Jilid 41
Di luar dugaan hal ini memang
sudah dalam perhitungan Ti-sing-cu, sebab itulah ia mengerahkan tenaga lebih
kuat hingga bunga api itu mendesak lebih dekat lagi, Ia taksir bila api itu
dapat menjilat tubuh si gadis, tentu tenaga dalamnya akan terganggu, dalam
keadaan begitu bila ia hamburkan bunga api yang lain, pasti dara cilik itu akan
tamat riwayatnya.
"Celaka!" segera hal
itu dapat diketahui oleh Siau Hong, Ia tahu A Ci tidak mampu melawan lagi,
segera ia ayun tangan pelahan dan serangkum angin keras terus menyambar
kedepan.
Maka terlihatlah waktu A Ci
menggeser tubuh tadi, kedua ujung kain ikat pinggangnya mendadak berkibar
keatas sambil mengebas dan kontan kedua titik bunga api tadi terus menyambar
kembali kearah Ti-sing-cu sendiri.
Karuan Ti-sing-cu melongo
kaget, dan sedikit ayal saja kedua bunga api itu sudah menyambar sampai
didepannya, Ia menjerit sekali sambil meloncat sekuatnya keatas hingga setitik
bunga api melayang lewat dibawah kakinya. Selagi kedua orang Sutenya bersorak memuji
kepandaiannya yang hebat, sekonyong-konyong bunga api yang lain menyambar
keperut Ti-sing-cu, Dalam keadaan terapung diudara, dengan sendirinya ia tak
bisa menghindar pula, "Ces", perut tepat keselomot dan hangus,
Kembali Ti-sing-cu menjerit sekali, lalu turun kebawah.
Kiranya Siau Hong gemas karena
kata-katanya tadi yang kurangajar tentang A Cu, maka sengaja hendak memberi
sedikit hukuman.
Dan sesudah Ti-sing-cu
menginjak tanah, bola api tadi yang tanpa pengemudi lantas jatuh kembali
kegundukan api unggun. Menyaksikan itu, sorot mata semua orang sama mengunjuk
rasa jeri dan hormat kepada A Ci, pikir mereka, "Wah, tampaknya lwekang
Siausumoai juga tidak lemah, Toasuheng belum tentu mampu melawan dia, sebaiknya
sorak pujian kami jangan terlalu keras-keras lagi,"
Dalam pada itu Ti-sing-cu
telah membuka gelung rambutnya hingga rambutnya yang panjang terurai dan
separoh mukanya tertutup, mendadak ia gigit ujung lidah sendiri hingga
berdarah, sekali ia sembur, sekumur darah menghambur kearah api unggun.
Mendadak api unggun itu
menyirap, tapi segera terang benderang pula hingga menyilaukan mata,
Tanpa tertahan para Sutenya
bersorak memuji, "Sungguh hebat kepandaian Toasuko!"
Sekonyong-konyong Ti-sing-cu
putar tubuh dengan kencang hingga mirip gangsingan cepatnya, sambil mengibarkan
lengan bajunya yang lebar itu, seketika api unggun seakan-akan terbetot naik
keatas dan bagaikan dinding api terus menguruk keatas kepala A Ci.Dengan
segenap tenaga dalam Ti-sing-cu telah mengadakan taruhan terakhir malawan A Ci.
Siau Hong tahu orang telah
mengeluarkan semacam ilmu hitam yang sangat lihai, jika dirinya mematahkannya
dengan tenaga murni, pasti lawan akan keok, tapi diri sendiri juga akan
berkorban tenaga tidak sedikit, Biarpun jahat toh orang ini tiada permusuhan
apa-apa dengannya, buat apa menempurnya mati-matian?. Karena pikiran ini,
segera Siau Hong tarik pinggang A Ci dan bermaksud membawanya lari, ia menduga
Ti-sing-cu takkan dapat menyusulnya.
Diluar dugaan, datangnya api
itu cepat luar biasa, dalam sekejap saja badan A Ci sudah akan terjilat api,
dalam keadaan begitu Siau Hong tak diberi kesempatan untuk berpikir lagi, untuk
membawanya lari juga tidak sempat, demi keselamatan A Ci yang nasibnya oleh A
Cu telah dipasrahkan padanya, terpaksa Siau Hong hantamkan kedua tangannya
sekaligus, dua rangkum angin keras lantas menjungkit-kan lengan baju A Ci
hingga berkibar keatas, dan angin pukulan itupun menyambar kedepan.
Dibawah sinar api yang terang
itu, tampaklah dimana lengan baju A Ci mengebut kedepan, dua rangkum angin
keras lantas menyambar juga memapak dinding api unggun itu, Api hijau itu
terhenti sejenak di udara, kemudian pelahanlahan menyurut kearah Ti-sing-cu.
Karuan saja Ti-sing-cu sangat
kaget, kembali ia gigit ujung lidah dan sekumur darah disemburkan lagi, Dan
mendadak api itu berkobar pula seperti habis ditambah minyak, lalu mendesak
maju, tapi satu meter lebih, lagi-lagi dipaksa menyurut kembali.
Begitulah bagi para anak murid
Sing-siok-pai yang lain, mereka hanya melihat lengan baju A Ci berkibar-kibar
mirip layar tertiup angin, mereka menyangka lwekang anak dara itu sudah maha
tinggi, dengan sendirinya tidak menyangka bahwa dibelakang A Ci sebenarnya ada
tulang punggung lagi.
Tatkala itu air muka
Ti-sing-cu sudah berubah pucat, darah masih terus disemburkan kearah api, tapi
setiap kali ia menyemburkan darah sekumur, setiap kali pula tenaganya
berkurang,
Ibarat orang sudah naik
dipunggung harimau, kalau melompat turun juga akan diterkam sang harimau,
terpaksa ia mengadu jiwa dengan harapan A Ci akan terbakar oleh apinya, tentang
kerusakan lwekangnya akan dapat dipulihkannya kembali kelak.
Namun meski ia menyemburkan
darah terus menerus, dibawah bendungan tenaga dalam Siau Hong yang hebat,
betapapun api unggun yang hijau itu tak bisa menerjang maju lagi.
Dari tenaga lawan yang makin
lemah itu, Siau Hong tahu orang sudah mulai payah, ibarat lentera yang
kehabisan minyak, sebentar saja Ti-sing-cu pasti akan menggeletak tak berkutik,
Segera ia membisiki A Ci,
"Boleh kau suruh dia mengaku kalah saja dan pertarungan ini dapat
diberhentikan."
A Ci menurut, segera ia
berseru, "Nah, Toasuko, sudah terang kamu tak bisa menandingi aku, lekas
berlutut saja dan minta ampun, aku berjanji takkan membunuhmu, Nah, lekas
mengaku kalah, lekas!"
Ti-sing-cu cemas dan takut ia
insaf jiwanya tinggal diujung rambut saja, Maka demi mendengar ucapan A Ci itu,
segera ia manggut-manggut dan tidak bicara lagi, Kiranya saat itu ia sedang
melawan Siau Hong dengan
sepenuh sisa tenaganya, asal membuka mulut, segera api unggun itu akan membakar
hiduphidup diri sendiri.
Melihat keadaan begitu,
seketika para Sutenya berganti haluan, kini mereka tidak memuji dan menjilat
lagi, sebaliknya beramai-ramai mencaci maki Ti-sing-cu.
"Ayo, Ti-sing-cu, kamu
sudah kalah, mengapa tidak lekas berlutut dan menjura?"
"Huh, manusia goblok
macam begitu juga berani pamer disini, benar-benar pamor Sing-siok-pai kita
telah kau bikin ludes."
"Ayolah Ti-sing-cu,
kenapa tidak buka mulut lagi? Dengan segala kemurahan hati Siausumoai telah
mengampuni jiwamu, masak kamu masih kepala batu?"
"Huh, biasanya kamu cuma
pandai main garang pada kami, kini sekali dilabrak oleh Siausumoai, maka
celakalah kau!"
Begitulah manusia-manusia
rendah dan pengecut itu memang pandai mengikuti arah angin dimana lebih
menguntungkan mereka, kesanalah mereka mendoyong, Melihat Ti-sing-cu sudah
kalah, tanpa sungkan-sungkan lagi mereka lantas mengolok-olok dan mencaci maki
dengan segala kata-kata kotor, Tadi mereka memuji, kini sang Toasuko sepeserpun
tidak laku lagi dalam penilaian mereka.
Diam-diam Siau Hong membatin.
"Anak murid iblis tua Sing-siok-pai ternyata begini rendah jiwanya, sejak
kecil A Ci sudah bergaul dengan mereka, pantas ketularan sifat-sifat mereka
yang jelek itu,"
Dan karena melihat keadaan
Ti-sing-cu yang serba runyam itu, diam-diam Siau Hong merasa tidak enak
sendiri, mendadak ia pun menarik kembali tenaga dalamnya hingga lengan baju A
Ci yang berkibar itu melambai kebawah.
Dengan semangat lesu dan mata
guram, tubuh Ti-sing-cu terhuyung-huyung, mendadak lutut terasa lemas, ia
terduduk ditanah.
"Bagaimana Toasuko?"
kata A Ci kemudian, "Kamu menyerah tidak padaku?"
"Ya, aku....aku mengaku
kalah," sahut Ti-sing-cu dengan suara rendah, "Jangan kau panggil...
panggil Toasuko lagi pada....padaku, engkau sekarang adalah... adalah Toasuci
kita."
Mendengar ucapan terakhir itu,
serentak anak murid sing-siok-pai yang lain bersorak-sorak,
"Bagus, bagus! Ilmu silat
Toasuci memang maha sakti, didunia ini tiada tandingannya lagi, Sing-siok-pai
kita mempunyai ahli-waris sebagai Toasuci, pastilah akan merajai dunia
persilatan ini."
"Ya, Toasuci, lekas kau
pergi membinasakan 'Pak Kiau Hong dan Lam Buyung' apa segala, segera
Sing-siok-pai kita akan menjagoi dunia untuk selamanya," demikian seorang
lagi.
Tapi seorang lain lantas
menyanggahnya, "He, jangan sembarang omong, Pak Kiau Hong adalah Cihu
Toasuci kita, mana boleh dibunuh?"
"Kenapa tidak
boleh?" sahut orang tadi. "Kecuali kalau dia juga masuk menjadi
anggota Sing-siok-pai kita dan mengaku kalah pada Toasuci."
Diam-diam Siau Hong mendongkol
dan geli pula ditempat persembunyiannya, Dalam pada itu ia dengar A Ci sedang
mendamprat orang-orang tadi, "Hai, kalian mengaco-belo apa? Tutup mulut
kalian!"
Lalu ia berkata kepada
Ti-sing-cu, "Nah, Toasuko, tadi kuminta engkau mengampuni diriku, tapi
engkau sangat kejam dan tidak mau, sekarang apa yang akan kau katakan?"
"Ya, aku... aku memang
pantas mampus!" sahut Ti-sing-cu dengan terputus-putus. "Tadi kau
bilang suka padaku, Biarlah segera kupulang dan membunuh biniku itu, kemudian
akan kuambil dirimu sebagai istri, selamanya aku akan tunduk pada
perintahmu."
Mendengar itu, seketika anak
murid Sing-siok-pai yang lain sama bungkam, suasana menjadi sunyi senyap,
diam-diam mereka membatin, "Wah, celaka! Siausumoai tadi memang menyatakan
suka pada Toasuko, bila benar bila Toasuko memperistri dia, dengan sendirinya
Siausumoai sangat senang, Dan sebagai suami-istri sudah tentu tiada perbedaan
siapa yang akan menjadi ahli-waris Sing-siok-pai, Wah celaka, hati Toasuko tak
boleh disakiti."
Jitsute yang mukanya terbakar
tadi, kini rasa sakitnya sudah mereda, ia ingin berjasa dulu untuk menebus dosa
maka cepat ia mendahului buka suara, "Benar, Toasuci, jika kau jadi istri
Toasuko, itulah suatu pasangan yang setimpal, yang lelaki ganteng, yang
perempuan ayu, tokoh persilatan mana yang takkan iri melihat pasangan kalian?
Memangnya kalau bukan lelaki tampan sebagai Toasuko rasanya sukar juga mencari
jejaka yang setimpal bagimu."
"Ya, Toasuci, meski ilmu
silat Toasuko sedikit kurang dari padamu, tapi didunia ini selain Toasuci
sendiri, jelas Toasuko terhitung jago nomor dua," demikian seru seorang lagi."
Dan selanjutnya Toasuko tentu akan menurut perintahmu, betapapun dia takkan
berani membangkang, aku berani menjaminnya,"
Begitulah yang satu bilang
begini dan yang lain berkata begitu, semuanya memuji dan mendukung perjodohan
mereka yang dikatakan setimpal dan akan bahagia.
Ditempat sembunyinya diam-diam
Siau Hong juga berpikir, "A Ci menyatakan suka pada orang ini, tampaknya
mereka memang suatu pasangan yang sesuai."
Ia coba melirik anak dara itu,
ia lihat wajahnya bersenyum simpul, tampaknya sangat senang,
Maka diam-diam ia membatin
lagi, "Ya, apa boleh buat, dia sendiri juga sudah setuju, maka selesailah
kewajibanku kepada pesan tinggalan A Cu itu, Sejak kini dia sudah berumah
tangga, aku tidak perlu pikirkan dia lagi."
Selagi Siau Hong bermaksud
tinggal pergi, tiba-tiba didengarnya A Ci berkata. "Toasuko, engkau
sungguh suka padaku atau cuma terpaksa saja memperistrikan aku?"
"Sungguh-sungguh suka,
sungguh mati!" sahut Ti-sing-cu, "Kalau aku berpura-pura, biarlah aku
terkutuk dan mati tak terkubur."
Segera para Sutenya
beramai-ramai memberi suara pula. "Ya, sudah tentu Toasuko bersungguh
hati, Toasuci yang berilmu silat setinggi itu, siapakah yang tidak ingin mempersuntingnya?"
"Betul, untuk menikah
dengan Toasuci, Toasuko sudah berjanji akan membunuh Suso (istri Suko), kalau
Toasuko tidak tega, kami siap melaksanakannya,"
A Ci merasa muak juga oleh
sifat penjilat pantat kawan-kawannya itu, Dengan tertawa ia berkata kepada
Ti-sing-cu, "Tadi kuminta kau ampuni aku, mengapa kamu tidak mau?"
"O, aku... aku hanya...
hanya bergurau saja...." sahut Ti-sing-cu dengan tergagap-gagap.
Sesudah pertandingan tadi,
tenaga dalamnya telah terkuras habis oleh Siau Hong, maka kini ia pun lemas dan
lepuk, asal seorang Sutenya menantangnya saja dia tak mampu melawan, Maka yang
ia harap sekarang hanya semoga A Ci mau mengampuni jiwanya, jalan lain tidak
ada, Dan bila kelak lwekangnya sudah pulih barulah dia akan membikin perhitungan
dengan mereka yang pernah mengolok itu.
Kemudian A Ci berkata lagi,
"Menurut peraturan kita, bila ada pergantian ahli-waris, lalu cara
bagaimana ahli-waris lama itu harus ditindak?"
Keringat dingin membasahi
jidat Ti-sing-cu, dengan suara gemetar ia memohon. "Harap Toa.... Toasuci
sudi memberi ampun!"
"Aku pun ingin mengampuni
kau," sahut A Ci dengan mengikik tawa, "Cuma sayang, peraturan tetap
peraturan, tidak boleh aku melanggarnya, Toasuko, sesungguhnya pada waktu kecil
aku pernah suka padamu, tapi kemidian makin lama aku makin jemu padamu, apakah
kau tahu hal ini?"
"Ya... ya!" sahut
Ti-sing-cu dengan lesu.
"Nah, Toasuko, boleh
seranglah!" kata A Ci pula, "Kamu memiliki kepandaian apa, silakan
keluarkan semua."
Insaf nasib sendiri sudah tak
bisa diubah lagi, Ti-sing-cu menjadi nekat, ia tidak minta ampun lagi, tapi
kedua tangan lantas siap, ia kerahkan sisa tenaganya yang masih ada terus
memukul kearah api unggun yang hijau itu, Tapi sayang, ibarat pelita sudah kehabisan
minyak, setitik tenaganya itu terang tak berguna, pukulannya hanya membuat api
unggun bergetar beberapa kali, lalu tenang kembali.
"Aha, sungguh
menarik," seru A Ci dengan tertawa. "Eh, Toasuko, mengapa permainan
sulapmu tak manjur lagi?"
Habis berkata, sekali
tangannya menjulur kedepan sambil melangkah maju, seketika sejalur api hijau
memancar kearah Ti-sing-cu. Sebenarnya tenaga dalam A Ci hanya biasa saja, maka
lidah api itu pun tidak seberapa besar, tapi karena Tising-cu sudah tak berdaya
lagi, bahkan tenaga untuk melarikan diri juga sudah tak ada, Maka begitu api
hijau itu menjilat badannya, seketika rambut dan pakaiannya terbakar. ditengah
jerit ngerinya seantero tubuhnya lantas terbungkus oleh api yang
berkobar-kobar.
Serentak para anak murid
Sing-siok-pai yang lain ramai bersorak puji akan kesaktian Toasuci mereka.
Meski Siau Hong sudah sering
menyaksikan kejadian mengerikan didunia kangouw, tapi seorang gadis jelita dan
muda belia seperti A Ci, kelakuannya ternyata begini keji dan ganas, sungguh ia
takkan percaya jika tidak menyaksikan sendiri, Sungguh rasa hatinya jemu tak
terkatakan, ia menghela napas dan segera melangkah pergi.
"Cihu, Cihu! Tunggu,
Cihu!" segera A Ci berteriak-teriak.
Tapi Siau Hong tak gubris
padanya, ia tetap bertindak pergi dengan langkah lebar. Karuan anak murid
Sing-siok-pai sama kaget ketika tahu-tahu melihat munculnya orang dibalik batu
karang itu, terutama silelaki hidung singa dan sigendut yang mengenali
kelihaian Siau Hong.
"Cihu, Cihu, tunggulah
aku!" seru A Ci pula sambil menyusulnya.
Sementara itu jeritan
Ti-sing-cu yang mengerikan itu semakin keras hingga berkumandang jauh diseluruh
lembah pegunungan, seram dan memekak telinga.
Melihat si A Ci masih terus
menguntitnya, dengan kening berkernyit Siau Hong berkata, "Buat apa kau
ikut padaku? Kamu sudah menjadi ahli-waris Sing-siok-pai, sudah menjadi Toasuci
orang-orang itu bukankah sudah memuaskan hatimu sekarang?"
"Tidak bisa." sahut
A Ci dengan tertawa, Lalu ia tekan suaranya dan berkata pula. "Kedudukan
Toasuci-ku ini adalah hasil menipu, buat apa mesti kuberatkan? Biarlah aku ikut
keluar Gan-bun-koan untuk mengangon domba saja, Cihu."
Dalam pada itu suara
Ti-sing-cu yang mengerikan itu masih terdengar, Siau Hong tidak ingin tinggal
lebih lama disini, segera ia percepat langkahnya ke Utara.
Cepat A Ci jalan berjajar
dengan Siau Hong, bahkan ia menoleh dan menggembor kepada anak murid
Sing-siok-pai, "Jitsute, aku ada keperluan harus berangkat ke utara,
kalian boleh tunggu aku disekitar sini, sebelum aku kembali kalian dilarang
sembarang tinggal pergi, tahu tidak?"
Anak murid Sing-siok-pai itu
beramai-ramai memburu maju beberapa tindak dan membungkuk dengan penuh hormat,
seru mereka, "Atas titah Toasuci, sedikit pun kami tak berani
membangkang!" Habis itu, mereka lantas menyerukan puja-puji lagi kepada
sang 'Toasuci' yang maha sakti itu.
A Ci melambaikan tangan
beberapa kali dengan wajah berseri-seri, lalu tinggal pergi bersama Siau
Hong.Melihat sifat A Ci yang masih kekanak-kanakan, habis membunuh orang malah
kelihatan senang, seperti habis makan penganan enak atau mandapat mainan baru,
kalau tidak menyaksikan sendiri pasti tiada seorangpun yang percaya bahwa anak
dara ini baru saja berhasil merebut kedudukan ahli-waris Sia-pai yang terbesar
di dunia ini.
Siau Hong menghela napas, ia
merasa didunia ini segala apa seperti impian belaka, hampa rasanya.
"Engkau menghela napas,
ada apa, Cihu? Apa engkau anggap aku terlalu nakal?" tanya A Ci.
"Itu bukan nakal lagi,
tapi kejam dan ganas!" sahut Siau Hong. "Kalau yang berbuat adalah
kaum laki-laki kami, hal mana masih dapat dimengerti, tapi dirimu adalah
seorang nona cilik, kenapa sedikitpun kamu tidak kenal ampun? Malah engkau sendiri
menyatakan dahulu pernah suka pada Toasuhengmu itu, mengapa sekarang kau bakar
mati dia?"
"Engkau sudah tahu dan
pura-pura tanya atau sungguh-sungguh tidak tahu" tanyaA Ci dengan heran.
"Sudah tentu aku tidak
tahu, makanya tanya."
"Sungguh aneh, masakah
engkau tidak tahu? Bukankah kedudukanku sebagai Toasuci ini adalah berkat
bantuanmu, cuma saja mereka tidak tahu, Bila aku tidak membunuh dia, kelak
pasti akan diketahui olehnya dan bila engkau kebetulan tidak berada di
dampingku, bukankah jiwaku akan amblas ditangannya? Dan untuk keselamatanku
sendiri, sudah tentu aku harus membunuhnya."
"Katanya kau suka
padanya, selang beberapa tahun lagi setelah dewasa kamu boleh menikah dengan
dia, tatkala mana masakah dia tega membunuhmu?"
"Dia memang berjanji akan
membunuh istrinya untuk menikah denganku, tapi kalau aku menjadi istrinya,
tentu nasibku akan serupa bila kelak ada perempuan lain minta dia membunuhku,
Lagi pula, aku merasa menikahi dia juga tidak begitu menarik."
Diam-diam Siau Hong membatin,
"Benar-benar omongan kanak-kanak, Menjadi suami-istri adalah urusan selama
hidup, masakah ada soal menarik apa segala? Bocah ini dibilang bodoh toh dia
sangat cerdik, dibilang dia pintar Toh ucapannya tak karuan dan suka bikin
gara-gara."
Maka katanya segera,
"Baiklah! Dan untuk apa kamu ke Gan-bun-koan?"
"Cihu, akan kukatakan
terus terang, kau mau mendengarkan tidak?"
"Bagus, jadi selama ini
kamu tidak pernah jujur padaku dan baru sekarang mau berterus terang!"
demikian Siau Hong membatin, Tapi dimulut ia berkata; "Tentu saja aku
ingin mendengarkan, cuma ku-khawatir kamu tidak mau bicara terus terang."
"A Ci mengikik tawa
sambil merangkul lengan Siau Hong, katanya, "Masakah engkau juga khawatir
padaku?"
"Banyak hal-hal yang
ku-khawatirkan padamu, ku-khawatir kamu akan menimbulkan gara-gara, ku-khawatir
kamu sembarangan membunuh ornag, khawatir kamu mempermainkan orang,
khawatir...."
"Eh, kau khawatir aku
dihina orang tidak? Kalau aku dibunuh orang, bagaimana?" tanya A Ci
tiba-tiba.
"Aku telah dipesan oleh
Cicimu, dengan sendirinya aku harus menjaga keselamatanmu," sahut Siau
Hong.
"Bila Ciciku tidak pernah
meninggalkan pesan padamu? Dan umpamanya aku bukan adik A Cu, lalu
bagaimana?"
"Hm, sudah tentu takkan
kuperduli," jengek Siau Hong.
"Memangnya Ciciku
sedemikian baik sehingga sedikitpun tidak kau hargai diriku?"
"Sudah tentu, Cicimu
beribu kali lebih baik dari padamu, A Ci, selama hidupmu ini tidak mungkin
dapat menyamai dia." berkata sampai disini mata Siau Hong menjadi agak basah
dan suaranya sedih.
Dengan mulut menyungkit A Ci
menggerundel, "Jika benar A Cu lebih baik dari padaku, suruhlah dia
mengawinimu saja, aku tidak mau menemanimu lagi," Habis berkata, segera ia
putar tubuh dan melangkah balik.
Tapi Siau Hong tidak ambil
pusing, ia tetap meneruskan perjalanannya, pikirnya, "Jika A Cu yang
bersamaku sekarang, betapapun dia tidak mungkin marah padaku, selamanya dia
ramah-tamah padaku, begitu pula segala apa kuturuti dia, andaikan dia mengomel
sesuatu juga aku akan mengaku salah padanya, Tapi, tidak, tidak mungkin dia
marah padaku."
Begitulah ia pikir yang
tidak-tidak, Tiba-tiba didengarnya suara tindakan orang dari belakang, ternyata
A Ci telah menyusulnya pula, Kata anak dara itu, "Cihu, engkau ini
benar-benar orang kejam, sekali tidak mau menunggu, tetap tidak menunggu,
sedikitpun engkau tidak punya rasa kasihan."
Siau Hong tertawa geli,
katanya, "A Ci, mengapa kau bicara tentang kasihan segala? Dari siapakah
pernah kau dengar kata-kata kasihan?"
"Dari ibuku," sahut
A Ci, "Beliau mengatakan padaku bahwa menjadi orang itu jangan kejam,
jangan galak, tapi harus 'welas asih'."
"Apa yang dikatakan ibumu
memang benar, cuma sayang sejak kecil kamu sudah berpisah dengan beliau hingga
mendapat didikan jahat dari gurumu," kata Siau Hong.
"Baiklah, Cihu,
selanjutnya aku akan berada bersamamu dan akan banyak belajar hal-hal yang baik
darimu," kata A Ci dengan tertawa.
Siau Hong berjingkrak kaget,
cepat ia goyang-goyang tangannya sambil berseru, "Wah, tak bisa jadi, Apa
gunanya kau ikut orang kasar seperti aku ini? Sudahlah, A Ci, lekas kau pergi
saja, kalau berada bersamamu malah pikiranku menjadi kesal dan kusut, untuk
pikir secara tenang sedikit saja tak dapat."
"Apa yang hendak kau
pikirkan, coba katakanlah, biar aku membantumu memikirkannya," kata A Ci,
"Cihu, engkau ini
memang seorang baik, mudah
ditipu orang."
Mendongkol dan geli Siau Hong
oleh ucapan dara itu, katanya, "Kamu hanya seorang anak perempuan, tahu
apa? Memangnya sesuatu yang tak dapat kupikirkan sebaliknya mesti minta
nasihatmu?"
"Sudah tentu, banyak
hal-hal aneh yang justru tak mungkin dapat kau pikirkan," kata A Ci, Ia
merandek dan meraup secomot salju, ia kepal hingga keras, lalu disambitkan,
Kemudian ia tanya, "Cihu, untuk apakah kau pergi keluar Ganbun-koan?"
"Tidak untuk
apa-apa," sahut Siau Hong sambil geleng kepala. "Disana aku akan
mengangon domba dan menggembala sapi untuk melewatkan hidupku ini, habis
perkara."
"Lalu, siapakah yang akan
memasak makanan bagimu? Siapakah yang akan membuatkan pakaian bagimu?"
tanya A Ci.
Siau Hong melengak, memang tak
pernah terpikir olehnya tenttang soal-soal itu, Segera ia menjawab sekenanya,
"Tentang sandang-pangan kan gampang? Orang Cidan kami hanya makan daging
kambing dan sapi, bajunya buatan dari kulit domba dan sapi, dimana-mana dapat
dijadikan tempat tinggal, bukankah sangat sederhana?"
"Dan tatkala engkau
kesepian, siapakah yang akan mengajak bicara padamu?" tanya A Ci.
"Gampang, sesudah aku
berada diantara suku bangsa sendiri, tentu saja akan mendapat banyak kawan
sebangsa." sahut Siau Hong.
"Tapi yang mereka
bicarakan dan lakukan melulu urusan berburu, menunggang kuda, menyembelih sapi
dan menyembelih kambing, hal-hal begitu kan membosankan?" ujar A Ci.
Siau Hong merasa ucapan anak
dara itu beralasan juga, Ia hanya menghela napas dan tidak menjawab.
"Apakah engkau harus
kembali ketempat suku bangsamu sana?" A Ci bertanya pula, "Jika
engkau tidak pulang kesana, tapi tinggal disini untuk berkelahi, minum arak,
baik mati atau akan hidup, bukankah cara demikian lebih menyenangkan, lebih
memuaskan?"
Mendengar itu, seketika dada
Siau Hong terasa panas, semangat kesatrianya tergugah lagi, Ia mendongak dan
bersuit panjang. "Ya, ucapanmu betul juga!" katanya kemudian."
"Eh, Cihu,"
tiba-tiba A Ci menarik-narik lengan Siau Hong, "Sudahlah, jangan engkau
pulang kesana dan aku pun takkan pulang ke Sing-siok-hai, aku akan membantumu
berkelahi dan minum arak."
Siau Hong tertawa oleh sifat
anak dara yang masih kekanak-kanakan itu, katanya, "Kamu kan Toasuci dari
Sing-siok-pai, jika mereka kehilangan Toasuci dan ahli-waris kan bisa
berabe?"
"Kedudukanku sebagai
Toasuci ini diperoleh dengan menipu, setiap waktu bila rahasiaku ketahuan
mereka, tentu jiwaku bisa melayang, maka lebih baik kuikut denganmu untuk
berkelahi dan minum arak saja."
"Bicara tentang minum
arak, kekuatanmu minum terlalu sedikit, mungkin setengah mangkuk saja kamu akan
mabuk," ujar Siau Hong dengan tersenyum. "Tentang kepandaianmu
berkelahi juga tidak cukup, bukan mustahil akhirnya nanti bukan lagi kau bantu
aku, tapi akulah yang membantumu."
A Ci menjadi masgul oleh jawaban
itu, ia berkerut kening dan sesudah beberapa tindak lagi, sekonyong-konyong ia
duduk ditanah dan menangis keras-keras.
Siau Hong terkejut oleh
kelakuan anak dara itu, cepat ia tanya. "He, ada... ada apakah?"
Tapi A Ci tidak menggubrisnya,
ia tetap menangis tergerung-gerung dengan sangat berduka. Sejak Siau Hong kenal
A Ci, selalu ia lihat anak dara itu mau menang sendiri, sekalipun waktu
diringkus oleh anak murid Sing-siok-pai juga dia tetap kepala batu, sedikit pun
tidak gentar, sungguh tidak nyana sekarang anak dara itu bisa menangis
sedemikian rupa hingga Siau Hong dibuatnya bingung malah.
"He, A Ci cilik,
mengapakah kamu ini?" tanya Siau Hong pula.
"Kau... kau pergilah,
jangan....jangan urus diriku lagi, huk-huk, biar aku mati menangis saja disini,
supaya engkau merasa senang, huk-huk-huk!" demikian sahut A Ci dengan
terguguk.
"Seorang sehat masakah
bisa mati menangis." ujar Siau Hong dengan tersenyum.
"Aku justru ingin mati
menangis," sahut A Ci sambil tersedu-sedan.
"Jika begitu, boleh kamu
menangis terus disini, jangan terburu napsu, menangislah perlahan-lahan, dan
aku takkan mengawanimu lagi," kata Siau Hong dengan tertawa, lalu ia
melangkah pergi.
Tapi baru dua tindak ia
melangkah, tiba-tiba suara tangis A Ci berhenti, sedikitpun tiada suara lagi,
Ia menjadi heran, ketika menoleh ia lihat anak dara itu tiarap diatas tanah
salju tanpa bergerak.
Diam-diam Siau Hong geli,
"Hah, anak dara ini memang suka aleman, biarlah takkan kugubris dia
lagi." Segera ia tinggal pergi tanpa menoleh.
Sesudah beberapa li jauhnya,
ketika ia berpaling kebelakang, ia lihat ditanah salju itu keadaan sunyi
senyap, tanah salju sekitar situ sangat datar dan luas, sepanjang mata
memandang dapat terlihat dengan jelas tanpa teraling-aling oleh pepohonan
apapun, Ia lihat A Ci masih tetap menggeletak ditanah salju itu tanpa bergerak
sedikitpun.
Diam-diam ia menjadi ragu,
"Anak dara ini memang aneh tingkah lakunya, bukan mustahil sekali ia
menggeletak, lalu tidak berbangkit untuk selamanya."
Segera teringat pula olehnya
pesan tinggalan A Cu, tanpa kuasa lagi segera ia putar balik dengan langkah
lebar. Setibanya didekat A Ci, benar juga ia lihat anak dara itu masih
bertiarap ditanah salju, keadaannya masih tetap seperti waktu ditinggalkan
tadi, sedikitpun tidak bergeser.
Sesudah lebih dekat lagi, Siau
Hong terkesiap, ia lihat tubuh A Ci seakan-akan terbingkai dalam salju yang
tebalnya beberapa senti, tapi salju yang mengelilingi tubuhnya itu sedikit pun
tidak mencair, Padahal tubuh manusia itu bersuhu panas, kalau tengkurap sekian
lama diatas salju tentu salju disekitarnya akan cair menjadi air.
Kini salju disitu tetap beku,
jangan-jangan anak dara itu benar-benar sudah mati? Dalam Khawatirnya Siau Hong
coba meraba pipi sigadis, tapi dimana tangannya menyentuh ia merasa tubuh A Ci
itu sudah dingin, waktu memeriksa napasnya pula, juga sudah berhenti.
Namun Siau Hong pernah
menyaksikan anak dara itu pura-pura mati tenggelam dalam danau untuk menipu
ayahnya, ia tahu didalam Sing-siok-pai ada semacam ilmu 'Ku-sit-kang'(kura-kura
mengeram), maka ia pun tidak begitu khawatir lagi, Segera ia gunakan dua jari
dan menutuk dua kali di-iga A Ci, Ia salurkan tenaga dalamnya kebagian hiat-to
itu.
Maka terdengar A Ci bersuara
sekali lalu membuka mata pelahan, waktu melihat Siau Hong mendadak ia berpaling
sedikit dan sekali mulut mengap, sekonyong-konyong sebatang jarum kecil warna
hijau gelap menyambar ketengahtengah alis Siau Hong.
Waktu itu jarak Siau Hong
dengan anak dara itu tiada satu meter jauhnya, betapapun ia tidak menyangka mendadak
A Ci bisa menyerangnya secara keji. Sambaran jarum itu pun sangat cepat, biar
pun ilmu silat Siau Hong maha tinggi juga sukar untuk menghindar pada saat
mendadak dan dari jarak sedekat itu.
Sekilas teringat olehnya
betapa jahat senjata rahasia berbisa dari Sing-siok-pai, bila sampai kena,
pasti harapan untuk hidup sangat tipis, Tanpa pikir lagi ia mengebas sebisanya
dengan tangan kanan, kontan serangkum angin keras berjangkit.
Dalam saat kepepet, maka
tenaga yang digunakan itu merupakan himpunan tenaga yang ada, kalau tidak,
jangan harap dapat mengguncang pergi jarum lembut yang menyambar dari jarak
dekat itu, Maka begitu tangan kanan bekerja,
seketika tubuhnya menggeser
juga kekanan, maka terenduslah bau busuk amis yang terbawa angin, dan jarum berbisa
itupun menyambar lewat disamping pipinya, hanya berjarak beberapa mili saja
jauhnya, sungguh ia boleh dikatakan lolos dari lubang jarum.
Dan pada saat yang sama itulah
tubuh A Ci juga terpental oleh tenaga pukulan maha dahsyat itu, tanpa bersuara
lagi badan A Ci melayang hingga jauh dan terbanting diatas tanah.
Diam-diam Siau Hong bersyukur
nyaris dimakan jarum berbisa itu, Tapi demi melihat A Ci terpental oleh tenaga
pukulannya, ia jadi kaget pula.
"Wah, celaka! Mana dia
tahan oleh tenaga pukulanku? Mungkin dia sudah binasa oleh pukulanku?"
demikian pikirnya dengan khawatir, Cepat ia memburu ketempat A Ci, ia lihat
mata anak dara itu tertutup rapat, ujung mulut mengeluarkan darah, mukanya
pucat, sekali ini benar-benar sudah berhenti napasnya.
Seketika Siau Hong mematung,
katanya dalam hati. "Kembali aku memukul mati dia, kembali aku membunuh
adik perempuan A Cu lagi, pada hal sebelum meninggal dia minta...minta kujaga
adiknya, tetapi... tetapi aku memukul mati dia."
Begitulah dengan rasa cemas ia
coba tempelkan tangannya dipunggung A Ci dan menyalurkan tenaga murni sendiri
sekuatnya ketubuh anak dara itu, Selang sesaat, tampak A Ci bergerak sedikit,
Sungguh girang Siau Hong tidak kepalang, ia berseru, "A Ci, A Ci! Kamu
tidak boleh mati, betapapun aku harus menghidupkanmu."
Tapi setelah bergerak sedikit,
lalu A Ci tidak berkutik lagi, Siau Hong sangat gelisah, cuma sebagai orang
yang sudah berpengalaman, sedapat mungkin ia bisa menguasai perasaannya dan
tenangkan diri, Segera ia duduk bersila ditanah salju itu, pelahan ia taruh
badan A Ci di pangkuannya, kedua telapak tangan ditempelkan kepunggung dan
pelahan menyalurkan tenaga murni kedalam tubuh A Ci, Ia tahu luka A Ci sangat
parah, maka sedapat mungkin ia harus menolong.
Selang tak lama, dari
ubun-ubun Siau Hong sendiri tampak menguapkan asap tipis, suatu tanda ia telah
mengerahkan tenaga sekuatnya.
Kira-kira setengah jam ia
berusaha, akhirnya tubuh A Ci tampak bergerak sedikit dan pelahan dapat
memanggil, "Cihu!"
Sungguh girang Siau Hong bukan
buatan, ia meneruskan tenaganya dan tidak mengajak bicara padanya, Ia merasa
badan A Ci lambat-laun mulai hangat, hidungnya juga mulai bernapas lagi.
Khawatir usahanya gagal
setengah jalan, maka Siau Hong tidak berani berhenti, ia kerahkan tenaga
sedapat mungkin.
Kira-kira menjelang lohor, ia
merasa pernapasan A Ci sudah pulih kembali dan barulah ia berani berbangkit, ia
pondong anak dara itu dan melanjutkan perjalanan dengan cepat, Tapi ia lihat
air muka A Ci itu tetap pucat bagai mayat, maka ia tidak berani ayal, sambil
berjalan cepat, tangan tetap menempel dipunggung anak dara itu dan tiada
hentinya menyalurkan tenaga murni.
Kira-kira satu jam kemudian,
sampailah disuatu kota kecil, Celakanya kota ini tiada rumah penginapan, terpaksa
Siau Hong melanjutkan perjalanan ke utara, Lebih dua puluh li lagi, akhirnya ia
mendapatkan sebuah penginapan yang sederhana, penginapan itu tiada pelayan
hingga pemilik hotel sendiri melayani tamunya.
Segera Siau Hong minta
disediakan semangkuk kuah hangat, dengan sendok pelahan ia menyuapi A Ci, Tapi
hanya beberapa cegukan saja kuah yang diminum A Ci lentas ditumpahkan kembali,
bahkan diantara air kuah itu penuh bercampur darah mati.Siau Hong sangat cemas,
ia pikir luka A Ci yang parah ini besar kemungkinan tak bisa disembuhkan lagi,
Sedangkan Giam-ong-tik, si tabib sakti Sih-sin-ih itu entah berada dimana,
sekalipun berada disitu juga, belum tentu mampu menyembuhkan A Ci, Tapi,
diam-diam ia berjanji pada diri sendiri harus menyelamatkan jiwa anak dara itu
biarpun tenaga sendiri akan terkuras habis, dengan demikian barulah ia merasa
tidak mengecewakan pesan A Cu yang telah pasrahkan nasib A Ci padanya itu.
Padahal sebabnya dia hantam A
Ci adalah karena anak dara itu hendak menyerangnya lebih dulu, dalam keadaan
begitu, bila dia tidak memukulnya tentu jiwa sendiri yang akan terancam, maka
terpaksa ia mesti melukai A Ci, Andaikan A Cu menyaksikan kejadian itu, tentu
ia pun takkan menyalahkan Siau Hong, sebab kejadian itu adalah gara-gara
perbuatan A Ci sendiri.
Semalam suntuk Siau Hong tak
bisa tidur, sampai esok paginya ia masih tetap menyalurkan tenaga murni sendiri
untuk mempertahankan jiwa A Ci.
Dahulu waktu A Cu terluka
olehnya, hanya terkadang saja Siau Hong menyalurkan tenaga murninya bila keadaan
gadis itu tampak lemah, Tapi kini keadaan A Ci jauh lebih parah, kedua
tangannya tidak boleh berpisah dengan punggung A Ci, sekali berpisah, tentu
napas anak dara itu lantas putus.
Keadaan begitu berlangsung
hingga esok hari kedua, Meski tenaga Siau Hong sangat kuat, tapi selama dua
hari dua malam mengerahkan tenaga cara begitu, mau tak mau terasa sangat lelah
juga, Arak yang tersedia dihotel kecil itu pun habis diminum olehnya, Ia minta
pemilik hotel menambahkan ditempat lain tapi sialan, uangnya habis.
Bagi Siau Hong tidak menjadi
soal tidak makan nasi, tapi sehari tidak minum arak baginya akan terasa
ketagihan, Kini dalam keadaan lelah dan banyak pikiran, ia lebih perlu dibantu
dengan arak untuk menguatkan semangat.
Ia pikir mungkin dibadan A Ci
masih terdapat uang sangu, Segera ia membuka buntalan kecil yang dibawa anak
dara itu, benar juga ia lihat didalamnya ada tiga potong uang emas, ia ambil
sepotong dan ditaruhkan dimeja, ia merasa buntalan kain terikat oleh seutas
tali halus, ujung tali itu terikat dikantungan kain dan ujung yang lain terikat
dipinggang A Ci.
Segera ia coba melepaskan
ujung tali yang terikat pada tali pinggang itu, Sesudah berkutetan sebentar
barulah tali itu dapat dilepaskannya, tapi waktu ia tarik, terasa ujung tali
yang lain agak berat, terang masih terikat sesuatu benda lain,
Cuma benda itu tertutup dalam
baju hingga tidak kelihatan bagaimana bentuknya.
Dan ketika Siau Hong
melepaskan tali itu, 'trang-tring', mendadak terjatuh sebuah benda berwarna
hijau mengkilat, Itulah sebuah Giok-ting yang kecil mungil.
Siau Hong menghela napas
melihat benda itu, terang itulah Giok-ting yang dipertengkarkan antara murid
Sing-siok-pai tempo hari, Ia jemput dan menaruhnya diatas meja, Ia lihat
Giok-ting itu berukir sangat indah, diantara warna hijau kemala itu lamat-lamat
kelihatan jalur merah jambon hingga makin menambah kebagusan warnanya.
Selamanya Siau Hong tidak suka
benda-benda permainan begitu, dalam pandangannya biarpun benda mestika apapun
juga tidak lebih cuma batu belaka yang tiada artinya, maka sesudah memandangnya
sekejap, ia pun tidak memperhatikan lagi.
Pikirnya kemudian, "A Ci
ini benar-benar sangat licin, berulang ia mengatakan Giok-ting ini telah
diserahkan padaku, padahal masih tersimpan didalam bajunya, Saudara
seperguruannya itu percaya saja apa yang dia katakan bahwa barang telah
diserahkan padaku, pula mereka tidak ada yang menggeledah badannya, sebab
itulah buntalan ini tidak ditemukan, Sedangkan sekarang jiwanya masih sukar
diramalkan, buat apa pikrkan benda demikian ini?"
Segera ia panggil pengurus
hotel dan menyerahkan uang emas itu padanya agar dibelikan arak dan daging.
Begitulah ia terus menyalurkan
tenaga murni sendiri untuk mempertahankan jiwa A Ci, Sampai hari keempat,
keadaan Siau Hong benar-benar sudah payah, ia tidak tahan lagi, terpaksa ia
genggam kedua tangan A Ci dan merangkulnya, ia biarkan gadis itu bersandar
didepan dadanya, ia menyalurkan tenaga murni melalui tangannya, sebentar
kemudia, ia merasa mata sepat dan sukar dipentang lagi, Akhirnya ia pun
terpulas, Tapi karena selalu Khawatirkan mati hidup A Ci, hanya sebentar saja
ia sudah terjaga bangun.
Keadaan begitu kembali lewat
lagi dua hari, ia lihat keadaan A Ci tiada tanda gawat, tapi juga tiada
kemajuan untuk sembuh, Terkadang anak dara itu membuka mata juga, tapi matanya
buram, bahkan bicara pun tak bisa.
Siau Hong tambah masgul, untuk
menghibur diri ia minum arak sepuas-puasnya, Ia pikir terus tinggal di hotel
kecil itu pun bukan jalan yang baik, terpaksa ia harus berangkat lagi, ia
berharap akan menemukan jalan untuk menyelamatkan A Ci, dari pada mati konyol
di hotel kecil itu.
Dipondongnya A Ci dengan
tangan kirinya, dengan tangan kanan ia ambil kantungan kain milik A Ci itu dan
disimpannya didalam baju sendiri, Ia lihat Pek-giok-giok-ting itu masih
terletak diatas meja, pikirnya. "Benda yang membikin celaka orang ini
lebih baik dihancurkan saja."
Tapi ia urung menggepuknya
ketika tiba-tiba terpikir pula olehnya, "Dengan susah payah A Ci mencuri
barang ini, jelas benda ini berguna baginya, Tampaknya ia sudah tak bisa
disembuhkan lagi, Pada sebelum ajalnya bila mendadak ia tanya benda kesukaannya
ini dan dapat kuperlihatkan padanya, dengan begitu ia akan mangkat dengan rasa
puas dari pada
nanti mati menyesal, kalau aku
tak bisa mengunjukkan benda ini."
Begitulah segera ia jemput
lagi Giok-ting itu, begitu tripod itu terpegang tangannya, segera terasa
didalamnya ada sesuatu yang sedang merayap-rayap, Karuan Siau Hong heran dan
tertarik, ia coba mengamat-amati, ia lihat disamping tripod itu ada lima lubang
amat kecil,
Waktu diperhatikan pula bagian
leher tripod itu, ternyata disitu terdapat suatu garis yang sangat halus, agaknya
tripod itu terbagi menjadi dua bagian.
Ia coba menggunakan jari kecil
dan jari manis untuk menjepit tripod itu, lalu menggunakan jari jempol dan jari
telunjuk untuk memutar bagian atas tripod, benar juga bagian itu dapat diputar,
Sesudah diputar beberapa kali, akhirnya terbukalah tutupnya.
Tapi ia menjadi kaget ketika
mengetahui isi tripod itu, Kiranya didalamnya terdapat dua ekor serangga
berbisa yang saling antup, yang seekor adalah kalajengking dan yang lain adalah
seekor kelabang, keduanya sedang tarung dengan ramai.
Sebagai seorang yang
berpengalaman, segera Siau Hong tahu binatang beracun itu memang sengaja
dipiara oleh golongan Sing-siok-pai, Tanpa pikir lagi ia tuang keluar
kalajengking dan kelabang itu, sekali injak ia bikin mati gepeng, Lalu ia tutup
kembali Giok-ting itu dan dimasukkan kedalam kantungan kain semula, Ia bereskan
rekening hotel, lalu berangkat menuju ke utara menempuh hujan salju.
Ia tahu permusuhannya dengan
tokoh-tokoh persilatan Tionggoan sudah terlalu mendalam, ia sendiri tidak sudi
menyamar pula, kalau ia menuju lagi ke utara, makin lama makin dekat dengan
ibukota Sung, disitu pasti akan kepergok oleh ksatria Tionggoan yang terkenal.
Untuk membunuh orang lagi ia
sudah tidak mau, pula ia memondong A Ci, sudah tentu tidak leluasa untuk
bertempur. Sebab itulah ia tidak mau melalui jalan raya, tapi yang dipilih
adalah jalan kecil pegunungan yang sepi, Dengan cara begitu, sudah beberapa
ratus li ia tempuh perjalanan dan ternyata selamat tanpa ketemukan sesuatu
rintangan apa pun.
Suatu hari, sampailah ia
disuatu kota, Ditepi jalan ia lihat suatu toko obat, diatas papan merek toko
tertulis, "Ong Thongti, tabib turun temurun." Ia pikir ditempat kecil
begitu masakah ada tabib pandai? Tapi tiada halangan dicoba dulu.
Segera ia bawa A Ci kedalam
toko obat itu untuk minta pertolongan, Sesudah tabib she Ong itu memegang nadi
A Ci, tiba-tiba ia pandang Siau Hong, lalu pegang nadi A Ci lagi, kemudian
pandang pula pada Siau Hong dan memegang nadi lagi, begitulah berulang-ulang ia
lakukan seperti itu dengan air muka terheran-heran, Sekonyong-konyong ia
lepaskan nadi A Ci lalu nadi Siau Hong yang diperiksanya.
Karuan Siau Hong gusar,
katanya, "Sinshe aku minta kau periksa penyakit adikku dan bukan
diriku."
Tapi Ong-sinshe itu
menggeleng-geleng kepala, sahutnya, "Kulihat engkau inilah yang sakit,
pikiranmu agak kacau dan semangatmu lesu, kukira engkau yang perlu
diobati,"
"Mengapa pikiranku kacau?
Bukankah aku sehat-sehat saja?" ujar Siau Hong.
"Habis nadi nona ini
sudah berhenti, orangnya sudah mati sejak tadi-tadi, hanya saja badannya belum
lagi dingin dan kaku, untuk apa kau bawa kemari untuk mencari tabib?" kata
Ong-sinshe itu. "Bukankah
engkau sendiri yang lagi pepat pikiran dan perlu diberi obat untuk menenangkan
diri? Ai, saudara, orang mati tak bisa hidup kembali, sebaiknya engkau juga
jangan terlalu berduka, lebih baik bawalah pulang jenazah adikmu ini dan lekas
dikubur saja."
Siau Hong jadi serba runyam
tapi apa yang dikatakan Sinshe Ong itu toh beralasan juga, Hakikatnya A Ci
memang sudah lama mati, soalnya karena seluruh tenaga murninya hingga setitik
kesempatan hidup A Ci itu masih dipertahankan hal itu sudah tentu tidak ketahui
oleh tabib kampungan seperti Sinshe Ong itu.
Dan selagi Siau Hong
berbangkit hendak pergi, tiba-tiba dilihatnya seorang berdandan sebagai Koankeh
(pengurus rumah tangga) berlari-lari masuk kedalam toko obat sambil berseru,
"
"Lekas, lekas! Mana
Lo-san-jin-som yang paling baik? Lothaiya kami mendadak terserang penyakit
angin duduk dan segera akan putus napasnya, maka perlu jinsom yang baik itu
untuk menahan sebentar nyawanya."
"Ya, ya, ada, ada! Ini
Lo-san-jin-som yang paling baik!" demikian kuasa toko obat itu cepat
memberikan apa yang diminta.
Siau Hong tertarik oleh
kata-kata mereka itu, "Lo-san-jin-som, untuk menahan sebentar nyawa orang
yang akan mati," bila seorang sudah sakit parah dan akan putus napasnya,
kalau diusap beberapa cegukan sari Jinsom (Kolesom), maka napasnya yang sudah
lemah itu dapat ditunda sebentar hingga tidak sampai putus dengan cepat, dengan
demikian orang yang hampir mati itu dapat meninggalkan pesan apa-apa kepada
ahli-warisnya, Hal itu sebenarnya juga diketahui oleh Siau Hong, cuma ia tidak
pikirkan bahwa hal itu juga dapat digunakan terhadap diri A Ci.
Dalam pada itu dilihatnya
pengurus toko obat telah mengeluarkan suatu kotak kayu merah, dengan hati-hati
ia membuka kotak itu, maka tertampaklah tiga tangkai Jinsom sebesar ibu jari.
Menurut cerita yang pernah
didengar Siau Hong, katanya Jinsom itu makin besar dan makin kasar akan makin
baik, kulit Jinsom harus yang kasap, yang banyak berkerut-kerut dan dalam,
itulah yang berharga, jika bentuk Jinsom sudah menyerupai badan manusia, ada
kepala kaki dan tangan, itu menandakan Jinsom tua yang paling sukar dicari,
maka terhitung barang pilihan yang sangat mahal.
Begitulah koankeh tadi lantas
memilih satu tangkai Jinsom dan buru-buru pergi lagi, Segera Siau Hong
mengeluarkan uang, ia beli sisa kedua tangkai Jinsom itu, Didalam toko obat itu
memang tersedia alat-alat penyeduh obat bagi pembeli, segera ia minta dibuatkan
kuah Jinson dan pelahan disuapkan untuk A Ci.
Sekali ini tidak tumpah lagi,
sesudah minum pula beberapa suapan, Siau Hong coba periksa nadi A Ci dan
ternyata pelahan mulai dapat berdenyut, napasnya juga mulai terasa lancar
sedikit. Karuan ia sangat girang.
Sebaliknya Ong sinshe yang
menyaksikan disamping itu hanya geleng-geleng kepala saja, katanya malah,
"Saudara, Jinsom itu tidak mudah memperolehnya, kalau dibuang secara
begitu sangatlah sayang, Jinsom toh bukan obat dewa mujarap yang dapat
menghidupkan orang yang sudah mati, kalau dapat, orang kaya umumnya tentu
takkan mati untuk selamanya.
Sudah beberapa hari ini Siau
Hong sangat kesal, kini mendengar ocehan si tabib yang bersifat menyindir itu,
sungguh ia ingin menggampar bacotnya supaya diam, Untung ia dapat menguasai
diri, ia merasa bukan pada tempatnya memukul seorang yang tidak paham ilmu
silat.
Segera ia pondong A Ci dan
tinggal pergi, sayup-sayup ia dengar si tabib masih mengolok-olok, "Huh,
benar-benar seorang sinting, orang mati dibawa lari kian kemari, tampaknya jiwa
sendiri juga tidak tahan lama lagi."
Ia tidak tahu bahwa sebenarnya
jiwanyalah yang barusan hampir mendaftarkan diri kepada raja akhirat, Jika
gamparan Siau Hong tadi dilontarkan, biarpun sepuluh orang tabib seperti dia
juga akan binasa.
Sekeluarnya dari toko obat
itu, Siau Hong pikir, "Jinsom itu kabarnya banyak tumbuh dipegunungan
Tiang-pek-san yang bersuhu dingin, biarlah kuputar kearah timur laut sana untuk
mencari jinsom, boleh jadi dengan bahan obat itu kesehatan A Ci akan dapat
dipulihkan."
Segera ia mengarah ke timur
laut, sepanjang jalan kalau ketemu toko obat ia lantas membeli jinsom untuk A
Ci, sampai akhirnya ia kehabisan sangu, terpaksa ia mesti berlaku tidak
sungkan-sungkan lagi, ia masuk ke toko obat dan 'mengambil' jinsom yang
diperlukan, dengan sendirinya pegawai toko obat tidak dapat merintanginya.
Setelah banyak minum jinsom,
ternyata keadaan A Ci banyak lebih baik, terkadang ia dapat membuka mata dan
memanggil pelahan, "Cihu!" Malamnya waktu tidur, meski untuk beberapa
jam tidak diberi saluran hawa murni Siau Hong juga anak dara itu dapat bernapas
sendiri dengan lancar.
Begitulah makin menuju ke
utara makin dingin hawanya, akhirnya Siau Hong menggendong A Ci dan sampailah
dilereng gunung Tiang-pek-san, Meski pegunungan itu tersohor banyak
menghasilkan jinsom tapi kalau tidak paham cara mencarinya, biarpun dicari
ubek-ubekan setahun dua tahun juga belum tentu dapat menemukannya.
Dan makin menuju ke utara
makin sedikit orang yang dijumpai ditengah jalan, Sampai akhirnya sepanjang
jalan melulu hutan belukar belaka, dengan lereng gunung yang memutih perak
tertutup salju, Terkadang sampai beberapa hari tidak pernah dijumpai seorang
pun.
Diam-diam Siau Hong mengeluh,
"Wah celaka! Tanah pegunungan ini penuh salju belaka, dimana dapat kucari
jinsom? Lebih baik kuputar balik saja ketempat yang ramai ditinggali orang,
kalau punya uang aku dapat membeli, kalau kehabisan uang lantas merampas."
Begitulah ia lantas putar
kembali kearah semula sambil menggendong A Ci, Tatkala itu hawa sangat dingin,
salju berpuluh senti tebalnya ditanah, jalannya sangat sulit, coba kalau ilmu
silat Siau Hong kurang tinggi, dengan menggendong seorang begitu, umpama tidak
mati kedinginan juga pasti akan kejeblos kedalam tanah salju dan sukar
meloloskan diri.
Sampai hari ketiga, cuaca
tampak mendung, agaknya hujan salju besar akan turun pula, Sekitarnya tertampak
tanah salju belaka, jangankan tapak manusia, sekalipun bekas tapak binatang
juga tidak kelihatan, Siau Hong merasa dirinya seperti terombang-ambing
ditengah samudera raya, angin meniup dengan kencang dan suara menderu-deru
ditepi telinga.
Ia insaf telah sesat jalan,
telah kehilangan arah. Beberapa kali ia coba panjat keatas pohon untuk
memeriksa, tapi seputar hanya rimba belaka yang tertutup salju, cara bagaimana
dapat mengenal arah lagi.
Yang dia khawatirkan adalah A
Ci, terpaksa ia buka jubah luar sendiri dan membungkus anak dara itu dalam
pelukannya, Sudah tiga hari lamanya Siau Hong tidak makan apa-apa, dilautan
salju seluas itu juga tidak nampak seekor binatang paling kecil sekalipun
sebangsa ayam alas, kelinci dan sebagainya.
Ia pikir sia-sia saja kalau
sembarangan berjalan, lebih baik mengaso dulu ditengah rimba itu, nanti bila
salju sudah reda, dari bintang atau bulan dilangit tentu dapat dibedakan arah
yang tepat.
Maka ia lantas mencari suatu
tempat berteduh, suatu tempat yang teraling-aling dari tiupan angin, ia mencari
kayu kering dan menyalakan api, Makin lama makin besar api unggun itu hingga
badan mulai terasa agak hangat, Saking kelaparan Siau Hong merasa perut
berkeruyukan, ia lihat diakar pohon sebelahnya tumbuh beberapa buah jamur yang
berwarna putih kelabu, tampaknya tidak beracun, segera ia petik dan dipanggang
sekedarnya diatas api, lalu dimakan sekedar tangsal perut.
Sesudah makan beberapa buah
jamur kayu itu, semangatnya sedikit terbangkit juga, Ia angkat A Ci agar
bersandar didadanya untuk menghangatkan badan ditepi api unggun, ia sendiri
merasa mengantuk sekali. Selagi siap-siap akan pulas, mendadak terdengar suara
auman harimau yang keras, Siau Hong sangat girang, "Ini dia ada harimau,
sebentar dapatlah makan daging macan."
Ia coba mendengarkan lagi, ia
dengar seluruhnya ada dua ekor harimau sedang lari datang dengan cepat, Tapi
lantas terdengar pula suara bentakan manusia, agaknya ada orang sedang mengejar
raja hutan itu.
Siau Hong tambah girang
mendengar suara manusia itu, ia dengar kedua ekor harimau itu berlari cepat
kearah sana, segera ia rebahkan A Ci, dengan ginkang yang tinggi ia memotong
jalan untuk mencegat datangnya harimau.
Waktu itu salju makin turun
dengan lebat dan angin meniup semakin kencang, Kira-kira beberapa ratus meter
Siau Hong berlari, tertampaklah didepan adalah tanah datar yang luas, dua ekor
harimau kumbang sedang lari datang sambil mengaum-ngaum, Dibelakang binatang
buas itu ada seorang laki-laki tegap berjubah kulit, tangan membawa sebatang
garpu baja yang besar sedang mengejar kedua ekor harimau sambil membentak-bentak.
Kedua ekor harimau kumbang itu
besarnya luar biasa, tapi seorang diri pemburu itu ternyata berani mengejarnya,
nyalinya itu sungguh harus dipuji.
Sesudah berlari-lari sebentar,
salah seekor harimau itu mengaum kebelakang, mendadak binatang itu
memutar-balik terus menerkam kearah laki-laki itu, Tapi sekali garpu baja
pemburu itu menegak, ia incar leher harimau terus menusuk.
Namun gerak-gerik harimau itu
juga sangat gesit, sedikit mengengos dapatlah garpu itu dihindarkannya, Dalam
pada itu harimau yang kedua telah menerkam juga kearah si pemburu.
Gerakan pemburu itu ternyata
cepat luar biasa, tahu-tahu ia putar poroknya dan "bluk", tepat
pinggang harimau itu kena digebuknya dengan keras, Karena kesakitan, harimau
itu mengaum pula, lalu lari sambil mencawat ekor, Harimau yang lain juga tidak
berani garang lagi dan ikut lari.
Siau Hong melihat gerak-gerik
pemburu itu memang cekatan, tenaga juga kuat, agaknya tidak mahir ilmu silat,
hanya paham kebiasaan dan sifat-sifat binatang buas, kenal watak harimau
umumnya, maka sebelum harimau mulai menerkam, lebih dulu ia papak dengan poroknya
untuk menantikan leher harimau, Namun untuk memburu dua ekor harimau kumbang
seperti itu juga tidak gampang baginya.
Segera Siau Hong berseru,
"Jangan khawatir Lauheng (saudara), marilah kubantu memburu harimau!"
Berbareng itu ia terus memburu maju dan mencegat jalan lari harimau-harimau
tadi.
Melihat muncul mendadak
seorang Siau Hong, pemburu itu terkejut dan berkaok-kaok, Tapi apa yang
dikatakan tak dipahami Siau Hong, mungkin pemburu itu bukan bangsa Han.
Ia tidak menghiraukannya,
segera ia hantam kepala harimau, "prak", tepat harimau itu kena
digenjot, tapi raja hutan itu cuma terguling ditanah, lalu dengan menggerung
kembali menubruk kearah Siau Hong.
Pukulan Siau Hong itu sudah
memakai lebih dari separoh tenaganya, biarpun jago silat paling tangguh juga
pasti akan kepala remuk dan otak hancur, tapi rupanya tulang kepala harimau itu
sangat keras, raja hutan itu hanya jatuh terguling saja dan tidak binasa.
"Bagus binatang!"
bentak Siau Hong sambil mengengos untuk menghindarkan tubrukan, berbareng
tangan kiri terus memotong dari atas kebawah, "crat", tepat punggung
harimau kena dipotong oleh telapak tangannya.
Sabetan itu lebih keras dari
pada pukulannya tadi, seketika harimau itu terhuyung-huyung kedepan, rupanya
binatang itu pun dapat melihat gelagat jelek dan cepat lari ketakutan.
Sudah tentu Siau Hong tidak
membiarkan mangsanya lari, cepat ia memburu dan sekali tangkap, dengan tepat
ekor harimau itu kena ditarik oleh tangan kanannya, ia barengi membentak sambil
tangan kiri memegang pula ekor harimau itu, sekali tarik dan angkat, memangnya
harimau itu sedang lari kedepan, karena tenaga tarik dan betot itu, seketika
harimau itu mencelat ke udara.
Dengan porok bajanya pemburu
tadi tengah bertarung dengan harimau yang lain, Ketika mendadak melihat Siau
Hong dapat melempar harimau ke udara, sungguh kagetnya bukan buatan.
Sementara itu tertampak
harimau yang mencelat ke udara itu sedang menubruk kebawah dengan pentang mulut
dan ulur cakar kearah Siau Hong, Mendadak Siau Hong membentak pula kedua tangannya
memukul sekaligus, "bruk" tepat sekali perut harimau itu kena
dihantam.
Perut harimau adalah bagian
yang lemah, pukulan 'Sepasang langit membuyarkan mega' itu adalah kungfu
kebanggaan Siau Hong, karuan isi perut harimau itu kontan hancur lebur didalam,
sesudah berkelojotan sebentar harimau itu pun mati diatas tanah salju.
Sungguh kagum si pemburu tadi
tidak terhingga menyaksikan Siau Hong dapat membunuh mati harimau dengan
bertangan kosong, Pikirnya, "Aku membawa senjata, kalau aku tak mampu membinasakan
harimau ini, bukankah aku akan ditertawakan olehnya."
Segera ia keluarkan tenaga
raksasa pembawaannya, ia putar poroknya kekanan dan kekiri hingga badan harimau
itu berulang-ulang tertusuk, mungkin saking kesakitan, binatang itu menjadi
kalap, dengan menyeringai hingga kelihatan siungnya yang putih menyeramkan,
segera harimau itu hendak menggigit si pemburu.
Dengan gesit pemburu itu dapat
menghindarkan tubrukan harimau, menyusul poroknya terus menusuk dari samping,
'Crat', tepat leher raja hutan itu kena ditusuk, Sekali pemburu itu mengangkat
poroknya keatas, tanpa ampun lagi harimau itu menggerung dan terjungkal, Segera
pemburu itu tahan sekuat-kuatnya hingga harimau itu terpantek ditanah oleh
poroknya itu. Melihat betapa tangkasnya pemburu itu, mau tak mau Siau Hong
memuji dalam hati.
Harimau yang lehernya dipantek
dengan parok baja si pemburu itu, semula keempat kakinya masih meronta-ronta
dan mencakar serabutan, tapi sesudah lama, akhirnya tidak bergerak lagi,
Pembiru itu lantas terbahak-bahak sambil mengangkat kembali porok bajanya, Ia
berpaling kepada Siau Hong sambil mengacungkan jari jempolnya, dan berkata
beberapa patah kata yang tak dipahami Siau Hong, Tapi dari sikapnya itu Siau
Hong tahu orang lagi memuji keperkasaan dirinya, Maka ia pun balas mengunjuk
jari jempol sambil berkata,
"Ehm, kamu juga perkasa
dan gagah!"
Orang itu sangat girang, ia
tuding hidung sendiri dan berkata, "Wanyen Akut!"
Siau Hong menduga mungkin
itulah namanya, maka ia pun tuding hidung sendiri dan menjawab "Siau
Hong!"
"Siau Hong? Cidan?"
tanya orang itu.
Siau Hong mengangguk.
"Ya, Cidan!"
sahutnya, lalu ia balas tanya sambil tuding orang itu, "Dan kau ?"
"Wanyan Akut!
Nuchen!" sahut pemburu itu.
Siau Hong pernah mendengar
bahwa di timur negeri Liau, di utara Korea terdapat suatu suku bangsa Nuchen
(kerajaannya terkenal dengan sebutan Chin atau Kim), Suku bangsa itu gagah
perkasa dan pandai berperang, Dan pemburu yang bernama Wanyen Akut ini kiranya
suku bangsa Nuchen yang terkenal itu.
Meski tidak paham bahasa
masing-masing, tapi ditempat yang sunyi terpencil itu dapat bertemu seorang
kawan, betapapun mereka merasa sangat senang, Segera Siau Hong memberi tanda
untuk memeberitahu bahwa dirinya masih mempunyai seorang kawan lagi.
Rupanya Akut dapat menangkap
maksudnya, Ia mengangguk dan mengangkat harimau hasil buruannya tadi, Begitu
pula Siau Hong lantas angkat juga harimau yang dibinasakannya dan menuju
ketempat A Ci, Akut mengikuti dibelakangnya.
Karena kelaparan dan
kedinginan, keadaan A Ci sangat lemah, Cepat Siau Hong mengangkat harimau
buruan Aku tadi, dari luka binatang yang masih mengalirkan darah segar itu, ia
cekoki anak dara itu dengan darah harimau, Setelah kemasukkan darah harimau
yang hangat itu, semangat A Ci tampak agak segar.
Siau Hong sangat girang,
segera ia menyobek kedua paha harimau terus dipanggang diatas api unggun.
Melihat cara Siau Hong
mencabik paha harimau bagaikan menyobek paha ayam gampangnya, karuan Akut
terkesima memandangi kedua tangan Siau Hong, Sejenak kemudian, tiba-tiba ia
memegang-megang telapak tangan Siau Hong dengan penuh rasa kagum.
Selesai memanggang daging
harimau, segera Siau Hong dan Akut makan sekenyang-kenyangnya, Lalu Akut
memberi tanda gerakan tangan untuk tanya maksud tujuan Siau Hong, Maka Siau
Hong menerangkan dengan gerakan tangan bahwa tujuannya ingin mencari jinsom
untuk menyembuhkan penyakit A Ci dan setiba di sini mereka sesat jalan.
Akut terbahak-bahak, ia geraki
tangannya kesana kesini untuk menyatakan bahwa adalah sangat gampang jika ingin
mencari jinsom, bahwa ditempat mereka tersedia jinsom secukupnya. Siau Hong
sangat girang, segera ia berbangkit dengan tangan kiri ia pondong A Ci, tangan
kanan mengangkat bangkai harimau buruannya itu.
Kembali Akut mengunjukkan jari
jempolnya dan memuji, "Benar-benar tenaga raksasa!"
Rupanya Akut sangat apal
dengan tempat disekitar situ, meski dibawah hujan salju dan tiupan angin
kencang toh dia tidak sesat jalan, Ketika hari sudah gelap, mereka lantas
bermalam ditengah hutan, esok paginya melanjutkan perjalanan lagi.
Begitulah mereka terus menuju
kearah barat, pada siang hari ketiga, Siau Hong melihat ditanah salju situ
sudah banyak bekas tapak kaki manusia, Akut berulang-ulang memberi tanda pula
untuk menerangkan bahwa sudah dekat dengan tempat tinggal suku mereka.
Benar juga, sesudah melintasi
dua lereng bukit lagi, terlihatlah diarah tenggara sana banyak terdapat tanda
dari kulit binatang, jumlahnya ada beberapa ratus buah, Ketika Akut bersuit,
segera dari perkemahan itu ada orang memapak kedatangan mereka.
Sesudah dekat, Siau Hong lihat
didepan setiap tenda tentu dinyalakan api unggun dan dikerumuni kaum wanita
yang asyik menjahit kulit binatang dan mengolah daging binatang hasil buruan
mereka. Akut membawa Siau Hong menuju kesuatu tenda terbesar ditengah-tengah
perkemahan itu.
Sesudah masuk kedalam tenda
besar itu Siau Hong lihat disitu terdapat belasan orang yang sedang duduk
sambil minum arak, Melihat kedatangan Akut, seketika orang-orang itu bersorak
menyambutnya.
Segera Akut menunjuk Siau
Hong, sambil menuding sambil omong, Melihat kelakuan itu, Siau Hong tahu Akut
sedang menceritakan cara bagaimana dia membinasakan harimau, Maka orang-orang
itu lantas mengerumuni Siau Hong dan mengunjuk ibu jari mereka sebagai tanda
memuji.
Tengah ramai, tiba-tiba masuk
pula seorang Han yang berdandan sebagai saudagar, Orang itu lantas menyapa pada
Siau Hong. "Apakah tuan ini dapat bicara bahasa Han ?"
Sungguh Siau Hong girang
sekali, cepat ia menjawab. "Sudah tentu dapat!"
Sesudah tanya keterangan
kepada saudagar bangsa Han itu, barulah diketahui bahwa perkemahan itu adalah
tempat tinggal kepala suku Nuchen, orang tua yang berjenggot diantara belasan
orang tadi adalah kepala suku sendiri, namanya Hurip. Kepala suku itu mempunyai
sebelas orang putra, semuanya gagah perkasa, Akut adalah putranya yang kedua.
Saudagar Han itu bernama Kho
Tok-sing, setiap musim dingin tentu datang kesitu untuk membeli kulit harimau
dan jinsom, pada musim semi baru meninggalkan tempat ini, Kho Tok-sing fasih
berbahasa Nuchen, maka ia lantas menjadi juru bahasa Siau Hong.
Orang Nuchen paling menghormat
pada kaum ksatria perkasa, Wanyen Akut itu tergolong pemuda yang gagah perwira,
maka sangat disayang ayahnya, suku bangsanya juga sangat cinta padanya, Jika
Akut memuji setinggi langit pada Siau Hong, dengan sendirinya suku bangsanya
ikut menghormat juga dan menyambutnya sebagai tamu agung.
Akut lantas mengosongkan kemah
sendiri untuk tempat tinggal Siau Hong dan A cI, Sebagai tokoh berpengaruh
dalam bangsa Nuchen, dengan sendirinya tenda itu sangat luas dan bagus.
Malamnya orang Nuchen
mengadakan jamuan besar-besaran untuk menghormati Siau Hong, dengan sendirinya
daging harimau buruan mereka pun menjadi santapan yang berarti.
Memangnya sudah setengahan
bulan Siau Hong tidak pernah minum arak, kini satu kantong dami sati kantong
orang Nuchen menyuguhkan arak padanya, karuan ia dapat minum dengan
sepuas-puasnya.
Meski arak buatan orang Nuchen
tidak begitu sedap, tapi kadarnya sangat keras, orang biasa kalau minum
setengah kantung saja pasti akan mabuk, tapi beruntun-runtun Siau Hong dapat
menghabiskan belasan kantung tanpa pusing sedikitpun, karuan kekuatan minumnya
ini membuat orang-orang Nuchen tercengang.
Semula mereka agak sangsi
ketika mendengar cerita Akut tentang Siau Hong membunuh harimau dengan
bertangan kosong, kini melihat kekuatan minum arak yang luar biasa itu, mau tak
mau mereka merasa kagum sekali.
Sesudah perjamuan
menggembirakan itu, Siau Hong lantas tinggal ditempat orang Nuchen itu dengan
senang, Sifat orang Nuchen itu kebanyakan polos jujur, mereka sangat cocok
dengan watak ksatria Siau Hong.
Melihat bangsa Nuchen sangat
menghormati Siau Hong dengan sendirinya Kho Tok-sing juga segan padanya, Waktu
iseng Siau Hong lantas ikut berburu dengan Akut, malam harinya ia belajar
bahasa Nuchen dengan Kho Tok-sing, Sesudah cukup lancar berbahasa Nuchen, Siau
Hong pikir dirinya adalah bangsa Cidan, masakah bahasa bangsa sendiri tidak
bisa, bukankah hal ini sangat janggal, Maka ia pun belajar bahasa Cidan pula
dengan Kho Tok-sing.
Sebagai saudagar Kho-Tok-sing
biasa mondar-mandir diantara tempat tinggal suku bangsa Nuchen, Cidan, Sehe dan
lain-lain, maka ia fasih bicara dalam beberapa bahasa, Meski bakat Siau Hong
dalam hal bahasa tidak terlalu tinggi, tapi lama kelamaan ia pun dapat bicara
dengan lancar, kalau untuk keperluan sehari-hari saja ia sudah tidak perlu juru
bahasa lagi.
Dengan cepat beberapa bulan
sudah berlalu, musim dingin berganti dengan musim semi, Karena setiap hari A Ci
minum sari jinsom, maka kesehatannya sudah banyak maju. Pada umumnya jinsom
yang digali orang Nuchen itu adalah jinsom tua dan pilihan, maka nilainya
tidaklah sama dengan sembarangan jinsom.
Setiap kali Siau Hong pergi
berburu, dari hasil buruannya itu ditukarkannya dengan jinsom untuk A Ci,
Penghidupan A Ci yang luar biasa itu mungkin putri raja pun tidak dapat
menyamai dia, Setiap hari Siau Hong masih menyalurkan hawa murni ketubuh anak
dara itu, cuma sekarang cukup sebentar saja, pula sehari sekali sudah cukup.
Terkadang Aci juga dapat bicara beberapa kata, cuma kaki dan tangannya masih
belum dapat bergerak,
hingga segala keperluan masih
perlu bantuan Siau Hong, Dan setiap kali teringat pada pesan tinggalan A Cu,
maka Siau Hong rela berbuat apa saja yang dikehendaki anak dara itu.
Suatu hari, Akut bersama
belasan orang bangsanya hendak pergi berburu beruang dilereng bukit barat laut,
Ia mengajak Siau Hong ikut pergi, Kulit beruang sangat berharga, daging dan
minyaknya juga banyak, lebih-lebih telapak kaki beruang, konon adalah bahan
masakan yang paling lezat didunia ini.
Karena melihat keadaan A Ci
baik-baik saja, Siau Hong lantas terima dengan senang hati ajakan Akut itu,
Maka pagipagi sekali rombongan mereka lantas berangkat ke utara.
Sementara itu sudah permulaan
musim panas salju sudah mencair, tanah pegunungan penuh lumpur hingga
perjalanan sukar ditempuh, Tapi orang-orang Nuchen itu ternyata sangat tangkas,
menjelang siang hari mereka sudah menempuh sejauh seratus li lebih.
Selagi Siau Hong khawatirkan A
Ci bila terlalu jauh ditinggal pergi, tiba-tiba seorang pemburu tua bangsa
Nuchen berseru, "Itu dia, beruang! Beruang besar!"
Waktu semua orang memandang
kearah yang ditunjuk, ternyata ditanah lumpur itu setapak demi setapak terdapat
bekas kaki beruang besar. Semangat semua orang terbangkit seketika, dengan
gembira mereka terus mengikuti jejak beruang itu hingga mencapai padang rumput.
Tengah mereka menguber dengan
cepat, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang ramai, dari depan sana
muncul suatu pasukan berkuda sedang mendatang dengan cepat.
Padang rumput disitu mendatar
luas, maka dapat terlihat dengan jelas ada seekor beruang hitam besar sedang
berlari, dibelakangnya menguber beberapa puluh penunggang kuda sambil
mem-bentak2, Anggota pasukan itu semuanya bertombak dan ada yang membawa busur dan
panah, semuanya kelihatan sangat tangkas.
"Itulah orang Cidan,
mereka berjumlah banyak, marilah lekas kita pergi, lekas!" segera Akut
memperingatkan kawan-
kawannya.
Mendengar rombongan
orang-orang itu adalah suku bangsanya sendiri, seketika timbul semacam perasaan
baik didalam hati Siau Hong, ia lihat Akut ajak kawan-kawannya putar balik
untuk melarikan diri, tapi ia sendiri tidak lantas ikut lari, sebaliknya ia
tetap berdiri ditempatnya untuk melihat keadaan selanjutnya.
"Hai, orang Nuchen! Panah
dia, panah dia!" mendadak orang-orang Cidan berteriak-teriak dan
beruntun-runtun panah mereka berseliweran menyambar kearah Siau Hong.
Diam-diam Siau Hong merasa
gusar, mereka tanpa tanya apa pun terus main panah begitu saja, Tapi beberapa
batang panah yang menyambar kearahnya itu dapat disampuknya jatuh semua,
Mendadak terdengar suara jeritan ngeri, si pemburu tua bangsa Nuchen
punggungnya kena panah dan binasa.
Akut telah pimpin beberapa
orang kawannya itu bersembunyi kebalik suatu gundukan tanah, dari situ mereka
pun balas memanah musuh hingga dua orang Cidan juga jatuh terjungkal.
Jilid 42
Yang serba salah adalah Siau
Hong, ia berada ditengah-tengah dan entah pihak mana yang harus dibantunya,
Dalam pada itu ia masih terus dihujani panah oleh orang-orang Cidan, tapi
dengan mudah saja ia dapat menyampuk jatuh semua panah sambil berteriak-teriak,
"Hai, apa-apaan kalian ini? Mengapa tanpa tanya sesuatu lantas sembarangan
membunuh orang!"
Dari tempat sembunyinya sana
Akut teriaki dia. "Siau Hong, lekas kemari, mereka tidak tahu bahwa engkau
sebangsa mereka!"
Dan pada saat itu juga dua
orang Cidan dengan tombak terhunus sedang menerjang kearah Siau Hong dari kanan
dan kiri, Begitu mendekat, terus saja tombak mereka menusuk sasarannya.
Siau Hong tidak ingin membunuh
bangsanya sendiri, maka ia hanya tangkap ujung tombak lawan, sedikit ia sendal,
kontan kedua orang itu terjungkal kebawah kuda, Segera Siau Hong gunakan kedua
tombak rampasan untuk mencungkit tubuh kedua orang Cidan itu, seketika kedua
orang itu melayang kembali kearah kawan-kawan mereka sambil berkaok-kaok
ketakutan di udara, lalu terbanting ditanah hingga tak sanggup bangun untuk
sekian lamanya.
Beramai-ramai Akut dan
kawan-kawannya bersorak.
Maka tertampaklah diantara
orang-orang Cidan itu muncul seorang laki-laki setengah umur berbaju merah sedang
membentak-bentak memberi perintah, Lalu beberapa puluh orang Cidan membagi diri
dalam dua jurusan, dari kanan kiri mereka lantas mengepung dari kejauhan untuk
mencegat jalan lari Akut dan kawan-kawannya.
Melihat gelagat jelek, segera
Akut bersuit sekali, cepat ia melarikan diri bersama rombongannya, Kembali
orang Cidan menghujani mereka dengan panah hingga beberapa orang Nuchen
terbinasa lagi.
Melihat kekejaman orang-orang
Cidan, walaupun mereka adalah suku bangsanya sendiri, tapi Siau Hong tak
memikirkan hal itu lagi, segera ia rampas sebuah busur dan panahnya, beruntun
ia memanah empat kali hingga empat orang Cidan kontan terjungkal dari kuda,
tapi tidak mati lantaran yang dipanah Siau Hong adalah bagian pundak, kaki dan
tempat-tempat yang tidak berbahaya.
Diluar dugaan ketika orang
berjubah merah tadi membentak pula, orang-orang cidan itu sedikitpun pantang
mundur, mereka terus mengejar dengan gagah berani.
Siau Hong lihat diantara
rombongan Akut itu kini hanya tinggal tiga orang pemuda saja yang masih ikut
melarikan diri sambil balas memanah musuh, selebihnya sudah terbunuh oleh
orang-orang Cidan.
Padahal dipadang rumput yang
datar itu, untuk melarikan diri jelas tidak mudah, tampaknya dalam waktu
singkat Akut dan kawankawannya pasti juga akan menjadi korban keganasan
orang-orang Cidan.
Selama ini Siau Hong telah
dipandang sebagai saudara sendiri oleh orang-orang Nuchen, kalau kawan-kawan
karib yang lagi menghadapi bahaya itu tak ditolong olehnya, sungguh rasa
hatinya tidak tentram, Sebaliknya bila orang-orang Cidan itu dibunuhnya semua,
betapapun mereka adalah suku bangsanya sendiri, ia merasa tidak tega, Jalan
satu-satunya sekarang terpaksa orang yang
berjubah merah yang merupakan
pimpinan mereka itu harus ditawan lebih dulu, lalu akan memaksa dia
memerintahkan orangorangnya menghentikan pertumpahan darah itu.
Setelah mengambil keputusan,
segera Siau Hong berseru, "Hai, lekas kalian mundur saja! Kalau tidak,
terpaksa aku tidak sungkan lagi!"
Tapi sebagai jawabnya,
mendadak tiga batang tombak menyambar kearahnya, Karuan Siau Hong sangat
mendongkol, Segera ia menerjang kearah sijubah merah dengan cepat.
"Jangan, jangan,
Siau-toako, lekas kembali!" Akut berteriak-teriak khawatir demi melihat
sahabat baik itu hendak menyerempet bahaya.
Tapi Siau Hong tidak gubris
padanya, ia tetap menerjang kedepan, Dengan sendirinya orang-orang Cidan hendak
merintanginya, panah dan tombak mereka bagaikan hujan menghambur kearah Siau
Hong.
Mendadak Siau Hong membentak
sekali, ia tangkap sebatang tombak, sekali pukul ia patahkan tombak panjang
itu, dengan ia putar kencang potongan tombak itu hingga segala macam senjata
musuh yang menyambar ketubuhnya itu disampuknya jatuh semua, Sedangkan larinya
tidak menjadin kendor, hanya sekejap saja ia sudah menerjang sampai didepan
sijubah merah.
Si jubah merah yang berewok
itu sangat gagah dan angker, ia tidak gugup melihat Siau Hong menerjang tiba,
cepat ia terima tiga batang lembing dari pengawalnya, segera lembing pertama
ditimpukkan kearah Siau Hong, Tapi sekali tangkap, lembing itu kena dipegang
oleh Siau Hong, begitu pula lembing kedua, Habis itu tanpa ampun lagi dua
pengawal dikanan kiri sijubah merah terjungkal dari kuda mereka..
"Bagus!" bentak
sijubah merah sambil menimpukkan lembing ketiganya.
Tapi dengan menggunakan gaya
'pinjam tenaga untuk balas menyerang' sekali Siau Hong menyampuk dengan tangan
kiri keatas, tahutahu lembing itu berputar arah dan menyambar balik,
"crat" dada kuda tunggangan sijubah merah tepat tertancap oleh
lembing itu.
Sambil berteriak kaget,
sebelum kudanya roboh sijubah merah mendahului melompat turun, Namun Siau Hong
lebih cepat dari dia, tahu-tahu tangan kanan Siau Hong sudah meraih sampai
diatas pundak kanannya terus dicengkeram kencang-kencang.
Pada saat itulah Siau Hong dengar
suara sambaran senjata dari belakang, sekali kaki memendal, secepat terbang
Siau Hong meloncat kedepan hingga beberapa meter jauhnya sambil menggondol
sijubah merah, Maka terdengarlah suara "crat cret" dua kali, dua
batang tombak telah menancap diatas tanah ditempat Siau Hong berpijak tadi.
Sambil mengempit sijubah
merah, segera Siau Hong meloncat pula kekiri hingga jatuh diatas kuda seorang
penunggang Cidan, sekali sikat ia bikin orang Cidan itu terperosot kebawah lalu
keprak kuda rampasan itu menyingkir ketempat yang luang.
Masih sijubah merah itu
merontah-rontah sambil meninju muka Siau Hong, tapi sekali Siau Hong mengempit
dengan kencang, si jubah mereha tak bisa berkutik lagi, Segera Siau Hong
membentak, "Perintahkan mereka mundur, kalau tidak sekarang juga kukempit
mampus dirimu!"
Karena terancam, terpaksa
sijubah merah berseru, "Lekas kalian mundur, tidak perlu bertempur
lagi!"
Beramai-ramai orang Cidan itu
lantas mengurung Siau Hong, mereka ingin mencari kesempatan untuk menolong
pemimpin mereka, Tapi dengan tombak patah tadi, Siau Hong mengancam leher
sijubah merah, sambil membentak. "Apa minta kubinasakan dia!"
"Lekas kau bebaskan
pemimpin kami, kalau tidak, segera kami cincang dirimu menjadi bergedel!"
bentak seorang Cidan tua.
Siau Hong terbahak-bahak,
Mendadak ia memukul kearah orang tua itu dari jauh "blang", kontan
orang itu mencelat dari kudanya hingga jatuh beberapa meter, mulutnya
menyemburkan darah, tampaknya tidak mungkin hidup lagi.
Memang Siau Hong sengaja
hendak menggertak musuh dengan ilmu 'Pik-khong-ciang'(pukulan dari jauh) yang
hebat itu, maka tenaga yang dipakainya tadi cukup keras, Karuan orang Cidan
yang tidak pernah menyaksikan ilmu sakti seperti itu menjadi kesima, sejenak
kemudian mereka sama menjerit kaget, dan beramai-ramai mengundurkan kuda mereka
dengan rasa khawatir jangan-jangan pukulan Siau Hong itu akan berkenalan pula
dengan mereka, sudah tentu mereka tidak mampu melawan pukulan yang mirip ilmu
sihir itu.
"Nah, jika kalian tidak
lantas mundur dan pergi, segera akan kubinasakan dia!" kata Siau Hong
sambil mengangkat telapak tangannya keatas kepala sijubah merah.
"Enyahlah kalian! Mundur
semua!" teriak sijubah merah.
Terpaksa orang-orang Cidan itu
menurut, mereka undurkan kuda beberapa tindak kebelakang, tapi tetap tidak mau
pergi.
Diam-diam Siau Hong pikir,
"Disekitar sini adalah padang rumput yang datar, kalau pemimpin mereka ini
dilepaskan dan kemudian orang-orang Cidan ini mengejar lagi, akhirnya Akut dan
kawan-kawannya tetap tak dapat meloloskan diri,"
Maka ia berkata kepada sijubah
merah, "Lekas perintahkan mereka menyediakan empat ekor kuda!"
Si jubah merah menurut, empat
ekor kuda lantas diserahkan kepada Akut oleh orang-orangnya, Karena dendam orang
Cidan membunuh kawan-kawannya, "blang" kontan Atut menjotos seorang
yang menyerahkan kuda itu hingga "knock-out", Meski jumlah mereka
lebih banyak, orang-orang Cidan itu tidak berani membalas, ia hanya mendelik
sambil memegang dagunya yang ditonjok itu dengan meringis kesakitan.
Lalu Siau Hong berkata pula,
"Lekas memberi perintah agar masing-masing membunuh kuda tunggangan
sendiri, seekorpun tak boleh tertinggal hidup."
Si jubah merah ternyata
seorang yang tegas, tanpa berdebat apapun segera ia memberi perintah,
"Semuanya turun dari kuda dan bunuh binatang tunggangan kalian!"
Orang-orang Cidan itu pun
tanpa pikir terus melompat turun, masing-masing membunuh kuda sendiri dengan
golok dan tombak yang mereka bawa.
Melihat orang-orang Cidan itu
begitu taat kepada pimpinan, diam-diam Siau Hong merasa kagum juga, pikirnya,
"Tampaknya sijubah merah ini bukan sembarangan orang, masakah setiap
perintahnya diturut oleh bawahannya tanpa membangkang sedikitpun, Melihat
disiplin mereka yang hebat ini, pantas pasukan Song kalah perang melawan
mereka."
Kemudian Siau Hong berkata
pula kepada sijubah merah, "Sekarang suruh orang-orangmu pulang semua,
siapa pun dilarang mengejar lagi, Kalau ada seorang berani mengejar, segera
kupuntir patah sebelah tanganmu, ada dua orang berani mengejar, akan kupatahkan
dua lenganmu, Empat anggota badanmu lantas kukutungi semua."
Ancaman Siau Hong membuat
sijubah merah gusar tidak kepalang, tapi dibawah tawanan orang ia pun tak dapat
berbuat apa-apa, terpaksa ia beri perintah, "Sudahlah, balik pulang segera
mengerahkan pasukan besar untuk hancurkan sarang orang Nuchen!"
Serentak orang-orang Cidan
mengiakan sambil membungkuk tubuh, Lalu Siau Hong putar kudanya, bersama Akut
dan kawankawannya yang telah menunggang kuda masing-masing segera balik kearah
timur dengan membawa tawanannya yaitu sijubah merah.
Sesudah beberapa li jauhnya,
benar juga tiada seorang Cidan yang berani mengejar lagi, maka Siau Hong
melompat keatas kuda lain dan membiarkan sijubah merah menunggang kuda sendiri.
Dengan cepat mereka pulang
ketempat tinggal orang Nuchen, segera Akut melaporkan peristiwa itu kepada
ayahnya Hurip, Ia tuturkan kejadian bertemu dengan musuh, berkat pertolongan
Siau Hong mereka dapat diselamatkan dan malah berhasil menawan seorang pemimpin
musuh.
Karuan Hurip sangat girang, ia
tidak habis-habis memuji dan menghaturkan terima kasih kepada Siau Hong, Lalu
memberi perintah, "Bawalah anjing Cidan itu kesini!"
Meski sudah jatuh dalam
cengkeraman musuh tapi sijubah merah masih sangat angkuh dan kereng, ia berdiri
tegak dan tak sudi bertekuk lutut.
Hurip tahu tawanannya itu
pasti bangsawan Cidan, segera ia tanya, "Siapa namamu?Apa pangkatmu
dinegeri Liau sana?"
Dengan angkuh sijubah merah
menjawab, "Aku toh bukan tawananmu, dengan hak apa kau tanya padaku?"
Menurut peraturan umum
diantara suku-suku bangsa Cidan dan Nuchen, seorang tawanan termasuk budak
milik pribadi orang yang menawannya itu, Baik harta benda atau wanita juga
termasuk dalam peraturan itu, hak milik itu tak boleh diganggu gugat oleh orang
lain, kecuali jika pemiliknya sengaja menghadiahkan kepadanya, Begitulah
peraturan umum dalam suku-suku bangsa yang peradabannya masih belum maju,
setiap tawanan adalah budak.
Maka Hurip tertawa, katanya,
"Benar juga ucapanmu, hahaha!"
Segera sijubah merah mendekati
Siau Hong ia tekuk lutut sebelah kaki, ia beri hormat dengan sebelah tangan
terangkat kedepan jidat, katanya, "Cukong, engkau memang kesatria gagah,
sedikit pun aku tidak menyesal menjadi tawananmu, Jika engkau sudi membebaskan
diriku, sebagai balas jasa aku bersedia mengganti dengan tiga kereta emas, tiga
puluh kereta perak dan tiga ratus ekor
kuda."
Paman Akut yang bernama Polas
menyela, "Kamu ini bangsawan Cidan, harta tebusan itu masih jauh dari pada
cukup, Saudara Siau, boleh kau lepaskan dia jika dia bersedia menebus dengan 30
kereta emas, 300 kereta perak dan 3000 ekor kuda,"
Polas itu seorang cerdik, ia
sengaja menambah harta tebusan itu sepuluh kali lipat dari pada tawaran sijubah
merah tadi, maksudnya memang sengaja hendak tawar menawar.
Sebenarnya harta tiga
kereta-emas, 30 kereta perak dan 300 ekor kuda yang ditawarkan sijubah merah
tadi sudah merupakan harta kekayaan yang sukar didapat, sepanjang sejarah
pertempuran antara bangsa Nuchen dan Cidan belum pernah terjadi harta tebusan
tawanan sebesar itu.
Maka sebenarnya kalau sijubah
merah tak berani menambah lagi tawarannya, ada maksud Polas akan minta Siau
Hong menutup 'transaksi' itu alias terima baik tawaran itu.
Diluar dugaan sijubah merah
ternyata bukan seorang yang pelit , tanpa pikir ia terima baik harga yang
dipasang Polas tadi, dengan tegas ia menjawab, "Baik, kuterima syaratmu
itu,"
Mendengar jawaban itu, semua
orang Nuchen terkejut, hampir-hampir mereka tidak percaya kepada telinganya
sendiri.
Hendaklah maklum, meski
peradapan bangsa Nuchen dan Cidan itu masih terbelakang, tapi mereka pun kenal
kepercayaan, yang pernah diucapkannya pasti ditepati, apalagi sekarang yang
dipersoalkan adalah emas tebusan, jika orang Cidan tidak cukup menyerahkan jumlah
yang dijanjikan itu atau sengaja ingkar janji, itu berarti sijubah merah takkan
dapat pulang kenegerinya, segala omong besar dan janji kosong itu pun takkan
berguna.
Begitulah maka Polas khawatir
kalau-kalau tawanannya itu dalam keadaan linglung, maka sengaja ia tegaskan
lagi, "Hai, kaudengar jelas tidak kataku tadi? Aku bilang 30 kereta emas,
300 kereta perak dan 3000 ekor kuda!"
"Ya, emas 30 kereta,
perak 300 kereta dan kuda 3000 ekor, apa artinya semua itu bagiku!"
demikian sijubah merah menjawab dengan sikap yang tetap angkuh, "Kelak
kalau kerajaan Liau kami memerintah didunia ini, harta benda sekian itu apa
artinya bagi kami?"
Habis itu ia lantas berpaling
kearah Siau Hong, sikapnya berubah sangat hormat, katanya, "Cukong, aku
hanya tunduk pada perintahmu, omongan orang lain takkan kugubris lagi."
"Siau-hengte," sela
Polas, "Coba kau tanya dia sebenarnya dia orang macam apa di negeri Liau
mereka?"
Segera sorot mata Siau Hong
beralih kepada sijubah merah, Tapi belum lagi ia buka suara atau orang itu
sudah mendahului berkata;
"Cukong, jika engkau
berkeras ingin tanya asal-usulku, terpaksa aku akan mengaku sembarangan untuk
mendustaimu dan engkau toh takkan tahu dengan pasti, Engkau adalah seorang
ksatria, aku pun seorang ksatria, maka aku tidak ingin dusta, sebab itulah
janganlah engkau tanya berbelit-belit padaku."
Mendadak Siau Hong melolos
goloknya, sekali jarinya menyelentik, "creng" kontan golok itu patah
menjadi dua, Lalu bentaknya dengan suara bengis, "Kau berani tidak
mengaku? Kalau jariku menjentik sekali diatas batok kepalamu, lantas bagaimana
jadinya?"
Tapi orang itu ternyata tidak
gentar juga dan tidak gugup, sebaliknya ia acungkan jari jempolnya dan memuji,
"Bagus, kepandaian hebat, kungfu yang lihai! Sungguh tidak mengecewakan
hidupku ini dapat menyaksikan seorang gagah nomor satu didunia ini,
Siauenghiong, jika engkau hendak menggertakku dengan kekerasan, hah, itulah
jangan harap, Kalau mau bunuh silakan bunuh, biar pun orang Cidan tak mampu
melawanmu, namun jiwanya adalah sama kerasnya seperti engkau."
Siau Hong terbahak-bahak,
katanya, "Bagus, bagus! Aku takkan membunuhmu disini, kalau kubunuh begini
saja tentu juga kamu takkan takluk, Marilah kita pergi yang jauh sana, nanti
kita bertempur lagi lebih sengit."
"Siau-hengte," cepat
Polas dan Hurip mencegahnya, "sayanglah kalau orang ini dibunuh, lebih
baik kita tahan dia untuk mendapatkan emas tebusan, Jika engkau marah padanya,
boleh kau pentung atau hajar dia dengan cambuk saja."
"Tidak," sahut Siau
Hong, "Dia berlagak gagah-gagahan, aku justru ingin dia tahu rasa,"
Segera ia pinjam dua pasang
busur dengan panahnya pada orang Nuchen disampingnya, dipinjamnya pula dua
batang tombak, Lalu ia tarik sijubah merah keluar tenda, lebih dulu ia cemplak
keatas kudanya, kemudia katanya kepada sijubah merah, "Nah, naiklah!"
Ternyata orang Cidan itu
sedikitpun tidak ragu atau gentar, meski ia tahu pasti akan mati konyol melawan
Siau Hong, boleh jadi dirinya akan digoda dulu seperti kucing mempermainkan
tikus, lalu dibunuhnya, Tapi ia tidak jeri segera ia pun lompat keatas kuda
yang lain dan lalu menuju ke utara.
Sesudah beberapa li jauhnya,
tiba-tiba Siau Hong berkata, "Belok ke barat sana!"
”Pemandangan disini sangat
indah, biarlah aku mati disini saja," sahut sijubah merah.
"Ini sambutlah!"
seru Siau Hong pula sambil melemparkan sepasang busur berikut panah dan
sebatang tombak padanya.
Senjata itu diterima oleh
orang itu, segera ia pun berseru, "Siau-enghiong, biarpun aku sadar bukan
tandinganmu, tapi biarpun mati orang Cidan pantang menyerah, Awas, aku akan
mulai menyerang!"
"Nanti dulu! Ini, sambut
pula!" sahut Siau Hong, Dan kembali ia lemparkan busur dan tombak miliknya
itu kepada sijubah merah, Dengan bertangan kosong lalu ia tersenyum-senyum.
Si jubah merah menjadi gusar,
katanya, "Hah, jadi hendak kau tempur aku dengan bertangan kosong? Kamu
benar-benar terlalu menghina padaku!"
Tapi Siau Hong menggeleng
kepala, sahutnya, "Bukan begitu maksudku, Selamanya aku paling menghargai
kaum ksatria dan menghormati orang gagah, Meski ilmu silatmu kalah dari padaku,
tapi engkau adalah seorang ksatria besar, seorang gagah perkasa, aku
bersedia bersahabat denganmu,
Nah silakan pulang ketengah-tengah suku bangsamu!"
Karuan sijubah merah
terperanjat, katanya dengan tergagap, "Ap... apa katamu?"
"Aku bilang engkau adalah
seorang ksatria, seorang gagah dan ingin bersahabat denganmu, maka sekarang
kuantarmu pulang ke rumah!" sahut Siau Hong tertawa.
Bagaikan orang yang sudah
mendaftarkan diri kepada raja akhirat tapi titolak kembali, karuan girang
sijubah merah melebihi orang dapat lotre sepuluh juta, Ia coba tanya pula,
"Sungguh-sungguh kau bebaskan diriku? Apakah maksud tujuanmu?
Kalau....kalau aku dapat pulang kerumah tentu akan kutambahi emas tebusanku
sepluh kali lipat untukmu."
Siau Hong menjadi kurang
senang, sahutnya, "Aku anggap kamu sebagai sobat baik, mengapa kamu malah
tidak pandang aku sebagai sahabat, Siau Hong adalah seorang laki-laki sejati,
masakah tamak terhadap harta benda?"
Si jubah merah merasa malu,
cepat ia buang senjatanya, ia lompat turun dari kuda dan berlutut ditanah,
katanya, "Banyak terima kasih atas budi pengampunan atas jiwaku ini!"
Segera Siau Hong ikut berlutut
dan balas menghormat, sahutnya, "Aku tidak mau membunuh sahabat, tapi juga
tidak berani terima penyembahan seperti ini, jika kaum budak tawanan aku akan
terima penghormatannya dan jiwanya juga takkan kuampuni."
Sungguh girang dan kagum
sijubah merah tak terhingga, sesudah berbangkit ia berkata pula,
"Siau-enghiong, jika benar engkau pandang aku sebagai sahabat, bagaimana
pendapatmu jika sekiranya aku mohon mengangkat saudara denganmu?"
Sejak Siau Hong masuk
Kai-pang, selama itu ia hanya kenal naik pangkat hingga akhirnya diangkat
menjadi Pangcu, tapi tidak pernah mengangkat saudara dengan orang, Hanya sekali
tejadi waktu dia mengadu minum arak dengan Toan Ki dikota Bu-sik, karena saling
mengagumi maka keduanya mengikat persaudaraan angkat.
Kini dalam keadaan terlunta
dirantau orang ternyata ada seorang seperti sijubah merah tadi mengangkat
saudara dengan dia, karuan ia sangat terharu dan segera menjawab, "Bagus,
tentu saja kuterima dengan baik, aku Siau Hong, 33 tahun, entah saudara berusia
berapa?"
"Aku Yali Ki, lebih tua
sebelas tahun dari pada lokong," sahut sijubah merah dengan tertawa.
"Mengapa Gihong (kakak
angkat) masih menyebutku sebagai lokong?" ujar Siau Hong, "Sebagai
saudara tua terimalah penghormatanku ini." Habis berkata ia terus memberi
hormat kepada sijubah merah alias Yali Ki.
Cepat Yali Ki membalas hormat,
kedua orang lantas sembahyang kepada langit dengan menggunakan tiga batang
panah sebagai dupa, Sejak itu mereka terikat sebagai saudara angkat.
Dengan girang kemudian Yali Ki
berkata, "Saudaraku, engkau she Siau, mirip sekali dengan bangsa Cidan
kami."
"Bicara terus terang,
sebenarnya Siaute memang orang Cidan," sahut Siau Hong sambil membuka
bajunya hingga kelihatan ganbar cacah kepala serigala didadanya itu.
Karuan Yali Ki tambah girang,
serunya, "Hai, memang betul engkau adalah kelompok suku Ho dari bangsa
Cidan kita, Saudaraku, di negeri orang Nuchen sini terlalu dingin, lebih baik
ikut ke Siangkhia saja untuk menikmati kebahagiaan bersama."
"Banyak terima kasih atas
maksud baik Giheng," sahut Siau Hong. "Tapi Siaute sudah biasa hidup
melarat, penghidupan mewah malah tidak suka, Ditempat orang Nuchen ini Siaute
hidup cukup senang dan bebas, Kelak bila Siaute rindu pada Giheng, tentu akan
berkunjung kesana."
Dan karena memikirkan keadaan
A Ci yang telah ditinggal sekian lamanya, segera ia pun mohon diri,
"Giheng, lekas engkau pulang saja agar keluarga dan bawahanmu tidak merasa
khawatir."
Yali Ki mengangguk, "Ya,
dalam keadaan terburu-buru hari ini kita tak sempat banyak bicara, Sebagai
saudara angkat, kelak kta harus lebih sering berhubungan." Habis itu,
segera ia mencemplak keatas kuda dan dilarikan cepat ke barat.
Waktu Siau Hong putar kembali
kudanya, ia lihat Akut memimpin belasan bawahannya datang menyongsongnya,
Agaknya Akut khawatir Siau Hong terjebak oleh akal licik sijubah merah, maka
sengaja menyusulnya.
Ketika Siau Hong memberitahu
bahwa sijubah merah telah dibebaskan olehnya, sebagai seorang ksatria yang
berpandangan luas, Akut sendiri memuji atas kebijaksanaan dan keluhuran budi
Siau Hong.....
Suatu hari, tatkala mengobrol
iseng Siau Hong memberitahukan Akut tentang penyakit A Ci itu disebabkan
terkena pukulannya, Meski jiwanya telah dapat direnggut kembali dari
cengkeraman maut berkat jinsom yang telah banyak diminumnya itu, tapi sudah
sekian lamanya keadaan anak dara itu belum tampak sembuh, hal inilah yang
sangat menyesalkan hati Siau Hong.
Sesudah berpikir, kemudian
Akut mengusulkan untuk mencoba obat luka pukulan yang biasa digunakan oleh suku
bangsa Nuchen meraka, yaitu koyol buatan dari urat dan tulang harimau dicampur
dengan empedu beruang, biasanya koyok itu sangat manjur.
Siau Hong sangat girang
mendapat keterangan itu, urat dan tulang harimau cukup banyak tersedia, yang
masih perlu hanya empedu beruang saja, Segera ia tanya bagaimana cara pemakaian
dan racikan obat itu, harus gilas urat dan tulang harimau menjadi salep, lalu
diminumkan kepada A Ci. Dan besok paginya seorang diri ia menuju jauh kerimba
pegunungan untuk berburu beruang.
Karena berburu sendirian, maka
Siau Hong dapat mengeluarkan ginkang sebebas-bebasnya, Hari pertama hasilnya
nihil, hari kedua ia dapat membunuh seekor beruang besar, Segera ia mengambil
empedu binatang buas itu dan lari pulang.
Urat tulang harimau dan empedu
beruang beserta jinsom adalah barang sangat berharga untuk menyembuhkan luka,
terutama empedu beruang yang masih segar adalah barang yang sukar diperoleh,
Mungkin jiwa A Ci belum ditakdirkan akan berakhir, maka ia telah dibawa oleh
Siau Hong kedaerah pegunungan Tiong-pek-san yang banyak menghasilkan jinsom,
urat tulang harimau dan empedu beruang, ditambah lagi Siau Hong memiliki
ketangkasan yang tiada taranya hingga obat-obatan itu berturut-turut dapat
dicarikan untuknya.
Setelah lebih dua bulan, sudah
ada 20 buah empedu beruang yang dimakan A Ci, lukanya sudah banyak sembuh,
tulang iga bagian
dada yang patah terpukul juga
sudah tersambung kembali, bicaranya juga mulai lancar, walaupun napasnya masih
sesak.
Siau Hong sangat lega melihat
kemajuan kesehatan A Ci itu, Ia yakin kalau tinggallebih lama disitu tentu ada
harapan A Ci akan pulih kembali seperti sediakala.
Suatu petang hari, tengah Siau
Hong asyik meracik obat untuk A Ci, tiba-tiba seorang Nuchen datang
tergesa-gesa melaporkan padanya, "Siau-toako, ada belasan orang Cidan
membawakan hadiah untukmu."
"Hah, hadiah?" seru
Siau Hong dengan heran, tapi segera ia tahu pasti hadiah kiriman Saudara
angkatnya, Yali Ki.
Waktu Siau Hong keluar,
terlihatlah dari jauh iring-iringan kuda sedang mendatang dengan pelahan,
diatas kuda penuh termuat barang.
Rupanya pemimpin regu dari
Cidan itu telah dipesan oleh Yali Ki tentang wajah Siau Hong, maka begitu
melihat segera ia mengenalinya, serentak ia melompat turun dari kudanya serta
menghampiri dan memberi sembah, katanya, "Sejak Cukong berpisah dengan
Siau-toaya, beliau selalu terkenang padamu, Kini hamba diperintahkan membawa
sedikit oleh-oleh dan minta Siau-toaya sudilah berkunjung ke Siang-khia (nama
ibukota negeri Liau)," sambil berkata kapten itu lalu menghaturkan daftar
hadiah yang dibawanya kepada Siau Hong dengan sikap sangat menghormat.
Siau Hong terima dengan baik
daftar barang antaran itu, katanya dengan tertawa, "Banyak terima kasih,
silakan berdirilah!"
Dan waktu ia baca daftar
antaran itu, ia lihat daftar itu tertulis jumlah barang sebagai berikut; Emas
murni lima ribu tahil, perak lima ribu tahil, sutera seribu blok, gandum nomor
satu seribu gentas, sapi gemuk seribu ekor, kambing gemuk lima ratus ekor, kuda
pilihan tiga ribu ekor, Kecuali itu masih banyak barang berharga lain yang
susah disebut satu persatu.
Nyata kalau dibandingkan
dengan harga tebusan yang disepakati tempo hari, hadiah yang diantarkan
sekarang ini bernilai beberapa kali lipat lebih tinggi. Karuan Siau Hong
terperanjat, sama sekali ia tidak menduga akan barang antaran sebanyak ini, dan
entah cara bagaimana kapten orang Cidan itu membawanya kemari.
Maka terdengar kapten itu
sedang melapor pula, "Cukong khawatir hewan yang kami bawa itu akan hilang
ditengah jalan, maka setiap jenis hadiah menurut daftar itu masing-masing
ditambah lagi cadangan satu bagian, Tapi berkat rejeki Siau-toaya yang besar,
sepanjang jalan hamba tidak menjumpai aral rintang apa-apa sehingga hampir
semuanya dapat tiba disini dengan selamat."
"Ai, Yali-toako
benar-benar terlalu baik, jika aku tidak menerimanya tentu akan mengecewakan
maksud baiknya, tapi kalau kuterima seluruhnya menurut daftar ini, rasanya juga
tidak enak," ujar Siau Hong.
"Hamba telah dipesan oleh
Cukong agar Siau-toaya harus menerima hadiah ini, kalau tidak, tentu hamba akan
dimarahi kelak bila pulang," tutur kapten orang Cidan itu.
Dalam pada itu, tiba-tiba
terdengar suara tiupan tanduk yang riuh rendah, orang-orang Nuchen sama membawa
senjata dan berkumpul sambil berteriak-teriak, "Awas, ada pasukan musuh
lekas melawan!"
Waktu Siau Hong memandang
kearah datangnya suara tiupan tanda bahaya itu, ia lihat jurusan sana debu
mengepul tinggi memenuhi
langit, agaknya ada pasukan
besar yang sedang menuju kemari, Segera kapten orang Cidan itu berseru,
"Harap saudara-saudara jangan kaget, itu adalah rombongan ternak milik
Siau-toaya." Segera ia pun melarikan kudanya memapak kesana untuk
menghindarkan salah paham.
Semula Akut dan kawan-kawan
merasa sangsi, tapi sesudah dekat memang betul juga, ditanah pegunungan situ
sudah penuh ternak, seratusan orang Cidan sambil mengacungkan cambuk mereka
sedang membentak-bentak dan menghalau. Dalam waktu singkat saja suara berisik
gerombolan ternak itu telah membikin suasana menjadi gaduh hingga suara
percakapan orang pun sukar terdengar.
Malamnya Siau Hong minta
orang-orang Nuchen menyembelih kambing dan sapi untuk menjamu tamu dari Cidan
itu, Besok paginya ia keluarkan pula sebagian emas perak yang diterimanya itu
untuk dibagikan kepada orang-orang Cidan sebagai persen, Dan sesudah
orang-orang Cidan itu pergi, lalu ia serahkan semua hadiah Yali Ki itu kepada
Akut untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang Nuchen.
Pada umumnya orang Nuchen itu
hidup secara kolektif, secara bergabung dalam keluarga besar, milik seorang
adalah milik semua orang, Mereka pun girang mendapatkan harta benda sebanyak
itu, Selama beberapa hari orang-orang Nuchen mengadakan pesta sebagai tanda
terima kasih kepada Siau Hong.
Musim panas pergi, musim
rontok mendatang pula, Sementara itu kesehatan A Ci sudah lebih baik lagi, Dan
sekali tenaga anak dara itu sudah kuat, ia lantas merasa bosan setiap hari
hanya rebah didalam kemah, maka sering ia minta Siau Hong membawanya pesiar
keluar dengan menunggang kuda.
Segala permintaan A Ci selalu
dituruti oleh Siau Hong, Maka beberapa bulan selanjutnya kedua orang itu selalu
pesiar bersama keluar, kecuali kalau hujan salju, Bila sudah merasa bosan,
mereka lantas membawa tenda untuk bermalam ditengah perjalanan hingga terkadang
untuk beberapa hari mereka tidak pulang.
Pada kesempatan itu Siau Hong
lantas memburu harimau dan beruang serta mencari jinsom untuk lebih
menyembuhkan kesehatan A Ci, Begitulah gara-gara anak dara itu menyambitkan
sebatang jarum berbisa, maka celakalah harimau dan beruang di Tiang-pek-san
itu, entah berapa banyak jiwa mereka yang telah melayang dibawah hantaman Siau
Hong.
Untuk lebih memudahkan
pencarian jinsom, setiap kali Siau Hong tentu menuju kearah timur dan utara.
Suatu hari A Ci menyatakan
pemandangan didaerah utara itu sudah membosankan, maka minta menuju ke barat
saja, Kata Siau Hong, "Di daerah barat sana adalah padang rumput belaka
yang amat luas, pemandangannya kurang menarik."
"Padang rumput luas juga
sangat menarik," ujar A Ci. "Seperti samudra raya, aku justru tidak
pernah melihatnya, Meski Sing-siok-hai kami juga disebut hai (laut), tapi
disana lautnya bertepi dan berpantai."
Mendengar anak dara itu
menyebut 'Sing-siok-hai'(Ngoring Nor, laut didaratan tinggi pegunungan Kun-lun
diwilayah Jinghai), hati Siau Hong terkesiap.
Selama setahun ini ia tinggal
bersama orang Nuchen hingga macam-macam urusan dunia persilatan itu telah
dilupakan olehnya, Dalam keadaan tak bisa bergerak, anak dara yang nakal itu
menjadi mati kutu dan tak bisa bikin gara-gara lagi sama sekali, tak terpikir
olehnya bila kesehatan A Ci itu kini sudah pulih kembali dan kumat pula
sifatnya yang nakal dan jahat itu, lantas bagaimana?
Ketika ia pandang A Ci, ia
lihat air muka anak dara itu masih tetap pucat, pipinya agak mendeluk, biji
matanya yang bundar besar itu pun seakan-akan amblas kedalam, itulah ciri-ciri
muka yang kurus.
Diam-diam Siau Hong sangat
menyesal, seorang nona yang lincah menyenangkan kini telah berubah kurus kering
bagai jerangkong akibat dipukul olehnya, Sebaliknya aku malah memikirkan keburukannya,
Segera ia berkata dengan tertawa. "Jika kau ingin pergi ke barat, marilah
kita kesana A Ci, nanti kalau kamu sudah sehat, tentu akan kubawamu ke negeri
Korea, disana kita dapat memandang lautan yang luas seakan-akan tak berujung,
sungguh indah sekali pemandangan demikian itu."
"Bagus, bagus! Kalau
perlu sekarang juga kita boleh berangkat!" seru A Ci dengan teriakan
sambil bertepuk tangan.
"He, A Ci, kedua tanganmu
sudah bisa bergerak?" tanya Siau Hong dengan girang dan kejut.
"Ya, beberapa hari yang
lalu sudah dapat bergerak dan hari ini menjadi lebih bebas lagi," sahut A
Ci tertawa.
"Ai, kamu ini sungguh
nakal, mengapa tidak beritahu padaku," omel Siau Hong dengan girang.
"Aku lebih suka tidak
dapat berkutik untuk selamanya asalkan engkau setiap hari berdampingan
denganku, Kalau aku sudah sehat, tentu engkau akan mengusir aku lagi,"
ujar A Ci dengan tertawa, Matanya mengerlingkan sifat-sifat yang licin dan
nakal.
Mendengar ucapan yang bernada
tulus itu rasa kasih sayang Siau Hong timbul dengan sendirinya, katanya,
"Aku adalah orang yang kasar sekali kurang hati-hati lantas melukaimu
begitu rupa, kalau setiap hari aku mendampingimu, apa sih untungnya?"
A Ci tidak menjawab, Selang
sejenak, tiba-tiba ia berkata dengan suara rendah, "Cihu, tempo hari,
kenapa kau pukul aku sekeras itu?"
Tapi Siau Hong tidak ingin
mengungkit kejadian lama itu, sahutnya, "Urusan itu sudah lalu, buat apa
dibicarakan pula? A Ci, sesudah aku melukaimu sedemikian rupa, sungguh aku
merasa sangat menyesal, Kamu dendam padaku atau tidak?"
"Sudah tentu tidak,"
sahut A Ci, "Cihu, coba pikir, untuk apa aku dendam padamu? Memang kuminta
kau dampingi aku, kini bukankah engkau sudah berada di dampingku? Aku sangat
senang."
Sebenarnya Siau Hong merasa
pikiran anak dara itu sangat aneh dan ada-ada saja, tapi sekarang ini sifatnya
sudah berubah sangat baik, mungkin disebabkan dirinya telah merawat dia dengan
sepenuh tenaga, memburu harimau dan mencari empedu beruang untuknya, maka telah
banyak menghlangkan sifat liarnya itu, Segera ia siapkan kuda, tenda dan
alat-alat yang perlu, lalu berangkat kearah barat bersama A Ci.
Kira-kira beberapa li jauhnya,
tiba-tiba A Ci bertanya, "Cihu, apakah engkau sudah dapat
menerkanya?"
"Menerka soal apa?"
sahut Siau Hong bingung.
"Tempo hari mendadak aku
menyerang dirimu dengan jarum berbisa, apakah kau tahu sebabnya?" tanya A
Ci.
"Pikiranmu selalu
aneh-aneh, dari mana aku tahu?" sahut Siau Hong sambil menggeleng.
A Ci menghela napas, katanya,
"Jika engkau tak dapat menerkanya, biarlah jangan diterka lagi, Eh, Cihu,
lihatlah barisan burung belibis itu, mengapa mereka berbaris dan terbang ke
selatan."
Waktu Siau Hong menengadah, ia
lihat di angkasa tinggi terdapat dua baris burung belibis dam formasi
"V" dan sedang terbang ke arah selatan dengan cepat.
"Hawa sudah hampir
dingin, burung belibis tidak tahan dingin, maka mereka mengungsi ke
selatan," tutur Siau Hong.
"Dan pada waktu musim
semi, mengapa mereka terbang kembali lagi?" tanya A Ci, "Setiap tahun
mereka pulang-pergi begitu apakah tidak merasa lelah? Bila mereka takut dingin
mengapa tidak tinggal di selatan saja dan tidak perlu pulang ke utara
sini?"
Selamanya yang diperhatikan
Siau Hong adalah ilmu silat, terhadap kebiasaan sebangsa burung dan binatang
segala tak pernah dipikirkannya.
Maka pertanyaan A Ci itu
membuatnya gelagapan, Katanya kemudian dengan tertawa. "Apu pun tidak tahu
mengapa mereka tidak kenal lelah, mungkin mereka dilahirkan di utara dan rindu
pada kampung halaman, maka pada saatnya mereka pun ingin pulang."
"Ya, mungkin
begitulah," kata A Ci, "Eh, lihatlah burung belibis kecil itu juga
ikut terbang ke selatan, Kelak bila ayah-ibu, Cici dan Cihunya pulang ke utara,
dengan sendirinya ia pun ikut."
Mendengar anak dara itu
menyebut 'Cici dan Cihu' perasaan Siau Hong tergerak, ia coba melirik, ia lihat
A Ci masih mendongak, memandang kawanan burung belibis, suatu tanda ucapannya
tadi tidaklah disengaja.
Diam-diam Siau Hong membatin,
"Sekali omong saja ia lantas menghubungkan aku dengan ayah bundanya, suatu
tanda dalam lubuk hatinya ia sudah pandang aku sebagai familinya yang dekat,
Aku tidak boleh lagi meninggalkan dia, sesudah kesahatannya pulih nanti, paling
baik kuantar dia pulang ke Tayli dan akan kuserahkan kepada orang tuanya,
dengan demikian barulah kewajibanku berakhir."
Begitulah sepanjang jalan
kedua orang asyik bercakap dan bergurau, bila A Ci merasa letih Siau Hong
lantas memondongnya turun dari kuda dan merebahkan dia dalam kereta yang
mengikuti di belakang, Bila malam tiba mereka lantas buat kemah.
Sesudah beberapa hari pula,
akhirnya mereka mencapai tepian padang rumput yang luas, A Ci sangat senang
memandangi padang rumput yang seakan-akan tak berujung itu, Katanya,"
"Oh!, marilah kita menjelajahi padang rumput yang luas ini, disana tentu
jauh lebih indah dari pada disini."
Siau Hong tidak mau menolak
keinginan dara itu, segera ia halau kuda dan keretanya ketengah padang rumput.
Sudah beberapa hari Siau Hong
dan A Ci melanjutkan perjalanan ditengah padang rumput luas itu, Tatkala itu
adalah permulaan musim rontok, rumput masih tumbuh dengan suburnya, hawa sejuk
menyegarkan semangat.
Ditengah semak rumput juga
banyak terdapat binatang buas sebangsa harimau, serigala dan sebagainya, bila
perlu Siau Hong lantas berburu untuk menambah rangsum mereka, penghidupan dalam
pengembaraan seperti itu sungguh menggembirakan dan benar-benar hidup dialam
bebas.
Selang beberapa hari pula,
siang hari itu tiba-tiba mereka lihat dikejauhan sana banyak terdapat
perkemahan, seperti perkemahan pasukan tentara dan mirip pula kelompok suku
bangsa yang hidup di padang rumput.
"Disana banyak tempat
tinggal orang, entah apa yang mereka kerjakan, lebih baik kita pulang saja,
jangan mencari gara-gara," kata Siau Hong.
"Emoh, aku justru ingin
tahu perkemahan apakah itu," kata A Ci aleman. "Cihu, kakiku belum
dapat bergerak, masakah bisa mendatangkan perkara bagimu?"
Siau Hong merasa kewalahan
terhadap sifat kanak-kanak A Ci yang serba ingin tahu itu, Segera ia halau
kudanya kearah perkemahan itu dengan pelahan.
Di padang rumput yang lapang
itu, meski perkemahan dapat terlihat dengan jelas, tapi jarak yang sesungguhnya
adalah sangat jauh. Sesudah belasan li, mendadak terdengar suara 'tut-tut-tut'
suara tiupan tanduk yang ramai, menyusul debu mengepul, dua baris pasukan
berkuda tampak terpencar, yang satu baris menuju ke utara dan barisan lain
cepat menuju ke selatan.
"Celaka, itulah pasukan
berkuda bangsa Cidan!" kata Siau Hong dengan terkejut.
"He, bukankah suku
bangsamu sendiri? itulah bagus, mengapa kau katakan celaka malah?" ujar A
Ci.
"Aku dan kau tidak kenal
mereka, lebih baik kita pulang saja," kata Siau Hong, Lalu ia putar
kudanya hendak kembali kearah datangnya tadi.
Tapi baru beberapa langkah
jauhnya, tiba-tiba terdengar suara genderang yang gemuruh, kembali beberapa
barisan berkuda Cidan menerjang datang Siau Hong merasa heran, disekitar situ
tidak terdapat musuh, apakah mereka sedang latihan atau lagi berburu?
Mendadak terdengar suara
teriakan ramai, 'Bidik rusa! Bidiklah rusa!" Serentak terdengar riuh ramai
suara sorakan menahan rusa.
Baru sekarang Siau Hong tahu
bahwa pasukan Cidan itu sedang berburu secara besar-besaran, Segera ia pondong
A Ci keatas kudanya, ia berhentikan kuda dan berdiri diatasnya, untuk memandang
suasana perburuan yang hebat itu.
Pasukan berkuda Cidan itu
semuanya memakai jubah sulam, didalamnya berlapis baja, jadi dandanan mereka
seperti berada dimedan perang saja, Jubah sulam mereka itu pun aneka warna,
pasukan ini berwarna merah, pasukan itu berwarna kuning, pasukan lain berwarna
biru dan pasukan lain lagi berwarna hijau, Panji tiap-tiap pasukan seragam
dengan warna jubah masing-masing, mereka berlari kian kemari antara pasukan ini
dengan pasukan itu, prajuritnya gagah, kudanya kuat, sungguh sangat bersemangat
tampaknya, Diam-diam Siau Hong dan A Ci memuji juga.
Rupanya pasukan-pasukan Cidan
itu lagi sibuk berburu rusa, terkadang ada juga yang melihat Siau Hong dan A
Ci, tapi mereka hanya melirik sekejap saja dan tidak ambil peduli, Pasukan itu
telah mengurung beberapa puluh ekor rusa dari tiga jurusan, Terkadang kalau ada
seekor rusa yang tiba-tiba menerobos keluar dari barisan, segera seregu pasukan
berkuda mengubernya, rusa itu lalu dihalau masuk lagi kedalam garis kepungan.
Tengah Siau Hong menonton,
tiba-tiba didengarnya ada suara seruan orang, "Hai, apakah disitu
Siau-toaya adanya?"
Siau Hong heran ada orang
mengenalnya, Waktu ia berpaling terlihatlah seorang penunggang kuda berjubah
hijau mendatangi dengan cepat, Itulah dia si kapten, utusan Yali Ki yang
mengantarkan hadiah padanya beberapa bulan yang lalu.
Sesudah dekat dengan Siau
Hong, segera kapten itu melompat turun dari kudanya dan berlutut dengan sebelah
kaki, katanya, "Cukong kami berada tidak jauh dari sini, Seringkali Cukong
membicarakan Siau-toaya, beliau sangat rindu padamu, Hari ini entah angin
apakah yang telah meniup Siau-toaya kemari, ayolah silakan lekas menjumpai
Cukong kami disana.
Siau Hong juga sangat girang,
mendengar Yali Ki berada tidak jauh dari situ, Sahutnya segera. "Aku
sedang pesiar tanpa tempat tujuan, tidak terduga giheng kebetulan berada
disekitar sini, Baiklah, harap tunjukkan jalan agar aku dapat bertemu dengan
beliau."
Segera kapten itu bersuit, dua
prajurit berkuda lantas menghampiri. "Lekas laporkan bahwa Siau-toaya dari
Tiang-pek-san telah datang." perintah sang kapten.
Kedua prajurit berkuda itu
mengiakan dan segera meneruskan laporan itu, Sedang pasukan lain masih terus
berburu, hanya kapten tadi ia memimpin suatu pasukan berkuda berjubah hijau
mengiring Siau Hong dan A Ci menuju kearah barat.
Diam-diam Siau Hong membatin,
"Gihengku itu besar kemungkinan adalah panglima atau pembesar tinggi
negeri Liau, kalau tidak, rasanya tidak mungkin berpengaruh seperti ini."
Sepanjang jalan tampak banyak
prajurit yang berlalu-lalang, semuanya berpakaian perang, Terdengar si kapten
berkata pula, "Kedatangan Siau-toaya ini sangat kebetulan, besok pagi
disini akan ada tontonan yang ramai!"
Sekilas Siau Hong melihat A Ci
mengunjuk rasa girang oleh kabar itu, segera ia tanya si kapten, "Ada
tontonan apakah?"
"Besok adalah hari pertandingan,"
sahut si kapten, "Kedua pasukan pengawal dari Eng-jiang dan Thai-ho belum
ada komandannya, maka perwira Cidan kami akan saling bertanding untuk merebut
kedudukan komandan pasukan-pasukan pengawal itu."
Mendengar ada pertandingan
silat, dengan sendirinya Siau Hong juga sangat tertarik, Katanya segera dengan
tertawa, "Wah, memang kedatangan kami ini sangat kebetulan, aku justru
ingin lihat ilmu silat orang Cidan."
"Eh, kapten, besok engkau
juga keluarkan kepandaianmu, terimalah selamatku semoga engkau dapat merebut
pangkat itu," kata A Ci dengan tertawa.
"Hah, mana hamba
mempunyai keberanian seperti itu?" sahut si kapten sambil menjulurkan
lidah.
"Eh, kapten, siapa sih
namamu?" tanya A Ci.
"Hamba bernama
Sili," sahut kapten Sili.
"Untuk berebut kedudukan
Thong-leng, andai Cihuku sudi mengajarkan sejurus dua padamu tanggung dengan
mudah pangkat itu akan kau peroleh," ujar A Ci dengan tertawa.
Kapten Sili kegirangan,
katanya cepat, "Jika Siau-toaya sudi memberi petunjuk padaku, sungguh
hamba akan merasa terima kasih sekali, Tentu kedudukan Thong-leng apa segala
hamba sih tiada mempunyai rejeki sebesar itu."
Sembari bicara, kira-kira satu
dua li jauhnya terlihatlah dari depan mendatang suatu pasukan berkuda, Itulah
Hui-him-tui (pasukan beruang terbang) kami!" kata Kapten Sili.
Pasukan berkuda yang datang
itu seluruhnya berpakaian kulit beruang, jubah luar terdiri dari kulit beruang
hitam dengan topi kulit beruang putih, kelihatannya menjadi gagah sekali,
Sesudah dekat, sekali terdengar aba-aba serentak pasukan itu turun dari kuda
dan berbaris dikedua sisi jalan sambil berseru," Selamat datang,
Siau-toaya!"
Siau Hong menggangkat
tangannya sebagai tanda hormat, lalu keprak kudanya kedepan, Sedang pasukan
kulit beruang itu lantas mengiring dari belakang.
Beberapa li pula, kembali
pasukan berkuda memapak lagi, sekali ini pasukan berkulit harimau, Diam-diam
Siau Hong sangat heran, saudara angkatnya itu mempunyai pangkat apa sehingga
begitu hebat penyambutannya.
Menjelang magrib, sampailah
mereka disuatu perkemahan besar, suatu pasukan berkulit macan tutul menyambut
Siau Hong dan A Ci kedalam kemah itu, Semula Siau Hong mengira didalam kemah
akan dapat berjumpa dengan Yali Ki, diluar dugaan kemah itu kosong melompong
tiada penghuninya, walaupun segala perabotan lengkap dan mewah, diatas meja
juga penuh tersedia makanan dan buahbuahan.
"Cukong menyilakan
Siau-toaya bermalam disini, besok akan dapat bertemu dengan beliau."
demikian lapor kapten pasukan berkulit macan tutul itu.
Karena sudah terlanjur datang,
Siau Hong juga tidak mau banyak bertanya, segera ia ambil tempat duduk dan
minum arak sepuasnya, empat dayang siap melayaninya dengan penuh hormat,
servisnya harus dipuji.
Besok paginya mereka
melanjutkan perjalanan sampai ratusan li ke barat, waktu lohor sampailah mereka
disuatu tempat, Kapten Sili berkata pada Siau Hong, "Sesudah melintasi
lereng bukit sana, kita akan sampai ditempat tujuan."
Siau Hong lihat lereng gunung
didepan sana sangat megah, sebuah sungai besar mengalir dengan gelombang airnya
yang mendeburdebur.
Sesudah melintasi bukit, maka
terlihatlah panji-panji berkibaran, dimana-mana penuh perkemahan, beratus ribu
prajurit berkuda dan infanteri memenuhi suatu tanah lapang dibagian tengah
perkemahan, Segera pasukan kulit macan tutul, kulit beruang dan kulit harimau
mengeluarkan alat tiup, seketika ramailah suara 'tut-tut-tut' menggema angkasa.
Sekonyong-konyong suara tambur
serentak berbunyi, terdengar suara menggegelar memberi penghormatan, seketika
pasukan ditanah lapang tadi menyilah minggir, seekor kuda kuning yang gagah
membedal keluar, diatas kuda terdapat seorang laki-laki berewok, siapa lagi dia
kalau bukan Yali Ki.
Sambil mengeprak kudanya
kearah Siau Hong, terus saja Yali Ki berteriak-teriak, "Wahai,
Siau-hiante, sungguh aku sudah rindu padamu!"
Siau Hong lantas memapak maju,
berbareng kedua orang melompat turun dari kuda dan saling rangkul dengan akrab,
Seketika dari segenap penjuru terdengar riuh rendah suara sorakan,
"Banswe! Banswe! Banswe!"
Karuan Siau Hong terkejut,
mengapa para prajurit itu berseru, "Banswe (berlaksa tahun atas- 'Hidup')
Padahal pujian "Banswe" itu hanya lazim diberikan kepada seorang
raja.
Ia coba memandang
sekelilingnya, ia lihat semua prajurit dan perwira sama membungkuk tubuh dan
melolos golok komando sebagai tanda hormat.
Yali Ki sendiri menggandeng
tangan Siau Hong dan berdiri disitu sambil memandang kesana-sini dengan sikap
yang amat bangga.
Siau Hong merasa bingung,
tanyanya dengan tergagap, "Giheng, apakah engkau....."
"Ya, jika sejak dulu-dulu
kau tahu bahwa aku ini raja negeri Liau, tentu engkau tidak mau angkat saudara
denganku." sahut Yali Ki dengan terbahak-bahak. "Siau-hiante namaku
yang sebenarnya adalah Yali Hungki, budi pertolonganmu dahulu itu selama hidup
ini takkan kulupakan."
Meski Siau Hong berjiwa besar
dan luas pengalamannya, tapi selamanya tidak pernah berhadapan dengan seorang
raja, Kini menyaksikan upacara yang luar biasa itu, mau tak mau ia rada kikuk.
"Sungguh hamba tidak tahu
akan baginda sehingga banyak berlaku kurang hormat, harap dimaafkan,"
katanya segera, lalu hendak berlutut.
Sebagai orang Cidan yang
bertemu dengan rajanya, sudah sepantasnya ia berlutut dan memberi sembah Tapi
Yali Hungki cepat membangunkannya, katanya dengan tetawa, "Orang yang
tidak tahu, tidak salah, Saudaraku, engkau adalah adik angkatku, hari ini kita
melulu bicara tentang persaudaraan kita, tentang penghormatan kebesaran boleh
dilakukan lain hari saja."
Dan ketika ia memberi tanda,
segera dalam pasukannya bergema suara musik sebagai tanda penyambutan tamu
agung, Sambil menggandeng lengan Siau Hong, segera Yali Hungki mengajaknya
masuk kedalam kemah besar.
Kemah tempat tinggal raja Liau
itu terbuat dari kulit sapi rangkap beberapa lapis, diatas kulit itu terlukis
macam-macam gambar yang
indah, nama kemah itu disebut
"Kemah Besar Ruangan Kulit" Sesudah Yali Hungki mengambil tempat
duduknya ditengah, ia suruh Siau Hong duduk disebelahnya.
Tidak lama segenap pembesar
sipil dan militer yang ikut serta dalam pasukan kerajaan itu semua datang
memberi hormat, Saking banyak hingga Siau Hong merasa bingung oleh nama-nama
pembesar itu.
Malamnya didalam kemah besar
itu diadakan perjamuan, Orang Cidan menghargai kaum wanita sama seperti kaum
pria, maka A Ci juga menjadi tamu undangan dalam perjamuan yang sangat meriah
itu.
Sesudah setengah perjamuan,
belasan jago gulat Cidan tampil kemuka untuk bertanding, Jago gulat itu tidak
memakai baju, mereka membetot dan membanting lawan sekuatnya, pertarungan cukup
seru.
Kemudian pembesar Cidan lantas
mengajak adu gelas dengan Siau hong sebagai penghormatan mereka, Siau Hong
terima baik permintaan mereka, satu persatu ia mengadu gelas dengan mereka
hingga jumlah seluruhnya ada ratusan gelas, tapi semangatnya semakin gagah
hingga semua orang tercengang.
Yali Hungki sendiri terkenal
seorang gagah dan kuat, kali ini ia kena ditawan Siau Hong, Kejadian itu telah
diketahui segenap rakyatnya, maka ia sengaja suruh Siau hong pamerkan
kepandaiannya untuk menutupi rasa malu sendiri yang ditawan olehnya, Tak
terduga bahwa takaran minum arak Siau Hong juga sedemikian lihainya, melulu
kekuatan minum arak itu saja sudah cukup membuat para jago Cidan ternganga
kagum.
Sungguh girang Yali Hungki tak
tak terhingga katanya segera, "Hiante, kamu benar-benar orang gagah nomor
satu dinegeri Liau kita!"
"Bukan, dia nomer
dua!" tiba-tiba suara seorang menyela.
Waktu semua orang memandang
kearah suara itu, kiranya yang bicara adalah A Ci.
"Nona cilik, mengapa kau
katakan dia nomer dua? Habis siapakah jago nomer satu itu?" tanya sang
baginda dengan tertawa.
"Jago nomer satu dengan
sendirinya adalah Sri Baginda Raja sendiri," sahut A Ci, "Betapapun
tinggi kepandaian Cihu-ku toh dia mesti tunduk pada perintahmu, sedikitpun
tidak boleh membangkang, dengan demikian bukankah engkau lebih gagah dari
dia?"
Yali Hungki terbahak-bahak,
"Hahahaha! Benar juga! Siau-hiante, aku harus menganugrahi suatu pangkat
bangsawan padamu, Biarlah kupikirkan dulu pangkat apakah yang sesuai
untukmu." Rupanya ia sudah cukup banyak minum arak, maka ia ketuk-ketuk
jidat sendiri untuk berpikir.
"Jangan, jangan!"
cepat Siau Hong berseru, "Hamba adalah orang kasar, tidak biasa menikmati
kebahagiaan sebagai bangsawan, selamanya hamba suka mengembara kian-kemari,
hamba sungguh tidak ingin menjadi pembesar."
"Boleh juga, biar kuberi
suatu pangkat yang kerjanya melulu minum arak saja dan tidak perlu
bekerja...." kata Yali Hungki dengan tertawa.
Belum selesai ucapannya,
mendadak dari jauh terdengar suara 'tut-tut-tut', suara tiupan tanduk yang
panjang.
Orang-orang Cidan itu
sebenarnya lagi makan minum dengan duduk bersila diatas tanah, Ketika mendadak
mendengar suara tiupan itu, serentak mereka sama berdiri dengan wajah gugup
terkejut.
Suara 'tut-tut-tut' itu
datangnya serasa cepat, semula kedengaran masih sangat jauh, hanya sebentar
saja suara itu sudah mendekat, waktu ketiga kalinya berbunyi pula, suara itu
sudah dalam jarak dua tiga li saja.
Diam-diam Siau Hong heran,
sekalipun lari yang paling cepat atau tokoh persilatan yang memiliki ginkang
paling tinggi juga tidak mungkin secepat itu, Tapi akhirnya ia tahu tentu itu
pos-pos penjagaan orang Cidan, suara tiupan disatu pos diteruskan kepada pos
yang lain sehingga dalam waktu singkat dapat tersiar jauh.
Dan sesudah sampai diluar
perkemahan mewah itu, suara 'tut-tut-tut' itu lantas berhenti seketika, Beratus
kemah yang tadinya dalam suasana riang gembira itu serentak berubah sunyi
senyap.
Yali Hungki ternyata
tenang-tenang saja, pelahan ia angkat gelas emas dan habiskan isinya, lalu
katanya, "Siangkhia (kota raja Liau) terjadi kerusuhan, marilah kita
pulang kesana, Berangkat!"
Sekali ucapan 'berangkat'
dikeluarkan, segera panglima pasukan meneruskan titah itu, maka terdengarlah
dimana-mana riuh ramai teriakan 'berangkat' secara teratur, sedikitpun tidak
kacau.
Pikir Siau Hong, "Negeri
Liau kami sudah bersejarah dua ratus tahun, kekuatannya mengguncangkan negeri
tetangga, meski ada kerusuhan bagian dalam toh pasukannya tidak gugup, suatu
tanda pemimpin-pemimpinnya pandai menjalankan tugasnya."
Sementara itu suara derapan
kuda sangat ramai, pasukan perintis sudah berangkat, menyusul pasukan bagian
samping dan lain-lain berturut-turut berangkat, Sambil menggandeng tangan Siau
Hong berkatalah Yali Ki, "Marilah kita keluar melihatnya!"
Setiba diluar kemah,
terlihatlah ditengah kegelapan malam itu pada tiap panji pasukan tergantung
sebuah lentera dengan warna menurut tanda pengenal pasukan masing-masing,
Ratusan ribu prajurit itu berangkat serentak kearah tenggara, yang terdengar
hanya suara ringkik kuda dan tiada suara manusia.
Sungguh Siau Hong sangat
kagum, "Begini disiplin pasukan Cidan ini, sudah tentu seratus kali perang
seratu kali menang, Tempo hari Sri Baginda terpencil sendirian, makanya dapat
kutangkap, kalau beliau mengerahkan pasukannya, sekalipun orang Nuchen sangat
perkasa juga tidak dapat melawan mereka."
Dan sesudah sang Baginda
keluar kemah, segera pasukan pengawal membongkar tenda, hanya sebentar saja
sudah diringkas dengan betul serta dimuat keatas kereta, Waktu panglima pasukan
tengah memberi aba-aba, segera berangkatlah iring-iringan mereka, Para menteri
dan pembesar lainnya mengiring disekitar Yali Hungki tiada seorang pun yang
berani bersuara.
Kiranya berita tentang
pemberontakan dikota raja itu meski sudah dilaporkan, tapi sebenarnya siapa
pimpinan pemberontak dan bagaimana situasinya belum lagi diketahui, sebab
itulah setiap orang merasa masgul.
Sesudah tiga hari pasukan besar
itu menempuh perjalanan, malamnya sesudah berkemah baru datanglah laporan dari
kurir pertama bahwa pemberontak dipimpin oleh Lam-ih Tai-ong yang telah
mengangkat diri sendiri sebagai raja dan menduduki keraton, permaisuri, putra
mahkota, putri raja dan keluarga pembesar, semuanya berada dalam tawanan
pemberontak.
Mendengar laporan itu, mau tak
mau air muka Yali Hungki berubah seketika, Kiranya menurut susunan tata negara
Liau, pemerintah sipil dan militer dibagi menjadi dua Ih (Yuan) yaitu Lam Ih
dan Pak Ih (Yuan selatan dan utara) Pak Ih Tai-ong, yaitu perdana menteri yang
menguasai Ih utara, sekarang ikut serta bersama raja, hanya Lam Ih Tai-ong
ditinggal menjaga kotaraja.
Lam Ih Tai-ong itu bernama
Yali Nikolu dengan gelar Co-ong, Ayahnya lebih hebat lagi, namanya Yali
Conggoan, terhitung paman baginda raja yang sekarang, dengan pangkat Panglima
Besar Angkata Perang.
Menurut silsilah kerajaan
Liau, kakek Yali Hungki yang bernama Yali Lungco, dalam sejarah kerajaan Liau
disebut raja Seng-cong, Raja Seng-cong mempunyai dua orang putra, yang sulung
bernama Cong-cin dan yang bungsu bernama Conggoan.
Watak Cong-cin ramah tamah dan
welas asih, sebaliknya Conggoan sangat keras dan perkasa, seorang ahli militer,
setelah Seng-cong wafat, tahta diteruskan kepada Cing-cin, Tapi permaisurinya
lebih suka kepada putra kedua, maka diam-diam ada intrik akan mengangkat
Conggoan sebagai raja.
Menurut kebiasaan kerajaan
Liau, kekuasaan dan pengaruh ibu suri sangat besar, sebab itulah tahta Cong-cin
sebenarnya tidak teguh, keselamatannya juga selalu terancam, Akan tetapi
Conggoan telah memberitahukan rencana ibundanya itu kepada kakak bagindanya sehingga
intrik ibu suri tak dapat terlaksana.
Karena itu dengan sendirinya
Cong-cin sangat berterima kasih kepada adindanya itu dan mengangkatnya menjadi
Hong-thai-te (adik mahkota), artinya jika ia sendiri wafat, maka Conggoan yang
akan naik tahta sebagai gantinya.
Yali Cong-cin dalam sejarah
kerajaan Liau disebut raja Hin-cong, sesudah dia wafat, tahtanya tidak jadi
diserahkan kepada Conggoan, tapi tetap diturunkan kepada putranya sendiri yang
bernama Hungki.
Setelah Yali Hungki naik
tahta, ia merasa tidak enak hati, maka Conggoan diangkat sebagai Hong-thai-siok
(paman mahkota) sebagai tanda bahwa sang paman itu tetap merupakan ahli-waris
utama dalam tahta kerajaan Liau, bahkan diangkat pula sebagai panglima besar
angkatan perang, kalau menghadap raja dibebaskan dari upacara menyembah, diberi
hadiah pula surat penghargaan dan harta benda yang tak ternilai, betapa agung
kedudukan Conggoan waktu itu boleh dikatakan tiada bandingannya, Bahkan
putranya yang bernama Nikolu juga dianugrahi gelar kebangsawanan sebagai Co-ong
dan menjabat sebagai Lam Ih Tai-ong, suatu jabatan penting dalam bidang
militer!.
Dahulu Yali Conggoan jelas ada
kesempatan menjadi raja dan dia rela menyerahkannya kepada kakaknya, hal ini
menandakan dia cukup berbudi dan bijaksana, Kali ini Yali Hungki pesiar keluar
untuk berburu, segala urusan pemerintahan telah diserahkan kepada
Hong-thai-siok itu tanpa sedikitpun rasa curiga.
Kini mendapat laporan bahwa
pemberontak itu adalah Lam Ih Tai-ong Nikolu, sudah tentu Yuli Hungki terkejut
dan sedih, Ia kenal watak Nikolu yang licik dan keji, kalau dia memberontak,
pasti ayahnya takkan tinggal diam.
Sesudah makan malam, kusir
kedua datang pula memberi lapor bahwa Lam Ih Tai-ong telah mengangkat
Hong-thai-siok sebagai raja
dan menyebarkan maklumat
diseluruh negeri dengan menuduh Yali Hungki telah mengangkangi tahta ayahnya,
maka sekarang Hongthai-siok secara resmi naik tahta serta akan memimpin
angkatan perang untuk membasmi kaum pengkhianat dan macam-macam alasan lagi.
Dari maklumat pihak pemberontak
yang tersusun rapi itu, bukan mustahil rakyat akan termakan oleh agitasi pihak
pemberontak. Dengan gusar Yali Hungki lemparkan surat maklumat yang diterimanya
dari kurir itu ke dalam api, perasaannya sedih dan khawatir, pikirnya,
"Hong-thai-siok menjabat panglima besar angkatan perang, ia mempunyai
pasukan lebih delapan ratus ribu tentara, ditambah lagi anak buah putranya
Co-ong, yang menjadi biang keladi pemberontakan ini, Sebaliknya prajurit yang
kubawa sekarang cuma lebih seratus ribu orang saja, cara bagaimana aku dapat
melawan mereka?" begitulah semalam suntuk ia tak bisa tidur.
Semula ketika Siau Hong
mendengar bahwa dirinya hendak diberi suatu pangkat, mestinya ia ingin tinggal
pergi tanpa pamit pada malamnyabersama A Ci, tapi kini melihat sang giheng
sedang berhalangan, Ia menjadi tidak enak untuk tinggal pergi, betapapun ia
pikir harus membantu kesulitan sang giheng sebagai tanda persaudaraan mereka.
Besok paginya kembali
penyelidik datang melapor bahwa Hong-thai-siok dan Co-ong dengan memimpin
pasukan tentara sejumlah tiga ratus ribu jiwa sedang datang hendak melabrak
Hongsiang.
Karena tiada jalan lain, Yali
Hungki pikir sekalipun akhirnya kalah, terpaksa harus bertempur dengan
mati-matian, Segera ia kumpulkan para pembesar sipil dan militer untuk
berunding, para pembesar itu sangat setia kepada Yali Hungki, mereka bersedia
mati bertempur, yang mereka khawatirkan adalah semangat prajurit yang banyak
merosot berhubung pada umumnya sanak keluarga mereka masih tertinggal di
Siangkhia dan ditahan oleh fihak pemberontak.
Segera Hungki mengeluarkan
pengumuman, "Hendaknya para prajurit dan tamtama bertempur sepenuh tenaga,
sesudah pemberontakan dipadamkan, selain kenaikan pangkat setiap orang akan
diberi hadiah pula yang setimpal."
Habis itu, segera ia memakai
baju perang kuning emas, ia pimpin sendiri segenap angkatan perangnya dan
memapak pasukan musuh. Melihat raja mereka maju sendiri, seketika semangat para
prajurit terbangkit, mereka bersorak-sorai dan bersumpah setia.
Dengan membawa busur dan
tombak Siau Hong juga mengiring dibelakang Yali Hungki sebagai pengawal
pribadi, Pasukan besar mereka lantas maju kearah tenggara.
Kapten Sili dengan memimpin
suatu barisan prajurit berkulit beruang melindungi A Ci dan tinggal dibelakang
pasukan, Pada saat itu di padang rumput hanya kedengaran suara derap dan
ringkik kuda yang ramai, suara lain boleh dikata tidak terdapat, Siau Hong
lihat tangan Yali Hungki yang memegang tali les kuda itu agak gemetar, tahu
sang giheng sendiri tidak yakin akan dapat kemenangan dalam pertempuran ini.
Waktu lohor, tiba-tiba didepan
terdengar suara tiupan tanduk pula, terang pasukan musuh sudah dekat, Segera
komandan pasukan memberi perintah agar prajurit turun dari kuda, Jadi sekarang
para prajurit berjalan kaki sambil menuntun kuda, hanya Yali Hungki dan para
pembesar yang masih tetap diatas kuda mereka.
Siau Hong agak heran dan
bingung melihat kejadian itu, ia tidak tahu mengapa para prajurit itu malah
turun dari kuda, sedangkan pasukan musuh sudah dekat.
Maka dengan tertawa Yali
Hungki berkata padanya, "Saudaraku, mungkin sudah lama kau tinggal di
Tionggoan, maka tidak paham siasat militer dan cara bertempur bangsa
kita?"
"Ya, mohon Sri baginda
memberi petunjuk," sahut Siau Hong.
"Hehehe, umur bagindamu
ini entah dapat bertahan sampai petang nanti atau tidak, buat apa diantara
saudara sendiri mesti sungkan lagi," ujar Hungki dengan tertawa.
"Baik, harap Toako
memberi penjelasan," sahut Siau Hong.
"Pertempuran di padang
rumput yang paling penting adalah tenaga kuda, tenaga manusia adalah soal
sekunder," tutur Hungki.
Seketika Siau Hong sadar,
katanya, "Ah, benar! Sebabnya prajurit itu turun dari kuda mereka adalah
supaya binatang tunggangan mereka tidak terlalu lelah."
"Ya, kalau tenaga kuda terpelihara
dengan baik, pada saat menyerbu musuh akan bisa bertempur dengan lancar,"
kata Yali Hungki. "Sebabnya bangsa Cidan kita selalu menang perang dimasa
lalu, kunci rahasianya terletak pada kekuatan kuda inilah."
Sampai disini, tiba-tiba
didepan sana tertampak debu mengepul tinggi, nyata musuh sudah sangat dekat,
Segera Yali Hungki berkata pula sambil mengangkat cambuknya.
"Hong-thai-siok dan Co-ong sudah berpengalaman dalam pertempuran besar,
mengapa mereka mengerahkan pasukan secara tergesa-gesa tanpa menghiraukan
tenaga kuda, terang disebabkan dia penuh keyakinan bahwa mereka pasti akan
menang."
Belum habis bicaranya,
tertampaklah pasukan sayap kanan dan kiri berbareng membunyikan terompet, Waktu
Siau Hong memandang jauh kesana, ia lihat dari kanan dan kiri sana
masing-masing terdapat dua pasukan musuh, jadi kekuatan kedua pihak sekarang
adalah lima lawan satu.
Air muka Yali Hungki berubah
tegang seketika melihat kekuatan musuh itu, cepat ia perintahkan siap untuk
bertempur dan pasang busur, Segera pasukan depan dan sayap kanan kiri berputar
balik, beramai-ramai prajurit memasang tanda komando tertinggi, sekelilingnya
dipagar dengan tanduk rusa dalam sekejap saja dipadang rumput situ sudah
terpasang suatu benteng kayu yang besar, sekelilingnya dijaga oleh pasukan
berkuda, berpuluh ribu pemanah bersembunyi dibalik balok besar benteng kayu itu
dengan panah terpasang pada busurnya dan siap memanah.
Diam-diam Siau Hong membatin,
"Tak perduli pertempuran besar ini siapa yang menang dan kalah, yang
terang bangsa Cidan pasti akan banjir darah, Paling baik kalau giheng yang
menang, kalau kalah aku harus berdaya menyelamatkan giheng dan A Ci kesuatu
tempat yang aman, Kedudukannya sebagai raja lebih baik ditinggalkan saja."
Dan baru saja barak pertahanan
raja Liau itu selesai dipasang, pasukan perintis pemberontak juga sudah datang,
Pasukan itu tidak lantas menyerang, mereka berhenti dalam jarak suatu panahan,
lalu membunyikan genderang dan terompet, menyusul pasukan pemberontak
dibelakangnya lantas membanjir kedepan dengan teratur dan rapi.
Melihat kekuatan musuh yang
jauh lebih besar itu, Siau Hong pikir sang giheng pasti akan kalah, Ia pikir
untuk menyelamatkan gihengnya terpaksa harus bertahan sampai malam gelap nanti,
pada siang hari jelas sukar meloloskan diri dari kepungan musuh, Sementara itu
hari baru lewat lohor, sang surya sedang memancarkan sinarnya yang panas.
Mendadak terdengar suara
genderang pasukan musuh menggelegar memecah angkasa, entah berapa ratus tambur dipukul
serentak.
"Pukul tambur!” segera
komandan pasukan memberi perintah, Dan beratus-ratus tambur dibentang raja itu
pun dibunyikan hingga terjadilah perang tambur.
Sebentar kemudian memdadak
suara tambur pasukan musuh berhenti, berpuluh ribu prajurit berkuda musuh
sambil berteriak-teriak gemuruh mulai menyerbu dengan tombak terhunus, Tapi
batu pasukan musuh itu mencapai jarak panah, segera komandan pasukan pasukan
raja mengebaskan panji komandonya, suara tambur pasukan raja juga berhenti
serentak dan berpuluh ribu anak panah lantas dihamburkan, Kontan prajurit musuh
barisan paling depan roboh terjungkal.
Tapi pasukan musuh itu seperti
tidak habis-habisnya, yang didepan roboh, yang dibelakang segera membanjir maju
pula hingga kuda yang kehilangan penunggang didepan itu berubah menjadi tameng
panah bagi prajurit di belakangnya, Selain itu ada pula pasukan musuh yang
membawa perisai anti panah, dibelakang mereka mengikut pasukan pemanah, sesudah
maju mendekat, segera mereka pun memanah kearah pertahanan pasukan raja.
Semula Yali Hungki memang agak
jeri, tapi demi menghadapi musuh, seketika semangatnya berkobar-kobar, dengan
tangan kanan ia hunus sebatang golok panjang sembari memberi perintah dan
memberi petunjuk, Melihat baginda raja mereka memimpin sendiri digaris depan,
serentak bersoraklah prajurit dan perwiranya, "Banswe! Banswe!
Banswe!"
Ketika pasukan pemberontak
mendengar suara sorakan itu, mereka sama memandang kearah sini dan melihat Yali
Hungki berjubah kuning emas dengan pakaian perangnya sedang memimpin sendiri
pasukannya, dibawah wibawa sang raja yang angker itu seketika pasukan musuh
merandek dan ragu untuk menyerbu maju.
Melihat kesempatan baik itu,
segera Hungki berseru. "Pasukan berkuda sayap kiri mengepung maju,
serbu!"
Mendengar perintah itu,
Ku-bit-su yang memimpin pasukan sayap kiri lantas mengepung maju dengan tiga
puluh ribu prajurit.
Memangnya pasukan pemberontak
sudah patah semangat ketika melihat munculnya Yali Hungki digaris depan, sama
sekali tidak terduga pula akan diterjang secara mendadak oleh pasukan raja itu,
Apalagi Ku-bit-su itu adalah panglima perkasa yang terkenal dinegeri Liau,
karuan pasukan pemberontak menjadi kacau-balau, sekali kena diterjang, hanya
dalam waktu singkat saja pasukan pemberontak itu lantas kalah dan mundur,
Pasukan raja segera mengejar dengan gagah perkasa!
"Toako, sekali ini kita
telah menang!" seru Siau hong dengan girang.
Belum lenyap suaranya,
sekonyong-konyong terdengar pula suara genderang pasukan musuh berbunyi,
pasukan induk pemberontak telah datang, seketika terjadilah hujan panah dan
tombak diudara, pertempuran bertambah sengit.
Jilid 43
Diam-diam Siau Hong terkesiap
oleh pertempuran dahsyat yang tidak pernah dilihatnya itu. Di medan pertempuran
begitu, biarpun ilmu silatnya setinggi langit juga tidak berguna. Pertempuran
pasukan besar begini berbeda sama sekali dengan pertandingan silat di kalangan
Bu-lim, segala kepandaian boleh dikatakan tidak berguna lagi.
Sebentar kemudian, tiba-tiba
di pihak pasukan pemberontak ada suara trompet tanda mundur, segera pasukan
berkuda pemberontak itu mengundurkan diri bagai air surut cepatnya, berbareng
panah menghambur bagai hujan untuk menahan kejaran lawan. Beberapa kali
Ku-bit-su memimpin pasukannya menerjang, tapi selalu tertahan, sebaliknya malah
terpanah mati beberapa ribu prajuritnya oleh musuh.
"Korban jatuh terlalu
banyak, sementara berhenti menyerang,” segera Yalu Hungki memberi perintah.
Pertempuran tadi berlangsung
cuma satu jam lebih, tapi sangat dahsyat hingga mayat bergelimpangan, kedua
pihak sama-sama jatuh korban tidak sedikit. Sesudah kedua pihak mundur sampai
suatu jarak tak tercapai oleh panah, di tanah luang bagian tengah itu penuh
berserakan mayat dengan suara rintih tangis yang mengerikan. Maka tertampaklah
dari kedua pihak muncul pula suatu pasukan berbaju hitam, masing-masing ada 300
orang banyaknya, agaknya pasukan baju hitam kedua belah pihak ini merupakan
pasukan pembersih mayat.
Semula Siau Hong mengira
pasukan itu pasti akan menolong prajurit yang terluka untuk dibawa kembali ke
tempat sendiri, di luar dugaan prajurit baju hitam itu lantas lolos senjata,
semua prajurit musuh yang terluka parah dibinasakan pula, habis membersihkan
prajurit yang terluka parah, kemudian ke-600 orang itu berteriakteriak dan
saling tempur pula.
Siau Hong melihat ke-600 orang
itu semuanya berilmu silat lumayan, pertarungan cukup sengit walaupun tidak
sedahsyat tadi. Maka hanya sebentar saja sudah lebih 200 orang terbacok roboh
di tanah. Prajurit baju hitam dari pasukan raja lebih tangkas, korban mereka
hanya beberapa puluh orang saja, maka kekuatan selanjutnya menjadi dua-tiga
orang melawan seorang dan dengan demikian kalah-menang menjadi lebih nyata
lagi, tidak lama keadaan berubah lagi menjadi empat-lima orang melawan seorang.
Dan aneh juga, pasukan besar
kedua pihak ternyata hanya bersorak memberi semangat saja tanpa memberi bantuan
apa-apa. Meski melihat pasukan pihaknya dikalahkan, toh pasukan pemberontak
yang jauh lebih besar itu tidak mau membantu. Akhirnya ke-300 prajurit baju
hitam pihak pemberontak dibasmi semua, sebaliknya pasukan baju hitam pihak raja
masih sisa hampir 150 orang yang kembali dengan hidup.
Diam-diam Siau Hong merasa
heran oleh peraturan pertempuran orang Cidan itu. Sementara itu terdengar Yalu
Hungki sedang berseru sambil
mengangkat tinggi-tinggi goloknya, "Meski pasukan pemberontak berjumlah
banyak, tapi semangat tempur mereka sudah patah, jika kita labrak lagi sekali
pasti mereka akan kalah dan lari!”
Serentak prajurit dan perwira
pasukan kerajaan bersorak-sorai, "Banswe! Banswe!”
Baru lenyap suara sorakan
mereka, tiba-tiba terdengar suara tiupan tanduk di pihak pasukan musuh, tiga
penunggang kuda tampak maju dengan perlahan. Seorang di bagian tengah
membentangkan sehelai kulit, lalu terdengar ia membaca dengan suara lantang.
Kiranya apa yang dibacanya itu adalah "maklumat” pemberontak yang
diumumkan oleh Hong-thay-siok, katanya Yalu Hungki telah mengangkangi
takhtanya, kini Hong-thaysiok telah naik takhta dan setiap prajurit dan perwira
kerajaan diharap setia kepada raja baru dan semuanya akan mendapat kenaikan
pangkat dan macam-macam bujukan lagi.
Segera belasan juru panah
membidikkan panah mereka ke arah pembaca "maklumat” itu. Tapi dua orang
yang mengiringinya itu lantas mengangkat tameng untuk melindunginya hingga orang
itu dapat membaca terus. Sekonyong-konyong ketiga ekor kuda tunggangan mereka
roboh kena panah, tapi sambil sembunyi di balik perisai, tetap "maklumat”
pemberontak itu dapat terbaca habis, lalu mereka mengundurkan diri.
Melihat bawahannya banyak yang
terpengaruh oleh provokasi kaum pemberontak itu, segera Ku-bit-su memberi
perintah, "Maju ke sana dan balas memaki!”
Segera ada 30 perwira dan
prajurit tampil ke muka pasukan, 20 prajurit mengangkat perisai ke depan untuk
melindungi, selebihnya belasan orang adalah "tukang maki”, tenggorokan
mereka besar dan suara mereka keras, mulut mereka tajam pula.
Maka mulailah "juru maki”
pertama itu, ia mencaci maki pihak pemberontak sebagai pengkhianat yang
terkutuk, pasti akan mati tak terkubur. Menyusul disambung oleh "juru
maki” kedua, ketiga, dan seterusnya, sampai akhirnya kakek moyang musuh dan
segala kata-kata caci maki yang kotor juga dihamburkan.
Pengetahuan Siau Hong terhadap
bahasa Cidan terbatas, maka apa yang diucapkan "juru maki” itu sebagian
besar tak dipahami olehnya. Tapi ia lihat Yalu Hungki berulang-ulang
manggut-manggut sebagai tanda pujian, agaknya cara memaki "juru maki” itu
sangat pandai dan tepat.
Tiba-tiba terdengar
sorak-sorai pasukan pemberontak, dari jauh Siau Hong lihat di antara pasukan
musuh itu ada dua penunggang kuda di bawah naungan payung kuning dan panji
besar sedang tunjuk sini dan tuding sana dengan cambuk kudanya. Seorang di
antaranya berjubah kuning emas mulus bertopi mestika, jenggotnya putih panjang.
Seorang lagi berpakaian perang warna kuning, di bawah sinar matahari pakaian
perangnya gemerdep berkilauan. Muka orang kedua itu agak kurus, tapi sikapnya
sangat tangkas. Diam-diam Siau Hong menduga kedua orang itu mungkin adalah
Hong-thay-siok dan Co-ong yang merupakan biang keladi pemberontakan ini.
Mendadak ke-10 "juru
maki” tadi berhenti sebentar, mereka mengadakan "diskusi” dulu di antara
mereka, habis berunding, serentak mereka menggembor lebih keras, mereka
membongkar segala perbuatan jahat pribadi Hong-thay-siok itu, seorang yang
prihatin hidupnya hingga tiada suatu borok yang dapat dimaki, maka sasaran
makian kesepuluh "juru maki” itu dititikberatkan ke alamat Co-ong, katanya
ia bergendakan dengan selir ayahnya sendiri, suka memerkosa wanita baik-baik,
dan banyak berbuat kejahatan terhadap rakyat jelata dan macam-macam perbuatan
kotor lainnya.
Kesepuluh orang itu memaki
berbareng dengan kata-kata yang sama, memangnya suara mereka sangat lantang,
paduan suara dari mereka menjadi luar biasa kerasnya hingga sebagian besar dari
beratus ribu prajurit itu ikut mendengar caci maki mereka itu. Mendadak Co-ong
itu memberi tanda dengan cambuknya, serentak pasukan pemberontak itu
berteriak-teriak tak keruan hingga suara makian kesepuluh tukang maki itu
tenggelam di tengah suara berisik yang lebih keras itu.
Sesudah suasana agak kacau
sebentar, kemudian pasukan pemberontak mengeluarkan beberapa puluh buah kereta
dorong dan dihentikan di depan pasukan, segera prajurit musuh menyeret keluar
beberapa puluh orang wanita dari dalam kereta, ada yang sudah nenek-nenek, ada
yang masih gadis remaja, dandanan mereka semuanya sangat perlente. Dan begitu
kaum wanita itu diseret keluar, seketika suara caci maki kedua belah pihak
lantas berhenti.
Tiba-tiba Yalu Hungki
berteriak, "O, ibu! Bila anak dapat menangkap pengkhianat, pasti akan
kucencang hingga hancur luluh pengkhianat-pengkhianat itu untuk melampiaskan sakit
hatimu!”
Kiranya si nenek di antara
tawanan kaum wanita itu adalah Hong-thay-hou (ibu suri), yaitu ibunya Hungki,
Siau-thay-hou. Dan yang lain-lain adalah permaisurinya, Siau-hou dan para selir
serta putra-putrinya. Mereka itu telah ditawan seluruhnya oleh Hong-thay-siok
dan Co-ong dalam pemberontakan itu.
"Ya, baginda jangan
menghiraukan jiwa kami, bunuhlah pengkhianat sekuat tenagamu!” demikian seru
Hongthay-hou dari jauh.
Mendadak beberapa puluh
prajurit musuh mengancam para tawanan wanita itu dengan golok di leher,
seketika banyak di antara selir raja yang muda itu menjadi ketakutan.
Yalu Hungki menjadi gusar,
bentaknya, "Bunuh semua perempuan yang menangis itu!”
Maka terdengarlah suara
mendesing anak panah, belasan anak panah menyambar ke depan, langsung beberapa
selir raja yang menjerit dan menangis ketakutan tadi terpanah mati.
"Bagus baginda, tepat
sekali tindakanmu ini!” seru Honghou (permaisuri) dari jauh. "Tanah air
warisan nenek moyang sekali-kali tidak boleh tercengkeram di bawah kekuasaan
kaum pengkhianat!”
Melihat ibu suri dan
permaisuri sedemikian berani dan teguh jiwanya, bukan saja tak dapat diperalat
untuk menekan Yalu Hungki, sebaliknya malah membuat semangat prajurit sendiri
tergoyah, segera Co-ong memberi perintah, "Giring mundur tawanan itu! Keluarkan
tawanan anggota keluarga prajurit musuh!”
Maka terdengar pula suara
tiupan seruling yang tajam melengking sedih, sesudah rombongan ibu suri dan
permaisuri digiring mundur, lalu dari barisan belakang digusur keluar
berbaris-baris tawanan lelaki perempuan, tua dan muda, seketika terdengar pula
suara tangisan memilukan hati dan mengguncang sukma.
Kiranya rombongan tawanan ini
adalah anggota keluarga prajurit kerajaan, yaitu pasukan pribadi raja Liau.
Biasanya Yalu Hungki sangat baik terhadap pasukan pribadinya itu, anggota
keluarga mereka diizinkan tinggal bersama di dalam tangsi, dengan demikian,
pertama para prajurit itu akan merasa berterima kasih atas kebaikan budi sang
raja, kedua, dapat dipakai pula sebagai sandera agar prajurit-prajurit
kepercayaan raja itu tidak berani timbul maksud memberontak.
Siapa duga biang keladi
pemberontak sekarang adalah Hong-thay-siok yang paling dipercaya oleh raja itu.
Maka anggota keluarga pasukan pribadi raja telah ditawan oleh pihak
pemberontak, paling sedikit ada belasan ribu orang yang digiring ke garis depan
sekarang dengan maksud untuk melemahkan semangat tempur pasukan raja.
Begitulah Co-ong lantas
memerintahkan perwiranya tampil ke muka, dengan suara keras perwira itu
berteriak, "Wahai, dengarlah para prajurit pasukan raja! Anggota keluarga
kalian telah ditahan di sini, barang siapa menyerahkan diri akan mendapat
kenaikan pangkat dan diberi hadiah, tapi kalau membangkang, raja baru telah
memberi perintah agar membunuh segenap anggota keluarganya!”
Biasanya bangsa Cidan itu
memang kejam dan suka membunuh, sekali mereka mengatakan "akan dibunuh
semua”, maka hal itu bukan cuma main gertak saja.
Keruan pihak pasukan raja
menjadi panik, sementara itu banyak di antara prajurit itu mengenal anak-istri
atau ayah-ibu dalam tawanan musuh, segera terdengar suara ramai orang memanggil
anggota keluarga masingmasing.
Dalam pada itu genderang
pasukan pemberontak tiba-tiba berbunyi, lalu muncul 2.000 orang algojo dengan
kapak dan golok terhunus. Ketika suara genderang berhenti serentak, seketika
2.000 batang kapak dan golok terangkat dan mengincar kepala tawanan anggota
keluarga prajurit raja.
"Barang siapa menyerah
kepada raja baru akan mendapat hadiah, kalau tidak takluk, segenap anggota
keluarga mereka akan dibunuh!” terdengar perwira tadi berseru pula. Ketika
tangannya memberi tanda, kembali genderang berbunyi menderang.
Para perwira dan prajurit
pasukan raja tahu bila tangan perwira musuh itu memberi tanda lagi, seketika
suara genderang akan berhenti dan menyusul ke-2.000 batang kapak dan golok
mengilap itu akan membacok ke bawah, dan itu berarti jiwa akan segera melayang.
Biasanya pasukan pribadi raja
itu sangat setia kepada junjungannya, kalau Hong-thay-siok dan Co-ong memancing
mereka dengan pangkat dan hadiah terang takkan mempan. Tapi kini mereka
menyaksikan sanak keluarga sendiri berada di bawah ancaman senjata, mau tak mau
hati mereka terguncang dan sangat khawatir.
Dalam pada itu suara genderang
masih terus berderang-derang, hati prajurit pribadi raja juga ikut berdebardebar.
Sekonyong-konyong dari pihak pasukan raja ada yang berteriak, "Ibu! O,
ibu, jangan membunuh ibuku!”
Segera tertampak seorang
prajurit raja membuang tombaknya terus berlari ke arah seorang nenek di barisan
musuh. Tapi baru belasan langkah ia berlari, tiba-tiba dari pasukan raja
menyambar keluar sebatang anak panah sehingga tepat menembus punggung prajurit
itu. Seketika prajurit itu belum mati, dengan nekat ia masih terus lagi ke
depan.
Maka ramailah seketika suara
teriakan "Ibu! Ayah! Anak!” yang kacau-balau, serentak ada beberapa ratus
orang dari pihak pasukan raja berlari ke depan. Perwira kepercayaan Hungki
telah berusaha merintangi dengan membunuh beberapa prajurit yang goyah
pendiriannya itu, namun sudah kasip, keadaan tak bisa dikuasai lagi.
Dan sesudah beberapa orang
melarikan diri ke pihak musuh, menyusul lantas beberapa ribu orang, suasana
medan perang menjadi kacau-balau tak keruan, dari 150 ribu prajurit raja, dalam
waktu singkat ada 30-90 ribu orang yang lari ke pihak musuh.
Yalu Hungki menghela napas, ia
tahu tak bisa mengatasi lagi suasana itu. Pada kesempatan prajurit-prajurit
yang melarikan diri tadi sibuk bertemu dengan anggota keluarga mereka dan
keadaan masih kacau hingga pasukan pemberontak sementara terisolasi jauh di
sana, segera Hungki memberi perintah agar sisa pasukannya mengundurkan diri ke
Pegunungan Cong-hong-san di sebelah barat laut.
Segera komandan pasukan
memberikan perintah secara diam-diam dan teratur, sisa pasukan yang masih 50-60
ribu orang lantas putar balik ke arah barat. Ketika Co-ong mengetahui dan
memerintahkan pasukannya mengejar, tapi karena medan perang terhalang oleh
tawanan dan prajurit yang menyerah, untuk mengejar
menjadi agak sulit.
Setelah Yalu Hungki membawa
sisa pasukannya sampai di kaki Gunung Cong-hong-san, sementara itu hari sudah
magrib. Para prajurit sangat lelah dan lapar pula, namun dengan tertib mereka
mendaki lereng gunung, di situlah mereka berhenti dan mendirikan kemah, dari
atas menghadap ke bawah menjadi lebih kuat menghadapi musuh.
Baru saja kemah selesai
dibangun dan belum lagi sempat menanak nasi, pasukan di bawah pimpinan Co-ong
sudah mengejar tiba sampai di kaki gunung dan mulai menyerang ke atas.
Namun pasukan raja segera
menghamburkan panah dan menggelindingkan batu dari atas hingga pasukan
pemberontak dapat digempur mundur. Tapi lantaran itu juga kekuatan pasukan raja
kehilangan tiga ribu orang lagi. Sedangkan Co-ong juga lantas menarik mundur
pasukannya ketika melihat keadaan tidak menguntungkan untuk menyerang, ia perintahkan
pasukannya berkemah di bawah gunung.
Malamnya, Yalu Hungki berdiri
di puncak gunung untuk mengintai suasana di perkemahan musuh, ia lihat pelita
tak terhitung banyaknya bagaikan bintang di langit berkelip-kelip di kemah
pasukan pemberontak itu, jauh di sana tiga barisan obor tampak lagi mendatang
pula, terang itu adalah bala bantuan pasukan pemberontak yang sedang mendekat.
Selagi Yalu Hungki merasa
sedih, tiba-tiba Pak-ih Ku-bit-su (sebutan pangkat, setingkat kepala staf)
datang melapor, "Kira-kira lima belas ribu bawahan hamba telah melarikan
diri dan menyerah pada musuh. Untuk ketidakbecusan pimpinan hamba, mohon
Baginda sudi memberi hukuman.”
"Itu tak dapat
menyalahkanmu, boleh kau pergi mengaso saja,” ujar Hungki.
Ketika kemudian ia berpaling,
tiba-tiba dilihatnya Siau Hong sedang termenung-menung sambil memandang jauh ke
sana. Segera katanya,” Adikku yang baik, besok pagi-pagi pasukan pemberontak
tentu akan menyerang secara besar-besaran, pasti kita akan tertawan seluruhnya.
Sebagai kepala negara, aku tidak boleh dinista oleh kaum pemberontak, aku akan
membunuh diri untuk mempertanggungjawabkan kewajibanku kepada negara. Adikku,
boleh kau bawa adik perempuanmu menerjang pergi saja pada malam ini. Ilmu
silatmu sangat tinggi, tidak mungkin musuh mampu merintangimu.”
Ia merandek sejenak, lalu
menyambung dengan rasa pilu, "Sebenarnya aku bermaksud menganugerahkan
segala kejayaan padamu, siapa duga kakakmu ini sukar menyelamatkan diri
sendiri, sebaliknya malah membikin susah padamu.”
"Toako,” sahut Siau Hong,
"seorang laki-laki sejati harus berani menghadapi segala kesukaran. Meski
hari ini peperangan tak menguntungkan kita, tapi aku dapat melindungimu untuk
terjang keluar dari kepungan musuh, kita dapat menghimpun kekuatan lagi untuk membalas
dendam ini.”
Tapi Yalu Hungki menggeleng
kepala, katanya, "Sedangkan ibu dan istriku sendiri tak mampu kubela,
masakah aku masih ada harganya berbicara sebagai lelaki sejati segala? Dalam
pandangan bangsa Cidan, yang menang adalah pahlawan, yang kalah adalah
pemberontak. Aku sudah kalah habis-habisan, masakan mampu berbangkit kembali?
Sudahlah, kalian boleh pergi saja malam ini.”
Siau Hong tahu apa yang
dinyatakan kakak angkatnya itu adalah setulus hati, maka ia pun berkata dengan
ikhlas, "Jika begitu, aku akan mendampingi Toako untuk menempur musuh
dengan mati-matian. Kita adalah saudara angkat, apakah engkau raja atau rakyat
jelata, pendek kata engkau adalah saudara angkatku. Kakak angkatnya ada
kesukaran, adik angkatnya sudah seharusnya sehidup semati di sampingnya, mana
boleh kuselamatkan diri sendiri?”
Air mata Yalu Hungki
bercucuran saking terharu, ia pegang tangan Siau Hong erat-erat, katanya,
"O, adikku yang baik, terima kasih!”
Sepulangnya di kemah sendiri,
Siau Hong melihat A Ci lagi rebah di sudut tenda sana. Gadis itu belum lagi
tidur, maka segera ia menyapa, "Cihu, engkau akan marah padaku atau
tidak?”
Siau Hong menjadi heran.
"Sebab apa marah padamu?” tanyanya.
"Ya, gara-garaku ingin
pesiar ke padang rumput hingga sekarang membikin susah padamu,” ujar A Ci.
"Cihu, kita akan mati di sini, betul tidak?”
Di bawah sinar obor yang
terpasang di luar kemah itu, wajah A Ci yang pucat tampak bersemu merah hingga
makin menunjukkan lemah mungil dara itu. Alangkah kasih sayang Siau Hong
terhadap gadis cilik itu, sahutnya segera, "Mana bisa aku marah padamu?
Coba kalau aku tidak memukulmu hingga terluka parah, tidak nanti kita sampai di
tempat ini.”
"Tapi kalau lebih dulu
aku tidak menyerangmu dengan jarum berbisa, tentu engkau takkan memukul aku,”
ujar A Ci dengan tersenyum.
Perlahan Siau Hong belai
rambut si nona. Karena habis sakit keras, rambut A Ci telah rontok sebagian
besar hingga kini rambutnya sangat jarang dan kurang subur. Siau Hong menghela
napas, katanya, "Kau masih sangat muda, tapi sudah mesti ikut aku
menderita dan merana seperti ini.”
"Cihu, sebenarnya aku
tidak paham mengapa Cici sedemikian suka padamu,” tiba-tiba A Ci berkata,
"dan sekarang aku pun tahulah.”
Siau Hong tidak menjawab, tapi
dalam hati membatin, "Tak terhingga cinta cicimu padaku, apa yang kau
pahami tentang ini? Padahal aku sendiri pun tidak tahu mengapa A Cu bisa
mencintai laki-laki kasar seperti aku, dari mana kau bisa tahu malah?”
Tiba-tiba A Ci menoleh, ia
pandang Siau Hong dengan air muka yang aneh, katanya, "Cihu, apakah engkau
sudah dapat menebak, sebab apakah tempo hari aku menyerangmu dengan jarum
berbisa? Sebenarnya aku tidak bermaksud membunuhmu, aku hanya ingin membikin
engkau tak bisa berkutik, dengan begitu aku akan dapat merawat dirimu.”
"Apa sih faedahnya
perbuatanmu itu?” tanya Siau Hong.
"Jika engkau tak bisa
berkutik sama sekali, itu berarti takkan dapat meninggalkan aku untuk
selamanya,” sahut A Ci dengan tersenyum. "Kalau tidak, dalam hatimu tentu
kau pandang remeh diriku, setiap saat dapat kau tinggalkan aku dan tidak gubris
lagi padaku.”
Diam-diam Siau Hong terkesiap
oleh ucapan gadis cilik itu, ia tahu ucapan demikian bukanlah asal omong saja.
Ia pikir toh besok akan mati semua, biarlah aku sekarang menghiburnya saja
dengan kata-kata manis. Maka ia lantas berkata, "Ah, kau benar-benar masih
berpikir secara kanak-kanak. Jika kau memang senang ikut padaku, boleh ikut
saja, masakah aku tega menolak permintaanmu?”
Tiba-tiba mata A Ci bercahaya
terang, serunya dengan girang, "Betulkah ucapanmu ini, Cihu? Sesudah aku
sehat kembali, aku akan tetap ikut di dampingmu dan takkan pulang ke tempat
Suhu untuk selamanya dan jangan kau tinggalkan aku lho!”
Siau Hong tahu anak dara ini
tidak sedikit berbuat kesalahan pada orang-orang Sing-siok-pay, tentu juga dia
tidak berani pulang ke sana. Sedangkan besok pagi kalau pasukan pemberontak
menyerang secara besarbesaran, pasti mereka akan gugur bersama, harapan untuk
menyelamatkan diri adalah sangat tipis. Maka dengan tertawa ia menjawab,
"Eh, bukankah kau ini toasuci ahli waris Sing-siok-pay, kalau tidak pulang
ke sana, naga tanpa kepala, lantas bagaimana jadinya nanti dengan orang
Sing-siok-pay?”
"Biarkan saja mereka
kacau-balau, peduli apa dengan aku?” sahut A Ci dengan mengikik tawa.
Siau Hong tidak bicara lagi,
ia tarik selimut untuk menutupi badan A Ci, lalu ia sendiri pun menggelar
selimut dan tidur di sudut kemah yang lain.
Besoknya pagi-pagi sekali Siau
Hong sudah mendusin, ia pesan Kapten Sili menyediakan kuda dan menjaga A Ci, ia
sendiri lantas berkemas dan makan dua kati daging kambing serta minum tiga kati
arak. Lalu ia menuju ke tepi gunung.
Tatkala itu langit masih
gelap. Selang tidak lama, ufuk timur mulai remang-remang, sang surya mulai
memancarkan sinarnya. Segera terdengarlah suara trompet pasukan musuh berbunyi,
menyusul ramailah suara gemerencing benturan senjata dan pakaian perang.
Segera pasukan raja
memencarkan diri dalam beberapa barisan untuk menjaga tempat-tempat penting
yang mungkin diserbu musuh. Siau Hong memandang ke bawah, ia lihat sebelah
timur, utara, dan selatan penuh pasukan musuh, begitu banyak jumlah pasukan
musuh hingga bagian belakang pasukan musuh itu tak kelihatan karena tertutup
kabut.
Tidak lama sinar sang surya
yang gilang-gemilang membuyarkan kabut yang menutupi angkasa padang rumput
hingga tertampaklah di atas bumi penuh prajurit dan kuda belaka.
Sekonyong-konyong genderang
menderu-deru hebat, dua barisan berpanji kuning dari pasukan musuh tampak
tampil ke muka, menyusul Hong-thay-siok dan Co-ong melarikan kuda mereka ke
kaki gunung, mereka tunjuk sini dan tuding ke atas gunung, tampaknya sangat
gembira.
Waktu itu Yalu Hungki berdiri
di puncak gunung dikelilingi pengawalnya, ia gemas melihat sikap musuh yang
congkak itu, segera ia ambil panah dan busur dari seorang pengawalnya, ia
pentang busur dan memanah ke arah Co-ong. Tapi jarak antara mereka sangat jauh,
maka hanya mencapai setengah jalan panah itu lantas jatuh ke tanah.
"Hahahaha, Hungki!”
dengan bergelak tertawa Co-ong berseru, "Kau telah mengangkangi takhta
ayahku selama ini, sudah sepantasnya sekarang kau menyerahkan kembali takhtamu.
Maka lekas menyerah saja dan ayah akan mengampuni kematianmu serta akan
mengangkatmu menjadi Hong-thay-tit (keponakan mahkota), mau tidak?”
Dengan ucapan yang terakhir
itu, ia hendak menyindir bahwa Yalu Hungki telah pura-pura mengangkat ayahnya
sebagai Hong-thay-siok, padahal ia mengangkangi takhta kerajaan yang sebenarnya
menjadi haknya Yalu Conggoan sendiri.
Hungki menjadi gusar,
dampratnya, "Pengkhianat yang tak kenal malu, masih berani kau putar
lidah!”
Dalam pada itu Pek-ih
Ku-bit-su telah memimpin tiga ribu anak buahnya yang setia dan segera menerjang
ke bawah gunung dengan gagah perwira dan dengan tekad lebih baik gugur sebagai
ratna daripada hidup sebagai budak.
Untuk sesaat pasukan musuh
menjadi kacau juga karena diterjang secara mendadak. Tapi sekali Co-ong memberi
tanda, segera belasan ribu prajuritnya mengepung dari samping, maka
terdengarlah jerit teriak yang gegap gempita, pertarungan sengit terjadi, tiga
ribu prajurit raja itu makin lama makin berkurang, hingga akhirnya gugur
seluruhnya.
Pek-ih Ku-bit-su tidak mau
menyerah mentah-mentah, sekuat tenaga ia membunuh beberapa orang pula, habis
itu ia pun membunuh diri dengan menggorok leher sendiri.
Dengan jelas Hungki dan Siau
Hong dapat menyaksikan kejadian itu, tapi mereka tak mampu menolong, mereka
hanya mencucurkan air mata terharu atas jiwa kesatria dan gagah berani
Ku-bit-su itu.
Kemudian Co-ong maju ke tepi
gunung lagi, teriaknya dengan tertawa, "Nah, Hungki, kau mau takluk apa
tidak? Hanya sedikit kekuatanmu ini apa yang kau bisa perbuat? Mereka adalah
kesatria gagah dari negeri Liau kita, buat apa mesti suruh mereka ikut
berkorban jiwa bagimu? Seorang laki-laki sejati harus berani berterus terang
dan ambil keputusan tegas, mau menyerah lekas menyerah, mau bertempur ayolah
bertempur! Dan kalau insaf ajalmu sudah sampai, lebih baik kau bunuh diri saja
daripada jatuh korban lebih banyak lagi.”
Yalu Hungki menghela napas
panjang, air matanya berlinang-linang, ia angkat goloknya dan berseru,
"Ya, tanah air yang indah permai ini biarlah kuserahkan kepada kalian ayah
dan anak. Kita masih terhitung saudara sendiri, kalau kita saling membunuh,
buat apa mesti banyak mengorbankan jiwa para prajurit Cidan yang gagah berani.”
Habis berkata, segera goloknya
menggorok lehernya sendiri.
Tapi dengan cepat Siau Hong
bertindak, dengan kim-na-jiu-hoat ia rebut senjata Yalu Hungki itu, katanya,
"Toako, seorang kesatria sejati harus berani gugur di medan bakti, mana
boleh mati dengan membunuh diri?”
"Ah, adikku yang baik,”
sahut Hungki dengan menghela napas, "para perwira dan prajurit sudah lama
mengabdi pada diriku dengan setia. Jika aku pasti akan mati, aku tidak tega
minta mereka ikut korbankan jiwa bagiku.”
Dalam pada itu Co-ong sedang
berteriak lagi, "Hungki, kau tidak mau membunuh diri, ingin tunggu kapan
lagi?”
Sambil berkata ia pun
tuding-tuding dengan cambuknya, garangnya bukan main.
Melihat Co-ong makin maju ke
bawah puncak gunung, tiba-tiba Siau Hong mendapat akal, bisiknya kepada Yalu
Hungki, "Toako, harap pura-pura ajak bicara padanya, diam-diam aku akan
menyusur untuk mendekati dia serta memanahnya.
Hungki cukup kenal betapa
lihainya Siau Hong, ia jadi girang, sahutnya, "Bagus! Jika lebih dulu dapat
mampuskan dia, mati pun aku rela.”
Maka ia lantas berseru
keras-keras, "Co-ong, tidaklah jelek aku melayani kalian ayah dan anak,
jika ayahmu ingin menjadi raja, soalnya dapat melalui musyawarah, buat apa
membunuh rakyat jelata dan prajurit bangsa sendiri hingga kekuatan negara Liau
kita patah sehebat ini?”
Sedang Hungki bicara, di
sebelah sana diam-diam Siau Hong telah membawa busur dan panah, ia lalu
menuntun seekor kuda bagus ke bawah gunung, ia bersembunyi dengan mengempitkan
kaki di bawah perut kuda, dan binatang itu terus dilarikan ke depan.
Melihat seekor kuda tanpa
penumpang berlari turun dari atas gunung, prajurit musuh mengira kuda itu
adalah kuda pelarian yang putus tali kendalinya, hal ini memang sangat umum di
medan perang, maka tiada seorang pun yang menaruh curiga. Tapi sesudah dekat,
segera ada yang mengetahui bahwa di bawah perut kuda itu menggemblok seorang,
segera gemparlah mereka dan berteriak-teriak.
Cepat Siau Hong mendepak
kudanya dengan ujung kaki hingga kuda itu membedal secepat terbang ke arah
Co-ong, ketika jaraknya tinggal ratusan meter jauhnya, segera ia tarik busur di
bawah perut kuda dan terus memanah.
Tapi pengawal Co-ong juga
cukup cerdik, segera ada seorang di antaranya mengangkat perisai untuk
mengaling-alingi tuannya hingga panah itu tidak mengenai sasarannya. Tapi
beruntun-runtun Siau Hong memanah lagi, panah berikutnya telah merobohkan
pengawal dan panah yang lain menyambar ke dada Co-ong.
Untung Co-ong cukup sigap dan
awas, cepat ia ayun cambuknya untuk menyampuk panah itu. Kepandaian menyampuk
panah dengan cambuk adalah kepandaian andalan Co-ong, tapi ia tidak tahu bahwa
pemanah itu
bertenaga raksasa, meski
cambuknya kena sampuk anak panah itu, tapi hanya arahnya saja sedikit terbentur
menceng, namun bahu kirinya tetap kena panah.
"Aduh!” Co-ong menjerit,
saking kesakitan sampai ia mendekam di atas kuda.
Tanpa ayal lagi panah Siau
Hong yang lain menyambar pula, sekali ini jaraknya sudah makin dekat sehingga
panah itu menembus punggung Co-ong. Sekali kena panah, tubuh Co-ong lantas
terperosot jatuh di bawah kuda.
Dengan hasil itu, Siau Hong
pikir mengapa tidak sekalian bereskan jiwa Hong-thay-siok pula? Tapi selagi ia
hendak melarikan kuda ke arah sana, sementara itu prajurit musuh telah
menghujani panah hingga dalam sekejap saja kudanya berubah menjadi seekor
"landak”.
Cepat Siau Hong menjatuhkan
diri ke tanah dan menggelinding, dengan gesit dan cepat ia menyelinap dari
bawah perut kuda yang satu ke bawah kuda yang lain. Karena khawatir mengenai
teman sendiri, prajurit musuh tidak berani sembarangan memanah pula.
Sebagai gantinya segera mereka
menusuk dengan tombak, tapi Siau Hong selalu menyelinap ke sini dan menyusup ke
sana, ia main terobos di bawah perut kuda hingga pasukan musuh menjadi
kacau-balau dan desak-mendesak sendiri serta saling injak, tapi Siau Hong tetap
sukar dicari.
Namun sekali Siau Hong sudah
terkurung di tengah berpuluh ribu prajurit musuh, untuk meloloskan diri juga
tidak gampang lagi. Dari jauh ia dapat melihat Hong-thay-siok sedang memberi
perintah di atas kudanya, segera Siau Hong menyusup kian-kemari untuk mendekati
raja pemberontak itu. Ia pikir kalau dapat menawan raja pemberontak itu,
barulah ia sendiri bisa selamat.
Waktu itu Siau Hong
benar-benar seperti seekor binatang buas yang terkurung di dalam perangkap
pemburu, ia seruduk sini dan terjang sana, sesudah agak dekat, mendadak ia
menggerung sekali, mendadak ia melompat, bagaikan burung ia melayang lewat melalui
kepala berpuluh prajurit di depan Hong-thay-siok untuk kemudian turun di depan
kuda raja pemberontak itu.
Keruan Hong-thay-siok
terkejut, ia angkat cambuknya terus menyabet ke muka Siau Hong. Tapi mendadak
Siau Hong mengegos dan melompat maju, ia cemplak ke atas pelana kuda
Hong-thay-siok, sekali cengkeram, ia pegang punggung raja pemberontak itu dan
diangkat ke atas setinggi-tingginya sambil berteriak, "Kau ingin hidup
atau mati? Lekas perintahkan pasukanmu meletakkan senjata!”
Saking ketakutan sampai apa
yang dikatakan Siau Hong tak didengar oleh Hong-thay-siok. Saat itu suara
teriakan pasukan pemberontak
juga riuh rendah memekakkan telinga, beribu anak panah sudah siap mengincar
Siau Hong, cuma melihat pucuk pimpinan mereka tertawan di tangan musuh, maka
tiada yang berani sembarangan memanah.
Segera Siau Hong mengerahkan
tenaga dalam dan berteriak lantang, "Hong-thay-siok memberi perintah agar
segenap prajurit meletakkan senjata untuk menunggu titah raja. Baginda raja
akan mengampuni kalian, siapa pun takkan diusut kesalahannya dalam
pemberontakan ini!”
Lwekang Siau Hong tidak
kepalang kuatnya, maka suaranya dapat tersiar hingga jauh dan terdengar cukup
jelas oleh prajurit pemberontak itu. Sebenarnya perbawa pasukan pemberontak itu
lagi berkobar-kobar, semuanya ingin menangkap Yalu Hungki untuk menerima hadiah
dan kenaikan pangkat, siapa duga mendadak Co-ong terpanah mati, kini
Hong-thay-siok ditawan musuh pula. Keruan pasukan pemberontak itu seketika
mirip balon gembos, semangat mereka patah segera, suasana menjadi panik pula.
Siau Hong sendiri sudah pernah
mengalami pemberontakan anggota Kay-pang, ia cukup paham akan perasaan orang
waktu itu. Maka ia lantas mengumumkan pengampunan serta takkan mengusut apa
yang sudah terjadi untuk menarik simpati pasukan pemberontak itu. Sebab kekuatan
musuh saat itu masih sangat besar, sedangkan pihak Yalu Hungki hanya tinggal
belasan ribu orang saja, kalau musuh menggempur lagi pasti Yalu Hungki akan
tertawan juga, maka tanpa permisi dulu segera Siau Hong mendahului mengeluarkan
janji itu untuk menenteramkan perasaan pasukan pemberontak.
Dan benar juga, demi mendengar
pengumuman itu, seketika suasana hiruk-pikuk tadi lantas tenang kembali, hanya
saja di antara pasukan pemberontak itu masih banyak yang ragu, mereka saling
pandang dengan bingung.
Kesempatan itu tak
disia-siakan oleh Siau Hong, ia khawatir jangan-jangan keadaan akan berubah
buruk, segera ia berteriak pula, "Baginda ada perintah bahwa tiada seorang
pun akan dituntut, semuanya diampuni, setiap orang tetap pada pangkatnya semula.
Nah, lekas kalian meletakkan senjata!”
Maka terdengarlah suara
gemerantang dan gemerencing, di sana-sini ramai para prajurit pemberontak itu
melemparkan senjata mereka ke tanah. Hanya tinggal sebagian saja yang masih
ragu.
Siau Hong lantas angkat tubuh
Hong-thay-siok dan dibawanya ke atas gunung. Pasukan pemberontak itu tiada
seorang pun berani merintangi, di mana kudanya sampai, di depan lantas tersiah
sebuah jalan lalu baginya.
Setiba di lamping gunung, dari
pasukan raja lantas memapak datang dua barisan untuk menyambut kedatangan Siau
Hong dengan hasil yang gilang-gemilang itu. Di atas gunung segera musik
berbunyi, suasana gembira ria di antara pasukan raja.
"Hong-thay-siok, lekas
memberi perintah agar bawahanmu meletakkan senjata dan jiwamu akan diampuni,”
kata Siau Hong kemudian.
"Kau jamin jiwaku?” tanya
Hong-thay-siok.
Siau Hong pikir keadaan masih
genting, terutama sebagian pasukan pemberontak masih bersangsi, tindakan paling
penting sekarang ialah menenteramkan hati prajurit musuh, maka jawabnya lantas,
"Sekarang adalah kesempatanmu untuk menebus dosa, asal baginda tahu biang
keladinya adalah putramu, beliau tentu akan mengampuni jiwamu!”
Hal itu memang benar, apa yang
terjadi itu adalah gara-gara Co-ong yang berambisi besar untuk menjadi raja, yang
diharapkan Hong-thay-siok sekarang adalah bebas dari kematian, maka ia lantas
menjawab, "Baiklah, aku akan menurut pada permintaanmu!”
Segera Siau Hong menegakkan
tubuh Hong-thay-siok di atas kuda dan berteriak keras-keras, "Wahai para
prajurit, dengarkanlah perintah Hong-thay-siok!”
Dan Hong-thay-siok lantas
berseru, "Pemberontakan yang dijangkitkan Co-ong ini sudah gagal, Co-ong
telah menerima ganjarannya yang setimpal, kini Hongsiang (baginda raja) telah
mengampuni dosa kalian, maka lekas kalian meletakkan senjata dan mohon ampun
kepada Hongsiang!”
Karena Hong-thay-siok sudah
tertawan, seperti ular tanpa kepala, betapa pun bandelnya kaum pemberontak juga
tak berani membangkang lagi, segera terdengar suara gemerantang senjata,
segenap pasukan pemberontak itu sekarang benar-benar takluk semua.
Habis itu baru Siau Hong
menggusur Hong-thay-siok ke atas gunung.
Yalu Hungki merasa seperti di
alam mimpi saja. Ia girang tidak kepalang, terus saja ia menubruk Siau Hong dan
memeluknya erat-erat, katanya dengan mencucurkan air mata terharu, "O,
saudaraku, semuanya berkat bantuanmu!”
Dalam pada itu Hong-thay-siok
telah berlutut dan memohon, "Hamba merasa berdosa, mohon Baginda suka
memberi ampun!”
"Bagaimana pendapatmu,
adikku?” tanya Hungki kepada Siau Hong dengan rasa senang.
"Jumlah pasukan
pemberontak terlalu banyak, kita harus tenangkan dulu perasaan mereka, maka
mohon Baginda suka mengampuni jiwa Hong-thay-siok,” ujar Siau Hong.
"Bagus, apa pun akan
kuturut permintaanmu,” kata Hungki dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada
Pak-ihtay-ong, "Segera mengumumkan titahku bahwa Siau Hong telah kuangkat
menjadi Co-ong dengan kedudukan sebagai Lam-ih-tay-ong untuk memimpin segenap
pasukan pemberontak yang menyerah itu dan segera berangkat pulang ke kota
raja.”
Keruan Siau Hong kaget
mendengar perintah itu. Sebabnya ia membunuh Co-ong dan menawan Hong-thaysiok,
tujuannya melulu ingin menyelamatkan jiwa sang giheng saja, sekali-kali tiada
maksud ingin mendapat pangkat segala. Maka seketika ia menjadi bingung malah
oleh pengangkatan Yalu Hungki itu.
"Kionghi! Kionghi!”
demikian Pak-ih-tay-ong lantas mengaturkan selamat kepada Siau Hong.
"Menurut tradisi kerajaan, gelar Co-ong itu tidak boleh diberikan kepada
orang di luar keluarga raja. Maka lekaslah Siau-heng mengaturkan terima kasih
kepada Hongsiang!”
"Toako,” segera Siau Hong
berkata kepada Hungki, "apa yang terjadi hari ini adalah berkat rahmat
Tuhan, pasukan pemberontak memang harus menyerah padamu, aku cuma sedikit
mengeluarkan tenaga yang tak berarti, mana dapat dianggap sebagai jasa besar
segala. Apalagi aku pun tidak biasa dan juga tidak ingin menjadi pembesar, maka
mohon Koko suka menarik kembali titahmu tadi.”
Hungki terbahak-bahak, ia
rangkul bahu Siau Hong dan berkata, "Gelar Co-ong dan kedudukan sebagai
Lamih-tay-ong adalah gelar kebangsawanan tertinggi dalam negeri Liau kita, bila
adik masih merasa tidak cukup, kakakmu selain menyerahkan takhta padamu, lebih
dari itu tiada jalan lagi!”
Keruan Siau Hong terperanjat,
ia pikir kakak angkatnya itu saking kegirangan hingga cara omongnya menjadi
lupa daratan, jangan-jangan apa yang dikatakan itu dilakukan sungguh-sungguh,
tentu keadaan akan tambah runyam. Maka terpaksa Siau Hong berlutut dan berkata,
"Ya, hamba Siau Hong menerima titah Baginda itu, banyak terima kasih atas
budi baik Baginda!”
Dengan tertawa Yalu Hungki
lantas membangunkan Siau Hong.
Lalu Siau Hong berkata pula,
"Namun hamba adalah seorang kasar yang tidak paham peraturan dan undangundang
kerajaan, kalau ada kesalahan, mohon Baginda suka memberi ampun.”
"Tidak apa-apa,” kata
Yalu Hungki sambil tepuk-tepuk bahu saudara angkat itu. Lalu ia berpaling
kepada seorang perwira setengah umur di sebelahnya dan berkata, "Yalu
Muko, aku mengangkatmu sebagai Lam-ih Ku-bit-su untuk membantu Siau Hong!”
Girang Yalu Muko bagaikan
orang putus lotre, cepat ia berlutut untuk mengaturkan terima kasih. Lalu ia
memberi sembah pula kepada Siau Hong.
"Muko,” kata Hungki pula,
"dengan perintah Tay-ong, boleh kau pimpin bekas pasukan pemberontak itu
pulang dulu ke Siangkhia! Sekarang kami akan pergi menyambangi ibu suri!”
Segera musik di atas gunung
bergema, rombongan Yalu Hungki lantas menuju ke bawah gunung. Dalam pada itu
panglima pasukan pemberontak sudah mengembalikan ibu suri dan permaisuri kepada
kedudukan yang agung serta ditempatkan di tengah perkemahan besar. Waktu Hungki
masuk kemah itu, pertemuan kembali antara ibu dan anak serta istri sehabis
lolos dari lubang jarum sungguh mengharukan, kemudian mereka pun memberi pujian
tinggi atas jasa Siau Hong.
Lalu Yalu Muko membawa Siau
Hong untuk diperkenalkan kepada anak buah dan pembesar di bawah Lam-ih.
Tadi Siau Hong telah
mempertunjukkan ketangkasannya di tengah pertempuran, betapa gagahnya telah
disaksikan sendiri oleh semua orang. Apalagi Co-ong yang dulu itu wataknya
kasar dan jahat, maka sekarang mereka terima dengan baik Siau Hong sebagai
pimpinan mereka.
"Hongsiang sudah
mengampuni dosa pemberontakan kalian, maka selanjutnya kalian harus memperbaiki
kesalahan itu, jangan lagi sekali-kali timbul pikiran menyeleweng,” demikian
Siau Hong memberi pengarahan di hadapan anak buahnya yang baru itu.
Segera seorang perwira
berjenggot putih tampil ke muka dan melapor, "Hong-thay-siok dan Co-ong
sudah menahan anggota keluarga kami sebagai sandera, hingga hamba terpaksa ikut
memberontak, untuk itu mohon kebijaksanaan Tay-ong untuk menyampaikan kepada
Baginda tentang duduk perkara yang sebenarnya.”
"Jika begitu, maka apa
yang sudah lalu tidak perlu diungkit lagi,” ujar Siau Hong. Lalu ia berpaling
kepada Yalu Muko, "Pasukan boleh mengaso dulu di sini, sesudah makan
segera berangkat kembali ke kota raja.”
Kemudian perwira dan bintara
di bawah perintah Lam-ih satu per satu maju memberi sembah kepada Siau Hong.
Meski Siau Hong tidak pernah menjadi pembesar, tapi ia sudah lama menjabat
Pangcu Kay-pang, dalam
hal memimpin dan wibawa sudah
tentu cukup cakap. Soalnya mungkin ada peraturan pasukan Cidan yang masih belum
dipahami, tapi berkat bantuan Yalu Muko, semuanya dapat teratur dengan beres.
Tidak lama Siau Hong membawa
pasukannya berangkat, susul-menyusul ibu suri dan permaisuri telah mengirim
utusan membawakan harta benda dan jubah sulam untuk Siau Hong. Dan baru saja
Siau Hong menerima hadiah itu, datanglah Kapten Sili mengawal A Ci.
Gadis cilik itu sudah
berpakaian sutra sulam yang mentereng dan menunggang kuda bagus, katanya semua
itu adalah hadiah ibu suri.
Siau Hong menjadi geli melihat
tubuh A Ci yang kecil mungil itu seakan-akan terbungkus di dalam jubah sutra
sulam yang besar dan gondrong itu hingga mukanya hampir tertutup oleh leher
bajunya.
A Ci sendiri tidak ikut
menyaksikan caranya Siau Hong membunuh Co-ong dan menawan Hong-thay-siok, ia
hanya mendengar cerita ulangan dari Kapten Sili dan bawahannya.
Pada umumnya cerita orang itu
suka ditambah-tambahi, suka dibumbu-bumbui, maka ketangkasan Siau Hong dalam
cerita itu menjadi jauh lebih lihai seolah-olah malaikat dewata turun ke bumi.
Maka begitu bertemu dengan Siau Hong segera A Ci menggerundel, "Cihu,
begitu besar jasamu, mengapa sebelumnya sama sekali tidak kau beri tahukan
padaku?”
"Apa yang telah kulakukan
itu hanya secara kebetulan, dari mana aku bisa tahu sebelumnya dan memberi tahu
padamu lebih dulu? Haha, datang-datang kau lantas bicara seperti anak kecil!”
demikian Siau Hong menyahut dengan tertawa.
"Cihu, kemari sini,” seru
A Ci.
Segera Siau Hong mendekati
anak dara itu, ia lihat muka A Ci yang pucat itu bersemu kemerah-merahan,
badannya terbungkus oleh jubah sulaman hingga mirip boneka saja, lucu dan
menyenangkan, maka Siau Hong terbahak-bahak geli.
"Aku bicara benar-benar
padamu, mengapa engkau tertawa, apa sih yang menggelikan?” omel A Ci.
"Karena dandananmu ini
mirip boneka, maka aku merasa geli,” sahut Siau Hong.
"Engkau selalu anggap aku
sebagai anak kecil, sekarang kau tertawakan aku lagi,” kata A Ci dengan mulut
menjengkit.
"Ah, masa aku sengaja
mengolok-olokmu,” sahut Siau Hong dengan tertawa. "A Ci, sebenarnya aku
menyangka hari ini kita pasti akan mati semua, siapa tahu malah tertimpa rezeki
nyasar. Padahal peduli apa Lam-ih-tay-ong atau Co-ong segala, asal kita tidak sampai
mati, apa lagi yang kita harapkan?”
"Cihu, apa engkau sangat
takut mati?” tiba-tiba A Ci bertanya.
Siau Hong melengak, sahutnya
kemudian dengan mengangguk, "Ya, dalam keadaan bahaya, terkadang aku pun
takut mati.”
"Hah, kukira engkau
adalah seorang gagah perkasa, seorang yang tak gentar mati,” kata A Ci dengan
tertawa. "Jika engkau takut mati, tatkala beratus ribu tentara
memberontak, mengapa engkau berani menyerbu ke tengah-tengah mereka?”
"Itu namanya sebelum ajal
pantang menyerah, kalau aku tidak menerjang musuh, pastilah aku akan mati. Hal
mana juga tak bisa dikatakan gagah berani, tidak lebih cuma pergulatan terakhir
saja,” kata Siau Hong. "Misalnya kita mengepung seekor beruang atau
harimau, sebelum dia tertangkap, pasti juga dia akan menyerang kian-kemari dan
mengganas dengan mati-matian.”
"He, engkau misalkan
dirimu sebagai binatang,” ujar A Ci dengan tertawa.
Tatkala itu mereka dikelilingi
oleh barisan tentara yang panjang dengan panji yang berkibar memenuhi padang
rumput. A Ci merasa senang sekali, katanya, "Tempo hari aku telah
mengakali Toasuheng sehingga dapat merebut hak ahli waris Sing-siok-pay,
kupikir di antara anggota keluarga Sing-siok-pay yang berjumlah beberapa ratus
orang itu, kecuali Suhu seorang, akulah pemimpin tertinggi, maka aku merasa
sangat senang waktu itu. Tapi kini kalau dibandingkan dengan engkau yang
memimpin beratus ribu prajurit ini, terang jauh sekali bedanya. Cihu, kabarnya
Kay-pang telah memecat dirimu sebagai pangcu mereka. Hm, cuma suatu organisasi
pengemis begitu saja berlagak, boleh kau pimpin tentaramu ini ke sana dan bunuh
saja mereka semua.”
"Ai, omongan anak kecil
lagi!” ujar Siau Hong sambil menggeleng kepala. "Aku adalah orang Cidan,
kalau mereka tidak sudi padaku sebagai pangcu, hal ini adalah tepat. Orang
Kay-pang adalah bekas bawahanku dan kawan-kawanku yang baik, mana boleh kubunuh
mereka?”
"Tapi mereka telah
menuduhmu secara semena-mena dan memecatmu dari pang mereka, dengan sendirinya
mereka harus dibunuh, masakah engkau masih anggap mereka sebagai kawanmu?”
Siau Hong sukar menjawab
pertanyaan itu, ia hanya geleng-geleng kepala. Ia menjadi muram bila teringat
pertarungan di Cip-hian-ceng, di mana ia telah putuskan segala hubungan baik
dan persahabatan dengan para kesatria.
"Eh, Cihu, jika mereka
mendengar bahwa engkau telah menjadi Lam-ih-tay-ong di negeri Liau, tiba-tiba
mereka merasa menyesal dan ingin mengundangmu untuk menjadi pangcu mereka lagi,
apakah engkau akan terima undangan mereka?” tiba-tiba A Ci bertanya lagi.
"Mana bisa jadi?” sahut
Siau Hong dengan tersenyum. "Para kesatria Kerajaan Song anggap orang
Cidan adalah manusia jahanam yang kejam, semakin besar pangkatku di negeri Liau
sini, semakin benci pula mereka padaku.”
"Huh, masakah engkau
ingin disukai mereka? Mereka benci padamu, kita juga benci pada mereka,” kata A
Ci.
Ketika Siau Hong memandang ke
arah selatan, ia melihat padang rumput yang luas itu di mana langit bertemu
dengan bumi adalah lereng gunung yang berderet-deret, ia pikir di balik
pegunungan itulah wilayah Tionggoan. Meski ia adalah orang Cidan, tapi sejak
kecil dibesarkan di daerah Tionggoan, dalam hati kecilnya boleh dikatakan lebih
cinta kepada tanah Song itu daripada menyukai negeri Liau yang baru dikenalnya
ini. Bila dia diperbolehkan menjadi anggota Kay-pang yang paling rendah
sekalipun, mungkin akan lebih senang dan tenteram daripada menjadi
Lam-ih-tay-ong segala di negeri Liau.
"Cihu,” kata A Ci pula,
"kubilang Hongsiang memang pintar, beliau mengangkatmu sebagai
Lam-ih-tay-ong, dengan demikian bila kelak negeri Liau berperang dengan negeri
lain, tentu engkau harus memimpin tentara untuk melawan musuh dan dengan
sendirinya akan selalu menang. Asal engkau menyerbu ke tengah pasukan musuh dan
membunuh panglimanya, maka tanpa perang lagi musuh akan menyerah, bukankah
dengan mudah saja peperangan lantas berakhir?”
"Kembali omongan anak
kecil lagi,” sahut Siau Hong dengan tertawa. "Masakah kau anggap segala
peperangan serupa dengan pemberontakan Hong-thay-siok dan Co-ong? Mereka adalah
bangsa Liau dan biasanya tunduk pada perintah baginda raja, jika biang keladi
mereka tertawan, dengan sendirinya mereka lantas takluk. Tapi peperangan di
antara dua negara akan lain soalnya. Biarpun panglimanya kau bunuh, mereka
masih mempunyai wakil panglima yang lain, wakil panglima mereka mati, masih ada
perwira lain lagi, belum terhitung prajurit dan bintara musuh yang entah berapa
jumlahnya, hanya seorang diri aku menyerbu ke tengah-tengah mereka, apa yang
dapat kuperbuat?”
"O, kiranya begitu,” kata
A Ci. "Eh, Cihu, kau bilang waktu menyerbu musuh dan membunuh Co-ong itu
tak dapat dibilang gagah berani, habis selama hidupmu dalam hal apa kau anggap
paling gagah berani? Coba, dapatkah kau ceritakan padaku?”
Selamanya Siau Hong tidak suka
bicara tentang keperkasaan sendiri, biarpun habis membasmi kaum penjahat atau
baru menang bertanding juga tidak pernah dipamerkan kepada orang lain, padahal
entah sudah berapa banyak kejadian luar biasa yang telah dialaminya.
Ia merasa tidak akan
habis-habis kalau mesti bercerita tentang kegagahannya dahulu. Maka jawabnya,
"Setiap kali aku bertempur dengan orang, selalu aku adalah pihak yang
terpaksa, maka tak dapat dikatakan tentang gagah berani segala.”
"Tapi kutahu bahwa selama
hidupmu pertarungan sengit di Cip-hian-ceng itulah pertempuranmu yang paling
gagah berani,” ucap A Ci.
Kembali Siau Hong melengak.
"Dari mana kau tahu?” tanyanya.
"Waktu di Siau-keng-oh
tempo hari, sesudah kau pergi, ayah dan ibu beserta beberapa bawahannya telah
bicara tentang ilmu silatmu dan mereka sama kagum tak terhingga, mereka
mengatakan engkau telah menempur para kesatria Tionggoan di Cip-hian-ceng,
soalnya cuma membela keselamatan seorang gadis jelita. Gadis jelita itu
tentulah ciciku, bukan?” tanya A Ci. "Tatkala mana ayah dan ibu belum tahu
bahwa A Cu adalah putri kandung mereka, maka mereka menganggapmu sangat kejam
kepada ayah bunda, sangat keji terhadap guru dan ayahibu angkatmu, tapi
terhadap wanita engkau justru mabuk, mereka bilang engkau adalah manusia yang
tidak tahu budi dan lupa kebaikan, sebaliknya kejam dan suka akan kundai licin,
engkau dianggap orang jahat yang tidak kenal perikemanusiaan,” bicara sampai di
sini, tertawalah gadis itu dengan terkikik-kikik.
"Lupa budi dan tidak tahu
kebaikan, kejam dan suka kundai licin? Ai, tentu saja para kesatria benci
padaku sampai ke tulang sumsum,” demikian Siau Hong bergumam sendiri.
Selang beberapa hari kemudian,
sampailah pasukan besar itu di kota raja. Sebelumnya para pembesar dan pasukan
penjaga kota serta rakyat jelata sudah mendapat kabar tentang datangnya Siau
Hong, maka berbondong-bondong mereka memapak jauh di luar kota.
Di mana panji pengenal Siau
Hong tiba, di situ rakyat jelata lantas berlutut memberi sembah dengan pujian
yang tak habis-habis. Maklum, sekaligus ia telah dapat mengamankan
pemberontakan, ini berarti telah menyelamatkan jiwa para prajurit beserta
anggota keluarganya yang ditawan musuh, sudah tentu rasa terima kasih mereka
tak terhingga.
Ketika Siau Hong menjalankan
kudanya perlahan mengelilingi kota, sepanjang jalan rakyat bersorak-sorai
memberikan pujian secara luar biasa.
Diam-diam Siau Hong terharu
oleh suara pujian itu, apalagi air mata rakyat jelata itu tampak
berlinang-linang, suatu tanda rasa terima kasih mereka itu memang timbul
benar-benar dari lubuk hati yang murni. Pikirnya, "Seorang yang
berkedudukan tinggi dan memegang kendali kenegaraan, setiap gerak-gerik dan
tindak tanduknya akan menyangkut nasib beratus-ratus ribu, bahkan berjuta-juta
rakyatnya. Padahal sebelum aku menyerbu musuh untuk membunuh Co-ong, aku hanya
terdorong oleh keinginan membunuh musuh gihengku saja, sama sekali tak
tersangka olehku bahwa dengan tindakanku itu tanpa sengaja telah menyelamatkan
beratus ribu jiwa manusia.”
Begitulah dengan mendapat
sambutan hangat dari penduduk kota, akhirnya rombongan Siau Hong sampai di
depan istana Lam-ih-tay-ong.
Meski Siau Hong adalah bekas
pangcu, tapi pangcu dari kaum pengemis, hidupnya selalu melarat, tempat
tinggalnya sembarang tempat, di mana pun dapat dibuat tidur, baik di emperan,
maupun di kolong jembatan, semuanya pernah dilakukan Siau Hong. Tapi kini ia
terkesima menyaksikan sebuah gedung yang megah.
Waktu ia dipersilakan masuk
oleh Yalu Muko, ia lebih terpesona lagi oleh segala perabotan di dalam istana
itu. Sesudah ia periksa seperlunya keadaan dan isi istana itu, lalu ia ambil
tempat duduk di atas singgasananya dan menerima sembah perkenalan dari penggawa
istana.
Kemudian para kepala kelompok
suku juga datang memberi hormat, banyak sekali nama suku bangsa di bawah
kekuasaan Kerajaan Liau, seketika Siau Hong juga tidak ingat nama-nama kelompok
suku sebanyak itu.
Habis itu para perwira dari
pasukan pribadi ibu suri dan permaisuri, para pengawal berbagai istana juga
beruntun-runtun datang menghadap.
Akhirnya para utusan berbagai
negeri yang berkedudukan di kota raja ketika mengetahui Siau Hong telah
diangkat menjadi Lam-ih-tay-ong yang baru, maka beramai-ramai perwakilan dari
59 negara yang berada di bawah pengaruh negeri Liau, seperti negeri Korea,
Nuchen, Se He, Tartar, dan lain-lain, semuanya datang untuk berkenalan dengan
raja muda yang baru dan berpengaruh ini. Banyak sekali di antaranya membawa
oleh-oleh dan mempersembahkan kado dengan maksud mengikat persahabatan.
Begitulah setiap hari Siau
Hong sibuk menerima tamu dan menemui pembesar bawahannya. Apa yang dilihatnya
adalah emas intan yang gemerlapan dan apa yang didengarnya adalah puji sanjung
yang menjilat pantat. Sebagai seorang yang berjiwa jujur lurus, sudah tentu
Siau Hong tidak biasa dengan penghidupan
seperti itu, lama-kelamaan ia
merasa jemu juga.
Kira-kira sebulan kemudian,
Yalu Hungki mengundangnya untuk bertemu di istana dan berkata kepada Siau Hong,
"Saudaraku yang baik, kedudukanmu adalah Lam-ih-tay-ong, tempat tugasmu
adalah Lamkhia, di sana harus kau cari kesempatan untuk melakukan invasi ke
Tionggoan. Meski aku merasa berat untuk berpisah denganmu, tapi demi tugas dan
kejayaan bangsa, terpaksa silakan lekas berangkat ke selatan dengan pasukanmu.”
Siau Hong terperanjat
mendengar baginda raja menitahkan dia memimpin pasukan untuk menjajah ke
selatan. Cepat sahutnya, "Soal invasi ke selatan bukanlah urusan kecil,
harap Yang Mulia suka meninjau kembali keputusan ini. Hamba cuma seorang persilatan
yang kasar, dalam hal siasat militer sama sekali tidak paham.”
"Negeri kita baru
mengalami pemberontakan, kita memang harus memelihara kekuatan dahulu,” ujar
Hungki dengan tertawa. "Apalagi pemerintah Song sekarang telah mengangkat
Suma Kong sebagai perdana menteri, politiknya stabil, rakyatnya patuh,
kesempatan untuk menyerbu ke selatan belum ada. Maka sesudah berada di Lamkhia,
hendaklah senantiasa kau ingat tujuan kita akan mencaplok kerajaan di selatan
itu, kita harus mencari saat yang baik dan tepat, jika ada sesuatu kerusuhan di
dalam tubuh pemerintahan Song, segera kita mengerahkan pasukan ke selatan. Bila
bagian dalam mereka bersatu, maka hasil kita akan sangat kecil sekali bila
menggempur mereka.”
"Betul, memang harus
begitu,” sahut Siau Hong.
"Akan tetapi dari manakah
kita dapat mengetahui pemerintahan Song dalam keadaan kuat dan rakyatnya patuh
dan bersatu?” kata Hungki pula.
"Untuk itu mohon Baginda
suka memberi petunjuk,” sahut Siau Hong.
"Hahaha, caranya sejak
dulu kala hingga sekarang adalah sama saja,” seru Hungki dengan terbahak-bahak.
"Resepnya adalah gunakanlah sebanyak mungkin harta kekayaan untuk membeli
mata-mata musuh. Orang selatan paling tamak pada harta, manusia rendah tak terhitung
banyaknya di sana. Asal mendapat harta, mereka tidak segan-segan menjual
negara. Maka boleh kau suruh Ku-bit-su jangan sayang membuang harta mestika
sebanyak mungkin, tentu usahamu akan berhasil.”
Siau Hong mengiakan pesan itu,
lalu mohon diri dengan perasaan kesal. Sebagai seorang laki-laki sejati,
biasanya sahabat karibnya adalah golongan kesatria yang gagah dan jujur,
biarpun sudah banyak pengalamannya menghadapi tipu muslihat keji di kalangan
Kangouw, tapi paling-paling juga cuma perbuatan membunuh orang atau membakar
rumah secara blakblakan tanpa banyak lika-liku, selamanya belum pernah ia
gunakan harta benda untuk memperalat orang lain. Apalagi, walaupun ia adalah
orang Cidan, tapi sejak kecil dibesarkan di daerah selatan, sekarang dia
ditugaskan oleh Yalu Hungki untuk mencaplok Kerajaan Song, hal
ini sebenarnya sangat
bertentangan dengan jiwanya.
Ia pikir, "Giheng
mengangkatku sebagai Lam-ih-tay-ong, hal ini adalah maksud baiknya, kalau
sekarang juga kuletakkan jabatan, betapa pun akan mengecewakan maksud baiknya
dan akan mengganggu persaudaraan kami. Biarlah nanti sesudah aku di Lamkhia
setelah kujalankan tugasku selama setahun dua tahun, lalu aku akan mohon
mengundurkan diri. Dan kalau beliau tidak mengizinkan, diam-diam aku akan
tinggal pergi, masakah beliau dapat menahan aku?”
Begitulah ia lantas membawa
bawahannya bersama A Ci berangkat ke Lamkhia.
(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)
Yang dimaksud Lamkhia pada
Kerajaan Liau waktu itu adalah Kota Pakhia (Peking) sekarang. Zaman itu Kerajaan
Song menyebutnya sebagai Yankhia, Yutoh, atau Yuciu.
Kota itu sebenarnya termasuk
wilayah kekuasaan Tiongkok. Ketika Ciok Keng-tong dari Dinasti Cin mengangkat
dirinya sendiri menjadi raja, ia telah minta bala bantuan Kerajaan Liau. Untuk
balas jasanya, Ciok Keng-tong menyerahkan wilayah kekuasaan Yan-hun-cap-lak-ciu
(16 kota Yan-hun) kepada Kerajaan Liau. Dan di antara ke-16 kota itu termasuk
pula Yuciu atau Yankhia.
Ke-16 kota yang dijual oleh
Ciok Keng-tong itu adalah tempat-tempat penting dan strategis, selama Dinasti
Cin, Ciu, dan Song, pemerintah Tiongkok tidak mampu merebut kembali kota-kota
wilayah kekuasaannya itu, bahkan setiap kali terjadi perang, selalu pasukan
Liau mendapat keuntungan dari kota-kota penting yang menjadi pangkalan mereka itu
dan selalu pasukan Song dikalahkan habis-habisan.
Setiba di dalam kota, Siau
Hong lihat jalan di dalam kota sangat lebar dan resik, orang yang
berlalu-lalang adalah rakyat kerajaan selatan (Song), yang terdengar juga
bahasa Tionghoa. Ia merasa seakan-akan telah pulang ke tempat tinggalnya
dahulu. Malahan keramaian dan kemakmuran kota juga lebih baik daripada
Siangkhia.
Siau Hong dan A Ci merasa
kerasan di kota yang ramai ini. Dengan gembira, esok paginya mereka lantas
keluar pesiar dengan dandanan yang sederhana dan tanpa pengawal.
Luas Kota Yankhia itu antara
36 li (kira-kira sama dengan 18 km) persegi. Seluruhnya ada delapan pintu
gerbang kota. Letak istana Lam-ih-tay-ong itu di barat laut di dalam benteng
kota.
Sesudah Siau Hong dan A Ci
pesiar hampir setengah hari, mereka melihat di mana-mana toko dan pasar ramai
dikunjungi orang, di sana-sini juga banyak terdapat kelenteng.
Sebagai Lam-ih-tay-ong, maka
wilayah kekuasaan Siau Hong bukan cuma Yan-hun-cap-lak-ciu saja, bahkan
Tay-tong-hu dan sekitarnya di sebelah barat, Tay-ting-hu di sebelah selatan
juga termasuk wilayah kekuasaannya. Dan sebagai raja muda, terpaksa ia mesti tinggal
di dalam istana.
Sesudah melakukan tugasnya
beberapa hari, ia lantas merasa pusing kepala, untung Lam-ih Ku-bit-su, kepala
stafnya Siau Hong, yaitu Yalu Muko, cukup cekatan dan pandai mengatur, maka ia
percayakan semua pekerjaan dinas kepadanya.
Menjadi pembesar setinggi Siau
Hong itu juga ada enaknya. Di dalam istana tersedia barang berharga yang tak
terhitung banyaknya, empedu beruang dan tulang harimau boleh dimakan bagai
makan nasi saja oleh A Ci. Dengan perawatan demikian, akhirnya kesehatan A Ci
menjadi pulih seperti sediakala, pada permulaan musim dingin ia sudah dapat
bergerak dengan bebas.
Dasar gadis itu memang lincah
dan suka bergerak, maka begitu sudah sehat kembali, segera A Ci pesiar beberapa
kali ke seluruh pelosok kota, kemudian dengan dikawal oleh Kapten Sili, mereka
mulai pesiar keluar kota yang berdekatan.
Suatu hati, hujan salju baru
saja reda, dengan memakai baju kulit berbulu halus, A Ci datang ke Istana
Soankau-tian, tempat tinggal Siau Hong, ia berkata, "Cihu, aku merasa bosan
tinggal di kota, ayolah kita pergi berburu saja!”
Sekian lamanya tinggal dalam
istana, memang Siau Hong juga merasa kesal, maka ajakan A Ci itu diterima
dengan senang hati. Tapi ia tidak suka berburu secara besar-besaran, maka hanya
beberapa pengawal dibawanya untuk melayani A Ci. Pula khawatir akan mengejutkan
penduduk setempat, maka mereka berdandan sebagai prajurit biasa, membawa busur
dan panah, dengan berkuda mereka ke luar kota dan menuju ke utara.
Kira-kira belasan li jauhnya
di luar kota, mereka hanya memperoleh beberapa ekor kelinci saja, binatang lain
yang lebih besar tidak kelihatan.
"Marilah kita coba-coba
ke bagian selatan,” kata Siau Hong. Segera ia membawa rombongannya berputar ke
barat terus ke selatan.
Kira-kira belasan li lagi,
tiba-tiba seekor kijang berlari keluar dari semak-semak. Cepat A Ci mengambil
busur dan panah, tapi ketika ia hendak menarik busurnya, ternyata tenaganya tak
cukup. Nyata meski kesehatannya sudah pulih, tapi tenaga belum kuat.
Segera Siau Hong mendekatinya,
ia gunakan tangan kiri memegang tali gendewa dari belakang A Ci, lalu tangan
kanan mementang gendewa, sekali bidik, anak panah itu meluncur dengan cepat,
kontan kijang itu menggeletak terkena panah. Maka bersoraklah para
pengiringnya.
Ketika Siau Hong lepas tangan,
ia pandang A Ci dengan tersenyum. Tapi ia menjadi terkejut demi tampak air mata
anak dara itu berlinang-linang. Tanyanya dengan heran, "He, kenapa
menangis? Kau tidak senang aku membantumu memanah kijang tadi?”
"Aku... aku sudah menjadi
orang cacat, sampai gendewa saja tidak... tidak mampu menariknya lagi,” sahut A
Ci dengan air mata bercucuran.
"Ai, kenapa kau tidak
sabaran begitu, asal kau merawat diri dengan baik, tentu tenagamu akan pulih
kembali,” hibur Siau Hong. "Dan kelak bila betul tak bisa pulih, pasti
akan kuajarkan cara melatih lwekang padamu, pasti tenagamu akan bertambah
kuat.”
Maka tertawalah A Ci, katanya,
"Engkau harus pegang janji dengan baik, engkau harus mengajarkan lwekang
padaku.”
"Baik, pasti akan
kuajarkan,” sahut Siau Hong.
Tengah bicara, tiba-tiba
terdengar suara ramai derapan kuda lari dari arah selatan, ada suatu pasukan
sedang mendatang dari tanah salju sana. Meski pasukan itu tidak memasang panji
pengenal, tapi segera Siau Hong dapat melihat pasukan itu adalah tentara Liau.
Terdengar prajurit dan perwira pasukan itu bersorak-sorai dan menyanyi-nyanyi
dengan riang gembira, di belakang mereka tampak banyak tawanan pula, agaknya
mereka habis pulang dari menang perang.
"Kita tidak perang dengan
siapa pun, dari mana pasukan ini bisa menang perang?” pikir Siau Hong.
Ia lihat pasukan itu menuju ke
timur, yaitu arah Kota Lamkhia. Segera ia katakan pada pengiringnya, "Coba
pergi tanya mereka, pasukan dari manakah dan untuk apa datang ke sini?”
Pengiring itu mengiakan dan
menambahkan pula, "Mungkin kawan kita sendiri yang habis pulang dari
‘panen’.”
Lalu ia larikan kudanya
menghampiri pasukan itu.
Ketika komandan pasukan itu
mengetahui Lam-ih-tay-ong berada di situ, serentak mereka bersorak gembira,
mereka turun dari kuda dan dengan langkah cepat menghampiri Siau Hong untuk
memberi hormat, berbareng mereka lantas bersorak, "Hidup Tay-ong!”
Siau Hong hanya angkat
tangannya sebagai hormat. Ia lihat pasukan itu berjumlah antara 800 orang, di
atas kuda mereka penuh termuat macam-macam barang, ada bahan pangan, ada bahan
sandang, dan benda-benda berharga lainnya. Tawanan yang mereka ringkus juga ada
800 jiwa banyaknya, sebagian besar adalah wanita muda, tapi ada juga sedikit
anak dan orang tua. Dari dandanan mereka dapat diketahui adalah orang Song,
banyak di antaranya sedang menangis sedih, keadaan sangat mengenaskan.
"Hari ini adalah giliran
pasukan hamba yang dinas ‘tah-cau-kok’ (panen), berkat Tay-ong yang mulia,
hasil kami lumayan juga,” demikian komandan pasukan itu memberi lapor. Lalu ia
berpaling ke belakang dan berteriak, "Ayo, kawan-kawan! Lekas persembahkan
wanita muda yang paling cantik dan harta benda yang paling berharga, kita
persilakan Tay-ong memilih sendiri!”
Segera anak buahnya mengiakan,
dalam sekejap saja lebih 20 orang wanita muda yang cantik digusur ke depan Siau
Hong, banyak pula emas intan dan batu permata yang berharga terserak di atas
sehelai selimut, semuanya itu menantikan pilihan Siau Hong.
Umumnya orang Cidan paling
menghormat pada kesatria gagah, bila Siau Hong sudi menerima wanita tawanan dan
harta rampasan mereka dari hasil "panen” itu, maka hal mana akan merupakan
suatu kehormatan besar bagi mereka.
Dahulu di luar Gan-bun-koan,
Siau Hong juga pernah menyaksikan pasukan tentara Song merampok dan menawan
orang-orang Cidan. Sekarang ia melihat pasukan Cidan yang menawan orang Song.
Keadaan tawanan yang mengenaskan itu sama saja tiada bedanya.
Sesudah sekian lamanya tinggal
di negeri Liau, pada garis besarnya Siau Hong sudah paham peraturan militer
negeri itu. Pasukan tentara Liau itu tidak mendapat gaji dan catu ransum,
segala keperluan perwira dan prajuritnya, seluruhnya diperoleh dengan merampas
dari pihak musuh. Maka setiap hari ada pasukan yang dikirim untuk merampas
sandang pangan dari rakyat negeri tetangga seperti Korea, Song, Se He, Nuchen,
dan lain-lain, perbuatan mereka ini diberi nama "tah-cau-kok” atau panen.
Padahal tiada bedanya dengan garong.
Sebab itulah tentara Song juga
membalas dengan melakukan "panen” pada orang Cidan dengan cara yang sama.
Maka penghidupan penduduk di sekitar perbatasan itu menjadi sangat melarat dan
tidak aman, setiap saat selalu hidup dalam ketakutan.
Sebenarnya Siau Hong merasa
cara demikian itu terlalu kejam dan zalim, cuma ia sendiri tidak berniat
menjadi pembesar untuk selamanya, setelah sekadar memenuhi keinginan Yalu
Hungki, lalu ia akan meletakkan jabatan dan tinggal pergi. Sebab itulah ia
tidak memberi suatu saran apa-apa tentang politik dan ketatanegaraan.
Kini dengan mata kepala
sendiri menyaksikan keadaan mengenaskan dari para tawanan itu, mau tak mau ia
merasa tak tega. Segera ia tanya komandan pasukan itu, "Dari mana kalian
memperoleh hasil panen ini?”
Dengan penuh hormat komandan
itu melapor, "Harap Tay-ong maklum, hasil ‘panen’ hamba ini diperoleh dari
perbatasan di luar Takciu. Sejak Tay-ong kemari, hamba tidak berani mencari
ransum lagi di sekitar sini.”
Dari jawaban itu Siau Hong
menarik kesimpulan dahulu mereka tentu banyak melakukan penggarongan milik
orang Song di sekitar Lamkhia. Segera ia tanya kepada seorang gadis yang
dihadapkan kepadanya itu dalam bahasa Han, "Kau berasal dari mana?”
Gadis itu berlutut, sahutnya
dengan menangis, "Hamba adalah orang Thio-koh-jun, mohon belas kasihan
Tayong, sudilah mengampuni hamba dan bebaskan hamba untuk berkumpul kembali
dengan orang tua.”
Waktu Siau Hong memandang ke
arah tawanan-tawanan itu, ia melihat beberapa ratus orang itu berlutut semua,
hanya ada seorang pemuda yang tetap berdiri dengan bersitegang.
Berdiri di tengah beratus
tawanan yang berlutut itu, dengan sendirinya pemuda itu kelihatan sangat
menonjol. Siau Hong lihat usia pemuda itu antara 16-17 tahun, raut mukanya
lonjong, matanya bersinar, sedikit pun tidak gentar padanya. Segera ia tanya, "Hai,
pemuda, kau berasal dari mana?”
"Ada suatu urusan rahasia
penting ingin kubicarakan padamu secara berhadapan,” sahut pemuda itu.
"Baiklah, majulah ke
sini,” kata Siau Hong.
Pemuda itu angkat kedua
tangannya ke atas, ternyata tangannya terikat dengan kencang. Terdengar ia
berseru,
"Silakan meninggalkan
pengiringmu ke sana, urusan penting ini tidak boleh didengar orang lain.”
Siau Hong merasa heran, ia
pikir seorang pemuda keroco begitu masakah mempunyai urusan rahasia penting
segala? Tapi dia berasal dari selatan, boleh jadi membawa rahasia militer
Kerajaan Song. Sebagai seorang kesatria, Siau Hong benci kepada manusia rendah
yang suka menjual negara dan bangsa, maka sebenarnya ia tidak mau gubris pada
pemuda itu. Tapi mengingat hal yang akan diberitahukan mungkin di luar
dugaannya, ia pikir tiada halangannya untuk mendengarkannya.
Segera ia larikan kuda
meninggalkan pengiringnya kira-kira puluhan meter jauhnya, lalu ia panggil
pemuda itu, "Nah, majulah ke sini!”
Jilid 44
Pemuda itu lantas ikut kesana,
ia angkat kedua tangannya yang terikat itu, katanya, "Harap memotong tali
pengikat tanganku ini, hendak kukeluarkan sesuatu barang untukmu.”
Tanpa pikir Siau Hong melolos
goloknya "sret” sekali ayun, ia tebas tali pengikat kedua tangan pemuda
itu. Begitu cepat dan jitu tabasan Siau Hong hingga membuat pemuda itu
berjingkat kaget ketika mengetahui golok itu sudah menyambar lewat tangannya,
tali pengikatnya sudah putus dan tangan tidak terluka apa-apa.
"Nah barang apa?” tanya
Siau Hong kemudian dengan tersenyum sambil menyarungkan kembali goloknya.
Segera pemuda itu merogoh
saku, ia ambil sesuatu benda, digenggamnya, lalu mendekati Siau Hong sambil
menyodorkan tangannya dan berkata. "Ini, boleh kau periksa sendiri!”
Selagi Siau Hong hendak ulur
tangannya menerima barang orang, sekilas dilihatnya benda dalam genggaman
pemuda itu seperti dapat bergerak, ia jadi curiga dan urung menerima, katanya,
"Coba buka tanganmu?”
Pemuda itu sadar tipu
muslihatnya telah gagal, mendadak air mukanya berubah hebat, sekonyong-konyong
makhluk pada tangannya itu dilemparkan ke muka Siau Hong.
Tapi sekali sampuk dengan
cambuk kuda, Siau Hong hantam makhluk itu ke tanah. Waktu diamati, kiranya
seekor ular hitam mulus. Ia kerut kening dan tidak menaruh perhatian atas ular
itu, ia pikir pemuda itu benarbenar kurang ajar, masa mempermainkanku dengan
ular.
Di luar dugaan, begitu ular
itu ke tanah, mendadak ular melompat ke atas lagi dan hendak memagut kaki Siau
Hong. Sama sekali Siau Hong tidak menyangka ular sekecil itu bisa melejit ke
atas, ia terperanjat dan cepat mengangkat kakinya ke samping hingga pagutan
ular itu kena di kaki depan kuda tunggangannya.
Sekali tergigit ular, seketika
kuda itu lemas lunglai ke tanah. Cepat Siau Hong melompat turun, ia lihat
kudanya sudah tak bisa berkutik lagi, hanya kelojotan sekali, lantas binasa.
Bahkan si pemuda lantas
memburu maju lagi, ia sambar ular kecil itu terus dilemparkan pula ke arah Siau
Hong.
Melihat ular itu begitu lihai,
Siau Hong tidak berani gegabah lagi, ia kerahkan tenaga pada cambuknya terus
menyabat "plok”, ular itu terpental hingga berpuluh meter jauhnya, tapi
belum mati ular itu merayap, lalu menghilang entah kemana.”
Biarpun Siau Hong sudah banyak
pengalaman tidak urung mengkirik membayangkan kejadian tadi. Hanya sekali gigit
saja ular kecil itu dapat membinasakan seekor kuda besar dalam waktu singkat
sekali, maka betapa jahat bisanya dapat dibayangkan. Apalagi pemuda itu berani
pegang ular itu sesukanya, suatu bukti pemuda itu telah menguasai racun ular
yang jahat itu.
Sebagai bekas Pangcu Kai-pang.
Siau Hong sudah sering menyaksikan anggota Kai-pang main ular, maka ia tidak
heran pada ular berbisa. Tapi ular hitam kecil ini sangat ganas, sedangkan
untuk bisa menguasai racun ular dengan baik, anggota Kai-pang umumnya mesti
berlatih hingga bertahun-tahun lamanya, dan biasanya ahli ular itu terdiri dari
pengemis-pengemis yang sudah tua. Tapi pemuda ini baru belasan tahun umurnya,
namun sudah memiliki kepandaian selihai ini, sungguh dapat dikatakan luar
biasa. Coba tadi kalau dirinya lengah sedikit saja, mungkin jiwanya sekarang
sudah melayang.
Dalam pada itu para perwira
dan prajurit Cidan beramai-ramai telah maju ketika melihat kuada Siau-tai-ong
mereka roboh dan binasa. Namun segera Siau Hong memberi tanda pada mereka dan
berseru, "Kalian jangan mendekat ke sini.”
Serentak pasukan Cidan itu
berhenti di tempat mereka. Waktu Siau Hong periksa kudanya ia lihat badan kuda
telah berubah menjadi hitam dalam waktu singkat. Keruan ia lebih terkesiap,
segera ia berkata dengan manggut-manggut. "Ehm, bagus, bagus! Siapa
namamu? Mengapa kau serang aku sekeji ini?”
Tapi pemuda itu bungkam dalam
segala bahasa, bahkan ia melirik hina pada Siau Hong.
"Coba mengakulah dan
jiwamu mungkin dapat kuampuni, "kata Siau Hong pula.
"Aku gagal membalas sakit
hati orang tua, apa mau dikata lagi?” tiba-tiba pemuda itu menyahut dengan
ketus.
"Hah, kau ingin membalas
sakit hati orang tuamu?” Siau Hong menegas dengan heran. "Siapakah orang
tuamu? Apakah aku yang membunuhnya?”
Pemuda itu melangkah maju,
tiba-tiba ia tuding hidung Siau Hong dan memaki dengan penuh rasa dendam,
"Kiau Hong! Kamu telah membunuh pamanku, membunuh ayah bundaku, sungguh
aku .. aku ingin
mengunyah dagingmu, ingin
membeset kulitmu dan mencencang badanmu hingga hancur lebur!”
Mendengar pemuda itu memanggil
namanya yang lama, yaitu "Kiau Hong” pula menuduh dirinya membunuh paman
dan ayah bundanya, Siau Hong pikir besar kemungkinan adalah permusuhan yang
terjadi di Tionggoan dahulu. Maka tanyanya segera, "Siapakah pamanmu dan
siapa ayahmu?”
"Pendek kata aku pun
tidak ingin hidup lagi, masakah aku takut padamu? Kaum lelaki keluarga Yu dari
Ciphian ceng bukanlah manusia yang takut mati!” demikian teriak pemuda itu.
Mendengar pemuda itu menyebut
"Keluarga Yu dari Cip-hian-ceng”, barulah Siau Hong tahu duduk perkaranya.
"O, kiranya kamu
keturunan Yu-si-siang-hiong dari Cip-hian-ceng?” katanya. "Jika demikian,
ayahmu adalah Yu Ki, Yu-jiya, bukan?”
Ia berhenti sejenak, lalu
menyambung pula. "Dahulu aku pernah dikeroyok para ksatria Tionggoan di
tempat tinggalmu, karena terpaksa aku melawan keroyokan mereka. Dan ayah serta
pamanmu itu tewas dengan membunuh diri. Ya memang, membunuh diri atau di bunuh
orang memang sama saja. Tatkala itu akutelah merampas senjata andalan ayah dan
pamanmu hingga mereka terpaksa membunuh diri, katanya untuk memenuhi sumpah
perguruan mereka, adik cilik, siapakah namamu?”
"Namaku Yu Goan-ci,
"sahut pemuda itu bersitegang, "Aku tidak perlu kaubunuh diriku, aku
sanggup meniru semangat jantan ayah dan pamanku.”
Habis berkata, mendadak ia
mencabut keluar sebilah belati terus menikam dada sendiri.
Namun cambuk Siau Hong lebih
cepat menyambarnya daripada belatinya itu, sekali tergubat, segera belati
pemuda itu dibetot terlepas dari cekalan.
Yu Goan-ci menjadi gusar,
teriaknya, "Aku ingin membunuh diri juga tidak boleh? Kamu anjing Cidan
terkutuk, sungguh kamu amat kejam!”
Dalam pada itu A Ci telah
larikan kudanya mendekati Siau Hong. Segera ia membentak, "Kau setan cilik
ini mengapa sembarang memaki orang? Kau ingin mampus ya? Hehehe, jangan kau
harap akan begitu gampang!”
Yu Goanci terkesima demi
mendadak seorang nona cilik yang cantik molek berada di depannya, untuk sekian
lama ia tidak sanggup bicara.
"Cihu, "segera A Ci
berkata kepada Siau Hong, "Bocah ini teramat keji, ia hendak membunuhmu
dengan ular berbisa, biarlah kita juga menggunakan carayang sama menghukumnya
agar dia tahu rasa.”
Sebagai murid Sing-siok-pai,
bicara tentang menyiksa orang ular atau belatung berbisa mungkin tiada golongan
lain yang mampu mengungguli cara mereka.
Segera Siau Hong berkata
kepada komandan pasukan tadi, "Orang Song yang laian tawan ini bolehkah
diberikan kepadaku semua?”
Senang sekali komandan itu,
sahutnya, "Asal Tai-ong sudi menerima, tentu saja hamba merasa mendapat
kehormatan besar.”
"Setiap prajurit yang
telah menyerahkan tawanannya kepadaku, sepulangnya nanti akan mendapat hadiah
sebagai ganti kerugian, "kata Siau Hong pula. "Dan sekarang bolehlah
kalian berangkat pulang dulu ke kota.”
Dengan girang prajurit itu
mengiakan dan menyatakan terima kasih. Kata komandannya, "Binatang disini
tidak banyak, apakah Tai-ong akan menggunakan babi-babi song ini sebagai
sasaran panah yang hidup? Dahulu Coong juga suka permainan begini. Cuma sayang
tawanan ini kebanyakan adalah kaum wanita, larinya tidak bisa cepat. Lain kali
kami pasti akan mencari babi-babi song yang laki-laki dan tangkas-tangkas untuk
keperluan Tai-ong.”
Habis berkata, ia memberi
hormat kepada Siau Hong , lalu membawa pergi pasukannya..
"Menggunakan babi-babi
Song itu sebagai sasaran panah hidup, "kata-kata ini mendengung-dengung
dalam telinga Siau Hong, seketika ia seakan-akan melihat kekejaman Co-ong yang
telah menggunakan orang-orang Song itu sebagai sasaran anak panahnya, beratus
orang Song itu disuruh lari serabutan, lalu satu per satu dipanah dari jauh
seperti berburu binatang. Agaknya kekejaman demikian itu bukan cuma sekali
duakali terjadi, tapi orang Cidan telah anggap biasa permainan begitu.
Ketika Siau Hong pandang para
tawanan itu, ia lihat wajah mereka pucat lesi sebagai mayat, bahkan banyak
diantaranya gemetar keras-keras. Rupanya ada diantara mereka yang paham bahasa
Cidan, maka demi mendengar mereka akan digunakan sebagai sasaran panah, mereka
menjadi takut.
Siau Hong menghela napas
panjang, ia memandang jauh ke selatan sana, dimana gunung gemulung menjulang
tinggi tertutup awan. Tiba-tiba terpikir olehnya, "Coba kalau tiada orang
membongkar rahasia asal usulku, sampai hari ini pasti aku masih anggap diriku
adalah rakyat Song, bicaraku sama seperti bahasa mereka, dan makan nasi serupa
mereka, apa perbedaannya? Padahal kita semuanya adalah manusia, sama-sama
manusia kenapa mesti ada perbedaan antara Cidan, Song, Nuchen, Korea dan apa
segala? Kenapa kita tidak dapat hidup berdampingan, sebaliknya mesti saling
cakar-cakaran, yang satu 'panen' ke wilayah kekuasaan yang lain, dan yang lain
menggarong dan membunuh ke negeri orang lagi? Yang satu memaki yang lain
sebagai anjing Cidan dan yang lain memaki sebagai babi Song? Ya, alangkah
baiknya jika didunia tiada penindasan manusia atas manusia, tiada penjajahan
bangsa atas bangsa, tiada pengisapan orang atas orang, jika semuanya itu tak
ada, tentu dunia ini akan aman dan damai.”
Begitulah seketika perasaannya
bergolak, semangatnya membakar.
Dalam pada itu A Ci mempunyai
kerjanya sendiri, ia terus mengamat-amati Yu Goan-ci sambil memikirkan cara
bagaimana harus menyiksa pemuda itu. Pikirnya, "Tidak boleh sekali siksa
mematikan dia, tapi harus kucari suatu akal yang baik dan menarik untuk
mempermainkan dia sekedar pelipur lara hatiku daripada perburuan kijang yang
membosankan ini. Eh, ya dapat kugunakan dia untuk menguji khasiat
Pek-giok-giokting yang kumiliki ini. Dapat kutangkap beberapa macam ular dan
belatung berbisa untuk menggigit tangannya dulu, bila nanti hawa berbisa sudah
hampir menyerang jantungnya, lantas kupotong lengannya itu, lalu giliran
lengannya yang lain, dengan cara begitu mungkin aku dapat mempermainkannya
untuk beberapa hari lamanya.”
Sementara itu setelah pasukan
Cidan tadi pergi, lalu Siau Hong berkata kepada para tawanan itu, "Biarlah
hari ini kubebaskan kalian. Nah lekas kalian pergi!”
Tapi para tawanan itu mengira
bila mereka lari, lalu mereka akan di panah, maka mereka merasa ragu dan tiada
yang mau bergerak.
Segera Siau Hong berkata pula,
"Sesudah kalian pulang, paling baik kalian meninggalkan daerah perbatasan
ini sejauhnya agar kalian tidak menjadi sasaran panenan dan tertangkap pula.
Aku hanya dapat menolong kalian satu kali dan tidak mungkin dua kali.”
Mendengar itu, barulah para
tawanan itu percaya penuh, seketika gegap gempita sorak gembira mereka,
beramai-ramai mereka menjura dan menghaturkan terimakasih kepada Siau Hong.
Sungguh mereka tidak menduga bahwa jiwa mereka yang sudah terang akan melayang di
negeri Liau itu bisa direnggut kembali dari cengkraman elmaut.
Pada umumnya kalau orang Song
sudah menjadi hasil panen orang Cidan, kecuali orang dari keluarga mampu yang
sanggup menebus dengan harta benda yang tinggi. Kalau tidak, pasti akan mati
terkubur di tanah asing. Sedangkan para tawanan ini adalah rakyat jelata yang
miskin, dari mana mereka mampu menebus jiwa mereka
dengan harta benda? Keruan
girang mereka tidak kepalang demi mendengar pengampunan Siau Hong itu.
Begitulah Siau Hong melihat
para tawanan itu berduyun-duyun menuju ke selatan dengan senang. Lambat laun
suasana kembali menjadi sunyi, para tawanan telah pergi semua. Tapi dilihatnya
Yu Goan Ci tadi masih tetap berdiri tegak ditempatnya. Segera Siau Hong berkata
padanya, "Hei, mengapa kamu tidak pergi? Apakah kamu tidak punya sangu
untuk pulang ke Tionggoan?”
Sembari berkata tangannya
lantas merogoh saku dengan maksud mengambil sedikit uang perak untuk pemuda
itu.
Tak terduga sakunya tidak
membawa apa-apa, tahu-tahu yang terogoh keluar adalah sebuah bungkusan kecil
dari kertas minyak.
Siau Hong merasa pedih melihat
bungkusan kertas itu. Didalam bungkusan itu adalah sejilid Ih-kin-keng edisi
bahasa Hindu. Dahulu A Cu telah mencuri kitab pusaka itu dari Siau-lim-si dan
diberikan padanya. Kini gadis itu sudah meninggal dan kitab itu masih disimpan
olehnya, dengan sendirinya ia berduka teringat kepada kejadian lalu.
Katanya kemudian dengan
menyesal, "Hari ini aku keluar untuk berburu, maka tidak membawa uang,
jika kau perlu sangu, boleh ikut aku ke kota untuk ambil.”
Tapi mata Yu Goan-ci mendelik
dan membara, teriaknya dengan gusar, "Orang she Kiau, kalau mau bunuh
lekas bunuh, mau cencang lekas cencang, masakah aku jeri, buat apa mesti
mempermainkan aku dengan tipu muslihatmu yang keji? Biarpun orang she Yu ini
mati melarat juga tidak sudi menerima uang sepeser pun darimu!”
Siau Hong pikir benar juga
ucapan pemuda itu. Dirinya adalah musuh pembunuh orang tua pemuda itu, sudah
tentu sakit hati sedalam lautan itu tak bisa diselesaikan begitu saja. Maka
katanya lantas, "Aku takkan membunuhmu, jika kau ingin menuntut balas,
setiap saat boleh kau cari padaku.”
"Cihu, jangan kau
lepaskan dia!” tiba-tiba A Ci menyela, "Bocah ini sangat keji, cara balas
dendamnya juga tidak beres. Menggunakan ular dan menanam racun, segala
perbuatan kotor dapat dilakukannya. Membabat rumput harus sampai ke
akar-akarnya, jangan meninggalkan bencana di kemudian hari.”
Tapi Siau Hong menggeleng
kepala, sahutnya. "Dikalangan kangouw penuh rintangan, setiap langkah
selalu ketemu bahaya, semuanya itu sudah pernah kualami. Dahulu tanpa sengaja
telah ku paksa ayah dan pamannya membunuh diri, utang darah itu memang adalah
tanggunganku, buat apa sekarang aku mesti membunuh lagi
anak keturunan
Yu-si-siang-hiong?”
Mendengar pertentangan antara
mereka, yang satu bersedia melepaskan dia, si nona justru minat dirinya dibunuh
saja. Diam-diam Yu Goan-cijuga ingin lekas angkat kaki agar tidak mati konyol.
Tapi demi ingat bila dirinya lari, hal mana akan berarti mencemarkan nama baik
orang tua. Maka sedapat mungkin ia tabahkan hati dan melirik kedua orang di
hadapannya itu dengan sikap angkuh.
"A Ci, marilah kita
pulang saja, hari ini tiada binatang yang dapat kita buru, "kata Siau Hong
kemudian.
"Sebenarnya aku sudah
mengatur rapi rencanaku, dan engkau justru sengaja melepaskan dia, sepulangnya
di kota, aku bisa memain apa lagi?” demikian A Ci menggerundel. Tapi ia pun
tidak berani membantah perintah Siau Hong, segera ia putar kudanya dan ikut
pulang ke kota.
Kira-kira belasan meter
jauhnya, tiba-tiba ia menoleh dan berkata kepada Yu Goan-ci, "He anak
busuk, boleh kau latih diri 75 tahun lagi untuk kemudian boleh kau cari Cihuku
untuk menuntut balas!”
Habis berkata, ia tersenyum
dan pecut kudanya mencongklang ke depan dengan cepat.
Melihat rombongan Siau Hong
menuju ke utara dan tidak putar balik lagi, barulah Yu Goan-ci percaya bahwa
jiwannya takkan melayang. Pikirnya heran, "Mengapa bangsat itu tidak
membunuh aku? Hm, hakikatnya dia memandang rendah padaku, ia merasa akan bikin
kotor tangannya jika membunuh diriku. Dia… dia telah menjadi Tai-ong apa di
negeri Liau untuk menuntut balas selanjutnya akan lebih sulit. Tapi akhirnya
aku dapat mengetahui tempat tinggalnya, kelak pasti akan kucari dia lagi. He,
si hitam dimana? Si hitam!”
Begitulah ia lantas
mencari-cari disemak rumput sekitar situ, yang dicarinya, yaitu ular hitam
kecil yang menghilang tadi.
Tengah ia carike sana dan ke
sini, tiba-tiba dilihatnya di semak-semak rumput situ ada sebuah bungkusan
kertas kecil. Itulah bungkusan milik Siau Hong yang dirogoh keluar lalu dimasukkan
lagi ke dalam baju itu.
Kiranya tadi waktu Siau Hong
masukkan kembali kitab itu ke dalam baju itu.
Kiranya tadi waktu Siau Hong
masukkan kembali kitab itu kedalam bajunya, karena dalam keadaan setengah
melamun, maka kitab Ih-kin-keng itu tidak tepat masuk ke dalam saku, tapi
meleset keluar. Dan ketika ia mengeprak kudanya untuk berangkat, guncangan-guncangan
telah menyebabkan kitab itu jatuh ke tanah tanpa
disadari olehnya dan kini
ditemukan oleh Yu Goan-ci.
Karena tidak kenal tulisan
dalam kitab itu, Goan-ci pikir besar kemungkinan itulah tulisan Cidan. Kitab
ini pasti berguna bagi musuhnya itu, aku bila tidak kembalikan padanya, tentu
dia akan kelabakan mencarinya.
Teringat bahwa dengan memegang
kitab itu akan bisa membuat musuh kelabakan, sedikit banyak dalam hati kecil
pemuda itu timbul semacam rasa terhibur, rasa puas. Dan sudah tentu, sakit hati
orang tua sedalam lautan itu tidak mungkin dihapuskan hanya oleh karena sedikit
kepuasan itu, tapi apa jeleknya asal dapat membuat Kiau Hong mengalami suatu
kesukaran, sekalipun cuma kesukaran kecil saja.
Begitulah ia lantas membungkus
kembali kitab itu dengan kertas minyak, lalu disimpannya di saku dalam,
kemudian ia berangkat ke selatan.
Sebenarnya sejak kecil Goan-ci
sudah mendapat pelajaran ilmu silat dari ayahnya. Sayang wataknya tidak cocok
dengan ilmu silat, badannya kurus lemah pula, tenaga kurang, maka paman dan
ayahnya meski tergolong tokoh persilatan Tionggoan yang kenamaan, tapi dia
sendiri sedikit sekali kemajuannya biarpun sudah belajar tiga tahun lamanya,
sama sekali tidak sesuai sebagai anak murid jago silat terkemuka.
Ketika Goan-ci menginjak umur
dua belas dan tetap tiada kemajuan, Yu Ki, ayahnya telah ganti haluan, ia
berunding dengan saudaranya, Yu Ek, untuk menyekolahkan Goan-ci saja, suruh
bocah itu belajar ilmu sastra saja daripada belajar ilmu silat tanpa kemajuan,
dengan kepandaian kepalang tanggung itu bukan mustahil kelak akan mengakibatkan
jiwanya melayang bila dijajal orang, bahkan nama baik Yu-siang-hiong juga akan
ikut tercemar..
Sebab itulah, maka setelah
berumur dua belas ke atas, Goan-ci tidak belajar silat lagi melainkan belajar
ilmu sastra.
Tapi disuruh sekolah, kembali
ia mogok ditengah jalan. Ia selalu mengemukakan pikiran yang tidak tidak,
sering ia suka bertanya dan membantah.
Jika gurunya berkata,
"Khonghucu bilang belajar sesuatu ilmu harus sering dipelajari dan lama-lama
engkau tentu akan merasa tertarik.”
Maka Goan-ci lantas mendebat,
"Belum tentu benar, tergantung juga pada apa yang kita pelajari, misalnya
ayah telah mengajarkan aku main silat, aku sudah sering mempelajarinya, tapi
mengapa aku tidak tertarik sedikit pun?”
Sang guru menjadi gusar,
katanya, "Yang dimaksdukan Khong-hucu adalah pelajaran kaum nabi dan
tentang kehidupan manusia yang tenar, masakah kaumaksudkan urusan main silat
segala.”
"Ai, jadi pak guru bilang
ayahku belajar tidak baik. Awas, nanti kukatakan pada ayah, "demikian
sahut Goanci.
Begitulah akhirnya sang guru
lantas angkat kaki saking tak tahan oleh sifat Yu Goan-ci yang bambungan itu.
Berulang-ulang diberi ganti guru yang lain selalu dibikin ngacir oleh Goan-ci.
Sering juga Yu Ki menghajar putranya itu, tapi dasar kepala batu, semakin
dihajar dan digebuk, semakin bandel malah, hingga akhirnya Yu Ki kewalahan
sendiri, karena tiada jalan lain, terpaksa ia tidak peduli lagi.
Sebab itulah, meski kini usia
Goan-ci sudah 17 tahun dan putra seorang tokoh persilatan ternama, tapi ia
tidak mempunyai kepandaian apa-apa, sastra tidak becus, ilmu silat juga tidak
pintar. Setiap hari ia hanya ikut anak buah ayahnya untuk belajar menangkap
ular dan selalu keluyuran di lereng pegunungan.
Ketika paman dan ayahnya
membunuh diri karena senjata mereka dirampas Siau Hong, kemudian ibunya juga
bunuh diri menyusul sang suami dengan membenturkan kepala ke pilar, maka
terpaksa Goan-ci yang sebatang kara terlunta-lunta di rantau.
Waktu pertempuran sengit di
rumahnya itu, iapun mengintip dari belakang pintu dan tahu musuhnya bernama
"Kiau Hong”, wajahnya juga diingatnya dengan baik, ia dengar musuh itu
adalah orang Cidan, maka tanpa terasa ia terus menuju ke utara, yang terpikir
olehnya ialah ingin mencari Kiau Hong untuk menuntut balas. Dan cara bagaimana
ia harus menuntut balas hal ini tidak pernah terpikir olehnya.
Ketika dia berkeliaran kian
kemari di perbatasan, akhirnya ia ikut tertawan oleh pasukan Cidan yang sedang
"panen” itu dan secara kebetulan sekali bertemu dengan Siau Hong yang
dicarinya.
Begitulah ia pikir,
"Paling penting sekarang aku harus lekas pergi dari sini sejauhnya supaya
tidak ditangkap kembali olehnya. Aku akan mencari seekor ular berbisa lagi dan
diam-diam akan kutaruh di tempat tidurnya, bila dia tidur, tentu dia akan
dipagut mampus. Dan no .. nona cilik itu, ai, cantik sekali dia!”
Aneh demi teringat wajah A Ci
yang ayu itu, tanpa terasa timbul semacam rasa syur yang sukar dimengerti.
Hidup selama 17 tahun di dunia
ini, baru pertama kali ini Goan-ci mempunyai perasaan yang aneh itu. Ia merasa
bila membayangkan wajah si nona cilik yang putih kepucat-pucatan dan cantik
molek itu, seketika
hatinya merasa senang tak
terhingga.
Karena sambil melamun, maka
tahunya jalan ke depan dengan langkah lebar hingga tidak lama ia sudah melampaui
serombongan pengungsi, ia tidak kenal dengan pengungsi-pengungsi yang malang
itu, ada diantaranya bermaksud baik suruh dia jalan bersama mereka, tapi ia
tidak gubris pada tawaran orang, ia tetap berjalan terus ke arahnya sendiri.
Maka sesudah belasan li
jauhnya, ia berada sendiri di padang rumput yang luas. Ia merasa perutnya
keruyukan saking kelaparan. Ia coba celingukan kian kemari untuk mencari
sesuatu yang dapat dimakan, tapi di padang rumput itu melulu rumput dan salju
belaka, pikirnya, "Bila aku jadi sapi dan kambing, tentu sekarang aku
takkan kelaparan, aku akan dapat makan rumput dengan sekenyang-kenyangnya dan
bila haus dapat minum air salju. Tapi, ah, menjadi sapi dan kambing juga tidak
enak, setiap waktu mereka dapat disembelih, lebih baik aku tetap menjadi
manusia saja walaupun kelaparan.”
Begitulah selagi ia berpikir
yang tidak-tidak tiba-tiba didengarnya suara derapan kuda, mendadak muncul tiga
prajurit Cidan berkuda.
Ketika melihat dia,
orang-orang Cidan itu bersorak gembira. Dan "srek”, mendadak sebuah tali
lasso menyambar dan tepat menjerat leher Goan-ci dengan erat.
Seketika Goan-ci merasa napas
sesak, cepat ia hendak menarik tali itu. Tak terduga prajurit Cidan yang
melempar lasso itu lantas bersuit, tahu-tahu kudanya membedal hingga Goan-ci
terseret jatuh terus ditarik pergi. Goan-ci hanya sempat menjerit beberapa
kali, lalu tak dapat mengeluarkan suara lagi karena tenggorokan tercekik oleh
tali lasso.
Kuatir buronannya mati
terjerat, segera prajurit Cidan itu menghentikan kudanya. Maka dengan
meronta-ronta Goan-ci merangkak bangun, dan baru sedikit ia menarik longgar
jeratan lasso, mendadak prajurit Cidan itu menarik pula sekuatnya sehingga
Goan-ci terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur. Maka tertawalah ketiga
prajurit Cidan itu dengan terbahak-bahak.
Kemudia prajurit Cidan itu
berkata beberapa patah kata kepada Goan-ci, tapi pemuda itu tidak paham bahasa
Cidan, ia hanya geleng-geleng kepala tanda tidak tahu.
Lalu prajurit Cidan itu
memberi isyarat pada kawan-kawannya. Cuma sekali ini kuda tidak dilarikan,
melainkan berjalan.
Ketiga prajurit Cidan itu
menuju ke arah utara. Walaupun kuda mereka tidak dilarikan, tapi langkah kuda
sudah tentu lebih lebar daripada langkah manusia. Dan untuk tidak sampai
terseret, terpaksa Goan-ci mesti mengikuti dengan setengah berlari. Keruan saja
hanya sebenar saja ia sudah megap-megap.
Ia lihat arah yang dituju
prajurit-prajurit Cidan itu adalah jurusan Siau Hong pergi tadi. Keruan ia
sangat ketakutan. Pikirnya, "Mulut keparat Kiau Hong itu ternyata
mencla-mencle. Katanya itu dibebaskan, tapi diamdiam suruh orang menguber dan
menangkap aku lagi. Dan sekali ini jiwaku pasti akan melayang!”
Waktu di tawan dalam
"panen” tentara Cidan semua, ia telah dicampurkan di antara rombongan
tawanan lain yang sebagian besar terdiri dari kaum wanita. Cara berjalan kaum
wanita biasa tentu tidak terlalu cepat, maka ia dapat mengikut dengan tidak
terlalu payah, hanya ketika hendak ditawan punggungnya kena hantam sekali
dengan punggung golok oleh orang Cidan, tempat yang diketuk itu sampai sekarang
masih agak kesakitan.
Adapun sekarang untuk kedua
kalinya ia tertawan, keadaannya menjadi berbeda, ia setengah diseret dan
terpaksa ikut berlari-lari hingga megap-megap, napasnya makin lama makin sesak.
Tanah salju licin pula, berulang ia terpeleset jatuh. Dan setiap kali ia
tergelincir, pasti tali lasso mengurat satu jalur luka dilehernya hingga darah
bercucuran.
Sedangkan prajurit yang
melasso dia itu sedetikpun tidak pernah berhenti, ia tidak peduli mati hidupnya
Yu Goan-ci, pemuda itu diseret terus hingga sampai di kota Lamkhia.
Ketika masuk ke kota, antero
badan Goan-ci sudah penuh darah hingga tidak berupa manusia lagi. Dalam keadaan
begitu, yang dia harap ialah lekas mati saja daripada tersiksa lebih lama.
Sesudah beberapa li lagi,
ketiga prajurit Cidan itu menyeret Goan-ci masuk kota, akhirnya mereka
menyeretnya ke dalam sebuah istana. Yang dilihat Goan-ci hanya lantai istana
itu terdiri dari balok batu hijau semua, pilarnya besar, pintunya tinggi ia
tidak tahu istana apakah itu.
Tidak lama berhenti dalam
istana itu, lalu prajurit Cidan itu menyeretnya pula ke suatu lapangan di
samping istana. Mendadak prajurit itu bersuit terus kepit kudanya hingga
binatang itu membedal cepat.
Sama sekali Goan-ci tidak
menduga bahwa setiba di pekarangan itu mendadak orang akan melarikan kudanya
lagi. Keruan baru dua tiga-langkah ia lari segera jatuh tersungkur.
Berulang-ulang prajurit Cidan
itu bersuit pula hingga kudanya berlari lebih cepat, Yu Goan-ci juga terseret
di tanah hingga berputar beberapa kali di pekarangan luas itu. Makin lama makin
kencang Goan-ci terseret.. Belasan bintara dan prajurit Cidan yang berada
disitu juga ikut bersorak memberi semangat.
"Kiranya aku hendak
diseret sampai mati!” demikian Goan-ci membatin.
Dan hanya sebentar saja,
antero badan Goan-ci tambah babak belur lagi, jidatnya, kaki dan tangannya
berulang-ulang membentur batu di tanah pekarang itu hingga seluruh badan tiada
satu tempat pun yang tak sakit.
Ditengah sorak-sorai prajurit
Cidan itu, tiba-tiba terselip suara tertawa kaum wanita yang nyaring merdu.
Dalam keadaan tak sadar sayup-sayup Goan-ci mendengar wanita itu berkata dengan
tertawa, "Hahaha, layanglayang manusia ini mungkin sukar dinaikkan!”
"Wah, layang-layang
manusia apa?” demikian Goan-ci membatin pula.
Tapi pada saat itu juga
keadaan dirinya kontan memberi jawaban padanya. Ia merasa lehernya terjerat
lebih erat, tubuh lantas terapung ke atas.
Ternyata maksud prajurit Cidan
itu menyeretnya dengan melarikan kuda secepatnya, tujuannya adalah ingin
menariknya dengan kencang hingga akhirnya tertarik naik ke udara, ia dianggap
sebagai permainan layanglayang saja.
Dan begitu tubuh melayang di
udara, lehernya terasa kesakitan hingga hampir saja membuatnya kelenger. Ia
merasa hidung dan mulutnya penuh kemasukan angin hingga sukar bernafas. Ia
dengar pula wanita itu lagi tepuk tangan dan tertawa, katanya, "Bagus!
Bagus! Layang-layang manusia benar-benar dapat dinaikan!”
Waktu Goan-ci memandang ke arah
suara itu, sekilas dilihatnya orang yang bertepuk tangan dan tertawa itu
tak-lain-tak-bukan adalah si nona baju ungu yang cantik molek itu.
Mendadak nampak gadis yang
pernah terbayang olehnya itu, Goan-ci tidak tahu apakah harus bergirang atau
bersedih, karena tubuhnya sedang "terbang” di udara, maka ia pun tidak
sempat banyak pikir.
Gadi jelita itu memang A Ci
adanya.
Ketika Siau Hong membebaskan
Yu Goan-ci, gadis itu merasa kurang senang. Sesudah melarikan kudanya tidak
jauh, lalu ia pura-pura tertinggal di belakang dan diam-diam memberi perintah
pada pengiringnya agar Yu Goan-ci ditangkap kembali, cuma ia pesan pula agar
jangan sampai diketahui oleh Siau Hong.
Para pengiring tahu bahwa anak
dara itu sangat disayang oleh Siau-tai-ong mereka, segala permintaannya pasti
dituruti. Maka mereka tidak berani membantah perintahnya, segera pada suatu
tikungan jalan, tatkala Siau Hong tidak menaruh perhatian, tiga orang
diantaranya lantas putar balik untuk menangkap Yu Goan-ci.
Setiba di rumah, diam-diam A
Ci lantas datang ke istana Yu-seng-kiong untuk menunggu kembalinya para
pengiring itu. Ketika Yu-goan-ci benar-benar sudah ditawan kembali, ia lantas
tanya orang-orang Cidan disitu adalah sesuatu permainan menarik untuk menyiksa
tawanan itu.
Ada seorang diantaranya
mengusulkan main "layang-layang manusia” saja. Dan usul itu diterima
dengan baik oleh A Ci dan segera suruh melaksanakannya, benar juga Yu Goan-ci
lantas dikerek ke udara sebagai layanglayang hidup.
Saking senangnya, berulang A
Ci bersorak gembira, tiba-tiba ia berkata, "Coba aku ingin memegang juga
layang-layang hidup ini.”
Segera ia lompat dengan enteng
ke atas kuda prajurit Cidan itu, ia pegang tali "layang-layang” itu dan si
prajurit disuruh turun.
Sudah tentu prajurit Cidan itu
menurut saja, ia lompat turun dari kudanya dan membiarkan A Ci main
"layanglayang manusia” dengan sepuas-puasnya.
Sambil menarik tali
"layang-layang” A Ci larikan kudanya sekeliling sambil tertawa senang.
Namun ia baru sembuh dari lukanya, betapa pun tenaga nya masih terbatas, ketika
tangan terasa pegal, ia tak bisa menguasai tali layang-layang pula. "Bluk”,
mendadak Yu Goan-ci terbanting ke tanah dengan keras hingga batok kepalanya
terbentur batu, keruan saja kepalanya bocor, kecap merah mancur keluar bagai
mata air.
A Ci kurang senang karena
permainannya putus setengah jalan, katanya dengan mendongkol "Dasar badan
anak busuk ini seperti babi beratnya!”
Dalam pada itu Yu Goan-ci
hampir saja pingsan saking sakitnya karena terbanting dari atas, ditambah
kepala bocor pula. Sudah begitu si gadis malah menyalahkan dia terlalu berat
seperti babi keruan ia sangat mendongkol. Mestinya ia ingin ujuk gigi dan balas
memaki, tapi saking kesakitannya jadi susah bicara.
Kemudian seorang prajurit
Cidan mendekati dia untuk melepaskan lasso di lehernya itu. Prajurit yang lain
lantas merobek kain bajunya
untuk membalut lukanya secara sembarangan, namun darah masih terus mengucur.
"Sudahlah! Ayo kita mulai
main lagi! Coba ulur lebih panjang, kita naikkan dia lebih tinggi hingga di
atas rumah!” demikian A Ci berkata.
Goan-ci tidak paham apa yang
dikatakan anak dara itu, sebab bahasa yang digunakan olehnya adalah bahasa
Cidan. Ia hanya melihat anak dara itu tuding-tuding ke atas rumah, ia menduga
pasti takkan menguntungkan dirinya.
Benar juga, segera seorang
prajurit Cidan menggunakan tali tadi untuk mengikat badannya di bawah baju, jadi
bukan lehernya lagi yang dijerat. Dan sekali membentak, segera prajurit itu
larikan kudanya sambil berputar dengan cepat hingga badan Yu Goan-ci kembali
melayang-layang di udara.
Makin lama tali yang dipegang
prajurit itu makin terulur panjang dan lambat laun badan Yu Goan-ci seakanakan
menegak di atas penarik tali itu, mendadak si prajurit membentak terus lepas
tangan. Keruan "layanglayang” Yu Goan-ci yang putus talinya seketika
meluncur ke sana bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.
Serentak A Ci dan prajurit
Cidan bersorak-sorai dengan senang.
"Matilah aku sekali ini!”
demikian keluh Goan-ci ketika merasa "terbang” ke angkasa. Waktu daya
naiknya sudah mencapai titik baliknya tanpa ampun lagi ia terjungkal ke bawah
dengan kepala di bawah dan kaki di atas, ia "terjun” secepat elang
menyambar ayam.
Waktu kepalanya sudah hampir
membentur lantai batu, sekonyong-konyong empat prajurit Cidan mengayunkan lasso
masing-masing dan dengan persis dapat menjerat pinggang Goan-ci, berbareng
mereka menarik sekuatnya ke arah sendiri.
Seketika pingsan Goan-ci oleh
tenaga betotan keempat orang itu. Dan karena tarikan demikian tubuh Goan-ci
jadi tertekan di udara, jarak kepalanya dengan lantai hanya tinggal satu meter
tingginya.
Permainan lasso orang Cidan
itu sesungguhnya berbahaya sekali, asal salah seorang diantaranya terlambat
sedikit mengayun lassonya atau sedikit telat menarik talinya hingga tarikan
mereka tidak berimbang, pasti kepala Yu Goan-ci akan pecah kebentur lantai,
andaikan kepala tidak pecah juga tulang leher pasti akan patah dan jiwa tetap
melayang.
Begitulah di tengah sorak
gembira orang banyak, keempat orang Cidan itu lantas menurunkan Goan-ci ke
tanah. Segera A Ci memberi persen masing-masing sepuluh tahil perak kepada
prajurit-prajurit Cidan itu. Sesudah menghaturkan terimakasih, segera mereka bertanya
pula, "Apakah nona masih ingin acara permainan yang lain?”
Melihat Goan-ci sudah tak
sadarkan diri, entah hidup atau mati. Pada waktu main "layang-layang” tadi
ia pun terlalu banyak menggunakan tenaga hingga sekarang dada terasa agak
sakit, maka ia menjawab, "Sudahlah, untuk hari ini sudah cukup. Jika bocah
busuk ini tidak mampus, besok boleh dibawa kemari lagi, aku ingin mencari akal
lain untuk mempermainkan dia. Orang ini hendak menyerang Siau-tai-ong. Ia harus
diberi hukuman yang setimpal.
Para prajurit Cidan itu
mengiakan, lalu mengundurkan diri.
Ketika Goan-ci siuman kembali,
lebih dulu hidungnya mengendus semacam bau apek. Waktu ia buka mata, ia tidak
melihat apa-apa, yang terpikir olehnya adalah, "Apakah aku sudah mati?”
Tapi segera ia merasa sekujur
badan sakit semua, tenggorakan kering sekali. Maklum, seseorang yang terlalu
banyak mengeluarkan darah pasti akan merasa haus tak terhingga.
"Air…air…,” demikian ia
berseru dengan suara yang serak. Tapi siapa yang peduli padanya?
Ia berseru lagi beberapa kali
dan akhirnya layap-layap tertidur. Tiba-tiba ia lihat sang paman dan ayahnya
sedang bertempur sengit dengan Kiau Hong, begitu sengit pertarungan itu hingga
terjadi banjir darah. Dilihatnya pula ibundanya yang penuh kasih itu memeluk
dan menghiburnya agar jangan takut. Lalu muncul wajah A Ci yang cantik, kedua
mata si gadis yang jeli itu lagi menatapnya dengan sinar mata yang aneh.
Tibatiba wajah cantik itu menyurut menjadi kecil hingga berbentuk kepala ular
berbisadan hendak memagutnya.
Ia ingin lari, tapi sedikitpun
tak bisa bergerak, ia meronta-ronta mati-matian, tapi tetap tak bisa berkutik.
Sedangkan ular itu mulai menggigit tangannya, kakinya, lehernya, dan paling
hebat adalah gigitan pada jidatnya hingga bonyok. Ia lihat daging di bagian
tubuh itu sepotong demi sepotong digigit ular itu, ia ingin menjerit tapi tak
dapat bersuara …
Rupanya ia sakit panas
lantaran lukanya yang parah itu, maka mengingau dan mimpi buruk. Ia guling
gelantang semalam suntuk. Pada waktu sadarnya tersiksa, dalam mimpipun ia
menderita.
Esok paginya waktu dua
prajurit Cidan menggusurnya pergi menghadap A Ci, suhu panas badannya masih
belum turun. Ia hanya melangkah satu tindak dan lantas jatuh terguling. Segera
dua prajurit Cidan
memegangnya dari kanan kiri,
sambil memaki diseretnya ke dalam suatu ruanganyang besar.
"Aku hendak diseret
kemana? Apakah mereka akan memenggal kepalaku?” demikian pikir Goan-ci dalam
keadaan setengah sadar.
Ia merasa dirinya diseret
melalui dua serambi samping yang panjang, akhirnya sampai di luar suatu
pendopo. Kedua prajurit itu melapor di luar pintu dan dari dalam lantas
terdengar suara sahutnya seorang wanita. Ketika pintu dibuka, prajurit-prajurit
itu lantas menyeretnya ke dalam.
Waktu Goan-ci mengangkat
kepalanya, ia lihat di tengah ruangan itu tergelar selapis permadani yang
sangat besar, disudut permadani sana, diatas sebuah bantal sulaman sedang duduk
seorang gadis jelita. Siapa lagi di akalau bukan A Ci.
Gadis itu berkaki telanjang
dan kakinya terletak di atas permadani.
Hati Goan-ci berdebar-debar
demi nampak kaki si gadis yang mungil dan putih bersih sebagai salju, halus
lemas sebagai sutra. Seketika pandangannya terpantek pada kaki A Ci itu.
Lamat-lamat ia lihat beberapa otot hijau tersirat dalam daging kaki yang putih bening
seakan-akan tembus pandang itu. Sungguh ia ingin merabanya, ingin memegangnya
sekali.
Dalam pada itu ia telah
dilepaskan oleh pengagangan prajurit tadi, hingga ia sempoyongan, tapi segera
ia dapat berdiri tegak lagi, sedangkan A Ci. Ia lihat kesepuluh jari kaki si
gadis itu putih kemerah-merahan mirip sepuluh kelopak bunga yang mungil.
Sebaliknya dalam pandangan A
Ci yang berada di depannya itu adalah seorang pemuda yang jelek lagi penuh
darah. Tertampak muka pemuda itu berkerut-kerut beberapa kali, tulang pipinya
menonjol, sinar matanya memancarkan sifat rakus dan buas.
A Ci teringat kepada seekor
serigala kelaparan yang terluka panah dalam perburuannya, serigala itu tidak
terpanah mati, tapi terluka parah dan tak bisa berkutik, sinar mata srigala itu
mirip seperti sinar mata Yu Goanci sekarang.
A Ci senang melihat sinar mata
buas dan liar ini, ia suka mendengar pekik lengking serigala yang ganas tapi
tak berdaya itu. Namun sayang, Yu Goan-ci baginya terlalu lemah, sedikitpun
tidak mengadakan perlawanan, jauh untuk bisa merangsang perasaannya.
Kemarin waktu pemuda itu
menyerang Siau Hong dengan ular berbisa dan gagal, ia tidak sudi berlutut dan
menyembah kepada Siau Hong, cara bicaranya ketus, sikapnya keras, tidak sudi
terima uang dari Siau Hong pula. Hal mana sangat menyenangkan A Ci, gadis itu
senang melihat orang kepala batu. Ia pikir inilah seekor binatang buas yang
sangat lihai. Maka ia ingin menyiksanya, ingin membuatnya sekujur badan
babak-belur agar dapat menimbulkan sifat liarnya dan supaya "binatang” itu
kalap dan menubruknya dan hendak menggigitnya. Sudah tentu gigitan tidak boleh
sampai kena.
Akan tetapi ia jadi kecewa
ketika menggunakannya sebagai "layang-layang” dan menaikkannya ke angkasa,
"binatang” itu ternyata tidak mengadakan perlawanan sama sekali, hal ini
kurang menarik baginya….
Begitulah A Ci berkerut kening
untuk memikirkan dengan cara bagaimana akan mempermainkan "binatang liar”
itu.
Mendadak Yu Goan-ci
mengeluarkan suara "uh-uh-uh”, dan entah dari mana datangnya tenaga sekonyongkonyong
ia menubruk ke arah A Ci setangkas macan tutul. Tapi ia tidak menubruk
orangnya, melainkan kedua kakinya. Ia terus merangkul betis anak dara itu, lalu
menunduk dan menciumi betis yang putih itu.
Keruan A Ci menjerit kaget.
Cepat dua prajurit Cidan dan empat dayang yang melayani disamping A Ci
membentak-bentak. Segera prajurit itu pun memburu maju untuk menarik Goan-ci.
Namun mati-matian Goan-ci
merangkul kaki A Ci, betapapun ia tidak mau lepas. Ketika prajurit Cidan itu
menarik sekuatnya, tahu-tahu A Ci ikut terseret jatuh dan terduduk di atas
permadani.
Prajurit Cidan itu terperanjat
dan gusar pula. Mereka tidak berani menarik lagi, tapi seorang diantaranya
lantas menggebuki punggung Yu Goan-ci dan seorang laki menempeleng mukanya.
Luka di badan Yu Goan-ci telah
infeksi sehingga menjadikan dia sakit panas dan pikiran tidak sadar, ia sudah
mirip orang gila, segala apa yang dihadapi dan dialaminya sudah tak terasakan
lagi. Ia hanya memeluk betis A Ci seerat-eratnya dan mencium dengan bernapsu.
A Ci merasakan bibir orang
yang panas dan kering itu sedang mencium dan menjilat kakinya. Ia merasa takut,
tapi merasa geli-geli gatal aneh pula. Sekonyong-konyong ia menjerit,
"Aduh! Jari kakiku digigit!”
Lekas ia berseru kepada
prajurit itu. "Lekas kalian menyingkir dulu, orang ini sudah gila, jangan
jangan jari kakiku akan putus digigit olehnya. Aduh!”
Padahal Yu Goan-ci tidak
menggigit melainkan cuma mencucup saja. Meski tidak sakit, namun A Ci kuatir mendadak
orang menggigitnya, dalam keadaan begitu, ia tahu tidak boleh pakai kekerasan,
ia kuatir prajurit Cidan itu menggebuk dan menghajarnya lagi, dan sekali pemuda
itu kalap mungkin jari kakinya bisa tergigit putus.
Karena tak berdaya sama sekali
terpaksa prajurit-prajurit itu lepas tangan dan mundur.
Lalu A C i berkata kepada
Goan-ci, "Lekas lepaskan kakiku, dan jiwamu akan kuampuni, kamu akan
kubebaskan!”
Namun pikiran Goan-ci saat itu
kurang waras, ia tidak gubris apa yang dikatakan itu.
Seorang prajurit sudah siap
melolos golok dan bermaksud membacok kepala pemuda kalap itu, tapi kaki A Ci
masih dipeluknya dengan erat, ia kuatir juga bila bacokannya akan melukai A Ci,
sebab itulah ia merasa ragu.
Maka A Ci berkata pula,
"Hei, kamu bukan binatang (padahal tadi ia anggap orang sebagai binatang),
mengapa gigit orang? Lekas buka mulutmu, akan kusurh orang mengobati lukamu dan
membebaskanmu pulang ke Tionggoan.
Tapi Goan-ci tetap tidak
peduli, ia tidak menggigit sungguhan, hanya setengah mencucup sedangkan
tangannya meraba-raba betis dan kaki yang putih merangsang itu. Perasaannya
terombang-ambing, semangatnya seakanakan terbang ke awang-awang, ia merasa
seperti menjadi "layang-layang manusia,” lagi dan terapung-apung diangkasa
bebas.
Mendadak seorang prajurit
Cidan mendapat akal, cepat ia cekik leher Yu Goan-ci sekuatnya.
Karena leher tercekik, tanpa
terasa Goan-ci mengap mulutnya. Cepat A Ci menarik kembali kakinya dan
berbangkit, ia kuatir kalau orang menjadi kalap dan menggigitnya lagi, maka
kedua kakinya disurutkan ke belakang bangku berbantal sulam yang dibuat duduk
itu.
Sesudah Goan-ci dipisahkan
dari A Ci oleh prajurit Cidan tadi, segera prajurit lain menghujani bogem
mentah pada muka dan dada pemuda itu hingga darah segar menyembur dari mulutnya,
sampai permadani yang indah itu ikut ternoda.
"Berhenti! Jangan
menghajarnya lagi!”kata A Ci.
Sesudah kejadian baruan ia
merasa anak muda ini tidak terlalu mengecewakan sebagaimana disangkanya tadi.
Dalam permainan tertentu mungkin akan cukup merangsang baginya. Maka seketika
ia tidak ingin membinasakan pemuda itu.
Setelah prajurit-prajurit itu
tidak menghajar Goan-ci lagi, lalu A Ci duduk bersimpuh di atas bangku
berbantal sulamannya dengan melipat kakinya yang telanjang.
Diam-diam ia pikirkan bagaimana
caranya agar bisa menyiksa lagi agar pemuda itu mengamuk sebagai binatang.
Ketika ia angkat kepala,
tiba-tiba dilihatnya Yu Goan-ci memandangnya dengan sorot mata melekat. Segera
ia menegurnya, "Mengapa kau memandang padaku?”
Goan-ci sudah tidak pusingkan
mati hidup sendiri lagi, segera ia menjawab, "Kau cantik, aku suka
memandang kepadamu!”
Muka A Ci menjadi merah.
Katanya dalam hati, "Besar amat nyali bocah ini, berani bicara padaku
secara kurang ajar begini?”
Selama hidup A Ci belum pernah
dipuji secara terang-terangan oleh seorang pemuda. Waktu dia belajar silat
dalam perguruan Sing-siok-pai, para suhengnya menganggap sebagai seorang dara
cilik yang nakal. Ketika tinggal bersama Siau Hong kuatir dia meninggal.
Selamanya tiada seorangpun memperhatikan apakah dia cantik atau jelek.
Tapi kini secara terus terang
Goan-ci memujinya, mau tak mau timbul juga rasa senang dalam hati A Ci.
Pikirnya, "Biarlah kubiarkan dia tinggal di sini, bila iseng dapat
kupermainkan dia sekedar pelipur hati. Tapi Cihu pernah menyatakan akan
membebaskan dia, kalau dia tahu aku menawannya lagi, pasti Cihu akan marah. Dan
cara bagaimanakah supaya Cihu takkan mengetahui hal ini? Aku bisa melarang
siapa pun agar tidak memberitahukan kepada Cihu, tetapi kalau suatu waktu
mendadak Cihu kemari dan melihatnya, lantas bagaimana ?”
Ia merenung sebentar,
tiba-tiba ia ingat pada Tacinya, yaitu si A Cu, yang pandai menyaru itu, kalau
sekarang aku pun suruh bocah ini menyaru, tentu Cihu takkan dapat mengenalnya. Akan
tetapi bila pada suatu ketika ia mencuci muka dan menghilangkan penyamarannya,
tetap ada kemungkinan akan diketahui oleh Cihu.
Begitulah alis A Ci yang
lentik itu makin terkerut makin rapat. Tiba-tiba ia bertepuk tangan sambil
berseru dengan tertawa, "Hah, akal bagus! Akal baik!”
Segera ia bicara dengan bahasa
Cidan kepada kedua prajurit tadi. Rupanya prjurit-prajurit itu kurang paham,
mereka mohon penjelasan lebih jauh. Dan setelah A Ci memberi petunjuk pula,
lalu ia suruh dayang mengeluarkan tiga puluh tahil perak dan diserahkan kepada
prajurit-prajurit itu.
Setelah menerima uang. Kedua
prajurit itu memberi hormat, lalu Yu Goan-ci diseretnya pergi.
"Aku ingin memandang dia,
aku ingin memandang nona cantik yang berhati kejam ini, "demikian Goan-ci berteriak-teriak.
Ia berteriak-teriak dalam
bahasa Han, sudah tentu para prajurit dan dayang tidak paham artinya. A Ci
memandangi dia diseret pergi dengan tersenyum simpul, teringat akalnya yang
cerdik itu, semakin dipikir semakin senang dan puas.
Sementara itu Yu Goan-ci telah
digusur kembali ke kamar tahanannya yang berbau apek itu. Petangnya, ada orang
yang mengantarkan semangkok daging kambing dan beberapa potong kue buatan dari
tepung terigu.. Tapi sakit panas Goan-ci belum reda ia masih mengingau tak
keruan hingga pengantar makanan itu lari ketakutan setelah menaruh penganan
yang dibawanya itu.
Dalam keadaan begitu, Goan-ci
tidak merasa kelaparan lagi hingga makanan itu sama sekali tak tersentuh
olehnya.
Malamnya, tiba-tiba datang
tiga orang Cidan. Walaupun dalam keadaan sadar tak sadar namun lamat-lamat
Goan-ci dapat merasakan pasti takkan menguntungkan dirinya. Segera ia
meronta-ronta dan ingin merangkak keluar dan melarikan diri. Tapi dua orang
diantaranya lantas membekuk dia di tanah, lalu dibalik hingga telentang.
Dengan suara serak Goan-ci
memaki-maki. "Anjing Cinda, terkutuklah kalian, akan kuncencang kalian!”
Tiba-tiba dilihatnya orang
Cidan ketiga membawa setangkup benda putih, seperti kapas dan mirip salju.
Mendadak benda putih itu diuruk ke atas mukanya. Seketika Goan-ci merasa
mukanya basah dingin, pikirannya menjadi jernihsedikit, tapi napasnya menjadi sesak.
"Hah, kiranya
merekahendak membunuh aku dengan menutup jalan pernapasanku!” demikian ia
membatin.
Tapi dugaannya lantas terbukti
salah. Sebab lubang hidung dan mulutnya lantas dibolongi orang hingga dapat
bernapas, tinggal matanya saja yang tak bisa terbuka. Ia merasa mukanya seperti
di pijat-pijat orang. Saat itu mukanya seperti tertutup oleh selapis tepung
adukan atau tanah liat yang lunak dan licin.
Selama dua hari ini ia sudah
kenyang derita, ia tidak heran bila sekarang orang hendak menyiksanya pula
dengan sesuatu yang aneh.
Selang sejenak, ia merasa
lapisan benda yang luna di mukanya itu dikelotok, disingkap orang dengan
perlahan. Waktu ia buka mata, kini dapat dilihatnya benda itu adalah selapis
adukan tepung terigu yang liat dan kini telah menjadi sebuah cetakan yang
sesuai dengan raut mukanya.
Dengan hati-hati orang Cidan
itu memegang cetakan dari tepung itu, kuatir rusak. Segera Goan-ci mencaci maki
pula, tapi orang-orang Cidan itu tidak peduli, mereka lantas tinggal pergi.
Diam-diam Goan-ci pikir,
"Ah, tentu mereka telah memoles sesuatu obat racun di mukaku, sebentar
lagi pasti mukaku akan membusuk hingga rusak seperti muka setan….”
Begitulah makin dipikir makin
kuatir, katanya dalam hati, "Daripada aku mati tersiksa begini, lebih baik
aku bunuh diri saja!”
Maka ia lantas benturkan
kepalanya ke dinding "blang”, kepalanya benjut dan orangnya roboh, tapi
sial baginya, ia tidak mati, hanya setengah mati.
Mendengar suara benturan itu,
penjaga diluar lantas memburu ke dalam kamar tahanan untuk mengikat tangannya.
Memangnya Goan-ci sudah menggeletak tak bisa berkutik, maka ia pun masa bodoh
diperlakukan orang sesukanya.
Lewat beberapa hari, mukanya
tidak sakit, bahkan juga tidak membusuk segala. Namun ia sudah terkekad ingin
mati, biarpun kelaparan sama sekali ia tidak sudi makan segala makanan yang
diantarkan padanya.
Sampai hari kelima, ketiga
orang Cidan itu datang lagi menyeretnya keluar. Dalam derita sengsara Yu
Goan-ci itu sebaliknya timbul suatu harapan pula. Ia pikir kalau A Ci yang menyuruh
mereka menggusur dia untuk disiksa dan dihajar, biarpun badan akan menderita
lebih hebat, namun bila melihat wajah si nona yang cantik
itu, betapapun ia merasa puas.
Karena itulah pada air mukanya
lantas tersimpul senyuman getir.
Tapi ketiga orang Cidan itu
ternyata tidak membawanya menghadap A Ci, sebaliknya menyeretnya ke sebuah
kamar yang gelap, sesudah menuruni sebuah undak-undakan batu yang panjang,
akhirnya sampai di suatu ruangan, dimana tertampak api menganga menerangi ruangan
itu, seorang pandai besi dengan badan telanjang hingga kelihatan otot dagingnya
yang menonjol kuat berdiri di tepi sebuah talanan besi yang besar, pada
tangannya memegang sebuah benda kehitam-hitaman dan lagi diperiksa dengan
teliti.
Ketika Goan-ci digusur sampai
di depan pandai besi, segera dua orang diantaranya memegang kedua tangannya,
seorang lagi mencengkram tengkuknya. Lalu si pandai besi mulai mengamat-amati
mukanya dari depan dan dari samping, kemudian mengamat-amati benda hitam yang
dipegangnya itu seperti lagi ditimbang dan dibandingkan.
Waktu Goan-ci memperhatikan
benda yang dipegang pandai besi, kiranya benda itu adalah sebuah topeng besi.
Topeng itu terdapat lubang-lubang hidung, mata dan mulut.
Selagi Goan-ci tidak tahu apa
gunanya besi itu. Mendadak si pandai besi mengangkat topeng itu terus
mengerudung mukanya. Dengan sendirinya Goan-ci bermaksud mengelak dengan
mendongak kebelakang. Tapi celaka, tengkuknya, telah dipegang orang hingga tak
bisa menghindar, akhirnya topeng itu tetap menutup mukanya. Seketika ia merasa
mukanya dingin segar, kulit mukanya melekat dengan topeng besi itu.
Tapi aneh juga, bentuk topeng
itu ternyata pas sekali dengan raut mukanya, seperti barang pasangan saja.
Goan-ci bukan anak bodoh, rasa
herannya cuma sekejap, segera ia tahu duduk perkara. Sekonyong-konyong ia
merasa ngeri. Hah, topeng ini memang sengaja dibuat untukku. Tempo hari mereka
telah mencetak mukaku dengan adukan tepung, tujuannya ialah untuk dipakai
sebagai model pembuatan topeng besi ini. Janganjangan… jangan-jangan …”
Dalam hati ia sudah dapat
menerka maksud jahat orang-orang Cidan itu, tapi sebenarnya apa sebabnya,
itulah dia tidak tahu, iapun tidak berani berpikir lagi, maka ia meronta-ronta
sekuat tenaga, mati-matian ia berusaha melarikan diri. Tapi ia dipegang oleh
tiga orang dengan kuat sehingga tidak bisa berbuat apa-apa.
Kemudian pandai besi itu
melepaskan topeng itu, ia mengangguk-angguk dengan rasa puas. Lalu ambil sebuah
tanggam besi besar, ia jepit topeng itu dan dimasukkan ke dalam tungku, sesudah
topeng terbakar hingga merah, lalu dikeluarkannya untuk digembleng lagi.
Setelah menggembleng sebentar,
laluia pegang dan raba batok kepala Goan-ci serta tulang pipinya untuk
membetulkan bagian yang kurang pas dari topeng itu.
Segera Goan-ci
berteriak-teriak memaki. "Anjing Cidan terkutuk, perbuatan jahat apa yang
hendak kalian lakukan lagi? Begini kejam tanpa perikemanusiaan, kelak kalian
pasti akan masuk neraka, kalian akan digodok dalam minyak mendidih dan dibakar
di lautan api!”
Ia memaki dalam bahasa
Tionghoa sudah tentu orang-orang Cidan tidak paham maksudnya. Tap karena
teriakannya itu, sipandai besi mendadak menoleh dan melotot padanya. Lalu ia
angkat tanggam besi yang terbakar merah itu dan mencolok ke matanya.
Saking ketakutan hingga Yu
Goan-ci cuma terbelalak dan mulut ternganga, untuk menghindar jelas tidak
mungkin lantaran dari belakang ia dipegang tiga orang Cidan.
Dan si pandai besi itu
ternyata melulu menakut-nakuti saja. Melihat Goan-ci ketakutan setengah mati.
Ia terkekeh-kekeh dan menarik kembali tangannya. Lalu ia ambil lagi sepotong
besi melengkung untuk mengukur belakang kepala Yu Goan-ci. Sesudah di pukul dan
digembleng hingga plat besi yang dekuk itu pas betul, kemudian topeng tadi dan
separoh topeng bagian belakang yang baru ini dibakar pula dalam tungku.
Ketika topeng besi itu merah
terbakar pandai besi itu berkata beberapa patah kata kepada tiga orang Cidan
tadi. Segera Goan-ci digotong untuk direbahkan di atas sebuah meja, tapi
kepalanya terjuntai di luar tepian meja. Lalu dua orang Cidan yang lain maju
membantu, sekuat tenaga mereka jambak rambuk Goan-ci hingga kepala pemuda itu
tak bisa bergerak sama sekali.
Dalam pada itu si pandai besi
sudah mengeluarkan topeng yang terbakar merah membara itu. Ia berhenti sebentar
agar topeng itu agak mendingin. Habis itu, mendadak ia membentak sekali. Topeng
terus dipasang pada muka Yu Goan-ci.
Kontan saja asap putih mengepul
dengan bau sangit daging hangus. Goan-ci menjerit ngeri, seketika orangnya
semaput.
Kemudian pandai besi itu
mengangkat belahan topeng bagian belakang dan dipasangkan pula di belakang
kepala Yu Goan-ci. Dua belahan topeng itu kini terpasang dengan rapat di
kepalanya. Topeng itu masih sangat panas, begitu menyentuh kulit daging,
seketika terbakar bonyok.
Pandai besi itu adalah tukang
nomor satu di kota Yankhia. Kedua tangkupan topeng buatannya itu ternyata pas
sekali menutup dengan rapi.
Bagaikan tersiksa di neraka.
Yu Goan-ci sendiri tidak tahu sudah lewat berapa lama. Ketika pelahan ia
siauman kembali, ia merasa muka dan belakang kepala sangat kesakitan. Saking
tak tahan, kembali ia pingsan lagi.
Begitulah ia siuman dan
pingsan lagi hingga berulang tiga kali. Ketika akhirnya ia siuman pula, ia
berteriak sekeras-kerasnya, tapi telinga sama sekali tidak mendengar suara
teriakan sendiri. Semula ia menyangka dirinya sudah tuli, tapi sesudah
berkaok-kaok pula hingga tenggorokannya serasa bejat, akhirnya ia baru tahu
bahwa pada hakikatnya ia tak bisa mengeluarkan suara.
Tatkala pingsan, ia telah
diseret kembali ke kamar tahanannya. Ia rebah tanpa berkutik di tanah, ia
menggertak gigi untuk menahan rasa sakit sekeliling kepala dan mukanya.
Kira-kira dua-tiga jam
kemudian, ketika ia coba meraba muka sendiri, maka jelas terbukti bahwa
dugaannya ternyata tidak salah sedikitpun. Topeng besi itu sudah mengerudung
rapat di atas kepalanya. Dalam murkanya, ia membetot dan menarik topeng besi
itu sekuatnya, tapi tangkupan topeng itu sudah saling gigit dengan kencang
sekali, mana dapat ia membukanya?
Dalam keadaan murka dan
akhirnya menjadi putus asa, tak tertahan lagi ia menangis sedih air mata
bercucuran bagai air hujan, tapi suara tangisannya hampir-hampir tak terdengar.
Untung usia Yu Goan-ci masih
muda, meski jasmaniah tersiksa sehebat itu, tapi tidak sampai mati, ia masih
tahan. Bahkan beberapa hari kemudian, perlahan lukanya mulai sembuh, rasa
sakitnya juga makin berkurang. Akhirnya, oh, lapar juga dia. Dan ketika
mengendus bau daging kambing dan kue yang dihantarkan untuknya, ia tidak tahan
lagi, terus saja dimakannya dengan lahap.
Sudah tentu mulutnya tak bisa
mengunyah jadi makannya terpaksa main jejal saja, asal masuk. Dan sekali
perutnya kemasukan makanan lukanya menjadi lebih cepat sembuh dan kesehatannya
lekas pulih.
Kini ia dapat meraba topeng
besi itu, ia tahu buah kepala sendiri sudah tertutup rapat oleh kedua tangkup
besi dan tidak mungkin dibuka lagi. Ia tidak tahu apa maksud tujuan
anjing-anjing Cidan itu menutup kepalanya dengan openg. Ia sangka segala apa
itu tentuatas perintah Siau Hong. Sudah tentu, betapapun ia tidak menduga bahwa
sebabnya A Ci memberi topeng padanya tujuannya justru ingin mengelabui Siau
Hong.
Apa yang berlangsung itu
dilaksanakan kapten Sili atau suruhan A Ci. Setiap hari A Ci selalu tanya Sili
tentang gerak-gerik Yu Goan-ci setelah pakai topeng itu. Semula ia kuatir
pemuda itu akan mati hingga gagal segala
rencananya. Kemudian ia jadi
girang ketika mendapat tahu bahwa kesehatan Goan-ci makin hari makin kuat.
Dalam pada itu Siau Hong lagi
dinas inspeksi ke luar kota, A Ci perintahkan Sili membawa Yu Goan-ci menghadap
padanya, ia ingin tahu bagaimana bentuk pemuda itu sesudah memakai topeng besi.
Ia tunggu di ruangan samping istana "Toan-hok-kiong”. Tidak lama kemudian
datanglah kapten Sili bersama tiga prajurit Cidan dengan membawa Yu Goan-ci.
Melihat bentuk Yu Goan-ci,
sungguh senang A Ci tak terkatakan. Ia pikir, dengan memakai topeng seperti
itu, biarpun sang Cihu berdiri berhadap juga takkan kenal pemuda itu. Segera ia
berkata, "Sili, topeng ini sangat bagus buatannya, boleh kasih persen lagi
50 tahil perak kepada pandai besi itu.”
"Ya, terimakasih, Kuncu!”
sahut Sili.
Kiranya Yali Hungki sengaja
hendak membikin senang Siau Hong, maka A Ci telah dianugrahi gelar Tuan Putri
"Toan-hok Kuncu”. Dan istana Toan-hok-kiong adalah anugrah juga dari raja.
Dalam pada itu Yu Goan-ci
telah melangkah maju dua tindak, dari lubang topeng itu dapat melihat muka A Ci
yang berseri-seri, elok tak terhingga. Suara si gadis juga nyaring merdu enak
didengar. Hati Goan-ci berdebardebar, dengan ketolol-tololan ia pandang gadis
itu tanpa berkedip.
Meski bentuk muka Yu Goan-ci
menjadi aneh lantaran memakai topeng besi, tapi A Ci dapat melihat bahwa pemuda
itu lagi menatapnya, dengan mata tak berkedip. Segera ia menegurnya. "Hai
anak tolol, kenapa kau pandang aku cara begini?”
"Aku… aku … aku tidak
tahu, "sahut Goan-ci.
"Enak tidak rasanya
memakai topeng itu?” tanya A Ci.
"Kau kira enak atau
tidak?” Goan-ci berbalik tanya.
A Ci mengikik tawa. Ia lihat
bagian mulut topeng itu hanya berwujud satu celah dan tipis dan tiba cukup
untuk minum dan makan saja untuk menggigit jari kaki terang tidak dapat lagi.
Maka dengan tertawa katanya pula, "Aku sengaja memasang topeng pada mukamu
supaya kamu tidak dapat menggigitku untuk selamanya.”
Seketika Goan-ci bergirang,
tanyanya cepat, "Apakah nona ber ...bermaksud membiarkan … membiarkan aku
selalu melayani di samping nona?”
"Cis, kamu anak busuk ini
bukan manusia baik-baik,” semprot A Ci, "Berada disampingku tentu kau cari
jalan untuk mencelakai aku, mana boleh jadi?”
"Tidak, ti…tidak! Aku
pasti … pasti takkan membikin susah nona, ” sahut Goan-ci dengan
tergegap-gegap, "Musuhku hanyalah Kiau Hong seorang!”
"Kau ingin membunuh
Cihuku, bukankah sama dengan membikin susah padaku? Apa bedanya?” kata A Ci.
Mendengar itu, entah mengapa,
rasa hati Goan-ci menjadi kecut hingga tak bisa menjawab lagi.
"Huh, kamu hendak
membunuh Cihuku, itu namanya lebih sulit daripada naik ke langit, "kata A
Ci pula dengan tertawa. "He, anak tolol, kau ingin mati atau tidak?”
"Sudah tentu aku tidak
ingin mati, "sahut Goan-ci. "Tapi sekarang kepalaku terpasang benda
seperti ini sehingga tidak mirip manusia dan lebih mirip setan, tidak banyak
bedanya daripada mati.”
"Jika kamu lebih suka
mati, boleh juga, akan kupenuhi harapanmu, cuma aku takkan membuatkan kau mati
dengan begitu saja, "kata A Ci. Lalu ia berpaling kepada kapten Sili dan
memberi perintah. "Seret dia keluar, penggal dulu sebelah tangannya!”
Sili mengiakan terus hendak
menarik Goan-ci.
Keruan pemuda itu ketakutan,
cepat ia berteriak, "He, tidak, tidak, nona! Aku ingin mati, jangan …
jangan kaupenggal sebelah tanganku!”
"Sekali aku berkata,
sudah untuk ditarik kembali, kecuali .. ya, kecuali kalau kamu berlutut dan
menyembah padaku, "kata A Ci dengan tersenyum.
Selagi Goan-ci ragu-ragu,
sementara itu Sili telah menariknya pula. Goan-ci tidak berani ayal lagi, cepat
ia tekuk lutut dan menyembah "trang” mendadak topeng membentur lantai.
A Ci terkikik senang, katanya,
"Selamanya aku tidak pernah mendengar suara orang menyembah semerdu itu.
Eh, coba menjura beberapa kali lagi.
Walaupun Goan-ci seorang
pemuda serba kepalang tanggung dalam ilmu sastra dan silat, serba
setengahsetengah dan tidak jadi, tapi jelek-jelek adalah seorang Siau cengcu,
seorang tuan muda dari Cip-hian-ceng, biasanya ia disanjung pula oleh setiap
orang. Sejak kecil ia sangat dimanjakan oleh orang tua, sebab dia adalah putra
satu-satunya, sudah tentu ia tidak pernah tersiksa dan dihina seperti sekarang
ini.
Semula waktu menemukan Siau
Hong, ia masih memiliki semangat jantan yang tak terpatahkan, biar mati juga
tidak takut. Tapi selama beberapa hari ini telah mengalami pukulan hebat baik
jasmani maupun rohani, semangat jantannya yang menyala-nyala itu tanpa terasa
surut dan hilang tak berbekas lagi.
Maka demi A Ci menyatakan
hendak memotong lengannya kecuali dia mau menyembah, tanpa pikir ia berlutut
dan menyembah. Dan ketika A Ci menyatakan suara benturan topengnya itu enak
didengar, terus saja ia menjura berulang-ulang sehingga terdengar suara "tang-tang-tang”
yang nyaring.
"Wah, bagus sekali!”
demikian kata A Ci dengan tertawa, "Untuk selanjutnya kamu harus tunduk
pada perintahku, sedikitpun tidak boleh membangkang, tahu? Kalau membangkang,
huh setiap waktu juga akan kupenggal lenganmu. Nah ingat tidak?”
"Ya, ya!” cepat Goan-ci
menyahut.
"Apakah kau tahu sebabnya
aku memesan topeng besi pada mukamu?” tanya A Ci pula.
"Tidak, aku justru ingin
tahu, "kata Goan-ci.
"Kamu ini sungguh kelewat
goblok, telah kuselamatkan jiwamu, tapi kamu malah tidak tahu dan tidak
berterima kasih kepadaku, "ujar A Ci. "Apakah kamu tidak tahu bahwa
Siau-tai-ong hendak mencacahmu hingga luluh, benar-benar kamu tidak tahu?”
"Dia adalah pembunuh
orang tuaku, sudah tentu iapun takkan membiarkan aku hidup, "sahut
Goan-ci.
"Beliau pura-pura
membebaskan kau, tapi diam-diam memerintah orang untuk menangkapmu kembali dan
mencencangmu hingga menjadi baso, "demikian A Ci sengaja menakut-nakuti,
"Tapi untung kamu ketemu aku
karena melihatmu bocah busuk
ini tidak terlalu jelek kalau dibunuh agak sayang juga rasanya, maka diam-diam
aku menyembunyikanmu. Namun demikian, bila pada suatu ketika secara kebetulan
Siau Hong datang kemari dan pergoki dirimu, tentu jiwamu tetap akan melayang
dan bahkan aku pun ikut tersangkut.”
Tiba-tiba Goan-ci sdar oleh
duduknya perkara, ia berseru. "Ah kiranya nona sengaja menyuruh membuatkan
topeng besi ini untukku, sebenarnya maksudmu baik demi untuk menyelamatkan
jiwaku supaya tidak dikenal musuh besarku. Sungguh aku .. aku sangat berterima
kasih, sangat ber… berterimakasih.”
Sesudah mempermainkan orang,
bahkan orang merasa terima kasih malah, A Ci menjadi senang tak terkatakan.
Dengan tersenyum kemudian ia berkata lagi, "Nah, makanya lain kali bila
bertemu dengan Siau-tai ong janganlah sekali-kali kau buka suara agar tidak
dikenali beliau. Bila sampai dikenal olehnya, hm, pasti celakalah kamu. Nih
lihat! Sekali lengan kirimu ditarik dan 'cret', kontan lenganmu lantas putus,
dan sekali betot pula, seketika lenganmu yang lain akan terpisah dari tubuhmu.
Nah ingat baik-baik pesanku ini.”
"Sili coba bawa pergi
dia, beri pakaian orang Cidan, sikat dan mandikan dulu badannya, idiiiiiih
baunya!”
Kapten Sili mengiakan dan membawa
pergi Yu Goan-ci.
Tidak lama kemudian pemuda itu
dibawa kembali oleh Sili. A Ci lihat pemuda itu sudah berganti pakaian orang
Cidan. Untuk menyenangkan hati A Ci, sengaja Sili mendandani Goan-ci hingga
topengnya berwarnawarni mirip badut sirkus.
"Hihihihi, kau mirip
benar seperti seorang badut, ” kata A Ci terkikik-kikik geli. "Eh, ya,
akan kuberi suatu nama padamu. Namamu adalah … adalah badut, ya, badut besi,
inilah namamu. Selanjutnya kalau aku memanggil badut besi, maka kamu harus
cepat menjawab tahu? Nah, badut!”
"Sayaaa!” cepat Goan-ci
menjawab.
Senang sekali A Ci. Ia merasa
mendapatkan suatu hiburan yang paling menggembirakan.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu,
segera ia berkata, "Sili, bukankah dari negeri Tai-sip (sekarang negeri
Arab) ada antaran seekor singa besar? Nah bawa kemari singa itu bersama
pawangnya, panggil pula belasan orang pengawal kemari.
Kapten Sili segera meneruskan
perintah itu. Maka hanya sebentar saja 16 orang pengawal dengan membawa
tombak masuk ke dalam istana,
mereka memberi hormat kepada A Ci, lalu membalik tubuh, 16 batang tombak mereka
siap untuk menjaga sang putri.
Tidak antara lama, tiba-tiba
terdengar auman singa, delapan laki-laki kekar menggotong datang sebuah
kerangkeng besi besar. Di dalam kerangkeng tampak seekor singa jantan sedang
berputar kian kemari, bulu lehernya panjang lebat, kuku cakarnya tajam,
tampaknya sangat galak. Di depan kerangkeng mendahului berjalan seorang
penjinak singa dengan memegang cambuk kulit.
Dengan girang A Ci berkata
kepada Goan-ci, "He, badut besi, aku ingin menjajal sesuatu, ingin kau
lihat kamu tunduk kepada perintahku atau tidak.”
Tanpa pikir Goan-ci
mengiayakan. Tapi perasaannya sudah mendebur demi melihat singa jantan yang
gagah dan galak itu.
Maka terdengar A Ci berkata
pula, "Sejak kau pakai topeng, aku tidak tahu apakah topeng besi itu
terpasang kukuh atau tidak di atas kepalamu. Maka cobalah julurkan kepalamu ke
dalam kerangkeng dan membiarkan singa itu menggigit, ingin kulihat apakah
binatang itu mampu menggigit hancur topengmu atau tidak.”
Keruan Goan-ci terperanjat,
cepat serunya, "Ha, ini .. ini jangan dicoba. Kalau topeng hancur, tentu
kepalaku …. ”
"Sungguh tak berguna kamu
menjadi manusia, "kata A Ci dengan kurang senang, "masakah soal
sekecil ini juga ketakutan. Seorang laki-laki sejati harus pandang mati seperti
pulang, tahu? Apalagi kukira topengmu juga takkan hancur di gigit singa.”
"Nona, urusan ini tidak
boleh dibuat main-main, "kata Goan-ci pula. "Andaikan topeng tahan
hancur, tapi kalau digigit hingga gepeng, yah, tentu kepalaku …. ”
Jilid 45
"Hihihi, paling-paling
kepalamu akan ikut gepeng saja, apanya sih yang kauributkan?” demikian A Ci
memotong dengan tertawa. "Ai, kamu anak busuk ini memang suka rewel, dasar
mukamu memang juga jelek, andaikan kepalamu nanti penjol, toh tetap terbungkus
di dalam topeng, masakah orang bisa tahu?”
"Aku tidak …. ”
"Kamu tidak mau menurut?
Baik Sili, jebloskan dia saja ke dalam kerangkeng itu untuk umpan singa! Segera
A Ci memotong sebelum selesai Goan-ci berkata.
Keruan Goan-ci serba runyam,
ia pikir daripada mati konyol menjadi isi perut singa, lebih baik coba-coba
peruntungan saja dengan memasukkan kepala ke dalam kerangkeng itu. Maka
cepat-cepat ia berteriak, "Nanti dulu, nona! Baiklah, aku menurut!”
Nah, beginilah baru pintar!”
ucap A Ci dengan tertawa, "Ingat, lain kali jangan sekali-kali
membangkang, apa yang kuktakan harus segera dilakukan, kalau rewel, hm, biar
kau tahu rasa nanti. Sili hukum dia dengan 30 kali cambukan!”
Kapten Sili mengiakan. Segera
ia pinjam cambuk kulit dari si penjinak singa, "Tarr”, kontan ia sabat
punggung Yu Goan-ci.
Karena kesakitan. Goan-ci
sampai menjerit.
"Badut besi, "kata A
Ci, "Kalau kusuruh orang mengajarmu, itu menandakan aku menghargaimu. Tapi
kamu gembar-gembor malah apakah kamu tidak suka dihajar?”
"O, suka, tentu suka,
terimakasih atas kebaikan nona!” demikian cepat Goan-ci menjawab.
"Baik, Nah hajar lagi!”
seru A Ci.
"Tar, tar, tarr”, segera
kapten Sili menyabat lagi belasan kali. Dengan menggertak gigi Goan-ci bertahan
sekuatnya, walaupun sakitnya
sebenarnya sampai merasuk tulang, sama sekali ia tidak merintih lagi.
Sebaliknya A Ci kurang puas
karena dia diam saja. Katanya pula. "He, badut besi, kau bilang senang
dihajar bukan ?”
"Ya, nona!” sahut
Goan-ci.
Benar-benar suka, bukan dusta?
Jangan-jangan kamu sengaja menipu aku?”
"Sungguh-sungguh, masakah
aku berani menipu nona!”
"Jika kamu benar-benar
senang, mengapa kamu tidak tertawa? Mengapa tidak menyatakan kepuasanmu atas
hajaran itu?”
Rupanya sudah terlalu banyak
tersiksa hingga nyalinya pecah, maka Goan-ci menjadi lupa pada artinya murka.
Apa yang dikatakan gadis cilik itu ia selalu menurut saja, katanya segera,
"Ya, nona sangat baik padaku, maka menyuruh orang menghajarku, sungguh aku
merasa sangat puas!”
"Nah, beginilah baru
mendingan, "kata A Ci.”Coba sekarang!”
Segera ia beri tanda, kapten
Sili lantas mengayun cambuk lagi. "Tar”, kembali punggung Goan-ci kena
disabat.
"Hahahahaha!” benar juga
sekali ini Goan-ci terbahak-bahak. Katanya, "Puas sekali aku! Terimakasih
nona!”
"Tarrr!” lagi-lagi pecut
berbunyi dan kembali Goan-ci berkata, "Terimakasih nona!”
"Tarrr!” kembali pecut
berbunyi dan Goan-ci berkata pula, "Terimakasih atas budi pertolongan
jowaku, nona! Cambukan ini sungguh sangat memuaskan!”
"Tar, tarr!” begitulah
berturut-turut lebih 20 kali cambukan menghujani badan Yu Goan-ci, dipunggung
dengan sabatan tadi, jumlah seluruhnya sudah lebih dari 30 kali.
"Sudahlah, cukup untuk
sekarang ini, "segera A Ci menyetop. "Nah, sekarang masukkan kepalamu
ke dalam kerangkeng.”
Goan-ci merasa ruas tulang
seantero badan seakan-akan retak, dengan sempoyongan ia mendekati kerangkeng
singa. Sekali menggertak gigi, dengan nekat ia masukkan kepalanya ke dalam
terali kerangkeng itu.
Melihat tantangan itu, singa
itu kaget malah hingga mundur beberapa langkah ke belakang. Binatang itu
mengincar dan mengamat-amati topeng besi sejenak, lalu mundur satu langkah lagi
sambil meraung.
"Ayolah, perintahkan
singamu menggigit, kenapa tidak menggigit!” seru A Ci.
Segera pawang singa
membentak-bentak beberapa kali, karena mendapat perintah, singa itu lantas
menubruk maju, sekali pentang mulutnya yang lebar, terus saja ia caplok kepala
Yu Goan-ci yang terbungkus topeng besi itu. Maka terdengarlah "krak-krek,
krak-krek” yang keras, suara kertakan gigi singa yang beradu dengan besi.
Sejak mula Goan-ci memejamkan
mata, maka ia merasa hawa hangat merangsang mukanya melalui lubanglubang mata,
hidung dan mulut topeng itu. Ia tahu batok kepala belakang sudah tercaplok di
dalam mulut singa. Mendadak ia merasa batok kepala depan dan belakang kesakitan
sekali. Kiranya bekas luka di atas kepala yang hangus terkena besi panas
dahulu, kini pecah lagi karena gigitan singa.
Ketika singa itu menggigit
sekuatnya beberapa kali dan tidak menghasilkan apa-apa, bahkan giginya malah
kesakitan, binatang itu menjadi murka, mendadak cakarnya menggaruk ke depan
hingga bahu Goan-ci kena dicakar.
Saking kesakitan oleh cakaran
itu, tanpa terasa Goan-ci menjerit. Dan ketika mendadak merasa barang yang
dicaploknya itu mengeluarkan suara keras, singa itu menjadi kaget dan lepaskan
kepala yang digigitnya itu serta menyurut mundur.
Keruan si pawang singa merasa
malu karena binatang asuhannya itu kena digertak. Segera ia membentakbentak
pula memerintahkan singa itu menggigit lagi Yu Goan-ci. Sekonyong-konyong
Goan-ci menjadi murka, sekuat tenaga ia pegang tengkuk penjinak singa itu, ia
jejalkan juga kepala penjinak singa ke dalam kerangkeng..
Keruan penjinak singa itu
berteriak-teriak. A Ci merasa senang, ia bertepuk tangan dengan tertawa dan
berkata, "Bagus, bagus, permainan bagus! Biarkan mereka, jangan dilarahi!”
Mestinya para prajurit Cidan
hendak menarik tangan Yu Goan-ci, demi mendengar perintah A Ci itu, mereka
urung bertindak.
Sambil berteriak-teriak si
penjinak singa meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Tapi saat itu Goan-ci
sudah kalap, betapapun iatidak mau melepaskan orang.
Tiada jalan lain, terpaksa
pawang singa minta bantuan binatang asuhannya, ia lekas berteriak-teriak
memberi perintah, "Gigit! Gigit dia! Lekas!”
Mendengar suara perintah,
singa itu menggerung keras-keras terus menerkam. Binatang itu hanya tahu sang
majikan memerintahkan dia menggigit, tapi tidak tahu apa yang harus digigit.
Maka ketika mulutnya yang lebar itu merapat kembali. "Kriuk”, tahu-tahu
separoh buah kepala penjinak singa sendiri yang kena digeragot hingga darah
berceceran dan otak berantakan.
Hure! Badut besi yang menang!”
demikian A Ci bersorak tertawa.
Segera ia memberi perintah
agar prajurit Cidan menyeret pergi mayat si penjinak singa dan menggotong pergi
kerangkeng singa itu. Lalu katanya kepada Yu Goan-ci, "Badut besi,
sekarang kamu sudah pintar, pandai menyenangkan hatiku.. Ehm, aku akan memberi
hadiah padamu. Tetapi, hadiah… hadiah apa ya yang tepat?”
Begitulah ia lantas bertopang
dagu dan berpikir ..
"Aku tidak perlu diberi
hadiah, nona, aku hanya ingin mohon sesuatu padamu, ” demikian kata Goan-ci.
"Mohon apa?” tanya A Ci.
"Semoga nona memperbolehkan
aku menggiring disampingmu untuk menjadi budakmu, "sahut Goan-ci.
"Menjadi budakku?” A Ci
menegas. "Mengapa dan untuk apa? Ehm tahulah aku, tentu kau ingin mencari
kesempatan bila Siau Tai-ong datang menjengukku, lalukamu mendadak menyerangnya
lagi untuk membalas sakit hati ayah ibumu, betul tidak?”
"Tidak, tidak!” seru
Goan-ci cepat, "Sekali-kali bukan begitu maksudku.”
"Habis masakah kamu tidak
ingin membalas dendam?”
"Sudah tentu aku sangat
ingin. Cuma kesatu, aku belum mampu menuntut balas. Kedua, tidak boleh merembet
diri nona.”
Jika begitu, mengapa kau mau
menjadi budakku ?”
"Sebab … sebab nona
adalah … gadis paling cantik di dunia ini, maka aku ingin .. ingin melihat
engkau setiap hari, "demikian sahut Goan-ci dengan tergagap.
Ucapan ini sebenrnya terlalu
kurangajar dan terlalu berani, bila A Ci adalah seorang gadis biasa, tentu ia
akan merasa ucapan Goan-ci itu bersifat rendah dan bukan mustahil akan
memerintahkan pemuda itu dibunuh. Tapi A Ci justru senang dipuji, ia suka orang
memujinya cantik.
Padahal usianya sekarang masih
terlalu muda, meski air mukanya memang ayu, tapi bangun tubuhnya belum lagi
masak, ditambah habis terluka parah, badannya masih kurus dan wajahnya pucat,
masih jauh untuk disebut sebagai "gadis paling cantik di dunia.” Tapi
manusia mana yang tidak suka dipuji, apalagi dipuji sebagai gadis tercantik,
sudah tentu A Ci sangat senang.
Dan selagi ia hendak menerima
permintaan Goan-ci itu, tiba-tiba didengarnya dayang melapor "Taiong
datang!”
A Ci melirik Goan-ci sekejap
dan bertanya dengan suara rendah, "Kau takut tidak?”
"Ti… tidak!” sahut
Goan-ci dengan agak gemetar. Padahal dia takut setengah mati mendengar
kedatangan Siau Hong.
Ketika pintu istana terbuka,
tertampaklah Siau Hong melangkah masuk dengan baju kulit yang enteng dan ikat
pinggang yang lemas. Ketika melihat di atas lantai banyak tercecer darah, pula
melihat bentuk kepala Yu Goanci yang aneh itu, Siau Hong menjadi heran dan
bertanya kepada A Ci dengan tertawa, "Air mukamu hari ini kelihatan sangat
segar, kamu lagi main apa? Kepala orang ini memakai topi apa, sungguh aneh?”
"Ini Thi-thau-jin
(manusia kepala besi) persembahan dari negeri Kojiang, namanya badut besi,
singapun tidak sanggup menggigit pecah kepalanya. Lihatlah disitu masih
terdapat bekas gigitan singa, "tutur A Ci dengan tertawa.
Waktu Siau Hong memandang
topeng besi di kepala Goan-ci, memang benar bekas gigitan singa masih keliatan
jelas.
"Cihu, apakah engkau
mampu melepaskan topeng besinya itu?” tiba-tiba A Ci bertanya.
Mendengar itu, keruan semangat
Goan-ci seakan-akan terbang meninggalkan raganya. Dia pernah menyaksikan betapa
perkasanya Siau Hong ketika dikeroyok para ksatria Tionggoan, dengan kepalan
saja ia sanggup menghantam hingga perisai milik ayah dan pamannya mencelat.
Kalau orang sekarang hendak melepaskan topeng di kepalanya boleh dikatakan
terlalu mudah baginya.
Begitulah, kalau tempo hari
waktu dikerudung dengan topeng itu ia menyesal dan berduka tak terhingga,
sekarang sebaliknya ia berharap topeng besi itu semoga tetap menutup kepalanya
agar tidak dikenal Siau Hong.
Tiba-tiba Siau Hong
menggunakan jari untuk menyelentik topeng beberapa kali dengan perlahan hingga
mengeluarkan suara "trang-tring”. Lalu katanya dengan tertawa,
"Topeng ini sangat kuat dan bagus pula buatannya, kalau dirusak, apakah
tidak sayang?”
"Menurut cerita utusan
negeri Kojiang, katanya badut besi ini bermuka bengis dan menakutkan, lebih
mirip setan daripada mirip manusia siapa yang ketemu dia pasti ketakutan dan
lari, sebab itulah orang tuanya membuatkan topeng besi ini untuk dia agar tidak
mengganggu orang lain, "demikian tutur A Ci. "Eh Cihu, aku sangat
ingin lihat mukanya yang asli, aku ingin tahu betapa bengis mukanya itu?”
Saking ketakutan hingga
Goan-ci gemetar, gigi gemertukan.
Siau Hong dapat melihat
manusia kepala besiitu ketakutan luar biasa, maka katanya, "Sudahlah,
orang ini sangat ketakutan, buat apa membuka topeng besinya itu? Jika sejak
kecil ia sudah pakai topeng, kalau kini dibuka mungkin dia akan putus asa dan sukar
untuk hidup terus.”
"Sungguh menarik jika
begitu, "seru A Ci sambil bertepuk tangan. "Setiap kali aku menemukan
kura-kura, aku suka menangkapnya dan membelejeti kulitnya yang keras itu, aku
suka melihat kura-kura tanpa kulit dapat hidup berapa lama.”
Siau Hong berkerut kening, ia
merasa terlalu kejam cara anak dara itu membelejeti kura-kura, katanya, "A
Ci seorang anak perempuan mengapa suka membikin susah orang sedemikian rupa?”
"Hm, tentu saja engkau
tak suka,” jengek A Ci, "Jika aku sebaik A Cu, tidak nanti kau lupakan
diriku selama beberapa hari ini.”
"Meski aku telah diangkat
menjadi Lam-ih-tai-ong apa segala sehingga setiap hari selalu sibuk saja, tapi
setiap hari aku kan pasti datang menjengukmu?” sahut Siau Hong.
"Menjenguk, ya, memang
hanya menjenguk saja sebentar, aku justru tidak suka dijenguk saja dan habis
perkara, coba kalau aku jadi A Cu, tentu engkautakkan cuma menjenguk saja, tapi
akan selalu mendampingiku.”
Mendengar nama "A Cu”
berulang kali disebut, apa yang dikatakannya juga memang betul, Siau Hong
menjadi tak bisa menjawab, terpaksa ia mengekek tawa dan berkata, "Ya,
Cihu kan orang tua, tiada minat buat main dengan kanak-kanak seperti dirimu,
bolehlah kau cari teman yang sebaya denganmu untuk mengawanimu bermain.”
"Kanak-kanak, selalu kau
katakan begitu, aku justru bukan kanak-kanak lagi, "sahut A Ci. "Dan
kalau engkau tidak minat bermain dengan aku, kenapa datang juga ke sini?”
"Aku ingin tahu
kesehatanmu sudah tambah baik tidak dan ingin tahu apakah hari ini kamu sudah
makan empedu beruang atau belum?” kata Siau Hong.
Mendadak A Ci angkat bantalan
pengganjal bangku dan dibanting ke lantai, katanya, "Jika hatiku tidak
gembira, biarpun setiap hari makan satu pikul empedu beruang juga tidak
berguna!”
Kalau A Cu yang sedang
marah-marah, betapapun juga tentu Siau Hong akan berusaha membujuknya, tapi
terhadapanak dara yang suka ngambek, anak perempuan yang nakal dan licin ini,
mau tak-mau timbul semacam rasa jemu dalam hati Siau Hong, segera katanya, "Ya,
sudahlah, boleh kamu mengaso saja!”
Habis itu, ia lantas tinggal
pergi.
A Ci termangu-mangu dan ingin
menangis mengikuti kepergian sang Cihu, sekilas tiba-tiba dilihatnya Yu
Goan-ci, seketika api amarahnya ingin dilampiaskan pada orang sial itu. Teriaknya
mendadak, "Sili, cambuk
lagi dia 30 kali!”
Kapten Sili mengiakan sambil
angkat cambuknya.
"Nona, apakah aku berbuat
suatu kesalahan lagi?” seru Goan-ci.
Tapi A Ci tidak menjawabnya,
sebaliknya memberi tanda agar Sili cepat mencambuk.
"Tar!” segera Sili ayun
pecutnya, "Tar!” kembali pecut menyembat pula punggung sasarannya.
"Nona, sebenarnya apa
salahku, harap aku diberitahu, supaya lain kali kesalahan itu takkan terulang
lagi!” teriak Goan-ci dengan menahan sakit, sementara itu pecut Sili masih terus
menyabat.
"Bila aku ingin
menghajarmu, maka setiap saat dapat kulakukan, tidak perlu kautanya berbuat
salah apa, masakah aku bisa keliru menghajarmu?” demikian kata A Ci, "Kau
tanya dirimu berbuat salah apa, justru karena kau tanya, maka kamu harus dihajar!”
"Tapi ... tapi nona lebih
dulu menyuruh hajar diriku, baru aku tanya, "ujar Goan-ci.
Dalam pada itu pecut Sili
tidak pernah berhenti, punggung Goan-ci masih terus disabet.
"Memang sudah kuduga kamu
tentu akan tanya, maka kusuruh orang menghajarmu, dan benar juga kamu lantas
tanya, bukankah itu menandakan dugaanku sangat tepat?” ujar A Ci dengan
tertawa. "Sekaligus juga menandakan kamu tidak taat benar-benar padaku,
seharusnya ketika kau tahu nonamu mendadak ingin menghajar orang jika kamu memang
seorang budak setia, seharusnya kamu tampil ke muka dan ajukan diri untuk
dihajar. Tapi kamu malah rewel dan merasa penasaran. Baiklah, kamu tidak sudak
dihajar, maka akupun tidak mau menghajarmu lagi.”
Hati Goan-ci terkesiap dan
merinding mendengar ucapan terakhir itu. Ia tahu bila A Ci tidak menghajarnya,
tentu akan dicari suatu hukuman yang lebih kejam daripada cambukan itu, maka
lebih baik sekarang juga ia terima 30 kali cambukan itu. Segera ia berkata,
"Ya, memang hamba yang salah, hamba yang salah! Jika nona sudi menyuruh
orang menghajar hamba, hal mana akan berfaedah bagi badan hamba, silahkan nona
menyuruhnya menghajar lagi, hajarlah lebih banyak dan lebih banyak dan lebih
keras.”
"Jika begitu, baiklah
akan kupenuhi permintaanmu, "kata A Ci, "Nah Sili, cambuk dia 100
kali bulat, dia
sendiri yang minta lebih
banyak dicambuk.”
Sudah tentu Yu Goan-ci
terperanjat, ia pikir apakah jiwanya bisa dipertahankan setelah dicambuk 100
kali? Tapi urusan sudah terlanjur, ia sendiri yang minta dihajar lebih banyak
dan lebih keras, kalau sekarang membangkang tentu akan lebih celaka lagi.
Terpaksa ia diam saja, ia pikir kalau rewel-rewel bukan mustahil nona yang
nakal dan kejam itu akan menghabiskan jiwanya dengan suatu cara yang sukar
diduga.
Dan ketika A Ci mulai memberi
tanda, "tar”, segera cambuk Sili bekerja pula tanpa ampun.
"Tar, tar!” Sili terus
menyembat hingga lebih 50 kali, saking kesakitan Yu Goan-ci sampai mendeprok,
sebaliknya A Ci memandangnya dengan tersenyum simpul, ditunggunya pemuda itu
bersuara minta ampun. Dan asal Goan-ci minta ampun, A Ci akan punya bukti lagi
untuk menambahi cambukannya.
Tak tersangka Goan-ci sudah
dalam keadaan limbung, dalam keadaan sadar-tak-sadar, ia hanya merintih
perlahan, tapi tidak minta diampuni. KEetika di cambuk sampai lebih 70 kali,
akhirnya Goan-ci jatuh pingsan.
Namun Sili sama sekali tidak
kenal kasihan ia tetap menjalankan tugasnya sampai genap mencambuk 100 kali
barulah berhenti.
Melihat Goan-ci sudah
kempas-kempis, lebih banyak matinya daripada hidup, A Ci menjadi kecewa malah,
katanya, "Sudahlah, seret pergi saja, orang itu tidak menarik lagi. Sili,
boleh kau carikan permainan lain yang lebih menyenangkan.”
Karena hajaran itu, Yu Goan-ci
benar-benar babak belur, untuk mana dia mesti menggeletak sebulan penuh barulah
sembuh.
Melihat pemuda itu sudah
dilupakan oleh A Ci, maka orang Cidan tidak menyiksanya lagi, tapi lantas
mencampurkan dia ke dalam rombongan tawanan yang lain untuk melakukan pekerjaan
kasar seperti mencuci kandang domba, mengumpulkan kotoran sapi, menjemur kulit
dan lain-lain.
Karena kepalanya memakai
kerudung besi, maka setiap orang suka mengejek dan menghina Yu Goan-ci, bahkan
sesama bangsa Han dalam tawanan itu juga menganggapnya sebagai "siluman”.
Goan-ci terima semua ejekan
dan hinaan itu, dengan diam saja hingga mirip orang bisu, orang memaki dan
memukulnya, ia pun tidak pernah melawan dan membalas. Hanya kalau kebetulan ada
orang lewat menunggang kuda, tentu ia mendongak untuk melihat siapakah gerangan
penunggang kuda itu. Yang selalu
terpikir olehnya hanya satu,
"Bilakah nona cantik itu akan memanggil aku untuk dihajar lagi?”
Begitulah karena dia berhadap
dapat melihat A Ci, biarpun akan disiksa dengan macam-macam hajaran juga dia
rela.
Setelah lewat dua bulan pula,
hawa udara perlahan mulai hangat, Yu Goan-ci ikut orang banyak lagi mengangkat
bata di luar benteng kota untuk membetulkan tembok benteng.
Tiba-tiba didengarnya suara
derapan kuda keluar dari pintu gerbang selatan, segera terdengar suara tertawa
seorang gadis nyaring merdu, "Ai, kiranya Badut besi ini belum lagi mati!
Kukira dia sudah lama mati! Hei badut besi, kemarilah!”
Itulah suara A Ci, suara anak
gadis yang selalu terbayang oleh Yu Goan-ci siang dan malam, ia terpaku malah
di tempatnya ketika mendengar panggilan A Ci. Ia merasa jantungnya berdebar dan
tangan terasa dingin.
"Badu besi, setan kamu,
aku memanggilmu apa kamu tidak dengar?” kembali A Ci berseru.
Dan baru sekarang Goan-ci
mengiakan, "Ya, nona!”
Ternyata selama empat bulan
ini A Ci sudah tambah gemuk sedikit, air mukanya kemerah-merahan dan bercahaya
hingga makin menambah kecantikannya, hati Goan-ci berdebar dan karena setengah
melamun, kakinya kesandung sesuatu dan keserimpet jatuh.
Ditengah gelak tertawa orang
banyak, lekas Goan-ci merangkak bangun dengan rasa malu, sudah tentu tiada
seorang pun yang dapat melihat mimik wajahnya itu.
Rupanya A Ci sedang gembira,
dengan tertawa iatanya, "Eh badut, kenapa kamu belum mati?”
"Aku .. aku belum lagi
membalas kebaikan nona, maka tidak boleh mati cepat-cepat, "sahut Goan-ci.
A Ci mengikik tawa, katanya,
"Aku justru lagi mencari seorang budak yang setia untuk suatu tugas, aku
kuatir orang Cidan terlalu kasar sehingga tak bisa melaksanakan tugas dengan
baik, sekarang kamu ternyata belum mati, itulah sangat kebetulam. Nah boleh
kauikut padaku!”
Goan-ci mengiakan, lalu
mengikut dibelakang kudanya.
Segera A Ci memerintahkan Sili
dan tiga orang pengawalnya pulang lebih dulu.
Sili kenal watak sigadis, apa
yang dikatakan tidak boleh dibantah. Ia lihat orang berkerudung besi ini
terlalu lemah, penakut pula, rasanya tak akan berbahaya bila dia ikut sang
putri. Maka ia hanya pesan junjungannya itu, "Harap nona hati-hati dan
lekas pulang!”
Lalu mereka berempat melompat
turun dari kuda dan menunggu di luar gerbang kota. A Ci sendiri lantas
menjalankan kudanya perlahan ke depan dengan diikuti Goan-ci berjalan di
belakang.
Kira-kira beberapa li jauhnya,
tempat yang dituju itu makin sunyi dan akhirnya sampai di suatu lembah
pegunungan yang lembab.
Goan-ci merasa jalan di lembah
pegunungan itu sangat lunak, terdiri dari tanah dedaunan dan rumput yang sudah
kering dan lapuk.
Kira-kira satu-dua li jauhnya,
jalan di situ mulai berliku-liku, A Ci tidak dapat menunggang kuda lagi, ia
melompat turun dari kudanya, sambil memegangi les kuda ia melanjutkan
perjalanan.
Sekitar situ tampak lembab dan
dingin, angin meniup dari suatu selat yang sempit hingga kulit daging A Ci dan
Goan-ci terasa perih.
"Sudahlah, disini saja!”
tiba-tiba A Ci berkata. Lalu ia tambatkan kudanya di suatu pohon dan berkata
kepada Goan-ci, "Nah, ingatlah dengan baik apa yang kau lihat hari ini
dilarang diceritakan kepada siapapun juga, selanjutnya juga tidak boleh
menyinggungnya dihadapanku, ingat tidak?”
"Baik, nona!” sahut
Goan-ci.
Girang Goan-ci sungguh tak
terkatakan. A Ci hanya suruh dia ikut sendirian dan kini sampai di tempat sunyi
seperti ini, andaikan si gadis nanti akan menghajarnya hingga setengah mati
juga dia rela.
Kemudian tertampak A Ci
mengeluarkan sebuah Giok-ting, tripod atau wajan kemala berkaki tiga, warna
tripod itu hijau mulus. Lalu ditaruh diatas tanah dan katanya kepada Goan-ci,
"Sebentar bila melihat serangga atau binatang apapun yang aneh,
sekali-kali kamu tidak boleh bersuara, tahu tidak?”
Goan-ci mengiakan.
Segera A Ci mengeluarkan pula
suatu bungkusan kain kecil, ia keluarkan beberapa potong bahan wewangian yang
berwarna-warni, ia remas sedikit tiap-tiap potong bahan wangi-wangian itu ke
dalam tripod, lalu ia menyulutnya dengan api hingga terbakar, kemudian menutup
tripod itu.
"Marilah kita tunggu di
bawah pohon sana, "kata A Ci.
Tapi Goan-ci tidak berani
duduk berdekatan dengan si nona, ia menyingkir kira-kira dua-tiga meter
jauhnya, ia duduk di atas batu di bawah angin. Ketika angin meniup dan membawa
bau harum si gadis, tanpa terasa pikiran Goan-ci melayang-layang dimabuk diri.
Sungguh tak tersangka olehnya
bahwa dalam hidupnya ini bisa menemui saat bahagia seperti ini, ia merasa
derita sengsara yang dialaminya selama ini tidaklah penasaran.
Begitulah selagi pikiran
Goan-ci dimabuk oleh lamunan sendiri, tiba-tiba terdengar di semak-semak rumput
sana ada suara gemerisik, seekor binatang merayap tampak muncul.
Dalam urusan lalu Goan-ci
boleh dikatakan tidak becus, tapi dalam hal menangkap ular dan main binatang
merayap lain masih boleh juga kepandaiannya. Maka demi mendengar suara itu,
segera ia tahu ada sesuatu makhluk aneh.
Benar juga, segera dari tengah
rumput hijau itu merayap keluar seekor lipan atau kelabang merah bercahaya,
lebih-lebih bagian kepalanya merah membara, sangat berbeda dengan kelabang pada
umumnya.
Rupanya karena mengendus bau
harum bahan wangi-wangian yang terbakar dalam tripod, maka kelabang itu merayap
ke arah situ terus menyusup ke dalam wajan melalui lubang disampingnya, dan
tidak keluar lagi.
Selagi Goan-ci hendak
menyatakan bahwa kelabang berbisa sangat jahat, tiba-tiba dari belakang
terdengar suara gemerisik pula, seekor ketungging berwarna coklat merayap tiba
dengan cepat sekali. Segera Goan-ci bermaksud menginjak mati binatang itu, tapi
mendadak A Ci membentaknya, "He, jangan membunuhnya,
goblok!”
Maka sebelah kaki Goan-ci yang
sudah terangkat itu urung menginjak ke bawah. Dalam pada itu ketungging itu
lantas merayap ke arah tripod dan menyusup ke dalamnya. Dalam sekejap saja
terdengarlah suara mencicit ramai, kelabang tadi telah bertarung dengan
ketungging.
Sejak kecil Goan-ci paling
suka mengadu jengkerik dan serangga lain. Kini ia sangat ingin bisa membuka
tutup tripod untuk menyaksikan pertarungan antara kelabang melawan ketungging
itu. Tapi dibawah pengaruh A Ci, ia tidak berani sembarangan bertindak.
Dan belum selesai pertarungan
antara kelabang melawan ketungging itu, kembali dari arah lain datang seekor
cicak, menyusul dari arah berlawanan datang pula seekor binatang aneh yang
bulat bentuknya dan berwarna loreng, entah apa namanya. Kedua binatang ini pun
segera menyusup ke dalam tripod, maka tambah ramailah suara mencicit tadi.
Ketika Goan-ci memandang ke
arah A Ci, ia lihat gadis itu sangat senang, kedua tangan yang putih halus itu
tiada hentinya bergesek-gesek, terdengar gadis itu bergumam perlahan,
"Sungguh sangat mujarab, sudah datang empat jenis.”
Belum selesai ucapannya,
kembali seekor serangga masuk lagi ke dalam tripod. Itulah seekor laba-laba
berbisa.
Dan baru sekarang Goan-ci
paham duduknya perkara, "Kiranya nona ini memilih tempat yang lembab ini
untuk mencari binatang dan serangga berbisa. Tapi entah apa gunanya, jika untuk
melihat pertarungan binatang-binatang itu, mengapa dia tidak membuka tutup
tripod?”
Sejenak kemudian, "plok”,
tiba-tiba ketungging tadi jatuh keluar tripod dan tak berkutik lagi, terang
sudah mati.
Selang tidak lama,
berturut-turut bangkai labah-labah, cicak dan serangga bulat yang tak dikenal
namanya pun menggelinding keluar semua.
"Haha, tetap kelabang
kepala merah yang paling lihai, "seru A Ci dengan senang.
"Nona, dupa apakah yang
kaubakar hingga begini banyak serangga berbisa terpancing kemari?” tanya
Goan-ci.
Mendadak A Ci menarik muka,
semprotnya, "Sudah kukatakan tidak boleh bertanya, kamu sudah lupa ya?
Kalau berani buka mulut lagi, segera kucambuk kamu 100 kali!”
"Hamba ter … terlalu
senang sehingga lupa daratan, harap … harap nona memaafkan, "sahut Goan-ci
dengan merendah.
A Ci tidak menggubris lagi,
segera ia keluarkan pula sebungkus kain waktu dibuka, kiranya sepotong kain
sutra yang tebal. Kain sutra itu bersulam indah dan berwarna-warni menyilaukan
mata.
Segera ia bungkus Giok-ting
itu dengan kain mengkilat itu. Ketika Goan-ci memperhatikan bangkai labahlabah,
ketungging dan lain-lain ia lihat binatang itu sudah kering, sari racunnya
sudah terisap habis oleh kelabang kepala merah itu.
Sementara itu A Ci sedang
mengikat bungkusan kain satin itu dengan kencang seakan-akan kuatir kalau
kelabang di dalam Giok-ting itu akan merayap keluar. Kemudian ia masukkan
bungkusan itu ke dalam tas kulit di pelana kudanya.
"Marilah kita pulang!”
katanya dengan tertawa.
Sambil mengikut di belakang
kuda si gadis, diam-diam Goan-ci membatin, "Tripod hijau itu sungguh
sangat aneh, yang lebih aneh lagi adalah dupa wangi yang dia bakar itu. Hanya
karena mengendus bau wangi dupa itulah maka serangga-serangga itu terpancing
kemari.”
Setiba kembali di istana
Toan-hok-tian, segera A Ci memerintahkan pengawalnya membersihkan sebuah kamar
yang kecil di samping istana untuk tempat tinggal Yu Goan-ci. Keruan girang
Goan-ci melebihi orang mendapat warisan, sebab tanpa ia tahu selanjutnya setiap
hari akan dapat melihat A Ci.
Benar juga, esoknya A Ci memanggilnya
pula dan membawa dia masuk ke ruangan istana samping, lalu A Ci sendiri menutup
pintu ruangan hingga di dalam situ cuma tinggal mereka berdua.
Hati Goan-ci berdebar-debar
sebab tidak tahu apa yang hendak dilakukan si nona.
Tiba-tiba A Ci mendekati
sebuah guci, ia buka tutup guci itu dan berkata kepada Goan-ci, "Coba
lihat, sangat tangkas, bukan?”
Waktu Goan-ci ikut melongok ke
dalam guci, ia lihat kelabang yang ditangkapnya kemarin itu sedang
merayap-rayap dengan cepat dalam guci.
"Sekarang kita pergi
mencari lagi sejenis binatang berbisa yang lain, "ajak A Ci.
Goan-ci tidak berani banyak
bertanya, ia hanya mengiakan saja, walaupun dalam hati sangat heran, seorang
nona cantik demikian mengapa suka main binatang berbisa yang menjijikkan dan berbahaya
seperti itu?
Tidak lama kemudian mereka
telah sampai di suatu lembah pegunungan lain, disitu A Ci menyalakan dupa dalam
Giok-ting hingga lima jenis binatang berbisa dipancing datang lagi. Dan sesudah
pertarungan berakhir, sekali ini yang menang adalah seekor labah-labah hitam.
Setelah pulang, A Ci menaruh
labah-labah itu di dalam sebuah guci yang lain. Ia suruh Goan-ci membawa kasur
bantalnya ke ruangan istana dan menjaga disitu.
Goan-ci sudah biasa main ular
dan serangga berbisa, ia tahu binatang merayap seperti itu sangat pintar
menyusup, dimana tampaknya tiada lubang, sering kali binatang-binatang merayap
itu dapat menyusut keluar. Dan kalau ada salah seekor labah-labah atau kelabang
yang lari keluar pasti dia yang akan tersengat mampus. Sebaliknya kalau sampai
binatang itu ada yang hilang, tentu pula dia akan dihajar mati oleh A Ci.
Oleh karena itu semalaman
suntuk boleh dikata Goan-ci tidak berani tidur, dengan hati kebat-kebit
sebentarsebentar ia bangun untuk memeriksa kedua guci itu.
Esok paginya, dengan cara yang
sama A Ci dapat pula menangkap seekor katak buduk. Hari keempat ia berusaha
menangkap binatang berbisa yang lain, tapi tiada sesuatu yang memuaskan, yang
dapat dipancing datang hanya sebangsa serangga kecil yang kurang lihai
racunnya. Sesudah pindah tempat lagi, akhirnya dapat ditangkapnya seekor
ketungging hijau gelap.
Hari kelima ia tidak dapat
menangkap binatang berbisa lain. Hari keenam juga nihil usahanya. Sampai hari
ketujuh, dapatlah A Ci menangkap seekor ular hijau kecil.
A Ci sangat girang setelah
dapat mengumpulkan kelima jenis binatang itu. Ia suruh Goan-ci memiara
binatangbinatang itu, setiap hari menyembelih seekor ayam jago, darah ayam jago
dibuat makanan binatang-binatang berbisa itu.
Kira-kira belasan hari
kemudian, A Ci datang lagi ke ruangan istana samping itu, ia lihat kelima
binatang berbisa itu sudah gemuk-gemuk, ia sangat senang. Segera ia keluarkan
Giok-ting pula dan menyalakan dupa.
"Bukalah kelima tutup
guci itu, "katanya kepada Goan-ci.
Cepat Goan-ci melaksanakan
perintah itu, ia buka semua tutup guci dan lekas-lekas menyingkir.
Maka terdengarlah suara
gemerisik, kelima jenis binatang berbisa itu telah mengendus bau wangi dupa,
mereka berebut merayap keluar dari guci masing-masing terus menyusup ke dalam
Giok-ting berturut. Lantas terdengar suara mencicit ramai, kelima jenis
binatang itu saling bertarung dengan sengit.
Kelima jenis binatang itu
masing-masing sudah pernah mengisap racun dari jenis binatang lain, ditambah
lagi selama belasan hari telah diloloh dengan darah ayam jago, keruan mereka
sangat tangkas dan sangat bersemangat, begitu ketemu musuh, segera menyerang
dengan ganas.
Dan pertama-tama katak buduk
itu yang tidak tahan, lebih dulu katak itu jatuh keluar Giok-ting menyusul ular
hijau itu pun mati. Tidak lama kemudian, labah-labah loreng dan ketungging pun
mencelat keluar semua. Pemenang terakhir tetap kelabang berkepala merah yang
tertangkap pertama itu.
Kelabang itu tampak merayap
keluar dari Giok-ting untuk mengisap sari racun lawan-lawannya yang sudah mati
itu. Maka badan kelabang itu perlahan mulai melembung, rupanya sangat kenyang
dengan cairan yang diisapnya. Kepalanya yang merah itu mulai bersemu ungu, lalu
menghijau dan membiru.
Semua itu diikuti A Ci dengan
rasa senang, betapa girangnya dapat terlihat dari napasnya yang berat,
terdengar gadis itu berkata dengan suara rendah, "Jadi, jadilah! Dapatlah
kulatih ilmu ini!”
Baru sekarang Goan-ci tahu
bahwa sebabnya si gadis menangkap binatang berbisa itu, kiranya ingin melatih
sesuatu ilmu.
Sementara itu setelah kelabang
tadi kenyang mengisap sari racun lawan-lawannya yang mati itu, lalu merayap
kembali ke dalam Giok-ting.
"Badut besi, bagaimana
pendapatmu tentang perlakuanku kepadamu selama ini?” tanya A Ci tiba-tiba.
"Oh, sungguh sangat baik,
aku merasa hutang budi kepada nona, "sahut Goan-ci. "Biarpun hancur
lebur badanku ini juga susah membalas kebaikan nona.”
"Apa betul-betul ucapanmu
itu?” A Ci menegas.
"Sudah tentu, masakah
hamba berani berdusta, "kata Goan-ci. "Asal nona ada perintah, tidak
nanti hamba menolak.”
"Bagus jika begitu,
"kata A Ci. "Nah ketahuilah bahwa ilmu yang akan kulatih ini
diperlukan seorang pembantu. Apakau kau mau membantu aku? Jika ilmu ini sudah
selesai kuyakinkan, tentu aku akan memberi hadiah padamu.”
"Sudah tentu hamba
menurut perintah saja dan tidak berani bicara tentang hadiah segala,
"sahut Goan-ci.
"Baiklah! Nah, sekarang
juga aku akan mulai berlatih, "kata A Ci.
Habis berkata, ia terus duduk
bersila kedua tangan saling bergesek-gesek, kedua mata terpejam, selang
sebentar, lalu katanya, "Coba gunakan tangan untuk menangkap kelabang itu,
Jika kelabang itu menggigit tanganmu, sekali-kali kamu tidak boleh bergerak,
biarkan kelabang itu mengisap darahmu, makin banyak dia mengisap akan lebih
baik.”
Sejak kecil Goan-ci sudah
biasa main ular dan serangga berbisa, ia tahu binatang merayap seperti kelabang
itu sangat jahat rupanya. Kalau tergigit, tentu luka itu akan bengkak, apalagi
kelabang kepala merah ini telah mengalahkan binatang berbisa lain, sudah tentu
jauh lebih lihai daripada kelabang biasa. Kini A Ci menyuruh tangannya
dibiarkan digigit oleh kelabang itu untuk mengisap darahnya keruan ia merinding
dan ragu-ragu.
Seketika A Ci menarik muka,
tanyanya, "Kenapa? Kamu tidak mau?”
"Bukan tidak mau, nona,
"sahut Goan-ci. "Cuma…cuma .. ”
"Cuma apa? Cuma takut
mati bukan?” semprot A Ci.
Goan-ci tak bisa menjawab. Ia
pikir baru saja ia menyatakan bersedia hancur lebur bagi si gadis dan sekarang
tangannya disuruh digigitkan kelabang sudah merasa jeri. Ia coba melirik A Ci,
dilihatnya wajah gadis itu
bersengut, bibir mencibir
hina. Seketika Goan-ci merasa kena sihir, dengan segera ia berkata, "Baik,
akan kuturut perintah nona.”
Dengan menggertak gigi ia buka
tutup guci, ia pejamkan mata dan julurkan tangan ke dalam guci. Dan begitu jari
menyentuh dasar guci itu, segera jari tengah terasa sakit seperti tertusuk
jarum. Hampir-hampir ia tarik kembali tangannya kalau A Ci tidak keburu
mencegahnya.
Terpaksa Goan-ci menahan sakit
sekuatnya, waktu ia buka mata, ia lihat kelabang itu telah menggigit jari tengahnya
dan benar juga sedang mengisap darahnya.
Bulu roma Goan-ci serasa
berdiri semua, sungguh ia ingin membanting kelabang itu ke tanah dan sekali
gecek mampuskan binatang itu. Meski berdiri mungkur, ia merasa mata A Ci yang
tajam itu seakan-akan menembus punggungnya hingga dia tidak berani berkutik.
Untung rasa sakit gigitan
kelabang itu tidak terlalu hebat. Maka lambat laun badan kelabang itu tampak
melar, membesar. Sebaliknya jari tengah Goan-ci lamat-lamat seperti bersemu
ungu, warna ungu makin tandas hingga akhirnya menjadi hitam. Selang tak lama,
warna hitam itu menjalar dari jari menuju ke telapak tangan, lalu naik ke
lengan dan ke bahu.
Tapi saat itu Goan-ci sudah
tidak menghiraukan jiwanya lagi, ia anggap sepi saja segala bahaya, sebaliknya
ia mengulum senyum malah, cuma senyumannya tertutup oleh topeng besi maka A Ci
tidak dapat melihatnya.
Dalam pada itu, setelah
mengisap darah sekian lamanya, kepala kelabang yang hijau biru itu telah
kembali menjadi merah lagi. A Ci terus memperhatikan badan kelabang itu dengan
mata tak berkedip. Ketika mendadak kelabang itu melepaskan jari Yu Goan-ci dan
mendekam di dalam Giok-ting, selang sejenak, tertampaklah dari lubang bawah
Giok-ting itu menitik cairan darah setetes demi setetes.
A Ci tampak sangat girang,
segera ia menggunakan telapak tangan untuk menahan cairan darah itu, ia duduk
bersila dan mengerahkan tenaga dalam hingga cairan darah di telapak tangan itu
terisap masuk ke dalam tangan.
Diam-diam Goan-ci membatin,
"Itu adalah darahku, sekarang telah berpindah ke dalam tubuhnya. Agaknya
dia sedang melatih semacam ilmu pukulan berbisa sebangsa Ngo-tok -ciang (ilmu
pukulan panca bisa) barangkali ?”
Sudah tentu tia tidak tahu
bahwa Giok-ting itu adalah benda pusaka Sing-siok-pai, apa yang dilatih A Ci itu
adalah "Hoa-kang-tai-hoat” yang paling ditakuti oleh jago silat manapun di
dunia ini.
Begitulah, ketika kemudian
darah beracun dalam badan kelabang itu sudah menetes keluar semua, maka
kelabang itu pun lantas mati.
Waktu A Ci menggosok-gosok
kedua tangan sendiri, ia lihat telapak tangannya tetap putih bersih sebagai
kemala, sedikitpun tiada noda darah, maka tahulah dia bahwa cara berlatih
Hoa-kang-tai-hoat yang pernah didengarnya dari sang guru itu memang tepat dan
tidak salah sedikitpun, ia girang sekali, segera ia angkat Giok-ting dan
menuang keluar kelabang yang sudah mati itu ke lantai, lalu tinggal pergi
dengan cepat, sekejappun dia tidak pandang lagi kepada Yu Goan-ci seakan-akan
pemuda sama saja seperti bangkai kelabang yang tiada gunanya lagi.
Dengan termangu-mangu dan rasa
kecewa Goan-ci memandangi kepergian A Ci, ketika kemudian ia membuka baju
sendiri, ia lihat warna hitam tadi sudah menjalar sampai di bagian ketiak,
berbareng itu lengannya mulai terasa gatal dan pegal. Rasa gatal dan pepat itu
datangnya teramat cepat, dalam sekejap saja ia merasa seperti digigit oleh
beratus ribu ekor semut.
Cepat Goan-ci melonjak bangun,
segera ia menggaruk tangan yang gatal itu. Tapi lebih celaka lagi sesudah di
garuk, rasa gatalnya semakin menjadi hingga serasa tulang sumsum juga dimasuki
oleh serangga yang sedang merayap-rayap disitu.
Pada umumnya rasa sakit dapat
ditahan dan rasa gatal sukar untuk ditahan. Keruan Goan-ci berjingkrakjingkrak
dan berteriak-teriak. Berulang-ulang ia membenturkan kepala di dinding hingga
mengeluarkan suara nyaring, ia berharap dirinya bisa pingsan oleh benturan itu,
dengan demikian ia takkan merasakan derita gatal dan pegal luar biasa itu.
Ketika ia membentur-bentur
lagi kepalanya beberap kali, tiba-tiba dari bajunya jatuh keluar suatu
bungkusan kertas, sejilid buku yang sudah kuning terserak di lantai. Itulah
kitab dalam bahasa Hindu kuno yang ditemukannya di padang rumput tempo hari.
Dalam keadaan gatal tak
tertahankan ia tidak sempat mengurus barangnya yang jatuh. Tanpa sengaja,
sekilas terlihat olehnya halaman kitab yang terbuka itu melukiskan seorang
padri asing yang kurus kering. Gaya lukisan itu sangat aneh, padri itu terlukis
sedang menungging, kepalanya dimasukkan ke selangkangan jadi memandang ke
belakang, sedang kedua tangan memegang kedua kaki sendiri.
Goan-ci sendiri lagi kegatalan
sambil berjingkrak-jingkrak hingga tak menaruh perhatian kepada gaya lukisan
yang aneh itu, ia masih terus melonjak-lonjak dan berjingkrak-jingkrak seperti
orang gila, saking gatalnya hingga rasanya lebih enak mati saja.
Akhirnya saking tak tahan, ia
rebahkan diri di lantai sambil menarik-narik baju sendiri hingga sobek dan
hancur, ia gosok-gosokkan badan sendiri ke lantai hingga lecet dan mengeluarkan
darah.
Begitulah ketika Goan-ci
bergelimpangan di lantai sambil menggosok-gosokkan badannya di lantai entah
mengapa, tahu-tahu kepalanya menerobos ke selangkangan sendiri. Karena dia
memakai ketudung besi, buah kepalanya menjadi amat besar, sekali ketelanjur
terjepit di selangkangan, kepalanya menjadi sukar ditarik kembali. Segera ia
bermaksud mengeluarkan kepalanya dengan tangan tapi tanpa sengaja dan dengan
sendirinya kedua tangan lantas memegang kaki sendiri.
Ia kelabakan sendiri hingga
akhirnya megap-megap. Saking lelah, ia tak bisa berkutik dan terpaksa berhenti
sementara untuk ganti napas, dan tanpa sengaja ia lihat kita yang jatuh terbuka
dan berada di depan matanya. Paderi kurus kering yang terlukis di dalam kitab
itu gayanya persis seperti dia sekarang.
Keruan ia sangat heran dan
geli pula.
Yang paling aneh adalah
sesudah dia bergaya seperti padri dalam lukisan itu, meski rasa gatal dalam
tubuhnya masih tetap sama, namun napasnya menadi banyak lebih longgar. Maka ia
tidak perlu buru-buru mengeluarkan kepalanya dari selangkangan sendiri, dengan
cara begitulah ia mendekam di lantai.
Dan karena kepalanya menerobos
di bawah selangkangan, maka matanya menjadi lebih dekat dengan kitab itu. Waktu
ia pandang lagi padri dalam lukisan, mendadak ia lihat tubuh padri itu terlukis
sedikit-sedikit garis-garis yang halus. Kitab itu sudah tua, kertasnya sudah
kotor kekuning-kuningan, goresan-goresan yang halus itu sebenarnya susah
terbaca, tapi kini Goan-ci menungging hingga mukanya hampir menempel di atas
kitab, maka garis-garis halus itu dapat terlihat jelas.
Saat itu lengan kanan Goan-ci
terasa sangat gatal tak terhingga, dan otomatis pandangannya terarah kepada
lengan kanan padri kurus dalam lukisan itu. Ia lihat garis halus pada lengan
padri itu dari telapak tangan menjurus naik ke tenggorakan, ke dada, ke perut,
dan sesudah melingkar kian kemari akhirnya naik ke bahu terus ke ubun-ubun
kepala.
Karena mata memandang
garis-garis halus dalam lukisan itu, dengan sendirinya hati ikut berpikir juga,
maka terasalah rasa gatal aneh di lengannya itu berubah menjadi suatu arus hawa
hangat dan menggeser menurut jalan garis dalam lukisan itu, mula-mula mengalir
ke tenggorokan, kemudian ke dada, ke perut dan begitu seterusnya hingga
akhirnya sampai di ubun-ubun kepala, kemudian lenyap perlahan.
Begitulah berulang ia gunakan
pikiran dan setiap kali lantas timbul suatu arus hawa hangat dan menyalur ke
dalam otak, sebaliknya rasa gatal di lengan menjadi banyak berkurang.
Heran dan kejut juga Goan-ci,
tapi ia tidak sempat menyelami sebab musababnya, segera ia lakukan cara itu
hingga lebih 30 kali dan rasa gatal di lengan hanya tinggal sedikit saja,
ketika ia melanjutkan belasan kali lagi, rasa gatal itu lantas hilang sirna.
Ketika kemudian ia dapat
mengangkat kembali kepalanya, ia periksa lengannya, ia lihat warna hitam yang
naik ke atas tadi kini sudah lenyap sama sekali. Saking girangnya, ia
berjingkrak. Tapi mendadak ia berteriak, "Ai, celaka! Sekarang racun
kelabang itu telah masuk semua ke dalam otakku!”
Namun rasa gatalnya sekarang
sudah hilang, keadaan badan sehat seperti biasa, meski ada kemungkinan akan
timbul sesuatu di kemudian hari juga tidak dihiraukan lagi. Ia pikir.
"Masakah di dunia ini ada kejadian secara begini kebetulan? Dalam keadaan tidak
sengaja, tahu-tahu aku menirukan gaya seperti padri dalam lukisan itu? Apakah
semua ini memang takdir ilahi?”
Esok paginya, baru saja ia
menerobos keluar dari kolong selimutnya, tiba-tiba A Ci datang kesitu. Ketika
melihat pakaian pemuda itu hancur hingga hampir telanjang, A Ci menjerit kaget,
katanya, "He, kenapa kamu belum mampus?”
Goan-ci terkejut dan cepat
menyusup kembali ke dalam selimut, sahutnya, "Ya, hamba belum mati!”
Diam-diam ia merasa pedih
karena si gadis menganggapnya sudah mati.
"Boleh juga, jika kamu
belum mati, "kata A Ci kemudian, "Nah, lekas pakai baju dan ikut aku
pergi menangkap binatang berbisa lain.”
Goan-ci mengiakan. Ia tunggu
setelah A Ci keluar, segera ia minta suatu stel pakaian kepada prajurit Cidan
yang jaga disitu.
Lalu ia ikut A Ci keluar kota
untuk mencari binatang berbisa seperti tempo hari. Dan sudah tentu, setiap kali
berhasil menangkap sejenis binatang berbisa, selalu Goan-ci yang digunakan
sebagai "kelinci percobaan” untuk latihan A Ci yang hendak meyakinkan "Hoa-kang-tai-hoat”.
Tapi setiap kali Goan-ci selalu menggunakan cara yang dilihatnya dalam lukisan
untuk menghapus racun yang masuk ke badannya.
Begitulah maka berulang-ulang
Goan-ci telah digigit oleh laba-laba hijau, kemudian seekor ketungging besar.
Setiap kali A Ci mengira pemuda itu pasti akan mati, tapi ia menjadi
terheran-heran bila esok paginya melihat Goan-ci masih sehat walafiat.
Keadaan itu berlangsung terus
hingga tiga bulan, belasan li di sekitar kota itu boleh di katakan sukar
didapatkan binatang berbisa lagi, kalau ada hanya tinggal yang kecil dan kurang
berguna. Karena itu, tempat yang mereka datangi menjadi makin jauh di luar
kota.
Suatu hari, mereka sampai di
suatu tempat kira-kira lebih 30 li di barat kota, disitu A Ci menyalakan dupa
wangi. Setelah ditunggu hampir satu jam, akhirnya terdengar gemeresek di antara
semak-semak rumput sana, segera A Ci berseru, "Awas, tiarap, ke bawah!”
Cepat Goan-ci menurut, ia
mendekam ke tanah, maka terdengarlah suara gemersek itu tambah keras, suaranya
aneh dan luar biasa.
Diantara suara aneh itu
tercampur pula bauamis yang memuakkan, Goan-ci tidak berani bergerak sambil
menahan napas. Ia lihat dimana semak rumput tersingkap, muncul seekor ular
sawah yang sangat besar.
Kepala ular sawa itu berbentuk
segitiga, di atas kepala menonjol sepotong daging yang aneh.
Pada umunya di daerah utara
jarang terdapat ular, lebih-lebih ular sawa aneh begitu, selamanya belum pernah
dilihat Goan-ci.
Sementara itu ular sawa
raksasa itu sudah merayap sampai di dekat Giok-ting, lalu melingkari tripod
itu. Badan ular itu panjangnya ada dua-tiga meter. Besarnya sebulat lengan
manusia, sudah tentu tidak dapat menyusup ke dalam Giok ting seperti binatang
merayap yang lain. Tapi dia sangat tertarik oleh bau wangi dupa di dalam Giok-ting,
maka berulang-ulang ular itu membentur dengan kepalanya.
Sungguh sama sekali A Ci tidak
menduga bahwa dupa yang dibakarnya itu dapat memancing datang seekor ular sawa
raksasa seperti itu. Seketika ia menjadi bingung juga, perlahan ia geser ke
samping Goan-ci dan berkata padanya dengan suara tertahan, "Celaka benar!
Bagaimana baiknya sekarang? Bila ular itu membikin remuk Giok-ting tentu runyam
usahaku selama ini!”
Selama ini Goan-ci selalu
dibentak dan dimaki oleh A Ci, belum pernah ia dengar suara ramah-tamah si
gadis seperti sekarnag, nadanya mengajak berunding padanya, keruan ia terkesiap
dan merasa bahagia pula. Segera ia menjawab, "Jangan kuatir, biar kugebah
pergi ular itu!”
Segera ia berbangkit dan
melangkah ke arah ular sawa raksasa.
Demi mendengar suara tindakan
orang, seketika badan ular itu melingkar-lingkar dan kepala menegak sambil
menjulur-julurkan lidahnya yang merah dengan suara mendesis-desis siap untuk
memagut.
Melihat betapa garangnya ular
itu, mau-tak-mau Goan-ci merasa jeri juga. Ada maksudnya menjemput sepotong
batu untuk menimpuk ular itu, tapi ia kuatir luput hingga mengenai Giok-ting
malah.
Tengah ragu dan bingung,
tiba-tiba terasa angin dingin meniup dari sini-sana ada suatu sumbu api sedang
menjalar ke arah sini, hanya dalam sekejap saja jalur api itu sudah menjalar
sampai di depannya.
Waktu ia awasi, kiranya bukan
sumbu api, tapi di tengah semak-semak rumput itu ada sejenis makhluk aneh,
dimana binatang itu merayap lewat, disitu rumput yang tadinya hijau segar
lantas hangus seperti habis terbakar. Berbareng itu Goan-ci merasa kakinya
sangat kedinginan.
Cepat Goan-ci mundur beberapa
tindak, waktu ia perhatikan binatang merayap agak aneh sedang mendekati
Giok-ting itu, kini dapat dilihatnya dengan jelas kiranya seekor ular sutra.
Ular sutra itu warnanya putih
bening kehijau-hijauan, bentuknya serupa dengan ular sutra umumnya, cuma
besarnya lebih sekali lipat hingga mirip seekor cacing. Pula badannya bening
tembus seperti kaca.
Tadi ular sawa raksasa itu
sangat galak, kepalanya menegak dan mendesis-desis mengancam musuh, tapi
sekarang ternyata sangat ketakutan terhadap ulat sutra itu, sedapat mungkin ia
hendak menyembunyikan kepalanya ke bawah lingkaran badannya.
Tapi dengan cepat luar biasa
ulat sutra putih itu telah merambat ke atas badan ular sawa itu sepanjang jalan
yang dirambatnya itu, seketika punggung ular sawa itu terbakar suatu garis
hangus. Waktu ulat itu merayap sampai di atas kepala ular kontan kepala ular
itu pecah merekah bagaikan dibelah dengan pisau yang tajam.
Segera ulat sutra itu menyusup
ke dalam kelenjar bisa dalam kepala ular sawa itu untuk mengisap cairan bisa
ular. Hanya sebentar saja cairan berbisa itu sudah kering terisap hingga badan
ulat itu melar lebih besar satu kali lipat, tampaknya badan ulat yang bening
itu menjadi mirip sebuah botol kecil yang penuh terisi cairan hijau.
Girang dan kejut A Ci melihat
kelihaian ulat sutra itu, katanya dengan suara lirih, "Ulat sutra ini
sungguh hebat, tampaknya adalah rajanya binatang berbisa!”
Sebaliknya Goan-ci diam-diam
sangat cemas dan kuatir, ia pikir, "Jika darahku diisap oleh ulat sutra
berbisa sejahat ini, pasti jiwaku akan amblas sekali ini!”
Dalam pada itu ulat sutra itu
mulai merayap di sekitar Giok-ting, lalu merambat ke atas tripod itu. Setiap
tempat yang dilaluinya tentu meninggalkan suatu bekas hangus.
Tapi ulat itu seperti dapat
berpikir, ia hanya merayap suatu keliling di atas Giok-ting dan seakan-akan
tahu bila menyusup ke dalam tentu ia akan mati. Maka berbeda dengan binatang
berbisa yang lain, ia tidak mau menyusup ke dalam Giok-ting, sebaliknya merayap
turun lagi dan tinggal pergi ke arah datangnya tadi.
"Lekas kejar, lekas!”
seru A Ci.
Segera ia mengeluarkan kain
satin untuk membungkus kembali Giok-ting, lalu mengejar ke arah ulat sutra tadi
dengan diikuti Goan-ci.
Meski ulat sutra itu cuma seekor
binatang kecil, tapi merayapnya ternyata sangat cepat. Untung dimana dia lewat
tentu meninggalkan bekas maka untuk mengikuti jejaknya menjadi tidak susah.
Dan sekali mengejar ternyata
sudah beberapa li jauhnya. Tiba-tiba terdengar di depan ada suara gemericiknya
air, terlihat sebuah sungai melintang disitu. Bekas hangus yang ditinggalkan
ulat sutra itu pun lantas menghilang setiba di tepi sungai. Waktu memandang ke
tepi seberang, disana juga tiada bekas jejak ular. Mungkin sekali ular itu
kecemplung ke dalam sungai, kemudian hanyut terbawa air.
Dengan kesal A Ci mengomel,
"Tadi mengapa kamu tidak mengejar lebih cepat dan sekarang kemana harus
mencarinya? Pendek kata, kamu harus menemukan kembali ular itu!”
Sudah tentu Goan-ci gelisah
dan bingung, ia mencari kian kemari dan sudah tentu hasilnya nihil. Setelah
mencari lagi satu dua jam, sementara itu hari sudah hampir gelap, A Ci tidak
sabar lagi, segera katanya dengan gusar. "Betapapun kamu wajib
menangkapnya kembali untukku, kalau tidak, maka kaupun tidak perlu menemui aku
lagi!”
Habis berkata, ia mencemplak
ke atas kudanya dan tinggal pulang ke kota.
Keruan Goan-ci semakin
gelisah, terpaksa ia mencari terus ke hilir sungai. Sesudah beberapa li lagi,
cuaca sudah mulai remang-remang, tiba-tiba dilihatnya di semak-semak rumput di
seberang sana ada bekas hangus
dilalui ulat sutra itu. Saking
girangnya sampai Goan-ci berteriak, "Nona sudah ketemu sekarang!”
Dan sudah tentu suaranya tak
didengar oleh siapapun sebab A Ci sudah lama tinggal pergi. Segera Goan-ci
menyeberangi sungai itu, ia kejar terus mengikuti jejak hangus itu. Ia lihat
jalur hangus itu menyusur sepanjang jalan pegunungan itu dan menuju ke lereng
bukit di depan sana.
Dengan penuh semangat Goan-ci
berlari lebih cepat. Ketika kemudian ia mengangkat kepala, tiba-tiba dilihatnya
di ujung jalan pegunungan itu berdiri sebuah kelenteng besar dan megah. Sesudah
dekat, Goan-ci lihat papan kelenteng itu tertulis huruf besar "Ci-kian
Bin-tiong-si”.
Ia tidak sempat memperhatikan
keadaan kelenteng itu, yang dipentingkan adalah mengikuti jejak hangus itu. Ia
lihat jalur hangus itu mengitar ke samping kelenteng. Lalu menyusur ke belakang
rumah berhala itu.
Ia dengar di dalam kelenteng
suara genta dan bok-hi (kentungan) sedang berbunyi, disana sini terdengar suara
pembacaan kitab, terang padri di dalam kuil itu sendang liem-keng melakukan
sembahyang petang. Dari suara yang berisik itu, agaknya padri penghuni
kelenteng itu tidak sedikit jumlahnya.
Sejak Goan-ci kepala
dikerudungi topeng besi itu, ia merasa malu diri dan enggan muncul di depan
umum. Karena kuatir diketahui padri dalam kelenteng, segera ia putar ke samping
kelenteng, ia lihat jalur hangus itu melintasi suatu tanah pekarangan, lalu masuk
ke suatu kebun sayur.
Goan-ci sangat girang, ia
menduga dalam kebun sayur itu tak ada orang, mengingat waktu itu sudah magrib
dan para padri sedang sembahyang, cepat ia menuju kebun itu, ia yakin ular itu
tentu lagi makan daun sayur dalam kebun dan dengan gampang akan ditangkapnya.
Tapi baru saja ia sampai di
luar pagar bambu kebun sayur itu, tiba-tiba didengarnya di dalam kebun ada
suara orang sedang mencaci maki. Terdengar orang itu lagi mendamprat,
"Kenapa kamu begini kurang ajar, sendirian mengeluyur pergi pesiar? Sampai
Locu (bapakmu, kata olok-olok) kelabakan setengah mati mencarimu dan kuatir
kamu takkan pulang untuk selamanya. Jauh-jauh Locu telah membawamu ke sini dari
Puncak Kun-lunsan, tapi dasar kamu memang tidak kenal kebaikan Locu. Kalau kelakuanmu
terus begini, bagaimana hari depanmu? Tentu tiada seorang pun yang akan kasihan
pada nasibmu kelak!”
Meski suara orang itu
kedengaran sangat marah, namun mengandung juga rasa kasih sayang, jadi lebih
mirip orang tua yang sedang memberi petuah kepada anaknya yang nakal.
Diam-diam Goan-ci pikir,
"Dia bilang membawanya jauh-jauh dari puncak Kun-lun-san, maka hubungan
mereka terang bukan antara ayah dan anak melainkan guru dan murid atau angkatan
tua lainnya.”
Sembari berpikir segera ia pun
merunduk maju ke tepi pagar bambu dan mengintip ke dalam kebun. Maka
tertampaklah pembicara itu adalah seorang hwesio.
Potongan hwesio itu sangat
lucu, sudah pendek, lagi gemuk, jadi bundar mirip bakpau.
Pada umumnya kepala hwesio itu
tercukur kelimis, tapi dia justru tidak cukur rambut, bahkan mukanya, lengannya
dan dadanya penuh tumbuh rambut yang panjang. Sebaliknya pakaiannya rajin dan
bersih sekali.
Padri itu tampak sedang
menuding ke tanah dengan marah-marah sambil mendamprat.
Sungguh Goan-ci heran tak terkatakan,
sebab di depan padri itu tiada seorang pun. Tapi ketika ia perhatikan, seketika
ia terkejut dan bergirang. Kiranya yang didamprat habis-habisan oleh hwesio
buntak itu tak-lain-takbukan adalah ulat sutra raksasa yang sedang dicarinya
itu.
Memangnya potongan hwesio
buntak itu sangat aneh, ternyata tingkah lakunya terlebih mengherankan masakan
dia mendamprat seekor ulat seperti dia memaki anaknya saja?
Dalam pada itu ulat sutra
raksasa itu tampak merayap-rayap dengan cepat di atas tanah seperti sedang
berusaha melarikan diri, namun hanya dapat mengitar saja di situ, setiap kali
ia seperti terbentur oleh sebuah dinding yang tak berwujud lalu berputar balik.
Waktu Goan-ci perhatikan lebih
cermat, lamat-lamat terlihat di atas tanah situ tergambar sebuah lingkaran
warna kuning, ulat sutra itu merayap ke sini dan menyusup kesana, tapi tidak
dapat melintasi lingkaran kuning itu. Maka pahamlah Goan-ci akan duduknya
perkara, "Tentu lingkaran kuning itu digambar dengan semacam obat bubuk,
dan obat itu justru adalah obat anti ulat sutra!”
Begitulah sesudah hwesio
buntak itu memaki sebentar pula. Kemudian ia merogoh keluar sepotong barang dan
digeragoti. Kiranya barang itu adalah sepotong congor kambing rebus.
Nikmat sekali kelihatannya
hwesio itu makan daging kambing, kemudian ia tanggalkan sebuah buli-buli rusak
dari pinggangnya, ia buka sumbat Ho-lo (buli-buli buatan dari sejenis labu yang
dikeringkan) dan menenggak dengan bernapsu.
Segera Goan-ci mencium bau
arak yang harum. Pikirnya, "Kiranya orang ini adalah hwesio sontoloyo yang
tidak pantang makan daging dan minum arak. Tampaknya ulat sutra ini piaraannya,
makanya ia sangat sayang pada binatang itu. Lantas cara bagaimana aku harus
mencurinya.
Tengah Goan-ci mencari akal,
tiba-tiba didengarnya ada suara orang berseru disebelah kebun sana,
"Sam-ceng! Sam-ceng!”
Hwesio buntak itu kelihatan
terkejut demi mendengar suara panggilan itu, cepat-cepat ia menyembunyikan Holo
dan congor kambing yang belum habis dimakan itu kedalam onggok rumpuk kering di
situ.
Dalam pada itu suara orang
tadi lagi memanggil pula, "Sam-ceng! Sam-ceng! Dimanakau, mengapa kamu
tidak sembahyang magrib, tapi mengumpet dimana?”
Cepat hwesio buntak itu
menjemput sebatang cangkul yang berada di sisinya, segera ia pura-pura lagi
mencangkul ladang sayur, lalu menjawab "Aku berada disini! Aku lagi
mencangkul sayur atas perintah Hongtiang, maka tidak sempat melakukan ibadah.”
Maka tertampaklah orang yang
memanggil itu lagi mendekat, kiranya seorang hwesio setengah umur dengan muka
kereng ia berkata, "Ibadah pagi dan sore harus dilakukan setiap orang.
Untuk mencangkul mengapa mesti dilakukan pada waktu sembahyang? Ayo lekas
kesana, habis melakukan kewajiban boleh datang ke sini untuk mencangkul lagi!”
Si paderi buntak yang
dipanggil Sam-ceng itu mengiakan, lalu menaruh cangkul dan ikut pergi bersama
hwesio yang memanggilnya itu tanpa berani menoleh, rupanya kuatir perbuatannya
tadi ketahuan.
Menunggu setelah kedua padri
itu menghilang dan sekitar situ sudah sunyi, diam-diam Goan-ci menerobos pagar
bambu dan masuk ke dalam kebun, ia lihat ulat sutra itu masih merayap kian
kemari ingin keluar dari lingkaran kuning. Untuk sejenak Goan-ci bingung cara
bagaimana harus menangkap ulat itu.
Tiba-tiba ia mendapat akal,
segera ia menggerayangi onggok rumput kering dan mengeluarkan ho-lo yang
disembunyikan si padri buntak tadi. Ia coba kocok buli-buli itu dan ternyata
masih ada isinya setengah. Ia minum beberap ceguk araknya, lalu membuang
sisanya, perlahan ia pasang mulut holo itu ke garis lingkaran kuning itu. Dan
begitu mulut ho-lo melintang di garis itu cepat sekali ulat lantas menyusup ke
dalam ho-lo.
Girang Goan-ci tak terkatakan,
cepat ia tutup sumbat ho-lo, sambil mendekap ho-lo dengan kedua tangan, segera
ia menerobos keluar pagar bambu dan cepat lari kembali ke arah datangnya tadi.
Tapi baru beberapa puluh meter
jauhnya ia tinggalkan kelenteng itu, segera ia merasa kedua tangannya
kedinginan, hawa dingin itu merembes keluar dari dalam ho-lo. Begitu dingin
hingga tangannya serasa akan beku, ia benar-benar tidak sanggup lagi memegangi
ho-lo itu.
Saking tak tahan akan rasa
dingin itu, ia coba taruh ho-lo di atas kepalanya. Tapi cara ini lebih celaka
lagi baginya, sebab hawa dingin itu menembus topeng besi yang dipakainya hingga
kepalanya kedinginan seakanakan beku, bahkan darah seluruh tubuh juga serasa
beku semua.
Tiba-tiba Goan-ci mendapat
akal lagi, ia lepaskan ikat pinggang, ia ikat pinggang ho-lo itu dan
mencangkingnya dengan tangan. Tali pinggang itu tak tertembus hawa dingin, maka
ia dapat menjinjingnya dengan selamat untuk melanjutkan perjalanan. Namun
begitu hawa dingin masih merembes keluar dari dalam ho-lo hingga dalam sekejap
saja di luar ho-lo telah membeku menjadi selapis es.
Goan-ci berjalan dengan
setengah berlari, waktu hari gelap barulah ia sampai di kota, pintu gerbang
kota sudah ditutup, terpaksa ia bermalam di luar benteng kota, esok paginya
barulah ia datang ke Toan-kok-tian untuk melapor kepada A Ci tentang hasilnya
itu.
A Ci sangat girang, segera ia
perintahkan Goan-ci memiara ulat sutra itu di dalam guci.
Tatkala itu sudah permulaan
musim panas, hawa agak hangat di daerah utara. Tapi sejak ular sutra itu di
piara dalam istana samping, seketika hawa di dalam istana itu tambah dingin,
tidak lama kemudian bahkan air teh di dalam teko dan cangkir juga beku menjadi
es.
Malam itu meski Goan-ci tidur
berselimut, tapi dia kedinginan sampai menggigil, pikirnya "Ulat sutra ini
sungguh sangat aneh, benar-benar jarang terdapat di dunia ini. Bila nanti nona
menggunakan ulat ini untuk mengisap darahku, andaikan aku tidak mati keracunan
juga pasti akan mati beku.”
Ketika A Ci mendapati keadaan
aneh dalam istana itu, segera ia tahu ulat sutra itu bukanlah binatang
sembarangan. Berulang ia menangkap pula beberapa ekor ular dan serangga berbisa
lain untuk diadu dengan ulat sutra itu, tapi semua kalah, asal dilingkari
sekali oleh ulat sutra itu, seketika lawannya mati kedinginan, lalu cairan
racunnya diisap kering oleh ulat sutra.
Belasan hari kemudian, tiada
sesuatu binatang berbisa lain yang dapat diadu lagi dengan ulat sutra itu.
Suatu hari A Ci datang ke
ruangan samping istana dan berkata kepada Goan-ci, "Badut besi, hari ini
kita akan
menggunakan ulat sutra ini.
Nah ulurkan tanganmu ke dalam guci, biarkan ulat itu mengisap darahmu!”
Memang selama beberapa hari
ini hati Goan-ci selalu kebat-kebit, siang berkuatir dan malam bermimpi buruk,
yang ditakuti justru adalah perintah seperti si nona sekarang ini. Dan sekali
nona itu sudah memberi perintah, betapapun pasti akan menjadi korban ulat itu,
untuk minta ampun juga percuma. Dengan rasa pedih Goan-ci memandang A Ci tanpa
berkata dan tidak bergerak.
Sementara itu A Ci sudah duduk
bersila untuk mengerahkan lwekangnya, yang terpikir olehnya saat itu adalah
Hoa-kang-tai-hoat yang akan berhasil dilatihnya itu bukan mustahil akan jauh
lebih lihai daripada gurunya sendiri. Dan ketika melihat Goan-ci diam saja,
segera ia memerintah lagi, "Nah, ulurkan tanganmu!”
Air mata Goan-ci bercucuran, tiba-tiba
ia berlutut dan menjura kepada A Ci, katanya, "Nona, bila ilmu saktimu
sudah berhasil kau yakinkan, hendaklah jangan melupakan hambamu yang berkorban
bagimu ini. Aku she Yu bernama Goan-ci, dan bukan badut besi atau badut tembaga
segala”.
A Ci tersenyum, sahutnya,
"Baiklah, aku akan mengingatnya, namamu Yu Goan-ci. Kamu sangat setia
padaku, sungguh bagus, seorang budak yang setia!”
Pujian itu dirasakan oleh
Goan-ci sebagai hiburan sebelum ajalnya, kembali ia menjura tiga kali lagi dan
menyatakan terima kasih.
Tapi setiap manusia di dunia
ini pasti mempunyai rasa takut mati. Yu Goan-ci juga tidak rela mati konyol
secara begitu. Teringat olehnya tempo hari sesudah dia tergigit oleh kelabang,
jiwanya yang hampir amblas itu dapat tertolong oleh gaya menjungkir si padri
kurus kering dalam lukisan itu. Maka sekarang mencobanya lagi secara
untung-untungan, siapa tahu kalau akan berhasil juga.
Segera ia berdiri dengan
berjinjit. Ia menekuk tubuh dan menyusupkan kepala ke bawah selangkangan,
dengan demikian ia menjulurkan tangan ke dalam guci, sedangkan pikiran tertuju
kepada garis merah yang terlukis pada si padri kurus dalam kitab itu.
Mendadak "clekit” jari
telunjuknya terasa sakit dan gatal, suatu arus hawa dingin terus merangksang ke
dalam tubuh. Namun Goan-ci sudah siap sedia, pikirannya melulu tertuju kepada
garis merah di dalam lukisan si padri kurus itu. Ia merasa hawa dingin itu benar-benar
dapat mengalir menurut relnya, yaitu mengikuti garis merah yang diingat-ingat
olehnya. Maka hawa dingin itu mulai mengalir dari jari ke lengan, dari lengan
ke bahu, ke dada dan berputar-putar untuk kemudian sampai di ubun-ubun kepala.
Meski garis yang dilalui itu
terasa dingin merasuk tulang, tapi rasa dingin itu sangat halus hingga Goan-ci
masih sanggup bertahan.
Semula A Ci sangat geli
melihat kelakuan Goan-ci yang aneh itu. Tapi sesudah agak lama pemuda itu tetap
berjungkir, mau tak mau A Ci merasa sangsi. Ia coba mendekat ia lihat ulat
sutra di dalam guci telah menggigit jari telunjuk pemuda itu.
Karena badan ulat sutra itu
berwarna putih bening, maka dapat terlihat dengan jelas darah yang diisap itu
mengalir masuk ke dalam perut ulat, sesudah berputar di dalam badan, lalu
aliran darah mencurah keluar kembali ke jari Yu Goan-ci.
Sedang agak lama lagi,
lambat-laun kerudung besi, pakaian, kaki dan tangan Goan-ci mulai beku oleh
selapis es.
"Budak ini terang sudah
mati, badan orang hidup umumnya panas, mana dapat beku menjadi es?” demikian A
Ci berkata di dalam hati.
Ia lihat dalam badan ulat
sutra itu masih ada darah yang mengalir, terang belum selesai ular itu mengisap
darah. Terpaksa ia mesti bersabar dan menunggu ulat itu jatuh sendiri bila
sudah kenyang mengisap darah, lalu ia akan gecek mati ular itu untuk mengambil
sari bisanya guna melatih Hoa-kang-tai-koat yang mujizat itu.
Begitulah A Ci menaruh
perhatian penuh akan keadaan ulat sutra itu sambil siap memegang sebatang
tongkat untuk menggeceknya. Sekonyong-konyong dilihatnya badan ulat sutra itu
mengeluarkan hawa panas.
Selagi A Ci terkejut dan
terheran-heran "bluk”, tahu-tahu ulat itu jatuh ke dalam guci. Kontan saja
A Ci mengetuk dengan tongkat yang dipegangnya.
Semula ia duga gecekannya itu
belum tentu dapat membinasakan ulat itu mengingat binatang itu sangat licin dan
gesit. Siapa duga, sekali ulat itu jatuh ke dalam guci, seketika menggeletak
dengan perut di atas tanpa berkutik lagi, maka sekali gecek segera ulat sutra
itu gepeng dan hancur.
A Ci sangat girang, cepat ia
masukkan tangan ke dalam guci, ia poles cairan darah ulat itu pada kedua
telapak tangan sendiri, lalu pejamkan mata dan mengerahkan lwekang, maka dengan
cepat cairan darah ulat sutra itu terisap kering ke dalam telapak tangan. Ia
tahu khasiat ulat sutra itu sangat sukar dicari, maka berulang-ulang A Ci poles
cairan darah ulat pada tangannya, setelah cairan itu kering betul-betul barulah
ia berhenti.
Kemudian ia berbangkit, ia
lihat Goan-ci masih berjungkir, seluruh badan penuh terbungkus es. Sudah tentu
A Ci sangat heran, ia coba meraba badan orang, ia merasa dingin sekali, untuk
sejenak A Ci memandang keadaan aneh itu dengan bingung, lalu tinggal pergi.
Entah paginya A Ci datang ke
ruangan istana pula, ia lihat Goan-ci masih tetap terjungkir dan es yang
membeku di atas badan pemuda itu bertambah tebal. Terkejut dan geli pula A Ci.
Segera ia memanggil Sili dan menyuruhnya menyeret pergi mayat Yu Goan-ci untuk
dikubur..
Dengan beberapa anak buah
segera mengangkut mayat Goan-ci keluar kota dengan kereta kuda.