Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 41-45

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 41-45
Jilid 41
Di luar dugaan hal ini memang sudah dalam perhitungan Ti-sing-cu, sebab itulah ia mengerahkan tenaga lebih kuat hingga bunga api itu mendesak lebih dekat lagi, Ia taksir bila api itu dapat menjilat tubuh si gadis, tentu tenaga dalamnya akan terganggu, dalam keadaan begitu bila ia hamburkan bunga api yang lain, pasti dara cilik itu akan tamat riwayatnya.

"Celaka!" segera hal itu dapat diketahui oleh Siau Hong, Ia tahu A Ci tidak mampu melawan lagi, segera ia ayun tangan pelahan dan serangkum angin keras terus menyambar kedepan.

Maka terlihatlah waktu A Ci menggeser tubuh tadi, kedua ujung kain ikat pinggangnya mendadak berkibar keatas sambil mengebas dan kontan kedua titik bunga api tadi terus menyambar kembali kearah Ti-sing-cu sendiri.

Karuan Ti-sing-cu melongo kaget, dan sedikit ayal saja kedua bunga api itu sudah menyambar sampai didepannya, Ia menjerit sekali sambil meloncat sekuatnya keatas hingga setitik bunga api melayang lewat dibawah kakinya. Selagi kedua orang Sutenya bersorak memuji kepandaiannya yang hebat, sekonyong-konyong bunga api yang lain menyambar keperut Ti-sing-cu, Dalam keadaan terapung diudara, dengan sendirinya ia tak bisa menghindar pula, "Ces", perut tepat keselomot dan hangus, Kembali Ti-sing-cu menjerit sekali, lalu turun kebawah.

Kiranya Siau Hong gemas karena kata-katanya tadi yang kurangajar tentang A Cu, maka sengaja hendak memberi sedikit hukuman.

Dan sesudah Ti-sing-cu menginjak tanah, bola api tadi yang tanpa pengemudi lantas jatuh kembali kegundukan api unggun. Menyaksikan itu, sorot mata semua orang sama mengunjuk rasa jeri dan hormat kepada A Ci, pikir mereka, "Wah, tampaknya lwekang Siausumoai juga tidak lemah, Toasuheng belum tentu mampu melawan dia, sebaiknya sorak pujian kami jangan terlalu keras-keras lagi,"

Dalam pada itu Ti-sing-cu telah membuka gelung rambutnya hingga rambutnya yang panjang terurai dan separoh mukanya tertutup, mendadak ia gigit ujung lidah sendiri hingga berdarah, sekali ia sembur, sekumur darah menghambur kearah api unggun.

Mendadak api unggun itu menyirap, tapi segera terang benderang pula hingga menyilaukan mata,

Tanpa tertahan para Sutenya bersorak memuji, "Sungguh hebat kepandaian Toasuko!"

Sekonyong-konyong Ti-sing-cu putar tubuh dengan kencang hingga mirip gangsingan cepatnya, sambil mengibarkan lengan bajunya yang lebar itu, seketika api unggun seakan-akan terbetot naik keatas dan bagaikan dinding api terus menguruk keatas kepala A Ci.Dengan segenap tenaga dalam Ti-sing-cu telah mengadakan taruhan terakhir malawan A Ci.

Siau Hong tahu orang telah mengeluarkan semacam ilmu hitam yang sangat lihai, jika dirinya mematahkannya dengan tenaga murni, pasti lawan akan keok, tapi diri sendiri juga akan berkorban tenaga tidak sedikit, Biarpun jahat toh orang ini tiada permusuhan apa-apa dengannya, buat apa menempurnya mati-matian?. Karena pikiran ini, segera Siau Hong tarik pinggang A Ci dan bermaksud membawanya lari, ia menduga Ti-sing-cu takkan dapat menyusulnya.

Diluar dugaan, datangnya api itu cepat luar biasa, dalam sekejap saja badan A Ci sudah akan terjilat api, dalam keadaan begitu Siau Hong tak diberi kesempatan untuk berpikir lagi, untuk membawanya lari juga tidak sempat, demi keselamatan A Ci yang nasibnya oleh A Cu telah dipasrahkan padanya, terpaksa Siau Hong hantamkan kedua tangannya sekaligus, dua rangkum angin keras lantas menjungkit-kan lengan baju A Ci hingga berkibar keatas, dan angin pukulan itupun menyambar kedepan.

Dibawah sinar api yang terang itu, tampaklah dimana lengan baju A Ci mengebut kedepan, dua rangkum angin keras lantas menyambar juga memapak dinding api unggun itu, Api hijau itu terhenti sejenak di udara, kemudian pelahanlahan menyurut kearah Ti-sing-cu.

Karuan saja Ti-sing-cu sangat kaget, kembali ia gigit ujung lidah dan sekumur darah disemburkan lagi, Dan mendadak api itu berkobar pula seperti habis ditambah minyak, lalu mendesak maju, tapi satu meter lebih, lagi-lagi dipaksa menyurut kembali.

Begitulah bagi para anak murid Sing-siok-pai yang lain, mereka hanya melihat lengan baju A Ci berkibar-kibar mirip layar tertiup angin, mereka menyangka lwekang anak dara itu sudah maha tinggi, dengan sendirinya tidak menyangka bahwa dibelakang A Ci sebenarnya ada tulang punggung lagi.

Tatkala itu air muka Ti-sing-cu sudah berubah pucat, darah masih terus disemburkan kearah api, tapi setiap kali ia menyemburkan darah sekumur, setiap kali pula tenaganya berkurang,

Ibarat orang sudah naik dipunggung harimau, kalau melompat turun juga akan diterkam sang harimau, terpaksa ia mengadu jiwa dengan harapan A Ci akan terbakar oleh apinya, tentang kerusakan lwekangnya akan dapat dipulihkannya kembali kelak.

Namun meski ia menyemburkan darah terus menerus, dibawah bendungan tenaga dalam Siau Hong yang hebat, betapapun api unggun yang hijau itu tak bisa menerjang maju lagi.

Dari tenaga lawan yang makin lemah itu, Siau Hong tahu orang sudah mulai payah, ibarat lentera yang kehabisan minyak, sebentar saja Ti-sing-cu pasti akan menggeletak tak berkutik,

Segera ia membisiki A Ci, "Boleh kau suruh dia mengaku kalah saja dan pertarungan ini dapat diberhentikan."

A Ci menurut, segera ia berseru, "Nah, Toasuko, sudah terang kamu tak bisa menandingi aku, lekas berlutut saja dan minta ampun, aku berjanji takkan membunuhmu, Nah, lekas mengaku kalah, lekas!"

Ti-sing-cu cemas dan takut ia insaf jiwanya tinggal diujung rambut saja, Maka demi mendengar ucapan A Ci itu, segera ia manggut-manggut dan tidak bicara lagi, Kiranya saat itu ia sedang

melawan Siau Hong dengan sepenuh sisa tenaganya, asal membuka mulut, segera api unggun itu akan membakar hiduphidup diri sendiri.

Melihat keadaan begitu, seketika para Sutenya berganti haluan, kini mereka tidak memuji dan menjilat lagi, sebaliknya beramai-ramai mencaci maki Ti-sing-cu.

"Ayo, Ti-sing-cu, kamu sudah kalah, mengapa tidak lekas berlutut dan menjura?"

"Huh, manusia goblok macam begitu juga berani pamer disini, benar-benar pamor Sing-siok-pai kita telah kau bikin ludes."

"Ayolah Ti-sing-cu, kenapa tidak buka mulut lagi? Dengan segala kemurahan hati Siausumoai telah mengampuni jiwamu, masak kamu masih kepala batu?"

"Huh, biasanya kamu cuma pandai main garang pada kami, kini sekali dilabrak oleh Siausumoai, maka celakalah kau!"

Begitulah manusia-manusia rendah dan pengecut itu memang pandai mengikuti arah angin dimana lebih menguntungkan mereka, kesanalah mereka mendoyong, Melihat Ti-sing-cu sudah kalah, tanpa sungkan-sungkan lagi mereka lantas mengolok-olok dan mencaci maki dengan segala kata-kata kotor, Tadi mereka memuji, kini sang Toasuko sepeserpun tidak laku lagi dalam penilaian mereka.

Diam-diam Siau Hong membatin. "Anak murid iblis tua Sing-siok-pai ternyata begini rendah jiwanya, sejak kecil A Ci sudah bergaul dengan mereka, pantas ketularan sifat-sifat mereka yang jelek itu,"

Dan karena melihat keadaan Ti-sing-cu yang serba runyam itu, diam-diam Siau Hong merasa tidak enak sendiri, mendadak ia pun menarik kembali tenaga dalamnya hingga lengan baju A Ci yang berkibar itu melambai kebawah.

Dengan semangat lesu dan mata guram, tubuh Ti-sing-cu terhuyung-huyung, mendadak lutut terasa lemas, ia terduduk ditanah.

"Bagaimana Toasuko?" kata A Ci kemudian, "Kamu menyerah tidak padaku?"

"Ya, aku....aku mengaku kalah," sahut Ti-sing-cu dengan suara rendah, "Jangan kau panggil... panggil Toasuko lagi pada....padaku, engkau sekarang adalah... adalah Toasuci kita."

Mendengar ucapan terakhir itu, serentak anak murid sing-siok-pai yang lain bersorak-sorak,

"Bagus, bagus! Ilmu silat Toasuci memang maha sakti, didunia ini tiada tandingannya lagi, Sing-siok-pai kita mempunyai ahli-waris sebagai Toasuci, pastilah akan merajai dunia persilatan ini."

"Ya, Toasuci, lekas kau pergi membinasakan 'Pak Kiau Hong dan Lam Buyung' apa segala, segera Sing-siok-pai kita akan menjagoi dunia untuk selamanya," demikian seorang lagi.

Tapi seorang lain lantas menyanggahnya, "He, jangan sembarang omong, Pak Kiau Hong adalah Cihu Toasuci kita, mana boleh dibunuh?"

"Kenapa tidak boleh?" sahut orang tadi. "Kecuali kalau dia juga masuk menjadi anggota Sing-siok-pai kita dan mengaku kalah pada Toasuci."

Diam-diam Siau Hong mendongkol dan geli pula ditempat persembunyiannya, Dalam pada itu ia dengar A Ci sedang mendamprat orang-orang tadi, "Hai, kalian mengaco-belo apa? Tutup mulut kalian!"

Lalu ia berkata kepada Ti-sing-cu, "Nah, Toasuko, tadi kuminta engkau mengampuni diriku, tapi engkau sangat kejam dan tidak mau, sekarang apa yang akan kau katakan?"

"Ya, aku... aku memang pantas mampus!" sahut Ti-sing-cu dengan terputus-putus. "Tadi kau bilang suka padaku, Biarlah segera kupulang dan membunuh biniku itu, kemudian akan kuambil dirimu sebagai istri, selamanya aku akan tunduk pada perintahmu."

Mendengar itu, seketika anak murid Sing-siok-pai yang lain sama bungkam, suasana menjadi sunyi senyap, diam-diam mereka membatin, "Wah, celaka! Siausumoai tadi memang menyatakan suka pada Toasuko, bila benar bila Toasuko memperistri dia, dengan sendirinya Siausumoai sangat senang, Dan sebagai suami-istri sudah tentu tiada perbedaan siapa yang akan menjadi ahli-waris Sing-siok-pai, Wah celaka, hati Toasuko tak boleh disakiti."

Jitsute yang mukanya terbakar tadi, kini rasa sakitnya sudah mereda, ia ingin berjasa dulu untuk menebus dosa maka cepat ia mendahului buka suara, "Benar, Toasuci, jika kau jadi istri Toasuko, itulah suatu pasangan yang setimpal, yang lelaki ganteng, yang perempuan ayu, tokoh persilatan mana yang takkan iri melihat pasangan kalian? Memangnya kalau bukan lelaki tampan sebagai Toasuko rasanya sukar juga mencari jejaka yang setimpal bagimu."

"Ya, Toasuci, meski ilmu silat Toasuko sedikit kurang dari padamu, tapi didunia ini selain Toasuci sendiri, jelas Toasuko terhitung jago nomor dua," demikian seru seorang lagi." Dan selanjutnya Toasuko tentu akan menurut perintahmu, betapapun dia takkan berani membangkang, aku berani menjaminnya,"

Begitulah yang satu bilang begini dan yang lain berkata begitu, semuanya memuji dan mendukung perjodohan mereka yang dikatakan setimpal dan akan bahagia.

Ditempat sembunyinya diam-diam Siau Hong juga berpikir, "A Ci menyatakan suka pada orang ini, tampaknya mereka memang suatu pasangan yang sesuai."

Ia coba melirik anak dara itu, ia lihat wajahnya bersenyum simpul, tampaknya sangat senang,

Maka diam-diam ia membatin lagi, "Ya, apa boleh buat, dia sendiri juga sudah setuju, maka selesailah kewajibanku kepada pesan tinggalan A Cu itu, Sejak kini dia sudah berumah tangga, aku tidak perlu pikirkan dia lagi."

Selagi Siau Hong bermaksud tinggal pergi, tiba-tiba didengarnya A Ci berkata. "Toasuko, engkau sungguh suka padaku atau cuma terpaksa saja memperistrikan aku?"

"Sungguh-sungguh suka, sungguh mati!" sahut Ti-sing-cu, "Kalau aku berpura-pura, biarlah aku terkutuk dan mati tak terkubur."

Segera para Sutenya beramai-ramai memberi suara pula. "Ya, sudah tentu Toasuko bersungguh hati, Toasuci yang berilmu silat setinggi itu, siapakah yang tidak ingin mempersuntingnya?"

"Betul, untuk menikah dengan Toasuci, Toasuko sudah berjanji akan membunuh Suso (istri Suko), kalau Toasuko tidak tega, kami siap melaksanakannya,"

A Ci merasa muak juga oleh sifat penjilat pantat kawan-kawannya itu, Dengan tertawa ia berkata kepada Ti-sing-cu, "Tadi kuminta kau ampuni aku, mengapa kamu tidak mau?"

"O, aku... aku hanya... hanya bergurau saja...." sahut Ti-sing-cu dengan tergagap-gagap.

Sesudah pertandingan tadi, tenaga dalamnya telah terkuras habis oleh Siau Hong, maka kini ia pun lemas dan lepuk, asal seorang Sutenya menantangnya saja dia tak mampu melawan, Maka yang ia harap sekarang hanya semoga A Ci mau mengampuni jiwanya, jalan lain tidak ada, Dan bila kelak lwekangnya sudah pulih barulah dia akan membikin perhitungan dengan mereka yang pernah mengolok itu.

Kemudian A Ci berkata lagi, "Menurut peraturan kita, bila ada pergantian ahli-waris, lalu cara bagaimana ahli-waris lama itu harus ditindak?"

Keringat dingin membasahi jidat Ti-sing-cu, dengan suara gemetar ia memohon. "Harap Toa.... Toasuci sudi memberi ampun!"

"Aku pun ingin mengampuni kau," sahut A Ci dengan mengikik tawa, "Cuma sayang, peraturan tetap peraturan, tidak boleh aku melanggarnya, Toasuko, sesungguhnya pada waktu kecil aku pernah suka padamu, tapi kemidian makin lama aku makin jemu padamu, apakah kau tahu hal ini?"

"Ya... ya!" sahut Ti-sing-cu dengan lesu.

"Nah, Toasuko, boleh seranglah!" kata A Ci pula, "Kamu memiliki kepandaian apa, silakan keluarkan semua."

Insaf nasib sendiri sudah tak bisa diubah lagi, Ti-sing-cu menjadi nekat, ia tidak minta ampun lagi, tapi kedua tangan lantas siap, ia kerahkan sisa tenaganya yang masih ada terus memukul kearah api unggun yang hijau itu, Tapi sayang, ibarat pelita sudah kehabisan minyak, setitik tenaganya itu terang tak berguna, pukulannya hanya membuat api unggun bergetar beberapa kali, lalu tenang kembali.

"Aha, sungguh menarik," seru A Ci dengan tertawa. "Eh, Toasuko, mengapa permainan sulapmu tak manjur lagi?"

Habis berkata, sekali tangannya menjulur kedepan sambil melangkah maju, seketika sejalur api hijau memancar kearah Ti-sing-cu. Sebenarnya tenaga dalam A Ci hanya biasa saja, maka lidah api itu pun tidak seberapa besar, tapi karena Tising-cu sudah tak berdaya lagi, bahkan tenaga untuk melarikan diri juga sudah tak ada, Maka begitu api hijau itu menjilat badannya, seketika rambut dan pakaiannya terbakar. ditengah jerit ngerinya seantero tubuhnya lantas terbungkus oleh api yang berkobar-kobar.

Serentak para anak murid Sing-siok-pai yang lain ramai bersorak puji akan kesaktian Toasuci mereka.

Meski Siau Hong sudah sering menyaksikan kejadian mengerikan didunia kangouw, tapi seorang gadis jelita dan muda belia seperti A Ci, kelakuannya ternyata begini keji dan ganas, sungguh ia takkan percaya jika tidak menyaksikan sendiri, Sungguh rasa hatinya jemu tak terkatakan, ia menghela napas dan segera melangkah pergi.

"Cihu, Cihu! Tunggu, Cihu!" segera A Ci berteriak-teriak.

Tapi Siau Hong tak gubris padanya, ia tetap bertindak pergi dengan langkah lebar. Karuan anak murid Sing-siok-pai sama kaget ketika tahu-tahu melihat munculnya orang dibalik batu karang itu, terutama silelaki hidung singa dan sigendut yang mengenali kelihaian Siau Hong.

"Cihu, Cihu, tunggulah aku!" seru A Ci pula sambil menyusulnya.

Sementara itu jeritan Ti-sing-cu yang mengerikan itu semakin keras hingga berkumandang jauh diseluruh lembah pegunungan, seram dan memekak telinga.

Melihat si A Ci masih terus menguntitnya, dengan kening berkernyit Siau Hong berkata, "Buat apa kau ikut padaku? Kamu sudah menjadi ahli-waris Sing-siok-pai, sudah menjadi Toasuci orang-orang itu bukankah sudah memuaskan hatimu sekarang?"

"Tidak bisa." sahut A Ci dengan tertawa, Lalu ia tekan suaranya dan berkata pula. "Kedudukan Toasuci-ku ini adalah hasil menipu, buat apa mesti kuberatkan? Biarlah aku ikut keluar Gan-bun-koan untuk mengangon domba saja, Cihu."

Dalam pada itu suara Ti-sing-cu yang mengerikan itu masih terdengar, Siau Hong tidak ingin tinggal lebih lama disini, segera ia percepat langkahnya ke Utara.

Cepat A Ci jalan berjajar dengan Siau Hong, bahkan ia menoleh dan menggembor kepada anak murid Sing-siok-pai, "Jitsute, aku ada keperluan harus berangkat ke utara, kalian boleh tunggu aku disekitar sini, sebelum aku kembali kalian dilarang sembarang tinggal pergi, tahu tidak?"

Anak murid Sing-siok-pai itu beramai-ramai memburu maju beberapa tindak dan membungkuk dengan penuh hormat, seru mereka, "Atas titah Toasuci, sedikit pun kami tak berani membangkang!" Habis itu, mereka lantas menyerukan puja-puji lagi kepada sang 'Toasuci' yang maha sakti itu.

A Ci melambaikan tangan beberapa kali dengan wajah berseri-seri, lalu tinggal pergi bersama Siau Hong.Melihat sifat A Ci yang masih kekanak-kanakan, habis membunuh orang malah kelihatan senang, seperti habis makan penganan enak atau mandapat mainan baru, kalau tidak menyaksikan sendiri pasti tiada seorangpun yang percaya bahwa anak dara ini baru saja berhasil merebut kedudukan ahli-waris Sia-pai yang terbesar di dunia ini.

Siau Hong menghela napas, ia merasa didunia ini segala apa seperti impian belaka, hampa rasanya.

"Engkau menghela napas, ada apa, Cihu? Apa engkau anggap aku terlalu nakal?" tanya A Ci.

"Itu bukan nakal lagi, tapi kejam dan ganas!" sahut Siau Hong. "Kalau yang berbuat adalah kaum laki-laki kami, hal mana masih dapat dimengerti, tapi dirimu adalah seorang nona cilik, kenapa sedikitpun kamu tidak kenal ampun? Malah engkau sendiri menyatakan dahulu pernah suka pada Toasuhengmu itu, mengapa sekarang kau bakar mati dia?"

"Engkau sudah tahu dan pura-pura tanya atau sungguh-sungguh tidak tahu" tanyaA Ci dengan heran.

"Sudah tentu aku tidak tahu, makanya tanya."

"Sungguh aneh, masakah engkau tidak tahu? Bukankah kedudukanku sebagai Toasuci ini adalah berkat bantuanmu, cuma saja mereka tidak tahu, Bila aku tidak membunuh dia, kelak pasti akan diketahui olehnya dan bila engkau kebetulan tidak berada di dampingku, bukankah jiwaku akan amblas ditangannya? Dan untuk keselamatanku sendiri, sudah tentu aku harus membunuhnya."

"Katanya kau suka padanya, selang beberapa tahun lagi setelah dewasa kamu boleh menikah dengan dia, tatkala mana masakah dia tega membunuhmu?"

"Dia memang berjanji akan membunuh istrinya untuk menikah denganku, tapi kalau aku menjadi istrinya, tentu nasibku akan serupa bila kelak ada perempuan lain minta dia membunuhku, Lagi pula, aku merasa menikahi dia juga tidak begitu menarik."

Diam-diam Siau Hong membatin, "Benar-benar omongan kanak-kanak, Menjadi suami-istri adalah urusan selama hidup, masakah ada soal menarik apa segala? Bocah ini dibilang bodoh toh dia sangat cerdik, dibilang dia pintar Toh ucapannya tak karuan dan suka bikin gara-gara."

Maka katanya segera, "Baiklah! Dan untuk apa kamu ke Gan-bun-koan?"

"Cihu, akan kukatakan terus terang, kau mau mendengarkan tidak?"

"Bagus, jadi selama ini kamu tidak pernah jujur padaku dan baru sekarang mau berterus terang!" demikian Siau Hong membatin, Tapi dimulut ia berkata; "Tentu saja aku ingin mendengarkan, cuma ku-khawatir kamu tidak mau bicara terus terang."

"A Ci mengikik tawa sambil merangkul lengan Siau Hong, katanya, "Masakah engkau juga khawatir padaku?"

"Banyak hal-hal yang ku-khawatirkan padamu, ku-khawatir kamu akan menimbulkan gara-gara, ku-khawatir kamu sembarangan membunuh ornag, khawatir kamu mempermainkan orang, khawatir...."

"Eh, kau khawatir aku dihina orang tidak? Kalau aku dibunuh orang, bagaimana?" tanya A Ci tiba-tiba.

"Aku telah dipesan oleh Cicimu, dengan sendirinya aku harus menjaga keselamatanmu," sahut Siau Hong.

"Bila Ciciku tidak pernah meninggalkan pesan padamu? Dan umpamanya aku bukan adik A Cu, lalu bagaimana?"

"Hm, sudah tentu takkan kuperduli," jengek Siau Hong.

"Memangnya Ciciku sedemikian baik sehingga sedikitpun tidak kau hargai diriku?"

"Sudah tentu, Cicimu beribu kali lebih baik dari padamu, A Ci, selama hidupmu ini tidak mungkin dapat menyamai dia." berkata sampai disini mata Siau Hong menjadi agak basah dan suaranya sedih.

Dengan mulut menyungkit A Ci menggerundel, "Jika benar A Cu lebih baik dari padaku, suruhlah dia mengawinimu saja, aku tidak mau menemanimu lagi," Habis berkata, segera ia putar tubuh dan melangkah balik.

Tapi Siau Hong tidak ambil pusing, ia tetap meneruskan perjalanannya, pikirnya, "Jika A Cu yang bersamaku sekarang, betapapun dia tidak mungkin marah padaku, selamanya dia ramah-tamah padaku, begitu pula segala apa kuturuti dia, andaikan dia mengomel sesuatu juga aku akan mengaku salah padanya, Tapi, tidak, tidak mungkin dia marah padaku."

Begitulah ia pikir yang tidak-tidak, Tiba-tiba didengarnya suara tindakan orang dari belakang, ternyata A Ci telah menyusulnya pula, Kata anak dara itu, "Cihu, engkau ini benar-benar orang kejam, sekali tidak mau menunggu, tetap tidak menunggu, sedikitpun engkau tidak punya rasa kasihan."

Siau Hong tertawa geli, katanya, "A Ci, mengapa kau bicara tentang kasihan segala? Dari siapakah pernah kau dengar kata-kata kasihan?"

"Dari ibuku," sahut A Ci, "Beliau mengatakan padaku bahwa menjadi orang itu jangan kejam, jangan galak, tapi harus 'welas asih'."

"Apa yang dikatakan ibumu memang benar, cuma sayang sejak kecil kamu sudah berpisah dengan beliau hingga mendapat didikan jahat dari gurumu," kata Siau Hong.

"Baiklah, Cihu, selanjutnya aku akan berada bersamamu dan akan banyak belajar hal-hal yang baik darimu," kata A Ci dengan tertawa.

Siau Hong berjingkrak kaget, cepat ia goyang-goyang tangannya sambil berseru, "Wah, tak bisa jadi, Apa gunanya kau ikut orang kasar seperti aku ini? Sudahlah, A Ci, lekas kau pergi saja, kalau berada bersamamu malah pikiranku menjadi kesal dan kusut, untuk pikir secara tenang sedikit saja tak dapat."

"Apa yang hendak kau pikirkan, coba katakanlah, biar aku membantumu memikirkannya," kata A Ci, "Cihu, engkau ini

memang seorang baik, mudah ditipu orang."

Mendongkol dan geli Siau Hong oleh ucapan dara itu, katanya, "Kamu hanya seorang anak perempuan, tahu apa? Memangnya sesuatu yang tak dapat kupikirkan sebaliknya mesti minta nasihatmu?"

"Sudah tentu, banyak hal-hal aneh yang justru tak mungkin dapat kau pikirkan," kata A Ci, Ia merandek dan meraup secomot salju, ia kepal hingga keras, lalu disambitkan, Kemudian ia tanya, "Cihu, untuk apakah kau pergi keluar Ganbun-koan?"

"Tidak untuk apa-apa," sahut Siau Hong sambil geleng kepala. "Disana aku akan mengangon domba dan menggembala sapi untuk melewatkan hidupku ini, habis perkara."

"Lalu, siapakah yang akan memasak makanan bagimu? Siapakah yang akan membuatkan pakaian bagimu?" tanya A Ci.

Siau Hong melengak, memang tak pernah terpikir olehnya tenttang soal-soal itu, Segera ia menjawab sekenanya, "Tentang sandang-pangan kan gampang? Orang Cidan kami hanya makan daging kambing dan sapi, bajunya buatan dari kulit domba dan sapi, dimana-mana dapat dijadikan tempat tinggal, bukankah sangat sederhana?"

"Dan tatkala engkau kesepian, siapakah yang akan mengajak bicara padamu?" tanya A Ci.

"Gampang, sesudah aku berada diantara suku bangsa sendiri, tentu saja akan mendapat banyak kawan sebangsa." sahut Siau Hong.

"Tapi yang mereka bicarakan dan lakukan melulu urusan berburu, menunggang kuda, menyembelih sapi dan menyembelih kambing, hal-hal begitu kan membosankan?" ujar A Ci.

Siau Hong merasa ucapan anak dara itu beralasan juga, Ia hanya menghela napas dan tidak menjawab.

"Apakah engkau harus kembali ketempat suku bangsamu sana?" A Ci bertanya pula, "Jika engkau tidak pulang kesana, tapi tinggal disini untuk berkelahi, minum arak, baik mati atau akan hidup, bukankah cara demikian lebih menyenangkan, lebih memuaskan?"

Mendengar itu, seketika dada Siau Hong terasa panas, semangat kesatrianya tergugah lagi, Ia mendongak dan bersuit panjang. "Ya, ucapanmu betul juga!" katanya kemudian."

"Eh, Cihu," tiba-tiba A Ci menarik-narik lengan Siau Hong, "Sudahlah, jangan engkau pulang kesana dan aku pun takkan pulang ke Sing-siok-hai, aku akan membantumu berkelahi dan minum arak."

Siau Hong tertawa oleh sifat anak dara yang masih kekanak-kanakan itu, katanya, "Kamu kan Toasuci dari Sing-siok-pai, jika mereka kehilangan Toasuci dan ahli-waris kan bisa berabe?"

"Kedudukanku sebagai Toasuci ini diperoleh dengan menipu, setiap waktu bila rahasiaku ketahuan mereka, tentu jiwaku bisa melayang, maka lebih baik kuikut denganmu untuk berkelahi dan minum arak saja."

"Bicara tentang minum arak, kekuatanmu minum terlalu sedikit, mungkin setengah mangkuk saja kamu akan mabuk," ujar Siau Hong dengan tersenyum. "Tentang kepandaianmu berkelahi juga tidak cukup, bukan mustahil akhirnya nanti bukan lagi kau bantu aku, tapi akulah yang membantumu."

A Ci menjadi masgul oleh jawaban itu, ia berkerut kening dan sesudah beberapa tindak lagi, sekonyong-konyong ia duduk ditanah dan menangis keras-keras.

Siau Hong terkejut oleh kelakuan anak dara itu, cepat ia tanya. "He, ada... ada apakah?"

Tapi A Ci tidak menggubrisnya, ia tetap menangis tergerung-gerung dengan sangat berduka. Sejak Siau Hong kenal A Ci, selalu ia lihat anak dara itu mau menang sendiri, sekalipun waktu diringkus oleh anak murid Sing-siok-pai juga dia tetap kepala batu, sedikit pun tidak gentar, sungguh tidak nyana sekarang anak dara itu bisa menangis sedemikian rupa hingga Siau Hong dibuatnya bingung malah.

"He, A Ci cilik, mengapakah kamu ini?" tanya Siau Hong pula.

"Kau... kau pergilah, jangan....jangan urus diriku lagi, huk-huk, biar aku mati menangis saja disini, supaya engkau merasa senang, huk-huk-huk!" demikian sahut A Ci dengan terguguk.

"Seorang sehat masakah bisa mati menangis." ujar Siau Hong dengan tersenyum.

"Aku justru ingin mati menangis," sahut A Ci sambil tersedu-sedan.

"Jika begitu, boleh kamu menangis terus disini, jangan terburu napsu, menangislah perlahan-lahan, dan aku takkan mengawanimu lagi," kata Siau Hong dengan tertawa, lalu ia melangkah pergi.

Tapi baru dua tindak ia melangkah, tiba-tiba suara tangis A Ci berhenti, sedikitpun tiada suara lagi, Ia menjadi heran, ketika menoleh ia lihat anak dara itu tiarap diatas tanah salju tanpa bergerak.

Diam-diam Siau Hong geli, "Hah, anak dara ini memang suka aleman, biarlah takkan kugubris dia lagi." Segera ia tinggal pergi tanpa menoleh.

Sesudah beberapa li jauhnya, ketika ia berpaling kebelakang, ia lihat ditanah salju itu keadaan sunyi senyap, tanah salju sekitar situ sangat datar dan luas, sepanjang mata memandang dapat terlihat dengan jelas tanpa teraling-aling oleh pepohonan apapun, Ia lihat A Ci masih tetap menggeletak ditanah salju itu tanpa bergerak sedikitpun.

Diam-diam ia menjadi ragu, "Anak dara ini memang aneh tingkah lakunya, bukan mustahil sekali ia menggeletak, lalu tidak berbangkit untuk selamanya."

Segera teringat pula olehnya pesan tinggalan A Cu, tanpa kuasa lagi segera ia putar balik dengan langkah lebar. Setibanya didekat A Ci, benar juga ia lihat anak dara itu masih bertiarap ditanah salju, keadaannya masih tetap seperti waktu ditinggalkan tadi, sedikitpun tidak bergeser.

Sesudah lebih dekat lagi, Siau Hong terkesiap, ia lihat tubuh A Ci seakan-akan terbingkai dalam salju yang tebalnya beberapa senti, tapi salju yang mengelilingi tubuhnya itu sedikit pun tidak mencair, Padahal tubuh manusia itu bersuhu panas, kalau tengkurap sekian lama diatas salju tentu salju disekitarnya akan cair menjadi air.

Kini salju disitu tetap beku, jangan-jangan anak dara itu benar-benar sudah mati? Dalam Khawatirnya Siau Hong coba meraba pipi sigadis, tapi dimana tangannya menyentuh ia merasa tubuh A Ci itu sudah dingin, waktu memeriksa napasnya pula, juga sudah berhenti.

Namun Siau Hong pernah menyaksikan anak dara itu pura-pura mati tenggelam dalam danau untuk menipu ayahnya, ia tahu didalam Sing-siok-pai ada semacam ilmu 'Ku-sit-kang'(kura-kura mengeram), maka ia pun tidak begitu khawatir lagi, Segera ia gunakan dua jari dan menutuk dua kali di-iga A Ci, Ia salurkan tenaga dalamnya kebagian hiat-to itu.

Maka terdengar A Ci bersuara sekali lalu membuka mata pelahan, waktu melihat Siau Hong mendadak ia berpaling sedikit dan sekali mulut mengap, sekonyong-konyong sebatang jarum kecil warna hijau gelap menyambar ketengahtengah alis Siau Hong.

Waktu itu jarak Siau Hong dengan anak dara itu tiada satu meter jauhnya, betapapun ia tidak menyangka mendadak A Ci bisa menyerangnya secara keji. Sambaran jarum itu pun sangat cepat, biar pun ilmu silat Siau Hong maha tinggi juga sukar untuk menghindar pada saat mendadak dan dari jarak sedekat itu.

Sekilas teringat olehnya betapa jahat senjata rahasia berbisa dari Sing-siok-pai, bila sampai kena, pasti harapan untuk hidup sangat tipis, Tanpa pikir lagi ia mengebas sebisanya dengan tangan kanan, kontan serangkum angin keras berjangkit.

Dalam saat kepepet, maka tenaga yang digunakan itu merupakan himpunan tenaga yang ada, kalau tidak, jangan harap dapat mengguncang pergi jarum lembut yang menyambar dari jarak dekat itu, Maka begitu tangan kanan bekerja,

seketika tubuhnya menggeser juga kekanan, maka terenduslah bau busuk amis yang terbawa angin, dan jarum berbisa itupun menyambar lewat disamping pipinya, hanya berjarak beberapa mili saja jauhnya, sungguh ia boleh dikatakan lolos dari lubang jarum.

Dan pada saat yang sama itulah tubuh A Ci juga terpental oleh tenaga pukulan maha dahsyat itu, tanpa bersuara lagi badan A Ci melayang hingga jauh dan terbanting diatas tanah.

Diam-diam Siau Hong bersyukur nyaris dimakan jarum berbisa itu, Tapi demi melihat A Ci terpental oleh tenaga pukulannya, ia jadi kaget pula.

"Wah, celaka! Mana dia tahan oleh tenaga pukulanku? Mungkin dia sudah binasa oleh pukulanku?" demikian pikirnya dengan khawatir, Cepat ia memburu ketempat A Ci, ia lihat mata anak dara itu tertutup rapat, ujung mulut mengeluarkan darah, mukanya pucat, sekali ini benar-benar sudah berhenti napasnya.

Seketika Siau Hong mematung, katanya dalam hati. "Kembali aku memukul mati dia, kembali aku membunuh adik perempuan A Cu lagi, pada hal sebelum meninggal dia minta...minta kujaga adiknya, tetapi... tetapi aku memukul mati dia."

Begitulah dengan rasa cemas ia coba tempelkan tangannya dipunggung A Ci dan menyalurkan tenaga murni sendiri sekuatnya ketubuh anak dara itu, Selang sesaat, tampak A Ci bergerak sedikit, Sungguh girang Siau Hong tidak kepalang, ia berseru, "A Ci, A Ci! Kamu tidak boleh mati, betapapun aku harus menghidupkanmu."

Tapi setelah bergerak sedikit, lalu A Ci tidak berkutik lagi, Siau Hong sangat gelisah, cuma sebagai orang yang sudah berpengalaman, sedapat mungkin ia bisa menguasai perasaannya dan tenangkan diri, Segera ia duduk bersila ditanah salju itu, pelahan ia taruh badan A Ci di pangkuannya, kedua telapak tangan ditempelkan kepunggung dan pelahan menyalurkan tenaga murni kedalam tubuh A Ci, Ia tahu luka A Ci sangat parah, maka sedapat mungkin ia harus menolong.

Selang tak lama, dari ubun-ubun Siau Hong sendiri tampak menguapkan asap tipis, suatu tanda ia telah mengerahkan tenaga sekuatnya.

Kira-kira setengah jam ia berusaha, akhirnya tubuh A Ci tampak bergerak sedikit dan pelahan dapat memanggil, "Cihu!"

Sungguh girang Siau Hong bukan buatan, ia meneruskan tenaganya dan tidak mengajak bicara padanya, Ia merasa badan A Ci lambat-laun mulai hangat, hidungnya juga mulai bernapas lagi.

Khawatir usahanya gagal setengah jalan, maka Siau Hong tidak berani berhenti, ia kerahkan tenaga sedapat mungkin.

Kira-kira menjelang lohor, ia merasa pernapasan A Ci sudah pulih kembali dan barulah ia berani berbangkit, ia pondong anak dara itu dan melanjutkan perjalanan dengan cepat, Tapi ia lihat air muka A Ci itu tetap pucat bagai mayat, maka ia tidak berani ayal, sambil berjalan cepat, tangan tetap menempel dipunggung anak dara itu dan tiada hentinya menyalurkan tenaga murni.

Kira-kira satu jam kemudian, sampailah disuatu kota kecil, Celakanya kota ini tiada rumah penginapan, terpaksa Siau Hong melanjutkan perjalanan ke utara, Lebih dua puluh li lagi, akhirnya ia mendapatkan sebuah penginapan yang sederhana, penginapan itu tiada pelayan hingga pemilik hotel sendiri melayani tamunya.

Segera Siau Hong minta disediakan semangkuk kuah hangat, dengan sendok pelahan ia menyuapi A Ci, Tapi hanya beberapa cegukan saja kuah yang diminum A Ci lentas ditumpahkan kembali, bahkan diantara air kuah itu penuh bercampur darah mati.Siau Hong sangat cemas, ia pikir luka A Ci yang parah ini besar kemungkinan tak bisa disembuhkan lagi, Sedangkan Giam-ong-tik, si tabib sakti Sih-sin-ih itu entah berada dimana, sekalipun berada disitu juga, belum tentu mampu menyembuhkan A Ci, Tapi, diam-diam ia berjanji pada diri sendiri harus menyelamatkan jiwa anak dara itu biarpun tenaga sendiri akan terkuras habis, dengan demikian barulah ia merasa tidak mengecewakan pesan A Cu yang telah pasrahkan nasib A Ci padanya itu.

Padahal sebabnya dia hantam A Ci adalah karena anak dara itu hendak menyerangnya lebih dulu, dalam keadaan begitu, bila dia tidak memukulnya tentu jiwa sendiri yang akan terancam, maka terpaksa ia mesti melukai A Ci, Andaikan A Cu menyaksikan kejadian itu, tentu ia pun takkan menyalahkan Siau Hong, sebab kejadian itu adalah gara-gara perbuatan A Ci sendiri.

Semalam suntuk Siau Hong tak bisa tidur, sampai esok paginya ia masih tetap menyalurkan tenaga murni sendiri untuk mempertahankan jiwa A Ci.

Dahulu waktu A Cu terluka olehnya, hanya terkadang saja Siau Hong menyalurkan tenaga murninya bila keadaan gadis itu tampak lemah, Tapi kini keadaan A Ci jauh lebih parah, kedua tangannya tidak boleh berpisah dengan punggung A Ci, sekali berpisah, tentu napas anak dara itu lantas putus.

Keadaan begitu berlangsung hingga esok hari kedua, Meski tenaga Siau Hong sangat kuat, tapi selama dua hari dua malam mengerahkan tenaga cara begitu, mau tak mau terasa sangat lelah juga, Arak yang tersedia dihotel kecil itu pun habis diminum olehnya, Ia minta pemilik hotel menambahkan ditempat lain tapi sialan, uangnya habis.

Bagi Siau Hong tidak menjadi soal tidak makan nasi, tapi sehari tidak minum arak baginya akan terasa ketagihan, Kini dalam keadaan lelah dan banyak pikiran, ia lebih perlu dibantu dengan arak untuk menguatkan semangat.

Ia pikir mungkin dibadan A Ci masih terdapat uang sangu, Segera ia membuka buntalan kecil yang dibawa anak dara itu, benar juga ia lihat didalamnya ada tiga potong uang emas, ia ambil sepotong dan ditaruhkan dimeja, ia merasa buntalan kain terikat oleh seutas tali halus, ujung tali itu terikat dikantungan kain dan ujung yang lain terikat dipinggang A Ci.

Segera ia coba melepaskan ujung tali yang terikat pada tali pinggang itu, Sesudah berkutetan sebentar barulah tali itu dapat dilepaskannya, tapi waktu ia tarik, terasa ujung tali yang lain agak berat, terang masih terikat sesuatu benda lain,

Cuma benda itu tertutup dalam baju hingga tidak kelihatan bagaimana bentuknya.

Dan ketika Siau Hong melepaskan tali itu, 'trang-tring', mendadak terjatuh sebuah benda berwarna hijau mengkilat, Itulah sebuah Giok-ting yang kecil mungil.

Siau Hong menghela napas melihat benda itu, terang itulah Giok-ting yang dipertengkarkan antara murid Sing-siok-pai tempo hari, Ia jemput dan menaruhnya diatas meja, Ia lihat Giok-ting itu berukir sangat indah, diantara warna hijau kemala itu lamat-lamat kelihatan jalur merah jambon hingga makin menambah kebagusan warnanya.

Selamanya Siau Hong tidak suka benda-benda permainan begitu, dalam pandangannya biarpun benda mestika apapun juga tidak lebih cuma batu belaka yang tiada artinya, maka sesudah memandangnya sekejap, ia pun tidak memperhatikan lagi.

Pikirnya kemudian, "A Ci ini benar-benar sangat licin, berulang ia mengatakan Giok-ting ini telah diserahkan padaku, padahal masih tersimpan didalam bajunya, Saudara seperguruannya itu percaya saja apa yang dia katakan bahwa barang telah diserahkan padaku, pula mereka tidak ada yang menggeledah badannya, sebab itulah buntalan ini tidak ditemukan, Sedangkan sekarang jiwanya masih sukar diramalkan, buat apa pikrkan benda demikian ini?"

Segera ia panggil pengurus hotel dan menyerahkan uang emas itu padanya agar dibelikan arak dan daging.

Begitulah ia terus menyalurkan tenaga murni sendiri untuk mempertahankan jiwa A Ci, Sampai hari keempat, keadaan Siau Hong benar-benar sudah payah, ia tidak tahan lagi, terpaksa ia genggam kedua tangan A Ci dan merangkulnya, ia biarkan gadis itu bersandar didepan dadanya, ia menyalurkan tenaga murni melalui tangannya, sebentar kemudia, ia merasa mata sepat dan sukar dipentang lagi, Akhirnya ia pun terpulas, Tapi karena selalu Khawatirkan mati hidup A Ci, hanya sebentar saja ia sudah terjaga bangun.

Keadaan begitu kembali lewat lagi dua hari, ia lihat keadaan A Ci tiada tanda gawat, tapi juga tiada kemajuan untuk sembuh, Terkadang anak dara itu membuka mata juga, tapi matanya buram, bahkan bicara pun tak bisa.

Siau Hong tambah masgul, untuk menghibur diri ia minum arak sepuas-puasnya, Ia pikir terus tinggal di hotel kecil itu pun bukan jalan yang baik, terpaksa ia harus berangkat lagi, ia berharap akan menemukan jalan untuk menyelamatkan A Ci, dari pada mati konyol di hotel kecil itu.

Dipondongnya A Ci dengan tangan kirinya, dengan tangan kanan ia ambil kantungan kain milik A Ci itu dan disimpannya didalam baju sendiri, Ia lihat Pek-giok-giok-ting itu masih terletak diatas meja, pikirnya. "Benda yang membikin celaka orang ini lebih baik dihancurkan saja."

Tapi ia urung menggepuknya ketika tiba-tiba terpikir pula olehnya, "Dengan susah payah A Ci mencuri barang ini, jelas benda ini berguna baginya, Tampaknya ia sudah tak bisa disembuhkan lagi, Pada sebelum ajalnya bila mendadak ia tanya benda kesukaannya ini dan dapat kuperlihatkan padanya, dengan begitu ia akan mangkat dengan rasa puas dari pada

nanti mati menyesal, kalau aku tak bisa mengunjukkan benda ini."

Begitulah segera ia jemput lagi Giok-ting itu, begitu tripod itu terpegang tangannya, segera terasa didalamnya ada sesuatu yang sedang merayap-rayap, Karuan Siau Hong heran dan tertarik, ia coba mengamat-amati, ia lihat disamping tripod itu ada lima lubang amat kecil,

Waktu diperhatikan pula bagian leher tripod itu, ternyata disitu terdapat suatu garis yang sangat halus, agaknya tripod itu terbagi menjadi dua bagian.

Ia coba menggunakan jari kecil dan jari manis untuk menjepit tripod itu, lalu menggunakan jari jempol dan jari telunjuk untuk memutar bagian atas tripod, benar juga bagian itu dapat diputar, Sesudah diputar beberapa kali, akhirnya terbukalah tutupnya.

Tapi ia menjadi kaget ketika mengetahui isi tripod itu, Kiranya didalamnya terdapat dua ekor serangga berbisa yang saling antup, yang seekor adalah kalajengking dan yang lain adalah seekor kelabang, keduanya sedang tarung dengan ramai.

Sebagai seorang yang berpengalaman, segera Siau Hong tahu binatang beracun itu memang sengaja dipiara oleh golongan Sing-siok-pai, Tanpa pikir lagi ia tuang keluar kalajengking dan kelabang itu, sekali injak ia bikin mati gepeng, Lalu ia tutup kembali Giok-ting itu dan dimasukkan kedalam kantungan kain semula, Ia bereskan rekening hotel, lalu berangkat menuju ke utara menempuh hujan salju.

Ia tahu permusuhannya dengan tokoh-tokoh persilatan Tionggoan sudah terlalu mendalam, ia sendiri tidak sudi menyamar pula, kalau ia menuju lagi ke utara, makin lama makin dekat dengan ibukota Sung, disitu pasti akan kepergok oleh ksatria Tionggoan yang terkenal.

Untuk membunuh orang lagi ia sudah tidak mau, pula ia memondong A Ci, sudah tentu tidak leluasa untuk bertempur. Sebab itulah ia tidak mau melalui jalan raya, tapi yang dipilih adalah jalan kecil pegunungan yang sepi, Dengan cara begitu, sudah beberapa ratus li ia tempuh perjalanan dan ternyata selamat tanpa ketemukan sesuatu rintangan apa pun.

Suatu hari, sampailah ia disuatu kota, Ditepi jalan ia lihat suatu toko obat, diatas papan merek toko tertulis, "Ong Thongti, tabib turun temurun." Ia pikir ditempat kecil begitu masakah ada tabib pandai? Tapi tiada halangan dicoba dulu.

Segera ia bawa A Ci kedalam toko obat itu untuk minta pertolongan, Sesudah tabib she Ong itu memegang nadi A Ci, tiba-tiba ia pandang Siau Hong, lalu pegang nadi A Ci lagi, kemudian pandang pula pada Siau Hong dan memegang nadi lagi, begitulah berulang-ulang ia lakukan seperti itu dengan air muka terheran-heran, Sekonyong-konyong ia lepaskan nadi A Ci lalu nadi Siau Hong yang diperiksanya.

Karuan Siau Hong gusar, katanya, "Sinshe aku minta kau periksa penyakit adikku dan bukan diriku."

Tapi Ong-sinshe itu menggeleng-geleng kepala, sahutnya, "Kulihat engkau inilah yang sakit, pikiranmu agak kacau dan semangatmu lesu, kukira engkau yang perlu diobati,"

"Mengapa pikiranku kacau? Bukankah aku sehat-sehat saja?" ujar Siau Hong.

"Habis nadi nona ini sudah berhenti, orangnya sudah mati sejak tadi-tadi, hanya saja badannya belum lagi dingin dan kaku, untuk apa kau bawa kemari untuk mencari tabib?" kata

Ong-sinshe itu. "Bukankah engkau sendiri yang lagi pepat pikiran dan perlu diberi obat untuk menenangkan diri? Ai, saudara, orang mati tak bisa hidup kembali, sebaiknya engkau juga jangan terlalu berduka, lebih baik bawalah pulang jenazah adikmu ini dan lekas dikubur saja."

Siau Hong jadi serba runyam tapi apa yang dikatakan Sinshe Ong itu toh beralasan juga, Hakikatnya A Ci memang sudah lama mati, soalnya karena seluruh tenaga murninya hingga setitik kesempatan hidup A Ci itu masih dipertahankan hal itu sudah tentu tidak ketahui oleh tabib kampungan seperti Sinshe Ong itu.

Dan selagi Siau Hong berbangkit hendak pergi, tiba-tiba dilihatnya seorang berdandan sebagai Koankeh (pengurus rumah tangga) berlari-lari masuk kedalam toko obat sambil berseru, "

"Lekas, lekas! Mana Lo-san-jin-som yang paling baik? Lothaiya kami mendadak terserang penyakit angin duduk dan segera akan putus napasnya, maka perlu jinsom yang baik itu untuk menahan sebentar nyawanya."

"Ya, ya, ada, ada! Ini Lo-san-jin-som yang paling baik!" demikian kuasa toko obat itu cepat memberikan apa yang diminta.

Siau Hong tertarik oleh kata-kata mereka itu, "Lo-san-jin-som, untuk menahan sebentar nyawa orang yang akan mati," bila seorang sudah sakit parah dan akan putus napasnya, kalau diusap beberapa cegukan sari Jinsom (Kolesom), maka napasnya yang sudah lemah itu dapat ditunda sebentar hingga tidak sampai putus dengan cepat, dengan demikian orang yang hampir mati itu dapat meninggalkan pesan apa-apa kepada ahli-warisnya, Hal itu sebenarnya juga diketahui oleh Siau Hong, cuma ia tidak pikirkan bahwa hal itu juga dapat digunakan terhadap diri A Ci.

Dalam pada itu dilihatnya pengurus toko obat telah mengeluarkan suatu kotak kayu merah, dengan hati-hati ia membuka kotak itu, maka tertampaklah tiga tangkai Jinsom sebesar ibu jari.

Menurut cerita yang pernah didengar Siau Hong, katanya Jinsom itu makin besar dan makin kasar akan makin baik, kulit Jinsom harus yang kasap, yang banyak berkerut-kerut dan dalam, itulah yang berharga, jika bentuk Jinsom sudah menyerupai badan manusia, ada kepala kaki dan tangan, itu menandakan Jinsom tua yang paling sukar dicari, maka terhitung barang pilihan yang sangat mahal.

Begitulah koankeh tadi lantas memilih satu tangkai Jinsom dan buru-buru pergi lagi, Segera Siau Hong mengeluarkan uang, ia beli sisa kedua tangkai Jinsom itu, Didalam toko obat itu memang tersedia alat-alat penyeduh obat bagi pembeli, segera ia minta dibuatkan kuah Jinson dan pelahan disuapkan untuk A Ci.

Sekali ini tidak tumpah lagi, sesudah minum pula beberapa suapan, Siau Hong coba periksa nadi A Ci dan ternyata pelahan mulai dapat berdenyut, napasnya juga mulai terasa lancar sedikit. Karuan ia sangat girang.

Sebaliknya Ong sinshe yang menyaksikan disamping itu hanya geleng-geleng kepala saja, katanya malah, "Saudara, Jinsom itu tidak mudah memperolehnya, kalau dibuang secara begitu sangatlah sayang, Jinsom toh bukan obat dewa mujarap yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, kalau dapat, orang kaya umumnya tentu takkan mati untuk selamanya.

Sudah beberapa hari ini Siau Hong sangat kesal, kini mendengar ocehan si tabib yang bersifat menyindir itu, sungguh ia ingin menggampar bacotnya supaya diam, Untung ia dapat menguasai diri, ia merasa bukan pada tempatnya memukul seorang yang tidak paham ilmu silat.

Segera ia pondong A Ci dan tinggal pergi, sayup-sayup ia dengar si tabib masih mengolok-olok, "Huh, benar-benar seorang sinting, orang mati dibawa lari kian kemari, tampaknya jiwa sendiri juga tidak tahan lama lagi."

Ia tidak tahu bahwa sebenarnya jiwanyalah yang barusan hampir mendaftarkan diri kepada raja akhirat, Jika gamparan Siau Hong tadi dilontarkan, biarpun sepuluh orang tabib seperti dia juga akan binasa.

Sekeluarnya dari toko obat itu, Siau Hong pikir, "Jinsom itu kabarnya banyak tumbuh dipegunungan Tiang-pek-san yang bersuhu dingin, biarlah kuputar kearah timur laut sana untuk mencari jinsom, boleh jadi dengan bahan obat itu kesehatan A Ci akan dapat dipulihkan."

Segera ia mengarah ke timur laut, sepanjang jalan kalau ketemu toko obat ia lantas membeli jinsom untuk A Ci, sampai akhirnya ia kehabisan sangu, terpaksa ia mesti berlaku tidak sungkan-sungkan lagi, ia masuk ke toko obat dan 'mengambil' jinsom yang diperlukan, dengan sendirinya pegawai toko obat tidak dapat merintanginya.

Setelah banyak minum jinsom, ternyata keadaan A Ci banyak lebih baik, terkadang ia dapat membuka mata dan memanggil pelahan, "Cihu!" Malamnya waktu tidur, meski untuk beberapa jam tidak diberi saluran hawa murni Siau Hong juga anak dara itu dapat bernapas sendiri dengan lancar.

Begitulah makin menuju ke utara makin dingin hawanya, akhirnya Siau Hong menggendong A Ci dan sampailah dilereng gunung Tiang-pek-san, Meski pegunungan itu tersohor banyak menghasilkan jinsom tapi kalau tidak paham cara mencarinya, biarpun dicari ubek-ubekan setahun dua tahun juga belum tentu dapat menemukannya.

Dan makin menuju ke utara makin sedikit orang yang dijumpai ditengah jalan, Sampai akhirnya sepanjang jalan melulu hutan belukar belaka, dengan lereng gunung yang memutih perak tertutup salju, Terkadang sampai beberapa hari tidak pernah dijumpai seorang pun.

Diam-diam Siau Hong mengeluh, "Wah celaka! Tanah pegunungan ini penuh salju belaka, dimana dapat kucari jinsom? Lebih baik kuputar balik saja ketempat yang ramai ditinggali orang, kalau punya uang aku dapat membeli, kalau kehabisan uang lantas merampas."

Begitulah ia lantas putar kembali kearah semula sambil menggendong A Ci, Tatkala itu hawa sangat dingin, salju berpuluh senti tebalnya ditanah, jalannya sangat sulit, coba kalau ilmu silat Siau Hong kurang tinggi, dengan menggendong seorang begitu, umpama tidak mati kedinginan juga pasti akan kejeblos kedalam tanah salju dan sukar meloloskan diri.

Sampai hari ketiga, cuaca tampak mendung, agaknya hujan salju besar akan turun pula, Sekitarnya tertampak tanah salju belaka, jangankan tapak manusia, sekalipun bekas tapak binatang juga tidak kelihatan, Siau Hong merasa dirinya seperti terombang-ambing ditengah samudera raya, angin meniup dengan kencang dan suara menderu-deru ditepi telinga.

Ia insaf telah sesat jalan, telah kehilangan arah. Beberapa kali ia coba panjat keatas pohon untuk memeriksa, tapi seputar hanya rimba belaka yang tertutup salju, cara bagaimana dapat mengenal arah lagi.

Yang dia khawatirkan adalah A Ci, terpaksa ia buka jubah luar sendiri dan membungkus anak dara itu dalam pelukannya, Sudah tiga hari lamanya Siau Hong tidak makan apa-apa, dilautan salju seluas itu juga tidak nampak seekor binatang paling kecil sekalipun sebangsa ayam alas, kelinci dan sebagainya.

Ia pikir sia-sia saja kalau sembarangan berjalan, lebih baik mengaso dulu ditengah rimba itu, nanti bila salju sudah reda, dari bintang atau bulan dilangit tentu dapat dibedakan arah yang tepat.

Maka ia lantas mencari suatu tempat berteduh, suatu tempat yang teraling-aling dari tiupan angin, ia mencari kayu kering dan menyalakan api, Makin lama makin besar api unggun itu hingga badan mulai terasa agak hangat, Saking kelaparan Siau Hong merasa perut berkeruyukan, ia lihat diakar pohon sebelahnya tumbuh beberapa buah jamur yang berwarna putih kelabu, tampaknya tidak beracun, segera ia petik dan dipanggang sekedarnya diatas api, lalu dimakan sekedar tangsal perut.

Sesudah makan beberapa buah jamur kayu itu, semangatnya sedikit terbangkit juga, Ia angkat A Ci agar bersandar didadanya untuk menghangatkan badan ditepi api unggun, ia sendiri merasa mengantuk sekali. Selagi siap-siap akan pulas, mendadak terdengar suara auman harimau yang keras, Siau Hong sangat girang, "Ini dia ada harimau, sebentar dapatlah makan daging macan."

Ia coba mendengarkan lagi, ia dengar seluruhnya ada dua ekor harimau sedang lari datang dengan cepat, Tapi lantas terdengar pula suara bentakan manusia, agaknya ada orang sedang mengejar raja hutan itu.

Siau Hong tambah girang mendengar suara manusia itu, ia dengar kedua ekor harimau itu berlari cepat kearah sana, segera ia rebahkan A Ci, dengan ginkang yang tinggi ia memotong jalan untuk mencegat datangnya harimau.

Waktu itu salju makin turun dengan lebat dan angin meniup semakin kencang, Kira-kira beberapa ratus meter Siau Hong berlari, tertampaklah didepan adalah tanah datar yang luas, dua ekor harimau kumbang sedang lari datang sambil mengaum-ngaum, Dibelakang binatang buas itu ada seorang laki-laki tegap berjubah kulit, tangan membawa sebatang garpu baja yang besar sedang mengejar kedua ekor harimau sambil membentak-bentak.

Kedua ekor harimau kumbang itu besarnya luar biasa, tapi seorang diri pemburu itu ternyata berani mengejarnya, nyalinya itu sungguh harus dipuji.

Sesudah berlari-lari sebentar, salah seekor harimau itu mengaum kebelakang, mendadak binatang itu memutar-balik terus menerkam kearah laki-laki itu, Tapi sekali garpu baja pemburu itu menegak, ia incar leher harimau terus menusuk.

Namun gerak-gerik harimau itu juga sangat gesit, sedikit mengengos dapatlah garpu itu dihindarkannya, Dalam pada itu harimau yang kedua telah menerkam juga kearah si pemburu.

Gerakan pemburu itu ternyata cepat luar biasa, tahu-tahu ia putar poroknya dan "bluk", tepat pinggang harimau itu kena digebuknya dengan keras, Karena kesakitan, harimau itu mengaum pula, lalu lari sambil mencawat ekor, Harimau yang lain juga tidak berani garang lagi dan ikut lari.

Siau Hong melihat gerak-gerik pemburu itu memang cekatan, tenaga juga kuat, agaknya tidak mahir ilmu silat, hanya paham kebiasaan dan sifat-sifat binatang buas, kenal watak harimau umumnya, maka sebelum harimau mulai menerkam, lebih dulu ia papak dengan poroknya untuk menantikan leher harimau, Namun untuk memburu dua ekor harimau kumbang seperti itu juga tidak gampang baginya.

Segera Siau Hong berseru, "Jangan khawatir Lauheng (saudara), marilah kubantu memburu harimau!" Berbareng itu ia terus memburu maju dan mencegat jalan lari harimau-harimau tadi.

Melihat muncul mendadak seorang Siau Hong, pemburu itu terkejut dan berkaok-kaok, Tapi apa yang dikatakan tak dipahami Siau Hong, mungkin pemburu itu bukan bangsa Han.

Ia tidak menghiraukannya, segera ia hantam kepala harimau, "prak", tepat harimau itu kena digenjot, tapi raja hutan itu cuma terguling ditanah, lalu dengan menggerung kembali menubruk kearah Siau Hong.

Pukulan Siau Hong itu sudah memakai lebih dari separoh tenaganya, biarpun jago silat paling tangguh juga pasti akan kepala remuk dan otak hancur, tapi rupanya tulang kepala harimau itu sangat keras, raja hutan itu hanya jatuh terguling saja dan tidak binasa.

"Bagus binatang!" bentak Siau Hong sambil mengengos untuk menghindarkan tubrukan, berbareng tangan kiri terus memotong dari atas kebawah, "crat", tepat punggung harimau kena dipotong oleh telapak tangannya.

Sabetan itu lebih keras dari pada pukulannya tadi, seketika harimau itu terhuyung-huyung kedepan, rupanya binatang itu pun dapat melihat gelagat jelek dan cepat lari ketakutan.

Sudah tentu Siau Hong tidak membiarkan mangsanya lari, cepat ia memburu dan sekali tangkap, dengan tepat ekor harimau itu kena ditarik oleh tangan kanannya, ia barengi membentak sambil tangan kiri memegang pula ekor harimau itu, sekali tarik dan angkat, memangnya harimau itu sedang lari kedepan, karena tenaga tarik dan betot itu, seketika harimau itu mencelat ke udara.

Dengan porok bajanya pemburu tadi tengah bertarung dengan harimau yang lain, Ketika mendadak melihat Siau Hong dapat melempar harimau ke udara, sungguh kagetnya bukan buatan.

Sementara itu tertampak harimau yang mencelat ke udara itu sedang menubruk kebawah dengan pentang mulut dan ulur cakar kearah Siau Hong, Mendadak Siau Hong membentak pula kedua tangannya memukul sekaligus, "bruk" tepat sekali perut harimau itu kena dihantam.

Perut harimau adalah bagian yang lemah, pukulan 'Sepasang langit membuyarkan mega' itu adalah kungfu kebanggaan Siau Hong, karuan isi perut harimau itu kontan hancur lebur didalam, sesudah berkelojotan sebentar harimau itu pun mati diatas tanah salju.

Sungguh kagum si pemburu tadi tidak terhingga menyaksikan Siau Hong dapat membunuh mati harimau dengan bertangan kosong, Pikirnya, "Aku membawa senjata, kalau aku tak mampu membinasakan harimau ini, bukankah aku akan ditertawakan olehnya."

Segera ia keluarkan tenaga raksasa pembawaannya, ia putar poroknya kekanan dan kekiri hingga badan harimau itu berulang-ulang tertusuk, mungkin saking kesakitan, binatang itu menjadi kalap, dengan menyeringai hingga kelihatan siungnya yang putih menyeramkan, segera harimau itu hendak menggigit si pemburu.

Dengan gesit pemburu itu dapat menghindarkan tubrukan harimau, menyusul poroknya terus menusuk dari samping, 'Crat', tepat leher raja hutan itu kena ditusuk, Sekali pemburu itu mengangkat poroknya keatas, tanpa ampun lagi harimau itu menggerung dan terjungkal, Segera pemburu itu tahan sekuat-kuatnya hingga harimau itu terpantek ditanah oleh poroknya itu. Melihat betapa tangkasnya pemburu itu, mau tak mau Siau Hong memuji dalam hati.

Harimau yang lehernya dipantek dengan parok baja si pemburu itu, semula keempat kakinya masih meronta-ronta dan mencakar serabutan, tapi sesudah lama, akhirnya tidak bergerak lagi, Pembiru itu lantas terbahak-bahak sambil mengangkat kembali porok bajanya, Ia berpaling kepada Siau Hong sambil mengacungkan jari jempolnya, dan berkata beberapa patah kata yang tak dipahami Siau Hong, Tapi dari sikapnya itu Siau Hong tahu orang lagi memuji keperkasaan dirinya, Maka ia pun balas mengunjuk jari jempol sambil berkata,

"Ehm, kamu juga perkasa dan gagah!"

Orang itu sangat girang, ia tuding hidung sendiri dan berkata, "Wanyen Akut!"

Siau Hong menduga mungkin itulah namanya, maka ia pun tuding hidung sendiri dan menjawab "Siau Hong!"

"Siau Hong? Cidan?" tanya orang itu.

Siau Hong mengangguk.

"Ya, Cidan!" sahutnya, lalu ia balas tanya sambil tuding orang itu, "Dan kau ?"

"Wanyan Akut! Nuchen!" sahut pemburu itu.

Siau Hong pernah mendengar bahwa di timur negeri Liau, di utara Korea terdapat suatu suku bangsa Nuchen (kerajaannya terkenal dengan sebutan Chin atau Kim), Suku bangsa itu gagah perkasa dan pandai berperang, Dan pemburu yang bernama Wanyen Akut ini kiranya suku bangsa Nuchen yang terkenal itu.

Meski tidak paham bahasa masing-masing, tapi ditempat yang sunyi terpencil itu dapat bertemu seorang kawan, betapapun mereka merasa sangat senang, Segera Siau Hong memberi tanda untuk memeberitahu bahwa dirinya masih mempunyai seorang kawan lagi.

Rupanya Akut dapat menangkap maksudnya, Ia mengangguk dan mengangkat harimau hasil buruannya tadi, Begitu pula Siau Hong lantas angkat juga harimau yang dibinasakannya dan menuju ketempat A Ci, Akut mengikuti dibelakangnya.

Karena kelaparan dan kedinginan, keadaan A Ci sangat lemah, Cepat Siau Hong mengangkat harimau buruan Aku tadi, dari luka binatang yang masih mengalirkan darah segar itu, ia cekoki anak dara itu dengan darah harimau, Setelah kemasukkan darah harimau yang hangat itu, semangat A Ci tampak agak segar.

Siau Hong sangat girang, segera ia menyobek kedua paha harimau terus dipanggang diatas api unggun.

Melihat cara Siau Hong mencabik paha harimau bagaikan menyobek paha ayam gampangnya, karuan Akut terkesima memandangi kedua tangan Siau Hong, Sejenak kemudian, tiba-tiba ia memegang-megang telapak tangan Siau Hong dengan penuh rasa kagum.

Selesai memanggang daging harimau, segera Siau Hong dan Akut makan sekenyang-kenyangnya, Lalu Akut memberi tanda gerakan tangan untuk tanya maksud tujuan Siau Hong, Maka Siau Hong menerangkan dengan gerakan tangan bahwa tujuannya ingin mencari jinsom untuk menyembuhkan penyakit A Ci dan setiba di sini mereka sesat jalan.

Akut terbahak-bahak, ia geraki tangannya kesana kesini untuk menyatakan bahwa adalah sangat gampang jika ingin mencari jinsom, bahwa ditempat mereka tersedia jinsom secukupnya. Siau Hong sangat girang, segera ia berbangkit dengan tangan kiri ia pondong A Ci, tangan kanan mengangkat bangkai harimau buruannya itu.

Kembali Akut mengunjukkan jari jempolnya dan memuji, "Benar-benar tenaga raksasa!"

Rupanya Akut sangat apal dengan tempat disekitar situ, meski dibawah hujan salju dan tiupan angin kencang toh dia tidak sesat jalan, Ketika hari sudah gelap, mereka lantas bermalam ditengah hutan, esok paginya melanjutkan perjalanan lagi.

Begitulah mereka terus menuju kearah barat, pada siang hari ketiga, Siau Hong melihat ditanah salju situ sudah banyak bekas tapak kaki manusia, Akut berulang-ulang memberi tanda pula untuk menerangkan bahwa sudah dekat dengan tempat tinggal suku mereka.

Benar juga, sesudah melintasi dua lereng bukit lagi, terlihatlah diarah tenggara sana banyak terdapat tanda dari kulit binatang, jumlahnya ada beberapa ratus buah, Ketika Akut bersuit, segera dari perkemahan itu ada orang memapak kedatangan mereka.

Sesudah dekat, Siau Hong lihat didepan setiap tenda tentu dinyalakan api unggun dan dikerumuni kaum wanita yang asyik menjahit kulit binatang dan mengolah daging binatang hasil buruan mereka. Akut membawa Siau Hong menuju kesuatu tenda terbesar ditengah-tengah perkemahan itu.

Sesudah masuk kedalam tenda besar itu Siau Hong lihat disitu terdapat belasan orang yang sedang duduk sambil minum arak, Melihat kedatangan Akut, seketika orang-orang itu bersorak menyambutnya.

Segera Akut menunjuk Siau Hong, sambil menuding sambil omong, Melihat kelakuan itu, Siau Hong tahu Akut sedang menceritakan cara bagaimana dia membinasakan harimau, Maka orang-orang itu lantas mengerumuni Siau Hong dan mengunjuk ibu jari mereka sebagai tanda memuji.

Tengah ramai, tiba-tiba masuk pula seorang Han yang berdandan sebagai saudagar, Orang itu lantas menyapa pada Siau Hong. "Apakah tuan ini dapat bicara bahasa Han ?"

Sungguh Siau Hong girang sekali, cepat ia menjawab. "Sudah tentu dapat!"

Sesudah tanya keterangan kepada saudagar bangsa Han itu, barulah diketahui bahwa perkemahan itu adalah tempat tinggal kepala suku Nuchen, orang tua yang berjenggot diantara belasan orang tadi adalah kepala suku sendiri, namanya Hurip. Kepala suku itu mempunyai sebelas orang putra, semuanya gagah perkasa, Akut adalah putranya yang kedua.

Saudagar Han itu bernama Kho Tok-sing, setiap musim dingin tentu datang kesitu untuk membeli kulit harimau dan jinsom, pada musim semi baru meninggalkan tempat ini, Kho Tok-sing fasih berbahasa Nuchen, maka ia lantas menjadi juru bahasa Siau Hong.

Orang Nuchen paling menghormat pada kaum ksatria perkasa, Wanyen Akut itu tergolong pemuda yang gagah perwira, maka sangat disayang ayahnya, suku bangsanya juga sangat cinta padanya, Jika Akut memuji setinggi langit pada Siau Hong, dengan sendirinya suku bangsanya ikut menghormat juga dan menyambutnya sebagai tamu agung.

Akut lantas mengosongkan kemah sendiri untuk tempat tinggal Siau Hong dan A cI, Sebagai tokoh berpengaruh dalam bangsa Nuchen, dengan sendirinya tenda itu sangat luas dan bagus.

Malamnya orang Nuchen mengadakan jamuan besar-besaran untuk menghormati Siau Hong, dengan sendirinya daging harimau buruan mereka pun menjadi santapan yang berarti.

Memangnya sudah setengahan bulan Siau Hong tidak pernah minum arak, kini satu kantong dami sati kantong orang Nuchen menyuguhkan arak padanya, karuan ia dapat minum dengan sepuas-puasnya.

Meski arak buatan orang Nuchen tidak begitu sedap, tapi kadarnya sangat keras, orang biasa kalau minum setengah kantung saja pasti akan mabuk, tapi beruntun-runtun Siau Hong dapat menghabiskan belasan kantung tanpa pusing sedikitpun, karuan kekuatan minumnya ini membuat orang-orang Nuchen tercengang.

Semula mereka agak sangsi ketika mendengar cerita Akut tentang Siau Hong membunuh harimau dengan bertangan kosong, kini melihat kekuatan minum arak yang luar biasa itu, mau tak mau mereka merasa kagum sekali.

Sesudah perjamuan menggembirakan itu, Siau Hong lantas tinggal ditempat orang Nuchen itu dengan senang, Sifat orang Nuchen itu kebanyakan polos jujur, mereka sangat cocok dengan watak ksatria Siau Hong.

Melihat bangsa Nuchen sangat menghormati Siau Hong dengan sendirinya Kho Tok-sing juga segan padanya, Waktu iseng Siau Hong lantas ikut berburu dengan Akut, malam harinya ia belajar bahasa Nuchen dengan Kho Tok-sing, Sesudah cukup lancar berbahasa Nuchen, Siau Hong pikir dirinya adalah bangsa Cidan, masakah bahasa bangsa sendiri tidak bisa, bukankah hal ini sangat janggal, Maka ia pun belajar bahasa Cidan pula dengan Kho Tok-sing.

Sebagai saudagar Kho-Tok-sing biasa mondar-mandir diantara tempat tinggal suku bangsa Nuchen, Cidan, Sehe dan lain-lain, maka ia fasih bicara dalam beberapa bahasa, Meski bakat Siau Hong dalam hal bahasa tidak terlalu tinggi, tapi lama kelamaan ia pun dapat bicara dengan lancar, kalau untuk keperluan sehari-hari saja ia sudah tidak perlu juru bahasa lagi.

Dengan cepat beberapa bulan sudah berlalu, musim dingin berganti dengan musim semi, Karena setiap hari A Ci minum sari jinsom, maka kesehatannya sudah banyak maju. Pada umumnya jinsom yang digali orang Nuchen itu adalah jinsom tua dan pilihan, maka nilainya tidaklah sama dengan sembarangan jinsom.

Setiap kali Siau Hong pergi berburu, dari hasil buruannya itu ditukarkannya dengan jinsom untuk A Ci, Penghidupan A Ci yang luar biasa itu mungkin putri raja pun tidak dapat menyamai dia, Setiap hari Siau Hong masih menyalurkan hawa murni ketubuh anak dara itu, cuma sekarang cukup sebentar saja, pula sehari sekali sudah cukup. Terkadang Aci juga dapat bicara beberapa kata, cuma kaki dan tangannya masih belum dapat bergerak,

hingga segala keperluan masih perlu bantuan Siau Hong, Dan setiap kali teringat pada pesan tinggalan A Cu, maka Siau Hong rela berbuat apa saja yang dikehendaki anak dara itu.

Suatu hari, Akut bersama belasan orang bangsanya hendak pergi berburu beruang dilereng bukit barat laut, Ia mengajak Siau Hong ikut pergi, Kulit beruang sangat berharga, daging dan minyaknya juga banyak, lebih-lebih telapak kaki beruang, konon adalah bahan masakan yang paling lezat didunia ini.

Karena melihat keadaan A Ci baik-baik saja, Siau Hong lantas terima dengan senang hati ajakan Akut itu, Maka pagipagi sekali rombongan mereka lantas berangkat ke utara.

Sementara itu sudah permulaan musim panas salju sudah mencair, tanah pegunungan penuh lumpur hingga perjalanan sukar ditempuh, Tapi orang-orang Nuchen itu ternyata sangat tangkas, menjelang siang hari mereka sudah menempuh sejauh seratus li lebih.

Selagi Siau Hong khawatirkan A Ci bila terlalu jauh ditinggal pergi, tiba-tiba seorang pemburu tua bangsa Nuchen berseru, "Itu dia, beruang! Beruang besar!"

Waktu semua orang memandang kearah yang ditunjuk, ternyata ditanah lumpur itu setapak demi setapak terdapat bekas kaki beruang besar. Semangat semua orang terbangkit seketika, dengan gembira mereka terus mengikuti jejak beruang itu hingga mencapai padang rumput.

Tengah mereka menguber dengan cepat, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda yang ramai, dari depan sana muncul suatu pasukan berkuda sedang mendatang dengan cepat.

Padang rumput disitu mendatar luas, maka dapat terlihat dengan jelas ada seekor beruang hitam besar sedang berlari, dibelakangnya menguber beberapa puluh penunggang kuda sambil mem-bentak2, Anggota pasukan itu semuanya bertombak dan ada yang membawa busur dan panah, semuanya kelihatan sangat tangkas.

"Itulah orang Cidan, mereka berjumlah banyak, marilah lekas kita pergi, lekas!" segera Akut memperingatkan kawan-

kawannya.

Mendengar rombongan orang-orang itu adalah suku bangsanya sendiri, seketika timbul semacam perasaan baik didalam hati Siau Hong, ia lihat Akut ajak kawan-kawannya putar balik untuk melarikan diri, tapi ia sendiri tidak lantas ikut lari, sebaliknya ia tetap berdiri ditempatnya untuk melihat keadaan selanjutnya.

"Hai, orang Nuchen! Panah dia, panah dia!" mendadak orang-orang Cidan berteriak-teriak dan beruntun-runtun panah mereka berseliweran menyambar kearah Siau Hong.

Diam-diam Siau Hong merasa gusar, mereka tanpa tanya apa pun terus main panah begitu saja, Tapi beberapa batang panah yang menyambar kearahnya itu dapat disampuknya jatuh semua, Mendadak terdengar suara jeritan ngeri, si pemburu tua bangsa Nuchen punggungnya kena panah dan binasa.

Akut telah pimpin beberapa orang kawannya itu bersembunyi kebalik suatu gundukan tanah, dari situ mereka pun balas memanah musuh hingga dua orang Cidan juga jatuh terjungkal.

Jilid 42
Yang serba salah adalah Siau Hong, ia berada ditengah-tengah dan entah pihak mana yang harus dibantunya, Dalam pada itu ia masih terus dihujani panah oleh orang-orang Cidan, tapi dengan mudah saja ia dapat menyampuk jatuh semua panah sambil berteriak-teriak, "Hai, apa-apaan kalian ini? Mengapa tanpa tanya sesuatu lantas sembarangan membunuh orang!"

Dari tempat sembunyinya sana Akut teriaki dia. "Siau Hong, lekas kemari, mereka tidak tahu bahwa engkau sebangsa mereka!"

Dan pada saat itu juga dua orang Cidan dengan tombak terhunus sedang menerjang kearah Siau Hong dari kanan dan kiri, Begitu mendekat, terus saja tombak mereka menusuk sasarannya.

Siau Hong tidak ingin membunuh bangsanya sendiri, maka ia hanya tangkap ujung tombak lawan, sedikit ia sendal, kontan kedua orang itu terjungkal kebawah kuda, Segera Siau Hong gunakan kedua tombak rampasan untuk mencungkit tubuh kedua orang Cidan itu, seketika kedua orang itu melayang kembali kearah kawan-kawan mereka sambil berkaok-kaok ketakutan di udara, lalu terbanting ditanah hingga tak sanggup bangun untuk sekian lamanya.

Beramai-ramai Akut dan kawan-kawannya bersorak.

Maka tertampaklah diantara orang-orang Cidan itu muncul seorang laki-laki setengah umur berbaju merah sedang membentak-bentak memberi perintah, Lalu beberapa puluh orang Cidan membagi diri dalam dua jurusan, dari kanan kiri mereka lantas mengepung dari kejauhan untuk mencegat jalan lari Akut dan kawan-kawannya.

Melihat gelagat jelek, segera Akut bersuit sekali, cepat ia melarikan diri bersama rombongannya, Kembali orang Cidan menghujani mereka dengan panah hingga beberapa orang Nuchen terbinasa lagi.

Melihat kekejaman orang-orang Cidan, walaupun mereka adalah suku bangsanya sendiri, tapi Siau Hong tak memikirkan hal itu lagi, segera ia rampas sebuah busur dan panahnya, beruntun ia memanah empat kali hingga empat orang Cidan kontan terjungkal dari kuda, tapi tidak mati lantaran yang dipanah Siau Hong adalah bagian pundak, kaki dan tempat-tempat yang tidak berbahaya.

Diluar dugaan ketika orang berjubah merah tadi membentak pula, orang-orang cidan itu sedikitpun pantang mundur, mereka terus mengejar dengan gagah berani.

Siau Hong lihat diantara rombongan Akut itu kini hanya tinggal tiga orang pemuda saja yang masih ikut melarikan diri sambil balas memanah musuh, selebihnya sudah terbunuh oleh orang-orang Cidan.

Padahal dipadang rumput yang datar itu, untuk melarikan diri jelas tidak mudah, tampaknya dalam waktu singkat Akut dan kawankawannya pasti juga akan menjadi korban keganasan orang-orang Cidan.

Selama ini Siau Hong telah dipandang sebagai saudara sendiri oleh orang-orang Nuchen, kalau kawan-kawan karib yang lagi menghadapi bahaya itu tak ditolong olehnya, sungguh rasa hatinya tidak tentram, Sebaliknya bila orang-orang Cidan itu dibunuhnya semua, betapapun mereka adalah suku bangsanya sendiri, ia merasa tidak tega, Jalan satu-satunya sekarang terpaksa orang yang

berjubah merah yang merupakan pimpinan mereka itu harus ditawan lebih dulu, lalu akan memaksa dia memerintahkan orangorangnya menghentikan pertumpahan darah itu.

Setelah mengambil keputusan, segera Siau Hong berseru, "Hai, lekas kalian mundur saja! Kalau tidak, terpaksa aku tidak sungkan lagi!"

Tapi sebagai jawabnya, mendadak tiga batang tombak menyambar kearahnya, Karuan Siau Hong sangat mendongkol, Segera ia menerjang kearah sijubah merah dengan cepat.

"Jangan, jangan, Siau-toako, lekas kembali!" Akut berteriak-teriak khawatir demi melihat sahabat baik itu hendak menyerempet bahaya.

Tapi Siau Hong tidak gubris padanya, ia tetap menerjang kedepan, Dengan sendirinya orang-orang Cidan hendak merintanginya, panah dan tombak mereka bagaikan hujan menghambur kearah Siau Hong.

Mendadak Siau Hong membentak sekali, ia tangkap sebatang tombak, sekali pukul ia patahkan tombak panjang itu, dengan ia putar kencang potongan tombak itu hingga segala macam senjata musuh yang menyambar ketubuhnya itu disampuknya jatuh semua, Sedangkan larinya tidak menjadin kendor, hanya sekejap saja ia sudah menerjang sampai didepan sijubah merah.

Si jubah merah yang berewok itu sangat gagah dan angker, ia tidak gugup melihat Siau Hong menerjang tiba, cepat ia terima tiga batang lembing dari pengawalnya, segera lembing pertama ditimpukkan kearah Siau Hong, Tapi sekali tangkap, lembing itu kena dipegang oleh Siau Hong, begitu pula lembing kedua, Habis itu tanpa ampun lagi dua pengawal dikanan kiri sijubah merah terjungkal dari kuda mereka..

"Bagus!" bentak sijubah merah sambil menimpukkan lembing ketiganya.

Tapi dengan menggunakan gaya 'pinjam tenaga untuk balas menyerang' sekali Siau Hong menyampuk dengan tangan kiri keatas, tahutahu lembing itu berputar arah dan menyambar balik, "crat" dada kuda tunggangan sijubah merah tepat tertancap oleh lembing itu.

Sambil berteriak kaget, sebelum kudanya roboh sijubah merah mendahului melompat turun, Namun Siau Hong lebih cepat dari dia, tahu-tahu tangan kanan Siau Hong sudah meraih sampai diatas pundak kanannya terus dicengkeram kencang-kencang.

Pada saat itulah Siau Hong dengar suara sambaran senjata dari belakang, sekali kaki memendal, secepat terbang Siau Hong meloncat kedepan hingga beberapa meter jauhnya sambil menggondol sijubah merah, Maka terdengarlah suara "crat cret" dua kali, dua batang tombak telah menancap diatas tanah ditempat Siau Hong berpijak tadi.

Sambil mengempit sijubah merah, segera Siau Hong meloncat pula kekiri hingga jatuh diatas kuda seorang penunggang Cidan, sekali sikat ia bikin orang Cidan itu terperosot kebawah lalu keprak kuda rampasan itu menyingkir ketempat yang luang.

Masih sijubah merah itu merontah-rontah sambil meninju muka Siau Hong, tapi sekali Siau Hong mengempit dengan kencang, si jubah mereha tak bisa berkutik lagi, Segera Siau Hong membentak, "Perintahkan mereka mundur, kalau tidak sekarang juga kukempit mampus dirimu!"

Karena terancam, terpaksa sijubah merah berseru, "Lekas kalian mundur, tidak perlu bertempur lagi!"

Beramai-ramai orang Cidan itu lantas mengurung Siau Hong, mereka ingin mencari kesempatan untuk menolong pemimpin mereka, Tapi dengan tombak patah tadi, Siau Hong mengancam leher sijubah merah, sambil membentak. "Apa minta kubinasakan dia!"

"Lekas kau bebaskan pemimpin kami, kalau tidak, segera kami cincang dirimu menjadi bergedel!" bentak seorang Cidan tua.

Siau Hong terbahak-bahak, Mendadak ia memukul kearah orang tua itu dari jauh "blang", kontan orang itu mencelat dari kudanya hingga jatuh beberapa meter, mulutnya menyemburkan darah, tampaknya tidak mungkin hidup lagi.

Memang Siau Hong sengaja hendak menggertak musuh dengan ilmu 'Pik-khong-ciang'(pukulan dari jauh) yang hebat itu, maka tenaga yang dipakainya tadi cukup keras, Karuan orang Cidan yang tidak pernah menyaksikan ilmu sakti seperti itu menjadi kesima, sejenak kemudian mereka sama menjerit kaget, dan beramai-ramai mengundurkan kuda mereka dengan rasa khawatir jangan-jangan pukulan Siau Hong itu akan berkenalan pula dengan mereka, sudah tentu mereka tidak mampu melawan pukulan yang mirip ilmu sihir itu.

"Nah, jika kalian tidak lantas mundur dan pergi, segera akan kubinasakan dia!" kata Siau Hong sambil mengangkat telapak tangannya keatas kepala sijubah merah.

"Enyahlah kalian! Mundur semua!" teriak sijubah merah.

Terpaksa orang-orang Cidan itu menurut, mereka undurkan kuda beberapa tindak kebelakang, tapi tetap tidak mau pergi.

Diam-diam Siau Hong pikir, "Disekitar sini adalah padang rumput yang datar, kalau pemimpin mereka ini dilepaskan dan kemudian orang-orang Cidan ini mengejar lagi, akhirnya Akut dan kawan-kawannya tetap tak dapat meloloskan diri,"

Maka ia berkata kepada sijubah merah, "Lekas perintahkan mereka menyediakan empat ekor kuda!"

Si jubah merah menurut, empat ekor kuda lantas diserahkan kepada Akut oleh orang-orangnya, Karena dendam orang Cidan membunuh kawan-kawannya, "blang" kontan Atut menjotos seorang yang menyerahkan kuda itu hingga "knock-out", Meski jumlah mereka lebih banyak, orang-orang Cidan itu tidak berani membalas, ia hanya mendelik sambil memegang dagunya yang ditonjok itu dengan meringis kesakitan.

Lalu Siau Hong berkata pula, "Lekas memberi perintah agar masing-masing membunuh kuda tunggangan sendiri, seekorpun tak boleh tertinggal hidup."

Si jubah merah ternyata seorang yang tegas, tanpa berdebat apapun segera ia memberi perintah, "Semuanya turun dari kuda dan bunuh binatang tunggangan kalian!"

Orang-orang Cidan itu pun tanpa pikir terus melompat turun, masing-masing membunuh kuda sendiri dengan golok dan tombak yang mereka bawa.

Melihat orang-orang Cidan itu begitu taat kepada pimpinan, diam-diam Siau Hong merasa kagum juga, pikirnya, "Tampaknya sijubah merah ini bukan sembarangan orang, masakah setiap perintahnya diturut oleh bawahannya tanpa membangkang sedikitpun, Melihat disiplin mereka yang hebat ini, pantas pasukan Song kalah perang melawan mereka."

Kemudian Siau Hong berkata pula kepada sijubah merah, "Sekarang suruh orang-orangmu pulang semua, siapa pun dilarang mengejar lagi, Kalau ada seorang berani mengejar, segera kupuntir patah sebelah tanganmu, ada dua orang berani mengejar, akan kupatahkan dua lenganmu, Empat anggota badanmu lantas kukutungi semua."

Ancaman Siau Hong membuat sijubah merah gusar tidak kepalang, tapi dibawah tawanan orang ia pun tak dapat berbuat apa-apa, terpaksa ia beri perintah, "Sudahlah, balik pulang segera mengerahkan pasukan besar untuk hancurkan sarang orang Nuchen!"

Serentak orang-orang Cidan mengiakan sambil membungkuk tubuh, Lalu Siau Hong putar kudanya, bersama Akut dan kawankawannya yang telah menunggang kuda masing-masing segera balik kearah timur dengan membawa tawanannya yaitu sijubah merah.

Sesudah beberapa li jauhnya, benar juga tiada seorang Cidan yang berani mengejar lagi, maka Siau Hong melompat keatas kuda lain dan membiarkan sijubah merah menunggang kuda sendiri.

Dengan cepat mereka pulang ketempat tinggal orang Nuchen, segera Akut melaporkan peristiwa itu kepada ayahnya Hurip, Ia tuturkan kejadian bertemu dengan musuh, berkat pertolongan Siau Hong mereka dapat diselamatkan dan malah berhasil menawan seorang pemimpin musuh.

Karuan Hurip sangat girang, ia tidak habis-habis memuji dan menghaturkan terima kasih kepada Siau Hong, Lalu memberi perintah, "Bawalah anjing Cidan itu kesini!"

Meski sudah jatuh dalam cengkeraman musuh tapi sijubah merah masih sangat angkuh dan kereng, ia berdiri tegak dan tak sudi bertekuk lutut.

Hurip tahu tawanannya itu pasti bangsawan Cidan, segera ia tanya, "Siapa namamu?Apa pangkatmu dinegeri Liau sana?"

Dengan angkuh sijubah merah menjawab, "Aku toh bukan tawananmu, dengan hak apa kau tanya padaku?"

Menurut peraturan umum diantara suku-suku bangsa Cidan dan Nuchen, seorang tawanan termasuk budak milik pribadi orang yang menawannya itu, Baik harta benda atau wanita juga termasuk dalam peraturan itu, hak milik itu tak boleh diganggu gugat oleh orang lain, kecuali jika pemiliknya sengaja menghadiahkan kepadanya, Begitulah peraturan umum dalam suku-suku bangsa yang peradabannya masih belum maju, setiap tawanan adalah budak.

Maka Hurip tertawa, katanya, "Benar juga ucapanmu, hahaha!"

Segera sijubah merah mendekati Siau Hong ia tekuk lutut sebelah kaki, ia beri hormat dengan sebelah tangan terangkat kedepan jidat, katanya, "Cukong, engkau memang kesatria gagah, sedikit pun aku tidak menyesal menjadi tawananmu, Jika engkau sudi membebaskan diriku, sebagai balas jasa aku bersedia mengganti dengan tiga kereta emas, tiga puluh kereta perak dan tiga ratus ekor

kuda."

Paman Akut yang bernama Polas menyela, "Kamu ini bangsawan Cidan, harta tebusan itu masih jauh dari pada cukup, Saudara Siau, boleh kau lepaskan dia jika dia bersedia menebus dengan 30 kereta emas, 300 kereta perak dan 3000 ekor kuda,"

Polas itu seorang cerdik, ia sengaja menambah harta tebusan itu sepuluh kali lipat dari pada tawaran sijubah merah tadi, maksudnya memang sengaja hendak tawar menawar.

Sebenarnya harta tiga kereta-emas, 30 kereta perak dan 300 ekor kuda yang ditawarkan sijubah merah tadi sudah merupakan harta kekayaan yang sukar didapat, sepanjang sejarah pertempuran antara bangsa Nuchen dan Cidan belum pernah terjadi harta tebusan tawanan sebesar itu.

Maka sebenarnya kalau sijubah merah tak berani menambah lagi tawarannya, ada maksud Polas akan minta Siau Hong menutup 'transaksi' itu alias terima baik tawaran itu.

Diluar dugaan sijubah merah ternyata bukan seorang yang pelit , tanpa pikir ia terima baik harga yang dipasang Polas tadi, dengan tegas ia menjawab, "Baik, kuterima syaratmu itu,"

Mendengar jawaban itu, semua orang Nuchen terkejut, hampir-hampir mereka tidak percaya kepada telinganya sendiri.

Hendaklah maklum, meski peradapan bangsa Nuchen dan Cidan itu masih terbelakang, tapi mereka pun kenal kepercayaan, yang pernah diucapkannya pasti ditepati, apalagi sekarang yang dipersoalkan adalah emas tebusan, jika orang Cidan tidak cukup menyerahkan jumlah yang dijanjikan itu atau sengaja ingkar janji, itu berarti sijubah merah takkan dapat pulang kenegerinya, segala omong besar dan janji kosong itu pun takkan berguna.

Begitulah maka Polas khawatir kalau-kalau tawanannya itu dalam keadaan linglung, maka sengaja ia tegaskan lagi, "Hai, kaudengar jelas tidak kataku tadi? Aku bilang 30 kereta emas, 300 kereta perak dan 3000 ekor kuda!"

"Ya, emas 30 kereta, perak 300 kereta dan kuda 3000 ekor, apa artinya semua itu bagiku!" demikian sijubah merah menjawab dengan sikap yang tetap angkuh, "Kelak kalau kerajaan Liau kami memerintah didunia ini, harta benda sekian itu apa artinya bagi kami?"

Habis itu ia lantas berpaling kearah Siau Hong, sikapnya berubah sangat hormat, katanya, "Cukong, aku hanya tunduk pada perintahmu, omongan orang lain takkan kugubris lagi."

"Siau-hengte," sela Polas, "Coba kau tanya dia sebenarnya dia orang macam apa di negeri Liau mereka?"

Segera sorot mata Siau Hong beralih kepada sijubah merah, Tapi belum lagi ia buka suara atau orang itu sudah mendahului berkata;

"Cukong, jika engkau berkeras ingin tanya asal-usulku, terpaksa aku akan mengaku sembarangan untuk mendustaimu dan engkau toh takkan tahu dengan pasti, Engkau adalah seorang ksatria, aku pun seorang ksatria, maka aku tidak ingin dusta, sebab itulah janganlah engkau tanya berbelit-belit padaku."

Mendadak Siau Hong melolos goloknya, sekali jarinya menyelentik, "creng" kontan golok itu patah menjadi dua, Lalu bentaknya dengan suara bengis, "Kau berani tidak mengaku? Kalau jariku menjentik sekali diatas batok kepalamu, lantas bagaimana jadinya?"

Tapi orang itu ternyata tidak gentar juga dan tidak gugup, sebaliknya ia acungkan jari jempolnya dan memuji, "Bagus, kepandaian hebat, kungfu yang lihai! Sungguh tidak mengecewakan hidupku ini dapat menyaksikan seorang gagah nomor satu didunia ini, Siauenghiong, jika engkau hendak menggertakku dengan kekerasan, hah, itulah jangan harap, Kalau mau bunuh silakan bunuh, biar pun orang Cidan tak mampu melawanmu, namun jiwanya adalah sama kerasnya seperti engkau."

Siau Hong terbahak-bahak, katanya, "Bagus, bagus! Aku takkan membunuhmu disini, kalau kubunuh begini saja tentu juga kamu takkan takluk, Marilah kita pergi yang jauh sana, nanti kita bertempur lagi lebih sengit."

"Siau-hengte," cepat Polas dan Hurip mencegahnya, "sayanglah kalau orang ini dibunuh, lebih baik kita tahan dia untuk mendapatkan emas tebusan, Jika engkau marah padanya, boleh kau pentung atau hajar dia dengan cambuk saja."

"Tidak," sahut Siau Hong, "Dia berlagak gagah-gagahan, aku justru ingin dia tahu rasa,"

Segera ia pinjam dua pasang busur dengan panahnya pada orang Nuchen disampingnya, dipinjamnya pula dua batang tombak, Lalu ia tarik sijubah merah keluar tenda, lebih dulu ia cemplak keatas kudanya, kemudia katanya kepada sijubah merah, "Nah, naiklah!"

Ternyata orang Cidan itu sedikitpun tidak ragu atau gentar, meski ia tahu pasti akan mati konyol melawan Siau Hong, boleh jadi dirinya akan digoda dulu seperti kucing mempermainkan tikus, lalu dibunuhnya, Tapi ia tidak jeri segera ia pun lompat keatas kuda yang lain dan lalu menuju ke utara.

Sesudah beberapa li jauhnya, tiba-tiba Siau Hong berkata, "Belok ke barat sana!"

”Pemandangan disini sangat indah, biarlah aku mati disini saja," sahut sijubah merah.

"Ini sambutlah!" seru Siau Hong pula sambil melemparkan sepasang busur berikut panah dan sebatang tombak padanya.

Senjata itu diterima oleh orang itu, segera ia pun berseru, "Siau-enghiong, biarpun aku sadar bukan tandinganmu, tapi biarpun mati orang Cidan pantang menyerah, Awas, aku akan mulai menyerang!"

"Nanti dulu! Ini, sambut pula!" sahut Siau Hong, Dan kembali ia lemparkan busur dan tombak miliknya itu kepada sijubah merah, Dengan bertangan kosong lalu ia tersenyum-senyum.

Si jubah merah menjadi gusar, katanya, "Hah, jadi hendak kau tempur aku dengan bertangan kosong? Kamu benar-benar terlalu menghina padaku!"

Tapi Siau Hong menggeleng kepala, sahutnya, "Bukan begitu maksudku, Selamanya aku paling menghargai kaum ksatria dan menghormati orang gagah, Meski ilmu silatmu kalah dari padaku, tapi engkau adalah seorang ksatria besar, seorang gagah perkasa, aku

bersedia bersahabat denganmu, Nah silakan pulang ketengah-tengah suku bangsamu!"

Karuan sijubah merah terperanjat, katanya dengan tergagap, "Ap... apa katamu?"

"Aku bilang engkau adalah seorang ksatria, seorang gagah dan ingin bersahabat denganmu, maka sekarang kuantarmu pulang ke rumah!" sahut Siau Hong tertawa.

Bagaikan orang yang sudah mendaftarkan diri kepada raja akhirat tapi titolak kembali, karuan girang sijubah merah melebihi orang dapat lotre sepuluh juta, Ia coba tanya pula, "Sungguh-sungguh kau bebaskan diriku? Apakah maksud tujuanmu? Kalau....kalau aku dapat pulang kerumah tentu akan kutambahi emas tebusanku sepluh kali lipat untukmu."

Siau Hong menjadi kurang senang, sahutnya, "Aku anggap kamu sebagai sobat baik, mengapa kamu malah tidak pandang aku sebagai sahabat, Siau Hong adalah seorang laki-laki sejati, masakah tamak terhadap harta benda?"

Si jubah merah merasa malu, cepat ia buang senjatanya, ia lompat turun dari kuda dan berlutut ditanah, katanya, "Banyak terima kasih atas budi pengampunan atas jiwaku ini!"

Segera Siau Hong ikut berlutut dan balas menghormat, sahutnya, "Aku tidak mau membunuh sahabat, tapi juga tidak berani terima penyembahan seperti ini, jika kaum budak tawanan aku akan terima penghormatannya dan jiwanya juga takkan kuampuni."

Sungguh girang dan kagum sijubah merah tak terhingga, sesudah berbangkit ia berkata pula, "Siau-enghiong, jika benar engkau pandang aku sebagai sahabat, bagaimana pendapatmu jika sekiranya aku mohon mengangkat saudara denganmu?"

Sejak Siau Hong masuk Kai-pang, selama itu ia hanya kenal naik pangkat hingga akhirnya diangkat menjadi Pangcu, tapi tidak pernah mengangkat saudara dengan orang, Hanya sekali tejadi waktu dia mengadu minum arak dengan Toan Ki dikota Bu-sik, karena saling mengagumi maka keduanya mengikat persaudaraan angkat.

Kini dalam keadaan terlunta dirantau orang ternyata ada seorang seperti sijubah merah tadi mengangkat saudara dengan dia, karuan ia sangat terharu dan segera menjawab, "Bagus, tentu saja kuterima dengan baik, aku Siau Hong, 33 tahun, entah saudara berusia berapa?"

"Aku Yali Ki, lebih tua sebelas tahun dari pada lokong," sahut sijubah merah dengan tertawa.

"Mengapa Gihong (kakak angkat) masih menyebutku sebagai lokong?" ujar Siau Hong, "Sebagai saudara tua terimalah penghormatanku ini." Habis berkata ia terus memberi hormat kepada sijubah merah alias Yali Ki.

Cepat Yali Ki membalas hormat, kedua orang lantas sembahyang kepada langit dengan menggunakan tiga batang panah sebagai dupa, Sejak itu mereka terikat sebagai saudara angkat.

Dengan girang kemudian Yali Ki berkata, "Saudaraku, engkau she Siau, mirip sekali dengan bangsa Cidan kami."

"Bicara terus terang, sebenarnya Siaute memang orang Cidan," sahut Siau Hong sambil membuka bajunya hingga kelihatan ganbar cacah kepala serigala didadanya itu.

Karuan Yali Ki tambah girang, serunya, "Hai, memang betul engkau adalah kelompok suku Ho dari bangsa Cidan kita, Saudaraku, di negeri orang Nuchen sini terlalu dingin, lebih baik ikut ke Siangkhia saja untuk menikmati kebahagiaan bersama."

"Banyak terima kasih atas maksud baik Giheng," sahut Siau Hong. "Tapi Siaute sudah biasa hidup melarat, penghidupan mewah malah tidak suka, Ditempat orang Nuchen ini Siaute hidup cukup senang dan bebas, Kelak bila Siaute rindu pada Giheng, tentu akan berkunjung kesana."

Dan karena memikirkan keadaan A Ci yang telah ditinggal sekian lamanya, segera ia pun mohon diri, "Giheng, lekas engkau pulang saja agar keluarga dan bawahanmu tidak merasa khawatir."

Yali Ki mengangguk, "Ya, dalam keadaan terburu-buru hari ini kita tak sempat banyak bicara, Sebagai saudara angkat, kelak kta harus lebih sering berhubungan." Habis itu, segera ia mencemplak keatas kuda dan dilarikan cepat ke barat.

Waktu Siau Hong putar kembali kudanya, ia lihat Akut memimpin belasan bawahannya datang menyongsongnya, Agaknya Akut khawatir Siau Hong terjebak oleh akal licik sijubah merah, maka sengaja menyusulnya.

Ketika Siau Hong memberitahu bahwa sijubah merah telah dibebaskan olehnya, sebagai seorang ksatria yang berpandangan luas, Akut sendiri memuji atas kebijaksanaan dan keluhuran budi Siau Hong.....

Suatu hari, tatkala mengobrol iseng Siau Hong memberitahukan Akut tentang penyakit A Ci itu disebabkan terkena pukulannya, Meski jiwanya telah dapat direnggut kembali dari cengkeraman maut berkat jinsom yang telah banyak diminumnya itu, tapi sudah sekian lamanya keadaan anak dara itu belum tampak sembuh, hal inilah yang sangat menyesalkan hati Siau Hong.

Sesudah berpikir, kemudian Akut mengusulkan untuk mencoba obat luka pukulan yang biasa digunakan oleh suku bangsa Nuchen meraka, yaitu koyol buatan dari urat dan tulang harimau dicampur dengan empedu beruang, biasanya koyok itu sangat manjur.

Siau Hong sangat girang mendapat keterangan itu, urat dan tulang harimau cukup banyak tersedia, yang masih perlu hanya empedu beruang saja, Segera ia tanya bagaimana cara pemakaian dan racikan obat itu, harus gilas urat dan tulang harimau menjadi salep, lalu diminumkan kepada A Ci. Dan besok paginya seorang diri ia menuju jauh kerimba pegunungan untuk berburu beruang.

Karena berburu sendirian, maka Siau Hong dapat mengeluarkan ginkang sebebas-bebasnya, Hari pertama hasilnya nihil, hari kedua ia dapat membunuh seekor beruang besar, Segera ia mengambil empedu binatang buas itu dan lari pulang.

Urat tulang harimau dan empedu beruang beserta jinsom adalah barang sangat berharga untuk menyembuhkan luka, terutama empedu beruang yang masih segar adalah barang yang sukar diperoleh, Mungkin jiwa A Ci belum ditakdirkan akan berakhir, maka ia telah dibawa oleh Siau Hong kedaerah pegunungan Tiong-pek-san yang banyak menghasilkan jinsom, urat tulang harimau dan empedu beruang, ditambah lagi Siau Hong memiliki ketangkasan yang tiada taranya hingga obat-obatan itu berturut-turut dapat dicarikan untuknya.

Setelah lebih dua bulan, sudah ada 20 buah empedu beruang yang dimakan A Ci, lukanya sudah banyak sembuh, tulang iga bagian

dada yang patah terpukul juga sudah tersambung kembali, bicaranya juga mulai lancar, walaupun napasnya masih sesak.

Siau Hong sangat lega melihat kemajuan kesehatan A Ci itu, Ia yakin kalau tinggallebih lama disitu tentu ada harapan A Ci akan pulih kembali seperti sediakala.

Suatu petang hari, tengah Siau Hong asyik meracik obat untuk A Ci, tiba-tiba seorang Nuchen datang tergesa-gesa melaporkan padanya, "Siau-toako, ada belasan orang Cidan membawakan hadiah untukmu."

"Hah, hadiah?" seru Siau Hong dengan heran, tapi segera ia tahu pasti hadiah kiriman Saudara angkatnya, Yali Ki.

Waktu Siau Hong keluar, terlihatlah dari jauh iring-iringan kuda sedang mendatang dengan pelahan, diatas kuda penuh termuat barang.

Rupanya pemimpin regu dari Cidan itu telah dipesan oleh Yali Ki tentang wajah Siau Hong, maka begitu melihat segera ia mengenalinya, serentak ia melompat turun dari kudanya serta menghampiri dan memberi sembah, katanya, "Sejak Cukong berpisah dengan Siau-toaya, beliau selalu terkenang padamu, Kini hamba diperintahkan membawa sedikit oleh-oleh dan minta Siau-toaya sudilah berkunjung ke Siang-khia (nama ibukota negeri Liau)," sambil berkata kapten itu lalu menghaturkan daftar hadiah yang dibawanya kepada Siau Hong dengan sikap sangat menghormat.

Siau Hong terima dengan baik daftar barang antaran itu, katanya dengan tertawa, "Banyak terima kasih, silakan berdirilah!"

Dan waktu ia baca daftar antaran itu, ia lihat daftar itu tertulis jumlah barang sebagai berikut; Emas murni lima ribu tahil, perak lima ribu tahil, sutera seribu blok, gandum nomor satu seribu gentas, sapi gemuk seribu ekor, kambing gemuk lima ratus ekor, kuda pilihan tiga ribu ekor, Kecuali itu masih banyak barang berharga lain yang susah disebut satu persatu.

Nyata kalau dibandingkan dengan harga tebusan yang disepakati tempo hari, hadiah yang diantarkan sekarang ini bernilai beberapa kali lipat lebih tinggi. Karuan Siau Hong terperanjat, sama sekali ia tidak menduga akan barang antaran sebanyak ini, dan entah cara bagaimana kapten orang Cidan itu membawanya kemari.

Maka terdengar kapten itu sedang melapor pula, "Cukong khawatir hewan yang kami bawa itu akan hilang ditengah jalan, maka setiap jenis hadiah menurut daftar itu masing-masing ditambah lagi cadangan satu bagian, Tapi berkat rejeki Siau-toaya yang besar, sepanjang jalan hamba tidak menjumpai aral rintang apa-apa sehingga hampir semuanya dapat tiba disini dengan selamat."

"Ai, Yali-toako benar-benar terlalu baik, jika aku tidak menerimanya tentu akan mengecewakan maksud baiknya, tapi kalau kuterima seluruhnya menurut daftar ini, rasanya juga tidak enak," ujar Siau Hong.

"Hamba telah dipesan oleh Cukong agar Siau-toaya harus menerima hadiah ini, kalau tidak, tentu hamba akan dimarahi kelak bila pulang," tutur kapten orang Cidan itu.

Dalam pada itu, tiba-tiba terdengar suara tiupan tanduk yang riuh rendah, orang-orang Nuchen sama membawa senjata dan berkumpul sambil berteriak-teriak, "Awas, ada pasukan musuh lekas melawan!"

Waktu Siau Hong memandang kearah datangnya suara tiupan tanda bahaya itu, ia lihat jurusan sana debu mengepul tinggi memenuhi

langit, agaknya ada pasukan besar yang sedang menuju kemari, Segera kapten orang Cidan itu berseru, "Harap saudara-saudara jangan kaget, itu adalah rombongan ternak milik Siau-toaya." Segera ia pun melarikan kudanya memapak kesana untuk menghindarkan salah paham.

Semula Akut dan kawan-kawan merasa sangsi, tapi sesudah dekat memang betul juga, ditanah pegunungan situ sudah penuh ternak, seratusan orang Cidan sambil mengacungkan cambuk mereka sedang membentak-bentak dan menghalau. Dalam waktu singkat saja suara berisik gerombolan ternak itu telah membikin suasana menjadi gaduh hingga suara percakapan orang pun sukar terdengar.

Malamnya Siau Hong minta orang-orang Nuchen menyembelih kambing dan sapi untuk menjamu tamu dari Cidan itu, Besok paginya ia keluarkan pula sebagian emas perak yang diterimanya itu untuk dibagikan kepada orang-orang Cidan sebagai persen, Dan sesudah orang-orang Cidan itu pergi, lalu ia serahkan semua hadiah Yali Ki itu kepada Akut untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang Nuchen.

Pada umumnya orang Nuchen itu hidup secara kolektif, secara bergabung dalam keluarga besar, milik seorang adalah milik semua orang, Mereka pun girang mendapatkan harta benda sebanyak itu, Selama beberapa hari orang-orang Nuchen mengadakan pesta sebagai tanda terima kasih kepada Siau Hong.

Musim panas pergi, musim rontok mendatang pula, Sementara itu kesehatan A Ci sudah lebih baik lagi, Dan sekali tenaga anak dara itu sudah kuat, ia lantas merasa bosan setiap hari hanya rebah didalam kemah, maka sering ia minta Siau Hong membawanya pesiar keluar dengan menunggang kuda.

Segala permintaan A Ci selalu dituruti oleh Siau Hong, Maka beberapa bulan selanjutnya kedua orang itu selalu pesiar bersama keluar, kecuali kalau hujan salju, Bila sudah merasa bosan, mereka lantas membawa tenda untuk bermalam ditengah perjalanan hingga terkadang untuk beberapa hari mereka tidak pulang.

Pada kesempatan itu Siau Hong lantas memburu harimau dan beruang serta mencari jinsom untuk lebih menyembuhkan kesehatan A Ci, Begitulah gara-gara anak dara itu menyambitkan sebatang jarum berbisa, maka celakalah harimau dan beruang di Tiang-pek-san itu, entah berapa banyak jiwa mereka yang telah melayang dibawah hantaman Siau Hong.

Untuk lebih memudahkan pencarian jinsom, setiap kali Siau Hong tentu menuju kearah timur dan utara.

Suatu hari A Ci menyatakan pemandangan didaerah utara itu sudah membosankan, maka minta menuju ke barat saja, Kata Siau Hong, "Di daerah barat sana adalah padang rumput belaka yang amat luas, pemandangannya kurang menarik."

"Padang rumput luas juga sangat menarik," ujar A Ci. "Seperti samudra raya, aku justru tidak pernah melihatnya, Meski Sing-siok-hai kami juga disebut hai (laut), tapi disana lautnya bertepi dan berpantai."

Mendengar anak dara itu menyebut 'Sing-siok-hai'(Ngoring Nor, laut didaratan tinggi pegunungan Kun-lun diwilayah Jinghai), hati Siau Hong terkesiap.

Selama setahun ini ia tinggal bersama orang Nuchen hingga macam-macam urusan dunia persilatan itu telah dilupakan olehnya, Dalam keadaan tak bisa bergerak, anak dara yang nakal itu menjadi mati kutu dan tak bisa bikin gara-gara lagi sama sekali, tak terpikir olehnya bila kesehatan A Ci itu kini sudah pulih kembali dan kumat pula sifatnya yang nakal dan jahat itu, lantas bagaimana?

Ketika ia pandang A Ci, ia lihat air muka anak dara itu masih tetap pucat, pipinya agak mendeluk, biji matanya yang bundar besar itu pun seakan-akan amblas kedalam, itulah ciri-ciri muka yang kurus.

Diam-diam Siau Hong sangat menyesal, seorang nona yang lincah menyenangkan kini telah berubah kurus kering bagai jerangkong akibat dipukul olehnya, Sebaliknya aku malah memikirkan keburukannya, Segera ia berkata dengan tertawa. "Jika kau ingin pergi ke barat, marilah kita kesana A Ci, nanti kalau kamu sudah sehat, tentu akan kubawamu ke negeri Korea, disana kita dapat memandang lautan yang luas seakan-akan tak berujung, sungguh indah sekali pemandangan demikian itu."

"Bagus, bagus! Kalau perlu sekarang juga kita boleh berangkat!" seru A Ci dengan teriakan sambil bertepuk tangan.

"He, A Ci, kedua tanganmu sudah bisa bergerak?" tanya Siau Hong dengan girang dan kejut.

"Ya, beberapa hari yang lalu sudah dapat bergerak dan hari ini menjadi lebih bebas lagi," sahut A Ci tertawa.

"Ai, kamu ini sungguh nakal, mengapa tidak beritahu padaku," omel Siau Hong dengan girang.

"Aku lebih suka tidak dapat berkutik untuk selamanya asalkan engkau setiap hari berdampingan denganku, Kalau aku sudah sehat, tentu engkau akan mengusir aku lagi," ujar A Ci dengan tertawa, Matanya mengerlingkan sifat-sifat yang licin dan nakal.

Mendengar ucapan yang bernada tulus itu rasa kasih sayang Siau Hong timbul dengan sendirinya, katanya, "Aku adalah orang yang kasar sekali kurang hati-hati lantas melukaimu begitu rupa, kalau setiap hari aku mendampingimu, apa sih untungnya?"

A Ci tidak menjawab, Selang sejenak, tiba-tiba ia berkata dengan suara rendah, "Cihu, tempo hari, kenapa kau pukul aku sekeras itu?"

Tapi Siau Hong tidak ingin mengungkit kejadian lama itu, sahutnya, "Urusan itu sudah lalu, buat apa dibicarakan pula? A Ci, sesudah aku melukaimu sedemikian rupa, sungguh aku merasa sangat menyesal, Kamu dendam padaku atau tidak?"

"Sudah tentu tidak," sahut A Ci, "Cihu, coba pikir, untuk apa aku dendam padamu? Memang kuminta kau dampingi aku, kini bukankah engkau sudah berada di dampingku? Aku sangat senang."

Sebenarnya Siau Hong merasa pikiran anak dara itu sangat aneh dan ada-ada saja, tapi sekarang ini sifatnya sudah berubah sangat baik, mungkin disebabkan dirinya telah merawat dia dengan sepenuh tenaga, memburu harimau dan mencari empedu beruang untuknya, maka telah banyak menghlangkan sifat liarnya itu, Segera ia siapkan kuda, tenda dan alat-alat yang perlu, lalu berangkat kearah barat bersama A Ci.

Kira-kira beberapa li jauhnya, tiba-tiba A Ci bertanya, "Cihu, apakah engkau sudah dapat menerkanya?"

"Menerka soal apa?" sahut Siau Hong bingung.

"Tempo hari mendadak aku menyerang dirimu dengan jarum berbisa, apakah kau tahu sebabnya?" tanya A Ci.

"Pikiranmu selalu aneh-aneh, dari mana aku tahu?" sahut Siau Hong sambil menggeleng.

A Ci menghela napas, katanya, "Jika engkau tak dapat menerkanya, biarlah jangan diterka lagi, Eh, Cihu, lihatlah barisan burung belibis itu, mengapa mereka berbaris dan terbang ke selatan."

Waktu Siau Hong menengadah, ia lihat di angkasa tinggi terdapat dua baris burung belibis dam formasi "V" dan sedang terbang ke arah selatan dengan cepat.

"Hawa sudah hampir dingin, burung belibis tidak tahan dingin, maka mereka mengungsi ke selatan," tutur Siau Hong.

"Dan pada waktu musim semi, mengapa mereka terbang kembali lagi?" tanya A Ci, "Setiap tahun mereka pulang-pergi begitu apakah tidak merasa lelah? Bila mereka takut dingin mengapa tidak tinggal di selatan saja dan tidak perlu pulang ke utara sini?"

Selamanya yang diperhatikan Siau Hong adalah ilmu silat, terhadap kebiasaan sebangsa burung dan binatang segala tak pernah dipikirkannya.

Maka pertanyaan A Ci itu membuatnya gelagapan, Katanya kemudian dengan tertawa. "Apu pun tidak tahu mengapa mereka tidak kenal lelah, mungkin mereka dilahirkan di utara dan rindu pada kampung halaman, maka pada saatnya mereka pun ingin pulang."

"Ya, mungkin begitulah," kata A Ci, "Eh, lihatlah burung belibis kecil itu juga ikut terbang ke selatan, Kelak bila ayah-ibu, Cici dan Cihunya pulang ke utara, dengan sendirinya ia pun ikut."

Mendengar anak dara itu menyebut 'Cici dan Cihu' perasaan Siau Hong tergerak, ia coba melirik, ia lihat A Ci masih mendongak, memandang kawanan burung belibis, suatu tanda ucapannya tadi tidaklah disengaja.

Diam-diam Siau Hong membatin, "Sekali omong saja ia lantas menghubungkan aku dengan ayah bundanya, suatu tanda dalam lubuk hatinya ia sudah pandang aku sebagai familinya yang dekat, Aku tidak boleh lagi meninggalkan dia, sesudah kesahatannya pulih nanti, paling baik kuantar dia pulang ke Tayli dan akan kuserahkan kepada orang tuanya, dengan demikian barulah kewajibanku berakhir."

Begitulah sepanjang jalan kedua orang asyik bercakap dan bergurau, bila A Ci merasa letih Siau Hong lantas memondongnya turun dari kuda dan merebahkan dia dalam kereta yang mengikuti di belakang, Bila malam tiba mereka lantas buat kemah.

Sesudah beberapa hari pula, akhirnya mereka mencapai tepian padang rumput yang luas, A Ci sangat senang memandangi padang rumput yang seakan-akan tak berujung itu, Katanya," "Oh!, marilah kita menjelajahi padang rumput yang luas ini, disana tentu jauh lebih indah dari pada disini."

Siau Hong tidak mau menolak keinginan dara itu, segera ia halau kuda dan keretanya ketengah padang rumput.

Sudah beberapa hari Siau Hong dan A Ci melanjutkan perjalanan ditengah padang rumput luas itu, Tatkala itu adalah permulaan musim rontok, rumput masih tumbuh dengan suburnya, hawa sejuk menyegarkan semangat.

Ditengah semak rumput juga banyak terdapat binatang buas sebangsa harimau, serigala dan sebagainya, bila perlu Siau Hong lantas berburu untuk menambah rangsum mereka, penghidupan dalam pengembaraan seperti itu sungguh menggembirakan dan benar-benar hidup dialam bebas.

Selang beberapa hari pula, siang hari itu tiba-tiba mereka lihat dikejauhan sana banyak terdapat perkemahan, seperti perkemahan pasukan tentara dan mirip pula kelompok suku bangsa yang hidup di padang rumput.

"Disana banyak tempat tinggal orang, entah apa yang mereka kerjakan, lebih baik kita pulang saja, jangan mencari gara-gara," kata Siau Hong.

"Emoh, aku justru ingin tahu perkemahan apakah itu," kata A Ci aleman. "Cihu, kakiku belum dapat bergerak, masakah bisa mendatangkan perkara bagimu?"

Siau Hong merasa kewalahan terhadap sifat kanak-kanak A Ci yang serba ingin tahu itu, Segera ia halau kudanya kearah perkemahan itu dengan pelahan.

Di padang rumput yang lapang itu, meski perkemahan dapat terlihat dengan jelas, tapi jarak yang sesungguhnya adalah sangat jauh. Sesudah belasan li, mendadak terdengar suara 'tut-tut-tut' suara tiupan tanduk yang ramai, menyusul debu mengepul, dua baris pasukan berkuda tampak terpencar, yang satu baris menuju ke utara dan barisan lain cepat menuju ke selatan.

"Celaka, itulah pasukan berkuda bangsa Cidan!" kata Siau Hong dengan terkejut.

"He, bukankah suku bangsamu sendiri? itulah bagus, mengapa kau katakan celaka malah?" ujar A Ci.

"Aku dan kau tidak kenal mereka, lebih baik kita pulang saja," kata Siau Hong, Lalu ia putar kudanya hendak kembali kearah datangnya tadi.

Tapi baru beberapa langkah jauhnya, tiba-tiba terdengar suara genderang yang gemuruh, kembali beberapa barisan berkuda Cidan menerjang datang Siau Hong merasa heran, disekitar situ tidak terdapat musuh, apakah mereka sedang latihan atau lagi berburu?

Mendadak terdengar suara teriakan ramai, 'Bidik rusa! Bidiklah rusa!" Serentak terdengar riuh ramai suara sorakan menahan rusa.

Baru sekarang Siau Hong tahu bahwa pasukan Cidan itu sedang berburu secara besar-besaran, Segera ia pondong A Ci keatas kudanya, ia berhentikan kuda dan berdiri diatasnya, untuk memandang suasana perburuan yang hebat itu.

Pasukan berkuda Cidan itu semuanya memakai jubah sulam, didalamnya berlapis baja, jadi dandanan mereka seperti berada dimedan perang saja, Jubah sulam mereka itu pun aneka warna, pasukan ini berwarna merah, pasukan itu berwarna kuning, pasukan lain berwarna biru dan pasukan lain lagi berwarna hijau, Panji tiap-tiap pasukan seragam dengan warna jubah masing-masing, mereka berlari kian kemari antara pasukan ini dengan pasukan itu, prajuritnya gagah, kudanya kuat, sungguh sangat bersemangat tampaknya, Diam-diam Siau Hong dan A Ci memuji juga.

Rupanya pasukan-pasukan Cidan itu lagi sibuk berburu rusa, terkadang ada juga yang melihat Siau Hong dan A Ci, tapi mereka hanya melirik sekejap saja dan tidak ambil peduli, Pasukan itu telah mengurung beberapa puluh ekor rusa dari tiga jurusan, Terkadang kalau ada seekor rusa yang tiba-tiba menerobos keluar dari barisan, segera seregu pasukan berkuda mengubernya, rusa itu lalu dihalau masuk lagi kedalam garis kepungan.

Tengah Siau Hong menonton, tiba-tiba didengarnya ada suara seruan orang, "Hai, apakah disitu Siau-toaya adanya?"

Siau Hong heran ada orang mengenalnya, Waktu ia berpaling terlihatlah seorang penunggang kuda berjubah hijau mendatangi dengan cepat, Itulah dia si kapten, utusan Yali Ki yang mengantarkan hadiah padanya beberapa bulan yang lalu.

Sesudah dekat dengan Siau Hong, segera kapten itu melompat turun dari kudanya dan berlutut dengan sebelah kaki, katanya, "Cukong kami berada tidak jauh dari sini, Seringkali Cukong membicarakan Siau-toaya, beliau sangat rindu padamu, Hari ini entah angin apakah yang telah meniup Siau-toaya kemari, ayolah silakan lekas menjumpai Cukong kami disana.

Siau Hong juga sangat girang, mendengar Yali Ki berada tidak jauh dari situ, Sahutnya segera. "Aku sedang pesiar tanpa tempat tujuan, tidak terduga giheng kebetulan berada disekitar sini, Baiklah, harap tunjukkan jalan agar aku dapat bertemu dengan beliau."

Segera kapten itu bersuit, dua prajurit berkuda lantas menghampiri. "Lekas laporkan bahwa Siau-toaya dari Tiang-pek-san telah datang." perintah sang kapten.

Kedua prajurit berkuda itu mengiakan dan segera meneruskan laporan itu, Sedang pasukan lain masih terus berburu, hanya kapten tadi ia memimpin suatu pasukan berkuda berjubah hijau mengiring Siau Hong dan A Ci menuju kearah barat.

Diam-diam Siau Hong membatin, "Gihengku itu besar kemungkinan adalah panglima atau pembesar tinggi negeri Liau, kalau tidak, rasanya tidak mungkin berpengaruh seperti ini."

Sepanjang jalan tampak banyak prajurit yang berlalu-lalang, semuanya berpakaian perang, Terdengar si kapten berkata pula, "Kedatangan Siau-toaya ini sangat kebetulan, besok pagi disini akan ada tontonan yang ramai!"

Sekilas Siau Hong melihat A Ci mengunjuk rasa girang oleh kabar itu, segera ia tanya si kapten, "Ada tontonan apakah?"

"Besok adalah hari pertandingan," sahut si kapten, "Kedua pasukan pengawal dari Eng-jiang dan Thai-ho belum ada komandannya, maka perwira Cidan kami akan saling bertanding untuk merebut kedudukan komandan pasukan-pasukan pengawal itu."

Mendengar ada pertandingan silat, dengan sendirinya Siau Hong juga sangat tertarik, Katanya segera dengan tertawa, "Wah, memang kedatangan kami ini sangat kebetulan, aku justru ingin lihat ilmu silat orang Cidan."

"Eh, kapten, besok engkau juga keluarkan kepandaianmu, terimalah selamatku semoga engkau dapat merebut pangkat itu," kata A Ci dengan tertawa.

"Hah, mana hamba mempunyai keberanian seperti itu?" sahut si kapten sambil menjulurkan lidah.

"Eh, kapten, siapa sih namamu?" tanya A Ci.

"Hamba bernama Sili," sahut kapten Sili.

"Untuk berebut kedudukan Thong-leng, andai Cihuku sudi mengajarkan sejurus dua padamu tanggung dengan mudah pangkat itu akan kau peroleh," ujar A Ci dengan tertawa.

Kapten Sili kegirangan, katanya cepat, "Jika Siau-toaya sudi memberi petunjuk padaku, sungguh hamba akan merasa terima kasih sekali, Tentu kedudukan Thong-leng apa segala hamba sih tiada mempunyai rejeki sebesar itu."

Sembari bicara, kira-kira satu dua li jauhnya terlihatlah dari depan mendatang suatu pasukan berkuda, Itulah Hui-him-tui (pasukan beruang terbang) kami!" kata Kapten Sili.

Pasukan berkuda yang datang itu seluruhnya berpakaian kulit beruang, jubah luar terdiri dari kulit beruang hitam dengan topi kulit beruang putih, kelihatannya menjadi gagah sekali, Sesudah dekat, sekali terdengar aba-aba serentak pasukan itu turun dari kuda dan berbaris dikedua sisi jalan sambil berseru," Selamat datang, Siau-toaya!"

Siau Hong menggangkat tangannya sebagai tanda hormat, lalu keprak kudanya kedepan, Sedang pasukan kulit beruang itu lantas mengiring dari belakang.

Beberapa li pula, kembali pasukan berkuda memapak lagi, sekali ini pasukan berkulit harimau, Diam-diam Siau Hong sangat heran, saudara angkatnya itu mempunyai pangkat apa sehingga begitu hebat penyambutannya.

Menjelang magrib, sampailah mereka disuatu perkemahan besar, suatu pasukan berkulit macan tutul menyambut Siau Hong dan A Ci kedalam kemah itu, Semula Siau Hong mengira didalam kemah akan dapat berjumpa dengan Yali Ki, diluar dugaan kemah itu kosong melompong tiada penghuninya, walaupun segala perabotan lengkap dan mewah, diatas meja juga penuh tersedia makanan dan buahbuahan.

"Cukong menyilakan Siau-toaya bermalam disini, besok akan dapat bertemu dengan beliau." demikian lapor kapten pasukan berkulit macan tutul itu.

Karena sudah terlanjur datang, Siau Hong juga tidak mau banyak bertanya, segera ia ambil tempat duduk dan minum arak sepuasnya, empat dayang siap melayaninya dengan penuh hormat, servisnya harus dipuji.

Besok paginya mereka melanjutkan perjalanan sampai ratusan li ke barat, waktu lohor sampailah mereka disuatu tempat, Kapten Sili berkata pada Siau Hong, "Sesudah melintasi lereng bukit sana, kita akan sampai ditempat tujuan."

Siau Hong lihat lereng gunung didepan sana sangat megah, sebuah sungai besar mengalir dengan gelombang airnya yang mendeburdebur.

Sesudah melintasi bukit, maka terlihatlah panji-panji berkibaran, dimana-mana penuh perkemahan, beratus ribu prajurit berkuda dan infanteri memenuhi suatu tanah lapang dibagian tengah perkemahan, Segera pasukan kulit macan tutul, kulit beruang dan kulit harimau mengeluarkan alat tiup, seketika ramailah suara 'tut-tut-tut' menggema angkasa.

Sekonyong-konyong suara tambur serentak berbunyi, terdengar suara menggegelar memberi penghormatan, seketika pasukan ditanah lapang tadi menyilah minggir, seekor kuda kuning yang gagah membedal keluar, diatas kuda terdapat seorang laki-laki berewok, siapa lagi dia kalau bukan Yali Ki.

Sambil mengeprak kudanya kearah Siau Hong, terus saja Yali Ki berteriak-teriak, "Wahai, Siau-hiante, sungguh aku sudah rindu padamu!"

Siau Hong lantas memapak maju, berbareng kedua orang melompat turun dari kuda dan saling rangkul dengan akrab, Seketika dari segenap penjuru terdengar riuh rendah suara sorakan, "Banswe! Banswe! Banswe!"

Karuan Siau Hong terkejut, mengapa para prajurit itu berseru, "Banswe (berlaksa tahun atas- 'Hidup') Padahal pujian "Banswe" itu hanya lazim diberikan kepada seorang raja.

Ia coba memandang sekelilingnya, ia lihat semua prajurit dan perwira sama membungkuk tubuh dan melolos golok komando sebagai tanda hormat.

Yali Ki sendiri menggandeng tangan Siau Hong dan berdiri disitu sambil memandang kesana-sini dengan sikap yang amat bangga.

Siau Hong merasa bingung, tanyanya dengan tergagap, "Giheng, apakah engkau....."

"Ya, jika sejak dulu-dulu kau tahu bahwa aku ini raja negeri Liau, tentu engkau tidak mau angkat saudara denganku." sahut Yali Ki dengan terbahak-bahak. "Siau-hiante namaku yang sebenarnya adalah Yali Hungki, budi pertolonganmu dahulu itu selama hidup ini takkan kulupakan."

Meski Siau Hong berjiwa besar dan luas pengalamannya, tapi selamanya tidak pernah berhadapan dengan seorang raja, Kini menyaksikan upacara yang luar biasa itu, mau tak mau ia rada kikuk.

"Sungguh hamba tidak tahu akan baginda sehingga banyak berlaku kurang hormat, harap dimaafkan," katanya segera, lalu hendak berlutut.

Sebagai orang Cidan yang bertemu dengan rajanya, sudah sepantasnya ia berlutut dan memberi sembah Tapi Yali Hungki cepat membangunkannya, katanya dengan tetawa, "Orang yang tidak tahu, tidak salah, Saudaraku, engkau adalah adik angkatku, hari ini kita melulu bicara tentang persaudaraan kita, tentang penghormatan kebesaran boleh dilakukan lain hari saja."

Dan ketika ia memberi tanda, segera dalam pasukannya bergema suara musik sebagai tanda penyambutan tamu agung, Sambil menggandeng lengan Siau Hong, segera Yali Hungki mengajaknya masuk kedalam kemah besar.

Kemah tempat tinggal raja Liau itu terbuat dari kulit sapi rangkap beberapa lapis, diatas kulit itu terlukis macam-macam gambar yang

indah, nama kemah itu disebut "Kemah Besar Ruangan Kulit" Sesudah Yali Hungki mengambil tempat duduknya ditengah, ia suruh Siau Hong duduk disebelahnya.

Tidak lama segenap pembesar sipil dan militer yang ikut serta dalam pasukan kerajaan itu semua datang memberi hormat, Saking banyak hingga Siau Hong merasa bingung oleh nama-nama pembesar itu.

Malamnya didalam kemah besar itu diadakan perjamuan, Orang Cidan menghargai kaum wanita sama seperti kaum pria, maka A Ci juga menjadi tamu undangan dalam perjamuan yang sangat meriah itu.

Sesudah setengah perjamuan, belasan jago gulat Cidan tampil kemuka untuk bertanding, Jago gulat itu tidak memakai baju, mereka membetot dan membanting lawan sekuatnya, pertarungan cukup seru.

Kemudian pembesar Cidan lantas mengajak adu gelas dengan Siau hong sebagai penghormatan mereka, Siau Hong terima baik permintaan mereka, satu persatu ia mengadu gelas dengan mereka hingga jumlah seluruhnya ada ratusan gelas, tapi semangatnya semakin gagah hingga semua orang tercengang.

Yali Hungki sendiri terkenal seorang gagah dan kuat, kali ini ia kena ditawan Siau Hong, Kejadian itu telah diketahui segenap rakyatnya, maka ia sengaja suruh Siau hong pamerkan kepandaiannya untuk menutupi rasa malu sendiri yang ditawan olehnya, Tak terduga bahwa takaran minum arak Siau Hong juga sedemikian lihainya, melulu kekuatan minum arak itu saja sudah cukup membuat para jago Cidan ternganga kagum.

Sungguh girang Yali Hungki tak tak terhingga katanya segera, "Hiante, kamu benar-benar orang gagah nomor satu dinegeri Liau kita!"

"Bukan, dia nomer dua!" tiba-tiba suara seorang menyela.

Waktu semua orang memandang kearah suara itu, kiranya yang bicara adalah A Ci.

"Nona cilik, mengapa kau katakan dia nomer dua? Habis siapakah jago nomer satu itu?" tanya sang baginda dengan tertawa.

"Jago nomer satu dengan sendirinya adalah Sri Baginda Raja sendiri," sahut A Ci, "Betapapun tinggi kepandaian Cihu-ku toh dia mesti tunduk pada perintahmu, sedikitpun tidak boleh membangkang, dengan demikian bukankah engkau lebih gagah dari dia?"

Yali Hungki terbahak-bahak, "Hahahaha! Benar juga! Siau-hiante, aku harus menganugrahi suatu pangkat bangsawan padamu, Biarlah kupikirkan dulu pangkat apakah yang sesuai untukmu." Rupanya ia sudah cukup banyak minum arak, maka ia ketuk-ketuk jidat sendiri untuk berpikir.

"Jangan, jangan!" cepat Siau Hong berseru, "Hamba adalah orang kasar, tidak biasa menikmati kebahagiaan sebagai bangsawan, selamanya hamba suka mengembara kian-kemari, hamba sungguh tidak ingin menjadi pembesar."

"Boleh juga, biar kuberi suatu pangkat yang kerjanya melulu minum arak saja dan tidak perlu bekerja...." kata Yali Hungki dengan tertawa.

Belum selesai ucapannya, mendadak dari jauh terdengar suara 'tut-tut-tut', suara tiupan tanduk yang panjang.

Orang-orang Cidan itu sebenarnya lagi makan minum dengan duduk bersila diatas tanah, Ketika mendadak mendengar suara tiupan itu, serentak mereka sama berdiri dengan wajah gugup terkejut.

Suara 'tut-tut-tut' itu datangnya serasa cepat, semula kedengaran masih sangat jauh, hanya sebentar saja suara itu sudah mendekat, waktu ketiga kalinya berbunyi pula, suara itu sudah dalam jarak dua tiga li saja.

Diam-diam Siau Hong heran, sekalipun lari yang paling cepat atau tokoh persilatan yang memiliki ginkang paling tinggi juga tidak mungkin secepat itu, Tapi akhirnya ia tahu tentu itu pos-pos penjagaan orang Cidan, suara tiupan disatu pos diteruskan kepada pos yang lain sehingga dalam waktu singkat dapat tersiar jauh.

Dan sesudah sampai diluar perkemahan mewah itu, suara 'tut-tut-tut' itu lantas berhenti seketika, Beratus kemah yang tadinya dalam suasana riang gembira itu serentak berubah sunyi senyap.

Yali Hungki ternyata tenang-tenang saja, pelahan ia angkat gelas emas dan habiskan isinya, lalu katanya, "Siangkhia (kota raja Liau) terjadi kerusuhan, marilah kita pulang kesana, Berangkat!"

Sekali ucapan 'berangkat' dikeluarkan, segera panglima pasukan meneruskan titah itu, maka terdengarlah dimana-mana riuh ramai teriakan 'berangkat' secara teratur, sedikitpun tidak kacau.

Pikir Siau Hong, "Negeri Liau kami sudah bersejarah dua ratus tahun, kekuatannya mengguncangkan negeri tetangga, meski ada kerusuhan bagian dalam toh pasukannya tidak gugup, suatu tanda pemimpin-pemimpinnya pandai menjalankan tugasnya."

Sementara itu suara derapan kuda sangat ramai, pasukan perintis sudah berangkat, menyusul pasukan bagian samping dan lain-lain berturut-turut berangkat, Sambil menggandeng tangan Siau Hong berkatalah Yali Ki, "Marilah kita keluar melihatnya!"

Setiba diluar kemah, terlihatlah ditengah kegelapan malam itu pada tiap panji pasukan tergantung sebuah lentera dengan warna menurut tanda pengenal pasukan masing-masing, Ratusan ribu prajurit itu berangkat serentak kearah tenggara, yang terdengar hanya suara ringkik kuda dan tiada suara manusia.

Sungguh Siau Hong sangat kagum, "Begini disiplin pasukan Cidan ini, sudah tentu seratus kali perang seratu kali menang, Tempo hari Sri Baginda terpencil sendirian, makanya dapat kutangkap, kalau beliau mengerahkan pasukannya, sekalipun orang Nuchen sangat perkasa juga tidak dapat melawan mereka."

Dan sesudah sang Baginda keluar kemah, segera pasukan pengawal membongkar tenda, hanya sebentar saja sudah diringkas dengan betul serta dimuat keatas kereta, Waktu panglima pasukan tengah memberi aba-aba, segera berangkatlah iring-iringan mereka, Para menteri dan pembesar lainnya mengiring disekitar Yali Hungki tiada seorang pun yang berani bersuara.

Kiranya berita tentang pemberontakan dikota raja itu meski sudah dilaporkan, tapi sebenarnya siapa pimpinan pemberontak dan bagaimana situasinya belum lagi diketahui, sebab itulah setiap orang merasa masgul.

Sesudah tiga hari pasukan besar itu menempuh perjalanan, malamnya sesudah berkemah baru datanglah laporan dari kurir pertama bahwa pemberontak dipimpin oleh Lam-ih Tai-ong yang telah mengangkat diri sendiri sebagai raja dan menduduki keraton, permaisuri, putra mahkota, putri raja dan keluarga pembesar, semuanya berada dalam tawanan pemberontak.

Mendengar laporan itu, mau tak mau air muka Yali Hungki berubah seketika, Kiranya menurut susunan tata negara Liau, pemerintah sipil dan militer dibagi menjadi dua Ih (Yuan) yaitu Lam Ih dan Pak Ih (Yuan selatan dan utara) Pak Ih Tai-ong, yaitu perdana menteri yang menguasai Ih utara, sekarang ikut serta bersama raja, hanya Lam Ih Tai-ong ditinggal menjaga kotaraja.

Lam Ih Tai-ong itu bernama Yali Nikolu dengan gelar Co-ong, Ayahnya lebih hebat lagi, namanya Yali Conggoan, terhitung paman baginda raja yang sekarang, dengan pangkat Panglima Besar Angkata Perang.

Menurut silsilah kerajaan Liau, kakek Yali Hungki yang bernama Yali Lungco, dalam sejarah kerajaan Liau disebut raja Seng-cong, Raja Seng-cong mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama Cong-cin dan yang bungsu bernama Conggoan.

Watak Cong-cin ramah tamah dan welas asih, sebaliknya Conggoan sangat keras dan perkasa, seorang ahli militer, setelah Seng-cong wafat, tahta diteruskan kepada Cing-cin, Tapi permaisurinya lebih suka kepada putra kedua, maka diam-diam ada intrik akan mengangkat Conggoan sebagai raja.

Menurut kebiasaan kerajaan Liau, kekuasaan dan pengaruh ibu suri sangat besar, sebab itulah tahta Cong-cin sebenarnya tidak teguh, keselamatannya juga selalu terancam, Akan tetapi Conggoan telah memberitahukan rencana ibundanya itu kepada kakak bagindanya sehingga intrik ibu suri tak dapat terlaksana.

Karena itu dengan sendirinya Cong-cin sangat berterima kasih kepada adindanya itu dan mengangkatnya menjadi Hong-thai-te (adik mahkota), artinya jika ia sendiri wafat, maka Conggoan yang akan naik tahta sebagai gantinya.

Yali Cong-cin dalam sejarah kerajaan Liau disebut raja Hin-cong, sesudah dia wafat, tahtanya tidak jadi diserahkan kepada Conggoan, tapi tetap diturunkan kepada putranya sendiri yang bernama Hungki.

Setelah Yali Hungki naik tahta, ia merasa tidak enak hati, maka Conggoan diangkat sebagai Hong-thai-siok (paman mahkota) sebagai tanda bahwa sang paman itu tetap merupakan ahli-waris utama dalam tahta kerajaan Liau, bahkan diangkat pula sebagai panglima besar angkatan perang, kalau menghadap raja dibebaskan dari upacara menyembah, diberi hadiah pula surat penghargaan dan harta benda yang tak ternilai, betapa agung kedudukan Conggoan waktu itu boleh dikatakan tiada bandingannya, Bahkan putranya yang bernama Nikolu juga dianugrahi gelar kebangsawanan sebagai Co-ong dan menjabat sebagai Lam Ih Tai-ong, suatu jabatan penting dalam bidang militer!.

Dahulu Yali Conggoan jelas ada kesempatan menjadi raja dan dia rela menyerahkannya kepada kakaknya, hal ini menandakan dia cukup berbudi dan bijaksana, Kali ini Yali Hungki pesiar keluar untuk berburu, segala urusan pemerintahan telah diserahkan kepada Hong-thai-siok itu tanpa sedikitpun rasa curiga.

Kini mendapat laporan bahwa pemberontak itu adalah Lam Ih Tai-ong Nikolu, sudah tentu Yuli Hungki terkejut dan sedih, Ia kenal watak Nikolu yang licik dan keji, kalau dia memberontak, pasti ayahnya takkan tinggal diam.

Sesudah makan malam, kusir kedua datang pula memberi lapor bahwa Lam Ih Tai-ong telah mengangkat Hong-thai-siok sebagai raja

dan menyebarkan maklumat diseluruh negeri dengan menuduh Yali Hungki telah mengangkangi tahta ayahnya, maka sekarang Hongthai-siok secara resmi naik tahta serta akan memimpin angkatan perang untuk membasmi kaum pengkhianat dan macam-macam alasan lagi.

Dari maklumat pihak pemberontak yang tersusun rapi itu, bukan mustahil rakyat akan termakan oleh agitasi pihak pemberontak. Dengan gusar Yali Hungki lemparkan surat maklumat yang diterimanya dari kurir itu ke dalam api, perasaannya sedih dan khawatir, pikirnya, "Hong-thai-siok menjabat panglima besar angkatan perang, ia mempunyai pasukan lebih delapan ratus ribu tentara, ditambah lagi anak buah putranya Co-ong, yang menjadi biang keladi pemberontakan ini, Sebaliknya prajurit yang kubawa sekarang cuma lebih seratus ribu orang saja, cara bagaimana aku dapat melawan mereka?" begitulah semalam suntuk ia tak bisa tidur.

Semula ketika Siau Hong mendengar bahwa dirinya hendak diberi suatu pangkat, mestinya ia ingin tinggal pergi tanpa pamit pada malamnyabersama A Ci, tapi kini melihat sang giheng sedang berhalangan, Ia menjadi tidak enak untuk tinggal pergi, betapapun ia pikir harus membantu kesulitan sang giheng sebagai tanda persaudaraan mereka.

Besok paginya kembali penyelidik datang melapor bahwa Hong-thai-siok dan Co-ong dengan memimpin pasukan tentara sejumlah tiga ratus ribu jiwa sedang datang hendak melabrak Hongsiang.

Karena tiada jalan lain, Yali Hungki pikir sekalipun akhirnya kalah, terpaksa harus bertempur dengan mati-matian, Segera ia kumpulkan para pembesar sipil dan militer untuk berunding, para pembesar itu sangat setia kepada Yali Hungki, mereka bersedia mati bertempur, yang mereka khawatirkan adalah semangat prajurit yang banyak merosot berhubung pada umumnya sanak keluarga mereka masih tertinggal di Siangkhia dan ditahan oleh fihak pemberontak.

Segera Hungki mengeluarkan pengumuman, "Hendaknya para prajurit dan tamtama bertempur sepenuh tenaga, sesudah pemberontakan dipadamkan, selain kenaikan pangkat setiap orang akan diberi hadiah pula yang setimpal."

Habis itu, segera ia memakai baju perang kuning emas, ia pimpin sendiri segenap angkatan perangnya dan memapak pasukan musuh. Melihat raja mereka maju sendiri, seketika semangat para prajurit terbangkit, mereka bersorak-sorai dan bersumpah setia.

Dengan membawa busur dan tombak Siau Hong juga mengiring dibelakang Yali Hungki sebagai pengawal pribadi, Pasukan besar mereka lantas maju kearah tenggara.

Kapten Sili dengan memimpin suatu barisan prajurit berkulit beruang melindungi A Ci dan tinggal dibelakang pasukan, Pada saat itu di padang rumput hanya kedengaran suara derap dan ringkik kuda yang ramai, suara lain boleh dikata tidak terdapat, Siau Hong lihat tangan Yali Hungki yang memegang tali les kuda itu agak gemetar, tahu sang giheng sendiri tidak yakin akan dapat kemenangan dalam pertempuran ini.

Waktu lohor, tiba-tiba didepan terdengar suara tiupan tanduk pula, terang pasukan musuh sudah dekat, Segera komandan pasukan memberi perintah agar prajurit turun dari kuda, Jadi sekarang para prajurit berjalan kaki sambil menuntun kuda, hanya Yali Hungki dan para pembesar yang masih tetap diatas kuda mereka.

Siau Hong agak heran dan bingung melihat kejadian itu, ia tidak tahu mengapa para prajurit itu malah turun dari kuda, sedangkan pasukan musuh sudah dekat.

Maka dengan tertawa Yali Hungki berkata padanya, "Saudaraku, mungkin sudah lama kau tinggal di Tionggoan, maka tidak paham siasat militer dan cara bertempur bangsa kita?"

"Ya, mohon Sri baginda memberi petunjuk," sahut Siau Hong.

"Hehehe, umur bagindamu ini entah dapat bertahan sampai petang nanti atau tidak, buat apa diantara saudara sendiri mesti sungkan lagi," ujar Hungki dengan tertawa.

"Baik, harap Toako memberi penjelasan," sahut Siau Hong.

"Pertempuran di padang rumput yang paling penting adalah tenaga kuda, tenaga manusia adalah soal sekunder," tutur Hungki.

Seketika Siau Hong sadar, katanya, "Ah, benar! Sebabnya prajurit itu turun dari kuda mereka adalah supaya binatang tunggangan mereka tidak terlalu lelah."

"Ya, kalau tenaga kuda terpelihara dengan baik, pada saat menyerbu musuh akan bisa bertempur dengan lancar," kata Yali Hungki. "Sebabnya bangsa Cidan kita selalu menang perang dimasa lalu, kunci rahasianya terletak pada kekuatan kuda inilah."

Sampai disini, tiba-tiba didepan sana tertampak debu mengepul tinggi, nyata musuh sudah sangat dekat, Segera Yali Hungki berkata pula sambil mengangkat cambuknya. "Hong-thai-siok dan Co-ong sudah berpengalaman dalam pertempuran besar, mengapa mereka mengerahkan pasukan secara tergesa-gesa tanpa menghiraukan tenaga kuda, terang disebabkan dia penuh keyakinan bahwa mereka pasti akan menang."

Belum habis bicaranya, tertampaklah pasukan sayap kanan dan kiri berbareng membunyikan terompet, Waktu Siau Hong memandang jauh kesana, ia lihat dari kanan dan kiri sana masing-masing terdapat dua pasukan musuh, jadi kekuatan kedua pihak sekarang adalah lima lawan satu.

Air muka Yali Hungki berubah tegang seketika melihat kekuatan musuh itu, cepat ia perintahkan siap untuk bertempur dan pasang busur, Segera pasukan depan dan sayap kanan kiri berputar balik, beramai-ramai prajurit memasang tanda komando tertinggi, sekelilingnya dipagar dengan tanduk rusa dalam sekejap saja dipadang rumput situ sudah terpasang suatu benteng kayu yang besar, sekelilingnya dijaga oleh pasukan berkuda, berpuluh ribu pemanah bersembunyi dibalik balok besar benteng kayu itu dengan panah terpasang pada busurnya dan siap memanah.

Diam-diam Siau Hong membatin, "Tak perduli pertempuran besar ini siapa yang menang dan kalah, yang terang bangsa Cidan pasti akan banjir darah, Paling baik kalau giheng yang menang, kalau kalah aku harus berdaya menyelamatkan giheng dan A Ci kesuatu tempat yang aman, Kedudukannya sebagai raja lebih baik ditinggalkan saja."

Dan baru saja barak pertahanan raja Liau itu selesai dipasang, pasukan perintis pemberontak juga sudah datang, Pasukan itu tidak lantas menyerang, mereka berhenti dalam jarak suatu panahan, lalu membunyikan genderang dan terompet, menyusul pasukan pemberontak dibelakangnya lantas membanjir kedepan dengan teratur dan rapi.

Melihat kekuatan musuh yang jauh lebih besar itu, Siau Hong pikir sang giheng pasti akan kalah, Ia pikir untuk menyelamatkan gihengnya terpaksa harus bertahan sampai malam gelap nanti, pada siang hari jelas sukar meloloskan diri dari kepungan musuh, Sementara itu hari baru lewat lohor, sang surya sedang memancarkan sinarnya yang panas.

Mendadak terdengar suara genderang pasukan musuh menggelegar memecah angkasa, entah berapa ratus tambur dipukul serentak.

"Pukul tambur!” segera komandan pasukan memberi perintah, Dan beratus-ratus tambur dibentang raja itu pun dibunyikan hingga terjadilah perang tambur.

Sebentar kemudian memdadak suara tambur pasukan musuh berhenti, berpuluh ribu prajurit berkuda musuh sambil berteriak-teriak gemuruh mulai menyerbu dengan tombak terhunus, Tapi batu pasukan musuh itu mencapai jarak panah, segera komandan pasukan pasukan raja mengebaskan panji komandonya, suara tambur pasukan raja juga berhenti serentak dan berpuluh ribu anak panah lantas dihamburkan, Kontan prajurit musuh barisan paling depan roboh terjungkal.

Tapi pasukan musuh itu seperti tidak habis-habisnya, yang didepan roboh, yang dibelakang segera membanjir maju pula hingga kuda yang kehilangan penunggang didepan itu berubah menjadi tameng panah bagi prajurit di belakangnya, Selain itu ada pula pasukan musuh yang membawa perisai anti panah, dibelakang mereka mengikut pasukan pemanah, sesudah maju mendekat, segera mereka pun memanah kearah pertahanan pasukan raja.

Semula Yali Hungki memang agak jeri, tapi demi menghadapi musuh, seketika semangatnya berkobar-kobar, dengan tangan kanan ia hunus sebatang golok panjang sembari memberi perintah dan memberi petunjuk, Melihat baginda raja mereka memimpin sendiri digaris depan, serentak bersoraklah prajurit dan perwiranya, "Banswe! Banswe! Banswe!"

Ketika pasukan pemberontak mendengar suara sorakan itu, mereka sama memandang kearah sini dan melihat Yali Hungki berjubah kuning emas dengan pakaian perangnya sedang memimpin sendiri pasukannya, dibawah wibawa sang raja yang angker itu seketika pasukan musuh merandek dan ragu untuk menyerbu maju.

Melihat kesempatan baik itu, segera Hungki berseru. "Pasukan berkuda sayap kiri mengepung maju, serbu!"

Mendengar perintah itu, Ku-bit-su yang memimpin pasukan sayap kiri lantas mengepung maju dengan tiga puluh ribu prajurit.

Memangnya pasukan pemberontak sudah patah semangat ketika melihat munculnya Yali Hungki digaris depan, sama sekali tidak terduga pula akan diterjang secara mendadak oleh pasukan raja itu, Apalagi Ku-bit-su itu adalah panglima perkasa yang terkenal dinegeri Liau, karuan pasukan pemberontak menjadi kacau-balau, sekali kena diterjang, hanya dalam waktu singkat saja pasukan pemberontak itu lantas kalah dan mundur, Pasukan raja segera mengejar dengan gagah perkasa!

"Toako, sekali ini kita telah menang!" seru Siau hong dengan girang.

Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong terdengar pula suara genderang pasukan musuh berbunyi, pasukan induk pemberontak telah datang, seketika terjadilah hujan panah dan tombak diudara, pertempuran bertambah sengit.

Jilid 43
Diam-diam Siau Hong terkesiap oleh pertempuran dahsyat yang tidak pernah dilihatnya itu. Di medan pertempuran begitu, biarpun ilmu silatnya setinggi langit juga tidak berguna. Pertempuran pasukan besar begini berbeda sama sekali dengan pertandingan silat di kalangan Bu-lim, segala kepandaian boleh dikatakan tidak berguna lagi.

Sebentar kemudian, tiba-tiba di pihak pasukan pemberontak ada suara trompet tanda mundur, segera pasukan berkuda pemberontak itu mengundurkan diri bagai air surut cepatnya, berbareng panah menghambur bagai hujan untuk menahan kejaran lawan. Beberapa kali Ku-bit-su memimpin pasukannya menerjang, tapi selalu tertahan, sebaliknya malah terpanah mati beberapa ribu prajuritnya oleh musuh.

"Korban jatuh terlalu banyak, sementara berhenti menyerang,” segera Yalu Hungki memberi perintah.

Pertempuran tadi berlangsung cuma satu jam lebih, tapi sangat dahsyat hingga mayat bergelimpangan, kedua pihak sama-sama jatuh korban tidak sedikit. Sesudah kedua pihak mundur sampai suatu jarak tak tercapai oleh panah, di tanah luang bagian tengah itu penuh berserakan mayat dengan suara rintih tangis yang mengerikan. Maka tertampaklah dari kedua pihak muncul pula suatu pasukan berbaju hitam, masing-masing ada 300 orang banyaknya, agaknya pasukan baju hitam kedua belah pihak ini merupakan pasukan pembersih mayat.

Semula Siau Hong mengira pasukan itu pasti akan menolong prajurit yang terluka untuk dibawa kembali ke tempat sendiri, di luar dugaan prajurit baju hitam itu lantas lolos senjata, semua prajurit musuh yang terluka parah dibinasakan pula, habis membersihkan prajurit yang terluka parah, kemudian ke-600 orang itu berteriakteriak dan saling tempur pula.

Siau Hong melihat ke-600 orang itu semuanya berilmu silat lumayan, pertarungan cukup sengit walaupun tidak sedahsyat tadi. Maka hanya sebentar saja sudah lebih 200 orang terbacok roboh di tanah. Prajurit baju hitam dari pasukan raja lebih tangkas, korban mereka hanya beberapa puluh orang saja, maka kekuatan selanjutnya menjadi dua-tiga orang melawan seorang dan dengan demikian kalah-menang menjadi lebih nyata lagi, tidak lama keadaan berubah lagi menjadi empat-lima orang melawan seorang.

Dan aneh juga, pasukan besar kedua pihak ternyata hanya bersorak memberi semangat saja tanpa memberi bantuan apa-apa. Meski melihat pasukan pihaknya dikalahkan, toh pasukan pemberontak yang jauh lebih besar itu tidak mau membantu. Akhirnya ke-300 prajurit baju hitam pihak pemberontak dibasmi semua, sebaliknya pasukan baju hitam pihak raja masih sisa hampir 150 orang yang kembali dengan hidup.

Diam-diam Siau Hong merasa heran oleh peraturan pertempuran orang Cidan itu. Sementara itu terdengar Yalu

Hungki sedang berseru sambil mengangkat tinggi-tinggi goloknya, "Meski pasukan pemberontak berjumlah banyak, tapi semangat tempur mereka sudah patah, jika kita labrak lagi sekali pasti mereka akan kalah dan lari!”

Serentak prajurit dan perwira pasukan kerajaan bersorak-sorai, "Banswe! Banswe!”

Baru lenyap suara sorakan mereka, tiba-tiba terdengar suara tiupan tanduk di pihak pasukan musuh, tiga penunggang kuda tampak maju dengan perlahan. Seorang di bagian tengah membentangkan sehelai kulit, lalu terdengar ia membaca dengan suara lantang. Kiranya apa yang dibacanya itu adalah "maklumat” pemberontak yang diumumkan oleh Hong-thay-siok, katanya Yalu Hungki telah mengangkangi takhtanya, kini Hong-thaysiok telah naik takhta dan setiap prajurit dan perwira kerajaan diharap setia kepada raja baru dan semuanya akan mendapat kenaikan pangkat dan macam-macam bujukan lagi.

Segera belasan juru panah membidikkan panah mereka ke arah pembaca "maklumat” itu. Tapi dua orang yang mengiringinya itu lantas mengangkat tameng untuk melindunginya hingga orang itu dapat membaca terus. Sekonyong-konyong ketiga ekor kuda tunggangan mereka roboh kena panah, tapi sambil sembunyi di balik perisai, tetap "maklumat” pemberontak itu dapat terbaca habis, lalu mereka mengundurkan diri.

Melihat bawahannya banyak yang terpengaruh oleh provokasi kaum pemberontak itu, segera Ku-bit-su memberi perintah, "Maju ke sana dan balas memaki!”

Segera ada 30 perwira dan prajurit tampil ke muka pasukan, 20 prajurit mengangkat perisai ke depan untuk melindungi, selebihnya belasan orang adalah "tukang maki”, tenggorokan mereka besar dan suara mereka keras, mulut mereka tajam pula.

Maka mulailah "juru maki” pertama itu, ia mencaci maki pihak pemberontak sebagai pengkhianat yang terkutuk, pasti akan mati tak terkubur. Menyusul disambung oleh "juru maki” kedua, ketiga, dan seterusnya, sampai akhirnya kakek moyang musuh dan segala kata-kata caci maki yang kotor juga dihamburkan.

Pengetahuan Siau Hong terhadap bahasa Cidan terbatas, maka apa yang diucapkan "juru maki” itu sebagian besar tak dipahami olehnya. Tapi ia lihat Yalu Hungki berulang-ulang manggut-manggut sebagai tanda pujian, agaknya cara memaki "juru maki” itu sangat pandai dan tepat.

Tiba-tiba terdengar sorak-sorai pasukan pemberontak, dari jauh Siau Hong lihat di antara pasukan musuh itu ada dua penunggang kuda di bawah naungan payung kuning dan panji besar sedang tunjuk sini dan tuding sana dengan cambuk kudanya. Seorang di antaranya berjubah kuning emas mulus bertopi mestika, jenggotnya putih panjang. Seorang lagi berpakaian perang warna kuning, di bawah sinar matahari pakaian perangnya gemerdep berkilauan. Muka orang kedua itu agak kurus, tapi sikapnya sangat tangkas. Diam-diam Siau Hong menduga kedua orang itu mungkin adalah Hong-thay-siok dan Co-ong yang merupakan biang keladi pemberontakan ini.

Mendadak ke-10 "juru maki” tadi berhenti sebentar, mereka mengadakan "diskusi” dulu di antara mereka, habis berunding, serentak mereka menggembor lebih keras, mereka membongkar segala perbuatan jahat pribadi Hong-thay-siok itu, seorang yang prihatin hidupnya hingga tiada suatu borok yang dapat dimaki, maka sasaran makian kesepuluh "juru maki” itu dititikberatkan ke alamat Co-ong, katanya ia bergendakan dengan selir ayahnya sendiri, suka memerkosa wanita baik-baik, dan banyak berbuat kejahatan terhadap rakyat jelata dan macam-macam perbuatan kotor lainnya.

Kesepuluh orang itu memaki berbareng dengan kata-kata yang sama, memangnya suara mereka sangat lantang, paduan suara dari mereka menjadi luar biasa kerasnya hingga sebagian besar dari beratus ribu prajurit itu ikut mendengar caci maki mereka itu. Mendadak Co-ong itu memberi tanda dengan cambuknya, serentak pasukan pemberontak itu berteriak-teriak tak keruan hingga suara makian kesepuluh tukang maki itu tenggelam di tengah suara berisik yang lebih keras itu.

Sesudah suasana agak kacau sebentar, kemudian pasukan pemberontak mengeluarkan beberapa puluh buah kereta dorong dan dihentikan di depan pasukan, segera prajurit musuh menyeret keluar beberapa puluh orang wanita dari dalam kereta, ada yang sudah nenek-nenek, ada yang masih gadis remaja, dandanan mereka semuanya sangat perlente. Dan begitu kaum wanita itu diseret keluar, seketika suara caci maki kedua belah pihak lantas berhenti.

Tiba-tiba Yalu Hungki berteriak, "O, ibu! Bila anak dapat menangkap pengkhianat, pasti akan kucencang hingga hancur luluh pengkhianat-pengkhianat itu untuk melampiaskan sakit hatimu!”

Kiranya si nenek di antara tawanan kaum wanita itu adalah Hong-thay-hou (ibu suri), yaitu ibunya Hungki, Siau-thay-hou. Dan yang lain-lain adalah permaisurinya, Siau-hou dan para selir serta putra-putrinya. Mereka itu telah ditawan seluruhnya oleh Hong-thay-siok dan Co-ong dalam pemberontakan itu.

"Ya, baginda jangan menghiraukan jiwa kami, bunuhlah pengkhianat sekuat tenagamu!” demikian seru Hongthay-hou dari jauh.

Mendadak beberapa puluh prajurit musuh mengancam para tawanan wanita itu dengan golok di leher, seketika banyak di antara selir raja yang muda itu menjadi ketakutan.

Yalu Hungki menjadi gusar, bentaknya, "Bunuh semua perempuan yang menangis itu!”

Maka terdengarlah suara mendesing anak panah, belasan anak panah menyambar ke depan, langsung beberapa selir raja yang menjerit dan menangis ketakutan tadi terpanah mati.

"Bagus baginda, tepat sekali tindakanmu ini!” seru Honghou (permaisuri) dari jauh. "Tanah air warisan nenek moyang sekali-kali tidak boleh tercengkeram di bawah kekuasaan kaum pengkhianat!”

Melihat ibu suri dan permaisuri sedemikian berani dan teguh jiwanya, bukan saja tak dapat diperalat untuk menekan Yalu Hungki, sebaliknya malah membuat semangat prajurit sendiri tergoyah, segera Co-ong memberi perintah, "Giring mundur tawanan itu! Keluarkan tawanan anggota keluarga prajurit musuh!”

Maka terdengar pula suara tiupan seruling yang tajam melengking sedih, sesudah rombongan ibu suri dan permaisuri digiring mundur, lalu dari barisan belakang digusur keluar berbaris-baris tawanan lelaki perempuan, tua dan muda, seketika terdengar pula suara tangisan memilukan hati dan mengguncang sukma.

Kiranya rombongan tawanan ini adalah anggota keluarga prajurit kerajaan, yaitu pasukan pribadi raja Liau. Biasanya Yalu Hungki sangat baik terhadap pasukan pribadinya itu, anggota keluarga mereka diizinkan tinggal bersama di dalam tangsi, dengan demikian, pertama para prajurit itu akan merasa berterima kasih atas kebaikan budi sang raja, kedua, dapat dipakai pula sebagai sandera agar prajurit-prajurit kepercayaan raja itu tidak berani timbul maksud memberontak.

Siapa duga biang keladi pemberontak sekarang adalah Hong-thay-siok yang paling dipercaya oleh raja itu. Maka anggota keluarga pasukan pribadi raja telah ditawan oleh pihak pemberontak, paling sedikit ada belasan ribu orang yang digiring ke garis depan sekarang dengan maksud untuk melemahkan semangat tempur pasukan raja.

Begitulah Co-ong lantas memerintahkan perwiranya tampil ke muka, dengan suara keras perwira itu berteriak, "Wahai, dengarlah para prajurit pasukan raja! Anggota keluarga kalian telah ditahan di sini, barang siapa menyerahkan diri akan mendapat kenaikan pangkat dan diberi hadiah, tapi kalau membangkang, raja baru telah memberi perintah agar membunuh segenap anggota keluarganya!”

Biasanya bangsa Cidan itu memang kejam dan suka membunuh, sekali mereka mengatakan "akan dibunuh semua”, maka hal itu bukan cuma main gertak saja.

Keruan pihak pasukan raja menjadi panik, sementara itu banyak di antara prajurit itu mengenal anak-istri atau ayah-ibu dalam tawanan musuh, segera terdengar suara ramai orang memanggil anggota keluarga masingmasing.

Dalam pada itu genderang pasukan pemberontak tiba-tiba berbunyi, lalu muncul 2.000 orang algojo dengan kapak dan golok terhunus. Ketika suara genderang berhenti serentak, seketika 2.000 batang kapak dan golok terangkat dan mengincar kepala tawanan anggota keluarga prajurit raja.

"Barang siapa menyerah kepada raja baru akan mendapat hadiah, kalau tidak takluk, segenap anggota keluarga mereka akan dibunuh!” terdengar perwira tadi berseru pula. Ketika tangannya memberi tanda, kembali genderang berbunyi menderang.

Para perwira dan prajurit pasukan raja tahu bila tangan perwira musuh itu memberi tanda lagi, seketika suara genderang akan berhenti dan menyusul ke-2.000 batang kapak dan golok mengilap itu akan membacok ke bawah, dan itu berarti jiwa akan segera melayang.

Biasanya pasukan pribadi raja itu sangat setia kepada junjungannya, kalau Hong-thay-siok dan Co-ong memancing mereka dengan pangkat dan hadiah terang takkan mempan. Tapi kini mereka menyaksikan sanak keluarga sendiri berada di bawah ancaman senjata, mau tak mau hati mereka terguncang dan sangat khawatir.

Dalam pada itu suara genderang masih terus berderang-derang, hati prajurit pribadi raja juga ikut berdebardebar. Sekonyong-konyong dari pihak pasukan raja ada yang berteriak, "Ibu! O, ibu, jangan membunuh ibuku!”

Segera tertampak seorang prajurit raja membuang tombaknya terus berlari ke arah seorang nenek di barisan musuh. Tapi baru belasan langkah ia berlari, tiba-tiba dari pasukan raja menyambar keluar sebatang anak panah sehingga tepat menembus punggung prajurit itu. Seketika prajurit itu belum mati, dengan nekat ia masih terus lagi ke depan.

Maka ramailah seketika suara teriakan "Ibu! Ayah! Anak!” yang kacau-balau, serentak ada beberapa ratus orang dari pihak pasukan raja berlari ke depan. Perwira kepercayaan Hungki telah berusaha merintangi dengan membunuh beberapa prajurit yang goyah pendiriannya itu, namun sudah kasip, keadaan tak bisa dikuasai lagi.

Dan sesudah beberapa orang melarikan diri ke pihak musuh, menyusul lantas beberapa ribu orang, suasana medan perang menjadi kacau-balau tak keruan, dari 150 ribu prajurit raja, dalam waktu singkat ada 30-90 ribu orang yang lari ke pihak musuh.

Yalu Hungki menghela napas, ia tahu tak bisa mengatasi lagi suasana itu. Pada kesempatan prajurit-prajurit yang melarikan diri tadi sibuk bertemu dengan anggota keluarga mereka dan keadaan masih kacau hingga pasukan pemberontak sementara terisolasi jauh di sana, segera Hungki memberi perintah agar sisa pasukannya mengundurkan diri ke Pegunungan Cong-hong-san di sebelah barat laut.

Segera komandan pasukan memberikan perintah secara diam-diam dan teratur, sisa pasukan yang masih 50-60 ribu orang lantas putar balik ke arah barat. Ketika Co-ong mengetahui dan memerintahkan pasukannya mengejar, tapi karena medan perang terhalang oleh tawanan dan prajurit yang menyerah, untuk mengejar

menjadi agak sulit.

Setelah Yalu Hungki membawa sisa pasukannya sampai di kaki Gunung Cong-hong-san, sementara itu hari sudah magrib. Para prajurit sangat lelah dan lapar pula, namun dengan tertib mereka mendaki lereng gunung, di situlah mereka berhenti dan mendirikan kemah, dari atas menghadap ke bawah menjadi lebih kuat menghadapi musuh.

Baru saja kemah selesai dibangun dan belum lagi sempat menanak nasi, pasukan di bawah pimpinan Co-ong sudah mengejar tiba sampai di kaki gunung dan mulai menyerang ke atas.

Namun pasukan raja segera menghamburkan panah dan menggelindingkan batu dari atas hingga pasukan pemberontak dapat digempur mundur. Tapi lantaran itu juga kekuatan pasukan raja kehilangan tiga ribu orang lagi. Sedangkan Co-ong juga lantas menarik mundur pasukannya ketika melihat keadaan tidak menguntungkan untuk menyerang, ia perintahkan pasukannya berkemah di bawah gunung.

Malamnya, Yalu Hungki berdiri di puncak gunung untuk mengintai suasana di perkemahan musuh, ia lihat pelita tak terhitung banyaknya bagaikan bintang di langit berkelip-kelip di kemah pasukan pemberontak itu, jauh di sana tiga barisan obor tampak lagi mendatang pula, terang itu adalah bala bantuan pasukan pemberontak yang sedang mendekat.

Selagi Yalu Hungki merasa sedih, tiba-tiba Pak-ih Ku-bit-su (sebutan pangkat, setingkat kepala staf) datang melapor, "Kira-kira lima belas ribu bawahan hamba telah melarikan diri dan menyerah pada musuh. Untuk ketidakbecusan pimpinan hamba, mohon Baginda sudi memberi hukuman.”

"Itu tak dapat menyalahkanmu, boleh kau pergi mengaso saja,” ujar Hungki.

Ketika kemudian ia berpaling, tiba-tiba dilihatnya Siau Hong sedang termenung-menung sambil memandang jauh ke sana. Segera katanya,” Adikku yang baik, besok pagi-pagi pasukan pemberontak tentu akan menyerang secara besar-besaran, pasti kita akan tertawan seluruhnya. Sebagai kepala negara, aku tidak boleh dinista oleh kaum pemberontak, aku akan membunuh diri untuk mempertanggungjawabkan kewajibanku kepada negara. Adikku, boleh kau bawa adik perempuanmu menerjang pergi saja pada malam ini. Ilmu silatmu sangat tinggi, tidak mungkin musuh mampu merintangimu.”

Ia merandek sejenak, lalu menyambung dengan rasa pilu, "Sebenarnya aku bermaksud menganugerahkan segala kejayaan padamu, siapa duga kakakmu ini sukar menyelamatkan diri sendiri, sebaliknya malah membikin susah padamu.”

"Toako,” sahut Siau Hong, "seorang laki-laki sejati harus berani menghadapi segala kesukaran. Meski hari ini peperangan tak menguntungkan kita, tapi aku dapat melindungimu untuk terjang keluar dari kepungan musuh, kita dapat menghimpun kekuatan lagi untuk membalas dendam ini.”

Tapi Yalu Hungki menggeleng kepala, katanya, "Sedangkan ibu dan istriku sendiri tak mampu kubela, masakah aku masih ada harganya berbicara sebagai lelaki sejati segala? Dalam pandangan bangsa Cidan, yang menang adalah pahlawan, yang kalah adalah pemberontak. Aku sudah kalah habis-habisan, masakan mampu berbangkit kembali? Sudahlah, kalian boleh pergi saja malam ini.”

Siau Hong tahu apa yang dinyatakan kakak angkatnya itu adalah setulus hati, maka ia pun berkata dengan ikhlas, "Jika begitu, aku akan mendampingi Toako untuk menempur musuh dengan mati-matian. Kita adalah saudara angkat, apakah engkau raja atau rakyat jelata, pendek kata engkau adalah saudara angkatku. Kakak angkatnya ada kesukaran, adik angkatnya sudah seharusnya sehidup semati di sampingnya, mana boleh kuselamatkan diri sendiri?”

Air mata Yalu Hungki bercucuran saking terharu, ia pegang tangan Siau Hong erat-erat, katanya, "O, adikku yang baik, terima kasih!”

Sepulangnya di kemah sendiri, Siau Hong melihat A Ci lagi rebah di sudut tenda sana. Gadis itu belum lagi tidur, maka segera ia menyapa, "Cihu, engkau akan marah padaku atau tidak?”

Siau Hong menjadi heran. "Sebab apa marah padamu?” tanyanya.

"Ya, gara-garaku ingin pesiar ke padang rumput hingga sekarang membikin susah padamu,” ujar A Ci. "Cihu, kita akan mati di sini, betul tidak?”

Di bawah sinar obor yang terpasang di luar kemah itu, wajah A Ci yang pucat tampak bersemu merah hingga makin menunjukkan lemah mungil dara itu. Alangkah kasih sayang Siau Hong terhadap gadis cilik itu, sahutnya segera, "Mana bisa aku marah padamu? Coba kalau aku tidak memukulmu hingga terluka parah, tidak nanti kita sampai di tempat ini.”

"Tapi kalau lebih dulu aku tidak menyerangmu dengan jarum berbisa, tentu engkau takkan memukul aku,” ujar A Ci dengan tersenyum.

Perlahan Siau Hong belai rambut si nona. Karena habis sakit keras, rambut A Ci telah rontok sebagian besar hingga kini rambutnya sangat jarang dan kurang subur. Siau Hong menghela napas, katanya, "Kau masih sangat muda, tapi sudah mesti ikut aku menderita dan merana seperti ini.”

"Cihu, sebenarnya aku tidak paham mengapa Cici sedemikian suka padamu,” tiba-tiba A Ci berkata, "dan sekarang aku pun tahulah.”

Siau Hong tidak menjawab, tapi dalam hati membatin, "Tak terhingga cinta cicimu padaku, apa yang kau pahami tentang ini? Padahal aku sendiri pun tidak tahu mengapa A Cu bisa mencintai laki-laki kasar seperti aku, dari mana kau bisa tahu malah?”

Tiba-tiba A Ci menoleh, ia pandang Siau Hong dengan air muka yang aneh, katanya, "Cihu, apakah engkau sudah dapat menebak, sebab apakah tempo hari aku menyerangmu dengan jarum berbisa? Sebenarnya aku tidak bermaksud membunuhmu, aku hanya ingin membikin engkau tak bisa berkutik, dengan begitu aku akan dapat merawat dirimu.”

"Apa sih faedahnya perbuatanmu itu?” tanya Siau Hong.

"Jika engkau tak bisa berkutik sama sekali, itu berarti takkan dapat meninggalkan aku untuk selamanya,” sahut A Ci dengan tersenyum. "Kalau tidak, dalam hatimu tentu kau pandang remeh diriku, setiap saat dapat kau tinggalkan aku dan tidak gubris lagi padaku.”

Diam-diam Siau Hong terkesiap oleh ucapan gadis cilik itu, ia tahu ucapan demikian bukanlah asal omong saja. Ia pikir toh besok akan mati semua, biarlah aku sekarang menghiburnya saja dengan kata-kata manis. Maka ia lantas berkata, "Ah, kau benar-benar masih berpikir secara kanak-kanak. Jika kau memang senang ikut padaku, boleh ikut saja, masakah aku tega menolak permintaanmu?”

Tiba-tiba mata A Ci bercahaya terang, serunya dengan girang, "Betulkah ucapanmu ini, Cihu? Sesudah aku sehat kembali, aku akan tetap ikut di dampingmu dan takkan pulang ke tempat Suhu untuk selamanya dan jangan kau tinggalkan aku lho!”

Siau Hong tahu anak dara ini tidak sedikit berbuat kesalahan pada orang-orang Sing-siok-pay, tentu juga dia tidak berani pulang ke sana. Sedangkan besok pagi kalau pasukan pemberontak menyerang secara besarbesaran, pasti mereka akan gugur bersama, harapan untuk menyelamatkan diri adalah sangat tipis. Maka dengan tertawa ia menjawab, "Eh, bukankah kau ini toasuci ahli waris Sing-siok-pay, kalau tidak pulang ke sana, naga tanpa kepala, lantas bagaimana jadinya nanti dengan orang Sing-siok-pay?”

"Biarkan saja mereka kacau-balau, peduli apa dengan aku?” sahut A Ci dengan mengikik tawa.

Siau Hong tidak bicara lagi, ia tarik selimut untuk menutupi badan A Ci, lalu ia sendiri pun menggelar selimut dan tidur di sudut kemah yang lain.

Besoknya pagi-pagi sekali Siau Hong sudah mendusin, ia pesan Kapten Sili menyediakan kuda dan menjaga A Ci, ia sendiri lantas berkemas dan makan dua kati daging kambing serta minum tiga kati arak. Lalu ia menuju ke tepi gunung.

Tatkala itu langit masih gelap. Selang tidak lama, ufuk timur mulai remang-remang, sang surya mulai memancarkan sinarnya. Segera terdengarlah suara trompet pasukan musuh berbunyi, menyusul ramailah suara gemerencing benturan senjata dan pakaian perang.

Segera pasukan raja memencarkan diri dalam beberapa barisan untuk menjaga tempat-tempat penting yang mungkin diserbu musuh. Siau Hong memandang ke bawah, ia lihat sebelah timur, utara, dan selatan penuh pasukan musuh, begitu banyak jumlah pasukan musuh hingga bagian belakang pasukan musuh itu tak kelihatan karena tertutup kabut.

Tidak lama sinar sang surya yang gilang-gemilang membuyarkan kabut yang menutupi angkasa padang rumput hingga tertampaklah di atas bumi penuh prajurit dan kuda belaka.

Sekonyong-konyong genderang menderu-deru hebat, dua barisan berpanji kuning dari pasukan musuh tampak tampil ke muka, menyusul Hong-thay-siok dan Co-ong melarikan kuda mereka ke kaki gunung, mereka tunjuk sini dan tuding ke atas gunung, tampaknya sangat gembira.

Waktu itu Yalu Hungki berdiri di puncak gunung dikelilingi pengawalnya, ia gemas melihat sikap musuh yang congkak itu, segera ia ambil panah dan busur dari seorang pengawalnya, ia pentang busur dan memanah ke arah Co-ong. Tapi jarak antara mereka sangat jauh, maka hanya mencapai setengah jalan panah itu lantas jatuh ke tanah.

"Hahahaha, Hungki!” dengan bergelak tertawa Co-ong berseru, "Kau telah mengangkangi takhta ayahku selama ini, sudah sepantasnya sekarang kau menyerahkan kembali takhtamu. Maka lekas menyerah saja dan ayah akan mengampuni kematianmu serta akan mengangkatmu menjadi Hong-thay-tit (keponakan mahkota), mau tidak?”

Dengan ucapan yang terakhir itu, ia hendak menyindir bahwa Yalu Hungki telah pura-pura mengangkat ayahnya sebagai Hong-thay-siok, padahal ia mengangkangi takhta kerajaan yang sebenarnya menjadi haknya Yalu Conggoan sendiri.

Hungki menjadi gusar, dampratnya, "Pengkhianat yang tak kenal malu, masih berani kau putar lidah!”

Dalam pada itu Pek-ih Ku-bit-su telah memimpin tiga ribu anak buahnya yang setia dan segera menerjang ke bawah gunung dengan gagah perwira dan dengan tekad lebih baik gugur sebagai ratna daripada hidup sebagai budak.

Untuk sesaat pasukan musuh menjadi kacau juga karena diterjang secara mendadak. Tapi sekali Co-ong memberi tanda, segera belasan ribu prajuritnya mengepung dari samping, maka terdengarlah jerit teriak yang gegap gempita, pertarungan sengit terjadi, tiga ribu prajurit raja itu makin lama makin berkurang, hingga akhirnya gugur seluruhnya.

Pek-ih Ku-bit-su tidak mau menyerah mentah-mentah, sekuat tenaga ia membunuh beberapa orang pula, habis itu ia pun membunuh diri dengan menggorok leher sendiri.

Dengan jelas Hungki dan Siau Hong dapat menyaksikan kejadian itu, tapi mereka tak mampu menolong, mereka hanya mencucurkan air mata terharu atas jiwa kesatria dan gagah berani Ku-bit-su itu.

Kemudian Co-ong maju ke tepi gunung lagi, teriaknya dengan tertawa, "Nah, Hungki, kau mau takluk apa tidak? Hanya sedikit kekuatanmu ini apa yang kau bisa perbuat? Mereka adalah kesatria gagah dari negeri Liau kita, buat apa mesti suruh mereka ikut berkorban jiwa bagimu? Seorang laki-laki sejati harus berani berterus terang dan ambil keputusan tegas, mau menyerah lekas menyerah, mau bertempur ayolah bertempur! Dan kalau insaf ajalmu sudah sampai, lebih baik kau bunuh diri saja daripada jatuh korban lebih banyak lagi.”

Yalu Hungki menghela napas panjang, air matanya berlinang-linang, ia angkat goloknya dan berseru, "Ya, tanah air yang indah permai ini biarlah kuserahkan kepada kalian ayah dan anak. Kita masih terhitung saudara sendiri, kalau kita saling membunuh, buat apa mesti banyak mengorbankan jiwa para prajurit Cidan yang gagah berani.”

Habis berkata, segera goloknya menggorok lehernya sendiri.

Tapi dengan cepat Siau Hong bertindak, dengan kim-na-jiu-hoat ia rebut senjata Yalu Hungki itu, katanya, "Toako, seorang kesatria sejati harus berani gugur di medan bakti, mana boleh mati dengan membunuh diri?”

"Ah, adikku yang baik,” sahut Hungki dengan menghela napas, "para perwira dan prajurit sudah lama mengabdi pada diriku dengan setia. Jika aku pasti akan mati, aku tidak tega minta mereka ikut korbankan jiwa bagiku.”

Dalam pada itu Co-ong sedang berteriak lagi, "Hungki, kau tidak mau membunuh diri, ingin tunggu kapan lagi?”

Sambil berkata ia pun tuding-tuding dengan cambuknya, garangnya bukan main.

Melihat Co-ong makin maju ke bawah puncak gunung, tiba-tiba Siau Hong mendapat akal, bisiknya kepada Yalu Hungki, "Toako, harap pura-pura ajak bicara padanya, diam-diam aku akan menyusur untuk mendekati dia serta memanahnya.

Hungki cukup kenal betapa lihainya Siau Hong, ia jadi girang, sahutnya, "Bagus! Jika lebih dulu dapat mampuskan dia, mati pun aku rela.”

Maka ia lantas berseru keras-keras, "Co-ong, tidaklah jelek aku melayani kalian ayah dan anak, jika ayahmu ingin menjadi raja, soalnya dapat melalui musyawarah, buat apa membunuh rakyat jelata dan prajurit bangsa sendiri hingga kekuatan negara Liau kita patah sehebat ini?”

Sedang Hungki bicara, di sebelah sana diam-diam Siau Hong telah membawa busur dan panah, ia lalu menuntun seekor kuda bagus ke bawah gunung, ia bersembunyi dengan mengempitkan kaki di bawah perut kuda, dan binatang itu terus dilarikan ke depan.

Melihat seekor kuda tanpa penumpang berlari turun dari atas gunung, prajurit musuh mengira kuda itu adalah kuda pelarian yang putus tali kendalinya, hal ini memang sangat umum di medan perang, maka tiada seorang pun yang menaruh curiga. Tapi sesudah dekat, segera ada yang mengetahui bahwa di bawah perut kuda itu menggemblok seorang, segera gemparlah mereka dan berteriak-teriak.

Cepat Siau Hong mendepak kudanya dengan ujung kaki hingga kuda itu membedal secepat terbang ke arah Co-ong, ketika jaraknya tinggal ratusan meter jauhnya, segera ia tarik busur di bawah perut kuda dan terus memanah.

Tapi pengawal Co-ong juga cukup cerdik, segera ada seorang di antaranya mengangkat perisai untuk mengaling-alingi tuannya hingga panah itu tidak mengenai sasarannya. Tapi beruntun-runtun Siau Hong memanah lagi, panah berikutnya telah merobohkan pengawal dan panah yang lain menyambar ke dada Co-ong.

Untung Co-ong cukup sigap dan awas, cepat ia ayun cambuknya untuk menyampuk panah itu. Kepandaian menyampuk panah dengan cambuk adalah kepandaian andalan Co-ong, tapi ia tidak tahu bahwa pemanah itu

bertenaga raksasa, meski cambuknya kena sampuk anak panah itu, tapi hanya arahnya saja sedikit terbentur menceng, namun bahu kirinya tetap kena panah.

"Aduh!” Co-ong menjerit, saking kesakitan sampai ia mendekam di atas kuda.

Tanpa ayal lagi panah Siau Hong yang lain menyambar pula, sekali ini jaraknya sudah makin dekat sehingga panah itu menembus punggung Co-ong. Sekali kena panah, tubuh Co-ong lantas terperosot jatuh di bawah kuda.

Dengan hasil itu, Siau Hong pikir mengapa tidak sekalian bereskan jiwa Hong-thay-siok pula? Tapi selagi ia hendak melarikan kuda ke arah sana, sementara itu prajurit musuh telah menghujani panah hingga dalam sekejap saja kudanya berubah menjadi seekor "landak”.

Cepat Siau Hong menjatuhkan diri ke tanah dan menggelinding, dengan gesit dan cepat ia menyelinap dari bawah perut kuda yang satu ke bawah kuda yang lain. Karena khawatir mengenai teman sendiri, prajurit musuh tidak berani sembarangan memanah pula.

Sebagai gantinya segera mereka menusuk dengan tombak, tapi Siau Hong selalu menyelinap ke sini dan menyusup ke sana, ia main terobos di bawah perut kuda hingga pasukan musuh menjadi kacau-balau dan desak-mendesak sendiri serta saling injak, tapi Siau Hong tetap sukar dicari.

Namun sekali Siau Hong sudah terkurung di tengah berpuluh ribu prajurit musuh, untuk meloloskan diri juga tidak gampang lagi. Dari jauh ia dapat melihat Hong-thay-siok sedang memberi perintah di atas kudanya, segera Siau Hong menyusup kian-kemari untuk mendekati raja pemberontak itu. Ia pikir kalau dapat menawan raja pemberontak itu, barulah ia sendiri bisa selamat.

Waktu itu Siau Hong benar-benar seperti seekor binatang buas yang terkurung di dalam perangkap pemburu, ia seruduk sini dan terjang sana, sesudah agak dekat, mendadak ia menggerung sekali, mendadak ia melompat, bagaikan burung ia melayang lewat melalui kepala berpuluh prajurit di depan Hong-thay-siok untuk kemudian turun di depan kuda raja pemberontak itu.

Keruan Hong-thay-siok terkejut, ia angkat cambuknya terus menyabet ke muka Siau Hong. Tapi mendadak Siau Hong mengegos dan melompat maju, ia cemplak ke atas pelana kuda Hong-thay-siok, sekali cengkeram, ia pegang punggung raja pemberontak itu dan diangkat ke atas setinggi-tingginya sambil berteriak, "Kau ingin hidup atau mati? Lekas perintahkan pasukanmu meletakkan senjata!”

Saking ketakutan sampai apa yang dikatakan Siau Hong tak didengar oleh Hong-thay-siok. Saat itu suara

teriakan pasukan pemberontak juga riuh rendah memekakkan telinga, beribu anak panah sudah siap mengincar Siau Hong, cuma melihat pucuk pimpinan mereka tertawan di tangan musuh, maka tiada yang berani sembarangan memanah.

Segera Siau Hong mengerahkan tenaga dalam dan berteriak lantang, "Hong-thay-siok memberi perintah agar segenap prajurit meletakkan senjata untuk menunggu titah raja. Baginda raja akan mengampuni kalian, siapa pun takkan diusut kesalahannya dalam pemberontakan ini!”

Lwekang Siau Hong tidak kepalang kuatnya, maka suaranya dapat tersiar hingga jauh dan terdengar cukup jelas oleh prajurit pemberontak itu. Sebenarnya perbawa pasukan pemberontak itu lagi berkobar-kobar, semuanya ingin menangkap Yalu Hungki untuk menerima hadiah dan kenaikan pangkat, siapa duga mendadak Co-ong terpanah mati, kini Hong-thay-siok ditawan musuh pula. Keruan pasukan pemberontak itu seketika mirip balon gembos, semangat mereka patah segera, suasana menjadi panik pula.

Siau Hong sendiri sudah pernah mengalami pemberontakan anggota Kay-pang, ia cukup paham akan perasaan orang waktu itu. Maka ia lantas mengumumkan pengampunan serta takkan mengusut apa yang sudah terjadi untuk menarik simpati pasukan pemberontak itu. Sebab kekuatan musuh saat itu masih sangat besar, sedangkan pihak Yalu Hungki hanya tinggal belasan ribu orang saja, kalau musuh menggempur lagi pasti Yalu Hungki akan tertawan juga, maka tanpa permisi dulu segera Siau Hong mendahului mengeluarkan janji itu untuk menenteramkan perasaan pasukan pemberontak.

Dan benar juga, demi mendengar pengumuman itu, seketika suasana hiruk-pikuk tadi lantas tenang kembali, hanya saja di antara pasukan pemberontak itu masih banyak yang ragu, mereka saling pandang dengan bingung.

Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Siau Hong, ia khawatir jangan-jangan keadaan akan berubah buruk, segera ia berteriak pula, "Baginda ada perintah bahwa tiada seorang pun akan dituntut, semuanya diampuni, setiap orang tetap pada pangkatnya semula. Nah, lekas kalian meletakkan senjata!”

Maka terdengarlah suara gemerantang dan gemerencing, di sana-sini ramai para prajurit pemberontak itu melemparkan senjata mereka ke tanah. Hanya tinggal sebagian saja yang masih ragu.

Siau Hong lantas angkat tubuh Hong-thay-siok dan dibawanya ke atas gunung. Pasukan pemberontak itu tiada seorang pun berani merintangi, di mana kudanya sampai, di depan lantas tersiah sebuah jalan lalu baginya.

Setiba di lamping gunung, dari pasukan raja lantas memapak datang dua barisan untuk menyambut kedatangan Siau Hong dengan hasil yang gilang-gemilang itu. Di atas gunung segera musik berbunyi, suasana gembira ria di antara pasukan raja.

"Hong-thay-siok, lekas memberi perintah agar bawahanmu meletakkan senjata dan jiwamu akan diampuni,” kata Siau Hong kemudian.

"Kau jamin jiwaku?” tanya Hong-thay-siok.

Siau Hong pikir keadaan masih genting, terutama sebagian pasukan pemberontak masih bersangsi, tindakan paling penting sekarang ialah menenteramkan hati prajurit musuh, maka jawabnya lantas, "Sekarang adalah kesempatanmu untuk menebus dosa, asal baginda tahu biang keladinya adalah putramu, beliau tentu akan mengampuni jiwamu!”

Hal itu memang benar, apa yang terjadi itu adalah gara-gara Co-ong yang berambisi besar untuk menjadi raja, yang diharapkan Hong-thay-siok sekarang adalah bebas dari kematian, maka ia lantas menjawab, "Baiklah, aku akan menurut pada permintaanmu!”

Segera Siau Hong menegakkan tubuh Hong-thay-siok di atas kuda dan berteriak keras-keras, "Wahai para prajurit, dengarkanlah perintah Hong-thay-siok!”

Dan Hong-thay-siok lantas berseru, "Pemberontakan yang dijangkitkan Co-ong ini sudah gagal, Co-ong telah menerima ganjarannya yang setimpal, kini Hongsiang (baginda raja) telah mengampuni dosa kalian, maka lekas kalian meletakkan senjata dan mohon ampun kepada Hongsiang!”

Karena Hong-thay-siok sudah tertawan, seperti ular tanpa kepala, betapa pun bandelnya kaum pemberontak juga tak berani membangkang lagi, segera terdengar suara gemerantang senjata, segenap pasukan pemberontak itu sekarang benar-benar takluk semua.

Habis itu baru Siau Hong menggusur Hong-thay-siok ke atas gunung.

Yalu Hungki merasa seperti di alam mimpi saja. Ia girang tidak kepalang, terus saja ia menubruk Siau Hong dan memeluknya erat-erat, katanya dengan mencucurkan air mata terharu, "O, saudaraku, semuanya berkat bantuanmu!”

Dalam pada itu Hong-thay-siok telah berlutut dan memohon, "Hamba merasa berdosa, mohon Baginda suka memberi ampun!”

"Bagaimana pendapatmu, adikku?” tanya Hungki kepada Siau Hong dengan rasa senang.

"Jumlah pasukan pemberontak terlalu banyak, kita harus tenangkan dulu perasaan mereka, maka mohon Baginda suka mengampuni jiwa Hong-thay-siok,” ujar Siau Hong.

"Bagus, apa pun akan kuturut permintaanmu,” kata Hungki dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Pak-ihtay-ong, "Segera mengumumkan titahku bahwa Siau Hong telah kuangkat menjadi Co-ong dengan kedudukan sebagai Lam-ih-tay-ong untuk memimpin segenap pasukan pemberontak yang menyerah itu dan segera berangkat pulang ke kota raja.”

Keruan Siau Hong kaget mendengar perintah itu. Sebabnya ia membunuh Co-ong dan menawan Hong-thaysiok, tujuannya melulu ingin menyelamatkan jiwa sang giheng saja, sekali-kali tiada maksud ingin mendapat pangkat segala. Maka seketika ia menjadi bingung malah oleh pengangkatan Yalu Hungki itu.

"Kionghi! Kionghi!” demikian Pak-ih-tay-ong lantas mengaturkan selamat kepada Siau Hong. "Menurut tradisi kerajaan, gelar Co-ong itu tidak boleh diberikan kepada orang di luar keluarga raja. Maka lekaslah Siau-heng mengaturkan terima kasih kepada Hongsiang!”

"Toako,” segera Siau Hong berkata kepada Hungki, "apa yang terjadi hari ini adalah berkat rahmat Tuhan, pasukan pemberontak memang harus menyerah padamu, aku cuma sedikit mengeluarkan tenaga yang tak berarti, mana dapat dianggap sebagai jasa besar segala. Apalagi aku pun tidak biasa dan juga tidak ingin menjadi pembesar, maka mohon Koko suka menarik kembali titahmu tadi.”

Hungki terbahak-bahak, ia rangkul bahu Siau Hong dan berkata, "Gelar Co-ong dan kedudukan sebagai Lamih-tay-ong adalah gelar kebangsawanan tertinggi dalam negeri Liau kita, bila adik masih merasa tidak cukup, kakakmu selain menyerahkan takhta padamu, lebih dari itu tiada jalan lagi!”

Keruan Siau Hong terperanjat, ia pikir kakak angkatnya itu saking kegirangan hingga cara omongnya menjadi lupa daratan, jangan-jangan apa yang dikatakan itu dilakukan sungguh-sungguh, tentu keadaan akan tambah runyam. Maka terpaksa Siau Hong berlutut dan berkata, "Ya, hamba Siau Hong menerima titah Baginda itu, banyak terima kasih atas budi baik Baginda!”

Dengan tertawa Yalu Hungki lantas membangunkan Siau Hong.

Lalu Siau Hong berkata pula, "Namun hamba adalah seorang kasar yang tidak paham peraturan dan undangundang kerajaan, kalau ada kesalahan, mohon Baginda suka memberi ampun.”

"Tidak apa-apa,” kata Yalu Hungki sambil tepuk-tepuk bahu saudara angkat itu. Lalu ia berpaling kepada seorang perwira setengah umur di sebelahnya dan berkata, "Yalu Muko, aku mengangkatmu sebagai Lam-ih Ku-bit-su untuk membantu Siau Hong!”

Girang Yalu Muko bagaikan orang putus lotre, cepat ia berlutut untuk mengaturkan terima kasih. Lalu ia memberi sembah pula kepada Siau Hong.

"Muko,” kata Hungki pula, "dengan perintah Tay-ong, boleh kau pimpin bekas pasukan pemberontak itu pulang dulu ke Siangkhia! Sekarang kami akan pergi menyambangi ibu suri!”

Segera musik di atas gunung bergema, rombongan Yalu Hungki lantas menuju ke bawah gunung. Dalam pada itu panglima pasukan pemberontak sudah mengembalikan ibu suri dan permaisuri kepada kedudukan yang agung serta ditempatkan di tengah perkemahan besar. Waktu Hungki masuk kemah itu, pertemuan kembali antara ibu dan anak serta istri sehabis lolos dari lubang jarum sungguh mengharukan, kemudian mereka pun memberi pujian tinggi atas jasa Siau Hong.

Lalu Yalu Muko membawa Siau Hong untuk diperkenalkan kepada anak buah dan pembesar di bawah Lam-ih.

Tadi Siau Hong telah mempertunjukkan ketangkasannya di tengah pertempuran, betapa gagahnya telah disaksikan sendiri oleh semua orang. Apalagi Co-ong yang dulu itu wataknya kasar dan jahat, maka sekarang mereka terima dengan baik Siau Hong sebagai pimpinan mereka.

"Hongsiang sudah mengampuni dosa pemberontakan kalian, maka selanjutnya kalian harus memperbaiki kesalahan itu, jangan lagi sekali-kali timbul pikiran menyeleweng,” demikian Siau Hong memberi pengarahan di hadapan anak buahnya yang baru itu.

Segera seorang perwira berjenggot putih tampil ke muka dan melapor, "Hong-thay-siok dan Co-ong sudah menahan anggota keluarga kami sebagai sandera, hingga hamba terpaksa ikut memberontak, untuk itu mohon kebijaksanaan Tay-ong untuk menyampaikan kepada Baginda tentang duduk perkara yang sebenarnya.”

"Jika begitu, maka apa yang sudah lalu tidak perlu diungkit lagi,” ujar Siau Hong. Lalu ia berpaling kepada Yalu Muko, "Pasukan boleh mengaso dulu di sini, sesudah makan segera berangkat kembali ke kota raja.”

Kemudian perwira dan bintara di bawah perintah Lam-ih satu per satu maju memberi sembah kepada Siau Hong. Meski Siau Hong tidak pernah menjadi pembesar, tapi ia sudah lama menjabat Pangcu Kay-pang, dalam

hal memimpin dan wibawa sudah tentu cukup cakap. Soalnya mungkin ada peraturan pasukan Cidan yang masih belum dipahami, tapi berkat bantuan Yalu Muko, semuanya dapat teratur dengan beres.

Tidak lama Siau Hong membawa pasukannya berangkat, susul-menyusul ibu suri dan permaisuri telah mengirim utusan membawakan harta benda dan jubah sulam untuk Siau Hong. Dan baru saja Siau Hong menerima hadiah itu, datanglah Kapten Sili mengawal A Ci.

Gadis cilik itu sudah berpakaian sutra sulam yang mentereng dan menunggang kuda bagus, katanya semua itu adalah hadiah ibu suri.

Siau Hong menjadi geli melihat tubuh A Ci yang kecil mungil itu seakan-akan terbungkus di dalam jubah sutra sulam yang besar dan gondrong itu hingga mukanya hampir tertutup oleh leher bajunya.

A Ci sendiri tidak ikut menyaksikan caranya Siau Hong membunuh Co-ong dan menawan Hong-thay-siok, ia hanya mendengar cerita ulangan dari Kapten Sili dan bawahannya.

Pada umumnya cerita orang itu suka ditambah-tambahi, suka dibumbu-bumbui, maka ketangkasan Siau Hong dalam cerita itu menjadi jauh lebih lihai seolah-olah malaikat dewata turun ke bumi. Maka begitu bertemu dengan Siau Hong segera A Ci menggerundel, "Cihu, begitu besar jasamu, mengapa sebelumnya sama sekali tidak kau beri tahukan padaku?”

"Apa yang telah kulakukan itu hanya secara kebetulan, dari mana aku bisa tahu sebelumnya dan memberi tahu padamu lebih dulu? Haha, datang-datang kau lantas bicara seperti anak kecil!” demikian Siau Hong menyahut dengan tertawa.

"Cihu, kemari sini,” seru A Ci.

Segera Siau Hong mendekati anak dara itu, ia lihat muka A Ci yang pucat itu bersemu kemerah-merahan, badannya terbungkus oleh jubah sulaman hingga mirip boneka saja, lucu dan menyenangkan, maka Siau Hong terbahak-bahak geli.

"Aku bicara benar-benar padamu, mengapa engkau tertawa, apa sih yang menggelikan?” omel A Ci.

"Karena dandananmu ini mirip boneka, maka aku merasa geli,” sahut Siau Hong.

"Engkau selalu anggap aku sebagai anak kecil, sekarang kau tertawakan aku lagi,” kata A Ci dengan mulut menjengkit.

"Ah, masa aku sengaja mengolok-olokmu,” sahut Siau Hong dengan tertawa. "A Ci, sebenarnya aku menyangka hari ini kita pasti akan mati semua, siapa tahu malah tertimpa rezeki nyasar. Padahal peduli apa Lam-ih-tay-ong atau Co-ong segala, asal kita tidak sampai mati, apa lagi yang kita harapkan?”

"Cihu, apa engkau sangat takut mati?” tiba-tiba A Ci bertanya.

Siau Hong melengak, sahutnya kemudian dengan mengangguk, "Ya, dalam keadaan bahaya, terkadang aku pun takut mati.”

"Hah, kukira engkau adalah seorang gagah perkasa, seorang yang tak gentar mati,” kata A Ci dengan tertawa. "Jika engkau takut mati, tatkala beratus ribu tentara memberontak, mengapa engkau berani menyerbu ke tengah-tengah mereka?”

"Itu namanya sebelum ajal pantang menyerah, kalau aku tidak menerjang musuh, pastilah aku akan mati. Hal mana juga tak bisa dikatakan gagah berani, tidak lebih cuma pergulatan terakhir saja,” kata Siau Hong. "Misalnya kita mengepung seekor beruang atau harimau, sebelum dia tertangkap, pasti juga dia akan menyerang kian-kemari dan mengganas dengan mati-matian.”

"He, engkau misalkan dirimu sebagai binatang,” ujar A Ci dengan tertawa.

Tatkala itu mereka dikelilingi oleh barisan tentara yang panjang dengan panji yang berkibar memenuhi padang rumput. A Ci merasa senang sekali, katanya, "Tempo hari aku telah mengakali Toasuheng sehingga dapat merebut hak ahli waris Sing-siok-pay, kupikir di antara anggota keluarga Sing-siok-pay yang berjumlah beberapa ratus orang itu, kecuali Suhu seorang, akulah pemimpin tertinggi, maka aku merasa sangat senang waktu itu. Tapi kini kalau dibandingkan dengan engkau yang memimpin beratus ribu prajurit ini, terang jauh sekali bedanya. Cihu, kabarnya Kay-pang telah memecat dirimu sebagai pangcu mereka. Hm, cuma suatu organisasi pengemis begitu saja berlagak, boleh kau pimpin tentaramu ini ke sana dan bunuh saja mereka semua.”

"Ai, omongan anak kecil lagi!” ujar Siau Hong sambil menggeleng kepala. "Aku adalah orang Cidan, kalau mereka tidak sudi padaku sebagai pangcu, hal ini adalah tepat. Orang Kay-pang adalah bekas bawahanku dan kawan-kawanku yang baik, mana boleh kubunuh mereka?”

"Tapi mereka telah menuduhmu secara semena-mena dan memecatmu dari pang mereka, dengan sendirinya mereka harus dibunuh, masakah engkau masih anggap mereka sebagai kawanmu?”

Siau Hong sukar menjawab pertanyaan itu, ia hanya geleng-geleng kepala. Ia menjadi muram bila teringat pertarungan di Cip-hian-ceng, di mana ia telah putuskan segala hubungan baik dan persahabatan dengan para kesatria.

"Eh, Cihu, jika mereka mendengar bahwa engkau telah menjadi Lam-ih-tay-ong di negeri Liau, tiba-tiba mereka merasa menyesal dan ingin mengundangmu untuk menjadi pangcu mereka lagi, apakah engkau akan terima undangan mereka?” tiba-tiba A Ci bertanya lagi.

"Mana bisa jadi?” sahut Siau Hong dengan tersenyum. "Para kesatria Kerajaan Song anggap orang Cidan adalah manusia jahanam yang kejam, semakin besar pangkatku di negeri Liau sini, semakin benci pula mereka padaku.”

"Huh, masakah engkau ingin disukai mereka? Mereka benci padamu, kita juga benci pada mereka,” kata A Ci.

Ketika Siau Hong memandang ke arah selatan, ia melihat padang rumput yang luas itu di mana langit bertemu dengan bumi adalah lereng gunung yang berderet-deret, ia pikir di balik pegunungan itulah wilayah Tionggoan. Meski ia adalah orang Cidan, tapi sejak kecil dibesarkan di daerah Tionggoan, dalam hati kecilnya boleh dikatakan lebih cinta kepada tanah Song itu daripada menyukai negeri Liau yang baru dikenalnya ini. Bila dia diperbolehkan menjadi anggota Kay-pang yang paling rendah sekalipun, mungkin akan lebih senang dan tenteram daripada menjadi Lam-ih-tay-ong segala di negeri Liau.

"Cihu,” kata A Ci pula, "kubilang Hongsiang memang pintar, beliau mengangkatmu sebagai Lam-ih-tay-ong, dengan demikian bila kelak negeri Liau berperang dengan negeri lain, tentu engkau harus memimpin tentara untuk melawan musuh dan dengan sendirinya akan selalu menang. Asal engkau menyerbu ke tengah pasukan musuh dan membunuh panglimanya, maka tanpa perang lagi musuh akan menyerah, bukankah dengan mudah saja peperangan lantas berakhir?”

"Kembali omongan anak kecil lagi,” sahut Siau Hong dengan tertawa. "Masakah kau anggap segala peperangan serupa dengan pemberontakan Hong-thay-siok dan Co-ong? Mereka adalah bangsa Liau dan biasanya tunduk pada perintah baginda raja, jika biang keladi mereka tertawan, dengan sendirinya mereka lantas takluk. Tapi peperangan di antara dua negara akan lain soalnya. Biarpun panglimanya kau bunuh, mereka masih mempunyai wakil panglima yang lain, wakil panglima mereka mati, masih ada perwira lain lagi, belum terhitung prajurit dan bintara musuh yang entah berapa jumlahnya, hanya seorang diri aku menyerbu ke tengah-tengah mereka, apa yang dapat kuperbuat?”

"O, kiranya begitu,” kata A Ci. "Eh, Cihu, kau bilang waktu menyerbu musuh dan membunuh Co-ong itu tak dapat dibilang gagah berani, habis selama hidupmu dalam hal apa kau anggap paling gagah berani? Coba, dapatkah kau ceritakan padaku?”

Selamanya Siau Hong tidak suka bicara tentang keperkasaan sendiri, biarpun habis membasmi kaum penjahat atau baru menang bertanding juga tidak pernah dipamerkan kepada orang lain, padahal entah sudah berapa banyak kejadian luar biasa yang telah dialaminya.

Ia merasa tidak akan habis-habis kalau mesti bercerita tentang kegagahannya dahulu. Maka jawabnya, "Setiap kali aku bertempur dengan orang, selalu aku adalah pihak yang terpaksa, maka tak dapat dikatakan tentang gagah berani segala.”

"Tapi kutahu bahwa selama hidupmu pertarungan sengit di Cip-hian-ceng itulah pertempuranmu yang paling gagah berani,” ucap A Ci.

Kembali Siau Hong melengak. "Dari mana kau tahu?” tanyanya.

"Waktu di Siau-keng-oh tempo hari, sesudah kau pergi, ayah dan ibu beserta beberapa bawahannya telah bicara tentang ilmu silatmu dan mereka sama kagum tak terhingga, mereka mengatakan engkau telah menempur para kesatria Tionggoan di Cip-hian-ceng, soalnya cuma membela keselamatan seorang gadis jelita. Gadis jelita itu tentulah ciciku, bukan?” tanya A Ci. "Tatkala mana ayah dan ibu belum tahu bahwa A Cu adalah putri kandung mereka, maka mereka menganggapmu sangat kejam kepada ayah bunda, sangat keji terhadap guru dan ayahibu angkatmu, tapi terhadap wanita engkau justru mabuk, mereka bilang engkau adalah manusia yang tidak tahu budi dan lupa kebaikan, sebaliknya kejam dan suka akan kundai licin, engkau dianggap orang jahat yang tidak kenal perikemanusiaan,” bicara sampai di sini, tertawalah gadis itu dengan terkikik-kikik.

"Lupa budi dan tidak tahu kebaikan, kejam dan suka kundai licin? Ai, tentu saja para kesatria benci padaku sampai ke tulang sumsum,” demikian Siau Hong bergumam sendiri.

Selang beberapa hari kemudian, sampailah pasukan besar itu di kota raja. Sebelumnya para pembesar dan pasukan penjaga kota serta rakyat jelata sudah mendapat kabar tentang datangnya Siau Hong, maka berbondong-bondong mereka memapak jauh di luar kota.

Di mana panji pengenal Siau Hong tiba, di situ rakyat jelata lantas berlutut memberi sembah dengan pujian yang tak habis-habis. Maklum, sekaligus ia telah dapat mengamankan pemberontakan, ini berarti telah menyelamatkan jiwa para prajurit beserta anggota keluarganya yang ditawan musuh, sudah tentu rasa terima kasih mereka tak terhingga.

Ketika Siau Hong menjalankan kudanya perlahan mengelilingi kota, sepanjang jalan rakyat bersorak-sorai memberikan pujian secara luar biasa.

Diam-diam Siau Hong terharu oleh suara pujian itu, apalagi air mata rakyat jelata itu tampak berlinang-linang, suatu tanda rasa terima kasih mereka itu memang timbul benar-benar dari lubuk hati yang murni. Pikirnya, "Seorang yang berkedudukan tinggi dan memegang kendali kenegaraan, setiap gerak-gerik dan tindak tanduknya akan menyangkut nasib beratus-ratus ribu, bahkan berjuta-juta rakyatnya. Padahal sebelum aku menyerbu musuh untuk membunuh Co-ong, aku hanya terdorong oleh keinginan membunuh musuh gihengku saja, sama sekali tak tersangka olehku bahwa dengan tindakanku itu tanpa sengaja telah menyelamatkan beratus ribu jiwa manusia.”

Begitulah dengan mendapat sambutan hangat dari penduduk kota, akhirnya rombongan Siau Hong sampai di depan istana Lam-ih-tay-ong.

Meski Siau Hong adalah bekas pangcu, tapi pangcu dari kaum pengemis, hidupnya selalu melarat, tempat tinggalnya sembarang tempat, di mana pun dapat dibuat tidur, baik di emperan, maupun di kolong jembatan, semuanya pernah dilakukan Siau Hong. Tapi kini ia terkesima menyaksikan sebuah gedung yang megah.

Waktu ia dipersilakan masuk oleh Yalu Muko, ia lebih terpesona lagi oleh segala perabotan di dalam istana itu. Sesudah ia periksa seperlunya keadaan dan isi istana itu, lalu ia ambil tempat duduk di atas singgasananya dan menerima sembah perkenalan dari penggawa istana.

Kemudian para kepala kelompok suku juga datang memberi hormat, banyak sekali nama suku bangsa di bawah kekuasaan Kerajaan Liau, seketika Siau Hong juga tidak ingat nama-nama kelompok suku sebanyak itu.

Habis itu para perwira dari pasukan pribadi ibu suri dan permaisuri, para pengawal berbagai istana juga beruntun-runtun datang menghadap.

Akhirnya para utusan berbagai negeri yang berkedudukan di kota raja ketika mengetahui Siau Hong telah diangkat menjadi Lam-ih-tay-ong yang baru, maka beramai-ramai perwakilan dari 59 negara yang berada di bawah pengaruh negeri Liau, seperti negeri Korea, Nuchen, Se He, Tartar, dan lain-lain, semuanya datang untuk berkenalan dengan raja muda yang baru dan berpengaruh ini. Banyak sekali di antaranya membawa oleh-oleh dan mempersembahkan kado dengan maksud mengikat persahabatan.

Begitulah setiap hari Siau Hong sibuk menerima tamu dan menemui pembesar bawahannya. Apa yang dilihatnya adalah emas intan yang gemerlapan dan apa yang didengarnya adalah puji sanjung yang menjilat pantat. Sebagai seorang yang berjiwa jujur lurus, sudah tentu Siau Hong tidak biasa dengan penghidupan

seperti itu, lama-kelamaan ia merasa jemu juga.

Kira-kira sebulan kemudian, Yalu Hungki mengundangnya untuk bertemu di istana dan berkata kepada Siau Hong, "Saudaraku yang baik, kedudukanmu adalah Lam-ih-tay-ong, tempat tugasmu adalah Lamkhia, di sana harus kau cari kesempatan untuk melakukan invasi ke Tionggoan. Meski aku merasa berat untuk berpisah denganmu, tapi demi tugas dan kejayaan bangsa, terpaksa silakan lekas berangkat ke selatan dengan pasukanmu.”

Siau Hong terperanjat mendengar baginda raja menitahkan dia memimpin pasukan untuk menjajah ke selatan. Cepat sahutnya, "Soal invasi ke selatan bukanlah urusan kecil, harap Yang Mulia suka meninjau kembali keputusan ini. Hamba cuma seorang persilatan yang kasar, dalam hal siasat militer sama sekali tidak paham.”

"Negeri kita baru mengalami pemberontakan, kita memang harus memelihara kekuatan dahulu,” ujar Hungki dengan tertawa. "Apalagi pemerintah Song sekarang telah mengangkat Suma Kong sebagai perdana menteri, politiknya stabil, rakyatnya patuh, kesempatan untuk menyerbu ke selatan belum ada. Maka sesudah berada di Lamkhia, hendaklah senantiasa kau ingat tujuan kita akan mencaplok kerajaan di selatan itu, kita harus mencari saat yang baik dan tepat, jika ada sesuatu kerusuhan di dalam tubuh pemerintahan Song, segera kita mengerahkan pasukan ke selatan. Bila bagian dalam mereka bersatu, maka hasil kita akan sangat kecil sekali bila menggempur mereka.”

"Betul, memang harus begitu,” sahut Siau Hong.

"Akan tetapi dari manakah kita dapat mengetahui pemerintahan Song dalam keadaan kuat dan rakyatnya patuh dan bersatu?” kata Hungki pula.

"Untuk itu mohon Baginda suka memberi petunjuk,” sahut Siau Hong.

"Hahaha, caranya sejak dulu kala hingga sekarang adalah sama saja,” seru Hungki dengan terbahak-bahak. "Resepnya adalah gunakanlah sebanyak mungkin harta kekayaan untuk membeli mata-mata musuh. Orang selatan paling tamak pada harta, manusia rendah tak terhitung banyaknya di sana. Asal mendapat harta, mereka tidak segan-segan menjual negara. Maka boleh kau suruh Ku-bit-su jangan sayang membuang harta mestika sebanyak mungkin, tentu usahamu akan berhasil.”

Siau Hong mengiakan pesan itu, lalu mohon diri dengan perasaan kesal. Sebagai seorang laki-laki sejati, biasanya sahabat karibnya adalah golongan kesatria yang gagah dan jujur, biarpun sudah banyak pengalamannya menghadapi tipu muslihat keji di kalangan Kangouw, tapi paling-paling juga cuma perbuatan membunuh orang atau membakar rumah secara blakblakan tanpa banyak lika-liku, selamanya belum pernah ia gunakan harta benda untuk memperalat orang lain. Apalagi, walaupun ia adalah orang Cidan, tapi sejak kecil dibesarkan di daerah selatan, sekarang dia ditugaskan oleh Yalu Hungki untuk mencaplok Kerajaan Song, hal

ini sebenarnya sangat bertentangan dengan jiwanya.

Ia pikir, "Giheng mengangkatku sebagai Lam-ih-tay-ong, hal ini adalah maksud baiknya, kalau sekarang juga kuletakkan jabatan, betapa pun akan mengecewakan maksud baiknya dan akan mengganggu persaudaraan kami. Biarlah nanti sesudah aku di Lamkhia setelah kujalankan tugasku selama setahun dua tahun, lalu aku akan mohon mengundurkan diri. Dan kalau beliau tidak mengizinkan, diam-diam aku akan tinggal pergi, masakah beliau dapat menahan aku?”

Begitulah ia lantas membawa bawahannya bersama A Ci berangkat ke Lamkhia.

(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)

Yang dimaksud Lamkhia pada Kerajaan Liau waktu itu adalah Kota Pakhia (Peking) sekarang. Zaman itu Kerajaan Song menyebutnya sebagai Yankhia, Yutoh, atau Yuciu.

Kota itu sebenarnya termasuk wilayah kekuasaan Tiongkok. Ketika Ciok Keng-tong dari Dinasti Cin mengangkat dirinya sendiri menjadi raja, ia telah minta bala bantuan Kerajaan Liau. Untuk balas jasanya, Ciok Keng-tong menyerahkan wilayah kekuasaan Yan-hun-cap-lak-ciu (16 kota Yan-hun) kepada Kerajaan Liau. Dan di antara ke-16 kota itu termasuk pula Yuciu atau Yankhia.

Ke-16 kota yang dijual oleh Ciok Keng-tong itu adalah tempat-tempat penting dan strategis, selama Dinasti Cin, Ciu, dan Song, pemerintah Tiongkok tidak mampu merebut kembali kota-kota wilayah kekuasaannya itu, bahkan setiap kali terjadi perang, selalu pasukan Liau mendapat keuntungan dari kota-kota penting yang menjadi pangkalan mereka itu dan selalu pasukan Song dikalahkan habis-habisan.

Setiba di dalam kota, Siau Hong lihat jalan di dalam kota sangat lebar dan resik, orang yang berlalu-lalang adalah rakyat kerajaan selatan (Song), yang terdengar juga bahasa Tionghoa. Ia merasa seakan-akan telah pulang ke tempat tinggalnya dahulu. Malahan keramaian dan kemakmuran kota juga lebih baik daripada Siangkhia.

Siau Hong dan A Ci merasa kerasan di kota yang ramai ini. Dengan gembira, esok paginya mereka lantas keluar pesiar dengan dandanan yang sederhana dan tanpa pengawal.

Luas Kota Yankhia itu antara 36 li (kira-kira sama dengan 18 km) persegi. Seluruhnya ada delapan pintu gerbang kota. Letak istana Lam-ih-tay-ong itu di barat laut di dalam benteng kota.

Sesudah Siau Hong dan A Ci pesiar hampir setengah hari, mereka melihat di mana-mana toko dan pasar ramai dikunjungi orang, di sana-sini juga banyak terdapat kelenteng.

Sebagai Lam-ih-tay-ong, maka wilayah kekuasaan Siau Hong bukan cuma Yan-hun-cap-lak-ciu saja, bahkan Tay-tong-hu dan sekitarnya di sebelah barat, Tay-ting-hu di sebelah selatan juga termasuk wilayah kekuasaannya. Dan sebagai raja muda, terpaksa ia mesti tinggal di dalam istana.

Sesudah melakukan tugasnya beberapa hari, ia lantas merasa pusing kepala, untung Lam-ih Ku-bit-su, kepala stafnya Siau Hong, yaitu Yalu Muko, cukup cekatan dan pandai mengatur, maka ia percayakan semua pekerjaan dinas kepadanya.

Menjadi pembesar setinggi Siau Hong itu juga ada enaknya. Di dalam istana tersedia barang berharga yang tak terhitung banyaknya, empedu beruang dan tulang harimau boleh dimakan bagai makan nasi saja oleh A Ci. Dengan perawatan demikian, akhirnya kesehatan A Ci menjadi pulih seperti sediakala, pada permulaan musim dingin ia sudah dapat bergerak dengan bebas.

Dasar gadis itu memang lincah dan suka bergerak, maka begitu sudah sehat kembali, segera A Ci pesiar beberapa kali ke seluruh pelosok kota, kemudian dengan dikawal oleh Kapten Sili, mereka mulai pesiar keluar kota yang berdekatan.

Suatu hati, hujan salju baru saja reda, dengan memakai baju kulit berbulu halus, A Ci datang ke Istana Soankau-tian, tempat tinggal Siau Hong, ia berkata, "Cihu, aku merasa bosan tinggal di kota, ayolah kita pergi berburu saja!”

Sekian lamanya tinggal dalam istana, memang Siau Hong juga merasa kesal, maka ajakan A Ci itu diterima dengan senang hati. Tapi ia tidak suka berburu secara besar-besaran, maka hanya beberapa pengawal dibawanya untuk melayani A Ci. Pula khawatir akan mengejutkan penduduk setempat, maka mereka berdandan sebagai prajurit biasa, membawa busur dan panah, dengan berkuda mereka ke luar kota dan menuju ke utara.

Kira-kira belasan li jauhnya di luar kota, mereka hanya memperoleh beberapa ekor kelinci saja, binatang lain yang lebih besar tidak kelihatan.

"Marilah kita coba-coba ke bagian selatan,” kata Siau Hong. Segera ia membawa rombongannya berputar ke barat terus ke selatan.

Kira-kira belasan li lagi, tiba-tiba seekor kijang berlari keluar dari semak-semak. Cepat A Ci mengambil busur dan panah, tapi ketika ia hendak menarik busurnya, ternyata tenaganya tak cukup. Nyata meski kesehatannya sudah pulih, tapi tenaga belum kuat.

Segera Siau Hong mendekatinya, ia gunakan tangan kiri memegang tali gendewa dari belakang A Ci, lalu tangan kanan mementang gendewa, sekali bidik, anak panah itu meluncur dengan cepat, kontan kijang itu menggeletak terkena panah. Maka bersoraklah para pengiringnya.

Ketika Siau Hong lepas tangan, ia pandang A Ci dengan tersenyum. Tapi ia menjadi terkejut demi tampak air mata anak dara itu berlinang-linang. Tanyanya dengan heran, "He, kenapa menangis? Kau tidak senang aku membantumu memanah kijang tadi?”

"Aku... aku sudah menjadi orang cacat, sampai gendewa saja tidak... tidak mampu menariknya lagi,” sahut A Ci dengan air mata bercucuran.

"Ai, kenapa kau tidak sabaran begitu, asal kau merawat diri dengan baik, tentu tenagamu akan pulih kembali,” hibur Siau Hong. "Dan kelak bila betul tak bisa pulih, pasti akan kuajarkan cara melatih lwekang padamu, pasti tenagamu akan bertambah kuat.”

Maka tertawalah A Ci, katanya, "Engkau harus pegang janji dengan baik, engkau harus mengajarkan lwekang padaku.”

"Baik, pasti akan kuajarkan,” sahut Siau Hong.

Tengah bicara, tiba-tiba terdengar suara ramai derapan kuda lari dari arah selatan, ada suatu pasukan sedang mendatang dari tanah salju sana. Meski pasukan itu tidak memasang panji pengenal, tapi segera Siau Hong dapat melihat pasukan itu adalah tentara Liau. Terdengar prajurit dan perwira pasukan itu bersorak-sorai dan menyanyi-nyanyi dengan riang gembira, di belakang mereka tampak banyak tawanan pula, agaknya mereka habis pulang dari menang perang.

"Kita tidak perang dengan siapa pun, dari mana pasukan ini bisa menang perang?” pikir Siau Hong.

Ia lihat pasukan itu menuju ke timur, yaitu arah Kota Lamkhia. Segera ia katakan pada pengiringnya, "Coba pergi tanya mereka, pasukan dari manakah dan untuk apa datang ke sini?”

Pengiring itu mengiakan dan menambahkan pula, "Mungkin kawan kita sendiri yang habis pulang dari ‘panen’.”

Lalu ia larikan kudanya menghampiri pasukan itu.

Ketika komandan pasukan itu mengetahui Lam-ih-tay-ong berada di situ, serentak mereka bersorak gembira, mereka turun dari kuda dan dengan langkah cepat menghampiri Siau Hong untuk memberi hormat, berbareng mereka lantas bersorak, "Hidup Tay-ong!”

Siau Hong hanya angkat tangannya sebagai hormat. Ia lihat pasukan itu berjumlah antara 800 orang, di atas kuda mereka penuh termuat macam-macam barang, ada bahan pangan, ada bahan sandang, dan benda-benda berharga lainnya. Tawanan yang mereka ringkus juga ada 800 jiwa banyaknya, sebagian besar adalah wanita muda, tapi ada juga sedikit anak dan orang tua. Dari dandanan mereka dapat diketahui adalah orang Song, banyak di antaranya sedang menangis sedih, keadaan sangat mengenaskan.

"Hari ini adalah giliran pasukan hamba yang dinas ‘tah-cau-kok’ (panen), berkat Tay-ong yang mulia, hasil kami lumayan juga,” demikian komandan pasukan itu memberi lapor. Lalu ia berpaling ke belakang dan berteriak, "Ayo, kawan-kawan! Lekas persembahkan wanita muda yang paling cantik dan harta benda yang paling berharga, kita persilakan Tay-ong memilih sendiri!”

Segera anak buahnya mengiakan, dalam sekejap saja lebih 20 orang wanita muda yang cantik digusur ke depan Siau Hong, banyak pula emas intan dan batu permata yang berharga terserak di atas sehelai selimut, semuanya itu menantikan pilihan Siau Hong.

Umumnya orang Cidan paling menghormat pada kesatria gagah, bila Siau Hong sudi menerima wanita tawanan dan harta rampasan mereka dari hasil "panen” itu, maka hal mana akan merupakan suatu kehormatan besar bagi mereka.

Dahulu di luar Gan-bun-koan, Siau Hong juga pernah menyaksikan pasukan tentara Song merampok dan menawan orang-orang Cidan. Sekarang ia melihat pasukan Cidan yang menawan orang Song. Keadaan tawanan yang mengenaskan itu sama saja tiada bedanya.

Sesudah sekian lamanya tinggal di negeri Liau, pada garis besarnya Siau Hong sudah paham peraturan militer negeri itu. Pasukan tentara Liau itu tidak mendapat gaji dan catu ransum, segala keperluan perwira dan prajuritnya, seluruhnya diperoleh dengan merampas dari pihak musuh. Maka setiap hari ada pasukan yang dikirim untuk merampas sandang pangan dari rakyat negeri tetangga seperti Korea, Song, Se He, Nuchen, dan lain-lain, perbuatan mereka ini diberi nama "tah-cau-kok” atau panen. Padahal tiada bedanya dengan garong.

Sebab itulah tentara Song juga membalas dengan melakukan "panen” pada orang Cidan dengan cara yang sama. Maka penghidupan penduduk di sekitar perbatasan itu menjadi sangat melarat dan tidak aman, setiap saat selalu hidup dalam ketakutan.

Sebenarnya Siau Hong merasa cara demikian itu terlalu kejam dan zalim, cuma ia sendiri tidak berniat menjadi pembesar untuk selamanya, setelah sekadar memenuhi keinginan Yalu Hungki, lalu ia akan meletakkan jabatan dan tinggal pergi. Sebab itulah ia tidak memberi suatu saran apa-apa tentang politik dan ketatanegaraan.

Kini dengan mata kepala sendiri menyaksikan keadaan mengenaskan dari para tawanan itu, mau tak mau ia merasa tak tega. Segera ia tanya komandan pasukan itu, "Dari mana kalian memperoleh hasil panen ini?”

Dengan penuh hormat komandan itu melapor, "Harap Tay-ong maklum, hasil ‘panen’ hamba ini diperoleh dari perbatasan di luar Takciu. Sejak Tay-ong kemari, hamba tidak berani mencari ransum lagi di sekitar sini.”

Dari jawaban itu Siau Hong menarik kesimpulan dahulu mereka tentu banyak melakukan penggarongan milik orang Song di sekitar Lamkhia. Segera ia tanya kepada seorang gadis yang dihadapkan kepadanya itu dalam bahasa Han, "Kau berasal dari mana?”

Gadis itu berlutut, sahutnya dengan menangis, "Hamba adalah orang Thio-koh-jun, mohon belas kasihan Tayong, sudilah mengampuni hamba dan bebaskan hamba untuk berkumpul kembali dengan orang tua.”

Waktu Siau Hong memandang ke arah tawanan-tawanan itu, ia melihat beberapa ratus orang itu berlutut semua, hanya ada seorang pemuda yang tetap berdiri dengan bersitegang.

Berdiri di tengah beratus tawanan yang berlutut itu, dengan sendirinya pemuda itu kelihatan sangat menonjol. Siau Hong lihat usia pemuda itu antara 16-17 tahun, raut mukanya lonjong, matanya bersinar, sedikit pun tidak gentar padanya. Segera ia tanya, "Hai, pemuda, kau berasal dari mana?”

"Ada suatu urusan rahasia penting ingin kubicarakan padamu secara berhadapan,” sahut pemuda itu.

"Baiklah, majulah ke sini,” kata Siau Hong.

Pemuda itu angkat kedua tangannya ke atas, ternyata tangannya terikat dengan kencang. Terdengar ia berseru,

"Silakan meninggalkan pengiringmu ke sana, urusan penting ini tidak boleh didengar orang lain.”

Siau Hong merasa heran, ia pikir seorang pemuda keroco begitu masakah mempunyai urusan rahasia penting segala? Tapi dia berasal dari selatan, boleh jadi membawa rahasia militer Kerajaan Song. Sebagai seorang kesatria, Siau Hong benci kepada manusia rendah yang suka menjual negara dan bangsa, maka sebenarnya ia tidak mau gubris pada pemuda itu. Tapi mengingat hal yang akan diberitahukan mungkin di luar dugaannya, ia pikir tiada halangannya untuk mendengarkannya.

Segera ia larikan kuda meninggalkan pengiringnya kira-kira puluhan meter jauhnya, lalu ia panggil pemuda itu, "Nah, majulah ke sini!”

Jilid 44
Pemuda itu lantas ikut kesana, ia angkat kedua tangannya yang terikat itu, katanya, "Harap memotong tali pengikat tanganku ini, hendak kukeluarkan sesuatu barang untukmu.”

Tanpa pikir Siau Hong melolos goloknya "sret” sekali ayun, ia tebas tali pengikat kedua tangan pemuda itu. Begitu cepat dan jitu tabasan Siau Hong hingga membuat pemuda itu berjingkat kaget ketika mengetahui golok itu sudah menyambar lewat tangannya, tali pengikatnya sudah putus dan tangan tidak terluka apa-apa.

"Nah barang apa?” tanya Siau Hong kemudian dengan tersenyum sambil menyarungkan kembali goloknya.

Segera pemuda itu merogoh saku, ia ambil sesuatu benda, digenggamnya, lalu mendekati Siau Hong sambil menyodorkan tangannya dan berkata. "Ini, boleh kau periksa sendiri!”

Selagi Siau Hong hendak ulur tangannya menerima barang orang, sekilas dilihatnya benda dalam genggaman pemuda itu seperti dapat bergerak, ia jadi curiga dan urung menerima, katanya, "Coba buka tanganmu?”

Pemuda itu sadar tipu muslihatnya telah gagal, mendadak air mukanya berubah hebat, sekonyong-konyong makhluk pada tangannya itu dilemparkan ke muka Siau Hong.

Tapi sekali sampuk dengan cambuk kuda, Siau Hong hantam makhluk itu ke tanah. Waktu diamati, kiranya seekor ular hitam mulus. Ia kerut kening dan tidak menaruh perhatian atas ular itu, ia pikir pemuda itu benarbenar kurang ajar, masa mempermainkanku dengan ular.

Di luar dugaan, begitu ular itu ke tanah, mendadak ular melompat ke atas lagi dan hendak memagut kaki Siau Hong. Sama sekali Siau Hong tidak menyangka ular sekecil itu bisa melejit ke atas, ia terperanjat dan cepat mengangkat kakinya ke samping hingga pagutan ular itu kena di kaki depan kuda tunggangannya.

Sekali tergigit ular, seketika kuda itu lemas lunglai ke tanah. Cepat Siau Hong melompat turun, ia lihat kudanya sudah tak bisa berkutik lagi, hanya kelojotan sekali, lantas binasa.

Bahkan si pemuda lantas memburu maju lagi, ia sambar ular kecil itu terus dilemparkan pula ke arah Siau Hong.

Melihat ular itu begitu lihai, Siau Hong tidak berani gegabah lagi, ia kerahkan tenaga pada cambuknya terus menyabat "plok”, ular itu terpental hingga berpuluh meter jauhnya, tapi belum mati ular itu merayap, lalu menghilang entah kemana.”

Biarpun Siau Hong sudah banyak pengalaman tidak urung mengkirik membayangkan kejadian tadi. Hanya sekali gigit saja ular kecil itu dapat membinasakan seekor kuda besar dalam waktu singkat sekali, maka betapa jahat bisanya dapat dibayangkan. Apalagi pemuda itu berani pegang ular itu sesukanya, suatu bukti pemuda itu telah menguasai racun ular yang jahat itu.

Sebagai bekas Pangcu Kai-pang. Siau Hong sudah sering menyaksikan anggota Kai-pang main ular, maka ia tidak heran pada ular berbisa. Tapi ular hitam kecil ini sangat ganas, sedangkan untuk bisa menguasai racun ular dengan baik, anggota Kai-pang umumnya mesti berlatih hingga bertahun-tahun lamanya, dan biasanya ahli ular itu terdiri dari pengemis-pengemis yang sudah tua. Tapi pemuda ini baru belasan tahun umurnya, namun sudah memiliki kepandaian selihai ini, sungguh dapat dikatakan luar biasa. Coba tadi kalau dirinya lengah sedikit saja, mungkin jiwanya sekarang sudah melayang.

Dalam pada itu para perwira dan prajurit Cidan beramai-ramai telah maju ketika melihat kuada Siau-tai-ong mereka roboh dan binasa. Namun segera Siau Hong memberi tanda pada mereka dan berseru, "Kalian jangan mendekat ke sini.”

Serentak pasukan Cidan itu berhenti di tempat mereka. Waktu Siau Hong periksa kudanya ia lihat badan kuda telah berubah menjadi hitam dalam waktu singkat. Keruan ia lebih terkesiap, segera ia berkata dengan manggut-manggut. "Ehm, bagus, bagus! Siapa namamu? Mengapa kau serang aku sekeji ini?”

Tapi pemuda itu bungkam dalam segala bahasa, bahkan ia melirik hina pada Siau Hong.

"Coba mengakulah dan jiwamu mungkin dapat kuampuni, "kata Siau Hong pula.

"Aku gagal membalas sakit hati orang tua, apa mau dikata lagi?” tiba-tiba pemuda itu menyahut dengan ketus.

"Hah, kau ingin membalas sakit hati orang tuamu?” Siau Hong menegas dengan heran. "Siapakah orang tuamu? Apakah aku yang membunuhnya?”

Pemuda itu melangkah maju, tiba-tiba ia tuding hidung Siau Hong dan memaki dengan penuh rasa dendam, "Kiau Hong! Kamu telah membunuh pamanku, membunuh ayah bundaku, sungguh aku .. aku ingin

mengunyah dagingmu, ingin membeset kulitmu dan mencencang badanmu hingga hancur lebur!”

Mendengar pemuda itu memanggil namanya yang lama, yaitu "Kiau Hong” pula menuduh dirinya membunuh paman dan ayah bundanya, Siau Hong pikir besar kemungkinan adalah permusuhan yang terjadi di Tionggoan dahulu. Maka tanyanya segera, "Siapakah pamanmu dan siapa ayahmu?”

"Pendek kata aku pun tidak ingin hidup lagi, masakah aku takut padamu? Kaum lelaki keluarga Yu dari Ciphian ceng bukanlah manusia yang takut mati!” demikian teriak pemuda itu.

Mendengar pemuda itu menyebut "Keluarga Yu dari Cip-hian-ceng”, barulah Siau Hong tahu duduk perkaranya.

"O, kiranya kamu keturunan Yu-si-siang-hiong dari Cip-hian-ceng?” katanya. "Jika demikian, ayahmu adalah Yu Ki, Yu-jiya, bukan?”

Ia berhenti sejenak, lalu menyambung pula. "Dahulu aku pernah dikeroyok para ksatria Tionggoan di tempat tinggalmu, karena terpaksa aku melawan keroyokan mereka. Dan ayah serta pamanmu itu tewas dengan membunuh diri. Ya memang, membunuh diri atau di bunuh orang memang sama saja. Tatkala itu akutelah merampas senjata andalan ayah dan pamanmu hingga mereka terpaksa membunuh diri, katanya untuk memenuhi sumpah perguruan mereka, adik cilik, siapakah namamu?”

"Namaku Yu Goan-ci, "sahut pemuda itu bersitegang, "Aku tidak perlu kaubunuh diriku, aku sanggup meniru semangat jantan ayah dan pamanku.”

Habis berkata, mendadak ia mencabut keluar sebilah belati terus menikam dada sendiri.

Namun cambuk Siau Hong lebih cepat menyambarnya daripada belatinya itu, sekali tergubat, segera belati pemuda itu dibetot terlepas dari cekalan.

Yu Goan-ci menjadi gusar, teriaknya, "Aku ingin membunuh diri juga tidak boleh? Kamu anjing Cidan terkutuk, sungguh kamu amat kejam!”

Dalam pada itu A Ci telah larikan kudanya mendekati Siau Hong. Segera ia membentak, "Kau setan cilik ini mengapa sembarang memaki orang? Kau ingin mampus ya? Hehehe, jangan kau harap akan begitu gampang!”

Yu Goanci terkesima demi mendadak seorang nona cilik yang cantik molek berada di depannya, untuk sekian lama ia tidak sanggup bicara.

"Cihu, "segera A Ci berkata kepada Siau Hong, "Bocah ini teramat keji, ia hendak membunuhmu dengan ular berbisa, biarlah kita juga menggunakan carayang sama menghukumnya agar dia tahu rasa.”

Sebagai murid Sing-siok-pai, bicara tentang menyiksa orang ular atau belatung berbisa mungkin tiada golongan lain yang mampu mengungguli cara mereka.

Segera Siau Hong berkata kepada komandan pasukan tadi, "Orang Song yang laian tawan ini bolehkah diberikan kepadaku semua?”

Senang sekali komandan itu, sahutnya, "Asal Tai-ong sudi menerima, tentu saja hamba merasa mendapat kehormatan besar.”

"Setiap prajurit yang telah menyerahkan tawanannya kepadaku, sepulangnya nanti akan mendapat hadiah sebagai ganti kerugian, "kata Siau Hong pula. "Dan sekarang bolehlah kalian berangkat pulang dulu ke kota.”

Dengan girang prajurit itu mengiakan dan menyatakan terima kasih. Kata komandannya, "Binatang disini tidak banyak, apakah Tai-ong akan menggunakan babi-babi song ini sebagai sasaran panah yang hidup? Dahulu Coong juga suka permainan begini. Cuma sayang tawanan ini kebanyakan adalah kaum wanita, larinya tidak bisa cepat. Lain kali kami pasti akan mencari babi-babi song yang laki-laki dan tangkas-tangkas untuk keperluan Tai-ong.”

Habis berkata, ia memberi hormat kepada Siau Hong , lalu membawa pergi pasukannya..

"Menggunakan babi-babi Song itu sebagai sasaran panah hidup, "kata-kata ini mendengung-dengung dalam telinga Siau Hong, seketika ia seakan-akan melihat kekejaman Co-ong yang telah menggunakan orang-orang Song itu sebagai sasaran anak panahnya, beratus orang Song itu disuruh lari serabutan, lalu satu per satu dipanah dari jauh seperti berburu binatang. Agaknya kekejaman demikian itu bukan cuma sekali duakali terjadi, tapi orang Cidan telah anggap biasa permainan begitu.

Ketika Siau Hong pandang para tawanan itu, ia lihat wajah mereka pucat lesi sebagai mayat, bahkan banyak diantaranya gemetar keras-keras. Rupanya ada diantara mereka yang paham bahasa Cidan, maka demi mendengar mereka akan digunakan sebagai sasaran panah, mereka menjadi takut.

Siau Hong menghela napas panjang, ia memandang jauh ke selatan sana, dimana gunung gemulung menjulang tinggi tertutup awan. Tiba-tiba terpikir olehnya, "Coba kalau tiada orang membongkar rahasia asal usulku, sampai hari ini pasti aku masih anggap diriku adalah rakyat Song, bicaraku sama seperti bahasa mereka, dan makan nasi serupa mereka, apa perbedaannya? Padahal kita semuanya adalah manusia, sama-sama manusia kenapa mesti ada perbedaan antara Cidan, Song, Nuchen, Korea dan apa segala? Kenapa kita tidak dapat hidup berdampingan, sebaliknya mesti saling cakar-cakaran, yang satu 'panen' ke wilayah kekuasaan yang lain, dan yang lain menggarong dan membunuh ke negeri orang lagi? Yang satu memaki yang lain sebagai anjing Cidan dan yang lain memaki sebagai babi Song? Ya, alangkah baiknya jika didunia tiada penindasan manusia atas manusia, tiada penjajahan bangsa atas bangsa, tiada pengisapan orang atas orang, jika semuanya itu tak ada, tentu dunia ini akan aman dan damai.”

Begitulah seketika perasaannya bergolak, semangatnya membakar.

Dalam pada itu A Ci mempunyai kerjanya sendiri, ia terus mengamat-amati Yu Goan-ci sambil memikirkan cara bagaimana harus menyiksa pemuda itu. Pikirnya, "Tidak boleh sekali siksa mematikan dia, tapi harus kucari suatu akal yang baik dan menarik untuk mempermainkan dia sekedar pelipur lara hatiku daripada perburuan kijang yang membosankan ini. Eh, ya dapat kugunakan dia untuk menguji khasiat Pek-giok-giokting yang kumiliki ini. Dapat kutangkap beberapa macam ular dan belatung berbisa untuk menggigit tangannya dulu, bila nanti hawa berbisa sudah hampir menyerang jantungnya, lantas kupotong lengannya itu, lalu giliran lengannya yang lain, dengan cara begitu mungkin aku dapat mempermainkannya untuk beberapa hari lamanya.”

Sementara itu setelah pasukan Cidan tadi pergi, lalu Siau Hong berkata kepada para tawanan itu, "Biarlah hari ini kubebaskan kalian. Nah lekas kalian pergi!”

Tapi para tawanan itu mengira bila mereka lari, lalu mereka akan di panah, maka mereka merasa ragu dan tiada yang mau bergerak.

Segera Siau Hong berkata pula, "Sesudah kalian pulang, paling baik kalian meninggalkan daerah perbatasan ini sejauhnya agar kalian tidak menjadi sasaran panenan dan tertangkap pula. Aku hanya dapat menolong kalian satu kali dan tidak mungkin dua kali.”

Mendengar itu, barulah para tawanan itu percaya penuh, seketika gegap gempita sorak gembira mereka, beramai-ramai mereka menjura dan menghaturkan terimakasih kepada Siau Hong. Sungguh mereka tidak menduga bahwa jiwa mereka yang sudah terang akan melayang di negeri Liau itu bisa direnggut kembali dari cengkraman elmaut.

Pada umumnya kalau orang Song sudah menjadi hasil panen orang Cidan, kecuali orang dari keluarga mampu yang sanggup menebus dengan harta benda yang tinggi. Kalau tidak, pasti akan mati terkubur di tanah asing. Sedangkan para tawanan ini adalah rakyat jelata yang miskin, dari mana mereka mampu menebus jiwa mereka

dengan harta benda? Keruan girang mereka tidak kepalang demi mendengar pengampunan Siau Hong itu.

Begitulah Siau Hong melihat para tawanan itu berduyun-duyun menuju ke selatan dengan senang. Lambat laun suasana kembali menjadi sunyi, para tawanan telah pergi semua. Tapi dilihatnya Yu Goan Ci tadi masih tetap berdiri tegak ditempatnya. Segera Siau Hong berkata padanya, "Hei, mengapa kamu tidak pergi? Apakah kamu tidak punya sangu untuk pulang ke Tionggoan?”

Sembari berkata tangannya lantas merogoh saku dengan maksud mengambil sedikit uang perak untuk pemuda itu.

Tak terduga sakunya tidak membawa apa-apa, tahu-tahu yang terogoh keluar adalah sebuah bungkusan kecil dari kertas minyak.

Siau Hong merasa pedih melihat bungkusan kertas itu. Didalam bungkusan itu adalah sejilid Ih-kin-keng edisi bahasa Hindu. Dahulu A Cu telah mencuri kitab pusaka itu dari Siau-lim-si dan diberikan padanya. Kini gadis itu sudah meninggal dan kitab itu masih disimpan olehnya, dengan sendirinya ia berduka teringat kepada kejadian lalu.

Katanya kemudian dengan menyesal, "Hari ini aku keluar untuk berburu, maka tidak membawa uang, jika kau perlu sangu, boleh ikut aku ke kota untuk ambil.”

Tapi mata Yu Goan-ci mendelik dan membara, teriaknya dengan gusar, "Orang she Kiau, kalau mau bunuh lekas bunuh, mau cencang lekas cencang, masakah aku jeri, buat apa mesti mempermainkan aku dengan tipu muslihatmu yang keji? Biarpun orang she Yu ini mati melarat juga tidak sudi menerima uang sepeser pun darimu!”

Siau Hong pikir benar juga ucapan pemuda itu. Dirinya adalah musuh pembunuh orang tua pemuda itu, sudah tentu sakit hati sedalam lautan itu tak bisa diselesaikan begitu saja. Maka katanya lantas, "Aku takkan membunuhmu, jika kau ingin menuntut balas, setiap saat boleh kau cari padaku.”

"Cihu, jangan kau lepaskan dia!” tiba-tiba A Ci menyela, "Bocah ini sangat keji, cara balas dendamnya juga tidak beres. Menggunakan ular dan menanam racun, segala perbuatan kotor dapat dilakukannya. Membabat rumput harus sampai ke akar-akarnya, jangan meninggalkan bencana di kemudian hari.”

Tapi Siau Hong menggeleng kepala, sahutnya. "Dikalangan kangouw penuh rintangan, setiap langkah selalu ketemu bahaya, semuanya itu sudah pernah kualami. Dahulu tanpa sengaja telah ku paksa ayah dan pamannya membunuh diri, utang darah itu memang adalah tanggunganku, buat apa sekarang aku mesti membunuh lagi

anak keturunan Yu-si-siang-hiong?”

Mendengar pertentangan antara mereka, yang satu bersedia melepaskan dia, si nona justru minat dirinya dibunuh saja. Diam-diam Yu Goan-cijuga ingin lekas angkat kaki agar tidak mati konyol. Tapi demi ingat bila dirinya lari, hal mana akan berarti mencemarkan nama baik orang tua. Maka sedapat mungkin ia tabahkan hati dan melirik kedua orang di hadapannya itu dengan sikap angkuh.

"A Ci, marilah kita pulang saja, hari ini tiada binatang yang dapat kita buru, "kata Siau Hong kemudian.

"Sebenarnya aku sudah mengatur rapi rencanaku, dan engkau justru sengaja melepaskan dia, sepulangnya di kota, aku bisa memain apa lagi?” demikian A Ci menggerundel. Tapi ia pun tidak berani membantah perintah Siau Hong, segera ia putar kudanya dan ikut pulang ke kota.

Kira-kira belasan meter jauhnya, tiba-tiba ia menoleh dan berkata kepada Yu Goan-ci, "He anak busuk, boleh kau latih diri 75 tahun lagi untuk kemudian boleh kau cari Cihuku untuk menuntut balas!”

Habis berkata, ia tersenyum dan pecut kudanya mencongklang ke depan dengan cepat.

Melihat rombongan Siau Hong menuju ke utara dan tidak putar balik lagi, barulah Yu Goan-ci percaya bahwa jiwannya takkan melayang. Pikirnya heran, "Mengapa bangsat itu tidak membunuh aku? Hm, hakikatnya dia memandang rendah padaku, ia merasa akan bikin kotor tangannya jika membunuh diriku. Dia… dia telah menjadi Tai-ong apa di negeri Liau untuk menuntut balas selanjutnya akan lebih sulit. Tapi akhirnya aku dapat mengetahui tempat tinggalnya, kelak pasti akan kucari dia lagi. He, si hitam dimana? Si hitam!”

Begitulah ia lantas mencari-cari disemak rumput sekitar situ, yang dicarinya, yaitu ular hitam kecil yang menghilang tadi.

Tengah ia carike sana dan ke sini, tiba-tiba dilihatnya di semak-semak rumput situ ada sebuah bungkusan kertas kecil. Itulah bungkusan milik Siau Hong yang dirogoh keluar lalu dimasukkan lagi ke dalam baju itu.

Kiranya tadi waktu Siau Hong masukkan kembali kitab itu ke dalam baju itu.

Kiranya tadi waktu Siau Hong masukkan kembali kitab itu kedalam bajunya, karena dalam keadaan setengah melamun, maka kitab Ih-kin-keng itu tidak tepat masuk ke dalam saku, tapi meleset keluar. Dan ketika ia mengeprak kudanya untuk berangkat, guncangan-guncangan telah menyebabkan kitab itu jatuh ke tanah tanpa

disadari olehnya dan kini ditemukan oleh Yu Goan-ci.

Karena tidak kenal tulisan dalam kitab itu, Goan-ci pikir besar kemungkinan itulah tulisan Cidan. Kitab ini pasti berguna bagi musuhnya itu, aku bila tidak kembalikan padanya, tentu dia akan kelabakan mencarinya.

Teringat bahwa dengan memegang kitab itu akan bisa membuat musuh kelabakan, sedikit banyak dalam hati kecil pemuda itu timbul semacam rasa terhibur, rasa puas. Dan sudah tentu, sakit hati orang tua sedalam lautan itu tidak mungkin dihapuskan hanya oleh karena sedikit kepuasan itu, tapi apa jeleknya asal dapat membuat Kiau Hong mengalami suatu kesukaran, sekalipun cuma kesukaran kecil saja.

Begitulah ia lantas membungkus kembali kitab itu dengan kertas minyak, lalu disimpannya di saku dalam, kemudian ia berangkat ke selatan.

Sebenarnya sejak kecil Goan-ci sudah mendapat pelajaran ilmu silat dari ayahnya. Sayang wataknya tidak cocok dengan ilmu silat, badannya kurus lemah pula, tenaga kurang, maka paman dan ayahnya meski tergolong tokoh persilatan Tionggoan yang kenamaan, tapi dia sendiri sedikit sekali kemajuannya biarpun sudah belajar tiga tahun lamanya, sama sekali tidak sesuai sebagai anak murid jago silat terkemuka.

Ketika Goan-ci menginjak umur dua belas dan tetap tiada kemajuan, Yu Ki, ayahnya telah ganti haluan, ia berunding dengan saudaranya, Yu Ek, untuk menyekolahkan Goan-ci saja, suruh bocah itu belajar ilmu sastra saja daripada belajar ilmu silat tanpa kemajuan, dengan kepandaian kepalang tanggung itu bukan mustahil kelak akan mengakibatkan jiwanya melayang bila dijajal orang, bahkan nama baik Yu-siang-hiong juga akan ikut tercemar..

Sebab itulah, maka setelah berumur dua belas ke atas, Goan-ci tidak belajar silat lagi melainkan belajar ilmu sastra.

Tapi disuruh sekolah, kembali ia mogok ditengah jalan. Ia selalu mengemukakan pikiran yang tidak tidak, sering ia suka bertanya dan membantah.

Jika gurunya berkata, "Khonghucu bilang belajar sesuatu ilmu harus sering dipelajari dan lama-lama engkau tentu akan merasa tertarik.”

Maka Goan-ci lantas mendebat, "Belum tentu benar, tergantung juga pada apa yang kita pelajari, misalnya ayah telah mengajarkan aku main silat, aku sudah sering mempelajarinya, tapi mengapa aku tidak tertarik sedikit pun?”

Sang guru menjadi gusar, katanya, "Yang dimaksdukan Khong-hucu adalah pelajaran kaum nabi dan tentang kehidupan manusia yang tenar, masakah kaumaksudkan urusan main silat segala.”

"Ai, jadi pak guru bilang ayahku belajar tidak baik. Awas, nanti kukatakan pada ayah, "demikian sahut Goanci.

Begitulah akhirnya sang guru lantas angkat kaki saking tak tahan oleh sifat Yu Goan-ci yang bambungan itu. Berulang-ulang diberi ganti guru yang lain selalu dibikin ngacir oleh Goan-ci. Sering juga Yu Ki menghajar putranya itu, tapi dasar kepala batu, semakin dihajar dan digebuk, semakin bandel malah, hingga akhirnya Yu Ki kewalahan sendiri, karena tiada jalan lain, terpaksa ia tidak peduli lagi.

Sebab itulah, meski kini usia Goan-ci sudah 17 tahun dan putra seorang tokoh persilatan ternama, tapi ia tidak mempunyai kepandaian apa-apa, sastra tidak becus, ilmu silat juga tidak pintar. Setiap hari ia hanya ikut anak buah ayahnya untuk belajar menangkap ular dan selalu keluyuran di lereng pegunungan.

Ketika paman dan ayahnya membunuh diri karena senjata mereka dirampas Siau Hong, kemudian ibunya juga bunuh diri menyusul sang suami dengan membenturkan kepala ke pilar, maka terpaksa Goan-ci yang sebatang kara terlunta-lunta di rantau.

Waktu pertempuran sengit di rumahnya itu, iapun mengintip dari belakang pintu dan tahu musuhnya bernama "Kiau Hong”, wajahnya juga diingatnya dengan baik, ia dengar musuh itu adalah orang Cidan, maka tanpa terasa ia terus menuju ke utara, yang terpikir olehnya ialah ingin mencari Kiau Hong untuk menuntut balas. Dan cara bagaimana ia harus menuntut balas hal ini tidak pernah terpikir olehnya.

Ketika dia berkeliaran kian kemari di perbatasan, akhirnya ia ikut tertawan oleh pasukan Cidan yang sedang "panen” itu dan secara kebetulan sekali bertemu dengan Siau Hong yang dicarinya.

Begitulah ia pikir, "Paling penting sekarang aku harus lekas pergi dari sini sejauhnya supaya tidak ditangkap kembali olehnya. Aku akan mencari seekor ular berbisa lagi dan diam-diam akan kutaruh di tempat tidurnya, bila dia tidur, tentu dia akan dipagut mampus. Dan no .. nona cilik itu, ai, cantik sekali dia!”

Aneh demi teringat wajah A Ci yang ayu itu, tanpa terasa timbul semacam rasa syur yang sukar dimengerti.

Hidup selama 17 tahun di dunia ini, baru pertama kali ini Goan-ci mempunyai perasaan yang aneh itu. Ia merasa bila membayangkan wajah si nona cilik yang putih kepucat-pucatan dan cantik molek itu, seketika

hatinya merasa senang tak terhingga.

Karena sambil melamun, maka tahunya jalan ke depan dengan langkah lebar hingga tidak lama ia sudah melampaui serombongan pengungsi, ia tidak kenal dengan pengungsi-pengungsi yang malang itu, ada diantaranya bermaksud baik suruh dia jalan bersama mereka, tapi ia tidak gubris pada tawaran orang, ia tetap berjalan terus ke arahnya sendiri.

Maka sesudah belasan li jauhnya, ia berada sendiri di padang rumput yang luas. Ia merasa perutnya keruyukan saking kelaparan. Ia coba celingukan kian kemari untuk mencari sesuatu yang dapat dimakan, tapi di padang rumput itu melulu rumput dan salju belaka, pikirnya, "Bila aku jadi sapi dan kambing, tentu sekarang aku takkan kelaparan, aku akan dapat makan rumput dengan sekenyang-kenyangnya dan bila haus dapat minum air salju. Tapi, ah, menjadi sapi dan kambing juga tidak enak, setiap waktu mereka dapat disembelih, lebih baik aku tetap menjadi manusia saja walaupun kelaparan.”

Begitulah selagi ia berpikir yang tidak-tidak tiba-tiba didengarnya suara derapan kuda, mendadak muncul tiga prajurit Cidan berkuda.

Ketika melihat dia, orang-orang Cidan itu bersorak gembira. Dan "srek”, mendadak sebuah tali lasso menyambar dan tepat menjerat leher Goan-ci dengan erat.

Seketika Goan-ci merasa napas sesak, cepat ia hendak menarik tali itu. Tak terduga prajurit Cidan yang melempar lasso itu lantas bersuit, tahu-tahu kudanya membedal hingga Goan-ci terseret jatuh terus ditarik pergi. Goan-ci hanya sempat menjerit beberapa kali, lalu tak dapat mengeluarkan suara lagi karena tenggorokan tercekik oleh tali lasso.

Kuatir buronannya mati terjerat, segera prajurit Cidan itu menghentikan kudanya. Maka dengan meronta-ronta Goan-ci merangkak bangun, dan baru sedikit ia menarik longgar jeratan lasso, mendadak prajurit Cidan itu menarik pula sekuatnya sehingga Goan-ci terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur. Maka tertawalah ketiga prajurit Cidan itu dengan terbahak-bahak.

Kemudia prajurit Cidan itu berkata beberapa patah kata kepada Goan-ci, tapi pemuda itu tidak paham bahasa Cidan, ia hanya geleng-geleng kepala tanda tidak tahu.

Lalu prajurit Cidan itu memberi isyarat pada kawan-kawannya. Cuma sekali ini kuda tidak dilarikan, melainkan berjalan.

Ketiga prajurit Cidan itu menuju ke arah utara. Walaupun kuda mereka tidak dilarikan, tapi langkah kuda sudah tentu lebih lebar daripada langkah manusia. Dan untuk tidak sampai terseret, terpaksa Goan-ci mesti mengikuti dengan setengah berlari. Keruan saja hanya sebenar saja ia sudah megap-megap.

Ia lihat arah yang dituju prajurit-prajurit Cidan itu adalah jurusan Siau Hong pergi tadi. Keruan ia sangat ketakutan. Pikirnya, "Mulut keparat Kiau Hong itu ternyata mencla-mencle. Katanya itu dibebaskan, tapi diamdiam suruh orang menguber dan menangkap aku lagi. Dan sekali ini jiwaku pasti akan melayang!”

Waktu di tawan dalam "panen” tentara Cidan semua, ia telah dicampurkan di antara rombongan tawanan lain yang sebagian besar terdiri dari kaum wanita. Cara berjalan kaum wanita biasa tentu tidak terlalu cepat, maka ia dapat mengikut dengan tidak terlalu payah, hanya ketika hendak ditawan punggungnya kena hantam sekali dengan punggung golok oleh orang Cidan, tempat yang diketuk itu sampai sekarang masih agak kesakitan.

Adapun sekarang untuk kedua kalinya ia tertawan, keadaannya menjadi berbeda, ia setengah diseret dan terpaksa ikut berlari-lari hingga megap-megap, napasnya makin lama makin sesak. Tanah salju licin pula, berulang ia terpeleset jatuh. Dan setiap kali ia tergelincir, pasti tali lasso mengurat satu jalur luka dilehernya hingga darah bercucuran.

Sedangkan prajurit yang melasso dia itu sedetikpun tidak pernah berhenti, ia tidak peduli mati hidupnya Yu Goan-ci, pemuda itu diseret terus hingga sampai di kota Lamkhia.

Ketika masuk ke kota, antero badan Goan-ci sudah penuh darah hingga tidak berupa manusia lagi. Dalam keadaan begitu, yang dia harap ialah lekas mati saja daripada tersiksa lebih lama.

Sesudah beberapa li lagi, ketiga prajurit Cidan itu menyeret Goan-ci masuk kota, akhirnya mereka menyeretnya ke dalam sebuah istana. Yang dilihat Goan-ci hanya lantai istana itu terdiri dari balok batu hijau semua, pilarnya besar, pintunya tinggi ia tidak tahu istana apakah itu.

Tidak lama berhenti dalam istana itu, lalu prajurit Cidan itu menyeretnya pula ke suatu lapangan di samping istana. Mendadak prajurit itu bersuit terus kepit kudanya hingga binatang itu membedal cepat.

Sama sekali Goan-ci tidak menduga bahwa setiba di pekarangan itu mendadak orang akan melarikan kudanya lagi. Keruan baru dua tiga-langkah ia lari segera jatuh tersungkur.

Berulang-ulang prajurit Cidan itu bersuit pula hingga kudanya berlari lebih cepat, Yu Goan-ci juga terseret di tanah hingga berputar beberapa kali di pekarangan luas itu. Makin lama makin kencang Goan-ci terseret.. Belasan bintara dan prajurit Cidan yang berada disitu juga ikut bersorak memberi semangat.

"Kiranya aku hendak diseret sampai mati!” demikian Goan-ci membatin.

Dan hanya sebentar saja, antero badan Goan-ci tambah babak belur lagi, jidatnya, kaki dan tangannya berulang-ulang membentur batu di tanah pekarang itu hingga seluruh badan tiada satu tempat pun yang tak sakit.

Ditengah sorak-sorai prajurit Cidan itu, tiba-tiba terselip suara tertawa kaum wanita yang nyaring merdu. Dalam keadaan tak sadar sayup-sayup Goan-ci mendengar wanita itu berkata dengan tertawa, "Hahaha, layanglayang manusia ini mungkin sukar dinaikkan!”

"Wah, layang-layang manusia apa?” demikian Goan-ci membatin pula.

Tapi pada saat itu juga keadaan dirinya kontan memberi jawaban padanya. Ia merasa lehernya terjerat lebih erat, tubuh lantas terapung ke atas.

Ternyata maksud prajurit Cidan itu menyeretnya dengan melarikan kuda secepatnya, tujuannya adalah ingin menariknya dengan kencang hingga akhirnya tertarik naik ke udara, ia dianggap sebagai permainan layanglayang saja.

Dan begitu tubuh melayang di udara, lehernya terasa kesakitan hingga hampir saja membuatnya kelenger. Ia merasa hidung dan mulutnya penuh kemasukan angin hingga sukar bernafas. Ia dengar pula wanita itu lagi tepuk tangan dan tertawa, katanya, "Bagus! Bagus! Layang-layang manusia benar-benar dapat dinaikan!”

Waktu Goan-ci memandang ke arah suara itu, sekilas dilihatnya orang yang bertepuk tangan dan tertawa itu tak-lain-tak-bukan adalah si nona baju ungu yang cantik molek itu.

Mendadak nampak gadis yang pernah terbayang olehnya itu, Goan-ci tidak tahu apakah harus bergirang atau bersedih, karena tubuhnya sedang "terbang” di udara, maka ia pun tidak sempat banyak pikir.

Gadi jelita itu memang A Ci adanya.

Ketika Siau Hong membebaskan Yu Goan-ci, gadis itu merasa kurang senang. Sesudah melarikan kudanya tidak jauh, lalu ia pura-pura tertinggal di belakang dan diam-diam memberi perintah pada pengiringnya agar Yu Goan-ci ditangkap kembali, cuma ia pesan pula agar jangan sampai diketahui oleh Siau Hong.

Para pengiring tahu bahwa anak dara itu sangat disayang oleh Siau-tai-ong mereka, segala permintaannya pasti dituruti. Maka mereka tidak berani membantah perintahnya, segera pada suatu tikungan jalan, tatkala Siau Hong tidak menaruh perhatian, tiga orang diantaranya lantas putar balik untuk menangkap Yu Goan-ci.

Setiba di rumah, diam-diam A Ci lantas datang ke istana Yu-seng-kiong untuk menunggu kembalinya para pengiring itu. Ketika Yu-goan-ci benar-benar sudah ditawan kembali, ia lantas tanya orang-orang Cidan disitu adalah sesuatu permainan menarik untuk menyiksa tawanan itu.

Ada seorang diantaranya mengusulkan main "layang-layang manusia” saja. Dan usul itu diterima dengan baik oleh A Ci dan segera suruh melaksanakannya, benar juga Yu Goan-ci lantas dikerek ke udara sebagai layanglayang hidup.

Saking senangnya, berulang A Ci bersorak gembira, tiba-tiba ia berkata, "Coba aku ingin memegang juga layang-layang hidup ini.”

Segera ia lompat dengan enteng ke atas kuda prajurit Cidan itu, ia pegang tali "layang-layang” itu dan si prajurit disuruh turun.

Sudah tentu prajurit Cidan itu menurut saja, ia lompat turun dari kudanya dan membiarkan A Ci main "layanglayang manusia” dengan sepuas-puasnya.

Sambil menarik tali "layang-layang” A Ci larikan kudanya sekeliling sambil tertawa senang. Namun ia baru sembuh dari lukanya, betapa pun tenaga nya masih terbatas, ketika tangan terasa pegal, ia tak bisa menguasai tali layang-layang pula. "Bluk”, mendadak Yu Goan-ci terbanting ke tanah dengan keras hingga batok kepalanya terbentur batu, keruan saja kepalanya bocor, kecap merah mancur keluar bagai mata air.

A Ci kurang senang karena permainannya putus setengah jalan, katanya dengan mendongkol "Dasar badan anak busuk ini seperti babi beratnya!”

Dalam pada itu Yu Goan-ci hampir saja pingsan saking sakitnya karena terbanting dari atas, ditambah kepala bocor pula. Sudah begitu si gadis malah menyalahkan dia terlalu berat seperti babi keruan ia sangat mendongkol. Mestinya ia ingin ujuk gigi dan balas memaki, tapi saking kesakitannya jadi susah bicara.

Kemudian seorang prajurit Cidan mendekati dia untuk melepaskan lasso di lehernya itu. Prajurit yang lain

lantas merobek kain bajunya untuk membalut lukanya secara sembarangan, namun darah masih terus mengucur.

"Sudahlah! Ayo kita mulai main lagi! Coba ulur lebih panjang, kita naikkan dia lebih tinggi hingga di atas rumah!” demikian A Ci berkata.

Goan-ci tidak paham apa yang dikatakan anak dara itu, sebab bahasa yang digunakan olehnya adalah bahasa Cidan. Ia hanya melihat anak dara itu tuding-tuding ke atas rumah, ia menduga pasti takkan menguntungkan dirinya.

Benar juga, segera seorang prajurit Cidan menggunakan tali tadi untuk mengikat badannya di bawah baju, jadi bukan lehernya lagi yang dijerat. Dan sekali membentak, segera prajurit itu larikan kudanya sambil berputar dengan cepat hingga badan Yu Goan-ci kembali melayang-layang di udara.

Makin lama tali yang dipegang prajurit itu makin terulur panjang dan lambat laun badan Yu Goan-ci seakanakan menegak di atas penarik tali itu, mendadak si prajurit membentak terus lepas tangan. Keruan "layanglayang” Yu Goan-ci yang putus talinya seketika meluncur ke sana bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.

Serentak A Ci dan prajurit Cidan bersorak-sorai dengan senang.

"Matilah aku sekali ini!” demikian keluh Goan-ci ketika merasa "terbang” ke angkasa. Waktu daya naiknya sudah mencapai titik baliknya tanpa ampun lagi ia terjungkal ke bawah dengan kepala di bawah dan kaki di atas, ia "terjun” secepat elang menyambar ayam.

Waktu kepalanya sudah hampir membentur lantai batu, sekonyong-konyong empat prajurit Cidan mengayunkan lasso masing-masing dan dengan persis dapat menjerat pinggang Goan-ci, berbareng mereka menarik sekuatnya ke arah sendiri.

Seketika pingsan Goan-ci oleh tenaga betotan keempat orang itu. Dan karena tarikan demikian tubuh Goan-ci jadi tertekan di udara, jarak kepalanya dengan lantai hanya tinggal satu meter tingginya.

Permainan lasso orang Cidan itu sesungguhnya berbahaya sekali, asal salah seorang diantaranya terlambat sedikit mengayun lassonya atau sedikit telat menarik talinya hingga tarikan mereka tidak berimbang, pasti kepala Yu Goan-ci akan pecah kebentur lantai, andaikan kepala tidak pecah juga tulang leher pasti akan patah dan jiwa tetap melayang.

Begitulah di tengah sorak gembira orang banyak, keempat orang Cidan itu lantas menurunkan Goan-ci ke tanah. Segera A Ci memberi persen masing-masing sepuluh tahil perak kepada prajurit-prajurit Cidan itu. Sesudah menghaturkan terimakasih, segera mereka bertanya pula, "Apakah nona masih ingin acara permainan yang lain?”

Melihat Goan-ci sudah tak sadarkan diri, entah hidup atau mati. Pada waktu main "layang-layang” tadi ia pun terlalu banyak menggunakan tenaga hingga sekarang dada terasa agak sakit, maka ia menjawab, "Sudahlah, untuk hari ini sudah cukup. Jika bocah busuk ini tidak mampus, besok boleh dibawa kemari lagi, aku ingin mencari akal lain untuk mempermainkan dia. Orang ini hendak menyerang Siau-tai-ong. Ia harus diberi hukuman yang setimpal.

Para prajurit Cidan itu mengiakan, lalu mengundurkan diri.

Ketika Goan-ci siuman kembali, lebih dulu hidungnya mengendus semacam bau apek. Waktu ia buka mata, ia tidak melihat apa-apa, yang terpikir olehnya adalah, "Apakah aku sudah mati?”

Tapi segera ia merasa sekujur badan sakit semua, tenggorakan kering sekali. Maklum, seseorang yang terlalu banyak mengeluarkan darah pasti akan merasa haus tak terhingga.

"Air…air…,” demikian ia berseru dengan suara yang serak. Tapi siapa yang peduli padanya?

Ia berseru lagi beberapa kali dan akhirnya layap-layap tertidur. Tiba-tiba ia lihat sang paman dan ayahnya sedang bertempur sengit dengan Kiau Hong, begitu sengit pertarungan itu hingga terjadi banjir darah. Dilihatnya pula ibundanya yang penuh kasih itu memeluk dan menghiburnya agar jangan takut. Lalu muncul wajah A Ci yang cantik, kedua mata si gadis yang jeli itu lagi menatapnya dengan sinar mata yang aneh. Tibatiba wajah cantik itu menyurut menjadi kecil hingga berbentuk kepala ular berbisadan hendak memagutnya.

Ia ingin lari, tapi sedikitpun tak bisa bergerak, ia meronta-ronta mati-matian, tapi tetap tak bisa berkutik. Sedangkan ular itu mulai menggigit tangannya, kakinya, lehernya, dan paling hebat adalah gigitan pada jidatnya hingga bonyok. Ia lihat daging di bagian tubuh itu sepotong demi sepotong digigit ular itu, ia ingin menjerit tapi tak dapat bersuara …

Rupanya ia sakit panas lantaran lukanya yang parah itu, maka mengingau dan mimpi buruk. Ia guling gelantang semalam suntuk. Pada waktu sadarnya tersiksa, dalam mimpipun ia menderita.

Esok paginya waktu dua prajurit Cidan menggusurnya pergi menghadap A Ci, suhu panas badannya masih belum turun. Ia hanya melangkah satu tindak dan lantas jatuh terguling. Segera dua prajurit Cidan

memegangnya dari kanan kiri, sambil memaki diseretnya ke dalam suatu ruanganyang besar.

"Aku hendak diseret kemana? Apakah mereka akan memenggal kepalaku?” demikian pikir Goan-ci dalam keadaan setengah sadar.

Ia merasa dirinya diseret melalui dua serambi samping yang panjang, akhirnya sampai di luar suatu pendopo. Kedua prajurit itu melapor di luar pintu dan dari dalam lantas terdengar suara sahutnya seorang wanita. Ketika pintu dibuka, prajurit-prajurit itu lantas menyeretnya ke dalam.

Waktu Goan-ci mengangkat kepalanya, ia lihat di tengah ruangan itu tergelar selapis permadani yang sangat besar, disudut permadani sana, diatas sebuah bantal sulaman sedang duduk seorang gadis jelita. Siapa lagi di akalau bukan A Ci.

Gadis itu berkaki telanjang dan kakinya terletak di atas permadani.

Hati Goan-ci berdebar-debar demi nampak kaki si gadis yang mungil dan putih bersih sebagai salju, halus lemas sebagai sutra. Seketika pandangannya terpantek pada kaki A Ci itu. Lamat-lamat ia lihat beberapa otot hijau tersirat dalam daging kaki yang putih bening seakan-akan tembus pandang itu. Sungguh ia ingin merabanya, ingin memegangnya sekali.

Dalam pada itu ia telah dilepaskan oleh pengagangan prajurit tadi, hingga ia sempoyongan, tapi segera ia dapat berdiri tegak lagi, sedangkan A Ci. Ia lihat kesepuluh jari kaki si gadis itu putih kemerah-merahan mirip sepuluh kelopak bunga yang mungil.

Sebaliknya dalam pandangan A Ci yang berada di depannya itu adalah seorang pemuda yang jelek lagi penuh darah. Tertampak muka pemuda itu berkerut-kerut beberapa kali, tulang pipinya menonjol, sinar matanya memancarkan sifat rakus dan buas.

A Ci teringat kepada seekor serigala kelaparan yang terluka panah dalam perburuannya, serigala itu tidak terpanah mati, tapi terluka parah dan tak bisa berkutik, sinar mata srigala itu mirip seperti sinar mata Yu Goanci sekarang.

A Ci senang melihat sinar mata buas dan liar ini, ia suka mendengar pekik lengking serigala yang ganas tapi tak berdaya itu. Namun sayang, Yu Goan-ci baginya terlalu lemah, sedikitpun tidak mengadakan perlawanan, jauh untuk bisa merangsang perasaannya.

Kemarin waktu pemuda itu menyerang Siau Hong dengan ular berbisa dan gagal, ia tidak sudi berlutut dan menyembah kepada Siau Hong, cara bicaranya ketus, sikapnya keras, tidak sudi terima uang dari Siau Hong pula. Hal mana sangat menyenangkan A Ci, gadis itu senang melihat orang kepala batu. Ia pikir inilah seekor binatang buas yang sangat lihai. Maka ia ingin menyiksanya, ingin membuatnya sekujur badan babak-belur agar dapat menimbulkan sifat liarnya dan supaya "binatang” itu kalap dan menubruknya dan hendak menggigitnya. Sudah tentu gigitan tidak boleh sampai kena.

Akan tetapi ia jadi kecewa ketika menggunakannya sebagai "layang-layang” dan menaikkannya ke angkasa, "binatang” itu ternyata tidak mengadakan perlawanan sama sekali, hal ini kurang menarik baginya….

Begitulah A Ci berkerut kening untuk memikirkan dengan cara bagaimana akan mempermainkan "binatang liar” itu.

Mendadak Yu Goan-ci mengeluarkan suara "uh-uh-uh”, dan entah dari mana datangnya tenaga sekonyongkonyong ia menubruk ke arah A Ci setangkas macan tutul. Tapi ia tidak menubruk orangnya, melainkan kedua kakinya. Ia terus merangkul betis anak dara itu, lalu menunduk dan menciumi betis yang putih itu.

Keruan A Ci menjerit kaget. Cepat dua prajurit Cidan dan empat dayang yang melayani disamping A Ci membentak-bentak. Segera prajurit itu pun memburu maju untuk menarik Goan-ci.

Namun mati-matian Goan-ci merangkul kaki A Ci, betapapun ia tidak mau lepas. Ketika prajurit Cidan itu menarik sekuatnya, tahu-tahu A Ci ikut terseret jatuh dan terduduk di atas permadani.

Prajurit Cidan itu terperanjat dan gusar pula. Mereka tidak berani menarik lagi, tapi seorang diantaranya lantas menggebuki punggung Yu Goan-ci dan seorang laki menempeleng mukanya.

Luka di badan Yu Goan-ci telah infeksi sehingga menjadikan dia sakit panas dan pikiran tidak sadar, ia sudah mirip orang gila, segala apa yang dihadapi dan dialaminya sudah tak terasakan lagi. Ia hanya memeluk betis A Ci seerat-eratnya dan mencium dengan bernapsu.

A Ci merasakan bibir orang yang panas dan kering itu sedang mencium dan menjilat kakinya. Ia merasa takut, tapi merasa geli-geli gatal aneh pula. Sekonyong-konyong ia menjerit, "Aduh! Jari kakiku digigit!”

Lekas ia berseru kepada prajurit itu. "Lekas kalian menyingkir dulu, orang ini sudah gila, jangan jangan jari kakiku akan putus digigit olehnya. Aduh!”

Padahal Yu Goan-ci tidak menggigit melainkan cuma mencucup saja. Meski tidak sakit, namun A Ci kuatir mendadak orang menggigitnya, dalam keadaan begitu, ia tahu tidak boleh pakai kekerasan, ia kuatir prajurit Cidan itu menggebuk dan menghajarnya lagi, dan sekali pemuda itu kalap mungkin jari kakinya bisa tergigit putus.

Karena tak berdaya sama sekali terpaksa prajurit-prajurit itu lepas tangan dan mundur.

Lalu A C i berkata kepada Goan-ci, "Lekas lepaskan kakiku, dan jiwamu akan kuampuni, kamu akan kubebaskan!”

Namun pikiran Goan-ci saat itu kurang waras, ia tidak gubris apa yang dikatakan itu.

Seorang prajurit sudah siap melolos golok dan bermaksud membacok kepala pemuda kalap itu, tapi kaki A Ci masih dipeluknya dengan erat, ia kuatir juga bila bacokannya akan melukai A Ci, sebab itulah ia merasa ragu.

Maka A Ci berkata pula, "Hei, kamu bukan binatang (padahal tadi ia anggap orang sebagai binatang), mengapa gigit orang? Lekas buka mulutmu, akan kusurh orang mengobati lukamu dan membebaskanmu pulang ke Tionggoan.

Tapi Goan-ci tetap tidak peduli, ia tidak menggigit sungguhan, hanya setengah mencucup sedangkan tangannya meraba-raba betis dan kaki yang putih merangsang itu. Perasaannya terombang-ambing, semangatnya seakanakan terbang ke awang-awang, ia merasa seperti menjadi "layang-layang manusia,” lagi dan terapung-apung diangkasa bebas.

Mendadak seorang prajurit Cidan mendapat akal, cepat ia cekik leher Yu Goan-ci sekuatnya.

Karena leher tercekik, tanpa terasa Goan-ci mengap mulutnya. Cepat A Ci menarik kembali kakinya dan berbangkit, ia kuatir kalau orang menjadi kalap dan menggigitnya lagi, maka kedua kakinya disurutkan ke belakang bangku berbantal sulam yang dibuat duduk itu.

Sesudah Goan-ci dipisahkan dari A Ci oleh prajurit Cidan tadi, segera prajurit lain menghujani bogem mentah pada muka dan dada pemuda itu hingga darah segar menyembur dari mulutnya, sampai permadani yang indah itu ikut ternoda.

"Berhenti! Jangan menghajarnya lagi!”kata A Ci.

Sesudah kejadian baruan ia merasa anak muda ini tidak terlalu mengecewakan sebagaimana disangkanya tadi. Dalam permainan tertentu mungkin akan cukup merangsang baginya. Maka seketika ia tidak ingin membinasakan pemuda itu.

Setelah prajurit-prajurit itu tidak menghajar Goan-ci lagi, lalu A Ci duduk bersimpuh di atas bangku berbantal sulamannya dengan melipat kakinya yang telanjang.

Diam-diam ia pikirkan bagaimana caranya agar bisa menyiksa lagi agar pemuda itu mengamuk sebagai binatang.

Ketika ia angkat kepala, tiba-tiba dilihatnya Yu Goan-ci memandangnya dengan sorot mata melekat. Segera ia menegurnya, "Mengapa kau memandang padaku?”

Goan-ci sudah tidak pusingkan mati hidup sendiri lagi, segera ia menjawab, "Kau cantik, aku suka memandang kepadamu!”

Muka A Ci menjadi merah. Katanya dalam hati, "Besar amat nyali bocah ini, berani bicara padaku secara kurang ajar begini?”

Selama hidup A Ci belum pernah dipuji secara terang-terangan oleh seorang pemuda. Waktu dia belajar silat dalam perguruan Sing-siok-pai, para suhengnya menganggap sebagai seorang dara cilik yang nakal. Ketika tinggal bersama Siau Hong kuatir dia meninggal. Selamanya tiada seorangpun memperhatikan apakah dia cantik atau jelek.

Tapi kini secara terus terang Goan-ci memujinya, mau tak mau timbul juga rasa senang dalam hati A Ci. Pikirnya, "Biarlah kubiarkan dia tinggal di sini, bila iseng dapat kupermainkan dia sekedar pelipur hati. Tapi Cihu pernah menyatakan akan membebaskan dia, kalau dia tahu aku menawannya lagi, pasti Cihu akan marah. Dan cara bagaimanakah supaya Cihu takkan mengetahui hal ini? Aku bisa melarang siapa pun agar tidak memberitahukan kepada Cihu, tetapi kalau suatu waktu mendadak Cihu kemari dan melihatnya, lantas bagaimana ?”

Ia merenung sebentar, tiba-tiba ia ingat pada Tacinya, yaitu si A Cu, yang pandai menyaru itu, kalau sekarang aku pun suruh bocah ini menyaru, tentu Cihu takkan dapat mengenalnya. Akan tetapi bila pada suatu ketika ia mencuci muka dan menghilangkan penyamarannya, tetap ada kemungkinan akan diketahui oleh Cihu.

Begitulah alis A Ci yang lentik itu makin terkerut makin rapat. Tiba-tiba ia bertepuk tangan sambil berseru dengan tertawa, "Hah, akal bagus! Akal baik!”

Segera ia bicara dengan bahasa Cidan kepada kedua prajurit tadi. Rupanya prjurit-prajurit itu kurang paham, mereka mohon penjelasan lebih jauh. Dan setelah A Ci memberi petunjuk pula, lalu ia suruh dayang mengeluarkan tiga puluh tahil perak dan diserahkan kepada prajurit-prajurit itu.

Setelah menerima uang. Kedua prajurit itu memberi hormat, lalu Yu Goan-ci diseretnya pergi.

"Aku ingin memandang dia, aku ingin memandang nona cantik yang berhati kejam ini, "demikian Goan-ci berteriak-teriak.

Ia berteriak-teriak dalam bahasa Han, sudah tentu para prajurit dan dayang tidak paham artinya. A Ci memandangi dia diseret pergi dengan tersenyum simpul, teringat akalnya yang cerdik itu, semakin dipikir semakin senang dan puas.

Sementara itu Yu Goan-ci telah digusur kembali ke kamar tahanannya yang berbau apek itu. Petangnya, ada orang yang mengantarkan semangkok daging kambing dan beberapa potong kue buatan dari tepung terigu.. Tapi sakit panas Goan-ci belum reda ia masih mengingau tak keruan hingga pengantar makanan itu lari ketakutan setelah menaruh penganan yang dibawanya itu.

Dalam keadaan begitu, Goan-ci tidak merasa kelaparan lagi hingga makanan itu sama sekali tak tersentuh olehnya.

Malamnya, tiba-tiba datang tiga orang Cidan. Walaupun dalam keadaan sadar tak sadar namun lamat-lamat Goan-ci dapat merasakan pasti takkan menguntungkan dirinya. Segera ia meronta-ronta dan ingin merangkak keluar dan melarikan diri. Tapi dua orang diantaranya lantas membekuk dia di tanah, lalu dibalik hingga telentang.

Dengan suara serak Goan-ci memaki-maki. "Anjing Cinda, terkutuklah kalian, akan kuncencang kalian!”

Tiba-tiba dilihatnya orang Cidan ketiga membawa setangkup benda putih, seperti kapas dan mirip salju. Mendadak benda putih itu diuruk ke atas mukanya. Seketika Goan-ci merasa mukanya basah dingin, pikirannya menjadi jernihsedikit, tapi napasnya menjadi sesak.

"Hah, kiranya merekahendak membunuh aku dengan menutup jalan pernapasanku!” demikian ia membatin.

Tapi dugaannya lantas terbukti salah. Sebab lubang hidung dan mulutnya lantas dibolongi orang hingga dapat bernapas, tinggal matanya saja yang tak bisa terbuka. Ia merasa mukanya seperti di pijat-pijat orang. Saat itu mukanya seperti tertutup oleh selapis tepung adukan atau tanah liat yang lunak dan licin.

Selama dua hari ini ia sudah kenyang derita, ia tidak heran bila sekarang orang hendak menyiksanya pula dengan sesuatu yang aneh.

Selang sejenak, ia merasa lapisan benda yang luna di mukanya itu dikelotok, disingkap orang dengan perlahan. Waktu ia buka mata, kini dapat dilihatnya benda itu adalah selapis adukan tepung terigu yang liat dan kini telah menjadi sebuah cetakan yang sesuai dengan raut mukanya.

Dengan hati-hati orang Cidan itu memegang cetakan dari tepung itu, kuatir rusak. Segera Goan-ci mencaci maki pula, tapi orang-orang Cidan itu tidak peduli, mereka lantas tinggal pergi.

Diam-diam Goan-ci pikir, "Ah, tentu mereka telah memoles sesuatu obat racun di mukaku, sebentar lagi pasti mukaku akan membusuk hingga rusak seperti muka setan….”

Begitulah makin dipikir makin kuatir, katanya dalam hati, "Daripada aku mati tersiksa begini, lebih baik aku bunuh diri saja!”

Maka ia lantas benturkan kepalanya ke dinding "blang”, kepalanya benjut dan orangnya roboh, tapi sial baginya, ia tidak mati, hanya setengah mati.

Mendengar suara benturan itu, penjaga diluar lantas memburu ke dalam kamar tahanan untuk mengikat tangannya. Memangnya Goan-ci sudah menggeletak tak bisa berkutik, maka ia pun masa bodoh diperlakukan orang sesukanya.

Lewat beberapa hari, mukanya tidak sakit, bahkan juga tidak membusuk segala. Namun ia sudah terkekad ingin mati, biarpun kelaparan sama sekali ia tidak sudi makan segala makanan yang diantarkan padanya.

Sampai hari kelima, ketiga orang Cidan itu datang lagi menyeretnya keluar. Dalam derita sengsara Yu Goan-ci itu sebaliknya timbul suatu harapan pula. Ia pikir kalau A Ci yang menyuruh mereka menggusur dia untuk disiksa dan dihajar, biarpun badan akan menderita lebih hebat, namun bila melihat wajah si nona yang cantik

itu, betapapun ia merasa puas.

Karena itulah pada air mukanya lantas tersimpul senyuman getir.

Tapi ketiga orang Cidan itu ternyata tidak membawanya menghadap A Ci, sebaliknya menyeretnya ke sebuah kamar yang gelap, sesudah menuruni sebuah undak-undakan batu yang panjang, akhirnya sampai di suatu ruangan, dimana tertampak api menganga menerangi ruangan itu, seorang pandai besi dengan badan telanjang hingga kelihatan otot dagingnya yang menonjol kuat berdiri di tepi sebuah talanan besi yang besar, pada tangannya memegang sebuah benda kehitam-hitaman dan lagi diperiksa dengan teliti.

Ketika Goan-ci digusur sampai di depan pandai besi, segera dua orang diantaranya memegang kedua tangannya, seorang lagi mencengkram tengkuknya. Lalu si pandai besi mulai mengamat-amati mukanya dari depan dan dari samping, kemudian mengamat-amati benda hitam yang dipegangnya itu seperti lagi ditimbang dan dibandingkan.

Waktu Goan-ci memperhatikan benda yang dipegang pandai besi, kiranya benda itu adalah sebuah topeng besi. Topeng itu terdapat lubang-lubang hidung, mata dan mulut.

Selagi Goan-ci tidak tahu apa gunanya besi itu. Mendadak si pandai besi mengangkat topeng itu terus mengerudung mukanya. Dengan sendirinya Goan-ci bermaksud mengelak dengan mendongak kebelakang. Tapi celaka, tengkuknya, telah dipegang orang hingga tak bisa menghindar, akhirnya topeng itu tetap menutup mukanya. Seketika ia merasa mukanya dingin segar, kulit mukanya melekat dengan topeng besi itu.

Tapi aneh juga, bentuk topeng itu ternyata pas sekali dengan raut mukanya, seperti barang pasangan saja.

Goan-ci bukan anak bodoh, rasa herannya cuma sekejap, segera ia tahu duduk perkara. Sekonyong-konyong ia merasa ngeri. Hah, topeng ini memang sengaja dibuat untukku. Tempo hari mereka telah mencetak mukaku dengan adukan tepung, tujuannya ialah untuk dipakai sebagai model pembuatan topeng besi ini. Janganjangan… jangan-jangan …”

Dalam hati ia sudah dapat menerka maksud jahat orang-orang Cidan itu, tapi sebenarnya apa sebabnya, itulah dia tidak tahu, iapun tidak berani berpikir lagi, maka ia meronta-ronta sekuat tenaga, mati-matian ia berusaha melarikan diri. Tapi ia dipegang oleh tiga orang dengan kuat sehingga tidak bisa berbuat apa-apa.

Kemudian pandai besi itu melepaskan topeng itu, ia mengangguk-angguk dengan rasa puas. Lalu ambil sebuah tanggam besi besar, ia jepit topeng itu dan dimasukkan ke dalam tungku, sesudah topeng terbakar hingga merah, lalu dikeluarkannya untuk digembleng lagi.

Setelah menggembleng sebentar, laluia pegang dan raba batok kepala Goan-ci serta tulang pipinya untuk membetulkan bagian yang kurang pas dari topeng itu.

Segera Goan-ci berteriak-teriak memaki. "Anjing Cidan terkutuk, perbuatan jahat apa yang hendak kalian lakukan lagi? Begini kejam tanpa perikemanusiaan, kelak kalian pasti akan masuk neraka, kalian akan digodok dalam minyak mendidih dan dibakar di lautan api!”

Ia memaki dalam bahasa Tionghoa sudah tentu orang-orang Cidan tidak paham maksudnya. Tap karena teriakannya itu, sipandai besi mendadak menoleh dan melotot padanya. Lalu ia angkat tanggam besi yang terbakar merah itu dan mencolok ke matanya.

Saking ketakutan hingga Yu Goan-ci cuma terbelalak dan mulut ternganga, untuk menghindar jelas tidak mungkin lantaran dari belakang ia dipegang tiga orang Cidan.

Dan si pandai besi itu ternyata melulu menakut-nakuti saja. Melihat Goan-ci ketakutan setengah mati. Ia terkekeh-kekeh dan menarik kembali tangannya. Lalu ia ambil lagi sepotong besi melengkung untuk mengukur belakang kepala Yu Goan-ci. Sesudah di pukul dan digembleng hingga plat besi yang dekuk itu pas betul, kemudian topeng tadi dan separoh topeng bagian belakang yang baru ini dibakar pula dalam tungku.

Ketika topeng besi itu merah terbakar pandai besi itu berkata beberapa patah kata kepada tiga orang Cidan tadi. Segera Goan-ci digotong untuk direbahkan di atas sebuah meja, tapi kepalanya terjuntai di luar tepian meja. Lalu dua orang Cidan yang lain maju membantu, sekuat tenaga mereka jambak rambuk Goan-ci hingga kepala pemuda itu tak bisa bergerak sama sekali.

Dalam pada itu si pandai besi sudah mengeluarkan topeng yang terbakar merah membara itu. Ia berhenti sebentar agar topeng itu agak mendingin. Habis itu, mendadak ia membentak sekali. Topeng terus dipasang pada muka Yu Goan-ci.

Kontan saja asap putih mengepul dengan bau sangit daging hangus. Goan-ci menjerit ngeri, seketika orangnya semaput.

Kemudian pandai besi itu mengangkat belahan topeng bagian belakang dan dipasangkan pula di belakang kepala Yu Goan-ci. Dua belahan topeng itu kini terpasang dengan rapat di kepalanya. Topeng itu masih sangat panas, begitu menyentuh kulit daging, seketika terbakar bonyok.

Pandai besi itu adalah tukang nomor satu di kota Yankhia. Kedua tangkupan topeng buatannya itu ternyata pas sekali menutup dengan rapi.

Bagaikan tersiksa di neraka. Yu Goan-ci sendiri tidak tahu sudah lewat berapa lama. Ketika pelahan ia siauman kembali, ia merasa muka dan belakang kepala sangat kesakitan. Saking tak tahan, kembali ia pingsan lagi.

Begitulah ia siuman dan pingsan lagi hingga berulang tiga kali. Ketika akhirnya ia siuman pula, ia berteriak sekeras-kerasnya, tapi telinga sama sekali tidak mendengar suara teriakan sendiri. Semula ia menyangka dirinya sudah tuli, tapi sesudah berkaok-kaok pula hingga tenggorokannya serasa bejat, akhirnya ia baru tahu bahwa pada hakikatnya ia tak bisa mengeluarkan suara.

Tatkala pingsan, ia telah diseret kembali ke kamar tahanannya. Ia rebah tanpa berkutik di tanah, ia menggertak gigi untuk menahan rasa sakit sekeliling kepala dan mukanya.

Kira-kira dua-tiga jam kemudian, ketika ia coba meraba muka sendiri, maka jelas terbukti bahwa dugaannya ternyata tidak salah sedikitpun. Topeng besi itu sudah mengerudung rapat di atas kepalanya. Dalam murkanya, ia membetot dan menarik topeng besi itu sekuatnya, tapi tangkupan topeng itu sudah saling gigit dengan kencang sekali, mana dapat ia membukanya?

Dalam keadaan murka dan akhirnya menjadi putus asa, tak tertahan lagi ia menangis sedih air mata bercucuran bagai air hujan, tapi suara tangisannya hampir-hampir tak terdengar.

Untung usia Yu Goan-ci masih muda, meski jasmaniah tersiksa sehebat itu, tapi tidak sampai mati, ia masih tahan. Bahkan beberapa hari kemudian, perlahan lukanya mulai sembuh, rasa sakitnya juga makin berkurang. Akhirnya, oh, lapar juga dia. Dan ketika mengendus bau daging kambing dan kue yang dihantarkan untuknya, ia tidak tahan lagi, terus saja dimakannya dengan lahap.

Sudah tentu mulutnya tak bisa mengunyah jadi makannya terpaksa main jejal saja, asal masuk. Dan sekali perutnya kemasukan makanan lukanya menjadi lebih cepat sembuh dan kesehatannya lekas pulih.

Kini ia dapat meraba topeng besi itu, ia tahu buah kepala sendiri sudah tertutup rapat oleh kedua tangkup besi dan tidak mungkin dibuka lagi. Ia tidak tahu apa maksud tujuan anjing-anjing Cidan itu menutup kepalanya dengan openg. Ia sangka segala apa itu tentuatas perintah Siau Hong. Sudah tentu, betapapun ia tidak menduga bahwa sebabnya A Ci memberi topeng padanya tujuannya justru ingin mengelabui Siau Hong.

Apa yang berlangsung itu dilaksanakan kapten Sili atau suruhan A Ci. Setiap hari A Ci selalu tanya Sili tentang gerak-gerik Yu Goan-ci setelah pakai topeng itu. Semula ia kuatir pemuda itu akan mati hingga gagal segala

rencananya. Kemudian ia jadi girang ketika mendapat tahu bahwa kesehatan Goan-ci makin hari makin kuat.

Dalam pada itu Siau Hong lagi dinas inspeksi ke luar kota, A Ci perintahkan Sili membawa Yu Goan-ci menghadap padanya, ia ingin tahu bagaimana bentuk pemuda itu sesudah memakai topeng besi. Ia tunggu di ruangan samping istana "Toan-hok-kiong”. Tidak lama kemudian datanglah kapten Sili bersama tiga prajurit Cidan dengan membawa Yu Goan-ci.

Melihat bentuk Yu Goan-ci, sungguh senang A Ci tak terkatakan. Ia pikir, dengan memakai topeng seperti itu, biarpun sang Cihu berdiri berhadap juga takkan kenal pemuda itu. Segera ia berkata, "Sili, topeng ini sangat bagus buatannya, boleh kasih persen lagi 50 tahil perak kepada pandai besi itu.”

"Ya, terimakasih, Kuncu!” sahut Sili.

Kiranya Yali Hungki sengaja hendak membikin senang Siau Hong, maka A Ci telah dianugrahi gelar Tuan Putri "Toan-hok Kuncu”. Dan istana Toan-hok-kiong adalah anugrah juga dari raja.

Dalam pada itu Yu Goan-ci telah melangkah maju dua tindak, dari lubang topeng itu dapat melihat muka A Ci yang berseri-seri, elok tak terhingga. Suara si gadis juga nyaring merdu enak didengar. Hati Goan-ci berdebardebar, dengan ketolol-tololan ia pandang gadis itu tanpa berkedip.

Meski bentuk muka Yu Goan-ci menjadi aneh lantaran memakai topeng besi, tapi A Ci dapat melihat bahwa pemuda itu lagi menatapnya, dengan mata tak berkedip. Segera ia menegurnya. "Hai anak tolol, kenapa kau pandang aku cara begini?”

"Aku… aku … aku tidak tahu, "sahut Goan-ci.

"Enak tidak rasanya memakai topeng itu?” tanya A Ci.

"Kau kira enak atau tidak?” Goan-ci berbalik tanya.

A Ci mengikik tawa. Ia lihat bagian mulut topeng itu hanya berwujud satu celah dan tipis dan tiba cukup untuk minum dan makan saja untuk menggigit jari kaki terang tidak dapat lagi. Maka dengan tertawa katanya pula, "Aku sengaja memasang topeng pada mukamu supaya kamu tidak dapat menggigitku untuk selamanya.”

Seketika Goan-ci bergirang, tanyanya cepat, "Apakah nona ber ...bermaksud membiarkan … membiarkan aku selalu melayani di samping nona?”

"Cis, kamu anak busuk ini bukan manusia baik-baik,” semprot A Ci, "Berada disampingku tentu kau cari jalan untuk mencelakai aku, mana boleh jadi?”

"Tidak, ti…tidak! Aku pasti … pasti takkan membikin susah nona, ” sahut Goan-ci dengan tergegap-gegap, "Musuhku hanyalah Kiau Hong seorang!”

"Kau ingin membunuh Cihuku, bukankah sama dengan membikin susah padaku? Apa bedanya?” kata A Ci.

Mendengar itu, entah mengapa, rasa hati Goan-ci menjadi kecut hingga tak bisa menjawab lagi.

"Huh, kamu hendak membunuh Cihuku, itu namanya lebih sulit daripada naik ke langit, "kata A Ci pula dengan tertawa. "He, anak tolol, kau ingin mati atau tidak?”

"Sudah tentu aku tidak ingin mati, "sahut Goan-ci. "Tapi sekarang kepalaku terpasang benda seperti ini sehingga tidak mirip manusia dan lebih mirip setan, tidak banyak bedanya daripada mati.”

"Jika kamu lebih suka mati, boleh juga, akan kupenuhi harapanmu, cuma aku takkan membuatkan kau mati dengan begitu saja, "kata A Ci. Lalu ia berpaling kepada kapten Sili dan memberi perintah. "Seret dia keluar, penggal dulu sebelah tangannya!”

Sili mengiakan terus hendak menarik Goan-ci.

Keruan pemuda itu ketakutan, cepat ia berteriak, "He, tidak, tidak, nona! Aku ingin mati, jangan … jangan kaupenggal sebelah tanganku!”

"Sekali aku berkata, sudah untuk ditarik kembali, kecuali .. ya, kecuali kalau kamu berlutut dan menyembah padaku, "kata A Ci dengan tersenyum.

Selagi Goan-ci ragu-ragu, sementara itu Sili telah menariknya pula. Goan-ci tidak berani ayal lagi, cepat ia tekuk lutut dan menyembah "trang” mendadak topeng membentur lantai.

A Ci terkikik senang, katanya, "Selamanya aku tidak pernah mendengar suara orang menyembah semerdu itu. Eh, coba menjura beberapa kali lagi.

Walaupun Goan-ci seorang pemuda serba kepalang tanggung dalam ilmu sastra dan silat, serba setengahsetengah dan tidak jadi, tapi jelek-jelek adalah seorang Siau cengcu, seorang tuan muda dari Cip-hian-ceng, biasanya ia disanjung pula oleh setiap orang. Sejak kecil ia sangat dimanjakan oleh orang tua, sebab dia adalah putra satu-satunya, sudah tentu ia tidak pernah tersiksa dan dihina seperti sekarang ini.

Semula waktu menemukan Siau Hong, ia masih memiliki semangat jantan yang tak terpatahkan, biar mati juga tidak takut. Tapi selama beberapa hari ini telah mengalami pukulan hebat baik jasmani maupun rohani, semangat jantannya yang menyala-nyala itu tanpa terasa surut dan hilang tak berbekas lagi.

Maka demi A Ci menyatakan hendak memotong lengannya kecuali dia mau menyembah, tanpa pikir ia berlutut dan menyembah. Dan ketika A Ci menyatakan suara benturan topengnya itu enak didengar, terus saja ia menjura berulang-ulang sehingga terdengar suara "tang-tang-tang” yang nyaring.

"Wah, bagus sekali!” demikian kata A Ci dengan tertawa, "Untuk selanjutnya kamu harus tunduk pada perintahku, sedikitpun tidak boleh membangkang, tahu? Kalau membangkang, huh setiap waktu juga akan kupenggal lenganmu. Nah ingat tidak?”

"Ya, ya!” cepat Goan-ci menyahut.

"Apakah kau tahu sebabnya aku memesan topeng besi pada mukamu?” tanya A Ci pula.

"Tidak, aku justru ingin tahu, "kata Goan-ci.

"Kamu ini sungguh kelewat goblok, telah kuselamatkan jiwamu, tapi kamu malah tidak tahu dan tidak berterima kasih kepadaku, "ujar A Ci. "Apakah kamu tidak tahu bahwa Siau-tai-ong hendak mencacahmu hingga luluh, benar-benar kamu tidak tahu?”

"Dia adalah pembunuh orang tuaku, sudah tentu iapun takkan membiarkan aku hidup, "sahut Goan-ci.

"Beliau pura-pura membebaskan kau, tapi diam-diam memerintah orang untuk menangkapmu kembali dan mencencangmu hingga menjadi baso, "demikian A Ci sengaja menakut-nakuti, "Tapi untung kamu ketemu aku

karena melihatmu bocah busuk ini tidak terlalu jelek kalau dibunuh agak sayang juga rasanya, maka diam-diam aku menyembunyikanmu. Namun demikian, bila pada suatu ketika secara kebetulan Siau Hong datang kemari dan pergoki dirimu, tentu jiwamu tetap akan melayang dan bahkan aku pun ikut tersangkut.”

Tiba-tiba Goan-ci sdar oleh duduknya perkara, ia berseru. "Ah kiranya nona sengaja menyuruh membuatkan topeng besi ini untukku, sebenarnya maksudmu baik demi untuk menyelamatkan jiwaku supaya tidak dikenal musuh besarku. Sungguh aku .. aku sangat berterima kasih, sangat ber… berterimakasih.”

Sesudah mempermainkan orang, bahkan orang merasa terima kasih malah, A Ci menjadi senang tak terkatakan. Dengan tersenyum kemudian ia berkata lagi, "Nah, makanya lain kali bila bertemu dengan Siau-tai ong janganlah sekali-kali kau buka suara agar tidak dikenali beliau. Bila sampai dikenal olehnya, hm, pasti celakalah kamu. Nih lihat! Sekali lengan kirimu ditarik dan 'cret', kontan lenganmu lantas putus, dan sekali betot pula, seketika lenganmu yang lain akan terpisah dari tubuhmu. Nah ingat baik-baik pesanku ini.”

"Sili coba bawa pergi dia, beri pakaian orang Cidan, sikat dan mandikan dulu badannya, idiiiiiih baunya!”

Kapten Sili mengiakan dan membawa pergi Yu Goan-ci.

Tidak lama kemudian pemuda itu dibawa kembali oleh Sili. A Ci lihat pemuda itu sudah berganti pakaian orang Cidan. Untuk menyenangkan hati A Ci, sengaja Sili mendandani Goan-ci hingga topengnya berwarnawarni mirip badut sirkus.

"Hihihihi, kau mirip benar seperti seorang badut, ” kata A Ci terkikik-kikik geli. "Eh, ya, akan kuberi suatu nama padamu. Namamu adalah … adalah badut, ya, badut besi, inilah namamu. Selanjutnya kalau aku memanggil badut besi, maka kamu harus cepat menjawab tahu? Nah, badut!”

"Sayaaa!” cepat Goan-ci menjawab.

Senang sekali A Ci. Ia merasa mendapatkan suatu hiburan yang paling menggembirakan.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu, segera ia berkata, "Sili, bukankah dari negeri Tai-sip (sekarang negeri Arab) ada antaran seekor singa besar? Nah bawa kemari singa itu bersama pawangnya, panggil pula belasan orang pengawal kemari.

Kapten Sili segera meneruskan perintah itu. Maka hanya sebentar saja 16 orang pengawal dengan membawa

tombak masuk ke dalam istana, mereka memberi hormat kepada A Ci, lalu membalik tubuh, 16 batang tombak mereka siap untuk menjaga sang putri.

Tidak antara lama, tiba-tiba terdengar auman singa, delapan laki-laki kekar menggotong datang sebuah kerangkeng besi besar. Di dalam kerangkeng tampak seekor singa jantan sedang berputar kian kemari, bulu lehernya panjang lebat, kuku cakarnya tajam, tampaknya sangat galak. Di depan kerangkeng mendahului berjalan seorang penjinak singa dengan memegang cambuk kulit.

Dengan girang A Ci berkata kepada Goan-ci, "He, badut besi, aku ingin menjajal sesuatu, ingin kau lihat kamu tunduk kepada perintahku atau tidak.”

Tanpa pikir Goan-ci mengiayakan. Tapi perasaannya sudah mendebur demi melihat singa jantan yang gagah dan galak itu.

Maka terdengar A Ci berkata pula, "Sejak kau pakai topeng, aku tidak tahu apakah topeng besi itu terpasang kukuh atau tidak di atas kepalamu. Maka cobalah julurkan kepalamu ke dalam kerangkeng dan membiarkan singa itu menggigit, ingin kulihat apakah binatang itu mampu menggigit hancur topengmu atau tidak.”

Keruan Goan-ci terperanjat, cepat serunya, "Ha, ini .. ini jangan dicoba. Kalau topeng hancur, tentu kepalaku …. ”

"Sungguh tak berguna kamu menjadi manusia, "kata A Ci dengan kurang senang, "masakah soal sekecil ini juga ketakutan. Seorang laki-laki sejati harus pandang mati seperti pulang, tahu? Apalagi kukira topengmu juga takkan hancur di gigit singa.”

"Nona, urusan ini tidak boleh dibuat main-main, "kata Goan-ci pula. "Andaikan topeng tahan hancur, tapi kalau digigit hingga gepeng, yah, tentu kepalaku …. ”

Jilid 45
"Hihihi, paling-paling kepalamu akan ikut gepeng saja, apanya sih yang kauributkan?” demikian A Ci memotong dengan tertawa. "Ai, kamu anak busuk ini memang suka rewel, dasar mukamu memang juga jelek, andaikan kepalamu nanti penjol, toh tetap terbungkus di dalam topeng, masakah orang bisa tahu?”

"Aku tidak …. ”

"Kamu tidak mau menurut? Baik Sili, jebloskan dia saja ke dalam kerangkeng itu untuk umpan singa! Segera A Ci memotong sebelum selesai Goan-ci berkata.

Keruan Goan-ci serba runyam, ia pikir daripada mati konyol menjadi isi perut singa, lebih baik coba-coba peruntungan saja dengan memasukkan kepala ke dalam kerangkeng itu. Maka cepat-cepat ia berteriak, "Nanti dulu, nona! Baiklah, aku menurut!”

Nah, beginilah baru pintar!” ucap A Ci dengan tertawa, "Ingat, lain kali jangan sekali-kali membangkang, apa yang kuktakan harus segera dilakukan, kalau rewel, hm, biar kau tahu rasa nanti. Sili hukum dia dengan 30 kali cambukan!”

Kapten Sili mengiakan. Segera ia pinjam cambuk kulit dari si penjinak singa, "Tarr”, kontan ia sabat punggung Yu Goan-ci.

Karena kesakitan. Goan-ci sampai menjerit.

"Badut besi, "kata A Ci, "Kalau kusuruh orang mengajarmu, itu menandakan aku menghargaimu. Tapi kamu gembar-gembor malah apakah kamu tidak suka dihajar?”

"O, suka, tentu suka, terimakasih atas kebaikan nona!” demikian cepat Goan-ci menjawab.

"Baik, Nah hajar lagi!” seru A Ci.

"Tar, tar, tarr”, segera kapten Sili menyabat lagi belasan kali. Dengan menggertak gigi Goan-ci bertahan

sekuatnya, walaupun sakitnya sebenarnya sampai merasuk tulang, sama sekali ia tidak merintih lagi.

Sebaliknya A Ci kurang puas karena dia diam saja. Katanya pula. "He, badut besi, kau bilang senang dihajar bukan ?”

"Ya, nona!” sahut Goan-ci.

Benar-benar suka, bukan dusta? Jangan-jangan kamu sengaja menipu aku?”

"Sungguh-sungguh, masakah aku berani menipu nona!”

"Jika kamu benar-benar senang, mengapa kamu tidak tertawa? Mengapa tidak menyatakan kepuasanmu atas hajaran itu?”

Rupanya sudah terlalu banyak tersiksa hingga nyalinya pecah, maka Goan-ci menjadi lupa pada artinya murka. Apa yang dikatakan gadis cilik itu ia selalu menurut saja, katanya segera, "Ya, nona sangat baik padaku, maka menyuruh orang menghajarku, sungguh aku merasa sangat puas!”

"Nah, beginilah baru mendingan, "kata A Ci.”Coba sekarang!”

Segera ia beri tanda, kapten Sili lantas mengayun cambuk lagi. "Tar”, kembali punggung Goan-ci kena disabat.

"Hahahahaha!” benar juga sekali ini Goan-ci terbahak-bahak. Katanya, "Puas sekali aku! Terimakasih nona!”

"Tarrr!” lagi-lagi pecut berbunyi dan kembali Goan-ci berkata, "Terimakasih nona!”

"Tarrr!” kembali pecut berbunyi dan Goan-ci berkata pula, "Terimakasih atas budi pertolongan jowaku, nona! Cambukan ini sungguh sangat memuaskan!”

"Tar, tarr!” begitulah berturut-turut lebih 20 kali cambukan menghujani badan Yu Goan-ci, dipunggung dengan sabatan tadi, jumlah seluruhnya sudah lebih dari 30 kali.

"Sudahlah, cukup untuk sekarang ini, "segera A Ci menyetop. "Nah, sekarang masukkan kepalamu ke dalam kerangkeng.”

Goan-ci merasa ruas tulang seantero badan seakan-akan retak, dengan sempoyongan ia mendekati kerangkeng singa. Sekali menggertak gigi, dengan nekat ia masukkan kepalanya ke dalam terali kerangkeng itu.

Melihat tantangan itu, singa itu kaget malah hingga mundur beberapa langkah ke belakang. Binatang itu mengincar dan mengamat-amati topeng besi sejenak, lalu mundur satu langkah lagi sambil meraung.

"Ayolah, perintahkan singamu menggigit, kenapa tidak menggigit!” seru A Ci.

Segera pawang singa membentak-bentak beberapa kali, karena mendapat perintah, singa itu lantas menubruk maju, sekali pentang mulutnya yang lebar, terus saja ia caplok kepala Yu Goan-ci yang terbungkus topeng besi itu. Maka terdengarlah "krak-krek, krak-krek” yang keras, suara kertakan gigi singa yang beradu dengan besi.

Sejak mula Goan-ci memejamkan mata, maka ia merasa hawa hangat merangsang mukanya melalui lubanglubang mata, hidung dan mulut topeng itu. Ia tahu batok kepala belakang sudah tercaplok di dalam mulut singa. Mendadak ia merasa batok kepala depan dan belakang kesakitan sekali. Kiranya bekas luka di atas kepala yang hangus terkena besi panas dahulu, kini pecah lagi karena gigitan singa.

Ketika singa itu menggigit sekuatnya beberapa kali dan tidak menghasilkan apa-apa, bahkan giginya malah kesakitan, binatang itu menjadi murka, mendadak cakarnya menggaruk ke depan hingga bahu Goan-ci kena dicakar.

Saking kesakitan oleh cakaran itu, tanpa terasa Goan-ci menjerit. Dan ketika mendadak merasa barang yang dicaploknya itu mengeluarkan suara keras, singa itu menjadi kaget dan lepaskan kepala yang digigitnya itu serta menyurut mundur.

Keruan si pawang singa merasa malu karena binatang asuhannya itu kena digertak. Segera ia membentakbentak pula memerintahkan singa itu menggigit lagi Yu Goan-ci. Sekonyong-konyong Goan-ci menjadi murka, sekuat tenaga ia pegang tengkuk penjinak singa itu, ia jejalkan juga kepala penjinak singa ke dalam kerangkeng..

Keruan penjinak singa itu berteriak-teriak. A Ci merasa senang, ia bertepuk tangan dengan tertawa dan berkata, "Bagus, bagus, permainan bagus! Biarkan mereka, jangan dilarahi!”

Mestinya para prajurit Cidan hendak menarik tangan Yu Goan-ci, demi mendengar perintah A Ci itu, mereka urung bertindak.

Sambil berteriak-teriak si penjinak singa meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Tapi saat itu Goan-ci sudah kalap, betapapun iatidak mau melepaskan orang.

Tiada jalan lain, terpaksa pawang singa minta bantuan binatang asuhannya, ia lekas berteriak-teriak memberi perintah, "Gigit! Gigit dia! Lekas!”

Mendengar suara perintah, singa itu menggerung keras-keras terus menerkam. Binatang itu hanya tahu sang majikan memerintahkan dia menggigit, tapi tidak tahu apa yang harus digigit. Maka ketika mulutnya yang lebar itu merapat kembali. "Kriuk”, tahu-tahu separoh buah kepala penjinak singa sendiri yang kena digeragot hingga darah berceceran dan otak berantakan.

Hure! Badut besi yang menang!” demikian A Ci bersorak tertawa.

Segera ia memberi perintah agar prajurit Cidan menyeret pergi mayat si penjinak singa dan menggotong pergi kerangkeng singa itu. Lalu katanya kepada Yu Goan-ci, "Badut besi, sekarang kamu sudah pintar, pandai menyenangkan hatiku.. Ehm, aku akan memberi hadiah padamu. Tetapi, hadiah… hadiah apa ya yang tepat?”

Begitulah ia lantas bertopang dagu dan berpikir ..

"Aku tidak perlu diberi hadiah, nona, aku hanya ingin mohon sesuatu padamu, ” demikian kata Goan-ci.

"Mohon apa?” tanya A Ci.

"Semoga nona memperbolehkan aku menggiring disampingmu untuk menjadi budakmu, "sahut Goan-ci.

"Menjadi budakku?” A Ci menegas. "Mengapa dan untuk apa? Ehm tahulah aku, tentu kau ingin mencari kesempatan bila Siau Tai-ong datang menjengukku, lalukamu mendadak menyerangnya lagi untuk membalas sakit hati ayah ibumu, betul tidak?”

"Tidak, tidak!” seru Goan-ci cepat, "Sekali-kali bukan begitu maksudku.”

"Habis masakah kamu tidak ingin membalas dendam?”

"Sudah tentu aku sangat ingin. Cuma kesatu, aku belum mampu menuntut balas. Kedua, tidak boleh merembet diri nona.”

Jika begitu, mengapa kau mau menjadi budakku ?”

"Sebab … sebab nona adalah … gadis paling cantik di dunia ini, maka aku ingin .. ingin melihat engkau setiap hari, "demikian sahut Goan-ci dengan tergagap.

Ucapan ini sebenrnya terlalu kurangajar dan terlalu berani, bila A Ci adalah seorang gadis biasa, tentu ia akan merasa ucapan Goan-ci itu bersifat rendah dan bukan mustahil akan memerintahkan pemuda itu dibunuh. Tapi A Ci justru senang dipuji, ia suka orang memujinya cantik.

Padahal usianya sekarang masih terlalu muda, meski air mukanya memang ayu, tapi bangun tubuhnya belum lagi masak, ditambah habis terluka parah, badannya masih kurus dan wajahnya pucat, masih jauh untuk disebut sebagai "gadis paling cantik di dunia.” Tapi manusia mana yang tidak suka dipuji, apalagi dipuji sebagai gadis tercantik, sudah tentu A Ci sangat senang.

Dan selagi ia hendak menerima permintaan Goan-ci itu, tiba-tiba didengarnya dayang melapor "Taiong datang!”

A Ci melirik Goan-ci sekejap dan bertanya dengan suara rendah, "Kau takut tidak?”

"Ti… tidak!” sahut Goan-ci dengan agak gemetar. Padahal dia takut setengah mati mendengar kedatangan Siau Hong.

Ketika pintu istana terbuka, tertampaklah Siau Hong melangkah masuk dengan baju kulit yang enteng dan ikat pinggang yang lemas. Ketika melihat di atas lantai banyak tercecer darah, pula melihat bentuk kepala Yu Goanci yang aneh itu, Siau Hong menjadi heran dan bertanya kepada A Ci dengan tertawa, "Air mukamu hari ini kelihatan sangat segar, kamu lagi main apa? Kepala orang ini memakai topi apa, sungguh aneh?”

"Ini Thi-thau-jin (manusia kepala besi) persembahan dari negeri Kojiang, namanya badut besi, singapun tidak sanggup menggigit pecah kepalanya. Lihatlah disitu masih terdapat bekas gigitan singa, "tutur A Ci dengan tertawa.

Waktu Siau Hong memandang topeng besi di kepala Goan-ci, memang benar bekas gigitan singa masih keliatan jelas.

"Cihu, apakah engkau mampu melepaskan topeng besinya itu?” tiba-tiba A Ci bertanya.

Mendengar itu, keruan semangat Goan-ci seakan-akan terbang meninggalkan raganya. Dia pernah menyaksikan betapa perkasanya Siau Hong ketika dikeroyok para ksatria Tionggoan, dengan kepalan saja ia sanggup menghantam hingga perisai milik ayah dan pamannya mencelat. Kalau orang sekarang hendak melepaskan topeng di kepalanya boleh dikatakan terlalu mudah baginya.

Begitulah, kalau tempo hari waktu dikerudung dengan topeng itu ia menyesal dan berduka tak terhingga, sekarang sebaliknya ia berharap topeng besi itu semoga tetap menutup kepalanya agar tidak dikenal Siau Hong.

Tiba-tiba Siau Hong menggunakan jari untuk menyelentik topeng beberapa kali dengan perlahan hingga mengeluarkan suara "trang-tring”. Lalu katanya dengan tertawa, "Topeng ini sangat kuat dan bagus pula buatannya, kalau dirusak, apakah tidak sayang?”

"Menurut cerita utusan negeri Kojiang, katanya badut besi ini bermuka bengis dan menakutkan, lebih mirip setan daripada mirip manusia siapa yang ketemu dia pasti ketakutan dan lari, sebab itulah orang tuanya membuatkan topeng besi ini untuk dia agar tidak mengganggu orang lain, "demikian tutur A Ci. "Eh Cihu, aku sangat ingin lihat mukanya yang asli, aku ingin tahu betapa bengis mukanya itu?”

Saking ketakutan hingga Goan-ci gemetar, gigi gemertukan.

Siau Hong dapat melihat manusia kepala besiitu ketakutan luar biasa, maka katanya, "Sudahlah, orang ini sangat ketakutan, buat apa membuka topeng besinya itu? Jika sejak kecil ia sudah pakai topeng, kalau kini dibuka mungkin dia akan putus asa dan sukar untuk hidup terus.”

"Sungguh menarik jika begitu, "seru A Ci sambil bertepuk tangan. "Setiap kali aku menemukan kura-kura, aku suka menangkapnya dan membelejeti kulitnya yang keras itu, aku suka melihat kura-kura tanpa kulit dapat hidup berapa lama.”

Siau Hong berkerut kening, ia merasa terlalu kejam cara anak dara itu membelejeti kura-kura, katanya, "A Ci seorang anak perempuan mengapa suka membikin susah orang sedemikian rupa?”

"Hm, tentu saja engkau tak suka,” jengek A Ci, "Jika aku sebaik A Cu, tidak nanti kau lupakan diriku selama beberapa hari ini.”

"Meski aku telah diangkat menjadi Lam-ih-tai-ong apa segala sehingga setiap hari selalu sibuk saja, tapi setiap hari aku kan pasti datang menjengukmu?” sahut Siau Hong.

"Menjenguk, ya, memang hanya menjenguk saja sebentar, aku justru tidak suka dijenguk saja dan habis perkara, coba kalau aku jadi A Cu, tentu engkautakkan cuma menjenguk saja, tapi akan selalu mendampingiku.”

Mendengar nama "A Cu” berulang kali disebut, apa yang dikatakannya juga memang betul, Siau Hong menjadi tak bisa menjawab, terpaksa ia mengekek tawa dan berkata, "Ya, Cihu kan orang tua, tiada minat buat main dengan kanak-kanak seperti dirimu, bolehlah kau cari teman yang sebaya denganmu untuk mengawanimu bermain.”

"Kanak-kanak, selalu kau katakan begitu, aku justru bukan kanak-kanak lagi, "sahut A Ci. "Dan kalau engkau tidak minat bermain dengan aku, kenapa datang juga ke sini?”

"Aku ingin tahu kesehatanmu sudah tambah baik tidak dan ingin tahu apakah hari ini kamu sudah makan empedu beruang atau belum?” kata Siau Hong.

Mendadak A Ci angkat bantalan pengganjal bangku dan dibanting ke lantai, katanya, "Jika hatiku tidak gembira, biarpun setiap hari makan satu pikul empedu beruang juga tidak berguna!”

Kalau A Cu yang sedang marah-marah, betapapun juga tentu Siau Hong akan berusaha membujuknya, tapi terhadapanak dara yang suka ngambek, anak perempuan yang nakal dan licin ini, mau tak-mau timbul semacam rasa jemu dalam hati Siau Hong, segera katanya, "Ya, sudahlah, boleh kamu mengaso saja!”

Habis itu, ia lantas tinggal pergi.

A Ci termangu-mangu dan ingin menangis mengikuti kepergian sang Cihu, sekilas tiba-tiba dilihatnya Yu Goan-ci, seketika api amarahnya ingin dilampiaskan pada orang sial itu. Teriaknya mendadak, "Sili, cambuk

lagi dia 30 kali!”

Kapten Sili mengiakan sambil angkat cambuknya.

"Nona, apakah aku berbuat suatu kesalahan lagi?” seru Goan-ci.

Tapi A Ci tidak menjawabnya, sebaliknya memberi tanda agar Sili cepat mencambuk.

"Tar!” segera Sili ayun pecutnya, "Tar!” kembali pecut menyembat pula punggung sasarannya.

"Nona, sebenarnya apa salahku, harap aku diberitahu, supaya lain kali kesalahan itu takkan terulang lagi!” teriak Goan-ci dengan menahan sakit, sementara itu pecut Sili masih terus menyabat.

"Bila aku ingin menghajarmu, maka setiap saat dapat kulakukan, tidak perlu kautanya berbuat salah apa, masakah aku bisa keliru menghajarmu?” demikian kata A Ci, "Kau tanya dirimu berbuat salah apa, justru karena kau tanya, maka kamu harus dihajar!”

"Tapi ... tapi nona lebih dulu menyuruh hajar diriku, baru aku tanya, "ujar Goan-ci.

Dalam pada itu pecut Sili tidak pernah berhenti, punggung Goan-ci masih terus disabet.

"Memang sudah kuduga kamu tentu akan tanya, maka kusuruh orang menghajarmu, dan benar juga kamu lantas tanya, bukankah itu menandakan dugaanku sangat tepat?” ujar A Ci dengan tertawa. "Sekaligus juga menandakan kamu tidak taat benar-benar padaku, seharusnya ketika kau tahu nonamu mendadak ingin menghajar orang jika kamu memang seorang budak setia, seharusnya kamu tampil ke muka dan ajukan diri untuk dihajar. Tapi kamu malah rewel dan merasa penasaran. Baiklah, kamu tidak sudak dihajar, maka akupun tidak mau menghajarmu lagi.”

Hati Goan-ci terkesiap dan merinding mendengar ucapan terakhir itu. Ia tahu bila A Ci tidak menghajarnya, tentu akan dicari suatu hukuman yang lebih kejam daripada cambukan itu, maka lebih baik sekarang juga ia terima 30 kali cambukan itu. Segera ia berkata, "Ya, memang hamba yang salah, hamba yang salah! Jika nona sudi menyuruh orang menghajar hamba, hal mana akan berfaedah bagi badan hamba, silahkan nona menyuruhnya menghajar lagi, hajarlah lebih banyak dan lebih banyak dan lebih keras.”

"Jika begitu, baiklah akan kupenuhi permintaanmu, "kata A Ci, "Nah Sili, cambuk dia 100 kali bulat, dia

sendiri yang minta lebih banyak dicambuk.”

Sudah tentu Yu Goan-ci terperanjat, ia pikir apakah jiwanya bisa dipertahankan setelah dicambuk 100 kali? Tapi urusan sudah terlanjur, ia sendiri yang minta dihajar lebih banyak dan lebih keras, kalau sekarang membangkang tentu akan lebih celaka lagi. Terpaksa ia diam saja, ia pikir kalau rewel-rewel bukan mustahil nona yang nakal dan kejam itu akan menghabiskan jiwanya dengan suatu cara yang sukar diduga.

Dan ketika A Ci mulai memberi tanda, "tar”, segera cambuk Sili bekerja pula tanpa ampun.

"Tar, tar!” Sili terus menyembat hingga lebih 50 kali, saking kesakitan Yu Goan-ci sampai mendeprok, sebaliknya A Ci memandangnya dengan tersenyum simpul, ditunggunya pemuda itu bersuara minta ampun. Dan asal Goan-ci minta ampun, A Ci akan punya bukti lagi untuk menambahi cambukannya.

Tak tersangka Goan-ci sudah dalam keadaan limbung, dalam keadaan sadar-tak-sadar, ia hanya merintih perlahan, tapi tidak minta diampuni. KEetika di cambuk sampai lebih 70 kali, akhirnya Goan-ci jatuh pingsan.

Namun Sili sama sekali tidak kenal kasihan ia tetap menjalankan tugasnya sampai genap mencambuk 100 kali barulah berhenti.

Melihat Goan-ci sudah kempas-kempis, lebih banyak matinya daripada hidup, A Ci menjadi kecewa malah, katanya, "Sudahlah, seret pergi saja, orang itu tidak menarik lagi. Sili, boleh kau carikan permainan lain yang lebih menyenangkan.”

Karena hajaran itu, Yu Goan-ci benar-benar babak belur, untuk mana dia mesti menggeletak sebulan penuh barulah sembuh.

Melihat pemuda itu sudah dilupakan oleh A Ci, maka orang Cidan tidak menyiksanya lagi, tapi lantas mencampurkan dia ke dalam rombongan tawanan yang lain untuk melakukan pekerjaan kasar seperti mencuci kandang domba, mengumpulkan kotoran sapi, menjemur kulit dan lain-lain.

Karena kepalanya memakai kerudung besi, maka setiap orang suka mengejek dan menghina Yu Goan-ci, bahkan sesama bangsa Han dalam tawanan itu juga menganggapnya sebagai "siluman”.

Goan-ci terima semua ejekan dan hinaan itu, dengan diam saja hingga mirip orang bisu, orang memaki dan memukulnya, ia pun tidak pernah melawan dan membalas. Hanya kalau kebetulan ada orang lewat menunggang kuda, tentu ia mendongak untuk melihat siapakah gerangan penunggang kuda itu. Yang selalu

terpikir olehnya hanya satu, "Bilakah nona cantik itu akan memanggil aku untuk dihajar lagi?”

Begitulah karena dia berhadap dapat melihat A Ci, biarpun akan disiksa dengan macam-macam hajaran juga dia rela.

Setelah lewat dua bulan pula, hawa udara perlahan mulai hangat, Yu Goan-ci ikut orang banyak lagi mengangkat bata di luar benteng kota untuk membetulkan tembok benteng.

Tiba-tiba didengarnya suara derapan kuda keluar dari pintu gerbang selatan, segera terdengar suara tertawa seorang gadis nyaring merdu, "Ai, kiranya Badut besi ini belum lagi mati! Kukira dia sudah lama mati! Hei badut besi, kemarilah!”

Itulah suara A Ci, suara anak gadis yang selalu terbayang oleh Yu Goan-ci siang dan malam, ia terpaku malah di tempatnya ketika mendengar panggilan A Ci. Ia merasa jantungnya berdebar dan tangan terasa dingin.

"Badu besi, setan kamu, aku memanggilmu apa kamu tidak dengar?” kembali A Ci berseru.

Dan baru sekarang Goan-ci mengiakan, "Ya, nona!”

Ternyata selama empat bulan ini A Ci sudah tambah gemuk sedikit, air mukanya kemerah-merahan dan bercahaya hingga makin menambah kecantikannya, hati Goan-ci berdebar dan karena setengah melamun, kakinya kesandung sesuatu dan keserimpet jatuh.

Ditengah gelak tertawa orang banyak, lekas Goan-ci merangkak bangun dengan rasa malu, sudah tentu tiada seorang pun yang dapat melihat mimik wajahnya itu.

Rupanya A Ci sedang gembira, dengan tertawa iatanya, "Eh badut, kenapa kamu belum mati?”

"Aku .. aku belum lagi membalas kebaikan nona, maka tidak boleh mati cepat-cepat, "sahut Goan-ci.

A Ci mengikik tawa, katanya, "Aku justru lagi mencari seorang budak yang setia untuk suatu tugas, aku kuatir orang Cidan terlalu kasar sehingga tak bisa melaksanakan tugas dengan baik, sekarang kamu ternyata belum mati, itulah sangat kebetulam. Nah boleh kauikut padaku!”

Goan-ci mengiakan, lalu mengikut dibelakang kudanya.

Segera A Ci memerintahkan Sili dan tiga orang pengawalnya pulang lebih dulu.

Sili kenal watak sigadis, apa yang dikatakan tidak boleh dibantah. Ia lihat orang berkerudung besi ini terlalu lemah, penakut pula, rasanya tak akan berbahaya bila dia ikut sang putri. Maka ia hanya pesan junjungannya itu, "Harap nona hati-hati dan lekas pulang!”

Lalu mereka berempat melompat turun dari kuda dan menunggu di luar gerbang kota. A Ci sendiri lantas menjalankan kudanya perlahan ke depan dengan diikuti Goan-ci berjalan di belakang.

Kira-kira beberapa li jauhnya, tempat yang dituju itu makin sunyi dan akhirnya sampai di suatu lembah pegunungan yang lembab.

Goan-ci merasa jalan di lembah pegunungan itu sangat lunak, terdiri dari tanah dedaunan dan rumput yang sudah kering dan lapuk.

Kira-kira satu-dua li jauhnya, jalan di situ mulai berliku-liku, A Ci tidak dapat menunggang kuda lagi, ia melompat turun dari kudanya, sambil memegangi les kuda ia melanjutkan perjalanan.

Sekitar situ tampak lembab dan dingin, angin meniup dari suatu selat yang sempit hingga kulit daging A Ci dan Goan-ci terasa perih.

"Sudahlah, disini saja!” tiba-tiba A Ci berkata. Lalu ia tambatkan kudanya di suatu pohon dan berkata kepada Goan-ci, "Nah, ingatlah dengan baik apa yang kau lihat hari ini dilarang diceritakan kepada siapapun juga, selanjutnya juga tidak boleh menyinggungnya dihadapanku, ingat tidak?”

"Baik, nona!” sahut Goan-ci.

Girang Goan-ci sungguh tak terkatakan. A Ci hanya suruh dia ikut sendirian dan kini sampai di tempat sunyi seperti ini, andaikan si gadis nanti akan menghajarnya hingga setengah mati juga dia rela.

Kemudian tertampak A Ci mengeluarkan sebuah Giok-ting, tripod atau wajan kemala berkaki tiga, warna tripod itu hijau mulus. Lalu ditaruh diatas tanah dan katanya kepada Goan-ci, "Sebentar bila melihat serangga atau binatang apapun yang aneh, sekali-kali kamu tidak boleh bersuara, tahu tidak?”

Goan-ci mengiakan.

Segera A Ci mengeluarkan pula suatu bungkusan kain kecil, ia keluarkan beberapa potong bahan wewangian yang berwarna-warni, ia remas sedikit tiap-tiap potong bahan wangi-wangian itu ke dalam tripod, lalu ia menyulutnya dengan api hingga terbakar, kemudian menutup tripod itu.

"Marilah kita tunggu di bawah pohon sana, "kata A Ci.

Tapi Goan-ci tidak berani duduk berdekatan dengan si nona, ia menyingkir kira-kira dua-tiga meter jauhnya, ia duduk di atas batu di bawah angin. Ketika angin meniup dan membawa bau harum si gadis, tanpa terasa pikiran Goan-ci melayang-layang dimabuk diri.

Sungguh tak tersangka olehnya bahwa dalam hidupnya ini bisa menemui saat bahagia seperti ini, ia merasa derita sengsara yang dialaminya selama ini tidaklah penasaran.

Begitulah selagi pikiran Goan-ci dimabuk oleh lamunan sendiri, tiba-tiba terdengar di semak-semak rumput sana ada suara gemerisik, seekor binatang merayap tampak muncul.

Dalam urusan lalu Goan-ci boleh dikatakan tidak becus, tapi dalam hal menangkap ular dan main binatang merayap lain masih boleh juga kepandaiannya. Maka demi mendengar suara itu, segera ia tahu ada sesuatu makhluk aneh.

Benar juga, segera dari tengah rumput hijau itu merayap keluar seekor lipan atau kelabang merah bercahaya, lebih-lebih bagian kepalanya merah membara, sangat berbeda dengan kelabang pada umumnya.

Rupanya karena mengendus bau harum bahan wangi-wangian yang terbakar dalam tripod, maka kelabang itu merayap ke arah situ terus menyusup ke dalam wajan melalui lubang disampingnya, dan tidak keluar lagi.

Selagi Goan-ci hendak menyatakan bahwa kelabang berbisa sangat jahat, tiba-tiba dari belakang terdengar suara gemerisik pula, seekor ketungging berwarna coklat merayap tiba dengan cepat sekali. Segera Goan-ci bermaksud menginjak mati binatang itu, tapi mendadak A Ci membentaknya, "He, jangan membunuhnya,

goblok!”

Maka sebelah kaki Goan-ci yang sudah terangkat itu urung menginjak ke bawah. Dalam pada itu ketungging itu lantas merayap ke arah tripod dan menyusup ke dalamnya. Dalam sekejap saja terdengarlah suara mencicit ramai, kelabang tadi telah bertarung dengan ketungging.

Sejak kecil Goan-ci paling suka mengadu jengkerik dan serangga lain. Kini ia sangat ingin bisa membuka tutup tripod untuk menyaksikan pertarungan antara kelabang melawan ketungging itu. Tapi dibawah pengaruh A Ci, ia tidak berani sembarangan bertindak.

Dan belum selesai pertarungan antara kelabang melawan ketungging itu, kembali dari arah lain datang seekor cicak, menyusul dari arah berlawanan datang pula seekor binatang aneh yang bulat bentuknya dan berwarna loreng, entah apa namanya. Kedua binatang ini pun segera menyusup ke dalam tripod, maka tambah ramailah suara mencicit tadi.

Ketika Goan-ci memandang ke arah A Ci, ia lihat gadis itu sangat senang, kedua tangan yang putih halus itu tiada hentinya bergesek-gesek, terdengar gadis itu bergumam perlahan, "Sungguh sangat mujarab, sudah datang empat jenis.”

Belum selesai ucapannya, kembali seekor serangga masuk lagi ke dalam tripod. Itulah seekor laba-laba berbisa.

Dan baru sekarang Goan-ci paham duduknya perkara, "Kiranya nona ini memilih tempat yang lembab ini untuk mencari binatang dan serangga berbisa. Tapi entah apa gunanya, jika untuk melihat pertarungan binatang-binatang itu, mengapa dia tidak membuka tutup tripod?”

Sejenak kemudian, "plok”, tiba-tiba ketungging tadi jatuh keluar tripod dan tak berkutik lagi, terang sudah mati.

Selang tidak lama, berturut-turut bangkai labah-labah, cicak dan serangga bulat yang tak dikenal namanya pun menggelinding keluar semua.

"Haha, tetap kelabang kepala merah yang paling lihai, "seru A Ci dengan senang.

"Nona, dupa apakah yang kaubakar hingga begini banyak serangga berbisa terpancing kemari?” tanya Goan-ci.

Mendadak A Ci menarik muka, semprotnya, "Sudah kukatakan tidak boleh bertanya, kamu sudah lupa ya? Kalau berani buka mulut lagi, segera kucambuk kamu 100 kali!”

"Hamba ter … terlalu senang sehingga lupa daratan, harap … harap nona memaafkan, "sahut Goan-ci dengan merendah.

A Ci tidak menggubris lagi, segera ia keluarkan pula sebungkus kain waktu dibuka, kiranya sepotong kain sutra yang tebal. Kain sutra itu bersulam indah dan berwarna-warni menyilaukan mata.

Segera ia bungkus Giok-ting itu dengan kain mengkilat itu. Ketika Goan-ci memperhatikan bangkai labahlabah, ketungging dan lain-lain ia lihat binatang itu sudah kering, sari racunnya sudah terisap habis oleh kelabang kepala merah itu.

Sementara itu A Ci sedang mengikat bungkusan kain satin itu dengan kencang seakan-akan kuatir kalau kelabang di dalam Giok-ting itu akan merayap keluar. Kemudian ia masukkan bungkusan itu ke dalam tas kulit di pelana kudanya.

"Marilah kita pulang!” katanya dengan tertawa.

Sambil mengikut di belakang kuda si gadis, diam-diam Goan-ci membatin, "Tripod hijau itu sungguh sangat aneh, yang lebih aneh lagi adalah dupa wangi yang dia bakar itu. Hanya karena mengendus bau wangi dupa itulah maka serangga-serangga itu terpancing kemari.”

Setiba kembali di istana Toan-hok-tian, segera A Ci memerintahkan pengawalnya membersihkan sebuah kamar yang kecil di samping istana untuk tempat tinggal Yu Goan-ci. Keruan girang Goan-ci melebihi orang mendapat warisan, sebab tanpa ia tahu selanjutnya setiap hari akan dapat melihat A Ci.

Benar juga, esoknya A Ci memanggilnya pula dan membawa dia masuk ke ruangan istana samping, lalu A Ci sendiri menutup pintu ruangan hingga di dalam situ cuma tinggal mereka berdua.

Hati Goan-ci berdebar-debar sebab tidak tahu apa yang hendak dilakukan si nona.

Tiba-tiba A Ci mendekati sebuah guci, ia buka tutup guci itu dan berkata kepada Goan-ci, "Coba lihat, sangat tangkas, bukan?”

Waktu Goan-ci ikut melongok ke dalam guci, ia lihat kelabang yang ditangkapnya kemarin itu sedang merayap-rayap dengan cepat dalam guci.

"Sekarang kita pergi mencari lagi sejenis binatang berbisa yang lain, "ajak A Ci.

Goan-ci tidak berani banyak bertanya, ia hanya mengiakan saja, walaupun dalam hati sangat heran, seorang nona cantik demikian mengapa suka main binatang berbisa yang menjijikkan dan berbahaya seperti itu?

Tidak lama kemudian mereka telah sampai di suatu lembah pegunungan lain, disitu A Ci menyalakan dupa dalam Giok-ting hingga lima jenis binatang berbisa dipancing datang lagi. Dan sesudah pertarungan berakhir, sekali ini yang menang adalah seekor labah-labah hitam.

Setelah pulang, A Ci menaruh labah-labah itu di dalam sebuah guci yang lain. Ia suruh Goan-ci membawa kasur bantalnya ke ruangan istana dan menjaga disitu.

Goan-ci sudah biasa main ular dan serangga berbisa, ia tahu binatang merayap seperti itu sangat pintar menyusup, dimana tampaknya tiada lubang, sering kali binatang-binatang merayap itu dapat menyusut keluar. Dan kalau ada salah seekor labah-labah atau kelabang yang lari keluar pasti dia yang akan tersengat mampus. Sebaliknya kalau sampai binatang itu ada yang hilang, tentu pula dia akan dihajar mati oleh A Ci.

Oleh karena itu semalaman suntuk boleh dikata Goan-ci tidak berani tidur, dengan hati kebat-kebit sebentarsebentar ia bangun untuk memeriksa kedua guci itu.

Esok paginya, dengan cara yang sama A Ci dapat pula menangkap seekor katak buduk. Hari keempat ia berusaha menangkap binatang berbisa yang lain, tapi tiada sesuatu yang memuaskan, yang dapat dipancing datang hanya sebangsa serangga kecil yang kurang lihai racunnya. Sesudah pindah tempat lagi, akhirnya dapat ditangkapnya seekor ketungging hijau gelap.

Hari kelima ia tidak dapat menangkap binatang berbisa lain. Hari keenam juga nihil usahanya. Sampai hari ketujuh, dapatlah A Ci menangkap seekor ular hijau kecil.

A Ci sangat girang setelah dapat mengumpulkan kelima jenis binatang itu. Ia suruh Goan-ci memiara binatangbinatang itu, setiap hari menyembelih seekor ayam jago, darah ayam jago dibuat makanan binatang-binatang berbisa itu.

Kira-kira belasan hari kemudian, A Ci datang lagi ke ruangan istana samping itu, ia lihat kelima binatang berbisa itu sudah gemuk-gemuk, ia sangat senang. Segera ia keluarkan Giok-ting pula dan menyalakan dupa.

"Bukalah kelima tutup guci itu, "katanya kepada Goan-ci.

Cepat Goan-ci melaksanakan perintah itu, ia buka semua tutup guci dan lekas-lekas menyingkir.

Maka terdengarlah suara gemerisik, kelima jenis binatang berbisa itu telah mengendus bau wangi dupa, mereka berebut merayap keluar dari guci masing-masing terus menyusup ke dalam Giok-ting berturut. Lantas terdengar suara mencicit ramai, kelima jenis binatang itu saling bertarung dengan sengit.

Kelima jenis binatang itu masing-masing sudah pernah mengisap racun dari jenis binatang lain, ditambah lagi selama belasan hari telah diloloh dengan darah ayam jago, keruan mereka sangat tangkas dan sangat bersemangat, begitu ketemu musuh, segera menyerang dengan ganas.

Dan pertama-tama katak buduk itu yang tidak tahan, lebih dulu katak itu jatuh keluar Giok-ting menyusul ular hijau itu pun mati. Tidak lama kemudian, labah-labah loreng dan ketungging pun mencelat keluar semua. Pemenang terakhir tetap kelabang berkepala merah yang tertangkap pertama itu.

Kelabang itu tampak merayap keluar dari Giok-ting untuk mengisap sari racun lawan-lawannya yang sudah mati itu. Maka badan kelabang itu perlahan mulai melembung, rupanya sangat kenyang dengan cairan yang diisapnya. Kepalanya yang merah itu mulai bersemu ungu, lalu menghijau dan membiru.

Semua itu diikuti A Ci dengan rasa senang, betapa girangnya dapat terlihat dari napasnya yang berat, terdengar gadis itu berkata dengan suara rendah, "Jadi, jadilah! Dapatlah kulatih ilmu ini!”

Baru sekarang Goan-ci tahu bahwa sebabnya si gadis menangkap binatang berbisa itu, kiranya ingin melatih sesuatu ilmu.

Sementara itu setelah kelabang tadi kenyang mengisap sari racun lawan-lawannya yang mati itu, lalu merayap kembali ke dalam Giok-ting.

"Badut besi, bagaimana pendapatmu tentang perlakuanku kepadamu selama ini?” tanya A Ci tiba-tiba.

"Oh, sungguh sangat baik, aku merasa hutang budi kepada nona, "sahut Goan-ci. "Biarpun hancur lebur badanku ini juga susah membalas kebaikan nona.”

"Apa betul-betul ucapanmu itu?” A Ci menegas.

"Sudah tentu, masakah hamba berani berdusta, "kata Goan-ci. "Asal nona ada perintah, tidak nanti hamba menolak.”

"Bagus jika begitu, "kata A Ci. "Nah ketahuilah bahwa ilmu yang akan kulatih ini diperlukan seorang pembantu. Apakau kau mau membantu aku? Jika ilmu ini sudah selesai kuyakinkan, tentu aku akan memberi hadiah padamu.”

"Sudah tentu hamba menurut perintah saja dan tidak berani bicara tentang hadiah segala, "sahut Goan-ci.

"Baiklah! Nah, sekarang juga aku akan mulai berlatih, "kata A Ci.

Habis berkata, ia terus duduk bersila kedua tangan saling bergesek-gesek, kedua mata terpejam, selang sebentar, lalu katanya, "Coba gunakan tangan untuk menangkap kelabang itu, Jika kelabang itu menggigit tanganmu, sekali-kali kamu tidak boleh bergerak, biarkan kelabang itu mengisap darahmu, makin banyak dia mengisap akan lebih baik.”

Sejak kecil Goan-ci sudah biasa main ular dan serangga berbisa, ia tahu binatang merayap seperti kelabang itu sangat jahat rupanya. Kalau tergigit, tentu luka itu akan bengkak, apalagi kelabang kepala merah ini telah mengalahkan binatang berbisa lain, sudah tentu jauh lebih lihai daripada kelabang biasa. Kini A Ci menyuruh tangannya dibiarkan digigit oleh kelabang itu untuk mengisap darahnya keruan ia merinding dan ragu-ragu.

Seketika A Ci menarik muka, tanyanya, "Kenapa? Kamu tidak mau?”

"Bukan tidak mau, nona, "sahut Goan-ci. "Cuma…cuma .. ”

"Cuma apa? Cuma takut mati bukan?” semprot A Ci.

Goan-ci tak bisa menjawab. Ia pikir baru saja ia menyatakan bersedia hancur lebur bagi si gadis dan sekarang tangannya disuruh digigitkan kelabang sudah merasa jeri. Ia coba melirik A Ci, dilihatnya wajah gadis itu

bersengut, bibir mencibir hina. Seketika Goan-ci merasa kena sihir, dengan segera ia berkata, "Baik, akan kuturut perintah nona.”

Dengan menggertak gigi ia buka tutup guci, ia pejamkan mata dan julurkan tangan ke dalam guci. Dan begitu jari menyentuh dasar guci itu, segera jari tengah terasa sakit seperti tertusuk jarum. Hampir-hampir ia tarik kembali tangannya kalau A Ci tidak keburu mencegahnya.

Terpaksa Goan-ci menahan sakit sekuatnya, waktu ia buka mata, ia lihat kelabang itu telah menggigit jari tengahnya dan benar juga sedang mengisap darahnya.

Bulu roma Goan-ci serasa berdiri semua, sungguh ia ingin membanting kelabang itu ke tanah dan sekali gecek mampuskan binatang itu. Meski berdiri mungkur, ia merasa mata A Ci yang tajam itu seakan-akan menembus punggungnya hingga dia tidak berani berkutik.

Untung rasa sakit gigitan kelabang itu tidak terlalu hebat. Maka lambat laun badan kelabang itu tampak melar, membesar. Sebaliknya jari tengah Goan-ci lamat-lamat seperti bersemu ungu, warna ungu makin tandas hingga akhirnya menjadi hitam. Selang tak lama, warna hitam itu menjalar dari jari menuju ke telapak tangan, lalu naik ke lengan dan ke bahu.

Tapi saat itu Goan-ci sudah tidak menghiraukan jiwanya lagi, ia anggap sepi saja segala bahaya, sebaliknya ia mengulum senyum malah, cuma senyumannya tertutup oleh topeng besi maka A Ci tidak dapat melihatnya.

Dalam pada itu, setelah mengisap darah sekian lamanya, kepala kelabang yang hijau biru itu telah kembali menjadi merah lagi. A Ci terus memperhatikan badan kelabang itu dengan mata tak berkedip. Ketika mendadak kelabang itu melepaskan jari Yu Goan-ci dan mendekam di dalam Giok-ting, selang sejenak, tertampaklah dari lubang bawah Giok-ting itu menitik cairan darah setetes demi setetes.

A Ci tampak sangat girang, segera ia menggunakan telapak tangan untuk menahan cairan darah itu, ia duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam hingga cairan darah di telapak tangan itu terisap masuk ke dalam tangan.

Diam-diam Goan-ci membatin, "Itu adalah darahku, sekarang telah berpindah ke dalam tubuhnya. Agaknya dia sedang melatih semacam ilmu pukulan berbisa sebangsa Ngo-tok -ciang (ilmu pukulan panca bisa) barangkali ?”

Sudah tentu tia tidak tahu bahwa Giok-ting itu adalah benda pusaka Sing-siok-pai, apa yang dilatih A Ci itu adalah "Hoa-kang-tai-hoat” yang paling ditakuti oleh jago silat manapun di dunia ini.

Begitulah, ketika kemudian darah beracun dalam badan kelabang itu sudah menetes keluar semua, maka kelabang itu pun lantas mati.

Waktu A Ci menggosok-gosok kedua tangan sendiri, ia lihat telapak tangannya tetap putih bersih sebagai kemala, sedikitpun tiada noda darah, maka tahulah dia bahwa cara berlatih Hoa-kang-tai-hoat yang pernah didengarnya dari sang guru itu memang tepat dan tidak salah sedikitpun, ia girang sekali, segera ia angkat Giok-ting dan menuang keluar kelabang yang sudah mati itu ke lantai, lalu tinggal pergi dengan cepat, sekejappun dia tidak pandang lagi kepada Yu Goan-ci seakan-akan pemuda sama saja seperti bangkai kelabang yang tiada gunanya lagi.

Dengan termangu-mangu dan rasa kecewa Goan-ci memandangi kepergian A Ci, ketika kemudian ia membuka baju sendiri, ia lihat warna hitam tadi sudah menjalar sampai di bagian ketiak, berbareng itu lengannya mulai terasa gatal dan pegal. Rasa gatal dan pepat itu datangnya teramat cepat, dalam sekejap saja ia merasa seperti digigit oleh beratus ribu ekor semut.

Cepat Goan-ci melonjak bangun, segera ia menggaruk tangan yang gatal itu. Tapi lebih celaka lagi sesudah di garuk, rasa gatalnya semakin menjadi hingga serasa tulang sumsum juga dimasuki oleh serangga yang sedang merayap-rayap disitu.

Pada umumnya rasa sakit dapat ditahan dan rasa gatal sukar untuk ditahan. Keruan Goan-ci berjingkrakjingkrak dan berteriak-teriak. Berulang-ulang ia membenturkan kepala di dinding hingga mengeluarkan suara nyaring, ia berharap dirinya bisa pingsan oleh benturan itu, dengan demikian ia takkan merasakan derita gatal dan pegal luar biasa itu.

Ketika ia membentur-bentur lagi kepalanya beberap kali, tiba-tiba dari bajunya jatuh keluar suatu bungkusan kertas, sejilid buku yang sudah kuning terserak di lantai. Itulah kitab dalam bahasa Hindu kuno yang ditemukannya di padang rumput tempo hari.

Dalam keadaan gatal tak tertahankan ia tidak sempat mengurus barangnya yang jatuh. Tanpa sengaja, sekilas terlihat olehnya halaman kitab yang terbuka itu melukiskan seorang padri asing yang kurus kering. Gaya lukisan itu sangat aneh, padri itu terlukis sedang menungging, kepalanya dimasukkan ke selangkangan jadi memandang ke belakang, sedang kedua tangan memegang kedua kaki sendiri.

Goan-ci sendiri lagi kegatalan sambil berjingkrak-jingkrak hingga tak menaruh perhatian kepada gaya lukisan yang aneh itu, ia masih terus melonjak-lonjak dan berjingkrak-jingkrak seperti orang gila, saking gatalnya hingga rasanya lebih enak mati saja.

Akhirnya saking tak tahan, ia rebahkan diri di lantai sambil menarik-narik baju sendiri hingga sobek dan hancur, ia gosok-gosokkan badan sendiri ke lantai hingga lecet dan mengeluarkan darah.

Begitulah ketika Goan-ci bergelimpangan di lantai sambil menggosok-gosokkan badannya di lantai entah mengapa, tahu-tahu kepalanya menerobos ke selangkangan sendiri. Karena dia memakai ketudung besi, buah kepalanya menjadi amat besar, sekali ketelanjur terjepit di selangkangan, kepalanya menjadi sukar ditarik kembali. Segera ia bermaksud mengeluarkan kepalanya dengan tangan tapi tanpa sengaja dan dengan sendirinya kedua tangan lantas memegang kaki sendiri.

Ia kelabakan sendiri hingga akhirnya megap-megap. Saking lelah, ia tak bisa berkutik dan terpaksa berhenti sementara untuk ganti napas, dan tanpa sengaja ia lihat kita yang jatuh terbuka dan berada di depan matanya. Paderi kurus kering yang terlukis di dalam kitab itu gayanya persis seperti dia sekarang.

Keruan ia sangat heran dan geli pula.

Yang paling aneh adalah sesudah dia bergaya seperti padri dalam lukisan itu, meski rasa gatal dalam tubuhnya masih tetap sama, namun napasnya menadi banyak lebih longgar. Maka ia tidak perlu buru-buru mengeluarkan kepalanya dari selangkangan sendiri, dengan cara begitulah ia mendekam di lantai.

Dan karena kepalanya menerobos di bawah selangkangan, maka matanya menjadi lebih dekat dengan kitab itu. Waktu ia pandang lagi padri dalam lukisan, mendadak ia lihat tubuh padri itu terlukis sedikit-sedikit garis-garis yang halus. Kitab itu sudah tua, kertasnya sudah kotor kekuning-kuningan, goresan-goresan yang halus itu sebenarnya susah terbaca, tapi kini Goan-ci menungging hingga mukanya hampir menempel di atas kitab, maka garis-garis halus itu dapat terlihat jelas.

Saat itu lengan kanan Goan-ci terasa sangat gatal tak terhingga, dan otomatis pandangannya terarah kepada lengan kanan padri kurus dalam lukisan itu. Ia lihat garis halus pada lengan padri itu dari telapak tangan menjurus naik ke tenggorakan, ke dada, ke perut, dan sesudah melingkar kian kemari akhirnya naik ke bahu terus ke ubun-ubun kepala.

Karena mata memandang garis-garis halus dalam lukisan itu, dengan sendirinya hati ikut berpikir juga, maka terasalah rasa gatal aneh di lengannya itu berubah menjadi suatu arus hawa hangat dan menggeser menurut jalan garis dalam lukisan itu, mula-mula mengalir ke tenggorokan, kemudian ke dada, ke perut dan begitu seterusnya hingga akhirnya sampai di ubun-ubun kepala, kemudian lenyap perlahan.

Begitulah berulang ia gunakan pikiran dan setiap kali lantas timbul suatu arus hawa hangat dan menyalur ke dalam otak, sebaliknya rasa gatal di lengan menjadi banyak berkurang.

Heran dan kejut juga Goan-ci, tapi ia tidak sempat menyelami sebab musababnya, segera ia lakukan cara itu hingga lebih 30 kali dan rasa gatal di lengan hanya tinggal sedikit saja, ketika ia melanjutkan belasan kali lagi, rasa gatal itu lantas hilang sirna.

Ketika kemudian ia dapat mengangkat kembali kepalanya, ia periksa lengannya, ia lihat warna hitam yang naik ke atas tadi kini sudah lenyap sama sekali. Saking girangnya, ia berjingkrak. Tapi mendadak ia berteriak, "Ai, celaka! Sekarang racun kelabang itu telah masuk semua ke dalam otakku!”

Namun rasa gatalnya sekarang sudah hilang, keadaan badan sehat seperti biasa, meski ada kemungkinan akan timbul sesuatu di kemudian hari juga tidak dihiraukan lagi. Ia pikir. "Masakah di dunia ini ada kejadian secara begini kebetulan? Dalam keadaan tidak sengaja, tahu-tahu aku menirukan gaya seperti padri dalam lukisan itu? Apakah semua ini memang takdir ilahi?”

Esok paginya, baru saja ia menerobos keluar dari kolong selimutnya, tiba-tiba A Ci datang kesitu. Ketika melihat pakaian pemuda itu hancur hingga hampir telanjang, A Ci menjerit kaget, katanya, "He, kenapa kamu belum mampus?”

Goan-ci terkejut dan cepat menyusup kembali ke dalam selimut, sahutnya, "Ya, hamba belum mati!”

Diam-diam ia merasa pedih karena si gadis menganggapnya sudah mati.

"Boleh juga, jika kamu belum mati, "kata A Ci kemudian, "Nah, lekas pakai baju dan ikut aku pergi menangkap binatang berbisa lain.”

Goan-ci mengiakan. Ia tunggu setelah A Ci keluar, segera ia minta suatu stel pakaian kepada prajurit Cidan yang jaga disitu.

Lalu ia ikut A Ci keluar kota untuk mencari binatang berbisa seperti tempo hari. Dan sudah tentu, setiap kali berhasil menangkap sejenis binatang berbisa, selalu Goan-ci yang digunakan sebagai "kelinci percobaan” untuk latihan A Ci yang hendak meyakinkan "Hoa-kang-tai-hoat”. Tapi setiap kali Goan-ci selalu menggunakan cara yang dilihatnya dalam lukisan untuk menghapus racun yang masuk ke badannya.

Begitulah maka berulang-ulang Goan-ci telah digigit oleh laba-laba hijau, kemudian seekor ketungging besar. Setiap kali A Ci mengira pemuda itu pasti akan mati, tapi ia menjadi terheran-heran bila esok paginya melihat Goan-ci masih sehat walafiat.

Keadaan itu berlangsung terus hingga tiga bulan, belasan li di sekitar kota itu boleh di katakan sukar didapatkan binatang berbisa lagi, kalau ada hanya tinggal yang kecil dan kurang berguna. Karena itu, tempat yang mereka datangi menjadi makin jauh di luar kota.

Suatu hari, mereka sampai di suatu tempat kira-kira lebih 30 li di barat kota, disitu A Ci menyalakan dupa wangi. Setelah ditunggu hampir satu jam, akhirnya terdengar gemeresek di antara semak-semak rumput sana, segera A Ci berseru, "Awas, tiarap, ke bawah!”

Cepat Goan-ci menurut, ia mendekam ke tanah, maka terdengarlah suara gemersek itu tambah keras, suaranya aneh dan luar biasa.

Diantara suara aneh itu tercampur pula bauamis yang memuakkan, Goan-ci tidak berani bergerak sambil menahan napas. Ia lihat dimana semak rumput tersingkap, muncul seekor ular sawah yang sangat besar.

Kepala ular sawa itu berbentuk segitiga, di atas kepala menonjol sepotong daging yang aneh.

Pada umunya di daerah utara jarang terdapat ular, lebih-lebih ular sawa aneh begitu, selamanya belum pernah dilihat Goan-ci.

Sementara itu ular sawa raksasa itu sudah merayap sampai di dekat Giok-ting, lalu melingkari tripod itu. Badan ular itu panjangnya ada dua-tiga meter. Besarnya sebulat lengan manusia, sudah tentu tidak dapat menyusup ke dalam Giok ting seperti binatang merayap yang lain. Tapi dia sangat tertarik oleh bau wangi dupa di dalam Giok-ting, maka berulang-ulang ular itu membentur dengan kepalanya.

Sungguh sama sekali A Ci tidak menduga bahwa dupa yang dibakarnya itu dapat memancing datang seekor ular sawa raksasa seperti itu. Seketika ia menjadi bingung juga, perlahan ia geser ke samping Goan-ci dan berkata padanya dengan suara tertahan, "Celaka benar! Bagaimana baiknya sekarang? Bila ular itu membikin remuk Giok-ting tentu runyam usahaku selama ini!”

Selama ini Goan-ci selalu dibentak dan dimaki oleh A Ci, belum pernah ia dengar suara ramah-tamah si gadis seperti sekarnag, nadanya mengajak berunding padanya, keruan ia terkesiap dan merasa bahagia pula. Segera ia menjawab, "Jangan kuatir, biar kugebah pergi ular itu!”

Segera ia berbangkit dan melangkah ke arah ular sawa raksasa.

Demi mendengar suara tindakan orang, seketika badan ular itu melingkar-lingkar dan kepala menegak sambil menjulur-julurkan lidahnya yang merah dengan suara mendesis-desis siap untuk memagut.

Melihat betapa garangnya ular itu, mau-tak-mau Goan-ci merasa jeri juga. Ada maksudnya menjemput sepotong batu untuk menimpuk ular itu, tapi ia kuatir luput hingga mengenai Giok-ting malah.

Tengah ragu dan bingung, tiba-tiba terasa angin dingin meniup dari sini-sana ada suatu sumbu api sedang menjalar ke arah sini, hanya dalam sekejap saja jalur api itu sudah menjalar sampai di depannya.

Waktu ia awasi, kiranya bukan sumbu api, tapi di tengah semak-semak rumput itu ada sejenis makhluk aneh, dimana binatang itu merayap lewat, disitu rumput yang tadinya hijau segar lantas hangus seperti habis terbakar. Berbareng itu Goan-ci merasa kakinya sangat kedinginan.

Cepat Goan-ci mundur beberapa tindak, waktu ia perhatikan binatang merayap agak aneh sedang mendekati Giok-ting itu, kini dapat dilihatnya dengan jelas kiranya seekor ular sutra.

Ular sutra itu warnanya putih bening kehijau-hijauan, bentuknya serupa dengan ular sutra umumnya, cuma besarnya lebih sekali lipat hingga mirip seekor cacing. Pula badannya bening tembus seperti kaca.

Tadi ular sawa raksasa itu sangat galak, kepalanya menegak dan mendesis-desis mengancam musuh, tapi sekarang ternyata sangat ketakutan terhadap ulat sutra itu, sedapat mungkin ia hendak menyembunyikan kepalanya ke bawah lingkaran badannya.

Tapi dengan cepat luar biasa ulat sutra putih itu telah merambat ke atas badan ular sawa itu sepanjang jalan yang dirambatnya itu, seketika punggung ular sawa itu terbakar suatu garis hangus. Waktu ulat itu merayap sampai di atas kepala ular kontan kepala ular itu pecah merekah bagaikan dibelah dengan pisau yang tajam.

Segera ulat sutra itu menyusup ke dalam kelenjar bisa dalam kepala ular sawa itu untuk mengisap cairan bisa ular. Hanya sebentar saja cairan berbisa itu sudah kering terisap hingga badan ulat itu melar lebih besar satu kali lipat, tampaknya badan ulat yang bening itu menjadi mirip sebuah botol kecil yang penuh terisi cairan hijau.

Girang dan kejut A Ci melihat kelihaian ulat sutra itu, katanya dengan suara lirih, "Ulat sutra ini sungguh hebat, tampaknya adalah rajanya binatang berbisa!”

Sebaliknya Goan-ci diam-diam sangat cemas dan kuatir, ia pikir, "Jika darahku diisap oleh ulat sutra berbisa sejahat ini, pasti jiwaku akan amblas sekali ini!”

Dalam pada itu ulat sutra itu mulai merayap di sekitar Giok-ting, lalu merambat ke atas tripod itu. Setiap tempat yang dilaluinya tentu meninggalkan suatu bekas hangus.

Tapi ulat itu seperti dapat berpikir, ia hanya merayap suatu keliling di atas Giok-ting dan seakan-akan tahu bila menyusup ke dalam tentu ia akan mati. Maka berbeda dengan binatang berbisa yang lain, ia tidak mau menyusup ke dalam Giok-ting, sebaliknya merayap turun lagi dan tinggal pergi ke arah datangnya tadi.

"Lekas kejar, lekas!” seru A Ci.

Segera ia mengeluarkan kain satin untuk membungkus kembali Giok-ting, lalu mengejar ke arah ulat sutra tadi dengan diikuti Goan-ci.

Meski ulat sutra itu cuma seekor binatang kecil, tapi merayapnya ternyata sangat cepat. Untung dimana dia lewat tentu meninggalkan bekas maka untuk mengikuti jejaknya menjadi tidak susah.

Dan sekali mengejar ternyata sudah beberapa li jauhnya. Tiba-tiba terdengar di depan ada suara gemericiknya air, terlihat sebuah sungai melintang disitu. Bekas hangus yang ditinggalkan ulat sutra itu pun lantas menghilang setiba di tepi sungai. Waktu memandang ke tepi seberang, disana juga tiada bekas jejak ular. Mungkin sekali ular itu kecemplung ke dalam sungai, kemudian hanyut terbawa air.

Dengan kesal A Ci mengomel, "Tadi mengapa kamu tidak mengejar lebih cepat dan sekarang kemana harus mencarinya? Pendek kata, kamu harus menemukan kembali ular itu!”

Sudah tentu Goan-ci gelisah dan bingung, ia mencari kian kemari dan sudah tentu hasilnya nihil. Setelah mencari lagi satu dua jam, sementara itu hari sudah hampir gelap, A Ci tidak sabar lagi, segera katanya dengan gusar. "Betapapun kamu wajib menangkapnya kembali untukku, kalau tidak, maka kaupun tidak perlu menemui aku lagi!”

Habis berkata, ia mencemplak ke atas kudanya dan tinggal pulang ke kota.

Keruan Goan-ci semakin gelisah, terpaksa ia mencari terus ke hilir sungai. Sesudah beberapa li lagi, cuaca sudah mulai remang-remang, tiba-tiba dilihatnya di semak-semak rumput di seberang sana ada bekas hangus

dilalui ulat sutra itu. Saking girangnya sampai Goan-ci berteriak, "Nona sudah ketemu sekarang!”

Dan sudah tentu suaranya tak didengar oleh siapapun sebab A Ci sudah lama tinggal pergi. Segera Goan-ci menyeberangi sungai itu, ia kejar terus mengikuti jejak hangus itu. Ia lihat jalur hangus itu menyusur sepanjang jalan pegunungan itu dan menuju ke lereng bukit di depan sana.

Dengan penuh semangat Goan-ci berlari lebih cepat. Ketika kemudian ia mengangkat kepala, tiba-tiba dilihatnya di ujung jalan pegunungan itu berdiri sebuah kelenteng besar dan megah. Sesudah dekat, Goan-ci lihat papan kelenteng itu tertulis huruf besar "Ci-kian Bin-tiong-si”.

Ia tidak sempat memperhatikan keadaan kelenteng itu, yang dipentingkan adalah mengikuti jejak hangus itu. Ia lihat jalur hangus itu mengitar ke samping kelenteng. Lalu menyusur ke belakang rumah berhala itu.

Ia dengar di dalam kelenteng suara genta dan bok-hi (kentungan) sedang berbunyi, disana sini terdengar suara pembacaan kitab, terang padri di dalam kuil itu sendang liem-keng melakukan sembahyang petang. Dari suara yang berisik itu, agaknya padri penghuni kelenteng itu tidak sedikit jumlahnya.

Sejak Goan-ci kepala dikerudungi topeng besi itu, ia merasa malu diri dan enggan muncul di depan umum. Karena kuatir diketahui padri dalam kelenteng, segera ia putar ke samping kelenteng, ia lihat jalur hangus itu melintasi suatu tanah pekarangan, lalu masuk ke suatu kebun sayur.

Goan-ci sangat girang, ia menduga dalam kebun sayur itu tak ada orang, mengingat waktu itu sudah magrib dan para padri sedang sembahyang, cepat ia menuju kebun itu, ia yakin ular itu tentu lagi makan daun sayur dalam kebun dan dengan gampang akan ditangkapnya.

Tapi baru saja ia sampai di luar pagar bambu kebun sayur itu, tiba-tiba didengarnya di dalam kebun ada suara orang sedang mencaci maki. Terdengar orang itu lagi mendamprat, "Kenapa kamu begini kurang ajar, sendirian mengeluyur pergi pesiar? Sampai Locu (bapakmu, kata olok-olok) kelabakan setengah mati mencarimu dan kuatir kamu takkan pulang untuk selamanya. Jauh-jauh Locu telah membawamu ke sini dari Puncak Kun-lunsan, tapi dasar kamu memang tidak kenal kebaikan Locu. Kalau kelakuanmu terus begini, bagaimana hari depanmu? Tentu tiada seorang pun yang akan kasihan pada nasibmu kelak!”

Meski suara orang itu kedengaran sangat marah, namun mengandung juga rasa kasih sayang, jadi lebih mirip orang tua yang sedang memberi petuah kepada anaknya yang nakal.

Diam-diam Goan-ci pikir, "Dia bilang membawanya jauh-jauh dari puncak Kun-lun-san, maka hubungan mereka terang bukan antara ayah dan anak melainkan guru dan murid atau angkatan tua lainnya.”

Sembari berpikir segera ia pun merunduk maju ke tepi pagar bambu dan mengintip ke dalam kebun. Maka tertampaklah pembicara itu adalah seorang hwesio.

Potongan hwesio itu sangat lucu, sudah pendek, lagi gemuk, jadi bundar mirip bakpau.

Pada umumnya kepala hwesio itu tercukur kelimis, tapi dia justru tidak cukur rambut, bahkan mukanya, lengannya dan dadanya penuh tumbuh rambut yang panjang. Sebaliknya pakaiannya rajin dan bersih sekali.

Padri itu tampak sedang menuding ke tanah dengan marah-marah sambil mendamprat.

Sungguh Goan-ci heran tak terkatakan, sebab di depan padri itu tiada seorang pun. Tapi ketika ia perhatikan, seketika ia terkejut dan bergirang. Kiranya yang didamprat habis-habisan oleh hwesio buntak itu tak-lain-takbukan adalah ulat sutra raksasa yang sedang dicarinya itu.

Memangnya potongan hwesio buntak itu sangat aneh, ternyata tingkah lakunya terlebih mengherankan masakan dia mendamprat seekor ulat seperti dia memaki anaknya saja?

Dalam pada itu ulat sutra raksasa itu tampak merayap-rayap dengan cepat di atas tanah seperti sedang berusaha melarikan diri, namun hanya dapat mengitar saja di situ, setiap kali ia seperti terbentur oleh sebuah dinding yang tak berwujud lalu berputar balik.

Waktu Goan-ci perhatikan lebih cermat, lamat-lamat terlihat di atas tanah situ tergambar sebuah lingkaran warna kuning, ulat sutra itu merayap ke sini dan menyusup kesana, tapi tidak dapat melintasi lingkaran kuning itu. Maka pahamlah Goan-ci akan duduknya perkara, "Tentu lingkaran kuning itu digambar dengan semacam obat bubuk, dan obat itu justru adalah obat anti ulat sutra!”

Begitulah sesudah hwesio buntak itu memaki sebentar pula. Kemudian ia merogoh keluar sepotong barang dan digeragoti. Kiranya barang itu adalah sepotong congor kambing rebus.

Nikmat sekali kelihatannya hwesio itu makan daging kambing, kemudian ia tanggalkan sebuah buli-buli rusak dari pinggangnya, ia buka sumbat Ho-lo (buli-buli buatan dari sejenis labu yang dikeringkan) dan menenggak dengan bernapsu.

Segera Goan-ci mencium bau arak yang harum. Pikirnya, "Kiranya orang ini adalah hwesio sontoloyo yang tidak pantang makan daging dan minum arak. Tampaknya ulat sutra ini piaraannya, makanya ia sangat sayang pada binatang itu. Lantas cara bagaimana aku harus mencurinya.

Tengah Goan-ci mencari akal, tiba-tiba didengarnya ada suara orang berseru disebelah kebun sana, "Sam-ceng! Sam-ceng!”

Hwesio buntak itu kelihatan terkejut demi mendengar suara panggilan itu, cepat-cepat ia menyembunyikan Holo dan congor kambing yang belum habis dimakan itu kedalam onggok rumpuk kering di situ.

Dalam pada itu suara orang tadi lagi memanggil pula, "Sam-ceng! Sam-ceng! Dimanakau, mengapa kamu tidak sembahyang magrib, tapi mengumpet dimana?”

Cepat hwesio buntak itu menjemput sebatang cangkul yang berada di sisinya, segera ia pura-pura lagi mencangkul ladang sayur, lalu menjawab "Aku berada disini! Aku lagi mencangkul sayur atas perintah Hongtiang, maka tidak sempat melakukan ibadah.”

Maka tertampaklah orang yang memanggil itu lagi mendekat, kiranya seorang hwesio setengah umur dengan muka kereng ia berkata, "Ibadah pagi dan sore harus dilakukan setiap orang. Untuk mencangkul mengapa mesti dilakukan pada waktu sembahyang? Ayo lekas kesana, habis melakukan kewajiban boleh datang ke sini untuk mencangkul lagi!”

Si paderi buntak yang dipanggil Sam-ceng itu mengiakan, lalu menaruh cangkul dan ikut pergi bersama hwesio yang memanggilnya itu tanpa berani menoleh, rupanya kuatir perbuatannya tadi ketahuan.

Menunggu setelah kedua padri itu menghilang dan sekitar situ sudah sunyi, diam-diam Goan-ci menerobos pagar bambu dan masuk ke dalam kebun, ia lihat ulat sutra itu masih merayap kian kemari ingin keluar dari lingkaran kuning. Untuk sejenak Goan-ci bingung cara bagaimana harus menangkap ulat itu.

Tiba-tiba ia mendapat akal, segera ia menggerayangi onggok rumput kering dan mengeluarkan ho-lo yang disembunyikan si padri buntak tadi. Ia coba kocok buli-buli itu dan ternyata masih ada isinya setengah. Ia minum beberap ceguk araknya, lalu membuang sisanya, perlahan ia pasang mulut holo itu ke garis lingkaran kuning itu. Dan begitu mulut ho-lo melintang di garis itu cepat sekali ulat lantas menyusup ke dalam ho-lo.

Girang Goan-ci tak terkatakan, cepat ia tutup sumbat ho-lo, sambil mendekap ho-lo dengan kedua tangan, segera ia menerobos keluar pagar bambu dan cepat lari kembali ke arah datangnya tadi.

Tapi baru beberapa puluh meter jauhnya ia tinggalkan kelenteng itu, segera ia merasa kedua tangannya kedinginan, hawa dingin itu merembes keluar dari dalam ho-lo. Begitu dingin hingga tangannya serasa akan beku, ia benar-benar tidak sanggup lagi memegangi ho-lo itu.

Saking tak tahan akan rasa dingin itu, ia coba taruh ho-lo di atas kepalanya. Tapi cara ini lebih celaka lagi baginya, sebab hawa dingin itu menembus topeng besi yang dipakainya hingga kepalanya kedinginan seakanakan beku, bahkan darah seluruh tubuh juga serasa beku semua.

Tiba-tiba Goan-ci mendapat akal lagi, ia lepaskan ikat pinggang, ia ikat pinggang ho-lo itu dan mencangkingnya dengan tangan. Tali pinggang itu tak tertembus hawa dingin, maka ia dapat menjinjingnya dengan selamat untuk melanjutkan perjalanan. Namun begitu hawa dingin masih merembes keluar dari dalam ho-lo hingga dalam sekejap saja di luar ho-lo telah membeku menjadi selapis es.

Goan-ci berjalan dengan setengah berlari, waktu hari gelap barulah ia sampai di kota, pintu gerbang kota sudah ditutup, terpaksa ia bermalam di luar benteng kota, esok paginya barulah ia datang ke Toan-kok-tian untuk melapor kepada A Ci tentang hasilnya itu.

A Ci sangat girang, segera ia perintahkan Goan-ci memiara ulat sutra itu di dalam guci.

Tatkala itu sudah permulaan musim panas, hawa agak hangat di daerah utara. Tapi sejak ular sutra itu di piara dalam istana samping, seketika hawa di dalam istana itu tambah dingin, tidak lama kemudian bahkan air teh di dalam teko dan cangkir juga beku menjadi es.

Malam itu meski Goan-ci tidur berselimut, tapi dia kedinginan sampai menggigil, pikirnya "Ulat sutra ini sungguh sangat aneh, benar-benar jarang terdapat di dunia ini. Bila nanti nona menggunakan ulat ini untuk mengisap darahku, andaikan aku tidak mati keracunan juga pasti akan mati beku.”

Ketika A Ci mendapati keadaan aneh dalam istana itu, segera ia tahu ulat sutra itu bukanlah binatang sembarangan. Berulang ia menangkap pula beberapa ekor ular dan serangga berbisa lain untuk diadu dengan ulat sutra itu, tapi semua kalah, asal dilingkari sekali oleh ulat sutra itu, seketika lawannya mati kedinginan, lalu cairan racunnya diisap kering oleh ulat sutra.

Belasan hari kemudian, tiada sesuatu binatang berbisa lain yang dapat diadu lagi dengan ulat sutra itu.

Suatu hari A Ci datang ke ruangan samping istana dan berkata kepada Goan-ci, "Badut besi, hari ini kita akan

menggunakan ulat sutra ini. Nah ulurkan tanganmu ke dalam guci, biarkan ulat itu mengisap darahmu!”

Memang selama beberapa hari ini hati Goan-ci selalu kebat-kebit, siang berkuatir dan malam bermimpi buruk, yang ditakuti justru adalah perintah seperti si nona sekarang ini. Dan sekali nona itu sudah memberi perintah, betapapun pasti akan menjadi korban ulat itu, untuk minta ampun juga percuma. Dengan rasa pedih Goan-ci memandang A Ci tanpa berkata dan tidak bergerak.

Sementara itu A Ci sudah duduk bersila untuk mengerahkan lwekangnya, yang terpikir olehnya saat itu adalah Hoa-kang-tai-hoat yang akan berhasil dilatihnya itu bukan mustahil akan jauh lebih lihai daripada gurunya sendiri. Dan ketika melihat Goan-ci diam saja, segera ia memerintah lagi, "Nah, ulurkan tanganmu!”

Air mata Goan-ci bercucuran, tiba-tiba ia berlutut dan menjura kepada A Ci, katanya, "Nona, bila ilmu saktimu sudah berhasil kau yakinkan, hendaklah jangan melupakan hambamu yang berkorban bagimu ini. Aku she Yu bernama Goan-ci, dan bukan badut besi atau badut tembaga segala”.

A Ci tersenyum, sahutnya, "Baiklah, aku akan mengingatnya, namamu Yu Goan-ci. Kamu sangat setia padaku, sungguh bagus, seorang budak yang setia!”

Pujian itu dirasakan oleh Goan-ci sebagai hiburan sebelum ajalnya, kembali ia menjura tiga kali lagi dan menyatakan terima kasih.

Tapi setiap manusia di dunia ini pasti mempunyai rasa takut mati. Yu Goan-ci juga tidak rela mati konyol secara begitu. Teringat olehnya tempo hari sesudah dia tergigit oleh kelabang, jiwanya yang hampir amblas itu dapat tertolong oleh gaya menjungkir si padri kurus kering dalam lukisan itu. Maka sekarang mencobanya lagi secara untung-untungan, siapa tahu kalau akan berhasil juga.

Segera ia berdiri dengan berjinjit. Ia menekuk tubuh dan menyusupkan kepala ke bawah selangkangan, dengan demikian ia menjulurkan tangan ke dalam guci, sedangkan pikiran tertuju kepada garis merah yang terlukis pada si padri kurus dalam kitab itu.

Mendadak "clekit” jari telunjuknya terasa sakit dan gatal, suatu arus hawa dingin terus merangksang ke dalam tubuh. Namun Goan-ci sudah siap sedia, pikirannya melulu tertuju kepada garis merah di dalam lukisan si padri kurus itu. Ia merasa hawa dingin itu benar-benar dapat mengalir menurut relnya, yaitu mengikuti garis merah yang diingat-ingat olehnya. Maka hawa dingin itu mulai mengalir dari jari ke lengan, dari lengan ke bahu, ke dada dan berputar-putar untuk kemudian sampai di ubun-ubun kepala.

Meski garis yang dilalui itu terasa dingin merasuk tulang, tapi rasa dingin itu sangat halus hingga Goan-ci

masih sanggup bertahan.

Semula A Ci sangat geli melihat kelakuan Goan-ci yang aneh itu. Tapi sesudah agak lama pemuda itu tetap berjungkir, mau tak mau A Ci merasa sangsi. Ia coba mendekat ia lihat ulat sutra di dalam guci telah menggigit jari telunjuk pemuda itu.

Karena badan ulat sutra itu berwarna putih bening, maka dapat terlihat dengan jelas darah yang diisap itu mengalir masuk ke dalam perut ulat, sesudah berputar di dalam badan, lalu aliran darah mencurah keluar kembali ke jari Yu Goan-ci.

Sedang agak lama lagi, lambat-laun kerudung besi, pakaian, kaki dan tangan Goan-ci mulai beku oleh selapis es.

"Budak ini terang sudah mati, badan orang hidup umumnya panas, mana dapat beku menjadi es?” demikian A Ci berkata di dalam hati.

Ia lihat dalam badan ulat sutra itu masih ada darah yang mengalir, terang belum selesai ular itu mengisap darah. Terpaksa ia mesti bersabar dan menunggu ulat itu jatuh sendiri bila sudah kenyang mengisap darah, lalu ia akan gecek mati ular itu untuk mengambil sari bisanya guna melatih Hoa-kang-tai-koat yang mujizat itu.

Begitulah A Ci menaruh perhatian penuh akan keadaan ulat sutra itu sambil siap memegang sebatang tongkat untuk menggeceknya. Sekonyong-konyong dilihatnya badan ulat sutra itu mengeluarkan hawa panas.

Selagi A Ci terkejut dan terheran-heran "bluk”, tahu-tahu ulat itu jatuh ke dalam guci. Kontan saja A Ci mengetuk dengan tongkat yang dipegangnya.

Semula ia duga gecekannya itu belum tentu dapat membinasakan ulat itu mengingat binatang itu sangat licin dan gesit. Siapa duga, sekali ulat itu jatuh ke dalam guci, seketika menggeletak dengan perut di atas tanpa berkutik lagi, maka sekali gecek segera ulat sutra itu gepeng dan hancur.

A Ci sangat girang, cepat ia masukkan tangan ke dalam guci, ia poles cairan darah ulat itu pada kedua telapak tangan sendiri, lalu pejamkan mata dan mengerahkan lwekang, maka dengan cepat cairan darah ulat sutra itu terisap kering ke dalam telapak tangan. Ia tahu khasiat ulat sutra itu sangat sukar dicari, maka berulang-ulang A Ci poles cairan darah ulat pada tangannya, setelah cairan itu kering betul-betul barulah ia berhenti.

Kemudian ia berbangkit, ia lihat Goan-ci masih berjungkir, seluruh badan penuh terbungkus es. Sudah tentu A Ci sangat heran, ia coba meraba badan orang, ia merasa dingin sekali, untuk sejenak A Ci memandang keadaan aneh itu dengan bingung, lalu tinggal pergi.

Entah paginya A Ci datang ke ruangan istana pula, ia lihat Goan-ci masih tetap terjungkir dan es yang membeku di atas badan pemuda itu bertambah tebal. Terkejut dan geli pula A Ci. Segera ia memanggil Sili dan menyuruhnya menyeret pergi mayat Yu Goan-ci untuk dikubur..

Dengan beberapa anak buah segera mengangkut mayat Goan-ci keluar kota dengan kereta kuda.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar