Selang, sejenak barulah dia
berkata, "Entah apa yang bukan? Harap tuan itu suka memberi
petunjuk!"
"Petunjuk sih tidak ada,
hanya ada. Penjelasan sedikit saja,”demikian kata Pau Put tong. "Kulihat
kamu agak malu dan kikuk, maka tak perlu kau tanya lagi, biar aku sendiri yang
menguraikan saja.”
"Terima kasih,"
sahut si dayang dengan tersenyum manis.
"Nah, tentu kau tahu
bahwa jauh-jauh kami datang ke sini tujuannya adalah ingin melihat Tuan
Putrimu," kata Put-tong. "Betapa susah payahnya kami menempuh
perjalanan jauh ini, ada yang terkubur di tengah gurun pasir karena angin
badai, ada yang menjadi mangsa binatang buas sehingga yang beruntung lolos dari
elmaut itu akhirnya dapat sampai di Lengciu sini, tujuannya ialah ingin melihat
wajah sang Putri saja. Sekarang lantaran ayah-bundaku beberapa tahun lebih dulu
melahirkan aku sehingga umurku sekarang sudah 4O tahun lebih sedikit, maka
perjalananku yang susah payah ini akan menjadi sia-sia belaka. Jika tahu akan
jadi begini, tentu sejak mula aku minta ibuku jangan terburu-buru melahirkan
diriku dan ditunda dulu untuk beberapa tahun."
"Hihi, tuan ini suka
bergurau," kata si dayang dengan tertawa. "Kelahiran seseorang
masakah dapat di tentukan oleh manusianya sendiri?"
Melihat Pau Put-tong mengada
ada tak habis-habis pengeran Cong-can menjadi gusar, bentaknya dengan mendelik,
"Kalau Tuan Putri sudah menitahkan begitu, kita semua harus turut saja,
buat apa mesti cerewet lagi?"
Pau Put-tong menjadi gusar
juga, mendadak ia mendapat akal, dengan mengejek ia menjawab, "Eh,
Pangeran Yang Mulia, apa yang kukatakan tadi sesungguhnya juga demi kepentinganmu
Tahun inìengkau sudah beruntung empat satu, walaupun tidak terlalu tua, kau.
sudah lebih dari 40 tahun sebagaimana ditentukan Tuan Putri tadi dan tiada
harapan untuk melihat wajah yang cantik, bukankah sia-sia saja kedatanganmu
ini?"
Padahal usia pangeran Cong can
baru menanjak 28 tahun, cuma dia penuh berewok sehingga orang lain sukar
menaksir berapa umurnya.
Dayang cantik itu masih hijau
dan tidak tahu seluk beluk orang hidup, dengan sendirinya ia tidak dapat
menaksir usia orang lelaki, maka ia menjadi sangsi apakah ucapan Put-tong itu
sungguh-sungguh atau cuma
geguyon.
Ia lihat pangeran Cong-can
menjadi gusar dan segera hendak melabrak Pau Put-tong, dengan rasa kuatir cepat
ia mencegah. "Eh, jangan ... jangan kalian bertengkar, kukira orang yang
paling tahu umur masing-masing adalah tuan-tuan sendiri, maka siapa-siapa yang
merasa, sudah berumur lebih 40 tahun disilakan tetap tinggal di sini, yang
belum mencapai 40 tahun boleh ikut ke ruang dalam."
"Baik, usiaku belum ada
30 tahun, sudah tentu aku ikut ke ruang dalam." demikian Pau Put-tong
menirukan lagak lagu sang pangeran. Habis berkata dengan langkah lebar ia terus
bertindak ke dalam.
Si dayang mestinya ingin
mencegah, tapi malu-malu dan kikuk-kikuk serta tak berani. Sudah tentu kesempatan
itu segera digunakan oleh orang-orang lain untuk ikut masuk ke ruang dalam.
Jangankan yang berumur 40 tahun, sekalipun yang berusia 50-60 tahun Juga banyak
yang ikut masuk, hanya tinggal belasan orang tua yang menjaga kedüdükan dan
kehormatan masing-masing, merekalah yang tetap tinggal di situ. begitu pula
Bokwan-jing dan Ong Giok yan.
Mestinya Toan Ki jugä ingin
tinggal sajä untuk mengawani Giok-yan, tapi nona itu mendesak dan mendorongnya
agar ikut membantu Buyung Hok.
Karena itu terpaksa Toan Ki ikut
melangkah masuk ke ruang dalam dengan rasa berat, melangkah satu tindak tiga
kali menoleh, berat rasanya seperti hendak berangkat ke tempat jauh,
seakan-akan sekali berpisah tentu takkan bertemu lagi dalam beberapa tahun
lamanya.
Di tepi sungai ada empat obor
yang terang maka dengan jelas semua orang dapat melihat langkah dayang cantik
itu berarti menjerumuskan diri ke dalam sungai. Karena itu ada sebagian besar
hadirin sama menjerit kaget.
Tak terduga dayang cantik itu
ternyata tidak terjerumus ke dalam sungai, sebaliknya kelihatan tetap berjalan
dengan gaya berlenggang yang luwes dan dengan aman mencapai di seberang sungai
sana.
Dalam kagetnya semua orang
lantas yakin permukaan sungai itu pasti ada sesuatu benda berpijak, kalau
tidak, mustahil orang mampu melangkah di udara seperti si dayang itu.
Benar juga waktu semua orang
memperhatikan, maka kelihatanlah di antara kedua tepi sungai terpasang seutas
tali baja yang sangat halus. Karena tali baja itu sangat kecil, warnanya hitam
pula di dasar sungai juga sangat gelap sehingga di bawah cahaya obor itu orang
sukar mengetahui akan jembatan tali itu.
Tampaknya sungai itu sangat
dalam, kalau sampai terjerumus, andaikan tidak mati juga pasti setengah mati.
Tapi para pendatang ini sudah tentu bukan tokoh persilatan pasaran atau kodian,
mereka adalah jago silat pilihan, maka segera ada orang mengeluarkan ginkang,
dengan enteng menyeberang melalui jembatan tali yang hamper-hampir tak
kelihatan itu.
Dalam hal Ilmu silat sejati
Toan Ki memang tergolong kelas kambing. tapi bicara tentang ginkang dia sudah
mahir "Leng-po-wi-poh", dengan enteng saja dia dapat menyeberangi
sungai dengan digendong Pah Thian-sik.
Padahal sesudah Toan Ki
mendapat tambahan tenaga dalam Cumoti. ginkangnya saat ini boleh dikata tiada
bandingannya, cuma saja Pah Thían-sik tidak tahu, sedang Toan Ki sendiri pula
tidak menyadari hal ini.
Begitulah, sesudah semua orang
melintasi sungai itu, entah dengan menggunakan alat apa dan di mana, ketika si
dayang tadi menggeraki tangannya, "siuut", tahu-tahu tali baja itu
mengkerut dan menghilang ke dalam semak-semak rumput.
Keruan semua orang tambah
kebat-kebit dan kuatir. Dengan demikian mereka telah menghadapi jalan buntu
untuk putar kembali. Mereka menjadi tambah curiga jangan-jangan orang Se He
benar-benar bermaksud jahat?
Begitulah rombongan
orang-orang itu lantas masuk ke ruang dalam dengan menyusuri sebuah serambi
yang panjang. Diam-diam mereka merasa heran. Padahal Jing-hong-kok itu dari
luar tampaknya tidak begítu megah, siapa tahu dí bagian dalam ternyata
mempunyai dunia lain, masih ada tempat seluas itu.
Sesudah menyusuri serambi yang
panjang itu, kemudian sampailah mereka di depan sebuah pintu besar terbuat dari
batu. Dayang cantik itu mengeluarkan sepotong logam kecil dan memukul pelahan
beberapa kali di daun pintu batu yang terdiri dari daun sayap itu, kemudian
pintu batu itu lantas terbuka.
Para hadirin ini tergolong
tokoh-tokoh yang sudah kenyang asam garam alias banyak berpengalaman, maka demi
melihat daun pintu batu itu tebalnya balasan senti, kuatnya bukan kepalang,
diam-diam mereka merasa curiga, "Jangan-jangan sesudah masuk, lalu pintu
batu ini ditutup kembali, bukankah sakaligus kita akan terkurung semua? Bukan
mustahil raja Se He sengaja memancing kita dengan sayembara mencari menantu
tapi sebenarnya hendak membasmi habis kaum ksatria sebanyak mungkin di dunia
ini?"
Tapi mereka sudah telanjur
datang, betapapun harus dihadapi apalagi mereka sudah tentu tidak mau unjuk
lemah di depan orang banyak dan putar balik untuk dituduh sebagai pengecut.
Maka tanpa pikir lagi mereka melangkah masuk semua. Benar juga pintu batu itu
lantas merapat kembali.
Di dalam situ kembali ada
sebuah jalan yang panjang, kedua tepi jalan ternyata pelita-pelita yang terang.
Ujung jalan itu kembali menghadang sebuah pintu batu pula. Lewat pintu batu ini
kembali ada jalanan panjang, lalu pintu lagi. Jadi berturut-turut mereka
menembus tiga buah pintu batu. Maka biarpun orang yang tadinya paling acuh,
mau-tak-mau sekarang pun mulai merasa was-was dan curiga.
Dan sesudah membelok ke sana
sini beberapa kali tiba-tiba terdengar suara gemerciknya air, mereka telah
sampai di tepi sebuah sungai yang dalam. Di dalam lingkungan istana terdapat
sungai sungguh suatu hal yang sukar dibayangkan orang.
"Untuk sampai di kamar
tulis sana, lebih dahulu harus melintasi sungai ini. Nah, silakan!” kata si
dayang cantik, habis itu sekali bergerak, dengan enteng ia terus melangkah ke
dalam sungai itu.
Karena itu diam-diam mereka
sama waspada, tapi tiada seorang pun mengutarakan pikirannya, sebab kuatir akan
di tertawai teman-teman yang lain sebagai pengecut, takut mati. Diam-diam ada
juga yang merasa menyesal mengapa begitu tolol tanpa membawa senjata waktu
masuk istana tadi.
Dalam pada itu sesudah
menggulung jembatan tali tadi lalu si dayang berkata, "Marilah, hadirin
silahkan ikut ke sini."
Dan sesudah semua orang dibawa
menyusuri sebuah hutan bambu, akhirnya sampailah di depan sebuah pintu gua.
Dayang itu mengetuk beberapa
kali pada pintu gua itu, ketika pintu terbuka, si dayang cantik berkata,
"Silakan masuk, tuan-tuan!"
Habis itu ia lantas mendahului
melangkah ke dalam gua.
Diam-diam Pâh Thian-sik merasa
ragu, ia tanya Cu Tan-sin, "Bagaimana pikiranmu?"
Tan-sin sendiri merasa sangsi
apa mesti minta Toan Ki tinggal di luar gua saja atau membiarkan tuan muda
mereka menyerempet bahaya? Tapi kalau tidak berani menyerempet bahaya, pasti
tiada harapan buat dipilih menjadi Huma.
Tengah kedua orang merasa
serba salah, tertampak Toan Ki melangkah masuk ke dalam gua itu bersama Siau
Hong. Maka tanpa pikir lagi segera Thian-sik dan Tan-sin ikut dari belakang.
Di dalam gua itu mereka mesti
menempuh suatu jalan yang panjang untuk akhirnya pandangan mereka lantas
terbeliak. Ternyata mereka sudah berada di sebuah ruangan yang sangat luas.
Ruangan ini dua kali lebih
luas daripada ruangan istana di mana mereka minum teh tadi, nyata sekali
ruangan ini adalah sebuah gua alam di puncak gunung yang telah diperbaiki dan
dipajang secara indah oleh tenaga manusia, Dinding-dinding ruangan ini tergosok
sangat halus dan licin, sekeliling dinding penuh terhias lukisan dan tulisan
indah.
Pada umumnya dl dalam sesuatu
gua tentu mengeluarkan air atau berhawa lembab, tapi ruangan ini ternyata
sangat kering, sedikitpun tidak terasa berbau lembab.
Di sisi ruangan itu terdapat
sebuah meja, terletak alat tulis lengkap dan beberapa jilid kitab. Di
sebelahnya ada beberapa rak buku, beberapa buah kursi serta beberapa buah
bangku batu dan meja batu yang agak kecil.
Kemudian terdengar si dayang
cantik berseru, "Di sini adalah kamar tulis Tuan Putri kami, sekarang
silakan hadirin menikmati lukisan dan tulisan secara bebas!"
Melihat keadaan ruang yang
luas dan kosong sedikitpun tiada mirip kamar tulis seorang Tuan Putri sudah
tentu semua orang terheran-heran dan sangsi pula. Tapi di ruangan itu penuh
pigura lukisan dan tulisan indah, hal ini memang nyata terbukti.
Para pendatang ini adalah
jago-jago silat semua, kalau mereka pun bisa tulis menulis sudah terhitung
pintar, mana mungkin mereka dapat membedakan lukisan indah dan bermutu atau
tidak.
Siau Hong dan Hi-tiok meski
berilmu silat sangat tinggi, dalam hal seni sastra mereka pun tidak paham. Maka
sesudah berada dalam ruangan itu, mereka berdua lantas duduk berjajar di lantai
untuk mengawasi gerak-gerik orang lain.
Pengalaman Siau Hong jauh
lebih luas daripada Hi tiok, meski tampaknya dia acuh-tak-acuh seperti tidak
tertarik oleh lukisan yang memenuhi dinding ruangan itu, padahal pandangannya
tidak pernah meninggalkan tingkah pola si dayang cantik tadi, Dia anggap dayang
itu adalah kunci daripada keselamatan hadirin ini apabila diam-diam raja Se He
main muslihat untuk menjebak mereka maka orang yang bergerak lebih dulu tentu
dayang cantik itu.
Jadi sekarang Siau Hong mirip
seekor harimau yang diam-diam sedang mengintai mangsanya. Walaupun
kelihatannya tenang-tenang
saja, tapi sebenarnya siap siaga, asal ada sedikit perubahan yang tidak
menguntungkan segera ia akan menubruk ke arah si dayang dan takkan memberi
kesempatan lolos baginya.
Sebaliknya orang-orang seperti
Toan Ki, Cu Tan-sin, Buyung Hok, Kongya Kian dan lain-lain karena mereka memang
tergolong cendikiawan, terhitung kaum terpelajar, asal melihat sebangsa tulisan
atau lukisan tentu sangat tertarik maka saat itu mereka sedang mendekati hiasan
dinding yang tak terhitung jumlahnya itu untuk menikmatinya.
Ting Pek-Jwan lebih hati-hati
kelakuannya, Ia pura-pura sedang menikmati lukisan dan kitab yang berada di rak
buku. Sedang Pah Thian-sik berlagak sedang melihat lukisan, tapi sebenarnya
sedang memeriksa dinding itu dan sudut ruangan untuk mengetahui apa tiada
sesuatu yang mencurigakan.
Hanya Pau Put-tong saja yang
tidak mau tinggal diam, sambil memandang lukisan-lukisan itu tiada hentinya
pula ia mengoceh, dia mencela lukisan ini terlalu kaku gambarnya dan mengatakan
lukisan itu seperti cákar ayam, sebentar lagi bilang lukisan itu warnanya salah
lain saat mengejek lukisan itu kurang kuat gayanya, penulisnya tentu kurang
makan dan macam-macam cemooh lagi.
Padahal walaupun Se He
terbílang suatu negeri yang terpencíl dí wilayah barat, sejarahnya juga belum
tua, sudah tentu lukisan yang tersímpan tak dapat dibandingkan dengan kerajaan
Song dan Liau. Tapi lukisan yang menjadi koleksí kerajaan betapapun tentu tetap
juga bukan lukisan sembarangan.
Di antara lukisan koleksi
putri Se He itu banyak terdapat lukisan dan tulisan seniman ternama jaman kuno,
namun begitu semuanya itu tiada sepeserpun dalam penilaian Pau Put-Tong yang
memang disengaja itu.
Sudah tentu si dayang sangat
terkejut dan heran atas ocehan Pau Put-tong yang ngawur itu, ia coba mendekati
dan bertanya dengan suara pelakan, "Maaf tuan! Apakah lukisan dan tulisan
ini benar-benar kurang baik seperti apa yang kau katakan? Padahal Tuan Putri
kami mengatakan lukisan-lukisan ini semuanya barang pilihan."
"Tuan Putri kalian
tinggal terasing di daerah terpencil ini, selamanya tidak kenal dunia luar
sehingga tidak tahu sastrawan dan seniman negeri Tionggoan kami maka seharusnya
Tuan Putri kalian mesti sering-sering pesiar ke negeri kami untuk menambah
pengalamannya," demikian Put-tong mengoceh. "Dan, ah, adik cilik,
kaupun mesti ikut Tuan Putrimu jalan-jalan ke sana untuk menambah pengalaman.
Nanti memberi kabar lebih dulu padaku ya dan jangan lupa mampir di rumahku.”
Dayang itu mengangguk
menyatakan baik dengan tertawa.
Dalam pada itu Toan Ki juga
sedang memandangi lukisan-lukisan itu dengan teliti, sampai di depan sebuah
lukisan seorang wanita cantik,
mendadak ia terkejut dan bersuara heran.
Kiranya wanita cantik dalam
lukisan itu sangat mirip dengan Giok-yan. Sebelah tangannya memegang jarum dan
tangan lain memegang benang sambil duduk dl samping jendela sedang menyusupkan
benang ke lubang jarum, di atas lutut wanita terlukis itu tertaruh sepotong
kain sutra, jadi menggambarkan wanita cantik itu sedang menyulam.
"Jiko, cobalah kemari!"
seru Toan Ki kepada Hi- tiok.
Hi-tiok mengiakan dan
mendekatinya.
Ia juga terheran-heran melihat
lukisan itu. ia pikir gambar yang melukiskan nona Ong kembali terdapat sebuah
pula di sini. Wanita dalam lukisan pemberian guruku itu tiada bedanya dengan
wajah wanita lukisan ini, hanya gayanya saja yang berlainan.
Toan Ki sendiri makin melihat
juga makin heran. Tanpa terasa ia mengulur tangan untuk meraba lukisan itu.
Ketika jarinya menyentuh dinding, ia merasa pada dinding itu banyak garis yang
berdakak-dekak. Waktu dia mengamat-amati lebih jelas, kiranya di atas dinding memang
terukir banyak sekali gambar orang-orangan, ada yang duduk, ada yang berdiri
dan ada yang sedang melompat gayanya aneka ragam.
Gambar orang-orangan itu
semuanya dikurung dengan sebuah lingkaran, di luar lingkaran sebagian besar
tercatat pula angka-angka dan huruf-huruf mengenai anatomi.
Sekali memandang saja segera
Hi-tiok dapat mengenal ukiran-ukiran dalam lingkaran-lingkaran itu mirip
seperti ukiran yang dipelajarinya di kamar batu Leng-ciu-kiong itu, Ia tahu
ukiran-ukiran ini adalah rahasia berlatih ilmu silat yang maha sakti, kalau
tenaga dalam belum cukup kuat, tentu akan bikin celaka sendiri orang yang
mempelajarinya seperti halnya Bwe kiam dan Tiok kiam berempat tempo hari.
Kuatir kalau Toan Ki juga
mengalami kecelakaan, maka cepat Hi-tiok memperingatkannya, "Samte,
lukisanlukisan ini tidak boleh dipandang."
"sebab apa?" tanya
Toan Ki.
"Ukiran ini adalah
semacam rahasia ilmu silat yang amat tinggi, jika mempelajari secara ngawur,
bukannya baik. sebaliknya bisa celaka," bisik Hi-tiok.
Toan Ki memang tidak berhasrat
belajar ilmu silat apa segala, maka segera ia kesampingkan ukiran-ukiran
dinding itu dan kembali menikmati lukisan "si cantik sedang menyulam"
tadi.
Selama beberapa hari ini
hubungannya dengan Giok-yan sudah sangat erat, wajah si nona boleh dikata sudah
dipandangnya dangan jelas-jemelas, terutama ketika sama-sama berbaring di tepi
sungai untuk menjemur badan mereka yang basah kuyup, di sana ia telah memandang
muka Giok-yan sedemikian rupa sehingga nona itu merasa malu.
Sekarang sesudah dia
mengamat-amati pula lukisan itu segera dapatlah dibedakan ciri-ciri gambar ini
tidak sama dengan Giok-yan. Wajah yang dilukis memang sangat mirip Giok-yan
Cuma perawakan wanita dalam lukisan itu lebih bernas lebih montok, mata alisnya
bersemangat tangkas dan gagah, sebaliknya Giok-yan sangat lemah-lembut, usia
orang dalam lukisan juga lebih tua tiga-empat tahun daripada Giok-yan.
Di sebelah sana biarpun Pau
Put-tong mengoceh tak karuan, tapi setiap tutur-kata dan gerak-gerik Toan Ki
dan Hi-tiok selalu diperhatikan olehnya. Maka demi mendengar Hi-tiok mengatakan
ukiran di dinding itu adalah semacam ilmu silat yang sangat tinggi segera ia
mendengus, "Huh, ilmu silat maha sakti apa? Huh, hwesio cilik memang suka
membual!”
Habis berkala ia terus ikut-lkut
memperhatikan ukiran dinding.
"Gambar-gambar itu jangan
dipandang tuan-tuan," demikian si dayang lantas memperingatkan, "Tuan
Putri pernah mengatakan bila orang tidak mempunyai dasar kungfu yang kuat,
kalau memandang gambar itu tentu akan celaka daripada mendapat faedahnya.”
"Dan kalau sudah
mempunyai dasar kungfu yang kuat, tentu akan berfaedah bukan?" demikian
jawab Pau Puttong yang kepala batu, "Nah, dasar kepandaianku justru sudah
sangat kuat."
Sebenarnya Pah Put-tong cuma
bersifat tak mau kalah saja, pada hakikatnya dia tiada maksud buat mengintip
rahasia ilmu silat orang. Tak terduga baru saja la memandang gaya sebuah ukiran
itu seketika ia terpengaruh, la merasa banyak sekali perubahan lanjutan dari
gaya gambar orang-orangàn itu dan sukar dipahami, tanpa terasa ia ulur tangan
dan angkat kaki dan mulai main menurut gaya ukiran itu.
Dalam sekejap saja lantas ada
orang lain mengetahui keadaan Pau Put-tong yang aneh itu, menyusul mereka pun
melihat ukiran-ukiran di dinding. Maka terdengarlah suara orang banyak, ada
yang berkata, "He, dl sini ada gambar ukiran!”
Dan di sana juga ada yang
bilang, "Ya, di sini juga ada!"
Dan begitulah, beramai-ramai
orang banyak lantas menyingkap lukisan untuk memeriksa ukiran dinding di
bawahnya.
Tapi mereka hanya melihat
sejenak saja. Tánpa terasa kaki tangan mereka pun ikut-ikut bergerak dan menari
seperti orang sinting.
Diam-diam Hi-tiok terkejut,
cepat ia mendekati Siau-Hong dan berkata, "Toako, gambar-gambar itu terang
tidak boleh dipandang, kalau memandang lagi mungkin semua orang akan celaka.
Jika sampai ada yang kalap, wah, tentu keadaan bisa kacau-balau."
Siau Hong mengangguk, segera
ia membentak keras-keras, "Hendaknya semua orang jangan memandang ukiran
didinding itu. Kita sudah berada di tempat bahaya, lekas kita berkumpul untuk
berunding apa yang perlu dilakukan."
Karena suara gertakan itu,
segera ada beberapa orang sadar kembali dan menurut untuk berkumpul. Namun daya
pengaruh ukiran-ukiran dinding itu. ternyata sangat besar, barang siapa asal
memandang sekejap salah satu gambar ukiran itu dan sedikit berpikir, seketika
akan merasa gaya gambar itu dapat memecahkan persoalan sulit ilmu silat yang
selama ini sukar dipecahkan olehnya. Tapi sebenarnya gaya itu cara bagaimana
harus memulainya dan bagaimana selanjutnya, hal ini menjadi samar-samar pula
dan diraba sehingga tanpa terasa kaki dan tangan ikut-ikut bergerak untuk
menirukannya.
Melihat orang-orang itu
seperti sudah senewen semua, walaupun biasanyaSiau Hong sangat tabah,
mau-takmau ia merasa kebat-kabit juga.
Sekonyong-konyong terdengar
seorang menjeritkeras-keras sambil berputar-putar beberapa kali, lalu jatuh
terguling di lantai. Menyusul ada seorang lagi yang mengeluarkan suara
rintihan, mendadak terus menubruk dinding batu sambil mencakar dan mencengkeram
secara kalap seakan-akan ingin mengelotoki ukiran dinding itu.
Siau Hong tahu bilâ tidak
segera mencegah orang-orang itu agar berhenti melihat ukiran, kalau sampai
sedikit lama lagi tentu akan terjadi bencana atau banjir darah.
Sedikit berpikir segera ia
mendapat akal, "krek", ia tarik sandaran kursi di sebelahnya sehingga
sempel ketika sempalan kayu ia putar dan digosok-gosok dengan kedua tangan,
seketika berubah menjadi remukan kayu yang kecil-kecil, Cepat ia hantarkan
kayu-kayu kecil itu sebagai senjata rahasia, maka terdengarlah suara mendesis-
desis yang ramai, hanya
sekejap saja pelita dalam kamar itu sudah padam semua dan keadaan menjadi gelap
gulita.
Dalam keadaan gelap hanya
terdengar suara pernapasan orang banyak yang masih terengah-engah, banyak pula
yang menghela napas lega dan bersyukur, "Wah, hampir saja!"
Segera Siau Hong berseru,
"Silakan semua orang duduk di tempat semula masing-masing dan jangan
sembarangan bergerak supaya tidak terjebak pesawat rahasia yang mungkin
terdapat di ruangan ini. Ukiran di dinding itu sangat besar daya pengaruhnya,
hendaklah sekali-kali jangan disentuh, apalagi dipandang."
Habis berseru, tiba-tiba, Siau
Hong menahan suaranya dengan pelahan dan berkata, "Maaf, harap lekas buka
pintu agar semua orang dapat keluar dari sini."
Kiranya pada waktu
menghamburkan senjata rahasianya untuk memadamkan pelita-pelita itu, berbareng
Siau Hong melompat maju dan dapat memegang tangan si dayang cantik tadi.
Sudah tentu ilmu silat dayang
itu pun tidak rendah, dalam kagetnya sebelah tangannya yang lain terüs
menghantam, namun segera kena di tangkap pula oleh Siau Hong sehingga tak bisa
berkutik.
Dayang itu menjadi kuatír dan
malu pula serta tak berani bergerak.
Demi mendengar ucapan Siau
Hong yang halus itu, segera ia berkata, "Lepas ...lepaskan tanganku!”
Siau Hong lantas lepaskan
tangan si dayang itu. Meski dalam keadaan gelap gulita, tapi dengan
kepandaiannya ia tidak kuatir dayang itu akan main gila padanya.
Lalu dayang itu berkata,
"Kan sudah kukatakan tadi kepada mereka bahwa ukiran di dinding itu jangan
dipandang, kalau belum mempunyai dasar kepandaian yang kuat tentu akan membikin
celaka diri sendiri, tapi mereka sendirilah yang tidak mempercaya pada
omonganku."
"Kau suruh aku jangan
lihat, aku justru ingin lihat. Kalau kau suruh aku lihat, tentu sejak tadi aku
tak sudi melihat," sahut Pau Put-tong sambil duduk di lantai walaupun
kepalanya masih puyeng dan enek rasa di dada.
Diam-diam Siau Hong harus
mengakui memang si dayang tadi sudah memperingatkan mereka jangan melihat
ukiran-ukiran dinding, agaknya memang tidak sengaja hendak menjebak. Jika
begitu apa maksud tujuan sebenarnya putri Se He itu mengundang orang banyak ke
sini?
Begitulah, selagi Siau Hong
berpikir, tiba-tiba hidungnya mengendus bau harum yang halus. Ia terkejut dan
cepat pencet hidung sendiri. Ia masih ingat dahulu para anggota Kai-pang pernah
dirobohkan oleh bau harum berbisa oleh jago-jago Ih-bin-tong Se He. Segera ia
mengerahkan hawa murni dalam tubuh dan mengatur pernapasan, tapi tidak merasa
ada sesuatu alangan.
Dalam pada itu tiba-tiba
terdengar suara seorang wanita yang merdu lagi bicara, "Tuan Putri Bon-gi
Kongcu tiba!”
Mendengar datangnya sang
putri, semua orang menjadi kaget dan senang pula. Cuma sayang keadaan gelap
gulita sehingga tidak dapat melihat jelas wajah sang putri.
Kemudian suara yang merdu, suara
wanita muda, berkata pula, "Tuan Putri mempermaklumkan bahwa di dinding
kamar beliau banyak terukir gambar, mengenai ilmu silat, ukiran-ukiran itu
mestinya tidak boleh dilihat oleh orang luar, makanya sengaja dialing-aling
dengan lukisan, tak terduga ukiran-ukiran, itu masih terlihat juga oleh kalian.
Tuan Putri minta perhatian kalian agar jangan sekali-kali menyalakan pelita
atau mengatik batu api, kalau tidak, mungkin kalian akan menghadapi bahaya lagi
dan akanmembìkin tidak enak kedua belah pihak. Sekarang Tuan Putri ingin bicara
sedikit dengan hadirin dan terpaksa dilakukan dalam keadaan gelap, cara yang
kurang menghormat ini diharap hadirin suka memaafkan."
Hábis itu, terdengar suara
berkeriut-keriut, pintu batu tadi tahu-tahu terbuka, Lalu wanita muda itu
bicara pula, "Nah, jika di antara hadirin ada yang tidak ingin tinggal
lebih lama di sini, sekarang boleh silakan keluar saja dan kembali ke ruangan
tamu di depan tadi, sepanjang jalan akan ada orang memberi petunjuk sehingga
takkan kesasar."
Mendengar sang putri sudah
datang, sudah tentu semua orang tidak mau pergi. Apa lagi suara bicara wanita
muda itu sangat ramah-tamah, sedikitpun tidak mengandung nada kasar atau jahat
sekarang pintu batu dibuka pula sehingga boleh keluar masuk dengan bebas
seketika rasa takut mereka tadi lenyap sama sekali dan tiada seorangpun yang
mau pergi dari sini.
"Ternyata hadirin tiada
yang ingin pergi sungguh Tuan Putri merasa sangat terima kasíh. Sekarang
sekedar sebagai tanda mata atas kedatangan hadirin dari jauh, maka Tuan Putri
bersedia menghadiahkan kepada setiap orang sebuah lukisan dan tulisan yàng
berada di sini. Jelek-jelek lukisan dan tulisan ini adalah koleksi Tuan Putri
kami selama bertahun-tahun, diharap hadirin sudi menerimanya. Dan nanti bila
para hadirin hendak pergi dari sini boleh sekalian pilih dan ambil
sendiri."
Banyak diantara tokoh-tokoh
persilatan itu adalah orang kasar, sudah tentu mereka tidak tertarik oleh
lukisan apa segala. Tapi merekapun tahu lukisan-lukisan itu barang seni pilihan
dan bernilai daripada tiada mendapat apa-apa, boleh juga nanti diambil untuk
dibawa pulang, demikian pikir mereka.
Hanya Toan Ki saja yang sangat
girang, ia bertekad nanti akan ambil lukisan "si cantik sedang menyulam”
tadi untuk diperlihatkan kepada Giok-yan.
Sebaliknya pangeran Cóng-can
lain pikirannya. Ia sudah menunggu setengah harian, bicara ke sana ke mari sang
putri belum lagi muncul, hanya dayang itu yang mewakilkan bicara. Tentu saja ia
menjadi aseran, segera ìa berteriak, "Bun-gi Kongcu, jika di sinitidak
boleh menyalakan pelita, marilah kita berganti tempat untuk bertemu? Dalam
keadaan gelap gulita begini engkau tidak dapat melihat aku dan aku tak bisa
memandang dirimu, sungguh konyol!"
Segera dayang tadi berkata,
"Jika hadirín ingin melihat Tuan Putri untuk ini tidak sulit."
"Ya. kami ingin melihat
Tuan Putri! Segera ingin!" demikian ratusan orang itu berteriak-teriak
dalam keadaan gelap gulita.
Selain itu banyak pula yang
berteriak-teriak. "Lekas menyalakan lampu, kami takkan melihat ukiran di dinding
itu, masakah ukiran itu akan lebih menarik daripada paras Tuan Putri yang
cantik bak bidadari? Ya asal melihat sekejap saja wajah Kongcu dan lampu boleh
segera di padamkan lagi! Benar! Silahkan Kongcu tampil ke muka.”
"Diam! Harap hadirin
tanang dulu!” demikian seru si dayang. Dan sesudah suara teriakan-teriakan itu
mereda, lalu ia menyambung "Adapun maksud Tuan Putri mengundang hadirin ke
Se He ini, memangnya beliau ingin menjumpa dengan beliau. Sekarang Tuan Putri
ada tiga soal yang akan ditanyakan kepada kalian, barang siapa dapat memberikan
jawaban yang dibenarkan Tuan Putri, maka dengan segera beliau akan menemuinya.”
Seketika semua orang bersorak
gembira dan bilang "Eh, kiranya pakai ujian lisan apa segala!”
Dan ada yang berkata,
"Wah, celaka! Aku hanya mahir putar golok dan main tombak, kalau aku diuji
tentang membaca dan bersyair segala, aku bisa runyam!”
Kemudian si dayang mengumumkan
lagi, "soal-soal yang hendak ditanyakan Tuan Putri kepada hadirin sekalian
sudah diberitahukan kepadaku, maka sekarang silahkan siapa yang ingin lebih
dulu?”
Serentak banyak di antara
hadirin itu berebut maju ke depan dan berteriak-teriak, "Aku lebih dulu!
Tidak, aku dulu! Kamu tadi belakangku, kenapa menyerobot barisanku?”
Si dayang tertawa geli,
katanya, "Sudahlah, hadirin sekalian jangan bertengkar. Padahal orang yang
maju lebih dahulu akan rugi sendiri.”
Sesudah berpikir, semua orang
merasa apa yang dikatakan si dayang memang benar juga. Karena diuji belakangan
tentu akan dapat mendengarkan jawaban-jawaban orang lain yang telah diujikan
dapat menperbaki kesalahannya, kalau benar akan bias ditiru. Oleh karena itu,
seketika semua orang berbalik ogah-ogahan untuk dia lebih dulu dan saling
mengalah.
"Bagus! Jika kalian
berebut lebih dulu, biar aku belakangan. Tapi sekarang kalian takut menjadi
perintis jalan, maka boleh aku menjadi pembuka buat kalian. Nah, dengarkanlah
Tuan Putri namaku Pau Put-tong. sudah punya anak dan beristri, yang kuharap
hanya melihat muka Tuan Putri yang cantik lain tidak."
"Pau-siangsing ternyata
seorang yang suka berterus terang," kata si dayang, "Sekarang
dengarkan ketiga soal yang hendak ditanyakan Tuan Putri, ini pertanyaan pertama
: Selama hidup Pau-siansing tentu pernah merasakan sesuatu yang paling gembira
dan bahagia, Nah di manakah Pau-siansing pernah merasakan saat-saat yang paling
gembira dan bahagia itu?”
Pau Put-tong berpikir sejenak,
lalu menjawab, "Di dalam sebuah kolam, di situ aku mandi sepuas-puasnya
bersama jantung hatiku, sungguh aku merasa sangat gembira dan bahagia, Nah,
Puas dan apakah jawabanku ini tepat?"
"Tepat atau tidak
bergantung pada keputusan Tuan Putri nanti,” kata si dayang. "Sekarang
pertanyaan kedua : Selama hidup Pau-siansing ini. siapakah orang yang paling
kau cintai?"
"Namanya Pau
Put-cing," sahut Pu-tong tanpa pikir.
"Dan pertanyaan ketiga :
Bagaimana wajah orang yang paling dicintai Pau-singsing itu?" Tanya si
dayang.
"Wajahnya sungguh
istimewa," sahut Put-tong. "Dia baru berumur tiga tahun, matanya satu
besar, satu kecil, hidungnya pesek, kupingnya lebar, kalau diberi perintah ia
membangkang. Bila kusuruh dia tertawa, eh malah dia menangis dan sekali
menangis sedikitnya tiga jam lamanya. Dia bukan lain adalah putri pertama
hatiku Pau Put-cing!”
Semua orang tertawa ngakak,
begitu pula si dayang terpingkal-pingkal geli. Mereka merasa jawaban Pau
Puttong itu sungguh sangat jujur dan terus terang.
Lalu si dayang berkata.
"Pau-siansing silahkan tungggu di samping dulu. Sekarang silakan orang
kedua."
Karena buru-buru ingin
berkumpul kembali dengan Giok-yan, maka Toan Ki mendahului maju, ia membungkuk
tubuh memberi salam, lalu berkata, "Caihe Toan Ki dari Tayli, dengan ini
menyampaikan salam hormat kepada Kongcu, Atas penyambutan dan pelayanan yang
telah kuterima dengan jalan ini pula kusampaíkan terima kasih."
"O, kiranya putra mahkota
dari Tayli, harap Yang Mulia jangan sungkan-sungkan, bahkan kalau ada pelayanan
yang kurang sempurna diharap yang Mulia suka memaafkan," kata si dayang.
"Ah. Cici tidak perlu
rendah hati, " sahut Toan Ki. "Apabila hari ini Tuan Putri tiada
tempo senggang, boleh juga pertemuan ini ditunda sampai lain hari."
"Karena Yang Mulia sudah
ikut hadir di sini maka silakan juga menjawab ketiga pertanyaan tadi,"
demikian kata si dayang. "Nah, pertanyaanpertama itu ialah : Di manakah
selama hidup Yang Mulia ini merasa paling gembira dan bahagia?"
Tanpa pikir Toan Ki menjawab,
"Di dalam lumpur sebuah sumur kering."
Seketika bergemuruhlah
gelak-tawa orang banyak. Toan Ki juga tidak memberi penjelasan lebih lanjut,
hanya Buyung Hok saja yang tahu sebab apa pemuda itu merasa senang dan bahagia
di dalam sumur kering.
Maka terdengar ejekan seorang
dengan suara bisik-bisik kepada kawannya, "Apa barangkali dia seekor halus
atau bekicot makanya merasa senang di dalam Lumpur?”
Dalam pada itu dengan menahan
rasa gelí si dayang bertanya pula, "Dan selama hidup Pángeran siapakah
yang paling engkau cintai, siapakah namanya?”
Baru Toan Ki hendak menjawab,
sekonyong-konyong kedua belah tangan bajunya terasa dijawab orang. Darì sebelah
kanan Pah Thian-sik mengisiknya, "Jawablah ayahanda!"
Sedang Cu Tan-sin juga memberi
nasehat dengan lirih di sebelah lain, "katakan ibunda!"
Rupanya kedua
"punakawan" itu merasa jawaban Toan Ki yang pertama tadi terlalu
menyimpang, maka kuatir jawaban kedua ini akan di tertawai lagì oleh orang
banyak. Padahal kedatangannya ini adalah untuk melamar putri Se He, kalau
sekarang Toan Ki mengaku selama hidupnya telah mencintai seorang nona lain,
pasti runyam maksud tujuan kedatangan mereka ini.
Sebab itülah yang satu
menganjurkan menjawab bahwa orang yang saling dicintai adalah ayahanda, seorang
lelaki harus setia kepada, raja dan berbäkti kepada ayah, inilah jalan pikiran
Pah Thian sik. Sebaliknya Cu Tansin menyuruh Toan Ki menjawab orang yang paling
dicintai adalah ibunda, seorang anak harus cinta pada sang ibu, lnilah jalan
pikiran kaum sastrawan sebagai Cu Tan-sin.
Toan Ki sendiri mestinya akan
menjawab bahwa orang yang paling dicintainya adalah Ong Giok-yan, tapi
Thian-sik dan Tan-sin keburu menjawabnya sehingga Toan Ki urung membuka mulut.
Segera teringat olehnya bahwa dirinya adalah putra mahkota kerajaan Tayli yang
setiap gerak-gerik dan tutur-katanya menyangkut kehormatan negara. Sebab itulah
ia lantas memuruti nasehat kedua abdi pengiringnya dan menjawab, "Orang
yang paling kucintai sudah tentu adalah ayah-bundaku.”
Lalu si dayang bertanya pula,
"Dan bagaimana dengan wajah ayah-bunda Yang Mulia? Apakah mirip dengan
engkau?"
"Ayahku bermuka lebar,
beralis tebal dan bermata besar, sikapnya gagah" baru sampai di sini
mendadak ia tertegun. Baru sekarang ia merasa muka sendiri kiranya tidak mirip
sang ayah, tapi lebih mamper sang ibu. Hal ini sebelumnya tidak pernah terpikir
olehnya.
Melihat ucapan Toan Ki
berhenti ditengah jalan, si dayang merasa Pangeran itu sudah selesai, tidak
enak menguraikan muka ibunya yang berkedudukan sebagai permaisuri Tin-lam-ong
yang diagungkan itu di depan orang banyak. Maka ia pun tidak Tanya lebih jauh,
ia hanya mengucapkan terima kasih atas jawaban Toan Ki dan mohon dia mengaso ke
samping.
Di sebelah sana pangeran
cong-can menjadi iri ketika melihat sikap si dayang yang sampai menghormati
Toan Ki itu. Pikirnya, "Kamu adalah pangeran, aku pun pangeran. Negeri
Turfan kami jauh lebih besar dan kuat daripada negerimu, masakah kamu bisa
lebih unggul dari padaku?”
Karena pikíran itu, segera ia
melangkah maju dan berkata, "Pangeran Cong-can dari Turfan mohon bertemu
dengan Tuan-Putri."
"Atas kehadiran Yang
Mulia sungguh selaku anggota kerajaan kami merasa mendapat kehormatan besar.”
Kata si dayang sambil memberi hormat, "Sekarang Yang Mulia disilahkan juga
menjawab ketiga pertanyaan itu.”
Cong-can adalah orang kasar
dan tidak suka berliku-liku, dengan tertawa ia berkata, "Ketiga pertanyaan
Tuan Putri itu sudah kudengar, maka tidak perlu kau Tanya lagi satu per satu,
biarlah kujawab sekaligus saja. Nah selama hidupku ini tempat yang membikin aku
paling senang dan bahagia adalah kelak bila aku telah menjadi Huma, di kamar
pengantin pada malam pertama itulah tempatnya. Adapun orang yang paling
kuciantai selama hidup ini adalah Bon-gi Kongcu, sudah tentu dia she Li,
sedangkan namanya aku tidak tahu, sesudah menjadi istriku tentu akan dia
beritahukan padaku. Tentang mukanya sudah tentu dia secantik bidadari. Haha,
tepat tidak ketiga jawabanku ini.”
Sebagian besar hadirin itu
sesungguhnya mempunyai pendapat yang sama seperti jawaban pangeran Cong-can
itu. Sekarang Cong-can telah memberi jawaban lebih dulu, maka diam-diam mereka
sangat menyesal tidak sejak tadi-tadi minta diuji dan memberi jawaban seperti
itu. Kalau sekarang menjawab lagi serupa tentu diolokolok orang lalu sebagai
penjiplak.
Begitulah Siau Hong telah
mengikuti ujian dari si dayang terhadap orang banyak itu satu persatu, sampai
akhirnya ia merasa bosan. Coba kalau tidak ingin tahu bagaimana hasil sayembara
itu tentu sejak tadi sudah ia tinggal pergi.
Tengah Siau Hong merasa kesal,
tiba-tiba terdengar suara Buyung Hok berkata. "Caihe Buyung Hok dari
Kohsoh dengan hormat menyampaikan salam kepada Tuan Putri.”
"O, kiranya Buyung-kongcu
yang tersohor dengan Ih-pi-ci-to dan hoan-si-pi-sin itu, biarpun selama ini
hamba berada dalam keraton, sering juga kudengar nama kebesaran
Buyung-kongcu," demikian puji si dayang.
Diam-diam Buyung Hok merasa
senang dan bangga, kalau dayang itu kenal namanya, dengan sendirinya Tuan
Putrinya juga mengenalnya, bisa jadi mereka sering membicarakan dirinya. Karena
itu, ia menjawab dengan kata-kata yang rendah hati.
Lalu si dayang berkata pula,
"Meski negeri Se He tempatnya terpencil, sering juga kami dengar tentang
'Pak Kiau Hong dan Lam Buyung' yang tersohor. Konon Pak Kiau Hong sekarang
sedang berganti she Siau dan menduduki jabatan tinggi di negeri Liau, entah hal
ini betul atau tidak?"
"Ya, memang betul,"
sahut Buyung Hok. Padahal dia tahu Siau Hong juga ikut hadir di situ, tapi dia
sengaja tak mau mengatakan.
"Nama Buyung-kongcu
sejajar dengan Siau-taihiap, tentu kalián adalah kenalan baik, entah bagaimana
potongan Siau-taihiap itu?
Ilmu silatnya kalau dibandingkan Buyung-kongcu kira-kira siapa yang lebih
unggul?" demikian si dayang bertanya lagi.
Keruan pertanyaan ini membuat
Buyung Hok merah mukanya. Dia pernah bertempur melawan Siau Hong dan kalah
tinggi ilmu silatnya, hal ini telah dilihat orang banyak, sekarang kalau dia
mengakui kenyataan itu tentu dia akan ditertawai oleh ksatria-ksatria seluruh
jagat.
Tapi dasar jiwa Buyung Hok
memang agak sempit, dia tetap tidak rela mengakui keunggulan Siau hong, maka ia
menjadi dadaran dan menjawab, "Apakah pertanyaan nona ini termasuk ketiga
pertanyaan yang hendak diujikan oleh Tuan Putri?”
"O, tidak, harap
maaf," sahut dayang itu cepat, "Soalnya sudah lama hamba dengar nama
kebesaran Siautaihiap, saking kagumnya maka hamba mengajukan pertanyaan
ini."
"Siau-taihiap saat ini
juga berada di sini, bila perlu nona boleh langsung tanyakan padanya saja,”
kata Buyung Hok.
Keterangan ini membuat suasana
ruangan itu menjadi gempar seketika. Maklum nama Siau Hong sangat termasyur dan
disegani oleh setiap orang persilatan.
Agaknya si dayang juga
terpengaruh, katanya dengan suara agak gemetar, "Oo, kiranya Siau-täihiap
juga sudi berkunjung kemari, karena sebelumnya tidak tahu, maka sudilah
memaafkan bila ada penyambutan yang kurang sempurna,"
Tapi Siau Hong hanya mendengus
saja dan tidak menjawab.
Mendengar nada si dayang jauh
lebih hormat kepada Siau Hong daripada dia, diam-diam Buyung Hok menjädi
kuatir, "Wah, Siau Hong itu pun belum beristri, dia menjabat Lam-ih
Tai-ong kerajaan Liau dan memegang kekuasaan militer yang besar, terang aku
yang tak punya apa-apa ini bukan bandingannya. Bila putri Se He penujui dia,
Wah, bi ... bisa runyam ini!"
Dalam pada itu terdengar si
dayang sedang berkata, "Biarlah hamba tanya dulu pada Buyung-kongcu, harap
Siau-täihiap suka menunggu untuk sementara, maaf."
Begitulah sesudah minta maaf
dengan kata-kata yang merendah, lalu dayang itu tanya Buyung Hok, "Nah,
pertanyaan pertama adalah di tempat manakah Buyung-kongcu merasa paling senang
dan bahagia selama
hidup ini?”
Pertanyaan ini jelas sudah
didengar Buyung Hok sejak tadi, tapi sekarang demi ia sendiri yang ditanya,
seketika ia jadi melongo dan sukar menjawab.
Selama hidup Buyung-Hok boleh
dikata senantiasa giat berusaha membangun kembali kerajaan Yan dan tidak pernah
mengalami waktu senang dan bahagia. Maka dengan tertegun sejenak, akhirnya ia
menjawab, "Untuk merasa benar-benar senang dan bahagia, bagiku adalah pada
masa yang akan datang dan tidak terjadi pada waktu yang lalu."
Si dayang melengak. Ia mengira
Buyung Hok akan menjawab seperti pangeran Cong-can dan lain-lain dengan
mengatakan akan merasa senang dan bahagia bila dapat mempersunting sang putri.
Tak terduga Buyung Hok menjawab sedikit samar-samar dengan melambangkan bahwa
rasa senang dan bahagianya adalah kelak bila dia sudah naik tahta menjadi raja
Yan yang jaya.
Begitulah dengan tersenyum
lalu si dayang bertanya pula. "Dan siapakah orang yang paling dícintai
Buyungkongcu selama hidup ini?”
Buyung Hok menghela napas,
sahutnya, "Tidak ada, aku tidak pernah mencintai siapapun.”
"Jika begitu, maka
pertanyaan ketiga tidak perlu lagi," ujar si dayang.
"Kuharap setelah bertemu
dengan Tuan Putrimu akan dapat kuberi jawaban pertanyaan kedua dan ketiga ini,”
ujar buyung Hok.
"Baiklah silahkan Buyung
Hok mengaso dulu ke sampíng," kata si dayang "Sekarang Siau-taihiap
pun hadir di sini, maka maafkan bila hamba juga mengajukan ketiga pertanyaan
ini."
Tapi meski dia mengulangi lagi
ucapannya tetap tidak terdengar jawaban Siau-Hong.
"Toako kami sudah pergi,
harap nona jangan marah." Tiba-tiba Hi-tiok berkata.
"O Siau-taihiap sudah
pergi?" si dayang menegas dengan terkejüt.
Kiranya setelah mengikuti
ketiga pertanyaan Bun-gi Kongcu itu, Siau-Hong menduga di balik pertanyaan itu
tentu mempunyai makna yang dalam, yang terang putri se He itutiada maksud jahat
hendak membikin susah para tamunya. Ia menjadi teringat kepada A Cu sehingga
berduka. Ia pikir bila ketiga pertanyaan putri Se He itu juga diajukan
kepadanya, maka sukarlah baginya untuk membeberkan rahasia perasaannya di depan
orang banyak. Karena itu segera ia keluar ruang batu tanpa diketahui orang
lain.
"Entah sebab apa
Siau-taihiap mengundurkan diri dari sini? Apakah karena marah kepada perlakuan
kami yang kurang hormat ini?" tanya si dayang.
"Toako kami bukanlah
orang yang berjiwa kerdil," ujar Hi-tiok, "Kukira beliau takkan marah
kepada kalian. Ya, aku menduga dia ketagihan arak, maka kembali ke ruangan
depan sana untuk minum sepuasnya."
"Benar juga. Sudah lama
Siau-taihiap tersohor sebagai jago minum arak yang tiada bandinganya di sini
tidak tersedia arak yang baik, pantas Siau-taihiap kurang senang. Diharap anda
suka menyampaikan rasa penyesalan Tuan putri kami bila bertemu dengan
Siau-taihiap."
Dayang ini ternyata pandai bicara
dan pintar melayani tamu, jauh berbeda daripada dayang yang menyambut mereka
dengan malu-malu tadi.
Dalam pada itu si dayang
bertanya lagi, "Dan siapakah nama tuan yang terhormat?"
"Aku? O ... aku ... aku
bergelar Hi-tiok!" katanya dengan gugup.
"Di manakah Hi-tiok
Siansing merasa paling senang dan bahagia?" tanya si dayang.
Hi-tiok menghela napas
pelahan, sahutnya, "Ah, tempat itu adalah sebuah gudang es yang gelap
gulita."
Baru dia mengatakan
"gudang es", tiba-tiba terdengar suara kaget tertahan seorang wanita,
menyusul terdengar suara nyaring pecahnya cangkir yang jatuh ke lantai.
"Dan siapakah nama orang
yang paling di cintai tuan selama hidup ini?" kembali si dayang menanya.
"Aku ... aku tidak tahu
siapa nama nona itu," sahut Hi-tiok.
Seketika bergemuruhlah
gelak-tawa orang banyak. Mereka semua pikir apakah orang ini agak sinting,
masakah tidak kenal nama si nona lantas jatuh cinta?
Tapi dayang berkata.
"Tidak kenal nama nona itu, hal ini pun tidak perlu diherankan. Banyak
juga cerita kuno yang mengatakan seorang pemuda jatuh cinta kepada bidadari
yang turun dari kayangan dan dengan sendirinya tidak kenal siapa namanya. Nah.
Hi-tiok Siansing, apakah wajah nona kekasihmu itu juga secantik bidadari?"
"Bagaimana mukanya,
selama hidupku ini pun tidak pernah melihatnya."
Keruan suara gelak-tawa
seketika menggelegar lagi menggema ruangan batu itu. Semuanya menganggap ucapan
Hi-tiok itu benar-benar sesuatu yang paling menggelikan di dunia ini. Ada juga
yang menganggap Hitiok sengaja membadut.
Di tengah suara tertawa ramai
itu tiba-tiba terdengar suara seorang wanita bertanya kepada Hi-tiok dengan
perlahan, "Apakah engkau ini .... 'Kakanda dalam impian'?"
"Hah, apakah ... apakah
engkau 'Dewikz Impian?' O, sungguh aku sangat merindukan dikau!" sahut
Hi-tiok dengan terkejut, suaranya sampai gemetar.
Terus saja ia mengulur tangan
dan melangkah ke depan, terendus bau hàrum yang memabukkan sebuah tangan yang
halus hangat terus menggenggam tanganya, lalu suara seorang yang sudah sangat
dikenalnya membisiki dia, "O, Kakanda impianku, justru karena ingin
mencari engkau, maka aku mohon ayah baginda mengeluarkan maklumat tentang
sayembara pemilihan Huma untuk memancing kedatanganmu ini."
"Hah, Jadi engkau ini
putri .... "
"Ya, marilah kita bicara
di dalam saja. O, Kakanda impianku, sudah lama sekali, siang dan malam
senantiasa kuharap akan tiba saatnya seperti sekarang ini ... "
Begitulah ditengah suara gelak
tawa orang banyak yang belum berhenti itu sepasang kekasih itu diam-diam
menyelinap ke ruang dalam dengan tangan bergandengan tangan tanpa diketahui
oleh siapa pun.
Sedang si dayang masih terus
mengajukan ketiga pertanyaan tadi kepada para tamu, sampai semua orang selesai
diuji, lalu ia berkata, "Sekarang silahkan hadirin kembali ke ruangdepan
untuk minum lagi dan lukisanlukisan sebagai tanda mata akan segera dikirim ke
sana agar tuan-tuan dapat memilihnya sendiri. Apabila tuan Putri ingin bertemu
dengan siapa dengan sendirinya beliau akan menyampaikan undangannya.”
Dalam keadaan masih gelap gulita
segera banyak di antara hadirin itu berteriak-teriak, "Tidak, kami ingin
melihat Tuan Putrimu! Ya, sekarang juga! Mengapa kami disuruh kian kemari,
bukankah sengaja menpermainkan orang?"
"Sudahlah
tuan-tuan," kata si dayang. "Kukira lebih baik tuan-tuan menunggu
dulu di ruangan depan sana, kenapa mesti ribut-ribut, kalau sampai Tuan Putri
marah, bukankah urusan bisa runyam?"
Rupanya ucapan terakhir itu
sangat mujarab, seketika semua orang tenang kembali dan terpaksa keluar dari
kamar batu itu. Di luar cahaya obor terang benderang menerangi sepanjang jalan,
akhirnya semua orang kembali lagi ke ruang permulaan tadi untuk minum teh.
Sesudah berdampingan kembali
dengan Giok-yan, lalu Toan Ki menceritakan ketiga pertanyaan yang diajukan oleh
putri Se He itu. Ketika mendengar Toan Ki memberi jawaban bahwa tempat yang
membuatnya paling senang dan bahagia selama hidup ini adalah di dalam lumpur
sumur kering itu. Giok-yan menjadi geli den tertawa ngikik. Katanya dengan muka
kemerah-merahan, "Ya, aku pun serupa engkau."
Tidak beberapa lama, seorang
Thaikam membawa keluar sepondong güluñgan lukisan dan menyilakan para tamunya
masing-masing memilih sebuah.
Para tamu itu sedang menanti
dengan tidak sabar akan di temui putri cantik atau tidak, sudah tentu mereka
tidak memikirkan tentang lukisan apa segala. Maka dengan bebas Toan Ki dapat
memilih lukisan "si cantik sedang menyulam" itu.
Begìtulah, ia lantas
membentang lukisan itu dan menikmatikeindahannya bersama Giok-yan. Mendadak
teringat olehnya bahwa Hi-tiok juga memiliki sebuah lukisan yang mirip, segera
ia hendak minta sang Jiko mengeluarkan lukisannya untuk dibanding. Tapi meski
ia melongok ke sana dan ke sini, di ruangan itu ternyata tidak kelihatan
bayangan Hi-tiok.
"Jiko! Jiko!" ia
coba berseru memanggil, tetap tiada orang menyahut. Diam-diam Toan Ki heran ia
pikir apakah sang Jiko sudah pergi bersama Siau-toako atau karena mengalami sesuatu?
Tengah Toan Ki merasa kuatir,
tiba-tiba seorang dayang cantik mendekatinya dan berkata, "Hi tiok
Siansing
mengirim surat untuk Yang
Mulia.”
Sembari bicara ia pun
menyodorkan sehelai kertas surat yang indah dan terlipat.
Waktu Toan Ki membuka lipatan
surat itu, segera hidungnya mengendus bau harum semerbak. Ia lihat surat itu
tertulis:
Samte,
"Aku sangat senang,
senang sekali, sungguh bahagia tak terkatakan. Maaf telah sia-siakan
perjalananmu ini, terpaksa mesti mengecewakan pesan paman pula, habis apa daya,
tiada jalan lain.”
Toan Ki tahu sang Jiko bekas
hwesio itu tidak banyak bersekolah, dalam hal tulis menulis memang kurang
mahir. Tapi surat ini benar-benar tak keruan juntrungannya, entah apa yang
dimaksudkan "senang dan bahagia" itu. Maka Toan Ki hanya
termangu-mangu memegangi surat itu.
Di sebelah sana pangeran
Cong-can menjadi cemburu ketika melihat seorang dayang cantik menyerahkan
secarik surat kepada Toan Ki, pikirnya. "Kurang ajar, ternyata benar putri
cantik itu telah kau serobot lebih dulu. Hm, tidak bisa!"
Segera ia menggertak sekali
terus menubruk maju ke arah Toan Ki.
Begitulah sampai di depan Toan
Ki, secepat kilat kertas surat yang dipegang Toan Ki terus direbutnya,
berbareng kepalan kanan terus menggenjot dada pemuda itu.
Saat itu Toan Ki sedang
menyelami apa arti bunyi surat Hi-tiok, maka sama sekali ia tidak tahu
menghindar ketika pukulan Cong-can tiba. Apalagi serangan Cong-can itu secepat
kilat, andaikan hendak berkelit juga tidak keburu lagi. Maka terdengar suara "bluk,
brak, aduuuhh!" berturut-turut.
Kontan tubuh pangeran Cong-can
terpental sampai beberapa meter jauhnya dan terbantlng di atas sebuah meja,
meja ambruk, cawan pecah berantakan dan Cong-can sendiri berteriak kesakitan.
Dasar orang kasar, biarpun
masih rebah telentang, terus saja ia bentang surat yang di rebutnya dari Toan
Ki dan segera díbaca dengan suara keras, "Aku sangat senang, senang
sekali, bahagia tak terkatakan .... "
Padahal dengan jelas-jemelas
semua orang melihat dia terpental dan terbanting sampaí menjerit kesakitan,
mengapa sekarang malah berseru, "Sangat senang dan bahagia"? Karuan
semua orang melongo terheran-heran.
Melihat Toan Ki kena pukul,
segera Giok-yan mendekati dan bertanya, "Apakah sakit dan terluka?"
"Tidak, tidak apa-apa.”
sahut Toan Ki. "Aku menerima sepucuk surat dari jiko, rupanya pangeran
Turfan ini salah paham dan menyangka putri Se He mengundang aku untuk berjumpa
dengan dia."
Melihat Cukong mereka
terjungkal, terentak para jago Turfan ikut menerjang maju, ada yang membangunkan
Cong-can, banyak pula yang mengelilingi Toan Ki dan hendak melabraknya.
"Kita tidak perlu
lama-lama tinggal di tempat begini, marilah kita pulang saja," kata Toan
Ki kepada kawankawannya.
"Nanti dulu, Kongcu,
urusan masih belum selesai, kenapa terburu-buru. " ujar Pah Thian-sik.
"Ya, di dalam istana Se
He ini masakah kita jeri kepada orang Turfan!” kata Tan-sin. "Bolah jadi
sebentar lagi Kongcu akan ditemui putri cantik, kalau kita tinggal pergi begini
saja bukankah sangat kurang sopan?"
Begitulah kedua orang membujuk
Toan Ki agar tinggal lagi di situ untuk sementara waktu. Benar juga, dari dalam
telah keluar dua-tiga jago It-bin tong dan membentak agar orang-orang Turfan
itu jangan sembarangan bertindak sendiri-sendiri.
Di sana Cong-can juga sudah
merangkak bangun, karena melihat surat itu bukan berasal dari Bun-gi kongcu
yang mengundang Toan Ki, rasa gusarnya manjadi reda.
Dalam pada itu tiba-tiba
tampak Boh Wan-jing menggapai tangan pada Toan Ki sambil memperlihatkan sehelai
kertas. Toan Ki menggangguk, lalu mendekatinya untuk menerima kertas itu.
Bok Wan-jing dalam penyamaran
sebagai Toan Ki dan bercämpur di antara orang banyak sehingga orang lain tidak
memperhatikan dia. Sekarang pangeran Cong-can sedang mengawasi gerak-gerik Toan
Ki, demi melihat Bok Wan-jing, segera dapat diketahuinya dandanan kedua orang
itu serupa sekilas pandang tampaknya sangat mirip. Keruan ia terkejut. Lalu
dilihatnya pula Toan Ki menerima sürat dari Bok Wan-jing dan dibaca, air
mukanya tampak aneh. Diam-diam Cong-can curiga lagi. Ia pikir surat itu pasti
kiriman Bun-gi Köngcu.
Segera ia membentak,
"Satu kali kau dapat mengelabui aku, jangan lagi mengira dapat menipu aku
untuk kedua kalinya!"
Habis itu kembali ia
mengeruduk maju lagi dan sekaligus surat yang dipegang Toan Ki di rebutnya
pula.
Ia sudah kapok dan tak berani
menghantam Toan Ki lagi. Namun sebagai gantinya segera ia gunakan kedua kakinya
untuk menendang perut Toan Ki secara berantai, tendangannya cepat, caranya
ganas pula.
Tak terduga tempat yang dia
tendang itu justru adalah pusat himpunan tenaga murni Toan Ki, tanpa bergerak
juga segera tenaga dalamnya timbul reaksi sendiri, Maka betapa cepat dan
kuatnya tendangan Cong-can segera menimbulkan tenaga pentalan yang sama cepat
dan sama kuatnya. Kontan terdengar suara gedebukan dibarengi dengan suara
jeritan, tubuh Cong-can terpental balik dan melayang lewat di atas kepala
belasan orang, lalu menumbuk beberapa buah meja dan akhirnya terbanting ke
bawah.
Untung kulit daging pangeran
Turfan itu cukup kasar lagi tebal. Toan Ki juga tidak sengaja hendak melukai
dia, mana jatuhnya itu walaupun agak berat, namun tidak sampai mengalami
cidera.
Dan begitu tubuh Cong-can
menggeletak di lantai, segera ia bentang surat yang dia rebut itu dan dibacanya
pula dengan suara keras, "Ada orang lihai hendak membunuh ayahmu juga.
Lekas pergi menolongnya."
Keruan semua orang dibuat
bingung pula mengapa Cong-can menyatakan "Ayahku berarti ayahmu
juga?" Apa mungkin pangeran Turfan dan pangeran Tayli dialirkan tunggal
ayah?
Sebaliknya Toan Ki, Pah
Thian-sik dan Cu Tan-sin Cukup jelas akan isi surat itu. Surat itu ditulis oleh
Bok Wan-jing, maka apa yang dikatakan, "Ayahku adalah ayahmu" itu
dengan sendirinya yang dimaksud ialah Toan cing-sun.
Begitulah, maka mereka lantas
mengelilingi Wan-jing untuk tanya soalnya.
Tutur Wan-jing, "Tidak
lama sesudah kalian masuk ke dalam, segera Bwe-kian dan Lam-kiam masuk kemari
memberi laporan sesuatu kepada Hi-tiok Siansing, tapi karena tidak menemui
majikan mereka, maka mereka memberitahukan padaku bahwa mereka mendapat berita
ada beberapa orang lihai telah mengatur jebakan hendak membikin susah ayah.
Jebakan itu diatur di sepanjang jalan di sekitar Sujwan Selatan yang merupakan
jalan yang harus dilalui ayah bila hendak pulang ke Tayli. Sekarang orang-orang
Leng-ciu-kiong telah disebarkan untuk menyusul ayah dan memperingatkannya agar
waspada, berbareng mereka pun menyampaikan berita kesini.”
"Dan di manakah enci
Bwe-kiam dan Lam-kiam?" tanya Toan Ki dengan kuatir.
"Hm, dalam pandanganmu
hanya tertampak nona Ong seorang saja orang lain masakah kelihatan olehmu?”
sahut Wan jing. "Tadi mestinya mereka ingin bicara denganmu, tapi beberapa
kali dipanggil engkau diam saja, entah engkau sengaja tidak menggubris atau
benar-benar tidak melihat mereka."
"Aku ... aku benar-benar
tidak mengetahui kedatangan mereka," kata Toan Ki dengan muka merah.
"Dan sekarang mereka
sudah pergi mencari Hi-tiok Jiko dan tidak menunggumu lagi," tutur
Wan-jing "Mestinya aku hendak memanggilmu, tapi kuatir tak kau gubris,
terpaksa aku menulis secarik surat dan disampaikan padamu."
Toan Ki jadi menyesal dan
gegetun pula. Ia tahu perhatiannya sendiri sedari tadi memang ditumplekkan atas
diri Giok-yan seorang, biarpun saat itu langit ambruk mungkin juga tak di
gubrisnya. Maka tentang datangnya Bwe-kiam berdua dan teguran Bok Wan-jing
tentu tak terdengar olehnya.
Segera ia minta nasehat pada
Thian-sik dan Tan-sin, "Bagaimana pendapat para paman? Apakah kita harus
menyusul ayah sekarang juga?"
"Ya, harus
demikian," sahut Thian-sik berdua. Mereka anggap keselamatan Tin-lam-ong
juga lebih penting daripada urusan lain, apakah Toan Ki berhasil menjadi Huma
kerajaan Se He atau tidak terpaksa mesti dikesampingkan dulu.
Begitulah mereka lantas
tinggalkan istana itu. Toan Ki dan Giok-yan kembali ke pondok untuk menemui
Ciong Ling, lalu bebenah seperlunya untuk berangkat bersama.
Sedang Pah Thian-sik pergi
mohon diri kepada Le-poh Siang bahwa pangeran mahkota harus segera pulang,
karena waktu tidak mengizinkan, maka menteri itu diminta menyampaikan pamit
mereka kepada Sri Baginda.
Sesudah urusan selesai segera
Thian-sik dan Tan-sin menyusulToan Ki berdua, kira-kira dua-tiga puluh li di
selatan Lengciu barulah mereka bergabung.
Rombongan mereka terus menuju
ke selatan tanpa berhenti. Sepanjang jalan berulang-ulang mereka menerima
berita dari anak buah Leng-ciu-kiong yang mengabarkan bahwa rombongan
Tin-Lam-ong sedang menuju ke
selatan. Berita lain
mengatakan Tin-Lam-Ong berada bersama dua wanita. Kedua wanita ini pernah
saling labrak di kota Ciong kwan dan ternyata sama kuatnya, syukur dapat
dilerai oleh Tin-Lam-Ong.
Toan Ki tahu bahwa kedua
wanita itu yang satu adalah Cin Ang-bian, ibu Bok Wan-jing, dan yang lain
adalah Wi sing-tiok, ibunya A Cu dan A Ci.
Bicara tentang ilmu silat
agaknya Cin ang-bian lebih unggul, tapi bicara tentang kecerdikan harus diakui
Wi Sing-tiok lebih unggul. Namun ayah bagindanya yang melerai mereka tentu
segala urusan dapat didamaikan.
Benar juga. Berita menyusul
dari anak buah Leng-ciu-kiong mengatakan bahwa sekarang kedua nyonya itu sudah
damai kembali dan sedang makan minum di suatu restoran bersama Tin lam-ong.
Anak buah Hian thian poh telah memberi isyarat dan memperingatkan ada musuh di
tengah jalan yang hendak menjebaknya.
Dalam perjalanan Toan Ki juga
bertukar pikiran dengan Thian sik dan Tan-sin, mereka merasa musuh Tin-lanong
yang paling lihai selain Toan Yan khing, itu kepala dari Su ok, rasanya tidak
orang lain lagi?
Teringat pada Toan Yan-khing,
mau-tak-mau mereka merasa kuatir. Ilmu Toan Yan-khing sangat tinggi, di seluruh
negeri Tayli hanya Po ting-to seorang saja yang mampu melawannya, kalau di
tengah jalan Tin-Lamong sampai masuk perangkapnya tentu celaka. Tapi apa daya,
terpaksa mereka mempercepat perjalanan untuk menyusul rombongan Tin-Lam-ong,
jika dapat bergabung tentu akan dapat membantunya untuk melawan Toan Yan-khing.
"Begitu berhadapan dengan
Toan Yan-khing, tak perlu banyak bicara lagí, segera kita menyerubut durjana
itu, biarlah kita mengeroyoknya beramai-ramai, jangan lagi seperti di tepi
telaga tempo hari dan membiarkan dia satu melawan satu dengan Ongya,” ujar Thian-sik.
"Benar," sahut Tan
sin. "Kita berdua ditambah Toan-kongcu, nona Bok, nona Ong dan nona Ciong,
ada lagi Ongya sendiri dengan Hoa-toako. Tang-jiko dan lain-lain, mustahil kita
sebanyak ini tidak dapat mengalahkan durjana yang maha jahat itu?"
"Ya, dengan durjana itu
kukira memang tidak perlu bicara tata cara dunia persilatan lagi, " kata
Toan Ki.
Segera mereka mempercepat
perjalanan. Ketika hampir dekat dengan kota Congciu, tiba-tiba terlihat dua
penunggang kuda sedang mendatang secepat terbang. Sesudah dekat kedua
penunggang wanita melompat turun dan berseru, "Anak buah Hian-thian-poh
dari Leng-ciu-kiong menyampaikan salam hormat kapada Toankongcu dari
Tayli."
Cepat Toan Ki melompat turun
dari kudanya dan menjawab. "Banyak terima kasih àtas bantuan para Cici,
silakan bangun! Apakah kalian telah melihat ayahku?"
"Lapor
Kongcu,"demikian wanita yang lebih tua di sebelah kanan membuka suara,
"sesudah Tin-Lam-ong mendapat isyarat peringatan kami, rombongan beliau
sudah ganti haluan dan menuju ke arah timur, katanya akan berputar untuk
kemudian membelok kembali ke Tayli, dengan demikian supaya musuh kecelik."
Maka legalah hati Toan Ki,
katanya dengan girang, "Bagus! Memangnya buat apa ayah mau bertempur
dengan jahanam itu. Selamat paling perlu dan bukan karena jeri pada mereka. Dan
apakah kedua Cici mengetahui siapakah musuh yang hendak mencegat ayah-ibu?
Berita kalian ini bermula didapat dari mana?”
"Mula-mula nona Bwe-kiam
mendengar cerita dari seorang nona," demikian tutur wanita tadi.
"Katanya nona itu bernama A Pik apa, katanya murid perempuan dari murid
keponakan majikan kami .... "
"Ah, kiranya A Pik,"
seru Giok-yan.
"O, kiranya nona A Pik,
aku kenal dia, Asalnya dia adalah pelayan Buyung-kongcu," kata Toan Ki.
"Benarlah jika
demikian," kata si wanita tadi, "Menurut nona Bwe-kiam, katanya usia
nona A Pik itu sebaya dengan dia, pula sesama orang Leng-ciu-kiong, maka
keduanya sangat cocok. Menurut nona A Pik di tengah jalan dia mendapat kabar,
ada seorang tokoh yang sangat lihai hendak mengganggu Toan-ongya. Nona A Pik
mengaku kenal baik Toan-kongcu, dahulu Kongcu sangat ramah padanya, maka
sekarang dia sengaja dating buat menyampaikan berita itu.”
Toan Ki menjadi teringat
kejadian dahulu waktu pertama kali bertemu dengan A Pik justru dengan perantaraan
A Pik dan A Cu dia dapat berkenalan dengan Giok-yan. Siapa duga sekali ini A
Pik kembali menyampaikan berita penting pula padanya, seketika timbul rasa
terima kasihnya yang tak terhingga.
"Dan di manakah nona A
Pìk sekarang?” tanya Toan Ki.
"Hamba tidak tahu."
sahut wanita setengah umur tadi. "Tapi menurut nona Bwe-kiam, agaknya
lawan Toanongya itu memang sangat lihai, untuk itu kongcu perlu lebih waspada
hendaknya.”
Sesudah Toan Ki mengucapkan
terima kasih, lalu kedua wanita Hian-thian-poh mencemplak ke atas kuda
mereka dan mendahului pergi.
"Bagaimana pendapatmu.
Pah-pekhu (paman)?" tanya Toan Ki.
"Jika Ongya sudah
berputar ke arah timur maka boleh kita langsung ke selatan, rasanya di sekitar
Sengtoh akan dapat bergabung dengan Ongya," ujar Thian-sik.
"Usul paman memang cocok
dengan pikiranku," kata Toan Ki.
Segera rombongan mereka
meneruskan perjalanan ke selatan, akhirnya sampailah mereka di kota Sengtoh.
Suatu kota yang paling ramai dan makmur di propinsi Sujwan.
Tiga hari lamanya Toan Ki dan
kawan-kawan pesìar di kota itu, tapi tidak nampak Toan Cing-sun atau
rombongannya. Diam-diam Thian-sik dan lain-lain menduga mungkin Tin-Lam-ong
ditemani dua istri cantik sehingga sepanjang jalan sengaja pesiar
sepuas-puasnya, sebab kalau sudah pulang sampai di Tayli, tentu tidak dapat
lagi hidup bebas dan gembira seperti sekarang.
Terpaksa Toan Ki dan rombongannya
meneruskan perjalanan ke selatan pula. Selama beberapa hari mereka tidak
menerima berita dari perngintai-pengintai wanita Leng-ciu-kiong lagi. Tapi
Karena sudah makin dekat dengan wilayah Tayli maka perasaan mereka pun semakin
lega.
Sepanjang jalan Toan Ki merasa
gembira ria berdampingan dengan kekasih yang cantik, tapi ia pun kuatir Bok
Wan-jing akan marah, maka ia tidak berani terlalu dingin terhadap nona itu,
terkadang ia sengaja mengajaknya bicara dan bercanda.
Wan-jing tahu Toan Ki adalah kakaknya
sendiri, di tengah jalan ia pun memberitahu pada Ciong Ling bahwa dara cilik
itu sebenarnya juga anak Toan Cing-sun. Karena itu kedua orang lantas berganti
sebutan dan saling panggil sebagai kakak dan adik. Walaupun mereka masih merasa
murung bila menyaksikan betapa kasihmesranya Toan Ki dan Giok-yan, tapi
lambat-laun rasa duka itu pun berkurang sehingga tak terasa lagi.
Suatu petang, ketika mereka
hampir sampai di kota Yang-liu-tin, mendadak udara mendung, menyusul air hujan
lantas menebas besar-besar. Cepat-cepat mereka larikan kuda ke depan untuk
mencari tempat berteduh.
Setelah membelok ke balik
sebuah hutan, tertampaklah di tepi sungai kecil sana berdiri, beberapa buah
rumah tembok. Toan Ki dan lain-lain merasa girang, cepat mereka menuju kesana.
Sesudah dekat tertampak di
bawah ampar berdiri seorang tuan sedang memandangi awan mendung yang makin lama
makin tebal dan gelap.
Segera Tan-sin melompat turun
dari kudanya, ia memberi hormat dan menyapa, "Ter¡malah salamku, Lotiang
(bapak), rombongan kami ini kehujanan di tengah jalan, maka ingín mohon mondok
untuk sementara di tempat Lotiang, entah boleh atau tidak?”
"Boleh, sudah tentu
boleh," sahut orang tua itu. "Orang yang keluar rumah tidak mungkin
membawa serta pula rumah. Tuan tuan dan nona-nona silakan masuk.”
Tan-sin mengucapkan terima
kasih. Tapi diam-diam ia terkesiap ketika melihat kerut mata si orang tua yang
tajam itu, suaranya juga nyaring dan kuat, logatnya tìdak mirip logat penduduk
setempat.
Serentak semua orang masuk ke
dalam rumah, lalu Tan sin menunjuk Toan Ki dan diperkenalkan kepada tuan rumah,
"Ini adalah tuan muda kami Li-kongcu, baru pulang menjenguk pamili di
Sengtoh. Dan saudara itu adalah Ciok-toako, aku sendiri she Tan. Kalau tidak
keberatan, numpang Tanya she Lotiang yang mulia?"
"O, aku she Keh,"
sahut si orang tua dengan tertawa, "Baiklah, silahkan Li-kongcu,
Ciok-toako dan nona-nona masuk ke ruangan dalam untuk minum-minum dulu. Melihat
gelagatnya, mungkín hujan ini takkan reda dalam waktu singkat."
Mendengar Tan-sin telah
memperkenalkan nama palsu, segera Toan Ki merasa urusan agak ganjil, semua
orang lantas ikut berlaku hati-hati.
Orang tua ¡tu membawa mereka
ke sebuah kamar sampìng yang teratur rapi dan bersih, di dinding terhias
beberapa piguran lukisan, dari kamar itu dapat diduga tuan rumannya pasti bukan
orang kampungan. Tan-sin saling pandang dengan Thian-sik, mereka tambah
was-was.
"Tuan-tuan dan nona-nona
silahkan duduk, segera kusuruh membawakan teh," kata si orang tua.
Tan-sin mengucapkan terima
kasih. Ketika orang tua itu melangkah keluar, seketika ia merapatkan pintu
kamar.
Waktu pintu itu tertutup,
segera kelihatan di belakang pintu tergantung sebuah lukisan yang mengambarkan
beberapa tangkai bunga kamelia dari jenis dan warna yang berbeda.
Taylì adalah tempat paling
banyak tumbuh bunga Teh-hoa (kamelia), maka Toan Ki menjadi girang melihat
lukisan itu. Tiba-tiba tertampak lukisan itu disertai pula sebait tulisan yang
berbunyi. "Tayli punya Teh-hoa tiada bandingannya jenisnya seluruhnya ada
71 macam lebih besar dari Bo-ten ... "
Jilid 82
Begitulah tulisan itu, anehnya
pada bagian-bagian tertentu dari tulisan itu terdapat kekurangan satu huruf dan
lalu satu huruf lagi, entah sengaja dilowongi atau karena penulisnya lupa pula
tentang Jenis bunga kamelia itu seluruhnya mestinya berjumlah 72 macam.
Kebetulan di atas meja situ
tersedia alat-alat tulisi lengkap, sebagai seorang pencinta bunga kamelia dan
suka bersanjak, melihat ketidak lengkapan tulísan pada lukisan itu, langsung
Toan Ki mengambil pit dan menambahkan tulisan-tulisan yang kurang itu, begitu
pula tentang jenis kamelia, ia tambahkan menjadi 72 macam.
"Bagus, dengan ditambahkannya
tulisanmu, maka sempurnalah lukisan itu," seru Ciong Ling dengan tertawa.
Belum lenyap suaranya,
tiba-tiba si orang tua tadi melangkah masuk dan seketika ia merapatkan pintu
pula. ketika melihat lowongan tulisan pada lukisan itu sekarang telah terisi,
segera mukanya berseri-seri, katanya dengan tertawa, "Sungguh tamu agung,
tamu agung! Rupanya aku sudah berlaku kurang hormat. Lukisan ini adalah buah
tangan seorang sobatku, rupanya dia seorang pelupa waktu membubuhkan tulisan
itu tiba-tiba ia lupa beberapa huruf di antaranya, katanya mau pulang dulu
untuk memeriksa catatannya dan kelak akan diisi lagi. Ai, siapa duga sesudah
pulang dia lantas jatuh sakit dan akhirnya meninggal sehingga tulisannya ini
tetap lowong. Tak nyana sekarang Lî-kongcu yang terpelajar ini sudi memenuhi
cita-cita sobatku yang belum terlaksana itu. sungguh aku harus mengucapkan
terima kasih banyak-banyak, Lekas siapkan arak, bikin pesta!"
Segitulah ia berteriak-teriak
sambil lari keluar.
Tidak lama kemudian, orang tua
ini datang pula dengan dandanan yang serba baru, ia mengundang Toan Ki dan
kawan-kawannya menghadiri perjamuan d¡ ruangan tamu.
Karena waktu itu hujan masih
lebat sehíngga tidak mungkin untuk meneruskan perjalanan, pula undangan orang
tua itu agaknya sengat sungguh-sungguh dan susah ditolak, terpaksa Toan Ki dan
lain-lain menuju ke rüangan depan. Ternyata di atas meja sudah tersedia belasan
macam masakan ada ayam, ada itik dan ada daging.
Setelah mengucapkan terima
kasih, lalu Toan Kid an kawan-kawan lantas mengambil tempat duduk
sendirisendiri. Segera si orang tua she Keh menuangkan arak, ia sendiri
mendahului minum setegük sambil berkecakkecak untük mencicipi rasanya, menyusul
lantas minum lagi seteguk besar. Lalu Katanya dengan tertawa, "Meski arak kampung,
tapi rasanyá masih boleh juga. Li-Kongcu sebenarnya bápak ini orang daerah
Kanglam, karena menghindari musuh, maka pindah dan hídup di tempat jauh ini,
selama ini aku sangat merindukan
kampung halamanku.”
Sambil omong ia terus
menuangkan arak ke pada para tamunya."
Mendengar si orang tua
menguraikan asal-usulnya sendiri, walaupun tak bisa dipercaya seluruhnya, tapi
rasa curiga Pah Thian-sik dan lain-lain menjadliagak berkurang. Apalagi orang
itu telah mendahului minum arak, mereka menjadi tidak kuatir lagi, segera
mereka pun makan minum sepuasnya. Cuma Thian-sik dan Tan-sin memang lebih
hati-hati, mereka minum sedikit, waktu makan juga selalu mengawasi gerak-gerik
si orang tua, kalau tuan rumah itu sudah mencicipi santapan itu barulah mereka
berani ikut makan.
Sampai malamnya hujan masih
tetap belum reda, pula si orang tua menahan mereka dengan setulus hati,
terpaksa Toan Ki dan kawan-kawannya menginap di iltu.
Sebelum tidur Thian-sik
memperingatkan Wan-jing agar tangen sedikit, jangan tidur sampai lupa daratan,
sebab tempat itu tampaknya agak mencurigakan. Karena itu Wan-jing membiarkan
Giok-yan tidur bersama Ciong Ling, ia sediri hanya rebah tanpa ganti pakaian,
dalam lengan baju sudah siap dengan panah berbisa. Maski dia tidak berani tidur
nyenyak, sampai fajat menyingsing ternyata tidak terjadi sesuatu.
Sementara itu hujan sudah
terang, sesudah cuci muka dan berdandan, lalu Toan Ki mohon diri kepada si
orang tua. Mereka diantar sampai jauh oleh orang tua she Keh itu dengan sangat
menghormat. Diam-diam Toan Ki dan lain-lain sangat benar sesudah berpisah.
Kata Pah Thian-sik,
"Sungguh susah dimengerti bagaimana asal-usul orang tua itu, sekali ini
aku benar-benar salah mata."
"Engkau tidak salah mata,
Pah-heng." Ujar Tan-sin. "Kukira orang tua itu semula tidak bermaksud
baik. Dia baru berubah sikap sesudah melihat Kongcuya kita mengisi tulisan
dalam lukisannya itu. Kongcu, menurut pikiranmu, adakah sesuatu yang aneh dalam
lukisan dan tulisan yang tak lengkap itu?"
"Lukisan itu hanya
beberapa jenis kamelia yang biasa saja dan tiada sesuatu yang aneh, begitu pula
tulisan itu cuma catatan yang umum.” sahut Toan Ki.
Karena tidak dapat menarik
sesuatu kesimpulan, terpaksa mereka tidak tarik panjang kejadian itu.
"Paling baik kalau
sepanjang jalan dapat menemui lagi tulisan yang kurang lengkap pada lukisan
seperti
kemarin itu, dengan demikian
Toan-kongcu kita akan dapat mengisinya untuk mencari ganti jasa makan minum dan
pondokan gratis sungguh menyenangkan juga," demikian kata Ciong Ling.
Semua orang tertawa atas
banyolan nona cilik itu.
Tapi aneh juga, kelakar Ciong
Ling itu ternyata mendatangkan kejadian sungguhan, berulang-ulang mereka
benar-benar menemukan lukisan dengan tulisan yang tidak lengkap dan
lukisan-lukisan itu semuanya menggambarkan bunga kamelia. Toan Ki juga tidak
sungkan-sungkan lagi, asal melihat segera ia angkat alat tulis dan mengisi
huruf yang tidak lengkap itu. Dan asal dia sudah mengisi, segera pemilik
lukisan memberi layanan yang memuaskan dengan gratis.
Dalam herannya beberapa kali
Cu Tan-sin dan Pah Thian-sik coba memancing kata-kata pemilik lukisan itu, tapi
jawaban yang diperoleh semuanya sama, semuanya mengatakan tulisan dalam gambar
itu memang belum lengkap dan berkat bantuan Toan Ki, sungguh mereka sangat
berterima kasih.
Sebaliknya Toan Ki dan Ciong
Ling masih bersifat kekanak-kanak, mereka merasa senang dengan permainan
demikian itu, makin banyak lukisan yang bertuliskan kurang lengkap, makin
menarik bagi mereka.
Giok-yan sendiri tidak terlalu
memusingkan urusan itu, Asal dilihatnya Toan Ki gembira, maka ia pun merasa
senang. Sebaliknya Bok Wan-jing tidak pernah kenal apa arti takut, maka ia
tidak peduli kejadian itu akan mendatangkan kebaikan atau bencana.
Hanya Pah Thian-sik dan Cu
Tan-sin saja yang semakin kuatir. Dari apa yang diatur oleh pihak lawan yang
rapi itu mereka menduga di balik itu pasti ada tipu muslihat yang belum
diketahui.
Tapi meski mereka sudah
berhati-hati dan menyelami setiap sesuatu yang mencurigakan. Toh tetap tidak
menemukan bukti apa pun.
Begitulah perjalanan yang
makan tempo cukup lama itu makin lama makin ke selatan. Tatkala itu sudah
pertengahan bulan sepuluh tapi hawa juga tidak dingin, sepanjang jalan gunung
menghijau dan hutan berkerumun rimbun, suatu pemandangan yang berbeda dengan
keadaan alam di wilayah Se He.
Pada suatu petang, ketika
sampai di padang rumput, sepanjang mata memandang hanya rumput yang memanjang
lebat di sebelah kiri sana adalah rimba yang lebat. Tampaknya dalam jarak
beberapa puluh li tiada perkampungan penduduk.
Maka berkatalah Thian-sik,
"Kongcu, keadaan di sini agak berbahaya, lebih baik kita mencari suatu
tempat untuk bermalam."
Toan Ki menyatakan setuju,
cuma ia tanya kemana harus mencari tempat berteduh di padang rumput seluas itu.
"Di lautan rumput seperti
ini sangat banyak nyamuk dan serangga berbisa, banyak pula Ciang-gi (hawa
lembab atau panas) yang bisa mendatangkan penyakit," kata Tan-sin.
"Maka kalau tiada tempat pondokan yang baik, biarlah kita bermalam di atas
pohon saja untuk menghindari serangan hawa berbisa dan binatang buas atau
nyamuk."
Segera rombongan mereka
membelok ke arah hutan yang rimbun itu.
Giok-yan lama tinggal di
daerah pedalaman, tapi selamanya dia belum pernah pesiar ke tempat lain. Maka
waktu mendengar Tan-sin bercerita tentang Ciang-gi yang berbahaya itu, segera
ia tanya lebih jauh apakah sebenarnya Ciang-gi.
"Ciang-gi adalah hawa
lembab atau hawa panas yang berbisa di daerah pegunungan atau hutan belantara
yang jarang didatangi manusia," demikian tutur Tan-sin. "Menurut
cerita oreng Tayli kami. katanya dalam bulan tiga banyak berjangkit
Tho-hoa-ciang (hawa bunga delima berbisa), konon kedua macam Ciang-gi inilah
yang paling berbahaya. Padahal segala macam hawa berbisa tentu mendatangkan
penyakit, terutama musim panas, serangga berbisa dan nyamuk berkembang biak
dengan subur, masa-masa itulah paling berbahaya. Sekarang hawa sudah mendekati
musim dingin, keadaan tentu akan lebih baik. Cuma di sekitar sini hawa sangat
lembab, rumput yang memanjang bagai lautan ini pun setahun demi setahun
membusuk, maka hawa lembab yang berbisa tentu juga lebih keras."
"Wah, kiranya hawa
berbisa juga diberi nama-nama begitu indah, jika demikian apakah ada juga
Toh-hoa-ciang (hawa bunga kamelia berbisa)?" tanya Giok-yan tiba-tiba.
Seketika Toan Ki dan lain-lain
tertawa geli oleh pertanyaan si nona, Sahut Tan-sin, "Orang Tayli kami
paling suka kepada bunga kamelia, maka tidak menghubung-hubungkan bunga yang
indah itu dengan hawa berbisa yang membahayakan itu."
Tengah bicara rombongan mereka
sudah mulai memasuki hutan lebat itu. Karena tanah disitu memang lembab dan
menyerupai lumpur, maka kuda mereka menjadi payah juga jalannya.
"Kukira kita tak perlu
terlalu jauh menjelajahi hutan ini," ujar Thian-sik. "Marilah kita
boleh berhenti saja disini, beramai-ramai kita membikin sarang diatas pohon
untuk bermalam, bila sang surya sudah menyingsing
dan hawa berbisa sudah mulai
sirna barulah kita melanjutkan perjalanan."
"Apakah sesudah matahari
terbit dan hawa berbisa itu akan kurang mambahayakan lagi?" Tanya
Giok-yan.
Thian-sik membenarkan.
Mendadak Ciong Ling berseru
kaget sambil menunjuk kejurusan timur laut, "Wah, celaka! Disana sudah
timbul hawa berbisa! Hawa berbisa jenis apakah itu?"
Waktu semua orang mamandang
kearah yang ditunjuk, benar juga tertampak segumpal awan yang ditunjuk, benar
juga tertampak segumpal awan yang sedang mengepul keatas dari tengah rimba
sana.
Mendadak Thian-sik
terbahak-bahak, katanya, "Nona Ciong, itu adalah asap cerobong dari orang
yang sedang menanak nasi."
Sesudah diperhatikan memang
betul gumpalan awan itu adalah asap dan bukan hawa berbisa segala, Maka
tertawalah semua orang, semangat mereka pun terbangkit, jika ada asap, tentu
disana ada manusia.
Segera mereka batalkan maksud
berkemah diatas pohon, tapi beramai-ramai menuju ke tempat mengumpulnya asap itu.
Sesudah dekat, ternyata hutan di situ terdapat beberapa buah rumah papan, di
samping rumah banyak bertumpuk kayu gelondongan, nyata rumah-rumah itu adalah
kediaman tukang tebang kayu.
Tan-sin tampil ke depan dan
berseru, "Hai, Toako penebang kayu, ada orang dalam perjalanan ingin mohon
mondoksemalam di sini, boleh tidak?”
Tapi sampai sekian lama tiada
suara jawaban dari dalam rumah meski Tan-sin telah mengulangi pula ucapannya.
Padahak asap dapur di dalam rumah masih tetap mengepul, suatu tanda rumah itu
pasti ada penghuninya.
Dengan penasaran Tan-sin
mengeluarkan kipasnya yang biasa digunakan sebagai senjata, dengan pelahan ia
buka pintu dan melangkah masuk ke dalam rumah.
Ternyata tiada bayangan
seorang pun di dalam rumah. sebaliknya terdengar suara
"pletak-pletok", suara terbakarnya kayu. Segera Tan-sin menuju ke
ruang belakang dan masuk ke dapur. Maka tertampaklah di depan
tungku ada seorang nenek
bungkuk sedang menunggui api dapur.
"Lopopo (nenek tua),
apakah di sini masih ada orang lain lagi?" segera Tan-sin menegur.
Namun nenek itu hanya
memandanginya dengan melonggok seperti tak mendengar apa pun, Ketika Tan-sin
mengulangi lagi ucapannya barulah nenek itu mrnuding telinga dan mulut sendiri
sambil mengeluarkan suara "ah-uh" yang kaku. Nyata nenek itu seorang
tuli dan bisu.
Waktu Tan-sin kembali ke ruang
depan, sementara itu Thian-sik, Toan Ki dan lain-lain juga sudah memeriksa
rumah-rumah lain dan semuanya tiada penghuninya kecuali nenek tuli dan bisu
itu. Pah Thian-sik juga telah mengelilingi rumah papan itu dan ternyata tiada
menemukan sesuatu tanda, yang mencurigakan.
"Nenek itu bisu lagi
tuli, susah untuk diajak bicara," demikian tutur Tan-sin. "Biasanya
nona Ong paling sabar, silakan engkau coba-coba bicara dengan dia."
Giok-yan mengiakan,
"Baiklah, coba kuhubungi dia."
Segera ia masuk ke dapur dan
main tuding sana dan tuding sini dengan isyarat tangan, lalu memberikan nenek
itu serenceng uang perak, ah, ternyata berhasil juga membikin terang duduknya
perkara. Sesudah nenek itu menanak nasi, lalu Giok-yan minta sedikit berás
kepada si nenek untuk menanak nasi bagi kawan-kawannya walaupun tiada lauk-pauk
dan arak, terpaksa mereka tangsal perut apa adanya.
"Kìta boleh bermalam dí
rumah ini dan jangan terpencar," kata Thian-sik.
Segera ia membagi kaum lelaki
tidur di kamar sebelah kanan dan kaum wanita di kamar sebelah kiri. Sebagai
penerangan si nenek telah menyalakan sebuah pelita minyak dan dltaruh di alas
meja ruang tengah.
Saking lelahnya dalam
perjalanan, segera semua orangmerebahkan diri untuk tidur. Baru saja mereka
hendak pulas, tiba-tiba terdengar di ruang tengah ada suara "tik tik
tik", suara orang mematik api tapi tidak menyalanyala.
Segera Thian-sik keluar dari
kamarnya, ia lihat pelita minyak di atas meja sudah padam, dalam kegelapan
terdengar suara "tik-tik-tiK" yang tak berhenti-henti, rupanya si
nenek sedang mengetik api hendak menyalakan kembali pintu itu.
Mengetik api dengan pisau dan
batu api mestinya tidak sulit kecuali kalau kawulnya (selaput) basah atau
kurang baik.
Segera Thian-sik mengeluakan
alat ketikan api sendiri, "tik", sekali ketik saja api lantas menyala
dan terus menyulut pelita minyak di atas meja itu.
Si nenek tampak tersenyum
senang, lalu meminjam alat ketik api Pah Thian-sik sambil menuding-nuding ke
arah dapur sebagai tanda hendak menyalakan api pula di sana. Tanpa pikir
Thian-sik menyerahkan alat ketikan api itu, lalu ditinggal masuk kamar untuk
tidur lagi.
Selang tak lama, kembali di
ruangan tengah terdengar suara "tik-tik-tik" pula. Toan Ki dan
lain-lain terjaga bangun lagi. Dari sela-sela dinding mereka melihat keadaan di
luar sana gelap gulita, rupanya pelita minyak itu kembali padam.
"Saling tuanya mungkin
nenek itu sudah pikun," demikianlah Tan sin mengerundel dengan tertawa. Mestinya
ia tidak mau ambil pusing, tapi suara "tak-tik-tak-tik" itu justru
tidak berhenti-henti dan sangat mengganggu, seakan-akan kalau api belum
menyala, maka semalam suntuk nenek itu akan mengetik terus.
Tan-sin merasa sebel, segera
ia keluar, dalam kegelapan ia lihat si nenek terus mengetik api dengan ngotot.
Segera Tan-sin mengeluarkan alat api sendiri, "tik" sekali api lantas
dinyalakan dan pelita itu disulutnya.
Si nenek tertawa, ia memberi
tanda hendak meminjam alat ketikan api itu kepada Tan-sin untuk membuat api di
dapur, sudah tentu Tan-sin meminjamkan dan masuk kembali untuk tidur.
Tak terduga, tidak lama
kemudian kembali di ruang tengah terdengar pula suara "tik-tik-tik"
yang berisik. Diam-diam Thian-sik dan Tan-sin mendongkol dan menggerutu entah
nenek itu main gila apa, selalu menggangu orang tidur. Namun begitu di luar
masih terus berbunyi "tak-tik-tak-tik” tak berhenti-henti.
Thian-sik melompat keluar.
Iarebut pisau dan batu api si nenek dan mengetiknya, tapi sekali ini api sukar
menyala, waktu ia raba alat-alat itu, ternyata bukan miliknya sendiri, segera
ia tanya dengan heran, "Dimanakah pisau dan batu apiku?"
Namun ia jadi geli sendiri,
muring-muring kepada seorang bisu-tuli sudah tentu tak ada gunanya.
Dalam pada itu Bok Wan-jing
telah keluar juga, ia keluarkan pisau dan batu api dan berkata,
"Pah-sooksiok, apakah engkau ingin membuat api?"
"Nenek ini lho, masakan
berkutatan sejak tadi dan mengganggu orang tidur saja, sungguh aneh,"
sahut Thiansik sambil menerima alat ketikan api yang disodorkan Boh Wan-Jing
dan sekali ketik api lantas menyala serta menyulut pelita minyak tadi.
Si nenek tertawa puas sambil
memandangi pelita yang sudah menyala itu.
"Nona Bok silakan tidur
lagi agar besok pagi-pagi bisa berangkat," kata Thian sik sambil kembali
ke kamarnva sendiri.
Siapa tahu, tidak seberapa
lama, kembali suara "tak-tik-tak-tik" itu berjangkit pula. Serentak
Thian-Sin dan Tan-sin melompat bangun bersama, tapi sebelum berlari keluar
mendadak mereka merasa perbutuan Si nenek itu sangat mencurigakan, di balik itu
pasti ada tipu muslihat tertentu. Pelahan Thian-sik menjawil kawannya, lalu
kedua orang terbagi dua arah untuk mengepung si nenek.
Dan baru saja mereka hendak
menubruk maju, tiba-tiba hidung mereka mengendus bau harum. Ternyata orang yang
sedang membuat api itu bukan lagi si nenek melainkan Bok-Wan-jing.
"He, kiranya nona
Bok?" tanya Thian-sik.
"Ya," sahut si nona
"Aku merasa tempat ini agak mencurigakan, maka ingin menyalakan pelita
untuk memeriksanya.”
"Coba, biar kubuatkan
api," kata Thian-sik. Lalu ia menerima alat ketikan api itu dari Wan-Jing.
Tapi meski dia sudah mengetik
berulang-ulang, setitik belatu api pun tidak kelihatan, Thian-sik terkejut,
serunya, "Batu api ini tidak baik. Nona Bok, batu ini telah ditukar oleh
nenek itu."
”Cepat kita cari nenek itu,
jangan sampai dia sempat lari," ujar Tan-sin.
Segera Bok Wan-jing lari ke
dapur, sedang Thian-sik dan Tan-sin mengejar keluar rumah. Tapi hanya sekejap
itu saja si nenek sudah menghilang entah ke mana.
"Jangan mengajar lagi,
melindungi Kongcu lebih penting," ujar Tan-sin.
Segera mereka kembali ke dalam
rumah. Sementara itu Toan Ki, Giok-yan dan Ciong Ling juga sudah bangun semua.
"Siapa yang membawa alat
pembuat api? Nyalakan pelita lebih dulu," kata Thian-sik.
"Pisau dan batu apiku
telah dipinjam oleh nenek itu," terdengar dua orang menjawab berbareng.
Mereka adalah Giok yan dan Ciong Ling.
Diam-diam Thian-sik dan
Tan-sin mengeluh. Mereka sudah berhati-hati, akhlrnya toh masih terjebak oleh
musuh.
Toan Ki mengeluarkan batu api
dan coba mengetiknya, namun tidak berhasil juga, sama sekali tidak mengeluarkan
lelatu.
"Kongcu, apakah nenek itu
pun pernäh pinjam alat ketik apimu?" tanya Tan-sin.
"Ya, sebelum dahar
tadi," sahut Toan Ki. "Habis pakai lalu ia kembalikan padaku."
"Batu api Kongcu itu
telah ditukar olehnya,” ujar Tan-sin.
Seketika semua orang terdiam,
dalam kegelapan hanya terdengar suara bunyi serangga di sekeliling rumah. Malam
itu kebetulan akhir bulan, sinar bintang juga guram.
Mereka berenam berkumpul di
dalam rumah, diam-diam mereka merasa keadaan di sekeliling situ sangat
berbahaya. Sejak Toan Ki mengisi tulisan lukisan dan mendapat pelayanan si
orang tua she Keh, memangnya mereka sudah was-was terhadap tipu muslihat musuh.
Tapi meski mereka sudah mencari dan menyelidiki, tetap tidak menemukan sesuatu
yang mencurigakan. Mereka piker kalau musuh muncul sekaligus akan lebih gampang
diselesaikan sebaliknya kalau main kucing-kucingan begini sungguh sukar untuk
dilayani.
”Nenek itu telah menipu alat
pembuat api kita, tujuannya ialah supaya kita tak dapat menyalakan pelita dan
mereka akan dapat menjalankan tipu muslihat dalam keadaan gelap," demikian
pendapat Bok Wan-jing.
"Benar," kata
Thian-sik. "Dalam keadaan gelap, kalau mereka menggunakan mahluk berbisa
yang kecil-kecil untuk menyerang kita, wah, bias celaka."
Mendadak Ciong Ling menjerit
ketakutan. Waktu semua orang menanyakan apa yang terjadi dara cilik itu
menjawab, "Aku paling takut pada kelabang dan ketungging, kalau mereka
menggunakan binatang berbisa itu untuk menyerang kita, tentu celakalah kita. Jika
ular aku tidak takut."
"Nona Ciong jangan takut,
biarlah kita menyalakan api dulu," kata Thian-sik.
"Alat-alatnya sudah tidak
ada, cara bagaimana menyalakan api?" tanya Ciong Ling.
"Musuh sengaja bikin kita
tak bisa menyalakan api, maka kita justru akan membuat api, kukira pasti
bisa," kata Thian-sik.
Segera ia pergi ke dapúr untuk
mengambil dua potong kayu bakar dan diserahkan kepada Tan-sin, katanya,
"Cu-hianto, buatlah serbuk kayu, makin halus makin baik."
Tan-sin dapat menangkap maksud
sang kawan, ia pun menyalakan kebulatan tekadnya takkan menyerah kepada tipu
muslihat musuh. Segera ia mengeluarkan sebilah belati dan mulai mengeruki kayu
itu üntuk mendapatkan serbuk kayu yang halus.
Toan Ki, Bok Wan-jing dan
lain-lain segera, membantunya, mereka keluarkan pisau yang dibawanya dan
memotong dan mengerik kayu-kayu itu menjadi bubuk halus. Tapi dalam hati semua
orang merasa kebat-kebit karena tidak tahu bila musuh akan menyerang. Maka
semuanya tidak bicara, hanya memperhatikan setiap suaru di luar rumah.
Tidak lama kemudian, waktu
Thian sik merasa serbuk kayu sudah terkumpul dua genggam banyaknya, segera ia
mencakupnya menjadi satu, lalu diambilnya pula secuil kawul dan disusupkan di
tengah serbuk kayu. Ia pegang golok sendiri dan pinjam pula golok Wan-jing,
dengan merapatkan punggung kedua gaman itu la gesek sekeras-kerasnya sehingga
meletikkan lelatu apí. Serbuk kayu itu terkena lelatu dan segera menyala, tapi
lantas pudar lagi karena belum mengenai kawulnya.
Sesudah diulangi lagi oleh
Thian-sik, akhirnya api dapat dinyalakan, Toan Kí berseru girang, segera ia
menyuluh pelita minyak di atas meja itu
Kuatir pelita itu akan padam
pula, Tan-sik menyalakan juga pelita yang terdapat di kamar dan dapur. Walaupun
cahaya api tidak terlalu terang, namun demikian toh akhirnya mereka telah
menyalekan api, seketika semangat mereka terbangkit seperti orang habis menang
perang.
Di antara keenam orang itu,
Pah Thian-sik, Cu Tan-sin dan Bok Wan-jing cukup luas pengalamannya, ilmu silat
mereka pun tinggi, sebaliknya ketiga orang lainnya masih hijau, kalau musuh
benar-benar menyerang secara besar-besaran tentu akan sukar melawan. Maka
keenam orang hanya saling pandang saja dengan hati kebat-kebit untuk menunggu
perkembangan selanjutnya.
Tapi yang terdengar hanya
suara angin mendesir di luar diseling suara serangga yang ramai, selama itu
tiada sesuatu pula yang aneh.
Waktu Toan Ki menoleh,
tiba-tiba ia lihat kedua tiang rumah masing-màsing terukir tulisan dalam bentuk
"Tui lian" (sajak timpalan) bunyinya kira-kira begini:
Air mengalir di sungai musim
semi bunga kamelia ( - )
( - ) memenuhi langit di musim
panas buah leci merah.
Jadi dalam setiap bait syair
itu masing-masing juga lowong satu huruf sebagaimana telah di alami sebelumnya.
Waktu Toan Ki mengamat-amati, ia lihat Tui-lian itu diukir dengan tenaga jari
pada tiang kayu itu sehingga dalamnya sampai satu senti lebih.
Selagi Toan Ki hendak
memeriksa lebih jauh, di sebelah sana Ciong Ling berseru, "Di sini juga
ada tulisan!"
Ketika Toan Ki membacanya,
ternyata pada sebuah papan di sebelah sana juga terukir dua baris huruf yang
berbunyi:
Gaun hijau muka ( - ) seperti
sudah kenal
Bulan ( - ) bunga kemelia
mekar sepanjang jalan.
Dari tulisan yang mendekuk itu
tertampak jelas juga terukir dengan jari seperti tulisan pada kedua tiang itu.
Waktu makan tadi cahaya pelita
agak guram sehingga huruf-huruf itu tidak terlihat, sekarang sesudah empat
pelita dinyalakan sekaligus barulah huruf-huruf yang terukir itu dapat dibaca.
"Sepanjang jalan aku
sudah banyak mengìsi tulisan yang tidak lengkap itu, apakah perbuatanku ini
akan mendatangkan kebaikan atau bencana juga tak perlu dipikir lagi, biarlah
kita lihat apa yang hendak dilakukan oleh lawan," kata Toan Ki. Segera ia
mengacungkan jarinya, maka terdengarlah suara "crat-crit"
berulangulang, segera ia mengisi lalu huruf "putih" pada bait pertama
di atas tiang tadi sehingga bunyinya menjadi "Air mengalir di sungai musim
semi kamelia putih".
Menyusul bait kedua diisinya
satu huruf "awan" sehingga bunyinya menjadi "Awan memenuhi
langit di musim panas buah leci merah".
Maka lengkaplah sanjak itu
sekarang.
Dasar tenaga dalam Toan Ki
sekarang sudah sangat kuat, di mana jarinya tiba, di situ bubuk kayu lantas
rontok bagai diserok. Keruan Ciong Ling sangat senang, ¡a bersorak memuji,
"Wah, tahu begini lihai jarimu, tentu tadi kita tidak perlu susah-susah
mencari serbuk kayu lagi."
Dalam pada itu tertampak Toan
Ki telah mengisi pula huruf-huruf yang kurang pada syair di atas papan sana
sehingga lengkapnya sekarang berbunyi.
Gaun hijaú muka cantik seperti
sudah kenal. Bulan sembilan bunga Camelia mekar sepanjang jalan.
Sembari menulis mulut Toan Ki
juga menyairkan sanjak yang romantis itu, berbareng ia pun melirik Giok-yan
sehingga nona itu merah jengah dan berpaling ke arah lain.
"Kayu apakah yang
dijadikan tiang dan papan rumah ini, sungguh harum sekali." ujar Ciong
Ling.
Waktu semua orang mengendus,
benar juga mereka merasa dekukan kayu bekas ukiran jari Toan Ki itu sayupsayup
mengeluarkan bau harum semerbak seperti harum bunga melati dan seperti wàngi
bunga mawar pula.
Anehnya makin lama bau wangi
itu makin harum sehingga membikin semangat terbangkit dan perasaan segar.
"Celaka, bau wangi ini
mungkin berbisa, lekas tutup hidung!" seru Tan-sin dengan kuatir.
Karena peringatan itu, segera
semua orang mengeluarkan saputangan atau ujung baju untuk menutup hidung dan
mulut. Tapi sudah tidak sedikit bau harum yang mereka sedot, kalau hawa berbisa
seharusnya mereka merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang, namun sedikit
pun mereka tidak merasakan sesuatu.
Selang sejenak, mereka tak
bisa menahan napas lebih lama lagi, terpaksa membuka mulut sehingga bau wangi
itu banyak terisap, namun masih tetap tiada sesuatu yang mencurigakan. Maka
legalah mereka dan pelahan melepaskan tutup hidung.
"Kayu wangi ini
benar-benar sukar dicari, biarlah kita membawanya pulang beberapa keping."
ujar Ciong Ling.
Belum lenyap suaranya,
tiba-tiba telinga semua orang seperti mendengar suara mendengung. Kembali
Tan-sin terperanjat. katanya, "Celaka, racun mulai bekerja, telingaku
sudah mulai mendengung!"
"Ya, telingaku
juga!" sahut Thian-sik.
Tapi Boh Wan-jing lain
pendapat, katanya, "Ini bukan telinga mendengung, tapi sepertì suara
rombongan tawon dalam jumlah besar sedang terbang kemari.”
Benar juga, hanya sekejap saja
suara mendengung itu makin lama makin keras seakan-akan ada beratus ribu ekor
tawon sedang membanjir tiba.
Mendengar suara aneh itu,
seketika wajah semua orang menampakkan semacam rasa yang susah dilukiskan.
Mestinya tawon tidaklah menakutkan, tapi suara mendengung sehebat itu
benar-benar selamanya tidak pernah terdengar, pula belum tahu dengan pasti apa
benar lebah atau bukan.
Sesaat itu semua orang sampai
termangu-mangu bingung. Dalam pada itu suara mendengung itu makin lama makin
dekat dan makin keras serta mengerikan seakan-akan suara setan iblis yang
hendak menyambar nyawa.
Dengan takut Ciong Ling
memegangi lengan Bok Wan-jing. Giok-yan juga pegang tangan Toan Ki dengan
kencang, Hari keenam orang
sama berdebar-debar.
Sebelumnya mereka pun sudah
tahu bahwa di sekeliling situ tentu sudah bersembunyi musuh, tapi sama sekali tak
menduga bahwa sebelum menyerang musuh bisa menyebarkan dulu suara yang
menyeramkan itu.
Sekonyong-konyong terdengar
suara "plok”, suara sesuatu benda kecil menumbuk papan rumah, menyusul
terdengar pula "plak-plok" berulang yang sukar dihitung jumlahnya.
"Benar tawon!"
teriak Ciong Ling dan Bok Wan-Jing berbareng.
Tiba-tiba terdengar pula suara
ringkík kuda yang kesakitan sambil membeker dan berloncatan.
"Kuda kita diantup
lawon!" seru Ciong Ling.
"Biar kupotong tali
kandali agar kuda-kuda itu dapat menyelamatkan diri," ujar Tan-sin,
"Bret" segera ia róbek baju sendiri untuk membungkus kepalanya.
Tapi baru saja ia membuka
pintu, bagaikan angin lesus saja tahu-tahu kawanan tawon dalam jumlah
beriburibu banyaknya terus menerjang kedalam rumah. Ciong Ling dan Giok-yan
sama menjerit kaget, sedang Pah Thian-sik cepat menarik minggir Cu Tan-sin, berbareng
daun pintu ia depak sehingga tertutup rapat lagi.
Namun begitu toh di didalam
rumah sudah penuh dengan tawon. Dan begitu sudah masuk, terus saja kawanan
lebah itu menyerang setiap orang yang berada di situ. Hanya dalam sekejap saja,
baik kepala, tangan dan muka semua orang kena disengat belasan sampai puluhan
kali.
Cepat Tan sin menggunakan
kipasnya untuk memukul dan menyampuk sekuatnya, Begitu pula Toan Ki, Bok
Wan-jing, Giok-yan dan Ciong Ling juga membunuh kawanan lebah itu dengan
menahan rasa sakit.
Karena Thian-sik, Tan-sín,
Toan Ki dan Bok Wan-jing membasmi dengan sepenuh tenaga , maka tidak lama
kemudian kawanan tawon itu hanya tinggal beberapa puluh ekor saja.
Sungguh aneh juga, kawanan
tawon itu tetap pantang mundur, bagai laron menyambar pelita saja mareka masih
terus menerjang dan mengantup setiap orang yang dapat diserangnya. Dan baru
sejenak kemudian kawanan tawon yang berhasil menyusup ke dalam rumah itu
terbasmi habis.
Saking kesakitan diantup tawon
Ciong Ling dan Giok-yan sampai menangis, Dalam pada itu suara tawon menubruk
dindingpapan di luar rumah masih terus terdengar bagai tetesan air hujan
riuhnya, entah betapa juta kawanan lebah itu sedang menerjang tiba.
Dengan melupakan rasa sakit
melepuh karena antupan tawon tadi, cepat semua orang berusaha menyumbat lubang
dan celah dinding yang mungkin disusupi kawanan tawon. Kemudian mereka hanya
saling memandangi muka masing-masing yang benjol-benjol dan merah melepuh itu.
"Untung kita berada dalam
rumah ini, kalau di tempat terbuka, wah, tentu binasa dikeroyok kawanan tawon
sebanyak itu." kata Toan Ki.
"Kawanan tawon ini adalah
alat serangan musuh, tentu mereka takkan berhenti begitu saja, bukan mustahil
rumah papan ini akan di jebol mereka," ujar Wan-jing.
Besar juga, belum lenyap
ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara "blang” yang sangat keras,
sepotong batu besar jatuh di atap rumah, menyusul lantas terdengar pula suara
gemuruh disertai berhembusnya debu pasir, dua potong batu besár jatuh ke bawah
menembus atap rumah.
Pelita di dalam rumah seketìka
padam, cepat Toan Ki merangkul Giok-yan kedalam pelukannya untuk melindungi
kepala dan mukanya. Maka terdengarlah suara mendengung-dengung yang memekak
telinga, semua orang tahu tidak mungkin membendung kawanan lebah sebannyak itu,
terpaksa mereka hanya menggunakan lengan baju untuk menutupi mukanya sendiri.
Hanya sekejap saja tangan dan
bagian tubuh lalu yang terbuka lantas kena tersengat, sakitnya tidak kepalang.
Tidak lama kemudian, Saking tak tahan, robohlah semua orang tak sadarkan diri,
pingsan.
Toan Ki pernah makan katak
merah, mestinya kebal terhadap segala macam racun, tapi káwanan lebah ini
adalah piaraan manusia, sengatnya bukan racun lebah biasa, tapi sesudah diantup
sekian banyak lebah itu akhirnya ia pingsan juga. Cuma dia mempunyai tenaga
dalam paling kuat, maka di antara keenam orang itu, dia pula yang pertama-tama
siuman kembali.
Begitu sadar segera ia merasa
Giok-yan tidak berada dalam pelukannya lagi. Sebaliknya dalam kegelapan ia
merasa kedua kaki dan tangannya diringkus orang dengan tali, matanya juga
tertutup oleh kain hitam bahkan mulut pun tersumbat sehingga bernapas saja
susah, apalagi bìcara. Ia merasa tempat-tempat bekas diantup tawon itu masih
sangat sakit, ia merasa dirinya duduk di atas tanah, tapi di mana dan sudah
berepa lama sama sekali tak diketahuinya.
Tengah Toan Ki merasa bingung,
tiba-tiba terdengar seorang wanita sedang berteriak dengan bengis, "Aku
sudah banyak mengorbankan tenaga dan pikiran dan ingin menangkap anjing tua she
Toan dari Tayli itu, mengapa yang tertangkap adalah anjing kecil ini!”
Toan Ki merasa suara itu sudah
pernah dikenalnya, tapi tak teringat seketika siapa dia.
Dalam pada itu suara seorang
wanita tua lagi menjawab, "Hamba telah menurut segala perintah siocia,
sedikit pun tidak menyimpang."
"Hm, kuduga di dalam hai
ini tentu ada sesuatu yang tak beres," kata suara wanita tadi.
"Anjing tua itu dari
utara menuju ke selatan, mengapa dia mendadak membelok ketimur? Dan mengapa
arak obatyang telah kita atur kepanjang jalän itu sampai diminum semua oleh
anjing cilik itu?”
Toan Ki tahu apa yang
dimaksudkan "anjing tua" itu tentu adalah ayahnya, Toan Cing-sun, dan
"anjing cilik" yang dimaksud adalah dirinya. Dari suara percakapan
mereka itu agaknya mereka berada diruangan sebelah.
Lalu terdengar si wanita tua
menjawab pula, "Hamba sudah melaksanakan segala petunjuk Siocia, soal
Toanongya mendadak membelok ke timur agaknya ada hubungannya dengan budak-budak
she Cin dan she Wi itu."
"Ken ... kenapa kau panggil
dia, Toan-ongya pula!" semprot si wanita tadi dengan gusar.
"Ya, dah ... dahulu
Siocia menyuruh hambä memanggilnya Toan-kongcu, sekarang ... sekarang usianya
sudah lanjut, maka .... "
"Diam, tidak boleh
menyebutnya lagi" bentak si wanita tadi. Dan sejenak kemudian tiba-tiba ia
menghela napas dan bergumam sendiri, "Ya, usia ... usianya sekarang memang
sudah lanjut!"
Mendengar percakapan kedua
wanita itu, seketika legahlah hatì Toan Ki Pikirnya, "Kukira siapa? Tak
tahunya kembali adalah seorang bekas kekasih ayah pula. Dia mencari perkara
kepada ayah tentu juga lantaran iri dan cemburu. Dia mengarahkan kawanan lebah
untuk merobohkan kami, tujuannya tentu ingin menangkap ayah dan Cin-ih (bibi
Cin) dan Wi ih (bibi Wi), tapi keliru tangkap kami yang menjadi korban. Jika
demikian
agaknya ia pun takkan membikin
susah kami. Tapi siapakah bibi ini? Aku seperti sudah kenal padanya?”
Sementara itu si wanita tadi
berkata pula, "Menurut laporanmu, jadi tulisan yang tidak lengkap yang
kita atur sepanjang jalan itu telah diisi semua dengan tepat oleh anjing cilik
itu? Hm aku justru tidak percaya, masakah anjing cilik itu juga paham syair
gubahan si anjing tua, masakah begitu kebetulan?”
"Syair yang dipahami
bapaknya, kalau anaknya juga paham, hal itu juga tidak mengherankan," ujar
si nenek.
"Aku justru tidak percaya
perempuan hina-dina itu dapat melahirkan anak sepintar itu?" kata wanita
tadi dengan gusar.
Mendengar ibunya dicerca,
sungguh Toan Ki sangat gusar, segera ia bermaksud mendampratnya, tapi baru
bibirnya bergerak segera ia ingat mulutnya sendiri tersumbat, sudah tentu tak
bisa bicara.
Dalam pada itu si nenek lagi
bicara, "Siocia, urusan sudah lalu sekian lamanya, buat apa engkau selalu
memikirkannya? Apalagi yang bersalah padamu adalah Toan kongcu dan bukan
putranya? Maka ... maka sukalah Siocia mengampuni anak muda itu saja. Rasanya
penderitaannya kena antup Cui-jin-hong (tawon pembuat mabuk) yang kita
terbangkan itu juga sudah cukup baginya."
"Kau minta aku mengampuni
anak jadah she Toan itu?" teriak si wanita dengan suara tajam melengking,
"Hm, kalau aku sudah mencencang dia barulah aku mengampuni dia."
Diam-diam Toan Ki membatin,
"Yang bersalah padamu adalah ayahku dan bukan diriku, mengapa engkau
sedemikian benci padaku? Kiranya kawanan lebah itu bernama Cui jing-hong. Entah
cara bagaimana dia memelihara kawanan lebah itu sehingga dapat dikerahkan untuk
mengantup kami? Siapakah gerangan wanita ini? Suaranya seperti sudah kukenal,
tapi aku tidak ingat. Siapakah dia?"
Sedang Toan Ki mengingat-ingat
kembali, tiba-tiba terdengar Suara seorang lelaki berseru, "Kohma (bibi),
keponakan menyampaikan salam hormat!"
Suara lelakil itu membuat Toan
Ki terkejut. Seketika pula tanda tanya yang berkecamuk dalam benaknya tadi
terjawab semuanya.
Lelaki yang bersuara itu
ternyata Buyung Hok adanya. Maka bibi yang dia panggil itu dengan sendirinya
adalah Ong-hujin dari Man-to-san-ceng di Koh-soh atau Ibu Giok-yan atau calon
ibu mertua sendiri. Pantas ia
merasa sudah kenal suaranya.
Seketika itu perasaan Toan
berdebar-debar bagaikan belasan buah timba yang naik turun menímba air sumur.
Pikirannya menjadi kacau dan adegan-adegan kejadian di Man-to san ceng dahulu
lantas terbayang pula olehnya ..
Waktu itu Toan Ki dibawa lari
oleh A Cu dan A Pik untuk menghindari kejaran Cumoti dan akhirnya. kesasar ke
Mao-to-san-ceng, perkampungan tempat kediaman Giok-yan dengan ibunya, Ia
menjadl heran melihat tempat itu melulu tertanam bunga kamelia dan tiada tumbuh
bunga jenis lain.
Menurut peraturan
Man-to-san-ceng yang aneh itu, setiap orang lelaki yang berani masuk ke situ,
bila tertangkap tentu akan dìtabas kedua kakinya. Bahkan menurut nyonya Ong
asal orang Tayli dan she Toan, maka orang itu pasti akan dikubur hidup-hidup
seperti Cin Goan-cun yang bergelar "Nau-kang-Ong," dia bukan orang
Tayli, hanya lantaran rumahnya dekat dengan Tayli dan dia telah dikubur
hidup-hidup oleh Onghujin.
Toan Ki adalah orang Tayli dan
she Toan, dia mestinya juga akan dikubur hidup-hidup oleh nyonya Ong cuma
kemudian diketahuinya Toan Ki mahir merawat bunga kamelia maka nyonya Ong
mengampuni jiwanya bahkan mengadakan perjamuan untuk pemuda itu.
Tapi lantaran di tengah
perjamuan itu Toan Ki bercerita tentang sejenis bunga kamelia yang bernama
"muka si cantik tercakar", bunga kamelia itu berwarna putih dan pada
kelopak bunga itu ada garis-garis merah yang halus, karena itulah diibaratkan
muka si cantik luka tercakar. Toan Ki mengatakan, apabila wanita cantik, maka
tingkah lakunya seharusnya lemah-lembut dan berbudi halus tapi kalau muka si
cantik sampai ada luka tercakar, hal itu menandakan si cantik saban-saban suka
berkelahi dengan orang, maka wanita cantik demikian menjadi tidak dapat
dikatakan cantik lagi.
Rupanya kata-kata itu telah
menyinggung perasaan Ong-hujin, nyonya itu menjadi gusar dan mendamprat Toan
Ki, ia menuduh pemuda itu sengaja hendak mengacau dan mengolok-oloknya. Apakah
wanita cantik lantas tidak boleh belajar ilmu silat? Di mana letak kebaikannya
wanita yang lemah-lembut dan pendiam? Demikian Ong-hüjin lantas menjebloskan
Toan Ki ke dalam kamar tahanan, bahkan hampir-hampir saja jiwanya melayang.
Apa yang terjadi dahulu itu
bagi Toan Ki hanya dirasakan perangai Ong hujin terlalu aneh dan luar biasa.
Sekarang demi mendengar Buyung Hok memanggilnya "bibi", seketika
teringatlah Toan Ki, kiranya suara yang sejak tadi terasa sudah dikenalnya itu
Ong hujin adanya. Seketika ia menjadi paham pula duduknya perkara, "Ah,
kiranya dia (nyonya Ong) juga bekas kekasih ayah, pantas dia sedemikian cinta
pada bunga kamelia, sebaliknya begitu benci pada orang she Toan dari
Tayli."
Begitulah, segala kejadian
yang dahulu sukar dimengerti olehnya sekarang demi mengetahui letak
persoalannya, maka jelaslah baginya. Nyata sebabnya Ong-hujin cinta pada bunga
kamelia tentu disebabkan pada waktu dia bercinta-cintaan dengan ayahnya dahulu
ada sangkut-pautnya dengan jenis bunga itu. Dan sebabnya dia begitu benci pada
orang she Toan atau orang Tayli, bahkan tidak segan-segan menguburnya hidup-hidup,
terang disebabkan ayahnya she Toan dan berasal dari Tayli yang telah
menghianati cintanya, maka dia dendam sehingga setiap orang she Toan atau orang
dari Tayli juga ikut dibencinya.
Malahan Toan Ki menyaksikan
sendiri Ong-hujin menangkap seorang pemuda dan memberi ancaman agar pemuda itu
segera pulang dan membunuh istrinya yang sah, lalu secara resmi mengawini
kekasihnya dari perhubungan gelap di luar itu. Ketika pemuda itu tidak mau,
segera Ong-hujin hendak membunuhnya sehingga akhirnya pemuda itu menurut dengan
ketakutan.
Dari kejadian itu kelihatan
bahwa di dalam hati kecil Ong-hujin juga terdapat harapan agar ayah membunuh
istri resminya untuk kemudian menikah dengan dia.
Dan ketika tanpa sengaja Toan
Ki menyinggung tentang orang wanita cantik bila suka berkelahi tentu akan
menjadi tidak cantik, hal ini membuat Ong-hujin menjadi gusar. Maka dapat
dibayangkan dahulu dia tentu juga sering bertengkar dengan ayah lantaran urusan
pribadi itu.
Bagtulah banyak sekali hal-hal
yang tadinya sukar dipahami sekarang menjadi jelas bagi Toan Ki. Namun begitu
perasaan Toan Ki toh tidak merasa lega, sebaliknya perasaannya seakan-akan
ditindih oleh sepotong batu yang semakin berat. Apa sebabnya, seketika ia pun
tidak tahu. Pendek kata ia merasakan hubungan antara ibu Giok-yan dengan
ayahnya dahulu membuatnya merasa tidak enak, di dalam lubuk hatinya mendadak
timbul semacam firasat yang menakutkan ...
Dalam pada itu terdengar
Ong-hujin sedang menjawab teguran Buyung Hok tadi. "Ah, kiranya Hiantit
yang datang! Bagus, bukankah kamu sudah hampir naik tahta, sudah hampir menjadi
maharaja Yan jaya?"
Nyata sekali nadanya
mengandung sindiran tajam.
Tapi Buyung Hok menjawabnya,
"Hal itu memang cita-cita yang ditinggalkan leluhur kita, Tit-ji sendiri
tidak becus, sehingga selama ini hanya terlunta di kangouw tanpa sesuatu hasil,
makanya sekarang mohon bantuan bibi agar ikut mengatasi keadaan demi pesan
kakek dahulu yang bibi sendiri juga ikut mendengarnya."
"Bagus, jadi kau sengaja
menggunakan nama kakek untuk memaksa aku?" sahut Ong-hujin dengan ejekan.
"Padahal anak perempuan yang sudah menikah adalah mirip air telah digebyur
keluar, masakah aku ada lagi sangkut-pautnya dengan soal menjadi raja yang
diimpikan keluarga Buyung? Sebabnya aku melarang kau datang ke Man-to-san-ceng
dan melarang Giok-yan bergaul denganmu justru karena aku kuatir terikat
hubungan kekeluargaan pula
dengan pamili Buyung. Nah, di manakah Giok-yan, telah kau bawa dia ke
mana?"
"Di manakah
Giok-yan?" kata ini bagai bunyi halilintar yang menggelegar di telinga
Toan Ki. Memang sejak tadi juga dia sedang menguatirkan nona itu.
Tadi waktu kawanan lebah mulai
menyerang Giok-yan dirangkul oleh Toan Ki untuk mengaling-alingnya dari antupan
tawon, tapi sekarang ke manakah nona itu? Kalau menurut nada pertanyaan
Ong-hujin, agaknya dia benar-benar tidak tahu di mana beradanya Giok-yan.
Maka terdengar Buyung Hok
sedang menjawab, "Ke mana perginya Piaumoai, dari mana kutahu? Dia selalu
berada bersama dengan Toan-kongcu dari Tayli boleh jadi kedua orang itu sudah
lama sembahyangi Allah dan menjadi suami-istri?”
"Hah? Kau ... kau omong
apa!" bentak Ong-hujin dengan suara terpurtus-putus. Mendadak terdengar
suara "blang” sekali, nyonya itu mengebrak meja, lalu katanya pula dengan
gusar. '"Kenapa kamu tidak menjaga Piaumoaimu? Dia adalah seorang nona
muda yang masih hijau, sekarang kau biarkan dia kelayapan di dunia kangouw dan
sedikit pun tidak kau pikirkan keselamatannya?”
"Mengapa bibi marah-marah
padaku?" sahut Buyung Hok. "Bukankah bibi kuatir aku memperistrikan
Piaumoai, kuatir dia menjadi anggota keluarga Buyung yang mengimpikan menjadi
Kaisar. Dan sekarang urusan menjadi baik, dia sudah menjadi istri Toan-kongcu
dari Tayli kelak dia akan menjadi permaisuri kerajaan Tayli secara resmi
bukankah itu suatu berita baik?"
Mendadak Ong-hujin menggebrak
meja pula sambil membentak, "Omong kosong! Berita baik apa? Justru tidak
boleh terjadi!"
Di kamar sebalah sejak tadi
Toan Ki memang sudah kebat-kebit dan kuatir, demi mendengar ucapan Ong-hujin,
"Justru tidak bolah terjadi!" keruan ia tambah cemas. Keluhnya
diam-diam, "Celaka, sungguh celaka! Aku den Giok-yan benar-benar bernasib
malang dan banyak aral melintang sekarang ibunya mengatakan pula "Justru
tidak boleh terjadi .... "
Dalam pada itu tiba-tiba
terdengar seorang berseru, "Bukan, bukan! Nona Ong dan Toan kongcu adalah
suatu pasangan yang setimpal, perjodohan yang baik ini Hujin menganggapnya
tidak boleh terjadi. Ini terang salah!"
"Sekali aku bilang tidak
boleh jadi tetap tidak boleh jadi!" bentak Ong-hujin dengan gusar.
"Pau Put-tong, kau berani membantah ucapanku, apa kamu ingin kuperintahkan
orang untuk membunuh anak Perempuanmu?"
Biasanya Pau Put-tong adalah
seorang yang tidak takut pada langit dan gentar pada bumi, ucapan siapa pun
pasti akan dibantahnya. Tapi aneh juga, sekali dibentak oleh Ong-hujin,
seketika ia cep-kelakep alias bungkam dan tak berani bersuara lagi.
Diam-diam Toan Ki berteriak di
dalam hati. "Pau-samko, lekas kau bantah ucapan nyonya itu, lekas,
tolonglah, lekas! Ucapan nyonya itu sama sekali 'bo-ceng-li', lekas kau debat
dia. Hanyalah kau seorang ksatria yang berani mendebatnya berdasarkan
kebenaran."
Tak tersangka sesudah ditunggu
dan ditunggu lagi keadaan di sebelah terap sunyi saja, nyata Pau Put-tong tidak
berani bicara lagi.
Hal ini bukan lantaran Pau
Put-tong takut anak perempuannya akan dibunuh suruhan Ong-hujin, tapi karena
turun temurun keluarga Pau sudah menjadi abdi pengiring keluarga Buyung yang
setia dan patuh, sedangkan Ong-hujin masih terhitung majikannya, jika dia
benar-benar marah, jika dia benar-benar marah, sudah tentu Pau Put-tong menjadi
jeri.
Maka rasa gusar Ong hujin
menjadi reda kerena Pau Put-tong tak berani membantahnya lagi, segera ia
berkata kepada Buyung Hok, "Hiantit, kau datang mencari aku, adakah suatu
permohonan pula? Tentu kamu sedang mengincar sesuatu milikku lagi?"
"Kohma, Tit-ji adalah
sanak keluargamu yang terdekat, kalau Tit-ji merasa kangen padamu, masakah
datang menyambangi engkau juga tidak boleh? Dan kalau datang apa pasti Tit-ji
sedang mengincar sesuatu barangmu?" demikian sahut Buyung Hok dengan
tertawa.
"Hehe. jadi kaupun pernah
kangen pada bibimu ini? Bila sejak dulu kau kangen padaku, rasanya bibi pasti
takkan hidup merana sebagai sekarang ini," ucap Ong-hujin dengan ketus.
Namun Buyung Hok menghadapinya
dengan cengar-cengir, katanya, "Apa barangkali ada sesuatu yang tidak
menyenangkan hati bibi, silakan bibi katakan saja pada Tit-ji, tanggung akan
kubikin senang hati bibi".
"Fui," semprot
Ong-hujin. "hanya beberapa tahun tidak bertemu kamu sudah pintar
menjilat.”
"Mengapa bibi anggap
menjilat?” sahut Buyung Hok. "Kalau perasaan orang lain mungkin Tit-ji
sukar menjajakinya, tapi aku ini kan sanak bibi yang terdekat, urusan apa yang
dipikirkan bibi. andaikan tidak dapat kuterka seluruhnya, paling sediklt juga
dapat kuraba tujuh atau delapan bagian. Untuk membikin senang bibi, bukan àku
sengaja membual, kukira tidaklah sukar bagiku.”
"O. ya? Jika begitu,
boleh juga coba mengatakannya. Tapi awas, Jika sembarangan mengoceh, tentu akan
kugampar mulutmu!"
Buyung Hok tidak menjawab
lagi, mendadak ia menarik sesuatu dan berdendang, "Gaun hijau muka cantik
seperti sudah kenal, bulan sembilan bunga kamelia mekar sepanjang Jalan!"
Ong-hujin terkejut. "Da
... dari mana kau tahu? Apakah su ..... sudah kau datangi rumah papan di lautan
rumput itu?" tanyanya dengan suara terputus-putus.
Melihat bibinya sudah mulai
termakan oleh ucapannya. Buyung Hok lantas "jual mahal", sahutnya
kemudian, "Pendek kata bibi tidak perlu tanya dari mana kudapat tahu,
cukup bibi katakan saja mau tidak bertemu dengan orang itu?”
”Ber ... bertemu dengan
siapa?" kata Ong-hujin dengan suara terputus-putus dan lemah, nyata
nadanya sudah berubah, tadi garang, sekarang sudah mengandung nada mohon tahu.
"Orang yang Tit-ji
maksudkan adalah orang yang dikenang oleh bibi, aír mengalir di sungai musim
semi bunga kamelia putih, awan memenuhi langit di musim panas buah leci
merah!"
Ong-hujin tergetar, tanyanya
dengan suara lemah, "Cara ... cara bagaimana aku dapat berjumpa dengan
dia?"
"Bibi sudah berusaha
dengan susah payah hendak menangkap orang itu, tak terduga perangkap yang bibi
pasang tetap meleset dan dia dapat menghindarkan diri. Kupikir sebenarnya tidak
susah untuk berjumpa dengan dia, untuk itu dia harus ditangkap, yang penting
dia harus mau tunduk pada segala perintah bibi."
Ong-hujin menghela napas, katanya,
"Aku sudah pasang perangkap sedemikian rapinya, toh masih dapat
dihindarkan olehnya. Maka aku tak punya akal lain yang lebih sempurna
lagi."
"Tit-ji tahu di mana
orang itu berada, bilamana bibi percaya padaku, silakan menerangkan padaku
tentang perangkap yang telah dipasang bibi, bias jadi dari situ Tit-ji akan
dapat mengatur siasat yang diperlukan."
"Kita adalah orang
sekeluarga masakah tidak percaya.” kata Ong-hujin.
"Perangkap yang kupasang
sekali ini adalah lebah 'Cui-jin-hong' Telah kupelihara beberapa ratus sarang
tawon, di perkampungan Man-to-san-ceng tiada tumbuh bunga lain kecuali kamelia,
maka kawanan tawon tidak perlu mencari madu ke tempat lain.”
"Benar, maka kawanan
tawon itu pun tidak suka pada bau harum lain kecuali bau harum, kamelia,” tukas
Buyung Hok.
"Sungguh tidak sedikit
jerih-payahku selama memelihara kawanan tawon itu," kata Ong-hujin.
"Telah kucampur obat bius dalam madu yang biasa dimakan tawon-tawon itu
dengan sedikit demi sedikit sehingga setiap orang yang kena disengat oleh tawon
itu tentu akan jatuh pingsan selama belasan hari."
Toan Ki terkejut mendengar
keterangan itu. ia pikir jangan-jangan dirinya sudah pingsan selama belasan
hari seperti apa yang dikatakan itu?
Dalam pada itu terdengar
Buyung Hok lagi berkata, "Tipu bibi sungguh sangat rapi dan susah diduga
orang. Tapi cara bagaimana bibi dapat menyuruh kawanan tawon itu menyengat
orang?”
"Untuk itu di dalam
makanan orang yang menjadi sasaran harus dicampurkan sedikit obat khusus,"
tutur Ong hujin. "Meskì obat ini tak berwarna dan tak berbau, tapi rasanya
agak pahit, maka tidak boleh diberikan dalam kadar yang banyak sekaligus.
apalagi orang itu pun sangat cerdik, begitu pula pengirìng-peringiringnya,
untuk meracuni mereka pasti tìdak mudah, maka terpaksa aku harus mengatur
siasat, sepanjang jalan kusediakan daharan bagi mereka dan diam-dìam aku
mencekoki mereka dengan obat yang tak berbisa !tu.”
Mendengar itu, baru sekarang
Toan Ki paham duduknya perkara, jadi santapan yang telah dinikmatinya secara
gratis sebagaì balas jasa dari tuan rumah yang tulisan dalam lukisan telah
dilengkapinya itu adalah perangkap yang dipasang Ong-hujin rupanya orang-orang
yang dipasang nyonya itu telah diberitahu asal ketemu orang yang dapat mengisi
kekurangan tulisan di dalam lukisan itu, maka dialah Tin-lam-ong dari Tayli
yang sedang diincar, lalu dalam daharan yang disediakan itu dicampuri obat
bius.
Terdengar Ong-hujin lagi menyambung
ceritanya, "Siapa tahu telah terjadi salah wesel, orang itu tidak menuju
kejurusan sini, Sebaliknya putranya yang datang kemari. Rupanya setan cilik
telah menghapalkan sanjak yang digubah bapaknya, tentu setan cilik ini pun
seorang pemuda bangor. Sepanjang jalan setan cilik itu mengisi huruf-huruf yang
kurang lengkap dalam lukisan dan dapat makan minum sepuas-puasnya secara gratis
sehingga santapan bercampur obat yang kusediakan untuk bâpaknya telah
dihabiskan olehnya, dan akhirnya sampailah di rumah papan di tengah lautan
rumput itu. Pelita minyak di rumah itu pun sudah dicampur obat, di tengah tiang
kayu rumah itu pun kumasuki obat, waktu setan cilik itu menggores papan kayu
itu sehingga bau harüm obat-obatan yang tersembunyí di dalamnya terasa seketika
kawanan tawon terpancíng tíba. Ai, siapa duga rencana yang kujalankan itu
terlaksana dengan baik, tapi sasaran yang tiba ternyata keliru. Setan cilik ¡ni
telah merusak rencanaku, Hm, kalau aku tidak mencencang día rasa mendongkolku
tak terlampiaskan.”
Diam-diam Toan Ki merasa ngeri
juga mendengar ucapan Ong-hujin yang penuh dendam dan benci itu. Diamdiâm ia
harus mengakui betapa rapinya perangkap yang dipasang nyonya itu, Celakanya
secara tidak sengaja dirinya yang menggantikan sang ayah dan masuk perangkap
itu. Tapi ia pun merasa lega pula bila teringat dengan kejadian salah sasaran
ini, maka ayahnya sekarang tentu dapat lolos dari ancaman bahaya.
Dalam pada itu terdengar
Ong-hujin lagi berkata dengan suara marah, "Aku menyuruh budak ini
menyamar sebagai tua bangka yang bisu dan tuli untuk mengatur perangkap di
rumah papan itu, apalagi dia juga kenal orang itu, siapa tahu akhirnya terjadi
juga salah sasaran seperti sekarang ini."
Lalu terdengar si wanita tua
tadi membela dirl. "Siocia, seperti hamba sudah memberi laporan bahwa
karena tidak melihat Toan-kongcu berada di antara kawanan pendatang itu, maka
hamba telah menipu alat ketikan api mereka agar mereka tidak dapat menyalakan
pelita minyak dan kawanan tawon itu takkan terpancing datang. Siapa tahu
orang-orang itu terlalu cerdik, akhirnya mereka dapat juga menyalakan pelita
minyak."
"Hm, pendek kata, memang
kamu yang tidak becus," jengek Ong-hujin.
"Bibi, sesudah mengantup
orang, apakah kawanan tawon itu tak bisa digunakan lagi?” Tanya Buyung Hok.
"Tawon yang telah
menyengat orang itu tak lama kemudian akan matí," sahut nyonya Ong,
"Tapi yang tawon yang kupelihara itu beratus-ratus ribu jumlahnya, kalau
cuma mati beberapa ekor apa alangannya?"
"Bagus," seru Buyung
Hok. "Jika begitu, sesudah yang muda, segera kita dapat menangkap pula
yang tua. Titji pikir bila kita mengambil sesuatu benda milik bocah itu, lalu
kita perlihatkan kepada ... kepada orang itu, maka tidak susah kiranya untuk
memancing ke rumah papan di lautan rumput sana."
"Nah, keponakanku yang
baik, betapapun otak orang muda memang lebih tajam," seru Ong-hujin dengan
girang sambil berbangkit. "Bagus sekali usulmu ini, sebagai ayah yang baik
bila dia tahu anaknya berada dalam cengkraman kita, tentu dia akan memburu
kemari untuk menolongnya, takkala mana kita akan dapat menggunakan kawanan
tawon lagi.”
"Ya, tatkala mana
andaikan tanpa bantuan tawon juga tidak menjadi soal lagi, asal bibi menaruh
sedikit obat bius dalam arak dan disuguhkan padanya, masakah dia takkan minum
dengan gembirä?" demikian kata Buyung Hok.
Ong-hujin lantas terbayang
pada adegan pertemuannya dengan Toan-Cing-sun dan akan menyuguhkan arak
nanti, seketika nyonya itu
berseri-seri, rasanya menjadi lemas, katanya dengan penuh manisnya madu,
"Ya benar, Kita pakai usulmu ini."
"Bibi, akal Tit-ji ini
masih böleh juga, bukan?"
"Baiklah, kalau tidak
terjadi apa-apa, tentu bibi akan membalas jasamu," sahüt Ong-hujin dengan tertawa
senang "Sekarang langkah pertama kita harus menyelidiki dulu di mana
beradanya orang yang tak punya perasaan itu."
"Sebenarnya Tit-jii sudah
mendengar sedikit kabar, dalam urusan ini memang ada kesulitan besar,” ujar
Buyung Hok.
"Ada kesulitan apa lagi?”
tanya Ong-hujin dengan kening bekernyit, "cepat katakan, kamu memang suka
'jual mahal' ya?"
"Soalnya orang itu
sekarang telah ditawan orang tertentu dan keselamatannya terancam?" tutur
Buyung Hok.
"Brak”, karena kagetnya
sebuah mangkuk teh tertampar oleh tangan Ong-hujin dan jatuh pecah berantakan.
Toan Ki juga terkejut
mendengar berita itu, kalau mulutnya tidak tersumbat tentu ia pun menjerit
kaget.
Terdengar Ong-hujin berkata
dengan suara gemetar, "Sia ... siapa yang menawannya? Kenapa tidak kau
katakan sejak tadi? Betapapun kita harus mencari akal untuk menolongnya."
"Susahnya ilmu silat
lawan teramat tinggi dan Tit-ji sekali-kali bukan tandingannya," tutur
Buyung Hok. "Maka kita hanya boleh melawannya dengan akal dan tidak boleh
menandingi dia dengan kekerasan."
Ong-hujin menjadi sedikit lega
demi mendengar ucapan Buyung Hok itu, segera ia Tanya pula, "Cara
bagaimana melawannya dengan akal lekas katakan?"
"Kukira kawanan tawon
bibi itu masih boleh digunakan sekali lagi,'" ujar Buyung Hok. "Asal,
kita ganti beberapa tiang dan ubah tulisannya, umpama kita tulis nama raja
Tayli pada atas tiang itu, maka musuh tentu akan gusar bila membacanya dan
tentu akan menghapusnya, dengan begitu bau obat segera akan keluar dari dalam
tiang kayu itu."
"Apa orang yang
menawannya adalah orang yang bernama Toan Yan-khing yang sedang merebut tahta
dengan dia itu?" tanya Ong-hujin.
Buyung Hok membenarkan.
"Hah, jadi ... jadi dia
tertawan oleh Toan Yan-king," seru Ong-hujin dengan kuatir padahal Toan
Yan-khing itu senantìasa ingin membinasakan dia, bisa jadi saat ini dia su ...
sudah terbunuh olehnya."
"Bibi tidak perlu
kuatir," ujar Buyung Hok dengan tertawa, "Dalam urusan mereka itu
masih ada suatu persoalan besar yang harus bibi ketahui."
"Persoalan apa?"
tanya Ong hujin dengan tak sabar.
"Raja Tayli sekarang
adalah Toan Cing-bing," käta Buyung Hök "Dan kekasih bibi itu sudah
lama diangkat sebagai pangeran mahkota secara resmi hal ini telah diketahui
oleh rakyat seluruh negeri Tayli. Toan Cing bing terkenal sebagai seorang raja
yang bijaksana. Tin lam ong yang akan menggantikan dia pun memperoleh nama baik
di kalangan rakyat jelata, kalau Toan Yan khing membunuhnya begitu saja tentu
akan mengakibatkan kekacauan kerajaan Tayli dan tahta yang diincar Tóan Yan
khing menjadi takkan teguh dan akan gagal."
"Beralasan juga
ucapanmu.” ujar Ong-hujin. Tapi dari mana kau tahu semuanya itu?"
"Sebagian kudengar dari
orang lain, sebagian pula adalah menurut rekaanku," sahut Buyung Hok.
"Ya, selama hidupmu
senantiasa ingin menjadi raja, maka dalam hal persoalan tahta yang dihadapi
kerajaan Tayli sudah tentu kamu dapat merabanya dengan jelas."
"Ah, bibi terlalu memuji
diriku," sahut Buyung Hok dengan tertawa. "Menurut dugaanku, sesudah
Tin lam ong ditawan Toan Yan-khing, tidak nanti dia membunuhnya melaínkán akan
berusaha membiarkan Tin- lam-ong naik tahta dulu, habis itu dengan akal lain
Tin-lam-ong akan dipaksa menyerahkan tahta kepadanya secara resmi."
"Secara resmi
bagaimana?" tanya Ong-hujin.
"Sebenarnya ayah Toan
Yan-khing adalah raja Tayli, Cuma ketika terjadi kerusuhan dan tahtanya
digulingkan oleh pembesar dorna, dalam keadaan kacau Toan Yan-khing lenyap
entah ke mana. Sebab itulah Toan Cingbing dapat menjadi raja Tayli yang
sekarang. Padahal putra mahkota yang tulen sebenarnya adalah Toan Yankhing yang
terkenal sebagai Yan-khing Taícu. Kalau nanti Tin-lam-ong naik tahta, dia tídak
punya keturunan, kalau Toan Yan-khing di angkat sebagai putra mahkota, hal ini
boleh díkata sangat lumrah dan masuk diakal."
Ong-hujin merasa heran,
tanyanya, "Bukankah jelas dia mempunyai seorang putra, mengapa kau bilang
dia tidak punya keturunan?”
"Eh, mengapa bibi lupa,
bukankah baru saja bibi menyatakan sendiri akan mencencang bocah she Toan ini?
Setelah dicencang, masakah dia bisa hidup lagí?”
"Ya, benar! Bocah ini
adalah anak jadah yang dilahirkan budak hina-dina itu, jika dibiarkan hidup
hanya akan membikin marah saja padaku."
Tanya-jawab kedua orang itu
dapat didengar oleh Toan Ki yang berada di ruangan sebelah. Pikirnya,
"Wah, celaka! Sekali íni aku pasti akan mati konyol. Giok-yan entah berada
di mana pula? Kalau día berada di sini, bila jadi Ong-hujin akan mengampuni
jiwakü mengingat kebaikan putrinya padaku."
"Asal saat ini jiwanya
tidak berbahaya maka legalah hatiku. Aku tidak ingin dia menjadi raja apapun
segala, sebaliknya akan ku suruh dia ikut pulang ke Man-to-san-ceng saja,"
demikian Ong-hujin lagi berkata.
"Sesudah Tin-lam-ong
menyerahkan tahtanya sudah tentu día akan ikut bibi ke Man-to-san-ceng, tatkala
mana biarpun dia disurüh tínggal terus di Tayli juga dia tidak kerasan lagi.
Cuma saja dia harus terus menjabatnya entah untuk setengah bulan atau sepuluh
hari, pendek kata dia harus menjabat dulu untuk kemudian baru dia digulingkan,
Kalau tidak, tentu Toan Yan-khing tak mau.”
Toan Yan-khing mau atau tidak
peduli apa dengan aku?” Dengus Ong-hujin. "Kita tangkap saja dia sesudah
Toan-kongcu diselamatkan lalu binasakan dia, masakah kita mau peduli dia mau
apa tidak?”
"Tapi bibi lupa bahwa
kita belum lagi dapat menangkap Toan Yan-khing,” kata Buyung Hok, untuk hal ini
masih sangat jauh untuk dibicarakan.”
"Tapi di mana dia berada
sekarang tentu kau tahu,” kata ong-hujin. "Keponakanku yang baik, bibimü
cukup kenal watakmu. Dengan membantu urusanku ini sebenarnya balas jasa apa
yang kau harapkan? Untuk itu
sebaiknya kita bicara di muka
sacara blak-blakan saja."
"Kita adalah pamili
sedarah-daging, untuk sedikit urusan bibi ini masakah Tit-ji berani
mengharapkan sesuatu balas jasa?" ujar Buyung Hok. "Pendek kata
Tit-ji akan bertindak sekuat tenaga bibi dan tidak mengharapkan sesuatu balas
jasa apa-apa."
Ong-hujin tertegun sejenak
sambil melirik pemuda itu. Ia kenal watak Buyung Hok mirip ayahnya yang cerdik
dan licik, selamanya hanya mau untung dan tidak mau dirugikan, maka mustahil
kalau sekarang pemuda ini akan membantunya dengan Cuma-cuma. Segera ia berkata,
"Baiklah, jika kamu tidak mau bicara terus terang sekarang, kelak kalau
kau minta sesuatu padaku, maka jangan kau menyesal aku tak bias memenuhi
permintaanmu.”
"Sekali Tit-ji bilang
tidak menginginkan balas jasa, maka pasti tidak.” Sahut Buyung Hok dengan
tertawa. "Andaikan kelak urusan sudah selesai dan bibi merasa senang untuk
memberi persen bebarapa ribu tahil emas atau menghadiahkan baberapa jilid kitab
pusaka ilmu silat, untuk itu saja Tit-ji mungkin sudah merasa puas.”
Ong-hujin menjadi ragu
menhadäpi síkap Buyung Hok ini, ia tidak tahu apa yang dirancang pemuda itu di
balìk mulutnya yang manis itu? Tapi selantas berkata. "Baiklah coba
uraikan cara bagaimana kita harus menangkap Toan Yan-khing dan cara bagaimana
menolong si dia?"
"Langkah pertama bukankah
kita harus memancing Toan Yan-khing datang kerümah papan di lautan rumput itu
dengan membawa serta Tin-lam-ong?”
"Benar, dan dengan cara
bagaimana dapat kau pancing Toan Yan-khing ke situ?"
"¡ni soal gampang,"
ujar Büyung Hok. "Toan Yan-khing ingin menjadi raja Tayli, untuk itu día
harus melakukan dua hal Pertama menawan Toan Cing sun dan memaksanya
memindahkan hak tahta kepadanya. Kedua, Toan Ki akan dibunuhnya agar Toan
Cing-sun tidak punya keturunan. Dengan sesuatu benda milik Toan Ki dapat kita
perlihatkan kepada Toan Cing sun dan día tentu ingin menolong putra
kesayangannya, dengan demikian Toan Yan khing tentu juga akan ikut menyusul
kemari. Maka bocah she Toan yang bibi tangkap sekarang iní tídaklah keliru dan
besar manfaatnya untuk dipakai sebagal umpan."
"Ehm, boleh juga akalmu
ini," kata Ong-hujin.
"Ya, bahkan Tit-jí akan
berusaha sedapat mungkin untük melaksanakan perangkap kita ini supaya bibi akan
lebih senang." sahut Buyung Hok dengan tertawa. "Eh, bibi, boleh kau
süruh bawa keluar bocah she Toan itu."
"Dia belum sadar
tersengat tawonku itu, paling sedikit harus tiga harí lagi baru dapat
sadar." Kata Ong-hüjin. "Bocah itu berada di kamar sebelah, kalau
tidak pingsan, tentu pembicaraan kita ini akan didengar olehnya, Sekarang aku
ingin tanya sesuatu lagi padamu. Meski ... meski Tin Lam-ong itu orang tidak
punya perasaan, tapi dia terhitung seorang gagah ksatria masakah Toan Yan-khing
mampu memaksa dia menyerahkan tahtanya? Jangan-jangan Toan Yan-khing
menggunakan kekurangan dan menyiksanya?”
Sampai di sini tertampak
sekali betapa perhatiannya terhadap keselamatan Toan Cing sun.
Buyung Hok menghela napas,
sahutnya, "Bibi, hal ini lebih baik jangan ditanyakan saja, kalau Tit-jii
katakan terus terang tentu akan membikin bibi marah."
"Lekas katakan, lekas,
perlu berlagak,” desak Ong-hujin.
"Sepertí kukatakan tadi
bahwa orang she Toan itu tidak punya perasaan hal ini rupanya memang tidak
salah," ujar Buyung Hok dengan gegerutun. "Padahal wanita cántik
sebagai bibi biarpun dia sengaja mencarí ke seluruh pelosok dunía juga sukar
didapatkan. Sungguh harus diakui, entah rejeki apa yang telah menimpa orang she
Toan itu sehingga dia dapat memperoleh simpati bibi. Dan seharusnya dia nanti
merasa puas dan setia kepada bibi, siapa tahu ... siapa tahu, di ... di dunia,
ini ternyata ada manusia sebodoh dia itu, bidadari dia tidak mau, dia justru
mencari bini betina dalam lumpur .... "
"Apa? Kau ... kau
maksudkan dia ... dia main gila lagi dengan .... dengan wanita lain? Siapa
perempuan itu?"
"Ah, perampuan hina-dina
begitu masakah ada harganya untuk dísebut-sebüt? Biarpun dia dijadikan budak
bibi juga tídak sesuai buat apa bibi mesti marah pada orang seperti ítu
sehingga menurunkan harga diri bibi sendiri?”
Tapi Ong-hujin tambah gusar ia
menggebrak meja sehingga gedubrukan suaranya, serunya dengan suara melengking,
"Kurangajar! Dia .... dia meninggalkan aku dan pulang ke Tayli untuk
menjadi pangeran, hal ini aku tidak menyesal, dia sudah punya istri aku pun
tidak menyalakan dia, habis perkenalanku dengan dia terjadi sesudah dia
menikah. Akan tetapi sekarang kau bilang dia .... dia main gila lagi dengan
perempuan lain. Nah siapa, .. siapa perempuan itu, siapa? Lekas katakan?”
Mendengar Ong-hujin sedemikìan
murkanya, mau-tak-mau Toan Kí merasa berdebar-debar juga. Sungguh tak terduga
olehnya bahwa Giok-yan yang lemah-lembut dan halus budi itu ternyata mempunyai
ibu yang begitu galak. Sungguh luar biasa pula bahwa ayah dapat
berkasih-kasihan dengan nyonya lihai ini.
Jilid 83
Tapi lantas terpikir pula olehnya.
"Namun semua bekas kekasih ayah memang mempunyai perangai yang aneh dan
berbeda-beda. Cin Ang-bian punya putri (Bok Wan-jing) yang suka membunuh,
sedang Wi Sing-tiok melahirkan putri nakal sebagai A Ci, maka dapat diduga
sifat Wi Sing-tiok juga tak berbeda jauh dengan putrinya itu. Umpama ibu, dia
tidak mau tinggal bersama dengan ayah dan sengaja hidup menjadi Nikoh di tempat
terasing, sampai bujukan paman baginda tak dihiraukan olehnya, sebabnya mungkin
adalah karena perbuatan ayah yang bangor, di mana-mana ada kekasih. Sungguh,
urusan asmara adalah sesuatu yang sukar diselesaikan.”
Dalam pada itu terdengar
Buyung Hok sedang berkata, "Sudahlah, buat apa bibi masih marah-marah?
Silakan tenang dan mengaso, Biarlah Tit-ji menceritakan dengan perlahan."
"Tidak kau ceritakan juga
aku dapat menerka.” sahut Ong-hujin. "Tentu Toan Yan-khing itu telah
berhasil membekuk seseorang gendak manusia she Toan itu dan memaksa dia harus
menyerahkan tahta padanya, kalau syarat ini tidak dipenuhi, maka perempuan hina
itu akan dibunuh betul tidak? Hm, watak orang she Toan yang busuk itu masakah
aku tidak kenal? Jika dipaksa, sekalipun lehernya diancam dengan golok juga tak
mungkin dia mau menyerah. Akan tetapi bila perempuan yang dia sukai terancam
sedikit saja, maka apa pun dia akan menurut. Hm, apalagi perempuan hina-dina
itu sangat cantik? Dengan cara apa siluman itu dapat memikat manusia she Toan
itu? Lekas katakan, siapa perempuan hina-dina itu?"
"Katakan sih boleh saja,
Cuma bibi sendiri hendaknya jangan marah, sebab perempuan hina-dina itu tidak
hanya seorang saja.”
"Hah, tidak hanya
seorang, apakah ada dua orang?" teriak Ong-hujin dengan murka sambil
mengebrak meja.
Buyung Hok menggeleng-geleng
kepala sambil menghela napas, sahutnya kemudian, "Ya, bahkän tidak cuma
dua orang saja!”
"Hah? Lebih dari dua
malah?” teriak Ong-hujin semakin gusar. "Jadi' dalam perjalanan juga dia
main gila dengan perempuan sebanyak itu, satu tídak cukup, bahkan ada lagi yang
kedüa dan ketiga?”
"Bahkan lebih dari tiga,”
sahut Buyung Hok dengan geleng-geleng kepala. "saat itu seluruhnya ada
empat orang perempuan yang mendampingi dia. Tapi buat apa bibi mesti marah?
Nanti bila dia sudah naik tahta, soal istri muda atau selir toh sudah jamak
baginya. Biarpun kerajaan Tayli tidak sebesar Song atau Lian, dalam istananya
andaikan tiada 3000 selir cantik, 300 rasanya tentu ada.”
"Cis! Sebab itulah aku
keberatan kalau dia menjadi raja, tiada seorang raja di dunia ini manusia
baik-baik.” teriak Ong-hujin. "Nah, lekas katakan, siapakah keempat perempuan
yang mendampingi dia itu?”
Toan Ki juga terheran-heran
mendengar keterangan Buyung Hok itu, ia hanya tahu ayahnya didampingi Cin
Ang-bian dan Wi Sing-tiok berdua mengapa mendadak bisa bertambah dengan dua
wanita lain lagi?
Dalam pada itu terdengar
Buyung Hok sedang menjawab, "Keempat perempuan itu seorang she Cin,
seorang lagi she Wi dan ... "
"Hm, jadi kedua ekor
siluman rase itu mengoda dia lagi," jengek Ong-hujin.
"Dan seorang lagi adalah
wanita yang sudah bersuami, kudengar mereka menyebutnya sebagai Ciong hujin,
agaknya nyonya itu sedang mencari-cari seorang putrinya,” demikian tutur Buyung
Hok. "Tampaknya Cionghujin itu cukup sopan, sedikitpun dia tidak memberi
hati kepada Tin-lam-ong, sebaliknya Tin-lam-ong juga menghadapinya dengan menurut
aturan."
"Huh, pura-pura, main
sandiwara belaka,” jengek Ong-hujin, "Jika betul sopan, seharusnya dia
meninggalkan dia, kenapa sekarang dia bersáma dia? Lalu siapa lagi perempuan
yang keempat?”
"Yang keempat itu
bukanlah wanita hina," ujar Buyung Hok, "Dia adalah istri kawin sah
Tin-lam-ong sendiri."
Serentak Toan Ki dan Ong-hujin
sama-sama terkejut. Yang seorang heran mengapa ibunya mendadak juga datang,
sedang yang lain tidak menduga kalau Tin lam-ong bisa membawa serta istrinya
dalam perjalanan itu?
"Apakah bibi merasa
heran?" Tanya Buyung Hok dengan tertawa. "Padahal kalau bibi mau
berpikir secara mendalam, tentu sedikitpun tidak terasa heran. Maklum, sudah
lebih setahun Tin-lam-ong meninggalkan Tayli, sedangkan di Tionggoan terkenal
banyak wanita yang cantik-cantik, ada wanita secantik bidadari sebagai bibi,
ada lagi wanita genit sebagai Wi Sing-tiok, sudah tentu permaisuri Tin-lam-ong
merasa kuatir dan cepat-cepat menyusul suaminya."
"Cis, masakah kau
jajarkan diriku dengan kawanan perempuan hina-dina itu?" semprot
Ong-hujin. "Dan bagaimana dengan keempat perempuan itu apa sekarang masih
menggerombol menjadi sate?”
"Jangan kuatir bibi,”
ujar Buyung Hok dengan tertawa. "Ketika sampai di Siang líong-tíok, di
situlah Tin-lam-
ong kalah habis-habisan,
sekaligus mereka kena diciduk oleh Toan Yan-khing. Seluruhnya, baik lelaki mau
pun wanitanya, semua kena ditutuk dan tertawan. Waktu itu Toan Yan-khing sedang
mencurahkan perhatiannya untuk menghadapi rombongan Tin-lam-ong sehingga sama
sekali tidak mengira kejadian itu dapat kusaksikan dengan baik. Cepat saja
Tit-ji kaburkan kudaku dan mendahului mereka, kutaksir sedikitnya telah
kutinggalkan mereka sejauh 200 li jauhnya, mungkin dua hari lagi baru mereka
akan sampai di sini. Nah, bibi, urusan tidak boleh ayal lagi, kita harus lekas
mengatur kawanan tawon dan obat bius itu, berbareng kita mengirim orang pergi
memancing Toan Yan-khing ke sini .... "
Belum habis ucapannya,
tiba-tiba dari jauh terdengar kumandang suara seorang yang tajam melengking,
"Sudah sejak tadi aku datang kemari, maka tidak perlu kau pancing lagi,
hanya kawanan tawon dan obat bius itu perlu lekas kalian mengaturnya."
Dari lengking suara itu dapat
ditaksir orangnya tentu masih beberapa ratus meter jaühnya di sana, tapi bagi
pendengaran Ong-hujin dan Buyung Hok suara itu terasa berada di tepi telinga
mereka. Air muka kedua orang berubah seketika. Dalam pada itu di luar lantas
terdengar suara bentakan Pau Put-tong dan Hong Po-ok yang sedang menerjang ke
arah suara tadi.
"Awas. kepandaian orang
ini sangat hebat. Jangan memandang enteng!" serta Buyung Hok sambil
memburu keluar pintu.
Di bawah cahaya bulan
tertampak bayangan hijau berkelebat, menyusul sesosok bayangan kelabu dan sesosok
bayangan kuning telah menerjang maju, Itulah Ting Pek-jwan dan Kongya Kian yang
ikut mengerebut dari kanan dan kiri.
Bayangan hijau itu memang
betul adalah Toan Yan-khing, dengan tongkat kiri menyanggah tanah, segera
tongkat kanan digunakan menutuk Ting Pek-jwan dan Kongya Kian, hanya dalam
sekejap saja ia sudah melancarkan tujuh atau delapan kali serangan mematikan.
Sekuatnya Pek-jwan masih dapat bertahan, tapi Kongya Kian tidak sanggup melawan
sehingga terdesak mundur beberapa langkah. Dalam jeda itu Pau Puttong dan Hong
Po-ok yang mendahului menerjang tadi juga telah putar balik, Toan Yan-khing
lantas terkepung di tengah.
Tapi dengan satu lawan empat
kelihatan Toan Yan-khing masih lebih unggul. Buyung Hok tahu orang itu sangat
tangguh, cepat ia berbisik kepada Ong-hujin, "Bibi, tolong pinjam dulu
pedangmu."
Segera Ong hujin melolos
pedangnya dan berpesan, "Hati-hatilah!"
Semangat Buyung Hok terbangkit
karena memegang senjata itu, Ia tahu pedang itu adalah pedang mestika yang
dapat memotong besi bagai memotong sayur. Sekali bergerak, pedang menyambar,
segera ia melompat maju dan menusuk ke arah Toan Yan-khing.
Yan-khing tak berani mengadu
tongkatnya dengan pedang lawan, tubuhnya menggeser cepat ke sana-sini dan
berulang melancarkan serangan berbahaya. Dia dikeroyok lima, Buyung Hok adalah
tokoh kelas wahid pula, tapi sungguh aneh, sama sekali ia tidak bertahan atas
serangan lawan, sebaliknya tongkatnya berputar dengan cepat dan selalu
mendahului menyerang malah sehingga terpaksa Buyung Hok harus menarik kembali
senjatanya untuk menangkis dan dengan sendirinya tak sampai melancatkan
serangan balasan lagi.
Ilmu silat Ong-hujin tidak
terlalu tinggi, hanya pengalamannya banyak dan pengetahuannya luas, pengetahuan
ilmu silatnya (secara teori) bahkan lebih tinggi daripada putrinya, yaitu
Giok-yan, Sekarang dilihatnya kungfu yang digunakan Toan Yan-khing ini adalah
kapandaian dari keluarga Toan dari Tayli ia menjadi kuatir dan risau pula
hatinya.
Hendaklah maklum bahwa dahulu
waktu Ong-hujin sedang berpacaran dengan Toan Cing-sun selain mereka telah
berjanji setia, dengan sendirinya mereka pun bertukar pikiran tentang ilmu
silat dan Toan Cing-sun pernah mempertunjukkan it-yang ci dan kepandaian
keluarga Toan yang lain.
Sekarang dilihatnya Ilmu silat
keluarga Toan itu dimainkan oleh Toan Yan-khing secara hebat, gerakannya mirip
dengan kekasihnya dahulu, tidak salah kalau Ong-hujin menjadi risau terkenang
pada masa lalu.
Tiba-tiba teringat olehnya
Toan Cing sun telah ditawan orang ini, mungkin bekas kekasih itu pun berada di
sekitar sini. Sekarang orang jahat itu sedang dikerubut Buyung Hok dan
kawan-kawannya, mengapa kesempatan ini tak kugunakan untuk menolong Toan-long?
Demikianlah diam-diam
Ong-hujin lantas hendak keluar dan mencari ke sekitar sana. Tapi baru saja
melangkah, sekonyong-konyong terdengar Hong Po-ok menjerit, di tengah kalangan
pertempuran sudah berubah. Hong Po-ok kelihatan mengeletak di tanah, tongkat
kiri Toan Yan-khing selalu menyambar kian kemari pada badan lawan dalam jarak
belasan senti, tapi serangan yang mematikan tidak lantas dilancarkan. Sedang
Buyung Hok, Ting Pek-jwan dan lain-lain telah menghujami serangan pada Toan
Yan-khing, namun semuanya kena ditangkis oleh tongkat kanan Yan-khing.
Keadaan begitu jelas
menunjukkan bahwa Toan Yan Khing sebenarnya dapat mencabut nyawa Hong Po-ok
dengan gampang, Cuma saja untuk sementara dia belum mau turun tangan jahat.
Rupanya lantaran itu Buyung
Hok mendadak melompat mundur dan berteriak, "Berhenti dulu!”
Maka cepat Ting Pak-jwan,
kongya Kian dan PAu Put-tong juga lantas melompat mundur.
"Terima kasih atas
kemurahan hatimu, Toan Siangsing,” kata Buyung Hok. "Memangnya kita tiada
permusuhan apa-apa, sejak kini orang Buyung dari Koh-soh mengaku kalah padamu.”
Belum lagi Yan-khing menjawab,
sekonyong-konyong Hong Po-ok berteriak, "Kongcuya, orang she Hong tidak
becus, apa artinya selembar jiwaku ini, hendaklah Kongcuya jangan sekali-kali
mengaku kalah hanya lantaran diriku!"
Yan-khing tertawa,
kerongkongannya mengeluarkan suara "Krok-krok” bagai ayam keselek,
katanya, "Orang she Hong sungguh seorang ksatria tulen.”
Berbareng ia tarik kembali
tongkatnya yang mengancam di atas badan Hong Po-ok yang masìh menggeletak di
tanah itu.
Mendadak Po-ok melompat
bangun, sinar golok berkelebat, kontan ia membacok pula ke atas kepala Toan
Yan-khing sambil berteriak, "Rasakan pula golokku ini!"
Ketika Toan Yan-khing
mengangkat tongkatnya ke atas, seketika Po-ok merasa tangannya seperti tergetar
oleh sesuatu tenaga maha dahsyat dan tak tertahan lagi. goloknya terlepas dari
cekalan menyusul pinggangnya, juga kesakitan, tiba-tiba tongkat lawan sudah
menyabet pinggangnya, kontan tubuhnya terlempar.
"Kungfu Toan-sìansing
sungguh maha sakti, sungguh aku sangat kagum." demikian kata Buyung Hok.
"Marilah dari lawan kita menjadi kawan, bagaimana kalau aku mengikat
persahabatan dengan Toan-siansing?"
"Baru saja kamu sedang
bicara tentang mengatur kawanan tawon dan hendak membikin celaka padaku,
sekarang kalian tak sanggup melawan aku, lantas kamu hendak main tipu muslihat
apa?" jawab Toan Yankhing.
"Soalnya bila kita berdua
bergabung akan berguna, kalau bermusuhan tentu akan sama-sama celaka,” ujar
Buyung Hok. "Yan-khing Thaicu, engkau adalah ahliwaris yang sebenarnya
dari kerajaan Tayli. tahtamu telah dirampas orang, mengapa engkau tidak mencari
akal untuk merebutnya kembali?”
"Itu adalah urusanku
sendiri, apa sangkut pautnya denganmu?" sahut Yan-khing dengan melirik
hina.
"Jika engkau ingin naik
tahta untuk menjadi raja Tayli, engkau perlu mendapat bantuanku." ujar
Buyung Hok.
"Huh, aku justru tidak
percaya kamu akan membantu diriku. Bisa jadi kau ingin sekali tebas
membinasakan aku."
"Tidak, aku ingin
membantumu menduduki kembali tahtamu adalah karena kepentinganku pula,"
ujar Buyung Hok. "Pertama, aku sangat benci pada bocah bernama Toan Ki
itu, dia telah membikin malu padaku di Siau-sitsan sehingga hampir aku bunuh
diri, nama keluarga Buyung kami telah dijatuhkan olehnya, sebab itulah aku
ingin membantumu merebut kembali tahtamu sekedar melampiaskan dendamku padanya.
Kedua, sesudah engkau menjadi raja Tayli, aku pun ada urusan lain yang
mengharapkan bantuanmu!"
Walaupun Toan Yan-khing tahu
Buyung Hok sangat licin dan banyak akal, tentu tiada maksud baik terhadapnya.
Tapi demi mendengar uraian Buyung Hok itu, mau-tak-mau ia menjadi tertarik.
Ketika di Siau-sit san tempo hari Yan-khing sendiri menyaksikan Buyung Hok
dikalahkan Toan Ki dan hampir-hampir saja membunuh diri. Bila teringat kepada
kelihaian Toan Ki itu diam-diam ia pun merasa bukan tandingan Lakmeh-sin-kiam
yang dimiliki Toan Ki itu. walaupun sekarang Toan Cing-sun sudah tertawan
olehnya, tapi ia pun tidak yakin semua itu akan dapat digertak dengan ancaman
atas jiwa ayahnya.
Karena itulah ia lantas
bertanya, "Tapi kamu kan tak dapat melawan si Toan Ki, lantas dengan cara
bägaimana kamu dapat mengatasi dia?"
Maka buyung Hok menjadi merah
jengah, sahutnya kemudian. "Kalau tak bisa melawan dengan kekerasan harus
dihadapi dengan akal. Pendek kata soal Toan Ki itu akulah yang bertanggung
Jawab untuk menangkapnya dan diserahkan kepadamu dan boleh ditindak
sehendakmu."
Yan-khing menjadi girang. Memang
yang masih dikuatirkan olehnya adalah kepandaian Toan Ki yang sakti itu, kalau
sekarang Buyung Hok menyatakan sanggup menangkapnya, hal ini berarti akan
berkurang suatu ancaman baginya. Tapi segera terpikir olehnya jangan-Jangan
Buyung Hok cuma omong besar saja dan sengaja hendak menipunya, untuk ini perlu
waspada, Maka katanya pula, "Kamu menyatakan sanggup menangkap Toan Ki,
siapa tahu kamu tidak omong kosong belaka, yang penting harus buktikan lebih
dulu."
Buyung Hok tersenyum,
sahutnya, "Ong-hujin ini adalah bibiku, saat ini si bocah Toan Ki sudah
tertawan oleh bibi, maka belíau justru lägi merencanakan untuk menukar bocah
itu dengan orang tawananmu. Inilah sebenarnya maksud tujuan kami hendak
memancing kedatanganmu ke sini.”
Dalam pada itu Ong-hujin telah
menyingkir belasan meter dari tempat bicara kedua orang itu, Ía sedang
celingukan kian kemari untuk mencari Toan Cing Sun. Ketika lamat-lamat
mendengar pembicaraan Buyung Hok itu, cepat ia putar balik.
Segera Toan Yan-Khing
membungkuk tubuh sebagai hormat, katanya dengan suara dalam kerongkongan,
"Terimalah hormatku ini.
Entah siapakah gerangan yang Ong-hujin ingin tukar?"
Air muka Ong-hujin menjadi
merah. Siang malam yang selalu terkenang olehnya adalah Toan Cing-sun seorang,
tapi sebagai seorang janda sudah tentu tidak pantas dia mengutarakan
perasaannya itu kepada orang luar. Sebab itulah ia menjadi gelagapan dan tak
bisa menjawab.
"Toan Cing sun, ayah si
bocah Toan Ki itu dahulu pernah menyakiti hati bibiku, permusuhan mereka boleh
dikatakan sedalam lautan," tutur Buyung Hok. "Sebab itulah bibi ingin
janjimu, kelak bila sudah kau terima kembali tahta kerajaan Tayli, segera harus
kau serahkan Toan Cing-sun itu kepada bibi, dan untuk selanjutnya apakah Toan
Cing-sun itu akan dibunuh atau dibakar biar terserah pada bibi."
Toan Yan-khing mengakak-tawa,
pikirnya, "Sesudah Toan Cing-sun menyerahkan tahta padaku, memangnya
segera akan kuhukum mati dia, jika kau mau mewakilkan aku membinasakan dia,
sudah tentu kebetulan bagiku."
Tapi ia pun cukup cerdik, ia
merasa urusan ini jadinya terlalu mudah, jangän-jangan di dalamnya tersembünyi
tipu muslihat lain. Segera ia tanya pula, "Buyung-kongcu, kau biläng akan
minta bantuanku bila aku sudah naik tahta, Untuk itu aku sendiri tidak tahu
apakah mampu membantu atau tidak,maka lebih baik sekarang juga kita bicara di
muka supaya kelak tidak menyesal jika aku tak dapat memberi bantuan."
Buyung Hok tertawa, sahutnya,
"Dengan ucapan Toan-siansing ini, sekarang aku menjadi lebih percaya lagi
padamu. Karena kita harus tetapkan jual-beli ini. maka urutan pribadi ini jadi
tidak perlu kututupi lagi. Harap maklum bahwa keluarga Buyung kami adalah
keturunan raja Yan masa dahulu, turun temurun leluhur kami telah meninggalkan pesan
agar berusaha memulihkan kembali kerajaan Yan yang Jaya. Tapi kekuatanku
sendiri terlalu lemah dan susah mengsukseskan pesan leluhur itu. Maka bila
nanti Pangeran sudah naik tahta menjadi raja Tayli, ingin kumohon bantuan
kerajaan Tayli sebagai modal pembangunan kembali kerajaan Yan."
Bahwasanya Buyung Hok adalah
keturunan raja Yan, hal ini dìam-diam sudah menimbulkan curiga Toan Yankhing
ketika menyaksikan Buyung Bok mencegah Buyung Hok bunuh diri di Siau-sit-san
tempo harì. Sekarang rahasia besar pribadinya diceritakan sendiri pula oleh
Buyung Hok, hal ini menandakan maksud tujuannya benar-benar sangat tulus. Maka
pikir Yan khing, "Dia ingin membangun kembali kerajaan Yan, untuk itu dia
tentu sekaligus akan bermusuhan dengan kerajaan Song dan Liau yang besar,
padahal kerajaan Tayli kami sangat kecil dan lemah, untuk menjaga diri saja
tidak kuat, apalagi memusuhi negara-negara besar tersebut. Pula aku belum
mendapat dukungan rakyat seluruhnya bila naik tahta, mana boleh aku
menjangkitkan peperangan pula. Ya, biarlah sekarang aku pura-pura menyanggupi
dia, kelak jika ada kesempatan yang baik akan kubunuhnya saja."
Dengan pikiran demikian, lalu
sahutnya, "Negeri Tayli sangat kecil dan miskin, bantuan yang dapat
diberikan rasanya tidaklah seberapa. Semoga kelak usahamu akan berhasil dan
kerajaan Tayli dan kerajaan Yan akan selalu terikat menjadi negeri saudara atau
negara keluarga.”
Segera Buyung Hok memberi
sambah hormat. "Jika Buyung HoK dapat membangun kembali kerajaan leluhur,
maka turun temurun kerajaan Yan akan menjadi negeri di bawah perlindungan
kerajaan Tayli dan sekali-kali takkan lupa kepada budi kebaikan Sri
Baginda."
Girang Toan Yan-khing tak
terkatakan mendengar dirinya disebut sebagai "Sri Baginda", Apalagi
nada Buyung Hok itu diucapkan dengan penuh haru dan terima kasih, cepat ia
membangunkan dan berkata, "Buyung-kongcu tidak perlu banyak adat. Sekarang
si bocah Toan Ki itu entah berada di mana?"
"Dan di mana Toan
Cing-sun itu?” demikian Ong-hujin menyela sebelum Buyung Hok menjawab.
"Harap Sri Baginda sudi
mengaso dulu di tempat kediaman bibi tentang Toan Ki itu dengan segera tentu
akan diserahkan," ujar Buyung Hok.
"Baiklah jika
begitu," kata Yan khing dan mendadak dari perutnya mengeluarkan suara
suitan tajam melengking.
Ong-hujin sampai kaget. Tapi
lantas terdengar dari jauh ada suara derapan kuda lari dan gemertak roda yang
riuh, satu iring-iringan kereta-kereta keledai sedang mendatangi. Sejenak
kemudian dapatlah terlihat dengan jelas iring-iringan itu terdiri dua
penunggang kuda yang mengawal dua kereta keledai besar.
Sesudah dekat, dengan
serta-marta Ong-hujin memburu maju, ia menyelinap lewat di sebelah kedua
penunggang kuda itu dan segera hendak menyingkap tirai kereta untuk memeriksa
isi kereta itu.
Tapi mendadak di depannya
mengadang seorang yang bermulut besar dan bermata kecil, kupingnya lebar kepala
gundul. Orang aneh ini membentak, "Kau mau apa?”
Ong-hujin terkejut dan cepat
melompat mundur. Baru sekarang dia dapat melihat jelas si muka buruk itu
berpaju pendek warna kuning tua, tangan memegang cambuk, agaknya dia si kusir
kereta.
Tiba-tiba Yan-khing berseru,
"Samte, ini Ong-hujin, mari kita mengaso dulu di tempat kediamannya, para
tamu dalam kereta itu pun dibawa sekalian!”
Kiranya kusir itu adalah
Lam-hai-gok-sin.
Waktu tirai kereta terbuka,
maka turunlah seorang penumpang dengan langkah sempoyongan. Seketika perasaan
Ong-hujin menjadi pedih, air mata berlinang-linang. Ia lihat penumpang kereta
yang turun itu bermuka pucat, rambut di kedua pelipisnya agak ubanan, siapa
lagi dia kalau bukan Toan Cíng-sun, kekasih yang dirindukannya siang dan malam
selama ini?
Watak Ong-hujin memang tidak
sabaran, sebenarnya ia tak bisa menunggu lagi dan segera memburu maju dan
menyapa. "Toan .. Toan ... baik-baikkah kau?”
Ketika mendengar suaranya.
Toan Cing-sun terkejut, waktu dia menoleh dan melihat Ong-hujin serentak air
mukanya berubah pucat.
Kiranya Toan Cing-sun adalah
orang berdosa, di mana-mana ia banyak utang asmara karena kelakuannya yang
bangor itu. Dan di antara "kreditor" sebanyak itu hanya Ong-hujin
yang paling dia takuti. Kalau Cin Ang-bian, Wi Sing-tiok dan lain-lain
paling-paling cuma aleman saja dan minta selalu didampingi Cing-sun, dan
puaslah sudah. Tetapi Ong hujin ini justru selalu mendesak Cing-sun membunuh
istrinya yang sah untuk kemudian mengawini dia. Sudah tentu permintaan demikian
tak mungkin dilakukan oleh Cing-sun.
Dengan sendírinya percekcokan
itu lantas meruncing, terpaksa Cing-sun ambil langkah seribu alias kabur tanpa
pamit. Sungguh tak terduga olehnya bahwa dalam keadaan runyam menjadi tawanan
seperti sekarang ini justru kepergok lagi dengan bekas kekasih yang disegani
ítu.
Walaupun Cing-sun suka main
cinta dan tidak murni mencintai setiap kekasihnya, tapi selalu ia menghadapi
setiap kekasíh itu dengan hati tulüs. Maka begitu melihat Ong-hujin, sekilas ia
terperanjat dan segera ia pun memikirkan dulu kepentingan Ong-hujin, cepat ia
berseru, "A Mong, lekas lari, tua bangka berjubah hijaü adalah seorang
maha durjana, jangan sampai kaupun tertangkap olehnya!”
Sebareng itu ia terus
mengadang di tengah antara Ong-hujin dan Toan Yan-khing sambil mendesak lagi,
"Lekas lari, lekas A Mong!"
Padahal Cing sun sendiri sudah
tertutuk oleh Toan Yan-khing, untuk berjalan saja sukar, dari mana dia mampu
membela keselamatan Ong Hujin.
Namun sekali ia memanggil
"A Mong”, yaitu nama kecil Ong-Hujin, hal ini menandakan betapa
perhatiaanya kepada bekas kekasih itu dan nadanya juga benar-benar timbul dari
hatinya yang tulus, maka buyarlah seketika rasa dendam dan benci yang dikandung
Ong hujin tadi, hanya saja di hadapán Toan Yan khing dan Buyung Hok betapapun
ia tidak enak memperlihatkan perasaannya, maka ia hanya mendengus saja dan
menjawab, "Huh, keselamatamu sendiri tak terjamin, tidak perlu gubris
utusan orang lain. Dia maha durjana, memangnya
kausendiri maha budiman?"
Habis ini ia lantas berpaling
kepada Yan-khing dan berkata, "Silakan masuk ke dalam rumah, Pangeran!”
Melihat sikap Cing-sun
terhadap Ong-hüjin, diam-diam Yan-khing menduga musuh itu pasti lebih besar
cinta daripada bencinya terhadap nyonya itu. sebaliknya biarpun Ong-hujin ade
sesuatu dendam terhadap Cing-sun rasanya juga lebih banyak cintanya daripada rasa
permusuhannya. Pikirnya, "Terang hubungan kedua orang ini sangat luar
biasa. sekali-kali aku tak boleh masuk perangkap mereka."
Tapi dasar kepandaiannya
tinggi dan nyalinya besar, walaupun dalam hati merasa was-was, namun sedikit
pun ia tidak gentar, dengan angkuh ia lantas masuk ke dalam rumah.
Tempat itu adalah suatu
perkampungan yang segaja diatur oleh Ong-hujin untuk menawan Toan Cing-sun,
dalam pekarangan rumah penuh tertanam bunga kamelia, di bawah sinar bulan
remang-remang tertampak keadaan di situ terawat sangat bersih dan indah.
Melihat cara mengatur tanaman
bunga Kamelia itu tiada ubahnya seperti taman bunga di Koh-soh, di sana
Cing-sun dan Ong-hujin pernah tenggelam di tengah lautan madu asmara, seketika
perasaan Cing-sun menjadi pedih, katanya dengan suara perlahan. "Kiranya
di ... di sini adalah tempat kediamanmu?"
"Hm, jadi kamu masih
ingat?" Jengek Ong-hujin.
"Sudah tentu masih,"
sahut Cing-sun dengan lirih.
Begitulah beramai-ramai semua
orang lantas ikut masuk ke dalam rumah. Lam-hai-gok-sin juga telah menurunkan
semua tawanan yang berada dalam kereta keledai tadi. Pada suatu kereta itu
berisi Su Pek-hong, yaitu istri kawin sah Toan Cing-sun, lalu Ciong-hüjin. Cin
Ang-bian dan Wi Sing-tiok berempat. Kereta lain berisi Hoan Hwa, siáu Tiok sing
dan Tang Su-kui bertiga menteri setia kerajaan Tayli.
Rupanya mereka kena ditutuk
dengan tenaga berat oleh Toan Yan-khing, maka sama sekali tak bias membangkang
diseret dan digusur oleh Lam-hai-gok-sin serta In Tiong-ho, paling-paling
mereka cuma dapat mencaci-maki saja. Sedang kusir kereta tetap tinggal di luar
rumah dan merawat keledai mereka.
Tempo hari, setelah Toan
Cing-sun mengirim Pak Thian-sik dan Cu Tan-sin mengiringi Toan Ki pergi ke Se
He untuk mengikuti sayembara perebutan menantu raja Se He, tidak lama kemudian
ia lantas mendapati pesan Po-
ting-to, yaitu kakak
bagindanya dari Tayli yang memerintahkan dia lekas pulang ke Tayli untuk
menggantikan tahtanya, Po-ting to sendiri sudah ambil keputusan akan menjadi
hwesio di thing-liong-si.
Kerajaan Tayli adalah penganut
agama Budha, maka raja Tayli pada masa terakhir selamanya meninggalkan tahta
untuk menjadi hwesio. Sebab itulah ketika Cing-sun menerima kiriman kakak
bagindanya itu, walaupun merasa berat, tapi juga tidak heran akan pilihan kakak
bagindanya itu. Maka bergegas-gegas ia lantas pulang ke Tayli dengan membawa
serta Ciu Ang-bian dan Wi Sing tiok.
Di tengah jalan mereka
mendapat berita dari para wanita Ling-ciu-kiong yang memperingatkan bahwa di
sepanjang jalan mereka harus hati-hati menghadapi berbagai perangkap yang telah
dipasang oleh musuhnya yang lihai.
Cing-sun coba bertukar pikiran
dengan Hoan Hwa dan lain-lain, mereka sependapat bahwa apa yang dikatakan
"musuh lihai" itu tentu bukan lain daripada Toan Yan-khing. Musuh ini
memang sukar untuk dihadapi, jalan paling baik adalah menghindari saja.
Sebab itulah mereka ganti arah
dan berputar ke timur dulu untuk kemudian baru membelok ke selatan. Ia tídak
tahu bahwa berita itu diperoleh A Pik dari pelayan-pelayan Ong-hujin sehingga
yang diketahuí A Pik kurang lengkap. Perangkap memang beñar ada, tapi sebenarnya
tiada maksud Ong-hujin hendak membikin celaka Cing-sun.
Dan karena pergantían arah
perjalanan Cing-sun itu maka segala apa yang telah direncanakan Ong-hujin itu
menjadi meleset dan menimpa diri Toan Ki. Sebaliknya Cing-sun jadi kepergok dan
ditawan oleh Toan Yankhíng. Dalam pertarungan di pesisir Koa-im-lan, rombongan
Cing-sun kalah habis-habisan, Hoa Hek-liang kena dihantam Lam-hai-gok-sin
hingga kecemplung ke laut, yang lain juga tertutuk dan tertawan oleh Toan
Yan-khing.
Begitulah Buyung Hok lantas
menyuruh Ting Pek-jwan dan kawan-kawannya mangawas-awasi di luar rumäh, ia
sendiri berlagak sebagai tuan rumah untuk mengatur ini dan itu guna melâyani
tetamu.
Ong-hujin sendiri sedang
memperhatikan Su Pek-hong, Cin Ang-bian, Ciong-hujin dan Wi Sing-tiok berempat.
Ia merasa setiap wanita itu mempunyai kegenitan dan kecantikan masing-masing,
walaupun Ong-hujîn merasa dirînya tidak kalah daripada wanita-wanita saingannya
itu, tapi dasarnya memang tinggi hati, maka ia enggan disama-ratakan dengan mereka
yang dianggapnya perempuan hina.
Di sebelah sana demi mengingat
ayah-ibunya datang semua, tapi tertawan oleh musuh, maka di samping merasa
girang Toan Ki juga kuatir pula.
Dalam pada itu terdengar Toan
Yan-khing sedang berkata, "Ong hujin, setelah urusanku selesai dengan
sendirinya Toan Cing-sun akan kuserahkan padamu dan masa-bodoh apa yang hendak
kau perbuat atas dirinya. Sekarang di manakah si bocah Toan Ki itu?”
Ong-hujin tidak menjawab, ia
hanya bertepuk tangan tiga kali, dua pelayan wanita lantas muncul dan menunggu
perintah dengan hormat.
"Bawa si bocah she Toan
itu ke sini?” seru Ong hujin.
Yan-khing duduk di kursi
dengan tangan kiri menahan pundak kanan Toan Cing-sun. Maklum, ia sangat jeri
terhadap Lek-meh-sín-kiam milik Toan Ki, apalagi ia meragukan persengkongkolan
Ong hujin dan Buyung Hok jika Toan Ki mendadak dibebaskan dan menyerang
padanya, tentu urusan bisa runyam, maka ia sengaja mengancam Toan Cing-sua agar
Toan Ki tidak berani sembarangan bertindak.
Tidak lama kemudian, terdengar
suara tindakan orang banyak, empat pelayan muncul dengan menggotong musuh Toan
Ki.
Kaki dan tangan Toan Ki
terikat oleh tali kulit kerbau, mulutnya tersumbat matanya tertutup pula oleh
kain hitam, maka orang lain sukar mengetahui apakah pemuda itu masih hidup atau
sudah mati.
"Anak Ki!" teriak Su
Pok-hong dan segera hendak menubruk maju.
Tapi Ong-hujin mendorongnya
sambil membentak, "Jangan bergerak! Duduklah di tempatmu.”
Karena nyonya Toan Cing-sun
itu tertutuk dan sedang kehilangan tenaganya, maka dorongan itu membuatnya
jatuh kembali di atas kursinya dan tak bias berkutik lagi.
"Bocah ini telah minum
obat bius yang kuberikan, mati sih belum, tapi untuk sementara waktu jelas
pikirannya belum sadar kembali," demikian tutur Ong-hujin. "Nah,
Yan-khing Thaicu, jika perlu boleh kau periksa yang betul, aku kan tidak salah
tangkap orang?"
Yan-khing mengangguk-angguk,
sahutnya, "Ya memang tidak salah."
Rupanya Ong-hujin terlalu
yakin pada kekuatan obat sengatan tawon piaraannya, ia tidak tahu bahwa dalam
tubuh Toan Ki telah penuh tenaga sakti Cu-hap-sin-kang yang ampuh, anak muda
itu hanya kehilangan ingatan sebentar saja dan sejenak kemudian pikiran
sehatnya lantas pulih kembali, soalnya kaki tangan Toan Ki teringkus sehingga
keadaannya mirip orang yang masih belum sadar kembali.
"A Mong, mengapa kau
tangkap anak Ki. Dia kan tidak bersalah padamu?" demikian Cing-sun menegur
dengan tersenyum getir.
Ong-hujin hanya mendengussaja
dan tidak menjawab. Ia tidak mau unjuk perasaan rindunya kepada Toan Cing-sun
di depan orang banyak, tapi ia pun tidak tega mendampratnya dengankata-kata
keji.
Buyung Hok sangat cerdik, ia
kuatir sang bibi terpengaruh oleh rindu-dendamnya sehingga menggagalkan rencana
usahanya, maka cepat ia menyela, "Mengapa bilang dia tidak bersalah
terhadap bibiku? Dia ... dia telah memelet Piau-moaiku yang bernama Giok-yan
dan mencemarkan kesuciannya. Nah, bibi, orang macam begini mati pun tidak cukup
untuk menebus dosanya, buat apa mesti menunggu lagi .... "
Belum habis ucapannya mendadak
Cing-sun dan Ong-hujin menjerit bersama, "Apa katamu? Dia ... dia ....
"
Air muka Cing-sun tampak pucat
pasi, ia berpaling pada Ong-hujin dan bertanya dengan suara lirih, "Apakah
anak perempuan ... dan diberi nama Giok-yan?”
Perangai Ong-hujin mestinya
sangat keras, sejak tadi ia bersabar sedapatnya, tapi sekarang ia benar-benar
tidak tahan lagi, ia menjerit dan menangis, "Semuanya gara-garamu lelaki
yang tidak punya perasaan, engkau telah membikin susah diriku, bahkan sekarang
membikin celaka putri darah-dagingmu sendiri Giok-yan, dia adalah putrimu
sendiri."
Habis ítu, mendadak ia putar ke
samping terüs menendang Toan Ki secara serabutan sambil memaki, "Kamu ini
setan perusak wanita yang melebihi binatang, bajingan tengik yang tak punya
perásaan sampaì-sampai adik perempuanmu sendiri juga kau rusak, sungguh aku ...
aku ingin mencencang binatang cilik ini."
Dan karena jerit tangis dan
makiannya, semua orang yang berada di situ sama tercengang. Su Pek-hiong, Cia
Ang-bian dan lain-lain kenal watak Toan Cing-sun, maka dengan segera mereka
tahu persoalannya, tentu dulu Cing-sun main gila dengan Ong-hujin dan hasilnya
melahirkan seorang putri diberi nama Giok yan.
Begitu pula Toan Yan-khing,
Buyung Hok dan yang lain-lain, sedikit pikir saja segera mereka pun dapat
memahami duduknya perkara. Hanya Lam-hai-gok-sin saja yang melongok heran, Yang
terang baginya adalah orang yang menggeletak di tanah itu adalah Suhunya, maka
cepat ia mendorong pergi Ong-hujin yang masih
mencaci-maki dan menendang
Toan Ki itu sambil membentak, "He, día ini guruku, kau berani menendang
guruku itu berarti seakan-akan menendang aku pula. Kau memaki guruku sebagai
binatang dan bajingan, bukankah aku ikut-ikut menjadi binatang dan bajingan?
Kamu perempuan bawel ini apa minta kukorek hatimu untuk kumakan?”
"Gak-losam, jangan
kurangajar terhadap Ong-hujin!" cepat Yan-khing mencegahnya, "Bocah
she Toan ini adalah manusia yang tidak tahu malu, dengan kata-kata manis
lidahnya yang tidak bertulang itu dia menipumu untuk menyebutnya sebagai Suhu,
maka sekarang kebetulan kau dapat membinasakan día agar kelak kamu tidak dibikin
malu lagi di depan orang kangouw.”
"Tidak,” jawab
Lam-hai-gok-sin dengan geleng kepala. "Dia adalah guruku, hal ini jelas
barang tulen dan harga pas, dia tidak menipu aku, mana boleh kubinasakan guruku
sendiri?”
Sembari berkata ia terus
hendak melepaskan tali kulit yang meringkus Toan Ki itu.
"Gak-losam," seru
Yan-khing pula, "dengarkan nasehatku, jangan sekali-kali menuruti
keinginanmu sendiri, lebih baik keluarkan gunting congor buayamu itu dan
gunting saja buah kepala bocah she Toan ini."
"Tidak, Lotoa! Hari ini
Gak loji tak mau menurut nasehatmu lagi, aku harus menyelamatkan guruku?"
sahut Gak-sin sembari membetot tali kulit sehingga tali yang mengikat tangan
Toan Ki itu terbetot putus seketika.
Karuan Yan-khing kaget. Ia
pikir kalau Toan Ki sampai terlepas dan sekali pemuda itu mengeluarkan
Lak-mehsin-kiam, maka pasti tiada seorang pun sanggup melawannya, jangankan
segala rencana dan usaha akan gagal total bahkan jiwa sendiri pun akan
terancam.
Dalam kuatirnya tanpa pikir
lagi tongkatnya terus menyodok ke depan dengan cepat, yang diarah adalah
punggung Lam-hai-gok-sin, di mana tongkatnya tiba kontan tubuh Lam hai-gok-sin
tertembus.
Ketika mendadak merasa
punggung dan dadanya kesakitan tahu-tahu Lam-hai-gok-sin melihat, ujung
sebàtàng tongkat baja sudah sudah menongol didepan dadánya. Sesaat d¡a menjadi
bingung ia menoleh dan memandang Toan Yan-khing dengan sorot mata penuh tanda
tanya, ia tídak paham mengapa Toan-lotoa mendadak bisa turun tangan keji padanya.
Dasar watak Toan Yan-khing
memang maha jáhat dan buas, dia adalah kepala "Su-tai-ok-jin" atau
singkatnya "Su-ok” dengan sendirinya dia adalah manusia yang paling ganas,
sekali sudah menyerang tentu tidak kenal ampun lagi. Pula día sudah terlalu
jeri terhadap Lak-meh-sin-kiam kemahiran Toan Ki itu, ia kuatir sekali bila
pemuda itu sampai dilepaskan Lam hai-gok-sin, itu berarti maut baginya. Sebab
itülah walaupun sebenarnya
tiada maksudnya hendàk
membunuh begundalnya sendiri, tapi sekali tongkatnya menyodok toh tetap
mengenai tubuh Lam-hai-gok-sin sehingga tembus.
Melihat sorot mata Gok-sin
yang heran dan cemas itu, dalam lubuk hati Toan Yan-khing juga terkilas rasa
menyesal. Namun perasaan itu hanya timbul sekilas saja dan lantas hilang,
segera ia tarik kembali tongkatnya untuk menyusul dipakai menyepak tubuh
Gok-sin sambil membentak, "In-losi, tanamlah mayatnya. Inilah contohnya
bila tidak mau tunduk pada kata-kata Lotoa!"
Lam-hai-gok-sin hanya sempat
menjerit sekali, lalu terguling di tanah, dari lubang dada dan punggungnya
lantas menyembur keluar darah segar bagai mata air, kedua matanya tampak masih
mendelik penasaran.
Segera In Tiong menyeret
keluar jenazah Gok-sin itu. Meskl dia dan Gok sin sama-sama anggota
"Su-ok", tapi biasanya kedua orang tidak akur, pernah beberapa kali
Gak-sin merintangi perbuatannya yang jahat, karena ilmu silatnya kalah tangguh,
terpaksa ia mengalah. Sekarang dilihatnya Gak-sin telah dibunuh oleh Lotoa,
sudah tentu ia merasa senang, dengan hilangnya seteru itu kelak ia dapat
berbuat apa pun tanpa rintangan lagi.
Semua orang pun tahu
Lam-hai-gok-sin adalah begundal Toan Yan-khing yang paling karib, tapi sedikit
tidak cocok segera nyawanya dicabut, betapa kejamnya sungguh tiada taranya.
Keruan semua orang ikut kebat-kebit menyaksikan adegan mengerikan itu.
Sebalíknya Yan-Khing lantas
berkata dengan tertawa dingin, "Siapa yang menurut padaku akan hidup dan
siapa melawan aku pasti mati!”
Habis itu tongkatnya diangkat
pula terus menikam dada Toan Ki yang menggeletak di atas tanah itu.
Tapi tiba-tiba terdengar suara
seorang wanita berkata, "Di luar Thian-liong-si, di bawah pohon Bodi, si
pengemis kuntet, si Kion-Im (Budhasatwa) rambut panjang!”
Ketika mendengar kata-kata
"di luar Thian-liong-si", tongkat baja yang sudah terangkat ke atas
itu lantas terhenti di udara dan tidak jadi ditikamkan. Dan sesudah habis
mendengar ucapan itu seluruhnya, tahu-tahu tongkat Toan Yan-khing bergemetar
dan akhírnya diluruskan kembali dengan pelahan.
Waktu menoleh, bertemulah
pandangannya dengan Su Pek-hong, nyonya Toan Cing-sun. Ia lihat sinar mata si
nyonya seakan-akan penuh kata-kata yang ingin diutarakan padanya. Seketika hati
Yan-khing tergetar, katanya dengan suara gemetar, "Budha Koan .... Koan-im
...."
Tertampak nyonya Toan
mengangguk-angguk dan menjawab dengan suara lirih. "Apa ... apakah kau
tahu siapa anak ini?"
Sedetik itu, pikiran Toan
Yan-khing menjadi pusing, pandangannya merasa kabur, pikirannya kembali kepada
masa 20 tahun yang lalu, pada suatu malam bulan purnama ....
Pada hari itu akhirnya ia
dapat pulang sampai di Tayli dengan susah payah dan tiba di luar
Thian-liong-si. Dalam perjalanan itu di sekitar Ohlam dan kuitang ia kepergok
dan dikerubuti musuh tangguh, walaupun berakhir dengan kemenangan, semua musuh
dapat ditumpasnya, tapi ia sendiri pun menderita luka parah, kedua kakinya
buntung, mukanya rusak, bahkan tenggorokannya terbacok dan hampir putus
sehingga tak bisa bersuara lagi.
Dalam keadaan terluka
sedemikian hebatnya ia tidak mirip manusia lagi, seluruh tubuhnya kotor dengan
luka yang belum sembuh dan berbau busuk, di mana dia datang, disitu dia
dirubung lalat. Tapi dia adalah putra mahkota kerajaan Tayli. Ayahnya terbunuh
dalam pemberontakan dorna, dia berhasil melarikan diri dalam keadaan
kacau-balau itu, akhirnya ia pulang kembali sesudah mahir ilmu silat.
Ia tahu raja Tayli yang
sekarang. Toan Cing-bing, adalah saudara sepupunya, tapi yang berhak menjadí
raja sebenarnya adalah dia sendiri dan bukan Toan Cing-bing. Ia tahu Toan
Cing-bing sangat bijaksana dan cinta rakyat, makanya mendapat dukungan luas di
kalangan masyarakat, kedudükannya yang sudah belasan tahun itu sangat kokoh dan
tak tergoyahkan. Semua pembesar, baik sipil maupun militer juga mendukung
sepenuhnya kepada raja yang sekarang sehingga tiada seoràng pun yang mau
pikirkan lagi putra mahkota yang telah hilang itu.
Dalam keadaan begitú kalau dia
unjuk diri begitu saja di kota Tayli tentu akan membahayakan keselamatannya,
sebab setiap pembesar tentu akan mengambil hati sang baginda, asal raja senang,
tentu dia akan dibunuhnya untuk memperoleh pujian sang raja.
Sebenarnya dia tidak perlu
takut karena ilmu silatnya cükup tinggi, tapi sekarang ia terluka parah, untuk
melawan seorang prajurit biasa saja tidak sanggup.
Begitulah ia merangkak dan
menggeremet, akhirnya ia dapat tampak di luar Thian-liong-si. Harapan
satusatunya baginya adalah ingin mínta keadilan pada Koh-eng Taisu.
Kog-eng Taisu adalah saudara
sekandung ayah bagindanya, jadi terbilang pamannya yang terdekat. Koh-eng juga
terhitung paman Toan Cing-bing. Koh-eng adalah seorang padri saleh, sedang
Thian liong-si adalah suatu tempat perlindungan bagi dinasti kerajaan Tayli,
berbagai raja Taíli bila turun tahta dan menyepi menjadi padri,
yang dituju tentu adalah
Thian-liong-si. Karena tidak berani memperlihatkan dirinya di kota Tayli, Maka
Yankhing ingin menemui Koh-eng dahulu.
Akan tetapi padri penyambut
tamu di Thian-liong-si memberitahükan padanya bahwa Koh-eng Taisu sédang
menyepi, sedang bersemedi dan berpuasa, dan tidak diketahui bilakah selesainya.
Padri itu tanya Toan Yankhing ada urusan apa dan boleh meninggalkan pesan saja
agar nanti dilaporkan kepada Koh-eng.
Terhadap manusia yang tidak
mirip manüsia dan setan tidak memper setan sebagai Toan Yan-khing tatkala itu,
sikap si padri penyambut tamu itu boleh dikata sudah cukup ramah-tamah. Sudah
tentu Toan Yan-khing tidak berani memperkenalkan dirinya, ia memberi jawaban
dengan samar-samar dan lantas mohon diri. Ia merangkak kebawah pohon bodi yang
berada tidak jauh di samping Thian-liong-si dan duduk di situ untuk menunggu
selesainya Koh-eng berpuasa.
Sekarang dia adalah manusia
penyakitan yang paling kotor dan paling hina di dunia ini, padahal dia
sebenarnya adalah putra mahkota kerajaan Tayli yang diagungkan, tahta kerajaan
itu sebenarnya adalah haknya.
Begitulah ia duduk termenung
di kawah pohon bodi itu, ketika sang dewi malam telah menghiasi tengah
cakrawala, tiba-tiba ia lihat seorang wanita berbaju putih mulus muncul dari
balik kabut malam dan pelahan mendekat ke arahnya.
Di tengah semak pohon berkabut
tebal itu terpaksa rambut si wanita baju putih yang panjang terutai menutupi
bahunya. Waktu itu mukanya membelakangi sinar bulan. walaupun remang-remang
tapi Yan-khing tetap terpesona oleh keluwesan dan kecantikannya, ia merasa
wanita itu secantik Budha Kwan-im, ia pikir tentu dewi Koan-im yang turun dari
kayangan untuk menolong calon raja yang sedang menderita ini. Diam-diam ia pun
berdoa semoga dewi Koan-im memberi berkah agar dia bisa kembali pada tahta
kerajaannya, untuk itu kelak ia akan membuatkan patung dewi Koan-im dan
membangun sebuah biara untuk memujanya.
Sementara itu si wanita
pelahan telah mendekat, lalu berputar tubuh ke sebelah sana, Yan-khing hanya
dapat melihatnya dari samping, kelihatan mukanya pucat pasi bagai mayat.
Tiba-tiba terdengar wanita itu bergumam sendiri dengan pelahan, "Aku telah
melayanimu dengan sepenuh jiwa-ragaku, tetapi engkau sama .... sama sekali
tidak menaruh diriku di dalam hatimu. Engkau sudah punya seorang perempuan dan
masih inginkan wanita lain pula. Engkau telah melupakan semua janji setia kita
dahulu. Berkali-kali aku memberi maaf padamu, tapi sekarang aku tidak bias
mengampunimu lagi. Engkau telah berdosa padaku dengan meninggalkan aku dan main
gila dengan orang lain, maka aku pun akan mencari dan main gila dengan orang
lain. Kalian lelaki bangsa Han memandang rendah pada wanita Pai kami,
menganggap kami sebagai hewan yang tak berharga, aku aku ... aku harus membalas
dendam, wanita Pai kami pun takkan menganggap lelaki bangsa Han kalian sebagai
manusia, aku harus balas dendam."
Ia bergumam dengan suara lirih,
tapi nadanya kedengaran penuh rasa benci dan murka.
Diam-Diam Yana-khing membatin,
"Kiranya dia seorang wanita Pai, tentu dia telah dipermainkan oleh lelaki
bangsa Han, maka marah-marah dan dendam."
Hendaklah diketahui bahwa
orang Pai itu adalah salah satu suku bangsa di negeri Tayli, pada umumnya
wanita Pai itu ayu-ayu, cantik-cantik, kulitnya putih melebihi suku bangsa
lain, Cuma kaum lelakinya sangat lemah, jumlah mereka sedikit pula, maka suku
Pai sering terdesak oleh bangsa Han.
Melihat wanita itu pelahan
berlalu di depannya, mendadak Yan-khing berpikir, "Ah, tidak betul.
Walaupun wanita Pai terkenal cantik-cantik, tapi tidak mungkin memiliki tubuh
sebagai dewi kayangan, apalagi baju putih yang dikenakannya itu mirip sutra
yang tipis, wanita Pai tidak mungkin mempunyai pakaian seindah itu. Ya, tentu
dia dewi Koan-im yang turun dari kayangan untuk menolong aku. ke ... kesempatan
baik ini jangan kusia-siakan."
Maklum Yan-khing berada dalam
keadaan menderita dan putus asa, terpaksa ia berharap akan pertolongan malaikat
dewata untuk menyelamatkan dia dari keadaan tersiksa itu. Ia lihat sang dewi
sudah hampir menjauh, sekuat mungkin ia merangkak dan ingin berteriak,
"Tolong Dewi .... "
Tapi dari tenggorokannya
paling-paling cuma keluar suara "krok-krok" bagai suara ayam
mengorok.
Ketika mendengar di bawah
pohon bodi itu ada sesuatu suara, si waníta baju putih lantas menoleh, ia lihat
dì atas tanah situ meringkúk ada sesuatu makluk yang tak mirip manusia dan
tidak seperti setan sedang merangkak-rangkak. Waktu diamat-amati lebih jauh,
akhirnya baru diketahui adalah seorang pengemis yang kotor dan berlepotan darah
kering. Di seluruh badan pengemis dekil ini penuh luka, dari tempat luka-luka
ítu masih mengucurkan darah dan berbau busuk pula.
Samula wanita itu kaget
melihat keadaan Yan-khing dan bermaksud melarikan diri. Tapi perasaan wanita
itu tadi sedang penuh benci dan dendam, dalam keadaan murka tiba-tìba timbul
pikirannya hendak membalas dendam ketidaksetìaan sang suami, yaitu dengan jalan
mencemarkan dìri sendiri, menghina diri sendiri.
Maka demi melihat keadaan
pengemis yang mengerikan itu segera timbul pikirannya, "Kebetulan, aku
íngin mencari seorang yang paling jelek paling kotor dan paling hina didunia
ini kepadanya akan kuserahkan tubuhku ini. Engkau adalah seorang pangeran,
seorang Taiciangbun (Panglima besar), tapi aku justru menyukai seorang pengemis
dekil dan berbau busuk.”
Dia sama sekali tidak mengira
bahwa Toan Yan-khing sebenarnya adalah putra mahkota yang tulen, mukanya
sebenarnya sangat tampan, Cuma saying dia dikerubut musuh sehingga menderita
luk-luka diseantaro tubuhnya.
Begitulah wanita itu tidak
bersuara lagi. Tapi ia pelahan membuka bajunya dan mendekati Yan-khing, tanpa
bicara ia menjatuhkan dirinya kedalam pelukan Yan-khing, kedua tangannya yang
putih sebagai salju terus merangkul leher sang "kekasih" dan ....
"
Jika sang dewi malam di
cakrawala itu punya perasaan tentu dia akan terheran-heran mengapa seorang
nyonya yang cantik lagi agung itu mau menyerahkan tubuhnya yang putih bersih
itu kepada seorang pengemis yang kotor dan berbau busuk itu?
Sampai sekian lama sesudah si
wanita baju putih tinggal pergi Yan-khing masih merasa sepertí di alam mímpi.
Ia tidak tahu apa yang terjadi itu benar-benar atau cuma khayal belaka? Apakah
manusia tulen atau benar-benar dewi Koan-im yang turun dari kayangan?
Tapi hidungnya jelas mengendus
bau harum yang timbul dari badan sang dewi tadi. Waktu ia berpaling, ia lihat
di atas tanah masih jelas terlihat beberapa huruf yang ditulísnya dengan jari
tadi dan berbunyí, "Apakah engkau ini dewi Koan-im berambut panjang?"
Waktu ia menulis demikian
untuk menanyakannya dan sang dewi mengangguk-angguk. Habis itu mendadak
beberapa tetes air jatuh di atas tanah di sebelah tulisan itu. Air itu entah
air matanya atau air wahyu sang dewi Koan-im?
Begitulah dalam keadaan
terluka parah dan putus asa mendadak Yan-khing mendapat wahyu si dewi Koan-im
berbaju putih itu. seketika semangatnya terbangkit, ia yakin belum ditakdirkan
akan tamat riwayatnya, tapi kelak pasti akan kembali kepada kerajaanya, Ia
harus berarti menghadapi kesulitan dan gemblengan hidup yang dideritanya
sekarang.
Dengan pulihnya kepercayaan
atas diri sendiri itu, seketika pandangan Yan-khing menjadi terang, pikiran
yang semula pepat itu menjadi jernih kembali.
Esok paginya ketika diketahui
Koh-Eng belum membuka puàsanya, segera ia berlutut dan menyembah di bawah
pohon, bodi untük menyatakan rasa terima kasihnya atas wahyu sang Budha, ia
potong dua batang kayu bodi dan dipakai sebagai tongkat penyanggah tubuh, lalu
tinggal pergi.
Ia tidak berani, tinggal dalam
wilayah Tayli maka jauh menyepi di pegunungan dearah selatan untuk melatih ilmu
silatnya lebih jauh.
Ilmu silat keluarga Toan dari
Tayli tersohor sangat hebat, maka Yan-khing tidak perlu mencari guru lain,
cukup menyakinkan ilmu silat keluarganya sendiri.
Pada lima tahun pertama
Yan-khing dapat menyembuhkan luka-lukanya dan belajar menggunakan tongkat
sebagai ganti kedua kakinya yang sudah bunting itu. Lalu ia mencurahkan
kekuatan It-yan-ci yang hebat itu pada tongkat yang digunakan sebagai Senjata
pula. Sesudah berlatih lima tahun lagi, kemudian ia mulai mengembara dunia
kangouw, Ía mendatangi musuh-musuhnya, semuanya dibunuhnya habis tanpa kecuali.
Karena perbuatannya yang keji dan kejam luar biasa itu, maka memperoleh gelar
sebagai "Thian-he-te-it-taiok-jín" atau si maha durjana di dunia ini.
Pernah beberapa kali Yan-khing
menyusup pulang ke Tayli dengan maksud memcari kesempatan untuk merebut tahta,
tapi setiap kali ia mendapatkan kenyataan bahwa kedudukan Toan Cing-bing sudah
sangat berakar dan sukar ditumbangkan terpaksa ia mundur teratur.
Paling akhir ini dia mengadu
tanaga dalam dengan Ui-bi-ceng, si padri beralis kuning, dan tampaknya dia
sudah pasti akan menang Eh, siapa tahu mendadak muncul si bocah Toan Ki
sehingga kemenangannya yang sudah di ambang pintu itu berbalik menjadi
kekalahan.
Sekarang Ong-hujin telah
menawan Toan Ki kesempatan ini akan digunakannya untuk membinasakan anak muda
itu dengan tongkatnya dan sekaligus melenyapkan ahli waris satu-satunya Toan
Cing-bing dan Toan Cing-sun itu. Siapa duga mendadak terdengar ucapan "di
luar Thian-liong si, di bawah pohon bodi si pengemis kotor dan si dewi Koan-im
berambut panjang."
Ucapan itu sangat lirih, tapi
bagi pendengaran Toan Yan-khing, bagaikan bunyí halilintar di siang bolong.
Ketika dilihatnya pula air muka Toan hujin, dalam hatinya tiada habis-habis
bertanya, "Apakah ... apakah dia inilah si dewi Koan-im pada malam bulan
purnama itu .... "
Tiba-tiba Toan hujin
melepaskan rambutnya yang panjang itu sehingga terurai di atas pundak dan
sebagian terurai di mukanya, itulah wajah "si dewi Koan-im" di bawah
pohon bodi di luar Thian-liong di malam itu.
Sekarang Yan khing tidak
sangsi lagi, sungguh di luar dugáannya bahwa wanita yang disangkanya sang dewi
Koan-Im itu kiranya adalah Tin-lam-Ong-hui, permaisuri pangeran mahkota
kerajaan Tayli yang sekarang.
Tapi segera timbul pertanyaan
yang sukar dipahami olehnya, "Sebab apakah día berbuat demikian? Mengapa
dia penujui seorang pengemís kotor dan berbau busuk seperti diriku pada waktu
itu?
Yan-khing menunduk dan
termenung-menung tidak habis mengerti. Sokonyong-konyong beberapa titik air
menetes di atas tanah, mirip benar dengan kejadian malam pertama itu. itu bukan
air biasa, entah air mata atau air wahyu sang dewi?
Waktu ia mendongak, ia lihat
sorot mata Toan-hujin yang sayu-rawan dan mengembang air mata itu, seketika
hatinya yang keras menjadi lunak, katanya dengan suara yang serak, "Apakah
kau minta aku mengampuni jiwa putramu ini?"
Toan-hujin tampak menggeleng
kepala, katanya, "Lehernya berkalung sebuah mainan, di situ terukir pek-ji
(jam, hari dan tahun) kelahirannya."
Yan khing menjadi heran,
nyonya itu bukan minta pengampunan jiwa anaknya, tapi malah menyuruhnya melihat
mainan kalung dan tentang pek-ji segala, apakah artinya semua ini?
Tapi sejak dia tahu duduknya
perkara kejadian "di bawah pohon bodi di luar Thian-liing-si" itu,
secara otomatis timbul semacam rasa hormat dan segannya terhadap Toan-hujin.
Maka ia lantas menjulurkan tongkatnya untuk membuka dulu hiat-to si nyonya yang
ditutuknya, kemudian baru ia periksa leher Toan Ki.
Benar juga di leher anak muda
itu ditemukan sebuah kalung emas yang sangat lembut, bagian bawah yang tertutup
baju itu terdapat sebuah mainan emas yang berbentuk pelat kecil persegi dan
terukir tulisan "selamat panjang umur", ketika pelat emas itu
dibalik, di situ ada tulisan: "Lahir pada tanggal 1 bulan 11 tahun kedua
raja Po-ting Tayli."
Melihat tanggal lahir itu,
kembali Yan-khing terkesíap. Ia masih ingat betul justru pada bulan dua tahun
kedua raja Po-ting itulah dia terluka parah dikeroyok musuh dan akhirnya sampai
di luar Thian-liong-si. Anak muda ini dilahirkan dalam bulan 11, jaraknya
dengan kejadian malam itu tepat adalah sepuluh bulan, Wah, janganjangan
kandungan sepuluh bulan itu akhirnya melahirkan bocah ini, jadi anak muda
dihadapannya ini adalah putraku?
Oleh karena muka Toan
Yan-khing sudah rusak sehingga kerut dan mimik wajahnya tak kelihatan lagi,
sekilas orang pun tak tahu betapa terguncang hatinya tatkala itu.
Waktu Yan-khing memandang pula
ka arah Toan-hujin, ia lihat nyonya itu mengangguk pelahan dan bergumam,
"karma! Karma!"
Selama hidup Toan Yan-khing
tidak pernah kenal mesranya berkasih-kasihan kaum muda-mudi dan kebahagian
rumah tangga, kini mendadak diketahuinya di dunia ini ternyata ada seorang
pemuda keturunan
sendiri, maka betapa rasa
girangnya sungguh susah untuk dilukiskan.
Saat itu ia merasa segala
pangkat dan kedudukan, sekali pun raja di dunia ini, semuanya itu tidak lebih
berbahagia daripada mempunyai seorang putra. Bila teringat baru saja ia hamper
menikam mati putranya sendiri dengan tongkatnya tadi, sungguh ia merasa bersyukur
dan bergirang hal itu tidak sampai terjadi. Saking girangnya sungguh ia ingin
berteriak dan berjingkrak.
"Trang", tanpa
terasa sebuah tongkat jatub ke tanah. Menyusul kepala pun terasa sedikit
pening, tangan yang lain terasa lemas, "trang", kembali tongkat yang
lain pun jatuh ke tanah.
"Hahahaaahh! Aku
mempunyai seorang putra. Aku mempunyai seorang putra!" demikian darí dalam
rongga dadanya ingin tercetus suara teriakan yang nyaring.
Sekilas dilihatnya wajah Toan
Cing-sun menampilkan rasa heran dan bingung, terang dia sama sekali tidak paham
apa yang diucapkan istrinya tadi.
Sungguh rasa bangga Toan Yan
khing tak terkatakan. "Hm, biarpun kamu berhasil menjadi raja Tayli dan
aku gagal menggantikanmu, namun aku tidak perlu iri. Aku mempunyai putra, dan
kau tidak punya."
Pada saat itulah kembali
kepalanya terasa pusing pula, pandangannya agak kabur sedikit, ia mengira hal
ini adalah karena dia terlampau senang maka kepala pusing malah.
Tapi pada saat lain tiba-tiba
terdengar gedebukan seorang telah roboh terkulai di samping pintu, itulah Ih
Tiong-ho adanya.
"Celaka!" keluh
Yen-khing dalam hati. Cepat tangan kiri bergerak mencengkaram. ia kerahkan
tenaga dalam untuk menarik kembali tongkat bajanya yang jatuh tadi.
Di luar dugaan, cengkramannya
itu ternyata tidak membawa hasil sebagaimana yang dlharapkannya, tenaga
dalamnya sukar dikeluarkan lagi, tongkat baja yang terletak di tanah sedikit
pun tidak bergeming.
Karüan kejut Yan-khing
melebihi tadi. Tapi ìa pun tídak mengunjuk sesuatu tanda apa-apa, kembali ia
kerahkan tenaga dan tangan kanan mencengkeram pula. Namun tongkat itu tetap
tidak bergerak, tenaga dalamnya tetap susah dlkeluarkan. Maká yakinlah día
bahwa diam-diam ia telàh diselomoti orang.
Tiba-tiba terdengar Buyung Hok
berkata, "Toan-tianho (pangeran Toan), di kamar sebelah ada seorang ingin
buru-buru bertemu dengan engkau, maka sudilah engkau datang ke sebelah untuk
menemuinya."
"Siapa dia? Lebih baik
Buyung-kongcu membawanya ke sini saja," ujar Yan khing.
"Dia tak dapat berjalan,
lebih baik silakan Tianho yang datang ke sini, " sahut Buyung Hok.
Mendengar itu, maka teranglah
bagi Toan Yan-khing. Tidak perlu disangsikan lagi orang yang diam-diam
menggunakan obat bius (yang membuatnya kehilangan tenaga dalam) itu pasti
Buyung Hok. Mungkin pemuda itu jeri kepada ilmu silatnya yang lihai dan kuatir
racun yang disebarkan itu tidak bekerja dengan baik, maka untuk sementara masih
tidak berani menggunakan kekerasan secara blak-blakan, Ia sengaja minta dia
berjalan untuk menjajaki apakah lawan masih bertenaga atau tidak. Padahal
Yan-khing merasa sejak masuk ke dalam rumah tadi senantiasa berlaku waspada dan
tidak pernah minum seceguk air pun, pula tidak mengendus bau apa-apa, mengapa
tahu-tahu sudah kena dikerjai orang dan keracunan?
"Ya, mungkin tadi sesudah
mendengar ucapan Toan-hujin, saking girangnya aku menjadi lupa daratan dan
tidak berjaga-jaga sesuatu gerak-gerik yang mencurigakan di sekitarku sehingga
aku terpedaya," demikian pikirnya.
Biarpun watak Toan Yan-khing
sangat buas dan kejam, tapi ia pun berjiwa ksatria. Sekali dia kecundang, maka
ia terima mengaku kalah dan pasrah pada nasib, sama sekali ia tidak gusar dan
mencaci-maki. Hanya dengan nada mengejek ia berkata, "Buyung-kongcu, keluarga
Toan dari Tayli kami biasanya tidak suka menggunakan racun, kamu seharusnya
menghadapi aku dengan menggunakan ‘It-yang-ci’ saja.”
Dengan ucapannya ia maksudkan
Koh-soh Buyung yang biasanya terkenal dengan istilah "Ih-pi-ci-to,
hoan-sipi-sin", seharusnya Buyung Hok mengalahkan Yan-khing dengan
It-yang-ci yang merupakan ilmu andalan keluarga Toan, kalau menggunakan racun,
hal ini sesungguhnya terlalu pengecut.
Tapi Buyung Hok hanya
tersenyum, sahutnya, "Orang gagah perkasa sebagai Toan-tianho sudah tentu
tidak dapat dipersamakan dengan orang biasa. 'Ang-hoa-tai-bu' (kabut bunga
merah) yang kugunakan ini asalnya kuperoleh dari orang Se He, hanya sedikit
kutambahi bahan campuran sehingga tidak berbau dan tidak berwarna, jadi
sebenarnya bukan barang buatan keluarga Buyung kami."
Diam-diam Yan-khing terkejut,
tentang kejadian jago It-bin-tong dari Se He merobohkan kawanan pengemis
Kai-pang dengan racun kabut yang tak berbau dan tak kelihatan itu pernah juga
dia dengar laporannya. Tak tersangka hari ini ia sendiri pun terselomot oleh
racun kabut itu. Segera ia pejamkan mata dan tutup mulut, diam-diam ia mengatur
pernapasan dan berusaha mendesak keluar hawa racun yang telah meresap ke dalam
tübuh.
"Untuk memunahkan racun
kabut ini biarpun mengerahkan tenaga dalam dan mengatur pernapasan, semuanya
tiada gunanya ...."
Belum habis Buyung Hok bicara,
mendadak Ong-hujin membentaknya. "Mengapa bibimu sendiri juga kau
selomoti? Mana obat penawarnya. Serahkan!”
"Maaf bibi, hanya untuk
sementara saja, sebentar tentu Tit-ji akan memberi obat penawar kepada
bibi." sahut Buyung Hok.
"Sebentar apa segala?
Lekas berikan obat penawarnya sekarang jugai" jerit Ong-hujín dengan
gusar.
"Maaf bibi, sungguh maaf,
obat penawarnya tidak berada padaku," kata Buyung Hok.
Mestinya hiat-to nyonya Toan
yang tertutuk itu sudah dibuka oleh Toan Yan-khing, tapi belum lagi lagi
berbuat apa-apa kembali ia roboh pula terkena racun kabut bungah merah.
Di antara orang yang berada
dalam rumah itu Buyung Hok telah makan obat penawar sebelumnya dan Toan Ki
tidak mempan segala macam racun hanya mereka berdua ini yang tidak keracunan.
Namun begitu Toan Ki justru
sedang mengalami siksaan batin yang tak terkatakan pedihnya. Tadi ia dengar
Ong-hujin berkata kepada Toan Cing-sun bahwa Giok-yan sebenarnya adalah anak
darah dagingnya, tatkala itu dada Toan ki serasa digodam satu kali, napasnya
menjadi sesak dan hamper-hampir jatuh kelenger.
Memangnya Toan Ki sudah merasa
kebat-kebit, merasa urusan pasti takkan menguntungkan dia, ketika dari kamar sebelah
ia dengar pembicaraan Ong hujin dan Buyung Hok yang menceritakan hubungan cinta
antara nyonya itu dengan ayahnya. Waktu itu ia sudah kuatir akan terjadi
seperti halnya Bok Wan-Jing jangan-jangan Giok-yan adalah adik perempuannya
pula.
Ketika kemudian ia dengar
sendiri pengakuan Ong-hujin akan hal yang dikuatirkan olehnya itu, maka ia
tidak sangsi lagil akan kebenarannya. Sesaat itu ia merasa langit seakan-akan
berputar-pular dan bumi terbalik, coba kalau tangan dan kakinya tidak terikat
dan mulutnya tidak tersumbat tentu dia sudah seruduk sini dan terjang sana
sambil menjerit-Jerit dan berteriak- teriak seperti orang gila.
Perasaannya teramat duka
merana, tiba-tiba ia merasa segumpal hawa menyumbat dirongga dadanya sehingga
napasnya susah diatur. Kaki tangannya terasa sedingin es dan pelahan menjadi
kaku.
Keruan ia terkejut, "Wah,
celaka! Tanda-tanda ini tentu adalah apa yang dikatakan paman sebagai
‘Cau-hwejip-mo’ semakin tinggi iwekangnya semakin berbahaya pula bila penyakit
itu sampai berjangkit. Tapi mengapa aku ... aku bisa terkena penyakit
demikian?”
Ia merasa hawa sedingin es itu
dalam sekejap saja sudah mencapai siku dan dengkulnya. Semula Toan Ki merasa
kuatir, tapi lantas terpikir olehnya, "Jika Giok-yan adalah adik perempuanku
dari satu ayah, maka rinduku kepadanya selama ini akhirnya buyar sirna, lalu
untuk apa lagi aku hidup di dunia ini? Ya, biarlah aku terkena penyakit
Cau-Hwe-jip-mo, biar aku hancur lebur menjadi abu, biar aku mati dan tidak tahu
apa-apa supaya terhindar dari siksaan batin selama hidup nanti."
Begitulah, karena dia sedang
tersiksa batin sendiri, maka apa yang dikatakan ibunya tentang "di luar
Thianliong-si, di bawah pohon bodi dan kata-kata lain kecuali Toan-hujin
sendiri dan Toan Yan-khing, orang lain boleh dikata tak ada yang paham apa
artinya. Dan dengan sendirinya Toan Ki lebih-lebih tidak memperhatikan
ucapan-ucapan itu, andaikan memperhatikan juga sekali-kali dia tak paham
mengapa Toan Yan-khing bisa jadi ayahnya yang sesungguhnya dan bukan Toan Cing-sun.
Dalam pada itu Toan Yan-khing
sedang mengerahkan tenaga dalamnya, tapi meski sudah sekian lama tetap tidak
berhasil, sebaliknya dada terasa sumpek dan enek, kalau bisa ingin
tumpah-tumpah sepuasnya. Cepat ia tenangkan diri, ia duduk dengan mata terpejam,
tidak bicara dan tidak bergerak.
"Toan-Hianho," kata
Buyung Hok kemudian, "meski aku telah menghina dirimu dengan kabut
beracun, tapi tiada maksudku untuk membikin susah padamu, asal tianho mau
berjanji sesuatu padaku, maka selain akan kuberikan obat penawar dengan hormat,
bahkan akan menjera dan mohon ampun kepada Tianho."
"Hei, usia orang she Toan
sudah sebanyak ini, selama ini juga tidak sedikit mengalami gelombang badai,
mana aku dapat dipaksa berjanji sesuatu di bawah ancaman orang!" sahùt Yan-khing
dengan menjengek.
"Masakah aku berani
mengancam Toan-tianhe?” ujar Buyung Hok. "Nah, biarlah hadirin di sini
menjadi saksi semua, sekarang juga ku mintà maaf lebih dulu kepada Tianho,
habis itu barulah mohon bantuan sesuatu kepada Tianho dengan segala hormat.”
Habis berkata, benar juga ia
lantas berlutut dan menyembah dengan segala kerendahan hati yang tulus.
Semua orang terheran-heran
melihat Buyung Hok mendadak menjalankan penghormatan sebesar itu. Padahal saat
itu dia sudah menguasai keadaan, mati hidup semua orang boleh dikatakan
tergantung kepada keputusannya. Seumpama dia seorang ksatria kangouw yang suka
bicara tentang itikat orang kangouw, rasanya sudah cukup ia memberi hormat
sekedarnya saja kepada Toan Yan-khing yang lebih tua, tapi mengapa mesti pakai
berlutut dan menyembah segala?
Yan-khing sendiri tidak paham
atas kelakuan Buyung Hok, tapi mau-tak-mau rasa marahnya agak berkurang juga
melihat orang begitu menghormat padanya. Katanya kemudian, "Merendahkan
diri kepada orang, di balik itu tentu ada sesuatu maksud tujuan. Nah, hendaknya
Buyung-kongcu bicara terus terang saja, apa kehendakmu sebenarnya?”
"Adapun cita-citaku
kiranya Tianho sendiripun sudah cukup mengetahui." Sahut Buyung Hok.
"Yang senantiasa kucita-citakan siang dan malam adalah membangun kembali
kerajaan Yan. Maka sekarang akan kubantu dan mendukung Tianho naik tahta
sebagai reja Tayli, Tianho sendiri tiada anak keturunan, maka aku rela
mengangkat Tianhe sebagai Gihu (ayah angkat). Dengan demikian untuk selanjutnya
kita akan dapat bekerja sama dengan lebih erat demi pergerakan kita bersama,
bukankah cara ini sangat baik dan sama-sama menguntungkan?”
Mendengar ucapan "Tianhe
toh tiada punya anak keturunan" yang dikatakan Buyung Hok itu, tanpa
terasa Yankhing berpaling ké arah Toan-hujin, dua pasang mata saling menatap,
sesaat itu mereka seakan-akan sudah bercakap-cakap beratus ribu kata-kata.
Maka Yan-khing hanya mengekek
tawa saja dan tidak menjawab sanjungan Buyung Hok tadi, Katanya di dalâm hati,
"Kalau kata-katamu ini kau ajukan setengah jam yang lalu memang merupakan
usul yang menarik. Tapi saat ini aku sudah tahu mempunyai seorang putra, bahkan
putraku lebih lihai daripada dirimu, mana bisa kuwariskan tahtaku kepada orang
lain?”
Dalam pada itu terdengar
Buyung Hok sedang mengoceh lagi panjang lebar tentang betapa baiknya bila
mereka bergabung dan terikat menjadi keluarga, bahkan kerajaan Song tentu akan
dapat mereka hancurkan, begitu pula kerajaan Se He dan macam-macam kata-kata muluk
lagi.
Akhirnya Yan-khing bertanya,
"Jadi maksudmu ingin aku mengakui dirimu sebagai anak angkat?"
"Benar." sahut
Buyung Hok.
Diam-diam Yan-khing merancang
di dalam hati, "Saat ini aku masih keracunan dan tak bisa berkutik,
terpaksa aku pura-pura menerima permintaannya, sebentar bila tenagaku sudah
pulih boleh segera kubunuh dia.”
Karena itu ia berkata dengan
lagak ogah-ogahan, "Jika demikian, bukankah kamu harus ganti she Toan? Dan
sesudah menjadi ahli warisku keluaga Buyung seluruhnya berarti akan putus
turunan pula, apakah semuanya ini dapat kau lakoni?”
Yan-khing cukup tahu bahwa di
balik maksud Buyung Hok itu tentu ada rencana lain yang lebih luas, umpama
sesudah mewariskan tahta kerajaan Tayli, dalam jangka waktu tertentu tentu dia
akan menguasai dan menempatkan orang-orangnya dalam pos-pos pemerintahan yang
penting, habis itu lantas mulai menggeser dan membunuh orang-orang yang berani
melawannya atau pembesar-pembesar keluarga Toan yang setia. Dan kalau usaha
kudeta itu sudah berhasil tentu dia akan kembali she Buyung làgi, bahkan bukan
mustahil nama kerajaan Tayli akan digantinya pula menjadi kerajaan Yan.
Oleh karena itulah Yan khing
sengaja méngajukan pertanyaan yang mempersulit sebagai dasar agar Buyung Hok
tidak menaruh curiga, berbeda kalau dia terima itu begitu saja apa yang dimohon
Buyung Hok, hal ini akan kelihatan kurang wajar dan kurang tulus.
Benar juga Buyung Hok lantas
termenung-menung, sahutnya dengan ragu, "Tentang ini .... tentang ini ....
"
Padahal apa yang terbayang
dalam benaknya yaitu tindakan apa yang harus diperbuatnya bila kelak dapat
menggantikan Toan Yan-khing sebagai raja Tayli, memang tidak berselisih jauh
dengan apa yang terduga oleh Toan Yan-khing. Maka Buyung Hok juga sengaja
pura-pura sangsi atas pertanyaan Yan-khing tadi, sebab kalau mengiakan begitu
saja tentu akan kentara maksud tujuannya yang tidak baik.
Maka sesudah ragu sejenak,
lalu katanya, "Walaupun aku bukan manusia yang suka lupa kepadá sumbernya
dan seorang yang tak berbakti kepada leluhur, tapi demi usaha besar harus
kesampingkan kepentingan pribadi yang kecil. Bila aku sudah mengangkat Tianhe
sebagai ayah, seharusnya aku setia kepada keluarga Toan dan tidak boleh
bercabang hati.”
Jilid 84
"Hahahahaha! Bagus,
bagus!" Yan-khing terbahak-bahak, "Selama ini aku selalu mengembara
di dunia kangouw, tidak punya istri dan tidak punya anak, tapi pada hari ini,
sekarang dapat memperoleh seorang putra cakap, sungguh hidupku ini tidaklah
sia-sia. Mempunyai putra pintar dan tampan sebagai dirimu, sungguh rejekiku
terlampau besar.”
Di balik kata-kata Toan
Yan-khing ini yang dimaksudkan sebenarnya adalah putranya sendiri yaitu Toan
Ki, hal ini terkecuali Toan-hujin seorang saja, yang lain sudah tentu tidak
paham latar belakang ucapannya itu, sebaliknya semua orang mengira dia susah
menerima permohonan Buyung Hok dan akan memunggutnya sebagai anak dan kelak
akan mewariskan tahta kepadanya.
Keruan girang Buyung Hok
melebihi orang putus lotre, katanya, "Tianhe adalah angkatan tua yang
terhormat dikalangan Bulin, sekali omong tentu akan pegang janji dan takkan
hianat, Nah Gihu, terimalah hormat putramu ini.”
Habis itu, kaki berlutut dan
segera hendak menyembah pula. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang
berteriak di luar, "Bukan, bukan! Hal ini mana boleh jadi!”
Menyusul tirai tersingkap dan
masuklah seorang. Kiranya Pau Put-tong adanya.
Air muka Buyung Hok agak masam
kärena orang mengganggunya, tanyanya, "Ada apa Pau-samko?”
"Kongya adalah keturunan
lurus keluarga Buyung dan jelèk-jelek adalah ahli waris kerajaan Yan, sekarang
mana boleh sembarangan berganti she Toan?" seru Pau Put-tong.
"Walaupun usaha membangun kembali kerajaan Yan akan menghadapi berbagai
kesulitan, tapi kita tetap akan berjuang dengan sepenuh tenaga dan kekuatan.
Kalau usaha kita berhasil sudah tentu inilah yang sangat kita harapkan,
andaikan gagal betapapun kita tetap seorang ksatria, seorang perwira
gemblengan. Tapi sekarang Kongcu akan mengangkat ayah kepada orang yang manusia
bukan dan setan pun tidak ini, biarpun kelak Kongcu berhasil menjadi raja juga
tidak gilang gemilang. Apalagi seorang she Buyung ingin menjadi raja Tayli, hal
ini pun tidak mungkin terjadi."
Sungguh gusar Buyung Hok tak
terlukiskan karena ucapan Pau Put-tong yang kurang ajar itu. Tapi Put-tong
adalah pengiringnya yang setia, tatkala tenaganya sangat dibutuhkan seperti
sekarang ia tidak ingin mendengarnya secara terang-terangan didepan orang luar,
maka jawabannya dengan dingin, "Pau-samko, rupanya engkau belum paham
duduknya perkara, untuk menjelaskan juga susah dalam waktu singkat, biarlah
kelak akan ku terangkan dengan pelahan.
"Bukan, bukan!” seru
Put-tong dengan istilah yang khas. "Kongcu, biarpun Put-tong seorang
goblok, tapi maksud tujuanmu juga dapat kuraba beberapa bagian. Agaknya kongcu
ingin meniru Han Sin di jaman Hanko-co dan untuk sementaraterima dihina dan
merendah pada orang agar kelak dapat dapat dípakai sebagaì modal pengerahan,
Hàrì ini Kongcu pura-pura berganti she Toan, kelak kalau sudah memegang
kekuasaan lalu engkau berganti she Buyung kembali, bahkan mengganti kerajaan
Tayli menjadi kerajaan Yan, atau mungkin engkau akan mengerahkan pasukan untuk
menyerang kerajaan Song dan memerangi kerajaan Liau untuk memulihkan wilayah
kekuasaan Yan dahulu. Akan tetapi, Kongya, meski cita-citanya ini sangat baik,
namun dengan demikian engkau akan menjadi manusia yang tidak setia, tidak
berbakti, tidak bijaksana dan tidak berbudi. Coba apakah takkan malu pada diri
sendiri, apakah engkau takkan dicaci maki para ksatria seluruh jagat. Maka
kukira tentang raja apa segala, lebih baik jangan dipikirkan lagi.”
Sungguh Buyung Hok sangat
mendongkol, tapi ia bersabar sedapat mungkin, sahutnya, "Ah, Pau-samko
terlalu berlebihan, mengapa aku dikatakan tidak setia, tidak berbakti, tidak
bijaksana dan tidak berbudi? Bukan ngaco belo saja?”
"Bukan, bukan mengaco-belo!"
seru Put-tong. "Coba, sekarang engkau takluk kepadá Tayli dan kelak engkau
akan memberontak dan mengkhianatinya, itu jelas tidak setia. Sekarang engkau
mengakui Toan Yan-khing sebagai ayah angkat, padahal engkau dilahirkan dari
keluarga Buyung, itu berarti engkau tidak berbakti kepada keluarga buyung, bila
kelak engkau menghianati Toan Yan-khing itu pun berarti tidak berbakti kepada
ayah angkat. Kelak kaupun akan menumpas dan membunuh pembesar kerajaan Tayli,
itu berarti tidak bijaksana, dan .... "
"Dân aku menjual kawan
demi kepentingan sendiri, ini berarti tidak berbudi?" demikian sambung
Buyung Hok dengan menjengak. Berbareng itu "plok", sekonyong-konyong
punggung Pau Put-tong dihantam sakali.
Pukulan Buyung Hok itu
kelihatannya tidak keras, tapi ia menggunakan tenaga dalam yang kuat dan tepat
mengatasi hiat–to, yaitu sin-to-hiat, Leng-tai-hiat dan ci yan-hiat yang
mematikan, Pau-Put-tong sama sekali menduga bahwa tuan muda yang menjadi asuhannya
sejak kecil sehingga besar itu ternyata tega turun tangan keji padanya, karuan
kontan ia tumpah darah dan roboh binasa.
Waktu Put-tong mulai berdebat
dengan Buyung Hok, ketiga kawannya, yaitu Ting Pek-jwan, Kongya Kian dan Hong
Po-ok juga ikut mendengarkan dengan berdiri di luar pintu, walaupun terasa
kata-kata Pau Put-tong agak kelewat berani terhadap sang majikan, tapi
merekapun merasa tepat dan beralasan.
Kini demi melihat Buyung Hok
memukul Pau Put-tong karuan mereka terkejut, berbareng mereka pun menerobos
masuk ke dalam.
Segera Po-ok mendukung tubuh
Pau Put-tong yang sudah tak berkutik ìtu dan berseru, "Samko! Samko!
Kenapakah engkau?"
Terlihat air mata bercucuran
membasahi pipi Pau Put tong, tapi napasnya sudah putus. Nyata pada saat jiwanya
melayang Pau Put tong merasa sangat terduka dan penasaran.
"Samko, meski engkau tak
bias bernapas lagi, tapi engkau tentu ingin bertanya kepada Kongcuya sebab
apakah engkau dibunuh?" seru Po ok sambil menoleh dan menatap Buyung Hok
dengan sorot mata berlugas.
"Kongcuya," Pek-jwan
ikut bicara, "bahwasannya sifat Pau samte memang suka berdebat dan
bertengkar dengan orang, hal ini cukup engkau ketahui. Sekali pun dalam kata
katanya tadi dia bersikap kurang menghormat padamu, mestinya cukup Kongcu menegur
dan memberi dampratan selayaknya saja, mengapa tega mencabüt nyawanya?"
Sebenanya yang menjadikan
gusarnya Buyung Hok bukanlah sikap pau Put-tong yang kurang ajar itu melainkan
karena Pau Put-tong berani bicara secara blak-blakan dan mengorek semua tipu
muslihatnya yang berencana itu, hal íni tentu akan menimbulkan kecurigaan Toan
Yan khíng dan mungkin tak jadi memungutnya sebagai anak dan dengan sendirinya
pulaakan gagal menjadi ahli waris kerajaan Tayli. Andaikan dia tetap diterima
sebagai putra mahkota, tentu pula rencananya akan menghadapi banyak kesulitan
dan gagal membangun kembali kerajaan Yan.
Begitulah dalam murkanya
Buyung Hok terpaksa turun tangan keji untuk memperlihatkan kepada Toan Yankhing
akan ketulusan hatinya untuk menjadi anak angkat keluarga Toan. Sekarang ia
ditegur oleh Ting Pakjwan, diam-diam ia serba susah lagi. Tapi segera ia ambil
keputusan lebih baik cekcok dengan Pek jwan dan kawan-kawannya daripada
menimbulkan curiga Toan Yan-khing.
Begitulah ia lantas menjawab,
"Tentang kata-kata Pau samko yang kasar tadi sebenarnya tidak menjadi
soal. Tapi dengan tulus aku ingin mengangkat Toan-tianhe sebagai Gihu, tapi dia
sengaja memecah belah hubungan baik kami, dosa nya ini mana boleh kuampuni?”
"Jadi dalam pandangan
Kongcu, Pau Put-tong yang telah mengabdi padamu selama belasan tahun ini jauh
tiada harganya untuk dibandingkan dengan seorang Toan Yan-khing?” teriak Po-ok
dengan marah.
"Hendaknya Hong-siko
jangan marah," sahut Buyung Hok. ”Bahwasannya aku minta masuk menjadi
keluarga Toan, hal ini kulakukan dengan setulus hati dan sedikit pun tiada
maksud lain. Tapi Pau-samko telah mengukur jiwa seorang ksatria dengan jiwa
kaum pengecut. Inilah yang tak dapat kuterima dan terpaksa kuberi hukuman
setimpal padanya."
"Jadi maksud Kongcuya itu
tak bisa ditarik kembali lagi?” Kongya Kian menegas dengan dingin.
"Ya. benar,” sahut Buyung
Hok.
Seketika Kongya Kian, Ting
Pak-jwan dan Hong Po ok pandang-memandang. Agaknya pikiran mereka sama,
serentak mereka saling mengangguk.
Lalu Pek-jwan berseru dengan
suara lantang, "Kongcuya, kami berempat meski bukan saudara sekandung.
tapi kami telah bersumpah mati atau hidup tetap bersatu, hubungan kami melebihi
saudara sekandung. Hal ini tentu Kongcuya cukup mengetahui?”
Alis Buyung Hok menjengkit,
sahutnya dengan ketus. "Apakah maksud Ting-toako hendak menuntut balas
kematian Pau-samko? Biarpun kalian bertiga maju sekaligus juga aku tidak
gentar.”
Tiba-tiba Pek-jwan menghela
napas panjang, katanya, "Kami adalah hamba pengiring keluarga Buyung, mana
kami berani malu kami terhadap Kongcuya. Orang bilang, kalau cocok boleh
tinggal, kalau tidak cocok boleh pergi. Maka kami bertiga untuk selanjutnya tak
dapat melayani Kongcu lagi. Kaum ksatria yang íngin memutuskan hubungan tidäk
pantas menggunakan kata-kata kotor, maka biarlah kita berpisah secara
baik-baik, semoga Kongcuya menjaga diri dengan baik!"
Melihat ketiga abdi
pengiringnya segera akan meninggalkan dirinya mau-tak-mau Buyung Hok merasa
berat juga apalagi bila nanti berada di Tayli tentu akan sangat membutuhkan
tenaga mereka. Maka ia coba menahannya, katanya, "Ting-toako, kalian tidak
pernah menyinggung perasaanku. Sesungguhnya aku pun tidak sirik apa-apa kepada
kalian, mengapa kalian hendak meninggalkan aku begitu saja? Dahulu ayah cukup
baik terhadap kalian, juga kalian pernah berjanji akan membantuku sepenuh
tenaga, jika sekarang kalian tinggalkan aku, apakah kalian tidak merasa
mengingkari janji sendiri?”
Maka Ting Pak Jwan juga tampak
muram, sahutnya. ” Jika Kongcu tidak mengungkit-ngungkit losiansing
dibawa-bawa, maka tentang perbuatan mengangkat orang lain menjadi ayah,
berganti she dan mengabdi kepada negara lain segala apakah perbuatan demikian
ini dapat dipertanggungjawabkan kepada Losiansing? Ya, kami memang pernah berjanji
kepada losiangsing akan membantu sepenuh tenaga pada Kongcuya untuk membangun
kembali kerajaan Yan dan mengembangkan kejayaan keluarga Buyung, tapi
sekali-kali tidak berjanji akan membantu Kongcu untuk memajukan kerajaan Tayli
dan mengembangkan nama keluarga Toan.”
Jawaban Ting Pek-jwan itu
membuat air muka Buyung Hok sebentar merah dan sebentar pucat serta tak dapat
mendebatnya.
Berbareng Ting jwan, Kongya
Kian dan Hong po-ok lantas memberi hormat dan berkata, "Selamat tinggal
Kongcuya."
Lalu Po-ok memanggul jenazah
Pau Put-tong bertíga orang lantas bertindak pergi dengan langkah lebar tanpa
menoleh lagi.
Buyung Hok coba menenangkan
diri dan berlagak menyakinkan diri, katanya kepada Toan Yan-khing, "Harap
Gihu suka maklum, ketiga orang ini adalah hamba pengiring keluarga anak selama
berpuluh tahun, tapi demi kesetiaan anak kepada kerajaan Tayli dan keluarga
Toan, dengan tidak segan-segan anak membunuh satu diantaranya dan mengusir
ketiga orang lain. Anak akan ikut ke Tayli seorang diri, sedikit pun anak tiada
maksud tujuan lain.”
"Bagus, sangat bagus!”
sahut Toan Yan-khing sambil mengangguk.
"Dan sekarang juga
biarlah anak memberikan obat penawar kepada Gihu," ucap Buyung Hok. Segera
ia keluarkan sebuah botol porselen kecil.
Tapi baru saja ia hendak menyodorkan
botol kecil itu kepada Yan-khing, tiba-tiba pikirannya tergerak, "Wah,
jika dia sudah sembuh dari keracunan kabut bunga merah, segera aku akan
kehilangan alat ancaman padanya. Untuk selanjutnya terpaksa aku harus mengambil
hatinya dan tidak boleh mengadu akal lagi dengan dia. Yang paling día benci
adalah si Toan Ki, biarlah sekarang aku membunuh budak itu lebih dulu, kemudian
barulah aku memberikan obat penawar padanya.”
Karena pikirannya itu,
"sret” segera ia loloskan pedang dan berkata, "Gihu adapun sumbangsih
anak yang pertama kepada Gihu adalah ingin kubunuh si bocah Toan Ki íni agar
Toan Cing-sun kehilangan keturunan, dengan demikian mau-tak-mau dia akan
terpaksa menyerahkan tahta kepadamu."
Waktu itu Toan Ki masih
menggeletak di atas tanah dengan mata tertutup oleh kain hitam, meski matanya
tak bisa memandang, tapi apa yang dikatakan Buyung Hok itu dapat didengarnya
dengan jelas. Ia berpikir, Giokyan yang kucintai itu telah berubah menjadi adik
perempuanku lagi sehingga cintaku kepadanya jadi sia-sia belaka. Memangnya aku
tidak ingin hidup, jika kau bunuh aku kan kebetulan bagiku."
Begitulah rupanya Toan Ki
menjadi putus asa dan patah hati karena mendengar pembicaraan Ong-hujin telah
diketahui Goik-Yan yang dikasihi itu ternyata adik perempuannya pula seperti
halnya Bok-wan-jing, maka ia lebih suka mati saja daripada hidup merana,
apalagi saat itu hawa murninya juga tersesat sehingga Cau-hwaJip-mo, biarpun
hendak melawan serangan Buyung Hok juga tidak mampu, karena itu ia mandak
dibunuh dan menerima ajalnya.
Dalam pada itu perasaan
Toan-hujin bagaikan disayat-sayat ketika dilihatnya Buyung Hok sedang mendekati
Toan Ki dengan pedang terhunus. "Oooo!" mendadak ia menjerit kuatir.
Cepat Yan-khing berkata,
"Nak, kebaktianmu ini sungguh harus dipuji Bocah Toan Ki itu terlalu
menyakiti hatiku, berulang ia mempermainkan aku, paman dan ayahnya,
mengangkangi pula tahtaku sehingga hidupku merana dan badanku cacat begini,
untuk semua itu ayah ingin membunuh bangsat cilik itu dengan tanganku sendiri
sekedar melampiaskan rasa dendamku."
"Baiklah," kata
Buyung Hok, Lalu la membalik tubuh dan menyodorkan pedang kepada Toan
Yan-khing. Tapi segera ia berseru pula, "Ai, anak benar-benar sudah pikun,
seharusnya kuberikan obat penawar lebih dulu."
Dan Segera ia mengeluarkan,
sebotol obat tadi.
Tapi sekilas dilihatnya air
muka Toan Yan-khing sedang mengunjuk rasa senang dan seperti lagi mengedip mata
kepada seseorang.
Buyung Hok adalah orang maha
cerdik, segera ia mengikuti arah mata Toan Yan-khing, ia masih sempat melihat
Toan-hujín sedang menggangguk pelahan, air mukanya juga mengunjuk rasa
bersyukur dan berterima kasih yang tak terhingga.
Melihat itu, seketika timbul
rasa curiga Buyung Hok. Cuma mimpi pun dia tidak menyangka bahwa Toan Ki
sebenarnya adalah putra Toan Yan-khing dari hubüngan gelap dengan Toan-hujin
atau Su Pek-hong, bahwa Toan Yan-khing lebih suka mengorbankan jiwanya sendiri
daripada menyaksikan putra satu-satunya itu mati konyol dibünuh orang,
sedangkan soal tahta kerajaan segala lebih-lebih tak terpikir pula olehnya.
Sebaliknya pikiran yang
pertama-tama timbul dalam benak Buyung Hok adalah, "Jangan-jangan di
antara Toan Cing-sun dan Toan Yan-khing ada persekongkolan? Betapapun mereka
adalah sesama keluarga Toan dari Tàlli, mereka adalah saudára sepupu sendiri,
hubungan mereka tentu lebih baik daripada diriku yang tiada sangkutpaut apa-apa
dengan mereka.”
Tapi segera terpikir pula
olehnya, "Jalan baik satu-satunya sekarang ialah aku harus bertindak
dengan tegas dan cepat, aku harus berbuat beberapa jasa besar bagi Toan
Yan-khing untuk memperkuat kepercayaannya kepadaku.”
Segera ia berpaling ke arah
Toan Cing-sun dan berkata, "Tin lam-ong, setelah pulang ke Tayli,
kira-kira berapa lama lagi engkau akan dapat menggantikan tahta kakakmu, dan
sesudah naik tahta, untuk berapa lama engkau akan berada di singgasanamu dan
kemudian menurunkan tahta lagi kepada Gihuku?”
Cing-sun sangat memandang hina
terhadap pribadi Buyung Hok, maka jawabnya dengan acuh-tak-acuh, "Kakak
bagindaku memiliki Iwekang yang sangat tinggi, tenaganya masìh amat kuat, boleh
jadi dia akan bertahta selama 20 atau 30 tahun lagi. Bilamana beliau mewariskan
tahtanya kepadaku, baru pertama kali aku menjadi raja, sudah tentu aku akan menikmati
dengan baik-baik dan sedikitnya aku harus bertahta 30 tahun. Habis itu, giliran
anak Ki yang akan menyambung tahtaku, tatkala mana dia sudah berusia 70 atau 80
tahun adaikan dia cuma menjadi raja selama 20 tahun, maka total seluruhnya
kaupun perlu tunggu lagi kira-kira 100 tahun "
"Ngaco belo!"
damprat Buyung Hok. "Tidak kata aku memberi batas waktu sebulan padamu
untuk naik tahta menjadi raja, sebulan lagi kamu harus menyerahkan singgasanamu
kepada Gihuku, Yan-khing Thaicu."
Tapi Cing-sun sudah jelas
melihat situasi di depan mata sekarang. Nyata Toan Yan-khing dan Buyung Hok
akan menggunakan dia sebagai batu loncatan untuk menuju tahta kerajaan Tayli,
sesudah dia menurunkan tahtanya kepada Toan Yan-khing nanti barulah mereka akan
membunuhnya, Tapi sekarang dia masih diperlukan, tentu tidak berani
mengganggunya seujung rambut pun, bahkan kalau ada musuh tentu mereka akan
membelanya malah. Sebaliknya Toan Ki yang berada dalam keadaan terancam.
Karena pikiran, segera
Cing-sun terbahak dan berkata, "Tahtaku nanti hanya dapat kuturun kepada
anakku Toan Ki, jika aku disuruh mempercepat mengundurkan diri juga boleh, tapi
tidak mungkin tahtaku diserahkan kepada orang luar."
"Dengan telingaku sendiri
kudengar kami berjanji akan menyerahkan tahta kepada Yan-khing Thaicu, kenapa
sekarang kamu ingkar janji sendiri?” kata Buyung Hok dengan gusar.
"Cara bagaimana telingamu
dapat mendengar sendiri?" sahut Cing-sun dengan dingin. "Hehe, kakak
Yankhing, tentunya engkau tidak mengira bahwa 'walang hendak menangkap
tonggeret, tak tahunya di belakang mengincar pula si burung gereja'. Rupanya
waktu engkau menjebak aku, takkala itu si Buyung-kongcu yang bagus ini pun siap
mengincar diriku.”
Buyung Hok terkesiap, "Celaka
ucapanku agak tidak tepat. Dasar tua bangka dan licin, Tin-lam-ong ini sungguh
sukar dilayani.”
Maka cepat membelok pokok
pembicaraan, katanya dengan mengejek, "Hm, bagus juga, biar kumampuskan
dulu Toan Ki si anak keparat ini, nanti kamu boleh mewariskan tahtamu kepada
arwah setannya.”
Habis berkata kembali ia hunus
pedangnya dan akan melangkah maju pula.
"Hahahaha! Memangnya kau
anggap aku Toan Cing-sun ini manusia apa?" seru Cing-sun dengan bergelak
tawa. "Jika kau bunuh putraku, apakah kau kira aku lantas rela
dipermainkan olehmu? Nah, jika mau bunuh boleh lekas membunuhnya, kalau perlu
boleh juga bunuhlah aku sekalian."
Sesaat Buyung Hok menjadi ragu
malah oleh tantangan itu. Kalau dia mau membunub Toan Ki sekarang boleh dikata
terlalu mudah, hanya sekali ayun pedang dan beres sudah. Tapi ia pun kuatir
Cing sun menjadi kalap karena putranya dibunuh dan benar-benar tidak pikir akan
jiwa sendiri, jika demikian maka tahta yang akan diterima Toan Yan-khing tentu
akan gagal pula.
Begitulah sambil menghunus
pedang yang gemerlapan sehingga wajahnya yang putih bersih kelihatan bersemu
hijau kepucat-pucatan, Buyung Hok berpaling ke arah Toan Yan-khing untuk
mendengarkan pendapat atau perintahnya.
Maka berkatalah Yan-khing,
"Orang ini biasanya memang sangat kepala batu, berani berkata dan berani
berbuat. Bila dia benar-benar bunuh diri dengan minum racun atau membenturkan
kepalanya sehingga pecah, maka rencana kita yang muluk-muluk akan menjadi buyar
pula dengan sia-sia. Baiklah, sementara ini kita jangan membunuh bocah Toan Ki
itu, sekali dia sudah jatuh dalam cengkeraman kita, tak perlu takut dia akan
terbang ke langit. Sekarang berikan obat penawarmu itu kepadaku."
"Ya," sahut Buyüng
Hok.
Di mulut dia mengiakan, tapi
dalam batín ia sedang berpikir, "Barusan Yan-khing Thaicu mengedipi
Toanhujin, apakah artinya itu? Selama pertanyaan ini belum terjawab, betapapun
tetap menyangsikan bila kuberikan obat penawar padanya. Tapi kalau aku mengulur
waktu lagi tentu dia akan gusar, lantas bagaimana baiknya?"
Dalam keadaan ragu kebetulan
saat itu terdengar Ong-hujin berteriak-teriak, "Buyung Hok, kamu anak
kurangajar, kau bilang akan memberi obat penawar kepada bibi, tapi sesudah kau
dapatkan seorang ayah angkat seperti siluman itu lantas lupa kepada bibimu. Jika
tidak lekas kau beri obat penawar, jangan kau salahkan aku akan memaki dengan
kata-kata kotor. Dan siluman yang tidak mirip manusia dan lebih mirip setan
..... "
Buyung Hok merasa kebetulan
mendengar caci maki Ong-hujin itu, katanya terhadap Toan Yan-khing, "Gihu,
watak bibiku memang keras, kalau ucapannya ada yang menyinggung perasaan Gihu
mohon suka dimaafkan. Agar dia tidak ribut lagi, biarlah anak menyembuhkan dia
lebih dulu, habis itu baru Gihu."
Habis berkata ia terus
menyodorkan botol kecil ke hidung Ong-hujin.
Seketika Ong-hujin mengendus
bau busuk dari dalam botol porselen kecil itu. Segera ia hendak mendamprat
Buyung Hok, disangkanya keponakannya itu lagi mempermainkannya. Tak terduga,
mendadak kaki dan tangannya terasa mulai bertenaga, lewat sejenak pula lantas
terasa dapat bergerak seperti biasa. Tanpa bicara lagi ia terus sambar botol
kecil itu dari tangan Buyung Hok dan menciumnya dengan keras-keras dan tak
berhenti-henti.
Untuk mengulur waktu, Buyung
Hok tidak mencegah perbuatan Ong-hujin itu, hanya diam-diam ia mengawasi
gerak-gerik Toan Yan-khing dan Toan-hujin.
Tiba-tiba terdengar Ong-hujin
berseru, "Tit-ji, mengapa tidak kau bunuh saja ketiga perempuan siluman
rase itu untuk melampiaskan rasa dendam bibi ini."
Hati Buyung Hok tergerak,
pikirnya, "Benar juga, Wi Sing-tiok, Cin Ang-bian dan Ciong-hujin itu
semua kekasih Tin-lam-ong, kalau kugunakan jiwa mereka untuk memaksa
Tin-lam-ong, agar menyerahkan tahtanya kepada Yan-khing Thaisu, jalan ini
mungkin akan berhasil, berbareng juga dapat membikin senang hati bibi."
Segera ia mengacungkan ujung
pedang ke arah Wi Sing-tiok sambil mengancam, "Tin-lam-ong, kau mau
menyerahkan tahtamu kepada Yan-khing Thaicu atau tidak? Kalau tidak, selir
kesayanganmu ini satu per satu akan kubinasakan."
Ternyata Toan Cing-sun tídak
mau pandang barang sekejap pun, sebaliknya bersikap menentang malah. Keruan
Buyung Hok menjadi kalap, pedang terus menusuk ke depan, kontan darah menyembur
keluar dari dada Wi Sing-tiok, nyonya itu tidak sempat bicara sedikit pun
lantas binasa.
Menyusul ujung pedang Buyung
Hok beralih ke perut Cin Ang-bian dan bertanya kepada Toan-Cing-Sun, "Kau
mau menyerahkan tahta atau tidak?"
Lagi-lagi Cing-sun tidak
menggubrisnya dan kembali Buyung membunuh pula ibu Bok Wan-jing itu dengan
menubleskan pedang ke perutnya. Kemudian ujung pedangnya lantas berberganti
arah dan mengancam hulu hati Ciong-hujin.
Tatkala itu sorot mata Buyung
Hok telah memantulkan sinar kebiruan, air mukanya pucat menghijau. Ketika
melihat Toan Cing-sun tetap tidak menggubrisnya, ia tambah gemas, kontan ia
bunuh Ciong hujin pula.
Sesudah membunuh Wi Sing-tiok,
Cín Ang-bian dan Ciong-hujin bertiga, ketika melihat Cing-sun tetap berdiri
kaku dan tidak ada reaksi apa-apa, karuan Buyung Hok tambah geregetan, serunya
kalap, "Tin-lam-ong, lekas katakan kau mau menyerahkan tahtamu atau tidak?
Kalau tetap diam saja biar kubunuh sekalian bibiku ini!"
Sembari berkata ujung
pedangnya terus mengarah dada Ong-hujin sambil mendesak maju selangkah demi
selangkah.
"Toan-long!" seru
Ong-hujín dengan suara gemetar. "Apa engkau benar-benar sedemikian benci
padaku sehingga ingin membikin celaka diriku?"
Rupanya ia cukup kenal watak
Buyung Hok yang keji dan ganas itu, demi mencapai cita-citanya tentu dia tidak
pikirkan tentang bibi atau bukan. Asal Cing-sun mau memperhatikan cintanya
kepadanya, tentu Buyung Hok takkan segera membunuhnya, tapi akan memperalat dia
untuk memaksa kehendaknya atas diri Toan Cing-sun.
Karena tempat Ong-hujin
berdiri berada di depan Toan Cing-sun, maka Cing-sun dapat melihat sorot
matanya yang mengunjuk rasa ketakutan dengan muka yang cantik itu mirip benar
dengan wajah Wi Sing-tiok yang sudah menemui ajalnya itu, mau tak mau
terbayanglah hubungan asmara mereka masa lampau, seketika perasaan Cíng-sun
tergugah. Segera ia mencaci-maki, "Perempuan tua bangka perempuan bejat
yang tídak tahu diri, kamu yang mengakibatkan ketiga kekasihku terbunuh semua,
coba kalau aku dapat bergerak, sungguh aku ingin mencencangmu sehingga hancur
lebur. Ayo Buyung Hok, tusuk saja biar mampus perempuan keparat itu!”
Ia tahu semakin keji
caci-makinya semakin membuat ragu Buyung Hok dan tidak beraní sembarangan
membunuh bibinya.
Segera Ong-hujin jadi paham
juga, dengan caci-maki Toan Cing-sun itu, terang dia telah tergugah hatinya
akan hubungan mereka masa lampau dan dengan mencaci maki itu Cing-sun telah
membuat ragu Buyung Hok dan tidak jadi membunuhnya.
Namun karena rindunya kepada
Toan Cing-sun selama belasan tahun berpisah ini telah membuat pikirannya banyak
berubah. Ketika dilihatnya tiga sosok mayat menggeletak di depannya, sebatang
pedang dengan berlumuran darah mengancam dadanya, sekonyong-konyong pikiran
sehatnya menjadi kabur.
Apalagi caci maki Cing sun
yang keji itu dengan menggunakan macam-macam kata rendah dan kotor sehingga
kalau dibandingkan sumpah setia mereka yang penuh kata-kata madu masa dahulu,
sungguh bedanya seperti langit dan bumi. Maka air matanya lantas bercucuran,
katanya, "Toan long, apakah engkau telah melupakan semua ucapanmu yang
pernah kaukatakan padaku dahulu? Apa sedikit pun engkau tidak memikirkan diriku
lagi? O, Toan-long, ketahuilah bahwa sampai detik ini aku masih tetap cinta
padamu. Kita sudah berpisah sekian lama, dengan susah-payah akhirnya baru kita
dapat bertemu seperti sekarang ini, tapi mengapa engkau
tidak sudi bicara secara ramah
padaku? ... apa engkau tidak pernah melihat pu ... putrimu yang kulahirkan si
Giok-yan ini? Apakah engkau tidak suka padanya?”
Diam-diam Cing-sun menjadi
kuatir, "Wah, tampaknya pikiran A Mong agak kacau. Kalau aku mengutarakan
sedikit perasaan cintaku padanya tentu jiwanya akan segera melayang dí ujung
pedang Buyung Hok."
Karena itulah ia lantas
membentak dengan suara bengis, "Perempuan keparat, kita sudah lama putus
hubungan, mengapa kamu masih ada muka untuk mengoceh! Hm, kalau bisa aku ingin
menghajarmu untuk melampiaskan rasa benciku padamu!"
"O, Toan-long, tega amat
kau!” seru Ong-hujin dengan menangis. Mendadak tubuhnya nubruk ke depan
sehingga tepat menerjang ujung pedang yang mengancam di depan dadanya.
Sesaat itu Buyung Hok menjadi
ragu apakah mesti menarik pedangnya atau tidak, namun tubuh Ong-hujin tahunya
sudah menerjang maju sehingga ujung pedangnya, maka darah segar lantas
menyembur keluar dari dada Ong-hujin.
"Toan long. O, Toan long,
tega benar kau!" Ong-hujin masih sempat berseru pula dengan suara gemetar.
Melihat tüsukan itu tepat
mengenai tempat yang mematikan dan terang bekas kekasih itu sukar tertolong
lagi. Seketika air mata bercucuran di pipí Toan Cing-sun, katanya dengan suara
parau, "A Mong, O. Mong, sebabnya aku mencaci-makí sebenarnya jüstru ingin
keselamataan dirimu. Pertemuaan kita hari ini sesungguhnya membuat hatiku girang
tak terkatakan, masa aku benci padamu, mana mungkin aku lupa padamu kita
dahulu, Cintaku padamu akan tetap suci bersih sebagaimana waktu kupersembahkan
setangkai bunga kamelia putih padamu."
Wajah Ong-hujin yang pucat itu
menampilkan senyuman puas, katanya dengan lemah, "Baiklah jika begitu,
memang aku yakin dalam lubuk hatimu tentu akan selalu terukir bayanganku dan
selamanya takkan pernah melupakan daku .... "
Begitulah makin lemah suaranya
ketika kepalanya miring ke samping dan mangkatlah dia.
"Nah, Tin-lam-ong,
perempuan yang kau cintai satu per satu telah mati bagimu, apa barangkali untuk
penghabisan kali istrimu yang sah ini pun tidak kaupikirkan dan akan dibiarkan
dia mati juga karena garagaramu?" ancam Buyung Hok dengan menjengek, ujung
pedang lantas mengancam pula dada Toan-hujin.
Tatkala itu Toan Ki masih
menggeletak di atas tanah, ia dengar Wi Sing-tiok, Cin Ang-bian, Ciong-hujin
dan Ong-hujin satu persatu telah binasa di bawah pedang Buyung Hok, bahkan
sekarang jiwa ibunya diancam pula untuk menggertak ayahnya, betapapun hubungan
darah antara Ibu dan anak melebihi segalanya, tentu saja Toan Ki kuatir dan
kelabakan. Sungguh ia ingin berteriak "Jangan menyentuh ibuku! Jangan
mencelakai ibuku!"
Tapi mulutnya tersumbat
sehingga tidak dapat bersuara sedikit pun, ia hanya berusaha meronta sekuatnya,
tapi hawa murni dalam tubuhnya seakan-akan buntu, sama sekali tak dapat
dikerahkan sedikit pun.
Dàlam pada itu terdengar
Buyung Hok berkata, "Tin-lam-Ong, aku akan menghitung tiga kali kalau kamu
tetap bandel dan tak mau berjanji akan menyerahkan tahta kepada Yan-khìng
thaicu maka dengan segera jiwa permaisurimu akan melayang juga.
"Jangan! Jangan
mencelakai ibukul" demikian Toan Ki hendak berteriak tapi suaranya sukar
diucapkan.
Syukurlah lamat-lamat ia
dengar Toan Yan khing sedang berkata kepada Buyung Hok, "Nanti dulu,
urusan ini harus kita pikirkan lebih panjang.”
"Gihu!" demikian
Buyung Hok menjawab. "urusan hari adalah maha penting dan menyangkut
rencana hari depan kita kalau dia tetap tidak mau berjanji untuk menyerahkan
tahta kepada Gihu, maka semua rencana kita akan gagal seluruhnya. Nah, satu
.... "
"Jika kau ingin aku
berjanji, lebih dulu harus kau penuhi suatu syaratku," tiba-tiba Cing-sun
menyela.
"Kalau mau bilang mau
jika tidak katakan tidak. Jangan kaukira aku dapat diakali dengan tipu mengulur
waktu. Nah, dua ... bagaimana?”
Cíng-sun menghela napas
panjang "Ya, apa mau dikatakan lagi, selama hidupku memang sudah penuh
berlumuran dosa, kalau sekarang bisa matí bersama-sama rasanya juga tidak
penasaran."
"Jadi kamu benar-benar
tidak mau menuruti? Nah, tiga ....”
Begitu kata "tiga"
diucapkan Buyung Hok, tertampak Toan Cin-sun lantas berpaling ke arah lain dan
tak menggubris lagi padanya.
Dengan murka baru saja Buyung
Hok hendak menusukkan pedangnya ke dada Toan hujin. Sekonyongkonyong bahu kanan
terasa ditumbuk sesuatu, tanpa kuasa ia tergeliat ke samping. Menyusul lantas
kelihaian Toan Ki melompat bangun dan menyeruduk ke arah perutnya dengan
kepala.
Karena tidak terduga-duga,
cepat Buyung Hok menerobos serudukan Toan Ki itu, pikirnya "Bocah ini
sudah kena sengat kawanan tawon beracun, dan terkena pula racun kabut bunga
merah, di bawah racun ganda ini mengapa dia masih dapat melompat bangun?"
Sebaliknya karena menyeruduk
tidak kena sasarannya, akhirnya kepala Toan Ki menyerempet tepian meja sehingga
kepalanya benjut. Dalam keadaân gugup dan kuatir ia tidak ingat kepalanya yang
benjut dan sakit itu. segera ia meronta sekuatnya dan entah dari mana datangnya
tenaga, tahu-tahu tali kulit yang mengikat kedua tangannya menjadi putus.
Kiranya semula karena hati
Toan Ki merasa berduka sehingga hawa murni dalam tubuhnya tersesat ke urat yang
salah. Kemudian ketika mendengar Buyung Hok hendak membunuh ibunya, saking
kuatir dan gugupnya ia menjadi lupa akan dirinya apakah terkena penyakit
Cau-hwe-jip-mo atau tidak karena itu hawa murni yang sesat jalan tadi secara
otomatis lantas masuk kembali ke jalan yang benar.
Hendaklah maklum bahwa seorang
yang berlatih iwekang adalah dengan jalan mencurahkan pikirannya untuk mengatur
tenaga dalam agar berjalan menuruti urat nadi yang tepat. Kalau sampai
Cau-hwe-jip-mo, yaitu tenaga dalam tersesat (kira-kira sama dengan penyakit
kelumpuhan) semakin merasa gelisah dan gugup dengan maksud hendak menarik
kembali jalannya hawa yang tersesat itu maka hasilnya akan terjadi sebaliknya
malah bukannya hawa sesat jalan itu àkan ditarik kembali sebaliknya makin
menjurus ke jalan yang salah.
Tapi sekarang yang terpikir
oleh Toan Ki adalah melulu keselamatan ibundanya dan hawa murninya tidak
terpengaruh oleh pikiran yang kacau tadi maka dengan sendirinya hawa murni itu
masuk kembali kejalan yang benar menurut arahnya. Waktu dia dengar Buyung Hok
mengucapkan kata-kata "tiga," seketika ia lupa dirinya berada dalam
ringkusan musuh dan segera melompat bangun terus menyeruduk ke arah suara
Buyung Hok jadi di luar dugaannya mendadak tubuhnya dapat bergerak kembali.
Begitu kedua tangannya
terlepas dari ringkusan tali kulit, demi mendengar Buyung Hok sedang memaki,
sebelum musuh sempat menyerang, terus saja ia mendahului mengeluarkan
"Siang-yang-kiam" dari Lak-mehsin-kiam yang lihai, kontan Jari
manisnya menuding ke arah Buyung Hok.
Pedang yang dipegang Buyung
Hok adalah pedang wasiat Man-to-san-ceng yang dapat memotong sayur. Ketika ia
hendak menusuk, tahu-tahu hawa pedang Toan Ki sudah menyambar tiba cepat ia
berkelit ke samping dañ kontan balas menusuk dengan pedangnya.
Saat itu kedua mata Toan Ki
masih tertutup oleh kain hitam, mulutnya juga masih tersumbat. Kalau mulut tak
bisa bicara sih tidak menjadi soal. Tapi mata tak dapat memandang di mana
beradanya musuh, karuan Toan Ki menjadi kelabakan, dalam gugupnya itu terpaksa
kedua tangannya bergerak ke sana dan ke sini, jarinya menuding secara serabutan
agar lawan tidak berani mendesak maju.
Diam-diam Buyung Hok membatin,
"Keadaan sudah berubah dan membahayakan, sebelum dia dapat melihat aku
harus mendahului membinasakan diä.”
Segera pedàngnya mengacung
lurus ke depan dengan gerak tipu "Tai-kang-long-liu" (sungai mengalir
ke timur) secepat kilat ia tusuk pula dada Toan Ki.
Saat itu kedua tangan Toan Ki
sedang bergerak ke sana-sini dan menuding serabutan. Ketika mendadak terdengar
angin tajam menyambar tiba, cepat ia berkelit, namun sudah terlambat sedikit,
"Cret” bahunya kena tusukan.
Karena kesakitan dengan gugup
Toan Ki meloncat mundur, di luar dugaan, "blang!". Tahu-tahu
kepalanya membentur belandar rumah dan tambah benjut.
Hendaklah maklum bahwa sesudah
Toan Ki berhasil menyedot tenaga dalam Cumoti di sumur kering itu, maka betapa
hebat kekuatannya boleh dikata sukar diukur lagi. Karena itulah hanya sedikit
meloncat saja tingginya sudah mencapa¡ belandar rumah.
Dalam keadaan masih terapung di
udara segera Toan Ki berpikir, "Mataku tak dapat melihat apa-apa, dengan
sendirinya aku tak dapat menyerang dia dengan jitu, sebaliknya setiap saat ada
kemungkinan aku akan dibunuh olehnya, wah, apa akalku sekarang? Jika melulu aku
yang terbunuh tidak menjadi soal, tapi ibu dan ayah tentu juga tak tertolong
lagi."
Dan karena tubuhnya terapung,
dengan sendirinya kakinya meronta-ronta, eh, di luar dugaan,
"praakk", tahutahu tali kulit yang meringkus kedua kaki pun putus
semua.
Karuan Toan Ki kegirangan,
"Bagus! Jika kedua kaki sudah dapat bebas bergerak, biarlah aku
menggunakan "Leng-po-wi-poh" untuk menghindarkan serangannya. Tempo
hari ketika dia menyamar sebagai Li Yan-cong dari Se He dan hendak membunuh aku
di rumah gilingan, dia juga tidak berkutik menghadapi langkahku yang ajaib
ini.”
Begitulah, maka sewaktu
sebelum kakinya baru saja menyentuh tanah, terus saja kaki yang lain menggeser
ke samping, sedikit badan mengegos, dengan tepat tusukan Buyung Hok yang
dilontarkan pun dapat
dihindarkannya.
Orang lain hanya melihat
berkelebatnya sinar pedang menyambar lewat di samping dadanya, selisihnya hanya
satu-dua senti saja, tampaknya sangat berbahaya, tapi gayanya sangat indah dan
langkah ajaib itu tak terlukiskan.
Sebenarnya hal ini pun secara
kebetulan saja, Coba kalau mata Toan Ki tidak tertutup dan tidak menggunakan
"Leng-po-wi-poh", karena dia sama sekali tidak mahir gerak ilmu
silat, maka dapat dipastikan jiwanya sudah melayang di ujung pedang Buyung Hok
yang tidak kenal ampun itu.
Dalam pada itu Buyung Hok
lantas pergencar serangannya, tapi tetap tidak dapat mengenai Toan Ki. Rupanya
ia menjadi gelisah dan merasa malu pula. Ia lihat Toan Ki tetap memakai kain
kedok, seakan-akan sengaja mempermainkan dia, karuan ia tambah panas hatinya.
Pikirnya, ”Terhadap seorang yang matanya tertutup kain saja aku tak mampu
menang, masakah aku masih ada muka untuk hidup di dunia ini?"
Begitulah, dengan mata merah
membara saking gemasnya, ia putar pedang secepat kitiran dan menyambar kian
kemari di ruangan itu, hanya dalam sekejap saja Toan Ki sudah terbungkus di
tengah lingkaran pedangnya.
Ruangan itu memang tidak
terlalu luas, maka semua orang, termasuk Toan Yan-khing, Toan Cin-sun,
Toanhujin, Hoan Hwa dan lain-lain ikut terdesak mundur oleh gemerlap sinar pedang
yang dingin tajam itu, maka mereka sampai merasa perih.
Sebaliknya Toan Ki tampak
dapat berjalan ke kanan dan melangkah ke kiri dengan seenaknya saja bagaikan
orang lagi berjalan-jalan iseng di taman. Dan aneh juga, biarpun Buyung Hok
putar pedangnya sedemikian gencarnya dan serangannya bertubi-tubi, tapi
hasilnya tetap nihil, sampai ujung baju lawan saja tak bisa menyenggolnya,
Karuan lama-lama Buyung Hok menjadi kelabakan sendiri dan seperti orang
kebakaran jenggot.
Dengan menggunakan langkah
ajaib "Leng-po-wi-poh", dengan sendirinya Buyung Hok sukar melukai
Toan Ki. Namun begitu Toan Ki sendiri menjadi ragu dan berpikir, ”Aku hanya
diserang melulu dan tak bisa balas menyerang, mataku tak kelihatan pula, Jika
mendadák ibu atau ayahku yang dia serang, wah tentu mereka akan celaka?"
Begitulah, rupanya ia tetap
lupa bahwa matanya hanya tertutup oleh selapis kain hitam saja, sedangkan
tangannya sekarang sudah bebas, mestinya dengan dampang kain hitam itu dapat
dilepaskannya. Namun ia tetap tidak pikir sampai ke situ.
Padahal hal itu yang
dipikirkan oleh Buyung Hok hanya Toan Kí seorang yang dianggapnya sebagai bibit
penyakit utama baginya. maka ia tidak berpikir untuk membunuh Toan-hujin atau
orang lain.
Akan tetapi meski dia sudah
menyerang berpuluh kali, bahkan sampai ratusan kali, tetap tidak mampu melukai
Toan Ki, apalagi hendak membunuhnya. Dalam gelisahnya tiba-tiba hatinya
tergerak, pikirnya, "Rupanya bocah íni mahir ilmu
"Thing-hong-pian-gi" (mendengarkan suara angin membedakan arah
serangan) untuk menghindari seranganku. Coba kalau aku ganti ilmu pedangku,
akan kuserang dengan pukulan supaya tidak mengeluarkan suara, dengan demikian
tentu bocah keparat ini tidak mampu menghindar.”
Maka mendadak ia perlambat
permainan pedangnya, ia ubah serangannya, tiba-tiba ia menusuk dengan pelahan
sehingga tidak mengeluarkan suara sambaran angin atau mendengingnya logam.
Ia tidak tahu bahwa
"Leng-po-wi-poh" yang dimainkan Toan Ki itu adalah semacam langkah
ajaib yang tersusun demikian rupa orangnya melangkah menurutkan apa yang sudah
teratur itu dan peduli musuh akan menyerang dengan cara bagaimana pun, biar
senjatanya mengeluarkan suara gemuruh bagai guntur atau menyambar secepat kilat
tanpa suara, semuanya itu tetap tiada sangkut-pautnya atau mempengaruhi langkah
ajaib itu. Sebaliknya jika lawan menyerang secara ngawur maka dengan mudah Toan
Ki akan dirobohkan malah. Jadi langkah ajaib ini susah diikuti oleh serangan
yang menurutkan ilmu silat sejati, sebaliknya mudah meruntuhkannya hanya dengan
serangan yang tak beratur yang ngawur.
Sebagài tokoh silat terkemuka
seperti Toan Yan-Khing mestinya ia dapàt menjajaki sampai dimana letak
kemujizatan kepandaian Toan Ki itu, tapi sejak diketahui pemuda itu adalah
putranya sendiri, mau-tak-mau ia lantas mencurahkan perhatian atas keselamatan
pemuda itu, dan karena perhatian itulah telah memencarkan perhatiannya. Maka
demi melihat Buyung Hok mengubah permainan pedangnya dan menusuk dengan tidak
mengeluarkan suara karuan ia terkejut, cepat ia berseru dengan suara dalam perut,
"Awas, Nak! Lebih baik lekas kau bunuh dia saja. Jika mendadak ia buka
kain hitam yang menutupi matanya itu tentu kita yang akan binasa
ditangannya."
Buyung Hok terperanjat dan
diam-diam memaki, "Sungguh goblok, bukankah ucapanmu ini berarti membikin
sadar musuh?”
Benar saja, ucapan Yan-khing
itu telah menyadarkan Toan Ki, untuk seketika ia tertegun, segera ia tarik
lepas kain hitam yang menutupi matanya itu.
Tapi sekonyong-konyong matanya
menjadi silau, pedang musuh yang mengkilat sudah menyambar sampai di mukanya.
Dasar Toan Ki memang tidak
mahir ilmu silat, lebih-lebih tiada pengalaman medan tempur karuan ia menjadi
kaget dan kelabakan atas
datangnya serangan itu, cepat ia berkelit sebisanya. Dan karena bingungnya itu,
langkahnya yang ajaib itü menjadi kacau. Dálam päda itu serangan susulan Buyung
Hpk yang lain sudah tiba pula, "cret", tanpa ampun lagi paha kiri
Toan Ki tertusuk kembali. Kontan pemuda itu terguling ke tanah.
Sungguh girang Büyung Hok
tidak kepalang segera ia memburu maju, kembali pedangnya menusuk lagi ke dada
Toan Ki.
Namun Toan Ki sempat siap
siaga, dengan setengah rebah di tanah segera ia memapak dengan jurus
"Siau-tikkiam".
Biarpun pahanya terluka dan
darah mengucur keluar bagai mata air, kedua tangannya dapat digerakan dengan
bebas, ia mainkan "Lak-meh-sin-kiam” yang lihai itu dengan menuding ke
atas dan ke bawah secara bertubitübi sehingga Buyung Hok berbalik terdesak dan
sükar menangkis.
Waktu di Siau-sit-san tempo
hari juga Buyung Hok sudah pernah dibikin keok oleh Toan Ki, apalagi sekarang
iwekang Toan Ki sudah bertambah kuat dengan tenaga dalam yang disedotnya dari
Cumoti. Keruan betapa lihai Lak-meh-sin-kiam yang dimainkannya boleh dikata
tiada bandingannya.
Hanya dalam beberapa jurus
saja lantas terdengar suara ”cring” sekali, pedang Buyung Hok terlepas dari
cekalan, mencelat ke atas dan menancap di belandar rumah. Bahkan menyusul
terdengar pula "cret" sekali, bahu Buyung Hok terluka oleh tusukan
hawa padang Lak-meh-sing-kiam.
Setelah pedang terpental dan
bahu terluka, Buyung Hok insaf bila ayal sejenak lagi di situ tentu akan mati
konyol dibunuh oleh Toan Ki. Maka sambil menjerit keras-keras sekali, cepat ia
melompat keluar dan melarikan diri.
Pelahan Toan Ki merangkak
bangun dan berseru, "Ibu, ayah, kalian tidak terluka?”
Tapi ibunya balas berseru.
"lekas robek kain bajumu dan balut dulu lukamu!"
"Ah, tak apa-apa,"
sahut Toan Ki. Segera ia ambil botol kecil, yang masih dipegang Ong-hujin yang
sudah tak bernyawa itu dan diserahkan kepada ibunya.
Hanya beberapa kali saja
mengendus isi botol itu segera Toan-hujin merasa segar kembali, lalu nyonya itu
membalut luka Toan Ki.
Kemudian Cing-sun memberi
petunjuk kepada Toan Ki cara mengarahkan tenaga untuk membuka hiat-to semua
orang yang tertutuk itu, lalu diberi cium obat penawar dalam botol kecil itu
untuk menawarkan racun kabut bunga merah. Akhirnya cuma tinggal Toan Yan-khing
saja seorang yang masih meringkuk di kursinya dalam keadaan lumpuh tak
berkutik.
Mendadak Cing-sun melompat ke
atas, ia cabut pedang yang menancap di belandar yang ditinggalkan Buyung Hok
tadi. Ujung pedang ìtu berlumuran darah Wi Sing-tiok. Cín Ang-bian, Ciong-hujin
dan Ong-hujin berempat. Setiap wanita itu pernah bersumpah setia dengan
Cing-sun dan mempunyai ikatan jiwa-raga yang mendalam.
Meski watak Toan Cing-sun itu
bangor dan cintanya tidak teguh, tapi setiap kali bila dia mencintai seorang
wanita, maka kasih yang dicurahkannya juga sangat tulus dan tidak segan-segan
berkorban apa pun bagi kekasih itu.
Hendaklah maklum bahwa negeri
Tayli terletak dì wilayah selatan yang terpencil di mana hidup suku-suku bangsa
yang adat istiadatnya tidak sama dengan bangsa Han, mereka tidak terikat oleh
adat kuno yang mengekang kebebasan dan tidak terlalu memandang penting soal
kesucian wanita sebelum kawin. Sebab itulah meski Cing-sun adalah seorang
ksatria persilatan, tapi dalam hal wanita cantik ia tak bisa mengekang diri
sehingga banyak utang cinta di dunia kangouw.
Sekarang dilihatnya mayat
keempat wanita bekas kekasihnya itu bergelimpangan di atas tanah, kepala
Onghujin berbantalkan paha Ciu Ang-bian, badan Ciong-hujin melintang di atas
perut Wi sing-tiok. Keempat mereka itu pada masa hidupnya pernah merasa
kerinduan kasihnya dan lebih banyak duka dari pada sukanya, bahkan akhirnya
berkorban jiwa pula baginya.
Tadi waktu Wi Sing-siok
dibunuh oleh Buyung Hok, tatkala itu Cing-sun sudah bertekad akan ikut bunuh
diri, sekarang ia lebih-lebih tiada pilihan lagi, pikirnya, "Anak Ki
sekarang sudah dewasa dan serba pintar, untuk selanjutnya kerajaan Tayli tidak
perlu kuatir tak ada kepala negara yang bijaksana, bagiku menjadi lebih-lebih
tidak perlu berkuatir apa-apa lagi."
Tiba-tiba ia berpaling dan
berkata kepada sang istri, "Hujin, aku telah berdosa padamu, Dalam hatiku,
para wanita ini serupa dengan dirimu, semuanya jantung hatiku, cintaku kepada
mereka adalah tulus dan sungguhsungguh, cintaku kepadamu juga tulus dan
murni!"
"Kakak Sun, kau ...
jangan ..... " Teriak Toan-hujin sambil menubruk ke arah sang suami.
Tadi karena Toan Ki ingin
menolong ibunya, maka sekaligus ia mengerahkan tenaga untuk melabrak Buyung
Hok, tapi kemudian setelah
Buyung Hok melarikan diri, sesudah rasa kuatirnya hilang, sekonyong-konyong ia
ingat, ”He, tadi aku dalam keadaan lumpuh, kenapa mendadak sudah baik?”
Karena kejutnya itu, kembali
ia roboh, badan meringkuk lemas dan tak sanggup berdiri lagi.
Dalam pada itu terdengar
jeritan ngeri Toan-hujin, ternyata Toan Cing-sun telah menobloskan pedang ke
dada sendiri. Cepat Toan-hujin mencabut keluar pedang itu dan menutup luka sang
suami dengan sebelah tangannya sambil menangis, "O, engkoh Sun, biarpun
engkau mempunyai seratus atau seribu wanita lain juga aku tetap cinta padamu.
Terkadang aku memang marah dan dendam padamu, namun ... namun ... semuanya itu
sudah lalu .... "
Tikaman Toan Cing-sun atas
dada sendiri itu tepat mengenai jantung, begitu pedang masuk dada seketika pula
jiwanya melayang, maka ia tidak sempat lagi mendengarkan jerit tangis sang
istri.
Segera Toan-hujin membalik
ujung pedang ke arah dadanya sendiri, dan baru saja hendak ditusukkan,
tiba-tiba terdengar teriakan Toan Ki, "Ibu! ... "
Dan karena sedikit ayalnya
itu, arah pedang menjadi melenceng dan menusuk ke dalam perut.
Melihat ayah ibunya sama mati
dengan membunuh diri, sungguh kaget Toan Ki tak terkatakan, kaki terasa lemas,
terus ia merangkak mendekati kedua orang tua yang berlumuran darah dan
mengeletak itu.
"Ibu! Ayah! Kalian meng
... mengapa .... "
"Anakku, ayah dan ibu
akan mangkat, hen ...... hendaknya jaga dirimu sendiri dengan baik” pesan
Toan-hujin dengan lemah.
”Ti ... tidak ibu! Jang ...
jangan kau tinggalkan anak! Ayah! Dia ... dia bagaimana? Demikian seru Toan Ki
sambil menangis dan merangkul pundak sang ibu. Maksudnya hendak mencabut pedang
yang menancap di perut ibunya itu, tapi kuatir pula kalau pedang dicabut
mungkin akan mempercepat kematian orang tua itu.
”Kau ... harus ... harus
meniru pamanmu. Nah, jadilah seorang raja yang ... yang baik, seorang raja yang
arif," pesan Toan-hujin.
Tiba-tiba terdengar Toao
Yan-khing berkata, ”Lekas berikan obat penawar itu padaku, biar aku yang
menolong ibumu.”
Tapi Toan Ki menjadi gusar,
bentaknya, "Semuanya gara-garamu si bangsat tua ini, kamu yang menangkap
ayahku sehingga dia terbinasa. Dendamku padamu sedalam lautan!"
Mendadak ia melompat bangun,
ia sambar sebatang tongkat Toan Yan-khing yang terjatuh di lantai tadi, dengan
tongkat itu segera ia hendak mengepruk kepala Toan Yan-khing.
"Jangan!"
sekonyong-konyong Toan-hujin menjerit.
Toan Ki tercengang, tanyanya
sambil menoleh, "Ibu. bangsat ini musuh utama kita, biarlah anak
membalaskan sakit hatimu dan ayah."
Namun Toan-hujin tetap berseru
dengan suara tajam, "jang ... jangan berbuat kesalahan demikian!”
"Aku .... aku berbuat
salah?" Toan Ki menegas dengan penuh tanda tanya. Tapi ia lantas
menggertak gigi dan membentak pula, "Tidak, aku harus membunuh bangsat
ini!”
Dan segera ia angkat tongkat
pula.
"Nanti dulu!" teriak
Toan-hujin. "Coba kemari, ingin kukatakan padamu."
Segera Toan Ki berjongkok dan
menempelkan telinganya ke tepl bibir sang ibu, ia dengar ibunya membisikinya,
"Nak, Toan Yan-khing ini sebenarnya ayahmu yang tulen, Soalnya karena
suamiku berbuat salah padaku, dalam marahku aku pun berbuat sesuatu yang menyeleweng
dan akhirnya terlahir dirimu. Hal ini tak diketahui suamiku, dia tetap mengira
kamu adalah anaknya, padahal bukan. Jadi ayahmu yang sebenarnya ialah Toan
Yan-khing ini, maka tak boleh kau bunuh dia, kalau ... kalau kamu membunuhnya
berarti berbuat durhaka. Selamanya aku tak pernah suka padanya, tapi kamu tak
boleh ikut berdosa dan berbuat salah sehingga kelak bila kamu mangkat tak ....
takkan mencapai nirwana. Mestinya aku tidak ingin memberitahukan hal ini padamu
agar tidak merusak nama baik suamiku, tapi ... tapi apa daya, terpaksa
kukatakan ...."
Begitulah dalam waktu singkat
kejadian yang sama sekali di luar dugaan bagaikan bunyi halilintar susul
menyusul membuat Toan Ki terlongong-longong dan sangsi, hampir-hampir ia
tidakpercaya pada telinganya sendirinya.
"Mak.. tapi ini tidak
betul, ini ... ini tidak betul!" seru Toan Ki sambil tetap merangkul
ibunya.
”Lekas berikan obat penawar
padaku agar ibumu dapat tertolong.” Yan-khing berseru pula.
Melihat keadan ibunya makin
payah. Toan Ki tak sempat banyak berpikir lagi, segera ia jumput kembali botol
porselen kecil tadi untuk menawarkan racun yang disedot Toan Yan-khing tadi.
Sesudah pulih kembali
tenaganya, segera Yan-khing menjemput tongkatnya. "crit-crit-crit",
beruntun ia tutuk beberapa tempat hiat-to di sekitar luka Toan-hujin.
"Jang ... jangan kau
sentuh tubuhku lagi," kata Toan-hujin sambil mengoyang-goyang kepala. Lalu
bertanya pula kepada Toan Ki, "Nak, aku ingin bicara lagi padamu.”
Segera Toan Ki menempelkan
telinganya ke tepi mulut sang ibu.
Dengan berbìsik-bisik
Toan-hujin berkata padanya, "Meski Toan Yan-khing ini sesama she dan satu
angkatan dengan suamiku Toan Cing-sun tapi mereka bukan saudara sekandung. Maka
beberapa putriku yang terlahir dari lain ibu itu seperti nona Bok, nona Ong,
nona Ciong dan lain-lain, asal kamu suka boleh pilih yang mana saja untuk
kawin, bahkan bila senang boleh juga kau ambil semuanya, sebagai seorang raja
bila kelak naik tahta, adalah jamak bila mempunyai beberapa istri. Mungkin
bangsa Han mereka hanya pantangan tentang sesama she tak boleh menikah dan
sebagainya, tapi kita adalah orang Tailì dan tidak peduli adat istiadat kuno
itu, asal bukan saudara sekandung boleh kauambil sebagai istri."
Toan-hujin menghela napas,
katanya pula, "Anakku yang baik, sayang aku tak dapat menyaksikan sendiri
dirimu mengenakan jubah kebesaranmu dan duduk di atas singgasanmu, tapi Aku
tahu, kamu pasti akan menjadi seorang kepala negara, seorang pemimpin rakyat
yang arif dan bijaksanan.”
Sampai di sini
sekonyong-konyong ia tekan gagang pedang sehingga senjata yang maha tajam itu
menembus perutnya.
"Mak!” jerit Toan Ki
sambil menubruk tubuh sang ibu. Ia lihat ibunya pelahan memejamkan mata dengan
tersenyum.
Pada saat lain
sekonyong-konyong ia merasa punggung terasa kaku, menyusul beberapa hiat-to
bagian pinggang, kaki dan bahunya juga ditutuk orang. Lalu terdengar suara
orang yang sangat lirih tapi jelas berkumandang ke telinganya, ”Aku adalah
ayahmu, Toan Yan-khing. Demi untuk menjaga pamor Tin-Lamong, Anak Ki aku
sengaja bicara padamu dengan menggunakan ilmu ”Thoan-im-jip-bit” (semacam ilmu
mengirim gelombang suara). Apakah kau dengar apa yang dikatakan ibumu tadi?”
Kiranya biarkan Toan-hujin
kepada Toan Ki tadi meski sangat lirih tapi tatkala itu Toan Yan-khing sudah
sembuh dari keracunan, iwekangnya sudah pulih, maka ia dapat mendengar
pembicaan Toan-hujin dan mengetahui nyonya itu telah membeberkan rahasia mereka
dahulu.
Tapi dengan cepat Toan Ki
menjawab, "Aku tak mendengar, aku tidak mendengar apa-apa! Aku hanya menginginkan
ayah dan ibuku sendiri?"
Yan-khing menjadi gusar,
katanya, ”Jadi kamu tidak mau mengakui aku sebagai ayahmu?”
”Tidak! Tidak! Aku tidak
percaya! Tidak percaya!” seru Toan Ki.
"Saat ini jiwamu
tergenggam dalam tanganku untuk membunuhmu adalah terlalu mudah bagiku. Apalagi
sebenarnya kamu memang putraku, sekarang kamu tidak mengakui ayahmu sendiri
bukankah kamu ini anak yang tidak berbakti?”
Toan Ki tak bisa menjawab. Ia
percaya apa yang dikatakan ibunya itu memang betul. Tapi selama lebih 20 tahun
ini ia memanggil Toan Cing-sun sebagai ayah, selama itu pula Cing-sun juga
sangat kasih-sayang padanya. sudah tentu ia tidak tega mengesampingkan Toan
Cing-sun untuk mengaku ayah kepada orang yang selama ini tiada sesuatu hubungan
kekeluagaan dengan dirinya? Bahkan sekarang ayah-ibunya sudah meninggal semua,
kematian mereka boleh dlkata adalah gara-gara perbuatan Toan Yan-khing, sudah
tentu hal ini semakin membuatnya serba salah untuk mengakui musuh sebagai ayah.
Karena pikiran demikian,
dengan ketus Toan Ki menjawab, "Tidak, biarpun kau bunuh aku tetap aku
takkan mengakuimu."
Keruan Yan-khing tambah murka,
pikirnya, "Meski aku punya seorang putra, tapi putra ini tidak sudi
mengakui aku sebagai ayahnya, hal ini sama dengan tidak punya anak.”
Dalam kalapnya pikiran
jahatnya lantas timbul tongkat diangkat dan segera hendak mengetuk punggung
Toan Ki.
Tapi baru saja ujung tongkat
menyentuh baju punggung pemuda itu, tiba tiba hatinya menjadi lemah, ia
menghela napas panjang, katanya di dalam hàti, "Aku telah hidup sengsara
selama ini, di dunia tiada seorang pun dekat denganku, akhirnya dapat díketahui
aku mempunyai seorang putra, mengapa aku tega membunuhnya pula dengan Tanganku
sendiri? Ya, sudahlah baik dia akan mengakui aku atau tidak, betapapun dia
tetap anak keturunanku."
Kemudian terpikir pula
olehnya, ”Sekarang Cing-sun sudah mati, dengan sendirinya anakku ìnilah yang
menjadi ahliwaris kerajaan Tayli, jadi tahta kerajaan Tayli akan kembali lagi
kepada orang keturunan lurus ayahku. Biarpun aku tidak berhasil menjadi raja,
tapi anakku yang akan naik tahta. Hal ini pun sama saja dan cita-citaku selama
ini boleh dikatakan sudah tercapai dan terkabul."
Dalam pada itu terdengar Toan
Ki lagi berteriak padanya, "Kamu hendak membunuh aku, kenapa tidak lekas
kaulakukan?"
Tapi Yan-khing lantas menepuk
Hìat-to Toan Ki yang tertutuk. lalu berkata padanya tetap dengan gelombang
suara yang lembüt, "Aku takkan membunuh putraku sendiri. Jika kamu tidak
mau mengakui aku, maka boleh kau gunakan Lak-meh-sin-kiam untuk membunuh aku,
bolah kau tuntaskan balas bagi kematian Toan Cing-sun suami-istri."
Habis berkata, dengan
membusungkan dada ia menantikan ajalnya yang akan ditimpahkan oleh Toan Ki
padanya.
Dalam saat demikian hati Toan
Yan-khing merasa penuh penyesalan dan pedih, perasaan yang sudah memenuhi
rongga dadanya sejak dia terluka parah sehingga menjadi cacad. Untuk
melampiaskan perasaan dendamnya itu selalu ia berbuat segala kejahatan yang
melampaui batas. Tapi sekarang ia merasa selama hidup ini hanya dilewatkan
dengan percuma saja, maka lebih baik mati di tangan putranya sendirl dan
segalanya akan menjadi impas.
Toan Ki mengusap air matanya,
perasaannya menjadi bimbang. Pikirnya hendak menggunakan Lak-Meh-sinkiam untuk
membunuh maha durjana di depan matanya ini guna membalas sakit hati
ayah-ibunya, namun pesan sang ibu pada sebelum mangkat sayup-sayup berkumandang
pula ditelinganya, musuh ini justru adalah ayahnya yang sebenarnya, cara
bagaimana ia dapat membunuhnya?
Sesudah menunggu sejenak dan
Toan Ki masih ragu, jari pemuda itu sudah mulai menuding, tapi lantas
diturunkan pula ke bawah, diangkat lalu ditarik kembali lagi, rupanya pemuda
itu tatap bimbang untuk turun tangan.
Maka dengan dingin Yan-khing
berkata, "Seorang laki-laki sejati, kalau mau berbuat harus segera
lakukan, kenapa mesti ragu-ragu dan takut-takut?”
Tapi dengan menggertak gigi
akhirnya Toan Ki tetap menarik kembali tangannya, katanya, "Ibu tentu
tìdak mendustai aku. Aku takkan membunuhmu.”
Sungguh girang ToanYan-khing
tak terlukiskan, ia terbahak-bahak senang. Ia tahu akhirnya sang putra toh
mengakui ayah juga padanya. Maka puaslah dia. Segera ia jemput kembali kedua
tongkatnya dan melangkah pergi. Sampai In Tiong-ho yang masih mengeletak
sadarkan diri itu pun tak dipedulikan lagi.
Dengan harapan kalau-kalau
ayah-ibunya masih hidup, maka Toan Ki coba memeriksa kedua orang tua itu, tapi
denyut nadi mereka sudah berhenti, terang tiada mungkin hidup kembali. Maka tak
tahan lagi air matanya bercucuran dan duduk lemas dilantai.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara seorang wanita berkata padanya. ”Harap Toan-kongcu jangan
berduka. Kami terlambat datang menolong, sungguh kami pantas dihukum
mati."
Waktu Toan Ki menoleh, ia
lihat di depan pintu berdiri tujuh atau delapan orang wanita dengan dipimpin
oleh dua orang yang wajahnya seperti pinang dibelah dua. Segera ia kenal mereka
adalah kawanan dayang Hi-tiok di Leng-ciu-kiong, Cuma siapa kedua dayang kembar
itu ia tidak sanggüp membedakannya.
Dengan air mata masih
berlinang Toan Ki menjawab dengan terguguk-guguk, "Ayah-ibuku telah
dibunuh orang!”
Kiranya kedua dayang kembar
yang datang itu adalah Tiok-kiam dan Kiok-kiam. Segera Tiok kiam berkata,
"Toan-kongcu,ketika majikan kami mendapat kabar akan bahaya yang mengancam
ayah Kongcu dalam perjalanan segera beliau memerintahkan hamba bersama para
kawan memburu kemari untuk menolong, cuma sayang agak terlambat kedatangan
kami."
"Nona Ong yang terkurung
di suatu kamar tahanan sekarang sudah kami selamatkan, haräp Köngcu jangan
kuatir," lapor Kiok-kiam.
Sejenak kemudian, tiba-tiba
dari jauh berkumandang suara suitan ramai. Maka berkata pula Tiok-kiam, ”Itu
dia, Bwe-cici dan lam-cici juga sudah datang semua.”
Tidak lama kemudian, belasan
penunggang kuda telah sampai di depan rumah dengan dipimpin oleh bwe-kiam dan
Lam-kiam. Dengan langkah cepat kedua dara itu menerobos ke dalam rumah, ketika
melihat mayat bergelimpangan di situ, berulang mereka mengentak kaki dan menyatakan
menyesal.
Kata Bwe kiam sambil memberi
hormat kepada Toan Ki, "Majikan kami menyampaikan salam kepada Toankongcu,
beliau merasa ada suatu hal telah sangat merugikan Toan-kongcu, tapi beliau
terpaksa berbuat demikian, jalan lain tidak ada, Untuk itu majikan hanya mohon
Toan-kongcu suka memberi maaf, sungguh beliau merasa malu untuk menemui
Toan-kongcu."
Toan Ki sendiri tidak paham
apa yang dikatakan dayang itu (mengenai putri Se He yang sekarang telah
diperistri oleh Hi-tiok) ) ia hanya menjawab dengan masih terguguk-guguk,
"Kami adalah saudara angkat sendiri, sudah tentu tidak perlu
sungkan-sungkan. Sekarang ibu dan ayahku sudah meninggal dunia, masa aku sempat
memikirkan urusan tetek-bengek lagi?”
Dalam pada itu Hoan Hwa, Siau
Tiok-sing dan Ting Su kui bertiga juga sudah sembuh dari keracunan setelah
mencium obat dalam botol porselen kecil itu, hiat-to mereka yang tertutuk juga
sudah punah. Ketika melihat In Tiong-ho masih menggeletak di tanah, seketika
Siau Tiok-sing menjadi gusar, sekali goloknya membacok, kontan tubuh
"Kiong-hion-kek-ok" In Tiong-ho terkutung menjadi dua.
Lalu ketiga orang memberi
hormat kepada jenazah Tin-lam-ong suami-istri dan menangis sedih.
Esok paginya Hoan Hwa dan
lain-lain membagi tugas dan sibuk mengurus layon Tin-lam-ong suami istri.
Sampai lohor, para dayang Leng-ciu-kiong juga telah datang dengan membawa
Giok-yan, Pah thian-sik, Cu Tan-sin, Ciong ling dan lain-lain. Mereka keracunan
akibat sengat tawon yang berbisa itu, maka sampai saat itu mereka masih
tertidur nyenyak tak sadarkan diri.
Melihat Giok-yan dalam keadaan
baik-baik walaupun belum sadar, di samping berduka Toan Ki menjadi sangat
girang pula. Segera ia menyaksikan jenazah kedua orang tua dlmasukkan ke dalam
peti. Begitu pula jenazah Ong-hujin dan lain-lain.
Tempat di mana mereka berada
itu sudah termasuk wilayah negeri Tayli. Ketika Hoan Hwa memberikan perintah
setempat, karuan para pembesar dan petugas setempat kaget dan ketakutan
setengah mati. Tin-lamong suami istri mendadak meninggal di wilayah kekuasaan
mereka tanpa diketahui oleh mereka, sungguh tanggung-jawab ini tidaklah kecil.
Maka dengan tergopoh-gopoh kawanan pembesar itu sibuk mengumpulkan orang untuk
mengurus dan mengantar layon Tin-Lam-ong dan lain-lain.
Sesudah Giok-yan, Pah
Thian-sik. Ciong Ling dan lain-lain sadar kembali dan mengetahui ibu dan
junjungan mereka telah meninggal, dengan sendirinya mereka pun sangat berduka.
Dan karena kuatir terjadi apa-apa di
tengah jalan, maka para dayang
Leng ciu-kiong ikut mengantar rombongan Toan Ki sampai di kotaraja Tayli.
Berita tentang wafatnya
Tin-lam-ong dalam perjalanan dan jenazah telah dibawa pulang oleh putra mahkota
sudah tersiar luas di kotaraja, maka berbondong rakyat menyambutnya dengan
duka-cita sepanjang jalan. Toan Ki langsung menuju ke keraton untuk memberi
lapor tentang kematian ayah-ibundanya kepada sang paman baginda, sedangkan
Giok-yan dan lain-lain diatur tempat pondokannya oleh Cu Tan-sin.
Setiba di istana Toan Ki
melihat pamannya, yaitu Toan Cing-bing, menangis sedih sehingga matanya merah
bandol. Begitu melihat Toan Ki, terus saja Toan Cing-bing berseru, "O.
anakku.. bag ... bagaimana bisa terjadi demikian?"
Dan kedua orang lantas saling
rangkul dengan penuh duka.
Toan Ki tak berani berbohong,
ia menceritakan segala apa yang terjadi, bahkan tentang apa yang didengarnya
dari pesan Ibunya juga diceritakan seluruhnya. Habis menutur lalu ia beri
sembah kepada sang paman, "Jika ayah ternyata bukan ayah sah anak maka
jelas anak adalah orang yang tak genah untuk selanjutnya tak dapat berdiam lagi
dalam istana."
Diam-diam Cing-bing tercengang
selama mengikuti cerita Toan Ki itu, berulang ia menghela napas akan karma
peristiwa itu. Ia peluk Toan Ki dan berkata, "Nak, seluk-beluk tentang hal
ayahmu hanya kamu dan Toan Yankhing saja yang tahu, mestinya tidak perlu kau
beritahukan padaku sejelas ini, tapi tetap kau tuturkan tanpa dusta sedikit
pun, hal ini menandakan kejujuranmu. Aku dan ayahmu memang tiada punya
keturunan, jangankan kau aslinya memang she Toan, sekalipun bukan orang she
Toan juga aku sudah bertekad akan mengangkat dirimu sebagai ahliwarisku.
Tahtaku ini memangnya milik Yan-khing Thaicu, aku telah mengangkangi selama
puluhan tahun, diam-diam aku sendiri pun merasa malu, sekarang kita telah
diatur sedemikian rupa oleh takdir, sungguh sangat kebetulan dan baik
sekali."
Habis berkata ia terus
menanggalkan kopiah kain kuning yang dipakainya sehingga kelihatan kepalanya
yang gundul kelimis dengan bekas selomotan dupa, yaitu tanda orang yang sudah
dibaptiskan menjadi murid Budha.
Toan Ki terkejut, serunya,
"He, paman engkau ... "
"Ya, tempo hari waktu
menghadapi Cumoti, di Thian-long-si aku sudah dibaptiskan oleh Suhu dan diberi
nama Thian-tim, hal ini kausendiri pun menyaksikan," kata Cing-bing.
"Waktu itu sebenarnya segera akan kuserahkan tahta kepada ayahmu. Cuma
ayahmu tatkala itu masih berada di Tionggoan, negara tidak boleh tanpa pimpinan
terpaksa kumohon restu guruku untuk sementara memangku jabatanku sampai
pulangnya ayahmu. Siapa duga ayahmu telah meninggal dalam perjalanan, maka
sekarang biarlah aku mewariskan tahtaku ini kepadamu."
Keruan Toan Ki terperanjat,
sahutnya. "Mana anak berani? Usia anak terlalu muda dan tiada punya
pengalaman, mana berani kujabat kedudukan setinggi ini? Apalagì asal usul anak
tidaklah jelas lebih baik biarlah anak mengasingkan diri saja ..."
"Tentang asal-usulmu
untuk selanjutnya tidak boleh disebut-sebut lagi," bentak Toan Cing-bing.
"Aku hanya ingin bertanya bagaimana ayah-ibumu terhadapmu selama
ini?"
"Budi kebaikan kedua
orang tua sungguh sedalam lautan dan setinggi gunung," sahut Toan Ki
dengan terguguk.
"Nah, jika kauingin
membalas budi kebaikan orang tua, maka harus kaujaga nama baik mereka."
ujar Cingbing. "Untuk menjadi raja yang baik harus selalu ingat dua hal.
Pertama, cinta kepada rakyat. Kedua, dapat menerima saran-saran dan kritikan
Watakmu memang jujur dan welas-asih, rasanya kaupun takkan berbuat
sewenang-wenang terhadap rakyat. Cuma kelak bila usiamu sudah mulai menanjak,
janganlah sekali-kali menganggap dirimu, maha pandai dan timbul pikiran yang
melampaui batas, umpamanya timbul maksud hendak mengganggu persahabatan dengan
negeri tetangga ingin menjajah dan sebagainya .... "
Jika di kerajaan Tayli Toan
Cing-bing sedang menurunkan tahtanya kepada anak keponakannya, yaitu Toan Ki
dengan pesan agar cinta kepada rakyat dan dapat menerima saran dan kritik serta
jangan sekali-kali timbul pikiran hendak menggangu atau mencampuri urusan dalam
negeri tetangga. Adalah pada waktu yang sama, jauh di kota raja Song sana juga
telah terjadi peristiwa tinggi.
Tatkala itu Ibu suri yang
memegang tampuk pimpinan sementara sebagai raja sedang sakit keras. Dìa sedang
memberi pesan kepada cucunya, Tio Hi, yang kini sudah berusia 18 tahun (karena
usianya masih muda, maka ibu suri untuk sementara menjabat sebagai Mangkubumi
dan sudah berjalan hampir 10 tahun).
Tio Hi itu dalam sejarah
terkenal sebagai kaisar Ciat-cong. Dia naik tahta dalam usía sembilan tahun
dengan didampingi neneknya sebagai Màngkubumi. Namun dengan bertambahnya umur,
bertambah pula ambisinya. Maka pada saat ibusuri (neneknya) dekat dengan ajalnya,
dlpanggilnya sang cucu dan diberi pesan sebagaimana tersebut di atas.
"Nak, kamu sudah menjadi
raja selama sembilan tahun," demikian kata ibusuri lebih lanjut.
"Akan tatapi, selama sembilan tahun ini yang benar-benar menjadi raja
adalah nenekmu, segala urusan diputuskan oleh nenek, maka ... maka kamu tentu
sangat marah dan benci kepada nenekmu bukan?"
"Mana cucu berani marah
dan benci kepada nenek?" sahut Tío Hi. Nenek sudi mewakilkan cucu sebagai
raja
dan mengerjakan sesuatu yang
sebenarnya adalah tugasku sehingga aku tidak perlu susah, hal ini justru sangat
menyenangkan cucu."
lbusuri menghela napas, lalu
katanya pula dengan pelahan, "Al, kamu mirip sekali dengan ayahmu, pintar
lagi cekatan, selalu ingin melakukan sesuatu usaha besar-besaran. Aku tahu
dalam hati tentu kau benci padaku."
Tio-Hi tersenyum, sahutnya,
'"Nenek tentu kenal watak cucu. Tapi semua orang penting dalam istana ini
adalah orang kepercayaan nenek, begitu pula para pembesar adalah nenek sendiri
yang mengangkatnya, cucu selainnya menurut kepada segala perintah nenek dapat
berbuat apa?”
"Jadi yang senantiasa kau
harapkan adalah seperti sekarang ini, asal aku mati dan kamu akan punya
kesempatan untuk berkuasa secara penuh, begitu?" tanya Ibusuri dengan
suara ketus.
"Segala apa yang dimiliki
cucu ini seluruhnya adalah pemberian nenek, waktu ayah baginda wafat dahulu,
kalau nenek tidak berkeras mengangkat cucu, tentu para pembesar telah
mengangkat kakak pangeran yang lain. Maka atas budi kebaikan nenek, mana cucu
berani melupakannya Hanya saja ... hanya saja .... "
"Hanya apa?" ibusuri
menegas. "Apa yang ingin kaukatakan boleh katakan terus terang saja,
kenapa mesti gelagapan dan mundur maju?”
"Begini nenek,"
sáhüt Tío Hi. "Pernah cucü dengar cerita orang, katanya sebabnya nenek mau
mengangkat cucu sebagai raja adalah lantaran usiaku masih terlalu kecil
sehingga nenek sendiri dapat pegang kemudi pemerintahan."
Habis mengucapkan kata-kata
itu, hati Tio Hi berdebar-debar, ia coba melirik keluar pintu, ia lihat para
Thaikam (orang kasim) yang berjaga di luar itu adalah dayang kepercayaan
sendiri, semuanya bersenjata, penjagaan cukup keras. Maka tenanglah
perasaannya.
Ibusuri tampak manggut-manggut,
katanya kemudian, "Ya, apa yang kaukatakan memang betul. Aku memang ingin
memegang kemudi pemeritahan sendiri, makanya aku sengaja mengangkat dirimu yang
masih kecil sebagai pengganti ayahmu. Dan selama sembilan tahun ini bagáimana
dengan pemerintahan di bawah pimpinanku?"
Tío Hi mengeluarkan segulung
kertas, katanya, ”Nenek, menurut pembesar negeri tetangga, seperti kerajan
Korea, mereka banyak memberi sanjung puji kepada nenek, katanya selama sembilan
tahun ini nenek telah banyak memajukan kesejahteraan negara dan rakyat. Kukira
semua íni nenek sendiri pun sudah mendapat laporan. Dan barusan ada orang kita
pulang dari utara, katanya perdana menteri Liau telah mengajukan petisi
kepada rajanya, dalam petisi
itu disinggung tentang politik pemerintahan nenek selama ini. Karena hal ini
adalah penilaian pembesar negeri musuh, apakah sekiranya nenek suka
mendengarkannya?”
Jilid 85
"Apakah dipuji atau
dicaci-maki, masa-bodohlah! Yang terang ajalku sudah takkan lebih lama lagi
daripada ma ... malam ini, entah matahari esok pagi dapat kulihat pula atau
tidak? Coba ... apa yang dikatakan perdana menteri negeri Liau itu?"
Rupanya meski Ibusuri tahu
ajalnya sudah sampai dan takkan bertahan sampai besok paginya, tapi rasa bangga
dan ingin tahunya tetap mendorongnya bertanya tentang petisi perdana menteri Liau
yang diajukan kepada rajanya yang menyangkut namanya itu.
Maka berkatalah Tio Hi,
"Menurut petisi perdana menteri Liau itu, katanya selama nenek memerintah
negari ini keadaan aman tentram, rakyat hidup sejahtera, katanya nenek pandai
memakai tenaga yang cakap, membuang peraturan yang merugikan rakyat dan
mengandalkan peraturan baru yang bijaksana. Pemerintahan di bawah pimpinan
nenek bersih dari korupsi, begitu pula para pembesar hidup sederhana dan
benar-benar mengabdi kepada rakyat. Maka nenek diibaratkan sebagai raja Hiau
dan raja Sun wanita di jaman ini ... ”
Mendengar sampai di sini,
tiba-tiba sorot mata ibusuri yang tadinya guram itu memancarkan beberapa titik
sinar kepuasan. Katanya dengan bergumam, ”Bagai raja Hiau dan raja Sun wanita
jaman kini, tapi biarpun begitu juga tidak terhindar daripada kemuliaan”
Habis berkata,
sekonyong-konyong terkilas sesuatu didalam benaknya, segera ia bertanya,
"Ya, mengapa perdana menteri Liau itu sengaja menyinggung diriku? Ah. Kamu
harus hati-hati Nak! Me ... mereka tahu ajalku sudah dekat, maka mereka
bermaksud menghinamu."
"Menghina aku? Hm!"
ujar Tio Hi dengan sikap angkuh. "Biarpun bagaimana tidaklah gampang
mereka akan berbuat sesukanya padaku. Ya, kutahu orang Cidan mempunyai
mata-mata di negeri kita, terutama dl kota raja ini, maka tentang sakitnya nenek
mereka cukup tahu jelas. Tetapi apakah kita tidak punya mata-mata di tempat
mereka? Bukankah isi petisi yang diajukan perdana menteri ini pun jatuh di
tangan kita? Memang, di antara raja dan pembesar Cidan itu sudah berunding
dengan baik-baik katanya b¡la ... bila nenek wafat, kalau pembesar militer dan
sipil kita tiada sesüatu perubahan apa-apa dan tiada mengadakan gerakan baru,
maka mereka akan diam saja. Sebaliknya bila anak mengadakan sesuatu perubahan
dan gerakan maka ... hm, maka mereka akan mendahului mengadakan kontra gerakan
serentak."
"Jadi maksud mereka akan
mendahului menyerang ke selatan?” ibusuri menegas.
"Ya, begitulah maksud
mereka,” sahut Tio Hi. Ia putar tubuh dan berjalan ke tepi jendela, ia lihat
bintangbintang berkelip memenuhi cakrawala nan biru gelap, sambil memandang
langit sebelah utara ia menyambung
pula, "Tapi kenapa aku
mesti keder? Negeri Song kita luas dan kaya-raya, prajurit kita kuat dan
berjumlah banyak, apa kita harus takut kepada orang Cidan? Ya, andaikan mereka
tidak bergerak ke selatan, akhirnya aku pun akan menuju ke utara untuk mencoba
mengukur kekuatan mereka.”
Karena sudah tua, maka
pendengaran Ibusuri kurang tajam, ia menegas, "Apa yang kau katakan? Kau
bilang mengukur kekuatan apa?"
Tio Hi mendekati pembaringan
neneknya, katanya. "Nenek, rakyat Song kita berjumlah puluhan kali lebih
banyak daripada orang Cidan, perbekalan kita juga lebih lengkap. Apakah klta
masih takut kepada mereka yang berjumlah tidak seberapa itu?"
"Apa maksudmu hendak
berperang dengan orang Liau?" Ibusuri menegas dengan suara gemetar.
"Kakekmu Kaisar Cin-cong sedemikian tangkas, beliau telah berjuang
mati-matian dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian perdamaian dengan orang
Cidan, masakah ... masakah sekarang boleh sembarangan kau serang lebih dülu!"
"Tentu saja nenek menjadi
untung anak dan menganggap anak masih penuh ingusan yang tidak tahu apa-apa.”
ujar Tio Hi dengan penasaran. ”Andaikan anak tidak dapat disamakan dengan para
kaisar leluhur, namun kita juga jangan menilai rendah diri kita sendiri. Dahulu
kita bukan tandingan negeri Liau, apakah untuk selamanya kita juga takkan mampu
melawannya?”
Sebenarnya banvak sekali pesan
yang hendak diucapkan Ibusuri, tapi ia merasa tenaganya makin lemah, pikirannya
serasa hampa, hendak bicara pun rasanya berat. Namun dalam lubuk hatinya selalu
bergema suara yang tegas yang mengatakan, ”Prajurit lemah berbahaya untuk
perang, jangan buang-buang korban percuma, jangan sembarangan mengadakan
gerakan militer."
Setelah menarik napas panjang,
akhirnya ia berkata dengan pelahan, ”Nak, selama beberapa tahun ini aku
memegang tampuk pemerintahan, aku lupa mengerjarkan padamu tentang keadaan
negara kita, kesalahan ini adalah tanggung jawabku. Ya, aku merasa banyak hal
yang harus kubicarakan denganmu, siapa duga ... siapa duga .... "
Ia terbatuk-batuk beberapa
kali, lalu melanjutkan, "Siapa duga ajalku tinggal beberapa jam lagi
sehingga aku tak dapat bicara banyak padamu. Hendaknya diketahui, walau pun
benar rakyat kita berjumlah puluhan kali lebih banyak dan perbekalan lebih
lengkap, tapi rakyat kita pada umumnya lemah, tidak sekuat dan setangkas orang
Cidan, apalagi kalau terjadi perang, tentu rakyat yang tak berdosa akan ikut
menjadi korban dan entah berapa banyak prajurit dan rakyat biasa akan terbunuh
dan entah berapa banyak rumah penduduk akan musnah. Seorang pemimpin, seorang
raja setiap saat harus berpikir secara bijaksana, jangankan soal menang atau
kalah dalam peperangan sukar diramalkan, kekali pun yakin pasti akan menang
lebih baik peperangan ini tidak terjadi."
"Pikiran nenek ini adalah
pikiran kolot yang sudah ketinggalan jaman," ujar Tio Hi, ”Sebagian besar
wilayah kita telah dìkangkangi musuh, setiap tahun kita harus mengirim upeti
kepada orang Cidan, kita diperlakukan sebagai tanah jajahan, apakah kita harus
menerima hinaan demikian terus menerus? Leluhur kita dahulu beberapa kali
perang dengan negeri Liau, bukankah soalnya karena ingin mempertahankan
kejayaan kerajaan Song kita. Pendek kata anak pasti akan meneruskan cita-cita
leluhur yang belum terkabul ini. Selama cita-cita ini belum terlaksana, aku
bersumpah akan terus berjuang atau lebih baik hancur seperti kursi ini.”
Habis berkata, mendadak ia
lolos pedang yang tergantung di pinggangnya dan membacok sebuah kursi di
sampingnya sehingga terbelah menjadi dua.
Biasanya seorang raja tidak
pernah membawa senjata di dalam istana, sekarang Ibusuri melihat anak kecil itu
mendadak lolos pedang dan membacok kursi, karena ia terkejut dan mendadak duduk
sambil menuding Tio Hi, "Jadi ... jadi kamu tetap kepala batu dan ingin
perang dengan .... dengan negeri Liau .... ”
Tio Hi ketakutan di bawah
pengaruh wibawa sang nenek, ia menyusut mundur beberapa tindak dengan
sempoyongan dengan hati berdebar-debar, serunya, "Le ... lekas kalian
kemari!”
Mendengar teriakan junjungan
mereka, cepat para Taikam yang berjaga di luar berlari-masuk.
"Dia ... coba kalian
periksa dia, ken ....kenapa dia ... " seru Tio Hi dengan terputus-putus
sambil menunjuk ibusuri.
Tadi dia berlagak gagah dan
berkeras ingin melabrak orang Cidan untuk melaksanakan cita-citanya, tapi
sekali digertak oleh seorang nenek yang kurus dan sakit-sakitan, seketika
nyalinya mengkeret.
Dalam pada itu seorang Thaikam
telah mendekati Ibusuri untuk memeriksa denyut nadinya, kemudian tuturnya,
"Lepot Hongsiang (Sri Baginda) Ibusuri telah wafat.”
”Haah! Bagus, bagus!"
seru Tio Hi sambil terbahak-bahak. ”sekarang aku benar-benar menjadi raja!
Haha, aku menjadi raja benar-benar!”
Sebetulnya dia sudah menjadi
raja selama sembilan tahun, cuma selama ini kekuasaan yang sebenarnya berada di
tangan ibusuri dan baru sekarang dia sadar dirinya adalah raja ....
Begitulah setelah memegang
kekuasaan sendiri, langkah pertama yang diambil Tío Hi ialah memecat Le-poh
Siang-si So Sik (dalam sejarah terkenal dengan nama So Tong-po), menteri
kebudayan, dan dikirim ke daerah sebagai bupati. Padahal nama So Tong-po
terkenal di seluruh negeri dan merupakan menteri kesayangan ibusuri, karuan
tindakan Tio Hi itu menimbulkan percakapan ramai di kalangan pembesar.
Banyak di antara
pembesar-pembesar itu tidak dapat menyetujui tindakan raja yang masih muda
belia itu, tapi ada juga sementara pembesar yang diam-diam merasa senang,
mereka berharap raja yang muda itu akan menjalankan politik baru sehingga
mereka akan mendapat kesempatan untuk naik pangkat dan memupuk kekayaan lagi
dengan jalan korupsi.
Ada juga satu-dua pembesar
yang jujur mengajukan petisi kepada Tio Hi agar meninjau kembali keputusannya
atas pemecatan So Tong-po itu, serta menjalankan pemerintahan baru secara lebih
bijaksana. Tapi dasar darah muda, Tio Hi tidak menerima saran dan kritik yang
diajukan pembesar-pembesar jujur itu, sebaliknya pembesar yang berani membantah
keinginannya lantas dipecat dan dipenjarakan, sudah tentu hal-hal demikian
membuat pemerintahannya menjadi tidak stabil.
Apa yang terjadi pada
pemerintah Song sudah tentu disapaikan oleh mata-mata musuh ke Siangkhia, ibu
kota kerajaan Liau.
Demi mendapat laporan tentang
wafatnya Ibusuri kerajaan Song dan raja Tio Hi yang masih muda belia itu banyak
melakukan tindakan yang merugikan tubuh pemerintahan Song sendiri, keruan raja
Liau, yaitu Yalu Hung-ki, sangat senang, segera ia melakukan perjalanan ke
Lamkhia untuk berunding dengan Lam-ih Tai-ong Siau Hong.
Oleh karena sudah ada
pengalaman pemberontakan Coh-ong, maka perjalanana Hung-ki ini hanya membawa
tiga ribu prajurit. sisanya ditinggalkan di kotaraja dan langsung di bawah
perintah permaisuri. Selain itu ada 50 ribu prajurit cadangan lain yang akan
menyusul ke selatan secara bergelombang sebagai bala bantuan.
Tidak lama pasukan kerajaan
Liau itu sudah tiba di luar kota Lamkhia. Kebetulan hari itu Siau Hong dengan
membawa puluhan prajurit pengawalnya yang sedang berburu di luar kota sebelah
utara. Ketika mendapat laporan kedatangan Sri Baginda, cepat ia menapak lebih
ke utara lagi. Ketika melihat panji berkibar, barisan Sri Baginda sudah dekat,
segera Siau Hong melompat turun dari kudanya dan berlutut di atas tanah untuk
menyambut.
Hung-ki tertawa terbahak-bahak
dan melompat turun dari kudanya, katanya, "Saudaraku, meski-resminya kita
adalah raja dan bawahan, tapi hubungan kita lebih daripada saudara sekandung,
mengapa engkau mesti menjalankan penghormatan sebesar ini?"
Segera ia membangunkan Siau
Hong dan bertanya pula,"Apakah sudah banyak hasil buruanmu?"
"Selama beberapa hari ini
hawa terlalu dingin, kawanan binatang banyak yang mengungsi ke selatan, maka
setengah hari berburu hanya mendapat beberapa ekor kelinci dan menjangan saja,
binatang yang besar susah ditemukan,” demikian tutur Siau Hong.
Hung-ki juga sangat gemar
berburu, segera ia mengajak, "Marilah kita coba berburu ke bagian selatan
sana."
"Di bagian selatan kita
berbatasan dengan negeri tetangga, hamba kuatir timbul peristiwa yang dapat
mengganggu persahabatan kedua negeri, maka hamba melarang bawahan berburu ke
sana."
Kening Hung-ki berkenyit
mendengar laporan itu, katanya, "Jika begitu, apa juga tidak pernah
melakukan 'panen' dan mencari 'rumput'?"
"Tidak," sahut Siau
Hong.
"Baiklah, hari ini kita
bersaudara telah berkumpul, biarlah kita melanggar satu kali ketentuan demikian
itu." kata Hung-ki.
Siau Hong menerima baik
ajakannya.
Maka terdengarlah suara tiupan
tanduk yang ramai. Yalu Hung-ki dan Siau Hong melarikan kuda mereka dengan
berjajar, mereka mengitari benteng Lemkhia dan menuju ke selatan kota, di
belakang mereka menyusul ketiga ribu prajurit pengawal Liau.
Kira-kira dua-tiga puluh li
jauhnya, serentak ketiga ribu prajurit itu berteriak-teriak dan bersorak-sorai
sambil berpencar ke dua jurusan dalam bentuk lurus dan kemudian mengepung
kembali dalam bentuk lingkaran yang semakin lama semakin gempar. Seketika itu
terdengar suara ringkik kuda dan gonggongan anjing pemburu yang riuh ramai.
Lingkaran perburuan mereka semakin lama semakin ciut.
Hanya sebentar saja lingkaran
kepungan mereka sudah berada dalam jarak ratusan meter saja, maka tertampak
banyak binatang-binatang kecil sebangsa kelinci, rusa dan sebagiannya berlari
kebingungan dari semak-semak rumput.
Hung-ki tidak sudi memburu
binatang kecil yang tak berarti itu. Tapi meski sudah ditunggu dan dicari
sampai sekian lama tetap tiada tampak seekor binatang besar sebangsa harimau,
beruang dan lain-lain.
Selagi Hung-ki merasa kesal,
tiba-tiba terdengar suara teriakan riuh ramai dari arah tenggara sana. Ada
belasan orang lelaki sedang lari datang dengan ketakutan setengah mati. Melihat
dandanan mereka agaknya orangorang Song yang bekerja sebagai tukang kayu, kaum
pemburu dan sebagainya.
Boleh jadi lantran tidak
mendapatkan mangsa buruan yang diharapkan, para prajurit Liau tahu raja mereka
tentu kurang senang. Kebetulan mereka dapat mengepung belasn orang Song, maka
mereka lantas menghardik dan menggiringnya ke hadapan raja mereka.
"Bagus sekali!” kata Yalu
Hung-ki dengan tertawa senang demi melihat datangnya belasan orang Song itu.
Segera ia menarik busur dan membidikkan panahnya.
Terdengar suara mendenging
berulang-ulang, setiap anak panah itu tiada yang meleset, dalam sekejap saja
enam orang Song itu sudah roboh terguling, dada mereka tertembus oleh panah dan
terpantek di atas tanah.
Karuan sisanya menjadi
ketakutàn, segera mereka putar balik hendak menyelamatkan diri. Tapi lagi-lagi
mereka terpaksa putar balik di bawah ancaman ujung tombak para prajurit cidan.
Siau Hong tidak tega
menyaksikan pembunuhan kejam demikian, serunya, "Sri Baginda!"
"Baiklah sisanya
kuberikan padamu, biar aku menilai kepandaian memanah saudaraku,” sahut Hung ki
dengan tertawa.
Tapi Siau Hong menggeleng
kepala, katanya, "Orang-orang itu tidak berdosa biarlah mereka diampuni
saja.”
"Jumlah orang selatan
teramat banyak, mereka harus dibunuh habis, barulah dunia ini akan aman
tentram.” Ujar Hung ki dengan tertawa. "Salah mereka sendiri, mereka salah
terlahir sebagai orang selatan dan itulah dosa mereka.”
Habis berkata kembali panahnya
berturut-turut menyambar ke depan lagi, satu panah satu korban, kontan belasan
orang Song itu roboh tanpa kecuali, ada yang mati seketika, ada yang terpanah
perutnya, isi perut keluar dan merintih sebelum binasa.
"Hidup Sri Baginda!"
demikian prajurit Cidan bersorak sorai memuji.
Saat itu kalau Siau Hong mau
mencegah perbuatan Yalu Hung-ki sebenarnya tidak sukar, misalnya dengan
menyampuk jatuh panah yang dibidikkan itu. Tapi di hadapan pasukan sebanyak itu
berani merintangi keinginan raja, hal inii tentu akan membuatnya malu dan akan
merupakan tindakan yang durhaka kepada atasannya. Namun demikian air muka Siau
Hong mau-tak-mau menampilkan rasa tidak setuju atas perbuatan Hung-ki itu.
"Bagaimana?" tanya
Hung-ki dengan tertawa. Dan baru saja ia hendak menyimpan kembali busurnya.
Tiba-tiba seorang penunggang kuda menerjang tiba secepat terbang menembus
kepungan para prajurit.
Melihat penunggang kuda itu
berdandan sebagai bangsa Han, tanpa bicara lagi Hung-ki lantas memasang panah
dan mebidik pula.
Di luar dugaan,
sekonyong-konyong orang itu mengangkat sebelah tangannya dengan dua jari aja
anak panah yang menyambar ke mukanya itu kena dijepitnya.
Sementara itu panah kedua yang
dibidikkan Hung-ki sudah menyambar tiba pula. Tapi dengan satu jari tangan yang
lain kembali orang itu dapat menangkap panah kedua itu. Sedang lari kudanya
tidak pernah berhenti dan masih terus menerjang maju.
Berulang-ulang Hung-ki
melepaskan panahnya secara berantai, yang satu belum mencapai sasarannya atau
panah yang lain sudah menyusul pula, boleh dikata hampir berwujud iring-iringan
panahnya.
Tapi betapa cepat ia
membidikkan panahnya, cara menangkap panah orang itu pun tidak kalah cepatnya.
Maka dalam sekejap sajayang seorang sudah melepaskan belasan batang panah,
sebaliknya yang lain juga sudah menangkap belasan anak panak.
Dalam pada itu jarak kedua
orang sudah dekat, sekarang Siau Hong sudah dapat melihat jelas pendatang itu,
Ia terkejut dan berteriak, "Hei! Kau A Ci jangan sembrono terhadap
Hongsiang.”
Tapi penunggang kuda itu
lantas mengikik ketawa, ia lemparkan belasan anak panah yang ditangkapnya tadi
ke udara, serunya, "Cihu, apakah kau tahu akan kedatanganku, maka engkau,
sengaja datang memapak aku?”
Habis berkata, mendadak ia
lompat dari kudanya dan melayang lewat di atas kepala belasan prajurit yang
menghadangnya itu, lalu
hinggap di depan pelana kuda tunggangan Siau Hong.
Dia tetap memakai baju ungu,
potongan badannya tambah padat dan menggiurkan, siapa lagi dia kalau bukan A Ci
adanya? Yang luar biasa adalah kedua matanya yang tadinya buram itu sekarang
sudah bersinar.
Siau Hong terkejut dan
bergirang pula, serunya, "Hei. A Ci ken ... kenapa matamu sudah sembuh
kembali."
”Ya. Jikomu itu yang
menyembuhkan aku.” sahut A ci dengan tertawa, ”Nah, baik tidak muka aku?”
Siau Hong memandang sekejap
kepada anak itu, mendadak hatinya terkesiap. Ia merasa di antara sorot mata
anak dara itu seperti mengandung semacam rasa duka dan hampa yang sukar
dilukiskan. Seyogyanya, karena ke dua matanya sudah sembuh dan dapat melihat
kembali, pula dapat bertemu dengan Siau Hong, seharusnya anak dara itu akan
kegirangan, tapi mengapa perasaan yang disampaikan melalui sorot matanya itu
sedemikian sedihnya? Namun dari suara tertawanya tadi jelas pula penuh rasa
kegirangan. Maka pikir Siau Hong, "Tentu si A Ci cilik telah mengalami
sesuatu yang tidak menyenangkan di tengah perjalanan."
Tengah Siau Hong melamun
itulah, sekonyong-konyong A Ci menjerit kaget sambil menarik tubuhnya
melepaskan diri dari pelana kuda Siau Hong terus melompat ke depan.
Pada saat yang sama Siau Hong
juga merasa ada orang menyergap dari belakang, cepat ia membalik tubuh sambil
menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menjaga segala kemungkinan. Maka
tertampaklah sebatang tombak bercabang sedang menyambar kearahnya.
Ternyata tombak itu keburu
dipegang oleh A Ci segera ditimpukkan kembali sehingga dengan tepat menancap di
dada seorang dan menggeletak terpantek.
Kiranya orang itu adalah salah
seorang pemburu bangsa Han tadi, dia roboh kena panah Yalu Hung-ki, tapi hanya
sekarat dan tidak lantas mati, ketika dia melihat Siau Hong memakai baju
pembesar Liau, segera ia kerahkan segenap dari tenaganya yang masih ada dan
menimpukkan tombaknya dengan harapan dapat membinasakan Siau Hong sekedar
membalas dendamnya.
Tak terduga perbuatannya itu
sempat dilíhat oleh A Ci yang berhadapan dengan Siau Hong, segera anak dara itu
melompat maju untuk menangkap tombaknya dan berbalik senjata makan tuan,
pemburu itu sendiri segera terbinasa malah. Padahal kalau cuma kepandaian
seorang pemburu saja tidak mungkin dapat menyergap Siau Hong dari belakang.
Sambil menuding pemburu yang
sudah tak bernyawa itu A Ci memaki, "Kamu anjing dan babi yang tidak tahu
diri, kau berani coba-coba membokong C¡huku?"
Melihat kedua mata si pemburu
yang sudah mati itu masih mendelik dengan mengertak gigi, wajahnya penuh rasa
murka, Diam-diam Siau Hong merasa tidak tega. Pikirnya, "Selamanya aku
tiada dendam apa-apa, tapi dia berusaha hendak membunuh aku. Hal ini disebabkan
permusuhan antara kedua negara dan antar bangsa, jadi bukan lantaran permusuhan
pribadi antara diriku dengan dia. Permusuhan antara negeri Song dan Liau
sebenarnya terjadi lantaran apa? Kalau menurut orang Song katanya orang cidan
menjajah wilayah kekuasaan mereka, sebaliknya orang Cidan kami mengatakan orang
Song tidak pegang janji dan tidak kenal budi. Sungguh sukar dipastikan siapakah
yang benar dan siapa yang salah!”
Di sebelah sana ketika melihat
A Ci menimpuk mati si pemburu dengan tombak rampasannya, Hung-ki sangat senang,
katanya, "Nona bàìk, sungguh gesit dan cekatan sekali dirimu ini. Sudah
tentu tombak pemburu itu tak mungkin dapat membunuh Lam-ih Tai-ong kita, tapi
jika sampai dia terluka sedikit saja hal ini berarti akan mengganggu rencanaku.
Nona baik, aku sedang berpikir cara bagaimana harus memberi penghargaan atas
jasamu ini?”
Dan sebelum Hung-ki memberi
keputusan, tiba-tiba A Ci mendahului, "Hongsiang, engkau telah mengangkat
Cihuku sebagai pembesar yang berkuasa, maka aku pun ingin diberi pangkat agar
aku bisa mencicipi rasanya menjadi pembesar. Tidak perlu dengan pangkat
setinggi Cihu, tapi jangan terlalu rendah pangkatku agar tidak dipandang hina
oleh orang lain.”
"Hahaha!" Hung-ki
tertawa. "Di negeri Liau kita memang ada kaum wanita ikut mengurus
tatanegara, tapi tiada kaum wanita yang diangkat menjadi pembesar. Baik begini
saja, akan ku beri gelar Kongcu (Putri) padamu. Ehm..gelar apakah yang pantas?
...Ya, baiklah sebut saja sebagai ‘Panglam Kongcu’.”
"Ah, emoh! Aku tidak mau
menjadi Kongcu segala!" sahut A Ci dengan mulut menjengkit.
"Mengapa tidak mau?"
tanya Hung-ki dengan heran.
"Habis engkau adalah
saudara angkat Cihuku, kalau aku terima gelarmu itu, kan tingkatanku menjadi
sejajar dengan putrimu sendiri, bukankah aku menjadi lebih rendah setingkat?”
Hung ki cukup pandai meraba
pikiran orang. Ia dengar A Ci memanggil Cihu kepada Siau Hong dengan nada yang
sangat mesra. Sebaliknya Siau Hong meski mempunyai kedudukan sedemikian tinggi
hidupnya ternyata sangat prihatin, selamanya tidak suka berdekatan dengan kaum
wanita. Padahal kalau menurut kebiasaan orang Cidan, jangankan cuma empat istri
dan lima selir, bahkan delapan, istri dan puluhan selir juga bukan sesuatu yang
luar biasa. Dari sini dapat diduga Siau-Hong tentu juga anak dara ini.
Maka katanya dengan tertawa,
"Gelar Kongcu yang kuberikan ini adalah Kongcu gede dan bukan Kongcu
cilik, tingkatannya sama dengan adik perempuanku dan tidak sama dengan anakku,
Malahan tidak melulu mengangkatmu menjadi 'Panglam Kongcu', bahkan aku pun akan
melaksanakan sesuatu cita-citamu, mau?"
Wajah A Ci menjadi merah,
tanyanya, 'Cita-citaku apakah? Dari mana Sri Baginda mendapat tahu? Seorang
raja sebesar engkau mengapa juga sembarang omong."
Biasanya A Ci memang tidak
takut siapa pun, maka bicara dengan Yalu Hung-ki juga tidak pakai penghormatan
secara seorang bawahan terhadap rajanya. Kerajaan Liau memang tidak memandang
berat pada sesuatu yang kolot. Siau Hong adalah orang kesayangan Hung-ki pula,
maka Hung-ki hanya menanggapi dengan tertawa saja mendengar ucapan A ci tadi.
Katanya, "Jika kamu tidak mau menjadi Panglam Kongcu, baiklah tak jadi
kuberi gelar itu padamu. Nah, satu, dua, tiga kau mau tidak?”
Akhirnya A Ci memberi sembah
hormat dan berkata dengan pelahan, "A Ci mengucapkan banyak terima kasih
atas budí Sri Baginda."
Siau Hong juga lantas memberi
hormat dan mengucapkan terima kasih. Sejak membunuh A Cu, Siau Hong anggap A Ci
sebagai adik perempuannya sendiri. Sekarang anak dara itu mendapat gelar
bangsawan dari sang raja, dengan sendirinya ia pun ikut menyatakan terima
kasihnya.
Sebaliknya Hung-ki salah
sangka lagi, ia mengira dugaannya tadi semakin tepat. Pikirnya, Biarlah nanti
aku akan menikahkan mereka secara besar-besaran, habis itu aku lantas
menugaskan dia mengadakan infasi ke selatan dan dengan sendirinya dia akan
bekerja mati-matian bagiku."
Di lain pihak Siau Hong juga
sedang menimang-nimang. "Kunjungan Hongsiang ke selatan sekali ini entah
ada maksud tujuan apa? Sebab apa dia memberi gelar Putri kepada A Ci, bahkan
dengan nama ’Pang Lam’?Panglam artinya mengamankan selatan, jangan-jangan dia
bermaksud Menyerbu ke selatan untuk menaklukkan kerajaan Song?”
Dalam pada itu Hung-ki sudah
lantas menggenggam tangan Siau Hong dan berkata, "saudaraku, sudah lama
kita tidak bertemu, marilah kita pergi ke sana buat bicara."
Kedua orang lantas melarikan
kuda mereka ke selatan, hanya sebentar saja mereka sudah mencapai sejauh 20 li
lebih. Di sekitar mereka hanya sawah ladang belaka tapi apa yang tumbuh di
tengah sawah ladang itu bukan padi, gandum atau bahan pangan lain, sebaliknya
adalah rumput ilalang dan duri belukar melulu.
Diam-dlan Siau Hong berpikir,.
"Orang Song kuatir kepergok prajurit Cidan yang sengaja memang mengadakan
‘panen’ sehingga mereka lebih suka meninggalkan beribu-ribu hektar tanah yang
subur ini untuk menyelamatkan diri. Ai setiap jengkal tanah ini entah terpendam
betapa banyak tetes darah dan jiwa.”
Tiba-tiba Hung-ki mengayunkan
cambuknya dan melarikan kudanya ke sebuah bukit kecil, di atas kudanya di
puncak bukit itulah dia memandang sekeliling alam semesta dengan bangga.
Siau Hong menyusulnya ke atas
bukit. Ia pun memandang ke arah selatan yang dipandang Hung-ki itu.
Tertampaklah gunung gemunung melingkar-lingkar menyusuri bumi nan luas ini.
"Saudaraku," kata
Hung-ki sambil menuding ke selatan dengan cambuknya, "aku masih ingat,
pada 30 tahun yang laluayah baginda pernah mengajak aku ke sini dan menunjuk
negeri Song yang indah permai itu kepadaku."
Siau Hong mengiakan saja dan
tidak tahu apa maksud ucapan Hung-ki itu.
Maka Hung-ki melanjutkan,
"Sejak kecil kau hidup di tanah orang selatan itu, tentu telah kau
jelajahi wilayah selatan sana dan cukup kenal bagaimana bangsa mereka bertempat
tinggal di selatan dan tentu lebih senang daripada tinggal di negeri kita yang
dingin dan sengsara ini, bukan?”
"Tempat dî mana-mana sama
saja dan susah untuk dikatakan tinggal di mana akan lebih senang asalkan hidup
bebas dan pikiran tentram tentu menjadi senang. Orang utara tidak biasa tinggal
di daerah selatan. Tuhan telah mengatur demikian bagi umatnya, kalau kita
sengaja memaksa kehendak ilahi itu tentu akan membikin susah diri sendiri.”
"Jika demikian, kamu
adalah orang utara yang dibesarkan dan hidup biasa di daerah selatan, lalu
pindah pula tinggal ke utara sini, bukankah kamu merasa kesal?"
"Hamba adalah kaum kelana
kangouw yang biasa hidup terlunta-lunta, dimana pun dapat menetap, dengan
sendirinya tidak dapat dipersamakan dengan kaum petani atau kaum gembala.
Malahan Baginda telah menganugrahi tempat menetap dan kedudukan yang tinggi,
sungguh hati hamba sangat berterima kasih, apa yang mesti aku sesalkan lagi?”
Hung-ki menoleh dan memandang
sekejap pada Siau Hong. Tapi Siau Hong tidak ingin saling menatap dengan
rajanya itu, dengan tersenyum ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Saudaraku," kata
Hung-ki dengan pelahan, "mesti hubungan kita adalah raja dan bawahan, tapi
sebenarnya kita adalah saudara angkat. Dahulu kita dapat bicara secara dari
hati ke hati, segala apa dibicarakan secara bebas. Tapi sesudah lama tak
bertemu, mengapa kamu bersikap seperti orang yang baru kenal denganku?”
Siau Hong menjawab,
"Dahulu hamba tidak tahu akan diri Baginda sehingga secara sembrono berani
mengangkat saudara segala, sesudah tahu, hamba mana berani bersikap sebagai
saudará angkat terhadap bagianda?”
Hung-ki menghela napas,
katanya, "Sungguh aku sangat gegetun sebagai seorang raja aku malah tak
dapat bebas bergaul dengan seorang sahabat karib. Saudara, kalau aku ikut
berkelana di dunia kangouw mungkin akan hidup lebih bebas dan lebih senang tanpa
sesuátu ikatan apa pun."
"Tidak sukar apabila
Baginda suka bersahabat" sahut Siau Hong. "Hamba mempunyai dua orang
saudara angkat di didaerah Tionggoan, yang satu adalah Hi-tiok däri
Leng-Ciu-kiong, yang seorang lagi adalah Toan Ki dari Tayli, mereka adalah lelaki
yang berdarah panas, semuanya sangat jujur dan baik. Jika Baginada suka
berkenalan dengan mereka, hamba bersedia mengundang mereka pesiar ke negeri
Liau kita ini.”
Rupanya sesudah Siau Hong
pulang ke Lam-khia, setiap hari día hanya bergaul dengan perwira dan prajurit
bangsa Cidan, dalam hal kesukaan dan kebiasaaan hidup boleh dikata sangat
berbeda, maka día menjadi kangen kepada Hi-tiok dan Toan Ki, ia sangat berharap
dapat mengundang kedua saudara angkat itu pesiar ke negeri Liau, dan tinggal
bersama beberapa waktu lamanya.
Hung-ki sangat senang atas
usul Siau Hong itu katanya, "Jika orang yang akan diundang itu adalah
saudarasaudaramu, maka mereka pun terhitung saudara-angkatku. Boleh kau kirim
berita kilat untuk mengundang mereka pesiar ke sini. Jika mereka mau menjabat
sesuatu tugas, tentu akan kuberi pangkat yang tidak kecil bagi mereka."
Siau Hong tersenyum, sahutnya,
"Untuk mengundang mereka pesiar ke sini mungkin tidak menjadi soal, tapi
kedua saudara angkat itu terang tidak mau menjadi pembesar."
Huñg-ki termenung sejenak,
katanya kemudian, "Saudaraku, dalam tutür-kata dan semangatmu tampaknya
ada sesuatu ganjalan hati yang kurang menyenangkan. Padahal kekayaanku
berlimpah-lampah, kekuasaanku merata di seluruh negeri, urusan apakah yang tidak
dapat membantumu? Mengapa sesuatu perasaanmu yang tak tercapai tidak kau
ceritakan pada kakak-angkatmu iní?"
Siau Hong sangat terharu,
sahutnya, ”Ya, untuk bicara terus terang, sebenarnya ada sesuatu urusan yang
menjadi penyesalanku selama hidup. Tapi sesuatu yang sudah salah tidak mungkin
dapat ditarik kembali lagi.”
Lalu berceritalah dia tentang
hubungannya dengan A Cu dan akhirnya nona itu keliru dipukul mati olehnya,
semuanya itu ia ceritakan secara ringkas.
”Pantas!” seru Hung-ki sambil
tepuk paha. ”Makanya selama sudah 40 tahun dan tetap belum mau kawin, kiranya
mempunyai pengalaman pahit yang senantiasa tak dapat kau lupakan. Tapi,
Saudaraku, sebabnya kamu sampai berbuat salah, kalau dicari pangkal
persoalannya dan biangkeladi dari kejadian itu, semua ini adalah gara-gara
perbutan orang-orang Han yang jahat itu. Lebih-lebih kawanan pengemis Kai-pang
itu harus dikatakan sebagai manusia-manusia yang tidak kenal budi dan lupa
kepada kebaikanmu. Namun untuk semua itu pun tak perlu kausesalkan lagi. Pada
waktunya bila aku sudah mengerahkan pasukan dan menyerbu ke selatan, Hm, masti
akan kubunuh ludes semua orang Bu-lian daerah Tionggoan termasuk kawanan kera
dari Kaipang itu untuk melampiaskan rasa dendam terbunuhnya ibumu di
Gan-bun-koan serta dendammu waktu dikeroyok di Cip-hiang-ceng dahulu. Jika kamu
sudah terpikat oleh wanita Tionggoan yang cantik-cantik itu, maka boleh kau
pilih seribu atau dua ribu orang untuk melayanimu, apasih susahnya bagiku untuk
mengerjakan urusan demikian?"
Wajah Siau Hong menampilkan
senyuman getir, katanya dalam hati, "Sekali aku telah salah membunuh A Cu,
maka selama hidupku ini sudah pasti takkan menikah. Sekali A Cu tetap A Cu,
biarpun sampai dunia kiamat juga hatiku hanya terisi oleh A Cu, biarpun seribu
atau dua ribu wanita cantik lain juga tak dapat menggantikan tempat A Cu dalam
lubuk hatiku. Hongsiang sendiri sudah biasa dirubung oleh beratus dan beribu
dayang dan selir, sudah tentu tidak pernah kenal apa artinya 'cinta
sejati'."
Maka katanya kemudian,
"Banyak terima kasih atas maksud baik Hongsiang. Sesungguhnya permusuhan
hamba dengan orang-orang persílatan Tioaggoan sudah kuhapus. Sudah terlalu
banyak orang pesilatan Tionggoan yang tewas di tanganku, kalau mesti
balas-membalas terus menerus takkan ada habis-habisnya Apalagi kalau sampai
terjadi bencana perang, tentu akan membawa malapetaka lebih luas lagi.”
"Hahahahaha” Hüng-ki
berlagak tertawa. "Orang Song sebenarnya sangat lemah dan hanya pandai
omong besar saja, digempur sekali di medan perangmaka mereka kocar-kacir.
Apalagi saudaraku gagah perkasa tiada tandingannya, kalau kau pimpin pasukan
dan menyerbu ke selatan tentu dengan mudah seluruh wilayah selatan akan
tergenggam ditanganmu, mengapa kau bilang mengakibatkan mala petaka peperangan
segala? Saudaraku, kedatanganku ini secara mendadak apakah kau tahu urusan
macam apa?”
"Hamba justru ingin mohon
diberitahu.” Sahut Siau Hong.
"Urusan pertama sudah
tentu karena aku sudah kangen padamu dan ingin bertemu,” ujar Hung-ki dengan
tertawa. " Baru-baru ini Hiante telah mengadakan perjalanan ke barat,
keadaan wilayah Se He dan kekuatan pasukannya tentu Hiante sudah cukup
mempelajarinya dengan baik. Kalau menurut pandangan Hiante, apakah sekiranya Se
He dapat kita taklukkan?”
Siau Hong terkejut, pikirnya,
"Wah sungguh berat sekali ambisi Hongsiang ini, sudah ingin menjajah
Kerajaan Song ke selatan, ingin menaklukan Se He pula.”
Maka jawabnya. ”Ya, perjalanan
hamba ke barat ini hanya ingin melihat keramaian sayembara kerajaan Se He yang
sedang mencari menantu bagi putrinya itu, sama sekali tidak kupikirkan tentang
keadaan wilayah negeri itu dan kemungkinan menyerbu ke sana. Untuk ini
hendaknya Baginda maklum bahwa hamba biasa berkelana di kanggoan dan banyak
mengalami pertempuran berbahaya dari dekat, tapi bicara lentang memimpin
pasukan dan melakukan peperangan secara besar-besaran sesungguhnya hamba tidak
paham sedikit pun."
"Ah, saudaraku tidak
perlu rendah hati,” ujar Hung-ki dengan tertawa. "Kedatanganku ini urusan
kedua adalah hendak menaikan pangkat saudaraku dan memberi gelar. Nah, hiante
siap untuk menerima pengangkatan.”
”Tapi ... tapi hamba sudah
utang budi terlalu banyak dan tidak berani mengharapkan ... ”
Belum Siau Hong selesaí omong
Hüng-ki sudah lantas berseru dengan suara lantang, "Lam ih Tai ong Siau
Hong mendengarkan titah!"
Tarpaksa S¡au Hong melompat
turun dari kudanya dan menyembah di atas tanah.
Tedengar Hung-ki berkata,
"Lam-ih Tai-ong Siau Hong telah banyak berjasa bagi negára, telah
mencurahkan segenap jiwa-raganya bagiku, maka sekarang diberi gelar Raja Muda
sebagai Song-ong dengan jabatan Penglam-tai-goan-swe untuk memimpin angkatan
perang kita. Sekian."
Siau Hong menjadi ragu dan
bingung, katanya kemudian, "Hamba sesungguhnya tidak berjasa apa-apa dan
tidak berani menerima pengangkatan sebesar itu.”
"Kenapa? Apa kau tolak
dan tidak mau menerima titah ini?” tanya Hung-ki.
Mendengat nada sang raja rada
bengis dan tahu pengangkatan itu susah dielakkan lagi, terpaksaSiau hong
memberi sembah dan menyatakan terima kasih.
Hung-ki terbahak-bahak,
katanya, "Nah, beginilah baru benar-benar saudaraku yang baik.”
Ia angkat bangun Siau Hong,
lalu katanya pula, ”Saudaraku, kedatanganku ke sini tidak Cuma terbatas sampai
di Lamkhia saja, aku sendiri akan terus menuju ke Pianling (ibu kota kerajaan
Song, Khaifing sekarang).”
Kembali Siau hong terkejut.
"O, jadi .. jadi Baginda hendak pergi ke Pianling, lalu bagai ...
bagaimana ... ” Tanyanya dengan tak tegas.
"Begini," kata
Hüng-ki dengan tertawa, "Selaku Pang-lam tai-goan-swe (panglima besar
pengaman selatan) boleh kau pimpin angkatan perang kita berangkat ke selatan
dahulu, kita langsung menyerbu ke Pianling, Kelak istana Song-ong saudaraku
boleh menggunakan istana yang dipakai si bocah Tio Hi di Pianling itu.”
"Apakah maksud Bagindä
¡alah kita akan segera memerangi kerajaan song?” Siau Hong menegas.
"Bukan aku hendak
memerangi kerajaan Song mereka, tapi orang selatan itulah yang ingin mengukur
kekuatan dengan aku,” tutur Hung-ki, "Pada waktu perempuan tua bangka
ibüsuri kerajaan selatan itu memerintah, boleh dikatakan pemerintahan mereka cukup
teratur dan terbina dengan baik, meski sudah lama ada maksudku menyerbu ke
selatan, tapi selama ini aku tidak berani yakin akan menang. Namun sekarang
perempuan tua itu sudah mampus, si bocah ingusan Tio Hi itu ternyata berani
main gila padaku diam-diam ia berani mengirim pasukannya, mereka telah
mengerahkan kekuatan dan perbekalan secara besar-besaran, ternyata sekali bocah
she Tio itu mempunyai maksud tertentu dan kalau tidak ditujukan kepadaku
memangnya kepada siapa lagi?”
"Menurut pendapat hamba,
biarpun mereka akan bertingkah apa pun boleh masa bodoh," ujar Siau Hong.
"Sudah sekian tahun lamanya diantara kedua negeri kita tidak pernah
terjadi sesuatu insiden, suasana kedua negeri sama-sama aman tentram. Jika Tio
Hi berani main gila dan menyerang kita, sudah tentu kita akan gempur mereka
hingga kocar-kacír. Tetapí bila día sudah gentar kepada wíbawa dan keküatan
baginda dan tidak berani sembarangan bergerak, maka sebaiknya kita jangan urus
kelakuan seorang bocah seperti Tio Hi itü."
"Rupanya saudaraku tidak
paham." ujar Hung-ki. "Ketahuílah bahwa wilayah kerajaan selatan itu
sangat luas dengan penduduk yang besar sekali dan kekayaan alam yang
berlimpah-limpah, kalau secara kebetulan mereka mendapatkan seorang pemimpin
yang gagah dan pintar serta memusuhi negeri Liau kita, maka sesungguhnya kita
sukar melawan mereka, Sukurlah sekarang si bocah Tio kí terlalu banyak
bertingkah dan sembarangan berbuat banyak di antara pembesar-pembesarnya yang
cerdik dan pandai telah dia pecat sampai-sampai So Tong-po juga dia pecat. Saat
íni pemerintahan mereka sedang mengalami guncangan hebat, antara pemimpin dan
bawahan terjadi perselisihan paham, intinya suatu kesempatan baik bagiku. Kalau
sekarang aku tidak cepat bergerak mau tunggu kapan lagi?”
Siau Hong memandang jauh ke
selatan sana di depan matanya lantas terbayang adegan beratus-ratus ribu
prajurit Liau yang gagah dan tangkas sedang menerjang ke selatan, di mana
dilanda api perperangan seketika rumah penduduk terbakar menjadi lautan api,
tak terhitung jumlah manusia tua-muda, wanita dan kanak-kanak yang
bergelimpangan di bawah telapakan kuda, ada yang binasa, ada yang sekarat dan
masih merintih-rintih,
diudara anak panah
berterbangan, pasukan kedua pihak saling membunuh dan bergulingan di tanah,
darah membanjir bagai air sungai, tulang belulang berserakan di mana-mana ....
"
Dalam pada itu Yalu hung-ki
sedang berkata pula dengan suara keras, "Turun-temurun leluhur bangsa
Cidan kita selalu ingin mencakup kerajaan selatan ke dalam peta kekuasaan kita,
usaha leluhur kita beberapa kali selalu mengalami kegagalan. Tapi sekarang
rupanya sudah ditakdirkan cita-cita leluhur itu akan terlaksana dan terukir
dalam lembaran sejarah, betapa bahagianya dan hebat pergerakan kita itu?”
Namun Siau Hong lantas
berlutut dan menyembah, katanya "Mohon Baginda suka mendengarkan sedikit
permohonanku?”
Hung-ki terkesiap, sahutnya’
”Apa yang kau inginkan? Asal tenagaku dapat mencapainya pasti akan kululuskan
setiap permintaanmu.”
Siau Hong berkata, "Hamba
mohon sudilah Baginda memikirkan jiwa beratus ribu rakyat kedua negari yang tak
berdosa dan sukalah menarik kembali maksud Baginda akan menyerbu ke selatan.
Penghidupan bangsa Cidan kita selamanya mengembala dan beternak, sekali pun
nanti dapat memerintah negeri selatan juga tiada gunanya. Apa lagi dalam
peperangan yang dahsyat nanti juga sukar dikatakan akan menang atau tidak, bila
terjadi sesuatu kekalahan bagi kita, bukankah hal ini malah akan merusak nama
kebesaran Baginda sekarang?”
Mendengar apa yang dikatakan
Siau Hong sedari tadi nadanya tetap menolak untuk menyerbu ke selatan, sudah
tentu dalam hati Hung-ki merasa kurang senang. Padahal selamanya orang Cidan,
terutama pembesarpembesar dan bangsawannya, apabila raja mendengar perintah
"Menyerbu ke selatan”, maka tiada seorang pun tak merasa senang dan ingin
segera melaksanakan perintah itu, mengapa Siau Hong malah menolak dan mencegah
maksudnya?”
Waktu Hung-ki melirik saudara
angkat itu, ia lihat kedua alis Siau Hong bekernyit rapat-rapat, akan ada
sesuatu yang menyedihkannya. Diam-diam Hung-ki berpikir pula, "Aku telah
memberi gelar Song-ong padanya dan mengangkat dia sebagai
Peng-lam-tai-goan-swe, gelar dan jabatan itu di seluruh negeri ini hanya berada
dibawahku seorang saja dan diatas siapapun, lantas soal apa yang membuatnya tidak
gembira? Ya, tentu karena sejarah hidupnya ini, meski dia bangsa Cidan, tapi
sejak kecil dia dipiara dan dibesarkan orang Han, dia boleh dikata setengah
bangsa Han dan dengan sendirinya tanah kerajaan Song merupakan tanah airnya
yang kedua, makanya Demi mendengar maksudku hendak menyerbu ke selatan dia
lantas sedih dan berusaha mencegah dan merintangi maksudku. Jika demikian
naga-naganya biarpun kupakai dia memimpin pasukan dan bergerak ke selatan juga
dia takkan bertugas dengan sepenuh tenaga dan pikiran.”
Karena pikiran itu, akhirnya
Hung-ki berkata, "Saudaraku, maksudku untuk menyerbu kerajaan selatan itu
sudah tekadku yang bulat, maka tak perlu kau bicara lebih banyak.”
"Namun,” berkata pula
Siau Hong, "perang adalah persoalan besar bagi suatu negara, untuk ini
mohon Baginda suka memikirkannya masak-masak. Apabila maksud Baginda sudah
bulat dan tak bisa diubah lagi, maka mohon Baginda suka mengangkat petugas lain
yang lebih cakap dan bijaksana. Hamba sendiri rasanya tidak mampu memnuhi
kewajiban dan mungkin akan membikin runyam usaha baginda ini.”
Kedatangan Hung-ki ke kota
Lamkhia ini sebenarnya dengan penuh semangat dengan harapan Siau Hong akan
setuju dan membantunya menyerbu ke selatan, siapa tahu dugaannya meleset sejak
semula Siau Hong sudah menolak gelar dan jabatan panglima besar yang diberikan,
bahkan berusaha mencegah maksud tujuannya, karuan Hung-ki menjadi tidak senang.
Katanya kemudian dengan kaku. ”Jika demikian, jadi dalam pandanganmu agaknya
kerajaan selatan itu jauh lebih penting bagimu daripada negeri Liau kita ini?
Apakah kamu lebih setia kepada kerajaan selatan itu daripada berbakti bagi
kerajaan Liau kita yang jaya ini?”
Seketika Siau Hong menyembah
pula di atas tanah. Sahutnya, "Harap Baginda maklum, sekali Siau Hong
adalah bangsa Cidan, selamanya tetap bangsa Cidan dan dengan sendirinya harus
setia pula kepada kerajaan Liau kita. Jika negeri Liau kita menghadapi sesuatu bahaya,
biarpun masuk lautan api atau terjun ke dalam air mendidih juga sekali-kali
Siau Hong tak berani menolak.”
”Baik,” kata Hung-ki. ”Tentu
kau tahu bahwa si bocah Tio Hi itu sekarang lagi mengincar wilayah negara kita.
Kata pribahasa, ’yang turun tangan lebih dahulu akan lebih kuat, yang turun
tangan belakangan tentu celaka’. Nah kalau kita tidak mendahului menggempur
mereka, bisa jadi negara kita yang akan dimusnahkan oleh mereka. Karuan cara
tentang masuk lautan api dan terjun ke dalam air mendidih segala, sedangkan
tugas berbakti kepada negara yang kuperintahkan padamu saja ditolak olehmu.”
"Tapi selama hidup hamba
sudah terlalu banyak membunuh orang, sesungguhnya hamba tidak ingin kedua
tanganku ini berlumuran darah lebih banyak lagi, maka mohon Baginda suka
meluluskan permintaan hamba untuk mengundurkan diri dengan hidup mengasingkan
diri ke pegunungan saja," demikian kata Siau Hong.
Hung-ki tambah murka demi
mendengar Siau Hong minta berhenti dari jabatannya, seketika timbul maksud
membunuhnya, segera tangannya meraba goloknya dan hendak mencabut senjata itu
serta membacok leher Siau Hong. Untung lantas terpikir olehnya, "ilmu
silat orang ini sangat lihai kalau sekali bacok tidak kena, tentu aku yang akan
terbunuh malah olehnya. Apalagi dahulu dia telah berjasa menyelamatkan jiwaku,
bahkan mengangkat raja pula dengan aku. Kalau Cuma sedikit kesalahan paham ini
lantas kubunuh orang kepercayaanku sendiri yang berjasa, ini rasanya tidak
pantas.”
Maka Hung0ki menghela napas
panjang, katanya sambil tangannya masih memegang gagang golok, "Rupanya di
antara kita ada perselisihan pendapat dan sukar untuk disesuaikan untuk
sementara waktu ini. Baiklah boleh kau pulang dulu untuk memikirkan lebih msak,
semoga kamu akan mengubah pikiran dan menerima titahku untuk mengerahkan
pasukkan ke selatan.”
Biarpun mendekam di atas
tanah, tapi betapa tinggi ilmu silat Siau Hong, boleh dikata setiap gerak-gerik
orang
di sekitarnya tentu diketahui
olehnya, apalagi tangan Hung-ki yang meraba gagang golok dan timbul maksud
membunuhnya itu, sudah tentu dapat diketahuinya dengan baik.Ia pun sungkan bila
bicara lagi dengan sang raja, pada akhirnya kedua orang tentu akan cekcok
secara terbuka, hal ini pun tidak diinginkannya. Maka demi mendengar perintah
Hung-ki menyuruhnya pulang dulu, segera ia menyatakan baik dan berbangkit.
Hung-ki pun tidak bicara pula,
ia mendahului melarikan kudanya dan pergi dengan cepat. Segera Siau Hong
mencamplak ke atas kuda dan menyusul sang raja. Kalau datangnya tadi mereka
melarikan kuda dengan sejajar, adalah pulangnya sekarang yang satu berada di
muka dan yang lain ketinggalan di belakang dalam jarak puluhan meter jauhnya.
Siau Hong sadar ucapannya tadi
telah menimbulkan rasa sirik dan curiga Yalu Hung-ki, kalau dia menyusul dan
menjajarkantentu akan makin membikin perasaan sang raja tidak enak. Maka ia
lantas melambatkan kudanya dan jauh tertinggal di belakang.
Setiba dalam kota, Siau Hong
menyusul ke depan Hung-ki dan mengundang sang raja agar tinggal saja di istana
Lam-ih Tai-ong.
Tapi Hung-ki berkata dengan
tertawa, "Aku tidak ingin membikin repot dirimu. Hendaknya kamu dapat
tinggal lebih senang dan berpikirlah secara mendalam untung-rugi dan
baik-buruknya dari apa yang kita bicarakan tadi. Aku sendiri akan tinggal di
kemahku saja.”
Siau Hong juga tidak memaksa.
Ia mengantarkan sang Baginda ke perkemahannya.
Dari kotaraja Hung-ki membawa
banyak benda mustika, kuda bagus dan wanita cantik, ia memberikan hadiah secara
komplit kepada Siau Hong. Sesudah mengucapkan terima kasih, lalu Siau Hong
pulang ke istananya.
Selama Siau hong sendiri tidak
mengurusi pemerintahan, segala dokumen dan kitab lebih-lebih tak pernah
diurusnya, sebab itulah di istananya tiada tersedia kamar kerja apa segala.
Sehari-hari ia duduk di lantai bersama para perwiranya untuk makan-minum
sepuasnya dan bebas sebagaimana dahulu ketika dia masih menjadi Pangcu kawanan
pengemis di Tionggoan.
Sekarang setelah Siau Hong
pulang dari mengantar Yalu Hung-ki, sementara itu hari sudah petang. Waktu
melangkah masuk ke ruangan pendopo tertampak di bawah lilin besar yang
bergoyang-goyang, di atas kursi kebesarannya yang berlapiskan kulit harimau itu
duduk seorang nona berbaju ungu. Itulah dia A Ci adanya.
Siau Hong menggelengkan
kepala, katanya, "Aku mempunyai urusan lain. Kedatanganmu kembali ini
sudah
tentu sangat menyenangkan aku,
A Ci, didunia ini yang selalu ku pikirkan hanya engkau seorang aku kuatir kamu
mengalami sesuatu yang buruk. Sekarang kamu berada disisiku pula, matamu sudah
sembuh lagi, maka aku tidak perlu kuatir apa-apa pula.
"Cihu, bukan saja mataku
yang sudah sembuh, bahkan Hongsiang memberi gelar putri padaku.” Ujar A Ci
dengan tertawa.
"Kamu diberi gelar
kebesaran itu, apakah kamu sangat senang?” tanya Siau Hong sembari mengangkat
sebuah kantong kulit besar yang terletak di ruangan situ, ia buka sumbat
kantong arak itu dan minum beberapa kali.
"Dan selamat juga padamu.
Cihu, engkau juga telah naik pangkat," kata A Ci dengan tertawa.
Siau Hong menghela napas,
sahutnya, "Ai, Hongsiang memberi gelar Song-Ong padaku dan mengangkat aku
menjadi Peng-lam-tai-goan-swe, ia memerintahkan aku memimpin pasukan menyerang
kerajaan Song di selatan. Coba pikirkan sekali sudah terjadi perang, betapa banyak
rakyat jelata tak berdosa yang akan menjadi korban. Karena itu aku tidak mau
terima tugas itu dan Hongsiang menjadi marah.”
"Cihu, kaupun aneh,"
ujar A Ci. "Menurut cerita yang kudengar, katanya di Cip-hian-ceng pernah
kau bunuh jago-jago persilatan Tionggoan yang tak terhitung jumlahnya, untuk
itu tak pernah kulihat engkau menyesal. Kalaui orang-orang selatan itu
sedemikian kejam dan jahat padamu, hari ini kebetulan engkau diberi kesempatan
oleh Hongsiang untuk membalas dendam, mengapa cihu berbalik merasa kurang
senang?”
Siau Hong menggangkat kantung
arak dan minum pula seteguk, lalu menghela napas panjang, kemudian berkata,
”Dahulu aku dan encimu di kepung musuh, kalau aku tidak bertempur sekuat tenaga
tentu akan hancur lebur dicencang mereka jadi soalnya karena terpaksa. Diantara
orang-orang yang kubunuh dahulu itu tidak sedikit adalah sobat sendiri, kalau
teringat sungguh aku sangat pedih.”
"Ah, tahulah aku,” setu A
Ci. "Jadi dahulu A Cu minta engkau membunuh. Jika demikian, sekarang aku
minta demi diriku maukah kau bunuh orang-orang selatan itu?”
Siau Hong melototi nona itu
sekejap, sahutnya, "Jiwa manusia dalam ucapanmu sama saja seperti
menyembelih ayam dan kambing. Ketahuilah ayahmu meski orang Tailí, tapi ibumu
sendiri adalah orang Song di selatan sana."
Mulut A Ci menjengkit dan
mendadak pula ke arah lain, katanya, "Ya, sudah lama kutahu dalam hatimu
biarpun seribu orang A Ci juga tak dapat membandingi seorang A Cu. Selaksa A Ci
yang hidup juga tak dapat
menggantikan seorang A Cu yang
sudah mati. Tampaknya aku lebih baik lekas mati saja, dengan demikian barulah
engkau akan sedikit memikirkan diriku. Tahu begini, lebih ... lebih baik aku
tidak perlu jauh-jauh datang ke sini untuk menyambangimu. Ya, bilakah pernah
... pernah kau tahu diriku dalam hatimu?"
Hati Siau Hong tergetar demi
mendengar ucapan A Ci yang setengah mengomel dengan nada penuh kekosongan hati
itu. Jangan-jangan nona cilik ini diam-diam jatuh cinta padaku? Ini sekali-kali
tidak boleh terjadi!
Maka cepat katanya, "A
Ci, usiamu masih kecil, kamu hanya nakal dan tidak paham urusan orang tua
...."
"Orang tua atau anak
kecil apa segala, sudah lama juga aku bukan anak kecil lagi!" sela A Ci.
"Engkau telah berjanji pada Cici akan menjaga diriku, tetapi ... tetapi
engkau hanya memikirkan asal aku bisa makan, punya sandang dan habis perkara,
apa ... apa kah pernah kau pikirkan sesuatu urusanku? Selama ini engkau tidak
pernah peduli bagaimana dan apa yang terkandung dalam hatiku.”
Makin mendengarkan makin
terkesiap hati Siau Hong sampai-sampai ia tidak berani menjawab.
Maka sambil berdiri mungkur A
Ci melanjutkan."Waktu mataku buta, kutahu engkau pasti tidak suka padaku,
maka aku sendiri pun tidak berani dekat-dekat denganmu. Sekarang mataku sudah
sembuh, dan engkau tetap tidak gubris padaku. Memangnya dalam ... dalam hal apa
aku kalah daripada A Cu? Apakah wajahku lebih buruk dari dia? Aku kalah pintar
dari dia? Ya, ya, hanya karena dia sudah mati, maka setiap saat engkau selalu
terkenang padanya. Huk-hukkkk, aku ... sungguh akupun ingin pada suatu ketika
dipukul mati agar supaya kaupun akan selalu teringat padaku sebagaimana halnya
kau pikirkan A Cu ... ?
Saking dukanya mendadak ia
membalik tubuh lagi terus menubruk ke dalam pelukan Siau Hong dan menangis
terguguk-guguk.
Seketika siau hong menjadi
bingung dan tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Sesudah menangis sebentar,
kemudian A Ci berkata pula, "Masakah engkau sangka aku masih anak kecil
saja? Padahal pada waktu kusaksikan engkau memukul mati Cici pada malam hujan
badai itu, lalu engkau menangis sedemikian sedihnya, sejak itulah aku lantas sangat
menyukaimu. Sejak itu dalam hatiku lantas timbul suara keputusan bahwa selama
hidupku ini akan selalu ikut padamu. Namun engkau justru tidak boleh, maka
diamdiam aku berjanji dalam hati,'Baiklah, engkau melarang aku ikut padamu,
biarlah aku membikinmu cacat selama hidup, biar engkau tergantung pada diriku
dan selama hidup hidup terpikir akan ikut padaku'."
Sekonyong-konyong Siau hong
teringat apa yang terjadi dahulu, serunya, "Hah, jadi dahulu kau serang
aku
dengan jarum berbisa karena
maksud tujuanmu hendak membikin aku cacat selama hidup?”
Mendadak A Ci
mengguncang-guncangkan bahu Siau Hong sambil menjerit, "Kau, Kau ..Kerbau
dungu, jadi kau baru tahu setelah aku sendiri mengatakan sekarang? Selama ini
engkau tidak pernah memikirkan apa kandungan berita?”
Pelahan Siau Hong membelai
rambut A Cl, katanya dengan suara pelahan, "A Ci, hendaknya maklum bahwa
usiaku satu kali lipat lebih tua daripadamu, aku hanya dapat menjagamu seperti
paman atau seperti kakakmu sendiri. Selama hidupku ini hanya mencintai seorang
wanita saja, yaitu Encimu. Di dunia ini takkan ada wanita kedua yang dapat
menggantikan tempat A Cu dalam hatiku dan aku pun takkan pernah mencintai pula
wanita mana pun, Hongsiang telah menghadiahkan banyak wanita cantik padaku,
tapi selama ini aku tidak pernah memperhatikan apalagi menjamah mereka. Jika
aku memperhatikan dirimu, semua itu kulakukan demi A Cu dan bukan lantaran
dirimu sendiri."
A Ci menjadi dongkol dan
murka, mendadak A Ci gampar pipi Siau Hong sekali.
Kalau Siau Hong mau berkelit sudah
tentu dengan mudah tamparan itu dapat dihindarkannya, Tapi ketika dilihatnya
air muka A Ci pucat pasi saking gusarnya, bahkan sekujur badan gemetar, sorot
matanya penuh memantulkan rasa pedih yang tak terperikan sehingga membuat orang
tidak tega memandangnya, maka ia tidak tega menghindarkan serangan anak dara
itu.
Sebaliknya sesudah menanpar,
seketika A Ci menyesal malah, serunya, "Cihu, O.Cihu, aku .... akulah yang
salah, boleh ... boleh kau balas memukul aku, pukullah aku!"
"Ai, bukankah sifatmu ini
terlalu kekanak-kanakkan?" sahut Siau Hong. "A Ci, di dunia ini tiada
urusan maha besar apa-apa, kamu tidak perlu berduka sedemikian rupa. Eh, sorot
matamu ... mengapa sedemikian sedih dan pilu? Cìhu adalah seorang lelaki kasar,
bila kamu selalu mendampingi aku, sungguh akan membikin susah padamu."
"Sinar mataku selalu
memantulkan rasa duka derita bukan?" A Ci menegas. "Ai, semua ini
gara-gara siluman jelek yang membikin susah padaku.”
”Siluman jelek apa
maksudmu?" tanya Siau Hong.
"Ini.. kedua biji mataku
ini adalah pemberian siluman jelek, yaitu Thi-thau-Jin (orang berkepala besi)
tempo hari itu," tutur A Ci.
Seketika Siau Hong masih belum
paham, ia tanya pula, "Siluman jelek, Thi-thau-jin apa?”
Tin the, orang yang mengaku
sebagai Kai-pang Pangcu, katanya bernama Ong-sing-thian katanya Ciangbunjin
Kek-lok-pai segala. Tak tahunya, hihihihi, kikira siapa dia? Sungguh bisa bikin
mules perut orang jika kukatakan jahatnya, dia adalah Yu Goan-ci, itu orang
yang kukerudungi dengan topeng besi dahulu. Entah dari mana dia berhasil
mempelajari semacam kungfu sakti dan aneh, dengan kepandaiannya itu dia selalu
ikut di sisiku dan berusaha membikin senang hatiku. Sungguh kurang ajar, akulah
yang telah tertipu, selama ini aku panggil dia sebagai Ong kongcu dengan segala
hormat, kalau teringat sekarang sungguh aku menjadi malu sendiri.”
"Oooohh, kíranya Kai-pang
Pangcu itu adalah si badut kepala besi yang pernah kau permalukan dia?” siau
Hong menegas dengan terheran-heran. "Pantas, maka mukanya penuh bekas
luka, mungkin disebabkan dia membuka topeng secara paksa sehingga kulit mukanya
menjadi rusak. Tapi orang itu tidak dendam atas kejadian yang telah lalu dan
mau melayanimu dengan baik, sungguh susah dicari bandingannya.”
"Hm, susah dicari apa? Masakah
dia punya maksud baik padaku?” jengek A Ci. "Dia justru sengaja mendustai
aku agar aku mau diperistri olehnya.”
Siau Hong manjadi teringat
pada adegan ketika di rumah ayah angkatnya di Siau-Sit-san dahulu di sana ia
lihat sinar mata Yu-Goang-Ci yang sedemikian memperhatikan A Ci itu lamat-lamat
mengandungrasa cinta yang mendalam, Cuma waktu itu dirinya tidak memperhatikan
lebih lanjut. Maka katanya, "Dan sesudah kau tahu duduknya perkara, saking
gusarnya lantas kau bunuh dia lalu mencukil biji matanya?”
A Ci menggeleng kepala,
sahutnya, "Tidak aku tidak membunuh dia, Kedua biji mata ini pun dia
berikan padaku secara sukarela.”
Keruan Siau Hong terperanjat,
seketika ia tidak paham mengapa bisa terjadi demikian, dan tanyanya,” Sebab apa
dia bersedia mencukil biji matanya sendiri untuk diberikan padamu?”
"Habis, salahnya sendiri
yang ketolol-tololan,” katanya A ci. "Ketika aku dan dia datang ke
Leng-ciu-kiong dan bertemu dengan saudara-angkatmu Hi-Tiok-cu untuk minta dia
menyembuhkan mataku Hi-tiok-cu mencari kitab-kitab pusakanya dan mempelajari
sampai setengah harian, akhirnya dia mengatakan bahwa untuk menyembuhkan mataku
hanya ada suatu jalan, yaitu mesti menggunakan biji mata orang yang hidup untuk
menggantikan biji mataku. Coba pikir, ke mana harus kucari biji mata orang
hidup. Sudah tentu aku tak dapat minta tukar mata dengan salah seorang dayang
Leng-ciu-kiong, selagi aku mohon pertolongan kepada Hi-tiokcu. Aku lantas minta
Yu Goan-ci turun gunung untuk menculik seorang desa. Siapa duga mendadak dia
menangis sedih, katanya bila nanti mataku sudah sembuh dan dapt melihat
wajahnya yang asli tentu tak suka dan tak mau gubris lagi padanya. Aku berjanji
takkan berbuat demikian, tapi dia tetap tidak percaya. Siapa tahu
mendadak ia memegang sebilah
belati terus menemui Hi-tiok-cu dan minta beliau menggantikan biji mataku.
Thi-thau-jin itu bersedia menukar biji matanya untukku. Semula Hi-tiok-cu tidak
mau, tapi Thi-thau-jin lantas mengiris mukanya satu kali dengan belati dan
menyatakan tekadnya bila Hi-tiok-cu tetap tak mau, maka dengan segera dia akan
bunuh diri. Karena tiada jalan lain, terpaksa Hi-tiok-cu meluluskan
permintaannya dan mencukil matanya untuk menggantikan mataku.”
Dengan tenang dan sewajarnya
saja A Ci menuturkan kejadian itu seperti sesuatu yang jamak, tapi bagi
pandangan Siau Hong ucapan itu dirasakan sebagai sesuatu yang jauh lebih
mendebarkan dan mengerikan daripada kejadian atau pertarungan sengit yang
pernah dialaminya selama hidup ini.
Dengan tangan gemetar Siau
Hong melemparkan kantong arak yang dipegangnya tadi dan berkata, "A Ci
apakah benar Thi-thau-jin itu secara suka rela memberikan biji matanya
kepadamu?”
"Ya, benar,” sahut A Ci.
"Kau ... sungguh seorang
yang berhati batu dan tak punya perasaan, masakah orang memberikan biji matanya
padamu telah kau terima dengan begitu saja?”
Mendengar nada Siau Hong itu
kereng dan bengis, kembali mata A ci mengambang dan hendak menangis lagi. Mendadak
katanya, "Cihu, jika matamu buta, aku pun rela memberikan biji mataku
padamu.”
Siau Hong jadi terharu oleh
ucapan yang tulus dan berperasaan mendalam itu, katanya dengan suara lembut,
"A Ci, pemuda she Yu itu sedemikian mencintaimu, bahagia yang seharusnya
kau nikmati itu ternyata tidak kau sadari. Padahal selain dia ke mana lagi akan
kau cari seorang kekasih yang benar-benar mencintaimu di dunia ini? Dia
sekarang berada di manakah?”
"Besar kemungkinan masih
berada di leng-ciu-kiong," sahut A Ci. "Dia sudah tidak punya mata
lagi, cara bagaimana dia dapat meninggalkan pegunungan yang curam dan berbahaya
itu?”
"Ah, boleh jadi jika
dapat memperoleh biji mata seorang pesakitan yang harus dihukum mati untuk
menyembuhkan dia.” Ujar Siau hong.
"Tidak mungkin,” kata A
Ci. "Hwesio cilik itu ... eh, keliru, Hi-tiok-cu itu bilang bahwa waktu
matanya dicukil, maka urat-uratnya sudah putus semua dan tidak dapat diganti
lagi seperti aku.”
"Jika begitu, lekas kau
kembali ke sana untuk menemani dia, tak peduli kemana pun jangan kau
meninggalkan dia barang selangkah pun," kata Siau Hong.
"Tidak, aku tidak
mau," sahut A Ci sambil menggoyang kepalanya. "Aku hanya akan ikut
padamu. Manusia sejelek siluman seperti dia itu, asal memandangnya saja aku
sudah merasa muak, mana aku betah menemani dia selama hidup."
Siau Hong menjadi marah,
"Meski rupanya jelek, tapi hatinya beratus kali lebih baik daripadamu! Aku
tidak mau ditemani kau, aku tak ingin melihat kau lagi!"
"Tapi aku ... aku..”
mendadak tenggorokan A Ci serasa tersumbat dan tak dapat bicara lebih jauh.
Pada saat itulah tiba-tiba
penjaga masuk memberi lapor bahwa ada titah Sri Baginda yang memerintahkan
Peng-lam Kongcu pergi menghadap padanya. Terpaksa A Ci menerima titah itu dan
berangkat ikut dengan utusan raja.
Sambil mengawasi kepergian A
Ci, diam-diam Siau Hong membatin, "Cinta Yu Goan-ci kepadanya benarbenar
jarang terdapat sejak dahulu kala hingga sekarang. Hanya karena waktu A Ci
meningkat remaja kebetuan siang dan malam dia tinggal bersama aku, di waktu dia
terluka terpaksa aku pun merawat dia tanpa menghiraukan batas-batas antara pria
dan wanita sehingga menimbulkan salah pahamnya kepadaku secara kekanak-kanakan.
Ya, aku harus menyuruh dia kembali ke samping pemuda she Yu itu. Orang
sedemikian baik padanya, sampai-sampai rela mengorbankan biji matanya sendiri.
Kalau A Ci meninggalkan dia, sungguh Thian sekalipun tidak dapat mengampuni
perbutannya ini."
Sesudah berada sendirian,
kembali Siau Hong teringat pula kepada perintah Yalu Hung-ki yang menugaskan
dia menyerbu kerajaan Song tadi. Pikirnya, "Untuk apa Hongsiang memanggil
A Ci? Ya, tentu anak dara itu akan disuruh membujuk aku agar menerima titahnya.
Jika aku tetap menolak titahnya, berarti aku tidak taat kepada perintah atasan.
Siang tadi tampaknya Hongsiang sudah menaruh syakwasangka padaku. Mungkin
teringat kepada persaudaraan selama ini, maka beliau telah mengekang
perasaannya. Jika aku menerima tugas dan mesti memimpin pasukan untuk membunuh
orang-orang Song, untuk ini hatiku juga tidak tega. Apalagi sekarang ayah sudah
menjadi Hwesio di Siau-lim-si, bila mendengar tindakanku ini tentu beliau akan
tidak senang. Ai, sungguh aku menjadi serba salah, kalau membangkang perintah
berarti tidak setia, tidak memikirkan kebaikan persaudaraan berarti tidak
berbudi, bila menyerbu dan membunuh rakyat tak berdosa berarti tidak bijaksana,
dan dengan melanggar pesan ayah berarti tidak berbakti. Oh, Thian, cara
bagaimana hambamu ini harus berbuat di antara kesetiaan, kebaktian,
kebijaksanaan dan berbudi? Ai, apa mau dikata lagi, biarlah jabatan Lam-ih
Tay-ong kutinggalkan saja dan kabur tanpa pamit. Akan tetapi kemana aku harus
pergi? O, dunia seluas ini ternyata tiada tempat berteduh bagiku."
Ia mengangkat kantung arak
yang terbuang tadi dan menenggak pula beberapa kali. Pikirnya, ”Biar kutunggu
pulangnya A ci, aku akan mengajak dia ke bian-biau-hong supaya dia dapat
berkumpul dengan pemuda she Yu
itu, berbareng aku dapat
tinggal untuk sementara waktu di tempat itu, kemudian akan kupikirkan lagi apa
yang harus ku lakukan selanjutnya.”
(Oo^o^dwkz^http://kangzusi.com/^o^oO)
Bercerita tentang A ci yang
dipanggil menghadap itu. Begitu bertemu dengan Yalu hung-ki, langsung nona itu
berseru, ”Hongsiang, gelar Pang-lam Kongcu ini biarlah kuserahkan kembali
padamu, aku tidak mau memilikinya lagi!”
Seperti apa yang telah diduga
Siau hong memang maksud Hung-ki memanggil A Ci tak lain tak bukan ialah ingin
minta nona membujuk Siau Hong supaya menerima tugas yang telah diberikannya
itu. Tapi tiba-tiba A Ci lantas menyatakan hendak mengembalikannya gelar
putrinya, keruan Hung-ki berkerut kening, katanya dengan kurang senang,
"Sesuatu gelar yang diberikan kerajaan adalah urusan besar dan bukan
mainan kekanak-kanak, mana boleh semuanya kau terima, dan kau kembalikan dengan
begini saja!"
Mengingat hubungannya dengan
Siau Hong biasanya Hung-ki juga ramah-tamah terhadap A Ci, tapi sekarang
ucapannya agak keras sehingga menangíslah A Ci.
Pada saat itulah t!ba-tiba
terdengar suara orang wanita sedang bicara, "Ai, mengapa Hongsiang
marah-marah sehingga membikin ketakutan seorang nona cilik!”
Habis itu tertampaklah dari
dalam keluar seorang wanita cantik dan anggun.
A Ci kenal dia adalah
Bok-kuihui, selir kesayangan Yalu Hung-ki. Segera ia berkata, "Kebetulan
dengan kedatangan Kuihui (gelar selir raja), silakan memberi peradilan, aku
hanya menyatakan tidak mau menjad! Pang-lam Kongcu dan Hongsiang lantas
marah-marah padaku."
Melihat kecantikan yang khas
tatkala menangis itu Bok-kuihui melirik sekejap pada Hungki-ki dan berkata
dengan tertawa, "Hongsiang, jika dia tidak mau menjadi Pang-lam Kongcu,
maka bolehlah engkau menganugrahi dia sebagai Pang-lam Kui-hui."
Maksudnya kalau A Ci tidak mau
diberi gelar putri, boleh ambil saja sebagai selir.
Tapi Hung-ki lantas tepuk paha
dan berseru, "Ngaco! Ngaco! Aku memberi gelar kepada bocah ini adalah demi
kepentingan Siau-hiante, yang
seorang Pang-lam Kongcu dan yang lain pang-lam Tai-goan-swe, dengan demikian
mereka akan dapat menikah dengan segala keagungan. Siapa tahu Siau-hiante,
tidak mau menjadi Pang-lam-Tai-goan-swe dan dara cilik ini pun tidak mau
menjadi Pang-lam Kongcu. Ya, ya, tentu lantaran kamu ini orang selatan, maka
tldak ingin kita pergi pang-lam (Mengamankan selatan), ya?"
Nyata di balik ucapannya ini
sudah terkandung nada mengancam. Tapi A Ci menjawab, "Aku justru tidak
urus apakah kalian akan mengamankan selatan atau akan mengamankan timur dan
barat segala, semuanya aku tak peduli. Yang terang cihu ... Cihu ingin aku
mengawini seorang siluman jelek yang kedua matanya buta."
Hung-ki dan Bok-kuihui jadi
terheran-heran, tanya mereka bersama, "Sebab apa?"
Sudah tentu A Ci tidak berani
menceritakan seluk-beluknya tentang Yu Goan-ci, ia terus menjawab, "Sebab
Cihu tidak suka padaku, maka aku dipaksa menikah dengan orang lain."
Pada waktu itulah di luar
kemah ada suara orang memanggil pelahan, "Hongsiang!"
Hung-Ki coba melongok keluar,
ia lihat seorang kepercayaan sendiri yang sengaja ditugaskan untuk menjadi
pengawal Siau Hong, dengan berbisik orang itu berkata, "Lapor Hongsiang,
Siau Hong telah menempelkan pita segala di pintu istana dan membungkus setempel
emas dengan kain dan digantung di atas belandar, melihat gelagatnya agaknya dia
... dia akan minggat tanpa pamit."
Mendengar laporan itu. Hung-ki
menjadi gusar. Teriaknya, "Kurangajar! Benar-benar kurang-ajar!"
Dan sesudah berpikir sejenak,
lalu memberi perintah, "Panggil lekas komandan pasukan pengawal!"
Hanya sebentar saja komandan
pasukan pengawal kerajaan sudah menghadap. Segera Hung-ki memberi perintah,
"Lekas pimpin pasukanmu dan kepung istana Lam-ih Tai-ong!"
Lalu ia pun memberi perintah
agar pintu gerbang benteng kota ditutup semua, siapa pun dilarang masuk-keluar.
Rupanya dia kuatir Siau Hong
memberontak dengan bawahannya, maka berulang-ulang ia memberi perintah pula, ia
panggil menghadap para perwira tinggi bawahan Lam-ih Tai-ong seorang demi
seorang.
Di dalam kemah Bok-kuihui
dapat mendengar suara ramai-ramai di luar itu, menyusul pula suara derap kaki
kuda dan barisan prajurit riuh rendah tak berhentl-henti, terjadi suatu
peristiwa hebat.
Adat istiadat bangsa Cidan
memang lebih bebas, begitu pula pergaulan antara pria dan wanita. Maka
Bokkuihui lantas keluar dan coba tanya kepada Hung-ki, "Telah terjadi
peristiwa apakah, sampai Baginda sedemikian gusarnya?”
"Kurangajar!" seru
Hung-ki dengan marah. "Siau Hong ini benar-benar manusia yang tidak kenal
kebaikan, dia bermaksud menghianat dan meninggalkan aku, Jiwa orang ini condong
kepada kerajaan Song, tentu dia akan menyampaikan berita tentang gerak-gerikku
kepada orang selatan sana. Dia banyak mengetahui rahasia militer kerajaan Liau
kita, kalau dia sampai lolos ke selatan tentu akan merupakan ancaman dan sangat
berbahaya bagiku.”
"Biasanya Baginda suka
memuji ilmu silat Siau Hong sangat lihai, kalau Sri Baginda tidak berhasil
menangkap dia sehingga dia dapat lolos, tentu akan membawa bencana di kemudian
hari bagi bangsa kita," ujar Bokkuihui.
"Ya. memang!"sahut
Hung-ki. Lalu ia berteriak, "Lekas perintahkan kepadaku Hui-liong-eng
(batalyon naga terbang), Hui-hou-eng (batalyon harimau terbang) dan Hui-pa-eng
(batalyon macan tutul) agar secepat kilat dikerahkan ke istana Lam-ih Tai-ong
dan memberi bantuan kepada pasukan bayangkari."
Segera perintah sang raja
diteruskan oleh ajudannya.
"Untuk membekuk orang she
Siau itu, hamba mempunyai suatu akal, Baginda,” kata Bok-kuihui, lalu ia
berbisik-bisik di tepi telinga sang raja.
Hung-ki tampak manggut-manggut
dan berkata, "Ya. boleh juga. Kalau aksi ini berhasil tentu akan ada
hadiah besar."
"Ah, asal Baginda senang
saja sudah merupakan hadiah besar bagi hamba. Baginda sedemikian baik padaku,
apalagi yang kuserakahi?" sahut Bok-kuihui dengan tersenyum.
Dalam pada itu A Ci masih
duduk sendirian, didalam kemah. Biarpun di luar terjadi geger-geger sedikit pun
dia tidak ambil pusing. Baginya adalah kejadian biasa orang-orang Cidan
bergembar-gembor riuh rendah, bilamana hendak pergi berburu juga sering
orang-orang itu ribut-ribut sedemikian rupa. Sudah tentu sama sekali tak
terpikir oleh A Ci bahwa sekali ini adalah lain daripada yang lain, bahwa
Hung-ki sedang mengarahkan pasukannya untuk menangkap Siau Hong.
Dengan duduk termenung-menung,
pikiran anak dara itu sedang kusut, pikirnya, "Hari ini baru dapat
kubeberkan isi hatiku kepada Cihu, tetapi ... tetapi dia tidak pernah
memikirkan diriku sedikit pun, sebaliknya aku disuruh pergi menemani siluman
jelek itu. Biarpun mati juga aku tidak sudi, tidak mau!”
Tiba-tiba sebuah tangan
pelahan meraba pundaknya. A Ci terkejut dan mendongak, ia lihat Bok-kuihui
dengan sorot mata yang lemah-lembut sedang bertanya dengan tersenyum,
"Adik cilik, apa yang
sedang kau kenangkan? Sedang merindukan Cihumu, bukan?"
Meski adat A Cl gesit dan
nakal, tapi sekali isi hatinya kena terkorek, mau-tak-mau mukanya menjadi merah
juga, ia menunduk dan tidak menjawab.
Bok-Kuihui lantas duduk, ia
pegang dan mengelus sebelah tangan A Ci, katanya pula dengan suara halus.
"Adik cilik, orang lelaki kebanyakan memang bersifat kasar dan suka marah,
lebih-lebíh orang seperti Hongsiang kita dan Lam-ih Tai-ong, mereka adalah
ksatria gagah perwira pada jaman ini, untük menarik hati mereka sudah tentu
tidak gampang."
A Ci mengangguk, ia merasa apa
yang diucapkan Bok-kuihui itu memang betul.