Jilid 86
"Tentu kau tahu,”
demikian Bok-kuihui menyambung. "Wanita dalam istana kerajaan kita entah
berapa ribu jumlahnya, yang jauh lebih cantik dari padaku entah berapa banyak,
sebabnya Hongsiang hanya menyukai aku saja, hal ini sebagian adalah karena ada
jodoh, disamping itu berkat jasa si padri tua di Seng-tik-si kotaraja itu. adik
cilik, kaupun tidak perlu sedih kalau Cihumu sekarang tidak memikirkan dirimu.
Kelak bila aku sudah ikut Hongsiang pulang ke kotaraja bolehlah kau ikut ke
Seng-tik-si untuk memohon pertolongan kepada padri tua yang sakti itu, dia
tentu punya akal yang bagus.
"Akal bagus apa yang
dipunyai padri tua itu?” Tanya A Ci heran dan tertarik.
"Hal ini akan kukatakan
padamu, tapi jangan sekali-kali kau katakan kepada orang ketiga. Untuk ini kamu
harus bersumpah bahwa kamu takkan membocorkan rahasia.”
"Baik, Kalau kukatakan
rahasia yang kudengar dari Bok-kuihui ini kepada orang lain, biarlah aku binasa
dicincang orang dan mati tak terkubur.”
"O, adik yang baik,
ketahuilah bahwa padri tua itu maha sakti, dahulu sesudah aku menyembah dan
memohon padanya, lalu dia memberikan sebotol kecil air suci, aku disuruh berdoa
dengan sujud dan diam-diam air suci itu diminumkan kepada lelaki yang kusukai.
Habis itu maka lelaki itu selamanya akan mencintai aku seorang saja, sampai
mati pun hatinya takkan berubah.”
Habis berkata ia lantas
mengeluarkan satu botol porselen kecil warna jambon dan dipegang dengan
hati-hati seakan-akan kuatir jatuh atau hilang.
A Ci menjadi heran dan
bergirang pula, cepat ia memohon, "O, enci yang baik, bolehkah kulihat
macam apakah air itu?”
"Melihat sih boleh saja,
tapi hati-hati jangan sampai tumpah, lho.” sahut Bok-kuihui sambil menyodorkan
botol porselen itu dengan hati-hati.
A Ci menerima botol kecil itu,
ia coba membuka tutupnya dan mengendus sekali, terasa bau harum sedap.
Segera Bok-kuihui mengambil
kembali botol porselen itu dan menutup sumbatnya serta berkata,
"Sebenarnya dapat kubagi sedikit air ini untukmu. Tetapi kukuatir kalau
mendadak Hongsiang berubah pikiran dan masih kuperlukan air suci ini.”
"Tadi engkau bilang Hongsiang
sudah minum satu kali dan takkan berubah pikiran padamu?” A Ci menegas.
"Walaupun demikian, aku
tetap kuatir, aku tidak tahu khasiat air suci ini apakah benar-benar dapat
bertahan sekian lama. Aku pun kuatir air gaib ini jatuh ke tangan selir yang
lain dan mereka pun diam-diam memberi minum kepada Hongsiang, andaikan
Hongsiang takkan balik pikiran padaku juga sedikitnya akan berbagi pikirannya
.... "
Baru bicara sampai di sini,
tiba-tiba terdengar Yalu Hung-ki sedang memanggil di luar. Cepat Bok-kuihui
mengiakan dan berlari keluar, "Bluk,” tahu-tahu botol porselen kecil tadi
jatuh dari bajunya tanpa diketahui olehnya.
A Ci terkejut dan bergirang
pula, begitu Bok-kuihui melangkah keluar kemah, cepat ia jemput botol kecil itu
dan dikantungi. Pikirannya, "Aku harus lekas bawa air ini untuk diminumkan
pada Cihu, habis itu akan kuisi dengan air biasa, lalu ku kembalikan kepada
Bok-kuihui.”
Begitulah, segera A Ci
merangkah keluar melalui belakang kemah dan berlari pulang ke istana Lam-ih
Tai-ong. Tapi tertampak olehnya di luar istana sudah penuh pasukan seperti
terjadi sesuatu urusan genting. Waktu melihat A Ci menjuju ke istana para
prajurit dan perwiranya juga tidak merintanginya.
Sesudah masuk pendopo, segera
A Ci melihat Siau Hong sedang berjalan mondar-mandir dengan berpunggung tangan
di dekat titian seperti orang yang tidak sabar lagi.
Begitu melihat A Ci, seketika
Siau Hong sangat girang, katanya, "Hah, baik sekali kamu sudah pulang. A
Ci sungguh aku sangat kuatir kamu akan ditahan oleh Hongsiang. Marilah sekarang
juga kita lantas berangkat, kalau terlambat mungkin tidak keburu lagi.”
"Akan kemana kita?
Mengapa terburu-buru? Sebab apa Hongsiang akan menahan aku,” Tanya A Ci dengan
heran.
"Coba dengarkan.” Kata
Siau Hong.
Waktu mereka diam, maka
terdengarlah derap ramai suara kuda lari kian kemari disertai gemerincingnya
suara senjata dan pakaian perang prajurit di segenap penjuru.
"Ada apakah itu? Engkau
akan memimpin pasukan pergi perang?” Tanya A Ci.
"Prajurit-prajurit itu
tidak di bawah pimpinanku lagi." Sahut Siau Hong dengan tersenyum getir.
"Hongsiang sudah mencurigai aku, rupanya dia hendak menangkap aku.”
"Bagus, sudah lama kita
tidak berkelahi, marilah sekarang juga kita terjang keluar!” ajak A Ci dengan
senang.
Namun Siau Hong menggeleng
kepala, katanya, "Tidak sedikit kebaikan yang telah kuterima dari
Hongsiang, bahkan beliau telah mengangkat aku menjadi Lam-ih Tai-ong, sebabnya
sekarang aku dicurigai adalah lantaran aku berkeras tidak mau mengadakan ekspedisi
ke selatan. Kalau aku melukai bawahannya, ini akan merusak hubungan baik
persaudaraanku dengan beliau selama ini sehingga akan ditertawai para ksatria
bahwa aku adalah manusia yang lupa pada budi orang A Ci biarlah kita berangkat
begini saja, kita pergi secara diam-diam tanpa pamit, asal mereka tidak dapat
menangkap aku, maka cukuplah.”
"Ya, marilah kita
berangkat,” sahut A Ci. "Dan ke mana, Cihu?”
"Ke Leng-ciu-kiong di
Biau-biau-hong,” sahut Siau Hong.
Seketika air muka A Ci
cemberut, katanya, "Ti ... tidak, aku tidak mau bertemu dengan siluman
jelek itu.”
"Urusan sudah kepepet,
pergi ke Biau-biau-hong atau tidak biarlah kita rundingkan lagi sesudah lolos
dari bahaya, " ujar Siau Hong.
Diam-diam A Ci berpikir,
"Akan kau antar aku ke Biau-biau-hong, terang sama sekali engkau tidak
menaruh hati padaku. Bila selekasnya kuberi minum air suci enci ini badamu,
asal engkau jatuh hati padaku, engkau tentu akan menurut segala apa yang
kukatakan. Kalau terlambat, mungkin air suci ini akan dirampas kembali oleh Bok-kuihui.”
Setelah ambil keputusan,
segera ia berkata, "Baiklah, tunggu sebentar, akan kubawa beberapa potong
baju untuk persediaan ditengah perjalanan.”
Cepat ia masuk ke ruang
belakang, ia ambil sebuah mangkuk dan menuang air suci botol porselen itu ke dalam
mangkuk, lalu dicampur dengan setengah mangkuk arak, diam-diam ia berdoa,
"Semoga malaikat dewata memberi berkah agar Siau Hong minum air suci ini,
selanjutnya akan mencintai A Ci sepenuh hati dan akan menikah dengan aku serta
takkan terkenang lagi kepada enci A Cu.”
Habis berdoa, lalu ia kembali
ke ruangan pendopo, katanya, "Cihu, silahkan minum semangkuk arak ini
untuk memperkuat semangatmu, sekali kita sudah pergi, terang kita takkan
kembali lagi.”
Tanpa ragu Siau Hong menyambut
suguhan itu, dibawah sinar lilin dilihatnya kedua tangan A Ci agak gemetar,
sorot matanya menunjukkan sinar yang aneh, air mukanya tampak bersemangat dan
ramah pula. Hati Siau Hong agak terguncang, "Dahulu A Cu sangat menyukai
aku, takkala itu air mukanya juga serupa ini, ai, tampaknya A Ci benar-benar
jatuh hati padaku.”
Segera ia angkat mangkuk arak
itu, hanya beberapa kali teguk saja sudah dihabiskan isi mangkuk itu.
Lalukatanya. "Apakah pakaianmu sudah kau bawa?”
A ci sangat girang melihat air
suci bercampur arak itu telah di minum habis oleh Siau hong, sahutnya cepat,
"Tidak perlu membawa baju lagi, marilah kita berangkat!”
Siau Hong sendiri sudah
siapkan sebuah buntalan (Rangsel) berisi beberapa potong baju dan sedikit uang
receh sekedar sangu. Sesudah menggendong rangselnya, segera Siau Hong berkata
pelahan, "Mereka pasti kuatir aku akan lari ke selatan, maka kita justru
lari ke utara saja.”
Ia gendong tangan A Ci dan
pelahan membuka pintu samping, coba mengintip keluar. Di lihatnya ada dua
pengawal sedang ronda kemari.
Dengan sembunyi di belakang
pintu, Siau Hong sengaja bedehem untuk memancing kedua penjaga.
Benar juga kedua penjaga itu
lantas mendekati pintu hendak memeriksa. Tapi secepat kilat Siau Hong menutuk
jatuh mereka dan diseret ke tempat yang tak kelihatan. Bisiknya kepada A Ci,
"Lekas ganti pakaian kedua orang ini.”
"Bagus!” sahut A Ci
dengan gembira.
Cepat mereka mempelajari
pakaian kedua penjaga itu untuk dipakai mereka sendiri, lalu dengan tangan
membawa tombak rampasan mereka
jalan berjajar ke depan seperti penjaga biasa.
Baru belasan tindak jauhnya
mereka lantas kepergok seorang Sip-hu-tiang (komandan sepuluh orang, setingkat
sersan sekarang) dengan sepuluh orang prajurit pasukan pengawal raja yang
sedang meronda. Cepat Siau Hong dan A Ci menyisih ke tepi jalan dan memberi
hormat.
Sip-hu-tiang itu hanya
manggut-manggut saja dan lantas lewat. Dibawah sinar obor yang cukup terang itu
sekilas terlihat olehnya pakaian perang yang dikenakan A Ci itu kedodoran
sehingga menyeret tanah, waktu dia perhatikan pula, kelihatan golok yang
tergantung dipinggang A Ci juga setengah terseret di tanah Sip-hi-tiang itu
menjadi gusar, terus saja ia tonjok pundak A Ci sambil membentak, "Macam
apa seragammu ini?”
A Ci menyangka rahasianya
ketahuan, tanpa bicara lagi ia menangkis sambil menarik, menyusul kakinya
menendang perut Sip-hu-tiang itu. Kontan sersan itu menjerit kesakitan dan
jatuh terguling.
"Lekas lari,” ajak Siau
Hong, Ia pegang tangan A Ci terus kabur.
Namun kesepuluh prajurit tadi
sempat berteriak-teriak, "Ada mata-mata musuh! Ada mata-mata !”
Sebegitu jauh mereka belum
tahu kedua orang itu adalah samaran Siau Hong dan A Ci.
Tidak jauh mereka berlari,
tiba-tiba mereka dipapak oleh belasan prajurit penunggang kuda. Segera Siau
Hong mendahului menggertak dan putar tombaknya, sekali sapu, kontan
prajurit-prajurit itu mencelat dari kuda mereka. Cepat Siau Hong angkat A Ci ke
atas seekor kuda, ia sendiri pun mencamplak kuda yang lain, lalu mereka
berputar arah dan menerjang ke pintu kota utara.
Ternyata dugaan Siau Hong
tidak meleset, orang-orang Cidan menyangka Siau Hong pasti akan lari ke
selatan, maka penjagaan bagian utara agak kendur. Apalagi penjaga-penjaga itu
sama kenal Siau Hong, dengan sendirinya mereka pun jeri, hanya terpaksa oleh
perintah raja mereka coba mencegat, tapi sekali digertak dan diterjang Siau
Hong, sebagian besar lantas menyingkir dan memberi jalan, kemudian mereka hanya
berteriakteriak dan mengejar dari belakang.
Waktu komandan pasukan
pengawal raja memburu tiba dengan pasukan berjumlah besar, namun Siau Hong dan
A Ci sudah kabur cukup jauh.
Ketika sampai di pintu gerbang
utara, Siau Hong melihat pintu sudah tertutup rapat, di depan pintu penuh
berbaris ratusan prajurit
dengan tombak terhunus. Nyata jalan larinya teralang.
Kalau mau, sudah tentu Siau
Hong dapat mengocar-kacirkan ratusan prajurit itu dengan gampang, tapi yang dia
tuju hanya meloloskan diri dan tidak ingin melukai bangsanya sendiri. Maka ia
rangkul A Ci ke atas kudanya sendiri, menyusul pada suatu ketika yang baik ia
terus meloncat ke atas tembok benteng kota, dengan bantuan tombaknya, sekali
tancap di tembok, segera tubuhnya terlempar lagi lebih tinggi dan akhirnya
mencapai tempat yang dituju.
Waktu ia melongok ke luar
benteng, keadaanya ternyata gelap gulita. Rupanya orang Cidan memang tidak
menduga Siau Hong akan kabur ke jurusan utara, maka di sini tiada diberi
penjagaan apa-apa.
Segera Siau Hong bersuit
panjang, lalu, katanya dengan suara lantang berkumandang, ”Hendaknya para
prajuri menyampaikan kepada Hongsiang bahwa Siau Hong telah berdosa dan kabur
tanpa pamit, biarlah di kemudian hari Siau Hong akan membalas budi kebaikan
Hongsiang.”
Lalu ia rangkul pinggang A Ci
dan siap melompat keluar benteng kota. Asal dia sudah turun ke sana, itu
berarti seperti burung terbang di angkasa bebas tanpa rintangan apa pun.
Di Luar dugaan, baru saja ia
hendak melompat sekonyong-konyong perutnya terasa sakit, menyusul kedua
lengannya juga terasa kaku, mau-tak-mau tangan yang merangkul pinggang A Ci itu
menjadi kendur. Bahkan kedua kaki lantas terasa lemas dan jatuh terduduk,
perutnya terasa disayat-sayat sakitnya tidak kepalang sehingga mengeluarkan
suara rintihan.
Keruan A Ci terperanjat, ”He
Cihu, kenapa?”
Seluruh badan Siau Hong serasa
kejang semua, gigi sampai gemertakan, sahutnya dengan terputus-putus, ”Aku ...
aku terkena ra ... racun jahat. Tunggu .... tunggu sebentar, biar kuke ...
kerahkan tenaga untuk mengeluarkan racunnya ... ”
Segera ia mengerahkan tenaga
murninya keperut dengan tujuan hendak mendesak keluar racun yang mengeram di
dalam perut itu. Tapi celaka, mendingan kalau dia tidak menggunakan tenaga,
sedikit dia mengerahkan tenaga, seketika seantaro badan terasa sakit semua dan
tenaga sukar dikerahkan lagi.
Namun Siau Hong tidak menjadi
bingung takkala berbahaya, ia dengar suara riuh rendah derapan kuda berlarilari
kearahnya, beribu prajurit sedang lari dari selatan ke sebelah utara. Ia coba
mengatur napas. Ia merasa anggota badan sudah mati rasa.
”A Ci, lekas melarikan diri
saja, aku ... aku tak dapat mengiringmu lagi,” katanya dengan perasaan berat.
A Ci adalah anak cerdik,
sedikit berpikir saja segera paham duduknya perkara, jelas dirinya telah
tertipu oleh Bok-kuihui. Air suci itu bukanlah air suci melainkan racun belaka.
Tentu saja A Ci menjadi kuatir
dan menyesal pula, ia rangkul leher Siau Hong dan menangis dengan sedih,
katanya sambil terguguk, ”O, cihu, aku ... akulah yang membikin susah pada mu.
Racun ... racun ini akulah yang memberi minum padamu.”
Siau Hong terkesiap ia tidak
paham mengapa bisa terjadi demikian, tanyanya, ”Sebab apa kau ingin
membinasakan aku?”
”Tidak, tidak!” sahut A Ci
sambil menangis, ”Aku tiada niat membunuhmu. Aku tertipu oleh Bok-kuihui. Dia
memberi sebotol kecil air kepadaku, katanya kalau diminumkan padamu, untuk selanjutnya
engkau tentu akan suka padaku dan akan ... akan mengawiniku. O, aku benar-benar
terlalu bodoh sehingga kena tertipu. O, Cihu, biarlah aku mati bersamamu saja,
kita takkan berpisah lagi untuk selamanya.”
Habis berkata, segera ia lolos
golok dan hendak menggorok leher sendiri.
”Nan ... nanti dulu!” seru
Siau Hong, ia merasa seluruh badannya panas bagai dibakar dan serasa
disayat-sayat pula sehingga susah menggunakan pikiran. Selang sejenak baru dia
paham penuturan A Ci, ktanya, ”Tapi aku ... aku takkan mati, tidak perlu kau
bunuh diri.”
Dalam pada itu terdengar kedua
daun pintu gerbang benteng kota yang berat dan besar itu sedang dibuka dan
mengeluarkan suara keriut-keriut.
Begitu pintu gerbang
terpentang, berbondong-bondong keluarlah beberapa ratus prajurit berkuda sambil
bersorak dan mengatur barisan, menyusul barisan berkuda masih terus membanjir
dari kota selatan dan keluar benteng.
Waktu Siau Hong memandang jauh
ke utara, keadaan yang tadinya gelap gulita dan tiada seorangpun itu sekarang
telah berubah menjadi terang benderang oleh beribu orang yang menerjang ke
utara sehingga beberapa li jauhnya. Waktu memandang kembali ke selatan,
ternyata hampir setengah kota penuh api obor.
”Nyata Hongsiang telah
mengerahkan seluruh pasukannya untuk menangkap aku seorang.” demikian pikir
Siau Hong.
Sementara itu di mana-mana, di
luar dan di dalam benteng kota terdengar teriakan riuh-rendah. ”Tangkap
penghianat Siau Hong! Tangkap penghianat! Wahai Siau Hong, lekas menyerahkan
diri!”
Perut Siau Hong kembali terasa
sakit keras, katanya dengan suara perlahan, ”A Ci, lekas berusaha menyelamatkan
diri saja!”
”Tidak,” sahut A Ci tegas.
”Aku ... akulah yang meracunimu, mana boleh kucari hidup sendiri? Aku ... aku
akan mati bersamamu.”
Siau Hong tersenyum getir,
katanya, ”Ini bukan racun yang dapat membinasakan orang, tapi hanya membuat aku
terluka parah dan lumpuh saja supaya tidak bisa bergerak.”
”Apa betul?” tanya A Ci dengan
girang. Dan segera ia membalik tubuh, sekuatnya ia tarik Siau Hong untuk
digendongnya.
Tapi karena perawakannya
kecil, sebaliknya badan Siau Hong tinggi besar, dengan sendirinya kedua kaki
Siau Hong terseret di atas tanah.
Pada saat itulah belasan Bu-su
(jago) Cidan sudah merambat ke atas tembok benteng. Sebelah tangan mereka
bergolok dan tangan lain membawa obor. Tapi mereka jeri kepada Siau Hong
sehingga tidak berani mendekat.
”Tiada gunanya melawan,
biarkan kita di tangkap mereka saja!” ujar Siau Hong.
”Tidak, tidak!” sahut A Ci
dengan menangis. ”Siapa saja yang berani menggangu seujung rambutmu, segera
kubunuh dia.”
”A Ci, adikku yang baik,
jangan kau bunuh orang untuk membela aku. Jika aku mau membunuh orang tentu
kuterima titah raja dan menyerang ke selatan, maka peristiwa sekarang pun tidak
perlu terjadi lagi.”
Lalu Siau Hong membentak
jago-jago Cidan tadi. ’Kenapa takut-takut begitu. Ayo menemui Hongsiang
bersamaku!”
Untuk sejenak kawanan Bu-su
itu tercengang, tapi mereka lantas memberi hormat dan menjawab, ”Baik! Kami
hanya bertindak menurut perintah sehingga berlaku kasar terhadap Tai-ong, harap
Tai-ong jangan marah!”
Maklumlah, meski tidak lama
Siau Hong menjabat Lam-ih Tai-ong tapi namanya dan wibawanya sangat di segani
oleh setiap perwira dan bintara Cidan. Ketika berada di tengah orang banyak
mereka pun ikut berteriak, ”Tangkap penghianat Siau Hong”, tapi sesudah
berhadapan dengan sendirinya timbul rasa jeri dan hormat mereka sehingga tidak
berani bersikap kasar lagi.
Begitulah, sekuatnya Siau Hong
berusaha berdiri dengan berpegangan di pundak A Ci, isi perutnya sakit bukan
kepalang bagai dipuntir-puntir. Para Bu-su tadi juga lantas memasukkan kembali
golok mereka ke sarungnya, lalu mengawal di belakang Siau Hong yang setindak
demi setindak turun ke bawah tembok benteng melalui undak-undakan batu.
Ketika melihat Siau Hong,
tanpa terasa para perwira dan bintara Cidan lantas melompat turun dari kuda
mereka. Seketika suasana di luar dan di dalam kota menjadi sunyi senyap meski
jumlah prajurit itu berpuluh ribu jumlahnya.
Di bawah cahaya obor Siau Hong
dapat melihat air muka dan sikap para prajurit yuang menunjukkan rasa hormat da
segan padanya itu, tiba-tiba Siau Hong merasa lega dan puas. Pikirnya, ”Jika
aku jadi menggerakkan pasukan ke selatan, berpuluh ribu prajurit yang hadir di
sini tentu akan separuh tak dapat pulang kembali ke kampung halaman. Jika aku
dapat menyelamatkan jiwa tak berdosa sebanyak ini, sekali pun aku akan dihukum
mati oleh Hongsiang juga aku tidak menyesal. Kuatirnya kalau ... kalau aku
dihukum mati dan Hongsiang akan menugaskan panglima lain untuk tetap menyerbu
ke selatan.”
Berpikir sampai disini,
kembali dadanya kesakitan dan tubuhnya sempoyongan. Cepat seoerang perwira
memberikan kuda tunggangannya dan membantu Siau Hong naik kuda itu. A Ci juga
mendapatkan seekor kuda dan mengikuti dari belakang.
Begitulah secara beramai-ramai
Siau Hong digiring kembali ke istana. Walaupun berhasil menangkap Siau Hong dan
hal ini merupakan jasa besar bagi mereka, tapi para perwira dan prajurit Cidan
tiada seorang pun yang mengunjuk rasa senang.
Sesudah menyusur jalan kota,
membelok ke sana dan di sini kemudian mereka sampai di Poh-be-kio (Jembatan
kuda putih). Siau Hong larikan kudanya melintasi jembatan itu dengan disusul
oleh A Ci. Tapi ketika kudanya sampai di atas jembatan, sekonyong-konyong A Ci
berdiri, ”Byuuur”, ia terjun ke sungai dan menghilang.
Mula-mula Siau Hong kaget oleh
kejadian itu, tapi segera ia merasa girang. Sebab teringat olehnya pertemuannya
yang pertama dengan nona nakal itu takkala itu A Ci pura-pura mati kelelap di
dalam danau. Dalam hal berenang dan menyelam dalam air nona itu sangat mahir,
bahkan ayah-bundanya juga kena dikelabuhinya. Sekarang kalau anak dara itu
melarikan diri melalui air, hal ini teramatlah bagus hanya saja Siau Hong
merasa gegetun pula, sebab untuk selanjutnya mungkin tidak dapat berjumpa lagi
dengan anak dara itu.
Tapi ia sengaja berseru,
"O, A Ci, mengapa engkau bunuh diri, Hongsiang tentu takkan menyalakanmu,
buat apa engkau terjun ke dalam sungai?”
Mendengar ucapan Siau Hong
itu, pula melihat A Ci benar-benar karam di dalam sungai dan tidak muncul pula,
para perwira Cidan mengira anak dara itu memang sengaja bunuh diri. Apalagi
Yalu Hung-ki hanya memberi perintah menangkap Siau Hong dan tidak termasuk A
Ci, maka sekarang apakah anak dara itu akan bunuh diri atau akan lari tak perlu
mereka pikirkan, mereka tetap melanjutkan perjalanan ke depan.
Sampai di istana Lam-ih
Tai-ong, Hung-ki ternyata tidak mau menemui Siau Hong, ia memberi perintah agar
komandan pasukan pengawal menahan tawanannya itu.
Mengingat Siau Hong memiliki
tenaga sakti dengan ilmu silat maha tinggi, kamar penjara biasa akan sukar
mengurung dia. Maka komandan bayangkari itu mendapat akal, ia suruh bawahannya
memborgol kaki dan tangan Siau Hong dengan rantai besi, lalu dimasukkan ke
sebuah kandang beruji besi.
Kandang beruji besi ini adalah
kandang singa yang dahulu pernah dibuat permainan oleh A Ci itu.
Diluar kandang besi itu
berjaga beratus prajurit, semuanya bertombak dan berbaris secara berlapis-lapis
mengepung di sekitar kurungan. Asal Siau Hong sedikit sembarangan bergerak,
serentak tombak para prajurit itu akan menusuk ke dalam kandang sehingga Siau
Hong tak sempat memutuskan borgolnya dan membobol kandang dalam saat sesingkat
itu.
Malahan di luar istana penuh
pula pasukan pengawal pribadi Hung-ki yang mengadakan penjagaan secara keras
sekali. Sebaliknya perwira-perwira yang semula bertugas dalam kota Lam-khia itu
sekarang dipindahkan ke luar kota, rupanya Hung-ki kuatirkan perwira-perwira
itu tetap setia kepada Siau Hong fan mungkin akan berusaha menolong bekas
atasan mereka.
Di dalam kurungan itu Siau
Hong sendiri tidak sempat memikirkan urusan lain karena dia sedang mengertak
gigi menahan derita siksaan badan yang kesakitan. Sesudah 12 jam kemudian,
sampai malam hari kedua, rasa sakit itu baru berkurang. Bekerjanya racun mulai
hilang. Tenaga Siau Hong pelahan juga mulai pulih.
Tapi dalam keadaan terkurung
apa yang bisa diperbuatnya? Terpaksa Siau hong lapangkan hati, ia tidak mau
berpikir susah-susah, selama hidupnya banyak kejadian berbahaya pernah
dialaminya, ia tidak tahu apakah riwayatnya akan tamat begini saja di dalam
kandang besi itu?
Untunglah para prajurit yang
menjaganya itu masih hormat dan segan padanya, walaupun penjagaan sangat kuat
dan tidak pernah lengah, tapi pelayanan makan-minum tidak pernah berkurang
seperti biasa. Siau Hong juga tidak ambil pusing, ia makan-minum sepuas-puasnya
sehingga guci arak dalam beberapa hari saja sudah bertumpuk-tumpuk setinggi
manusia.
Hung-ki sendiri tetap tidak
pernah datang menjenguk, tapi dia mengirim beberapa orang belakang, omong untuk
membujuknya, katanya Hongsiang adalah orang yang baik budi, mengingat
persaudaraan masa lalu, maka tidak tega menggunakan kekerasan untuk menyiksanya
asal saja Siau Hong mau mengaku salah dan minta ampun, semua urusan akan segera
beres.
Tapi Siau Hong adalah seorang
lelaki sejati, masa dia mau tunduk dan minta mapun? Terhadap para pembujuk itu
bahkan ia tidak sudi mengubrisnya, ia hanya minum arak sendiri sepuas-puasnya.
Dengan begitu telah
berlangsung hampir sebulan lamanya. Para pembujuk itu juga tidak bosan-bosan,
setiap hari mereka datang dan putar lidh tak berhenti-henti, mereka mengulangi
lagi macam-macam bujukan dengan logika-logika yang sudah basi. Walaupun mereka
tahu bujukan mereka itu tidak mempan mengubah pikiran Siau Hong, tapi mereka
masih terus cerewet tanpa kenal lelah.
Lama-lama Siau Hong sendiri
curiga. Pikirnya, "Hongsiang bukan orang bodoh, masakah dia sengaja
mengirim pembujuk-pembujuk demikian tanpa membawa hasil apa-apa? Ah, di balik
urusan ini tentu ada sesuatu yang tak beres!”
Begitulah ia coba merenungkan
apa sebabnya. Mendadak teringat olehnya, "Ya, tentu Hongsiang telah
mengirim panglima lain dan mengerahkan pasukannya menyerbu keselatan secara
besar-besaran, sebaliknya dia sengaja mengelabui aku dengan mengirim
orang-orang yang tak berguna ini untuk membujuk segala. Padahal sudah terang
aku tidak dapat melawan mereka, setiap saat dia dapat membunuh aku, kenapa
mesti susah-susah membujuk tanpa hasil?”
Sesudah Siau Hong berpikir
lagi, akhirnya ia pun paham, "Ya, karena Hongsiang selalu menganggap
dirinya sebagai seorang Enghiong (pahlawan, ksatria), maka dia ingin aku
menyerah padanya lahir batin. Sekarang dia memimpin pasukan sendiri menyerbu ke
selatan, kalau berhasil menduduki wilayah Song, kemudian dia akan datang padaku
dan pamerkan hasilnya itu. Rupanya dia tahu wataku sangat keras, dia kuatir
dalam gusarku mungkin akan mogok makan dan bunuh diri, maka dia sengaja
mengirim manusia-manisia tak berguna ini untuk mengobrol tak karuan padaku.”
Tapi dia terkurung dalam
kandang besi dan susah meloloskan diri, terpaksa ia kesampingkan segala urusan.
Biarpun dia tidak mau menerima perintah Yalu Hung-ki untuk menyerang kerajaan
Song, tapi sekarang Hungki sudah melakukan tindakannya itu, urusan tak bisa
ditarik kembali lagi terang tidak sedikit akan jatuh korban yang tak berdosa
maka selain menghela napas panjangdan minum arak sepuas-puasnya, ia tidak mau
banyak berpikir lagi.
Ketika didengarnya keempat
pembujuk itu masih mengoceh tak habis-habis, sekonyong-konyong Siau Hong
bertanya, "Pasukan Cidan kita tentunya sudah menyebrangi Hoang-ho (Sungai
Kuning) secara besar-besaran bukan?”
Para pembujuk itu tercengang
san saling pandang dengan bingung mereka tidak tahu cara bagaimana harus
menjawab. Akhirnya salah seorang pembujuk itu berkata, "Ucapan
Siau-taikong juga ada benarnya, pasukan kita dalam waktu singkat ini segera
akan dikerahkan meski belum menyeberangi Hoang-ho, rasanya kejadian itu akan
berlangsung dalam waktu singkat saja.”
"O, kiranya pasukan kita
belum lagi dikerahkan dan entah bilakah akan tiba hari yang baik itu?” tanya
Siau Hong.
Keempat pembujuk itu saling
mengedipkan mata, mereka anggap rahasia yang maha penting itu tidak boleh
diberitahukan kepada Siau Hong. Maka yang seorang hanya menjawab, "Ah,
kami hanya pejabat rendahan saja, dari mana bisa mengetahui rahasia militer
yang penting itu?”
Dan yang lain berkata,
"Asal pikiran Siau-taikong sudah berubah, tentu Hongsiang sendiri akan
mengajak Taiong untuk berunding tentang urusan militer dan kenegaraan yang maha
penting itu.”
Siau Hong hanya mendengus saja
dan tidak bertanya pula. Pikirnya, "Jika serangan Hongsiang berhasil
dengan lancar dan dapat menduduki wilayah Song, tentu beliau akan mengiring aku
ke Pangliang untuk menemui dia. Tapi kalau usahanya gagal dan pulang dengan
tangan hampa, dia tentu malu untuk menemui aku, dan langkah pertama yang akan
dia ambil adalah membunuh diriku. Ai, sebenarnya kuharapkan dia berhasil
menjajah Song atau mengharapkan dia gagal dan kalah saja? Wahai Siau Hong!
Mungkin sulit juga bagimu untuk menjawab pertanyaan ini?”
Besoknya waktu petang, kembali
keempat pembujuk itu datang. Para prajurit yang bertugas menjaga Siau Hong juga
sudah bosen mendengarkan ocehan pembujuk yang tiada kata-kata baru selalu
itu-itu saja. Maka ketika melihat kedatangan pembujuk-pembujuk itu, dengan
kening berkernyit prajurit-prajurit itu lantas berdiri menjauh.
Pembujuk pertama berdehem
dulu, lalu membuka suara, "Siau-taiong, ada firman dari Hongsiang, harap
engkau menerimanya. Kalau
engkau menolak titahnya ini, engkau sendirilah yang berdosa dan harus menerima
ganjarannya.”
Kata-kata seperti itu
sebenarnya entah sudah beratus kali didengar oleh Siau Hong dan muak baginya.
Akan tetapi sekali ini agak luar biasa, ia mendengar suara pembujuk ini rada
aneh, yaitu suara serak seperti orang sakit bengek. Maka tanpa terasa Siau Hong
memandang sekejap kepadanya. Dan sekali memandang, seketika Siau Hong terheran-heran.
Ia lihat pembujuk itu sedang
berkedip-kedip dan memicingkan mata dengan macam-macam air muka yang aneh.
Ketika diperhatikan, Siau Hong merasa muka orang ini tidak sama dengan pembujuk
yang pernah dilihatnya. Waktu diperhatikan lebih jauh, Siau Hong menjadi kaget
dan bergirang pula.
Ternyata kumis dan jenggot
pembujuk yang jarang-jarang ini semuanya tempelan belaka mukanya terpoles tinta
bak yang kehitam-hitaman sehingga sangat jelek tampaknya. Tapi matanya jeli dan
mulutnya kecil, air muka yang cantik itu tertampak jelas dibalik kumis dan
jenggot palsu yang jarang-jarng itu, siapa lagi dia kalau bukan A Ci.
Terdengar anak dara itu lagi
berkata sambil menahan suara yang dibikin-bikin, "ini, apa yang dititahkan
Hongsiang ini selamanya tentu benar, asal kamu melakukan apa yang dikehendaki
Hongsiang tentu akan besar faedahnya bagimu. Nah, ini adalah firman tertulis
dari maha raja Liau kita, hendaknya kau baca dan mempelajarinya dengan
baik-baik.”
Habis berkata lantas
dikeluarkan sehelai kertas dan dibentang ke depan Siau Hong.
Sementara itu hari sudah mulai
gelap, beberapa prajurit penjaga lagi sibuk menyalakan pelita di sekitar
ruangan pendopo.
Berkat cahaya lampu itu Siau
Hong dapat melihat tulisan dia atas kertas yang dibentangkan itu, ternyata
tulisan dalam beberapa huruf kecil itu berbunyi, "Bala bantuan sudah tiba,
malam ini juga lepas dari bahaya.”
Siau Hong mendengus tanpa
bicara, hanya kepalanya mengeleng pelahan.
Tentu A Ci lantas berkata
dengan nada yang dibuat-buat, "Pasukan kita yang dikerahkan kali ini tidak
sedikit jumlahnya. Prajurit kita tangkas dan perbekalan cukup, sudah tentu kita
akan menang di mana pun pasukan kita tiba, maka jangan engkau kuatir.”
"Tidak, justru karena aku
tidak ingin banyak korban, maka aku dikurung di sini oleh Hongsiang,” kata Siau
Hong.
"Untuk menangkan perang,
yang diperlukan adalah perhitungan yang tepat dan siasat yang lihai, mana boleh
berpikir tentang korban yang akan jatuh?” ujar A Ci.
Siau Hong coba melirik ketiga
orang pembujuk yang lain, terlihat diantaranya ada yang sedang goyang-goyang
kipas yang mereka bawa, ada yang kebas-kebas lengan baju secara
sembunyi-sembunyi seolah kuatir muka asli mereka dikenali orang, terang mereka
inilah bala bantuan yang dibawa oleh A Ci.
Dengan menghela napas kemudian
Siau Hong berkata, "YA, aku sangat berterima kasih kepada maksud baikmu,
tetapi hendaklah maklum bahwa penjagaan musuh sangat rapat dan keras, untuk
merebut wilayah kedudukan mereka tidaklah mudah .... "
Belum selesai ucapanya,
tiba-tiba terdengar beberapa prajurit penjaga tadi sedang menjerit kaget,
"He, ada ular! Ada ular berbisa! Dari mana datangnya ular-ular berbisa
sebanyak ini!”
Waktu Siau Hong menoleh, benar
juga dilihatnya di ambang pintu, dari celah-celah jendela dan lantai ruangan
sudah penuh dibanjiri ular berbisa.
Binatang melata itu menyusur
kian kemari dengan kepala mendongak dan lidah mendesis, suasana menjadi kacau
balau dan kawanan prajurit berlari kain kemari untuk menghindar.
Hati Siau Hong tergetar,
”Melihat gelagatnya, agaknya kawanan ular ini sengaja dilepaskan oleh saudaraku
dari anggota Kai-pang!”
Dalam pada itu para prajurit
tadi sedang menggunakan senjata mereka untuk membunuh dan mengusir kawanan
ular. Malahan komandan piket yang menjaga Siau Hong lantas memberi perintah,
”Para prajurit yang menjaga Siau-taiong tidak boleh sembarangan menyingkir
pergi yang membangkang akan dihukum mati!”
Rupanya komandan piket itu
cukup cerdik, ia lihat datangnya kawanan ular itu agak aneh dan luar biasa, ia
kuatir kalau kawanan prajuritpenjaga itu bingung menghadapi kawanan ular dan
kesempatan itu akan digunakan oleh Siau Hong untuk meloloskan diri.
Karena perintah itu, terpaksa
para prajurit yang menjaga disekitar kurungan tidak berani sembarangan
bergerak, mereka tetap
mengarahkan ujung tombak mereka kepada Siau Hong yang mengeram di dalam
kurungan itu. Namun tidak urung mereka menjadi kebat-kebit juga, sambil
mengancam Siau Hong pandangan mereka pun berulang-ulang diarahkan kepada
kawanan ular, kala ada ular yang mendekat lantas mereka bunuh.
Selagi suasana menjadi kacam,
sekonyong-konyong terdengar suara riuh ramai di belakang istana, ”Api! Ada api!
Kebakaran! Kebakaran! Tolong! Ada kebakaran! Tolong!
Segera komandan piket tadi
berseru, ”Kahur, lekas memberi lapor kepada komandan, tanyakan apakah
Siautaiong harus dipindahkan atau tidak?”
Yang bernama Kahur itu seorang
Pek-hu-tiang (Kepala seratus orang, pangkat setingkat kapten), ia mengiakan dan
membalik tubuh. Baru saja dia hendak berlari pergi untuk memunaikan tugasnya,
tiba-tiba seorang membentaknya di depan pintu ruangan, ”Tetap ditempatmu
masing-masing, jangan terkena tipu pancingan musuh, awas kalau ada orang
menyerbu ke sini segera Siau Hong dibunuh dahulu!”
Ternyata yang bicara adalah komandan
pasukan pengawal yang hendak diminta petunjuk itu sudah datang sendiri. Dia
bersenjata golok panjang dan dengan gagah berdiri di depan pintu.
Sekonyong-konyong sesuatu
bayangan berkelebat, seekor ular kecil berwarna emas melayang ke atas dan menyambar
muka komandan pasukan pengawal itu, Cepat perwira itu menyampuk dengan
senjatanya, namun lebih dulu sudah terdengar suara mendesingnya senjata
rahasia, seketika ruangan menjadi gelap gulita. Rupanya ada orang menyambitkan
senjata rahasia untuk memadamkan pelita.
Maka terdengarlah komandan
pasukan pengawal itu menjerit ngeri sekali, dia dipagut oleh ular berwarna emas
tadi dan roboh terguling.
Kiranya satu di antara keempat
orang pembujuk palsu tadi adalah Ciong Ling yang menyamar. Dia telah melepaskan
Kim-leng-cu dan berhasil membinasakan perwira musuh.
Tanpa ayal lagi A Ci lantas
mengeluarkan golok mustika, cepat ia memotong putus rantai besi yang menyambung
borgol Siau Hong.
Selagi Siau Hong merasa ragu
apakah dirinya dapat keluar dari kurungan terali besi yang kuat itu, mendadak
tanah ditengah kurungan besi itu terasa blong, tubuhnya terasa anjlok ke bawah.
Ia dengar A Ci sedang berkata
di luar kurungan dengan suara setengah tertahan, ”Lekas lari melalui jalan di
bawah tanah!”
Dan belum lagi kaki Siau Hong
menyentuh tanah, tiba-tiba terasa kedua kakinya dicengkram tangan orang terus
ditarik lagi ke bawah. Ketika dapat berdiri tegak di bawah tanah, dilihatnya
orang yang menariknya itu adalah Hoa Hek-kin, itu jagi tukang gangsir dari
Tayli, Ternyata Hoa Hek-kin telah giat bekerja selama belasan hari sehingga
berhasil menggangsir dan membuat sebuah lorong di bawah tanah yang menembus
tepat di bawah kurungan besi Siau Hong.
Segera Hek-kin menarik Siau
Hong dan merangkak mundur untuk keluar dari lubang gangsir itu. Betapa cepatnya
cara Hoa Hek-kin merangkak ternyata tidak kalah daripada orang berjalan ditanah
datar. Hanya sekejap saja puluhan meter lubang gangsir itu telah dilaluinya,
lalu ia memegang Siau Hong untuk bediri dan menerobos keluar dari Liang itu.
Ternyata di mulut liang sudah
menunggu tiga orang. Mereka adalah Toan Ki, Hoan Hwa dan Pah Thian-sik. Begitu
melihat Siau Hong tertolong keluar dengan selamat segera Toan Ki menyapa sambil
menubruk maju untuk merangkul sang Toako.
Siau Hong tepuk-tepuk punggung
Toan Ki, lalu katanya dengan tertawa, ”Hari ini baru kusaksikan ilmu sakti
Hoa-suto, sungguh kagum sekali dan terima kasih.”
”Sungguh hamba teramat bangga
atas pujian Siau-taiong ini, ” Sahut Hoa Hek-kin dengan rendah hati.
Tempat mereka berada itu tidak
terlalu jauh dari istana Lam-ih Tai-ong, maka terdengarlah di mana-mana penuh
suara teriakan prajurit Liau yang riuh rendah. Terdengar pula orang meniup
terompet dan lewat dibelakang rumah sana disertai suara teriakan, ”Awas! Musuh
telah menyerang pintu gerbang timur, pasukan pengawal raja harus tetap berada
di tempat tugasnya dan tidak boleh sembarangan bergerak!”
”Siau-taiong, marilah kita
terjang keluar melalui pintu gerbang sebelah barat,” ajak Hoan Hwa yang
merupakan ahli siasat kerajaan Tayli.
Belum lagi Siau Hong menjawab,
tiba-tiba dari lubang gangsir di bawah tanah itu terdengar suara seruan A Ci
yang penuh rasa syukur dan girang, ”Cihu, tunggu dulu padaku!”
Menyusul anak dara itu lantas
melompat keluar dari mulut liang seperti kelinci gesitnya. Janggut anak dara
itu masih penuh jenggot palsu, mukanya penuh debu tanah dan kotor. Namun bagi
penglihatan Siau Hong, sejak dia kenal A Ci, hanya saat inilah anak dara itu
paling cantik tampaknya.
Segera A Ci meloloskan pula
goloknya hendak memotong borgol Siau Hong, tapi borgol itu menempel tepat di
tangan Siau Hong, bila sedikit kurang tepat tentu akan melukainya. Maka ia
menjadi ragu, akhirnya ia serahkan senjatanya kepada Toan Ki dan meminta,
”Koko, harap engkau yang memotongnya!”
Toan ki lantas angkat golok
itu, di mana tenaga dalamnya disalurkan dengan mudah saja borgol besi itu dapat
dipapasnya bagai memotong kayu mudahnya.
Dalam pada itu dari lubang
gangsir itu menerobos keluar pula tiga orang. Yang pertama adalah Ciong Ling,
lalu Bok Wan-jing dan orang ketiga adalah seorang anggota Kai-pang berkantung
delapan.
Anggota Kai-pang ini adalah
ahli ular, kawanan ular yang membanjiri ruang tadi adalah hasil kerjanya yang
sukses. Demi melihat Siau Hong dapat diselamatkan tanpa alangan suatu apa pun,
dengan air mata berlinanglinang anggota Kai-pang berkantung delapan itu lantas
menyapa, ”Pangcu, selama ini engkau .... ”
Sampai di sini ia tak sanggup
meneruskan lagi saking terharunya.
Sudah lama sekali Siau Hong
tidak pernah mendengar orang menyebutnya ”Pangcu”, mau-tak-mau ia menjadi
terharu juga demi nampak sikap anggota Kai-pang yang sedemikian setia padanya
itu. Sahutnya dengan suara parau, ”Sungguh aku sangat berterima kasih atas
bantuanmu.”
Sungguh bangga dan terharu
pula anggota Kai-pang berkantung delapan itu atas pujian Siau Hong, tak
tertahankan lagi air matanya lantas bercucuran bagai hujan.
”Kawan-kawan kita sudah mulai
bergerak di pintu gerbang timur, marilah kita cepat kabur saja mumpung suasana
sedang kacau!” demikian ajak Hoan Hwa, ”Dan yang paling baik Siau-taiong jangan
perlihatkan dirimu agar tidak dikenali oleh pihak musuh.”
Siau Hong mengiakan atas saran
itu. Segera mereka menerjang keluar melalui pintu depan. Waktu Siau Hong
menoleh, kiranya rumah tempat mereka keluar itu adalah sebuah rumah yang sudah
rusak tak terawat dan tidak menarik bila dipandang dari luar.
Karena A Ci sedikit banyak
telah menguasai bahas Cidan, maka dia lantas berteriak-teriak, ”Kebakaran!
Kebakaran! Lekas tolong kebakaran!”
Dengan menirukan apa yang
dikatakan A Ci itu segera Hoan Hwa dan Hoa Hek-kin juga ikut-ikut berteriak.
Pah Thian-sik memiliki ginkang
yang paling tinggi, bila di sekitarnya tiada prajurit Liau, segera ia
menyalakan api sehingga dalam sekejap saja ada belasan tempat berjangkit
kebakaran lagi.
Begitulah mereka bersembilan
terus ke pintu gerbang barat. Toan Ki dan lain-lain menyaru sebagai orang
Cidan, apa lagi suasana dalam kota telah kacau-balau sehingga rombongan mereka
tidak menimbulkan perhatian orang lain. Terkadang bila ada pasukan berkuda
Cidan menerjang lewat, segera mereka menyingkir ke tepi jalan yang sepi dan
gelap untuk menghindar.
Sekaligus mereka telah
melintasi belasan jalan kota, terdengar suara terompet berbunyi di sebelah
utara diseling dengan jerit orang ramai, ”Wah, celaka! Pasukan musuh telah
membobol pintu gerbang utara. Hongsiang telah ditawan musuh! Hongsiang telah
ditawan musuh!”
Karuan Siau Hong terkejut, ia
berhenti dan berkata, ”Apakah betul raja Liau tertawan? Samte raja Liau itu
adalah saudara-angkatku, biarpun dia tidak setia padaku juga tidak boleh
kulupakan budinya, maka .... maka jangan mencelakai dia .... ”
”Cihu jangan kuatir,” kata A
Ci dengan tertawa. ”Berita tertawannya raja Liau itu adalah siasat kita yang
sengaja disebar-luaskan oleh para Tongcu Leng-ciu-kiong untuk membingungkan
pihak musuh. Padahal di dalam kota Lamkhia ini terdapat pasukan penjaga yang
kuat, raja mereka pun dikelilingi oleh puluhan ribu prajurit, masakah begitu
gampangnya untuk menangkapnya?”
”O, jadi para pengikut Jiko
pun datang juga?” Siau Hong menegas dengan girang dan kejut.
”Tidak Cuma pengikut si hwesio
cilik saja yang datang, bahkan hwesio cilik itu pun sudah tiba, malahan bininya
juga dibawa kemari sekalian.” kata A Ci.
”Hwesio cilik apa dan bininya
siapa?” tanya Siau Hong dengan bingung.
”Masakah Cihu sudah lupa?”
sahut A Ci dengan tertawa. ”Hwesio cilik adalah si Hi-tiok-cu, bininya bukan
lain adalah putri kerajaan Se He yang dimenangkannya dalam sayembara tempo
hari. Hanya saja putri itu selalu menutupi mukanya dengan kerudung sehingga
selain hwesio cilik, orang lain tiada satupun yang boleh melihatnya. Ketika
kutanya si hwesio cilik ’bagaimana macam binimu itu, dia cantik atau tidk?’
Namun si hwesio cilik hanya tersenyum-senyum saja dan tidak mau menjawab.”
Walaupun sedang melarikan
diri, tapi tiba-tiba mendengar hal-hal yang menarik itu, mau-tak-mau Siau Hong
merasa bersyukur juga bagi Hi-tiok yang berhasil memperistrikan putri Se He
itu, tanpa merasa ia memandang sekejap ke arah Toan ki.
Seperti diketahui, ketika
beramai-ramai mereka pergi ke Se He untuk mengikuti sayembara, sebelum hasil
sayembara itu diumumkan Siau Hong sudah meninggalkan negeri itu lebih dulu.
Rupanya Toan Ki tahu perasaan
sang Toako dengan tertawa ia berkata, ”Toako tidak perlu sangsi, sebab Siaute
sama sekali tidak sirik atas kejadian itu. Jiko juga tidak terhitung
mengingkari janji. Urusan ini memang agak panjang untuk di ceritakan, biarlah
nanti akan ku jelaskan dengan pelahan.”
Tengah bicara, kembali mereka
telah berlari suatu jarak yang cukup jauh, tertampak sebuah panggung besar
lapangan depan sana juga sedang terbakar, api menjilat-jilat dengan hebatnya.
Dua helai bendera besar yang terpancang di tiang bendera di depan panggung itu
pun sudah terjilat api.
Siau Hong tahu lapangan itu
adalah alun-alun terbesar di kota Lamkhia, biasanya digunakan untuk latihan
berbaris prajurit Liau. Tapi entah sejak kapan didirikan panggung besar itu,
ternyata ia sendiri tidak pernah mengetahuinya.
”Sri baginda, setelah podium
kebesaran dan bendera kerajaan Liau terbakar, ini merupakan alamat jelek bagi
gerakan militer Liau, mungkin rencana menyerang kerajaan Song terpaksa harus
dipikirkan lagi oleh Yalu Hung-ki,” demikian kata Pah Thian-sik dengan tertawa.
Mendengar Thian-sik memanggil
”Sri Baginda” dan tertampak Toan Ki manggut-manggut, keruan Siau Hong
terheran-heran. Segera ia tanya, ”Samte, apakah engkau ... sudah menjadi raja?”
Dengan muram Toan Ki menjawab,
”Ya, secara mendadak ayah meninggal dunia dalam perjalanan pulang, paman
baginda telah meninggalkan tahta pula dan menjadi padri di kuil Thian-liong-si,
maka siaute disuruh menggantikan tahtanya. Padahal Siaute sama sekali tidak
punya kepandaian apa-apa, sungguh memalukan untuk memangku jabatan setinggi
ini.”
”Ai, samte!” seru Siau Hong
terkejut. ”Engkau sekarang adalah kepala negara Tayli, mana boleh engkau
sembarangan menghadapi bahaya bagi kepentinganku? Apabila terjadi sesuatu
alangan, cara bagaimana aku akan bertanggung jawab terhadap rakyat dan negeri
Tayli kalian?”
Toan Ki tertawa, katanya,
”Tayli adalah sebuah negeri kecil yang jauh terpencil di daerah selatan,
sebutan ’raja’
Cuma nama kosong belaka,
dipandang juga Siaute tidak memper seorang raja, sungguh hanya membikin malu saja.
Adapun hubungan kita melebihi saudara kandung juka Toako ada kesukaran, masakah
Siaute hanya tinggal diam tanpa ikut campur?”
”Apalagi Siau-taiong telah
berusaha mencegah raja Liau memerangi kerajaan Song, untuk ini kami rakyat
seluruh negeri Tayli ikut merasa berterima kasih padamu” demikian Thian-sik
ikut bicara. ”Hendaklah maklum, bila raja Liau berhasil menunjukkan Song, maka
langkah selanjutnya tentu akan mencamplok negeri Tayli pula. Padahal negeri
kami kecil dan lemah, mana dapat melawan pasukan Liau yang tangkas dan kuat?
Maka kalau Siau-taiong telah menyelamatkan kerajaan Song berarti pula menolong
negri Tayli kami. Bila sekarang orang Tayli mencurahkan segenap tenaganya untuk
mengabdi kepada Siau-taiong juga sudah sepantasnya.”
”Aku hanya seorang yang paham
ilmu silat saja soalnya aku tidak tega membiarkan kedua negeri berperang dan
menimbulkan korban yang tak berdosa, mana kuberani anggap berjasa hanya karena
sedikit usahaku itu?” sahut Siau Hong.
Sedang bicara, tiba-tiba
bagian selatan sana api berkilat-kilat menjulang tinggi, penduduk dalam
berkelompok berbondong-bondong menyelamatkan diri bercampur di antara pasukan
Liau yang coba menenangkan suasana.
Terdengar teriakan orang,
”Para paderi Siau-lim-si dari selatan bersama orang-orang gagah yang tidak
sedikit jumlahnya telah membobol pintu gerbang selatan!”
Lalu ada pula yang berteriak,
”Lam-ih Tai-ong Siau Hong telah memberontak dan menyerah kepada kerajaan Song,
raja Liau sudah dibunuh olehnya!”
Malahan ada beberapa orang
Cidan menanggapi dengan menggertak gigi, ”Siau Hong telah mengkhianati bangsa
dan menyerah kepada musuh, sungguh aku ingin mengigit dagingnya dan
mengunyahnya mentahmentah.”
”Apa benar Sri Baginda telah
dibunuh oleh bangsat maha durjana Siau Hong?” demikian tanya seorang kawannya
dengan cemas.
”Mengapa tidak benar?” sahut
seorang Cidan yang lain. ”Dengan mataku sendiri kusaksikan Siau Hong menerjang
ke depan Sri Baginda dan dengan tombaknya ia menusuk dada Sri Baginda sehingga
tembus.”
”Bangsat keparat Siau Hong itu
mengapa sedemikian kejamnya? Sesungguhnya dia itu orang Cidan atau bangsa Han?”
kata seorang tua dengan sengit.
”Konon dia orang Song yang
sengaja menyaru sebagai orang Cidan, bangsat itu benar-benar sangat licin dan
kejam melebihi binatang!” sahut pula kawannya tadi.
Mendadak orang-orang itu
seraya lari sabil mencaci maki dan mengutuki Siau Hong, karuan A Ci menjadi
gusar, ia angkat cambuknya terus menyabet ke arah orang Cidan yang lewat di
sisinya.
Namun Siau Hong keburu
mencegahnya, sambil menggoyangkan kepalanya ia berkata dengan suara tertahan,
”Biar mereka bicara sesukanya, jangan digubris!”
Lalu ia pun bertanya, ”Apakah
benar-benar para padri sakti Siau-lim-si juga ikut datang?”
”Harap Pangcu maklum, ketika
nona Toan (A Ci) keluar dari kota Lamkhia, di luar kota dia bertemu drngan
Go-tianglo dari Kai-pang kita dan membicarakan tentang pengorbanan Pangcu, demi
untuk menolong jiwa rakyat dan negeri Song kita katanya Pangcu telah berusaha
mencegah rencana raja Liau yang akan menyerbu negeri Song sehingga menimbulkan
amarah raja Liau dan engkau ditawan. Atas cerita itu Go-tianglo tak
mempercayainya karena pangcu diketahui sebagai orang Cidan, masakah mungkin pikiranmu
condong kepada negeri Song kita? Maka diam-diam beliau menyusup ke kota Lamkhia
untuk menyelidiki sendiri persoalan Pangcu ini dan akhirnya dapat diketahui
dengan pasti bahwa apa yang diceritakan nona Toan ternyata besar adanya. Segera
Go-tianglo menyebar perintah ’Jing-tiok-leng’ (titah bambu hijau) dan
memberitahukan kepada para ksatria Tionggoan tentang kebaikan budi dan jiwa
ksatria Pangcu, karena terharu dan berterima kasih atas keluhuran budi pangcu
itu, maka dengan dibawah pimpinan para padri Siau-lim-si itu, para ksatria
Tianggoan berbondong-bondong sama datang ke utara sini untuk menolong Pangcu.”
Siau Hong menjadi teringat
kepada peristiwa di Cip-hian-cong tempo dulu, disana dia bertarung dan
dikerubuti oleh para ksatria Tianggoan sehingga tidak sedikit jago silat
dibunuh olehnya. Tapi hari ini para kesatria itu justru datang menolongnya,
sungguh hatinya menjadi berduka dan berterima kasih pula.
”Ya, begitulah, maka dengan
cepat berita tentang Cihu itu telah disebarkan oleh para pengemis Kai-pang
sehingga dalam waktu singkat diketahui oleh para ksatria di mana-mana. Ai,
celaka! Wah sayang, sungguh sayang!” demikian tiba-tiba A Ci berseru gegetun.
”Ada apa?” tanya Toan Ki
kaget.
”Wah, Pek-giok-giok-ting
(Wajan kumala hijau) yang kugunakan untuk memancing kedatangan kawanan ular
yang kutaruh diruangan pendopo sana, dalam keadaan terburu-buru kulupa
mengambilnya kembali,” tutur A Ci.
”Sudahlah, benda yang tak
berarti itu buat apa mesti dipikirkan dan dibawa ke mana pun kau pergi?” ujar
Toan Ki dengan tertawa.
”Hm, kau anggap wajan itu
benda tak berarti? Kalau tiada benda mustika itu, tentu kawanan ular itu takkan
membanjiri ruangan itu sedemikian cepatnya dan Cihu tentu juga susah meloloskan
diri secara begini mudah.” demikian bantah A Ci.
Tengah bicara, tiba-tiba
terdengar suara riuh ramainya orang bertempur. Dibawah cahaya api kelihatan
prajuritprajurit Laiu dalam jumlah besar sedang saling gasak sendiri.
”Aneh, mengapa mereka
bertempur sendiri .... ” ujar Siau Hong dengan heran.
”Toako mereka yang pakai kain
putih di lengan itu adalah kawan sendiri.” kata Toan Ki.
Segera A Ci mengeluarkan
sepotong kain putih dan diserahkan kepada Siau Hong, katanya, ”Ikatlah di
lehermu, Cihu!”
Sekilas pandang Siau Hong
merasa bingung juga untuk membedakan yang mana prajurit kawan atau lawan, ia
merasa bingung pihak mana yang harus dibunuhnya. Dan di tengah suasana yang
gaduh itu terkadang terjadi prajurit Liau yang sebenarnya saling membunuh.
Sebaliknya prajurit Liau palsu yang pakai tanda kain putih dileher itu dapat
mengayunkan senjata mereka dengan jitu pada badan prajurit dan perwira Liau
yang tulen sehingga orang-orang Liau satu persatu bergelimpangan binasa.
Sambil memegangi kain putih
yang diterimanya dari A Ci, tangan Siau Hong menjadi gemetar, hatinya seakan
sedang menjerit, ”Aku adalah orang Liau, aku bukan orang Han! Aku orang Liau
dan bukan orang Han! Betapa pun kain putih ini tak dapat kupakai di leherku!”
Dan pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara mencicit pintu gerbang barat yang antap itu didorong terpentang
oleh orang. Berbondong-bondong Toan Ki dan Hoan Hwe lantas menerjang keluar
dengan mengepit di samping Siau Hong.
Di bawah cahaya api yang
terang benderang itu tertampak jelas anggota Kai-pang dalam jumlah besar sudah
menunggu di luar kota dengan membawa kuda. Ketika melihat Siau Hong, serentak
mereka bersorak sorai, ”Kiau-pancu! Kiau-Pancu!”
Di tengah malam gelap gulita
tertampak dua barisan obor menyingkir minggir, lalu seorang penunggang kuda
tampak maju ke depan. Penunggang kuda ini adalah seorang pengemis tua, dengan
kedua tangan terangkat ke atas ia memegang Pak-kau-pang, itu pentung penggebuk
anjing yang merupakan benda tanda pengenal atau simbol Pangcu Kai-pang.
Pengemis tua itu ternyata Go-tianglo adanya.
Sesudah berada di depan Siau
Hong, cepat Go-tianglo melompat turun dari kudanya dan berlutut, katanya,
”Go-liang-kung atas nama para anggota Kai-pang dengan ini kepada Pangcu yang
tidak bersalah, sungguh kami lebih bodoh daripada hewan, untuk itu mohon Pangcu
suka memberi ampun dan sudilah melupakan apa yang telah lalu dan kembali
menjadi Pangcu kita untuk memimpin kami yang selama ini seperti anak-anak yang
kehilangan orang tua.”
Sembari berkata ia pun
menyodorkan Pak-kau-pang ke tangan Siau Hong.
Siau Hong menjadi terharu
menghadapi kawan-kawan seperjuangan masa lalu ini, katanya, ”Go-tianglo, Caihe
memang benar-benar orang Cidan. Sungguh aku merasa terima kasih tak terhingga
atas budi kebaikan kalian. Tentang kedudukan Pangcu sekali-kali aku tak dapat
menjabatnya.”
Berbareng ia pun membangunkan
Go-tianglo.
Go-tianglo adalah seorang yang
berhati lurus, ia menjadi bingung atas sikap Siau-Hong itu, katanya sambil
garuk-garuk kepala, ”Engkau ... engkau mengaku sebagai orang Cidan pula dan tak
... tak mau menjadi Pangcu? Ah, Kiau-pangcu, sudahlah jangan marah lagi kepada
perbuatan kami yang ngawur dahulu itu dan terimalah kembali jabatanmu!”
Dalam pada itu terdengar suara
tambur perang dalam kota mendadak berbunyi menggelegar, terang ada pasukan
besar Liau segera akan menerjang keluar.
Cepat Toan Ki berkata,
”Go-tianglo, marilah kita lekas berangkat, pasukan musuh terlalu kuat jika
mereka sempat menyusun kekuatan tentu kita tak dapat melawannya.”
Siau Hong juga tahu sebabnya
orang-orang Kai-pang bersama para ksatria Tionggoan dapat unggul sementara
adalah karena mereka menyerang secara mendadak sehingga berhasil, kalau
benar-benar bertempur melawan pasukan Liau sudah tentu ribuan orang-orang kangouw
itu bukan tandingan pasukan Liau yang berjumlah ratusan ribu dan terlatih
dengan baik itu. Apalagi bila terjadi pertempuran tentu akan banyak menimbulkan
korban, hal ini sangat berlawanan dengan keinginannya, maka ia lantas berkata,
”Go-tianglo, urusan Pangcu biarlah dibicarakan nanti. Yang penting sekarang
memberi perintah agar saudara kita segera mundur ke barat
sana.”
Go-tianglo mengiakan dan
segera memberi perintah. Serentak barisan belakang Kai-pang berubah menjadi
barisan depan dan cepat mengundurkan diri kejurusan barat. Tidak lama kemudian
Hi-tiok juga menysul tiba dengan membawa para prajurit wanita dan ke-39 Tongcu
dan ke-72 Tocu.
Sesudah beberapa li jauhnya,
para jago negeri Tayli di bawah pimpinan Siau Tio-sing dan Cu Tan-sin juga
menyusul datang. Tapi para ksatria Tionggoan dan para paderi Siau-lim-si tetap
tidak kelihatan. Bahkan sayupsayup terdengar suara pertempuran gegap gempita di
dalam kota Lamkhia.
Rupanya para ksatria Tionggoan
dan para padri Siau-lim-si telah dicegat musuh dalam kota, biarlah kita
menunggu dulu sementara,” ujar Siau Hong.
Tidak lama kemudian suara
pertempuran dalam kota makin lama makin keras. Toan Ki merasa tidak enak,
katanya, ”Harap Toako tunggu dulu di sini, biarlah kupergi membantu mereka.”
Habis berkata ia lantas
memimpin para jago Tayli dan memburu kembali ke kota Lamkhia.
Sementara itu subuh sudah tiba
cuaca mulai terang. Siau Hong sendiri merasa sedih dan kuatir, ia tidak tahu
para ksatria Tionggoan itu dapat meloloskan diri atau tidak.
Suara pertempuran semakin
dahsyat, para jago negeri Tayli telah menerjang kembali ke dalam pasukan musuh
tapi para ksatria Tionggoan tetap belum kelihatan lolos dari kepungan.
Tiba-tiba datang seorang kurir
anggota Kai-pang dan memberi laporan. ”Beberapa ribu prajurit Liau menjaga
rapat pintu gerbang barat, jago-jago Tayli tidak dapat menyerbu ke dalam kota,
sebaliknya para ksatria Tionggoan juga tidak dapt menerjang keluar.”
Segera Hi-tiok memberi tanda
dan berseru, ”Orang-orang Leng-ciu-kiong ikutlah padaku untuk memberi bantuan
ke sana.”
Segera ia pimpin anak buahnya
yang berjumlah ribuan orang itu dan menerjang kembali ke arah lamkhia.
Diatas kudanya Siau Hong coba
memandang ke belakang, tertampak kota Lamkhia penuh diliputi asap yang mengepul
tebal, dimana-mana terdapat gumpalan api yang menyala-nyala, sungguh sukar
dibayangkan betapa jadinya kota itu di tengah kancah kekacauan perang itu.
Sesudah ditunggu sekian lama
pula, kembali seorang kurir memberi lapor lagi. ”Toan-ongya dari Tayli dan
Hitiok siangsing dari Leng-ciu-kiong telah berhasil membobol kepungan musuh dan
sudah menyerbu ke dalam kota.”
Biasanya jika ada perempuan
Siau Hong selalu memimpin dan tampil paling depan, tapi sekarang dia hanya
menunggu dari jauh, rasanya cemas dan kuatir pula. Maka akhirnya ia berkata,
”Biarlah kupergi melihatnya!”
Cepat A Ci, Bok Wan-jing dan
Ciong Ling mencegahnya, ”Jangan, justru orang Liau lagi incar dirimu, jangan
sekali-kali engkau menempuh bahaya ini.”
”Tidak apa-apa, jangan
kuatir,” ujar Siau Hong. Segera ia melarikan kudanya ke depan disusul oleh para
anggota Kai-pang.
Sampai di luar pintu gerbang
barat kota Lamkhia, tertampak dibawah tembok benteng, di tepi jalan dan di
sepanjang sungai yang mengelilingi benteng kota itu penuh bergelimpangan mayat
yang beratus-ratus banyaknya. Ada prajurit dan perwira Cidan, ada juga anak
buah Toan Ki dan Hi-tiok.
Pintu gerbang kota setengah
tertutup, beberapa Tocu bawahan Hi-tiok tampak memutar senjata, mereka sedang
berjaga disamping pintu dan sedang menghajar prajurit Liau yang menerjang maju
agar mereka tidak dapat menutup pintu gerbang itu.
Tiba-tiba terdengar suara riuh
ramai kuda berlari dari sebelah utara dan selatan. Siau Hong terkejut, serunya,
”Celaka, pasukan Liau secara besar-besaran hendak mengepung kita dari jurusan
selatan dan utara.”
Cepat ia meloncat ke atas,
kaki memancak lekat di dinding benteng dengan tenaga dorongan itu tubuhnya
lantas mencelat ke atas dan menghinggap di atas tembok benteng, dari situ ia
dapat memandang jauh ke dalam kota. Maka tertampaklah bagian barat kota dalam
lingkaran seluas satu li lebih itu terdapat gerombolan orang di sana-sini nyata
para ksatria Tionggoan telah dipotong dan dipisah-pisahkan oleh prajurit Laiu
yang berjumlah lebih banyak itu dan sedang dikerubuti dalam kelompok-kelompok
lebih kecil.
Walaupun para ksatria
Tionggoan itu berilmu silat tinggi, tapi setiap orang harus melawan beberapa
orang sampai belasan prajurit Liau yang tangkas, lama kelamaan mereka menjadi
kewalahan juga.
Dengan berdiri di atas tembok
benteng Siau Hong dapat memandang ke dalam dan ke luar kota, Ia menjadi bingung
juga menghadapi suasana pertempuran itu. Para ksatria Tionggoan yang terkepung
itu bertempur matimatian demi menolong dia, maka tidaklah mungkin ia
menyaksikan para ksatria itu binasa di bawah senjata prajurit Liau tanpa
memberi bantuan.
Tapi kalau dia melompat terus
dan menolong mereka, ini berarti dia secara terang-terangan bermusuhan dengan
pihak Liau dan menjadi penghianat bangsa, selain berdosa kepada leluhurnya
sendiri bahkan selamanya akan dicaci maki dan dibusuk oleh bangsanya sendiri.
Jika dia Cuma melarikan diri
saja dan meninggalkan negeri sendiri, perbuatan demikian paling-paling akan
dianggap sebagai tidak setia. Tapi kalau angkat senjata dan menyerang bangsa
dan negerinya sendiri, ini benarbenar perbuatan penghianat yang maha berdosa.
Biasanya Siau Hong dapat bertindak
cepat dan tegas, tapi sekarang ia menjadi serba susah. Sekilas tertampak
olehnya di pojok bawah benteng sana ada beberapa jago Cidan sedang mengerubut
dua padri tua Siau-lim-si. Salah seorang padri tua itu bersenjata golok, mulut
menyemburkan darah terang sudah terluka parah.
Waktu diperhatikan lebih jauh,
segera Siau Hong kenal padri tua itu adalah Hian-bing Taisu. Padri yang lain
bersenjata tongkat dan sedang berusaha mati-matian untuk melindungi kawannya
yang terluka. Padri bersenjata tongkat ini ternyata Hian-sik adanya.
Saat itu dua jago Cidan sedang
angkat parang mereka untuk membacok Hian-bing. Segera Hian-bing bermaksud
menangkis dengan goloknya. Tak tersangka lukanya sudah teramat parah, baru saja
tangan terangkat sebatas dada, sungguh celaka, rasanya sudah tidak kuat lagi.
Cepat Hian-sik memberi
bantuan, tongkatnya menyampuk, ”trang-trang”, karuan parang musuh terbentur
balik. Saking kuat tenaga Hian-sik sehingga kedua jago Cidan tak mampu
menguasan lagi senjatanya, kedua parang itu membacok di batok kepala sendiri
sehingga pecah berantakan.
Sudah tentu Hian-sik sangat
girang. Tapi mendadak terdengar Hian-bing menjerit, tahu-tahu pundak kirinya
berlumuran darah, ternyata kena dilukai pula oleh musuh.
Kontan Hian-sik balas menyabet
dengan tongkatnya sehingga jago Cidan yang melukai Hing-bing itu terhantam dan
remuk tulang dadanya. Dan karena serangannya untuk membela kawan itu, ia
sendiri kurang penjagaan, kesempatan itu digunakan oleh seorang jago Cidan yang
lain untuk menusukkan tombaknya ke dada Hian-sik.
”Cret”, Hian-sik tidak sempat
menangkis, perutnya dengan tepat tertusuk tembus dan terpantek di dinding
benteng. Namun Hian-sik tidak lantas tewas, dengan tenaganya yang masih ada
mendadak ia menggertak sekali, tongkatnya mengemplang kebawah sehingga kepala
orang Cidan itu hancur luluh dan mati lebih dahulu dari pada Hian-sik sendiri.
Melihat perut Hian-sik
tertembus tombak musuh dan terang tak bisa hidup lagi. Hian-bing menjadi
bingung sehingga permainan goloknya tak karuan jurusnya, dengan air mata
bercucuran ia berteriak-teriak, ”Sute! Sute!”
Darah panas Siau Hong
bergolak, ia tidak dapat menahan perasaannya lagi, mendadak ia berteriak keras,
”Ini siau Hong berada disini! Kalau mau bunuh boleh bunuhlah aku, tapi jangan
membunuh orang lain yang tak berdosa!”
Berbareng Siau Hong lantas
melompat turun ke bawah, di mana kakinya melayang, sebelum dia menyentuh tanah,
kontan empat jago Cidan sidepaknya sehingga mencelat. Dan setelah berdiri
tegak, cepat ia menarik Hian-bing dan tangan lain pegang tongkat Hian-sik
sambil berkata, ”Hian-sik Taisu, bantuanku ini terlambat datangnya, sungguh
dosaku tak terhingga besarnya.”
Menyusul tongkat yang
dipegangnya itu terus disabetkan sehingga dua jago Cidan terpaksa melompat
menyingkir.
”Tidak kami yang memfitnah
Siau-pangcu sebagai orang Cidan terlebih besar berdosa, ” sahut Hian-sik dengan
tersenyum getir. ”Dan syukurlah sekarang duduknya perkara dapat dibikin
jelas.... ”
Belum selesai ucapannya,
sekali kepalanya menunduk, ternyata napasnya sudah berhenti.
Sambil melindungi Hian-bing
segera Siau Hong menerjang ke arah beberapa jago Tayli yang sedang dikerubut
musuh di sebelah kiri sana.
Melihat Lam-ih Tai-ong mereka
mendadak muncul dengan gagah perwira, mau-tak-mau para prajurit dan perwira
Liau menjadi jeri. Sebaliknya Siau Hong lantas kerjakan tongkatnya, walaupun
tidak ingin membunuh orang, siapa pun terluka bila berkenalan dengan
tongkatnya.
Kawanan prajurit
berteriak-teriak ketakutan dan beramai-ramai menyingkir mundur sehingga Siau
Hong dapat menerjang kian kemari dengan cepat dan leluasa hanya dalam waktu
singkat is sudah dapat mengumpulkan dua-tiga ratus ksatria Tionggoan yang
tadinya bercerai-berai dan terkepung tadi.
”Hendaknya para saudara jangan
terpisah lagi bergabunglah dalam rombongan besar untuk bertempur bersama!” seru
Siau Hong.
Segera ia memimpin dua-tiga
ratus orang itu dan bergeser ke sana dan ke sini, bila ada kawan yang terkepung
lantas didekatinya untuk menolongnya keluar. Maka rombongannya itu makin lama
makin bertambah banyak jumlahnya. Sampai akhirnya sudah lebih seribu orang.
Lalu Siau hong menggabungkan
diri dengan rombongan Hi-tiok, Toan Ki dan para ksatria Tionggoan di bawah
pimpinan Hian-to Taisu dari Siau-lim-si terus menerjang ke pintu gerbang kota.
Siau Hong mendahului memburu
ke depan, dengan gagah ia berdiri di atas pintu gerbang dan membiarkan
rombongan para ksatria Tionggoan, Tayli dan Leng-ciu-kiong keluar kota dengan
aman. Pasukan Liau yang mengejar itu ternyata tidak berani maju, mereka hanya berteriak-teriak
dari jauh dan gentar terhadap wibawa Lam-ih Tai-ong mereka.
Menunggu sesudah semua orang
keluar benteng dengan selamat, paling akhir barulah Siau Hong sendiri menyusul
ke luar kota. Waktu ia menoleh ke belakang, tertampak mayat bergelimpangan di
mana-mana dan tertumpuk-tumpuk entah berapa banyak korban yang jatuh dalam
pertempuran itu.
Tiba-tiba terlihat olehnya di
antara mayat yang mengeletak di dalam kota itu terdapat dua perwira wanita
Lengciu-kiong yang berlumuran darang sedang merintih-rintih dan meronta-ronta
hendak berdiri, tapi rupanya tidak kuat lagi.
Tanpa pikir Siau hong
menerjang masuk lagi ke dalam kota, ia pegang punggung ke dua wanita itu dan
dibawa lari keluar. Tapi tidak berapa jauh mendadak terdengar suara tambur
menggelegar mengguncang bumi, dua pasukan Liau secara besar-besaran menyerbu
tiba dari arah kanan dan kiri.
Seketika Siau Hong merasa
cemas. Kedua pasukan musuh itu jumlahnya paling sedikit ada sepuluh ribu
banyaknya, sedangkan kawan-kawan dipihak sendiri sudah bertempur sekian
lamanya, kalau tidak terluka tentu juga sudah terlalu letih, maka bagaimana
akan dapat menghadapi pasukan musuh yang bertenaga baru itu?
Cepat ia berteriak,
”Kawan-kawan Kai-pang harap mengiring dari belakang, serahkan kuda tunggangan
kalian kepada teman-teman lain yang terluka dan biarkan mereka mundur lebih
dulu!”
Anggota Kai-pang mengiakan
serentak dan beramai-ramai melompat turun dari kuda mereka.
Lalu Siau Hong berteriak pula,
”Pak-kau-tai-tin (Barisan besar menggebuk anjing)!”
Maka terdengar suara tembang
minta-minta para pengemis sambil mengatur barisan selapis demi selapis.
”Hian-to Taisu, Jite dan
samte, lekas memimpin bawahan kalian mundur dulu ke jurusan barat, biarkan kami
yang menjaga di bagian belakang!” teriak Siau Hong.
Di bawah sinar matahari ujung
golok dan tombak pasukan Liau tertampak gemerlapan menyilaukan mata, berpuluh
ribu kuda berlari serentak menerjang tiba, suara benar-benar menggetar sukma
dan menakutkan.
Melihat kekuatan musuh yang
luar biasa itu, Hi-tiok dan Toan-Ki menaksir Pak-kau –tai-tin yang dipasang
anggota Kai-pang itu betapapun susah menahan terjangan pasukan musuh. Maka
mereka berdua lantas berdiri di kanan-kiri Siau Hong dan berkata, ”Toako, kita
adalah saudara angkat, kalau ada kesukaran biarlah ditanggung bersama, mati
atau hidup harus bersama pula!”
”Jika begitu, lekas
perintahkan bawahan kalian mundur lebih dulu, ”kata Siau Hong.
Cepat Hi-tiok dan Toan Ki
meneruskan perintah itu kepada anak-buahnya masing-masing.
Siapa tahu bawahan
Leng-ciu-kiong telah menyatakan tidak mau meninggalkan majikan mereka dalam
keadaan bahaya, lebih-lebih para jago Tayli juga tidak mau mengundurkan diri
dan membiarkan raja mereka menghadapi maut.
Dalam pada itu, pasukan
berkuda Liau sudah makin dekat panah yang dibidikan sudah hampir mencapai
tempat Siau Hong dan kawan-kawannya berada.
Hian-to mestinya sudah mundur
lebih dulu dengan memimpin para ksatria Tionggoan, tapi sekarang demi nampak
rombongan Siau Hong dan terancam bahaya, seketika ada beberapa puluh orang di
antaranya berlari kembali untuk membantu.
Diam-diam Siau Hong mengeluh.
Pikirnya, ”Biarpun ilmu silat kawan-kawan ini sangat tinggi tapi mereka tidak
kenal ilmu peperangan dan tidak tahu disiplin militer, cara bagaimana mereka
akan sanggup melawan pasukan Liau yang berjumlah besar? Kematianku adalah tidak
menjadi soal tapi kalau para kawan juga dibinasakan oleh prajurit Liau di luar
kota Lamkhia ini, lantas bagaimana aku .... ”
Selagi bingung dan entah
tindakan apa yang harus diambilnya sekonyong-konyong di tengah pasukan Liau
terdengar suara gembrong yang nyaring ditabuh secara menitir. Nyata itulah
tanda menarik mundur pasukan.
Begitu mendengar suara titir
gembreng, seketika pasukan Liau yang sedang menerjang ke depan itu serentak
membalik haluan kuda mereka berputar, barisan belakang lantas berubah menjadi
barisan depan dan beramairamai mundir ke utara dan selatan dari arah mereka
datang tadi.
Siau Hong terheran-heran dan
tidak mengerti apa yang terjadi. Walaupun pasukan Liau sudah mundur, tapi
dilihatnya jauh di belakang pasukan Liau sana debu mengepul tinggi disertai
suara teriakan riuh ramai, rupanya bagian belakang pasukan Liau itu telah
digempur oleh pasukan lain pula.
Karuan Siau Hong tambah heran,
”Mengapa di belakang pasukan Liau ada pasukan pihak lain lagi, janganjangan
terjadi pemberontakan pula? Dan siapakah yang memberontak? Dari muka dan
belakang Hongsiang digencet musuh, tentu keadaannya sangat tidak menguntungkan.
Jilid 87 (Tamat)
Begitulah jiwa kesatria Siau
Hong, baru saja dia terhindar dari kepungan pasukan Liau, sekarang dia sudah
lantas menguatirkan keselamatannya Yalu Hung-ki.
Melihat pasukan Liau mendadak
ditarik kembali, segera para anggota Kai-pang berteriak-teriak, tapi karena
tiada perintahnya Siau Hong mereka tidak berani sembarangan mengejar dan
membunuh musuh.
Waktu Siau Hong melompat dan
berdiri diatas kudanya untuk memandang jauh kebagian belakang pasukan Liau,
dilihatnya disana banyak berkibar panji-panji warna putih, diudarapun terjadi
hujan panah dan perajurit Liau banyak yang terjungkal jatuh dari kudanya.
Akhirnya sadarlah Siau Hong: "Ah, kiranya adalah kawankawanku dari suku
Nuchen yang telah tiba. Entah dari mana mereka.”
Ilmu memanah pemburu-pemburu
Nuchen itu sungguh sangat lihai, merekapun sangat gagah dan tangkas dimedan
perang. Setiap seratus orang mereka terbagi menjadi satu pasukan kecil, dengan
menunggang kuda mereka berteriak-terik terus menerjang ketengah.
Karena diterjang secara
mendadak, seketika barisan perajurit Liau menjadi kacau balau. Pula suku Nuchen
itu memang tangkas dan gagah berani, panglima Liau dapat melihat gelagat, ia
kuatir digencet pula oleh pasukan yang dipimpin Siau Hong, maka cepat-cepat ia
memberi tanda menarik mundur pasukannya.
Hoan Hwa berpangkat Suma atau
menteri urusan perang, maka dia mahir ilmu kemiliteran. Ia melihat ada
kesempatan bagus, segera katanya kepada Siau Hong: "Siau-taiong, lekas
kita serbu saja, inilah saat yang paling bagus untuk menghancurkan musuh.
Tapi Siau Hong hanya
menggeleng kepala saja.
”Jarak dari sini ke
Gan-bun-koan terlalu jauh, kalau kesempatan bagus ini tidak kita gunakan untuk
menghancurkan pasukan Liau, kelak tentu akan membahayakan malah,” demikian kata
Hoan Hwa pula. ”Apalagi jumlah musuh terlalu banyak dan jumlah kita sedikit,
kita belum tentu dapat mengundurkan diri dengan aman dan selamat.”
Namun Siau Hong tetap
menggeleng kepala.
Sungguh Hoan Hwa tidak habis
mengerti. Pikirnya: "Siau-taiong tidak mau menyerang dan membunuh musuh,
jangan-jangan dia masih berharap kelak akan dapat memperbaiki hubungan dengan
raja Liau.”
Dalam pada itu terlihat
orang-orang Nuchen dalam kelompok-kelompok kecil dengan telanjang setengah
badan, ada yang bermantelkan kulit binatang, masih terus menerjang musuh sambil
menghujani panah sehingga musuh kalang kabut. Ada lebih seribu orang perajurit
Liau yang tidak sempat masuk seluruhnya kedalam kota, semuanya telah dipanah
mati dibawah benteng kota.
Pemburu-pemburu Nuchen itu
kalau habis membunuh musuh segera buah kepala sang korban dipenggal olehnya dan
digantung disabuknya. Maka diantara orang-orang Nuchen itu ada yang membawa
puluhan buah kepala yang penuh tergantung dipinggangnya.
Para kesatria sudah banyak
berpengalaman dalam pertarungan sengit, tapi pembunuhan secara kejam dan biadab
seperti orang-orang Nuchen ini baru pertama kali ini dilihatnya. Keruan mereka
terkesiap.
Tiba-tiba diantara
pemburu-pemburu Nuchen itu muncul seorang lelaki tinggi besar sambil
berteriak-teriak, "Siau-toako, Siau-toako, Wanyan Akut telah datang
membantu engkau berkelahi dengan orang Cidan!
Kiranya dia adalah saudara
angkat Siau Hong ketika bertemu dipegunungan Tiang-pek-san dahulu, yaitu Wanyan
Akut dari suku Nuchen.
Sungguh girang Siau Hong tak
terkatakan, cepat ia memapak maju, kedua orang lantas saling rangkul dan
berjabat tangan dengan terharu.
”Siau-toako, dahulu engkau
telah pergi tanpa pamit, sungguh aku sangat kuatir dan rindu sekali,” demikian
kata Akut. ”Kemudian dari penyelidik dapat diketahui bahwa engkau telah menjadi
pembesar dinegeri Liau, hal inipun tidak menjadi soal. Cuma orang Liau itu sangat
licin, kukira kedudukanmu mungkin tak bisa tahan lama. Benar juga, kemarin dulu
penyelidik memberi laporan pula, katanya engkau telah dikurung oleh raja Liau
keparat itu sebagai binatang, sungguh kami merasa sangat kuatir dan secepatnya
memburu kemari. Syukurlah Siau-toako ternyata baik-baik saja, kami merasa
girang sekali.”
”Banyak terima kasih atas
bantuan saudaraku.” sahut Siau Hong.
Baru sekian bicaranya,
tiba-tiba dari atas benteng telah berhamburan anak panah kearah mereka. Cuma
jarak mereka cukup jauh dari tembok benteng, anak-anak panah itu tidak dapat
mencapai mereka.
”Kurang-ajar anjing-anjing
Liau itu, aku sedang bicara dengan Toako, kenapa mereka sengaja mengganggu,”
maki Akut dengan gusar. Habis berkata, ia pentang busurnya, susul menyusul tiga
kali membidik ia memanah dari bawah benteng keatas, maka terdengarlah suara
jeritan ngeri tiga kali, tiga orang perajurit Liau kontan terjungkal kebawah.
Kalau panah
perajurit-perajurit Liau itu tidak dapat mencapainya, sebaliknya tiga kali
panah Akut itu dengan mudah telah menggulingkan tiga orang, maka dapat
dibayangkan betapa kuat dan jitu kepandaian memanah jago Nuchen itu. Keruan
perajurit-perajurit Liau menjadi ketakutan, sambil berteriak-teriak lekas
mereka memasang tameng.
Sementara itu suara tambur
didalam kota Lamkhia kedengaran masih gegap gempita, agaknya pihak Liau sedang
menghimpun tenaga lagi. Segera Akut berseru kepada anak buahnya, "Wahai
kawan-kawan, dengarkanlah! Anjing Cidan itu rupanya bersiap-siap akan keluar
lagi dari lubang anjingnya, hayo kita bersiap untuk membunuhnya dengan
sepuas-puasnya!
Orang-orang Nuchen itu
berteriak senang sebagai suara ribuan binatang yang mengaum secara serentak.
Diam-diam Siau Hong menjadi
kuatir. Kalau peperangan ini sampai berlangsung, maka korban yang akan jatuh
dari kedua pihak tentu tidaklah sedikit. Cepat katanya: "Saudaraku yang
baik, kedatanganmu ini adalah untuk menolong aku dan sekarang aku sudah lolos
dari bahaya, buat apa mesti bertempur lagi dengan orang. Sudah lama sekali kita
tidak berjumpa, marilah kita mencari suatu tempat yang aman dan tenang untuk
bicara dan minum sepuas-puasnya.
”Benar juga, marilah kita
berangkat,” sahut Akut.
Tapi mendadak pintu gerbang
kota terpentang, sepasukan tentara Liau berkuda dan berpakaian lapis baja telah
menerjang keluar. Akut mencaci-maki. Ia pentang busur dan memanah, kontan muka
seorang perwira yang berada paling depan itu terguling dari kudanya.
Orang-orang Nuchen yang lain
beramai-ramai juga melepaskan panah, yang mereka arah selalu bagian muka. Dasar
ilmu memanah orang-orang Nuchen itu memang pandai, ujung panah berbisa pula,
maka sasarannya yang terkena panah itu tanpa bersuara sama sekali seketika
terjungkal dan binasa.
Hanya dalam sekejap saja
didepan pintu gerbang kota sudah bergelimpangan beberapa ratus mayat bercampur
kuda tumpuk menumpuk sehingga menyumbat pintu gerbang itu. Perajurit Liau yang
lain menjadi ketakutan dan cepat-cepat menutup pintu dan tidak berani mengejar
lagi.
Dengan memimpin anak buahnya
Wanyan Akut masih terus mondar-mandir dibawah benteng sambil mencacimaki dan
menantang. Sudah tentu mereka tidak mendapat jawaban.
”Marilah kita berangkat,
saudaraku!” ajak Siau Hong.
Terpaksa Akut mengiakan. Tapi
dia masih menuding keatas benteng dan berteriak keras: "Dengarkan
anjinganjing Liau! Untunglah kalian tidak mengganggu seujung rambut Toako kami,
maka bolehlah jiwa anjing kalian diampuni. Coba kalau tidak, tentu kami meratakan
bentengmu dan menumpas habis anjing-anjing Liau kalian!”
Habis itu ia lantas mengikuti
Siau Hong kearah barat. Kira-kira belasan li jauhnya, sampailah mereka diatas
sebuah bukit. Akut lantas melompat turun dari kudanya, ia ambil kantong arak
dari pelana kudanya dan diberikan kepada Siau Hong sambil berkata,
"Silakan minum arak, Toako.”
Siau Hong juga tidak menolak,
ia angkat kantong arak itu dan sekaligus ditenggaknya hingga hampir habis, lalu
ia kembalikan kepada Akut.
Sesudah Akutpun minum habis sisa
arak itu, katanya kemudian, "Toako, daripada pergi kelain tempat yang
belum tentu tujuannya, adalah lebih baik ikut bersama kami kembali kepegunungan
Tiang-pek-san, disana kita dapat berburu dan minum arak serta hidup dengan
bebas merdeka.
Tapi Siau Hong cukup kenal
sifat Yalu Hung-ki yang angkuh dan tinggi hati, hari ini pasukan Liau telah
diterjang sehingga kocar-kacir oleh Wanyan Akut dan kawan-kawannya, bahkan
telah dicaci-maki pula olehnya, untuk semua ini Hung-ki tentu tidak dapat
menerimanya dengan mentah-mentah, tapi pasti akan mengerahkan pasukannya untuk
bertempur lagi. Meski orang Nuchen sangat tangkas dan gagah berani, tapi jumlah
mereka hanya sedikit, memang belum diketahui akan menang atau kalah, tapi
adalah lebih baik kalau pertempuran sengit dapat dihindarkan.
Teringat oleh Siau Hong selama
beberapa bulan tinggal di pegunungan Tiang-pek-san dahulu, dimana selain sibuk
mengobati A Ci boleh dikata tiada punya rasa kuatir urusan lain, lebih tiada
terpikir tentang kedudukan dan kemewahan orang hidup segala. Dan kalau untuk
selanjutnya dapat hidup bersama dengan suku Nuchen rasanya dapat juga
menghindarkan segala urusan yang mengesalkan. Maka dia lantas menjawab,
"Saudaraku, para kesatria dari Tionggoan ini jauh-jauh datang kemari adalah
karena ingin menolong aku. Maka biarlah aku mengantar mereka ke Gan-bun-koan
dulu, habis itu aku akan kembali kesini untuk berkumpul dengan saudaraku
orang-orang Nuchen.”
”Bagus!” seru Akut dengan
girang. ”Jika begitu biarkan kutunggu saja didepan sana. Orang-orang Tionggoan
itu tampaknya sok cerewet dan besar kemungkinan bukan manusia baik-baik, maka
akupun sungkan untuk berkenalan dengan mereka.”
Habis berkata ia lantas mohon
diri dan membawa kawan-kawannya menuju keutara.
Melihat datang dan perginya
orang-orang Nuchen itu sebagai angin lesus cepatnya dan sangat tangkas pula,
diam-diam para kesatria Tionggoan menganggap orang-orang Nuchen itu lebih lihai
daripada orang-orang Liau. Untung mereka adalah kawannya Kiau-pangcu, kalau
tidak tentu urusan bisa runyam.
Dalam pada itu rombongan para
kesatria itu sudah bergabung menjadi satu, mereka ramai membicarakan suasana
pertempuran sengit diluar kota Lamkhia tadi.
Siau Hong lantas memberi
hormat kepada para kesatria, serunya, "Banyak terima kasih atas budi
pertolongan kalian yang tidak memikirkan dosa Siau Hong dahulu, sebaliknya
jauh-jauh datang kemari untuk menolong diriku, budi ini sungguh susah dibalas
selama hidupku ini.”
”Ah, mengapa Kiau-pangcu
berkata demikian,” sahut Hian-to selaku pimpinan para kesatria Tionggoan yang
menganggap Siau Hong masih tetap Pangcu Kai-pang dan tetap she Kiau. ”Padahal
apa yang terjadi dahulu itu hanya karena salah paham belaka. Apalagi kita
sama-sama orang Bu-lim dan seharusnya bantu membantu bila ada kesukaran. Pula
Kiau-pangcu telah rela mengorbankan kedudukan yang diagungkan di negeri Liau
demi keselamatan berjuta-juta rakyat Tionggoan, untuk budi kebaikan inilah kami
harus menyatakan terima kasih kepada Kiau-pangcu.”
Segera Hoan Hwa juga berkata:
"Para Enghiong yang terhormat, menurut pendapatku, mungkin sekali pasukan
Liau takkan rela dengan kekalahan mereka tadi, maka mereka masih akan datang
mengejar kita. Entah apakah diantara kawan-kawan ada yang berpendapat lain.”
Serentak banyak diantara para
kesatria itu berteriak: "Bila pasukan musuh berani mengejar, hayolah kita
hajar mereka lagi, masakah kita mesti takut.”
”Soalnya bukan takut atau
tidak,” ujar Hoan Hwa, ”tapi jumlah musuh terlalu banyak dan jumlah kita sangat
sedikit, kalau bertempur ditempat lapang begini akan tidak menguntungkan kita.
Maka menurut pendapatku adalah lebih baik kalau kita mundur dulu kebarat,
pertama jarak kita akan lebih dekat dengan pasukan Song dan bila perlu mungkin
kita akan mendapat bantuan. Selain itu makin jauh pasukan musuh mengejar kita
tentu jumlah musuh apalagi terpencar dan berjumlah sedikit, dengan demikian
kita akan cari kesempatan untuk menggempur kembali mereka.”
Para kesatria sama menyatakan
setuju. Segera Hi-tiok memimpin anak buah Leng-ciu-kiong sebagai barisan
pertama, menyusul adalah Toan Ki dengan jago-jago Tayli, lalu Hian-to bersama
para kesatria Tionggoan, sedang Siau Hong memimpin anggota-anggota Kai-pang
mengiringi dari belakang.
Empat pasukan itu
masing-masing berjarak satu-dua li jauhnya, kurir berkuda kian kemari
menyampaikan berita, kalau ada musuh segera dapat saling membantu.
Sesudah menempuh perjalanan
satu hari, malamnya mereka lantas bermalam diudara terbuka, syukurlah semalam
suntuk mereka tidak diganggu oleh pasukan Liau, maka lambat-laun rasa was-was
semua orang menjadi reda.
Esok paginya mereka meneruskan
perjalanan. Siau Hong yang selalu didampingi oleh A Ci telah coba menanyai anak
dara itu, "Apakah pemuda she Yu itu masih tinggal di Leng-ciu-kiong.”
Mulut A Ci yang kecil itu
menjengkit, sahutnya, "Siapa yang tahu? Tentunya juga masih disana. Kedua
matanya sudah buta, masakah dia dapat pergi dari pegunungan yang curam itu?
Nyata nadanya tetap tiada punya rasa perhatian sedikitpun kepada Yu Goan-ci
yang telah rela mengorbankan matanya bagi anak dara itu.
Petang hari itu mereka telah
sampai di Pek-lok-po, sebuah kota dikaki gunung Ngo-tay-san, disitulah
pasukanpasukan mereka berkemah mengaso.
Hoan Hwa memang mahir ilmu
siasat dan pandai mengatur barisan, sepanjang jalan ia telah meninggalkan
berkelompok-kelompok kesatria yang tangkas untuk menjaga tempat-tempat yang
strategis, kalau ada jembatan lantas dihancurkan untuk memperlambat pasukan
musuh bila mengejar.
Sampai hari ketiga, tiba-tiba
terlihat disebelah timur sana asap mengepul tinggi mencakar langit. Terang
itulah tanda pasukan Liau sedang mengejar kearah mereka.
Melihat itu, para kesatria
kembali berdebar-debar. Ada diantaranya yang sok gagah dan suka bertempur
seketika hendak memutar balik kesana untuk membantu regu-regu yang ditinggalkan
Hoan Hwa itu, tapi mereka keburu dicegah oleh Hian-to dan Hoan Hwa.
Malam itu rombongan-rombongan
mereka bermalam dilereng sebuah gunung. Sampai tengah malam mendadak mereka
dikejutkan oleh suara teriakan kaget orang. Seketika para kesatria terjaga
bangun terus menyiapkan senjata masing-masing.
Ternyata disebelah utara sana
merah membara, entah benda apa yang sedang terbakar sehingga berwujut lautan
api sehebat itu.
Siau Hong saling pandang
sekejap dengan Hoan Hwa, diam-diam kedua orang sama-sama merasakan alamat yang
tidak enak.
”Siau-taiong, menurut
pandanganmu, bukankah ini pertanda pasukan Liau sedang memutar dari jurusan
sana untuk menyerang kemari?” tanya Hoan Hwa.
”Raja Liau memang sudah
bertekad akan menyerang Song dan sedang mengerahkan pasukannya secara
besarbesaran, boleh jadi ini adalah pasukannya dari bagian utara,” sahut Siau
Hong.
”Ai, kebakaran besar itu entah
telah banyak mengambil korban harta benda dan jiwa rakyat jelata yang tak
berdosa!” kata Hoan Hwa dengan menghela napas.
Siau Hong tidak mau
mengucapkan kata-kata jelek bagi alamatnya Yalu Hungki yang masih dianggapnya
sebagai kakak-angkat, tapi dia cukup kenal watak raja Liau itu, karena telah
mengalami kekalahan dibawah serangan orang-orang Nuchen, tentu Hung-ki merasa
sangat penasaran sehingga rasa dendamnya seluruhnya telah dilampiaskan atas diri
rakyat jelata yang tidak bersalah. Tentu pasukan yang dikerahkan ini tidak
kenal ampun lagi, asal ketemu orang tentu dibunuh dan kalau melihat rumah pasti
dibakarnya.
Api yang berkobar-kobar dengan
hebat itu sampai fajar sudah menyingsing masih belum juga padam, sampai sore
harinya, kembali disebelah selatan kelihatan api menyala-nyala pula. Dibawah
sinar matahari cahaya api tidak begitu jelas, tapi asap tebal tertampak
mengepul tebal menembus awan.
Sebenarnya Hian-to memimpin
kawan-kawannya berjalan didepan, ketika melihat kebakaran disebelah selatan
itu, segera ia menghentikan kudanya dan menunggu ditepi jalan. Sesudah Siau
Hong mendekat, lalu ia bertanya: "Kiau Pangcu, pasukan Liau telah
mengepung kita dari tiga jurusan, menurut pandanganmu apakah Gan-bun-koan dapat
dipertahankan? Aku sudah mengirim orang untuk menyampaikan berita kilat ke
Gan-bunkoan, cuma saja panglima penjaga benteng itu mungkin terlalu pengecut
dan tiada punya semangat tempur, boleh jadi sulit untuk menahan serbuan pasukan
berkuda orang Cidan.
Siau Hong terdiam, ia merasa
susah untuk menjawab.
Lalu Hian-to berkata pula:
"Tampaknya hanya orang Nuchen saja yang dapat menghadapi ketangkasan orang
Cidan. Kelak bila kerajaan Song kita berserikat dengan orang Nuchen, dengan
digencet dari utara dan selatan mungkin akan dapat memaksa bangsa Cidan
berpikir dua kali dan tidak berani sembarangan menyerbu keselatan.
Siau Hong tahu maksud paderi
Siau-lim-si itu adalah ingin dirinya berusaha menghubungi pemimpin suku bangsa
Nuchen, yaitu Wanyan Akut. Tapi demi teringat dirinya sesungguhnya adalah orang
Cidan, mana boleh bersekongkol dengan bangsa lain untuk menyerang bangsa dan
tanah airnya sendiri.”
Untuk membelokkan pokok
pembicaraan maka mendadak ia bertanya, "Hian-to Taysu, apakah ayahku baikbaik
saja berada didalam kuil agung kalian.”
Hian-to tertegun, jawabnya:
"Ayah Kiau-pangcu sudah masuk kedalam lingkungan Budha dan menyucikan diri
diruang belakang Siau-lim-si, keberangkatan kami ke Lamkhia kali ini tidak
diberitahukan kepada ayahmu supaya tidak merisaukan perasaannya.”
"Sungguh aku ingin pergi
menemui beliau untuk menanyakan sesuatu padanya,” kata Siau Hong.
"O,” Hian-to tidak
bersuara lebih lanjut.
"Aku ingin tanya kepada
beliau, Jikalau pasukan Liau menyerang Siau-lim-si, lantas tindakan apa yang
akan dilakukan oleh beliau?” kata Siau Hong.
"Sudah tentu beliau akan
berbangkit untuk menumpas musuh, membela agama dan menyelamatkan kuil, apa yang
perlu diragukan lagi?” ujar Hian-to.
"Akan tetapi ayah adalah
orang Cidan, apakah dia mau disuruh membela orang Han untuk membunuh bangsanya
sendiri.”
Hian-to merenung sejenak,
katanya kemudian, "Pangcu ternyata benar-benar orang Cidan yang telah
meninggalkan kegelapan dan menuju kejalan yang terang, sungguh harus diberi
hormat dan mengagumkan.”
"Taisu adalah orang Han
dan selalu anggap Han adalah pihak yang terang dan pihak Cidan adalah pihak
yang gelap. Sebaliknya bangsa Cidan kami memandang kerajaan Liau yang jaya
adalah pihak yang terang dan kerajaan Song adalah pihak yang gelap. Padahal
leluhur dari bangsa kami telah banyak menderita, kami diuberuber dan dibunuh
oleh suku bangsa Sianbi dan lain-lain sehingga terpaksa berlari kian kemari
untuk menyelamatkan diri, betapa sengsaranya sungguh susah dilukiskan. Ketika
kerajaan Tong negeri kalian, karena ilmu silat bangsa Han kalian telah
berkembang dengan hebat, karena itu tidak sedikit pula kesatria-satria bangsa
Cidan kami menjadi korban lagi dan banyak sekali kaum wanita kami diculik dan
ditawan. Sekarang ilmu silat bangsa Han kalian sudah banyak mundur, maka
berbalik bangsa Cidan kami yang akan membunuh kalian. Jika bunuh membunuh
secara bergilir ini berlangsung terus, bilakah baru akan berakhir.”
Hian-to menghela napas,
katanya, "Hanya kalau segenap raja-raja dan penguasa-penguasa didunia ini
sudah memeluk agama Budha yang mengutamakan welas asih kepada sesamanya, dengan
demikian barulah didunia ini takkan ada peperangan dan saling bunuh membunuh.”
"Ya, entah bilakah baru
akan tiba saat aman dan damai bagi dunia ini.” sahut Siau Hong.
Begitulah rombongan mereka
terus menuju kebarat. Mereka melihat di jurusan-jurusan timur, utara dan
selatan rupanya siang dan malam pasukan Liau terus main bunuh dan bakar dimana
mereka tiba. Dengan gusar para pahlawan mencaci-maki kekejaman musuh dan
bertekad akan melabrak pasukan musuh dengan mati-matian.
”Pasukan Liau semakin dekat,
akhirnya kita tentu tiada jalan mundur lagi,” demikian ujar Hoan Hwa. ”Menurut
pendapatku ada lebih baik kita pencarkan diri saja agar musuh merasa bingung
kemana harus mengejar kita.”
”Cara demikian bukankah
berarti kita telah mengaku kalah?” seru Go-tianglo dari Kai-pang. ”Hoan-suma,
jangan engkau membesarkan kekuatan musuh dan menilai rendah tenaga kita
sendiri. Pendek kata, apakah akan menang atau kalah, kita harus melabrak
habis-habisan anjing-anjing Liau itu.
Bicara sampai disini,
tiba-tiba terdengar suara mendesing, sebatang anak panah menyambar dari arah
tenggara sana dan kontan seorang murid berkantong lima dari Kai-pang roboh
terpanah, menyusul dari balik bukit sana sepasukan Liau lantas menerjang tiba
sambil berteriak-teriak.
Rupanya pasukan Liau ini telah
menyusul mereka dengan memotong jalan, jumlah pasukan ini kira-kira ada 500 orang.
”Serbu!” teriak Go-tianglo dan
segera mendahului menerjang musuh.
Memangnya para pahlawan sudah
menahan gusar dan dendam sejak tadi, kini mereka dapat melampiaskan perasaan
mereka, segera mereka menyerbu dengan gagah berani. Karena jumlah dipihak
pahlawan-pahlawan ini lebih besar daripada pasukan Liau, ilmu silat mereka tinggi-tinggi
pula, maka ditengah suara teriakan riuh ramai perajurit-perajurit Liau telah
dilabrak hingga kocar-kacir, bagaikan membacok semangka dan memotong sayur
cepatnya, hanya sekejap saja 500-an perajurit Liau itu telah disapu bersih oleh
para pahlawan.
Ada belasan orang Bu-su Cidan
sempat mendaki bukit dan hendak melarikan diri tapi merekapun tersusul oleh
jago-jago silat Tionggoan yang
tinggi Ginkangnya dan terbunuh habis pula.
Setelah menangkan peperangan
ini, para pahlawan sama bersorak gembira, semangat mereka menyala-nyala lebih
hebat.
Tapi diam-diam Hoan Hwa
berkata kepada Hian-to, Hi-tiok, Toan Ki dan beberapa pimpinan lain, "Yang
kita basmi ini hanya suatu pasukan Liau yang kecil, sesudah terjadi kontak ini,
pasukan Liau yang lebih kuat tentu akan membanjir tiba. Marilah kita lekas
mundur pula kebarat!”
Baru selesai ia bicara,
mendadak terdengar suara gemuruh disebelah timur sana. Waktu para pahlawan
memandang kearah sana, tertampaklah debu mengepul tinggi hingga mirip awan
mendung yang menutupi langit.
Seketika para kesatria hanya
saling pandang belaka, keadaan menjadi sunyi senyap, hanya terdengar suara riuh
gemuruh itu tambah menggelegar dari jauh. Terang itulah pasukan induk Liau yang
serentak dilarikan untuk menerjang kemari. Dari suaranya ini entah berapa ratus
ribu jumlahnya.
Para kesatria sudah banyak
mengalami pertarungan sengit didunia Kangouw, tapi suara gemuruhnya pasukan
besar dilarikan seperti sekarang ini sungguh tidak pernah didengar mereka.
Dibandingkan dengan perang diluar kota Lamkhia, terang kekuatan pasukan Liau
sekarang jauh lebih hebat dan susah ditaksir. Menghadapi suasana medan perang
sedemikian ini tanpa merasa hati para kesatria menjadi berdebar-debar dan
kebat-kebit.
Segera Hoan Hwa berseru,
"Saudara-saudara sekalian, kekuatan musuh teramat besar, daripada mati
konyol percuma, biarlah kita menghindari untuk sementara, asal gunung tetap
menghijau, tak perlu kuatir tiada kayu bakar. Marilah kita mengundurkan diri
untuk mencari kesempatan buat menggempur kembali.”
Segera para kesatria melarikan
kuda mereka kearah barat dengan cepat. Mereka mendengar suara riuh gemuruh
masih terus menggelegar dibelakang mereka tak berhenti-henti.
Semalam suntuk mereka tidak
mengaso, menjelang fajar mereka sudah dekat dengan Gan-bun-koan. Para kesatria
mengeprak kuda mereka lebih cepat. Mereka berharap asal dapat melintasi benteng
itu, tentu pasukan Liau tidak mudah akan membobol benteng pertahanan yang
merupakan perbatasan kedua negeri itu.
Sepanjang jalan ternyata tidak
sedikit kuda-kuda para kesatria binasa keletihan. Maka ada yang terpaksa
berlari dengan Ginkang, ada yang dua orang menunggang satu kuda.
Waktu terang tanah, jarak
mereka dengan Gan-bun-koan hanya tinggal belasan li saja, maka legalah para
kesatria. Mereka lantas melompat turun dari atas kuda, dengan berjalan kaki
mereka memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk melepaskan lelah. Sebaliknya
suara riuh gemuruh berlarinya pasukan besar Liau dibelakang mereka tidaklah
berkurang, bahkan bertambah hebat.
Siau Hong menurun kesebelah
bukit sana. Tiba-tiba dilihatnya sepotong batu karang besar. Hatinya terkesiap.
Teringat olehnya inilah tempatnya dimana dahulu Hian-cu dan Ong-pangcu memimpin
para kesatria Tionggoan menyergap ayahnya dan membunuh ibunya.
Waktu menoleh, dilihatnya
didinding karang sana masih jelas penuh bekas tatahan senjata. Terang itulah
bekas tempat tulisan yang ditinggalkan ayahnya yang kemudian telah dihapus oleh
Hian-cu.
Pelahan-lahan Siau Hong
berpaling pula, tertampaklah disebelah dinding karang itu ada sebatang pohon,
telinganya seakan-akan masih mendengar suara A Cu yang dahulu sembunyi dibalik
pohon itu, "Kiau-toaya, jangan engkau memukul lagi, nanti bukit ini akan
hancur kena hantamanmu.”
Ia termangu-mangu sejenak,
tiba-tiba ucapan A Cu yang lemah lembut dengan jelas bergema pula dalam
benaknya, "Sudah lima hari lima malam kunantikan engkau disini, kukuatir
engkau takkan datang. Tapi. akhirnya engkau toh datang juga. Banyak terima
kasih kepada Thian yang maha murah hati, akhirnya engkau telah datang dengan
selamat.”
Tanpa merasa air mata Siau
Hong bercucuran, ia mendekati pohon itu dan meraba-raba batang pohon, ia
melihat pohon itu sudah jauh lebih tinggi daripada waktu pertemuannya dengan A
Cu dahulu. Sungguh tak terkatakan rasa duka hati Siau Hong, ia lupa kepada
segala apa yang sedang terjadi disekitarnya pada saat itu.
Sekonyong-konyong terdengar
teriakan melengking seorang, "Cihu, lekas lari, lekas mundur!” Menyusul A
Ci telah mendekatinya dan menarik-narik lengan bajunya.
Waktu Siau Hong mengangkat
kepalanya, ia melihat dari jurusan-jurusan timur, utara dan selatan telah
membanjir pasukan Liau dengan tombak-tombak teracung keatas sebagai hutan
bambu. Nyata pasukan Liau itu merapat dalam pengepungan mereka.
Siau Hong mengangguk, katanya,
"Baiklah, mari kita mundur kedalam Gan-bun-koan.”
Dalam pada itu
kesatria-kesatria lain sudah mendahului sampai didepan Gan-bun-koan, tapi
ketika Siau Hong dan A Ci sampai disitu, pintu gerbang benteng pertahanan itu
masih tetap tertutup rapat, tertampak air muka
para kesatria penuh rasa
mendongkol dan penasaran.
Diatas benteng kelihatan
berdiri seorang perwira pasukan Song dan sedang berkata dengan suara lantang:
"Menurut perintah Thio-ciangkun yang menjadi komandan pasukan penjaga
benteng Gan-bun-koan ini, bahwasanya bila kalian adalah rakyat Tionggoan dan
mestinya boleh masuk kedalam benteng tapi entah diantara kalian terdapat tidak
mata-mata musuh, maka diputuskan kalian harus membuang semua senjata yang
kalian bawa untuk diperiksa satu persatu, sesudah terang kalian adalah orang
banyak, maka dengan kebaikan hati Thio-ciangkun kalian nanti akan diperbolehkan
masuk benteng.
Seketika ributlah para
kesatria demi mendengar ocehan perwira itu. Ada yang berkata, "Sungguh
tidak pantas. Kita berlari-lari sekian jauhnya dan melawan musuh dengan sepenuh
tenaga, tapi sampai disini malah dicurigai lagi sebagai mata-mata musuh.”
"Ya, sebabnya kita
membawa senjata adalah karena ingin membantu kawan untuk melawan pasukan Liau.
Kalau senjata kita dilucuti, cara bagaimana kita dapat berperang lagi?”
demikian kata yang lain.
Bahkan ada diantaranya yang
berwatak berangasan sudah lantas mencaci maki, "Kurangajar! Sudah berjuang
mati-matian tidak mendapat pujian sebaliknya dicurigai secara tidak beralasan.
Apa benar kita tidak diperbolehkan masuk kedalam benteng atau kita
beramai-ramai mesti menyerbu saja kedalam.”
Agar urusan tidak menjadi
lebih runyam, segera Hian-to mencegah kata-kata kasar para kawan. Lalu serunya
kepada perwira tadi, "Harap sukalah memberi lapor kepada Thio-ciangkun
bahwa kami semuanya adalah rakyat Song yang setia dan berjuang bagi negara.
Pasukan musuh sekejap lagi akan tiba, kalau mesti pakai memeriksa dan
menggeledah segala, mungkin akan berbahaya dan terlambat bagi keselamatan kami.”
Rupanya perwira itupun sudah
mendengar suara caci-maki tidak puas dari para kesatria, pula dilihatnya banyak
diantara rombongan Hian-to itu aneka macam pakaiannya dan tidak mirip dengan
rakyat umumnya didaerah Tionggoan, maka perwira itu lantas bertanya lagi,
"Hwesio tua, kau bilang kalian adalah rakyat Song yang baik-baik, tapi
kulihat banyak diantara rombongan itu tidak mirip dengan orang Tionggoan kita?
Namun demikian, ya sudahlah, aku akan memberi kelonggaran, mereka yang
benar-benar adalah rakyat Song akan dibolehkan masuk, sebaliknya mereka yang
bukan rakyat Song kita dilarang masuk.”
Untuk sejenak para kesatria
menjadi saling pandang dengan penuh mendongkol. Hendaklah maklum bahwa anak
buahnya Toan Ki itu adalah rakyat kerajaan Tayli, sedangkan anak buahnya
Hi-tiok apalagi tak keruan, mereka adalah gado-gado, campuran dari berbagai bangsa,
ada orang seek, ada orang Se He, Turfan, Korea dan lain-lain. Kalau sekarang
yang dibolehkan masuk benteng hanya rakyat Song saja, itu berarti sebagian
besar anak buah kerajaan Tayli dan Leng-ciu-kiong tak bisa ikut masuk kedalam.
Terpaksa Hian-to membujuk
lagi, "Mohon kebijaksanaan Ciangkun bahwa banyak diantara kawan-kawan kami
ini terdiri dari orang Tayli, Se He dan lain-lain, mereka semuanya telah
membantu kita melabrak pasukan Liau, jadi mereka adalah kawan dan bukan lawan,
mengapa mesti dibeda-bedakan tentang rakyat Song atau bukan.”
Kiranya perjalanan Toan Ki
kedaerah utara kali ini telah dirahasiakan dengan sangat rapat, ia tidak ingin
diketahui kedudukannya sebagai kepala negara Tayli untuk menjaga kalau-kalau
mendadak negerinya diserang oleh kerajaan Song atau mungkin juga dia akan
dijebak dan ditawan sebagai sandera. Sebab itulah dalam jawaban Hian-to itu
tidak disinggung-singgung tentang didalam rombongannya terdapat seorang tokoh
maha penting itu.
Maka terdengar perwira tadi
berkata dengan kurang senang, "Gan-bun-koan adalah gerbang terpenting
diwilayah utara kerajaan Song, tempat ini merupakan kunci utama keselamatan
negara. Coba lihatlah, pasukan Liau sudah tiba secara besar-besaran, kalau aku
sembarangan membuka pintu sehingga memberi kesempatan kepada pasukan Liau untuk
menyerbu masuk kemari, lalu siapa yang akan bertanggung-jawab atas malapetaka
yang akan timbul nanti.”
Sungguh mendongkol sekali
Go-tianglo, ia tidak tahan lagi, segera ia berteriak, "Kenapa kau hanya
membacot saja sejak tadi dan tidak secepatnya membuka pintu? Kalau kau buka
sejak tadi bukankah saat ini kami sudah didalam benteng dan takkan menimbulkan
malapetaka segala.”
Perwira itu menjadi gusar,
dampratnya, "Kau pengemis tua bangka ini berani sembarangan kentut didepan
tuan-besarmu?” Dan sekali ia memberi tanda, serentak diatas benteng muncul
ribuan perajurit pemanah dengan anak panah sudah terpasang dibusurnya serta
mengincar kebawah benteng.
”Nah, lebih baik kalian lekas
mundur saja, lekas! Kalau rewel-rewel lagi tak habis-habis sehingga mengacaukan
pikiran perajurit kami, segera akan kuperintahkan melepaskan panah,” demikian
perwira itu mengancam.
Hian-to menghela napas panjang
dan tidak berdaya menghadapi perwira yang kepala batu dan susah untuk diajak
bicara itu.
Saat itu para kesatria berada
ditengah selat Gan-bun-koan. Kedua sisi benteng itu adalah tebing bukit yang
terjal meninggi kelangit. Sebabnya diberi nama Gan-bun-koan atau benteng pintu
burung belibis, yaitu sebagai perumpamaan bahwa sekalipun burung belibis jika
hendak terbang keselatan juga terpaksa mesti terbang menyusur selat bukit yang
terjal dan tinggi itu untuk melukiskan betapa berbahayanya benteng itu.
Diantara kesatria-kesatria dan
pahlawan-pahlawan itu tidak sedikit terdapat jago silat yang memiliki Ginkang
yang tinggi, dengan mudah saja mereka dapat mendaki bukit dan melintas kebalik
gunung sana untuk menyelamatkan diri bila dikejar musuh, tapi sebagian besar
pahlawan lainnya tentu tak terhindar dari
kebinasaan dibawah senjata
pasukan Liau yang sebentar lagi akan membanjir tiba itu.
Sementara itu pasukan Liau
sudah makin dekat, hanya karena terhalang oleh keadaan pegunungan yang luar
biasa itu, maka terpaksa mereka mesti menyempitkan kepungan mereka dari kanan
dan kiri dan akhirnya terpusat menjadi satu jurusan terus menerjang maju
kedepan. Suara tambur bergemuruh memekak telinga. Saat itu yang terdengar hanya
suara tambur perang, suara derap larinya kuda tercampur suara gemerincingnya
suara pakaian perang para perajuritnya dan suara menderunya panji-panji tertiup
angin, sebaliknya tak terdengar sama sekali berisiknya suara manusia, dari ini
dapat dibayangkan betapa tegas dan keras disiplinnya pasukan Liau yang kuat
itu.
Begitulah sebaris demi sebaris
pasukan Liau terus mendesak maju kedepan benteng Gan-bun-koan. Sesudah mencapai
jarak kira-kira satu panahan, lalu barisan-barisan itu berhenti. Sepanjang mata
memandang, dimanamana hanya tertampak panji-panji berkibar dan gemilapannya
senjata, entah berapa jumlahnya pasukan Liau yang datang itu.
Melihat keadaan sudah kepepet,
Siau Hong merasa tidak dapat tinggal diam lagi. Segera ia berseru lantang:
"Harap para kawan tunggu sementara ditempatnya masing-masing dan jangan
sembarangan bergerak, biarlah Cayhe bicara sendiri dengan raja Liau. Dan tanpa
peduli seruan Toan Ki dan A Ci yang mencegah maksudnya itu, segera ia memutar
kudanya dan dilarikan cepat kearah pasukan Liau.
Siau Hong angkat kedua
tangannya lurus keatas kepala sebagai tanda dia tiada membawa sesuatu senjata.
Lalu ia berteriak sekerasnya, "Sri Baginda raja Liau yang mulia, Siau Hong
ingin bicara sedikit dengan engkau, harap engkau sudi tampil kemuka!”
Dia bicara dengan menggunakan
tenaga dalam yang kuat, maka suaranya dapat berkumandang hingga jauh. Ratusan
ribu perajurit dan perwira Liau boleh dikata tiada satupun yang tidak
mendengarnya dengan jelas. Mau-tak-mau setiap orang Cidan itu berubah air
mukanya.
Selang agak lama, mendadak
terdengar suara gemuruh tambur dan terompet ditengah pasukan Liau, beratus ribu
perajurit Liau itu serentak menyisih kepinggir sebagai ombak terbelah kedua
sisi. Maka tertampaklah delapan buah panji kuning emas berkibar-kibar tertiup
angin dan dilarikan kedepan oleh delapan orang kesatria penunggang kuda.
Dibelakang kedelapan panji
kuning itu menyusul barisan-barisan bersenjata tombak, golok dan kapak, pemanah
dan golok-tameng. Sesudah tampil kedepan, lalu barisan-barisan itu memisah
kedua samping. Habis itu barulah tampak belasan jenderal dengan pakaian perang
yang mentereng mengiringkan Yalu Hung-ki maju kedepan.
Serentak perajurit-perajurit
Liau bersorak-sorai: "Banswe! Banswe! (Banswe = Hidup). Demikian
bergemuruhnya suara sorakan
itu seakan-akan menggetarkan lembah pegunungan dan memecah bumi.
Melihat perbawa musuh
sedemikian hebat, keruan perajurit Song yang menjaga Gan-bun-koan itu menjadi
terpengaruh dan keder.
Waktu Yalu Hung-ki mendadak
angkat golok mestika yang dipegangnya itu keatas, seketika suara gemuruh
pasukannya lantas berhenti, bahkan suasana menjadi sunyi senyap, kecuali suara
ringkik kuda yang terkadang terdengar, boleh dikata tiada suara lain lagi.
Sesudah Hung-ki menurunkan
kembali goloknya, tiba-tiba ia berseru kepada Siau Hong: "Siau-taiong,
Siauhiante yang baik, kau bilang akan membawa pasukan Liau kedalam benteng,
mengapa sampai saat ini pintu gerbang belum lagi dibuka.”
Mendengar ucapan Yalu Hung-ki
ini, segera juru-bahasa yang berada diatas benteng lantas menterjemahkan arti
ucapan itu kepada Thiociangkun, itu panglima penjaga Gan-bun-koan.
Keruan pasukan Song diatas
benteng itu lantas geger, beramai-ramai mereka mencaci-maki dan mengutuki Siau
Hong.
Siau Hong tahu maksud ucapan
Hung-ki itu sengaja hendak mengadu-domba agar dia dicurigai oleh pasukan Song
dan tidak berani membuka pintu gerbang benteng untuk memasukkan
pahlawan-pahlawan Tionggoan itu.
Segera Siau Hong melompat
turun dari kudanya, ia melangkah maju sambil berkata, "Baginda, Siau Hong
merasa telah menghianati budi kebaikanmu sehingga Baginda sendiri sampai maju
sendiri kemedan perang, sungguh dosaku tak terbilang besarnya.”
Baru sekian saja dia bicara,
sekonyong-konyong dua sosok bayangan orang melayang lewat dikedua sisinya.
Begitu cepat kedua bayangan itu sebagai kilat, terus saja mereka menerjang
kearah Yalu Hung-ki. Kiranya mereka adalah Hi-tiok bersama Toan Ki.
Rupanya kedua orang itu
melihat gelagat tidak menguntungkan urusan hari ini, harus berani bertindak
lebih dahulu dengan menangkap raja Liau sebagai sandera (barang jaminan),
dengan demikian barulah keselamatan orang banyak dapat terjamin. Maka begitu
saling memberi tanda, serentak mereka menerjang maju dari kanankiri.
Ketika akan maju kedepan
pasukan untuk menemui Siau Hong memangnya Yalu Hung-ki juga sudah menduga
kemungkinan saudara angkat akan menggunakan tipu lama ketika Siau Hong menawan
Cho-ong dan puteranya digaris depan waktu raja muda itu memberontak, maka sebelumnya
Hung-ki juga sudah bersiap siaga.
Benar juga, sekali ia memberi
aba-aba, serentak tiga ratus perajurit bertameng lantas merubung maju. Tiga
ratus buah tameng laksana dinding baja yang kuat telah mengadang didepan Yalu
Hung-ki. Bahkan jago tombak, jago kapak juga serentak berbaris didepan barisan
tameng itu.
Namun sekarang Hi-tiok bukan
Hi-tiok jaman dulu lagi, dia sudah memperoleh ajaran murni dari Thian-san
Tong-lo dan Li Jiu-sui, dia telah meyakinkan pula seluruh ilmu silat yang
terukir didinding Lengciu-kiong, betapa tinggi kepandaiannya sekarang boleh
dikata tiada bandingannya dan dapat dikeluarkan sesuka hatinya menurut keadaan.
Sedangkan Toan Ki sekarang
juga lain Toan Ki yang dulu, dia sudah memperoleh antero tenaga murni Ciumoti,
betapa hebat Lwekangnya juga susah diukur. Apalagi kalau dia sudah keluarkan
langkah ajaib Leng-powi-poh, biarpun penjagaan serapat baja juga dapat
ditembusnya.
Begitulah, maka dengan
menyelinap kesana dan menerobos kesitu, dengan cepat dan gesit sekali Toan Ki
telah merangsang maju melalui perajurit-perajurit bertombak dan berkapak, asal
ada sedikit lubang saja segera diterobos olehnya.
Para perajurit Liau itu segera
menggunakan senjata mereka untuk membacok dan menusuk, tapi perbuatan mereka
itu berbalik celaka, bukan saja luput mengenai Toan Ki, sebaliknya karena jarak
diantara mereka sendiri terlalu dekat, sehingga hampir seluruhnya serangan
mereka mengenai kawannya sendiri.
Adapun Hi-tiok juga lantas
bekerja dengan cepat, kedua tangannya menyambar kekanan dan kekiri, asal ada
perajurit Liau kena dicengkeramnya, kontan terus dilemparkannya keluar barisan.
Sambil melempar orang ia terus mendesak maju kearah Yalu Hung-ki.
Mendadak dua perwira Cidan
menerjang maju, dua tombak mereka menusuk berbareng kedadanya Hi-tiok.
Sekonyong-konyong Hi-tiok meloncat keatas, kedua kakinya masing-masing
menginjak diatas ujung tumbak musuh. Kedua perwira Cidan itu membentak-bentak
sambil mengayun tumbak mereka dengan maksud hendak menjungkirkan Hi-tiok
kebawah.
Tapi dengan meminjam daya
guncangan tombak-tombak lawan, Hi-tiok terus melayang keatas udara untuk
kemudian lantas menyambar keatas kepala Yalu Hung-ki.
Jadi yang satu selicin belut
dan yang lain secepat burung terbang, tahu-tahu Toan Ki dan Hi-tiok sudah
menerjang sampai didekat raja Liau itu.
Keruan Hung-ki terkejut, cepat
ia angkat golok-mestikanya dan membacok kearah Hi-tiok yang sedang menubruk
dari atas.
Tapi dari atas Hi-tiok sudah
lantas mengulurkan tangannya dan menahan diatas golok-mestikanya, berbareng
orangnya lantas meluncur turun, dimana tangannya bergerak, dengan cepat
pergelangan tangan kanan Hung-ki sudah kena dipegang olehnya.
Dan pada saat yang hampir sama
Toan Ki juga sudah menyelinap tiba dari rintangan perajurit-perajurit Liau dan
dapat mencengkeram tangan kiri Hung-ki.
"Ikutlah!” bentak Toan Ki
dan Hi-tiok berbareng. Segera mereka angkat tubuh Hung-ki dari atas kudanya dan
melompat kedepan untuk dibawa lari secepat terbang.
Ditengah jerit kaget dan
kuatir perwira dan perajurit Liau yang riuh ramai itu, seketika mereka menjadi
bingung karena raja mereka sudah kena ditawan musuh. Ada beberapa pengawal
pribadi Hung-ki memburu maju hendak menolong, tapi semuanya kena ditendang mencelat
oleh Hi-tiok dan Toan Ki.
Karena berhasil menawan raja
Liau, sungguh girang Hi-tiok dan Toan Ki tak terkatakan. Mendadak mereka
melihat Siau Hong telah memapak tiba, berbareng mereka lantas berseru,
"Toako!”
Tak terduga mendadak Siau Hong
menggerakkan kedua telapak tangannya berbareng, sekaligus ia serang kedua
saudara angkat itu. Keruan Hi-tiok dan Toan Ki terkejut, tampaknya daya pukulan
Siau Hong sebagai gugur gunung dahsyatnya dan susah dielakkan pula. Terpaksa
mereka angkat tangan masing-masing untuk menangkis. Maka terdengarlah suara
plak-plok dua kali, empat tangan beradu dan menimbulkan angin yang menderu
keras.
Kesempatan itu segera
digunakan oleh Siau Hong untuk memburu maju, ia tarik Yalu Hung-ki kearahnya.
Dalam pada itu pasukan Liau dan
kesatria-kesatria Tionggoan juga telah membanjir maju dari arahnya
masingmasing, yang satu pihak ingin merebut kembali raja mereka dan pihak lain
ingin membantu Siau Hong, Hi-tiok dan Toan Ki.
Sudah tentu siapapun tidak
menduga bahwa mendadak Siau Hong telah mengadu pukulan dengan kedua
saudara-angkatnya. Karena itulah orang-orang kedua pihak sama-sama tercengang.
Segera terdengar Siau Hong
berseru lantang, "Jangan bergerak, siapapun jangan bergerak, dengarkan
dulu, aku ingin bicara dengan raja Liau!”
Serentak pasukan Liau dan
kesatria-kesatria Tionggoan berhenti di tempatnya masing-masing, kedua pihak
sama-sama kuatir membikin susah orangnya sendiri, maka mereka hanya
berteriak-teriak saja dari jauh dan tidak berani menerjang maju, apalagi tidak
berani melepaskan panah.
Dalam pada itu Hi-tiok dan
Toan Ki juga telah menyingkir kira-kira beberapa tindak dibelakangnya Yalu
Hung-ki untuk menjaga kalau-kalau raja Liau itu lari kembali kedalam pasukannya
serta untuk merintangi bila ada jago Cidan memburu maju hendak menolong
rajanya.
Saat itu wajah Yalu Hung-ki
sudah pucat pasi, pikirnya, "Watak Siau Hong ini sangat keras, aku telah
mengurung dia didalam kerangkeng berterali besi dan menghina dia habis-habisan.
Sekarang aku berbalik tertawan olehnya, tentu dia akan membalas dendam
sepuas-puasnya dan mungkin jiwaku takkan diampuni lagi olehnya.”
Tak tersangka Siau Hong telah
berkata, "Baginda, kedua orang ini adalah saudara-angkatku, mereka takkan
membikin susah padamu, jangan kau kuatir.”
Hung-ki mendengus sekali dan
tidak menjawab, ia menoleh memandang sekejap kepada Hi-tiok, lalu memandang
sekejap pula pada Toan Ki.
"Jiteku ini bernama
Hi-tiok-cu, adalah majikan dari Leng-ciu-kiong, dan Samte ini adalah
Toan-kongcu dari kerajaan Tayli,” demikian Siau Hong memperkenalkan.
"Nama-nama mereka juga pernah hamba ceritakan kepada Sri Baginda.”
”Ya, ternyata tidak bernama
kosong, benar-benar sangat hebat!” sahut Hung-ki sambil manggut-manggut.
”Kami akan segera melepaskan
Sri Baginda kembali ke pasukanmu, cuma kami ingin mohon sesuatu dari Baginda,”
kata Siau Hong pula.
Hung-ki hampir-hampir tidak
percaya kepada telinganya sendiri. Pikirnya, "Didunia ini masakah ada
urusan sedemikian enaknya? Ah, ya, tahulah aku, mungkin Siau Hong sudah
berbalik pikiran dan akan kembali
padaku, maka ia akan mohon aku
menganugrahi mereka bertiga dengan pangkat yang tinggi.”
Maka dengan muka tersenyum
simpul ia menjawab, "Kalian ada permohonan apa, sudah tentu aku akan
memenuhi dengan baik.”
"Baginda sekarang telah
menjadi tawanan kedua saudara-angkatku ini,” kata Siau Hong. ”Menurut peraturan
bangsa Cidan kita, untuk bisa bebas Sri Baginda harus memberi tebusan dengan
sesuatu.”
Seketika Hung-ki mengerut
kening. "Apa yang kalian kehendaki?” tanyanya.
"Maafkan kelancangan
hamba yang telah mewakilkan kedua saudara-angkatku untuk bicara dengan terus
terang, yang kami inginkan hanya suatu janji Baginda saja,” sahut Siau Hong.
Kerut kening Hung-ki semakin
rapat. ”Soal apa?” tanyanya pula.
"Kami hanya mohon Baginda
suka berjanji akan segera menarik mundur pasukanmu dan untuk selama hidup Sri Baginda
akan melarang setiap perajurit Liau mendekati perbatasan wilayah antara kedua
negeri Liau dan Song.”
Toan Ki sangat girang
mendengar syarat yang dikemukakan oleh Siau Hong itu. Pikirnya, "Asal
pasukan Liau tidak melintasi wilayah perbatasannya dengan Song dan dengan
sendirinya juga tak dapat mengancam negeri Tayli kami.”
Karena itu, cepat iapun
berseru: "Ya, betul, asal kau mau berjanji dan segera kami akan melepaskan
kau.”
Tapi lantas teringat olehnya
bahwa tertawannya raja Liau itu sebagian juga berkat tenaga sang Jiko dan entah
bagaimana pendapatnya tentang syarat yang dikemukakan Siau Hong itu. Maka ia
lantas bertanya kepada Hitiok, ”Jiko, tebusan apa yang kau inginkan dari raja
Cidan ini.”
Hi-tiok menggeleng kepala,
sahutnya: "Akupun mengharapkan janjinya itu saja.”
Air muka Hung-ki tampak
bersengut, katanya, "Hm, kalian berani memaksa dan mengancam diriku? Dan
bagaimana kalau aku menolak permintaanmu.”
”Jika begitu, tiada jalan
lain, terpaksa gugur bersama,” kata Siau Hong. ”Dahulu waktu kita
mengangkatsaudara kita juga pernah bersumpah untuk hidup dan mati bersama.”
Hung-ki tertegun. Pikirnya,
"Siau Hong ini adalah seorang nekat yang tidak kenal apa artinya takut.
Dia berani berkata dan berani berbuat, apa yang sudah diucapkan selamanya
dipegang teguh. Kalau aku menolak permintaannya, jangan-jangan dia benar-benar
menyerang diriku, sungguh celaka jika aku mesti binasa ditangan seorang nekat
sebagai dia ini.”
Karena itulah mendadak ia
bergelak tertawa dan berseru dengan lantang, "Dengan jiwaku Yalu Hung-ki
ini dapat menyelamatkan berjuta-juta jiwa dari rakyat kedua negara, haha,
saudaraku yang baik, apa kau pandang jiwaku sedemikian tinggi nilainya.”
”Sri Baginda adalah orang yang
diagungkan dinegeri Liau, diseluruh jagat ini masakah ada orang lain yang lebih
tinggi nilainya daripada Baginda?” sahut Siau Hong.
Kembali Hung-ki tertawa,
katanya, "Jika demikian, dahulu orang Nuchen hanya minta tebusan padaku
sebanyak 30 kereta emas, 300 kereta perak dan 3000 ekor kuda, penilaian mereka
sesungguhnya terlalu dangkal, bukan.”
Siau Hong membungkuk tubuh
kepada kakak-angkat itu dan tidak menjawab lagi.
Hung-ki coba menoleh
kebelakang, tertampak jago pengawalnya yang paling dekat juga lebih dari
puluhan meter jauhnya, betapapun pasti susah untuk menolong dirinya. Mengingat
jiwanya yang lebih berharga daripada segala benda apapun didunia ini, terpaksa
Yalu Hung-ki menerima syarat yang diajukan Siau Hong. Segera ia mengeluarkan
sebatang anak panah, ia angkat keatas, sekali tekuk, krak, patahlah anak panah
itu terus dibuangnya keatas tanah sambil berkata: "Kuterima syaratmu!”
”Banyak terima kasih,
Baginda,” kata Siau Hong.
Segera Hung-ki memutar tubuh
dan hendak melangkah pergi, tapi tertampak olehnya Hi-tiok dan Toan Ki masih
mengawasi dirinya dengan sorot mata berapi-api dan tiada tanda-tanda mau
memberi jalan padanya. Terpaksa ia menoleh lagi memandang kepada Siau Hong,
dilihatnya Siau Hong juga diam saja. Maka tahulah Hung-ki apa maksud mereka,
terang mereka masih kuatir kalau-kalau dirinya mengingkar janji hanya dengan
ucapannya tadi.
Hung-ki lantas melolos
golok-mestikanya dan diangkat tinggi keatas, lalu serunya keras-keras,:
"Wahai,
dengarkanlah para perajurit
dan perwira Liau!”
Serentak terdengar tambur
perang ditengah pasukan Liau bergemuruh ditabuh, lalu berhenti seketika.
Kemudian Yalu Hung-ki berseru
pula, "Sekarang juga kuperintahkan menghentikan peperangan ini, negeri
Song dan Liau adalah negeri bersaudara, maka hari ini juga pasukan kita lantas
ditarik mundur. Untuk selama hidupku ini aku melarang setiap perajurit Liau
melintasi perbatasan.” Habis berkata, ketika golok-mestikanya diturunkan,
kembali tambur bergemuruh ditabuh lagi.
Dan baru sekarang Siau Hong
membuka suara, "Dengan hormat silakan Sri Baginda kembali ke pasukan!”
Hi-tiok dan Toan Ki segera
menyingkir kesamping dan memutar kebelakangnya Siau Hong.
Hung-ki merasa girang dan malu
pula. Meski ia ingin secepatnya meninggalkan tempat berbahaya itu, tapi iapun
tidak sudi mempertontonkan kelemahannya didepan Siau Hong dan pasukan kedua
pihak, maka ia berlaku tenang sedapat mungkin dan melangkah kembali kepihak
pasukannya dengan pelahan-lahan.
Segera berpuluh pengawal
pribadinya melarikan kuda mereka memapak maju. Semula langkah Hung-ki masih
pelahan, tapi tanpa merasa jalannya makin lama makin cepat, sehingga akhirnya
kedua kakinya terasa lemas seakan-akan jatuh, jalannya menjadi terhuyung-huyung,
kedua tangannya bergemetar dan keringat memenuhi dahinya.
Ketika para pengawalnya sampai
didepannya dan membawakan kuda tunggangannya, namun sekujur badan Hung-ki sudah
lemas semua rasanya, biarpun sebelah kakinya sudah menginjak pelana, tapi tidak
kuat mencemplak keatas kudanya.
Cepat dua pengawalnya menahan
bahunya dan mengangkatnya keatas, dengan demikian barulah Hung-ki dapat naik
keatas kudanya.
Melihat raja mereka telah
kembali dengan selamat, serentak para perajurit Liau bersorak-sorak lagi riuh
rendah.
Dalam pada itu demi mendengar
raja Liau memberi perintah kepada pasukannya untuk mundur dan menyatakan selama
hidupnya akan melarang setiap perajurit Liau melanggar perbatasan kedua negeri,
maka baik tentera Song diatas benteng maupun para kesatria diluar benteng juga
serentak bersorak gembira.
Semua orang cukup kenal sifat
orang Cidan yang kejam dan suka membunuh, tapi selamanya dapat pegang janji,
apalagi sekarang raja Liau sendiri yang mengumumkan janjinya didepan pasukan
kedua pihak, kalau kelak mengingkar janji, tentu diapun akan dipandang hina
oleh rakyatnya sendiri dan tahta kerajaannya mungkin akan guncang.
Begitulah dengan wajah guram
Yalu Hung-ki merasa malu benar-benar karena telah memberikan janji sebesar itu
dibawah ancaman Siau Hong. Peristiwa ini benar-benar sangat menurunkan
perbawanya dan memerosotkan pamor kerajaan Liau. Tapi dari suara sorak-sorai
sambutan pasukannya dapat dirasakan pula bahwa apa yang sudah terjadi itu
ternyata tidak mengurangi dukungan para perajurit dan perwiranya kepadanya.
Ketika ia memandang para perajuritnya, tertampak wajah setiap orang bercahaya
dan berseri-seri.
Rupanya para perajurit itu
demi mendengar pasukan mereka segera akan ditarik mundur sehingga terhindar
dari kemungkinan mati dimedan perang dan tidak lama lagi akan dapat berkumpul
kembali dengan sanak keluarganya, maka mereka menjadi kegirangan.
Maklum, sekalipun orang Cidan
gagah berani, tapi siapapun tak dapat menjamin akan mati-hidup setiap orang
dimedan perang. Maka demi mendengar mereka akan terhindar dari bencana perang,
dengan sendirinya mereka sangat senang, terkecuali beberapa perwira diantaranya
yang mengimpikan akan mengeduk keuntungan dan naik pangkat dalam peperangan
itu.
Diam-diam Hung-ki terkesiap,
"Kiranya semangat perajurit-prajuritku juga sudah bosan perang, kalau aku
berkeras mengerahkan mereka menyerbu keselatan, bukan mustahil akupun akan
menderita kekalahan. Lalu teringat pula olehnya: "Orang-orang Nuchen itu
benar-benar sangat kurangajar, mereka selalu merupakan ancaman dibelakang
punggungku, maka aku harus menumpas dulu manusia-manusia biadab itu.”
Segera ia mengacungkan
golok-mestikanya keatas dan berseru: "Harap Pak-ih Tai-ong memberi
perintah, barisan belakang segera berubah menjadi barisan muka, kita langsung
pulang ke Lamkhia!”
Serentak genderang berbunyi
lagi dan meneruskan titah raja itu. Maka terdengarlah suara sorak-sorai gegap
gempita yang makin menjauh dan makin menjauh.
Ketika Yalu Hung-ki berpaling,
ia melihat Siau Hong masih berdiri ditempatnya tanpa bergerak sedikitpun, sorot
matanya tampak cemas.
Hung-ki tertawa dingin dan
berseru, "Siau-taiong, kau telah berjasa besar bagi kerajaan Song, terang
hadiah
besar dan kedudukan tinggi
sedang menantikan dirimu dalam waktu singkat.”
”Sri Baginda,” mendadak Siau
Hong menjawab dengan suara keras. "Sekali Siau Hong adalah bangsa Cidan
maka untuk selamanya juga tetap bangsa Cidan. Hari ini hamba telah memaksakan
kehendak atas Baginda sehingga menjadi seorang Cidan yang maha berdosa, untuk
selanjutnya apakah Siau Hong masih ada muka untuk hidup didunia ini!”
Sekonyong-konyong ia jemput
kedua potong panah patah yang dibuang Hung-ki tadi, sekali tenaga dalam
dikerahkan, crat-crat, mendadak ia tikam ulu hati sendiri dengan kedua potong
panah patah itu.
Hung-ki menjerit kaget dan
segera memutar kudanya dan dilarikan beberapa tindak, tapi lantas menghentikan
kudanya lagi.
Kejut Hi-tiok dan Toan Ki tak
terkatakan, berbareng mereka melompat maju sambil berteriak: "Toako!
Toako!”
Namun kedua potong panah patah
itu dengan tepat telah menancap di ulu hati Siau Hong. Kedua mata sang Toako
tertampak terpejam rapat, nyata orangnya sudah meninggal.
Cepat Hi-tiok merobek baju
sang Toako dengan maksud hendak memberi pertolongan kilat. Namun luka Siau Hong
teramat parah, dengan tepat ulu hatinya tertembus kedua potong panah patah,
terang susah untuk dihidupkan lagi. Terlihat diatas dada sang Toako sebuah
kepala serigala yang menyeringai bertaring dan sangat buas tampaknya.
Hi-tiok dan Toan Ki menangis
sedih dan memberi hormat terakhir kepada sang Toako. Beramai-ramai anggota
Kai-pang juga berkerumun maju untuk memberi hormat.
”Kiau-pangcu,” seru Go-tianglo
sambil memukul-mukul dadanya sendiri, meski engkau adalah orang Cidan, tapi
jauh lebih gagah dan lebih kesatria daripada orang-orang Han yang tak berguna
sebagai kami ini!”
Para kesatria Tionggoan
beramai-ramai juga mengerumuni pahlawan pembela perdamaian itu dan ramai
mempercakapkannya. Ada yang bertanya: "Kiau-pangcu ternyata benar adalah
orang Cidan? Jika demikian mengapa dia malah membela pihak Song kita.”
”Ya, tampaknya ditengah bangsa
Cidan juga terdapat kaum kesatria dan pahlawan,” demikian kata seorang lain.
”Sejak kecil dia dibesarkan
ditengah-tengah bangsa Han kita, sehingga dapat menteladani budi luhur bangsa
kita,” sambung yang lain lagi.
”Kalau kedua negara sudah
berdamai dan dia sudah menjadi juru penyelamat rakyat kedua pihak, mestinya dia
toh tidak perlu membunuh diri,” demikian pendapat yang lain.
”Kau tahu apa?” ujar kawannya.
”Meski dia berjasa bagi kerajaan Song, tapi dia telah dipandang sebagai
penghianat dinegerinya sendiri. Jadi dia membunuh diri karena takut atas
dosanya sendiri.”
”Takut dosa apa? Kesatria
besar sebagai Kiau-pangcu masakah perlu merasa takut?” tukas kawannya tadi.
Sebaliknya Yalu Hung-ki
menjadi bingung sendiri demi menyaksikan Siau Hong telah membunuh diri.
Pikirnya, "Dia sebenarnya berjasa bagi kerajaan Liau atau berdosa? Dengan
susah payah dia telah mencegah aku menyerang wilayah Song, sebenarnya dia berjuang
bagi orang Han atau bagi bangsa Cidan? Sejak dia mengangkat-saudara dengan aku,
selamanya dia sangat setia padaku. Hari ini dia telah membunuh diri didepan
Gan-bun-koan, tampaknya bukan maksudnya karena kemaruk kepada kedudukan di
negeri Song sana, habis ... habis apa sebabnya.”
Maka berderaplah beratus ribu
telapak kaki kuda menuju keutara, para perwira Cidan berulang-ulang masih
menoleh kebelakang untuk memandang tubuh Siau Hong yang menggeletak diatas
tanah dan sudah tak bernyawa itu.
Terdengar pula suara
berkaoknya burung, serombongan burung belibis sedang terbang dari utara lewat
diatas kepala pasukan tentara dan menuju keselatan melintasi benteng
Gan-bun-koan.
Makin lama makin menjauh suara
gemuruh derap pasukan Liau itu. Hitiok, Toan Ki dan lain-lain masih berdiri
termangu-mangu disamping jenazah Siau Hong, ada yang menangis tergerung-gerung,
ada yang cuma mencucurkan air mata dengan kepala menunduk.
Tiba-tiba terdengar jerit
lengking seorang wanita muda, "Minggir! Minggir! Semuanya minggir! Kalian
sudah menyebabkan kematian Cihuku, tapi masih pura-pura menangis apa segala
disini, apa gunanya.”
Sambil berkata wanita muda itu
sembari mendorong-dorong minggir orang banyak yang berkerumun disekitar jenazah
Siau Hong. Siapa lagi dia kalau bukan A Ci.
Hi-tiok dan lain-lain sudah
tentu tidak pikirkan ucapan anak dara yang sebenarnya menyinggung perasaan itu,
maka mereka lantas sama menyingkir memberi jalan kepada A Ci.
Untuk sejenak A Ci
termangu-mangu memandang jenazah Siau Hong, kemudian ia berkata dengan suara
halus, "Cihu, orang-orang ini semuanya orang busuk, kau jangan gubris pada
mereka, hanya A Ci saja yang benarbenar berlaku baik kepadamu.”
Habis berkata ia terus
berjongkok untuk memondong jenazah Siau Hong. Tapi tubuh Siau Hong sangat
tinggi dan besar, separo badannya terpondong, tapi kedua kakinya tetap terseret
diatas tanah.
A Ci berkata pula, "Cihu,
aku tahu sekarang kau baru menurut padaku, biarpun kupondong dirimu juga, kau
tak mendorong pergi aku lagi. Ya, harus beginilah memangnya!”
Hi-tiok dan Toan Ki saling
pandang sekejap, pikir mereka, "Agaknya dia terlalu berduka sehingga
pikirannya berubah kurang waras.
Lalu Toan Ki coba menghiburnya
dengan suara halus, "Adikku, secara kesatria Siau-toako telah gugur, orang
meninggal toh tak dapat hidup kembali, hendaklah kau ... kau ...”
Tapi A Ci lantas mendorong
minggir sambil membentak, "Jangan kau merebut Cihuku, dia adalah milikku,
siapapun tidak boleh menyentuhnya!”
Toan Ki menoleh dan mengedipi
Bok Wan-jing.
Wan-jing paham maksudnya dan
segera mendekati A Ci, katanya dengan pelahan, "Adik kecil, Siau-toako
telah wafat, marilah kita berunding cara bagaimana sebaiknya untuk memakamkan
dia ... ”
Tak terduga mendadak A Ci
menjerit tajam sehingga Bok Wan-jing terkaget dan tersentak mundur.
”Pergi! Pergi! Enyahlah
semua!” demikian seru A Ci. ”Kaum lelaki bukan manusia baik, kaum wanitanya
juga bukan orang baik! Kau bermaksud meracuni Cihuku, kau suruh dia minum arak
sehingga tak bisa berkutik. Hm, jika kau berani mendekat segera akan kubunuh
kau lebih dulu.”
Keruan Bok Wan-jing mengerut
kening dan geleng-geleng kepala kepada Toan Ki.
Pada saat itulah tiba-tiba
dilereng bukit disisi kiri benteng Gan-bun-koan sana ada suara teriakan orang,
"A Ci! A Ci! Ha, aku sudah mendengar suaramu! Dimanakah engkau sekarang?
Dimana.”
Suara itu kedengaran sangat
memilukan hati, banyak diantara kesatria Tionggoan itu mengenal suara orang
itu, yaitu orang yang pernah menjadi Pangcu dari Kai-pang dan memakai nama
samaran sebagai Ong Sing-thian, aslinya bernama Yu Goan-ci.
Waktu semua orang memandang
kearah datangnya suara, maka tertampaklah kedua tangan Goan-ci masingmasing
memegangi sebatang tongkat bambu, tongkat kiri dipakai sebagai alat pencari
jalan, tongkat kanan sebaliknya menumpang diatas pundak seorang laki-laki
setengah umur dan sedang muncul dari kelokan gunung sana.
Hi-tiok dan lain-lain menjadi
terheran-heran. Waktu mereka memperhatikan si lelaki setengah umur, kiranya dia
adalah Oh-lotoa yang ditugaskan menjaga Leng-ciu-kiong oleh Hi-tiok.
Wajah Oh-lotoa tampak kurus
pucat, bajunya compang-camping dan memperlihatkan sikap yang penasaran karena
terpaksa.
Maka tahulah Hi-tiok dan
lain-lain. Rupanya Oh-lotoa telah dipaksa oleh Goan-ci yang sudah buta itu agar
membawanya pergi mencari A Ci. Bukan mustahil sepanjang jalan Oh-lotoa telah
banyak menderita siksaan Goan-ci.
”Untuk apa kau datang kesini?”
demikian tiba-tiba A Ci mendamperat dengan gusar. ”Aku tidak ingin melihat kau,
tidak ingin melihat kau lagi!”
Sebaliknya Goan-ci menjadi
girang, serunya: "Ha, engkau ternyata benar berada disini. Aku dapat
mengenali suaramu, akhirnya aku dapat menemukan dikau!” Dan ketika dia dorong
tongkatnya sedikit, tanpa kuasa lagi Oh-lotoa lantas berlari kedepan secepat
terbang.
Cepat sekali datangnya Goan-ci
dan Oh-lotoa itu, hanya dalam sekejap saja sudah sampai disamping A Ci.
Hi-tiok, Toan Ki dan lain-lain
sedang dalam keadaan tak berdaya, demi nampak datangnya Yu Goan-ci, mereka
pikir pemuda ini rela
mengorbankan kedua biji matanya untuk A Ci, dengan sendirinya mereka mempunyai
hubungan yang sangat baik, maka boleh jadi pemuda buta ini akan dapat
menyadarkan A Ci. Sebab itulah Hitiok dan lain-lain lantas menyingkir beberapa
tindak lebih jauh dan tidak ingin mengganggu percakapan kedua muda-mudi itu.
Maka terdengar Goan-ci telah
menyapa, "Nona A Ci, engkau baik-baik saja bukan? Apa ada orang berani
membikin susah padamu?”Meski selebar mukanya sudah rusak, tapi dari nada
ucapannya itu terang sekali dia merasa sangat girang dan penuh perhatiannya kepada
si anak dara.
”Aku telah dibikin susah oleh
orang lain, apa yang hendak kau lakukan?” sahut A Ci. ”Siapakah dia?” cepat
Goan-ci menegas. ”Lekas nona katakan padaku, biar aku akan menghajarnya sampai
mampus!”
A Ci tertawa dingin, katanya
sambil menunjuk para hadirin yang berada disekitarnya, "Itulah, mereka
semuanya telah membikin susah padaku, sekaligus boleh kau membunuh habis
mereka!”
”Baik,” sahut Goan-ci. Lalu ia
bertanya kepada Oh-lo-toa: "Hei, lau-Oh (Oh si tua), orang-orang macam
apakah yang telah berani membikin susah kepada nona A Ci itu.”
”Wah, banyak sekali jumlahnya,
engkau tak sanggup membunuh mereka,” sahut Oh-lotoa.
”Biarpun tak dapat juga akan
kulakukan,” kata Goan-ci. ”Habis, siapa suruh mereka berani main gila kepada
nona A Ci.”
Tiba-tiba A Ci berkata lagi
dengan gusar, "Sekarang aku sudah berada bersama dengan Cihu, untuk
selanjutnya kami takkan berpisah lagi selamanya. Nah, lekas enyahlah kau, aku
tak ingin melihat kau pula.”
Sungguh sedih Goan-ci bukan
buatan, katanya, "Ja ... jadi engkau tak ... takkan menemui aku lagi ....”
"Ya, ya, tahulah aku,
biji mataku ini adalah pemberianmu,” seru A Ci dengan suara keras. "Cihu
mengatakan aku telah utang budi kepadamu, maka aku diharuskan melayani kau
dengan baik. Tapi aku justeru tidak suka.”
Habis berkata, mendadak tangan
kanannya terus mencongkel kedalam matanya sendiri, terus dikorek keluar biji
matanya, lalu dilemparkannya kepada Goan-ci sambil berteriak: "Ini,
kukembalikan padamu! Sejak kini aku tidak utang apa-apa lagi padamu dan Cihu
tak dapat memaksa aku mengikuti kau pula.”
Meski kedua mata Goan-ci sudah
buta, tapi demi didengarnya jerit kaget orang-orang yang berada disekitarnya,
suaranya penuh rasa kuatir dan ngeri, maka tahu juga dia apa yang telah
terjadi. Dengan suara parau ia berteriak: "O, nona A Ci, nona A Ci!”
Tapi begitu biji mata sendiri
sudah dikorek keluar, segera A Ci memondong jenazah Siau Hong dan melangkah
kedepan sambil berkata dengan suara halus mesra, "Cihu, sekarang kita
tidak utang apa-apa lagi kepada siapapun. Dahulu aku telah melukai kau dengan
jarum berbisa, tujuanku ialah ingin engkau selalu berdampingan dengan aku. Dan
sekarang barulah cita-citaku itu terkabul.” Sambil bicara ia terus melangkah
semakin jauh kedepan dengan memondong jenazah Siau Hong.
Melihat darah bercucuran dari
cekung matanya A Ci hingga membasahi mukanya yang putih cantik itu, hati semua
orang merasa ngeri dan kasihan pula. Maka ketika melihat anak dara itu berjalan
mendekat semua orang lantas menyingkir kesamping.
A Ci berjalan lurus kedepan
dan pelahan-lahan sampai ditepi jurang.
Semua orang menjadi kuatir dan
segera berteriak-teriak, "Berhenti! Awas, didepan adalah jurang yang
curam!”
Bahkan Toan Ki juga terus
memburu maju sambil berseru: "Awas adikku, jang ...” Namun sudah
terlambat, A Ci masih melangkah lurus kedepan, mendadak kakinya menginjak
tempat kosong dan terjerumuslah anak dara itu bersama jenazah Siau Hong kedalam
jurang yang tak terkirakan dalamnya itu.
Tepat pada saat itu Toan Ki
juga telah memburu sampai ditepi jurang cepat ia ulur tangannya untuk
menjambret, tapi yang kena hanya secabik kain baju adik perempuannya itu dan
orangnya tetap terjerumus kebawah.
Waktu Toan Ki melongok kedalam
jurang, yang tertampak hanya awan belaka yang menutup rapat dipermukaan jurang
sehingga tidak diketahui betapa dalamnya jurang itu, bayangan A Ci dan Siau
Hong dengan sendirinya tak terlihat sedikitpun.
Para kesatria yang berdiri
ditepi jurang semuanya ikut menghela napas gegetun, apalagi yang berilmu silat
agak rendahan menjadi ngeri membayangkan betapa dalam dan terjalnya jurang.
Hian-to dan beberapa kawannya
yang berusia lebih lanjut, mengetahui cerita tentang dahulu Hian-cu, Ongpangcu
dan lain-lain pernah menyergap jago-jago Cidan diluar Gan-bun-koan dan ibunya
Siau Hong justeru
terkubur didasar jurang itu.
Tak terduga bahwa beberapa puluh tahun kemudian Siau Hong dan A Ci juga
terkubur pula didalam jurang itu.
Pada saat lain tiba-tiba
terdengar suara genderang berbunyi diatas benteng, perwira yang menyampaikan
perintah komandannya tadi sedang berseru pula kepada para kesatria: "Atas
perintah Thio-ciangkun, panglima militer benteng Gan-bun-koan, bahwasanya
kalian ternyata bukan mata-mata musuh dari negeri Liau, maka kalian dapat
diijinkan masuk benteng, tapi kalian harus taat kepada undang-undang dan
berlaku sopan-santun, dilarang membikin rusuh dan mengacaukan suasana tenteram,
hendaklah kalian maklum.”
Tapi para kesatria diluar benteng
serentak menjawab dengan mencaci-maki, ada yang berteriak, "Persetan
dengan perintah panglimamu itu, biarpun mati juga kami tidak sudi masuk kedalam
benteng yang dijaga pembesar anjing macam kalian itu!”
”Coba kalau pembesar anjing
itu tidak bersikap plintat-plintut, tentu juga Siau-tayhiap takkan tewas
seperti sekarang ini!” demikian ditambahkan seorang kesatria lain.
Begitulah beramai-ramai para
kesatria mencaci-maki sambil menuding perwira diatas benteng itu. Sedangkan
Hi-tiok dan Toan Ki telah berlutut dan memberi hormat kearah jurang, lalu
pergilah mereka dengan mendaki gunung dan melintasi bukit tanpa menghiraukan
siperwira yang mencak-mencak diatas benteng karena dicacimaki oleh para
kesatria itu.
Apa yang terjadi diluar
Gan-bun-koan ini lantas digunakan baik oleh panglima penjaga benteng itu untuk
membuat laporan kilat ke kotaraja, katanya dia telah memimpin sendiri
pasukannya dan bertempur mati-matian selama beberapa hari menghadapi pasukan
Liau yang berjumlah ratusan ribu orang, berkat lindungan Thian dan Sri Baginda
serta semangat tempur para perajurit, perwira dan bintara, akhirnya berhasil
membinasakan Lam-ih Tai-ong kerajaan Liau yang bernama Siau Hong dan raja Liau
Yalu Hung-ki kemudian mengundurkan diri dengan kekalahan habis-habisan.
Raja Song sangat girang
mendapat laporan itu, segera ia mengirimkan firman yang memberi penghargaan
setinggi-tingginya kepada para perajurit, perwira dan bintara, pangkat mereka
seluruhnya dinaikkan setingkat disertai hadiah-hadiah yang besar. Para pembesar
dipemerintah pusat juga tidak ketinggalan untuk merayakan kemenangan itu secara
besar-besaran.
Sementara itu Toan Ki telah
ambil perpisahan dengan Hi-tiok ditengah jalan, bersama Bok Wan-jing, Ciong
Ling, Hoan Hwa, Pah Thian-sik dan lain-lain, mereka lantas pulang ke Tayli.
Setiba didalam wilayah negeri
Tayli, jauh-jauh calon permaisuri Ong Giok-yan dan para pembesar sudah
menantikan dan menyambut mereka. Ketika Toan Ki bercerita tentang Siau Hong dan
A Ci, Giok-yan menjadi
terharu dan menangis, semua
orangpun ikut berduka.
Rombongan mereka terus menuju
keselatan, karena Toan Ki tidak ingin membikin kaget kepada penduduk setempat
maka rombongannya tidak mengenakan pakaian kebesaran, tapi tetap menyamar
sebagai kaum saudagar dan orang pelancongan.
Sepanjang jalan tiada terjadi
apa-apa, akhirnya sampailah mereka diluar kota-raja Tayli. Toan Ki ingin pergi
ke Thian-liong-si lebih dulu untuk menyampaikan sembah bakti kepada Koh-eng
Taysu dan paman bagindanya, Toan Cing-bing.
Tatkala itu sudah menjelang
magrib, hari sudah mulai gelap. Ketika lalu disebuah hutan didekat
Thian-liong-si, tiba-tiba ditengah hutan itu terdengar suara teriakan seorang
anak kecil, "Sri Baginda, Paduka Yang Mulia, nah, aku sudah menyembah
padamu, mengapa aku tidak diberi permen.”
Toan Ki dan lain-lain menjadi
terheran-heran. Mengapa ditempat ini, bahkan seorang anak kecil dapat mengenali
penyamarannya.
Tanpa merasa rombongan mereka
lantas membelok kedalam hutan itu untuk melihat siapakah sebenarnya anak kecil
itu. Tapi mendadak terdengar pula seorang sedang berkata, "Kalian harus
berseru, "Dirgahayulah! Semoga Sri Baginda hidup bahagia dan panjang umur!
Habis itu barulah akan kuberi permen.”
Suara orang itu terdengar
sudah sangat dikenal mereka. Itulah Buyung Hok adanya.
Toan Ki dan Giok-yan terkejut,
cepat kedua orang bergandeng tangan dan bersembunyi dibalik pohon sambil
memandang kearah datangnya suara itu. Maka tertampaklah Buyung Hok sedang duduk
diatas sebuah kuburan, kepalanya memakai kopiah raja buatan dari kertas dan
sikapnya dibikin keren.
Didepannya ada tujuh atau
delapan orang anak kampung sedang berlutut dan beramai-ramai lagi mengucapkan:
"Dirgahayu! Sri Baginda bahagia, panjang umur!”
Sambil berteriak-terial tak
keruan menirukan apa yang diajarkan Buyung Hok tadi sambil tiada hentinya
menyembah, malahan sudah ada yang menjulurkan tangannya sambil berkata:
"Mana permennya? Mana permennya.”
Terdengar Buyung Hok telah
menjawab, "Para pengabdiku, silakan bangun. Sekarang kerajaan Yan kita sudah
kubangkitkan kembali dan aku
sudah naik tahta, dengan sendirinya para pengabdiku akan mendapat ganjaran yang
setimpal menurut jasa masing-masing.
Lalu ia merogoh keluar
segenggam permen dan dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil tadi.
Anak-anak itu berjingkrak-jingkrak
kegirangan sambil berlari pergi, semuanya berteriak-teriak, "Besok kita
akan datang minta permen lagi!”
Maka tahulah Giok-yan bahwa
pikiran sang Piauko sudah tidak waras lagi karena gila hormat dan mengimpikan
menjadi kaisar, tapi tak terkabul. Sungguh hati Giok-yan tak terkatakan
dukanya.
Pelahan-lahan Toan Ki menarik
tangan sang kekasih, ia memberi isyarat tangan dan semua orang lantas mundur
keluar hutan secara diam-diam.
Buyung Hok terlihat masih
duduk diatas kuburan tadi dan mulutnya tampak berkomat-kamit tak berhenti-henti
entah sedang mengoceh apa ...
Tamat