Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 81-85

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 81-85 Selang, sejenak barulah dia berkata, "Entah apa yang bukan? Harap tuan itu suka memberi petunjuk!"
Selang, sejenak barulah dia berkata, "Entah apa yang bukan? Harap tuan itu suka memberi petunjuk!"

"Petunjuk sih tidak ada, hanya ada. Penjelasan sedikit saja,”demikian kata Pau Put tong. "Kulihat kamu agak malu dan kikuk, maka tak perlu kau tanya lagi, biar aku sendiri yang menguraikan saja.”

"Terima kasih," sahut si dayang dengan tersenyum manis.

"Nah, tentu kau tahu bahwa jauh-jauh kami datang ke sini tujuannya adalah ingin melihat Tuan Putrimu," kata Put-tong. "Betapa susah payahnya kami menempuh perjalanan jauh ini, ada yang terkubur di tengah gurun pasir karena angin badai, ada yang menjadi mangsa binatang buas sehingga yang beruntung lolos dari elmaut itu akhirnya dapat sampai di Lengciu sini, tujuannya ialah ingin melihat wajah sang Putri saja. Sekarang lantaran ayah-bundaku beberapa tahun lebih dulu melahirkan aku sehingga umurku sekarang sudah 4O tahun lebih sedikit, maka perjalananku yang susah payah ini akan menjadi sia-sia belaka. Jika tahu akan jadi begini, tentu sejak mula aku minta ibuku jangan terburu-buru melahirkan diriku dan ditunda dulu untuk beberapa tahun."

"Hihi, tuan ini suka bergurau," kata si dayang dengan tertawa. "Kelahiran seseorang masakah dapat di tentukan oleh manusianya sendiri?"

Melihat Pau Put-tong mengada ada tak habis-habis pengeran Cong-can menjadi gusar, bentaknya dengan mendelik, "Kalau Tuan Putri sudah menitahkan begitu, kita semua harus turut saja, buat apa mesti cerewet lagi?"

Pau Put-tong menjadi gusar juga, mendadak ia mendapat akal, dengan mengejek ia menjawab, "Eh, Pangeran Yang Mulia, apa yang kukatakan tadi sesungguhnya juga demi kepentinganmu Tahun inìengkau sudah beruntung empat satu, walaupun tidak terlalu tua, kau. sudah lebih dari 40 tahun sebagaimana ditentukan Tuan Putri tadi dan tiada harapan untuk melihat wajah yang cantik, bukankah sia-sia saja kedatanganmu ini?"

Padahal usia pangeran Cong can baru menanjak 28 tahun, cuma dia penuh berewok sehingga orang lain sukar menaksir berapa umurnya.

Dayang cantik itu masih hijau dan tidak tahu seluk beluk orang hidup, dengan sendirinya ia tidak dapat menaksir usia orang lelaki, maka ia menjadi sangsi apakah ucapan Put-tong itu sungguh-sungguh atau cuma

geguyon.

Ia lihat pangeran Cong-can menjadi gusar dan segera hendak melabrak Pau Put-tong, dengan rasa kuatir cepat ia mencegah. "Eh, jangan ... jangan kalian bertengkar, kukira orang yang paling tahu umur masing-masing adalah tuan-tuan sendiri, maka siapa-siapa yang merasa, sudah berumur lebih 40 tahun disilakan tetap tinggal di sini, yang belum mencapai 40 tahun boleh ikut ke ruang dalam."

"Baik, usiaku belum ada 30 tahun, sudah tentu aku ikut ke ruang dalam." demikian Pau Put-tong menirukan lagak lagu sang pangeran. Habis berkata dengan langkah lebar ia terus bertindak ke dalam.

Si dayang mestinya ingin mencegah, tapi malu-malu dan kikuk-kikuk serta tak berani. Sudah tentu kesempatan itu segera digunakan oleh orang-orang lain untuk ikut masuk ke ruang dalam. Jangankan yang berumur 40 tahun, sekalipun yang berusia 50-60 tahun Juga banyak yang ikut masuk, hanya tinggal belasan orang tua yang menjaga kedüdükan dan kehormatan masing-masing, merekalah yang tetap tinggal di situ. begitu pula Bokwan-jing dan Ong Giok yan.

Mestinya Toan Ki jugä ingin tinggal sajä untuk mengawani Giok-yan, tapi nona itu mendesak dan mendorongnya agar ikut membantu Buyung Hok.

Karena itu terpaksa Toan Ki ikut melangkah masuk ke ruang dalam dengan rasa berat, melangkah satu tindak tiga kali menoleh, berat rasanya seperti hendak berangkat ke tempat jauh, seakan-akan sekali berpisah tentu takkan bertemu lagi dalam beberapa tahun lamanya.

Di tepi sungai ada empat obor yang terang maka dengan jelas semua orang dapat melihat langkah dayang cantik itu berarti menjerumuskan diri ke dalam sungai. Karena itu ada sebagian besar hadirin sama menjerit kaget.

Tak terduga dayang cantik itu ternyata tidak terjerumus ke dalam sungai, sebaliknya kelihatan tetap berjalan dengan gaya berlenggang yang luwes dan dengan aman mencapai di seberang sungai sana.

Dalam kagetnya semua orang lantas yakin permukaan sungai itu pasti ada sesuatu benda berpijak, kalau tidak, mustahil orang mampu melangkah di udara seperti si dayang itu.

Benar juga waktu semua orang memperhatikan, maka kelihatanlah di antara kedua tepi sungai terpasang seutas tali baja yang sangat halus. Karena tali baja itu sangat kecil, warnanya hitam pula di dasar sungai juga sangat gelap sehingga di bawah cahaya obor itu orang sukar mengetahui akan jembatan tali itu.

Tampaknya sungai itu sangat dalam, kalau sampai terjerumus, andaikan tidak mati juga pasti setengah mati. Tapi para pendatang ini sudah tentu bukan tokoh persilatan pasaran atau kodian, mereka adalah jago silat pilihan, maka segera ada orang mengeluarkan ginkang, dengan enteng menyeberang melalui jembatan tali yang hamper-hampir tak kelihatan itu.

Dalam hal Ilmu silat sejati Toan Ki memang tergolong kelas kambing. tapi bicara tentang ginkang dia sudah mahir "Leng-po-wi-poh", dengan enteng saja dia dapat menyeberangi sungai dengan digendong Pah Thian-sik.

Padahal sesudah Toan Ki mendapat tambahan tenaga dalam Cumoti. ginkangnya saat ini boleh dikata tiada bandingannya, cuma saja Pah Thían-sik tidak tahu, sedang Toan Ki sendiri pula tidak menyadari hal ini.

Begitulah, sesudah semua orang melintasi sungai itu, entah dengan menggunakan alat apa dan di mana, ketika si dayang tadi menggeraki tangannya, "siuut", tahu-tahu tali baja itu mengkerut dan menghilang ke dalam semak-semak rumput.

Keruan semua orang tambah kebat-kebit dan kuatir. Dengan demikian mereka telah menghadapi jalan buntu untuk putar kembali. Mereka menjadi tambah curiga jangan-jangan orang Se He benar-benar bermaksud jahat?

Begitulah rombongan orang-orang itu lantas masuk ke ruang dalam dengan menyusuri sebuah serambi yang panjang. Diam-diam mereka merasa heran. Padahal Jing-hong-kok itu dari luar tampaknya tidak begítu megah, siapa tahu dí bagian dalam ternyata mempunyai dunia lain, masih ada tempat seluas itu.

Sesudah menyusuri serambi yang panjang itu, kemudian sampailah mereka di depan sebuah pintu besar terbuat dari batu. Dayang cantik itu mengeluarkan sepotong logam kecil dan memukul pelahan beberapa kali di daun pintu batu yang terdiri dari daun sayap itu, kemudian pintu batu itu lantas terbuka.

Para hadirin ini tergolong tokoh-tokoh yang sudah kenyang asam garam alias banyak berpengalaman, maka demi melihat daun pintu batu itu tebalnya balasan senti, kuatnya bukan kepalang, diam-diam mereka merasa curiga, "Jangan-jangan sesudah masuk, lalu pintu batu ini ditutup kembali, bukankah sakaligus kita akan terkurung semua? Bukan mustahil raja Se He sengaja memancing kita dengan sayembara mencari menantu tapi sebenarnya hendak membasmi habis kaum ksatria sebanyak mungkin di dunia ini?"

Tapi mereka sudah telanjur datang, betapapun harus dihadapi apalagi mereka sudah tentu tidak mau unjuk lemah di depan orang banyak dan putar balik untuk dituduh sebagai pengecut. Maka tanpa pikir lagi mereka melangkah masuk semua. Benar juga pintu batu itu lantas merapat kembali.

Di dalam situ kembali ada sebuah jalan yang panjang, kedua tepi jalan ternyata pelita-pelita yang terang. Ujung jalan itu kembali menghadang sebuah pintu batu pula. Lewat pintu batu ini kembali ada jalanan panjang, lalu pintu lagi. Jadi berturut-turut mereka menembus tiga buah pintu batu. Maka biarpun orang yang tadinya paling acuh, mau-tak-mau sekarang pun mulai merasa was-was dan curiga.

Dan sesudah membelok ke sana sini beberapa kali tiba-tiba terdengar suara gemerciknya air, mereka telah sampai di tepi sebuah sungai yang dalam. Di dalam lingkungan istana terdapat sungai sungguh suatu hal yang sukar dibayangkan orang.

"Untuk sampai di kamar tulis sana, lebih dahulu harus melintasi sungai ini. Nah, silakan!” kata si dayang cantik, habis itu sekali bergerak, dengan enteng ia terus melangkah ke dalam sungai itu.

Karena itu diam-diam mereka sama waspada, tapi tiada seorang pun mengutarakan pikirannya, sebab kuatir akan di tertawai teman-teman yang lain sebagai pengecut, takut mati. Diam-diam ada juga yang merasa menyesal mengapa begitu tolol tanpa membawa senjata waktu masuk istana tadi.

Dalam pada itu sesudah menggulung jembatan tali tadi lalu si dayang berkata, "Marilah, hadirin silahkan ikut ke sini."

Dan sesudah semua orang dibawa menyusuri sebuah hutan bambu, akhirnya sampailah di depan sebuah pintu gua.

Dayang itu mengetuk beberapa kali pada pintu gua itu, ketika pintu terbuka, si dayang cantik berkata, "Silakan masuk, tuan-tuan!"

Habis itu ia lantas mendahului melangkah ke dalam gua.

Diam-diam Pâh Thian-sik merasa ragu, ia tanya Cu Tan-sin, "Bagaimana pikiranmu?"

Tan-sin sendiri merasa sangsi apa mesti minta Toan Ki tinggal di luar gua saja atau membiarkan tuan muda mereka menyerempet bahaya? Tapi kalau tidak berani menyerempet bahaya, pasti tiada harapan buat dipilih menjadi Huma.

Tengah kedua orang merasa serba salah, tertampak Toan Ki melangkah masuk ke dalam gua itu bersama Siau Hong. Maka tanpa pikir lagi segera Thian-sik dan Tan-sin ikut dari belakang.

Di dalam gua itu mereka mesti menempuh suatu jalan yang panjang untuk akhirnya pandangan mereka lantas terbeliak. Ternyata mereka sudah berada di sebuah ruangan yang sangat luas.

Ruangan ini dua kali lebih luas daripada ruangan istana di mana mereka minum teh tadi, nyata sekali ruangan ini adalah sebuah gua alam di puncak gunung yang telah diperbaiki dan dipajang secara indah oleh tenaga manusia, Dinding-dinding ruangan ini tergosok sangat halus dan licin, sekeliling dinding penuh terhias lukisan dan tulisan indah.

Pada umumnya dl dalam sesuatu gua tentu mengeluarkan air atau berhawa lembab, tapi ruangan ini ternyata sangat kering, sedikitpun tidak terasa berbau lembab.

Di sisi ruangan itu terdapat sebuah meja, terletak alat tulis lengkap dan beberapa jilid kitab. Di sebelahnya ada beberapa rak buku, beberapa buah kursi serta beberapa buah bangku batu dan meja batu yang agak kecil.

Kemudian terdengar si dayang cantik berseru, "Di sini adalah kamar tulis Tuan Putri kami, sekarang silakan hadirin menikmati lukisan dan tulisan secara bebas!"

Melihat keadaan ruang yang luas dan kosong sedikitpun tiada mirip kamar tulis seorang Tuan Putri sudah tentu semua orang terheran-heran dan sangsi pula. Tapi di ruangan itu penuh pigura lukisan dan tulisan indah, hal ini memang nyata terbukti.

Para pendatang ini adalah jago-jago silat semua, kalau mereka pun bisa tulis menulis sudah terhitung pintar, mana mungkin mereka dapat membedakan lukisan indah dan bermutu atau tidak.

Siau Hong dan Hi-tiok meski berilmu silat sangat tinggi, dalam hal seni sastra mereka pun tidak paham. Maka sesudah berada dalam ruangan itu, mereka berdua lantas duduk berjajar di lantai untuk mengawasi gerak-gerik orang lain.

Pengalaman Siau Hong jauh lebih luas daripada Hi tiok, meski tampaknya dia acuh-tak-acuh seperti tidak tertarik oleh lukisan yang memenuhi dinding ruangan itu, padahal pandangannya tidak pernah meninggalkan tingkah pola si dayang cantik tadi, Dia anggap dayang itu adalah kunci daripada keselamatan hadirin ini apabila diam-diam raja Se He main muslihat untuk menjebak mereka maka orang yang bergerak lebih dulu tentu dayang cantik itu.

Jadi sekarang Siau Hong mirip seekor harimau yang diam-diam sedang mengintai mangsanya. Walaupun

kelihatannya tenang-tenang saja, tapi sebenarnya siap siaga, asal ada sedikit perubahan yang tidak menguntungkan segera ia akan menubruk ke arah si dayang dan takkan memberi kesempatan lolos baginya.

Sebaliknya orang-orang seperti Toan Ki, Cu Tan-sin, Buyung Hok, Kongya Kian dan lain-lain karena mereka memang tergolong cendikiawan, terhitung kaum terpelajar, asal melihat sebangsa tulisan atau lukisan tentu sangat tertarik maka saat itu mereka sedang mendekati hiasan dinding yang tak terhitung jumlahnya itu untuk menikmatinya.

Ting Pek-Jwan lebih hati-hati kelakuannya, Ia pura-pura sedang menikmati lukisan dan kitab yang berada di rak buku. Sedang Pah Thian-sik berlagak sedang melihat lukisan, tapi sebenarnya sedang memeriksa dinding itu dan sudut ruangan untuk mengetahui apa tiada sesuatu yang mencurigakan.

Hanya Pau Put-tong saja yang tidak mau tinggal diam, sambil memandang lukisan-lukisan itu tiada hentinya pula ia mengoceh, dia mencela lukisan ini terlalu kaku gambarnya dan mengatakan lukisan itu seperti cákar ayam, sebentar lagi bilang lukisan itu warnanya salah lain saat mengejek lukisan itu kurang kuat gayanya, penulisnya tentu kurang makan dan macam-macam cemooh lagi.

Padahal walaupun Se He terbílang suatu negeri yang terpencíl dí wilayah barat, sejarahnya juga belum tua, sudah tentu lukisan yang tersímpan tak dapat dibandingkan dengan kerajaan Song dan Liau. Tapi lukisan yang menjadi koleksí kerajaan betapapun tentu tetap juga bukan lukisan sembarangan.

Di antara lukisan koleksi putri Se He itu banyak terdapat lukisan dan tulisan seniman ternama jaman kuno, namun begitu semuanya itu tiada sepeserpun dalam penilaian Pau Put-Tong yang memang disengaja itu.

Sudah tentu si dayang sangat terkejut dan heran atas ocehan Pau Put-tong yang ngawur itu, ia coba mendekati dan bertanya dengan suara pelakan, "Maaf tuan! Apakah lukisan dan tulisan ini benar-benar kurang baik seperti apa yang kau katakan? Padahal Tuan Putri kami mengatakan lukisan-lukisan ini semuanya barang pilihan."

"Tuan Putri kalian tinggal terasing di daerah terpencil ini, selamanya tidak kenal dunia luar sehingga tidak tahu sastrawan dan seniman negeri Tionggoan kami maka seharusnya Tuan Putri kalian mesti sering-sering pesiar ke negeri kami untuk menambah pengalamannya," demikian Put-tong mengoceh. "Dan, ah, adik cilik, kaupun mesti ikut Tuan Putrimu jalan-jalan ke sana untuk menambah pengalaman. Nanti memberi kabar lebih dulu padaku ya dan jangan lupa mampir di rumahku.”

Dayang itu mengangguk menyatakan baik dengan tertawa.

Dalam pada itu Toan Ki juga sedang memandangi lukisan-lukisan itu dengan teliti, sampai di depan sebuah

lukisan seorang wanita cantik, mendadak ia terkejut dan bersuara heran.

Kiranya wanita cantik dalam lukisan itu sangat mirip dengan Giok-yan. Sebelah tangannya memegang jarum dan tangan lain memegang benang sambil duduk dl samping jendela sedang menyusupkan benang ke lubang jarum, di atas lutut wanita terlukis itu tertaruh sepotong kain sutra, jadi menggambarkan wanita cantik itu sedang menyulam.

"Jiko, cobalah kemari!" seru Toan Ki kepada Hi- tiok.

Hi-tiok mengiakan dan mendekatinya.

Ia juga terheran-heran melihat lukisan itu. ia pikir gambar yang melukiskan nona Ong kembali terdapat sebuah pula di sini. Wanita dalam lukisan pemberian guruku itu tiada bedanya dengan wajah wanita lukisan ini, hanya gayanya saja yang berlainan.

Toan Ki sendiri makin melihat juga makin heran. Tanpa terasa ia mengulur tangan untuk meraba lukisan itu. Ketika jarinya menyentuh dinding, ia merasa pada dinding itu banyak garis yang berdakak-dekak. Waktu dia mengamat-amati lebih jelas, kiranya di atas dinding memang terukir banyak sekali gambar orang-orangan, ada yang duduk, ada yang berdiri dan ada yang sedang melompat gayanya aneka ragam.

Gambar orang-orangan itu semuanya dikurung dengan sebuah lingkaran, di luar lingkaran sebagian besar tercatat pula angka-angka dan huruf-huruf mengenai anatomi.

Sekali memandang saja segera Hi-tiok dapat mengenal ukiran-ukiran dalam lingkaran-lingkaran itu mirip seperti ukiran yang dipelajarinya di kamar batu Leng-ciu-kiong itu, Ia tahu ukiran-ukiran ini adalah rahasia berlatih ilmu silat yang maha sakti, kalau tenaga dalam belum cukup kuat, tentu akan bikin celaka sendiri orang yang mempelajarinya seperti halnya Bwe kiam dan Tiok kiam berempat tempo hari.

Kuatir kalau Toan Ki juga mengalami kecelakaan, maka cepat Hi-tiok memperingatkannya, "Samte, lukisanlukisan ini tidak boleh dipandang."

"sebab apa?" tanya Toan Ki.

"Ukiran ini adalah semacam rahasia ilmu silat yang amat tinggi, jika mempelajari secara ngawur, bukannya baik. sebaliknya bisa celaka," bisik Hi-tiok.

Toan Ki memang tidak berhasrat belajar ilmu silat apa segala, maka segera ia kesampingkan ukiran-ukiran dinding itu dan kembali menikmati lukisan "si cantik sedang menyulam" tadi.

Selama beberapa hari ini hubungannya dengan Giok-yan sudah sangat erat, wajah si nona boleh dikata sudah dipandangnya dangan jelas-jemelas, terutama ketika sama-sama berbaring di tepi sungai untuk menjemur badan mereka yang basah kuyup, di sana ia telah memandang muka Giok-yan sedemikian rupa sehingga nona itu merasa malu.

Sekarang sesudah dia mengamat-amati pula lukisan itu segera dapatlah dibedakan ciri-ciri gambar ini tidak sama dengan Giok-yan. Wajah yang dilukis memang sangat mirip Giok-yan Cuma perawakan wanita dalam lukisan itu lebih bernas lebih montok, mata alisnya bersemangat tangkas dan gagah, sebaliknya Giok-yan sangat lemah-lembut, usia orang dalam lukisan juga lebih tua tiga-empat tahun daripada Giok-yan.

Di sebelah sana biarpun Pau Put-tong mengoceh tak karuan, tapi setiap tutur-kata dan gerak-gerik Toan Ki dan Hi-tiok selalu diperhatikan olehnya. Maka demi mendengar Hi-tiok mengatakan ukiran di dinding itu adalah semacam ilmu silat yang sangat tinggi segera ia mendengus, "Huh, ilmu silat maha sakti apa? Huh, hwesio cilik memang suka membual!”

Habis berkala ia terus ikut-lkut memperhatikan ukiran dinding.

"Gambar-gambar itu jangan dipandang tuan-tuan," demikian si dayang lantas memperingatkan, "Tuan Putri pernah mengatakan bila orang tidak mempunyai dasar kungfu yang kuat, kalau memandang gambar itu tentu akan celaka daripada mendapat faedahnya.”

"Dan kalau sudah mempunyai dasar kungfu yang kuat, tentu akan berfaedah bukan?" demikian jawab Pau Puttong yang kepala batu, "Nah, dasar kepandaianku justru sudah sangat kuat."

Sebenarnya Pah Put-tong cuma bersifat tak mau kalah saja, pada hakikatnya dia tiada maksud buat mengintip rahasia ilmu silat orang. Tak terduga baru saja la memandang gaya sebuah ukiran itu seketika ia terpengaruh, la merasa banyak sekali perubahan lanjutan dari gaya gambar orang-orangàn itu dan sukar dipahami, tanpa terasa ia ulur tangan dan angkat kaki dan mulai main menurut gaya ukiran itu.

Dalam sekejap saja lantas ada orang lain mengetahui keadaan Pau Put-tong yang aneh itu, menyusul mereka pun melihat ukiran-ukiran di dinding. Maka terdengarlah suara orang banyak, ada yang berkata, "He, dl sini ada gambar ukiran!”

Dan di sana juga ada yang bilang, "Ya, di sini juga ada!"

Dan begitulah, beramai-ramai orang banyak lantas menyingkap lukisan untuk memeriksa ukiran dinding di bawahnya.

Tapi mereka hanya melihat sejenak saja. Tánpa terasa kaki tangan mereka pun ikut-ikut bergerak dan menari seperti orang sinting.

Diam-diam Hi-tiok terkejut, cepat ia mendekati Siau-Hong dan berkata, "Toako, gambar-gambar itu terang tidak boleh dipandang, kalau memandang lagi mungkin semua orang akan celaka. Jika sampai ada yang kalap, wah, tentu keadaan bisa kacau-balau."

Siau Hong mengangguk, segera ia membentak keras-keras, "Hendaknya semua orang jangan memandang ukiran didinding itu. Kita sudah berada di tempat bahaya, lekas kita berkumpul untuk berunding apa yang perlu dilakukan."

Karena suara gertakan itu, segera ada beberapa orang sadar kembali dan menurut untuk berkumpul. Namun daya pengaruh ukiran-ukiran dinding itu. ternyata sangat besar, barang siapa asal memandang sekejap salah satu gambar ukiran itu dan sedikit berpikir, seketika akan merasa gaya gambar itu dapat memecahkan persoalan sulit ilmu silat yang selama ini sukar dipecahkan olehnya. Tapi sebenarnya gaya itu cara bagaimana harus memulainya dan bagaimana selanjutnya, hal ini menjadi samar-samar pula dan diraba sehingga tanpa terasa kaki dan tangan ikut-ikut bergerak untuk menirukannya.

Melihat orang-orang itu seperti sudah senewen semua, walaupun biasanyaSiau Hong sangat tabah, mau-takmau ia merasa kebat-kabit juga.

Sekonyong-konyong terdengar seorang menjeritkeras-keras sambil berputar-putar beberapa kali, lalu jatuh terguling di lantai. Menyusul ada seorang lagi yang mengeluarkan suara rintihan, mendadak terus menubruk dinding batu sambil mencakar dan mencengkeram secara kalap seakan-akan ingin mengelotoki ukiran dinding itu.

Siau Hong tahu bilâ tidak segera mencegah orang-orang itu agar berhenti melihat ukiran, kalau sampai sedikit lama lagi tentu akan terjadi bencana atau banjir darah.

Sedikit berpikir segera ia mendapat akal, "krek", ia tarik sandaran kursi di sebelahnya sehingga sempel ketika sempalan kayu ia putar dan digosok-gosok dengan kedua tangan, seketika berubah menjadi remukan kayu yang kecil-kecil, Cepat ia hantarkan kayu-kayu kecil itu sebagai senjata rahasia, maka terdengarlah suara mendesis-

desis yang ramai, hanya sekejap saja pelita dalam kamar itu sudah padam semua dan keadaan menjadi gelap gulita.

Dalam keadaan gelap hanya terdengar suara pernapasan orang banyak yang masih terengah-engah, banyak pula yang menghela napas lega dan bersyukur, "Wah, hampir saja!"

Segera Siau Hong berseru, "Silakan semua orang duduk di tempat semula masing-masing dan jangan sembarangan bergerak supaya tidak terjebak pesawat rahasia yang mungkin terdapat di ruangan ini. Ukiran di dinding itu sangat besar daya pengaruhnya, hendaklah sekali-kali jangan disentuh, apalagi dipandang."

Habis berseru, tiba-tiba, Siau Hong menahan suaranya dengan pelahan dan berkata, "Maaf, harap lekas buka pintu agar semua orang dapat keluar dari sini."

Kiranya pada waktu menghamburkan senjata rahasianya untuk memadamkan pelita-pelita itu, berbareng Siau Hong melompat maju dan dapat memegang tangan si dayang cantik tadi.

Sudah tentu ilmu silat dayang itu pun tidak rendah, dalam kagetnya sebelah tangannya yang lain terüs menghantam, namun segera kena di tangkap pula oleh Siau Hong sehingga tak bisa berkutik.

Dayang itu menjadi kuatír dan malu pula serta tak berani bergerak.

Demi mendengar ucapan Siau Hong yang halus itu, segera ia berkata, "Lepas ...lepaskan tanganku!”

Siau Hong lantas lepaskan tangan si dayang itu. Meski dalam keadaan gelap gulita, tapi dengan kepandaiannya ia tidak kuatir dayang itu akan main gila padanya.

Lalu dayang itu berkata, "Kan sudah kukatakan tadi kepada mereka bahwa ukiran di dinding itu jangan dipandang, kalau belum mempunyai dasar kepandaian yang kuat tentu akan membikin celaka diri sendiri, tapi mereka sendirilah yang tidak mempercaya pada omonganku."

"Kau suruh aku jangan lihat, aku justru ingin lihat. Kalau kau suruh aku lihat, tentu sejak tadi aku tak sudi melihat," sahut Pau Put-tong sambil duduk di lantai walaupun kepalanya masih puyeng dan enek rasa di dada.

Diam-diam Siau Hong harus mengakui memang si dayang tadi sudah memperingatkan mereka jangan melihat ukiran-ukiran dinding, agaknya memang tidak sengaja hendak menjebak. Jika begitu apa maksud tujuan sebenarnya putri Se He itu mengundang orang banyak ke sini?

Begitulah, selagi Siau Hong berpikir, tiba-tiba hidungnya mengendus bau harum yang halus. Ia terkejut dan cepat pencet hidung sendiri. Ia masih ingat dahulu para anggota Kai-pang pernah dirobohkan oleh bau harum berbisa oleh jago-jago Ih-bin-tong Se He. Segera ia mengerahkan hawa murni dalam tubuh dan mengatur pernapasan, tapi tidak merasa ada sesuatu alangan.

Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang merdu lagi bicara, "Tuan Putri Bon-gi Kongcu tiba!”

Mendengar datangnya sang putri, semua orang menjadi kaget dan senang pula. Cuma sayang keadaan gelap gulita sehingga tidak dapat melihat jelas wajah sang putri.

Kemudian suara yang merdu, suara wanita muda, berkata pula, "Tuan Putri mempermaklumkan bahwa di dinding kamar beliau banyak terukir gambar, mengenai ilmu silat, ukiran-ukiran itu mestinya tidak boleh dilihat oleh orang luar, makanya sengaja dialing-aling dengan lukisan, tak terduga ukiran-ukiran, itu masih terlihat juga oleh kalian. Tuan Putri minta perhatian kalian agar jangan sekali-kali menyalakan pelita atau mengatik batu api, kalau tidak, mungkin kalian akan menghadapi bahaya lagi dan akanmembìkin tidak enak kedua belah pihak. Sekarang Tuan Putri ingin bicara sedikit dengan hadirin dan terpaksa dilakukan dalam keadaan gelap, cara yang kurang menghormat ini diharap hadirin suka memaafkan."

Hábis itu, terdengar suara berkeriut-keriut, pintu batu tadi tahu-tahu terbuka, Lalu wanita muda itu bicara pula, "Nah, jika di antara hadirin ada yang tidak ingin tinggal lebih lama di sini, sekarang boleh silakan keluar saja dan kembali ke ruangan tamu di depan tadi, sepanjang jalan akan ada orang memberi petunjuk sehingga takkan kesasar."

Mendengar sang putri sudah datang, sudah tentu semua orang tidak mau pergi. Apa lagi suara bicara wanita muda itu sangat ramah-tamah, sedikitpun tidak mengandung nada kasar atau jahat sekarang pintu batu dibuka pula sehingga boleh keluar masuk dengan bebas seketika rasa takut mereka tadi lenyap sama sekali dan tiada seorangpun yang mau pergi dari sini.

"Ternyata hadirin tiada yang ingin pergi sungguh Tuan Putri merasa sangat terima kasíh. Sekarang sekedar sebagai tanda mata atas kedatangan hadirin dari jauh, maka Tuan Putri bersedia menghadiahkan kepada setiap orang sebuah lukisan dan tulisan yàng berada di sini. Jelek-jelek lukisan dan tulisan ini adalah koleksi Tuan Putri kami selama bertahun-tahun, diharap hadirin sudi menerimanya. Dan nanti bila para hadirin hendak pergi dari sini boleh sekalian pilih dan ambil sendiri."

Banyak diantara tokoh-tokoh persilatan itu adalah orang kasar, sudah tentu mereka tidak tertarik oleh lukisan apa segala. Tapi merekapun tahu lukisan-lukisan itu barang seni pilihan dan bernilai daripada tiada mendapat apa-apa, boleh juga nanti diambil untuk dibawa pulang, demikian pikir mereka.

Hanya Toan Ki saja yang sangat girang, ia bertekad nanti akan ambil lukisan "si cantik sedang menyulam” tadi untuk diperlihatkan kepada Giok-yan.

Sebaliknya pangeran Cóng-can lain pikirannya. Ia sudah menunggu setengah harian, bicara ke sana ke mari sang putri belum lagi muncul, hanya dayang itu yang mewakilkan bicara. Tentu saja ia menjadi aseran, segera ìa berteriak, "Bun-gi Kongcu, jika di sinitidak boleh menyalakan pelita, marilah kita berganti tempat untuk bertemu? Dalam keadaan gelap gulita begini engkau tidak dapat melihat aku dan aku tak bisa memandang dirimu, sungguh konyol!"

Segera dayang tadi berkata, "Jika hadirín ingin melihat Tuan Putri untuk ini tidak sulit."

"Ya. kami ingin melihat Tuan Putri! Segera ingin!" demikian ratusan orang itu berteriak-teriak dalam keadaan gelap gulita.

Selain itu banyak pula yang berteriak-teriak. "Lekas menyalakan lampu, kami takkan melihat ukiran di dinding itu, masakah ukiran itu akan lebih menarik daripada paras Tuan Putri yang cantik bak bidadari? Ya asal melihat sekejap saja wajah Kongcu dan lampu boleh segera di padamkan lagi! Benar! Silahkan Kongcu tampil ke muka.”

"Diam! Harap hadirin tanang dulu!” demikian seru si dayang. Dan sesudah suara teriakan-teriakan itu mereda, lalu ia menyambung "Adapun maksud Tuan Putri mengundang hadirin ke Se He ini, memangnya beliau ingin menjumpa dengan beliau. Sekarang Tuan Putri ada tiga soal yang akan ditanyakan kepada kalian, barang siapa dapat memberikan jawaban yang dibenarkan Tuan Putri, maka dengan segera beliau akan menemuinya.”

Seketika semua orang bersorak gembira dan bilang "Eh, kiranya pakai ujian lisan apa segala!”

Dan ada yang berkata, "Wah, celaka! Aku hanya mahir putar golok dan main tombak, kalau aku diuji tentang membaca dan bersyair segala, aku bisa runyam!”

Kemudian si dayang mengumumkan lagi, "soal-soal yang hendak ditanyakan Tuan Putri kepada hadirin sekalian sudah diberitahukan kepadaku, maka sekarang silahkan siapa yang ingin lebih dulu?”

Serentak banyak di antara hadirin itu berebut maju ke depan dan berteriak-teriak, "Aku lebih dulu! Tidak, aku dulu! Kamu tadi belakangku, kenapa menyerobot barisanku?”

Si dayang tertawa geli, katanya, "Sudahlah, hadirin sekalian jangan bertengkar. Padahal orang yang maju lebih dahulu akan rugi sendiri.”

Sesudah berpikir, semua orang merasa apa yang dikatakan si dayang memang benar juga. Karena diuji belakangan tentu akan dapat mendengarkan jawaban-jawaban orang lain yang telah diujikan dapat menperbaki kesalahannya, kalau benar akan bias ditiru. Oleh karena itu, seketika semua orang berbalik ogah-ogahan untuk dia lebih dulu dan saling mengalah.

"Bagus! Jika kalian berebut lebih dulu, biar aku belakangan. Tapi sekarang kalian takut menjadi perintis jalan, maka boleh aku menjadi pembuka buat kalian. Nah, dengarkanlah Tuan Putri namaku Pau Put-tong. sudah punya anak dan beristri, yang kuharap hanya melihat muka Tuan Putri yang cantik lain tidak."

"Pau-siangsing ternyata seorang yang suka berterus terang," kata si dayang, "Sekarang dengarkan ketiga soal yang hendak ditanyakan Tuan Putri, ini pertanyaan pertama : Selama hidup Pau-siansing tentu pernah merasakan sesuatu yang paling gembira dan bahagia, Nah di manakah Pau-siansing pernah merasakan saat-saat yang paling gembira dan bahagia itu?”

Pau Put-tong berpikir sejenak, lalu menjawab, "Di dalam sebuah kolam, di situ aku mandi sepuas-puasnya bersama jantung hatiku, sungguh aku merasa sangat gembira dan bahagia, Nah, Puas dan apakah jawabanku ini tepat?"

"Tepat atau tidak bergantung pada keputusan Tuan Putri nanti,” kata si dayang. "Sekarang pertanyaan kedua : Selama hidup Pau-siansing ini. siapakah orang yang paling kau cintai?"

"Namanya Pau Put-cing," sahut Pu-tong tanpa pikir.

"Dan pertanyaan ketiga : Bagaimana wajah orang yang paling dicintai Pau-singsing itu?" Tanya si dayang.

"Wajahnya sungguh istimewa," sahut Put-tong. "Dia baru berumur tiga tahun, matanya satu besar, satu kecil, hidungnya pesek, kupingnya lebar, kalau diberi perintah ia membangkang. Bila kusuruh dia tertawa, eh malah dia menangis dan sekali menangis sedikitnya tiga jam lamanya. Dia bukan lain adalah putri pertama hatiku Pau Put-cing!”

Semua orang tertawa ngakak, begitu pula si dayang terpingkal-pingkal geli. Mereka merasa jawaban Pau Puttong itu sungguh sangat jujur dan terus terang.

Lalu si dayang berkata. "Pau-siansing silahkan tungggu di samping dulu. Sekarang silakan orang kedua."

Karena buru-buru ingin berkumpul kembali dengan Giok-yan, maka Toan Ki mendahului maju, ia membungkuk tubuh memberi salam, lalu berkata, "Caihe Toan Ki dari Tayli, dengan ini menyampaikan salam hormat kepada Kongcu, Atas penyambutan dan pelayanan yang telah kuterima dengan jalan ini pula kusampaíkan terima kasih."

"O, kiranya putra mahkota dari Tayli, harap Yang Mulia jangan sungkan-sungkan, bahkan kalau ada pelayanan yang kurang sempurna diharap yang Mulia suka memaafkan," kata si dayang.

"Ah. Cici tidak perlu rendah hati, " sahut Toan Ki. "Apabila hari ini Tuan Putri tiada tempo senggang, boleh juga pertemuan ini ditunda sampai lain hari."

"Karena Yang Mulia sudah ikut hadir di sini maka silakan juga menjawab ketiga pertanyaan tadi," demikian kata si dayang. "Nah, pertanyaanpertama itu ialah : Di manakah selama hidup Yang Mulia ini merasa paling gembira dan bahagia?"

Tanpa pikir Toan Ki menjawab, "Di dalam lumpur sebuah sumur kering."

Seketika bergemuruhlah gelak-tawa orang banyak. Toan Ki juga tidak memberi penjelasan lebih lanjut, hanya Buyung Hok saja yang tahu sebab apa pemuda itu merasa senang dan bahagia di dalam sumur kering.

Maka terdengar ejekan seorang dengan suara bisik-bisik kepada kawannya, "Apa barangkali dia seekor halus atau bekicot makanya merasa senang di dalam Lumpur?”

Dalam pada itu dengan menahan rasa gelí si dayang bertanya pula, "Dan selama hidup Pángeran siapakah yang paling engkau cintai, siapakah namanya?”

Baru Toan Ki hendak menjawab, sekonyong-konyong kedua belah tangan bajunya terasa dijawab orang. Darì sebelah kanan Pah Thian-sik mengisiknya, "Jawablah ayahanda!"

Sedang Cu Tan-sin juga memberi nasehat dengan lirih di sebelah lain, "katakan ibunda!"

Rupanya kedua "punakawan" itu merasa jawaban Toan Ki yang pertama tadi terlalu menyimpang, maka kuatir jawaban kedua ini akan di tertawai lagì oleh orang banyak. Padahal kedatangannya ini adalah untuk melamar putri Se He, kalau sekarang Toan Ki mengaku selama hidupnya telah mencintai seorang nona lain, pasti runyam maksud tujuan kedatangan mereka ini.

Sebab itülah yang satu menganjurkan menjawab bahwa orang yang saling dicintai adalah ayahanda, seorang lelaki harus setia kepada, raja dan berbäkti kepada ayah, inilah jalan pikiran Pah Thian sik. Sebaliknya Cu Tansin menyuruh Toan Ki menjawab orang yang paling dicintai adalah ibunda, seorang anak harus cinta pada sang ibu, lnilah jalan pikiran kaum sastrawan sebagai Cu Tan-sin.

Toan Ki sendiri mestinya akan menjawab bahwa orang yang paling dicintainya adalah Ong Giok-yan, tapi Thian-sik dan Tan-sin keburu menjawabnya sehingga Toan Ki urung membuka mulut. Segera teringat olehnya bahwa dirinya adalah putra mahkota kerajaan Tayli yang setiap gerak-gerik dan tutur-katanya menyangkut kehormatan negara. Sebab itulah ia lantas memuruti nasehat kedua abdi pengiringnya dan menjawab, "Orang yang paling kucintai sudah tentu adalah ayah-bundaku.”

Lalu si dayang bertanya pula, "Dan bagaimana dengan wajah ayah-bunda Yang Mulia? Apakah mirip dengan engkau?"

"Ayahku bermuka lebar, beralis tebal dan bermata besar, sikapnya gagah" baru sampai di sini mendadak ia tertegun. Baru sekarang ia merasa muka sendiri kiranya tidak mirip sang ayah, tapi lebih mamper sang ibu. Hal ini sebelumnya tidak pernah terpikir olehnya.

Melihat ucapan Toan Ki berhenti ditengah jalan, si dayang merasa Pangeran itu sudah selesai, tidak enak menguraikan muka ibunya yang berkedudukan sebagai permaisuri Tin-lam-ong yang diagungkan itu di depan orang banyak. Maka ia pun tidak Tanya lebih jauh, ia hanya mengucapkan terima kasih atas jawaban Toan Ki dan mohon dia mengaso ke samping.

Di sebelah sana pangeran cong-can menjadi iri ketika melihat sikap si dayang yang sampai menghormati Toan Ki itu. Pikirnya, "Kamu adalah pangeran, aku pun pangeran. Negeri Turfan kami jauh lebih besar dan kuat daripada negerimu, masakah kamu bisa lebih unggul dari padaku?”

Karena pikíran itu, segera ia melangkah maju dan berkata, "Pangeran Cong-can dari Turfan mohon bertemu dengan Tuan-Putri."

"Atas kehadiran Yang Mulia sungguh selaku anggota kerajaan kami merasa mendapat kehormatan besar.” Kata si dayang sambil memberi hormat, "Sekarang Yang Mulia disilahkan juga menjawab ketiga pertanyaan itu.”

Cong-can adalah orang kasar dan tidak suka berliku-liku, dengan tertawa ia berkata, "Ketiga pertanyaan Tuan Putri itu sudah kudengar, maka tidak perlu kau Tanya lagi satu per satu, biarlah kujawab sekaligus saja. Nah selama hidupku ini tempat yang membikin aku paling senang dan bahagia adalah kelak bila aku telah menjadi Huma, di kamar pengantin pada malam pertama itulah tempatnya. Adapun orang yang paling kuciantai selama hidup ini adalah Bon-gi Kongcu, sudah tentu dia she Li, sedangkan namanya aku tidak tahu, sesudah menjadi istriku tentu akan dia beritahukan padaku. Tentang mukanya sudah tentu dia secantik bidadari. Haha, tepat tidak ketiga jawabanku ini.”

Sebagian besar hadirin itu sesungguhnya mempunyai pendapat yang sama seperti jawaban pangeran Cong-can itu. Sekarang Cong-can telah memberi jawaban lebih dulu, maka diam-diam mereka sangat menyesal tidak sejak tadi-tadi minta diuji dan memberi jawaban seperti itu. Kalau sekarang menjawab lagi serupa tentu diolokolok orang lalu sebagai penjiplak.

Begitulah Siau Hong telah mengikuti ujian dari si dayang terhadap orang banyak itu satu persatu, sampai akhirnya ia merasa bosan. Coba kalau tidak ingin tahu bagaimana hasil sayembara itu tentu sejak tadi sudah ia tinggal pergi.

Tengah Siau Hong merasa kesal, tiba-tiba terdengar suara Buyung Hok berkata. "Caihe Buyung Hok dari Kohsoh dengan hormat menyampaikan salam kepada Tuan Putri.”

"O, kiranya Buyung-kongcu yang tersohor dengan Ih-pi-ci-to dan hoan-si-pi-sin itu, biarpun selama ini hamba berada dalam keraton, sering juga kudengar nama kebesaran Buyung-kongcu," demikian puji si dayang.

Diam-diam Buyung Hok merasa senang dan bangga, kalau dayang itu kenal namanya, dengan sendirinya Tuan Putrinya juga mengenalnya, bisa jadi mereka sering membicarakan dirinya. Karena itu, ia menjawab dengan kata-kata yang rendah hati.

Lalu si dayang berkata pula, "Meski negeri Se He tempatnya terpencil, sering juga kami dengar tentang 'Pak Kiau Hong dan Lam Buyung' yang tersohor. Konon Pak Kiau Hong sekarang sedang berganti she Siau dan menduduki jabatan tinggi di negeri Liau, entah hal ini betul atau tidak?"

"Ya, memang betul," sahut Buyung Hok. Padahal dia tahu Siau Hong juga ikut hadir di situ, tapi dia sengaja tak mau mengatakan.

"Nama Buyung-kongcu sejajar dengan Siau-taihiap, tentu kalián adalah kenalan baik, entah bagaimana

potongan Siau-taihiap itu? Ilmu silatnya kalau dibandingkan Buyung-kongcu kira-kira siapa yang lebih unggul?" demikian si dayang bertanya lagi.

Keruan pertanyaan ini membuat Buyung Hok merah mukanya. Dia pernah bertempur melawan Siau Hong dan kalah tinggi ilmu silatnya, hal ini telah dilihat orang banyak, sekarang kalau dia mengakui kenyataan itu tentu dia akan ditertawai oleh ksatria-ksatria seluruh jagat.

Tapi dasar jiwa Buyung Hok memang agak sempit, dia tetap tidak rela mengakui keunggulan Siau hong, maka ia menjadi dadaran dan menjawab, "Apakah pertanyaan nona ini termasuk ketiga pertanyaan yang hendak diujikan oleh Tuan Putri?”

"O, tidak, harap maaf," sahut dayang itu cepat, "Soalnya sudah lama hamba dengar nama kebesaran Siautaihiap, saking kagumnya maka hamba mengajukan pertanyaan ini."

"Siau-taihiap saat ini juga berada di sini, bila perlu nona boleh langsung tanyakan padanya saja,” kata Buyung Hok.

Keterangan ini membuat suasana ruangan itu menjadi gempar seketika. Maklum nama Siau Hong sangat termasyur dan disegani oleh setiap orang persilatan.

Agaknya si dayang juga terpengaruh, katanya dengan suara agak gemetar, "Oo, kiranya Siau-täihiap juga sudi berkunjung kemari, karena sebelumnya tidak tahu, maka sudilah memaafkan bila ada penyambutan yang kurang sempurna,"

Tapi Siau Hong hanya mendengus saja dan tidak menjawab.

Mendengar nada si dayang jauh lebih hormat kepada Siau Hong daripada dia, diam-diam Buyung Hok menjädi kuatir, "Wah, Siau Hong itu pun belum beristri, dia menjabat Lam-ih Tai-ong kerajaan Liau dan memegang kekuasaan militer yang besar, terang aku yang tak punya apa-apa ini bukan bandingannya. Bila putri Se He penujui dia, Wah, bi ... bisa runyam ini!"

Dalam pada itu terdengar si dayang sedang berkata, "Biarlah hamba tanya dulu pada Buyung-kongcu, harap Siau-täihiap suka menunggu untuk sementara, maaf."

Begitulah sesudah minta maaf dengan kata-kata yang merendah, lalu dayang itu tanya Buyung Hok, "Nah, pertanyaan pertama adalah di tempat manakah Buyung-kongcu merasa paling senang dan bahagia selama

hidup ini?”

Pertanyaan ini jelas sudah didengar Buyung Hok sejak tadi, tapi sekarang demi ia sendiri yang ditanya, seketika ia jadi melongo dan sukar menjawab.

Selama hidup Buyung-Hok boleh dikata senantiasa giat berusaha membangun kembali kerajaan Yan dan tidak pernah mengalami waktu senang dan bahagia. Maka dengan tertegun sejenak, akhirnya ia menjawab, "Untuk merasa benar-benar senang dan bahagia, bagiku adalah pada masa yang akan datang dan tidak terjadi pada waktu yang lalu."

Si dayang melengak. Ia mengira Buyung Hok akan menjawab seperti pangeran Cong-can dan lain-lain dengan mengatakan akan merasa senang dan bahagia bila dapat mempersunting sang putri. Tak terduga Buyung Hok menjawab sedikit samar-samar dengan melambangkan bahwa rasa senang dan bahagianya adalah kelak bila dia sudah naik tahta menjadi raja Yan yang jaya.

Begitulah dengan tersenyum lalu si dayang bertanya pula. "Dan siapakah orang yang paling dícintai Buyungkongcu selama hidup ini?”

Buyung Hok menghela napas, sahutnya, "Tidak ada, aku tidak pernah mencintai siapapun.”

"Jika begitu, maka pertanyaan ketiga tidak perlu lagi," ujar si dayang.

"Kuharap setelah bertemu dengan Tuan Putrimu akan dapat kuberi jawaban pertanyaan kedua dan ketiga ini,” ujar buyung Hok.

"Baiklah silahkan Buyung Hok mengaso dulu ke sampíng," kata si dayang "Sekarang Siau-taihiap pun hadir di sini, maka maafkan bila hamba juga mengajukan ketiga pertanyaan ini."

Tapi meski dia mengulangi lagi ucapannya tetap tidak terdengar jawaban Siau-Hong.

"Toako kami sudah pergi, harap nona jangan marah." Tiba-tiba Hi-tiok berkata.

"O Siau-taihiap sudah pergi?" si dayang menegas dengan terkejüt.

Kiranya setelah mengikuti ketiga pertanyaan Bun-gi Kongcu itu, Siau-Hong menduga di balik pertanyaan itu tentu mempunyai makna yang dalam, yang terang putri se He itutiada maksud jahat hendak membikin susah para tamunya. Ia menjadi teringat kepada A Cu sehingga berduka. Ia pikir bila ketiga pertanyaan putri Se He itu juga diajukan kepadanya, maka sukarlah baginya untuk membeberkan rahasia perasaannya di depan orang banyak. Karena itu segera ia keluar ruang batu tanpa diketahui orang lain.

"Entah sebab apa Siau-taihiap mengundurkan diri dari sini? Apakah karena marah kepada perlakuan kami yang kurang hormat ini?" tanya si dayang.

"Toako kami bukanlah orang yang berjiwa kerdil," ujar Hi-tiok, "Kukira beliau takkan marah kepada kalian. Ya, aku menduga dia ketagihan arak, maka kembali ke ruangan depan sana untuk minum sepuasnya."

"Benar juga. Sudah lama Siau-taihiap tersohor sebagai jago minum arak yang tiada bandinganya di sini tidak tersedia arak yang baik, pantas Siau-taihiap kurang senang. Diharap anda suka menyampaikan rasa penyesalan Tuan putri kami bila bertemu dengan Siau-taihiap."

Dayang ini ternyata pandai bicara dan pintar melayani tamu, jauh berbeda daripada dayang yang menyambut mereka dengan malu-malu tadi.

Dalam pada itu si dayang bertanya lagi, "Dan siapakah nama tuan yang terhormat?"

"Aku? O ... aku ... aku bergelar Hi-tiok!" katanya dengan gugup.

"Di manakah Hi-tiok Siansing merasa paling senang dan bahagia?" tanya si dayang.

Hi-tiok menghela napas pelahan, sahutnya, "Ah, tempat itu adalah sebuah gudang es yang gelap gulita."

Baru dia mengatakan "gudang es", tiba-tiba terdengar suara kaget tertahan seorang wanita, menyusul terdengar suara nyaring pecahnya cangkir yang jatuh ke lantai.

"Dan siapakah nama orang yang paling di cintai tuan selama hidup ini?" kembali si dayang menanya.

"Aku ... aku tidak tahu siapa nama nona itu," sahut Hi-tiok.

Seketika bergemuruhlah gelak-tawa orang banyak. Mereka semua pikir apakah orang ini agak sinting, masakah tidak kenal nama si nona lantas jatuh cinta?

Tapi dayang berkata. "Tidak kenal nama nona itu, hal ini pun tidak perlu diherankan. Banyak juga cerita kuno yang mengatakan seorang pemuda jatuh cinta kepada bidadari yang turun dari kayangan dan dengan sendirinya tidak kenal siapa namanya. Nah. Hi-tiok Siansing, apakah wajah nona kekasihmu itu juga secantik bidadari?"

"Bagaimana mukanya, selama hidupku ini pun tidak pernah melihatnya."

Keruan suara gelak-tawa seketika menggelegar lagi menggema ruangan batu itu. Semuanya menganggap ucapan Hi-tiok itu benar-benar sesuatu yang paling menggelikan di dunia ini. Ada juga yang menganggap Hitiok sengaja membadut.

Di tengah suara tertawa ramai itu tiba-tiba terdengar suara seorang wanita bertanya kepada Hi-tiok dengan perlahan, "Apakah engkau ini .... 'Kakanda dalam impian'?"

"Hah, apakah ... apakah engkau 'Dewikz Impian?' O, sungguh aku sangat merindukan dikau!" sahut Hi-tiok dengan terkejut, suaranya sampai gemetar.

Terus saja ia mengulur tangan dan melangkah ke depan, terendus bau hàrum yang memabukkan sebuah tangan yang halus hangat terus menggenggam tanganya, lalu suara seorang yang sudah sangat dikenalnya membisiki dia, "O, Kakanda impianku, justru karena ingin mencari engkau, maka aku mohon ayah baginda mengeluarkan maklumat tentang sayembara pemilihan Huma untuk memancing kedatanganmu ini."

"Hah, Jadi engkau ini putri .... "

"Ya, marilah kita bicara di dalam saja. O, Kakanda impianku, sudah lama sekali, siang dan malam senantiasa kuharap akan tiba saatnya seperti sekarang ini ... "

Begitulah ditengah suara gelak tawa orang banyak yang belum berhenti itu sepasang kekasih itu diam-diam menyelinap ke ruang dalam dengan tangan bergandengan tangan tanpa diketahui oleh siapa pun.

Sedang si dayang masih terus mengajukan ketiga pertanyaan tadi kepada para tamu, sampai semua orang selesai diuji, lalu ia berkata, "Sekarang silahkan hadirin kembali ke ruangdepan untuk minum lagi dan lukisanlukisan sebagai tanda mata akan segera dikirim ke sana agar tuan-tuan dapat memilihnya sendiri. Apabila tuan Putri ingin bertemu dengan siapa dengan sendirinya beliau akan menyampaikan undangannya.”

Dalam keadaan masih gelap gulita segera banyak di antara hadirin itu berteriak-teriak, "Tidak, kami ingin melihat Tuan Putrimu! Ya, sekarang juga! Mengapa kami disuruh kian kemari, bukankah sengaja menpermainkan orang?"

"Sudahlah tuan-tuan," kata si dayang. "Kukira lebih baik tuan-tuan menunggu dulu di ruangan depan sana, kenapa mesti ribut-ribut, kalau sampai Tuan Putri marah, bukankah urusan bisa runyam?"

Rupanya ucapan terakhir itu sangat mujarab, seketika semua orang tenang kembali dan terpaksa keluar dari kamar batu itu. Di luar cahaya obor terang benderang menerangi sepanjang jalan, akhirnya semua orang kembali lagi ke ruang permulaan tadi untuk minum teh.

Sesudah berdampingan kembali dengan Giok-yan, lalu Toan Ki menceritakan ketiga pertanyaan yang diajukan oleh putri Se He itu. Ketika mendengar Toan Ki memberi jawaban bahwa tempat yang membuatnya paling senang dan bahagia selama hidup ini adalah di dalam lumpur sumur kering itu. Giok-yan menjadi geli den tertawa ngikik. Katanya dengan muka kemerah-merahan, "Ya, aku pun serupa engkau."

Tidak beberapa lama, seorang Thaikam membawa keluar sepondong güluñgan lukisan dan menyilakan para tamunya masing-masing memilih sebuah.

Para tamu itu sedang menanti dengan tidak sabar akan di temui putri cantik atau tidak, sudah tentu mereka tidak memikirkan tentang lukisan apa segala. Maka dengan bebas Toan Ki dapat memilih lukisan "si cantik sedang menyulam" itu.

Begìtulah, ia lantas membentang lukisan itu dan menikmatikeindahannya bersama Giok-yan. Mendadak teringat olehnya bahwa Hi-tiok juga memiliki sebuah lukisan yang mirip, segera ia hendak minta sang Jiko mengeluarkan lukisannya untuk dibanding. Tapi meski ia melongok ke sana dan ke sini, di ruangan itu ternyata tidak kelihatan bayangan Hi-tiok.

"Jiko! Jiko!" ia coba berseru memanggil, tetap tiada orang menyahut. Diam-diam Toan Ki heran ia pikir apakah sang Jiko sudah pergi bersama Siau-toako atau karena mengalami sesuatu?

Tengah Toan Ki merasa kuatir, tiba-tiba seorang dayang cantik mendekatinya dan berkata, "Hi tiok Siansing

mengirim surat untuk Yang Mulia.”

Sembari bicara ia pun menyodorkan sehelai kertas surat yang indah dan terlipat.

Waktu Toan Ki membuka lipatan surat itu, segera hidungnya mengendus bau harum semerbak. Ia lihat surat itu tertulis:

Samte,

"Aku sangat senang, senang sekali, sungguh bahagia tak terkatakan. Maaf telah sia-siakan perjalananmu ini, terpaksa mesti mengecewakan pesan paman pula, habis apa daya, tiada jalan lain.”

Toan Ki tahu sang Jiko bekas hwesio itu tidak banyak bersekolah, dalam hal tulis menulis memang kurang mahir. Tapi surat ini benar-benar tak keruan juntrungannya, entah apa yang dimaksudkan "senang dan bahagia" itu. Maka Toan Ki hanya termangu-mangu memegangi surat itu.

Di sebelah sana pangeran Cong-can menjadi cemburu ketika melihat seorang dayang cantik menyerahkan secarik surat kepada Toan Ki, pikirnya. "Kurang ajar, ternyata benar putri cantik itu telah kau serobot lebih dulu. Hm, tidak bisa!"

Segera ia menggertak sekali terus menubruk maju ke arah Toan Ki.

Begitulah sampai di depan Toan Ki, secepat kilat kertas surat yang dipegang Toan Ki terus direbutnya, berbareng kepalan kanan terus menggenjot dada pemuda itu.

Saat itu Toan Ki sedang menyelami apa arti bunyi surat Hi-tiok, maka sama sekali ia tidak tahu menghindar ketika pukulan Cong-can tiba. Apalagi serangan Cong-can itu secepat kilat, andaikan hendak berkelit juga tidak keburu lagi. Maka terdengar suara "bluk, brak, aduuuhh!" berturut-turut.

Kontan tubuh pangeran Cong-can terpental sampai beberapa meter jauhnya dan terbantlng di atas sebuah meja, meja ambruk, cawan pecah berantakan dan Cong-can sendiri berteriak kesakitan.

Dasar orang kasar, biarpun masih rebah telentang, terus saja ia bentang surat yang di rebutnya dari Toan Ki dan segera díbaca dengan suara keras, "Aku sangat senang, senang sekali, bahagia tak terkatakan .... "

Padahal dengan jelas-jemelas semua orang melihat dia terpental dan terbanting sampaí menjerit kesakitan, mengapa sekarang malah berseru, "Sangat senang dan bahagia"? Karuan semua orang melongo terheran-heran.

Melihat Toan Ki kena pukul, segera Giok-yan mendekati dan bertanya, "Apakah sakit dan terluka?"

"Tidak, tidak apa-apa.” sahut Toan Ki. "Aku menerima sepucuk surat dari jiko, rupanya pangeran Turfan ini salah paham dan menyangka putri Se He mengundang aku untuk berjumpa dengan dia."

Melihat Cukong mereka terjungkal, terentak para jago Turfan ikut menerjang maju, ada yang membangunkan Cong-can, banyak pula yang mengelilingi Toan Ki dan hendak melabraknya.

"Kita tidak perlu lama-lama tinggal di tempat begini, marilah kita pulang saja," kata Toan Ki kepada kawankawannya.

"Nanti dulu, Kongcu, urusan masih belum selesai, kenapa terburu-buru. " ujar Pah Thian-sik.

"Ya, di dalam istana Se He ini masakah kita jeri kepada orang Turfan!” kata Tan-sin. "Bolah jadi sebentar lagi Kongcu akan ditemui putri cantik, kalau kita tinggal pergi begini saja bukankah sangat kurang sopan?"

Begitulah kedua orang membujuk Toan Ki agar tinggal lagi di situ untuk sementara waktu. Benar juga, dari dalam telah keluar dua-tiga jago It-bin tong dan membentak agar orang-orang Turfan itu jangan sembarangan bertindak sendiri-sendiri.

Di sana Cong-can juga sudah merangkak bangun, karena melihat surat itu bukan berasal dari Bun-gi kongcu yang mengundang Toan Ki, rasa gusarnya manjadi reda.

Dalam pada itu tiba-tiba tampak Boh Wan-jing menggapai tangan pada Toan Ki sambil memperlihatkan sehelai kertas. Toan Ki menggangguk, lalu mendekatinya untuk menerima kertas itu.

Bok Wan-jing dalam penyamaran sebagai Toan Ki dan bercämpur di antara orang banyak sehingga orang lain tidak memperhatikan dia. Sekarang pangeran Cong-can sedang mengawasi gerak-gerik Toan Ki, demi melihat Bok Wan-jing, segera dapat diketahuinya dandanan kedua orang itu serupa sekilas pandang tampaknya sangat mirip. Keruan ia terkejut. Lalu dilihatnya pula Toan Ki menerima sürat dari Bok Wan-jing dan dibaca, air mukanya tampak aneh. Diam-diam Cong-can curiga lagi. Ia pikir surat itu pasti kiriman Bun-gi Köngcu.

Segera ia membentak, "Satu kali kau dapat mengelabui aku, jangan lagi mengira dapat menipu aku untuk kedua kalinya!"

Habis itu kembali ia mengeruduk maju lagi dan sekaligus surat yang dipegang Toan Ki di rebutnya pula.

Ia sudah kapok dan tak berani menghantam Toan Ki lagi. Namun sebagai gantinya segera ia gunakan kedua kakinya untuk menendang perut Toan Ki secara berantai, tendangannya cepat, caranya ganas pula.

Tak terduga tempat yang dia tendang itu justru adalah pusat himpunan tenaga murni Toan Ki, tanpa bergerak juga segera tenaga dalamnya timbul reaksi sendiri, Maka betapa cepat dan kuatnya tendangan Cong-can segera menimbulkan tenaga pentalan yang sama cepat dan sama kuatnya. Kontan terdengar suara gedebukan dibarengi dengan suara jeritan, tubuh Cong-can terpental balik dan melayang lewat di atas kepala belasan orang, lalu menumbuk beberapa buah meja dan akhirnya terbanting ke bawah.

Untung kulit daging pangeran Turfan itu cukup kasar lagi tebal. Toan Ki juga tidak sengaja hendak melukai dia, mana jatuhnya itu walaupun agak berat, namun tidak sampai mengalami cidera.

Dan begitu tubuh Cong-can menggeletak di lantai, segera ia bentang surat yang dia rebut itu dan dibacanya pula dengan suara keras, "Ada orang lihai hendak membunuh ayahmu juga. Lekas pergi menolongnya."

Keruan semua orang dibuat bingung pula mengapa Cong-can menyatakan "Ayahku berarti ayahmu juga?" Apa mungkin pangeran Turfan dan pangeran Tayli dialirkan tunggal ayah?

Sebaliknya Toan Ki, Pah Thian-sik dan Cu Tan-sin Cukup jelas akan isi surat itu. Surat itu ditulis oleh Bok Wan-jing, maka apa yang dikatakan, "Ayahku adalah ayahmu" itu dengan sendirinya yang dimaksud ialah Toan cing-sun.

Begitulah, maka mereka lantas mengelilingi Wan-jing untuk tanya soalnya.

Tutur Wan-jing, "Tidak lama sesudah kalian masuk ke dalam, segera Bwe-kian dan Lam-kiam masuk kemari memberi laporan sesuatu kepada Hi-tiok Siansing, tapi karena tidak menemui majikan mereka, maka mereka memberitahukan padaku bahwa mereka mendapat berita ada beberapa orang lihai telah mengatur jebakan hendak membikin susah ayah. Jebakan itu diatur di sepanjang jalan di sekitar Sujwan Selatan yang merupakan jalan yang harus dilalui ayah bila hendak pulang ke Tayli. Sekarang orang-orang Leng-ciu-kiong telah disebarkan untuk menyusul ayah dan memperingatkannya agar waspada, berbareng mereka pun menyampaikan berita kesini.”

"Dan di manakah enci Bwe-kiam dan Lam-kiam?" tanya Toan Ki dengan kuatir.

"Hm, dalam pandanganmu hanya tertampak nona Ong seorang saja orang lain masakah kelihatan olehmu?” sahut Wan jing. "Tadi mestinya mereka ingin bicara denganmu, tapi beberapa kali dipanggil engkau diam saja, entah engkau sengaja tidak menggubris atau benar-benar tidak melihat mereka."

"Aku ... aku benar-benar tidak mengetahui kedatangan mereka," kata Toan Ki dengan muka merah.

"Dan sekarang mereka sudah pergi mencari Hi-tiok Jiko dan tidak menunggumu lagi," tutur Wan-jing "Mestinya aku hendak memanggilmu, tapi kuatir tak kau gubris, terpaksa aku menulis secarik surat dan disampaikan padamu."

Toan Ki jadi menyesal dan gegetun pula. Ia tahu perhatiannya sendiri sedari tadi memang ditumplekkan atas diri Giok-yan seorang, biarpun saat itu langit ambruk mungkin juga tak di gubrisnya. Maka tentang datangnya Bwe-kiam berdua dan teguran Bok Wan-jing tentu tak terdengar olehnya.

Segera ia minta nasehat pada Thian-sik dan Tan-sin, "Bagaimana pendapat para paman? Apakah kita harus menyusul ayah sekarang juga?"

"Ya, harus demikian," sahut Thian-sik berdua. Mereka anggap keselamatan Tin-lam-ong juga lebih penting daripada urusan lain, apakah Toan Ki berhasil menjadi Huma kerajaan Se He atau tidak terpaksa mesti dikesampingkan dulu.

Begitulah mereka lantas tinggalkan istana itu. Toan Ki dan Giok-yan kembali ke pondok untuk menemui Ciong Ling, lalu bebenah seperlunya untuk berangkat bersama.

Sedang Pah Thian-sik pergi mohon diri kepada Le-poh Siang bahwa pangeran mahkota harus segera pulang, karena waktu tidak mengizinkan, maka menteri itu diminta menyampaikan pamit mereka kepada Sri Baginda.

Sesudah urusan selesai segera Thian-sik dan Tan-sin menyusulToan Ki berdua, kira-kira dua-tiga puluh li di selatan Lengciu barulah mereka bergabung.

Rombongan mereka terus menuju ke selatan tanpa berhenti. Sepanjang jalan berulang-ulang mereka menerima berita dari anak buah Leng-ciu-kiong yang mengabarkan bahwa rombongan Tin-Lam-ong sedang menuju ke

selatan. Berita lain mengatakan Tin-Lam-Ong berada bersama dua wanita. Kedua wanita ini pernah saling labrak di kota Ciong kwan dan ternyata sama kuatnya, syukur dapat dilerai oleh Tin-Lam-Ong.

Toan Ki tahu bahwa kedua wanita itu yang satu adalah Cin Ang-bian, ibu Bok Wan-jing, dan yang lain adalah Wi sing-tiok, ibunya A Cu dan A Ci.

Bicara tentang ilmu silat agaknya Cin ang-bian lebih unggul, tapi bicara tentang kecerdikan harus diakui Wi Sing-tiok lebih unggul. Namun ayah bagindanya yang melerai mereka tentu segala urusan dapat didamaikan.

Benar juga. Berita menyusul dari anak buah Leng-ciu-kiong mengatakan bahwa sekarang kedua nyonya itu sudah damai kembali dan sedang makan minum di suatu restoran bersama Tin lam-ong. Anak buah Hian thian poh telah memberi isyarat dan memperingatkan ada musuh di tengah jalan yang hendak menjebaknya.

Dalam perjalanan Toan Ki juga bertukar pikiran dengan Thian sik dan Tan-sin, mereka merasa musuh Tin-lanong yang paling lihai selain Toan Yan khing, itu kepala dari Su ok, rasanya tidak orang lain lagi?

Teringat pada Toan Yan-khing, mau-tak-mau mereka merasa kuatir. Ilmu Toan Yan-khing sangat tinggi, di seluruh negeri Tayli hanya Po ting-to seorang saja yang mampu melawannya, kalau di tengah jalan Tin-Lamong sampai masuk perangkapnya tentu celaka. Tapi apa daya, terpaksa mereka mempercepat perjalanan untuk menyusul rombongan Tin-Lam-ong, jika dapat bergabung tentu akan dapat membantunya untuk melawan Toan Yan-khing.

"Begitu berhadapan dengan Toan Yan-khing, tak perlu banyak bicara lagí, segera kita menyerubut durjana itu, biarlah kita mengeroyoknya beramai-ramai, jangan lagi seperti di tepi telaga tempo hari dan membiarkan dia satu melawan satu dengan Ongya,” ujar Thian-sik.

"Benar," sahut Tan sin. "Kita berdua ditambah Toan-kongcu, nona Bok, nona Ong dan nona Ciong, ada lagi Ongya sendiri dengan Hoa-toako. Tang-jiko dan lain-lain, mustahil kita sebanyak ini tidak dapat mengalahkan durjana yang maha jahat itu?"

"Ya, dengan durjana itu kukira memang tidak perlu bicara tata cara dunia persilatan lagi, " kata Toan Ki.

Segera mereka mempercepat perjalanan. Ketika hampir dekat dengan kota Congciu, tiba-tiba terlihat dua penunggang kuda sedang mendatang secepat terbang. Sesudah dekat kedua penunggang wanita melompat turun dan berseru, "Anak buah Hian-thian-poh dari Leng-ciu-kiong menyampaikan salam hormat kapada Toankongcu dari Tayli."

Cepat Toan Ki melompat turun dari kudanya dan menjawab. "Banyak terima kasih àtas bantuan para Cici, silakan bangun! Apakah kalian telah melihat ayahku?"

"Lapor Kongcu,"demikian wanita yang lebih tua di sebelah kanan membuka suara, "sesudah Tin-Lam-ong mendapat isyarat peringatan kami, rombongan beliau sudah ganti haluan dan menuju ke arah timur, katanya akan berputar untuk kemudian membelok kembali ke Tayli, dengan demikian supaya musuh kecelik."

Maka legalah hati Toan Ki, katanya dengan girang, "Bagus! Memangnya buat apa ayah mau bertempur dengan jahanam itu. Selamat paling perlu dan bukan karena jeri pada mereka. Dan apakah kedua Cici mengetahui siapakah musuh yang hendak mencegat ayah-ibu? Berita kalian ini bermula didapat dari mana?”

"Mula-mula nona Bwe-kiam mendengar cerita dari seorang nona," demikian tutur wanita tadi. "Katanya nona itu bernama A Pik apa, katanya murid perempuan dari murid keponakan majikan kami .... "

"Ah, kiranya A Pik," seru Giok-yan.

"O, kiranya nona A Pik, aku kenal dia, Asalnya dia adalah pelayan Buyung-kongcu," kata Toan Ki.

"Benarlah jika demikian," kata si wanita tadi, "Menurut nona Bwe-kiam, katanya usia nona A Pik itu sebaya dengan dia, pula sesama orang Leng-ciu-kiong, maka keduanya sangat cocok. Menurut nona A Pik di tengah jalan dia mendapat kabar, ada seorang tokoh yang sangat lihai hendak mengganggu Toan-ongya. Nona A Pik mengaku kenal baik Toan-kongcu, dahulu Kongcu sangat ramah padanya, maka sekarang dia sengaja dating buat menyampaikan berita itu.”

Toan Ki menjadi teringat kejadian dahulu waktu pertama kali bertemu dengan A Pik justru dengan perantaraan A Pik dan A Cu dia dapat berkenalan dengan Giok-yan. Siapa duga sekali ini A Pik kembali menyampaikan berita penting pula padanya, seketika timbul rasa terima kasihnya yang tak terhingga.

"Dan di manakah nona A Pìk sekarang?” tanya Toan Ki.

"Hamba tidak tahu." sahut wanita setengah umur tadi. "Tapi menurut nona Bwe-kiam, agaknya lawan Toanongya itu memang sangat lihai, untuk itu kongcu perlu lebih waspada hendaknya.”

Sesudah Toan Ki mengucapkan terima kasih, lalu kedua wanita Hian-thian-poh mencemplak ke atas kuda

mereka dan mendahului pergi.

"Bagaimana pendapatmu. Pah-pekhu (paman)?" tanya Toan Ki.

"Jika Ongya sudah berputar ke arah timur maka boleh kita langsung ke selatan, rasanya di sekitar Sengtoh akan dapat bergabung dengan Ongya," ujar Thian-sik.

"Usul paman memang cocok dengan pikiranku," kata Toan Ki.

Segera rombongan mereka meneruskan perjalanan ke selatan, akhirnya sampailah mereka di kota Sengtoh. Suatu kota yang paling ramai dan makmur di propinsi Sujwan.

Tiga hari lamanya Toan Ki dan kawan-kawan pesìar di kota itu, tapi tidak nampak Toan Cing-sun atau rombongannya. Diam-diam Thian-sik dan lain-lain menduga mungkin Tin-Lam-ong ditemani dua istri cantik sehingga sepanjang jalan sengaja pesiar sepuas-puasnya, sebab kalau sudah pulang sampai di Tayli, tentu tidak dapat lagi hidup bebas dan gembira seperti sekarang.

Terpaksa Toan Ki dan rombongannya meneruskan perjalanan ke selatan pula. Selama beberapa hari mereka tidak menerima berita dari perngintai-pengintai wanita Leng-ciu-kiong lagi. Tapi Karena sudah makin dekat dengan wilayah Tayli maka perasaan mereka pun semakin lega.

Sepanjang jalan Toan Ki merasa gembira ria berdampingan dengan kekasih yang cantik, tapi ia pun kuatir Bok Wan-jing akan marah, maka ia tidak berani terlalu dingin terhadap nona itu, terkadang ia sengaja mengajaknya bicara dan bercanda.

Wan-jing tahu Toan Ki adalah kakaknya sendiri, di tengah jalan ia pun memberitahu pada Ciong Ling bahwa dara cilik itu sebenarnya juga anak Toan Cing-sun. Karena itu kedua orang lantas berganti sebutan dan saling panggil sebagai kakak dan adik. Walaupun mereka masih merasa murung bila menyaksikan betapa kasihmesranya Toan Ki dan Giok-yan, tapi lambat-laun rasa duka itu pun berkurang sehingga tak terasa lagi.

Suatu petang, ketika mereka hampir sampai di kota Yang-liu-tin, mendadak udara mendung, menyusul air hujan lantas menebas besar-besar. Cepat-cepat mereka larikan kuda ke depan untuk mencari tempat berteduh.

Setelah membelok ke balik sebuah hutan, tertampaklah di tepi sungai kecil sana berdiri, beberapa buah rumah tembok. Toan Ki dan lain-lain merasa girang, cepat mereka menuju kesana.

Sesudah dekat tertampak di bawah ampar berdiri seorang tuan sedang memandangi awan mendung yang makin lama makin tebal dan gelap.

Segera Tan-sin melompat turun dari kudanya, ia memberi hormat dan menyapa, "Ter¡malah salamku, Lotiang (bapak), rombongan kami ini kehujanan di tengah jalan, maka ingín mohon mondok untuk sementara di tempat Lotiang, entah boleh atau tidak?”

"Boleh, sudah tentu boleh," sahut orang tua itu. "Orang yang keluar rumah tidak mungkin membawa serta pula rumah. Tuan tuan dan nona-nona silakan masuk.”

Tan-sin mengucapkan terima kasih. Tapi diam-diam ia terkesiap ketika melihat kerut mata si orang tua yang tajam itu, suaranya juga nyaring dan kuat, logatnya tìdak mirip logat penduduk setempat.

Serentak semua orang masuk ke dalam rumah, lalu Tan sin menunjuk Toan Ki dan diperkenalkan kepada tuan rumah, "Ini adalah tuan muda kami Li-kongcu, baru pulang menjenguk pamili di Sengtoh. Dan saudara itu adalah Ciok-toako, aku sendiri she Tan. Kalau tidak keberatan, numpang Tanya she Lotiang yang mulia?"

"O, aku she Keh," sahut si orang tua dengan tertawa, "Baiklah, silahkan Li-kongcu, Ciok-toako dan nona-nona masuk ke ruangan dalam untuk minum-minum dulu. Melihat gelagatnya, mungkín hujan ini takkan reda dalam waktu singkat."

Mendengar Tan-sin telah memperkenalkan nama palsu, segera Toan Ki merasa urusan agak ganjil, semua orang lantas ikut berlaku hati-hati.

Orang tua ¡tu membawa mereka ke sebuah kamar sampìng yang teratur rapi dan bersih, di dinding terhias beberapa piguran lukisan, dari kamar itu dapat diduga tuan rumannya pasti bukan orang kampungan. Tan-sin saling pandang dengan Thian-sik, mereka tambah was-was.

"Tuan-tuan dan nona-nona silahkan duduk, segera kusuruh membawakan teh," kata si orang tua.

Tan-sin mengucapkan terima kasih. Ketika orang tua itu melangkah keluar, seketika ia merapatkan pintu kamar.

Waktu pintu itu tertutup, segera kelihatan di belakang pintu tergantung sebuah lukisan yang mengambarkan beberapa tangkai bunga kamelia dari jenis dan warna yang berbeda.

Taylì adalah tempat paling banyak tumbuh bunga Teh-hoa (kamelia), maka Toan Ki menjadi girang melihat lukisan itu. Tiba-tiba tertampak lukisan itu disertai pula sebait tulisan yang berbunyi. "Tayli punya Teh-hoa tiada bandingannya jenisnya seluruhnya ada 71 macam lebih besar dari Bo-ten ... "

Jilid 82
Begitulah tulisan itu, anehnya pada bagian-bagian tertentu dari tulisan itu terdapat kekurangan satu huruf dan lalu satu huruf lagi, entah sengaja dilowongi atau karena penulisnya lupa pula tentang Jenis bunga kamelia itu seluruhnya mestinya berjumlah 72 macam.

Kebetulan di atas meja situ tersedia alat-alat tulisi lengkap, sebagai seorang pencinta bunga kamelia dan suka bersanjak, melihat ketidak lengkapan tulísan pada lukisan itu, langsung Toan Ki mengambil pit dan menambahkan tulisan-tulisan yang kurang itu, begitu pula tentang jenis kamelia, ia tambahkan menjadi 72 macam.

"Bagus, dengan ditambahkannya tulisanmu, maka sempurnalah lukisan itu," seru Ciong Ling dengan tertawa.

Belum lenyap suaranya, tiba-tiba si orang tua tadi melangkah masuk dan seketika ia merapatkan pintu pula. ketika melihat lowongan tulisan pada lukisan itu sekarang telah terisi, segera mukanya berseri-seri, katanya dengan tertawa, "Sungguh tamu agung, tamu agung! Rupanya aku sudah berlaku kurang hormat. Lukisan ini adalah buah tangan seorang sobatku, rupanya dia seorang pelupa waktu membubuhkan tulisan itu tiba-tiba ia lupa beberapa huruf di antaranya, katanya mau pulang dulu untuk memeriksa catatannya dan kelak akan diisi lagi. Ai, siapa duga sesudah pulang dia lantas jatuh sakit dan akhirnya meninggal sehingga tulisannya ini tetap lowong. Tak nyana sekarang Lî-kongcu yang terpelajar ini sudi memenuhi cita-cita sobatku yang belum terlaksana itu. sungguh aku harus mengucapkan terima kasih banyak-banyak, Lekas siapkan arak, bikin pesta!"

Segitulah ia berteriak-teriak sambil lari keluar.

Tidak lama kemudian, orang tua ini datang pula dengan dandanan yang serba baru, ia mengundang Toan Ki dan kawan-kawannya menghadiri perjamuan d¡ ruangan tamu.

Karena waktu itu hujan masih lebat sehíngga tidak mungkin untuk meneruskan perjalanan, pula undangan orang tua itu agaknya sengat sungguh-sungguh dan susah ditolak, terpaksa Toan Ki dan lain-lain menuju ke rüangan depan. Ternyata di atas meja sudah tersedia belasan macam masakan ada ayam, ada itik dan ada daging.

Setelah mengucapkan terima kasih, lalu Toan Kid an kawan-kawan lantas mengambil tempat duduk sendirisendiri. Segera si orang tua she Keh menuangkan arak, ia sendiri mendahului minum setegük sambil berkecakkecak untük mencicipi rasanya, menyusul lantas minum lagi seteguk besar. Lalu Katanya dengan tertawa, "Meski arak kampung, tapi rasanyá masih boleh juga. Li-Kongcu sebenarnya bápak ini orang daerah Kanglam, karena menghindari musuh, maka pindah dan hídup di tempat jauh ini, selama ini aku sangat merindukan

kampung halamanku.”

Sambil omong ia terus menuangkan arak ke pada para tamunya."

Mendengar si orang tua menguraikan asal-usulnya sendiri, walaupun tak bisa dipercaya seluruhnya, tapi rasa curiga Pah Thian-sik dan lain-lain menjadliagak berkurang. Apalagi orang itu telah mendahului minum arak, mereka menjadi tidak kuatir lagi, segera mereka pun makan minum sepuasnya. Cuma Thian-sik dan Tan-sin memang lebih hati-hati, mereka minum sedikit, waktu makan juga selalu mengawasi gerak-gerik si orang tua, kalau tuan rumah itu sudah mencicipi santapan itu barulah mereka berani ikut makan.

Sampai malamnya hujan masih tetap belum reda, pula si orang tua menahan mereka dengan setulus hati, terpaksa Toan Ki dan kawan-kawannya menginap di iltu.

Sebelum tidur Thian-sik memperingatkan Wan-jing agar tangen sedikit, jangan tidur sampai lupa daratan, sebab tempat itu tampaknya agak mencurigakan. Karena itu Wan-jing membiarkan Giok-yan tidur bersama Ciong Ling, ia sediri hanya rebah tanpa ganti pakaian, dalam lengan baju sudah siap dengan panah berbisa. Maski dia tidak berani tidur nyenyak, sampai fajat menyingsing ternyata tidak terjadi sesuatu.

Sementara itu hujan sudah terang, sesudah cuci muka dan berdandan, lalu Toan Ki mohon diri kepada si orang tua. Mereka diantar sampai jauh oleh orang tua she Keh itu dengan sangat menghormat. Diam-diam Toan Ki dan lain-lain sangat benar sesudah berpisah.

Kata Pah Thian-sik, "Sungguh susah dimengerti bagaimana asal-usul orang tua itu, sekali ini aku benar-benar salah mata."

"Engkau tidak salah mata, Pah-heng." Ujar Tan-sin. "Kukira orang tua itu semula tidak bermaksud baik. Dia baru berubah sikap sesudah melihat Kongcuya kita mengisi tulisan dalam lukisannya itu. Kongcu, menurut pikiranmu, adakah sesuatu yang aneh dalam lukisan dan tulisan yang tak lengkap itu?"

"Lukisan itu hanya beberapa jenis kamelia yang biasa saja dan tiada sesuatu yang aneh, begitu pula tulisan itu cuma catatan yang umum.” sahut Toan Ki.

Karena tidak dapat menarik sesuatu kesimpulan, terpaksa mereka tidak tarik panjang kejadian itu.

"Paling baik kalau sepanjang jalan dapat menemui lagi tulisan yang kurang lengkap pada lukisan seperti

kemarin itu, dengan demikian Toan-kongcu kita akan dapat mengisinya untuk mencari ganti jasa makan minum dan pondokan gratis sungguh menyenangkan juga," demikian kata Ciong Ling.

Semua orang tertawa atas banyolan nona cilik itu.

Tapi aneh juga, kelakar Ciong Ling itu ternyata mendatangkan kejadian sungguhan, berulang-ulang mereka benar-benar menemukan lukisan dengan tulisan yang tidak lengkap dan lukisan-lukisan itu semuanya menggambarkan bunga kamelia. Toan Ki juga tidak sungkan-sungkan lagi, asal melihat segera ia angkat alat tulis dan mengisi huruf yang tidak lengkap itu. Dan asal dia sudah mengisi, segera pemilik lukisan memberi layanan yang memuaskan dengan gratis.

Dalam herannya beberapa kali Cu Tan-sin dan Pah Thian-sik coba memancing kata-kata pemilik lukisan itu, tapi jawaban yang diperoleh semuanya sama, semuanya mengatakan tulisan dalam gambar itu memang belum lengkap dan berkat bantuan Toan Ki, sungguh mereka sangat berterima kasih.

Sebaliknya Toan Ki dan Ciong Ling masih bersifat kekanak-kanak, mereka merasa senang dengan permainan demikian itu, makin banyak lukisan yang bertuliskan kurang lengkap, makin menarik bagi mereka.

Giok-yan sendiri tidak terlalu memusingkan urusan itu, Asal dilihatnya Toan Ki gembira, maka ia pun merasa senang. Sebaliknya Bok Wan-jing tidak pernah kenal apa arti takut, maka ia tidak peduli kejadian itu akan mendatangkan kebaikan atau bencana.

Hanya Pah Thian-sik dan Cu Tan-sin saja yang semakin kuatir. Dari apa yang diatur oleh pihak lawan yang rapi itu mereka menduga di balik itu pasti ada tipu muslihat yang belum diketahui.

Tapi meski mereka sudah berhati-hati dan menyelami setiap sesuatu yang mencurigakan. Toh tetap tidak menemukan bukti apa pun.

Begitulah perjalanan yang makan tempo cukup lama itu makin lama makin ke selatan. Tatkala itu sudah pertengahan bulan sepuluh tapi hawa juga tidak dingin, sepanjang jalan gunung menghijau dan hutan berkerumun rimbun, suatu pemandangan yang berbeda dengan keadaan alam di wilayah Se He.

Pada suatu petang, ketika sampai di padang rumput, sepanjang mata memandang hanya rumput yang memanjang lebat di sebelah kiri sana adalah rimba yang lebat. Tampaknya dalam jarak beberapa puluh li tiada perkampungan penduduk.

Maka berkatalah Thian-sik, "Kongcu, keadaan di sini agak berbahaya, lebih baik kita mencari suatu tempat untuk bermalam."

Toan Ki menyatakan setuju, cuma ia tanya kemana harus mencari tempat berteduh di padang rumput seluas itu.

"Di lautan rumput seperti ini sangat banyak nyamuk dan serangga berbisa, banyak pula Ciang-gi (hawa lembab atau panas) yang bisa mendatangkan penyakit," kata Tan-sin. "Maka kalau tiada tempat pondokan yang baik, biarlah kita bermalam di atas pohon saja untuk menghindari serangan hawa berbisa dan binatang buas atau nyamuk."

Segera rombongan mereka membelok ke arah hutan yang rimbun itu.

Giok-yan lama tinggal di daerah pedalaman, tapi selamanya dia belum pernah pesiar ke tempat lain. Maka waktu mendengar Tan-sin bercerita tentang Ciang-gi yang berbahaya itu, segera ia tanya lebih jauh apakah sebenarnya Ciang-gi.

"Ciang-gi adalah hawa lembab atau hawa panas yang berbisa di daerah pegunungan atau hutan belantara yang jarang didatangi manusia," demikian tutur Tan-sin. "Menurut cerita oreng Tayli kami. katanya dalam bulan tiga banyak berjangkit Tho-hoa-ciang (hawa bunga delima berbisa), konon kedua macam Ciang-gi inilah yang paling berbahaya. Padahal segala macam hawa berbisa tentu mendatangkan penyakit, terutama musim panas, serangga berbisa dan nyamuk berkembang biak dengan subur, masa-masa itulah paling berbahaya. Sekarang hawa sudah mendekati musim dingin, keadaan tentu akan lebih baik. Cuma di sekitar sini hawa sangat lembab, rumput yang memanjang bagai lautan ini pun setahun demi setahun membusuk, maka hawa lembab yang berbisa tentu juga lebih keras."

"Wah, kiranya hawa berbisa juga diberi nama-nama begitu indah, jika demikian apakah ada juga Toh-hoa-ciang (hawa bunga kamelia berbisa)?" tanya Giok-yan tiba-tiba.

Seketika Toan Ki dan lain-lain tertawa geli oleh pertanyaan si nona, Sahut Tan-sin, "Orang Tayli kami paling suka kepada bunga kamelia, maka tidak menghubung-hubungkan bunga yang indah itu dengan hawa berbisa yang membahayakan itu."

Tengah bicara rombongan mereka sudah mulai memasuki hutan lebat itu. Karena tanah disitu memang lembab dan menyerupai lumpur, maka kuda mereka menjadi payah juga jalannya.

"Kukira kita tak perlu terlalu jauh menjelajahi hutan ini," ujar Thian-sik. "Marilah kita boleh berhenti saja disini, beramai-ramai kita membikin sarang diatas pohon untuk bermalam, bila sang surya sudah menyingsing

dan hawa berbisa sudah mulai sirna barulah kita melanjutkan perjalanan."

"Apakah sesudah matahari terbit dan hawa berbisa itu akan kurang mambahayakan lagi?" Tanya Giok-yan.

Thian-sik membenarkan.

Mendadak Ciong Ling berseru kaget sambil menunjuk kejurusan timur laut, "Wah, celaka! Disana sudah timbul hawa berbisa! Hawa berbisa jenis apakah itu?"

Waktu semua orang mamandang kearah yang ditunjuk, benar juga tertampak segumpal awan yang ditunjuk, benar juga tertampak segumpal awan yang sedang mengepul keatas dari tengah rimba sana.

Mendadak Thian-sik terbahak-bahak, katanya, "Nona Ciong, itu adalah asap cerobong dari orang yang sedang menanak nasi."

Sesudah diperhatikan memang betul gumpalan awan itu adalah asap dan bukan hawa berbisa segala, Maka tertawalah semua orang, semangat mereka pun terbangkit, jika ada asap, tentu disana ada manusia.

Segera mereka batalkan maksud berkemah diatas pohon, tapi beramai-ramai menuju ke tempat mengumpulnya asap itu. Sesudah dekat, ternyata hutan di situ terdapat beberapa buah rumah papan, di samping rumah banyak bertumpuk kayu gelondongan, nyata rumah-rumah itu adalah kediaman tukang tebang kayu.

Tan-sin tampil ke depan dan berseru, "Hai, Toako penebang kayu, ada orang dalam perjalanan ingin mohon mondoksemalam di sini, boleh tidak?”

Tapi sampai sekian lama tiada suara jawaban dari dalam rumah meski Tan-sin telah mengulangi pula ucapannya. Padahak asap dapur di dalam rumah masih tetap mengepul, suatu tanda rumah itu pasti ada penghuninya.

Dengan penasaran Tan-sin mengeluarkan kipasnya yang biasa digunakan sebagai senjata, dengan pelahan ia buka pintu dan melangkah masuk ke dalam rumah.

Ternyata tiada bayangan seorang pun di dalam rumah. sebaliknya terdengar suara "pletak-pletok", suara terbakarnya kayu. Segera Tan-sin menuju ke ruang belakang dan masuk ke dapur. Maka tertampaklah di depan

tungku ada seorang nenek bungkuk sedang menunggui api dapur.

"Lopopo (nenek tua), apakah di sini masih ada orang lain lagi?" segera Tan-sin menegur.

Namun nenek itu hanya memandanginya dengan melonggok seperti tak mendengar apa pun, Ketika Tan-sin mengulangi lagi ucapannya barulah nenek itu mrnuding telinga dan mulut sendiri sambil mengeluarkan suara "ah-uh" yang kaku. Nyata nenek itu seorang tuli dan bisu.

Waktu Tan-sin kembali ke ruang depan, sementara itu Thian-sik, Toan Ki dan lain-lain juga sudah memeriksa rumah-rumah lain dan semuanya tiada penghuninya kecuali nenek tuli dan bisu itu. Pah Thian-sik juga telah mengelilingi rumah papan itu dan ternyata tiada menemukan sesuatu tanda, yang mencurigakan.

"Nenek itu bisu lagi tuli, susah untuk diajak bicara," demikian tutur Tan-sin. "Biasanya nona Ong paling sabar, silakan engkau coba-coba bicara dengan dia."

Giok-yan mengiakan, "Baiklah, coba kuhubungi dia."

Segera ia masuk ke dapur dan main tuding sana dan tuding sini dengan isyarat tangan, lalu memberikan nenek itu serenceng uang perak, ah, ternyata berhasil juga membikin terang duduknya perkara. Sesudah nenek itu menanak nasi, lalu Giok-yan minta sedikit berás kepada si nenek untuk menanak nasi bagi kawan-kawannya walaupun tiada lauk-pauk dan arak, terpaksa mereka tangsal perut apa adanya.

"Kìta boleh bermalam dí rumah ini dan jangan terpencar," kata Thian-sik.

Segera ia membagi kaum lelaki tidur di kamar sebelah kanan dan kaum wanita di kamar sebelah kiri. Sebagai penerangan si nenek telah menyalakan sebuah pelita minyak dan dltaruh di alas meja ruang tengah.

Saking lelahnya dalam perjalanan, segera semua orangmerebahkan diri untuk tidur. Baru saja mereka hendak pulas, tiba-tiba terdengar di ruang tengah ada suara "tik tik tik", suara orang mematik api tapi tidak menyalanyala.

Segera Thian-sik keluar dari kamarnya, ia lihat pelita minyak di atas meja sudah padam, dalam kegelapan terdengar suara "tik-tik-tiK" yang tak berhenti-henti, rupanya si nenek sedang mengetik api hendak menyalakan kembali pintu itu.

Mengetik api dengan pisau dan batu api mestinya tidak sulit kecuali kalau kawulnya (selaput) basah atau kurang baik.

Segera Thian-sik mengeluakan alat ketikan api sendiri, "tik", sekali ketik saja api lantas menyala dan terus menyulut pelita minyak di atas meja itu.

Si nenek tampak tersenyum senang, lalu meminjam alat ketik api Pah Thian-sik sambil menuding-nuding ke arah dapur sebagai tanda hendak menyalakan api pula di sana. Tanpa pikir Thian-sik menyerahkan alat ketikan api itu, lalu ditinggal masuk kamar untuk tidur lagi.

Selang tak lama, kembali di ruangan tengah terdengar suara "tik-tik-tik" pula. Toan Ki dan lain-lain terjaga bangun lagi. Dari sela-sela dinding mereka melihat keadaan di luar sana gelap gulita, rupanya pelita minyak itu kembali padam.

"Saling tuanya mungkin nenek itu sudah pikun," demikianlah Tan sin mengerundel dengan tertawa. Mestinya ia tidak mau ambil pusing, tapi suara "tak-tik-tak-tik" itu justru tidak berhenti-henti dan sangat mengganggu, seakan-akan kalau api belum menyala, maka semalam suntuk nenek itu akan mengetik terus.

Tan-sin merasa sebel, segera ia keluar, dalam kegelapan ia lihat si nenek terus mengetik api dengan ngotot. Segera Tan-sin mengeluarkan alat api sendiri, "tik" sekali api lantas dinyalakan dan pelita itu disulutnya.

Si nenek tertawa, ia memberi tanda hendak meminjam alat ketikan api itu kepada Tan-sin untuk membuat api di dapur, sudah tentu Tan-sin meminjamkan dan masuk kembali untuk tidur.

Tak terduga, tidak lama kemudian kembali di ruang tengah terdengar pula suara "tik-tik-tik" yang berisik. Diam-diam Thian-sik dan Tan-sin mendongkol dan menggerutu entah nenek itu main gila apa, selalu menggangu orang tidur. Namun begitu di luar masih terus berbunyi "tak-tik-tak-tik” tak berhenti-henti.

Thian-sik melompat keluar. Iarebut pisau dan batu api si nenek dan mengetiknya, tapi sekali ini api sukar menyala, waktu ia raba alat-alat itu, ternyata bukan miliknya sendiri, segera ia tanya dengan heran, "Dimanakah pisau dan batu apiku?"

Namun ia jadi geli sendiri, muring-muring kepada seorang bisu-tuli sudah tentu tak ada gunanya.

Dalam pada itu Bok Wan-jing telah keluar juga, ia keluarkan pisau dan batu api dan berkata, "Pah-sooksiok, apakah engkau ingin membuat api?"

"Nenek ini lho, masakan berkutatan sejak tadi dan mengganggu orang tidur saja, sungguh aneh," sahut Thiansik sambil menerima alat ketikan api yang disodorkan Boh Wan-Jing dan sekali ketik api lantas menyala serta menyulut pelita minyak tadi.

Si nenek tertawa puas sambil memandangi pelita yang sudah menyala itu.

"Nona Bok silakan tidur lagi agar besok pagi-pagi bisa berangkat," kata Thian sik sambil kembali ke kamarnva sendiri.

Siapa tahu, tidak seberapa lama, kembali suara "tak-tik-tak-tik" itu berjangkit pula. Serentak Thian-Sin dan Tan-sin melompat bangun bersama, tapi sebelum berlari keluar mendadak mereka merasa perbutuan Si nenek itu sangat mencurigakan, di balik itu pasti ada tipu muslihat tertentu. Pelahan Thian-sik menjawil kawannya, lalu kedua orang terbagi dua arah untuk mengepung si nenek.

Dan baru saja mereka hendak menubruk maju, tiba-tiba hidung mereka mengendus bau harum. Ternyata orang yang sedang membuat api itu bukan lagi si nenek melainkan Bok-Wan-jing.

"He, kiranya nona Bok?" tanya Thian-sik.

"Ya," sahut si nona "Aku merasa tempat ini agak mencurigakan, maka ingin menyalakan pelita untuk memeriksanya.”

"Coba, biar kubuatkan api," kata Thian-sik. Lalu ia menerima alat ketikan api itu dari Wan-Jing.

Tapi meski dia sudah mengetik berulang-ulang, setitik belatu api pun tidak kelihatan, Thian-sik terkejut, serunya, "Batu api ini tidak baik. Nona Bok, batu ini telah ditukar oleh nenek itu."

”Cepat kita cari nenek itu, jangan sampai dia sempat lari," ujar Tan-sin.

Segera Bok Wan-jing lari ke dapur, sedang Thian-sik dan Tan-sin mengejar keluar rumah. Tapi hanya sekejap itu saja si nenek sudah menghilang entah ke mana.

"Jangan mengajar lagi, melindungi Kongcu lebih penting," ujar Tan-sin.

Segera mereka kembali ke dalam rumah. Sementara itu Toan Ki, Giok-yan dan Ciong Ling juga sudah bangun semua.

"Siapa yang membawa alat pembuat api? Nyalakan pelita lebih dulu," kata Thian-sik.

"Pisau dan batu apiku telah dipinjam oleh nenek itu," terdengar dua orang menjawab berbareng. Mereka adalah Giok yan dan Ciong Ling.

Diam-diam Thian-sik dan Tan-sin mengeluh. Mereka sudah berhati-hati, akhlrnya toh masih terjebak oleh musuh.

Toan Ki mengeluarkan batu api dan coba mengetiknya, namun tidak berhasil juga, sama sekali tidak mengeluarkan lelatu.

"Kongcu, apakah nenek itu pun pernäh pinjam alat ketik apimu?" tanya Tan-sin.

"Ya, sebelum dahar tadi," sahut Toan Ki. "Habis pakai lalu ia kembalikan padaku."

"Batu api Kongcu itu telah ditukar olehnya,” ujar Tan-sin.

Seketika semua orang terdiam, dalam kegelapan hanya terdengar suara bunyi serangga di sekeliling rumah. Malam itu kebetulan akhir bulan, sinar bintang juga guram.

Mereka berenam berkumpul di dalam rumah, diam-diam mereka merasa keadaan di sekeliling situ sangat berbahaya. Sejak Toan Ki mengisi tulisan lukisan dan mendapat pelayanan si orang tua she Keh, memangnya mereka sudah was-was terhadap tipu muslihat musuh. Tapi meski mereka sudah mencari dan menyelidiki, tetap tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Mereka piker kalau musuh muncul sekaligus akan lebih gampang diselesaikan sebaliknya kalau main kucing-kucingan begini sungguh sukar untuk dilayani.

”Nenek itu telah menipu alat pembuat api kita, tujuannya ialah supaya kita tak dapat menyalakan pelita dan mereka akan dapat menjalankan tipu muslihat dalam keadaan gelap," demikian pendapat Bok Wan-jing.

"Benar," kata Thian-sik. "Dalam keadaan gelap, kalau mereka menggunakan mahluk berbisa yang kecil-kecil untuk menyerang kita, wah, bias celaka."

Mendadak Ciong Ling menjerit ketakutan. Waktu semua orang menanyakan apa yang terjadi dara cilik itu menjawab, "Aku paling takut pada kelabang dan ketungging, kalau mereka menggunakan binatang berbisa itu untuk menyerang kita, tentu celakalah kita. Jika ular aku tidak takut."

"Nona Ciong jangan takut, biarlah kita menyalakan api dulu," kata Thian-sik.

"Alat-alatnya sudah tidak ada, cara bagaimana menyalakan api?" tanya Ciong Ling.

"Musuh sengaja bikin kita tak bisa menyalakan api, maka kita justru akan membuat api, kukira pasti bisa," kata Thian-sik.

Segera ia pergi ke dapúr untuk mengambil dua potong kayu bakar dan diserahkan kepada Tan-sin, katanya, "Cu-hianto, buatlah serbuk kayu, makin halus makin baik."

Tan-sin dapat menangkap maksud sang kawan, ia pun menyalakan kebulatan tekadnya takkan menyerah kepada tipu muslihat musuh. Segera ia mengeluarkan sebilah belati dan mulai mengeruki kayu itu üntuk mendapatkan serbuk kayu yang halus.

Toan Ki, Bok Wan-jing dan lain-lain segera, membantunya, mereka keluarkan pisau yang dibawanya dan memotong dan mengerik kayu-kayu itu menjadi bubuk halus. Tapi dalam hati semua orang merasa kebat-kebit karena tidak tahu bila musuh akan menyerang. Maka semuanya tidak bicara, hanya memperhatikan setiap suaru di luar rumah.

Tidak lama kemudian, waktu Thian sik merasa serbuk kayu sudah terkumpul dua genggam banyaknya, segera ia mencakupnya menjadi satu, lalu diambilnya pula secuil kawul dan disusupkan di tengah serbuk kayu. Ia pegang golok sendiri dan pinjam pula golok Wan-jing, dengan merapatkan punggung kedua gaman itu la gesek sekeras-kerasnya sehingga meletikkan lelatu apí. Serbuk kayu itu terkena lelatu dan segera menyala, tapi lantas pudar lagi karena belum mengenai kawulnya.

Sesudah diulangi lagi oleh Thian-sik, akhirnya api dapat dinyalakan, Toan Kí berseru girang, segera ia menyuluh pelita minyak di atas meja itu

Kuatir pelita itu akan padam pula, Tan-sik menyalakan juga pelita yang terdapat di kamar dan dapur. Walaupun cahaya api tidak terlalu terang, namun demikian toh akhirnya mereka telah menyalekan api, seketika semangat mereka terbangkit seperti orang habis menang perang.

Di antara keenam orang itu, Pah Thian-sik, Cu Tan-sin dan Bok Wan-jing cukup luas pengalamannya, ilmu silat mereka pun tinggi, sebaliknya ketiga orang lainnya masih hijau, kalau musuh benar-benar menyerang secara besar-besaran tentu akan sukar melawan. Maka keenam orang hanya saling pandang saja dengan hati kebat-kebit untuk menunggu perkembangan selanjutnya.

Tapi yang terdengar hanya suara angin mendesir di luar diseling suara serangga yang ramai, selama itu tiada sesuatu pula yang aneh.

Waktu Toan Ki menoleh, tiba-tiba ia lihat kedua tiang rumah masing-màsing terukir tulisan dalam bentuk "Tui lian" (sajak timpalan) bunyinya kira-kira begini:

Air mengalir di sungai musim semi bunga kamelia ( - )

( - ) memenuhi langit di musim panas buah leci merah.

Jadi dalam setiap bait syair itu masing-masing juga lowong satu huruf sebagaimana telah di alami sebelumnya. Waktu Toan Ki mengamat-amati, ia lihat Tui-lian itu diukir dengan tenaga jari pada tiang kayu itu sehingga dalamnya sampai satu senti lebih.

Selagi Toan Ki hendak memeriksa lebih jauh, di sebelah sana Ciong Ling berseru, "Di sini juga ada tulisan!"

Ketika Toan Ki membacanya, ternyata pada sebuah papan di sebelah sana juga terukir dua baris huruf yang berbunyi:

Gaun hijau muka ( - ) seperti sudah kenal

Bulan ( - ) bunga kemelia mekar sepanjang jalan.

Dari tulisan yang mendekuk itu tertampak jelas juga terukir dengan jari seperti tulisan pada kedua tiang itu.

Waktu makan tadi cahaya pelita agak guram sehingga huruf-huruf itu tidak terlihat, sekarang sesudah empat pelita dinyalakan sekaligus barulah huruf-huruf yang terukir itu dapat dibaca.

"Sepanjang jalan aku sudah banyak mengìsi tulisan yang tidak lengkap itu, apakah perbuatanku ini akan mendatangkan kebaikan atau bencana juga tak perlu dipikir lagi, biarlah kita lihat apa yang hendak dilakukan oleh lawan," kata Toan Ki. Segera ia mengacungkan jarinya, maka terdengarlah suara "crat-crit" berulangulang, segera ia mengisi lalu huruf "putih" pada bait pertama di atas tiang tadi sehingga bunyinya menjadi "Air mengalir di sungai musim semi kamelia putih".

Menyusul bait kedua diisinya satu huruf "awan" sehingga bunyinya menjadi "Awan memenuhi langit di musim panas buah leci merah".

Maka lengkaplah sanjak itu sekarang.

Dasar tenaga dalam Toan Ki sekarang sudah sangat kuat, di mana jarinya tiba, di situ bubuk kayu lantas rontok bagai diserok. Keruan Ciong Ling sangat senang, ¡a bersorak memuji, "Wah, tahu begini lihai jarimu, tentu tadi kita tidak perlu susah-susah mencari serbuk kayu lagi."

Dalam pada itu tertampak Toan Ki telah mengisi pula huruf-huruf yang kurang pada syair di atas papan sana sehingga lengkapnya sekarang berbunyi.

Gaun hijaú muka cantik seperti sudah kenal. Bulan sembilan bunga Camelia mekar sepanjang jalan.

Sembari menulis mulut Toan Ki juga menyairkan sanjak yang romantis itu, berbareng ia pun melirik Giok-yan sehingga nona itu merah jengah dan berpaling ke arah lain.

"Kayu apakah yang dijadikan tiang dan papan rumah ini, sungguh harum sekali." ujar Ciong Ling.

Waktu semua orang mengendus, benar juga mereka merasa dekukan kayu bekas ukiran jari Toan Ki itu sayupsayup mengeluarkan bau harum semerbak seperti harum bunga melati dan seperti wàngi bunga mawar pula.

Anehnya makin lama bau wangi itu makin harum sehingga membikin semangat terbangkit dan perasaan segar.

"Celaka, bau wangi ini mungkin berbisa, lekas tutup hidung!" seru Tan-sin dengan kuatir.

Karena peringatan itu, segera semua orang mengeluarkan saputangan atau ujung baju untuk menutup hidung dan mulut. Tapi sudah tidak sedikit bau harum yang mereka sedot, kalau hawa berbisa seharusnya mereka merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang, namun sedikit pun mereka tidak merasakan sesuatu.

Selang sejenak, mereka tak bisa menahan napas lebih lama lagi, terpaksa membuka mulut sehingga bau wangi itu banyak terisap, namun masih tetap tiada sesuatu yang mencurigakan. Maka legalah mereka dan pelahan melepaskan tutup hidung.

"Kayu wangi ini benar-benar sukar dicari, biarlah kita membawanya pulang beberapa keping." ujar Ciong Ling.

Belum lenyap suaranya, tiba-tiba telinga semua orang seperti mendengar suara mendengung. Kembali Tan-sin terperanjat. katanya, "Celaka, racun mulai bekerja, telingaku sudah mulai mendengung!"

"Ya, telingaku juga!" sahut Thian-sik.

Tapi Boh Wan-jing lain pendapat, katanya, "Ini bukan telinga mendengung, tapi sepertì suara rombongan tawon dalam jumlah besar sedang terbang kemari.”

Benar juga, hanya sekejap saja suara mendengung itu makin lama makin keras seakan-akan ada beratus ribu ekor tawon sedang membanjir tiba.

Mendengar suara aneh itu, seketika wajah semua orang menampakkan semacam rasa yang susah dilukiskan. Mestinya tawon tidaklah menakutkan, tapi suara mendengung sehebat itu benar-benar selamanya tidak pernah terdengar, pula belum tahu dengan pasti apa benar lebah atau bukan.

Sesaat itu semua orang sampai termangu-mangu bingung. Dalam pada itu suara mendengung itu makin lama makin dekat dan makin keras serta mengerikan seakan-akan suara setan iblis yang hendak menyambar nyawa.

Dengan takut Ciong Ling memegangi lengan Bok Wan-jing. Giok-yan juga pegang tangan Toan Ki dengan

kencang, Hari keenam orang sama berdebar-debar.

Sebelumnya mereka pun sudah tahu bahwa di sekeliling situ tentu sudah bersembunyi musuh, tapi sama sekali tak menduga bahwa sebelum menyerang musuh bisa menyebarkan dulu suara yang menyeramkan itu.

Sekonyong-konyong terdengar suara "plok”, suara sesuatu benda kecil menumbuk papan rumah, menyusul terdengar pula "plak-plok" berulang yang sukar dihitung jumlahnya.

"Benar tawon!" teriak Ciong Ling dan Bok Wan-Jing berbareng.

Tiba-tiba terdengar pula suara ringkík kuda yang kesakitan sambil membeker dan berloncatan.

"Kuda kita diantup lawon!" seru Ciong Ling.

"Biar kupotong tali kandali agar kuda-kuda itu dapat menyelamatkan diri," ujar Tan-sin, "Bret" segera ia róbek baju sendiri untuk membungkus kepalanya.

Tapi baru saja ia membuka pintu, bagaikan angin lesus saja tahu-tahu kawanan tawon dalam jumlah beriburibu banyaknya terus menerjang kedalam rumah. Ciong Ling dan Giok-yan sama menjerit kaget, sedang Pah Thian-sik cepat menarik minggir Cu Tan-sin, berbareng daun pintu ia depak sehingga tertutup rapat lagi.

Namun begitu toh di didalam rumah sudah penuh dengan tawon. Dan begitu sudah masuk, terus saja kawanan lebah itu menyerang setiap orang yang berada di situ. Hanya dalam sekejap saja, baik kepala, tangan dan muka semua orang kena disengat belasan sampai puluhan kali.

Cepat Tan sin menggunakan kipasnya untuk memukul dan menyampuk sekuatnya, Begitu pula Toan Ki, Bok Wan-jing, Giok-yan dan Ciong Ling juga membunuh kawanan lebah itu dengan menahan rasa sakit.

Karena Thian-sik, Tan-sín, Toan Ki dan Bok Wan-jing membasmi dengan sepenuh tenaga , maka tidak lama kemudian kawanan tawon itu hanya tinggal beberapa puluh ekor saja.

Sungguh aneh juga, kawanan tawon itu tetap pantang mundur, bagai laron menyambar pelita saja mareka masih terus menerjang dan mengantup setiap orang yang dapat diserangnya. Dan baru sejenak kemudian kawanan tawon yang berhasil menyusup ke dalam rumah itu terbasmi habis.

Saking kesakitan diantup tawon Ciong Ling dan Giok-yan sampai menangis, Dalam pada itu suara tawon menubruk dindingpapan di luar rumah masih terus terdengar bagai tetesan air hujan riuhnya, entah betapa juta kawanan lebah itu sedang menerjang tiba.

Dengan melupakan rasa sakit melepuh karena antupan tawon tadi, cepat semua orang berusaha menyumbat lubang dan celah dinding yang mungkin disusupi kawanan tawon. Kemudian mereka hanya saling memandangi muka masing-masing yang benjol-benjol dan merah melepuh itu.

"Untung kita berada dalam rumah ini, kalau di tempat terbuka, wah, tentu binasa dikeroyok kawanan tawon sebanyak itu." kata Toan Ki.

"Kawanan tawon ini adalah alat serangan musuh, tentu mereka takkan berhenti begitu saja, bukan mustahil rumah papan ini akan di jebol mereka," ujar Wan-jing.

Besar juga, belum lenyap ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara "blang” yang sangat keras, sepotong batu besar jatuh di atap rumah, menyusul lantas terdengar pula suara gemuruh disertai berhembusnya debu pasir, dua potong batu besár jatuh ke bawah menembus atap rumah.

Pelita di dalam rumah seketìka padam, cepat Toan Ki merangkul Giok-yan kedalam pelukannya untuk melindungi kepala dan mukanya. Maka terdengarlah suara mendengung-dengung yang memekak telinga, semua orang tahu tidak mungkin membendung kawanan lebah sebannyak itu, terpaksa mereka hanya menggunakan lengan baju untuk menutupi mukanya sendiri.

Hanya sekejap saja tangan dan bagian tubuh lalu yang terbuka lantas kena tersengat, sakitnya tidak kepalang. Tidak lama kemudian, Saking tak tahan, robohlah semua orang tak sadarkan diri, pingsan.

Toan Ki pernah makan katak merah, mestinya kebal terhadap segala macam racun, tapi káwanan lebah ini adalah piaraan manusia, sengatnya bukan racun lebah biasa, tapi sesudah diantup sekian banyak lebah itu akhirnya ia pingsan juga. Cuma dia mempunyai tenaga dalam paling kuat, maka di antara keenam orang itu, dia pula yang pertama-tama siuman kembali.

Begitu sadar segera ia merasa Giok-yan tidak berada dalam pelukannya lagi. Sebaliknya dalam kegelapan ia merasa kedua kaki dan tangannya diringkus orang dengan tali, matanya juga tertutup oleh kain hitam bahkan mulut pun tersumbat sehingga bernapas saja susah, apalagi bìcara. Ia merasa tempat-tempat bekas diantup tawon itu masih sangat sakit, ia merasa dirinya duduk di atas tanah, tapi di mana dan sudah berepa lama sama sekali tak diketahuinya.

Tengah Toan Ki merasa bingung, tiba-tiba terdengar seorang wanita sedang berteriak dengan bengis, "Aku sudah banyak mengorbankan tenaga dan pikiran dan ingin menangkap anjing tua she Toan dari Tayli itu, mengapa yang tertangkap adalah anjing kecil ini!”

Toan Ki merasa suara itu sudah pernah dikenalnya, tapi tak teringat seketika siapa dia.

Dalam pada itu suara seorang wanita tua lagi menjawab, "Hamba telah menurut segala perintah siocia, sedikit pun tidak menyimpang."

"Hm, kuduga di dalam hai ini tentu ada sesuatu yang tak beres," kata suara wanita tadi.

"Anjing tua itu dari utara menuju ke selatan, mengapa dia mendadak membelok ketimur? Dan mengapa arak obatyang telah kita atur kepanjang jalän itu sampai diminum semua oleh anjing cilik itu?”

Toan Ki tahu apa yang dimaksudkan "anjing tua" itu tentu adalah ayahnya, Toan Cing-sun, dan "anjing cilik" yang dimaksud adalah dirinya. Dari suara percakapan mereka itu agaknya mereka berada diruangan sebelah.

Lalu terdengar si wanita tua menjawab pula, "Hamba sudah melaksanakan segala petunjuk Siocia, soal Toanongya mendadak membelok ke timur agaknya ada hubungannya dengan budak-budak she Cin dan she Wi itu."

"Ken ... kenapa kau panggil dia, Toan-ongya pula!" semprot si wanita tadi dengan gusar.

"Ya, dah ... dahulu Siocia menyuruh hambä memanggilnya Toan-kongcu, sekarang ... sekarang usianya sudah lanjut, maka .... "

"Diam, tidak boleh menyebutnya lagi" bentak si wanita tadi. Dan sejenak kemudian tiba-tiba ia menghela napas dan bergumam sendiri, "Ya, usia ... usianya sekarang memang sudah lanjut!"

Mendengar percakapan kedua wanita itu, seketika legahlah hatì Toan Ki Pikirnya, "Kukira siapa? Tak tahunya kembali adalah seorang bekas kekasih ayah pula. Dia mencari perkara kepada ayah tentu juga lantaran iri dan cemburu. Dia mengarahkan kawanan lebah untuk merobohkan kami, tujuannya tentu ingin menangkap ayah dan Cin-ih (bibi Cin) dan Wi ih (bibi Wi), tapi keliru tangkap kami yang menjadi korban. Jika demikian

agaknya ia pun takkan membikin susah kami. Tapi siapakah bibi ini? Aku seperti sudah kenal padanya?”

Sementara itu si wanita tadi berkata pula, "Menurut laporanmu, jadi tulisan yang tidak lengkap yang kita atur sepanjang jalan itu telah diisi semua dengan tepat oleh anjing cilik itu? Hm aku justru tidak percaya, masakah anjing cilik itu juga paham syair gubahan si anjing tua, masakah begitu kebetulan?”

"Syair yang dipahami bapaknya, kalau anaknya juga paham, hal itu juga tidak mengherankan," ujar si nenek.

"Aku justru tidak percaya perempuan hina-dina itu dapat melahirkan anak sepintar itu?" kata wanita tadi dengan gusar.

Mendengar ibunya dicerca, sungguh Toan Ki sangat gusar, segera ia bermaksud mendampratnya, tapi baru bibirnya bergerak segera ia ingat mulutnya sendiri tersumbat, sudah tentu tak bisa bicara.

Dalam pada itu si nenek lagi bicara, "Siocia, urusan sudah lalu sekian lamanya, buat apa engkau selalu memikirkannya? Apalagi yang bersalah padamu adalah Toan kongcu dan bukan putranya? Maka ... maka sukalah Siocia mengampuni anak muda itu saja. Rasanya penderitaannya kena antup Cui-jin-hong (tawon pembuat mabuk) yang kita terbangkan itu juga sudah cukup baginya."

"Kau minta aku mengampuni anak jadah she Toan itu?" teriak si wanita dengan suara tajam melengking, "Hm, kalau aku sudah mencencang dia barulah aku mengampuni dia."

Diam-diam Toan Ki membatin, "Yang bersalah padamu adalah ayahku dan bukan diriku, mengapa engkau sedemikian benci padaku? Kiranya kawanan lebah itu bernama Cui jing-hong. Entah cara bagaimana dia memelihara kawanan lebah itu sehingga dapat dikerahkan untuk mengantup kami? Siapakah gerangan wanita ini? Suaranya seperti sudah kukenal, tapi aku tidak ingat. Siapakah dia?"

Sedang Toan Ki mengingat-ingat kembali, tiba-tiba terdengar Suara seorang lelaki berseru, "Kohma (bibi), keponakan menyampaikan salam hormat!"

Suara lelakil itu membuat Toan Ki terkejut. Seketika pula tanda tanya yang berkecamuk dalam benaknya tadi terjawab semuanya.

Lelaki yang bersuara itu ternyata Buyung Hok adanya. Maka bibi yang dia panggil itu dengan sendirinya adalah Ong-hujin dari Man-to-san-ceng di Koh-soh atau Ibu Giok-yan atau calon ibu mertua sendiri. Pantas ia

merasa sudah kenal suaranya.

Seketika itu perasaan Toan berdebar-debar bagaikan belasan buah timba yang naik turun menímba air sumur. Pikirannya menjadi kacau dan adegan-adegan kejadian di Man-to san ceng dahulu lantas terbayang pula olehnya ..

Waktu itu Toan Ki dibawa lari oleh A Cu dan A Pik untuk menghindari kejaran Cumoti dan akhirnya. kesasar ke Mao-to-san-ceng, perkampungan tempat kediaman Giok-yan dengan ibunya, Ia menjadl heran melihat tempat itu melulu tertanam bunga kamelia dan tiada tumbuh bunga jenis lain.

Menurut peraturan Man-to-san-ceng yang aneh itu, setiap orang lelaki yang berani masuk ke situ, bila tertangkap tentu akan dìtabas kedua kakinya. Bahkan menurut nyonya Ong asal orang Tayli dan she Toan, maka orang itu pasti akan dikubur hidup-hidup seperti Cin Goan-cun yang bergelar "Nau-kang-Ong," dia bukan orang Tayli, hanya lantaran rumahnya dekat dengan Tayli dan dia telah dikubur hidup-hidup oleh Onghujin.

Toan Ki adalah orang Tayli dan she Toan, dia mestinya juga akan dikubur hidup-hidup oleh nyonya Ong cuma kemudian diketahuinya Toan Ki mahir merawat bunga kamelia maka nyonya Ong mengampuni jiwanya bahkan mengadakan perjamuan untuk pemuda itu.

Tapi lantaran di tengah perjamuan itu Toan Ki bercerita tentang sejenis bunga kamelia yang bernama "muka si cantik tercakar", bunga kamelia itu berwarna putih dan pada kelopak bunga itu ada garis-garis merah yang halus, karena itulah diibaratkan muka si cantik luka tercakar. Toan Ki mengatakan, apabila wanita cantik, maka tingkah lakunya seharusnya lemah-lembut dan berbudi halus tapi kalau muka si cantik sampai ada luka tercakar, hal itu menandakan si cantik saban-saban suka berkelahi dengan orang, maka wanita cantik demikian menjadi tidak dapat dikatakan cantik lagi.

Rupanya kata-kata itu telah menyinggung perasaan Ong-hujin, nyonya itu menjadi gusar dan mendamprat Toan Ki, ia menuduh pemuda itu sengaja hendak mengacau dan mengolok-oloknya. Apakah wanita cantik lantas tidak boleh belajar ilmu silat? Di mana letak kebaikannya wanita yang lemah-lembut dan pendiam? Demikian Ong-hüjin lantas menjebloskan Toan Ki ke dalam kamar tahanan, bahkan hampir-hampir saja jiwanya melayang.

Apa yang terjadi dahulu itu bagi Toan Ki hanya dirasakan perangai Ong hujin terlalu aneh dan luar biasa. Sekarang demi mendengar Buyung Hok memanggilnya "bibi", seketika teringatlah Toan Ki, kiranya suara yang sejak tadi terasa sudah dikenalnya itu Ong hujin adanya. Seketika ia menjadi paham pula duduknya perkara, "Ah, kiranya dia (nyonya Ong) juga bekas kekasih ayah, pantas dia sedemikian cinta pada bunga kamelia, sebaliknya begitu benci pada orang she Toan dari Tayli."

Begitulah, segala kejadian yang dahulu sukar dimengerti olehnya sekarang demi mengetahui letak persoalannya, maka jelaslah baginya. Nyata sebabnya Ong-hujin cinta pada bunga kamelia tentu disebabkan pada waktu dia bercinta-cintaan dengan ayahnya dahulu ada sangkut-pautnya dengan jenis bunga itu. Dan sebabnya dia begitu benci pada orang she Toan atau orang Tayli, bahkan tidak segan-segan menguburnya hidup-hidup, terang disebabkan ayahnya she Toan dan berasal dari Tayli yang telah menghianati cintanya, maka dia dendam sehingga setiap orang she Toan atau orang dari Tayli juga ikut dibencinya.

Malahan Toan Ki menyaksikan sendiri Ong-hujin menangkap seorang pemuda dan memberi ancaman agar pemuda itu segera pulang dan membunuh istrinya yang sah, lalu secara resmi mengawini kekasihnya dari perhubungan gelap di luar itu. Ketika pemuda itu tidak mau, segera Ong-hujin hendak membunuhnya sehingga akhirnya pemuda itu menurut dengan ketakutan.

Dari kejadian itu kelihatan bahwa di dalam hati kecil Ong-hujin juga terdapat harapan agar ayah membunuh istri resminya untuk kemudian menikah dengan dia.

Dan ketika tanpa sengaja Toan Ki menyinggung tentang orang wanita cantik bila suka berkelahi tentu akan menjadi tidak cantik, hal ini membuat Ong-hujin menjadi gusar. Maka dapat dibayangkan dahulu dia tentu juga sering bertengkar dengan ayah lantaran urusan pribadi itu.

Bagtulah banyak sekali hal-hal yang tadinya sukar dipahami sekarang menjadi jelas bagi Toan Ki. Namun begitu perasaan Toan Ki toh tidak merasa lega, sebaliknya perasaannya seakan-akan ditindih oleh sepotong batu yang semakin berat. Apa sebabnya, seketika ia pun tidak tahu. Pendek kata ia merasakan hubungan antara ibu Giok-yan dengan ayahnya dahulu membuatnya merasa tidak enak, di dalam lubuk hatinya mendadak timbul semacam firasat yang menakutkan ...

Dalam pada itu terdengar Ong-hujin sedang menjawab teguran Buyung Hok tadi. "Ah, kiranya Hiantit yang datang! Bagus, bukankah kamu sudah hampir naik tahta, sudah hampir menjadi maharaja Yan jaya?"

Nyata sekali nadanya mengandung sindiran tajam.

Tapi Buyung Hok menjawabnya, "Hal itu memang cita-cita yang ditinggalkan leluhur kita, Tit-ji sendiri tidak becus, sehingga selama ini hanya terlunta di kangouw tanpa sesuatu hasil, makanya sekarang mohon bantuan bibi agar ikut mengatasi keadaan demi pesan kakek dahulu yang bibi sendiri juga ikut mendengarnya."

"Bagus, jadi kau sengaja menggunakan nama kakek untuk memaksa aku?" sahut Ong-hujin dengan ejekan. "Padahal anak perempuan yang sudah menikah adalah mirip air telah digebyur keluar, masakah aku ada lagi sangkut-pautnya dengan soal menjadi raja yang diimpikan keluarga Buyung? Sebabnya aku melarang kau datang ke Man-to-san-ceng dan melarang Giok-yan bergaul denganmu justru karena aku kuatir terikat

hubungan kekeluargaan pula dengan pamili Buyung. Nah, di manakah Giok-yan, telah kau bawa dia ke mana?"

"Di manakah Giok-yan?" kata ini bagai bunyi halilintar yang menggelegar di telinga Toan Ki. Memang sejak tadi juga dia sedang menguatirkan nona itu.

Tadi waktu kawanan lebah mulai menyerang Giok-yan dirangkul oleh Toan Ki untuk mengaling-alingnya dari antupan tawon, tapi sekarang ke manakah nona itu? Kalau menurut nada pertanyaan Ong-hujin, agaknya dia benar-benar tidak tahu di mana beradanya Giok-yan.

Maka terdengar Buyung Hok sedang menjawab, "Ke mana perginya Piaumoai, dari mana kutahu? Dia selalu berada bersama dengan Toan-kongcu dari Tayli boleh jadi kedua orang itu sudah lama sembahyangi Allah dan menjadi suami-istri?”

"Hah? Kau ... kau omong apa!" bentak Ong-hujin dengan suara terpurtus-putus. Mendadak terdengar suara "blang” sekali, nyonya itu mengebrak meja, lalu katanya pula dengan gusar. '"Kenapa kamu tidak menjaga Piaumoaimu? Dia adalah seorang nona muda yang masih hijau, sekarang kau biarkan dia kelayapan di dunia kangouw dan sedikit pun tidak kau pikirkan keselamatannya?”

"Mengapa bibi marah-marah padaku?" sahut Buyung Hok. "Bukankah bibi kuatir aku memperistrikan Piaumoai, kuatir dia menjadi anggota keluarga Buyung yang mengimpikan menjadi Kaisar. Dan sekarang urusan menjadi baik, dia sudah menjadi istri Toan-kongcu dari Tayli kelak dia akan menjadi permaisuri kerajaan Tayli secara resmi bukankah itu suatu berita baik?"

Mendadak Ong-hujin menggebrak meja pula sambil membentak, "Omong kosong! Berita baik apa? Justru tidak boleh terjadi!"

Di kamar sebalah sejak tadi Toan Ki memang sudah kebat-kebit dan kuatir, demi mendengar ucapan Ong-hujin, "Justru tidak bolah terjadi!" keruan ia tambah cemas. Keluhnya diam-diam, "Celaka, sungguh celaka! Aku den Giok-yan benar-benar bernasib malang dan banyak aral melintang sekarang ibunya mengatakan pula "Justru tidak boleh terjadi .... "

Dalam pada itu tiba-tiba terdengar seorang berseru, "Bukan, bukan! Nona Ong dan Toan kongcu adalah suatu pasangan yang setimpal, perjodohan yang baik ini Hujin menganggapnya tidak boleh terjadi. Ini terang salah!"

"Sekali aku bilang tidak boleh jadi tetap tidak boleh jadi!" bentak Ong-hujin dengan gusar. "Pau Put-tong, kau berani membantah ucapanku, apa kamu ingin kuperintahkan orang untuk membunuh anak Perempuanmu?"

Biasanya Pau Put-tong adalah seorang yang tidak takut pada langit dan gentar pada bumi, ucapan siapa pun pasti akan dibantahnya. Tapi aneh juga, sekali dibentak oleh Ong-hujin, seketika ia cep-kelakep alias bungkam dan tak berani bersuara lagi.

Diam-diam Toan Ki berteriak di dalam hati. "Pau-samko, lekas kau bantah ucapan nyonya itu, lekas, tolonglah, lekas! Ucapan nyonya itu sama sekali 'bo-ceng-li', lekas kau debat dia. Hanyalah kau seorang ksatria yang berani mendebatnya berdasarkan kebenaran."

Tak tersangka sesudah ditunggu dan ditunggu lagi keadaan di sebelah terap sunyi saja, nyata Pau Put-tong tidak berani bicara lagi.

Hal ini bukan lantaran Pau Put-tong takut anak perempuannya akan dibunuh suruhan Ong-hujin, tapi karena turun temurun keluarga Pau sudah menjadi abdi pengiring keluarga Buyung yang setia dan patuh, sedangkan Ong-hujin masih terhitung majikannya, jika dia benar-benar marah, jika dia benar-benar marah, sudah tentu Pau Put-tong menjadi jeri.

Maka rasa gusar Ong hujin menjadi reda kerena Pau Put-tong tak berani membantahnya lagi, segera ia berkata kepada Buyung Hok, "Hiantit, kau datang mencari aku, adakah suatu permohonan pula? Tentu kamu sedang mengincar sesuatu milikku lagi?"

"Kohma, Tit-ji adalah sanak keluargamu yang terdekat, kalau Tit-ji merasa kangen padamu, masakah datang menyambangi engkau juga tidak boleh? Dan kalau datang apa pasti Tit-ji sedang mengincar sesuatu barangmu?" demikian sahut Buyung Hok dengan tertawa.

"Hehe. jadi kaupun pernah kangen pada bibimu ini? Bila sejak dulu kau kangen padaku, rasanya bibi pasti takkan hidup merana sebagai sekarang ini," ucap Ong-hujin dengan ketus.

Namun Buyung Hok menghadapinya dengan cengar-cengir, katanya, "Apa barangkali ada sesuatu yang tidak menyenangkan hati bibi, silakan bibi katakan saja pada Tit-ji, tanggung akan kubikin senang hati bibi".

"Fui," semprot Ong-hujin. "hanya beberapa tahun tidak bertemu kamu sudah pintar menjilat.”

"Mengapa bibi anggap menjilat?” sahut Buyung Hok. "Kalau perasaan orang lain mungkin Tit-ji sukar menjajakinya, tapi aku ini kan sanak bibi yang terdekat, urusan apa yang dipikirkan bibi. andaikan tidak dapat kuterka seluruhnya, paling sediklt juga dapat kuraba tujuh atau delapan bagian. Untuk membikin senang bibi, bukan àku sengaja membual, kukira tidaklah sukar bagiku.”

"O. ya? Jika begitu, boleh juga coba mengatakannya. Tapi awas, Jika sembarangan mengoceh, tentu akan kugampar mulutmu!"

Buyung Hok tidak menjawab lagi, mendadak ia menarik sesuatu dan berdendang, "Gaun hijau muka cantik seperti sudah kenal, bulan sembilan bunga kamelia mekar sepanjang Jalan!"

Ong-hujin terkejut. "Da ... dari mana kau tahu? Apakah su ..... sudah kau datangi rumah papan di lautan rumput itu?" tanyanya dengan suara terputus-putus.

Melihat bibinya sudah mulai termakan oleh ucapannya. Buyung Hok lantas "jual mahal", sahutnya kemudian, "Pendek kata bibi tidak perlu tanya dari mana kudapat tahu, cukup bibi katakan saja mau tidak bertemu dengan orang itu?”

”Ber ... bertemu dengan siapa?" kata Ong-hujin dengan suara terputus-putus dan lemah, nyata nadanya sudah berubah, tadi garang, sekarang sudah mengandung nada mohon tahu.

"Orang yang Tit-ji maksudkan adalah orang yang dikenang oleh bibi, aír mengalir di sungai musim semi bunga kamelia putih, awan memenuhi langit di musim panas buah leci merah!"

Ong-hujin tergetar, tanyanya dengan suara lemah, "Cara ... cara bagaimana aku dapat berjumpa dengan dia?"

"Bibi sudah berusaha dengan susah payah hendak menangkap orang itu, tak terduga perangkap yang bibi pasang tetap meleset dan dia dapat menghindarkan diri. Kupikir sebenarnya tidak susah untuk berjumpa dengan dia, untuk itu dia harus ditangkap, yang penting dia harus mau tunduk pada segala perintah bibi."

Ong-hujin menghela napas, katanya, "Aku sudah pasang perangkap sedemikian rapinya, toh masih dapat dihindarkan olehnya. Maka aku tak punya akal lain yang lebih sempurna lagi."

"Tit-ji tahu di mana orang itu berada, bilamana bibi percaya padaku, silakan menerangkan padaku tentang perangkap yang telah dipasang bibi, bias jadi dari situ Tit-ji akan dapat mengatur siasat yang diperlukan."

"Kita adalah orang sekeluarga masakah tidak percaya.” kata Ong-hujin.

"Perangkap yang kupasang sekali ini adalah lebah 'Cui-jin-hong' Telah kupelihara beberapa ratus sarang tawon, di perkampungan Man-to-san-ceng tiada tumbuh bunga lain kecuali kamelia, maka kawanan tawon tidak perlu mencari madu ke tempat lain.”

"Benar, maka kawanan tawon itu pun tidak suka pada bau harum lain kecuali bau harum, kamelia,” tukas Buyung Hok.

"Sungguh tidak sedikit jerih-payahku selama memelihara kawanan tawon itu," kata Ong-hujin. "Telah kucampur obat bius dalam madu yang biasa dimakan tawon-tawon itu dengan sedikit demi sedikit sehingga setiap orang yang kena disengat oleh tawon itu tentu akan jatuh pingsan selama belasan hari."

Toan Ki terkejut mendengar keterangan itu. ia pikir jangan-jangan dirinya sudah pingsan selama belasan hari seperti apa yang dikatakan itu?

Dalam pada itu terdengar Buyung Hok lagi berkata, "Tipu bibi sungguh sangat rapi dan susah diduga orang. Tapi cara bagaimana bibi dapat menyuruh kawanan tawon itu menyengat orang?”

"Untuk itu di dalam makanan orang yang menjadi sasaran harus dicampurkan sedikit obat khusus," tutur Ong hujin. "Meskì obat ini tak berwarna dan tak berbau, tapi rasanya agak pahit, maka tidak boleh diberikan dalam kadar yang banyak sekaligus. apalagi orang itu pun sangat cerdik, begitu pula pengirìng-peringiringnya, untuk meracuni mereka pasti tìdak mudah, maka terpaksa aku harus mengatur siasat, sepanjang jalan kusediakan daharan bagi mereka dan diam-dìam aku mencekoki mereka dengan obat yang tak berbisa !tu.”

Mendengar itu, baru sekarang Toan Ki paham duduknya perkara, jadi santapan yang telah dinikmatinya secara gratis sebagaì balas jasa dari tuan rumah yang tulisan dalam lukisan telah dilengkapinya itu adalah perangkap yang dipasang Ong-hujin rupanya orang-orang yang dipasang nyonya itu telah diberitahu asal ketemu orang yang dapat mengisi kekurangan tulisan di dalam lukisan itu, maka dialah Tin-lam-ong dari Tayli yang sedang diincar, lalu dalam daharan yang disediakan itu dicampuri obat bius.

Terdengar Ong-hujin lagi menyambung ceritanya, "Siapa tahu telah terjadi salah wesel, orang itu tidak menuju kejurusan sini, Sebaliknya putranya yang datang kemari. Rupanya setan cilik telah menghapalkan sanjak yang digubah bapaknya, tentu setan cilik ini pun seorang pemuda bangor. Sepanjang jalan setan cilik itu mengisi huruf-huruf yang kurang lengkap dalam lukisan dan dapat makan minum sepuas-puasnya secara gratis sehingga santapan bercampur obat yang kusediakan untuk bâpaknya telah dihabiskan olehnya, dan akhirnya sampailah di rumah papan di tengah lautan rumput itu. Pelita minyak di rumah itu pun sudah dicampur obat, di tengah tiang kayu rumah itu pun kumasuki obat, waktu setan cilik itu menggores papan kayu itu sehingga bau harüm obat-obatan yang tersembunyí di dalamnya terasa seketika kawanan tawon terpancíng tíba. Ai, siapa duga rencana yang kujalankan itu terlaksana dengan baik, tapi sasaran yang tiba ternyata keliru. Setan cilik ¡ni telah merusak rencanaku, Hm, kalau aku tidak mencencang día rasa mendongkolku tak terlampiaskan.”

Diam-diam Toan Ki merasa ngeri juga mendengar ucapan Ong-hujin yang penuh dendam dan benci itu. Diamdiâm ia harus mengakui betapa rapinya perangkap yang dipasang nyonya itu, Celakanya secara tidak sengaja dirinya yang menggantikan sang ayah dan masuk perangkap itu. Tapi ia pun merasa lega pula bila teringat dengan kejadian salah sasaran ini, maka ayahnya sekarang tentu dapat lolos dari ancaman bahaya.

Dalam pada itu terdengar Ong-hujin lagi berkata dengan suara marah, "Aku menyuruh budak ini menyamar sebagai tua bangka yang bisu dan tuli untuk mengatur perangkap di rumah papan itu, apalagi dia juga kenal orang itu, siapa tahu akhirnya terjadi juga salah sasaran seperti sekarang ini."

Lalu terdengar si wanita tua tadi membela dirl. "Siocia, seperti hamba sudah memberi laporan bahwa karena tidak melihat Toan-kongcu berada di antara kawanan pendatang itu, maka hamba telah menipu alat ketikan api mereka agar mereka tidak dapat menyalakan pelita minyak dan kawanan tawon itu takkan terpancing datang. Siapa tahu orang-orang itu terlalu cerdik, akhirnya mereka dapat juga menyalakan pelita minyak."

"Hm, pendek kata, memang kamu yang tidak becus," jengek Ong-hujin.

"Bibi, sesudah mengantup orang, apakah kawanan tawon itu tak bisa digunakan lagi?” Tanya Buyung Hok.

"Tawon yang telah menyengat orang itu tak lama kemudian akan matí," sahut nyonya Ong, "Tapi yang tawon yang kupelihara itu beratus-ratus ribu jumlahnya, kalau cuma mati beberapa ekor apa alangannya?"

"Bagus," seru Buyung Hok. "Jika begitu, sesudah yang muda, segera kita dapat menangkap pula yang tua. Titji pikir bila kita mengambil sesuatu benda milik bocah itu, lalu kita perlihatkan kepada ... kepada orang itu, maka tidak susah kiranya untuk memancing ke rumah papan di lautan rumput sana."

"Nah, keponakanku yang baik, betapapun otak orang muda memang lebih tajam," seru Ong-hujin dengan girang sambil berbangkit. "Bagus sekali usulmu ini, sebagai ayah yang baik bila dia tahu anaknya berada dalam cengkraman kita, tentu dia akan memburu kemari untuk menolongnya, takkala mana kita akan dapat menggunakan kawanan tawon lagi.”

"Ya, tatkala mana andaikan tanpa bantuan tawon juga tidak menjadi soal lagi, asal bibi menaruh sedikit obat bius dalam arak dan disuguhkan padanya, masakah dia takkan minum dengan gembirä?" demikian kata Buyung Hok.

Ong-hujin lantas terbayang pada adegan pertemuannya dengan Toan-Cing-sun dan akan menyuguhkan arak

nanti, seketika nyonya itu berseri-seri, rasanya menjadi lemas, katanya dengan penuh manisnya madu, "Ya benar, Kita pakai usulmu ini."

"Bibi, akal Tit-ji ini masih böleh juga, bukan?"

"Baiklah, kalau tidak terjadi apa-apa, tentu bibi akan membalas jasamu," sahüt Ong-hujin dengan tertawa senang "Sekarang langkah pertama kita harus menyelidiki dulu di mana beradanya orang yang tak punya perasaan itu."

"Sebenarnya Tit-jii sudah mendengar sedikit kabar, dalam urusan ini memang ada kesulitan besar,” ujar Buyung Hok.

"Ada kesulitan apa lagi?” tanya Ong-hujin dengan kening bekernyit, "cepat katakan, kamu memang suka 'jual mahal' ya?"

"Soalnya orang itu sekarang telah ditawan orang tertentu dan keselamatannya terancam?" tutur Buyung Hok.

"Brak”, karena kagetnya sebuah mangkuk teh tertampar oleh tangan Ong-hujin dan jatuh pecah berantakan.

Toan Ki juga terkejut mendengar berita itu, kalau mulutnya tidak tersumbat tentu ia pun menjerit kaget.

Terdengar Ong-hujin berkata dengan suara gemetar, "Sia ... siapa yang menawannya? Kenapa tidak kau katakan sejak tadi? Betapapun kita harus mencari akal untuk menolongnya."

"Susahnya ilmu silat lawan teramat tinggi dan Tit-ji sekali-kali bukan tandingannya," tutur Buyung Hok. "Maka kita hanya boleh melawannya dengan akal dan tidak boleh menandingi dia dengan kekerasan."

Ong-hujin menjadi sedikit lega demi mendengar ucapan Buyung Hok itu, segera ia Tanya pula, "Cara bagaimana melawannya dengan akal lekas katakan?"

"Kukira kawanan tawon bibi itu masih boleh digunakan sekali lagi,'" ujar Buyung Hok. "Asal, kita ganti beberapa tiang dan ubah tulisannya, umpama kita tulis nama raja Tayli pada atas tiang itu, maka musuh tentu akan gusar bila membacanya dan tentu akan menghapusnya, dengan begitu bau obat segera akan keluar dari dalam tiang kayu itu."

"Apa orang yang menawannya adalah orang yang bernama Toan Yan-khing yang sedang merebut tahta dengan dia itu?" tanya Ong-hujin.

Buyung Hok membenarkan.

"Hah, jadi ... jadi dia tertawan oleh Toan Yan-king," seru Ong-hujin dengan kuatir padahal Toan Yan-khing itu senantìasa ingin membinasakan dia, bisa jadi saat ini dia su ... sudah terbunuh olehnya."

"Bibi tidak perlu kuatir," ujar Buyung Hok dengan tertawa, "Dalam urusan mereka itu masih ada suatu persoalan besar yang harus bibi ketahui."

"Persoalan apa?" tanya Ong hujin dengan tak sabar.

"Raja Tayli sekarang adalah Toan Cing-bing," käta Buyung Hök "Dan kekasih bibi itu sudah lama diangkat sebagai pangeran mahkota secara resmi hal ini telah diketahui oleh rakyat seluruh negeri Tayli. Toan Cing bing terkenal sebagai seorang raja yang bijaksana. Tin lam ong yang akan menggantikan dia pun memperoleh nama baik di kalangan rakyat jelata, kalau Toan Yan khing membunuhnya begitu saja tentu akan mengakibatkan kekacauan kerajaan Tayli dan tahta yang diincar Tóan Yan khing menjadi takkan teguh dan akan gagal."

"Beralasan juga ucapanmu.” ujar Ong-hujin. Tapi dari mana kau tahu semuanya itu?"

"Sebagian kudengar dari orang lain, sebagian pula adalah menurut rekaanku," sahut Buyung Hok.

"Ya, selama hidupmu senantiasa ingin menjadi raja, maka dalam hal persoalan tahta yang dihadapi kerajaan Tayli sudah tentu kamu dapat merabanya dengan jelas."

"Ah, bibi terlalu memuji diriku," sahut Buyung Hok dengan tertawa. "Menurut dugaanku, sesudah Tin lam ong ditawan Toan Yan-khing, tidak nanti dia membunuhnya melaínkán akan berusaha membiarkan Tin- lam-ong naik tahta dulu, habis itu dengan akal lain Tin-lam-ong akan dipaksa menyerahkan tahta kepadanya secara resmi."

"Secara resmi bagaimana?" tanya Ong-hujin.

"Sebenarnya ayah Toan Yan-khing adalah raja Tayli, Cuma ketika terjadi kerusuhan dan tahtanya digulingkan oleh pembesar dorna, dalam keadaan kacau Toan Yan-khing lenyap entah ke mana. Sebab itulah Toan Cingbing dapat menjadi raja Tayli yang sekarang. Padahal putra mahkota yang tulen sebenarnya adalah Toan Yankhing yang terkenal sebagai Yan-khing Taícu. Kalau nanti Tin-lam-ong naik tahta, dia tídak punya keturunan, kalau Toan Yan-khing di angkat sebagai putra mahkota, hal ini boleh díkata sangat lumrah dan masuk diakal."

Ong-hujin merasa heran, tanyanya, "Bukankah jelas dia mempunyai seorang putra, mengapa kau bilang dia tidak punya keturunan?”

"Eh, mengapa bibi lupa, bukankah baru saja bibi menyatakan sendiri akan mencencang bocah she Toan ini? Setelah dicencang, masakah dia bisa hidup lagí?”

"Ya, benar! Bocah ini adalah anak jadah yang dilahirkan budak hina-dina itu, jika dibiarkan hidup hanya akan membikin marah saja padaku."

Tanya-jawab kedua orang itu dapat didengar oleh Toan Ki yang berada di ruangan sebelah. Pikirnya, "Wah, celaka! Sekali íni aku pasti akan mati konyol. Giok-yan entah berada di mana pula? Kalau día berada di sini, bila jadi Ong-hujin akan mengampuni jiwakü mengingat kebaikan putrinya padaku."

"Asal saat ini jiwanya tidak berbahaya maka legalah hatiku. Aku tidak ingin dia menjadi raja apapun segala, sebaliknya akan ku suruh dia ikut pulang ke Man-to-san-ceng saja," demikian Ong-hujin lagi berkata.

"Sesudah Tin-lam-ong menyerahkan tahtanya sudah tentu día akan ikut bibi ke Man-to-san-ceng, tatkala mana biarpun dia disurüh tínggal terus di Tayli juga dia tidak kerasan lagi. Cuma saja dia harus terus menjabatnya entah untuk setengah bulan atau sepuluh hari, pendek kata dia harus menjabat dulu untuk kemudian baru dia digulingkan, Kalau tidak, tentu Toan Yan-khing tak mau.”

Toan Yan-khing mau atau tidak peduli apa dengan aku?” Dengus Ong-hujin. "Kita tangkap saja dia sesudah Toan-kongcu diselamatkan lalu binasakan dia, masakah kita mau peduli dia mau apa tidak?”

"Tapi bibi lupa bahwa kita belum lagi dapat menangkap Toan Yan-khing,” kata Buyung Hok, untuk hal ini masih sangat jauh untuk dibicarakan.”

"Tapi di mana dia berada sekarang tentu kau tahu,” kata ong-hujin. "Keponakanku yang baik, bibimü cukup kenal watakmu. Dengan membantu urusanku ini sebenarnya balas jasa apa yang kau harapkan? Untuk itu

sebaiknya kita bicara di muka sacara blak-blakan saja."

"Kita adalah pamili sedarah-daging, untuk sedikit urusan bibi ini masakah Tit-ji berani mengharapkan sesuatu balas jasa?" ujar Buyung Hok. "Pendek kata Tit-ji akan bertindak sekuat tenaga bibi dan tidak mengharapkan sesuatu balas jasa apa-apa."

Ong-hujin tertegun sejenak sambil melirik pemuda itu. Ia kenal watak Buyung Hok mirip ayahnya yang cerdik dan licik, selamanya hanya mau untung dan tidak mau dirugikan, maka mustahil kalau sekarang pemuda ini akan membantunya dengan Cuma-cuma. Segera ia berkata, "Baiklah, jika kamu tidak mau bicara terus terang sekarang, kelak kalau kau minta sesuatu padaku, maka jangan kau menyesal aku tak bias memenuhi permintaanmu.”

"Sekali Tit-ji bilang tidak menginginkan balas jasa, maka pasti tidak.” Sahut Buyung Hok dengan tertawa. "Andaikan kelak urusan sudah selesai dan bibi merasa senang untuk memberi persen bebarapa ribu tahil emas atau menghadiahkan baberapa jilid kitab pusaka ilmu silat, untuk itu saja Tit-ji mungkin sudah merasa puas.”

Ong-hujin menjadi ragu menhadäpi síkap Buyung Hok ini, ia tidak tahu apa yang dirancang pemuda itu di balìk mulutnya yang manis itu? Tapi selantas berkata. "Baiklah coba uraikan cara bagaimana kita harus menangkap Toan Yan-khing dan cara bagaimana menolong si dia?"

"Langkah pertama bukankah kita harus memancing Toan Yan-khing datang kerümah papan di lautan rumput itu dengan membawa serta Tin-lam-ong?”

"Benar, dan dengan cara bagaimana dapat kau pancing Toan Yan-khing ke situ?"

"¡ni soal gampang," ujar Büyung Hok. "Toan Yan-khing ingin menjadi raja Tayli, untuk itu día harus melakukan dua hal Pertama menawan Toan Cing sun dan memaksanya memindahkan hak tahta kepadanya. Kedua, Toan Ki akan dibunuhnya agar Toan Cing-sun tidak punya keturunan. Dengan sesuatu benda milik Toan Ki dapat kita perlihatkan kepada Toan Cing sun dan día tentu ingin menolong putra kesayangannya, dengan demikian Toan Yan khing tentu juga akan ikut menyusul kemari. Maka bocah she Toan yang bibi tangkap sekarang iní tídaklah keliru dan besar manfaatnya untuk dipakai sebagal umpan."

"Ehm, boleh juga akalmu ini," kata Ong-hujin.

"Ya, bahkan Tit-jí akan berusaha sedapat mungkin untük melaksanakan perangkap kita ini supaya bibi akan lebih senang." sahut Buyung Hok dengan tertawa. "Eh, bibi, boleh kau süruh bawa keluar bocah she Toan itu."

"Dia belum sadar tersengat tawonku itu, paling sedikit harus tiga harí lagi baru dapat sadar." Kata Ong-hüjin. "Bocah itu berada di kamar sebelah, kalau tidak pingsan, tentu pembicaraan kita ini akan didengar olehnya, Sekarang aku ingin tanya sesuatu lagi padamu. Meski ... meski Tin Lam-ong itu orang tidak punya perasaan, tapi dia terhitung seorang gagah ksatria masakah Toan Yan-khing mampu memaksa dia menyerahkan tahtanya? Jangan-jangan Toan Yan-khing menggunakan kekurangan dan menyiksanya?”

Sampai di sini tertampak sekali betapa perhatiannya terhadap keselamatan Toan Cing sun.

Buyung Hok menghela napas, sahutnya, "Bibi, hal ini lebih baik jangan ditanyakan saja, kalau Tit-jii katakan terus terang tentu akan membikin bibi marah."

"Lekas katakan, lekas, perlu berlagak,” desak Ong-hujin.

"Sepertí kukatakan tadi bahwa orang she Toan itu tidak punya perasaan hal ini rupanya memang tidak salah," ujar Buyung Hok dengan gegerutun. "Padahal wanita cántik sebagai bibi biarpun dia sengaja mencarí ke seluruh pelosok dunía juga sukar didapatkan. Sungguh harus diakui, entah rejeki apa yang telah menimpa orang she Toan itu sehingga dia dapat memperoleh simpati bibi. Dan seharusnya dia nanti merasa puas dan setia kepada bibi, siapa tahu ... siapa tahu, di ... di dunia, ini ternyata ada manusia sebodoh dia itu, bidadari dia tidak mau, dia justru mencari bini betina dalam lumpur .... "

"Apa? Kau ... kau maksudkan dia ... dia main gila lagi dengan .... dengan wanita lain? Siapa perempuan itu?"

"Ah, perampuan hina-dina begitu masakah ada harganya untuk dísebut-sebüt? Biarpun dia dijadikan budak bibi juga tídak sesuai buat apa bibi mesti marah pada orang seperti ítu sehingga menurunkan harga diri bibi sendiri?”

Tapi Ong-hujin tambah gusar ia menggebrak meja sehingga gedubrukan suaranya, serunya dengan suara melengking, "Kurangajar! Dia .... dia meninggalkan aku dan pulang ke Tayli untuk menjadi pangeran, hal ini aku tidak menyesal, dia sudah punya istri aku pun tidak menyalakan dia, habis perkenalanku dengan dia terjadi sesudah dia menikah. Akan tetapi sekarang kau bilang dia .... dia main gila lagi dengan perempuan lain. Nah siapa, .. siapa perempuan itu, siapa? Lekas katakan?”

Mendengar Ong-hujin sedemikìan murkanya, mau-tak-mau Toan Kí merasa berdebar-debar juga. Sungguh tak terduga olehnya bahwa Giok-yan yang lemah-lembut dan halus budi itu ternyata mempunyai ibu yang begitu galak. Sungguh luar biasa pula bahwa ayah dapat berkasih-kasihan dengan nyonya lihai ini.

Jilid 83
Tapi lantas terpikir pula olehnya. "Namun semua bekas kekasih ayah memang mempunyai perangai yang aneh dan berbeda-beda. Cin Ang-bian punya putri (Bok Wan-jing) yang suka membunuh, sedang Wi Sing-tiok melahirkan putri nakal sebagai A Ci, maka dapat diduga sifat Wi Sing-tiok juga tak berbeda jauh dengan putrinya itu. Umpama ibu, dia tidak mau tinggal bersama dengan ayah dan sengaja hidup menjadi Nikoh di tempat terasing, sampai bujukan paman baginda tak dihiraukan olehnya, sebabnya mungkin adalah karena perbuatan ayah yang bangor, di mana-mana ada kekasih. Sungguh, urusan asmara adalah sesuatu yang sukar diselesaikan.”

Dalam pada itu terdengar Buyung Hok sedang berkata, "Sudahlah, buat apa bibi masih marah-marah? Silakan tenang dan mengaso, Biarlah Tit-ji menceritakan dengan perlahan."

"Tidak kau ceritakan juga aku dapat menerka.” sahut Ong-hujin. "Tentu Toan Yan-khing itu telah berhasil membekuk seseorang gendak manusia she Toan itu dan memaksa dia harus menyerahkan tahta padanya, kalau syarat ini tidak dipenuhi, maka perempuan hina itu akan dibunuh betul tidak? Hm, watak orang she Toan yang busuk itu masakah aku tidak kenal? Jika dipaksa, sekalipun lehernya diancam dengan golok juga tak mungkin dia mau menyerah. Akan tetapi bila perempuan yang dia sukai terancam sedikit saja, maka apa pun dia akan menurut. Hm, apalagi perempuan hina-dina itu sangat cantik? Dengan cara apa siluman itu dapat memikat manusia she Toan itu? Lekas katakan, siapa perempuan hina-dina itu?"

"Katakan sih boleh saja, Cuma bibi sendiri hendaknya jangan marah, sebab perempuan hina-dina itu tidak hanya seorang saja.”

"Hah, tidak hanya seorang, apakah ada dua orang?" teriak Ong-hujin dengan murka sambil mengebrak meja.

Buyung Hok menggeleng-geleng kepala sambil menghela napas, sahutnya kemudian, "Ya, bahkän tidak cuma dua orang saja!”

"Hah? Lebih dari dua malah?” teriak Ong-hujin semakin gusar. "Jadi' dalam perjalanan juga dia main gila dengan perempuan sebanyak itu, satu tídak cukup, bahkan ada lagi yang kedüa dan ketiga?”

"Bahkan lebih dari tiga,” sahut Buyung Hok dengan geleng-geleng kepala. "saat itu seluruhnya ada empat orang perempuan yang mendampingi dia. Tapi buat apa bibi mesti marah? Nanti bila dia sudah naik tahta, soal istri muda atau selir toh sudah jamak baginya. Biarpun kerajaan Tayli tidak sebesar Song atau Lian, dalam istananya andaikan tiada 3000 selir cantik, 300 rasanya tentu ada.”

"Cis! Sebab itulah aku keberatan kalau dia menjadi raja, tiada seorang raja di dunia ini manusia baik-baik.” teriak Ong-hujin. "Nah, lekas katakan, siapakah keempat perempuan yang mendampingi dia itu?”

Toan Ki juga terheran-heran mendengar keterangan Buyung Hok itu, ia hanya tahu ayahnya didampingi Cin Ang-bian dan Wi Sing-tiok berdua mengapa mendadak bisa bertambah dengan dua wanita lain lagi?

Dalam pada itu terdengar Buyung Hok sedang menjawab, "Keempat perempuan itu seorang she Cin, seorang lagi she Wi dan ... "

"Hm, jadi kedua ekor siluman rase itu mengoda dia lagi," jengek Ong-hujin.

"Dan seorang lagi adalah wanita yang sudah bersuami, kudengar mereka menyebutnya sebagai Ciong hujin, agaknya nyonya itu sedang mencari-cari seorang putrinya,” demikian tutur Buyung Hok. "Tampaknya Cionghujin itu cukup sopan, sedikitpun dia tidak memberi hati kepada Tin-lam-ong, sebaliknya Tin-lam-ong juga menghadapinya dengan menurut aturan."

"Huh, pura-pura, main sandiwara belaka,” jengek Ong-hujin, "Jika betul sopan, seharusnya dia meninggalkan dia, kenapa sekarang dia bersáma dia? Lalu siapa lagi perempuan yang keempat?”

"Yang keempat itu bukanlah wanita hina," ujar Buyung Hok, "Dia adalah istri kawin sah Tin-lam-ong sendiri."

Serentak Toan Ki dan Ong-hujin sama-sama terkejut. Yang seorang heran mengapa ibunya mendadak juga datang, sedang yang lain tidak menduga kalau Tin lam-ong bisa membawa serta istrinya dalam perjalanan itu?

"Apakah bibi merasa heran?" Tanya Buyung Hok dengan tertawa. "Padahal kalau bibi mau berpikir secara mendalam, tentu sedikitpun tidak terasa heran. Maklum, sudah lebih setahun Tin-lam-ong meninggalkan Tayli, sedangkan di Tionggoan terkenal banyak wanita yang cantik-cantik, ada wanita secantik bidadari sebagai bibi, ada lagi wanita genit sebagai Wi Sing-tiok, sudah tentu permaisuri Tin-lam-ong merasa kuatir dan cepat-cepat menyusul suaminya."

"Cis, masakah kau jajarkan diriku dengan kawanan perempuan hina-dina itu?" semprot Ong-hujin. "Dan bagaimana dengan keempat perempuan itu apa sekarang masih menggerombol menjadi sate?”

"Jangan kuatir bibi,” ujar Buyung Hok dengan tertawa. "Ketika sampai di Siang líong-tíok, di situlah Tin-lam-

ong kalah habis-habisan, sekaligus mereka kena diciduk oleh Toan Yan-khing. Seluruhnya, baik lelaki mau pun wanitanya, semua kena ditutuk dan tertawan. Waktu itu Toan Yan-khing sedang mencurahkan perhatiannya untuk menghadapi rombongan Tin-lam-ong sehingga sama sekali tidak mengira kejadian itu dapat kusaksikan dengan baik. Cepat saja Tit-ji kaburkan kudaku dan mendahului mereka, kutaksir sedikitnya telah kutinggalkan mereka sejauh 200 li jauhnya, mungkin dua hari lagi baru mereka akan sampai di sini. Nah, bibi, urusan tidak boleh ayal lagi, kita harus lekas mengatur kawanan tawon dan obat bius itu, berbareng kita mengirim orang pergi memancing Toan Yan-khing ke sini .... "

Belum habis ucapannya, tiba-tiba dari jauh terdengar kumandang suara seorang yang tajam melengking, "Sudah sejak tadi aku datang kemari, maka tidak perlu kau pancing lagi, hanya kawanan tawon dan obat bius itu perlu lekas kalian mengaturnya."

Dari lengking suara itu dapat ditaksir orangnya tentu masih beberapa ratus meter jaühnya di sana, tapi bagi pendengaran Ong-hujin dan Buyung Hok suara itu terasa berada di tepi telinga mereka. Air muka kedua orang berubah seketika. Dalam pada itu di luar lantas terdengar suara bentakan Pau Put-tong dan Hong Po-ok yang sedang menerjang ke arah suara tadi.

"Awas. kepandaian orang ini sangat hebat. Jangan memandang enteng!" serta Buyung Hok sambil memburu keluar pintu.

Di bawah cahaya bulan tertampak bayangan hijau berkelebat, menyusul sesosok bayangan kelabu dan sesosok bayangan kuning telah menerjang maju, Itulah Ting Pek-jwan dan Kongya Kian yang ikut mengerebut dari kanan dan kiri.

Bayangan hijau itu memang betul adalah Toan Yan-khing, dengan tongkat kiri menyanggah tanah, segera tongkat kanan digunakan menutuk Ting Pek-jwan dan Kongya Kian, hanya dalam sekejap saja ia sudah melancarkan tujuh atau delapan kali serangan mematikan. Sekuatnya Pek-jwan masih dapat bertahan, tapi Kongya Kian tidak sanggup melawan sehingga terdesak mundur beberapa langkah. Dalam jeda itu Pau Puttong dan Hong Po-ok yang mendahului menerjang tadi juga telah putar balik, Toan Yan-khing lantas terkepung di tengah.

Tapi dengan satu lawan empat kelihatan Toan Yan-khing masih lebih unggul. Buyung Hok tahu orang itu sangat tangguh, cepat ia berbisik kepada Ong-hujin, "Bibi, tolong pinjam dulu pedangmu."

Segera Ong hujin melolos pedangnya dan berpesan, "Hati-hatilah!"

Semangat Buyung Hok terbangkit karena memegang senjata itu, Ia tahu pedang itu adalah pedang mestika yang dapat memotong besi bagai memotong sayur. Sekali bergerak, pedang menyambar, segera ia melompat maju dan menusuk ke arah Toan Yan-khing.

Yan-khing tak berani mengadu tongkatnya dengan pedang lawan, tubuhnya menggeser cepat ke sana-sini dan berulang melancarkan serangan berbahaya. Dia dikeroyok lima, Buyung Hok adalah tokoh kelas wahid pula, tapi sungguh aneh, sama sekali ia tidak bertahan atas serangan lawan, sebaliknya tongkatnya berputar dengan cepat dan selalu mendahului menyerang malah sehingga terpaksa Buyung Hok harus menarik kembali senjatanya untuk menangkis dan dengan sendirinya tak sampai melancatkan serangan balasan lagi.

Ilmu silat Ong-hujin tidak terlalu tinggi, hanya pengalamannya banyak dan pengetahuannya luas, pengetahuan ilmu silatnya (secara teori) bahkan lebih tinggi daripada putrinya, yaitu Giok-yan, Sekarang dilihatnya kungfu yang digunakan Toan Yan-khing ini adalah kapandaian dari keluarga Toan dari Tayli ia menjadi kuatir dan risau pula hatinya.

Hendaklah maklum bahwa dahulu waktu Ong-hujin sedang berpacaran dengan Toan Cing-sun selain mereka telah berjanji setia, dengan sendirinya mereka pun bertukar pikiran tentang ilmu silat dan Toan Cing-sun pernah mempertunjukkan it-yang ci dan kepandaian keluarga Toan yang lain.

Sekarang dilihatnya Ilmu silat keluarga Toan itu dimainkan oleh Toan Yan-khing secara hebat, gerakannya mirip dengan kekasihnya dahulu, tidak salah kalau Ong-hujin menjadi risau terkenang pada masa lalu.

Tiba-tiba teringat olehnya Toan Cing sun telah ditawan orang ini, mungkin bekas kekasih itu pun berada di sekitar sini. Sekarang orang jahat itu sedang dikerubut Buyung Hok dan kawan-kawannya, mengapa kesempatan ini tak kugunakan untuk menolong Toan-long?

Demikianlah diam-diam Ong-hujin lantas hendak keluar dan mencari ke sekitar sana. Tapi baru saja melangkah, sekonyong-konyong terdengar Hong Po-ok menjerit, di tengah kalangan pertempuran sudah berubah. Hong Po-ok kelihatan mengeletak di tanah, tongkat kiri Toan Yan-khing selalu menyambar kian kemari pada badan lawan dalam jarak belasan senti, tapi serangan yang mematikan tidak lantas dilancarkan. Sedang Buyung Hok, Ting Pek-jwan dan lain-lain telah menghujami serangan pada Toan Yan-khing, namun semuanya kena ditangkis oleh tongkat kanan Yan-khing.

Keadaan begitu jelas menunjukkan bahwa Toan Yan Khing sebenarnya dapat mencabut nyawa Hong Po-ok dengan gampang, Cuma saja untuk sementara dia belum mau turun tangan jahat.

Rupanya lantaran itu Buyung Hok mendadak melompat mundur dan berteriak, "Berhenti dulu!”

Maka cepat Ting Pak-jwan, kongya Kian dan PAu Put-tong juga lantas melompat mundur.

"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Toan Siangsing,” kata Buyung Hok. "Memangnya kita tiada permusuhan apa-apa, sejak kini orang Buyung dari Koh-soh mengaku kalah padamu.”

Belum lagi Yan-khing menjawab, sekonyong-konyong Hong Po-ok berteriak, "Kongcuya, orang she Hong tidak becus, apa artinya selembar jiwaku ini, hendaklah Kongcuya jangan sekali-kali mengaku kalah hanya lantaran diriku!"

Yan-khing tertawa, kerongkongannya mengeluarkan suara "Krok-krok” bagai ayam keselek, katanya, "Orang she Hong sungguh seorang ksatria tulen.”

Berbareng ia tarik kembali tongkatnya yang mengancam di atas badan Hong Po-ok yang masìh menggeletak di tanah itu.

Mendadak Po-ok melompat bangun, sinar golok berkelebat, kontan ia membacok pula ke atas kepala Toan Yan-khing sambil berteriak, "Rasakan pula golokku ini!"

Ketika Toan Yan-khing mengangkat tongkatnya ke atas, seketika Po-ok merasa tangannya seperti tergetar oleh sesuatu tenaga maha dahsyat dan tak tertahan lagi. goloknya terlepas dari cekalan menyusul pinggangnya, juga kesakitan, tiba-tiba tongkat lawan sudah menyabet pinggangnya, kontan tubuhnya terlempar.

"Kungfu Toan-sìansing sungguh maha sakti, sungguh aku sangat kagum." demikian kata Buyung Hok. "Marilah dari lawan kita menjadi kawan, bagaimana kalau aku mengikat persahabatan dengan Toan-siansing?"

"Baru saja kamu sedang bicara tentang mengatur kawanan tawon dan hendak membikin celaka padaku, sekarang kalian tak sanggup melawan aku, lantas kamu hendak main tipu muslihat apa?" jawab Toan Yankhing.

"Soalnya bila kita berdua bergabung akan berguna, kalau bermusuhan tentu akan sama-sama celaka,” ujar Buyung Hok. "Yan-khing Thaicu, engkau adalah ahliwaris yang sebenarnya dari kerajaan Tayli. tahtamu telah dirampas orang, mengapa engkau tidak mencari akal untuk merebutnya kembali?”

"Itu adalah urusanku sendiri, apa sangkut pautnya denganmu?" sahut Yan-khing dengan melirik hina.

"Jika engkau ingin naik tahta untuk menjadi raja Tayli, engkau perlu mendapat bantuanku." ujar Buyung Hok.

"Huh, aku justru tidak percaya kamu akan membantu diriku. Bisa jadi kau ingin sekali tebas membinasakan aku."

"Tidak, aku ingin membantumu menduduki kembali tahtamu adalah karena kepentinganku pula," ujar Buyung Hok. "Pertama, aku sangat benci pada bocah bernama Toan Ki itu, dia telah membikin malu padaku di Siau-sitsan sehingga hampir aku bunuh diri, nama keluarga Buyung kami telah dijatuhkan olehnya, sebab itulah aku ingin membantumu merebut kembali tahtamu sekedar melampiaskan dendamku padanya. Kedua, sesudah engkau menjadi raja Tayli, aku pun ada urusan lain yang mengharapkan bantuanmu!"

Walaupun Toan Yan-khing tahu Buyung Hok sangat licin dan banyak akal, tentu tiada maksud baik terhadapnya. Tapi demi mendengar uraian Buyung Hok itu, mau-tak-mau ia menjadi tertarik. Ketika di Siau-sit san tempo hari Yan-khing sendiri menyaksikan Buyung Hok dikalahkan Toan Ki dan hampir-hampir saja membunuh diri. Bila teringat kepada kelihaian Toan Ki itu diam-diam ia pun merasa bukan tandingan Lakmeh-sin-kiam yang dimiliki Toan Ki itu. walaupun sekarang Toan Cing-sun sudah tertawan olehnya, tapi ia pun tidak yakin semua itu akan dapat digertak dengan ancaman atas jiwa ayahnya.

Karena itulah ia lantas bertanya, "Tapi kamu kan tak dapat melawan si Toan Ki, lantas dengan cara bägaimana kamu dapat mengatasi dia?"

Maka buyung Hok menjadi merah jengah, sahutnya kemudian. "Kalau tak bisa melawan dengan kekerasan harus dihadapi dengan akal. Pendek kata soal Toan Ki itu akulah yang bertanggung Jawab untuk menangkapnya dan diserahkan kepadamu dan boleh ditindak sehendakmu."

Yan-khing menjadi girang. Memang yang masih dikuatirkan olehnya adalah kepandaian Toan Ki yang sakti itu, kalau sekarang Buyung Hok menyatakan sanggup menangkapnya, hal ini berarti akan berkurang suatu ancaman baginya. Tapi segera terpikir olehnya jangan-Jangan Buyung Hok cuma omong besar saja dan sengaja hendak menipunya, untuk ini perlu waspada, Maka katanya pula, "Kamu menyatakan sanggup menangkap Toan Ki, siapa tahu kamu tidak omong kosong belaka, yang penting harus buktikan lebih dulu."

Buyung Hok tersenyum, sahutnya, "Ong-hujin ini adalah bibiku, saat ini si bocah Toan Ki sudah tertawan oleh bibi, maka belíau justru lägi merencanakan untuk menukar bocah itu dengan orang tawananmu. Inilah sebenarnya maksud tujuan kami hendak memancing kedatanganmu ke sini.”

Dalam pada itu Ong-hujin telah menyingkir belasan meter dari tempat bicara kedua orang itu, Ía sedang celingukan kian kemari untuk mencari Toan Cing Sun. Ketika lamat-lamat mendengar pembicaraan Buyung Hok itu, cepat ia putar balik.

Segera Toan Yan-Khing membungkuk tubuh sebagai hormat, katanya dengan suara dalam kerongkongan,

"Terimalah hormatku ini. Entah siapakah gerangan yang Ong-hujin ingin tukar?"

Air muka Ong-hujin menjadi merah. Siang malam yang selalu terkenang olehnya adalah Toan Cing-sun seorang, tapi sebagai seorang janda sudah tentu tidak pantas dia mengutarakan perasaannya itu kepada orang luar. Sebab itulah ia menjadi gelagapan dan tak bisa menjawab.

"Toan Cing sun, ayah si bocah Toan Ki itu dahulu pernah menyakiti hati bibiku, permusuhan mereka boleh dikatakan sedalam lautan," tutur Buyung Hok. "Sebab itulah bibi ingin janjimu, kelak bila sudah kau terima kembali tahta kerajaan Tayli, segera harus kau serahkan Toan Cing-sun itu kepada bibi, dan untuk selanjutnya apakah Toan Cing-sun itu akan dibunuh atau dibakar biar terserah pada bibi."

Toan Yan-khing mengakak-tawa, pikirnya, "Sesudah Toan Cing-sun menyerahkan tahta padaku, memangnya segera akan kuhukum mati dia, jika kau mau mewakilkan aku membinasakan dia, sudah tentu kebetulan bagiku."

Tapi ia pun cukup cerdik, ia merasa urusan ini jadinya terlalu mudah, jangän-jangan di dalamnya tersembünyi tipu muslihat lain. Segera ia tanya pula, "Buyung-kongcu, kau biläng akan minta bantuanku bila aku sudah naik tahta, Untuk itu aku sendiri tidak tahu apakah mampu membantu atau tidak,maka lebih baik sekarang juga kita bicara di muka supaya kelak tidak menyesal jika aku tak dapat memberi bantuan."

Buyung Hok tertawa, sahutnya, "Dengan ucapan Toan-siansing ini, sekarang aku menjadi lebih percaya lagi padamu. Karena kita harus tetapkan jual-beli ini. maka urutan pribadi ini jadi tidak perlu kututupi lagi. Harap maklum bahwa keluarga Buyung kami adalah keturunan raja Yan masa dahulu, turun temurun leluhur kami telah meninggalkan pesan agar berusaha memulihkan kembali kerajaan Yan yang Jaya. Tapi kekuatanku sendiri terlalu lemah dan susah mengsukseskan pesan leluhur itu. Maka bila nanti Pangeran sudah naik tahta menjadi raja Tayli, ingin kumohon bantuan kerajaan Tayli sebagai modal pembangunan kembali kerajaan Yan."

Bahwasanya Buyung Hok adalah keturunan raja Yan, hal ini dìam-diam sudah menimbulkan curiga Toan Yankhing ketika menyaksikan Buyung Bok mencegah Buyung Hok bunuh diri di Siau-sit-san tempo harì. Sekarang rahasia besar pribadinya diceritakan sendiri pula oleh Buyung Hok, hal ini menandakan maksud tujuannya benar-benar sangat tulus. Maka pikir Yan khing, "Dia ingin membangun kembali kerajaan Yan, untuk itu dia tentu sekaligus akan bermusuhan dengan kerajaan Song dan Liau yang besar, padahal kerajaan Tayli kami sangat kecil dan lemah, untuk menjaga diri saja tidak kuat, apalagi memusuhi negara-negara besar tersebut. Pula aku belum mendapat dukungan rakyat seluruhnya bila naik tahta, mana boleh aku menjangkitkan peperangan pula. Ya, biarlah sekarang aku pura-pura menyanggupi dia, kelak jika ada kesempatan yang baik akan kubunuhnya saja."

Dengan pikiran demikian, lalu sahutnya, "Negeri Tayli sangat kecil dan miskin, bantuan yang dapat diberikan rasanya tidaklah seberapa. Semoga kelak usahamu akan berhasil dan kerajaan Tayli dan kerajaan Yan akan selalu terikat menjadi negeri saudara atau negara keluarga.”

Segera Buyung Hok memberi sambah hormat. "Jika Buyung HoK dapat membangun kembali kerajaan leluhur, maka turun temurun kerajaan Yan akan menjadi negeri di bawah perlindungan kerajaan Tayli dan sekali-kali takkan lupa kepada budi kebaikan Sri Baginda."

Girang Toan Yan-khing tak terkatakan mendengar dirinya disebut sebagai "Sri Baginda", Apalagi nada Buyung Hok itu diucapkan dengan penuh haru dan terima kasih, cepat ia membangunkan dan berkata, "Buyung-kongcu tidak perlu banyak adat. Sekarang si bocah Toan Ki itu entah berada di mana?"

"Dan di mana Toan Cing-sun itu?” demikian Ong-hujin menyela sebelum Buyung Hok menjawab.

"Harap Sri Baginda sudi mengaso dulu di tempat kediaman bibi tentang Toan Ki itu dengan segera tentu akan diserahkan," ujar Buyung Hok.

"Baiklah jika begitu," kata Yan khing dan mendadak dari perutnya mengeluarkan suara suitan tajam melengking.

Ong-hujin sampai kaget. Tapi lantas terdengar dari jauh ada suara derapan kuda lari dan gemertak roda yang riuh, satu iring-iringan kereta-kereta keledai sedang mendatangi. Sejenak kemudian dapatlah terlihat dengan jelas iring-iringan itu terdiri dua penunggang kuda yang mengawal dua kereta keledai besar.

Sesudah dekat, dengan serta-marta Ong-hujin memburu maju, ia menyelinap lewat di sebelah kedua penunggang kuda itu dan segera hendak menyingkap tirai kereta untuk memeriksa isi kereta itu.

Tapi mendadak di depannya mengadang seorang yang bermulut besar dan bermata kecil, kupingnya lebar kepala gundul. Orang aneh ini membentak, "Kau mau apa?”

Ong-hujin terkejut dan cepat melompat mundur. Baru sekarang dia dapat melihat jelas si muka buruk itu berpaju pendek warna kuning tua, tangan memegang cambuk, agaknya dia si kusir kereta.

Tiba-tiba Yan-khing berseru, "Samte, ini Ong-hujin, mari kita mengaso dulu di tempat kediamannya, para tamu dalam kereta itu pun dibawa sekalian!”

Kiranya kusir itu adalah Lam-hai-gok-sin.

Waktu tirai kereta terbuka, maka turunlah seorang penumpang dengan langkah sempoyongan. Seketika perasaan Ong-hujin menjadi pedih, air mata berlinang-linang. Ia lihat penumpang kereta yang turun itu bermuka pucat, rambut di kedua pelipisnya agak ubanan, siapa lagi dia kalau bukan Toan Cíng-sun, kekasih yang dirindukannya siang dan malam selama ini?

Watak Ong-hujin memang tidak sabaran, sebenarnya ia tak bisa menunggu lagi dan segera memburu maju dan menyapa. "Toan .. Toan ... baik-baikkah kau?”

Ketika mendengar suaranya. Toan Cing-sun terkejut, waktu dia menoleh dan melihat Ong-hujin serentak air mukanya berubah pucat.

Kiranya Toan Cing-sun adalah orang berdosa, di mana-mana ia banyak utang asmara karena kelakuannya yang bangor itu. Dan di antara "kreditor" sebanyak itu hanya Ong-hujin yang paling dia takuti. Kalau Cin Ang-bian, Wi Sing-tiok dan lain-lain paling-paling cuma aleman saja dan minta selalu didampingi Cing-sun, dan puaslah sudah. Tetapi Ong hujin ini justru selalu mendesak Cing-sun membunuh istrinya yang sah untuk kemudian mengawini dia. Sudah tentu permintaan demikian tak mungkin dilakukan oleh Cing-sun.

Dengan sendírinya percekcokan itu lantas meruncing, terpaksa Cing-sun ambil langkah seribu alias kabur tanpa pamit. Sungguh tak terduga olehnya bahwa dalam keadaan runyam menjadi tawanan seperti sekarang ini justru kepergok lagi dengan bekas kekasih yang disegani ítu.

Walaupun Cing-sun suka main cinta dan tidak murni mencintai setiap kekasihnya, tapi selalu ia menghadapi setiap kekasíh itu dengan hati tulüs. Maka begitu melihat Ong-hujin, sekilas ia terperanjat dan segera ia pun memikirkan dulu kepentingan Ong-hujin, cepat ia berseru, "A Mong, lekas lari, tua bangka berjubah hijaü adalah seorang maha durjana, jangan sampai kaupun tertangkap olehnya!”

Sebareng itu ia terus mengadang di tengah antara Ong-hujin dan Toan Yan-khing sambil mendesak lagi, "Lekas lari, lekas A Mong!"

Padahal Cing sun sendiri sudah tertutuk oleh Toan Yan-khing, untuk berjalan saja sukar, dari mana dia mampu membela keselamatan Ong Hujin.

Namun sekali ia memanggil "A Mong”, yaitu nama kecil Ong-Hujin, hal ini menandakan betapa perhatiaanya kepada bekas kekasih itu dan nadanya juga benar-benar timbul dari hatinya yang tulus, maka buyarlah seketika rasa dendam dan benci yang dikandung Ong hujin tadi, hanya saja di hadapán Toan Yan khing dan Buyung Hok betapapun ia tidak enak memperlihatkan perasaannya, maka ia hanya mendengus saja dan menjawab, "Huh, keselamatamu sendiri tak terjamin, tidak perlu gubris utusan orang lain. Dia maha durjana, memangnya

kausendiri maha budiman?"

Habis ini ia lantas berpaling kepada Yan-khing dan berkata, "Silakan masuk ke dalam rumah, Pangeran!”

Melihat sikap Cing-sun terhadap Ong-hüjin, diam-diam Yan-khing menduga musuh itu pasti lebih besar cinta daripada bencinya terhadap nyonya itu. sebaliknya biarpun Ong-hujin ade sesuatu dendam terhadap Cing-sun rasanya juga lebih banyak cintanya daripada rasa permusuhannya. Pikirnya, "Terang hubungan kedua orang ini sangat luar biasa. sekali-kali aku tak boleh masuk perangkap mereka."

Tapi dasar kepandaiannya tinggi dan nyalinya besar, walaupun dalam hati merasa was-was, namun sedikit pun ia tidak gentar, dengan angkuh ia lantas masuk ke dalam rumah.

Tempat itu adalah suatu perkampungan yang segaja diatur oleh Ong-hujin untuk menawan Toan Cing-sun, dalam pekarangan rumah penuh tertanam bunga kamelia, di bawah sinar bulan remang-remang tertampak keadaan di situ terawat sangat bersih dan indah.

Melihat cara mengatur tanaman bunga Kamelia itu tiada ubahnya seperti taman bunga di Koh-soh, di sana Cing-sun dan Ong-hujin pernah tenggelam di tengah lautan madu asmara, seketika perasaan Cing-sun menjadi pedih, katanya dengan suara perlahan. "Kiranya di ... di sini adalah tempat kediamanmu?"

"Hm, jadi kamu masih ingat?" Jengek Ong-hujin.

"Sudah tentu masih," sahut Cing-sun dengan lirih.

Begitulah beramai-ramai semua orang lantas ikut masuk ke dalam rumah. Lam-hai-gok-sin juga telah menurunkan semua tawanan yang berada dalam kereta keledai tadi. Pada suatu kereta itu berisi Su Pek-hong, yaitu istri kawin sah Toan Cing-sun, lalu Ciong-hüjin. Cin Ang-bian dan Wi Sing-tiok berempat. Kereta lain berisi Hoan Hwa, siáu Tiok sing dan Tang Su-kui bertiga menteri setia kerajaan Tayli.

Rupanya mereka kena ditutuk dengan tenaga berat oleh Toan Yan-khing, maka sama sekali tak bias membangkang diseret dan digusur oleh Lam-hai-gok-sin serta In Tiong-ho, paling-paling mereka cuma dapat mencaci-maki saja. Sedang kusir kereta tetap tinggal di luar rumah dan merawat keledai mereka.

Tempo hari, setelah Toan Cing-sun mengirim Pak Thian-sik dan Cu Tan-sin mengiringi Toan Ki pergi ke Se He untuk mengikuti sayembara perebutan menantu raja Se He, tidak lama kemudian ia lantas mendapati pesan Po-

ting-to, yaitu kakak bagindanya dari Tayli yang memerintahkan dia lekas pulang ke Tayli untuk menggantikan tahtanya, Po-ting to sendiri sudah ambil keputusan akan menjadi hwesio di thing-liong-si.

Kerajaan Tayli adalah penganut agama Budha, maka raja Tayli pada masa terakhir selamanya meninggalkan tahta untuk menjadi hwesio. Sebab itulah ketika Cing-sun menerima kiriman kakak bagindanya itu, walaupun merasa berat, tapi juga tidak heran akan pilihan kakak bagindanya itu. Maka bergegas-gegas ia lantas pulang ke Tayli dengan membawa serta Ciu Ang-bian dan Wi Sing tiok.

Di tengah jalan mereka mendapat berita dari para wanita Ling-ciu-kiong yang memperingatkan bahwa di sepanjang jalan mereka harus hati-hati menghadapi berbagai perangkap yang telah dipasang oleh musuhnya yang lihai.

Cing-sun coba bertukar pikiran dengan Hoan Hwa dan lain-lain, mereka sependapat bahwa apa yang dikatakan "musuh lihai" itu tentu bukan lain daripada Toan Yan-khing. Musuh ini memang sukar untuk dihadapi, jalan paling baik adalah menghindari saja.

Sebab itulah mereka ganti arah dan berputar ke timur dulu untuk kemudian baru membelok ke selatan. Ia tídak tahu bahwa berita itu diperoleh A Pik dari pelayan-pelayan Ong-hujin sehingga yang diketahuí A Pik kurang lengkap. Perangkap memang beñar ada, tapi sebenarnya tiada maksud Ong-hujin hendak membikin celaka Cing-sun.

Dan karena pergantían arah perjalanan Cing-sun itu maka segala apa yang telah direncanakan Ong-hujin itu menjadi meleset dan menimpa diri Toan Ki. Sebaliknya Cing-sun jadi kepergok dan ditawan oleh Toan Yankhíng. Dalam pertarungan di pesisir Koa-im-lan, rombongan Cing-sun kalah habis-habisan, Hoa Hek-liang kena dihantam Lam-hai-gok-sin hingga kecemplung ke laut, yang lain juga tertutuk dan tertawan oleh Toan Yan-khing.

Begitulah Buyung Hok lantas menyuruh Ting Pek-jwan dan kawan-kawannya mangawas-awasi di luar rumäh, ia sendiri berlagak sebagai tuan rumah untuk mengatur ini dan itu guna melâyani tetamu.

Ong-hujin sendiri sedang memperhatikan Su Pek-hong, Cin Ang-bian, Ciong-hujin dan Wi Sing-tiok berempat. Ia merasa setiap wanita itu mempunyai kegenitan dan kecantikan masing-masing, walaupun Ong-hujîn merasa dirînya tidak kalah daripada wanita-wanita saingannya itu, tapi dasarnya memang tinggi hati, maka ia enggan disama-ratakan dengan mereka yang dianggapnya perempuan hina.

Di sebelah sana demi mengingat ayah-ibunya datang semua, tapi tertawan oleh musuh, maka di samping merasa girang Toan Ki juga kuatir pula.

Dalam pada itu terdengar Toan Yan-khing sedang berkata, "Ong hujin, setelah urusanku selesai dengan sendirinya Toan Cing-sun akan kuserahkan padamu dan masa-bodoh apa yang hendak kau perbuat atas dirinya. Sekarang di manakah si bocah Toan Ki itu?”

Ong-hujin tidak menjawab, ia hanya bertepuk tangan tiga kali, dua pelayan wanita lantas muncul dan menunggu perintah dengan hormat.

"Bawa si bocah she Toan itu ke sini?” seru Ong hujin.

Yan-khing duduk di kursi dengan tangan kiri menahan pundak kanan Toan Cing-sun. Maklum, ia sangat jeri terhadap Lek-meh-sín-kiam milik Toan Ki, apalagi ia meragukan persengkongkolan Ong hujin dan Buyung Hok jika Toan Ki mendadak dibebaskan dan menyerang padanya, tentu urusan bisa runyam, maka ia sengaja mengancam Toan Cing-sua agar Toan Ki tidak berani sembarangan bertindak.

Tidak lama kemudian, terdengar suara tindakan orang banyak, empat pelayan muncul dengan menggotong musuh Toan Ki.

Kaki dan tangan Toan Ki terikat oleh tali kulit kerbau, mulutnya tersumbat matanya tertutup pula oleh kain hitam, maka orang lain sukar mengetahui apakah pemuda itu masih hidup atau sudah mati.

"Anak Ki!" teriak Su Pok-hong dan segera hendak menubruk maju.

Tapi Ong-hujin mendorongnya sambil membentak, "Jangan bergerak! Duduklah di tempatmu.”

Karena nyonya Toan Cing-sun itu tertutuk dan sedang kehilangan tenaganya, maka dorongan itu membuatnya jatuh kembali di atas kursinya dan tak bias berkutik lagi.

"Bocah ini telah minum obat bius yang kuberikan, mati sih belum, tapi untuk sementara waktu jelas pikirannya belum sadar kembali," demikian tutur Ong-hujin. "Nah, Yan-khing Thaicu, jika perlu boleh kau periksa yang betul, aku kan tidak salah tangkap orang?"

Yan-khing mengangguk-angguk, sahutnya, "Ya memang tidak salah."

Rupanya Ong-hujin terlalu yakin pada kekuatan obat sengatan tawon piaraannya, ia tidak tahu bahwa dalam tubuh Toan Ki telah penuh tenaga sakti Cu-hap-sin-kang yang ampuh, anak muda itu hanya kehilangan ingatan sebentar saja dan sejenak kemudian pikiran sehatnya lantas pulih kembali, soalnya kaki tangan Toan Ki teringkus sehingga keadaannya mirip orang yang masih belum sadar kembali.

"A Mong, mengapa kau tangkap anak Ki. Dia kan tidak bersalah padamu?" demikian Cing-sun menegur dengan tersenyum getir.

Ong-hujin hanya mendengussaja dan tidak menjawab. Ia tidak mau unjuk perasaan rindunya kepada Toan Cing-sun di depan orang banyak, tapi ia pun tidak tega mendampratnya dengankata-kata keji.

Buyung Hok sangat cerdik, ia kuatir sang bibi terpengaruh oleh rindu-dendamnya sehingga menggagalkan rencana usahanya, maka cepat ia menyela, "Mengapa bilang dia tidak bersalah terhadap bibiku? Dia ... dia telah memelet Piau-moaiku yang bernama Giok-yan dan mencemarkan kesuciannya. Nah, bibi, orang macam begini mati pun tidak cukup untuk menebus dosanya, buat apa mesti menunggu lagi .... "

Belum habis ucapannya mendadak Cing-sun dan Ong-hujin menjerit bersama, "Apa katamu? Dia ... dia .... "

Air muka Cing-sun tampak pucat pasi, ia berpaling pada Ong-hujin dan bertanya dengan suara lirih, "Apakah anak perempuan ... dan diberi nama Giok-yan?”

Perangai Ong-hujin mestinya sangat keras, sejak tadi ia bersabar sedapatnya, tapi sekarang ia benar-benar tidak tahan lagi, ia menjerit dan menangis, "Semuanya gara-garamu lelaki yang tidak punya perasaan, engkau telah membikin susah diriku, bahkan sekarang membikin celaka putri darah-dagingmu sendiri Giok-yan, dia adalah putrimu sendiri."

Habis ítu, mendadak ia putar ke samping terüs menendang Toan Ki secara serabutan sambil memaki, "Kamu ini setan perusak wanita yang melebihi binatang, bajingan tengik yang tak punya perásaan sampaì-sampai adik perempuanmu sendiri juga kau rusak, sungguh aku ... aku ingin mencencang binatang cilik ini."

Dan karena jerit tangis dan makiannya, semua orang yang berada di situ sama tercengang. Su Pek-hiong, Cia Ang-bian dan lain-lain kenal watak Toan Cing-sun, maka dengan segera mereka tahu persoalannya, tentu dulu Cing-sun main gila dengan Ong-hujin dan hasilnya melahirkan seorang putri diberi nama Giok yan.

Begitu pula Toan Yan-khing, Buyung Hok dan yang lain-lain, sedikit pikir saja segera mereka pun dapat memahami duduknya perkara. Hanya Lam-hai-gok-sin saja yang melongok heran, Yang terang baginya adalah orang yang menggeletak di tanah itu adalah Suhunya, maka cepat ia mendorong pergi Ong-hujin yang masih

mencaci-maki dan menendang Toan Ki itu sambil membentak, "He, día ini guruku, kau berani menendang guruku itu berarti seakan-akan menendang aku pula. Kau memaki guruku sebagai binatang dan bajingan, bukankah aku ikut-ikut menjadi binatang dan bajingan? Kamu perempuan bawel ini apa minta kukorek hatimu untuk kumakan?”

"Gak-losam, jangan kurangajar terhadap Ong-hujin!" cepat Yan-khing mencegahnya, "Bocah she Toan ini adalah manusia yang tidak tahu malu, dengan kata-kata manis lidahnya yang tidak bertulang itu dia menipumu untuk menyebutnya sebagai Suhu, maka sekarang kebetulan kau dapat membinasakan día agar kelak kamu tidak dibikin malu lagi di depan orang kangouw.”

"Tidak,” jawab Lam-hai-gok-sin dengan geleng kepala. "Dia adalah guruku, hal ini jelas barang tulen dan harga pas, dia tidak menipu aku, mana boleh kubinasakan guruku sendiri?”

Sembari berkata ia terus hendak melepaskan tali kulit yang meringkus Toan Ki itu.

"Gak-losam," seru Yan-khing pula, "dengarkan nasehatku, jangan sekali-kali menuruti keinginanmu sendiri, lebih baik keluarkan gunting congor buayamu itu dan gunting saja buah kepala bocah she Toan ini."

"Tidak, Lotoa! Hari ini Gak loji tak mau menurut nasehatmu lagi, aku harus menyelamatkan guruku?" sahut Gak-sin sembari membetot tali kulit sehingga tali yang mengikat tangan Toan Ki itu terbetot putus seketika.

Karuan Yan-khing kaget. Ia pikir kalau Toan Ki sampai terlepas dan sekali pemuda itu mengeluarkan Lak-mehsin-kiam, maka pasti tiada seorang pun sanggup melawannya, jangankan segala rencana dan usaha akan gagal total bahkan jiwa sendiri pun akan terancam.

Dalam kuatirnya tanpa pikir lagi tongkatnya terus menyodok ke depan dengan cepat, yang diarah adalah punggung Lam-hai-gok-sin, di mana tongkatnya tiba kontan tubuh Lam hai-gok-sin tertembus.

Ketika mendadak merasa punggung dan dadanya kesakitan tahu-tahu Lam-hai-gok-sin melihat, ujung sebàtàng tongkat baja sudah sudah menongol didepan dadánya. Sesaat d¡a menjadi bingung ia menoleh dan memandang Toan Yan-khing dengan sorot mata penuh tanda tanya, ia tídak paham mengapa Toan-lotoa mendadak bisa turun tangan keji padanya.

Dasar watak Toan Yan-khing memang maha jáhat dan buas, dia adalah kepala "Su-tai-ok-jin" atau singkatnya "Su-ok” dengan sendirinya dia adalah manusia yang paling ganas, sekali sudah menyerang tentu tidak kenal ampun lagi. Pula día sudah terlalu jeri terhadap Lak-meh-sin-kiam kemahiran Toan Ki itu, ia kuatir sekali bila pemuda itu sampai dilepaskan Lam hai-gok-sin, itu berarti maut baginya. Sebab itülah walaupun sebenarnya

tiada maksudnya hendàk membunuh begundalnya sendiri, tapi sekali tongkatnya menyodok toh tetap mengenai tubuh Lam-hai-gok-sin sehingga tembus.

Melihat sorot mata Gok-sin yang heran dan cemas itu, dalam lubuk hati Toan Yan-khing juga terkilas rasa menyesal. Namun perasaan itu hanya timbul sekilas saja dan lantas hilang, segera ia tarik kembali tongkatnya untuk menyusul dipakai menyepak tubuh Gok-sin sambil membentak, "In-losi, tanamlah mayatnya. Inilah contohnya bila tidak mau tunduk pada kata-kata Lotoa!"

Lam-hai-gok-sin hanya sempat menjerit sekali, lalu terguling di tanah, dari lubang dada dan punggungnya lantas menyembur keluar darah segar bagai mata air, kedua matanya tampak masih mendelik penasaran.

Segera In Tiong menyeret keluar jenazah Gok-sin itu. Meskl dia dan Gok sin sama-sama anggota "Su-ok", tapi biasanya kedua orang tidak akur, pernah beberapa kali Gak-sin merintangi perbuatannya yang jahat, karena ilmu silatnya kalah tangguh, terpaksa ia mengalah. Sekarang dilihatnya Gak-sin telah dibunuh oleh Lotoa, sudah tentu ia merasa senang, dengan hilangnya seteru itu kelak ia dapat berbuat apa pun tanpa rintangan lagi.

Semua orang pun tahu Lam-hai-gok-sin adalah begundal Toan Yan-khing yang paling karib, tapi sedikit tidak cocok segera nyawanya dicabut, betapa kejamnya sungguh tiada taranya. Keruan semua orang ikut kebat-kebit menyaksikan adegan mengerikan itu.

Sebalíknya Yan-Khing lantas berkata dengan tertawa dingin, "Siapa yang menurut padaku akan hidup dan siapa melawan aku pasti mati!”

Habis itu tongkatnya diangkat pula terus menikam dada Toan Ki yang menggeletak di atas tanah itu.

Tapi tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berkata, "Di luar Thian-liong-si, di bawah pohon Bodi, si pengemis kuntet, si Kion-Im (Budhasatwa) rambut panjang!”

Ketika mendengar kata-kata "di luar Thian-liong-si", tongkat baja yang sudah terangkat ke atas itu lantas terhenti di udara dan tidak jadi ditikamkan. Dan sesudah habis mendengar ucapan itu seluruhnya, tahu-tahu tongkat Toan Yan-khing bergemetar dan akhírnya diluruskan kembali dengan pelahan.

Waktu menoleh, bertemulah pandangannya dengan Su Pek-hong, nyonya Toan Cing-sun. Ia lihat sinar mata si nyonya seakan-akan penuh kata-kata yang ingin diutarakan padanya. Seketika hati Yan-khing tergetar, katanya dengan suara gemetar, "Budha Koan .... Koan-im ...."

Tertampak nyonya Toan mengangguk-angguk dan menjawab dengan suara lirih. "Apa ... apakah kau tahu siapa anak ini?"

Sedetik itu, pikiran Toan Yan-khing menjadi pusing, pandangannya merasa kabur, pikirannya kembali kepada masa 20 tahun yang lalu, pada suatu malam bulan purnama ....

Pada hari itu akhirnya ia dapat pulang sampai di Tayli dengan susah payah dan tiba di luar Thian-liong-si. Dalam perjalanan itu di sekitar Ohlam dan kuitang ia kepergok dan dikerubuti musuh tangguh, walaupun berakhir dengan kemenangan, semua musuh dapat ditumpasnya, tapi ia sendiri pun menderita luka parah, kedua kakinya buntung, mukanya rusak, bahkan tenggorokannya terbacok dan hampir putus sehingga tak bisa bersuara lagi.

Dalam keadaan terluka sedemikian hebatnya ia tidak mirip manusia lagi, seluruh tubuhnya kotor dengan luka yang belum sembuh dan berbau busuk, di mana dia datang, disitu dia dirubung lalat. Tapi dia adalah putra mahkota kerajaan Tayli. Ayahnya terbunuh dalam pemberontakan dorna, dia berhasil melarikan diri dalam keadaan kacau-balau itu, akhirnya ia pulang kembali sesudah mahir ilmu silat.

Ia tahu raja Tayli yang sekarang. Toan Cing-bing, adalah saudara sepupunya, tapi yang berhak menjadí raja sebenarnya adalah dia sendiri dan bukan Toan Cing-bing. Ia tahu Toan Cing-bing sangat bijaksana dan cinta rakyat, makanya mendapat dukungan luas di kalangan masyarakat, kedudükannya yang sudah belasan tahun itu sangat kokoh dan tak tergoyahkan. Semua pembesar, baik sipil maupun militer juga mendukung sepenuhnya kepada raja yang sekarang sehingga tiada seoràng pun yang mau pikirkan lagi putra mahkota yang telah hilang itu.

Dalam keadaan begitú kalau dia unjuk diri begitu saja di kota Tayli tentu akan membahayakan keselamatannya, sebab setiap pembesar tentu akan mengambil hati sang baginda, asal raja senang, tentu dia akan dibunuhnya untuk memperoleh pujian sang raja.

Sebenarnya dia tidak perlu takut karena ilmu silatnya cükup tinggi, tapi sekarang ia terluka parah, untuk melawan seorang prajurit biasa saja tidak sanggup.

Begitulah ia merangkak dan menggeremet, akhirnya ia dapat tampak di luar Thian-liong-si. Harapan satusatunya baginya adalah ingin mínta keadilan pada Koh-eng Taisu.

Kog-eng Taisu adalah saudara sekandung ayah bagindanya, jadi terbilang pamannya yang terdekat. Koh-eng juga terhitung paman Toan Cing-bing. Koh-eng adalah seorang padri saleh, sedang Thian liong-si adalah suatu tempat perlindungan bagi dinasti kerajaan Tayli, berbagai raja Taíli bila turun tahta dan menyepi menjadi padri,

yang dituju tentu adalah Thian-liong-si. Karena tidak berani memperlihatkan dirinya di kota Tayli, Maka Yankhing ingin menemui Koh-eng dahulu.

Akan tetapi padri penyambut tamu di Thian-liong-si memberitahükan padanya bahwa Koh-eng Taisu sédang menyepi, sedang bersemedi dan berpuasa, dan tidak diketahui bilakah selesainya. Padri itu tanya Toan Yankhing ada urusan apa dan boleh meninggalkan pesan saja agar nanti dilaporkan kepada Koh-eng.

Terhadap manusia yang tidak mirip manüsia dan setan tidak memper setan sebagai Toan Yan-khing tatkala itu, sikap si padri penyambut tamu itu boleh dikata sudah cukup ramah-tamah. Sudah tentu Toan Yan-khing tidak berani memperkenalkan dirinya, ia memberi jawaban dengan samar-samar dan lantas mohon diri. Ia merangkak kebawah pohon bodi yang berada tidak jauh di samping Thian-liong-si dan duduk di situ untuk menunggu selesainya Koh-eng berpuasa.

Sekarang dia adalah manusia penyakitan yang paling kotor dan paling hina di dunia ini, padahal dia sebenarnya adalah putra mahkota kerajaan Tayli yang diagungkan, tahta kerajaan itu sebenarnya adalah haknya.

Begitulah ia duduk termenung di kawah pohon bodi itu, ketika sang dewi malam telah menghiasi tengah cakrawala, tiba-tiba ia lihat seorang wanita berbaju putih mulus muncul dari balik kabut malam dan pelahan mendekat ke arahnya.

Di tengah semak pohon berkabut tebal itu terpaksa rambut si wanita baju putih yang panjang terutai menutupi bahunya. Waktu itu mukanya membelakangi sinar bulan. walaupun remang-remang tapi Yan-khing tetap terpesona oleh keluwesan dan kecantikannya, ia merasa wanita itu secantik Budha Kwan-im, ia pikir tentu dewi Koan-im yang turun dari kayangan untuk menolong calon raja yang sedang menderita ini. Diam-diam ia pun berdoa semoga dewi Koan-im memberi berkah agar dia bisa kembali pada tahta kerajaannya, untuk itu kelak ia akan membuatkan patung dewi Koan-im dan membangun sebuah biara untuk memujanya.

Sementara itu si wanita pelahan telah mendekat, lalu berputar tubuh ke sebelah sana, Yan-khing hanya dapat melihatnya dari samping, kelihatan mukanya pucat pasi bagai mayat. Tiba-tiba terdengar wanita itu bergumam sendiri dengan pelahan, "Aku telah melayanimu dengan sepenuh jiwa-ragaku, tetapi engkau sama .... sama sekali tidak menaruh diriku di dalam hatimu. Engkau sudah punya seorang perempuan dan masih inginkan wanita lain pula. Engkau telah melupakan semua janji setia kita dahulu. Berkali-kali aku memberi maaf padamu, tapi sekarang aku tidak bias mengampunimu lagi. Engkau telah berdosa padaku dengan meninggalkan aku dan main gila dengan orang lain, maka aku pun akan mencari dan main gila dengan orang lain. Kalian lelaki bangsa Han memandang rendah pada wanita Pai kami, menganggap kami sebagai hewan yang tak berharga, aku aku ... aku harus membalas dendam, wanita Pai kami pun takkan menganggap lelaki bangsa Han kalian sebagai manusia, aku harus balas dendam."

Ia bergumam dengan suara lirih, tapi nadanya kedengaran penuh rasa benci dan murka.

Diam-Diam Yana-khing membatin, "Kiranya dia seorang wanita Pai, tentu dia telah dipermainkan oleh lelaki bangsa Han, maka marah-marah dan dendam."

Hendaklah diketahui bahwa orang Pai itu adalah salah satu suku bangsa di negeri Tayli, pada umumnya wanita Pai itu ayu-ayu, cantik-cantik, kulitnya putih melebihi suku bangsa lain, Cuma kaum lelakinya sangat lemah, jumlah mereka sedikit pula, maka suku Pai sering terdesak oleh bangsa Han.

Melihat wanita itu pelahan berlalu di depannya, mendadak Yan-khing berpikir, "Ah, tidak betul. Walaupun wanita Pai terkenal cantik-cantik, tapi tidak mungkin memiliki tubuh sebagai dewi kayangan, apalagi baju putih yang dikenakannya itu mirip sutra yang tipis, wanita Pai tidak mungkin mempunyai pakaian seindah itu. Ya, tentu dia dewi Koan-im yang turun dari kayangan untuk menolong aku. ke ... kesempatan baik ini jangan kusia-siakan."

Maklum Yan-khing berada dalam keadaan menderita dan putus asa, terpaksa ia berharap akan pertolongan malaikat dewata untuk menyelamatkan dia dari keadaan tersiksa itu. Ia lihat sang dewi sudah hampir menjauh, sekuat mungkin ia merangkak dan ingin berteriak, "Tolong Dewi .... "

Tapi dari tenggorokannya paling-paling cuma keluar suara "krok-krok" bagai suara ayam mengorok.

Ketika mendengar di bawah pohon bodi itu ada sesuatu suara, si waníta baju putih lantas menoleh, ia lihat dì atas tanah situ meringkúk ada sesuatu makluk yang tak mirip manusia dan tidak seperti setan sedang merangkak-rangkak. Waktu diamat-amati lebih jauh, akhirnya baru diketahui adalah seorang pengemis yang kotor dan berlepotan darah kering. Di seluruh badan pengemis dekil ini penuh luka, dari tempat luka-luka ítu masih mengucurkan darah dan berbau busuk pula.

Samula wanita itu kaget melihat keadaan Yan-khing dan bermaksud melarikan diri. Tapi perasaan wanita itu tadi sedang penuh benci dan dendam, dalam keadaan murka tiba-tìba timbul pikirannya hendak membalas dendam ketidaksetìaan sang suami, yaitu dengan jalan mencemarkan dìri sendiri, menghina diri sendiri.

Maka demi melihat keadaan pengemis yang mengerikan itu segera timbul pikirannya, "Kebetulan, aku íngin mencari seorang yang paling jelek paling kotor dan paling hina didunia ini kepadanya akan kuserahkan tubuhku ini. Engkau adalah seorang pangeran, seorang Taiciangbun (Panglima besar), tapi aku justru menyukai seorang pengemis dekil dan berbau busuk.”

Dia sama sekali tidak mengira bahwa Toan Yan-khing sebenarnya adalah putra mahkota yang tulen, mukanya sebenarnya sangat tampan, Cuma saying dia dikerubut musuh sehingga menderita luk-luka diseantaro tubuhnya.

Begitulah wanita itu tidak bersuara lagi. Tapi ia pelahan membuka bajunya dan mendekati Yan-khing, tanpa bicara ia menjatuhkan dirinya kedalam pelukan Yan-khing, kedua tangannya yang putih sebagai salju terus merangkul leher sang "kekasih" dan .... "

Jika sang dewi malam di cakrawala itu punya perasaan tentu dia akan terheran-heran mengapa seorang nyonya yang cantik lagi agung itu mau menyerahkan tubuhnya yang putih bersih itu kepada seorang pengemis yang kotor dan berbau busuk itu?

Sampai sekian lama sesudah si wanita baju putih tinggal pergi Yan-khing masih merasa sepertí di alam mímpi. Ia tidak tahu apa yang terjadi itu benar-benar atau cuma khayal belaka? Apakah manusia tulen atau benar-benar dewi Koan-im yang turun dari kayangan?

Tapi hidungnya jelas mengendus bau harum yang timbul dari badan sang dewi tadi. Waktu ia berpaling, ia lihat di atas tanah masih jelas terlihat beberapa huruf yang ditulísnya dengan jari tadi dan berbunyí, "Apakah engkau ini dewi Koan-im berambut panjang?"

Waktu ia menulis demikian untuk menanyakannya dan sang dewi mengangguk-angguk. Habis itu mendadak beberapa tetes air jatuh di atas tanah di sebelah tulisan itu. Air itu entah air matanya atau air wahyu sang dewi Koan-im?

Begitulah dalam keadaan terluka parah dan putus asa mendadak Yan-khing mendapat wahyu si dewi Koan-im berbaju putih itu. seketika semangatnya terbangkit, ia yakin belum ditakdirkan akan tamat riwayatnya, tapi kelak pasti akan kembali kepada kerajaanya, Ia harus berarti menghadapi kesulitan dan gemblengan hidup yang dideritanya sekarang.

Dengan pulihnya kepercayaan atas diri sendiri itu, seketika pandangan Yan-khing menjadi terang, pikiran yang semula pepat itu menjadi jernih kembali.

Esok paginya ketika diketahui Koh-Eng belum membuka puàsanya, segera ia berlutut dan menyembah di bawah pohon, bodi untük menyatakan rasa terima kasihnya atas wahyu sang Budha, ia potong dua batang kayu bodi dan dipakai sebagai tongkat penyanggah tubuh, lalu tinggal pergi.

Ia tidak berani, tinggal dalam wilayah Tayli maka jauh menyepi di pegunungan dearah selatan untuk melatih ilmu silatnya lebih jauh.

Ilmu silat keluarga Toan dari Tayli tersohor sangat hebat, maka Yan-khing tidak perlu mencari guru lain, cukup menyakinkan ilmu silat keluarganya sendiri.

Pada lima tahun pertama Yan-khing dapat menyembuhkan luka-lukanya dan belajar menggunakan tongkat sebagai ganti kedua kakinya yang sudah bunting itu. Lalu ia mencurahkan kekuatan It-yan-ci yang hebat itu pada tongkat yang digunakan sebagai Senjata pula. Sesudah berlatih lima tahun lagi, kemudian ia mulai mengembara dunia kangouw, Ía mendatangi musuh-musuhnya, semuanya dibunuhnya habis tanpa kecuali. Karena perbuatannya yang keji dan kejam luar biasa itu, maka memperoleh gelar sebagai "Thian-he-te-it-taiok-jín" atau si maha durjana di dunia ini.

Pernah beberapa kali Yan-khing menyusup pulang ke Tayli dengan maksud memcari kesempatan untuk merebut tahta, tapi setiap kali ia mendapatkan kenyataan bahwa kedudukan Toan Cing-bing sudah sangat berakar dan sukar ditumbangkan terpaksa ia mundur teratur.

Paling akhir ini dia mengadu tanaga dalam dengan Ui-bi-ceng, si padri beralis kuning, dan tampaknya dia sudah pasti akan menang Eh, siapa tahu mendadak muncul si bocah Toan Ki sehingga kemenangannya yang sudah di ambang pintu itu berbalik menjadi kekalahan.

Sekarang Ong-hujin telah menawan Toan Ki kesempatan ini akan digunakannya untuk membinasakan anak muda itu dengan tongkatnya dan sekaligus melenyapkan ahli waris satu-satunya Toan Cing-bing dan Toan Cing-sun itu. Siapa duga mendadak terdengar ucapan "di luar Thian-liong si, di bawah pohon bodi si pengemis kotor dan si dewi Koan-im berambut panjang."

Ucapan itu sangat lirih, tapi bagi pendengaran Toan Yan-khing, bagaikan bunyí halilintar di siang bolong. Ketika dilihatnya pula air muka Toan hujin, dalam hatinya tiada habis-habis bertanya, "Apakah ... apakah dia inilah si dewi Koan-im pada malam bulan purnama itu .... "

Tiba-tiba Toan hujin melepaskan rambutnya yang panjang itu sehingga terurai di atas pundak dan sebagian terurai di mukanya, itulah wajah "si dewi Koan-im" di bawah pohon bodi di luar Thian-liong di malam itu.

Sekarang Yan khing tidak sangsi lagi, sungguh di luar dugáannya bahwa wanita yang disangkanya sang dewi Koan-Im itu kiranya adalah Tin-lam-Ong-hui, permaisuri pangeran mahkota kerajaan Tayli yang sekarang.

Tapi segera timbul pertanyaan yang sukar dipahami olehnya, "Sebab apakah día berbuat demikian? Mengapa dia penujui seorang pengemís kotor dan berbau busuk seperti diriku pada waktu itu?

Yan-khing menunduk dan termenung-menung tidak habis mengerti. Sokonyong-konyong beberapa titik air menetes di atas tanah, mirip benar dengan kejadian malam pertama itu. itu bukan air biasa, entah air mata atau air wahyu sang dewi?

Waktu ia mendongak, ia lihat sorot mata Toan-hujin yang sayu-rawan dan mengembang air mata itu, seketika hatinya yang keras menjadi lunak, katanya dengan suara yang serak, "Apakah kau minta aku mengampuni jiwa putramu ini?"

Toan-hujin tampak menggeleng kepala, katanya, "Lehernya berkalung sebuah mainan, di situ terukir pek-ji (jam, hari dan tahun) kelahirannya."

Yan khing menjadi heran, nyonya itu bukan minta pengampunan jiwa anaknya, tapi malah menyuruhnya melihat mainan kalung dan tentang pek-ji segala, apakah artinya semua ini?

Tapi sejak dia tahu duduknya perkara kejadian "di bawah pohon bodi di luar Thian-liing-si" itu, secara otomatis timbul semacam rasa hormat dan segannya terhadap Toan-hujin. Maka ia lantas menjulurkan tongkatnya untuk membuka dulu hiat-to si nyonya yang ditutuknya, kemudian baru ia periksa leher Toan Ki.

Benar juga di leher anak muda itu ditemukan sebuah kalung emas yang sangat lembut, bagian bawah yang tertutup baju itu terdapat sebuah mainan emas yang berbentuk pelat kecil persegi dan terukir tulisan "selamat panjang umur", ketika pelat emas itu dibalik, di situ ada tulisan: "Lahir pada tanggal 1 bulan 11 tahun kedua raja Po-ting Tayli."

Melihat tanggal lahir itu, kembali Yan-khing terkesíap. Ia masih ingat betul justru pada bulan dua tahun kedua raja Po-ting itulah dia terluka parah dikeroyok musuh dan akhirnya sampai di luar Thian-liong-si. Anak muda ini dilahirkan dalam bulan 11, jaraknya dengan kejadian malam itu tepat adalah sepuluh bulan, Wah, janganjangan kandungan sepuluh bulan itu akhirnya melahirkan bocah ini, jadi anak muda dihadapannya ini adalah putraku?

Oleh karena muka Toan Yan-khing sudah rusak sehingga kerut dan mimik wajahnya tak kelihatan lagi, sekilas orang pun tak tahu betapa terguncang hatinya tatkala itu.

Waktu Yan-khing memandang pula ka arah Toan-hujin, ia lihat nyonya itu mengangguk pelahan dan bergumam, "karma! Karma!"

Selama hidup Toan Yan-khing tidak pernah kenal mesranya berkasih-kasihan kaum muda-mudi dan kebahagian rumah tangga, kini mendadak diketahuinya di dunia ini ternyata ada seorang pemuda keturunan

sendiri, maka betapa rasa girangnya sungguh susah untuk dilukiskan.

Saat itu ia merasa segala pangkat dan kedudukan, sekali pun raja di dunia ini, semuanya itu tidak lebih berbahagia daripada mempunyai seorang putra. Bila teringat baru saja ia hamper menikam mati putranya sendiri dengan tongkatnya tadi, sungguh ia merasa bersyukur dan bergirang hal itu tidak sampai terjadi. Saking girangnya sungguh ia ingin berteriak dan berjingkrak.

"Trang", tanpa terasa sebuah tongkat jatub ke tanah. Menyusul kepala pun terasa sedikit pening, tangan yang lain terasa lemas, "trang", kembali tongkat yang lain pun jatuh ke tanah.

"Hahahaaahh! Aku mempunyai seorang putra. Aku mempunyai seorang putra!" demikian darí dalam rongga dadanya ingin tercetus suara teriakan yang nyaring.

Sekilas dilihatnya wajah Toan Cing-sun menampilkan rasa heran dan bingung, terang dia sama sekali tidak paham apa yang diucapkan istrinya tadi.

Sungguh rasa bangga Toan Yan khing tak terkatakan. "Hm, biarpun kamu berhasil menjadi raja Tayli dan aku gagal menggantikanmu, namun aku tidak perlu iri. Aku mempunyai putra, dan kau tidak punya."

Pada saat itulah kembali kepalanya terasa pusing pula, pandangannya agak kabur sedikit, ia mengira hal ini adalah karena dia terlampau senang maka kepala pusing malah.

Tapi pada saat lain tiba-tiba terdengar gedebukan seorang telah roboh terkulai di samping pintu, itulah Ih Tiong-ho adanya.

"Celaka!" keluh Yen-khing dalam hati. Cepat tangan kiri bergerak mencengkaram. ia kerahkan tenaga dalam untuk menarik kembali tongkat bajanya yang jatuh tadi.

Di luar dugaan, cengkramannya itu ternyata tidak membawa hasil sebagaimana yang dlharapkannya, tenaga dalamnya sukar dikeluarkan lagi, tongkat baja yang terletak di tanah sedikit pun tidak bergeming.

Karüan kejut Yan-khing melebihi tadi. Tapi ìa pun tídak mengunjuk sesuatu tanda apa-apa, kembali ia kerahkan tenaga dan tangan kanan mencengkeram pula. Namun tongkat itu tetap tidak bergerak, tenaga dalamnya tetap susah dlkeluarkan. Maká yakinlah día bahwa diam-diam ia telàh diselomoti orang.

Tiba-tiba terdengar Buyung Hok berkata, "Toan-tianho (pangeran Toan), di kamar sebelah ada seorang ingin buru-buru bertemu dengan engkau, maka sudilah engkau datang ke sebelah untuk menemuinya."

"Siapa dia? Lebih baik Buyung-kongcu membawanya ke sini saja," ujar Yan khing.

"Dia tak dapat berjalan, lebih baik silakan Tianho yang datang ke sini, " sahut Buyung Hok.

Mendengar itu, maka teranglah bagi Toan Yan-khing. Tidak perlu disangsikan lagi orang yang diam-diam menggunakan obat bius (yang membuatnya kehilangan tenaga dalam) itu pasti Buyung Hok. Mungkin pemuda itu jeri kepada ilmu silatnya yang lihai dan kuatir racun yang disebarkan itu tidak bekerja dengan baik, maka untuk sementara masih tidak berani menggunakan kekerasan secara blak-blakan, Ia sengaja minta dia berjalan untuk menjajaki apakah lawan masih bertenaga atau tidak. Padahal Yan-khing merasa sejak masuk ke dalam rumah tadi senantiasa berlaku waspada dan tidak pernah minum seceguk air pun, pula tidak mengendus bau apa-apa, mengapa tahu-tahu sudah kena dikerjai orang dan keracunan?

"Ya, mungkin tadi sesudah mendengar ucapan Toan-hujin, saking girangnya aku menjadi lupa daratan dan tidak berjaga-jaga sesuatu gerak-gerik yang mencurigakan di sekitarku sehingga aku terpedaya," demikian pikirnya.

Biarpun watak Toan Yan-khing sangat buas dan kejam, tapi ia pun berjiwa ksatria. Sekali dia kecundang, maka ia terima mengaku kalah dan pasrah pada nasib, sama sekali ia tidak gusar dan mencaci-maki. Hanya dengan nada mengejek ia berkata, "Buyung-kongcu, keluarga Toan dari Tayli kami biasanya tidak suka menggunakan racun, kamu seharusnya menghadapi aku dengan menggunakan ‘It-yang-ci’ saja.”

Dengan ucapannya ia maksudkan Koh-soh Buyung yang biasanya terkenal dengan istilah "Ih-pi-ci-to, hoan-sipi-sin", seharusnya Buyung Hok mengalahkan Yan-khing dengan It-yang-ci yang merupakan ilmu andalan keluarga Toan, kalau menggunakan racun, hal ini sesungguhnya terlalu pengecut.

Tapi Buyung Hok hanya tersenyum, sahutnya, "Orang gagah perkasa sebagai Toan-tianho sudah tentu tidak dapat dipersamakan dengan orang biasa. 'Ang-hoa-tai-bu' (kabut bunga merah) yang kugunakan ini asalnya kuperoleh dari orang Se He, hanya sedikit kutambahi bahan campuran sehingga tidak berbau dan tidak berwarna, jadi sebenarnya bukan barang buatan keluarga Buyung kami."

Diam-diam Yan-khing terkejut, tentang kejadian jago It-bin-tong dari Se He merobohkan kawanan pengemis Kai-pang dengan racun kabut yang tak berbau dan tak kelihatan itu pernah juga dia dengar laporannya. Tak tersangka hari ini ia sendiri pun terselomot oleh racun kabut itu. Segera ia pejamkan mata dan tutup mulut, diam-diam ia mengatur pernapasan dan berusaha mendesak keluar hawa racun yang telah meresap ke dalam

tübuh.

"Untuk memunahkan racun kabut ini biarpun mengerahkan tenaga dalam dan mengatur pernapasan, semuanya tiada gunanya ...."

Belum habis Buyung Hok bicara, mendadak Ong-hujin membentaknya. "Mengapa bibimu sendiri juga kau selomoti? Mana obat penawarnya. Serahkan!”

"Maaf bibi, hanya untuk sementara saja, sebentar tentu Tit-ji akan memberi obat penawar kepada bibi." sahut Buyung Hok.

"Sebentar apa segala? Lekas berikan obat penawarnya sekarang jugai" jerit Ong-hujín dengan gusar.

"Maaf bibi, sungguh maaf, obat penawarnya tidak berada padaku," kata Buyung Hok.

Mestinya hiat-to nyonya Toan yang tertutuk itu sudah dibuka oleh Toan Yan-khing, tapi belum lagi lagi berbuat apa-apa kembali ia roboh pula terkena racun kabut bungah merah.

Di antara orang yang berada dalam rumah itu Buyung Hok telah makan obat penawar sebelumnya dan Toan Ki tidak mempan segala macam racun hanya mereka berdua ini yang tidak keracunan.

Namun begitu Toan Ki justru sedang mengalami siksaan batin yang tak terkatakan pedihnya. Tadi ia dengar Ong-hujin berkata kepada Toan Cing-sun bahwa Giok-yan sebenarnya adalah anak darah dagingnya, tatkala itu dada Toan ki serasa digodam satu kali, napasnya menjadi sesak dan hamper-hampir jatuh kelenger.

Memangnya Toan Ki sudah merasa kebat-kebit, merasa urusan pasti takkan menguntungkan dia, ketika dari kamar sebelah ia dengar pembicaraan Ong hujin dan Buyung Hok yang menceritakan hubungan cinta antara nyonya itu dengan ayahnya. Waktu itu ia sudah kuatir akan terjadi seperti halnya Bok Wan-Jing jangan-jangan Giok-yan adalah adik perempuannya pula.

Ketika kemudian ia dengar sendiri pengakuan Ong-hujin akan hal yang dikuatirkan olehnya itu, maka ia tidak sangsi lagil akan kebenarannya. Sesaat itu ia merasa langit seakan-akan berputar-pular dan bumi terbalik, coba kalau tangan dan kakinya tidak terikat dan mulutnya tidak tersumbat tentu dia sudah seruduk sini dan terjang sana sambil menjerit-Jerit dan berteriak- teriak seperti orang gila.

Perasaannya teramat duka merana, tiba-tiba ia merasa segumpal hawa menyumbat dirongga dadanya sehingga napasnya susah diatur. Kaki tangannya terasa sedingin es dan pelahan menjadi kaku.

Keruan ia terkejut, "Wah, celaka! Tanda-tanda ini tentu adalah apa yang dikatakan paman sebagai ‘Cau-hwejip-mo’ semakin tinggi iwekangnya semakin berbahaya pula bila penyakit itu sampai berjangkit. Tapi mengapa aku ... aku bisa terkena penyakit demikian?”

Ia merasa hawa sedingin es itu dalam sekejap saja sudah mencapai siku dan dengkulnya. Semula Toan Ki merasa kuatir, tapi lantas terpikir olehnya, "Jika Giok-yan adalah adik perempuanku dari satu ayah, maka rinduku kepadanya selama ini akhirnya buyar sirna, lalu untuk apa lagi aku hidup di dunia ini? Ya, biarlah aku terkena penyakit Cau-Hwe-jip-mo, biar aku hancur lebur menjadi abu, biar aku mati dan tidak tahu apa-apa supaya terhindar dari siksaan batin selama hidup nanti."

Begitulah, karena dia sedang tersiksa batin sendiri, maka apa yang dikatakan ibunya tentang "di luar Thianliong-si, di bawah pohon bodi dan kata-kata lain kecuali Toan-hujin sendiri dan Toan Yan-khing, orang lain boleh dikata tak ada yang paham apa artinya. Dan dengan sendirinya Toan Ki lebih-lebih tidak memperhatikan ucapan-ucapan itu, andaikan memperhatikan juga sekali-kali dia tak paham mengapa Toan Yan-khing bisa jadi ayahnya yang sesungguhnya dan bukan Toan Cing-sun.

Dalam pada itu Toan Yan-khing sedang mengerahkan tenaga dalamnya, tapi meski sudah sekian lama tetap tidak berhasil, sebaliknya dada terasa sumpek dan enek, kalau bisa ingin tumpah-tumpah sepuasnya. Cepat ia tenangkan diri, ia duduk dengan mata terpejam, tidak bicara dan tidak bergerak.

"Toan-Hianho," kata Buyung Hok kemudian, "meski aku telah menghina dirimu dengan kabut beracun, tapi tiada maksudku untuk membikin susah padamu, asal tianho mau berjanji sesuatu padaku, maka selain akan kuberikan obat penawar dengan hormat, bahkan akan menjera dan mohon ampun kepada Tianho."

"Hei, usia orang she Toan sudah sebanyak ini, selama ini juga tidak sedikit mengalami gelombang badai, mana aku dapat dipaksa berjanji sesuatu di bawah ancaman orang!" sahùt Yan-khing dengan menjengek.

"Masakah aku berani mengancam Toan-tianhe?” ujar Buyung Hok. "Nah, biarlah hadirin di sini menjadi saksi semua, sekarang juga ku mintà maaf lebih dulu kepada Tianho, habis itu barulah mohon bantuan sesuatu kepada Tianho dengan segala hormat.”

Habis berkata, benar juga ia lantas berlutut dan menyembah dengan segala kerendahan hati yang tulus.

Semua orang terheran-heran melihat Buyung Hok mendadak menjalankan penghormatan sebesar itu. Padahal saat itu dia sudah menguasai keadaan, mati hidup semua orang boleh dikatakan tergantung kepada keputusannya. Seumpama dia seorang ksatria kangouw yang suka bicara tentang itikat orang kangouw, rasanya sudah cukup ia memberi hormat sekedarnya saja kepada Toan Yan-khing yang lebih tua, tapi mengapa mesti pakai berlutut dan menyembah segala?

Yan-khing sendiri tidak paham atas kelakuan Buyung Hok, tapi mau-tak-mau rasa marahnya agak berkurang juga melihat orang begitu menghormat padanya. Katanya kemudian, "Merendahkan diri kepada orang, di balik itu tentu ada sesuatu maksud tujuan. Nah, hendaknya Buyung-kongcu bicara terus terang saja, apa kehendakmu sebenarnya?”

"Adapun cita-citaku kiranya Tianho sendiripun sudah cukup mengetahui." Sahut Buyung Hok. "Yang senantiasa kucita-citakan siang dan malam adalah membangun kembali kerajaan Yan. Maka sekarang akan kubantu dan mendukung Tianho naik tahta sebagai reja Tayli, Tianho sendiri tiada anak keturunan, maka aku rela mengangkat Tianhe sebagai Gihu (ayah angkat). Dengan demikian untuk selanjutnya kita akan dapat bekerja sama dengan lebih erat demi pergerakan kita bersama, bukankah cara ini sangat baik dan sama-sama menguntungkan?”

Mendengar ucapan "Tianhe toh tiada punya anak keturunan" yang dikatakan Buyung Hok itu, tanpa terasa Yankhing berpaling ké arah Toan-hujin, dua pasang mata saling menatap, sesaat itu mereka seakan-akan sudah bercakap-cakap beratus ribu kata-kata.

Maka Yan-khing hanya mengekek tawa saja dan tidak menjawab sanjungan Buyung Hok tadi, Katanya di dalâm hati, "Kalau kata-katamu ini kau ajukan setengah jam yang lalu memang merupakan usul yang menarik. Tapi saat ini aku sudah tahu mempunyai seorang putra, bahkan putraku lebih lihai daripada dirimu, mana bisa kuwariskan tahtaku kepada orang lain?”

Dalam pada itu terdengar Buyung Hok sedang mengoceh lagi panjang lebar tentang betapa baiknya bila mereka bergabung dan terikat menjadi keluarga, bahkan kerajaan Song tentu akan dapat mereka hancurkan, begitu pula kerajaan Se He dan macam-macam kata-kata muluk lagi.

Akhirnya Yan-khing bertanya, "Jadi maksudmu ingin aku mengakui dirimu sebagai anak angkat?"

"Benar." sahut Buyung Hok.

Diam-diam Yan-khing merancang di dalam hati, "Saat ini aku masih keracunan dan tak bisa berkutik, terpaksa aku pura-pura menerima permintaannya, sebentar bila tenagaku sudah pulih boleh segera kubunuh dia.”

Karena itu ia berkata dengan lagak ogah-ogahan, "Jika demikian, bukankah kamu harus ganti she Toan? Dan sesudah menjadi ahli warisku keluaga Buyung seluruhnya berarti akan putus turunan pula, apakah semuanya ini dapat kau lakoni?”

Yan-khing cukup tahu bahwa di balik maksud Buyung Hok itu tentu ada rencana lain yang lebih luas, umpama sesudah mewariskan tahta kerajaan Tayli, dalam jangka waktu tertentu tentu dia akan menguasai dan menempatkan orang-orangnya dalam pos-pos pemerintahan yang penting, habis itu lantas mulai menggeser dan membunuh orang-orang yang berani melawannya atau pembesar-pembesar keluarga Toan yang setia. Dan kalau usaha kudeta itu sudah berhasil tentu dia akan kembali she Buyung làgi, bahkan bukan mustahil nama kerajaan Tayli akan digantinya pula menjadi kerajaan Yan.

Oleh karena itulah Yan khing sengaja méngajukan pertanyaan yang mempersulit sebagai dasar agar Buyung Hok tidak menaruh curiga, berbeda kalau dia terima itu begitu saja apa yang dimohon Buyung Hok, hal ini akan kelihatan kurang wajar dan kurang tulus.

Benar juga Buyung Hok lantas termenung-menung, sahutnya dengan ragu, "Tentang ini .... tentang ini .... "

Padahal apa yang terbayang dalam benaknya yaitu tindakan apa yang harus diperbuatnya bila kelak dapat menggantikan Toan Yan-khing sebagai raja Tayli, memang tidak berselisih jauh dengan apa yang terduga oleh Toan Yan-khing. Maka Buyung Hok juga sengaja pura-pura sangsi atas pertanyaan Yan-khing tadi, sebab kalau mengiakan begitu saja tentu akan kentara maksud tujuannya yang tidak baik.

Maka sesudah ragu sejenak, lalu katanya, "Walaupun aku bukan manusia yang suka lupa kepadá sumbernya dan seorang yang tak berbakti kepada leluhur, tapi demi usaha besar harus kesampingkan kepentingan pribadi yang kecil. Bila aku sudah mengangkat Tianhe sebagai ayah, seharusnya aku setia kepada keluarga Toan dan tidak boleh bercabang hati.”

Jilid 84
"Hahahahaha! Bagus, bagus!" Yan-khing terbahak-bahak, "Selama ini aku selalu mengembara di dunia kangouw, tidak punya istri dan tidak punya anak, tapi pada hari ini, sekarang dapat memperoleh seorang putra cakap, sungguh hidupku ini tidaklah sia-sia. Mempunyai putra pintar dan tampan sebagai dirimu, sungguh rejekiku terlampau besar.”

Di balik kata-kata Toan Yan-khing ini yang dimaksudkan sebenarnya adalah putranya sendiri yaitu Toan Ki, hal ini terkecuali Toan-hujin seorang saja, yang lain sudah tentu tidak paham latar belakang ucapannya itu, sebaliknya semua orang mengira dia susah menerima permohonan Buyung Hok dan akan memunggutnya sebagai anak dan kelak akan mewariskan tahta kepadanya.

Keruan girang Buyung Hok melebihi orang putus lotre, katanya, "Tianhe adalah angkatan tua yang terhormat dikalangan Bulin, sekali omong tentu akan pegang janji dan takkan hianat, Nah Gihu, terimalah hormat putramu ini.”

Habis itu, kaki berlutut dan segera hendak menyembah pula. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang berteriak di luar, "Bukan, bukan! Hal ini mana boleh jadi!”

Menyusul tirai tersingkap dan masuklah seorang. Kiranya Pau Put-tong adanya.

Air muka Buyung Hok agak masam kärena orang mengganggunya, tanyanya, "Ada apa Pau-samko?”

"Kongya adalah keturunan lurus keluarga Buyung dan jelèk-jelek adalah ahli waris kerajaan Yan, sekarang mana boleh sembarangan berganti she Toan?" seru Pau Put-tong. "Walaupun usaha membangun kembali kerajaan Yan akan menghadapi berbagai kesulitan, tapi kita tetap akan berjuang dengan sepenuh tenaga dan kekuatan. Kalau usaha kita berhasil sudah tentu inilah yang sangat kita harapkan, andaikan gagal betapapun kita tetap seorang ksatria, seorang perwira gemblengan. Tapi sekarang Kongcu akan mengangkat ayah kepada orang yang manusia bukan dan setan pun tidak ini, biarpun kelak Kongcu berhasil menjadi raja juga tidak gilang gemilang. Apalagi seorang she Buyung ingin menjadi raja Tayli, hal ini pun tidak mungkin terjadi."

Sungguh gusar Buyung Hok tak terlukiskan karena ucapan Pau Put-tong yang kurang ajar itu. Tapi Put-tong adalah pengiringnya yang setia, tatkala tenaganya sangat dibutuhkan seperti sekarang ia tidak ingin mendengarnya secara terang-terangan didepan orang luar, maka jawabannya dengan dingin, "Pau-samko, rupanya engkau belum paham duduknya perkara, untuk menjelaskan juga susah dalam waktu singkat, biarlah kelak akan ku terangkan dengan pelahan.

"Bukan, bukan!” seru Put-tong dengan istilah yang khas. "Kongcu, biarpun Put-tong seorang goblok, tapi maksud tujuanmu juga dapat kuraba beberapa bagian. Agaknya kongcu ingin meniru Han Sin di jaman Hanko-co dan untuk sementaraterima dihina dan merendah pada orang agar kelak dapat dapat dípakai sebagaì modal pengerahan, Hàrì ini Kongcu pura-pura berganti she Toan, kelak kalau sudah memegang kekuasaan lalu engkau berganti she Buyung kembali, bahkan mengganti kerajaan Tayli menjadi kerajaan Yan, atau mungkin engkau akan mengerahkan pasukan untuk menyerang kerajaan Song dan memerangi kerajaan Liau untuk memulihkan wilayah kekuasaan Yan dahulu. Akan tetapi, Kongya, meski cita-citanya ini sangat baik, namun dengan demikian engkau akan menjadi manusia yang tidak setia, tidak berbakti, tidak bijaksana dan tidak berbudi. Coba apakah takkan malu pada diri sendiri, apakah engkau takkan dicaci maki para ksatria seluruh jagat. Maka kukira tentang raja apa segala, lebih baik jangan dipikirkan lagi.”

Sungguh Buyung Hok sangat mendongkol, tapi ia bersabar sedapat mungkin, sahutnya, "Ah, Pau-samko terlalu berlebihan, mengapa aku dikatakan tidak setia, tidak berbakti, tidak bijaksana dan tidak berbudi? Bukan ngaco belo saja?”

"Bukan, bukan mengaco-belo!" seru Put-tong. "Coba, sekarang engkau takluk kepadá Tayli dan kelak engkau akan memberontak dan mengkhianatinya, itu jelas tidak setia. Sekarang engkau mengakui Toan Yan-khing sebagai ayah angkat, padahal engkau dilahirkan dari keluarga Buyung, itu berarti engkau tidak berbakti kepada keluarga buyung, bila kelak engkau menghianati Toan Yan-khing itu pun berarti tidak berbakti kepada ayah angkat. Kelak kaupun akan menumpas dan membunuh pembesar kerajaan Tayli, itu berarti tidak bijaksana, dan .... "

"Dân aku menjual kawan demi kepentingan sendiri, ini berarti tidak berbudi?" demikian sambung Buyung Hok dengan menjengak. Berbareng itu "plok", sekonyong-konyong punggung Pau Put-tong dihantam sakali.

Pukulan Buyung Hok itu kelihatannya tidak keras, tapi ia menggunakan tenaga dalam yang kuat dan tepat mengatasi hiat–to, yaitu sin-to-hiat, Leng-tai-hiat dan ci yan-hiat yang mematikan, Pau-Put-tong sama sekali menduga bahwa tuan muda yang menjadi asuhannya sejak kecil sehingga besar itu ternyata tega turun tangan keji padanya, karuan kontan ia tumpah darah dan roboh binasa.

Waktu Put-tong mulai berdebat dengan Buyung Hok, ketiga kawannya, yaitu Ting Pek-jwan, Kongya Kian dan Hong Po-ok juga ikut mendengarkan dengan berdiri di luar pintu, walaupun terasa kata-kata Pau Put-tong agak kelewat berani terhadap sang majikan, tapi merekapun merasa tepat dan beralasan.

Kini demi melihat Buyung Hok memukul Pau Put-tong karuan mereka terkejut, berbareng mereka pun menerobos masuk ke dalam.

Segera Po-ok mendukung tubuh Pau Put-tong yang sudah tak berkutik ìtu dan berseru, "Samko! Samko!

Kenapakah engkau?"

Terlihat air mata bercucuran membasahi pipi Pau Put tong, tapi napasnya sudah putus. Nyata pada saat jiwanya melayang Pau Put tong merasa sangat terduka dan penasaran.

"Samko, meski engkau tak bias bernapas lagi, tapi engkau tentu ingin bertanya kepada Kongcuya sebab apakah engkau dibunuh?" seru Po ok sambil menoleh dan menatap Buyung Hok dengan sorot mata berlugas.

"Kongcuya," Pek-jwan ikut bicara, "bahwasannya sifat Pau samte memang suka berdebat dan bertengkar dengan orang, hal ini cukup engkau ketahui. Sekali pun dalam kata katanya tadi dia bersikap kurang menghormat padamu, mestinya cukup Kongcu menegur dan memberi dampratan selayaknya saja, mengapa tega mencabüt nyawanya?"

Sebenanya yang menjadikan gusarnya Buyung Hok bukanlah sikap pau Put-tong yang kurang ajar itu melainkan karena Pau Put-tong berani bicara secara blak-blakan dan mengorek semua tipu muslihatnya yang berencana itu, hal íni tentu akan menimbulkan kecurigaan Toan Yan khíng dan mungkin tak jadi memungutnya sebagai anak dan dengan sendirinya pulaakan gagal menjadi ahli waris kerajaan Tayli. Andaikan dia tetap diterima sebagai putra mahkota, tentu pula rencananya akan menghadapi banyak kesulitan dan gagal membangun kembali kerajaan Yan.

Begitulah dalam murkanya Buyung Hok terpaksa turun tangan keji untuk memperlihatkan kepada Toan Yankhing akan ketulusan hatinya untuk menjadi anak angkat keluarga Toan. Sekarang ia ditegur oleh Ting Pakjwan, diam-diam ia serba susah lagi. Tapi segera ia ambil keputusan lebih baik cekcok dengan Pek jwan dan kawan-kawannya daripada menimbulkan curiga Toan Yan-khing.

Begitulah ia lantas menjawab, "Tentang kata-kata Pau samko yang kasar tadi sebenarnya tidak menjadi soal. Tapi dengan tulus aku ingin mengangkat Toan-tianhe sebagai Gihu, tapi dia sengaja memecah belah hubungan baik kami, dosa nya ini mana boleh kuampuni?”

"Jadi dalam pandangan Kongcu, Pau Put-tong yang telah mengabdi padamu selama belasan tahun ini jauh tiada harganya untuk dibandingkan dengan seorang Toan Yan-khing?” teriak Po-ok dengan marah.

"Hendaknya Hong-siko jangan marah," sahut Buyung Hok. ”Bahwasannya aku minta masuk menjadi keluarga Toan, hal ini kulakukan dengan setulus hati dan sedikit pun tiada maksud lain. Tapi Pau-samko telah mengukur jiwa seorang ksatria dengan jiwa kaum pengecut. Inilah yang tak dapat kuterima dan terpaksa kuberi hukuman setimpal padanya."

"Jadi maksud Kongcuya itu tak bisa ditarik kembali lagi?” Kongya Kian menegas dengan dingin.

"Ya. benar,” sahut Buyung Hok.

Seketika Kongya Kian, Ting Pak-jwan dan Hong Po ok pandang-memandang. Agaknya pikiran mereka sama, serentak mereka saling mengangguk.

Lalu Pek-jwan berseru dengan suara lantang, "Kongcuya, kami berempat meski bukan saudara sekandung. tapi kami telah bersumpah mati atau hidup tetap bersatu, hubungan kami melebihi saudara sekandung. Hal ini tentu Kongcuya cukup mengetahui?”

Alis Buyung Hok menjengkit, sahutnya dengan ketus. "Apakah maksud Ting-toako hendak menuntut balas kematian Pau-samko? Biarpun kalian bertiga maju sekaligus juga aku tidak gentar.”

Tiba-tiba Pek-jwan menghela napas panjang, katanya, "Kami adalah hamba pengiring keluarga Buyung, mana kami berani malu kami terhadap Kongcuya. Orang bilang, kalau cocok boleh tinggal, kalau tidak cocok boleh pergi. Maka kami bertiga untuk selanjutnya tak dapat melayani Kongcu lagi. Kaum ksatria yang íngin memutuskan hubungan tidäk pantas menggunakan kata-kata kotor, maka biarlah kita berpisah secara baik-baik, semoga Kongcuya menjaga diri dengan baik!"

Melihat ketiga abdi pengiringnya segera akan meninggalkan dirinya mau-tak-mau Buyung Hok merasa berat juga apalagi bila nanti berada di Tayli tentu akan sangat membutuhkan tenaga mereka. Maka ia coba menahannya, katanya, "Ting-toako, kalian tidak pernah menyinggung perasaanku. Sesungguhnya aku pun tidak sirik apa-apa kepada kalian, mengapa kalian hendak meninggalkan aku begitu saja? Dahulu ayah cukup baik terhadap kalian, juga kalian pernah berjanji akan membantuku sepenuh tenaga, jika sekarang kalian tinggalkan aku, apakah kalian tidak merasa mengingkari janji sendiri?”

Maka Ting Pak Jwan juga tampak muram, sahutnya. ” Jika Kongcu tidak mengungkit-ngungkit losiansing dibawa-bawa, maka tentang perbuatan mengangkat orang lain menjadi ayah, berganti she dan mengabdi kepada negara lain segala apakah perbuatan demikian ini dapat dipertanggungjawabkan kepada Losiansing? Ya, kami memang pernah berjanji kepada losiangsing akan membantu sepenuh tenaga pada Kongcuya untuk membangun kembali kerajaan Yan dan mengembangkan kejayaan keluarga Buyung, tapi sekali-kali tidak berjanji akan membantu Kongcu untuk memajukan kerajaan Tayli dan mengembangkan nama keluarga Toan.”

Jawaban Ting Pek-jwan itu membuat air muka Buyung Hok sebentar merah dan sebentar pucat serta tak dapat mendebatnya.

Berbareng Ting jwan, Kongya Kian dan Hong po-ok lantas memberi hormat dan berkata, "Selamat tinggal Kongcuya."

Lalu Po-ok memanggul jenazah Pau Put-tong bertíga orang lantas bertindak pergi dengan langkah lebar tanpa menoleh lagi.

Buyung Hok coba menenangkan diri dan berlagak menyakinkan diri, katanya kepada Toan Yan-khing, "Harap Gihu suka maklum, ketiga orang ini adalah hamba pengiring keluarga anak selama berpuluh tahun, tapi demi kesetiaan anak kepada kerajaan Tayli dan keluarga Toan, dengan tidak segan-segan anak membunuh satu diantaranya dan mengusir ketiga orang lain. Anak akan ikut ke Tayli seorang diri, sedikit pun anak tiada maksud tujuan lain.”

"Bagus, sangat bagus!” sahut Toan Yan-khing sambil mengangguk.

"Dan sekarang juga biarlah anak memberikan obat penawar kepada Gihu," ucap Buyung Hok. Segera ia keluarkan sebuah botol porselen kecil.

Tapi baru saja ia hendak menyodorkan botol kecil itu kepada Yan-khing, tiba-tiba pikirannya tergerak, "Wah, jika dia sudah sembuh dari keracunan kabut bunga merah, segera aku akan kehilangan alat ancaman padanya. Untuk selanjutnya terpaksa aku harus mengambil hatinya dan tidak boleh mengadu akal lagi dengan dia. Yang paling día benci adalah si Toan Ki, biarlah sekarang aku membunuh budak itu lebih dulu, kemudian barulah aku memberikan obat penawar padanya.”

Karena pikirannya itu, "sret” segera ia loloskan pedang dan berkata, "Gihu adapun sumbangsih anak yang pertama kepada Gihu adalah ingin kubunuh si bocah Toan Ki íni agar Toan Cing-sun kehilangan keturunan, dengan demikian mau-tak-mau dia akan terpaksa menyerahkan tahta kepadamu."

Waktu itu Toan Ki masih menggeletak di atas tanah dengan mata tertutup oleh kain hitam, meski matanya tak bisa memandang, tapi apa yang dikatakan Buyung Hok itu dapat didengarnya dengan jelas. Ia berpikir, Giokyan yang kucintai itu telah berubah menjadi adik perempuanku lagi sehingga cintaku kepadanya jadi sia-sia belaka. Memangnya aku tidak ingin hidup, jika kau bunuh aku kan kebetulan bagiku."

Begitulah rupanya Toan Ki menjadi putus asa dan patah hati karena mendengar pembicaraan Ong-hujin telah diketahui Goik-Yan yang dikasihi itu ternyata adik perempuannya pula seperti halnya Bok-wan-jing, maka ia lebih suka mati saja daripada hidup merana, apalagi saat itu hawa murninya juga tersesat sehingga Cau-hwaJip-mo, biarpun hendak melawan serangan Buyung Hok juga tidak mampu, karena itu ia mandak dibunuh dan menerima ajalnya.

Dalam pada itu perasaan Toan-hujin bagaikan disayat-sayat ketika dilihatnya Buyung Hok sedang mendekati Toan Ki dengan pedang terhunus. "Oooo!" mendadak ia menjerit kuatir.

Cepat Yan-khing berkata, "Nak, kebaktianmu ini sungguh harus dipuji Bocah Toan Ki itu terlalu menyakiti hatiku, berulang ia mempermainkan aku, paman dan ayahnya, mengangkangi pula tahtaku sehingga hidupku merana dan badanku cacat begini, untuk semua itu ayah ingin membunuh bangsat cilik itu dengan tanganku sendiri sekedar melampiaskan rasa dendamku."

"Baiklah," kata Buyung Hok, Lalu la membalik tubuh dan menyodorkan pedang kepada Toan Yan-khing. Tapi segera ia berseru pula, "Ai, anak benar-benar sudah pikun, seharusnya kuberikan obat penawar lebih dulu."

Dan Segera ia mengeluarkan, sebotol obat tadi.

Tapi sekilas dilihatnya air muka Toan Yan-khing sedang mengunjuk rasa senang dan seperti lagi mengedip mata kepada seseorang.

Buyung Hok adalah orang maha cerdik, segera ia mengikuti arah mata Toan Yan-khing, ia masih sempat melihat Toan-hujín sedang menggangguk pelahan, air mukanya juga mengunjuk rasa bersyukur dan berterima kasih yang tak terhingga.

Melihat itu, seketika timbul rasa curiga Buyung Hok. Cuma mimpi pun dia tidak menyangka bahwa Toan Ki sebenarnya adalah putra Toan Yan-khing dari hubüngan gelap dengan Toan-hujin atau Su Pek-hong, bahwa Toan Yan-khing lebih suka mengorbankan jiwanya sendiri daripada menyaksikan putra satu-satunya itu mati konyol dibünuh orang, sedangkan soal tahta kerajaan segala lebih-lebih tak terpikir pula olehnya.

Sebaliknya pikiran yang pertama-tama timbul dalam benak Buyung Hok adalah, "Jangan-jangan di antara Toan Cing-sun dan Toan Yan-khing ada persekongkolan? Betapapun mereka adalah sesama keluarga Toan dari Tàlli, mereka adalah saudára sepupu sendiri, hubungan mereka tentu lebih baik daripada diriku yang tiada sangkutpaut apa-apa dengan mereka.”

Tapi segera terpikir pula olehnya, "Jalan baik satu-satunya sekarang ialah aku harus bertindak dengan tegas dan cepat, aku harus berbuat beberapa jasa besar bagi Toan Yan-khing untuk memperkuat kepercayaannya kepadaku.”

Segera ia berpaling ke arah Toan Cing-sun dan berkata, "Tin lam-ong, setelah pulang ke Tayli, kira-kira berapa lama lagi engkau akan dapat menggantikan tahta kakakmu, dan sesudah naik tahta, untuk berapa lama engkau akan berada di singgasanamu dan kemudian menurunkan tahta lagi kepada Gihuku?”

Cing-sun sangat memandang hina terhadap pribadi Buyung Hok, maka jawabnya dengan acuh-tak-acuh, "Kakak bagindaku memiliki Iwekang yang sangat tinggi, tenaganya masìh amat kuat, boleh jadi dia akan bertahta selama 20 atau 30 tahun lagi. Bilamana beliau mewariskan tahtanya kepadaku, baru pertama kali aku menjadi raja, sudah tentu aku akan menikmati dengan baik-baik dan sedikitnya aku harus bertahta 30 tahun. Habis itu, giliran anak Ki yang akan menyambung tahtaku, tatkala mana dia sudah berusia 70 atau 80 tahun adaikan dia cuma menjadi raja selama 20 tahun, maka total seluruhnya kaupun perlu tunggu lagi kira-kira 100 tahun "

"Ngaco belo!" damprat Buyung Hok. "Tidak kata aku memberi batas waktu sebulan padamu untuk naik tahta menjadi raja, sebulan lagi kamu harus menyerahkan singgasanamu kepada Gihuku, Yan-khing Thaicu."

Tapi Cing-sun sudah jelas melihat situasi di depan mata sekarang. Nyata Toan Yan-khing dan Buyung Hok akan menggunakan dia sebagai batu loncatan untuk menuju tahta kerajaan Tayli, sesudah dia menurunkan tahtanya kepada Toan Yan-khing nanti barulah mereka akan membunuhnya, Tapi sekarang dia masih diperlukan, tentu tidak berani mengganggunya seujung rambut pun, bahkan kalau ada musuh tentu mereka akan membelanya malah. Sebaliknya Toan Ki yang berada dalam keadaan terancam.

Karena pikiran, segera Cing-sun terbahak dan berkata, "Tahtaku nanti hanya dapat kuturun kepada anakku Toan Ki, jika aku disuruh mempercepat mengundurkan diri juga boleh, tapi tidak mungkin tahtaku diserahkan kepada orang luar."

"Dengan telingaku sendiri kudengar kami berjanji akan menyerahkan tahta kepada Yan-khing Thaicu, kenapa sekarang kamu ingkar janji sendiri?” kata Buyung Hok dengan gusar.

"Cara bagaimana telingamu dapat mendengar sendiri?" sahut Cing-sun dengan dingin. "Hehe, kakak Yankhing, tentunya engkau tidak mengira bahwa 'walang hendak menangkap tonggeret, tak tahunya di belakang mengincar pula si burung gereja'. Rupanya waktu engkau menjebak aku, takkala itu si Buyung-kongcu yang bagus ini pun siap mengincar diriku.”

Buyung Hok terkesiap, "Celaka ucapanku agak tidak tepat. Dasar tua bangka dan licin, Tin-lam-ong ini sungguh sukar dilayani.”

Maka cepat membelok pokok pembicaraan, katanya dengan mengejek, "Hm, bagus juga, biar kumampuskan dulu Toan Ki si anak keparat ini, nanti kamu boleh mewariskan tahtamu kepada arwah setannya.”

Habis berkata kembali ia hunus pedangnya dan akan melangkah maju pula.

"Hahahaha! Memangnya kau anggap aku Toan Cing-sun ini manusia apa?" seru Cing-sun dengan bergelak tawa. "Jika kau bunuh putraku, apakah kau kira aku lantas rela dipermainkan olehmu? Nah, jika mau bunuh boleh lekas membunuhnya, kalau perlu boleh juga bunuhlah aku sekalian."

Sesaat Buyung Hok menjadi ragu malah oleh tantangan itu. Kalau dia mau membunub Toan Ki sekarang boleh dikata terlalu mudah, hanya sekali ayun pedang dan beres sudah. Tapi ia pun kuatir Cing sun menjadi kalap karena putranya dibunuh dan benar-benar tidak pikir akan jiwa sendiri, jika demikian maka tahta yang akan diterima Toan Yan-khing tentu akan gagal pula.

Begitulah sambil menghunus pedang yang gemerlapan sehingga wajahnya yang putih bersih kelihatan bersemu hijau kepucat-pucatan, Buyung Hok berpaling ke arah Toan Yan-khing untuk mendengarkan pendapat atau perintahnya.

Maka berkatalah Yan-khing, "Orang ini biasanya memang sangat kepala batu, berani berkata dan berani berbuat. Bila dia benar-benar bunuh diri dengan minum racun atau membenturkan kepalanya sehingga pecah, maka rencana kita yang muluk-muluk akan menjadi buyar pula dengan sia-sia. Baiklah, sementara ini kita jangan membunuh bocah Toan Ki itu, sekali dia sudah jatuh dalam cengkeraman kita, tak perlu takut dia akan terbang ke langit. Sekarang berikan obat penawarmu itu kepadaku."

"Ya," sahut Buyüng Hok.

Di mulut dia mengiakan, tapi dalam batín ia sedang berpikir, "Barusan Yan-khing Thaicu mengedipi Toanhujin, apakah artinya itu? Selama pertanyaan ini belum terjawab, betapapun tetap menyangsikan bila kuberikan obat penawar padanya. Tapi kalau aku mengulur waktu lagi tentu dia akan gusar, lantas bagaimana baiknya?"

Dalam keadaan ragu kebetulan saat itu terdengar Ong-hujin berteriak-teriak, "Buyung Hok, kamu anak kurangajar, kau bilang akan memberi obat penawar kepada bibi, tapi sesudah kau dapatkan seorang ayah angkat seperti siluman itu lantas lupa kepada bibimu. Jika tidak lekas kau beri obat penawar, jangan kau salahkan aku akan memaki dengan kata-kata kotor. Dan siluman yang tidak mirip manusia dan lebih mirip setan ..... "

Buyung Hok merasa kebetulan mendengar caci maki Ong-hujin itu, katanya terhadap Toan Yan-khing, "Gihu, watak bibiku memang keras, kalau ucapannya ada yang menyinggung perasaan Gihu mohon suka dimaafkan. Agar dia tidak ribut lagi, biarlah anak menyembuhkan dia lebih dulu, habis itu baru Gihu."

Habis berkata ia terus menyodorkan botol kecil ke hidung Ong-hujin.

Seketika Ong-hujin mengendus bau busuk dari dalam botol porselen kecil itu. Segera ia hendak mendamprat Buyung Hok, disangkanya keponakannya itu lagi mempermainkannya. Tak terduga, mendadak kaki dan tangannya terasa mulai bertenaga, lewat sejenak pula lantas terasa dapat bergerak seperti biasa. Tanpa bicara lagi ia terus sambar botol kecil itu dari tangan Buyung Hok dan menciumnya dengan keras-keras dan tak berhenti-henti.

Untuk mengulur waktu, Buyung Hok tidak mencegah perbuatan Ong-hujin itu, hanya diam-diam ia mengawasi gerak-gerik Toan Yan-khing dan Toan-hujin.

Tiba-tiba terdengar Ong-hujin berseru, "Tit-ji, mengapa tidak kau bunuh saja ketiga perempuan siluman rase itu untuk melampiaskan rasa dendam bibi ini."

Hati Buyung Hok tergerak, pikirnya, "Benar juga, Wi Sing-tiok, Cin Ang-bian dan Ciong-hujin itu semua kekasih Tin-lam-ong, kalau kugunakan jiwa mereka untuk memaksa Tin-lam-ong, agar menyerahkan tahtanya kepada Yan-khing Thaisu, jalan ini mungkin akan berhasil, berbareng juga dapat membikin senang hati bibi."

Segera ia mengacungkan ujung pedang ke arah Wi Sing-tiok sambil mengancam, "Tin-lam-ong, kau mau menyerahkan tahtamu kepada Yan-khing Thaicu atau tidak? Kalau tidak, selir kesayanganmu ini satu per satu akan kubinasakan."

Ternyata Toan Cing-sun tídak mau pandang barang sekejap pun, sebaliknya bersikap menentang malah. Keruan Buyung Hok menjadi kalap, pedang terus menusuk ke depan, kontan darah menyembur keluar dari dada Wi Sing-tiok, nyonya itu tidak sempat bicara sedikit pun lantas binasa.

Menyusul ujung pedang Buyung Hok beralih ke perut Cin Ang-bian dan bertanya kepada Toan-Cing-Sun, "Kau mau menyerahkan tahta atau tidak?"

Lagi-lagi Cing-sun tidak menggubrisnya dan kembali Buyung membunuh pula ibu Bok Wan-jing itu dengan menubleskan pedang ke perutnya. Kemudian ujung pedangnya lantas berberganti arah dan mengancam hulu hati Ciong-hujin.

Tatkala itu sorot mata Buyung Hok telah memantulkan sinar kebiruan, air mukanya pucat menghijau. Ketika melihat Toan Cing-sun tetap tidak menggubrisnya, ia tambah gemas, kontan ia bunuh Ciong hujin pula.

Sesudah membunuh Wi Sing-tiok, Cín Ang-bian dan Ciong-hujin bertiga, ketika melihat Cing-sun tetap berdiri kaku dan tidak ada reaksi apa-apa, karuan Buyung Hok tambah geregetan, serunya kalap, "Tin-lam-ong, lekas katakan kau mau menyerahkan tahtamu atau tidak? Kalau tetap diam saja biar kubunuh sekalian bibiku ini!"

Sembari berkata ujung pedangnya terus mengarah dada Ong-hujin sambil mendesak maju selangkah demi selangkah.

"Toan-long!" seru Ong-hujín dengan suara gemetar. "Apa engkau benar-benar sedemikian benci padaku sehingga ingin membikin celaka diriku?"

Rupanya ia cukup kenal watak Buyung Hok yang keji dan ganas itu, demi mencapai cita-citanya tentu dia tidak pikirkan tentang bibi atau bukan. Asal Cing-sun mau memperhatikan cintanya kepadanya, tentu Buyung Hok takkan segera membunuhnya, tapi akan memperalat dia untuk memaksa kehendaknya atas diri Toan Cing-sun.

Karena tempat Ong-hujin berdiri berada di depan Toan Cing-sun, maka Cing-sun dapat melihat sorot matanya yang mengunjuk rasa ketakutan dengan muka yang cantik itu mirip benar dengan wajah Wi Sing-tiok yang sudah menemui ajalnya itu, mau tak mau terbayanglah hubungan asmara mereka masa lampau, seketika perasaan Cíng-sun tergugah. Segera ia mencaci-maki, "Perempuan tua bangka perempuan bejat yang tídak tahu diri, kamu yang mengakibatkan ketiga kekasihku terbunuh semua, coba kalau aku dapat bergerak, sungguh aku ingin mencencangmu sehingga hancur lebur. Ayo Buyung Hok, tusuk saja biar mampus perempuan keparat itu!”

Ia tahu semakin keji caci-makinya semakin membuat ragu Buyung Hok dan tidak beraní sembarangan membunuh bibinya.

Segera Ong-hujin jadi paham juga, dengan caci-maki Toan Cing-sun itu, terang dia telah tergugah hatinya akan hubungan mereka masa lampau dan dengan mencaci maki itu Cing-sun telah membuat ragu Buyung Hok dan tidak jadi membunuhnya.

Namun karena rindunya kepada Toan Cing-sun selama belasan tahun berpisah ini telah membuat pikirannya banyak berubah. Ketika dilihatnya tiga sosok mayat menggeletak di depannya, sebatang pedang dengan berlumuran darah mengancam dadanya, sekonyong-konyong pikiran sehatnya menjadi kabur.

Apalagi caci maki Cing sun yang keji itu dengan menggunakan macam-macam kata rendah dan kotor sehingga kalau dibandingkan sumpah setia mereka yang penuh kata-kata madu masa dahulu, sungguh bedanya seperti langit dan bumi. Maka air matanya lantas bercucuran, katanya, "Toan long, apakah engkau telah melupakan semua ucapanmu yang pernah kaukatakan padaku dahulu? Apa sedikit pun engkau tidak memikirkan diriku lagi? O, Toan-long, ketahuilah bahwa sampai detik ini aku masih tetap cinta padamu. Kita sudah berpisah sekian lama, dengan susah-payah akhirnya baru kita dapat bertemu seperti sekarang ini, tapi mengapa engkau

tidak sudi bicara secara ramah padaku? ... apa engkau tidak pernah melihat pu ... putrimu yang kulahirkan si Giok-yan ini? Apakah engkau tidak suka padanya?”

Diam-diam Cing-sun menjadi kuatir, "Wah, tampaknya pikiran A Mong agak kacau. Kalau aku mengutarakan sedikit perasaan cintaku padanya tentu jiwanya akan segera melayang dí ujung pedang Buyung Hok."

Karena itulah ia lantas membentak dengan suara bengis, "Perempuan keparat, kita sudah lama putus hubungan, mengapa kamu masih ada muka untuk mengoceh! Hm, kalau bisa aku ingin menghajarmu untuk melampiaskan rasa benciku padamu!"

"O, Toan-long, tega amat kau!” seru Ong-hujin dengan menangis. Mendadak tubuhnya nubruk ke depan sehingga tepat menerjang ujung pedang yang mengancam di depan dadanya.

Sesaat itu Buyung Hok menjadi ragu apakah mesti menarik pedangnya atau tidak, namun tubuh Ong-hujin tahunya sudah menerjang maju sehingga ujung pedangnya, maka darah segar lantas menyembur keluar dari dada Ong-hujin.

"Toan long. O, Toan long, tega benar kau!" Ong-hujin masih sempat berseru pula dengan suara gemetar.

Melihat tüsukan itu tepat mengenai tempat yang mematikan dan terang bekas kekasih itu sukar tertolong lagi. Seketika air mata bercucuran di pipí Toan Cing-sun, katanya dengan suara parau, "A Mong, O. Mong, sebabnya aku mencaci-makí sebenarnya jüstru ingin keselamataan dirimu. Pertemuaan kita hari ini sesungguhnya membuat hatiku girang tak terkatakan, masa aku benci padamu, mana mungkin aku lupa padamu kita dahulu, Cintaku padamu akan tetap suci bersih sebagaimana waktu kupersembahkan setangkai bunga kamelia putih padamu."

Wajah Ong-hujin yang pucat itu menampilkan senyuman puas, katanya dengan lemah, "Baiklah jika begitu, memang aku yakin dalam lubuk hatimu tentu akan selalu terukir bayanganku dan selamanya takkan pernah melupakan daku .... "

Begitulah makin lemah suaranya ketika kepalanya miring ke samping dan mangkatlah dia.

"Nah, Tin-lam-ong, perempuan yang kau cintai satu per satu telah mati bagimu, apa barangkali untuk penghabisan kali istrimu yang sah ini pun tidak kaupikirkan dan akan dibiarkan dia mati juga karena garagaramu?" ancam Buyung Hok dengan menjengek, ujung pedang lantas mengancam pula dada Toan-hujin.

Tatkala itu Toan Ki masih menggeletak di atas tanah, ia dengar Wi Sing-tiok, Cin Ang-bian, Ciong-hujin dan Ong-hujin satu persatu telah binasa di bawah pedang Buyung Hok, bahkan sekarang jiwa ibunya diancam pula untuk menggertak ayahnya, betapapun hubungan darah antara Ibu dan anak melebihi segalanya, tentu saja Toan Ki kuatir dan kelabakan. Sungguh ia ingin berteriak "Jangan menyentuh ibuku! Jangan mencelakai ibuku!"

Tapi mulutnya tersumbat sehingga tidak dapat bersuara sedikit pun, ia hanya berusaha meronta sekuatnya, tapi hawa murni dalam tubuhnya seakan-akan buntu, sama sekali tak dapat dikerahkan sedikit pun.

Dàlam pada itu terdengar Buyung Hok berkata, "Tin-lam-Ong, aku akan menghitung tiga kali kalau kamu tetap bandel dan tak mau berjanji akan menyerahkan tahta kepada Yan-khìng thaicu maka dengan segera jiwa permaisurimu akan melayang juga.

"Jangan! Jangan mencelakai ibukul" demikian Toan Ki hendak berteriak tapi suaranya sukar diucapkan.

Syukurlah lamat-lamat ia dengar Toan Yan khing sedang berkata kepada Buyung Hok, "Nanti dulu, urusan ini harus kita pikirkan lebih panjang.”

"Gihu!" demikian Buyung Hok menjawab. "urusan hari adalah maha penting dan menyangkut rencana hari depan kita kalau dia tetap tidak mau berjanji untuk menyerahkan tahta kepada Gihu, maka semua rencana kita akan gagal seluruhnya. Nah, satu .... "

"Jika kau ingin aku berjanji, lebih dulu harus kau penuhi suatu syaratku," tiba-tiba Cing-sun menyela.

"Kalau mau bilang mau jika tidak katakan tidak. Jangan kaukira aku dapat diakali dengan tipu mengulur waktu. Nah, dua ... bagaimana?”

Cíng-sun menghela napas panjang "Ya, apa mau dikatakan lagi, selama hidupku memang sudah penuh berlumuran dosa, kalau sekarang bisa matí bersama-sama rasanya juga tidak penasaran."

"Jadi kamu benar-benar tidak mau menuruti? Nah, tiga ....”

Begitu kata "tiga" diucapkan Buyung Hok, tertampak Toan Cin-sun lantas berpaling ke arah lain dan tak menggubris lagi padanya.

Dengan murka baru saja Buyung Hok hendak menusukkan pedangnya ke dada Toan hujin. Sekonyongkonyong bahu kanan terasa ditumbuk sesuatu, tanpa kuasa ia tergeliat ke samping. Menyusul lantas kelihaian Toan Ki melompat bangun dan menyeruduk ke arah perutnya dengan kepala.

Karena tidak terduga-duga, cepat Buyung Hok menerobos serudukan Toan Ki itu, pikirnya "Bocah ini sudah kena sengat kawanan tawon beracun, dan terkena pula racun kabut bunga merah, di bawah racun ganda ini mengapa dia masih dapat melompat bangun?"

Sebaliknya karena menyeruduk tidak kena sasarannya, akhirnya kepala Toan Ki menyerempet tepian meja sehingga kepalanya benjut. Dalam keadaân gugup dan kuatir ia tidak ingat kepalanya yang benjut dan sakit itu. segera ia meronta sekuatnya dan entah dari mana datangnya tenaga, tahu-tahu tali kulit yang mengikat kedua tangannya menjadi putus.

Kiranya semula karena hati Toan Ki merasa berduka sehingga hawa murni dalam tubuhnya tersesat ke urat yang salah. Kemudian ketika mendengar Buyung Hok hendak membunuh ibunya, saking kuatir dan gugupnya ia menjadi lupa akan dirinya apakah terkena penyakit Cau-hwe-jip-mo atau tidak karena itu hawa murni yang sesat jalan tadi secara otomatis lantas masuk kembali ke jalan yang benar.

Hendaklah maklum bahwa seorang yang berlatih iwekang adalah dengan jalan mencurahkan pikirannya untuk mengatur tenaga dalam agar berjalan menuruti urat nadi yang tepat. Kalau sampai Cau-hwe-jip-mo, yaitu tenaga dalam tersesat (kira-kira sama dengan penyakit kelumpuhan) semakin merasa gelisah dan gugup dengan maksud hendak menarik kembali jalannya hawa yang tersesat itu maka hasilnya akan terjadi sebaliknya malah bukannya hawa sesat jalan itu àkan ditarik kembali sebaliknya makin menjurus ke jalan yang salah.

Tapi sekarang yang terpikir oleh Toan Ki adalah melulu keselamatan ibundanya dan hawa murninya tidak terpengaruh oleh pikiran yang kacau tadi maka dengan sendirinya hawa murni itu masuk kembali kejalan yang benar menurut arahnya. Waktu dia dengar Buyung Hok mengucapkan kata-kata "tiga," seketika ia lupa dirinya berada dalam ringkusan musuh dan segera melompat bangun terus menyeruduk ke arah suara Buyung Hok jadi di luar dugaannya mendadak tubuhnya dapat bergerak kembali.

Begitu kedua tangannya terlepas dari ringkusan tali kulit, demi mendengar Buyung Hok sedang memaki, sebelum musuh sempat menyerang, terus saja ia mendahului mengeluarkan "Siang-yang-kiam" dari Lak-mehsin-kiam yang lihai, kontan Jari manisnya menuding ke arah Buyung Hok.

Pedang yang dipegang Buyung Hok adalah pedang wasiat Man-to-san-ceng yang dapat memotong sayur. Ketika ia hendak menusuk, tahu-tahu hawa pedang Toan Ki sudah menyambar tiba cepat ia berkelit ke samping dañ kontan balas menusuk dengan pedangnya.

Saat itu kedua mata Toan Ki masih tertutup oleh kain hitam, mulutnya juga masih tersumbat. Kalau mulut tak bisa bicara sih tidak menjadi soal. Tapi mata tak dapat memandang di mana beradanya musuh, karuan Toan Ki menjadi kelabakan, dalam gugupnya itu terpaksa kedua tangannya bergerak ke sana dan ke sini, jarinya menuding secara serabutan agar lawan tidak berani mendesak maju.

Diam-diam Buyung Hok membatin, "Keadaan sudah berubah dan membahayakan, sebelum dia dapat melihat aku harus mendahului membinasakan diä.”

Segera pedàngnya mengacung lurus ke depan dengan gerak tipu "Tai-kang-long-liu" (sungai mengalir ke timur) secepat kilat ia tusuk pula dada Toan Ki.

Saat itu kedua tangan Toan Ki sedang bergerak ke sana-sini dan menuding serabutan. Ketika mendadak terdengar angin tajam menyambar tiba, cepat ia berkelit, namun sudah terlambat sedikit, "Cret” bahunya kena tusukan.

Karena kesakitan dengan gugup Toan Ki meloncat mundur, di luar dugaan, "blang!". Tahu-tahu kepalanya membentur belandar rumah dan tambah benjut.

Hendaklah maklum bahwa sesudah Toan Ki berhasil menyedot tenaga dalam Cumoti di sumur kering itu, maka betapa hebat kekuatannya boleh dikata sukar diukur lagi. Karena itulah hanya sedikit meloncat saja tingginya sudah mencapa¡ belandar rumah.

Dalam keadaan masih terapung di udara segera Toan Ki berpikir, "Mataku tak dapat melihat apa-apa, dengan sendirinya aku tak dapat menyerang dia dengan jitu, sebaliknya setiap saat ada kemungkinan aku akan dibunuh olehnya, wah, apa akalku sekarang? Jika melulu aku yang terbunuh tidak menjadi soal, tapi ibu dan ayah tentu juga tak tertolong lagi."

Dan karena tubuhnya terapung, dengan sendirinya kakinya meronta-ronta, eh, di luar dugaan, "praakk", tahutahu tali kulit yang meringkus kedua kaki pun putus semua.

Karuan Toan Ki kegirangan, "Bagus! Jika kedua kaki sudah dapat bebas bergerak, biarlah aku menggunakan "Leng-po-wi-poh" untuk menghindarkan serangannya. Tempo hari ketika dia menyamar sebagai Li Yan-cong dari Se He dan hendak membunuh aku di rumah gilingan, dia juga tidak berkutik menghadapi langkahku yang ajaib ini.”

Begitulah, maka sewaktu sebelum kakinya baru saja menyentuh tanah, terus saja kaki yang lain menggeser ke samping, sedikit badan mengegos, dengan tepat tusukan Buyung Hok yang dilontarkan pun dapat

dihindarkannya.

Orang lain hanya melihat berkelebatnya sinar pedang menyambar lewat di samping dadanya, selisihnya hanya satu-dua senti saja, tampaknya sangat berbahaya, tapi gayanya sangat indah dan langkah ajaib itu tak terlukiskan.

Sebenarnya hal ini pun secara kebetulan saja, Coba kalau mata Toan Ki tidak tertutup dan tidak menggunakan "Leng-po-wi-poh", karena dia sama sekali tidak mahir gerak ilmu silat, maka dapat dipastikan jiwanya sudah melayang di ujung pedang Buyung Hok yang tidak kenal ampun itu.

Dalam pada itu Buyung Hok lantas pergencar serangannya, tapi tetap tidak dapat mengenai Toan Ki. Rupanya ia menjadi gelisah dan merasa malu pula. Ia lihat Toan Ki tetap memakai kain kedok, seakan-akan sengaja mempermainkan dia, karuan ia tambah panas hatinya. Pikirnya, ”Terhadap seorang yang matanya tertutup kain saja aku tak mampu menang, masakah aku masih ada muka untuk hidup di dunia ini?"

Begitulah, dengan mata merah membara saking gemasnya, ia putar pedang secepat kitiran dan menyambar kian kemari di ruangan itu, hanya dalam sekejap saja Toan Ki sudah terbungkus di tengah lingkaran pedangnya.

Ruangan itu memang tidak terlalu luas, maka semua orang, termasuk Toan Yan-khing, Toan Cin-sun, Toanhujin, Hoan Hwa dan lain-lain ikut terdesak mundur oleh gemerlap sinar pedang yang dingin tajam itu, maka mereka sampai merasa perih.

Sebaliknya Toan Ki tampak dapat berjalan ke kanan dan melangkah ke kiri dengan seenaknya saja bagaikan orang lagi berjalan-jalan iseng di taman. Dan aneh juga, biarpun Buyung Hok putar pedangnya sedemikian gencarnya dan serangannya bertubi-tubi, tapi hasilnya tetap nihil, sampai ujung baju lawan saja tak bisa menyenggolnya, Karuan lama-lama Buyung Hok menjadi kelabakan sendiri dan seperti orang kebakaran jenggot.

Dengan menggunakan langkah ajaib "Leng-po-wi-poh", dengan sendirinya Buyung Hok sukar melukai Toan Ki. Namun begitu Toan Ki sendiri menjadi ragu dan berpikir, ”Aku hanya diserang melulu dan tak bisa balas menyerang, mataku tak kelihatan pula, Jika mendadák ibu atau ayahku yang dia serang, wah tentu mereka akan celaka?"

Begitulah, rupanya ia tetap lupa bahwa matanya hanya tertutup oleh selapis kain hitam saja, sedangkan tangannya sekarang sudah bebas, mestinya dengan dampang kain hitam itu dapat dilepaskannya. Namun ia tetap tidak pikir sampai ke situ.

Padahal hal itu yang dipikirkan oleh Buyung Hok hanya Toan Kí seorang yang dianggapnya sebagai bibit penyakit utama baginya. maka ia tidak berpikir untuk membunuh Toan-hujin atau orang lain.

Akan tetapi meski dia sudah menyerang berpuluh kali, bahkan sampai ratusan kali, tetap tidak mampu melukai Toan Ki, apalagi hendak membunuhnya. Dalam gelisahnya tiba-tiba hatinya tergerak, pikirnya, "Rupanya bocah íni mahir ilmu "Thing-hong-pian-gi" (mendengarkan suara angin membedakan arah serangan) untuk menghindari seranganku. Coba kalau aku ganti ilmu pedangku, akan kuserang dengan pukulan supaya tidak mengeluarkan suara, dengan demikian tentu bocah keparat ini tidak mampu menghindar.”

Maka mendadak ia perlambat permainan pedangnya, ia ubah serangannya, tiba-tiba ia menusuk dengan pelahan sehingga tidak mengeluarkan suara sambaran angin atau mendengingnya logam.

Ia tidak tahu bahwa "Leng-po-wi-poh" yang dimainkan Toan Ki itu adalah semacam langkah ajaib yang tersusun demikian rupa orangnya melangkah menurutkan apa yang sudah teratur itu dan peduli musuh akan menyerang dengan cara bagaimana pun, biar senjatanya mengeluarkan suara gemuruh bagai guntur atau menyambar secepat kilat tanpa suara, semuanya itu tetap tiada sangkut-pautnya atau mempengaruhi langkah ajaib itu. Sebaliknya jika lawan menyerang secara ngawur maka dengan mudah Toan Ki akan dirobohkan malah. Jadi langkah ajaib ini susah diikuti oleh serangan yang menurutkan ilmu silat sejati, sebaliknya mudah meruntuhkannya hanya dengan serangan yang tak beratur yang ngawur.

Sebagài tokoh silat terkemuka seperti Toan Yan-Khing mestinya ia dapàt menjajaki sampai dimana letak kemujizatan kepandaian Toan Ki itu, tapi sejak diketahui pemuda itu adalah putranya sendiri, mau-tak-mau ia lantas mencurahkan perhatian atas keselamatan pemuda itu, dan karena perhatian itulah telah memencarkan perhatiannya. Maka demi melihat Buyung Hok mengubah permainan pedangnya dan menusuk dengan tidak mengeluarkan suara karuan ia terkejut, cepat ia berseru dengan suara dalam perut, "Awas, Nak! Lebih baik lekas kau bunuh dia saja. Jika mendadak ia buka kain hitam yang menutupi matanya itu tentu kita yang akan binasa ditangannya."

Buyung Hok terperanjat dan diam-diam memaki, "Sungguh goblok, bukankah ucapanmu ini berarti membikin sadar musuh?”

Benar saja, ucapan Yan-khing itu telah menyadarkan Toan Ki, untuk seketika ia tertegun, segera ia tarik lepas kain hitam yang menutupi matanya itu.

Tapi sekonyong-konyong matanya menjadi silau, pedang musuh yang mengkilat sudah menyambar sampai di mukanya.

Dasar Toan Ki memang tidak mahir ilmu silat, lebih-lebih tiada pengalaman medan tempur karuan ia menjadi

kaget dan kelabakan atas datangnya serangan itu, cepat ia berkelit sebisanya. Dan karena bingungnya itu, langkahnya yang ajaib itü menjadi kacau. Dálam päda itu serangan susulan Buyung Hpk yang lain sudah tiba pula, "cret", tanpa ampun lagi paha kiri Toan Ki tertusuk kembali. Kontan pemuda itu terguling ke tanah.

Sungguh girang Büyung Hok tidak kepalang segera ia memburu maju, kembali pedangnya menusuk lagi ke dada Toan Ki.

Namun Toan Ki sempat siap siaga, dengan setengah rebah di tanah segera ia memapak dengan jurus "Siau-tikkiam".

Biarpun pahanya terluka dan darah mengucur keluar bagai mata air, kedua tangannya dapat digerakan dengan bebas, ia mainkan "Lak-meh-sin-kiam” yang lihai itu dengan menuding ke atas dan ke bawah secara bertubitübi sehingga Buyung Hok berbalik terdesak dan sükar menangkis.

Waktu di Siau-sit-san tempo hari juga Buyung Hok sudah pernah dibikin keok oleh Toan Ki, apalagi sekarang iwekang Toan Ki sudah bertambah kuat dengan tenaga dalam yang disedotnya dari Cumoti. Keruan betapa lihai Lak-meh-sin-kiam yang dimainkannya boleh dikata tiada bandingannya.

Hanya dalam beberapa jurus saja lantas terdengar suara ”cring” sekali, pedang Buyung Hok terlepas dari cekalan, mencelat ke atas dan menancap di belandar rumah. Bahkan menyusul terdengar pula "cret" sekali, bahu Buyung Hok terluka oleh tusukan hawa padang Lak-meh-sing-kiam.

Setelah pedang terpental dan bahu terluka, Buyung Hok insaf bila ayal sejenak lagi di situ tentu akan mati konyol dibunuh oleh Toan Ki. Maka sambil menjerit keras-keras sekali, cepat ia melompat keluar dan melarikan diri.

Pelahan Toan Ki merangkak bangun dan berseru, "Ibu, ayah, kalian tidak terluka?”

Tapi ibunya balas berseru. "lekas robek kain bajumu dan balut dulu lukamu!"

"Ah, tak apa-apa," sahut Toan Ki. Segera ia ambil botol kecil, yang masih dipegang Ong-hujin yang sudah tak bernyawa itu dan diserahkan kepada ibunya.

Hanya beberapa kali saja mengendus isi botol itu segera Toan-hujin merasa segar kembali, lalu nyonya itu membalut luka Toan Ki.

Kemudian Cing-sun memberi petunjuk kepada Toan Ki cara mengarahkan tenaga untuk membuka hiat-to semua orang yang tertutuk itu, lalu diberi cium obat penawar dalam botol kecil itu untuk menawarkan racun kabut bunga merah. Akhirnya cuma tinggal Toan Yan-khing saja seorang yang masih meringkuk di kursinya dalam keadaan lumpuh tak berkutik.

Mendadak Cing-sun melompat ke atas, ia cabut pedang yang menancap di belandar yang ditinggalkan Buyung Hok tadi. Ujung pedang ìtu berlumuran darah Wi Sing-tiok. Cín Ang-bian, Ciong-hujin dan Ong-hujin berempat. Setiap wanita itu pernah bersumpah setia dengan Cing-sun dan mempunyai ikatan jiwa-raga yang mendalam.

Meski watak Toan Cing-sun itu bangor dan cintanya tidak teguh, tapi setiap kali bila dia mencintai seorang wanita, maka kasih yang dicurahkannya juga sangat tulus dan tidak segan-segan berkorban apa pun bagi kekasih itu.

Hendaklah maklum bahwa negeri Tayli terletak dì wilayah selatan yang terpencil di mana hidup suku-suku bangsa yang adat istiadatnya tidak sama dengan bangsa Han, mereka tidak terikat oleh adat kuno yang mengekang kebebasan dan tidak terlalu memandang penting soal kesucian wanita sebelum kawin. Sebab itulah meski Cing-sun adalah seorang ksatria persilatan, tapi dalam hal wanita cantik ia tak bisa mengekang diri sehingga banyak utang cinta di dunia kangouw.

Sekarang dilihatnya mayat keempat wanita bekas kekasihnya itu bergelimpangan di atas tanah, kepala Onghujin berbantalkan paha Ciu Ang-bian, badan Ciong-hujin melintang di atas perut Wi sing-tiok. Keempat mereka itu pada masa hidupnya pernah merasa kerinduan kasihnya dan lebih banyak duka dari pada sukanya, bahkan akhirnya berkorban jiwa pula baginya.

Tadi waktu Wi Sing-siok dibunuh oleh Buyung Hok, tatkala itu Cing-sun sudah bertekad akan ikut bunuh diri, sekarang ia lebih-lebih tiada pilihan lagi, pikirnya, "Anak Ki sekarang sudah dewasa dan serba pintar, untuk selanjutnya kerajaan Tayli tidak perlu kuatir tak ada kepala negara yang bijaksana, bagiku menjadi lebih-lebih tidak perlu berkuatir apa-apa lagi."

Tiba-tiba ia berpaling dan berkata kepada sang istri, "Hujin, aku telah berdosa padamu, Dalam hatiku, para wanita ini serupa dengan dirimu, semuanya jantung hatiku, cintaku kepada mereka adalah tulus dan sungguhsungguh, cintaku kepadamu juga tulus dan murni!"

"Kakak Sun, kau ... jangan ..... " Teriak Toan-hujin sambil menubruk ke arah sang suami.

Tadi karena Toan Ki ingin menolong ibunya, maka sekaligus ia mengerahkan tenaga untuk melabrak Buyung

Hok, tapi kemudian setelah Buyung Hok melarikan diri, sesudah rasa kuatirnya hilang, sekonyong-konyong ia ingat, ”He, tadi aku dalam keadaan lumpuh, kenapa mendadak sudah baik?”

Karena kejutnya itu, kembali ia roboh, badan meringkuk lemas dan tak sanggup berdiri lagi.

Dalam pada itu terdengar jeritan ngeri Toan-hujin, ternyata Toan Cing-sun telah menobloskan pedang ke dada sendiri. Cepat Toan-hujin mencabut keluar pedang itu dan menutup luka sang suami dengan sebelah tangannya sambil menangis, "O, engkoh Sun, biarpun engkau mempunyai seratus atau seribu wanita lain juga aku tetap cinta padamu. Terkadang aku memang marah dan dendam padamu, namun ... namun ... semuanya itu sudah lalu .... "

Tikaman Toan Cing-sun atas dada sendiri itu tepat mengenai jantung, begitu pedang masuk dada seketika pula jiwanya melayang, maka ia tidak sempat lagi mendengarkan jerit tangis sang istri.

Segera Toan-hujin membalik ujung pedang ke arah dadanya sendiri, dan baru saja hendak ditusukkan, tiba-tiba terdengar teriakan Toan Ki, "Ibu! ... "

Dan karena sedikit ayalnya itu, arah pedang menjadi melenceng dan menusuk ke dalam perut.

Melihat ayah ibunya sama mati dengan membunuh diri, sungguh kaget Toan Ki tak terkatakan, kaki terasa lemas, terus ia merangkak mendekati kedua orang tua yang berlumuran darah dan mengeletak itu.

"Ibu! Ayah! Kalian meng ... mengapa .... "

"Anakku, ayah dan ibu akan mangkat, hen ...... hendaknya jaga dirimu sendiri dengan baik” pesan Toan-hujin dengan lemah.

”Ti ... tidak ibu! Jang ... jangan kau tinggalkan anak! Ayah! Dia ... dia bagaimana? Demikian seru Toan Ki sambil menangis dan merangkul pundak sang ibu. Maksudnya hendak mencabut pedang yang menancap di perut ibunya itu, tapi kuatir pula kalau pedang dicabut mungkin akan mempercepat kematian orang tua itu.

”Kau ... harus ... harus meniru pamanmu. Nah, jadilah seorang raja yang ... yang baik, seorang raja yang arif," pesan Toan-hujin.

Tiba-tiba terdengar Toao Yan-khing berkata, ”Lekas berikan obat penawar itu padaku, biar aku yang menolong ibumu.”

Tapi Toan Ki menjadi gusar, bentaknya, "Semuanya gara-garamu si bangsat tua ini, kamu yang menangkap ayahku sehingga dia terbinasa. Dendamku padamu sedalam lautan!"

Mendadak ia melompat bangun, ia sambar sebatang tongkat Toan Yan-khing yang terjatuh di lantai tadi, dengan tongkat itu segera ia hendak mengepruk kepala Toan Yan-khing.

"Jangan!" sekonyong-konyong Toan-hujin menjerit.

Toan Ki tercengang, tanyanya sambil menoleh, "Ibu. bangsat ini musuh utama kita, biarlah anak membalaskan sakit hatimu dan ayah."

Namun Toan-hujin tetap berseru dengan suara tajam, "jang ... jangan berbuat kesalahan demikian!”

"Aku .... aku berbuat salah?" Toan Ki menegas dengan penuh tanda tanya. Tapi ia lantas menggertak gigi dan membentak pula, "Tidak, aku harus membunuh bangsat ini!”

Dan segera ia angkat tongkat pula.

"Nanti dulu!" teriak Toan-hujin. "Coba kemari, ingin kukatakan padamu."

Segera Toan Ki berjongkok dan menempelkan telinganya ke tepl bibir sang ibu, ia dengar ibunya membisikinya, "Nak, Toan Yan-khing ini sebenarnya ayahmu yang tulen, Soalnya karena suamiku berbuat salah padaku, dalam marahku aku pun berbuat sesuatu yang menyeleweng dan akhirnya terlahir dirimu. Hal ini tak diketahui suamiku, dia tetap mengira kamu adalah anaknya, padahal bukan. Jadi ayahmu yang sebenarnya ialah Toan Yan-khing ini, maka tak boleh kau bunuh dia, kalau ... kalau kamu membunuhnya berarti berbuat durhaka. Selamanya aku tak pernah suka padanya, tapi kamu tak boleh ikut berdosa dan berbuat salah sehingga kelak bila kamu mangkat tak .... takkan mencapai nirwana. Mestinya aku tidak ingin memberitahukan hal ini padamu agar tidak merusak nama baik suamiku, tapi ... tapi apa daya, terpaksa kukatakan ...."

Begitulah dalam waktu singkat kejadian yang sama sekali di luar dugaan bagaikan bunyi halilintar susul menyusul membuat Toan Ki terlongong-longong dan sangsi, hampir-hampir ia tidakpercaya pada telinganya sendirinya.

"Mak.. tapi ini tidak betul, ini ... ini tidak betul!" seru Toan Ki sambil tetap merangkul ibunya.

”Lekas berikan obat penawar padaku agar ibumu dapat tertolong.” Yan-khing berseru pula.

Melihat keadan ibunya makin payah. Toan Ki tak sempat banyak berpikir lagi, segera ia jumput kembali botol porselen kecil tadi untuk menawarkan racun yang disedot Toan Yan-khing tadi.

Sesudah pulih kembali tenaganya, segera Yan-khing menjemput tongkatnya. "crit-crit-crit", beruntun ia tutuk beberapa tempat hiat-to di sekitar luka Toan-hujin.

"Jang ... jangan kau sentuh tubuhku lagi," kata Toan-hujin sambil mengoyang-goyang kepala. Lalu bertanya pula kepada Toan Ki, "Nak, aku ingin bicara lagi padamu.”

Segera Toan Ki menempelkan telinganya ke tepi mulut sang ibu.

Dengan berbìsik-bisik Toan-hujin berkata padanya, "Meski Toan Yan-khing ini sesama she dan satu angkatan dengan suamiku Toan Cing-sun tapi mereka bukan saudara sekandung. Maka beberapa putriku yang terlahir dari lain ibu itu seperti nona Bok, nona Ong, nona Ciong dan lain-lain, asal kamu suka boleh pilih yang mana saja untuk kawin, bahkan bila senang boleh juga kau ambil semuanya, sebagai seorang raja bila kelak naik tahta, adalah jamak bila mempunyai beberapa istri. Mungkin bangsa Han mereka hanya pantangan tentang sesama she tak boleh menikah dan sebagainya, tapi kita adalah orang Tailì dan tidak peduli adat istiadat kuno itu, asal bukan saudara sekandung boleh kauambil sebagai istri."

Toan-hujin menghela napas, katanya pula, "Anakku yang baik, sayang aku tak dapat menyaksikan sendiri dirimu mengenakan jubah kebesaranmu dan duduk di atas singgasanmu, tapi Aku tahu, kamu pasti akan menjadi seorang kepala negara, seorang pemimpin rakyat yang arif dan bijaksanan.”

Sampai di sini sekonyong-konyong ia tekan gagang pedang sehingga senjata yang maha tajam itu menembus perutnya.

"Mak!” jerit Toan Ki sambil menubruk tubuh sang ibu. Ia lihat ibunya pelahan memejamkan mata dengan tersenyum.

Pada saat lain sekonyong-konyong ia merasa punggung terasa kaku, menyusul beberapa hiat-to bagian pinggang, kaki dan bahunya juga ditutuk orang. Lalu terdengar suara orang yang sangat lirih tapi jelas berkumandang ke telinganya, ”Aku adalah ayahmu, Toan Yan-khing. Demi untuk menjaga pamor Tin-Lamong, Anak Ki aku sengaja bicara padamu dengan menggunakan ilmu ”Thoan-im-jip-bit” (semacam ilmu mengirim gelombang suara). Apakah kau dengar apa yang dikatakan ibumu tadi?”

Kiranya biarkan Toan-hujin kepada Toan Ki tadi meski sangat lirih tapi tatkala itu Toan Yan-khing sudah sembuh dari keracunan, iwekangnya sudah pulih, maka ia dapat mendengar pembicaan Toan-hujin dan mengetahui nyonya itu telah membeberkan rahasia mereka dahulu.

Tapi dengan cepat Toan Ki menjawab, "Aku tak mendengar, aku tidak mendengar apa-apa! Aku hanya menginginkan ayah dan ibuku sendiri?"

Yan-khing menjadi gusar, katanya, ”Jadi kamu tidak mau mengakui aku sebagai ayahmu?”

”Tidak! Tidak! Aku tidak percaya! Tidak percaya!” seru Toan Ki.

"Saat ini jiwamu tergenggam dalam tanganku untuk membunuhmu adalah terlalu mudah bagiku. Apalagi sebenarnya kamu memang putraku, sekarang kamu tidak mengakui ayahmu sendiri bukankah kamu ini anak yang tidak berbakti?”

Toan Ki tak bisa menjawab. Ia percaya apa yang dikatakan ibunya itu memang betul. Tapi selama lebih 20 tahun ini ia memanggil Toan Cing-sun sebagai ayah, selama itu pula Cing-sun juga sangat kasih-sayang padanya. sudah tentu ia tidak tega mengesampingkan Toan Cing-sun untuk mengaku ayah kepada orang yang selama ini tiada sesuatu hubungan kekeluagaan dengan dirinya? Bahkan sekarang ayah-ibunya sudah meninggal semua, kematian mereka boleh dlkata adalah gara-gara perbuatan Toan Yan-khing, sudah tentu hal ini semakin membuatnya serba salah untuk mengakui musuh sebagai ayah.

Karena pikiran demikian, dengan ketus Toan Ki menjawab, "Tidak, biarpun kau bunuh aku tetap aku takkan mengakuimu."

Keruan Yan-khing tambah murka, pikirnya, "Meski aku punya seorang putra, tapi putra ini tidak sudi mengakui aku sebagai ayahnya, hal ini sama dengan tidak punya anak.”

Dalam kalapnya pikiran jahatnya lantas timbul tongkat diangkat dan segera hendak mengetuk punggung Toan Ki.

Tapi baru saja ujung tongkat menyentuh baju punggung pemuda itu, tiba tiba hatinya menjadi lemah, ia menghela napas panjang, katanya di dalam hàti, "Aku telah hidup sengsara selama ini, di dunia tiada seorang pun dekat denganku, akhirnya dapat díketahui aku mempunyai seorang putra, mengapa aku tega membunuhnya pula dengan Tanganku sendiri? Ya, sudahlah baik dia akan mengakui aku atau tidak, betapapun dia tetap anak keturunanku."

Kemudian terpikir pula olehnya, ”Sekarang Cing-sun sudah mati, dengan sendirinya anakku ìnilah yang menjadi ahliwaris kerajaan Tayli, jadi tahta kerajaan Tayli akan kembali lagi kepada orang keturunan lurus ayahku. Biarpun aku tidak berhasil menjadi raja, tapi anakku yang akan naik tahta. Hal ini pun sama saja dan cita-citaku selama ini boleh dikatakan sudah tercapai dan terkabul."

Dalam pada itu terdengar Toan Ki lagi berteriak padanya, "Kamu hendak membunuh aku, kenapa tidak lekas kaulakukan?"

Tapi Yan-khing lantas menepuk Hìat-to Toan Ki yang tertutuk. lalu berkata padanya tetap dengan gelombang suara yang lembüt, "Aku takkan membunuh putraku sendiri. Jika kamu tidak mau mengakui aku, maka boleh kau gunakan Lak-meh-sin-kiam untuk membunuh aku, bolah kau tuntaskan balas bagi kematian Toan Cing-sun suami-istri."

Habis berkata, dengan membusungkan dada ia menantikan ajalnya yang akan ditimpahkan oleh Toan Ki padanya.

Dalam saat demikian hati Toan Yan-khing merasa penuh penyesalan dan pedih, perasaan yang sudah memenuhi rongga dadanya sejak dia terluka parah sehingga menjadi cacad. Untuk melampiaskan perasaan dendamnya itu selalu ia berbuat segala kejahatan yang melampaui batas. Tapi sekarang ia merasa selama hidup ini hanya dilewatkan dengan percuma saja, maka lebih baik mati di tangan putranya sendirl dan segalanya akan menjadi impas.

Toan Ki mengusap air matanya, perasaannya menjadi bimbang. Pikirnya hendak menggunakan Lak-Meh-sinkiam untuk membunuh maha durjana di depan matanya ini guna membalas sakit hati ayah-ibunya, namun pesan sang ibu pada sebelum mangkat sayup-sayup berkumandang pula ditelinganya, musuh ini justru adalah ayahnya yang sebenarnya, cara bagaimana ia dapat membunuhnya?

Sesudah menunggu sejenak dan Toan Ki masih ragu, jari pemuda itu sudah mulai menuding, tapi lantas diturunkan pula ke bawah, diangkat lalu ditarik kembali lagi, rupanya pemuda itu tatap bimbang untuk turun tangan.

Maka dengan dingin Yan-khing berkata, "Seorang laki-laki sejati, kalau mau berbuat harus segera lakukan, kenapa mesti ragu-ragu dan takut-takut?”

Tapi dengan menggertak gigi akhirnya Toan Ki tetap menarik kembali tangannya, katanya, "Ibu tentu tìdak mendustai aku. Aku takkan membunuhmu.”

Sungguh girang ToanYan-khing tak terlukiskan, ia terbahak-bahak senang. Ia tahu akhirnya sang putra toh mengakui ayah juga padanya. Maka puaslah dia. Segera ia jemput kembali kedua tongkatnya dan melangkah pergi. Sampai In Tiong-ho yang masih mengeletak sadarkan diri itu pun tak dipedulikan lagi.

Dengan harapan kalau-kalau ayah-ibunya masih hidup, maka Toan Ki coba memeriksa kedua orang tua itu, tapi denyut nadi mereka sudah berhenti, terang tiada mungkin hidup kembali. Maka tak tahan lagi air matanya bercucuran dan duduk lemas dilantai.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berkata padanya. ”Harap Toan-kongcu jangan berduka. Kami terlambat datang menolong, sungguh kami pantas dihukum mati."

Waktu Toan Ki menoleh, ia lihat di depan pintu berdiri tujuh atau delapan orang wanita dengan dipimpin oleh dua orang yang wajahnya seperti pinang dibelah dua. Segera ia kenal mereka adalah kawanan dayang Hi-tiok di Leng-ciu-kiong, Cuma siapa kedua dayang kembar itu ia tidak sanggüp membedakannya.

Dengan air mata masih berlinang Toan Ki menjawab dengan terguguk-guguk, "Ayah-ibuku telah dibunuh orang!”

Kiranya kedua dayang kembar yang datang itu adalah Tiok-kiam dan Kiok-kiam. Segera Tiok kiam berkata, "Toan-kongcu,ketika majikan kami mendapat kabar akan bahaya yang mengancam ayah Kongcu dalam perjalanan segera beliau memerintahkan hamba bersama para kawan memburu kemari untuk menolong, cuma sayang agak terlambat kedatangan kami."

"Nona Ong yang terkurung di suatu kamar tahanan sekarang sudah kami selamatkan, haräp Köngcu jangan kuatir," lapor Kiok-kiam.

Sejenak kemudian, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara suitan ramai. Maka berkata pula Tiok-kiam, ”Itu dia, Bwe-cici dan lam-cici juga sudah datang semua.”

Tidak lama kemudian, belasan penunggang kuda telah sampai di depan rumah dengan dipimpin oleh bwe-kiam dan Lam-kiam. Dengan langkah cepat kedua dara itu menerobos ke dalam rumah, ketika melihat mayat bergelimpangan di situ, berulang mereka mengentak kaki dan menyatakan menyesal.

Kata Bwe kiam sambil memberi hormat kepada Toan Ki, "Majikan kami menyampaikan salam kepada Toankongcu, beliau merasa ada suatu hal telah sangat merugikan Toan-kongcu, tapi beliau terpaksa berbuat demikian, jalan lain tidak ada, Untuk itu majikan hanya mohon Toan-kongcu suka memberi maaf, sungguh beliau merasa malu untuk menemui Toan-kongcu."

Toan Ki sendiri tidak paham apa yang dikatakan dayang itu (mengenai putri Se He yang sekarang telah diperistri oleh Hi-tiok) ) ia hanya menjawab dengan masih terguguk-guguk, "Kami adalah saudara angkat sendiri, sudah tentu tidak perlu sungkan-sungkan. Sekarang ibu dan ayahku sudah meninggal dunia, masa aku sempat memikirkan urusan tetek-bengek lagi?”

Dalam pada itu Hoan Hwa, Siau Tiok-sing dan Ting Su kui bertiga juga sudah sembuh dari keracunan setelah mencium obat dalam botol porselen kecil itu, hiat-to mereka yang tertutuk juga sudah punah. Ketika melihat In Tiong-ho masih menggeletak di tanah, seketika Siau Tiok-sing menjadi gusar, sekali goloknya membacok, kontan tubuh "Kiong-hion-kek-ok" In Tiong-ho terkutung menjadi dua.

Lalu ketiga orang memberi hormat kepada jenazah Tin-lam-ong suami-istri dan menangis sedih.

Esok paginya Hoan Hwa dan lain-lain membagi tugas dan sibuk mengurus layon Tin-lam-ong suami istri. Sampai lohor, para dayang Leng-ciu-kiong juga telah datang dengan membawa Giok-yan, Pah thian-sik, Cu Tan-sin, Ciong ling dan lain-lain. Mereka keracunan akibat sengat tawon yang berbisa itu, maka sampai saat itu mereka masih tertidur nyenyak tak sadarkan diri.

Melihat Giok-yan dalam keadaan baik-baik walaupun belum sadar, di samping berduka Toan Ki menjadi sangat girang pula. Segera ia menyaksikan jenazah kedua orang tua dlmasukkan ke dalam peti. Begitu pula jenazah Ong-hujin dan lain-lain.

Tempat di mana mereka berada itu sudah termasuk wilayah negeri Tayli. Ketika Hoan Hwa memberikan perintah setempat, karuan para pembesar dan petugas setempat kaget dan ketakutan setengah mati. Tin-lamong suami istri mendadak meninggal di wilayah kekuasaan mereka tanpa diketahui oleh mereka, sungguh tanggung-jawab ini tidaklah kecil. Maka dengan tergopoh-gopoh kawanan pembesar itu sibuk mengumpulkan orang untuk mengurus dan mengantar layon Tin-Lam-ong dan lain-lain.

Sesudah Giok-yan, Pah Thian-sik. Ciong Ling dan lain-lain sadar kembali dan mengetahui ibu dan junjungan mereka telah meninggal, dengan sendirinya mereka pun sangat berduka. Dan karena kuatir terjadi apa-apa di

tengah jalan, maka para dayang Leng ciu-kiong ikut mengantar rombongan Toan Ki sampai di kotaraja Tayli.

Berita tentang wafatnya Tin-lam-ong dalam perjalanan dan jenazah telah dibawa pulang oleh putra mahkota sudah tersiar luas di kotaraja, maka berbondong rakyat menyambutnya dengan duka-cita sepanjang jalan. Toan Ki langsung menuju ke keraton untuk memberi lapor tentang kematian ayah-ibundanya kepada sang paman baginda, sedangkan Giok-yan dan lain-lain diatur tempat pondokannya oleh Cu Tan-sin.

Setiba di istana Toan Ki melihat pamannya, yaitu Toan Cing-bing, menangis sedih sehingga matanya merah bandol. Begitu melihat Toan Ki, terus saja Toan Cing-bing berseru, "O. anakku.. bag ... bagaimana bisa terjadi demikian?"

Dan kedua orang lantas saling rangkul dengan penuh duka.

Toan Ki tak berani berbohong, ia menceritakan segala apa yang terjadi, bahkan tentang apa yang didengarnya dari pesan Ibunya juga diceritakan seluruhnya. Habis menutur lalu ia beri sembah kepada sang paman, "Jika ayah ternyata bukan ayah sah anak maka jelas anak adalah orang yang tak genah untuk selanjutnya tak dapat berdiam lagi dalam istana."

Diam-diam Cing-bing tercengang selama mengikuti cerita Toan Ki itu, berulang ia menghela napas akan karma peristiwa itu. Ia peluk Toan Ki dan berkata, "Nak, seluk-beluk tentang hal ayahmu hanya kamu dan Toan Yankhing saja yang tahu, mestinya tidak perlu kau beritahukan padaku sejelas ini, tapi tetap kau tuturkan tanpa dusta sedikit pun, hal ini menandakan kejujuranmu. Aku dan ayahmu memang tiada punya keturunan, jangankan kau aslinya memang she Toan, sekalipun bukan orang she Toan juga aku sudah bertekad akan mengangkat dirimu sebagai ahliwarisku. Tahtaku ini memangnya milik Yan-khing Thaicu, aku telah mengangkangi selama puluhan tahun, diam-diam aku sendiri pun merasa malu, sekarang kita telah diatur sedemikian rupa oleh takdir, sungguh sangat kebetulan dan baik sekali."

Habis berkata ia terus menanggalkan kopiah kain kuning yang dipakainya sehingga kelihatan kepalanya yang gundul kelimis dengan bekas selomotan dupa, yaitu tanda orang yang sudah dibaptiskan menjadi murid Budha.

Toan Ki terkejut, serunya, "He, paman engkau ... "

"Ya, tempo hari waktu menghadapi Cumoti, di Thian-long-si aku sudah dibaptiskan oleh Suhu dan diberi nama Thian-tim, hal ini kausendiri pun menyaksikan," kata Cing-bing. "Waktu itu sebenarnya segera akan kuserahkan tahta kepada ayahmu. Cuma ayahmu tatkala itu masih berada di Tionggoan, negara tidak boleh tanpa pimpinan terpaksa kumohon restu guruku untuk sementara memangku jabatanku sampai pulangnya ayahmu. Siapa duga ayahmu telah meninggal dalam perjalanan, maka sekarang biarlah aku mewariskan tahtaku ini kepadamu."

Keruan Toan Ki terperanjat, sahutnya. "Mana anak berani? Usia anak terlalu muda dan tiada punya pengalaman, mana berani kujabat kedudukan setinggi ini? Apalagì asal usul anak tidaklah jelas lebih baik biarlah anak mengasingkan diri saja ..."

"Tentang asal-usulmu untuk selanjutnya tidak boleh disebut-sebut lagi," bentak Toan Cing-bing. "Aku hanya ingin bertanya bagaimana ayah-ibumu terhadapmu selama ini?"

"Budi kebaikan kedua orang tua sungguh sedalam lautan dan setinggi gunung," sahut Toan Ki dengan terguguk.

"Nah, jika kauingin membalas budi kebaikan orang tua, maka harus kaujaga nama baik mereka." ujar Cingbing. "Untuk menjadi raja yang baik harus selalu ingat dua hal. Pertama, cinta kepada rakyat. Kedua, dapat menerima saran-saran dan kritikan Watakmu memang jujur dan welas-asih, rasanya kaupun takkan berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat. Cuma kelak bila usiamu sudah mulai menanjak, janganlah sekali-kali menganggap dirimu, maha pandai dan timbul pikiran yang melampaui batas, umpamanya timbul maksud hendak mengganggu persahabatan dengan negeri tetangga ingin menjajah dan sebagainya .... "

Jika di kerajaan Tayli Toan Cing-bing sedang menurunkan tahtanya kepada anak keponakannya, yaitu Toan Ki dengan pesan agar cinta kepada rakyat dan dapat menerima saran dan kritik serta jangan sekali-kali timbul pikiran hendak menggangu atau mencampuri urusan dalam negeri tetangga. Adalah pada waktu yang sama, jauh di kota raja Song sana juga telah terjadi peristiwa tinggi.

Tatkala itu Ibu suri yang memegang tampuk pimpinan sementara sebagai raja sedang sakit keras. Dìa sedang memberi pesan kepada cucunya, Tio Hi, yang kini sudah berusia 18 tahun (karena usianya masih muda, maka ibu suri untuk sementara menjabat sebagai Mangkubumi dan sudah berjalan hampir 10 tahun).

Tio Hi itu dalam sejarah terkenal sebagai kaisar Ciat-cong. Dia naik tahta dalam usía sembilan tahun dengan didampingi neneknya sebagai Màngkubumi. Namun dengan bertambahnya umur, bertambah pula ambisinya. Maka pada saat ibusuri (neneknya) dekat dengan ajalnya, dlpanggilnya sang cucu dan diberi pesan sebagaimana tersebut di atas.

"Nak, kamu sudah menjadi raja selama sembilan tahun," demikian kata ibusuri lebih lanjut. "Akan tatapi, selama sembilan tahun ini yang benar-benar menjadi raja adalah nenekmu, segala urusan diputuskan oleh nenek, maka ... maka kamu tentu sangat marah dan benci kepada nenekmu bukan?"

"Mana cucu berani marah dan benci kepada nenek?" sahut Tío Hi. Nenek sudi mewakilkan cucu sebagai raja

dan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya adalah tugasku sehingga aku tidak perlu susah, hal ini justru sangat menyenangkan cucu."

lbusuri menghela napas, lalu katanya pula dengan pelahan, "Al, kamu mirip sekali dengan ayahmu, pintar lagi cekatan, selalu ingin melakukan sesuatu usaha besar-besaran. Aku tahu dalam hati tentu kau benci padaku."

Tio-Hi tersenyum, sahutnya, '"Nenek tentu kenal watak cucu. Tapi semua orang penting dalam istana ini adalah orang kepercayaan nenek, begitu pula para pembesar adalah nenek sendiri yang mengangkatnya, cucu selainnya menurut kepada segala perintah nenek dapat berbuat apa?”

"Jadi yang senantiasa kau harapkan adalah seperti sekarang ini, asal aku mati dan kamu akan punya kesempatan untuk berkuasa secara penuh, begitu?" tanya Ibusuri dengan suara ketus.

"Segala apa yang dimiliki cucu ini seluruhnya adalah pemberian nenek, waktu ayah baginda wafat dahulu, kalau nenek tidak berkeras mengangkat cucu, tentu para pembesar telah mengangkat kakak pangeran yang lain. Maka atas budi kebaikan nenek, mana cucu berani melupakannya Hanya saja ... hanya saja .... "

"Hanya apa?" ibusuri menegas. "Apa yang ingin kaukatakan boleh katakan terus terang saja, kenapa mesti gelagapan dan mundur maju?”

"Begini nenek," sáhüt Tío Hi. "Pernah cucü dengar cerita orang, katanya sebabnya nenek mau mengangkat cucu sebagai raja adalah lantaran usiaku masih terlalu kecil sehingga nenek sendiri dapat pegang kemudi pemerintahan."

Habis mengucapkan kata-kata itu, hati Tio Hi berdebar-debar, ia coba melirik keluar pintu, ia lihat para Thaikam (orang kasim) yang berjaga di luar itu adalah dayang kepercayaan sendiri, semuanya bersenjata, penjagaan cukup keras. Maka tenanglah perasaannya.

Ibusuri tampak manggut-manggut, katanya kemudian, "Ya, apa yang kaukatakan memang betul. Aku memang ingin memegang kemudi pemeritahan sendiri, makanya aku sengaja mengangkat dirimu yang masih kecil sebagai pengganti ayahmu. Dan selama sembilan tahun ini bagáimana dengan pemerintahan di bawah pimpinanku?"

Tío Hi mengeluarkan segulung kertas, katanya, ”Nenek, menurut pembesar negeri tetangga, seperti kerajan Korea, mereka banyak memberi sanjung puji kepada nenek, katanya selama sembilan tahun ini nenek telah banyak memajukan kesejahteraan negara dan rakyat. Kukira semua íni nenek sendiri pun sudah mendapat laporan. Dan barusan ada orang kita pulang dari utara, katanya perdana menteri Liau telah mengajukan petisi

kepada rajanya, dalam petisi itu disinggung tentang politik pemerintahan nenek selama ini. Karena hal ini adalah penilaian pembesar negeri musuh, apakah sekiranya nenek suka mendengarkannya?”

Jilid 85
"Apakah dipuji atau dicaci-maki, masa-bodohlah! Yang terang ajalku sudah takkan lebih lama lagi daripada ma ... malam ini, entah matahari esok pagi dapat kulihat pula atau tidak? Coba ... apa yang dikatakan perdana menteri negeri Liau itu?"

Rupanya meski Ibusuri tahu ajalnya sudah sampai dan takkan bertahan sampai besok paginya, tapi rasa bangga dan ingin tahunya tetap mendorongnya bertanya tentang petisi perdana menteri Liau yang diajukan kepada rajanya yang menyangkut namanya itu.

Maka berkatalah Tio Hi, "Menurut petisi perdana menteri Liau itu, katanya selama nenek memerintah negari ini keadaan aman tentram, rakyat hidup sejahtera, katanya nenek pandai memakai tenaga yang cakap, membuang peraturan yang merugikan rakyat dan mengandalkan peraturan baru yang bijaksana. Pemerintahan di bawah pimpinan nenek bersih dari korupsi, begitu pula para pembesar hidup sederhana dan benar-benar mengabdi kepada rakyat. Maka nenek diibaratkan sebagai raja Hiau dan raja Sun wanita di jaman ini ... ”

Mendengar sampai di sini, tiba-tiba sorot mata ibusuri yang tadinya guram itu memancarkan beberapa titik sinar kepuasan. Katanya dengan bergumam, ”Bagai raja Hiau dan raja Sun wanita jaman kini, tapi biarpun begitu juga tidak terhindar daripada kemuliaan”

Habis berkata, sekonyong-konyong terkilas sesuatu didalam benaknya, segera ia bertanya, "Ya, mengapa perdana menteri Liau itu sengaja menyinggung diriku? Ah. Kamu harus hati-hati Nak! Me ... mereka tahu ajalku sudah dekat, maka mereka bermaksud menghinamu."

"Menghina aku? Hm!" ujar Tio Hi dengan sikap angkuh. "Biarpun bagaimana tidaklah gampang mereka akan berbuat sesukanya padaku. Ya, kutahu orang Cidan mempunyai mata-mata di negeri kita, terutama dl kota raja ini, maka tentang sakitnya nenek mereka cukup tahu jelas. Tetapi apakah kita tidak punya mata-mata di tempat mereka? Bukankah isi petisi yang diajukan perdana menteri ini pun jatuh di tangan kita? Memang, di antara raja dan pembesar Cidan itu sudah berunding dengan baik-baik katanya b¡la ... bila nenek wafat, kalau pembesar militer dan sipil kita tiada sesüatu perubahan apa-apa dan tiada mengadakan gerakan baru, maka mereka akan diam saja. Sebaliknya bila anak mengadakan sesuatu perubahan dan gerakan maka ... hm, maka mereka akan mendahului mengadakan kontra gerakan serentak."

"Jadi maksud mereka akan mendahului menyerang ke selatan?” ibusuri menegas.

"Ya, begitulah maksud mereka,” sahut Tio Hi. Ia putar tubuh dan berjalan ke tepi jendela, ia lihat bintangbintang berkelip memenuhi cakrawala nan biru gelap, sambil memandang langit sebelah utara ia menyambung

pula, "Tapi kenapa aku mesti keder? Negeri Song kita luas dan kaya-raya, prajurit kita kuat dan berjumlah banyak, apa kita harus takut kepada orang Cidan? Ya, andaikan mereka tidak bergerak ke selatan, akhirnya aku pun akan menuju ke utara untuk mencoba mengukur kekuatan mereka.”

Karena sudah tua, maka pendengaran Ibusuri kurang tajam, ia menegas, "Apa yang kau katakan? Kau bilang mengukur kekuatan apa?"

Tio Hi mendekati pembaringan neneknya, katanya. "Nenek, rakyat Song kita berjumlah puluhan kali lebih banyak daripada orang Cidan, perbekalan kita juga lebih lengkap. Apakah klta masih takut kepada mereka yang berjumlah tidak seberapa itu?"

"Apa maksudmu hendak berperang dengan orang Liau?" Ibusuri menegas dengan suara gemetar. "Kakekmu Kaisar Cin-cong sedemikian tangkas, beliau telah berjuang mati-matian dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian perdamaian dengan orang Cidan, masakah ... masakah sekarang boleh sembarangan kau serang lebih dülu!"

"Tentu saja nenek menjadi untung anak dan menganggap anak masih penuh ingusan yang tidak tahu apa-apa.” ujar Tio Hi dengan penasaran. ”Andaikan anak tidak dapat disamakan dengan para kaisar leluhur, namun kita juga jangan menilai rendah diri kita sendiri. Dahulu kita bukan tandingan negeri Liau, apakah untuk selamanya kita juga takkan mampu melawannya?”

Sebenarnya banvak sekali pesan yang hendak diucapkan Ibusuri, tapi ia merasa tenaganya makin lemah, pikirannya serasa hampa, hendak bicara pun rasanya berat. Namun dalam lubuk hatinya selalu bergema suara yang tegas yang mengatakan, ”Prajurit lemah berbahaya untuk perang, jangan buang-buang korban percuma, jangan sembarangan mengadakan gerakan militer."

Setelah menarik napas panjang, akhirnya ia berkata dengan pelahan, ”Nak, selama beberapa tahun ini aku memegang tampuk pemerintahan, aku lupa mengerjarkan padamu tentang keadaan negara kita, kesalahan ini adalah tanggung jawabku. Ya, aku merasa banyak hal yang harus kubicarakan denganmu, siapa duga ... siapa duga .... "

Ia terbatuk-batuk beberapa kali, lalu melanjutkan, "Siapa duga ajalku tinggal beberapa jam lagi sehingga aku tak dapat bicara banyak padamu. Hendaknya diketahui, walau pun benar rakyat kita berjumlah puluhan kali lebih banyak dan perbekalan lebih lengkap, tapi rakyat kita pada umumnya lemah, tidak sekuat dan setangkas orang Cidan, apalagi kalau terjadi perang, tentu rakyat yang tak berdosa akan ikut menjadi korban dan entah berapa banyak prajurit dan rakyat biasa akan terbunuh dan entah berapa banyak rumah penduduk akan musnah. Seorang pemimpin, seorang raja setiap saat harus berpikir secara bijaksana, jangankan soal menang atau kalah dalam peperangan sukar diramalkan, kekali pun yakin pasti akan menang lebih baik peperangan ini tidak terjadi."

"Pikiran nenek ini adalah pikiran kolot yang sudah ketinggalan jaman," ujar Tio Hi, ”Sebagian besar wilayah kita telah dìkangkangi musuh, setiap tahun kita harus mengirim upeti kepada orang Cidan, kita diperlakukan sebagai tanah jajahan, apakah kita harus menerima hinaan demikian terus menerus? Leluhur kita dahulu beberapa kali perang dengan negeri Liau, bukankah soalnya karena ingin mempertahankan kejayaan kerajaan Song kita. Pendek kata anak pasti akan meneruskan cita-cita leluhur yang belum terkabul ini. Selama cita-cita ini belum terlaksana, aku bersumpah akan terus berjuang atau lebih baik hancur seperti kursi ini.”

Habis berkata, mendadak ia lolos pedang yang tergantung di pinggangnya dan membacok sebuah kursi di sampingnya sehingga terbelah menjadi dua.

Biasanya seorang raja tidak pernah membawa senjata di dalam istana, sekarang Ibusuri melihat anak kecil itu mendadak lolos pedang dan membacok kursi, karena ia terkejut dan mendadak duduk sambil menuding Tio Hi, "Jadi ... jadi kamu tetap kepala batu dan ingin perang dengan .... dengan negeri Liau .... ”

Tio Hi ketakutan di bawah pengaruh wibawa sang nenek, ia menyusut mundur beberapa tindak dengan sempoyongan dengan hati berdebar-debar, serunya, "Le ... lekas kalian kemari!”

Mendengar teriakan junjungan mereka, cepat para Taikam yang berjaga di luar berlari-masuk.

"Dia ... coba kalian periksa dia, ken ....kenapa dia ... " seru Tio Hi dengan terputus-putus sambil menunjuk ibusuri.

Tadi dia berlagak gagah dan berkeras ingin melabrak orang Cidan untuk melaksanakan cita-citanya, tapi sekali digertak oleh seorang nenek yang kurus dan sakit-sakitan, seketika nyalinya mengkeret.

Dalam pada itu seorang Thaikam telah mendekati Ibusuri untuk memeriksa denyut nadinya, kemudian tuturnya, "Lepot Hongsiang (Sri Baginda) Ibusuri telah wafat.”

”Haah! Bagus, bagus!" seru Tio Hi sambil terbahak-bahak. ”sekarang aku benar-benar menjadi raja! Haha, aku menjadi raja benar-benar!”

Sebetulnya dia sudah menjadi raja selama sembilan tahun, cuma selama ini kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan ibusuri dan baru sekarang dia sadar dirinya adalah raja ....

Begitulah setelah memegang kekuasaan sendiri, langkah pertama yang diambil Tío Hi ialah memecat Le-poh Siang-si So Sik (dalam sejarah terkenal dengan nama So Tong-po), menteri kebudayan, dan dikirim ke daerah sebagai bupati. Padahal nama So Tong-po terkenal di seluruh negeri dan merupakan menteri kesayangan ibusuri, karuan tindakan Tio Hi itu menimbulkan percakapan ramai di kalangan pembesar.

Banyak di antara pembesar-pembesar itu tidak dapat menyetujui tindakan raja yang masih muda belia itu, tapi ada juga sementara pembesar yang diam-diam merasa senang, mereka berharap raja yang muda itu akan menjalankan politik baru sehingga mereka akan mendapat kesempatan untuk naik pangkat dan memupuk kekayaan lagi dengan jalan korupsi.

Ada juga satu-dua pembesar yang jujur mengajukan petisi kepada Tio Hi agar meninjau kembali keputusannya atas pemecatan So Tong-po itu, serta menjalankan pemerintahan baru secara lebih bijaksana. Tapi dasar darah muda, Tio Hi tidak menerima saran dan kritik yang diajukan pembesar-pembesar jujur itu, sebaliknya pembesar yang berani membantah keinginannya lantas dipecat dan dipenjarakan, sudah tentu hal-hal demikian membuat pemerintahannya menjadi tidak stabil.

Apa yang terjadi pada pemerintah Song sudah tentu disapaikan oleh mata-mata musuh ke Siangkhia, ibu kota kerajaan Liau.

Demi mendapat laporan tentang wafatnya Ibusuri kerajaan Song dan raja Tio Hi yang masih muda belia itu banyak melakukan tindakan yang merugikan tubuh pemerintahan Song sendiri, keruan raja Liau, yaitu Yalu Hung-ki, sangat senang, segera ia melakukan perjalanan ke Lamkhia untuk berunding dengan Lam-ih Tai-ong Siau Hong.

Oleh karena sudah ada pengalaman pemberontakan Coh-ong, maka perjalanana Hung-ki ini hanya membawa tiga ribu prajurit. sisanya ditinggalkan di kotaraja dan langsung di bawah perintah permaisuri. Selain itu ada 50 ribu prajurit cadangan lain yang akan menyusul ke selatan secara bergelombang sebagai bala bantuan.

Tidak lama pasukan kerajaan Liau itu sudah tiba di luar kota Lamkhia. Kebetulan hari itu Siau Hong dengan membawa puluhan prajurit pengawalnya yang sedang berburu di luar kota sebelah utara. Ketika mendapat laporan kedatangan Sri Baginda, cepat ia menapak lebih ke utara lagi. Ketika melihat panji berkibar, barisan Sri Baginda sudah dekat, segera Siau Hong melompat turun dari kudanya dan berlutut di atas tanah untuk menyambut.

Hung-ki tertawa terbahak-bahak dan melompat turun dari kudanya, katanya, "Saudaraku, meski-resminya kita adalah raja dan bawahan, tapi hubungan kita lebih daripada saudara sekandung, mengapa engkau mesti menjalankan penghormatan sebesar ini?"

Segera ia membangunkan Siau Hong dan bertanya pula,"Apakah sudah banyak hasil buruanmu?"

"Selama beberapa hari ini hawa terlalu dingin, kawanan binatang banyak yang mengungsi ke selatan, maka setengah hari berburu hanya mendapat beberapa ekor kelinci dan menjangan saja, binatang yang besar susah ditemukan,” demikian tutur Siau Hong.

Hung-ki juga sangat gemar berburu, segera ia mengajak, "Marilah kita coba berburu ke bagian selatan sana."

"Di bagian selatan kita berbatasan dengan negeri tetangga, hamba kuatir timbul peristiwa yang dapat mengganggu persahabatan kedua negeri, maka hamba melarang bawahan berburu ke sana."

Kening Hung-ki berkenyit mendengar laporan itu, katanya, "Jika begitu, apa juga tidak pernah melakukan 'panen' dan mencari 'rumput'?"

"Tidak," sahut Siau Hong.

"Baiklah, hari ini kita bersaudara telah berkumpul, biarlah kita melanggar satu kali ketentuan demikian itu." kata Hung-ki.

Siau Hong menerima baik ajakannya.

Maka terdengarlah suara tiupan tanduk yang ramai. Yalu Hung-ki dan Siau Hong melarikan kuda mereka dengan berjajar, mereka mengitari benteng Lemkhia dan menuju ke selatan kota, di belakang mereka menyusul ketiga ribu prajurit pengawal Liau.

Kira-kira dua-tiga puluh li jauhnya, serentak ketiga ribu prajurit itu berteriak-teriak dan bersorak-sorai sambil berpencar ke dua jurusan dalam bentuk lurus dan kemudian mengepung kembali dalam bentuk lingkaran yang semakin lama semakin gempar. Seketika itu terdengar suara ringkik kuda dan gonggongan anjing pemburu yang riuh ramai. Lingkaran perburuan mereka semakin lama semakin ciut.

Hanya sebentar saja lingkaran kepungan mereka sudah berada dalam jarak ratusan meter saja, maka tertampak banyak binatang-binatang kecil sebangsa kelinci, rusa dan sebagiannya berlari kebingungan dari semak-semak rumput.

Hung-ki tidak sudi memburu binatang kecil yang tak berarti itu. Tapi meski sudah ditunggu dan dicari sampai sekian lama tetap tiada tampak seekor binatang besar sebangsa harimau, beruang dan lain-lain.

Selagi Hung-ki merasa kesal, tiba-tiba terdengar suara teriakan riuh ramai dari arah tenggara sana. Ada belasan orang lelaki sedang lari datang dengan ketakutan setengah mati. Melihat dandanan mereka agaknya orangorang Song yang bekerja sebagai tukang kayu, kaum pemburu dan sebagainya.

Boleh jadi lantran tidak mendapatkan mangsa buruan yang diharapkan, para prajurit Liau tahu raja mereka tentu kurang senang. Kebetulan mereka dapat mengepung belasn orang Song, maka mereka lantas menghardik dan menggiringnya ke hadapan raja mereka.

"Bagus sekali!” kata Yalu Hung-ki dengan tertawa senang demi melihat datangnya belasan orang Song itu. Segera ia menarik busur dan membidikkan panahnya.

Terdengar suara mendenging berulang-ulang, setiap anak panah itu tiada yang meleset, dalam sekejap saja enam orang Song itu sudah roboh terguling, dada mereka tertembus oleh panah dan terpantek di atas tanah.

Karuan sisanya menjadi ketakutàn, segera mereka putar balik hendak menyelamatkan diri. Tapi lagi-lagi mereka terpaksa putar balik di bawah ancaman ujung tombak para prajurit cidan.

Siau Hong tidak tega menyaksikan pembunuhan kejam demikian, serunya, "Sri Baginda!"

"Baiklah sisanya kuberikan padamu, biar aku menilai kepandaian memanah saudaraku,” sahut Hung ki dengan tertawa.

Tapi Siau Hong menggeleng kepala, katanya, "Orang-orang itu tidak berdosa biarlah mereka diampuni saja.”

"Jumlah orang selatan teramat banyak, mereka harus dibunuh habis, barulah dunia ini akan aman tentram.” Ujar Hung ki dengan tertawa. "Salah mereka sendiri, mereka salah terlahir sebagai orang selatan dan itulah dosa mereka.”

Habis berkata kembali panahnya berturut-turut menyambar ke depan lagi, satu panah satu korban, kontan belasan orang Song itu roboh tanpa kecuali, ada yang mati seketika, ada yang terpanah perutnya, isi perut keluar dan merintih sebelum binasa.

"Hidup Sri Baginda!" demikian prajurit Cidan bersorak sorai memuji.

Saat itu kalau Siau Hong mau mencegah perbuatan Yalu Hung-ki sebenarnya tidak sukar, misalnya dengan menyampuk jatuh panah yang dibidikkan itu. Tapi di hadapan pasukan sebanyak itu berani merintangi keinginan raja, hal inii tentu akan membuatnya malu dan akan merupakan tindakan yang durhaka kepada atasannya. Namun demikian air muka Siau Hong mau-tak-mau menampilkan rasa tidak setuju atas perbuatan Hung-ki itu.

"Bagaimana?" tanya Hung-ki dengan tertawa. Dan baru saja ia hendak menyimpan kembali busurnya. Tiba-tiba seorang penunggang kuda menerjang tiba secepat terbang menembus kepungan para prajurit.

Melihat penunggang kuda itu berdandan sebagai bangsa Han, tanpa bicara lagi Hung-ki lantas memasang panah dan mebidik pula.

Di luar dugaan, sekonyong-konyong orang itu mengangkat sebelah tangannya dengan dua jari aja anak panah yang menyambar ke mukanya itu kena dijepitnya.

Sementara itu panah kedua yang dibidikkan Hung-ki sudah menyambar tiba pula. Tapi dengan satu jari tangan yang lain kembali orang itu dapat menangkap panah kedua itu. Sedang lari kudanya tidak pernah berhenti dan masih terus menerjang maju.

Berulang-ulang Hung-ki melepaskan panahnya secara berantai, yang satu belum mencapai sasarannya atau panah yang lain sudah menyusul pula, boleh dikata hampir berwujud iring-iringan panahnya.

Tapi betapa cepat ia membidikkan panahnya, cara menangkap panah orang itu pun tidak kalah cepatnya. Maka dalam sekejap sajayang seorang sudah melepaskan belasan batang panah, sebaliknya yang lain juga sudah menangkap belasan anak panak.

Dalam pada itu jarak kedua orang sudah dekat, sekarang Siau Hong sudah dapat melihat jelas pendatang itu, Ia terkejut dan berteriak, "Hei! Kau A Ci jangan sembrono terhadap Hongsiang.”

Tapi penunggang kuda itu lantas mengikik ketawa, ia lemparkan belasan anak panah yang ditangkapnya tadi ke udara, serunya, "Cihu, apakah kau tahu akan kedatanganku, maka engkau, sengaja datang memapak aku?”

Habis berkata, mendadak ia lompat dari kudanya dan melayang lewat di atas kepala belasan prajurit yang

menghadangnya itu, lalu hinggap di depan pelana kuda tunggangan Siau Hong.

Dia tetap memakai baju ungu, potongan badannya tambah padat dan menggiurkan, siapa lagi dia kalau bukan A Ci adanya? Yang luar biasa adalah kedua matanya yang tadinya buram itu sekarang sudah bersinar.

Siau Hong terkejut dan bergirang pula, serunya, "Hei. A Ci ken ... kenapa matamu sudah sembuh kembali."

”Ya. Jikomu itu yang menyembuhkan aku.” sahut A ci dengan tertawa, ”Nah, baik tidak muka aku?”

Siau Hong memandang sekejap kepada anak itu, mendadak hatinya terkesiap. Ia merasa di antara sorot mata anak dara itu seperti mengandung semacam rasa duka dan hampa yang sukar dilukiskan. Seyogyanya, karena ke dua matanya sudah sembuh dan dapat melihat kembali, pula dapat bertemu dengan Siau Hong, seharusnya anak dara itu akan kegirangan, tapi mengapa perasaan yang disampaikan melalui sorot matanya itu sedemikian sedihnya? Namun dari suara tertawanya tadi jelas pula penuh rasa kegirangan. Maka pikir Siau Hong, "Tentu si A Ci cilik telah mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan di tengah perjalanan."

Tengah Siau Hong melamun itulah, sekonyong-konyong A Ci menjerit kaget sambil menarik tubuhnya melepaskan diri dari pelana kuda Siau Hong terus melompat ke depan.

Pada saat yang sama Siau Hong juga merasa ada orang menyergap dari belakang, cepat ia membalik tubuh sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menjaga segala kemungkinan. Maka tertampaklah sebatang tombak bercabang sedang menyambar kearahnya.

Ternyata tombak itu keburu dipegang oleh A Ci segera ditimpukkan kembali sehingga dengan tepat menancap di dada seorang dan menggeletak terpantek.

Kiranya orang itu adalah salah seorang pemburu bangsa Han tadi, dia roboh kena panah Yalu Hung-ki, tapi hanya sekarat dan tidak lantas mati, ketika dia melihat Siau Hong memakai baju pembesar Liau, segera ia kerahkan segenap dari tenaganya yang masih ada dan menimpukkan tombaknya dengan harapan dapat membinasakan Siau Hong sekedar membalas dendamnya.

Tak terduga perbuatannya itu sempat dilíhat oleh A Ci yang berhadapan dengan Siau Hong, segera anak dara itu melompat maju untuk menangkap tombaknya dan berbalik senjata makan tuan, pemburu itu sendiri segera terbinasa malah. Padahal kalau cuma kepandaian seorang pemburu saja tidak mungkin dapat menyergap Siau Hong dari belakang.

Sambil menuding pemburu yang sudah tak bernyawa itu A Ci memaki, "Kamu anjing dan babi yang tidak tahu diri, kau berani coba-coba membokong C¡huku?"

Melihat kedua mata si pemburu yang sudah mati itu masih mendelik dengan mengertak gigi, wajahnya penuh rasa murka, Diam-diam Siau Hong merasa tidak tega. Pikirnya, "Selamanya aku tiada dendam apa-apa, tapi dia berusaha hendak membunuh aku. Hal ini disebabkan permusuhan antara kedua negara dan antar bangsa, jadi bukan lantaran permusuhan pribadi antara diriku dengan dia. Permusuhan antara negeri Song dan Liau sebenarnya terjadi lantaran apa? Kalau menurut orang Song katanya orang cidan menjajah wilayah kekuasaan mereka, sebaliknya orang Cidan kami mengatakan orang Song tidak pegang janji dan tidak kenal budi. Sungguh sukar dipastikan siapakah yang benar dan siapa yang salah!”

Di sebelah sana ketika melihat A Ci menimpuk mati si pemburu dengan tombak rampasannya, Hung-ki sangat senang, katanya, "Nona bàìk, sungguh gesit dan cekatan sekali dirimu ini. Sudah tentu tombak pemburu itu tak mungkin dapat membunuh Lam-ih Tai-ong kita, tapi jika sampai dia terluka sedikit saja hal ini berarti akan mengganggu rencanaku. Nona baik, aku sedang berpikir cara bagaimana harus memberi penghargaan atas jasamu ini?”

Dan sebelum Hung-ki memberi keputusan, tiba-tiba A Ci mendahului, "Hongsiang, engkau telah mengangkat Cihuku sebagai pembesar yang berkuasa, maka aku pun ingin diberi pangkat agar aku bisa mencicipi rasanya menjadi pembesar. Tidak perlu dengan pangkat setinggi Cihu, tapi jangan terlalu rendah pangkatku agar tidak dipandang hina oleh orang lain.”

"Hahaha!" Hung-ki tertawa. "Di negeri Liau kita memang ada kaum wanita ikut mengurus tatanegara, tapi tiada kaum wanita yang diangkat menjadi pembesar. Baik begini saja, akan ku beri gelar Kongcu (Putri) padamu. Ehm..gelar apakah yang pantas? ...Ya, baiklah sebut saja sebagai ‘Panglam Kongcu’.”

"Ah, emoh! Aku tidak mau menjadi Kongcu segala!" sahut A Ci dengan mulut menjengkit.

"Mengapa tidak mau?" tanya Hung-ki dengan heran.

"Habis engkau adalah saudara angkat Cihuku, kalau aku terima gelarmu itu, kan tingkatanku menjadi sejajar dengan putrimu sendiri, bukankah aku menjadi lebih rendah setingkat?”

Hung ki cukup pandai meraba pikiran orang. Ia dengar A Ci memanggil Cihu kepada Siau Hong dengan nada yang sangat mesra. Sebaliknya Siau Hong meski mempunyai kedudukan sedemikian tinggi hidupnya ternyata sangat prihatin, selamanya tidak suka berdekatan dengan kaum wanita. Padahal kalau menurut kebiasaan orang Cidan, jangankan cuma empat istri dan lima selir, bahkan delapan, istri dan puluhan selir juga bukan sesuatu yang luar biasa. Dari sini dapat diduga Siau-Hong tentu juga anak dara ini.

Maka katanya dengan tertawa, "Gelar Kongcu yang kuberikan ini adalah Kongcu gede dan bukan Kongcu cilik, tingkatannya sama dengan adik perempuanku dan tidak sama dengan anakku, Malahan tidak melulu mengangkatmu menjadi 'Panglam Kongcu', bahkan aku pun akan melaksanakan sesuatu cita-citamu, mau?"

Wajah A Ci menjadi merah, tanyanya, 'Cita-citaku apakah? Dari mana Sri Baginda mendapat tahu? Seorang raja sebesar engkau mengapa juga sembarang omong."

Biasanya A Ci memang tidak takut siapa pun, maka bicara dengan Yalu Hung-ki juga tidak pakai penghormatan secara seorang bawahan terhadap rajanya. Kerajaan Liau memang tidak memandang berat pada sesuatu yang kolot. Siau Hong adalah orang kesayangan Hung-ki pula, maka Hung-ki hanya menanggapi dengan tertawa saja mendengar ucapan A ci tadi. Katanya, "Jika kamu tidak mau menjadi Panglam Kongcu, baiklah tak jadi kuberi gelar itu padamu. Nah, satu, dua, tiga kau mau tidak?”

Akhirnya A Ci memberi sembah hormat dan berkata dengan pelahan, "A Ci mengucapkan banyak terima kasih atas budí Sri Baginda."

Siau Hong juga lantas memberi hormat dan mengucapkan terima kasih. Sejak membunuh A Cu, Siau Hong anggap A Ci sebagai adik perempuannya sendiri. Sekarang anak dara itu mendapat gelar bangsawan dari sang raja, dengan sendirinya ia pun ikut menyatakan terima kasihnya.

Sebaliknya Hung-ki salah sangka lagi, ia mengira dugaannya tadi semakin tepat. Pikirnya, Biarlah nanti aku akan menikahkan mereka secara besar-besaran, habis itu aku lantas menugaskan dia mengadakan infasi ke selatan dan dengan sendirinya dia akan bekerja mati-matian bagiku."

Di lain pihak Siau Hong juga sedang menimang-nimang. "Kunjungan Hongsiang ke selatan sekali ini entah ada maksud tujuan apa? Sebab apa dia memberi gelar Putri kepada A Ci, bahkan dengan nama ’Pang Lam’?Panglam artinya mengamankan selatan, jangan-jangan dia bermaksud Menyerbu ke selatan untuk menaklukkan kerajaan Song?”

Dalam pada itu Hung-ki sudah lantas menggenggam tangan Siau Hong dan berkata, "saudaraku, sudah lama kita tidak bertemu, marilah kita pergi ke sana buat bicara."

Kedua orang lantas melarikan kuda mereka ke selatan, hanya sebentar saja mereka sudah mencapai sejauh 20 li lebih. Di sekitar mereka hanya sawah ladang belaka tapi apa yang tumbuh di tengah sawah ladang itu bukan padi, gandum atau bahan pangan lain, sebaliknya adalah rumput ilalang dan duri belukar melulu.

Diam-dlan Siau Hong berpikir,. "Orang Song kuatir kepergok prajurit Cidan yang sengaja memang mengadakan ‘panen’ sehingga mereka lebih suka meninggalkan beribu-ribu hektar tanah yang subur ini untuk menyelamatkan diri. Ai setiap jengkal tanah ini entah terpendam betapa banyak tetes darah dan jiwa.”

Tiba-tiba Hung-ki mengayunkan cambuknya dan melarikan kudanya ke sebuah bukit kecil, di atas kudanya di puncak bukit itulah dia memandang sekeliling alam semesta dengan bangga.

Siau Hong menyusulnya ke atas bukit. Ia pun memandang ke arah selatan yang dipandang Hung-ki itu. Tertampaklah gunung gemunung melingkar-lingkar menyusuri bumi nan luas ini.

"Saudaraku," kata Hung-ki sambil menuding ke selatan dengan cambuknya, "aku masih ingat, pada 30 tahun yang laluayah baginda pernah mengajak aku ke sini dan menunjuk negeri Song yang indah permai itu kepadaku."

Siau Hong mengiakan saja dan tidak tahu apa maksud ucapan Hung-ki itu.

Maka Hung-ki melanjutkan, "Sejak kecil kau hidup di tanah orang selatan itu, tentu telah kau jelajahi wilayah selatan sana dan cukup kenal bagaimana bangsa mereka bertempat tinggal di selatan dan tentu lebih senang daripada tinggal di negeri kita yang dingin dan sengsara ini, bukan?”

"Tempat dî mana-mana sama saja dan susah untuk dikatakan tinggal di mana akan lebih senang asalkan hidup bebas dan pikiran tentram tentu menjadi senang. Orang utara tidak biasa tinggal di daerah selatan. Tuhan telah mengatur demikian bagi umatnya, kalau kita sengaja memaksa kehendak ilahi itu tentu akan membikin susah diri sendiri.”

"Jika demikian, kamu adalah orang utara yang dibesarkan dan hidup biasa di daerah selatan, lalu pindah pula tinggal ke utara sini, bukankah kamu merasa kesal?"

"Hamba adalah kaum kelana kangouw yang biasa hidup terlunta-lunta, dimana pun dapat menetap, dengan sendirinya tidak dapat dipersamakan dengan kaum petani atau kaum gembala. Malahan Baginda telah menganugrahi tempat menetap dan kedudukan yang tinggi, sungguh hati hamba sangat berterima kasih, apa yang mesti aku sesalkan lagi?”

Hung-ki menoleh dan memandang sekejap pada Siau Hong. Tapi Siau Hong tidak ingin saling menatap dengan rajanya itu, dengan tersenyum ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Saudaraku," kata Hung-ki dengan pelahan, "mesti hubungan kita adalah raja dan bawahan, tapi sebenarnya kita adalah saudara angkat. Dahulu kita dapat bicara secara dari hati ke hati, segala apa dibicarakan secara bebas. Tapi sesudah lama tak bertemu, mengapa kamu bersikap seperti orang yang baru kenal denganku?”

Siau Hong menjawab, "Dahulu hamba tidak tahu akan diri Baginda sehingga secara sembrono berani mengangkat saudara segala, sesudah tahu, hamba mana berani bersikap sebagai saudará angkat terhadap bagianda?”

Hung-ki menghela napas, katanya, "Sungguh aku sangat gegetun sebagai seorang raja aku malah tak dapat bebas bergaul dengan seorang sahabat karib. Saudara, kalau aku ikut berkelana di dunia kangouw mungkin akan hidup lebih bebas dan lebih senang tanpa sesuátu ikatan apa pun."

"Tidak sukar apabila Baginda suka bersahabat" sahut Siau Hong. "Hamba mempunyai dua orang saudara angkat di didaerah Tionggoan, yang satu adalah Hi-tiok däri Leng-Ciu-kiong, yang seorang lagi adalah Toan Ki dari Tayli, mereka adalah lelaki yang berdarah panas, semuanya sangat jujur dan baik. Jika Baginada suka berkenalan dengan mereka, hamba bersedia mengundang mereka pesiar ke negeri Liau kita ini.”

Rupanya sesudah Siau Hong pulang ke Lam-khia, setiap hari día hanya bergaul dengan perwira dan prajurit bangsa Cidan, dalam hal kesukaan dan kebiasaaan hidup boleh dikata sangat berbeda, maka día menjadi kangen kepada Hi-tiok dan Toan Ki, ia sangat berharap dapat mengundang kedua saudara angkat itu pesiar ke negeri Liau, dan tinggal bersama beberapa waktu lamanya.

Hung-ki sangat senang atas usul Siau Hong itu katanya, "Jika orang yang akan diundang itu adalah saudarasaudaramu, maka mereka pun terhitung saudara-angkatku. Boleh kau kirim berita kilat untuk mengundang mereka pesiar ke sini. Jika mereka mau menjabat sesuatu tugas, tentu akan kuberi pangkat yang tidak kecil bagi mereka."

Siau Hong tersenyum, sahutnya, "Untuk mengundang mereka pesiar ke sini mungkin tidak menjadi soal, tapi kedua saudara angkat itu terang tidak mau menjadi pembesar."

Huñg-ki termenung sejenak, katanya kemudian, "Saudaraku, dalam tutür-kata dan semangatmu tampaknya ada sesuatu ganjalan hati yang kurang menyenangkan. Padahal kekayaanku berlimpah-lampah, kekuasaanku merata di seluruh negeri, urusan apakah yang tidak dapat membantumu? Mengapa sesuatu perasaanmu yang tak tercapai tidak kau ceritakan pada kakak-angkatmu iní?"

Siau Hong sangat terharu, sahutnya, ”Ya, untuk bicara terus terang, sebenarnya ada sesuatu urusan yang menjadi penyesalanku selama hidup. Tapi sesuatu yang sudah salah tidak mungkin dapat ditarik kembali lagi.”

Lalu berceritalah dia tentang hubungannya dengan A Cu dan akhirnya nona itu keliru dipukul mati olehnya, semuanya itu ia ceritakan secara ringkas.

”Pantas!” seru Hung-ki sambil tepuk paha. ”Makanya selama sudah 40 tahun dan tetap belum mau kawin, kiranya mempunyai pengalaman pahit yang senantiasa tak dapat kau lupakan. Tapi, Saudaraku, sebabnya kamu sampai berbuat salah, kalau dicari pangkal persoalannya dan biangkeladi dari kejadian itu, semua ini adalah gara-gara perbutan orang-orang Han yang jahat itu. Lebih-lebih kawanan pengemis Kai-pang itu harus dikatakan sebagai manusia-manusia yang tidak kenal budi dan lupa kepada kebaikanmu. Namun untuk semua itu pun tak perlu kausesalkan lagi. Pada waktunya bila aku sudah mengerahkan pasukan dan menyerbu ke selatan, Hm, masti akan kubunuh ludes semua orang Bu-lian daerah Tionggoan termasuk kawanan kera dari Kaipang itu untuk melampiaskan rasa dendam terbunuhnya ibumu di Gan-bun-koan serta dendammu waktu dikeroyok di Cip-hiang-ceng dahulu. Jika kamu sudah terpikat oleh wanita Tionggoan yang cantik-cantik itu, maka boleh kau pilih seribu atau dua ribu orang untuk melayanimu, apasih susahnya bagiku untuk mengerjakan urusan demikian?"

Wajah Siau Hong menampilkan senyuman getir, katanya dalam hati, "Sekali aku telah salah membunuh A Cu, maka selama hidupku ini sudah pasti takkan menikah. Sekali A Cu tetap A Cu, biarpun sampai dunia kiamat juga hatiku hanya terisi oleh A Cu, biarpun seribu atau dua ribu wanita cantik lain juga tak dapat menggantikan tempat A Cu dalam lubuk hatiku. Hongsiang sendiri sudah biasa dirubung oleh beratus dan beribu dayang dan selir, sudah tentu tidak pernah kenal apa artinya 'cinta sejati'."

Maka katanya kemudian, "Banyak terima kasih atas maksud baik Hongsiang. Sesungguhnya permusuhan hamba dengan orang-orang persílatan Tioaggoan sudah kuhapus. Sudah terlalu banyak orang pesilatan Tionggoan yang tewas di tanganku, kalau mesti balas-membalas terus menerus takkan ada habis-habisnya Apalagi kalau sampai terjadi bencana perang, tentu akan membawa malapetaka lebih luas lagi.”

"Hahahahaha” Hüng-ki berlagak tertawa. "Orang Song sebenarnya sangat lemah dan hanya pandai omong besar saja, digempur sekali di medan perangmaka mereka kocar-kacir. Apalagi saudaraku gagah perkasa tiada tandingannya, kalau kau pimpin pasukan dan menyerbu ke selatan tentu dengan mudah seluruh wilayah selatan akan tergenggam ditanganmu, mengapa kau bilang mengakibatkan mala petaka peperangan segala? Saudaraku, kedatanganku ini secara mendadak apakah kau tahu urusan macam apa?”

"Hamba justru ingin mohon diberitahu.” Sahut Siau Hong.

"Urusan pertama sudah tentu karena aku sudah kangen padamu dan ingin bertemu,” ujar Hung-ki dengan tertawa. " Baru-baru ini Hiante telah mengadakan perjalanan ke barat, keadaan wilayah Se He dan kekuatan pasukannya tentu Hiante sudah cukup mempelajarinya dengan baik. Kalau menurut pandangan Hiante, apakah sekiranya Se He dapat kita taklukkan?”

Siau Hong terkejut, pikirnya, "Wah sungguh berat sekali ambisi Hongsiang ini, sudah ingin menjajah Kerajaan Song ke selatan, ingin menaklukan Se He pula.”

Maka jawabnya. ”Ya, perjalanan hamba ke barat ini hanya ingin melihat keramaian sayembara kerajaan Se He yang sedang mencari menantu bagi putrinya itu, sama sekali tidak kupikirkan tentang keadaan wilayah negeri itu dan kemungkinan menyerbu ke sana. Untuk ini hendaknya Baginda maklum bahwa hamba biasa berkelana di kanggoan dan banyak mengalami pertempuran berbahaya dari dekat, tapi bicara lentang memimpin pasukan dan melakukan peperangan secara besar-besaran sesungguhnya hamba tidak paham sedikit pun."

"Ah, saudaraku tidak perlu rendah hati,” ujar Hung-ki dengan tertawa. "Kedatanganku ini urusan kedua adalah hendak menaikan pangkat saudaraku dan memberi gelar. Nah, hiante siap untuk menerima pengangkatan.”

”Tapi ... tapi hamba sudah utang budi terlalu banyak dan tidak berani mengharapkan ... ”

Belum Siau Hong selesaí omong Hüng-ki sudah lantas berseru dengan suara lantang, "Lam ih Tai ong Siau Hong mendengarkan titah!"

Tarpaksa S¡au Hong melompat turun dari kudanya dan menyembah di atas tanah.

Tedengar Hung-ki berkata, "Lam-ih Tai-ong Siau Hong telah banyak berjasa bagi negára, telah mencurahkan segenap jiwa-raganya bagiku, maka sekarang diberi gelar Raja Muda sebagai Song-ong dengan jabatan Penglam-tai-goan-swe untuk memimpin angkatan perang kita. Sekian."

Siau Hong menjadi ragu dan bingung, katanya kemudian, "Hamba sesungguhnya tidak berjasa apa-apa dan tidak berani menerima pengangkatan sebesar itu.”

"Kenapa? Apa kau tolak dan tidak mau menerima titah ini?” tanya Hung-ki.

Mendengat nada sang raja rada bengis dan tahu pengangkatan itu susah dielakkan lagi, terpaksaSiau hong memberi sembah dan menyatakan terima kasih.

Hung-ki terbahak-bahak, katanya, "Nah, beginilah baru benar-benar saudaraku yang baik.”

Ia angkat bangun Siau Hong, lalu katanya pula, ”Saudaraku, kedatanganku ke sini tidak Cuma terbatas sampai di Lamkhia saja, aku sendiri akan terus menuju ke Pianling (ibu kota kerajaan Song, Khaifing sekarang).”

Kembali Siau hong terkejut. "O, jadi .. jadi Baginda hendak pergi ke Pianling, lalu bagai ... bagaimana ... ” Tanyanya dengan tak tegas.

"Begini," kata Hüng-ki dengan tertawa, "Selaku Pang-lam tai-goan-swe (panglima besar pengaman selatan) boleh kau pimpin angkatan perang kita berangkat ke selatan dahulu, kita langsung menyerbu ke Pianling, Kelak istana Song-ong saudaraku boleh menggunakan istana yang dipakai si bocah Tio Hi di Pianling itu.”

"Apakah maksud Bagindä ¡alah kita akan segera memerangi kerajaan song?” Siau Hong menegas.

"Bukan aku hendak memerangi kerajaan Song mereka, tapi orang selatan itulah yang ingin mengukur kekuatan dengan aku,” tutur Hung-ki, "Pada waktu perempuan tua bangka ibüsuri kerajaan selatan itu memerintah, boleh dikatakan pemerintahan mereka cukup teratur dan terbina dengan baik, meski sudah lama ada maksudku menyerbu ke selatan, tapi selama ini aku tidak berani yakin akan menang. Namun sekarang perempuan tua itu sudah mampus, si bocah ingusan Tio Hi itu ternyata berani main gila padaku diam-diam ia berani mengirim pasukannya, mereka telah mengerahkan kekuatan dan perbekalan secara besar-besaran, ternyata sekali bocah she Tio itu mempunyai maksud tertentu dan kalau tidak ditujukan kepadaku memangnya kepada siapa lagi?”

"Menurut pendapat hamba, biarpun mereka akan bertingkah apa pun boleh masa bodoh," ujar Siau Hong. "Sudah sekian tahun lamanya diantara kedua negeri kita tidak pernah terjadi sesuatu insiden, suasana kedua negeri sama-sama aman tentram. Jika Tio Hi berani main gila dan menyerang kita, sudah tentu kita akan gempur mereka hingga kocar-kacír. Tetapí bila día sudah gentar kepada wíbawa dan keküatan baginda dan tidak berani sembarangan bergerak, maka sebaiknya kita jangan urus kelakuan seorang bocah seperti Tio Hi itü."

"Rupanya saudaraku tidak paham." ujar Hung-ki. "Ketahuílah bahwa wilayah kerajaan selatan itu sangat luas dengan penduduk yang besar sekali dan kekayaan alam yang berlimpah-limpah, kalau secara kebetulan mereka mendapatkan seorang pemimpin yang gagah dan pintar serta memusuhi negeri Liau kita, maka sesungguhnya kita sukar melawan mereka, Sukurlah sekarang si bocah Tio kí terlalu banyak bertingkah dan sembarangan berbuat banyak di antara pembesar-pembesarnya yang cerdik dan pandai telah dia pecat sampai-sampai So Tong-po juga dia pecat. Saat íni pemerintahan mereka sedang mengalami guncangan hebat, antara pemimpin dan bawahan terjadi perselisihan paham, intinya suatu kesempatan baik bagiku. Kalau sekarang aku tidak cepat bergerak mau tunggu kapan lagi?”

Siau Hong memandang jauh ke selatan sana di depan matanya lantas terbayang adegan beratus-ratus ribu prajurit Liau yang gagah dan tangkas sedang menerjang ke selatan, di mana dilanda api perperangan seketika rumah penduduk terbakar menjadi lautan api, tak terhitung jumlah manusia tua-muda, wanita dan kanak-kanak yang bergelimpangan di bawah telapakan kuda, ada yang binasa, ada yang sekarat dan masih merintih-rintih,

diudara anak panah berterbangan, pasukan kedua pihak saling membunuh dan bergulingan di tanah, darah membanjir bagai air sungai, tulang belulang berserakan di mana-mana .... "

Dalam pada itu Yalu hung-ki sedang berkata pula dengan suara keras, "Turun-temurun leluhur bangsa Cidan kita selalu ingin mencakup kerajaan selatan ke dalam peta kekuasaan kita, usaha leluhur kita beberapa kali selalu mengalami kegagalan. Tapi sekarang rupanya sudah ditakdirkan cita-cita leluhur itu akan terlaksana dan terukir dalam lembaran sejarah, betapa bahagianya dan hebat pergerakan kita itu?”

Namun Siau Hong lantas berlutut dan menyembah, katanya "Mohon Baginda suka mendengarkan sedikit permohonanku?”

Hung-ki terkesiap, sahutnya’ ”Apa yang kau inginkan? Asal tenagaku dapat mencapainya pasti akan kululuskan setiap permintaanmu.”

Siau Hong berkata, "Hamba mohon sudilah Baginda memikirkan jiwa beratus ribu rakyat kedua negari yang tak berdosa dan sukalah menarik kembali maksud Baginda akan menyerbu ke selatan. Penghidupan bangsa Cidan kita selamanya mengembala dan beternak, sekali pun nanti dapat memerintah negeri selatan juga tiada gunanya. Apa lagi dalam peperangan yang dahsyat nanti juga sukar dikatakan akan menang atau tidak, bila terjadi sesuatu kekalahan bagi kita, bukankah hal ini malah akan merusak nama kebesaran Baginda sekarang?”

Mendengar apa yang dikatakan Siau Hong sedari tadi nadanya tetap menolak untuk menyerbu ke selatan, sudah tentu dalam hati Hung-ki merasa kurang senang. Padahal selamanya orang Cidan, terutama pembesarpembesar dan bangsawannya, apabila raja mendengar perintah "Menyerbu ke selatan”, maka tiada seorang pun tak merasa senang dan ingin segera melaksanakan perintah itu, mengapa Siau Hong malah menolak dan mencegah maksudnya?”

Waktu Hung-ki melirik saudara angkat itu, ia lihat kedua alis Siau Hong bekernyit rapat-rapat, akan ada sesuatu yang menyedihkannya. Diam-diam Hung-ki berpikir pula, "Aku telah memberi gelar Song-ong padanya dan mengangkat dia sebagai Peng-lam-tai-goan-swe, gelar dan jabatan itu di seluruh negeri ini hanya berada dibawahku seorang saja dan diatas siapapun, lantas soal apa yang membuatnya tidak gembira? Ya, tentu karena sejarah hidupnya ini, meski dia bangsa Cidan, tapi sejak kecil dia dipiara dan dibesarkan orang Han, dia boleh dikata setengah bangsa Han dan dengan sendirinya tanah kerajaan Song merupakan tanah airnya yang kedua, makanya Demi mendengar maksudku hendak menyerbu ke selatan dia lantas sedih dan berusaha mencegah dan merintangi maksudku. Jika demikian naga-naganya biarpun kupakai dia memimpin pasukan dan bergerak ke selatan juga dia takkan bertugas dengan sepenuh tenaga dan pikiran.”

Karena pikiran itu, akhirnya Hung-ki berkata, "Saudaraku, maksudku untuk menyerbu kerajaan selatan itu sudah tekadku yang bulat, maka tak perlu kau bicara lebih banyak.”

"Namun,” berkata pula Siau Hong, "perang adalah persoalan besar bagi suatu negara, untuk ini mohon Baginda suka memikirkannya masak-masak. Apabila maksud Baginda sudah bulat dan tak bisa diubah lagi, maka mohon Baginda suka mengangkat petugas lain yang lebih cakap dan bijaksana. Hamba sendiri rasanya tidak mampu memnuhi kewajiban dan mungkin akan membikin runyam usaha baginda ini.”

Kedatangan Hung-ki ke kota Lamkhia ini sebenarnya dengan penuh semangat dengan harapan Siau Hong akan setuju dan membantunya menyerbu ke selatan, siapa tahu dugaannya meleset sejak semula Siau Hong sudah menolak gelar dan jabatan panglima besar yang diberikan, bahkan berusaha mencegah maksud tujuannya, karuan Hung-ki menjadi tidak senang. Katanya kemudian dengan kaku. ”Jika demikian, jadi dalam pandanganmu agaknya kerajaan selatan itu jauh lebih penting bagimu daripada negeri Liau kita ini? Apakah kamu lebih setia kepada kerajaan selatan itu daripada berbakti bagi kerajaan Liau kita yang jaya ini?”

Seketika Siau Hong menyembah pula di atas tanah. Sahutnya, "Harap Baginda maklum, sekali Siau Hong adalah bangsa Cidan, selamanya tetap bangsa Cidan dan dengan sendirinya harus setia pula kepada kerajaan Liau kita. Jika negeri Liau kita menghadapi sesuatu bahaya, biarpun masuk lautan api atau terjun ke dalam air mendidih juga sekali-kali Siau Hong tak berani menolak.”

”Baik,” kata Hung-ki. ”Tentu kau tahu bahwa si bocah Tio Hi itu sekarang lagi mengincar wilayah negara kita. Kata pribahasa, ’yang turun tangan lebih dahulu akan lebih kuat, yang turun tangan belakangan tentu celaka’. Nah kalau kita tidak mendahului menggempur mereka, bisa jadi negara kita yang akan dimusnahkan oleh mereka. Karuan cara tentang masuk lautan api dan terjun ke dalam air mendidih segala, sedangkan tugas berbakti kepada negara yang kuperintahkan padamu saja ditolak olehmu.”

"Tapi selama hidup hamba sudah terlalu banyak membunuh orang, sesungguhnya hamba tidak ingin kedua tanganku ini berlumuran darah lebih banyak lagi, maka mohon Baginda suka meluluskan permintaan hamba untuk mengundurkan diri dengan hidup mengasingkan diri ke pegunungan saja," demikian kata Siau Hong.

Hung-ki tambah murka demi mendengar Siau Hong minta berhenti dari jabatannya, seketika timbul maksud membunuhnya, segera tangannya meraba goloknya dan hendak mencabut senjata itu serta membacok leher Siau Hong. Untung lantas terpikir olehnya, "ilmu silat orang ini sangat lihai kalau sekali bacok tidak kena, tentu aku yang akan terbunuh malah olehnya. Apalagi dahulu dia telah berjasa menyelamatkan jiwaku, bahkan mengangkat raja pula dengan aku. Kalau Cuma sedikit kesalahan paham ini lantas kubunuh orang kepercayaanku sendiri yang berjasa, ini rasanya tidak pantas.”

Maka Hung0ki menghela napas panjang, katanya sambil tangannya masih memegang gagang golok, "Rupanya di antara kita ada perselisihan pendapat dan sukar untuk disesuaikan untuk sementara waktu ini. Baiklah boleh kau pulang dulu untuk memikirkan lebih msak, semoga kamu akan mengubah pikiran dan menerima titahku untuk mengerahkan pasukkan ke selatan.”

Biarpun mendekam di atas tanah, tapi betapa tinggi ilmu silat Siau Hong, boleh dikata setiap gerak-gerik orang

di sekitarnya tentu diketahui olehnya, apalagi tangan Hung-ki yang meraba gagang golok dan timbul maksud membunuhnya itu, sudah tentu dapat diketahuinya dengan baik.Ia pun sungkan bila bicara lagi dengan sang raja, pada akhirnya kedua orang tentu akan cekcok secara terbuka, hal ini pun tidak diinginkannya. Maka demi mendengar perintah Hung-ki menyuruhnya pulang dulu, segera ia menyatakan baik dan berbangkit.

Hung-ki pun tidak bicara pula, ia mendahului melarikan kudanya dan pergi dengan cepat. Segera Siau Hong mencamplak ke atas kuda dan menyusul sang raja. Kalau datangnya tadi mereka melarikan kuda dengan sejajar, adalah pulangnya sekarang yang satu berada di muka dan yang lain ketinggalan di belakang dalam jarak puluhan meter jauhnya.

Siau Hong sadar ucapannya tadi telah menimbulkan rasa sirik dan curiga Yalu Hung-ki, kalau dia menyusul dan menjajarkantentu akan makin membikin perasaan sang raja tidak enak. Maka ia lantas melambatkan kudanya dan jauh tertinggal di belakang.

Setiba dalam kota, Siau Hong menyusul ke depan Hung-ki dan mengundang sang raja agar tinggal saja di istana Lam-ih Tai-ong.

Tapi Hung-ki berkata dengan tertawa, "Aku tidak ingin membikin repot dirimu. Hendaknya kamu dapat tinggal lebih senang dan berpikirlah secara mendalam untung-rugi dan baik-buruknya dari apa yang kita bicarakan tadi. Aku sendiri akan tinggal di kemahku saja.”

Siau Hong juga tidak memaksa. Ia mengantarkan sang Baginda ke perkemahannya.

Dari kotaraja Hung-ki membawa banyak benda mustika, kuda bagus dan wanita cantik, ia memberikan hadiah secara komplit kepada Siau Hong. Sesudah mengucapkan terima kasih, lalu Siau Hong pulang ke istananya.

Selama Siau hong sendiri tidak mengurusi pemerintahan, segala dokumen dan kitab lebih-lebih tak pernah diurusnya, sebab itulah di istananya tiada tersedia kamar kerja apa segala. Sehari-hari ia duduk di lantai bersama para perwiranya untuk makan-minum sepuasnya dan bebas sebagaimana dahulu ketika dia masih menjadi Pangcu kawanan pengemis di Tionggoan.

Sekarang setelah Siau Hong pulang dari mengantar Yalu Hung-ki, sementara itu hari sudah petang. Waktu melangkah masuk ke ruangan pendopo tertampak di bawah lilin besar yang bergoyang-goyang, di atas kursi kebesarannya yang berlapiskan kulit harimau itu duduk seorang nona berbaju ungu. Itulah dia A Ci adanya.

Siau Hong menggelengkan kepala, katanya, "Aku mempunyai urusan lain. Kedatanganmu kembali ini sudah

tentu sangat menyenangkan aku, A Ci, didunia ini yang selalu ku pikirkan hanya engkau seorang aku kuatir kamu mengalami sesuatu yang buruk. Sekarang kamu berada disisiku pula, matamu sudah sembuh lagi, maka aku tidak perlu kuatir apa-apa pula.

"Cihu, bukan saja mataku yang sudah sembuh, bahkan Hongsiang memberi gelar putri padaku.” Ujar A Ci dengan tertawa.

"Kamu diberi gelar kebesaran itu, apakah kamu sangat senang?” tanya Siau Hong sembari mengangkat sebuah kantong kulit besar yang terletak di ruangan situ, ia buka sumbat kantong arak itu dan minum beberapa kali.

"Dan selamat juga padamu. Cihu, engkau juga telah naik pangkat," kata A Ci dengan tertawa.

Siau Hong menghela napas, sahutnya, "Ai, Hongsiang memberi gelar Song-Ong padaku dan mengangkat aku menjadi Peng-lam-tai-goan-swe, ia memerintahkan aku memimpin pasukan menyerang kerajaan Song di selatan. Coba pikirkan sekali sudah terjadi perang, betapa banyak rakyat jelata tak berdosa yang akan menjadi korban. Karena itu aku tidak mau terima tugas itu dan Hongsiang menjadi marah.”

"Cihu, kaupun aneh," ujar A Ci. "Menurut cerita yang kudengar, katanya di Cip-hian-ceng pernah kau bunuh jago-jago persilatan Tionggoan yang tak terhitung jumlahnya, untuk itu tak pernah kulihat engkau menyesal. Kalaui orang-orang selatan itu sedemikian kejam dan jahat padamu, hari ini kebetulan engkau diberi kesempatan oleh Hongsiang untuk membalas dendam, mengapa cihu berbalik merasa kurang senang?”

Siau Hong menggangkat kantung arak dan minum pula seteguk, lalu menghela napas panjang, kemudian berkata, ”Dahulu aku dan encimu di kepung musuh, kalau aku tidak bertempur sekuat tenaga tentu akan hancur lebur dicencang mereka jadi soalnya karena terpaksa. Diantara orang-orang yang kubunuh dahulu itu tidak sedikit adalah sobat sendiri, kalau teringat sungguh aku sangat pedih.”

"Ah, tahulah aku,” setu A Ci. "Jadi dahulu A Cu minta engkau membunuh. Jika demikian, sekarang aku minta demi diriku maukah kau bunuh orang-orang selatan itu?”

Siau Hong melototi nona itu sekejap, sahutnya, "Jiwa manusia dalam ucapanmu sama saja seperti menyembelih ayam dan kambing. Ketahuilah ayahmu meski orang Tailí, tapi ibumu sendiri adalah orang Song di selatan sana."

Mulut A Ci menjengkit dan mendadak pula ke arah lain, katanya, "Ya, sudah lama kutahu dalam hatimu biarpun seribu orang A Ci juga tak dapat membandingi seorang A Cu. Selaksa A Ci yang hidup juga tak dapat

menggantikan seorang A Cu yang sudah mati. Tampaknya aku lebih baik lekas mati saja, dengan demikian barulah engkau akan sedikit memikirkan diriku. Tahu begini, lebih ... lebih baik aku tidak perlu jauh-jauh datang ke sini untuk menyambangimu. Ya, bilakah pernah ... pernah kau tahu diriku dalam hatimu?"

Hati Siau Hong tergetar demi mendengar ucapan A Ci yang setengah mengomel dengan nada penuh kekosongan hati itu. Jangan-jangan nona cilik ini diam-diam jatuh cinta padaku? Ini sekali-kali tidak boleh terjadi!

Maka cepat katanya, "A Ci, usiamu masih kecil, kamu hanya nakal dan tidak paham urusan orang tua ...."

"Orang tua atau anak kecil apa segala, sudah lama juga aku bukan anak kecil lagi!" sela A Ci. "Engkau telah berjanji pada Cici akan menjaga diriku, tetapi ... tetapi engkau hanya memikirkan asal aku bisa makan, punya sandang dan habis perkara, apa ... apa kah pernah kau pikirkan sesuatu urusanku? Selama ini engkau tidak pernah peduli bagaimana dan apa yang terkandung dalam hatiku.”

Makin mendengarkan makin terkesiap hati Siau Hong sampai-sampai ia tidak berani menjawab.

Maka sambil berdiri mungkur A Ci melanjutkan."Waktu mataku buta, kutahu engkau pasti tidak suka padaku, maka aku sendiri pun tidak berani dekat-dekat denganmu. Sekarang mataku sudah sembuh, dan engkau tetap tidak gubris padaku. Memangnya dalam ... dalam hal apa aku kalah daripada A Cu? Apakah wajahku lebih buruk dari dia? Aku kalah pintar dari dia? Ya, ya, hanya karena dia sudah mati, maka setiap saat engkau selalu terkenang padanya. Huk-hukkkk, aku ... sungguh akupun ingin pada suatu ketika dipukul mati agar supaya kaupun akan selalu teringat padaku sebagaimana halnya kau pikirkan A Cu ... ?

Saking dukanya mendadak ia membalik tubuh lagi terus menubruk ke dalam pelukan Siau Hong dan menangis terguguk-guguk.

Seketika siau hong menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dikatakan.

Sesudah menangis sebentar, kemudian A Ci berkata pula, "Masakah engkau sangka aku masih anak kecil saja? Padahal pada waktu kusaksikan engkau memukul mati Cici pada malam hujan badai itu, lalu engkau menangis sedemikian sedihnya, sejak itulah aku lantas sangat menyukaimu. Sejak itu dalam hatiku lantas timbul suara keputusan bahwa selama hidupku ini akan selalu ikut padamu. Namun engkau justru tidak boleh, maka diamdiam aku berjanji dalam hati,'Baiklah, engkau melarang aku ikut padamu, biarlah aku membikinmu cacat selama hidup, biar engkau tergantung pada diriku dan selama hidup hidup terpikir akan ikut padaku'."

Sekonyong-konyong Siau hong teringat apa yang terjadi dahulu, serunya, "Hah, jadi dahulu kau serang aku

dengan jarum berbisa karena maksud tujuanmu hendak membikin aku cacat selama hidup?”

Mendadak A Ci mengguncang-guncangkan bahu Siau Hong sambil menjerit, "Kau, Kau ..Kerbau dungu, jadi kau baru tahu setelah aku sendiri mengatakan sekarang? Selama ini engkau tidak pernah memikirkan apa kandungan berita?”

Pelahan Siau Hong membelai rambut A Cl, katanya dengan suara pelahan, "A Ci, hendaknya maklum bahwa usiaku satu kali lipat lebih tua daripadamu, aku hanya dapat menjagamu seperti paman atau seperti kakakmu sendiri. Selama hidupku ini hanya mencintai seorang wanita saja, yaitu Encimu. Di dunia ini takkan ada wanita kedua yang dapat menggantikan tempat A Cu dalam hatiku dan aku pun takkan pernah mencintai pula wanita mana pun, Hongsiang telah menghadiahkan banyak wanita cantik padaku, tapi selama ini aku tidak pernah memperhatikan apalagi menjamah mereka. Jika aku memperhatikan dirimu, semua itu kulakukan demi A Cu dan bukan lantaran dirimu sendiri."

A Ci menjadi dongkol dan murka, mendadak A Ci gampar pipi Siau Hong sekali.

Kalau Siau Hong mau berkelit sudah tentu dengan mudah tamparan itu dapat dihindarkannya, Tapi ketika dilihatnya air muka A Ci pucat pasi saking gusarnya, bahkan sekujur badan gemetar, sorot matanya penuh memantulkan rasa pedih yang tak terperikan sehingga membuat orang tidak tega memandangnya, maka ia tidak tega menghindarkan serangan anak dara itu.

Sebaliknya sesudah menanpar, seketika A Ci menyesal malah, serunya, "Cihu, O.Cihu, aku .... akulah yang salah, boleh ... boleh kau balas memukul aku, pukullah aku!"

"Ai, bukankah sifatmu ini terlalu kekanak-kanakkan?" sahut Siau Hong. "A Ci, di dunia ini tiada urusan maha besar apa-apa, kamu tidak perlu berduka sedemikian rupa. Eh, sorot matamu ... mengapa sedemikian sedih dan pilu? Cìhu adalah seorang lelaki kasar, bila kamu selalu mendampingi aku, sungguh akan membikin susah padamu."

"Sinar mataku selalu memantulkan rasa duka derita bukan?" A Ci menegas. "Ai, semua ini gara-gara siluman jelek yang membikin susah padaku.”

”Siluman jelek apa maksudmu?" tanya Siau Hong.

"Ini.. kedua biji mataku ini adalah pemberian siluman jelek, yaitu Thi-thau-Jin (orang berkepala besi) tempo hari itu," tutur A Ci.

Seketika Siau Hong masih belum paham, ia tanya pula, "Siluman jelek, Thi-thau-jin apa?”

Tin the, orang yang mengaku sebagai Kai-pang Pangcu, katanya bernama Ong-sing-thian katanya Ciangbunjin Kek-lok-pai segala. Tak tahunya, hihihihi, kikira siapa dia? Sungguh bisa bikin mules perut orang jika kukatakan jahatnya, dia adalah Yu Goan-ci, itu orang yang kukerudungi dengan topeng besi dahulu. Entah dari mana dia berhasil mempelajari semacam kungfu sakti dan aneh, dengan kepandaiannya itu dia selalu ikut di sisiku dan berusaha membikin senang hatiku. Sungguh kurang ajar, akulah yang telah tertipu, selama ini aku panggil dia sebagai Ong kongcu dengan segala hormat, kalau teringat sekarang sungguh aku menjadi malu sendiri.”

"Oooohh, kíranya Kai-pang Pangcu itu adalah si badut kepala besi yang pernah kau permalukan dia?” siau Hong menegas dengan terheran-heran. "Pantas, maka mukanya penuh bekas luka, mungkin disebabkan dia membuka topeng secara paksa sehingga kulit mukanya menjadi rusak. Tapi orang itu tidak dendam atas kejadian yang telah lalu dan mau melayanimu dengan baik, sungguh susah dicari bandingannya.”

"Hm, susah dicari apa? Masakah dia punya maksud baik padaku?” jengek A Ci. "Dia justru sengaja mendustai aku agar aku mau diperistri olehnya.”

Siau Hong manjadi teringat pada adegan ketika di rumah ayah angkatnya di Siau-Sit-san dahulu di sana ia lihat sinar mata Yu-Goang-Ci yang sedemikian memperhatikan A Ci itu lamat-lamat mengandungrasa cinta yang mendalam, Cuma waktu itu dirinya tidak memperhatikan lebih lanjut. Maka katanya, "Dan sesudah kau tahu duduknya perkara, saking gusarnya lantas kau bunuh dia lalu mencukil biji matanya?”

A Ci menggeleng kepala, sahutnya, "Tidak aku tidak membunuh dia, Kedua biji mata ini pun dia berikan padaku secara sukarela.”

Keruan Siau Hong terperanjat, seketika ia tidak paham mengapa bisa terjadi demikian, dan tanyanya,” Sebab apa dia bersedia mencukil biji matanya sendiri untuk diberikan padamu?”

"Habis, salahnya sendiri yang ketolol-tololan,” katanya A ci. "Ketika aku dan dia datang ke Leng-ciu-kiong dan bertemu dengan saudara-angkatmu Hi-Tiok-cu untuk minta dia menyembuhkan mataku Hi-tiok-cu mencari kitab-kitab pusakanya dan mempelajari sampai setengah harian, akhirnya dia mengatakan bahwa untuk menyembuhkan mataku hanya ada suatu jalan, yaitu mesti menggunakan biji mata orang yang hidup untuk menggantikan biji mataku. Coba pikir, ke mana harus kucari biji mata orang hidup. Sudah tentu aku tak dapat minta tukar mata dengan salah seorang dayang Leng-ciu-kiong, selagi aku mohon pertolongan kepada Hi-tiokcu. Aku lantas minta Yu Goan-ci turun gunung untuk menculik seorang desa. Siapa duga mendadak dia menangis sedih, katanya bila nanti mataku sudah sembuh dan dapt melihat wajahnya yang asli tentu tak suka dan tak mau gubris lagi padanya. Aku berjanji takkan berbuat demikian, tapi dia tetap tidak percaya. Siapa tahu

mendadak ia memegang sebilah belati terus menemui Hi-tiok-cu dan minta beliau menggantikan biji mataku. Thi-thau-jin itu bersedia menukar biji matanya untukku. Semula Hi-tiok-cu tidak mau, tapi Thi-thau-jin lantas mengiris mukanya satu kali dengan belati dan menyatakan tekadnya bila Hi-tiok-cu tetap tak mau, maka dengan segera dia akan bunuh diri. Karena tiada jalan lain, terpaksa Hi-tiok-cu meluluskan permintaannya dan mencukil matanya untuk menggantikan mataku.”

Dengan tenang dan sewajarnya saja A Ci menuturkan kejadian itu seperti sesuatu yang jamak, tapi bagi pandangan Siau Hong ucapan itu dirasakan sebagai sesuatu yang jauh lebih mendebarkan dan mengerikan daripada kejadian atau pertarungan sengit yang pernah dialaminya selama hidup ini.

Dengan tangan gemetar Siau Hong melemparkan kantong arak yang dipegangnya tadi dan berkata, "A Ci apakah benar Thi-thau-jin itu secara suka rela memberikan biji matanya kepadamu?”

"Ya, benar,” sahut A Ci.

"Kau ... sungguh seorang yang berhati batu dan tak punya perasaan, masakah orang memberikan biji matanya padamu telah kau terima dengan begitu saja?”

Mendengar nada Siau Hong itu kereng dan bengis, kembali mata A ci mengambang dan hendak menangis lagi. Mendadak katanya, "Cihu, jika matamu buta, aku pun rela memberikan biji mataku padamu.”

Siau Hong jadi terharu oleh ucapan yang tulus dan berperasaan mendalam itu, katanya dengan suara lembut, "A Ci, pemuda she Yu itu sedemikian mencintaimu, bahagia yang seharusnya kau nikmati itu ternyata tidak kau sadari. Padahal selain dia ke mana lagi akan kau cari seorang kekasih yang benar-benar mencintaimu di dunia ini? Dia sekarang berada di manakah?”

"Besar kemungkinan masih berada di leng-ciu-kiong," sahut A Ci. "Dia sudah tidak punya mata lagi, cara bagaimana dia dapat meninggalkan pegunungan yang curam dan berbahaya itu?”

"Ah, boleh jadi jika dapat memperoleh biji mata seorang pesakitan yang harus dihukum mati untuk menyembuhkan dia.” Ujar Siau hong.

"Tidak mungkin,” kata A Ci. "Hwesio cilik itu ... eh, keliru, Hi-tiok-cu itu bilang bahwa waktu matanya dicukil, maka urat-uratnya sudah putus semua dan tidak dapat diganti lagi seperti aku.”

"Jika begitu, lekas kau kembali ke sana untuk menemani dia, tak peduli kemana pun jangan kau meninggalkan dia barang selangkah pun," kata Siau Hong.

"Tidak, aku tidak mau," sahut A Ci sambil menggoyang kepalanya. "Aku hanya akan ikut padamu. Manusia sejelek siluman seperti dia itu, asal memandangnya saja aku sudah merasa muak, mana aku betah menemani dia selama hidup."

Siau Hong menjadi marah, "Meski rupanya jelek, tapi hatinya beratus kali lebih baik daripadamu! Aku tidak mau ditemani kau, aku tak ingin melihat kau lagi!"

"Tapi aku ... aku..” mendadak tenggorokan A Ci serasa tersumbat dan tak dapat bicara lebih jauh.

Pada saat itulah tiba-tiba penjaga masuk memberi lapor bahwa ada titah Sri Baginda yang memerintahkan Peng-lam Kongcu pergi menghadap padanya. Terpaksa A Ci menerima titah itu dan berangkat ikut dengan utusan raja.

Sambil mengawasi kepergian A Ci, diam-diam Siau Hong membatin, "Cinta Yu Goan-ci kepadanya benarbenar jarang terdapat sejak dahulu kala hingga sekarang. Hanya karena waktu A Ci meningkat remaja kebetuan siang dan malam dia tinggal bersama aku, di waktu dia terluka terpaksa aku pun merawat dia tanpa menghiraukan batas-batas antara pria dan wanita sehingga menimbulkan salah pahamnya kepadaku secara kekanak-kanakan. Ya, aku harus menyuruh dia kembali ke samping pemuda she Yu itu. Orang sedemikian baik padanya, sampai-sampai rela mengorbankan biji matanya sendiri. Kalau A Ci meninggalkan dia, sungguh Thian sekalipun tidak dapat mengampuni perbutannya ini."

Sesudah berada sendirian, kembali Siau Hong teringat pula kepada perintah Yalu Hung-ki yang menugaskan dia menyerbu kerajaan Song tadi. Pikirnya, "Untuk apa Hongsiang memanggil A Ci? Ya, tentu anak dara itu akan disuruh membujuk aku agar menerima titahnya. Jika aku tetap menolak titahnya, berarti aku tidak taat kepada perintah atasan. Siang tadi tampaknya Hongsiang sudah menaruh syakwasangka padaku. Mungkin teringat kepada persaudaraan selama ini, maka beliau telah mengekang perasaannya. Jika aku menerima tugas dan mesti memimpin pasukan untuk membunuh orang-orang Song, untuk ini hatiku juga tidak tega. Apalagi sekarang ayah sudah menjadi Hwesio di Siau-lim-si, bila mendengar tindakanku ini tentu beliau akan tidak senang. Ai, sungguh aku menjadi serba salah, kalau membangkang perintah berarti tidak setia, tidak memikirkan kebaikan persaudaraan berarti tidak berbudi, bila menyerbu dan membunuh rakyat tak berdosa berarti tidak bijaksana, dan dengan melanggar pesan ayah berarti tidak berbakti. Oh, Thian, cara bagaimana hambamu ini harus berbuat di antara kesetiaan, kebaktian, kebijaksanaan dan berbudi? Ai, apa mau dikata lagi, biarlah jabatan Lam-ih Tay-ong kutinggalkan saja dan kabur tanpa pamit. Akan tetapi kemana aku harus pergi? O, dunia seluas ini ternyata tiada tempat berteduh bagiku."

Ia mengangkat kantung arak yang terbuang tadi dan menenggak pula beberapa kali. Pikirnya, ”Biar kutunggu pulangnya A ci, aku akan mengajak dia ke bian-biau-hong supaya dia dapat berkumpul dengan pemuda she Yu

itu, berbareng aku dapat tinggal untuk sementara waktu di tempat itu, kemudian akan kupikirkan lagi apa yang harus ku lakukan selanjutnya.”

(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)

Bercerita tentang A ci yang dipanggil menghadap itu. Begitu bertemu dengan Yalu hung-ki, langsung nona itu berseru, ”Hongsiang, gelar Pang-lam Kongcu ini biarlah kuserahkan kembali padamu, aku tidak mau memilikinya lagi!”

Seperti apa yang telah diduga Siau hong memang maksud Hung-ki memanggil A Ci tak lain tak bukan ialah ingin minta nona membujuk Siau Hong supaya menerima tugas yang telah diberikannya itu. Tapi tiba-tiba A Ci lantas menyatakan hendak mengembalikannya gelar putrinya, keruan Hung-ki berkerut kening, katanya dengan kurang senang, "Sesuatu gelar yang diberikan kerajaan adalah urusan besar dan bukan mainan kekanak-kanak, mana boleh semuanya kau terima, dan kau kembalikan dengan begini saja!"

Mengingat hubungannya dengan Siau Hong biasanya Hung-ki juga ramah-tamah terhadap A Ci, tapi sekarang ucapannya agak keras sehingga menangíslah A Ci.

Pada saat itulah t!ba-tiba terdengar suara orang wanita sedang bicara, "Ai, mengapa Hongsiang marah-marah sehingga membikin ketakutan seorang nona cilik!”

Habis itu tertampaklah dari dalam keluar seorang wanita cantik dan anggun.

A Ci kenal dia adalah Bok-kuihui, selir kesayangan Yalu Hung-ki. Segera ia berkata, "Kebetulan dengan kedatangan Kuihui (gelar selir raja), silakan memberi peradilan, aku hanya menyatakan tidak mau menjad! Pang-lam Kongcu dan Hongsiang lantas marah-marah padaku."

Melihat kecantikan yang khas tatkala menangis itu Bok-kuihui melirik sekejap pada Hungki-ki dan berkata dengan tertawa, "Hongsiang, jika dia tidak mau menjadi Pang-lam Kongcu, maka bolehlah engkau menganugrahi dia sebagai Pang-lam Kui-hui."

Maksudnya kalau A Ci tidak mau diberi gelar putri, boleh ambil saja sebagai selir.

Tapi Hung-ki lantas tepuk paha dan berseru, "Ngaco! Ngaco! Aku memberi gelar kepada bocah ini adalah demi

kepentingan Siau-hiante, yang seorang Pang-lam Kongcu dan yang lain pang-lam Tai-goan-swe, dengan demikian mereka akan dapat menikah dengan segala keagungan. Siapa tahu Siau-hiante, tidak mau menjadi Pang-lam-Tai-goan-swe dan dara cilik ini pun tidak mau menjadi Pang-lam Kongcu. Ya, ya, tentu lantaran kamu ini orang selatan, maka tldak ingin kita pergi pang-lam (Mengamankan selatan), ya?"

Nyata di balik ucapannya ini sudah terkandung nada mengancam. Tapi A Ci menjawab, "Aku justru tidak urus apakah kalian akan mengamankan selatan atau akan mengamankan timur dan barat segala, semuanya aku tak peduli. Yang terang cihu ... Cihu ingin aku mengawini seorang siluman jelek yang kedua matanya buta."

Hung-ki dan Bok-kuihui jadi terheran-heran, tanya mereka bersama, "Sebab apa?"

Sudah tentu A Ci tidak berani menceritakan seluk-beluknya tentang Yu Goan-ci, ia terus menjawab, "Sebab Cihu tidak suka padaku, maka aku dipaksa menikah dengan orang lain."

Pada waktu itulah di luar kemah ada suara orang memanggil pelahan, "Hongsiang!"

Hung-Ki coba melongok keluar, ia lihat seorang kepercayaan sendiri yang sengaja ditugaskan untuk menjadi pengawal Siau Hong, dengan berbisik orang itu berkata, "Lapor Hongsiang, Siau Hong telah menempelkan pita segala di pintu istana dan membungkus setempel emas dengan kain dan digantung di atas belandar, melihat gelagatnya agaknya dia ... dia akan minggat tanpa pamit."

Mendengar laporan itu. Hung-ki menjadi gusar. Teriaknya, "Kurangajar! Benar-benar kurang-ajar!"

Dan sesudah berpikir sejenak, lalu memberi perintah, "Panggil lekas komandan pasukan pengawal!"

Hanya sebentar saja komandan pasukan pengawal kerajaan sudah menghadap. Segera Hung-ki memberi perintah, "Lekas pimpin pasukanmu dan kepung istana Lam-ih Tai-ong!"

Lalu ia pun memberi perintah agar pintu gerbang benteng kota ditutup semua, siapa pun dilarang masuk-keluar.

Rupanya dia kuatir Siau Hong memberontak dengan bawahannya, maka berulang-ulang ia memberi perintah pula, ia panggil menghadap para perwira tinggi bawahan Lam-ih Tai-ong seorang demi seorang.

Di dalam kemah Bok-kuihui dapat mendengar suara ramai-ramai di luar itu, menyusul pula suara derap kaki kuda dan barisan prajurit riuh rendah tak berhentl-henti, terjadi suatu peristiwa hebat.

Adat istiadat bangsa Cidan memang lebih bebas, begitu pula pergaulan antara pria dan wanita. Maka Bokkuihui lantas keluar dan coba tanya kepada Hung-ki, "Telah terjadi peristiwa apakah, sampai Baginda sedemikian gusarnya?”

"Kurangajar!" seru Hung-ki dengan marah. "Siau Hong ini benar-benar manusia yang tidak kenal kebaikan, dia bermaksud menghianat dan meninggalkan aku, Jiwa orang ini condong kepada kerajaan Song, tentu dia akan menyampaikan berita tentang gerak-gerikku kepada orang selatan sana. Dia banyak mengetahui rahasia militer kerajaan Liau kita, kalau dia sampai lolos ke selatan tentu akan merupakan ancaman dan sangat berbahaya bagiku.”

"Biasanya Baginda suka memuji ilmu silat Siau Hong sangat lihai, kalau Sri Baginda tidak berhasil menangkap dia sehingga dia dapat lolos, tentu akan membawa bencana di kemudian hari bagi bangsa kita," ujar Bokkuihui.

"Ya. memang!"sahut Hung-ki. Lalu ia berteriak, "Lekas perintahkan kepadaku Hui-liong-eng (batalyon naga terbang), Hui-hou-eng (batalyon harimau terbang) dan Hui-pa-eng (batalyon macan tutul) agar secepat kilat dikerahkan ke istana Lam-ih Tai-ong dan memberi bantuan kepada pasukan bayangkari."

Segera perintah sang raja diteruskan oleh ajudannya.

"Untuk membekuk orang she Siau itu, hamba mempunyai suatu akal, Baginda,” kata Bok-kuihui, lalu ia berbisik-bisik di tepi telinga sang raja.

Hung-ki tampak manggut-manggut dan berkata, "Ya. boleh juga. Kalau aksi ini berhasil tentu akan ada hadiah besar."

"Ah, asal Baginda senang saja sudah merupakan hadiah besar bagi hamba. Baginda sedemikian baik padaku, apalagi yang kuserakahi?" sahut Bok-kuihui dengan tersenyum.

Dalam pada itu A Ci masih duduk sendirian, didalam kemah. Biarpun di luar terjadi geger-geger sedikit pun dia tidak ambil pusing. Baginya adalah kejadian biasa orang-orang Cidan bergembar-gembor riuh rendah, bilamana hendak pergi berburu juga sering orang-orang itu ribut-ribut sedemikian rupa. Sudah tentu sama sekali tak terpikir oleh A Ci bahwa sekali ini adalah lain daripada yang lain, bahwa Hung-ki sedang mengarahkan pasukannya untuk menangkap Siau Hong.

Dengan duduk termenung-menung, pikiran anak dara itu sedang kusut, pikirnya, "Hari ini baru dapat kubeberkan isi hatiku kepada Cihu, tetapi ... tetapi dia tidak pernah memikirkan diriku sedikit pun, sebaliknya aku disuruh pergi menemani siluman jelek itu. Biarpun mati juga aku tidak sudi, tidak mau!”

Tiba-tiba sebuah tangan pelahan meraba pundaknya. A Ci terkejut dan mendongak, ia lihat Bok-kuihui dengan sorot mata yang lemah-lembut sedang bertanya dengan tersenyum,

"Adik cilik, apa yang sedang kau kenangkan? Sedang merindukan Cihumu, bukan?"

Meski adat A Cl gesit dan nakal, tapi sekali isi hatinya kena terkorek, mau-tak-mau mukanya menjadi merah juga, ia menunduk dan tidak menjawab.

Bok-Kuihui lantas duduk, ia pegang dan mengelus sebelah tangan A Ci, katanya pula dengan suara halus. "Adik cilik, orang lelaki kebanyakan memang bersifat kasar dan suka marah, lebih-lebíh orang seperti Hongsiang kita dan Lam-ih Tai-ong, mereka adalah ksatria gagah perwira pada jaman ini, untük menarik hati mereka sudah tentu tidak gampang."

A Ci mengangguk, ia merasa apa yang diucapkan Bok-kuihui itu memang betul.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar