersenyum ia memuji, "Bakat dan daya terima Ciangbunjin
benar-benar sangat tinggi, sekali diberitahu sudah lantas paham."
Melihat senyuman orang agak
aneh dan mencurigakan, seolah-olah tidak mengandung maksud baik, mau tak mau Hi-tiok
menjadi sangsi, ia tanya, "Mengapa kamu tersenyum?"
Seketika Sing-ho bersikap
sungguh-sungguh, dengan penuh hormat ia minta maaf pada sang Ciangbunjin.
Karena ingin lekas menolong
Hian-lan dan lain-lain, Hi-tiok tidak tanya lebih jauh, katanya, "Marilah
kita keluar!"
So Sing-ho mengiakan dan
lantas ikut keluar bersama Hi-tiok.
Setiba dipekarangan luar,
tertampaklah para penderita itu semuanya duduk bersila diatas tanah, mata
terpejam dan sedang mengumpulkan tenaga.
Buyung Hok tampak lagi menggunakan
lwekangnya untuk meringankan penderitaan Hong Po-ok.
A Pik sudah siuman kembali dan
sedang merintih-rintih, Sesudah siuman, sudah tentu ia dapat merasakan derita
sakit yang lebih hebat daripada waktu pingsan, Khim-sian Kheng Kong-leng,
sidewa kecapi duduk disamping anak dara itu dan sedang menghiburnya dengan
kata-kata manis seperti lakunya seorang ayah membujuk anaknya.
Sih Boh-hoa kelihatan
mondar-mandir diantara orang-orang terluka itu, sebentar-sebentar ia lari
kesana dan lain saat berlari kesini untuk menolong siapa-apa yang kelihatan
payah, Ketika dilihatnya So Sing-ho sudah keluar, ia merasa lega dan cepat
mendekati sang guru, katanya, "Suhu, lekas Suhu menolong mereka!"
Sementara itu Hi-tiok juga
mendekati Hian-lan, ia lihat sang Susiokco lagi duduk dengan mata tertutup,
maka ia tidak berani membuka suara, Sejenak kemudian, pelahan Hian-lan membuka
mata, ia menghela napas dan berkata, "Susiokco-mu tidak becus hingga
membikin malu nama baik golongan kita, sungguh harus disesalkan, Pulanglah dan
laporkan kepada Hongtiang, katakan....katakan bahwa aku dan Hian-thong
Susiokco-mu tiada muka untuk pulang lagi."
Biasanya Hi-tiok selalu
melihat Hian-lan dalam keadaan yang kereng dan berwibawa, tapi sekarang padri
tua itu ternyata lesu muram, sikap ksatrianya sama sekali lenyap, bahkan nada
ucapannya seakan-akan orang yang sudah putus asa, nyata apa yang dikatakan So
Sing-ho tadi bahwa sang Susiokco itu telah terjungkal ditangan Sing-siok Lokoai
memang bukan omong kosong.
Dan selagi Hi-tiok hendak turun
tangan menyembuhkan Hian-lan, tiba-tiba teringat olehnya senyuman aneh So
Sing-ho tadi, tiba-tiba ia terkesiap dan berpikir, "Dia suruh aku
menghantam hiat-to pada ubun-ubun kepala susiokco, siapa tahu ini bukan tipu
muslihatnya? jangan-jangan sekali pukul kubinasakan Susiokco yang ilmu silatnya
sudah punah, kan celaka nanti?"
Melihat sikap Hi-tiok yang
ragu-ragu itu, maka Hian-lan berkata pula, "Boleh kau lapor kepada
Hongtiang bahwa biara kita masih akan menghadapi malapetaka, hendaknya siap
siaga dan waspada."
"Susiokco," kata
Hi-tiok, "Jika biara kita masih akan menghadapi bencana besar, maka engkau
orang tua justru harus menjaga badanmu dengan baik agar dapat pulang untuk
membantu Hongtiang menghadapi musuh?"
Hian-lan tersenyum getir,
sahutnya, "Aku... aku sudah terkena 'Hoa-kang-tai-hoat' Ting Jun-jiu, aku
sudah menjadi orang cacat, mana bisa kubantu Hongtiang menghadapi musuh?"
Mendengar jawaban itu, Hi-tiok
menjadi lebih yakin lagi akan apa yang dikatakan So Sing-ho itu, Tiba-tiba ia
mendapat suatu pikiran, katanya, "Susiokco, Cong-pian Siansing telah
mengajarkan suatu cara penyembuhan, Tecu secara gegabah ingin coba-coba
menyembuhkan Hui-hong Supek, harap Susiokco mengijinkan."
Ia sengaja bicara dengan suara
keras hingga didengar oleh para padri angkatan Hui dari Siau-lim-si itu,
Menurut perhitungan Hi-tiok bila Susiokco meluluskan dia menyembuhkan Hui-hong,
andaikan terjadi kesalahan juga takkan disangka sengaja membikin celaka
Supeknya sendiri.
Hian-lan merasa heran oleh
permintaan itu, tapi ia tahu Liong-ah Lojin So Sing-ho adalah seorang tokoh
luar biasa dan adalah Suheng Ting Jun-jiu. Giam-ong-tek Sih Boh-hoa adalah
muridnya, jika dia sudah mengajarkan cara penyembuhan kepada Hi-tiok, maka
dapat dipercaya tentu ada alasannya, cuma mengapa dia sendiri tidak mau turun
tangan, juga tidak mau suruh Sih-sin-ih?
Namun akhirnya Hian-lan
berkata, "Jika Cong-pian Siansing yang mengajarkan padamu, sudah pasti
akan sangat berguna, maka boleh kamu mencobanya." Sembari berkata ia pun
memandang sekejap kearah So Singho.
Segera Hi-tiok mendekati
Hui-hong, lebih dulu ia minta maaf, "Supek, atas izin Susiokco, Tecu
hendak menyembuhkan luka Supek."
Habis berkata, ia terus
melangkah kesamping kiri, lalu tangan kanan menampar balik, "plok",
dengan tepat iga kiri Hui-hong kena dipukulnya. Terdengar Hui-hong bersuara
tertahan, tubuh sedikit terguncang, kontan ia merasa dibawah iga seolah-olah
berlubang, hawa murni dan darah segar dalam tubuhnya seakan-akan terus menerus
mengalir keluar melalui lubang itu hingga dalam sekejap saja walaupun merasa
badan menjadi sangat lemah, tapi rasa pegal linu dan gatal akibat pukulan
Han-peng-tok-ciang yang dilontarkan Yu Goan-ci itu lenyap seketika.
Kiranya cara penyembuhan
Hi-tiok itu bukan menggunakan tenaga dalam sendiri untuk memunahkan racun
dingin dalam tubuh Hui-hong, tapi yang digunakan adalah Siau-yang-sin-kang
selama tujuhpuluh tahun yang diterimanya dari sikakek, sekali ia hantam iga
Hui-hong, maka pada bagian itu lantas terbuka suatu jalan untuk mengeluarkan
hawa racun yang maha dingin itu, Jadi mirip orang dipagut ular, lalu luka
gigitan ular itu dibelih dan bisa ular dipencet keluar.
Cuma saja cara Hi-tiok itu
sebenarnya sangat sukar, bilamana tempatnya keliru, maka hasilnya nihil, bahkan
kalau tenaga dalamnya kurang kuat hingga tenaga hantamannya tidak tembus urat
nadi yang dituju, maka hawa beracun itu takkan keluar, sebaliknya akan terdesak
kedalam jantung dan sipenderita seketika akan binasa.
Karena itu Hi-tiok juga agak kuatir
waktu melontarkan pukulannya tadi, ia lihat tubuh Hui-hong tergeliat lalu tegak
kembali, air mukanya yang tadinya tampak menderita itu lantas berubah menjadi
lega dan enteng. Walaupun cuma sebentar saja, tapi bagi Hi-tiok rasanya seperti
lewat beberapa jam lamanya.
Selang sejenak pula, Hui-hong
menghela napas lega, lalu katanya dengan tersenyum, "Sutit yang baik,
tenaga pukulanmu itu bukan main hebatnya!"
"Terima kasih atas pujian
Supek," sahut Hi-tiok. Lalu ia berpaling kepada Hian-lan dan tanya, "Susiokco,
para paman guru yang lain akan kusembuhkan pula, apakah boleh!"
"Tidak!" sahut
Hian-lan, "Kamu harus menyembuhkan para Cianpwe yang lain baru kemudian
menolong orang sendiri."
Hi-tiok terkesiap, tapi ia
lantas mengiakan. Ia pikir petunjuk Hian-lan itu memang benar, Siau-lim-si
adalah bintang utama didunia persilatan, sudah seharusnya memikirkan orang lain
lebih dulu baru kemudian pihak sendiri, dengan demikian barulah menunjukkan
sifat seorang kesatria sejati.
Demikianlah, hanya sepatah
ucapan Hian-lan saja sudah menyadarkan seorang padri muda sebagai Hi-tiok agar
setiap soal harus memikirkan orang lain lebih dahulu baru kemudian pikirkan
diri sendiri. Hanya sekejap saja padri muda yang tadinya masih hijau pelonco
itu telah dapat memahami sifat asli seorang pahlawan, seorang laki-laki sejati.
Hi-tiok membusungkan dada dan
penuh kepercayaan pada diri sendiri, serunya dengan lantang, "Wahai, para
ksatria! Cong-pian Siansing telah mengajarkan cara penyembuhan kepadaku, tapi
karena baru saja belajar, tentu Siauceng belum terlalu paham, maka kalau ada
sesuatu kekurangan harap sudi memaafkan."
Sinar mata semua orang
seketika tertumplek atas diri Hi-tiok, semuanya merasa ragu apakah betul dia
mampu menyembuhkan mereka.
Tanpa bicara lagi Hi-tiok
mendekati Pau Put-tong lebih dulu, "blang", kontan ia hanjut dada
orang she Pau itu.
Karuan Pau Put-tong
marah-marah dan memaki, "Hwesio kepar....."
Tapi belum lagi kata
"Keparat" diucapkan, mendadak ia merasa racun dingin yang menyiksanya
selama lebih duapuluh hari itu kini telah membanjir keluar melalui tempat yang
baru dihantam itu, Karena itu makian yang hampir diucapkan itu ditelannya
kembali mentah-mentah.
Setelah Hi-tiok menyembuhkan
racun dingin orang-orang yang terkena pukulan Yu Goan-ci, lalu ia menyembuhkan
pula orang-orang yang kena tangan jahat Ting-lokoai. Orang yang dilukai Ting
Jun-jiu itu keadaannya tidak sama, ada yang kena Hoa-kang-tai-hoat, untuk ini
Hi-tiok cukup menaboknya sekali pada "Pek-hwe-hiat" di-ubun-ubun
kepala atau "Leng-tai-hiat" bagian dada, lalu penderita itu akan
sembuh. Ada pula yang terluka oleh lwekang Sing-siok-pai yang lihai, untuk ini
Hi-tiok mesti menutuk hiat-to masingmasing untuk memunahkan tenaga dalam
Sing-siok-pai.
Dasar ingatan Hi-tiok cukup
bagus, ia dapat ingat dengan jelas cara penyembuhan yang diajarkan So Sing-ho
itu hingga setiap orang yang didekati hanya dalam waktu singkat saja sudah
disembuhkan.
Paling akhir ia mendekati
Hian-lan, katanya sambil memberi hormat. "Susiokco, dengan sembrono Tecu
hendak menabok Pek-hwe-hiat Susiokco."
Hian-lan tersenyum, sahutnya,
"Kamu telah dipenujui Cong-pian Siansing hingga diajarkan cara penyembuhan
sebagus ini, sungguh rejekimu tidaklah kecil, Boleh kau pukul saja
Pek-hwe-hiatku."
"Maaf jika
demikian." ujar Hi-tiok sambil membungkuk tubuh.
Biasanya ia tidak berani
dekat-dekat dengan padri tua yang kereng itu. Waktu berada di Siau-lim-si
jarang ia berhadapan dengan Hian-lan, jika kebetulan ada sidang, paling-paling
Hi-tiok juga cuma berdiri dikejauhan ikut mendengarkan saja dan tidak pernah
bicara dengan Susiokco itu.
Sekarang ia harus bicara,
bahkan akan menabok pula kepala orang tua itu, meski maksudnya menyembuhkan
luka, namun tidak urung ia pun agak keder.
Setelah tenangkan diri dan
minta maaf pula satu kali, lalu ia melangkah maju, ia angkat tangannya terus
menabok Pek-hwe-hiat diatas kepala Hian-lan dengan tidak cepat juga tidak
terlalu pelahan.
Siapa sangka, begitu tangannya
menyentuh ubun-ubun Hian-lan, sekonyong-konyong padri tua itu menjerit sekali
dan mencelat, "bluk" akhirnya terbanting ditanah beberapa meter
jauhnya, dan setelah berkelojotan beberapa kali, lalu meringkuk dan tidak
bergerak lagi.
Karuan semua orang terkejut,
lebih-lebih Hi-tiok. Cepat ia memburu kesana untuk membangunkan Hian-lan.
Hui-hong dan kawan-kawannya juga cepat merubung maju.
Waktu Hian-lan diperiksa,
ternyata kedua matanya mendelik, mukanya mengunjuk rasa murka, tapi napasnya
sudah putus terang sudah binasa.
"Susiokco! Susiokco!
Kenapakah engkau?" seru Hi-tiok dengan kaget tak terhingga.
Tiba-tiba sesosok bayangan
orang berkelebat, So Sing-ho juga telah memburu tiba dari sebelah sana, Air
mukanya tampak meresa bingung, katanya, Ai, tampaknya seperti ada orang
membokong dari belakang sana, tapi gerak tubuh orang itu teramat cepat hingga
bayangannya saja tak sempat terlihat!"
Segera ia pegang tangan
Hian-lan dan periksa nadinya, ia mengerut kening dan berkata pula. "Tenaga
Hian-lan
Taisu sudah punah hingga
dibawah sergapan musuh sama sekali tak dapat melawan dan sekarang sudah
wafat."
Tiba-tiba Hi-tiok teringat
kepada senyuman aneh orang tua itu didalam rumah kayu tadi, segera ia menegur
dengan marah, "Cong-pian Siansing, hendaknya keu bicara terus terang,
sebab apakah Susiokco kami bisa tewas? Bukankah engkau sengaja mencelakai
beliau?"
Cepat So Sing-ho berlutut dan
berkata, "Lapor Ciangbunjin, Sing-ho sekali-kali tidak berani membikin
jelek nama baik Ciangbunjin. Sebabnya Hian-lan Taisu mendadak meninggal adalah
benar-benar disergap musuh secara diam-diam."
"Habis mengapa kamu
bersenyum aneh dalam rumah tadi, apa sebabnya?" tanya Hi-tiok.
"Senyum apa?" sahut
Sing-ho dengan terkejut. "Aku tersenyum tadi? Ciangbunjin, hendaklah
waspada, ada orang....."
Belum selesai ucapannya,
sekonyong-konyong ia berhenti dan kembali wajahnya menampilkan senyuman yang
aneh dan mencurigakan.
"Suhu!" teriak Sih
Boh-hoa, Cepat ia mengeluarkan sebotol pil penawar racun dan menuangkan tiga
biji terus dijejalkan kemulut sang guru, Namun lebih dulu napas So Sing-ho
sudah putus, obat itu terhenti dalam mulutnya dan tidak tertelan.
Maka menangislah Sih Boh-hoa
tergerung-gerung sambil sesambatan, "O, Suhu telah dibunuh Ting Jun-jiu
secara keji, bangsat Ting Jun-jiu telah....." Sampai disini suaranya
manjadi serak dan susah meneruskan lagi.
Tiba-tiba Kheng Kong-leng
menubruk maju hendak memegang sang guru, tapi Sih-sin-ih keburu menariknya
kembali, katanya sambil menangis, "Jang....jangan menyentuhnya."
Sebenarnya ilmu silat Kheng
Kong-leng jauh lebih tinggi daripada Sih Boh-hoa, tapi diantara
"Yu-kok-pat-tu" hanya ketinggalan tabib ituy yang tidak terluka
apa-apa, maka sekali pegang saja Kheng Kong-leng tidak dapat melawan.
Segera Hoan Pek-ling, Li
Gui-lui, Apik dan lain merubungi So Sing-ho sambil menangis, berduka dan gusar
pula.
Sebagai murid tertua dan
memahami peraturan perguruan sendiri, semula ketika melihat sang guru berlutut
kepada Hi-tiok sambil menyebutnya sebagai "Ciangbunjin", maka
diam-diam Keng Kong-leng sudah dapat menduga apa yang terjadi.
Ketika diperhatikan pula,
dilihatnya jari Hi-tiok memang betul memakai sebentuk cincin besi hitam, maka
tanpa ragu lagi ia lantas berkata,
"Para Sute dan Apik,
marilah kita bersama memberi sembah bakti kepada Ciangbun Susiok!"
Habis berkata ia terus
mendahului berlutut dihadapan Hi-tiok dan menjura.
Semula Hoan Pek-ling dan
lain-lain melengak, tapi segera pun sadar, mereka lantas ikut memberi hormat
kepada "Cianbunjin" mereka yang baru.
Sebaliknya Hi-tiok menjadi
bingung, pikirannya juga lagi kacau, katanya, "Bangsat itu telah membunuh
Susiokco dan mencelakai Suhu kalian pula."
"Urusan membalas dendam
ini terserahlah kepada Susiok untuk memberi petunjuk seperlunya." ujar
Kongleng.
Hi-tiok adalah seorang hwesio
keroco dan masih hijau, bicara tentang ilmu silat dan pengalaman, nama dan
kedudukan, boleh dikatakan setiap orang yang berlutut dihadapannya itu semuanya
lebih tinggi dari dia, Tapi kini ia dihadapkan kepada kejadian yang aneh dan
mendadak, ia tidak pikir lagi tentang penolakan jabatan Ciangbun segala.
Kematian So Sing-ho membuatnya merasa serba susah, sedangkan wafatnya Hian-lan
secara mendadak lebih-lebih membikin dia bingung.
Sungguh celaka, penyergap itu
justru sengaja memilih saat yang baik ketika dia menabok ubun-ubun kepala
Hian-lan tadi, dengan demikian, bagi orang yang tidak tahu tentu akan menyangka
dia sendiri yang membunuh Susiokco. Hal ini kalau tidak diselidiki hingga
jelas, untuk selanjutnya tentu dirinya akan susah bergaul dikalangan orang
kang-ouw.
Maka dalam benaknya waktu itu
yang terpikir adalah, "Aku harus membalas sakit hati Susiokco, harus
membalas dendam Cong-pian Siansing, harus membalas dendam sikakek dalam rumah
tadi!"
Begitulah maka tanpa terasa
mulut Hi-tiok berseru."Aku harus membunuh bangsat tua Ting Jun-jiu!"
Kheng Kong-leng dan lain-lain
kembali menjura pula, katanya, "Ciangbun Susiok berjanji hendak membunuh
musuh untuk membalas sakit hati Suhu kami, sungguh para Sutit merasa sangat
berterima kasih dan utang budi."
Baru sekarang Hi-tiok
mengetahui dirinya telah disembahi orang banyak, lekas ia pun berlutut dan
membalas hormat, sahutnya. "Ah, tidak berani, tidak berani! Harap kalian
lekas bangun!"
"Susiok, Siautit ingin
melapor sesuatu, tapi disini banyak orang luar dan tidak leluasa, harap suka
masuk kedalam rumah saja," kata Kong-leng.
"Baiklah," sahut
Hi-tiok sambil berbangkit.
Lalu semua orang mengiringi
Hi-tiok berjalan kerumah papan itu. Tapi belum lagi masuk kesana, tiba-tiba
Pekling berkata, "Nanti dulu! Suhu terkena tangan keji Ting-lojat dalam
rumah ini, jangan-jangan bangsat tua itu masih ada tipu muslihat keji pula,
maka lebih baik Ciangbun Susiok dan Toasuheng jangan lagi masuk kesitu."
"Benar juga," kata
Kong-leng. "Ciangbun Susiok tidak boleh lagi menyerempet bahaya itu."
"Kalian boleh bicara saja
disini," ujar Sih-sin-ih, "Biarlah kami menjaga disekitar sini agar
bangsat tua she Ting itu tidak dapat turun tangan keji lagi."
Habis berkata ia terus
mendahului menyingkir, begitu pula Tio A Sam, Li Gui-lui dan lain-lain juga
lantas memisahkan diri agak jauh untuk berjaga. Padahal keadaan mereka masih
lemah, kalau benar-benar diserbu Ting Jun-jiu, paling-paling mereka hanya mampu
bersuara memperingatkan saja dan tiada kekuatan buat melawan.
Buyung Hok, Ting Pek-jwan dan
lain-lain adalah orang-orang Kang-ouw kawakan, sudah tentu mereka tidak mungkin
mendengarkan pembicaraan rahasia golongan lain, maka tanpa disuruh juga mereka
menyingkir sendiri.
Maka Kong-leng lantas mulai
bicara, "Susiok....."
"Aku bukan
Susiokmu," tiba-tiba Hi-tiok memotong, "Aku pun bukan Ciangbunjin
kalian apa segala, tapi aku adalah hwesio Siau-lim-si dan tiada sangkut-paut
apa-apa dengan Siau-yau-pai kalian."
"Susiok, mengapa engkau
tidak mau mengaku?" kata Kong-leng, "Apabila bukan orang kita
sendiri, orang luar sekali-kali tidak mungkin mengenal nama 'Siau-yau-pai',
Jika orang luar mendengar nama golongan kita ini, baik sengaja atau tidak, maka
menurut peraturan yang kita terapkan, orang itu harus dibunuh tanpa ampun,
biarpun kemana orang itu akan lari, keujung langit sekalipun juga harus diuber
dan dibunuh."
Keruan Hi-tiok bergidik
sendiri, katanya dalam hati. "Wah, peraturan ini benar-benar sangat aneh,
Jika demikian, andaikan aku tidak mau masuk perguruan mereka, bukankah aku akan
dibunuh juga oleh mereka?"
Dalam pada itu Kong-leng telah
berkata pula, "Cara penyembuhan yang digunakan Susiok untuk menolong semua
orang tadi memang benar adalah lwekang golongan kita, Cara bagaimana Susiok
masuk perguruan kita dan kapan mendapat ajaran asli kakek guru, hal ini Siautit
tidak berani banyak bertanya, sebab mungkin juga Suhu yang mewakilkannya
menerima murid lagi untuk menyerahkan jabatan Ciangbunjin. Pendek kata, yang
sudah terang 'Siau-yau-sin-sian-goan'(cincin dewa bebas merdeka) terpakai
dijari Susiok, sebelum meninggal Suhu juga menyebut engkau sebagai
'Ciangbunjin', maka Susiok tidak perlu main tolak lagi."
Menurut jalan pikiran Kheng
Kong-leng, sudah terang kakek gurunya telah dibunuh Ting Jun-jiu pada tigapuluh
tahun yang lalu, sedangkan usia Hi-tiok paling-paling baru 21 atau 22 tahun,
betapapun tidak mungkin adalah murid yang diterimanya pada masa hidup Thai-suhu
(kakek guru) boleh jadi Thai-suhu telah menetapkan peraturan bahwa barang siapa
yang dapat memecahkan problem catur itu adalah muridnya. Atau mungkin juga So
Sing-ho yang mewakilkan gurunya yang sudah wafat itu untuk menerima murid lagi,
hal ini bisa terjadi karena didunia persilatan memang sudah pernah ada, Dan
sebagai angkatan yang lebih muda, maka Kong-leng tidak berani banyak bertanya
lagi.
Ketika Hi-tiok memandang
sekitarnya, ia lihat disebelah sana Hui-hong dan kawan-kawannya sedang
menggotong jenazah Hian-lan kesamping, sebaliknya mayat So Sing-ho masih tetap
kaku berlutut ditempatnya dengan wajah tersenyum senyuman aneh itu, Tiba-tiba
hati Hi-tiok menjadi pedih, katanya,
"Tentang urusan ini sukar
untuk dijelaskan dalam waktu singkat. Yang penting sekarang ialah cara
bagaimana harus membunuh Ting Jun-jiu untuk membalas sakit hati Suhu kalian dan
Susiokco-ku, Locianpwe....."
Mendengar dirinya dipanggil
sebagai 'Locianpwe', cepat-cepat Kong-leng berlutut lagi dan menutur,
"Hendaknya Susiok jangan menyebut Siautit dengan demikian, mana Siautit
berani menerimanya!"
"Baiklah, lekas kau
bangun!" kata Hi-tiok sambil mengerut kening. Dalam hati ia pun
menimbang-nimbang. "Untuk membunuh Ting Jun-jiu, ilmu silat Siau-lim-pai
terang tak berguna, biarpun aku berlatih dengan giat, selama hidup ini juga
belum tentu mampu mencapai tingkatan seperti Susiokco Hian-lan Taisu, Andaikan
dapat
mencapai setinggi itu tetap
tidak mampu menahan sekali hantaman Sing-siok Lokoai, apalagi untuk mencapai
tingkatan setinggi itu diperlukan berpuluh tahun lagi, tatkala mana tentu Ting
Jun-jiu juga sudah mati dan tidak mungkin lagi dapat membalas dendam apa
segala, Maka untuk bisa membunuh Ting Jun-jiu tiada jalan lain kecuali melatih
ilmu sulat Siau-yau-pai."
Maka ia berkata,
"Locianpwe...."
Mendengar ucapan ini,
"bluk", kembali Kheng Kong-leng berlutut lagi.
Cepat Hi-tiok berseru,
"O, ya aku lupa, aku takkan menyebut demikian lagi padamu. Lekas bangun!"
Lalu ia keluarkan gulungan
lukisan yang diterimanya dari sikakek, ia bentang lukisan itu dan berkata,
"Suhumu mengatakan padaku bahwa berdasarkan benda ini aku disuruh berusaha
belajar ilmu silat untuk membasmi Ting Jun-jiu kelak."
Setelah Kheng Long-leng
periksa lukisan wanita cantik berpakaian keraton dalam gambar itu, ia geleng
kepala dan berkata, "Siautit tidak paham apa maksud lukisan ini, harap
Susiok menyimpannya dengan baik dan jangan sampai dilihat orang luar, Jika Suhu
telah memberi pesan begitu, diharap Susiok suka mengingat meninggalnya Suhu
yang mengenaskan itu dan sudi melaksanakan pesannya. Yang hendak Siautit lapor
kepada Susiok ialah racun yang mengenai Suhu itu disebut
'Sam-siau-siau-yan-san'(puyer enak tiga kali tersenyum), Racun itu tak
berwujud, mula-mula yang terkena racun akan mengunjuk senyuman aneh tanpa
dirasakan oleh sipenderita racun. Dan bila tersenyum sampai tiga kali, lalu
orangnya akan binasa!"
"Ai, benar-benar
celaka," ujar Hi-tiok dengan rasa malu, "Justru waktu gurumu mula-mula
keracunan, aku salah sangka senyumannya itu bermaksud jelek. Coba kalau tadi
kutanya dengan setulus hati dan segera memberi pertolongan, mungkin Suhu kalian
takkan telanjur meninggal seperti sekarang."
"Siapa yang terkena
'Sam-siau-siau-yau-san' itu tentu sukar ditolong lagi." kata Kong-leng
sambil goyang kepala, "Sebab Ting-lojat bisa malang melintang didunia
persilatan, salah satu gegamannya adalah karena 'Siau-yau-san' itu. Orang luar
hanya kenal Hoa-kang-tai-hoatnya yang lihai, padahal 'Siau-yau-san' jauh lebih
lihai, karena setiap orang yang kena racun itu pasti binasa."
"Wah, racun itu
benar-benar maha jahat," kata Hi-tiok. "Tapi tadi aku pun berada
disamping gurumu, mangapa aku tidak melihat cara Ting-lojat turun tangan
kejinya? Apa lantaran ilmu silatku terlalu rendah dan kurang pengalaman? Pula,
mengapa Ting-lojat tidak turun tangan keji padaku, sebaliknya jiwaku
diampuni?"
"Ya, mungkin dia anggap
kepandaianmu terlalu cetek, maka tidak sudi turun tangan kepada seorang keroco.
Ciangbun Susiok, kulihat
usiamu memang masih muda, berapa tinggi sih kepandaianmu? Meski cara
penyembuhan tadi sangat baik dan juga atas ajaran guruku memang bukan sesuatu
yang luar biasa, makanya Ting-lojat tidak pandang sebelah mata padamu."
demikian kata Kong-leng.
Meski dia terhitung kepala
"yu-kok-pat-yu", umurnya sudah tergolong kakek-kakek, tapi cara
bicaranya lebih mirip kanak-kanak. Meski Hi-tiok sudah diakui sebagau Ciangbun
Susiok, tapi ia tetap bicara terus terang tanpa rikuh-rikuh.
Sebaliknya Hi-tiok juga tidak
pikirkan ucapan orang itu, sahutnya, "Ya, memang betul apa yang kau
katakan, ilmu silatku terlalu rendah, maka Ting-lijat tidak sudi membunuhku,
Ai, dosa, dosa! Sebagai murid Buddha, mana boleh aku sembarangan memaki?"
"Susiok, tidak betul
ucapanmu ini," kata Kong-leng. "Kaum Siau-yau-pai kita tidak
tergolong Hud (buddha) atau To (Tao), kita boleh bertindak mana suka, betapa
bebas merdeka (Siau-yau) hidup kita ini? Engkau adalah Ciangbunjin, lebih baik
lekas tanggalkan jubahmu dan piara rambut kembali, peduli apakah Hud atau To
segala?"
Setiap kali Kong-leng bicara,
setiap kali pula Hi-tiok menyebut "Omitohud", Dan sesudah Kong-leng
selesai berkata, lalu Hi-tiok menjawab;
"Dihadapanku jangan lagi
kau gunakan kata-kata yang menodai nama Buddha yang maha pengasih. Tadi kau
bilang ada sesuatu yang hendak dikatakan padaku, sebenarnya urusan
apakah?"
"Ai, celaka!" seru
Kong-leng. "Aku memang sudah pikun ini, bicara setengah harian ternyata
belum sampai kepada pokok persoalannya, Eh, Ciangbun Susiok, bila engkau sudah
tua kelak, jangan sekali-kali meniru penyakitku ini, Thian-san Tong-lo dalam
lukisanmu itu paling tidak suka pada orang ceriwis, dahulu Thaisuhu
pernah....Ai, celaka, mulutku terlanjur mencerocos hingga hampir-hampir membocorkan
rahasia ini. Untung engkau adalah Ciangbunjin sendiri dan tidak menjadi soal,
kalau orang luar, wah, bisa runyam."
"Thian-san Tong-lo apa
katamu? Apakah wanita cantik dalam lukisan ini bukan nona Ong yang diluar
tadi?" Hi-tiok menegas.
"Karena Ciangbunjin
tanya, terpaksa Siautit tidak berani berdusta." tutur Kong-leng,
"Wanita cantik dalam lukisan itu she Tong, sudah tentu beliau bukan nona
Ong segala, Tong-lolo (nenek Tong) itu bila bertemu selalu menyebut aku sebagai
siauwawah (anak kecil). Tentang yang lain harap jangan engkau tanya lebih jauh,
sebab kalau kau tanya, tentu aku harus menjawab. Dan kalau aku mesti menjawab
tentu aku akan serba susah serba kikuk."
"Baiklah, aku takkan
tanya lagi." kata Hi-tiok. "Dan apa lagi yang hendak kau katakan?"
"Wah, cialat, bicara
sampai sekarang masih belum sampai pada pokok persoalannya, benar-benar
cialat," seru Kong-leng. "Ciangbun Susiok, aku cuma ingin mohon dua
hal dan sudilah engkau meluluskan."
"Urusan apa mesti minta
ijin padaku?" sahut Hi-tiok, "Mana aku berani terima?"
"Ai, urusan penting
golongan kita kalau tidak dimintakan ijin Ciangbunjin, habis mesti minta kepada
siapa?" ujar Kong-leng.
"Urusan pertama kami
berdelapan dahulu telah dikeluarkan dari perguruan, hal ini bukan lantaran kami
berbuat dosa melainkan karena Suhu kuatir kami dicelakai Ting-lojat, pula
beliau tidak tega membikin tuli dan bisu kami, makanya aku diusir begitu saja.
Hari ini Suhu sudah tarik kembali sumpahnya kepada Ting-lokoai dan kami disuruh
kembali masuk perguruan, cuma belum lagi dilaporkan kepada Ciangbunjin, pula
belum dilakukan upacara, maka belum dapat dianggap resmi, sebab itulah perlu
dimintakan perkenan Ciangbunjin. Kalau tidak, tentu kami akan menjadi setan
gentayangan didunia persilatan tanpa punya asal-usul."
Hi-tiok menjadi ragu, Ia pikir
jika dirinya tidak mengaku sebagai Ciangbunjin, tentu kakek didepannya itu akan
bicara terus tidak habis-habisnya. Terpaksa ia mesti menerima dulu
permintaannya dan urusan belakang.
Maka ia lantas menjawab.
"Jika gurumu sudah mengijinkan kalian masuk kembali perguruan, dengan
sendirinya hal itu sudah resmi, kenapa mesti kuatir?"
Kheng Kong-leng sangat girang,
segera ia berseru kepada kawan-kawannya, "Para Sute dan Sumoai, Ciangbun
Susiok sudah meluluskan permintaan kita untuk masuk kembali perguruan!"
Segera Hoan Pek-ling bertujuh
beramai-ramai kerubung maju dan memberi hormat kepada Ciangbun Susiok untuk
menyampaikan terima kasih.
Hi-tiok menjadi serba salah,
menolak salah, tidak menolak, kedudukannya sebagai "Ciangbun" menjadi
semakin kuat dan susah dielakkan lagi. Sedangkan Hui-hong, Hui-si dan para
paman gurunya yang lain masih berada disebelah sana, dirinya jelas adalah anak
murid Siau-lim-si, tapi sekarang telah menjadi Ciangbunjin golongan tak karuan
itu, bukankah terlalu? Sebaliknya dilihatnya Hoan Pek-ling dan lain-lain
teramat girang, kalau sekarang dia mengemukakan soal Ciangbunjin, tentu akan
membikin suasana berubah kurang enak, Maka terpaksa ia hanya tersenyum saja
tanpa menjawab.
Sementara itu Kong-leng lantas
memanggil pula, "A Pik, kemarilah memberi hormat kepada Susiokco."
Segera A Pik mendekati Hi-tiok
dan memberi hormat dengan lemah-lembut.
Berulang Hi-tiok menggoyang
tangan dan berkata, "Ai, nona tidak perlu banyak adat."
Kemudian Kong-leng membuka
suara lagi, "Susiok, urusan kedua yang ingin kumohon adalah semoga aku
diperbolehkan menerima kembali anak dara ini."
Hi-tiok menjadi heran, ia
menegas, "Menerima kembali anak dara ini apa maksudmu?"
"Begini." tutur
Kong-leng, "Tidak lama sesudah anak dara ini menjadi muridku, lalu ia
buru-buru melarikan diri atas desakan musuh dan berlindung ditempat kediaman Buyung-kongcu
dan menjadi dayangnya. Selama beberapa tahun ini benar-benar telah membikin
susah dia. Kini usianya sudah menanjak, pula kami berdelapan saudara sudah
berkumpul kembali serta akan mengikut Susiok untuk berusaha membalas sakit hati
Thaisuhu dan Suhu, untuk ini A Pik juga perlu ikut mencurahkan sedikit
tenaganya. Disamping itu bila musuh berani mencarinya lagi, kini kita pun tidak
kuatir apa-apa dan kita dapat bersama-sama melabraknya. Sebab itulah kumohon
Susiok suka bicara kepada Buyung-kongcu agar dia mau membebaskan A Pik pulang
keasalnya."
Hi-tiok merasa ragu, Kemudian
ia menegas, "Apakah mesti aku yang bicara padanya?"
"Dengan kedudukan
Ciangbun Susiok, asal engkau buka mulut, tentu Buyung-kongcu akan segan
menolak," ujar Kheng Kong-leng.
"Dan bagaimana pendapat
nona?" tanya Hi-tiok kepada A Pik.
A Pik agak heran, sahutnya
kemudian, "Jika demikian kata Suhu, Tecu sudah tentu menurut saja,
Selamanya Buyung-kongcu berlaku sangat baik kepadaku dan tidak anggap tecu
sebagai pelayan, maka asal Susiokco mau bicara padanya, pasti Kongcu akan
meluluskan."
"O!" Hi-tiok
bersuara. Ketika ia menoleh dan hendak dibicarakannya kepada Buyung Hok, jebul
Buyung Hok, Toan Ki, Ong Giok-yan, Hian-lan dan para padri Siau-lim-si tadi
sudah menghilang entah kemana perginya. Jadi disitu sekarang hanya tertinggal
mereka dari Siau-yau-pai sendiri.
"He, kemanakah
mereka?" seru Hi-tiok heran.
"Ketika melihat kita
bicara terus, maka Buyung-kongcu dan kawan-kawannya beserta para padri
Siau-lim-pai sudah pergi semua," sahut komandan Go.
"Haya! mereka sudah
pergi?" seru Hi-tiok terus mengejar kebawah gunung. Maksudnya hendak
menyusul Huikeng dan padri lain untuk bersama-sama pulang ke Siau-lim-si dan
akan memberi laporan kepada sang guru tentang apa yang terjadi.
Dalam gugupnya, larinya
menjadi sangat cepat, sudah hampir setengah jam ia lari dan makin lama makin
cepat, tapi bayangan padri angkatan Hui tetap tidak kelihatan.
Karuan ia tambah gugup, dan
karena itu larinya tambah cepat. Tak diketahuinya bahwa sesudah ia mendapatkan
ilmu sakti peyakinan selama tujuhpuluh tahun dari Siau-yau Lojin, maka betapa
cepat larinya boleh dikata melebihi kuda pacuan, Sebab itulah waktu sampai
dibawah gunung, sebenarnya para padri Siaulim-si yang dicarinya itu malah
ketinggalan dibagian belakang. Ia sangka orang yang hendak dicari itu sudah
jauh didepan, tak tahunya pada suatu tikungan secara tergesa-gesa ia sudah
mendahului Hui-keng dan lain-lain, dan hanya dalam sekejap saja sudah jauh
meninggalakan mereka.
Hui-keng berenam menggotong
jenazah Hian-lan, sekilas mereka melihat bayangan Hi-tiok melayang lewat
disebelah sana dengan kecepatan luar biasa, keruan mereka saling pandang dengan
terperanjat, mereka tidak tahu apa sebabnya mendadak Hi-tiok dapat berlari
secepat terbang.
Mereka terus membawa jenazah
Hian-lan kebawah gunung, mereka mencari suatu kelenteng dan membakar mayat
Hian-lan, kemudian pergi ketempat tinggal Sih-sin-ih di Liu-cong-tin untuk
memperabukan jenazah Hian-thong, abu tulang kedua padri itu diisi dalam
tempurung dan dibawa pulang ke Siau-lim-si.
Sudah tentu biar Hi-tiok
berlari-lari sampai dekat magrib juga tetap tidak menemukan jejak Hui-keng
berenam. Ia sangat heran, ia mengira mungkin dirinya kesasar, maka ia lari
kembali kearah datangnya tadi sejauh belasan li, tapi tetap tidak diketemukan.
Ia coba tanya orang ditepi
jalan, namun juga tiada seorangpun melihat keenam hwesio yang dimaksudkan.
Padahal waktu itu hari sudah hampir gelap, perutnya terasa lapar, segera ia
menuju kesuatu kota kecil yang tidak jauh dari situ, ia masuk kesuatu warung
makan, ia ambil tempat duduk dan pesan dua mangkuk mi sayur.
Karena santapan tidak bisa
lantas disediakan, sambil menunggu Hi-tiok terus mengawasi jalan diluar, ia
longok sana dan longok sini kalau-kalau melihat kawan yang sedang dicari itu.
"Taisuhu, apakah engkau
sedang menanti seseorang?" demikian tiba-tiba didengarnya suara seorang
yang nyaring merdu bertanya.
Waktu Hi-tiok berpaling, ia
lihat penegur itu adalah seorang pemuda berbaju hijau yang duduk menyanding
meja didekat jendela sebelah kiri sana. Muka pemuda itu putih bagus dan sedang
memandang kearahnya dengan tersenyum simpul, usianya ditaksir baru tujuh belas
atau delapan belas tahun saja.
Maka Hi-tiok menjawab,
"Ya, betul! Eh, Siausiangkong (tuan muda cilik), apa kau lihat enam hwesio
berlalu disini?"
"Enam hwesio sih tidak
melihat, kalau seorang hwesio memang kulihatnya." sahut pemuda itu.
"Hah, seorang hwesio?
Dimana Siausiangkong melihatnya?" Hi-tiok menegas.
"Disini, diwarung makan
ini," kata sipemuda.
Diam-diam Hi-tiok pikir
seorang hwesio itu tentu bukanlah rombongan paman gurunya, tapi dari seorang
padri itu mungkin akan diperolah sedikit kabar, Maka ia tanya pula,
"Bagaimanakah macam hwesio itu? Berapa usianya? Dan menuju kemana?"
Dengan tersenyum pemuda itu
menjawab, "Hwesio itu berjidat lebar, bertelinga besar, bibirnya tebal dan
mulutnya lebar, hidungnya pesek, usianya kira-kira dua puluh lebih sedikit, dia
lagi tunggu mi yang dipesannya diwarung makan ini dan belum pergi."
"Hahaha! Kiranya yang dimaksudekan
Siausiangkong adalah diriku!" demikian Hi-tiok tertawa ngakak.
"Hm, kalau panggil
Siangkong ya Siangkong saja, mengapa mesti tambahkan 'Siau'(kecil) apa segala?
Aku kan tidak panggil dirimu sebagai Siauhwesio?" omel pemuda itu dengan
suara yang halus merdu dan enak didengar.
"Ya, ya, aku harus
panggil Siangkong saja," sahut Hi-tiok. Dalam pada itu kedua mangkuk mi
sayur yang
dipesan sudah disuguhkan, maka
Hi-tiok berkata pula, "Marilah makan, Siangkong."
"Ah, hanya air bening dan
sayur belaka, sedikit pun tidak pakai bumbu, mi begitu masakah enak
dimakan?" demikian pemuda itu menjawab. "Ini, marilah kesini,
duduklah semeja denganku, biar kujamu kau makan daging dan ayam panggang."
"Ai, dosa, dosa! Selama
hidup Siauceng belum pernah merasakan barang berjiwa, harap Siangkong dahar
sendiri saja." kata Hi-tiok. Lalu ia sedikit mungkur serta makan mi
pesanan sendiri, tampaknya ia enggan menyaksikan cara sipemuda menggasak daging
dan ayam dengan lahapnya itu.
Rupanya Hi-tiok memang sudah
lapar, maka hanya beberapa kali seropot saja isi setengah mangkuk mi itu sudah
"dilangsir" kedalam perut.
Waktu Hi-tiok menoleh, ia
lihat tangan kanan sipemuda memegang sendok dan sudah menceduk satu sendok
kuah, rupanya baru hendak dituangkan kemulut, tapi mendadak menemukan sesuatu
yang aneh, maka sendok kuah itu terhenti belasan senti didepan mulutnya.
Kemudian tangan kiri entah menjemput sesuatu apa dari atas meja, lalu pemuda
itu berbangkit dan mendekati Hi-tiok sambil membawa satu sendok kuah itu,
katanya,
"Hwesio, coba lihatlah!
Kutu ini sangat aneh, bukan?"
Waktu Hi-tiok memperhatikan,
ia lihat apa yang diremas tangan kiri pemuda itu adalah seekor serangga yang
berkulit keras warna hitam. Serangga macam itu terdapat dimana-mana dan sedikit
pun tidak mengherankan, diam-diam ia menduga pemuda itu pasti jarang keluar
rumah, makanya melihat serangga begitu juga heran setengah mati, Segera ia
menjawab,
"Dimana letak
keanehannya?"
"Coba lihat, kulitnya
sekeras ini, warnanya hitam kilap pula, kan aneh?" ujar pemuda itu.
"Ah, pada umumnya
serangga berkulit keras memang begitu bentuknya," sahut Hi-tiok.
"O?" ujar pemuda
itu, serangga hitam itu dibantingnya ketanah, lalu ia kembali ketempat
duduknya.
"Dosa! Dosa!"
Hi-tiok menggerundel sambil meneruskan makan mi.
Boleh jadi karena seharian
belum makan apa-apa, maka ia sangat lapar, mi itu dirasakan sangat enak hingga
mi itu diseropot habis sampai kuahnya setetespun tidak ketinggalan.
Segera mangkuk kedua
diangkatnya terus hendak diseropot lagi, tapi mendadak pemuda tadi bergelak
tertawa dan berkata, "Hwesio, kukira kamu benar-benar seorang Hwesio suci,
siapa tahu cuma pura-pura saja."
"Ada apa?" Hi-tiok
melotot.
"Habis, katanya selama
hidupmu tidak pernah merasakan barang berjiwa, tapi mi kuah ayam itu mengapa
kau seropot sedemikian nikmatnya?"
"Ah, Siangkong suka
berkelakar rupanya." sahut Hi-tiok. "Sudah jelas mi yang kumakan
adalah mi sayur saja, dari mana datangnya kuah ayam! Tadi aku sendiri yang
pesan pelayan agar dibuatkan mi sayur, sedikit pun tidak boleh diberi
bumbu."
"Ala, pura-pura!"
sipemuda berolok-olok dengan tersenyum. "Dimulut kau bilang tidak doyan
barang berjiwa, tapi sekali merasakan kuah ayam lantas disapu bersih, Haha,
Hwesio, maukah kutambah lagi satu sendok kuah ayam dalam mangkukmu itu?"
Habis berkata ia terus
menyeduk lagi satu sendok kuah ayam dan berbangkit hendak mendekati Hi-tiok.
Karuan Hi-tiok terperanjat,
"Jadi....jadi tadi.... kau telah....."
"Ya, tadi aku sudah
menambahkan satu sendok kuah ayam didalam mi yang kau makan, masakah kamu tidak
melihat? Ai, Hwesio, lekas tutup mata dan pura-pura tidak tahu, biar kutambahi
lagi satu sendok kuah ayam supaya lebih enak, lebih lezat, Toh bukan kamu yang menambahi
sendiri, Buddha tentu takkan menyalahkanmu."
Hi-tiok terkejut dan gusar,
Baru sekarang ia tahu dirinya diselomoti. Pemuda itu pura-pura tanya serangga
segala, padahal diluar tahunya lantas menuangkan satu sendok kuah ayam kedalam
mangkuknya. Ia coba bayangkan rasa kuah tadi, ia merasa memang betul jauh lebih
lezat. Cuma saja selama hidupnya tidak pernah merasakan kuah ayam, makanya tadi
ia tidak tahu itulah rasanya kuah ayam.
Sekarang kuah ayam itu sudah
terminum kedalam perut, lantas bagaimana baiknya? Apakah mesti ditumpahkan
kembali? Seketika ia menjadi bingung.
"Hwesio," kata
sipemuda sambil menuding keluar, "Itu dia, keenam hwesio yang hendak kau
cari itu bukankah sudah datang?"
Hi-tiok menjadi girang, cepat
ia memburu keluar untuk melihat, tapi meski ia celigukan kian kemari toh tiada
seorang pun yang terlihat. Ia tahu kembali tertipu lagi, dengan mendongkol ia
kembali ketempatnya untuk makan mi lagi, Sebagai orang beragama yang tidak
boleh marah, sedapat mungkin ia tahan perasaannya itu.
Selagi ia main
"sapu" mi mangkuk kedua itu, baru setengah mangkuk dimakan,
sekonyong-konyong mulut terasa mencaplok sepotong benda aneh yang kenyal-kenyal
rasanya. Dalam kagetnya segera ia periksa isi mangkuknya, maka tertampaklah
didalam mangkuk terdapat sepotong daging babi, malahan setengah potong sudah
tergigit, terang baru saja kena dimakannya.
"Wah, celaka!" seru
Hi-tiok mengeluh sambil gabrukkan sumpitnya keatas meja.
"Ada apa, Hwesio? Apakah
daging itu tidak enak, mengapa kamu mengeluh?" tanya tiba-tiba sipemuda
dengan tertawa.
"Kau tipu aku keluar,
lalu menaruh daging ini didalam mangkukku," kata Hi-tiok dengan
marah-marah "Padahal aku.... aku tidak pernah merasakan sedikitpun barang
berjiwa, wah, aku... aku jadi rusak ditanganmu."
"Rasa daging gemuk itu
bukankah jauh lebih lezat daripada sayur dan tahu?" ujar sipemuda dengan
tersenyum. "Kalau sejak dahulu kamu tak pernah makan barang enak seperti
itu, sungguh kamu orang bodoh."
Hi-tiok berbangkit dengan
bingung, menyesalnya tak terkatakan. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara
ramai orang banyak sedang menuju kewarung makan ini.
Sekilas Hi-tiok mengenali
rombongan orang itu adalah anak murid Sing-siok-pai. Diam-diam ia mengeluh lagi,
"Wah, celaka! Kalau sampai ditangkap Sing-siok Lokoai tentu jiwaku bisa
melayang!"
Ia pikir jalan paling selamat
adalah kabur saja, Maka cepat ia lari kebelakang, ia lihat sebuah pintu, segera
ia mendorong dan masuk, Ternyata pintu itu bukan pintu belakang melainkan pintu
sebuah kamar. Maklum,
warung makan dikota kecil,
ruangannya terbatas, maka kamar tidur pemilik warung itu terletak disebelah
ruangan makan tamu.
Pikir Hi-tiok hendak melangkah
keluar kembali, tapi dibelakang sudah terdengar suara orang minta pelayan
menyediakan arak dan daharan. Terang anak murid Sing-siok-pai itu sudah
memasuki ruang makan. Sudah tentu Hi-tiok tidak berani keluar kembali, terpaksa
ia tutup pintu kamar itu.
"Tidurkan hwesio gemuk
itu didalam sana." tiba-tiba terdengar suara seorang memberi perintah,
Itulah suara Ting Jun-jiu.
Seorang muridnya mengiakan,
lalu terdengar suara tindakan yang berat menuju kekamar tidur itu.
Keruan Hi-tiok ketakutan,
tiada jalan lain, terpaksa ia berjongkok terus menyusup kekolong ranjang. Tapi
baru saja kepalanya menyusup kedalam, segera terasa kepalanya membentur sesuatu
benda dan suara seorang terdengar menjerit tertahan.
Kiranya dikolong ranjang itu
lebih dulu sudah bersembunyi seorang lain. Tentu saja Hi-tiok bertambah kaget,
maksudnya hendak menyusup keluar lagi, tapi murid Sing-siok-pai tadi sudah
mendorong pintu kamar dan melangkah masuk, badan Sam-ceng yang gemuk bagai babi
itu dilemparkan keatas ranjang lalu ditinggal keluar lagi.
"Hwesio, daging tadi enak
tidak? Kenapa kau sembunyi disini?" demikian tiba-tiba suara seorang
membisiki Hi-tiok. Kiranya sipemuda tadi.
Diam-diam Hi-tiok harus
mengakui kecepatan pemuda itu yang dapat bersembunyi lebih dulu dari dia. Maka
dengan bisik-bisik ia pun menjawab. "Rombongan diluar itu adalah orang
jahat semua jangan sekali-kali Siangkong bersuara."
"Dari mana kau tahu
mereka orang jahat?"
"Aku kenal mereka.
Orang-orang itu tidak boleh dibuat mainan, mereka sudah biasa membunuh orang
tanpa berkedip."
Selagi pemuda itu hendak
mencegahnya agar jangan keras-keras bersuara, mendadak Sam-ceng yang
menggeletak diatas ranjang berteriak-teriak, "Dikolong ranjang ada orang!
Dikolong ranjang ada orang!"
Keruan Hi-tiok dan pemuda itu
terkejut, berbareng mereka merangkak keluar dari kolong ranjang dan hendak lari
keluar, namun Ting-lokoai sudah keburu berdiri didepan pintu dengan
tersenyum-senyum dingin, air mukanya tampak sangat senang dan sangat kejam pula.
Seketika sipemuda menjadi
pucat terus berlutut dan menyapa, "Suhu!"
"Bagus, Bagus! Nah, mana,
serahkan!" kata Ting-lokoai dengan tertawa.
"Aku tidak
membawanya," sahut si pemuda.
"Tersimpan dimana?"
tanya Lokoai.
"Dikota Lamkhia dinegeri
Liau," sahut pemuda itu.
Seketika mata Ting Jun-jiu
menyorotkan sinar yang buas, katanya, "Kamu masih berani menipuku? Apa kau
minta dibikin hidup tidak mati pun tidak?"
"Tecu tidak berani menipu
Suhu." sahut si pemuda.
Lokoai melirik sekejap kepada
Hi-tiok lalu tanya pemuda itu. "Kenapa kamu berada bersama dia?"
"Barusan saja bertemu
diwarung makan ini." sahut pemuda itu.
"Hm, bohong!" Lokoai
mendengus, dengan gemas ia pandang sekejap kepada kedua orang itu, lalu kembali
ketempat duduknya.
Segera empat murid
Sing-siok-pai menyerbu kedalam kamar dan mengepung Hi-tiok dan pemuda itu.
Sungguh Hi-tiok sangat kaget
dan menyesal pula, semprotnya, "Huh, kiranya kau pun murid
Sing-siok-pai!"
"Kau sendiri yang salah,
kenapa mengomeli aku?" sahut si pemuda.
"Sumoai, baik-baikkah
selama berpisah?" tiba-tiba seorang murid Sing-siok-pai menyapa pemuda itu
dengan nada mengejek dan sikap bangor.
Hi-tiok menjadi heran.
"He? Jadi kau.... kau...."
"Huh, dasar Hwesio
goblok, Hwesio busuk! Sudah tentu aku seorang perempuan, masakah kamu tidak
tahu sejak tadi?"
Kiranya pemuda itu adalah
samaran Aci.
Dia sudah lama tinggal di
Lamkhia, ibu-kota negeri Liau. Meski hidupnya serba mewah dan segala apa
terpenuhi, tapi dasar wataknya suka bergerak, lama kelamaan ia merasa bosan,
Kiau Hong sendiri sibuk dengan urusan dinas hingga tidak dapat mendampingi dia
bermain dan berburu setiap hari. Maka pada suatu hari, saking iseng dan kesal
ia turun ke Tionggoan lagi tanpa pamit, ia mengembara kemana-mana dan secara
kebetulan hari ini bertemu dengan Hi-tiok, akhirnya dipergoki Ting Jun-jiu
pula.
Aci menyangka gurunya tentu
enak-enak bersemayam di Sing-siok-hai dan tidak mungkin menginjak Tionggoan
lagi, siapa tahu dikota kecil ini justru kepergok. Meski lahirnya ia bersikap
seperti tidak terjadi apaapa, padahal dalam hati ia ketakutan setengah mati.
Ia duduk ditepi ranjang sambil
memikirkan cara meloloskan diri, katanya didalam hati, "Hanya Cihu yang
mampu menolong aku, orang lain terang tiada yang mampu melawan Suhu. Jalan
satu-satunya sekarang terpaksa mesti menipu Suhu supaya pergi ke Lamkhia dan
mungkin akan dapat menggunakan tangan Cihu untuk membunuh Suhu. Untung
Pek-giok-giok-teng itu memang kutinggalkan di Lamkhia, untuk itu Suhu harus
menemukannya kembali."
Berpikir begitu hatinya
menjadi agak tentram, tapi segera berpikir lagi, "Jika Suhu membikin cacat
aku lebih dulu dan memunahkan ilmu silatku, lalu aku digiring ke Lamkhia, wah,
siksaan demikian mungkin jauh lebih menderita daripada mati saja." Karena
pikiran ini, wajahnya kembali pucat lagi.
Pada saat itulah seorang murid
Sing-siok-pai mendekati dan berkata padanya dengan cengar-cengir.
"Toasuci, Suhu memanggilmu."
Diam-diam Hi-tiok membatin,
"Kiranya nona ini bukan saja murid Sing-siok-pai, bahkan adalah murid Ting
Jun-jiu yang tertua. Wah, celaka? Dia telah diberikan racun?"
Padahal A Ci sengaja
menggodanya melanggar pantangan makan barang berjiwa hanya karena terdorong
oleh kenakalan dan kejahilannya saja, kalau orang lain dibuatnya marah-marah
dan mendongkol, maka senanglah dia, maksud lain tidak ada, Kini demi mendengar
Suhu memanggilnya, keruan ia ketakutan seperti tikus ketemu kucing.
Dengan kebat-kebit ia ikut
murid Sing-siok-pai itu keluar kamar, Ia lihat Ting Jun-jiu duduk sendiri
menyanding satu meja dengan hidangan dan arak, para muridnya berdiri tegak jauh
disebelah sana, tiada seorang pun berani sembarangan bergerak..
A Ci melangkah maju dan
menyapa sambil berlutut, "Suhu!"
"Sebenarnya berada
dimana?" tanya Ting-lokoai.
"Mana Tecu berani dustai
Suhu, benar-benar berada di Lamkhia, di negeri Liau," sahut A Ci.
"Di-tempat mana di kota
itu?" Lokoai menegas.
"Didalam istana Lam-ih
Siau-taiong," sahut A Ci.
"Kenapa bisa jatuh
ditangan anjing Cidan itu?" ujar Lokoai sambil berkerut alis.
"Bukan berada
ditangannya." tutur A Ci, "Suatu waktu Tecu sampai disana, kuatir
pusaka Suhu itu kuhilangkan, maka diam-diam Tecu menyembunyikannya ditaman
bunga Siau-taiong, Taman itu sangat sunyi dan sangat luas, kecuali Tecu tentu
tiada orang lain lagi yang dapat menemukan Giok-ting itu, untuk itu harap Suhu
jangan kuatir."
"Hm, hanya kau sendiri
yang dapat menemukannya kembali?" jengek Ting-lokoai, "Lihai juga
kamu ini! Dengan begitu kau yakin aku tak membunuhmu! Sebab bila kubunuhmu
Giok-ting itu takkan kutemukan lagi, ya?" kata Ting-lokoai.
A Ci jadi gemetar, sahutnya
kemudian. "Jika Suhu tidak suka mengakui lagi Tecu yang nakal dan akan
menghukum membikin cacat aku,
maka tecu akan menerima saja dan tak....takkan memberitahukan dimana adanya
Giok-ting itu."
Saking takutnya hingga
suaranya seakan hilang dan makin lirih.
"Hah, kamu setan cilik,
ingin main tawar menawar denganku." sahut Lokoai dengan tersenyum.
"Dalam Singsiok-pai terdapat orang lihai seperti kamu dan aku sama sekali
tidak tahu, sekali ini penglihatanku benar-benar telah salah lihat."
Mendadak seorang murid
Sing-siok-pai berseru, "Sing-siok Losian dapat memandang segala apa yang
akan terjadi, karena tahu Giok-ting itu akan mengalami alangan demikian, Maka
sengaja dibiarkan melalui tangan A Ci supaya benda itu mengalami gemblengan
yang lebih sempurna."
Watak Ting Jun-jiu memang
paling suka diumpak dan dijilat orang, Semakin seram orang menjilatnya, semakin
senang hatinya. Sebaliknya kalau anak muridnya itu tidak memujinya setinggi
langit, maka ia akan anggap murid itu kurang berbakti padanya.
Karena kenal wataknya itu,
maka bila ada kesempatan para muridnya lantas memuji mati-matian demi
kepentingan sendiri, sebab kalau tidak disukai sang guru, maka jiwanya setiap
saat mungkin bisa melayang.
Sebenarnya tidak seluruh murid
Sing-siok-pai berjiwa rendah, soalnya mereka terpaksa, dan lama kelamaan
menjadi biasa dan tidak kenal malu lagi.
Ting Jun-jiu sendiri hanya
tersenyum-senyum saja menikmati puja-puji murid-muridnya itu sambil
mengeluselus jenggot yang sudah terbakar sebagian besar waktu bertarung dengan
So Sing-ho, jenggot itu sekarang sudah tinggal sedikit saja, tapi akhirnya ia
dapat menggunakan "Siau-yau-sam-sian-san" untuk membunuh So Sing-ho,
maka pertarungan itu tetap dimenangkan olehnya.
Sesudah puas dan kenyang
mendengar puji sanjung anak muridnya itu, akhirnya ia memberi tanda hingga anak
muridnya tidak berani bersuara pula, lalu ia berkata kepada A Ci dengan
tersenyum, "A Ci, apalagi yang hendak kau katakan?"
Tiba-tiba pikiran A Ci
tergerak, "Biasanya Suhu sangat sayang padaku, sebab cara kupuji dia jauh
lebih pintar dan lebih enak didengar daripada para Suheng yang goblok ini,
bicara bolak-balik cuma itu-itu saja yang mereka ucapkan."
Karena itu, segera ia berkata,
"Suhu, sebabnya Tecu berani mencuri Giok-ting, hal ini bukannya tiada
beralasan."
Ting Jun-jiu mendelik,
tanyanya, "Apa alasannya?"
"Waktu Suhu masih muda,
ketika kepandaian belum memuncak seperti sekarang, tentu masih perlu
menggunakan Giok-ting itu untuk dipakai memperdalam ilmu," ujar A Ci,
"Tapi paling akhir ini, setiap orang yang punya mata tentu tahu Suhu
memiliki ilmu sakti setinggi langit. Padaal Giok-ting itu cuma digunakan untuk
mengumpulkan makhluk berbisa saja, dibandingkan ilmu Suhu sudah tentu bukan
apa-apa lagi, boleh dkata kunang-kunang berbanding sinar matahari. Jika Suhu
tidak rela kehilangan Giok-ting itu, paling-paling karena merasa sayang saja
karena barang simpanan lama. Sebaliknya para Suheng sama ribut dan menyangka
Suhu harus memiliki kembali Giok-ting itu, katanya Giok-ting itu adalah pusaka
maha penting perguruan kita segala, kalau hilang akan celakalah kita. Hah,
sungguh terlalu bodoh pendapat mereka itu dan benar-benar terlalu memandang
rendah pada ilmu sakti Suhu."
Senang sekali Ting Jun-jiu
mendengarkan uraian A Ci yang empuk itu, berulang-ulang ia memagut dan berkata.
"Ehm, benar, benar!"
Maka A Ci menyambung lagi,
"Tecu pikir pula betapa tinggi ilmu silat Sing-siok-pai kita, boleh dikata
tiada suatu golongan pun diatas dunia ini dapat menandingi kita. Soalnya Suhu
adalag orang tua dan tidak sudi menjelajah Tionggoan lagi untuk memberi hajaran
kepada jago silat Tionggoan yang mirip katak didalam sumur itu. Tapi diantara
orang Tionggoan itu juga banyak yang sombong, sudah tahu Suhu takkan datang
kemari, mereka lantas membual dan pamer setiap orang mengaku dirinya jago
kosen, ahli silat dan macam2 lagi, sebaliknya tiada seorang pun berani datang
ke Sing-siok-hai untuk belajar kenal dengan kepandaian Suhu, sebab mereka cukup
tahu kepandaian Suhu sukar dijajaki dalamnya. Dengan begitu, lalu jago-jago
silat di Tionggoan banyak yang menonjolkan diri, seperti Buyung-si dari
Koh-soh, namanya menjadi terkenal. Siaulim-si juga mengaku sebagai bintang
cemerlang didunia persilatan, sampai Liong-ah Siansing dan keluarga Toan di
Tayli juga mengaku-ngaku tokoh sakti. Haha, bukankah sangat lucu perbuatan
mereka itu?"
Dasar suara A Ci memang merdu
dan enak didengar hingga setiap katanya mengetuk lubuk hati Ting-lokoai, memang
jauh lebih menyenangkan daripada puja-puji anak muridnya yang lain. Maka wajah
Ting Jun-jiu makin lama makin terang, tampak sekali senangnya tak terkatakan.
Lalu A Ci menyambung pula,
"Maka timbul suatu pikiranku yang kekanak-kanakan, bahwasanya Suhu sudah
begini sakti, jika tidak datang ke Tionggoan dan memperlihatkan sejurus dua
kepada katak-katak didalam sumur itu, tentu mereka tidak tahu bahwa diluar
langit masih ada langit, diatas orang pandai masih ada yang lebih pandai. Sebab
itu Tecu mendapatkan suatu akal untuk mengundang Suhu ke Tionggoan. Cuma, Suhu
bila diundang dengan cara biasa, tentu tidak sesuai dengan kedudukan Suhu yang
lain dari pada yang lain, maka cara mengundang Suhu juga kudu dipakai suatu
cara yang luar biasa. Dan sebabnya Tecu meminjam Giok-ting itu, maksudnya
adalah supaya Suhu sudi datang ke Tionggoan."
"Haha, jika demikian,
jadi maksudmu adalah baik dengan mengambil Giok-ting itu," kata Lokoai
sambil terbahak.
"memang begitulah,"
kata A Ci, "Dan sudah tentu, selain maksud baik Tecu itu ada pula maksud
tujuan pribadiku."
"Maksud pribadi
apa?" Lokoai menegas sambil berkerut kening.
"Maaf Suhu," sahut A
Ci, "Sebagai murid Sing-siok-pai, sudah tentu Tecu berharap agar golongan
kita dapat menjagoi jagat ini, agar bilamana dan dimana pun juga Tecu akan
selalu dihormati orang, dengan demikian bukankah Tecu akan merasa bangga?
Inilah sedikit maksud tujuan pribadiku."
Kembali Ting Jun-jiu terbahak,
katanya, "Bagus, bagus! Sebanyak ini muridku, tiada seorang pun sepintar
dirimu. Kiranya kau curi Pek-giok-giok-ting itu juga bermaksud meninggikan
wibawaku di Bu-lim. Haha, mengingat lidahmu yang tajam ini, sayang juga kalau
aku membunuhmu. Suhumu akan kehilangan seorang murid yang pintar menghiburnya.
Tapi kalau kudiamkan saja tanpa mengusut....."
"Walaupun agak
mengenakkan Tecu, tapi setiap murid Suhu pasti akan berterima kasih kepada
kebijaksanaan Suhu yang luhur, selanjutnya juga pasti akan berjuang untuk
perguruan biarpun badan mesti hancur lebur," demikian A Ci menyela.
"Huh, ocehanmu itu
mungkin dapat menipu orang lain, tapi dihadapanku apa kau kira aku sudah
linglung?" jengek Lokoai, "Maksud tujuanmu ternyata tidak baik. Hm,
kau pikir lebih baik kupunahkan ilmu silatmu atau kuputuskan urat nadimu
saja....."
Berkata sampai disini mendadak
terdengar suara seorang yang lantang berseru, "Tiamkeh (pengurus), bawakan
santapan!"
Waktu Lokoai melirik, ternyata
seorang pemuda berbaju kuning, pedang bergantung dipinggang dan entah sejak
kapan sudah masuk kewarung makan serta duduk dimeja sebelah sana, Itulah dia
Buyung Hok yang siang tadi pernah bergebrak satu kali dengan dia.
Sungguh kejut Lokoai tak
terkatakan. Meski dia asyik mendengarkan omongan A Ci, tapi disebelah meja
mendadak bertambah seorang diluar tahunya, hal ini benar-benar suatu kelengahan
besar, bila Buyung Hok tiba-tiba menyerang, mungkin dirinya sudah kecundang.
Tapi sebagai seorang tokoh berpengalaman, ia dapat berlaku tenang-tenang saja.
A Ci belum pernah melihat
Buyung Hok, diam-diam ia memuji juga demi melihat kecakapan pemuda itu.
Maka tertampak Buyung Hok
angkat tangan menyapa Ting Jun-jiu, "Tabe! Orang hidup dimana-mana selalu
berjumpa. Baru saja kita berpisah dan dalam sekejap saja sudah bertemu
kembali."
"Ya, rupanya kita ini ada
jodoh," sahut Lokoai.
Sementara itu pelayan telah
mendekati Buyung Hok dan bertanya, "Kongcuya ingin makan nasi atau dahar
mi saja?"
"Bawakan satu kati arak
dan kalau ada masakan enak, buatkan beberapa macam sebagai pengiring
arak," pesan Buyung Hok.
Pelayan mengiakan dan
meneruskan pesanan itu kedapur.
Dalam gebrakan siang tadi Ting
Jun-jiu tidak keburu menggunakan Hoa-kang-tai-hoat untuk melawan Buyung Hok,
tapi ia dapat menguji tenaga dalam pemuda itu sangat kuat dan banyak perubahan
pula, ia merasa tiada memperoleh sedikitpun keuntungan. Dengan perangai Lokoai
yang tinggi hati seakan-akan dunia ini dia kuasai, sudah tentu ia tidak rela
duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan orang lain.
Jilid 55
Maka diam-diam ia pikir,
"Apa aku harus bergebrak untuk menentukan unggul dan asor dengan dia atau
menyelesaikan urusan A Ci lebih dulu? Kabarnya ilmu silat orang Buyung dari
Koh-soh ini sukar dijajaki, orang bu-lim tentu tidak sengaja omong kosong,
jangan-jangan Sing-siok Losian yang baru menginjak kaki ke Tionggoan ini akan
terjungkal ditangan bocah ini, jika begitu, wah, sialan benar!"
Dasar Ting Jun-jiu memang
cerdik dan suka pikir panjang, kalau dalam hal ilmu silat tidak yakin benar
akan menang, segera timbul pikirannya untuk menyerang secara menggelap.
Begitulah ia lantas berkata kepada A Ci, "Nah, katakan saja sendiri, kau
ingin kupunahkan ilmu silatmu, memotong urat nadimu, atau kutabas sebelah
tangan atau kakimu saja? Bukankah kamu lebih suka mati daripada mengaku dimana
beradanya benda itu?"
A Ci ketakutan setengah mati,
dengan suara gemetar ia menjawab, "Harap kemurahan hati Suhu, jangan...
jangan anggap sungguh-sungguh ucapan seorang anak....anak kecil seperti
Tecu."
"Ting-siansing,"
tiba-tiba Buyung Hok menyela dengan tertawa, "Usiamu sudah tua, mengapa
masih suka bertengkar dengan anak kecil? Mari, marilah kita keringkan tiga
cawan bersama, mari kita bicara tentang ilmu silat dan sastra! Dihadapan orang
luar mengadakan pembersihan rumah tangga, bukankah agak terlalu?"
Belum lagi Ting Jun-jiu
menjawab, tiba-tiba seorang murid Sing-siok-pai membentak dengan gusar,
"Kamu manusia apa? Suhu kami adalah yang dipertuan agung didunia
persilatan, mana dapat bicara tentang ilmu silat dan sastra apa segala dengan
bocah ingusan macam kau? Dan berdasarkan apa kamu mengajak bicara dengan
Suhuku?"
Lalu seorang lagi ikut
membentak, "Bila kamu menjura dan minta dengan hormat kepada Sing-siok
Losian agar suka memberi petunjuk, boleh jadi beliau akan memberi petunjuk
sejurus dua kepadamu. Tapi sekarang kamu bicara tentang ilmu silat apa segala
dengan beliau, haha, bukankah sangat menggelikan? Hahaha!"
Ia terbahak beberapa kali dan
air mukanya tampak sangat aneh, selang sejenak, kembali ia terbahak dengan
suara agak serak, habis itu lalu mulutnya ternganga tanpa suara sedikitpun,
tapi wajah masih menampilkan senyuman aneh dan lucu.
Para murid Sing-siok-pai
lantas tahu kawan mereka itu terkena racun "Siau-yau-sam-sian-san",
karuan mereka bingung dan takut. Serentak mereka menunduk dan tidak berani
bersuara lagi, bahkan memandang sang guru juga tidak berani. Dalam hati mereka
cuma berpikir. "Entah ucapan apa yang membikin marah Suhu hingga Suhu
membunuhnya dengan cara selihai itu?"
Sebaliknya Ting Jun-jiu merasa
gusar dan was-was pula. Kiranya tadi waktu ia bicara dengan A Ci, pelahan ia
mengebaskan lengan bajunya dengan lwekang yang tinggi hingga bubuk racun
"Siau-yau-sam-sian-san" ditebarkan kearah Buyung Hok.
Bubuk racun itu tak berwarna
dan tak berbau, halusnya luar biasa, ditengah warung makan itu juga
remangremang penerangannya, Lokoai yakin betapi tinggi kepandaian Buyung Hok
juga pasti takkan tahu akan serangan itu. Siapa duga entah dengan cara
bagaimana tahu-tahu bubuk racun itu diputar balikkan kepada muridnya itu.
Kematian seorang murid tidak
menjadi soal bagi Ting-lokoai, tapi diluar tahunya dan entah cara bagaimana
Buyung Hok dapat menghindarkan serangan bubuk racun, bahkan dibelokkan ketubuh
orang lain, kepandaian demikian benar-benar sukar dimengerti.
Dengan pengalaman Ting Jun-jiu
yang luas juga seketika tidak paham ilmu apakah yang dipakai Buyung Hok, hanya
teringat olehnya istilah terkenal "Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin" dari
keluarga Buyung di Koh-soh itu. Terang cara yang digunakan adalah dengan cara
lawan untuk menyerang kembali lawan.
Tapi bubuk racun itu sangat
halus, masakah tanpa tersentuh lantas dapat dihamburkan kembali? Apalagi kalau
memang betul sesuai istilah itu seharusnya serangan kembali itu mesti diarahkan
padanya, mengapa muridnya yang menjadi korban? Hm tentu bocah ini merasa jeri
juga kepadaku, maka tidak berani sembarangan "pegangpegang kumis
harimau".
Terpikir tentang "pegang
kumis harimau", tanpa terasa Lokoai lantas mengelus-elus jenggot sendiri
yang tinggal tidak seberapa karena habis terbakar itu, Tiba-tiba ia merasa
girang malah, pikirnya, "Dengan pengalaman dan kepandaian setinggi So
Sing-ho saja akhirnya juga melayang jiwanya ditangan Losian, Buyung Hok hanya
bocah yang masih ingusan, apa artinya bagiku?"
Pikiran Lokoai itu berputar
dengan cepat, betapapun ia tidak sudi kelihatan lemah disepan muridnya, segera
ia berkata pula, "Buyung-kongcu, kita ini memang ada jodoh, Mari, marilah
kusuguh minum satu cawan arak padamu!"
Sembari berkata jarinya terus
menyelintik dan cawan arak yang terletak didepannya lantas melayang kearah
Buyung Hok.
Tenaga selintikan itu sungguh
sangat hebat dan bagus, cawan arak itu menyambar kedepan dengan tidak
berguncang, setetes arak pun tidak terpecik keluar.
Jika dalam keadaan biasa,
menyaksikan betapa hebat cara Lokoai menyelintik cawan arak itu, tentu anak
murid Sing-siok-pai akan bersorak memuji setinggi langit. Tapi lantaran tadi
mereka telah saksikan seorang kawan mati konyol secara aneh, mereka menjadi
kuatir bila sembarangan menjilat pantat, jangan-jangan keliru lagi dan
akibatnya bisa celaka.
Sebab itulah mereka tidak
berani mengoceh seperti biasanya, hanya bersorak saja sekedarnya, sebab kalau
tidak bersorak jangan-jangan akan dimarahi sang guru juga, dan ini pun akan
membikin celaka mereka.
Dan baru saja cawan arak itu
menyambar sampai didepan Buyung Hok, serentak para murid Sing-siok-pai bersorak
gemuruh sekali. Ada dua-tiga orang yang bernyali ciut, sorakan itu tidak berani
disuarakan, setelah mendengar kawan-kawannya bersorak baru mereka pun
ikut-ikutan, tapi sudah ketinggalan hingga kedengaran lucu sekali suara yang
tidak seragam itu. Apalagi ketika mereka dipelototi oleh kawan-kawan yang lain,
mereka menjadi malu dan takut pula kepada sang guru.
Dalam pada itu Buyung Hok
telah berkata, "Ting-siansing adalah kaum Cianpwe, mana ada kaum Cianpwe
menyuguh arak kepada kaum muda? Cawan arak ini tidak berani kuterima, biarlah
kusuguhkan kepada muridmu saja!"
Menyusul ia terus meniup satu
kali hingga cawan itu mendadak berganti arah dan membelok kesebelah kiri,
menuju arah seorang murid Sing-siok-pai.
Melihat cara Buyung Hok
menyebut itu, Ting Jun-jiu tahu ilmu yang dipakai itu adalah cara "empat
tahil menyampuk seribu kati", semacam kepandaian menggunakan tenaga
sedikit untuk melawan tenaga raksasa. Apalagi sekali sebul saja cawan arak itu
dapat dibelokkan kearah lain, terang caranya itu lebih susah daripada
menyelintik cawan. Jadi jelas kelihatan Ting Jun-jiu telah kalah satu jurus.
Padahal tenaga tiupan Buyung
Hok itu tak bisa dibandingkan begitu saja dengan tenaga selintikan Ting Jun-jiu
itu. Soalnya cara menyebulnya itu sangat tepat, ia pinjam daya selentikan Ting
Jun-jiu untuk membelokkan cawan itu, tapi dalam pandangan orang lain menjadi
seperti cawan itu kena ditiup terpental olehnya.
Yang paling sial adalah murid
Sing-siok-pai itu, ketika melihat cawan arak menyambar kearahnya, seketika ia
kelabakan, ia bingung apa mesti menghindar atau menyambut cawan itu? Selagi
bingung tahu-tahu cawan itu sudah melayang sampai didepan hidungnya.
Tanpa pikir lagi dengan
sendirinya ia ulur tangan untuk menangkap cawan itu sembari berkata, "Arak
ini suguhan Suhu untukmu, kenapa kau berikan padaku?"
Baru ia hendak tolak kembali
cawan itu kearah Buyung Hok, sekonyong-konyong ia menjerit ngeri satu kali, tubuh
terus roboh kebelakang dan tak bisa berkutik lagi.
Dalam hati para murid
Sing-siok-pai cukup tahu apa sebab musabab kejadian itu. Mereka tahu bahwa
sekali guru mereka menyelintik cawan arak, berbareng racun yang selalu menempel
pada kuku terus ditaburkan pula diatas cawan, asal jari tangan Buyung Hok
menyentuh cawan arak itu, tidak perlu minum araknya, kontan juga akan binasa
seperti apa yang terjadi atas diri murid Sing-siok-pai yang sial itu.
Seketika air muka Ting Jun-jiu
berubah hebat, tampak sekali rasa murkanya. Ia tahu dengan melesetnya serangan
ini, untuk selanjutnya tidak dapat lagi mengelabui mata anak muridnya itu,
sebab kini semua orang sudah tahu bahwa baru saja ia hendak menyerang Buyung
Hok dengan bubuk racun, tapi malah kena ditiup kembali hingga salah seorang
murid sendiri yang menjadi korban.
Waktu pertama kali ia bertemu
dengan Buyung Hok sudah pernah saling gebrak sekali dan diketahuinya bahwa
tenaga dalam lawan itu memang sangat hebat, kalau bicara tentang kepandaian
sejati, dengan keuletan sendiri belum tentu mampu mengalahkan orang she Buyung
itu.
Sekilas pikir saja segera
Ting-lokoai sudah ambil keputusan, yaitu akan menggunakan
"Hoa-kang-tai-hoat" untuk melawan Buyung Hok.
Sekarang ia tidak dapat
bersikap acuh-tak-acuh lagi, dengan kedua tangan ia pegang satu cawan arak lagi
dan pelahan ia berbangkit, katanya, "Buyung-kongcu, secawan arak ini
betapa pun harus kusuguhkan padamu."
Berbareng ia terus mendekati
Buyung Hok. Sepintas pandang saja Buyung Hok melihat arak putih dalam cawan itu
bersemu hijau kemilau terang mengandung racun yang maha jahat. Sekarang iblis
tua itu telah mendekatinya sendiri dengan membawa cawan arak, untuk mengelak
terang susah. Tampaknya Ting Jun-jiu sudah berada didepannya, hanya terpisah
oleh meja saja.
Mendadak Buyung Hok menarik
napas panjang-panjang dan kontan arak dalam cawan Ting Jun-jiu itu tibatiba
tertarik naik hingga berwujud suatu jalur air hijau.
"Lihai benar!"
diam-diam Lokoai berseru. Ia tahu habis menarik napas menyusul lawan tentu akan
meniup dan jalur arak itu pasti akan memancur kearahnya. Walaupun dirinya
takkan berhalangan terkena arak beracun itu, tapi sedikitnya akan basah-kuyup
dan hal ini akan kurang sedap dipandang mata.
Karena itu, diam-diam iblis
tua itu pun mengerahkan tenaga dalam, "beerrr", sekonyong-konyong ia
mendahului meniup jalur air arak itu.
Para murid Sing-siok-pai sudah
sering menyaksikan sang guru mengadu ilmu dengan musuh seperti ketika mengadu
lwekang dengan So Sing-ho, waktu itu mesing-masing telah menggunakan tenaga
dalam untuk mendorong gumpalan api kearah lawan, siapa yang lebih kuat akan
menang dan yang lebih lemah akan binasa terbakar.
Kini mereka pun menyaksikan
sejalur air arak yang bersemu hijau mendadak timbul dari dalam cawan, lalu
ditiup sang guru maka tahulah mereka bahwa sang guru kembali bertanding tenaga
dalam dengan musuh. Pikiran mereka lanras bekerja, semuanya ingin memeras otak
untuk mendapatkan kata-kata pujian "gaya baru" yang tepat untuk
menyanjung puji kepandaian sang Suhu yang maha sakti itu.
Tak terduga bahwa tiupan Ting
Jun-jiu yang keras itu sama sekali tak dilawan oleh Buyung Hok, sehingga jalur
arak itu mancur lurus kemukanya. Karuan para murid Sing-siok-pai merasa heran,
sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa sang guru akan menang dengan cara
begitu gampang.
Disebelah sana A Ci sebenarnya
sedang girang karena gurunya menemukan lawan tangguh, ia pikir akan ada
kesempatan untuk meloloskan diri. Siapa duga lawan ternyata tidak becus, sekali
diserang saja tidak mampu menangkis, maka ia sangat kecewa.
Begitulah selagi para murid
Sing-siok-pai membuka mulut hendak bersorak, tiba-tiba jalur air yang sudah
menyambar kira-kira belasan senti didepan hidung Buyung Hok itu tahu-tahu belok
kekiri dan dengan cepat luar biasa berputar balik terus memancur kedalam mulut
seorang murid Sing-siok-pai.
Murid Sing-siok-pai itu baru
membuka mulut hendak bersorak, tapi belum lagi kata-kata "bagus"
terucapkan, tahu-tahu "auup", secawan arak yang tertiup menjadi
sejalur air itu tertuang kedalam perutnya.
Jalur air itu terlalu cepat
tibanya hingga dia masih sempat bersorak dengan gembira ria, dan sesudah suara
"bagus" tercetus barulah ia terkejut dan menyusul lantas berteriak,
"Wah, celaka!" dan kontan ia jatuh terkulai ketanah, hanya dalam
sekejap saja mukanya, kaki dan tangannya lantas membusuk dengan cepat luar
biasa, sebentar lagi bahkan pakaiannya juga ikut mnembusuk hingga hancur luluh,
sampai akhirnya hanya ketinggalan beberapa kerat tulang putih saja.
Betapa lihainya racun itu
sungguh Buyung Hok juga sangat terkejut, selama berkelana di kangouw belum
pernah dilihatnya racun sejahat ini.
Meski pertarungan mereka belum
lagi ketahuan siapa akan unggul dan siapa asor, tapi dipihak Sing-siok-pai
berturut-turut sudah terbinasa tiga orang murid, dalam hal ini samar-samar
sudah menunjukkan kekalahan pada pihaknya. Keruan Ting Jun-jiu menjadi murka,
mendadak ia taruh cawan arak yang dipegangnya itu keatas meja, menyusul sebelah
tangan terus menyodok kedepan.
Sudah lama Buyung Hok
mendengar betapa jahatnya "Hoa-kang-tai-hoat" dari Sing-siok-pai,
maka sejak mula ia layani orang dengan penuh waspada dan hati-hati. Demi
melihat orang memukul, cepat ia berputar seraya balas memukul juga.
Beruntun Ting Jun-jiu
melontarkan tiga kali pukulan, tapi selalu dapat dielakkan oleh Buyung Hok
dengan cara yang gesit dan gaya yang indah, tetapi tetap ia hindarkan adu
tangan dengan iblis tua itu.
Makin lama makin cepat
pertarungan mereka dan bertambah sengit pula. Diruangan warung makan itu penuh
meja kursi, tempatnya sempit, sebenarnya tiada tempat luang bagi medan
pertempuran mereka. Tapi mereka justru dapat menyusur kian kemari diantara meja
kursi yang berjubel itu tanpa membikin alat perabot itu morat-marit, jadi
tangan mereka tidak pernah beradu, bahkan juga tidak pernah menyenggol meja
kursi dan menerbitkan sesuatu suara berisik.
Dalam keadaan begitu, para
murid Sing-siok-pai tetap berdiri mepet dinding ruangan itu, tiada seorangpun
berani keluar warung makan itu, sebab mereka cukup kenal watak sang guru, jika
ada murid yang berani menyingkir agak jauh tatkala gurunya sedang bertempur
sengit dengan musuh, maka itu berarti menunjukkan ketidak-teguhan jiwanya dan
tidak setia kepada perguruan dan bukan mustahil nanti akan dijatuhi hukuman
berat.
Sebab itulah biarpun semua
orang tahu keadaan sangat berbahaya, asal tersampuk angin pukulan sang guru
saja mungkin jiwa mereka bisa melayang, tapi mereka toh tidak berani
sembarangan bergerak, mereka hanya berdiri semepet mungkin ketepi dinding,
jalan lain tidak ada.
Sementara itu kelihatan Buyung
Hok lebih banyak bertahan daripada balas menyerang, meski ilmu pukulannya
sangat bagus dan aneh pula, tapi karena tidak berani beradu tangan dengan Ting
Jun-jiu, maka gerak-geriknya menjadi terikat dan terdesak dibawah angin.
Sebaliknya Sing-siok Lokoai
sudah banyak menghadapi lawan tangguh pengalamannya sangat luas, dalam waktu
singkat saja segera ia tahu bahwa Buyung Hok tidak ingin mengadu tangan dengan
dirinya, itu menandakan lawan jeri kepada Hoa-kang-tai-hoatnya. Dan kalau lawan
keder terhadap ilmu andalannya itu, dengan sendirinya ilmu inilah yang harus
dilancarkan untuk mengalahkan lawan. Cuma saja gerakan Buyung Hok teramat cepat
dan gesit, ilmu pukulannya juga banyak perubahannya dan tak menentu arah
tujuannya, untuk memaksanya mengadu tangan dengan dirinya juga tidak gampang.
Sesudah bergebrak beberapa
jurus lagi, akhirnya Ting Jun-jiu mendapat suatu akal, Sengaja ia mendesak
dengan telapak tangan kanan, memukul dan bertahan selalu menggunakan tangan
kanan saja, sebaliknya tangan kiri pura-pura agak kaku, kurang leluasa
bergerak, ia berlagak sengaja hendak menutupi ciri-ciri kelemahan itu agar
Buyung Hok tidak mengetahuinya.
Namun Buyung Hok adalah
seorang ahli, seorang sarjana ilmu silat, sedikit saja musuh menunjuk
kelemahannya segera dapat dilihatnya. Mendadak ia miringkan tubuh dengan setengah
putar terus menghantam dua kali susul menyusul dengan kekuatan penuh mengarah
iga kiri Ting Jun-jiu.
Sudah tentu kesempatan itu
tidak disia-siakan Lokoai, ia pura-pura bersuara "ngek" tertahan
sambil mundur setindak dan tidak berani menangkis dengan tangan kiri.
Maka diam-diam Buyung Hok
menduga bagian dada kiri atau iga kiri iblis tua itu tentu menderita luka dalam
sehingga tidak berani menangkis serangannya. Ia mendapat hati, kembali ia
hantam kesebelah kanan, tapi yang di-incar sebenarnya sebelah kiri.
Setelah bergebrak belasan
jurus lagi, tiba-tiba tangan kiri Ting Jun-jiu ditarik dan disembunyikan dalam
lengan baju, sebaliknya tangan kanan terus membalik keatas dan mencakar muka
Buyung Hok.
Dengan sendirinya Buyung Hok
miringkan tubuh dan putar kesamping, berbareng ia pun menjotos iga kiri lawan.
Selama ini yang
ditunggu-tunggu Ting-lokoai justru adalah pukulan Buyung Hok ini dan sekarang
lawan benar-benar berlaku seperti apa yang diharapkannya, keruan girang Lokoai
tak terkatakan. Maka terdengarlah angin berkesiur, lengan baju berkibar,
tiba-tiba Ting-lokoai mengebaskan lengan baju kiri untuk membelit tangan Buyung
Hok itu.
Diam-diam Buyung Hok membatin,
"Biarpun lengan bajumu lebih lihai sepuluh kali lipat juga tidak nanti
dapat melukai aku?"
Karena itu ia tidak menarik
kembali kepalannya, hanya tenaga dalamnya dikerahkan dan membiarkan tangan
digulung oleh lengan baju musuh.
"Bret" tiba-tiba
terdengar suara kain robek, tahu-tahu lengan baju kanan Buyung Hok sendiri
tersobek satu bagian oleh sambaran angin lengan baju Ting Jun-jiu itu hingga
kelihatan kulit badannya yang putih bersih, pada lengannya juga lantas terdapat
satu jalur merah.
Kiranya angin kebasan lengan
baju Lokoai itu memang luar biasa kerasnya, seperti pisau tajamnya lengan
Buyung Hok tergores satu jalur, coba kalau sebelumnya ia tidak mengerahkan
tenaga dalam, tentu lengannya sudah patah.
Namun begitu jotosan Buyung
Hok itu tetap diteruskan dengan sekuat-kuatnya. Tapi ia terkejut ketika
mendadak kepalan terasa terjepit oleh Ting Jun-jiu, yaitu tangan kiri yang
disembunyikan dalam lengan bajunya tadi.
Sudah tentu kejadian ini sama
sekali diluar dugaan Buyung Hok, segera ia pun sadar, "Wah, celaka! Iblis
tua ini pura-pura lemah di sebelah kiri, tak tahunya cuma tipu muslihatnya
untuk memancing aku, sekali aku benar-benar masuk perangkapnya!"
Tapi ia pun tahu bila segera
ia membetot tangannya, maka racun Ting-lokoai itu pun akan terus ikut menyusup
dan merembes kedalam badan bersama dengan tenaga dalam yang ditarik kembali
itu, untuk mana pasti akan berbahaya bagi jiwanya.
Dalam sekejap itu timbul rasa
menyesal dalam hati Buyung Hok, "Aku terlalu gegabah dan terlalu menilai rendah
Sing-siok Lokoai yang tersohor diseluruh jagat ini sebelumnya aku tidak
merancangkan cara melawannya, tapi mendadak berani menantang dia."
Tapi urusan sudah kadung
terjadi, hendak mundur juga tidak bisa lagi. Maka dengan nekat Buyung Hok
mengerahkan segenap tenaga dalam dan dilontarkan melalui kepalan yang dipegang
lawan itu.
Telapak tang Ting-lokoai
sangat besar sekali pegang saja kepalan Buyung Hok itu tergenggam dalam
tangannya. Tapi karena reaksi lawan yang teramat cepat itu hingga mau tak mau tubuhnya
tergetar hebat uraturat nadi serasa hendak putus, lengan kiri pun terasa
kesemutan, hampir saja pegangannya terlepas.
Tatkala Ting-lokoai
menggunakan "Hoa-kang-tai-hoat" badannya harus bersentuhan dengan
badan lawan jika sekali gentak cekalannya kena dipentalkan tenaga lawan maka
ilmu pemunah tenaga itu pun tiada manfaatnya lagi.
Karena itu, segera ia pun
mengerahkan tenaga dengan maksud memegang kepalan Buyung Hok
sekencangkencangnya. Tapi pada saat itu juga tenaga dalam Buyung Hok mendadak
bertambah hebat dan sekali merontah kepalan berhasil dibetot kembali.
Sebenarnya kalau bicara
tentang tenaga dalam, jelas Buyung Hok tidak lebih ulet daripada Hian-lan
Taisu. Tapi waktu Lokoai mengadu telapak tangan dengan Hian-lan, semakin hebat
tenaga tolakan lawan, semakin rapat pula kedua telapak tangan itu melengket.
Sebaliknya sekarang ia menggunakan telapak tangan sendiri untuk memegang
kepalan Buyung Hok, tenaga cekalan itu dengan sendirinya terbatas dari pihak
sendiri saja, maka sekali Buyung Hok meronta sekuatnya, terlepaslah cekalan
Ting-lokoai itu.
Tapi kejadian itu cuma sekilas
saja, sebab begitu kedua tangan masing-masing terlepas, secepat kilat tangan
Ting Jun-jiu menyambar pula kebawah dan kontan kepalan Buyung Hok kena
terpegang lagi.
Buyung Hok bersuara
"ngek" sekali dan kembali mengerahkan tenaga sekuatnya. Tapi celaka,
sekali ini tenaganya terasa mengenai tempat kosong, jadi seperti batu
kecemplung laut tanpa wujud tanpa bekas, mirip rem yang mendadak
"blong" dan susah dikendalikan lagi.
"Celaka!" diam-diam
Buyung Hok mengeluh, Sebelum bergebrak tadi memangnya sudah diperhitungkan agar
jangan sekali-kali sampai terkena Hoa-kang-tai-hoat lawan. Tapi akhirnya toh
sukar mengelakkan diri dari serangan ilmu itu.
Dalam keadaan demikian ia jadi
serba susah dan serba salah. Kalau tetap melawan dengan mengerahkan tenaga
dalam, maka betapapun hebat tenaganya pasti juga akan punah dan hanya dalam
waktu singkat saja lwekangnya akan terkuras habis dan menjadi orang lumpuh yang
tak berguna. Sebaliknya kalau bertahan sekuatnya dan menarik kembali tenaga
dalam sendiri, maka racun iblis tua yang susah dijajaki lihainya itu tentu akan
terus ikut meresap masuk melalui hawa murni yang ditarik kembali itu dan sekali
racun jahat iblis itu masuk urat nadi akhirnya celaka juga dia.
Selagi Buyung Hok merasa serba
susah dan bingung, tiba-tiba didengarnya dibelakang ada seruan seorang,
"Suhu telah pasang perangkap bagus dan bocah busuk itu sudah menghadapi
jalan buntu sekarang!"
Sekilas hati Buyung Hok
tergerak, mendadak tangan kirinya membalik sambil mundur dua tindak kebelakang,
dengan ilmu "Thing-sing-pian-heng"(mendengarkan suara membedakan
tempat) dimana tangannya tiba. tahutahu dada murid Sing-siok-pai itu kena dicengkeramnya.
Adapun ilmu tunggal keluarga
Buyung yang paling lihai adalah semacam cara meminjam tenaga lawan untuk
menyerang kembali kepada musuh, yaitu yang disebut
"Tan-coan-sing-ih"(matahari berputar bintang bergeser). Orang luar
yang tidak tahu seluk-beluknya sama menganggap kepandaian Buyung-si dari
Koh-soh yang terkenal "Ih-ci-pi-to, hoan-si-pi-sin" itu meliputi
segenap ilmu silat dari golongan dan aliran mana pun dan semuanya telah
dipahami dengan baik untuk balas menyerang pecundangnya dengan ilmu andalan masingmasing
lawannya.
Padahal ilmu silat didunia ini
terlalu luas dan beraneka macam ragamnya, betapa pintar dan tinggi
pengetahuannya juga sukar memahami setiap ilmu silat hingga mahir seluruhnya.
Apalagi ilmu andalan, sudah tentu susah dilatih dalam waktu singkat.
Tapi keluarga Buyung itu
mempunyai semacam kepandaian yang amat bagus, yaitu apa yang disebut
"Tancoan-sing-ih" tadi, tidak peduli lawan mengeluarkan kepandaian
apa pun tentu dapat dielakkan dan tenaga serangan itu berbalik akan menyerang
lawan itu sendiri.
Jadi umpama lawan mahir
menggunakan tombak dan hendak menusuk tenggorokan Buyung-si, tapi sekali kena
diputar dan digeser, kontan tusukan itu mengenai tenggorokan sipenyerang
sendiri malah, dan cara dan gaya yang dipakai tetap tidak berubah, begitu pula
senjatanya juga senjata lawan sendiri.
Karena itulah bila tidak
menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kepandaian
"Tan-coan-sin-ih" keluarga Buyung itu, tentu tiada seorang pun yang
dapat membayangkan kematian sang korban sebenarnya adalah "membunuh
diri", Dan semakin lihai ilmu pukulan lawannya, cara matinya juga semakin
hebat.
Namun kalau tidak bertempur
satu lawan satu dan tidak yakin pasti akan dapat membinasakan lawan, maka ilmu
"Tan-coan-sin-ih" itu pun tidak sembarangan dikeluarkan.
Lantaran itulah nama Koh-soh
Buyung lantas mengguncangkan dunia kangouw, sebaliknya dimana letak kunci
kepandaian keluarga Buyung itu juga tiada seorang pun yang tahu dengan jelas.
Cara memutar-balik pukulan
atas senjata lawan untuk menyerang lawan sendiri soalnya terletak pada tenaga
pentalan saja. Misalnya kita menjotos dinding, semakin keras kita memukul
semakin keras pula daya pental kembali dan sama saja seperti kita memukul diri
sendiri dengan tenaga sekeras itu.
Untuk memutar-balikkan pukulan
atau senjata lawan yang berwujud itu jelas lebih gampang, sebaliknya sangat
sulit untuk menggeser kembali tenaga dalam pihak musuh yang tak berwujud itu.
Dalam hal itu meski Buyung Hok juga cukup lama meyakinkan ilmu ini tapi betapa
pun terbatas oleh usianya yang masih muda, maka belum lagi mencapai tingkatan
yang paling sempurna sehingga kalau bertemu dengan jago nomor wahid seperti
Ting Jun-jiu tentu susah menggunakan "Tan-coan-sin-ih" untuk
menghantam lawan, sebab itulah beruntun tiga kali ia bergeser dan mengembalikan
serangan Ting-lokoai untuk menghantam anak murid Singsiok-pai yang sial itu.
Jadi tetap dia geser dan dia
putar-balikkan serangan itu, cuma saja tidak kepada lawan itu sendiri,
melainkan kepada pihak ketiga.
Kalau pertama kali dengan
gampang saja Buyung Hok mendapatkan ganti korbannya atas serangan bubuk racun
Ting-lokoai, tapi sekarang menghadapi "Hoa-kang-tai-hoat", sebenarnya
Buyung Hok tidak mampu menggeser dan memutar balik, kebetulan ada murid
Sing-siok-pai yang buru-buru ingin cari muka dan bersorak memuji, karena itu
letak tempatnya lantas diketahui Buyung Hok.
Saat itu Buyung Hok sudah
kepepet, dalam gugupnya tanpa pikir lagi ia cengkeram murid Sing-siok-pai itu
dan segera diputar-balik sebagai gantinya. Tak tersangka tindakannya itu
ternyata sangat tepat, mestinya tujuan Ting-lokoai hendak memunahkan tenaga
Buyung Hok, tapi sekali punah ternyata tenaga muridnya sendiri yang menjadi
korban.
Melihat usahanya berhasil,
Buyung Hok tidak sia-siakan setiap kesempatan lagi, sebelum Ting Jun-jiu timbul
pikiran jahat lain, segera ia mendorong dulu murid Sing-siok-pai itu hingga
tubuhnya tertumbuk pada badan seorang murid Sing-siok-pai yang lain. Dengan
sendirinya tenaga dalam murid kedua itupun punah seketika terkena
"Hoa-kang-tai-hoat" yang masih dilontarkan Ting-lokoai.
Sambil tetap memegang kencang
kepalan Buyung Hok, sungguh gusar Ting Jun-jiu tak terkatakan menyaksikan murid
sendiri yang menjadi korban malah. Pikirnya, "Jika aku pikirkan
keselamatan murid-murid yang tak becus ini dan melepaskan kepalan lawan, maka
untuk memegangnya lagi terang akan maha sulit. Sekali kulepaskan bocah ini
tentu akan terus ngacir dan pertarungan ini akan berakhir dengan jatuhnya
korban lima orang muridku, sebaliknya aku cuma berhasil merobek sepotong lengan
bajunya, terang Sing-siok-pai telah dikalahkan habis-habisan dan untuk
selanjutnya masakan Sing-siok Losian ada muka lagi untuk menjagoi
Tionggoan?"
Setelah ambil keputusan, maka
tetap ia pegang kepalan Buyung Hok dan tidak dilepaskan.
Dalam pada itu Buyung Hok
sudah mundur lagi beberapa tindak dan kembali seorang murid Sing-siok-pai kena
ditempel pula hingga tenaga korban baru itu dipunahkan Ting Jun-jiu.
Hanya dalam sekejap saja murid
Sing-siok-pai itu pun menggeletak ditanah dalam keadaan lumpuh, ketiga orang
itu lengket menjadi satu dan sukar terlepas, tubuh mereka seperti sudah kering
terhisap oleh iblis pengisap darah.
Keruan murid Sing-siok-pai
yang lain sangat terperanjat. Ketika melihat Buyung Hok mundur lagi kearah
mereka, semuanya menjerit ketakutan dan sama menyingkir.
Ketika Buyung Hok mengangkat
tangan, kontan anak murid Sing-siok-pai yang saling lengket itu ikut tertarik
naik seperti terbang melayang dan kebetulan seorang murid Sing-siok-pai yang
lain tertumbuk lagi. Belum lenyap suara jeritan kaget murid Sing-siok-pai itu,
tahu-tahu tubuhnya sudah lemas lunglai dan ikut melengket
bersama kawan-kawannya seperti
sundukan sate saja.
Karuan murid Sing-siok-pai
yang lain tambah ketakutan. Selama Ting Jun-jiu tidak melepaskan tangan Buyung
Hok, maka dengan cara Buyung Hok mencari korban pengganti itu, bisa jadi murid
Sing-siok-pai sebentar lagi akan disikat habis.
Biasanya anak murid
Sing-siok-pai itu pandai mengumpak dan mahir menjilat pantat, tapi sekarang
mereka menjadi ketakutan setengah mati, siapa tahu kalau berikutnya ia pun akan
melengket seperti Suheng atau Sutenya yang sudah lemas itu. Biarpun ketakutan
toh tiada seorang pun berani lari keluar pintu, mereka terpaksa hanya
menyingkir kesini dan menghindar kesana dalam ruang makan itu.
Dan sudah tentu ruang makan itu
terlalu sempit bagi mereka, dimana tangan Buyung Hok bergerak dalam sekejap
kembali ada empat lima orang kena tersedot dan melengket pula. Dengan
"senjata" raksasa itu, dengan sendirinya Buyung Hok menjadi lebih
gampang lagi mencari korbannya.
Dalam keadaan demikian jelas
sekali Buyung Hok telah memperoleh kemenangan total. Tapi hal ini tidak berarti
dia sendiri tidak berkuatir. Sebab, meski anak murid Sing-siok-pai itu cukup
banyak, tapi pada akhirnya tentu juga akan habis. Dan bila anak murid Sing-siok-pai
telah "dimakan" semua, lalu cara bagaimana dia akan melepaskan diri.
Begitulah, maka berulang-ulang
Buyung Hok main lompat dan mengerahkan tenaga dengan maksud melepaskan
tangannya dari pegangan Ting-lokoai.
Dilain pihak Ting Jun-jiu
menyaksikan anak muridnya satu per-satu melengket seperti sundukan sate
disebelah tangan Buyung Hok yang lain. Sedang murid-murid yang lain sama
berlarian menghindarkan diri dengan ketakutan sehingga tiada seorangpun yang
ingat memberi sorak puji kepada sang guru.
Gusar dan malu juga
Ting-lokoai, ia jadi lebih kencang pula memegang tangan buyung Hok. Pikirnya,
"Murid yang tidak becus ini biarkan saja mampus semua. Asalkan aku dapat
memunahkan tenaga Buyung Hok, maka akan berkumandanglah cerita tentang Koh-soh
Buyung dikalahkan Sing-siok Losian."
Maka ia tetap tenang saja,
sedikit pun tidak kelihatan marah, sebaliknya tersenyum-senyum malah.
Semula ada juga diantara murid
Sing-siok-pai itu berharap sang guru akan menaruh belas kasihan kepada murid
sendiri yang menjadi korban itu, dan karena itu akan melepaskan cekalannya pada
tangan Buyung Hok, tapi sekarang melihat Ting Jun-jiu sedikit pun tidak
pikirkan nasib mereka, terang mereka pasti akan mati konyol semua, maka mereka
menjadi panik dan sama men-jerit2 ketakutan, tapi toh tetap tiada seorang pun
yang berani melarikan diri
keluar rumah makan itu atau memohon sang guru melepaskan Buyung Hok.
Ting Jun-jiu melihat diantara
anak muridnya yang berkelit kian kemari itu hanya ada dua orang yang tidak
ikut-ikutan menghindar. Yaitu Yu Goan-ci dan A Ci.
Yu Goan-ci tampak berjongkok
dipojok ruangan sana kepalanya yang "berlapis baja" itu disembunyikan
diantara tangan dan dengkulnya, tampaknya sangat ketakutan. Sedangkan A Ci
kelihatan pucat pasi dan meringkuk juga dipojok ruangan sebelah sana, tapi
berulang-ulang memandang kearah Buyung Hok.
Karuan Lokoai menjadi gusar,
bentaknya, "A Ci!"
A Ci terkejut, Ia lagi
terpesona atas ketangkasan Buyung Hok yang dapat melawan Hoa-kang-tai-hoat sang
guru yang sakti itu. Maka ia menjadi gugup ketika mendengar namanya diteriaki,
cepat ia menjawab, "Ya, Suhu....."
Tapi hanya sekian dan tidak
dapat melanjutkan lagi melainkan cuma tertawa-ewa saja. Rupanya ia ada maksud
mengucapkan kata-kata sanjung puji untuk mengumpak sang guru, tapi demi
teringat yang menjadi korban pada waktu itu justru adalah anak murid
Ting-lokoai sendiri maka ia menjadi serba susah untuk mencari katakata pujian
yang tepat.
Maka Ting Jun-jiu bertanya
pula, "Kenapa? Apa Sing-siok Losian sekarang dianggap tidak dapat
mengguncangkan dunia persilatan dan terkenal di Tionggoan?"
A Ci kebat-kebit mendengar
pertanyaan yang bernada kurang senang itu. Ia pikir kalau ucapannya nanti tidak
dapat memuaskan sang guru bukan mustahil jiwanya akan segera melayang. Maka
cepat ia menjawab, "Sudah tentu! Buyung-siaucu sudah tergenggam ditangan
Suhu, dia belum lagi sadar akan nasibnya, sebaliknya malah kelihatan
senang."
Mendadak Buyung Hok sedikit
bergeser sambil angkat tangannya, maka barisan orang yang melengket ditangannya
itu lantas menubruk kearah A Ci.
Karuan A Ci ketakutan, cepat
ia melompat pergi.
Hoa-kang-tai-hoat Ting Jun-jiu
itu benar-benar sangat lihai, sekali serangan Buyung Hok luput menempel A Ci,
kontan tenaga murni dalam tubuhnya lantas terasa disedot sedikit oleh iblis
itu. Diam-diam ia berkuatir,
tidak boleh tidak ia harus
mencari korban pengganti diantara anak murid Sing-siok-pai. Maka kembali ia
menguber kearah A Ci.
Dengan muka pucat A Ci
berseru, "Suhu, apakah engkau tidak suka mendengarkan ucapanku hingga
selesai?"
Sambil membetot kepalan Buyung
Hok, sebelah tangan Ting Jun-jiu yang lain mengelus-elus jenggot jawabnya,
"Boleh kau bicara."
"Tapi
aku....aku....." seru A Ci sambil menghindarkan incaran Buyung Hok.
Segera Ting Jun-jiu
mengebaskan lengan bajunya, serangkum angin lantas menyambar kedepan hingga
barisan orang yang saling lengket dan sedang memburu kearah A ci itu ditolak
mundur, tapi sial bagi dua murid Singsiok-pai yang lain, mereka yang ketiban
pulung, seketika mereka terlengket lagi menjadi satu dengan kawankawannya.
Dengan demikian barulah A Ci
dapat menghela napas lega, katanya, "Suhu, tatkala mengadakan pembersihan
perguruan, kebetulan bocah she Buyung ini berani main gila disini, sekarang
Suhu menggunakan dia sebagai senjata hidup untuk membersihkan anak murid
sendiri yang tak berguna, pada hakikatnya dia.... dia cuma diperalat oleh Suhu
saja, hanya Suhu sendirilah benar-benar orang kosen yang maha sakti."
Sebenarnya Ting Jun-jiu sangat
gusar, tapi demi mendengar sanjung puji A Ci itu, maka tertawalah dia.
Segera Buyung Hok angkat
tangannya lagi, sekali gentak, kembali belasan orang yang terlengket
ditangannya itu sempoyongan terus menubruk pula kearah A Ci.
Saat itu A Ci sudah terdesak
dipojok dinding, untuk menghindar lagi jelas tidak bisa, Meski Ting Jun-jiu
juga mengebutkan pula lengan bajunya, tapi tampaknya sudah terlambat dan A Ci
tentu akan ditumbuk oleh murid Sing-siok-pai pada ujung barisan itu. Keruan A
Ci ketakutan, tiada jalan lain, terpaksa ia hanya pejamkan mata dan menanti
ajal saja.
Tak terduga Buyung Hok lantas
tertawa ter-bahak2, mendadak murid Sing-siok-pai yang paling ujung itu
terhuyung2 kedepan dan menubruk kearah seorang murid Sing-siok-pai yang lain.
A Ci mandi keringat dingin
setelah lolos dari lubang jarum. Waktu ia pandang kedepan, dengan tersenyum
Buyung Hok berkata padanya,
"Nona cilik, benar juga
ucapanmu, ya?"
Setelah tenangkan diri, A Ci
tahu Buyung Hok tiada maksud buat mencelakai dia, tanpa terasa ia pun balas
tersenyum.
Semua itu dapat dilihat Ting
Jun-jiu, ia tambah murka, dengan suara bengis ia membentak, "A Ci, mengapa
Buyung-siaucu ini tidak jadi mencelakai kau?"
A Ci terkesiap, ia tahu
Ting-lokoai menaruh curiga padanya. Sebisanya ia hendak mengumpak dan memuji
sang guru pula, tapi sukar terkabul, sebab ia sudah kehabisan kata muluk-muluk
dan enak didengar.
"Hehe!" demikian
Ting Jun-jiu tertawa dingin, "Selama kamu berada disampingku dan dapat
menyenangkan hatiku, tentu aku takkan mengganggu jiwamu."
"Terima kasih,
Suhu," cepat A Ci menjawab.
"Kamu jangan terburu-buru
sebang dulu, ini....." mendadak Lokoai mengebaskan lengan bajunya kemuka A
Ci.
Saking cepatnya tindakan
Ting-lokoai itu sehingga sebelum A Ci sadar apa yang terjadi, tahu-tahu kedua
matanya terasa "nyes", lalu kesakitan luar biasa dan pandangannya
menjadi gelap pula, pipi lantas berlinang dua titik cairan seperti air mata
meleleh.
Nyata Ting Jun-jiu telah
mengerahkan tenaga dalamnya pada ujung lengan bajunya dan secepat kilat
menyabat buta kedua mata A Ci.
Tatkala melihat lengan baju
Ting Jun-jiu bergerak lagi memangnya Buyung Hok sudah menduga iblis itu pasti
tidak bermaksud baik. Walau pun ia tahu A Ci adalah murid Sing-siok-pai juga
tapi anak dara itu cantik menyenangkan dan berbeda dengan saudara-saudara
seperguruannya yang lain, maka diam-diam Buyung Hok juga sangat sayang padanya.
Dan selagi ia hendak menolong namun serangan Ting Jun-jiu itu terlalu cepat
sehingga tidak keburu dicegah lagi.
Sekarang melihat A Ci tetap
berdiri bersandar dinding dari kedua matanya meneteskan dua titik darah yang
mirip air mata, biarpun Buyung Hok sudah banyak menyaksikan perbuatan orang
kejam juga belum pernah melihat cara Ting Jun-jiu yang begitu keji, jiwa anak
muridnya sedikit pun tidak berharga bagi iblis itu, untuk
sedetik Buyung Hok tertegun
juga dan karena itu tenaga murninya kembali tersedot sedikit pula.
Sesudah membutakan kedua mata
A Ci, lalu berkatalah Ting-lokoai, "Aku tetap membiarkanmu hidup tapi
tidak boleh lagi melihat sesuatu agar kamu tidak punya pikiran menyeleweng
terhadap perguruan, Nah , kau terima tidak hukuman ini?"
Tapi wajah A Ci sudah pucat
lesi, bibir agak gemetar dan susah membuka suara lagi.
Selagi Ting Jun-jiu hendak
tanya pula, sekonyong-konyong dari pojok ruangan bergema suara suitan orang
yang aneh, serangkum angin maha kuat mendadak menyambar tiba hingga semua orang
yang berada didalam rumah menggigil kedinginan.
Kiranya Yu Goan-ci yang sejak
tadi meringkuk dipojok ruangan itu sekarang mendadak melompat maju, begitu
berada disamping A Ci, segera ia tarik tangan anak dara itu terus diseret
keluar dengan cepat.
Ting Jun-jiu membentak satu
kali, berbareng sebelah tangan terus memukul. Sudah tentu sekali-kali Yu Goanci
tidak berani mengadu pukulan dengan Ting-lokoai. Tapi mengingat A Ci harus
dilindungi, dalam gugupnya segera ia menangkis kebelakang dengan tujuan agar
tenaga pukulan iblis tua itu dipindahkan kearahnya dan tidak mengenai A Ci.
Melihat Goan-ci berani
menangkis, kembali Ting Jun-jiu membentak lebih keras, ia kerahkan tenaga
beracun lebih kuat.
"Bluk", ketika kedua
tangan beradu, seketika Goan-ci bersama A Ci terpental kedepan seperti terbang.
Begitu keras mereka terpental
kedepan, tampaknya pasti akan menumbuk dinding, tiba-tiba tangan Goan-ci
menolak kedepan, "blang", tahu-tahu dinding itu ambrol menjadi sebuah
lubang, sebaliknya Ting Jun-jiu tergentak mundur dua-tiga tindak, ia merasa
dada dirangsang hawa dingin, tenaga yang dikerahkan tadi hilang sirna tanpa
bekas.
Kesempatan itu dipergunakan
Buyung Hok dengan baik, tatkala Ting Jun-jiu mengadu tangan dengan Yu Goan-ci
berbareng ia pun mengerahkan tenaga dan mengipatkan tangan sehingga cekalan
Ting-lokoai tergentak lepas, cepat ia lompat mundur pula, malahan sebelah tangannya
yang menggandeng barisan anak murid Sing-siok-pai yang melengket satu itu terus
diputar pula dan satu per-satu disodok kedepan untuk menumbuk Ting Jun-jiu.
Sesudah mengadu tangan dengan
Goan-ci tadi, Ting Jun-jiu merasa tenaga dalamnya merembes keluar dengan sangat
cepat, maka segera ia berjungkirdengan kaki diatas dan kepala dibawah terus
berputar-putar beberapa kali, ia gunakan ilmu menguatkan tenaga dari
perguruannya untuk menahan merembes keluarnya tenaga dalam.
Pada saat itulah belasan anak
muridnya yang tadi melengket ditangan Buyung Hok itu menubruk kearahnya,
sedangkan Ting-lokoai sendiri sedang berputar dengan menjungkir, sudah tentu ia
tidak dapat menghindar atau menggunakan tangan atau kakinya untuk menangkis,
maka terdengarlah suara "blang-blung" beberapa kali, anak murid
Sing-siok-pai itu berturut-turut menubruk badan Ting-lokoai, tapi satu per-satu
lantas terpental pula dan terbanting jatuh ketanah, ada yang patah kaki dan
tangan, ada yang pecah kepalanya dan binasa.
Sungguh gusar Ting Jun-jiu
bukan buatan. Sekali membentak segera ia berdiri tegak kembali. Mukanya tampak
pucat, tapi beringas menakutkan. Anak muridnya telah mati sebagian besar,
sebaliknya Buyung Hok yang tadi sudah terpegang olehnya sedikit pun tidak
terganggu, malahan Yu Goan-ci sempat menggondol lari A Ci, kekalahan Sing-siok
Losian yang memalukan ini bukankah akan dibuat bahan ejekan didunia persilatan?
Pada umumnya orang yang suka
dipuji, suka dijilat, diumpak, manusia demikian tentu juga paling gila hormat
dan suka juga muka, setiap kejadian yang memalukan sedapat mungkin ingin
ditutup-tutupi agar tidak diketahui orang luar.
Begitu pula dengan Ting
Jun-jiu. Seperti tempo hari ia hampir ditelan ular raksasa yang dikerahkan
padri-padri Thian-tiok itu, untung kemudian Goan-ci dapat menolongnya dengan
mengusir kawanan ular itu dengan api. Tapi sebagai balas terima kasih iblis itu
sengaja suruh Goan-ci memeriksa pernapasan padri Thian-tiok yang sudah binasa
keracunan itu agar Goan-ci juga ikut mati, tujuannya tak lain agar Goan-ci juga
terbunuh, sehingga kejadian yang memalukan baginya itu tidak tersiar.
Coba kalau Goan-ci tidak
kebetulan memiliki racun dingin ulat sutra putih yang dapat mengatasi segala
macam racun lain, tentu sudah lama jiwa Goan-ci melayang.
Sekarang Ting Jun-jiu melihat
Buyung Hok masih berdiri disitu sambil memandang mayat yang bergelimpangan
ditanah itu dengan senyuman mengejek, ia tahu bila Buyung Hok sampai lolos
dengan selamat, maka nama kebesaran Sing-siok Losian niscaya akan merosot
habis-habisan.
Karena itulah, sambil melototi
Buyung Hok dengan gusar, diam-diam ia tebarkan tiga jenis bubuk racun yang maha
jahat dengan tenaga dalam yang tak kelihatan.
Sisa anak murid Sing-siok-pai
yang beruntung tidak mampus itu masih ada tujuh atau delapan orang. Melihat
wajah sang guru mengunjuk rasa gusar tak terhingga, kembali mereka obral
sanjung puji lagi.
"Betapapun Sing-siok
Losian memang maha sakti! Nah, Buyung-siaucu, apakah kamu tidak ingin lekas
lari? Apa kau cari mampus? Ya, jika kamu tidak lekas ngacir, naga-naganya
keluarga Buyung kalian pasti akan putus keturunan! Eh, Buyung Hok, tidak lekas
lari dengan mencawat ekor, mau tunggu apa lagi?"
Begitulah karena merasa
pertarungan ini lebih banyak memalukan Sing-siok-pai mereka, maka mereka ganti haluan
dengan mencaci maki Buyung Hok untuk menaikkan gengsi guru mereka. Harapan
mereka adalah Buyung Hok akan lekas pergi dari situ. Sebab kalau Buyung Hok
tidak lekas pergi bila sebentar kena dipegang Ting-lokoai lagi maka yang celaka
bukanlah orang she Buyung, melainkan mereka sendiri yang akan menjadi korban
lagi.
Namun Buyung Hok hanya
tersenyum-senyum saja dan tidak menggubris caci-maki mereka. Berulang tiga kali
Ting Jun-jiu menghamburkan bubuk racun kearahnya, tapi tanpa bicara apa-apa ia
tolak kembali bubuk racun itu kebadan anak murid Sing-siok-pai.
Maka terdengarlah suara
gedebukan disana-sini, siapa yang bersuara memaki musuh, kontan terima
ganjarannya dengan mati menggeletak. Keruan mereka ketakutan dan tidak berani
memaki lagi, ingin memuji sang guru pun sudah kehabisan kata-kata muluk.
Terpaksa mereka cuma berdiri terkesima disitu.
Melihat murid-muridnya
bungkam, Ting Jun-jiu bertambah marah, ia terkekeh aneh dan berkata,
"Buyung Hok, belum ketahuan siapa unggul dan asor, kenapa berhenti?"
Selagi Buyung Hok hendak
menjawab, sekonyong-konyong dilihatnya disebelah sana ada sebuah meja bisa
mumbul keatas.
Meja kursi dalam ruang makan
itu sebenarnya sudah morat-marit tak karuan, hanya meja yang terletak dipojok
itulah yang tidak terganggu. Kini mendadak meja itu bisa mumbul keatas tanpa
sebab, hal benar-benar aneh luar biasa sehingga menarik perhatian semua orang.
Tapi ketika diperhatikan, Buyung Hok lantas tertawa geli.
Kiranya dibawah meja itu
terdapat satu orang. Boleh jadi orang itu sangat ketakutan dan sembunyi
dikolong meja, sekarang ia berdiri, tapi lupa merangkak keluar dulu dari kolong
meja, maka meja itu ikut tersundul keatas.
Dan sesudah berdiri tegak,
orang dibawah meja itu tampak memejamkan mata, tangan terangkap didepan dada,
badan masih gemetar, kedengaran sedang berdoa. Kiranya dia adalah Hi-tiok
Hwesio.
Ting Jun-jiu semakin murka
karena disitu selain Buyung Hok ternyata masih ada seorang lagi. Ia membentak,
"Keledai gundul, sejak kapan kau sembunyi disitu?"
Tadi sebenarnya Hi-tiok ingin
mengeluyur pergi, tapi ia ketakutan oleh pertarungan sengit itu, maka buru-buru
ia sembunyi dikolong meja. Sebagai murid Buddha yang welas-asih, ia tidak tega
menyaksikan pembunuhan besar-besaran dalam pertempuran itu. Kemudian dilihatnya
si "kongcu" muda yang menggodanya itu dalam waktu singkat kedua
matanya telah dibutakan, ia tambah takut dan gemetar, berulang ia memanjatkan
doa. Dan ketika mendengar Ting Jun-jiu hendak bergebrak pula dengan Buyung Hok,
segera ia berdiri dari tempat sembunyinya hendak mencegah. Tapi dalam gugupnya
ia lupa diatas kepalanya masih tersunggih sebuah meja.
Waktu ia dibentak Ting Jun-jiu
barulah ia sadar bisa celaka, dengan muka pucat dan badan gemetar ia menjawab.
"Aku....aku sudah lama berada disini. Ka....kalian jangan berkelahi
lagi."
Tiba-tiba Ting Jun-jiu sedikit
mengebas lengan bajunya, serangkum angin yang lembut tapi tajam menyambar
kearah Hi-tiok.
Diam-diam Buyung Hok gegetun,
ia menduga hwesio itu tentu akan celaka, ia hendak menolong, tapi terlambat.
Dengan cepat iga Hi-tiok kena
disambar tenaga kebasan Ting Jun-jiu itu hingga badan sedikit tergeliat, tapi
tidak terganggu apa-apa. Waktu ia berpaling dan melihat muka Ting-lokoai yang
beringas menyeramkan itu, ia menjadi takut, sambil masih menyunggih meja ia
terus menerjang keluar.
Kembali Ting Jun-jiu
melontarkan pukulan lagi "prak", meja yang disunggih Hi-tiok itu
pecah berantakan menjadi berkeping-keping. Sebaliknya Hi-tiok tetap tidak
apa-apa dan masih berlari secepatnya kedepan.
"Berhenti!" bentak
Ting Jun-jiu.
Sudah tentu Hi-tiok tidak mau
menurut, bahkan berlari lebih cepat.
Seorang murid Sing-siok-pai
mendadak mencegatnya dari samping, kelima jarinya yang tajam bagai kait terus
mencengkeram pundak Hi-tiok sambil membentak, "Sing-siok Losian menyuruhmu
kembali, kamu berani......"
Belum habis ucapannya,
mendadak ia merasa pundak Hi-tiok yang dicengkeramnya itu mengeluarkan tenaga
pentalan yang maha kuat,
kontan tubuhnya mencelat sendiri kebelakang dan secara kebetulan menumbuk
kearah Ting Jun-jiu.
Tapi dengan mudah Ting Jun-jiu
dapat mencengkeram kuduk muridnya yang sial itu, dalam hati ia pikir,
"Hwesio ini agak aneh, tapi tidak nanti ia dapat terbang kelangit, lain
kali tentu dapat kutemukan lagi, Sekarang lebih penting harus kuhadapi Buyung
Hok saja."
Dengan pikiran ini, segera
murid sendiri yang dicengkeramnya itu dilemparkan kearah Buyung Hok.
Melihat murid Sing-siok-pai
yang dicengkeram Ting Jun-jiu itu mukanya pucat bagai mayat, mata meneteskan
darah pula, terang orangnya sudah mati keracunan, sekarang iblis tua itu
melemparkan kearahnya, sudah tentu tidak mengandung maksud baik. Maka Buyung
Hok sudah siap, ia tidak bergerak, hanya tangan sedikit ditolak kedepan hingga
suatu tenaga maha kuat menyambar kedepan, seketika mayat murid Sing-siok-pai
itu kena ditahan ditengah jalan.
Karena kedua pihak sama-sama
mengerahkan tenaga dalam yang kuat, maka mayat murid Sing-siok-pai itu
tergencet dan terkatung-katung ditengah udara, pemandangan demikian menjadi
sangat aneh dan lucu sekali.
Sekonyong-konyong Ting Jun-jiu
membentak lagi. "krak-krek", tahu-tahu kedua tangan murid
Sing-siok-pai yang sudah tak bernyawa itu putus sebatas pergelangan tangan, dan
kedua tangan yang sudah putus itu terus mencakar kemuka Buyung Hok.
Buyung Hok tidak berani
gegabah, cepat ia meniupkan hawa dua kali sehingga kedua potong tangan yang
putus itu berputar balik dan saling tepuk sekali diudara, "pluk", lalu
terpental kesamping dan kebetulan mengenai badan dua murid Sing-siok-pai yang
lain.
Seketika kedua murid
Sing-siok-pai itu tertawa terkakak-kakak seperti orang gila, tertawa mereka
semakin keras dan semakin geli sehingga menungging memegang perut sendiri, Tapi
sejenak kemudian mendadak suara tertawa mereka berhenti serentak, namun tetap
berdiri sambil pegang perut sendiri, badan kaku bagai mayat, Nyata mereka pun
sudah binasa.
Beberapa kali Ting Jun-jiu
menggunakan "Hoa-kang-tai-hoat", tapi bukannya Buyung Hok kena
dirobohkan, sebaliknya anak murid sendiri yang jatuh menjadi koban. Keruan ia
tambah murka, Tiba-tiba ia tertawa dingin sekali, lengan baju yang lebar itu
menyambar kesamping, tubuhnya juga ikut berputar, karena itu mayat murid
Sing-siok-pai yang putus kedua tangan itu lantas jatuh ketanah.
Tapi Buyung Hok lantas
bergerak juga, secepat terbang ia lompat keluar rumah makan itu.
"Lari kemana?"
bentak Ting Jun-jiu, berbareng ia memburu keluar.
Sisa beberapa orang murid
Sing-siok-pai yang masih hidup sebisanya masih bersorak memberi pujian kepada
kesaktian Ting Jun-jiu, tapi rangkaian kata-kata mereka itu terasa sangat
dipaksakan, sehingga bagi Ting-lokoai kedengarannya lebih dirasakan sebagai
sindiran malah.
Sampai diluar, Lokoai melihat
Buyung Hok sudah berdiri ditempat sejauh belasan meter, sikapnya tenangtenang
saja dengan wajah bersenyum.
"Siaucu, jangan
lari!" bentak Ting Jun-jiu dengan gusar.
"Bilakah aku lari?"
jawab Buyung Hok mengejek.
Selagi Ting Jun-jiu siap
hendak menubruk maju, tiba-tiba tertampak seorang mendatang dengan cepat, orang
itu berjalan dengan kepala menunduk, malahan kedengaran sedang berkumat-kamit
entah berguman apa.
Dari jauh Buyung Hok sudah
dapat mengenali pemuda ganteng yang datang ini bukan lain adalah Toan Ki.
Anehnya Toan Ki jalan dengan menunduk seperti tidak menghiraukan segala apa
disekitarnya dan entah apa yang sedang dipikirkan, tapi terus menyeruduk kearah
Ting Jun-jiu.
Belum lama Buyung Hok kenal
pada Toan Ki, anak muda itu pernah menolongnya, yaitu ketika menggunakan
"Lak-meh-sin-kiam" untuk menjatuhkan pedang Buyung Hok yang hendak
membunuh diri karena pengaruh gaib problem catur yang tidak mampu dipecahkannya
itu. Lantaran itulah Buyung Hok mempunyai kesan baik terhadap Toan Ki.
Ia pikir bila Toan Ki terus
menyeruduk kedepan hingga menubruk Ting Jun-jiu, padahal waktu itu iblis itu
sedang murka, maka Toan Ki tentu yang akan dijadikan sasaran untuk melampiaskan
angkara murkanya itu.
Tampaknya saat itu sedikit pun
Toan Ki tidak merasakan segala apa pun disekitarnya, kalau tidak lekas
memperingatkan dia tentu anak muda itu akan dimakan-mentah oleh Ting Jun-jiu.
Maka cepat Buyung Hok berseru,
"Awas! Toan-kongcu."
Mendadak Toan Ki seperti sadar
dari impiannya dan cepat berhenti. Waktu ia angkat kepala dan memandang
kedepan, ia lihat wajah Ting Jun-jiu yang beringas menakutkan itu berjarak
dengan dirinya cuma dua-tiga meter saja, Karuan Toan Ki terkejut, cepat ia
menyurut mundur sambil menuding Ting-lokoai, "Hei, kau....kau...."
Tudingan Toan Ki ini
sebenarnya timbul dari rasa kaget dan takutnya, tak terduga justru menimbulkan
lwekangnya yang maha kuat itu dan tepat pula penggunaannya, "crit",
hawa pedang "Lak-meh-sin-kiam" yang tak berwujud itu terus menyambar
kedepan.
Sama sekali Ting-lokoai tidak
menduga akan serangan Toan Ki itu, dengan gugup lekas ia kebaskan lengan
bajunya keatas, "bret", tahu-tahu lengan baju berlubang, bahkan
tenaga serangan Lak-meh-sin-kiam masih terus menyambar kedepan, kembali terdengar
"creng" sekali, Ting Jun-jiu tergentak mundur setindak dan dari
bajunya jatuh sebuah botol tembaga. Di-atas botol tembaga itu tampak sebuah
dekuk yang menyolok.
Kiranya tudingan
"Lak-meh-sin-kiam" yang dilontarkan Toan Ki dengan tepat mengenai
botol tembaga itu, sebab itulah Ting-lokoai dapat terhindar dari malapetaka.
Menyaksikan itu, segera Buyung
Hok bersorak memuji, "Lak-meh-sin-kiam yang hebat!"
Sebaliknya ujung hidung Toan
Ki telah keluar keringatnya. Sama sekali tak tersangka olehnya sekali tuding
tanpa sengaja dapat melontarkan daya tempur Lak-meh-sin-kiam yang maha sakti
itu.
Ada tercatat teori siasat
militer bahwa "tahu kekuatan pihak musuh dan kenal kekuatan pihak sendiri,
maka seratus kali bertempur seratus kali akan menang".
Sekarang Toan Ki bukan saja
tidak tahu kekuatan musuh, sebaliknya sampai dimana kemampuan diri sendiri juga
tidak tahu, jadi "tidak tahu kekuatan musuh dan tidak kenal kepandaian
sendiri", sudah tentu segala kejadian membuatnya terkejut.
Ting Jun-jiu beruntung
terlindung oleh botol tembaga yang tersimpan dalam bajunya, sehingga tidak
sampai terluka oleh tudingan Toan Ki tadi, tapi tidak urung dadanya juga terasa
kesakitan, ia menjadi murka, bentaknya dengan bengis, "Kau berani main
gila pada Sing-siok Josian, kamu ingin dibinasakan dengan cara apa?"
"Ai, jangan,
jangan!" demikian berulang Toan Ki meng-goyang-goyang tangannya.
"Kata Khong-hu-cu, 'Tidak tahu lahirnya dari mana tahu kapan akan mati',
Mana kudapat menjawab pertanyaan Losiansing ini?"
Diam-diam Ting Jun-jiu heran
dan ragu, pikirnya, "Bocah ini sudah terang mahir menggunakan
Lak-meh-sinkiam maha sakti dari keluarga Toan di Tayli, maka dapat diduga
adalah anak cucu keluarga Toan. Tapi mengapa tindak-tanduknya lebih mirip
seorang pelajar ketolol-tololan? Jika dapat kuperalat dia, sedapat mungkin
kesempatan ini harus kupergunakan dengan baik."
Karena itu, sengaja ia tarik
muka sehingga tambah bengis dan lebih menakutkan.
Karuan Toan Ki menyurut lagi.
"Siaucu, kau takut tidak
padaku?" tanya Ting-lokoai dengan suara galak.
"Takut?" Toan Ki
menegas, "Hehe, seorang kuncu (laki-laki sejati) tidak kenal sedih mau pun
takut, masakah aku takut padamu?"
Tiba-tiba Ting-lokoai
menyeringai, berbareng tangannya terus mencengkeram. Toan Ki terkejut dan cepat
melangkah mundur lagi, segera ia pun menuding-nuding pula.
Tadi Ting Jun-jiu sudah
merasakan betapa lihainya tudingan Lak-meh-sin-kiam, maka ia menjadi jeri dan
cepat menarik kembali cengkeramannya demi nampak Toan Ki mengangkat jari
tangannya.
Namun saat itu Toan Ki dalam
keadaan gugup dan pikiran kacau, maksudnya sih ingin mengeluarkan
"Lakmeh-sin-kiam" untuk menghalau musuh, tapi celaka, berulang-ulang
ia menuding enam atau tujuh kali, tapi hasilnya nihil, sedikit pun tak bisa
dikeluarkan tenaganya.
Sebagai seorang jago ulung dan
licin, meski Ting Jun-jiu juga sudah dapat melihat Toan Ki sebenarnya tidak
berdaya lagi, tapi ia tetap kuatir kalau-kalau pemuda itu cuma pura-pura saja
untuk memancingnya, maka ia tidak berani mendesak maju.
Dan setelah sekian lama
melihat sikap Toan Ki yang serba runyam dan gugup itu, sedangkan hawa pedang
yang hebat itu tetap tidak menyambar tiba, barulah kemudian iblis itu berani
menegurnya,
"Ayo, mau apa kamu
sekarang ?"
Toan Ki jadi ketakutan,
mendadak ia berteriak, "Haya, celaka! Kalau tidak lekas angkat kaki,
mungkin mati pun tak terkubur lagi!"
Berbareng ia terus putar tubuh
dan melarikan diri dengan cepat.
Sudah tentu Ting-lokoai tidak
tinggal diam, lengan bajunya yang gondrong itu lantas mengebas ke Ling-taihiat
dipunggung Toan Ki.
Sementara itu Buyung Hok masih
berdiri disamping, ia sangat kagum ketika sekali muncul Toan Ki lantas dapat
mengalahkan Ting Jun-jiu dengan "Lak-meh-sin-kiam" yang lihai, Sudah
lama ia kenal nama Lak-mehsin-kiam, konon ilmu itu sudah lama lenyap dari dunia
persilatan, maka selama ini ia sangat menyesal tidak dapat membuktikan betapa
hebatnya ilmu pedang tanpa wujud itu. Tak terduga sekarang ia dapat menyaksikan
dengan jelas, sudah tentu ia sangat senang.
Ia sangka menyusul Toan Ki
tentu akan melancarkan serangan lain yang lebih hebat, siapa tahu pemuda itu
cuma main tuding saja tanpa membawa hasil apa-apa, lalu putar tubuh dan angkat
langkah seribu alias kabur.
Diam-diam Buyung Hok ragu
apakah mungkin Toan Ki sengaja hendak menggoda Ting Jun-jiu? Tapi iblis tua itu
toh bukan tokoh sembarangan kalau gegabah bukan mustahil akan dimakan olehnya.
Namun apa yang terjadi
selanjutnya membuat Buyung Hok terkejut, ketika lengan baju Ting Jun-jiu
mengebas kepunggung Toan Ki yang mematikan, sebaliknya pemuda itu sama sekali
tidak tahu cara menghindarkannya, Diam-diam Buyung Hok berteriak,
"Celaka!" Cepat ia
bertindak dan menghantam iga Ting Jun-jiu.
Segera Ting Jun-jiu membaliki
tangan kiri untuk memapak, sedang ujung lengan baju kanan yang mengebas itu
tidak menjadi berkurang kekuatannya.
Mendadak Buyung Hok sedikit
mendak, ia hindarkan pukulan Ting Jun-jiu, sebaliknya keliam jari yang kuat
bagai kait itu terus mencakar lengan baju lawan, "Bret", lengan baju
Ting-lokoai kena dirobek sebagian.
Kebetulan pada saat itu Toan
Ki sedang berpaling, demi dilihatnya jarak Ting Jun-jiu dan Buyung Hok
sedemikian dekatnya, ia menjadi khawatir. Segera teringat olehnya, "Jika
Buyung Hok dilukai Ting Jun-jiu, pasti nona Ong akan sangat berduka. Mana boleh
kubiarkan wanita cantik berduka tanpa memberi pertolongan?" Berpikir
begitu, mendadak jarinya menuding lagi kesana.
Tadi demi untuk menolong diri
sendiri ia telah berusaha sedapatnya, tapi gagal karena sedikit pun tenaga tak
mau dikeluarkan, sekarang demi teringat kepada Ong Giok-yan, sekali jarinya
menuding, kontan "crit", satu jurus "Lak-meh-sin-kiam"
terus menyambar kedepan.
Memangnya Buyung Hok agak jeri
kalau bergebrak dengan Ting Jun-jiu dalam jarak terlalu dekat, sebab sedikit
ayal saja tentu akan kena dipegang lagi, dan jika demikian, maka sukarlah untuk
melawan Hoa-kangtai-hoat iblis tua itu. Sekarang kembali ia mendengar suara
mendesis hawa pedang Lak-meh-sin-kiam sedang menyambar tiba, cepat ujung
kakinya menutul tanah dan badan terus melayang kesamping.
Ting Jun-jiu juga sangat
terkejut, lekas-lekas kedua lengan bajunya mengebas kedepan, dua rangkum angin
keras dilontarkan untuk melawan tenaga Lak-meh-sin-kiam dari Toan Ki. Tapi
tidak urung ia pun tergentak mundur setindak.
Sekali berhasil, segera Toan
Ki hendak mengulangi lagi, tapi celaka, tudingan kedua kalinya kehilangan daya
gunanya, sedikit pun tidak bertenaga.
Cepat Buyung Hok menarik
tangan Toan Ki sambil berseru, "Lekas lari, Toan-heng!"
Tanpa menunggu jawaban lagi,
segera Toan Ki diseretnya dan berlari pergi.
Ting Jun-jiu menjadi gusar, ia
membentak sekali sambil pentang kedua tangannya, bagaikan seekor burung raksasa
ia menubruk kedepan.
"Celaka, dia
datang!" seru Toan Ki.
"Jangan khawatir, ada
orang lain lagi yang akan melayani dia!" ujar Buyung Hok.
Baru habis ucapannya,
terdengarlah suara tertawa orang berkumandang dari jauh, suara tertawa aneh
yang lebih mirip ayam berkotek itu semula kedengaran masih jauh, tapi tahu-tahu
sudah berada didepan mata. Tertampaklah Toan Yan-khing dengan jubahnya yang
serba hijau dengan kedua tongkat yang dipakai sebagai
pengganti kaki itu sedang
berjalan secepat terbang kearah sini.
Melihat "si-jahat yang
melebihi takaran"(Ok-koan-boan-eng) Toan Yan-khing, Toan Ki menjadi
ketakutan dan cepat berpaling kearah lain.
Buyung Hok memberi kiongjiu
kepada Yan-khing Taicu dan menyapa, "Toan-siansing, iblis tua itu sudah
telan pil pahit ditanganku, sekarang biarlah kau beri juga sedikit hajaran
padanya, tapi hati-hati, betapapun dia masih cukup lihai!"
Sembari berkata, berbareng ia
terus menarik Toan Ki dan diajak lari kesana.
Kedatangan Ting Jun-jiu
kedaerah Tionggoan ini adalah ingin pamer kepandaian untuk menaikkan pamornya,
siapa tahu berulang-ulang malah kecundang, anak muridnya gugur sebagian besar,
bahkan diri sendiri juga tidak pernah memperoleh kemenangan, Keruan bencinya
kepada Buyung Hok merasuk tulang sumsum, maka demi nampak lawan itu hendak
kabur, segera ia menubruk maju.
Tapi mendadak sebelah tongkat
Toan Yan-khing melintang didepannya, katanya dengan nada dingin, "Singsiok
Lokoai, jangan lari! Pada waktu orang lain sedang terancam bahaya, kamu sengaja
main sergap malah, untuk itu kita harus bikin perhitungan dahulu."
Karena dirintangi Toan
Yan-khing untuk mengejar Buyung Hok terang sukar. Sebagai seorang yang licin,
segera Lokoai ganti haluan, ia ter-bahak2 dan menjawab,
"Toan Yan-khing, hidupmu
ini sudah sulit kembali kejalan yang benar lagi, tapi kalau bicara tentang ilmu
kepandaian golongan Sia-pai sebenarnya kau pun belum masuk hitungan, maka ada
lebih baik kamu menyembah dan angkat aku sebagai gurumu saja, untuk ini mungkin
aku akan dapat mengabulkan keinginanmu."
Toan Yan-khing masih tetap
menghadang ditengah jalan dengan tongkat melintang, selesai Ting Jun-jiu
bicara, mendadak dari dalam perutnya mengeluarkan suara "kuk" yang
aneh, yaitu suara tertawa yang mirip ayam berkotek. Berbareng sebelah tongkatnya
terus menutuk keperut Ting-lokoai.
Mendadak Ting Jun-jiu
menyelintik sehingga jari tengahnya tepat menyentik ujung tongkat lawan.
Mestinya tongkat bambu
Yan-khing Taicu itu hijau segar, tapi sekali kena diselintik jari Ting-lokoai,
segera ujung tongkat bambu itu terdapat setitik warna merah, bahkan dengan
cepat sekali titik merah itu memanjang
keatas tongkat.
Waktu Yan-khing tarik kembali
tongkatnya dan hendak melancarkan serangan jurus kedua, sekilas dilihatnya pada
ujung tongkat sendiri ada jalur merah yang terus menjalar keatas dan tampaknya
segera akan sampai pada tangannya. Ia kaget bila teringat kemahiran Ting-lokoai
dalam hal menggunakan racun, cepat ia gentak sekali hingga tongkat itu
terlempar kedepan.
Tapi Toan Yan-khing juga bukan
tokoh sembarangan, walaupun terpaksa ia harus melemparkan tongkatnya, tapi
ketika tongkat terlepas dari cekalannya ia pun menggunakan tenaga yang
istimewa.
Maka waktu tongkat itu
terpegang oleh Ting Jun-jiu, mendadak terdengar suara "krak-krok"
dua-tiga kali, tahutahu tongkat itu patah menjadi beberapa bagian, tongkat yang
patah itu bahkan berhamburan keatas kepala Ting-lokoai.
Coba kalau iblis itu tidak
cepat putar lengan bajunya untuk mengebas, tentu ia pun akan terluka oleh
tongkat bambu yang patah itu.
Disebelah sana Buyung Hok dan
Toan Ki juga sedang mengikuti pertarungan itu dari jauh. Ketika melihat Toan
Yan-khing terpaksa melepaskan sebelah tongkatnya, dengan khawatir Toan Ki
berkata,
"Sialan! Hanya sekali
gebrak saja Yan-khing Taicu sudah kehilangan sebuah tongkatnya!"
"Ya, Ting Jun-jiu memang
benar hebat!" Tapi belum habis Buyung Hok berkata, tahu-tahu disebelah
sana tongkat bambu Toan Yan-khing sudah patah menjadi beberapa potong dan
Ting-lokoai kelabakan mengebaskan lengan bajunya melindungi kepalanya dari
hamburan tongkat patah itu.
Maka terbahaklah Buyung Hok
dan menyambung ucapannya, "Tapi jangan khawatir, si-jahat yang sudah kelewat
takarannya itu hari ini belum tiba ajalnya!"
Meski tadi sudah dua kali Toan
Ki menyerang dan membikin jeri Sing-siok Lokoai dengan Lak-meh-sin-kiam, tapi
dalam hal ilmu silat pada hakikatnya ia masih hijau pelonco. Maka demi
mendengar ucapan Buyung Hok itu, ia pun tahu pertarungan Toan Yan-khing melawan
Ting-lokoai itu dalam waktu singkat takkan bisa ditentukan kalah dan menang,
kesempatan ini sebaiknya digunakannya untuk pergi saja.
Maka ia lantas berkata,
"Buyung-heng, aku akan pergi saja!"
"Aku pun ada urusan lain,
marilah kita pergi bersama," sahut Buyung Hok.
Lalu mereka putar tubuh dan
tinggal pergi. Sesudah beberapa li jauhnya, tiba-tiba dari depan tertampak dua
orang sedang lari datang secepat terbang. Terang yang seorang adalah
It-tin-hong Hong Po-ok dan yang lain adalah Pau Put-tong.
Begitu melihat Buyung Hok
segera mereka berhenti dan menghadapnya dengan sikap sangat menghormat.
"Ada apa?" tanya
Buyung Hok.
Dengan gosok-gosok kepalan
Hong Po-ok menjawab. "Tadi kami melihat bocah berkepala besi itu sedang
berlari kesana sambil mengepit seorang gadis cilik dan kami sedang
memburunya."
"Disana tiada
orang." kata Buyung Hok.
Muka Po-ok tampak merah
jengah, sahutnya, "Bocah berkepala besi itu terlalu cepat larinya, kami
tidak mampu menyusulnya."
Tatkala Buyung Hok bicara
dengan Hong Po-ok, diam-diam Toan Ki mundur dua-tiga langkah kebelakang. Waktu
ia perhatikan Buyung Hok, ia lihat sikapnya gagah, tutur katanya agung
berwibawa.
Tiba-tiba Toan Ki merasa
rendah diri dan tidak dapat membandinginya. Pikirnya, "Hong Po-ok dan Pau
Puttong sudah datang, sebentar nona Ong tentu juga akan menyusul tiba. Dalam
pendangan nona Ong hakikatnya tiada manusia seperti aku ini, kalau Piaukonya
tidak ada mungkin dia masih sudi bicara denganku, tapi sekarang Piaukonya sudah
diketemukan, dalam matanya hanya terpandang Piaukonya seorang, apa gunanya aku
tinggal disini untuk menyaksikan mereka bermesra-mesraan?"