Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 86-87 (Tamat)

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 86-87 (Tamat) "Tentu kau tahu,” demikian Bok-kuihui menyambung. "Wanita dalam istana kerajaan kita entah berapa ribu jumlahnya,
Jilid 86
"Tentu kau tahu,” demikian Bok-kuihui menyambung. "Wanita dalam istana kerajaan kita entah berapa ribu jumlahnya, yang jauh lebih cantik dari padaku entah berapa banyak, sebabnya Hongsiang hanya menyukai aku saja, hal ini sebagian adalah karena ada jodoh, disamping itu berkat jasa si padri tua di Seng-tik-si kotaraja itu. adik cilik, kaupun tidak perlu sedih kalau Cihumu sekarang tidak memikirkan dirimu. Kelak bila aku sudah ikut Hongsiang pulang ke kotaraja bolehlah kau ikut ke Seng-tik-si untuk memohon pertolongan kepada padri tua yang sakti itu, dia tentu punya akal yang bagus.

"Akal bagus apa yang dipunyai padri tua itu?” Tanya A Ci heran dan tertarik.

"Hal ini akan kukatakan padamu, tapi jangan sekali-kali kau katakan kepada orang ketiga. Untuk ini kamu harus bersumpah bahwa kamu takkan membocorkan rahasia.”

"Baik, Kalau kukatakan rahasia yang kudengar dari Bok-kuihui ini kepada orang lain, biarlah aku binasa dicincang orang dan mati tak terkubur.”

"O, adik yang baik, ketahuilah bahwa padri tua itu maha sakti, dahulu sesudah aku menyembah dan memohon padanya, lalu dia memberikan sebotol kecil air suci, aku disuruh berdoa dengan sujud dan diam-diam air suci itu diminumkan kepada lelaki yang kusukai. Habis itu maka lelaki itu selamanya akan mencintai aku seorang saja, sampai mati pun hatinya takkan berubah.”

Habis berkata ia lantas mengeluarkan satu botol porselen kecil warna jambon dan dipegang dengan hati-hati seakan-akan kuatir jatuh atau hilang.

A Ci menjadi heran dan bergirang pula, cepat ia memohon, "O, enci yang baik, bolehkah kulihat macam apakah air itu?”

"Melihat sih boleh saja, tapi hati-hati jangan sampai tumpah, lho.” sahut Bok-kuihui sambil menyodorkan botol porselen itu dengan hati-hati.

A Ci menerima botol kecil itu, ia coba membuka tutupnya dan mengendus sekali, terasa bau harum sedap.

Segera Bok-kuihui mengambil kembali botol porselen itu dan menutup sumbatnya serta berkata, "Sebenarnya dapat kubagi sedikit air ini untukmu. Tetapi kukuatir kalau mendadak Hongsiang berubah pikiran dan masih kuperlukan air suci ini.”

"Tadi engkau bilang Hongsiang sudah minum satu kali dan takkan berubah pikiran padamu?” A Ci menegas.

"Walaupun demikian, aku tetap kuatir, aku tidak tahu khasiat air suci ini apakah benar-benar dapat bertahan sekian lama. Aku pun kuatir air gaib ini jatuh ke tangan selir yang lain dan mereka pun diam-diam memberi minum kepada Hongsiang, andaikan Hongsiang takkan balik pikiran padaku juga sedikitnya akan berbagi pikirannya .... "

Baru bicara sampai di sini, tiba-tiba terdengar Yalu Hung-ki sedang memanggil di luar. Cepat Bok-kuihui mengiakan dan berlari keluar, "Bluk,” tahu-tahu botol porselen kecil tadi jatuh dari bajunya tanpa diketahui olehnya.

A Ci terkejut dan bergirang pula, begitu Bok-kuihui melangkah keluar kemah, cepat ia jemput botol kecil itu dan dikantungi. Pikirannya, "Aku harus lekas bawa air ini untuk diminumkan pada Cihu, habis itu akan kuisi dengan air biasa, lalu ku kembalikan kepada Bok-kuihui.”

Begitulah, segera A Ci merangkah keluar melalui belakang kemah dan berlari pulang ke istana Lam-ih Tai-ong. Tapi tertampak olehnya di luar istana sudah penuh pasukan seperti terjadi sesuatu urusan genting. Waktu melihat A Ci menjuju ke istana para prajurit dan perwiranya juga tidak merintanginya.

Sesudah masuk pendopo, segera A Ci melihat Siau Hong sedang berjalan mondar-mandir dengan berpunggung tangan di dekat titian seperti orang yang tidak sabar lagi.

Begitu melihat A Ci, seketika Siau Hong sangat girang, katanya, "Hah, baik sekali kamu sudah pulang. A Ci sungguh aku sangat kuatir kamu akan ditahan oleh Hongsiang. Marilah sekarang juga kita lantas berangkat, kalau terlambat mungkin tidak keburu lagi.”

"Akan kemana kita? Mengapa terburu-buru? Sebab apa Hongsiang akan menahan aku,” Tanya A Ci dengan heran.

"Coba dengarkan.” Kata Siau Hong.

Waktu mereka diam, maka terdengarlah derap ramai suara kuda lari kian kemari disertai gemerincingnya suara senjata dan pakaian perang prajurit di segenap penjuru.

"Ada apakah itu? Engkau akan memimpin pasukan pergi perang?” Tanya A Ci.

"Prajurit-prajurit itu tidak di bawah pimpinanku lagi." Sahut Siau Hong dengan tersenyum getir. "Hongsiang sudah mencurigai aku, rupanya dia hendak menangkap aku.”

"Bagus, sudah lama kita tidak berkelahi, marilah sekarang juga kita terjang keluar!” ajak A Ci dengan senang.

Namun Siau Hong menggeleng kepala, katanya, "Tidak sedikit kebaikan yang telah kuterima dari Hongsiang, bahkan beliau telah mengangkat aku menjadi Lam-ih Tai-ong, sebabnya sekarang aku dicurigai adalah lantaran aku berkeras tidak mau mengadakan ekspedisi ke selatan. Kalau aku melukai bawahannya, ini akan merusak hubungan baik persaudaraanku dengan beliau selama ini sehingga akan ditertawai para ksatria bahwa aku adalah manusia yang lupa pada budi orang A Ci biarlah kita berangkat begini saja, kita pergi secara diam-diam tanpa pamit, asal mereka tidak dapat menangkap aku, maka cukuplah.”

"Ya, marilah kita berangkat,” sahut A Ci. "Dan ke mana, Cihu?”

"Ke Leng-ciu-kiong di Biau-biau-hong,” sahut Siau Hong.

Seketika air muka A Ci cemberut, katanya, "Ti ... tidak, aku tidak mau bertemu dengan siluman jelek itu.”

"Urusan sudah kepepet, pergi ke Biau-biau-hong atau tidak biarlah kita rundingkan lagi sesudah lolos dari bahaya, " ujar Siau Hong.

Diam-diam A Ci berpikir, "Akan kau antar aku ke Biau-biau-hong, terang sama sekali engkau tidak menaruh hati padaku. Bila selekasnya kuberi minum air suci enci ini badamu, asal engkau jatuh hati padaku, engkau tentu akan menurut segala apa yang kukatakan. Kalau terlambat, mungkin air suci ini akan dirampas kembali oleh Bok-kuihui.”

Setelah ambil keputusan, segera ia berkata, "Baiklah, tunggu sebentar, akan kubawa beberapa potong baju untuk persediaan ditengah perjalanan.”

Cepat ia masuk ke ruang belakang, ia ambil sebuah mangkuk dan menuang air suci botol porselen itu ke dalam mangkuk, lalu dicampur dengan setengah mangkuk arak, diam-diam ia berdoa, "Semoga malaikat dewata memberi berkah agar Siau Hong minum air suci ini, selanjutnya akan mencintai A Ci sepenuh hati dan akan menikah dengan aku serta takkan terkenang lagi kepada enci A Cu.”

Habis berdoa, lalu ia kembali ke ruangan pendopo, katanya, "Cihu, silahkan minum semangkuk arak ini untuk memperkuat semangatmu, sekali kita sudah pergi, terang kita takkan kembali lagi.”

Tanpa ragu Siau Hong menyambut suguhan itu, dibawah sinar lilin dilihatnya kedua tangan A Ci agak gemetar, sorot matanya menunjukkan sinar yang aneh, air mukanya tampak bersemangat dan ramah pula. Hati Siau Hong agak terguncang, "Dahulu A Cu sangat menyukai aku, takkala itu air mukanya juga serupa ini, ai, tampaknya A Ci benar-benar jatuh hati padaku.”

Segera ia angkat mangkuk arak itu, hanya beberapa kali teguk saja sudah dihabiskan isi mangkuk itu. Lalukatanya. "Apakah pakaianmu sudah kau bawa?”

A ci sangat girang melihat air suci bercampur arak itu telah di minum habis oleh Siau hong, sahutnya cepat, "Tidak perlu membawa baju lagi, marilah kita berangkat!”

Siau Hong sendiri sudah siapkan sebuah buntalan (Rangsel) berisi beberapa potong baju dan sedikit uang receh sekedar sangu. Sesudah menggendong rangselnya, segera Siau Hong berkata pelahan, "Mereka pasti kuatir aku akan lari ke selatan, maka kita justru lari ke utara saja.”

Ia gendong tangan A Ci dan pelahan membuka pintu samping, coba mengintip keluar. Di lihatnya ada dua pengawal sedang ronda kemari.

Dengan sembunyi di belakang pintu, Siau Hong sengaja bedehem untuk memancing kedua penjaga.

Benar juga kedua penjaga itu lantas mendekati pintu hendak memeriksa. Tapi secepat kilat Siau Hong menutuk jatuh mereka dan diseret ke tempat yang tak kelihatan. Bisiknya kepada A Ci, "Lekas ganti pakaian kedua orang ini.”

"Bagus!” sahut A Ci dengan gembira.

Cepat mereka mempelajari pakaian kedua penjaga itu untuk dipakai mereka sendiri, lalu dengan tangan

membawa tombak rampasan mereka jalan berjajar ke depan seperti penjaga biasa.

Baru belasan tindak jauhnya mereka lantas kepergok seorang Sip-hu-tiang (komandan sepuluh orang, setingkat sersan sekarang) dengan sepuluh orang prajurit pasukan pengawal raja yang sedang meronda. Cepat Siau Hong dan A Ci menyisih ke tepi jalan dan memberi hormat.

Sip-hu-tiang itu hanya manggut-manggut saja dan lantas lewat. Dibawah sinar obor yang cukup terang itu sekilas terlihat olehnya pakaian perang yang dikenakan A Ci itu kedodoran sehingga menyeret tanah, waktu dia perhatikan pula, kelihatan golok yang tergantung dipinggang A Ci juga setengah terseret di tanah Sip-hi-tiang itu menjadi gusar, terus saja ia tonjok pundak A Ci sambil membentak, "Macam apa seragammu ini?”

A Ci menyangka rahasianya ketahuan, tanpa bicara lagi ia menangkis sambil menarik, menyusul kakinya menendang perut Sip-hu-tiang itu. Kontan sersan itu menjerit kesakitan dan jatuh terguling.

"Lekas lari,” ajak Siau Hong, Ia pegang tangan A Ci terus kabur.

Namun kesepuluh prajurit tadi sempat berteriak-teriak, "Ada mata-mata musuh! Ada mata-mata !”

Sebegitu jauh mereka belum tahu kedua orang itu adalah samaran Siau Hong dan A Ci.

Tidak jauh mereka berlari, tiba-tiba mereka dipapak oleh belasan prajurit penunggang kuda. Segera Siau Hong mendahului menggertak dan putar tombaknya, sekali sapu, kontan prajurit-prajurit itu mencelat dari kuda mereka. Cepat Siau Hong angkat A Ci ke atas seekor kuda, ia sendiri pun mencamplak kuda yang lain, lalu mereka berputar arah dan menerjang ke pintu kota utara.

Ternyata dugaan Siau Hong tidak meleset, orang-orang Cidan menyangka Siau Hong pasti akan lari ke selatan, maka penjagaan bagian utara agak kendur. Apalagi penjaga-penjaga itu sama kenal Siau Hong, dengan sendirinya mereka pun jeri, hanya terpaksa oleh perintah raja mereka coba mencegat, tapi sekali digertak dan diterjang Siau Hong, sebagian besar lantas menyingkir dan memberi jalan, kemudian mereka hanya berteriakteriak dan mengejar dari belakang.

Waktu komandan pasukan pengawal raja memburu tiba dengan pasukan berjumlah besar, namun Siau Hong dan A Ci sudah kabur cukup jauh.

Ketika sampai di pintu gerbang utara, Siau Hong melihat pintu sudah tertutup rapat, di depan pintu penuh

berbaris ratusan prajurit dengan tombak terhunus. Nyata jalan larinya teralang.

Kalau mau, sudah tentu Siau Hong dapat mengocar-kacirkan ratusan prajurit itu dengan gampang, tapi yang dia tuju hanya meloloskan diri dan tidak ingin melukai bangsanya sendiri. Maka ia rangkul A Ci ke atas kudanya sendiri, menyusul pada suatu ketika yang baik ia terus meloncat ke atas tembok benteng kota, dengan bantuan tombaknya, sekali tancap di tembok, segera tubuhnya terlempar lagi lebih tinggi dan akhirnya mencapai tempat yang dituju.

Waktu ia melongok ke luar benteng, keadaanya ternyata gelap gulita. Rupanya orang Cidan memang tidak menduga Siau Hong akan kabur ke jurusan utara, maka di sini tiada diberi penjagaan apa-apa.

Segera Siau Hong bersuit panjang, lalu, katanya dengan suara lantang berkumandang, ”Hendaknya para prajuri menyampaikan kepada Hongsiang bahwa Siau Hong telah berdosa dan kabur tanpa pamit, biarlah di kemudian hari Siau Hong akan membalas budi kebaikan Hongsiang.”

Lalu ia rangkul pinggang A Ci dan siap melompat keluar benteng kota. Asal dia sudah turun ke sana, itu berarti seperti burung terbang di angkasa bebas tanpa rintangan apa pun.

Di Luar dugaan, baru saja ia hendak melompat sekonyong-konyong perutnya terasa sakit, menyusul kedua lengannya juga terasa kaku, mau-tak-mau tangan yang merangkul pinggang A Ci itu menjadi kendur. Bahkan kedua kaki lantas terasa lemas dan jatuh terduduk, perutnya terasa disayat-sayat sakitnya tidak kepalang sehingga mengeluarkan suara rintihan.

Keruan A Ci terperanjat, ”He Cihu, kenapa?”

Seluruh badan Siau Hong serasa kejang semua, gigi sampai gemertakan, sahutnya dengan terputus-putus, ”Aku ... aku terkena ra ... racun jahat. Tunggu .... tunggu sebentar, biar kuke ... kerahkan tenaga untuk mengeluarkan racunnya ... ”

Segera ia mengerahkan tenaga murninya keperut dengan tujuan hendak mendesak keluar racun yang mengeram di dalam perut itu. Tapi celaka, mendingan kalau dia tidak menggunakan tenaga, sedikit dia mengerahkan tenaga, seketika seantaro badan terasa sakit semua dan tenaga sukar dikerahkan lagi.

Namun Siau Hong tidak menjadi bingung takkala berbahaya, ia dengar suara riuh rendah derapan kuda berlarilari kearahnya, beribu prajurit sedang lari dari selatan ke sebelah utara. Ia coba mengatur napas. Ia merasa anggota badan sudah mati rasa.

”A Ci, lekas melarikan diri saja, aku ... aku tak dapat mengiringmu lagi,” katanya dengan perasaan berat.

A Ci adalah anak cerdik, sedikit berpikir saja segera paham duduknya perkara, jelas dirinya telah tertipu oleh Bok-kuihui. Air suci itu bukanlah air suci melainkan racun belaka.

Tentu saja A Ci menjadi kuatir dan menyesal pula, ia rangkul leher Siau Hong dan menangis dengan sedih, katanya sambil terguguk, ”O, cihu, aku ... akulah yang membikin susah pada mu. Racun ... racun ini akulah yang memberi minum padamu.”

Siau Hong terkesiap ia tidak paham mengapa bisa terjadi demikian, tanyanya, ”Sebab apa kau ingin membinasakan aku?”

”Tidak, tidak!” sahut A Ci sambil menangis, ”Aku tiada niat membunuhmu. Aku tertipu oleh Bok-kuihui. Dia memberi sebotol kecil air kepadaku, katanya kalau diminumkan padamu, untuk selanjutnya engkau tentu akan suka padaku dan akan ... akan mengawiniku. O, aku benar-benar terlalu bodoh sehingga kena tertipu. O, Cihu, biarlah aku mati bersamamu saja, kita takkan berpisah lagi untuk selamanya.”

Habis berkata, segera ia lolos golok dan hendak menggorok leher sendiri.

”Nan ... nanti dulu!” seru Siau Hong, ia merasa seluruh badannya panas bagai dibakar dan serasa disayat-sayat pula sehingga susah menggunakan pikiran. Selang sejenak baru dia paham penuturan A Ci, ktanya, ”Tapi aku ... aku takkan mati, tidak perlu kau bunuh diri.”

Dalam pada itu terdengar kedua daun pintu gerbang benteng kota yang berat dan besar itu sedang dibuka dan mengeluarkan suara keriut-keriut.

Begitu pintu gerbang terpentang, berbondong-bondong keluarlah beberapa ratus prajurit berkuda sambil bersorak dan mengatur barisan, menyusul barisan berkuda masih terus membanjir dari kota selatan dan keluar benteng.

Waktu Siau Hong memandang jauh ke utara, keadaan yang tadinya gelap gulita dan tiada seorangpun itu sekarang telah berubah menjadi terang benderang oleh beribu orang yang menerjang ke utara sehingga beberapa li jauhnya. Waktu memandang kembali ke selatan, ternyata hampir setengah kota penuh api obor.

”Nyata Hongsiang telah mengerahkan seluruh pasukannya untuk menangkap aku seorang.” demikian pikir Siau Hong.

Sementara itu di mana-mana, di luar dan di dalam benteng kota terdengar teriakan riuh-rendah. ”Tangkap penghianat Siau Hong! Tangkap penghianat! Wahai Siau Hong, lekas menyerahkan diri!”

Perut Siau Hong kembali terasa sakit keras, katanya dengan suara perlahan, ”A Ci, lekas berusaha menyelamatkan diri saja!”

”Tidak,” sahut A Ci tegas. ”Aku ... akulah yang meracunimu, mana boleh kucari hidup sendiri? Aku ... aku akan mati bersamamu.”

Siau Hong tersenyum getir, katanya, ”Ini bukan racun yang dapat membinasakan orang, tapi hanya membuat aku terluka parah dan lumpuh saja supaya tidak bisa bergerak.”

”Apa betul?” tanya A Ci dengan girang. Dan segera ia membalik tubuh, sekuatnya ia tarik Siau Hong untuk digendongnya.

Tapi karena perawakannya kecil, sebaliknya badan Siau Hong tinggi besar, dengan sendirinya kedua kaki Siau Hong terseret di atas tanah.

Pada saat itulah belasan Bu-su (jago) Cidan sudah merambat ke atas tembok benteng. Sebelah tangan mereka bergolok dan tangan lain membawa obor. Tapi mereka jeri kepada Siau Hong sehingga tidak berani mendekat.

”Tiada gunanya melawan, biarkan kita di tangkap mereka saja!” ujar Siau Hong.

”Tidak, tidak!” sahut A Ci dengan menangis. ”Siapa saja yang berani menggangu seujung rambutmu, segera kubunuh dia.”

”A Ci, adikku yang baik, jangan kau bunuh orang untuk membela aku. Jika aku mau membunuh orang tentu kuterima titah raja dan menyerang ke selatan, maka peristiwa sekarang pun tidak perlu terjadi lagi.”

Lalu Siau Hong membentak jago-jago Cidan tadi. ’Kenapa takut-takut begitu. Ayo menemui Hongsiang bersamaku!”

Untuk sejenak kawanan Bu-su itu tercengang, tapi mereka lantas memberi hormat dan menjawab, ”Baik! Kami hanya bertindak menurut perintah sehingga berlaku kasar terhadap Tai-ong, harap Tai-ong jangan marah!”

Maklumlah, meski tidak lama Siau Hong menjabat Lam-ih Tai-ong tapi namanya dan wibawanya sangat di segani oleh setiap perwira dan bintara Cidan. Ketika berada di tengah orang banyak mereka pun ikut berteriak, ”Tangkap penghianat Siau Hong”, tapi sesudah berhadapan dengan sendirinya timbul rasa jeri dan hormat mereka sehingga tidak berani bersikap kasar lagi.

Begitulah, sekuatnya Siau Hong berusaha berdiri dengan berpegangan di pundak A Ci, isi perutnya sakit bukan kepalang bagai dipuntir-puntir. Para Bu-su tadi juga lantas memasukkan kembali golok mereka ke sarungnya, lalu mengawal di belakang Siau Hong yang setindak demi setindak turun ke bawah tembok benteng melalui undak-undakan batu.

Ketika melihat Siau Hong, tanpa terasa para perwira dan bintara Cidan lantas melompat turun dari kuda mereka. Seketika suasana di luar dan di dalam kota menjadi sunyi senyap meski jumlah prajurit itu berpuluh ribu jumlahnya.

Di bawah cahaya obor Siau Hong dapat melihat air muka dan sikap para prajurit yuang menunjukkan rasa hormat da segan padanya itu, tiba-tiba Siau Hong merasa lega dan puas. Pikirnya, ”Jika aku jadi menggerakkan pasukan ke selatan, berpuluh ribu prajurit yang hadir di sini tentu akan separuh tak dapat pulang kembali ke kampung halaman. Jika aku dapat menyelamatkan jiwa tak berdosa sebanyak ini, sekali pun aku akan dihukum mati oleh Hongsiang juga aku tidak menyesal. Kuatirnya kalau ... kalau aku dihukum mati dan Hongsiang akan menugaskan panglima lain untuk tetap menyerbu ke selatan.”

Berpikir sampai disini, kembali dadanya kesakitan dan tubuhnya sempoyongan. Cepat seoerang perwira memberikan kuda tunggangannya dan membantu Siau Hong naik kuda itu. A Ci juga mendapatkan seekor kuda dan mengikuti dari belakang.

Begitulah secara beramai-ramai Siau Hong digiring kembali ke istana. Walaupun berhasil menangkap Siau Hong dan hal ini merupakan jasa besar bagi mereka, tapi para perwira dan prajurit Cidan tiada seorang pun yang mengunjuk rasa senang.

Sesudah menyusur jalan kota, membelok ke sana dan di sini kemudian mereka sampai di Poh-be-kio (Jembatan kuda putih). Siau Hong larikan kudanya melintasi jembatan itu dengan disusul oleh A Ci. Tapi ketika kudanya sampai di atas jembatan, sekonyong-konyong A Ci berdiri, ”Byuuur”, ia terjun ke sungai dan menghilang.

Mula-mula Siau Hong kaget oleh kejadian itu, tapi segera ia merasa girang. Sebab teringat olehnya pertemuannya yang pertama dengan nona nakal itu takkala itu A Ci pura-pura mati kelelap di dalam danau. Dalam hal berenang dan menyelam dalam air nona itu sangat mahir, bahkan ayah-bundanya juga kena dikelabuhinya. Sekarang kalau anak dara itu melarikan diri melalui air, hal ini teramatlah bagus hanya saja Siau Hong merasa gegetun pula, sebab untuk selanjutnya mungkin tidak dapat berjumpa lagi dengan anak dara itu.

Tapi ia sengaja berseru, "O, A Ci, mengapa engkau bunuh diri, Hongsiang tentu takkan menyalakanmu, buat apa engkau terjun ke dalam sungai?”

Mendengar ucapan Siau Hong itu, pula melihat A Ci benar-benar karam di dalam sungai dan tidak muncul pula, para perwira Cidan mengira anak dara itu memang sengaja bunuh diri. Apalagi Yalu Hung-ki hanya memberi perintah menangkap Siau Hong dan tidak termasuk A Ci, maka sekarang apakah anak dara itu akan bunuh diri atau akan lari tak perlu mereka pikirkan, mereka tetap melanjutkan perjalanan ke depan.

Sampai di istana Lam-ih Tai-ong, Hung-ki ternyata tidak mau menemui Siau Hong, ia memberi perintah agar komandan pasukan pengawal menahan tawanannya itu.

Mengingat Siau Hong memiliki tenaga sakti dengan ilmu silat maha tinggi, kamar penjara biasa akan sukar mengurung dia. Maka komandan bayangkari itu mendapat akal, ia suruh bawahannya memborgol kaki dan tangan Siau Hong dengan rantai besi, lalu dimasukkan ke sebuah kandang beruji besi.

Kandang beruji besi ini adalah kandang singa yang dahulu pernah dibuat permainan oleh A Ci itu.

Diluar kandang besi itu berjaga beratus prajurit, semuanya bertombak dan berbaris secara berlapis-lapis mengepung di sekitar kurungan. Asal Siau Hong sedikit sembarangan bergerak, serentak tombak para prajurit itu akan menusuk ke dalam kandang sehingga Siau Hong tak sempat memutuskan borgolnya dan membobol kandang dalam saat sesingkat itu.

Malahan di luar istana penuh pula pasukan pengawal pribadi Hung-ki yang mengadakan penjagaan secara keras sekali. Sebaliknya perwira-perwira yang semula bertugas dalam kota Lam-khia itu sekarang dipindahkan ke luar kota, rupanya Hung-ki kuatirkan perwira-perwira itu tetap setia kepada Siau Hong fan mungkin akan berusaha menolong bekas atasan mereka.

Di dalam kurungan itu Siau Hong sendiri tidak sempat memikirkan urusan lain karena dia sedang mengertak gigi menahan derita siksaan badan yang kesakitan. Sesudah 12 jam kemudian, sampai malam hari kedua, rasa sakit itu baru berkurang. Bekerjanya racun mulai hilang. Tenaga Siau Hong pelahan juga mulai pulih.

Tapi dalam keadaan terkurung apa yang bisa diperbuatnya? Terpaksa Siau hong lapangkan hati, ia tidak mau berpikir susah-susah, selama hidupnya banyak kejadian berbahaya pernah dialaminya, ia tidak tahu apakah riwayatnya akan tamat begini saja di dalam kandang besi itu?

Untunglah para prajurit yang menjaganya itu masih hormat dan segan padanya, walaupun penjagaan sangat kuat dan tidak pernah lengah, tapi pelayanan makan-minum tidak pernah berkurang seperti biasa. Siau Hong juga tidak ambil pusing, ia makan-minum sepuas-puasnya sehingga guci arak dalam beberapa hari saja sudah bertumpuk-tumpuk setinggi manusia.

Hung-ki sendiri tetap tidak pernah datang menjenguk, tapi dia mengirim beberapa orang belakang, omong untuk membujuknya, katanya Hongsiang adalah orang yang baik budi, mengingat persaudaraan masa lalu, maka tidak tega menggunakan kekerasan untuk menyiksanya asal saja Siau Hong mau mengaku salah dan minta ampun, semua urusan akan segera beres.

Tapi Siau Hong adalah seorang lelaki sejati, masa dia mau tunduk dan minta mapun? Terhadap para pembujuk itu bahkan ia tidak sudi mengubrisnya, ia hanya minum arak sendiri sepuas-puasnya.

Dengan begitu telah berlangsung hampir sebulan lamanya. Para pembujuk itu juga tidak bosan-bosan, setiap hari mereka datang dan putar lidh tak berhenti-henti, mereka mengulangi lagi macam-macam bujukan dengan logika-logika yang sudah basi. Walaupun mereka tahu bujukan mereka itu tidak mempan mengubah pikiran Siau Hong, tapi mereka masih terus cerewet tanpa kenal lelah.

Lama-lama Siau Hong sendiri curiga. Pikirnya, "Hongsiang bukan orang bodoh, masakah dia sengaja mengirim pembujuk-pembujuk demikian tanpa membawa hasil apa-apa? Ah, di balik urusan ini tentu ada sesuatu yang tak beres!”

Begitulah ia coba merenungkan apa sebabnya. Mendadak teringat olehnya, "Ya, tentu Hongsiang telah mengirim panglima lain dan mengerahkan pasukannya menyerbu keselatan secara besar-besaran, sebaliknya dia sengaja mengelabui aku dengan mengirim orang-orang yang tak berguna ini untuk membujuk segala. Padahal sudah terang aku tidak dapat melawan mereka, setiap saat dia dapat membunuh aku, kenapa mesti susah-susah membujuk tanpa hasil?”

Sesudah Siau Hong berpikir lagi, akhirnya ia pun paham, "Ya, karena Hongsiang selalu menganggap dirinya sebagai seorang Enghiong (pahlawan, ksatria), maka dia ingin aku menyerah padanya lahir batin. Sekarang dia memimpin pasukan sendiri menyerbu ke selatan, kalau berhasil menduduki wilayah Song, kemudian dia akan datang padaku dan pamerkan hasilnya itu. Rupanya dia tahu wataku sangat keras, dia kuatir dalam gusarku mungkin akan mogok makan dan bunuh diri, maka dia sengaja mengirim manusia-manisia tak berguna ini untuk mengobrol tak karuan padaku.”

Tapi dia terkurung dalam kandang besi dan susah meloloskan diri, terpaksa ia kesampingkan segala urusan. Biarpun dia tidak mau menerima perintah Yalu Hung-ki untuk menyerang kerajaan Song, tapi sekarang Hungki sudah melakukan tindakannya itu, urusan tak bisa ditarik kembali lagi terang tidak sedikit akan jatuh korban yang tak berdosa maka selain menghela napas panjangdan minum arak sepuas-puasnya, ia tidak mau banyak berpikir lagi.

Ketika didengarnya keempat pembujuk itu masih mengoceh tak habis-habis, sekonyong-konyong Siau Hong bertanya, "Pasukan Cidan kita tentunya sudah menyebrangi Hoang-ho (Sungai Kuning) secara besar-besaran bukan?”

Para pembujuk itu tercengang san saling pandang dengan bingung mereka tidak tahu cara bagaimana harus menjawab. Akhirnya salah seorang pembujuk itu berkata, "Ucapan Siau-taikong juga ada benarnya, pasukan kita dalam waktu singkat ini segera akan dikerahkan meski belum menyeberangi Hoang-ho, rasanya kejadian itu akan berlangsung dalam waktu singkat saja.”

"O, kiranya pasukan kita belum lagi dikerahkan dan entah bilakah akan tiba hari yang baik itu?” tanya Siau Hong.

Keempat pembujuk itu saling mengedipkan mata, mereka anggap rahasia yang maha penting itu tidak boleh diberitahukan kepada Siau Hong. Maka yang seorang hanya menjawab, "Ah, kami hanya pejabat rendahan saja, dari mana bisa mengetahui rahasia militer yang penting itu?”

Dan yang lain berkata, "Asal pikiran Siau-taikong sudah berubah, tentu Hongsiang sendiri akan mengajak Taiong untuk berunding tentang urusan militer dan kenegaraan yang maha penting itu.”

Siau Hong hanya mendengus saja dan tidak bertanya pula. Pikirnya, "Jika serangan Hongsiang berhasil dengan lancar dan dapat menduduki wilayah Song, tentu beliau akan mengiring aku ke Pangliang untuk menemui dia. Tapi kalau usahanya gagal dan pulang dengan tangan hampa, dia tentu malu untuk menemui aku, dan langkah pertama yang akan dia ambil adalah membunuh diriku. Ai, sebenarnya kuharapkan dia berhasil menjajah Song atau mengharapkan dia gagal dan kalah saja? Wahai Siau Hong! Mungkin sulit juga bagimu untuk menjawab pertanyaan ini?”

Besoknya waktu petang, kembali keempat pembujuk itu datang. Para prajurit yang bertugas menjaga Siau Hong juga sudah bosen mendengarkan ocehan pembujuk yang tiada kata-kata baru selalu itu-itu saja. Maka ketika melihat kedatangan pembujuk-pembujuk itu, dengan kening berkernyit prajurit-prajurit itu lantas berdiri menjauh.

Pembujuk pertama berdehem dulu, lalu membuka suara, "Siau-taiong, ada firman dari Hongsiang, harap

engkau menerimanya. Kalau engkau menolak titahnya ini, engkau sendirilah yang berdosa dan harus menerima ganjarannya.”

Kata-kata seperti itu sebenarnya entah sudah beratus kali didengar oleh Siau Hong dan muak baginya. Akan tetapi sekali ini agak luar biasa, ia mendengar suara pembujuk ini rada aneh, yaitu suara serak seperti orang sakit bengek. Maka tanpa terasa Siau Hong memandang sekejap kepadanya. Dan sekali memandang, seketika Siau Hong terheran-heran.

Ia lihat pembujuk itu sedang berkedip-kedip dan memicingkan mata dengan macam-macam air muka yang aneh. Ketika diperhatikan, Siau Hong merasa muka orang ini tidak sama dengan pembujuk yang pernah dilihatnya. Waktu diperhatikan lebih jauh, Siau Hong menjadi kaget dan bergirang pula.

Ternyata kumis dan jenggot pembujuk yang jarang-jarang ini semuanya tempelan belaka mukanya terpoles tinta bak yang kehitam-hitaman sehingga sangat jelek tampaknya. Tapi matanya jeli dan mulutnya kecil, air muka yang cantik itu tertampak jelas dibalik kumis dan jenggot palsu yang jarang-jarng itu, siapa lagi dia kalau bukan A Ci.

Terdengar anak dara itu lagi berkata sambil menahan suara yang dibikin-bikin, "ini, apa yang dititahkan Hongsiang ini selamanya tentu benar, asal kamu melakukan apa yang dikehendaki Hongsiang tentu akan besar faedahnya bagimu. Nah, ini adalah firman tertulis dari maha raja Liau kita, hendaknya kau baca dan mempelajarinya dengan baik-baik.”

Habis berkata lantas dikeluarkan sehelai kertas dan dibentang ke depan Siau Hong.

Sementara itu hari sudah mulai gelap, beberapa prajurit penjaga lagi sibuk menyalakan pelita di sekitar ruangan pendopo.

Berkat cahaya lampu itu Siau Hong dapat melihat tulisan dia atas kertas yang dibentangkan itu, ternyata tulisan dalam beberapa huruf kecil itu berbunyi, "Bala bantuan sudah tiba, malam ini juga lepas dari bahaya.”

Siau Hong mendengus tanpa bicara, hanya kepalanya mengeleng pelahan.

Tentu A Ci lantas berkata dengan nada yang dibuat-buat, "Pasukan kita yang dikerahkan kali ini tidak sedikit jumlahnya. Prajurit kita tangkas dan perbekalan cukup, sudah tentu kita akan menang di mana pun pasukan kita tiba, maka jangan engkau kuatir.”

"Tidak, justru karena aku tidak ingin banyak korban, maka aku dikurung di sini oleh Hongsiang,” kata Siau Hong.

"Untuk menangkan perang, yang diperlukan adalah perhitungan yang tepat dan siasat yang lihai, mana boleh berpikir tentang korban yang akan jatuh?” ujar A Ci.

Siau Hong coba melirik ketiga orang pembujuk yang lain, terlihat diantaranya ada yang sedang goyang-goyang kipas yang mereka bawa, ada yang kebas-kebas lengan baju secara sembunyi-sembunyi seolah kuatir muka asli mereka dikenali orang, terang mereka inilah bala bantuan yang dibawa oleh A Ci.

Dengan menghela napas kemudian Siau Hong berkata, "YA, aku sangat berterima kasih kepada maksud baikmu, tetapi hendaklah maklum bahwa penjagaan musuh sangat rapat dan keras, untuk merebut wilayah kedudukan mereka tidaklah mudah .... "

Belum selesai ucapanya, tiba-tiba terdengar beberapa prajurit penjaga tadi sedang menjerit kaget, "He, ada ular! Ada ular berbisa! Dari mana datangnya ular-ular berbisa sebanyak ini!”

Waktu Siau Hong menoleh, benar juga dilihatnya di ambang pintu, dari celah-celah jendela dan lantai ruangan sudah penuh dibanjiri ular berbisa.

Binatang melata itu menyusur kian kemari dengan kepala mendongak dan lidah mendesis, suasana menjadi kacau balau dan kawanan prajurit berlari kain kemari untuk menghindar.

Hati Siau Hong tergetar, ”Melihat gelagatnya, agaknya kawanan ular ini sengaja dilepaskan oleh saudaraku dari anggota Kai-pang!”

Dalam pada itu para prajurit tadi sedang menggunakan senjata mereka untuk membunuh dan mengusir kawanan ular. Malahan komandan piket yang menjaga Siau Hong lantas memberi perintah, ”Para prajurit yang menjaga Siau-taiong tidak boleh sembarangan menyingkir pergi yang membangkang akan dihukum mati!”

Rupanya komandan piket itu cukup cerdik, ia lihat datangnya kawanan ular itu agak aneh dan luar biasa, ia kuatir kalau kawanan prajuritpenjaga itu bingung menghadapi kawanan ular dan kesempatan itu akan digunakan oleh Siau Hong untuk meloloskan diri.

Karena perintah itu, terpaksa para prajurit yang menjaga disekitar kurungan tidak berani sembarangan

bergerak, mereka tetap mengarahkan ujung tombak mereka kepada Siau Hong yang mengeram di dalam kurungan itu. Namun tidak urung mereka menjadi kebat-kebit juga, sambil mengancam Siau Hong pandangan mereka pun berulang-ulang diarahkan kepada kawanan ular, kala ada ular yang mendekat lantas mereka bunuh.

Selagi suasana menjadi kacam, sekonyong-konyong terdengar suara riuh ramai di belakang istana, ”Api! Ada api! Kebakaran! Kebakaran! Tolong! Ada kebakaran! Tolong!

Segera komandan piket tadi berseru, ”Kahur, lekas memberi lapor kepada komandan, tanyakan apakah Siautaiong harus dipindahkan atau tidak?”

Yang bernama Kahur itu seorang Pek-hu-tiang (Kepala seratus orang, pangkat setingkat kapten), ia mengiakan dan membalik tubuh. Baru saja dia hendak berlari pergi untuk memunaikan tugasnya, tiba-tiba seorang membentaknya di depan pintu ruangan, ”Tetap ditempatmu masing-masing, jangan terkena tipu pancingan musuh, awas kalau ada orang menyerbu ke sini segera Siau Hong dibunuh dahulu!”

Ternyata yang bicara adalah komandan pasukan pengawal yang hendak diminta petunjuk itu sudah datang sendiri. Dia bersenjata golok panjang dan dengan gagah berdiri di depan pintu.

Sekonyong-konyong sesuatu bayangan berkelebat, seekor ular kecil berwarna emas melayang ke atas dan menyambar muka komandan pasukan pengawal itu, Cepat perwira itu menyampuk dengan senjatanya, namun lebih dulu sudah terdengar suara mendesingnya senjata rahasia, seketika ruangan menjadi gelap gulita. Rupanya ada orang menyambitkan senjata rahasia untuk memadamkan pelita.

Maka terdengarlah komandan pasukan pengawal itu menjerit ngeri sekali, dia dipagut oleh ular berwarna emas tadi dan roboh terguling.

Kiranya satu di antara keempat orang pembujuk palsu tadi adalah Ciong Ling yang menyamar. Dia telah melepaskan Kim-leng-cu dan berhasil membinasakan perwira musuh.

Tanpa ayal lagi A Ci lantas mengeluarkan golok mustika, cepat ia memotong putus rantai besi yang menyambung borgol Siau Hong.

Selagi Siau Hong merasa ragu apakah dirinya dapat keluar dari kurungan terali besi yang kuat itu, mendadak tanah ditengah kurungan besi itu terasa blong, tubuhnya terasa anjlok ke bawah.

Ia dengar A Ci sedang berkata di luar kurungan dengan suara setengah tertahan, ”Lekas lari melalui jalan di

bawah tanah!”

Dan belum lagi kaki Siau Hong menyentuh tanah, tiba-tiba terasa kedua kakinya dicengkram tangan orang terus ditarik lagi ke bawah. Ketika dapat berdiri tegak di bawah tanah, dilihatnya orang yang menariknya itu adalah Hoa Hek-kin, itu jagi tukang gangsir dari Tayli, Ternyata Hoa Hek-kin telah giat bekerja selama belasan hari sehingga berhasil menggangsir dan membuat sebuah lorong di bawah tanah yang menembus tepat di bawah kurungan besi Siau Hong.

Segera Hek-kin menarik Siau Hong dan merangkak mundur untuk keluar dari lubang gangsir itu. Betapa cepatnya cara Hoa Hek-kin merangkak ternyata tidak kalah daripada orang berjalan ditanah datar. Hanya sekejap saja puluhan meter lubang gangsir itu telah dilaluinya, lalu ia memegang Siau Hong untuk bediri dan menerobos keluar dari Liang itu.

Ternyata di mulut liang sudah menunggu tiga orang. Mereka adalah Toan Ki, Hoan Hwa dan Pah Thian-sik. Begitu melihat Siau Hong tertolong keluar dengan selamat segera Toan Ki menyapa sambil menubruk maju untuk merangkul sang Toako.

Siau Hong tepuk-tepuk punggung Toan Ki, lalu katanya dengan tertawa, ”Hari ini baru kusaksikan ilmu sakti Hoa-suto, sungguh kagum sekali dan terima kasih.”

”Sungguh hamba teramat bangga atas pujian Siau-taiong ini, ” Sahut Hoa Hek-kin dengan rendah hati.

Tempat mereka berada itu tidak terlalu jauh dari istana Lam-ih Tai-ong, maka terdengarlah di mana-mana penuh suara teriakan prajurit Liau yang riuh rendah. Terdengar pula orang meniup terompet dan lewat dibelakang rumah sana disertai suara teriakan, ”Awas! Musuh telah menyerang pintu gerbang timur, pasukan pengawal raja harus tetap berada di tempat tugasnya dan tidak boleh sembarangan bergerak!”

”Siau-taiong, marilah kita terjang keluar melalui pintu gerbang sebelah barat,” ajak Hoan Hwa yang merupakan ahli siasat kerajaan Tayli.

Belum lagi Siau Hong menjawab, tiba-tiba dari lubang gangsir di bawah tanah itu terdengar suara seruan A Ci yang penuh rasa syukur dan girang, ”Cihu, tunggu dulu padaku!”

Menyusul anak dara itu lantas melompat keluar dari mulut liang seperti kelinci gesitnya. Janggut anak dara itu masih penuh jenggot palsu, mukanya penuh debu tanah dan kotor. Namun bagi penglihatan Siau Hong, sejak dia kenal A Ci, hanya saat inilah anak dara itu paling cantik tampaknya.

Segera A Ci meloloskan pula goloknya hendak memotong borgol Siau Hong, tapi borgol itu menempel tepat di tangan Siau Hong, bila sedikit kurang tepat tentu akan melukainya. Maka ia menjadi ragu, akhirnya ia serahkan senjatanya kepada Toan Ki dan meminta, ”Koko, harap engkau yang memotongnya!”

Toan ki lantas angkat golok itu, di mana tenaga dalamnya disalurkan dengan mudah saja borgol besi itu dapat dipapasnya bagai memotong kayu mudahnya.

Dalam pada itu dari lubang gangsir itu menerobos keluar pula tiga orang. Yang pertama adalah Ciong Ling, lalu Bok Wan-jing dan orang ketiga adalah seorang anggota Kai-pang berkantung delapan.

Anggota Kai-pang ini adalah ahli ular, kawanan ular yang membanjiri ruang tadi adalah hasil kerjanya yang sukses. Demi melihat Siau Hong dapat diselamatkan tanpa alangan suatu apa pun, dengan air mata berlinanglinang anggota Kai-pang berkantung delapan itu lantas menyapa, ”Pangcu, selama ini engkau .... ”

Sampai di sini ia tak sanggup meneruskan lagi saking terharunya.

Sudah lama sekali Siau Hong tidak pernah mendengar orang menyebutnya ”Pangcu”, mau-tak-mau ia menjadi terharu juga demi nampak sikap anggota Kai-pang yang sedemikian setia padanya itu. Sahutnya dengan suara parau, ”Sungguh aku sangat berterima kasih atas bantuanmu.”

Sungguh bangga dan terharu pula anggota Kai-pang berkantung delapan itu atas pujian Siau Hong, tak tertahankan lagi air matanya lantas bercucuran bagai hujan.

”Kawan-kawan kita sudah mulai bergerak di pintu gerbang timur, marilah kita cepat kabur saja mumpung suasana sedang kacau!” demikian ajak Hoan Hwa, ”Dan yang paling baik Siau-taiong jangan perlihatkan dirimu agar tidak dikenali oleh pihak musuh.”

Siau Hong mengiakan atas saran itu. Segera mereka menerjang keluar melalui pintu depan. Waktu Siau Hong menoleh, kiranya rumah tempat mereka keluar itu adalah sebuah rumah yang sudah rusak tak terawat dan tidak menarik bila dipandang dari luar.

Karena A Ci sedikit banyak telah menguasai bahas Cidan, maka dia lantas berteriak-teriak, ”Kebakaran! Kebakaran! Lekas tolong kebakaran!”

Dengan menirukan apa yang dikatakan A Ci itu segera Hoan Hwa dan Hoa Hek-kin juga ikut-ikut berteriak.

Pah Thian-sik memiliki ginkang yang paling tinggi, bila di sekitarnya tiada prajurit Liau, segera ia menyalakan api sehingga dalam sekejap saja ada belasan tempat berjangkit kebakaran lagi.

Begitulah mereka bersembilan terus ke pintu gerbang barat. Toan Ki dan lain-lain menyaru sebagai orang Cidan, apa lagi suasana dalam kota telah kacau-balau sehingga rombongan mereka tidak menimbulkan perhatian orang lain. Terkadang bila ada pasukan berkuda Cidan menerjang lewat, segera mereka menyingkir ke tepi jalan yang sepi dan gelap untuk menghindar.

Sekaligus mereka telah melintasi belasan jalan kota, terdengar suara terompet berbunyi di sebelah utara diseling dengan jerit orang ramai, ”Wah, celaka! Pasukan musuh telah membobol pintu gerbang utara. Hongsiang telah ditawan musuh! Hongsiang telah ditawan musuh!”

Karuan Siau Hong terkejut, ia berhenti dan berkata, ”Apakah betul raja Liau tertawan? Samte raja Liau itu adalah saudara-angkatku, biarpun dia tidak setia padaku juga tidak boleh kulupakan budinya, maka .... maka jangan mencelakai dia .... ”

”Cihu jangan kuatir,” kata A Ci dengan tertawa. ”Berita tertawannya raja Liau itu adalah siasat kita yang sengaja disebar-luaskan oleh para Tongcu Leng-ciu-kiong untuk membingungkan pihak musuh. Padahal di dalam kota Lamkhia ini terdapat pasukan penjaga yang kuat, raja mereka pun dikelilingi oleh puluhan ribu prajurit, masakah begitu gampangnya untuk menangkapnya?”

”O, jadi para pengikut Jiko pun datang juga?” Siau Hong menegas dengan girang dan kejut.

”Tidak Cuma pengikut si hwesio cilik saja yang datang, bahkan hwesio cilik itu pun sudah tiba, malahan bininya juga dibawa kemari sekalian.” kata A Ci.

”Hwesio cilik apa dan bininya siapa?” tanya Siau Hong dengan bingung.

”Masakah Cihu sudah lupa?” sahut A Ci dengan tertawa. ”Hwesio cilik adalah si Hi-tiok-cu, bininya bukan lain adalah putri kerajaan Se He yang dimenangkannya dalam sayembara tempo hari. Hanya saja putri itu selalu menutupi mukanya dengan kerudung sehingga selain hwesio cilik, orang lain tiada satupun yang boleh melihatnya. Ketika kutanya si hwesio cilik ’bagaimana macam binimu itu, dia cantik atau tidk?’ Namun si hwesio cilik hanya tersenyum-senyum saja dan tidak mau menjawab.”

Walaupun sedang melarikan diri, tapi tiba-tiba mendengar hal-hal yang menarik itu, mau-tak-mau Siau Hong merasa bersyukur juga bagi Hi-tiok yang berhasil memperistrikan putri Se He itu, tanpa merasa ia memandang sekejap ke arah Toan ki.

Seperti diketahui, ketika beramai-ramai mereka pergi ke Se He untuk mengikuti sayembara, sebelum hasil sayembara itu diumumkan Siau Hong sudah meninggalkan negeri itu lebih dulu.

Rupanya Toan Ki tahu perasaan sang Toako dengan tertawa ia berkata, ”Toako tidak perlu sangsi, sebab Siaute sama sekali tidak sirik atas kejadian itu. Jiko juga tidak terhitung mengingkari janji. Urusan ini memang agak panjang untuk di ceritakan, biarlah nanti akan ku jelaskan dengan pelahan.”

Tengah bicara, kembali mereka telah berlari suatu jarak yang cukup jauh, tertampak sebuah panggung besar lapangan depan sana juga sedang terbakar, api menjilat-jilat dengan hebatnya. Dua helai bendera besar yang terpancang di tiang bendera di depan panggung itu pun sudah terjilat api.

Siau Hong tahu lapangan itu adalah alun-alun terbesar di kota Lamkhia, biasanya digunakan untuk latihan berbaris prajurit Liau. Tapi entah sejak kapan didirikan panggung besar itu, ternyata ia sendiri tidak pernah mengetahuinya.

”Sri baginda, setelah podium kebesaran dan bendera kerajaan Liau terbakar, ini merupakan alamat jelek bagi gerakan militer Liau, mungkin rencana menyerang kerajaan Song terpaksa harus dipikirkan lagi oleh Yalu Hung-ki,” demikian kata Pah Thian-sik dengan tertawa.

Mendengar Thian-sik memanggil ”Sri Baginda” dan tertampak Toan Ki manggut-manggut, keruan Siau Hong terheran-heran. Segera ia tanya, ”Samte, apakah engkau ... sudah menjadi raja?”

Dengan muram Toan Ki menjawab, ”Ya, secara mendadak ayah meninggal dunia dalam perjalanan pulang, paman baginda telah meninggalkan tahta pula dan menjadi padri di kuil Thian-liong-si, maka siaute disuruh menggantikan tahtanya. Padahal Siaute sama sekali tidak punya kepandaian apa-apa, sungguh memalukan untuk memangku jabatan setinggi ini.”

”Ai, samte!” seru Siau Hong terkejut. ”Engkau sekarang adalah kepala negara Tayli, mana boleh engkau sembarangan menghadapi bahaya bagi kepentinganku? Apabila terjadi sesuatu alangan, cara bagaimana aku akan bertanggung jawab terhadap rakyat dan negeri Tayli kalian?”

Toan Ki tertawa, katanya, ”Tayli adalah sebuah negeri kecil yang jauh terpencil di daerah selatan, sebutan ’raja’

Cuma nama kosong belaka, dipandang juga Siaute tidak memper seorang raja, sungguh hanya membikin malu saja. Adapun hubungan kita melebihi saudara kandung juka Toako ada kesukaran, masakah Siaute hanya tinggal diam tanpa ikut campur?”

”Apalagi Siau-taiong telah berusaha mencegah raja Liau memerangi kerajaan Song, untuk ini kami rakyat seluruh negeri Tayli ikut merasa berterima kasih padamu” demikian Thian-sik ikut bicara. ”Hendaklah maklum, bila raja Liau berhasil menunjukkan Song, maka langkah selanjutnya tentu akan mencamplok negeri Tayli pula. Padahal negeri kami kecil dan lemah, mana dapat melawan pasukan Liau yang tangkas dan kuat? Maka kalau Siau-taiong telah menyelamatkan kerajaan Song berarti pula menolong negri Tayli kami. Bila sekarang orang Tayli mencurahkan segenap tenaganya untuk mengabdi kepada Siau-taiong juga sudah sepantasnya.”

”Aku hanya seorang yang paham ilmu silat saja soalnya aku tidak tega membiarkan kedua negeri berperang dan menimbulkan korban yang tak berdosa, mana kuberani anggap berjasa hanya karena sedikit usahaku itu?” sahut Siau Hong.

Sedang bicara, tiba-tiba bagian selatan sana api berkilat-kilat menjulang tinggi, penduduk dalam berkelompok berbondong-bondong menyelamatkan diri bercampur di antara pasukan Liau yang coba menenangkan suasana.

Terdengar teriakan orang, ”Para paderi Siau-lim-si dari selatan bersama orang-orang gagah yang tidak sedikit jumlahnya telah membobol pintu gerbang selatan!”

Lalu ada pula yang berteriak, ”Lam-ih Tai-ong Siau Hong telah memberontak dan menyerah kepada kerajaan Song, raja Liau sudah dibunuh olehnya!”

Malahan ada beberapa orang Cidan menanggapi dengan menggertak gigi, ”Siau Hong telah mengkhianati bangsa dan menyerah kepada musuh, sungguh aku ingin mengigit dagingnya dan mengunyahnya mentahmentah.”

”Apa benar Sri Baginda telah dibunuh oleh bangsat maha durjana Siau Hong?” demikian tanya seorang kawannya dengan cemas.

”Mengapa tidak benar?” sahut seorang Cidan yang lain. ”Dengan mataku sendiri kusaksikan Siau Hong menerjang ke depan Sri Baginda dan dengan tombaknya ia menusuk dada Sri Baginda sehingga tembus.”

”Bangsat keparat Siau Hong itu mengapa sedemikian kejamnya? Sesungguhnya dia itu orang Cidan atau bangsa Han?” kata seorang tua dengan sengit.

”Konon dia orang Song yang sengaja menyaru sebagai orang Cidan, bangsat itu benar-benar sangat licin dan kejam melebihi binatang!” sahut pula kawannya tadi.

Mendadak orang-orang itu seraya lari sabil mencaci maki dan mengutuki Siau Hong, karuan A Ci menjadi gusar, ia angkat cambuknya terus menyabet ke arah orang Cidan yang lewat di sisinya.

Namun Siau Hong keburu mencegahnya, sambil menggoyangkan kepalanya ia berkata dengan suara tertahan, ”Biar mereka bicara sesukanya, jangan digubris!”

Lalu ia pun bertanya, ”Apakah benar-benar para padri sakti Siau-lim-si juga ikut datang?”

”Harap Pangcu maklum, ketika nona Toan (A Ci) keluar dari kota Lamkhia, di luar kota dia bertemu drngan Go-tianglo dari Kai-pang kita dan membicarakan tentang pengorbanan Pangcu, demi untuk menolong jiwa rakyat dan negeri Song kita katanya Pangcu telah berusaha mencegah rencana raja Liau yang akan menyerbu negeri Song sehingga menimbulkan amarah raja Liau dan engkau ditawan. Atas cerita itu Go-tianglo tak mempercayainya karena pangcu diketahui sebagai orang Cidan, masakah mungkin pikiranmu condong kepada negeri Song kita? Maka diam-diam beliau menyusup ke kota Lamkhia untuk menyelidiki sendiri persoalan Pangcu ini dan akhirnya dapat diketahui dengan pasti bahwa apa yang diceritakan nona Toan ternyata besar adanya. Segera Go-tianglo menyebar perintah ’Jing-tiok-leng’ (titah bambu hijau) dan memberitahukan kepada para ksatria Tionggoan tentang kebaikan budi dan jiwa ksatria Pangcu, karena terharu dan berterima kasih atas keluhuran budi pangcu itu, maka dengan dibawah pimpinan para padri Siau-lim-si itu, para ksatria Tianggoan berbondong-bondong sama datang ke utara sini untuk menolong Pangcu.”

Siau Hong menjadi teringat kepada peristiwa di Cip-hian-cong tempo dulu, disana dia bertarung dan dikerubuti oleh para ksatria Tianggoan sehingga tidak sedikit jago silat dibunuh olehnya. Tapi hari ini para kesatria itu justru datang menolongnya, sungguh hatinya menjadi berduka dan berterima kasih pula.

”Ya, begitulah, maka dengan cepat berita tentang Cihu itu telah disebarkan oleh para pengemis Kai-pang sehingga dalam waktu singkat diketahui oleh para ksatria di mana-mana. Ai, celaka! Wah sayang, sungguh sayang!” demikian tiba-tiba A Ci berseru gegetun.

”Ada apa?” tanya Toan Ki kaget.

”Wah, Pek-giok-giok-ting (Wajan kumala hijau) yang kugunakan untuk memancing kedatangan kawanan ular yang kutaruh diruangan pendopo sana, dalam keadaan terburu-buru kulupa mengambilnya kembali,” tutur A Ci.

”Sudahlah, benda yang tak berarti itu buat apa mesti dipikirkan dan dibawa ke mana pun kau pergi?” ujar Toan Ki dengan tertawa.

”Hm, kau anggap wajan itu benda tak berarti? Kalau tiada benda mustika itu, tentu kawanan ular itu takkan membanjiri ruangan itu sedemikian cepatnya dan Cihu tentu juga susah meloloskan diri secara begini mudah.” demikian bantah A Ci.

Tengah bicara, tiba-tiba terdengar suara riuh ramainya orang bertempur. Dibawah cahaya api kelihatan prajuritprajurit Laiu dalam jumlah besar sedang saling gasak sendiri.

”Aneh, mengapa mereka bertempur sendiri .... ” ujar Siau Hong dengan heran.

”Toako mereka yang pakai kain putih di lengan itu adalah kawan sendiri.” kata Toan Ki.

Segera A Ci mengeluarkan sepotong kain putih dan diserahkan kepada Siau Hong, katanya, ”Ikatlah di lehermu, Cihu!”

Sekilas pandang Siau Hong merasa bingung juga untuk membedakan yang mana prajurit kawan atau lawan, ia merasa bingung pihak mana yang harus dibunuhnya. Dan di tengah suasana yang gaduh itu terkadang terjadi prajurit Liau yang sebenarnya saling membunuh. Sebaliknya prajurit Liau palsu yang pakai tanda kain putih dileher itu dapat mengayunkan senjata mereka dengan jitu pada badan prajurit dan perwira Liau yang tulen sehingga orang-orang Liau satu persatu bergelimpangan binasa.

Sambil memegangi kain putih yang diterimanya dari A Ci, tangan Siau Hong menjadi gemetar, hatinya seakan sedang menjerit, ”Aku adalah orang Liau, aku bukan orang Han! Aku orang Liau dan bukan orang Han! Betapa pun kain putih ini tak dapat kupakai di leherku!”

Dan pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara mencicit pintu gerbang barat yang antap itu didorong terpentang oleh orang. Berbondong-bondong Toan Ki dan Hoan Hwe lantas menerjang keluar dengan mengepit di samping Siau Hong.

Di bawah cahaya api yang terang benderang itu tertampak jelas anggota Kai-pang dalam jumlah besar sudah menunggu di luar kota dengan membawa kuda. Ketika melihat Siau Hong, serentak mereka bersorak sorai, ”Kiau-pancu! Kiau-Pancu!”

Di tengah malam gelap gulita tertampak dua barisan obor menyingkir minggir, lalu seorang penunggang kuda tampak maju ke depan. Penunggang kuda ini adalah seorang pengemis tua, dengan kedua tangan terangkat ke atas ia memegang Pak-kau-pang, itu pentung penggebuk anjing yang merupakan benda tanda pengenal atau simbol Pangcu Kai-pang. Pengemis tua itu ternyata Go-tianglo adanya.

Sesudah berada di depan Siau Hong, cepat Go-tianglo melompat turun dari kudanya dan berlutut, katanya, ”Go-liang-kung atas nama para anggota Kai-pang dengan ini kepada Pangcu yang tidak bersalah, sungguh kami lebih bodoh daripada hewan, untuk itu mohon Pangcu suka memberi ampun dan sudilah melupakan apa yang telah lalu dan kembali menjadi Pangcu kita untuk memimpin kami yang selama ini seperti anak-anak yang kehilangan orang tua.”

Sembari berkata ia pun menyodorkan Pak-kau-pang ke tangan Siau Hong.

Siau Hong menjadi terharu menghadapi kawan-kawan seperjuangan masa lalu ini, katanya, ”Go-tianglo, Caihe memang benar-benar orang Cidan. Sungguh aku merasa terima kasih tak terhingga atas budi kebaikan kalian. Tentang kedudukan Pangcu sekali-kali aku tak dapat menjabatnya.”

Berbareng ia pun membangunkan Go-tianglo.

Go-tianglo adalah seorang yang berhati lurus, ia menjadi bingung atas sikap Siau-Hong itu, katanya sambil garuk-garuk kepala, ”Engkau ... engkau mengaku sebagai orang Cidan pula dan tak ... tak mau menjadi Pangcu? Ah, Kiau-pangcu, sudahlah jangan marah lagi kepada perbuatan kami yang ngawur dahulu itu dan terimalah kembali jabatanmu!”

Dalam pada itu terdengar suara tambur perang dalam kota mendadak berbunyi menggelegar, terang ada pasukan besar Liau segera akan menerjang keluar.

Cepat Toan Ki berkata, ”Go-tianglo, marilah kita lekas berangkat, pasukan musuh terlalu kuat jika mereka sempat menyusun kekuatan tentu kita tak dapat melawannya.”

Siau Hong juga tahu sebabnya orang-orang Kai-pang bersama para ksatria Tionggoan dapat unggul sementara adalah karena mereka menyerang secara mendadak sehingga berhasil, kalau benar-benar bertempur melawan pasukan Liau sudah tentu ribuan orang-orang kangouw itu bukan tandingan pasukan Liau yang berjumlah ratusan ribu dan terlatih dengan baik itu. Apalagi bila terjadi pertempuran tentu akan banyak menimbulkan korban, hal ini sangat berlawanan dengan keinginannya, maka ia lantas berkata, ”Go-tianglo, urusan Pangcu biarlah dibicarakan nanti. Yang penting sekarang memberi perintah agar saudara kita segera mundur ke barat

sana.”

Go-tianglo mengiakan dan segera memberi perintah. Serentak barisan belakang Kai-pang berubah menjadi barisan depan dan cepat mengundurkan diri kejurusan barat. Tidak lama kemudian Hi-tiok juga menysul tiba dengan membawa para prajurit wanita dan ke-39 Tongcu dan ke-72 Tocu.

Sesudah beberapa li jauhnya, para jago negeri Tayli di bawah pimpinan Siau Tio-sing dan Cu Tan-sin juga menyusul datang. Tapi para ksatria Tionggoan dan para paderi Siau-lim-si tetap tidak kelihatan. Bahkan sayupsayup terdengar suara pertempuran gegap gempita di dalam kota Lamkhia.

Rupanya para ksatria Tionggoan dan para padri Siau-lim-si telah dicegat musuh dalam kota, biarlah kita menunggu dulu sementara,” ujar Siau Hong.

Tidak lama kemudian suara pertempuran dalam kota makin lama makin keras. Toan Ki merasa tidak enak, katanya, ”Harap Toako tunggu dulu di sini, biarlah kupergi membantu mereka.”

Habis berkata ia lantas memimpin para jago Tayli dan memburu kembali ke kota Lamkhia.

Sementara itu subuh sudah tiba cuaca mulai terang. Siau Hong sendiri merasa sedih dan kuatir, ia tidak tahu para ksatria Tionggoan itu dapat meloloskan diri atau tidak.

Suara pertempuran semakin dahsyat, para jago negeri Tayli telah menerjang kembali ke dalam pasukan musuh tapi para ksatria Tionggoan tetap belum kelihatan lolos dari kepungan.

Tiba-tiba datang seorang kurir anggota Kai-pang dan memberi laporan. ”Beberapa ribu prajurit Liau menjaga rapat pintu gerbang barat, jago-jago Tayli tidak dapat menyerbu ke dalam kota, sebaliknya para ksatria Tionggoan juga tidak dapt menerjang keluar.”

Segera Hi-tiok memberi tanda dan berseru, ”Orang-orang Leng-ciu-kiong ikutlah padaku untuk memberi bantuan ke sana.”

Segera ia pimpin anak buahnya yang berjumlah ribuan orang itu dan menerjang kembali ke arah lamkhia.

Diatas kudanya Siau Hong coba memandang ke belakang, tertampak kota Lamkhia penuh diliputi asap yang mengepul tebal, dimana-mana terdapat gumpalan api yang menyala-nyala, sungguh sukar dibayangkan betapa jadinya kota itu di tengah kancah kekacauan perang itu.

Sesudah ditunggu sekian lama pula, kembali seorang kurir memberi lapor lagi. ”Toan-ongya dari Tayli dan Hitiok siangsing dari Leng-ciu-kiong telah berhasil membobol kepungan musuh dan sudah menyerbu ke dalam kota.”

Biasanya jika ada perempuan Siau Hong selalu memimpin dan tampil paling depan, tapi sekarang dia hanya menunggu dari jauh, rasanya cemas dan kuatir pula. Maka akhirnya ia berkata, ”Biarlah kupergi melihatnya!”

Cepat A Ci, Bok Wan-jing dan Ciong Ling mencegahnya, ”Jangan, justru orang Liau lagi incar dirimu, jangan sekali-kali engkau menempuh bahaya ini.”

”Tidak apa-apa, jangan kuatir,” ujar Siau Hong. Segera ia melarikan kudanya ke depan disusul oleh para anggota Kai-pang.

Sampai di luar pintu gerbang barat kota Lamkhia, tertampak dibawah tembok benteng, di tepi jalan dan di sepanjang sungai yang mengelilingi benteng kota itu penuh bergelimpangan mayat yang beratus-ratus banyaknya. Ada prajurit dan perwira Cidan, ada juga anak buah Toan Ki dan Hi-tiok.

Pintu gerbang kota setengah tertutup, beberapa Tocu bawahan Hi-tiok tampak memutar senjata, mereka sedang berjaga disamping pintu dan sedang menghajar prajurit Liau yang menerjang maju agar mereka tidak dapat menutup pintu gerbang itu.

Tiba-tiba terdengar suara riuh ramai kuda berlari dari sebelah utara dan selatan. Siau Hong terkejut, serunya, ”Celaka, pasukan Liau secara besar-besaran hendak mengepung kita dari jurusan selatan dan utara.”

Cepat ia meloncat ke atas, kaki memancak lekat di dinding benteng dengan tenaga dorongan itu tubuhnya lantas mencelat ke atas dan menghinggap di atas tembok benteng, dari situ ia dapat memandang jauh ke dalam kota. Maka tertampaklah bagian barat kota dalam lingkaran seluas satu li lebih itu terdapat gerombolan orang di sana-sini nyata para ksatria Tionggoan telah dipotong dan dipisah-pisahkan oleh prajurit Laiu yang berjumlah lebih banyak itu dan sedang dikerubuti dalam kelompok-kelompok lebih kecil.

Walaupun para ksatria Tionggoan itu berilmu silat tinggi, tapi setiap orang harus melawan beberapa orang sampai belasan prajurit Liau yang tangkas, lama kelamaan mereka menjadi kewalahan juga.

Dengan berdiri di atas tembok benteng Siau Hong dapat memandang ke dalam dan ke luar kota, Ia menjadi bingung juga menghadapi suasana pertempuran itu. Para ksatria Tionggoan yang terkepung itu bertempur matimatian demi menolong dia, maka tidaklah mungkin ia menyaksikan para ksatria itu binasa di bawah senjata prajurit Liau tanpa memberi bantuan.

Tapi kalau dia melompat terus dan menolong mereka, ini berarti dia secara terang-terangan bermusuhan dengan pihak Liau dan menjadi penghianat bangsa, selain berdosa kepada leluhurnya sendiri bahkan selamanya akan dicaci maki dan dibusuk oleh bangsanya sendiri.

Jika dia Cuma melarikan diri saja dan meninggalkan negeri sendiri, perbuatan demikian paling-paling akan dianggap sebagai tidak setia. Tapi kalau angkat senjata dan menyerang bangsa dan negerinya sendiri, ini benarbenar perbuatan penghianat yang maha berdosa.

Biasanya Siau Hong dapat bertindak cepat dan tegas, tapi sekarang ia menjadi serba susah. Sekilas tertampak olehnya di pojok bawah benteng sana ada beberapa jago Cidan sedang mengerubut dua padri tua Siau-lim-si. Salah seorang padri tua itu bersenjata golok, mulut menyemburkan darah terang sudah terluka parah.

Waktu diperhatikan lebih jauh, segera Siau Hong kenal padri tua itu adalah Hian-bing Taisu. Padri yang lain bersenjata tongkat dan sedang berusaha mati-matian untuk melindungi kawannya yang terluka. Padri bersenjata tongkat ini ternyata Hian-sik adanya.

Saat itu dua jago Cidan sedang angkat parang mereka untuk membacok Hian-bing. Segera Hian-bing bermaksud menangkis dengan goloknya. Tak tersangka lukanya sudah teramat parah, baru saja tangan terangkat sebatas dada, sungguh celaka, rasanya sudah tidak kuat lagi.

Cepat Hian-sik memberi bantuan, tongkatnya menyampuk, ”trang-trang”, karuan parang musuh terbentur balik. Saking kuat tenaga Hian-sik sehingga kedua jago Cidan tak mampu menguasan lagi senjatanya, kedua parang itu membacok di batok kepala sendiri sehingga pecah berantakan.

Sudah tentu Hian-sik sangat girang. Tapi mendadak terdengar Hian-bing menjerit, tahu-tahu pundak kirinya berlumuran darah, ternyata kena dilukai pula oleh musuh.

Kontan Hian-sik balas menyabet dengan tongkatnya sehingga jago Cidan yang melukai Hing-bing itu terhantam dan remuk tulang dadanya. Dan karena serangannya untuk membela kawan itu, ia sendiri kurang penjagaan, kesempatan itu digunakan oleh seorang jago Cidan yang lain untuk menusukkan tombaknya ke dada Hian-sik.

”Cret”, Hian-sik tidak sempat menangkis, perutnya dengan tepat tertusuk tembus dan terpantek di dinding benteng. Namun Hian-sik tidak lantas tewas, dengan tenaganya yang masih ada mendadak ia menggertak sekali, tongkatnya mengemplang kebawah sehingga kepala orang Cidan itu hancur luluh dan mati lebih dahulu dari pada Hian-sik sendiri.

Melihat perut Hian-sik tertembus tombak musuh dan terang tak bisa hidup lagi. Hian-bing menjadi bingung sehingga permainan goloknya tak karuan jurusnya, dengan air mata bercucuran ia berteriak-teriak, ”Sute! Sute!”

Darah panas Siau Hong bergolak, ia tidak dapat menahan perasaannya lagi, mendadak ia berteriak keras, ”Ini siau Hong berada disini! Kalau mau bunuh boleh bunuhlah aku, tapi jangan membunuh orang lain yang tak berdosa!”

Berbareng Siau Hong lantas melompat turun ke bawah, di mana kakinya melayang, sebelum dia menyentuh tanah, kontan empat jago Cidan sidepaknya sehingga mencelat. Dan setelah berdiri tegak, cepat ia menarik Hian-bing dan tangan lain pegang tongkat Hian-sik sambil berkata, ”Hian-sik Taisu, bantuanku ini terlambat datangnya, sungguh dosaku tak terhingga besarnya.”

Menyusul tongkat yang dipegangnya itu terus disabetkan sehingga dua jago Cidan terpaksa melompat menyingkir.

”Tidak kami yang memfitnah Siau-pangcu sebagai orang Cidan terlebih besar berdosa, ” sahut Hian-sik dengan tersenyum getir. ”Dan syukurlah sekarang duduknya perkara dapat dibikin jelas.... ”

Belum selesai ucapannya, sekali kepalanya menunduk, ternyata napasnya sudah berhenti.

Sambil melindungi Hian-bing segera Siau Hong menerjang ke arah beberapa jago Tayli yang sedang dikerubut musuh di sebelah kiri sana.

Melihat Lam-ih Tai-ong mereka mendadak muncul dengan gagah perwira, mau-tak-mau para prajurit dan perwira Liau menjadi jeri. Sebaliknya Siau Hong lantas kerjakan tongkatnya, walaupun tidak ingin membunuh orang, siapa pun terluka bila berkenalan dengan tongkatnya.

Kawanan prajurit berteriak-teriak ketakutan dan beramai-ramai menyingkir mundur sehingga Siau Hong dapat menerjang kian kemari dengan cepat dan leluasa hanya dalam waktu singkat is sudah dapat mengumpulkan dua-tiga ratus ksatria Tionggoan yang tadinya bercerai-berai dan terkepung tadi.

”Hendaknya para saudara jangan terpisah lagi bergabunglah dalam rombongan besar untuk bertempur bersama!” seru Siau Hong.

Segera ia memimpin dua-tiga ratus orang itu dan bergeser ke sana dan ke sini, bila ada kawan yang terkepung lantas didekatinya untuk menolongnya keluar. Maka rombongannya itu makin lama makin bertambah banyak jumlahnya. Sampai akhirnya sudah lebih seribu orang.

Lalu Siau hong menggabungkan diri dengan rombongan Hi-tiok, Toan Ki dan para ksatria Tionggoan di bawah pimpinan Hian-to Taisu dari Siau-lim-si terus menerjang ke pintu gerbang kota.

Siau Hong mendahului memburu ke depan, dengan gagah ia berdiri di atas pintu gerbang dan membiarkan rombongan para ksatria Tionggoan, Tayli dan Leng-ciu-kiong keluar kota dengan aman. Pasukan Liau yang mengejar itu ternyata tidak berani maju, mereka hanya berteriak-teriak dari jauh dan gentar terhadap wibawa Lam-ih Tai-ong mereka.

Menunggu sesudah semua orang keluar benteng dengan selamat, paling akhir barulah Siau Hong sendiri menyusul ke luar kota. Waktu ia menoleh ke belakang, tertampak mayat bergelimpangan di mana-mana dan tertumpuk-tumpuk entah berapa banyak korban yang jatuh dalam pertempuran itu.

Tiba-tiba terlihat olehnya di antara mayat yang mengeletak di dalam kota itu terdapat dua perwira wanita Lengciu-kiong yang berlumuran darang sedang merintih-rintih dan meronta-ronta hendak berdiri, tapi rupanya tidak kuat lagi.

Tanpa pikir Siau hong menerjang masuk lagi ke dalam kota, ia pegang punggung ke dua wanita itu dan dibawa lari keluar. Tapi tidak berapa jauh mendadak terdengar suara tambur menggelegar mengguncang bumi, dua pasukan Liau secara besar-besaran menyerbu tiba dari arah kanan dan kiri.

Seketika Siau Hong merasa cemas. Kedua pasukan musuh itu jumlahnya paling sedikit ada sepuluh ribu banyaknya, sedangkan kawan-kawan dipihak sendiri sudah bertempur sekian lamanya, kalau tidak terluka tentu juga sudah terlalu letih, maka bagaimana akan dapat menghadapi pasukan musuh yang bertenaga baru itu?

Cepat ia berteriak, ”Kawan-kawan Kai-pang harap mengiring dari belakang, serahkan kuda tunggangan kalian kepada teman-teman lain yang terluka dan biarkan mereka mundur lebih dulu!”

Anggota Kai-pang mengiakan serentak dan beramai-ramai melompat turun dari kuda mereka.

Lalu Siau Hong berteriak pula, ”Pak-kau-tai-tin (Barisan besar menggebuk anjing)!”

Maka terdengar suara tembang minta-minta para pengemis sambil mengatur barisan selapis demi selapis.

”Hian-to Taisu, Jite dan samte, lekas memimpin bawahan kalian mundur dulu ke jurusan barat, biarkan kami yang menjaga di bagian belakang!” teriak Siau Hong.

Di bawah sinar matahari ujung golok dan tombak pasukan Liau tertampak gemerlapan menyilaukan mata, berpuluh ribu kuda berlari serentak menerjang tiba, suara benar-benar menggetar sukma dan menakutkan.

Melihat kekuatan musuh yang luar biasa itu, Hi-tiok dan Toan-Ki menaksir Pak-kau –tai-tin yang dipasang anggota Kai-pang itu betapapun susah menahan terjangan pasukan musuh. Maka mereka berdua lantas berdiri di kanan-kiri Siau Hong dan berkata, ”Toako, kita adalah saudara angkat, kalau ada kesukaran biarlah ditanggung bersama, mati atau hidup harus bersama pula!”

”Jika begitu, lekas perintahkan bawahan kalian mundur lebih dulu, ”kata Siau Hong.

Cepat Hi-tiok dan Toan Ki meneruskan perintah itu kepada anak-buahnya masing-masing.

Siapa tahu bawahan Leng-ciu-kiong telah menyatakan tidak mau meninggalkan majikan mereka dalam keadaan bahaya, lebih-lebih para jago Tayli juga tidak mau mengundurkan diri dan membiarkan raja mereka menghadapi maut.

Dalam pada itu, pasukan berkuda Liau sudah makin dekat panah yang dibidikan sudah hampir mencapai tempat Siau Hong dan kawan-kawannya berada.

Hian-to mestinya sudah mundur lebih dulu dengan memimpin para ksatria Tionggoan, tapi sekarang demi nampak rombongan Siau Hong dan terancam bahaya, seketika ada beberapa puluh orang di antaranya berlari kembali untuk membantu.

Diam-diam Siau Hong mengeluh. Pikirnya, ”Biarpun ilmu silat kawan-kawan ini sangat tinggi tapi mereka tidak kenal ilmu peperangan dan tidak tahu disiplin militer, cara bagaimana mereka akan sanggup melawan pasukan Liau yang berjumlah besar? Kematianku adalah tidak menjadi soal tapi kalau para kawan juga dibinasakan oleh prajurit Liau di luar kota Lamkhia ini, lantas bagaimana aku .... ”

Selagi bingung dan entah tindakan apa yang harus diambilnya sekonyong-konyong di tengah pasukan Liau terdengar suara gembrong yang nyaring ditabuh secara menitir. Nyata itulah tanda menarik mundur pasukan.

Begitu mendengar suara titir gembreng, seketika pasukan Liau yang sedang menerjang ke depan itu serentak membalik haluan kuda mereka berputar, barisan belakang lantas berubah menjadi barisan depan dan beramairamai mundir ke utara dan selatan dari arah mereka datang tadi.

Siau Hong terheran-heran dan tidak mengerti apa yang terjadi. Walaupun pasukan Liau sudah mundur, tapi dilihatnya jauh di belakang pasukan Liau sana debu mengepul tinggi disertai suara teriakan riuh ramai, rupanya bagian belakang pasukan Liau itu telah digempur oleh pasukan lain pula.

Karuan Siau Hong tambah heran, ”Mengapa di belakang pasukan Liau ada pasukan pihak lain lagi, janganjangan terjadi pemberontakan pula? Dan siapakah yang memberontak? Dari muka dan belakang Hongsiang digencet musuh, tentu keadaannya sangat tidak menguntungkan.

Jilid 87 (Tamat)
Begitulah jiwa kesatria Siau Hong, baru saja dia terhindar dari kepungan pasukan Liau, sekarang dia sudah lantas menguatirkan keselamatannya Yalu Hung-ki.

Melihat pasukan Liau mendadak ditarik kembali, segera para anggota Kai-pang berteriak-teriak, tapi karena tiada perintahnya Siau Hong mereka tidak berani sembarangan mengejar dan membunuh musuh.

Waktu Siau Hong melompat dan berdiri diatas kudanya untuk memandang jauh kebagian belakang pasukan Liau, dilihatnya disana banyak berkibar panji-panji warna putih, diudarapun terjadi hujan panah dan perajurit Liau banyak yang terjungkal jatuh dari kudanya. Akhirnya sadarlah Siau Hong: "Ah, kiranya adalah kawankawanku dari suku Nuchen yang telah tiba. Entah dari mana mereka.”

Ilmu memanah pemburu-pemburu Nuchen itu sungguh sangat lihai, merekapun sangat gagah dan tangkas dimedan perang. Setiap seratus orang mereka terbagi menjadi satu pasukan kecil, dengan menunggang kuda mereka berteriak-terik terus menerjang ketengah.

Karena diterjang secara mendadak, seketika barisan perajurit Liau menjadi kacau balau. Pula suku Nuchen itu memang tangkas dan gagah berani, panglima Liau dapat melihat gelagat, ia kuatir digencet pula oleh pasukan yang dipimpin Siau Hong, maka cepat-cepat ia memberi tanda menarik mundur pasukannya.

Hoan Hwa berpangkat Suma atau menteri urusan perang, maka dia mahir ilmu kemiliteran. Ia melihat ada kesempatan bagus, segera katanya kepada Siau Hong: "Siau-taiong, lekas kita serbu saja, inilah saat yang paling bagus untuk menghancurkan musuh.

Tapi Siau Hong hanya menggeleng kepala saja.

”Jarak dari sini ke Gan-bun-koan terlalu jauh, kalau kesempatan bagus ini tidak kita gunakan untuk menghancurkan pasukan Liau, kelak tentu akan membahayakan malah,” demikian kata Hoan Hwa pula. ”Apalagi jumlah musuh terlalu banyak dan jumlah kita sedikit, kita belum tentu dapat mengundurkan diri dengan aman dan selamat.”

Namun Siau Hong tetap menggeleng kepala.

Sungguh Hoan Hwa tidak habis mengerti. Pikirnya: "Siau-taiong tidak mau menyerang dan membunuh musuh, jangan-jangan dia masih berharap kelak akan dapat memperbaiki hubungan dengan raja Liau.”

Dalam pada itu terlihat orang-orang Nuchen dalam kelompok-kelompok kecil dengan telanjang setengah badan, ada yang bermantelkan kulit binatang, masih terus menerjang musuh sambil menghujani panah sehingga musuh kalang kabut. Ada lebih seribu orang perajurit Liau yang tidak sempat masuk seluruhnya kedalam kota, semuanya telah dipanah mati dibawah benteng kota.

Pemburu-pemburu Nuchen itu kalau habis membunuh musuh segera buah kepala sang korban dipenggal olehnya dan digantung disabuknya. Maka diantara orang-orang Nuchen itu ada yang membawa puluhan buah kepala yang penuh tergantung dipinggangnya.

Para kesatria sudah banyak berpengalaman dalam pertarungan sengit, tapi pembunuhan secara kejam dan biadab seperti orang-orang Nuchen ini baru pertama kali ini dilihatnya. Keruan mereka terkesiap.

Tiba-tiba diantara pemburu-pemburu Nuchen itu muncul seorang lelaki tinggi besar sambil berteriak-teriak, "Siau-toako, Siau-toako, Wanyan Akut telah datang membantu engkau berkelahi dengan orang Cidan!

Kiranya dia adalah saudara angkat Siau Hong ketika bertemu dipegunungan Tiang-pek-san dahulu, yaitu Wanyan Akut dari suku Nuchen.

Sungguh girang Siau Hong tak terkatakan, cepat ia memapak maju, kedua orang lantas saling rangkul dan berjabat tangan dengan terharu.

”Siau-toako, dahulu engkau telah pergi tanpa pamit, sungguh aku sangat kuatir dan rindu sekali,” demikian kata Akut. ”Kemudian dari penyelidik dapat diketahui bahwa engkau telah menjadi pembesar dinegeri Liau, hal inipun tidak menjadi soal. Cuma orang Liau itu sangat licin, kukira kedudukanmu mungkin tak bisa tahan lama. Benar juga, kemarin dulu penyelidik memberi laporan pula, katanya engkau telah dikurung oleh raja Liau keparat itu sebagai binatang, sungguh kami merasa sangat kuatir dan secepatnya memburu kemari. Syukurlah Siau-toako ternyata baik-baik saja, kami merasa girang sekali.”

”Banyak terima kasih atas bantuan saudaraku.” sahut Siau Hong.

Baru sekian bicaranya, tiba-tiba dari atas benteng telah berhamburan anak panah kearah mereka. Cuma jarak mereka cukup jauh dari tembok benteng, anak-anak panah itu tidak dapat mencapai mereka.

”Kurang-ajar anjing-anjing Liau itu, aku sedang bicara dengan Toako, kenapa mereka sengaja mengganggu,” maki Akut dengan gusar. Habis berkata, ia pentang busurnya, susul menyusul tiga kali membidik ia memanah dari bawah benteng keatas, maka terdengarlah suara jeritan ngeri tiga kali, tiga orang perajurit Liau kontan terjungkal kebawah.

Kalau panah perajurit-perajurit Liau itu tidak dapat mencapainya, sebaliknya tiga kali panah Akut itu dengan mudah telah menggulingkan tiga orang, maka dapat dibayangkan betapa kuat dan jitu kepandaian memanah jago Nuchen itu. Keruan perajurit-perajurit Liau menjadi ketakutan, sambil berteriak-teriak lekas mereka memasang tameng.

Sementara itu suara tambur didalam kota Lamkhia kedengaran masih gegap gempita, agaknya pihak Liau sedang menghimpun tenaga lagi. Segera Akut berseru kepada anak buahnya, "Wahai kawan-kawan, dengarkanlah! Anjing Cidan itu rupanya bersiap-siap akan keluar lagi dari lubang anjingnya, hayo kita bersiap untuk membunuhnya dengan sepuas-puasnya!

Orang-orang Nuchen itu berteriak senang sebagai suara ribuan binatang yang mengaum secara serentak.

Diam-diam Siau Hong menjadi kuatir. Kalau peperangan ini sampai berlangsung, maka korban yang akan jatuh dari kedua pihak tentu tidaklah sedikit. Cepat katanya: "Saudaraku yang baik, kedatanganmu ini adalah untuk menolong aku dan sekarang aku sudah lolos dari bahaya, buat apa mesti bertempur lagi dengan orang. Sudah lama sekali kita tidak berjumpa, marilah kita mencari suatu tempat yang aman dan tenang untuk bicara dan minum sepuas-puasnya.

”Benar juga, marilah kita berangkat,” sahut Akut.

Tapi mendadak pintu gerbang kota terpentang, sepasukan tentara Liau berkuda dan berpakaian lapis baja telah menerjang keluar. Akut mencaci-maki. Ia pentang busur dan memanah, kontan muka seorang perwira yang berada paling depan itu terguling dari kudanya.

Orang-orang Nuchen yang lain beramai-ramai juga melepaskan panah, yang mereka arah selalu bagian muka. Dasar ilmu memanah orang-orang Nuchen itu memang pandai, ujung panah berbisa pula, maka sasarannya yang terkena panah itu tanpa bersuara sama sekali seketika terjungkal dan binasa.

Hanya dalam sekejap saja didepan pintu gerbang kota sudah bergelimpangan beberapa ratus mayat bercampur kuda tumpuk menumpuk sehingga menyumbat pintu gerbang itu. Perajurit Liau yang lain menjadi ketakutan dan cepat-cepat menutup pintu dan tidak berani mengejar lagi.

Dengan memimpin anak buahnya Wanyan Akut masih terus mondar-mandir dibawah benteng sambil mencacimaki dan menantang. Sudah tentu mereka tidak mendapat jawaban.

”Marilah kita berangkat, saudaraku!” ajak Siau Hong.

Terpaksa Akut mengiakan. Tapi dia masih menuding keatas benteng dan berteriak keras: "Dengarkan anjinganjing Liau! Untunglah kalian tidak mengganggu seujung rambut Toako kami, maka bolehlah jiwa anjing kalian diampuni. Coba kalau tidak, tentu kami meratakan bentengmu dan menumpas habis anjing-anjing Liau kalian!”

Habis itu ia lantas mengikuti Siau Hong kearah barat. Kira-kira belasan li jauhnya, sampailah mereka diatas sebuah bukit. Akut lantas melompat turun dari kudanya, ia ambil kantong arak dari pelana kudanya dan diberikan kepada Siau Hong sambil berkata, "Silakan minum arak, Toako.”

Siau Hong juga tidak menolak, ia angkat kantong arak itu dan sekaligus ditenggaknya hingga hampir habis, lalu ia kembalikan kepada Akut.

Sesudah Akutpun minum habis sisa arak itu, katanya kemudian, "Toako, daripada pergi kelain tempat yang belum tentu tujuannya, adalah lebih baik ikut bersama kami kembali kepegunungan Tiang-pek-san, disana kita dapat berburu dan minum arak serta hidup dengan bebas merdeka.

Tapi Siau Hong cukup kenal sifat Yalu Hung-ki yang angkuh dan tinggi hati, hari ini pasukan Liau telah diterjang sehingga kocar-kacir oleh Wanyan Akut dan kawan-kawannya, bahkan telah dicaci-maki pula olehnya, untuk semua ini Hung-ki tentu tidak dapat menerimanya dengan mentah-mentah, tapi pasti akan mengerahkan pasukannya untuk bertempur lagi. Meski orang Nuchen sangat tangkas dan gagah berani, tapi jumlah mereka hanya sedikit, memang belum diketahui akan menang atau kalah, tapi adalah lebih baik kalau pertempuran sengit dapat dihindarkan.

Teringat oleh Siau Hong selama beberapa bulan tinggal di pegunungan Tiang-pek-san dahulu, dimana selain sibuk mengobati A Ci boleh dikata tiada punya rasa kuatir urusan lain, lebih tiada terpikir tentang kedudukan dan kemewahan orang hidup segala. Dan kalau untuk selanjutnya dapat hidup bersama dengan suku Nuchen rasanya dapat juga menghindarkan segala urusan yang mengesalkan. Maka dia lantas menjawab, "Saudaraku, para kesatria dari Tionggoan ini jauh-jauh datang kemari adalah karena ingin menolong aku. Maka biarlah aku mengantar mereka ke Gan-bun-koan dulu, habis itu aku akan kembali kesini untuk berkumpul dengan saudaraku orang-orang Nuchen.”

”Bagus!” seru Akut dengan girang. ”Jika begitu biarkan kutunggu saja didepan sana. Orang-orang Tionggoan itu tampaknya sok cerewet dan besar kemungkinan bukan manusia baik-baik, maka akupun sungkan untuk berkenalan dengan mereka.”

Habis berkata ia lantas mohon diri dan membawa kawan-kawannya menuju keutara.

Melihat datang dan perginya orang-orang Nuchen itu sebagai angin lesus cepatnya dan sangat tangkas pula, diam-diam para kesatria Tionggoan menganggap orang-orang Nuchen itu lebih lihai daripada orang-orang Liau. Untung mereka adalah kawannya Kiau-pangcu, kalau tidak tentu urusan bisa runyam.

Dalam pada itu rombongan para kesatria itu sudah bergabung menjadi satu, mereka ramai membicarakan suasana pertempuran sengit diluar kota Lamkhia tadi.

Siau Hong lantas memberi hormat kepada para kesatria, serunya, "Banyak terima kasih atas budi pertolongan kalian yang tidak memikirkan dosa Siau Hong dahulu, sebaliknya jauh-jauh datang kemari untuk menolong diriku, budi ini sungguh susah dibalas selama hidupku ini.”

”Ah, mengapa Kiau-pangcu berkata demikian,” sahut Hian-to selaku pimpinan para kesatria Tionggoan yang menganggap Siau Hong masih tetap Pangcu Kai-pang dan tetap she Kiau. ”Padahal apa yang terjadi dahulu itu hanya karena salah paham belaka. Apalagi kita sama-sama orang Bu-lim dan seharusnya bantu membantu bila ada kesukaran. Pula Kiau-pangcu telah rela mengorbankan kedudukan yang diagungkan di negeri Liau demi keselamatan berjuta-juta rakyat Tionggoan, untuk budi kebaikan inilah kami harus menyatakan terima kasih kepada Kiau-pangcu.”

Segera Hoan Hwa juga berkata: "Para Enghiong yang terhormat, menurut pendapatku, mungkin sekali pasukan Liau takkan rela dengan kekalahan mereka tadi, maka mereka masih akan datang mengejar kita. Entah apakah diantara kawan-kawan ada yang berpendapat lain.”

Serentak banyak diantara para kesatria itu berteriak: "Bila pasukan musuh berani mengejar, hayolah kita hajar mereka lagi, masakah kita mesti takut.”

”Soalnya bukan takut atau tidak,” ujar Hoan Hwa, ”tapi jumlah musuh terlalu banyak dan jumlah kita sangat sedikit, kalau bertempur ditempat lapang begini akan tidak menguntungkan kita. Maka menurut pendapatku adalah lebih baik kalau kita mundur dulu kebarat, pertama jarak kita akan lebih dekat dengan pasukan Song dan bila perlu mungkin kita akan mendapat bantuan. Selain itu makin jauh pasukan musuh mengejar kita tentu jumlah musuh apalagi terpencar dan berjumlah sedikit, dengan demikian kita akan cari kesempatan untuk menggempur kembali mereka.”

Para kesatria sama menyatakan setuju. Segera Hi-tiok memimpin anak buah Leng-ciu-kiong sebagai barisan pertama, menyusul adalah Toan Ki dengan jago-jago Tayli, lalu Hian-to bersama para kesatria Tionggoan, sedang Siau Hong memimpin anggota-anggota Kai-pang mengiringi dari belakang.

Empat pasukan itu masing-masing berjarak satu-dua li jauhnya, kurir berkuda kian kemari menyampaikan berita, kalau ada musuh segera dapat saling membantu.

Sesudah menempuh perjalanan satu hari, malamnya mereka lantas bermalam diudara terbuka, syukurlah semalam suntuk mereka tidak diganggu oleh pasukan Liau, maka lambat-laun rasa was-was semua orang menjadi reda.

Esok paginya mereka meneruskan perjalanan. Siau Hong yang selalu didampingi oleh A Ci telah coba menanyai anak dara itu, "Apakah pemuda she Yu itu masih tinggal di Leng-ciu-kiong.”

Mulut A Ci yang kecil itu menjengkit, sahutnya, "Siapa yang tahu? Tentunya juga masih disana. Kedua matanya sudah buta, masakah dia dapat pergi dari pegunungan yang curam itu? Nyata nadanya tetap tiada punya rasa perhatian sedikitpun kepada Yu Goan-ci yang telah rela mengorbankan matanya bagi anak dara itu.

Petang hari itu mereka telah sampai di Pek-lok-po, sebuah kota dikaki gunung Ngo-tay-san, disitulah pasukanpasukan mereka berkemah mengaso.

Hoan Hwa memang mahir ilmu siasat dan pandai mengatur barisan, sepanjang jalan ia telah meninggalkan berkelompok-kelompok kesatria yang tangkas untuk menjaga tempat-tempat yang strategis, kalau ada jembatan lantas dihancurkan untuk memperlambat pasukan musuh bila mengejar.

Sampai hari ketiga, tiba-tiba terlihat disebelah timur sana asap mengepul tinggi mencakar langit. Terang itulah tanda pasukan Liau sedang mengejar kearah mereka.

Melihat itu, para kesatria kembali berdebar-debar. Ada diantaranya yang sok gagah dan suka bertempur seketika hendak memutar balik kesana untuk membantu regu-regu yang ditinggalkan Hoan Hwa itu, tapi mereka keburu dicegah oleh Hian-to dan Hoan Hwa.

Malam itu rombongan-rombongan mereka bermalam dilereng sebuah gunung. Sampai tengah malam mendadak mereka dikejutkan oleh suara teriakan kaget orang. Seketika para kesatria terjaga bangun terus menyiapkan senjata masing-masing.

Ternyata disebelah utara sana merah membara, entah benda apa yang sedang terbakar sehingga berwujut lautan api sehebat itu.

Siau Hong saling pandang sekejap dengan Hoan Hwa, diam-diam kedua orang sama-sama merasakan alamat yang tidak enak.

”Siau-taiong, menurut pandanganmu, bukankah ini pertanda pasukan Liau sedang memutar dari jurusan sana untuk menyerang kemari?” tanya Hoan Hwa.

”Raja Liau memang sudah bertekad akan menyerang Song dan sedang mengerahkan pasukannya secara besarbesaran, boleh jadi ini adalah pasukannya dari bagian utara,” sahut Siau Hong.

”Ai, kebakaran besar itu entah telah banyak mengambil korban harta benda dan jiwa rakyat jelata yang tak berdosa!” kata Hoan Hwa dengan menghela napas.

Siau Hong tidak mau mengucapkan kata-kata jelek bagi alamatnya Yalu Hungki yang masih dianggapnya sebagai kakak-angkat, tapi dia cukup kenal watak raja Liau itu, karena telah mengalami kekalahan dibawah serangan orang-orang Nuchen, tentu Hung-ki merasa sangat penasaran sehingga rasa dendamnya seluruhnya telah dilampiaskan atas diri rakyat jelata yang tidak bersalah. Tentu pasukan yang dikerahkan ini tidak kenal ampun lagi, asal ketemu orang tentu dibunuh dan kalau melihat rumah pasti dibakarnya.

Api yang berkobar-kobar dengan hebat itu sampai fajar sudah menyingsing masih belum juga padam, sampai sore harinya, kembali disebelah selatan kelihatan api menyala-nyala pula. Dibawah sinar matahari cahaya api tidak begitu jelas, tapi asap tebal tertampak mengepul tebal menembus awan.

Sebenarnya Hian-to memimpin kawan-kawannya berjalan didepan, ketika melihat kebakaran disebelah selatan itu, segera ia menghentikan kudanya dan menunggu ditepi jalan. Sesudah Siau Hong mendekat, lalu ia bertanya: "Kiau Pangcu, pasukan Liau telah mengepung kita dari tiga jurusan, menurut pandanganmu apakah Gan-bun-koan dapat dipertahankan? Aku sudah mengirim orang untuk menyampaikan berita kilat ke Gan-bunkoan, cuma saja panglima penjaga benteng itu mungkin terlalu pengecut dan tiada punya semangat tempur, boleh jadi sulit untuk menahan serbuan pasukan berkuda orang Cidan.

Siau Hong terdiam, ia merasa susah untuk menjawab.

Lalu Hian-to berkata pula: "Tampaknya hanya orang Nuchen saja yang dapat menghadapi ketangkasan orang Cidan. Kelak bila kerajaan Song kita berserikat dengan orang Nuchen, dengan digencet dari utara dan selatan mungkin akan dapat memaksa bangsa Cidan berpikir dua kali dan tidak berani sembarangan menyerbu keselatan.

Siau Hong tahu maksud paderi Siau-lim-si itu adalah ingin dirinya berusaha menghubungi pemimpin suku bangsa Nuchen, yaitu Wanyan Akut. Tapi demi teringat dirinya sesungguhnya adalah orang Cidan, mana boleh bersekongkol dengan bangsa lain untuk menyerang bangsa dan tanah airnya sendiri.”

Untuk membelokkan pokok pembicaraan maka mendadak ia bertanya, "Hian-to Taysu, apakah ayahku baikbaik saja berada didalam kuil agung kalian.”

Hian-to tertegun, jawabnya: "Ayah Kiau-pangcu sudah masuk kedalam lingkungan Budha dan menyucikan diri diruang belakang Siau-lim-si, keberangkatan kami ke Lamkhia kali ini tidak diberitahukan kepada ayahmu supaya tidak merisaukan perasaannya.”

"Sungguh aku ingin pergi menemui beliau untuk menanyakan sesuatu padanya,” kata Siau Hong.

"O,” Hian-to tidak bersuara lebih lanjut.

"Aku ingin tanya kepada beliau, Jikalau pasukan Liau menyerang Siau-lim-si, lantas tindakan apa yang akan dilakukan oleh beliau?” kata Siau Hong.

"Sudah tentu beliau akan berbangkit untuk menumpas musuh, membela agama dan menyelamatkan kuil, apa yang perlu diragukan lagi?” ujar Hian-to.

"Akan tetapi ayah adalah orang Cidan, apakah dia mau disuruh membela orang Han untuk membunuh bangsanya sendiri.”

Hian-to merenung sejenak, katanya kemudian, "Pangcu ternyata benar-benar orang Cidan yang telah meninggalkan kegelapan dan menuju kejalan yang terang, sungguh harus diberi hormat dan mengagumkan.”

"Taisu adalah orang Han dan selalu anggap Han adalah pihak yang terang dan pihak Cidan adalah pihak yang gelap. Sebaliknya bangsa Cidan kami memandang kerajaan Liau yang jaya adalah pihak yang terang dan kerajaan Song adalah pihak yang gelap. Padahal leluhur dari bangsa kami telah banyak menderita, kami diuberuber dan dibunuh oleh suku bangsa Sianbi dan lain-lain sehingga terpaksa berlari kian kemari untuk menyelamatkan diri, betapa sengsaranya sungguh susah dilukiskan. Ketika kerajaan Tong negeri kalian, karena ilmu silat bangsa Han kalian telah berkembang dengan hebat, karena itu tidak sedikit pula kesatria-satria bangsa Cidan kami menjadi korban lagi dan banyak sekali kaum wanita kami diculik dan ditawan. Sekarang ilmu silat bangsa Han kalian sudah banyak mundur, maka berbalik bangsa Cidan kami yang akan membunuh kalian. Jika bunuh membunuh secara bergilir ini berlangsung terus, bilakah baru akan berakhir.”

Hian-to menghela napas, katanya, "Hanya kalau segenap raja-raja dan penguasa-penguasa didunia ini sudah memeluk agama Budha yang mengutamakan welas asih kepada sesamanya, dengan demikian barulah didunia ini takkan ada peperangan dan saling bunuh membunuh.”

"Ya, entah bilakah baru akan tiba saat aman dan damai bagi dunia ini.” sahut Siau Hong.

Begitulah rombongan mereka terus menuju kebarat. Mereka melihat di jurusan-jurusan timur, utara dan selatan rupanya siang dan malam pasukan Liau terus main bunuh dan bakar dimana mereka tiba. Dengan gusar para pahlawan mencaci-maki kekejaman musuh dan bertekad akan melabrak pasukan musuh dengan mati-matian.

”Pasukan Liau semakin dekat, akhirnya kita tentu tiada jalan mundur lagi,” demikian ujar Hoan Hwa. ”Menurut pendapatku ada lebih baik kita pencarkan diri saja agar musuh merasa bingung kemana harus mengejar kita.”

”Cara demikian bukankah berarti kita telah mengaku kalah?” seru Go-tianglo dari Kai-pang. ”Hoan-suma, jangan engkau membesarkan kekuatan musuh dan menilai rendah tenaga kita sendiri. Pendek kata, apakah akan menang atau kalah, kita harus melabrak habis-habisan anjing-anjing Liau itu.

Bicara sampai disini, tiba-tiba terdengar suara mendesing, sebatang anak panah menyambar dari arah tenggara sana dan kontan seorang murid berkantong lima dari Kai-pang roboh terpanah, menyusul dari balik bukit sana sepasukan Liau lantas menerjang tiba sambil berteriak-teriak.

Rupanya pasukan Liau ini telah menyusul mereka dengan memotong jalan, jumlah pasukan ini kira-kira ada 500 orang.

”Serbu!” teriak Go-tianglo dan segera mendahului menerjang musuh.

Memangnya para pahlawan sudah menahan gusar dan dendam sejak tadi, kini mereka dapat melampiaskan perasaan mereka, segera mereka menyerbu dengan gagah berani. Karena jumlah dipihak pahlawan-pahlawan ini lebih besar daripada pasukan Liau, ilmu silat mereka tinggi-tinggi pula, maka ditengah suara teriakan riuh ramai perajurit-perajurit Liau telah dilabrak hingga kocar-kacir, bagaikan membacok semangka dan memotong sayur cepatnya, hanya sekejap saja 500-an perajurit Liau itu telah disapu bersih oleh para pahlawan.

Ada belasan orang Bu-su Cidan sempat mendaki bukit dan hendak melarikan diri tapi merekapun tersusul oleh

jago-jago silat Tionggoan yang tinggi Ginkangnya dan terbunuh habis pula.

Setelah menangkan peperangan ini, para pahlawan sama bersorak gembira, semangat mereka menyala-nyala lebih hebat.

Tapi diam-diam Hoan Hwa berkata kepada Hian-to, Hi-tiok, Toan Ki dan beberapa pimpinan lain, "Yang kita basmi ini hanya suatu pasukan Liau yang kecil, sesudah terjadi kontak ini, pasukan Liau yang lebih kuat tentu akan membanjir tiba. Marilah kita lekas mundur pula kebarat!”

Baru selesai ia bicara, mendadak terdengar suara gemuruh disebelah timur sana. Waktu para pahlawan memandang kearah sana, tertampaklah debu mengepul tinggi hingga mirip awan mendung yang menutupi langit.

Seketika para kesatria hanya saling pandang belaka, keadaan menjadi sunyi senyap, hanya terdengar suara riuh gemuruh itu tambah menggelegar dari jauh. Terang itulah pasukan induk Liau yang serentak dilarikan untuk menerjang kemari. Dari suaranya ini entah berapa ratus ribu jumlahnya.

Para kesatria sudah banyak mengalami pertarungan sengit didunia Kangouw, tapi suara gemuruhnya pasukan besar dilarikan seperti sekarang ini sungguh tidak pernah didengar mereka. Dibandingkan dengan perang diluar kota Lamkhia, terang kekuatan pasukan Liau sekarang jauh lebih hebat dan susah ditaksir. Menghadapi suasana medan perang sedemikian ini tanpa merasa hati para kesatria menjadi berdebar-debar dan kebat-kebit.

Segera Hoan Hwa berseru, "Saudara-saudara sekalian, kekuatan musuh teramat besar, daripada mati konyol percuma, biarlah kita menghindari untuk sementara, asal gunung tetap menghijau, tak perlu kuatir tiada kayu bakar. Marilah kita mengundurkan diri untuk mencari kesempatan buat menggempur kembali.”

Segera para kesatria melarikan kuda mereka kearah barat dengan cepat. Mereka mendengar suara riuh gemuruh masih terus menggelegar dibelakang mereka tak berhenti-henti.

Semalam suntuk mereka tidak mengaso, menjelang fajar mereka sudah dekat dengan Gan-bun-koan. Para kesatria mengeprak kuda mereka lebih cepat. Mereka berharap asal dapat melintasi benteng itu, tentu pasukan Liau tidak mudah akan membobol benteng pertahanan yang merupakan perbatasan kedua negeri itu.

Sepanjang jalan ternyata tidak sedikit kuda-kuda para kesatria binasa keletihan. Maka ada yang terpaksa berlari dengan Ginkang, ada yang dua orang menunggang satu kuda.

Waktu terang tanah, jarak mereka dengan Gan-bun-koan hanya tinggal belasan li saja, maka legalah para kesatria. Mereka lantas melompat turun dari atas kuda, dengan berjalan kaki mereka memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk melepaskan lelah. Sebaliknya suara riuh gemuruh berlarinya pasukan besar Liau dibelakang mereka tidaklah berkurang, bahkan bertambah hebat.

Siau Hong menurun kesebelah bukit sana. Tiba-tiba dilihatnya sepotong batu karang besar. Hatinya terkesiap. Teringat olehnya inilah tempatnya dimana dahulu Hian-cu dan Ong-pangcu memimpin para kesatria Tionggoan menyergap ayahnya dan membunuh ibunya.

Waktu menoleh, dilihatnya didinding karang sana masih jelas penuh bekas tatahan senjata. Terang itulah bekas tempat tulisan yang ditinggalkan ayahnya yang kemudian telah dihapus oleh Hian-cu.

Pelahan-lahan Siau Hong berpaling pula, tertampaklah disebelah dinding karang itu ada sebatang pohon, telinganya seakan-akan masih mendengar suara A Cu yang dahulu sembunyi dibalik pohon itu, "Kiau-toaya, jangan engkau memukul lagi, nanti bukit ini akan hancur kena hantamanmu.”

Ia termangu-mangu sejenak, tiba-tiba ucapan A Cu yang lemah lembut dengan jelas bergema pula dalam benaknya, "Sudah lima hari lima malam kunantikan engkau disini, kukuatir engkau takkan datang. Tapi. akhirnya engkau toh datang juga. Banyak terima kasih kepada Thian yang maha murah hati, akhirnya engkau telah datang dengan selamat.”

Tanpa merasa air mata Siau Hong bercucuran, ia mendekati pohon itu dan meraba-raba batang pohon, ia melihat pohon itu sudah jauh lebih tinggi daripada waktu pertemuannya dengan A Cu dahulu. Sungguh tak terkatakan rasa duka hati Siau Hong, ia lupa kepada segala apa yang sedang terjadi disekitarnya pada saat itu.

Sekonyong-konyong terdengar teriakan melengking seorang, "Cihu, lekas lari, lekas mundur!” Menyusul A Ci telah mendekatinya dan menarik-narik lengan bajunya.

Waktu Siau Hong mengangkat kepalanya, ia melihat dari jurusan-jurusan timur, utara dan selatan telah membanjir pasukan Liau dengan tombak-tombak teracung keatas sebagai hutan bambu. Nyata pasukan Liau itu merapat dalam pengepungan mereka.

Siau Hong mengangguk, katanya, "Baiklah, mari kita mundur kedalam Gan-bun-koan.”

Dalam pada itu kesatria-kesatria lain sudah mendahului sampai didepan Gan-bun-koan, tapi ketika Siau Hong dan A Ci sampai disitu, pintu gerbang benteng pertahanan itu masih tetap tertutup rapat, tertampak air muka

para kesatria penuh rasa mendongkol dan penasaran.

Diatas benteng kelihatan berdiri seorang perwira pasukan Song dan sedang berkata dengan suara lantang: "Menurut perintah Thio-ciangkun yang menjadi komandan pasukan penjaga benteng Gan-bun-koan ini, bahwasanya bila kalian adalah rakyat Tionggoan dan mestinya boleh masuk kedalam benteng tapi entah diantara kalian terdapat tidak mata-mata musuh, maka diputuskan kalian harus membuang semua senjata yang kalian bawa untuk diperiksa satu persatu, sesudah terang kalian adalah orang banyak, maka dengan kebaikan hati Thio-ciangkun kalian nanti akan diperbolehkan masuk benteng.

Seketika ributlah para kesatria demi mendengar ocehan perwira itu. Ada yang berkata, "Sungguh tidak pantas. Kita berlari-lari sekian jauhnya dan melawan musuh dengan sepenuh tenaga, tapi sampai disini malah dicurigai lagi sebagai mata-mata musuh.”

"Ya, sebabnya kita membawa senjata adalah karena ingin membantu kawan untuk melawan pasukan Liau. Kalau senjata kita dilucuti, cara bagaimana kita dapat berperang lagi?” demikian kata yang lain.

Bahkan ada diantaranya yang berwatak berangasan sudah lantas mencaci maki, "Kurangajar! Sudah berjuang mati-matian tidak mendapat pujian sebaliknya dicurigai secara tidak beralasan. Apa benar kita tidak diperbolehkan masuk kedalam benteng atau kita beramai-ramai mesti menyerbu saja kedalam.”

Agar urusan tidak menjadi lebih runyam, segera Hian-to mencegah kata-kata kasar para kawan. Lalu serunya kepada perwira tadi, "Harap sukalah memberi lapor kepada Thio-ciangkun bahwa kami semuanya adalah rakyat Song yang setia dan berjuang bagi negara. Pasukan musuh sekejap lagi akan tiba, kalau mesti pakai memeriksa dan menggeledah segala, mungkin akan berbahaya dan terlambat bagi keselamatan kami.”

Rupanya perwira itupun sudah mendengar suara caci-maki tidak puas dari para kesatria, pula dilihatnya banyak diantara rombongan Hian-to itu aneka macam pakaiannya dan tidak mirip dengan rakyat umumnya didaerah Tionggoan, maka perwira itu lantas bertanya lagi, "Hwesio tua, kau bilang kalian adalah rakyat Song yang baik-baik, tapi kulihat banyak diantara rombongan itu tidak mirip dengan orang Tionggoan kita? Namun demikian, ya sudahlah, aku akan memberi kelonggaran, mereka yang benar-benar adalah rakyat Song akan dibolehkan masuk, sebaliknya mereka yang bukan rakyat Song kita dilarang masuk.”

Untuk sejenak para kesatria menjadi saling pandang dengan penuh mendongkol. Hendaklah maklum bahwa anak buahnya Toan Ki itu adalah rakyat kerajaan Tayli, sedangkan anak buahnya Hi-tiok apalagi tak keruan, mereka adalah gado-gado, campuran dari berbagai bangsa, ada orang seek, ada orang Se He, Turfan, Korea dan lain-lain. Kalau sekarang yang dibolehkan masuk benteng hanya rakyat Song saja, itu berarti sebagian besar anak buah kerajaan Tayli dan Leng-ciu-kiong tak bisa ikut masuk kedalam.

Terpaksa Hian-to membujuk lagi, "Mohon kebijaksanaan Ciangkun bahwa banyak diantara kawan-kawan kami ini terdiri dari orang Tayli, Se He dan lain-lain, mereka semuanya telah membantu kita melabrak pasukan Liau, jadi mereka adalah kawan dan bukan lawan, mengapa mesti dibeda-bedakan tentang rakyat Song atau bukan.”

Kiranya perjalanan Toan Ki kedaerah utara kali ini telah dirahasiakan dengan sangat rapat, ia tidak ingin diketahui kedudukannya sebagai kepala negara Tayli untuk menjaga kalau-kalau mendadak negerinya diserang oleh kerajaan Song atau mungkin juga dia akan dijebak dan ditawan sebagai sandera. Sebab itulah dalam jawaban Hian-to itu tidak disinggung-singgung tentang didalam rombongannya terdapat seorang tokoh maha penting itu.

Maka terdengar perwira tadi berkata dengan kurang senang, "Gan-bun-koan adalah gerbang terpenting diwilayah utara kerajaan Song, tempat ini merupakan kunci utama keselamatan negara. Coba lihatlah, pasukan Liau sudah tiba secara besar-besaran, kalau aku sembarangan membuka pintu sehingga memberi kesempatan kepada pasukan Liau untuk menyerbu masuk kemari, lalu siapa yang akan bertanggung-jawab atas malapetaka yang akan timbul nanti.”

Sungguh mendongkol sekali Go-tianglo, ia tidak tahan lagi, segera ia berteriak, "Kenapa kau hanya membacot saja sejak tadi dan tidak secepatnya membuka pintu? Kalau kau buka sejak tadi bukankah saat ini kami sudah didalam benteng dan takkan menimbulkan malapetaka segala.”

Perwira itu menjadi gusar, dampratnya, "Kau pengemis tua bangka ini berani sembarangan kentut didepan tuan-besarmu?” Dan sekali ia memberi tanda, serentak diatas benteng muncul ribuan perajurit pemanah dengan anak panah sudah terpasang dibusurnya serta mengincar kebawah benteng.

”Nah, lebih baik kalian lekas mundur saja, lekas! Kalau rewel-rewel lagi tak habis-habis sehingga mengacaukan pikiran perajurit kami, segera akan kuperintahkan melepaskan panah,” demikian perwira itu mengancam.

Hian-to menghela napas panjang dan tidak berdaya menghadapi perwira yang kepala batu dan susah untuk diajak bicara itu.

Saat itu para kesatria berada ditengah selat Gan-bun-koan. Kedua sisi benteng itu adalah tebing bukit yang terjal meninggi kelangit. Sebabnya diberi nama Gan-bun-koan atau benteng pintu burung belibis, yaitu sebagai perumpamaan bahwa sekalipun burung belibis jika hendak terbang keselatan juga terpaksa mesti terbang menyusur selat bukit yang terjal dan tinggi itu untuk melukiskan betapa berbahayanya benteng itu.

Diantara kesatria-kesatria dan pahlawan-pahlawan itu tidak sedikit terdapat jago silat yang memiliki Ginkang yang tinggi, dengan mudah saja mereka dapat mendaki bukit dan melintas kebalik gunung sana untuk menyelamatkan diri bila dikejar musuh, tapi sebagian besar pahlawan lainnya tentu tak terhindar dari

kebinasaan dibawah senjata pasukan Liau yang sebentar lagi akan membanjir tiba itu.

Sementara itu pasukan Liau sudah makin dekat, hanya karena terhalang oleh keadaan pegunungan yang luar biasa itu, maka terpaksa mereka mesti menyempitkan kepungan mereka dari kanan dan kiri dan akhirnya terpusat menjadi satu jurusan terus menerjang maju kedepan. Suara tambur bergemuruh memekak telinga. Saat itu yang terdengar hanya suara tambur perang, suara derap larinya kuda tercampur suara gemerincingnya suara pakaian perang para perajuritnya dan suara menderunya panji-panji tertiup angin, sebaliknya tak terdengar sama sekali berisiknya suara manusia, dari ini dapat dibayangkan betapa tegas dan keras disiplinnya pasukan Liau yang kuat itu.

Begitulah sebaris demi sebaris pasukan Liau terus mendesak maju kedepan benteng Gan-bun-koan. Sesudah mencapai jarak kira-kira satu panahan, lalu barisan-barisan itu berhenti. Sepanjang mata memandang, dimanamana hanya tertampak panji-panji berkibar dan gemilapannya senjata, entah berapa jumlahnya pasukan Liau yang datang itu.

Melihat keadaan sudah kepepet, Siau Hong merasa tidak dapat tinggal diam lagi. Segera ia berseru lantang: "Harap para kawan tunggu sementara ditempatnya masing-masing dan jangan sembarangan bergerak, biarlah Cayhe bicara sendiri dengan raja Liau. Dan tanpa peduli seruan Toan Ki dan A Ci yang mencegah maksudnya itu, segera ia memutar kudanya dan dilarikan cepat kearah pasukan Liau.

Siau Hong angkat kedua tangannya lurus keatas kepala sebagai tanda dia tiada membawa sesuatu senjata. Lalu ia berteriak sekerasnya, "Sri Baginda raja Liau yang mulia, Siau Hong ingin bicara sedikit dengan engkau, harap engkau sudi tampil kemuka!”

Dia bicara dengan menggunakan tenaga dalam yang kuat, maka suaranya dapat berkumandang hingga jauh. Ratusan ribu perajurit dan perwira Liau boleh dikata tiada satupun yang tidak mendengarnya dengan jelas. Mau-tak-mau setiap orang Cidan itu berubah air mukanya.

Selang agak lama, mendadak terdengar suara gemuruh tambur dan terompet ditengah pasukan Liau, beratus ribu perajurit Liau itu serentak menyisih kepinggir sebagai ombak terbelah kedua sisi. Maka tertampaklah delapan buah panji kuning emas berkibar-kibar tertiup angin dan dilarikan kedepan oleh delapan orang kesatria penunggang kuda.

Dibelakang kedelapan panji kuning itu menyusul barisan-barisan bersenjata tombak, golok dan kapak, pemanah dan golok-tameng. Sesudah tampil kedepan, lalu barisan-barisan itu memisah kedua samping. Habis itu barulah tampak belasan jenderal dengan pakaian perang yang mentereng mengiringkan Yalu Hung-ki maju kedepan.

Serentak perajurit-perajurit Liau bersorak-sorai: "Banswe! Banswe! (Banswe = Hidup). Demikian

bergemuruhnya suara sorakan itu seakan-akan menggetarkan lembah pegunungan dan memecah bumi.

Melihat perbawa musuh sedemikian hebat, keruan perajurit Song yang menjaga Gan-bun-koan itu menjadi terpengaruh dan keder.

Waktu Yalu Hung-ki mendadak angkat golok mestika yang dipegangnya itu keatas, seketika suara gemuruh pasukannya lantas berhenti, bahkan suasana menjadi sunyi senyap, kecuali suara ringkik kuda yang terkadang terdengar, boleh dikata tiada suara lain lagi.

Sesudah Hung-ki menurunkan kembali goloknya, tiba-tiba ia berseru kepada Siau Hong: "Siau-taiong, Siauhiante yang baik, kau bilang akan membawa pasukan Liau kedalam benteng, mengapa sampai saat ini pintu gerbang belum lagi dibuka.”

Mendengar ucapan Yalu Hung-ki ini, segera juru-bahasa yang berada diatas benteng lantas menterjemahkan arti ucapan itu kepada Thiociangkun, itu panglima penjaga Gan-bun-koan.

Keruan pasukan Song diatas benteng itu lantas geger, beramai-ramai mereka mencaci-maki dan mengutuki Siau Hong.

Siau Hong tahu maksud ucapan Hung-ki itu sengaja hendak mengadu-domba agar dia dicurigai oleh pasukan Song dan tidak berani membuka pintu gerbang benteng untuk memasukkan pahlawan-pahlawan Tionggoan itu.

Segera Siau Hong melompat turun dari kudanya, ia melangkah maju sambil berkata, "Baginda, Siau Hong merasa telah menghianati budi kebaikanmu sehingga Baginda sendiri sampai maju sendiri kemedan perang, sungguh dosaku tak terbilang besarnya.”

Baru sekian saja dia bicara, sekonyong-konyong dua sosok bayangan orang melayang lewat dikedua sisinya. Begitu cepat kedua bayangan itu sebagai kilat, terus saja mereka menerjang kearah Yalu Hung-ki. Kiranya mereka adalah Hi-tiok bersama Toan Ki.

Rupanya kedua orang itu melihat gelagat tidak menguntungkan urusan hari ini, harus berani bertindak lebih dahulu dengan menangkap raja Liau sebagai sandera (barang jaminan), dengan demikian barulah keselamatan orang banyak dapat terjamin. Maka begitu saling memberi tanda, serentak mereka menerjang maju dari kanankiri.

Ketika akan maju kedepan pasukan untuk menemui Siau Hong memangnya Yalu Hung-ki juga sudah menduga kemungkinan saudara angkat akan menggunakan tipu lama ketika Siau Hong menawan Cho-ong dan puteranya digaris depan waktu raja muda itu memberontak, maka sebelumnya Hung-ki juga sudah bersiap siaga.

Benar juga, sekali ia memberi aba-aba, serentak tiga ratus perajurit bertameng lantas merubung maju. Tiga ratus buah tameng laksana dinding baja yang kuat telah mengadang didepan Yalu Hung-ki. Bahkan jago tombak, jago kapak juga serentak berbaris didepan barisan tameng itu.

Namun sekarang Hi-tiok bukan Hi-tiok jaman dulu lagi, dia sudah memperoleh ajaran murni dari Thian-san Tong-lo dan Li Jiu-sui, dia telah meyakinkan pula seluruh ilmu silat yang terukir didinding Lengciu-kiong, betapa tinggi kepandaiannya sekarang boleh dikata tiada bandingannya dan dapat dikeluarkan sesuka hatinya menurut keadaan.

Sedangkan Toan Ki sekarang juga lain Toan Ki yang dulu, dia sudah memperoleh antero tenaga murni Ciumoti, betapa hebat Lwekangnya juga susah diukur. Apalagi kalau dia sudah keluarkan langkah ajaib Leng-powi-poh, biarpun penjagaan serapat baja juga dapat ditembusnya.

Begitulah, maka dengan menyelinap kesana dan menerobos kesitu, dengan cepat dan gesit sekali Toan Ki telah merangsang maju melalui perajurit-perajurit bertombak dan berkapak, asal ada sedikit lubang saja segera diterobos olehnya.

Para perajurit Liau itu segera menggunakan senjata mereka untuk membacok dan menusuk, tapi perbuatan mereka itu berbalik celaka, bukan saja luput mengenai Toan Ki, sebaliknya karena jarak diantara mereka sendiri terlalu dekat, sehingga hampir seluruhnya serangan mereka mengenai kawannya sendiri.

Adapun Hi-tiok juga lantas bekerja dengan cepat, kedua tangannya menyambar kekanan dan kekiri, asal ada perajurit Liau kena dicengkeramnya, kontan terus dilemparkannya keluar barisan. Sambil melempar orang ia terus mendesak maju kearah Yalu Hung-ki.

Mendadak dua perwira Cidan menerjang maju, dua tombak mereka menusuk berbareng kedadanya Hi-tiok. Sekonyong-konyong Hi-tiok meloncat keatas, kedua kakinya masing-masing menginjak diatas ujung tumbak musuh. Kedua perwira Cidan itu membentak-bentak sambil mengayun tumbak mereka dengan maksud hendak menjungkirkan Hi-tiok kebawah.

Tapi dengan meminjam daya guncangan tombak-tombak lawan, Hi-tiok terus melayang keatas udara untuk kemudian lantas menyambar keatas kepala Yalu Hung-ki.

Jadi yang satu selicin belut dan yang lain secepat burung terbang, tahu-tahu Toan Ki dan Hi-tiok sudah menerjang sampai didekat raja Liau itu.

Keruan Hung-ki terkejut, cepat ia angkat golok-mestikanya dan membacok kearah Hi-tiok yang sedang menubruk dari atas.

Tapi dari atas Hi-tiok sudah lantas mengulurkan tangannya dan menahan diatas golok-mestikanya, berbareng orangnya lantas meluncur turun, dimana tangannya bergerak, dengan cepat pergelangan tangan kanan Hung-ki sudah kena dipegang olehnya.

Dan pada saat yang hampir sama Toan Ki juga sudah menyelinap tiba dari rintangan perajurit-perajurit Liau dan dapat mencengkeram tangan kiri Hung-ki.

"Ikutlah!” bentak Toan Ki dan Hi-tiok berbareng. Segera mereka angkat tubuh Hung-ki dari atas kudanya dan melompat kedepan untuk dibawa lari secepat terbang.

Ditengah jerit kaget dan kuatir perwira dan perajurit Liau yang riuh ramai itu, seketika mereka menjadi bingung karena raja mereka sudah kena ditawan musuh. Ada beberapa pengawal pribadi Hung-ki memburu maju hendak menolong, tapi semuanya kena ditendang mencelat oleh Hi-tiok dan Toan Ki.

Karena berhasil menawan raja Liau, sungguh girang Hi-tiok dan Toan Ki tak terkatakan. Mendadak mereka melihat Siau Hong telah memapak tiba, berbareng mereka lantas berseru, "Toako!”

Tak terduga mendadak Siau Hong menggerakkan kedua telapak tangannya berbareng, sekaligus ia serang kedua saudara angkat itu. Keruan Hi-tiok dan Toan Ki terkejut, tampaknya daya pukulan Siau Hong sebagai gugur gunung dahsyatnya dan susah dielakkan pula. Terpaksa mereka angkat tangan masing-masing untuk menangkis. Maka terdengarlah suara plak-plok dua kali, empat tangan beradu dan menimbulkan angin yang menderu keras.

Kesempatan itu segera digunakan oleh Siau Hong untuk memburu maju, ia tarik Yalu Hung-ki kearahnya.

Dalam pada itu pasukan Liau dan kesatria-kesatria Tionggoan juga telah membanjir maju dari arahnya masingmasing, yang satu pihak ingin merebut kembali raja mereka dan pihak lain ingin membantu Siau Hong, Hi-tiok dan Toan Ki.

Sudah tentu siapapun tidak menduga bahwa mendadak Siau Hong telah mengadu pukulan dengan kedua saudara-angkatnya. Karena itulah orang-orang kedua pihak sama-sama tercengang.

Segera terdengar Siau Hong berseru lantang, "Jangan bergerak, siapapun jangan bergerak, dengarkan dulu, aku ingin bicara dengan raja Liau!”

Serentak pasukan Liau dan kesatria-kesatria Tionggoan berhenti di tempatnya masing-masing, kedua pihak sama-sama kuatir membikin susah orangnya sendiri, maka mereka hanya berteriak-teriak saja dari jauh dan tidak berani menerjang maju, apalagi tidak berani melepaskan panah.

Dalam pada itu Hi-tiok dan Toan Ki juga telah menyingkir kira-kira beberapa tindak dibelakangnya Yalu Hung-ki untuk menjaga kalau-kalau raja Liau itu lari kembali kedalam pasukannya serta untuk merintangi bila ada jago Cidan memburu maju hendak menolong rajanya.

Saat itu wajah Yalu Hung-ki sudah pucat pasi, pikirnya, "Watak Siau Hong ini sangat keras, aku telah mengurung dia didalam kerangkeng berterali besi dan menghina dia habis-habisan. Sekarang aku berbalik tertawan olehnya, tentu dia akan membalas dendam sepuas-puasnya dan mungkin jiwaku takkan diampuni lagi olehnya.”

Tak tersangka Siau Hong telah berkata, "Baginda, kedua orang ini adalah saudara-angkatku, mereka takkan membikin susah padamu, jangan kau kuatir.”

Hung-ki mendengus sekali dan tidak menjawab, ia menoleh memandang sekejap kepada Hi-tiok, lalu memandang sekejap pula pada Toan Ki.

"Jiteku ini bernama Hi-tiok-cu, adalah majikan dari Leng-ciu-kiong, dan Samte ini adalah Toan-kongcu dari kerajaan Tayli,” demikian Siau Hong memperkenalkan. "Nama-nama mereka juga pernah hamba ceritakan kepada Sri Baginda.”

”Ya, ternyata tidak bernama kosong, benar-benar sangat hebat!” sahut Hung-ki sambil manggut-manggut.

”Kami akan segera melepaskan Sri Baginda kembali ke pasukanmu, cuma kami ingin mohon sesuatu dari Baginda,” kata Siau Hong pula.

Hung-ki hampir-hampir tidak percaya kepada telinganya sendiri. Pikirnya, "Didunia ini masakah ada urusan sedemikian enaknya? Ah, ya, tahulah aku, mungkin Siau Hong sudah berbalik pikiran dan akan kembali

padaku, maka ia akan mohon aku menganugrahi mereka bertiga dengan pangkat yang tinggi.”

Maka dengan muka tersenyum simpul ia menjawab, "Kalian ada permohonan apa, sudah tentu aku akan memenuhi dengan baik.”

"Baginda sekarang telah menjadi tawanan kedua saudara-angkatku ini,” kata Siau Hong. ”Menurut peraturan bangsa Cidan kita, untuk bisa bebas Sri Baginda harus memberi tebusan dengan sesuatu.”

Seketika Hung-ki mengerut kening. "Apa yang kalian kehendaki?” tanyanya.

"Maafkan kelancangan hamba yang telah mewakilkan kedua saudara-angkatku untuk bicara dengan terus terang, yang kami inginkan hanya suatu janji Baginda saja,” sahut Siau Hong.

Kerut kening Hung-ki semakin rapat. ”Soal apa?” tanyanya pula.

"Kami hanya mohon Baginda suka berjanji akan segera menarik mundur pasukanmu dan untuk selama hidup Sri Baginda akan melarang setiap perajurit Liau mendekati perbatasan wilayah antara kedua negeri Liau dan Song.”

Toan Ki sangat girang mendengar syarat yang dikemukakan oleh Siau Hong itu. Pikirnya, "Asal pasukan Liau tidak melintasi wilayah perbatasannya dengan Song dan dengan sendirinya juga tak dapat mengancam negeri Tayli kami.”

Karena itu, cepat iapun berseru: "Ya, betul, asal kau mau berjanji dan segera kami akan melepaskan kau.”

Tapi lantas teringat olehnya bahwa tertawannya raja Liau itu sebagian juga berkat tenaga sang Jiko dan entah bagaimana pendapatnya tentang syarat yang dikemukakan Siau Hong itu. Maka ia lantas bertanya kepada Hitiok, ”Jiko, tebusan apa yang kau inginkan dari raja Cidan ini.”

Hi-tiok menggeleng kepala, sahutnya: "Akupun mengharapkan janjinya itu saja.”

Air muka Hung-ki tampak bersengut, katanya, "Hm, kalian berani memaksa dan mengancam diriku? Dan bagaimana kalau aku menolak permintaanmu.”

”Jika begitu, tiada jalan lain, terpaksa gugur bersama,” kata Siau Hong. ”Dahulu waktu kita mengangkatsaudara kita juga pernah bersumpah untuk hidup dan mati bersama.”

Hung-ki tertegun. Pikirnya, "Siau Hong ini adalah seorang nekat yang tidak kenal apa artinya takut. Dia berani berkata dan berani berbuat, apa yang sudah diucapkan selamanya dipegang teguh. Kalau aku menolak permintaannya, jangan-jangan dia benar-benar menyerang diriku, sungguh celaka jika aku mesti binasa ditangan seorang nekat sebagai dia ini.”

Karena itulah mendadak ia bergelak tertawa dan berseru dengan lantang, "Dengan jiwaku Yalu Hung-ki ini dapat menyelamatkan berjuta-juta jiwa dari rakyat kedua negara, haha, saudaraku yang baik, apa kau pandang jiwaku sedemikian tinggi nilainya.”

”Sri Baginda adalah orang yang diagungkan dinegeri Liau, diseluruh jagat ini masakah ada orang lain yang lebih tinggi nilainya daripada Baginda?” sahut Siau Hong.

Kembali Hung-ki tertawa, katanya, "Jika demikian, dahulu orang Nuchen hanya minta tebusan padaku sebanyak 30 kereta emas, 300 kereta perak dan 3000 ekor kuda, penilaian mereka sesungguhnya terlalu dangkal, bukan.”

Siau Hong membungkuk tubuh kepada kakak-angkat itu dan tidak menjawab lagi.

Hung-ki coba menoleh kebelakang, tertampak jago pengawalnya yang paling dekat juga lebih dari puluhan meter jauhnya, betapapun pasti susah untuk menolong dirinya. Mengingat jiwanya yang lebih berharga daripada segala benda apapun didunia ini, terpaksa Yalu Hung-ki menerima syarat yang diajukan Siau Hong. Segera ia mengeluarkan sebatang anak panah, ia angkat keatas, sekali tekuk, krak, patahlah anak panah itu terus dibuangnya keatas tanah sambil berkata: "Kuterima syaratmu!”

”Banyak terima kasih, Baginda,” kata Siau Hong.

Segera Hung-ki memutar tubuh dan hendak melangkah pergi, tapi tertampak olehnya Hi-tiok dan Toan Ki masih mengawasi dirinya dengan sorot mata berapi-api dan tiada tanda-tanda mau memberi jalan padanya. Terpaksa ia menoleh lagi memandang kepada Siau Hong, dilihatnya Siau Hong juga diam saja. Maka tahulah Hung-ki apa maksud mereka, terang mereka masih kuatir kalau-kalau dirinya mengingkar janji hanya dengan ucapannya tadi.

Hung-ki lantas melolos golok-mestikanya dan diangkat tinggi keatas, lalu serunya keras-keras,: "Wahai,

dengarkanlah para perajurit dan perwira Liau!”

Serentak terdengar tambur perang ditengah pasukan Liau bergemuruh ditabuh, lalu berhenti seketika.

Kemudian Yalu Hung-ki berseru pula, "Sekarang juga kuperintahkan menghentikan peperangan ini, negeri Song dan Liau adalah negeri bersaudara, maka hari ini juga pasukan kita lantas ditarik mundur. Untuk selama hidupku ini aku melarang setiap perajurit Liau melintasi perbatasan.” Habis berkata, ketika golok-mestikanya diturunkan, kembali tambur bergemuruh ditabuh lagi.

Dan baru sekarang Siau Hong membuka suara, "Dengan hormat silakan Sri Baginda kembali ke pasukan!”

Hi-tiok dan Toan Ki segera menyingkir kesamping dan memutar kebelakangnya Siau Hong.

Hung-ki merasa girang dan malu pula. Meski ia ingin secepatnya meninggalkan tempat berbahaya itu, tapi iapun tidak sudi mempertontonkan kelemahannya didepan Siau Hong dan pasukan kedua pihak, maka ia berlaku tenang sedapat mungkin dan melangkah kembali kepihak pasukannya dengan pelahan-lahan.

Segera berpuluh pengawal pribadinya melarikan kuda mereka memapak maju. Semula langkah Hung-ki masih pelahan, tapi tanpa merasa jalannya makin lama makin cepat, sehingga akhirnya kedua kakinya terasa lemas seakan-akan jatuh, jalannya menjadi terhuyung-huyung, kedua tangannya bergemetar dan keringat memenuhi dahinya.

Ketika para pengawalnya sampai didepannya dan membawakan kuda tunggangannya, namun sekujur badan Hung-ki sudah lemas semua rasanya, biarpun sebelah kakinya sudah menginjak pelana, tapi tidak kuat mencemplak keatas kudanya.

Cepat dua pengawalnya menahan bahunya dan mengangkatnya keatas, dengan demikian barulah Hung-ki dapat naik keatas kudanya.

Melihat raja mereka telah kembali dengan selamat, serentak para perajurit Liau bersorak-sorak lagi riuh rendah.

Dalam pada itu demi mendengar raja Liau memberi perintah kepada pasukannya untuk mundur dan menyatakan selama hidupnya akan melarang setiap perajurit Liau melanggar perbatasan kedua negeri, maka baik tentera Song diatas benteng maupun para kesatria diluar benteng juga serentak bersorak gembira.

Semua orang cukup kenal sifat orang Cidan yang kejam dan suka membunuh, tapi selamanya dapat pegang janji, apalagi sekarang raja Liau sendiri yang mengumumkan janjinya didepan pasukan kedua pihak, kalau kelak mengingkar janji, tentu diapun akan dipandang hina oleh rakyatnya sendiri dan tahta kerajaannya mungkin akan guncang.

Begitulah dengan wajah guram Yalu Hung-ki merasa malu benar-benar karena telah memberikan janji sebesar itu dibawah ancaman Siau Hong. Peristiwa ini benar-benar sangat menurunkan perbawanya dan memerosotkan pamor kerajaan Liau. Tapi dari suara sorak-sorai sambutan pasukannya dapat dirasakan pula bahwa apa yang sudah terjadi itu ternyata tidak mengurangi dukungan para perajurit dan perwiranya kepadanya. Ketika ia memandang para perajuritnya, tertampak wajah setiap orang bercahaya dan berseri-seri.

Rupanya para perajurit itu demi mendengar pasukan mereka segera akan ditarik mundur sehingga terhindar dari kemungkinan mati dimedan perang dan tidak lama lagi akan dapat berkumpul kembali dengan sanak keluarganya, maka mereka menjadi kegirangan.

Maklum, sekalipun orang Cidan gagah berani, tapi siapapun tak dapat menjamin akan mati-hidup setiap orang dimedan perang. Maka demi mendengar mereka akan terhindar dari bencana perang, dengan sendirinya mereka sangat senang, terkecuali beberapa perwira diantaranya yang mengimpikan akan mengeduk keuntungan dan naik pangkat dalam peperangan itu.

Diam-diam Hung-ki terkesiap, "Kiranya semangat perajurit-prajuritku juga sudah bosan perang, kalau aku berkeras mengerahkan mereka menyerbu keselatan, bukan mustahil akupun akan menderita kekalahan. Lalu teringat pula olehnya: "Orang-orang Nuchen itu benar-benar sangat kurangajar, mereka selalu merupakan ancaman dibelakang punggungku, maka aku harus menumpas dulu manusia-manusia biadab itu.”

Segera ia mengacungkan golok-mestikanya keatas dan berseru: "Harap Pak-ih Tai-ong memberi perintah, barisan belakang segera berubah menjadi barisan muka, kita langsung pulang ke Lamkhia!”

Serentak genderang berbunyi lagi dan meneruskan titah raja itu. Maka terdengarlah suara sorak-sorai gegap gempita yang makin menjauh dan makin menjauh.

Ketika Yalu Hung-ki berpaling, ia melihat Siau Hong masih berdiri ditempatnya tanpa bergerak sedikitpun, sorot matanya tampak cemas.

Hung-ki tertawa dingin dan berseru, "Siau-taiong, kau telah berjasa besar bagi kerajaan Song, terang hadiah

besar dan kedudukan tinggi sedang menantikan dirimu dalam waktu singkat.”

”Sri Baginda,” mendadak Siau Hong menjawab dengan suara keras. "Sekali Siau Hong adalah bangsa Cidan maka untuk selamanya juga tetap bangsa Cidan. Hari ini hamba telah memaksakan kehendak atas Baginda sehingga menjadi seorang Cidan yang maha berdosa, untuk selanjutnya apakah Siau Hong masih ada muka untuk hidup didunia ini!”

Sekonyong-konyong ia jemput kedua potong panah patah yang dibuang Hung-ki tadi, sekali tenaga dalam dikerahkan, crat-crat, mendadak ia tikam ulu hati sendiri dengan kedua potong panah patah itu.

Hung-ki menjerit kaget dan segera memutar kudanya dan dilarikan beberapa tindak, tapi lantas menghentikan kudanya lagi.

Kejut Hi-tiok dan Toan Ki tak terkatakan, berbareng mereka melompat maju sambil berteriak: "Toako! Toako!”

Namun kedua potong panah patah itu dengan tepat telah menancap di ulu hati Siau Hong. Kedua mata sang Toako tertampak terpejam rapat, nyata orangnya sudah meninggal.

Cepat Hi-tiok merobek baju sang Toako dengan maksud hendak memberi pertolongan kilat. Namun luka Siau Hong teramat parah, dengan tepat ulu hatinya tertembus kedua potong panah patah, terang susah untuk dihidupkan lagi. Terlihat diatas dada sang Toako sebuah kepala serigala yang menyeringai bertaring dan sangat buas tampaknya.

Hi-tiok dan Toan Ki menangis sedih dan memberi hormat terakhir kepada sang Toako. Beramai-ramai anggota Kai-pang juga berkerumun maju untuk memberi hormat.

”Kiau-pangcu,” seru Go-tianglo sambil memukul-mukul dadanya sendiri, meski engkau adalah orang Cidan, tapi jauh lebih gagah dan lebih kesatria daripada orang-orang Han yang tak berguna sebagai kami ini!”

Para kesatria Tionggoan beramai-ramai juga mengerumuni pahlawan pembela perdamaian itu dan ramai mempercakapkannya. Ada yang bertanya: "Kiau-pangcu ternyata benar adalah orang Cidan? Jika demikian mengapa dia malah membela pihak Song kita.”

”Ya, tampaknya ditengah bangsa Cidan juga terdapat kaum kesatria dan pahlawan,” demikian kata seorang lain.

”Sejak kecil dia dibesarkan ditengah-tengah bangsa Han kita, sehingga dapat menteladani budi luhur bangsa kita,” sambung yang lain lagi.

”Kalau kedua negara sudah berdamai dan dia sudah menjadi juru penyelamat rakyat kedua pihak, mestinya dia toh tidak perlu membunuh diri,” demikian pendapat yang lain.

”Kau tahu apa?” ujar kawannya. ”Meski dia berjasa bagi kerajaan Song, tapi dia telah dipandang sebagai penghianat dinegerinya sendiri. Jadi dia membunuh diri karena takut atas dosanya sendiri.”

”Takut dosa apa? Kesatria besar sebagai Kiau-pangcu masakah perlu merasa takut?” tukas kawannya tadi.

Sebaliknya Yalu Hung-ki menjadi bingung sendiri demi menyaksikan Siau Hong telah membunuh diri. Pikirnya, "Dia sebenarnya berjasa bagi kerajaan Liau atau berdosa? Dengan susah payah dia telah mencegah aku menyerang wilayah Song, sebenarnya dia berjuang bagi orang Han atau bagi bangsa Cidan? Sejak dia mengangkat-saudara dengan aku, selamanya dia sangat setia padaku. Hari ini dia telah membunuh diri didepan Gan-bun-koan, tampaknya bukan maksudnya karena kemaruk kepada kedudukan di negeri Song sana, habis ... habis apa sebabnya.”

Maka berderaplah beratus ribu telapak kaki kuda menuju keutara, para perwira Cidan berulang-ulang masih menoleh kebelakang untuk memandang tubuh Siau Hong yang menggeletak diatas tanah dan sudah tak bernyawa itu.

Terdengar pula suara berkaoknya burung, serombongan burung belibis sedang terbang dari utara lewat diatas kepala pasukan tentara dan menuju keselatan melintasi benteng Gan-bun-koan.

Makin lama makin menjauh suara gemuruh derap pasukan Liau itu. Hitiok, Toan Ki dan lain-lain masih berdiri termangu-mangu disamping jenazah Siau Hong, ada yang menangis tergerung-gerung, ada yang cuma mencucurkan air mata dengan kepala menunduk.

Tiba-tiba terdengar jerit lengking seorang wanita muda, "Minggir! Minggir! Semuanya minggir! Kalian sudah menyebabkan kematian Cihuku, tapi masih pura-pura menangis apa segala disini, apa gunanya.”

Sambil berkata wanita muda itu sembari mendorong-dorong minggir orang banyak yang berkerumun disekitar jenazah Siau Hong. Siapa lagi dia kalau bukan A Ci.

Hi-tiok dan lain-lain sudah tentu tidak pikirkan ucapan anak dara yang sebenarnya menyinggung perasaan itu, maka mereka lantas sama menyingkir memberi jalan kepada A Ci.

Untuk sejenak A Ci termangu-mangu memandang jenazah Siau Hong, kemudian ia berkata dengan suara halus, "Cihu, orang-orang ini semuanya orang busuk, kau jangan gubris pada mereka, hanya A Ci saja yang benarbenar berlaku baik kepadamu.”

Habis berkata ia terus berjongkok untuk memondong jenazah Siau Hong. Tapi tubuh Siau Hong sangat tinggi dan besar, separo badannya terpondong, tapi kedua kakinya tetap terseret diatas tanah.

A Ci berkata pula, "Cihu, aku tahu sekarang kau baru menurut padaku, biarpun kupondong dirimu juga, kau tak mendorong pergi aku lagi. Ya, harus beginilah memangnya!”

Hi-tiok dan Toan Ki saling pandang sekejap, pikir mereka, "Agaknya dia terlalu berduka sehingga pikirannya berubah kurang waras.

Lalu Toan Ki coba menghiburnya dengan suara halus, "Adikku, secara kesatria Siau-toako telah gugur, orang meninggal toh tak dapat hidup kembali, hendaklah kau ... kau ...”

Tapi A Ci lantas mendorong minggir sambil membentak, "Jangan kau merebut Cihuku, dia adalah milikku, siapapun tidak boleh menyentuhnya!”

Toan Ki menoleh dan mengedipi Bok Wan-jing.

Wan-jing paham maksudnya dan segera mendekati A Ci, katanya dengan pelahan, "Adik kecil, Siau-toako telah wafat, marilah kita berunding cara bagaimana sebaiknya untuk memakamkan dia ... ”

Tak terduga mendadak A Ci menjerit tajam sehingga Bok Wan-jing terkaget dan tersentak mundur.

”Pergi! Pergi! Enyahlah semua!” demikian seru A Ci. ”Kaum lelaki bukan manusia baik, kaum wanitanya juga bukan orang baik! Kau bermaksud meracuni Cihuku, kau suruh dia minum arak sehingga tak bisa berkutik. Hm, jika kau berani mendekat segera akan kubunuh kau lebih dulu.”

Keruan Bok Wan-jing mengerut kening dan geleng-geleng kepala kepada Toan Ki.

Pada saat itulah tiba-tiba dilereng bukit disisi kiri benteng Gan-bun-koan sana ada suara teriakan orang, "A Ci! A Ci! Ha, aku sudah mendengar suaramu! Dimanakah engkau sekarang? Dimana.”

Suara itu kedengaran sangat memilukan hati, banyak diantara kesatria Tionggoan itu mengenal suara orang itu, yaitu orang yang pernah menjadi Pangcu dari Kai-pang dan memakai nama samaran sebagai Ong Sing-thian, aslinya bernama Yu Goan-ci.

Waktu semua orang memandang kearah datangnya suara, maka tertampaklah kedua tangan Goan-ci masingmasing memegangi sebatang tongkat bambu, tongkat kiri dipakai sebagai alat pencari jalan, tongkat kanan sebaliknya menumpang diatas pundak seorang laki-laki setengah umur dan sedang muncul dari kelokan gunung sana.

Hi-tiok dan lain-lain menjadi terheran-heran. Waktu mereka memperhatikan si lelaki setengah umur, kiranya dia adalah Oh-lotoa yang ditugaskan menjaga Leng-ciu-kiong oleh Hi-tiok.

Wajah Oh-lotoa tampak kurus pucat, bajunya compang-camping dan memperlihatkan sikap yang penasaran karena terpaksa.

Maka tahulah Hi-tiok dan lain-lain. Rupanya Oh-lotoa telah dipaksa oleh Goan-ci yang sudah buta itu agar membawanya pergi mencari A Ci. Bukan mustahil sepanjang jalan Oh-lotoa telah banyak menderita siksaan Goan-ci.

”Untuk apa kau datang kesini?” demikian tiba-tiba A Ci mendamperat dengan gusar. ”Aku tidak ingin melihat kau, tidak ingin melihat kau lagi!”

Sebaliknya Goan-ci menjadi girang, serunya: "Ha, engkau ternyata benar berada disini. Aku dapat mengenali suaramu, akhirnya aku dapat menemukan dikau!” Dan ketika dia dorong tongkatnya sedikit, tanpa kuasa lagi Oh-lotoa lantas berlari kedepan secepat terbang.

Cepat sekali datangnya Goan-ci dan Oh-lotoa itu, hanya dalam sekejap saja sudah sampai disamping A Ci.

Hi-tiok, Toan Ki dan lain-lain sedang dalam keadaan tak berdaya, demi nampak datangnya Yu Goan-ci, mereka

pikir pemuda ini rela mengorbankan kedua biji matanya untuk A Ci, dengan sendirinya mereka mempunyai hubungan yang sangat baik, maka boleh jadi pemuda buta ini akan dapat menyadarkan A Ci. Sebab itulah Hitiok dan lain-lain lantas menyingkir beberapa tindak lebih jauh dan tidak ingin mengganggu percakapan kedua muda-mudi itu.

Maka terdengar Goan-ci telah menyapa, "Nona A Ci, engkau baik-baik saja bukan? Apa ada orang berani membikin susah padamu?”Meski selebar mukanya sudah rusak, tapi dari nada ucapannya itu terang sekali dia merasa sangat girang dan penuh perhatiannya kepada si anak dara.

”Aku telah dibikin susah oleh orang lain, apa yang hendak kau lakukan?” sahut A Ci. ”Siapakah dia?” cepat Goan-ci menegas. ”Lekas nona katakan padaku, biar aku akan menghajarnya sampai mampus!”

A Ci tertawa dingin, katanya sambil menunjuk para hadirin yang berada disekitarnya, "Itulah, mereka semuanya telah membikin susah padaku, sekaligus boleh kau membunuh habis mereka!”

”Baik,” sahut Goan-ci. Lalu ia bertanya kepada Oh-lo-toa: "Hei, lau-Oh (Oh si tua), orang-orang macam apakah yang telah berani membikin susah kepada nona A Ci itu.”

”Wah, banyak sekali jumlahnya, engkau tak sanggup membunuh mereka,” sahut Oh-lotoa.

”Biarpun tak dapat juga akan kulakukan,” kata Goan-ci. ”Habis, siapa suruh mereka berani main gila kepada nona A Ci.”

Tiba-tiba A Ci berkata lagi dengan gusar, "Sekarang aku sudah berada bersama dengan Cihu, untuk selanjutnya kami takkan berpisah lagi selamanya. Nah, lekas enyahlah kau, aku tak ingin melihat kau pula.”

Sungguh sedih Goan-ci bukan buatan, katanya, "Ja ... jadi engkau tak ... takkan menemui aku lagi ....”

"Ya, ya, tahulah aku, biji mataku ini adalah pemberianmu,” seru A Ci dengan suara keras. "Cihu mengatakan aku telah utang budi kepadamu, maka aku diharuskan melayani kau dengan baik. Tapi aku justeru tidak suka.”

Habis berkata, mendadak tangan kanannya terus mencongkel kedalam matanya sendiri, terus dikorek keluar biji matanya, lalu dilemparkannya kepada Goan-ci sambil berteriak: "Ini, kukembalikan padamu! Sejak kini aku tidak utang apa-apa lagi padamu dan Cihu tak dapat memaksa aku mengikuti kau pula.”

Meski kedua mata Goan-ci sudah buta, tapi demi didengarnya jerit kaget orang-orang yang berada disekitarnya, suaranya penuh rasa kuatir dan ngeri, maka tahu juga dia apa yang telah terjadi. Dengan suara parau ia berteriak: "O, nona A Ci, nona A Ci!”

Tapi begitu biji mata sendiri sudah dikorek keluar, segera A Ci memondong jenazah Siau Hong dan melangkah kedepan sambil berkata dengan suara halus mesra, "Cihu, sekarang kita tidak utang apa-apa lagi kepada siapapun. Dahulu aku telah melukai kau dengan jarum berbisa, tujuanku ialah ingin engkau selalu berdampingan dengan aku. Dan sekarang barulah cita-citaku itu terkabul.” Sambil bicara ia terus melangkah semakin jauh kedepan dengan memondong jenazah Siau Hong.

Melihat darah bercucuran dari cekung matanya A Ci hingga membasahi mukanya yang putih cantik itu, hati semua orang merasa ngeri dan kasihan pula. Maka ketika melihat anak dara itu berjalan mendekat semua orang lantas menyingkir kesamping.

A Ci berjalan lurus kedepan dan pelahan-lahan sampai ditepi jurang.

Semua orang menjadi kuatir dan segera berteriak-teriak, "Berhenti! Awas, didepan adalah jurang yang curam!”

Bahkan Toan Ki juga terus memburu maju sambil berseru: "Awas adikku, jang ...” Namun sudah terlambat, A Ci masih melangkah lurus kedepan, mendadak kakinya menginjak tempat kosong dan terjerumuslah anak dara itu bersama jenazah Siau Hong kedalam jurang yang tak terkirakan dalamnya itu.

Tepat pada saat itu Toan Ki juga telah memburu sampai ditepi jurang cepat ia ulur tangannya untuk menjambret, tapi yang kena hanya secabik kain baju adik perempuannya itu dan orangnya tetap terjerumus kebawah.

Waktu Toan Ki melongok kedalam jurang, yang tertampak hanya awan belaka yang menutup rapat dipermukaan jurang sehingga tidak diketahui betapa dalamnya jurang itu, bayangan A Ci dan Siau Hong dengan sendirinya tak terlihat sedikitpun.

Para kesatria yang berdiri ditepi jurang semuanya ikut menghela napas gegetun, apalagi yang berilmu silat agak rendahan menjadi ngeri membayangkan betapa dalam dan terjalnya jurang.

Hian-to dan beberapa kawannya yang berusia lebih lanjut, mengetahui cerita tentang dahulu Hian-cu, Ongpangcu dan lain-lain pernah menyergap jago-jago Cidan diluar Gan-bun-koan dan ibunya Siau Hong justeru

terkubur didasar jurang itu. Tak terduga bahwa beberapa puluh tahun kemudian Siau Hong dan A Ci juga terkubur pula didalam jurang itu.

Pada saat lain tiba-tiba terdengar suara genderang berbunyi diatas benteng, perwira yang menyampaikan perintah komandannya tadi sedang berseru pula kepada para kesatria: "Atas perintah Thio-ciangkun, panglima militer benteng Gan-bun-koan, bahwasanya kalian ternyata bukan mata-mata musuh dari negeri Liau, maka kalian dapat diijinkan masuk benteng, tapi kalian harus taat kepada undang-undang dan berlaku sopan-santun, dilarang membikin rusuh dan mengacaukan suasana tenteram, hendaklah kalian maklum.”

Tapi para kesatria diluar benteng serentak menjawab dengan mencaci-maki, ada yang berteriak, "Persetan dengan perintah panglimamu itu, biarpun mati juga kami tidak sudi masuk kedalam benteng yang dijaga pembesar anjing macam kalian itu!”

”Coba kalau pembesar anjing itu tidak bersikap plintat-plintut, tentu juga Siau-tayhiap takkan tewas seperti sekarang ini!” demikian ditambahkan seorang kesatria lain.

Begitulah beramai-ramai para kesatria mencaci-maki sambil menuding perwira diatas benteng itu. Sedangkan Hi-tiok dan Toan Ki telah berlutut dan memberi hormat kearah jurang, lalu pergilah mereka dengan mendaki gunung dan melintasi bukit tanpa menghiraukan siperwira yang mencak-mencak diatas benteng karena dicacimaki oleh para kesatria itu.

Apa yang terjadi diluar Gan-bun-koan ini lantas digunakan baik oleh panglima penjaga benteng itu untuk membuat laporan kilat ke kotaraja, katanya dia telah memimpin sendiri pasukannya dan bertempur mati-matian selama beberapa hari menghadapi pasukan Liau yang berjumlah ratusan ribu orang, berkat lindungan Thian dan Sri Baginda serta semangat tempur para perajurit, perwira dan bintara, akhirnya berhasil membinasakan Lam-ih Tai-ong kerajaan Liau yang bernama Siau Hong dan raja Liau Yalu Hung-ki kemudian mengundurkan diri dengan kekalahan habis-habisan.

Raja Song sangat girang mendapat laporan itu, segera ia mengirimkan firman yang memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada para perajurit, perwira dan bintara, pangkat mereka seluruhnya dinaikkan setingkat disertai hadiah-hadiah yang besar. Para pembesar dipemerintah pusat juga tidak ketinggalan untuk merayakan kemenangan itu secara besar-besaran.

Sementara itu Toan Ki telah ambil perpisahan dengan Hi-tiok ditengah jalan, bersama Bok Wan-jing, Ciong Ling, Hoan Hwa, Pah Thian-sik dan lain-lain, mereka lantas pulang ke Tayli.

Setiba didalam wilayah negeri Tayli, jauh-jauh calon permaisuri Ong Giok-yan dan para pembesar sudah menantikan dan menyambut mereka. Ketika Toan Ki bercerita tentang Siau Hong dan A Ci, Giok-yan menjadi

terharu dan menangis, semua orangpun ikut berduka.

Rombongan mereka terus menuju keselatan, karena Toan Ki tidak ingin membikin kaget kepada penduduk setempat maka rombongannya tidak mengenakan pakaian kebesaran, tapi tetap menyamar sebagai kaum saudagar dan orang pelancongan.

Sepanjang jalan tiada terjadi apa-apa, akhirnya sampailah mereka diluar kota-raja Tayli. Toan Ki ingin pergi ke Thian-liong-si lebih dulu untuk menyampaikan sembah bakti kepada Koh-eng Taysu dan paman bagindanya, Toan Cing-bing.

Tatkala itu sudah menjelang magrib, hari sudah mulai gelap. Ketika lalu disebuah hutan didekat Thian-liong-si, tiba-tiba ditengah hutan itu terdengar suara teriakan seorang anak kecil, "Sri Baginda, Paduka Yang Mulia, nah, aku sudah menyembah padamu, mengapa aku tidak diberi permen.”

Toan Ki dan lain-lain menjadi terheran-heran. Mengapa ditempat ini, bahkan seorang anak kecil dapat mengenali penyamarannya.

Tanpa merasa rombongan mereka lantas membelok kedalam hutan itu untuk melihat siapakah sebenarnya anak kecil itu. Tapi mendadak terdengar pula seorang sedang berkata, "Kalian harus berseru, "Dirgahayulah! Semoga Sri Baginda hidup bahagia dan panjang umur! Habis itu barulah akan kuberi permen.”

Suara orang itu terdengar sudah sangat dikenal mereka. Itulah Buyung Hok adanya.

Toan Ki dan Giok-yan terkejut, cepat kedua orang bergandeng tangan dan bersembunyi dibalik pohon sambil memandang kearah datangnya suara itu. Maka tertampaklah Buyung Hok sedang duduk diatas sebuah kuburan, kepalanya memakai kopiah raja buatan dari kertas dan sikapnya dibikin keren.

Didepannya ada tujuh atau delapan orang anak kampung sedang berlutut dan beramai-ramai lagi mengucapkan: "Dirgahayu! Sri Baginda bahagia, panjang umur!”

Sambil berteriak-terial tak keruan menirukan apa yang diajarkan Buyung Hok tadi sambil tiada hentinya menyembah, malahan sudah ada yang menjulurkan tangannya sambil berkata: "Mana permennya? Mana permennya.”

Terdengar Buyung Hok telah menjawab, "Para pengabdiku, silakan bangun. Sekarang kerajaan Yan kita sudah

kubangkitkan kembali dan aku sudah naik tahta, dengan sendirinya para pengabdiku akan mendapat ganjaran yang setimpal menurut jasa masing-masing.

Lalu ia merogoh keluar segenggam permen dan dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil tadi.

Anak-anak itu berjingkrak-jingkrak kegirangan sambil berlari pergi, semuanya berteriak-teriak, "Besok kita akan datang minta permen lagi!”

Maka tahulah Giok-yan bahwa pikiran sang Piauko sudah tidak waras lagi karena gila hormat dan mengimpikan menjadi kaisar, tapi tak terkabul. Sungguh hati Giok-yan tak terkatakan dukanya.

Pelahan-lahan Toan Ki menarik tangan sang kekasih, ia memberi isyarat tangan dan semua orang lantas mundur keluar hutan secara diam-diam.

Buyung Hok terlihat masih duduk diatas kuburan tadi dan mulutnya tampak berkomat-kamit tak berhenti-henti entah sedang mengoceh apa ...

Tamat

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar