Pendekar Sakti Suling Pualam Bagian 05

Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Sakti Suling Pualam Bagian 05
Bagian 05

"Kini sudah bukan rahasia lagi, lebih baik terbuka saja," ujar Lu Hui San sambil menghela nafas panjang. "Ai Ling, Goat Nio, sebelumnya aku mohon maaf kepada kalian, karena aku merahasiakan sesuatu terhadap kalian."

"Menutup apa?" tanya Lie Ai Ling heran.

"Identitas diriku," sahut Lu Hui San dan melanjutkan, "Sebetulnya ayahku bukan Lu Kam Thay, melainkan Lu Thay Kam."

"Apa?" seru Lie Ai Ling tak tertahan. "Lu Thay Kam adalah ayahmu?"

"Ya." Lu Hui San mengangguk. "Tapi dia bukan ayah kandungku, melainkan ayah angkat."

"Jadi____" Lie Ai Ling terbelalak. "Kakak Bun Yang tahu tentang itu?"

"Ya. Dia memang tahu. Namun karena masih ragu maka dia bertanya kepadaku," sahut Lu Hui San. "Bahkan dia juga tahu asal-usulku. Maka untuk memastikan itu, dia menemuiku di sini."

"Oh?" Lie Ai Ling menarik nafas lega, kemudian menegur Tio Bun Yang. "Kenapa Kakak Bun Yang tidak mau memberitahukan kepadaku dan Goat Nio?"

"Sebab aku harus merahasiakannya, berhubung Lu Thay Kam adalah ketua Hiat Ih Hwe," sahut Tio Bun Yang. "Jadi aku harus merahasiakannya, agar tidak menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan."



"Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut.

"Sekali lagi aku mohon maaf," ucap Lu Hui San, lalu menghela nafas panjang seraya berkata, "Karena Bu Yang telah bertemu pamanku, maka aku pun harus memberitahukan kepada kalian mengenai identitasku."

"Apa?" Lie Ai Ling terbelalak. "Kakak Bun Yang bertemu pamanmu? Itu—"

"Benar." Tio Bun Yang mengangguk. "Aku memang telah bertemu pamannya, yang bernama Sie Kuang Han—"

Tio Bun Yang menutur tentang itu, Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio mendengar dengan penuh perhatian.

"Kakak Bun Yang," ujar Lie Ai Ling seusai Tio Bun Yang menutur. "Aku dan Goat Nio telah salah paham terhadapmu, maaf ya!"

"Tidak apa-apa." Tio Bun Yang tersenyum. "Tapi lain kali engkau tidak boleh langsung menuduh sebelum tahu jelas suatu masalah."

"Ya." Lie Ai Ling mengangguk. "Ohya, Kakak Bun Yang, bolehkah engkau menuturkan semua pengalamanmu itu?"

"Tentu boleh." Tio Bun Yang manggut-manggut kemudian menuturkan semua pengalamannya.

"Kakak Bun Yang, aku tak menyangka engkau mengunjungi daerah Miauw," ujar Lie Ai Ling. "Bagaimana keadaan daerah itu?"

"Aman dan tenang," sahut Tio Bun Yang memberitahukan. "Pemandangan di sana pun sangat indah menakjubkan."

"Kakak Bun Yang...." Lie Ai Ling tersenyum. "Kalau sempat,

bagaimana kalau kelak kita pergi ke sana?"



"Baik." Tio Bun Yang mengangguk. "Ohya! Besok kita semua akan berangkat ke tempat tinggal Paman Sie, maka lebih baik kita beristirahat sekarang."

"Oh?" Lie Ai Ling memandang Lu Hui San. "Kita tidak jadi pergi ke Gunung Hek Ciok San?"

"Setelah menemui pamanku, barulah kita berangkat ke sana." Lu Hui San memberitahukan. "Sebab aku harus tahu bagaimana kematian kedua orang tuaku."

"Ngmmm!" Lie Ai Ling manggut-manggut, kemudian menarik Lu Hui San seraya berkata, "Mari kita ke tempat lain untuk beristirahat, jangan mengganggu Kakak Bun Yang dan Goat Nio! Mereka berdua harus mencurahkan isi hati masing-masing."

"Ai Ling____" Wajah Siang Koan Goat Nio terasa panas. "Engkau—"

"Hi hi hi!" Lie Ai Ling tertawa. "Kami harus memberi kesempatan kepada kalian berdua untuk memadu cinta."

"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio betul-betul salah tingkah dibuatnya. "Engkau sungguh keterlaluan!"

"Aku tidak keterlaluan, melainkan tahu diri," sahut Lie Ai Ling, lalu menarik Lu Hui San meninggalkan tempat itu.

"Dia masih bersifat kekanak-kanakan," ujar Tio Bun Yang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Namun berhati baik."

"Juga sangat polos," sambung Siang Koan

Goat Nio dan menambahkan. "Aku suka sekali kepadanya."

"Goat Nio____" Tio Bun Yang menatapnya dengan mata berbinar-binar. "Tadi Ai Ling bilang engkau tertarik padaku, benarkah?"

"Aku____" Siang Koan Goat Nio menundukkan kepalanya. "Ya."



"Goat Nio!" Mendadak Tio Bun Yang memegang tangan gadis itu. "Aku pun tertarik padamu, bahkan boleh dikatakan telah... telah jatuh hati padamu."

"Oh?" Hati Siang Koan Goat Nio langsung berbunga-bunga. "Engkau tidak bohong?"

"Aku tidak pernah bohong, percayalah!" sahut Tio Bun Yang lembut dan bertanya, "Engkau juga jatuh hati padaku?"

"Ng!" Siang Koan Goat Nio mengangguk perlahan. "Kedua orang tuaku berharap____"

"Kedua orang tuamu berharap apa?"

"Berharap kita... bisa bertemu secepatnya."

"Kini kita sudah bertemu. Kalau kedua orang tuamu tahu..."

ujar Tio Bun Yang dengan tersenyum, "pasti girang sekali."

"Ya." Siang Koan Goat Nio manggut-manggut. Tapi kedua orang tuaku tidak tahu bahwa kita v udah bertemu."

"Itu tidak apa-apa." Tio Bun Yang tersenyum. "vang penting kita sudah bertemu. Ohya, betulkah Kam Hay Thian tertarik padamu?"

"Betul." Siang Koan Goat Nio mengangguk. "Tapi aku menolaknya secara terang-terangan, agar dia mundur."

"Tapi____" Tio Bun Yang mengerutkan kening.

"Bukankah Lu Hui San jatuh hati padanya?"

"Betul." Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang. "Bahkan Lam Kiong Soat Lan pun jatuh hati padanya."

"Oh?" Tio Bun Yang tersentak. "Kalau begitu...."

"Yaaah!" Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang lagi. "Aku justru khawatir, kelak akan terjadi sesuatu di antara mereka."

"Bagaimana mungkin?"



"Tentu saja mungkin. Sebab cinta dapat membutakan orang, bahkan juga akan membuat keruh hati orang yang bersangkutan."

"Kalau begitu..." ujar Tio Bun Yang setelah berpikir sejenak. "Kita harus berusaha menjernihkan hati mereka, agar tidak terjadi sesuatu di kemudian hari."

"Ng!" Siang Koan Goat Nio mengangguk. "Ohya, setelah bertemu Paman Sie, kita harus segera berangkat ke Gunung Hek Ciok San. Karena aku khawatir...."

"Akan terjadi sesuatu atas diri Kam Hay Thian?" tanya Tio Bun Yang.

"Ya. Sebab pemuda itu berhati keras." Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku khawatir dia akan celaka di tangan Seng Hwee Sin Kun."

"Kalau begitu, besok pagi kita harus menggunakan ginkang menuju tempat tinggal Paman Sie. Kita tidak boleh membuang waktu."

"Benar." Siang Koang Goat Nio manggut-manggut. "Kita tidak boleh membuang waktu. Mari kita beristirahat sekarang!"

"Baik." Tio Bun Yang mengangguk. "Tapi alangkah baiknya kita bercakap-cakap sejenak dengan Ai Ling dan Hui San."

"Ng!" Siang Koan Goat Nio menuju tempat kedua gadis itu, Tio Bun Yang mengikutinya dari belakang.

-ooo0dw0ooo-


Jilid 7



"Eh?" Lie Ai Ling terheran heran ketika melihat mereka. "Kok kalian ke maii sih? Sudah cukup kalian mencurahkan isi hati masing-masing?"

”Ai Ling!" tegur Siang Koan Goal Nio. "Jangan suka menggoda! Ka!au kelak engkau bertemu pemuda idaman hatimu, aku pasti balas menggodamu."

"Tidak apa-apa," sahut Lie Ai Ling sambil tertawa kecil. "Ohya, besok pagi kita akan berangkat ke tempat tinggal Paman Ste?"

"Ya," sahut Tio Bun Yang. "Kita harus menggunakan ginkang agar cepat sampai di tempat itu."

“Lho?” Lie Ai Ling tercengang. "Memangnya kenapa?"

"Sebab kita masih harus berangkat ke Gunung Hek Ciok San," ujar Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Engkau sudah lupa ya?"

"Bagaimana mungkin aku lupa? Kalau begitu, kita harus beristirahat sekarang," sahut Lie Ai Ling dan menambahkan sambil tertawa. Tapi kalau kalian berdua masih ingin mengobrol, terserah kalian berdua lho!"

"Adik Ai Ling!" legui Tio Bun Yang lembut. "Tidak baik terus-menerus menggoda Goat Nio."

"Wuah, sudah mulai membela dia!" sahut Lie ai ling sambil tertawa. "Baru bertemu lhol Hi hi hi...!"

-ooo0dw0ooo-

Bagian ke tiga puluh dua

Budi dan Dendam


Dua hari kemudian, Tio Bun Yang, Siang Koan Goal Nio, Lie Ai Ling dan Lu Hui San sudah tiba di tempat tinggal Sie Kuang



Han Kemunculan Tio Bun Yang bersama ketiga gadis itu sangat mengherankan Sie Kuang Han.

"Bun Yang____" Sie Kuang Han terbelalak.

"Paman!" Tio Bun Yang tersenyum. "Lihatlah siapa gadis ini?" tanyanya sambil menunjuk Lu Hui San. Sie Kuang Han segera memperhatikan gadis tersebut.

"Engkau____" Sepasang mata Sie Kuang Han bertambah terbelalak ketika metibat sebuah tanda di leher gadis itu. "Engkau adalah____"

"Aku Lu Hui San." Gadis itu memberitahukan. "Paman adalah—"

"Hui San..." gumam Sie Kuang Han. "Tidak salah. Engkau memang Sie Hui San. Nak, akhirnya kita bertemu "

Sie Kuang Han memandangnya dengan air mata bercucuran. Lu Hui San langsung mendekapnya dan menangis terisak-isak.

"Paman! Paman____"

"Nak____" Sie Kuang Han membelainya. "Paman tak menyangka sama sekali, ternyata engkau masih hidup."

"Paman, ceritakanlah tentang kematian kedua orang tuaku, aku ingin mengetahuinya!"

"Duduklah!" ujar Si Kuang Han.

Setelah Lu Hui San, Tio Bun Yang, Siang Koan Goal Nio dan Lie Ai Ling duduk, barulah Sie Kuang Han menceritakan tentang kematian kedua orang tua Lu Hui San.

"Jadi..." ujar Lu Hui San dengan mata berapi-api. "Lu Thay Kam yang membunuh kedua orang tuaku?"

"Ya." Sie Kuang Han mengangguk. "Tapi paman berhasil meloloskan diri dengan membawa Keng Hauw. Justru paman



tak menduga kalau engkau masih hidup dan dibesarkan oleh Lu Thay Kam yang sangat jahat itu."

"Dia... dia..." gumam Lu Hui San dengan suara bergemetar. "Dia yang membunuh kedua orang tuaku, maka aku harus balas membunuhnya!"

"Betul." Sie Kuang Han manggut-uianggut. "Engkau harus balas dendam, lagi pula engkau bisa mendekati Lu Thay Kain."

"Paman, aku pasti balas dendam!" ujar Lu Hui San berjanji. "Aku pasti membunuh Lu Thay Kam!"

"Sayang sekali!" Sie Kuang Han menggeleng-gelengkan kepala. "Keng Hauw belum pulang."

"Paman, kira-kira kapan Kakak Keng Hauw pulang?"

"Entahlah. Mungkin dalam tahun ini dia akan pulang," sahut Sie Kuang Han dan melanjutkan, "Ohya, kalian bermalam di sini saja!"

"Ya." Lu Hui San mengangguk. Namun diam-diam gadis itu telah mengambil suatu keputusan.

Ternyata di tengah malam ia meninggalkan tempat itu tanpa memberitahu Sie Kuang Han maupun lainnya.

Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling ketika bangun, karena tidak melihat Lu Hui San.

"Lho? Ke mana Hui San?" tanya Lie Ai Ling sambil berlari ke luar.

Tio Bun Yang dan Sie Kuang Han yang sedang duduk di ruang depan tampak tersentak ketika melihat mereka berlari ke luar.

"Goat Nio, ada apa?" tanya Tio Bun Yang.

"Kakak Bun Yang tidak melihat Hui San?" Siang Koan Goat Nio balik bertanya dengan kening berkerut.



"Bukankah dia tidur bersama kalian? Kenapa...."

"Dia tidak berada di tempat tidur," sahut Lie Ai Ling. "Kami kira dia sudah bangun, tapi dia tidak berada di sini."

"Apa?!" Sie Kuang Han terkejut. "Dia tidak berada di dalam kamar?"

"Tidak ada." Lie ai ling menggelengkan kepala. "Jangan-jangan...."

"Ah, celaka!" Sie Kuang Han bangkit berdiri lalu berjalan mondar-mandir. "Kemungkinan besar dia telah berangkat ke ibu kota. Aku telah bersalah semalam karena mendesaknya harus membalas dendam."

"Kalau begitu kita harus bagaimana?" Lie Ai Ling mengerutkan kening, kemudian memandang Tio Bun Yang seraya bertanya. "Kakak Bun Yang, apakah kita harus berangkat ke ibu kota juga?"

"Memang harus." Tio Bun Yang mengangguk, lalu membelai monyet bulu putih yang duduk di bahunya. Kauw heng, kita harus berangkat ke ibu kota."

Monyet bulu putih bercuit manggut-manggut. Sedangkan Sie Kuang Han terus menghela nafas panjang.

"Bagaimana Paman, mau ikut kami ke ibu kota?" tanya Tio Bun Yang.

”Tidak." Sie Kuang Han menggelengkan kepala. "Aku telah bersumpah tidak akan kembali ke ibu kota Kalian saja yang berangkat."

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.

"Bun Yang," ujar Sie Kuang Han bermohon” Tolong selamatkan Hui San!"

"Paman Sie," sahut Lie Ai Ling. "Kami pasti berusaha menyelamatkannya, Paman tak usah khawatir."



Terimakasih!" ucap Sie Kuang Han. ”Terima-kasih...."

-ooo0dw0ooo-


Tio Bun Yang, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling sudah tiba di ibu kota. Mereka mencari rumah penginapan karena hari sudah mulai gelap. Lie Ai Ling berjalan sambil menengok ke sana ke mari, ternyata ia mengagumi gedung-gedung mewah yang berdiri tegak di ibu kota

"Wuah sungguh mewah dan indah gedung-gedung itu!" seru Lie Ai Ling sambil menunjuk kian ke mari.

"Ai Ling," bisik Siang Koan Goat Nio. "Kita ke mari bukan untuk menikmati keindahan ibu kota, melainkan untuk mencari Hui San."

"Aku tahu." Lie Ai Ling tersenyum. "Namun memang indah sekali ibu kota ini."

"Memang indah." Siang Koan Goat Nio mengangguk. "Tapi kita tidak punya waktu untuk menikmati keindahannya."

Tak seberapa !ama kemudian, mereka sudah sampai di sebuah rumah penginapan mewah. Seorang pelayan menyambut mereka dengan hormat sekali.

"Tuan dan Nona membutuhkan kamar yang besar?" tanya pelayan itu dengan ramah.

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.

"Mari ikut aku masuk!" ujar pelayan sambil berjalan masuk, Tio Bun Yang, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling mengikutinya..

"Kakak Bun Yang," bisik Lie Ai Ling. "Kita cukup satu kamar saja?"



Tio Bun Yang mengangguk. Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio saling memandang. Berselang sesaat, mereka sudah sampai di depan sebuah kamar.

"Kamar ini cukup besar dan mewah, kalian merasa cocok?" tanya pelayan sambil menunjuk kamar tersebut.

"Cocok." Tio Bun Yang manggut manggut, lalu melangkah ke dalam diikuti Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling.

”Tuan mau pesan makanan atau minuman?"

”Tolong ambilkan tehl" sahut Tio Bun Yang.

"Ya." Pelayan itu segera melangkah pergi, tapi tak lama telah kembali dengan membawa sebuah teko dan tiga buah cangkir. ”Tuan, ini teh wangi."

”Terimakasih!" ucap Tio Bun Yang.

Pelayan itu menaruh apa yang dibawanya di atas meja, lalu menuang teh wangi itu ke dalam cangkir.

"Siiakan minum!" ucap pelayan.

”Terimakasih!" Tio Bun Yang memberi setael perak kepada pelayan itu. Betapa girangnya pelayan tersebut.

”Terimakasih Tuanl Terimakasih..." ucap pelayan itu dengan wajah berseri-seri, lalu meninggalkan kamar tersebut.

Tio Bun Yang segera merapatkan pintu, kemudian duduk seraya berkata kepada Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling.

"Mari kita minuml"

Kedua gadis itu mengangguk. Mereka bertiga lalu menghirup teh yang masih bangat itu.

"Kakak Bun Yang, apa rencanamu sekarang?" tanya Lie Ai Ling mendadak sambil menatapnya.

"Rencanaku____" Tio Bun Yang memberitahukan. "Setelah larut malam, aku akan ke tempat tinggal Lu Thay Kam "



"Seorang diri?" Lie Ai Ling terbelalak.

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.

"Kakak Bun Yang...." Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Itu

sangat membahayakan dirimu."

'Tidak akan membahayakan diriku, percayalah!" Tio Bun Yang tersenyum.

"Menurut aku..." pikir Lie Ai Ung sejenak dan melanjutkan. "Lebih baik kami Ikut."

"Itu tidak perlu." Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Sebab kalau kalian ikut, justru akan merepotkan aku."

"Bagaimana mungkin kami akan merepotkan-mu?" sahut Lie Ai Ling. "Kami bisa menjaga diri."

”Tapi...."              Tio          Bun        Yang      mengerutkan    kening  seraya

berkata, "aku akan kurang leluasa bergerak."

"Kakak Bun Yang...."

"Ai Ling," ujar Siang Koan Goat Nio. "Memang lebih baik kita tidak ikut agar perhatian Kakak Bun Yang tidak terpecahkan."

"Goat Niol" Lie Ai Ling tidak mengerti. "Kita ikut dengan tujuan membantu, bukan untuk memecahkan perhatiannya."

"Benar." Siang Koan Goat Nio manggut manggut. "Namun secara tidak langsung akan memecahkan perhatiannya, maka engkau harus mengerti."

”Tapi...."

"Adik Al Ling!" Tio Bun Yang memandangnya sambil tersenyum. "Engkau jangan bandel!"

"Aku...."



"Ai Ling, kita tunggu di da!am kamar ini aja, biar Bun Yang pergi seorang diri!" Siang Koan Goat Nio memegang bahunya. "Engkau harus mengerti”

"Goat Niol" Lie Ai Ling menatapnya dalam-dalam. "Engkau bisa berlega hati membiarkannya pergi seorang din?”

"Kenapa tidak?" Siang Koan Goat Nio tersenyum, kemudian wajahnya berubah serius. Tapi kalau hingga pagi belum kembali, kita harus menyusul ke tempat tinggal Lu Thay Kam "

"Baiklah." Lie Ai Ling mengangguk.

Setelah larut malam, barulah Tio Bun Yang pergi ke istana tempat tinggal Lu Thay Kam, sedangkan Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling tetap menunggu di dalam kamar penginapan

Sementara itu. Lu Hui San telah tiba duluan di istana bagian barat tempat tinggal Lu Thay Kam. Akan tetapi. Lu Thay Kam tidak ada di tempat.

"Ayahku pergi ke mana?" tanyanya pada salah seorang dayang.

"Lu Kong Kong pergi semalam. Nona," jawab dayang memberitahukan. "Hingga saat ini masih belum pulang."

"Kira-kira pergi ke mana ayahku?"

"Maaf Nona, aku tidak tahu!"

"Hmm!" dengus Lu Hui San sambil melangkah ke ruang khusus.

Dayang itu terbelalak menyaksikan sikap Lu Hui San yang kaku dan dingin, kemudian ia pun segera meninggalkan tempat itu.

Lu Hui San duduk di ruang khusus dengan wajah dingin. Setelah larut malam, tampak sosok bayangan berkelebat memasuki ruang khusus itu, yang ternyata Lu Thay Kam.



"San Sanl" seru Lu Thay Kam girang. "Anakku, kapan engkau kembali?"

Lu Hui San tetap duduk diam, matanya menatap Lu Thay Kam dengan dingin sekali.

"San San!" Lu Thay Kam tertegun menyaksikan sikap Lu Hui San yang bermusuhan itu. "Kenapa engkau?"

Perlahan-lahan Lu Hui San bangkit dari tempat duduknya, lalu menuding Lu Thay Kam seraya membentak,

"Engkau penjahat!"

"San       San...." Lu           Thay      Kam       terbelalak.          "Aku      ayahmu,

kenapa engkau mengataiku penjahat?"

'Hrnml' dengus Lu Hui San dingin. "Engkau pembunuh kedua orang tuaku!"

"San San!" Lu Thay Kam tersentak. "Siapa yang bilang begitu?"

"Aku sudah bertemu Sie Kuang Han, pamanku! Dia yang memberitahukan kepadaku tentang kematian kedua orang tuaku!" sahut Lu Hui San sambil mendekati Lu Thay Kam. "Aku tak menyangka sama sekali, ternyata engkau yang membunuh kedua orang tuaku!"

"Pamanmu itu sungguh tak tahu diri!" ujar Lu Thay Kam sengit. "Tidak seharusnya dia memberitahukan hal itu kepadamu."

"Kenapa?"

"Karena____" Lu Thay Kam mengerutkan kening. "Sudahlah Kini engkau sudah tahu tentang itu, lalu apa kehendakmu?"

"Aku harus membunuhmu!" sahut Lu Hui San dengan mata berapi-api. "Aku harus membunuhmu!"



"San San!" Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Selama belasan tahun, aku membesarkanmu dengan penuh kasih sayang. Namun kini...."

"Engkau pembunuh kedua orang tuaku!" landas Lu Hui San. "Maka aku harus membalaskan dendamnya!"

"Aaaah. !" Lu Thay Kam menghela nafas panjang lagi. "San San, engkau harus tahu. Kedua orang tuamu mati dikarenakan politik dalam istana, jadi____"

"Engkau yang membunuh kedua orang tuaku, kan?"

"Benar."

"Kalau begitu, malam ini pun aku harus membunuhmu!" bentak Lu Hui San sambil menghunus pedang pusaka Han Kong Kiam

"San Sanl" Lu Thay Kam menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sangat menyayangimu. Kalau engkau ingin membunuhku, silakan!"

"Aku memang harus membunuhmu!" sahut Lu Hui San dan sekaligus mendekati Lu Thay Kam dengan menggenggam erat-erat pedang pusaka tersebut, kelihatannya gadis itu memang ingin membunuhnya.

Sedangkan Lu Thay Kam tetap berdiri di tempat lak bergerak, sepasang matanya memandang Lu Hui San dengan penuh kasih sayang.

Tersentuh juga hati gadis iiu, namun ia mengeraskan hatinya, kemudian mendadak diayunkannya pedang pusaka itu ke arah Lu Thay Kam.

Sementara Lu Thay Kam tetap berdiri di tempat dengan wajah berduka. Kelihatannya ia tidak mau menangkis pedang pusaka itu.



Di saat pedang pusaka itu sedang menyambar ke arah leher Lu Thay Kam, tiba-tiba meluncur satu benda secepat kilat ke arah pedang pusaka itu.

Trang! Benda itu menghantam pedang Lu Hui San.

Bukan main terkejutnya Lu Hui San, karena merasa tangannya semutan sehmgga pedang pusaka itu terlepas dari tangannya.

Pedang pusaka itu meluncur ke arah dinding dan menancap di sana. Kejadian yang tak terduga itu membuat Lu Thay Kam tertebak, bahkan sangat terperanjat. Sebab benda yang menghantam pedang pusaka itu adalah sebutir kerikil, namun dapat membuat pedang pusaka itu terlepas dari tangan Lu Hui San dan menancap di dinding. Dapat dibayangkan, betapa tingginya lweekang orang yang menyambitkan kerikil itu.

Di saat itulah melesat ke dalam sosok bayangan melalui jendela, yang ternyata Tio Bun Yang.

"Bun Yang!" seru Lu Hui San dengan kening berkerut. "Engkau____"

"Hui San!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala, ia berdiri di hadapan gadis itu. "Engkau tidak boleh membunuh Lu Tliay Kam, sebab biar bagaimana pun dia tetap ayah angkatmu."

"Dia pembunuh kedua orang tuaku, aku harus membunuhnya!" sahut Lu Hui San dengan mata bersimbah air.

”Tadi Lu Thay Kam telah memberitahukan, bahwa kedua orang tuamu mati dikarenakan politik dai istana. Maka, engkau harus mengerti. Lagi pula tadi Lu Thay Kam sama sekali tidak melawan. Apakah engkau tega membunuh orang yang tiilak melawan?' ujar Tio Bun Yang.

"Aku... aku..-" Lu Hui San menundukkan kepala. "Bun Yangl Kenapa engkau ke mari mencampuri urusan ini?"



"Aku ke mari dengan maksud ingin menolongmu, tapi tidak tahunya____" Tio Bun Yang menghela nafas panjang, kemudian memandang Lu Thay Kam sambil memberi hormat. "Maafkan aku. Lu Kong Kong'"

"Anak muda...." Lu Thay Kam terbelalak, lalu tertawa gelak.

"Engkau ke mari ingin menolong San San, tapi malah menyelamatkan nyawaku. Anak muda, kenapa engkau menyelamatkan nyawaku?"

"Karena Lu Kong Kong ayah angkat Hui San. Lagi pula tadi Lu Kong Kong tidak melawan sama sekali," sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Itu membuktikan betapa sayangnya Lu Kong Kong kepada Hui San."

"Ha ha ha!" Lu Thay Kam tertawa terbahak-bahak. "Tidak salah, aku memang sayang sekali kepada San Sanl Oleh karena itu, aku bersedia mati di tangannya."

"Aku tak menyangka sama sekali, Lu Kong Kong memiliki perasaan itu," ujar Tio Bun Yang sambil menghela nafas panjang. "Padahal Lu Kong Kong sangat terkenal akan kekejamannya."

"Anak muda! Aku kejam karena politik dalam istana. Kalau aku tidak kejam, mungkin aku sudah mati di tangan para menteri. Tentunya engkau mengerti tentang itu."

"Maaf! Aku tidak mengerti dan tidak mau mengerti tentang itu sebab aku bukan pembesar."

"Ha ha hal" Lu Thay Kam tertawa gelak. "Kalau engkau ingin menjadi pembesar, aku bersedia mengangkatmu."

”Terimakasih, Lu Kong Kong!" ucap Tio Bun Yang. Tapi aku tidak berniat menjadi pembesar."

"Oh ya!" Lu Thay Kam menatapnya tajam. "Engkau memasuki istanaku ini, apakah engkau membunuh para pengawalku?"



”Tidak," Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Aku hanya menotok jalan darah mereka, agar mereka tidak bisa bergerak maupun berteriak."

*Oooh!" Lu Thay Kam manggut-mangguL "Anak muda, engkau punya hubungan apa dengan San San?" tanyanya.

"Sebagai teman," sahut Tio Bun Yang memberitahukan. "Masih ada dua temannya berada di rumah penginapan."

"Goat Nio dan Ai Ling juga datang di ibu kota?" tanya Lu Hui San.

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Mereka ingin ikut, tapi kularang. Mereka menunggu di rumah penginapan."

"Aaah...!" Tiba-tiba Lu Hui San menghela nafas panjang. "Karena engkau mencampuri urusan ini, sehingga aku tidak jadi membunuh penjahat ini!"

"Hui San" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Lu Kong Kong bukan penjahat, dia adalah ayah angkatmu Ihol"

“TapL..."

"San San” ujar Lu Thay Kam sungguh-sungguh. "Kalau engkau masih ingin membunuhku, aku tetap bersedia mati di tanganmu."

'Tidak mungkin!" Lu Hui San menggelengkan kepala. "Bun Yang berada di sini"

"Hui San," sahut Tio Bun Yang. "Kalau engkau masih ingin membunuh Lu Kong Kong, aku tidak akan turut campur lagi."

"Oh?" Lu Hui San mengerutkan kening. "Kenapa?"

"Sebab aku tahu engkau masih punya perasaan," jawab Tio Bun Yang. "Dari kecil engkau hidup bersama Lu Kong Kong, bagaimana mungkin engkau tega membunuhnya?"

"Aku... aku____" Lu Hui San mulai terisak-isak.



"San San!" Lu Thay Kam mendekatinya, kemudian membelainya seraya berkata. "Aku membunuh kedua orang tuamu karena ada surat perintah dari kaisar."

"Kalau engkau tidak memfitnah ayahku, bagaimana mungkin keluargaku akan dihukum mati oleh kaisar?" ujar Lu Hui San dengan air mata berderai.

"San San!" Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Sebetulnya bukan aku yang memfitnah ayahmu. Ketika aku baru mau memfitnah ayahmu, justru muncul seorang menteri memfitnah ayahmu. Oleh karena itu, kaisar mengeluarkan surat perintah untuk menghukum mati seluruh keluargamu. Aku yang melaksanakan tugas itu, namun____"

"Kenapa?"

"Aku tidak membunuhmu dan membiarkan Sie Kuang Han meloloskan diri dengan membawa putranya." Lu Thay Kam memberitahukan. "Kalau aku memang berhati kejam, tentunya engkau, Sie Kuang Han dan putranya sudah mati."

Lu Hui San tak menyahut. Lu Thay Kam menghela nafas seraya melanjutkan.

"Karena aku tidak membunuhmu dan membiarkan Sie Kuang Han meloloskan diri dengan membawa putranya, maka menteri itu memfitnah diriku. Tapi aku berhasil menuduh menteri itu dengan berbagai alasan, akhirnya menteri itu bersama keluarganya dihukum mati oleh kaisar.”

"Oh?" Lu Hui San terbelalak.

"Karena                itu...."   Lu           Thay      Kam       menggeleng-gelengkan

kepala. "Sie Kuang Han tidak seharusnya menyuruhmu membalas dendam."

"Pamanku tahu tentang itu?" tanya Lu Hui San.

"Dia tahu." Lu Thay Kam manggut-manggut dan menambahkan "Terus terang, aku dan ayahmu merupakan



kawan baik, tapi kami berdua selalu berselisih paham, akhirnya menjadi musuh. Aaah. Itu telah berlalu, tidak perlu kuungkit lagi"

"Kalau begitu, kenapa tadi Lu Kong Kong tidak mau menjelaskan?" tanya Tio Bun Yang. "Apabila aku terlambat datang, bukankah Lu Kong Kong.„."

"Yaaahl" Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Memang aku yang membunuh kedua orang tuanya, maka kalau dia ingin membunuhku, aku pun bersedia mati di tangannya."

"Aaaakhl" keluh Lu Hui San.

"San San!" Lu Thay Kam menatapnya dalam-dalam seraya bertanya, "Engkau masih sudi mengaku aku sebagai ayah angkatmu?"

"Aku____" Lu Hui San manggut-manggut.

"San San anakkul" Lu Thay Kam memeluknya erat-erat "Tidak sia-sia aku membesarkanmu, sebab engkau adalah gadis baik yang kenal akan budi kebaikan."

"Ayah_" panggil Lu Hui San sambil terisak-isak.

"San Sanl" Lu Thay Kam membelainya. "Jangan menangis, tidak baik menangis di hadapan pemuda tampani"

"Ayah—.” Wajah Lu Hui San agak memerah.

"Anak muda, aku belum tahu namamu," ujar Lu Thay Kam sambil tertawa gelak. "Bentahukan lahl"

"Namaku Tio Bun Yang."

"Engkau masih muda, tapi memiliki Iweekang yang begitu tinggi. Aku sungguh kagum kepadamu."

"Ayah” Lu Hui San memberitahukan. "Dia putra Tio Cie Hiong, yang sangat terkenal itu." .



"Oh!" Lu Thay Kam terbelalak. "Pek Ih Sin Hiap adalah ayahmu?"

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.

"Kalau begitu...." Lu Thay Kam teringat sesuatu. "... engkau

adalah Giok Siauw Sin Hiap?"

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk lagi.

”Tapi____" Lu Thay Kam mengerutkan kening.

"Setahuku, ada seekor monyet bulu putih menyertaimu. Kenapa tidak tampak monyet bulu putih itu?"

"Aku tidak ajak kauw heng ke mari," ujar Tio Bun Yang. "Kauw heng berada di dalam kamar penginapan menemani Goat Nio dan Al Ling."

"Kenapa tidak engkau ajak mereka ke mari?" tanya Lu Thay Kam mendadak.

"Aku khawatir akan terjadi sesuatu di sini, maka aku tidak mengajak mereka ke mari," sahut Tio Bun Yang dan menambahkan. Tapi apabila aku tidak kembali pagi hari, mereka akan menyusul ke sini."

"Kalau begitu, biar mereka menyusul ke sini sajal" ujar Lu Thay Kam sambil tertawa.

"Maaf. Lu Kong Kongl" ucap Tio Bun Yang.

"Aku harus mohon diri sekarang, sebab urusan di sini sudah beres."

"Ayah, aku juga mau mohon pamit," sambung Lu Hui San dan melanjutkan. "Karena masih ada urusan lain yang harus kuselesaikan”

"San San____" Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Engkau baru pulang-..."



"Ayah, kalau urusanku itu sudah beres, aku pasti kembali," ujar Lu Hui San sungguh-sungguh. "Jadi Ayah jangan melarangku pergi sekarang, sebab aku harus menemui Goat Nio dan Ai Ling."

"Baiklah," Lu Thay Kam manggut-manggut. “Tapi...“ "Ada apa, Ayah?" tanya Lu Hui San heran.

"Pemuda ini harus bertanding tiga jurus dengan ayah, barulah ayah memperbolehkan engkau pergi," sahut Lu Thay Kam sambil memandang Tio Bun Yang.

"Ayah____" Lu Hui San mengerutkan kening.

"Anak mudai" Lu Thay Kam tertawa. "Bagaimana, engkau bersedia bertanding tiga jurus dengan aku?"

"Lu Kong Kong...” Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Kita tidak perlu bertanding. Bagaimana kalau aku mengaku kalah saja?"

"Mengaku kalah? Ha ha ha Tentunya aku tidak terimal Nah, alangkah baiknya kita bertanding tiga jurus sajal" desak Lu Thay Kam. "Anak muda, jangan mengecewakan aku dan mempermalukan Pek lh Sin Hiap, ayahmu!"

"Lu Kong Kong, aku ke mari bukan untuk bertanding"

"Kalau engkau tidak bersedia bertanding de ngan aku, tentu aku akan melarang San San pergi," tegas Lu Thay Kam.

"Ayah—" Lu Hui San mengerutkan kening."Kenapa Ayah mendesaknya untuk bertanding?*

"Ha ha ha!" Lu Thay Kam tertawa. "San San,, engkau harus tahu, ayah mau bertanding dengan dia, itu berarti ayah menghargai dia."

"Oh?" Lu Hui San memandang Tio Bun Yang.

"Kalau begitu—" Pemuda itu menghela nafas, "maafkan atas kelancanganku bertanding dengan Lu Kong Kong!"



"Ha ha hal Anak muda!" Lu Thay Kam tertawa gelak. "Engkau memang pemuda yang sopan, aku suka kepadamu. Nah, bersiap-siaplah, aku akan menyerangmu dengan tangan kosong!"

Tio Bun Yang mengangguk, sekaligus mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang, sedangkan Lu Thay Kam juga mengerahkan Iweekangnya.

"Anak muda, hati-hati!" seru Lu Thay Kam dan langsung menyerangnya dengan ilmu Ie Hoa Ciap Bok Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Memindahkan Bunga Menyambung Pohon), ia mengeluarkan jurus Hoa Kay Cang Cun (Bunga Mekar Sepanjang Musim Semi).

Sungguh hebat jurus tersebut, sebab sepasang tangan Lu Thay Kam berubah menjadi ratusan kuntum bunga mengarah kepada Tio Bun Yang.

Tio Bun Yang terperanjat menyaksikan jurus itu la ingin berkelit tapi sudah terlambat. Maka, ia terpaksa menangkis dengan ilmu Jari Sakti Bit Ciat Sin Ci. mengeluarkan jurus Cian Ci Soh Te (Ribuan Jari Menyapu Bumi).

Betapa terkejutnya Lu Thay Kam menyaksikan jurus tersebut. Cepat-cepat ia menarik kembali serangannya, kemudian menyerang lagi dengan jurus Ki Yauw Yap Lok (Dahan Bergoyang Daun Rontok).

Daaar! Terdengar suara benturan dahsyat.

Lu Thay Kam berdiri tak bergeming, sedangkan tubuh Tio Bun Yang tampak bergoyang-goyang.

"Ha ha ha!" Lu Thay Kam tertawa terbahak-bahak. "Sungguh luar biasa! Ternyata engkau memang berisi! Kini hanya tinggal satu jurus, engkau harus berhati-hati! Karena jurus ini akan kusertai dengan Iweekang sepenuhnya, maka eng kau jangan menganggapku main-main!"



"Ya." Tio Bun Yang mengangguk, lalu menghimpun Kari Kun Taylo Sin Kang.

Lu Thay Kam menatapnya tajam, kemudian mendadak bersiul panjang sambil menyerang dengan jurus le Hoa Ciap Bok (Memindahkan Bunga Menyambung Pohon), jurus tersebut amat lihay dan hebat, bahkan disertai pula dengan Iweekang sepenuhnya.

Menyaksikan serangan itu, wajah Lu Hui San langsung memucat. Gadis itu tidak menyangka kalau ayah angkatnya akan mengeluarkan jurus tersebut untuk menyerang Tio Bun Yang.

"Ayah...." Lu Hui San memejamkan matanya karena merasa

tidak tega menyaksikan tubuh Tio Bun Yang akan hancur berkeping-keping.

Kenapa Lu Thay Kam mengeluarkan jurus tersebut? Ternyata Lu Thay Kam tahu Tio Bun Yang berkepandaian sangat tinggi. Kalau ia tidak menyerangnya dengan sungguh-sungguh, tentunya pemuda itu tidak akan mengeluarkan jurus andalannya pula. Oleh karena itu, Lu Thay Kam terpaksa harus mengeluarkan jurus andalannya.

Ketika menyaksikan serangan itu, Tio Bun Yang tahu Lu Thay Kam tidak main-main, maka iapun menggunakan Kan Kun Taylo Ciang Hoat, mengeluarkan jurus Kan Kun Taylo Hap It (Segala-galanya Menyatu Di Alam Semesta) untuk menangkis.

Blaaaml Terdengar suara benturan dahsyat.

Tio Bun Yang terhuyung-huyung ke belakang tiga langkah. Lu Thay Kam begitu juga, bahkan wajahnya tampak pucat pias. Sedangkan wajah Tio Bun Yang tetap tampak seperti biasa.



"Bun Yang..." keluh Lu Hui San tidak berani membuka matanya. Gadis itu yakin tubuh Tio Bun Yang telah hancur berkeping-keping.

"Anak muda!" ujar Lu Thay Kam sambil menatapnya terbelalak. "Engkau memang luar biasa sekali! Aku sungguh kagum kepadamu!"

”Tenmakasih atas kemurahan hati Lu Kong Kong!" sahut Tio Bun Yang dan sekaligus memberi hormat.

Mendengar suara itu, barulah Lu Hui San membuka matanya. Begitu melihat Tio Bun Yang tidak kurang sualu apa pun, berserilah wajahnya.

"Bun Yang!" serunya girang. "Engkau tidak apa-apa?"

"Aku tidak apa-apa," sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum. ”Terimakasih atas perhatianmu!"

"Sungguh keterlaluan!" ujar Lu Thay Kam dengan tertawa. "San San, engkau sama sekali tidak menaruh perhatian pada ayahmu, malah menaruh perhatian pada Bun Yang."

"Ayah...." Wajah Lu Hui San memerah. "Ayah tidak apa-

apa?"

"Kalau ayah tak memiliki leekang le Hoa Ciap Bok, ayah pasti sudah terkapar tak bernyawa di sini," sahut Lu Thay Kam sungguh-sungguh.

"Oh?" Lu Hui San tampak kurang percaya. "Ayah jangan bergurau!"

"Ayah tidak bergurau, sesungguhnya memang begitu” ujar Lu Thay Kam sambil menatap Tio Bun Yang. "Anak muda, tadi engkau menggunakan ilmu apa untuk menangkis seranganku?"

"Aku menggunakan Kan Kun Taylo Ciang Hoat." Tio Bun Yang memberitahukan. "Kalau aku tidak menggunakan ilmu tersebut, aku pasti sudah menjadi mayat."



"Sungguh bebat ilmu itul" ujar Lu Thay Kam sambil menghela nafas. "Dapat balik menyerang dengan Iweekang Si Penyerang pula. Apabila Iweekang le Hoa Ciap Bok tak memiliki keistimewaan, nyawaku pasti sudah melayang."

"Lu Kong Kong! Sungguh luar biasa ilmu le Hoa Ciap Bok itu, sebab Kan Kun Taylo Sin Kangku tidak mampu membalikkan seluruh Iweekang le Hoa Ciap Bok tersebut, bahkan masih menerobos menyerangku."

"Itulah keistimewaan Iweekang tersebut, tapi tetap tidak mampu melukaimu."

"Karena aku masih memiliki Pan Yok Hian Thian Sin Kang yang melindungi diriku."

"Ooohi" Lu Thay Kam manggut-manggut. "Pantas engkau tidak terluka sama sekalil Ternyata engkau masih memiliki Iweekang pelindung tubuh, sungguh bukan main!"

"Tapi kalau Lu Kong Kong tidak mengurangi Iweekang di saat menyerang, mungkin aku sudah terluka," Tio Bun Yang memberitahukan.

"Kalau aku tidak mengurangi Iweekangku itu, aku pun sudah terluka parah," sahut Lu Thay Kam sambil tertawa gelak. "Ha ha ha! Pertandingan tadi sungguh memuaskan! Oh ya, apabila engkau bersedia menjadi pembesar, aku pasti mengangkatmu setinggi-tingginya."

"Maaf, Lu Kong Kong, aku tidak berniat menjadi pembesar! Kini sudah hampir pagi, aku harus segera kembali ke rumah penginapan."

"Baiklah." Lu Thay Kam manggut-manggut, "Mudah-mudahan kita akan berjumpa lagi kelak!"

"Permisi!" ucap Tio Bun Yang.

Lu Thay Kam mangut-manggut lagi, kemudian memandang Lu Hui San seraya berpesan.



"San San, setelah urusanmu itu beres, engkau harus kembali ke sinil"

"Ya, Ayah," Lu Hui San mengangguk. "Sampai jumpa, Ayah!"

"San San," tanya Lu Thay Kam mendadak. "Engkau sudah punya kekasih belum?"

"Ayah...." Wajah Lu Hui San langsung memerah.

"San San," ujar Lu Thay Kam sambil tertawa. "Bun Yang adalah pemuda tampan dan baik, janganlah membiarkannya terbang ke dalam pelukan gadis lain!"

"Ayah!" Lu Hui San tersenyum. "Bun Yang sudah punya kekasih, maka Ayah jangan mengharapkan yang bukan-bukan!"

"Oh?" Lu Thay Kam menghela nafas panjang. "Sungguh sayang sekalil"

"Lu Kong Kong," ucap Tio Bun Yang. "Sampai jumpa!"

"Sampai jumpa, anak mudai" sahut Lu Kong Kong sambil tertawa. "Ingat! Pintu tempat tinggalku ini selalu terbuka untukmu!"

”Terimakasih, Lu Kong Kongl" Tio Bun Yang melangkah pergi Lu Hui San segera mengikutinya, sedangkan Lu Thay Kam memandang punggung mereka sambil menghela nafas panjang.

Di dalam kamar penginapan, Lie Ai Ling berjalan mondar-mandir dengan kening berkerut-kerut, sedangkan Siang Koan Goat Nio duduk tenang di kursi.

"Goat Niol" Mendadak Ue Ai Ling menunjuknya seraya berkata. "Aku sangat cemas, sebaliknya engkau malah begitu tenang duduk di kursi. Engkau tidak memikirkan Kakak Bun Yang dan Lu Hui San?"



"Tentu memikirkan mereka " sahut Siang Koan Goat Nio, yang tetap tampak tenang. "Namun aku yakin Bun Yang tidak akan terjadi sesuatu, maka aku bisa tenang dan berlega hati."

"Sudah hampir pagi, bagaimana kalau kita menyusu! ke istana?" usul Lie Ai Ling, yang kelihatan tidak sabaran.

"Kita tunggu lagi sebentar, jangan terburu-buru menyusul ke sana!" ujar Siang Koan Goat Nio. "Jadi tidak akan selisih jalan."

"Tapi___" Ketika Lie Ai Ling baru mau mengatakan sesuatu, tiba-tiba kamar itu terbuka, Tio Bun Yang dan Lu Hui San berjalan masuk.

"Ai Ling, Goat Nio!" panggil Tio Bun Yang sambil tersenyum.

"Kakak Bun Yang!" seru Lie Ai Ling girang. "Syukurlah kalian tidak terjadi apa-apa!"

"Al Ling!" Lu Hui San tersenyum. ”Terima kasih atas perhatianmu!"

"Hi hi hil" Lie Ai Ling tertawa. "Dari semalam kami tidak bisa tidur. Aku terus berjalan mondar-mandir, sedangkan Goat Nio terus duduk mematung di kursi."

"Oh7" Tio Bun Yang memandang Siang Koan Goat Nio. "Goat Nio...."

"Bun Yang..." sahut Siang Koan Goat Nio lembut. "Aku... aku sangat mencemaskan mu "

"Goat Nio____" Tio Bun Yang tersenyum. ”Terimakasihl"

"Eh? Goat Niol" Lie Ai Ling terbelalak. „Tadi engkau kelihatan begitu tenang, kenapa sekarang bisa bilang mencemaskan Kakak Bun Yang?"

"Aku mencemaskannya dalam bati, maka tetap kelihatan tenang," sahut Siang Koan Goat Nio memberitahukan.



"Oooohl" Lie Ai Ling manggut-manggut sambjl tertawa. "Mencemaskan Kakak Bun Yang dalam hati....“

Siang Koan Goat Nio tersenyum dengan wajah agak kemerah-merahan, kemudian memandang Tio Bun Yang seraya bertanya,

"Engkau bertemu Lu Thay Kam?"

"Ng!" Tio Bun Yang mengangguk, lalu menutur dan menambahkan. "Aku tak menyangka sama sekati kalau Lu Thay Kam begitu menyayangi dan mencintai Hui San."

"Itu memang sungguh di luar dugaan." Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang. ”Ternyata Lu Thay Kam masih punya rasa kasih sayang dan cinta terhadap Hui San."

"Kalau begitu..." ujar Lie Ai Ling. "Lu Thay Kam sesungguhnya tidak jahat, sebab dia masih mau membesarkan Hui San, bahkan juga membiarkan Sie Kuang Han meloloskan diri dengan membawa anaknya."

"Yaaahl" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Semua itu dikarenakan politik dalam istana, sehingga menimbulkan berbagai pergolakan."

"Kakak Bun Yang," Lie Ai Ling menatapnya. "Urusan di sini telah beres, kita akan langsung berangkat ke Gunung Hek Ciok San?" tanyanya.

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Sekarang sudah pagi, mari kita berangkat!"

"Kita harus makan dulu, setelah itu barulah berangkat," sahut Lie Ai Ling dengan tersenyum.

"Jangan berangkat perut dalam keadaan kosong, bahkan kita pun harus beli sedikit makanan kering!"

"Benar." Tio Bun Yang mengangguk. "Mari kita pergi makan dulu lalu berangkat! Kita tidak boleh membuang waktu lagi."



-ooo0dw0ooo-


Bagian ke tiga puluh tiga

Pertarungan Dimulut Lembah Kabut Hitam


Kam Hay Thian memang benar berangkat ke Lembah Kabut Hilam di Gunung Hek Ciok San. Namun ia belum tiba di lembah itu karena mengambil jalan putar Hal itu dilakukannya agar Seng Hwee Sin Kun tidak mengetahui kedatangannya, tapi justru banyak menyila waktunya.

Ketika dia hampir mendekati Gunung Hek Ciok San, sekonyong-konyong melayang turun seorang gadis di hadapannya. Betapa terkejutnya Kam Hay Thian, ia menatap gadis itu dengan Lajam dan siap bertarung.

"Selamat bertemu Saudara Kam!" ucap gadis itu sambil tersenyum dan sekaligus memberi hormat. "Namaku Phang Ling Cu, ketua Ngo Tok Kauw."

"Nona Phang. kok kenal aku?" Kam Hay Thian mengerutkan kening. "Padahal kita tidak pernah bertemu."

"Aku bertemu Bibi Suan Hiang, ketua liong Ngie Pay, dia yang menceritakan kepadaku tentang dirimu," sahut gadis itu, yang ternyata Phang Ling Cu, ketua Ngo Tbk Kauw.

"Oooh!" Kam Hay Thian manggut-manggut.

"Bahkan____" Ngo Tok Kauwcu memberitahukan sambil tersenyum. "Aku pun sudah bertemu Tio Bun Yang!"

"Oh?" Kam Hay Thian menatapnya. "Maaf! Ada urusan apa Nona Pbang muncul di sini menemuiku?"

"Saudara Kam!" Ngo Tok Kauwcu tersenyum lagi. "Terus terang, kita punya musuh yang sama."



"Siapa musuhmu?"

"Seng Hwee Sin Kun."

"Apa?" Kam Hay Thian tertegun. "Dia musuhmu juga?"

"Betul." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. "Dia pembunuh ayahku, maka aku harus membalaskan dendam."

"Dia pembunuh ayahmu?" Kam Hay Thian terbelalak. "Nona Phang, bolehkah engkau menutur mengenai kejadian itu?"

"Tentu boleh." Ngo Tok Kauwcu mengangguk lalu menutur. "Dia membunuh ayahku gara-gara sebuah kitab pusaka Seng Hwee Cin Keng."

"Apa?" Kam Hay Thian mengerutkan kening. "Dia membunuh ayahku juga dikarenakan kitab pusaka itu. kalau begitu—"

"Ayahmu bernama Kam Pek Kian, bukan?"

"Betul. Dari mana Nona Phang lahu?"

"Ketika ayahku terluka parah oleh pukulan Seng Hwee Sin Kun, tiba-tiba muncul ayahmu berusaha menolong ayahku." Ngo Tok Kauwcu memberitahukan. "Ayahku memberikan kitab pusaka itu kepada ayahmu, setelah itu ayahku menghembus nafas penghabisan. Sungguh lak terduga. Seng Hwee Sin Kun tahu kitab pusaka itu jatuh ke tangan ayahmu...."

"Ooooh!" Kam Hay Thian manggut-manggut. "Ternyata begitu! Namun kenapa Seng Hwee Sin Kun bisa tahu ayahmu memperoleh kitab pusaka itu?"

"Sebetulnya dia dan ayahku merupakan kawan akrab. Dia memperoleh Seng Hwee Tan (Pil Mujarab Api Suci), sedangkan ayahku memperoleh kitab pusaka Seng Hwee Cin Keng. Akan tetapi, dia berhati serakah dan berupaya membunuh ayahku demi memperoleh kitab pusaka itu.“



"Ooohl Kam Hay Thian menghela nafas. "Gara-gara kitab pusaka itu, kawan pun jadi lawan, bahkan ayahku mati lantaran kitab pusaka tersebut."

"Karena Itu, dia musuh kita berdua," ujar Ngo tok Kauwcu dengan mata membara. "Kita harus membunuhnya."

"Kalau begitu, mari kita ke Lembah Kabul Hitami" ajak Kam Hay Thian dan memberitahukan, "Markas Seng Hwee Kauw berada di lembah itu."

"Baik." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. Mereka berdua lalu melesat ke arah lembah tersebut.

-oo0dw0oo-


Sementara itu, di dalam markas Seng Hwee Kauw terdengar suara tawa terbahak-bahak, ternyata Seng Hwee Sin Kun yang tertawa.

"Ha ha ha! Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi Penjahat) dan Ngo Tok Kauwcu sedang menuju ke mari! Berarti mereka mengantar diri, bagus Bagus sekali!"

"Kauwcu, apa rencanamu sekarang?" tanya Leng Bin Hoatsu

"Aku akan membunuh Chu Ok Hiap, sedang kan kalian berlima menghadapi Ngo Tok Kauwcu tapi harus berhati-hati terhadap racunnya!" sahut Seng Hwee Sin Kun dan melanjutkan. ”Mengingat almarhum ayahnya adalah kawan baikku, maka kalian tidak usah membunuhnya, cukup menahan nya saja."

"Menahannya?" Lcng Bin Hoatsu tidak mengerti. "Maksud Kauwcu?"

"Maksudku kalian menahannya agar dia tidak ikut menyerangku, sebab aku tidak ingin melukainya." Seng Hwee Sin Kun menjelaskan. "Kalian mengerti?"



"Ya." Leng Bin Hoatsu dan lainnya mengangguk.

"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak sambil bangkit dari tempat duduknya. "Mari kita ke mulut lembah menyambut kedatangan merekal Hari ini aku harus turun tangan membunuh Chu Ok Hiap."

Mereka berenam menlngalkan ruang itu. Begitu sampai di luar markas, mereka mengerahkan ginkang menuju mulut lembah.

Sementara itu, Kam Hay Thian dan Ngo Tok Kauwcu teiah sampai di mulut lembah tersebut. Mereka berdua tidak langsung masuk, melainkan cuma berdiri di mulut lembah itu.

"Mungkinkah di dalam lembah terdapat jebakan?" tanya Kam Hay Thian dengan kening berkerut.

"Mungkin." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. "Maka kita harus berhati-hati, jangan bergerak scmbaranganl"

"Biar bagaimana pun, kita harus memasuki lembah ini. Aku...." Ucapan Kam Hay Thian di putuskan oleh suara tawa keras.

"Ha ha hal Chu Ok Hiap, sungguh besar nyalimu untuk ke mani" Melayang turun Seng Hwee Sin Kun di hadapan Kam Hay Thian.

Setelah itu, melayang turun lagi Leng Bin Hoatsu dan lainnya, yang langsung mengurung Ngo Tok Kauwcu.

"Engkaukah Seng Hwee Sin Kun?" tanya Kam Hay Thian dingin sambil menatapnya dengan mata berapi-api.

"Betul!" sahut Seng Hwee Sin Kun. "Hari ini engkau barus mampus! Ha hal"

"Seng Hwee Sin Kun!" bentak Kam Hay Thian mengguntur. "Aku ke mari untuk membalas dendam! Bersiap-siaplah untuk mati!"



"Anak muda!" Seng Hwee Sin Kun tertawa terkekeh. "He he he! Kematianmu sudah berada di ambang pintu, namun masih berani omong besari"

"Hmm!" dengus Kam Hay Thian sambil mengerahkan Pak Kek Sin Kang (Tenaga Sakti Kutub Utara).

"Eh?" Seng Hwee Sin Kun mengerutkan kening. Ternyata ia merasa ada hawa dingin. Seketika juga ia menghimpun Seng Hwee Sin Kang (Tenaga Sakti Api Suci).

Kam Hay Thian tampak terkejut, karena merasa ada hawa panas. Mereka berdua saling menatap, kemudian mendadak Kam Hay Thian mulai menyerang.

"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa. "Bagus, bagus!"

Seng Hwee Sin Kun berkelit sekaligus balas menyerang, maka terjadilah pertarungan sengit. Mereka bertarung dengan tangan kosong.

Ngo Tok Kauwcu menyaksikan pertarungan itu dengan penuh perhatian, begitu pula Leng Bin Hoatsu dan lainnya.

Tak terasa pertarungan sudah melewati belasan jurus. Kam Hay Thian tampak mulai berada di bawah angin. Karena itu, ia mulai mengeluarkan jurus-jurus andalannya.

Sekonyong-konyong ia menyerang Seng Hwee Sin Kun dengan jurus Han Thian Soh Swat (Menyapu Salju Hari Dingin). Menyaksikan serangan itu, Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak.

"Ha ha ha! Serangan yang bagus! Nah, bersiap-siaplah menghadapi jurusku!" serunya sambil berkelit, kemudian mendadak balas menyerang dengan jurus Seng Hwee Sauh Thian (Api Suci Membakar Langit).

Bukan main lihay dan dahsyatnya jurus terbut karena sepasang telapak tangan Seng Hwee Sin Kun memancarkan cahaya kehijau-hijauan yang mengandung api.



Kam Hay Thian tidak bisa berkelit, maka terpaksa menangkis dengan jurus Leng Swat Teng Hai (Salju Menutupi Laut), sekaligus mengerahkan Pak Kek Sin Kang sepenuhnya. Sepasang telapak tangannya mengeluarkan hawa dingin.

Daaar! Terdengar suara benturan dahsyat.

Kam Hay Thian terhuyung-huyung beberapa langkah ke belalang, pakaiannya telah hangus. Sedangkan Seng Hwee Sin Kun tetap berdiri di tempat, keningnya tampak berkerut-kerut.

"Hebat juga engkaul" ujar Seng Hwee Sin Kun. "Mampu menangkis serangankul"

"Hmml" dengus Kam Hay Thian. Wajahnya pucat pias, ternyata dadanya terkena pukulan itu.

Mendadak ia membentak keras sambil menyerang dengan mengeluarkan jurus Swat Hoa Phiau Phiau (Bunga Sarju Berterbangan).

Seng Hwee Sin Kun tidak berkelit, melainkan menangkis dengan jurus Seng Hwee Jip Te (Api Suci Masuk Ke Bumi).

Daaaarl Terdengar suara benturan yang amat dahsyat memekakkan telinga, disusul suara jeritan Kam Hay Thian.

"Aaaakh...!" Badannya terpental belasan depa, kemudian roboh telentang dengan dada hangus dan nafasnya tampak lemah sekali.

"Ha ha hal" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Chu Ok Hiap, ajalmu telah tibal Ha ha ha...l"

Seng Hwee Sin Kun mendekati Kam Hay Thian selangkah demi selangkah. Sementara wajah Ngo Tok Kauwcu tampak

memucat, kemudian perlahan-lahan menggerakkan tangannya.

"Jangan bergerak sembaranganl" bentak Pat



Pie Lo Koay melotot sambil menyerangnya, sekalgus berbisik kepadanya menggunakan ilmu menyampaikan suara. "Nona Phang, cepat kabur!"

Ngo Tok Kauwcu berkelit meloncat ke belakang. Sungguh mengherankanl Ngo Tok Kauwcu tidak tampak terkejut sama sekali akan suara bisikan itu, sepertinya mereka berdua punya suatu hubungan.

Sementara Seng Hwee Sin Kun terus mendekati Kam Hay Thian, kelihatannya ia ingin menghabisi nyawa pemuda itu. Namun di saat bersamaan, terdengarlah suara bentakan keras.

"Berhenti!"

Tampak seseorang melayang turun di hadapan Seng Hwee Sin Kun, yang ternyata Tio Bun Yang bersama monyet bulu putih yang duduk di bahunya.

"Haah?!" Seng Hwee Sin Kun tertegun ketika metibat kemunculan Tio Bun Yang, yang mendadak itu, ialu tertawa gelak. "Ha ha ha! Tak disangka Giok Siauw Sin Hiap yang muncull Bagus, bagus!"

"Seng Hwee Sin Kun!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Sungguh kejam hatimu!"

"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa lagi. "Aku memang kejam, karena akan membunuhmu juga!"

Sementara Ngo Tok Kauwcu tampak gembira sekali, tapi juga merasa cemas karena tidak begitu yakin Tio Bun Yang mampu mengalahkan Seng Hwee Sin Kun.

"Adik Bun Yang, hali-hatil" serunya mengingatkan.

”Terimakasih atas perhatian Kakak Ling Cui” sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.



"Oooh” Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut. "Ternyata kalian adalah teman, bagus. Aku akan membunuh kalian semual"

Pada waktu bersamaan, berkelebat tiga sosol bayangan ke sisi Tio Bun Yang. Tiga sosok bayangan itu ternyata Siang Koan Goat Nio, Lie A Ling dan Lu Hui San.

"Goat Nio, Adik Ai Ling" bisik Tio Bun Yang "Kalian bantu Ngo Tok Kauwcu! Hui San menjaga pemuda itul"

”Tapi engkau..." Lie Ai Ling mengerutkan kening.

"Jangan khawatir!" sahut Tio Bun Yang. "Aki mampu melawan Seng Hwee Sin Kun, percaya lahl"

"Bun Yang, hati-hati!" pesan Siang Koan Coa Nin, lalu bersama Lie Ai Ling mendekati Ng Tok Kauwcu. Sedangkan Lu Hui San segera berlari menghampiri Kam Hay Thian.

"Kakak Hay Thian!" panggil gadis itu terisak isak. "Bagaimana keadaanmu?"

"Hui San, aku... aku____" Suara Kam Hay TTiia lemah sekali. "Aku telah terluka parah, mungkin... mungkin tidak hisa hidup lama lagi...."

"Kakak Hay Thian, engkau jangan berkata begitu!" Air mata Lu Hui San berderai-derai. "Engkau... engkau tidak akan mati...."

"Hui San...." Kam Hay Thian menatapnya dengan mata

redup. "Aku... aku sudah tidak tahan. Aku,..."

"Bertahanlah Kakak Hay Thian! Bertalianlah!" Lu Hui San memeluknya erat-erat.

Menyaksikan Itu, Seng Hwee Sin Kun justru tertawa terkekeh-kekeh, kelihatan gembira sekali.

"He he hel Chu Ok Hiap, nasibmu sungguh tragis. Di saat akan menemui ajal, malah muncul gadis cantik menemanimu!"



"Diam!" bentak Lu Hui San mendadak sambil nrenghunus pedang Han Kong Kiam

Begitu melihat pedang tersebut, kening Seng Hwee Sin Kun berkerut.

"Pedang apa itu?" tanyanya.

"Pedang Han Kong Kiam."

"Kalau begitu...." Seng Hwee Sin Kun menatapnya tajam.

"Engkau adalah putri Lu Thay Kam. Ya, kan?"

"Ya." Lu Hui San mengangguk.

"Ngmm" Seng Hwee Sin Kun manggul-mang-nt. "Aku tidak akan membunuhmu, lebih baik engkau segera meninggalkan tempat inil"

"Aku tidak akan pergi!" sahut Lu Hui San.

"Engkau boleh membunuhku, pokoknya aku tidak akan pergi!"

"Oh?" Seng Hwee Sin Kun tertawa, kemudian menatap Tio Bun Yang dengan dingin sekali. "Kecuali Lu Hui San, kalian semua harus mampus hari mil"

"Belum tentu," sahut Tio Bun Yang. Sedangkan monyet bulu putih bercuit-cuit dan menyeringai, kelihatan marah sekali.

"He he he” Seng Hwee Sin Kun tertawa terkekeh. "Monyet bulu putih itu pun harus mampus!"

"Oh?" Tio Bun Yang tertawa dingin. Ia mengeluarkan suling pualamnya sekaligus menghimpun Pan Yok Hian Thian Sin Kang untuk melindungi diri, karena tahu Seng Hwee Sin Kun pasti menyerangnya.

"Ha ha hal" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak sambil mengerahkan Iweekangnya, kelihatannya sudah siap bertarung.



Suasana di tempat itu mulai mencekam. Leng Bin Hoatsu dan lainnya langsung mengarah pada mereka, begitu pula Siang Koan Goat Nio, Lie Ai Ung, Ngn Tok Kauwcu dan Lu Hui San Sementara Kam Hay Thian diam saja, temyata pemuda itu telah pingsan.

"Giok Siauw Sin Hiap!" seru Seng Hwee Sin Kun. "Berhati-hatilah! Aku akan menyerangmu!

"Seng Hwee Sin Kun, terimakasih atas peringatanmu!" sahut Tio Bun Yang. "Aku sudah siap menyambut seranganmul"

"Bagusi Lihat serangan!" bentak Seng Hwee Sin Kun sambil menyerangnya.

Tio Bun Yang berkelit, kemudian berbisik kepada monyet hulu putih.

"Kauw heng, turunlah!"

Monyet hulu putih langsung meloncat turun, sedangkan Seng Hwee Sin Kun mulai menyerang lagi.

Tio Bun Yang cepat-cepat berkelit menggunakan Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat), kemudian halas menyerang dengan ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi (Ilmu Suling Kumata Pemusnah Kepandaian), mengeluarkan jurus San Pang Te Liak (Gunung Runtuh Bumi Retak).

"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. 'Bagus! Engkau masih mampu menyerangl"

Ketua Seng Hwee Kauw itu mengelak, sekaligus balas menyerang dengan ujung lengan jubahnya.

Tio Bun Yang tidak berkelit, melainkan menangkis serangan itu dengan jurus Hoan Thian uoan Te (Membalikkan Langit Memutarkan Bumi).

Blaml Terdengar suara benturan.



Seng Hwee Sin Kun berdiri tak bergeming di tempat, sedangkan Tio Bun Yang terpental beberapa langkah. Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya pemuda itu.

"Ha ha hal" Seng Hwee Sin Kun tertawa. "Hebat juga engkau, mampu menangkis seranganku! Nah, sambut lagi seranganku”

Seng Hwee Sin Kun menyerangnya dengan sepasang telapak tangan. Mendadak Tio Bun Yang bersiul panjang sambil menggerakkan sulingnya.

Seng Hwee Sin Kun tersentak ketika menyaksikan gerakan suling itu, karena tampak kacau balau dan membuat matanya berkunang-kunang. Ternyata Tio Bun Yang menggunakan Cit Loan Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pusing Tujuh Keliling), mengeluarkan jurus Ban Kiam Hui Thian (Selaksa Pedang Terbang Di Langit). Tampak suling itu berkelebatan tidak karuan ke arah Ser.g Hwee Sin Kun.

"Haaah?" Bukan main terkejutnya Seng Hwee Sin Kun. Ia segera meloncat ke belakang.

Akan tetapi, suling itu tetap berkelebatan menyerangnya, bahkan membuatnya pusing sekali.

Breeetl Jubah Seng Hwee Sin Kun telahi berlubang.

"Hiyaatl" teriaknya sambil mengibaskan lengan jubahnya, kemudian secepat kilat meloncat ke samping.

Akan tetapi, Tio Bun Yang terus menyerangnya, sehingga Seng Hwee Sin Kun kalang kabut menghindar ke sana ke mari.

"Kakak Bun Yang" seru Lie Ai Ling sambi bertepuk tangan. "Terus serang dia, jangan membiarkan dia lolos!"

Suara seruan itu membangkitkan kegusaran Seng Hwee Sin Kun. Mendadak ia bersiul panjang sambil bersalto ke belakang secepat kilat. Ketika melayang turun, sepasang matanya telah dipejamkan.



Tentunya membuat Tio Bun Yang terheran heran.

"He he he!" Seng Hwee Sin Kun tertawa terkekeh-kekeh. "Coba serang aku lagi!"

Tio Bun Yang mengerutkan kening. Ia tidak tahu apa sebabnya Seng Hwee Sin Kun memejamkan sepasang matanya. Kemudian ia mulai menyerang lagi menggunakan Cit Loan Kiam Hoat.

Akan tetapi, kali ini Seng Hwee Sin Kun dapat berkelit dengan mudah sekali, bahkan mampu balas menyerang.

Tio Bun Yang tersentak. Kini ia sudah tahu bahwa Seng Hwee Sin Kun mengandalkan ketajaman pendengarannya. Hal itu dikarenakan sepasang matanya berkunang-kunang dan merasa pusing menghadapi ilmu pedang tersebut, maka kini ia menghadapi ilmu pedang itu dengan mata dipejamkan.

Walau mata dipejamkan, namun Seng Hwee Sin Kun lebih dapat bergerak dengan gesit menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Tio Bun Yang, bahkan balas menyerangnya.

Setelah pertarungan melewati belasan jurus, mendadak Seng Hwee Sin Kun bersiul panjangi dan berdiri diam.

Tio Bun Yang menyaksikannya. Ia pun berhenti menyerang, namun memandangnya dengan penuh perhatian. Berselang sesaat, wajah Tio B-uti Yang tampak berubah karena melihat sepasang telapak tangan Seng Hwee Sin Kun berubah agak kehijau-hijauan.

Pemuda itu tahu, bahwa Seng Hwee Sin Kun akan mengeluarkan ilmu andalannya. Oleh karena itu, ia segera menyimpan sulingnya lalu menghimpun Kan Kun Taylo Sin Kang.

Tak seberapa lama kemudian, sepasang telapak tangan Seng Hwee Sin Kun mengeluarkan hawa yang panas sekali.



Betapa terkejutnya Siang Koan Goat Nio, Li AI Ling, Lu Hui San dan Ngo Tok Kauwcu menyaksikannya.

"Hati-hati Kakak Bun Yangl" seru Lie Ai Ling, tak tertahan.

Sementara itu, monyet bulu putih yang berdiri tak jauh dari tempat itu pun tampak tegang sekali

Mendadak Seng Hwee Sin Kun membentak keras sambil menyerang Tio Bun Yang dengan Seng Hwee Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Api Suci) mengeluarkan jurus Seng Hwee Sauh Thian (Api Suci Membakar Langit).

Sepasang telapak tangan Seng Hwee Sin Kun yang kehijau-hijauan berkelebatan ke arah Tio Kun Yang. Tak ada waktu bagi Tio Bun Yang untuk berkelit, maka terpaksa menangkis menggunakan Kan Kun Taylo Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Alam Semesta), mengeluarkan jurus Kan Kun Taylo Bu Pien (Alam Semesta Tiada Batas).

Blaaam! Kedua tenaga sakti itu beradu sehingga menimbulkan suara ledakan dahsyat.

Perlu diketahui, ilmu Kan Kun Taylo Sin Kang berfungsi untuk bertahan sekaligus membalikkan Iweekang pihak lawan, sedangkan pan Yok Hian lliian Sin Kang berfungsi melindungi diri.

Akan tetapi, terjadi suatu hal yang sungguh di luar dugaan. Ternyata Kan Kun Taylo Sin Kang hanya mampu membalikkan sebagian kecil Seng Hwee Sin Kang itu, sebaliknya Seng Hwee Sin Kung tersebut malah dapat membobolkan pertahanan Kan Kun Taylo Sin Kang. Maka, ketika terjadi benturan. Seng Hwee Sin Kang pun menerobos menyerang Tio Bun Yang.

Itu membuat Tio Bun Yang terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah dengan wajah pucat pias, dan pakaiannya pun telah hangus. "He he he!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gelak. "Giok Siauw Sin Hiap, hari ini engkau pasti pampus! Ha ha ha. "



Seng Hwee Sin Kun mulai menyerangnya lagi. kali ini Tio Bun Yang bergerak cepat menghindar menggunakan Kiu Kiong Sen Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat). Ia memang berhasil menghindar, namun Seng Hwee Sin Kun terus menyerangnya Tio Bun Yang kewalahan berkelit, sehingga terpaksa menangkis dengan mengeluarkan jurus Kan Kun Taylo Hap It (Segala-galanya Menyatu Di Alam Semesta).

Blaaam! Terdengar suara benturan dahsyat.

Seng Hwee Sin Kun terhuyung-huyung be berapa langkah, sedangkan Tio Bun Yang terpental beberapa depa, barulah bisa berdiri tegak.

Betapa terkejutnya Siang Koan Goat Nio, Lie Ai Ling, Lu Hui San dan Ngo Tok Kauwcu, karena melihat dada Tio Bun Yang telah hangus.

"Bun Yang. " jerit Siang Koan Goat Nio.

"Kakak Bun Yang!" teriak Lie Ai Ling denga suara gemetar.

Lu Hui San dan Ngo Tok Kauwcu juga menjerit tak tertahan.

"Ha ha ha!" Seng Hwee Sin Kun tertawa gela "Giok Siauw Sin Hiap, engkau memang harus mampus hari ini! Ha ha ha !"

Kini Tio Bun Yang tahu jelas dirinya bukan tandingan Seng Hwee Sin Kun, karena itu harus meloloskan diri. Mendadak ia bergerak ke arah Kam Hay Thian yang tergeletak pingsan itu, sekaligus menyambarnya dan berseru.

"Mari kita pergi!"

Lu Hui San, Siang Koan Goat Nio, Lie I Ling dan Ngo Tok Kauwcu langsung melesat pergi secepat kilat.

"He he he!" Seng Hwee Sin Kun tertawa kekeh-kekeh "Giok Siauw Sin Hiapl Engkau tidak akan bisa kabur!"

Seng Hwee Sin Kun melesat ke arahnya. Sepasang telapak tangannya tampak memancarkan cahaya kehijau-hijauan. Ternyata ia telah menghimpun Seng Hwee Sin Kang sampai



pada puncaknya, bahkan mengeluarkan jurus yang paling dahsyat untuk menyerang Tio Bun Yang, yaitu jurus Thian Te Seng Hwee (Api Suci Langit Humi).

Apabila Tio Bun Yang terkena pukulan itu, biarpun tidak mati, tapi pasti terluka parah, pada waktu bersamaan, tampak sosok bayangan putih melesat secepat kilat menghadang Seng Hwee Sin Kun, sekaligus menangkis serangannya. Sosok bayangan putih itu ternyata monyet hulu putih. Di saat itu pula Tio Bun Yang melesat pergi dengan mengapit Kam Hay Thian.

Daaaarf Terdengar suara seperti ledakan. Monyet bulu putih berhasil menangkis serangan Seng Hwee Sin Kun. Akan tetapi, monyet itu terpental berapa depa dan bulunya telah hangus, begitu pula dadanya. Namun monyet itu masih mampu melesat pergi menyusul Tio Bun Yang.

Sedangkan Seng Hwee Sin Kun terhuyung-huyung beberapa langkah, kemudian mulutnya memuntahkan darah segar.

Leng Bin Hoatsu dan lainnya segera menghampirinya. Seng Hwee Sin Kun menarik nafas dalam-dalam untuk mengatur pernafasannya.

"Kauwcul Bagaimana keadaanmu?" tanya Lena Bin Hnatsu.

"Aaaah " Seng Hwee Sin Kun mengheli nafas panjang. "Aku sama sekali tidak menyangka, kalau monyet bulu putih itu memiliki lwekang begitu tinggi. Aku... aku telah terluka dalam."

"Kauwcul Bagaimana kalau kami pergi kejar mereka?" tanya Pek Bin Kui.

"Tidak usah!" Seng Hwee Sin Kun mengg4 lengkan kepala. "Mari kita kembali ke markas saja!"

Sementara itu, Tio Bun Yang dan lainnya telah berhenti di dalam sebuah rimba. Tio Bun Yang segera memeriksa luka



Kam Hay Thian, lal mengeluarkan sebutir pil dan dimasukkannya ke mulut pemuda itu.

"Bun Yang, bagaimana lukamu?" tanya Sian Koan Crnnl Nio cemas.

"Cuma luka ringan," sahut Tio Bun Yang dai memberitahukan. "Namun Kam Hay Thian mengalami luka parah, maka kita harus segera membawanya ke Pulau Hong Hoang To. Kalau tidak ? dia pasti akan mati."

"Kalau begitu...." Lu Hui San cemas sekali "Mari kita segera

berangkat, jangan membuang buang waktu lagi"

Di saat bersamaan, muncullah monyet bulu putih terhuyung-huyung lalu roboh di hadapan Tio Bun Yang,

"Kauw hengl" seru Tio Bun Yang sambil mendekatinya. "Engkau terluka?"

Monyet bulu putih manggut-manggut, kemudian bercuit lemah sambil memandang Tio Bun Yang dengan mata redup.

"Kauw heng____" Tio Bun Yang segera menggendongnya. "Aaaakh! Tubuhmu telah hangus, engkau..."

Monyet bulu putih bercuit lemah lagi. Tio Bun Yang segera mengambil sebutir pil lalu dimasukkannya ke mulut monyet butu putih. Berselang sesaat, monyet bulu putih itu puri bercuit-cuit sambil menunjuk ke atas.

"Kauw heng...." Tio Bun Yang memandangnya dengan air

mata berderai-derai. "Engkau menyuruhku membawamu ke Gunung Thian San, tempat tinggalmu?"

Monyet bulu putih manggut-manggut, kemudian menunjuk dadanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Apa? Dadamu terluka parah?"

Monyet bulu putih mengangguk dan terus menunjuk ke atas, lalu menunjuk dirinya sendiri.



"Aku harus segera membawamu ke Gunung Thian San? Engkau sudah tidak bisa bertahan lama?" tanya Tio Bun Yang dengan suara bergemetar.

Monyet bulu putih mengangguk. Tio Bun Yang memeluknya erat-erat sambil terisak-isak.

"Kauw heng," ujarnya dengan air mata bercucuran. "Engkau telah menyelamatkan nyawaku, namun...."

Monyet bulu putih bercuit lemah dalam pelukan Tio Bun Yang, dan nafasnya pun tampak lemah sekali.

"Baik. Aku akan segera membawamu ke Gunung Thian San," ujar Tio Bun Yang sambil memandang Siang Koan Goat Nio. "Kalian bertiga harus segera membawa Kam Hay Thian ke Pulau Hong Hoang To, mungkin ayahku dapat menolongnya."

"Tapi      engkau...."          Siang     Koan      Goat      Nio         merasa berat

berpisah dengan Tio Bun Yang.

"Aku harus segera membawa kauw heng ke Gunung Thian San, sebab dia... dia sudah sekarat," Tio Bun Yang memberitahukan.

"Bagaimana kalau aku Ikut ke sana?" tanya Siang Koan Goat Nio penuh harap.

"Lebih baik engkau menyertai Adik Ai Ling dan Hui San ke Pulau Hong Hoang To, sebab lebih aman di sana," sahut Tio Bun Yang lalu berkata kepada Ngo Tok Kauwcu. "Kakak Ling Cu, aku mohon bantuanmu!"

"Katakanlah apa yang harus kubantu!"

"Pergilah ke markas pusat Kay Pang menemui kakekku, beritahukan tentang kejadian ini!"

"Baik." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. "Aku pasti segera ke sana."



”Terirnakasih, Kakak Ling Cu!" ucap Tio Bun Yang, kemudian memandang Siang Koan Goat Nio seraya berkata. "Setelah membawa kauw heng ke Gunung Thian San, aku pasti segera kembali ke Pulau Hong Hoang To."

"Bun Yang...." Wajah Siang Koan Goat Nio tampak murung.

"Aku—"

"Goat Nio," ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh- "Kam Hay Thian sudah sekarat, cepatlah kalian hawa ke Pulau Hong Hoang Tol Jangan membuang waktu di sini, sebab kalau terlambat, dia tidak akan tertolong."

"Biar aku berangkat duluan." ujar Lu Hui San yang langsung menggendong Kam Hay Thian lalu melesat pergi.

"Goat Nio, Adik Ai Ling, cepat ikut dial" seru Tio Bun Yang.

"Baik." Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling mengangguk, kemudian keduanya segera melesat pergi menyusul Lu Hui San.

"Maaf, Kakak Ling Cul" ucap Tio Bun Yang. "Aku pun harus segera pergi."

"Baik," sahut Ngo Tok Kauwcu. "Aku pasti ke markas pusat Kay Pang menemui kakekmu memberitahukan tentang kejadian ini."

”Terirnakasih, Kakak Ling Cul Sampai jumpa!" ucap Tio Bun Yang kemudian melesat pergi dengan menggendong monyet bulu putih yang terluka parah

-ooo0dw0oo-


Phang Ling Cu Ngo Tok Kauwcu telah tiba di markas pusat Kay Pang. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong menyambut kedatangannya dengan penuh keheranan sebab mereka sama sekali tidak kenal wanita itu.



"Maaf! Bolehkah kami tahu siapa Nona?" tanya Lim Peng Hang.

"Namaku phang Ling Cu," sahut Ngo Tok Kauwcu sambi! memberi hormat. "Aku adalah Ngo Tok Kauwcu, sengaja ke mari untuk menemui Lim Pangcu."

"Ngo Tok Kauwcu?" Lim Peng Hang tersentak, sebab selama ini Kay Pang tidak punya hubungan dengan Ngo Tok Kauwcu, lagi pula Ngo Tok Kauwcu tergolong perkumpulan sesat.

"Ya." Ngo Tbk Kauwcu mengangguk sambil tersenyum. "Adik Bun Yang yang menyuruhku ke mari."

"Oh?" Lim Peng Hang terkejut. 'Di mana cucuku? Kenapa dia menyuruh Anda ke mari?"

"Adik Bun Yang sudah berangkai ke Gunung Thian San." Ngo Tok Kauwcu memberitahukan. "Monyet bulu putih terluka parah."

"Apa?!" Bukan main terperanjatnya Lim Peng liang. "Bagaimana kauw heng bisa terluka parah? Apa yang telah terjadi? Cepat tuturkan!"

"Lim Pangcu!" Ngo Tok Kauwcu tertawa kecil. "Apakah aku harus menutur dengan cara berdiri?"

"Maaf, maaf]" ucap Lim Peng Hang- "Silakan duduk!" ”Terirnakasih!" Ngo Tok Kauwcu duduk.

"Ngo Tok Kauwcu," desak Lim Peng Hang. ”Tuturkanlah apa yang telah terjadi, bagaimana kauw beng bisa terluka parah?"

"Adik Bun Yang bertarung dengan Seng Hwee Sin Kun. Monyet bulu putih menolongnya sehingga terkena pukulan yang dilancarkan Seng Hwee Sin Kun." Ngo Tok Kauwcu memberitahukan.



"Ngo Tok Kauwcu," ujar Gouw Han Tiong. ”Harap tuturkan lebih jelas!"

"Baik, aku akan menutur dari awal." Ngo Tok kauwcu menutur tentang pertemuannya dengan !io Bun Yang dan lain sebagainya.

Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong mendngarkan dengan penuh perhatian, kemudian Gouw Han Tiong menghela nafas seraya berkata.

"Kalau begitu, kita punya musuh yang sama."

"Oh?" Ngo Tok Kauwcu tertegun. "Maksud Gouw Tianglo?"

"Seng Hwee Sin Kun juga membunuh ayahku, bahkan membunuh para anggota kami." Lim Peng Hang memberitahukan.

"Oooh!" Ngo Tok Kauwcu manggut-manggut. "Kepaudaian Seng Hwee Sin Kun memang tinggi sekali. Kelihaiannya Adik Bun Yang juga masih bukan tandingannya."

"Cucuku cuma mengalami luka ringan?" tanya Lim Peng Hang tampak cemas.

"Adik Bun Yang cuma terbakar ringan. Yang terluka berat adalah Kam Hay Thian dan monyet bulu putih "

"Goat Nio, Ai Ling dan Lu Hui San membawa Kam Hay Thian ke Pulau Hong Hoang To?" tanya Gouw Han Tiong.

"Ya." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. "Monyet bulu putih menyuruh Adik Bun Yang membawanya ke Gunung Thian San. Kelihatannya monyet bulu putih sudah sekarat."

"Aaaakh!" keluh Lim Peng Hang. "Kauw heng.„"

"Ngo Tok Kauwcu," tanya Gouw Han Tiong. "Seng Hwee Sin Kun sama sekali tidak terluka oleh tangkisan monyet bulu putih?"



"Dia juga terluka dalam. Kalau tidak, mungkin kami semua tidak akan bisa meloloskan diri,” jawab Ngo Tok Kauwcu.

"Tapi...."              Gouw    Han        Tiong     mengerutkan    ke           ning.

"Bukankah Seng Hwee Sin Kun punya bawahan yang berkepandaian tinggi? Kenapa mereka tidak mengejar kalian?"

"Mereka bukan tandingan Adik Bun Yang, maka mereka tidak berani mengejar kami," ujar Ngo Tok Kauwcu dan menambahkan, "Lagi pula Pat Pie Lo Koay adalah saudara angkat ayahku."

"Apa?" Gouw Han Tiong tercengang. "Pat Pie Lo Koay saudara angkat ayahmu?"

"Ya." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. "Namun Seng Hwee Sin Kun tidak mengetahuinya, maka tidak bercuriga sama sekali."

"Oh yaf" Gouw Han Tiong teringat sesuatu. ”Toan Beng Kiat pernah memberitahukan kepadaku, ketika dia bertarung dengan Pat Pie Lo Koay, kelihatannya Pat Pie Lo Koay tidak bersungguh-sungguh menyerangnya. Tahukah engkau apa sebabnya?"

"Toan Beng Kiat?" Ngo Tok Kauwcu kebingungan.

"Dia adalah anak Gouw Sian Eng putriku, ayahnya adalah Toan Wie Kie." Gouw Han Tiong memberitahukan.

"Oooh!" Ngo Tok Kauwcu manggut-manggut. "Itu disebabkan Tui Hun Lojin."

"Apa?” Gouw Han Tiong terbelalak. "Kenapa disebabkan almarhum ayahku?"

"Sebab Tui Hun Lojin pernah menyelamatkan nyawa Pai Pie Lo Koay," ujar Ngo Tok Kauwcu menjelaskan. "Maka ketika bertarung dengan Toan Beng Kiat, Pat Pie Lo Koay tidak menyerangmu dengan sungguh-sungguh."



"Oooh!" Gouw Han Tiong manggut-manggut "Kalau begitu, engkau yang mengutus Pat Pie Ia Koay memata-matai Seng Hwee Sin Kun?"

"Itu cuma kebetulan saja. Karena Seng H Sin Kun yang menguudangnya untuk bergabung jadi kumanfaatkan kesempatan untuk memata-matai gerak-gerik Seng Hwee Sin Kun melalu Pat Pie Lo Koay," ujar Ngo Tok Kauwcu dai menambahkan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku justru tak menyangka, Seng Hwee Si Kun berkepandaian begitu tinggi."

"Benar” Lim Peng Hang manggut-manggut "Dia mampu melukai kauw heng, pertanda 'kepandaiannya memang tinggi sekali. Mungkin cuma Tio Cie Hiong yang mampu melawannya."

"Itu pun belum tentu," sahut Gouw Han Tion, sambil mengerutkan kening. "Sebab kepandaian Bun Yang sudah begitu tinggi, tapi masih terluka.”

"Aku yakin itu karena Bun Yang kurang berpengalaman, maka Seng Hwee Sin Kun dapat melukainya," ujar Lim Peng Hang.

"Belum tentu karena itu," sela Ngo Tok Kaucu. "Aku menyaksikan pertarungan itu, kepadaian Adik Bun Yang memang masih di bawah tingkat kepandaian Seng Hwee Sin Kun."

"Oh?" Lim Peng Hang mengerutkan kenin "Kalau begitu, mungkinkah Seng Hwee Sin Kun mampu mengalahkan Tio Cie Hiong?"

"Menurut aku, tidak gampang bagi Seng Hwee Sin Kun mengalahkan Tio Cie Hiong," sahut Gouw Han Tiong, kemudian menghela nafas panjang. "Kita entah harus bagaimana, perlukah kita berangkat ke Pulau Hong Huang To?"



"Tidak perlu." Lim Peng Hang menggelengkan kepala. Tapi kita harus tahu bagaimana gerak-gerik Seng Hwee Kauw. Mungkinkah mereka akan menyerang ke mari?"

"Itu tidak mungkin," ujar Ngo Tok Kauwcu. "Sebab Seng Hwee Sin Kun telah terluka, lagi pula Pat Pie Lo Koay pasti akan mencegah penyerangan ke mari."

"Benar." Gouw Han Tiong manggut-manggut.

"Maafl" Ngo Tok Kauwcu bangkit dari tempat duduknya lalu berpamit, "Aku mau mohon diri!"

"Baiklah." Lim Peng Hang mengangguk sambil herdiri. "Terimakasih atas kedatanganmu untuk menyampaikan tentang kejadian itu!"

"Adik Bun Yang menyembuhkan wajahku, maka aku pun harus membantunya," ujar Ngo Tok Kauwcu sungguh-sungguh. "Maka Lim Pangcu tidak usah berterimakasih kepadaku."

"Ngo Tok Kauwcu!" Lim Peng Hang tertawa. 'Aku harap engkau jangan memanggilku Lim Pangcu, lebih baik panggil saja aku paman!"

"Baik, Paman!" Ngo Tok Kauwcu tersenyum. Tapi Paman pun jangan memanggilku Ngo Tok Kauwcu, cukup panggil namaku saja!"

"Baiklah." Lim Peng Hang tertawa. "Oh ya, engkau mau ke mana?"

"Aku harus segera kembali ke markas, karena aku masih harus menghimpun kekuatan Ngo Tok Kauw, agar kelak mampu melawan Seng Hwee Kauw," ujar Ngo Tok Kauwcu. "Paman, sampai jumpa!"

"Selamat jalan, Ling Cu!" sahut Lim Peng Hang dan bersama Gouw Han Tiong mengantarnya sampai di luar.



Setelah Ngo Tok Kauwcu melesai pergi, barulah mereka berdua kembali masuk.

"Entah bagaimana keadaan kauw heng?" gumam Lim Peng liang dengan wajah muram "Mudah-mudahan monyet bulu putih itu tidak apa-apa”

Bagaimana keadaan luka Seng Hwee Sin Kun ? Apakah separah luka monyet bulu putih? Luka ketua Seng Hwee Kauw itu memang parah. Ketika sampai di markas, ia pun berkata kepada Leng Bin Hoatsu.

”Tangkisan monyet bulu putih itu membuat aku terluka dalam, maka aku harus beristirahat setahun agar bisa pulih. Karena itu, mulai saat ini engkau harus menangani semua urusan Seng Hwee Kauw."

"Ya, Kauwcu." Leng Bin Hoatsu mengangguk.

'Dalam waktu setahun, janganlah kalian mengganggu aku" pesan Seng Hwee Sin Kun sungguh-sungguh. "Sebab aku harus memperdalam Seng Hwee Sin Kang. Tentunya kalian masih ingat, aku masih menyimpan Seng Hwee Tan (Pil Api Suci). Nah, kini sudah waktunya aku makan sisa pil itu."

"Oooh!" Leng Bin Hoatsu manggut-manggut.

"Kauwcu," tanya Pek Bin Kui. "Setahun kemudian, Iweekang Kauwcu pasti bertambah tinggi. Ya, kan?"

"Betul." Seng Hwee Sin Kun mengangguk.

"Kalau begitu," ujar Pek Bin Kui sambil tersenyum. "Sudah waktunya kita menguasai rimba persilatan."

"Tidak salah." Seng Hwee Sin Kun manggut-manggut dan berpesan. "Oh ya, dalam waktu setahun ini, kalian pun harus memperdalam kepandaian masing-masing."

"Ya." Pek Bin Kui dan lainnya mengangguk.



"Sekarang aku akan ke ruang rahasia untuk mengobati luka dalamku, setahun kemudian barulah kita bertemu," ujar Seng Hwee Sin Kun lalu melangkah ke dalam menuju ruang rahasia.

Leng Bin Hoatsu dan lainnya saling memandang, kemudian mereka duduk dengan kening berkerut kerut

"Kini Seng Hwee Sin Kun telah memasuki ruang rahasia, setahun kemudian kita baru bertemu dia. Menurut kalian apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Leng Bin Ituatsu.

"Seng Hwee Sin Kun telah berpesan tadi, kita harus memperdalam kepandaian masing-masing, itu yang harus kita lakukan," sahut Pek Bin Kui.

"Menurut aku," ujar Hek Sim Popo dengan tertawa. "Bagaimana kalau kita menyerang Kay Pang?"

"Itu tidak boleh." Pat Pie Lo Koay menggelengkan kepala. "Karena kita harus mentaati pesan Seng Hwee Sin Kun, maka alangkah baiknya kita memperdalam kepandaian saja."

"Benar." Tok Chiu Ong manggut-manggut dan menambahkan, "Setahun kemudian barulah kita berunding dengan Seng Hwee Sin Kun, apakah kita perlu menyerang Kay Pang atau tidak?"

"Ngmm!" Leng Bin Hoalsu mengangguk. "Memang harus begitu, jadi kita tidak melanggar apa yang dipesankan Seng Hwee Sin Kun."

"Lalu bagaimana para anggota kita?" tanya Hek Sim Popo mendadak. "Apakah kita masih perlu melatih mereka?"

"Tentu perlu," sahut Leng Bin Hoatsu. "Ka rena setahun kemudian, kita harus menyerang Kay Pang dan tujuh partai besar lainnya."

"Ha ha hal" Pek Bin Kui tertawa gelak. "Setahun kemudian, Seng Hwee Kauw pasti akan menguasai dunia persilatan!"



"Betul." Leng Bin Hoatsu manggut-manggut dan tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha. "

"Setahun kemudian, Kay Pang dan tujuh partai besar harus tunduk kepada Seng Hwee Kauwl" ujar Hek Sim Popo sambil tertawa terkekeh-kekeh. "He he hel"

"Eh?" Pek Bin Kui memandang Pai Pie Lo Koay. "Lo Koay, kenapa engkau diam saja?"

"Dulu Bu Lim Sam Mo ingin menguasai rimba persilatan, tapi akhirnya mereka bertiga malah mati. Oleh karena itu...." Pat Pie Lo Koay menggeleng-gelengkan kepala.

"Maksudmu Seng Hwee Kauw tidak mampu menguasai rimba persilatan?" tanya Pek Bin Kui dengan kening berkerut.

"Kita harus tahu, kepandaian Tio Cie Hiong tinggi sekali," sahut Pat Pie Lo Kuay "Kelihatannya Seng Hwee Sin Kun masih tidak mampu mengalahkan putranya, apalagi melawan Tio Cie Hiong."

"Tapi kita pun harus tahu," ujar Pek Bin Kui sungguh-sungguh. "Kini Seng Hwee Sin Kun sudah memasuki ruang rahasia untuk mengobati lukanya, sekaligus memperdalam lwekangnya. Nah, setahun kemudian Iweekangnya pasti tinggi sekali. Aku yakin Tio Cie Hiong bukan lawannya."

"Tidak salah," sela Tok Chiu Ong. "Kareni itu, setahun kemudian Seng Hwee Kauw pasti dapat menguasai rimba persilatan."

"Mudah-mudabanI" ucap Pat Pie Lo Koay lalu tertawa gelak. "Ha ha ha! Mulai sekarang, kita pun harus memperdalam kepandaian maslng masing."

--ooo0dw0ooo--



Bagian ke tiga puluh empat



Monyet Bulu Putih Menemui Ajalnya


Setelah menempuh perjalanan siang malam beberapa hari, akhirnya Tio Bun Yang tiba juga di Gunung Thian San dengan menggendong erat erat monyet bulu putih

Setibanya di gunung itu, Tio Bun Yang segera mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kan untuk menghangatkan monyet bulu pulih yang digendongnya. Ia pun menggunakan ginkang menuju goa tempat tinggal monyet bulu putih, da-n ketika hari mulai sore barulah sampai di tersebut.

"Kauw heng, kita sudah sampai." Tio Bun Yang memberitahukan.

Monyet bulu putih menengok ke sana ke mari dengan mata redup, kemudian bercuit lemah.

"Kauw heng!" Tio Bun Yang duduk bersila. Ditaruhnya monyet bulu putih itu di pangkuannya, lalu dibelainya. "Gembirakah engkau berada di dalam goa ini?"

Monyet bulu putih mengangguk sambil bercuit, menunjuk dirinya lalu menunjuk ke kiri.

"Kauw heng____" Tio Bun Yang terisak-isak.

"Engkau bilang setelah engkau mati, aku harus ke arah timur puncak gunung ini?"

Monyet bulu pulih manggut-manggut lemah. Tio Bun Yang memandangnya dengan air mata herderai-derai.

"Kauw heng, engkau... engkau tidak akan mati____" Tio Bun Yang terus membelainya.

Monyet bulu putih menggeleng-gelengkan kepala, kemudian air matanya pun meleleh, sekaligus menjulurkan tangannya memegang lengan Tio Bun Yang.



"Kauw heng____" Tio Bun Yang juga menggenggam tangannya erat-erat. "Engkau tidak akan mati____"

Monyet bulu putih bercuit-cuit lemam.

"Maksudmu aku harus ke arah timur puncak punung ini?"

tanya Tio Bun Yang. "Di sana terdapat sebuah goa es?"

Monyet bulu putih itu mengangguk, nafasnya semakin lemah.

"Kauw   heng...."              Tio          Bun        Yang      memeluknya     erat-erat.

"Kauw heng...."

Monyet bulu putih itu bercuit, kemudian kepalanya terkulai.

Seketika juga Tio Bun Yang menjerit.

"Kauw hengl Kauw heng "

Monyet bulu putih itu diam saja, ternyati nafasnya telah putus. Dapat dibayangkan, betapa sedihnya hati Tio Bun Yang. Ia terus membelai monyet bulu putih itu sambil menangis meraung raung.

"Kauw beng. Kenapa engkau tinggalkan aku Kauw heng...."

Tio Bun Yang terus menangis meraung-raung, akhirnya pingsan.

Berselang beberapa saat, barulah ia siuman dan segera memeluk monyet bulu putih itu lagi.

"Kauw heng! Engkau mati karena menyelamatkan nyawaku. Aku bersumpah, semua keturunanku tidak boleh membunuh monyet jenis apa pun. Kauw heng, aku bersumpahl"

Setelah bersumpah, barulah Tio Bun Yang mengubur monyet bulu putih tersebut, lalu berangkat ke arah timur puncak gunung itu.

-ooo0dw0ooo-



Bukan main dinginnya hawa di puncak sebelah Timur Gunung Thian San. Sejauh mata memandang hanya tampak salju. Tio Bun Yang tidak habis pikir, kenapa monyet bulu putih itu menyuruhnya ke tempat tersebut.

Setibanya di tempat itu, ia melihat sebuah jurang yang ribuan kaki dalamnya. Tio Bun Yang berdiri di pinggir jurang itu sambil mengerutkan kening, la yakin monyet bulu putih itu punya maksud tertentu menyuruhnya ke mari. Karena itu, tanpa ragu ia menuruni jurang tersebut sekali gus mengerahkan Pan Yok Hian Sin Kang, agar tidak kedinginan.

Tak seberapa lama, sampailah Tio Bun Yang di dasar juraog Sungguh dingin dan indah dasar jurang itu, Tio Bun Yang merasa dirinya seperti berada di dalam sebuah kaca besar, karena di tempat itu hanya terdapat salju beku. Kalau ia tidak memiliki Pan Yok Hian Thian Sin Kang, mungkin sudah mati beku di dasar jurang itu.

Tio Bun Yang menengok ke sana ke mari. tiba tiba dilihatnya sebuah goa, dan segeralah ia menuju goa itu.

Sampai di depan goa, ia tidak berani langsung masuk, melainkan berdiri di situ sambil memandang ke dalam. Sungguh mengherankan, karena goa itu tampak terang.

Berselang sesaat, barulah Tio Bun Yang melangkah memasuki goa itu. Bukan main indahnya goa itu, sehingga sukar diuraikan dengan kata-kata. Tampak berbagai macam bentuk balok es berdiri di dalam goa, dan dinginnya sungguh luar biasa.

Tio Bun Yang telah mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang, tapi ia masih merasa dingin., Tiba-tiba ia melihat beberapa baris tulisan terukir pada dinding goa, ternyata merupakan huruf-huruf Han kuno. Tio Bun Yang mengerti, sebab ketika masih kecil, ayahnya pernah mengajarnya huruf-huruf Han kuno tersehut. Maka, segeralah ia membacanya



Engkau telah memasuki goa es ini, pertanda monyet salju itu telah mati oleh pukulan Seng Hwee Ciang Hoat yang mengandung api

Itu memang sudah takdir, maka engkau tak usah sedih. Tentunya engkau merasa heran, kenapa monyet salju itu menyuruhmu ke mari, itu merupakan pesanku, sebab Seng Hwee Sin Karg telah muncul di rimba persilatan.

Oleh karena itu, engkau harus mempelajari Kan Kun Taylo Sin Kang yang mengandung hawa dingin di dalam goa es ini. Perlu engkau ketahui bahwa Kan Kun Taylo Sin Kang yang engkau miliki mengandung hawa panas yang disebut 'Yang', begitu pula Pan Yok Hian Thian Sin Kang yang engkau miliki.

Walau engkau memiliki Pan Yok Hian Thian Sin Kang pelindung diri, namun tidak akan terluput dari serangan Seng Hwee Sin Kang yang mengandung semacam api, yang akan membuatmu terluka dalam.

Apabila engkau cuma terluka luar, berarti engkau memiliki mutiara inti es yang di dalam batu es di dalam goa hangat tempat tinggal monyet salju. Sungguh beruntung engkau memiliki mutiara inti es itu, karena akan mempermudah engkau mempelajari Kan Kun Taylo Im Kang (Tenaga Sakti Alam Semesta Yang Mengandung Hawa Dingin).

Kalau engkau telah berhasil mempelajari Kan Kun Taylo Im Kang, barulah engkau mampu melawan Seng Hwee Sin Kang.

Kan Kun Taylo Sin Kang dan Seng Hwee Sin Kang berasal dari Persia, apabila Seng Hwee Sin Kang muncul, maka Hian Goan Sin Kang pun akan muncul (Tenaga Sakti Melumpuhkan Lawan). Ilmu tersebutpun berasal dari Persia. Seandainya ilmu tersebut dimiliki penjahat, celakalah rimba persilatan, sebab Pan Yok Hian Thian Sin Kang dan Kan Kun Taylo Sin Kang maupun Seng Hwee Sin Kang masih di bawah tingkat Hian Goan Sin Kang. Oleh karena itu, engkau harus berhati-hati menghadapi orang yang memiliki Hian Goan Sin Kang.



Kini engkau boleh mulai mempelajari Kan Kun Aiylo Im Kang. Ikuti saja petunjuk-petunjuk berikutnyal Engkau harus duduk bersila, sepasang telapak tanganmu harus memegang mutiara inti es itu.

Dengan penuh perhatian Tio Bun Yang membaca petunjuk-petunjuk tersebut. Ia bergirang dalam hati karena telah memperoleh mutiara inti es tersebut.

Seusai membaca petunjuk-petunjuk itu, se geralah ia mengeluarkan kantong kulit dari dalam bajunya, lalu mengambil mutiara inti es di dalam kantong kulit itu.

Tio Bun Yang duduk bersila sambil menggenggam mutiara inti es dengan kedua telapak tangannya. Seketika ia merasa hawa yang amat dingin menerobos ke dalam tubuhnya melalui kedua telapak tangannya. Cepat-cepat lah ia mengatur pernafasannya sesuai petunjuk-petunjuk yang dibacanya tadi dengan mata dipejamkan, ia mulai mempelajari Kan Kun Taylo Im Kang.

--ooo0dw0ooo--


Para penghuni Pulau Hong Hoang To terheran-heran bercampur gembira karena kemunculan Tayli Lo Ceng yang mendadak itu. Seketika Kou Hun Bijin tertawa cekikikan.

"Kepala gunduli Aku kira engkau sudah mampus, tidak tahunya masih hidup!"

”Omitohudl" ucap Tayli Lo Ceng sambil tertawa. "Ha ha ha! Apakah kalian senang apabila aku mampus?"

"Kami pasti berkabung untukmu!" sahut Kou Hun Bijin. "Kepala gundul, engkau muncul mendadak di pulau ini, tentunya ada sesuatu yang penting. Ya, kan?"



"Betul." Tayli Lo Ceng mengangguk, kemudian menatap Lie Man Chiu. "Omitohud! Kenapa engkau tidak bersujud kepadaku?"

"Aku sudah tidak punya muka bersujud di hadapan Lo Ceng," sahut Lie Man Chiu dengan kepala tertunduk.

"Ha ha hal" Tayli Lo Ceng tertawa. "Engkau adalah muridku, maka harus bersujud di hadapanku."

"Guru!" panggil Lie Man Chiu dengan suara bergemetar saking terharu, lalu bersujud di hadapan Tayli Lo Ceng sambil terisak-isak.

"Muridku, kenapa engkau terisak-isak?" tanya Tayli Lo Ceng sambil tersenyum lembut.

"Guru, aku pernah melakukan kesalahan," jawab Lie Man Chiu. "Mohon Guru sudi menghukumku!"

"Omitohudl Aku telah menghukummu, maka kini aku tidak perlu menghukummu lagi."

"Guru telah menghukumku?"

"Ya." Tayli Lo Ceng mengangguk. "Batinmu selalu tertekan oleh perbuatanmu itu merupakan hukuman bagimu. Mengerti?"

"Mengerti, Guru," ujar Lie Man Chiu. "Guru, bebaskanlah hukumanku itu! Aku... aku sudah tidak tahan."

"Muridku!" Tayli Lo Ceng tersenyum. "Bangunlah! Aku telah membebaskan hukumanmu.'

"Terirnakasih, Guru!" ucap Lie Man Chh sambil bangkit berdiri.

"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak "Lo Ceng, mari kita masuk!"

"Terirnakasih!" Tayli Lo Ceng manggut-manggut, lalu melangkah ke dalam



Begitu sampai di dalam, Tio Tay Seng seger mempersilakannya duduk.

"Silakan duduk, Lo Ceng!"

"Terirnakasih, Tio Tocu!" sahut Tayli Lo Ce sambil duduk.

Pada waktu bersamaan, muncullah Toan Ber Kiat dan Lam Kiong Soat Lan seraya berse dengan penuh kegembiraan.

"Guru!"

"Gurul"

Mereka berdua langsung bersujud di hadapi Tayli Lo Ceng.

Padri tua itu memandang mereka sambil tertawa.

"Ha ha ha! Ternyata kalian berada di sini bagus, bagus!"

ujar Tayli Lo Ceng. "Bangunlah!"

Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan bangkit berdiri, kemudian duduk di sisi Tayli Lo Ceng. Tak lama, muncullah Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im.

"Lo Ceng!" panggil mereka sambil bersujud.

"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng sambil tersenyum lembut. "Sungguh bahagia kalian berdua, bangun lah"

”Terimakasih, Lo Ceng!" ucap Tio Cie Hiong sekaligus bangkit berdiri, begitu pula Lim Ceng Im.

"Kepala gundul!" tanya Kou Hun Bijin. "Sebetulnya ada urusan apa, sehingga engkau harus ke mari?"

"Aku ke mari untuk melihat-lihat," sahut Tayli Lo Ceng sambil tertawa. "Apakah aku tidak boleh ke mari kalau tiada urusan?"

”Tentu boleh, Lo Ceng," sahut Tio Tay Seng. "Kehadiran Lo Ceng merupakan suatu kehormatan bagi kami semua."



"Omitohud!" Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang. "Belum lama ini, mendadak aku merasa tidak tenang, maka aku segera ke mari."

"Murid-muridmu berada di sini, tentunya sekarang engkau sudah bisa tenang," ujar Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring. "Ya, kan?"

"Sebetulnya  ya,  namun...."  Tayli  Lo  Ceng  mengerutkan

kening, "hatiku masih berdebar-debar. seakan telah terjadi sesuatu."

"Oh?" Kou Hun Bijin menatapnya. "Apa yang telah terjadi?"

"Aku justru tidak tahu." Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala. ”Tapi aku yakin, ke jadian itu pasti berkaitan dengan kita."

"Kepala gundul, apakah itu tidak salah?" tany Kou Hun Bijin dengan kening berkerut kerut "Engkau harus tahu, bahwa Lie Ai Ling, Tio Bu Yang dan putriku tidak berada di sini. Mungkinkah telah terjadi sesuatu atas diri mereka?"

"Maaf!” sahut Tayli Lo Ceng. "Aku tidak berani memastikan, maka aku pun tidak berani sembarangan menjawab."

"Lo Ceng?" Wajah Lim Ceng Im tampak lagi cemas. "Sudah lama putra kami tidak pula apakah...."

"Omitohud! Aku tidak berani memastikan nya " ujar Tayli Lo Ceng dengan kening berkerut kerut. "Mudah-mudahan mereka tidak akan terjadi sesuatu!"

"Lo Cengl" Sam Gan Sin Kay menatapnya "Kami semua menjadi cemas. Beritahukanlah kira kira apa yang telah terjadi!"

"Aku yakin telah terjadi sesuatu, namun tidak berani memastikan apa yang telah terjadi," ujar Tayli Lo Ceng sambil menggeleng-gelengkan kepala.



"Kalau begitu____" Kou Hun Bijin tampak serius. "Besok aku dan suamiku harus ke Tionggoan."

"Bijin...." Kim Siauw Suseng tersentak. "Besok kita akan ke

Tionggoan?"

"Ya." Kou Hun Bijin mengangguk. "Kita harus mencari Goat Nio dan Ai Ling, sebab aku khawatir telah terjadi sesuatu atas diri mereka."

"Itu tidak perlu," ujar Tayli Lo Ceng dan menambahkan. "Lebih baik kita tunggu beberapa hari, kalau mereka masih belum pulang, barulah kalian berangkat ke Tionggoan mencari mereka."

"Itu____" Kou Hun Bijin mengerutkan kening.

"Kakak,” ujar Tio Cie Hiong. "Kita tunggu saja beberapa hari, kalau mereka masih belum pulang, barulah kita ke Tionggoan "

"Engkau dan Ceng Im juga mau ke Tiong goan ?" tanya Kou Hun Bijin.

"Apa boleh buat!" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Kita harus mencari mereka."

"Aku pun harus ikut," sela Sam Gan Sin Kay.

"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng. "Kemungkinan besar kalian tidak perlu ke Tionggoan."

"Kenapa?" tanya Kou Hun Bijin.

"Sebab..." jawab Tayli Lo Ceng sungguh-sungguh, "aku merasa ada beberapa orang sedang menuju ke mari."

"Kepala gundul!" Kou Hun Bijin menatapnya tajam "Perasaanmu tidak akan salah?" "Aku yakin tidak akan salah."



"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Mari kita buktikan! Mungkin Lo Ceng tidak akan omong kosong."

"Kalau kepala gundul itu berani omong kosong, kepalanya yang gundul itu pasti benjoli ”sahut Kou Hun Bijin samhil tertawa cekikikan "Aku pasti mengetuk kepalanya!"

”Omitohud...." Tayli Lo Ceng tersenyum,

"Tidak salah," ujar Tio Cie Hiong mendadal "Aku mendengar suara langkah berat menuju kemari."

"Omitohud!" Tayli Lo Ceng manggut manggut. "Sungguh tajam pendengaranmu! Sekarang aku baru mendengar suara langkah."

"Benar," sahut Kou Hun Bijin. "Aku pun sudah mendengar langkah."

Berselang beberapa saat, muncullah Sian Koan Goat Nio, Lie Ai Ling dan Lu Hui San memapah Kam Hay Thian. Kemunculan mereka membuat semua orang melongo bercampur terkejut, sebab Kam Hay Thian dalam keadaan pingsan dan wajahnya pun pucat pias.

”Tolong dia! Tolong dia!" seru Lo Hui San dengan air mata berderai-derai sambil membaringkan Kam Hay Thian di lantai.

Tio Cie Hiong segera mendekati Kam Hay Thian, lalu memeriksanya dengan teliti sekali Setelah itu, ia duduk bersila di lantai dan sebelah telapak tangannya ditempelkan di dada Kam Hay Thian yang hangus itu, sekaligus mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang.

"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng sambil menghela nafas panjang. "Pemuda itu terkena pukulan Seng Hwee Gang Hoat (Ilmu Pukulan Api Suci)]"

"Seng Hwee Gang Hoat?" Kini Siauw Suseng, Kou Hun Bijin, Sam Gan Sin Kay dan Tio Tay ng terkejut bukan main. Mereka saling memandang sambil mengerutkan kening.



”Ya.” Tayli Lo Ceng mengangguk.

"Lo Ceng, apakah Cie Hiong dapat menyelamatkan nyawanya?" tanya Sam Gan Sin Kay.

"Mudah-mudahan!" sahut Tayli Lo Ceng. Sementara Tio Cie Hiong sudah berhenti mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang. Ia bangkit berdiri sambil menghela nafas lega.

"Paman, bagaimana keadaannya?" tanya Lu Huii San cemas.

"Masih bisa ditolong," sahut Tio Cie Hiong. Kemudian ia berkata kepada Toan Beng Kiat. "Beng Kiat, gendong dia ke kamar!"

"Ya, Paman." Toan Beng Kiat segera menggendong Kam Hay Thian yang masih dalam keadaan pingsan itu ke kamar. Tio Cie Hiong juga ikut ke kamar. Lu Hui San tidak ketinggalan. Gadis itu mengikuti dari belakang.

Toan Beng Kiat membaringkan Kam Hay Thian di tempat tidur, sedangkan Tio Cie Hiong mengambil dua butir pil, kemudian dimasukkan ke mulut Kam Hay Thian, dan setelah itu ia berkata.

"Pemuda itu akan siuman esok, mari kita ke ruang depan!"

"Paman, aku... aku ingin menjaganya," ujar Lu Hui San sambil menundukkan kepala.

"Dia tak perlu dijaga. Lebih baik engkau ikut ke ruang depan," sahut Tio Cie Hiong dan sekaligus berjalan ke ruang depan.

"Hui San, mari kita ke ruang depan!" ajak Toan Beng Kiat. "Engkau harus menuruti perkataan Paman Cie Hiong."

Lu Hui San mengangguk, lalu bersama Toan Beng Kiat berjalan ke ruang depan. Mereka duduk di sebelah Lam Kong Soat Lan. Suasana di ruang itu tampak agak luar biasa.



"Cie Hiong, bagaimana keadaan pemuda itu?" tanya Sam Gan Sin Kay.

"Dia akan siuman esok," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan. "Namun aku masih merasa heran."

"Kenapa merasa heran?" tanya Kim Siauw Suseng.

"Mungkinkah dia punya hubungan dengan Bui Lim Sam Mo?" Tio Cie Hiong mengerutkan ke ning. "Karena dia memiliki Pak Kek Sin Kang "

"Oh?" Sam Gan Sin Kay tertegun. "Kalau begitu, mungkinkah dia murid Bu Lim Sam Mo?"

"Pengemis bau, engkau sudab pikun barangkali!" ujar Kui Hun Bijin sambil tertawa. "Sudah hampir dua puluh tahun Bu Lim Sam Mo mati, sedangkan pemuda itu berusia dua puluhan! Coba-lebih pikir, mungkinkah pemuda itu murid Bu Lim Sam Mo?"

"Oh, ya! Aku...." Sam Gan Sin Kay tertawa. "Aku memang

sudah pikun, tidak memikirkan itu."

"Goat Nio, tuturkanlah apa yang telah terjadi!" ujar Kou Hun Bijin sambil menatap putrinya.

"Kam Hay Thian bertarung dengan Seng Hwee Sin Kun..." tutur Siang Koan Goat Nio mengenai kejadian itu.

"Jadi engkau dan Ai Ling sudah bertemu Bun Yang?" tanya Kou Hun Bijin dengan wajah berseri.

"Ya." Siang Koan Goal Nio mengangguk. Wajahnya tampak agak kemerah-merahan. "Tapi____"

"Kenapa?" Kim Siauw Suseng memandangnya dalam-dalam.

"Dia... dia terluka ringan." Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Kauw beng terluka parah kali, aku khawatir...."



'Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng sambil menghela nafas panjang. "Sungguh kasihan monyet bulu putih itu!"

"Bagaimana kauw heng bisa terluka parah?" tanya Tio Cie Hiong cemas. "Dan bagaimana keadaan Bun Yang?"

"Kauw neng menyelamatkan nyawa Bun Yang, maka terkena pukulan yang dilancarkan Seng Hwee Sin Kun," jawab Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Bun Yang membawa Kauw heng ke gunung Thian San."

"Kenapa Bun Yang membawa kauw beng ke sana?" Lim Ceng Im mengerutkan kening. "Seharusnya Bun Yang membawa kauw heng ke mari."

"Itu atas kemauan kauw heng. Kelihatannya____" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala. "Kauw heng tidak bisa hidup lama lagi"

"Benar," sambung Lie Ai Ling dengan mata basah. "Kauw heng tidak bisa hidup lama, karena dadanya telah hangus."

"Aaakh...!" keluh Tio Cie Hiong dengan mati bersimbah air. "Engkau menyelamatkan Bun Yang namun harus mengorbankan dirimu Kauw heng kami berhutang budi kepadamu!”

"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng. "Itu memang sudah merupakan takdir. Kalau tiada monyet bulu pulih itu, aku yakin Bun Yang pasti celaka di tangan Seng Hwee Sin Kun."

"Goat Nio, benarkah Seng Hwee Sin Kun berkepandaian tinggi sekali?" tanya Kou Hui Bijin.

"Benar." Siang Koan Goat Nio menganggut "Kepandaian Bun Yang masih di bawah kepandaiannya."

"Tapi dia pun terluka oleh tangkisan kauw heng." Lie Ai Ling memberitahukan. "Kalau tidak, dia pasti mengejar kami."

"Dia juga terluka parah?" tanya Sam Gan Sin Kay.



"Entahlah." Lie Ai Ling menggelengkan kepala. "Kami tidak mengetahuinya, sebab kami langsung kabur ketika kauw heng menangkis pukulannya."

"Seng Hwee Sin Kun dapat melukai kauw heng, pertanda kepandaiannya tinggi sekali. Namun aku pun yakin dia terluka oleh tangkisan kauw heng, hanya tidak separah kauw heng," ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Kepandaiannya masih di atas Bu Lim Sam Mo."

"Sungguh tak disangka sama sekali____" Tio Tay Seng menggeleng-gelengkan kepala. "Seng Hwee Sin Kun berkepandaian begitu tinggi...."

"Omitohud!" sahut Tayli Lo Ceng memberi-tahukan "Seng Hwee Sin Kang berasal dan Persia, ilmu itu telah muncul. Mungkin tidak lama lagi semacam ilmu lain berasal dari Persia juga akan muncul di rimba persilatan."

"Ilmu apa itu?" tanya Kou Hun Bijin.

"Hian Goan Sin Kang (Tenaga Sakti Melumpuhkan Lawan)," jawab Tayli Lo Ceng dan menambahkan, "Ada beberapa macam ilmu berasal dari Persia, yaitu Kan Kun Taylo Sin Kang, Seng Hwee Sin Kang dan Hian Goan Sin Kang Tio Cie Hiong memiliki Kan Kun Taylo Sin Kang, Seng Hwee Sin Kun memiliki Seng Hwee Sin Kang. Namun Hian Goan Sin Kang-..."

"Siapa yang memiliki ilmu Itu?" tanya Kira Siauw Suscng.

"Omitohud...."  Tayli       Lo           Ceng      menggeleng-gelengkan

kepala. "Seharusnya yang memiliki ilmu itu adalah adik seperguruanku."

"Apa?" Kou Hun Bijin tertegun. "Kepala gundul, engkau punya adik seperguruan?"

"Ya." Tayli Lo Ceng mengangguk.

"Siapa adik seperguruanmu itu?" tanya Ku Hun Bijin heran. "Kenapa engkau tidak pernah menceritakannya?"



"Omitohud____" Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang. "Percuma aku menceritakannya."

"Kenapa?" Kou Hun Bijin heran.

"Karena...." Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang lagi.

"Sudah delapan puluh tahun aku tidak bertemu dia, entah menghilang ke mana adik seperguruanku?"

"Kalau   begitu...."            Sam       Gan        Sin          Kay         memandangnya.

"Delapan puluh tahun lalu, Lo Ceng masih bertemu dia, kan?"

"Ya." Tayli Lo Ceng mengangguk. "Pada watu itu dia berusia empat puluh lebih, gagah tampan dan berkepandaian tinggi sekali. Dia menggandeng seorang anak gadis berusia sekitar lima 11 tahun. Aku tersentak ketika menyaksikan anak gadis itu."

"Lho? Kenapa?" tanya Sam Gan Sin Kay heran.

"Sebab wajah anak gadis itu penuh diliputi dendam, bahkan juga mengandung hawa membunuh yang sangat berat." Tayli Lo Ceng memberitahukan. "Karena itu, aku bertanya kepada adik seperguruanku, siapa anak gadis tersebut. Katanya anak gadis itu bernama Tu Siao Cui, calon muridnya."

"Kepala gundul, engkau tidak bertanya asal-usul anak gadis itu?" tanya Kou Hun Bijin.

"Aku bertanya, namun adik seperguruanku itu tidak mau menjawab. Maka aku tidak bertanya lagi, hanya berpesan kepadanya harus berhati-hati terhadap anak gadis itu," jawab Tayli Lo Ceng dan melanjutkan. "Justru ada satu hal yang sungguh di luar dugaanku, ternyata tanpa sengaja adik seperguruanku itu memperoleh sebuah kitab."

"Kitab apa?" tanya Tio Tay Seng tertarik.

"Hian Goan Cin Keng (Kitab Pusaka Ilmu Silat)" jawab Tayli Lo Ceng memberitahukan. "Aku tak menyangka, dia yang memperoleh Kitab pusaka tersebut."



"Kepala gundul, sebetulnya siapa adik seperguruanmu itu?" tanya Kou Hun Bijin mendadak.

"Tan Liang Tie, julukannya adalah Thian Gwa Sin Hiap (Pendekar Sakti Luar Langit)," jawab Tayli Lo Ceng dan menambahkan, "Adik seperguruanku itu dan Thian Gwa Sin Mo (Iblis Sakti Luar Langit) adalah kawan baik."

"Oh?" Kou Hun Bijin tertegun. „Thian Gwa Sin Hiap adalah adik seperguruanmu? Itu... sungguh di luar dugaanl"

"Benar." Tayli Lo Ceng mengangguk.

"Aku memang pernah bertemu dia bersama Thian Gwa Sin Mo, tapi setelah itu tidak pernah bertemu dia lagi," ujar Kou Hun Bijin. "Mungkinkah dia telah... mati?"

"Mungkin." Tayli Lo Ceng manggui-manggut sambil menghela nafas panjang. 'Kalau tidak bagaimana mungkin aku tidak bertemu dia hampir delapan puluh tahun?"

"Lo Ceng," tanya Sam Gan Sin Kay. "Muridnya itu juga tiada kabar beritanya sama sekali ?”

"Tidak ada." Tayli Lo Ceng menggelengku kepala. "Itu sungguh membingungkan!"

"Mungkinkah adik seperguruanmu dan muridnya itu telah mati?" tanya Kou Hun Bijin.

"Omitohud!” sahut Tayli Lo Ceng. "Aku tidak berani memastikan itu, tapi... mungkin mereka telah mati."

"Kalau begitu, ilmu Hian Goan Sin Kang pasti tidak akan muncul di rimba persilatan." ujar Ki Siauw Suseng.

"Itu yang diharapkan," sahut Tayli Lo Ceng

"Kepala gundul," tanya Kou Hun Bijin. "Bagaimana kehebatan ilmu Hian Goan Sin Kang itu?"



"Berapa kehebatan ilmu itu, aku tidak mengetahuinya," jawab Tayli Lo Ceng jujur. "Yang jelas, ilmu itu hebat bukan main."

"Lo Ceng, bagaimana kalau dibandingkan dengan ilmu Kan Kun Taylo Sin Kang?" tanya Tio Cie Hiong.

"Kedua ilmu itu belum bertemu, maka sulit membandingkannya. Namun..." sahut Tayli Lo Ceng sungguh-sungguh. "Siapa yang terserang Hian Goan Sin Kang, pasti akan menjadi lumpuh tak ber-kepandaian lagi."

"Kalau begitu...." Tio Cie Hiong manggut-iiMnggut. "Ilmu itu

sangat hebat sekali!"

"Benar," ujar Tayli Lo Ceng- "Apabila yang memiliki ilmu itu berhati jahat, pasti akan menimbulkan bencana dalam rimba persilatan.—-”

"Kepala gundul" Kou Hun Bijin tertawa nyaring. "Bagaimana mungkin ilmu itu akan muncul? Bukankah adik seperguruanmu itu sudah tiada kabar beritanya?"

"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng- "Mudah mudahan ilmu itu tidak muncul, jadi tidak akan menimbulkan suatu masalah lagi dalam rimba persilatan!"

"Kalau pun muncul, itu tidak apa-apa," sahut Kui Hun Bijin. "Sebab kini rimba persilatan memang sudah kacau."

"Omitohud!" Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala. "Bijin, engkau memang suka akan kekacauan."

"Omong kosongi" kilah Kou Hun Bijin. "Siapa bilang aku suka akan kekacauan? Dasar kepala gundul"

"Omitohud...."  Tayli  Lo  Ceng  menghela  nafas  panjang.

"Bijin, engkau sama sekali tidak tahu akan satu hal." "Hal apa?" Kou Hun Bijin mengerutkan kening.



"Aku pernah ke tempat tinggalmu, yang di Kwan Gwa. Siang Koay dan Ngo Kui sudah menjadi tulang belulang." Tayli Lo Ceng memberilahukan. "Aku yang menguburkan tulang belulang itu."

"Apa?" Betapa terkejutnya Kou Hun Bijin "Maksudmu mereka sudah mati semua?"

"Ya." Tayli Lo Ceng mengangguk.

"Siapa yang membunuh mereka?" tanya Kui Hun Bijin dengan mata berapi-api.

"Seng Hwee Sin Kun."

"Dari mana engkau tahu Seng Hwee Sin Ku yang membunuh mereka?"

"Sebab tulang mereka ada yang hangus, maka aku yakin mereka terkena pukulan Seng Hwee-Sin Ciang."

"Kalau begitu," ujar Kou Hun Bijin sambii berkertak gigi. "Aku harus pergi membunuh Seng Hwee Sin Kuni"

"Omitohud!" Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala. 'Engkau harus sabar, jangan emosi!"

”Aaaakh...” keluh Kou Hun Bijin.

"Ibu," ujar Siang Koan Goat Nio dengan mata bersimbah air. "Paman-paman itu telah mati semua sungguh kasihan mereka,"

"Jangan berduka. Nak!" hibur Kim Siauw Suseng "Kelak kita akan menuntut balas kepada Seng Hwee Sin Kun."

"Heran" gumam Kou Hun Bijan. "Kenapa Seng Hwee Sin Kun membunuh Siang Koay dan Nyo Kui?"

"Aku yakin mereka punya dendam. Kalau tidak, bagaimana mungkin Seng Hwee Sin Kun membunuh mereka?" sahut Tayli Lo Ceng.



"Kalau begitu," ujar Sam Gan Sin Kay dengan kening berkerut. "Kenapa Seng Hwee Sin Kun membunuh Tui Hun Lojin dan Lam Kiong hujin?"

”Itu..." Tayli Lo Ceng menggeleng-gelengkan kepala. "Itu memang agak membingungkan. Sudahlah, aku mau pergi!"

"Kok begitu cepat, Guru?" ujar Toan Beng Kiat. Lam Kiong Soat Lan dan Lie Man Chiu serentak.

"Omitohud!" sahut Tayli Lo Ceng. "Guru memang harus pergi, kalian baik-baiklah menjaga diri!"

"Kepala gundul," tanya Kou Hun Bijin sambil tertawa nyaring. "Kapan kita akan bertemu lagi”

"Omitohud Apabila aku belum-mati, kita semua pasti akan bertemu kembali kelak. Selamat tinggal!" ucap Tayli Lo Ceng lalu melesat pergi. Dalam waktu sekejab ia telah hilang dari pandangan semua orang.

--ooo0dw0ooo--


Perlahan-lahan Kam Hay Thian membuka matanya, namun masih tidak mampu menggerakkan badannya, karena tak bertenaga sama sekali

"Hay      Thian...."              panggil  Lu           Hui         San         girang    "Engkau...

engkau sudah sadari"

"Aku... aku berada di mana?" tanya Kam Hay Thian bingung. "Apa yang telah terjadi?"

"Engkau pingsan belasan hari, kami membawamu ke mari." Lu Hui San memberitahunya

"Oh?" Kam Hay Thian menatapnya. "Aku aku berada di mana sekarang? Siapa yang menyelamatkan nyawaku?"

"Engkau berada di Pulau Hong Hoang tempat tinggal kami. Kakak Bun Yang yang menolongmu di Lembah Kabut Hitam,



dan kami yang membawamu ke mari. Paman Cie Hiong yang menyelamatkan nyawamu." sahut Lie ai ling.

"Aku berada di Pulau Hong Hoang To? Paman Cie Hiong yang menyelamatkan nyawaku?" Kam Hay Thian tampak tertegun.

"Ya." Lu Hui San mengangguk.

Di saat bersamaan, Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im melangkah ke dalam kamar itu. Betapa girangnya mereka, ketika melihat Kam Hay Thian telah siuman.

"Syukurlah engkau sudah siumanl" ucap Tio Cie Hiong dengan wajah berseri-seri. Tapi engkau masih tidak boleh bergerak, harus tetap berbaring di tempat tidur."

"Maaf. Paman!" Kam Hay Thian memandangnya.

"Aku adalah Tio Cie Hiong, kawan baik ayah dan ibumu." Tio Cie Hiong memberitahukan.

"Paman Tio, maafkan aku karena tidak bisa memberi hormat"

”Tidak apa-apa." Tio Cie Hiong tersenyum, "Engkau masih belum bisa bergerak, beberapa hari kemudian barulah engkau bisa bergerak."

”Terimakasih Paman Tio telah menyelamatkan nyawakul"

ucap Kam Hay Thian. ”Terima kasih!"

"Seharusnya engkau berterimakasih kepada mereka bertiga." Tio Cie Hiong menunjuk Lu Hui Sam, Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling. "Kalau mereka terlambat membawamu ke mari, nyawamu pasti sulit diselamatkan."

Kam Hay Thian memandang ketiga gadis itu bergantian, kemudian ucapnya terharu.

”Terimakasih atas pertolongan kalian bertiga aku...."



"Hi hi hil" Lie ai ling tertawa geli. ”Tidakusah mengucapkan terimakasih kepada kami ingat kita semua adalah teman baik"

"Ya, ya." Kam Hay Thian mengangguk. "Kita semua memang teman baik. Terimakasih"

Siang Koan Goat Nio melirik Lu Hui san gadis itu tersenyum malu-malu sambil menundukkan kepala.

Itu tidak terlepas dari mata Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im, mereka berdua tersenyum.

"Hay Tiran," tanya Tio Cie Hiong sambil menatapnya dalam-dalam. "Engkau punya hubungan dengan Bu Lim Sam Mo?"

"Bu Lim Sam Mo?" Kam Hay Thian tampak tertegun. "Aku tidak kenal Bu Lim Sam Mo Paman."

"Oh?" Tio Cie Hiong mengerutkan keniing "Kalau begitu, engkau belajar Pak Kek Sin Kang dari mana?"

"Ketika aku berusia sebelas tahun, ibuku memberitahukan kepadaku tentang Paman. Katanya kalau aku ingin menuntut balas kepada pembunuh ayahku, maka aku harus berguru kepada Paman Karena itu, aku meninggalkan rumah dengan tujuan mencari Paman. Aku sampai di kota Leng An, lalu belajar ilmu silat kepada guru silat Lie..." tutur Kam Hay Thian dan menambahkan, "Namun ketika aku kembali ke kota Leng An, guru silat Lie dan putrinya yang baik hati itu telah mati dibunuh oleh para anggota Hiat Ih Hwe."

"Oooh!" Tio Cie Hiong manggut-manggut seusai mendengar penuturan Kam Hay Thian. "Sungguh di luar dugaan, ternyata engkau memperoleh kitab-kitab pusaka itu di dalam goa bekas markas Bu Tek Pay! Pantas engkau memiliki Pak Kek Sin Kangl Hanya saja belum begitu tinggi lweekangmu."



"Paman, aku mohon diberi petunjuk!" ujar Kam Hay Thian. "Aku harus membalaskan dendam ayahku kepada Seng Hwee Sin Kun."

"Kami pun harus menuntut balas padanya." sela Toan Beng Kiai dan Lam Kiong Soat Lan serentak.

"Kalian____" Tio Cie Hiong menghela nafas panjang. "Balas membalas, kapan akan berakhir itu!"

"Paman, aku mohon...."

"Hay Thian, aku pasti memberi petunjuk kepadamu, namun harus menunggu engkau pulih dulu." ujar Tio Cie Hiong.

"Terirnakasih, Paman!" ucap Kam Hay Thian. "Oh ya. Paman, kira-kira kapan aku akan pulih?"

"Mungkin membutuhkan waktu enam atau tujuh bulan." Tio Cie Hiong memberitahukan "Setelah engkau pulih, barulah aku membimbing mu."

"Kenapa harus begitu lama aku baru pulih?" Kam Hay Thian menghela nafas.

"Itu...."

"Engkau harus sabar, lagi pula Seng Hwee Sin Kun pun telah terluka," ujar Tio Cie Hiong "Dia harus mengobati lukanya, yang tentunya juga membutuhkan waktu."

"Oohl" Kam Hay Thian manggut-manggut "Paman, siapa yang mampu melukai Seng Hwee Sin Kun?"

"Kauw heng," jawab Tio Cie Hiong samb menghela nafas. "Namun monyet bulu putih itupun terluka parah."

"Paman, siapa pemilik monyet bulu putih itu!” Kam Hay Thian heran.

"Aku." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Tapi kauw heng itu ikut Bun Yang pergi mengembara”



"Jadi Bun Yang adalah putra Paman?"

"Ya." Tio Cie Hiong manggut-manggut, kemudian menghela nafas panjang lagi. "Dia membawa Kauw heng ke Gunung Thian San, mungkin kauw heng tidak bisa hidup lama lagi."

"Paman, kenapa Bun Yang membawa monyet bulu pulih itu ke Gunung Thian San?" tanya Kam Hay Thian heran.

"Itu atas kemauan Kauw heng. Sebab tempat tinggal Kauw heng berada di Gunung Thian San sahut Tio Cie Hiong sambil menggeleng gelengkan kepala. "Kemauan kauw heng begitu, pertanda-.."

"Paman?" tanya Lie Ai Ling dengan air mata becucuran "Betulkah kauw heng tidak bisa hidup lagi?"

"Yaaahl" Tio Cie Hiong menarik nafas. "Kira-kira begitulah.''

"Aaaahl                Kauw     heng...."              Lie          Ai            Ling        terisak-isak.        "Dia

berkorban demi menyelamatkan Kakak Bun Yang. Kita semua berhutang budi kepada monyet bulu putih itu!"

"Benar." Siang Koan Goat Nio manggut manggut dan matanya pun tampak basah. "Kita semua berhutang budi kepada kauw heng."

"Memang tidak salah," ujar Tio Cie Hiong. "Kauw heng pun pernah menyelamatkan nyawaku, dan kini menyelamatkan nyawa Bun Yang. Oleh karena itu, aku harap kalian semua jangan membunuh monyet jenis apa pun!"

"Ya," sahut Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling serentak. Sedangkan Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan manggut-manggut.

"Baiklah." Tio Cie Hiong tersenyum "Engkau beristirahatlah kami mau ke ruang depan!"

"Paman, aku... aku tetap di sini menemani Hay Thian." ujar Lu Hui San dengan kepala tertunduk.



"Itu...." Tio          Cie          Hiong    memandang      Lim         Ceng      Im.

"Bagaimana menurutmu?"

"Tentu boleh," sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum, lalu memandang Lu Hui San seraya berkata, "Engkau boleh tetap di sini menemani Hay Thian!"

"Terimakasih, Bibil" ucap Lu Hui San dengan wajah agak kemerah-merahan.

Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im saling memandang, kemudian mereka meninggalkan kamar itu menuju ruang depan, diikuti Siang Koan Goa Nio, Lie Ai Ling, Toan Beng Kiat dan Lam Kiong Soat Lan dari belakang.

"Cie Hiong, pemuda itu sudah sadar?" tanya Sam Gan Sin Kay ketika melihat kemuncullannya

"Dia sudah sadar," sahut Tio Cie Hiong sambi duduk dan memberitahukan. "Ternyata dia memperoleh kitab kitab pusaka itu di dalam goa bekas markas Bu Tek Pay."

"Oooh!" Sam Gan Sin Kay manggut-manggul "Sungguh beruntung pemuda itu!"

"Hanya saja—" Tio Cie Hiong menggeleng gelengkan kepala. "Aku membutuhkan waktu sekitar enam atau tujuh bulan untuk mengobatinya barulah dia bisa pulih. Setelah itu, aku pun hari memberinya petunjuk mengenai ilmu silatnya. Karena dia belajar Pak Kek Sin Kang tanpa guru maka belum mencapai tingkat tertinggi."

"Ngmm!" Sam Gan Sin Kay manggut-manggu "Memang ada baiknya engkau rnembimbingnya sebab dia sangat sadis terhadap penjahat."

"Ya" Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"Sadis terhadap penjahat tidak ada salahnya," sela Kou Hun Bijin. "Karena dia adalah Chu Ok Hiap (Pendekar Pembasmi



Penjahat). Kalau dia tidak sadis terhadap penjahat, itu berarti dia bukan Chu Ok Hiap."

"Kakak____" Tio Cie Hiong menggeleng gelengakan kepala.

"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring, 'Engkau berhati bajik, namun orang lain belum tentu akan berhati bajik lho!"

"Karena itu, aku harus membimbingnya agar berhati bajik," sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.

Di saat bersamaan, tampak Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa berjalan ke dalam dengan wajah berseri-seri.

"Eeeh?" Kou Hun Bijin memaudang mereka dengan mata terbelalak- "Kenapa wajah kalian berseri-seri? Apa yang membuat kalian begitu gembira?"

"Bijin!" Terdengar suara sahutan. "Kami yang membuat mereka gembira."

Muncul beberapa orang, yaitu Toan Wie Kie, Gouw Sian Eng, Lam Kiong Bie Liong dan Toan Put Lian.

"Kalian...?" Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im membelalak, kemudian mereka segera bangkit berdiri menyambut kedatangan Toan Wie Kie dan lainnya.

"Ayah, Ibu!" seru Lam Kiong Soat Lan, yang langsung berlari menghampiri Toan Put Lian. la mendekap di dadanya.

"Soat Lan—" Toan Pit Lian membelairnya dengan penuh kasih sayang.

Sementara Toan Beng Kiat juga menghampiri kedua orang tuanya. Toan Wie Kie memandang nya sambil manggut-manggut.

"Nak..." panggilnya lembut.

"Ayah, Ibu!" Panggil Toan Beng Kiat sambil tersenyum.



"Nak____" Gou Sian Eng membelainya. "Aku rindu sekali kepadamu."

"Acara mencurahkan kerinduan telah usai ”ujar Sam Gan Sin Kay sambil tertawa. "Ha ha Sekarang kalian duduklah!"

Toan Beng Kiat, Gouw Sian Eng, Lam Kio Bie Liong dan Toan Pit Lian segera menghormat kepada mereka lalu duduk.

"Dari mana kalian tahu Beng Kiat dan Sot Lan berada di sini?" tanya Tio Cie Hiong heran

"Kami ke markas pusat Kay Pang dulu, Pang Lim dan Paman Gouw yang memberitahu kami bahwa Beng Kiat dan Soal Lan berada di Pulau Hong Hoang To, maka kami ke mari "jawab Toan Wie Kie dan menambahkan. "Mereka pun menceritakan tentang kejadian ku."

"Ooohl" Tio Cie Hiong manggut-manggut, kemudian memandang Lie Ai Ling seraya bertanya. "Bagaimana kalian bisa kenal Ngo Tok kauwcu?"

"Kakak Bun Yang yang kenal dia. Namun karena buru-buru menolong Kam Hay Thian, maka Kakak Bun Yang tidak sempat memperkenalkan kami," jawab Lie Ai Ling menjelaskan. 'Kakak Bun Yang minta bantuan Ngo Tok Kauw m untuk ke markas pusat Kay Pang menemui kakek Lim."

"Heran?" gumam Tio Cie Hiong. "Bagaimana Bun Yang bisa kenal Ngo Tok Kauwcu yang tergolong, sesat itu?"

"Kakak Cie Hiong," ujar Lim Ceng Im sambil tersenyurn. "Walau sesat, tapi Ngo Tok Kauwcu itu tidak jahat!"

"Oh yal" Toan Beng Kiat memberitahukan. ”Paman Lim juga menceritakan bahwa Bun Yang yang mengobati wajah Ngo Tok Kauwcu."

"Oh?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.



"Adik," ujar Kou Hun Bijin sungguh-sungguh, ”tidak usah mencemaskan Bun Yang! Bukankah kakak juga tergolong wanita sesat? Nah, buktinya kakak tidak jahat kok."

"Betul, Paman," sambung Siang Koan Goat Nio. "Kelihatannya Kakak Phang adalah gadis yang baik, bahkan punya dendam pula terhadap Seng Hwee Sin Kun."

"Oh? Dia punya dendam apa terhadap Seng Hwee Sin Kun?" tanya Tio Cie Hiong.

"Hay Thian tahu tentang itu," jawab Sia Koan Goat Hio. "Lebih baik Paman bertanya kepadanya, agar akan lebih jelas."

"Ngmm” Tio Cie Hiong manggut-manggut

"Kini kita sudah tahu siapa pembunuh kakekku dan Lam Kiong hujin, maka kita harus pergi membunuhnya," ujar Gouw Sian Eng sungguh-sungguh.

"Seng Hwee Sin Kun telah terluka, jadi tidak perlu pergi membunuhnya,” sahut Tio Hiong.

"Ini justru merupakan kesempatan baik buat kita untuk menyerbu ke markas Seng Hwee Kauw ”sela Lam Kiong Bie Liong. "Janganlah kita menyia-nyiakan kesempatan ini, mari kita segera menyerbu ke sana membunuh Seng Hwee Kunl"

"Kita bukan pengecut," sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Tentunya kita tidak akan bertindak begitu. Ya, kan?"

"Ini...."  Wajah  Lam  Kiong  Bie  Liong  tampaki  kemerah-

merahan.

Pada waktu bersamaan, muncul Lu Hui San sambil memapah Kam Hay Thian. Seketika , Tio Cie Hiong mengerutkan kening.

"Hui San, kenapa engkau papah dia ke mari?” tanya Tio Cie Hiong bernada teguran.



"Maaf, Paman!" jawab Lu Hui San dengan kepala tertunduk. "Hay Thian yang menyuruhku memapahnya ke mari."

"Betul, Paman." sambung Kam Hay Thian. "Harap Paman jangan mempersalahkan Hui Sanl"

"Hay      Thian...."              Tio          Cie          Hiong    menggeleng-gelengkan

kepala. "Engkau masih tidak boleh tergerak, namun malah—" "Paman, aku____" Kam Hay Thian menundukkan kepala.
"Hui San," ujar Lim Ceng Im. "Cepatlah papah dia ke tempat duduk!"

"Ya, Bibi." Lu Hui San segera memapahnya ke tempat duduk. Setelah itu gadis tersebut duduk di sebelahnya-

"Dia Kam Hay Thian." Tio Cie Hiong memperkenalkan. "Putra Kam Pek Kian dan Lie Siu Sien, namun ayahnya telah meninggal dibunuh Seng Hwee Sin Kun."

"Ooohl" Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie liong manggut-manggut,

"Hay Thian, bagaimana engkau bisa kenal Ngo Tok Kauwcu?" tanya Lim Ceng Im mendadak.

"Ketika aku hampir tiba di Lembah Kabut Hitam, tiba-tiba dia muncul," jawab Kam Hay Thian memberitahukan. "Setelah itu. kami pun berkenalan Kemudian dia menceritakan tentang kematian ayahnya, yang ternyata dibunuh oleh Seng Hwee Sin Kun gara-gara sebuah kitab pusaka, yakni Seng Hwee Cin Keng."

"Oooh!" Lim Ceng Im manggut-manggut. ”Dia tidak menceritakan bagaimana berkenalan dengan Bun Yang?"

"Dia tidak menceritakan tentang itu, hanya bilang kenal Bun Yang," ujar Kam Hay Thian ”Tapi dia memberitahukan, bahwa Bun Yang yang menyembuhkan wajahnya."



"Oh?" Lim Ceng Im mengerutkan kening "Kenapa wajahnya?"

"Entahlah." Kam Hay Thian menggelengkan kepala. "Dia tidak memberitahukan kepadaku."

"Cie Hiong," ujar Lam Kiong Bie Liong sambil memandangnya. "Apa rencanamu sekarang?" tanya nya.

"Rencana apa?" Tio Cie Hiong heran.

"Mengenai Seng Hwee Sin Kun" sahut Lam Kiong Bie Liong.

"Maaf!" Tio Cie Hiong menghela nafas pa jang. "Aku tidak punya rencana apa pun, sebab aku sudah tidak mau mencampuri urusan dunia persilatan."

"Cie Hiong...." Lam Kiong Bie Liong mengeleng-gelengkan

kepala. "Engkau—"

"Kini Seng Hwee Sin Kun telah terluka," ujar Tio Tay Seng, majikan Pulau Hong Hoang "Kita tunggu saja bagaimana perkembangannya setelah itu barulah kita berunding."

"Baiklah." Lam Kiong Bie Liong manggut-«unggul. "Tapi kami tidak bisa lama-lama di sini, sebab Toan Hong Ya telah berpesan kepada kami harus segera membawa Soat Lari dan Beng Kiat pulang ke Tayli."

"Oooh!" Tio Cie Hiong manggul-manggut. "Kapan kalian akan pulang ke Tayli?"

"Lusa," jawab Toan Wie Kie.

"Kok begitu cepat?" Tio Cie Hiong memandangnya. "Padahal kalian baru tiba di sini."

"Maafl" ucap Toan Wie Kie. "Ayahku yang terpesan begitu, maka kami harus menurut."

"Oh ya!" Tio Cie Hiong memberitahukan. ”Tayli Lo Ceng ke mari, tapi sudah pergi kemarin."



"Oh?" Toan Wie Kie tertegun. "Apakah Lo Ceng berpesan sesuatu untuk kami?"

"Tidak" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.

"Sayang sekali!" Toan Wie Kie menghela nafas panjang "Kami tidak bertemu padri tua itu!"

'Kenapa harus merasa sayang tidak bertemu dia?” tanya Kou Hun Bijin mendadak, kemudian ter tawa nyaring. "Dia berkepala gundu!, apakah kalian juga ingin menggundulkan kepala?"

"Bijin, kami-." Toan Wie Kie tergagap. "Kami.-."

"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak, "Bijin, engkau senang apabila mereka juga berkepala gundu!?"

"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan "Kalau kepala mereka digundulkan, isteri mereka pasti merana! Hi hi hi..-!"

--ooo0dw0ooo--


Bagian ke tiga puluh lima

Hian Goan Sin Kang (Tenaga Sakt! Melumpuhkan Lawan)


Di Lembah Ang Hoa Kok (Lembah Bunga Merah) terdapat sebuah goa yang amat besar dan indah. Lembah tersebut ditumbuhi bunga-bunga liar berwarna merah, maka dinamai Lembah Bunga Merah.

Tampak seorang nenek berusia delapan puluhan duduk di dalam goa itu. Kelihatannya nenek itu sedang melatih semacam Iweekang. Berselang sesaat, ubun-ubun nenek itu mengeluarkan uap putih. Itu pertanda Iweekangnya telah mencapai tingkat yang sangat tinggi.



Justru sungguh mengherankan, karena uap itu sama sekali tidak buyar, melainkan terus berputar di atas kepala nenek itu. Beberapa saat kemudian, uap putlb itu menerobos ke dalam ubun-ubun nenek tersebut.

Perlahan lahan nenek itu membuka matanya, lulu tertawa nyaring menggetarkan goa itu, bahkan berkumandang di luar goa pula. Siapa nenek itu? Ternyata Tu Siao Cut murid Thiaan Gwa Sin Hiap - Tan Liang Tie, adik seperguruan Tayli Lo Ceng. "Hi hi hil Aku telah berhasil menguasai ilmu Hian Goan Sin Kang! Hi hi hi..." Tu Siao Cui terus tertawa nyaring dan bergumam. "Akhirnya aku berhasil menguasai ilmu itu! Tapi...."

Mendadak Tu Siao Cui menangis meraung-raung dengan air mata berderai-derai, setelah itu bergumam lagi.

"Tapi... aku telah kehilangan masa mudaku. Enam puluh tahun lebih aku berada di dalam goa ini sehingga membuat masa mudaku habis di dalam goa ini pula. Aku benci kepada guruku itu! Benciii...!"

Kenapa Tu Siao Cui membenci gurunya? Kenapa sekian lama ia berada di dalam goa itu? Apakah dikarenakan berlatih Hian Goan Sin Kang?

"He he he!" Tiba-tiba Tu Siao Cui tertawa terkekeh kekeh. "Tapi aku pun telah mengurungnya di dalam goa di Gunung Hong San, mungkin dia sudah mampus! He lie he..!"

Seusai tertawa terkekeh-kekeh dan bergumam, Tu Siao Cui bangkit berdiri sambil bergumam lagi.

"Puluhan tahun aku tidak pernah berjalan ke dalam, karena terluka parah oleh pukulan yang dilancarkan guruku! Namun hari ini aku sudah kuat berjalan ke dalam. Aku ingin tahu, ada apa di dalamnya."

Tu Siao Cui mengayunkan kakinya ke dalam Goa itu memang aneh, sebab batu-batu yang dindingnya



memancarkan cahaya, sehingga membuat goa itu menjadi agak terang.

Kenapa selama puluhan tahun ini Tu Si Cui tidak pernah berjalan ke dalam menelusuri goa tersebut? Ternyata ia menderita luka parah akibat terkena pukulan gurunya, sehingga membuat sepasang kakinya lumpuh.

Oleh karena itu, ia harus mengobati lukanya. Setelah lukanya sembuh, barulah ia mulai mempelajari Hian Goan Sin Kang. Kini sepasang kaki nya telah sembuh, maka ia berjalan ke dalam melihat-lihat goa yang dihuninya itu.

Ketika sampai di ujung goa, ia terbelalak melihat sebuah sumur alam, dan tampak kabut kemerah-merahan di permukaan sumur itu.

Tu Siao Cui tercengang. Ia menghampiri sumur alam itu dan melihat airnya. Sungguh mengherankan, ternyata air sumur alam itu berwarna merah.

"Herani" gumam Tu Siao CuL "Kenapa sumur alam ini berwarna merah? Mungkin mengandung racun?"

Tu Siao Cui memungut selembar daun kering lalu dicelupkan ke air sumur alam itu. Lama sekali barulah diangkat daun kering itu, lalu diperiksanya dengan teliti sekali. Daun kering itu tampak segar, oleh karena Itu. Tu Sisa Cui yakin air sumur alam itu tidak mengandung racun.

"Hi hi hi!" Nenek itu tertawa girang. "Aku akan mandi sepuas-puasnya! Hi hi hi..."

Tu Siao Cui mulai menanggalkan pakaiannya yang dibuat dari kulit pohon. Usianya sudah delapan puluh lebih, tentunya tubuhnya sangat tak sedap dipandang. Dia lalu mencebur ke dalam sumur alam itu.

Sungguh di luar dugaan, sumur alam itu cukup dalam sehingga kaki Tu Siao Cui tidak menyentuh dasar sumur alam itu.



Sambil tertawa gembira Tu Siao Cui berenang ke sana ke mari, kemudian menyelam ke dasar sumur itu. Bukan main indahnya dasar sumur tersebut karena batu-batu di situ memancarkan cahaya. Karena ingin menyaksikan keindahan dari sumur itu, maka ia menghimpun Hian Goan Sin Kang untuk menahan nafasnya.

Entah berapa lama kemudian, barulah ia muncul di permukaan air, lalu naik ke atas. Setelah Ia berada di atas, ia pun terbelalak melihat sepasang tangannya. Ternyata sepasang tangannya berubah bersih dan halus, begitu pula sepasang payudara nya tampak agak padat.

Dapat dibayangkan, betapa kaget dan gembiranya Tu Siao Cui. Cepat-cepat ia melihat wajahnya di permukaan air sumur itu. Begitu melihat, membuatnya terheran heran, karena wajahnya yang keriput itu tampak segar dan agak halus.

"Haaah..?" Mulutnya ternganga lebar. "Mungkinkah air sumur itu akan membuat diriku muda kembali, apabila aku menghimpun Hian Goan Sin Kang di dalam air sumur alam itu?"

Berpikir begitu, mendadak Tu Siao Cui meloncat ke sumur alam itu, sekaligus menghimpun Hian Goan Sin Kang.

Tu Siao Cui memang tidak tahu, bahwa sumur itu mengandung semacam obat yang menghaluskan kulit. Apalagi ia menghimpun Hian Goan Sin Kang, sehingga mempercepat proses penghalusan itu.

Beberapa bulan kemudian, Tu Siao Cui yang berusia delapan puluhan itu telah berubah menjadi seorang gadis berusia dua puluh, bahkan sangat cantik pula. Itu boleh dikatakan tidak masuk akal, namun Tu Siao Cui memang mengalami perubahan itu.

"Hi hi hil Hi hi hil" Tu Siao Cui tertawa girang sehingga sepasang matanya mengucur, air mata. "Aku sudah muda



kembali, aku sudah muda kembalil Aku akan segera meninggalkan goa inil Hi hi hi..!'

--ooo0w0ooo--


Sementara itu, di dalam goa es di Gunung Thian San, Tio Bun Yang telah berhasil mengusai ilmu Kan Kun Taylo Im Kang. Buktinya mutiara inti es yang digenggamnya itu telah lenyap.

"Aku telah berhasil!" sorak Tio Bun Yang dengan wajah berseri. "Aku akan meninggalkan goa es ini—"

Tio Bun Yang melesat ke luar, kemudian mengerahkan ginkangnya meluncur ke atas. Dalam waktu sekejap, ia sudah mencapai pinggir jurang, lalu melesat ke arah goa hangat tempat tinggal monyet bulu putih.

"Kauw heng...." Tio Bun Yang berlutut di hadapan makam

monyet bulu putih. "Hari ini aku akan meninggalkan Gunung Thian San. Kalau ada sempat kelak, aku pasti ke mari lagi."

Tio Bun Yang terisak-isak dengan air mata berderai-derai. Sejak ia lahir, monyet bulu putih itu sudah menemaninya. Namun kini monyet bulu pulih itu telah tiada, betapa sedihnya hati Tio Bun Yang.

"Kauw heng, aku bersumpah lagi, semua keturunanku dilarang membunuh monyet jenis apa pun! Kauw heng, aku pergi__"

Tio Bun Yang bangkit berdiri, lalu melesat pergi meninggalkan goa tersebut, tujuannya ke markas pusat Kay Pang.

Beberapa hari kemudian, ia melewati sebuah lembah di Gunung Hong San. Mendadak ia mendengar suara pekikan yang amat seram, menyerupai suara pekikan setan iblis.



Tio Bun Yang bukan penakut, namun suara pekikan itu membuatnya merinding juga. Karena merasa heran, maka ia melesat ke arah suara itu

Tak seberapa lama, ia sudah sampai di hadapan sebuah goa. Ternyata suara pekikan itu berasal dari dalam goa tersebut. Suara pekikan itu makin terdengar jelas, kemudian berubah memilukan.

Tio Bun Yang mengerutkan kening, la yakin itu adalah suara pekikan manusia. Oleh karena itu, ia memberanikan diri melesat memasuki goa

"Ha ha ha! Ha ha ha !” Suara pekikan itu mendadak berubah menjadi suara tawa, kemudian terdengar suara seruan parau. "Hei! Anak muda cepatlah engkau ke mari"

Tio Bun Yang mempercepat langkahnya. Ketika sampai di hadapan orang itu, wajahnya langsung berubah dan terbelalak. Ternyata orang itu sudah tua sekari dan telanjang bulat. Sungguh mengenaskan keadaan orang tua itu, sepasang kaki dan tulang punggungnya terbelenggu rantai baja.

"Paman tua...." Tio Bun Yang memandangi dengan iba.

"Anak mudai" Orang tua itu tertawa lagi. 'iha hal Jangan takut, aku bukan setan iblis!"

"Aku tahu, tapi keadaan Paman tua...."

"Aaaakh!" keluh erang tua itu. "Memang sudah nasib dan takdirku harus dikurung di dalam gua ini. Namun di saat ajalku tiba. justru muncul seorang anak muda ke mari. Ha ha ha! Sungguh menggembira kan!"

”Paman tua, aku mengerti sedikit ilmu pengobatan. Bolehkah aku memeriksamu?"

"Oh?" Orang tua itu menatapnya dengan mata redup "Percuma, sebab ajalku telah tiba."



"Paman tua!" Tio Bun Yang segera memeriksanya kemudian menggeleng-gelengkan kepala.

"Ha ha! Ajalku sudah tiba kan?" Orang tua itu tertawa.

Tio Bun Yang tidak menyahut, melainkan mengambil sebutir pil dari dalam bajunya lalu dimasukkannya ke mulut orang tua itu.

Setelah menelan pil itu, tak lama wajah orang tua itu tampak agak segar.

"Bukan main obat itu!" ujar si kakek sambil tertawa. "Bisa memperpanjang nyawaku untuk beberapa saat!"

"Paman tua," tanya Tio Bun Yang. "Kenapa Paman tua dikurung di sini? Siapa yang berbuat begitu kejam terhadap Paman tua?"

"Aaaakh___!:” Orang tua itu menghela nafas panjang. "Anak muda, siapa engkau?"

"Namaku Tio Bun Yang."

"Ngmm!" Orang tua iiu manggut-manggut. "Baiklah. Aku akan menceritakan tentang kejadianku. Aku bernama Tan Liang Tie, julukanku Thian Gwa Sin Hiap. Delapan puluh tahun yang lalu, pada wakiu itu aku baru berusia empat puluhan. Akan tetapi, aku justru melakukan suatu kesalahan."

"Kesalahan apa?"

"Membunuh sepasang suami isteri." Tan Liari Tie menghela nafas panjang lalu melanjutkan "Sepasang suami isteri itu adalah perampok, kebetulan aku memergoki mereka merampok rumah seorang hartawan. Karena itu, aku turun tangan membunuh mereka. Sebelum perampok wanita itu menghembuskan nafas penghabisan dia berpesan kepadaku agar aku ke rumahnya”

"Paman tua ke rumah wanita itu?"



"Tentunya aku tidak mau. Namun setelah mereka mati.-" Tan Liang Tie menggeleng-gelengkan kepala. "Muncullah para penduduk kampung itu. Begitu mereka melihatku, para penduduk kampung itu mencaci maki aku."

"Lho?" Tio Bun Yang beran. "Kenapa mesti mencaci maki Paman tua?"

"Ternyata mereka berdua adalah peramok budiman." Tan Liang Tie memberitahukan, "mereka merampok di rumah para hartawan yang berlaku sewenang-wenang, lalu hasil rampok itu dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Aku sama sekali tidak tahu tentang itu, maka...."

"Paman tua terlalu cepat membunuh suamii itu." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku sungguh menyesal Karena itu aku sejera ke rumah mereka," lanjut Tan Liang Tie. Ternyata ada seorang anak gadis berusia sekitar lima tahun di dalam rumah itu. Dia adalah anak suami isteri yang kubunuh itu, namanya Tu Siao Cui. Aku sungguh kasihan kepadanya, maka aku bersumpah dalam hati akan mengurusi anak gadis itu."

"Kemudian bagaimana?"

"Aku memberitahukan kepadanya bahwa kedua orang tuanya sudah mati. Anak gadis itu menangis sedih, lalu masuk ke kamar. Namun lak lama kemudian, dia keluar lagi dengan membawa buah kitab."

"Kitab apa itu?"

"Hian Goan Cin Keng." Tan Liang Tie memberitahukan. "Kitab itu adalah kitab pusaka yang berisi pelajaran ilmu silat tinggi sekali. Sungguh di luar dugaan, kitab pusaka tersebut tersimpan di rumah anak gadis itu."

"Anak gadis itu tidak memberitahukan dari mana kitab pusaka itu?"



"Dia tidak memberitahukan, tapi kedua orang tuanya pernah berpesan, apabila mereka mati, kitab pusaka itu harus diserahkan kepada orang yang mendalangi rumahnya."

"Pantas anak gadis itu mengeluarkan kitab pusaka itu!"

"Bahkan dia pun menyerahkan kitab pusaka itu kepadaku," ujar Tan Liang Tie sambi! mengeleng-gelengkan kepala. "Aku melihat anak gadis itu begitu polos dan belum tahu apa-apa, maka aku pun tidak memberitahukannya tentang kematian kedua orang tuanya."

"Paman tua tinggal di rumah itu?"

"Tidak. Aku membawanya ke goa ini. Maksud aku ingin membesarkannya di dalam goa ini," sahut Tan Liang Tie sambil melanjutkan. "Tapi di tengah jalan aku justru memberitahukannya bahwa kedua orang tuanya mati dibunuh orang "

"Kenapa Paman tua memberitahukannya?"

"Yaaah!" Tan Liang Tie menghela nafas panjang. "Dia terus bertanya, maka aku terpaksa memberitahukannya. Dia... dia bersumpah akan membalas dendam."

"Paman tua memberitahukan siapa pembun kedua orang tuanya?" tanya Tio Bun Yang sambil mengerutkan kening.

"Tentu tidak," sahut Tan Liang Tie. "Di saat itu, aku pun bertemu saudara seperguruanku”

"Siapa saudara seperguruan Paman tua?"

"Saudara seperguruanku bernama Kong Su Hok, julukannya Tayli Sin Ceng. Dia mahir meramal. Ketika melihat anak gadis itu, dia berpesan kepadaku harus berhati-hati padanya. Aku diam saja."

"Oh?"



"Setelah sampai di goa ini, mulailah aku mengajarnya menulis, membaca dan ilmu silat. Sedang kan aku mulai mempelajari Hian Goan Cin Keng yang berisi Hian Goan Sin Kang (Tenaga Sakli Melumpuhkan Lawan), Hian Goan Ci (Jari Sakti Melumpuhkan), ilmu pukulan dan ilmu pedang."

"Bagaimana ilmu-ilmu itu?" tanya Tio Bun Yang tertarik.

"Bukan main hebatnya," jawab Tan Liang Tie sunggub-sungguh dan melanjutkan sambil menggeleng gelengkan kepala. "Ketika Tu Siao Cui berusia sepuluh tahun, mulailah aku mengajarnya ilmu-ilmu itu."

"Setelah itu bagaimana?"

"Aaaahl" Tan Liang Tie menghela nafas panjang dan suaranya mulai lemah. "Dia terus bertanya kepadaku, siapa pembunuh kedua orang tuanya. Aku selalu menjawab tidak tahu. Namun tak terduga sama sekali...."

"Apa yang telah terjadi?"

"Setelah dia berusia dua puluh, secara diam-diam pergi menyelidiki kematian kedua orang tuanya."

"Berhasilkah dia menyelidikinya?"

"Kalau tidak berhasil, tentunya aku tidak akan dirantai di sini." Tan Liang Tie menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak tahu tentang itu, bahkan juga tidak bercuriga, sebab dia bersikap seperti biasa. Tapi... secara diam-diam dia meracuniku dengan arak."

"Oh?" Tio Bun Yang terbelalak.

"Setelah minum arak yang disuguhkannya itu aku pun tahu kalau arak itu mengandung racun Aku berusaha mendesak keluar racun itu dengan Iweekangku, tapi cuma berhasil mendesak racun itu tidak menyerang jantungku. Oleh karena itu aku menghimpun lweekangku pada sepasang telapak tanganku."



"Paman tua ingin memukulnya?"

"Ya." Tan Liang Tie mengangguk. "Karena Iweekangku disalurkan pada sepasang telapak tanganku, maka sekujur badanku jadi lemas. Di situlah Tu Siao Cui muncul sambil tertawa terkekeh-kekeh. Ketika dia mendekat, aku langsung melancarkan sebuah pukulan ke arahnya. Dia memang hebat karena berhasil meloncat ke atas maka pukulanku cuma menghantam sepasang kkaki nya. Dia terpental hingga membentur dinding goa ini, sedangkan aku terkulai dan pingsan."

"Lalu bagaimana?"

"Ketika aku siuman, dia sudah tidak kelihatan Kitab Hian Goan Cin Keng pun lenyap." Tan Liang Tie menghela nafas panjang. "Aku yang bersalah, tidak seharusnya aku menyerangnya sebab belum tentu dia akan membunuhku. Disebabkan aku menyerangnya, dia merantai diriku”

"Kejadian yang sungguh tragis!" Tio Bun Yang Menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku yang bersalah," ujar Tan Liang Tie dengan suara lemah. "Oh ya, pernahkah engkau mendengar seorang nenek bernama Tu Siao Cui muncul di rimba persilatan?"

"Tidak pernah, tapi aku kenal Kou Hun Bijin-" Tio Bun Yang memberitahukan. "Mungkinkah Kou Hun Bijin adalah Tu Siao Cui?"

"Apa?" Tan Liang Tie terbelalak. "Engkau kenal Kou Hun Bijin? Dia... dia masih hidup?"

"Kou Hun Bijin masih hidup, ayahku dan dia adalah kawan baik," sahut Tio Bun Yang dan menambahkan. "Kou Hun Bijin sudah menikah dengan Kim Siauw Suseng. Mereka punya seorang putri yang seusia denganku."

"Oh?" Tan Liang Tie tampak tertegun, kemudian tertawa gelak. "Ha ha ha! Kou Hun Bijin telah menikah? Ha ha ha!



Kalau Thian Gwa Sin Mo (Iblis Sakti Luar Langit) tahu, dia pasti mati penasaran."

Tio Bun Yang diam. Ia sama sekali tidak kenal Thian Gwa Sin Mo. Siapa Thian Gwa Sin Mo? tidak lain adalah paman guru Tang Hai Lomo, adalah seorang Bu Lim Sam Mo.

"Anak muda," ujar Tan Liang Tie dengan nafas mulai memburu. "Mungkin Tu Siao Cui telah mati terkena pukulanku, namun aku tetap ingin mohon bantuanmu. Aku harap engkau sudi membantuku!"

"Paman tua, apa yang dapat kubantu?" tanyi Tio Bun Yang sungguh-sungguh.

"Setelah aku mati, tolong cari Tayli Sin Ceng' jawab Tan Liang Tie dengan suara semakin lemah dan menambahkan. "Engkau tidak usah mengubur mayatku, sebab rantai baja ini tidak bisa diputuskan dengan Iweekang, kecuali dengan pedang pusaka."

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. Ia tahu bahwa ajal orang tua itu telah tiba. Kalau tadi tidak memberikannya pil Sok Beng Tan (Pil penyambung Nyawa), orang tua itu pasti sudah mati.

"Ha ha ha!" Tan Liang Tie tertawa gembira "Terirnakasih, anak muda..."

Suara tawanya makin lama makin lemah akhirnya tak terdengar dan kepala orang tua itu terkulai.

"Paman tual" panggil Tio Bun Yang.

Tan Liang Tie tidak menyahut, ternyata nyawa orang tua itu telah putus. Tio Bun Yang memandangnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setelah memberi hormat, barulah ia meninggalkan goa itu.

--000odw0ooo--



Dua hari kemudian, Tio Bun Yang telah sampai di sebuah kota. ketika ia baru mau mampir di kedai teh, mendadak ia mendengar suara gembrengan. Segeralah ia berpaling, tampak seorang pria berusia lima puluhan dan seorang gadis berusia sekitar tujuh belas berada di pinggir jalan.

Dari pakaian mereka, Tio Bun Yang sudah dapat menerka, bahwa mereka adalah pemain silat keliling. Walau gadis itu cukup cantik, namun Tio Bun Yang sama sekali tidak tertarik, sebaliknya malah tertarik pada seekor monyet yang bersama mereka.

Oleh karena itu, ia mendekati tempat tersebut Banyak pula orang berkerumun di situ.

"Saudara-saudara sekalian!" ujar orang tua itu sambil memberi hormat ke empat penjuru. "Aku bernama Liok Ah Peng, dan ini adalah putriku, yang bernama Liok Eng Eng. Kami ayah dan anak berasal dari Shantung, mencari nafkah berkeliling mempertunjukkan ilmu silatl Bahkan kami pun menjual obat koyo yang dapat menyembuhkan penyakit encok, salah urat dan luka dalam terkena pukulan."

”Tidak salah" sambung gadis bernama Liok Eng Eng itu sambil tersenyum manis. "Obat koyo itu memang serba guna, harganya tidak begitu mahal."

"Nahl" ujar Liok Ah Peng- "Sebelum kami mulai menjual obat koyo itu, terlebih dahulu kami akan mempertunjukkan ilmu silat aliran Shantung."

"Paman-paman dan bibi-bibi sekalianl" sen Liok Eng Eng. "Ayahku akan mempertunjukkan ilmu pukulan yang sangat dahsyat Silakan menyaksikannyal"

Liok Ah Peng segera memberi hormat ke empat penjuru, setelah itu barulah ia mulai mempertunjukkan ilmu pukulan tangan kosong. Sepasang tangannya bergerak cepat sekali, kemudian berubah menjadi puluhan pasang dan menimbulkan suara yang menderu-deru.



Menyaksikan ilmu pukulan itu, Tio Bun Yan manggut-manggut dan membatin sambil tersenyum Cukup tinggi ilmu silat orang tua itu, begitu pula Iweekangnya!

Mendadak terdengar suara tepuk sorak yang riuh gemuruh, ternyata orang tua itu telah usai mempertunjukkan ilmu silatnya.

"Terirnakasih! Terirnakasih..." ucap Liok Ah Peng sambil memberi hormat. "Nahl Sekarang putriku akan mempertunjukkan ilmu pedang. Silahkan menyaksikannya tapi jangan terlampau dekat hati-hati dengan sambaran pedangnya! Ha ha...l"

Liok Eng Eng menghunus pedangnya. Segera memberi hormat ke empat penjuru, barulah! mulai menggerakkan pedangnya.

Seketika terdengarlah suara sorak-sorai yang riuh gemuruh. Ternyata badan gadis itu bergerak lemah gemulai, namun pedangnya bergerak cepat sekali.

Kagum juga Tio Bun Yang menyaksikan ilmu pedang Liok Eng Eng. Karena itu ia mengeluarkan suling kumalanya, sekaligus meniupnya mengiringi gerakan gadis itu.

Tentunya sangat mengejutkan para penonton, begitu pula Liok Ah Peng dan putrinya. Mereka berdua langsung memandang ke arah Tio Bun Yang Pemuda itu tersenyum-senyum, sehingga membuat hati gadis itu berdebar-debar aneh.

Justru membuat Liok Ah Peng terkejut bukan main, karena mendadak putrinya mengikuti irama suling itu. Namun sungguh indah sekali gerakan pedang anak gadisnya itu, sehingga membuat Liok Ah Peng terbelalak menyaksikannya.

Berselang beberapa saat kemudian, suara suling itu berhenti. Pedang di tangan gadis itu pun ikut berhenti. Sambil tersenyum Liok Eng Eng memberi hormat ke empat penjuru,



lalu memandang Tio Bun Yang dengan mata berbinar-binar, terdengar pula suara tepuk sorak dari para penonton.

”Terirnakasih! Terirnakasih..." ucap Liok Ah Teng sambil memberi hormat. "Putriku telah mempertunjukkan kejelekannya. Kini aku akan suruh monyet itu main akrobat, tentunya akan menggembirakan saudara sandara sekalian."

Liok Ah Peng mengambil sebuah cambuk. Monyet itu tampak ketakutan. Ketika Liok Ah Peng menggerakkan cambuk itu ke bawah, geraian monyet itu bersalto beberapa kali.

"Ha ha ha... " Para penunlon tertawa lor babak-babak. "Lucu sekali monyet itul"

Akan tetapi, setelah bersalto beberapa kali mendadak monyet itu jatuh gedebuk, kemudian bercuit-cuit seakan kesakitan.

Liok Ah Peng tampak gusar sekali dan langsung mengayunkan cambuknya ke arah monyet Itu.

Taar...!

Monyet itu tersambar cambuk, sehingga jatuh terguling-guling sekaligus bercuit-cuit kesakitan! Di saat bersamaan, terdengarlah suara bentakan yang mengguntur.

"Jangan siksa monyet itu!" ternyata Tio Bun Yang yang membentak gusar.

Betapa terkejutnya para penonton, begitu pula Liok Ah Peng dan putrinya, mereka berdua langsung memandang ke arah Tio Bun Yang.

Pemuda itu menatap gusar ke arah Liok A Peng, kemudian memandang monyet itu sambil mengeluarkan suara cuit-cuit. Terjadilah hal yang di luar dugaan, karena mendadak monyet itu meloncat ke bahu Tio Bun Yang.



"Sungguh kasihan engkau, monyet kecil!" kata Tio Bun Yang sambil membelai belai monyet dengan penuh kasih sayang-

Terbelalaklah para penonton dan Liok Ah Peng serta putrinya. Mereka mengira pemuda itu tidak waras. Akan tetapi, sungguh mengherankan karena monyet itu kelihatan menurut sekali pada pemuda tersebut.

"Monyet kecil!" Tio Bun Yang menggeleng-lengkan kepala.

"Engkau masih belum bisa bersalto Lebih baik aku mengajarmu."

Monyet itu bercuit-cuit, tentunya membuat semua orang terheran-heran, begitu pula Liok Ah Peng dan putrinya.

”Monyet kecil, turunlah!" ujar Tio Bun Yang. Monyet itu segera meloncat turun. Hal itu membuat Liok Eng Eng terbelalak, karena monyet itu mengerti apa yang dikatakan pemuda tersebut.

"Monyet  kecil,  kalau  berrsalto  harus  begini...."  Tio  Bun

Yang memberi petunjuk kepada monyet itu dengan cara menggerak-gerakkan tangannya.

Monyet itu manggut-manggut, lalu bersalto mengikuti petunjuk Tio Bun Yang sambil bercuit-cuit. tampaknya gembira sekali.

"Ha ha" Tio Bun Yang tertawa. "Monyet kecil, engkau telah berhasil bersalto! Ha ha ha....!"

Para penonton dan Liok Ah Peng serta putrinya menyaksikan itu dengan mata terbeliak lebar dan mulutnya pun ternganga.

"Paman!" panggil Tio Bun Yang sambil menghampirinya. "Aku harap mulai sekarang Paman tidak menyiksa monyet kecil itu!"



"Anak muda," sahut Liok Ah Peng. "Aku tidak menyiksanya, melainkan cuma menakuti nya."

"Tapi...."              Tio          Bun        Yang      menggeleng-gelengkan                kepala.

"Tadi Paman telah memukulnya dengan cambuk."

"Itu karena dia tidak mau bersalto.."

"Monyet kecil itu belum bisa bersalto, namun Paman memaksanya," potong Tio Bun Yang. "Kalau Paman masih ingin memukulnya, lebih baik aku bawa monyet kecil itu."

"Anak muda—" Liok Ah Peng mengerutkan kening.

"Kami... kami berjanji tidak akan memukul monyet itu lagi!" sela Liok Eng Eng dengan wajah agak kemerah-merahan.

"Eng Eng...." Liok Ah Peng menatapnya heran. "Engkau...."

"Ayah, mulai sekarang Ayah jangan memukul monyet itu lagi!" sahut Liok Eng Eng. "Kasihan...."

"Baiklah." Liok Ah Peng tertawa gelak. "Ayah berjanji, mulai sekarang tidak akan memukul monyet itu lagi!"

"Terimakasih, Paman!" ucap Tio Bun Yan lalu bercuit memanggil monyet tersebut.

Monyet itu segera mendekatinya. Tio Bun Yang membelainya seraya berkata lembut.

"Monyet kecil, mulai sekarang Paman itu tidak akan memukulmu dengan cambuk lagi, engkau tidak perlu takut."

Monyet itu bercuit-tuit sambil Memandang Tio Bun Yang, kemudian manggut-manggut,

"Monyet kecil" Liok Eng Eng membelainya. ”Engkau tidak usah takut, mulai sekarang ayahku tidak akan memukulmu lagi dengan cambuk. Percayalah"

Monyet itu diam saja. Tentunya mengherankan gadis itu.

Ditatapnya Tio Bun Yang seraya bertanya.



"Eh Kenapa monyet kecil itu diam saja?"

"Karena.." Tio Bun Yang tersenyum. "Engkau bejum memiliki perasaan kasih sayang kepadanya, maka dia diam saja."

"Oh?" Liok Eng Eng tertawa geli. "Jadi... aku harus menyayanginya?"

”Tentu." Tio Bun Yang mengangguk. "Walau dia adalah hewan, namun punya perasaan juga."

"Kalau begitu..." ujar Liok Eng Eng sungguh mngguh. "Mulai sekarang aku pasti menyayanginya"

"Bagus." Tio Bun Yang manggut-manggut dan berkata kepada monyet tiu. "Monyet kecil, mulai sekarang nona itu pasti menyayangimu, jadi engkau tidak perlu takut lagi."

Monyet itu bercuit, lalu memandang Liok Eng Eng dengan mata berkedip-kedip, kelihatannya masih kurang percaya kepada gadis itu.

"Monyet kecil, aku berjanji akan menyayangimu, percayalah!" ujar Liok Eng Eng sambil tertawa.

"Monyet kecil," ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Nona itu tidak akan membohongi nah Percayalah!"

Monyet itu manggut-manggut, kemudian mendekati Liok Eng Eng, yang kemudian langsung membelainya.

"Ha ha hal" Liok Ah Peng tertawa gelak "Baru kali ini aku melihat manusia bisa berbicara dengan monyet! Oh ya, anak muda! Sebetulnya siapa engkau? Kok engkau mengerti bahasa monyet?"

"Namaku Tio Bun Yang, Paman," sahut muda itu sambil tersenyum ramah. "Sejak kecil aku sudah bergaul dengan monyet, maka aku mengerti bahasanya."



"Oh?" Liok Ah Peng terbelalak. "Kalau begitu, engkau lahir di dalam hutan?"

"Aku lahir di sebuah pulau."

"Ooohl" Liok Ah Peng manggut-manggut "Engkau mahir sekali meniup suling, sejak kapan engkau meniup suling?"

"Sejak kecil."

"Kakak Bun Yang..." Ketika Liok Eng Eng baru mau mengatakan sesuatu, mendadak terdengar suara tawa yang menyeramkan, kemudian melayang turun seseorang bertampang seram pula "He he he! Liok Ah Peng, ternyata engkau berada di sini bersama putrimu! Hari ini kalian berdua tidak bisa kabur lagil He he he. I'

"Shantung Khie Hiap (Pendekar Aneh Shantung)!" seru Liok Ah Peng dengan wajah pucat

"He he he!" Shantung Khie Hiap tertawa terkekeh-kekeh. "Liok Ah Peng, engkau membunuh adik seperguruanku, maka hari ini aku harus membunuhmu!"


---ooo0dw0ooo---


Jilid 8


"Shantung Khie Hiap," sahut Liok Ah Pcng ambil menggeleng-gelengkan kepala. "Adik seperguruanmu itu sangat jahat, sering merampok dan memperkosa....'

"Diam!". bentak Shantung Khie Hiap. "Pokoknya engkau dan putrimu harus mampus hari ini!”

"Shantung Khie Hiap!" Liok Ah Peng mengerutkan kening. "Aku tak sengaja membunuhnya, dia... dia terus



menyerangku. Lagi pula... dia ingin memperkosa putriku, maka....!"

"Diam!" bentak Shantung Khie Hiap gusar. "Ayoh, cepat keluarkan senjatamu untuk bertarung denganku!"

"Shantung  Khie  Hiap...."  Liok  Ah  Pcng  menghela  nafas

panjang. "Baiklah! Aku akan melawanmu dengan tangan kosong!"

"He he he!" Shantung Khie Hiap tertawa terkekeh-kekeh. "Kalau begitu, mari kitu bertarung dengan tangan kosong!"

Sementara Tio Bun Yang diam saja karena tidak mau mencampuri urusan pribadi orang. Yang paling gembira adalah para penonton, sebab mereka akan menyaksikan suatu pertarungan yang sangat seru.

Pertarungan sudah mulai, yang menyerang duluan adalah Liok Ah Peng. Shantung Khie Hiap berkelit sekaligus balas menyerang. Mereka sama sama menggunakan jurus-jurus andalan.

Akan tetapi, puluhan jurus kemudian, Liok Ah Peng mulai di bawah angin. Menyaksikan itu, pucatlah wajah Liok Eng Eng. Gadis itu menggenggam pedangnya erat-erat, kelihatannya siap membantu ayahnya.

"Aaaakh!" jerit Liok Ah Peng.

Ternyata dadanya terkena pukulan Shantung Khie Hiap. Ia terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah dengan mulut menyemburkan darah segar.

"Ayah!" teriak Liok Eng Eng sambil mc nyerang Shantung Khie Hiap dengan pedangnya

"Ha ha ha!" Shantung Khie Hiap tertawa gelak. "Engkau pun harus mampus!"

Liok Eng Eng tidak menyahut. Gadis itu terus menyerangnya dengan sengit, namun dengan mudah sekali



Shantung Khie Hiap berkelit, bahkan mulai balas menyerang dengan tangan kosong.

Tio Bun Yang mendekati Liok Ah Peng, kemudian memasukkan sebutir pil ke dalam mulutnya.

"Terimakasih!" ucap Liok Ah Peng. "Anak muda, tolong selamatkan putriku!"

Tio Bun Yang mengangguk, lalu mengeluarkan serulingnya sekaligus meniup dengan nada tinggi.

Sungguh mengherankan, begitu mendengar suara suling itu, gerakan pedang Liok Eng eng berubah cepat laksana kilat.

Breeet! Pakaian Shantung Khie Hiap sobek tersabet pedang itu.

Betapa terkejutnya Shantung Khie Hiap. Cepat-cepatlah ia meloncat ke belakang sambil memandang Tio Bun Yang. Liok Eng Eng pun menghentikan serangannya lalu melirik Tio Bun Yang dengan mata berbinar-binar.

"Anak muda!" seru Shantung Khie Hiap. "Kenapa engkau mencampuri urusan kami?"

"Maaf, Shantung Khie Hiap!" sahut Tio Bun Yang sambil menatapnya tajam. "Aku cuma membela kebenaran!"

”Hmm!" dengus Shantung Khie Hiap dingin ”Baik, mari kita bertanding! Kalau engkau mampu mengalahkan aku, aku berjanji tidak akan membunuh Liok Ah Peng dan putrinya!"

"Shantung Khie Hiap," ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Kita tidak perlu bertanding...."

"Engkau takut? Kalau begitu, cepatlah enyah dari sini!"

"Aku tidak takut, melainkan punya Suatu cara untuk menghindari pertandingan," sahut Tio Bun Yang memberitahukan. "Paman boleh memukulku tiga kali, kalau



Paman berhasil melukaiku, aku akan meninggalkan tempat ini!"

"Anak muda!" Shantung Khie Hiap terbelalak. "Apakah engkau sudah bosan hidup?"

"Bukan bosan hidup, namun aku yakin Paman tidak akan mampu melukaiku dengan pukulan." ujar Tio Bun Yang sungguh-sungguh.

Tapi Shantung Khie Hiap malah merasa dihina, maka timbullah kegusarannya.

"Baik! Aku akan memukulmu tiga kali!" Shantung Khie Hiap menudingnya. "Biar engkau mampus!"

"Silakan!" Tio Bun Yang tersenyum sambil mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang.

"Kakak Bun Yang...." Liok Eng Eng tampak cemas sekali,

begitu pula Liok Ah Peng.

"Anak muda! Jangan mempersalahkan aku, karena engkaulah yang sudah bosan hidup!" ujar Shantung Khie Hiap, kemudian mendadak melan carkan sebuah pukulan ke arah dada Tio Bun Yang.

Duuuuk! Dada Tio Bun Yang terpukul.

"Aaaakh...!" Yang menjerit malah Liok Eng Eng. Gadis itu terkejut sekali dan yakin Tio Bun Yang pasti terluka.

Namun justru sungguh di luar dugaan, ternyata Tio Bun Yang masih berdiri di tempat sambil tersenyum-senyum.

"Haaah?" Shantung Khie Hiap terbelalak, karena ketika tinjunya mendarat di dada Tio Bun Yang, ia merasa memukul sesuatu yang sangat lunak.

"Silakan pukul lagi!" ujar Tio Bun Yang.



Shantung Khie Hiap penasaran sekali. Ia menghimpun Iweekangnya lalu melancarkan pukulan ke arah dada Tio Bun Yang.

Sementara Tio Bun Yang telah mengerahkan tiga bagian Kan Ku n Taylo lm Kang.

Duuuuk! Dada Tio Bun Yang terpukul, namun yang menjerit malah Shantung Khie Hiap.

"Aaaakh...!" Shantung Khie Hiap terpental tiga depa dan sekujur badannya menggigil kedinginan.

Liok Ah Peng dan putrinya terperangah menyaksikan kejadian itu, begitu pula para penonton.

"Aaaakh, dingin! Dingin sekali...!" Shantung Khie Hiap merintih-rintih dengan wajah agak kehijau-hijauan karena kedinginan. "Aduuuh, dingin sekali...!"

Tio Bun Yang menghampirinya, lalu memegang bahunya sekaligus menyalurkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang ke dalam tubuhnya. Tak seberapa lama kemudian, Shantung Khie Hiap tidak menggigil lagi dan wajahnya pun tampak agak kemerah-merahan.

"Anak muda!" Shantung Khie Hiap meml dangnya terbelalak. "Terimakasih! Oh ya, sebetulnya engkau siapa?"

"Namaku Tio Bun Yang!"

"Apa?" Shantung Khie Hiap tampak terkejut dan gembira. "Engkau... engkau Giok Siauw Sin Hiap?"

"Ya."

"Kalau  begitu...."  Wajah  Shantung  Khie  Hij  berseri-seri.

"Engkau pasti putra Pek Ih Sin Hia Tio Cie Hiong!" "Dari mana Paman tahu?" Tio Bun Ya tercengang.



"Bun Yang!" Shantung Khie Hiap memegang bahunya dan menatapnya kagum. "Engkau sungguh gagah dan bijaksana seperti ayahmu!"

"Paman kenal ayahku?"

"Pernah kenal." Shantung Khie Hiap memberitahukan. "Ayahmu pernah menyelamatkan nyawaku, maka aku berhutang budi kepada ayahmu”

"Paman...."  Tio  Bun  Yang  tersenyum.  "Jangan  berkata

begitu!"

"Bun Yang!" Shantung Khie Hiap tertawa gelak. "Mulai sekarang aku sudah tidak menark dendam kepada Liok Ah Peng."

"Terimakasih, Shantung Khie Hiap!" ucap Liok Ah Peng. "Terimakasih...."

"Paman!" Wajah Liok Eng Eng berseri. "Terimakasih!"

"Ha ha ha!" Shantung Khie Hiap tertawa terbahak-bahak. "Seharusnya kalian berterima-kasih kepada Giok Siauw Sin Hiap ini!"

'Terimakasih, Giok Siauw Sin Hiap!" ucap Liok Ah Peng sambil memberi hormat.

"Paman...." Tio Bun Yang segera balas mem-lieri hormat.

"Tidak usah berterimakasih!"

"Kakak Bun Yang!" Liok Eng Eng memberi hormat. "Terimakasih!"

"Nona...."

"Kok panggil aku Nona?" Liok Eng Eng cemberut.

"Aku...."

"Bun Yang," ujar Shantung Khie Hiap. "Engkau harus memanggilnya Adik Eng Eng."



"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut. ”Adik Eng Eng!"

"Kakak  Bun        Yang...."               Wajah   Liok        Eng         Eng         kemerah-

merahan.

"Ha ha ha!" Shantung Khie Hiap dan Liok Ah Peng tertawa gelak, kemudian Shantung Khie hiap berkata. "Liok Ah Peng, aku minta maaf!"

"Terimakasih!    Aku...." Liok        Ah          Peng      menghela            nafas

panjang.

"Aaaah!" Shantung Khie Hiap juga menghela nafas panjang. "Adik seperguruanku itu memang jahat. Yah, sudahlah!"

"Shantung Khie Hiap, sekali lagi kuucapkan terimakasih karena engkau mau menyudahi urusan itu."

"Adik seperguruanku yang bersalah, hanya saja... aku adalah kakak seperguruannya, maka mau tidak mau harus menuntut balas kepadamu Namun... aku telah bertindak salah, untung ada Giok Siauw Sin Hiap. Kalau tidak...."

"Ha ha ha!" Liok Ah Peng tertawa. "Aku pasti mati di tanganmu, begitu pula putriku."

"Aku...."               Wajah   Shantung             Khie       Hiap       memerah            karena

merasa malu.

"Paman," ujar Tio Bun Yang mendadak. "Urusan ini sudah selesai, aku mau pergi."

"Kakak  Bun        Yang...."               Wajah   Liok        Eng         Eng         langsung

berubah murung. "Engkau begitu cepat mau pergi?"

"Adik Eng Eng!" Tio Bun Yang tersenyum. "Kita akan berjumpa lagi kelak."

"Kakak  Bun  Yang...."  Mata  Liok  Eng  Eng  mulai  basah.

"Aku...."



"Adik Eng Eng!" Tio Bun Yang memegang bahunya. "Percayalah! Kita pasti berjumpa lagi kelak."

"Ba... bagaimana mungkin?" Liok Eng Eng mulai terisak-isak.

"Adik Eng Eng, engkau jangan menangis, kita pasti berjumpa kelak!" Tio Bun Yang menepuk bahunya, kemudian mendekati monyet itu. "Monyet kecil, kita akan berpisah sekarang, namun pasti berjumpa lagi kelak."

Monyet itu bercuit-cuit sedih.

"Monyet  kecil...."  Tio  Bun  Yang  membelainya.  "Jangan

sedih, kita akan berjumpa lagi kelak! Paman, Paman dan Adik Eng Eng, sampai jumpa!" Mendadak Tio Bun Yang melesat pergi menggunakan ginkang, dan dalam waktu sekejap ia sudah menghilang dari pandangan semua orang.

"Dia... dia bisa terbang!" teriak salah seorang penonton.

"Jangan-jangan dia adalah Sin Tong (Bocah Dewa)!" sahut yang lain.

Sementara Shantung Khie Hiap dan Liok Ah Peng cuma saling memandang, sedangkan Liok Eng Eng terus menangis terisak-isak.

"Eng Eng, mari kita pulang ke Shantung!" ujar Liok Ah Peng.

"Aku tidak mau pulang, Ayah," sahut Liok Hng Eng. "Aku... aku mau pergi cari Kakak Bun Yang."

"Eng Eng!" Liok Ah Peng menggeleng-gelengkan kepala. "Itu tidak mungkin, lebih baik kita pulang."

"Ayah...."

"Kalian pulang saja!" ujar Shantung Khie Hiap. "Kalau aku bertemu Giok Siauw Sin Hiap, aku pasti bermohon kepadanya untuk mengunjungi kalian."



"Terimakasih, Shantung Khie Hiap!" ucap Liok Ah Peng.

"Terimakasih, Paman!" ucap Liok Eng Eng. "Tapi... bagaimana mungkin dia akan mengunjungi kami di Shantung?"

"Jangan khawatir!" Shantung Khie Hiap tersenyum. "Aku punya cara, yang penting aku bisa bertemu dia."

"Terimakasih, Paman!" ucap Liok Eng Eng. "Terimakasih...."

"Ha ha ha!" Shantung Khie Hiap tertawa gelak, lalu melesat pergi.

"Eng Eng!" Liok Ah Peng memegang bahu putrinya. "Mari kita pulang ke Shantung!"

"Ya." Liok Eng Eng mengangguk dengan air mata berlinang-Iinang. "Kakak Bun Yang...."

---oo0dw0ooo---


Bagian ke Tiga puluh enam Gadis Manchuria

Tio Bun Yang terus melakukan perjalanan me nuju markas pusat Kay Pang. Hari ini, ketika sampai di tempat sepi, mendadak ia mendengar suara bentakan anak gadis. Segeralah ia menoleh kan kepalanya, ternyata tak jauh dari situ terdapat seorang gadis berpakaian aneh yang sedang dikerumuni beberapa orang berpakaian hijau, mereka adalah anggota Seng Hwee Kauw.

"Kalian jangan kurang ajar!" bentak gadis itu gusar.

"Nona manis, tempat ini sangat sepi, alangkah baiknya kita bersenang-senang," ujar salah seorang dari mereka dengan tertawa.

"Hm!" dengus gadis itu. "Jangan memaksaku membunuh kalian!"



"Apa?" Kepala anggota Seng Hwee Kauw tertawa terkekeh-kekeh. "He he he! Engkau berniat membunuh kami?"

"Ya!" Gadis itu mengangguk. "Itu kalau kalian berlaku tidak senonoh terhadap diriku!"

"Kami cuma ingin mengajakmu bersenang-senang, bukan berlaku tidak senonoh terhadapmu. Nona! Ayohlah! Mari kita bersenang-senang!"

Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu menowel pipinya. Betapa gusarnya gadis itu, sehingga langsung mengayunkan tangannya.

Plok!

"Aduh!" jerit Kepala anggota Seng Hwee Kauw sambil mengusap pipinya yang kena tampar. "Kuning ajar!"

"Hm!" dengus gadis itu. "Yang kurang ajar malah engkau, maka pantas kutampar!"

"Nona!" ujar Kepala anggota Seng Hwee Kauw. Engkau memang ingin dihajar! Kawan-kawan! Cepat hajar gadis binal itu!"

Para anggota Seng Hwee Kauw itu langsung menghampiri gadis tersebut, namun mendadak gadis itu membentak sambil menghunus pedang nya.

"Kalau kalian berani menyerangku aku tidak akan mengampuni kalian!"

"Serang dia dengan senjata!" seru Kepali anggota Seng Hwee Kauw.

Seketika para anggota mengeluarkan senjata masing-masing, kemudian menyerang gadis itu dengan serentak.

Tiang! Trang! Trang-..! Terdengar suara bentturan senjata.



Terjadilah pertarungan sengit. Gadis itu bergerak cepat dan gesit berkelit ke sana ke mari, pedangnya pun berkelebatan menyerang mereka

Akan tetapi, puluhan jurus kemudian, gadis itu mulai kewalahan melawan mereka.

"Ha ha ha!" Anggota Seng Hwee Kauw tertawa tergelak menyaksikan itu. "Nona manis, lebih baik engkau menyerah. Mari kita bersenann senang!"

"Berhenti!" Terdengar suara bentakan yangi mengguntur, kemudian tampak melayang seseorang, yang ternyata Tio Bun Yang.

Para anggota yang menyerang gadis itu langsung berhenti, karena dikejutkan oleh suara bentakan Tio Bun Yang.

"Siapa engkau?" lanya Kepala anggota Seng Hwee Kauw sambil menatapnya dengan kening berkerut.

"Engkau tidak perlu tahu siapa aku!" sahut Tio Bun Yang dingin. "Cepatlah kalian enyah!"

"He he he!" Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu tertawa terkekeh-kekeh. "Engkaulah yang harus enyah!"

"Jangan cari penyakit!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.

"Cepat serang dia!" seru Kepala anggota Seng Hwee Kauw.

Para anggota Seng Hwee Kauw segera menyerang Tio Bun Yang dengan senjata, namun Tio Bun Yang tetap berdiri di tempat. Hal itu sungguh mengejutkan gadis berpakaian aneh tersebut.

"Hei!" serunya. "Hati-hati!"

Tio Bun Yang tersenyum, sekaligus mengibaskan lengan bajunya ke arah para penyerang itu.



"Aaaakh...!" jerit mereka dan terpental beberapa depa, lalu terkulai dengan wajah pucat pias. Ternyata kepandaian mereka telah musnah digempur oleh Iweekang Tio Bun Yang.

"Haah?" Bukan main terkejutnya Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu. "Engkau...?"

"Kini giliranmu!" Tio Bun Yang menghampirinya selangkah demi selangkah.

Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu menyurut mundur, kemudian mengambil langkah seribu.

Akan tetapi, Tio Bun Yang bergerak cepat sambil mengibaskan lengan bajunya ke arah Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu.

"Aaaakh!" jerit Kepala anggota Seng Hwefl Kauw. Ia terpental lalu terkulai dengan wajah pucat pias dan kepandaiannya pun telah musnah "Si... siapa engkau?"

"Giok Siauw Sin Hiap!"

"Haaah?" Saking terkejut kepala anggota Seng Hwee Kauw itu pingsan.

"Hi hi hi!" Gadis berpakaian aneh itu tertawa geli, kemudian memandang Tio Bun Yang dengan kagum. "Engkau hebat sekali!"

"Tidak begitu hebat," sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Sekarang sudah aman, engkau boleh melanjutkan perjalanan."

"Aku ikut engkau," ujar gadis berpakaian aneh itu mendadak.

"Apa?!" terbelalak Tio Bun Yang. "Ikut aku? Mana boleh?"

"Lho? Kenapa tidak boleh?" Gadis berpakaian aneh itu menatapnya dalam-dalam. "Aku tidak punya teman di



Tionggoan. Apakah engkau tega melihat aku berkeliaran seorang diri? Bagaimana kalau aku bertemu penjahat lagi?"

"Eh? Nona...."

"Jangan memanggilku nona! Namaku Bokyong Sian Hoa, panggil saja aku Sian Hoa!"

"Nona Sian Hoa...."

"Kok masih memanggilku nona?" Bokyong Sian Hoa cemberut. "Engkau harus memanggilku Sian Hoa!"

"Sian Hoa...."

"Nah, begitu!" Gadis itu tertawa gembira. "Ei! Tidak baik kita bercakap-cakap dengan cara berdiri, lebih baik kita duduk di bawah pohon."

"Tapi...." Tio Bun Yang mengerutkan kening.

"Engkau menolak?" Bokyong Sian Hoa cemberut lagi.

"Aku...."               Tio          Bun        Yang      menggeleng-gelengkan                kepala.

"Aku...."

"Hmm!" dengus Bokyong Sian Hoa. "Orang Tionggoan memang jahat semua, tiada satupun yang baik!"

"Sian Hoa! Baiklah!" Tio Bun Yang manggut-manggut. "Mari kita duduk di bawah pohon!"

Mereka berdua lalu duduk di bawah sebuah pohon. Sementara para anggota Seng Hwee Kauw telah meninggalkan tempat itu. Begitu pula Kepala anggota Seng Hwee Kauw, setelah siuman ia pun langsung kabur.

"Ei! Engkau hebat sekali!" Bokyong Sian Hoa menatapnya dengan mata berbinar-binar. "Oh ya, bolehkah aku tahu namamu?"

"Namaku Tio Bun Yang."

"Berapa usiamu?"



"Hampir dua puluh."

"Usiaku baru tujuh belas, aku lebih kecil” Bokyong Sian Hoa tersenyum seraya berkata "Jadi aku harus memanggilmu Kakak Bun Yang”

"Aku pun harus memanggilmu Adik Sian Hoa” ujar Tio Bun Yang dan bertanya. "Engkau berasal dari mana? Kenapa pakaianmu begitu aneh?"

"Aku dari Manchuria," jawab Bokyong Sian Hoa dengan wajah murung. "Ayah dan ibuku telah mati."

"Oh?" Tio Bun Yang tertegun.

"Paman yang membunuh ayah dan ibuku Bokyong Sian Hoa memberitahukan dengan mata bercucuran. "Sebelum ayahku menghembuskan nafas penghabisan, aku disuruh kabur ke Tionggoan."

"Kenapa harus kabur ke Tionggoan?"

"Kalau tidak, paman pasti membunuhku juga Maka aku segera kabur ke Tionggoan mencari seseorang."

"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggu' "Kenapa pamanmu membunuh kedua orang tua mu?"

"Kakak Bun Yang, engkau orang baik atau orang jahat?" tanya Bokyong Sian Hoa mendadak

"Aku bukan orang jahat," jawab Tio Bun Yau sambil tersenyum geli. "Kenapa engkau bertanya begitu?"

"Karena aku harus memberitahukan identitas diriku. Kalau engkau orang jahat, pasti akan nangkapku."

"Oh?"

"Ayahku bernama Patoho." Bokyong Sian Hoa irmberitahukan. "Raja Manchuria."



"Apa?" Tio Bun Yang tertegun. "Kalau begitu, aku berhadapan dengan Tuan Putri Manchuria!"

"Sekarang aku bukan Tuan Putri lagi." Bok-yong Sian Hoa menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sudah menjadi buronan, kini pamanku yang menjadi raja Manchuria. Mungkin tak lama lagi dia akan mengutus orang ke mari untuk membunuhku."

"Di sini daerah Tionggoan, orang Manchuria tdak bisa sembarangan memasuki daerah ini."

"Siapa bilang? Setahuku pamanku itu akan bekerja sama dengan Lu Thay Kam. Kemungkinan besar pasukan Manchuria akan menyerbu Tionggoan."

"Oh?" Tio Bun Yang terkejut. "Apakah Lu thay Kam telah mengutus orang ke Manchuria?"

"Ya." Bokyong Sian Hoa mengangguk. "Pada waktu itu ayahku masih menjadi raja Manchuria, mereka menolak untuk bekerja sama. Karena itu, pamanku amat gusar sehingga bertempur dengan ayahku."

"Kenapa ayahmu tidak mau bekerja sama dengan Lu Thay Kam?"

"Karena ayahku telah berjanji kepada teman baiknya yang di Tionggoan, bahwa ayahku tidak akan menyerbu Tionggoan."

"Oooh?" Tio Bun Yang manggut-manggut "Siapa teman baik ayahmu itu?"

"Aku harus memanggilnya paman," jawab Bok yong Sian Hoa memberitahukan. "Paman Tio."

"Paman Tio?" Tio Bun Yang tersentak. "Namai nya?"

"Cie Hiong."

"Apa?" Tio Bun Yang terbelalak. "Teman baik ayahmu bernama Tio Cie Hiong?"



"Ya." Bokyong Sian Hoa mengangguk. "Engkau kenal dia?"

"Kenal." Tio Bun Yang mengangguk. "Bahkan aku pun sangat dekat padanya, karena aku adalah anaknya."

"Oh?" Bokyong Sian Hoa kurang percaya. "Bagaimana mungkin begitu kebetulan sih? Aku ingin mencari Paman Tio, justru bertemu anaknya."

"Adik Sian Hoa, aku memang anaknya," ujar Tio Bun Yang dan teringat sesuatu. "Oh ya, aku punya bukti."

"Bukti apa?"

"Nih!" Tio Bun Yang memperlihatkan kalung pemberian ayahnya. "Kalung ini membuktikan bahwa aku anak Tio Cie Hiong."

"Tidak salah." Wajah Bokyong Sian Hoa berseri. "Ayahku pernah memberitahukan, kalungnya telah dihadiahkan kepada Paman Tio teman baiknya di Tionggoan. Inilah kalung ayahku."

"Nah!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku tidak bohong kan?"

"Sekarang aku baru yakin bahwa engkau anak Taman Tio," ujar Bokyong Sian Hoa sambil tersenyum. "Kakak Bun Yang, kita memang berjodoh."

"Eh? Adik Sian Hoa...."

"Kalau kita tidak berjodoh, bagaimana mungkin bisa bertemu di sini? Kita bertemu di sini pertanda berjodoh."

"Adik Sian Hoa...."

"Kakak Bun Yang!" Bokyong Sian Hoa menatapnya dalam-dalam. "Kenapa engkau tampak cemas?"

"Aku...."

"Oooh!" Bokyong Sian Hoa tersenyum. "Aku tahu, bahwa engkau pasti sudah punya kekasih."



"Ng!" Tio Bun Yang mengangguk.

"Jangan cemas!" Bokyong Sian Hoa tertawa kecil. "Aku tidak akan mengganggu kalian. Oh ya, engkau harus membawaku menemui ayahmu."

"Oh? Apakah itu merupakan pesan almarhum?"

"Betul. Ayahku berpesan kepadaku harus belajar ilmu silat kepada paman Tio, maka aku harus menemuinya."

"Tapi...." Tio Bun Yang mengerutkan kening.

"Kenapa?" Bokyong Sian Hoa menatapnya heran.

"Tempat tinggal kami jauh sekali." Tio Bun Yang memberitahukan. "Di Pulau Hong Hoang To."

"Biar bagaimana pun aku harus menemui ayahmu," tegas Bokyong Sian Hoa. "Jauh ke ujung langit pun aku harus ke sana."

"Baik." Tio Bun Yang tersenyum. Ia memang sudah rindu kepada Siang Koan Goat Nio, karena itu ia membatalkan niatnya pergi ke markas pusat Kay Pang, dan akan langsung menuju Pulau Honj Hoang To.

"Kakak Bun Yang, kapan kita berangkat?"

"Sekarang."

"Baik." Bokyong Sian Hoa manggut-manggut sambil tersenyum. "Mari kita berangkat sekarang!"

"Tapi ingat! Dalam perjalanan ke Pulau Hong Hoang To, engkau tidak boleh nakal!" pesan Tio. Bun Yang dan menambahkan. "Juga tidak boleh menimbulkan masalah apa pun!"

"Ya." Bokyong Sian Hoa mengangguk. "Pokoknya aku menurut kepadamu."



Di Pulau Hong Hoang To, tampak Siang Koan Goat Nio duduk termenung di bawah pohon, bahkan menghela nafas panjang.

"Goat Nio!" panggil Lie Ai Ling sambil mendekatinya. "Aku mencarimu ke mana-mana, ternyata engkau duduk melamun di sini! Sedang memikirkan Kakak Bun Yang ya?"

"Ai Ling...." Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan

kepala. "Aku...."

"Aku tahu." Lie Ai Ling tersenyum. "Engkau sudah rindu kepada Kakak Bun Yang, yang sedang pergi ke Gunung Thian San. Sudah setengah tahun, tapi dia masih belum pulang...."

"Aku khawatir...."

"Khawatir terjadi sesuatu atas dirinya?"

"Ya."

"Itu tidak mungkin," ujar Lie Ai Ling. "Menurut aku, kemungkinan besar dia sedang berlatih di sana."

"Namun...."  Siang  Koan  Goat  Nio  menghela  nafas  lagi,

"tidak mungkin begitu lama."

"Goat Nio," bisik Lie Ai Ling. "Bagaimana kalau kita menyusul ke Gunung Thian San?"

"Belum tentu orang tua kita mengijinkan." Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala.

"Begini..." bisik Lie Ai Ling lagi sambil ter-enyum. "Kalau orang tua kita tidak mengijinkan kita pergi menyusul Kakak Bun Yang, maka kita...mogok makan saja."

"Mogok makan?"

"Ya." Lie Ai Ling mengangguk. "Anggap saji kita diet."



"Ngmm!" Siang Koan Goat Nio manggut-manggut. "Akal yang bagus! Kalau kita mogok makan, orang tua kita pasti mengijinkan kita pergi menyusul Kakak Bun Yang."

"Tidak salah." Lie Ai Ling tertawa gembira "Ayoh, mari pergi menemui orang tuamu!"

Kedua gadis itu melesat pergi. Begitu sampai di rumah, mereka berdua terbelalak karena melihat semua orang sudah berkumpul di ruang depan.

"Eeeeh?" Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio berjalan ke dalam. "Ada apa nih? Kok kumpul semua di sini?"

"Kami semua sedang mogok makan," sahut Sam Gan Sin Kay. "Oleh karena itu, kalian berdua tidak boleh ke mana-mana."

"Apa?" Lie Ai Ling terbelalak. "Kalian semua mogok makan?"

"Ya." Lie Man Chiu dan Tio Hong Mol mengangguk. "Kami harus mendahului mogok makan, sebab kalau tidak, kalian berdua yang akan mogok makan, bukan?"

"Kami...."             Lie          Ai            Ling        dan        Siang     Koan      Goat      Nio

menundukkan kepala.

"Ai Ling, kenapa engkau mengajak Goat Nio yang bukan-bukan?" tanya Lie Man Chiu sambil menatapnya.

"Dari mana Ayah tahu?" Lie Ai Ling heran.


"Kakek pengemis pergi memberitahukan. "Melihat bawah pohon...."


mencari kalian." Lie Man Chiu kalian berdua berbisik-bisik di


"Oooh!" Lie Ai Ling manggut-manggut. "Jadi kakek pengemis yang mencuri dengar pembicaraan kami! Pantas...!"

"Pantas apa?" tanya Sam Gan Sin Kay sambil icrtawa.



"Pantas seluruh penghuni pulau ini berkumpul di sini!" sahut Lie Ai Ling sambil tertawa geli. "Apakah ingin menyidang kami?"

"Tentu tidak," ujar Kim Siauw Suseng. "Hanya kami pun

ingin mogok makan agar kalian tidak meninggalkan pulau ini."

"Ayah...." Siang Koan Goat Nio membanting-banting kaki.

"Ayah jahat ah!"

"Maka kalian jangan coba-coba mogok makan!" ujar Kim Siauw Suseng sambil tertawa. "Kalau ingin pergi menyusul Bun Yang, berundinglah dengan kami! Jangan menggunakan akal!"

"Kalau tidak menggunakan akal, bagaimana mungkin kami diperbolehkan pergi menyusul Kakak Bun Yang?" sahut Lie Ai Ling.

"Oh?" Kim Siauw Suseng tertawa lagi.

"Ai Ling!" Tio Hong Hoa menatapnya sambil tersenyum. "Goat Nio ingin pergi menyusul Bun Yang, itu dikarenakan dia sangat rindu kepadanya maka dapat dimaklumi. Namun kenapa engkau juga ingin pergi menyusul Bun Yang?"

"Aku menemani Goat Nio," jawab Lie Ai Ling, "Lagi pula aku juga rindu kepada Kakak Bun Yang, karena dia boleh dikatakan adalah kakak ku."

"Oooh!" Tio Hong Hoa manggut-manggut "Dia memang kakakmu, sebab ayahnya adalah adikku."

"Goat Nio, betulkah engkau ingin pergi menyusul Bun Yang?" tanya Kou Hun Bijin sambil menatapnya.

"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk.

"Kenapa engkau ingin pergi menyusulnya?" tanya Kou Hun Bijin lagi.



"Ibu,      aku...." Wajah   Siang     Koan      Goat      Nid         kemerah-

merahan.

"Berterus teranglah, jangan malu-malu! Engkau mencintai Bun Yang?" tanya Kou Hun Bijin mendadak.

"Ibu kok jahat sih!" tegur Siang Koan Goat Nio sambil menundukkan kepala. "Aku...."

"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring, "Baik. Ibu memperbolehkanmu pergi menyusul Bun Yang."

"Terimakasih, Ibu!" ucap Siang Koan Goat Nio dengan wajah berseri-seri. "Terimakasih....'!

"Ayah! Ibu! Aku ikut Goat Nio," ujar Lie Ai Ling mendadak.

"Ai Ling!" Tio Hong Hoa menggelengkan kepala. "Kalau engkau ikut, bukankah akan mengganggu Goat Nio?"

"Ibu, aku tidak pernah mengganggu mereka." Lie Ai Ling memberitahukan. "Kalau mereka berdua memadu cinta, aku pasti menyingkir jauh-jauh. Tapi... kadang-kadang aku mengintip juga."

"Apa?" Air muka Siang Koan Goat Nio berubah kemerah-merahan. "Engkau pernah mengintip kami berduaan?"

"Memangnya tidak boleh?" sahut Lie Ai Ling umbil tertawa geli.

"Engkau...." Siang Koan Goat Nio menudingnya, kemudian

menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau sungguh keterlaluan!"

"Jangan gusar!" ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Lain kali aku tidak akan mengintip lagi."

"Ai Ling!" tegur Tio Hong Hoa dengan kening berkerut. "Engkau tidak boleh berbuat begitu, tidak baik lho!"

"Ya, Ibu." Lie Ai Ling mengangguk, lalu minta msaf kepada Siang Koan Goat Nio. "Aku minta maaf."



"Sudahlah!" Siang Koan Goat Nio menghela nafas panjang. "Aku yakin engkau tidak sengaja berbuat begitu."

"Ya." Lie Ai Ling mengangguk.

"Goat Nio, jadi engkau sudah mengambil keputusan untuk pergi menyusul Bun Yang?" tanya Kou Hun Bijin.

"Ya, Ibu." Siang Koan Goat Nio mengangguk pasti.

"Kalau   begitu...."            Kou        Hun        Bijin       tersenyum          "Ibu

mengijinkanmu pergi menyusulnya."

"Terimakasih, Ibu!" ucap Siang Koan Goal Nio dengan wajah berseri. "Terimakasih!"

"Ibu...." Lie Ai Ling memandang Tio Hong Hoa. "Aku... aku ikut Goat Nio pergi menyusul kakak Bun Yang."

"Itu...." Tio Hong Hoa melirik Lie Man Chu

"Baiklah." Lie Man Chiu manggut-manggut "Tapi engkau tidak boleh nakal, harus menurut perkataan Goat Nio."

"Ya, Ayah." Wajah Lie Ai Ling berseri. "Terimakasih!"

"Goat Nio," pesan Lim Ceng Im. "Kalau bertemu Bun Yang, ajak dia pulang!"

"Ya, Bibi." Siang Koan Goat Nio mengangguk,

"Kapan kalian akan berangkat ke Tionggoan” tanya Tio Cie Hiong sambil memandang mereka

"Se... sekarang," jawab Siang Koan Goat Nio lalu menundukkan wajahnya dalam-dalam.

"Apa?" Kim Siauw Suseng tertegun. "Engkau mau berangkat sekarang? Tidak bisa menunggu besok?"

"Ayah, aku...."

"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak



”Sastrawan sialan, putrimu sudah rindu sekali kepada Bun Yang, biarlah dia berangkat sekalung!"

"Itu...." Kim Siauw Suseng melirik Kou Hun Hijin seraya

bertanya, "Bagaimana? Engkau setuju?"

"Kalau tidak setuju. Goat Nio pasti ngambek." tahut Kou Hun Bijin sambil tertawa. "Dari pada dia ngambek tidak karuan, lebih baik kita perbolehkan berangkat sekarang."

"Terimakasih, Ibu!" ucap Siang Koan Goat Nio girang. "Ibu baik sekali!"

"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. 'Nah, engkau boleh berangkat sekarang."

"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk.

"Goat Nio, Ai Ling. setelah kalian bertemu Bun Yang, ajaklah dia pulang!" pesan Tio Cie Hiong.

"Ya, Paman," sahut Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling serentak, lalu kedalam untuk berkemas. Setelah itu, barulah mereka berangkat ke Tonggoan.

Seandainya mereka bisa bersabar beberapa hari, tentu akan bertemu Bun Yang, yang pulang bersama Bokyong Sian Hoa.

---oo0dw0oo--

Kini Kam Hay Thian telah sembuh, maka Tio Cie Hiong mulai memberi petunjuk kepadanya mengenai Pak Kek Sin Kang dan ilmu silat lainnya. Sudah barang tentu kepandaian Kam Hay Thian bertambah tinggi.

Akan tetapi, pemuda itu merasa kecewa sekali karena Siang Koan Goat Nio mencintai Tio Bun Yang. Bahkan gadis itu pergi menyusul Tio Bun Yang. Oleh karena itu, Kam Hay Thian jadi melamun.

"Hay Thian..." panggil Lu Hui San sambil mendekatinya.



"Oh, Hui San!" sahut Kam Hay Thian. "Silakan duduk!"

Lu Hui San duduk di sebelahnya, kemudian memandangnya seraya bertanya dengan keninf berkerut.

"Kenapa engkau duduk melamun di sini?"

"Aku...." Kam Hay Thian menundukkan kepala. "Goat Nio

dan Ai Ling sudah berangkat ki Tionggoan, kenapa engkau tidak ikut mereka?"!

"Aku...." Wajah Lu Hui San agak kemerah merahan. "Aku

merasa betah tinggal di pulau ini'

"Hui San, betulkah ayahmu bernama Lu Kam Thay?" tanya Kam Hay Thian sambil menatapnya tajam.

"Be... betul." Lu Hui San mengangguk. Ternyata Siang Koan Goat Nio dan Lie Al Ling tidak memberitahukan kepada Kam Hay Thian mengenai identitas Lu Hui San, maka pemuda itu tidak tahu ayah Lu Hui San adalah Lu Ihay Kam.

"Hui       San....”Kam        Hay        Thian     menghela            nafas     panjang.

"Sebetulnya aku sangat berterimakasih kepadamu, karena engkau yang menggendongku sampai di Pulau Hong Hoang To ini, aku... aku berhutang budi kepadamu."

"Jangan berkata begitu...." Lu Hui San ter-lenyum. "Karena

kita...."

"Kita adalah teman baik, aku tahu itu," ujar kam Hay Thian. "Namun aku tetap berhutang budi kepadamu."

"Hay Thian," ujar Lu Hui San sungguh-sungguh. "Engkau tidak berhutang budi kepadaku, melainkkan kepada Bun Yang.

"Aku tahu." Kam Hay Thian manggut-mang-jut. "Kalian telah menceritakan kepadaku, kalau dia tidak muncul tepat pada waktunya, aku pasti sudah mati di tangan Seng Hwee Sin Kun. Aku... aku berhutang budi kepadanya."



"Kini Paman Cie Hiong pun memberi petunjuk kepadamu mengenai ilmu silat. Betapa baiknya mereka terhadapmu. Oleh karena itu...."

"Aku harus membalas budi kebaikan mereka?"

"Itu sih tidak perlu. Hanya saja...." Lu Hui memandangnya.

"Engkau jangan tersinggung”

"Lanjutkanlah! Aku tidak akan tersinggung."

"Engkau tidak usah memikirkan Goat Nio lagi, sebab dia mencintai Bun Yang," ujar Lu Hui San dengan suara rendah. "Mereka berdua saling mencinta, percuma engkau memikirkan Goat Nio”

"Hui San!" Wajah Kam Hay Thian berubah tak sedap dipandang. "Engkau...."

"Maaf!" Lu Hui San menundukkan kepala "Aku berkata sesungguhnya, tidak bermaksud menyinggung perasaanmu."

"Hui San, aku mau memikirkan siapa, itu adalah urusanku! Engkau tidak berhak mencampurinya," ujar Kam Hay Thian setengah membentak lalu meninggalkan tempat itu.

"Hai Thian!" panggil Lu Hui San.

Kam Hay Thian terus melangkah pergi tanpa menghiraukan Lu Hui San. Gadis itu tetap duduk di tempat, kemudian menangis terisak-isak. Mendadak muncul seseorang menghampirinya, yal ternyata Lie Man Chiu.

"San San!" panggilnya lembut.

"Paman Chiu!" Air mata Lu Hui San melelel

"Aaaah...!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang. "Sudahlah, jangan menangis! Pemuda itu memang agak keras hati."

"Paman Chiu...." Lu Hui San terisak-isak



"San San!" Lie Man Chiu menatapnya. "Goat Nio dan Ai Ling tahu mengenai identitas dirimu?”

"Tahu." Lu Hui San mengangguk.

"Mereka berdua sama sekali tidak membocorkannya, aku salut pada mereka," ujar Lie Man Chiu dan bertanya, "Hay Thian tahu identitasmu?"

"Tidak tahu." Lu Hui San menggelengkan kepala. "Kalau dia tahu, mungkin akan membenciku."

"Kenapa?" Lie Man Chiu heran.

"Sebab...." Lu Hui San menutur tentang kematian guru silat

Lie dan putrinya berdasarkan penuturan Kam Hay Thian.

"Oooh!" Lie Man Chiu manggut-manggut. "Tapi Lu Thay Kam cuma merupakan ayah angkatmu, lagi pula kematian guru silat Lie dan putrinya tiada kaitannya dengan dirimu."

"Memang,          tapi...." Lu           Hui         San         menggeleng-gelengkan

kepala. "Hay Thian sangat mendendam kepada ayah angkatku. Dia bersumpah akan membunuh ayah angkatku itu."

"Aaaah...!" Lie Man Chiu menghela nafas panjang. "Oh ya, engkau pernah kembali ke istana?"

"Pernah. Bahkan... aku nyaris membunuh ayah angkatku." Lu Hui San memberitahukan.

"Lho?" Lie Man Chiu terkejut. "Kenapa begitu“

"Aku  telah  bertemu  pamanku...."  Lu  Hui  San  menutur

tentang Tio Bun Yang mengajaknya ke tempat tinggal Sie Kuang Han dan lain sebagainya, kemudian menambahkan, "Kalau Bun Yang tidak muncul, ayah angkatku pasti sudah mati di bawah pedangku."

"Ternyata begitu...." Lie Man Chiu mengha nafas panjang.

"Aku sama sekali tidak menyangka kalau ayahmu masih punya



perasaan dan sangiat menyayangimu. Itu sungguh di luar dugaan!"

"Memang di luar dugaan." Lu Hui San manggut-manggut. "Oh ya, Paman Chiu jangan membocorkan identitas diriku kepada Hay Thian!"

"Jangan khawatir!" Lie Man Chiu tersenyul "Aku berjanji!"

"Terimakasih, Paman Chiu!" ucap Lu Hui Si sambil menundukkan kepala. "Aku... aku sangat kacau...."

"Tidak usah kacau!" Lie Man Chiu menatap nya seraya berkata sungguh-sungguh. "Cepatlah engkau susul Hay Thian, hiburlah dia!"

"Tapi...."

"Kalau engkau sungguh-sungguh mencinta nya, haruslah sabar dan mencairkan hatinya yang beku itu."

"Ya, Paman Chiu." Lu Hui San menganggul lalu melangkah pergi.

Lie Man Chiu menggeleng-gelengkan kepala Di saat ia menghela nafas panjang, muncullah Tio-Hoang Hoa, isterinya.

"Kakak Chiu...."

"Adik Hoa!" Lie Man Chiu agak terperanjat ketika melihat kemunculan isterinya. "Engkau.

"Aku telah melihat...."

"Jangan salah paham!"

"Tapi engkau harus menjelaskan! Kalau tidak, aku pasti menaruh curiga dan salah paham!"

"Adik Hoa!" Lie Man Chiu terpaksa men-klaskan. "Terus terang, dia adalah putri angkat Lu Thay Kam...."

"Oooh!" Tio Hong Hoa manggut-manggut setelah mendengar penjelasan itu. "Aku tidak menyangka, ternyata



gadis itu mencintai Kam Hay Thian! Namun Kam Hay Thian malah jatuh cinta 'kepada Siang Koan Goat Nio."

"Yaaah!" Lie Man Chiu menghela nafas. "Mudah-mudahan tidak akan terjadi karena itu!"

"Tentunya Kam Hay Thian tahu Goat Nio mencintai Bun Yang, lagi pula Bun Yang yang telah menyelamatkan nyawanya. Oleh karena itu, aku yakin Kam Hay Thian tidak akan berbuat sesuatu yang bukan-bukan," ujar Tio Hong Hoa.

"Mudah-mudahan begitu!" ucap Lie Man Chiu. ”Adik Hoa, sesungguhnya aku sangat berharap...."

"Berharap apa?"

"Sudah percuma."

Katakanlah!"

"Semula aku sangat berharap putri kita ber-Jodoh dengan Bun Yang, tapi Bun Yang malah mencintai Goat Nio."

"Aku pun berharap begitu." Tio Hong Hoa menghela nafas panjang. "Namun tidak bisa, sebab hubungan Ai Ling dengan Bun Yang bagaikan kakak beradik kandung."

"Memang." Lie Man Chiu manggut-manggut dan bergumam. "Entah siapa jodoh putri kita?"

"Ai Ling masih begitu muda," sahut Tio Hong Hoa sambil tersenyum. "Jadi engkau tidak usah kalut."

Lie Man Chiu mengangguk dan tersenyum kemudian menggandeng isterinya meninggalkan tempat itu.

"Seharusnya Hay Thian mencintai Hui San," ujar Tio Hong Hoa mendadak. "Karena gadis itu yang menggendongnya sampai di pulau ini. Lapi pula gadis itu sangat cantik, baik hati dan lemah lembut."

"Tidak salah." Lie Man Chiu manggut-manggut. "Mudah-mudahan mereka berdua akan saling mencinta!"



---ooo0dw0oo---

Tio Bun Yang telah tiba di Pulau Hong Hoang To bersama Bokyong Sian Hoa. Betapa gembira nya Tio Cie Hiong, Lim Ceng Im, Tio Tay Seng Sam Gan Sin Kay, Lie Man Chiu dan Tio Hong Hoa. Sedangkan Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin saling memandang dengan kening berkerut kerut.

"Ayah! Ibu!" panggil Tio Bun Yang.

"Nak!" Lim Ceng Im langsung memeluknya erat-erat sambil tertawa gembira. "Engkau bertambah tinggi lho!"

"Bun Yang, siapa gadis ini?" tanya Tio Cie Hiong sambil menatapnya tajam.

"Ayah, dia adalah...."

"Paman Tio, namaku Bokyong Sian Hoa." sela gadis itu sambil tersenyum. "Ayahku bernama Patoho, teman baik Paman."

"Patoho?" Tertegun Tio Cie Hiong. "Engkau...engkau adalah putrinya?"

"Ya!" Bokyong Sian Hoa mengangguk.

"Sian Hoa!" Tio Cie Hiong tampak gembira. ”Bagaimana kabarnya ayahmu? Dia baik-baik saja?" tanyanya.

"Ayah dan ibuku...." Mendadak Bokyong Sian hoa menangis

terisak-isak, padahal barusan gadis itu tersenyum-senyum.

"Eeeh?" Tio Cie Hiong terperangah.

"Sian Hoa!" Lim Ceng Im menggandengnya ke tempat duduk. "Duduklah!"

"Bun Yang, engkau juga boleh duduk," ujar Tio Cie Hiong sambil menatapnya.



"Ya, Ayah." Tio Bun Yang mengangguk. Ia memmberi hormat kepada Tio Tay Seng, Sam Gan im Kay, Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin. Setelah itu, barulah ia duduk.

"Tuuuh!" bisik Kou Hun Bijin kepada Kira Siauw Suseng-"Sungguh tampan Bun Yang itu, kelihatannya juga lemah lembut dan sopan."

"Betul." Kim Siauw Suseng manggut-manggul. "Tapi kok dia bersama gadis berpakaian aneh itu?"

"Akan kutegur dia," sahut Kou Hun Bijin, kemudian memandang Tio Bun Yang seraya berseru, "Anak muda, engkau adalah Tio Bun Yang?"

"Benar." Tio Bun Yang heran. Ia memang belum kenal Kou Hun Bijin. "Maaf, Bibi adalah...."

"Bun Yang, dia adalah Kou Hun Bijin." Lim Ccng Im memberitahukan.

"Haaah?" Tio Bun Yang terbelalak. "Bibi ada lah Kou Hun Bijin?"

"Tidak salah," sahut Kou Hun Bijin sambil tersenyum dingin. "Goat Nio adalah putri kesayanganku. Dia begitu mencintaimu, tapi... engkau malah pulang bersama gadis lain. Hmm! Sungguh keterlaluan!"

"Bibi, aku...." Tio Bun Yang tergagap. "Aku....”

"Bibi Kou Hun Bijin, memangnya aku tidak boleh kemari bersama Kakak Bun Yang?" tanya Bokyong Sian Hoa mendadak dengan suara nyaring.

"Diam!" bentak Kou Hun Bijin.

"Galak amat sih!" Bokyong Sian Hoa menatapnya dan menambahkan, "Kalau aku tidak kemari bersama Kakak Bun Yang, bagaimana mungkin aku bisa bertemu Paman Tio?"



"Sian Hoa," tanya Tio Cie Hiong cepat, agar gadis itu tidak terus berdebat dengan Kou Hun Bijin. "Bagaimana kabarnya ayahmu? Dia baik-baik saja?"

"Ayah dan ibuku mati dibunuh oleh pamanku," jawab Bokyong Sian Hoa dan mulai menangis terisak-isak lagi.

"Apa?" Tio Cie Hiong tertegun. "Kenapa pamanmu membunuh kedua orang tuamu? Bolehkah engkau menjelaskan?"

"Ayahku tidak setuju bekerja sama dengan Lu thay Kam, sebaliknya pamanku justru setuju." Bokyong Sian Hoa menjelaskan dengan air mata berlinang linang. "Karena itu, terjadilah pertarungan. Pamanku berhasil melukai ayahku, kemudian melukai ibuku. Di saat pamanku ingin melukaiku, muncul Pancha menolongku."

"Oh?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Aku masih ingat, ayahmu pernah berjanji kepadaku, bahwa dia tidak akan mengirim pasukannya untuk menyerang Tionggoan." katanya.

"Karena itu...." Bokyong Sian Hoa menangis sedih. "Ayah

dan ibuku mati di tangan pamanku. Sebelum menghembuskan nafas penghabisan, ayah menyuruhku ke Tionggoan menemui Paman Tio! padahal di waktu itu pamanku juga ingin menghabiskan nyawaku, namun putranya yang bernama Pancha itu membelaku mati-matian, maka aku berhasil meloloskan diri. Aku langsung ke Tionggoan mencari Paman Tio."

"Kalau begitu, engkau bertemu Bun Yang secara kebetulan?" tanya Lim Ceng Im sam tersenyum.

"Ya." Bokyong Sian Hoa manggut-manggut "Ketika itu muncul beberapa orang berpakaian hijau menghadangku. Mereka berlaku kurang ajar pula. Di saat itulah muncul Kakak Bun Yang, saat kami berkenalan dan aku pun memberitahukan nya bahwa aku ingin menemui Paman Tio. Ternyata Paman



Tio adalah ayahnya, maka aku mendesaknya untuk membawaku ke mari."

"Oooh!" Tio Cie Hiong manggut-manggut sambil menghela nafas panjang. "Sungguh di luar dugaan, ayahmu yang baik hati itu dibunuh oleh pamanmu!"

"Setelah ayahku mati, pamanku mengangkat dirinya sebagai raja Manchuria. Mungkin tidak lama lagi, dia akan mengutus Pancha dan Koksu (Guru Silat Istana) ke Tionggoan menemui Lie Thay Kam." Bokyong Sian Hoa memberitahukan

"Sian Hoa!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Itu adalah urusan kerajaan, aku tidak mau turut campur."

"Paman Tio...." Bokyong Sian Hoa terbelalak "Kalau begitu,

Paman juga tidak mau mengajarku ilmu silat?"

"Engkau ingin belajar ilmu silat?" Tio Cie Hiong balik bertanya sambil menatapnya.

"Itu pesan almarhum, maka aku harus menurut," sahut Bokyong Sian Hoa dan menambahkan, "Paman Tio, aku ingin menjadi muridmu."

"Sian Hoa!" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.

"Paman Tio tidak sudi menerimaku menjadi murid?" tanya Bokyong Sian Hoa kecewa, kemudian menangis tersedu-sedu.

"Dasar gadis cengeng!" ujar Kou Hun Bijin dan mendengus. "Hmm...!"

"Kenapa engkau usil!" Bokyong Sian Hoa melotot, lalu memandang Tio Bun Yang seraya berkata, "Kakak Bun Yang, jangan mencintai putrinya! Dia begitu macam, putrinya pasti sama seperti dia."

"Hei! Gadis liar!" bentak Kou Hun Bijin. ”engkau berani kurang ajar? Mau kutampar ya?"



"Isteriku," bisik Kim Siauw Suseng. "Sudahlah, jangan meladeni gadis kecil itu!"

"Dia begitu kurang ajar!" sahut Kou Hun Bijin sambil mengerutkan kening. "Aku harus menghajarnya!"

"Bijin," ujar Tio Tay Seng. "Sudahlah! Gadis itu masih kecil, tidak usah diladeni!"

"Adik Sian Hoa," ujar Tio Bun Yang. "Engkau tidak boleh kurang ajar terhadap Kou Hun Bijin. Tahukah engkau berapa usianya sekarang?"

"Belum enam puluh, kan?" sahut Bokyong Sian Hoa dan melanjutkan. "Sebetulnya aku juga tahu kesopanan, tapi dia terus memojokkanku.”

"Sian Hoa!" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau harus tahu, usia Kou Hun Bijin sudah di atas seratus dua puluh, maka engkau tidak boleh berlaku kurang ajar terhadap nya."

"Apa?" Bokyong Sian Hoa terbelalak, kemudian tertawa geli. "Aku tak menyangka Paman Tio suka bergurau juga."

"Sian Hoa," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Aku sama sekali tidak bergurau."

"Benar," sambung Tio Bun Yang. "Adik Sian Hoa, ayahku memang tidak bergurau. Kou Hun Bijin sudah berusia di atas seratus dua puluh, sedangkan Kim Siauw Suseng berusia hampir seratus."

"Tapi...." Bokyong Sian Hoa terus memandang Kou Hun

Bijin dan Kim Siauw Suseng. "Mereka kelihatan baru berusia enam puluhan."

"Mereka  awet  muda...."  Tio  Cie  Hiong  memberitahukan

tentang mereka. "Karena itu, kami semua sama sekali tidak berani berlaku kurang ajar terhadap mereka berdua."



"Oooh!" Bokyong Sian Hoa manggut-manggut. "Kou Hun Bijin, aku mohon maaf karena berani bersikap kurang ajar!" katanya.

"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring. "Tidak apa-apa! Tidak apa-apa! Terus terang, aku suka kepadamu!"

"Terimakasih!" ucap Bokyong Sian Hoa. "Oh ya, aku harus memanggil apa?"

"Maksudmu memanggil aku apa?"

"Ya."

"Panggil saja bibi!"

"Bibi yang baik!" panggil Bokyong Sian Hoa. "Aku ingin belajar ilmu silat tingkat tinggi, sudikah Bibi mengajarku?"

"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa nyaring lagi. "Jangan khawatir! Pokoknya kami semua pasti mengajarmu ilmu silat tingkat tinggi."

"Terimakasih, Bibi! Terimakasih..." ucap Bokyong Sian Hoa dengan wajah berseri-seri. "Oh ya! Bibi, di mana Kakak Goat Nio?"

"Dia dan Ai Ling sudah berangkat ke Tionggoan beberapa hari yang lalu." Kou Hun Bijin memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Goat Nio ingin menyusul Bun Yang, sedangkan Ai Ling menemaninya."

"Apa?" Wajah Tio Bun Yang langsung berubah kecewa. "Goat Nio sudah berangkat ke Tionggoan?"

"Ya." Lim Ceng Im mengangguk. "Mereka ke Tionggoan menuju ke markas pusat Kay Pang, setelah itu barulah berangkat ke Gunung Thian San."

"Aaaah...!" keluh Tio Bun Yang. "Kami selisih jalan...."

"Itu tidak apa-apa." Lim Ceng Im tersenyum.



"Engkau boleh segera berangkat ke Tionggoan menyusulnya."

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.

"Bun Yang, bagaimana kauw heng?" tanya Tio Cie Hiong sambil menatapnya.

"Kauw  heng...."  Wajah  Tio  Bun  Yang  berubah  murung

sekali. "Sudah mati, jantungnya hangus terkena pukulan Seng Hwee Sin Kun."

"Aaaah!" keluh Tio Cie Hiong dan Lim CcnJ Im. "Kauw heng...."

"Sungguh kasihan monyet bulu putih itu!"Sam Gan Sin Kay menghela nafas panjang.

"Sebelum menghembuskan nafas penghabisan, kauw heng berpesan kepadaku agar ke gua es, yang terletak di sebelah timur puncak Gunung Thian San." Tio Bun Yang memberitahukan.

"Oh?" Tio Cie Hiong tertegun. "Untuk apa kauw heng berpesan begitu kepadamu? Engkau ke sana setelah kauw heng mati?"

"Aku ke sana...." Tio Bun Yang menuturkan tentang itu.

"Oooh!" Tio Cie Hiong manggut-manggut seraya berkata. "Ternyata Kan Kun Taylo Sin Kang terdiri dari hawa ’Im' dan 'Yang’, jadi boleh disebut Kan Kun Taylo Im Yang Sin Kang."

"Kalau begitu..." sela Kou Hun Bijin. "Kan Kun Taylo Im Kang pasti mampu menandingi Seng Hwee Sin Kang."

"Mungkin," sahut Tio Cie Hiong sambil mengangguk.

"Oh ya!" Tio Bun Yang teringat sesuatu. "Ketika aku melewati Gunung Hong San, aku mendengar suara pekikan yang sangat menyeramkan."



Tio Bun Yang menutur tentang Thian Gwa Sin Hiap-Tan Liang Tie, semua orang mendengar dengan mulut ternganga lebar.

"Engkau bertemu dia?" Kou Hun Bijin kelihatan kurang percaya.

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Yang membelenggunya adalah Tu Siao Cui, muridnya. Bahkan muridnya itu juga membawa kabur kitab pusaka Hian Goan Sin Kang."

"Benar apa yang diceritakan Tayli Lo Ceng," ujar Sam Gan Sin Kay.

"Oh ya!" ujar Tio Bun Yang memberitahukan. 'Orang tua itu pun berpesan kepadaku agar mencari seseorang."

"Mencari siapa?" tanya Tio Cie Hiong.

"Tayli Sin Ceng-Kong Sun Hok," jawab Tio Hun Yang dan bertanya. "Ayah kenal siapa Tayli In Ceng-Kong Sun Hok!"

"Ayah tidak kenal." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.

"Aku kenal," sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa. "Tayli Sin Ceng-Kong Sun Hok adalah Tayli Lo Ceng."

"Haaah?" Tio Bun Yang tertegun. "Ternyata Tayli Sin Ceng adalah Tayli Lo Ceng!"

"Ketika masih muda, julukan Tayli Lo Cefl adalah Tayli Sin Ceng!" Kou Hun Bijin memberitahukan.

"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut.

"Aku yakin..." ujar Sam Gan Sin Kay mendadak. "Tu Siao Cui pasti sudah mati, sebab dia tidak pernah muncul di rimba persilatan."

"Mudah-mudahan!" sahut Kim Siauw Suseng kemudian bertanya kepada Kou Hun Bijin. "isteriku, bagaimana kalau kita juga mengajar Sian Hoa ilmu silat?"



"Aku setuju." Kou Hun Bijin menganggul sambil tersenyum, lalu memandang Bokyong Sian Hoa seraya berkata. "Mulai besok kami semua akan mengajarmu ilmu silat tingkat tinggi."

"Terimakasih, Bibi!" ucap Bokyong Sian Hoa dengan wajah berseri. "Terimakasih...."

"Oh ya, Ayah," tanya Tio Bun Yang mendadak. "Bagaimana keadaan Kam Hay Thian Apakah dia sudah sembuh?"

"Dia sudah sembuh," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan. "Tapi kalau dia tidak memiliki Pak Kck Sin Kang dan engkau tidak memberinya makan pil Sok Beng Tan (Pil Penyambung Nyawa), nyawanya pasti sudah melayang sebelum sampai di sini.

"Ayah, Hui San masih berada di sini?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Gadis selalu menemaninya, mereka berdua merupakan pasangan yang serasi."

"Ayah, Hui San...." Ucapan Tio Bun Yang terputus karena

mendadak muncul Kam Hay Thian dan Lu Hui San.

"Bun Yang!" seru gadis itu girang.

"Hui San!" Tio Bun Yang tersenyum, kemudian memandang Kam Hay Thian seraya bertanya. ”Saudara Kam, engkau sudah pulih?"

"Aku sudah pulih," sahut Kam Hay Thian sambil menatapnya tajam. "Terimakasih atas pertolonganmu!"

"Tidak usah mengucapkan terimakasih kepadaku." Tio Bun Yang tersenyum lagi dan melimbahkan, "Seharusnya engkau berterimakasih kepada Hui San."

"Ya." Kam Hay Thian mengangguk.

"Adik Sian Hoa!" Tio Bun Yang memperkenaikan. "Dia adalah Lu Hui San dan Kam Hay Thian."



"Selamat bertemu!" ucap Bokyong Sian Hoa samhil memberi hormat kepada mereka berdua. Kalian berdua memang merupakan pasangan yang serasi lho!"

"Eh? Adik Sian Hoa...." Wajah Lu Hui San memerah.

"Memang benar kok." Bokyong Sian Hoa tertawa kecil. "Jadi kakak Hui San tidak usah merasa malu."

"Benar." Tio Bun Yang manggut-manggut "Mereka berdua sungguh merupakan pasangan yang sepadan."

"Engkau pun sepadan dan serasi dengan Goat Nio," ujar Lu Hui San.

"Kakak Hui San," tanya Bokyong Sian FlA mendadak. "Betulkah kakak Goat Nio begitu cantik?"

"Betul!" Lu Hui San mengangguk.

"Kakak Hui San, siapa yang lebih cantik aku atau Kakak Goat Nio?" tanya Bokyong Siai Hoa.

"Kalian berdua sama cantiknya," sahut Lu Hu San sambil tersenyum. "Namun sifat kalian berbeda. Dia bersifat lemah lembut, kalem dan anggun, sedangkan engkau bersifat periang, lincah dan masih kekanak-kanakkan."

"Usiaku sudah tujuh belas, bukan kanak-kanak lagi lho!" sahut Bok Yong Sian Hou dia menambahkan. "Kami suku Manchuria, berusia tiga belas sudah boleh menikah."

"Oh?" Lu Hui San terbelalak. "Engkau gadis Manchuria?"

"Betul." Bokyong Sian Hoa memberitahukan "Sesungguhnya aku adalah putri raja Manchuria tapi kedua orang tuaku sudah mati dibunuh oleh pamanku."

"Engkau...."        Lu           Hui         San         tersentak.           "Engkau               putri      raja

Manchuria?"



"Sekarang sudah tidak," sahut Bokyong Sian Hoa. "Karena kedua orang tuaku sudah mati, maka aku menjadi gadis biasa."

"Oooh!" Lu Hui San manggut-manggut.

"Hui San, ajaklah Sian Hoa ke kamarmu, kalian tidur sekamar saja!" ujar Lim Ceng Im.

"Ya." Lu Hui San segera mengajak Bokyong Sian Hoa ke kamar.

"Aaaah...!" Tio Cie Hiong menghela nafas panjang. "Patoho sudah mati, aku yakin tidak lama lagi pasukan Manchuria akan menyerbu Tionggoan!"

"Itu adalah urusan kerajaan, kita tidak usah memusingkannya," sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum. "Seandainya pasukan Manchuria menyerbu ke mari, barulah kita menghabiskan mereka."

"Aaaah...!" Sam Gan Sin Kay menghela nafas panjang. "Kita adalah bangsa Han, apakah kita harus diam saja melihat daratan Tionggoan di serbu bangsa liar itu?"

"Ha ha ha!" Kim Siauw Suseng tertawa. "Kita sudah tua, percuma memikirkan itu!"

"Benar." Tio Tay Seng manggut-manggut. "Kita bukan pembesar, jadi tidak perlu memusingkan tentang itu."

"Yaaah!" Tio Cie Hiong mcnggeleng-gelengkan kepala. "Mungkin sudah waktunya dinasti Beng runtuh."

"Ayah," ujar Tio Bun Yang mendadak. "Aku akan berangkat ke Tionggoan esok menyusul Goai Nio."

"Apa?" Tio Cie Hiong terbelalak. "Engkau baru pulang kok sudah mau pergi?"

"Nak," ujar Lim Ceng Im. "Tinggal di sini beberapa hari, setelah itu barulah engkau berangkat."



"Ibu...."

"Jangan bantah, Nak!"

"Ya, Ibu." Tio Bun Yang mengangguk.

Beberapa hari kemudian, barulah Tio Bun Yang berangkat ke Tionggoan. Karena tertunda beberapa hari, maka ia tidak bertemu Siang Koan Goat Nio.

-ooo0dw0ooo-


Bagian ke tiga puluh tujuh Gadis Jepang

Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling telai memasuki daerah Tionggoan. Kedua gadis itu terus melakukan perjalanan menuju markas pusat Kay Pang.

Ketika hari mulai gelap, mereka tiba disebuah lembah. Mendadak terdengar semacam suara siulan yang amat menyeramkan. Mereka saling memandang dengan sekujur badan merinding.

"Goat Nio," bisik Lie Ai Ling dengan wajah agak pucat. "Apakah itu suara siulan setan iblis?"

"Kita harus cepat bersembunyi," sahut Siang Koan Goat Nio sambil menarik Lie Ai Ling ke balik sebuah pohon.

Tak seberapa lama kemudian, terdengar pula suara derap kaki kuda, dan suara siulan aneh yang menyeramkan itu pun makin terdengar jelas.

"Iiiih!" bisik Lie Ai Ling bergemetar. "Jangan-jangan memang suara setan iblis!"

"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala. "Bagaimana mungkin setan iblis menunggang kuda?"

”Tapi...."



Suara derap kaki kuda itu makin mendekat, kemudian tampak belasan kuda berpacu kencang. Dalam waktu sekejap, kuda-kuda itu telah melewati mereka yang bersembunyi di balik pohon.

Para penunggang kuda itu berpakaian putih semua, muka memakai kedok setan yang menyeramkan.

”ih! Seram sekali kedok yang dipakai mereka itu!" ujar Lie Ai Ling sambil menarik nafas.

"Yang jelas mereka bukan setan iblis," sahut Siang Koan Goat Nio dan menambahkan. "Aku yakin mereka adalah para anggota suatu perkumpulan."

"Benar” Lie Ai Ling manggut-manggut "Mereka menuju utara, bagaimana kalau kita kuntit?"

"Jangan cari masalah!" sahut Siang Koan Goat Nio. "Lagi pula kita sedang memburu waktu menuju markas pusat Kay Pang."

"Goat Nio!" Lie Ai Ling tertawa. "Engkau kok begitu ngebet sih terhadap Kakak Bun Yang?"

"Eh?" Siang Koan Goat Nio melotot. "Mula! menggodaku ya?"

"Aku tidak menggodamu, melainkan berkata sesungguhnya." Lie Ai Ling tertawa lagi.

"Sudahlah!" Siang Koan Goat Nio menggeleng-gelengkan kepala. "Kita harus segera berang kat ke kota yang terdekat, sebab hari sudah mulat malam."

"Tidak mungkin kita akan sampai di kota terdekat," sahut Lie Ai Ling sambil tersenyum "Kelihatannya malam ini kita harus bermalam di sini, besok pagi kita baru berangkat."

"Baiklah." Siang Koan Goat Nio mengang guk.



Kedua gadis itu terpaksa bermalam di lembah tersebut. Keesokan harinya barulah mereka berangkat ke markas pusat Kay Pang.

Ketika meteka sampai di suatu tempat, tiba-tiba terdengar suara benturan senjata tajam.

"Eh?" Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Itu suara pertempuran, mari kita ke sana!"

"Ai Ling!" Siang Koan Goat Nio menggeleng kepala. "Jangan mencampuri urusan itu!"

"Kalau begitu..." ujar Lie Ai Ling sungguh-sungguh. "Engkau menunggu di sini, aku akan ketempat pertempuran itu!"

"Ai Ling...." Siang Koan Goat Nio menghela nafas. "Baiklah!

Mari kita ke sana!"

Kedua gadis itu segera melesat ke arah suara pertempuran. Sampai di tempat itu, mereka melihat seorang gadis berpakaian aneh sedang bertarung dengan beberapa orang berpakaian hijau.

"Mereka para anggota Seng Hwee Kauw," bisik Lie Ai Ling memberitahukan.

"Aku tahu," sahut Siang Koan Goat Nio sambil memperhatikan gadis yang sedang bertarung itu. 'Dia menggunakan suling."

"Hi hi hi!" Lie Ai Ling tertawa. "Sulingnya berwarna putih, jangan-jangan suling perak!"

"Eeeeh?" Mendadak Siang Koan Goat Nio terbelalak. "Ai Ling, perhatikanlah gerakannya! bukankah gerakannya mirip dengan ilmu Giok Siauw Bi Ciat Kang Khi ciptaan Paman Cie Hiong?"



"Betul." Lie Ai Ling mengangguk. "Dia memang menggunakan ilmu itu. Heran? Kok dia mahir menggunakan ilmu itu?"

"Mungkin gadis itu punya hubungan dengan Paman Cie Hiong," ujar Siang Koan Goat Nio.

"Tidak mungkin." Lie Ai Ling menggeleng kepala. "Gadis itu masih begitu muda, bagaimana mungkin dia punya hubungan dengan Paman Cl Hiong?"

"Kalau begitu..." pikir Siang Koan Goat Nio "Mungkin orang tuanya punya hubungan dengan Paman Cie Hiong."

"Itu, memang mungkin. Tapi dia bukan gadis Tionggoan," sahut Lie Ai Ling sambil tertawa kecil. "Pakaiannya begitu aneh, entah dia berasal dari mana?"

"Dia mulai terdesak." Siang Koan Goat Nio mengerutkan kening. "Para anggota Seng Hwei Kauw itu berkepandaian tinggi sekali."

"Tapi...."              Lie          Ai            Ling        terbelalak.          "Dia        masih    mampu

berkelit."

"Benar." Siang Koan Goat Nio manggut-mangut. "Dia menggunakan Kiu Kiong San Tian Poh (Ilmu Langkah Kilat). Aku semakin yakin orang tuanya punya hubungan dengan Pamam Cie Hiong."

"Betul." Lie Ai Ling mengangguk. "Cuma sayang, dia belum begitu mahir menggunakan Kiu Kiong San Tian Poh."

"Ai Ling, dia semakin terdesak," ujar Siang Koan Goat Nio. "Kita harus segera turun tangan membantunya."

"Baik." Lie Ai Ling mengangguk.

Kedua gadis itu membentak keras sambil melesat ke tempat itu. Kemunculan mereka berdua sangat mengejutkan para anggota Seng Hwee Kauw.



"Haah...?" seru mereka serentak. "Kim Siauw Siancu dan Hong Hoang Li Hiap! Kita harus hati-hati menghadapi mereka!"

"Hmm!" dengus Lie Ai Ling dingin, gadis itu bertolak pinggang. "Seng Hwee Sin Kun masih belum sembuh, kalian sudah berani berlaku sewenang-wenang! "

"He he he!" Salah seorang dari mereka tertawa gelak. "Bagus sekali kalian muncul!”

"Kami akan bersenang-senang dengan kalian bertiga! He he he...!"

"Oh?" Lie Ai Ling tertawa dingin sambil menghunus Hong Hoang Po Kiam (Pedang Pusaka Gunung Phoenbc).

Siang Koan Goat Nio juga mengeluarkan suling emasnya.

Kedua gadis itu sudah siap bertaung.

"Serang mereka!" seru Kepala anggota Seng Hwee Kauw itu.

Para anggota Seng Hwee Kauw langsung menyerang kedua gadis itu dengan berbagai macam senjata tajam.

Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling segera berkelit, kemudian balas menyerang. Siang Koan Goat Nio menggunakan Cap Pwee Kim Siam Ciat Hoat (Delapan Jurus Maut Suling Emas) sedangkan Lie Ai Ling menggunakan Hong Hoan Kiam Hoat (Ilmu Pedang Burung Phoenix), maka terjadilah pertarungan sengit.

Sementara gadis berpakaian aneh itu cuma berdiri diam sambil menyaksikan pertarungan itu Ia kagum sekali akan kepandaian Siang Koa Goat Nio dan Lie Ai Ling.

Mendadak gadis itu terbelalak, ternyata Siang Koan Goat Nio mulai menyerang mereka dengan ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi, menggunakan jurus San Pang Te Liak (Gunung Runtuh Bumi Retak).



"Aaaakh...!" Terdengar suara jeritan. Salah seorang anggota Seng Hwee Kauw terhuyung huyung dengan mulut mengeluarkan darah. Punggungnya terhajar suling emas, bahkan salah satu uratnya putus, sehingga musnahlah kepandaianya.

"Aaakh...!" Terdengar suara jeritan lagi.

Ternyata Lie Ai Ling juga berhasil melukai salah seorang anggota Seng Hwee Kauw yang menyerangnya. Gadis itu menggunakan jurus Hong Hoang Coan Sin (Burung Phoenix Memutari Badan).

Menyaksikan itu, Kepala anggota Seng Hwe Kauw itu pucat wajahnya, lalu berseru. "Mari kita kabur!"

Mereka segera lari pontang-panting meninggalkan tempat itu. Lie Ai Ling tertawa geli, Siang koan Goat Nio dan gadis itu cuma tersenyum.

”Terimakasih atas pertolongan kalian!" ucap gadis berpakaian aneh itu.

"Sama-sama," sahut Siang Koan Goat Nio sambil memandangnya dengan penuh perhatian. 'Maaf, engkau berpakaian begitu aneh. Bolehkah kami tahu engkau berasal dari mana?"

"Aku berasal dari Jepang." Gadis itu memberitahukan. "Namaku Yatsumi. Kepandaian kalian berdua tinggi sekali, bolehkah aku tahu siapa kalian?"

"Namaku Siang Koan Goat Nio, dan dia bernama Lie Ai Ling," sahut Siang Koan Goat Nio sambil tersenyum lembut. "Tadi engkau mempergunakan ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi. Dari mana engkau mendapat ilmu itu?"

"Ibuku," jawab Yatsumi heran. "Engkau pun l»isa menggunakan ilmu itu, apakah engkau punya hubungan dengan Paman Cie Hiong?"



"Eeeeh?" Lie Ai Ling terbelalak. "Engkau kenal Paman Cie Hiong?"

"Aku tidak kenal, tapi ibuku kenal dia," sahut Yatsumi dengan mata bersimbah air. "Ibuku bernama Michiko."

"Michiko?" Lie Ai Ling dan Siang Koan Goat Nio saling memandang. Kedua gadis itu sama sekali tidak tahu tentang Michiko, karena Tio Cie Hiong tidak pernah menceritakannya kepada mereka.

"Paman Cie Hiong pernah mengajar ibu ilmu Giok Siauw Bit Ciat Kang Khi, maka ibuku berhasil membunuh ketua Ninja." Yatsumi mem beritahukan. "Setelah itu, ibuku pulang ke Jepang lalu menikah."

"Oooh!" Siang Koan Goat Nio dan Lie Ai Ling manggut-manggut. "Ternyata begitu! Kemudian bagaimana?"

"Beberapa bulan lalu, mendadak muncul se orang ninja berkepandaian tinggi," tutur Yatsuni dengan air mata berlinang linang. "Ninja itu adalah adik seperguruan ketua ninja yang dulu. Dia berhasil membunuh ayahku dan melukai ibuku Akan tetapi, ibuku berhasil meloloskan diri bersamaku. Di tengah jalan ibuku berpesan."

"Apa pesan ibumu?" tanya Siang Koan Goi Nio dan merasa kasihan pada gadis Jepang itu.

"Ibuku berpesan...." Yatsumi memberitahu kan. "Aku harus

berangkat ke Tionggoan menemui Paman Cie Hiong, dan aku pun harus belajar ilmu silat kepadanya, agar bisa membalas dendam kelak."

"Oooh!" Siang Koan Goat Nio manggut manggut. "Engkau tahu Paman Cie Hiong tinggal dimana?"

"Aku tidak tahu." Yatsumi menggelengkan kepala. "Tapi ibuku menyuruhku harus ke markas puisat Kay Pang, karena Paman Cie Hiong punya hubungan dengan Kay Pang."



"Betul," sahut Lie Ai Ling. "Kami pun tahu tempat tinggal Paman Cie Hiong, tapi alangkah baiknya kita ke markas pusat Kay Pang dulu, kita runding di sana saja."

"Terimakasih!" ucap Yatsumi.

"Oh ya!" Lie Ai Ling menatapnya kagum. "Kok engkau begitu lancar berbahasa Han?"

"Sejak kecil aku sudah belajar bahasa Han, bahkan aku pun bisa menulis huruf-huruf Han." Yatsumi memberitahukan. "Oh ya, kita harus segera berangkat ke markas pusat Kay Pang."

"Memangnya kenapa?" Lie Ai Ling heran.

"Aku khawatir Takara Nichiba akan menyusul kemari," ujar Yatsumi dengan wajah agak memucat.

"Siapa Takara Nichiba?" tanya Siang Koan ilnat Nio.

"Dia adik seperguruan ketua ninja lama, juga membunuh kedua orang tuaku. Dia tahu aku kabur ke Tionggoan, maka kemungkinan besar dia akan menyusulku ke mari," sahut Yatsumi bernada ketakutan. "Kepandaiannya tinggi sekali, bahkan kini dia sebagai ketua ninja di Jepang."

"Oh?" Lie Ai Ling terbelalak tapi kemudian malah tertawa. "Kalau dia menyusul ke mari, kami akan menghajarnya hingga dia pulang ke Jepang."

"Kepandaian      kalian    berdua memang              tinggi,    namun...."

Yatsumi mengerutkan kening. "Menurut aku, kalian berdua masih bukan tandingannya."

"Oh, ya?" Siang Koan Goat Nio menatapnya. "Apakah dia memiliki kepandaian luar biasa?"

"Ya." Yatsumi mengangguk. "Dia bisa menyusup ke dalam tanah dan menghilang mendadak. Itulah ilmu istimewa kaum ninja Jepang."



"Hebat!" ujar Lie Ai Ling. "Tapi biar bagaimana pun, aku harus melawannya!"

"Ai Ling, kita harus segera berangkat ke markas pusat Kay Pang." Siang Koan Goat Nio mengingatkannya. "Jangan terus mengobrol di sini!"

"Betul." Lie Ai Ling tersenyum. "Engkau ingin buru-buru bertemu Kakak Bun Yang. Baiklah. Mari kita berangkat sekarang!"

--ooo0dw0ooo--

Betapa gembiranya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong ketika mengetahui kedatangan Siang Koang Goat Nio serta Lie Ai Ling. Namun mereka juga merasa heran karena kedua gadis itu datang bersama seorang gadis asing.

"Kakek Lim, Kakek Gouw!" Panggil Siang koan Goat Nio dan Lie Ai Ling sekaligus memperkenalkan gadis Jepang itu. "Dia berasal dari Jepang, namanya Yatsumi, putri Michiko."

"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut. 'Kami kenal baik ibunya."

"Yatsumi, bagaimana kabar ibu dan ayahmu?" tanya Gouw Han Tiong sambil memandangnya. "Ibu dan ayahku sudah meninggal," jawabnya sambil menangis terisak-isak dengan air mata berderai-derai.

"Oh?" Gouw Han Tiong dan Lim Peng hang tersentak kaget.

"Kedua orang tuanya dibunuh oleh Takara Nichiba, adik seperguruan ketua ninja lama." Lie Ai Ling memberitahukan.

"Oh?" Lim Peng Hang mengerutkan kening. ”Sungguh tak disangka, ketua ninja itu punya adik seperguruan!"

"Kepandaiannya tinggi sekali, hanya beberapa jurus dia berhasil membunuh ayah dan melukai lbuku," ujar Yatsumi dan menambahkan. "Sabetan pedangnya secepat kilat."



"Ngmm!" Lim Peng Hang manggut-manggut. ”Lalu apa rencanamu sekarang?"

"Aku harus menemui Paman Cie Hiong," sahut Yatsumi. "Itu adalah pesan dari ibuku, bahkan aku pun harus belajar ilmu silat kepada Paman Cie Hiong, agar kelak bisa membalaskan dendam kedua orang tuaku."

"Tapi...." Lim Peng Hang mengerutkan kening. "Cie Hiong

tidak berada di sini, dia tinggal di Pulau Hong Hoang To."

"Tidak apa-apa," ujar Yatsumi. "Aku akan ke Pulau Hong Hoang To menemuinya. Itulah tekadku."

"Kalau begitu...." Lim Peng Hang memandang Siang Koan

Goat Nio dan Lie Ai Ling. "Salah satu di antara kalian harus mengantarnya ke Pulau Hong Hoang To."

"Kakek Lim," ujar Lie Ai Ling. "Kami kemari ingin menemui Kakak Bun Yang, apakah dii sudah ke mari?"

"Dia belum ke mari." Lim Peng Hang memberitahukan. "Tapi Ngo Tok Kauwcu yang kemari mengabarkan tentang pertarungan di Lembah Ka but Hitam. Kalian berdua dan Lu Hui San membawa Kam Hay Thian ke Pulau Hong Hoang To sedangkan Bun Yang membawa kauw heng ke Gunung Thian San."

"Hingga kini dia belum ke mari?" tanya Siang Koan Goat Nio cemas.

"Ya." Lim Peng Hang mengangguk. "Mungkin dia menemani kauw heng di Gunung Thian San.'

"Mungkin." Siang Koang Goat Nio manggut manggut.

"Oh ya! Bagaimana keadaan Kam Hay Thian? tanya Gouw Han Tiong. "Apakah dia sudah pulih?"

"Dia sudah pulih," sahut Lic Ai Ling. "Paman Cie Hiong sudah mulai memberi petunjuk kepadanya mengenai ilmu silat."



"Oooh!" Gouw Han Tiong manggut-manggut.

"Oh ya!" Siang Koan Goat Nio teringat sesuatu. "Beng Kiat dan Soat Lan sudah pulang ke Tayli."

"Kami sudah tahu." Gouw Han Tiong tersenyum. "Mereka juga mampir di sini, setelah itu barulah mereka berangkat ke Tayli."

"Kakek Lim!" Mendadak wajah Siang Koan Hoat Nio berubah serius. "Ketika kami melewati sebuah lembah sebelum bertemu Yatsumi, kami melihat segerombolan orang berpakaian putih menunggang kuda. Mereka mengeluarkan suara siulan yang menyeramkan, bahkan mereka memakai kedok setan. Kakek Lim tahu mereka dari perkumpulan apa?"


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar