Pendekar Sakti Suling Pualam Bagian 10 (Tamat)

Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Sakti Suling Pualam Bagian 10 (Tamat)
Bagian 10 (Tamat)
"Kalau itu adalah takdir, maka tidak berdosa." sahut Sam Gan Sin Kay.

"Aaah...!" Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang "Itu memang merupakan suatu dosa berat, sebab aku tinggal di sana. Kalau aku tidak tinggal disana, tentunya tidak akan saling jatuh cinta, Beberapa hari setelah saling menyatakan

cinta, Aku menghadiahkan sebuah tusuk konde kumala kepadanya."

"Tusuk konde itu?" tanya Kim Siauw Suseng

"Ya!" Tayli Lo Ceng mengangguk. "Memang tusuk konde ini. Beberapa bulan kemudian, aku berpamit kepadanya karena aku ingin pergi me nuntut ilmu. Aku berjanji kepadanya pasti pulang dalam waktu dua tiga tahun, akan tetapi, aku aku tidak pernah datang menemuinya lagi."

"Kenapa?" tanya Kou Hun Bijin heran.

"Setelah aku pergi menuntut ilmu lagi, aku tersadar dari kekeliruan itu...." Tayli Lo Ceng menghela nafas panjang.

"Maka aku tidak pergi menemuinya, itu agar dia bisa menikah dengan pemuda lain. Dua puluh tahun kemudian, secara diam-diam aku ke rumahnya. Aku harap dia sudah punya anak dan hidup bahagia, namun tak sangka dia justru tidak ada di rumah. Aku bertanya kepada para tetangga di sana, mereka memberitahukan bahwa Pek Sian Nio sudah menjadi biarawati, namun mereka tidak tahu dia berada dimana. Sejak saat itulah aku tidak pernah bertemu dia lagi."

"Kepala gundul," tegur Kou Hun Bijin. "Engkau memang kejam sekali. Setelah pergi menuntut ilmu lagi, barulah tersadar. Otomatis membuat Pek Sian Nio hidup merana dan menderita. Dosa mu bertambah berat."

"Omitohud! Dosaku memang berat sekali ucap Tayli Lo Ceng sambil memandang Lu Hui San yang telah duduk. "Apa gelarnya?"

"Khong Sim Ni Kouw," jawab Lu Hui San.

"Khong Sim (Hati Hampa). Khong Sim..." gumam Tayli Lo Ceng dengan mata basah. "Aku sungguh berdosa terhadapnya."

"Lo Ceng!" Lu Hui San memberitahukan. ”Khong Sim Ni Kouw kelihatan mengharap sekali kedatangan Lo Ceng."



"Omitohud...."

"Jangan menyebut 'Omitohud' dulu!" potong Kou Hun Bijin. "Sebab akan menambah dosamu. Lebih baik engkau segera pergi menemuinya. Kalau tidak, jangan harap engkau bisa berjumpa dengan Sang Budha."

”Omitohud!" Tayli Lo Ceng manggut-manggut, kemudian bertanya kepada Lu Hui San. "Di -mana tempat tinggalnya?"

"Di kuil Pek Yun Am...." Lu Hui San memberitahukan secara

jelas.

"Omitohud! Terimakasih!" Mendadak Tayli Lo Ceng melesat pergi tanpa pamit.

Sam Gan Sin Kay, Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin saling memandang, kemudian Kou Hun Bijin menghela nafas panjang seraya berkata, "Mudah-mudahan kepala gundul itu bertemu khong Sim Ni Kouw! Aku..." Kou Hun Bijin terisak-isak. "Aku.bersimpati dan merasa kasihan kepada Khong Sim Ni Kouw itu."

"Tidak disangka Tayli Lo Ceng punya kenangan itu!" Sam Gan Sin Kay menggeleng-gelengkan kepala dan bergumam. "Cinta...."

"He he he!" Kim Siauw Suseng tertawa terkekeh-kekeh. "Pengemis bau! Teringat kepada mendiang isteri ya?"

"Sastrawan sialan!" sahut Sam Gan Sin Kay "Urusi isterimu yang menangis itu! Jangan menggodaku!"

"Eh?" Kim Siauw Suseng segera memandang Kou Hun Bijin. "Isteriku...."

"Aku menangis sedih, engkau malah tertawa terkekeh-kekeh." tegur Kou Hun Bijin sambil melotot. "Nanti malam engkau tidur di lantai tidak boleh seranjang denganku!"



"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa tebahak-bahak. "Rasakan! Sastrawan sialan pasti kedinginan malam ini! Ha ha ha...!"

-oo0dw0oo-


Tayli Lo Ceng sudah sampai di kuil Pek Yu Am. Ia berdiri di depan pintu kuil itu dengan kening berkerut-kerut lantaran hatinya bimbang. Ia ingin mengetuk pintu kuil itu, namun hatinya merasa enggan. Di saat itulah mendadak pintu kuil itu terbuka dan tampak dua biarawati berdiri disitu

"Siancay! Siaricay!" ucap kedua biarawati itu.”Guru kami mempersilakan Lo Ceng masuk."

"Omitohud!.Terimakasih!" sahut Tayli Lo Ceng. "Mari ikut kami ke dalam, Lo Ceng!" ucap kedua biarawati itu sambil berjalan ke dalam. Tayli Lo Ceng mengikuti mereka dengan hati tak tenang. Tak lama mereka sudah sampai di ruang meditasi.

"Lo Ceng, silakan masuk!" ucap kedua biarawati tu.

"Terimakasih!" Tayli Lo Ceng masuk ke dalam ruang itu dan dilihatnya seorang biarawati tua duduk bersila.

"Kong Sun Hok," ujar biarawati tua itu. "Engkau sudah datang, duduklah di hadapanku!"

"Pek Sian Nio," sahut Tayli Lo Ceng sambil duduk bersila dihadapan biarawati tua. "Aku...aku...."

"Sudahlah!" Khong Sim Ni Kouw tersenyum lembut. "Aku sama sekali tidak mempersalahkanmu. Sesungguhnya aku yang bersalah, karena tidaik pantas aku jatuh cinta kepada seorang Hweesio itu adalah dosaku...."

"Tidak, Sian Nio. Engkau tidak bersalah. Aku yang bersalah.

Sian Nio, ampunilah aku!" Tayli, Ceng terisak-isak.



"Kong Sun Hok!" Khong Sim Ni Kouw tersenyum lembut lagi. "Engkau sudah tua, namun kenapa masih seperti anak-anak?"

"Sian Nio...." Air mata Tayli Lo Ceng berderai derai. "Gara-

gara aku, engkau kehilangan masa remajamu. Aku... aku berdosa terhadapmu."

"Itu sudah merupakan takdir." Khong Sim Ni Kouw menatapnya dalam-dalam, kemudian wajah nya berseri seraya berkata. "Malam itu engkat memelukku, dan aku mendekap di dadamu. Bulan pun bersinar terang benderang, betapa bahagianya aku disaat itu."

"Sian      Nio...."  Tayli       Lo           Ceng      terisak-isak         lagi         "Tidak

seharusnya aku menelantarkanmu. Aku...aku..”

"Kong Sun Hok!" Khong Sim Ni Kouw mulai memandangnya dengan mata redup, namun wajahnya tetap berseri. "Kini aku pun bahagia sekali sebab engkau masih sempat ke mari."

"Sian Nio! Engkau...." Tayli Lo Ceng tersentak dan segera

memeriksa nadinya. Betapa terkejutnya padri tua itu, ternyata denyut nadi dan detak jantung Khong Sim Ni Kouw sudah lemah sekali, Cepat-cepatlah padri tua itu menyalurkan Hud Bun Pan Yok Sin Kang ke dalam tubuh biarawati tua itu.

"Kong Sun Hok!" Khong Sim Ni Kouw menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan menyia-nyiakan hawa murnimu, sebab sudah waktunya aku pergi.."

"Sian Nio...." Air mata Tayli Lo Ceng mulai meleleh lagi. "Kita... kita baru berjumpa...."

"Aku... aku bahagia..." ujar Khong Sim Ni Kouw dengan suara mulai lemah. "Kong Sun Hok, maukah... engkau memelukku seperti malam itu?"

"Sian Nio....." Tayli Lo Ceng langsung memeluknya dengan

air mata berderai-derai. "Sian Nio, aku...."



"Kong Sun Hok!" Khong Sim Ni Kouw tersenyum bahagia. "Engkau tidak berdosa dalam hal ini relakanlah aku pergi...."

"Sian Nio!" Tayli Lo Ceng membelainya. "Di dalam penitisan, aku pasti memperisterimu. Aku... aku pasti mencintai dan menyayangimu. Sian Nio, aku berjanji!"

"Terimakasih, Kong Sun Hok! Terimakasih...." Khong Sim Ni

Kouw tersenyum sambil berkata dengan suara yang semakin lemah. "Kong Sun Hok... selamat... selamat tinggal...."

"Sian Nio! Sian Nio..." panggil Tayli Lo Ceng. Namun Khong Sim Ni Kouw tidak menyahut lagi, ternyata nafasnya telah putus. "Omitohud...."

"Guru!  Guru...."              Kedua   biarawati             yang      berdiri   diluar

ruangan itu langsung menjatuhkan diri berlutut sambil menangis sedih. "Guru...."

-oo0dw0oo-


Bagian ke tujuh puluh

Dua Dhalai Lhama mengunjungi Markas Kay Pang


Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong duduk diruang depan dengan wajah serius, kelihatan mereka berdua sedang membicarakan sesuatu

"Entah bagaimana Bun Yang?" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Mudah-mudahan tidak akan terjadi sesuatu atas dirinya!"

"Yang kucemaskan adalah..." ujar Gouw Han Tiong dengan kening berkerut-kerut. "Apabila Goat Nio terjadi sesuatu, Bun Yang akan...”

"Tiada gairah hidup lagi?" tanya Lim Peng Hang.



"Kira-kira begitulah," sahut Gouw Han Tiong sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Sebab Bun Yang sangat mencintai gadis itu."

"Aaah...!" keluh Lim Peng Hang. "Aku justru tidak habis pikir, kenapa Bun Yang harus menghadapi percobaan itu? Padahal... dia pemuda baik dan berhati bajik, tapi malah...."

"Dulu kedua orang tuanya juga selalu mnghadapi percobaan-percobaan yang tak terduga akhirnya mereka berdua toh hidup bahagia," seru Gouw Han Tiong dan melanjutkan, "Maka Bun Yang harus tabah. Kalau tidak, dia akan gila."

"Yaaah!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Hidup memang penuh cobaan, setiap orang pasti akan mengalami."

"Mudah-mudahan Bun Yang berhasil mencari Goat Nio, jadi kita pun bisa berlega hati!" ucap Gouw Han Tiong.

"Aku justru masih tidak habis pikir, apa sebabnya ketua Kui Bin Pang itu tidak mau melepaskan Goat Nio," ujar Lim Peng Hang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dan juga entah disekap di mana gadis itu?"

"Mungkinkah...."  Gouw  Han  Tiong  mengerutkan  kening.

"Ketua Kui Bin Pang itu punya maksud tertentu terhadap Goat Nio?"

-oo0dw0oo-


Jilid : 15

"Aaah...." Lim Peng Hang menghembuskan nafas panjang.

"Sungguh pusing memikirkannya!"

"Oh ya! Belum lama ini di rimba persilatan telah muncul Kim Coa Long Kun. Pendekar Pedang Ular Emas itu sadis sekali," ujar Gouw Han Tiong mengalihkan pembicaraan



sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dia masih muda, namun berkepandaian tinggi sekali."

"Tidak memberi ampun kepada para penjahat, tapi...." Lim

Peng Hang mengerutkan kening dan melanjutkan. "Justru sungguh membingungkan, kenapa dia juga membunuh para murid Butong Pay, Kun Lun Pay dan Go Bie Pay? Kalau tidak salah, ketua-ketua partai itu telah bergabung untuk membasmi Kim Coa Long Kun itu."

"Rimba persilatan tidak pernah tenang, bahkan kini Dinasti Beng, pun berada di ambang keruntuhan," ujar Gouw Han Tiong sambil menggeleng-gelengkan kepala lagi. "Kelihatannya kita pun sudah harus hidup tenang di Pulau Hong Hoang To."

"Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut, kemudian memandang Gouw Han Tiong sambil tersenyum. "Engkau tidak bisa tinggal di Pulau Hong Hoang To, harus tinggal di Tayli, sebab Sian Eng berada di sana."

"Sian Eng..." gumam Gouw Han Tiong. "Karena engkau menyinggung dirinya, aku pun menjadi rindu lho!"

"Engkau berniat ke Tayli menengok Sian Eng?" tanya Lim Peng Hang.

"Memang berniat, tapi bukan sekarang," sahut Gouw Han Tiong dan menambahkan. "Setelah Bun Yang berkumpul kembali dengan Goat Nio, barulah aku berangkat ke Tayli."

"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Saudara Gouw, engkau memang sangat setia kawan."

"Tentu." Gouw Han Tiong juga tertawa.

Dalam waktu bersamaan, muncullah Cian Chiu Lo Kay dengan wajah serius. Ia memberi hormat kepada Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong.



"Pangcu, ada dua Dhalai Lhama ingin bertemu Pangcu," lapor Cian Chiu Lo Kay.

"Apa?" Lim Peng Hang tertegun. "Maksudmu Dhalai Lhama dari Tibet?"

"Ya." Cian Chiu Lo Kay mengangguk.

"Cepat undang mereka masuk!" ujar Lim Peng Hang.

"Ya, Pangcu." Cian Chiu Lo Kay segera keluar, sedangkan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang dengan kening berkerut-kerut.

"Heran?" gumam Lim Peng Hang. "Ada urusan apa kedua Dhalai Lhama itu ke mari?"

"Kay Pang tidak punya hubungan dengan Dhalai Lhama Tibet, memang mengherankan mereka ke mari." Gouw Han Tiong tidak habis pikir.

"Hah?" Mendadak Lim Peng Hang tersentak. "Jangan-jangan ada kaitannya dengan Cie Hiong, sebab Cie Hiong pernah bertarung dengan ketua Dhalai Lhama?"

"Aku pernah mendengar tentang itu, tapi setelah itu bukankah Cie Hiong malah bersahabat dengan ketua Dhalai Lhama itu?"

"Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Kalau begitu, kedatangan mereka...."

Ucapan ketua Kay Pang terhenti, karena Cian Chiu Lo Kay telah muncul bersama kedua Dhalai Lhama itu.

Setelah berdiri di hadapan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong, kedua Dhalai Lhama itu memberi hormat.

"Lim Pangcu, maaf!" ucap Dhalai Lhama berjubah merah. "Kedatangan kami mengganggu ketenangan Pangcu."

"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Tidak apa apa. Silakan duduk!"



"Terimakasih!" Kedua Dhalai Lhama itu duduk. Yang mengherankan adalah wajah kedua Dhalai Lhama itu, karena tampak muram sekali.

"Kalian berdua jauh-jauh dari Tibet ke mari, tentunya ada suatu urusan penting. Ya, kan?" tanya Gouw Han Tiong.

"Betul," sahut Dhalai Lhama berjubah kuning. "Telah terjadi sesuatu di kuil kami...."

"Oh?" Lim Peng Hang tertegun. "Apa yang telah terjadi di kuil kaliah?”

"Aaaah...!" Dhalai Lhama berjubah merah menghela nafas panjang. "Belum lama ini telah muncul seorang pemuda Han di Tibet. Kepandaiannya sungguh tinggi sekali, sehingga para saudara seperguruanku tak mampu melawannya. Ternyata pemuda Han itu pun memiliki ilmu sesat yang dapat mengendalikan pikiran orang, maka semua saudara seperguruan kami terpengaruh, bahkan kemudian pemuda Han itu juga mengalahkan guru kami."

"Lalu bagaimana?" tanya Lim Peng Hang terkejut.

"Guru kami dikurung, sedangkan semua saudara seperguruan kami sangat patuh kepada perintah pemuda Han itu," jawab Dhalai Lhama berjubah merah memberitahukan dengan wajah murung. "Sebab pikiran mereka di bawah pengaruh ilmu sesat pemuda Han itu."

"Siapa pemuda Han itu?" tanya Gouw Han Tiong.

"Dia tidak menyebut namanya," jawab Dhalai Lhama berjubah merah. "Kini pemuda Han itu berkuasa di kuil kami."

"Sungguh diluar dugaan!" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala, kemudian memandang mereka seraya bertanya. "Kok kalian tidak terpengaruh sama sekali, bahkan masih bisa kemari?"



"Kebetulan pada waktu itu kami tidak berada di kuil, karena sedang ada tugas di daerah lain." Dhalai Lhama berjubah kuning memberitahukan. "Setelah menyelesaikan tugas itu, kami berdua pulang ke Tibet. Di tengah jalan muncul belasan penduduk Tibet menghadang kami dan menceritakan tentang kejadian itu. Kami ingin segera kembali ke kuil, tapi para penduduk itu mencegah kami, sebab kami bukan lawan pemuda Han itu."

"Lalu bagaimana kalian?" tanya Lim Peng Hang.

"Kami gugup dan panik, bahkan kebingungan sekali," jawab Dhalai Lhama berjubah merah. "Kemudian kami teringat kepada Pek Ih Sin Hiap-Tio Cie Hiong, maka kami segera berangkat ke Tionggoan. Kami ke mari karena tahu Pek Ih Sin

Hiap .lilalah manlii I ini Pangcu."

"Oooh!" I mi Pen£ 11iiii>t nittnggul manggut. "Jaili maksud kalian ingin minta bantuan kepadanya?"

"Ya." Kedua Dhalai Lhanin ilu mengangguk. "Menurut kami, hanya Pek Ih Sin Hiap yang dapat mengalahkannya."

"Tapi...."              Lim         Peng      Hang      menggelengkan               kepala. "Cie

Hiong tidak berada di sini, dia tinggal di Pulau Hong Hang To."

"Oh?" Dhalai Lhama memandang Lim Peng Hang. "Di mana pulau itu?"

"Jauh sekali." Lim Peng Hang memberitahukan. "Terletak di Pak Hai (Laut Utara)."

"Tidak apa-apa," ujar Dhalai Lhama berjubah merah seakan telah mengambil keputusan. "Kami akan berangkat ke sana."

"Percuma." Gouw Han Tiong menggelengkan kepala.

"Kenapa?" Dhalai Lhama berjubah merah heran.



"Sebab Cie Hiong sudah bersumpah tidak akan mencampuri urusan rimba persilatan, maka percuma kalian ke sana." Gouw Han Tiong menjelaskan. "Dia tidak akan membantu kalian."

"Aaaah...!" Dhalai Lhama jubah merah menghela nafas panjang. "Kalau begitu kuil kami pasti terus dikuasai pemuda Han itu."

"Oh ya!" ujar Lim Peng Hang memberitahukan. "Ada seorang yang bisa membantu kalian."

"Siapa?" tanya kedua Dhalai Lhama itu girang.

"Tio Bun Yang," jawab Lim Peng Hang sambil tersenyum. "Putra satu-satunya Tio Cie Hiong."

"Juga cucu Lim Pangcu, kan?" Dhalai Lhama berjubah kuning menatapnya.

"Ya." Lim Peng Hang mengangguk. "Aku yakin dia mampu membantu kalian, tapi...."

"Kenapa, Lim Pangcu?" tanya Dhalai Lhama berjubah merah.

"Dia pun tidak berada di sini." Lim Peng Hang menghela nafas panjang.

"Apakah dia berada di Pulau Hong Hoang To?" tanya Dhalai Lhama berjubah kuning sambil menatapnya.

"Dia tidak ada di pulau itu, melainkan sedang pergi mencari seseorang," ujar Gouw Han Tiong.

"Kapan did pulang?" tanya Dhalai Lhama itu penuh harap.

"Entahlah." Lim Peng Hang menggelengkan kepala. "Kami tidak tahu kapan dia akan pulang."

"Kalau   begitu...."            Kedua   Dhalai    Lhama   itu           saling

memandang, kemudian manggut-manggut seraya berkata, "Lim Pangcu, perkenankanlah kami menunggunya!"



"Boleh." Lim Peng Hang mengangguk. "Namun kami tidak berani memastikan kapan dia pulang."

"Tidak jadi masalah," ujar Dhalai Lhama berjubah merah "Kami akan menunggunya dengan sabar."

"Kalau begilu..." ujar Lim Peng Hang sambil manggut-manggut. "Kalian berdua boleh tinggal di sini."

"Terimakasih!" ucap kedua Dhalai Lhama itu serentak.

"Lo Kay,' ujar Lim Peng Hang. "Antar kedua Dhalai Lhama itu ke kamar untuk beristirahat!"

"Ya, Pangcu." Cian Chiu Lo Kay mengangguk, lalu berkata kepada kedua Dhalai Lhama. "Mari ikut aku ke belakang!"

"Terimakasih!" Kedua Dhalai Lhama itu mengikuti Cian Chiu Lo Kay ke belakang.

"Tambah satu urusan lagi," ujar Gouw Han Tiong sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Yaaah!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Sebagai orang gagah dalam rimba persilatan, kita memang harus membantu Dhalai Lhama itu. Lagi pula pemuda Han "itu telah mencemarkan nama baik bangsa Han, maka aku yakin Bun Yang pasti bersedia membantu Dhalai Lhama itu."

"Tapi...."  Gouw  Han  Tiong  mengerutkan  kening.  "Entah

kapan dia pulang? Dia sedang mencemaskan Goat Nio, itu akan mempengaruhi konsentrasinya. Jadi bagaimana mungkin dia dapat mengalahkan pemuda Han itu?"

"Aku yakin dia tidak akan begitu," ujar Lim

Peng Hang dan menambahkan, "Mudah-mudahan dia akan pulang dalam beberapa hari ini!"

"Mudah-mudahan!" Gouw Han Tiong mang-\gut-manggut. ”Dan semoga dia telah berkumpul dengan Goat Nio!"

-oo0dw0oo-




Setelah meninggalkan rumah Menteri Ma, Tio Bun Yang mulai mencari Kwee Teng An kemana-mana, bahkan juga telah menjelajahi beberapa kota. Akan tetapi, tetap sia-sia karena tiada jejak pemuda itu sama sekali.

Ketika hari mulai gelap, Tio Bun Yang duduk di bawah pohon. Tak henti-hentinya ia menghela nafas panjang, lalu mengeluarkan sulingnya.

Tak lama terdengarlah suara suling yang amat merdu menggetarkan kalbu. Ia meniup suling sambil melamun. Berselang beberapa saat kemudian, barulah ia berhenti meniup sulingnya. Di saat bersamaan, muncullah seseorang sambil tertawa.

"Ha ha ha! Adik Bun Yang! Ternyata engkau yang meniup suling! Aku tak menyangka engkau begitu mahir meniup suling!"

"Hah?" Tio Bun Yang tersentak dan menoleh.

Dilihatnya seorang pemuda berdiri di belakangnya. "Kim Coa Long Kun...."

"Engkau meniup suling sambil melamun, sehingga tidak tahu akan kehadiranku di sini." ujar pemuda itu, yang tidak lain Pendekar Pedang Ular Emas.

"Kim Coa Long Kun...." Tio Bun Yang tersenyum getir.

"Adik Bun Yang!" Kim Coa Long Kun duduk di sisinya. "Engkau belum berhasil mencari Goat Nio?" "

"Belum." Tio Bun Yang menggelengkan kepala. "Aaaah...!"

"Jangan putus asa!" ujar Kim Coa Long Kun. "Engkau harus mencarinya terus, aku yakin engkau pasti berkumpul dengan dia."



"Aaaah...!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang, kemudian bertanya, "Bagaimana engkau? Apakah sudah berhasil menyelidiki kelima perampok itu?"

Kim Coa Long Kun menggelengkan kepala dan menyahut.

"Tapi aku akan terus menyelidiki mereka." Wajah Kim Coa Long Kun berubah dingin sekali. "Aku tidak akan melepaskan mereka begitu saja."

"Kim Coa Long Kun!" Tio Bun Yang menatapnya. "Tak disangka kita bertemu di sini."

"Kebetulan aku lewat, suara sulingmu menarik perhatianku." Kim Coa Long Kun tersenyum.

"Maka aku ke mari, sungguh diluar dugaan ternyata engkau yang meniup suling?"

"Kim Coa Long Kun...." Tio Bun Yang ingin mengucapkan

sesuatu, namun dibatalkannya.

"Adik Bun Yang!" Kim Coa Long Kun menatapnya sambil tersenyum. "Aku tahu engkau khawatir kekasihmu itu akan terjadi sesuatu. Ya, kan?"

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Percayalah!" Kim Coa Long Kun memegang bahunya seraya berkata. "Kekasihmu itu tidak akan terjadi apa-apa."

"Mudah-mudahan!" ucap Tio Bun Yang.

"Oh ya, Adik Bun Yang!" Mendadak wajah Kim Coa Long Kun tampak serius. "Aku memperoleh suatu informasi, bahwa ada dua Dhalai Lhama berada di markas pusat Kay Pang. Entah ada urusan apa, lebih baik engkau segera kembali ke markas pusat Kay Pang!"

"Oh?" Tio Bun Yang tertegun. "Dhalai Lhama? Apakah ada urusan dengan ayahku?"



"Entahlah!" Kim Coa Long Kun menggelengkan kepala. "Adik Bun Yang, sebaiknya engkau segera ke sana."

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk.

"Adik Bun Yang!" Kim Coa Long Kun bangkit berdiri. "Aku mau pamit."

"Kim Coa Long Kun...." Tio Bun Yang memandangnya.

"Adik Bun Yang!" Kim Coa Long Kun melesat pergi. "Sampai jumpa!"

"Kim Coa Long Kun...!" seru Tio Bun Yang dengan wajah murung. Setelah Kim Coa Long Kun melesat pergi, ia tampak seakan kehilangan sesuatu.

Lama sekali barulah ia melesat pergi. Tujuannya kembali ke markas pusat Kay Pang. Rasa herannya timbul, karena Kim Coa Long Kun memberitahukan ada dua Dhalai Lhama berada di sana. Ada urusan apa Dhalai Lhama itu berada di markas pusat Kay Pang? Ia sungguh tak habis pikir.

-oo0dw0oo-


Meskipun sudah beberapa hari menunggu dan Tio Bun Yang masih belum datang, namun kedua Dhalai Lhama itu tidak putus asa. Mereka tetap menunggu dengan sabar.

"Heran..." gumam Lim Peng Hang. "Kok Bun Yang belum pulang?"

"Aku khawatir...." Gouw Han Tiong mengerutkan kening.

"Dia tidak akan begitu cepat pu lang."

"Tidak apa-apa," ujar Dhalai Lhama berjubah merah. "Kami akan tetap menunggu, sebab kami yakin dia pasti kembali."

"Aaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Aku justru masih tidak habis pikir, sebetulnya siapa pemuda Han yang mengacau di kuil kalian itu?"



"Pemuda itu cukup tampan dan sering tersenyum-senyum, namun di balik senyumannya terdapat kelicikan." Dhalai Lhama berjubah merah memberitahukan. "Bahkan dia pun berhati kejam, karena dia telah membunuh beberapa orang."

"Setahuku..." ujar Gouw Han Tiong. "Ketua Dhalai Lhama berkepandaian tinggi sekali, tapi... pemuda itu masih dapat mengalahkannya. Pertanda pemuda itu berkepandaian jauh lebih tinggi."

"Betul." Dhalai Lhama itu manggut-manggut dan menambahkan, "Kami tahu Pek Ih Sin Hiap memiliki ilmu Penakluk Iblis, apakah putranya juga memiliki ilmu tersebut?"

"Tentu." Lim Peng Hang mengangguk. "Maksud kalian ilmu itu mampu membuyarkan ilmu sesat yang dimiliki pemuda Han itu?"

"Ya." Dhalai Lhama berjubah merah mengangguk. "Oh ya! Bagaimana kepandaian Tio Bun Yang?"

"Ha ha ha!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Kepandaiannya sudah tinggi sekali.'..."

Pada waktu bersamaan, berkelebat sosok bayangan ke dalam dan terdengar suara seruan.

"Kakek! Kakek Gouw!"

Sosok bayangan itu ternyata Tio Bun Yang. Dapat dibayangkan betapa girangnya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong.

"Bun Yang!" panggil mereka serentak.

Kedua Dhalai Lhama langsung memandang Tio Bun Yang. Begitu lemah lembut pemuda itu, bagaimana mungkin berkepandaian tinggi? Kedua Dhalai Lhama membatin, namun ketika melihat sepasang matanya, tersentaklah mereka berdua, karena sepasang matanya menyorotkan sinar yang begitu tajam, pertanda memiliki lweekang yang amat tinggi.



Tio Bun Yang memberi hormat kepada kedua Dhalai Lhama, dan kedua Dhalai Lhama segera bangkit berdiri sekaligus balas memberi hormat.

"Tio siauhiap, selamat bertemu!" ucap Dhalai Lhama berjubah merah.

"Selamat bertemu Dhalai Lhama!" sahut Tio Bun Yang. "Ayoh! Duduklah!" ucap Lim Peng Hang

Mereka segera duduk. Lim Peng Hang memandang Tio Bun Yang seraya bertanya dengan, penuh perhatian.

"Bun Yang, engkau sudah bertemu Goat Nio?" "Belum." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.
"Tiada kabar beritanya sama sekali?" tanya Gouw Han Tiong.

Tio Bun Yang mengangguk sambil menghela nafas panjang.

"Tapi aku sudah tahu siapa ketua Kui Bin Pang itu," ujarnya^

"Oh?" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong terperanjat. "Siapa ketua Kui Bin Pang itu?"

"Seorang pemuda bernama Kwee Teng An," sahut Tio Bun Yang.

"Kwee Teng An?" gumam Lim Peng Hang. "Tidak pernah terdengar nama tersebut dalam rimba persilatan. Oh ya, engkau kok tahu ketua Kui Bin Pang itu adalah Kwee Teng An?"

"Tanpa sengaja aku menyelamatkan putri Menteri Ma..." tutur Tio Bun Yang tentang semua kejadian itu, kemudian menambahkah, "Aku sedang mencari Kwee Teng An."

"Oh?" Lim Peng Hang terbelalak. "Engkau bertemu Yo Suan Hiang, bagaimana kabarnya?"



"Bibi Suan Hiang baik-baik saja." Tio Bun Yang memberitahukan. "Tapi... dia masih belum menikah."

"Kemungkinan besar dia tidak akan menikah," ujar Gouw Han Tiong. "Sebab ia mencurahkan perhatiannya pada perjuangan itu."

"Oh ya!" tanya Lim Peng Hang. "Betulkah Lie Tsu Seng telah berhasil merebut beberapa kota?"

"Betul." Tio Bun Yang mengangguk.

"Aaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Rimba persilatan bertambah kacau, sedangkan kerajaan pun timbul berbagai pergolakan!"

"Bun Yang!" Gouw Han Tiong menatapnya. "Apakah baru-baru ini engkau mendengar tentang sepak terjang Kim Coa Long Kun dalam rimba persilatan?"

"Kim Coa Long Kun?" Tio Bun Yang tertegun.

"Ya." Gouw Han Tiong mengangguk. "Dia baru muncul di rimba persilatan, namun sadis sekali. Di mana dia berada, pasti terjadi pertumpahan darah."

"Oh?" Tio Bun Yang mengerutkan kening.

"Kami justru tidak habis pikir, sebetulnya dia tergolong lurus atau sesat?" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Dia memang sering membunuh para penjahat, tapi juga pernah membunuh para murid partai Butong, Kun Lun dan Go Bie. Maka para ketua ketiga partai itu bergabung untuk menumpasnya."

"Kakek!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku sudah bertemu Kim Coa Long Kun itu."

"Hah? Apa?" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong tersentak. "Engkau dan dia bertarung?"



"Ya." Tio Bun Yang mengangguk dan menutur tentang kejadian itu secara jelas, kemudian menambahkan. "Kedua kalinya kami bertemu, dialah yang menyuruhku segera kembali, karena ada Dhalai Lhama di markas pusat ini."

"Oh?" Lim Peng Hang terbelalak. "Jadi engkau sudah bersahabat dengan dia?"

"Ya." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Dia bukan orang jahat. Kalau dia ingin membunuh ketiga ketua partai itu, boleh dikatakan segampang membalik telapak tangannya."

"Kalau begitu..." ujar Gouw Han Tiong. "Yang bersalah adalah para murid ketiga partai itu, karena mereka telah melakukan perbuatan yang terkutuk itu."

"Yaah!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Kim Coa Long Kun itu punya riwayat yang mengenaskan. Dia...."

Tio Bun Yang menutur tentang kejadian yang menimpa keluarga Kim Coa Long Kun, Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Kalau begitu...." Lim Peng Hang menggeleng-gelangkan

kepala. "Kita tidak bisa mempersalahkannya. Mudah-mudahan dia berhasil menyelidiki kelima perampok itu!"

"Kakek!" Tio Bun Yang menatapnya. "Sebetulnya ada urusan apa kedua Dhalai Lhama itu ke mari?"

"Mereka ingin mohon bantuan ayahmu." Lim Peng Hang memberitahukan. "Namun kakek sudah memberitahukan bahwa ayahmu telah bersumpah tidak akan mencampuri urusan rimba persilatan lagi."

"Oh?" Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Kalau begitu, kenapa mereka masih berada di sini?"

"Mereka menunggumu," sahut Lim Peng Hang.

"Menungguku?" Tio Bun Yang tertegun. "Kenapa menungguku?"



"Mereka ingin mohon bantuanmu." Lim Peng Hang memberitahukan. "Maka mereka tinggal di sini menunggumu."

"Oh?" Tio Bun Yang memandang kedua Dhalai Lhama seraya bertanya. "Maaf! Ada urusan apa kalian berdua menungguku?"

"Tio siauhiap, kami ingin mohon bantuanmu," jawab Dhalai Lhama berjubah merah dan menambahkan. "Kami harap Tio siauw hiap sudi membantu kami!"

"Apa yang dapat kubantu?" tanya Tio Bun Yang.

"Begini...." Dhalai Lhama berjubah merah menutur. "Belum

lama ini telah muncul seorang pemuda Han di Tibet. Dia berkepandaian tinggi sekali, bahkan telah mengalahkan ketua kami, kini dia berkuasa di kuil kami."

"Jadi...." Tio Bun Yang mengerutkan kening.

"Kami tahu ayahmu berkepandaian sangat tinggi, maka kami ke mari mohon bantuannya," ujar Dhalai Lhama berjubah merah. "Tapi.... Lim Pangcu memberitahukan bahwa ayahmu

telah bersumpah, tidak akan mencampuri urusan rimba persilatan lagi. Tapi Lim Pangcu juga menceritakan tentang Tio siauw hiap, karena itu kami menunggu di sini. Syukurlah, Tio siauw hiap sudah kembali!"

"Kalian mohon bantuanku untuk menumpas pemuda Han itu?" tanya Tio Bun Yang sambil menatap mereka.

"Ya." Kedua Dhalai Lhama itu mengangguk.

"Tapi... urusanku belum beres, bagaimana mungkin aku bisa membantu kalian?" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.

"Tio siauw hiap...." Wajah kedua Dhalai Lhama itu tampak

murung sekali. "Kalau Tio siauw hiap tidak sudi membantu kami, rusaklah nama baik para Dhalai Lhama di Tibet."



"Maaf!" ucap Tio Bun Yang menolak. "Aku tidak bisa membantu."

"Tio siauw hiap!" Mendadak kedua Dhalai Lhama itu menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tio Bun Yang. "Kalau Tio siauw hiap tidak sudi membantu kami, kami tidak akan bangun."

"Eeeh?" Tio Bun Yang kelabakan, dan buru-buru membangunkan mereka.

Akan tetapi, secara diam-diam kedua Dhalai Lhama itu mengerahkan ilmu pemberat badan. Maka, ketika Tio Bun Yang membangunkan mereka, badan mereka tak bergeming sama sekali.

"Kita bicarakan lagi tentang itu, kalian bangunlah!" ujar Tio Bun Yang.

Tapi kedua Dhalai Lhama itu tetap berlutut di hadapan Tio Bun Yang. Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepala, kemudian mengerahkan Iweekangnya, dan mendadak mengibaskan lengan bajunya.

Terjadinya pemandangan yang menakjubkan, tampak badan kedua Dhalai Lhama itu melayang ke tempat duduk mereka.

"Haah?" Betapa terkejutnya kedua Dhalai Lhama itu. Mereka memandang Tio Bun Yang dengan mata terbelalak. Mereka tidak menyangka kalau pemuda itu memiliki lweekang yang begitu tinggi. "Tio siauw hiap...."

"Maaf!" ucap Tio Bun Yang.

"Tio siauw hiap sungguh berkepandaian tinggi, kami kagum sekali." ujar Dhalai Lhama berjubah merah. "Tio siauw hiap, kami para Dhalai Lhama Tibet sangat membutuhkan bantuanmu...."



"Kakek!" Tio Bun Yang memandang Lim Peng Hang. "Bagaimana menurut Kakek?"

"Bun Yang!" Lim Peng Hang tersenyum. "Itu tergantung pada kebijaksanaanmu. Pikirkanlah baik-baik!”

"Kakek, sebetulnya aku sedang mencemaskan Goat Nio, bagaimana mungkin aku membantu mereka?" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.

"Bun Yang!" Lim Peng Hang menatapnya seraya berkata. "Menolong orang lain sama juga menolong diri sendiri, engkau berbuat baik pada orang lain, tentunya akan menerima yang baik pula. Ingat itu"

"Ya, Kakek," Tio Bun Yang mengangguk, kemudian memandang kedua Dhalai Lhama itu seraya bertanya. "Kalian tahu siapa pemuda Han itu?"

"Kami tidak tahu," sahut Dhalai Lhama berjubah merah. "Sebab dia tidak pernah menyebut namanya."

"Bagaimana kepandaiannya?" tanya Tio Bun Yang lagi.

"Tinggi sekali." Dhalai Lhama berjubah kuning memberitahukan. "Bahkan dia pun memiliki ilmu sesat yang dapat mengendalikan pikiran orang lain."

"Apa?" Tio Bun Yang tersentak dan wajahnya pun tampak berubah hebat. "Bagaimana ilmu pukulannya?"

"Sungguh ganas dan mengandung racun." Dhalai Lhama berjubah merah memberitahukan. "Aku dengar beberapa saudara seperguruan kami mati secara mengenaskan di tangannya."

"Bagaimana cara kematian mereka?"

"Begitu terkena pukulan pemuda Han itu, badan mereka mengeluarkan asap lalu mencair."



"Hah?" Tio Bun Yang meloncat bangun saking emosi. "Dia... dia adalah Kwee Teng An, Ketua Kui Bin Pang yang sedang kucari!"

"Bun Yang!" Lim Peng Hang terbelalak.

"Kakek!" Tio Bun Yang memberitahukan. "Pemuda Han itu adalah Kwee Teng An atau Ketua Kui Bin Pang, hanya dia yang memiliki ilmu pukulan Pek Kut Im Sat Ciang."

"Oh?" Lim Peng Hang tertegun. "Itu sungguh di luar dugaan!"

"Memang di luar dugaan." ujar Tio Bun Yang dan menambahkan. "Aku tidak menyangka kalau dia kabur ke Tibet."

"Tio siauw hiap...." Kedua Dhalai Lhama tampak girang

sekali. "Engkau sudi membantu kami?"

"Sebetulnya aku pun sedang mencari pemuda itu, maka sungguh kebetulan sekali!" sahut Tio Bun Yang.

"Terimakasih, Tio siauw hiap!" ucap kedua Dhalai Lhama itu.

"Bun Yang!" tanya Lim Peng Hang. "Kapan engkau akan berangkat ke Tibet bersama kedua Dhalai Lhama itu?"

"Sekarang," sahut Tio Bun Yang singkat.

"Baiklah." Lim Peng Hang manggut-manggut, karena tahu akan ketidak sabaran cucunya itu. "Tapi engkau harus berhati-hati menghadapi pemuda Han itu!"

"Ya, Kakek." Tio Bun Yang mengangguk, sekaligus berpamit kepada Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong, kemudian berkata kepada kedua Dhalai Lhama. "Mari kita berangkat!"

"Ya." Kedua Dhalai Lhama mengangguk, kemudian mereka pun berpamit kepada Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong.



Setelah mereka bertiga pergi, Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang.

"Mudah-mudahan kali ini Bun Yang tidak akan gagal membekuk Kwee Teng An!" ujar Lim Peng Hang. "Jadi dia bisa tahu Goat Nio disekap di mana."

"Tapi...."  Gouw  Han  Tiong  mengerutkan  kening.  "Kwee

Teng An adalah ketua Kui Bin Pang yang menculik Goat Nio, kini dia berada di Tibet, lalu Goat Nio disembunyikan di mana? Mungkinkan...."

"Haaah...?" Wajah Lim Peng Hang langsung berubah pucat. "Itu...."

"Aku  khawatir...."  Wajah  Gouw  Han  Tiong  pun  sudah

memucat. "Telah terjadi sesuatu atas diri Goat Nio."

"Aaaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang, mendadak wajahnya tampak agak berseri. "Mungkinkah Goat Nio berhasil meloloskan diri?"

"Kalau Goat Nio berhasil meloloskan diri, tentunya dia sudah ke mari," sahut Gouw Han Tiong tidak begitu optimis akan itu.

"Siapa tahu Goat Nio ditolong seseorang, dan kini masih berada di tempat penolong itu," ujar Lim Peng Hang.

"Mudah-mudahan begini!" ucap Gouw Han Tiong karena tahu Lim Peng Hang seiiang menghibur dirinya sendiri.

-oo0dw0oo-


Bagian ke tujuh puluh satu

Pertarungan mati hidup di Kuil Dhalai Lhama



Tio Bun Yang dan kedua Dhalai Lhama melakukan perjalanan siang malam. Enam tujuh hari kemudian, mereka sudah memasuki daerah Tibet. Para penduduk di sana semuanya tampak murung. Namun ketika melihat kemunculan kedua Dhalai Lhama itu, segeralah para penduduk mengerumuni mereka, kemudian terjadilah percakapan yang tidak dimengerti Tio Bun Yang, sebab mereka menggunakan bahasa Tibet.

"Aaaah...!" Dhalai Lhama berjubah merah menghela nafas panjang. "Pemuda Han itu berbuat maksiat di dalam kuil kami."

"Ayohlah!" desak Tio Bun Yang. "Kita cepat-cepat ke sana!"

Kedua Dhalai Lhama mengangguk, kemudian mereka bertiga mengerahkan ginkang menuju kuil tersebut.

Ketika mendekati kuil itu, mereka mendengar suara pertarungan. Segeralah Tio Bun Yang melesat ke sana, tampak dua orang sedang bertarung dengan sengit sekali.

Terbelalaklah Tio Bun Yang, karena yang sedang bertarung itu ternyata Kwee Teng An dan Bu Ceng Sianli - Tu Siao Cui. Ia tidak habis pikir, bagaimana Bu Ceng Sianli itu bisa berada di situ?

Terlihat pula puluhan Dhalai Lhama berdiri mematung di situ seperti kehilangan sukma.

"Tio siauw hiap!" Dhalai Lhama berjubah merah memberitahukan. "Kalau tidak salah, pemuda itu...."

"Dia Kwee Teng An," sahut Tio Bun Yang. "Wanita muda yang bertarung dengan dia adalah Bu Ceng Sianli, aku kenal dia."

"Oooh!" Kedua Dhalai Lhama itu manggut-manggul.

Sementara pertarungan itu semakin sengit dan seru, tiba-tiba Kwee Teng An tertawa gelak.



"Nona Tu! Engkau sungguh setia kepadaku! Jauh-jauh dari Tionggoan engkau ke mari menyusulku, itu pertanda engkau sangat mencintaiku! Ha ha ha...!"

"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli. "Hari ini aku harus membunuhmu!"

"Oh. ya!" Kwee Teng An tertawa lagi. "Ha ha ha! Kalau engkau membunuhku, siapa yang akan bersenang-senang denganmu?"

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Ajalmu telah tiba, bersiap-siaplah untuk mampus.

"Engkau ingin mengeluarkan ilmu andalanmu?"

"Ya!"

"Nona Tu!" Kwee Teng An tersenyum. "Engkau jangan memaksaku mengeluarkan ilmu andalan juga, sebab ilmu pukulan Pek Kut Im Sat Ciangku sangat ganas dan beracun, akan membuat tubuhmu yang montok mulus itu mencair lho!"

"Hm!" dengus Bu Ceng Sianli sambil mengerahkan Hian Goan Sin Kang.

Kwee Teng An mengerutkan kening, kemudian mengerahkan Pek Kut Im Sat Kangnya.

Mereka berdua sudah bersiap-siap untuk bertarung lagi, namun di saat itulah terdengar suara alunan suling yang sangat halus, tapi mengandung semacam kekuatan.

Begitu mendengar suara suling itu, berserilah wajah Bu Ceng Sianli, sedangkan Kwee Teng An tampak tersentak.

Para Dhalai Lhama yang terkena ilmu sesat itu pun mulai bergerak-gerak matanya, kemudian saling memandang, kelihatannya mereka mulai sadar.



Betapa terkejutnya Kwee Teng An, lapi kemudian tertawa gelak seraya berseru lantang. "Ha ha ha! Tio Bun Yang! Sungguh tak disangka engkau sampai di sini juga!"

"Kwee Teng An!" Tio Bun Yang melesat ke sisi Bu Ceng Sianli, sedangkan Dhalai Lhama berjubah merah, dan kuning melesat ke arah para Dhalai Lhama yang sedang mulai sadar itu.

Mereka bercakap-cakap dengan bahasa Tibet, lalu memandang ke arah Tio Bun Yang.

"Dia bernama Tio Bun Yang." Dhalai Lhama berjubah merah memberitahukan. "Putra kesayangan Pek Ih Sin Hiap Tio Cie Hiong."

"Oooh!" Para Dhalai Lhama manggut-manggut.

"Oh ya! Bagaimana keadaan guru?" tanya Dhalai Lhama berjubah kuning.

"Entahlah," sahut Dhalai Lhama lain.

"Mari kita ke dalam menolong guru!" seru Dhalai Lhama berjubah merah. Kemudian ia segera ke dalam dan diikuti yang lainnya.

"Ha ha ha!" Sementara Kwee Teng An terus tertawa. "Kakakmu ini sangat mencintai aku. Dia jauh-jauh dari Tionggoan ke mari mencariku!"

"Kwee Teng An!" Tio Bun Yang menatapnya dingin. "Betulkah engkau adalah Ketua Kui Bin Pang?"

"Betul!" sahut Kwee Teng An sambil tertawa. "Kenapa? Engkau merasa takut kepadaku?"

"Kwee Teng An!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Kita tidak bermusuhan, kenapa engkau menculik Siang Koan Goat Nio?"



"Aku menculik Siang Koan Goat Nio?" Kwee Teng An tertawa terkekeh-kekeh. "Dia ikut aku pergi, bukan aku menculiknya!"

"Omong kosong!" bentak Tio Bun Yang.

"Aku tidak omong kosong!"

"Cepat katakan!" bentak Bu Ceng Sianli. "Goat Nio berada di mana?"

"Dia...."                Kwee    Teng      An          tertawa.               "Kenapa               aku         harus

memberitahukan kalian? Dia senang dan bahagia ikut aku, jadi kalian tidak usah mengkhawatirkannya!"

"Kwee Teng An!" Tio Bun Yang menatapnya. "Engkau yang menitipkan sepucuk surat untukku?"

"Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa gelak. "Tidak salah! Memang aku yang menitipkan surat itu untukmu! Bunyi surat itu cukup menegangkan, bukan?"

"Kita tidak bermusuhan, kenapa engkau mendendam kepadaku?" Tio Bun Yang menatapnya dengan kening berkerut. "Jelaskanlah!"

"Ha ha!" Kwee Teng An tertawa. "Memang perlu kujelaskan! Namaku Kwee Teng An! Cobalah engkau ingat, pernahkah engkau mendengar namaku?"

"Rasanya tidak pernah!" Tio Bun Yang menggelengkan kepala.

"Aku tidak menyangka...." Kwee Teng An tersenyum dingin.

"Engkau begitu cepat lupa! Beberapa tahun lalu di sebuah desa, bukankah engkau pernah memusnahkan kepandaian seseorang?"

"Di sebuah desa...." Tio Bun Yang coba mengingat, lama

sekali mendadak ia berseru tak tertahan. "Kwee Teng An! Ternyata engkau adalah Cat Hoa Cat (Penjahat Pemetik Bunga) itu!"



"Betul!" Kwee Teng An tertawa terkekeh-kekeh. "Para penduduk desa itu melempar diriku ke dalam jurang! Namun aku tidak mati malah memperoleh kepandaian tinggi! He he he...!"

"Kwee Teng An!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Seharusnya engkau bersyukur karena tidak mati di jurang itu dan harus bertobat! Tapi...."

"Tio Bun Yang!" bentak Kwee Teng An. "Aku dendam kepadamu dan hari ini aku harus membunuhmu!"

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Akulah yang akan membunuhmu!"

"Nona Tu!" Kwee Teng An tersenyum menyindir. "Aku tahu engkau bukan kakaknya, jangan-jangan engkau sudah tidur dengan dia! He he he...!"

"Engkau...."        Bu           Ceng      Sianli      ingin      menyerangnya,                tapi

keburu dicegah oleh Tio Bun Yang. "Kakak, biar aku yang menyelesaikannya!"

'Tio Bun Yang!" Kwee Teng An menudingnya. "Aku sudah bersenang-senang dengan Goat Nio, maka engkau akan memperoleh ampas!"

"Engkau...." Wajah Tio Bun Yang berubah pucat pias.

"Sakit hati, kan?" Kwee Teng An tertawa. "Ha ha! Mari kita bertarung, hari ini aku harus membalas dendam karena engkau pernah memusnahkan kepandaianku!"

Kwee Teng An mulai menghimpun Pek Kut Im San Kang.

Menyaksikan itu berkata kepada Tio Bun Yang.

"Hati-hati!"

Tio Bun Yang mengangguk, kemudian mulai menghimpun Pan Yok Hian Thian Sin Kang untuk melindungi diri, dan mengerahkan Kan Kun Taylo Im Yang Sin Kang bersiap-siap menangkis serangan Kwee Teng An.



Setelah menghimpun Pek Kut Im Sat Kang, sepasang telapak tangan Kwee Teng An mengeluarkan uap beracun.

"Kakak, cepat menyingkir!" seru Tio Bun Yang.

Bu Ceng Sianli segera meloncat ke belakang, kemudian mengerahkan Hian Goan Sin Kang. Kelihatannya ia bersiap membantu Tio Bun Yang.

Mendadak Kwee Teng An memekik keras sambil menyerang Tio Bun Yang menggunakan ilmu pukulan Pek Kut Im Sat Ciang.

Tio Bun Yang tidak berkelit, melainkan menangkis serangan itu dengan jurus Kan Kun Taylo Bu Pien (Alam Semesta Tiada Batas).

Daaar! Terdengar seperti suara ledakan dahsyat. Ternyata kedua macam Iweekang itu beradu dan menimbulkan suara ledakan dahsyat sehingga menggoncangkan pepohonan yang berada di sekitar tempat itu dan membuat daun-daun beterbangan ke mana-mana.

Betapa terkejutnya Bu Ceng Sianli menyaksikan itu. Begitu pula para Dhalai Lhama.

Kwee Teng An terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah dengan wajah merah padam. Tio Bun Yang juga terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah dengan wajah memucat.

"Ha ha ha!" Kwee Teng An tertawa gelak. "Aku tidak menyangka, engkau mampu menangkis seranganku! Bahkan...
engkau pun kebal terhadap racun, tapi jurus kedua pasti merenggut nyawamu!"

"Kwee Teng An!" Tio Bun Yang menatapnya tajam. "Asal engkau memberitahukan kepadaku di mana Goat Nio, aku pasti mengampunimu!"



"Tio Bun Yang!" sahut Kwee Teng An. "Asal engkau berlutut di hadapanku, aku pun pasti mengampunimu!"

"Engkau...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.

"He he he!" Kwee Teng An tertawa terkekeh, lalu mendadak menyerang Tio Bun Yang dengan dahsyat sekali. Kali ini ia mengeluarkan jurus yang sangat lihay, karena memang ingin membunuh Tio Bun Yang.

Tio Bun Yang mengerutkan kening. Ia terpaksa menangkis serangan itu dengan jurus Kan Kun Taylo Hap It (Segala-galanya Menyatu Di Alam Semesta).

Daaar...! Terdengar suara ledakan lagi.

Kwee Teng An termundur-mundur enam tujuh langkah dan wajahnya bertambah merah. Ia terkejut bukan main, karena merasa Pek Kut Im San Kang yang dikerahkannya balik menyerang dirinya sendiri. Itu justru membuatnya makin penasaran. Tiba-tiba ia memekik keras sambil mengerahkan Pek Kut Im Sat Kang hingga puncaknya, dan seketika sekujur badannya mengeluarkan uap yang amat beracun.

"Hati-hati, Adik Bun Yang!" seru Bu Ceng Sianli memperingatinya.

Tio Bun Yang manggut-manggut. Ia mengerahkan Kan Kun Taylo Im Yang Sin Kang hingga puncaknya pula, kemudian tampak ubun-ubunnya mengeluarkan uap putih.

Sekonyong-konyong Kwee Teng An berteriak keras, sekaligus menyerang Tio Bun Yang dengan jurus yang paling ampuh dan lihay.

Tio Bun Yang tidak berkelit, melainkan menyambut serangan itu dengan jurus Kan Kun Taylo Kwi Cong (Segala-galanya Kembali Ke Alam Semesta).

Blam! Daaar...! Terdengar suara benturan dahsyat, kemudian terdengar pula suara jeritan yang menyayat hati.



"Aaaakh...!". Ternyata suara jeritan Kwee Teng An, yang tubuhnya terpental beberapa depa. Sedangkan Tio Bun Yang terhuyung-huyung ke belakang belasan langkah, namun cepat-cepat berdiri tegak dan menarik nafas dalam-dalam.

"Adik Bun yang!" Bu Ceng Sianli langsung melesat ke hadapannya. "Engkau terluka?"

"Tidak." Tio Bun Yang menarik nafas panjang. "Kalau aku tidak memiliki Pan Yok Hian Thian Sin Kang dan kebal terhadap racun, mungkin saat ini aku sudah tergeletak menjadi mayat!"

"Syukurlah engkau tidak apa-apa!" ucap Bu (eng Sianli sambil menarik nafas lega.

Bagaimana keadaan Kwee Teng An? Ternyata ia terkena serangan balik dari Iweekangnya sendiri, sehingga sekujur badannya mengeluarkan asap.

"Kwee Teng An!" Tio Bun Yang melesat ke hadapannya. "Katakan di mana Goat Nio! Cepat katakan!"

"He he he!" Kwee Teng An tertawa terkekeh-kekeh, padahal badannya sudah mulai mencair. "Engkau jangan harap bisa bertemu Goat Nio lagi, karena... karena aku... aku telah membunuhnya! He he he...!"

Belum juga suara tawanya lenyap, badan Kwee Teng An telah mencair semua, sehingga yang tampak tinggal tulang-tulangnya.

"Goat Nio! Goat Nio..." gumam Tio Bun Yang seperti orang kehilangan sukma, wajahnya pucat pias seperti kertas. "Goat Nio! Goat Nio...."

"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli terkejut bukan main.

Sedangkan para Dhalai Lhama hanya saling memandang, mereka sama sekali tidak tahu harus berbuat apa!

               
                                               
"Goat Nio            ...." Wajah Tio Bun Yang semakin pucat pias dan
mendadak....     "Uaaaakh! Uaaaakh  !"...

Dari mulutnya menyembur darah segar, dan kemudian tubuhnya terkulai. Bu Ceng Sianli bergerak cepat merangkulnya agar tidak jatuh. Betapa terkejutnya wanita itu, karena Tio Bun Yang dalam keadaan pingsan, bahkan nadinya berdenyut lemah sekali.

"Adik Bun Yang! Adik Bun Yang!" teriak Bu Ceng Sianli dengan air mata berderai-derai. Kemudian ditaruhnya Tio Bun Yang ke bawah, sepasang telapak tangannya ditempelkan di dada pemuda itu lalu mengerahkan Hian Goan Sin Kang, sekaligus disalurkan ke dalam tubuhnya.

Berselang beberapa saat, barulah Tio Bun Yang membuka matanya dan bergumam dengan suara lemah.

"Goat Nio! Goat Nio...."

Bu Ceng Sianli segera membangunkannya untuk duduk, setelah itu ia pun berkata.

"Adik Bun Yang, cepat himpun lweekangmu, agar hawa murnimu tidak akan buyar!" Bu Ceng Sianli cemas sekali.

"Kakak Siao Cui! Goat Nio.... Goat Nio sudah mati." sahut

Tio Bun Yang dengan air mata berderai-derai.

"Tenanglah, Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli menghiburnya sambil terisak-isak. "Mungkin Kwee lTeng An bohong, padahal Goat Nio belum mati!"

"Oh?" Tio Bun Yang tersentak. "Benarkah itu?"

"Aku yakin dia berdusta," sahut Bu Ceng Sianli agar Tio Bun Yang bisa tenang. "Adik Bun Yang, cepat himpun lweekangmu!"

Tio Bun Yang menurut, la segera menghimpun Pan Yok Hian Thian Sin Kang. Berselang beberapa saat, wajahnya



mulai segar kembali, membual Bu Ceng Sianli berlega hati, begitu pula para Dhalai Lhama.

Lama sekali barulah Tio Bun Yang berhenti menghimpun Pan Yok Hian Thian Kang. Per-lahan-lahan ia bangkit berdiri sambil memandang tulang-tulang yang tergeletak di dekatnya, lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas panjang.

"Aaaah...!" Kemudian ia teringat sesuatu dan langsung bergugam, "Goat Nio! Goat Nio...."

"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli segera memegang tangannya seraya berkata dengan lembut sekali, "Tenanglah! Aku yakin Goat Nio belum mati."

"Tapi Kwee Teng An bilang dia yang membunuh Goat Nio...."

"Dia pemuda licik," potong Bu Ceng Sianli. "Pasti membohongimu telah membunuh Goat Nio, padahal sesungguhnya Goat Nio masih hidup."

"Tapi...."  Tio  Bun  Yang  mengerutkan  kening,  wajahnya

tampak memucat. "Biasanya orang yang sekarat tidak akan bohong."

"Tenanglah Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli terus menghiburnya. "Dia begitu licik. Walaupun dia sudah sekarat tapi tetap membohongimu, itu agar hatimu tersiksa dan batinmu terus tertekan sehingga menderita sekali."

"Benarkah begitu?" tanya Tio Bun Yang.

"Tentu benar." Bu Ceng Sianli berusaha agar tersenyum. "Aku pikir... kemungkinan besar Goat Nio telah ditolong orang, maka Kwee Teng An tidak membawanya ke Tibet."

"Itu cuma mungkin." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Yang jelas dia sudah tiada. Goat Nio! Goat Nio...."

"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli mulai cemas. "Tenanglah!"



"Ya, ya." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Aku memang harus tenang, aku harus cari Goat Nio."

Di saat itu, mendadak para Dhalai Lhama menjatuhkan diri berlutut di hadapan mereka.

"Terimakasih Nona, terimakasih Tio siauhiap!" ucap mereka serentak. "Kalian berdua telah menyelamatkan kami semua."

"Sudahlah!" sahut Bu Ceng Sianli. "Kalian bangunlah!"

Akan tetapi, para Dhalai Lhama itu masih letap berlutut. Tio Bun Yang memandang mereka, kemudian berkata.

"Bangunlah!"

"Terimakasih, Tio siau hiap!" ucap para Dhalai Lhama itu, kemudian bangkit berdiri.

"Bagaimana keadaan guru kalian?" tanya Tio Hun Yang.

Ternyata ia masih ingat akan guru para Dhalai Lhama itu.

"Guru kami baik-baik saja," sahut Dhalai Lhama berjubah merah. "Beliau sedang beristirahat."

"Sukurlah!" ucap Tio Bun Yang. Ia mengeluarkan sebutir pil, lalu diberikan kepada Dhalai Lhama berjubah merah seraya berkata, "Kondisi badan guru kalian pasti lemah sekali, pil itu dapat memulihkan kondisi badannya."

"Terimakasih, Tio siau hiap!" ucap Dhalai Lhama berjubah merah sambil menerima pil itu dengan terharu sekali. "Terimakasih!"

"Maaf!" ucap Tio Bun Yang. "Kami tidak ke dalam menjenguk guru kalian, karena kami harus segera kembali ke Tionggoan. "Aku... aku harus mencari Goat Nio."

"Kami mengerti." Dhalai Lhama berjubah merah manggut-manggut. "Tio siau hiap, semoga engkau cepat berkumpul kembali dengan Goat Nio!"



"Terimakasih!" sahut Tio Bun Yang. "Aku pasti berkumpul kembali dengan Goat Nio. Sampai jumpa!"

Tio Bun Yang meleset pergi. Bu Ceng Sianli langsung menyusulnya seraya berseru-seru.

"Adik Bun Yang! Adik Bun Yang! Tunggu! Tunggu aku!"

Tio Bun Yang berhenti. Bu Ceng Sianli melesat ke hadapannya, lalu berkata lembut.

"Adik Bun Yang, mari kita bersama kembali ke Tionggoan!"

"Aku...," sahut Tio Bun Yang. "Aku ingin mencari Goat Nio."

"Ya!" Bu Ceng Sianli tersenyum. "Aku akan menemanimu mencarinya!"

"Terimakasih, Kakak!" ucap Tio Bun Yang. "Kakak sungguh baik terhadapku! Aku...."

"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli memegang bahunya. "Biar bagaimanapun, engkau harus tenang."

"Tapi...."              Tio          Bun        Yang      memandang      jauh       ke           depan.

"Apabila Goat Nio sudah mati, aku pun tidak bisa hidup lagi."

"Adik Bun Yang...." Bu Ceng Sianli terkejul liukan main dan

cepat-cepat menghiburnya. "Percayalah! Goat Nio masih hidup!"

"Dia masih hidup? Tapi... dia berada di mana?" gumam Tio Bun Yang. "Goat Nio! Goat Nio...."

"Adik Bun Yang, tenanglah!" Bu Ceng Sianli terus menghiburnya, sikapnya terhadap Bun Yang bagaikan seorang ibu terhadap anak.

Dalam perjalanan kembali ke Tionggoan, Bu Ceng Sianli terus-menerus menghiburnya, sekaligus mengusirnya pula, karena Tio Bun Yang sudah berubah linglung, setiap hari selalu bergumam memanggil Goat Nio. Itu sungguh



mencemaskan Hu Ceng Sianli, maka wanita itu mengambil ke-putusan membawa Tio Bun Yang ke markas pusat Kay Pang.

-oo0dw0oo-


Bagian ke tujuh puluh dua

Terjun ke Jurang


Kini Bu Ceng Sianli dan Tio Bun Yang sudah berada di daerah Tionggoan, Bu Ceng Sianli mengajak pemuda itu menuju ke markas pusat Kay Pang. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Tio Hun Yang bergumam.

"Di mana Goat Nio? Kok belum kelihatan?"

"Tenang!" ujar Bu Ceng Sianli sambil memandangnya dengan iba. "Kalau engkau sabar, dia pasti muncul menemuimu."

"Dia kok begitu tega, membiarkan aku terus-menerus memikirkannya? Aaah! Goat Nio! Goat Nio...."

"Adik Bun Yang...." Bu Ceng Sianli menangis terisak-isak.

"Kenapa engkau menjadi begini? Adik Bun Yang...."

"Eh?" Tio Bun Yang tersentak sadar. "Kenapa Kakak menangis? Apakah aku telah menyakiti hati Kakak?"

"Adik Bun Yang!" Air mala Bu Ceng Sianli berderai-derai. "Engkau harus tenang, jangan...."

"Kakak!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Aku...

aku... Aaah! Goat Nio! Goat Nio...."

"Tuh! Begitu lagi!"

"Kakak! Goat Nio...." Mendadak Tio Bun Yang menangis

gerung-gerungan. "Goat Nio...."



"Adik Bun Yang...." Bu Ceng Sianli memeluknya erat-erat, ia

pun menangis terisak-isak. "Jangan begini, aku... aku tak tahan melihatmu jadi begini! Adik Bun Yang, tenanglah!"

"Goat Nio sudah mati dibunuh. Aku...." Tio Bun Yang terus

menangis gerung-gerungan. "Goat Nio, di mana engkau? Aku... aku rindu sekali kepadamu."

"Adik Bun Yang!" Bu Ceng Sianli membela nya. "Jangan menangis...."

Di saat bersamaan, mendadak muncul seorang tua pincang, yang tidak lain guru Sie Keng Hauw.

"Eeeh?" orang tua pincang itu terbelalak. "Bun Yang? Kalian berdua...."

Bu Ceng Sianli sama sekali tidak menghiraukan orang tua pincang itu, melainkan terus membelai Tio Bun Yang sekaligus menghiburnya.

"Engkau harus tenang, Adik Bun Yang! Percayalah! Goat Nio tidak mati."

"Ha ha ha." Orang tua pincang itu tertawa gelak. "Lucu sekali! Kalian berdua sedang berpacaran atau sedang main sandiwara?"

"Hei, orang tua tak tahu diri!" bentak Bu Ceng Sianli. "Kami berdua sedang dirundung duka. engkau malah tertawa di hadapan kami! Hm! Sekali lagi engkau tertawa, pipimu pasti bengkak!"

"Galak amat!" orang tua pincang itu melotot. "Bun Yang kekasihmu ya? Kenapa engkau memeluknya?"

"Ini urusan kami, engkau tidak perlu campur!" sahut Bu Ceng Sianli tidak senang.

"Aku justru perlu campur," ujar orang tua pincang. "Hei, Nona galak, aku kenal baik Bun Yang lho!"



"Oh?" Bu Ceng Sianli tertegun. "Siapa engkau?"

"Bukankah engkau sudah lihat? Aku adalah... Si Pincang," sahut orang tua pincang dan bertanya, "Nona galak, siapa engkau?"

"Aku adalah Bu Ceng Sianli."

"Bu Ceng Sianli?" orang tua pincang itu terbelalak. "Engkau terus-menerus memeluk dan membelai Bun Yang, kok masih bilang Bu Ceng (Tanpa Perasaan)? Seharusnya Toh Ceng (Kelebihan Perasaan) lho!"

"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli kesal.

"Bun Yang!" panggil orang tua pincang sambil mendekatinya, kemudian memandangnya dengan penuh perhatian seraya bertanya, "Bun Yang, kenapa engkau?"

"Aku...."  Tio  Bun  Yang  menolehkan  kepalanya,  "Paman

tua...."

"Syukurlah engkau masih kenal aku!" Orang tua pincang itu menarik nafas lega lalu berkata, "Tadi engkau menangis gerung-gerungan, apa yang telah terjadi atas dirimu?"

"Aku...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.

"Oh ya!" Orang tua pincang menatapnya. "Bun Yang, apakah engkau sudah tahu siapa ketua Kui Bin Pang itu?"

"Ketua Kui Bin Pang?" Tio Bun Yang terkejut. "Paman tua pernah melihat ketua Kui Bin Pang itu?"

"Pernah." Orang tua pincang mengangguki "Oh ya! Gadis ini memang cantik, tapi kelihatan galak sekali. Apakah dia kekasihmu?"

"Bukan." Tio Bun Yang menggelengkan kepala, kemudian berkata kepada Bu Ceng Sianli. "Kakak, dia adalah guru Sie Keng Hauw. Juga adalah...."



"Ayahku adalah Tetua Kui Bin Pang," sambung orang tua pincang memberitahukan. "Sudah cukup lama aku kenal Bun Yang, tapi...."

"Kenapa?" tanya Bu Ceng Sianli ketus.

"Dulu Bun Yang tidak begini, kenapa sekarang jadi agak linglung?" sahut orang tua pincang sambil mengerutkan kening. "Heran? Kok bisa jadi begini?"

"Itu...." Bu Ceng Sianli tidak mau menceritakan tentang

kejadian itu, sebab khawatir akan menimbulkan kedukaan hati Tio Bun Yang. Namun, Tio Bun Yang justru memberitahukannya.

"Kekasihku mati dibunuh ketua Kui Bin Pang, sedangkan ketua Kui Bin Pang itu mati di tanganku."

"Apa?" Orang tua pincang terbelalak. "Ketua Kui Bin Pang mati di tanganmu?"

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Maksudmu...." Orang

tua pincang menatap lio Bun Yang dengan mata tak berkedip. "Engkau mampu membunuhnya?"

"Ketua Kui Bin Pang memang mati di tanganku," sahut Tio Bun Yang dan menambahkan, "Sebetulnya aku tidak ingin membunuhnya."

"Ketua Kui Bin Pang itu memang harus mampus!" ujar orang tua pincang dan kemudian bertanya, "Oh ya! Siapa kekasihmu itu?"

"Siang Koan Goat Nio."

"Siang Koan Goat Nio?" gumam orang tua pincang. "Apakah gadis yang cantik jelita itu?"

"Paman tua!" Tio Bun Yang tersentak. "Apakah Paman tua pernah melihat Goat Nio?"



"Aku memergoki ketua Kui Bin Pang itu sedang merayu seorang gadis, tapi gadis itu tidak menghiraukannya." Orang tua pincang memberitahukan. "Di saat itulah aku muncul menggodai mereka, karena aku kira mereka berdua sepasangl kekasih. Akan tetapi, begitu aku muncul...."

"Lalu bagaimana?"

"Semula aku tidak tahu pemuda itu adalah ketua Kui Bin Pang," jawab orang tua pincang melanjutkan. "Dia kurang ajar sekali terhadapku, akhirnya dia bilang mau membunuhku dengan ilmu Pek Kut Im Sal Kang. Barulah aku tahu di" adalah ketua Kui Bin Pang, sebab hanya ketua Kui Bin Pang yang memiliki ilmu itu."

"Setelah itu bagaimana?"

"Aku langsung kabur, tapi kemudian kembali lagi ke situ dan bersembunyi di belakang pohon Aku melihat ketua Kui Bin Pang itu menggunakan ilmu sesat untuk mempengaruhi gadis itu. Namun sungguh mengherankan, gadis itu cuma terpengaruh sedikit. Ketua Kui Bin Pang itu... kelihatan ingin memperkosanya, tapi gadis itu terus melangkah mundur dan tidak menyadari sama sekali, kalau di belakangnya terdapat sebuah jurang."

"Bagaimana' gadis itu?"

"Mendadak ketua Kui Bin Pang ingin memeluknya, namun gadis itu meloncat ke belakang, dan akhirnya jatuh ke jurang itu." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala. "Setelah itu. aku mendengar suara teriakan ketua Kui Bin Pang itu."

"Dan teriakan apa?" Wajah Tio Bun Yang mulai pucat pias. "Dia berteriak apa?"

"Dia berteriak memanggil nama seorang gadis, yakni Goat Nio." Orang tua pincang memberitahukan.



"Paman tua!" Tio Bun Yang memegang tangannya. "Di mana jurang itu?"

Wajah orang tua pincang meringis-ringis, ternyata Tio Bun Yang memegang tangannya kencang sekali. "Aduuuh...!"

"Paman tua!" Tio Bun Yang segera melepaskan tangannya. "Cepat katakan di mana jurang itu!"

"Di... di Tebing Selaksa Bunga."

"Tebing Selaksa Bunga? Berada di mana letung itu?" tanya Tio Bun Yang.

"Engkau ingin ke sana?" Orang tua pincang lialik bertanya sambil menatapnya.

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Paman tua, tolong antar aku ke sana!"

"Tapi...." Orang tua pincang tampak ragu.

"Paman tua," desak Tio Bun Yang. "Tolong antar aku ke Tebing itu!"

"Baiklah." Orang tua pincang mengangguk.

"Adik Bun Yang," sela Bu Ceng Sianli mendadak. "Jangan mempercayai omongan Si Pincang itu! Mungkin dia membohongimu!"

"Ei! Gadis sialan! Aku berkata sesungguhnya, lagi pula aku tidak pernah membohongi siapa pun," sahut orang tua pincang tidak senang.

"Kakak..." ujar Tio Bun Yang. "Paman tua ini tidak mungkin membohongiku, dia pasti melihat Goat Nio."

"Betul." Orang tua pincang manggut-manggut. "Aku memang melihat gadis itu, sama sekali tidak bohong."

"Engkau...." Bu Ceng Sianli melototi orang tua pincang itu.

Tadi ia mengatakan begitu hanya untuk mencegah agar Tio



Bun Yang tidak ke Tebing Selaksa Bunga, karena khawatir akan terjadi sesuatu atas diri Tio Bun Yang, namun orang tua pincang justru tidak tahu maksudnya. "Dasar pincang...!"

"Kok marah-marah kepadaku? Kalau aku ti dak memandang Bun Yang, sudah kutampar mulutmu!"

Plaaak! Justru sebuah tamparan keras mendarat di pipi orang tua pincang tersebut.

"Aduuuh!" Orang tua pincang itu menjerit kesakitan, kemudian memandang Bu Ceng Sianli dengan gusar sekali.

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. ”Rasakan! Makanya jangan kurang ajar terhadapku?"

"Engkau...." Orang tua pincang menudingnya. "Engkau...

kok berani kurang ajar terhadapku?"

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan, kemudian berkata dengan nada dingin, "Kalau engkau bukan kawan Adik Bun Yang, saat ini sudah tergeletak di sini!"

"Engkau...."  Orang  tua  pincang  kelihatan  sudah  bersiap

untuk bertarung dengan Bu Ceng Sianli.

"Sudahlah!" ujar Tio Bun Yang. "Aku sedang kacau, kalian berdua malah terus ribut!"

"Gadis itu berani kurang ajar terhadapku."

'Paman tua...." Tio Bun Yang mengerutkan kening. "Paman

lebih muda daripada dia. maka tidak boleh kurang ajar terhadapnya."

"Apa?" Orang tua pincang terbelalak, kemudian menatap Tio Bun Yang dengan mata mendelik-delik. "Bun Yang, betulkah engkau sudah begitu linglung, sehingga tidak bisa membedakan siapa yang lebih muda dan siapa yang lebih tua?"



"Paman tua, Bu Ceng Sianli sudah berusia hampir sembilan puluh." Tio Bun Yang memberitahukan.

"Ha ha ha!" Orang tua pincang tertawa gelak. "Kalau begitu, usiaku tentunya sudah mencapai tiga ratus tahun."

"Paman tua, aku berkata sesunggunhya, sama sekali tidak bergurau. Kalau Paman tua tidak percaya, terserah. Tapi sekarang Paman tua harus mengantarku ke Tebing Selaksa Bunga."

"Baik." Orang tua pincang mengangguk. "Mari kita berangkat sekarang!"

"Kakak mau ikut?" Tanya Tio Bun Yang kepada Bu Ceng Sianli.

"Tentu mau," sahut Bu Ceng Sianli. Mereka bertiga lalu meleset ke arah Tebing Selaftsa Bunga menggunakan ginkang.

-oo0dw0oo-


Tio Bun Yang berdiri di tepi jurang di Tebing Selaksa Bunga. Ia terus memandang ke bawahi jurang sambil bergumam dengan air mata berderai-derai.

"Goat Nio! Goat Nio...."

"Bun Yang!" Orang tua pincang memperingat kannya. "Hati-hati, jangan sampai terpeleset ke dalam jurang!"

"Paman tua," tanya Tio Bun Yang. "Betulkah Goat Nio jatuh di dalam jurang ini?"

"Betul." Orang tua pincang mengangguk.

"Aaakh!" keluh Tio Bun Yang. "Goat Nio, kenapa engkau begitu tega meninggalkan aku? Goat Nio...."



"Adik Bun Yang, ayoh kita kembali ke markas pusat Kay Pang!" seru Bu Ceng Sianli.

Tio Bun Yang tetap berdiri mematung di tepi pirang. Air matanya terus berlinang-linang dan wajahnya pucat pias seperti kertas.

"Goat Nio! Goat Nio! Aku tahu engkau sedang menungguku engkau sangat kesepian di sana. Goat Nio! Tunggu aku!"

Mendadak Tio Bun Yang menerjunkan dirinya ke jurang itu.

Betapa terkejutnya Bu Ceng Sianli.

"Adik Bun Yang! Adik Bun Yang!" serunya sambil meleset ke tepi jurang. Ia masih sempat melihat tubuh Tio Bun Yang meluncur ke bawah, kemudian hilang di telan kabut. "Adik Bun Yang! Aclik Bun Yang...!"

Bu Ceng Sianli juga ingin terjun ke jurang iiu. tapi sekonyong-konyang orang tua pincang merangkulnya dari belakang, sekaligus menariknya.

"Lepaskan!" Teriak Bu Ceng Sianli sambil meronta.

"Nona...."            Orang    tua         pincang                melepaskannya                seraya

berkata, "Jangan kau lakukan itu!"

"Adik Bun Yang! Adik Bun Yang...!" teriak Bu Ceng Sianli, lalu mendadak menatap orand tua pincang dengan penuh kegusaran. "Engkau., gara-gara engkau! Aaaah...!"

"Tenanglah Nona!" Orang tua pincang meng geleng-gelengkan kepala. "Aku...."

"Engkau...."        Bu           Ceng      Sianli      menudingnya,   ke           mudian

dengan tiba-tiba tangannya bergerak dan seketika juga terdengar suara tamparan keras.

Plak! Plok! Plaaak!

"Aduuuh!" jerit orang tua pincang kesakitan Kedua belah pipinya telah bertanda bekas telapal tangan Bu Ceng Sianli.



"Adik Bun Yang terjun ke jurang gara-gara engkau, maka secara tidak langsung engkau telah membunuhnya!" ujar Bu Ceng Sianli sambil me natapnya dengan mata berapi-api.

"Aku...." Orang tua pincang menundukku kepala.

"Adik Bun Yang...." Bu Ceng Sianli duduk di pinggir jurang

sambil menangis sedih dengan air mata berderai-derai. "Adik Bun Yang...."

"Aaaah...!" Orang tua pincang menghela nafas panjang, la'u duduk di sisi Bu Ceng Sianli. "Aku., aku yang bersalah dalam hal ini, maafkanlah aku!

"Sesungguhnya engkau pun tidak bersalah dalam hal ini," sahut Bu Ceng Sianli, yang wajah nya tampak pucat pias. "Engkau memberitahukan nya, tapi dia...."

"Kita harus tenang," ujar orang tua pincang. "Sebab... aku pun harus bertanggung jawab mengenai kejadian ini."

"Aku tidak berani membayangkan, bagaimana kedua orang tuanya dan kakeknya serta penghuni Hong Hoang To?"

"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Lim Peng liang, ketua Kay Pang adalah kakeknya."

"Celaka!" keluh orang tua pincang. "Aku... aku harus bagaimana?"

"Kita harus segera ke markas pusat Kay Pang memberitahukan tentang kejadian ini," sahut Bu Ceng Sianli.

"Ya." Orang tua pincang mengangguk. "Oh ya, engkau kelihatan begitu sayang kepada Tio Hun Yang. Apakah...."

"Aku memang mencintainya, namun itu tidak mungkin," sahut Bu Ceng Sianli sambil menghela nafas panjang.

"Kenapa tidak mungkin?" Orang tua pincang heran. "Engkau masih muda dan cantik sekali, kalian berdua merupakan pasangan yang serasi lho!"



"Aaah...!" Bu Ceng Sianli tersenyum getir. "Adik Bun Yang tidak bohong, usiaku memang hampit sembilan puluh."

"Engkau...." Orang tua pincang terbelalak. "Engkau awet

muda?"

"Bukan awet muda, melainkan kembali muda seperti berusia dua puluhan." Bu Ceng Sianli memberitahukan. "Sebab aku mengalami suatu kemujizatan alam, lagi pula kebetulan aku me-miliki Hian Goan Sin Kang."

"Oh?" Orang tua pincang menatap Bu Ceng Sianli dengan mata tak berkedip, kemudian ujarnya sambil tersenyum. "Kalau begitu, bersediakahl engkau mengantarku ke goa itu? Sebab... aku pun ingin muda kembali...."

"Engkau...." Bu Ceng Sianli melotot. "Aku sedang sedih,

sebaliknya engkau malah bergurau? Hati-Hati! Aku bisa mencabut nyawamu!"

"Maaf, maaf...!" ucap orang tua pincang cepat. "Ayolah! Mari kita berangkat sekarang, jangan membuang waktu di sini!"

-oo0dw0oo-


Kedatangan Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang tentunya sangat mengherankan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong, sebab mereka tidak, kenal kedua orang tersebut.

"Maaf, kedatangn kami menganggu Lim Pangcu!" ujar Bu Ceng Sianli tanpa memberi hormat.

"Tidak apa-apa," sahut Lim Peng Hang sambil! tersenyum. "Silakan duduk!"

Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang duduk, kemudian orang tua pincang memandang Lim Peng Hang seraya berkata.



"Lim Pangcu! Aku dan dia kenal Tio Bun Yang, dia memanggil Bun Yang adik. Kami ke mari ingin menyampaikan sesuatu...."

"Maaf!" ucap Lim Peng Hang dan bertanya, "Boleh kami tahu siapa kalian berdua?"

"Aku adalah Si Pincang, guru Sie Keng Hauw." Orang tua pincang memberitahukan. "Dia adalah Bu Ceng Sianli."

"Haah...?" Lim Peng Hang Gouw Han Tiong terbelalak. "Nona... engkau adalah Bu Ceng Sianli?"

"Betul." Bu Ceng Sianli mengangguk.

"Lim Pangcu," tanya orang tua pincang. "Engkau sudah tahu tentang Bu Ceng Sianli ini?"

"Bun Yang pernah menceritakan kepadaku, jadi aku sudah tahu." Lim Peng Hang tersenyum. "Memang sungguh di luar dugaan!"

"Lim Pangcu, kita harus memanggilnya apa?" Tanya orang tua pincang lagi.

"Panggil Sianli saja," sahut Gouw Han Tiong.

"Betul, betul." Orang tua pincang manggut-manggut. "Memang lebih baik kita memanggilnya Sianli."

"Oh ya!" Lim Peng Hang menatap mereka seraya bertanya, "Kalian ingin menyampaikan apa?"

"Bun Yang...."

"Biar aku yang memberitahukan," potong Bu Ceng Sianli, lalu menutur. "Setelah aku berpisah dengan Adik Bun Yang di markas Lie Tsu Seng, aku mulai menyelidiki ketua Kui Bin Pang yang tidak lain adalah Kwee Teng An. Akhirnya aku memperoleh informasi bahwa ketua Kui Bin Pang itu berada di Tibet, maka aku segera ke Tibet."



"Bun Yang pun sudah berangkat ke Tibet bersama dua Dhalai Lhama." Lim Peng Hang memberitahukan.

"Ngmm!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut dan melanjutkan, "Ternyata benar ketua Kui Bin Pang itu berada di Tibet, bahkan telah menguasai kuil Dhalai Lhama. Aku langsung ke kuil itu...."

"Sianli bertarung dengan ketua Kui Bin Pang itu?" tanya Gouw Han Tiong.

"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Di saat kami baru mau mengerahkan ilmu andalan, mendadak terdengar suara suling."

"Pasti Bun Yang yang muncul," ujar Lim Peng Hang.

"Tidak salah." sahut Bu Ceng Sianli. "Suara suling itu menyadai kan para Dhalai Lhama yang terkena ilmu sesat, dan setelah itu barulah Adik Bun Yang mendekati ketua Kui Bin Pang."

"Mereka bertarung?" tanya Gouw Han Tiong.

"Adik Bun Yang menyuruhnya memberitahukan di mana Goat Nio, namun ketua Kui Bin Pang bernama Kwee Teng An itu malah tertawa, sama sekali tidak mau beritahukan."

"Lalu bagaimana?" tanya Lim Peng Hang.

"Kwee Teng An terus tertawa, kemudian memberitahukan kepada Adik Bun Yang, bahwa Adik bun Yang pernah memusnahkan kepandaiannya beberapa tahun lalu," jawab Bu Ceng Sianli dan melanjutkan, "Ternyata Kwee Teng An adalah mantan Penjahat Pemetik Bunga."

"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Setelah itu mereka bertarung?"

"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk dan menambahkan, "Seandainya Kwee Teng An memberitahukan berada di mana Goat Nio, Adik Bun Yang pasti melepaskannya."



"Jadi Bun Yang membunuh Kwee Teng An?" tanya Lim Peng Hang.

"Kwee Teng An mati oleh ilmu pukulannya sendiri." Bu Ceng Sianli memberitahukan. "Aku sama sekali tidak menduga Adik Bun Yang berkepandaian begitu tinggi."

"Setelah itu bagaimana?" tanya Gouw Han I iong.

"Sebelum tubuhnya berubah menjadi tulang, Kwee Teng An sempat mengatakan kepada Adik Hun Yang, bahwa dia telah membunuh Goat Nio." Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang. "Itu membuat Adik Bun Yang langsung muntah darah lalu pingsan. Aku segera menyalurkan Hian Goan Sin Kang ke dalam tubuhnya, dan tak lama dia pun tersadar pingsannya. Namun...."

"Kenapa?" tanya Lim Peng Hang tegang dan cemas.

"Dia... dia berubah linglung," jawab Bu Ceng Sianli. "Aku terus menghiburnya, bahkan juga mengatakan bahwa Goat Nio belum mati."

"Betul." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Sianli memang harus mengatakan begitu agar dia tidak linglung. Terimakasih Sianli!"

"Tapi...."              Bu           Ceng      Sianli      menghela            nafas     panjang,

kemudian menuding orang tua pincang seraya berkata sengit, "Gara-gara dia!"

"Yaah!" Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala. "Aku lagi yang disalahkan! Padahal...."

"Beritahukanlah apa yang terjadi atas diri Bun Yang!" ujar Lim Peng Hang dengan wajah pucat pias, sebab ia telah berfirasat buruk.

"Mendadak muncul Si Pincang ini." Bu Ceng Sianli memberitahukan. "Tak disangka dia pun kepal Bun Yang. Dia pun mengatakan bahwa dia pernah melihat seorang pemuda



bersama scorangl gadis cantik, pemuda itu adalah ketua Kui Bin Pang."

"Kalau  begitu...."  Lim  Peng  Hang  mengerutkan  kening.

"Gadis itu pasti Siang Koan Goatl Nio."

"Benar," sahut orang tua pincang. "Pemuda! itu ingin memperkosa gadis itu namun gadis itu meloncat ke belakang."

"Pemuda itu. berhasil memperkosa Goat Nio?" tanya Gouw Han Tiong.

"Gadis itu meloncat ke belakang justru jatuh ke jurang yang ribuan kaki dalamnya." Orang tua pincang memberitahukan. "Di saat itulah pemuda tersebut berteriak-teriak memanggil nama gadis itu, barulah kuketahui gadis itu bernama Goat Nio. Kemudian pemuda itu tertawa gelak lalu melesat pergi, barulah aku keluar dari balik pohon. Aku memandang ke bawah, tak tampak dasar jurang karena tertutup oleh kabut. Jurang itu dalamnya ribuan kaki, bagaimana mungkin gadis itu bisa hidup?"

"Sungguh kasihan Goat Nio!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang, kemudian bertanya kepada orang tua pincang. "Engkau memberitahukan tentang itu kepada Bun Yang?"

"Ya." Orang tua pincang mengangguk.

"Bagaimana Bun Yang setelah mendengar itu?" tanya Lim Peng Hang cemas.

'Dia terus mendesakku agar mengantarkannya ke tempat itu, dan akhirnya kami berangkat ke Tebing Selaksa Bunga."

"Bun Yang...." Wajah Lim Peng Hang makin pucat. "Dia...

dia...."

"Dia berdiri di pinggir jurang itu." Bu Ceng Sianli memberitahukan dengan mata basah. "Dia lerus-menerus memanggil Goat Nio, setelah itu mendadak...."



"Apa yang terjadi?" tanya Lim Peng Hang dengan suara bergemetar. "Apa yang terjadi?"

"Mendadak...." Bu Ceng Sianli mulai menangis sedih. "Adik

Bun Yang terjun ke jurang itu."

"Haaah?" Lim Peng Hang langsung pingsan seketika.

"Lim Pangcu!" seru Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang serentak, mereka berdua terkejut bukan main.

Begitu pula Gouw Han Tiong, ia segera mengurut urat di leher Lim Peng Hang. Berselang! sesaat, barulah ketua Kay Pang itu tersadar dari pingsannya.

"Bun Yang, cucuku...." gumam Lim Peng Hang dengan air

mata bercucuran. "Bun Yang...."

"Tenang, Saudara Lim!" hibur Gouw Hanl Tiong. "Bun Yang berkepandaian begitu tinggi! tidak mungkin dia akan mati di dasar jurang itu.

"Aaaah...!" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Kalian berdua turun ke dasar jurang itu?"

"Tidak." Bu Ceng Sianli menggelengkan kepala. "Tebing jurang itu sangat licin sekali, sulil untuk dituruni. Lagi pula kami harus segera km mari."

"Kalau begitu," ujar Lim Peng Hang. "Kita harus segera berangkat ke tempat itu, aku akan turun ke jurang itu mencari mayat Bun Yang."

"Jurang itu dalamnya ribuan kaki, maka kita harus membawa tali ke sana." Bu Ceng Sianli memberitahukan. "Kalau tidak, sulit bagi kita turun kedasar jurang itu."

"Baik." Lim Peng Hang mengangguk dengan air mata bercucuran. "Kita semua harus membawa tali secukup-cukupnya."

-oo0dw0oo-




Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang berdiri di pinggir pirang. Ketua Kay Pang terus-menerus memandang ke bawah, kemudian bergumam dengan air mata berderai-derai.

"Sedemikian dalam! Walau Bun Yang berkepandaian tinggi, namun bagaimana mungkin hisa lolos dari kemataian?"

"Kita harus segera turun ke bawah," ujar Gouw Han Tiong. "Kalau dia terluka di dasar pirang, kita masih sempat menolongnya."

"Betul." Lim Peng Hang manggut-manggut.

Mereka berempat mulai menyambung tali-tali vang mereka bawa itu, kemudian ujungnya di lempar ke dalam jurang. Setelah tersambung semua, ujung tali yang satu lagi diikatkan pada sebuah pohon.

"Siapa yang turun duluan?" tanya Lim Peng Hang.

"Biar aku yang turun duluan," sahut Bu Ceng Sianli. Kemudian dipegangnya tali itu sekaligus meloncat ke bawah menggunakan ginkang. Dalam waktu sekejap ia telah hilang di telan kabut.

Kemudian orang tua pincang, Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong menyusulnya. Begitu sampai di dasar jurang, mereka melongo karena melihat sebuah telaga yang cukup besar, dan bukan main indahnya penorama di tempat itu.

"Tidak tampak mayat Tio Bun Yang." ujar Bui Ceng Sianli sambil menggeleng-gelengkan kepala "Dasar jurang ini sangat luas, maka tak mungkii kita mencarinya ke seluruh dasar jurang."

"Heran?" gumam Lim Peng Hang. "Kenapa tidak tampak mayatnya? Mungkinkah... dia jatuh ke dalam telaga?"



"Kalau dia jatuh ke dalam telaga, mayatnya pasti akan terapung," sahut Gouw Han Tiong "Tapi tidak kelihatan mayat di permukaan ai: maka dia tidak mungkin jatuh ke telaga."

"Kalau begitu...." Lim Peng Hang mengerut kan kening,

namun sepasang matanya telah basah "Kemungkinan besar mayatnya telah di bawa bi natang buas."

"Menurut aku..." sela orang tua pincang. "mungkin dia tersangkut di pohon yang tumbuh di dinding jurang."

"Memang mungkin juga." Lim Peng Hang manggut-manggut sambil mendongakkan kepala memandang ke atas. "Begitu banyak pohon, tak mungkin kita memeriksanya."

"Mungkinkah binatang buas menyeret mayatnya ke dalam salah sebuah goa yang ada di dasar jurang ini?" ujar Gouw Han Tiong sambil menengok ke sana ke mari.

"Aaaah...!" keluh Lim Peng Hang. "Aku tidak menyangka, Bun Yang akan mati tanpa kuburan."

"Adik Bun Yang! Adik Bun Yang...!" Mendadak Bu Ceng Sianli berteriak-teriak memanggil Bun Yang, ia berharap ada sahutan darinya.

"Bun Yang! Bun Yang...!" Yang lain juga ikut berteriak-teriak memanggil pemuda tersebut.

Akan tetapi sama sekali tiada suara sahutan lio Bun Yang, hanya terdengar suara mereka yang berkumandang di dasar jurang itu.

"Aaah...!" keluh Lim Peng Hang. "Kita harus bagaimana?" ' "Kita naik ke atas lagi,” sahut Gouw Han Tiong. "Ng!" Lim Peng Hang mengangguk.

Lim Peng Hang naik duluan, kemudian Gouw Han Tiong dan setelah itu orang, tua pincang, terakhir Bu Ceng Sianli,



yang kelihatan sangat penasaran karena tidak melihat mayat Tio Bun Yang.

"Sekarang apa langkah kita?" tanya Lim Peng Hang.

"Kita pulang ke markas dulu," Gouw Han Tiong menambahkan, "Kita berunding di sana saja."

"Baik." Lim Peng Hang manggut-manggut, kemudian memandang Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang seraya bertanya, "Bagaimana kalian?"

"Bagaimana engkau, Sianli?" Orang tua pincang bertanya kepada Bu Ceng Sianli.

"Tentunya harus ke markas pusat Kay Pang," sahut Bu Ceng Sianli.

"Kalau begitu," ujar Lim Peng Hang dan melanjutkan. "Mari kita berangkat sekarang!"

-oo0dw0oo-


Bagian ke tujuh puluh tiga

Suasana duka


Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu Ceng Sianli dan orang tua telah tiba di markas pusat Kay Pang. Tampak mereka berempat di ruang depan markas itu dengan wajah murung sekali.

"Aaaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Aku tidak habis pikir, apa jadinya kalau Cie Hiong dan Ceng Im mengetahui kabar duka Ini? Aku khawatir mereka...."

"Cie Hiong masih bisa tabah, tapi Ceng Im....” Gouw Han

Tiong menggeleng-gelengkan kepala. "Aku mengkhawatirkan putriku."



"Lalu kita harus bagaimana?" Mata Lim Peng Hang mulai basah lagi. "Aku yakin mayat Bun Yang telah digondol binatang buas."

"Aaaah...!" keluh Bu Ceng Sianli. "Aku sama sekali tidak menyangka, nasib Adik Bun Yang akan berakhir dengan begitu mengenaskan! Padahal dia adalah pemuda baik dan berhati bajik."

"Bun  Yang  cucuku...."  Air  mata  Lim  Peng  llang  mulai

meleleh. "Bun Yang...."

"Saudara Lim!" Gouw Han Tiong menatapnya seraya berkata, "Kita tidak boleh diam saja di sini.."

"Lalu kita harus bagaimana?" tanya Lim Peng Hang.

"Aku akan berangkat ke Tayli mengabarkan kepada mereka tentang, kejadian ini, engkau berangkat ke Pulau Hong Hoan To!" sahut Gouw Han Tiong. "Pihak Pulau Hong Hoang To harus kita diberilahu."

"Tapi...." Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku tak sampai hati memberitahukan kepada meraka."

"Tak sampai hati pun harus memberitahukan," hi.n Gouw Han Tiong. "Besok pagi aku akan berangkat ke Tayli, engkau berangkat ke Pulau Hong Hoang To!"

"Baiklah." Lim Peng Hang mengangguk, kemudian bertanya kepada Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang. "Bagaimana kalian? Mau ikut ke Pulau Hong Hoang To?"

"Kami yang menyaksikan kejadian itu, tentunya harus ikut untuk memberitahukannya," sal hut Bu Ceng Sianli.

"Ya, ya." Orang tua pincang manggut-mang-gut. "Kami memang harus ikut."

"Hm!" dengus Bu Ceng Sianli. "Semua itu gara-gara engkau. Padahal waktu itu aku sudah memberi isyarat agar engkau tidak melanjutkan penuturan. Namun... engkau masih



terus menyerocos. Akhirnya jadi begini. Seharusnya kubunuh engkau!"

"Yaah!" Orang tua pincang menghela nafas panjang. "Aku menutur apa yang kusaksikan, lagi pula Bun Yang berhak mengetahuinya. Dia adalah pemuda gagah, siapa sangka tidak bisa tabah? Itu di luar dugaanku!"

"Sudahlah, Sianli." ujar Lim Peng Hang dengan wajah murung. "Kita tidak bisa terus-menerus mempersalahkan Si Pincang. Seandainya kita menjadi dia, tentunya juga akan menceritakan tentang itu kepada Bun Yang."

"Adik Bun Yang...." gumam Bu Ceng Sianli berduka sekali.

"Apa yang terjadi itu, sungguh diluar dugaan!"

"Aku yang bersalah," ujar orang tua pincang sambil menundukkan kepala. "Pada waktu itu Bu Ceng Sianli mengerdipkan matanya, aku kira matanya kemasukan debu, tidak tahunya memberi isyarat kepadaku, maka aku terus menceritakan tentang gadis cantik itu, bahkan menyebutkan namanya pula. Aaaah...!"

"Sudahlah!" tandas Lim Peng Hang. "Jangan diungkit-ungkit lagi, membuat hati terasa pedih sekali."

"Besok pagi aku akan berangkat ke Tayli, kapan kalian akan berangkat ke Pulau Hong Hoang To?" tanya Gouw Han Tiong.

"Juga besok pagi," sahut Lim Peng Hang. keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gouw Han Peng berangkat ke Tayli, sedangkan Lim Peng Hang. Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang berangkat ke Pulau Hong Hoang To.

-oo0dw0oo-


Seng Kie Hauw, Lie Ai Ling, Kan Hay Thian dan Lui Hui San duduk di halaman sambil bercakap-cakap, kemudian Lie Ai Ling menghela nafas panjang.



"Aaaah...!"

"Adik Ai Ling," tanya Sie Keng Hau. "Kenapa engkau menghela nafas panjang barusan? Apakah ada sesuatu terganjel dalam hatimu?"

"Mendadak aku teringat Kakak Bun Yang," sahut Lie Ai Ling dengan wajah muram. "Entah bagaimana dia, sudah bertemu dengan Goat Nio atau belum?"

"Kita semua berada di sini, bagaimana mungkin mengetahuinya?" ujar Kam Hay Thian sambi menggeleng-gelengkan kepala.

"Kita pun tidak tahu bagaimana keadaan Yo Kiam Heng dan Kwan Tiat Him," sambung Li Hui San. "Apakah mereka berhasil menyelamat kan Goat Nio."

Di saat itulah melayang turun tiga orang, yaitu Lim Peng Hang, Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang.

"Haaah?" Sie Keng Hauw dan lainnya terkejut girang menyaksikan kemunculan mereka, Sie Ken Hauw langsung bersujud di hadapan orang tua pincang, "Guru...."

"Guru setengah mati mencarimu ternyata enkau berpacaran di pulau ini!" sahut orang tua pincang setengah mengomel. "Dasar murid yang cuma mau senang sendiri!"

"Guru...."

"Bangunlah!" ujar orang tua pincang.

Sie Keng Hauw segera bangkit berdiri, kemudian berkata kepada Lie Ai Ling.

"Adik Ai Ling, ini adalah guruku!"

"Paman tual" Lie Ai Ling memberi hormat dengan wajah agak kemerah-merahan karena tersipu.

"Ha ha!" Orang tua pincang tertawa. "Bagus, bagus!"



"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli. "Jangan terus tertawa!"

Orang tua pincang langsung diam, sedangkan Sie Keng Hauw, Kam Hay Thian, Lie Ai Ling dan Lu Hui San cepat-cepat memberi hormat kepada Lim Peng Hang dan Bu Ceng Sianli.

"Kakak Lim, Kakak Siao Cui...." Mereka berempat tampak

girang sekali, namun ketika menyaksikan wajah Lim Peng Hang yang begitu murung, tersentaklah hati mereka.

"Di mana Tio Tocu dan lainnya?" tanya Lim Peng Hang.

"Kebetulan sekali mereka semua berada di ruang tengah." jawab Lie Ai Ling. "Mari masuk!" ajaknya.

Mereka menuju ke dalam, tentunya sangat mencengangkan Tio Tay Seng, Sam Gan Sin Kay, Kini Siauw Suseng, Kou Hun Bijing, Tio Cie Hiong, Lim Ceng Im, Lie Man Chiu dan Tio Hong llna.

"Ayah!" seru Lim Ceng Im girang, tapi ketika menyaksikan wajah Lim Peng Hang yang begitu muram, tersentaklah hatinya. "Ayah...?"

"Ceng  Im...."  Lim  Peng  Hang  menghela  nafas  panjang,

kemudian memperkenalkan. "Si Pincang ini adalah guru Sie Keng Hauw. Ayahnya adalah Tetua Kui Bin Pang. Wanita yang muda cantik jelita ini adalah Bu Ceng Sianli."

"Hah?" Seketika juga Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin dan lainnya terbelalak. Mereka memang pernah mendengar penuturan Tio Bun Yang tentang wanita itu, tapi tidak menyangka Bu Ceng Sianli begitu cantik mempesonakan.

"Hi hi hi!" Kou Hun Bijin tertawa gelak. "Aku terkenal awet muda, tapi engkau jauh lebih muda. Betulkah engkau sudah berusia hampir sembilan puluh?"

"Betul," sahut Bu Ceng Sianli yang kemudian tertawa cekikikan. "Hi hi hi! Aku bukan awet muda, melainkan kembali muda!"



"Engkau tampak seperti gadis berusia dua puluhan." Kou Hun Bijin menatapnya dalam-dalam. "Bun Yang sering menceritakan dirimu, kalian berdua sangat baik sekali?"

"Memang baik sekali," ujar Bu Ceng Sianli. "Sebelum bertemu Adik Bun Yang, aku sudah bertemu Goat Nio. Tapi dalam waktu itu aku tidak tahu bahwa dia adalah kekasih Adik But Yang. Sesudah bertemu Adik Bun Yang. barulah aku tahu. Aku pun menganggap Adik Bun Yang sebagai Adikku sendiri."

"Oh?" Kou Hun Bijin manggut-manggut. "Goat Nio adalah putri kami, engkau sudah bertemu mereka?"

"Itu...." Bu Ceng Sianli memandang Lim Peng Hang.

"Kami ke mari justru ingin memberitahukan tentang Bun Yang dan Goat Nio," ujar Lim Peng Hang dengan mata basah.

"Ayah! Apa yang telah terjadi atas diri Bun Yang?" tanya Lim Ceng Im dengan wajah pucat pias.

"Itu harus dimulai dari Goat Nio," sahut Lim Peng Hang.

"Sianli!" Kou Hun Bijin segera memandang Bu Ceng Sianli. "Beritahukanlah pada kami apa yang telah terjadi atas diri Goat Nio?"

"Yang tahu jelas adalah Si Pincang ini," sahut Bu Ceng Sianli.

"Pincang!" hardik Kou Hun Bijin. "Cepat beritahukan! Cepaaat!"

"Aku melihat seorang pemuda dan seorang gadis cantik jelita di Tebing Selaksa Bunga...." Orang tua pincang menutur tentang kejadian itu.

"Hah? Apa?" Kou Hun Bijin langsung meloncat bangun. "Goat Nio jatuh ke dalam jurang itu?"

"Ya." Orang tua pincang mengangguk,



"kenapa engkau tidak menolongnya?" tanya Kou Hun Bijin dengan wajah kehijau-hijauan.

"Mereka  berdua...."  tutur  Lim  Peng  Hang  tentang  itu.

"Beberapa hari kemudian Bun Yang pun pulang, kemudian mereka bertiga berangkat ke Tibet."

"Lalu bagaimana?" tanya Lim Ceng Im.

"Sepuluh hari lalu, Si Pincang dan Bu Ceng Sianli ke markas pusat Kay Pang menemui ayah untuk menyampaikan suatu kabar."

"Kabar buruk?" Wajah Lim Ceng Im makin pucat, sementara Tio Cie Hiong mendengarkan dengan penuh perhatian dan keningnya tampak berkerut-kerut.

"Memang kabar buruk." Lim Peng Hang mengangguk kemudian memandang Bu Ceng Sianli. "Sianli, beritahukanlah kepada putriku!"

"Ceng Im...." Bu Ceng Sianli menghela nafas dengan mata

bersimbah air. "Aku memperoleh informasi bahwa ketua Kui Bin Pang bernama Kwee Teng An berangkat ke Tibet, maka aku pun segera berangkat ke sana."

Bu Ceng Sianli menutur tentang pertarungan di kuil Dhalai Lhama, kemudian muncul Tio Bun Yang dan lain sebagainya.

"Kwee Teng An bilang telah membunuh Goat Nio?" tanya Lim Ceng Im. "Itu berarti dia bohong. Ya, kan?"

"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Karena itu, Adik Bun Yang berubah seperti kehilangan sukma. Aku terus menghiburnya agar dia bisa tenang dan tabah. Akan tetapi setelah kami berada di Tionggoan, mendadak muncul Si Pincang yang harus mampus ini, ternyata dia kenal Adik bun Yang."

"Betul," sahut orang tua pincang sambil menghela nafas panjang. "Aku yang bersalah, karena tidak tahu Goat Nio



adalah kekasih Bun Yang. Aku menceritakan tentang ketua Kui Bin Pang bersama seorang gadis cantik."

"Engkau memberitahukannya nama gadis itu?" tanya Sam Gan Sin Kay mendadak.

"Ya." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala. "Itulah kesalahanku. Setelah mengetahui gadis itu bernama Goat Nio, maka Bun Yang terus-menerus mendesakku untuk meng-unlarnya ke Tebing Selaksa Bunga."

"Engkau mengantarnya ke sana?" tanya Sam Gan Sin Kay dengan kening berkerut-kerut.

"Ya." Orang tua pincang mengangguk. "Bu Ceng Sianli juga ikut."

"Lalu apa yang terjadi?" tanya Tio Tay Seng dengan wajah mulai memucat.

"Adik Bun Yang terus berdiri mematung di pinggir jurang. Aku memperingatkannya agar hati-hati, dan dia pun manggut-manggut. Namun kemudian dia bergumam memanggil Goat Nio, dan setelah itu mendadak...."

"Mendadak apa?" tanya Lim Ceng Im dengan tubuh menggigil.

"Adik Bun Yang...!" Bu Ceng Sianli terisak isak. "Dia terjun ke jurang itu."

"Hah? Bun Yang...!" Lim Ceng Im langsung pingsan, sedangkan Tio Cie Hiong duduk di tempat dengan wajah pucat pias.

"Ceng Im!" teriak Lim Peng Hang.

"Tenang!" ujar Bu Ceng Sianli, lalu menhampiri Lim Ceng Im, dan menyalurkan Hia Goan Sin Kang ke dalam tubuhnya.

Berselang beberapa saat kemudian, tersadarlah Lim Ceng Im, dan seketika juga menangis gerung-gerungan.



"Bun Yang! Bun Yang...!"

"Goat Nio! Goat Nio...!" Kou Hun Bijin masih berteriak-teriak memanggil nama putrinya.

"Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang...!" teriak Lie Ai Ling sambil menangis meraung-raung. "Kakak Bun Yang...!"

Kacaulah suasana di ruang itu. Bu Ceng Sianli berusaha menghibur Lim Ceng Im, sedangka Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin masih saling berpeluk-pelukan sambil menangis sedih, dan orang tua pincang tampak serba salah, karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Sam Gan Sin Kay mendekati Tio Cie Hiong dan bersiap-siap kalau Tio Cie Hiong terjadi sesuatu.

Lui Hui San juga sedih menangis sepasang matanya membengkak. Kam Hay Thian menghiburnya sambil terisak-isak- Sie Keng Hauw juga terus menghibur Lie Ai Ling.

Berselang beberapa saat kemudian, begitu suara tangisan itu mulai reda, tiba-tiba terdengarlah suara Tio Cie Hiong.

"Aku tidak percaya kalau Bun Yang dan Goat Nio akan mati begitu saja."

"Kami pun tidak percaya," ujar Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin. "Mereka berdua tiada tampang pendek umur."

"Ayah," tanya Lim Ceng Im. "Apakah Ayah sudah ke Tebing Selaksa Bunga itu?"

"Kami berempat sudah ke Tebing itu," jawab Lim Peng Hang dan menambahkan, "Bahkan sudah turun ke dasar jurang."

"Ayah menemukan mayat Bun Yang?" tanya Lim Ceng Im sambil menangis sedih.



"Kami tidak menemukan mayatnya." Lim Peng Uang menggeleng-gelengkan kepala. "Mungkin sudah digondol binatang buas."

"Ayah, kenapa Paman Gouw tidak ikut ke sini?"

"Dia ke Tayli memberitahukan kepada mereka tentang kejadian ini."

"Aku tetap tidak percaya Bun Yang dan Goat Nio mati begitu saja," ujar Tio Cie Hiong lagi sambil mengerutkan kening. "Sebab tidak ditemukan mayatnya maupun mayat Goat Nio. Tidak mungkin mayat mereka akan digondol binatang, itu tidak mungkin."

"Kalau begitu," ujar Lie Man Chiu yang terdiam dari tadi. "Kita harus pergi memeriksa dassr jurang itu."

"Betul." Tio Tay Seng manggut-manggut. "Kita berangkat besok pagi."

Keesokan paginya, berangkatlah mereka ke Tionggoan menuju markas pusat Kay Pang, sebab mereka ingin menunggu kedatangan pihak Tayli.

-ooo0dw0ooo-


Kini mereka telah tiba di markas pusat Kay Pang. Dua hari kemudian muncullah pihak Tayli yakni Toan Wie Kie, Gouw Sian Eng, Lam Kioi Be Liong, Toan Pit Lian dan lainnya.

"Ceng Im...." Gouw Sian Eng langsung memeluknya sambil

menangis. "Kami sedih sekali”

"Sian Eng! Bun Yang...." Air mata Lim Ce Im berderai-derai.

"Itu bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin?" ujar Gouw Sian Eng terisak-isak. "Aku tidak percaya kalau Bun Yang dan Goat Nio akan mati begitu saja. Aku tidak percaya!"



Sementara Lim Peng Hang, Gouw Han Tio dan lainnya juga sedang berunding dengan serius sekali, ternyata mereka bersepakat untuk pergi memeriksa dasar jurang itu, bahkan juga pohon-pohon yang tumbuh di dinding jurang.

Oleh karena itu, Lim Peng Hang memerintahkan puluhan anggota Kay Pang untuk mencari tali sebanyak-banyaknya.

Sie Keng Hauw, Kam Hay Thian, Yo Kiam Neng, Toan Beng Kiat dan lainnya juga sedang bercakap-cakap dengan wajah murung.

"Aku tidak percaya kalau Bun Yang dan Goat Nio mati di dasar jurang itu," ujar Toan Beng kiat

"Aku pun kurang percaya," sambung Bokyong Sian Hoa. "Kalau benar mereka berdua mati di dasar jurang itu. Thian (Tuhan) sungguh tidak adil!"

"Aaaah...!" Lam Kiong Soat Lan menghela nafas panjang. "Kini ketua Kui Bin Pang itu telah tewas. Seharusnya Bun Yang dan Goat Nio melangsungkan pernikahan, namun malah...."

"Kakak Bun Yang begitu baik, berhati bajik dan sering menolong orang. Mungkinkah dia dan Goat Nio akan mati begitu saja?" ujar Lie Ai Ling lalu menambahkan, "Sebelum menyaksikan mayat mereka, aku tidak percaya kalau mereka dikata-kan sudah mati."

"Bun Yang berkepandaian begitu tinggi, tak mungkin dia akan mati di dasar jurang itu," sahut Bokyong Sian Hoa. "Aku yakin dia masih hidup...."


Hal 80-81 ga ada



sudah tiada, apa artinya aku hidup lagi?"



"Tenang!" Bu Ceng Sianli menepuk bahunya dan terus menghiburnya.

Sementara Sam Gan Sin Kay hanya duduk termenung, sama sekali tidak mengucurkan air mata, namun wajahnya tampak pucat pias.

"Ayah...."  Lim  Peng  Hang  mendekatinya.  "Jagadiri  baik-

baik!"

"Aaah...!" Sam Gan Sin Kay menghela nafas panjang. "Yang tua tidak mati, yang muda malah begitu cepat mati! Thian (Tuhan) sungguh tidak adil! Bukankah lebih baik mencabut nyawaku daripada nyawa Bun Yang? Aaaah...!"

"Ayah...." Lim Peng Hang menggeleng-gelenkan kepala.

"Peng Hang," pesan Sam Gan sin Kay. "Engkau harus baik-baik menjaga Lim Ceng Im, sebab dia akan berlaku nekad! Jangan sampai dirinnya terjadi apa-apa, sebab kalau dirinya terjadi apa-apa Cie Hong akan menjadi gila!"

"Ya, Ayah." Lim Peng Hang mengangguk

Keesokan harinya, berangkatlah mereka semua menuju Tebing Selaksa Bunga dengan perasaan tercekam.

-oo0dw0oo-


Mereka semua memandang ke bawah jurang itu dengan wajah pucat pias sebab jurang itu begitu dalam, bagaimana mungkin bisa hidup bagi yang jatuh kedalamnya? Itu membuat Lim Ceng Im dan Kou Hun Bijin langsung menangis meraung-raung.

"Bun Yang! Bun Yang...!"

"Goat Nio! Goat Nio...!"



Sementara yang lainnya sibuk menyambung tali tali, dan setelah tersambung semuanya barulah diikatkan pada sebuah pohon.

"Siapa yang turun duluan?" tanya Sam Gan Sin Kay.

"Aku," sahut Lim Ceng Im dan Kou Hun Bijin serentak.

"Kalian tidak boleh turun, cukup menunggu disini saja!" ujar Sam Gan Sin Kay sungguh-sungguh.

"Tidak." Lim Ceng Im menggelengkan kepala. „Kalau aku tidak diperbolehkan turun, aku pasti akan meloncat ke bawah."

"Ceng Im...." Bukan main terkejutnya Tio Cie Hiong.

"Aku pun akan meloncat ke bawah," ujar Kou Hun Bijin. "Biar bagaimanapun aku harus turun."

"Isteriku...." Kim Siauw Suseng menghela nafas panjang.

"Baiklah, engkau boleh ikut turun."

"Aku sudah pernah turun, biar aku turun duluan!" ujar Bu Ceng Sianli, lalu memegang tali itu sekaligus merosot ke bawah.

Menyusul adalah orang tua pincang, kemudian Lim Peng Hang dan lainnya. Berselang beberapa saat, mereka semua sudah berada di dasar jurang itu.

"Kita berpencar mencari Bun Yang dan Goat Nio," ujar Tio Tay Seng dan menambahkan, "Tapi sebelum hari gelap, kita semua harus kembali ke sini."

Mulailah mereka berpencar. Tio Cie Hiong bersama Lim Ceng Im, begitu pula Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.

Mereka mencari ke sana ke mari, juga memasuki goa-goa yang terdapat di sana. Setelah hari mulai gelap, mereka semua berkumpul kembali di tempat semula. Mereka



menggeleng-gelengkan kepala, namun tiada seorang pun yang membuka mulut.

"Bun Yang...." Lim Ceng Im mulai menangis lagi. "Mayatnya

pasti telah digondol binatan buas."

"Goat Nio...." Kou Hun Bijin juga mulai menangis sedih.

"Kemana mayatnya... aaah...!"

"Heran?" gumam Sam Gan Sin Kay. "Kalau mereka mati di dasar jurang ini, mayat mereka seharusnya berada di sini. Tapi...."

"Mungkinkah mereka jatuh ke dalam telaga ini?" tanya Tio Tay Seng.

"Seandainya mereka jatuh ke dalam telaga ini tentunya akan timbul lagi," sahut Sam Gan Sin Kay. "Aku telah mencari di pinggir telaga, namun tidak menemukan mayat mereka."

"Kalau begitu...." ujar Kim Siauw Suseng. "Mayat mereka

pasti telah digondol binatang buas."

"Tapi...."  Tio  Cie  Hiong  mengerutkan  kening.  "Di  dasar

jurang ini tiada jejak binatang buas."

"Kalau begitu, kemana mayat mereka?" tanya Kim Siauw Suseng.

"Itulah yang membingungkan." sahut Tio Cie hiong dan melanjutkan, "Mungkinkah mereka masih hidup dan berhasil memanjat ke atas?"

"Itu tipis kemungkinannya," ujar Lim Peng liang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Apabila mereka belum mati dan berhasil naik ke atas, tentunya mereka sudah ke markas pusat Kay Pang.

"Mungkin mereka terluka parah, maka mengobati luka mereka di suatu tempat, sehingga belum ke markas pusat Kay Pang," ujar Kim Siauw Suseng seakan menghibur dirinya sendiri.



"Itu memang mungkin." Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Dan juga itu yang kita harap-kan "

"Mumpung belum begitu gelap, lebih baik kita segera naik!"

usul Tio Tay Seng. "Sebab kabut putih makin menebal."

"Baik." Sam Gan Sin Kay mengangguk. "Mari kita naik, tapi harus hati-hati!"

Mereka mulai naik satu persatu. Beberapa saat kemudian, mereka semua sudah berada di atas.

"Bun Yang! Bun Yang...!" jerit Lim Ceng Im sambil memandang ke bawah. Tio Cie Hiong terus menjaga di sisinya.

"Goat Nio! Goat Nio...!" Kou Hun Bijin juga berteriak-teriak memanggil putrinya. "Goat Nio...!"

Tio Tay Seng cuma menggeleng-gelengkan kepala, dan setelah itu ia pun berseru.

"Mari kita kembali ke markas pusat Kay Pang!"

Mereka semua segera meninggalkan Tebing Selaksa Bunga itu. karena malam sudah larut.

-oo0dw0oo-


Bagian ke tujuh puluh empat Mengadakan upacara sembayang

Mereka semua telah tiba di markas pusat Kay Pang. Seketika Lim Ceng Im dan Kou Hun Bijin menangis sedih lagi, Tio Cie Hiong dan Kim Siauw Suseng cuma menghela nafas panjang.

"Aku tidak habis pikir," ujar Sam Gan Si Kay. "Goat Nio jatuh ke jurang itu, sedangkal Bun Yang yang terjun ke dalam.



Tapi tidak terdapat mayat mereka di dasar jurang itu. Itu... sungguh mengherankan!"

"Memang." Orang tua pincang manggut-manggut. "Aku yang menyaksikan gadis itu jatuh ke jurang itu, namun kita tidak menemukan mayatnya."

"Bun Yang juga terjun ke dalam jurang itu. tapi...." Bu

Ceng Sianli mengerutkan kening. "Kenapa kita tidak berhasil menemukan mayatnya?"

"Hanya ada dua kemungkinan," ujar Lim Peng Hang setelah berpikir lama sekali. "Pertama mereka tidak mati dan berhasil naik ke atas lalu pergi. Kedua mereka tenggelam ke dasar telaga ttu, maka kita tidak berhasil menemukan mayat mereka."

"Biasanya orang tenggelam ke dalam air, beberapa hari kemudian pasti timbul dipermukaan lagi tapi...," ujar Sam Gan Sin Kay. "Aku telah memeriksa pinggir telaga itu, tapi tidak menemu-kan mayat mereka. Karena itu, aku berkesimpulan bahwa mereka masih hidup."

"Kalau mereka masih hidup, kenapa tidak ke mari?" tanya Lim Ceng Im.

"Mungkin luka mereka belum sembuh, maka belum ke mari," sahut Sam Gan Sin Kay.

"Kita tunggu beberapa hari," ujar Kim Siauw niseiig. "Kalau mereka tetap tidak ke mari, berarti mereka telah mati."

"Goat Nio! Goat Nio...!" Kou Hun Bijin langsung menangis. "Aaakh...!"

Beberapa hari kemudian, memang ada yang muncul. Tapi bukan Tio Bun Yang dan Siangi Koan Goat Nio, melainkan para ketua tujuh partai.



Mereka bertujuh melangkah ke dalam dengan wajah murung. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong segera menyambut kedatangan mereka.

"Selamat datang, para ketua!"

"Kami ke mari turut berduka cita," ucap Hui Khong Taysu, ketua partai Siauw Lim. "Omitohud Tidak disangka Bun Yang dan Goat Nio akan mengalami nasib begitu!"

"Dari mana Taysu tahu tentang itu?" tanya Lim Peng Hang.

"Lim Pangcu!" Hui Khong Taysu tersenyum getir. "Berita itu mulai tersiar dalam rimba persilatan. Setelah menerima berita tersebut, kami segera ke mari."

"Terimakasih!" ucap Lim Peng Hang dengan wajah murung.

"Terus terang," ujar It Hian Tojin, ketua partai Butong. "Aku sama sekali tidak percaya Bun Yang dan Goat Nio bernasib begitu, tidak mungkin mereka berumur pendek."

"Bun Yang berhati baik," ujar Hui Khol Taysu. "Walau dia pusing memikirkan Goat Nio namun dia masih menolong orang lain. Omitohud Semoga Sang Budda melindunginya!"

"Lim Pangcu," tanya It Hian Tojin. "Bagaimana kejadian itu?"

"Aaaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang, lalu menutur tentang kejadian itu.

Para ketua tujuh partai besar itu mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian memandang Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang dengan mata agak terbelalak. Mereka kelihatan tidak begitu percaya akan usia Bu Ceng Sianli \ang hampir sembilan puluh. Namun karena dalam suasana duka, maka para ketua tujuh partai besar itu sama sekali tidak bertanya mengenai Bu Ceng Sianli.

"Jadi kalian semua sudah mencari di dasar jurang itu?" tanya It Hian Tojin.



"Ya." Lim Peng Hang mengangguk. "Tapi tidak menemukan mayat Bun Yang maupun mayat Goat Nio."

"Kalau   begitu...."            ujar        It             Hian       Tojin      penuh   harapan.

"Mereka pasti masih hidup."

"Kami pun menduga begitu...," ujar Gouw Han lnmg. "Tapi... seandainya mereka tidak mati di dasar jurang dan berhasil naik ke atas, tentunya mereka sudah ke mari."

"Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Mungkinkah mereka terluka parah, sehingga harus mengobati luka mereka di suatu tempat. Jadi... mereka belum ke mari?"

"Kami pun berpikir begitu dan menunggui telah beberapa hari, tapi...." Gouw Han Tion menggeleng-gelengkan kepala.

"Bun Yang dai Goat Nio tetap belum ke mari, itu membuat harapan kami jadi kandas."

"Kalau begitu, kita harus menunggu lagi," ujai It Hian Tojin dan menambahkan dengan sungguh sungguh. "Kami pun mau tinggal di sini untu turut menunggu Bun Yang dan Goat Nio."

"Terimakasih!" ucap Gouw Han Tiong dan Lim Peng Hang.

Tak terasa dua puluh hari telah berlalu, namun Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio tetap tidak muncul, itu betul-betul membuat mereka putus asa. Lim Ceng Im dan Kou Hun Biji pun mulai menangis sedih lagi, yang lain terus menerus menghela nafas panjang.

"Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Bagai mana kalau aku mengadakan upacara sembahyang?"

"Maksud Taysu upacara sembahyang arwah?” tanya Kou Hun Bijin.

"Ya." Hui Khong Taysu mengangguk.

"Jadi Taysu menganggap putriku telah mati?" Kou Hun Bijin menatap Hui Khong Taysu dengan penuh kegusaran. .



"Omitohud!" sahut Hui Khong Taysu menegaskan. "Upacara sembahyang yang akan kulakukan itu, sungguh berarti dan berguna bagi yang mati maupun yang hidup. Percayalah!"

"Terimakasih, Taysu!" ucap Lim Peng Hang. "Silakan Taysu mengadakan ucapara sembahyang."

"Omitohud!" Hui Khong Taysu manggut-manggut, lalu mulai mempersiapkan semua keperluan upacara sembahyang.

Kaum muda menyalakan lilin dan memasang hio, dan para ketua tujuh partai besar serta para tingkatan tua duduk bersila. Setelah lilin dinyalakan dan asap hio mulai mengepul kaum muda itu pun ikut duduk bersila.

Tak lama kemudian, mulailah Hui Khong Taysu membaca doa dengan hidmat sekali. Entah berapa saat kemudian, barulah Hui Khong Taysu berenti membaca doa lalu bangkit berdiri, yang lain pun mengikutinya.

"Omitohud!" ucap Hui Khong Taysu. "Kalau Bun Yang dan Goat Nio sudah mati, arwah mereka pasti akan tenang. Seandainya mereka belum mati. mereka pasti akan segera ke mari!"

"Terimakasih, Taysu!" ucap Lim Peng Hang.

"Omitohud!" sahut Hui Khong Taysu. "Lim pangu. kami mau mohon pamit."

"Baiklah." Lim Peng Hang manggut-manggut lalu bersama Gouw Han Tiong dan Tio Cie Hiong mengantar para ketua itu sampai di luar markas!

Setelah para ketua itu pergi, barulah mereka kembali masuk, sedangkan Lim Ceng Im dan Kom Hun Bijin mulai menangis lagi.

"Aaaah...!" Tio Cie Hiong menghela nafas panjang sambil mendekati Lim Ceng Im. "Adik Im, jangan terus menangis! Aku... aku makin tidak tahan! Aku...."



Wajah Tio Cie Hiong makin pucat pias. San Gan Sin Kay terperanjat menyaksikannya dan cepat-cepat mendekatinya sekaligus memegang tangannya erat-erat dan berkata,

"Cie Hiong, engkau harus tenang dan tabah”

"Yaaa." Tio Cie Hiong mengangguk, namun mendadak mulutnya menyemburkan darah segar "Uaaakh! Uaaaakh...!"

"Kakak Cie Hiong...!" panggil Lim Ceng Im

"Tenanglah Ceng Im!" Lim Peng Hang menghampirinya dan berbisik, "Engkau jangan terus menerus menangis! Cie Hiong terus menekan rasa sedihnya dalam hati, karena engkau menangis lagi itu membuat kesedihannya meledak, sehingga langsung memuntahkan darah segar. Kalau dia tidak bisa tenang, pasti terluka dalam."

"Kakak Cie Hiong...." Air mata Lim Ceng Im berderai-derai,

ia terus menahan isak tangisnya

"Cie Hiong!" ujar Sam Gan Sin Kay. "Cepatlah engkau duduk dan menghimpunlah lweekangmu!"

Tio Cie Hiong mengangguk perlahan, lalu duduk bersila dan sekaligus menghimpun Pan Yok Ilian Thian Sin.Kang. Berselang beberapa saat kemudian, wajahnya mulai tampak agak kemerah-merahan. Itu membuat Sam Gan Sin Kay dan lainnya menghela nafas lega.

"Kakak Cie Hiong...." Lim Ceng Im langsung memeluknya

erat-erat. "Aku... aku tidak akan menangis lagi. Sungguh!"

Walau Lim Ceng Im berkata demikian, namun air matanya terus berlinang-linang.

"Adik Im...." Tio Cie Hiong membelainya. "Aku tidak tahan

melihat engkau terus menangis."

"Aku berjanji, mulai sekarang tidak akan menangis lagi!" ujar Lim Ceng Im sambil menahan isak tangisnya.



"Adik Im," ujar Tio Cie Hiong dengan mata basah. "Kita harus tabah menghadapi kenyataan im."

"Kakak Cie Hiong," tanya Lim Ceng Im mendadak. "Sungguhkah Bun Yang telah mati?"

"Mudah-mudahan dia masih hidup!" sahut Tio Cie Hiong. "Itu adalah harapan kita. Lagi pula kita tidak menemukan mayatnya, maka kemung-hnan besar dia masih hidup."

"Kalau dia sudah mati, kita...."

"Adik Im!" Tio Cie Hiong membelainya. "Biar bagaimanapun, kita harus tabah menghadapinya.”

"Ya, Kakak Cie Hiong." Lim Ceng Im manggut-manggut sambil menahan isak tangisnya.

-oo0dw0oo-


Sebulan kemudian, Toan Wie Kie dan lainnya berpamit untuk pulang ke Tayli. Namun Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Hend dan Lam Kiong Soat Lan belum mau pulang ka Tayli, karena mereka ingin ikut ke pulau Hong Hoang To.

"Jadi kalian ingin ke pulau Hong Hoang To?” tanya Toan Wie Kie.

"Ya, Ayah." Toan Beng Kiat mengangguk.

"Itu...." Toan Wie Kie memandang Gouw Sian Eng seraya

bertanya, "Bagaimana menurutmu?"

"Kini ketua Kui Bin Pang telah tewas, berarti rimba persilatan telah aman," sahut Gouw Sian Eng. "Maka biarlah mereka ke pulau Hong Hoari To, mungkin hati kakak Cie Hiong dan Ceng Im akan terhibur."



"Ngmm!" Toang Beng Kiat manggut-mangguj kemudian berpesan kepada putranya, "Tapi kalian tidak boleh nakal di sana."

"Ya, Ayah." Toan Beng Kiat menganggii sambil tersenyum. "Kami sudah bukan anak kecil, bagaimana mungkin nakal?"

Toan Wie Kie tersenyum, lalu bersama yang lain berpamit kepada Sam Gan Sin Kay Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin, Tio Tay Seng, Lim Peng Uang dan lainnya. Setelah itu, berangkatlah mereka kembali ke Tayli.

Beberapa hari kemudian, pihak pulau Hong Hoaang To juga berpamit kepada Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang.

"Ayah," ujar Lim Ceng Im. "Kami mau pulang ke pulau Hong Hoang To!"

"Ng!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Ceng Im, jangan terus berduka, sebab kalau engkau terus berduka, akan mempengaruhi Cie Hiong!"

"Ya, Ayah." Lim Ceng Im mengangguk.

"Peng Hang," pesan Sam Gan Sin Kay. "Kalau engkau sudah merasa tua, lebih baik pilih sekarang untuk menggantimu dan engkau boleh tinggal di pulau Hong Hoang to."

"Ya, Ayah." Lim Peng Hang mengangguk sambil tersenyum. "Tunggu beberapa tahun lagi, aku pasti akan mengundurkan diri dari jabatanku."

"Baiklah." Sam Gan Sin Kay manggut-manggut

Sementara Tio Cie Hiong memandang Bu Ceng Sianli, lalu mendekatinya sambil memberi pesan.

"Maaf, Sianli! Sejak kita bertemu, aku samai sekali tidak mengucapkan terimakasih kepada Sianli," ujar Tio Cie Hiong.



"Sekarang aku mengucapkan terimakasih kepada Sianli, karena Sianli begitu baik terhadap Bun Yang."

"Tidak usah berterimakasih," sahut Bu Cengli Sianli sambil menghela nafas panjang. "Aku sangat menyayanginya, tentunya harus baik terhadapnya! Tapi kini dia sudah tiada...."

"Sianli," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Selama ini aku terus berpikir, dan semakin tidak yakin Bun Yang serta Goat Nio telah mati. Oleh karena itu, aku masih berharap dia kembali ke pulau Hong Hoang To."

"Mudah-mudahan!" sahut Bu Ceng Sianli. "Aku pun berharap begitu."

Sementara orang tua pincang terus-menerus memandang Sie Keng Hauw, setelah itu ia pula mendekati mereka.

"Keng Hauw!" panggilnya dengan suara rendah.

"Ada apa, Guru?" tanya Sie Keng Hauw heran "Engkau mau ikut ke pulau Hong Hoang To?'

Orang tua pincang balik bertanya sambil menatapnya dalam-dalam.

"Ya, Guru." Sie Keng Hauw mengangguk.

"Ngmm!" Orang tua pincang manggut-manggut. "Jadi engkau sungguh-sungguh mencintai Lie Ai Ling?"

"Ya, Guru." Sie Keng Hauw mengangguk lagi sambil memandang Lie Ai Ling yang berdiri di sisinya, sehingga wajah gadis itu tampak kemerah-merahan.

"Baiklah." Orang tua pincang manggut-manggut lagi dan tersenyum-senyum, kelihatan ia gembira sekali. "Kalau begitu, beberapa bulan kemudian, guru akan ke pulau Hong Hoang To menemui Lie Man Chiu untuk membicarakan pernikahan kalian."



"Guru...." Wajah Sie Keng Hauw langsung memerah. "Itu

terlampau cepat, lebih baik setahun Iagi "

"Aaaah...!" Orang tua pincang menghela nafas panjang. "Tak terduga sama sekali, Bun Yang dan Buat Nio...."

"Guru, mereka sedang menunggu kami."

"Cepatlah kalian susul mereka!"

"Guru," ucap Sie Keng Hauw. "Sampai jumpa'"

"Sampai jumpa, muridku!" sahut orang tua pincang. Setelah Sie Keng Hauw tidak kelihatan, barulah orang tua pincang itu kembali masuk.

"Aaaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Mereka sudah pulang ke Tayli dan pulau Hong Hoang To, kini cuma tinggal kita."

"Lim Pangcu," ujar orang tua pincang. "Aku mau pamit."

"Cepatlah engkau pergi!" sahut Bu Ceng Sianli ketus. "Semua itu gara-gara engkau!"

"Sianli...."            Orang    tua         pincang                menundukkan  kepala.

"Aku...."

"Sudahlah!" Bu Ceng Sianli menggeleng-gelengkan kepala. "Percuma aku terus menerus mempersalahkanmu!"

"Sianli, aku mohon diri, semoga kita semua akan berjumpa lagi dalam suasana yang menyenangkan!" ucap orang tua pincang, lalu melangkah pergi meninggalkan markas pusat Kay Pang.

"Aaaah...!" Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang. "Sebetulnya dia tidak bersalah, hanya saja tidak bisa melihat situasi."

"Sianli," ujar Lim Peng Hang. "Aku justru tidak habis pikir. Apakah benar Bun Yang dan Goat Nio sudah tewas?"



"Itu memang merupakan suatu teka-teki," sahut Bu Ceng Sianli. "Sebab kita tidak menemukan! mayatnya, sedangkan tidak mungkin mayatnya akan digondol binatang buas."

"Memang tidak mungkin." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Sebab tiada jejak binatang buas di dasar jurang itu, pertanda tiada binatang buas di sana."

"Tapi...."  Bu  Ceng  Sianli  mengerutkan  kening  "Kenapa

mayat mereka tidak berada di sana? Itu sungguh membingungkan. Mungkinkah mayat mereka tenggelam ke dasar telaga itu?"

"Setahuku...," sahut Gouw Han Tiong. "Mayat tidak akan tenggelam, melainkan malah terapung di permukaan air. Maka tidak mungkin Bun Yang dan Goat Nio mati di dalam telaga itu."

"Heran?" Lim Peng Hang terus menggelengkan kepala. "Mungkinkah Bun yang dan Goat Nio tidak mati?"

"Menurutku...," ujar Bu Ceng Sianli. "Bun Yang dan Goat Nio tidak berumur pendek, jadi tidak mungkin mereka berdua akan mati sedemikian muda."

Tiba-tiba Cian Chiu Lo Kay masuk ke dalam bersama seorang gadis, yakni Ngo Tok Kauwcu Phang Ling Cu, yang wajah gadis itu tampak pucat pias.

"Pangcu," Lapor Cian Chiu Lo Kay. "Ngo Tok Kauwcu ingin bertemu Pangcu."

"Ya," sahut Lim Peng Hang sambil manggut-manggut. "Ling Cu, silakan duduk!"

"Terimakasih!" ucap Ngo Tok Kauwcu sambil duduk. Sedangkan Cian Chiu Lo Kay segera mengundurkan diri dari situ.

"Ling Cu!" Lim Peng Hang memberitahukan. 'Wanita muda ini adalah Bu Ceng Sianli."



"Apa?" Ngo Tok Kauwcu terbelalak. "Kelihaiannya Sianli baru berusia dua puluhan. Padahal sesungguhnya...."

"Engkau sudah tahu berapa usiaku?" tanya Bu Ceng Sianli.

"Ya." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. "Adik Bun Yang memberitahukan kepadaku, maka akui tahu usia Sianli."

"Ling Cu!" Lim Peng Hang menatapnya. "Engkau sudah tahu tentang kejadian Bun Yang?"

"Tidak begitu jelas, justru itu aku ke ingin bertanya tentang Adik Bun Yang," ujar Ngo Tok Kauwcu. "Aku menerima berita bahwa Adik Bun Yang terjun ke jurang, dan mati di dasar jurang itu. Benarkah berita itu?"

"Benar." Lim Peng Hang manggut-manggut

"Haaah?  Adik  Bun  Yang...."  Ngo  Tok  Kauwcu  pingsan

seketika.

Bu Ceng Sianli segera mengurut urat di lehernya, berselang sesaat barulah Ngo Tok Kauwcu tersadar dari pingsannya.

"Adik Bun Yang? Adik Bun Yang...!" ucap Ngo Tok Kauwcu memanggil nama pemuda tersebut. "Adik Bun Yang...!"

"Tenanglah Ling Cu!" ujar Bu Ceng Sianli

"Sianli," tanya Ngo Tok Kauwcu. "Di mana makamnya?"

"Tidak ada makamnya," sahut Bu Ceng Sianli sambil menggeleng-gelengkan kepala dan menambahkan, "Dia mati di dasar jurang.''

"Dia dimakamkan di dasar jurang itu?"

"Ling Cu!" Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang. "Kami tidak berhasil menemukan mayatnya."

"Apa?" Wajah Ngo Tok Kauwcu pucat pula "Dia mati tanpa kuburan?"



"Kira-kira begitulah," sahut Bu Ceng Sianli dan melanjutkan, "Tapi kami justru tidak habis pikir tentang itu."

"Maksud Sianli?" Ngo Tok Kauwcu heran.

"Kalau dia mati di dasar jurang itu, tentunya ada mayatnya," ujar Bu Ceng Sianli. "Kami berjumlah puluhan orang telah memeriksa jurang itu, tapi tidak mememukan mayat Bun Yang maupun mayat Goat Nio."

"Mungkinkah mayat mereka telah digondol binatang buas?" tanya Ngo Tok Kauwcu.

"Tidak mungkin," Jawab Lim Peng Hang. "Sebab di dasar jurang itu tiada jejak binatang buas, berarti tiada binatang buas di sana."

"Kalau begitu...." Wajah Ngo Tok Kauwcu tampak berseri.

"Mungkin Adik Bun Yang masih hidup."

"Kami pun menduga begitu, dan itu yang kita harapkan," sahut Lim Peng Hang. "Kami berharap Bun Yang dan Goat Nio akan muncul di sini, namun sudah sekian lama kami menunggu, mereka berdua tak pernah muncul."

"Aaaah...!" keluh Ngo Tok Kauwcu. "Tidak mungkin Adik Bun Yang akan mati dengan cara begitu. Tidak mungkin."

-oo0dw0oo-


Bagian ke tujuh puluh lima

Menteri Ma tewas


Di saat Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu Ceng Sianli dan Ngo Tok Kauwcu sedang membicarakan masalah Tio Bun Yang dengan serius muncul Cian Chiu Lo Kay dan melapor.



"Pangcu, di luar ada seorang gadis ingin bertemu Bun Yang."

"Oh?" Lim Peng Hang tertegun. "Siapa gadis itu?"

"Gadis itu bernama Ma Giok Ceng. Dia bilang kenal baik dengan Bun Yang." Cian Chiu Lo Ka memberitahukan. "Bahkan katanya Bun Yang pernah berpesan, apabila ada urusan penting, dia boleh ke mari mencari Bun Yang."

"Kakek Lim!" Ngo Tok Kauwcu membertahukan. "Aku kenal dia, sebab Adik Bun Yang pernah membawanya ke markasku!"

"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggu "Lo Kay, cepat suruh dia masuk!"

"Ya, Pangcu." Cian Chiu Lo Kay segera keluar.

Tak seberapa lama kemudian, tampak seorang gadis melangkah ke dalam dengan wajah duka. Ketika melihat Ngo Tok Kauwcu, gadis itu langsung memanggilnya sambil menangis.

"Kakak Ling Cu!" Gadis itu memang Ma Giok Ceng, putri Menteri Ma. "Kakak Ling Cu...."

"Adik Giok Ceng!" sahut Ngo Tok Kauwcu sambil bangkit berdiri.

"Kakak Ling Cu!..." Ma Giok Ceng mendekap di dada Ngo Tok Kauwcu. "Kakak Ling Cu...."

"Ada apa?" tanya Ngo Tok Kauwcu sambil membelainya. "Kenapa engkau menangis? Apa yang telah terjadi?"

"Kakak Ling Cu, Ayahku... ayahku sudah meninggal," sahut Ma Giok Ceng dengan air mata berderai-derai.

"Apa?" Ngo To Kauwcu terperanjat. "Tenanglah! Mari kuperkenalkan, mereka adalah ketua dan Tetua Kay Pang serta Bu Ceng Sianli."



Ma Giok Ceng segera memberi hormat kepada mereka, lalu memandang Bu Ceng Sianli teraya berkata.

"Kakak Sianli sungguh cantik, aku yakin kakak Bun Yang pasti suka kepadamu."

"Giok Ceng!" Bu Ceng Sianli tersenyum getir. ”Kami boleh dikatakan sebagai kakak beradik."

"Oh?" Ma Giok Ceng menghela nafas panjang. ”Dia pun menganggapku sebagai adiknya."

Bu Ceng Sianli manggut-manggut, sedangkan Lim Peng Hang terus memandangnya dengan mala tak berkedip.

"Nona Ma, sebetulnya siapa engkau dan cara Bagaimana engkau berkenalan dengan Bun Yang?" tanya Lim Peng Hang.

"Ayahku adalah Menteri Ma." Ma Giok Ceng memberitahukan. "Pada waktu itu aku minggat dari rumah, di tengah jalan bertemu para penjahat, untung muncul Kakak Bun Yang menolongku."

"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut.

"Adik Giok Ceng!" Ngo Tok Kauwcu memandangnya seraya bertanya, "Bagaimana ayahmu mati?"

"Dibunuh para penjahat," jawab Ma Giok Ceng dan menutur. "Malam itu ketika aku baru mau tidur, mendadak aku mendengar suara yangl mencurigakan. Aku segera bangun dan keluar dari kamarku, aku melihat belasan orang berendap endap menuju kamar ayahku, yang semuanya ber senjata. Aku langsung membentak, maksudku agar mereka kabur, tapi mereka malah menyerangku Beberapa di antaranya mendobrak pintu kamar ayahku, dan tak lama terdengarlah suara jeritan ayahku. Aku menerobos masuk ke dalam kamal Ayahku sudah tergeletak bermandikan darah, tapi masih sempat berseru menyuruhku kabur, bahkan juga memberitahukan bahwa para pembunuh itu adalah anak buah menteri Bun, saingan berat ayahku."



"Aaaah...!" Ngo Tok Kauwcu menghela nafas panjang. "Itu sungguh tak disangka sama sekali”

"Untung kakak Bun Yang pernah mengajar ilmu silat tingkat tinggi, maka aku berhasil meloloskan diri," ujar Ma Giok Ceng melanjutkan

"Ialu aku langsung ke mari, tak terduga kakak Iing Cu juga berada di sini."

"Maksudmu mau tinggal di sini?" tanya Ngo tok Kauwcu.

"Ayahku telah mati dibunuh, aku... aku tidak punya tempat tinggal," sahut Ma Giok Ceng terisak-isak. "Karena itu, aku ke mari mencari kakak Hun Yang."

"Kenapa engkau tidak langsung ke markasku'.'" tanya Ngo Tok Kauwcu.

"Markas kakak berada di kota Kang Shi, sangat jauh sekali," ujar Ma Giok Ceng. "Lagi pula kakak Bun Yang pernah berpesan, apabila ada urusan penting, aku boleh ke mari mencarinya.

"Nona   Ma...."  Lim         Peng      Hang      menggeleng-gelengkan

kepala. "Jadi engkau masih belum tahu apa yang telah terjadi atas diri Bun Yang?"

"Haah?" Wajah Ma Giok Ceng langsung memucat. "Apa yang telah terjadi atas dirinya?"

'Dia terjun ke jurang...." Lim Peng Hang menutur tentang

kejadian itu dan menambahkan,”Hlingga kini kami masih tidak tahu pasti dia masih hidup atau sudah mati."

"Kakak Bun Yang...." Mendengar itu, Ma Giok Ceng nyaris

pingsan, kemudian menangis "Kenapa Kakak Bun Yang begitu bodoh? Aaaah? Kenapa dia membunuh diri dengan cara terjun ke jurang?"

"Cinta," sahut Bu Ceng Sianli. "Dia berbuat begitu karena cinta."



"Tapi...." Air mata Ma Giok Ceng berderai-derai. "Kalaupun

cinta, seharusnya tidak perlu begitu nekat membunuh diri. Sungguh bodoh kakak Bun Yang! Aaaah...!"

"Giok Ceng!" Bu Ceng Sianli menatapnya "Engkau pernah jatuh cinta?"

"Pernah." Ma Giok Ceng mengangguk.

"Jatuh cinta pada siapa?" tanya Bu Ceng Sianli.

"Kakak Bun Yang," jawab Ma Giok Cenj jujur. "Pertama kali melihatnya, aku langsung jatuh cinta kepadanya. Tapi dia memberitahukan kepadaku, bahwa dia sudah punya kekasih. Betapa sedih dan kecewanya hatiku, namun aku tidak punya pikiran untuk membunuh diri."

"Seandainya Bun Yang juga mencintaimu, hubungan kalian sudah sekian lama, lalu mendadajk Bun Yang jatuh ke jurang. Nah, bagaimana engkau?" tanya Bu Ceng Sianli mendadak.

"Aku... akan ikut mati," sahut Ma Giok Ceng sambil menundukkan kepala.

"Begitu pula Bun Yang, dia rela mati bersama kekasihnya itu." ujar Bu Ceng Sianli.

"Sungguh bahagia sekali Goat Nio! Sedangkan aku...." Ma

Giok Ceng mulai menangis sedih lagi

"Adik Giok Ceng!" Ngo Tok Kauwcu tersenyum. "Aku pun pernah jatuh cinta kepada Adik Bun Yang, bahkan dia pula yang menyembuhkan mukaku. Tapi setelah tahu dia punya kekasih, aku menjaga diri dari jarak. Sebab dia adalah pemuda baik, aku tidak sampai hati merusaknya. Karena Itu, aku menganggapnya sebagai adik."

"Aaaah...!" Ma Giok Ceng menghela nafas panjang.

"Hi hi hi!" Mendadak Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Sebelum bertemu Adik Bun Yang, aku malah bertemu Goat Nio. Tapi pada waktu itu aku tidak tahu gadis itu adalah



kekasihnya. Kemudian aku bertemu Adik Bun Yang dan seperti kalian, aku pun jatuh cinta kepadanya. Tapi di saat aku ingat akan usiaku, maka aku tersadar. oleh karena itu, aku pun menganggapnya sebagai adik."

"Kakak baru berusia dua puluhan?" Ma Giok Ceng menatapnya heran. "Kenapa barusan mengatakan begitu?"

"Giok Ceng!" Bu Ceng Sianli tersenyum. "Sesungguhnya usiaku sudah hampir sembilan puluh."

"Hah? Apa?" Ma Giok Ceng terbelalak. "Kakak kok bergurau sih?"

"Adik Giok Ceng!" Ngo Tok Kauwcu memberitahukan. "Bu Ceng Sianli, tidak bergurau, umurnya memang sudah hampir sembilan puluh...."

Ngo Tok Kauwcu menjelaskan mengenai apa yang dialami Bu Ceng Sianli, Ma Giok Ceng mendengar dengan mulut ternganga lebar.

"Karena itu..." sambung Bu Ceng Sianli. "Aku pun kembali muda dan itu sungguh merupakan suatu kemujizatan alam."

"Oooh!" Ma Giok Ceng manggut-manggut "Kakak sungguh beruntung!"

"Nona Ma'" Lim Peng Hang menatapnya sambil bertanya. "Apa rencanamu selanjutnya?"

"Entahlah." Ma Giok Ceng menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu."

"Adik Giok Ceng," usul Ngo Tok Kauwcu "Bagaimana kalau engkau ikut aku? Markasku sangat aman bagi dirimu."

"Terimakasih,    Kakak    Ling        Cu!         Tapi...."                Ma         Giok       Ceng

mengerutkan kening.

"Kenapa?" Ngo Tok Kauwcu menatapnya. "Engkau tidak mau tinggal di markasku?"



"Kakak Ling Cu, aku ingin balas dendam” sahut Ma Giok Ceng sungguh-sungguh.

"Itu sulit bagimu...." Ngo Tok Kauwcu. "Adik Giok Ceng,

aku harap engkau jangan cari mati” "Kakak Ling Cu, aku...."
"Aku punya usul," ujar Ngo Tok Kauwcu mendadak. "Mungkin engkau akan menerima usu! ku."

"Apa usulmu, kakak Ling Cu?"

"Adik Bun Yang dan aku kenal baik dengan Lie Tsu Seng. Kalau engkau ingin balas dendam terhadap menteri Bun, engkau harus bergabung dengan Lie Tsu Seng. Kita ke markasnya dan memberitahukan tentang kejadian Adik Bun Yang kepada Bibi Suan Hiang serta yang lain."

"Baik." Ma Giok Ceng mengangguk. "Aku bersedia bergabung dengan Lie Tsu Seng."

"Kapan kalian akan berangkat ke markas Lie Isu Seng?" tanya Lim Peng Hang.

"Sekarang," jawab Ngo Tok Kauwcu. "Sebab kami harus segera memberitahukan pada mereka tentang kejadian Adik Bun Yang."

"Baiklah." Lim Peng Hang manggut-manggut.

"Ling Cu!" Bu Ceng Sianli memandangnya seraya bertanya, "Engkau tahu berada di mana markas Lie Tsu Seng?"

"Kalau tidak salah, markas Lie Tsu Seng berada di pinggir kota Lam An. Ya kan?" sahut Ngo Tok Kauwcu.

"Betul." Bu Ceng Sianli mengangguk.

"Kakek Lim, Kakek Gouw, Sianli!" Ngo Tok Kauwcu bangkit dari duduknya. "Kami mohon pamit."

"Baiklah." Lim Peng Hang mengangguk. "Selamat jalan!"



Ma Giok Ceng juga berpamit kepada mereka, lalu mengikuti Ngo Tok Kauwcu meninggalkan markas pusat Kay Pang.

"Aaaah...!" Lim Peng Hang menggeleng-geleng kepala. "Tidak disangka begitu banyak gadis jatuh cinta pada Bun Yang, untung Bun Yang tidak mata keranjang! Tapi kini dia...."

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan., "Kalau aku tidak berpikir panjang, tentunya Adik Bun Yang sudah berada dalam pelukanku!"

"Sianli...." Gouw Han Tiong terbelalak.

"Justru Adik Bun Yang adalah pemuda baik dan berhati bajik, maka aku sangat menyayanginya, sehingga membuat aku berpikir panjang pula," ujar Bu Ceng Sianli sambil menghela nafas panjang. "Ketika Adik Bun Yang terjun ke jurang; aku pun ingin ikut terjun. Untung Si Pincang itu keburu mencegahku, kalau tidak, kini aku pun sudah mati di dasar jurang itu."

"Terimakasih, Sianli!" ucap Lim Peng Hang "Sianli begitu baik terhadap cucuku."

"Aaaah...!" Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang. "Aku kagum dan salut kepada Adik Bun Yang, dia begitu setia terhadap Goat Nio. Walau berada di belakang gadis itu, dia sama sekali tidak menyeleweng padahal begitu banyak gadis cantik mencintainya. Itu yang membuatku kagum dan salut kepadanya."

"Tapi sayang sekali." Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Kini Bun Yang sudah tiada."

"Mudah-mudahan dia dan Goat Nio masih hidup!" ucap Bu Ceng Sianli ambil bangkit dari tempat duduknya. "Maaf, aku mohon pamit!"

"Sianli...."            Lim         Peng      Hang      dan        Gouw    Han        Tiong

memandangnya, mereka berdua ingin menahannya tapi tidak berani membuka mulut.



"Sampai jumpa!" ucap Bu Ceng Sianli lalu melesat pergi.

Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang, kemudian menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas panjang.

"Seharusnya julukannya diganti...." Ujar Lim Teng Hang.

"Benar." Gouw Han Tiong manggut-manggut. "Harus diganti dengan Toh Ceng Sianli (Bidadari Kelebihan Perasaan)."

"Aku  tidak  menyangka...."  Lim Peng Hang menggeleng-

gelengkan kepala. "Begitu banyak gadis jatuh cinta kepada Bun Yang."

"Aaaah...!" Gouw Han Tiong menghela nafas panjang. "Kita tidak tahu Bun Yang sudah mati ataukah masih hidup."

-oo0dw0oo-


Jilid : 16

Di saat Lim Feng Hang dan Gnuw Han Tiong bercakap-cakap sambil menghela nafas panjang, tiba-tiba berkelebat sosok bayangan ke dalam, lalu berdiri di hadapan mereka.

"Siapa?" bentak Lim Peng Hang terkejut.

"Maaf!" sahut pendatang itu sambil memberi hormat. Ternyata dia masih muda, berusia dua puluh limaan. "Kedatanganku telah menggangu ketenangan Lim Pangcu dan Couw Tiangio."

"Siapa engkau?" tanya Lim Peng Hang sambil menatapnya tajam.

"Aku adalah Kim Coa Long Kun (Pendekar Pdang Ular Emas), kawan baik Tio Bun Yang."



"'Haah?" Bukan main terkejutnya Lim Peng Uang dan Gouw Han Tiong. "Silahkan duduk!"

"Terimakasih!" ucap Kim Coa Long Kun sambil duduk.

"Bun Yang telah menceritakan tentang dirimu," ujar Lim Peng Hang. "Tak disangka engkau ke mari hari ini."

"Lim Pangcu!" Kim Coa Long Kun menatapnya seraya berkata, "Bun yang boleh dikatakan sebagai adikku. Dia telah memberitahukan kepadaku tentang apa yang dialaminya."

"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut.|

"Belum lama ini..." ujar Kim Coa Long Kun dengan kening berkerut-kerut. "Aku mendengar suatu kabar yang sangat mengejutkan, yakni Adik Bun yang terjun ke jurang. Betulkah itu?"

"Betul." Lim Peng Hang mengangguk.

"Aaah...!" keluh Kim Coa Long Kun. "Kenapa dia begitu bodoh? Aku pun mendengar bahwa kekasihnya jatuh ke jurang itu, maka dia...."

"Tidak salah." Lim Peng Hang manggut-mang- gut, kemudian menutur sejelas-jelasnya mengenai kejadian itu.

"Adik     Bun        Yang...."               Kim        Coa        Long      Kun        menggeleng-

gelengkan kepala. "Jadi dia berhasil mem bunuh ketua Kui Bin Pang?"

"Ya." Lim Peng Hang menghela nafas pan jang. "Cinta! Karena cinta dia terjun ke jurang itu."

"Apakah Lim Pangcu dan lainnya sudah turun ke dasar jurang itu?"

"Kami berjumlah puluhan orang telah turun ke dasar jurang itu, tapi tidak menemukan mayat Bun Yang maupun mayat Goat Nio."



"Kalau begitu...." Kim Coa Long Kun mengerutkan kening.

"Itu masih merupakan teka teki. Bun Yang dan Goat Nio masih hidup, atau mati, justru tidak bisa dipastikan. Ya, kan?"

"Ya." Lim Peng Hang mengangguk.

"Mudah-mudahan Adik Bun Yang masih hidup, dia kawanku satu-satunya! Aku cocok dengannya..." ujar Kim Coa Long Kun sambil menghela nafas panjang dan menambahkan, "Dia pemuda baik, gagah dan berhati bajik."

"Oh ya!" Lim Peng Hang teringat sesuatu dan segeralah bertanya, "Engkau telah berhasil menyelidiki musuh-musuhmu?"

"Belum." Kim Coa Long Kun mengelengkan kepala. "Adik Bun Yang yang memberitahu kepada Lim Pangcu?"

"Ng!" Lim Peng Hang mengangguk. "Kim Coa I ong Kun, kami pihak Kay Pang bersedia membantumu menyelidiki musuh-musuhmu itu."

"Terimakasih, Lim Pangcu!" ucap Kim Coa Long Kun. "Tapi bukankah akan merepotkan pihak Kay Pang?"

"Tentu tidak," sahut Lim Peng Hang. "Engkau kawan baik Bun Yang, sudah barang tentu kami harus membantumu."

"Terimakasih, Lim Pangcu!" Kim Coa Long Kun langsung memberi hormat.

"Tapi...." Gouw Han Tiong memandangnya seraya berkata,

"Kami harus tahu bagaimana ciri- ciri musuh-musuhmu itu."

"Mereka berlima memakai topeng dan meng gunakan pedang, namun aku yakin mereka berlima adalah saudara kandung," ujar Kim Coa Long Kun. "Karena mereka saling memanggil kakak dan adik."

"Kalau begitu...." Gouw Han Tiong manggut- manggut. "Itu

tidak begitu sulit diselidiki. Mereka memakai topeng agar wajah mereka tidak dikenali. Maka aku berkesimpulan bahwa



mereka bukan penjahat, melainkan berasal dari perguruan atau keluarga yang terkenal."

"Terimakasih atas petunjuk Gouw Tianglo!" ucap Kim Coa Long Kun dengan wajah berseri. "Selama ini aku tidak memikirkan tentang ini, terimakasih!"

"Kim Coa Long Kun!" Gouw Han Tiong tertawa. "Dalam hal ini, kami pasti membantumu!"

"Terimakasih, terimakasih!" Kim Coa Long Kun bangkit dari duduknya. "Maaf, Lim Pangcu dan Gouw Tianglo, aku mohon pamit, sampai jumpa!"

Kim Coa Long Kun langsung melesat pergi. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong saling memandang, kemudian Lim Peng Hang berkata.

"Ternyata Kim Coa Long Kun bukan penjahat. Kelihatannya dia pun sangat setia kawan."

"Kita harus membantunya menyelidiki musuh- musuhnya itu," sahut Gouw Han Tiong. "Kita mencari lima bersaudara dari keluarga persilatan."

"Sementara ini kita belum bisa membantunya...." Lim Peng

Hang menghela nafas panjang. "Sebab aku masih terkenang Bun Yang."

"Aaaah...!" keluh Gouw Han Tiong. "Bun Yang dan Goat Nio...."

-oo0dw0oo-


Di tepi jurang di Tebing Selaksa Bunga, tampak sosok bayangan berdiri tak bergerak sama sekali, ternyata Bu Ceng Sianli.

"Adik Bun Yang...." gumamnya dengan air mala meleleh.

"Aku  tidak  menyangka  engkau  akan  berakhir  dengan  cara



begitu. Adik Bun Yang, sebetulnya engkau masih hidup atau sudah mati?"

Bu Ceng Sianli terisak-isak. Ia kelihatan sedih sekali dan kemudian bergumam lagi.

"Engkau adalah pemuda yang amat setia pada cinta, boleh dikatakan tiada duanya di dunia. Aku bangga sekali, karena engkau mau mengaku diriku sebagai kakakmu. Aku sungguh bangga sekali!" Bu Ceng Sianli terus bergumam. "Tapi kini... engkau sudah tiada, tidak mungkin engkau masih hidup."

Di saat bersamaan, terdengar suara langkah yang sangat ringan mendatangi tepi jurang itu. Segeralah ia melesat ke belakang pohon.

Muncul seorang pemuda berwajah dingin, yang tidak lain Kim Coa Long Kun. Sungguh di luar dugaan, Pendekar Pedang Ular Emas itu pun datang di Tebing Selaksa Bunga. Ia berdiri di tepi jurang, matanya memandang ke bawah sambil bergumam.

"Aaaah...! Sedemikian dalam jurang ini, bagaimana mungkin Adik Bun Yang bisa hidup?" Mata Kim Coa Long Kun mulai basah. "Adik Bun Yang, kita adalah sahabat juga boleh dikatakan sebagai saudara. Aku justru tidak menyangka engkau akan terjun ke jurang ini. Engkau... engkau sungguh setia pada kekasihmu! Aku... aku kagum kepadamu."

Bu Ceng Sianli yang bersembunyi di belakang pohon, terheran-heran mendengar gumaman pemuda itu, karena ia tidak kenal Kim Coa Long Kun.

"Adik Bun Yang..." gumam Kim Coa Long Kun lagi. "Kita bertemu cuma dua kali. namun rasa solidaritas kita sudah dalam sekali. Oleh karena itu, aku harus berkabung untukmu. Caraku berkabung yakni membunuh seratus penjahat rim ba persilatan, dikarenakan engkau dan Goat Nio mati gara-gara perbuatan penjahat."



Mendadak Kim Coa Long Kun membentak ambil menoleh ke arah pohon tempat Bu Ceng Sianli bersembunyi. "Siapa di situ?"

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan .ambil memunculkan diri. "Hei! Anak muda, cukup tajam pendengaranmu!"

"Eh?" Kim Coa Long Kun tertegun ketika melihat seorang gadis keluar dari balik pohon. "Siapa engkau? Kenapa bersembunyi di situ?"

"Aku adalah Bu Ceng Sianli, aku datang duluan. Karena mendengar suara langkah, maka aku segera bersembunyi di balik pohon itu."

"Bu Ceng Sianli..." gumam Kim Coa Long Kun. "Rasanya aku pernah mendengar julukan- in u."

"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan lagi. "Hi hi hi! Anak muda, beritahukanlah julukanmu!"

"Julukanku adalah Kim Coa Long kun."

"Oooh!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut. "Ternyata aku berhadapan dengan Pendekar Pedang Ular Emas yang sadis."

"Nona!" Kim Coa Long Kun menatapnya dingin. "Kenapa engkau berada di sini? Punya hubungan dengan Bun Yang?"

"Kalau tidak, bagaimana mungkin aku berada tli sini?" sahut Bu Ceng Sianli.

"Hm!" dengus Kim Coa Long Kun. "Adik Bun Yang sudah mati bersama kekasihnya, percuma engkau terus berada di sini."

"Lho?" Bu Ceng Sianli tertawa. "Memangnya kenapa aku tidak boleh berada di sini? Hanyi engkau yang boleh berada di sini?"



"Aku adalah sahabatnya, lagi pula kami sudah mengangkat saudara."

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan "Kim Coa Long Kun, tidak baik engkau ber bohong."

"Siapa yang berbohong?" Wajah Kim Cos Long Kun berubah dingin sekali. "Kalau aku tidah ingat engkau punya hubungan dengan Adik Bun Yang, lehermu sudah kuputuskan dengan pedang ku!"

"Wuaaah!" Bu Ceng Sianli tertawa. "Engkau sungguh sadis, belum apa-apa sudah mau pengga kepalaku!"

"Siapa suruh engkau omong sembarangan?" bentak Kim Coa Long kun. "Sekali lagi engkau omong yang bukan-bukan, sekali cabut pedangku, kepalamu pasti terpental!"

"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli menatapnya. "Tadi aku telah mendengar gumamanmu, maka aku bilang engkau berbohong. Karena engkau dan Bun Yang belum mengangkat saudara."

"Engkau...." Wajah Kim Coa Long Kun ke merah-merahan.

"Beritahukan, ada hubungan apa engkau dengan Adik Bun Yang?"

"Hubungan Kakak adik."

"Apa? Hubungan kakak adik?"

"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Aku menganggapnya sebagai adik, dan dia menganggapku sebagai kakak. Nah, bukankah hubungan kami adalah hubunggn kakak adik?"

"Bagaimana mungkin?" ujar Kim Coa Long Kun. "Engkau masih muda dan sangat cantik pula, tidak mungkin engkau tidak mencintainya."

"Terimakasih atas pujianmu!" ucap Bu Ceng Sianli sambil menghela nafas panjang. "Ketika pertama kali bertemu dia,



aku memang jatuh cinta kepadanya. Kemudian dia memberitahukan kepadaku bahwa dia sudah punya kekasih."

"Tentunya membuatmu kecewa sekali." ujar Kim Coa Long Kun dan menambahkan, "Adik IJun Yang benar, dia harus berterus terang kepadamu."

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Bun Yang adalah pemuda baik dan berhati bajik, maka aku pun harus tahu diri dan ingat akan usiaku."

"Usiamu?" Kim Coa Long Kun menatapnya. "Bukankah usiamu baru dua puluhan?"

"Kalau aku beritahukan, mungkin engkau tidak akan percaya," ujar Bu Ceng Sianli melanjutkan, "Sesungguhnya usiaku sudah mendekati kepala sembilan."

"Mendekati kepala sembilan?" Kim Coa Long kun terbelalak. "Maksudmu mendekati usia sembilan puluh?"

"Ya." Bu Ceng Sianli mengangguk.

"Itu bagaimana mungkin?" Kim Coa Long Kun tidak percaya.

"Aku tidak bohong," ujar Bu Ceng Sianli, lalu menutur tentang apa yang dialaminya.

Kim Coa Long Kun mendengarkan dengan mulut ternganga lebar, kelihatannya ia masih kurang percaya.

"Sungguhkah itu?" tanyanya.

"Percuma aku bohong," sahut Bu Ceng Sianli, kemudian menghela nafas panjang. "Aku ke maii untuk mengenangnya."

"Oh ya!" Kim Coa Long Kun teringat sesuatu "Sianli, bagaimana menurutmu mengenai kejadian Adik Bun Yang?"

"Maksudmu?"



"Maksudku Bun Yang dan Goat Nio sudah mati atau masih hidup?"

"Itu memang suatu teka teki," sahut Bu Ceng Sianli sambil mengerutkan kening. "Sebab kami tidak menemukan mayat Bun Yang maupun Goal Nio!"

"Aku sudah dengar dari Lim Pangcu," ujai Kim Coa Long Kun menambahkan. "Itu memang membingungkan. Namun kalau Bun Yang masih hidup, tentunya dia sudah ke markas pusat Kay Pang."

"Kami memang merasa tidak habis pikir...." Bu Ceng Sianli

menggeleng-geleng kepala.

"Hm!" dengus Kim Coa Long Kun dingin "Aku bersumpah akan membunuh seratus penjahat."

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan "Aku setuju."
"Baiklah!" Kim Coa Long Kun memberi hormat, lalu mendadak melesat pergi.

Bu Ceng Sianli terus tertawa. "Bagus, bagus! Kim Coa Long Kun akan membantai seratus penjahat...!"

Bu Ceng Sianli melesat pergi. Apa yang dikatakan Kim Coa Long Kun memang dilaksanakannya. Dia membantai seratus penjahat. Hal itu membuat namanya sangat ditakuti para penjahat! Tapi setelah itu, ia pun menghilang entah ke mana, sama sekali tiada kabar beritanya lagi.

-oo0dw0oo-


Bagian ke tujuh puluh enam Utusan Manchuria



Ngo Tok Kauwcu dan Ma Giok Ceng telah tiba di markas Lie Tsu Seng. Betapa gembiranya Yo Suan Hiang, Tan Giok Lan, Lie Tsu Seng dan lainnya menyambut kedatangan keduanya. Tapi ketika menyaksikan wajah mereka berdua, Yo Suan Hiang dan Tan Giok Lan tersentak, sebah wajah Ngo Tok Kauwcu dan Ma Giok Ceng tampak murung sekali.

"Bibi Suan Hiang!" panggil Ngo Tok Kauwcu sekaligus memberi hormat pada mereka, lalu memperkenalkan mereka pula. "Ini Ma Giok Ceng, putri kesayangan Menteri Ma."

"Hah?" Yo Suan Hiang terbelalak. "Gadis ini putri kesayangan Menteri Ma?"

"Betul." Ngo Tok Kauwcu mengangguk, sedangkan Ma Giok Ceng segera memberi hormat pada mereka.

"Ayahku sudah tewas." Ma Giok Ceng memberitahukan sambil terisak-isak, kemudian menuturku tentang kejadian itu.

Yo Suan Hiang menghela nafas panjang. "Jadi kini Menteri Bun yang berkuasa di istana?"

"Ya!" Ma Giok Ceng mengangguk. "Sebetulnya ayahku sangat jahat, tapi setelah bertemu kakak Bun Yang, ayahku tidak begitu mencampuri urusan istana lagi. Tapi... malah dibunuh oleh anak buah Menteri Bun."

"Engkau kenal Bun Yang?" tanya Tan Giok Lan.

Ma Giok Ceng mengangguk. "Dia yang menolong aku." "Oooh!" Tan Giok Lam manggut-manggut.

Sementara Lie Tsu Seng diam saja. Beberapa saat kemudian baru dia membuka mulut.

"Bagaimana Bun Yang? Dia baik-baik saja dan sudah berkumpul dengan Goat Nio?"

"Dia memang sudah berkumpul dengan Goat Nio," ujar Ma Giok Ceng sambil menangis. "Aku... aku sedih sekali."



"Giok Ceng!" Yo Suan Hiang tersenyum. "Engkau mencintai Bun Yang?"

"Aku memang mencintainya, tapi begitu tahu dia sudah punya kekasih, maka aku menganggapnya sebagai kakak," jawab Ma Giok Ceng dengan air mata berderai-derai.

"Kalau begitu, seharusnya engkau bergembira karena mereka berdua sudah berkumpul kembali." ujar Yo Suan Hiang. "Tapi, kenapa engkau bersedih?"

Ma Giok Ceng terisak-isak sedih. "Kakak Bun Yang dan Goat Nio berkumpul di alam baka..." ujarnya menjelaskan.

Betapa terkejutnya Yo Suan Hiang, Tan Giok Lan dan lainnya. "Maksudmu mereka sudah mati?"

Ma Giok Ceng mengangguk dengan air mata bercucuran.

"Bun Yang...," Yo Suan Hiang nyaris pingsan. Begitu pula Tan Giok Lan. Gadis itu pun nyaris pingsan seketika.

"Ling Cu," Yo Suan Hiang memandangnya dengan air mata meleleh. "Engkau tahu jelas tentang itu?"

Ngo Tok Kauwcu mengangguk, lalu menutui sejelas-jelasnya tentang kejadian tersebut.

"Maka kami datang untuk memberitahukan,' tambah Ma Giok Ceng dengan air mata berlinang^ linang.

"Aaaah...," Yo Suan Hiang menghela nafas panjang. "Ini sungguh di luar dugaan!" ,

"Mayat Adik Bun Yang tidak diketemukan mungkinkah Adik Bun Yang belum mati?" gumam Tan Giok Lan.

"Semula pihak Kay Pang, Pulau Hong Hoang To, dan pihak Tayli juga berpendapat begitu Tapi...," Ngo Tok Kauwcu menggeleng-geleng kepala. "Bun Yang dan Goat Nio tidak muncul, itu membuat mereka jadi putus harapan."



"Adik Bun Yang...," Tan Giok Lan menangis sedih. "Aku tidak percaya! Aku tidak percaya Adik Bun Yang sudah mati! Aku tidak percaya!"

Karena Tan Giok Lan mulai menangis sedih, membuat Yo Suan Hiang, Ngo Tok Kauwcu, dan Ma Giok Ceng pun ikut menangis.

Sementara Lie Tsu Seng diam saja. Hanya sepasang matanya telah basah dan dia terus- menerus menghela nafas panjang.

Berselang beberapa saat kemudian, barulah reda isak tangis itu. Lie Tsu Seng berkata.

"Kami semua turut berduka cita. Bun Yang adalah pemuda baik, gagah, dan berhati bajik. Tak disangka akan mengalami nasib itu."

"Tapi...." ujar Tan Ju Liang mendadak, "Menurut aku, Bun

Yang masih hidup. Dia tidak mungkin berumur pendek begitu. Lagipula tidak ditemukan mayatnya."

"Tapi sudah sekian lama dia tidak kembali ke markas Pusat Kay Pang, itu pertanda dia sudah iiada," ujar Ngo Tok Kauwcu sambil menggeleng- gelengkan kepala dan melanjutkan, "Kalaupun mengalami luka parah, tentunya dia sudah kembali ke markas Pusat Kay Pang!"

"Mungkin lukanya itu belum sembuh," sahut Tan Ju Liang. "Mudah-mudahan!" ucap Yo Suan Hiang, kemudian memandang Ma Giok Ceng seraya bertanya. "Giok Ceng, apa rencanamu sekarang?"

"Ayahku sudah tewas, maka aku ingin bergabung saja di sini," jawab Ma Giok Ceng sungguh-sungguh.

"Oh?" Yo Suan Hiang menatapnya dalam- dalam. "Engkau adalah putri almarhum Menteri Ma, bagaimana mungkin engkau bergabung dengan kami yang dicap sebagai pemberontak?"



"Aku ingin balas dendam!" ujar Ma Giok ("eng. "Karena itu, aku harus bergabung di sini."

"Bagus, bagus! Ha ha ha...!" Lie Tsu Seng tertawa gelak. "Apabila Menteri Bun dapat ditangkap kelak, pasti kuserahkan padamu!"

"Terima kasih, Paman," ucap Ma Giok Ceng.

"Oh ya!" Lie Tsu Seng memandangnya. "Betulkah ayahmu mulai berubah baik setelah bertemu Bun Yang?"

"Betul!" Ma Giok Ceng mengangguk. "Ayahku berharap, Bun Yang memperisteriku, bahkan juga batal bersekongkol dengan pihak Manchuria!"

"Oh?" Lie Tsu Seng terbelalak, kemudian manggut-manggut. "Itu adalah jasa Bun Yang, tapi akhirnya menteri Ma mati dibunuh juga."

"Itu karena ayahku memprotes usul Menteri Bun dihadapan kaisar, maka Menteri Bun mengutus belasan orang untuk membunuh ayahku." Ma Giok Ceng memberitahukan.

"Menteri Bun mengajukan usul apa pada kaisar?" tanya Yo Suan Hiang.

"Sebetulnya sudah lama ayahku merencanakan itu, tapi setelah bertemu kakak Bun Yang, rencana itu dibatalkannya." jawab Ma Giok Ceng dan melanjutkan, "Menteri Bun mengusulkan pada kaisar, agar bekerja sama dengan pihak Manchuria untuk menghancurkan para pemberontak."

"Bagaimana cara bekerjasama itu?" tanya Yo Suan Hiang.

"Menteri Bun akan meminjam pasukan Manchuria untuk menyerang para pemberontak, karena itu ayahku memprotes keras." jawab Ma Giok Ceng.

"Oooh!" Yo Suan Hiang manggut-manggut. "Baiklah, engkau boleh bergabung dengan kami."



"Terima kasih, Bibi!" Ma Giok Ceng segera memberi hormat pada semuanya yang berada di situ.

"Adik Giok Ceng," ucap Ngo Tok Kauwcu. Selamat berjuang demi rakyat!"

"Terima kasih!" Ma Giok Ceng mengangguk.

"Maaf!" ucap Ngo Tok Kauwcu sambil bangkit berdiri. "Aku tidak bisa lama-lama di sini. Sebab masih ada urusan lain yang harus kuselesaikan, aku mohon pamit. Sampai jumpa!"

Mendadak Ngo Tok Kauwcu melesat pergi, Ma Giok Ceng langsung berteriak memanggilnya.

"Kakak Ling Cu! Kakak Ling Cu...!"

"Giok Ceng!" Yo Suan Hiang menggeleng- geleng kepala. "Percuma engkau berteriak memanggilnya, dia sudah jauh."

"Aaaah...," keluh Ma Giok Ceng dengan wajah murung. "Ayahku mati dibunuh, sedangkan Kakak Bun Yang terjun ke jurang. Goat Nio sungguh bahagia, kani dia telah berkumpul dengan Kakak Bun Yang. Sebaliknya, kita kehilangannya."

"Tidak mungkin! Tidak mungkin...," gumam Lie Tsu Seng mendadak. "Tidak mungkin Bun Yang sudah mati! Itu tidak mungkin."

-oo0dw0oo-


Sementara itu, di kediaman Menteri Bun tampak meriah dan semarak suasananya.

Terdengar pula suara tawa gelak bernada gembira. Ternyata Menteri Bun menjamu beberapa tamu terhormat. Mereka para utusan dari Manchuria, yaitu Kim Ih Hoat Ong (Pendeta Jubah Emas), beliau adalah guru besar di Manchuria, kepandaiannya sudah sulit diukur lagi berapa tingginya. Kim Ih Hoat Ong juga membawa Cap Sah Sin Eng (Tiga Belas Elang



Sakti) yang berkepandaian tinggi sekali, ikut pula Pancha Putra Raja Manchuria.

"Ha ha ha!" Menteri Bun tertawa gembira. "Aku tidak sangka kalian sedemikian cepat tiba di sini!"

"Karena Menteri Bun yang mengundang, maka kami harus melakukan perjalanan siang malam agar cepat tiba di sini," sahut Pancha. "Namun kami tidak tahu, bagaimana cara kerjasama kita itu?"

"Tentunya kalian sudah tahu, telah terjadi pemberontakan di kerajaan kami. Oleh karena itu, kami mohon bantuan kalian," ujar Menteri Bun.

"Bagaimana kami membantu?" tanya Pancha.

"Aku sudah berunding dengan kaisar. Atas persetujuan kaisar, aku ingin pinjam pasukan kalian," jawab Menteri Bun dengan suara rendah.

"Ha ha ha!" Pancha tertawa gelak. "Untuk apa menteri Bun ingin pinjam pasukan dari kami?"

"Untuk menumpas para pemberontak!" sahut menteri Bun.

"Apakah pasukan di sini sudah begitu lemah, tidak mampu menumpas para pemberontak itu?" tanya Pancha bernada menyindir. Hingga harus pinjam pasukan kami?"

"Perlu diketahui, para pemberontak itu terdiri dari kaum pesilat yang berkepandaian tinggi."

"Ha  ha  ha!  Ha  ha  ha...."  Mendadak  Kim  Ih  Hoat  Ong

tertawa gelak memekakkan telinga. "Menteri Bun, sejak aku lahir tidak pernah memasuki daerah Tionggoan. Namun aku sudah pernah ke Thian Tok (India), Turki, Persia, dan Nepal. Aku terus merantau menuntut ilmu silat, tujuanku untuk mengalahkan para jago di rimba persilatan Tionggoan. Aku harap menteri Bun \udi memberitahukan tentang para jago itu."



"Baik!" Menteri Bun mengangguk, kemudian memandang salah seorang pengawalnya. "Engkau beritahukan pada Kim Ih Hoat Ong!"

Pengawal itu segera memberitahukan. "Di rimba persilatan Tionggoan terdapat tujuh partai besar dan satu Kay Pang (Partai Pengemis). Para ketua rata-rata berkepandaian tinggi."

"Aku sudah tahu itu!" Potong Kim Ih Hoat Ong. "Yang ingin kutahu adalah orang yang berkepandaian paling tinggi masa ini, sebab kepandaian para ketua masih berada jauh di bawah kepandaianku!"

"Yang berkepandaian paling tinggi adalah Tio Bun Yang, putra kesayangan Pek Ih Sin Hiap Tu Cie Hiong yang bermukim di Pulau Hong Hoan| To. Tapi belum lama ini tersiar berita, bahw; Giok Siauw Sin Hiap Tio Bun Yang terjun kt jurang, mati atau hidupnya merupakan suatu teki teki," Pengawal itu memberitahukan. "Di rimb; persilatan juga telah muncul Bu Ceng Sianli, yan| kepandaiannya sangat tinggi sekali, cantik dar masih muda."

"Oh?" Pancha tampak tertarik sekali. "Berapa usianya?"

"Dua puluhan," sahut pengawal itu dan mc nambahkan, "Para penghuni Pulau Hong Hoanj To rata-rata berkepandaian tinggi sekali."

"Siapa mereka itu?" tanya Kim Ih Hoat Ong

"Mereka adalah majikan Pulau Hong Hoani To, Tio Cie Hiong, Lim Ceng Im, Sam Gan Sin Kay, Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin dan lainnya," jawab pengawal itu. "Kepandaian mereka sungguh tinggi sekali, namun mereka sudah tidak mencampuri urusan rimba persilatan lagi."

"Kalau begitu, sayang sekali!" ujar Kim Ih Hoat Ong. "Aku mau menyertai Pancha ke mari, justru ingin mengalahkan para jago di Tionggoan ini."



"Bagaimana kalau Hoat Ong bertanding dengan para ketua tujuh partai besar?" tanya pengawal itu mendadak,

"Percuma." Kim Ih Hoat Ong menggelengkan, kepala. "Aku yakin dapat mengalahkan mereka 5 dalam tiga puluh jurus."

"Apa?" Pengawal itu terbelalak. "Hoat Ong dapat mengalahkan para ketua itu dalam tiga puluh jurus?"

"Engkau tidak percaya?" tanya Kim Ih Hoat Ong sambil tertawa.

"Maaf!" sahut pengawal itu. "Terus terang, aku memang kurang percaya, sebab para ketua i itu berkepandaian tinggi."

"Siapa ketua partai Siauw Lim?" Tanya Kim Ih Hoat Ong mendadak.

"Hui Khong Taysu."

"Seandainya engkau bertanding melawannya, apakah engkau mampu bertahan berapa lama?"

"Mungkin cuma kuat bertahan sampai seratus lurus."

"Ngmm!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut, kemudian berkata, "Aku tetap duduk di sini, engkau boleh menyerang aku dengan senjata. Mari kita lihat engkau mampu bertahan berapa jurus!"

"Tapi...." Pengawal itu memandang menteri Bun.

"Turutilah Hoat Ong!" ujar menteri Bun, yang memang ingin menyaksikan kepandaian Kim Ih Hoat Ong.

"Ya." Pengawal itu mengangguk, lalu berdiri di hadapan Kim Ih Hoat Ong, sekaligus menghunus pedangnya. "Maaf!"

Pengawal itu langsung menyerangnya, namun mendadak badan Kim Ih Hoat Ong meluncur ke atas, sehingga membuat pengawal tersebut menyerang tempat kosong. Secepat kilat pedangnya menyerang ke atas.



Kim Ih Hoat Ong tertawa, kemudian sebelah kakinya menendang pedang itu, sekaligus mengibaskan lengan jubahnya. Pengawal itu terdorong ke belakang beberapa langkah sedangkan Kim Ih Hoat Ong duduk kembali di kursinya.

Betapa terkejutnya pengawal itu. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Kim Ih Hoat Ong berkepandaian begitu tinggi. Mendadak ia memekik keras, lalu menyerangnya dengan ilmu pedang andalannya.

"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak, dan sekonyong-konyong badannya terangkat ke atas bersama kursi yang didudukinya.

Ia berputar-putar ke sana ke mari, sedangkan pengawal itu terus menyerangnya dengan jurus jurus mematikan. Di saat itulah Kim Ih Hoat Ong membentak keras, sekaligus mengibaskan lengan jubahnya. Seketika juga pengawal itu terpental beberapa depa dan pedangnya sudah menjadi beberapa potong.

Bukan main terkejutnya pengawal itu, dan metelah berdiri tegak, wajahnya pun tampak pucat pias.

"Bagaimana?" tanya Kim Ih Hoat Ong. "Aku , cuma menggunakan tangan kosong, sedangkan engkau menggunakan pedang. Engkau cuma mampu bertahan berapa jurus?"

"Dua puluh jurus," sahut pengawal itu jujur.

"Kalau aku bersungguh-sungguh, engkau cuma mampu bertahan kurang lebih sepuluh jurus," ujar Kim Ih Hoat Ong.

"Ya." Pengawal itu manggut-manggut.

"Ha ha ha!" Menteri Bun tertawa gelak. "Agar menarik perhatian para jago di rimba persilatan Tionggoan, Hoat Ong harus mengalahkan ketua partai Siauw Lim. Sebab partai Siauw Lim sangat terkenal."



"Betul." Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut. "Aku harus membuat kegemparan di rimba persilatan Tinggoan! Ha ha ha...!"

"Oh ya!" Menteri Bun menatapnya sambil berkata, "Hoat Ong masih tampak gagah, sebetulnya dia berusia berapa?"

"Menteri Bun," sahut Pancha sambil tertawa. "Hoat Ong sudah berusia seratus lebih."

"Apa?" menteri Bun terbelalak. "Tapi Hoat Ong kelihatan seperti berusia enam puluhan."

"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak. "Menteri Bun harus tahu, sejak kecil aku sudah belajar ilmu silat, bahkan tidak pernah menyentuh kaum wanita. Di samping itu, aku pernah makan semacam buah langka yang menambah lweekang- ku!"

"Oooh!" Menteri Bun manggut-manggut. "Ohya, kenapa Hoat Ong tidak pernah memasuki daerah Tionggoan?"

"Karena aku tahu banyak orang berkepandaian tinggi di rimba persilatan Tionggoan, dan aku tidak mau mempermalukan diri sendiri. Maka sebelum berkepandaian tinggi, aku tidak akan memasuki daerah Tionggoan." Kim Ih Hoat Ong memberitahukan. "Sebetulnya aku sudah malas terhadap urusan rimba persilatan, tapi ayah Pancha terus-menerus bermohon kepadaku untuk mengajar di istana. Akhirnya aku mengabulkannya. Ayah Pancha girang sekali, sehingga menghadiahkan jubah emas ini padaku."

"Setelah itu..." tambah Pancha. "Ayah mengutus kami ke mari menemui menteri Bun. Kebetulan sekali juga merupakan kesempatan Hoat Ong untuk menggemparkan rimba persilatan Tionggoan. Ha ha ha...!"

"Kalau begitu...." Menteri Bun memandang mereka. "Kapan

kalian akan berangkat ke kuil Siauw Lim?"



"Besok pagi," sahut Kim Ih Hoat Ong, lalu tertawa gelak. "Ha ha ha...!"

-ooo0dw0ooo-


Belasan hari kemudian, tersiarlah berita yang sangat menggemparkan rimba persilatan bahwa ketua partai Siauw Lim, Butong dan Kun Lun dikalahkan oleh Kim Ih Hoat Ong, Koksu (Guru Istana) Manchuria. Pihak Kay Pang juga mendengar berita tersebut. Dapat dibayangkan betapa terkejutnya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong.

"Apa yang dikatakan M a Giok Ceng tempo hari memang benar, kini putra raja Manchuria, Kim Ih Hoat Ong dan Cap Sah Sin Eng mulai mengacau di rimba persilatan Tionggoan," ujar Lim Peng Hang sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Sungguh tinggi kepandaian Kim ih Hoat Ong!" sahut Gouw Han Tiong dengan kening berkerut-kerut. "Dia mampu mengalahkan ketiga ketua itu dalam dua puluh lima jurus. Itu sungguh di luar dugaan!"

"Mungkinkah dia masih berniat mengalahkan ketua partai lain?" tanya Lim Peng Hang meminta pendapat Gouw Han Tiong.

"Menurut aku..." ujar Gouw Han Tiong selelah berpikir beberapa saat. "Dia tidak akan mengalahkan ketua partai lain lagi."

"Kenapa?" tanya Lim Peng Hang heran.

"Sebab...." Gouw Han Tiong menjelaskan. "Kim Ih Hoat

Ong mengalahkan ketiga ketua itu, semata-mata hanya untuk mempermalukan kaum rimba persilatan Tionggoan dan menghendaki munculnya pesilat tangguh melawannya."

"Ngmm!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Tidak salah, tujuannya memang beg1' u."



"Mungkin juga, Kim In Hoat Ong itu akan ke mari." ujar Gouw Han Tong melanjutkan.

"Kalau begitu, kita harus bersiap-siap," sahut Lim Peng Hang, kemudian menghela nafas panjang. "Aaaah, terjadi kendala lagi dalam rimba persilatan!"

Gouw Kan Tong mengalihkan pembicaraan. "Belum lama ini .. Kim Coa Long Kun telah membanta," seratus penjahat lalu menghilang. Entah apa sebabnya, dia membantai para penjahat itu."

"Karena itu para penjahat yang masih hidup segera bersembunyi Memang sadis sekali Kini Coa Long Kun itu." tambah Lim Peng Hang

Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Hingga kini Bun Yang dan Goat Nio tiada kanar beritanya, mereka berdua sudah mati."

"Tiada harapan lagi Gouw Han Tong menghela nafas panjang "Sudah sekian lama dia tidak kembali, dia... dia pasti sudah tiada."

"Entah bagaimana keadaan Cie Hiong dan putriku di Pulau Hong Hoang To, apakah mereka tabah menghadapi kenyataan itu?" gumam Lim Peng Hang lalu menghela nafas panjang. "Ingin rasanya aicu ke Pulau Hong Hoang To menengok mereka...."

Ucapannya terhenti karena dikejutkan oleh berkelebatnya sosok bayangan memasuki markas.

"Siapa?" bentak Lim Peng Hang.

"Maaf!" Terdengar suara sahutan dan tampak berdiri seorang gadis yang ternyata adalah Ngo Tok Kauwcu-Phang Ling Cu. "Kakek Lim, Kakek Gouw!"

"Oh! Ling Cu!" Lim Peng Hang manggut-manggut. "Duduklah!"



"Terimakasih, Kakek Lim!" ucap Ngo Tok Kauwcu sambil duduk.

"Ling Cu!" Gouw Han Tiong menatapnya sambu bertanya, "Ada suatu yang penting?"

"Kakek Gouw sudah mendengar berita tentang Kim Ih Hoat Ong mengalahkan ketua partai Siauw Lim dan ketua partai lainnya?"

"Kami sudah mendengarnya," sahut Gouw Han Tiong dan menambahkan. "Pancha, putra raja Vlanchuria, Kim Hoat Ong dan Cap Sah Sin Eng berada di rumah Menter Run sebagai tamu terhormat, mereka adalah utusan raja Manchuria."'

"Betul." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. "Aku khawatir Kim Ih Hoat Ong dan lainnya akan ke mari, maka aku segera ke sini bermaksud membantu."

"Terimakasih, Ling Cu!" ucap Lim Peng Hang, kemudian menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata. "Tentunya engkau pun ingin bertanya tentang Bun Yang dan Goat Nio, bukan?"

"Ya." Ngo Tok Kauwcu mengangguk.

"Tiada kabar beritanya, kelihatannya sudah tiada harapan."

Lim Peng Hang menghela nafas panjang "Aaaah...!"

"Kakek Lim!" kening Ngo Tok Kauwcu berkerut. "Aku tetap tidak percaya kalau Bun Yany telah mati. Aku tetap tidak percaya."

"Mau tidak mau engkau harus percaya, sebab hingga saat ini Bun Yang dan Goat Nio tidak kemari," ujar Lim Peng Hang dengan wajah murung "Sudah sekian lama, bagaimana mungkin mereka masih hidup?"

"Kita semua masih dalam duka malah muncul Kim Ih Hoat Ong. Sungguh di luar dugaan'" ujar Gouw Han Tiong.



"Kepandaian Kim Ih Hoat Ong tinggi sekali Dia mampu mengalahkan tiga ketua itu hanya dalam dua puluh lima jurus." Ngo Tok Kauwcu memandang mereka dan bertanya, "Apakah Kakek Lun dan KakeK Gouw sanggup melawan Kim Ih Hoat Ong itu?"

"Kalaupun kami bergabung melawannya, aku yakin kami berdua pasti kalah," sahut Lim Peng Hang jujur

"Oh?" Air muka Ngo Tok Kauwcu berubah "Bagaimana k a kalau seandainya Kim Ih Hoal Ong ke mari''"

"Tentunya harus melawannya." Lim Peng Hang tersenyum getir. "Kelihatannya Kun Ih Hoat Ong itu hanya ingin menaklukkan pesilat tangguh dalan rimba persilatan Tionggoan. karena dia tidak membunuh."

"Menurut aku..." ujar Gouw Han Tiong. "Kim Ih Hoat Ong tidak akan ke maki atau ke pariai .ain, karena dia punya suatu rencana."

"Oh?" Lim Peng Hang memandangnya. "Rencana apa itu?"

"Aku tidak bisa mengatakan secara pasti," sahut Gouw Han Tiong "Yang jelas dia mempunyai rencana busuK."

"Aku justru tidak habis pikir," ujar Lim Peng Hang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tujuan Kim Ih Hoat Ong dan liannya ke Tionggoan hanya urusan kerajaan, kenapa Kim Ih Hoat Ong malah mengusik ketiga ketua itu?"

"Memang mengheiankan " Gouw Han Tiong mengerutkan kening. "Tentunya ada sesuatu dibalik itu Maka, sebaiknya kita tunggu perkembangan selanjutnya."

"Betul." Lim Peng Hang manggut-manggut.

"Kakak Lim," tanya Ngo Tok Kauwcu mendadak. "Bolehkah aku tinggal di sini beberapa hari?"

"Tentu boleh, tentu boleh," jawab Lim Peng Hang dan menambahkan, "Kami sangat berterima kasih atas



kesediaanmu tinggal di sini beberapa hari, mudah mudahan ada kabar beiita tentang Bun Yang!"

"Kakek  Lim...."  Wajah   Ngotok Kauwcu                agak       kemerah-

merahan. "Aku tetap tidak percaya kalau adik Bun Yang telah mati, aku tidak percaya sama sekali. Aku harap dia dan Goat Nio akan muncul di sini!"

"Mudah-mudahan!" ucap Lim Peng Hang. "Itu yang kita harapkan."

-oo0dw0oo-


Bagian ke tujuh puluh tujuh Pertarungan yang menegangkan

Di ruang tengah rumah Menteri Bun, tampak belasan orang sedang bersulang sambil tertawa tawa. Mereka adalah Pancha, Kim Ih Hoat Ong, Cap Sah Sin Eng dan tuan rumah sendiri.

"Ha ha ha!" Menteri Bun tertawa gelak. "Kini nama Hoat Ong sudah membubung tinggi di rimba persilatan Tionggoan!"

"Aku tidak menyangka sama sekali kalau kepandaian ketiga ketua partai itu cuma begitu saja!" ujar Kim Ih Hoat Ong sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak sampai dua puluh lima jurus telah kukalahkan."

"Itu pertanda kepandaian Hoat Ong tinggi sekali," sahut Menteri Bun dan tertawa lagi, kemudian bertanya. "Apakah Hoat Ong masih ber niat mengalahkan ketua partai lain?"

"Tidak perlu," jawab Kim Ih Hoat Ong. "Aku lelah mengalahkan ketiga ketua itu, maka aku yakin tidak lama lagi akan muncul pesilat tangguh melawanku. Ha ha ha...!"



"Oh ya!" Menteri Bun memandang mereka seraya bertanya. "Sudah sekian lama kalian berada di sini, apakah aku perlu memanggil beberapa wanita cantik untuk melayani kalian?"

"Aku tidak perlu," sahut Kim Ih Hoat Ong. "Mungkin mereka membutuhkan."

"Bagaimana kalian?" tanya Menteri Bun kepada Pancha dan Can Sah Sin Eng. "Katakan saja, tidak usah malu-malu!"

"Aku sangat tertarik akan tarian dan musik Tionggoan," sahut Pancha sungguh-sungguh. "Apakah ada penari dan pemain musik di sini?"

"Ada." Menteri Bun tersenyum. Ia bertepuk langan tiga kali, lalu muncullah seorang pelayan wanita menghadapnya sambil memberi hormat.

"Tuan Besar mau pesan apa?" tanyanya dengan hormat.

"Cepat atur para penari dan pemain musik yang cantik-cantik di sini?" ujar menteri Bun.

"Ya, Tuan Besar." Pelayan wanita itu mengangguk. lalu pergi.

Berselang beberapa saat kemudian, muncullah belasan gadis cantik, yang semuanya membawa berbagai macam alat musik. Mereka memberi hormat, setelah itu para pemain musik lalu duduk.

Tak lama terdengarlah suara alunan musi yang amat menyedapkan telinga dan para pena mulai menari dengan lemah gemulai mengiku irama musik itu.

"Ha ha ha!" Pancha tertawa gembira. "Buka main indahnya tarian mereka! Sungguh luar biasa

"Engkau tertarik?" tanya menteri Bun.

Pancha mengangguk, kemudian tanyanya be bisik, "Menteri Bun, gadis-gadis itu boleh mi layaniku?"



"Tentu boleh." Menteri Bun tertawa. "Seba engkau adalah Putra Mahkota Manchuria! Ha h ha! Mari kita bersulang!"

Mereka mulai bersulang lagi sambil menil mati musik dan tarian itu. Berselang beberap saat, barulah musik itu berhenti. Para penari pu berhenti menari, dan langsung memberi horm; sambil tersenyum lembut.

"Bagus, bagus!" Pancha tertawa gembira sambil bertepuk tangan. "Aku harap para pemai musik tetap bermain musik, sedangkan para pi nari menemani kami minum!"

"Ya, Tuan Muda!" sahut mereka serentak.

Para pemain musik segera memainkan alunan musik masing-masing, sedangkan para penari langsung menghampiri Pancha, lalu menuangkan arak ke dalam cangkir masing-masing.

"Silakan minum!" ucap para penari itu.

"Terimakasi, terimakasih! Ha ha ha...!" Pancha tertawa gembira.

Tak berapa lama kemudian, Kim Ih Hoat Ong pemandang mereka seraya berkata dengan wibawa.

"Cukup!" Ia lalu memandang Menteri Bun. ”Suruh mereka pergi!"

"Baik." Menteri memandang para pemain musik dan para penari itu. "Cukup sampai di sini, sekarang kalian boleh beristirahat."

"Ya, Tuan Besar," sahut mereka.

"Menteri Bun," ujar Pancha. "Berikan kepada mereka seorang dua puluh tael emas!"

"Ya." Menteri Bun bertepuk tangan satu kali, kemudian muncul kepala pengurus.



"Ada perintah apa. Tuan Besar?" tanya kepala lengurus itu sambil memberi hormat.

"Ambilkan dua ratus tael emas!" sahut Menteri Bun.

”Ya, Tuan Besar." Kepala pengurus itu segera pergi mengambil uang emas, dan tak seberapa jma ia sudah kembali menghadap Menteri Bun.

"Berikan mereka seorang dua puluh tael emas!" ujar Menteri Bun sambil menunjuk para pemain iiusik dan para penari itu.

"Ya, Tuan Besar." Kepala pengurus segera lembagi-bagikan uang emas itu.

"Terimakasih, Tuan Besar." ucap para pemain musik dan para penari itu dengan wajah berseri-seri mengundurkan diri dari ruang tersebut.

"Oh ya!" Menteri Run memandang Kim Ih Hoat Ong seraya bertanya. "Kenapa Hoat Ong tidak mau menyentuh kaum wanita?"

"Sebab sejak kecil aku belajar Tong Cu Sin Kang (Tenaga Sakti Anak Perjaka), maka aku tidak boleh berhubungan intim dengan kaum wanita," jawab Kim Ih Hoat Ong memberitahukan "Aku telah berhasil mencapai tingkat tertinggi membuat dinku tidak mempan senjata tajam mau pun racun."

Menter Bun manggut-manggut. "Sungguh hebat Hoat Ong!"

"Perlu kuberitahukan," ujar Kim Ih Hoat Ong "Pancha juga berkepandaian tinggi, begitu pula Cap Sah Sin Eng. Karena Cap Sah Sin Eng bergerak sesuai dengan Cap Sah Sin Eng Tin (Formasi Tiga Relas Elang Sakti)."

"Ha ha ha!" Menteri Bun tertawa gembira "Oh ya! Aku punya Suatu ide untuk Hoat Ong."



''Ide apa?" tanya Kim Ih Hoat Ong.

"Menangkap Lie Tsu Seng," jawab Menteri Bun serius. "Apabila Hoat Ong mampu menangkapnya hidup-hidup atau membunuhnya, kiasar pasti gembira sekali. Bahkan juga akan menggemparkan rimba persilatan Tionggoan, sebab banyak kaum rimba persilatan berkepandaian tinggi bergabung dengan pemimpin pemberontak itu."

"Ngmmm!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut dan bertanya. "Di mana markas Lie Tsu Seng?"

"Di pinggir kota Lam An."

"Pancha," tanya Kim Ih Hoat Ong. "Kapan kita berangkat ke sana menangkap pemimpin pemberontak itu?"

"Itu terserah Hoat Ong saja," sahut Pancha, kemudian bertanya kepada Menteri Bun sambil tersenyum. "Apakah Bu Ceng Sianli juga bergabung dengan Lie Tsu Seng?"

"Ya." Menteri Bun mengangguk.

"Bagus, bagus!" Pancha tertawa gembira. "Hoat Ong harus menundukkannya!"

"Baik." Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut.

"Oh ya!" ujar Pancha mendadak. "Aku hampir melupakan satu hal penting."

"Hal apa?" tanya Menteri Bun.

"Mengenai adikku Bokyong Sian Hoa." Pancha memberitahukan. "Dia adalah putri pamanku, sudah lama dia datang di Tionggoan ini, apakah menteri Bun tahu tentang dirinya?"

"Maaf, aku sama sekali tidak tahu." Menteri Bun menggelengkan kepala.

"Aaaah...!" Pancha menghela natas panjang. 'Aku rindu sekali kepadanya."



"Akan kuutus beberapa pengawalku untuk menyelidikinya," ujar menteri Bun.

"Terimakasih!" Pancha manggut-manggut lalu bertanya kepada Kim Ih Hoat Ong. "Kapan kita berangkat ke pinggir kota Lam An?"

"Besok pagi," sahut Kim Ih Hoat Ong singkat.

"Kalau begitu..." ujar menteri Bun. "Akan kuperintahkan puluhan pengawalku menyertai kalian."

"Itu tidak perlu, cukup kami saja." tegas Kim Ih Hoat Ong dan menambahkan, "Para pengawal kalian semuanya gentong nasi. Percuma mereka ikut kami pergi menangkap Lie Tsu Seng."

"Ya, ya." Menteri Bun manggut-manggut, kemudian tertawa gelak. "Ha ha ha! Akan tamat riwayat Lie Tsu Seng kali ini! Ha ha ha...!"

-oo0dw0oo-


Di sebuah batu besar dekat pantai, tampak beberapa orang duduk sambil bercakap-cakap. Mereka adalah Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling, Kam Hay Thian, Lu Hui San, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan.

"Aaaah...." Lie Ai Ling menghela nafas panjang. "Aku tak

menyangka kalau kakak Bun yang dan Goat Nio begitu pendek umur!" katanya.

"Aku masih tidak percaya kalau mereka berdua sudah mati," ujar Kam Hay Thian. "Sebab di dasar jurang itu tidak terdapat mayat mereka."

"Aku pun tidak percaya kalau mereka berdua sudah mati,"

sela Lu Hui San. "Itu bagaimana mungkin?"



"Sungguh mengherankan!" ujar Bokyong Sian Hoa. "Goat Nio terjatuh ke jurang itu, sedang Kakak Bun Yang terjun ke situ. Namun kita tidak menemukan mayat mereka. Bukankah itu sungguh mengherankan?"

"Memang." Toan Beng Kiat manggut-manggut. "Oleh karena itu, aku berkesimpulan bahwa mereka berdua belum mati. Sebab di dasar jurang itu pun tiada binatang buas, jadi tidak mungkin mayat mereka digondol binatang buas."

"Tapi. .." Lie Ai Ling mengerutkan kening. "Kenapa Kakak Bun yang dan Goat Nio tidak kembali ke markas pusat Kay Pang?"

"Sie Keng Hauw menggeleng-gelengkan kepala. "Memang membingungkan dan merupakan teka teki."

"Kami ke mari justru untuk menunggu..." ujar Toan Beng Kiat melanjutkan. "Menunggu kemunculan Bun Yang dan Goat Nio. Tapi hingga kini mereka berdua masih belum muncul."

"Mungkin...."  Lie  Ai  Ling  mulai  terisak-isak.  "Kakak  Bun

Yang dan Goat Nio sudah mati, Thian (Tuhan) sungguh tidak adil!"

Toan Beng Kiat menggeleng-gelengkan kepala, kemudian memandang Lam Kiong Soat Lan seraya berkata.

"Kita sudah sekian lama berada di Pulau Hong Hoang To ini, bagaimana kalau besok pag' krta pulang ke Tayli?"

Lam Kiong Soat Lan mengarah pada Yo Kiam Heng. "Bagaimana?"

"Terserah engkau," jawab Yo Kiam Heng sambil tersenyum. "Aku menurut saja."

"Baiklah." Lam K'ong Soat Lan manggut-manggut sambil tersenyum lembut "Kita pulang ke Tayli esok pagi."

"Yaaah!" Waiah Lie Ai Ling tampak murung. "Kok begitu cepat kal in pulang ke Tayli " tanyanya.



"Sudah lama kami tinggal di sini, aku khawatir orang tua kami akan mencemaskan kami" ujar Toan Beng Kiat dan berpesan. "Oh ya! Apabila ada kabar beritanya mengenai Bun Yang dan Goat Nio, harap kalian segera ke Tayli memberitahukan kepada kami!"

"BaiK." Lie Ai ling mengangguk.

Keesokan harinya, Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa. Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan berpam it kepada TJO Tay Seng dan lainnya, kemudian mereka berempit meninggalkan Pulau Hong Hoang To

-oo0dw0oo-


Kini mereka berempat telah berada di Tionggoan. Dalam perjalanan ini tak henti-hentinya mereka membicarakan Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio,-

”Bagaimana kalau kita ke markas pusat Kay Pang, siapa tahu sudah ada berita di sana!" usul Toan Beng Kiat.

"Baik." Bokyong S'an Hoa, Yo Kiam heng dan Lam Kong Soat Lan mengangguk

Mereka berempat lalu menuju arah markas pusat Kay Pang, yang harus melewatkan kota Lam An. T saat berada di pinggir kola tersebut, mereka menyaksikan suatu pertarungan vang amat seru dan sengit.

"Hah?" Lie Ai Ling terperanjat. „Bukankah yang sedang bertarung itu Bibi Suan Hiang Kakak Giok Lan, Paman Tan Ju Linng dan Lin Cin An. Mereka tampak terdesak oleh tiga belas penyerang itu!"

"Betul" Lu Hi San manggut-manggut. "Mereka Bibi Suan Hiang, Kakak Giok Lan dan .."

"Hah?" Bokyong Sian Hoa tampak terkejuf sekali "Pemuda itu Pancha putra pamanku, pendeta tua itu adalah Kim Ih Hoat



Ong dan tiga belas orang tu adalah Cap Sah Sin Eng! Mereka berkepandaian tinggi sekali!"

"Ayoh! I'ita harus cepat membantu Bibi Suan Hiang!" seru Toan Beng Kiat.

Saat uu Yo Suan Hiang, Tan Giok Lan dan lainnya telah terluka. Toan Beng Kiat bersiul panjang sambil melesat ke arah Cap Sah Sin Eng. Beg 'u pula Bokyong Sian Hoa dan lainnya.

”Begitu kaki mereka menginjak tanah. Cap Sah Sin Eng langsung mengepung mereka.

"Siapa kalian?" tanya pemimpin Cap Sah Sin Eng.

"Kami dari Tayli!" sahut Toan Beng Kiat jujur dan menambahkan, "Kami harap tuan-tuan sudi melepaskan mereka!"

"Kalian dari Tayli?" Pemimpin Cap Sah Sin Eng mengerutkan kening. "Kami pihak Manchuria tidak pernan bertikai dengan pihak Tayli. aku harap kalian jangan mencampuri urusan kami!"

Bersamaan itu, Pancha menghampir mereka sambil menatap Bokyong Sian Hoa, kemudian berseru girang.

"Adik Sian Hoa! Adik Sian Hoa...."

"Jangan panggil aku!' bentak Bokyong Sian Hoa. "Aku benci engkau dan benci ayahmu!"

"Adik Sian Hoa...." Pancha menggeleng-gelengkan kepala.

"Itu adalah urusan kedua orang tua kita, sedangKan kita bukankah sangat baik dari kecil? Lagi pula aku yang membantumu kabur dari istana.. ."

"Diam!" bentak Bokyong Sian Hoa lagi. "Ayahmu membunuh kedua orang tuaku, aku... aku...."



"Adik Sun Hoa...." Pancha menghela nafas panjang. "Kita

kakak beradik."

"Engkau masih ingat kita kakak beradik?" Bokyong Sian Hoa memandangnya sinis.

"Betul." Pancha manggut-manggut.

"Kalau begitu, kalian harus melepaskan mereka!" ujar Bokyong Sian Hoa sambil menunjuk Yo Suan Hiang dan lainnya.

"Akan kubicarakan dengan Kim Ih Hoat Ong." Pancha segera mendekatinya, kemudian mereka berbisik-bisik.

"Baik." Kim Ih Hoat Ong mengangguk. "Tidak apa-apa kita melepaskan mereka, tapi kita harus menangkap Sian Hoa dan lainnya."

"Hoat Ong...." Pancha terkejut.

"Kelihatannya adikmu itu sudah tidak mau ikut kita, lagi pula aku punya suatu rencana," ujar Kim Ih Hoat Ong berbisik. "Kalau kita tangkap teman-teman Sian Hoa. dapat kita jadikan sandera untuk menukar dengan Lie Tsu Seng."

Pancha manggut-manggut, lalu mendekati Bokyong Sian Hoa dan berkata sambil tersenyum, "Kami akan melepaskan mereka, tapi engkau dan teman-temanmu harus ikut kami."

"Tidak!" tegas Bokyong Sian Hoa. "Kami tidak akan ikut kalian, pokoknya tidak!"

"Adik Sian Hoa! Kalau begitu, apa boleh buat!" sahut Pancha dan berseru. "Cap Sah Sin Eng, tangkap mereka, tapi jangan kalian lukai!"

"Ya," sahut Cap Sah Sin Eng.

Sedangkan Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soan Lan segera menghunus pedang masing-masing.



Mendadak pemimpin Cap Sah Sin Eng bersiul, seketika juga tiga belas orang itu bergerak berputar-putar mengelilingi Toan Beng Kiat dan lainnya. Ternyata tiga belas orang itu mulai menyusun formasi Cap Sah Sin Eng Tin.

"Mari kita serang mereka!" seru Toan Beng Kiat.

Mereka berempat mulai menyerang, namun justeru terjadi hal yang tak terduga, yaitu begitu mereka menyerang, malah menyerang kawan sendiri. Sementara Cap Sah Sin Eng terus berputar, bahkan kemudian meluncur ke atas dan sekaligus menyerang.

"Celaka!" keluh Toan Beng Kiat. "Mereka menggunakan semacam formasi. Soat Lan, kita simpan saja pedang kita. Lebih baik kita menyerang dengan Kim Kong Cap Sah Ciang (Tiga Belas Jurus Pukulan Cahaya Emas)."

"Baik." Lam Kiong Soat Lan dan Toan Beng Kiat segera menyarungkan pedang masing-masing.

Setelah itu, mulailah mereka menyerang Cap Sah Sin Eng dengan ilmu pukulan tersebut. Akan tetapi, pukulan mereka justru nyaris melukai kawan sendiri.

Ketika mereka menyerang Cap Sah Sin Eng, mendadak yang diserang itu menghilang, yang muncul malah Yo Kiam Heng dan Bokyong Sian Hoa. Maka, mereka berdua cepat-cepat menarik serangan masing-masing.

Berselang beberapa saat kemudian, Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan mulai terdesak dan tampak lelah sekali.

"Lumpuhkan mereka dengan totokan!" seru pemimpin Cap Sah Sin Eng.

Mulailah Cap Sah Sin Eng menyerang mereka dengan Peng Khong Tiam Hiat (Ilmu Menotok Jalan Darah Jarak Jauh). Tak seberapa lama kemudian, Toan Beng Kiat dan lainnya telah



tertotok, sehingga mereka berempat berdiri tak bergerak di tempat.

"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak lalu mendadak melesat ke arah mereka, sekaligus menotok jalan darah mereka lagi. "Mereka akan lumpuh tujuh hari tujuh malam dan siapa pun tidak akan mampu membebaskan totokan itu! Ha ha ha...!"

"Maafkan aku. Sian Hoa!" ucap Pancha. "Aku terpaksa menyuruh Cap Sah Sin Eng bertindak kurang ajar terhadap kalian."

"Diam!" bentak Bokyong Sian Hoa dengan mata berapi-api. "Kalau engkau ingin membunuhku cepatlah bunuh!"

"Adik Sian Hoa!" Pancha tersenyum. "Bagaimana mungkin aku membunuhmu? Kita adalah...."

"Hm!" dengus Bokyong Sian Hoa dingin. "Jangan bermulut manis, aku benci!"

"Adik Sian Hoa...." Pancha menggeleng-gelengkan kepala.

Di saat bersamaan terdengarlah suara tawa cekikikan.

"Hi hi hi! Hi hi hi...!" Kemudian muncul seorang gadis berusia dua puluhan, yang ternyata Bu Ceng Sianli-Tu Siao Cui.

"Kakak! Kakak!" seru Bokyong Sian Hoa girang. "Cepat tolong kami!"

"Tenanglah!" sahut Bu Ceng Sianli sambil tersenyum. "Aku pasti menolong kalian."

Ketika Bu Ceng Sianli muncul, Pancha terpukau oleh kecantikannya. Ia memandang wanita itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga lebar.

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Anak muda! Kenapa engkau memandangku seperti kehilangan sukma?"



"Ha ha ha!" Pancha tertawa. "Nona sangat cantik sehingga membuat sukmaku hilang!"

"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli tersenyum manis.

"Aku tidak bohong," sahut Pancha dan bertanya. "Maaf, bolehkah aku tahu siapa Nona?"

"Aku Bu Ceng Sianli. Siapa engkau?"

Pancha, Kim Ih Hoat Ong dan Cap Sah Sin Eng terperanjat. Mereka tidak menyangka kalau gadis cantik itu adalah Bu Ceng Sianli yang sangat terkenal.

Pancha manggut-manggut. "Ternyata aku berhadapan dengan Bu Ceng Sianli yang sangat terkenal dalam rimba persilatan Tionggoan. Namaku Pancha."

"Engkau Putra Mahkota raja Manchuria?" tanya Bu Ceng Sianli sambil menatapnya tajam.

"Betul." Pancha mengangguk.

"Bagus!" Bu Ceng Sianli tertawa. "Cepatlah engkau suruh pendeta jelek itu membebaskan totokannya!"

"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak. "Bu Ceng Sianli, aku tidak menyangka kalau engkau masih muda dan sedemikian cantik. Sungguh beruntung aku bertemu engkau di sini!"

"Hei, pendeta jelek! Cepatlah membebaskan totokanmu yang di badan mereka!" sahut Bu Ceng Sianli.

"Aku adalah Kim Ih Hoat Ong, sudah lama aku mendengar nama besar Nona. Oleh karena itu...."

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa geli. "Pendeta jelek, engkau sedang merayu ya?"

"Bu Ceng Sianli!" Kim Ih Hoat Ong menatapnya tajam. "Kudengar kepandaianmu sangat tinggi, maka aku ingin bertanding."



"Bertanding dengan siapa?"

"Denganmu."

"Tapi...." Bu Ceng Sianli memandang Toan Beng Kiat dan

lainnya. "Mereka harus kau bebaskan dulu."

"Kalau engkau mampu mengalahkan aku, aku pasti membebaskan mereka. Tapi apabila engkau kalah, engkau harus ikut kami ke Manchuria, karena.... Pancha, Putra

Mahkota raja Manchuria sangat tertarik kepadamu." ujar Kim Ih Hoat Ong.

"Betul, betul," sela Pancha sambil tersenyum. "Nona, aku memang sangat tertarik kepadamu. Aku... aku pun sudah jatuh hati."

"Oh, ya?" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Tapi bagaimana kalau pertandingan berakhir dengan seri?"

"Kalau seri, aku harus membawa mereka pergi," sahut Kim Ih Hoat Ong dan menambahkan, "Kita bertanding secara adil."

"Tentu." Bu Ceng Sianli manggut-manggut dan bertanya, "Kita akan bertanding dengan cara apa?"

"Cukup dengan tangan kosong," sahut Kim Ih Hoat Ong dan menambahkan, "Hanya sampai batas seratus jurus saja."

"Bagaimana kalau seri?"

"Tadi aku sudah bilang, kalau seri aku tetap membawa pergi mereka. Namun pertandingan boleh dilanjutkan kelak."

"Baik." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Aku setuju."

Kim Ih Hoat Ong dan Bu Ceng Sianli berdiri berhadapan, dan masing-masing menghimpun lwee- kang. Kim Ih Hoat Ong menghimpun Tong Cu Sin Kang (Tenaga Sakti Anak Perjaka), sedangkan Bu Ceng Sianli menghimpun Hian Goan Sin Kang.



"Hoat Ong!" seru Pancha mendadak. "Jangan melukai Nona itu!"

"Tenang!" sahut Kim Ih Hoat Ong sambil manggut-manggut.

"Anak muda," ujar Bu Ceng Sianli sekaligus melemparkan sebuah senyuman kearabnya.

"Nona...."  Pancha  terbelalak  menyambut  senyuman  itu,

bahkan semakin terpukau, kemudian berkata kepada Kim Ih Hoat Ong. "Hoat Ong! Bagaimanapun engkau harus dapat mengalahkannya!"

Kim Ih Hoat Ong mengangguk, lalu mulai menyerang Bu Ceng Sianli. Bu Ceng Sianli tertawa nyaring sambil berkelit, sekaligus balas menyerang. Terjadilah pertarungan yang amat menegangkan. Pancha menyaksikan pertarungan itu dengan hati berdebar-debar, sebab kalau pertarungan itu berakhir seri, Kim Ih Hoat Ong cuma bisa membawa pergi Bokyong Sian Hoa dan lainnya. Namun apabila menang, maka Bu Ceng Sianli harus ikut mereka ke Manchuria, itu yang diharapkannya.

Sementara pertandingan itu terus berlangsung, tak terasa sudah melewati puluhan jurus. Mereka berdua mulai cemas dan terperanjat, karena tidak menyangka pihak lawan memiliki kepandaian yang begitu tinggi.

"Bu Ceng Sianli," ujar Kim Ih Hoat Ong kagum. "Kepandaianmu sungguh tinggi sekali. Aku kagum akan kepandaianmu."

"Sama." sahut Bu Ceng Sianli sambil berkelit, karena mendadak Kim Ih Hoat Ong menyerangnya. "Pendeta jelek, kepandaianmu pun tinggi sekali."

"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak sambil berhenti menyerang Bu Ceng Sianli seraya berkata, "Kini tinggal tiga



jurus lagi, ini merupakan jurus-jurus penentuan. Berhati-hatilah, aku akan mengeluarkan ilmu andalanku."

"Terimakasih atas peringatanmu!" sahut Bu Ceng Sianli. "Aku sudah siap menyambut ilmu andalanmu."

"Hati-hati!" seru Kim Ih Hoat Ong. Mendadak ia menyerang Bu Ceng Sianli dengan San Hai Ho Liu Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Gunung Laut Dan Arus Sungai), dan mengeluarkan jurus Teng Tia Ju San (Tenang Tegar Bagaikan Gunung).

Sekonyong-konyong lengan jubah Kim Ih Hoat Ong melembung, dan ia melesat ke arah Bu Ceng Sianli.

Bu Ceng Sianli tertawa nyaring. Di saat bersamaan sepasang telapak tangannya memancarkan cahaya putih, dan berkelebatan menangkis serangan Kim Ih Hoat Ong. Ternyata wanita itu mengeluarkan ilmu Hian Goan Ci, yaitu jurus Thay Yang Kuang Hui (Matahari Bersinar Terang).

Blaaam! Terdengar suara benturan. Ilmu pukulan San Hai Ho Liu Ciang Hoat beradu dengan ilmu Jari Sakti Hian Goan Ci.

Kim Ih Hoat Ong dan Bu Ceng Sianli berdiri tak bergeming di tempat, namun yang menyaksikan itu malah pucat pias wajahnya.

Beberapa saat kemudian Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak, lalu berkata dengan suara parau.

"Ha ha ha! Lweekangmu sungguh tinggi! Aku tidak menyangka kalau engkau mampu menangkis seranganku."

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa nyaring. "Pendeta jelek, lweekangmu juga tinggi sekali. Aku tidak menyangka kalau dadamu tidak berlubang oleh Hian Goan Ci."

"Kini tinggal dua jurus lagi. Berhati-hatilah! Aku akan menyerangmu lebih dahsyat."

"Silakan! Aku sudah siap menyambut seranganmu."



Mendadak Kim Ih Hoat Ong memekik keras dan menyerang Bu Ceng Sianli dengan jurus Hai Po Thau Thau (Gelombang Laut Menderu Deru). Lengan jubah Kim Ih Hoat Ong bergerak-gerak menimbulkan suara menderu-deru ke arah Bu Ceng Sianli.

Di saat bersamaan, tiba-tiba jari tangan Bu Ceng Sianli bergerak-gerak secepat kilat, sehingga berubah jadi ribuan jari. Itulah jurus Cian Ci Keng Thian (Ribuan Jari Mengejutkan Langit).

Blaam! Ces! Ces! Cesss...!" Terdengar suara benturan dan suara lain.

Bu Ceng Sianli termundur-mundur beberapa langkah, sedangkan Kim Ih Hoat Ong tetap berdiri di tempat.

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Jurus ini kita seri, sebab engkau berhasil membuatku termundur-mundur beberapa langkah, namun aku pun berhasil melubangi lengan jubahmu!"

"Ha ha ha! Betul!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut. "Kini tinggal satu jurus lagi, perlukan kita lanjutkan?"

"Terserah!"

"Menurut aku..." ucapan Kim Ih Hoat Ong terputus, karena mendadak terdengar suara tawa gelak yang memekakkan telinga.

"Ha ha ha! Ha ha ha!" Melayang turun seorang tua, yang tidak lain Si Pincang. "Asyik! Ada pertandingan seru!"

"Pincang!" bentak Bu Ceng Sianli. "Mau apa engkau ke mari?"

"Mau jadi penonton," sahut orang tua pincang. "Bukankah masih ada satu jurus lagi?"

"Hm!" dengus Bu Ceng Sianli.



"Maaf!" ucap Kim Ih Hoat Ong sambil memandang orang tua pincang. "Bolehkah aku tahu siapa engkau?"

"Aku adalah Si Pincang." sahut orang tua pincang sambil tertawa. "Engkau pasti Kim Ih Hoat Ong dari Manchuria. Ya, kan?"

"Betul." Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut.

"Lihay juga engkau, pendeta jelek," ujar orang tua pincang. "Engkau mampu mengalahkan ketiga ketua itu hanya dalam dua puluh lima jurus. Kalau aku mau, aku pun mampu mengalahkan mereka dalam jurus sekian pula."

"Oh?" Kim Ih Hoat Ong tampak tersentak. "Betul." Orang tua pincang mengangguk. "Tapi...." "Kenapa?" Kim Ih Hoat Ong menatapnya tajam.

"Walau kita berkepandaian tinggi, tapi masih bukan lawan seorang pendekar muda," sahut orang tua pincang. "Mungkin dalam lima puluh jurus dia mampu mengalahkanmu."

"Oh, ya?" Kim Ih Hoat Ong tampak tidak percaya. "Siapa pendekar muda itu?"

"Dia adalah Giok Siauw Sin Hiap-Tio Bun Yang." Orang tua pincang memberitahukan.

"Dia?" Kim Ih Hoat Ong mengerutkan kening. "Aku pernah mendengar tentang dia, tapi bukankah dia sudah mati di dasar jurang?"

"Ha ha ha!" Orang tua pincang tertawa. "Dia tidak mati, mungkin tidak lama lagi dia akan muncul."

"Bagus, bagus!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut. "Apabila dia muncul, aku pasti bertanding dengan dia."

"Pendeta jelek," tanya Bu Ceng Sianli. "Bagaimana? Perlukah kita melanjutkan pertandingan ini?"



"Bagaimana kalau kita lanjutkan lain kali saja?" Kim Ih Hoat Ong balik bertanya.

"Boleh...." Bu Ceng Sianli memandang Toan Beng Kiat dan

lainnya. "Tapi engkau harus membebaskan mereka!"

"Tidak bisa!" Kim Ih Hoat Ong menggelengkan kepala. "Sesuai dengan perjanjian, aku harus membawa mereka!"

"Kalau  begitu...."  Wajah  Bu  Ceng  Sianli  tampak  gusar

sekali. "Mari kita bertanding lagi!"

"Nona!" sela Pancha. "Lebih baik lain kali saja. Jangan dilanjutkan sekarang. Kami tidak akan mengganggu para pengawal Lie Tsu Seng itu, hanya membawa Bokyong Sian Hoa dan lainnya ke tempat tinggal menteri Bun...."

"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli.

"Nona...." Pancha tampak kecewa sekali. "Aku bermaksud

baik."

"Sianli." bisik orang tua pincang. "Biar mereka pergi, lebih baik kita berunding di markas Lie Tsu Seng."

"Pendeta jelek!" ujar Bu Ceng Sianli. "Kalian boleh membawa mereka berempat ke rumah Menteri Bun, tapi apabila kalian berani mengganggu seujung ramput pun, Menteri Bun pasti kubantai dan kalian pasti kukejar sampai Manchuria!"

"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak. "Bu Ceng Sianli dan engkau Si Pincang, sampai jumpa!"

"Hm!" dengus Bu Ceng Sianli.

"Nona!" Pancha menatapnya dengan mata berbinar-binar. "Kita pasti berjumpa kembali!"

"Huh!" sahut Bu Ceng Sianli. "Siapa ingin berjumpa dengan pendeta jelek! Dasar tak tahu malu!"



"Nona...." Pancha menghela nafas panjang, lalu melangkah

pergi.

Setelah mereka pergi, Bu Ceng Sianli melototi orang tua pincang seraya membentak.

"Kenapa engkau tadi omong besar di hadapan Kim Ih Hoat Ong?"

"Aku terpaksa omong besar, kalau tidak..." sahut orang tua pincang melanjutkan. "Kita dan lainnya pasti celaka. Sebab kepandaian pendeta jelek, Pancha dan tiga belas orang itu sangat tinggi sekali. Kita tidak mampu melawan mereka, maka harus membiarkan mereka membawa Toan Beng Kiat dan lainnya."

"Pincang!" ujar Bu Ceng Sianli sinis. "Engkau sangat pengecut!"

"Aku bukan pengecut, namun menggunakan otak," sahut orang tua pincang. "Bukankah kita masih bisa berunding tentang itu?"

Di saat mereka sedang berdebat, tampak Yo Suan Hiang, Tan Giok Lan dan lainnya mendekati mereka, lalu memberi hormat sambil berkata.

"Terimakasih atas pertolongan Sianli dan lo cianpwee! Tapi Toan Beng Kiat dan lainnya...."

"Percayalah! Mereka tidak akan membunuhnya," sahut orang tua pincang.

"Sianli, lo cianpwee, mari ke markas Lie Tsu Seng!" ajak Yo Suan Hiang. "Kita berunding di sana saja."

"Baik." Bu Ceng Sianli manggut-manggut, kemudian mereka semua menuju ke markas Lie Tsu Seng.

Lie Tsu Seng dan lainnya duduk di dalam tenda. Yo Suan Hiang, Bu Ceng Sianli, orang tua pincang dan lainnya sudah



berada di dalam. Wajah mereka tampak serius sekali, sedangkan Lie Tsu Seng terus mengerutkan kening.

Lie Tsu Seng menghela nafas panjang. "Entah bagaimana nasib Toan Beng Kiat dan lainnya! Sungguh mencemaskan!"

"Aku yakin mereka tidak akan terjadi apa- apa," ujar orang tua pincang dan menambahkan, "Sebab Bokyong Sian Hoa berada di tengah- tengah mereka, tentunya gadis itu akan membela yang lain."

"Ngmm!" Lie Tsu Seng manggut-manggut. "Itu memang benar, sebab mereka tiada urusan dengan menteri Bun atau dengan pihak Manchuria. Tapi... kenapa Kim Ih Hoat Ong menangkap mereka? Mungkinkan ada suatu rencana busuk di balik itu?"

"Mungkin." Bu Ceng Sianli mengangguk dan bertanya, "Kenapa pihak Manchuria ke mari?"

"Mereka ingin menangkapku," sahut Lie Tsu Seng. "Kalau kalian tidak muncul, aku pasti sudah ditangkap."

"Hmm!" dengus Bu Ceng Sianli dingin. "Lain kali aku harus membunuh pendeta jelek itu!"

"Sianli!" Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala. "Belum tentu engkau mampu membunuhnya, sebab kepandaian Kim Ih Hoat Ong itu tinggi sekali, belum ditambah Pancha dan tiga belas orang itu."

"Benar." Bu Ceng Sianli manggut-manggut. "Kepandaian pendeta jelek itu memang tinggi sekali. Hian Goan Ci tidak dapat melukainya."

"Apa?" orang tua pincang terbelalak. "Hian Goan Ci tidak dapat melukainya? Ilmu apa yang dimilikinya?"

"Tong Cu Sin Kang," sahut Bu Ceng Sianli memberitahukan. "Maka badannya kebal terhadap senjata tajam, racun dan ilmu pukulan apa pun."



"Bukan main!" Orang tua pincang menggeleng- gelengkan kepala. "Kalau begitu siapa yang sanggup melawannya?"

"Lho?" Bu Ceng Sianli menatapnya heran. "Bukankah engkau bilang tidak lama lagi Bun Yang akan muncul? Tadi aku kira engkau sudah bertemu dia."

"Aku...." Orang tua pincang tersenyum. "Aku membohongi

pendeta jelek itu, agar dia merasa penasaran terhadap Bun Yang."

"Oooh!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut, kemudian tertawa seraya berkata, "Hi hi hi! Engkau memang licik, namun ada baiknya juga membohongi pendeta jelek itu."

"Oh ya!" Mendadak orang tua pincang menatap Bu Ceng Sianli dengan penuh perhatian.

"Eh?" Bu Ceng Sianli melotot. "Kenapa engkau memandangku seperti kucing melihat ikan?"

"Aku punya akal untuk membebaskan Toan Beng Kiat dan lainnya," sahut orang tua pincang dengan wajah berseri.

"Akal apa?" tanya Bu Ceng Sianli. "Apakah berkaitan dengan diriku?"

"Betul." Orang tua pincang manggut-manggut. "Hanya engkau yang dapat menolong mereka berempat, namun harus melalui seseorang."

"Maksudmu?" Bu Ceng Sianli tidak mengerti. "Beritahukanlah!"

"Pancha sudah jatuh cinta kepadamu, maka peralatlah dia untuk membebaskan Toan Beng Kiat dan lainnya!"

"Omong kosong!" bentak Bu Ceng Sianli. "Dari pada berbuat itu, lebih aku bertanding mati-matian dengan pendeta jelek itu!"

"Tapi...."



"Diam!" bentak Bu Ceng Sianli. Seketika juga orang tua pincang itu diam, namun kemudian bergumam.

"Cuma berpura-pura mencintai Pancha, lalu memperalatnya membebaskan Toan Beng Kiat."

"Pincang!" Bu Ceng Sianli melotot. "Engkau kira mereka begitu bodoh? Hm! Dasar pincang dan tak punya otak!"

"Jangan berdebat!" ujar Lie Tsu Seng. "Lebih baik kita lihat perkembangan selanjutnya, setelah itu barulah kita berunding kembali."

"Benar." Orang tua pincang manggut-manggut.

"Aku khawatir Toan Beng Kiat dan lainnya dijadikan sandera "

-oo0dw0oo-


Bagian ke tujuh puluh delapan Curahan kerinduan dan cinta kasih

Betulkah Tio Bun Yang sudah mati? Ia telah terjun ke jurang, tapi di dasar jurang itu tidak terdapat mayatnya. Apa yang telah terjadi atas dirinya setelah terjun ke jurang? Tentunya ia tidak akan hilang begitu saja.

Ternyata Tio Bun Yang jatuh di telaga di dasar jurang itu. Luncuran badannya begitu cepat, maka begitu jatuh, langsung tenggelam.

Sungguh di luar digaan, di dasar telaga itu terdapat pusaran air, yang membuat badan Tio Bun Yang berputar-putar, akhirnya ia pun pingsan.

Perlahan-lahan Tio Bun Yang membuka matanya, rupanya ia sudah siuman dari pingsannya.



Tampak seorang gadis berdiri di hadapannya tengah memandangnya dengan mesra dan penuh cinta kasih, bahkan tersenyum lembut.

"Adik Goat Nio...." Tio Bun Yang, seakan tidak percaya apa

yang dilihatnya. "Adik Goat Nio, ternyata kita bertemu di alam baka! Aku... aku gembira sekali."

"Kakak Bun Yang...." Gadis itu ternyata Siang Koan Goat

Nio. Ia menangis terisak-isak saking girangnya. "Kakak Bun Yang...."

"Adik Goat Nio!" Tio Bun Yang menggenggam tangannya. "Kenapa engkau menangis? Kini kita sudah berkumpul di alam baka, sehalusnya engkau gembira."

"Aku... aku gembira sekali, maka menangis," sahut Siang Koan Goat Nio, lalu mendekap dadanya.

"Adik     Goat      Nio...."  Tio          Bun        Yang      membelainya.   "Tak

disangka kita sudah jadi arwah, namun sungguh menggembirakan, karena kita bisa berkumpul kembali."

"Kakak Bun Yang!" Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Kita belum mati...."

"Apa?" Tio Bun Yang tersentak. "Kita belum mati?"

"Cobalah gigil jari tanganmu, terasa sakit atau tidak?" ujar Siang Koan Goat Nio.

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk, kemudian menggigit jari tangannya. Seketika juga ia menjerit kesakitan. "Aduuuh! Sakit sekali!"

"Itu pertanda engkau belum mati, aku pun demikian," ujar Siang Koan Goat Nio sambil tersenyum. "Kakak Bun Yang, kita tidak akan berpisah lagi."

"Adik Goat Nio...." Mendadak Tio Bun Yang terisak-isak sambil memeluknya erat-erat. "Adik Goat Nio...."



"Kakak Bun Yang!" Siang Koan Goat Nio membelainya seraya bertanya dengan lembut. "Kenapa engkau menangis?"

"Aku menangis karena girang," jawab Tio Bun Yang. "Ternyata kita belum mati...."

"Aku yakin suatu hari engkau pasti ke mari, maka aku tetap tabah di sini," ujar Siang Koan Goat Nio dan menambahkan. "Aku terus menunggu, dan ternyata tidak sia-sia aku terus menunggu, karena hari ini engkau ke mari."

"Adik Goat Nio, tuturkanlah apa yang telah terjadi atas dirimu!"

"Aku tidak begitu ingat lagi," ujar Siang Koan Goat Nio. "Tapi aku masih ingat, ketua Kui Bin Pang adalah seorang pemuda bernama Kwee Teng An. Beberapa tahun lalu, engkau pernah memusnahkan ilmu silatnya."

"Dia yang memberitahukan kepadamu?"

"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk dan melanjutkan. "Ketika sampai di Tebing Selaksa Bunga, dia... ingin berbuat kurang ajar terhadap diriku, maka aku meloncat mundur. Setelah itu, aku tidak ingat apa yang telah terjadi."

"Apakah engkau tidak tahu kalau di belakangmu terdapat jurang yang menganga lebar?" tanya Tio Bun Yang.

"Aku memang tidak tahu," jawab Siang Koan Goat Nio dan melanjutkan. "Ketika aku tersadar, aku sudah berada di sini."

"Oh?" Tio Bun Yang segera memandang kc sana ke mari. ternyata ia berada di pinggir sebuah kolam alam, yang di sekitarnya tampak bunga liar beraneka warna. "Adik Goat Nio, tempat apa ini?"

"Sebuah goa yang amat luas di dalam perut gunung." Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Aku terus menunggu di sini, akhirnya engkau muncul juga."



"Adik Goat Nio.„." Tio Bun Yang memeluknya lagi. "Kita... kita sudah berkumpul kembali."

"Selama-lamanya tidak akan berpisah lagi," ujar Siang Koan Goat Nio. "Oh ya! Engkau juga terjatuh ke jurang?"

"...." tutur Tio Bun Yang dan menambahkan, "Setelah itu,

aku ke Tebing Selaksa Bunga bersama Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang Aku... aku terjun ke jurang."

"Kakak  Bun  Yang...."  Siang  Koan  Goat  Nio  terisak-isak.

"Aku tidak menyangka, kalau engkau begitu setia terhadapku."

"Adik Goat Nio!" Tio Bun Yang membelainya sambil tersenyum lembut. "Hanya engkau yang kucintai, maka aku harus setia kepadamu."

"Engkau terjun ke jurang demi diriku, aku... aku terharu sekali," ujar Siang Koan Goat Nio dengan air mata berderai-derai.

"Jangan menangis, Adik Goat Nio!" Tio Bun Yang membelainya lagi. "Mimpi buruk itu telah berlalu, mulai sekarang kita akan melewati hari- hari yang indah."

"Kakak Bun Yang," ujar Siang Koan Nio dengan suara rendah. "Kita hidup tenang dan bahagia di pulau Hong Hoang To, jangan mencampuri urusan rimba persilatan lagi."

"Baik." Tio Bun Yang mengangguk, tapi kemudian keningnya berkerut.

"Ada apa, Kakak Bun Yang?" Siang Koan Goat Nio menatapnya. "Ada sesuatu yang ler- ganjel di dalam hatimu?"

"Adik Goat Nio!" Tio Bun Yang menggeleng- gelengkan kepala. "Kita tidak mungkin bisa meninggalkan tempat ini."

"Ya." Siang Koan Goat Nio manggut-manggut. "Kita berada di dalam goa yang di dalam perut gunung, tidak mungkin kita bisa keluar dari goa ini. Tapi...."



"Kenapa?"

"Ada keganjilan pada kolam alam itu." Siang Koan Goat Nio memberitahukan. "Engkau muncul dari kolam itu, tentunya aku pun keluar dari situ."

"Tidak salah." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Di dasar telaga itu terdapat pusaran air maka kita terseret ke mari."

"Aku terus menunggu di sini, karena itu aku melihat keganjilan kolam itu." ujar Siang Koan Goat Nio. "Pada waktu tertentu, air kolam itu muncrat ke atas bagaikan air mancur. Hari ini juga begitu, justru engkau muncul dari situ."

"Oh?" Tio Bun Yang tampak tertarik.

"Kadang-kadang...." Siang Koan Goat Nio memberitahukan.

"Air kolam itu berputar-putar ke dalam. Aku pernah melempar sesuatu ke kolam itu, lalu ikut berputar-putar ke dalam."

"Adik Goat Nio!" Tio Bun Yang tampak girang sekali. "Kita bisa meninggalkan tempat ini."

"Oh?" Wajah Siang Koan Goat Nio berseri. "Bagaimana caranya?"

"Kita harus menunggu air kolam itu berputar- putar ke dalam," jawab Tio Bun Yang menjelaskan. "Kita meloncat ke kolam itu agar terseret pusaran air sampai ke telaga."

"Betul." Siang Koan Goat Nio manggut-manggut. "Kakak Bun Yang, kita... kita bisa meninggalkan tempat ini."

"Adik Goat Nio, disaat meloncat ke kolam itu, engkau harus menahan nafas sambil menghimpun Giok Li Sin Kang!" pesan Tio Bun Yang.

"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk.

"Dan juga..." pesan Tio Bun Yang lagi. "Kita pun harus berpegangan tangan agar tidak terpisah."



"Ya." Siang Koan Goat Nio mengangguk lagi, kemudian menundukkan kepala seraya berbisik. "Kakak Bun Yang, aku... aku ingin cepat-cepat menikah denganmu. Sungguh!"

"Adik Goat Nio." Tio Bun Yang tersenyum lembut. "Begitu sampai di Pulau Hong Hoang To, kita langsung menikah."

"Kakak Bun Yang,..." Siang Koan Goat Nio mendekap d; dadanya dengan penuh rasa bahagia. "Aku... aku bahagia dan gembira sekali."

Menteri Bun dan Kim Ih Hoat Ong terus tertawa gelak, Cap Sah Sin Eng duduk diam, sedangkan Pancha tampak melamun.

"Hoat Ong," tanya menteri Bun heran. "Kenapa Pancha terus melamun, apa gerangan yang telah teriadi atas dirir ya?"

"Dia..." Kim Ih Hoat Ong tertawa lagi. "Ha ha ha! Dia sedang jatuh cirta, maka terus melamun."

"Oh?" Menteri Bun tertegun. "Dia jatuh cinta pada gadis mana? Apakah gadis itu juga mencintainya?"

"Gadis itu memang cantik sekali, namun galak dan liar," sahut Ki.n Ih Hoat Ong memberitahu kan. "Gadis itu adalah Bu Ceng Sianli."

"Hah?" Mulut menteri Bun ternganga iebar "Bu Ceng Sianli? Kepandaiannya...."

"Yaaah.„.." Kim Ih Hoat Ong menghembus nafas panjang "Kepandaian gadis itu sungguh tinggi sekali! Kalau aku fidak memiliki Tong Cu Siu Kang, aku past sudah mati"

"Hoat Ong tidak sanggup mengalahkannya?" tanya Menteri Bun mendadak.

"Mungkin aku sanggup mengalahkannya, tapi ratusan jurus." jawab Kim Ih Hoat Ong jujur dan menambahkan. "AKU harus melukainya."



"Pokoknya Hoat Ong tidak boleh melukai nya!" sela Pancha mendadak dan melanjutkan. "Apabila aku kawin dengan dia, tentu kekuatan kita bertambah Namun , dia kelihatan tidak menaruh perhatian kepadaku. Aaaah...!"

”Pancha!" Kim Ih Hoat Ong menggeleng-gelengkan kepala. "Sudahlah Jangan terus memikirkan Bu Cengg Sianli, kini dia. adalah musuhku."

"Hoat Ong ..." Kening Pancha berkerut-kerut. ?Aku...."

"Sudahlah!" Kim Ih Hoat Ong menggeleng- gelengkan kepala lagi. "Kini kita telah berhasT menawan Toan Beng Kiat dan teman-temannya. Aku yakin Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang itu tidak akan tinggal diam."

'Aaaah . !" Menteri Bun menghela nafas panjang "Seharusnya kalian menangkap Lie Tsu Seng, bukan Toan Beng Kiat."

"Tapi aku punya suatu rencana," ujar Kim Ih Hoat Ong sambil tertawa geiak. "Karena itu, aku yakin Lie Tsu Seng pasti menyerahkan dirinya kepada kita! Ha ha ha...!"

"Rencana apa?" tanya Menteri Bun tertarik.

"Begini...." Kim Ih Hoat Ong memberitahukan. "Dirikan

sebuah panggung yang agak jauh dari markas Lie Tsu Seng, kita ikat Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan di atas panggung itu. Setelah itu, kita mengutus seseorang untuk menemui Lie Tsu Seng, menyatakan bahwa dalam waktu tujuh hari Lie Tsu Seng harus menyerahkan diri kepada kita. Kalau tidak, kita akan membunuh mereka berempat, yang di atas panggung itu."

"Ha ha ha!" Menteri Bun tertawa gembira. "Sungguh merupakan ide yang jitu sekali! Tapi alangkah baiknya kalau kita mengutus seorang ke sana dulu, setelah itu barulah kita mendirikan panggung tersebut."



"Ngmm!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut. "Usulmu kuterima dengan baik."

"Terimakasih!" ucap Menteri Bun dan bertanya. "Kapan kita mengutus seseorang untuk menemui Lie Tsu Seng?"

"Besok," sahut Kim Ih Hoat Ong.

"Bagus!" Menteri Bun tertawa gembira. "Setelah panggung itu kita dirikan, aku akan mengirim pasukan kerajaan ke sana untuk berjaga- jaga."

"Itu tidak perlu," ujar Kim Ih Hoat Ong. "Oh ya! Ada berapa banyak pengawal di sini?"

"Kurang lebih tiga ratus pengawal," sahut Menteri Bun.

"Kalau begitu, aku cukup membutuhkan seratus pengawal saja untuk menyertai kami." Kim Ih Hoat Ong memberitahukan, kemudian menambahkan pula. "Pasukan kerajaan harus ditempatkan di sini, sebab aku khawatir pihak pemberontak akan menyerang ke mari."

"Ngmm!" Menteri Bun manggut-manggut. "Besok aku akan mengutus seseorang ke sana."

"Ingat! Harus bilang utusan dariku, jangan bilang utusan dari sini!" Kim Ih Hoat Ong mengingatkan. "Agar pihak pemberontak tidak menyerang ke mari, dan seolah-olah Menteri Bun tidak tersangkut dalam hal ini."

"Terimakasih, terimakasih!" ucap Menteri Bun. "Mari kita bersulang lagi!"

"Mari!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak. "Ha ha ha...!" -oo0dw0oo-

Lie Tsu Seng, Bu Ceng Sianli, orang tua pincang, Yo Suan Hiang dan lainnya duduk dengan wajah serius. Kadang-



kadang kening mereka berkerut-kerut, sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

"Heran!" gumam Lie Tsu Seng. "Kenapa pihak Kim Ih Hoat Ong dan Menteri Bun diam saja? Mungkinkah...."

Mendadak muncul seseorang, yang memberi hormat dan melapor.

"Utusan Kim Ih Hoat Ong ingin bertemu." "Persilakan dia masuk!" sahut Lie Tsu Seng. "Ya." Orang itu segera pergi.

Sedangkan Lie Tsu Seng dan lainnya saling memandang, berselang sesaat muncullah utusan Kim Ih Hoat Ong, yaitu salah seorang pengawal menteri Bun.

"Maaf!" ucap orang itu sambil memberi hormat. "Kim Ih Hoat Ong mengutus aku ke mari."

"Silakan duduk!" sahut Lie Tsu Seng.

"Terimakasih!" ucap orang itu lalu duduk.

"Mau apa Kim Ih Hoat Ong mengutusmu ke mari?" tanya Lie Tsu Seng sambil menatap orang itu.

"Menyampaikan sesuatu kepada Tuan!"

"Oh?" Lie Tsu Seng menatapnya tajam. "Engkau boleh menyampaikannya?"

"Dalam tujuh hari, apabila Tuan tidak menyerahkan diri kepada Kim Ih Hoat Ong, maka Toan Beng Kiat dan lainnya pasti mati." Orang itu memberitahukan.

"Apa?" Lie Tsu Seng tertegun.

"Hm!" dengus Bu Ceng Sianli. "Aku terpaksa membunuhmu!"

"Bu Ceng Sianli," ujar orang itu. "Aku hanya diutus ke mari. Kalau engkau membunuhku pertanda engkau pengecut."



"Apa?" Bu-Ceng Sianli melotot. "Engkau memang ingin cari mampus! Setelah aku membunuhmu, barulah aku pergi mencari Kim Ih Hoat Ong!"

"Sianli," ujar Lie Tsu Seng. "Jangan bertindak ceroboh, tenanglah!"

Sebetulnya Bu Ceng Sianli sudah mau bergerak, namun begitu mendengar teguran Lie Tsu Seng, wanita itu langsung diam di tempat.

"Baiklah." Lie Tsu Seng manggut-manggut. "Sekarang engkau boleh pulang, beritahukan pada Kim Ih Hoat Ong, bahwa kami akan mempertimbangkannya!"

"Ya!" Orang itu memberi hormat, lalu meninggalkan tenda itu.

Lie Tsu Seng dan lainnya saling memandang, lama sekali barulah Lie Tsu Seng membuka mulut.

"Apa boleh buat aku terpaksa menyerahkan diri kepada Kim Ih Hoal Ong."

"Tidak bisa!" Bu Ceng Sianli menggelengkan kepala. "Aku yakin mereka cuma mengancam."

"Tapi...." Lie Tsu Seng menggeleng-gelengkan kepala.

"Toan Beng Kiat dan lainnya berada di tangan mereka."

"Mereka tidak mungkin membunuh Bokyong Sian Hoa," ujar Bu Ceng Sianli dan menambahkan. "Juga belum tentu berani membunuh Toan Beng

Kiat, Yo Kiam Heng maupun Lam Kiong Soat Lan Itu cuma merupakan siasat licik, agar engkau menyerahkan diri"

"Aaaah. .!" Lie Tsu Seng menggeleng geleng kan kepala. "Aku tidak tahu harus baga.mana.''

"Begir;" ujar orang tua pincang. "Masih ada tujuh hari kita ikuti saja permainan mereka "



'Maksudmu?" tanya Bu Ceng Sianli.

"Aku yakin itu adalah rencana Menteri Bun," jawab orang tua pincang. "Sebab tidak mungkin Kim Ih Hoat Ong menghendaki Lie Tsu Seng. Oleh karena itu, kita tunggu saja apa kemauan mereka."

"Ngmm!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut "Baiklah kita tunggu saja bagaimana perkembangannya."

Orang yang diutus pergi menemui Lie Tsu Seng, kini sudah kembali ke rumah Menter Bun, lalu melapor tentang itu

"Ha ha ha!' Menteri Bun tertawa gelak. "Aku yakin Lie Tsu Seng pasti akan menyerahkan dirinya! Ha ha ha...!"

"Itu belum tentu." Kim Ih hoat Ong menggelengkan kepala. "Sebab mereka bukan orang bodoh."

"Oh?" Menteri Bun mengerutkan kening. "Apakah mereka akan. mengorbankan Toan Beng K iat dan lainnya?"

"Tentu tidak. Tapi ..." Kim Ih Hoal Ong melanjutkan. "Mereka pasti tahu kita tidak akan membunuh Toat Beng Kiat dan lainnya."

"Kalau begitu kita bunuh saja mereka," ujar Menteri Bun tanpa berpikir.

"Menteri Pun!" Kim Ih Hoal Ong menatapnya seraya bertanya "Er.gkau berani menanggung resikonya?"

"Aku...." Menteri Bun menghela nafas pan'ang.

"Sesuai dengan rencana semula, mulai besok panggung itu harus didirikan dan buatkan juga empat buah tiang untuk mengikat Toan Beng K;at dan lainnya!"

"Hoat Ong." tanya Pancha. "Auakah Sian Hoa juga harus di kat di panggung itu?"



"Tentu." Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut. 'Agar Lie Tsu Seng lebih yakin bahwa kita akan membunuh mereka berempat."

"Tapi...."              Pancha menggeleng       gelengkan           kepala.

"Tindakan itu akan menjauhkan aku dengan Bu Ceng Sianli."

"Pancha!" Kim Ih Hoat Ong mengerutkan kening. "Masih banyak gadis lain yang cantik- cantik, tenang saia!"

Pancha menghela nafas paring. "Aku tiak pernah jatuh cinta, baru kali ini. Hoat Ong, bagaimana kalau mereka berempat kita lepaskan agar aku bisa mengambil hati Bu Ceng Sianii?"

"Jangan!" Kim Ih Hoat Ong menggelengkan kepala. "Sebab tujuan kita adalah menangkap Lie Tsu Seng. Setekh periiinp:n pemberontak itu menyerahkan diri kepada kiti, barulah mereka berempat kita lepaskan."

"Hoat Ong ..."

"Sudahlah! Jangan memikirkan yang bukan bukan!" tandas Kim Ih Hoat Ong. 'Perlihatkanlah kegagahan bangsa ManchuWa, siapa tahu kelak k;ta akan berkuasa di sini."

"Aaaah ..!" Pancha menghela nafas paniang, lalu berjalan menuju ruang batu.

Para pengawal langsung memberi hormat. Pancha memberi syarat, salah seorang pengawal langsung membuka pintu ruang batu. Fancha melangkah ke aalam. tampak Bokyong Sian Hoa duduk bersandar pada dinding dengan tangan dan kaki terikat rantai.

"Adik Sian Hoa...." Pancha mendekatinya.

"Pergi! Cepat pergi.'" bentak Bokyong Sian Hoa "Aku benci engkau! Kalau engkau berani membunuh Beng Kiat dan lainnya, aku past1 bersumpah mencincangmu!"

'Aaah ..!" Pancha menghela nafas pai.jang.

 "Ayoh' Cepat lepaskan kami!" Bokyong Sian

Hoa menatapnya dengan penuh krbemi.ui "kenapa engkau menyekapku di ruang balu ini, sedangkan Beng Kiat, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan berada di ruang lain?" "Sebab engkau adikku." "Phui!" Bokyang Sian Hoa meludah. "Siapa adikmu? Aku tidak sudi menjadi adikmu!" "Adik Sian Hoa...."

"Cepatlah tinggalkan ruang ini! Cepaaat!" bentak Bokyong Sian Hoa sambil melotot.

Pancha mengerutkan kening, kemudian meninggalkan ruang batu sambil menghela nafas panjang. Sesungguhnya ia ingin menanyakan tentang Bu Ceng Sianli kepada Bokyong Sian Hoa. namun gadis itu terus mencacinya dan mengusirnya, maka ia terpaksa harus meninggalkan ruang itu dengan perasaan kecewa.

-ooo0dw0oo-


Bagian ke tujuh puluh sembilan

Menundukkan Kim Ih Hoat Ong


Berita tentang tertangkapnya Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan telah sampai di telinga pihak KayPang. Betapa terkejutnya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong ketika mendengar berita tersebut.

"Heran?" ujar Lim Peng Hang sambil mengerutkan kening. "Kenapa pihak Manchuria menangkap mereka berempat?"

"Mungkinkah itu merupakan suatu siasat busuk?" tanya Gouw Han Tiong.

"Mungkin." Lim Peng Hang manggut-manggut. "Kemudian muncul Bu Ceng Sianli bertanding dengan Kim Ih



Hoat Ong. Sungguh di luar dugaan kepandaian mereka seimbang. Setelah itu muncul pula Si Pincang, dan kini mereka berada di markas Lie Tsu Seng. Oh ya, sungguh sayang sekali Ling Cu sudah kembali ke markasnya."

"Kita harus bagaimana?" tanya Gouw Han Tiong mendadak.

"Toan Beng Kiat adalah cucumu," sahut Lim Peng Hang. "Maka kita harus pergi menolong mereka."

"Tapi...."              Gouw    Han        Tiong     menggeleng-gelengkan

kepala. "Kepandaian kita berdua tidak mampu menandingi Kim Ih Hoat Ong itu."

"Memang." Lim Peng Hang mengangguk. "Tapi kita dan Si Pincang tentu dapat melawan Cap Sah Sin Eng. Secara tidak langsung kita telah membantu Bu Ceng Sianli."

"Aaaah.J" Mendadak Gouw Han Tiong menghela nafas panjang. "Hingga k;ni tiada berita tentang Bun Yang dan Goat Nio, entah bagaimana nasib mereka?"

"Seandainya Bun Yang berada di sini, aku yakin masalah itu dapat diatasi." ujar Lim Peng Hang. "Tapi dia....".

"Sudah sekian lama dia dan Goat Nio tidak muncul di sini, berarti mereka telah mati. Aaah...!" Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan kepala. "Di saat kita masih dalam kedukaan, malah muncul urusan itu pula!"

"Aaaah...!" Lim Peng Hang menghela nafas panjang. "Bun Yang...."

Di saat bersamaan, berkelebat dua sosok bayangan ke hadapan mereka. Betapa terkejutnya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong, dan Lim Peng Hang langsung membentak.

"Siapa?"

"Kakek! Kakek Gouw!" Terdengar suara sahutan.



"Haaah...?" Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong terbelalak, sehingga mulut mereka ternganga lebar, lama sekali baru bersuara. "Bun Yang! Goat Nio!"

Ternyata yang muncul itu adalah Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio. Bayangkan betapa gembiranya Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong. Mereka berdua mengucek mata seakan tidak percaya apa yang dilihatnya.

"Kakek Lim! Kakek Gouw!" panggil Siang Koan Goat Nio. "Kami sudah kembali"

"Bun  Yang...."  Mata  Lim  Peng  Hang  berkaca-  kaca.

"Kalian duduklah!"

"Ya, kakek." Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio segera duduk.

"Bun Yang, Goat Nio!" Gouw Han Tiong terus menatap mereka, kemudian berkata "Ternyata kalian berdua masih hidup, kenapa sekarang baru kembali”

"Bun Yang," tanya Lim Peng Hang dengan wajih berseri-seri. "Kenapa kami tidak menemukan kalian di dasar juang itu? Sebetulnya kali in berdua berada di mana?"

"Kakek Lim," jawab Siang Koan Goat Nio. "Aku terjatuh ke dalam telaga yang di dasar jurang...."

Siang Koan Goat Nio menutur tentang apa yar.g dialaminya, Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong mendengarkan dengan penuh perhatian

"Oooh!" Lim Peng Hang manggut-manggut setelah mendengar penuturan itu. "Tidak heran kalau kami tidak menemukan kalian, ternyata kalian berada di dalam goa itu. Kalau Bun Yang tidak terjun ke jurang, tentunya kalian tidak akan berjumpa kembali."

"Betul." Tio Bun Yang mengangguk "Kami tidak bisa cepat-cepat meninggalkan goa itu...."



Tio Bun Yang membeiitahukan tentang air kolam yang di dalam goa tersebut, Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong manggut-manggut

"Jadi kalian harus menunggu air kolam itu berputar-putar ke dalam, barulah kalian meloncat ke kolam itu?".

"Ya." Tio Bun Yang mengangguk. "Kami terseret pusaran air sampai di tengah telaga. Kemudian kami segera berenang ke tepi, dan naik ke atas. Kami melihat banyak tali di situ dan kami duga pasti kakek, ayah, ibu serta lainnya yang datang di tempat itu."

"Betul." Lim Peng Hang tersenyum. "Kami dan pihak Tayli turun ke dasar jurang itu Syukurlah kalian berdua masih hidup dan kini sudah kembali!"

"Kakek, kami harus segera pulang ke pulau Hong Hoang To," ujar Tio Bun Yang dan menambahkan. "Agar ayah, ibu dan lainnya tidak terus berduka."

"Ya. Tapi...." Lim Peng Hang mengerutkan kening

"Ada apa, Kakek?" tanya Tio Bun Yang. "Apakah di sana telah terjadi sesuatu?"

'Bun Yang," sahut Gouw Han Tiong, lalu menutur tentang Kim Ih Hoat Ong yang menangkap Toan Beng Kiat dan lainnya. "Oleh karena itu, lebih baik kita pergi menyelamatkan mereka dulu."

"Tidak disangka pihak Manchuria mulai mengacau di Tonggoan!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala. "Baiklah kita harus segera pergi menyelamatkan mereka. Kapan kita berangkat?"

"Menurut aku..." sela Gouw Han Tiong. "Kita harus ke markas Lie Tsu Seng dulu, berunding dengan mereka. Setelah itu, barulah kita bertindak."

"Baiklah." Tio Bun Yang mengangguk.



"Bun Yang, engkau harus berhati-hati terhadap Kim Ih Hoat Ong, sebab kepandaiannya tinggi sekali!" pesan Lim Peng Hang.

"Ya." Tio Bun Yang manggut-manggut dan bertanya. "Kakek, kapan kita berangkat ke markas Lie Tsu Seng?"

"Besok pagi," jawab Lim Peng Hang.

Tio Bun Yang kelihatan tidak sabaran. "Bagaimana kalau kita berangkat sekarang saja? Sebab aku khawatir...."

"Besok pagi saja," ujar Lim Peng Hang sambil tersenyum. "Karena sekarang kalian berdua harus beristirahat."

"Ya, Kakek." Tio Bun Yang dan Siang Kon Goat Nio mengangguk.

"Oh ya!" Lim Peng Hang teringat sesuatu dan langsung memberitahukan. "Hari itu Kim Coa Long Kun ke mari menanyakan tentang dirimu, kemudian dia membantai seratus penjahat. Setelah itu, tiada kabar beritanya lagi."

"Oh?" Tio Bun Yang tertegun. "Kenapa dia membantai para penjahat itu?"

"Mungkin membalaskan dendammu," sahut Gouw Han Tiong. "Sebab engkau dicelakai penjahat, maka dia membunuh para penjahat itu."

"Aaaah...!". Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Dia...."

"Dia tidak berhati jahat, hanya tercekam rasa dendam saja," ujar Gouw Han Tiong sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Pada hal dia sangat solider."

"Betul." Tio Bun Yang mengangguk. "Bahkan juga sangat setia kawan."



"Bun Yang, Goat Nio," ujar Lim Peng Hang. "Lebih baik kalian beristirahat, sebab besok pagi kita akan berangkat ke markas Lie Tsu Seng."

Tio Bun Yang dan Goat Nio mengangguk, lalu melangkah ke dalam. Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong manggut-manggut dengan wajah berseri, kemudian Lim Peng Hang berkata,

"Sungguh di luar dugaan, ternyata mereka belum mati! Ha ha ha...!"

"Syukurlah kini mereka sudah kembali! Cucuku dan lainnya pasti dapat diselamatkannya." ujar Gouw Han Tiong.

-oo0dw0oo-


Kening Lie Tsu Seng terus berkerut-kerut, begitu pula yang lainnya. Sejenak kemudian barulah pemimpin pemberontak itu berkata,

"Kini Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan telah di ikat pada tiang di panggung itu. Kalau aku tidak menyerahkan diri, mereka berempat pasti mati."

"Jangan terkena siasat mereka!" ujar Bu Ceng Sianli dan menambahkan, "Hingga saat ini aku masih tidak percaya, kalau mereka berani membunuh Toan Beng Kiat dan lainnya."

"Kalau begitu, kita harus bagaimana?" Lie Tsu Seng menghela nafas panjang. "Apakah kita tinggal diam?"

"Tentu tidak," sahut Bu Ceng Sianli. "Besok adalah batas waktu tujuh hari, kita serbu mereka."

Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala. "Bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka?"



"Kalau engkau takut mati, lebih baik pergi bersembunyi saja," sahut Bu Ceng Sianli sambil melotot.

"Maksudku kita jangan bertindak gegabah, pikirkan dulu secara cermat." ujar orang tua pincang. "Apabila kita bertindak gegabah, yang bakal celaka adalah Tuan Lie."

"Aaaah...!" Keluh Bu Ceng Sianli. "Seandainya Bun Yang berada di sini, aku yakin dia mampu mengatasi masalah ini. Tapi dia... Sudahlah, pokoknya besok pagi kita pergi menyerbu mereka sebab tiada jalan lain yang harus kita tempuh."

"Baik." Yo.Suan Hiang mengangguk. "Mari kita serbu mereka pagi!"

"Aku setuju." Lie Tsu Seng manggut-manggut dan melanjutkan, "Namun kita harus mengatur strategi, karena ada seratus lebih pengawal Menteri Bun di sana. Oleh karena itu, aku pun harus membawa sekitar dua ratus orang untuk mengepung tempat itu,"

"Baik." Bu Ceng Sianli mengangguk. "Aku melawan Kim Ih Hoat Ong, Si Pincang dan lainnya melawan Cap Sah Sin Eng. Pokoknya kita bertarung mati-matian dengan meraka."

"Ngmm!" Lie Tsu Seng manggut-manggut. "Jatuh bangun kita bergantung pada esok. Semoga kita berhasil menyelamatkan Toan Beng Kiat dan lainnya!"

-oo0dw0oo-


Keesokan harinya Bu Ceng Sianli dan lainnya berangkat ke tempat panggung itu, sedangkan Lie Tsu Seng memimpin dua ratus orang menyertai mereka. Tak seberapa lama kemudian, Bu Ceng

Sianli dan lainnya sudah tiba di tempat tujuan, dan Lie Tsu Seng langsung mengepung tempat itu.



"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak. "Sungguh tak disangka akhi nya kalian datang juga!"

"Pendeta jelek!" sahut Bu Ceng Sianli menyindir. "Kami orang Han bukan pengecut, sebaliknya kalian orang Manchunci justru pengecut! Kalian cuma berani melakukan perbuatan yang tak terpuji!"

"Oh, ya?" Kim Ih Hoat Ong tertawa lagi "Baiklah kalau begitu mari kita bertanding melanjutkan pertandingan kita tempo hari ! Kalau engkau kalah harus meninggalkan tempat ini, tidak boleh mencampui urusan kami! Sebaliknya kalau aku yang Kalah, kami pasti membebaskan Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Kiam Kiong Soat Lan. bahkan kami pun akan segera kembali ke Manchuria'"

"Baik!" Bu Ceng Sianli manggut-manggut.

"Nona!" Panggil Pancha menqadak.

"Hmm!" dengus Bu Ceng Sianli dingin. "Engkau bukan pemuda gagah, sepab engkau tidak berani membebaskan mereka demi cintamu kepadaku! Engkau banci! bagaimana mungkin aku akan tertarik kepadamu?"

"Nona Sekarang juga aku akan membebaskan mereka!" ujar Pancha sungguh-sungguh.

"Percuma!" Bu Cerrg Sianli merggelengkan kepala. "Karena aku dan Hoai Ong sudah ada perjanjian, kami akan segera mulai bertanding!"

"Nona!" Pancha tampak kecewa sekali. Ia mengakui bsnar apa yang dikatakan Bu Ceng Sianli, bahwa dirinya tidak berani berbuat begitu demi cintanya kepada Bu Ceng Sianli maka Ia pun merasa menyesal sekali.

"Sudahlah! Jangan banyak bicara!" tandas Bu Ceng Sianli, lalu memandang Kim Ih Hoat Ong seraya berkata, "Ayoh, kita mula' bertandirg! Pokoknya hari ini harus ada yang kalah dan yang menang!"



'Baik!" Kim Ih Hoat Ong manggut-manggut.

Bu Ceng Sianli mulai menghimpun Hian Goan Sin Kang, sedangkan Kim Ih Hoat Ong menghimpun Tong Cu Sin Kang. Akan tetapi di saat bersamaan terdengarlah suara suling yang amat lembut menggetarkan kalbu. Begitu mendengar suara suling itu, berserilah waiah Bu Ceng Sianli.

"Adik Bun Yarg' Adik Bun Yang...!" serunya dengan penuh kegembiraan

Sebaliknya Kim ih Hoat Org. Pancha dan Cap Sah Sin Eng tampak tersentak berselang sesaat, tampak empat sosok bayangan melayang turun di sisi Bu Ceng Sianli, yakni Iam Peng Hang, Gouw Han Tiong, Tio Bun Yang dan Siang Koang Goat Nio.

"Kakak Sho Cui!" seru T:o Bun Yang dan

Siang Koan Goat Nio serentak dengan gembira sekali.

"Adik Bun Yang, Adik Goat Nio...!" Bu Ceng Sianli memandang mereka dengan mata bersimbah air mata saking girangnya. "Kalian... kalian telah berkumpul, ternyata kalian tidak mati! Aku... aku girang sekali!"

"Kakak Siao Cui!" Tio Bun Yang tersenyum, lalu menutur tentang kejadian yang dialaminya secara ringkas.

Bu Ceng Sianli manggut-manggut, kemudian memperkenalkan mereka. "Pendeta jelek! Mereka adalah Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong ketua dan tetua Kay Pang! Pemuda itu adalah Giok Siauw Sin Hiap Tio Bun Yang dan gadis itu adalah Siang Koan Goat Nio calon isterinya!"

"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gelak. "Sudah lama aku mendengar nama besar Giok Siauw Sin Hiap! Sungguh beruntung kita bertemu di sini hari ini!"



"Sama-sama!" sahut Tio Bun Yang sambil memandang ke arah panggung. "Mereka berempat tidak bermusuhan dengan pihak Manchuria, kenapa kalian tangkap?"

"Karena ingin ditukarkan dengan Lie Tsu Seng!" sahut Kim Ih Hoat Ong.

"Aku tidak menyangka...." Tio Bun Yang menggeleng-

gelengkan kepala. "Pihak Manchuria begitu licik dan pengecut! Pada hal Hoat Ong adalah guru istana Manchuria! Bukankah tindakan itu sangat mempermalukan Bangsa Manchuria?"

"Dalam siasat perang, tiada istilah licik!" sahut Kim Ih Hoat Ong sungguh-sungguh. "Maka kami Bangsa Manchuria bukan pengecut, lagi pula aku dan Bu Ceng Sianli sudah ada suatu perjanjian, yaitu kami akan bertanding! Kalau dia kalah harus segera pergi dari sini, kalau aku kalah harus membebaskan mereka berempat , bahkan kami akan segera pulang ke Manchuria!"

Tio Bun Yang manggut-manggut. "Kalau begitu, aku akan mewakili Bu Ceng Sianli bertanding dengan Hoat Ong!"

"Ha ha ha!" Kim Ih Hoat Ong tertawa gembira. "Baik! Aku memang ingin mencoba kepandaianmu, sebab aku dengar kepandaianmu sangat tinggi sekali! Boleh dikatakan sebagai pendekar nomor satu di Tionggoan!"

"Hoat Ong!" Tio Bun Yang menatapnya tajam seraya bertanya, "Kita bertanding dengan tangan kosong atau dengan senjata?"

"Cukup dengan tangan kosong saja!" sahut Kim Ih Hoat Ong dan menambahkan. "Tapi harus ada yang menang dan kalah, tidak ada istilah seri!"

"Baik!" Tio Bun Yang mengangguk. "Kita bertanding cukup tiga jurus saja! Kalah atau menang sudah bisa diketahui!"



"Cuma bertanding tiga jurus?" Kim Ih Hoat Ong tertegun.

"Ya." Tio Bun Yang manggut-manggut. "Itu sudah cukup!"

"He he he!" Mendadak orang tua pincang tertawa terkekeh-kekeh. "Pendeta jelek itu sudah ciut nyalinya! He he he...!"

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan mengejek Kim Ih Hoat Ong. "Jangan-jangan pendeta jelek itu sudah terkencing-kencing?"

Betapa gusarnya Kim Ih Hoat Ong diejek begitu, dan langsung membentak dengan suara mengguntur.

"Giok Siauw Sin Hiap! Mari kita mulai bertanding!"

Kim Ih Hoat Ong mulai mengerahkan Tong Cu Sin Kang, sedangkan Tio Bun Yang mengerahkan Pan Yok Hain Thian Sin Kang, kemudian ia pun menghimpun Kan Kun Taylo Im Yang Sin Kang, bersiap untuk menangkis serangan Kim Ih Hoat Ong.

"Jurus pertama!" teriak Kim Ih Hoat Onp sambil menyerang Tio Bun Yang dengan dahsyat sekali. Ia menggunakan San Hai Ho Liu Gang Hoat dan mengeluarkan jurus Teng Tia Jun San (Tenang Tegar Bagaikan Gunung). Kedua lengan jubahnya melembung mengarah kepada Tio Bun Yang.

Tio Bun Yang tahu akan kehebatan Kim Ih Hoat Ong, maka ia menangkis dengan jurus Kan Kun Taylo Bu Pien (Alam Semesta Tiada Balas).

Blam! Terdengar suara benturan keras

Tio Bun Yang termundur-mundur beberapa langkah dengan kening berkerut kerut, Kim Ih Hoat Ongpun termundur-mundur beberapa langkah dengan wajah pucat



pias. Betapa terkejutnya Kim Ih Hoat Ong, karena merasa Iweekangnya berbalik menyerang dirinya sendiri, karena itu ia pun penasaran sekali.

"Jurus kedua!" teriaknya sambil menyerang Tio Bun Yang dengan sepenuh tenaga. Maksudnya ingin mengalahkan Tio Bun Yang dengan jurus ini, yakni jurus San Hai Ho Liu (Gunung Laut dan Arus Sungai), yang paling lihay dan dahsyat.

Tio Bun Yang sudah merasakan kelihayan dan kedahsyatan ilmu pukulan tersebut. Ia pun mengerahkan Kan Kun Taylo Im Yang Sin Kang pada puncaknya, kemudian menangkis serangan itu dengan jurus Kan Kun Taylo Kwi Cong (Segala-galanya Kembali Ke Alam Semesta).

Daaar! Blaaaam...! Terdengar suara seperti ledakan.

Kim Ih Hoat Ong terpental beberapa depa, sedangkan Tio Bun Yang terhuyung-huyung ke belakang tujuh delapan langkah. Setelah berdiri tegak, ia langsung melesat ke arah Kim Ih Hoat Ong yang telah terkapar dengan mulut mengeluarkan darah. Ternyata ia telah terluka parah.

"Giok Siauw Sin Hiap, engkau... engkau memang hebat sekali. Aku... aku mengaku kalah."

"Hoat Ong...." Tio Bun Yang menghela nafas panjang,

kemudian menempelkan sepasang telapak tangannya pada punggung Kim Ih Hoat Ong, sekaligus menyalurkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang ke dalam tubuhnya.

Berselang beberapa saat, wajah Kim Ih Hoat Ong mulai tampak segar. Setelah Tio Bun Yang melepaskan sepasang telapak tangannya, Kim Ih Hoat Ong bangkit berdiri.

"Terimakasih, Giok Siauw Sin Hiap!" ucapnya.

"Kita tidak bermusuhan, kenapa harus saling membunuh?" sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.



"Cap Sah Sin Ceng! Cepat bebaskan mereka berempat!" seru Kim Ih Hoat Ong.

Cap Sah Sin Ceng segera membebaskan Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Heng dan Lam Kiong Soat Lan.

"Kakak Bun Yang!" Seru Bokyong Sian Hoa dan Lam Kiong Soat Lan serentak sambil menghampirinya. "Kakak Bun Yang...."

"Adik Sian Hoa, Soat Lan!" sahut Tio Bun Yang sambil tersenyum.

"Goat Nio!" seru kedua gadis itu.

"Sian Hoa, Soat Lan!" Siang Koan Goat Nio memandang mereka sambil tersenyum lembut.

Sementara Toan Beng Kiat dan Yo Kiam Heng mendekati Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong, lalu memberi hormat.

"Kakek! Kakek Lim!" panggil Toan Beng Kiat.

"Syukurlah -kalian telah selamat!" ujar Gouw Han Tiong sambil tertawa gembira.

"Kakek!" Toan Beng Kiat tersenyum. "Sungguh tak disangka, ternyata Bun Yang dan Goat Nio masih hidup!"

Gouw Han Tiong manggut-manggut. Toan Beng Kiat dan Yo Kiam Heng menghampiri Tio Bun Yang.

"Bun Yang!" panggil mereka.

"Beng Kiat! Kiam Heng!" sahut Tio Bun Yang dengan gembira sekali. "Kalian selamat!"

"Terimakasih atas pertolonganmu. Bun Yang!" ucap Toan Beng Kiat dan Yo Kiam Heng.

"Sama-sama." Tio Bun Yang tersenyum.



Sementara itu, Pancha terus-menerus memandang Bu Ceng Sianli, kemudian memberanikan diri mendekatinya, lalu memberi hormat.

"Nona, kami akan segera kembali ke Manchuria, bolehkah aku tahu nama Nona yang indah dan harum?"

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan. "Namaku Tu Siao Cui. Engkau harus ingat baik- baik, jangan sampai lupa lho!"

"Ya, ya." Pancha mengangguk. "Seumur hidup aku tidak akan melupakan nama Nona."

"Hi hi hi!" Bu Ceng Sianli tertawa geli.

"Nona!" Pancha menatapnya dengan mata berbinar-binar. "Kalau Nona sempat, aicu harap sudi berkunjung ke Manchuria!"

"3*ik." Pu Ceng Sianli manggut-manggut. "Tunggu, aku pasti ke sana!"

"Terrmakasih, Nona'" Wajah Pancha berseri- ser;. Putra Mahkota tu tidak tahu kalau Bu Ceng Sianf-' sedang mempermainkannya.

"Tani...," ujar Bu Ceng Sianli setengah berbisik. "Fngkau sudah punya kekasih di Manchuria."

"Sumpah'" sahut Pancha cepat, "Aku sama seka!i tidak punya kekasih"

"Bohong" sela Bokjong Sian Hoa mendadak. "Kekasihnya banyak sekalii Kakak Siao Cun, jangan meladen.nya!"

"Adik Sian Hoa.. ." Pancha menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa engkau begitu jahat terhadapku?"

"Engkau yang jahat! Merantaiku di ruang batu!" Bokyong Sian Hoa memandang Tio Bun Yang seraya berkata, "Kakak Bun yang, bunuhlah dia'"



"Dia putra pamanmu, bagaimana mungkin aku tega membunuhnya? Lagi pula kalau aku membunuhnya, Kakak Siao Cu pasti marah padaku."

"Betul " sahut orang tua pincang mendadak. '"Kelihatannya Bu Ceng Sianli sudah tertarik pada Putra Mahkota Manchuria itu! Ha ha ha...!"

Plak! Ploook!

"Aduh!" jerit orang tua pincang kesakitan. Ternyata pipinya telah di tampar oleh Bu Ceng Sianli.

"Hmm!" dengus Bu Ceng Sianli dingin. "Sekali lagi menggodaku, engkau past'i mampus!"

"Bun Yang yang duluan menggodamu, tidak engkau apa-apakan. Begitu aku menggodamu, engkau langsung menamparku Sungguh tidak adil!" ujar orang tua pincang bersungut-sungut.

"Pincang!" bentak Bu Ceng Sianli. "Engkau harus tahu, Bun Yang adalah adikku lho!"

"Adik?" Orang tua pincang manggut-manggut sambil menyengir. "Betul, dia adalah adikmu."

"Memang!" Bu Ceng Sianli melotot. Ia tahu kalau orang tua pincang itu sedang menyindirnya.

"Saudara  Bun  Yang...."  Pancha  segera  mendekatinya

sambil tertawa-tawa, kemudian berbisik, "Tolong bujuk kakakmu agar mau datang dr Manchuria!"

"Baik” Tio Bun Yang mengangguk. "Aku pasti membantumu dalam hal ini."

"Terimakasih!" Wajah Pancha berseri. "Oh ya! Aku minta maaf kepadamu alas tindakan kami terhadap Toan Beng Kiat dan lainnya!"



Tio Bun Yang tersenyum "Itu telah berlalu, yang penting engkau harus mencegah ayahmu, agar tidak meminjamkan pasukannya kepada Menteri Bun!"

"Aku pasti membantu." ujar Pancha berjanji. "Nah, kami harus kembali kerumah Menteri Bun. Sampai jumpa!"

"Sampai jumpa, Saudara Pancha!" sahut Tio Bun Yang.

"Giok Siaw Sin Hiap!" seru Kim Ih Hoat Ong. "Kelak kita akan berjumpa lagi, aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu!"

"Selamat jalan, Hoat Ong!" sahut Tio Bun Yang. Kim Ih Hoat Ong, Pancha dan Cap Sah Sin Eng segera meninggalkan tempat itu, diikuti oleh para pengawal Menteri Bun.

"Bun Yang, Bun Yang...!" Yo Suan Hiang melesat ke arahnya. "Engkau dan Goat Nio...."

"Kami masih hidup, Bibi!" Tio Bun Yang tersenyum.

"Adik Bun Yang!" Tan Giok Lan tertawa gembira.

"Kakak Bun Yang...." Ma Giok Ceng menatapnya dengan

air mata berlinang. "Aku gembira sekali karena engkau sudah berkumpul kembali dengan Kakak Goat Nio."

"Terimakasih!" ucap Siang Koan Goat Nio sambil tersenyum, padahal sebetulnya ia tidak kenal gadis itu.

"Dia adalah Ma Giok Ceng," Tio Bun Yang memperkenalkan.

"Oooh!" Siang Koan Goat Nio manggut-manggut.

"Ha ha ha!" Lie Tsu Seng menghampiri mereka sambil tertawa gelak. "Bun Yang, Goat Nio! Syukurlah kalian telah berkumpul kembali. Mulai sekarang kalian jangan berpisah lagi!"

"Ya, Paman." Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio mengangguk.



"Ayoh!" ajak Lie Tsu Seng. "Mari ke markasku!"

"Maaf!" ucap Tio Bun Yang. "Kami harus segera kembali ke markas pusat Kay Pang, sebab kami harus akan pulang ke pulau Hong Hoang To!"

"Bun Yang...." Lie Tsu Seng menghela nafas panjang.

"Baiklah, sampai jumpa kelak dan kuucapkan selamat bahagia kepada kalian berdua!"

"Terimakasih, paman!" Sahut Tio Bun Yang. "Sampai jumpa...."

-ooo0dw0ooo-


Bagian ke delapan puluh

Penuh kegembiraan dan semarak suasana di Pulau Hong Hoang To


Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Tio Bun Yang, Siang Koan Goat Nio dan lainnya telah tiba di markas pusat Kay Pang, tampak mereka sedang


Hal 96-97 ga ada

rah. Aaaah! Hati wanita memang sulit diselami. Untung aku tidak punya isteri, jadi tidak pusing tujuh keliling."

"Masih perjaka tuh!" Bu Ceng Sianli balas menggodanya.

"Wuah! Bukan main!" seru orang tua pincang mendadak sambil tertawa. "Ha ha ha! Engkau pun tahu kalau aku masih perjaka! Ha! Sungguh luar biasa!"

"Pincang!" bentak Bu Ceng Sianli.

"Ha ha ha...!" Orang tua pincang terus tertawa.



Bu Ceng Sianli diam saja dengan wajah merah padam, sedangkan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong tersenyum-senyum.

"Bun Yang, kapan kalian akan pulang ke pulau Hong Hoang To?" tanya Lim Peng Hang.

"Besok pagi," Jawab Tio Bun Yang. "Kakek ikut kan?" "Kakek pasti ikut," ujar Lim Peng Hang.

"Aku pun ikut," sela orang tua pincang. "Karena aku harus melamar Lie Ai Ling untuk muridku."

"Oh?" Tio Bun Yang gembira sekali, kemudian bertanya kepada Gouw Han Tiong. "Kakek Gouw juga ikut?"

"Tidak." Gouw Han Tiong tersenyum. "Aku akan pergi ke Tayli bersama Toan Beng Kiat dan lainnya untuk memberitahukan kabar gembira ini."

"Kakek mau ikut kami ke Tayli?" tanya Toan Beng Kiat dengan girang.

"Ng!" Gouw Han Tiong mengangguk.

"Oh ya!" ujar Lim Peng Hang berpesan. "Undang Wie Kie dan lainnya ke Pulau Hong Hoang To, Bun Yang dan Goat Nio akan melangsungkan pernikahan!"

"Baik." Gouw Han Tiong manggut-manggut.

"Kakak mau ikut ke Pulau Hong Hoang To?" tanya Tio Bun Yang pada Bu Ceng Sianli.

Bu Ceng Sianli tersenyum.

"Tidak, sebab aku akan segera mengasingkan diri di suatu tempat."

"Kakak...." Tio Bun Yang tertegun.

"Baiklah." Bu Ceng Sianli bangkit dari tempat duduknya. "Sampai jumpa!"



Mendadak Bu Ceng Sianli melesat pergi. Seketika juga Tio Bun Yang berteriak-teriak memanggilnya.

"Kakak! Kakak! Kakak...!"

"Percuma engkau berteriak memanggilnya," ujar orang tua pincang sambil menghela nafas panjang. "Dia sudah jauh."

"Aaaah." keluh Tio Bun Yang. "Alangkah baiknya kalau dia hidup tenang di Pulau Hong Hoang To!"

"Tapi sebaliknya Goat Nio pula yang tidak bisa tenang," sahut orang tua pincang.

"Kenapa?" tanya Tio Bun Yang.

"Karena Bu Ceng Sianli sangat mencintaimu maka sudah barang tentu akan membuat Goat Nio tidak tenang." Orang tua pincang memberitahukan.

"Oooh!" Tio Bun Yang manggut-manggut.

"Sesungguhnya...," ujar Siang Koan Goat Nio dengan suara rendah. "Aku tidak berkeberatan kalau Kakak Bun Yang juga memperisterinya."

"Omong kosong!" sahut Tio Bun Yang sambil memandangnya. "Adik Goat Nio, kenapa hari ini engkau omong yang bukan-bukan?"

"Aku merasa kasihan dan simpati padanya," jawab Siang Koan Goat Nio sambil menundukkan kepala.

"Adik Goat Nio...." Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan

kepala. "Kalau aku berniat begitu, tentu aku tidak terjun ke jurang itu."

"Kakak Bun Yang, maafkan aku karena telah salah omong!" ucap Siang Koan Goat Nio.

"Tidak apa-apa." Tio Bun Yang tersenyum.



"Aku tidak bisa menduga kira-kira Bu Ceng Sianli akan pergi ke mana?" ujar orang tua pincang.

"Mungkinkah dia pergi menyusul Pancha?" tukas Tio Bun

Yang.

"Tidak mungkin!" Orang tua pincang menggelengkan kepala. "Aku malah percaya dia akan hidup mengasingkan diri di suatu tempat."

"Aaah...!" Tio Bun Yang menghela nafas panjang. "Mudah-mudahan dia bertemu pemuda yang baik!"

-oo0dw0oo-


Betapa gembiranya pihak Pulau Hong Hoang To melihat kedatangan Lim Peng Hang, orang tua pincang, Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio. Kou Hun Bijin langsung memeluk putrinya, sedangkan Lim Ceng Im memeluk Tio Bun Yang erat-erat sekaligus membelainya dengan penuh kasih sayang.

"Nak,     engkau...."          Lim         Ceng      Im           terisak-isak         saking

gembiranya.

"Ibu, aku dan Goat Nio sudah pulang," ujar Tio Bun Yang sambil tersenyum. "Ibu jangan bersedih lagi!"

"Nah, Ibu girang sekali karena kalian masih hidup. Thian (Tuhan) memang Maha Adil!"

"Nak!" Tio Cie Hiong tersenyum-senyum memandangnya. "Syukurlah kalian berdua sudah pulang!"

"Ayah...." Tio Bun Yang tertawa gembira. "Apa yang

Ayah katakan memang benar, menghadapi apa pun harus tabah dan tegar."

"Ha ha ha!" Tio Cie Hiong tertawa gelak dengan penuh kegembiraan. "Ha ha ha...!"



Sementara Sie Keng Hauw juga bersujud di hadapan orang tua pincang dan gurunya itu pun tertawa terbahak-bahak.

"Ha ha ha! Kini semuanya telah beres, jadi aku pun sudah boleh bergurau di pulau ini!"

"Guru... " Sie Keng Hauw bangkit berdiri sambil tersenyum, lalu berbisik-bisik. "Bun Yang dan Goat Nio sudah pulang, kini sudah saatnya guru...."

"Guru tahu! Guru tahu!" Orang tua pincang tertawa lagi. "Kalau tidak, untuk apa aku ke mari?"

"Terimakasih, Guru!" ucap Sie Keng Hauw.

"Nah!" seru Tio Tay Seng mendadak dengan nada gembira. "Semuanya silakan duduk!"

Mereka yang berdiri segera duduk, setelah itu Tio Tay Seng berseru lagi.

"Bun Yang! Tuturkanlah apa yang telah terjadi di dasar jurang itu!"

"Aku jatuh di telaga yang di dasar jurang itu...." tutur

Tio Bun Yang sejelas-jelasnya.

Tio Tay Seng dan lainnya mendengarkan dengan mulut ternganga lebar, kemudian seusai Tio Bun Yang menutur, Tio Tay Seng berkata,

"Kalau kami menyelam di telaga itu, tentunya akan bertemu kalian."

"Belum tentu," ujar Tio Bun Yang menjelaskan. "Sebab telaga itu sangat dalam, lagi pula belum tentu akan terjadi pusaran air di dasar telaga."

"Oooh!" Tio Tay Seng inanggul manggut. "Kenapa Gouw Han Tiong tidak ikut ke situ?"



"Dia pergi ke Tayli bersama Toan Beng Kiat dan lainnya," sahut Lim Peng Hang dan kemudian menutur tentang kejadian itu. "Pihak Manchuria sudah meninggalkan Tionggoan."

"Begitu tinggi kepandaian Kim Ih Hoat Ong?,'" tanya Kou Hun Bijin kurang percaya.

"Betul." Tio Bun Yang mengangguk, "kalau aku tidak memiliki Pan Yok Hian Thian Sin Kang. tentu terluka oleh pukulannya."

"Syukurlah kini urusan itu telah beres. Hanya saja...."

Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan kepala. "Bu Ceng Sianli tidak ikut ke mari."

"Lebih baik dia tidak ke mari." ujar orang tua pincang. "Sebab dia sangat mencintai Bun Yang. Kalau dia berada di sini, aku justru khawatir akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan."

"Itu tidak mungkin," sahut Tio Bun Yang.

"Bun Yang!" Orang tua pincang menatapnya. "Cinta bisa membuat orang jadi buta dan nekad lho!" ujarnya.

"Paman tua!" Tio Bun Yang tersenyum. "Aku tetap mempercayai Bu Ceng Sianli tidak akan begitu, sebab aku sudah tahu bagaimana sifatnya."

"Betul." Siang Koan Goat Nio manggut-manggut. "Bu Ceng Sianli berhati mulia, dia tidak akan begitu."

"Kalian  berdua...."          Orang    tua         pincang                menggeleng-

gelengkan kapala. "Memang berhati polos."

"Ha ha ha! Kepolosan mereka justru menuntun mereka ke jalan yang benar dan penuh kebahagiaan!" Terdengar suara sahutan, kemudian melayang turun seorang padri tua. "Omitohud...."

"Tayli Lo Ceng!" Seru Tio Tay Seng dengan gembira.



"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Lo Ceng, angin apa yang meniupmu ke mari?"

"Omitohud!" sahut Tayli Lo Ceng. "Aku ke mari karena ingin minum arak kebahagiaan."

"Kepala gundul!" Kou Hun Bijin menatapnya. "Di saat kami dilanda duka, engkau sama sekali tidak muncul! Kini dalam suasana gembira dan semarak, engkau malah ke mari! Dasar kepala gundul!"

"Ha ha ha! Kalau aku muncul di saat kalian di landa duka, tentu kalian akan bertambah duka. Kini aku ke mari, sudah pasti kalian akan bertambah gembira. Begitu pula aku. Ya, kan? Omitohud!"

"Sudahlah! Cepat duduk!" sahut Kou Hun Bijin.

"Oh ya!" Tayli Lo Ceng memandang Si Pincang sambil duduk. "Bukankah engkau ingin melamar Lie Ai Ling untuk muridmu? Kenapa malah diam saja?"

"Eh?" orang tua pincang terbelalak. "Lo Ceng kok tahu?"

"Dia peramal yang tak laku," sahut Kou Hun Bijin dan menambahkan. "Tapi kepandaiannya tinggi sekali."

"Oh, ya?" Tiba-tiba orang tua pincang teringat sesuatu. "Lo Ceng adalah Tayli Sin Ceng?"

"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng sambil mengangguk. "Ayahmu yang memberitahukan?"

"Ya." Orang tua pincang segera memberi hormat. "Lo Ceng, terimalah hormatku!"

"Omitohud!" Tayli Lo Ceng tersenyum. "Cepatlah ajukan lamaranmu kepada Lie Man Chiu!"

"Ya, Lo Ceng." Orang tua pincang mengangguk. "Man Chiu, aku melamar putrimu untuk Sie Keng Hauw muridku."



"Ha ha ha." Tio Tay Seng tertawa gelak. "Engkau tidak melamar pun mereka akan kami nikahkan!"

"Terimakasih, Tio Tocu!" Orang tua pincang tertawa gembira. "Ha ha ha!"

Tayli Lo Ceng memandang Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio seraya bertanya, "Kapan kalian akan melangsungkan pernikahan?"

"Setelah pihak Tayli ke mari," jawab Tio Bun Yang.

"Ngmm!" Tayli Lo Ceng manggut-manggut, Di saat itulah mendadak Lu Hui San bersuara.

"Lo Ceng sudah bertemu Khong Sim Ni Kouw?"

"Omitohud!" sahut Tayli Lo Ceng. "Kami sudah bertemu."

"Lo Ceng, bagaimana keadaannya?" tanya Lu Hui San.

"Dia lebih bahagia dari pada kita," Jawab Tayli Lo Ceng. "Sebab kini dia telah berada di surga."

"Apa?" Wajah Lu hui San langsung berubah murung. "Khong Sim Ni Kouw sudah meninggal?" "Ya." Tayli Lo Ceng mengangguk. "Omitohud...." Di saat mereka sedang bercakap-cakap, mendadak muncul Ngo Tok Kauwcu Phang Ling Cu.

"Kakak Ling Cu!" seru Tio Bun Yang girang. "Kakak Ling Cu...."

"Adik Bun Yang," sahut Ngo Tok Kauwcu sambil tersenyum,. "Engkau dan Goat Nio...."

"Mereka berdua tidak jadi mati," ujar orang tua pincang, yang bermulut usil seperti Sam Gan Sin Kay. "Sebab mereka berdua harus melangsungkan pernikahan."

"Pincang!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Aku tidak menyangka kalau engkau pun begitu usil. Hati-hati terhadap Kou Hun Bijin, karena dia akan menamparmu."



"Ha ha ha!" Orang tua pincang tertawa. "Sudah dua kali aku di tampar oleh Bu Ceng Sianli. Kalau sekarang ditampar Kou Hun Bijin, sudah tidak jadi masalah."

"Pengemis bau!" Kou Hun Bijin melotot. "Engkau berani menyindirku?"

"Aku tidak menyindir." Sam Gan Sin Kay tersenyum. "Bukankah engkau pernah menamparku?"

"Kalau engkau banyak omong lagi. gigimu pasti rontok!" ujar Kou Hun Bijin sengit

"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Gigiku tidak bakal rontok, karena aku sudah ompong!"

"Dasar pengemis bau!" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan.

"Sama," ujar orang tua pincang rnendadak. "Persis seperti Bu Ceng Sianli yang suka tertawa cekikikan! Ha ha ha...!"

"Jangan-jangan mereka berdua kakak beradik!" Sam Gan Sin Kay menyengir.

"Sayang sekali dia tidak ke mari!" Kou Hun Bijin menghela nafas panjang dan menambahkan "Aku akan mengangkat saudara dengan dia."

Sementara Tio Bun Yang memperkenalkan mereka kepada Ngo Tok Kauwcu. Segeralah Ngo Tok Kauwcu memberi hormat. Setelah itu, Tio Bun Yang pun bertanya,

"Kenapa kakak Ling Cu ke mari? Apakah sudah tahu tentang aku dan Goat Nio?"

"Ya." Ngo Tok Kauwcu mengangguk. "Bu Ceng Sianli yang memberitahukan kepadaku."

"Dia?" Tio Bun Yang tertegun. "Dia ke markasmu memberitahukan padamu?"



"Ng!" Ngo Tok Kauwcu mengangguk lagi. "Maka aku segera ke mari."

"Kakak Ling Cu tahu dia pergi ke mana?" tanya Tio Bun Yang mendadak.

Ngo Tok Kauwcu menggelengkan kapala.

"Setelah memberitahukan, dia langsung melesat pergi tanpa pamit." Ngo Tok Kauwcu menghela nafas panjang.

"Aaaah...!" Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.

Ngo Tok Kauwcu memandang Tio Bun Yang seraya bertanya, "Kapan engkau dan Goat Nio akan melangsungkan pernikahan?"

"Setelah pihak Tayli ke mari," Jawab Tio Bun Yang dengan wajah agak kemerah-merahan.

"Oooh!" Ngo Tok Kauwcu manggut-manggut.

"Kakak Ling Cu, silakan duduk!" ucap Tio Bun Yang.

"Terimakasih!" Ngo Tok Kauwcu duduk, kemudian bercakap-cakap dengan Siang Koan Goat Nio.

-oo0dw0oo-


Tujuh hari kemudian pihak Tayli tiba di Pulau Hong Hoang To. Betapa gembiranya mereka ketika melihat Tayli Lo Ceng, dan mereka bersujud di hadapan padri tua itu.

"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng sambil tersenyum lembut. "Bangunlah kalian!"

Mereka bangkit berdiri, lalu memberi hormat kepada tingkatan tua pihak Pulau Hong Hoang To.

"Ha ha ha" Tio Tay Seng tertawa gembiia. "Terimakasih atas kedatangan kalian!"



"Cie Hiong!" Toan Wie Kie dan Lam Kiong Bie Liong menghampirinya sambil tersenyum. "Kami ucapkan selamat padamu!"

"Terimakasih, terimakasih!" sahut Tio Cie Hiong.

"Kini kita sudah tenang," ujar Toan Wie Kie. "Sungguh tak disangka, kemunculan Bun Yang dan Goat Nio justru menyelamatkan putraku dan lainnya!"

"Kita semua harus bersyukur kepada Thian (Tuhan) Yang Maha Adil, Bijaksana dan Pengasih," ucap Tio Cie Hiong.

Sementara itu, Gouw Han Tiong, Lim Peng Hang dan lainnya juga sedang bercakap-cakap dengan serius sekali.

"Kami mendengar suatu berita yang sangat mengejutkan di Tionggoan," ujar Gouw Han Tiong.

"Berita tentang apa?" tanya Lim Peng Hang tegang.

"Menteri Bun telah tewas." Gouw Han Tiong memberitahukan.

Lim Peng Hang terbelalak. "Siapa yang membunuhnya?"

"Salah seorang menteri yang menaruh dendam kepadanya." Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan kepala. "Menteri itu memfitnahnya telah bersekongkol dengan Lie Tsu Seng, maka kaisar menurunkan perintah menghukum mati padanya."

"Aaaah...!"  Lim  Peng  Hang  menghela  nafas  panjang.

"Kini pasti menteri itu yang berkuasa!" tukasnya.

"Betul." Gouw Han Tiong manggut-manggut dan menambahkan, "Karena menteri itu adalah kawan baik jenderal Gouw Sam Kui."

"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Gouw Sam Kui pasti familimu, karena kalian bermarga Gouw."



"Sudahlah." sela Kou Hun Bijin. "Jangan terus membicarakan itu, lebih baik membicarakan pernikahan putriku dengan Bun Yang. Kapan mereka berdua akan dinikahkan?"

"Bijin, kenapa engkau yang kalut?" sahut Sam Gan Sin

Kay.

"Tentu. Sebab Goat Nio adalah putri kami satu-satunya," ujar Kou Hun Bijin.

"Sama," sahut Sam Gan Sin Kay. "Bun Yang juga anak tunggal. Oleh karena itu, mereka berdua harus menikah besok."

"Setuju." Kou Hun Bijin tertawa gembira. "Hi hi hi! Putri kami akan menikah besok! Hi hi hi...!"

"Kalau begitu muridku juga harus menikah dengan Lie Ai Ling besok." sela orang tua pincang.

"Setuju. Memang sudah waktunya putriku menikah dengan Sie Keng Hauw." sahut Lie Man Chiu.

"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Pokoknya pesta harus berlangsung tiga hari tiga malam!"

"Omitohud!" ucap Tayli Lo Ceng sambil tersenyum. "Setelah Bun Yang menikah dengan Goat Nio dan Sie Keng Hauw menikah dengan Lie Ai Ling, maka kalian semua harus berangkat ke Tayli. Karena Toan Beng Kiat akan menikah dengan Bokyong Sian Hoa dan Yo Kiam Heng akan menikah dengan Lam Kiong Soat Lan."

"Baik." Sahut Tio Tay Seng. "Kami semua pasti ke sana."

"Aku punya usul," ujar Tio Cie Hiong mendadak sambil tersenyum serius.

"Usul apa?" Kou Hun Bijin tercengang.

"Kam Hay Thian dan Lu Hui San juga harus menikah besok," sahut Tio Cie Hiong.

"Setuju!" seru yang lain sambil tertawa gembira.

Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio saling memandang, kemudian tersenyum bahagia. Begitu pula Sie Keng Hauw, Lie Ai Ling, Kam Hay Thian dan Lu Hui San, mereka pun tampak tersenyum bahagia.

TAMAT

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar