Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 51-55

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 51-55 "Memangnya siapa bilang kau pintar?” timbrung Pau Put-tong. "Kau memang orang tolol mahabesar, seorang goblok tulen!”
Jilid 51
"Memangnya siapa bilang kau pintar?” timbrung Pau Put-tong. "Kau memang orang tolol mahabesar, seorang goblok tulen!”

"Kan tidak lebih tolol daripadamu,” sahut si kakek yang bernama Kheng Kong-leng itu dengan marah.

"Tentu saja lebih tolol, kau lebih tolol sepuluh kali daripadaku,” sahut Put-tong.

"Kau lebih tolol seratus kali daripadaku!” teriak si kakek dengan ganas.

"Dan kau lebih tolol seribu kali daripadaku!” Put-tong juga ngotot.

"Sudahlah, sudahlah! Buat apa kalian ribut urusan yang tak berguna,” sela si Tabib Sakti Sih Boh-hoa. "Bahwasanya bila nanti Hui-keng dan Hui-si kedua Taysu pulang lapor ke Siau-lim-si dan kalian ditanya Hongtiang Taysu, mungkin kalian tak bisa memberi keterangan yang jelas, maka biarlah kuceritakan sedikit.”

"Sebenarnya urusan ini adalah rahasia perguruan kami dan tidak perlu diketahui orang luar, tapi demi untuk membasmi racun dunia persilatan yang terkutuk ini, bila padri sakti Siau-lim-si tidak ikut dalam usaha ini tentu akan sukar dilaksanakan. Sekarang akan kuceritakan seluk-beluk urusan kami ini, cuma diharap dengan hormat agar kalian jangan lagi membocorkan hal ini kepada orang luar selain memberi laporan kepada Hongtiang kalian saja.”

Berbareng Hui-keng dan Hui-si mengiakan dan berjanji takkan menyiarkan rahasia cerita itu.

Lalu Sih Boh-hoa berkata kepada Kheng Kong-leng, "Toasuko, tentang urusan kita dahulu akan Siaute ceritakan, lho!

"Aneh,” sahut Kheng Kong-leng tanpa pikir, "mulutmu tumbuh di kepalamu, mau katakan boleh kau bicara, kenapa mesti tanya padaku?”

Lalu Sih-sin-ih berkata, "Hian-lan Taysu dan Ting-heng sekalian, adapun guru kami namanya di dunia

persilatan terkenal sebagai Cong-pian Siansing....”

"Hah, Cong-pian Siansing?” berbareng Hian-lan, Pek-jwan dan lain-lain tercengang dan menegas bersama.

Seperti pernah diceritakan, Cong-pian Siansing adalah sama dengan Liong-ah Lojin. Tokoh ini tuli dan bisu, tapi justru memakai alias "Cong-pian Siansing” atau tajam telinga dan tangkas mulut.

Setiap orang Kangouw mengetahui bahwa semua anak muridnya juga dibikin cacat pula, yaitu ditulikan dan dibisukan. Tapi kini Kheng Kong-leng berdelapan semuanya pandai bicara dan pintar mendengar, sudah tentu hal ini mengherankan jika mereka mengaku sebagai anak murid Liong-ah Lojin.

Dalam pada itu Sih-sin-ih telah melanjutkan ceritanya, "Tentang anak murid perguruan kami semua tuli dan bisu, hal ini adalah kejadian 30 tahun paling akhir ini, dahulu Suhu kami bukan orang tuli, lebih-lebih bukan orang bisu. Beliau hanya dipaksa menjadi tuli dan bisu oleh sutenya sendiri, yaitu Sing-siok Lokoay Ting Junjiu.”

Hian-lan dan lain-lain kembali bersuara heran.

Namun Sih Boh-hoa menyambung terus, "Cosuya (kakek guru) seluruhnya cuma menerima dua orang murid, murid pertama she So bernama Sing-ho, yaitu guru kami. Murid kedua adalah Ting Jun-jiu yang sekarang terkenal sebagai Sing-siok Lokoay. Semula ilmu silat mereka berdua setingkat, tapi akhirnya menjadi selisih jauh.”

"Hehe, tak usah diterangkan juga orang akan tahu pasti susiokmu menjadi jauh lebih lihai daripada gurumu,” tiba-tiba Put-tong menyela.

"Bukan begitu soalnya,” kata Boh-hoa. "Sebab Cosuya kami adalah seorang genius, beliau memahami segala ilmu pengetahuan di jagat ini....”

"Ai, ai, masa iya?” Put-tong mengacau pula.

Tapi Sih-sin-ih tak menggubrisnya, ia tahu orang itu memang sok membantah setiap pendapat orang lain. Maka ia tetap melanjutkan ceritanya, "Semula guruku dan Susiok sama-sama mempelajari ilmu silat, tapi kemudian guruku berubah minat dan mempelajari ilmu seni budaya pada Cosuya....”

"Hahaha, kiranya caramu memetik kecapi setan itu diperoleh dari situ,” Put-tong menyela pula, ia maksudkan Kheng Kong-leng.

"Dan kalau Suhu kami melulu mempelajari sejenis ilmu saja, misalnya petik kecapi, tentulah takkan beralangan,” demikian Sih-sin-ih menyambung, "tapi apa yang dimiliki Cosuya itu sungguh terlalu banyak, terlalu luas, baik seni musik, seni catur, seni tulis, seni ukir, seni bunga, pertabiban, ilmu nujum, perbintangan dan macam-macam lagi, pendek kata beliau serbabisa serta pintar.

"Semula guruku hanya mempelajari seni musik saja, tapi kemudian belajar seni catur pula, lalu belajar seni tulis dan seni lukis juga. Coba kalian pikir, setiap ilmu pengetahuan itu sudah barang tentu memakan waktu yang cukup lama. Sebaliknya Ting Jun-jiu itu mula-mula juga pura-pura ikut belajar, tapi lama-kelamaan ia bilang bakatnya terlalu bodoh, susah mempelajari ilmu pengetahuan sebanyak itu, maka yang dipelajarinya benar-benar hanya khusus ilmu silat saja. Dengan begitu, setelah setahun dua tahun dan sepuluh tahun, dengan sendirinya ilmu silat mereka berdua saudara seperguruan menjadi kelihatan berbeda secara mencolok.”

"Ya, melulu semacam ilmu pengetahuan saja sudah makan tenaga dan pikiran setiap orang yang mempelajarinya, tapi Cong-pian Siansing ternyata mahir dan begitu luas pengetahuannya, hal ini benar-benar luar biasa,” demikian kata Hian-lan. "Dan kalau Ting Jun-jiu itu mencurahkan pikirannya dalam satu ilmu khusus saja hingga ilmu silatnya lebih tinggi dari sang suheng, hal ini pun bukan sesuatu yang mengherankan.”

"He, Longo, masih ada yang lebih penting, mengapa tidak kau ceritakan? Ayo, lekas ceritakan, lekas!” demikian Kheng Kong-leng berseru.

Maka Sih-sin-ih menurut pula, "Bahwasanya Ting Jun-jiu itu tekun belajar ilmu silat saja, hal ini boleh dikata ada baiknya juga. Cuma... cuma... ai, urusan ini kalau diceritakan sungguh agak memalukan nama baik guru kami. Pendek kata Ting Jun-jiu telah menggunakan macam-macam cara licik hingga dapat meyakinkan pula beberapa macam ilmu sesat yang lihai dan akhirnya Cosuya kami diserang olehnya hingga terluka parah.

"Maksudnya sebenarnya hendak membunuh Cosuya, tapi apa pun juga Cosuya adalah seorang kosen yang serbalihai, biarpun dalam keadaan tak terduga dan mendadak diserang, namun untuk mengarah jiwanya juga tidak gampang.

"Maka sesudah terluka parah, sekuat mungkin Cosuya bertahan, syukur Suhu kami juga keburu datang menolong. Tapi sebelumnya Ting Jun-jiu juga sudah mengatur rencananya dengan rapi, apa lagi ilmu silat guruku memang kalah kuat, maka setelah terjadi pertarungan sengit akhirnya guruku juga terluka parah, sedangkan Cosuya tergelincir ke dalam jurang dan tak diketahui mati-hidupnya.

"Sebabnya ilmu silat guruku kalah daripada Ting Jun-jiu adalah disebabkan perhatiannya terpencar untuk mempelajari ilmu pengetahuan lain, tapi ilmu pengetahuan yang lain tidak berarti tiada manfaatnya, tatkala

terancam bahaya itulah guruku telah keluarkan ilmu pengetahuannya yang luas itu, beliau mengatur jalan ‘Ngo-heng-pat-kwa’ (Lima Unsur dan Delapan Segi) yang aneh dan sudah dipecahkan itu untuk mengacaukan pikiran Ting Jun-jiu dan akhirnya dapat menyelamatkan diri. Tapi Ting Jun-jiu telah mengancam, asalkan sejak itu guruku tidak membuka suara maka untuk selanjutnya beliau takkan diutik-utik.

"Tatkala itu dalam perguruan terdapat kami berdelapan, Suhu lantas menulis pernyataan dan kami dibubarkan serta tak diakui sebagai muridnya lagi. Sejak itu Suhu benar-benar berlagak tuli dan bisu, tidak bicara dan tidak mau mendengar, waktu menerima murid pula semuanya juga dibikin tuli dan bisu hingga terkenal sebagai ‘Liong-ah-bun’ di kalangan Kangouw.

"Menurut hematku boleh jadi Suhu menyesal karena terlalu banyak belajar ilmu pengetahuan lain hingga ilmu silatnya telantar dan dikalahkan Ting Jun-jiu, maka sesudah berlagak tuli dan bisu, beliau tidak mempelajari ilmu pengetahuan lain lagi.

"Tentang kami berdelapan saudara, selain kami belajar silat kepada Suhu, kami masing-masing mempelajari pula sejenis pengetahuan yang lain, hal ini terjadi sebelum Ting Jun-jiu mendurhakai Cosuya dan Suhu kami belum menyadari tentang bahayanya mempelajari ilmu lain sehingga pemusatan pikiran terpencar, maka beliau tidak melarang, bahkan menganjurkan dan memberi pujian pada kami. Adapun kepandaian lain yang dipelajari Kheng-toasuheng adalah memetik kecapi dan....”

Ia menunjuk orang yang bersenjata papan catur itu, "Dan Hoan Pek-ling Hoan-jisuheng, mempelajari seni catur, selama ini beliau belum menemukan tandingan. Hoan-jisuheng boleh dikatakan adalah juara catur pada zaman ini.”

"Pantas makanya kau gunakan papan catur sebagai senjata,” tukas Pau Put-tong sambil memandang Hoan Pekling. "Cuma papan caturmu terbuat dari besi sembrani untuk dipakai menyedot senjata musuh, hal ini terus agak licik dan bukan perbuatan seorang kesatria sejati.”

"Ilmu main catur memang baik dilakukan serang-menyerang secara terang-terangan, tapi soal mengatur siasat dan tipu untuk menjebak musuh kan juga tidak dilarang, demikian pula halnya dengan papan caturku ini,” sahut Hoan Pek-ling.

"Sebenarnya maksud tujuan Hoan-jisuko menggunakan papan catur besi sembrani ialah untuk mempelajari ilmu permainan catur setiap saat, baik waktu makan, tatkala berjalan atau pada saat duduk termenung, bila mendadak ia mendapat ilham atau tiba-tiba ingat sesuatu langkah caturnya yang bagus, maka segera papan catur itu lantas digunakan.

"Buah caturnya terbuat dari besi, bila ditaruh di atas papan catur besi sembrani itu akan terkantil, dengan demikian Jisuko dapat menyelami ilmu permainan caturnya di mana dan bilamana pun dia berada,” demikian

Sih-sin-ih menerangkan. "Dan Samsuko kami itu she Koh bernama thok (baca), sesuai dengan namanya itu, maka beliau sangat suka membaca, tak peduli kitab apa pun pasti dibacanya, beliau adalah seorang cendekia yang sangat luas pengetahuannya. Hal ini mungkin kalian sudah menyaksikan tadi.”

"Ah, cendekia apa? Lebih mirip badut!” demikian Put-tong berolok-olok.

"Apa? Badut? Memangnya kau sendiri kesatria?” balas si sastrawan linglung alias Kou Thok itu.

Sih-sin-ih tahu watak kedua orang itu, jika mereka dibiarkan berdebat, mungkin tiga hari tiga malam pun takkan habis-habis. Maka cepat ia potong pembicaraan mereka dan memperkenalkan si sastrawan bersenjata boan-koan-pit itu, "Dan ini adalah sisuko kami, beliau mahir melukis, baik lukisan pemandangan alam, binatang atau tumbuh-tumbuhan, semuanya dapat dilukisnya dengan hidup. Dia she Go, sebelum masuk perguruan kami pernah menjadi komandan tentara dalam Kerajaan Song. Sebab itulah orang suka memanggilnya Komandan Go.”

"Komandan tentara yang selalu kalah perang, apa gunanya?” demikian Pau Put-tong berolok-olok lagi.

Tapi sekali ini tiada orang menggubris padanya. Maka Sih-sin-ih melanjutkan ceritanya, "Adapun aku sendiri adalah nomor lima, yang kupelajari adalah ilmu tabib, syukurlah selama ini namaku tidak terlalu jelek di kalangan Kangouw dan tidak sia-siakan ajaran guruku.”

"Ya, kalau cuma batuk pilek sih dapat disembuhkan, tapi bila menghadapi penyakit seperti aku ini lantas tak bisa berbuat apa-apa, ini namanya penyakit besar tak mampu mengobati, penyakit kecil tidak sampai mati. Hehe, gelaran Sih-sin-ih memang tidak bernama kosong!” demikian lagi-lagi Pau Put-tong mengejek.

Kheng Kong-leng menjadi geregetan, ia melirik gemas kepada Put-tong dan menjengek, "Sifat saudara ini benar-benar aneh bin luar biasa, sungguh tidak sama dengan orang lain!”

"Haha, memangnya aku she Pau (tanggung) dan bernama put-tong (tidak sama), dan dengan sendirinya tanggung tidak sama dengan orang lain,” sahut Put-tong dengan tertawa.

"Hahahaha,” Kheng Kong-leng terbahak-bahak. "Kau benar-benar she Pau dan bernama put-tong?”

"Sudah tentu benar, masakan palsu? Kalau palsu uang kembali!” sahut Put-tong, "dan si abang yang pandai membongkar alat rahasia ini apa barangkali murid keturunan Loh Pan?”

Loh Pan adalah seorang arsitek, seorang pencipta di Zaman Ciankok.

Maka Sih-sin-ih menjawab, "Ya, benar, Laksite bernama Thio A Sam, asalnya memang tukang kayu. Sebelum masuk perguruan kami dia sudah terkenal sebagai seorang ahli pertukangan, setelah belajar lagi pada guru kami, kepandaiannya makin tambah hebat. Dan Jitsumoay she Ciok, dia paling suka pada bunga, segala jenis tumbuh-tumbuhan bunga di dunia ini pasti ditanamnya dan dirawat dengan baik.”

"Obat yang menjatuhkan aku yang digunakan nona Ciok tadi tentulah serbuk bunga dan bukan racun,” ujar Ting Pek-jwan.

Wanita cantik she Ciok itu, nama gadisnya adalah Jing-loh, dengan tersenyum ia menyahut, "Ya, tadi banyak membikin susah padamu, harap maaf.”

"Cayhe juga berlaku kasar, harap nona jangan dendam,” sahut Pek-jwan.

Akhirnya Sih-sin-ih menunjuk si pemain sandiwara pula, katanya, "Dan Patsute ini bernama Li Gui-lui (Si Wayang Golek), sesuai dengan namanya, selama hidup ia suka jadi dalang dan membawakan lakon tingkah laku angin-anginan sehingga dalam hal ilmu silat menjadi agak telantar.”

"Oo, aku Li Si-bin adanya, aku tidak suka kerajaan tapi lebih suka main sandiwara, aha, puas sekali hatiku,” demikian seniman sinting itu menembang lagi.

Sih-sin-ih menutur lebih lanjut, "Meski kami berdelapan telah dibubarkan dari perguruan, tapi kami tidak pernah melupakan budi kebaikan Suhu, kami memberi nama sendiri sebagai ‘Yu-kok-pat-yu’ sebagai kenangan tatkala kami belajar pada guru kami yang baik hati di lembah sunyi itu. Bagi orang lalu mungkin akan menyangka kami cuma delapan sekawan yang wataknya cocok satu cuma lain, tapi tidak tahu kami sebenarnya adalah saudara seperguruan.

"Untuk menjaga kemungkinan datangnya Sing-siok Lokoay dan kami akan dihancurkan sekaligus, maka setiap lima tahun kami mengadakan pertemuan satu kali di sini, biasanya kami terpencar tiada tempat tinggal tertentu. Sebab itulah bahwasanya nona A Pik adalah murid Toasuheng hal ini sama sekali tak diketahui oleh kami, kalau tahu tentu takkan terjadi salah paham seperti tadi.”

Mendengar cerita tentang asal-usul kedelapan orang aneh itu, barulah rasa waswas Hian-lan dan lain-lain lenyap sebagian besar.

Lalu Kongya Kian bertanya pula, "Sebabnya Sih-siansing pura-pura meninggal dan menaruh racun dalam peti mati, apakah khusus dipasang untuk menghadapi Sing-siok Lokoay? Dan dari mana Sih-siansing tahu iblis itu akan datang ke sini?”

"Kejadian itu kalau diceritakan memang sangat aneh,” sahut Sih-sin-ih. "Dua hari yang lalu ketika aku duduk iseng dalam rumah, tiba-tiba datang empat orang penumpang kuda minta obat padaku. Soal memberi obat dan menolong orang sakit memang menjadi kewajibanku sebagai tabib dan sangat umum. Yang aneh adalah si penderita sakit. Satu di antaranya adalah seorang hwesio gemuk buntek, tulang iga depan dan belakang patah semua, badannya yang besar bulat itu hampir-hampir menjadi gepeng, jadi mirip habis dipres, ditempa dan digencet dalam suatu benda keras.”

"Memangnya siapa bilang kau pintar?" timbrung Pau Put-tong, "Kamu memang orang tolol maha besar, seorang goblok tulen!"

"Kan tidak lebih tolol dari padamu," sahut sikakek yang bernama Kheng Kong-leng itu dengan marah.

"Tentu saja lebih tolol, kamu lebih tolol sepuluh kali dari padaku," sahut Put-tong.

"Kamu lebih tolol seratus kali dari padaku!" teriak sikakek dengan gemas.

"Dan kamu lebih tolol seribu kali dari padaku!" Put-tong juga ngotot.

"Sudahlah, sudahlah! Buat apa kalian ribut urusan yang tak berguna," sela sitabib sakti Sih Boh-hoa, "Bahwasanya bila nanti Hui-keng dan Hui-si kedua Taisu pulang lapor ke Siau-lim-si, dan kalian ditanya Hongtiang Taisu, mungkin kalian tak bisa memberi keterangan yang jelas, maka biarlah kuceritakan sedikit.

Sebenarnya urusan ini adalah rahasia perguruan kami dan tidak perlu diketahui orang luar, tapi demi untuk membasmi racun dunia persilatan yang terkutuk ini, bila para padri sakti Siau-lim-si tidak ikut dalam usaha ini tentu akan sukar dilaksanakan, Sekarang akan kuceritakan seluk-beluk urusan kami ini, cuma diharap dengan hormat agar kalian jangan lagi membocorkan hal ini kepada orang luar selain memberi laporan kepada Hongtiang kalian saja."

Berbareng Hui-keng dan Hui-si mengiakan dan berjanji takkan menyiarkan rahasia cerita itu.

Lalu Sih Boh-hoa berkata kepada Kheng Kong-leng, "Toasuko, tentang urusan kita dahulu akan Siaute ceritakan, lho!"

"Aneh," sahut Kheng Kong-leng tanpa pikir, "Mulutmu tumbuh dikepalamu, mau katakan boleh kau bicarakan, kenapa mesti tanya padaku?"

Lalu Sih-sin-ih berkata, "Hian-lan Taisu dan Ting-heng sekalian, adapun guru kami namanya didunia persilatan terkenal sebagai Cong-pian Sian-sing....."

"Hah, Cong-pian Siansing?" berbareng Hian-lan, Pek-jwan dan lain-lain tercengang dan menegas bersama.

Seperti pernah diceritakan Cong-pian Sian-sing adalah sama dengan Liong-ah Lojin, Tokoh ini tuli dan bisu, tapi justru memakai alias 'Cong-pian Sian-sing' atau tajam telinga dan tangkas mulut.

Setiap orang kangouw mengetahui bahwa semua anak muridnya juga dibikin cacat pula, yaitu ditulikan dan dibisukan, Tapi kini Kheng Kong-leng berdelapan semuanya pandai bicara dan pintar mendengar, sudah tentu hal ini mengherankan jika mereka mengaku sebagai anak murid Liong-ah Lojin.

Dalam pada itu Sih-sin-ih telah melanjutkan ceritanya, "Tentang anak murid perguruan kami semua tuli dan bisu, hal ini adalah kejadian tigapuluh tahun paling akhir ini, dahulu Suhu kami bukan orang tuli, lebih-lebih bukan orang bisu, Beliau hanya dipaksa menjadi tuli dan bisu oleh Sutenya sendiri, yaitu Sing-siok Lokoai Ting Jun-jiu."

Hian-lan dan lain-lain kembali bersuara heran. Namun Sih Boh-hoa menyambung terus;

"Cosuya (kakek guru) kami seluruhnya cuma menerima dua orang murid, murid pertama she So bernama Singho, yaitu guru kami, Murid kedua adalah Ting Jun-jiu yang sekarang terkenal sebagai Sing-siok Lokoai, Semula ilmu silat mereka berdua setingkat, tapi akhirnya menjadi selisih jauh."

"Hehe, tak usah diterangkan juga orang akan tahu pasti Susiokmu menjadi jauh lebih lihai daripada gurumu," tiba-tiba Put-tong menyela.

"Bukan begitu soalnya," kata Boh-hoa, "Sebab Cosuya kami adalah seorang jenius, beliau memahami segala ilmu pengetahuan di jagat ini......"

"Ai, ai, masa iya?" Put-tong mengacau pula.

Tapi Sih-sin-ih tak menggubrisnya, ia tahu orang itu memang sok membantah setiap pendapat orang lain, Maka ia tetap melanjutkan ceritanya.

"Semula guruku dan Susiok sama-sama mempelajari ilmu silat, tapi kemudian guruku berubah minatnya dan mempelajari ilmu seni budaya pada Cosuya....."

"Hahaha, kiranya caramu memetik kecapi setan itu diperoleh dari situ," Put-tong menyela pula, ia maksudkan Kheng Kong-leng.

"Dan kalau Suhu kami melulu mempelajari sejenis ilmu saja, misalnya memetik kecapi, tentulah takkan berhalangan," demikian Sih-sin-ih menyambung, "tapi apa yang dimiliki Cosuya itu sungguh terlalu banyak, terlalu luas, baik seni musik, seni catur, seni tulis, seni lukis, seni ukir, seni bunga, pertabiban, ilmu nujum, perbintangan dan macam-macam lagi, pendek kata beliau serba bisa, serta pintar."

"Semula guruku hanya mempelajari seni musik saja, tapi kemudian belajar seni catur pula, lalu belajar seni tulis dan seni lukis juga, Coba kalian pikir, setiap ilmu pengetahuan itu sudah barang tentu memakan waktu yang cukup lama, Sebaliknya Ting Jun-jiu itu mula-mula juga pura-pura ikut belajar, tapi lama kelamaan ia bilang bakatnya terlalu bodoh, susah mempelajari ilmu pengetahuan sebanyak itu, maka yang dipelajari benarbenar hanya khusus ilmu silat saja, Dengan begitu, setelah setahun dua tahun dan sepuluh tahun, dengan sendirinya ilmu silat mereka berdua saudara seperguruan menjadi kelihatan berbeda secara menyolok."

"Ya, melulu semacam ilmu pengetahuan saja sudah makan tenaga dan pikiran setiap orang yang mempelajarinya, tapi Cong-pian Siansing ternyata mahir dan begitu luas pengetahuannya, hal ini benar-benar luar biasa," demikian kata Hian-lan, "Dan kalau Ting Jun-jiu itu mencurahkan pikirannya dalam satu ilmu khusus saja hingga ilmu silatnya lebih tinggi dari sang Suheng, hal ini pun bukan sesuatu yang mengherankan."

"He, Lo-ngo, masih ada yang lebih penting, mengapa tidak kau ceritakan? Ayo, lekas ceritakan lekas!" demikian Kheng Kong-leng berseru.

Maka Sih-sin-ih menurut pula, "Bahwasanya Ting Jun-jiu itu tekun belajar ilmu silat saja, hal ini boleh dikata ada baiknya juga, Cuma....cuma... ai, urusan ini kalau diceritakan sungguh agak memalukan nama baik guru kami, Pendek kata Ting Jun-jiu telah menggunakan macam-macam cara licik hingga dapat meyakinkan pula beberapa macam ilmu sesat yang lihai dan akhirnya mendadak Cosuya kami diserang olehnya hingga terluka parah.

"Maksudnya sebenarnya hendak membunuh Cosuya, tapi apa pun juga Cosuya adalah seorang kosen yang serba lihai, biarpun dalam keadaan tak terduga dan mendadak diserang, namun untuk mengarah jiwanya juga tidak gampang.Maka sesudah terluka parah, sekuat mungkin Cosuya bertahan, syukur Suhu kami juga keburu datang menolong, Tapi sebelumnya Ting Jun-jiu juga sudah mengatur rencananya dengan rapi, apa lagi ilmu silat guruku memang kalah kuat, maka setelah terjadi pertarungan sengit akhirnya guruku juga terluka parah, sedangkan Cosuya tergelincir kedalam jurang dan tak diketahui mati-hidupnya."

"Sebabnya ilmu silat guruku kalah dari pada Ting Jun-jiu adalah disebabkan perhatiannya terpencar untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang lain, tapi ilmu pengetahuan yang lain tidak berarti tiada manfaatnya, tatkala terancam bahaya itulah guruku telah keluarkan ilmu pengetahuannya yang luas itu, beliau mengatur jalan 'Ngo-heng-pat-kwa'(lima unsur dan delapan segi) yang aneh dan susah dipecahkan itu untuk mengacaukan pikiran Ting Jun-jiu dan akhirnya dapat menyelamatkan diri, Tapi Ting Jun-jiu telah mengancam, asalkan sejak itu guruku tidak membuka suara, maka untuk selanjutnya beliau takkan diutik-utik."

"Tatkala itu dalam perguruan terdapat kami berdelapan, Suhu lantas menulis pernyataan dan kami dibubarkan serta tak diakui sebagai muridnya lagi, Sejak itu Suhu benar-benar berlagak tuli dan bisu, tidak bicara dan tidak mau mendengar, waktu menerima murid pula semuanya juga dibikin tuli dan bisu hingga terkenal sebagai 'Liong-oh-bun' dikalangan kangouw.Menurut hematku, boleh jadi Suhu menyesal karena beliau terlalu banyak belajar ilmu pengetahuan lain hingga ilmu silatnya terlantar dan dikalahkan Ting Jun-jiu, maka sesudah berlagak tuli dan bisu, beliau tidak mempelajari ilmu pengetahuan lain lagi."

"Tentang kami berdelapan saudara, selain kami belajar silat kepada Suhu, kami masing-masing mempelajari pula sejenis pengetahuan yang lain, hal ini terjadi sebelum Ting Jun-jiu mendurhakai Cosuya dan Suhu kami belum menyadari tentang bahayanya mempelajari ilmu lain sehingga pemusatan pikirannya terpencar, maka beliau tidak melarang, bahkan menganjurkan dan memberi pujian pada kami, Adapun kepandaian lain yang dipelajari Kheng-toasuheng adalah memetik kecapi dan..." Ia menunjuk orang yang bersenjata papan catur itu, "Dan Hoan Pek-ling, Hoan-jisuheng mempelajari seni catur, selama ini beliau belum menemukan tandingan, Hoan-jisuheng boleh dikatakan adalah juara catur pada jaman ini."

"Pantas, makanya kau gunakan papan catur sebagai senjata," tukas Pau Put-tong sambil memandang Hoan Pekliong, "Cuma papan caturmu itu terbuat dari besi sembrani untuk dipakai menyedot senjata musuh, hal ini terasa agak licik dan bukan perbuatan seorang ksatria sejati."

"Ilmu main catur memang baik dilakukan serang menyerang secara terang-terangan, tapi soal mengatur siasat dan tipu untuk menjebak musuh kan juga tidak dilarang, demikian pula halnya dengan papan caturku ini." sahut Hoan Pek-ling.

"Sebenarnya maksud tujuan Hoan-jisuko menggunakan papan catur besi sembrani ialah untuk mempelajari ilmu permainan catur setiap saat baik waktu makan, tatkala berjalan atau pada saat duduk termenung, Bila mendadak ia mendapat ilham atau tiba-tiba ingat sesuatu langkah caturnya yang bagus, maka segera papan catur itu lantas digunakan.'

"Buah caturnya terbuat dari besi, bila ditaruh diatas papan catur besi sembrani itu akan terus kantil, dengan demikian Jisuko dapat menyelami ilmu permainan caturnya dimana dan bilamana pun dia berada," demikian Sih-sin-ih menerangkan. "Dan Samsuko kami itu she Kou bernama Thok (baca), sesuai dengan namanya itu, maka beliau sangat suka membaca, tak peduli kitab apa pun pasti dibacanya, beliau adalah seorang cendikia yang sangat luas pengetahuannya, Hal ini mungkin kalian sudah menyaksikan tadi."

"Ah, cendikia apa? Lebih mirip badut!" demikian Put-tong berolok-olok.

"Apa? Badut? Memangnya kamu sendiri kesatria?" balas si sastrawan linglung alias Kou Thok itu.

Sih-sin-ih tahu watak kedua orang itu, jika mereka dibiarkan berdebat, mungkin tiga hari tiga malam pun takkan habis-habisnya, Maka cepat ia potong pembicaraan mereka dan memperkenalkan si sastrawan bersenjata Boan-koan-pit itu, "Dan ini adalah Sisuko kami, beliau mahir melukis, baik lukisan pemandangan alam, binatang atau tumbuh-tumbuhan, semuanya dapat dilukisnya dengan hidup, Dia she Go, sebelum masuk perguruan kami pernah menjadi komandan tentara dalam kerajaan Song, Sebab itulah orang suka memanggilnya Komandan Go."

"Komandan tentara yang selalu kalah perang, apa gunanya?" demikian Pau Put-tong berolok-olok lagi.

Tapi sekali ini tiada orang menggubris padanya, Maka Sih-sin-ih melanjutkan ceritanya, "Adapun aku sendiri adalah nomor lima, yang kupelajari adalah ilmu tabib, syukurlah selama ini namaku tidak terlalu jelek dikalangan kangouw dan tidak sia-siakan ajaran guruku."

"Ya, kalau cuma batuk pilek sih dapat disembuhkan, tapi bila menghadapi penyakit seperti aku ini lantas tak bisa berbuat apa-apa, ini namanya penyakit besar tak mampu mengobati, penyakit kecil tidak sampai mati, Hehe, gelaran Sih-sin-ih memang tidak bernama kosong!" demikian lagi-lagi Pau Put-tong mengejek.

Kheng Kong-leng menjadi gregetan, ia melirik gemas kepada Put-tong dan menjengek, "Sifat saudara ini benar-benar aneh bin luar biasa, sungguh tidak sama dengan orang lain!"

"Haha, memangnya aku she Pau (tanggung) dan bernama Put-tong (tidak sama), dan dengan sendirinya tanggung tidak sama dengan orang lain," sahut Put-tong dengan tertawa.

"Hahahaha," Kheng Kong-leng terbahak-bahak, "Kamu benar-benar she Pau dan bernama Put-tong?"

"Sudah tentu benar, masakah palsu? Kalau palsu uang kembali!" sahut Put-tong, "dan abang yang pandai membongkar alat rahasia ini apa barangkali murid keturunan Loh Pan?"

Loh Pan adalah seorang arsitek, seorang pencipta dijaman Ciankok.

Maka Sih-sin-ih menjawab, "Ya, benar, Lak-sute bernama Thio A Sam, asalnya memang tukang kayu, Sebelum masuk perguruan kami dia sudah terkenal sebagai seorang ahli pertukangan, setelah belajar lagi pada guru kami, kepandaiannya makin tambah hebat, Dan Jit-sumoai she Ciok, dia paling suka pada bunga, segala jenis tumbuh-tumbuhan bunga didunia ini pasti ditanamnya dan dirawat dengan baik."

"Obat yang menjatuhkan aku yang digunakan nona Ciok tadi tentulah serbuk bunga dan bukan racun," ujar Ting Pek-jwan.

Wanita cantik she Ciok itu, nama gadisnya adalah Jing-loh, dengan tersenyum ia menyahut, "Ya, tadi banyak membikin susah padamu harap maaf."

"Caihe juga berlaku kasar, harap nona jangan dendam," sahut Pek-jwan.

Akhirnya Sih-sin-ih menunjuk sipemain sandiwara pula, katanya, "Dan Pat-sute ini bernama Li Gui-in ( si wayang golek), sesuai dengan namanya, selama hidup ia suka jadi dalang dan membawakan lakon tingkah-laku angin2an sehingga dalam hal ilmu silat menjadi agak terlantar."

"Oo, aku Li Si-bin adanya, aku tidak suka kerajaan tapi lebih suka main sandiwara, aha, puas sekali hatiku!" demikian seniman sinting itu menembang lagi.

Sih-sin-ih menutur lebih lanjut, "Meski kami berdelapan telah dibubarkan dari perguruan, tapi kami tidak pernah melupakan budi kebaikan Suhu, kami memberi nama sendiri sebagai 'Yu-kok-pat-yu' sebagai kenangan tatkala kami belajar pada guru kami yang baik hati dilembah sunyi itu, Bagi orang lain mungkin akan menyangka kami cuma delapan sekawan yang wataknya cocok satu sama lain, tapi tidak tahu kami sebenarnya adalah saudara seperguruan. Untuk menjaga kemungkinan datangnya Sing-siok Lokoai dan kami akan dihancurkan sekaligus, maka setiap lima tahun kami mengadakan pertemuan satu kali disini, biasanya kami terpencar tiada tempat tinggal tertentu, Sebab itulah bahwasanya nona Apik adalah murid Toasuheng hal ini sama sekali tak diketahui oleh kami, kalau tahu tentu takkan terjadi salah paham seperti tadi."

Mendengar cerita tentang asal-usul kedelapan orang aneh itu, barulah rasa was-was Hian-lan dan lain-lain

lenyap sebagian besar.

Lalu Kongya Kian bertanya pula, "Sebabnya Sih-siansing pura-pura meninggal dan menaruh racun dalam peti mati, apakah khusus dipasang untuk menghadapi Sing-siok Lokoai? Dan dari mana Sih-siansing tahu iblis itu akan datang kesini?"

"Kejadian itu kalau diceritakan memang sangat aneh," sahut Sih-sin-ih. "Dua hari yang lalu, ketika aku duduk iseng dalam rumah, tiba-tiba datang empat orang penumpang kuda minta obat padaku, Soal memberi obat dan menolong orang sakit memang menjadi kewajibanku sebagai tabib dan sangat umum, Yang aneh adalah sipenderita sakit, Satu diantaranya adalah seorang hwesio gemuk buntek, tulang iga depan dan belakang patah semua, badannya yang besar bulat itu hampir2 menjadi gepeng, jadi mirip habis dipres, ditempa dan digencet dalam suatu benda keras."

"Hah, itulah Sam-ceng Hwesio, orang Siau-lim-si kami," kata Hian-lan, "Orang ini tidak taat kepada peraturan, makanya dihukum kurung dalam kamar batu, Rupanya badannya kelewat gede hingga dia tergencet gepeng dalam kamar batu itu, Siapakah gerangan yang mengantar dia minta obat pada Sih-siansing?"

"Orang yang datang bersama dia itu, wah, dia lebih-lebih aneh lagi, kepalanya memakai sebuah kerudung besi....."

Baru sekian Sih-sin-ih menutur lagi, serentak Pau Put-tong dan Hong Po-ok melonjak dan berseru, "Keparat itu dia anak jadah yang kami cari, Syukur alhamdullilah, dia terkena penyakit apakah?"

"Dia tidak sakit, tapi maksudnya ingin melepaskan kerudung besi pada kepalanya itu," tutur Sih-sin-ih, "Tapi setelah kuperiksa, ternyata kerudung besi itu sudah melengket erat dengan kepalanya dan tidak dapat dilepaskan lagi."

"Aha, aneh! Apa mungkin kerudung besi itu sudah tumbuh diatas kepalanya sejak ia jebrol dari kandungan ibunya?" ujar Put-tong.

"Tidak," sahut Sih-sin-ih, "Kerudung besi itu tampaknya sengaja dipasang orang, yaitu ditangkupkan tatkala kerudung besi itu masih panas menganga sehingga kulit dagingnya meleleh, setelah lukanya sembuh, maka kerudung besi itu pun seakan-akan dicor diatas kepalanya dan tak bisa dilepas lagi, Untuk membukanya, hanya bisa dilakukan bila mau hidungnya ikut dikoyak-koyak.

"Dia yang minta kerudungnya dilepaskan, biarpun akibatnya muka hancur semua juga tak dapat menyalahkanmu," ujar Put-tong dengan dingin.

"Tapi persoalannya tidak begitu mudah," tutur Sih-sin-ih, "Tulang Sam-ceng Hwesio yang patah itu gampang disembuhkan, untuk itu kukira Siau-lim-si juga mampu mengobatinya, Tapi kerudung besi Thi-thau-jin itu tidak mudah dilepas, Dan selagi aku ragu, dua orang kawannya yang mengantar itu menjadi tak sabar, tiba-tiba mereka berteriak-teriak suruh aku lekas bekerja.

"Hendaknya hadirin maklum bahwa orang she Shi ini mempunyai suatu sifat yang jelek, yaitu bila orang minta obat padaku, maka dia harus memohon dengan baik-baik, kalau main gertak dan main paksa, haha, orang she Shi ini lebih suka mati juga tak mau menyembuhkannya.Seperti waktu pertemuan para ksatria di Cip-hian-ceng dahulu dimana Kiau Hong rela menyerempet bahaya dengan mengantar seorang nona cilik untuk minta obat padaku, Biasanya orang itu sangat ganas dan malang melintang tiada yang berani melawannya, tapi karena dia ingin minta tolong padaku, betapa pun dia harus bicara secara halus dan mohon dengan baik-baik padaku......"

Bercerita sampai disini, ia jadi teringat ketika ia diselomoti A Cu dan tertutuk tak bisa berkutik serta jenggotnya dicukur hingga kelimis, hal itu adalah kejadian yang paling memalukan selama hidupnya, maka ia tidak jadi meneruskan lagi ceritanya.

Saat itu A Pik masih terpulas karena keracunan, coba kalau dia ikut mendengar cerita Sih-sin-ih tentang Kiau Hong membawa seorang nona cilik segala, tentu ia akan mengusut lebih jauh dan boleh jadi jejak A Cu akan dapat diketahuinya.

Dalam pada itu Pau Put-tong ikut menimbrung pula, "Ah, jangan omong besar? Ini, orang she Pau juga mempunyai suatu sifat yang aneh, kalau ada orang hendak mengobati penyakitku, maka dia harus memohon dengan baik-baik, bahkan perlu berlutut dan menyembah dulu padaku, Tapi kalau dipaksa dan digertak, haha, orang she Pau ini lebih suka mati, aku juga tidak sudi diobati orang."

"Hahaha! Kamu ini mestika juwita apa?" tiba-tiba Kheng Kong-leng ter-bahak2 geli, "Masakah orang hendak menyembuhkan penyakitmu malah diharuskan menyambah dan memohon padamu, hahaha, kecuali.....kecuali....."

"Kecuali kalau kamu adalah putraku," sambung Put-tong.

Kong-leng melengak, Tapi setelah dipikir-pikir, ia anggap ucapan Pau Put-tong memang ada benarnya juga, Coba, kalau ayah jatuh sakit dan tidak mau diperiksa tabib, dengan sendirinya anak akan terpaksa memohon dengan sangat padanya, Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa ucapan Pau-Put-tong itu justru sengaja hendak mengolok-oloknya, Maka ia pun menyahut, "Ya, benar! Tapi aku toh bukan putramu."

"Kamu putraku atau bukan hanya ibumu yang tahu, kau sendiri mana bisa tahu?" kata Put-tong.

Kembali Kong-leng melengak, lalu mengangguk-angguk dan berkata pula, "Ya, benar juga."

"Hahahaha!" Put-tong terbahak-bahak geli, pikirnya dalam hati, "Guru Lak-moai ini sungguh seorang tolol!"

Maka Kongya Kian lantas menyela, "Sin-siansing, jika kedua orang itu main kasar padamu, tentu saja kamu menolak untuk menolong mereka."

"Ya, tatkala itu kontan juga aku menolaknya," sahut Sih-sin-ih. "Tapi Thi-thau-jin itu ternyata sangat menghormat padaku, katanya, "Sih-siansing, kepandaianmu tiada tandingannya didunia ini, orang kangouw menamakanmu 'Giam-ong-dek' tidak sedikit jiwa orang yang telah kau hidupkan kembali, setiap orang Bu-lim sangat kagum dan menghormat padamu, Selamanya hamba juga sangat mengindahkanmu, malahan ayahku juga kenalan lama Sih-siansing, maka mohon engkau sudi menaruh belas kasihan dan tolonglah putra mendiang sobatmu ini."

Asal-usul Thi-thau-jin alias Yu Goan-ci itu memang sangat menarik perhatian semua orang, maka demi mendengar cerita Sih-sin-ih bahwa bocah berkerudung besi itu mengaku sebagai 'putra mendiang sobatmu' itu, segera mereka sama bertanya,

"Siapakah ayahnya ?"

"Siapa ayahnya hanya ibunya yang tahu, dia sendiri mana bisa tahu?" tiba-tiba Li Gui-lui alias siwayang golek menukas, Yang ditirukan adalah lagu suara Pau Put-tong dengan persis sekali.

Maka tertawalah Pau Put-tong, katanya, "Bagus, pintar sekali kamu menirukan suaraku, Kamu memang darah daging keturunanku!"

"Pau-siansing ini suka berkelakar, Pat-te tidak perlu bersungguh-sungguh dengan dia," kata Sih-sin-ih sebelum Li Gui-lui membalas olok-olok.

Lalu ia pun menyambung ceritanya, "Demi mendengar Thi-thau-jin itu mengaku sebagai putra mendiang sobatku, segera aku tanya siapakah ayahnya, Tapi dia bilang, 'Nasib Siaujin terlalu jelek dan banyak membikin malu nama baik orang tua, maka tentang nama beliau Siaujin tidak berani menyebutnya lagi, Tapi waktu hidup ayahku memang benar adalah sobat baik Sih-siansing, hal ini seribu kali betul, Siaujin tidak berani memperalat nama mendiang ayahku untuk menipu orang', Kudengar ucapannya sungguh-sungguh, rasanya tidak bohong, Tapi kenalanku terlalu banyak, meski aku sudah mengingat-ingat tetap tidak tahu siapakah ayahnya yang sudah

meninggal itu, Kupikir bila kerudung besinya sudah dapat dilepaskan, dari mukanya tentu akan dapat ditaksir siapakah gerangan ayahnya.

"Tengah aku berpikir salah seorang yang mengantar mereka itu sudah berteriak lagi, 'Menurut titah Suhu, yang penting adalah menyembuhkan Sam-ceng Hwesio ini, tentang kerudung besi Thi-thau-jin itu dapat dibuka atau tidak bukan soal', Aku jadi naik darah oleh ucapannya itu, jawabku, 'Siapakah gurumu? Titahnya hanya dapat memerintahmu dan tak dapat memerintah aku, tahu?' Tapi sikap orang itu memang sangat kasar dan sewenangwenang, katanya, 'Kalau aku sebut nama guruku, mungkin nyalimu akan pecah ketakutan, Beliau hanya suruh kau lekas menyembuhkan luka Hwesio gendut ini dan habis perkara, kalau terlambat hingga bikin runyam urusan beliau, seketika juga kamu bisa dikirim melaporkan diri kepada Giam-lo-ong (raja akhirat)'.

"Semula gusarku sungguh tidak kepalang, tapi kemudian kudengar logat suaranya agak aneh, rada mirip orang asing yang menirukan bahasa kita, Waktu aku mengamat-amati mukanya, kulihat rambutnya keriting dan matanya cekung, agak berbeda daripada bangsa Han kita, Mendadak aku teringat kepada seorang, segera kutanya dia, 'Apakah kau datang dari Sing-siok-hai?'

"Orang itu agak terkejut dan menjawab, ' Tajam juga matamu, ya? Memang betul aku datang dari Sing-siokhai, Nah, jika sudah tahu, lekas mengobati hwesio gendut ini sebisanya!' Kupikir sakit hati perguruan belum terbalas, mumpung anak murid Sing-siok Lokoai kupergoki sekarang, aku harus cari jalan untuk menuntut balas, Maka aku lantas pura-pura takut dan bertanya, 'Sudah lama kukagumi kepandaian Sing-siok Losian yang maha sakti sayang selama ini tidak sempat bertemu entah sekarang Losian (dewa tua) juga datang ke Tionggoan atau tidak?"

"Cis tidak kenal malu!" mendadak Pau Put-tong berolok-olk lagi, "Kau dapat menyebutnya sebagai Sing-siok Lokoai atau Sing-siok Lomo, mengapa begitu pengecut hingga menyebutnya 'Losian' segala! Huh, tidak kenal malu!"

"Teguran Pau-siansing memang betul juga," sahut Sih-sin-ih dengan tenang, "Sebenarnya maksudku hanya untuk memancing pengakuan orang itu saja, tapi dasar aku memang tidak biasa berpura-pura hingga air mukaku kelihatan rasa dendamku, Dan orang itu juga sangat licin, sekilat lihat saja lantas curiga dan segera mendahului mencengkeram pergelangan tanganku sambil membentak, 'Apa maksudmu mencari tahu jejak Suhuku?' Karena urusan sudah runyam, tanpa bicara lagi aku balas menutuk hingga kena hiat-to mematikan ditubuhnya, Segera kawannya mencabut belati berbisa terus menikam kearahku, waktu itu aku tak bersenjata, ilmu silat jahanam itu cukup lihai pula, untunglah dalam keadaan bahaya itu mendadak Thi-thau-jin memisah, ia rampas belati kawannya itu dan berkata, Suhu suruh kita kesini untuk minta obat dan tidak suruh kita membunuh orang."

"Capji Sute sudah dibunuh dia, apa kamu tidak lihat?" teriak orang itu dengan gusar. "Apa barangkali kau.....putra mendiang sobatnya, maka kau berani membela orang luar malah? Tapi si Thi-thau-jin menjawab, 'Soal tabib ini akan kau bunuh atau tidak aku tak peduli, yang terang kalau hwesio gendut ini tak ditolong dulu tentu jiwanya akan melayang, Dan kalau hwesio ini mati, maka tiada orang lagi yang dapat menunjukkan jalan untuk mencari Peng-jan (ulat sutra es), dan untuk ini kamu harus bertanggung jawab kepada Suhu."

"Thi-thau-jin itu juga murid Sing-siok Lokoai," kata Put-tong. "Mereka bilang Sam-ceng Hwesio akan menunjukkan jalan untuk mencar Peng-jan apa segala?"

"Hanya begitulah kudengar pembicaraan mereka, adapun duduk perkara yang sebenarnya aku sendiri tidak tahu," sahut Sih-sin-ih. "Dan tatkala mereka sedang bertengkar sendiri, segera aku menyiapkan senjata, Tapi rupanya orang itu menjadi keder, lalu katanya, 'Jika begitu, baiklah, tangkaplah sekarang tabib setan ini untuk menghadap Suhu'

"Baik!" sahut Thi-thau-jin itu dan mendadak tangan menggaplok dada orang itu hingga terbinasa seketika itu."

Semua orang berseru kaget oleh kejadian tak terduga-duga itu, Hanya Pau Put-tong lantas berkata,

"Itu tidak mengherankan, Thi-thau-jin itu ada kepentingan dan ingin minta pertolonganmu, maka lebih dulu ia membunuh kawan sendiri untuk mengambil hatimu."

Tapi Sih Boh-hoa menghela napas, katanya, "Sesaat itu aku pun tidak paham apa maksud tujuannya itu, entah disebabkan aku adalah sobat baik mendiang ayahnya, atau dia sengaja hendak mengambil hatiku, Selagi aku hendak tanya dia, tiba-tiba dari jauh terdengar suara suitan nyaring, Sekonyong-konyong Thi-thau-jin itu tergetar, katanya, 'Suhuku sedang memanggil, Sih-pekhu, sebaiknya kau suka menyembuhkan hwesio gendut ini, dengan demikian mungkin Suhu takkan mempersoalkan terbunuhnya kedua muridnya ini', Habis berkata, terus saja ia bertindak pergi dengan tergesa-gesa dengan meninggalkan hwesio gendut itu."

"Dan dimanakah murid durhaka Sam-ceng itu?" tanya Hian-lan.

"Itu, telentang disana," kata Sih-sin-ih, "Mungkin setengah bulan saja akan dapat sembuh kembali."

"Jika demikian jadi peti mati dan lain-lain yang Sih-siansing pasang itu adalah untuk melayani Susiok kalian?" tanya Hian-lan.

"Benar," sahut Sih-sin-ih, "Jika Sing-siok Lokoai sudah datang ke Tionggoan, dua orang muridnya terbunuh pula dirumahku, Lambat atau cepat pasti dia akan datang kesini, Andaikan Thi-thau-jin itu dapat menutupi kejadian ini juga takkan lama mengelabuhi iblis itu, Sebab itulah aku pura-pura mati dan memasang racun jahat didalam peti mati untuk memancingnya, Lalu aku memboyong segenap anggota keluargaku kedalam goa sini, Dasar memang kebetulan, dua hari lagi adalah waktu pertemuan kami berdelapan saudara yang diadakan tiap-

tiap lima tahun satu kali, beramai-ramai para saudara seperguruan itu sudah berada disekitar sini dan kebetulan pula Hian-lan Taisu dan lain-lain keburu berkunjung kemari, seorang budak tua kurang pintar, ia salah sangka kalian adalah musuh yang kutakuti itu......"

"Haha, mungkin dia sangka Hian-lan Taisu adalah Sing-siok Lokoai dan kami ini adalah anak murid Sing-siokpai," tiba-tiba Put-tong menyela, "Tapi aneh juga, kalau tampangku dan kawan-kawanku ini terlalu jelek dan mirip siluman, maka dapat dimengerti jika kami disangka begundalnya Sing-siok Lokoai, namun Hian-lan Taisu toh kelihatan welas asih, kelihatan alim, kalau beliau disangka sebagai Sing-siok Lokoai, wah, sungguh keterlaluan!"

Semua orang mengangguk-angguk dan dapat menerima ucapan Pau Put-tong itu.

Sih-sin-ih juga berkata, "Ya, hal ini memang salah si budak tua itu, Malahan budak itu khawatir kalau kami sekeluarga menjadi korban keganasan Lokoai, maka dia telah melanggar pesanku terus menyalakan 'Liu-singhwe-bau'(bunga api bentuk roket) yang biasanya dipakai saling memberi tanda dengan para saudaraseperguruanku. Liu-sing-hwe-bau itu buatan Liok-sute kami, bila dinyalakan segera menjulang kelangit dengan cahaya yang beraneka warna, Kami berdelapan saudara masing-masing mempunyai bunga api tanda pengenal sendiri-sendiri dan segera akan diketahui siapa yang datang jika bunga api dilepaskan, Kejadian tadi boleh dikata ada untung dan tidak beruntung, Untungnya tatkala terancam bahaya kami berdelapan bisa berkumpul untuk bersama-sama melawan musuh, Tapi karena itu juga dapat dijaring sekaligus oleh Sing-siok Lokoai, maka boleh juga dikatakan tidak beruntung."

"Biarpun kepandaian Sing-siok Lokoai teramat lihai juga belum tentu mampu menandingi padri sakti Siau-limsi seperti Hian-lan Taisu," kata Pau Put-tong. "Apalagi kalau ditambah dengan kita kaum keroco ini, jika kita melawannya dengan mati-matian, rasanya juga belum tentu akan kalah, mengapa mesti....mesti......"

Sampai disini ucapannya, mendadak giginya berkerutukan, racun dingin dalam badannya kembali kumat hingga tidak sanggup bicara.

Pada saat itulah suara halus tajam tadi kembali berkumandang masuk kedalam gua, kata suara itu, "Ayo, itu anak murid So Sing-ho, lekas keluar saja dan menyerahkan diri, dengan demikian mungkin jiwa kalian akan dapat diampuni, jika ayal-ayalan, awas jangan menyesal jika aku tidak ingat kepada sesama perguruan lagi!"

"Huh, dia masih punya muka untuk bicara tentang sesama perguruan segala?" jengek Kheng Kong-leng.

Hoan Pek-ling orangnya lebih sabar dan dapat berpikir panjang, katanya, "Thio-lakte, jika kita tinggal diam tidak menggubris dia, kira-kira saja Ting-lokoai dapat menyerbu kesini atau tidak?"

Tapi Thio A Sam tidak menjawab, sebaliknya ia tanya malah kepada Sih-sin-ih, "Goko, kalau melihat batu dalam gua ini, agaknya ini adalah bangunan pada tigaratus tahun yang lalu, entah atas ciptaan arsitek siapakah?"

"Tempat ini adalah warisan leluhurku, turun temurun sudah ada gua pelindung ini, tentang siapa yang membangunnya, aku sendiri tidak tahu," sahut Sih Boh-hoa alias Sih-sih-ih.

"Bagus, kamu mempunyai liang kura-kura sebagus ini, tapi selamanya tidak pernah kau katakan pada kami," seru Kheng Kong-leng.

Sih-sin-ih tampak merasa jengah, katanya, "Harap Toako suka maafkan, Gua semacam ini bukan sesuatu yang dapat dibanggakan, maka tiada harganya untuk dibicarakan....."

Sampai disini, sekonyong-konyong terdengar suara letusan yang dahsyat bagaikan gempa, Kaki semua orang yang berada dalam gua merasa bumi seolah-olah tergucang hingga berdiri pun tak bisa tegak.

"Celaka! Ting-lokoai menggunakan dinamit untuk meledakkan gua ini, dalam sekejap saja tentu dia akan menyerbu kesini," seru Thio A Sam dengan khawatir.

"Keparat, dasar manusia rendah, iblis laknak!" maki Kheng Kong-leng dengan gusar. "Cosuya dan Suhu kami adalah ahli bangunan dan arsitek terpandai segala ilmu pesawat rahasia bagi beliau-beliau itu adalah kepandaian yang sepele, Tapi Sing-siok Lokoai ini tidak becus memecahkan jalan pesawat rahasia gua ini, dia terus menggunakan obat peledak! Huh, masakah dia ada harganya untuk disebut anak murid perguruan kita?"

Segera Pau Put-tong mengejek, "Dia sudah membunuh guru dan melukai Su-heng, masakah kalian masih mengaku dia sebagai Susiok?"

Belum lagi Kheng Kong-leng menjawab, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang hebat hingga debu pasir beterbangan dalam gua dan keadaan menjadi tegang.

"Dari pada mati konyol disini, lebih baik kita serbu keluar untuk mengadu jiwa dengan dia saja," ujar Hian-lan.

Segera Ting Pek-jwan, Kongya Kian, Pau Put-tong dan Hong Po-ok berempat menyatakan akur, Hoan Pek-ling dan kawan-kawannya juga tahu Hian-lan adalah padri terkemuka Siau-lim-pai, kalau dia disuruh sembunyi didalam gua dan tidak berani menghadapi musuh, hal ini sesungguhnya sangat merugikan nama kebesaran Siau-lim-si, Toh akhirnya juga mesti mati, terang pertarungan sengit tak bisa dihindarkan, maka Pek-ling lantas

menanggapi,

"Baiklah, jika begitu kita keluar bersama untuk mengadu jiwa dengan Lokoai! Tapi Hian-lan Taisu tiada permusuhan apa-apa dengan Ting-lokoai, lebih baik jangan ikut campur urusan kami, dan para Taisu dari Siaulim-pai disilakan menonton saja nanti."

"Tidak, setiap urusan dunia persilatan menjadi kewajiban Siau-lim-pai untuk ikut ambil bagian, maka harap maaf, terpaksa Siau-lim-pai nanti juga akan ikut campur," kata Hian-lan.

"Atas budi luhur Taisu yang sudi membantu sudah tentu kami berdelapan saudara sangat berterima kasih." kata Thio A Sam, "Sekarang kita boleh keluar melalui jalan semula saja, biar Lokoai itu terperanjat diluar dugaan."

Semua orang menyatakan tepat pikiran Thio A Sam itu.

Lalu A Sam berkata lagi, "Adapun anggota keluarga Sih-goko dan kedua saudara Pau dan Hong disilakan tinggal disini saja, rasanya Ting-lokoai tidak sampai menggeledah kedalam sini!"

"Kau sendiri saja yang ditinggalkan disini!" kontan Pau Put-tong menyahut dengan mata melotot.

"Bukannya kupandang rendah kepada saudara berdua," lekas A Sam memberi penjelasan, "Cuma kalian sudah menderita keracunan, kalau mesti bertempur lagi tentu akan kurang leluasa."

"Semakin parah aku menderita, semakin bersemangat aku akan bertempur," sahut Put-tong.

Keruan Hoan Pek-ling dan lain-lain berkerut kening, merasa Pau Put-tong ini benar-benar seorang kepala batu dan susah diberi mengerti.

Segera A Sam putar tombol pesawat rahasia, lalu mendahului bertindak keluar dengan cepat, baru saja suara berkeriat-keriut itu berbunyi dan lubang keluar itu baru terbuka sedikit, terus saja Thio A Sam melemparkan dulu tiga buah peluru keluar, maka terdengarlah suara letusan tiga kali menyusul asap tebal lantas memenuhi udara hingga jalan keluar itu hampir tidak kelihatan.

Maksud Thio A Sam dengan meledakkan granat asap itu adalah supaya Sing-siok Lokoai tidak berani mendekat, sebab kalau iblis itu sampai berjaga dimulut gua itu, maka setiap orang yang baru menongol keluar

tentu akan dibekuknya dengan gampang.

Begitulah setelah tiga suara letusan itu lenyap, sementara itu lubang papan batu itu sudah terbuka lebih lebar dan cukup untuk dilalui orang, maka kembali A Sam melemparkan pula tiga buah granat itu, menyusul ia lantas melompat keluar.

Dan belum lagi Thio A Sam berdiri atau mendadak sesosok bayangan orang sudah menyelinap lewat disebelahnya, Dan sekali melompat lagi, terus saja orang itu menerjang kearah gerombolan orang yang berdiri disana sambil berteriak,

"Mana Sing-siok Lokoai? Ini, biar orang she Hong berkenalan dengan dia!"

Kiranya orang itu tak-lain-tak-bukan adalah In-tin-hong Hong Po-ok, si-angin puyuh, Ia lihat seorang lelaki berbaju kain belacu sudah menghadang didepannya, segera ia membentak pula, "Meski kamu bukan Sing-siok Lokoai, tapi rasakan juga kepalanku ini!"

Kontan ia menghantam, "Blang", dengan tepat sekali dada orang itu kena digenjotnya.

Lelaki itu adalah murid kesembilan Sing-siok-pai, dalam keadaan tak berjaga-jaga dan tak terduga ia kena dihantam sekali dengan keras, untung ilmu silatnya juga tidak lemah, ia hanya sempoyongan sedikit saja, lalu balas menjotos, "plok", serangannya juga tepat kena pundak Hong Po-ok.

Maka terdengarlah suara "plak-plok" berulang-ulang, kedua orang saling genjot kian kemari, setiap hantaman mereka selalu mengenai sasarannya, cuma pukulan dari dekat tidak terlalu hebat, hingga tidak membahayakan jiwa masing-masing.

Dalam pada itu dari bawah tanah terdengar "siat-siut" berulang-ulang, Hian-lan, Ting Pek-jwan, Kheng Kongleng dan lain-lain berturut-turut juga sudah melompat keluar, Segera mereka melihat ditengah kabut asap yang tebal disebelah sana berdiri seorang kakek berperawakan tinggi besar, di kanan kirinya berdiri pula dua baris orang lelaki yang beraneka ragam bangun tubuhnya, ada yang jangkung dan ada yang pendek.

"Hah, Ting-locat, kiranya kamu belum mati, apa kamu masih kenal padaku?" segera Kong-leng berteriak.

Kakek tinggi besar itu memang betul adalah Sing-siok Lokoai Ting Jun-jiu, Sekilas pandang saja ia sudah dapat mengenali para lawannya itu, Ia tidak menjawab olok-olok Kheng Kong-leng, sebaliknya berkata,

""Boh-hoa Hiantit (keponakan yang baik), apa sudah kau sembuhkan hwesio gendut dari Siau-lim-si itu? Jika sudah, aku akan mengampuni jiwamu asalkan kau mau masuk kedalam perguruan Sing-siok-pai kami."

Rupanya yang dia pikirkan waktu itu adalah secepat mungkin supaya Sih Boh-hoa dapat menyembuhkan Samceng Hwesio, lalu akan suruh padri buntek itu menunjukkan jalan ke Kun-lun-san untuk mencari ulat sutra es.

Melihat lagak Ting-lokoai seakan-akan menganggap sepi semua orang yang berada dihadapannya itu, seolaholah mati hidup setiap orang yang berada disitu adalah tergantung pada dia, maka diam-diam Sih-sin-ih sangat takut, sebab ia cukup kenal betapa lihainya sang Susiok durhaka itu.

Tapi ia pun menjawab dengan ketus, "Ting-locat, didunia ini hanya ada seorang saja yang mampu memerintah aku, apa yang dia katakan tentu aku akan menurut, Jika kamu hendak membunuh aku, hal ini memang sangat mudah bagimu, Tapi bila kau suruh aku mengobati seorang, tidak nanti aku tunduk padamu, ya, kecuali kau minta izin kepada beliau."

"Hm, kamu hanya tunduk kepada perintah So Sing-ho saja, begitu?" tanya Ting Jun-jiu.

"Memang hanya hewan saja yang berani mendurhakai guru sendiri." sahut Boh-hoa.

Serentak Kheng Kong-leng, Hoan Pek-ling dan kawan-kawannya bersorak memuji atas jawaban Sih-sin-ih yang gagah berani itu.

"Hm, bagus, bagus! Kalian betul-betul murid Si Sing-ho yang baik," kata Ting Jun-jiu, "Tapi So Sing-ho pernah memberi tahu padaku, katanya, "Kalian berdelapan sudah diusir dan tidak diakui sebagai murid lagi, Apa barangkali ucapan So Sing-ho itu hanya kentut belaka dan diam-diam dia masih menganggap kalian sebagai muridnya?"

"Sekali beliau adalah guru kami, tetap beliau adalah guru kami sampai akhir zaman," sahut Hoan Pek-ling. "Memang betul selama ini kami telah diusir dari perguruan dan dilarang berkunjung kepada beliau. Namun rasa cinta kasih kami kepada Suhu sedikitpun tidak menjadi berkurang. Nah, orang she Ting, bicara terus terang, kami berdelapan orang ini sampai berubah menjadi setan gentayangan tanpa tempat tinggal yang tetap, semuanya itu adalah gara-gara perbuatan kau bangsat tua ini."

"Benar juga ucapanmu ini," sahut Ting Jin-jiu dengan tersenyum. "So Sing-ho takut kalau aku membunuh kalian, dia mengusir kalian keluar perguruan adalah supaya jiwa anjing kalian ini bisa selamat. Hehe, bagus

juga, nah katakanlah sendiri, sampai sekarang So Sing-ho masih terhitung guru kalian atau bukan?"

Kheng Kong-leng dan kawan-kawan insaf jika tidak melepaskan hak sebagai 'murid So Sing-ho', maka segera Sing-siok Lokoay pasti akan membunuh mereka. Tapi betapapun hubungan antara guru dan murid tidak dapat dihapuskan dengan ancaman, apalagi Sing-siok Lokoay sangat kejam, sekali sudah menyalahi dia, memang tiada ampun lagi bagi mereka. Kini kecuali si wanita cantik yang terluka itu tertinggal di dalam gua, mereka bertujuh segera menjawab dengan tegas, "Kami meski sudah diusir keluar perguruan, tapi tentang hubungan guru dan murid sudah tentu tetap kami pertahankan."

Mendadak Li, Gui-lui berseru pula, "Aku ini Thian-sian Tong-lo adanya! Kau binatang bedebah ini, biar tongkatku ini mematahkan kaki anjingmu!" Ia bicara dengan menirukan nada wanita tua, suaranya keparauparauan, tapi sangat lantang.

Sejak tadi sebenarnya Ting Jun-jiu tenang dan senang saja, tapi demi mendengar nama 'Thian-sian Tong-lo' (si nenek bocah dewi kahyangan), tiba-tiba air mukanya berubah juga, matanya memantulkan sinar tajam yang aneh, mendadak ia mengebas lengan bajunya, tahu-tahu setitik api fosfor secepat bintang meluncur, terus melayang ke tubuh Li Gui-lui. Ada maksud si anak wayang itu buat berkelit, tapi sudah terlambat, "nyos", bajunya sudah terjilat api dan terus berkobar-kobar. Lekas ia menjatuhkan diri di tanah sambil bergulingguling, tapi celaka, makin berguling makin keras api fosfor itu.

Cepat Hoan Pek-ling menangkup pasir dari tanah terus ditebarkan di atas badan Li Gui-lui. Dan pada saat itu juga lengan baju Ting Jun-jiu berulang-ulang mengebas pula, lima titik api berbareng menyambar ke arah Kheng Kong-leng berlima, hanya Sih-sin-ih saja yang tidak diincar.

Segera Kong-leng menghantam dengan kedua tangannya, ia tolak ke samping titik api yang menyambar ke arahnya. Hian-lan juga menggerakkan kedua tangannya dan membantu menghantam jatuh dua titik api, namun dua titik api yang lain sudah mengenai tubuh Thio A Sam dan Hoan Pek-ling.

Api fosfor yang dilepaskan Sing-siok Lokoay sudah barang tentu lebih lihai daripada muridnya yang tertua yaitu Ti-sing-cu. Maka dalam sekejap saja di tengah taman itu lantas penuh bau hangus, Thio A Sam bertiga berkaok-kaok kesakitan karena terbakar.

Serentak suara puja-puji anak murid Sing-siok Lokoay berjangkit, ada yang memuja kepandaian Suhu mereka yang dikatakan setinggi langit, ada yang mengejek Thio A Sam dan kawan-kawannya yang terbakar sebagai babi panggang itu dan disuruh lekas menyerah saja.

Tapi Pau Put-tong lantas berteriak-teriak, "Ai, baunya busuk amat! Kalian jangan kentut terus, aku bisa mati sesak! Wahai, Ting-locat, kulit mukamu benar-benar sangat tebal!"

Sementara itu Ting Pek Jwan dan Kongya Kian sudah bersiap-siap. Benar saja, belum lagi ucapan Pau Put-tong lenyap, dua titik api sudah menyambar ke arahnya. Cepat Pek-jwan dan Kongya Kian berdua menghantamkan sebelah tangannya, dua rangkum tenaga pukulan telah membentur jatuh kedua titik api itu. Namun tidak urung dada mereka juga terasa seperti di-godam kerasnya hingga terhuyung-huyung mundur beberapa tindak.

Kiranya Ting Jun-jiu menggunakan tenaga dalam yang sangat kuat untuk mengebas api fosfornya itu. Lwekang Hian-lan lebih kuat daripada Pek-jwan berdua, maka ia tidak tergetar ketika menghantam jatuh titik api dengan tenaga pukulannya tadi. Sebaliknya Pek-jwan dan Kongya Kian jauh lebih lemah daripada Sing-siok Lokoay, maka ketika tenaga dalam iblis itu mendesak, kedua orang itu tidak sanggup bertahan.

Dalam pada itu Hian-lan telah melompat ke samping Li Gui-liu, ia menghantamkan sebelah tangannya, tenaga pukulannya menyambar lewat di atas badan si anak wayang yang masih berguling-guling di tanah. "Bret", terdengar baju Li Gui-lui terobek dan api yang sedang membakar itupun kena dipadamkan oleh angin pukulannya.

"Hah, boleh juga tenaga pukulan keledai gundul ini, kira-kira mencapai sepersepuluh kekuatan Suhu," seru seorang murid Sing-siok-pai.

"Mana bisa, paling-paling hanya seperseratus Suhu saja!" ujar kawannya.

Setelah memadamkan api dibadan Li Gui-lui, menyusul Hian-lan mengerahkan angin pukulannya pula hingga api ditubuh Hoan Pek-ling dan Thio A Sam juga dipadamkan.

Tatkala itu Ting Pek-jwan, Kongya Kian, Kheng Kong-leng dan lain-lain sudah menerjang kearah anak murid Sing-siok-pai dan terjadilah pertarungan sengit.

Ting Jun-jiu mengelus-elus jenggotnya dan berkata, "Ehm, padri sakti Siau-lim-si memang lain dari pada yang lain, hari ini dapatlah kubelajar kenal, mari!"

Ia terus melangkah maju, pukulan pertama dilontarkan dengan enteng sekali kelihatannya kearah Hian-lan.

Meski Hian-lan belum pernah bertempur melawan orang Sing-siok-pai, tapi ia cukup kenal "Hoa-kang-taihoat" Ting-lokoai yang lihai, ia tahu ilmu golongan Sia-pai ini dapat menghapus lwekang lawan hingga lawan tak bisa berkutik lagi, dan ilmu silat yang dimilikinya akan musnah seluruhnya.

Karena itu, Hian-lan tidak berani ayal, sekali ia menarik napas panjang-panjang, menyusul kedua tangan terus bergerak sebagai kitiran cepatnya, sekaligus ia lontarkan delapanbelas kali pukulan secara berantai, belum lagi pukulan yang satu ditarik kembali atau pukulan yang lain sudah dilontarkan, dengan demikian, Hoa-kang-taihoat yang hendak digunakan Ting Jun-jiu menjadi tidak menemukan sasarannya.

Dan "pukulan kilat" model Siau-lim-si ini ternyata sangat hebat daya tekanannya, hingga Ting Jun-jiu terdesak mundur berulang-ulang, Secepat kilat Hian-lan melontarkan delapanbelas kali pukulan dan Ting Jun-jiu dipaksa mundur delapanbelas tindak.

Habis melontarkan delapanbelas kali pukulan, segera tendangan kedua kaki secara berantai dikeluarkan lagi, kembali tigapuluhenam kali tendangan kilat melayang-layang, bayangan kaki menyambar hingga sukar dilihat kai kanan atau kaki kiri.

Dengan cepat Ting Jun-jiu juga menggeser kian kemari untuk menghindar dan semua tendangan baru saja dapat dielakkan, tahu-tahu terdengar suara "plak-plok" dua kali, pundak kena digebuk oleh kepalan Hian-lan.

Kiranya dalam "Lian-hoan-sah-cap-lak-tui" atau 36 kali tendangan secara berantai itu, tatkala dua kali tendangan terakhir dilontarkan, berbareng Hian-lan juga menghantam, Maka Ting Jun-jiu hanya dapat menghindar tendangannya dan tidak sempat berkelit atas pukulan itu.

"Lihai benar!" teriak Ting Jun-jiu terkena kedua kali pukulan itu dan tubuh pun tergeliat dua kali.

Sebaliknya Hian-lan lantas merasa dada seperti "blong" kosong, seketika terasa seperti hilang sesuatu, Ia insaf gelagat jelek, cepat ia tarik napas panjang-panjang hingga hawa murni dalam tubuh merata lagi, menyusul kepalan menghantam pula.

Sekali ini Ting Jun-jiu sengaja membalik tubuhnya, ia sambut pukulan lawan dengan punggung, "bluk", tepat punggung terhantam, menyusul kelima jari Hain-lan sebagai cakar terus mencengkeram kuduknya, Tapi mendadak ia merasa tangan seperti melengket, seperti tersedot dan susah ditarik kembali.

Dalam keadaan demikian mau tidak mau ia harus mengadu tenaga dalam, kalau tidak lantas mengerahkan tenaga sekuatnya, bukan mustahil keadaan akan lebih runyam.

Tak terduga, sekali Hian-lan mengerahkan tenaganya, seketika tenaga murni itu seakan-akan air mencurah kelaut saja, hilang tak berbekas, bahkan terus merembes keluar dan susah ditahan kembali.

Tiada seminuman teh, ketika Ting Jun-jiu bergelak tertawa sekali sambil mengangkat pundak "bluk" tahu-tahu Hian-lan jatuh terkulai tenaganya habis dan lemas tubuhnya, untuk berdiri saja tak bisa lagi.

Setelah menjatuhkan Hian-lan dengan sikapnya yang kereng Ting Jun-jiu memandang sekelilingnya, ia lihat Kongya Kian dan Hoan Pek-ling juga sudah menggeletak ditanah dengan badan menggigil, kiranya terkena pukulan racun dingin Yu Goan-ci.

Sedangkan Ting Pek-jwan, Sih Boh-hoa dan lain-lain masih bertempur dengan sengit melawan murid Singsiok-pai dan sudah ada empat orang yang dirobohkan juga.

Dengan lengan baju yang komprang Ting Jun-jiu terus mengebas sambil melompat maju, ia menubruk kearah Ting Pek-jwan dan mengadu pukulan dengan dia, sedangkan kaki menyapu kesamping hingga Pau Put-tong didepak terjungkal.

Begitu tangan Ting Pek-jwan beradu dengan tangan Sing-siok Lokoai, seketika ia merasa seperti badan meriang, kaki enteng mengambang, cepat ia bermaksud menenangkan pikiran dan menghimpun tenaga, namun kembali pukulan Ting Jun-jiu yang lain dilontarkan pula, terpaksa Pek-jwan memapak lagi dengan sebelah tangannya, tapi seketika lengan terasa beku, semangat buyar, pandangan kabur.

Ketika seorang murid Sing-siok-pai mendekatinya dan sekali sikut, kontan Pek-jwan jatuh lemas ketanah.

Hanya dalam sekejap saja anak buah Buyung-kongcu, para padri Siau-lim-si dengan Hian-lan sendiri beserta Yu-kok-pat-yu yang dikepalai Kheng Kong-leng telah dirobohkan oleh Ting Jun-jiu dan Yu Goan-ci.

Sebenarnya Goan-ci cuma memiliki tenaga dalam yang maha kuat, sedangkan ilmu silat hanya biasa saja, Namun selama ikut Ting Jun-jiu ia telah banyak mendapat petunjuk iblis tua itu hingga hal tipu pukulan sudah banyak mendapat kemajuan walau pun belum sempurna cara penggunaannya, tapi untuk mengerahkan Pek-janhan-tok (racun dingin ulat sutra es) dalam tubuhnya sudah lebih dari cukup.

Sebab itulah, ketika Kongya Kian dan lain-lain mengadu tangan dengan dia, meski nyata-nyata ilmu pukulan dan tenaga pukulan mereka jauh lebih hebat dari pada Goan-ci, tapi setelah tangan membentur tangan, seketika mereka dirobohkan dengan terluka dalam.

Diantara mereka hanya tinggal Sih Boh-hoa alias Sih-sin-ih saja yang tidak diganggu gugat, Beberapa kali ia terjang lawan, tapi anak murid Sing-siok-pai selalu menghindarinya dengan tersenyum dan tidak balas menyerang.

"Sih-hiantit," kata Ting Jun-jiu dengan tertawa, "Diantara kalian berdelapan nyata kepandaianmu yang paling tinggi, apakah kau ingin jajal-jajal juga dengan Susiokmu ini?"

Melihat para saudara seperguruannya menggeletak semua dan hanya dia sendiri tidak diapa-apakan, sudah tentu Sih Boh-hoa tahu pihak lawan sengaja tidak mau mengganggunya, maksud tujuan lawan tidak lain adalah supaya dia menyembuhkan hwesio gendut itu.

Maka berkatalah Sih-sin-ih dengan menghela napas, "Ting-locat, maksudmu memaksa aku mengobati orang, hendaklah jangan kau harap akan dapat memaksa diriku!"

"Coba maju kesini, Sih-hiantit," kata Ting-lokoai.

Sih-sin-ih pikir tiada gunanya buat membangkang, sebab kalau iblis itu hendak mencabut nyawanya boleh dikata segampang mengambil barang dikantung sendiri, Karena itu ia lantas melangkah maju kedepan Singsiok Lokoai.

Tiba-tiba Ting Jun-jiu mengangsurkan tangan kirinya dan memegang pundak Sih Boh-hoa, lalu katanya dengan tersenyum, "Sih-hiantit, sudah berapa lama kau belajar ilmu silat?"

"Tiga puluh lima tahun," sahut Sih-sin-ih.

"Wah, ketekunan selama tigapuluhlima tahun sesungguhnya tidaklah gampang," ujar iblis tua itu dengan menghela napas, "Kabarnya kau suka menukar ilmu silat orang dengan jasa pengobatanmu, maka sudah tidak sedikit tipu ilmu silat bagus berbagai golongan yang telah kau pelajari betul tidak hal ini?"

"Ya, tapi kepandaian yang tiada artinya ini sudah tentu tak bernilai dalam pandanganmu," sahut si tabib sakti.

"Bukan demikian maksudku," ujar Ting-lokoai sambil geleng kepala. "Meski tenaga dalam merupakan alas dasar dan tipu gerakan cuma ranting dan daunnya saja, namun kalau alas dasarnya kuat, dengan sendirinya ranting dan daunnya juga tumbuh dengan subur, tipu gerakan juga bukannya tiada berguna, Misalnya muridku ini....."

Ia tunjuk Yu Goan-ci, lalu meneruskan, "Tenaga dalamnya sangat kuat, bila ditambah lagi tipu serangan seluas apa yang dipahami Sih-hiantit, maka miriplah harimau tumbuh sayap dan akan dapat malang melintang didunia persilatan Tionggoan, Adapun lwekang Sih-hiantit memang agak lemah sedikit, tapi bukannya tidak dapat dipenuhi kekurangan itu dengan tipu serangan yang hebat, Cuma saja kalau tenaga dalam sampai hilang sama sekali, maka itu berarti kelumpuhan, sama saja seperti orang cacat, bukan cuma ilmu silatnya saja yang punah, bahkan ketajaman otak juga akan terganggu, untuk bisa mengobati orang lagi jelas jangan harap. Juga seorang yang mengaku sebagai 'Cong-pian Sian-sing' alias So Sing-ho."

"Kau berani mengganggu seujung rambut guruku? Ting-locat?" teriak Sih-sin-ih dengan murka.

"Kenapa tidak berani?" jawab Ting-lokoai. "Tindak-tanduk Sing-siok Losian selamanya bebas merdeka Apa yang kukatakan sekarang, besok juga boleh kulupakan, Meski aku pernah berjanji kepada So Sing-ho asalkan dia selanjutnya tidak membuka suara, maka aku berjanji takkan membunuh dia, Tapi sekarang kamu membikin marah padaku, akibat perbuatanmu ini akan kuperhitungkan juga atas hutang gurumu, dan kalau kubunuh dia, didunia ini siapa yang berani melarang aku?"

Pikiran Sih Boh-hoa kusut-marut, ia tahu segala perbuatan keji dapat dilakukan Susiok durhaka ini, jika dirinya sekarang berkeras kepala tidak mau mengobati Sam-ceng, terang jiwa ketujuh saudara seperguruannya akan menjadi korban, bahkan keselamatan Suhu mungkin juga tidak terjamin lagi, Sebaliknya kalau hwesio gendut itu disembuhkan, hal ini berarti membantu kejahatan iblis tua itu, sebab maksud tujuannya menyembuhkan hwesio gendut itu tentu mempunyai rencana keji lain.

Sesudah berpikir, akhirnya Sih-sin-ih menjawab juga, "Baiklah, aku menyerah padamu, Tapi sesudah hwesio gendut ini kusembuhkan, tidak boleh lagi kau bikin susah Suhu dan kawan-kawan yang berada disini."

"Boleh, boleh, boleh!" sahut Ting-lokoai dengan girang, "Aku berjanji akan mengampuni jiwa anjing mereka."

"Siapa sudi diampuni olehmu?" tiba-tiba Pek-jwan menyela. "Seorang laki-laki sejati kenapa mesti takut mati? Tapi perbuatanmu yang keji ini kelak tentu akan mendapatkan ganjaran yang setimpal."

"Keparat, Sih Boh-hoa, jangan mau tertipu bangsat itu tadi sudah mengaku sendiri bahwa apa yang pernah dikatakan besok juga bisa dilupakan, masakah kamu masih percaya padanya?" segera Pau Put-tong juga menimbrung.

Namun Ting-lokoai tak peduli, ia tanya lagi, "Sih-hiantit, nah, sekarang aku akan mulai tanya padamu, kau mau mengobati hwesio gendut itu tidak?"

Habis berkata, sebelah kakinya terus terangkat dengan ujung kaki mengarah "Thai-yang-hiat", yaitu bagian pelipis kepala Kheng Kong-leng.

Nyata, asal sitabib sakti menjawab tidak, seketika kakinya akan menendang dari jauh dan jiwa Kheng Kongleng seketika akan melayang.

Menghadapi detik demikian, hati semua orang ikut berdebar-debar, Mendadak terdengar seorang berteriak,

"Tidak mau!"

Yang berteriak ini ternyata bukan Sih-sin-ih, tapi Kheng Kong-leng sendiri.

"Hm, ingin sekali tendang kucabut nyawamu? Tidak begitu gampang urusannya?" jengek Ting-lokoai, Lalu ia berpaling kepada Sih-sin-ih dan bertanya lagi, "Apakah kau ingin membunuh Toa-suhengmu melalui kakiku ini ?"

"Ya, sudahlah, aku akan menyembuhkan hwesio gendut itu menurut keinginanmu," sahut Sih-sin-ih akhirnya dengan patah semangat.

"Sih-longo!" segera Kheng Kong-leng memaki, "Kenapa kamu begini pengecut? Ting-locat adalah musuh perguruan kita, tapi kamu kena ditaklukkan dibawah ancamannya?"

"Soal kita berdelapan akan dibunuhnya bukanlah hal yang luar biasa," sahut Sih Boh-hoa, "Tapi kau sendiri kan dengar juga bahwa bangsat tua ini juga akan mengganggu Suhu?"

Demi teringat kepada keselamatan sang guru, Kheng Kong-leng dan lain-lain menjadi tak berani buka suara lagi.

"Penge....." mendadak Pau Put-tong hendak mengejek, tapi keburu didekap mulutnya oleh Ting Pek-jwan.

"Nah, Ting-locat, akan kuturut keinginanmu untuk menyembuhkan hwesio gendut itu, dan kamu harus ramahtamah terhadap kawan-kawanku ini." kata Sih-sin-ih.

"Baik, kuturut permintaanmu," sahut Ting-lokoai.

Segera Sih-sin-ih masuk kembali kedalam gua dan suruh centeng2nya menggotong keluar orang-orang terluka, Sam-ceng hwesio yang tubuhnya mirip gentong itu menjadi ketakutan demi melihat Hian-lan juga berada disitu.

Si tabib sakti tidak banyak bicara lagi, segera ia lakukan tugasnya mengobati orang-orang yang terluka itu, ia sambung tulang yang patah, memberi obat yang luka, sampai pagi hari barulah selesai, Orang-orang luka itu dibaringkan diatas daun pintu atau ditempat tidur, centeng keluarga Sih lantas membuatkan bakmi untuk semua orang.

Setelah sabet dua mangkuk bakmi, dengan tertawa Ting-lokoai berkata kepada Sih Boh-hoa, "Hahaha, kamu cukup tahu gelagat, tidak menaruh racun dalam bakmi ini."

"Bicara tentang pakai racun, didunia ini rasanya tiada yang lebih pandai dari padamu, buat apa aku mesti main kayu terhadap kaum ahli?" sahut sitabib sakti.

"Baiklah, sekarang kau suruh orang menyewakan sepuluh buah kereta keledai," kata Ting-lokoai kemudian.

"Sepuluh buah kereta akan dibuat apa?" tanya Boh-hoa.

Tiba-tiba Ting-lokoai mendelik, katanya, "Urusanku kau berani ikut campur tangan? Nama Sih-sin-ih cukup terkenal disekitar sini, untuk menyewa sepuluh buah kereta tentu bukan sesuatu yang sukar."

Terpaksa Sih Boh-hoa memerintahkan centengnya pergi mencari kereta, Lewat lohor, datanglah kembali centeng itu dengan sepuluh buah kereta kedelai.

Mendadak Ting Jun-jiu memberi perintah, "Bunuh semua kusir kereta itu!"

Keruan Sih Boh-hoa terkejut, ia menegas, "Apa katamu ?"

Dalam pada itu para murid Sing-siok-pai sudah bekerja cepat, dimana tangan mereka naik turun, terdengarlah suara 'plak-plok' berulang-ulang, sepuluh kusir kereta keledai itu kontan menggeletak tak bernyawa lagi.

"Ting-locat?" teriak Sih Boh-hoa dengan gusar, "Dosa apa para kusir ini hingga mesti mem... membunuh mereka sekeji ini ?"

"Hah, orang Sing-siok-pai ingin membunuh beberapa orang masakah mesti permisi dan bicara tentang dosa atau tidak?" jengek Ting-lokoai. "Pendek kata, kalian semua lekas naik keatas kereta, satu pun tidak boleh ketinggalan, Nah, Sih-hiantit, apa kamu hendak membawa sedikit kitab dan obat-obatan, kalau ada lekas ambil, segera akan kubakar rumahmu."

Kembali Sih Boh-hoa terperanjat, Tapi ia pikir segala kejahatan dapat diperbuat Susiok durhaka itu, untuk membantahnya juga tak berguna, Tentang kitab pertabiban sudah diapalkannya diluar kepala, maka tidak perlu dibawa, Hanya sedikit obat-obatan yang telah dibuatnya dengan susah payah itu perlu dibawa serta, Maka sambil mencaci maki ia pun bebenah apa yang perlu.

Selesai bebenah, sementara itu murid Sing-siok-pai sudah mulai menyalakan api disana-sini.

Hian-lan, Pek-jwan, Kheng Kong-leng dan lain-lain yang tinggi ilmu silatnya kini sudah tak berdaya semua, kalau bukan lumpuh terkena Hoa-kang-tai-hoat Ting-lokoai, tentu keracunan oleh pukulan Peng-jan-han-tok Yu Goan-ci.

Menurut perintah, Hui-keng dan Hui-si dari Siau-lim-pai mestinya akan kabur pulang ke Siau-lim-si untuk melaporkan peristiwa ini, siapa duga Ting Jun-jiu sudah memasang jaring-jaring dengan sangat rapat, baru saja kedua padri itu memencarkan diri melalui dua arah atau mereka sudah keburu ditangkap kembali.

Jadi diantara tujuh padri Siau-lim-si, yaitu Hian-lan bersama keenam padri lain, A Pik dan Ting Pek-jwan berlima, Yu-kok-pat-yu berdelapan, jumlah seluruhnya dua puluh orang, hanya Sih-sin-ih saja yang tidak terganggu seujung rambutpun, sedangkan sembilanbelas orang yang lain semuanya terluka dan tak berdaya.

Bahkan keadaan A Pik paling payah, namun Ting-lokoai tidak ingin gadis itu mati segera, ia memberinya sedikit obat penawar sehingga keadaan A Pik agak baikan, tidak mati juga tidak hidup.

Selain ke-duapuluh orang itu, ditambah lagi anggota keluarga Sih Boh-hoa, beberapa puluh orang itu dijejalkan kedalam sepuluh buah kereta, Murid-murid Sing-siok-pai ada yang menjadi kusir, ada yang mengawal disamping, kereta-kereta lantas diberangkatkan.

Hian-lan dan lain-lain mempunyai sesuatu pertanyaan yang sama, yaitu 'Kemanakah iblis ini hendak membawa

kita?'

Mereka tahu kalau membuka suara dan tanya tentu akan dijawab dengan ejekan dan hinaan belaka, maka mereka pun tidak mau tanya melainkan tunggu dan lihat saja nanti.

Celakanya sesudah mereka berjejal-jejal didalam kereta, segera murid-murid Sing-siok-pai menutup tenda kereta rapat-rapat dan diikat pula dengan tali hingga semua orang tidak dapat melihat keadaan diluar.

Kereta dijalankan terus siang dan malam tanpa berhenti, Hian-lan, Ting Pek-jwan, Kheng Kong-leng dan lainlain adalah tokoh persilatan terkemuka semua, tapi kini ilmu silat mereka telah punah hingga menjadi tawanan musuh, keruan semangat mereka sama patah.

Semula mereka pikir akan dapat membedakan arah tujuan kereta dengan sinar matahari, namun ketika malam tiba, Ting Jun-jiu lantas suruh murid-muridnya memutar kereta kesana dan kesini untuk membingungkan arah bagi para tawanannya, Dan kalau tiba dikota, Ting-lokoai lantas membeli keledai untuk menggantikan keledai yang sudah letih, Karena itu semua orang hanya dapat membedakan arah yang mereka tuju itu seperti tenggara.

Begitulah berturut-turut delapan hari mereka digiring, sampai pagi hari kesembilan jalan terasa menanjak, agaknya jalan pegunungan yang berliku-liku dan tidak rata hingga semua orang didalam kereta terguncang setengah mati, Masih mendingan bagi Hian-lan dan lain-lain yang kehilangan tenaga dalam, yang paling menderita adalah Pau Put-tong dan Hong Po-ok, karena guncangan itu mereka tersiksa lebih hebat oleh racun dingin dalam tubuh.

Sampai lohor, jalan makin menanjak dan makin tinggi, akhirnya sampai disuatu tempat, kereta tidak dapat naik lagi, Lalu murid-murid Sing-siok-pai menyuruh Hian-lan dan lain-lain turun dari kereta.

Ternyata pegunungan itu penuh pohon bambu yang rindang, pemandangan indah permai, ditepi selat pegunungan itu dibangun sebuah gardu bambu yang artistik, Melihat bangunan gardu yang indah itu, Thio A Sam terpesona dan memuji tak habis-habisnya.

Dan baru semua orang mengambil tempat duduk disekitar gardu bambu, tiba-tiba terlihat empat orang berlari turun dari jalan pegunungan sana, Sesudah dekat, ternyata dua diantaranya adalah murid Sing-siok-pai, mungkin tadi disuruh mendahului naik keatas gunung untuk menyelidiki atau memberi kabar.

Dua orang lagi yang tak dikenal itu adalah pemuda berdandan sebagai petani, Sampai didepan Ting Jun-jiu mereka lantas memberi hormat dan tanpa bicara lalu menyerahkan sepucuk surat.

Setelah Ting-lokoai membaca surat itu, tiba-tiba ia tertawa dingin dan berkata, "Bagus, bagus! Kamu belum kapok dan ingin mengadu jiwa lagi, sudah tentu akan kupenuhi keinginanmu."

Tiba-tiba salah seorang pemuda petani itu mengeluarkan sebuah mercon roket terus dinyalakan dan dilepaskan keudara.

Pada umumnya mercon roket itu mesti berbunyi dulu, menyusul akan meletus lagi diatas tapi mercon yang digunakannya ini agak luar biasa semula tidak berbunyi, setelah menjulang tinggi diangkasa baru meletus tiga kali berturut-turut dengan suara yang keras.

Melihat itu, Thio A Sam tidak sangsi lagi dengan pelahan katanya kepada Kheng Kong-leng, "Toako, inilah barang buatan perguruan kita sendiri."

Dan tidak lama sesudah suara letusan mercon itu, mendadak dari atas gunung berlari datang serombongan orang sejumlah tiga puluhan orang, semuanya berdandan sebagai petani dan membawa senjata panjang.

Sesudah dekat, ternyata yang mereka bawa bukan senjata melainkan gala bambu, setiap dua batang bambu itu terikat jaring tambang yang dapat dipakai sebagai usungan.

"Wah, tuan rumahnya cukup menghormati kita, maka kita pun tidak perlu sungkan-sungkan, marilah naik saja," kata Ting-lokoai dengan tertawa dingin.

Maka Hian-lan dan lain-lain lantas naik keatas usungan jaring tambang itu, para pemuda petani itu lantas membagi tugas, dua orang menggotong satu usungan, dengan cepat mereka berlari pula keatas gunung.

Ting Jun-jiu sendiri mendahului didepan, Tampaknya larinya tidak terlalu cepat, tapi di jalan pegunungan yang terjal dan tidak rata itu ia dapat melesat secepat terbang seakan-akan kaki tidak menyentuh tanah, hanya dalam sekejap saja orangnya sudah menghilang di balik hutam bambu diatas sana.

Selama beberapa hari ini, Hian-lan, Ting Pek-jwan dan lain-lain yang terkena Hoa-kang-tai-hoat atau terkena racun dingin pukulan Yu Goan-ci, selalu merasa penasaran karena menganggap diselomoti ilmu sihir musuh yang jahat dan bukan dikalahkan dengan ilmu sejati, Tapi kini demi menyaksikan betapa hebat ginkang iblis tua itu, kepandaian demikian terang adalah kepandaian sejati, mau tidak mau mereka tunduk dengan rela.

Pikir mereka, "Andaiakan dia tidak memakai ilmu siluman yang jahat juga kami pasti bukan tandingannya."

Sebagai ksatria, Hong Po-ok adalah seorang yang jujur, tanpa tedeng aling-aling lagi ia memuji, "Ya, ginkang iblis tua itu memang sangat hebat, sungguh aku sangat kagum."

Dan sekali ia memuji, serentak anak murid Sing-siok-pai yang mengawal disamping itu terus mengoceh, mereka memuji setinggi langit guru mereka, katanya ilmu silat Ting Jun-jiu tiada tandingannya didunia ini, bahkan dari dahulu kala hingga sekarang tiada seorang sarjana ilmu silat yang mampu melebihi Ting-lokoai.

Dasar murid-murid Sing-siok-pai itu sudah biasa dan terlatih dalam hal memuji dan menjilat, maka cara mereka mendewa-dewakan Ting Jun-jiu sungguh luar biasa dan tidak pernah didengar oleh Hian-lan dan lainlain.

Pau Put-tong lantas menanggapi, "Hai, para saudara Sing-siok-pai, ilmu silat golongan kalian memang tak bisa ditandingi golongan lain, benar-benar sedari dahulu kala tidak pernah ada dan kelak pun takkan terjadi."

"Emangnya, masakah kami mendustai kalian?" sahut murid-murid Sing-siok-pai dengan senang, Lalu mereka pun tanya, "Dan menurut pendapatmu, ilmu silat kami manakah yang paling lihai?"

"Kukira tidak hanya semacam saja ilmu silat kalian yang lihai, paling sedikit ada tiga macam." sahut Put-tong.

Karuan anak murid Sing-siok-pai tambah girang, "Ketiga macam yang mana?" tanya mereka berbareng.

"Masakah kalian sendiri tidak tahu?" demikian Put-tong sengaja jual mahal.

"Kami? Ya... ya, kami tidak tahu, tolonglah suka menjelaskan!" pinta orang-orang Sing-siok-pai itu.

"Ini dia, coba pentang telinga kalian dan dengarkan dengan baik," ucap Put-tong dengan sikap sungguhsungguh. "Pertama adalah Ma-bi-kang (ilmu menjilat pantat), Menurut pendapatku, Wah! ilmu ini sangat penting, sebab kalau kalian tidak melatihnya dengan masak benar, mungkin akan susah menempatkan diri dalam perguruan, Dan ilmu kedua adalah Hoat-le-kang (ilmu meniup kulit keong, maksudnya omong besar), Ilmu ini juga sangat penting, kalau kalian tidak dapat membual setinggi langit ilmu silat perguruan kalian sendiri, bukan saja kalian akan dipandang rendah oleh gurumu, bahkan kedudukan diantara sesama saudara seperguruan juga akan terdesak, Dan akhirnya ilmu yang ketiga ini adalah Ho-gan-kang (ilmu muka tebal), Ilmu ini terlebih penting lagi, jika kalian tidak berani tutup mata dan bermuka tebal, mana dapat kalian

meyakinkan kedua ilmu mujizat Ma-bi-kang dan Hoat-le-kang?"

Habis berkata, Put-tong mengira anak murid Sing-siok-pai pasti akan menghujaninya caci-maki dan pukulan serta tendangan, Eh, siapa tahu tidak demikian halnya, bahkan semuanya tampak mengangguk-angguk seakanakan membenarkan ucapan Pau Put-tong.

Seorang diantaranya bahkan berkata, "Saudara ini sungguh sangat pintar hingga cukup paham terhadap selukbeluk golongan kami, Tentang Ma-bi-kang, Hoat-le-kang dan Ho-gan-kang, tiga macam ilmu sakti ini juga sangat susah dipelajari, Pada umumnya orang sok risi dan suka membeda-bedakan apa yang baik dan mana yang jelek. Dan siapa saja kalau sudah cenderung kepada pikiran demikian itu, terang akan susah menyakinkan Ho-gan-kang, andaikan bisa, sampai saat terakhir tentu juga akan gagal."

Sebenarnya ucapan Pau Put-tong tadi hanya sindiran belaka, siapa tahu malah mendapat tanggapan sungguhsungguh dari orang Sing-siok-pai dan tidak sirik sedikit pun, karuan ia tidak habis heran.

Maka dengan tertawa ia berkata pula, "Wah, rupanya ilmu sakti ajaran golongan kalian teramat luas dan mendalam hingga aku tidak dapat menyelaminya, dengan setulus hati aku ingin mohon Taisian suka memberi petunjuk."

Mendengar kata 'Taisian' atau dewa besar, orang itu benar-benar merasa seolah-olah sudah menjadi dewa sungguhan, Dan dengan lagak 'dewa' ia pun berkata, "Tapi kamu bukan orang golongan kami, dimana letak kunci rahasia ilmu mujizat kami sudah tentu tidak boleh dikatakan padamu, Pendek kata, kunci utama dari ilmu mujizat kami terletak pada diri Suhu yang harus kami junjung sebagai malaikat dewata, biarpun beliau mendadak kentut......"

"Tentu berbau wangi juga." sambung Pau Put-tong mendadak.

"Tepat," kata orang itu sambil mengangguk-angguk, "Kamu memang sangat berbakat, tanpa diajar juga sudah tahu, Jika kau mau masuk perguruan kami, kukira akan mencapai tingkatan yang tertinggi, cuma sayang jalanmu tersesat dan telah kesasar kekalangan tak beres, namun juga tidak berhalangan asalkan kamu dapat pegang teguh kepada kunci rahasia tadi."

"Untuk masuk perguruan kami jangan diikra gampang." sela seorang lagi dengan tersenyum, "Melulu ujian penerimaan yang maha sulit itu sudah cukup membikin kamu kapok dan akan mundur teratur."

"Disini terlalu banyak orang, tidak enak untuk dibicarakan dengan dia," demikian seorang kawannya menimbrung, "Pendek kata, hai, orang she Pau, jika kamu sungguh-sungguh ada maksud masuk perguruan

kami, boleh juga aku nanti membantu memberi sokongan suara dihadapan Suhu."

Kongya Kian dan Ting Pek-jwan tahu bahwa ucapan Pau Put-tong itu hanya untuk menggoda anak murid Singsiok-pai saja tak terduga manusia-manusia goblok itu justru menganggapnya sungguh-sungguh, karuan Pekjwan dan Kongya Kian sangat mendongkol dan geli pula, pikir mereka,

"Didunia ini ternyata ada manusia rendah yang membanggakan kepandaian mengumpak dan menjilat, sungguh tidak kenal malu dan keterlaluan."

Tengah bicara, sementara itu rombongan mereka sudah memasuki sebuah lembah pegunungan, Dilembah itu penuh tumbuh pohon cemara yang rindang, bilamana angin bertiup, terdengarlah suara gemersek daun pohon yang menyerupai lidi itu.

Setelah menyusur hutan sejenak, akhirnya sampailah mereka didepan tiga petak rumah kayu, dibawah sebatang pohon besar didepan rumah tertampak ada dua orang sedang main catur, selain itu ada pula dua orang yang sedang menonton permainan catur mereka.

Sesudah dekat, tiba-tiba Pau Put-tong mendengar Li Gui-lui yang digotong di usungan belakang bersuara, seperti hendak bicara tapi urung karena ditahan kembali, Waktu Put-tong menoleh, ia lihat air muka sianak wayang itu pucat pasi, sikapnya cemas khawatir.

Seketika Put-tong tidak tahu apa sebabnya sianak wayang yang biasanya suka menembang itu kini mendadak berubah ketakutan, Waktu ia berpaling kembali, ia lihat kedua penonton pertandingan catur itu seorang adalah Ting Jun-jiu dan yang lain adalah seorang nona cantik.

Sedangkan kedua pemain catur itu, yang duduk disisi kanan sana adalah seorang tua kurus kecil, dan lawannya adalah seorang Kongcu muda dan cakap.

Put-tong kenal Kongcu itu dan si nona cantik, tanpa terasa ia berseru, "He, nona Ong, mengapa engkau berada disini? Apa engkau datang bersama orang she Toan ini?"

Kiranya nona cantik itu adalah Ong Giok Yan dan Kongcu muda itu dengan sendirinya Toah Ki adanya.

Tempo dulu waktu dikediaman A Cu, yaitu di papilyun 'Thing-hiang-eing-sik', Pau Put-tong pernah bertemu sekali dengan Toan Ki, malahan tangan Toan Ki hampir dipuntir patah olehnya, Sedangkan Ong Giok-yan

adalah adik misan Buyung-kongcu, ternyata sekarang berada bersama pula dengan pemuda cakap itu, karuan Pau Put-tong merasa tidak senang.

Maka Giok-yan mengiakan sekali dengan acuh tak acuh, sama sekali ia tidak menoleh dan masih asyik mengikuti pertandingan catur itu.

Ada pun papan catur yang digunakan itu terukir diatas sepotong batu hijau yang besar, baik biji catur putih maupun hitam, semuanya halus mengkilat, sementara itu kedua belah pihak sudah menjatuhkan ratusan biji catur masing-masing (catur disini serupa permainan damdaman).

Disebelah lain Ting Jun-jiu juga berdiri dekat dibelakang sikakek kurus kecil dan asyik juga mengikuti pertandingan catur itu.

Tatkala itu Toan Ki sedang memegang satu biji catur dan belum dijalankan, tapi lagi berpikir dimana biji catur itu harus dipasang.

Tiba-tiba Pau Put-tong berseru, "Hai, Lo siansing, ada tamu, kenapa engkau diam saja dan masih terus main catur apa segala?"

Dalam pada itu Kheng Kong-leng berdelapan buru-buru meronta turun dari usungan terus berlutut kira-kira dua meter didepan batu hijau tempat papan catur itu.

Karuan Put-tong terkejut, serunya, "He, apa-apaan kalian ini?"

Tapi segera ia paham duduknya perkara, Jelas sikakek kurus kecil itu tak lain tak bukan adalah Liong-ah Lojin alias 'Cong-pian Siansing' yang termashur alias guru Kheng Kong-leng berdelapan.

Sudah terang musuh besar telah berada disebelahnya, mengapa dia masih enak2 main catur dengan orang? Apalagi lawan caturnya juga bukan seorang juara catur atau pemain ternama, tapi seorang pelajar yang ketololtololan.

Maka terdengar Kong-leng berkata, "Engkau orang tua masih sehat walafiat melebihi duu, sungguh kami berdelapan girang tak terhingga."

Yu-kok-pat-yu sudah diusir keluar perguruan, maka sekarang mereka tidak berani menyebutnya sebagai Suhu, lalu ia menyambung lagi, "Hian-lan Taisu dari Siau-lim-pai juga berkunjung kemari."

Sebagai Sute ketua Siau-lim-si, sudah tentu kedudukan Hian-lan dalam Bu-lim adalah sangat tinggi dan dihormati, sekarang So Sing-ho tidak menyambutnya sebagaimana mestinya, hal ini sudah kurang sopan, bahkan sang tamu sudah berada didepannya dan dia masih enak-enak main catur, sikap demikian terang kurang menghormati tamunya.

Tapi tertampak badan So Sing-ho tergetar demi mendengar laporan Kong-leng tadi, segera ia berdiri dan memberi hormat kepada para tamunya sambil berkata, "Atas kunjungan Hian-lan Taisu, harap maafkan aku tidak mengadakan penyambutan, maaf!"

Waktu bicara sinar matanya sama sekali tidak memandang kearah Hian-lan, sebaliknya masih terus memperhatikan papan caturnya, dan sehabis berkata, ia duduk kembali menghadapi lawan caturnya.

Keruan semua orang terperanjat demi mendengar Liong-ah Lojin (si kakek tuli dan bisu) ternyata dapat mendengar, bahkan pandai bicara pula.

Maka Hian-lan lantas menjawab, "Terima kasih!"

Ia lihat So Sing-ho sedemikian menitikberatkan permainan catur, diam-diam ia pikir, "Orang ini terlalu banyak memperdalam permainan catur dan lain sebagainya, pantas ilmu silatnya kalah jauh dari pada sang Sute."

Begitulah keadaan menjadi sunyi senyap, mau tidak mau semua orang harus mengikuti pertandingan catur itu.

Tiba-tiba Toan Ki berkata, "Baiklah, disini saja!" Lalu ia taruh satu biji catur hitam diatas papan catur batu itu.

Sebaliknya Si Sing-ho sama sekali tidak berpikir, ia terus menaruh sebiji catur putih dengan cepat, Karena Toan Ki sebelumnya sudah merancangkan balasan langkah caturnya, maka menyusul ia pun menaruh satu biji hitam lagi, lalu So Sing-ho juga menaruh satu biji putih dan begitu seterusnya hingga masing-masing menaruh belasan biji.

Akhirnya terdengarlah Toan Ki berkata dengan gegetun, "Wah, ilmu catur Losiansing memang sangat tinggi dan sukar dijajaki dalamnya, Wanpwe tidak dapat memecahkannya."

Dengan demikian, jadi terang So Sing-ho telah menang, tapi bukannya senang, sebaliknya ia malah mengunjuk rasa sedih, katanya, "Daya pikir Kongcu sebenarnya sangat rapi dan dapat mencapai jauh, belasan langkah caturmu ini sudah mencapai tingkatan teknik yang tinggi, Cuma sayang tak dapat berpikir lebih dalam lagi sedikit, sungguh sayang! Ai, benar-benar sayang!"

Lalu Toan Ki menjemput sumua biji caturnya yang berwarna hitam itu dan dimasukkan kedalam kotak, So Sing-ho juga menjemput kembali belasan biji catur warna putih yang dipasangnya tadi.

Sebagai seorang penggemar dan juara catur, sudah tentu Hoan Pek-ling dari Yu-kok-pai-yu itu sangat tertarik kepada setiap pertandingan catur, Setelah mengikuti dari jauh pertandingan itu, maka tahulah dia bahwa sang 'Suhu' bukan lagi bertanding dengan Kongcu muda yang cakap itu, melainkan membuat sebuah 'problem' dan Kongcu muda itu disuruh coba memecahkan problem catur itu dan ternyata pemuda itu tidak sanggup.

Pek-ling berlutut ditanah, sudah tentu tidak begitu jelas mengikuti "problem catur" itu, sungguh ia ingin berdiri untuk melihatnya, Syukurlah waktu itu So Sing-ho lantas berkata,

"Sudahlah, kalian boleh berdiri saja! Pek-ling, 'problem' ini sangat luas tali-temali antara langkah satu dengan langkah lainnya, Coba kau periksa kesini, kalau kau dapat memecahkannya, siapa tahu ?"

Girang sekali Pek-ling, ia mengiakan dan cepat mendekati papan catur itu serta mempelajari problem catur itu dengan tekun, 'Problem' umumnya hanya pakai belasan biji catur saja paling banyak juga cuma beberapa puluh biji, tapi sekarang ia lihat biji catur yang dipakai ada lebih dua ratus biji banyaknya, dan memang problem yang diatur ini sangat ruwet dan susah dipecahkan.

Sudah berpuluh tahun Pek-ling mempelajari seni catur, tapi kini baru pikir sebentar saja kepalanya sudah pusing dan mata berkunang-kunang, Baru saja ia hendak memecahkan satu langkah disudut kanan atau napasnya lantas sesak, darah seakan-akan bergolak dalam rongga dadanya.

Ia coba tenangkan diri, untuk kedua kalinya ia mengulangi lagi langkah biji hitam disudut kanan itu, semula ia kira langkah itu langkah mati, tapi sebenarnya masih ada jalan hidupnya, untuk itu ternyata harus makan dulu biji putih disebelahnya, tapi sangkut-paut selanjutnya menjadi sangat luas dan ruwet, ia coba menghitung lagi, mendadak matanya menjadi gelap, tenggorokan terasa amis, tahu-tahu darah segar menyembur keluar dari mulutnya.

Dengan dingin saja So Sing-ho menyaksikan keadaan Hoan Pek-ling itu, katanya kemudian, "Problem ini memang sangat sulit, kebetulan hari ini adalah hari pembukaan untuk umum yang diadakan setiap sepuluh tahun satu kali, dan justru sempat hadir juga, Namun kutahu bakatmu terbatas, dua puluh tahun yang lalu aku tidak memberi kesempatan padamu untuk ikut memecahkan problem catur ini, hari ini kebetulan kamu dapat mengikkutinya, apakah kamu akan berpikir lagi untuk memecahkan atau tidak ?"

"Mati atau hidup sudah takdir ilahi, maka Te....aku....bertekad akan berusaha sebisa tenagaku untuk memecahkannya," sahut Pek-ling.

"Jika begitu, semoga kamu berhasil," kata So Sing-ho sambil mengangguk.

Jilid 52
Maka Pek-ling mulai lagi peras otak memikirkan problem catur itu, tapi hanya sebentar saja tubuhnya lantas sempoyongan dam kembali muntah darah.

"Huh, cari mampus sendiri, apa gunanya?" jengek Ting-lokoai tiba-tiba, "Perangkap yang dipasang Lojat (bangsat tua) ini memang sengaja dipakai untuk menyiksa dan membunuh orang, apa gunanya kau antarkan nyawamu dengan percuma ?"

Mendadak So Sing-ho melirik Ting-lokoai, lalu bertanya, "Kau sebut Suhu sebagai apa ?"

"Memangnya dia adalah Lojat, maka aku pun panggil dia Lojat!" sahut Ting Jun-jiu.

"Si kakek tuli dan bisu hari ini sudah tidak tuli dan bisu lagi, tentu kau tahu apa sebabnya, bukan?" tanya So Sing-ho pula.

"Bagus!" sahut Ting Jun-jiu, "Kau sendiri yang melanggar sumpah dan mencari mampus, maka jangan menyalahkan aku lagi."

Seketika Kheng Kong-leng cuma saling pandang dengan Sih-sin-ih dan lain-lain, Pikir mereka, "Dahulu iblis ini memaksa Suhu menjadi orang bisu tuli, dengan demikian ia berjanji takkan mengganggu Suhu, Tapi kini mendadak Suhu membuka suara, ini berarti beliau sudah bertekad akan menentukan mati-hidup dengan Tinglokoai."

Begitulah Kheng Kong-leng dan kawan-kawannya menjadi khawatir, tapi bersemangat juga.

Kemudian So Sing-ho mengangkat sepotong batu besar disebelahnya dan ditarik kedepan Hian-lan, katanya, "Silakan duduk, Taisu!"

"Terima kasih!" sahut Hian-lan sambil memberi hormat, Diam-diam ia pun terkesiap melihat tenaga orang.

Perawakan So Sing-ho kurus kecil, bobotnya paling-paling cuma delapanpuluh kati, tapi dengan mudah ia

dapat mengangkat sepotong batu besar yang beratnya ditaksir tidak kurang dari limaratus kati, hal ini menandakan kepandaian kakek kecil ini tidak boleh dipandang enteng, Baginya sebenarnya juga tidak sukar mengangkat batu sebesar itu, bilamana ilmu silatnya belum punah, tapi rasanya juga tidak segampang sikakek kecil yang tampaknya seperti mengangkat sebuah dengklik kecil saja.

Lalu terdengar So Sing-ho berkata pula, "Problem catur ini adalah hasil jerih-payah pemikiran mendiang guruku selama tiga tahun, beliau mengarang problem catur ini dengan harapan agar ahli catur pada jaman ini ada yang dapat memecahkannya, Aku sendiri sudah mempelajarinya selama tigapuluh tahun dengan tekun, tapi hasilnya tetap nihil dan belum dapat memecahkannya."

Berkata sampai disini, ia berhenti, sinar matanya melayang kearah Hian-lan, Toan-ki, Hoan Pek-ling dan lainlain, lalu sambungnya pula,

"Sebagai seorang padri berilmu, tentu Hian-lan Taisu paham akan kunci ajaran Buddha terletak pada 'kesadaran', Seorang yang tekun belajar belum tentu dapat sadar begitu saja seperti orang biasa, Begitu pula problem catur ini, seorang anak kecil mungkin akan dapat menangkan ahli catur kelas satu, Aku sendiri tidak dapat memecahkan problem ini, tapi orang berbakat didunia ini masih sangat banyak, tentu ada yang dapat memecahkannya, Sewaktu guruku akan wafat dulu, beliau meninggalkan harapan ini, apabila ada orang dapat memecahkan problem catur ini hingga harapan guruku itu terkabul, maka arwah beliau tentu akan merasa senang dan terhibur."

Diam-diam Hian-lan pikir, "Antara gurunya dan Cong-pian Siansing serta murid-muridnya ini mempunyai banyak persamaan, terhadap seni musik, melukis, catur dan lain-lain, semuanya seperti kesetanan dan mencurahkan segenap tenaga dan pikiran mereka untuk menyelami permainan-permainan itu sehingga Ting Jun-jiu sempat malang melintang dalam perguruannya tanpa ada yang mampu mengatasinya, sungguh hal ini harus disesalkan."

"Dan Suteku ini." demikian So Sing-ho melanjutkan bicaranya sambil menuding Ting-lokoai, "Dahulu dia mendurhakai perguruan sendiri, membunuh guru dan melukai aku pula, Mestinya aku harus mati menyusul guru, tapi demi mengingat ada sesuatu cita-cita guruku yang belum terkabul, bila aku tidak mendapatkan orang untuk memecahkan problem catur ciptaannya ini, andaikan aku mati juga malu untuk menemui Suhu dialam baka. Sebab itulah aku terima dihina dan mempertahankan hidup sampai sekarang, Selama beberapa tahun ini aku tetap memenuhi janjiku kepada Sute, tidak bicara dan tidak mendengar, bukan saja aku telah menjadi Liong-ah Lojin, bahkan murid-muridku yang baru juga kupaksa menjadi orang tuli dan bisu,

Ai, selama tigapuluh tahun ini tetap tiada mendapatkan sesuatu kemajuan, problem catur ini tetap tiada seorangpun mampu memecahkannya, Tapi belasan langkah yang dilakukan Toan-kongcu ini sungguh sangat bagus, aku menaruh harapan sangat besar padanya, siapa tahu satu kali keliru, akhirnya gagal juga usahanya."

Toan Ki kelihatan malu-malu, katanya, "Bakatku terlalu bodoh hingga sangat mengecewakan harapan Lotiang

(bapak), sungguh aku merasa malu....."

Belum habis ia berkata, mendadak Hoan Pek-ling menjerit sekali, mulutnya menyemburkan darah dan orangnya terus roboh kebelakang.

Cepat sekali So Sing-ho geraki tangan kirinya, sekaligus tiga biji catur menyambar dan mengenai tiga hiat-to didada Pek-ling untuk menghentikan semburan darahnya.

Selagi semua orang tercengang bingung, tiba-tiba terdengar pula suara "plok" sekali, dari udara tahu-tahu menyambar turun sebiji benda entah apa dan jatuh tepat diatas papan catur.

Waktu So Sing-ho memperhatikan, ia lihat benda itu adalah sepotong kulit pohon cemara yang kehitamhitaman dan tepat jatuh dibagian "G", yaitu tempat antara garis silang 8 x 9, Langkah itu adalah kunci utama memecahkan "problem" yang harus dilakukan setiap pemain.

Ketika Sing-ho mendongak, ia lihat diatas pohon Siong (cemara) beberapa meter disebelah kiri sana terlihat satu bagian jubah panjang orang, terang disitu ada orang bersembunyi.

Diam-diam So Sing-ho terkejut dan bergirang pula, pikirnya, "Ada orang bersembunyi disitu, tapi aku sama sekali tidak tahu, hal ini menandakan ilmu silat orang ini sudah mencapai tingkatan yang sukar dibayangkan, Walaupun jarak tempat sembunyinya cukup jauh, aku lagi asyik main catur dengan Toan-kongcu ini dan tidak menaruh perhatian, tapi orang itu mampu menggunakan kulit pohon sebagai biji catur dan disambitkan dari jauh, dan baru sekarang aku dapat mengetahuinya, tentu dia seorang tokoh yang hebat, bilamana ia dapat memecahkan problem catur Suhu ini, maka terima kasihlah kepada langit dan bumi."

Tadi waktu Toan Ki menjalankan biji caturnya, pertama kali ia pun mengadakan pembukaan pada tempat "G" digaris lintang 8 x 9 itu, Dan selagi So Sing-ho hendak menaruh biji catur warna putih untuk menyambut biji catur lawan itu, sekonyong-konyong didengarnya suara mendesir pelahan ditepi telinga, tahu-tahu sebiji benda putih menyambar dari belakang dan jatuh ditempat yang akan ditaruh biji caturnya So Sing-ho.

Karuan semua orang bersuara heran dan berbareng menoleh, tapi tiada bayangan seorang pun yang kelihatan, Pohon-pohon disebelah sana tidak terlalu besar, kalau disitu bersembunyi orang tentu akan kelihatan, Maka semua orang menjadi heran dimanakah orang itu bersembunyi?

Yang paling heran adalah So Sing-ho, Ia lihat benda putih itu adalah cukilan kayu pohon siong yang baru saja dikorek keluar dari batang pohon.

Bahkan setelah "biji catur putih" itu jatuh diatas papan catur, kembali dari pohon sebelah kiri tadi menyambar tiba pula sebiji benda hitam dan jatuh digaris lintang 5 x 6, Karena itu, pandangan semua orang terarah kesisi kanan untuk melihat biji putih akan menyambar keluar dari mana.

Mendadak terdengar suara "crit" sekali, sebiji benda putih berputar-putar mumbul keatas udara, habis itu lantas menurun secara lurus dan dengan tepat jatuh diatas papan catur pada gairs lintang 4 x 5, yaitu tempat yang tepat untuk menghadapi biji catur lawan.

Karena biji putih itu melayang keudara secara berputar, jadi timbul dari arah mana menjadi susah untuk diketahui orang, Tapi sesudah biji putih itu melayang-layang keatas secara melingkar-lingkar, dan jatuhnya ternyata masih begitu jitu, maka kepandaian menggunakan am-gi atau senjata gelap si penimpuk sungguh mengejutkan.

Saking kagumnya, tanpa terasa tercetuslah suara sorak puji semua orang, Dan belum lenyap suara sorak pujian itu, tiba-tiba dari balik pohon yang rindang disebelah kiri tadi berkumandang suara seorang yang lantang, "Ilmu kepandaian am-gi maha sakti Buyung-kongcu sungguh tiada bandingannya didunia ini, kagum, sungguh kagum!"

Mendengar sebutan "Buyung-kongcu" seketika Giok-yan berseru, "Piauko, apa engkau berada disini?"

Dan Sekonyong-konyong disamping mereka sudah bertambah seorang. Orang itu berjubah padri, sikapnya kereng dan gagah, wajahnya bercahaya dan mengulum senyum, cara bagaimana dia melayang turun dari tempat sembunyinya diatas pohon itu ternyata tiada seorang pun yang tahu.

Yang paling terkejut adalah Toan Ki, katanya dalam hati, "Kiranya iblis Ciumoti ini juga datang kesini?"

Kiranya orang itu memang Tai-lun-beng-ong alias Ciumoti dari Turfan.

Lebih dulu ia memberi hormat kepada So Sing-ho, Ting Jun-jiu dan Hian-lan, lalu ia mencomot sebiji catur hitam terus ditaruh diatas papan catur.

Disebelah sana Giok-yan menjadi jengah karena orang yang muncul ini bukan sang Piauko yang dirindukannya itu, Tapi ia tetap tidak percaya, ia lari cepat kebelakang batu sisi kanan sana untuk mencari Buyung-kongcu sambil memanggil-manggil, "Piauko, Piauko, dimanakah kau?"

Cemas perasaan Toan Ki seakan-akan kehilangan sesuatu menyaksikan kelakuan nona pujaannya itu.

Mendadak terdengar Giok-yan bersorak gembira, "Nah, disini, Kenapa engkau diam saja tidak menjawab panggilanku ?"

Menyusul dari balik pohon sana muncul dua orang, Seorang berbaju kuning muda, itulah Giok-yan adanya, Gadis ini menggandeng tangan seorang kongcu muda dan mendatang dengan langkah pelahan.

Kongcu itu berusia anatara 27-28 tahun, juga memakai baju kuning, cuma kuning tua sedikit, pedang tergantung dipinggangnya, jalannya ringan tanpa menimbulkan suara, perawakannya gagah, wajahnya cakap, hanya air mukanya kepucat-pucatan, tapi sikap dan tindak-tanduknya tampak sangat agung dan ganteng.

Baru sekarang Toan Ki melihat jelas Buyung-kongcu atau lengkapnya Buyung Hok yang di-dengung2kan dan dipuja seolah-olah malaikat dewata oleh Giok-yan, A Cu, A Pik, Ting Pek-jwan dan kawan-kawannya itu, Dan nyatanya memang benar-benar luar biasa.

"Orang bilang Buyung-kongcu adalah naga diantara manusia (orang pilihan), dan memang bukan omong kosong kenyataannya, Pantas nona Ong begitu kesemsem kepada sang Piauko, Maka, ai, hidupku ini sudah terang ditakdirkan akan merana selamanya." demikian pikir Toan Ki dengan putus asa.

Ia menyesal dan gegetun, berduka dan susah, ia tidak berani memandang Giok-yan, Tapi akhirnya tidak tahan dan diam-diam mengintip sekejap, Ia lihat air muka Giok-yan berseri-seri, penuh gembira, ia belum pernah melihat si nona begitu girang seperti sekarang, Kembali ia pikir, "Memang pada hakikatnya diriku tidak pernah terisi dalam hatinya, hanya bila melihat sang piauko barulah ia merasa gembira benar-benar."

Sementara itu Buyung Hok telah mendekati papan catur, ia mengangguk-angguk pada semua orang, lalu ia menjemput sebiji catur putih dan ditaruh diatas papan catur batu itu.

Ciumoti tersenyum, katanya, "Buyung-kongcu, meski ilmu silatmu sangat tinggi, tapi dalam hal main catur mungkin hanya kelas menengah saja." Berbareng ia pun balas sebiji catur hitam.

"Ya, tapi rasanya toh takkan kalah darimu," sahut Buyung Hok, Lalu ia pun menaruh biji caturnya lagi.

Dalam pada itu Ting Pek-jwan, Kongya Kian, Pau Put-tong dan Hong Po-ok sudah lantas berkumpul dan

berdiri dibelakang sang junjungan. Buyung Hok sendiri lagi tekun memikirkan langkah catur selanjutnya untuk menghadapi Ciumoti yang ternyata tidak lemah dalam ilmu permainan catur itu, maka ia hanya berpaling sekejap saja kepada para punggawanya itu, lalu mencurahkan perhatiannya pada biji caturnya.

Selang agak lama barulah Buyung Hok menjalankan sebiji caturnya lagi, sebaliknya Ciumoti sangat cekatan tanpa banyak berpikir ia taruh pula biji caturnya, Jadi Buyung-kongcu main lambat dan Ciumoti main cepat.

Tidak lama kemudian, masing-masing sudah menjalankan lebih dua puluh biji catur, tiba-tiba Ciumoti terbahak-bahak dan berkata, "Buyung-kongcu, apakah tidak sebaiknya kita anggap remis saja ?"

"Huh, kau sendiri main ngawur, masakah kau sendiri mampu mematahkan seranganku?" sahut Buyung Hok.

"Memangnya problem ini sangat sulit, didunia ini tiada orang lagi mampu memecahkannya, problem ini hanya digunakan untuk mempermainkan orang, aku cukup tahu diri, maka tidak mau banyak membuang pikiran percuma," demikian kata Ciumoti, "Tapi bagimu, Buyung-kongcu, kepungan sudut yang kupasang ini saja tidak mampu kau lepaskan diri, masakah masih kau pikir untuk merebut kemenangan di Tionggoan segala ?"

Seketika hati Buyung Hok tergetar, ia merasa ucapan orang itu mempunyai makna berganda, sesaat itu pikirannya menjadi kusut, ucapan Ciumoti itu seakan-akan mendengung terus ditelinganya.

Seperti pernah diceritakan oleh Giok-yan kepada Toan Ki, Buyung-kongcu itu bercita-cita menjadi raja dan memerintah diseluruh Tiongkok, Kini ucapan Ciumoti itu kena betul-betul dalam lubuk hatinya, lamat-lamat terbayang olehnya biji catur hitam dan putih diatas papan catur itu seolah-olah berubah menjadi prajurit dan perwiranya, disana satu pasukan dan disini satu pangkalan lagi, yang satu dikepung oleh yang lain dan sedang bertempur mati-matian.

Buyung Hok seperti menyaksikan pasukan kerajaan Yan sendiri terkepung oleh pasukan musuh dan tidak berhasil membobol keluar, meski ia sudah berusaha dengan susah payah tetap tidak dapat menyelamatkan pasukannya, Makin lama ia makin khawatir, pikirnya,

"Kerajaan Yan kami sudah ditakdirkan akan tamat sampai disini, betapa pun tidak dapat dibangun kembali dan perjuangan selama berabad-abad ini akhirnya akan gagal dan lenyap sebagai impian, jika memang begitulah takdir ilahi, apa mau dikata lagi ?" Mendadak ia menjerit sekali, ia lolos pedang terus menggorok leher sendiri.

Tatkala Buyung Hok berdiri termangu-mangu dengan sikapnya yang aneh itu, memangnya Giok-yan, Toan Ki Ting Pek-jwan dan kawan-kawannya juga sudah menaruh perhatian padanya, Tapi mendadak Buyung Hok melolos pedang hendak membunuh diri, hal ini benar-benar tidak pernah terduga oleh mereka, Pek-jwan dan

Kongya Kian bermaksud menubruk maju untuk menolong, tapi mereka sendiri sudah kehilangan tenaga, maka tidak berdayalah mereka.

Syukur mendadak Toan Ki berseru, "Eh, jangan begitu!"

Kontan jari telunjuknya terus menuding kedepan, maka terdengarlah suara "crit" sekali, tahu-tahu pedang yang dipegang Buyung Hok itu tergetar jatuh kelantai hingga menerbitkan suara nyaring.

"Wa, sejurus Lak-meh-sin-kiam yang bagus, Toan-kongcu!" puji Ciumoti dengan tertawa.

Dan karena pedang terlepas dari cekalan, barulah Buyung Hok terkejut dan sadar dari dunia khayalnya.

Dalam pada itu Giok-yan sudah lantas memburu maju sambil memegangi tangan sang Piauko, ia menangis dan berkata, "O, Piauko, cuma urusan catur saja masa perlu berpikir pendek hendak menghabiskan jiwa sendiri ?"

"Ada apa atas diriku?" demikian Buyung Hok menegas dengan bingung.

"Barusan, ya, untung Toan-kongcu telah menghantam jatuh pedangmu, kalau tidak....kalau tidak, wah....." kata Giok-yan.

"Kongcu," Kongya Kian ikut bicara, "problem catur ini bisa menyesatkan pikiran orang, kukira didalamnya tentu mengandung ilmu sihir, hendaklah Kongcu jangan mau banyak pikir lagi."

Tapi Buyung Hok lantas berpaling kepada Toan Ki dan bertanya, "Apakah benar barusan saudara telah menggunakan jurus ilmu pedang Lak-meh-sin-kiam? Cuma sayang aku tidak melihatnya, Apakah dapat saudara mengulanginya lagi sekali agar Caihe bisa menambah pengalaman?"

"Barusan tidak kau lihat?" Toan Ki menegas.

Tiba-tiba Buyung Hok merasa malu, sahutnya, "Seketika pikiranku kabur hingga mirip orang linglung dan seperti kena sihir."

"Ya, tentu Sing-siok Lokoai ini yang diam-diam telah menggunakan ilmu sihirnya yang jahat." seru Pau Puttong mendadak, "Awas, Kongcu, harap engkau berlaku hati-hati padanya!"

Pada saat itulah, tiba-tiba dari jauh terdengar suara seruan seorang wanita, "Ooi, engkoh Jun-jiu tercinta, betapa rindu hatiku padamu, telah kucari dikau sekian lamanya, akhirnya engkau datang juga ke Tionggoan sini, Ya, tentu engkau juga lagi mencari daku, sungguh aku sangat gembira!"

Suara itu kedengaran sayup-sayup terbawa angin, tapi sangat nyaring dan jelas.

"Ah, itu dia Bu-ok-put-cok Yap Ji-nio!" kata Toan Ki.

Ting Lokoai lantas kelihatan kikuk dan serba salah demi mendengar suara tadi, serentak matanya menyorotkan napsu membunuh yang kejam.

Dalam pada itu suara Yap Ji-nio berseru lagi, "Ooi, engkoh Jun-jiu yang baik, mengapa engkau diam saja dan tidak menjawab? Apakah engkau tega membuang diriku, dan tidak pedulikan aku lagi?"

Meski seruannya halus dan enak didengar, tapi karena nadanya terlalu genit hingga menimbulkan rasa muak bagi pendengarnya.

Mendadak Pau Put-tong menanggapi dengan menirukan suara Ting Jun-jiu, "Ooi, adik yang tercinta, inilah dia aku berada disini! Aku Ting Jun-jiu juga amat merindukan dikau!"

Sekonyong-konyong terdengar pula suara seorang lain disana sedang berkata, "Ting Jun-jiu berada disana, aku tidak mau ikut kesitu."

"Hah, itulah muridku si Lam-hai-gok-sin Gak-losam juga ikut datang!" demikian pikir Toan Ki.

Maka terdengar Yap Ji-nio sedang menjawab, "Kenapa takut? Masakah kau khawatir akan dimakan dia?"

"Bukan takut," ujar Lam-hai-gok-sin, "Tapi setiap kali kulihat tampangnya, aku tentu mendongkol sehari suntuk, Nah, buat apa aku menemuinya?"

"Tapi sekali ini Lotoa juga berada bersama kita, masakah kamu tetap takut pada engkoh Jun-jiu?" ujar Ji-nio.

"Eh, Lotoa, engkau bagaimana?" terdengar Lam-hai-gok-sin bertanya.

Diam-diam Toan Ki membatin, "Kiranya Yan-khing Taicu juga datang, Biasanya muridku itu tidak takut kepada langit dan tidak gentar kepada bumi, kenapa sekarang begitu ketakutan kepada seorang yang bernama Ting Jun-jiu, Ai, benar-benar tidak becus!"

Dalam pada itu terdengar suara seorang seperti suara ditahan sedang menjawab, "Ting Jun-jiu bukan manusia berkepala tiga dan bertangan enam, aku Toan Yan-khing justru ingin bertemu dengan dia."

Tengah bicara itulah tertampak dari bawah gunung muncul empat orang, Yang jalan paling depan memang benar adalah "Bu-ok-put-cok" Yap Ji-nio, si segala kejahatan diperbuatnya.

Orang kedua adalah seorang berjubah hijau dan memakai dua tongkat sebagai gantinya kaki itulah dia "Okkoan-boan-eng" Toan Yan-khing, si kejahatan sudah melebihi takaran.

Lalu Lam-hai-gok-sin kelihatan mengikuti dibelakangnya, jalannya tampak ogah-ogahan dan sangat dipaksakan.

Semula Toan Ki percaya bahwa orang keempat tentu "Kiong-hiong-kek-ok" In Tiong-ho, si maha jahat dan maha ganas, Tak tahunya adalah seorang kepala gundul alias hwesio.

Sesudah dekat barulah kelihatan bahwa hwesio ini berperawakan sedang, usianya baru duapuluh tiga tahun atau duapuluh empat tahun, kedua matanya bersinar, tapi mukanya merah bengap bekas dihajar orang, jubahnya juga terkoyak-koyak, jidat dan matanya tampak matang biru, jalannya juga beringsut pincang, terang lukanya habis dihajar orang itu tidaklah ringan.

Sejak muncul, jalan Yap Ji-nio kelihatan dipercepat seperti orang memapak kekasih, bahkan sambil berseru, "Ai, engkoh tercinta, ternyata engkau makin gagah dan tambah muda, Sekali ini aku tidak mau ditinggalkan olehmu lagi!" Sambil berkata ia terus memburu lebih mendekati Ting Jun-jiu.

Melihat tingkahnya yang genit itu, semua orang menyangka dia pasti akan terus menjatuhkan diri kedalam

pelukan Ting Jun-jiu, bahkan boleh jadi terus peluk cium, Diluar dugaan sesudah kira-kira dua meter didepan Ting Lokoai, lalu Yap Ji-nio berhenti dan berkata pula dengan tertawa, "He, kekasih, aku hendak bermesramesraan denganmu, mengapa engkau tidak memberi sambutan hangat? Apa engkau marah padaku ?"

Tapi sikap Ting Jun-jiu masih tetap tenang, kereng dan berwibawa, Ia tidak gubris olok-olok itu, ia berdehem sekali, lalu berkata, "Hari ini Cong-pian Siansing telah mengundang para cerdik pandai dan tokoh-tokoh terkenal jaman ini untuk memecahkan problem catur, Kebetulan Toan-siansing, Yap-kohnio dan Gak-heng kalian juga datang kesini, sungguh sangat kebetulan, Dan siapakah Taisu ini ?" Ia maksudkan hwesio yang babak belur habis dihajar orang tak dikenalnya itu.

Dan sebelum menjawab, sekonyong-konyong hwesio muda itu berseru, "He, Susiokco (paman kakek guru) kiranya engkau juga berada disini!" Segera ia melangkah kehadapan Hian-lan terus memberi sembah hormat.

Waktu Hian-lan memperhatikan padri muda itu, segera ia kenal orang sebagai murid angkatan ketiga dari biara sendiri, Cuma murid-murid Siau-lim-si angkatan ketiga itu lebih seratus orang, dengan kedudukannya yang tinggi, biasanya Hian-lan jarang bicara dengan mereka kecuali terhadap beberapa orang yang usianya paling tua atau yang ilmu silatnya lebih istimewa daripada yang lain, maka pada umumnya Hian-lan tidak kenal nama anak murid angkatan muda itu.

Sedangkan padri muda dihadapannya sekarang mukanya jelek, kepandaiannya juga tidak menonjol, maka Hian-lan hanya ingat dia adalah anak murid biara sendiri, adapun siapa nama agamanya tak dikenalnya, Tapi ia pun balas tanya, "Dan kamu.... kenapa kamu sampai disini?"

"Tecu Hi-tiok sedang melakukan tugas Suhu agar menyampaikan sepucuk surat ke Jing-liang-si di Ngo-taisan." demikian tutur padri muda yang bernama Hi-tiok itu, "Ditengah jalan Tecu berjumpa dengan ketiga Sicu ini, Tecu melihat Sicu yang ini....."

Jarinya terus menunjuk Yap Ji-nio, lalu menyambung, "Sicu ini sedang memegangi seorang orok dan lagi hendak mengorek hatinya untuk dimakan."

Hian-lan menggeram sekali, alisnya menegak sikapnya sangat kereng, ia melotot kearah Yap Ji-nio.

Tapi dengan tertawa Ji-nio berkata, "Setiap orang suka menyebut anak kecil sebagai 'jantung hati' maka dapat dibayangkan betapa lezat jantung hati kaum anak-anak, Boleh jadi hwesio dari Siau-lim-si kalian ini sudah banyak merasakan enaknya jantung hati anak kecil bukan?"

"Wah, dosa! Dosa!" kata Hian-lan dengan tenang, Padahal dalam hati ia sangat gusar, Coba kalau ilmu silatnya

tidak punah, bukan mustahil segera ia hantam perempaun siluman itu.

Maka dengan tertawa Yap Ji-nio berkata lagi, "Cucu muridmu ini masih sangat muda, tapi sok alim dan sok suci, eh, malahan berani memberi ceramah padaku agar suka membebaskan orok itu, Waktu kutanya dia berdasarkan apa berani ikut campur urusan orang, dia menjawab secara ngawur dan tidak mau mengaku asalusulnya, Samte menjadi murka terus memberi persen beberapa kali tempelengan, E-eh, nyalinya boleh juga berani dia melawan, Karuan saja Samte tambah gemas dan mestinya hendak mengorek jantung hatinya untuk dimakan, untung Lotoa mencegahnya, Lotoa menaksir dia mungkin anak murid Siau-lim-pai dan mengatakan jangan mengganggu jawanya, Maka Samte hanya memberi hajaran setimpal saja padanya dan membawanya serta dalam perjalanan kesini."

"Tecu terlalu bodoh, belajar kurang giat sehingga merusak nama kebesaran Siau-lim-si kita, sungguh Tecu harus mendapat hukuman setimpal," demikian Hi-tiok berkata kepada Hian-lan, "Susiokco, Lisicu ini membelek perut seorang orok montok dan mungil, mengorek jantung hatinya untuk dimakan, Harap Susiokco suka turun tangan untuk membasmi kejahatan didunia ini,"

Melihat potongan Hian-lan yang kereng, mendengar pula Hi-tiok menyebutnya "Susiokco", segera Yan-khing Taicu, Yap Ji-nio dan Lam-hai-gok-sin tahu dia adalah tokoh terkemuka Siau-lim-pai, maka diam-diam mereka bertiga sudah siap siaga, Mereka tidak tahu bahwa kini lwekang Hian-lan sudah punah, ilmu silatnya tidak lebih hanya seperti orang biasa saja.

Maka dengan tertawa Yap Ji-nio berkata, "Engkoh Jun-jiu, coba lihat, hwesio cilik ini benar-benar seorang yang tidak kenal kebaikan, kita sudah mengampuni jiwanya, tapi dia malah mengadu biru segala."

Baru habis ucapannya, mendadak terdengar suara "bret" sekali, menyusul berbunyi "plak" sekali pula, Sekilas bayangan seorang berkelebat, lalu semua orang sama berseru kaget.

Malahan Giok-yan kelihatan merah malu sambil berseru, "Piauko, kenapa kau......"

Ternyata, baju dada Yap Ji-nio telah robek hingga kelihatan dadanya yang putih itu, Kiranya Buyung-kongcu tidak dapat menahan rasa gusarnya demi mendengar cerita Hi-tiok itu, pula dilihatnya Hian-lan tidak lantas ambil tindakan, maka segera ia menggunakan "Hou-jiau-kang" (ilmu cakar harimau), kelima jarinya seperti kuku macan terus mencengkeram dada Yap Ji-nio.

Serangan ini cepat luar biasa, caranya adalah khas Buyung-si dari Koh-soh yang terkenal dengan nama "In-pici-to, hoan-si-pi-sin", dengan cara yang sama untuk digunakan atas dirinya, Karena Yap Ji-nio suka mengorek dada anak bayi untuk mengambil hatinya dan dimakan, maka Buyung Hok juga hendak mengorek keluar jantung hati wanita jahat itu.

Karena serangan kilat itu, tampaknya Yap Ji-nio tidak sempat mengelakkan diri lagi dan dadanya segera akan berlubang, Untung baginya Ting Jun-jiu juga bertindak dengan cepat, mendadak tangan kirinya menghantam pergelangan tangan Buyung Hok.

Dalam keadaan begitu, kalau serangan Buyung Hok diteruskan, meski Yap Ji-nio pasti akan tamat riwayatnya, tapi tangan sendiri juga akan cacat terkena serangan Ting Jun-jiu itu.

Maka mendadak Buyung Hok berganti haluan dari mencengkeram tangan terus dipakai memapak serangan Ting-lokoai hingga kedua telapak tangan saling bentur, Dan karena saat itu tangan Buyung Hok sebenarnya sudah menempel dada Yap Ji-nio, kini mendadak ditarik kembali kearah lain, baju dada Ji-nio jadi ikut terkait dan sobek sebagian.

"Plak", kedua orang sama-sama tergetar mundur setindak, Karena dalam keadaan mendadak Ting Jun-jiu tidak sempat menggunakan Hoa-kang-tai-hoat, jadi adu tangan dengan Buyung Hok itu dilakukan dengan keras lawan keras, Maka kedua pihak sama-sama merasakan kepandaian lawan memang sangat hebat dan diam-diam sama mengakui kelihaian masing-masing yang memang tidak bernama kosong belaka.

Serangannya tidak berhasil, sebaliknya tanpa sengaja merobek baju Yap Ji-nio, mau-tak-mau Buyung Hok merasa rikuh, "Maaf!" katanya.

Sesudah baju robek hingga kelihatan dadanya, semua orang mengira Yap Ji-nio pasti akan merasa malu dan mungkin akan terus menyingkir untuk membetulkan pakaiannya.

Eh, siapa tahu, sama sekali Yap Ji-nio anggap biasa saja, bahkan dengan berseri gembira ia berkata dengan genit, "Ai, orang muda memang kebanyakan mata keranjang, pada siang hari bolong dan ditengah orang banyak juga berani main gila kepada nyonya besar, Tapi kaupun tidak perlu minum cuka (cemburu), engkoh Jun-jiu! Dalam hatiku ini hanya terisi engkau seorang, tidak nanti aku menyeleweng pada orang lain, Pemuda muka putih (maksudnya hidung belang) begini masakah aku suka main cinta dengan dia!?"

Sungguh gusar Giok-yan tidak kepalang hingga air mukanya merah padam, kontan ia menyemprot "Ken... kenapa kamu tidak kenal malu, masakah orang perempuan bicara hal-hal begituan?"

Mendadak Yap Ji-nio malah sengaja pentang baju yang robek itu lebih lebar hingga buah dadanya yang putih montok itu makin menyolok, katanya dengan tertawa, "Ai, nona cilik ini mana tahu seluk beluk orang hidup, Pemuda muka putih begini tak mungkin suka kepada nona seperti kamu ini, Kalau tidak, masakah dihadapanmu terang-terangan dia main raba dan pegang segala padaku?"

"Tidak, dia tidak! Kamu ngaco-belo!" seru Giok-yan gusar.

Yap Ji-nio masih terus beraksi dengan genit, dan Giok-yan dibikin marah hingga muka merah padam, sebenarnya Toan Ki hendak menghiburnya, tapi ia justru tidak tahu cara bagaimana harus bicara, Sebaliknya Buyung Hok hanya melirik dingin sekali kepada Yap Ji-nio, lalu tidak menggubrisnya lagi, dan mencurahkan perhatiannya kepada Toan Yan-khing yang sementara itu sudah mendekati papan catur batu.

Hian-lan, Cumoti, Ting Jun-jiu, So Sing-ho dan lain-lain juga sedang mengikuti gerak-gerik Toa-ok itu, Tertampak orang jahat nomor satu sedang memandangi catur dengan mata tak berkedip, rupanya sedang memeras otak memikirkan pemecahannya.

Lama dan lama sekali, tiba-tiba Toa-ok itu menutulkan tongkat bambunya kekotak catur, ujung tongkatnya seperti mengandung daya sembrani baja, segera satu biji catur hitam tersedot diujung tongkat, lalu ditaruh diatas papan catur.

"Ilmu silat keluarga Toan dari Tayli menjagoi dunia selatan, nyata memang bukan kabar kosong belaka!" demikian Hian-lan memuji.

Dahulu Toan Ki pernah menyaksikan Yan-khing Taicu bertanding catur dengan Ui-bi-ceng, maka ia tahu bukan saja lwekang Toa-ok ini sangat hebat, bahkan ilmu caturnya juga sangat tinggi, Bukan mustahil bahwa 'problem catur' ini akan dapat dipecahkan olehnya, siapa tahu?

Sebagai pemegang problem catur itu, sudah tentu So Sing-ho sangat apal terhadap segala perubahan langkah catur lawan yang hendak memecahkan problem itu, maka tanpa pikir segera ia pun menaruh sebiji putih diatas papan catur.

Yan-khing Taicu berpikir lagi sejenak, lalu menaruh pula satu biji.

"Ehm, langkah saudara ini sangat pandai, cobalah apakah dapat membobol kepungan ini dan mendapatkan jalan keluarnya," ujar So Sing-ho terus menaruh sebiji putih untuk menutup jalan biji lawan.

Tiba-tiba Hian-lan berkata, "Toan-sicu, sepuluh langkahmu yang pertama itu adalah langkah yang tepat, tapi mulai langkah kesebelas engkau telah tersesat, makin jalan makin kesasar dan sukar ditolong lagi."

Air muka Toan Yan-khing selalu kaku tanpa perasaan, maka hanya terdengar suara dalam perutnya berkata, "Siau-lim-pai kalian adalah golongan yang jujur dan baik kalau menurut cara kalian, apakah problem ini dapat dipecahkan?"

Hian-lan menghela napas, sahutnya, "Ya, problem catur ini seperti jujur, tapi tampaknya juga menyesatkan, kalau mesti dipecahkan dengan cara jujur memang susah, tapi bila memecahkannya dengan jalan menyimpang, terang juga tidak dapat."

Dalam pada itu tongkat bambu Toan Yan-khing sedang terangkat keatas dan rada gemetar, rasanya serba salah untuk menaruh lagi biji caturnya yang berikut, Selang agak lama, terdengar ia berkata, "Jalan kedepan buntu, mundur kebelakang ada musuh, Jujur salah, sesat lebih celaka, Ai, sulit!"

Ilmu silat keturunan keluarga Toan di Tayli sebenarnya dari golongan Cing-pai, tapi kemudian Yan-khing Taicu tersesat kejalan yang tidak benar hingga orang menganggapnya dari golongan Sia-pai, Kata-kata Hian-lan tadi rupanya telah menggugah hati nuraninya hingga dia mirip Buyung-kongcu tadi, tanpa terasa kehilangan pegangan dan linglung seperti orang tak sadarkan diri.

Kiranya problem catur itu memang berdaya gaib dan dapat menyesatkan orang menurut kelemahan masingmasing, Orang tamak akan jatuh karena harta, orang pemarah akan celaka karena buru napsu, Dan selama hidup Toan Yan-khing hal yang menjadi menyesalannya adalah karena dia cacat sehingga terpaksa mesti meninggalkan ilmu silat golongan Cing-pai dari leluhur sendiri dan ganti belajar ilmu jahat dari kalangan Siapai, Karena perhatiannya sekarang terpencar dan pikirannya menyeleweng, maka semangatnya mulai goyah.

Dengan tersenyum simpul Ting Jun-jiu lantas menanggapi, "Benar, seorang dari golongan Cing telah tersesat kejalan Sia, untuk kembali kejalan yang benar tidaklah gampang, maka hidupmu ini boleh dikatakan sudah musnah, ya, musnahlah, sungguh sayang, musnahlah! Sekali keperosot, menyesal pun sudah terlambat dan tidak dapat ditarik kembali lagi! Sayang!"

Lagu suara Ting-lokoai itu penuh rasa kasih sayang, Tapi Hian-lan dan tokoh lain tahu bahwa iblis itu tidak bermaksud baik, bahkan ingin mendorong, menjerumuskan Toan Yan-khing tersesat lebih jauh dalam lamunannya, dengan demikian akan berkurang seorang lawan lihai baginya.

Benar juga, Yan-khing tampak berdiri terpaku, kemudian berkata dengan sedih, "Ya, sebagai putra mahkota negeri Tayli yang diagungkan, hari ini aku terluntang-lantung di kangouw hingga sedemikian rupa, sungguh aku malu terhadap leluhurku."

"Sesudah meningga, tentu kamu juga tiada muka buat menemui leluhurmu dialam baka, jika kau tahu malu, akan lebih baik kau bunuh diri saja, paling tidak hal ini akan menunjukkan perbuatanmu sebagai seorang

ksatria, Ai, lebih baik bunuh diri saja, ya, lebih baik bunuh diri saja!" demikian Ting Jun-jiu mendorong pula dengan suaranya yang lemah-lembut enak didengar, tapi penuh daya pengaruh hingga bagi orang yang lwekangnya kurang kuat, langsung terasa mengantuk dan hendak terpulas.

"Ya, lebih baik bunuh diri saja!" demikian Toan Yan-khing menirukan suara itu, Lalu ia angkat tongkat bambu sendiri dan pelahan hendak menutuk dadanya sendiri.

Namun betapapun lwekang Toa-ok itu memang sangat tinggi, biarpun terpengaruh tenaga gaib itu, tapi lamatlamat dalam hati kecilnya juga merasakan sesuatu yang tidak benar dan menginsafi bila tutukan itu diteruskan, maka celakalah dia, Namun demikian toh tongkat bambu itu masih terus menutuk kedalam sendiri sedikit lebih mendekat.

"Wah, celaka!" diam-diam Hian-lan berkata dalam hati, Ada maksudnya hendak bersuara untuk menyadarkan orang, tapi suara itu harus dilakukan dengan mengertak, untuk mana diperlukan lwekang yang sama kuatnya baru dapat berhasil, kalau tidak, bukan mustahil malah akan bikin celaka dirinya sendiri.

Diantara tokoh-tokoh tertinggi yang berada disitu, selain Hian-lan yang bermaksud menolong tapi sayang tenaga kurang, sedangkan So Sing-ho terikat oleh peraturan yang ditetapkan mendiang gurunya yang melarang memberi pertolongan kepada orang yang hendak memecahkan problem catur itu.

Buyung Hok tahu Toan Yan-khing bukan manusia baik-baik, jika iblis itu sesat jalan dan mati, hal ini berarti dunia akan kehilangan suatu bencana besar, maka ia tidak sudi menolong, Sebaliknya Cumoti merasa syukur dan ingin Toan Yan-khing mati konyol, maka ia pun berpeluk tangan menyaksikannya dengan tersenyum.

Toan Ki dan Yu Goan-ci memiliki lwekang yang tinggi, tapi mereka tidak paham sebab musabab persoalannya, Adapun Giok-yan meski sangat luas pengetahuannya tentang ilmu silat dari berbagai golongan dan aliran, tapi lwekangnya tiada artinya, terhadap ilmu sesat dari Sia-pai ia pun setengah paham setengah tidak.

Yap Ji-nio lagi ingin memikat Ting Jun-jiu, dengan sendirinya ia tidak mau menggagalkan maksud tujuan iblis tua itu, Ting Pek-jwan, Kheng Kong-leng dan lain-lain sudah kehilangan lwekang, andaikan bisa juga mereka tidak sudi menolong.

Diantara orang-orang itu hanya Lam-hai-gok-sin yang merasa gopoh, ia lihat tongkat sang Toako sudah hampir menempel dada sendiri, sebentar lagi pasti hiat-to mematikan didada akan tertutuk, Maka cepat ia cengkeram Hi-tiok sambil berseru, "Lotoa, peganglah kepala gundul ini!"

Sembari berkata, ia terus lemparkan Hi-tiok kearah Toan Yan-khing. Namun Ting Jun-jiu terus melontarkan sekali pukulan sambil membentak, "Enyahlah! Jangan mengacau!"

Sebenarnya tenaga lemparan Lam-hai-gok-sin itu sangat keras, tapi hanya kena tenaga pukulan Ting-lokoai yang kelihatan lemah itu, mendadak tubuh Hi-tiok mencelat balik dan menerjang kearah Lam-hai-gok-sin sendiri.

Lekas Lam-hai-gok-sin pasang kuda-kuda dengan kuat, ia pegang Hi-tiok terus hendak dilemparkan kembali kearah Toan Yan-khing, Diluar dugaannya, tenaga pukulan Ting Jun-jiu itu membawa tiga gelombang tenaga susulan.

Ketika Hi-tiok kena dipegangnya, segera Lam-hai-gok-sin mendelik karena tekanan tenaga Ting-lokoai itu hingga tergentak mundur tiga tindak, Dan baru saja ia dapat berdiri tegak, gelombang tenaga kedua sudah tiba lagi, sekuatnya Lam-hai-gok-sin bertahan hingga kaki sampai tertekuk dan akhirnya jatuh terduduk.

Dengan demikian ia sangka selesailah sudah perkaranya, Eh, siapa tahu masih ada tenaga gelombang ketiga, Sekali ini Lam-hai-gok-sin tak tahan lagi, ia tergentak berjungkir-balik dengan kedua tangan tetap mencengkeram kencang tubuh Hi-tiok sehingga tubuh hwesio muda itu tertindih dibawah untuk kemudian berjungkir-balik sekali lagi.

Sekali ini Lam-hai-gok-sin sudah kapok, ia sangka Sing-siok Lokoai masih akan melontarkan tenaga lebih keras lagi, ia pikir 'sebelum hujan lebih baik sedia payung', maka lebih dulu ia mendorong tubuh Hi-tiok kedepan sebagai tameng.

Tapi ia kecelik, gelombang tenaga lain sudah tidak ada lagi.

Sebaliknya setelah Hi-tiok terlepaS dari cengkereman Lam-hai-gok-sin, ia lantas pandang Hian-lan, ia ingin tahu bagaimana reaksi kakek gurunya itu, Tapi dilihatnya wajah Hian-lan mengunjuk rasa sedih, sikap seorang yang tak bisa berbuat apa-apa.

Dimata anak murid Siau-lim-pai, para padri angkatan "Hian" dipandang seolah-olah Buddha maha sakti, segala kesulitan tentu akan gampang dipecahkan oleh padri angkatan tua itu, Tapi sekarang Hian-lan ternyata tidak berdaya sama sekali, hal ini benar-benar membuat Hi-tiok merasa heran dan bingung.

Tapi meski ilmu silatnya rendah, otaknya ternyata sangat cerdik, walaupun tidak menduga bahwa lwekang sang kakek guru itu sudah hilang semua, tapi ia dapat melihat padri tua itu sangat ingin menyelamatkan Toan Yankhing, Seketika hati Hi-tiok tergerak, segera katanya, "Susiokco, penyakit batin harus disembuhkan dengan obat batin juga, Toan-cianpwe tersesat oleh karena main catur, maka untuk menolongnya perlu hapuskan permainan itu."

"Sudah telat, sudah terlambat!" demikian Ting Jun-jiu berkata, "Nah, Yan-khing Taicu, kunasehatkan lebih baik kau bunuh diri saja, Ya, lebih baik bunuh diri saja!"

Tengah bicara, tongkat bambunya sudah tinggal dua-tiga senti saja diatas hiat-to mematikan didadanya.

Semenjak ditawan dan sepanjang jalan Hi-tiok telah kenyang dihajar dan disiksa oleh Toan Yan-khing, Yap Jinio dan Kam-hai-gok-sin, Tapi dasar jiwanya memang besar, ia tidak dendam kejadian yang sudah-sudah itu, sebaliknya ia pikir Cut-keh-lang (seorang yang sudah meninggalkan rumah, maksudnya sudah menjadi padri) harus mengutamakan kebajikan serta menolong sesamanya.

Ia tahu maksud Susiokco hendak menolong orang ia sendiri juga tidak suka Toan Yan-khing mati konyol, tapi untuk menolongnya ia harus pandai main catur, bicara tentang memecahkan problem catur itu, mungkin belajar tigapuluh tahun lagi juga belum tentu mampu, Padahal saat itu, dilihatnya Toan Yan-khing masih termangumangu memandangi papan catur, jiwanya tinggal sekejap saja.

Mendadak ia mendapat akal, "Untuk memecahkan problem catur ini terang tidak bisa, kalau membikin kacau permainannya setiap orang pun bisa, Dan asal perhatiannya terpencar sejenak saja, tentu dia akan selamat!" Berpikir begitu, cepat Hi-tiok berkata, "Biar kucoba memecahkan problem catur ini."

Lalu ia mendekati So Sing-ho, terus saja ia comot satu biji catur hitam dari kotak, ia pejamkan mata dan biji catur itu ditaruh diatas papan catur sekenanya, habis itu ia lantas tertawa terbahak-bahak.

Dan belum lagi ia membuka mata, ia dengar So Sing-ho marah-marah dan berkata, "Ngaco, ngaco! Biji caturmu telah bikin buntu dan membunuh satu biji caturnya sendiri, mana ada cara main catur seperti ini?"

Waktu Hi-tiok membuka mata, ia jadi merah jengah, Kiranya biji catur yang ditaruh secara ngawur itu tepat menutup jalan sebuah biji hitam sendiri yang terkepung rapat oleh biji putih lawan itu.

Mestinya biji hitam yang terkepung itu belum lagi mati, walaupun biji putih setiap saat dapat mencaploknya, tapi asal lawan belum sempat makan, itu berarti biji hitam yang terkepung itu masih bisa bergulat mati-matian untuk mencari jalan hidup.

Tapi sekarang ia bikin buntu satu-satunya jalan bagi biji hitam sendiri, dan ini berarti makan bijinya sendiri, dalam permainan catur selamanya tidak pernah ada cara membunuh diri demikian.

Karuan Cumoti, Buyung Hok, Toan Ki dan lain-lain merasa geli dan terbahak-bahak, Begitu pula Hoan Pekling dalam keadaan payah pun ikut berkata, "Cara demikian bukanlah permainan guyon saja?"

Tapi So Sing-ho berkata, "Menurut pesan guruku, problem catur ini terbuka untuk umum, siapa pun boleh ikut, Meski langkah Hi-tiok Siau-suhu barusan sama sekali menyimpang dari kebiasaan orang bercatur, tapi toh juga terhitung satu langkah." Sembari berkata, ia terus ambil biji hitam yang dibunuh sendiri oleh Hi-tiok itu.

Mendadak Toan Yan-khing berteriak sekali dan sadar dari dunia khayalnya, Dengan mata melotot ia pandang Ting Jun-jiu dan berkata, "Sing-siok Lokoai, diam-diam kau turun tangan keji pada saat orang lagi menghadapi bahaya, nanti kita mesti bikin perhitungan."

Ting Jun-jiu tidak menjawab, ia pandang sekejap kearah Hi-tiok dengan penuh benci.

Yan-khing dapat melihat semuanya itu, Waktu ia melongok kepapan catur, ia lihat perubahan yang dilakukan Hi-tiok barusan itu, maka tahulah dia bahwa berhasilnya dia lolos dari renggutan maut adalah berkat pertolongan hwesio muda itu.

Diam-diam ia sangat berterima kasih, ia tahu Ting-lokoai sudah dendam dan setiap saat bisa menggempur Hitiok, Tapi ia tidak membuka suara lagi, hanya mengawasi disamping sambil berpikir, "Padri sakti Siau-lim-pai Hian-lan berada disini, rasanya Sing-siok Lokoai tidak berani mengganggu anak muridnya, Tapi kalau Hian-lan sudah tua dan tidak sanggup melindungi orangnya, tentu tidak boleh kubiarkan hwesio cilik ini gugur disebabkan urusanku."

Dalam pada itu terdengar So Sing-ho lagi berkata kepada Hi-tiok, "Siau-suhu, kamu telah membunuh satu biji sendiri, sekarang biji putih mendesak pula, cara bagaimana akan kau lawan?"

Dengan tertawa Hi-tiok menjawab, "Siauceng memang tidak pandai main catur, barusan juga menaruh secara ngawur, maksudku hanya untuk menolong Sicu ini, Maka, Siauceng tidak berani melanjutkan permainan ini, harap Locianpwe suka maaf."

Mendadak Sing-ho menarik muka, katanya dengan suara bengis, "Tujuan guruku mengatur problem catur ini ialah ingin mengundang para ahli dari dunia ini untuk memecahkannya, Kalau tidak dapat juga tidak menjadi soal, Tapi kalau tertimpa akibatnya harus ditanggung sendiri, Namun kalau ada orang sengaja hendak mengacaukan permainan ini untuk merusak hasil jerih-payah mendiang guruku, hehe, biarpun kalian berjumlah banyak dan aku sudah tua lagi loyo, betapapun juga aku siap untuk menghadapi sampai detik terakhir."

Melihat tuan rumah naik darah dan bicara dengan bengis, maka Hi-tiok jadi ketakutan, Dengan memberi hormat ia berkata, Harap Locienpwe jangan salah paham......"

"Mau main catur lekas main catur, apa gunanya banyak bicara?" bentak lagi So Sing-ho, "Memangnya kau kira datang kesini hanya untuk piknik saja?"

Habis berkata, mendadak sebelah tangannya menggaplok kesamping, "Blang", seketika debu, pasir bertebaran, tanah didepan Hi-tiok amblong menjadi sebuah lubang besar, Coba kalau pukulan yang maha hebat itu diarahkan tepat ketubuh Hi-tiok, tentu padri muda itu sudah remuk dan mati seketika.

Karuan Hi-tiok kebat-kebit, ia coba melirik sang Susiokco dengan harapan orang tua itu suka tampil kemuka untuk membebaskan dia dari ancaman bahaya itu, Tapi Hian-lan sendiri tidak tinggi ilmu permainan caturnya, ilmu silatnya sekarang punah lagi, Sudah tentu ia pun tak berdaya.

Setelah suasana hening sejenak, selagi Hian-lan hendak coba-coba mintakan ampun kepada So Sing-ho, tibatiba terlihat Hi-tiok mencomot pula sebiji catur hitam dan ditaruh diatas papan catur, Tempat yang ditaruh itu adalah tempat luang biji hitam yang diangkat oleh So Sing-ho tadi.

Langkah ini ternyata cukup memenuhi syarat bercatur.

Selama tigapuluh tahun ini So Sing-ho boleh dikatakan sudah apal sekali terhadap setiap langkah catur yang mungkin dilakukan lawan, bagaimana pun lawan akan menjalankan biji caturnya pasti sudah terduga olehnya, Eh, siapa duga sekali ini ia benar-benar ketemu batunya, Datang-datang Hi-tiok terus tutup mata dan main secara ngawur hingga satu biji hitam dimakan sendiri.

Cara ini benar-benar sangat berlawanan dengan teori catur, sebab setiap orang yang sedikit paham ilmu catur saja tidak mungkin akan menjalankan caturnya seperti Hi-tiok tadi, Sama halnya setiap orang persilatan tidak mungkin menghunuskan pedang untuk membunuh diri.

Tak tersangka bahwa setelah makan biji sendiri secara ngawur itu, posisi percaturan itu lantas berubah walaupun pihak putih masih menduduki posisi lebih kuat, tapi pihak hitam sudah ada tempat luang untuk bergerak, tidak seperti tadi selalu terdesak dipihak yang terkepung melulu.

Sudah tentu perubahan demikian mimpi pun tidak pernah terpikir oleh So Sing-ho, Karena itu, sesudah pikir agak lama, akhirnya ia mengimbangi satu biji putih.

Kiranya tadi waktu Hi-tiok digertak So Sing-ho, sedangkan Hian-lan yang diharapkan menolongnya juga tidak memberi reaksi apa-apa, tengah merasa bingung, tiba-tiba didengarnya suatu suara yang sangat halus bergema ditepi telinganya, "Taruh ditempat 'peng' pada garis lintang 3x9."

Tanpa pikir suara siapakah itu dan tepat tidak langkah yang diajarkan, terus saja Hi-tiok mengambil satu biji hitam dan ditaruh pada garis silang 3x9 seperti apa yang dikatakan itu.

Dan setelah So Sing-ho juga balas menjalankan satu biji putih, Kembali suara lembut tadi berkata ditelinga Hitiok, "Sekarang tepat 'peng' pada garis silang 2x8."

Sudah tentu Hi-tiok menurut saja, kembali ia ambil satu biji hitam dan ditaruh ditempat yang dikatakan itu.

Langkah ini ternyata menimbulkan rasa heran pada Cumoti, Buyung Hok, Toan Ki dan lain-lain, Waktu Hi-tiok mengangkat kepalanya, ia lihat wajah beberapa orang itu penuh mengunjuk rasa heran dan kagum, terang disebabkan langkahnya barusan ini sangat tepat dan bagus, Lalu dilihatnya pula wajah So Sing-ho juga berseriseri dan gegetun serta khawatir pula, kedua alisnya yang panjang tampak berkerut-kerut.

Diam-diam Hi-tiok merasa curiga, pikirnya, "Aneh, mengapa dia merasa senang? Wah, tentu disebabkan langkahku barusan ini salah?"

Tapi lantas terpikir lagi olehnya, "Ah, peduli salah atau tidak, pendek kata asal aku dapat melayani dia hingga belasan langkah, paling tidak akan menunjukkan bahwa aku juga cukup mahir main catur dan bukan melulu main ngawur belaka, Dengan demikian tentu dia takkan marah-marah lagi padaku."

Maka setelah So Sing-ho melayani satu biji lagi, segera ia menjalankan satu biji juga sesuai petunjuk suara yang menyusup pula ketelinganya.

Sambil menaruh biji caturnya, diam-diam Hi-tiok juga mengawasi apakah sang Susiokco yang diam-diam mengajarnya atau bukan, Tapi ia lihat, sikap Hian-lan sendiri sangat khawatir, terang bukan dia, apalagi mulutnya juga tidak terlihat bergerak.

Nyata suara yang menyusup ketelinganya itu, adalah semacam lwekang maha sakti yang disebut "Thoan-imjip-bit" atau mengirimkan gelombang suara pembicara itu mengirimkan suaranya dengan lwekang yang tinggi ketelinga pendengarnya, meski banyak orang yang berdiri disamping juga takkan dengar.

Meski bibir semua orang tidak kelihatan bergerak, tapi suara itu masih didengar oleh Hi-tiok, sekarang suara itu suruh dia menaruh biji hitam ditempat "G" pada garis silang 5 X 6 untuk makan tiga biji putih lawan.

Kembali Hi-tiok menurut saja dan menjalankan biji caturnya, Ia pikir, "Orang yang mengajarkan aku ini terang bukan lain daripada Susiokco, Orang lain tiada hubungan apa-apa denganku, mana mungkin mereka mau memberi petunjuk padaku, Diantara mereka ini hanya Susiokco yang belum ikut main catur ini, sedang yang lain-lain sudah mencoba dan dikalahkan, Ilmu sakti Susiokco memang hebat, tanpa gerak bibir beliau dapat mengirimkan suaranya ketelingaku, entah sampai kapan aku baru dapat berlatih hingga tingkat ini?"

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa orang yang memberi petunjuk padanya itu tak-lain-tak-bukan adalah sidurjana nomor satu "Ok-koan-boan-ing" Toan Yan-khing.

Tadi Toan Yan-khing lagi tenggelam dalam lamunannya tatkala menghadapi catur, kesempatan itu digunakan Ting Jun-jiu untuk mendorongnya lebih menuju kejalan yang sesat hingga pikirannya menyeleweng dan hampir-hampir membunuh diri, Untung Hi-tiok mengacaukan permainan catur itu hingga jiwanya diselamatkan, Kemudian ia lihat So Sing-ho marah-marah pada Hi-tiok dan akan membunuhnya jika permainan catur itu tidak diteruskan, maka diam-diam Yan-khing memberi petunjuk dengan maksud membebaskan Hi-tiok dari bencana.

Yan-khing Taicu mahir ilmu "bicara dengan perut", suaranya keluar dari perut tanpa gerak bibir, lalu menggunakan lwekang yang tinggi untuk mengirimkan gelombang suara itu ketelinga Hi-tiok, sebab itulah meski disitu banyak terdapat tokoh lain toh tiada seorang pun yang tahu akan kejadian itu, Dan diluar dugaan, beberapa langkah kemudian, percaturan itu telah mengalami perubahan besar-besaran.

Kiranya kunci dari pada "problem catur" itu memang harus demikian, ialah pertama-tama harus membunuh diri satu biji hitam sendiri, habis itu baru akan timbul langkah-langkah lain yang aneh dan bagus, Sudah tentu tindakan "membunuh diri" demikian selamanya tidak dipakai oleh ahli catur yang mana pun juga, apa yang mereka pikir juga tidak mungkin menjurus kearah demikian.

Coba kalau Hi-tiok tidak memejamkam mata dan menaruh biji caturnya dengan ngawur hingga tanpa sengaja menjalankan bijinya secara bodoh itu, mungkin seribu tahun lagi juga "problem catur" itu tiada orang yang sanggup memecahkannya.

Ilmu main catur Toan Yan-khing memang sangat tinggi, dahulu waktu bertanding dengan Wi-bi-ceng di negeri Tayli, padri alis kuning itu juga dicecer hingga kewalahan, Maka kini setelah posisi diatas papan catur berubah, dengan segera pihak hitam dapat bergerak dengan leluasa, menyerang atau bertahan dapat berjalan dengan bebas.

Cumoti, Buyung Hok dan lain-lain tidak tahu bahwa Toan Yan-khing yang diam-diam telah membantu Hi-tiok, mereka hanya melihat hwesio muda itu dapat menjalankan caturnya dengan lancar, setiap langkahnya tepat dan bagus, berulang-ulang dua biji putih dimakan lagi, saking kagumnya mereka bersorak memuji.

Sebaliknya pikiran Toan Ki sendiri lagi melayang-layang, Semula dia juga memperhatikan pertandingan catur itu, tapi kemudian pandangannya menyeleweng, yang ditatap melulu Ong Giok-yan saja, makin memandang makin terpesona, sedangkan sinar mata Ong Giok-yan justru tidak pernah meninggalkan Buyung Hok, dengan kesemsem nona itu sedang memandangi sang Piauko.

Diam-diam Toan Ki berduka, pikirnya, "Biarlah kupergi saja! Ya, lebih baik pergi saja! jika tinggal lebih lama disini tentu akan menderita lebih hebat, bisa jadi aku akan muntah darah."

Akan tetapi tidak mudah baginya untuk meninggalkan si nona, makin dipikir makin berat rasanya untuk tinggal pergi, "Jika nona Ong menoleh padaku, segera aku akan bilang padanya, 'Nona Ong, engkau sudah ketemu Piaukomu, sekarang aku akan pergi!' dan kalau dia menjawab, 'Baiklah, boleh kau pergi!' maka terpaksa aku harus angkat kaki, Sebaliknya kalau dia berkata, Eh, jangan terburu-buru, aku ingin bicara lagi denganmu, maka aku akan menunggunya, ingin kulihat apa yang hendak dia bicarakan padaku."

Padahal apa yang timbul dari pikiran Toan Ki itu hanya sengaja mencari sesuatu alasan agar dia dapat tinggal lebih lama disitu, Ia cukup jelas bahwa sesudah Ong Giok-yan bertemu dengan sang Piauko, maka tidak mungkin lagi berpaling untuk memperhatikan dia.

Tapi mendadak gelung Giok-yan dibelakang kepala tampak terguncang sedikit, Hati Toan-ki seketika juga terguncang, diam-diam ia berharap, "Hah, menolehlah! Menolehlah!"

Siapa duga Giok-yan cuma menghela napas dengan pelahan dan menyapa dengan suara lirih, "Piauko!"

Namun Buyung Hok saat itu lagi asyik mengikuti permainan catur, ia lihat biji hitam telah berubah dipihak yang unggul dan sedang mendesak lawannya, Ia sedang berpikir, "Beberapa langkah hitam itu pun dapat kulakukannya, Soalnya hanya langkah permulaan saja, melulu satu langkah yang ajaib itulah yang susah dipecahkan."

Oleh sebab itulah sama sekali Buyung Hok tidak mendengar suara panggilan Giok-yan tadi, Pelahan si nona menghela napas lagi dengan kecewa dan menoleh pelahan.

Hati Toan Ki berdebar-debar hebat, ia membatin, "Aha, dia menoleh sekarang! Dia menoleh sekarang!"

Benar juga, wajah si nona yang ayu itu pelahan berpaling kearahnya. Dengan jelas Toan Ki dapat melihat air muka si nona muram durja, sorot matanya memantulkan rasa hampa dan kecewa, Sejak dia bertemu dengan Buyung Hok ia selalu gembira, mengapa mendadak menjadi sedih?

Selagi Toan Ki merasa heran, ia lihat sinar mata Giok-yan bergeser pula hinga kebentrok dengan sinar matanya, Terus saja Toan Ki melangkah maju satu tindak dan mestinya ingin berkata, "Nona Ong, apa yang hendak kau katakan?"

Tapi ia kecelik, pelahan sinar mata si nona berpindah dan memandang jauh kesana dengan termenung, sejenak kemudian, kembali si nona berpaling lagi kearah Buyung Hok.

Perasaan Toan Ki benar-benar mencelos, rasanya getir tak terkatakan, Ia pikir, "Dia melihat aku, tapi anggap tidak tahu, hal ini lebih celaka sepuluh kali dari pada sama sekali ia tidak memandang padaku, Sudah terang dia melihat aku, tapi bayanganku sama sekali tidak masuk dalam hatinya, Yang dia pikirkan adalah Piaukonya saja, sedikitpun aku tidak mendapat tempat dalam benaknya, Ai, lebih baik aku pergi saja, lebih baik aku pergi saja!" Tapi toh dia tidak lantas pergi.

Dalam pada itu berkat petunjuk Yan-khing Taicu, Hi-tiok telah dapat menjalankan biji hitam dengan baik, keadaan sudah memuncak pada detik menentukan, tampaknya pihak putih berbalik kewalahan.

Kalau pihak putih menutup setiap tindakan pihak hitam, maka setiap kali biji putih tentu akan dicaplok satu biji, Bila jalan hitam tidak ditutup maka pihak hitam akan lebih leluasa menerjang keluar dari kepungan, Dalam keadaan serba salah begini, pihak putih menjadi tidak berdaya apa-apa lagi.

Saat itu So Sing-ho lagi berpikir, tidak lama kemudian, dengan tersenyum ia menjalankan satu biji putih.

"Pasang ditempat 'siang' digaris silang 7x8!" demikian gelombang suara Toan Yan-khing terkirim lagi ketelinga Hi-tiok.

Sudah tentu Hi-tiok hanya menurut saja, Pengetahuannya dalam ilmu catur hanya sedikit saja, Tapi ia pun dapat merasakan dengan langkahnya itu, maka pecahlah problem catur itu, Segera dengan tertawa ia bertanya, "Rupanya sudah berakhir bukan?"

Dengan wajah girang So Sing-ho menjawab sambil kiongchiu, "Selamat bahagia atas bakat Siau-sin-ceng

(padri cilik sakti) yang luar biasa ini."

"Ah, mana aku berani terima, ini bukan....." demikian baru Hi-tiok hendak menjelaskan bahwa dia telah mendapat petunjuk dari Susiokco, namun suara halus tadi kembali berbunyi lagi ditelinganya, "Awas, rahasia ini jangan diungkap, Keadaan bahaya belum lenyap, harus lebih hati-hati terhadap segala kemungkinan."

Hi-tiok mengira kembali Hian-lan yang telah memberi petunjuk, maka berulang ia mengangguk dan mengiakan.

Maka So Sing-ho lantas berbangkit, katanya, "Sejak Siancu (mendiang guru) memasang problem catur ini, selama tiga puluh tahun belum ada orang mampu memecahkannya, Sekarang Siau-sin-ceng telah berhasil memecahkannya secara sempurna, sungguh aku merasa sangat berterima kasih."

Karena tidak tahu seluk-beluknya, Hi-tiok terpaksa menjawab dengan rendah hati, "Ah, Siau-ceng hanya bermain secara ngawur dan kebetulan dapat menang, semua berkat Locianpwe suka mengalah, maka atas segala pujian Cianpwe sungguh aku merasa malu untuk menerimanya."

Namun Sing-ho tidak berkata lagi, ia berjalan kedepan ketiga petak rumah papan kayu itu, ia menjulurkan tangan kearah rumah dan berkata, "Silakan masuk, Siausianceng!"

Hi-tiok melihat bentuk bangunan ketiga petak rumah papan itu sangat aneh, rapat tidak terdapat pintu, ia tidak tahu cara bagaimana harus masuk, lebih-lebih tidak tahu untuk apa disuruh masuk kesana, Maka ia hanya terpaku ditempatnya dengan bingung.

Tapi suara halus tadi lantas terdengar lagi, "Kamu dapat membobol kepungan catur hal itu adalah hasil perjuangan mati-matian, Jika rumah papan itu tiada pintu, boleh kamu membelahnya saja dengan ilmu silat Siau-lim-pai."

Maka Hi-tiok menurut, ia berkata, "Maaflah jika begitu!"

Segera ia melangkah maju, ia pasang kuda-kuda, tangan kanan diangkat, terus saja ia membelah papan rumah itu dengan telapak tangan.

Dalam pandangan semua tokoh yang hadir disitu, tenaga pukulan Hi-tiok itu terang tiada nilainya untuk dipuji, Untung papan pintu itu tidak terlalu kuat, maka terdengarlah suara "brak" sekali, papan itu lantas pecah merekah, Waktu Hi-tiok menambahi dua kali pukulan lagi, maka bobol juga papan rumah itu, namun tangan

juga pedas kesakitan.

Dengan terkekeh-kekeh Lam-hai-gok-sin berolok-olok, "Hah, itu dia ngekang (tenaga luar) dari Siau-lim-pai, kiranya cuma begini saja kekuatannya!"

"Siauceng cuma seorang murid Siau-lim-pai yang paling tidak becus, kepandaianku memang rendah, mana boleh dibanggakan sebagai kepandaian asli perguruanku?" demikian Hi-tiok menjawab sambil menoleh.

Dalam pada itu terdengar suara halus tadi membisikinya lagi, "Lekas masuk kerumah itu, jangan menoleh lagi, jangan peduli orang lain!"

Hi-tiok mengiakan dan segera ia hendak melangkah masuk kerumah papan melalui pintu yang dibobolnya itu.

Namun Ting Jun-jiu lantas berteriak, "Disitu adalah pintu perguruan kami, kamu hwesio cilik ini mana boleh sembarangan masuk?"

Menyusul lantas terdengar suara "blang-blang" dua kali, serangkum angin menyambar kearah Hi-tiok untuk menariknya mundur, Tapi menyusul dua arus tenaga besar telah menumbuk punggung dan bokongnya, tanpa kuasa lagi ia terjungkal dan mencelat masuk kedalam rumah papan itu.

Ia tidak tahu bahwa dalam sekejap itu sebenarnya jiwanya sudah hampir melayang, Barusan Ting Jun-jiu melontarkan pukulan hendak membinasakan dia, Sedangkan Cumoti telah menggunakan tenaga "Kong-hokang"(ilmu membekuk bangau) dan secara paksa hendak menariknya mundur.

Namun Toan Yan-khing telah menggunakan tenaga tersembunyi pada tongkatnya untuk menolak sebagian tenaga pukulan Ting-lokoai, sedangkan So Sing-ho yang berdiri diantara Hi-tiok dan Cumoti telah menghalau tenaga 'Kong-ho-kang' padri Turfan itu dengan tangan kiri, menyusul tangan kanan terus menolak kedepan hingga tanpa kuasa Hi-tiok didorong masuk kedalam rumah papan itu.

Tenaga tolakan So Sing-ho itu sangat hebat hingga Hi-tiok mencelat kedepan, "blang", selapis dinding papan dibagian dalam rumah kena diterjang bobol, bahkan kembali "blang" lagi sekali, batok kepalanya kebentur pula pada suatu lapis dinding papan lagi, Seketika ia merasa mata berkunang-kunang, pikiran menjadi gelap dan hampir-hampir kelengar.

Selang sebentar barulah ia sanggup berbangkit, ia coba meraba-raba jidat sendiri, ternyata sudah benjut dan

melepuh, Ia lihat dirinya berada didalam sebuah kamar yang kosong melompong tiada sesuatu isi.

Ia coba mencari pintu kamar itu, tapi kamar itu ternyata tiada pintu dan tanpa jendela, yang ada cuma lubang papan yang dibenturnya hingga bobol tadi, Dan sesudah termangu-mangu sejenak segera ia bermaksud merangkak keluar melalui lubang papan rusak itu.

Tapi baru saja ia putar tubuh, tiba-tiba terdengar disebelah sana ada suara seorang yang serak tua sedang berkata, "Jika sudah datang, mengapa hendak keluar lagi?"

Cepat Hi-tiok membalik tubuh, ia tidak melihat sesuatu apa pun, Segera ia menjawab, "Mohon Cianpwe suka memberi petunjuk jalan."

"Jalannya kau sendiri yang membikin dan akhirnya masuk kesini, tiada orang lain yang dapat mengajarkan padamu," demikian kata suara itu, "Problem catur sudah kupasang selama tigapuluh tahun dan tidak pernah dipecahkan orang, tapi akhirnya hari ini dapat dipecahkan olehmu, Nah, kenapa kamu belum mau kemari!"

Mendengar itu, seketika Hi-tiok merinding, Dengan suara gemetar ia tanya, "Engkau... kau..."

Tapi ia tidak sanggup meneruskan lagi, Ia ingat So Sing-ho mengatakan problem catur itu adalah ciptaan "Siansu atau mendiang gurunya, Jika begitu, suara orang tua ini manusia atau setan?"

Ia dengar suara itu berkata pula, "Kesempatan dalam sekejap segera akan lalu, aku sudah menunggu selama tigapuluh tahun dan tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Anak baik, marilah lekas masuk kesini!"

Hi-tiok dengar suara ucapan itu sangat ramah-tamah, maka tanpa pikir lagi ia tumbuk papan dinding itu dengan bahunya, "krak", memangnya papan itu sudah tua, maka segera terbobol sebuah lubang, ia terus menerobos kedalam.

Tapi ia terperanjat ketika dilihatnya didalam kamar juga kosong melompong, sebaliknya ada seorang yang duduk tergantung diudara, Melihat orang itu duduk dengan terapung diudara, maka pikiran pertama yang timbul dalam benak Hi-tiok adalah "setan"!

Dan saking ketakutan segera ia putar tubuh hendak lari, Namun orang itu sudah berkata lagi, "Ai, kiranya seorang hwesio cilik! Ai, malahan hwesio yang bermuka jelek! Ai, susah, susah, susah!"

Mendengar orang menghela napas dan berulang mengucapkan "susah", waktu Hi-tiok memperhatikan lebih lanjut, baru sekarang ia dapat melihat jelas.

Kiranya tubuh orang itu hinggap diatas seutas tali warna hitam, ujung tali terikat dibelandar sehingga tubuhnya tergantung diudara, Karena dinding dibelakangnya ber-cat hitam, warna tali juga hitam maka tali itu tidak jelas kelihatan, dipandang sepintas lalu mirip orang duduk terapung diudara.

Adapun muka Hi-tiok memang agak jelek, alisnya ketel, matanya besar, hidungnya pesek pakai mendongak lagi lubang hidungnya, kedua daun telinga berkepak kayak kuping gajah, ketambahan pula bibirnya sangat tebal, Malahan sepanjang jalan ia kenyang dihajar Lam-hai-gok-sin hingga babak belur, waktu menumbuk dinding papan tadi juga terluka lagi, karuan rupanya semakin jelek.

Sejak kecil Hi-tiok sudah yatim-piatu dan dipelihara oleh hwesio yang menaruh kasihan padanya di Siau-limsi, Para Hwesio dibiara itu adalah biksu yang saleh, kalau tidak tekun belajar silat tentu tenggelam dialam keagamaan mereka, maka tiada seorang pun yang perhatikan muka Hi-tiok itu jelek atau bagus.

Menurut Buddha, badan manusia itu adalah sebuah "kantung kulit busuk", kantung kulit busuk yang jelek atau bagus tidak menjadi soal bagi mereka, jika banyak memikirkannya berarti pikirannya sudah mulai menyeleweng.

Sebab itulah, selama hidup Hi-tiok baru pertama kali ini didengarnya orang mengatakan dia seorang "hwesio cilik yang jelek".

Waktu dia ditawan Lam-hai-gok-sin sepanjang jalan Yap Ji-nio juga suka menyebutnya sebagai "Ti-pak-kai" (siluman babi), "hwesio siluman" dan macam-macam lagi, Tapi ketika itu Hi-tiok lagi tersiksa karena kenyang dihajar, maka ia tidak sempat memperhatikan soal jelek atau bagusnya tampang manusia.

Kini demi mendengar orang itu juga mengatakan dia bermuka jelek, tiba-tiba hatinya tergerak, ia pikir, "Memangnya kamu bagus?" Segera ia mendongak untuk mengamati-amati orang.

Kiranya orang itu sangat tua, jenggotnya ada satu meter panjangnya, anehnya tetap hitam pekat, tiada seujung pun yang ubanan, Mukanya putih bersih, sedikit pun tidak berkerut sebagaimana umumnya terlihat pada muka keriput orang tua, Nyata orang ini berusia tua, tapi bermuka muda, bahkan boleh dikatakan sangat cakap.

Hi-tiok jadi malu, pikirnya, "Bicara tentang muka, memang aku dan dia berbeda seperti langit dan bumi."

Jilid 53
Sekarang rasa takutnya sudah hilang, segera ia membungkuk memberi hormat, katanya,"Siauceng Hi-tiok memberi hormat kepada Cianpwe."

Orang itu manggut-manggut dan bertanya;

"Kamu she apa ?"

Hi-tiok tercengang sejenak, lalu menjawab;

"Seorang Cut-keh-lang, sudah lama tidak kenal she lagi."

"Sebelum menjadi hwesio, kamu she apa?" tanya pula orang itu.

"Siauceng sejak kecil sudah Cut-keh, maka tidak tahu," sahut Hi-tiok.

Lalu orang itu mengamat-amati Hi-tiok sejenak, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata;

"Kamu dapat memecahkah problem catur yang kupasang itu, tentang kepintaran dan kecerdasan sudah tentu lain daripada yang lain, Tapi mukamu begini, betapapun tidak bisa jadi, Ai, susah amat, Kukira nanti hanya siasia membuang pikiran saja, bahkan jiwamu bisa melayang percuma, Baik begini saja, Siau-hwesio, akan kuberi semacam hadiah padamu dan boleh kau pergi saja!"

Watak Hi-tiok bukan seorang yang sombong dan tinggi hati, biar orang tua itu mengatakan mukanya jelek juga dia tidak ambil pusing, Tapi dia mempunyai sifat yang keras hati, kemauannya teguh dan tidak kenal apa artinya susah atau sulit, berulang ia dengar orang tua tadi mengatakan 'susah', hal ini membangkitkan semangat jantannya malah.

Maka ia lantas berkata, "Dalam hal main catur sebenarnya pengetahuan Siauceng teramat dangkal, adapun problem catur Locianpwe itu pun bukan Siauceng sendiri yang memecahkannya, Tetapi bila Locianpwe ada urusan sulit apa-apa yang perlu diselesaikan, meski kepandaian Siauceng sangat rendah juga siap untuk

melakukannya dengan sebisa tenaga, Sedangkan soal hadiah apa segala Siauceng tidak berani menerimanya."

"Kamu berbudi luhur dan berjiwa ksatria sungguh harus dipuji," kata orang tua itu, "Tentang kepandaian main catur dan ilmu silatmu rendah, semuanya tidak menjadi soal, Tapi kamu dapat masuk kesini, itu berarti ada jodoh, Cuma saja.....ya, mukamu sesungguhnya terlampau jelek......"

Hi-tiok tersenyum, sahutnya, "Jelek atau bagus muka seseorang adalah pemberian alam, jangankan diri sendiri tak berkuasa, bahkan ayah-ibu juga tak bisa menentukan, Mukaku memang jelek hingga membikin Cianpwe kurang senang, biarlah sekarang kumohon diri saja."

Habis berkata, ia mundur dua tindak dan hendak membalik tubuh untuk keluar, Namun orang tua itu telah mencegahnya,

"Nanti dulu!" Mendadak lengan bajunya mengebas pelahan dan semampir dipundak kanan Hi-tiok.

Lengan baju adalah benda yang lemas, tapi sekali menyentuh pundak, seketika Hi-tiok tertahan kebawah sedikit, Ia merasa langan baju itu seperti sebuah tangan yang memegang tubuhnya.

Lalu dengan tertawa orang tua itu berkata,;

"Orang muda mempunyai sifat angkuh begini, sungguh harus dipuji."

"Siauceng mana berani bersikjap angkuh terhadap Cianpwe," sahut Hi-tiok, "Cuma Siauceng kuatir membikin Locianpwe kurang senang, maka lekas pergi saja dari sini."

Orang tua itu manggut-manggut lagi dan bertanya, "Siapa saja orang-orang yang ikut datang memecahkan problem catur itu ?"

Hi-tiok lantas menuturkan satu per-satu.

Orang tua itu termenung sejenak, katanya kemudian;

"Tokoh-tokoh terkemuka didunia ini sudah sebagian besar datang kemari, Apakah Kok-eng Taisu dari Tayli Thian-liong-si tidak datang ?"

"Selain padri dari biara kami, tidak kulihat ada padri golongan lain." sahut Hi-tiok.

Terdengar orang tua itu menghela napas, lalu berguman sendiri, "Aku sudah menunggu selama tiga puluh tahun, andaiakan menunggu lagi tiga puluh tahun juga belum tentu dapat menemukan bahan yang serba bagus lahir dan batin, Segala apa didunia ini memang banyak yang tidak dapat memenuhi harapan orang, Kini terpaksa apa adanya saja."

Rupanya ia sudah ambil sesuatu ketetapan, lalu ia tanya pula, "Tadi kau bilang problem catur itu bukan kau sendiri yang memecahkannya, habis mengapa Sing-ho memasukkan kamu kesini ?"

Maka Hi-tiok bercerita lagi, "Pertama karena Siauceng secara sembrono telah menjalankan satu biji catur dengan mata tertutup, sedangkan langkah-langkah selanjutnya adalah bantuan Susiokco kami yang bergelar Thian-hian Taisu, beliau telah memberi petunjuk dengan diam-diam dan mengirimkan bisikan suara ketelinga Siauceng."

Habis itu, segera ia menguraikan pula gambaran singkat waktu memecahkan problem catur tadi.

"Takdir, takdir!" demikian orang tua itu berkata, Dan mendadak berseri-seri, lalu katanya pula," "Jika memang sudah ditakdirkan begitu, secara ngawur dapat kau buka kunci pemecahan problem yang kuatur itu, ini menandakan kamu ada jodoh dan mempunyai rejeki yang baik, siapa tahu kalau kamu akan dapat melaksanakan tugas yang akan kuberikan padamu, Baik, baik, marilah anak baik, berlututlah dan menyembah padaku."

Perangai Hi-tiok juga sangat baik, ia suka menghormati siapa pun juga, Kini mendengar orang tua itu menyuruh dia berlutut dan menyembah, meski tidak tahu duduknya perkara, tapi orang itu dianggapnya sebagai kaum angkatan tua Bu-lim, untuk menyembah kepadanya juga pantas, maka tanpa pikir lagi ia lantas berlutut, dengan penuh hormat ia menyembah empat kali hingga kepala membentur lantai.

Selagi ia hendak berbangkit, tiba-tiba orang tua itu berkata pula dengan tertawa, "Sembah lima kali lagi ini adalah peraturan perguruan!"

Hi-tiok mengiakan dan tanpa pikir menyukupi lima kali sembah lagi.

"Ehm, anak baik, anak baik! Coba, kemarilah!" kata siorang tua.

Menurut saja Hi-tiok, ia berdiri dan mendekati orang.

Kakek itu pegang tangan Hi-tiok dan mengamat-amati perawakannya, Tiba-tiba Hi-tiok merasa urat nadi dipergelangan tangan yang dipegang orang tua itu ada suatu arus hawa hangat dengan cepat sekali menerjang kepusat nadinya.

Tanpa pikir ia terus menggunakan lwekang Siau-lim-si yang dimilikinya serba sedikit itu untuk melawan, Namun tenaga dalam siorang tua lantas ditarik kembali hingga keadaan kembali biasa lagi.

Hi-tiok tahu orang lagi menjajal sampai dimana tingkat lwekangnya sendiri, maka ia menjadi merah jengah, katanya dengan menyengir. "Siauceng biasanya lebih banyak membaca kitab, pada waktu kecil juga terlalu malas hingga tidak mempelajari lwekang ajaran guruku dengan baik, harap Cianpwe jangan mentertawakan kepandaianku yang cetek ini."

Diluar dugaan, orang tua itu malah sangat senang, katanya dengan tertawa, "Ehm, bagus, bagus! Lwekangmu dari Siau-lim-si masih sangat cetek, hal ini akan banyak mengurangi kesukaranku malah."

Tengah bicara, mendadak Hi-tiok merasa badan lemas, rasanya hangat-hangat seperti rendam didalam sebuah bak yang berisi air panas, liang pori diseluruh badan seperti mengeluarkan uap hingga rasanya sangat segar.

Selang sebantar orang tua itu melepaskan tangan Hi-tiok dan berkata dengan tertawa, "Cukuplah, Aku sudah menggunakan 'Hoa-kang-tai-hoat' perguruan kita sendiri untuk menghapus tenaga dalam Siau-lim-pai yang kau miliki ini !"

Keruan Hi-tiok melonjak kaget, ia menjerit, "Ap....apa katamu?"

Tapi mendadak kaki terasa lemas dan jatuh terduduk ditanah, Ia merasa tiada memiliki sedikit tenaga pun, pikiran menjadi kacau dan mata berkunang-kunang, Ia tahu apa yang dikatakan orang tua itu pasti tidak bohong.

Sejak kecil Hi-tiok tinggal di Siau-lim-si, untuk pertama kalinya sekarang ia ditugaskan keluar biara, sudah tentu ia belum berpengalaman dan tidak kenal seluk-beluk kalangan kang-ouw serta tindak kekejaman sesama manusia.

Ia hanya pernah mendengar cerita gurunya bahwa 'Hoa-kang-tai-hoat' Sing-siok-pai sangat lihai, asal kedua badan saling menempel, maka lwekang lawan yang terhimpun selama berpuluh tahun juga dapat dipunahkan dalam waktu sekejap, Dan orang tua ini terang adalah tokoh angkatan tua Sing-siok-pai, kenapa aku begini gegabah berdekatan dengan dia? Mengapa tidak sejak tadi aku melarikan diri agar tidak menjadi korban kekejiannya?

Berpikir demikian, seketika Hi-tiok tak bisa menahan rasa menyesal dan sedihnya, air mata terus bercucuran, katanya sambil menangis, "Aku....aku toh tiada permusuhan apa-apa dan juga tidak menyalahimu, mengapa engkau membikin celaka diriku?"

"Hei, cara bicaramu mengapa begini kurang ajar?" sahut orang itu dengan tertawa, "Kamu tidak panggil 'Suhu', sebaliknya menyebut 'kau-aku' segala, sedikit pun tidak kenal aturan?"

"Apa katamu? Mana boleh jadi engkau adalah guruku?" seru Hi-tiok terkejut.

"Baru saja kamu mengangkat guru padaku, masakah sekarang kamu sudah lupa," kata si kakek, "Kamu telah menyembah sembilan kali padaku, itu adalah adat pengangkatan guru menurut peraturan perguruan kita."

"He, tidak, tidak bisa jadi!" teriak Hi-tiok, "Aku adalah murid Siau-lim-pai, mana boleh mengangkatmu lagi sebagai guruku? Apalagi ilmu siluman kalian yang suka membikin celaka orang, biar bagaimana pun aku tidak sudi belajar."

"Benar-benar kamu tidak mau belajar?" kata si orang tua dengan tertawa.

Mendadak kedua lengan bajunya mengebas kedepan hingga semampir dipundak Hi-tiok, Seketika Hi-tiok merasa pundak dibebani beratus kati beratnya hingga tidak sanggup berdiri tegak lagi, tanpa kuasa ia tekuklutut dan jatuh terduduk ditanah.

Biarpun sudah tidak berdaya, namun Hi-tiok tidak menyerah mentah-mentah, mulut tetap menolak tegas, "Meski kau pukul mati aku juga tetap aku tidak mau belajar."

Kembali orang itu tertawa, mendadak ia lompat keatas, sekali jumpalitan diudara, tahu-tahu ikat kepala yang dipakainya mencelat kesudut ruangan, sedang orangnya terus memancalkan sebelah kakinya pada belandar, lalu dengan terjungkir ia jatuh kebawah, dengan tepat sekali kepalanya menindih diatas kepala Hi-tiok, Jadi kepala menyungging kepala.

"He, kau....kau mau apa?" seru Hi-tiok dengan kuatir, Ia goyang-goyang kepala dengan maksud membikin orang tua itu terperosot jatuh.

Tapi aneh, sekali kepala orang tua itu mendempel kepala Hi-tiok, maka eratnya seperti dipaku, biarpun Hi-tiok menggelang kepala sampai leher serasa patah juga tetap tidak terlepas.

Asal kepala Hi-tiok menggeleng ke-timur, maka tubuh siorang tua yang terjungkir itu juga mendoyong ketimur, kalau Hi-tiok menggoyang ke-barat, tubuh sikakek juga ikut miring ke-barat, Jadi kedua kepala mereka seperti sudah melengket.

Karuan Hi-tiok tambah kuatir, dengan kedua tangan ia coba menarik dan mendorong, ia harap dapat menjatuhkan siorang tua yang disungginya itu, Tapi mendadak terasa tangan tak bertenaga sedikitpun, ia jadi gugup, pikirnya, "Setelah kena Hoa-kang-tai-hoat orang ini, selain punah ilmu silatku, mungkin untuk makan dan pakai baju juga tiada tenaga lagi, Wah, kan celaka! Mati aku!"

Ia merasa kepala makin lama makin panas, dalam sekejap saja kepala sudah terasa pusing dan serasa akan meledak, tapi hawa panas itu masih terus mencurah kebawah, selang tak lama, Hi-tiok tidak tahan lagi, akhirnya ia pingsan.

Walaupun pingsan, tapi banyak sekali timbul alam khayalan dalam benaknya, terkadang ia merasa seperti naik mega dan terapung diawang-awang, lain saat seperti menyelam kedasar laut yang hijau permai dan berkawankan ikan, kemudian merasa berada di Siau-lim-si sedang giat belajar silat dan membaca kitab, tapi meski sudah dilatih kesana-kesini tetap tidak jadi.

Dan entah lewat berapa lama lagi, tiba-tiba terasa hujan lebat, air hujan menetes diatas badan, Segera Hi-tiok membuka mata, benar juga dilihatnya butiran air yang tak terhitung banyaknya sedang menetes pada mukanya, Tapi waktu diperhatikan, kiranya itu bukan air hujan melainkan air keringat si-kakek.

Ternyata seluruh muka, seluruh badan kakek itu basah kuyup dengan air keringat sehingga menetesi badan Hitiok.

Saat itu Hi-tiok mendapatkan dirinya menggeletak telentang ditanahdan orang tua itu duduk disampingnya, kedua kepala yang saling lengket tadi sekarang sudah terpisah.

Cepat Hi-tiok merangkak bangun, "Kau....baru hendak bicara mendadak ia terkejut, ketika diketahuinya

sikakek sudah berubah menjadi seorang lain.

Sebenarnya wajah kakek itu putih bersih dan cakap seperti pemuda, kini mendadak berubah menjadi penuh keriput, yang lebih aneh adalah rambutnya yang semula penuh menutupi kepala itu sekarang sudah rontok semua, sedangkan jenggotnya yang semula hitam pekat sekarang juga berubah menjadi putih semua.

Melihat itu, pikiran yang pertama-tama timbul dalam benak Hi-tiok adalah, "Sebenarnya aku telah pingsan berapa lama? Apa tigapuluh tahun? Limapuluh tahun? Mengapa orang ini mendadak berubah lebih tua beberapa puluh tahun?"

Ia lihat kakek yang berada didepannya sekarang benar-benar sudah sangat tua, sudah loyo, usianya ditaksir kalau tidak 120 tahun tentu juga lebih dari seratus tahun.

"Jadilah sekarang jerih-payahku!" demikian kakek itu berkata dengan senyum lemas, "Anak baik, rejekimu teramat bagus, jauh melebihi harapanku, Sekarang coba kau pukul dinding papan itu dari jauh."

Hi-tiok tak tahu seluk-beluknya, ia hanya menurut saja, dari jauh ia hantamkan sebelah telapak tangannya, Mendadak terdengar suara "krak-brak" yang keras, dinding papan itu ambrok sebagian besar, jauh lebih keras daripada dia menumbuk dengan bahunya belasan kali umpamanya.

Keruan Hi-tiok terkesima, katanya kemudian, "Ken....kenapa bisa begini ?"

Dengan wajah berseri-seri sikakek juga berkata dengan sangat girang, "Ya, kenapa bisa begitu ?"

"Mengapa mendadak aku....memiliki tenaga sebesar ini?" tanya Hi-tiok dengan ragu.

Dengan tersenyum sikakek memberitahu, "Kamu belum mempelajari Ciang-hoat (ilmu pukulan) maka tenaga dalam yang kau lontarkan barusan belum ada satu per-sepuluh besarnya dan tenaga yang kau miliki sekarang, Hasil jerih-payah gurumu selama tujuhpuluh tahun, ini sudah tentu lain daripada yang lain!"

"Hah, kau bilang jerih....jerih-payah selama tujuhpuluh tahun apa?" seru Hi-tiok sambil melonjak bangun, Ia tahu tentu ada sesuatu yang tak beres.

"Masakah kamu belum paham, berlagak pilon atau memang tidak tahu?" ucap sikakek dengan tersenyum.

Dalam hati Hi-tiok memang sudah merasakan maksud tujuan sebenarnya perbuatan sikakek itu, Cuma kejadian ini terlalu mendadak, juga susah untuk dipercaya bisa terjadi demikian, Maka dengan tergagap ia tanya lagi, "Apakah....apakah Locianpwe telah...telah menurunkan semacam Sin-kang (ilmu sakti) kepada Siauceng?"

"Sampai sekarang kamu masih tidak sudi menyebut Suhu padaku?" tanya sikakek.

"Siauceng adalah murid Siau-lim-pai," demikian sahut Hi-tiok sambil menunduk, "Maka Siauceng tidak berani durhaka, untuk masuk keperguruan lain lagi."

"Didalam badanmu sudah tiada sedikitpun kepandaian Siau-lim-pai, mengapa kamu masih mengaku sebagai murid Siau-lim-pai?" kata sikakek. "Dalam badanmu sekarang sudah terhimpun ilmu sakti jerih-payah tujuhpuluh tahun dari Siau-yau-pai. Masakah kamu tidak mau mengaku sebagai anak muris perguruan kita?"

"Siau-yau-pai?" demikian Hi-tiok menegas, Selamanya ia tidak pernah mendengar nama Siau-yau-pai atau "golongan bebas merdeka" itu.

"Ya, orang hidup didunia ini yang dituju adalah hidup bebas merdeka," sahut sikakek, Lalu ia berkata pula, "Coba sekarang kau lompat sekali keatas."

Karena rasa ingin tahu, Hi-tiok lantas menurut saja, ia sedikit tekuk lutut, lalu menggenjot pelahan, eh, tahutahu tubuh terus membal kesana.

"Blang," kepala menyundul genteng hingga kesakitan, mendadak matanya terbeliak, separoh tubuhnya menerobos keluar atap rumah, bahkan rasanya badan masih hendak melayang terus keatas.

Khawatir kalau-kalau badan 'terbang' ke-langit, lekas saja Hi-tiok pegang atap rumah sehingga daya mumbulnya itu tertahan, Lalu ia merosot turun, dan begitu kaki menyentuh tanah, badan masih mendal beberapa kali mirip bola saja, Gin-kang demikian benar-benar susah untuk dibayangkan sebelumnya, Seketika Hi-tiok menjadi bingung malah, ia tidak tahu harus girang atau sedih.

"Bagaimana?" tanya si-kakek.

"Apakah....apakah aku kemasukan ilmu sihir?" sahut Hi-tiok.

"Tidak, coba duduk dengan tenang, dengarkan uraianku, Waktunya sudah mendesak, aku tidak dapat banyak bicara, aku hanya mengambil pokok persoalannya saja," kata sikakek, "Begini, jika kamu berkeras tidak mau menyebut aku sebagai Suhu dan tidak suka ganti perguruan, untuk itu aku pun tidak memaksa Siausuhu, jika kuminta bantuanmu untuk sesuatu urusan besar, apakah dapat kau terima?"

Walaupun bakal untung atau buntung belum diketahui akibat mendadak bertambahnya lwekang yang diperoleh dari orang tua itu, namun paling tidak hal ini sudah berarti dia telah menerima budi kebaikan siorang tua, Kalau orang tua itu sampai membuka mulut meminta bantuannya guna menyelesaiakn sesuatu urusan, maka betapa pun dirinya harus mengerjakannya dengan baik.

Hi-tiok lantas menjawab, "Asal Cianpwe mengatakan, sudah tentu akan kulaksanakan dengan sekuat tenaga."

Sampai disini, tiba-tiba teringat olehnya orang mahir "Hoa-kang-tai-hoat", agaknya tergolong kaum Sia-pai, maka segera ia menambahi lagi, Tetapi bila Cianpwe suruh Siauceng berbuat sesuatu yang tidak baik, maka sekali-kali tidak dapat kuterima permintaan Cianpwe."

"Apa yang kau maksudkan sebagai 'sesuatu yang tidak baik'?" tanya sikakek dengan tersenyum getir. "Siauceng adalah murid Buddha, jadi urusan yang merugikan atau membikin susah orang lain sekali-kali tidak dapat kukerjakan," sahut Hi-tiok.

"Tetapi jika ada manusia didunia ini selalu membuat sesuatu yang merugikan dan membikin susah orang lain, selalu berbuat kejahatan membunuh orang semau-maunya, untuk itu kusuruh kamu membasminya, akan kau terima atau tidak?" tanya sikakek.

"Siauceng akan memberi nasehat sedapatnya agar dia suka memperbaiki kesalahannya itu?" kata Hi-tiok.

"Dan kalau dia tetap tidak mau sadar ?"

"Itu adalah kewajiban kaum kita untuk membasminya," sahut Hi-tiok tegas, "Cuma kepandaian Siauceng terlalu rendah, mungkin tidak mampu memenuhi kewajiban berat ini."

"Jadi tegasnya kau terima permintaanku?" sikakek menegas.

"Ya, kuterima!" sahut Hi-tiok sambil mengangguk.

Si-kakek berubah girang, katanya pula, "Bagus, bagus! Nah, maksudku adalah supaya kau bunuh seseorang, seorang durjana maha jahat, yaitu muridku sendiri yang bernama Ting Jun-jiu, kini tersohor dalam Bu-lim dengan gelar Sing-siok Lokoai."

Mendengar itu, barulah Hi-tiok merasa lega, Sudah lama ia dengar nama jahat Sing-siok Lokoai, tidak cuma sekali ia pernah mendengar para angkatan tua dalam Siau-lim-si bicara tentang perbuatan Ting Jun-jiu yang terkutuk, semua orang bertekad akan membasminya dari muka bumi ini.

Maka sahutnya kemudian, "Menumpas Sing-siok Lokoai memang kewajiban setiap orang persilatan, cuma sedikit kepandaian Siauceng ini mana dapat....."

Mendadak ia berhenti, Ketika dilihatnya sorot mata sikakek seperti lagi mengejek padanya, ia jadi ingat bahwa 'sedikit kepandaian' yang diucapkannya itu sekarang memang tidak tepat lagi.

Benar juga, segera orang tua itu berkata, "Sedikit kepandaianmu sekarang sudah tidak dibawah kepandaian Sing-siok Lokoai, Tapi untuk bisa membasminya memang benar belum cukup kuat, Tapi kau pun tidak perlu kuatir, sudah tentu aku akan mengatur apa yang perlu."

"Jika Locianpwe adalah Suhu Sing-siok Lokoai, mengapa dia dibiarkan malang melintang didunia kang-ouw untuk berbuat kejahatan semau-maunya dan tidak dibasmi sejak dulu?" demikian tanya Hi-tiok.

Orang tua itu menghela napas, sahutnya,

"Teguranmu memang betul, Hal itu memang salahku, Dahulu murid durhaka itu mendadak menyerangku hingga aku terjerumus kedalam jurang, hampir jiwaku melayang ditangannya, untung muridku yang tertua, So Sing-ho pura-pura bisu dan tuli hingga murid durhaka itu kena dikelabui, dengan demikian barulah jiwaku mendapat kesempatan diperpanjang tiga puluh tahun lagi, Tapi dalam tigapuluh tahun ini aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk membuang semua kegemaranku dahulu seperti main catur, seni lukis, seni musik dan lain-lain dan melulu akan memperdalam ilmu silat saja, dengan harapan akan menemukan seorang pemuda pintar dan cakap untuk menerima warisan ilmu silat yang kupelajari dan kuselami selama hidup ini."

Mendengar sikakek bicara tentang pemuda 'pintar dan cakap', diam-diam Hi-tiok mengukur dirinya sendiri, dalam hal bakat dirinya masih boleh juga, tapi bicara tentang 'cakap', terang bagaimana pun dirinya tidak masuk hitungan.

Maka katanya kemudian sambil menunduk,

"Bicara tentang orang cakap sebenarnya didunia ini terlalu banyak, misalnya diluar sana sekarang juga ada dua orang, yang satu adalah Buyung-kongcu dan yang lain pemuda she Toan, Apakah sekiranya perlu Siauceng mengundang mereka kesini agar dapat dilihat Locianpwe sendiri?"

Si-kakek tertawa, katanya, "Setiap tindak-tanduk orang Siau-yau-pai selalu mengutamakan soal jodoh, Tentang kejadian Ting Jun-jiu mendurhakai perguruan juga bukan tiada persoalannya, Sekarang aku sudah mencurahkan saripati peyakinanku selama tujuh puluh tahun kedalam tubuhmu, masakah masih dapat diturunkan lagi kepada orang kedua?"

"Apa....apa benar Cianpwe sudah....sudah menurunkan antero saripati peyakinan Cianpwe kwpada Siauceng?" Hi-tiok menegas dengan ragu. "Jika....jika begitu cara bagaimana Siauceng harus menerima budi kebaikanmu ini?"

"Tentang ini aku pun tidak tahu apakah akan membawa untung atau celaka bagimu kelak," sahut sikakek, "Sebab, biarpun memiliki ilmu silat setinggi langit, hal ini pun tidak berarti bahagia bagi orang itu? Coba dahulu bila aku cuma belajar manabuh harpa, main catur dan melukis saja, tapi tidak kemaruk tentang ilmu silat segala, maka dapat dipastikan hidupku ini tentu akan jauh lebih gembira, Ya, anak baik, Ting Jun-jiu itu menyangka jiwaku sudah melayang ditangannya, maka dia dapat berbuat sewenang-wenang tanpa kuatir kepada siapa pun juga! Disini ada sebuah peta yang melukiskan tempat dahulu aku pernah tirakat, yaitu terletak di Thian-san wilayah barat, Dengan peta ini dapat kau cari tempat simpanan semua kitab ilmu silat yang aku kumpulkan selama ini dan boleh kau pelajari menurut cacatan dalam kitab-kitab itu, Tidak sampai setahun pasti ilmu silatmu akan dapat menimpali Ting Jun-jiu."

Sembari berkata ia terus mengeluarkan sebuah gulungan kertas kecil dan diserahkan kepada Hi-tiok.

Perasaan Hi-tiok rada rikuh, katanya dengan terharu, "Sebenarnya kepandaian Siauceng masih hijau, kali ini ditugaskan guruku untuk mengirimkan surat, maka sekarang seharusnya aku cepat pulang kegunung untuk memberi laporan, Dan tentang tindakanku selanjutnya harus terserah kepada perintah guruku, Jika nanti Suhu dan Hong-tiang kami melarang Siauceng turun gunung lagi, maka terpaksa tak dapat melaksanakan pesan Locianpwe ini."

"Ya, bila memang begitu ditakdirkan sehingga orang jahat mesti dibiarkan tetap malang melintang, ya, apa mau dikata lagi," demikian kata orang tua itu dengan tersenyum getir, "Dan kau....kau...."

Sampai disini, mendadak seluruh badannya menggigil, pelahan ia tiarap, dengan kedua tangan ia bertahan

ditanah, semangat tampak loyo dan lemas.

Keruan Hi-tiok terkejut, cepat ia pegang badan kakek itu dan berkata, "Ken... kenapa, Locianpwe ?"

"Jerih-payahku selama tiga puluh tahun menunggu saripati peyakinan selama tujuh puluh tahun kini telah seluruhnya keserahkan padamu, hari ini ajalku sudah tiba." demikian kata kakek itu dengan suara lemah, "anak baik, apakah sampai detik terakhir kamu tetap tidak sudi memanggil 'Suhu' padaku?"

Dasar perangai Hi-tiok memang luhur, melihat sikakek sangat harus dikasihani, terang jiwanya hanya tinggal dalam sekejap saja, apalagi melihat sorot matanya yang penuh rasa memohon itu, hati Hi-tiok menjadi tidak tega, tak tertahan lagi panggilan 'Suhu' lantas tercetus dari mulutnya.

Karuan orang tua itu sangat girang, sekuat tenaga ia melepaskan sebuah cincin besi hitam dari jari kiri dan hendak dimasukkan ke-jari Hi-tiok, tapi karena tenaga sudah habis, maka tangan Hi-tiok saja hampir tidak kuat dipegangnya.

"Suhu!" kembali Hi-tiok memanggil pula, lalu ia pakai sendiri cincin hitam itu pada jari sendiri.

"Anak baik." kata pula sikakek dengan sangat lemah. "Sekarang kamu terhitung mu... muridku yang ketiga, Bila ketemu So Sing-ho, pang....panggil dia Toasuko, Kamu... sebenarnya she apa ?"

"Sungguh aku tidak tahu." sahut Hi-tiok.

"Sayang tampangmu kurang bagus, dalam hidupmu ini masih akan banyak mengalami rintangan, tetapi hal itu terpaksa terserah kepada takdir, Ai, sayang, sayang...." makin lama makin lemah dan tambah lirih suaranya, sampai akhirnya menjadi tidak kedengaran lagi dan mendadak tubuhnya roboh kedepan, "bluk", batok kepalanya membentur lantai, lalu tidak bergerak lagi.

"Suhu, Suhu!" teriak Hi-tiok dan cepat memayangnya bangun, waktu ia periksa pernapasan orang tua itu, namun sudah berhenti, ternyata sudah meninggal dunia.

Belum ada satu jam lamanya, Hi-tiok berkenalan dengan sikakek, memangnya tak bisa dikatakan ada sesuatu hubungan baik, tapi dalam tubuhnya telah mengeram ilmu sakti hasil jerih-payah sikakek selama tujuh puluh tahun, dirasakan orang tua itu seperti sangat erat hubungannya dengan dia, jauh lebih baik daripada orang lain, Maklum, keadaan badan Hi-tiok boleh dikatakan setengah bagian berasal dari sikakek atau separoh bagian

tubuh sikakek sekarang sudah berubah menjadi dia.

Kini melihat orang tua itu sudah mati, tanpa terasa ia sangat berduka, maka menangislah dia dengan tergerunggerung.

Sesudah puas menangis, kemudian ia berbangkit, Pikirnya, "Tentang kejadian ini harus keberitahukan kepada So-locianpwe, Losianseng (tuan tua) ini tadi mengharuskan kupanggil 'Suhu' padanya, kalau tidak matinya takkan tenteram, untuk itu aku terpaksa memanggilnya dua kali, hak ini tidak lebih hanya supaya hatinya terhibur dan lega sebelum meninggal, Padahal aku adalah murid Siau-lim-pai tulen, mana boleh masuk lagi perguruan lain? Untung kejadian tadi hanya aku dan dia yang tahu, sekarang Losianseng ini sudah meninggal, asal aku sendiri tidak katakan kepada orang lain, tentu didunia ini tak ada lagi orang yang tahu."

Maka ia berlutut dan memberi sembah hormat beberapa kali kepada jenazah orang tua itu, diam-diam ia memanjatkan doa. "Locianpwe, tadi aku memanggil Suhu padamu, hal itu cuma para-pura saja, janganlah engkau anggap sungguh-sungguh, Jika engkau mengetahui didalam baka, harap suka memaafkan."

Selesai berdoa, lalu ia putar tubuh dan keluar dari rumah papan itu, Ia tetap melalui lubang dinding yang dibobolnya itu, Hanya sekali lompat saja, tahu-tahu sudah melayang keluar secepat burung, Tapi ia jadi tercengang begitu berada diluar rumah.

Ternyata dipelataran situ banyak sekali pohon siong sama tumbang, Dilihatnya diatas tanah situ terdapat pula sebuah liang yang sangat dalam. Rupanya selama kurang dari satu jam ia berada dalam rumah dan diluar situ sudah terjadi geger, mungkin pohon-pohon itu dirobohkan orang tatkala ia jatuh pingsan dalam rumah tadi, sebab itulah ia sama sekali tidak merasa dan mendengar sesuatu suara.

Dalam pada itu dilihatnya orang yang berada diluar rumah kini telah terbagi menjadi dua kelompok, Liong-ah Lojin So Sing-ho duduk disisi kanan, dibelakangnya berdiri Hian-lan, Kheng Kong-leng, Sih Boh-hoa dan kawan-kawannya.

Disebelah lain duduk Sing-siok Lokoai dan yang berdiri dibelakangnya adalah Yap Ji-nio, Yu Goan-ci dan anak murid Sing-siok-pai yang lain.

Sedangkan Buyung Hok, Giok-yan, Toan Ki, Cumoti, Toan Yan-khing dan Lam-hai-gok-sin tampak berdiri terpencar disana-sini, agaknya mereka adalah pihak yang netral, tidak membantu sesuatu pihak.

Ditengah antara So Sing-ho dan Ting Jun-jiu sedang menyala suatu tiang api dan kedua orang itu lagi mengerahkan tenaga dalam masing-masing untuk mendesak gundukan api itu agar membakar pihak lawan,

Tatkala itu tampak ujung api agak miring kekanan, nyata Ting Juh-jiu sudah berada diatas angin.

Karena semua orang lagi memperhatikan tiang api yang berkobar itu, maka tentang keluarnya Hi-tiok dari rumah papan itu tiada diperhatikan oleh siapa pun.

Sudah tentu yang diperhatikan Giok-yan adalah sang Piauko Buyung Hok, sedangkan Toan Ki juga cuma memperhatikan Giok-yan saja, yang dipandang kedua muda mudi itu bukanlah tiang api, tapi juga mereka tidak mau memandang sekejap pun kepada Hi-tiok.

Maka dari jauh Hi-tiok mengitar dari belakang semua orang dan memutar kesisi kanan untuk berdiri disamping Supeknya yaitu Hui-bu, murid angkatan "Hui" dari Siau-lim-si.

Dalam pada itu tiang api semakin mendoyong kekanan, pakaian So Sing-ho melembung seakan-akan layar perahu yang tertiup angin kencang dan kedua tangan berulang menolak kedepan sekuatnya, sebaliknya Ting Jun-jiu tampak enak-enak saja seperti tidak merasakan sesuatu yang berat, ia hanya mengebaskan lengan bajunya dengan enteng tanpa makan tenaga.

Dalam pada itu anak muridnya lantas menghamburkan puja-puji lagi atas nama sang guru,

"Nah, biar kalian menyaksikan betapa sakti Sing-siok Losian sekarang, supaya kalian menjadi melek! Suhu kami sengaja hendak memberi hajaran sedikit demi sedikit, makanya beliau cuma mengerahkan ilmu saktinya dengan pelahan, Kalau mau, huh, sekali gebrak saja tua bangka she So itu tentu sudah mampus! Ya, jika ada yang tidak takluk, sebentar boleh maju lagi satu per-satu untuk meresakan betapa lihainya ilmu sakti Sing-siokpai. Dan sudah tentu, jika ada manusia rendah yang tidak kenal malu ingin main keroyok juga boleh! Ilmu sakti Sing-siok-pai sudah ditakdirkan tiada tandingannya di-jagat ini, bila ada yang berani coba melawan, itu berarti cari mampus sendiri!"

Sebenarnya kalau Cumoti, Buyung Hok, Toan Yan-khing dan lain-lain mau maju mengerubut Ting Jun-jiu, betapa lihainya Lokoai juga pasti tidak mampu melawan tokoh-tokoh terkemuka itu.

Tapi, pertama karena Cumoti dan lain-lain ini sok menjaga harga diri, tidak nanti mereka sudi main keroyok, Kedua, mereka tidak mempunyai hubungan baik dengan Liong-ah Lojin dan tiada maksud mereka untuk menolong kesukarannya ini, Ketiga, diantara mereka masing-masing juga saling sirik dan curiga mencurigai, kuatir kalau mendadak diserang oleh pihak lain.

Sebab itulah biarpun anak murid Sing-siok-pai itu mengobral pujian setinggi langit kepada Sing-siok Lokoai, tetap Cumoti dan lain-lain mendengarkan dengan tersenyum saja dan tidak ambil pusing.

Sekonyong-konyong tiang api itu menjilat kedepan hingga mencapai tubuh Si Sing-ho, sesudah terendus bau sangit, maka tertampaklah jenggot So Sing-ho yang panjang itu sudah terbakar habis bersih.

Sekuat tenaga So Sing-ho melawan dan akhirnya dapat menolak kembali tiang api itu, Tapi api itu tetap tidak lebih jauh satu dua meter dari tubuhnya dan berulang masih menjulur kian kemari bagaikan seekor ular raksasa hendak memagut mangsanya.

Diam-diam Hi-tiok menjadi kuatir, pikirnya, "Meski aku tidak mengakui orang she So ini sebagai Suheng, tapi sedikit banyak aku sudah terhitung mempunyai hubungan dari sumber yang sama, Tampaknya segera ia akan terbakar, lantas bagaimana aku harus bertindak?"

Mendadak terdengar suara 'dung-dung' dua kali, menyusul terdengar pula suara 'creng-creng-breng', maka ramailah suara tambur dan gembreng.

Kiranya diantara murid Sing-siok-pai ada yang membawa kecer, tambur, gembreng, sempritan ada alat-alat tabuhan lain, Kini mereka terus mengeluarkan dan ditabuh dengan ramai untuk memamerkan kegagahan guru mereka. Bahkan ada diantaranya terus mengibarkan panji dan diobat-abitkan kian-kemari sambil berteriakteriak untuk menambah perbawa pihaknya.

Sungguh belum pernah terjadi didunia ini bahwa pertandingan lwekang diantara kedua jago silat mesti disertai dengan tetabuhan yang riuh ramai. Karuan Cumoti ketawa geli cekakakan, katanya, "Betapa tebal muka Singsiok Lokoai, sungguh sejak dulu dan sampai sekarang tiada tandingannya!"

Ditengah suara riuh-rendah itu, tiba-tiba seorang muris Sing-siok-pai mengeluarkan secarik kertas, ia melangkah maju beberapa tindak dan membentang kertas itu, lalu membacanya dengan suara lantang.

Kiranya itu adalah suatu karangan yang berjudul "Pujian kepada Sing-siok Lokoai yang mengguncangkan Tiong-goan".

Murid Sing-siok-pai itu entah berhasil minta tolong sastrawan dari mana hingga dapat membuatkan sebuah sajak yang penuh terisi kata-kata puji-sanjung kepada sang guru. Suasana disitu seketika berhamburan "Ma-bikang", "Hoat-le-kang" dan "He-gan-kang" sebagaimana pernah dikatakan Pau Put-tong, yaitu penuh orang menjilat, omong besar dan muka tebal alias tidak kenal malu.

Tapi jangan dikira suara sanjung-puji itu tiada gunanya, ternyata itu pun merupakan tenaga dorongan bagi

lweekang Sing-siok Lokoai.

Ditengah suara tetabuhan yang keras disertai puja-puji itu, tiang api yang berkobar-kobar itu tambah hebat dan kembali mendesak lebih dekat lagi kearah So Sing-ho.

Sekonyong-konyong terdengar suara tindakan orang banyak, tahu-tahu lebih duapuluh orang laki2 berlari keluar dari belakang rumah sana, mereka terus menghadang didepannya So Sing-ho.

Kiranya mereka ini adalah para laki-laki tuli-bisu yang mengusung Hian-lan dan lain-lain keatas gunung tadi, Mereka adalah muridnya So Sing-ho.

Waktu Ting Jun-jiu mengerahkan lagi tenaganya, terus saja tiang api itu menjilat tubuh dua-puluhan orang lakilaki itu. Seketika terdengarlah suara mencicit, suara hangusnya kulit dan daging manusia disertai bau sangit.

Tapi orang-orang itu tetap berdiri tegak ditempatnya, meski tubuh mereka sudah terbakar merata, tetap mereka tidak bergerak sedikit pun. Dan karena mereka sudah bisu, maka sikap mereka menjadi lebih perkasa dan mengharukan pula.

Semua orang menjadi gempar menyaksikan sikap para laki-laki bisu-tuli yang gagah berani itu, biar pun sudah terbakar, tapi sedikitpun mereka tidak bergerak, Saking seram kejadian itu hingga Ong Giok-yan dan Toan Ki mau tak mau juga berpaling.

Maka hanya dalam sekejap saja beberapa orang diantara laki-laki bisu-tuli itu sudah terbakar hangus ditengah2 lautan api yang terus berkobar-kobar itu.

"He, jangan begitu kejam!" seru Toan Ki mendadak, lalu tangan kanan menuding kedepan, ia bermaksud menusuk Ting Jun-jiu dengan "Lak-meh-sin-kiam", Tapi dia tidak mahir melontarkan ilmu pedang tanpa wujud itu, tenaga dalamnya memang penuh bergolak didalam badan, tapi tidak dapat dipantulkan melalui jarinya.

Karuan ia kelabakan dan akhirnya ia berteriak lagi, "Buyung-heng, lekas turun tangan menghentikan perbuatan kejam itu!"

Tadi ketika Buyung Hok tenggelam dalam khayalnya dan hampir membunuh diri, syukur berkat "Lak-meh-sinkiam" Toan Ki itulah hingga pedangnya dipukul jatuh ketanah, Cuma saat itu ia lagi hilang ingatan, maka tidak menyaksikan bagaimana gaya "lak-meh-sin-kiam" itu, Sekarang didengarnya seruan Toan Ki, segera ia menjawab;

"Toan-heng sendiri adalah seorang ahli, mana keberani main pamer disini? Apakah tidak lebih baik silahkan Toan-heng mencoba sekali lagi Lak-meh-sin-kiam!"

Datangnya Toan Yan-khing tadi lebih belakang maka tidak melihat Lak-meh-sin-kiam yang dilontarkan Toan Ki, Dia adalah keturunan lurus keluarga Toan di Tayli, Sudah tentu ia pun kenal nama ilmu sakti keluarganya sendiri itu, Maka ia tergetar ketika mendengar Buyung Hok menyebut "lak-meh-sin-kiam".

Ia coba melirik Toan Ki ia ingin tahu apa benar pemuda itu mahir ilmu sakti yang cuma dikenal namanya saja itu, Tapi ia lihat jari Toan Ki menuding sini dan menggores kesana, gayanya memang bukan sembarangan, tapi tenaganya sedikitpun tidak ada.

Sudah tentu Toan Yan-khing tidak tahu bahwa Toan Ki sudah mempelajari ilmu pedang itu dengan baik, soalnya cuma tidak dapat menggunakan dengan leluasa. Maka pikirnya. "Hah, Lak-meh-sin-kiam apa? Hanya membikin kaget aku saja, Bocah ini rupanya membual belaka untuk menipu orang Lak-meh-sin-kiam dari keluarga Toan kami memang terkenal, tapi sejak dulu cuma dikenal namanya saja dan tidak pernah ada orang mampu meyakinkannya."

Karena melihat Toan Ki tidak mau turun tangan, maka Buyung Hok mengira Toan Ki sengaja bersikap begitu, Sebagai orang yang pintar berpikir, Buyung Hok sendiri tidak mau sembarangan pamer, maka ia pun berdiri ditempatnya saja untuk menyaksikan kejadian selanjutnya.

Selang sebentar saja, sebagian besar laki-laki bisu-tuli itu sudah terbakar mati, sisanya juga terluka parah dan setengah mati. Dalam pada itu terdengar suara gembreng dan tambur masih bertalu-talu, mendadak Ting Junjiu mengebas lengan jubahnya, tiang api itu melampaui para laki-laki tuli-bisu itu terus menyambar kearah So Sing-ho.

"Jangan mengganggu guruku?" seru Sih-sin-ih terus hendak menubruk maju untuk menghadang didepan sang guru.

Tapi So Sing-ho telah menggeraki tangannya untuk menolaknya mundur, berbareng tangan lain menghimpun segenap sisa tenaga terus menghamtam kearah api itu, Tapi karena tenaga dalamnya sekarang sudah hampir terkuras habis, maka tenaga pukulannya hanya dapat menahan sementara tiang api itu, segera ia merasa tubuh panas dingin, didepan mata hanya api yang merah menganga belaka.

Sungguh tak tersangka olehnya bahwa kemajuan Sing-siok Lokoai selama tigapuluh tahun ini jauh lebih pesat daripada dirinya hingga selisih kekuatan mereka berdua makin jauh. Sekarang tenaga murni dalam tubuhnya

sudah mendekat babak seperti pelita yang kehabisan minyak dan susah terhindar dari tangan keji Lokoai.

Teringat olehnya sudah tigapuluh tahun gurunya pura-pura mati, setelah dirinya dibunuh Lokoai, tentu iblis itu akan menyerbu kedalam rumah dan mungkin nasib gurunya akhirnya akan tetap dicelakai Sing-siok Lokoai.

Begitulah selagi badan tersiksa oleh ancaman api, batinnya jauh lebih menderita pula.

Melihat keadaan So Sing-ho sangat berbahaya, tapi tetap berdiri ditempatnya pantang mundur, Hi-tiok tidak tahan lagi, terus saja ia lari maju, ia pegang punggung So Sing-ho, katanya, "Lekas menyingkir saja, tiada gunanya mati konyol!"

Dan mungkin memang sangat kebetulan, pada saat yang sama So Sing-ho lagi menghantam kedepan dengan sekuatnya. Sebenarnya tenaga pukulannya sangat lemah, boleh dikata takkan ada manfaatnya, tujuannya tidak lebih hanya bertempur sampai titik darah penghabisan saja.

Siapa duga mendadak terasa ada suatu arus tenaga maha kuat menyalur masuk dari punggungnya, bahkan tenaga baru ini serupa dengan ajaran perguruan sendiri sehingga pukulan yang dilontarkan itu seketika bertambah kuat entah berapa kali lipat.

Maka, kontan saja jalur api itu menyambar balik hingga menjilat tubuh Ting Jun-jiu sendiri, bahkan masih terus menyambar kebelakang hingga beberapa murid Sing-siok-pai juga terlihat dilautan api itu.

Keruan para murid Sing-siok-pai itu kelabakan, seketika tambur, gembreng, kecer dan alat tetabuhan lain kacau-balau tak karuan, menyusul alat-alat tetabuhan itu lantas dibuang hingga menerbitkan suara gemerantang nyaring, banyak diantara murid Sing-siok-pai itu terguling-guling ditanah sambil menjerit tobat dan minta ampun.

Lokoai terkejut juga, Padahal tenaga Hi-tiok itu ditambah dengan tenaga pukulan So Sing-ho belum tentu mampu mengalahkan Ting Jun-jiu, Soalnya iblis tua itu yakin pasti menang sehingga lupa daratan, maka ketika mendadak mengalami serangan balasan, hak ini sama sekali diluar dugaan dan seketika menjadi bingung pula, Berbareng ia pun merasakan tenaga pukulan balasan lawan itu sangat hebat dan ulet, jauh diatas kekuatan So Sing-ho sendiri, tapi jelas pula adalah kungfu perguruan sendiri, ia jadi ragu jangan-jangan arwah halus sang guru yang telah ditewaskan itu sedang membantu So Sing-ho dan hendak membikin perhitungan atas dosanya?

Berpikir demikian, sedikit keder saja tenaga dalamnya lantas terhambat hingga ketika api menyambar balik ia tidak dapat menghindarinya.

Perubahan yang mendadak itu tidak hanya diluar dugaan So Sing-ho dan Sing-siok Lokoai, bahkan Hi-tiok sendiri juga bingung, ia lihat api sudah membungkus Ting-lokoai dan sedang membakar dengan hebat.

"Thi-thau muridku, lekas turun tangan!" seru Lokoai minta tolong kepada Yu Goan-ci.

Seketika itu Goan-ci juga tidak sempat berpikir, segera ia lompat maju dan kedua tangannya terus bekerja, maka terdengarlah suara mencicit berulang-ulang, api yang berkobar-kobar itu tersambar oleh hawa maha dingin pukulannya itu hingga padam seketika, bahkan asap juga lantas buyar tanpa bekas, yang tertinggal hanya beberapa potong kayu yang sudah menjadi arang.

Baju Ting-lokoai sendiri sudah terbakar koyak, alis jenggotnya juga hangus, keadaannya sangat runyam, dalam hatinya masih ketakutan kalau arwah sang guru akan mengganggunya lagi, maka ia tidak berani mengganas lebih lama disitu, segera ia berseru,

"Ayolah pergi!" Sekali melayang, tahu-tahu sudah berada ditempat belasan meter jauhnya.

Segera anak murid Sing-siok-pai ikut melarikan diri dengan ketakutan, seketika terdengar pula suara nyaring jatuhnya gembreng, tambur, terompet dan alat-alat tetabuhan lain yang dibuang memenuhi tanah.

Naskah yang memuat "pujian kepada Sing-siok Losian" sebelum selesai terbaca juga sudah terbakar sebagian dan menari-nari terbawa angin, seakan-akan sedang mengejek Sing-siok Lokoai yang lagaknya seperti "macan Kertas", galak dimuka dan ngacir kemudian.

Semua orang menjadi terheran-heran melihat larinya orang-orang Sing-siok-pai itu, Yap Ji-nio lantas berteriakteriak, "Ooi, engkoh Jun-jiu, tunggulah daku! Tega amat kembali kau tinggalkan aku lagi!" Lalu ia pun berlari pergi secepat terbang.

Toan Yan-khing, Lam-hai-gok-sin, Cumoti dan lain-lain sama mengira apa yang terjadi itu adalah tipu akalnya So Sing-ho, mengalah lebih dulu untuk kemudian memberi gempuran balasan, hingga Sing-siok Lokoai dibikin ngacir.

Pada awal pertarungannya melawan Sing-siok Lokoai tadi, saking dahsyatnya pertempuran mereka hingga banyak pohon siong bergelimpangan dirobohkan mereka apalagi Liong-ah Lojin terkenal sangat lihai, kalau akhirnya ia dapat mengalahkan Sing-siok Lokoai juga tidak mustahil. Pula, Hi-tiok hanya murid angkatan ketiga dari Siau-lim-si, ilmu silatnya rendah, dengan sendirinya tiada seorang pun yang menaruh curiga pada Hi-tiok yang telah menolong So Sing-ho.

Padahal Hi-tiok sendiri juga merasa bingung oleh berakhirnya pertempuran sengit itu, Hanya So Sing-ho sendiri paham duduknya perkara ketika sekilas dilihatnya pada jari Hi-tiok memakai cincin besi milik gurunya, diam-diam ia berduka dan bergirang pula.

Kemudian Buyung Hok berkata, "Dengan ilmu sakti Locianpwe telah mengenyahkan Lokoai, rasanya dia pasti pecah nyalinya dan tidak berani menginjak tanah Tiong-goan lagi, Sungguh jasa Locianpwe bagi kesejahteraan Bu-lim harus dipuji."

So Sing-ho sendiri karena melihat anak muridnya sebagian besar mati dan terluka, ia sangat berduka, pula teringat akan keselamatan gurunya, maka ia cuma memberi jawaban sekedarnya, lalu Hi-tiok ditariknya dan berkata, "Siausuhu, marilah ikut aku kedalam."

Tapi Hi-tiok memandang Hian-lan dengan ragu untuk menantikan petunjuk orang tua itu.

Maka Hian-lan berkata, "So-cianpwe adalah tokoh terhormat, jika beliau ada pesan apa-apa, hendaklah kamu menurut saja."

Hi-tiok mengiakan, lalu ikut So Sing-ho masuk kerumah itu melalui lubang papan yang bobol tadi, Sekilas So Sing-ho lantas tarik sepotong papan lain untuk menutup lubang itu.

Sebagai orang kang-ouw yang banyak berpengalaman, dengan sendirinya semua orang yang berada diluar itu paham maksud So Sing-ho agar orang lain tidak dapat ikut masuk untuk mengintip, dan sudah tentu tiada seorang pun yang suka ikut campur urusan itu, Satu-satunya orang yang tidak berpengalaman itu adalah Toan Ki saja, Tapi kini perhatian pemuda itu lagi ditumplekkan kepada Giok-yan seorang, bahkan masuknya So Sing-ho dan Hi-tiok kedalam rumah juga tak diketahuinya, sudah tentu ia tidak sempat lagi untuk mengurusi kejadian itu.

Setelah So Sing-ho membawa masuk Hi-tiok kedalam rumah dan beruntun menerobos kedua dinding papan, akhirnya tertampaklah sikakek meringkuk diatas lantai, waktu diperiksa, nyata orangnya sudah meninggal, Hal ini memang sudah diduga sebelumnya, tapi Toh berduka juga So Sing-ho, ia terus berlutut dan menjura beberapa kali, katanya dengan menangis,

"Suhu, engkau telah meninggalkan Tecu untuk selamanya!"

Baru sekarang Hi-tiok percaya penuh bahwa sikakek memang benar adalah guru So Sing-ho.

Lalu Si Sing-ho berhenti menangis dan berbangkit, ia pondong jenazah gurunya dan membiarkannya duduk bersandar dinding, lalu ia tarik Hi-tiok dan suruh dia juga duduk bersandar dinding sejajar dengan jenazah sikakek.

Diam-diam Hi-tiok heran, "Untuk apa dia suruh aku duduk disamping mayat orang tua ini? Jangan....janganjangan dia ingin aku mati bersama dengan gurunya?"

Berpikir begitu, ia merasa ngeri, ia bermaksud berdiri, tapi tidak berani, Ia lihat So Sing-ho lagi membetulkan pakaiannya yang hangus itu, habis itu mendadak berlutut dan menyembah padanya, sambil berkata,

"Murid Siau-yau-pai yang celaka, So Sing-ho! Memberi sembah bakti kepada Ciangbunjin baru."

Karuan Hi-tiok bingung, ia kira orang ini barangkali sudah gila? Maka cepat ia pun berlutut dan balas menjura kepada So Sing-ho dan menjawab, "Ai, kenapa Locianpwe memberi hormat sedemikian rupa kepadaku, sungguh Siauceng tidak berani terima."

Tapi So Sing-ho berkata lagi dengan sungguh-sungguh, "Sute, engkau adalah murid 'tutup pintu'(maksudnya murid paling buncit) guruku dan adalah ketua pula dari golongan kita, Meski aku adalah Suhengmu, tapi juga mesti menyembah padamu!"

"Ini...ini..." sahut Hi-tiok dengan serba berabe, Ia tahu sekarang bahwa So Sing-ho cukup waras dan bukan orang gila seperti disangkanya tadi. Ia jadi lebih serba susah untuk bicara.

"Sute," kata So Sing-ho pula, "Jiwaku ini berkat pertolonganmu, cita-cita Suhu juga engkau yang melaksanakannya, maka sudah selayaknya engkau menerima beberapa kali sembahku tadi, Suhu suruh engkau mengangkat guru padanya, untuk itu engkau harus menjura sembilan kali, engkau sudah melakukannya tidak?"

"Menjura memang sudah, cuma waktu itu aku tidak tahu itulah upacara mengangkat guru," sahut Hi-tiok. "Aku adalah anak murid Siau-lim-pai, aku tidak dapat masuk lagi keperguruan lain."

"Kuyakin Suhu juga sudah memikirkan hal ini," ujar Sing-ho, "maka sebelumnya ilmu silat yang kau miliki pasti sudah dipunahkan oleh beliau dengan Hoa-kang-tai-hoat, lalu mengajarkan kungfu golongan kita sendiri, Suhu sudah menurunkan segenap kekuatan yang diyakinkannya selama hidup kepadamu, betul tidak?"

Terpaksa Hi-tiok mengangguk dan membenarkan.

"Cincin besi tanda pengenal sebagai Ciangbunjin golongan kita ini adalah Suhu sendiri yang telah pasang pada jarimu, betul tidak?" tanya So Sing-ho lagi.

"Benar," sahut Hi-tiok, "Tapi....tapi sama sekali aku tidak tahu tanda pengenal Ciangbunjin apa cincin ini."

Segera Sing-ho duduk bersila menghadapi Hi-tiok, katanya, "Sute, rejekimu sungguh maha besar. Aku dan Ting Jun-jiu sudah mengimpikan cincin besi ini selama beberapa puluh tahun dan tetap tidak berhasil mendapatkannya, sebaliknya hanya dalam waktu tiada satu jam berkumpul dengan Suhu dan beliau sudah penujui dirimu."

Lekas-lekas Hi-tiok mencopot cincin besi itu dan berkata, "Boleh Cianpwe ambil saja cincin ini, toh bagiku tiada gunanya sedikit pun."

Ternyata cincin besi itu banyak terukir guratan yang tajam, karena Hi-tiok melepaskannya dengan keras hingga jarinya tergores lecet.

So Sing-ho menjadi kurang senang, katanya, "Sute, pesan penting sebelum Suhu wafat itu mana boleh kau hindarkan kewajibanmu itu? Suhu telah menyerahkan cincin ini padamu, ini menandakan beliau menyuruhmu membasmi keparat Ting Jun-jiu, betul tidak?"

"Benar, tapi kepandaianku terlalu rendah mana dapat memikul kewajiban seberat itu?"

"Tadi sekali turun tangan saja sudah kau bikin Ting Jun-jiu terbakar ngacir, bukti sudah nyata, masakah dapat disangkal lagi?"

"Aku....aku yang turun tangan? Ah, mana....mana bisa jadi?" ujar Hi-tiok dengan heran.

"Sute." kata Sing-ho dengan menghela napas, "Seluk-beluk urusan kita ini banyak yang belum kau ketahui, sekarang biarlah kuceritakan secara ringkas saja, Golongan kita ini bernama Siau-yau-pai, selamanya kita berpegang pada suatu peraturan, yaitu jabatan Ciangbunjin kita tidak perlu harus dipegang oleh murid tertua, tapi didasarkan atas ilmu silat masing-masing, Kepandaian siapa paling kuat, dialah yang menjadi ketua. Guru kita mempunyai dua orang Suheng, tapi pada saat kakek guru hendak meninggal, sesudah tiga muridnya

bertanding, Suhu kita keluar sebagai juara dan menjabat sebagai ketua, Kedua Supek kita itu merasa penasaran dan masing-masing lantas pergi jauh kenegeri asing......

Kemudian Suhu menerima aku dan Ting Jun-jiu sebagai murid, Suhu menetapkan suatu aturan, karena ilmu yang dipelajari beliau sangat luas, maka barang siapa diantara kami ingin menjadi Ciangbunjin diharuskan juga bertanding segala macam ilmu ajaran Suhu itu, tidak cuma bertanding silat saja, tapi juga mesti berlomba tentang senilukis, seni musik, seni catur, seni tulis dan lain-lain. Ting Jun-jiu sendiri selain meyakinkan ilmu silat, ilmu lain-lainnya boleh dikatakan tidak becus, karena merasa tiada harapan untuk menjadi Ciangbunjin, ia lantas turun tangan keji lebih dulu, Suhu telah disergapnya hingga terjerumus kedalam jurang, kemudian aku dilukai pula hingga parah."

"Waktu itu ternyata Ting Jun-jiu tidak tega membunuhmu." ujar Hi-tiok.

"Jangan kau kira dia punya rasa kasihan pedaku hingga tidak mengganggu jiwaku." tutur Sing-ho. "Soalnya waktu itu aku telah berkata padanya, 'Jun-jiu, saat ini ilmu silatmu meski lebih tinggi dari padaku, tapi ilmu silat Siau-yau-pai yang paling mujizat sedikitpun belum kau temukan, Apakah kamu tidak ingin membaca kitab Siau-yau-gi-hong?', Sute, hendaklah diketahui bahwa golongan kita disebut 'Siau-yau-pai' asalnya adalah karena kitab 'Siau-yau-gi-hong' itu, Ilmu silat yang tercantum dalam kitab pusaka itu boleh dikatakan susah dijajaki luasnya, Kitab ini biasanya dipegang oleh Ciangbunjin, Tapi Ciangbunjin dari setiap angkatan palingpaling juga cuma dapat memahami sebagian kecil saja dari ilmu sakti dalam kitab itu. Ketika mendengar ucapan itu, Ting Jun-jiu lantas berkata, 'Baiklah, boleh kau serahkan kitab itu dan jiwamu akan kuampuni',

Tapi aku menjawab, "Aku bukan Ciangbunjin, darimana bisa kuserahkan kitab itu padamu? Namun aku tahu dimana Suhu menyimpan kitab itu, kalau ingin kau bunuhku, nah, silahkan turun tangan, lekas!'

"Lalu ia main gertak, 'Hm, kitab itu sudah tentu disimpan ditepi Sing-siok-hai, masakah aku tidak tahu?', Kataku, 'Benar, memang disimpan disana, kalau kau yakin dapat menemukannya, silakan lekas kesana', Ia menjadi ragu, ia tahu luas Sing-siok-hai meliputi beberapa ratus li persegi, tempat penyimpanan satu jilid kitab sekecil itu sudah tentu sukar ditemukan, Akhirnya ia menjawab, 'Baik, aku takkan membunuhmu, Tapi sejak kini kamu harus pura-pura tuli dan berlagak bisu, dilarang membocorkan rahasia golongan kita ini kepada orang luar'.

Nah, coba dengarkan, sebabnya dia tidak membunuhku adalah karena dia masih mengharapkan akan mendapatkan petunjuk tempat penyimpanan kitab pusaka itu dari mulutku, Kemudian dia menetap ditepi Singsiok-hai, boleh dikatakan hampir setiap potong batu pun sudah dibalik dan kitab 'Siau-yau-gi-hong' tetap tidak ditemukan olehnya, Tapi setiap sepuluh tahun satu kali tentu ia cari perkara padaku, baik minta secara halus maupun main gertak secara kasar, semua akal telah dipakainya, Dan sekali ini kembali dia datang lagi hendak tanya padaku, tampaknya tiada harapan lagi, pula melihat aku telah melanggar sumpah, maka aku lantas hendak dibunuh olehnya."

"Dan untung Cianpwe....."

"Engkau adalah Ciangbun golongan kita, mengapa memanggilku sebagai Cianpwe, harus panggil Suko saja," potong So Sing-ho.

Diam-diam Hi-tiok merasa pusing oleh persoalan Ciangbunjin segala, maka sahutnya, "Engkau benar Suhengku atau bukan sementara ini tak perlu kita bicarakan, andaikan benar Suhengku toh juga terhitung Cianpwe."

"Ya, benar juga," sahut Sing-ho menganggukkan, "Dan untung tentang apa?"

"Untung Cianpwe dapat menguasai diri, sudah cukup piara tenaga, sampai detik terakhir barulah memberi gempuran dahsyat, sehingga Sing-siok Lokoai dibikin ngacir."

"Sute, engkau salah tentang hal ini," kata Sing-ho sambil goyang-goyang tangan, "Sudah terang engkau yang membantuku dengan menggunakan ilmu sakti ajaran Suhu kita, maka jiwaku dapat diselamatkan, tapi mengapa engkau masih merendah hati dan tidak mau mengaku? Kita adalah sesama saudara seperguruan, jabatan Ciangbun sudah ditetapkan, jiwaku engkau pula yang menolong, betapapun aku tidak nanti mengincar jabatan Ciangbun ini, selanjutnya hendaknya kau anggap saja seperti orang sendiri."

"Bilakah aku pernah membantumu? Apalagi tentang menolong jiwamu, lebih-lebih aku tidak tahu." ujar Hitiok.

So Sing-ho berpikir sejenak, lalu katanya, "Ya, mungkin hal itu terjadi atas ketidak sengajaanmu, Tapi, pendek kata ketika tanganmu memegang punggungku, ilmu sakti perguruan kita lantas menyalur kebadanku dan sebab itulah aku dapat mengalahkan Ting Jun-jiu."

"O, kiranya begitu, Dan itu pun Suhumu yang menolong jiwamu dan bukan aku."

"Kalau kau bilang Suhu yang menolongku dengan melalui tanganmu, dapatkah engkau menyetujui?"

"Ya, jika engkau berkeras ingin aku mengaku bolehlah aku menyetujui." sahut Hi-tiok terpaksa.

Lalu So Sing-ho bicara pula, "Ting Jun-jiu sebenarnya ingin merampas cincin besi jika Suhu ditewaskan, lalu

ia akan minta petunjuk kepada seseorang tentang ilmu silat dalam kitab 'Siau-yau-gi-hong', Tak ia duga Suhu jatuh kejurang dan menghilang untuk seterusnya, Lebih-lebih tak terduga olehnya bahwa Suhu tidak tewas, hanya terluka parah dan kedua kaki patah sebatas lutut, Beberapa tahun kemudian Suhu dapat berjumpa pula dengan aku, beliau lalu memperhitungkan cara untuk mengatasi Ting Jun-jiu, beliau merasa perlu mencari seorang pemuda yang cakap lahir batin, tidak hanya wajahnya bagus tapi otaknya juga harus tajam.. "

Mendengar kata-kata "pemuda", diam-diam Hi-tiok berkerut kening, pikirnya, "Untuk melatih ilmu silat, apa sangkut pautnya dengan muka bagus atau jelek? Berulang mereka guru dan murid menyebut muka bagus bagi ahli-waris yang hendak mereka cari, entah apa sebabnya?"

So Sing-ho melirik sekejap padanya, lalu menghela napas pelahan.

Hi-tiok lantas berkata, "Mukaku jelek, pasti tidak memenuhi syarat untuk menjadi ahli-waris gurumu, Locianpwe lebih baik kau cari lagi seorang pemuda cakap dan ganteng, lalu ilmu sakti gurumu ini akan kuserahkan padanya."

So Sing-ho melengak, sahutnya, "Ilmu sakti golongan kita ini harus se-jiwa se-daging dengan orangnya, ilmu ada orangnya hidup, ilmu lenyap orangnya mampus, Seperti Suhu, setelah menurunkan ilmu saktinya padamu, lalu beliau wafat, masakah kamu tidak menyaksikannya?"

"Ai, celaka, lantas bagaimana baiknya?" seru Hi-tiok sambil mengentak kaki. "Bukankah aku akan bikin runyam urusan gurumu dan Locianpwe ini?"

"Sute, justru itulah tugas yang dibebankan atas pundakmu," sahut Sing-ho. "Sebabnya Suhu memasang problem catur itu, tujuannya adalah untuk seleksi kepandaian setiap pemain, Beliau berkata padaku, biarpun kutahu kamu bukan orang yang cocok, tapi aku pun tidak mau pilih kasih, kamu juga boleh ikut coba-coba, asal keu mampu memecahkan problem ini, maka aku pun akan menurunkan ilmu sakti dan menyerahkan cincin besi ini padamu."

"Tapi meski aku sudah peras otak selama tigapulh tahun tetap tidak sanggup memecahkan problem catur ciptaan Suhu itu, Sute, akhirnya hanya engkau saja yang dapat memecahkannya, tentang kecakapan batin pembawaanmu sudah terang memenuhi syarat."

"Tidak," sahut Hi-tiok. "Aku justru tidak memenuhi semua syarat, Sebab problem catur itu pada hakikatnya bukan aku yang memecahkannya."

Lalu ia ceritakan apa yang terjadi itu, ia katakan Hian-lan yang diam-diam telah membisikinya tentang langkah

catur itu.

Sudah tentu So Sing-ho merasa sangsi, katanya, "Tapi kalau melihat keadaan Hian-lan Taisu, tampaknya dia sudah terkena tangan keji Ting Jun-jiu, ilmu saktinya sudah punah dan rasanya tidak dapat lagi menggunakannya."

Sesudah merandek, lalu ia menyambung, "Namun Siau-lim-pai adalah pusatnya dunia persilatan, boleh jadi Hian-lan Taisu memang sengaja pura-pura lemah, Sute, untuk mencari orang agar dapat ikut memecahkan problem catur itu, maka dengan segala daya-upaya telah kupancing orang supaya datang kemari, Buyungkongcu dari Koh-soh itu berwajah bagus, ilmu silatnya serba pintar, sebenarnya dia seorang calon pilihan yang sangat baik, tapi dia justru tidak mampu memecahkan problem catur itu."

"Benar, Buyung-kongcu terang beratus kali lebih hebat dari padaku," kata Hi-tiok, "Dan ada pula Toan-kongcu dari Tayli, dia juga seorang pemuda tampan."

"Ai, hal ini jangan disebut lagi." kata Sing-ho. "Sudah lama aku mendengar bahwa Tin-lam-ong Toan Cing-sun dari Tayli mahir ilmu sakti It-yang-ci, yang paling susah dicari bandingannya, adalah kepandaiannya memikat kaum wanita, tak peduli apakah perawan suci atau gadis basi, asal ketemu dia tentu kesemsem dan jatuh hati."

"Dengan susah payah aku mendapat akal untuk memancingnya kemari, kukirim anak muridku ke Tayli, dan mengatakan padanya bahwa 'Koh-soh Buyung-si telah menciptakan suatu ilmu yang khusus dipakai mengalahkan It-yang-ci'. Siapa tahu dia sendiri tidak datang kemari, yang muncul justru putranya yang ketololtololan."

"Aku tidak memperhatikan dia, cuma kulihat pandangannya seakan-akan melekat pada diri nona Ong itu," kata Hi-tiok dengan tersenyum.

So Sing-ho goyang-goyang kepala, katanya, "Sialan, Toan Cing-sun itu terkenal sebagai lelaki paling romantis didunia persilatan, wanita manapun tentu suka padanya, tapi putranya sedikit pun tidak mirip dia, benar-benar tidak becus dan membikin malu ayahnya, Dengan mati-matian ia hendak merebut hati nona Ong itu, tapi nona Ong justru acuh tak acuh padanya, Ai, sungguh menjengkelkan orang."

"Cinta Toan-kongcu itu tampak sungguh-sungguh, seharusnya jauh lebih baik daripada kelakuan pemuda bangor umumnya, mengapa Cianpwe bilang 'sialan'?" ujar Hi-tiok.

"Habis, mukanya memang bagus, tapi otaknya bebal, terhadap kaum perempuan sedikitpun tidak berdaya, makanya kita pun tidak bisa memakai dia." sahut Sing-ho.

"O!" Hi-tiok bersuara singkat, Diam-diam ia girang juga, pikirnya, "Kiranya kalian ingin mencari seorang pemuda cakap untuk melayani kaum wanita, Jika demikian, untunglah aku, Sebab betapa pun juga tidak mungkin hwesio jelek seperti siluman macamku itu akan dapat kau pakai."

Lalu Sing-ho bertanya pula, "Sute, apa Suhu tidak memberi sesuatu petunjuk jalan supaya kau pergi mencari seseorang? Atau mungkin memberikan sesuatu peta dan benda lainnya?"

Hi-tiok melengak sejenak, ia merasa urusan bisa runyam lagi, hendak dia sangkal, tapi sejak kecil ia digembleng di Siau-lim-si, sebagai seorang padri alim ia tidak suka berdusta, maka akhirnya ia menjawab juga dengan tergagap. "Ya, hanya....hanya ini saja gurumu memberikan padaku."

Lalu ia mengeluarkan gulungan kertas itu dari dalam bajunya.

Tertampak So Sing-ho bersikap sangat menghormat dan tidak berani menyentuh gulungan kertas itu, Maka Hitiok lantas membukanya sendiri.

Sesudah gulungan kertas itu terbentang, kedua orang sama-sama kesima dan tanpa terasa bersuara heran berbareng, Kiranya gulungan kertas itu bukan melukiskan sesuatu peta bumi atau pemandangan alam segala, tapi adalah gambar seorang gadis cantik dengan dandanan sebagai putri keraton.

"Hah, kiranya potret nona Ong diluar itu." ujar Hi-tiok.

Namun lukisan itu tampak sangat tua kertasnya sudah bersemu kuning, andaikan tidak ratusan tahun sedikitnya juga ada tigapuluh-empatpuluh tahun lamanya, begitu pula cat lukisan itu jauh lebih tua daripada Ong Giokyan, tapi toh ada orang bisa melukis muka Giok-yan pada ratusan atau beberapa puluh tahun yang lalu, sungguh hal ini sukar untuk dimengerti.

Lukisan itu sangat indah, goresannya jelas, orang yang dilukis itu laksana hidup saja, benar-benar seperti Ong Giok-yan yang diperkecil, lalu digepengkan dan ditrapkan dalam lukisan itu.

Kalau diam-diam Hi-tiok sangat heran, ketika ia pandang So Sing-ho, tampak orang tua itu lagi corat-coret dengan jarinya untuk menirukan goresan lukisan itu, sesudah memuji dan termangu-mangu sejenak, akhirnya mendadak seperti tersadar dari impian dan berkata, "Sute, maafkan sifat Suhengmu ini telah kumat lagi, asal melihat lukisan indah Suhu, segera aku lupa daratan dan ingin mempelajarinya, Ai, dasar tamak, segalanya aku ingin belajar, sampai akhirnya tiada sesuatu yang dapat kuyakinkan benar-benar dan terpaksa mesti menelan

kekalahan besar dari Ting Jun-jiu."

Sembari bicara, ia terus menggulung kembali lukisan itu dan cepat-cepat diserahkan pada Hi-tiok seperti kuatir akan terpengaruh lagi oleh gaya lukisan itu. Lalu ia pejamkan mata sambil goyang-goyang kepala sekeraskerasnya seolah-olah hendak membuang lukisan yang telah dilihatnya itu dari ingatannya, Sejenak kemudian, ia membuka mata dan berkata pula, "Dan apa yang dikatakan Suhu ketika menyerahkan lukisan ini padamu?"

"Beliau mengatakan kepandaianku sekarang ini tidak cukup untuk membasmi Ting Jun-jiu, maka harus menuruti petunjuk gulungan lukisan ini dan pergi ke Thian-san wilayah Barat untuk mencari kitab pusaka ilmu silat yang disimpannya disana dahulu, Tapi aneh, beliau mengatakan lukisan ini menggambarkan tempat semayamnya dahulu, seharusnya kan suatu gambar pemandangan alam dipegunungan yang indah, mengapa adalah potret nona Ong malah? Jangan-jangan beliau salah memberikan lukisan ini padaku?"

"Setiap tindakan Suhu memang susah untuk diperkirakan orang lain, tapi bakatmu sangat tinggi sampai waktunya nanti tentu kamu akan paham sendiri," ujar So Sing-ho, "Dan kamu harus tunduk kepada perintah Suhu, lekas berdaya menyaksikan ilmu yang dimaksudnya itu untuk membunuh Ting Jun-jiu."

"Tapi....tapi Siauceng adalah murid Siau-lim-pai dan harus segera pulang melapor kesana." sahut Hi-tiok dengan tergegap. "Dan sepulangnya disana, aku....aku takkan keluar lagi."

Keruan Sing-ho terkejut, ia melompat bangun sambil menangis, lalu ia berlutut pula didepan Hi-tiok dan menyembah tiada hentinya, Katanya,

"Ciangbunjin, jika engkau tidak taat pada pesan Suhu itu bukankah berarti beliau telah mati sia-sia."

Cepat Hi-tiok berlutut juga dan balas menyembah, sahutnya, "Siauceng sudah masuk pintu suci, dilarang marah dan pantang membunuh, tadi aku menyanggupi pada gurumu akan membunuh Ting Jun-jiu, tapi sekarang aku merasa menyesal, Peraturan Siau-lim-pai kami sangat keras, betapa pun Siauceng tidak berani menyeleweng dan masuk perguruan lain serta berbuat sembarangan."

Begitulah meski So Sing-ho telah memohon dengan sangat sambil menangis, membujuk dengan kata-kata manis, bahkan dengan cara menggertak dan mengancam, tapi Hi-tiok tetap tidak mau terima.

Saking tidak berdaya lagi dan merasa putus asa, akhirnya Sing-ho berkata kepada jenazah gurunya, "Suhu, Ciangbunjin tidak mau taat kepada pesan tinggalanmu, aku pun tidak berdaya menyadarkan dia, maka biarlah aku menyusul engkau dialam baka saja."

Habis berkata, sekali lompat keatas, dengan kepala dibawah dan kaki diatas ia terus terjun kebawah dengan maksud membenturkan kepalanya pada lantai batu yang keras itu.

"He, hei! Jangan!" teriak Hi-tiok kaget dan cepat ia sambar tubuh Sing-ho dan dirangkulnya erat-erat, Sekarang tenaga dalamnya sudah sangat kuat, gerak-geriknya juga gesit dan cepat, maka sekali terpegang So Sing-ho lantas tak bisa berkutik lagi.

"Kenapa engkau melarang aku membunuh diri?" tanya So Sing-ho.

"Cut-keh-lang mengutamakan welas-asih, sudah tentu aku tidak boleh menyaksikan engkau mati tanpa menolong," sahut Hi-tiok.

"Lepaskan, aku tidak ingin hidup lagi!"

"Tidak, takkan kulepaskan!"

"Habis, apakah selama hidup akan kau pegang aku seperti ini ?"

Hi-tiok pikir benar juga teguran ini, maka ia lantas putar tubuh orang hingga kepala ditegakkan keatas dan taruh kakinya diatas tanah, Lalu katanya, "Baiklah, biar kulepaskan engkau, tapi engkau tidak boleh membunuh diri!"

Jilid 54
Tiba-tiba So Sing-ho tergerak kecerdikannya, katanya, "Engkau melarang aku membunuh diri? Baik, sudah seharusnya aku tunduk kepada perintah Ciangbunjin, Haha, bagus, akhirnya engkau sanggup juga menjadi Ciangbunjin kita!"

"Tidak, aku tidak mau, bilamana aku menyanggupi?" sahut Hi-tiok sambil menggeleng kepala.

"Hahahaha, tiada gunanya engkau mungkir lagi, Ciangbunjin," kata Sing-ho dengan tertawa, "Engkau sudah memberi perintah padaku dan aku sudah menuruti perintahmu, selanjutnya aku tidak berani membunuh diri lagi. Hm, aku Cong-pian Siansing ini tokoh macam apa? Kecuali kata-kata Ciangbunjin sendiri, siapa lagi yang berani main perintah padaku? Kalau tidak percaya, boleh kau tanya Hian-lan Taisu, sekalipun ketua Siau-lim-si juga tidak berani memberi perintah padaku."

Nama Cong-pian Siansing alias Liong-ah Lojin didunia kang-ouw memang sangat kesohor, Bahwasanya tiada orang yang berani main perintah padanya memang bukan omong kosong. Maka Hi-tiok menjawab, "Bukan aku berani memberi perintah padamu, tapi aku cuma menganjurkan supaya sayang pada jiwamu sendiri, itu adalah maksud baikku saja."

"Aku tidak tanya apakah engkau bermaksud baik atau bermaksud jelek, pendek kata engkau suruh aku mati, segera aku akan mati, jika kau suruh aku hidup, maka aku pun tidak berani tidak hidup. Perintah mati atau hidup ini adalah hak tertinggi didunia ini, jika engkau bukan Ciangbunjin kita, mana boleh sembarang suruh aku mati atau hidup?"

Karena kewalahan, terpaksa Hi-tiok bilang, "Ya, sudah, Jika begitu, perkataanku tadi kubatalkan saja."

"Kau batalkan perintah 'melarang aku bunuh diri', itu berarti suruh aku membunuh diri, Baik, aku menurut, sekarang juga aku lantas bunuh diri."

Caranya membunuh diri ternyata sangat istimewa, lebih dulu ia loncat keatas, lalu dengan terjungkir ia terjun kebawah.

Tapi segera Hi-tiok merangkulnya, katanya, "Jangan, jangan! Aku tidak minta kau bunuh diri."

"O, kamu melarang aku bunuh diri lagi?" kata Sing-ho. "Baik, aku terima perintah Ciangbunjin ini."

Hi-tiok lepaskan Sing-ho pula, ia garuk-garuk kepala sendiri yang gundul kelimis itu dan tidak sanggup bicara.

Nyata So Sing-ho memang tidak percuma berjuluk sebagai "Cong-pian Sian-sing", si-tajam mulut, dia memang seorang yang pandai bicara dan pintar berdebat, Sebaliknya Hi-tiok masih muda, masih hijau plonco, tidak berpengalaman apa-apa, sudah tentu tidak dapat meleyani debatan Sing-ho itu.

Maka sesudah tertegun sejenak, akhirnya ia berkata. "Cianpwe, aku tidak mampu berdebat denganmu, Tapi jika kau ingin aku masuk ke-perguruanmu, betapa pun aku tetap keberatan."

"Waktu kita masuk kesini tadi, apa yang telah Hian-lan Taisu pesan padamu?" ujar Sing-ho. "Kamu tunduk kepada apa yang dikatakan Hian-lan Taisu atau tidak?"

Hi-tiok melengak, sahutnya dengan tergegap, "Su....Susiokco suruh...suruh aku menurut kepada segala ucapanmu."

"Nah, itu dia!" seru Sing-ho dengan senang. "Hian-lan Taisu suruh kamu menurut perkataanku maka kubilang kamu harus taat kepada pesan tinggalan Suhu kita dan jadilah Ciangbunjin. Tapi sebagai Ciangbunjin Siau-yaupai, kaupun boleh tidak gubris kepada kata-kata padri Siau-lim-pai itu, Maka bila kau turut pesan Hian-lan Taisu, kamu harus menjadi Ciangbunjin Siau-yau-pai, dan bila kamu tidak tunduk kepada kata-kata Hian-lan Taisu, kaupun Ciangbunjin Siau-yau-pai, sebab hanya sesudah menjadi Ciangbunjin barulah boleh kau kesampingkan pesan Hian-lan Taisu itu."

Uraian So Sing-ho ini membikin Hi-tiok termangu-mangu lagi, ia merasa apa yang dikatakan itu bolak-balik memang betul juga.

Lalu Sing-ho melanjutkan, "Sute, Hian-lan Taisu dan beberapa padri Siau-lim-si lain telah terkena tangan jahat Ting Jun-jiu, kalau mereka tidak ditolong, jiwa tentu akan melayang dalam waktu singkat, Didunia ini sekarang hanya engkau saja seorang yang mampu menolong mereka. Tapi soal apa kau akan menolong mereka atau tidak adalah tergantung kepada keputusanmu."

"Hah, apa benar Susiokco terkena tangan jahat Ting Jun-jiu?" seru Hi-tiok kaget.

"Masakah aku berani dusta pada Ciangbunjin?" sahut Sing-ho. "Jika Ciangbunjin tidak percaya, silahkan coba

tanya padanya diluar."

"Bukan aku tidak percaya, tapi kupikir ilmu sakti Susiokco jarang ada tandingannya di-jagat ini, mengapa....mengapa bisa dikalahkan Ting Jun-jiu?"

"Hian-lan Taisu adalah padri saleh jaman ini, tadi waktu aku terancam Ting Jun-jiu, tampaknya Hian-lan Taisu ada maksud buat membantu, cuma sayang kepandaiannya sudah punah, maksud ada tenaga kurang, hingga tidak dapat berbuat apa-apa, Tapi aku tetap sangat terima kasih kepada maksud baiknya."

Hi-tiok pikir apa yang dikatakan itu memang benar, tatkala berbahaya tadi, tidak mungkin sang Susiokco berpeluk tangan tanpa menolong kecuali kalau Susiokco sudah tahu bahwa So Sing-ho sengaja memancing musuh dan yakin pasti akan menang. Dan apakah benar kepandaian orang tua itu sudah punah, sebentar tentu akan dapat diketahui, rasanya So Sing-ho tidak sampai berdusta.

Maka ia lantas tanya, "Kau bilang aku dapat menolong dia? Tapi cara bagaimana aku harus menolongnya?"

"Sute." kata Sing-ho dengan tersenyum, "Golongan kita tidak melulu terkenal dalam ilmu silat saja, tapi kepandaian kita meliputi ilmu pertabiban, perbintangan, kesusastraan, pendek kata segala ilmu pengetahuan tentang apa saja. Ada seorang Sutitmu yang bernama Sih Boh-hoa, sebenarnya ilmu pertabiban yang dia pahami cuma sekelumit saja, tapi orang kang-ouw sudah lantas menyebutnya sebagai 'tabib sakti' dan dijuluki sebagai 'Giam-ong-tek'(musuh raja akhirat). Haha, sungguh menggelikan! Nah, ketahuilah bahwa Hian-lan Taisu telah kena Hoa-kang-tai-hoat Ting Jun-jiu, Taisu yang bermuka lebar itu terluka oleh pukulan 'Peng-janciang' sikepala besi itu dan Taisu yang jangkung itu terluka urat nadi dibawah iga kiri karena tendangan Ting Jun-jiu...." Begitulah ia mencerocos terus menguraikan keadaan luka setiap orang.

Karuan Hi-tiok sangat kagum dan terkejut pula. katanya, "Cianpwe, kulihat tadi engkau asyik benar memperhatikan catur, mengapa kau tahu sedemikian jelas tentang keadaan orang yang terluka itu?"

"Luka yang terjadi dalam pertarungan adalah paling gampang untuk diketahui, sekali lihat saja pasti tahu, Hanya penyakit seperti demam, pilek, mencret, itulah yang sukar diketahui. Sute, sekarang kamu memiliki Siau-yau-sin-kang yang dilatih Suhu selama tujuhpuluh tahun, kalau digunakan untuk menyembuhkan penyakit boleh dikatakan pasti 'tok-cer', sekali pegang tentu jadi. Misalnya untuk memulihkan tenaga Hian-lan Taisu yang sudah dipunahkan itu memang tidak mudah, tapi untuk menyembuhkan lukanya dan menyelamatkan jiwanya boleh dikata segampang ambil barang disaku sendiri."

Habis itu ia lantas mengajarkan kepada Hi-tiok cara-cara membuka hiat-to mengurut dan mengerahkan tenaga, untuk menawarkan racun dingin yang terkena pukulan Yu Goan-ci itu.

Karena niat Hi-tiok memang ingin menolong sang Susiokco dan para paman gurunya, maka ia ingat dengan baik semua ajaran So Sing-ho itu.

Cuma saja praktek ia paham tapi teori tidak tahu, jadi tahu cara menyembuhkan penderita-penderita itu, tapi tidak tahu sebab apa penderita-penderita bisa disembuhkan.

Sesudah So Sing-ho suruh Hi-tiok mencoba beberapa kali apa yang diajarkan itu dan ternyata betul semua, maka dengan tersenyum ia memuji, "Bakat dan daya terima Ciangbunjin benar-benar sangat tinggi, sekali diberitahu sudah lantas paham."

Melihat senyuman orang agak aneh dan mencurigakan, seolah-olah tidak mengandung maksud baik, mau tak mau Hi-tiok menjadi sangsi, ia tanya, "Mengapa kamu tersenyum?"

Seketika Sing-ho bersikap sungguh-sungguh, dengan penuh hormat ia minta maaf pada sang Ciangbunjin.

Karena ingin lekas menolong Hian-lan dan lain-lain, Hi-tiok tidak tanya lebih jauh, katanya, "Marilah kita keluar!"

So Sing-ho mengiakan dan lantas ikut keluar bersama Hi-tiok.

Setiba dipekarangan luar, tertampaklah para penderita itu semuanya duduk bersila diatas tanah, mata terpejam dan sedang mengumpulkan tenaga.

Buyung Hok tampak lagi menggunakan lwekangnya untuk meringankan penderitaan Hong Po-ok.

A Pik sudah siuman kembali dan sedang merintih-rintih, Sesudah siuman, sudah tentu ia dapat merasakan derita sakit yang lebih hebat daripada waktu pingsan, Khim-sian Kheng Kong-leng, sidewa kecapi duduk disamping anak dara itu dan sedang menghiburnya dengan kata-kata manis seperti lakunya seorang ayah membujuk anaknya.

Sih Boh-hoa kelihatan mondar-mandir diantara orang-orang terluka itu, sebentar-sebentar ia lari kesana dan lain saat berlari kesini untuk menolong siapa-apa yang kelihatan payah, Ketika dilihatnya So Sing-ho sudah keluar, ia merasa lega dan cepat mendekati sang guru, katanya, "Suhu, lekas Suhu menolong mereka!"

Sementara itu Hi-tiok juga mendekati Hian-lan, ia lihat sang Susiokco lagi duduk dengan mata tertutup, maka ia tidak berani membuka suara, Sejenak kemudian, pelahan Hian-lan membuka mata, ia menghela napas dan berkata, "Susiokco-mu tidak becus hingga membikin malu nama baik golongan kita, sungguh harus disesalkan, Pulanglah dan laporkan kepada Hongtiang, katakan....katakan bahwa aku dan Hian-thong Susiokco-mu tiada muka untuk pulang lagi."

Biasanya Hi-tiok selalu melihat Hian-lan dalam keadaan yang kereng dan berwibawa, tapi sekarang padri tua itu ternyata lesu muram, sikap ksatrianya sama sekali lenyap, bahkan nada ucapannya seakan-akan orang yang sudah putus asa, nyata apa yang dikatakan So Sing-ho tadi bahwa sang Susiokco itu telah terjungkal ditangan Sing-siok Lokoai memang bukan omong kosong.

Dan selagi Hi-tiok hendak turun tangan menyembuhkan Hian-lan, tiba-tiba teringat olehnya senyuman aneh So Sing-ho tadi, tiba-tiba ia terkesiap dan berpikir, "Dia suruh aku menghantam hiat-to pada ubun-ubun kepala susiokco, siapa tahu ini bukan tipu muslihatnya? jangan-jangan sekali pukul kubinasakan Susiokco yang ilmu silatnya sudah punah, kan celaka nanti?"

Melihat sikap Hi-tiok yang ragu-ragu itu, maka Hian-lan berkata pula, "Boleh kau lapor kepada Hongtiang bahwa biara kita masih akan menghadapi malapetaka, hendaknya siap siaga dan waspada."

"Susiokco," kata Hi-tiok, "Jika biara kita masih akan menghadapi bencana besar, maka engkau orang tua justru harus menjaga badanmu dengan baik agar dapat pulang untuk membantu Hongtiang menghadapi musuh?"

Hian-lan tersenyum getir, sahutnya, "Aku... aku sudah terkena 'Hoa-kang-tai-hoat' Ting Jun-jiu, aku sudah menjadi orang cacat, mana bisa kubantu Hongtiang menghadapi musuh?"

Mendengar jawaban itu, Hi-tiok menjadi lebih yakin lagi akan apa yang dikatakan So Sing-ho itu, Tiba-tiba ia mendapat suatu pikiran, katanya, "Susiokco, Cong-pian Siansing telah mengajarkan suatu cara penyembuhan, Tecu secara gegabah ingin coba-coba menyembuhkan Hui-hong Supek, harap Susiokco mengijinkan."

Ia sengaja bicara dengan suara keras hingga didengar oleh para padri angkatan Hui dari Siau-lim-si itu, Menurut perhitungan Hi-tiok bila Susiokco meluluskan dia menyembuhkan Hui-hong, andaikan terjadi kesalahan juga takkan disangka sengaja membikin celaka Supeknya sendiri.

Hian-lan merasa heran oleh permintaan itu, tapi ia tahu Liong-ah Lojin So Sing-ho adalah seorang tokoh luar biasa dan adalah Suheng Ting Jun-jiu. Giam-ong-tek Sih Boh-hoa adalah muridnya, jika dia sudah mengajarkan cara penyembuhan kepada Hi-tiok, maka dapat dipercaya tentu ada alasannya, cuma mengapa dia sendiri tidak mau turun tangan, juga tidak mau suruh Sih-sin-ih?

Namun akhirnya Hian-lan berkata, "Jika Cong-pian Siansing yang mengajarkan padamu, sudah pasti akan sangat berguna, maka boleh kamu mencobanya." Sembari berkata ia pun memandang sekejap kearah So Singho.

Segera Hi-tiok mendekati Hui-hong, lebih dulu ia minta maaf, "Supek, atas izin Susiokco, Tecu hendak menyembuhkan luka Supek."

Habis berkata, ia terus melangkah kesamping kiri, lalu tangan kanan menampar balik, "plok", dengan tepat iga kiri Hui-hong kena dipukulnya. Terdengar Hui-hong bersuara tertahan, tubuh sedikit terguncang, kontan ia merasa dibawah iga seolah-olah berlubang, hawa murni dan darah segar dalam tubuhnya seakan-akan terus menerus mengalir keluar melalui lubang itu hingga dalam sekejap saja walaupun merasa badan menjadi sangat lemah, tapi rasa pegal linu dan gatal akibat pukulan Han-peng-tok-ciang yang dilontarkan Yu Goan-ci itu lenyap seketika.

Kiranya cara penyembuhan Hi-tiok itu bukan menggunakan tenaga dalam sendiri untuk memunahkan racun dingin dalam tubuh Hui-hong, tapi yang digunakan adalah Siau-yang-sin-kang selama tujuhpuluh tahun yang diterimanya dari sikakek, sekali ia hantam iga Hui-hong, maka pada bagian itu lantas terbuka suatu jalan untuk mengeluarkan hawa racun yang maha dingin itu, Jadi mirip orang dipagut ular, lalu luka gigitan ular itu dibelih dan bisa ular dipencet keluar.

Cuma saja cara Hi-tiok itu sebenarnya sangat sukar, bilamana tempatnya keliru, maka hasilnya nihil, bahkan kalau tenaga dalamnya kurang kuat hingga tenaga hantamannya tidak tembus urat nadi yang dituju, maka hawa beracun itu takkan keluar, sebaliknya akan terdesak kedalam jantung dan sipenderita seketika akan binasa.

Karena itu Hi-tiok juga agak kuatir waktu melontarkan pukulannya tadi, ia lihat tubuh Hui-hong tergeliat lalu tegak kembali, air mukanya yang tadinya tampak menderita itu lantas berubah menjadi lega dan enteng. Walaupun cuma sebentar saja, tapi bagi Hi-tiok rasanya seperti lewat beberapa jam lamanya.

Selang sejenak pula, Hui-hong menghela napas lega, lalu katanya dengan tersenyum, "Sutit yang baik, tenaga pukulanmu itu bukan main hebatnya!"

"Terima kasih atas pujian Supek," sahut Hi-tiok. Lalu ia berpaling kepada Hian-lan dan tanya, "Susiokco, para paman guru yang lain akan kusembuhkan pula, apakah boleh!"

"Tidak!" sahut Hian-lan, "Kamu harus menyembuhkan para Cianpwe yang lain baru kemudian menolong orang sendiri."

Hi-tiok terkesiap, tapi ia lantas mengiakan. Ia pikir petunjuk Hian-lan itu memang benar, Siau-lim-si adalah bintang utama didunia persilatan, sudah seharusnya memikirkan orang lain lebih dulu baru kemudian pihak sendiri, dengan demikian barulah menunjukkan sifat seorang kesatria sejati.

Demikianlah, hanya sepatah ucapan Hian-lan saja sudah menyadarkan seorang padri muda sebagai Hi-tiok agar setiap soal harus memikirkan orang lain lebih dahulu baru kemudian pikirkan diri sendiri. Hanya sekejap saja padri muda yang tadinya masih hijau pelonco itu telah dapat memahami sifat asli seorang pahlawan, seorang laki-laki sejati.

Hi-tiok membusungkan dada dan penuh kepercayaan pada diri sendiri, serunya dengan lantang, "Wahai, para ksatria! Cong-pian Siansing telah mengajarkan cara penyembuhan kepadaku, tapi karena baru saja belajar, tentu Siauceng belum terlalu paham, maka kalau ada sesuatu kekurangan harap sudi memaafkan."

Sinar mata semua orang seketika tertumplek atas diri Hi-tiok, semuanya merasa ragu apakah betul dia mampu menyembuhkan mereka.

Tanpa bicara lagi Hi-tiok mendekati Pau Put-tong lebih dulu, "blang", kontan ia hanjut dada orang she Pau itu.

Karuan Pau Put-tong marah-marah dan memaki, "Hwesio kepar....."

Tapi belum lagi kata "Keparat" diucapkan, mendadak ia merasa racun dingin yang menyiksanya selama lebih duapuluh hari itu kini telah membanjir keluar melalui tempat yang baru dihantam itu, Karena itu makian yang hampir diucapkan itu ditelannya kembali mentah-mentah.

Setelah Hi-tiok menyembuhkan racun dingin orang-orang yang terkena pukulan Yu Goan-ci, lalu ia menyembuhkan pula orang-orang yang kena tangan jahat Ting-lokoai. Orang yang dilukai Ting Jun-jiu itu keadaannya tidak sama, ada yang kena Hoa-kang-tai-hoat, untuk ini Hi-tiok cukup menaboknya sekali pada "Pek-hwe-hiat" di-ubun-ubun kepala atau "Leng-tai-hiat" bagian dada, lalu penderita itu akan sembuh. Ada pula yang terluka oleh lwekang Sing-siok-pai yang lihai, untuk ini Hi-tiok mesti menutuk hiat-to masingmasing untuk memunahkan tenaga dalam Sing-siok-pai.

Dasar ingatan Hi-tiok cukup bagus, ia dapat ingat dengan jelas cara penyembuhan yang diajarkan So Sing-ho itu hingga setiap orang yang didekati hanya dalam waktu singkat saja sudah disembuhkan.

Paling akhir ia mendekati Hian-lan, katanya sambil memberi hormat. "Susiokco, dengan sembrono Tecu hendak menabok Pek-hwe-hiat Susiokco."

Hian-lan tersenyum, sahutnya, "Kamu telah dipenujui Cong-pian Siansing hingga diajarkan cara penyembuhan sebagus ini, sungguh rejekimu tidaklah kecil, Boleh kau pukul saja Pek-hwe-hiatku."

"Maaf jika demikian." ujar Hi-tiok sambil membungkuk tubuh.

Biasanya ia tidak berani dekat-dekat dengan padri tua yang kereng itu. Waktu berada di Siau-lim-si jarang ia berhadapan dengan Hian-lan, jika kebetulan ada sidang, paling-paling Hi-tiok juga cuma berdiri dikejauhan ikut mendengarkan saja dan tidak pernah bicara dengan Susiokco itu.

Sekarang ia harus bicara, bahkan akan menabok pula kepala orang tua itu, meski maksudnya menyembuhkan luka, namun tidak urung ia pun agak keder.

Setelah tenangkan diri dan minta maaf pula satu kali, lalu ia melangkah maju, ia angkat tangannya terus menabok Pek-hwe-hiat diatas kepala Hian-lan dengan tidak cepat juga tidak terlalu pelahan.

Siapa sangka, begitu tangannya menyentuh ubun-ubun Hian-lan, sekonyong-konyong padri tua itu menjerit sekali dan mencelat, "bluk" akhirnya terbanting ditanah beberapa meter jauhnya, dan setelah berkelojotan beberapa kali, lalu meringkuk dan tidak bergerak lagi.

Karuan semua orang terkejut, lebih-lebih Hi-tiok. Cepat ia memburu kesana untuk membangunkan Hian-lan. Hui-hong dan kawan-kawannya juga cepat merubung maju.

Waktu Hian-lan diperiksa, ternyata kedua matanya mendelik, mukanya mengunjuk rasa murka, tapi napasnya sudah putus terang sudah binasa.

"Susiokco! Susiokco! Kenapakah engkau?" seru Hi-tiok dengan kaget tak terhingga.

Tiba-tiba sesosok bayangan orang berkelebat, So Sing-ho juga telah memburu tiba dari sebelah sana, Air mukanya tampak meresa bingung, katanya, Ai, tampaknya seperti ada orang membokong dari belakang sana, tapi gerak tubuh orang itu teramat cepat hingga bayangannya saja tak sempat terlihat!"

Segera ia pegang tangan Hian-lan dan periksa nadinya, ia mengerut kening dan berkata pula. "Tenaga Hian-lan

Taisu sudah punah hingga dibawah sergapan musuh sama sekali tak dapat melawan dan sekarang sudah wafat."

Tiba-tiba Hi-tiok teringat kepada senyuman aneh orang tua itu didalam rumah kayu tadi, segera ia menegur dengan marah, "Cong-pian Siansing, hendaknya keu bicara terus terang, sebab apakah Susiokco kami bisa tewas? Bukankah engkau sengaja mencelakai beliau?"

Cepat So Sing-ho berlutut dan berkata, "Lapor Ciangbunjin, Sing-ho sekali-kali tidak berani membikin jelek nama baik Ciangbunjin. Sebabnya Hian-lan Taisu mendadak meninggal adalah benar-benar disergap musuh secara diam-diam."

"Habis mengapa kamu bersenyum aneh dalam rumah tadi, apa sebabnya?" tanya Hi-tiok.

"Senyum apa?" sahut Sing-ho dengan terkejut. "Aku tersenyum tadi? Ciangbunjin, hendaklah waspada, ada orang....."

Belum selesai ucapannya, sekonyong-konyong ia berhenti dan kembali wajahnya menampilkan senyuman yang aneh dan mencurigakan.

"Suhu!" teriak Sih Boh-hoa, Cepat ia mengeluarkan sebotol pil penawar racun dan menuangkan tiga biji terus dijejalkan kemulut sang guru, Namun lebih dulu napas So Sing-ho sudah putus, obat itu terhenti dalam mulutnya dan tidak tertelan.

Maka menangislah Sih Boh-hoa tergerung-gerung sambil sesambatan, "O, Suhu telah dibunuh Ting Jun-jiu secara keji, bangsat Ting Jun-jiu telah....." Sampai disini suaranya manjadi serak dan susah meneruskan lagi.

Tiba-tiba Kheng Kong-leng menubruk maju hendak memegang sang guru, tapi Sih-sin-ih keburu menariknya kembali, katanya sambil menangis, "Jang....jangan menyentuhnya."

Sebenarnya ilmu silat Kheng Kong-leng jauh lebih tinggi daripada Sih Boh-hoa, tapi diantara "Yu-kok-pat-tu" hanya ketinggalan tabib ituy yang tidak terluka apa-apa, maka sekali pegang saja Kheng Kong-leng tidak dapat melawan.

Segera Hoan Pek-ling, Li Gui-lui, Apik dan lain merubungi So Sing-ho sambil menangis, berduka dan gusar pula.

Sebagai murid tertua dan memahami peraturan perguruan sendiri, semula ketika melihat sang guru berlutut kepada Hi-tiok sambil menyebutnya sebagai "Ciangbunjin", maka diam-diam Keng Kong-leng sudah dapat menduga apa yang terjadi.

Ketika diperhatikan pula, dilihatnya jari Hi-tiok memang betul memakai sebentuk cincin besi hitam, maka tanpa ragu lagi ia lantas berkata,

"Para Sute dan Apik, marilah kita bersama memberi sembah bakti kepada Ciangbun Susiok!"

Habis berkata ia terus mendahului berlutut dihadapan Hi-tiok dan menjura.

Semula Hoan Pek-ling dan lain-lain melengak, tapi segera pun sadar, mereka lantas ikut memberi hormat kepada "Cianbunjin" mereka yang baru.

Sebaliknya Hi-tiok menjadi bingung, pikirannya juga lagi kacau, katanya, "Bangsat itu telah membunuh Susiokco dan mencelakai Suhu kalian pula."

"Urusan membalas dendam ini terserahlah kepada Susiok untuk memberi petunjuk seperlunya." ujar Kongleng.

Hi-tiok adalah seorang hwesio keroco dan masih hijau, bicara tentang ilmu silat dan pengalaman, nama dan kedudukan, boleh dikatakan setiap orang yang berlutut dihadapannya itu semuanya lebih tinggi dari dia, Tapi kini ia dihadapkan kepada kejadian yang aneh dan mendadak, ia tidak pikir lagi tentang penolakan jabatan Ciangbun segala. Kematian So Sing-ho membuatnya merasa serba susah, sedangkan wafatnya Hian-lan secara mendadak lebih-lebih membikin dia bingung.

Sungguh celaka, penyergap itu justru sengaja memilih saat yang baik ketika dia menabok ubun-ubun kepala Hian-lan tadi, dengan demikian, bagi orang yang tidak tahu tentu akan menyangka dia sendiri yang membunuh Susiokco. Hal ini kalau tidak diselidiki hingga jelas, untuk selanjutnya tentu dirinya akan susah bergaul dikalangan orang kang-ouw.

Maka dalam benaknya waktu itu yang terpikir adalah, "Aku harus membalas sakit hati Susiokco, harus membalas dendam Cong-pian Siansing, harus membalas dendam sikakek dalam rumah tadi!"

Begitulah maka tanpa terasa mulut Hi-tiok berseru."Aku harus membunuh bangsat tua Ting Jun-jiu!"

Kheng Kong-leng dan lain-lain kembali menjura pula, katanya, "Ciangbun Susiok berjanji hendak membunuh musuh untuk membalas sakit hati Suhu kami, sungguh para Sutit merasa sangat berterima kasih dan utang budi."

Baru sekarang Hi-tiok mengetahui dirinya telah disembahi orang banyak, lekas ia pun berlutut dan membalas hormat, sahutnya. "Ah, tidak berani, tidak berani! Harap kalian lekas bangun!"

"Susiok, Siautit ingin melapor sesuatu, tapi disini banyak orang luar dan tidak leluasa, harap suka masuk kedalam rumah saja," kata Kong-leng.

"Baiklah," sahut Hi-tiok sambil berbangkit.

Lalu semua orang mengiringi Hi-tiok berjalan kerumah papan itu. Tapi belum lagi masuk kesana, tiba-tiba Pekling berkata, "Nanti dulu! Suhu terkena tangan keji Ting-lojat dalam rumah ini, jangan-jangan bangsat tua itu masih ada tipu muslihat keji pula, maka lebih baik Ciangbun Susiok dan Toasuheng jangan lagi masuk kesitu."

"Benar juga," kata Kong-leng. "Ciangbun Susiok tidak boleh lagi menyerempet bahaya itu."

"Kalian boleh bicara saja disini," ujar Sih-sin-ih, "Biarlah kami menjaga disekitar sini agar bangsat tua she Ting itu tidak dapat turun tangan keji lagi."

Habis berkata ia terus mendahului menyingkir, begitu pula Tio A Sam, Li Gui-lui dan lain-lain juga lantas memisahkan diri agak jauh untuk berjaga. Padahal keadaan mereka masih lemah, kalau benar-benar diserbu Ting Jun-jiu, paling-paling mereka hanya mampu bersuara memperingatkan saja dan tiada kekuatan buat melawan.

Buyung Hok, Ting Pek-jwan dan lain-lain adalah orang-orang Kang-ouw kawakan, sudah tentu mereka tidak mungkin mendengarkan pembicaraan rahasia golongan lain, maka tanpa disuruh juga mereka menyingkir sendiri.

Maka Kong-leng lantas mulai bicara, "Susiok....."

"Aku bukan Susiokmu," tiba-tiba Hi-tiok memotong, "Aku pun bukan Ciangbunjin kalian apa segala, tapi aku adalah hwesio Siau-lim-si dan tiada sangkut-paut apa-apa dengan Siau-yau-pai kalian."

"Susiok, mengapa engkau tidak mau mengaku?" kata Kong-leng, "Apabila bukan orang kita sendiri, orang luar sekali-kali tidak mungkin mengenal nama 'Siau-yau-pai', Jika orang luar mendengar nama golongan kita ini, baik sengaja atau tidak, maka menurut peraturan yang kita terapkan, orang itu harus dibunuh tanpa ampun, biarpun kemana orang itu akan lari, keujung langit sekalipun juga harus diuber dan dibunuh."

Keruan Hi-tiok bergidik sendiri, katanya dalam hati. "Wah, peraturan ini benar-benar sangat aneh, Jika demikian, andaikan aku tidak mau masuk perguruan mereka, bukankah aku akan dibunuh juga oleh mereka?"

Dalam pada itu Kong-leng telah berkata pula, "Cara penyembuhan yang digunakan Susiok untuk menolong semua orang tadi memang benar adalah lwekang golongan kita, Cara bagaimana Susiok masuk perguruan kita dan kapan mendapat ajaran asli kakek guru, hal ini Siautit tidak berani banyak bertanya, sebab mungkin juga Suhu yang mewakilkannya menerima murid lagi untuk menyerahkan jabatan Ciangbunjin. Pendek kata, yang sudah terang 'Siau-yau-sin-sian-goan'(cincin dewa bebas merdeka) terpakai dijari Susiok, sebelum meninggal Suhu juga menyebut engkau sebagai 'Ciangbunjin', maka Susiok tidak perlu main tolak lagi."

Menurut jalan pikiran Kheng Kong-leng, sudah terang kakek gurunya telah dibunuh Ting Jun-jiu pada tigapuluh tahun yang lalu, sedangkan usia Hi-tiok paling-paling baru 21 atau 22 tahun, betapapun tidak mungkin adalah murid yang diterimanya pada masa hidup Thai-suhu (kakek guru) boleh jadi Thai-suhu telah menetapkan peraturan bahwa barang siapa yang dapat memecahkan problem catur itu adalah muridnya. Atau mungkin juga So Sing-ho yang mewakilkan gurunya yang sudah wafat itu untuk menerima murid lagi, hal ini bisa terjadi karena didunia persilatan memang sudah pernah ada, Dan sebagai angkatan yang lebih muda, maka Kong-leng tidak berani banyak bertanya lagi.

Ketika Hi-tiok memandang sekitarnya, ia lihat disebelah sana Hui-hong dan kawan-kawannya sedang menggotong jenazah Hian-lan kesamping, sebaliknya mayat So Sing-ho masih tetap kaku berlutut ditempatnya dengan wajah tersenyum senyuman aneh itu, Tiba-tiba hati Hi-tiok menjadi pedih, katanya,

"Tentang urusan ini sukar untuk dijelaskan dalam waktu singkat. Yang penting sekarang ialah cara bagaimana harus membunuh Ting Jun-jiu untuk membalas sakit hati Suhu kalian dan Susiokco-ku, Locianpwe....."

Mendengar dirinya dipanggil sebagai 'Locianpwe', cepat-cepat Kong-leng berlutut lagi dan menutur, "Hendaknya Susiok jangan menyebut Siautit dengan demikian, mana Siautit berani menerimanya!"

"Baiklah, lekas kau bangun!" kata Hi-tiok sambil mengerut kening. Dalam hati ia pun menimbang-nimbang. "Untuk membunuh Ting Jun-jiu, ilmu silat Siau-lim-pai terang tak berguna, biarpun aku berlatih dengan giat, selama hidup ini juga belum tentu mampu mencapai tingkatan seperti Susiokco Hian-lan Taisu, Andaikan dapat

mencapai setinggi itu tetap tidak mampu menahan sekali hantaman Sing-siok Lokoai, apalagi untuk mencapai tingkatan setinggi itu diperlukan berpuluh tahun lagi, tatkala mana tentu Ting Jun-jiu juga sudah mati dan tidak mungkin lagi dapat membalas dendam apa segala, Maka untuk bisa membunuh Ting Jun-jiu tiada jalan lain kecuali melatih ilmu sulat Siau-yau-pai."

Maka ia berkata, "Locianpwe...."

Mendengar ucapan ini, "bluk", kembali Kheng Kong-leng berlutut lagi.

Cepat Hi-tiok berseru, "O, ya aku lupa, aku takkan menyebut demikian lagi padamu. Lekas bangun!"

Lalu ia keluarkan gulungan lukisan yang diterimanya dari sikakek, ia bentang lukisan itu dan berkata, "Suhumu mengatakan padaku bahwa berdasarkan benda ini aku disuruh berusaha belajar ilmu silat untuk membasmi Ting Jun-jiu kelak."

Setelah Kheng Long-leng periksa lukisan wanita cantik berpakaian keraton dalam gambar itu, ia geleng kepala dan berkata, "Siautit tidak paham apa maksud lukisan ini, harap Susiok menyimpannya dengan baik dan jangan sampai dilihat orang luar, Jika Suhu telah memberi pesan begitu, diharap Susiok suka mengingat meninggalnya Suhu yang mengenaskan itu dan sudi melaksanakan pesannya. Yang hendak Siautit lapor kepada Susiok ialah racun yang mengenai Suhu itu disebut 'Sam-siau-siau-yan-san'(puyer enak tiga kali tersenyum), Racun itu tak berwujud, mula-mula yang terkena racun akan mengunjuk senyuman aneh tanpa dirasakan oleh sipenderita racun. Dan bila tersenyum sampai tiga kali, lalu orangnya akan binasa!"

"Ai, benar-benar celaka," ujar Hi-tiok dengan rasa malu, "Justru waktu gurumu mula-mula keracunan, aku salah sangka senyumannya itu bermaksud jelek. Coba kalau tadi kutanya dengan setulus hati dan segera memberi pertolongan, mungkin Suhu kalian takkan telanjur meninggal seperti sekarang."

"Siapa yang terkena 'Sam-siau-siau-yau-san' itu tentu sukar ditolong lagi." kata Kong-leng sambil goyang kepala, "Sebab Ting-lojat bisa malang melintang didunia persilatan, salah satu gegamannya adalah karena 'Siau-yau-san' itu. Orang luar hanya kenal Hoa-kang-tai-hoatnya yang lihai, padahal 'Siau-yau-san' jauh lebih lihai, karena setiap orang yang kena racun itu pasti binasa."

"Wah, racun itu benar-benar maha jahat," kata Hi-tiok. "Tapi tadi aku pun berada disamping gurumu, mangapa aku tidak melihat cara Ting-lojat turun tangan kejinya? Apa lantaran ilmu silatku terlalu rendah dan kurang pengalaman? Pula, mengapa Ting-lojat tidak turun tangan keji padaku, sebaliknya jiwaku diampuni?"

"Ya, mungkin dia anggap kepandaianmu terlalu cetek, maka tidak sudi turun tangan kepada seorang keroco.

Ciangbun Susiok, kulihat usiamu memang masih muda, berapa tinggi sih kepandaianmu? Meski cara penyembuhan tadi sangat baik dan juga atas ajaran guruku memang bukan sesuatu yang luar biasa, makanya Ting-lojat tidak pandang sebelah mata padamu." demikian kata Kong-leng.

Meski dia terhitung kepala "yu-kok-pat-yu", umurnya sudah tergolong kakek-kakek, tapi cara bicaranya lebih mirip kanak-kanak. Meski Hi-tiok sudah diakui sebagau Ciangbun Susiok, tapi ia tetap bicara terus terang tanpa rikuh-rikuh.

Sebaliknya Hi-tiok juga tidak pikirkan ucapan orang itu, sahutnya, "Ya, memang betul apa yang kau katakan, ilmu silatku terlalu rendah, maka Ting-lijat tidak sudi membunuhku, Ai, dosa, dosa! Sebagai murid Buddha, mana boleh aku sembarangan memaki?"

"Susiok, tidak betul ucapanmu ini," kata Kong-leng. "Kaum Siau-yau-pai kita tidak tergolong Hud (buddha) atau To (Tao), kita boleh bertindak mana suka, betapa bebas merdeka (Siau-yau) hidup kita ini? Engkau adalah Ciangbunjin, lebih baik lekas tanggalkan jubahmu dan piara rambut kembali, peduli apakah Hud atau To segala?"

Setiap kali Kong-leng bicara, setiap kali pula Hi-tiok menyebut "Omitohud", Dan sesudah Kong-leng selesai berkata, lalu Hi-tiok menjawab;

"Dihadapanku jangan lagi kau gunakan kata-kata yang menodai nama Buddha yang maha pengasih. Tadi kau bilang ada sesuatu yang hendak dikatakan padaku, sebenarnya urusan apakah?"

"Ai, celaka!" seru Kong-leng. "Aku memang sudah pikun ini, bicara setengah harian ternyata belum sampai kepada pokok persoalannya, Eh, Ciangbun Susiok, bila engkau sudah tua kelak, jangan sekali-kali meniru penyakitku ini, Thian-san Tong-lo dalam lukisanmu itu paling tidak suka pada orang ceriwis, dahulu Thaisuhu pernah....Ai, celaka, mulutku terlanjur mencerocos hingga hampir-hampir membocorkan rahasia ini. Untung engkau adalah Ciangbunjin sendiri dan tidak menjadi soal, kalau orang luar, wah, bisa runyam."

"Thian-san Tong-lo apa katamu? Apakah wanita cantik dalam lukisan ini bukan nona Ong yang diluar tadi?" Hi-tiok menegas.

"Karena Ciangbunjin tanya, terpaksa Siautit tidak berani berdusta." tutur Kong-leng, "Wanita cantik dalam lukisan itu she Tong, sudah tentu beliau bukan nona Ong segala, Tong-lolo (nenek Tong) itu bila bertemu selalu menyebut aku sebagai siauwawah (anak kecil). Tentang yang lain harap jangan engkau tanya lebih jauh, sebab kalau kau tanya, tentu aku harus menjawab. Dan kalau aku mesti menjawab tentu aku akan serba susah serba kikuk."

"Baiklah, aku takkan tanya lagi." kata Hi-tiok. "Dan apa lagi yang hendak kau katakan?"

"Wah, cialat, bicara sampai sekarang masih belum sampai pada pokok persoalannya, benar-benar cialat," seru Kong-leng. "Ciangbun Susiok, aku cuma ingin mohon dua hal dan sudilah engkau meluluskan."

"Urusan apa mesti minta ijin padaku?" sahut Hi-tiok, "Mana aku berani terima?"

"Ai, urusan penting golongan kita kalau tidak dimintakan ijin Ciangbunjin, habis mesti minta kepada siapa?" ujar Kong-leng.

"Urusan pertama kami berdelapan dahulu telah dikeluarkan dari perguruan, hal ini bukan lantaran kami berbuat dosa melainkan karena Suhu kuatir kami dicelakai Ting-lojat, pula beliau tidak tega membikin tuli dan bisu kami, makanya aku diusir begitu saja. Hari ini Suhu sudah tarik kembali sumpahnya kepada Ting-lokoai dan kami disuruh kembali masuk perguruan, cuma belum lagi dilaporkan kepada Ciangbunjin, pula belum dilakukan upacara, maka belum dapat dianggap resmi, sebab itulah perlu dimintakan perkenan Ciangbunjin. Kalau tidak, tentu kami akan menjadi setan gentayangan didunia persilatan tanpa punya asal-usul."

Hi-tiok menjadi ragu, Ia pikir jika dirinya tidak mengaku sebagai Ciangbunjin, tentu kakek didepannya itu akan bicara terus tidak habis-habisnya. Terpaksa ia mesti menerima dulu permintaannya dan urusan belakang.

Maka ia lantas menjawab. "Jika gurumu sudah mengijinkan kalian masuk kembali perguruan, dengan sendirinya hal itu sudah resmi, kenapa mesti kuatir?"

Kheng Kong-leng sangat girang, segera ia berseru kepada kawan-kawannya, "Para Sute dan Sumoai, Ciangbun Susiok sudah meluluskan permintaan kita untuk masuk kembali perguruan!"

Segera Hoan Pek-ling bertujuh beramai-ramai kerubung maju dan memberi hormat kepada Ciangbun Susiok untuk menyampaikan terima kasih.

Hi-tiok menjadi serba salah, menolak salah, tidak menolak, kedudukannya sebagai "Ciangbun" menjadi semakin kuat dan susah dielakkan lagi. Sedangkan Hui-hong, Hui-si dan para paman gurunya yang lain masih berada disebelah sana, dirinya jelas adalah anak murid Siau-lim-si, tapi sekarang telah menjadi Ciangbunjin golongan tak karuan itu, bukankah terlalu? Sebaliknya dilihatnya Hoan Pek-ling dan lain-lain teramat girang, kalau sekarang dia mengemukakan soal Ciangbunjin, tentu akan membikin suasana berubah kurang enak, Maka terpaksa ia hanya tersenyum saja tanpa menjawab.

Sementara itu Kong-leng lantas memanggil pula, "A Pik, kemarilah memberi hormat kepada Susiokco."

Segera A Pik mendekati Hi-tiok dan memberi hormat dengan lemah-lembut.

Berulang Hi-tiok menggoyang tangan dan berkata, "Ai, nona tidak perlu banyak adat."

Kemudian Kong-leng membuka suara lagi, "Susiok, urusan kedua yang ingin kumohon adalah semoga aku diperbolehkan menerima kembali anak dara ini."

Hi-tiok menjadi heran, ia menegas, "Menerima kembali anak dara ini apa maksudmu?"

"Begini." tutur Kong-leng, "Tidak lama sesudah anak dara ini menjadi muridku, lalu ia buru-buru melarikan diri atas desakan musuh dan berlindung ditempat kediaman Buyung-kongcu dan menjadi dayangnya. Selama beberapa tahun ini benar-benar telah membikin susah dia. Kini usianya sudah menanjak, pula kami berdelapan saudara sudah berkumpul kembali serta akan mengikut Susiok untuk berusaha membalas sakit hati Thaisuhu dan Suhu, untuk ini A Pik juga perlu ikut mencurahkan sedikit tenaganya. Disamping itu bila musuh berani mencarinya lagi, kini kita pun tidak kuatir apa-apa dan kita dapat bersama-sama melabraknya. Sebab itulah kumohon Susiok suka bicara kepada Buyung-kongcu agar dia mau membebaskan A Pik pulang keasalnya."

Hi-tiok merasa ragu, Kemudian ia menegas, "Apakah mesti aku yang bicara padanya?"

"Dengan kedudukan Ciangbun Susiok, asal engkau buka mulut, tentu Buyung-kongcu akan segan menolak," ujar Kheng Kong-leng.

"Dan bagaimana pendapat nona?" tanya Hi-tiok kepada A Pik.

A Pik agak heran, sahutnya kemudian, "Jika demikian kata Suhu, Tecu sudah tentu menurut saja, Selamanya Buyung-kongcu berlaku sangat baik kepadaku dan tidak anggap tecu sebagai pelayan, maka asal Susiokco mau bicara padanya, pasti Kongcu akan meluluskan."

"O!" Hi-tiok bersuara. Ketika ia menoleh dan hendak dibicarakannya kepada Buyung Hok, jebul Buyung Hok, Toan Ki, Ong Giok-yan, Hian-lan dan para padri Siau-lim-si tadi sudah menghilang entah kemana perginya. Jadi disitu sekarang hanya tertinggal mereka dari Siau-yau-pai sendiri.

"He, kemanakah mereka?" seru Hi-tiok heran.

"Ketika melihat kita bicara terus, maka Buyung-kongcu dan kawan-kawannya beserta para padri Siau-lim-pai sudah pergi semua," sahut komandan Go.

"Haya! mereka sudah pergi?" seru Hi-tiok terus mengejar kebawah gunung. Maksudnya hendak menyusul Huikeng dan padri lain untuk bersama-sama pulang ke Siau-lim-si dan akan memberi laporan kepada sang guru tentang apa yang terjadi.

Dalam gugupnya, larinya menjadi sangat cepat, sudah hampir setengah jam ia lari dan makin lama makin cepat, tapi bayangan padri angkatan Hui tetap tidak kelihatan.

Karuan ia tambah gugup, dan karena itu larinya tambah cepat. Tak diketahuinya bahwa sesudah ia mendapatkan ilmu sakti peyakinan selama tujuhpuluh tahun dari Siau-yau Lojin, maka betapa cepat larinya boleh dikata melebihi kuda pacuan, Sebab itulah waktu sampai dibawah gunung, sebenarnya para padri Siaulim-si yang dicarinya itu malah ketinggalan dibagian belakang. Ia sangka orang yang hendak dicari itu sudah jauh didepan, tak tahunya pada suatu tikungan secara tergesa-gesa ia sudah mendahului Hui-keng dan lain-lain, dan hanya dalam sekejap saja sudah jauh meninggalakan mereka.

Hui-keng berenam menggotong jenazah Hian-lan, sekilas mereka melihat bayangan Hi-tiok melayang lewat disebelah sana dengan kecepatan luar biasa, keruan mereka saling pandang dengan terperanjat, mereka tidak tahu apa sebabnya mendadak Hi-tiok dapat berlari secepat terbang.

Mereka terus membawa jenazah Hian-lan kebawah gunung, mereka mencari suatu kelenteng dan membakar mayat Hian-lan, kemudian pergi ketempat tinggal Sih-sin-ih di Liu-cong-tin untuk memperabukan jenazah Hian-thong, abu tulang kedua padri itu diisi dalam tempurung dan dibawa pulang ke Siau-lim-si.

Sudah tentu biar Hi-tiok berlari-lari sampai dekat magrib juga tetap tidak menemukan jejak Hui-keng berenam. Ia sangat heran, ia mengira mungkin dirinya kesasar, maka ia lari kembali kearah datangnya tadi sejauh belasan li, tapi tetap tidak diketemukan.

Ia coba tanya orang ditepi jalan, namun juga tiada seorangpun melihat keenam hwesio yang dimaksudkan. Padahal waktu itu hari sudah hampir gelap, perutnya terasa lapar, segera ia menuju kesuatu kota kecil yang tidak jauh dari situ, ia masuk kesuatu warung makan, ia ambil tempat duduk dan pesan dua mangkuk mi sayur.

Karena santapan tidak bisa lantas disediakan, sambil menunggu Hi-tiok terus mengawasi jalan diluar, ia longok sana dan longok sini kalau-kalau melihat kawan yang sedang dicari itu.

"Taisuhu, apakah engkau sedang menanti seseorang?" demikian tiba-tiba didengarnya suara seorang yang nyaring merdu bertanya.

Waktu Hi-tiok berpaling, ia lihat penegur itu adalah seorang pemuda berbaju hijau yang duduk menyanding meja didekat jendela sebelah kiri sana. Muka pemuda itu putih bagus dan sedang memandang kearahnya dengan tersenyum simpul, usianya ditaksir baru tujuh belas atau delapan belas tahun saja.

Maka Hi-tiok menjawab, "Ya, betul! Eh, Siausiangkong (tuan muda cilik), apa kau lihat enam hwesio berlalu disini?"

"Enam hwesio sih tidak melihat, kalau seorang hwesio memang kulihatnya." sahut pemuda itu.

"Hah, seorang hwesio? Dimana Siausiangkong melihatnya?" Hi-tiok menegas.

"Disini, diwarung makan ini," kata sipemuda.

Diam-diam Hi-tiok pikir seorang hwesio itu tentu bukanlah rombongan paman gurunya, tapi dari seorang padri itu mungkin akan diperolah sedikit kabar, Maka ia tanya pula, "Bagaimanakah macam hwesio itu? Berapa usianya? Dan menuju kemana?"

Dengan tersenyum pemuda itu menjawab, "Hwesio itu berjidat lebar, bertelinga besar, bibirnya tebal dan mulutnya lebar, hidungnya pesek, usianya kira-kira dua puluh lebih sedikit, dia lagi tunggu mi yang dipesannya diwarung makan ini dan belum pergi."

"Hahaha! Kiranya yang dimaksudekan Siausiangkong adalah diriku!" demikian Hi-tiok tertawa ngakak.

"Hm, kalau panggil Siangkong ya Siangkong saja, mengapa mesti tambahkan 'Siau'(kecil) apa segala? Aku kan tidak panggil dirimu sebagai Siauhwesio?" omel pemuda itu dengan suara yang halus merdu dan enak didengar.

"Ya, ya, aku harus panggil Siangkong saja," sahut Hi-tiok. Dalam pada itu kedua mangkuk mi sayur yang

dipesan sudah disuguhkan, maka Hi-tiok berkata pula, "Marilah makan, Siangkong."

"Ah, hanya air bening dan sayur belaka, sedikit pun tidak pakai bumbu, mi begitu masakah enak dimakan?" demikian pemuda itu menjawab. "Ini, marilah kesini, duduklah semeja denganku, biar kujamu kau makan daging dan ayam panggang."

"Ai, dosa, dosa! Selama hidup Siauceng belum pernah merasakan barang berjiwa, harap Siangkong dahar sendiri saja." kata Hi-tiok. Lalu ia sedikit mungkur serta makan mi pesanan sendiri, tampaknya ia enggan menyaksikan cara sipemuda menggasak daging dan ayam dengan lahapnya itu.

Rupanya Hi-tiok memang sudah lapar, maka hanya beberapa kali seropot saja isi setengah mangkuk mi itu sudah "dilangsir" kedalam perut.

Waktu Hi-tiok menoleh, ia lihat tangan kanan sipemuda memegang sendok dan sudah menceduk satu sendok kuah, rupanya baru hendak dituangkan kemulut, tapi mendadak menemukan sesuatu yang aneh, maka sendok kuah itu terhenti belasan senti didepan mulutnya. Kemudian tangan kiri entah menjemput sesuatu apa dari atas meja, lalu pemuda itu berbangkit dan mendekati Hi-tiok sambil membawa satu sendok kuah itu, katanya,

"Hwesio, coba lihatlah! Kutu ini sangat aneh, bukan?"

Waktu Hi-tiok memperhatikan, ia lihat apa yang diremas tangan kiri pemuda itu adalah seekor serangga yang berkulit keras warna hitam. Serangga macam itu terdapat dimana-mana dan sedikit pun tidak mengherankan, diam-diam ia menduga pemuda itu pasti jarang keluar rumah, makanya melihat serangga begitu juga heran setengah mati, Segera ia menjawab,

"Dimana letak keanehannya?"

"Coba lihat, kulitnya sekeras ini, warnanya hitam kilap pula, kan aneh?" ujar pemuda itu.

"Ah, pada umumnya serangga berkulit keras memang begitu bentuknya," sahut Hi-tiok.

"O?" ujar pemuda itu, serangga hitam itu dibantingnya ketanah, lalu ia kembali ketempat duduknya.

"Dosa! Dosa!" Hi-tiok menggerundel sambil meneruskan makan mi.

Boleh jadi karena seharian belum makan apa-apa, maka ia sangat lapar, mi itu dirasakan sangat enak hingga mi itu diseropot habis sampai kuahnya setetespun tidak ketinggalan.

Segera mangkuk kedua diangkatnya terus hendak diseropot lagi, tapi mendadak pemuda tadi bergelak tertawa dan berkata, "Hwesio, kukira kamu benar-benar seorang Hwesio suci, siapa tahu cuma pura-pura saja."

"Ada apa?" Hi-tiok melotot.

"Habis, katanya selama hidupmu tidak pernah merasakan barang berjiwa, tapi mi kuah ayam itu mengapa kau seropot sedemikian nikmatnya?"

"Ah, Siangkong suka berkelakar rupanya." sahut Hi-tiok. "Sudah jelas mi yang kumakan adalah mi sayur saja, dari mana datangnya kuah ayam! Tadi aku sendiri yang pesan pelayan agar dibuatkan mi sayur, sedikit pun tidak boleh diberi bumbu."

"Ala, pura-pura!" sipemuda berolok-olok dengan tersenyum. "Dimulut kau bilang tidak doyan barang berjiwa, tapi sekali merasakan kuah ayam lantas disapu bersih, Haha, Hwesio, maukah kutambah lagi satu sendok kuah ayam dalam mangkukmu itu?"

Habis berkata ia terus menyeduk lagi satu sendok kuah ayam dan berbangkit hendak mendekati Hi-tiok.

Karuan Hi-tiok terperanjat, "Jadi....jadi tadi.... kau telah....."

"Ya, tadi aku sudah menambahkan satu sendok kuah ayam didalam mi yang kau makan, masakah kamu tidak melihat? Ai, Hwesio, lekas tutup mata dan pura-pura tidak tahu, biar kutambahi lagi satu sendok kuah ayam supaya lebih enak, lebih lezat, Toh bukan kamu yang menambahi sendiri, Buddha tentu takkan menyalahkanmu."

Hi-tiok terkejut dan gusar, Baru sekarang ia tahu dirinya diselomoti. Pemuda itu pura-pura tanya serangga segala, padahal diluar tahunya lantas menuangkan satu sendok kuah ayam kedalam mangkuknya. Ia coba bayangkan rasa kuah tadi, ia merasa memang betul jauh lebih lezat. Cuma saja selama hidupnya tidak pernah merasakan kuah ayam, makanya tadi ia tidak tahu itulah rasanya kuah ayam.

Sekarang kuah ayam itu sudah terminum kedalam perut, lantas bagaimana baiknya? Apakah mesti ditumpahkan kembali? Seketika ia menjadi bingung.

"Hwesio," kata sipemuda sambil menuding keluar, "Itu dia, keenam hwesio yang hendak kau cari itu bukankah sudah datang?"

Hi-tiok menjadi girang, cepat ia memburu keluar untuk melihat, tapi meski ia celigukan kian kemari toh tiada seorang pun yang terlihat. Ia tahu kembali tertipu lagi, dengan mendongkol ia kembali ketempatnya untuk makan mi lagi, Sebagai orang beragama yang tidak boleh marah, sedapat mungkin ia tahan perasaannya itu.

Selagi ia main "sapu" mi mangkuk kedua itu, baru setengah mangkuk dimakan, sekonyong-konyong mulut terasa mencaplok sepotong benda aneh yang kenyal-kenyal rasanya. Dalam kagetnya segera ia periksa isi mangkuknya, maka tertampaklah didalam mangkuk terdapat sepotong daging babi, malahan setengah potong sudah tergigit, terang baru saja kena dimakannya.

"Wah, celaka!" seru Hi-tiok mengeluh sambil gabrukkan sumpitnya keatas meja.

"Ada apa, Hwesio? Apakah daging itu tidak enak, mengapa kamu mengeluh?" tanya tiba-tiba sipemuda dengan tertawa.

"Kau tipu aku keluar, lalu menaruh daging ini didalam mangkukku," kata Hi-tiok dengan marah-marah "Padahal aku.... aku tidak pernah merasakan sedikitpun barang berjiwa, wah, aku... aku jadi rusak ditanganmu."

"Rasa daging gemuk itu bukankah jauh lebih lezat daripada sayur dan tahu?" ujar sipemuda dengan tersenyum. "Kalau sejak dahulu kamu tak pernah makan barang enak seperti itu, sungguh kamu orang bodoh."

Hi-tiok berbangkit dengan bingung, menyesalnya tak terkatakan. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara ramai orang banyak sedang menuju kewarung makan ini.

Sekilas Hi-tiok mengenali rombongan orang itu adalah anak murid Sing-siok-pai. Diam-diam ia mengeluh lagi, "Wah, celaka! Kalau sampai ditangkap Sing-siok Lokoai tentu jiwaku bisa melayang!"

Ia pikir jalan paling selamat adalah kabur saja, Maka cepat ia lari kebelakang, ia lihat sebuah pintu, segera ia mendorong dan masuk, Ternyata pintu itu bukan pintu belakang melainkan pintu sebuah kamar. Maklum,

warung makan dikota kecil, ruangannya terbatas, maka kamar tidur pemilik warung itu terletak disebelah ruangan makan tamu.

Pikir Hi-tiok hendak melangkah keluar kembali, tapi dibelakang sudah terdengar suara orang minta pelayan menyediakan arak dan daharan. Terang anak murid Sing-siok-pai itu sudah memasuki ruang makan. Sudah tentu Hi-tiok tidak berani keluar kembali, terpaksa ia tutup pintu kamar itu.

"Tidurkan hwesio gemuk itu didalam sana." tiba-tiba terdengar suara seorang memberi perintah, Itulah suara Ting Jun-jiu.

Seorang muridnya mengiakan, lalu terdengar suara tindakan yang berat menuju kekamar tidur itu.

Keruan Hi-tiok ketakutan, tiada jalan lain, terpaksa ia berjongkok terus menyusup kekolong ranjang. Tapi baru saja kepalanya menyusup kedalam, segera terasa kepalanya membentur sesuatu benda dan suara seorang terdengar menjerit tertahan.

Kiranya dikolong ranjang itu lebih dulu sudah bersembunyi seorang lain. Tentu saja Hi-tiok bertambah kaget, maksudnya hendak menyusup keluar lagi, tapi murid Sing-siok-pai tadi sudah mendorong pintu kamar dan melangkah masuk, badan Sam-ceng yang gemuk bagai babi itu dilemparkan keatas ranjang lalu ditinggal keluar lagi.

"Hwesio, daging tadi enak tidak? Kenapa kau sembunyi disini?" demikian tiba-tiba suara seorang membisiki Hi-tiok. Kiranya sipemuda tadi.

Diam-diam Hi-tiok harus mengakui kecepatan pemuda itu yang dapat bersembunyi lebih dulu dari dia. Maka dengan bisik-bisik ia pun menjawab. "Rombongan diluar itu adalah orang jahat semua jangan sekali-kali Siangkong bersuara."

"Dari mana kau tahu mereka orang jahat?"

"Aku kenal mereka. Orang-orang itu tidak boleh dibuat mainan, mereka sudah biasa membunuh orang tanpa berkedip."

Selagi pemuda itu hendak mencegahnya agar jangan keras-keras bersuara, mendadak Sam-ceng yang menggeletak diatas ranjang berteriak-teriak, "Dikolong ranjang ada orang! Dikolong ranjang ada orang!"

Keruan Hi-tiok dan pemuda itu terkejut, berbareng mereka merangkak keluar dari kolong ranjang dan hendak lari keluar, namun Ting-lokoai sudah keburu berdiri didepan pintu dengan tersenyum-senyum dingin, air mukanya tampak sangat senang dan sangat kejam pula.

Seketika sipemuda menjadi pucat terus berlutut dan menyapa, "Suhu!"

"Bagus, Bagus! Nah, mana, serahkan!" kata Ting-lokoai dengan tertawa.

"Aku tidak membawanya," sahut si pemuda.

"Tersimpan dimana?" tanya Lokoai.

"Dikota Lamkhia dinegeri Liau," sahut pemuda itu.

Seketika mata Ting Jun-jiu menyorotkan sinar yang buas, katanya, "Kamu masih berani menipuku? Apa kau minta dibikin hidup tidak mati pun tidak?"

"Tecu tidak berani menipu Suhu." sahut si pemuda.

Lokoai melirik sekejap kepada Hi-tiok lalu tanya pemuda itu. "Kenapa kamu berada bersama dia?"

"Barusan saja bertemu diwarung makan ini." sahut pemuda itu.

"Hm, bohong!" Lokoai mendengus, dengan gemas ia pandang sekejap kepada kedua orang itu, lalu kembali ketempat duduknya.

Segera empat murid Sing-siok-pai menyerbu kedalam kamar dan mengepung Hi-tiok dan pemuda itu.

Sungguh Hi-tiok sangat kaget dan menyesal pula, semprotnya, "Huh, kiranya kau pun murid Sing-siok-pai!"

"Kau sendiri yang salah, kenapa mengomeli aku?" sahut si pemuda.

"Sumoai, baik-baikkah selama berpisah?" tiba-tiba seorang murid Sing-siok-pai menyapa pemuda itu dengan nada mengejek dan sikap bangor.

Hi-tiok menjadi heran. "He? Jadi kau.... kau...."

"Huh, dasar Hwesio goblok, Hwesio busuk! Sudah tentu aku seorang perempuan, masakah kamu tidak tahu sejak tadi?"

Kiranya pemuda itu adalah samaran Aci.

Dia sudah lama tinggal di Lamkhia, ibu-kota negeri Liau. Meski hidupnya serba mewah dan segala apa terpenuhi, tapi dasar wataknya suka bergerak, lama kelamaan ia merasa bosan, Kiau Hong sendiri sibuk dengan urusan dinas hingga tidak dapat mendampingi dia bermain dan berburu setiap hari. Maka pada suatu hari, saking iseng dan kesal ia turun ke Tionggoan lagi tanpa pamit, ia mengembara kemana-mana dan secara kebetulan hari ini bertemu dengan Hi-tiok, akhirnya dipergoki Ting Jun-jiu pula.

Aci menyangka gurunya tentu enak-enak bersemayam di Sing-siok-hai dan tidak mungkin menginjak Tionggoan lagi, siapa tahu dikota kecil ini justru kepergok. Meski lahirnya ia bersikap seperti tidak terjadi apaapa, padahal dalam hati ia ketakutan setengah mati.

Ia duduk ditepi ranjang sambil memikirkan cara meloloskan diri, katanya didalam hati, "Hanya Cihu yang mampu menolong aku, orang lain terang tiada yang mampu melawan Suhu. Jalan satu-satunya sekarang terpaksa mesti menipu Suhu supaya pergi ke Lamkhia dan mungkin akan dapat menggunakan tangan Cihu untuk membunuh Suhu. Untung Pek-giok-giok-teng itu memang kutinggalkan di Lamkhia, untuk itu Suhu harus menemukannya kembali."

Berpikir begitu hatinya menjadi agak tentram, tapi segera berpikir lagi, "Jika Suhu membikin cacat aku lebih dulu dan memunahkan ilmu silatku, lalu aku digiring ke Lamkhia, wah, siksaan demikian mungkin jauh lebih menderita daripada mati saja." Karena pikiran ini, wajahnya kembali pucat lagi.

Pada saat itulah seorang murid Sing-siok-pai mendekati dan berkata padanya dengan cengar-cengir. "Toasuci, Suhu memanggilmu."

Diam-diam Hi-tiok membatin, "Kiranya nona ini bukan saja murid Sing-siok-pai, bahkan adalah murid Ting Jun-jiu yang tertua. Wah, celaka? Dia telah diberikan racun?"

Padahal A Ci sengaja menggodanya melanggar pantangan makan barang berjiwa hanya karena terdorong oleh kenakalan dan kejahilannya saja, kalau orang lain dibuatnya marah-marah dan mendongkol, maka senanglah dia, maksud lain tidak ada, Kini demi mendengar Suhu memanggilnya, keruan ia ketakutan seperti tikus ketemu kucing.

Dengan kebat-kebit ia ikut murid Sing-siok-pai itu keluar kamar, Ia lihat Ting Jun-jiu duduk sendiri menyanding satu meja dengan hidangan dan arak, para muridnya berdiri tegak jauh disebelah sana, tiada seorang pun berani sembarangan bergerak..

A Ci melangkah maju dan menyapa sambil berlutut, "Suhu!"

"Sebenarnya berada dimana?" tanya Ting-lokoai.

"Mana Tecu berani dustai Suhu, benar-benar berada di Lamkhia, di negeri Liau," sahut A Ci.

"Di-tempat mana di kota itu?" Lokoai menegas.

"Didalam istana Lam-ih Siau-taiong," sahut A Ci.

"Kenapa bisa jatuh ditangan anjing Cidan itu?" ujar Lokoai sambil berkerut alis.

"Bukan berada ditangannya." tutur A Ci, "Suatu waktu Tecu sampai disana, kuatir pusaka Suhu itu kuhilangkan, maka diam-diam Tecu menyembunyikannya ditaman bunga Siau-taiong, Taman itu sangat sunyi dan sangat luas, kecuali Tecu tentu tiada orang lain lagi yang dapat menemukan Giok-ting itu, untuk itu harap Suhu jangan kuatir."

"Hm, hanya kau sendiri yang dapat menemukannya kembali?" jengek Ting-lokoai, "Lihai juga kamu ini! Dengan begitu kau yakin aku tak membunuhmu! Sebab bila kubunuhmu Giok-ting itu takkan kutemukan lagi, ya?" kata Ting-lokoai.

A Ci jadi gemetar, sahutnya kemudian. "Jika Suhu tidak suka mengakui lagi Tecu yang nakal dan akan

menghukum membikin cacat aku, maka tecu akan menerima saja dan tak....takkan memberitahukan dimana adanya Giok-ting itu."

Saking takutnya hingga suaranya seakan hilang dan makin lirih.

"Hah, kamu setan cilik, ingin main tawar menawar denganku." sahut Lokoai dengan tersenyum. "Dalam Singsiok-pai terdapat orang lihai seperti kamu dan aku sama sekali tidak tahu, sekali ini penglihatanku benar-benar telah salah lihat."

Mendadak seorang murid Sing-siok-pai berseru, "Sing-siok Losian dapat memandang segala apa yang akan terjadi, karena tahu Giok-ting itu akan mengalami alangan demikian, Maka sengaja dibiarkan melalui tangan A Ci supaya benda itu mengalami gemblengan yang lebih sempurna."

Watak Ting Jun-jiu memang paling suka diumpak dan dijilat orang, Semakin seram orang menjilatnya, semakin senang hatinya. Sebaliknya kalau anak muridnya itu tidak memujinya setinggi langit, maka ia akan anggap murid itu kurang berbakti padanya.

Karena kenal wataknya itu, maka bila ada kesempatan para muridnya lantas memuji mati-matian demi kepentingan sendiri, sebab kalau tidak disukai sang guru, maka jiwanya setiap saat mungkin bisa melayang.

Sebenarnya tidak seluruh murid Sing-siok-pai berjiwa rendah, soalnya mereka terpaksa, dan lama kelamaan menjadi biasa dan tidak kenal malu lagi.

Ting Jun-jiu sendiri hanya tersenyum-senyum saja menikmati puja-puji murid-muridnya itu sambil mengeluselus jenggot yang sudah terbakar sebagian besar waktu bertarung dengan So Sing-ho, jenggot itu sekarang sudah tinggal sedikit saja, tapi akhirnya ia dapat menggunakan "Siau-yau-sam-sian-san" untuk membunuh So Sing-ho, maka pertarungan itu tetap dimenangkan olehnya.

Sesudah puas dan kenyang mendengar puji sanjung anak muridnya itu, akhirnya ia memberi tanda hingga anak muridnya tidak berani bersuara pula, lalu ia berkata kepada A Ci dengan tersenyum, "A Ci, apalagi yang hendak kau katakan?"

Tiba-tiba pikiran A Ci tergerak, "Biasanya Suhu sangat sayang padaku, sebab cara kupuji dia jauh lebih pintar dan lebih enak didengar daripada para Suheng yang goblok ini, bicara bolak-balik cuma itu-itu saja yang mereka ucapkan."

Karena itu, segera ia berkata, "Suhu, sebabnya Tecu berani mencuri Giok-ting, hal ini bukannya tiada beralasan."

Ting Jun-jiu mendelik, tanyanya, "Apa alasannya?"

"Waktu Suhu masih muda, ketika kepandaian belum memuncak seperti sekarang, tentu masih perlu menggunakan Giok-ting itu untuk dipakai memperdalam ilmu," ujar A Ci, "Tapi paling akhir ini, setiap orang yang punya mata tentu tahu Suhu memiliki ilmu sakti setinggi langit. Padaal Giok-ting itu cuma digunakan untuk mengumpulkan makhluk berbisa saja, dibandingkan ilmu Suhu sudah tentu bukan apa-apa lagi, boleh dkata kunang-kunang berbanding sinar matahari. Jika Suhu tidak rela kehilangan Giok-ting itu, paling-paling karena merasa sayang saja karena barang simpanan lama. Sebaliknya para Suheng sama ribut dan menyangka Suhu harus memiliki kembali Giok-ting itu, katanya Giok-ting itu adalah pusaka maha penting perguruan kita segala, kalau hilang akan celakalah kita. Hah, sungguh terlalu bodoh pendapat mereka itu dan benar-benar terlalu memandang rendah pada ilmu sakti Suhu."

Senang sekali Ting Jun-jiu mendengarkan uraian A Ci yang empuk itu, berulang-ulang ia memagut dan berkata. "Ehm, benar, benar!"

Maka A Ci menyambung lagi, "Tecu pikir pula betapa tinggi ilmu silat Sing-siok-pai kita, boleh dikata tiada suatu golongan pun diatas dunia ini dapat menandingi kita. Soalnya Suhu adalag orang tua dan tidak sudi menjelajah Tionggoan lagi untuk memberi hajaran kepada jago silat Tionggoan yang mirip katak didalam sumur itu. Tapi diantara orang Tionggoan itu juga banyak yang sombong, sudah tahu Suhu takkan datang kemari, mereka lantas membual dan pamer setiap orang mengaku dirinya jago kosen, ahli silat dan macam2 lagi, sebaliknya tiada seorang pun berani datang ke Sing-siok-hai untuk belajar kenal dengan kepandaian Suhu, sebab mereka cukup tahu kepandaian Suhu sukar dijajaki dalamnya. Dengan begitu, lalu jago-jago silat di Tionggoan banyak yang menonjolkan diri, seperti Buyung-si dari Koh-soh, namanya menjadi terkenal. Siaulim-si juga mengaku sebagai bintang cemerlang didunia persilatan, sampai Liong-ah Siansing dan keluarga Toan di Tayli juga mengaku-ngaku tokoh sakti. Haha, bukankah sangat lucu perbuatan mereka itu?"

Dasar suara A Ci memang merdu dan enak didengar hingga setiap katanya mengetuk lubuk hati Ting-lokoai, memang jauh lebih menyenangkan daripada puja-puji anak muridnya yang lain. Maka wajah Ting Jun-jiu makin lama makin terang, tampak sekali senangnya tak terkatakan.

Lalu A Ci menyambung pula, "Maka timbul suatu pikiranku yang kekanak-kanakan, bahwasanya Suhu sudah begini sakti, jika tidak datang ke Tionggoan dan memperlihatkan sejurus dua kepada katak-katak didalam sumur itu, tentu mereka tidak tahu bahwa diluar langit masih ada langit, diatas orang pandai masih ada yang lebih pandai. Sebab itu Tecu mendapatkan suatu akal untuk mengundang Suhu ke Tionggoan. Cuma, Suhu bila diundang dengan cara biasa, tentu tidak sesuai dengan kedudukan Suhu yang lain dari pada yang lain, maka cara mengundang Suhu juga kudu dipakai suatu cara yang luar biasa. Dan sebabnya Tecu meminjam Giok-ting itu, maksudnya adalah supaya Suhu sudi datang ke Tionggoan."

"Haha, jika demikian, jadi maksudmu adalah baik dengan mengambil Giok-ting itu," kata Lokoai sambil terbahak.

"memang begitulah," kata A Ci, "Dan sudah tentu, selain maksud baik Tecu itu ada pula maksud tujuan pribadiku."

"Maksud pribadi apa?" Lokoai menegas sambil berkerut kening.

"Maaf Suhu," sahut A Ci, "Sebagai murid Sing-siok-pai, sudah tentu Tecu berharap agar golongan kita dapat menjagoi jagat ini, agar bilamana dan dimana pun juga Tecu akan selalu dihormati orang, dengan demikian bukankah Tecu akan merasa bangga? Inilah sedikit maksud tujuan pribadiku."

Kembali Ting Jun-jiu terbahak, katanya, "Bagus, bagus! Sebanyak ini muridku, tiada seorang pun sepintar dirimu. Kiranya kau curi Pek-giok-giok-ting itu juga bermaksud meninggikan wibawaku di Bu-lim. Haha, mengingat lidahmu yang tajam ini, sayang juga kalau aku membunuhmu. Suhumu akan kehilangan seorang murid yang pintar menghiburnya. Tapi kalau kudiamkan saja tanpa mengusut....."

"Walaupun agak mengenakkan Tecu, tapi setiap murid Suhu pasti akan berterima kasih kepada kebijaksanaan Suhu yang luhur, selanjutnya juga pasti akan berjuang untuk perguruan biarpun badan mesti hancur lebur," demikian A Ci menyela.

"Huh, ocehanmu itu mungkin dapat menipu orang lain, tapi dihadapanku apa kau kira aku sudah linglung?" jengek Lokoai, "Maksud tujuanmu ternyata tidak baik. Hm, kau pikir lebih baik kupunahkan ilmu silatmu atau kuputuskan urat nadimu saja....."

Berkata sampai disini mendadak terdengar suara seorang yang lantang berseru, "Tiamkeh (pengurus), bawakan santapan!"

Waktu Lokoai melirik, ternyata seorang pemuda berbaju kuning, pedang bergantung dipinggang dan entah sejak kapan sudah masuk kewarung makan serta duduk dimeja sebelah sana, Itulah dia Buyung Hok yang siang tadi pernah bergebrak satu kali dengan dia.

Sungguh kejut Lokoai tak terkatakan. Meski dia asyik mendengarkan omongan A Ci, tapi disebelah meja mendadak bertambah seorang diluar tahunya, hal ini benar-benar suatu kelengahan besar, bila Buyung Hok tiba-tiba menyerang, mungkin dirinya sudah kecundang. Tapi sebagai seorang tokoh berpengalaman, ia dapat berlaku tenang-tenang saja.

A Ci belum pernah melihat Buyung Hok, diam-diam ia memuji juga demi melihat kecakapan pemuda itu.

Maka tertampak Buyung Hok angkat tangan menyapa Ting Jun-jiu, "Tabe! Orang hidup dimana-mana selalu berjumpa. Baru saja kita berpisah dan dalam sekejap saja sudah bertemu kembali."

"Ya, rupanya kita ini ada jodoh," sahut Lokoai.

Sementara itu pelayan telah mendekati Buyung Hok dan bertanya, "Kongcuya ingin makan nasi atau dahar mi saja?"

"Bawakan satu kati arak dan kalau ada masakan enak, buatkan beberapa macam sebagai pengiring arak," pesan Buyung Hok.

Pelayan mengiakan dan meneruskan pesanan itu kedapur.

Dalam gebrakan siang tadi Ting Jun-jiu tidak keburu menggunakan Hoa-kang-tai-hoat untuk melawan Buyung Hok, tapi ia dapat menguji tenaga dalam pemuda itu sangat kuat dan banyak perubahan pula, ia merasa tiada memperoleh sedikitpun keuntungan. Dengan perangai Lokoai yang tinggi hati seakan-akan dunia ini dia kuasai, sudah tentu ia tidak rela duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan orang lain.

Jilid 55
Maka diam-diam ia pikir, "Apa aku harus bergebrak untuk menentukan unggul dan asor dengan dia atau menyelesaikan urusan A Ci lebih dulu? Kabarnya ilmu silat orang Buyung dari Koh-soh ini sukar dijajaki, orang bu-lim tentu tidak sengaja omong kosong, jangan-jangan Sing-siok Losian yang baru menginjak kaki ke Tionggoan ini akan terjungkal ditangan bocah ini, jika begitu, wah, sialan benar!"

Dasar Ting Jun-jiu memang cerdik dan suka pikir panjang, kalau dalam hal ilmu silat tidak yakin benar akan menang, segera timbul pikirannya untuk menyerang secara menggelap. Begitulah ia lantas berkata kepada A Ci, "Nah, katakan saja sendiri, kau ingin kupunahkan ilmu silatmu, memotong urat nadimu, atau kutabas sebelah tangan atau kakimu saja? Bukankah kamu lebih suka mati daripada mengaku dimana beradanya benda itu?"

A Ci ketakutan setengah mati, dengan suara gemetar ia menjawab, "Harap kemurahan hati Suhu, jangan... jangan anggap sungguh-sungguh ucapan seorang anak....anak kecil seperti Tecu."

"Ting-siansing," tiba-tiba Buyung Hok menyela dengan tertawa, "Usiamu sudah tua, mengapa masih suka bertengkar dengan anak kecil? Mari, marilah kita keringkan tiga cawan bersama, mari kita bicara tentang ilmu silat dan sastra! Dihadapan orang luar mengadakan pembersihan rumah tangga, bukankah agak terlalu?"

Belum lagi Ting Jun-jiu menjawab, tiba-tiba seorang murid Sing-siok-pai membentak dengan gusar, "Kamu manusia apa? Suhu kami adalah yang dipertuan agung didunia persilatan, mana dapat bicara tentang ilmu silat dan sastra apa segala dengan bocah ingusan macam kau? Dan berdasarkan apa kamu mengajak bicara dengan Suhuku?"

Lalu seorang lagi ikut membentak, "Bila kamu menjura dan minta dengan hormat kepada Sing-siok Losian agar suka memberi petunjuk, boleh jadi beliau akan memberi petunjuk sejurus dua kepadamu. Tapi sekarang kamu bicara tentang ilmu silat apa segala dengan beliau, haha, bukankah sangat menggelikan? Hahaha!"

Ia terbahak beberapa kali dan air mukanya tampak sangat aneh, selang sejenak, kembali ia terbahak dengan suara agak serak, habis itu lalu mulutnya ternganga tanpa suara sedikitpun, tapi wajah masih menampilkan senyuman aneh dan lucu.

Para murid Sing-siok-pai lantas tahu kawan mereka itu terkena racun "Siau-yau-sam-sian-san", karuan mereka bingung dan takut. Serentak mereka menunduk dan tidak berani bersuara lagi, bahkan memandang sang guru juga tidak berani. Dalam hati mereka cuma berpikir. "Entah ucapan apa yang membikin marah Suhu hingga Suhu membunuhnya dengan cara selihai itu?"

Sebaliknya Ting Jun-jiu merasa gusar dan was-was pula. Kiranya tadi waktu ia bicara dengan A Ci, pelahan ia mengebaskan lengan bajunya dengan lwekang yang tinggi hingga bubuk racun "Siau-yau-sam-sian-san" ditebarkan kearah Buyung Hok.

Bubuk racun itu tak berwarna dan tak berbau, halusnya luar biasa, ditengah warung makan itu juga remangremang penerangannya, Lokoai yakin betapi tinggi kepandaian Buyung Hok juga pasti takkan tahu akan serangan itu. Siapa duga entah dengan cara bagaimana tahu-tahu bubuk racun itu diputar balikkan kepada muridnya itu.

Kematian seorang murid tidak menjadi soal bagi Ting-lokoai, tapi diluar tahunya dan entah cara bagaimana Buyung Hok dapat menghindarkan serangan bubuk racun, bahkan dibelokkan ketubuh orang lain, kepandaian demikian benar-benar sukar dimengerti.

Dengan pengalaman Ting Jun-jiu yang luas juga seketika tidak paham ilmu apakah yang dipakai Buyung Hok, hanya teringat olehnya istilah terkenal "Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin" dari keluarga Buyung di Koh-soh itu. Terang cara yang digunakan adalah dengan cara lawan untuk menyerang kembali lawan.

Tapi bubuk racun itu sangat halus, masakah tanpa tersentuh lantas dapat dihamburkan kembali? Apalagi kalau memang betul sesuai istilah itu seharusnya serangan kembali itu mesti diarahkan padanya, mengapa muridnya yang menjadi korban? Hm tentu bocah ini merasa jeri juga kepadaku, maka tidak berani sembarangan "pegangpegang kumis harimau".

Terpikir tentang "pegang kumis harimau", tanpa terasa Lokoai lantas mengelus-elus jenggot sendiri yang tinggal tidak seberapa karena habis terbakar itu, Tiba-tiba ia merasa girang malah, pikirnya, "Dengan pengalaman dan kepandaian setinggi So Sing-ho saja akhirnya juga melayang jiwanya ditangan Losian, Buyung Hok hanya bocah yang masih ingusan, apa artinya bagiku?"

Pikiran Lokoai itu berputar dengan cepat, betapapun ia tidak sudi kelihatan lemah disepan muridnya, segera ia berkata pula, "Buyung-kongcu, kita ini memang ada jodoh, Mari, marilah kusuguh minum satu cawan arak padamu!"

Sembari berkata jarinya terus menyelintik dan cawan arak yang terletak didepannya lantas melayang kearah Buyung Hok.

Tenaga selintikan itu sungguh sangat hebat dan bagus, cawan arak itu menyambar kedepan dengan tidak berguncang, setetes arak pun tidak terpecik keluar.

Jika dalam keadaan biasa, menyaksikan betapa hebat cara Lokoai menyelintik cawan arak itu, tentu anak murid Sing-siok-pai akan bersorak memuji setinggi langit. Tapi lantaran tadi mereka telah saksikan seorang kawan mati konyol secara aneh, mereka menjadi kuatir bila sembarangan menjilat pantat, jangan-jangan keliru lagi dan akibatnya bisa celaka.

Sebab itulah mereka tidak berani mengoceh seperti biasanya, hanya bersorak saja sekedarnya, sebab kalau tidak bersorak jangan-jangan akan dimarahi sang guru juga, dan ini pun akan membikin celaka mereka.

Dan baru saja cawan arak itu menyambar sampai didepan Buyung Hok, serentak para murid Sing-siok-pai bersorak gemuruh sekali. Ada dua-tiga orang yang bernyali ciut, sorakan itu tidak berani disuarakan, setelah mendengar kawan-kawannya bersorak baru mereka pun ikut-ikutan, tapi sudah ketinggalan hingga kedengaran lucu sekali suara yang tidak seragam itu. Apalagi ketika mereka dipelototi oleh kawan-kawan yang lain, mereka menjadi malu dan takut pula kepada sang guru.

Dalam pada itu Buyung Hok telah berkata, "Ting-siansing adalah kaum Cianpwe, mana ada kaum Cianpwe menyuguh arak kepada kaum muda? Cawan arak ini tidak berani kuterima, biarlah kusuguhkan kepada muridmu saja!"

Menyusul ia terus meniup satu kali hingga cawan itu mendadak berganti arah dan membelok kesebelah kiri, menuju arah seorang murid Sing-siok-pai.

Melihat cara Buyung Hok menyebut itu, Ting Jun-jiu tahu ilmu yang dipakai itu adalah cara "empat tahil menyampuk seribu kati", semacam kepandaian menggunakan tenaga sedikit untuk melawan tenaga raksasa. Apalagi sekali sebul saja cawan arak itu dapat dibelokkan kearah lain, terang caranya itu lebih susah daripada menyelintik cawan. Jadi jelas kelihatan Ting Jun-jiu telah kalah satu jurus.

Padahal tenaga tiupan Buyung Hok itu tak bisa dibandingkan begitu saja dengan tenaga selintikan Ting Jun-jiu itu. Soalnya cara menyebulnya itu sangat tepat, ia pinjam daya selentikan Ting Jun-jiu untuk membelokkan cawan itu, tapi dalam pandangan orang lain menjadi seperti cawan itu kena ditiup terpental olehnya.

Yang paling sial adalah murid Sing-siok-pai itu, ketika melihat cawan arak menyambar kearahnya, seketika ia kelabakan, ia bingung apa mesti menghindar atau menyambut cawan itu? Selagi bingung tahu-tahu cawan itu sudah melayang sampai didepan hidungnya.

Tanpa pikir lagi dengan sendirinya ia ulur tangan untuk menangkap cawan itu sembari berkata, "Arak ini suguhan Suhu untukmu, kenapa kau berikan padaku?"

Baru ia hendak tolak kembali cawan itu kearah Buyung Hok, sekonyong-konyong ia menjerit ngeri satu kali, tubuh terus roboh kebelakang dan tak bisa berkutik lagi.

Dalam hati para murid Sing-siok-pai cukup tahu apa sebab musabab kejadian itu. Mereka tahu bahwa sekali guru mereka menyelintik cawan arak, berbareng racun yang selalu menempel pada kuku terus ditaburkan pula diatas cawan, asal jari tangan Buyung Hok menyentuh cawan arak itu, tidak perlu minum araknya, kontan juga akan binasa seperti apa yang terjadi atas diri murid Sing-siok-pai yang sial itu.

Seketika air muka Ting Jun-jiu berubah hebat, tampak sekali rasa murkanya. Ia tahu dengan melesetnya serangan ini, untuk selanjutnya tidak dapat lagi mengelabui mata anak muridnya itu, sebab kini semua orang sudah tahu bahwa baru saja ia hendak menyerang Buyung Hok dengan bubuk racun, tapi malah kena ditiup kembali hingga salah seorang murid sendiri yang menjadi korban.

Waktu pertama kali ia bertemu dengan Buyung Hok sudah pernah saling gebrak sekali dan diketahuinya bahwa tenaga dalam lawan itu memang sangat hebat, kalau bicara tentang kepandaian sejati, dengan keuletan sendiri belum tentu mampu mengalahkan orang she Buyung itu.

Sekilas pikir saja segera Ting-lokoai sudah ambil keputusan, yaitu akan menggunakan "Hoa-kang-tai-hoat" untuk melawan Buyung Hok.

Sekarang ia tidak dapat bersikap acuh-tak-acuh lagi, dengan kedua tangan ia pegang satu cawan arak lagi dan pelahan ia berbangkit, katanya, "Buyung-kongcu, secawan arak ini betapa pun harus kusuguhkan padamu."

Berbareng ia terus mendekati Buyung Hok. Sepintas pandang saja Buyung Hok melihat arak putih dalam cawan itu bersemu hijau kemilau terang mengandung racun yang maha jahat. Sekarang iblis tua itu telah mendekatinya sendiri dengan membawa cawan arak, untuk mengelak terang susah. Tampaknya Ting Jun-jiu sudah berada didepannya, hanya terpisah oleh meja saja.

Mendadak Buyung Hok menarik napas panjang-panjang dan kontan arak dalam cawan Ting Jun-jiu itu tibatiba tertarik naik hingga berwujud suatu jalur air hijau.

"Lihai benar!" diam-diam Lokoai berseru. Ia tahu habis menarik napas menyusul lawan tentu akan meniup dan jalur arak itu pasti akan memancur kearahnya. Walaupun dirinya takkan berhalangan terkena arak beracun itu, tapi sedikitnya akan basah-kuyup dan hal ini akan kurang sedap dipandang mata.

Karena itu, diam-diam iblis tua itu pun mengerahkan tenaga dalam, "beerrr", sekonyong-konyong ia mendahului meniup jalur air arak itu.

Para murid Sing-siok-pai sudah sering menyaksikan sang guru mengadu ilmu dengan musuh seperti ketika mengadu lwekang dengan So Sing-ho, waktu itu mesing-masing telah menggunakan tenaga dalam untuk mendorong gumpalan api kearah lawan, siapa yang lebih kuat akan menang dan yang lebih lemah akan binasa terbakar.

Kini mereka pun menyaksikan sejalur air arak yang bersemu hijau mendadak timbul dari dalam cawan, lalu ditiup sang guru maka tahulah mereka bahwa sang guru kembali bertanding tenaga dalam dengan musuh. Pikiran mereka lanras bekerja, semuanya ingin memeras otak untuk mendapatkan kata-kata pujian "gaya baru" yang tepat untuk menyanjung puji kepandaian sang Suhu yang maha sakti itu.

Tak terduga bahwa tiupan Ting Jun-jiu yang keras itu sama sekali tak dilawan oleh Buyung Hok, sehingga jalur arak itu mancur lurus kemukanya. Karuan para murid Sing-siok-pai merasa heran, sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa sang guru akan menang dengan cara begitu gampang.

Disebelah sana A Ci sebenarnya sedang girang karena gurunya menemukan lawan tangguh, ia pikir akan ada kesempatan untuk meloloskan diri. Siapa duga lawan ternyata tidak becus, sekali diserang saja tidak mampu menangkis, maka ia sangat kecewa.

Begitulah selagi para murid Sing-siok-pai membuka mulut hendak bersorak, tiba-tiba jalur air yang sudah menyambar kira-kira belasan senti didepan hidung Buyung Hok itu tahu-tahu belok kekiri dan dengan cepat luar biasa berputar balik terus memancur kedalam mulut seorang murid Sing-siok-pai.

Murid Sing-siok-pai itu baru membuka mulut hendak bersorak, tapi belum lagi kata-kata "bagus" terucapkan, tahu-tahu "auup", secawan arak yang tertiup menjadi sejalur air itu tertuang kedalam perutnya.

Jalur air itu terlalu cepat tibanya hingga dia masih sempat bersorak dengan gembira ria, dan sesudah suara "bagus" tercetus barulah ia terkejut dan menyusul lantas berteriak, "Wah, celaka!" dan kontan ia jatuh terkulai ketanah, hanya dalam sekejap saja mukanya, kaki dan tangannya lantas membusuk dengan cepat luar biasa, sebentar lagi bahkan pakaiannya juga ikut mnembusuk hingga hancur luluh, sampai akhirnya hanya ketinggalan beberapa kerat tulang putih saja.

Betapa lihainya racun itu sungguh Buyung Hok juga sangat terkejut, selama berkelana di kangouw belum pernah dilihatnya racun sejahat ini.

Meski pertarungan mereka belum lagi ketahuan siapa akan unggul dan siapa asor, tapi dipihak Sing-siok-pai berturut-turut sudah terbinasa tiga orang murid, dalam hal ini samar-samar sudah menunjukkan kekalahan pada pihaknya. Keruan Ting Jun-jiu menjadi murka, mendadak ia taruh cawan arak yang dipegangnya itu keatas meja, menyusul sebelah tangan terus menyodok kedepan.

Sudah lama Buyung Hok mendengar betapa jahatnya "Hoa-kang-tai-hoat" dari Sing-siok-pai, maka sejak mula ia layani orang dengan penuh waspada dan hati-hati. Demi melihat orang memukul, cepat ia berputar seraya balas memukul juga.

Beruntun Ting Jun-jiu melontarkan tiga kali pukulan, tapi selalu dapat dielakkan oleh Buyung Hok dengan cara yang gesit dan gaya yang indah, tetapi tetap ia hindarkan adu tangan dengan iblis tua itu.

Makin lama makin cepat pertarungan mereka dan bertambah sengit pula. Diruangan warung makan itu penuh meja kursi, tempatnya sempit, sebenarnya tiada tempat luang bagi medan pertempuran mereka. Tapi mereka justru dapat menyusur kian kemari diantara meja kursi yang berjubel itu tanpa membikin alat perabot itu morat-marit, jadi tangan mereka tidak pernah beradu, bahkan juga tidak pernah menyenggol meja kursi dan menerbitkan sesuatu suara berisik.

Dalam keadaan begitu, para murid Sing-siok-pai tetap berdiri mepet dinding ruangan itu, tiada seorangpun berani keluar warung makan itu, sebab mereka cukup kenal watak sang guru, jika ada murid yang berani menyingkir agak jauh tatkala gurunya sedang bertempur sengit dengan musuh, maka itu berarti menunjukkan ketidak-teguhan jiwanya dan tidak setia kepada perguruan dan bukan mustahil nanti akan dijatuhi hukuman berat.

Sebab itulah biarpun semua orang tahu keadaan sangat berbahaya, asal tersampuk angin pukulan sang guru saja mungkin jiwa mereka bisa melayang, tapi mereka toh tidak berani sembarangan bergerak, mereka hanya berdiri semepet mungkin ketepi dinding, jalan lain tidak ada.

Sementara itu kelihatan Buyung Hok lebih banyak bertahan daripada balas menyerang, meski ilmu pukulannya sangat bagus dan aneh pula, tapi karena tidak berani beradu tangan dengan Ting Jun-jiu, maka gerak-geriknya menjadi terikat dan terdesak dibawah angin.

Sebaliknya Sing-siok Lokoai sudah banyak menghadapi lawan tangguh pengalamannya sangat luas, dalam waktu singkat saja segera ia tahu bahwa Buyung Hok tidak ingin mengadu tangan dengan dirinya, itu menandakan lawan jeri kepada Hoa-kang-tai-hoatnya. Dan kalau lawan keder terhadap ilmu andalannya itu, dengan sendirinya ilmu inilah yang harus dilancarkan untuk mengalahkan lawan. Cuma saja gerakan Buyung Hok teramat cepat dan gesit, ilmu pukulannya juga banyak perubahannya dan tak menentu arah tujuannya, untuk memaksanya mengadu tangan dengan dirinya juga tidak gampang.

Sesudah bergebrak beberapa jurus lagi, akhirnya Ting Jun-jiu mendapat suatu akal, Sengaja ia mendesak dengan telapak tangan kanan, memukul dan bertahan selalu menggunakan tangan kanan saja, sebaliknya tangan kiri pura-pura agak kaku, kurang leluasa bergerak, ia berlagak sengaja hendak menutupi ciri-ciri kelemahan itu agar Buyung Hok tidak mengetahuinya.

Namun Buyung Hok adalah seorang ahli, seorang sarjana ilmu silat, sedikit saja musuh menunjuk kelemahannya segera dapat dilihatnya. Mendadak ia miringkan tubuh dengan setengah putar terus menghantam dua kali susul menyusul dengan kekuatan penuh mengarah iga kiri Ting Jun-jiu.

Sudah tentu kesempatan itu tidak disia-siakan Lokoai, ia pura-pura bersuara "ngek" tertahan sambil mundur setindak dan tidak berani menangkis dengan tangan kiri.

Maka diam-diam Buyung Hok menduga bagian dada kiri atau iga kiri iblis tua itu tentu menderita luka dalam sehingga tidak berani menangkis serangannya. Ia mendapat hati, kembali ia hantam kesebelah kanan, tapi yang di-incar sebenarnya sebelah kiri.

Setelah bergebrak belasan jurus lagi, tiba-tiba tangan kiri Ting Jun-jiu ditarik dan disembunyikan dalam lengan baju, sebaliknya tangan kanan terus membalik keatas dan mencakar muka Buyung Hok.

Dengan sendirinya Buyung Hok miringkan tubuh dan putar kesamping, berbareng ia pun menjotos iga kiri lawan.

Selama ini yang ditunggu-tunggu Ting-lokoai justru adalah pukulan Buyung Hok ini dan sekarang lawan benar-benar berlaku seperti apa yang diharapkannya, keruan girang Lokoai tak terkatakan. Maka terdengarlah angin berkesiur, lengan baju berkibar, tiba-tiba Ting-lokoai mengebaskan lengan baju kiri untuk membelit tangan Buyung Hok itu.

Diam-diam Buyung Hok membatin, "Biarpun lengan bajumu lebih lihai sepuluh kali lipat juga tidak nanti dapat melukai aku?"

Karena itu ia tidak menarik kembali kepalannya, hanya tenaga dalamnya dikerahkan dan membiarkan tangan digulung oleh lengan baju musuh.

"Bret" tiba-tiba terdengar suara kain robek, tahu-tahu lengan baju kanan Buyung Hok sendiri tersobek satu bagian oleh sambaran angin lengan baju Ting Jun-jiu itu hingga kelihatan kulit badannya yang putih bersih, pada lengannya juga lantas terdapat satu jalur merah.

Kiranya angin kebasan lengan baju Lokoai itu memang luar biasa kerasnya, seperti pisau tajamnya lengan Buyung Hok tergores satu jalur, coba kalau sebelumnya ia tidak mengerahkan tenaga dalam, tentu lengannya sudah patah.

Namun begitu jotosan Buyung Hok itu tetap diteruskan dengan sekuat-kuatnya. Tapi ia terkejut ketika mendadak kepalan terasa terjepit oleh Ting Jun-jiu, yaitu tangan kiri yang disembunyikan dalam lengan bajunya tadi.

Sudah tentu kejadian ini sama sekali diluar dugaan Buyung Hok, segera ia pun sadar, "Wah, celaka! Iblis tua ini pura-pura lemah di sebelah kiri, tak tahunya cuma tipu muslihatnya untuk memancing aku, sekali aku benar-benar masuk perangkapnya!"

Tapi ia pun tahu bila segera ia membetot tangannya, maka racun Ting-lokoai itu pun akan terus ikut menyusup dan merembes kedalam badan bersama dengan tenaga dalam yang ditarik kembali itu, untuk mana pasti akan berbahaya bagi jiwanya.

Dalam sekejap itu timbul rasa menyesal dalam hati Buyung Hok, "Aku terlalu gegabah dan terlalu menilai rendah Sing-siok Lokoai yang tersohor diseluruh jagat ini sebelumnya aku tidak merancangkan cara melawannya, tapi mendadak berani menantang dia."

Tapi urusan sudah kadung terjadi, hendak mundur juga tidak bisa lagi. Maka dengan nekat Buyung Hok mengerahkan segenap tenaga dalam dan dilontarkan melalui kepalan yang dipegang lawan itu.

Telapak tang Ting-lokoai sangat besar sekali pegang saja kepalan Buyung Hok itu tergenggam dalam tangannya. Tapi karena reaksi lawan yang teramat cepat itu hingga mau tak mau tubuhnya tergetar hebat uraturat nadi serasa hendak putus, lengan kiri pun terasa kesemutan, hampir saja pegangannya terlepas.

Tatkala Ting-lokoai menggunakan "Hoa-kang-tai-hoat" badannya harus bersentuhan dengan badan lawan jika sekali gentak cekalannya kena dipentalkan tenaga lawan maka ilmu pemunah tenaga itu pun tiada manfaatnya lagi.

Karena itu, segera ia pun mengerahkan tenaga dengan maksud memegang kepalan Buyung Hok sekencangkencangnya. Tapi pada saat itu juga tenaga dalam Buyung Hok mendadak bertambah hebat dan sekali merontah kepalan berhasil dibetot kembali.

Sebenarnya kalau bicara tentang tenaga dalam, jelas Buyung Hok tidak lebih ulet daripada Hian-lan Taisu. Tapi waktu Lokoai mengadu telapak tangan dengan Hian-lan, semakin hebat tenaga tolakan lawan, semakin rapat pula kedua telapak tangan itu melengket. Sebaliknya sekarang ia menggunakan telapak tangan sendiri untuk memegang kepalan Buyung Hok, tenaga cekalan itu dengan sendirinya terbatas dari pihak sendiri saja, maka sekali Buyung Hok meronta sekuatnya, terlepaslah cekalan Ting-lokoai itu.

Tapi kejadian itu cuma sekilas saja, sebab begitu kedua tangan masing-masing terlepas, secepat kilat tangan Ting Jun-jiu menyambar pula kebawah dan kontan kepalan Buyung Hok kena terpegang lagi.

Buyung Hok bersuara "ngek" sekali dan kembali mengerahkan tenaga sekuatnya. Tapi celaka, sekali ini tenaganya terasa mengenai tempat kosong, jadi seperti batu kecemplung laut tanpa wujud tanpa bekas, mirip rem yang mendadak "blong" dan susah dikendalikan lagi.

"Celaka!" diam-diam Buyung Hok mengeluh, Sebelum bergebrak tadi memangnya sudah diperhitungkan agar jangan sekali-kali sampai terkena Hoa-kang-tai-hoat lawan. Tapi akhirnya toh sukar mengelakkan diri dari serangan ilmu itu.

Dalam keadaan demikian ia jadi serba susah dan serba salah. Kalau tetap melawan dengan mengerahkan tenaga dalam, maka betapapun hebat tenaganya pasti juga akan punah dan hanya dalam waktu singkat saja lwekangnya akan terkuras habis dan menjadi orang lumpuh yang tak berguna. Sebaliknya kalau bertahan sekuatnya dan menarik kembali tenaga dalam sendiri, maka racun iblis tua yang susah dijajaki lihainya itu tentu akan terus ikut meresap masuk melalui hawa murni yang ditarik kembali itu dan sekali racun jahat iblis itu masuk urat nadi akhirnya celaka juga dia.

Selagi Buyung Hok merasa serba susah dan bingung, tiba-tiba didengarnya dibelakang ada seruan seorang, "Suhu telah pasang perangkap bagus dan bocah busuk itu sudah menghadapi jalan buntu sekarang!"

Sekilas hati Buyung Hok tergerak, mendadak tangan kirinya membalik sambil mundur dua tindak kebelakang, dengan ilmu "Thing-sing-pian-heng"(mendengarkan suara membedakan tempat) dimana tangannya tiba. tahutahu dada murid Sing-siok-pai itu kena dicengkeramnya.

Adapun ilmu tunggal keluarga Buyung yang paling lihai adalah semacam cara meminjam tenaga lawan untuk menyerang kembali kepada musuh, yaitu yang disebut "Tan-coan-sing-ih"(matahari berputar bintang bergeser). Orang luar yang tidak tahu seluk-beluknya sama menganggap kepandaian Buyung-si dari Koh-soh yang terkenal "Ih-ci-pi-to, hoan-si-pi-sin" itu meliputi segenap ilmu silat dari golongan dan aliran mana pun dan semuanya telah dipahami dengan baik untuk balas menyerang pecundangnya dengan ilmu andalan masingmasing lawannya.

Padahal ilmu silat didunia ini terlalu luas dan beraneka macam ragamnya, betapa pintar dan tinggi pengetahuannya juga sukar memahami setiap ilmu silat hingga mahir seluruhnya. Apalagi ilmu andalan, sudah tentu susah dilatih dalam waktu singkat.

Tapi keluarga Buyung itu mempunyai semacam kepandaian yang amat bagus, yaitu apa yang disebut "Tancoan-sing-ih" tadi, tidak peduli lawan mengeluarkan kepandaian apa pun tentu dapat dielakkan dan tenaga serangan itu berbalik akan menyerang lawan itu sendiri.

Jadi umpama lawan mahir menggunakan tombak dan hendak menusuk tenggorokan Buyung-si, tapi sekali kena diputar dan digeser, kontan tusukan itu mengenai tenggorokan sipenyerang sendiri malah, dan cara dan gaya yang dipakai tetap tidak berubah, begitu pula senjatanya juga senjata lawan sendiri.

Karena itulah bila tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kepandaian "Tan-coan-sin-ih" keluarga Buyung itu, tentu tiada seorang pun yang dapat membayangkan kematian sang korban sebenarnya adalah "membunuh diri", Dan semakin lihai ilmu pukulan lawannya, cara matinya juga semakin hebat.

Namun kalau tidak bertempur satu lawan satu dan tidak yakin pasti akan dapat membinasakan lawan, maka ilmu "Tan-coan-sin-ih" itu pun tidak sembarangan dikeluarkan.

Lantaran itulah nama Koh-soh Buyung lantas mengguncangkan dunia kangouw, sebaliknya dimana letak kunci kepandaian keluarga Buyung itu juga tiada seorang pun yang tahu dengan jelas.

Cara memutar-balik pukulan atas senjata lawan untuk menyerang lawan sendiri soalnya terletak pada tenaga pentalan saja. Misalnya kita menjotos dinding, semakin keras kita memukul semakin keras pula daya pental kembali dan sama saja seperti kita memukul diri sendiri dengan tenaga sekeras itu.

Untuk memutar-balikkan pukulan atau senjata lawan yang berwujud itu jelas lebih gampang, sebaliknya sangat sulit untuk menggeser kembali tenaga dalam pihak musuh yang tak berwujud itu. Dalam hal itu meski Buyung Hok juga cukup lama meyakinkan ilmu ini tapi betapa pun terbatas oleh usianya yang masih muda, maka belum lagi mencapai tingkatan yang paling sempurna sehingga kalau bertemu dengan jago nomor wahid seperti Ting Jun-jiu tentu susah menggunakan "Tan-coan-sin-ih" untuk menghantam lawan, sebab itulah beruntun tiga kali ia bergeser dan mengembalikan serangan Ting-lokoai untuk menghantam anak murid Singsiok-pai yang sial itu.

Jadi tetap dia geser dan dia putar-balikkan serangan itu, cuma saja tidak kepada lawan itu sendiri, melainkan kepada pihak ketiga.

Kalau pertama kali dengan gampang saja Buyung Hok mendapatkan ganti korbannya atas serangan bubuk racun Ting-lokoai, tapi sekarang menghadapi "Hoa-kang-tai-hoat", sebenarnya Buyung Hok tidak mampu menggeser dan memutar balik, kebetulan ada murid Sing-siok-pai yang buru-buru ingin cari muka dan bersorak memuji, karena itu letak tempatnya lantas diketahui Buyung Hok.

Saat itu Buyung Hok sudah kepepet, dalam gugupnya tanpa pikir lagi ia cengkeram murid Sing-siok-pai itu dan segera diputar-balik sebagai gantinya. Tak tersangka tindakannya itu ternyata sangat tepat, mestinya tujuan Ting-lokoai hendak memunahkan tenaga Buyung Hok, tapi sekali punah ternyata tenaga muridnya sendiri yang menjadi korban.

Melihat usahanya berhasil, Buyung Hok tidak sia-siakan setiap kesempatan lagi, sebelum Ting Jun-jiu timbul pikiran jahat lain, segera ia mendorong dulu murid Sing-siok-pai itu hingga tubuhnya tertumbuk pada badan seorang murid Sing-siok-pai yang lain. Dengan sendirinya tenaga dalam murid kedua itupun punah seketika terkena "Hoa-kang-tai-hoat" yang masih dilontarkan Ting-lokoai.

Sambil tetap memegang kencang kepalan Buyung Hok, sungguh gusar Ting Jun-jiu tak terkatakan menyaksikan murid sendiri yang menjadi korban malah. Pikirnya, "Jika aku pikirkan keselamatan murid-murid yang tak becus ini dan melepaskan kepalan lawan, maka untuk memegangnya lagi terang akan maha sulit. Sekali kulepaskan bocah ini tentu akan terus ngacir dan pertarungan ini akan berakhir dengan jatuhnya korban lima orang muridku, sebaliknya aku cuma berhasil merobek sepotong lengan bajunya, terang Sing-siok-pai telah dikalahkan habis-habisan dan untuk selanjutnya masakan Sing-siok Losian ada muka lagi untuk menjagoi Tionggoan?"

Setelah ambil keputusan, maka tetap ia pegang kepalan Buyung Hok dan tidak dilepaskan.

Dalam pada itu Buyung Hok sudah mundur lagi beberapa tindak dan kembali seorang murid Sing-siok-pai kena ditempel pula hingga tenaga korban baru itu dipunahkan Ting Jun-jiu.

Hanya dalam sekejap saja murid Sing-siok-pai itu pun menggeletak ditanah dalam keadaan lumpuh, ketiga orang itu lengket menjadi satu dan sukar terlepas, tubuh mereka seperti sudah kering terhisap oleh iblis pengisap darah.

Keruan murid Sing-siok-pai yang lain sangat terperanjat. Ketika melihat Buyung Hok mundur lagi kearah mereka, semuanya menjerit ketakutan dan sama menyingkir.

Ketika Buyung Hok mengangkat tangan, kontan anak murid Sing-siok-pai yang saling lengket itu ikut tertarik naik seperti terbang melayang dan kebetulan seorang murid Sing-siok-pai yang lain tertumbuk lagi. Belum lenyap suara jeritan kaget murid Sing-siok-pai itu, tahu-tahu tubuhnya sudah lemas lunglai dan ikut melengket

bersama kawan-kawannya seperti sundukan sate saja.

Karuan murid Sing-siok-pai yang lain tambah ketakutan. Selama Ting Jun-jiu tidak melepaskan tangan Buyung Hok, maka dengan cara Buyung Hok mencari korban pengganti itu, bisa jadi murid Sing-siok-pai sebentar lagi akan disikat habis.

Biasanya anak murid Sing-siok-pai itu pandai mengumpak dan mahir menjilat pantat, tapi sekarang mereka menjadi ketakutan setengah mati, siapa tahu kalau berikutnya ia pun akan melengket seperti Suheng atau Sutenya yang sudah lemas itu. Biarpun ketakutan toh tiada seorang pun berani lari keluar pintu, mereka terpaksa hanya menyingkir kesini dan menghindar kesana dalam ruang makan itu.

Dan sudah tentu ruang makan itu terlalu sempit bagi mereka, dimana tangan Buyung Hok bergerak dalam sekejap kembali ada empat lima orang kena tersedot dan melengket pula. Dengan "senjata" raksasa itu, dengan sendirinya Buyung Hok menjadi lebih gampang lagi mencari korbannya.

Dalam keadaan demikian jelas sekali Buyung Hok telah memperoleh kemenangan total. Tapi hal ini tidak berarti dia sendiri tidak berkuatir. Sebab, meski anak murid Sing-siok-pai itu cukup banyak, tapi pada akhirnya tentu juga akan habis. Dan bila anak murid Sing-siok-pai telah "dimakan" semua, lalu cara bagaimana dia akan melepaskan diri.

Begitulah, maka berulang-ulang Buyung Hok main lompat dan mengerahkan tenaga dengan maksud melepaskan tangannya dari pegangan Ting-lokoai.

Dilain pihak Ting Jun-jiu menyaksikan anak muridnya satu per-satu melengket seperti sundukan sate disebelah tangan Buyung Hok yang lain. Sedang murid-murid yang lain sama berlarian menghindarkan diri dengan ketakutan sehingga tiada seorangpun yang ingat memberi sorak puji kepada sang guru.

Gusar dan malu juga Ting-lokoai, ia jadi lebih kencang pula memegang tangan buyung Hok. Pikirnya, "Murid yang tidak becus ini biarkan saja mampus semua. Asalkan aku dapat memunahkan tenaga Buyung Hok, maka akan berkumandanglah cerita tentang Koh-soh Buyung dikalahkan Sing-siok Losian."

Maka ia tetap tenang saja, sedikit pun tidak kelihatan marah, sebaliknya tersenyum-senyum malah.

Semula ada juga diantara murid Sing-siok-pai itu berharap sang guru akan menaruh belas kasihan kepada murid sendiri yang menjadi korban itu, dan karena itu akan melepaskan cekalannya pada tangan Buyung Hok, tapi sekarang melihat Ting Jun-jiu sedikit pun tidak pikirkan nasib mereka, terang mereka pasti akan mati konyol semua, maka mereka menjadi panik dan sama men-jerit2 ketakutan, tapi toh tetap tiada seorang pun

yang berani melarikan diri keluar rumah makan itu atau memohon sang guru melepaskan Buyung Hok.

Ting Jun-jiu melihat diantara anak muridnya yang berkelit kian kemari itu hanya ada dua orang yang tidak ikut-ikutan menghindar. Yaitu Yu Goan-ci dan A Ci.

Yu Goan-ci tampak berjongkok dipojok ruangan sana kepalanya yang "berlapis baja" itu disembunyikan diantara tangan dan dengkulnya, tampaknya sangat ketakutan. Sedangkan A Ci kelihatan pucat pasi dan meringkuk juga dipojok ruangan sebelah sana, tapi berulang-ulang memandang kearah Buyung Hok.

Karuan Lokoai menjadi gusar, bentaknya, "A Ci!"

A Ci terkejut, Ia lagi terpesona atas ketangkasan Buyung Hok yang dapat melawan Hoa-kang-tai-hoat sang guru yang sakti itu. Maka ia menjadi gugup ketika mendengar namanya diteriaki, cepat ia menjawab, "Ya, Suhu....."

Tapi hanya sekian dan tidak dapat melanjutkan lagi melainkan cuma tertawa-ewa saja. Rupanya ia ada maksud mengucapkan kata-kata sanjung puji untuk mengumpak sang guru, tapi demi teringat yang menjadi korban pada waktu itu justru adalah anak murid Ting-lokoai sendiri maka ia menjadi serba susah untuk mencari katakata pujian yang tepat.

Maka Ting Jun-jiu bertanya pula, "Kenapa? Apa Sing-siok Losian sekarang dianggap tidak dapat mengguncangkan dunia persilatan dan terkenal di Tionggoan?"

A Ci kebat-kebit mendengar pertanyaan yang bernada kurang senang itu. Ia pikir kalau ucapannya nanti tidak dapat memuaskan sang guru bukan mustahil jiwanya akan segera melayang. Maka cepat ia menjawab, "Sudah tentu! Buyung-siaucu sudah tergenggam ditangan Suhu, dia belum lagi sadar akan nasibnya, sebaliknya malah kelihatan senang."

Mendadak Buyung Hok sedikit bergeser sambil angkat tangannya, maka barisan orang yang melengket ditangannya itu lantas menubruk kearah A Ci.

Karuan A Ci ketakutan, cepat ia melompat pergi.

Hoa-kang-tai-hoat Ting Jun-jiu itu benar-benar sangat lihai, sekali serangan Buyung Hok luput menempel A Ci, kontan tenaga murni dalam tubuhnya lantas terasa disedot sedikit oleh iblis itu. Diam-diam ia berkuatir,

tidak boleh tidak ia harus mencari korban pengganti diantara anak murid Sing-siok-pai. Maka kembali ia menguber kearah A Ci.

Dengan muka pucat A Ci berseru, "Suhu, apakah engkau tidak suka mendengarkan ucapanku hingga selesai?"

Sambil membetot kepalan Buyung Hok, sebelah tangan Ting Jun-jiu yang lain mengelus-elus jenggot jawabnya, "Boleh kau bicara."

"Tapi aku....aku....." seru A Ci sambil menghindarkan incaran Buyung Hok.

Segera Ting Jun-jiu mengebaskan lengan bajunya, serangkum angin lantas menyambar kedepan hingga barisan orang yang saling lengket dan sedang memburu kearah A ci itu ditolak mundur, tapi sial bagi dua murid Singsiok-pai yang lain, mereka yang ketiban pulung, seketika mereka terlengket lagi menjadi satu dengan kawankawannya.

Dengan demikian barulah A Ci dapat menghela napas lega, katanya, "Suhu, tatkala mengadakan pembersihan perguruan, kebetulan bocah she Buyung ini berani main gila disini, sekarang Suhu menggunakan dia sebagai senjata hidup untuk membersihkan anak murid sendiri yang tak berguna, pada hakikatnya dia.... dia cuma diperalat oleh Suhu saja, hanya Suhu sendirilah benar-benar orang kosen yang maha sakti."

Sebenarnya Ting Jun-jiu sangat gusar, tapi demi mendengar sanjung puji A Ci itu, maka tertawalah dia.

Segera Buyung Hok angkat tangannya lagi, sekali gentak, kembali belasan orang yang terlengket ditangannya itu sempoyongan terus menubruk pula kearah A Ci.

Saat itu A Ci sudah terdesak dipojok dinding, untuk menghindar lagi jelas tidak bisa, Meski Ting Jun-jiu juga mengebutkan pula lengan bajunya, tapi tampaknya sudah terlambat dan A Ci tentu akan ditumbuk oleh murid Sing-siok-pai pada ujung barisan itu. Keruan A Ci ketakutan, tiada jalan lain, terpaksa ia hanya pejamkan mata dan menanti ajal saja.

Tak terduga Buyung Hok lantas tertawa ter-bahak2, mendadak murid Sing-siok-pai yang paling ujung itu terhuyung2 kedepan dan menubruk kearah seorang murid Sing-siok-pai yang lain.

A Ci mandi keringat dingin setelah lolos dari lubang jarum. Waktu ia pandang kedepan, dengan tersenyum Buyung Hok berkata padanya,

"Nona cilik, benar juga ucapanmu, ya?"

Setelah tenangkan diri, A Ci tahu Buyung Hok tiada maksud buat mencelakai dia, tanpa terasa ia pun balas tersenyum.

Semua itu dapat dilihat Ting Jun-jiu, ia tambah murka, dengan suara bengis ia membentak, "A Ci, mengapa Buyung-siaucu ini tidak jadi mencelakai kau?"

A Ci terkesiap, ia tahu Ting-lokoai menaruh curiga padanya. Sebisanya ia hendak mengumpak dan memuji sang guru pula, tapi sukar terkabul, sebab ia sudah kehabisan kata muluk-muluk dan enak didengar.

"Hehe!" demikian Ting Jun-jiu tertawa dingin, "Selama kamu berada disampingku dan dapat menyenangkan hatiku, tentu aku takkan mengganggu jiwamu."

"Terima kasih, Suhu," cepat A Ci menjawab.

"Kamu jangan terburu-buru sebang dulu, ini....." mendadak Lokoai mengebaskan lengan bajunya kemuka A Ci.

Saking cepatnya tindakan Ting-lokoai itu sehingga sebelum A Ci sadar apa yang terjadi, tahu-tahu kedua matanya terasa "nyes", lalu kesakitan luar biasa dan pandangannya menjadi gelap pula, pipi lantas berlinang dua titik cairan seperti air mata meleleh.

Nyata Ting Jun-jiu telah mengerahkan tenaga dalamnya pada ujung lengan bajunya dan secepat kilat menyabat buta kedua mata A Ci.

Tatkala melihat lengan baju Ting Jun-jiu bergerak lagi memangnya Buyung Hok sudah menduga iblis itu pasti tidak bermaksud baik. Walau pun ia tahu A Ci adalah murid Sing-siok-pai juga tapi anak dara itu cantik menyenangkan dan berbeda dengan saudara-saudara seperguruannya yang lain, maka diam-diam Buyung Hok juga sangat sayang padanya. Dan selagi ia hendak menolong namun serangan Ting Jun-jiu itu terlalu cepat sehingga tidak keburu dicegah lagi.

Sekarang melihat A Ci tetap berdiri bersandar dinding dari kedua matanya meneteskan dua titik darah yang mirip air mata, biarpun Buyung Hok sudah banyak menyaksikan perbuatan orang kejam juga belum pernah melihat cara Ting Jun-jiu yang begitu keji, jiwa anak muridnya sedikit pun tidak berharga bagi iblis itu, untuk

sedetik Buyung Hok tertegun juga dan karena itu tenaga murninya kembali tersedot sedikit pula.

Sesudah membutakan kedua mata A Ci, lalu berkatalah Ting-lokoai, "Aku tetap membiarkanmu hidup tapi tidak boleh lagi melihat sesuatu agar kamu tidak punya pikiran menyeleweng terhadap perguruan, Nah , kau terima tidak hukuman ini?"

Tapi wajah A Ci sudah pucat lesi, bibir agak gemetar dan susah membuka suara lagi.

Selagi Ting Jun-jiu hendak tanya pula, sekonyong-konyong dari pojok ruangan bergema suara suitan orang yang aneh, serangkum angin maha kuat mendadak menyambar tiba hingga semua orang yang berada didalam rumah menggigil kedinginan.

Kiranya Yu Goan-ci yang sejak tadi meringkuk dipojok ruangan itu sekarang mendadak melompat maju, begitu berada disamping A Ci, segera ia tarik tangan anak dara itu terus diseret keluar dengan cepat.

Ting Jun-jiu membentak satu kali, berbareng sebelah tangan terus memukul. Sudah tentu sekali-kali Yu Goanci tidak berani mengadu pukulan dengan Ting-lokoai. Tapi mengingat A Ci harus dilindungi, dalam gugupnya segera ia menangkis kebelakang dengan tujuan agar tenaga pukulan iblis tua itu dipindahkan kearahnya dan tidak mengenai A Ci.

Melihat Goan-ci berani menangkis, kembali Ting Jun-jiu membentak lebih keras, ia kerahkan tenaga beracun lebih kuat.

"Bluk", ketika kedua tangan beradu, seketika Goan-ci bersama A Ci terpental kedepan seperti terbang.

Begitu keras mereka terpental kedepan, tampaknya pasti akan menumbuk dinding, tiba-tiba tangan Goan-ci menolak kedepan, "blang", tahu-tahu dinding itu ambrol menjadi sebuah lubang, sebaliknya Ting Jun-jiu tergentak mundur dua-tiga tindak, ia merasa dada dirangsang hawa dingin, tenaga yang dikerahkan tadi hilang sirna tanpa bekas.

Kesempatan itu dipergunakan Buyung Hok dengan baik, tatkala Ting Jun-jiu mengadu tangan dengan Yu Goan-ci berbareng ia pun mengerahkan tenaga dan mengipatkan tangan sehingga cekalan Ting-lokoai tergentak lepas, cepat ia lompat mundur pula, malahan sebelah tangannya yang menggandeng barisan anak murid Sing-siok-pai yang melengket satu itu terus diputar pula dan satu per-satu disodok kedepan untuk menumbuk Ting Jun-jiu.

Sesudah mengadu tangan dengan Goan-ci tadi, Ting Jun-jiu merasa tenaga dalamnya merembes keluar dengan sangat cepat, maka segera ia berjungkirdengan kaki diatas dan kepala dibawah terus berputar-putar beberapa kali, ia gunakan ilmu menguatkan tenaga dari perguruannya untuk menahan merembes keluarnya tenaga dalam.

Pada saat itulah belasan anak muridnya yang tadi melengket ditangan Buyung Hok itu menubruk kearahnya, sedangkan Ting-lokoai sendiri sedang berputar dengan menjungkir, sudah tentu ia tidak dapat menghindar atau menggunakan tangan atau kakinya untuk menangkis, maka terdengarlah suara "blang-blung" beberapa kali, anak murid Sing-siok-pai itu berturut-turut menubruk badan Ting-lokoai, tapi satu per-satu lantas terpental pula dan terbanting jatuh ketanah, ada yang patah kaki dan tangan, ada yang pecah kepalanya dan binasa.

Sungguh gusar Ting Jun-jiu bukan buatan. Sekali membentak segera ia berdiri tegak kembali. Mukanya tampak pucat, tapi beringas menakutkan. Anak muridnya telah mati sebagian besar, sebaliknya Buyung Hok yang tadi sudah terpegang olehnya sedikit pun tidak terganggu, malahan Yu Goan-ci sempat menggondol lari A Ci, kekalahan Sing-siok Losian yang memalukan ini bukankah akan dibuat bahan ejekan didunia persilatan?

Pada umumnya orang yang suka dipuji, suka dijilat, diumpak, manusia demikian tentu juga paling gila hormat dan suka juga muka, setiap kejadian yang memalukan sedapat mungkin ingin ditutup-tutupi agar tidak diketahui orang luar.

Begitu pula dengan Ting Jun-jiu. Seperti tempo hari ia hampir ditelan ular raksasa yang dikerahkan padri-padri Thian-tiok itu, untung kemudian Goan-ci dapat menolongnya dengan mengusir kawanan ular itu dengan api. Tapi sebagai balas terima kasih iblis itu sengaja suruh Goan-ci memeriksa pernapasan padri Thian-tiok yang sudah binasa keracunan itu agar Goan-ci juga ikut mati, tujuannya tak lain agar Goan-ci juga terbunuh, sehingga kejadian yang memalukan baginya itu tidak tersiar.

Coba kalau Goan-ci tidak kebetulan memiliki racun dingin ulat sutra putih yang dapat mengatasi segala macam racun lain, tentu sudah lama jiwa Goan-ci melayang.

Sekarang Ting Jun-jiu melihat Buyung Hok masih berdiri disitu sambil memandang mayat yang bergelimpangan ditanah itu dengan senyuman mengejek, ia tahu bila Buyung Hok sampai lolos dengan selamat, maka nama kebesaran Sing-siok Losian niscaya akan merosot habis-habisan.

Karena itulah, sambil melototi Buyung Hok dengan gusar, diam-diam ia tebarkan tiga jenis bubuk racun yang maha jahat dengan tenaga dalam yang tak kelihatan.

Sisa anak murid Sing-siok-pai yang beruntung tidak mampus itu masih ada tujuh atau delapan orang. Melihat wajah sang guru mengunjuk rasa gusar tak terhingga, kembali mereka obral sanjung puji lagi.

"Betapapun Sing-siok Losian memang maha sakti! Nah, Buyung-siaucu, apakah kamu tidak ingin lekas lari? Apa kau cari mampus? Ya, jika kamu tidak lekas ngacir, naga-naganya keluarga Buyung kalian pasti akan putus keturunan! Eh, Buyung Hok, tidak lekas lari dengan mencawat ekor, mau tunggu apa lagi?"

Begitulah karena merasa pertarungan ini lebih banyak memalukan Sing-siok-pai mereka, maka mereka ganti haluan dengan mencaci maki Buyung Hok untuk menaikkan gengsi guru mereka. Harapan mereka adalah Buyung Hok akan lekas pergi dari situ. Sebab kalau Buyung Hok tidak lekas pergi bila sebentar kena dipegang Ting-lokoai lagi maka yang celaka bukanlah orang she Buyung, melainkan mereka sendiri yang akan menjadi korban lagi.

Namun Buyung Hok hanya tersenyum-senyum saja dan tidak menggubris caci-maki mereka. Berulang tiga kali Ting Jun-jiu menghamburkan bubuk racun kearahnya, tapi tanpa bicara apa-apa ia tolak kembali bubuk racun itu kebadan anak murid Sing-siok-pai.

Maka terdengarlah suara gedebukan disana-sini, siapa yang bersuara memaki musuh, kontan terima ganjarannya dengan mati menggeletak. Keruan mereka ketakutan dan tidak berani memaki lagi, ingin memuji sang guru pun sudah kehabisan kata-kata muluk. Terpaksa mereka cuma berdiri terkesima disitu.

Melihat murid-muridnya bungkam, Ting Jun-jiu bertambah marah, ia terkekeh aneh dan berkata, "Buyung Hok, belum ketahuan siapa unggul dan asor, kenapa berhenti?"

Selagi Buyung Hok hendak menjawab, sekonyong-konyong dilihatnya disebelah sana ada sebuah meja bisa mumbul keatas.

Meja kursi dalam ruang makan itu sebenarnya sudah morat-marit tak karuan, hanya meja yang terletak dipojok itulah yang tidak terganggu. Kini mendadak meja itu bisa mumbul keatas tanpa sebab, hal benar-benar aneh luar biasa sehingga menarik perhatian semua orang. Tapi ketika diperhatikan, Buyung Hok lantas tertawa geli.

Kiranya dibawah meja itu terdapat satu orang. Boleh jadi orang itu sangat ketakutan dan sembunyi dikolong meja, sekarang ia berdiri, tapi lupa merangkak keluar dulu dari kolong meja, maka meja itu ikut tersundul keatas.

Dan sesudah berdiri tegak, orang dibawah meja itu tampak memejamkan mata, tangan terangkap didepan dada, badan masih gemetar, kedengaran sedang berdoa. Kiranya dia adalah Hi-tiok Hwesio.

Ting Jun-jiu semakin murka karena disitu selain Buyung Hok ternyata masih ada seorang lagi. Ia membentak, "Keledai gundul, sejak kapan kau sembunyi disitu?"

Tadi sebenarnya Hi-tiok ingin mengeluyur pergi, tapi ia ketakutan oleh pertarungan sengit itu, maka buru-buru ia sembunyi dikolong meja. Sebagai murid Buddha yang welas-asih, ia tidak tega menyaksikan pembunuhan besar-besaran dalam pertempuran itu. Kemudian dilihatnya si "kongcu" muda yang menggodanya itu dalam waktu singkat kedua matanya telah dibutakan, ia tambah takut dan gemetar, berulang ia memanjatkan doa. Dan ketika mendengar Ting Jun-jiu hendak bergebrak pula dengan Buyung Hok, segera ia berdiri dari tempat sembunyinya hendak mencegah. Tapi dalam gugupnya ia lupa diatas kepalanya masih tersunggih sebuah meja.

Waktu ia dibentak Ting Jun-jiu barulah ia sadar bisa celaka, dengan muka pucat dan badan gemetar ia menjawab. "Aku....aku sudah lama berada disini. Ka....kalian jangan berkelahi lagi."

Tiba-tiba Ting Jun-jiu sedikit mengebas lengan bajunya, serangkum angin yang lembut tapi tajam menyambar kearah Hi-tiok.

Diam-diam Buyung Hok gegetun, ia menduga hwesio itu tentu akan celaka, ia hendak menolong, tapi terlambat.

Dengan cepat iga Hi-tiok kena disambar tenaga kebasan Ting Jun-jiu itu hingga badan sedikit tergeliat, tapi tidak terganggu apa-apa. Waktu ia berpaling dan melihat muka Ting-lokoai yang beringas menyeramkan itu, ia menjadi takut, sambil masih menyunggih meja ia terus menerjang keluar.

Kembali Ting Jun-jiu melontarkan pukulan lagi "prak", meja yang disunggih Hi-tiok itu pecah berantakan menjadi berkeping-keping. Sebaliknya Hi-tiok tetap tidak apa-apa dan masih berlari secepatnya kedepan.

"Berhenti!" bentak Ting Jun-jiu.

Sudah tentu Hi-tiok tidak mau menurut, bahkan berlari lebih cepat.

Seorang murid Sing-siok-pai mendadak mencegatnya dari samping, kelima jarinya yang tajam bagai kait terus mencengkeram pundak Hi-tiok sambil membentak, "Sing-siok Losian menyuruhmu kembali, kamu berani......"

Belum habis ucapannya, mendadak ia merasa pundak Hi-tiok yang dicengkeramnya itu mengeluarkan tenaga

pentalan yang maha kuat, kontan tubuhnya mencelat sendiri kebelakang dan secara kebetulan menumbuk kearah Ting Jun-jiu.

Tapi dengan mudah Ting Jun-jiu dapat mencengkeram kuduk muridnya yang sial itu, dalam hati ia pikir, "Hwesio ini agak aneh, tapi tidak nanti ia dapat terbang kelangit, lain kali tentu dapat kutemukan lagi, Sekarang lebih penting harus kuhadapi Buyung Hok saja."

Dengan pikiran ini, segera murid sendiri yang dicengkeramnya itu dilemparkan kearah Buyung Hok.

Melihat murid Sing-siok-pai yang dicengkeram Ting Jun-jiu itu mukanya pucat bagai mayat, mata meneteskan darah pula, terang orangnya sudah mati keracunan, sekarang iblis tua itu melemparkan kearahnya, sudah tentu tidak mengandung maksud baik. Maka Buyung Hok sudah siap, ia tidak bergerak, hanya tangan sedikit ditolak kedepan hingga suatu tenaga maha kuat menyambar kedepan, seketika mayat murid Sing-siok-pai itu kena ditahan ditengah jalan.

Karena kedua pihak sama-sama mengerahkan tenaga dalam yang kuat, maka mayat murid Sing-siok-pai itu tergencet dan terkatung-katung ditengah udara, pemandangan demikian menjadi sangat aneh dan lucu sekali.

Sekonyong-konyong Ting Jun-jiu membentak lagi. "krak-krek", tahu-tahu kedua tangan murid Sing-siok-pai yang sudah tak bernyawa itu putus sebatas pergelangan tangan, dan kedua tangan yang sudah putus itu terus mencakar kemuka Buyung Hok.

Buyung Hok tidak berani gegabah, cepat ia meniupkan hawa dua kali sehingga kedua potong tangan yang putus itu berputar balik dan saling tepuk sekali diudara, "pluk", lalu terpental kesamping dan kebetulan mengenai badan dua murid Sing-siok-pai yang lain.

Seketika kedua murid Sing-siok-pai itu tertawa terkakak-kakak seperti orang gila, tertawa mereka semakin keras dan semakin geli sehingga menungging memegang perut sendiri, Tapi sejenak kemudian mendadak suara tertawa mereka berhenti serentak, namun tetap berdiri sambil pegang perut sendiri, badan kaku bagai mayat, Nyata mereka pun sudah binasa.

Beberapa kali Ting Jun-jiu menggunakan "Hoa-kang-tai-hoat", tapi bukannya Buyung Hok kena dirobohkan, sebaliknya anak murid sendiri yang jatuh menjadi koban. Keruan ia tambah murka, Tiba-tiba ia tertawa dingin sekali, lengan baju yang lebar itu menyambar kesamping, tubuhnya juga ikut berputar, karena itu mayat murid Sing-siok-pai yang putus kedua tangan itu lantas jatuh ketanah.

Tapi Buyung Hok lantas bergerak juga, secepat terbang ia lompat keluar rumah makan itu.

"Lari kemana?" bentak Ting Jun-jiu, berbareng ia memburu keluar.

Sisa beberapa orang murid Sing-siok-pai yang masih hidup sebisanya masih bersorak memberi pujian kepada kesaktian Ting Jun-jiu, tapi rangkaian kata-kata mereka itu terasa sangat dipaksakan, sehingga bagi Ting-lokoai kedengarannya lebih dirasakan sebagai sindiran malah.

Sampai diluar, Lokoai melihat Buyung Hok sudah berdiri ditempat sejauh belasan meter, sikapnya tenangtenang saja dengan wajah bersenyum.

"Siaucu, jangan lari!" bentak Ting Jun-jiu dengan gusar.

"Bilakah aku lari?" jawab Buyung Hok mengejek.

Selagi Ting Jun-jiu siap hendak menubruk maju, tiba-tiba tertampak seorang mendatang dengan cepat, orang itu berjalan dengan kepala menunduk, malahan kedengaran sedang berkumat-kamit entah berguman apa.

Dari jauh Buyung Hok sudah dapat mengenali pemuda ganteng yang datang ini bukan lain adalah Toan Ki. Anehnya Toan Ki jalan dengan menunduk seperti tidak menghiraukan segala apa disekitarnya dan entah apa yang sedang dipikirkan, tapi terus menyeruduk kearah Ting Jun-jiu.

Belum lama Buyung Hok kenal pada Toan Ki, anak muda itu pernah menolongnya, yaitu ketika menggunakan "Lak-meh-sin-kiam" untuk menjatuhkan pedang Buyung Hok yang hendak membunuh diri karena pengaruh gaib problem catur yang tidak mampu dipecahkannya itu. Lantaran itulah Buyung Hok mempunyai kesan baik terhadap Toan Ki.

Ia pikir bila Toan Ki terus menyeruduk kedepan hingga menubruk Ting Jun-jiu, padahal waktu itu iblis itu sedang murka, maka Toan Ki tentu yang akan dijadikan sasaran untuk melampiaskan angkara murkanya itu.

Tampaknya saat itu sedikit pun Toan Ki tidak merasakan segala apa pun disekitarnya, kalau tidak lekas memperingatkan dia tentu anak muda itu akan dimakan-mentah oleh Ting Jun-jiu. Maka cepat Buyung Hok berseru,

"Awas! Toan-kongcu."

Mendadak Toan Ki seperti sadar dari impiannya dan cepat berhenti. Waktu ia angkat kepala dan memandang kedepan, ia lihat wajah Ting Jun-jiu yang beringas menakutkan itu berjarak dengan dirinya cuma dua-tiga meter saja, Karuan Toan Ki terkejut, cepat ia menyurut mundur sambil menuding Ting-lokoai, "Hei, kau....kau...."

Tudingan Toan Ki ini sebenarnya timbul dari rasa kaget dan takutnya, tak terduga justru menimbulkan lwekangnya yang maha kuat itu dan tepat pula penggunaannya, "crit", hawa pedang "Lak-meh-sin-kiam" yang tak berwujud itu terus menyambar kedepan.

Sama sekali Ting-lokoai tidak menduga akan serangan Toan Ki itu, dengan gugup lekas ia kebaskan lengan bajunya keatas, "bret", tahu-tahu lengan baju berlubang, bahkan tenaga serangan Lak-meh-sin-kiam masih terus menyambar kedepan, kembali terdengar "creng" sekali, Ting Jun-jiu tergentak mundur setindak dan dari bajunya jatuh sebuah botol tembaga. Di-atas botol tembaga itu tampak sebuah dekuk yang menyolok.

Kiranya tudingan "Lak-meh-sin-kiam" yang dilontarkan Toan Ki dengan tepat mengenai botol tembaga itu, sebab itulah Ting-lokoai dapat terhindar dari malapetaka.

Menyaksikan itu, segera Buyung Hok bersorak memuji, "Lak-meh-sin-kiam yang hebat!"

Sebaliknya ujung hidung Toan Ki telah keluar keringatnya. Sama sekali tak tersangka olehnya sekali tuding tanpa sengaja dapat melontarkan daya tempur Lak-meh-sin-kiam yang maha sakti itu.

Ada tercatat teori siasat militer bahwa "tahu kekuatan pihak musuh dan kenal kekuatan pihak sendiri, maka seratus kali bertempur seratus kali akan menang".

Sekarang Toan Ki bukan saja tidak tahu kekuatan musuh, sebaliknya sampai dimana kemampuan diri sendiri juga tidak tahu, jadi "tidak tahu kekuatan musuh dan tidak kenal kepandaian sendiri", sudah tentu segala kejadian membuatnya terkejut.

Ting Jun-jiu beruntung terlindung oleh botol tembaga yang tersimpan dalam bajunya, sehingga tidak sampai terluka oleh tudingan Toan Ki tadi, tapi tidak urung dadanya juga terasa kesakitan, ia menjadi murka, bentaknya dengan bengis, "Kau berani main gila pada Sing-siok Josian, kamu ingin dibinasakan dengan cara apa?"

"Ai, jangan, jangan!" demikian berulang Toan Ki meng-goyang-goyang tangannya. "Kata Khong-hu-cu, 'Tidak tahu lahirnya dari mana tahu kapan akan mati', Mana kudapat menjawab pertanyaan Losiansing ini?"

Diam-diam Ting Jun-jiu heran dan ragu, pikirnya, "Bocah ini sudah terang mahir menggunakan Lak-meh-sinkiam maha sakti dari keluarga Toan di Tayli, maka dapat diduga adalah anak cucu keluarga Toan. Tapi mengapa tindak-tanduknya lebih mirip seorang pelajar ketolol-tololan? Jika dapat kuperalat dia, sedapat mungkin kesempatan ini harus kupergunakan dengan baik."

Karena itu, sengaja ia tarik muka sehingga tambah bengis dan lebih menakutkan.

Karuan Toan Ki menyurut lagi.

"Siaucu, kau takut tidak padaku?" tanya Ting-lokoai dengan suara galak.

"Takut?" Toan Ki menegas, "Hehe, seorang kuncu (laki-laki sejati) tidak kenal sedih mau pun takut, masakah aku takut padamu?"

Tiba-tiba Ting-lokoai menyeringai, berbareng tangannya terus mencengkeram. Toan Ki terkejut dan cepat melangkah mundur lagi, segera ia pun menuding-nuding pula.

Tadi Ting Jun-jiu sudah merasakan betapa lihainya tudingan Lak-meh-sin-kiam, maka ia menjadi jeri dan cepat menarik kembali cengkeramannya demi nampak Toan Ki mengangkat jari tangannya.

Namun saat itu Toan Ki dalam keadaan gugup dan pikiran kacau, maksudnya sih ingin mengeluarkan "Lakmeh-sin-kiam" untuk menghalau musuh, tapi celaka, berulang-ulang ia menuding enam atau tujuh kali, tapi hasilnya nihil, sedikit pun tak bisa dikeluarkan tenaganya.

Sebagai seorang jago ulung dan licin, meski Ting Jun-jiu juga sudah dapat melihat Toan Ki sebenarnya tidak berdaya lagi, tapi ia tetap kuatir kalau-kalau pemuda itu cuma pura-pura saja untuk memancingnya, maka ia tidak berani mendesak maju.

Dan setelah sekian lama melihat sikap Toan Ki yang serba runyam dan gugup itu, sedangkan hawa pedang yang hebat itu tetap tidak menyambar tiba, barulah kemudian iblis itu berani menegurnya,

"Ayo, mau apa kamu sekarang ?"

Toan Ki jadi ketakutan, mendadak ia berteriak, "Haya, celaka! Kalau tidak lekas angkat kaki, mungkin mati pun tak terkubur lagi!"

Berbareng ia terus putar tubuh dan melarikan diri dengan cepat.

Sudah tentu Ting-lokoai tidak tinggal diam, lengan bajunya yang gondrong itu lantas mengebas ke Ling-taihiat dipunggung Toan Ki.

Sementara itu Buyung Hok masih berdiri disamping, ia sangat kagum ketika sekali muncul Toan Ki lantas dapat mengalahkan Ting Jun-jiu dengan "Lak-meh-sin-kiam" yang lihai, Sudah lama ia kenal nama Lak-mehsin-kiam, konon ilmu itu sudah lama lenyap dari dunia persilatan, maka selama ini ia sangat menyesal tidak dapat membuktikan betapa hebatnya ilmu pedang tanpa wujud itu. Tak terduga sekarang ia dapat menyaksikan dengan jelas, sudah tentu ia sangat senang.

Ia sangka menyusul Toan Ki tentu akan melancarkan serangan lain yang lebih hebat, siapa tahu pemuda itu cuma main tuding saja tanpa membawa hasil apa-apa, lalu putar tubuh dan angkat langkah seribu alias kabur.

Diam-diam Buyung Hok ragu apakah mungkin Toan Ki sengaja hendak menggoda Ting Jun-jiu? Tapi iblis tua itu toh bukan tokoh sembarangan kalau gegabah bukan mustahil akan dimakan olehnya.

Namun apa yang terjadi selanjutnya membuat Buyung Hok terkejut, ketika lengan baju Ting Jun-jiu mengebas kepunggung Toan Ki yang mematikan, sebaliknya pemuda itu sama sekali tidak tahu cara menghindarkannya, Diam-diam Buyung Hok berteriak,

"Celaka!" Cepat ia bertindak dan menghantam iga Ting Jun-jiu.

Segera Ting Jun-jiu membaliki tangan kiri untuk memapak, sedang ujung lengan baju kanan yang mengebas itu tidak menjadi berkurang kekuatannya.

Mendadak Buyung Hok sedikit mendak, ia hindarkan pukulan Ting Jun-jiu, sebaliknya keliam jari yang kuat bagai kait itu terus mencakar lengan baju lawan, "Bret", lengan baju Ting-lokoai kena dirobek sebagian.

Kebetulan pada saat itu Toan Ki sedang berpaling, demi dilihatnya jarak Ting Jun-jiu dan Buyung Hok sedemikian dekatnya, ia menjadi khawatir. Segera teringat olehnya, "Jika Buyung Hok dilukai Ting Jun-jiu, pasti nona Ong akan sangat berduka. Mana boleh kubiarkan wanita cantik berduka tanpa memberi pertolongan?" Berpikir begitu, mendadak jarinya menuding lagi kesana.

Tadi demi untuk menolong diri sendiri ia telah berusaha sedapatnya, tapi gagal karena sedikit pun tenaga tak mau dikeluarkan, sekarang demi teringat kepada Ong Giok-yan, sekali jarinya menuding, kontan "crit", satu jurus "Lak-meh-sin-kiam" terus menyambar kedepan.

Memangnya Buyung Hok agak jeri kalau bergebrak dengan Ting Jun-jiu dalam jarak terlalu dekat, sebab sedikit ayal saja tentu akan kena dipegang lagi, dan jika demikian, maka sukarlah untuk melawan Hoa-kangtai-hoat iblis tua itu. Sekarang kembali ia mendengar suara mendesis hawa pedang Lak-meh-sin-kiam sedang menyambar tiba, cepat ujung kakinya menutul tanah dan badan terus melayang kesamping.

Ting Jun-jiu juga sangat terkejut, lekas-lekas kedua lengan bajunya mengebas kedepan, dua rangkum angin keras dilontarkan untuk melawan tenaga Lak-meh-sin-kiam dari Toan Ki. Tapi tidak urung ia pun tergentak mundur setindak.

Sekali berhasil, segera Toan Ki hendak mengulangi lagi, tapi celaka, tudingan kedua kalinya kehilangan daya gunanya, sedikit pun tidak bertenaga.

Cepat Buyung Hok menarik tangan Toan Ki sambil berseru, "Lekas lari, Toan-heng!"

Tanpa menunggu jawaban lagi, segera Toan Ki diseretnya dan berlari pergi.

Ting Jun-jiu menjadi gusar, ia membentak sekali sambil pentang kedua tangannya, bagaikan seekor burung raksasa ia menubruk kedepan.

"Celaka, dia datang!" seru Toan Ki.

"Jangan khawatir, ada orang lain lagi yang akan melayani dia!" ujar Buyung Hok.

Baru habis ucapannya, terdengarlah suara tertawa orang berkumandang dari jauh, suara tertawa aneh yang lebih mirip ayam berkotek itu semula kedengaran masih jauh, tapi tahu-tahu sudah berada didepan mata. Tertampaklah Toan Yan-khing dengan jubahnya yang serba hijau dengan kedua tongkat yang dipakai sebagai

pengganti kaki itu sedang berjalan secepat terbang kearah sini.

Melihat "si-jahat yang melebihi takaran"(Ok-koan-boan-eng) Toan Yan-khing, Toan Ki menjadi ketakutan dan cepat berpaling kearah lain.

Buyung Hok memberi kiongjiu kepada Yan-khing Taicu dan menyapa, "Toan-siansing, iblis tua itu sudah telan pil pahit ditanganku, sekarang biarlah kau beri juga sedikit hajaran padanya, tapi hati-hati, betapapun dia masih cukup lihai!"

Sembari berkata, berbareng ia terus menarik Toan Ki dan diajak lari kesana.

Kedatangan Ting Jun-jiu kedaerah Tionggoan ini adalah ingin pamer kepandaian untuk menaikkan pamornya, siapa tahu berulang-ulang malah kecundang, anak muridnya gugur sebagian besar, bahkan diri sendiri juga tidak pernah memperoleh kemenangan, Keruan bencinya kepada Buyung Hok merasuk tulang sumsum, maka demi nampak lawan itu hendak kabur, segera ia menubruk maju.

Tapi mendadak sebelah tongkat Toan Yan-khing melintang didepannya, katanya dengan nada dingin, "Singsiok Lokoai, jangan lari! Pada waktu orang lain sedang terancam bahaya, kamu sengaja main sergap malah, untuk itu kita harus bikin perhitungan dahulu."

Karena dirintangi Toan Yan-khing untuk mengejar Buyung Hok terang sukar. Sebagai seorang yang licin, segera Lokoai ganti haluan, ia ter-bahak2 dan menjawab,

"Toan Yan-khing, hidupmu ini sudah sulit kembali kejalan yang benar lagi, tapi kalau bicara tentang ilmu kepandaian golongan Sia-pai sebenarnya kau pun belum masuk hitungan, maka ada lebih baik kamu menyembah dan angkat aku sebagai gurumu saja, untuk ini mungkin aku akan dapat mengabulkan keinginanmu."

Toan Yan-khing masih tetap menghadang ditengah jalan dengan tongkat melintang, selesai Ting Jun-jiu bicara, mendadak dari dalam perutnya mengeluarkan suara "kuk" yang aneh, yaitu suara tertawa yang mirip ayam berkotek. Berbareng sebelah tongkatnya terus menutuk keperut Ting-lokoai.

Mendadak Ting Jun-jiu menyelintik sehingga jari tengahnya tepat menyentik ujung tongkat lawan.

Mestinya tongkat bambu Yan-khing Taicu itu hijau segar, tapi sekali kena diselintik jari Ting-lokoai, segera ujung tongkat bambu itu terdapat setitik warna merah, bahkan dengan cepat sekali titik merah itu memanjang

keatas tongkat.

Waktu Yan-khing tarik kembali tongkatnya dan hendak melancarkan serangan jurus kedua, sekilas dilihatnya pada ujung tongkat sendiri ada jalur merah yang terus menjalar keatas dan tampaknya segera akan sampai pada tangannya. Ia kaget bila teringat kemahiran Ting-lokoai dalam hal menggunakan racun, cepat ia gentak sekali hingga tongkat itu terlempar kedepan.

Tapi Toan Yan-khing juga bukan tokoh sembarangan, walaupun terpaksa ia harus melemparkan tongkatnya, tapi ketika tongkat terlepas dari cekalannya ia pun menggunakan tenaga yang istimewa.

Maka waktu tongkat itu terpegang oleh Ting Jun-jiu, mendadak terdengar suara "krak-krok" dua-tiga kali, tahutahu tongkat itu patah menjadi beberapa bagian, tongkat yang patah itu bahkan berhamburan keatas kepala Ting-lokoai.

Coba kalau iblis itu tidak cepat putar lengan bajunya untuk mengebas, tentu ia pun akan terluka oleh tongkat bambu yang patah itu.

Disebelah sana Buyung Hok dan Toan Ki juga sedang mengikuti pertarungan itu dari jauh. Ketika melihat Toan Yan-khing terpaksa melepaskan sebelah tongkatnya, dengan khawatir Toan Ki berkata,

"Sialan! Hanya sekali gebrak saja Yan-khing Taicu sudah kehilangan sebuah tongkatnya!"

"Ya, Ting Jun-jiu memang benar hebat!" Tapi belum habis Buyung Hok berkata, tahu-tahu disebelah sana tongkat bambu Toan Yan-khing sudah patah menjadi beberapa potong dan Ting-lokoai kelabakan mengebaskan lengan bajunya melindungi kepalanya dari hamburan tongkat patah itu.

Maka terbahaklah Buyung Hok dan menyambung ucapannya, "Tapi jangan khawatir, si-jahat yang sudah kelewat takarannya itu hari ini belum tiba ajalnya!"

Meski tadi sudah dua kali Toan Ki menyerang dan membikin jeri Sing-siok Lokoai dengan Lak-meh-sin-kiam, tapi dalam hal ilmu silat pada hakikatnya ia masih hijau pelonco. Maka demi mendengar ucapan Buyung Hok itu, ia pun tahu pertarungan Toan Yan-khing melawan Ting-lokoai itu dalam waktu singkat takkan bisa ditentukan kalah dan menang, kesempatan ini sebaiknya digunakannya untuk pergi saja.

Maka ia lantas berkata, "Buyung-heng, aku akan pergi saja!"

"Aku pun ada urusan lain, marilah kita pergi bersama," sahut Buyung Hok.

Lalu mereka putar tubuh dan tinggal pergi. Sesudah beberapa li jauhnya, tiba-tiba dari depan tertampak dua orang sedang lari datang secepat terbang. Terang yang seorang adalah It-tin-hong Hong Po-ok dan yang lain adalah Pau Put-tong.

Begitu melihat Buyung Hok segera mereka berhenti dan menghadapnya dengan sikap sangat menghormat.

"Ada apa?" tanya Buyung Hok.

Dengan gosok-gosok kepalan Hong Po-ok menjawab. "Tadi kami melihat bocah berkepala besi itu sedang berlari kesana sambil mengepit seorang gadis cilik dan kami sedang memburunya."

"Disana tiada orang." kata Buyung Hok.

Muka Po-ok tampak merah jengah, sahutnya, "Bocah berkepala besi itu terlalu cepat larinya, kami tidak mampu menyusulnya."

Tatkala Buyung Hok bicara dengan Hong Po-ok, diam-diam Toan Ki mundur dua-tiga langkah kebelakang. Waktu ia perhatikan Buyung Hok, ia lihat sikapnya gagah, tutur katanya agung berwibawa.

Tiba-tiba Toan Ki merasa rendah diri dan tidak dapat membandinginya. Pikirnya, "Hong Po-ok dan Pau Puttong sudah datang, sebentar nona Ong tentu juga akan menyusul tiba. Dalam pendangan nona Ong hakikatnya tiada manusia seperti aku ini, kalau Piaukonya tidak ada mungkin dia masih sudi bicara denganku, tapi sekarang Piaukonya sudah diketemukan, dalam matanya hanya terpandang Piaukonya seorang, apa gunanya aku tinggal disini untuk menyaksikan mereka bermesra-mesraan?"

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar