Begitu totokan pada tubuhnya
telah terbuka, Linghu Chong hanya perlu mengerahkan sedikit tenaga saja dan
seketika tali tambang yang mengikat kedua tangannya pun putus berhamburan.
Dengan cepat ia melolos pedang pendek dari balik baju sambil berkata, “Kitab
pusaka ada di sini. Siapa yang ingin membaca?”
Sepasang Orang Aneh Tongbai
adalah yang paling polos di antara kawanan penjahat itu. Mereka lambat berpikir
dan tidak menyadari bahwa kedua tangan Linghu Chong telah terbebas dari ikatan.
Maka, begitu mendengar ucapan Linghu Chong tersebut, tanpa pikir panjang mereka
lantas mengulurkan tangan masing-masing untuk menerimanya dengan perasaan
senang.
Tiba-tiba sinar perak
berkelebat dua kali. Disusul kemudian pergelangan tangan kanan Sepasang Orang
Aneh Tongbai masing-masing telah terpotong dan jatuh ke lantai. Serentak mereka
berdua menjerit ngeri sambil melompat mundur.
Linghu Chong lantas
mengerahkan tenaga memutuskan tali pengikat pada kakinya. Begitu tubuhnya
benar-benar bebas, ia pun melompat ke depan Ren Yingying dan berkata kepada You
Xun, “Begitu jurus pedang bekerja, segera bunuh semua habis-habisan! Nah,
Saudara You, itulah kalimat kunci pada Jurus Pedang Penakluk Iblis. Apa kau
masih ingin membaca kitab pusaka ini?”
Si licik You Xun menyadari hanya
tinggal dirinya seorang yang masih tersisa. Dengan muka pucat pasi seperti
mayat ia menjawab gugup, “Ter… terima kasih, aku ... aku tidak … tidak ingin
membacanya!”
“Ah, jangan terlalu sungkan.
Cukup baca sekilas saja juga boleh. Ini tidak akan menyakitkan,” ujar Linghu
Chong dengan tersenyum. Sambil berkata demikian ia mengurut dan menepuk
punggung serta pinggang Ren Yingying untuk melancarkan urat nadi gadis itu yang
masih tertotok.
Dengan badan gemetar You Xun
berkata, “Tuan Muda … Tuan Muda Linghu, Tuan ... Tuan Pendekar Linghu, kau …
kau … kau ….” mendadak ia bertekuk lutut dan menyembah, “Hamba memang pantas
mati. Asalkan Gadis … Gadis Suci dan Ketua Linghu memberi perintah, sekalipun
menyeberangi lautan api atau terjun ke dalam air mendidih juga … juga hamba
laksanakan.”
Linghu Chong berkata sambil
mencibir, “Untuk mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis, maka langkah pertama
sangat menyenangkan. Mengapa kau tidak mencobanya?”
Berkali-kali You Xun menyembah
dan berkata, “Gadis Suci dan Ketua Linghu sangat bijaksana, setiap kaum
persilatan mengetahui hal ini. Hamba mohon ampun dan mohon izin untuk menebus
dosa dengan mengabdi setulus hati. Hamba akan menyiarkan ke seluruh dunia
persilatan, bahwa Gadis Suci dan Ketua Linghu adalah sepasang … sepasang ...
eh, maksudku ... maksudku ....” Seketika You Xun merasa serbasalah. Ia ingat
bahwa sifat Ren Yingying sangat pemalu dan suka menutup-nutupi hubungannya
dengan Linghu Chong. Dengan mengucapkan istilah “sepasang” tadi, You Xun
menjadi semakin ketakutan jangan-jangan Sang Gadis Suci justru semakin marah
kepadanya,
Saat itu Ren Yingying telah
bangkit dan melihat Sepasang Orang Aneh Tongbai masih berdiri berdampingan.
Keduanya adalah sepasang laki-laki dan perempuan yang aneh. Masing-masing hanya
memiliki satu mata dan satu kaki dengan dibantu tongkat tembaga sebagai
penyangga sekaligus senjata. Kini Linghu Chong bahkan baru saja membuat mereka
masing-masing kehilangan tangan kanan.
Meskipun darah masih mengucur
dari luka keduanya, namun tidak sedikit pun rasa gentar terlihat pada wajah
mereka. Sungguh sangat berbeda dengan You Xun yang sejak tadi suka berlagak,
namun kini bertekuk lutut dengan wajah pucat pasi.
Ren Yingying lantas bertanya,
“Apakah kalian pasangan suami-istri?”
Yang laki-laki dari Sepasang
Orang Aneh Tongbai bernama Zhou Gutong, dan yang perempuan bernama Wu Baiying.
Menanggapi pertanyaan itu, Zhou Gutong menjawab bengis, “Kami berdua telah
jatuh ke tanganmu. Hendak membunuh atau menyiksa pelan-pelan juga terserah
kalian. Untuk apa banyak bertanya segala?”
Ren Yingying sangat suka
kepada sifat seperti ini. Dengan nada dingin ia pun kembali berkata, “Aku
bertanya apakah kalian ini suami-istri atau bukan?”
Wu Baiying menjawab, “Kami
sudah hidup bersama selama dua puluh tahun. Hubungan kami jauh lebih baik
daripada orang lain yang menikah secara resmi.”
“Di antara kalian berdua hanya
seorang saja yang akan kubiarkan hidup,” kata Ren Yingying. “Kalian ini
masing-masing hanya memiliki satu kaki, satu tangan, dan satu .…” Teringat
bahwa ayahnya juga bermata satu seketika Ren Yingying menghentikan ucapannya.
Setelah diam sejenak barulah ia melanjutkan, “Kalian berdua silakan bertarung
sampai mati salah satu. Yang menang boleh pergi dari sini dengan bebas.”
“Setuju!” seru Sepasang Orang
Aneh Tongbai bersama-sama. Segera tongkat penyangga mereka bergerak, namun
masing-masing mengayun ke batok kepala sendiri.
“Tunggu dulu!” seru Ren
Yingying berteriak. Dengan pedang panjang di tangan kanan dan pedang pendek di
tangan kiri ia melompat maju dan menangkis kedua tongkat tersebut. Rupanya
kedua orang ini bertekad bulat hendak bunuh diri sehingga masing-masing memukul
kepala sendiri dengan sangat keras. Tangan kanan Ren Yingying berhasil
menangkis tongkat Zhou Gutong, namun karena tangan kirinya lebih lemah sehingga
hanya sedikit memperlambat laju tongkat Wu Baiying. Akibatnya, kepala wanita
itu tetap terserempet oleh tongkatnya sampai mengucurkan darah.
“Biar aku saja yang bunuh
diri,” seru Zhou Gutong kepada pasangannya. “Gadis Suci sudah menyatakan akan
membebaskan salah satu dari kita. Bukankah ini yang terbaik?”
“Aku saja yang mati, biar kau
yang hidup. Kenapa juga harus berebut di antara kita?” sahut Wu Baiying.
Ren Yingying mengangguk dan
berkata, “Bagus sekali. Cinta kalian berdua memang teguh. Benar-benar cinta
sejati. Aku sungguh-sungguh menghargai hubungan kalian. Nah, kalian berdua
kubiarkan tetap hidup. Lekas kalian balut tangan kalian yang buntung itu.”
Sungguh senang rasa hati
Sepasang Orang Aneh Tongbai. Segera mereka membuang tongkat masing-masing,
kemudian si pria membalut luka yang wanita, dan si wanita membalut luka si
pria.
“Tapi masih ada syaratnya.
Kalian harus melaksanakan ini dengan baik,” kata Ren Yingying kemudian.
“Setelah turun gunung, kalian harus segera menyembah langit dan bumi,
mengadakan upacara pernikahan secara resmi. Kalian sudah lama hidup bersama
tanpa ikatan pernikahan, bukankah ini ….” Sebenarnya ia hendak mengatakan
“bukankah ini tidak pantas?” namun segera teringat bahwa dirinya juga sudah
lumayan lama berkelana bersama Linghu Chong tanpa ikatan resmi. Menyadari hal
itu seketika kepalanya tertunduk dan wajahnya bersemu merah.
Sepasang Orang Aneh Tongbai
saling pandang sejenak, lalu keduanya memberi hormat dan berkata, “Terima kasih
atas kebaikan Gadis Suci.”
Ren Yingying lalu menyuruh
Zhou Gutong untuk menanggalkan pakaian dan menukarnya dengan pakaian perempuan
yang dipakai Linghu Chong. Sementara itu, You Xun terdengar ikut bicara, “Gadis
Suci berbudi luhur, Beliau tidak hanya mengampuni jiwa kalian berdua, tapi juga
memberikan saran demi kebaikan hidup kalian di masa yang akan datang. Sungguh
peruntungan kalian tidaklah kecil. Aku sangat mengetahui kebaikan budi Gadis
Suci sehingga bersyukur menjadi bawahan Beliau. Aku akan melayani Gadis Suci
seumur hidup dengan sepenuh hati.”
Ren Yingying lantas bertanya,
“Atas perintah siapa kalian datang ke Gunung Henshan kali ini, dan ada muslihat
apa?”
“Hamba telah tertipu oleh si
anjing busuk Yue Buqun,” jawab You Xun. “Ia mengaku telah mendapatkan Lencana
Kayu Hitam dari Ketua Ren. Ia mengaku mendapat titah untuk menangkap semua
murid Perguruan Henshan dan membawa mereka ke Tebing Kayu Hitam.”
“Yue Buqun memegang Lencana
Kayu Hitam?” sahut Ren Yingying menegas.
“Benar sekali,” jawab You Xun.
“Hamba melihat dengan mata kepala sendiri dia benar-benar memegang Lencana Kayu
Hitam lambang kebesaran Sekte Matahari dan Bulan. Jika tidak, mana mungkin
hamba sudi melaksanakan perintahnya? Bukankah hamba selamanya selalu tunduk dan
patuh terhadap Ketua Ren dan Gadis Suci belaka?”
Ren Yingying tampak termenung
dan berpikir, “Bagaimana caranya Yue Buqun bisa memegang Lencana Kayu Hitam?
Ah, aku lupa kalau dia telah menelan Pil Pembusuk Otak sehingga mau tidak mau
harus tunduk kepada sekte kami. Mungkinkah dia datang menemui Ayah dan
mendapatkan lencana tersebut?”
Usai berpikir demikian ia
lantas bertanya, “Apakah Yue Buqun menjanjikan kepada kalian bahwa ia akan
mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis apabila kalian berhasil melaksanakan
perintah?”
You Xun kembali menyembah dan
menjawab, “Si anjing Yue Buqun benar-benar bermulut manis. Kami termakan
tipuannya.”
Ren Yingying bertanya, “Kalian
tadi berkata bahwa tugas ini telah dijalankan dengan baik. Bagaimana caranya
bisa terjadi demikian?”
You Xun menjawab, “Ada beberapa
orang yang menaburkan racun di sumber mata air di puncak gunung, sehingga semua
murid Perguruan Henshan terbius tak sadarkan diri. Bahkan, para anggota lainnya
yang tinggal di Lembah Tongyuan juga ikut pingsan pula. Saat ini mereka semua
telah dibawa menuju ke Tebing Kayu Hitam.”
“Apakah ada orang-orang yang
terbunuh?” sahut Linghu Chong.
“Sebanyak delapan atau
sembilan orang anggota yang tinggal di Lembah Tongyuan terpaksa dibunuh, karena
mereka tidak mempan terhadap obat bius dan berusaha melawan,” jawab You Xun.
“Siapa mereka?” tanya Linghu
Chong mendesak.
“Hamba tidak mengenal siapa
mereka,” ujar You Xun. “Hanya saja ... mereka bukan sahabat baik Ketua Linghu.”
Linghu Chong manggut-manggut
lega. Terdengar Ren Yingying berkata, “Mari kita tinggalkan tempat ini.”
“Baik,” jawab Linghu Chong
sambil memungut pedang panjang peninggalan Biksu Xibao, sementara pedang pendek
sudah sejak tadi dikembalikannya kepada Ren Yingying. “Bila kita bertemu lagi
dengan perempuan galak itu, aku harus memberi pelajaran kepadanya dengan baik,”
katanya sambil tertawa.
“Terima kasih banyak atas
kebaikan hati Gadis Suci dan Pendekar Linghu yang mengampuni selembar nyawa
hamba,” ujar You Xun senang.
“Ah, jangan terlalu sungkan,”
sahut Ren Yingying. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan kiri dan secepat kilat
pedang pendeknya melesat dan menancap di dada You Xun. Manusia licik bermulut
licin yang seumur hidup suka berlagak itu pun roboh dan tewas seketika.
Linghu Chong dan Ren Yingying
lalu turun meninggalkan Loteng Kura-Kura Sakti tersebut. Suasana pegunungan
begitu sunyi dan hanya suara kicauan burung saja yang terdengar. Ren Yingying
menoleh ke arah Linghu Chong yang kini berkepala botak, membuatnya tertawa
cekikikan.
Menanggapi hal itu Linghu
Chong menghela napas dan berkata, “Linghu Chong telah mencukur rambut dan
menjadi biksu. Mulai hari ini aku sudah bertekad bulat hendak meninggalkan
masyarakat ramai. Maka itu, sampai di sini saja kebersamaan kita, Nona. Marilah
kita berpisah sekarang juga.”
Ren Yingying sadar pemuda itu
hanya bergurau saja. Namun, karena cintanya begitu mendalam, mau tidak mau
hatinya merasa khawatir. Ia pun berkata, “Kakak Chong, kau jangan bergurau
seperti ini. Aku … aku ….” Padahal saat membunuh You Xun tadi sedikit pun ia
tidak berkedip. Namun, mendengar ucapan Linghu Chong yang terkesan
sungguh-sungguh itu tanpa terasa tubuhnya gemetar.
Linghu Chong terkesan
melihatnya. Sambil menepuk dahi sendiri ia pun berkata, “Tapi karena didampingi
seorang calon istri yang cantik jelita seperti ini, maka si biksu memilih
kembali lagi ke dalam masyarakat ramai.”
“Huh, kukira setelah You Xun
mati tidak ada lagi manusia yang bermulut licin di dunia ini,” ujar Ren
Yingying sambil tertawa. “Kukira dunia persilatan akan tenang dan damai tanpa
manusia bermulut licin seperti dia. Tak kusangka ... hehe.”
Linghu Chong tersenyum
menjawab, “Aku bukan manusia bermulut licin. Cobalah kau sentuh kepalaku. Mulai
sekarang aku pantas dijuluki si manusia berkepala licin.”
“Huh, kita bicara persoalan
yang penting saja,” sahut Ren Yingying kemudian. “Murid-murid Perguruan Henshan
sudah dibawa pergi ke Tebing Kayu Hitam. Kita harus segera membebaskan mereka.
Ini benar-benar masalah yang rumit. Bahkan, ini bisa merusak hubungan baik
antara aku dan Ayah ….”
“Benar,” ujar Linghu Chong.
“Bahkan ini juga bisa merusak hubungan baik antara menantu dengan bapak
mertua.”
Ren Yingying melirik pemuda
itu dengan tatapan galak, namun dalam hati merasa senang sekali.
Linghu Chong melanjutkan,
“Urusan ini jangan sampai terlambat. Kita harus lekas-lekas menyusul ke sana
untuk menolong mereka. Kita harus menghadang di tengah jalan.”
“Benar. Kita harus membunuh
semua orang suruhan Yue Buqun. Basmi mereka tanpa kecuali, agar jangan sampai
Ayah tahu,” kata Ren Yingying. Sejenak kemudian tiba-tiba ia menghela napas.
Linghu Chong dapat memahami
perasaannya. Si nona bermaksud menyembunyikan urusan besar seperti ini dari
telinga Ren Woxing, meskipun hal ini jelas tidak mudah. Sebaliknya, Linghu
Chong sendiri menjabat sebagai ketua Perguruan Henshan, maka begitu semua
anggotanya ditawan orang, mana boleh ia tinggal diam tanpa menolong? Ren
Yingying memang sudah bertekad hendak membela dan membantunya, meskipun harus
rela melawan perintah ayah sendiri.
Mengingat urusan sudah seperti
ini, maka segala sesuatu harus diputuskan dengan tegas. Linghu Chong lantas
mengulurkan tangan kirinya untuk menggenggam erat-erat tangan kanan Ren
Yingying. Semula gadis itu hendak meronta, tapi melihat keadaan begitu sepi
tiada seorang pun yang tampak, maka ia pun diam saja membiarkan tangannya
dipegang Linghu Chong.
“Yingying, aku paham
perasaanmu,” kata Linghu Chong. “Urusan ini tentu akan membuat kalian, ayah dan
anak berselisih paham. Sungguh aku merasa tidak enak hati.”
“Jika Ayah memikirkan diriku
tentu takkan membuat susah Perguruan Henshan,” kata Ren Yingying sambil
menggeleng perlahan. “Menurut dugaanku, Ayah tidak bermaksud buruk kepadamu.”
Seketika Linghu Chong dapat
menangkap maksud ucapan tersebut. Ia pun berkata, “Benar juga. Sepertinya
ayahmu sengaja menangkap murid-murid Henshan sebagai sandera agar aku bergabung
dengan Sekte Matahari dan Bulan.”
“Tepat,” ujar Ren Yingying.
“Sesungguhnya Ayah sangat suka kepadamu. Apalagi kau adalah satu-satunya ahli
waris ilmu sakti Ayah.”
“Aku sendiri juga sangat
menghormati ayahmu. Apalagi Beliau adalah ayah dari nenekku, sehingga terhitung
kakek buyutku. Tapi aku sudah pasti tidak sudi masuk menjadi anggota sekte
kalian,” jawab Linghu Chong. “Aku merasa muak dan ngeri bila mendengar sanjung
puji para anggota terhadap ayahmu, semacam: ‘Semoga Ketua panjang umur, hidup
abadi, merajai dunia persilatan.’”
“Ya, aku tahu. Maka itu, aku
pun tidak pernah membujukmu agar masuk menjadi anggota sekte kami,” kata Ren
Yingying. “Bila kau masuk sekte, kelak kau pun akan diangkat menjadi ahli waris
kedudukan Ayah. Setelah resmi menjadi ketua, siang-malam kau akan selalu
mendengar sanjung puji para anggota yang membuatmu risih dan jijik. Namun,
lama-lama kau akan terbiasa dan sifatmu pasti juga akan berubah tidak seperti ini
lagi. Contohnya, sejak Ayah pulang kembali ke Tebing Kayu Hitam, pribadinya
sudah berubah dengan cepat.”
“Tapi kita juga tidak boleh
membuat ayahmu marah,” ujar Linghu Chong sambil menggenggam tangan Ren Yingying
yang satu lagi. Ia lantas menyambung, “Yingying, setelah kita bebaskan
murid-murid Perguruan Henshan, segera kita langsungkan upacara pernikahan saja.
Tidak perlu kita terlalu banyak adat, misalnya memakai perantara makcomblang
dan bertunangan segala. Kita berdua lantas meletakkan senjata dan mengundurkan
diri dari dunia persilatan. Kita hidup mengasingkan diri tanpa mencampuri
urusan luar. Yang kita pikirkan hanyalah bagaimana membuat banyak anak saja.”
Semula Ren Yingying
mendengarkan semua ucapan Linghu Chong dengan termangu saja. Raut mukanya
tampak bersemu merah, dan hati senang tak terlukiskan. Namun, begitu mendengar
kalimat terakhir, seketika ia pun terkejut dan melotot. Sekuatnya ia meronta
dan melepaskan kedua tangannya dari genggaman Linghu Chong.
“Hei, setelah menjadi suami
istri bukankah harus punya anak?” ujar Linghu Chong dengan tertawa.
“Jika kau sembarangan bicara
lagi, maka selama tiga hari aku tidak akan bicara denganmu,” ancam Ren
Yingying.
Linghu Chong hafal watak gadis
itu yang selalu menepati ucapannya. Maka, ia pun menjawab sambil menjulurkan
lidah, “Baiklah, urusan yang lebih penting harus kita selesaikan dulu. Mari
kita pergi ke Puncak Jianxing lebih dulu untuk melihat keadaan.”
Dengan ilmu meringankan tubuh
masing-masing keduanya dapat mencapai puncak utama Gunung Henshan tersebut
dengan cepat. Setibanya di Biara Wuse ternyata tidak seorang pun terdapat di
sana. Tempat tinggal para murid juga kosong melompong. Berbagai perabotan
berserakan di sana-sini, pedang dan golok juga tercecer di mana-mana. Untungnya
di tempat itu tidak terdapat noda darah sedikit pun, sepertinya tidak sampai
ada jatuh korban.
Mereka berdua kemudian pergi
ke Lembah Tongyuan. Di tempat itu juga tidak terdapat seorang pun. Hanya di
atas meja masih tersisa bermacam-macam makanan dan arak. Seketika Linghu Chong
ketagihan minum, namun sama sekali tidak berani minum sisa arak tersebut. Jelas
ia teringat cerita You Xun tentang obat bius yang disebarkan para pengikut Yue
Buqun.
“Perutku sudah lapar. Marilah
kita turun gunung saja untuk mencari makan,” ajaknya kemudian.
Ren Yingying lantas merobek
baju luar Linghu Chong dan memakaikannya sebagai pembungkus kepala kekasihnya
itu. Linghu Chong tertawa dan berkata, “Memang harus begini. Jika tidak,
bisa-bisa aku dituduh sebagai biksu yang menculik anak gadis orang.”
Keduanya lantas turun gunung
dan menemukan kedai makan pada saat lewat tengah hari. Setelah mengisi perut
sampai kenyang mereka lantas melanjutkan perjalanan dan menemukan jalur menuju
Tebing Kayu Hitam. Sambil menghela napas dalam-dalam pasangan tersebut pun
bergegas menyusuri jalan tersebut dengan cepat.
Beberapa jam kemudian,
tiba-tiba dari balik gunung sayup-sayup terdengar suara orang membentak dan
memaki. Sewaktu mereka berhenti dan mendengarkan dengan seksama, sepertinya itu
adalah suara Enam Dewa Lembah Persik. Dengan cepat mereka pun melaju ke arah
datangnya suara. Lambat laun suara-suara itu terdengar semakin jelas, dan
memang benar suara Enam Dewa Lembah Persik.
“Keenam bayi ini sedang
bertengkar dengan siapa?” kata Ren Yingying dengan suara tertahan.
Setelah berbelok di suatu
tanjakan, mereka lantas bersembunyi di balik pohon. Terdengar Enam Dewa Lembah
Persik masih saja membentak-bentak sambil mengepung satu orang. Rupanya mereka
sedang bertempur sengit. Orang yang sedang dikeroyok itu bergerak dengan
kecepatan luar biasa, hanya terlihat sosok bayangannya menyelinap kian-kemari
di antara keenam lawannya itu. Ketika diperhatikan dengan seksama, ternyata
orang itu adalah ibu Yilin, yaitu si nenek penjaga Kuil Gantung.
Sejenak kemudian, terdengar
suara Dewa Akar Persik dan Dewa Buah Persik berteriak-teriak. Rupanya pipi
mereka masing-masing telah terkena tamparan si nenek.
Linghu Chong senang melihat
hal ini. Ia pun berbisik kepada Ren Yingying, “Ini namanya hutang besar bayar kontan!
Biar aku yang ganti mencukur gundul kepalanya.” Segera ia pun bersiap-siap.
Tangannya menggenggam gagang pedang, menunggu Enam Dewa Lembah Persik kewalahan
dan ia pun melompat keluar untuk membantu.
Sementara itu kembali
terdengar suara tamparan berulang-ulang. Enam Dewa Lembah Persik berturut-turut
terkena pukulan tangan si nenek. Keenam bersaudara itu sangat murka. Sungguh
mereka bermaksud hendak memegang kaki dan tangan perempuan itu agar dapat
merobek tubuhnya menjadi empat potong. Akan tetapi, gerakan si nenek memang
sangat cepat laksana bayangan setan. Beberapa kali Enam Dewa Lembah Persik
nyaris berhasil memegang kaki atau tangannya, namun selalu luput terpaut
satu-dua senti saja. Setelah itu kembali mereka terkena tamparan lagi.
Sebaliknya, si nenek juga
sadar bahwa keenam lawannya sangat kuat dan gesit pula. Ia sendiri khawatir
kehabisan tenaga dan akhirnya bisa tertangkap oleh keenam bersaudara itu. Maka
tidak lama kemudian, perempuan itu kembali membuka serangan. Berturut-turut ia
menampar muka empat orang lawannya, kemudian melompat ke belakang dan melesat
hendak melarikan diri. Langkah si nenek ini benar-benar secepat kilat. Hanya
dalam sekejap saja sudah puluhan meter jauhnya. Meskipun Enam Dewa Lembah
Persik membentak-bentak dan sesumbar, tetap saja sukar untuk menyusulnya.
Namun sialnya, si nenek justru
berlari ke arah persembunyian Linghu Chong dan Ren Yingying. Segera saja Linghu
Chong melompat keluar sambil melintangkan pedang dan membentak, “Mau lari ke
mana?” Begitu sinar putih berkelebat, seketika ujung pedangnya mengacung ke
leher perempuan itu.
Karena serangan ini mengarah
ke tempat yang mematikan, si nenek terkejut. Ia pun menoleh untuk menghindar.
Namun, Linghu Chong lantas memiringkan pedangnya ke samping mengincar bahu kanan
si nenek. Dalam keadaan tidak bisa berkelit lagi, terpaksa si nenek melompat
mundur.
Linghu Chong lantas maju dan
kembali menusuk sehingga perempuan itu terpaksa mundur lagi selangkah. Dengan
pedang di tangan, jelas si nenek bukan tandingannya. Dalam tiga kali serangan
Linghu Chong kembali mendesak mundur perempuan itu beberapa langkah. Kalau dia
mau, tentu dengan mudah riwayat si nenek sudah berakhir di tangannya.
Melihat itu, Enam Dewa Lembah
Persik bersorak gembira. Begitu ujung pedang Linghu Chong sudah menodong di
depan dada si nenek dan membuatnya tidak berani bergerak lagi, pada saat itulah
Enam Dewa Lembah Persik memburu maju. Empat orang di antaranya serentak
memegang kedua kaki dan kedua tangan perempuan itu dan mengangkatnya ke atas.
“Jangan membunuhnya!” teriak
Linghu Chong.
Namun Dewa Bunga Persik masih
penasaran. Dengan gemas ia menampar muka si nenek satu kali.
“Gantung saja dia!” seru
Linghu Chong.
“Ya, benar. Tapi di mana ada
tali?” seru Dewa Akar Persik.
Enam Dewa Lembah Persik tidak
satu pun yang membawa tali. Di tengah hutan seperti itu juga sulit untuk
mencari tali. Dewa Bunga Persik dan Dewa Dahan Persik berusaha mencari di
sekitar situ. Ketika sedikit saja pegangan keempat Dewa Persik yang lainnya
agak kendur, segera si nenek meronta dan melepaskan diri. Secepat kilat ia
menggelinding di tanah untuk kemudian melesat pergi.
Namun, baru saja perempuan itu
bermaksud lari sekuat tenaga, tiba-tiba di punggungnya terasa sudah menempel
suatu benda tajam. Sekejap kemudian terdengar Linghu Chong berkata dengan
tersenyum, “Berhenti! Tetap di sini!” Ternyata ujung pedangnya telah mengancam
punggung si nenek.
Sama sekali si nenek tidak
menyangka ilmu pedang Linghu Chong sedemikian hebatnya. Wajahnya tampak pucat
dan hatinya menjadi gentar. Terpaksa ia hanya berdiri mematung, tidak berani
bergerak lagi.
Segera Enam Dewa Lembah Persik
memburu maju. Enam jari pun bekerja serentak, masing-masing menotok titk-titik
nadi di tubuh si nenek. Sambil meraba pipi yang panas dan perih akibat tamparan
tadi segera Dewa Dahan Persik bermaksud membalas.
Linghu Chong merasa tidak enak
hati bila ibu Yilin sampai terluka. Segera ia pun berseru, “Jangan dulu!
Biarlah kita kerek saja tubuhnya di atas pohon.”
Enam Dewa Lembah Persik sangat
senang mendengarnya. Tanpa disuruh lagi mereka lantas menguliti batang pohon
untuk dipintal menjadi tali. Linghu Chong lalu bertanya kepada mereka apa sebab
musababnya sampai berkelahi melawan perempuan itu.
Dewa Ranting Persik menjawab,
“Tadinya kami sedang berak bersama di sini. Selagi kami asyik menguras isi
perut, tiba-tiba saja perempuan ini berlari ke sini dan langsung bertanya,
‘Hei, apakah kalian melihat seorang biksuni cilik?’ – Cara bicaranya kasar,
juga mengganggu kami yang sedang berak ….”
Mendengar kata-kata yang
menjijikkan itu, Ren Yingying mengerutkan kening dan berjalan menyingkir agak
jauh.
Dengan tertawa Linghu Chong
lantas berkata, “Benar. Perempuan ini memang tidak kenal tatakrama pergaulan.”
“Sudah tentu kami tidak
mengubrisnya dan menyuruh dia lekas pergi,” lanjut Dewa Ranting Persik. “Tapi
perempuan ini lantas main pukul dan begitulah, kami pun berhantam dengannya.
Sebenarnya kami bisa menang dengan mudah. Tapi, pantat kami masih kotor dan
bau, membuat kami kurang leluasa dalam bertarung. Untung saja Saudara Linghu
datang tepat waktu. Jika tidak, tentu dia sudah lolos.”
“Belum tentu,” bantah Dewa
Bunga Persik. “Kita tadi sengaja membiarkan dia lari beberapa langkah, lalu
mengejar dan menangkapnya, supaya dia gembira sia-sia.”
“Benar. Di bawah tangan Enam
Dewa Lembah Persik tidak pernah ada cerita musuh bisa sampai lolos. Kami selalu
dapat menangkap dan membekuk dia kembali,” sambung Dewa Buah Persik.
“Cara kami ini seperti kucing
mempermainkan tikus. Kami biasa membiarkan lawan lolos untuk kemudian
menangkapnya kembali,” sahut Dewa Akar Persik.
Linghu Chong hafal watak
mereka yang tidak mau kalah dan selalu menjaga gengsi. Maka, ia pun sengaja
memuji, “Satu kucing saja bisa menangkap enam tikus. Apalagi enam kucing tentu
sangat mudah menangkap satu tikus.”
Keenam bersaudara itu senang
mendengar pujian tersebut dan semakin bersemangat memintal tali. Begitu
selesai, segera kaki dan tangan si nenek pun ditelikung dan diikat kencang,
lalu tubuhnya dikerek di atas pohon.
Dengan pedangnya yang tajam
Linghu Chong menebang dari atas batang pohon sehingga teriris sepanjang
dua-tiga meter. Setelah itu ia lantas menggoreskan sebuah kalimat menggunakan
ujung pedang yang berbunyi: “Gentong cuka nomor satu di dunia.”
Dewa Akar Persik bertanya,
“Saudara Linghu, mengapa perempuan ini disebut gentong cuka nomor satu di
dunia? Apakah kepandaiannya minum cuka sangat hebat? Ah, aku tidak percaya.
Bagaimana kalau kita lepaskan dia dulu? Aku ingin berlomba minum cuka
dengannya.”
“Minum cuka adalah kata
ejekan,” jawab Linghu Chong menjelaskan. “Kalian Enam Dewa Lembah Persik adalah
pahlawan yang tiada bandingannya. Nama besar kalian berkumandang di angkasa,
harum di seluruh penjuru dunia, pandai ilmu sastra dan mahir ilmu silat,
membuat Mahabiksu Fangzheng segan terhadap kalian, Zuo Lengchan pun merasa
gentar. Nenek bangsat ini jelas bukan tandingan kalian, sehingga tidak ada
gunanya harus berlomba segala.”
Enam Dewa Lembah Persik
tertawa gembira dan menjawab serentak, “Benar sekali, benar sekali.”
“Nah, sekarang ganti aku yang
bertanya kepada keenam Saudara Persik,” ujar Linghu Chong kemudian. “Apakah
kalian melihat Adik Yilin atau tidak?”
“Apakah yang kau maksudkan
biksuni cilik cantik jelita dari Perguruan Henshan itu?” sahut Dewa Ranting
Persik. “Kalau biksuni cilik itu kami tidak tahu. Tapi kalau dua biksu bertubuh
besar kami melihatnya.”
“Mereka masing-masing adalah
ayah dan murid biksuni cilik itu,” sambung Enam Dewa Lembah Persik.
Linghu Chong bertanya, “Di
mana mereka sekarang?”
“Mereka sudah lewat kira-kira
dua jam yang lalu,” tutur Dewa Daun Persik. “Mereka mengajak kami minum arak di
kota depan sana. Kami jawab, habis berak akan segera menyusul. Tak disangka,
perempuan sial ini keburu datang dan mengganggu kami.”
Linghu Chong termenung sejenak
memikirkan hal ini. Ia lantas berkata, “Baiklah, kalian boleh menyusul nanti,
biar aku pergi ke sana dulu. Kalian berenam adalah pahlawan besar, tidak
mungkin mengganggu musuh yang sudah tertangkap. Kalau sampai kalian memukul
perempuan ini, itu bisa merusak nama besar kalian.”
“Benar sekali,” sahut Enam
Dewa Lembah Persik serentak.
Ren Yingying tertawa berkata,
“Kau tidak jadi mencukur rambut perempuan itu, tentunya karena kau mengingat
Adik Yilin-mu. Itu artinya dendammu hanya terbalas sebagian kecil saja.”
Setelah berjalan beberapa kilo
jauhnya, mereka berdua pun tiba di suatu kota yang cukup ramai. Pada rumah
makan kedua mereka baru bisa bertemu Biksu Bujie dan Tian Boguang sedang duduk
menghadap makanan dan minuman di atas meja. Melihat Linghu Chong dan Ren
Yingying datang, kedua orang itu berseru senang. Segera Bujie menyuruh pelayan
menambahkan makanan dan arak.
Ketika Linghu Chong bertanya
ada kejadian apa, Tian Boguang lantas bercerita, “Karena kejadian yang
memalukan di Henshan itu, kami tidak punya muka lagi untuk berada di sana. Aku
mengajak Kakek Guru lekas-lekas turun gunung saja. Untuk selanjutnya, kami
berdua tidak punya muka lagi untuk menginjakkan kaki di Lembah Tongyuan.”
Mendengar cerita Tian Boguang
itu, jelas mereka belum mengetahui kalau di Perguruan Henshan telah terjadi
penculikan besar-besaran. Linghu Chong dan Ren Yingying sendiri berniat
membebaskan murid-murid Perguruan Henshan itu secara diam-diam sehingga tidak
memberi tahu mereka berdua tentang peristiwa tersebut. Maka, Linghu Chong
lantas berkata kepada Bujie, “Biksu besar, aku ingin meminta bantuanmu untuk
menyelesaikan suatu urusan, apakah kau mau?”
“Tentu saja mau. Urusan apa?”
sahut Bujie.
“Tapi urusan ini perlu
dirahasiakan. Cucu-muridmu ini sama sekali tidak boleh ikut campur,” ujar
Linghu Chong.
“Apa susahnya? Akan kusuruh
dia menyingkir sejauh mungkin dan tidak boleh mengganggu urusanku. Beres
sudah,” jawab Bujie.
Linghu Chong berkata,
“Baiklah. Di timur sana kira-kira belasan li jauhnya, pada sebatang pohon yang
tinggi ada seseorang terikat dan digantung tinggi di atas pohon ….”
“Oh,” sahut Bujie dengan wajah
serbasalah dan tubuh gemetar.
Linghu Chong berkata, “Orang
yang sedang dikerek itu adalah temanku. Aku meminta bantuanmu agar pergi ke
sana untuk menolongnya.”
“Mudah saja,” ujar Bujie.
“Tapi mengapa tidak kau sendiri yang menolongnya?”
“Terus terang, temanku itu
seorang perempuan,” kata Linghu Chong dengan sengaja menahan suara sambil
memoncongkan bibirnya ke arah Ren Yingying. “Aku merasa tidak enak karena selalu
bersama Nona Ren.”
“Hahahaha!” Bujie bergelak
tawa. “Ya, ya, aku tahu! Tentu kau takut kalau-kalau Nona Ren minum cuka.”
Istilah ini maksudnya adalah cemburu.
Ren Yingying melotot sekejap
kepada mereka berdua. Linghu Chong lantas berkata sambil tertawa kepada Bujie,
“Justru perempuan itu yang suka cemburu. Dulu suaminya hanya memandang sekejap
dan memuji sekali saja kepada wanita lain, tapi perempuan itu langsung kabur
tanpa pamit. Akibatnya malah membuat susah suaminya yang mencari ke seluruh pelosok
dunia selama belasan tahun.”
Mendengar uraian itu, bola
mata Bujie melotot dan napasnya memburu pula. Dengan suara terputus-putus ia
bertanya, “Apakah dia … dia … dia ….” Namun pertanyaan ini tidak sanggup untuk
dilanjutkannya.
“Kabarnya sampai sekarang
suaminya masih terus mencari tapi belum juga bertemu,” sambung Linghu Chong.
Sampai di sini lalu terdengar
suara Enam Dewa Lembah Persik datang ke rumah makan itu dengan bersenda gurau.
Namun, Biksu Bujie seakan-akan tidak melihat kedatangan mereka. Kedua tangannya
memegang erat-erat lengan Linghu Chong dan menegas, “Apakah ben… benar katamu
ini?”
“Dia sendiri yang berkata
padaku,” sahut Linghu Chong. “Katanya, biarpun suaminya berhasil menemukan dia,
biarpun berlutut dan menyembah kepadanya juga dia tetap tidak mau berkumpul
kembali dengan suaminya itu. Sebab itulah bila kau melepaskannya, dia pasti
akan segera kabur. Gerak tubuh perempuan itu teramat cepat. Hanya dalam satu
kedipan mata saja dia sudah lenyap.”
“Aku tidak akan berkedip, aku
tidak akan berkedip,” ujar Bujie.
Linghu Chong melanjutkan, “Aku
juga bertanya mengapa dia tidak mau bertemu dengan suaminya, dia menjawab
suaminya adalah manusia paling tidak berperasaan di dunia, orang yang paling
doyan perempuan. Biarpun bertemu kembali juga tak ada gunanya.”
Tiba-tiba Bujie berteriak satu
kali, kemudian memutar tubuh hendak berangkat. Namun Linghu Chong sempat
menarik dan membisikinya, “Akan kuajarkan satu akal bagus padamu, dijamin dia
tidak akan dapat melarikan diri.”
Bujie terkejut bercampur
senang. Setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia berlutut dan menyembah beberapa
kali kepada Linghu Chong sambil berkata, “Saudara Linghu, eh, maksudku ...
Ketua Linghu, Guru Linghu, Sesepuh Linghu, aku mohon kepadamu lekas mengajarkan
akal bagus itu kepadaku. Biarlah aku meng… mengangkatmu sebagai guru.”
“Ah, mana aku berani, lekas
bangun!” sahut Linghu Chong menahan geli. Lalu ia menarik Bujie untuk bangun
sambil berbisik di telinga biksu besar itu, “Nanti bila sudah kau turunkan dia
dari atas pohon, jangan sekali-kali kau buka tali ringkusannya, lebih-lebih
jangan membuka totokannya. Cukup kau gendong saja dia ke dalam penginapan. Sewa
satu kamar di situ. Nah, sekarang coba kau pikirkan, bagaimana caranya supaya
seorang perempuan tidak berani lari keluar kamar?”
Bujie menjadi bingung. Sambil
menggaruk-garuk kepala botaknya ia berkata, “Aku … aku tidak tahu.”
“Mudah sekali,” kata Linghu
Chong. “Lucuti semua pakaiannya, lalu simpan agak jauh. Setelah itu, barulah
kau buka totokannya. Dalam keadaan telanjang bulat mana mungkin dia berani lari
keluar kamar?”
Bujie senang sekali. Ia
bertepuk tangan dan berseru, “Bagus sekali! Akal bagus! Guru, budi baikmu ….”
tidak sampai ucapannya selesai, ia langsung melompat keluar melalui jendela dan
lenyap dalam sekejap.
“Hei, sungguh aneh kelakuan
biksu besar itu? Kenapa dia begitu terburu-buru? Memangnya mau ke mana?” kata
Dewa Akar Persik.
“Pasti dia kebelet berak,
makanya terburu-buru,” kata Dewa Ranting Persik.
“Tapi kenapa dia menyembah
kepada Saudara Linghu dan memanggil guru kepadanya?” ujar Dewa Bunga Persik.
“Sudah tua begitu kenapa berak saja perlu diajari orang lain?”
“Memangnya berak ada sangkut
pautnya dengan usia?” bantah Dewa Daun Persik. “Apakah anak umur tiga tahun
bisa berak sendiri tanpa diajari orang tuanya?”
Ren Yingying tahu pembicaraan
keenam orang dungu ini semakin lama tentu semakin melantur. Maka ia pun memberi
isyarat kepada Linghu Chong dan pergi meninggalkan rumah makan tersebut.
Linghu Chong pun berkata,
“Keenam Saudara Persik, kalian terkenal sebagai ahli minum arak tanpa tanding.
Maka itu, silakan kalian minum sepuas-puasnya di sini. Aku sendiri tidak
sanggup minum banyak-banyak, terpaksa harus berangkat lebih dulu.”
Karena dipuji demikian, Enam
Dewa Lembah Persik menjadi senang. Dalam anggapan mereka jika tidak minum habis
beberapa guci rasanya akan kehilangan nama besar tersebut. Maka beramai-ramai
mereka pun berteriak, “Pelayan, lekas bawakan enam guci arak yang paling enak!”
Seorang lagi berkata, “Saudara
Linghu, kemampuanmu minum arak selisih jauh dengan kami. Baiklah, kau boleh
berangkat lebih dulu. Setelah puas barulah kami segera menyusul.”
Seorang yang lain menyahut,
“Kalau kau menunggu sampai kami puas, bisa-bisa esok hari baru bisa berangkat.”
Begitulah, hanya dengan satu
kalimat pujian saja Linghu Chong sudah dapat menghindarkan diri dari gangguan
keenam bersaudara yang dungu tersebut. Setibanya di luar rumah makan, dengan
menahan tawa Ren Yingying berkata, “Kau telah memulihkan hubungan suami istri
Biksu Bujie. Jasamu sungguh tiada tara. Hanya saja, cara yang kau ajarkan
kepaadanya agak … agak ….” sampai di sini kepalanya pun menunduk dengan wajah
bersemu merah.
Linghu Chong hanya memandangi
gadis itu sambil tertawa tanpa berkata apa-apa.
Setelah cukup jauh meninggalkan
kota, Linghu Chong masih saja tersenyum-senyum sambil memandangi Ren Yingying.
“Kau lihat apa? Apa kau tidak
kenal lagi padaku?” omel si nona.
“Aku sedang berpikir,
perempuan itu pernah menggantung aku di atas loteng, kubalas dengan menggantungnya
di atas pohon,” kata Linghu Chong dengan tertawa. “Dia mencukur bersih
rambutku, kubalas dengan menyuruh suaminya melucuti pakaiannya sampai telanjang
bulat. Ini namanya satu dibalas satu.”
“Satu dibalas satu katamu?”
sahut Ren Yingying menegas sambil melirik dan tersenyum.
“Semoga Biksu Bujie tidak main
kasar. Semoga mereka berdua, suami-istri dapat berkumpul kembali dengan
bahagia,” ujar Linghu Chong tertawa.
Ren Yingying ikut tertawa dan
berkata, “Tapi hati-hati, lain kali bila bertemu lagi dengan perempuan itu
tentu kau akan merasakan pembalasannya.”
“Aku membantu mereka bersatu
kembali, dia justru harus berterima kasih kepadaku,” sahut Linghu Chong. Lalu
ia memandang beberapa saat ke arah Ren Yingying sambil cengar-cengir. Sikapnya
terlihat sangat aneh.
“Apa yang sedang kau
tertawakan?” tanya gadis itu.
“Biksu Bujie dan istrinya
bersatu kembali. Aku sedang membayangkan entah apa yang akan mereka bicarakan
di dalam kamar penginapan nanti,” sahut Linghu Chong.
“Tapi mengapa kau memandangi
aku seperti itu?” gerutu Ren Yingying.
Tiba-tiba ia dapat menangkap
maksud Linghu Chong. Rupanya pemuda bandel ini sedang membayangkan Biksu Bujie
melucuti pakaian istrinya hingga telanjang bulat. Pikirannya sedang
membayangkan ke sana, tapi matanya memandangi Ren Yingying sambil
tersenyum-senyum. Seketika wajah Ren Yingying menjadi merah. Segera ia pun
mengangkat tangan memukul Linghu Chong.
Dengan cepat Linghu Chong
mengelak, lalu berkata dengan tertawa, “Hei, hei, istri yang memukul suami
adalah perempuan jahat.”
Pada saat itulah tiba-tiba
dari jauh terdengar suara-suara mendesing nyaring perlahan. Ren Yingying
mengenali itu adalah suara suitan sebagai kode rahasia antara sesama anggota
Sekte Matahari dan Bulan. Ia lantas memberi isyarat kepada Linghu Chong untuk
tidak berbicara, lalu mengajaknya berlari ke arah sumber datangnya suara suitan
tersebut.
Tidak jauh kemudian, tampak
seorang perempuan berdandan seperti pelayan rumah makan berlari dari arah
barat. Tempat di situ cukup lapang, tidak terdapat semak atau pohon untuk
bersembunyi, sehingga orang itu dapat melihat kedatangan Ren Yingying dan
langsung tercengang agak tak percaya.
Maka, perempuan itu pun
memberi hormat sambil menyapa, “Hamba Sang Sanniang, ketua Balai Angin Surga,
menyampaikan sembah hormat kepada Gadis Suci. Semoga Ketua panjang umur, hidup
abadi, merajai dunia persilatan!”
Ren Yingying mengangguk
beberapa kali. Menyusul kemudian tampak dari arah timur muncul pula seorang tua
bertubuh kecil, memakai baju berwarna cokelat tua, mirip kaum hartawan kampung.
Dengan langkah cepat ia mendekati Ren Yingying dan memberi hormat, lalu
berkata, “Hamba Wang Cheng menyampaikan sembah bakti kepada Gadis Suci. Semoga
Ketua berjaya selalu, melindungi rakyat jelata.”
“Kau juga berada di sini,
Tetua Wang?” tanya Ren Yingying kepadanya. Rupanya Wang Cheng adalah salah satu
di antara sepuluh tetua utama dalam agama mereka.
Wang Cheng menjawab hormat,
“Hamba ditugasi Ketua Ren untuk mencari berita di sekitar sini. Saudari Sang,
apakah ada suatu berita yang kau peroleh?”
“Lapor kepada Gadis Suci dan
Tetua Wang,” ujar Sang Sanniang, “pagi ini saat berada di rumah penukaran kuda,
hamba melihat rombongan Perguruan Songshan yang berjumlah sekitar enam sampai
tujuh puluh orang sedang menuju ke Gunung Huashan.”
“Jadi mereka benar-benar
menuju ke Huashan?” sahut Wang Cheng menegas.
“Ada urusan apa orang-orang
Perguruan Songshan pergi ke Huashan?” sela Ren Yingying.
Wang Cheng menjawab, “Ketua
Ren memperoleh berita, bahwa sejak Yue Buqun menjabat sebagai ketua Perguruan
Lima Gunung lantas bermaksud memerangi agama kita. Kabarnya ia sibuk
mengumpulkan murid-murid dari Perguruan Lima Gunung di Gunung Huashan. Melihat
gelagat ini kemungkinan besar mereka hendak menyerang Tebing Kayu Hitam secara
besar-besaran.”
“Benarkah demikian?” sahut Ren
Yingying penasaran. Ia merasa sangsi jangan-jangan Wang Cheng yang terkenal
licik ini sengaja memutarbalikkan kenyataan. Padahal, mungkin saja orang tua
ini yang memimpin penangkapan murid-murid Perguruan Henshan dan bermaksud mengalihkan
tuduhan. Namun, raut wajah Sang Sanniang tampaknya bersungguh-sungguh.
Sepertinya ada masalah lain di balik semua dugaan ini, demikian ia berpikir.
Gadis itu lantas berkata, “Pendekar Linghu adalah ketua Perguruan Henshan,
namun mengapa dia tidak tahu-menahu tentang apa yang kau katakan tadi? Bukankah
ini aneh?”
“Hamba telah mnyelidiki bahwa
murid-murid Perguruan Taishan dan Hengshan juga sudah bergerak menuju ke
Huashan. Hanya Perguruan Henshan saja yang belum tampak bergerak,” jawab Wang
Cheng. “Pelindung Kiri Xiang Wentian telah memerintahkan kami untuk menyelidiki
masalah ini. Lebih dulu Tetua Bao Dachu telah diperintahkan untuk menyelidiki
Perguruan Henshan. Hamba diperintah pula untuk berjaga di sekitar sini sebagai
penghubung berita yang akan dibawa Tetua Bao.”
Ren Yingying saling pandang
sejenak dengan Linghu Chong. Meskipun hati mereka bimbang, namun penuturan Wang
Cheng ini jelas bersungguh-sungguh. Dalam hati masing-masing muncul pertanyaan,
“Apakah semua yang dikatakannya benar?”
Wang Cheng lantas memberi
hormat kepada Linghu Chong dan meminta maaf, “Hamba hanya sekadar melaksanakan
perintah, oleh karena itu mohon Ketua Linghu jangan marah.”
Linghu Chong membalas hormat
dan berkata, “Tidak lama lagi aku dan Nona Ren akan menikah ….”
“Hei!” seru Ren Yingying
terkejut dengan muka bersemu merah. Ia tidak menyangka Linghu Chong akan
berkata seperti itu di depan orang lain, namun ia juga tidak membantah sama
sekali.
“Tetua Wang menerima perintah
dari calon ayah mertuaku,” lanjut Linghu Chong, “oleh karena itu, sebagai kaum
muda sudah tentu kami ikut bertanggung jawab atas hal ini.”
Dengan wajah gembira Wang
Cheng dan Sang Sanniang serentak berkata, “Selamat untuk Gadis Suci dan Ketua
Linghu! Selamat!”
Dengan wajah semakin merah Ren
Yingying menyingkir agak jauh.
Wang Cheng kembali berkata,
“Pelindung Kiri Xiang berpesan kepada hamba dan Tetua Bao agar jangan
sekali-kali berlaku kasar terhadap murid-murid Perguruan Henshan. Kami hanya
boleh mencari berita saja, dan dilarang melakukan kekerasan. Hamba pun
menjalankan perintah Beliau dengan taat.”
Tiba-tiba dari arah belakang
terdengar suara seorang perempuan menyela dengan tertawa, “Ilmu pedang Pendekar
Linghu tanpa tanding di dunia ini. Bahwasanya Pelindung Kiri Xiang menyuruh
kalian jangan main kekerasan sebenarnya adalah demi kebaikan kalian sendiri.”
Begitu menoleh, Linghu Chong
melihat seorang perempuan muncul di atas dahan pepohonan. Ternyata yang baru
datang ini tidak lain adalah Lan Fenghuang, ketua Partai Lima Dewi.
“Adik, kau baik-baik saja?”
sahut Linghu Chong menyapa kepadanya.
“Kau juga baik-baik saja,
Kakak?” balas Lan Fenghuang. Ia lantas berpaling ke arah Wang Cheng dan
menegur, “Jika kau ingin menyapa diriku, silakan! Mengapa harus mengerutkan
kening segala?”
“Ah, mana aku berani?” sahut
Wang Cheng. Ia tahu sekujur badan perempuan ini penuh dengan benda berbisa,
maka yang lebih baik jangan mengganggu sedikit pun. Segera ia pun mendekati Ren
Yingying dan berkata, “Bagaimana selanjutnya hamba bertindak terhadap masalah ini,
mohon Gadis Suci sudi memberi petunjuk.”
“Lakukan saja sesuai perintah
Ketua,” sahut Ren Yingying.
“Baik,” jawab Wang Cheng
dengan hormat. Ia dan Sang Sanniang lantas mohon diri.
Setelah mereka berdua pergi,
Lan Fenghuang berkata, “Murid-murid Perguruan Henshan telah ditawan orang,
mengapa kalian tidak lekas pergi menolongnya?”
“Kami baru saja meninggalkan
Gunung Henshan, tapi di sepanjang jalan belum juga menemukan jejak,” jawab
Linghu Chong.
“Jalan ini bukan menuju ke
Gunung Huashan. Kalian telah salah arah,” ujar Lan Fenghuang.
“Jalan ke Huashan?” sahut
Linghu Chong menegas. “Jadi mereka ditawan ke Huashan? Apa kau sendiri
melihatnya?”
Lan Fenghuang menjawab, “Di
Lembah Tongyuan kemarin aku merasa air teh yang kuminum agak-agak aneh. Namun,
aku diam saja tanpa menunjukkan rasa curigaku. Satu per satu orang-orang di
sana roboh tak sadarkan diri. Aku pun pura-pura ikut roboh pingsan.”
“Main racun melawan Ketua Lan
dari Partai Lima Dewi sama saja mengundang masalah sendiri,” ujar Linghu Chong
dengan tersenyum.
Lan Fenghuang tertawa pula dan
berkata, “Keparat-keparat itu memang tidak tahu adat.”
Linghu Chong bertanya, “Apakah
kau tidak membalas mereka dengan racun pula?”
“Kenapa tidak?” sahut Lan
Fenghuang. “Ada dua bangsat yang mengira aku benar-benar jatuh pingsan. Mereka
mendekatiku dan bermaksud main gila. Begitu menggerayangi tubuhku, mereka
langsung mati keracunan. Sisanya menjadi ketakutan dan tidak berani mendekat.
Katanya aku sudah sekarat tapi masih tetap berbisa.” Usai berkata demikian ia
pun tertawa geli.
“Lantas bagaimana?” tanya
Linghu Chong.
“Untuk mengetahui permainan
apa yang akan mereka lakukan, aku tetap pura-pura tidak sadarkan diri,” lanjut
Lan Fenghuang. “Kemudian kawanan bangsat ini turun dari Puncak Jianxing dengan
menculik serombongan biksuni. Kulihat sendiri yang memimpin kawanan bangsat ini
adalah gurumu, Tuan Yue. Kakak, sepertinya gurumu itu agak-agak tidak beres.
Kau telah menjabat sebagi ketua Perguruan Henshan, tapi dia malah memimpin anak
buahnya menangkap sekian banyak anak buahmu. Bukankah ia sengaja ingin
bermusuhan denganmu?”
Linghu Chong hanya terdiam. Ia
paham Lan Fenghuang seorang perempuan dari suku Miao yang pada umumnya berwatak
polos, lugu, dan suka berbicara tanpa pikir.
“Melihat perbuatannya itu aku
sungguh merasa gemas,” lanjut Lan Fenghuang. “Pada saat itu juga aku bermaksud
meracuninya sampai mampus. Tapi kemudian aku berpikir tentang perasaanmu
kepadanya. Andaikan aku ingin meracuninya juga bisa kulakukan lain waktu.”
“Kau selalu memikirkan perasaanku,
aku sungguh berterima kasih,” kata Linghu Chong.
“Ah, biasa saja,” ujar Lan
Fenghuang. “Kudengar pula percakapan mereka bahwa selagi kau tidak berada di
Gunung Henshan, maka mereka harus lekas-lekas pergi. Orang-orang itu takut jika
kau pulang dan memergoki perbuatan mereka. Namun, ada pula yang menyayangkan
dirimu sedang tidak berada di Henshan. Andai saja kau ada tentu sekaligus akan
ditawan pula, dan segala urusan pun beres sudah. Huh, enak saja bicara
demikian!”
Linghu Chong menjawab, “Adik,
ada kau yang mendampingiku di sana, rasanya tidaklah mudah jika mereka hendak
menangkap diriku.”
Lan Fenghuang sangat senang.
Ia tertawa dan berkata, “Boleh dikata mereka sedang beruntung. Coba saja mereka
berani mengganggu seujung rambutmu, hm, pasti akan kubalas dengan meracuni
seratus orang di antara mereka.” Berkata demikian ia lantas berpaling kepada
Ren Yingying, “Nona Ren, janganlah kau minum cuka. Hubunganku dengan Kakak
Linghu bagaikan saudara kandung.”
Wajah Ren Yingying menjadi
merah. Dengan tersenyum ia menjawab, “Ketua Linghu sendiri sering membicarakan
tentang dirimu. Katanya, kau sangat baik kepadanya.”
“Bagus sekali kalau begitu!”
seru Lan Fenghuang senang. “Sebenarnya aku khawatir kalau-kalau dia tidak
berani menyebut namaku di hadapanmu.”
Ren Yingying lantas bertanya,
“Kau pura-pura tak sadarkan diri, tapi mengapa bisa lolos dari cengkeraman
mereka? Mengapa kau tidak ikut dibawa mereka?”
“Mereka takut terhadap tubuhku
yang berbisa sehingga tak ada seorang pun yang berani menyentuhku,” jawab Lan
Fenghuang. “Ada di antaranya yang menyarankan agar aku dibacok saja sampai mati
dengan golok, ada pula yang mengusulkan agar membunuhku dengan senjata rahasia.
Akan tetapi, mereka hanya berani bicara saja, tapi tak seorang pun yang berani
turun tangan. Akhirnya, mereka pun beramai-ramai kabur turun gunung. Aku lantas
mengikuti jejak mereka. Setelah yakin mereka menuju ke arah Gunung Huashan, aku
pun segera berusaha mencari Kakak Linghu untuk menyampaikan berita penting
ini.”
“Sungguh aku sangat berterima
kasih padamu. Kalau tidak bertemu denganmu, tentu kami akan menuju ke Tebing
Kayu Hitam dengan sia-sia,” kata Linghu Chong. “Sekarang urusan ini tidak boleh
ditunda-tunda lagi. Mari kita lekas mengejar ke Gunung Huashan.”
Ketiga orang itu lantas
berbelok ke barat dan melanjutkan perjalanan secepat-cepatnya. Namun, di
sepanjang jalan ternyata tidak tampak satu pun tanda-tanda yang mencurigakan.
Linghu Chong dan Ren Yingying
sama-sama merasa ragu dan bimbang. Mereka berpikir, “Rombongan itu berisi
ratusan orang. Tapi aneh, kenapa tidak ada jejak sama sekali. Mustahil pula
tidak ada seorang pun yang melihat mereka. Jangan-jangan mereka tidak menempuh
jalur ini?”
Pada hari ketiga di sebuah
kedai kecil, ketiganya bertemu empat orang yang memakai seragam Perguruan
Hengshan. Saat itu Linghu Chong sedang menyamar sehingga tidak dikenali oleh
mereka. Diam-diam Linghu Chong memasang telinga mendengarkan percakapan mereka.
Orang-orang Perguruan Hengshan itu tampak sedang bergembira seolah ada banyak
harta karun di Gunung Huashan sedang menunggu kedatangan mereka.
Terdengar salah seorang
serkata, “Untungnya Kakak Huang sangat baik hati dan sudi mengirim kabar
gembira ini kepada kita. Beruntung pula kita sedang berada di Shanxi sehingga
masih sempat menyusul ke sana. Sementara itu, para kakak dan adik seperguruan
yang berada di Gunung Hengshan tentu tidak seberuntung kita.”
“Tapi kita juga jangan senang
dulu. Yang paling penting adalah kita harus lekas-lekas menyusul ke sana,” ujar
yang lain menanggapi. “Urusan seperti ini kurasa bisa terjadi perubahan setiap
saat.”
Linghu Chong sangat penasaran
ingin tahu ada persoalan menarik apa sehingga keempat orang ini begitu
berhasrat menuju ke Gunung Huashan. Tapi mereka berempat sama sekali tidak
menyinggung persoalan yang dimaksudkan itu.
Lan Fenghuang beratnya,
“Apakah perlu merobohkan mereka dengan racun untuk dimintai keterangan?”
Mengingat Tuan Besar Mo sangat
baik kepadanya, Linghu Chong tidak ingin menyusahkan murid-murid Perguruan
Hengshan tersebut. Maka, ia pun menjawab, “Kita tidak perlu mengganggu mereka.
Yang paling baik adalah kita harus secepatnya berangkat ke Huashan.”
Beberapa hari kemudian
sampailah mereka di kaki Gunung Huashan. Saat itu matahari sudah terbenam,
namun Linghu Chong sendiri sudah sangat hafal keadaan di pegunungan itu. Ia
berkata, “Sebaiknya kita naik ke atas melalui jalan kecil di belakang gunung,
tentu tidak akan bertemu dengan orang lain.”
Di antara kelima pegunungan,
Huashan memang terkenal yang paling curam. Jalan kecil di belakang gunung juga
sangat terjal dan sulit didaki. Untungnya ilmu silat ketiga orang ini sama-sama
tinggi. Tebing yang terjal bukan rintangan bagi mereka. Akhirnya mereka pun
sampai di puncak saat menjelang pagi dini hari.
Linghu Chong membawa kedua
rekannya menuju ke Aula Utama. Keadaan di tempat itu ternyata gelap gulita.
Masing-masing memasang telinga untuk mendengarkan dengan seksama, namun keadaan
tetap sunyi senyap. Sewaktu mendatangi tempat tinggal para murid Huashan,
ternyata di sana juga kosong melompong. Ketika Linghu Chong menyalakan api,
kamar yang kosong itu tampak penuh dengan debu. Beberapa kamar yang lain juga
demikian, pertanda para murid sudah lama tidak pulang ke Huashan.
Lan Fenghuang menjadi rikuh
karena keadaan tidak sesuai dengan laporannya. Ia berkata, “Apakah mungkin aku
tertipu oleh kawanan bangsat itu? Mungkinkah mereka mengaku datang ke Huashan
sini, tapi sebenarnya menuju ke tempat lain?”
Linghu Chong juga merasa
sangsi dan khawatir. Teringat olehnya saat menyerbu Biara Shaolin dulu, waktu
itu rombongannya pun menyerbu tempat kosong, lalu menghadapi bahaya.
Jangan-jangan Yue Buqun kembali menggunakan siasat yang sama? Namun sekarang
mereka hanya bertiga. Andaikan masuk perangkap juga mudah untuk meloloskan
diri. Justru yang dikhawatirkan adalah murid-murid Perguruan Henshan.
Jangan-jangan mereka dikurung di suatu tempat rahasia dan sukar untuk
diketemukan lagi mengingat sudah sekian lamanya mereka digiring kemari.
“Bagaimana kalau kita
berpencar diri untuk mencari? Dua jam lagi kita berkumpul kembali di tempat
ini,” kata Lan Fenghuang.
“Baiklah,” jawab Linghu Chong
setuju. Ia berpikir kepandaian Lan Fenghuang dalam ilmu racun tidak perlu
disangsikan lagi, tentu tiada seorang pun yang sanggup menghadapinya. Namun ia
tetap berpesan, “Orang lain tidak perlu kau takuti. Tapi, bila bertemu guruku
hendaknya kau berhati-hati terhadap ilmu pedangnya yang sangat cepat luar
biasa.”
Diterpa cahaya lilin Lan
Fenghuang dapat melihat wajah Linghu Chong berkata dengan sungguh-sungguh. Ia
pun terkesan dan menjawab, “Kakak, aku akan selalu mengingat nasihatmu ini.”
Usai berkata ia lantas mendorong pintu dan bergegas pergi.
Linghu Chong dan Ren Yingying
memeriksa lagi ke beberapa tempat lainnya. Sampai-sampai tempat tinggal pribadi
Yue Buqun dan Ning Zhongze di tepi Jurang Tianqin juga diselidiki, namun tetap
tiada seorang pun yang mereka temukan.
“Ini benar-benar aneh,” kata
Linghu Chong. “Biasanya kalau orang-orang Huashan turun gunung, sedikitnya
disisakan beberapa orang sebagai penjaga rumah. Tapi sekarang mengapa tiada
seorang pun yang tinggal di sini?”
Terakhir mereka mendatangi
tempat tinggal Yue Lingshan yang terletak di sebelah Jurang Tianqin, tidak jauh
dari tempat tinggal Yue Buqun suami-istri. Begitu membuka pintu, seketika ia
teringat kenangan masa lalu saat datang menjemput sang adik kecil untuk
bermain-main atau berlatih pedang bersama. Namun, kini Yue Lingshan telah
tiada, pergi untuk selamanya. Tak kuasa menahan pilu, air mata Linghu Chong pun
berlinang di pipi.
Pemuda itu lantas mendorong
pintu, ternyata dipalang dari dalam. Ren Yingying pun melompati pagar dan
membukanya dari dalam. Mereka masuk ke ruangan dalam dan menyalakan lilin yang
terdapat di atas meja. Keadaan ruangan itu juga kosong melompong dan penuh
debu, bahkan perabot keperluan perempuan juga tidak terdapat sama sekali.
Melihat itu Linghu Chong
berpikir, “Mungkinkah setelah menikah dengan Adik Lin, lantas Adik Kecil tidak
tinggal di sini lagi? Tentu mereka tinggal di rumah baru, dan semua perabotan
dibawa pula ke sana.”
Diperiksanya laci meja dan di
situ tersimpan berbagai mainan anak-anak seperti boneka, kuda kayu, kelereng
batu, keranjang bambu, dan sebagainya. Itu semua adalah mainan yang pernah
mereka gunakan di waktu kecil dulu, dan sebagian adalah buatan tangan Linghu
Chong sendiri. Yue Lingshan masih merawat dan menyimpan semuanya dengan baik.
Linghu Chong merasa pedih teringat kenangan masa lalu. Kini, sang adik kecil
sudah berada di alam sana, tanpa terasa ia kembali mencucurkan air mata.
Ren Yingying terdiam dan
perlahan melangkah keluar kemudian menutup pintu. Seorang diri Linghu Chong
termangu-mangu cukup lama di dalam ruangan tersebut. Setelah menguasai dirinya
kembali, ia pun memadamkan lilin dan keluar ruangan pula.
Agar Linghu Chong melupakan
kepedihan hatinya, Ren Yingying berkata, “Kakak Chong, di puncak tertinggi
Huashan ada suatu tempat yang sangat berarti dalam hidupmu. Maukah kau
membawaku ke sana?”
“Tentu yang kau maksud itu
adalah Tebing Perenungan,” kata Linghu Chong. “Baiklah. Mari kita pergi ke
sana. Tapi entah apakah Kakek Guru Feng masih di sana atau tidak?”
Segera ia mendahului melangkah
di depan menyusuri jalan setapak menuju ke tempat itu. Linghu Chong sangat
mengenal tempat tersebut dengan baik. Meskipun Tebing Perenungan terletak di belakang
gunung dan jaraknya juga tidak dekat, namun keduanya sampai di sana dengan
cepat.
Setibanya di puncak Linghu
Chong berkata, “Aku pernah tinggal di gua itu ….” Baru sekian ia bicara,
tiba-tiba terdengar suara senjata berbenturan dua kali. Mereka berdua sangat
terkejut dan bergegas mendekati gua. Tak lama kemudian terdengar suara jerit
ngeri seseorang. Sepertinya ada yang bertarung di dalam gua dan ada yang
terluka pula.
Linghu Chong segera melolos
pedang dan mendahului berlari ke dalam gua. Ia pernah tanpa sengaja menemukan
gua rahasia di dalam gua tersebut yang berisikan gambar-gambar ukiran ilmu
pedang Serikat Pedang Lima Gunung. Dulu sebelum pergi ia sempat menutup lorong
masuk ke dalam gua rahasia tersebut. Namun, kini penutup lorong itu telah terbuka.
Tampak pula cahaya api menerangi bagian dalam gua rahasia itu. Linghu Chong dan
Ren Yingying segera melangkah menyusuri lorong dengan hati berdebar-debar.
Tak disangka ternyata keadaan
di dalam gua rahasia itu terang benderang oleh cahaya berpuluh-puluh obor.
Paling tidak ada dua ratus orang berada di sana. Mereka sedang asyik memandangi
jurus-jurus ilmu silat yang terukir di dinding gua tersebut. Masing-masing
memperhatikan ukiran-ukiran itu dengan seksama, sehingga suasana terasa hening
dan sunyi.
Ketika mendengar suara
benturan senjata dan jeritan ngeri tadi, Linghu Chong dan Ren Yingying
membayangkan keadaan di dalam gua tentu gelap gulita dan terjadi pertarungan
sengit yang berdarah-darah. Siapa sangka ternyata keadaan di dalam gua itu
terang benderang dan sangat hening meskipun terdapat ratusan orang berdiri di
dalamnya?
Meskipun gua depan tempat
Linghu Chong dikurung dulu sangat sempit, namun gua rahasia di bagian belakang
sangat luas dan lebar. Meskipun di dalamnya berdiri sekitar dua ratus orang,
tetap saja masih terlihat adanya tempat luang. Hanya saja, orang-orang sebanyak
itu masing-masing terdiam seperti mayat hidup. Keadaan tampak begitu
menyeramkan.
Ren Yingying berdiri merapat
pada bahu kiri Linghu Chong. Melihat raut muka gadis itu agak pucat dan
menunjukkan rasa takut, perlahan-lahan Linghu Chong merangkul pinggangnya.
Mereka melihat orang-orang di dalam gua itu memakai tiga jenis seragam berbeda
warna. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata mereka adalah orang-orang
Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan. Di antaranya bahkan terdapat
orang-orang tua yang sudah beruban. Jelas sekali di dalam gua ini terdapat
banyak tokoh terkemuka dan para sesepuh dari ketiga perguruan tersebut yang
ikut hadir. Setelah diperhatikan lagi, ternyata murid-murid Perguruan Huashan
dan Henshan tidak seorang pun yang berada di dalam situ.
Orang-orang ketiga perguruan
itu sama-sama memandangi ukiran di dinding dengan seksama, namun mereka tidak
bercampur aduk. Masing-masing berdiri di dalam kelompoknya. Orang-orang
Songshan memandangi ukiran ilmu ilmu pedang Perguruan Songshan, begitu pula
orang-orang Taishan dan Hengshan. Seketika Linghu Chong teringat kepada
percakapan keempat murid Hengshan yang ditemuinya di kedai kecil dalam perjalanan
tadi. Konon mereka mendapat berita penting dan buru-buru menyusul ke Huashan
seolah terdapat harta karun di gunung ini. Ternyata harta karun yang mereka
maksudkan adalah gambar-gambar ilmu pedang sakti peninggalan leluhur yang
terukir di dinding gua tersebut.
Sekilas Linghu Chong memandang
ke arah kelompok Perguruan Hengshan. Tampak seorang tua kurus berambut putih
memandang dinding gua dengan penuh perhatian. Wajahnya sama sekali tidak
menunjukkan perasaan apa-apa. Orang tua itu tidak lain adalah Tuan Besar Mo,
ketua Perguruan Hengshan sendiri. Linghu Chong merasa bingung hendak mendekat
ke arahnya untuk menyampaikan salam hormat atau tidak.
Tiba-tiba terdengar suara
seseorang dalam kelompok Perguruan Songshan berteriak gusar, “Hei, kau ini
bukan murid Songshan, mengapa kau ikut melihat ukiran di dinding sebelah sini?”
Orang yang membentak itu ternyata seorang tokoh tua berseragam kuning. Ia
sedang melotot kepada seorang laki-laki jangkung setengah baya, sambil
mengacungkan pedangnya ke dada orang itu.
Si jangkung mendengus dan
menjawab, “Huh, memangnya aku memandangi ukiran milik perguruanmu?”
“Kau berani menyangkal?”
damprat orang tua dari Songshan itu. “Kau ini berasal dari perguruan mana?
Kalau kau hanya mencuri lihat ilmu pedang Perguruan Songshan kami, masih bisa
dimaafkan. Tapi kau berani pula memandangi cara mematahkan ilmu pedang
perguruan kami, ini benar-benar kurang ajar!”
Serentak lima orang murid
Songshan bergerak mengelilingi si jangkung dengan pedang di tangan
masing-masing.
“Aku sama sekali tidak paham
terhadap ilmu pedang kalian yang mengesankan itu. Andaikan aku memandangi
ukiran mengenai cara untuk mematahkan ilmu pedang kalian juga tidak ada
gunanya,” ujar si jangkung berusaha membela diri.
“Pendek kata, dengan
memandangi ukiran dinding di sebelah sini tentu kau punya niat tidak baik
pula,” jawab si Songshan tua bengis.
Si jangkung menyahut, “Tapi
ketua Perguruan Lima Gunung, Tuan Yue, telah mengundang kita kemari untuk
mempelajari berbagai macam ilmu pedang leluhur yang terukir di dinding ini.
Beliau tidak pernah membatasi bagian mana yang boleh dilihat dan bagian mana
dilarang.”
Si Songshan tua tetap
bersikeras, “Jelas kau punya maksud tidak baik terhadap Perguruan Songshan kami
dan hal ini tidak dapat kami biarkan.”
“Serikat Pedang Lima Gunung
telah dilebur menjadi satu. Yang ada kini hanyalah Perguruan Lima Gunung, mana
ada Perguruan Songshan segala?” sahut si jangkung dengan angkuh. “Bila Serikat
Pedang Lima Gunung tidak dilebur menjadi satu mana mungkin Tuan Yue mengizinkan
kita semua ini masuk ke dalam gua rahasia di puncak Huashan sini, apalagi untuk
mendalami ilmu pedang leluhur ini?”
Si Songshan tua tidak bisa
menjawab. Tiba-tiba salah seorang rekannya mendorong keras pundak belakang si
jangkung sambil membentak, “Mulutmu memang pintar bicara, ya?”
Si jangkung serentak membalik
sehingga pergelangan murid Songshan itu tertangkap olehnya, lantas ditarik
pula. Seketika murid Songshan itu pun terbanting jatuh.
Pada saat itulah terdengar
pula suara teriakan di tengah-tengah kelompok Perguruan Taishan, “Siapa kau?
Beraninya kau memakai seragam Perguruan Taishan kami dan menyusupkan diri di
sini untuk mencuri lihat? Beraninya kau mengamati ukiran ilmu pedang Perguruan
Taishan di dinding ini?”
Menyusul kemudian terlihat
seorang muda berseragam Taishan berlari keluar meninggalkan kalangan. Namun, ia
segera dihadang oleh seorang murid Taishan lainnya yang juga membentak,
“Berhenti! Siapa kau? Beraninya kau mengacau di sini?”
Pemuda itu tidak menjawab,
tapi pedangnya lantas menusuk sambil tubuh menerjang ke depan. Tapi si
penghadang mengelak sambil tangannya mencolok kedua mata lawan. Terpaksa si
anak muda melompat mundur. Namun si penghadang terus saja memburu maju. Kembali
tangannya menjulur ke depan untuk menyerang kedua mata pemuda itu.
Lantaran diserang dari jarak
dekat, pedang si pemuda sukar digunakan untuk menangkis. Terpaksa ia kembali
melompat mundur. Segera si penghadang menyapu dengan sebelah kakinya. Untung
pemuda itu sempat meloncat ke atas, tapi tetap saja dadanya terkena pukulan.
Seketika ia pun jatuh terguling dan muntah darah. Dari belakang dua orang murid
Taishan memburu maju dan membekuknya.
Sementara itu, di sisi lain si
jangkung sudah terkepung oleh empat-lima orang murid Perguruan Songshan dan
sedang diserang dengan gencar. Ilmu pedang si jangkung terlihat sangat lihai.
Ditinjau dari gerakannya, ia jelas bukan orang Serikat Pedang Lima Gunung
sendiri.
Serentak beberapa orang
Songshan yang menonton di pinggir berteriak, “Keparat ini bukan orang Serikat
Pedang Lima Gunung kita! Dia adalah mata-mata musuh yang ikut menyusup kemari.”
Karena terjadi pertempuran di
dua tempat, seketika suasana di dalam gua yang tadinya sunyi senyap itu berubah
menjadi kacau-balau.
Dalam keadaan ribut tersebut
Linghu Chong berpikir, “Orang-orang di sini berkumpul atas undangan Guru, pasti
bukan untuk tujuan yang baik. Aku harus mencari Paman Mo dan memintanya untuk
memimpin orang-orang Hengshan meninggalkan gua ini. Mengenai ilmu pedang
Hengshan yang terukir di sini dapat kuceritakan pada Beliau lain kali.”
Segera ia pun menyelinap maju
ke arah kalangan Perguruan Hengshan. Namun, baru beberapa langkah saja,
tiba-tiba terdengar suara gemuruh keras laksana gugurnya batu-batuan gunung
yang sangat dahsyat. Banyak di antara orang-orang itu yang menjerit ngeri dan
ketakutan.
Linghu Chong terkejut. Dengan
cepat ia berputar balik. Dilihatnya debu pasir bertebaran di dalam gua. Ia
tidak berpikiran untuk mencari Tuan Besar Mo lagi. Yang perlu segera
didatanginya saat ini adalah Ren Yingying. Akan tetapi, suasana telah berubah
menjadi sangat kacau. Orang-orang berlari serabutan, senjata menyambar tak
kenal arah, dan yang terlihat hanya debu pasir belaka. Linghu Chong benar-benar
tidak tahu di mana Ren Yingying saat itu berada.
Sekuat tenaga Linghu Chong
berdesak-desakan di tengah banyak orang. Beberapa kali ia harus berkelit untuk
menghindari serangan senjata yang datang entah dari mana. Begitu sampai di
mulut gua, ia malah mengeluh. Tampak sepotong batu yang sangat besar telah
menutup mulut gua itu dengan sangat rapat. Entah berapa ton berat batu besar
tersebut. Dengan kata lain, pintu gua itu kini telah buntu tersumbat oleh batu.
Dalam keadaan gugup Linghu Chong tidak melihat suatu lubang pun untuk dijadikan
jalan keluar.
“Yingying! Yingying! Di mana
kau?” serunya kemudian.
Sayup-sayup terdengar Ren
Yingying menjawab satu kali di kejauhan. Sepertinya gadis itu juga ikut
terkurung di dalam gua. Namun, di tengah keramaian dua ratus orang sungguh
sulit menentukan dengan pasti di mana si nona berada. Diam-diam Linghu Chong
merasa heran, “Aneh, kenapa Yingying ikut terkurung di dalam gua? Bukankah tadi
ia menunggu di lorong dekat mulut gua?” Sejenak kemudian ia pun paham dan
berpikir, “Aku tahu. Begitu batu besar ini jatuh, Yingying tidak pergi begitu
saja. Tapi dia memilih masuk ke dalam gua untuk ikut terkurung bersamaku. Hm,
aku ke sini untuk mencarinya, tapi dia malah menerjang ke sana untuk
mencariku.” Berpikir demikian Linghu Chong pun segera berputar balik ke dalam
gua lebar.
Pada mulanya keadaan di dalam
gua terang benderang oleh cahaya berpuluh-puluh obor. Namun, dalam keadaan
kacau-balau tersebut, tanpa sadar ada di antara mereka yang melemparkan obor di
tangan untuk mencari selamat. Ditambah lagi debu dan pasir memenuhi gua tersebut,
sehingga pemandangan menjadi remang-remang seperti berkabut tebal.
“Mulut gua telah tersumbat!
Kita terkurung di sini!” demikian orang-orang itu berteriak ketakutan.
“Ini pasti tipu muslihat si
keparat Yue Buqun!” teriak seorang lainnya dengan murka.
“Benar!” sahut seorang lagi
dengan mengertakkan gigi. “Bangsat itu memancing kita ke sini untuk melihat
ilmu pedang sialan ….”
Beberapa puluh orang lantas
beramai-ramai mendorong batu raksasa itu. Akan tetapi, batu ini laksana sebuah
bukit, sedikit pun tidak bergerak meski orang-orang itu mendorong sepenuh
tenaga.
“Lekas, lekas keluar melalui
terowongan di belakang sana!” teriak seseorang kemudian.
Sebelumnya memang sudah ada
beberapa orang yang berpikir demikian. Mereka menemukan terowongan sempit yang
dulu digali seorang gembong aliran sesat menggunakan kapak. Gua rahasia ini
memang pernah digunakan untuk mengurung sepuluh tetua Sekte Iblis pada zaman
tersebut. Setelah satu per satu orang-orang itu mati, akhirnya tinggal seorang
saja yang mencoba menggali jalan keluar menggunakan kapak. Namun, belum sampai
mendapatkan hasil, ia akhirnya tewas pula karena kehabisan tenaga.
Lebih dari dua puluh orang
sudah berbondong-bondong mendahului lari ke arah ujung terowongan sempit bawah
tanah tersebut dan berdesak-desakan di sana. Padahal terowongan itu hanya cukup
dilewati satu orang saja. Kini puluhan orang berebut untuk melewatinya lebih
dulu, tentu saja hal ini sangat tidak mungkin. Karena keributan ini, kembali
belasan obor menjadi padam pula.
Di tengah keributan itu ada
dua orang laki-laki kekar mendesak maju sekuatnya dengan menyisihkan
orang-orang lainnya. Mereka terus saja menyusup maju ke mulut terowongan. Tapi
mulut terowongan itu sangat sempit. Karena kedua orang itu juga saling berebut
lebih dulu, akhirnya kepala masing-masing malah terbentur dinding. Tidak
seorang pun yang akhirnya mampu memasuk lubang lorong tersebut.
Tiba-tiba laki-laki kekar di
sebelah kanan mengayunkan tangannya. Seketika laki-laki sebelah kiri menjerit
ngeri. Pada dadanya telah tertancap sebilah belati. Menyusul kemudian laki-laki
sebelah kanan itu mendorongnya minggir. Dengan cepat ia sendiri lantas
menerobos masuk ke dalam lorong disusul oleh yang lainnya secara
dorong-mendorong dan tarik-menarik. Masing-masing berebut menyelamatkan diri
lebih dulu.
Sementara itu, Linghu Chong
sangat cemas dan khawatir karena tidak dapat menemukan Ren Yingying. Ia
berpikir, “Zaman dulu kesepuluh tetua Sekte Iblis itu memiliki ilmu silat
setinggi langit. Namun ternyata mereka juga terjebak dan terkubur di dalam gua
ini. Jangan-jangan nasib buruk demikian juga akan menimpa diriku dan Yingying.
Bila muslihat ini memang sengaja diatur oleh Guru, maka bisa jadi sangat
berbahaya, karena aku tahu betapa tinggi kepandaian Guru.”
Dilihatnya orang-orang itu
semakin berdesakan di mulut terowongan. Karena terlalu gelisah tiba-tiba timbul
pikiran jahat dalam benak Linghu Chong, “Orang-orang ini hanya
menghalang-halangi saja. Mereka harus dibunuh semua agar aku dan Yingying dapat
lolos dengan selamat.”
Segera ia bermaksud
mengayunkan pedang untuk membunuh orang yang paling dekat di sebelahnya.
Tiba-tiba dilihatnya seorang pemuda menjambak-jambak rambut sendiri dengan
badan gemetar dan wajah pucat pasi. Sepertinya pemuda itu sangat takut mati.
Seketika timbul rasa kasihan dalam hati Linghu Chong. Ia merenung, “Aku dan dia
bernasib sama. Kami sama-sama terjebak oleh perangkap musuh. Seharusnya aku
bahu-membahu bersama mereka untuk mencari jalan keluar. Mana boleh aku membunuh
orang lain untuk mencari selamat sendiri?” Karena itu pedangnya pun lantas
ditarik kembali dan dipegang melintang di depan dada.
Tak lama kemudian terdengar
orang-orang itu berteriak, “Ayo, lekas masuk ke sana, lekas!”
“Hei, kenapa diam saja? Lekas
merangkak ke depan!”
Beberapa orang yang tidak
sabar lantas memaki, “Keparat, kenapa diam saja? Apa kau sudah mampus di situ?”
“Tarik saja! Tarik saja
kembali!”
Ternyata laki-laki kekar tadi
belum juga menerobos masuk lubang lorong sejak tadi. Kedua kakinya masih
tertinggal di belakang. Sepertinya ia juga menghadapi jalan buntu di depan
sana, hanya saja tidak mau mundur kembali.
Dua orang yang
berteriak-teriak tadi benar-benar tidak sabar lagi. Mereka masing-masing
menarik sebelah kaki laki-laki kekar itu sekuat tenaga. Sejenak kemudian belasan
orang menjerit kaget. Yang ditarik kembali itu ternyata sesosok tubuh yang
sudah tidak berkepala lagi. Potongan leher laki-laki kekar itu masih
menyemburkan darah segar. Rupanya seseorang telah menunggu di dalam terowongan
dan memenggal kepala laki-laki bertubuh kekar itu.
Pada saat itulah Linghu Chong
melihat seseorang duduk di sudut gua. Di bawah cahaya obor yang remang-remang
samar-samar orang itu seperti Ren Yingying. Karena senangnya ia pun berlari ke
sana, namun baru beberapa langkah lantas bertumbukan dengan desakan banyak
orang. Sekuat tenaga Linghu Chong mendorong ke depan. Namun, keadaan
orang-orang itu sudah sangat panik dan kacau. Mereka sudah kehilangan akal
sehat. Bagaikan orang kalap mereka menerjang kian-kemari tak menentu. Ada yang
memutar senjatanya secara serabutan, ada yang berteriak-teriak seperti orang
gila, ada yang merangkul orang lain tanpa mau melepaskan, ada pula yang
merangkak-rangkak di tanah sambil mengerang-erang.
Baru saja Linghu Chong maju
dua-tiga langkah kedua kakinya lantas dirangkul orang. Ia menepuk keras satu
kali pada kepala orang itu sampai menjerit kesakitan. Namun, bukannya
melepaskan tangan, orang itu bahkan memeluk lebih kencang.
“Lepaskan! Kalau tidak akan
kubunuh kau!” bentak Linghu Chong.
Mendadak betisnya terasa
sakit, rupanya karena digigit orang itu. Terkejut dan gusar hati Linghu Chong
dibuatnya. Dilihatnya keadaan orang-orang itu sudah semakin gila. Obor di dalam
gua semakin sedikit pula. Kini yang menyala hanya tinggal dua obor saja,
lebih-lebih tergeletak di tanah.
“Ambil obor itu, ambil obor
itu, lekas!” seru Linghu Chong.
Namun, seorang pendeta gemuk
terbahak-bahak sambil mengangkat sebelah kakinya. Seketika salah satu obor itu
pun diinjaknya hingga padam. Tanpa pikir lagi Linghu Chong mengangkat
pedangnya. Sekali tebas ia pun memenggal kepala orang yang memeluk kedua
kakinya itu. Tiba-tiba pandangannya menjadi gelap. Rupanya api obor yang
terakhir pun sudah padam pula.
Begitu semua obor padam,
suasana di dalam gua menjadi sunyi. Semuanya kebingungan oleh perubahan yang
mendadak ini. Sekejap kemudian, keributan kembali terjadi. Orang-orang itu
kembali berteriak-teriak dan menjerit-jerit seperti orang gila.
Diam-diam Linghu Chong, “Hari
ini rasanya tidak ada lagi kesempaatan untuk bisa keluar dengan selamat. Tapi
untungnya, aku bisa mati bersama Yingying,” Karena berpikiran demikian, hatinya
tidak lagi merasa takut, tapi malah berbalik senang. Perlahan-lahan ia mencoba
maju menuju ke tempat Ren Yingying tadi berada.
Namun, baru beberapa langkah,
mendadak dari samping ada orang berlari dan menabraknya dengan keras. Rupanya
tenaga dalam orang ini sangat kuat. Tumbukannya yang keras membuat Linghu Chong
terdorong mundur dan hampir jatuh terduduk. Untung ia masih sempat menahan diri
dan memutar kembali. Segera ia pun menyelinap lagi ke arah Ren Yingying duduk
tadi. Apa yang terdengar olehnya hanya suara jerit tangis dan bentakan melulu
disertai benturan berpuluh-puluh senjata.
Dalam keadaan gelap gulita,
semua orang menjadi bingung dan gelisah. Hampir semuanya sudah setengah gila
ingin mencari selamat sendiri-sendiri. Beberapa di antara mereka memang tokoh
sepuh yang berpengalaman dan bisa berpikir panjang. Namun, menghadapi sambaran
senjata orang lain yang sedang kalap, mau tidak mau mereka terpaksa harus
mengangkat senjata untuk menjaga diri. Maka itu yang terdengar hanya suara
benturan senjata yang nyaring dan jeritan ngeri tak terputus-putus. Menyusul
kemudian ada orang merintih kesakitan dan mencaci maki, jelas banyak di
antaranya yang terluka oleh serangan membabi buta kawan sendiri.
Meskipun ilmu pedang Linghu
Chong sangat tinggi juga tidak berdaya menghadapi keadaan seperti itu. Setiap
saat ia pun bisa terluka oleh serangan yang sukar diketahui dari mana
datangnya. Tiba-tiba pikirannya tergerak. Segera ia pun mengangkat pedang dan
memutarnya dengan kencang untuk melindungi tubuh bagian atas. Selangkah demi
selangkah ia bergesar mendekati dinding gua. Asalkan dinding gua bisa teraba,
ia merasa lebih aman. Dengan berjalan merapat di dinding tentu ia akan lebih
terhindar dari bahaya-bahaya yang mengancam. Apabila merambat di dinding
sedikit demi sedikit tentu juga bisa secepatnya bergabung dengan Ren Yingying
di sebelah sana.
Jarak antara tempat Linghu
Chong berdiri dengan dinding gua sebenarnya hanya belasan meter saja. Akan
tetapi, karena terhalang oleh hujan sambaran senjata yang bertubi-tubi,
terpaksa ia harus berhati-hati kalau tidak mau lekas-lekas kehilangan nyawa.
“Jika aku mati terkena pedang seorang tokoh persilatan papan atas rasanya masih
berharga,” pikirnya kemudian. “Tapi keadaan seperti sekarang ini sungguh gawat.
Bisa jadi aku mati secara mendadak tanpa mengetahui siapa dan bagaimana musuh
menyerang. Bisa jadi yang membunuhku hanyalah seorang jago kelas kambing.
Menghadapi keadaan seperti ini, sekalipun Pendekar Dugu hidup kembali juga akan
mati akal dan tidak berdaya.”
Teringat kepada Dugu Qiubai,
sang pencipta ilmu sakti Sembilan Pedang Dugu, seketika pikiran Linghu Chong
menjadi terang. “Benar sekali. Keadaan saat ini sangat genting, dan hanya
tersisa dua pilihan saja, aku terbunuh secara tidak jelas atau aku yang
membunuh orang lain secara membabi buta. Semakin banyak orang yang kubunuh,
akan semakin berkurang pula bahaya yang mengancam.”
Segera ia pun memutar
pedangnya dengan cepat. Yang ia mainkan adalah Jurus Mematahkan Senjata
Rahasia, bagian dari Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Berturut-turut ia menebas ke
kanan, kiri, depan, dan belakang. Gerakan Jurus Mematahkan Senjata Rahasia ini
sedemikian cepat dan rapat. Sekalipun terjadi hujan panah menerjang juga sulit
untuk mengenai tubuhnya.
Begitulah, sekali pedangnya
bergerak, segera diikuti suara jeritan beberapa orang di dekatnya. Sampai pada
akhirnya pedangnya kembali menusuk tubuh seseorang. Namun, dari suara
jeritannya yang tertahan, sepertinya yang tertusuk kali ini seorang perempuan.
Seketika Linghu Chong pun
terkejut. Tangannya menjadi lemas dan pedang hampir-hampir terlepas dari
genggaman. “Jangan-jangan dia Yingying! Apakah aku telah membunuh Yingying?”
demikian hatinya bertanya-tanya. Perasaannya kembali gelisah, dan ia pun
berteriak, “Yingying! Yingying! Apakah kau Yingying?” Akan tetapi, perempuan
itu sudah tidak bersuara lagi.
Sebenarnya Linghu Chong sangat
hafal suara Ren Yingying. Namun, karena suasana di dalam gua sedemikian
kacaunya, hiruk-pikuk, serta riuh bergemuruh, sementara jeritan perempuan tadi
juga sangat pelan, membuat Linghu Chong sulit untuk membedakannya. Karena
perasaannya juga sangat cemas ia menjadi agak linglung dan merasa suara itu
seperti suara kekasihnya.
Kembali ia memanggil beberapa
kali dan tetap tidak mendapatkan jawaban. Ia lantas berjongkok untuk meraba
tanah. Tak disangka, entah dari mana datangnya, tiba-tiba pantatnya ditendang
orang. Seketika tubuhnya pun terpental ke depan. Selagi ia melayang di udara,
tahu-tahu paha kirinya terasa sakit pula. Rupanya ia baru saja terkena sabetan
cambuk seseorang.
Sesaat kemudian kepala Linghu
Chong pun membentur dinding batu. Untung sebelumnya ia sempat melindungi dengan
tangan kiri. Jika tidak, mungkin kepalanya itu sudah pecah. Meskipun demikian,
baik kepala maupun tangan, paha serta pantat, semua terasa sakit dan nyeri,
serta tulang-tulangnya terasa remuk redam pula.
Setelah menenangkan diri,
kembali ia berseru memanggil, “Yingying! Yingying!”
Namun, tetap tak terdengar
suatu jawaban. Sebaliknya, ia mendengar suaranya sendiri terasa serak seperti
suara orang merintih dan menangis tanpa air mata. Tak terlukiskan betapa cemas
dan sedih rasa hatinya. Dalam keadaan bingung tiba-tiba ia berteriak, “Aku telah
membunuh Yingying! Aku telah membunuh Yingying!” Dengan kalap ia memutar pedang
dan menerjang maju. Kontan beberapa orang jatuh terguling menjadi korban.
Di tengah suara yang ribut
itu, tiba-tiba terdengar suara petikan kecapi sebanyak dua kali. Meskipun suara
kecapi ini sangat lirih dan tenggelam dalam riuh gemuruhnya teriakan banyak
orang, namun dalam pendengaran Linghu Chong benar-benar bagaikan halilintar
menggelegar yang menggetarkan perasaannya.
“Yingying! Yingying!” ia
berteriak dengan sangat gembira. Karena terdorong perasaan, ia pun bermaksud
menerjang ke arah suara kecapi tersebut. Namun, segera ia sadar bahwa tempat
suara kecapi itu jaraknya tidak dekat. Untuk mendekati tempat yang berjarak
hanya belasan meter itu rasanya jauh lebih berbahaya daripada berkelana ribuan
kilo di dunia persilatan.
Suara kecapi itu jelas dipetik
oleh Ren Yingying. Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Yingying masih selamat.
Aku tidak boleh menempuh bahaya dan mati konyol begitu saja. Bila harus mati
biarlah kami berdua mati bersama bergandeng tangan. Dengan demikian tentu tidak
akan menyesal sampai di alam sana.”
Segera Linghu Chong mundur dua
langkah sehingga punggungnya merapat pada dinding gua. “Begini lebih aman,”
pikirnya. Tiba-tiba terasa ada angin tajam menyambar. Rupanya seseorang sedang
memutar senjata menerjang di depannya. Tanpa pikir Linghu Chong langsung
menusuk ke depan. Namun, baru saja pedangnya bergerak, ia merasa tindakannya
ini tidak benar.
Intisari Ilmu Sembilan Pedang
Dugu adalah bagaimana mengincar titik kelemahan ilmu silat lawan. Namun, dalam
keadaan gelap gulita seperti ini, jangankan gerak serangannya, wajah musuh saja
tidak dapat ia lihat. Karena sulit melihat gerakan lawan maka titik
kelemahannya pun sulit pula untuk diketahui. Dengan demikian, dalam keadaan
seperti ini Ilmu Sembilan Pedang Dugu menjadi tidak berguna sama sekali.
Untungnya, Linghu Chong dengan
cepat dapat menguasai keadaan. Begitu pedangnya bergerak segera ia mengelak
pula ke samping. Benar juga, segera ia mendengar suara tusukan yang keras,
disusul suara benturan dan jeritan ngeri. Dapat diduga senjata si penyerang itu
lebih dulu menusuk dinding, kemudian patah dan menancap pada tubuhnya sendiri.
Sejenak Linghu Chong tertegun.
Ia menduga orang itu tentu sudah mati karena tidak mengeluarkan suara lagi. Ia
berpikir, “Dalam keadaan gelap gulita seperti ini, setinggi apa pun ilmu
silatku juga tidak berbeda dengan para jago silat kelas kambing. Terpaksa aku
harus bersabar menunggu kesempatan untuk bergabung dengan Yingying.”
Sementara itu, suara sambaran
senjata dan teriakan-teriakan sudah mulai banyak berkurang. Tentunya dalam
waktu singkat ini telah jatuh sejumlah korban yang tidak sedikit. Ia kembali
memutar pedang di depan untuk menjaga diri kalau-kalau mendadak diserang orang
secara serabutan. Suara kecapi kembali terdengar kemudian lenyap pula tanpa
irama. Kembali Linghu Chong merasa khawatir. “Jangan-jangan Yingying terluka
atau mungkin pemetik kecapi itu bukan dia? Tapi kalau bukan dia, memangnya
siapa lagi yang datang ke tempat ini dengan membawa kecapi?”
Selang agak lama kemudian
suara teriakan dan bentakan mulai mereda. Namun, di atas tanah tidak sedikit
orang yang merintih-rintih dan mencaci maki. Terkadang masih juga ada suara
benturan senjata dan suara bentakan yang timbul dari tempat dekat dinding.
Sepertinya banyak pula yang berdiri merapat dinding sehingga dapat
menyelamatkan diri. Tentu orang-orang ini termasuk tokoh terkemuka yang cerdas
dan berpikiran panjang.
“Yingying, di mana kau?” seru
Linghu Chong.
Kembali terdengar suara kecapi
berbunyi dari arah depan seolah memberi jawaban. Tanpa pikir lagi Linghu Chong
lantas melompat ke arah itu. Ketika kaki kirinya menyentuh tanah terasa
menginjak sesuatu yang lunak. Ternyata tubuh seseorang telah diinjaknya.
Seketika angin tajam pun menyambar. Rupanya senjata seseorang telah menyerang
ke arahnya.
Untungnya, tenaga dalam Linghu
Chong sangat tinggi sehingga menambah kepekaannya. Meski serangan lawan tidak
dapat dilihat, namun ia dapat merasakan tepat pada waktunya sehingga sempat
melompat kembali ke tempat semula. Ia berpikir, “Di atas tanah penuh
bergeletakan banyak orang. Ada yang sudah mati, ada yang hanya terluka. Sungguh
sukar untuk dilewati begitu saja.”
Terdengar pula suara angin
menyambar kian-kemari. Rupanya orang-orang yang berdiri merapat dinding sedang
memutar senjata masing-masing untuk menjaga diri. Dalam sekejap kembali
beberapa orang roboh di tanah, entah tewas atau hanya terluka.
Tiba-tiba terdengar suara
seorang tua berseru, “Wahai kawan-kawan, dengarkan dulu kata-kataku! Kita
sama-sama terjebak oleh tipu muslihat Yue Buqun. Menghadapi bahaya seperti ini
kita harus bersatu padu untuk mencari selamat. Tidak boleh memutar senjata dan
saling bunuh kawan sendiri!”
Serentak beberapa orang
menanggapi, “Benar! Benar!”
Dari suara-suara itu Linghu
Chong dapat memperikirakan ada enam sampai tujuh puluh orang yang berdiri
merapat di dinding gua. Rupanya mereka sudah bisa berpikir dengan tenang
sehingga tidak menyerang lagi secara serabutan.
Orang tua tadi lantas berkata,
“Aku adalah Yuzhongzi dari Perguruan Taishan. Nah, sekarang tolong kawan-kawan
sekalian kembali menyimpan senjata masing-masing. Kita sama-sama berada dalam
kegelapan. Apabila di antara kita bertabrakan, tolong jangan sampai saling
menyerang. Apakah kawan-kawan dapat mengabulkan permintaanku ini?”
Serentak banyak orang
menjawab, “Tentu saja bisa! Memang demikian seharusnya!”
Setelah itu tak terdengar lagi
suara bergeraknya senjata. Menyusul kemudian terdengar suara puluhan senjata
kembali disarungkan. Kini keadaan menjadi sunyi senyap.
“Sekarang hendaknya
kawan-kawan bersumpah bahwa kita tidak akan saling mencelakai di dalam gua ini.
Barangsiapa yang melanggar sumpah tentu akan mati tak terkubur di sini,” seru
Yuzhongzi memecah keheningan. “Sebagai pelopor, maka aku, Yuzhongzi dari
Perguruan Taishan mendahului bersumpah demikian.”
Segera orang-orang yang lain
pun ikut bersumpah pula. Mereka berpikir, “Pendeta Yuzhongzi ini termasuk
angkatan tua yang berpengalaman. Tindakannya sungguh tepat. Kalau kita bersatu
padu mungkin masih ada harapan untuk keluar dengan selamat. Kalau tidak, tentu
semuanya akan mati konyol di sini.”
“Bagus sekali. Terima kasih,
kawan-kawan semua. Sekarang silakan memberitahukan nama kalian masing-masing,”
kata Yuzhongzi kemudian.
Seketika terdengar suara
teriakan menanggapi, “Aku dari Perguruan Hengshan, namaku ....”
“Aku dari Perguruan Songshan,
namaku ....”
“Aku dari Perguruan Taishan,
namaku ....”
Begitulah, masing-masing
lantas saling menyebut asal perguruan dan nama masing-masing. Ternyata
orang-orang yang tersisa ini memang benar-benar para tokoh terkemuka dari
ketiga perguruan besar tersebut. Namun demikian, Linghu Chong tidak mendengar
suara Tuan Besar Mo sama sekali.
Setelah semua orang
memperkenalkan diri, akhirnya tiba giliran Linghu Chong untuk berseru pula,
“Aku dari Perguruan Henshan, namaku Linghu Chong.”
“Hah, ternyata ketua Perguruan
Henshan ada di sini! Pendekar Linghu ada di sini! Bagus sekali, bagus sekali!”
seru para pendekar itu dengan nada gembira.
Dalam kegelapan Linghu Chong
hanya menyeringai. Ia berpikir, “Apanya yang bagus? Aku sendiri juga tidak
becus dan ikut konyol di sini.” Namun, ia segera paham bahwa para kesatria itu
sangat kagum terhadap ilmu pedangnya yang teramat tinggi. Dengan keberadaannya
di dalam gua seolah menambah harapan bagi mereka untuk bisa lolos dengan
selamat.
Tiba-tiba Yuzhongzi bertanya,
“Izinkan aku bertanya kepada Ketua Linghu, mengapa dari Perguruan Henshan hanya
kau seorang yang datang kemari?” Pendeta tua ini memang sangat berpengalaman.
Ia merasa sangsi jangan-jangan Linghu Chong menyembunyikan sesuatu dan
bermaksud merugikan mereka semua, mengingat dirinya adalah murid pertama Yue
Buqun. Mau tidak mau hal ini memang menimbulkan kecurigaan karena dari dua
ratus orang yang terkurung di dalam gua tersebut tidak seorang pun yang berasal
dari Perguruan Huashan ataupun Henshan. Sementara itu, Linghu Chong jelas memiliki
hubungan dengan kedua perguruan tersebut.
Maka, Linghu Chong pun
menjawab, “Aku sedang mencari seorang teman, dia adalah Ying…” sampai di sini
ia segera teringat bahwa Ren Yingying adalah putri tunggal Ren Woxing, ketua
Sekte Iblis yang selama ini dimusuhi oleh golongan yang menamakan dirinya
aliran lurus, terutama Serikat Pedang Lima Gunung. Maka, ia merasa lebih baik
menghentikan pembicaraan supaya tidak menimbulkan masalah yang lebih rumit
lagi.
Sementara itu, Yuzhongzi
terdengar membicarakan hal lain, “Apakah kawan-kawan ada yang masih memegang
obor dan pemantik api? Tolong segera dinyalakan!”
“Betul juga, betul juga!”
sorak banyak orang dengan gembira.
“Hei, mengapa kita menjadi
pikun dan tidak memikirkan hal ini sejak tadi?”
“Ayo, lekas kita nyalakan
obor!”
Dalam keadaan kacau seperti
tadi yang terpikir oleh mereka hanyalah bagaimana bisa segera menyelamatkan
diri. Tidak seorang pun yang berkesempatan menyalakan obor, karena begitu
lengah sedikit saja tentu akan segera terbunuh oleh orang di dekatnya.
Sejenak kemudian terdengar
suara pemantik api beberapa kali, dan setelah itu beberapa titik cahaya kembali
bermunculan. Rupanya orang-orang itu telah menyalakan beberapa obor. Sorak
gembira pun terdengar seketika.
Sekilas pandang Linghu Chong melihat
pada dinding gua itu penuh berdiri banyak orang. Semuanya dalam keadaan
berlumur darah. Sebagian tampak masih menghunus senjata. Rupanya orang-orang
ini lebih suka berhati-hati daripada mengambil risiko dibunuh orang. Meskipun
mereka semua telah bersumpah, tapi tiada salahnya menjaga diri terhadap segala
kemungkinan.
Linghu Chong kemudian
melangkah ke dinding di depannya dengan maksud untuk mencari Ren Yingying.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara seseorang membentak, “Sekarang saatnya!”
Sekejap kemudian dari dalam
terowongan sempit muncul beberapa orang bersenjata dan langsung membunuh
beberapa orang di depan mereka. Rupanya orang-orang inilah yang tadi telah
memenggal kepala laki-laki bertubuh kekar yang berusaha menerobos ke dalam
terowongan sempit tersebut.
“Hei, siapa kalian?” teriak
para pendekar sambil melolos senjata untuk melawan. Hanya beberapa jurus saja
keadaan kembali gelap gulita. Obor yang menyala tadi telah padam satu persatu.
Entah disebabkan oleh sambaran angin para penyerang itu atau terkena debu yang
berhamburan.
Secepat kilat Linghu Chong
melompat dan melayang ke dinding di depannya. Terasa dari sebelah kanan ada
senjata yang menyerang tiba. Dalam kegelapan itu ia sukar untuk menangkis,
sehingga terpaksa harus mendekam ke bawah. Sesaat kemudian terdengar suara
pedang membentur dinding.
Linghu Chong berpikir orang
itu belum tentu hendak menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Mungkin karena
dirinya tiba-tiba melompat maka orang itu pun mengayunkan senjata untuk
berjaga-jaga. Maka, untuk beberapa saat ia pun mendekam ke bawah tanpa
bergerak. Setelah mengayunkan senjata beberapa kali dan tidak mengenai sasaran,
orang itu akhirnya berhenti.
Tiba-tiba terdengar suara
seseorang berteriak memberi aba-aba, “Bunuh semua kawanan anjing ini! Jangan
ada yang dibiarkan hidup seorang pun!”
“Baik!” jawab belasan lainnya
menanggapi.
Menyusul kemudian terdengar
beberapa orang berteriak, “Hei, itu suara Zuo Lengchan! Benar, itu suara Zuo
Lengchan!”
Lalu beberapa orang lainnya
berteriak pula, “Guru! Guru! Muridmu ada di sini!”
Linghu Chong sendiri juga
mengenali suara orang yang baru saja memerintahkan pembantaian tadi memang
suara Zuo Lengchan, ketua Perguruan Songshan yang sudah buta kedua matanya. Ia
pun berpikir, “Mengapa Zuo Lengchan ada disini? Apakah perangkap ini sengaja
dipersiapkan olehnya? Ah, ternyata ini semua bukan perbuatan Guru!”
Meskipun beberapa kali Yue
Buqun bermaksud jahat, namun kedudukannya sebagai guru sekaligus orang tua
angkat begitu mendalam di hati Linghu Chong. Sedikit pun pemuda itu tidak
pernah melupakan hubungan baik ini. Maka, begitu terpikir olehnya bahwa tipu
muslihat ini bukan diatur oleh Yue Buqun, tanpa terasa Linghu Chong pun merasa
senang dan terhibur. Ia merasa ratusan kali lebih menyenangkan jika mati di
tangan Zuo Lengchan daripada di tangan guru sendiri.
Terdengar Zuo Lengchan
menjawab dengan suara dingin, “Hm, kalian masih punya muka untuk memanggil
‘guru’ kepadaku? Tanpa meminta izin lebih dulu, kalian berani datang ke Puncak
Huashan ini. Perbuatan kalian yang durhaka dan lancang ini mana mungkin dapat
kuampuni? Dalam Perguruan Songshan mana boleh ada murid murtad macam kalian?”
Salah seorang menjawab dengan
suara lantang, “Guru, di tengah jalan kami mendengar kabar bahwa di gua Puncak
Huashan ini terdapat ukiran jurus-jurus ilmu silat peninggalan leluhur kita.
Kami khawatir apabila pulang dulu ke Songshan untuk melapor kepada Guru tentu
memakan waktu terlalu lama, dan mungkin ukiran di dinding telanjur sudah
dihapus orang. Karena itulah kami cepat-cepat memburu kemari. Kami bermaksud
bila sudah melihat semua ilmu pedang Perguruan Songshan yang terukir di sini,
maka kami akan segera pulang untuk melapor kepada Guru.”
“Hm, kalian tahu aku sudah
buta, dan kalian mengambil keuntungan dari cacatku ini, hah?” sahut Zuo
Lengchan bengis. “Aku tahu kalian mengira diriku ini sudah tidak berguna lagi.
Nanti apabila sudah berhasil mempelajari ilmu pedang bagus tersebut, memangnya
kalian masih mau menganggapku sebagai guru? Aku juga tahu kalian telah bersumpah
setia lebih dulu kepada Yue Buqun, karena hanya dengan begitu barulah dia
mengizinkan kalian melihat ukiran ilmu silat di sini. Bukan begitu?”
“Be… benar. Kami memang pantas
mati,” sahut si murid Songshan. “Namun, kami terpaksa melakukannya. Bagaimanapun
juga kelima perguruan telah dilebur, dan Yue Buqun telah dilantik sebagai
ketua. Mau tidak mau kami harus tunduk kepada perintahnya. Tapi itu hanyalah
siasat belaka. Kami berniat akan membangkitkan kembali kejayaan Perguruan
Songshan di bawah bimibingan Guru.”
“Guru, sungguh tidak disangka
bangsat itu telah menjebak kami di sini,” sambung seorang lainnya. “Mohon
bebaskanlah kami dari sini. Pimpinlah kami untuk mencari keparat Yue Buqun dan
membalas sakit hati ini kepadanya.”
“Hm, enak sekali cara berpikirmu
itu,” sahut Zuo Lengchan mencibir. Setelah diam sejenak, tiba-tiba ia berkata,
“Linghu Chong, ternyata kau juga datang. Memangnya apa yang kau kerjakan di
sini?”
Linghu Chong menjawab, “Aku
pernah tinggal di sini. Mau datang ke sini atau tidak adalah urusanku, peduli
apa denganmu? Kau sendiri sedang apa di sini?”
“Huh, kematian sudah di depan
mata, tapi kau masih berlagak di depan angkatan tua,” ujar Zuo Lengchan sambil
tertawa dingin.
“Kau memakai tipu muslihat
keji dan mencelakai para kesatria di dunia persilatan,” balas Linghu Chong.
“Dosamu terlalu banyak. Setiap orang berhak membinasakanmu. Tapi kau masih
berani mengaku angkatan tua segala, hah?”
“Pingzhi,” kata Zuo Lengchan
tiba-tiba. “Cepat bunuh dia!”
“Baik!” jawab seseorang dalam
kegelapan. Suara ini jelas suara Lin Pingzhi.
Linghu Chong terkejut dan
berpikir, “Ternyata Lin Pingzhi juga berada di sini. Zuo Lengchan dan ia sudah
sama-sama buta. Selama beberapa waktu ini tentu mereka sudah terbiasa berlatih
memainkan pedang tanpa melihat, menggunakan telinga sebagai pengganti mata.
Ketajaman telinga mereka pasti sudah sangat hebat. Dalam kegelapan seperti
sekarang ini keadaan menjadi terbalik, aku bagaikan orang buta, sebaliknya
mereka yang diuntungkan. Entah bagaimana caraku dapat menandingi mereka?”
Seketika ia pun berkeringat dingin dan tidak berani bersuara lagi. Hatinya
berharap semoga mereka tidak tahu di mana dirinya kini berdiri.
Terdengar Lin Pingzhi berseru,
“Linghu Chong, selama ini kau merajalela di dunia persilatan. Nama besarmu terkenal
di mana-mana. Tapi hari ini akhirnya kau akan mati di tanganku, haha, hahaha!”
Sungguh seram dan mengerikan
suara gelak tawa pemuda itu. Selangkah demi selangkah ia semakin mendekati
tempat Linghu Chong berada.
Rupanya ketika Linghu Chong
bertanya jawab dengan Zuo Lengchan tadi, diam-diam Lin Pingzhi memperhatikan di
mana letak keberadaan dirinya itu. Kini Lin Pingzhi tinggal berjalan ke arah
sasarannya dengan pedang di tangan. Seketika suasana di dalam gua menjadi sunyi
senyap. Yang terdengar hanya suara langkah kaki Lin Pingzhi yang mendirikan
bulu roma. Setiap pemuda itu maju satu langkah, membuat Linghu Chong merasa
jiwanya semakin dekat dengan pintu akhirat.
“Tunggu dulu!” tiba-tiba
terdengar suara seseorang berteriak. “Keparat Linghu Chong itu telah membutakan
kedua mataku sehingga aku tidak bisa melihat dunia untuk selamanya. Biarlah aku
… aku yang membunuh bangsat ini.”
“Benar! Benar!” sahut belasan
orang lainnya beramai-ramai. Sejenak kemudian terdengar pula mereka melangkah
maju ke arah Linghu Chong.
Seketika jantung Linghu Chong
terasa berdebar kencang. Ia sadar dirinya pernah membutakan lima belas pasang
mata saat bertempur di halaman kuil bobrok pada suatu malam beberapa bulan yang
lalu. Pertempuran itu terjadi karena mereka mengincar Kitab Pedang Penakluk
Iblis. Pertemuan kedua juga terjadi ketika Linghu Chong datang ke Gunung
Songshan menghadiri peresmian Perguruan Lima Gunung tempo hari. Saat itu kelima
belas orang tersebut bermaksud membalas dendam, namun mereka dapat diringkus oleh
Biksu Bujie.
Dalam hal ini Linghu Chong
berpikir, “Belasan orang ini sudah lama buta. Ketajaman telinga mereka tentu
jauh lebih hebat lagi. Menghadapi seorang Lin Pingzhi saja sudah sukar, apalagi
ditambah dengan belasan orang ini? Benar-benar sulit untuk dilawan.”
Terdengar suara langkah mereka
semakin detik semakin dekat. Dengan menahan napas diam-diam Linghu Chong
menggeser tubuhnya beberapa langkah ke samping. Seketika terdengar suara
benturan senjata beberapa kali. Rupanya pedang orang-orang itu telah menusuk
dinding tempat Linghu Chong berdiri tadi. Untungnya belasan orang itu menyerang
bersama, sehingga suara mereka bercampur aduk dan menyebabkan suara langkah
Linghu Chong menggeser diri luput dari perhatian mereka. Kini tidak seorang pun
yang tahu ke mana pemuda itu berpindah tempat.
Perlahan-lahan Linghu Chong
berjongkok dan meraba tanah. Begitu tangannya menemukan sebilah pedang, segera
ia melemparkannya ke depan. Terdengar pedang itu membentur dinding gua.
Serentak belasan orang buta pun menerjang maju ke arah suara. Sesaat kemudian
terdengar suara benturan senjata yang ramai. Rupanya mereka langsung terlibat
pertempuran melawan para kesatria tiga perguruan yang masih hidup. Berkali-kali
terdengar bentakan dan jeritan ngeri. Dalam sekejap saja sudah ada beberapa
orang yang roboh binasa.
Sebenarnya kepandaian para
kesatria ini tidaklah lemah. Namun, di dalam kegelapan jelas mereka bukan
tandingan kawanan orang buta itu.
Di tengah suasana ribut
tersebut Linghu Chong lantas bergeser lagi beberapa langkah ke kiri dan
meraba-raba dinding gua di sekitar situ. Setelah yakin tiada orang lain maka ia
lantas berjongkok dan merenung, “Zuo Lengchan membawa Lin Pingzhi dan kawanan
orang buta itu kemari. Jelas dia sengaja memasang perangkap untuk mengurung
semua orang di dalam gua ini. Kemudian dalam keadaan gelap gulita, ia
mengerahkan kawanan orang buta itu untuk membinasakan semuanya. Hanya saja,
dari mana dia dapat mengetahui letak gua rahasia ini?”
Sejenak kemudian ia pun
menemukan jawaban, “Ah, benar sekali. Tempo hari di Gunung Songshan Adik Kecil
memainkan jurus-jurus yang terukir di dinding gua ini untuk mengalahkan para
tokoh terkemuka dari Perguruan Taishan dan Hengshan. Kalau Adik Kecil pernah
datang kemari, tentu Lin Pingzhi juga pernah kemari.”
Tiba-tiba terdengar suara Lin
Pingzhi berteriak mengolok-olok, “Linghu Chong, kenapa kau tidak berani
memperlihatkan diri? Huh, dasar pengecut! Orang gagah macam apa kau ini?”
Seketika Linghu Chong merasa
gusar. Segera ia bermaksud melabrak pemuda itu, namun dengan cepat dapat
menahan diri. Ia berpikir, “Sebelum aku dapat menemukan Yingying, untuk apa aku
harus mengadu nyawa dengannya? Apalagi aku sudah berjanji kepada Adik Kecil
untuk menjaga baik-baik orang bermarga Lin ini. Bila aku bertempur dengannya
dan mati terbunuh tentu rasanya konyol. Sebaliknya, kalau sampai dia yang mati
juga aku akan merasa bersalah.”
“Semua orang di sini adalah
bangsat pengecut. Bunuh semua pengkhianat di sini!” seru Zuo Lengchan memberi
perintah. “Kalau semua sudah mati, si bocah Linghu Chong mau bersembunyi di
mana lagi?”
Dalam sekejap suara benturan
senjata dan bentakan di sana-sini terdengar semakin ramai. Linghu Chong tetap
bertiarap sehingga tidak seorang pun yang dapat menyerangnya. Ia memasang
telinga dengan seksama kalau-kalau terdengar suara Ren Yingying. Ia berpikir
gadis itu sangat cerdik. Dalam keadaan bahaya seperti ini tentu tidak akan
membunyikan kecapi.
Linghu Chong semakin cermat
dalam mendengarkan keadaan di dalam gua maut tersebut. Ternyata pertempuran
antara para kesatria melawan kawanan orang buta ini terjadi sedemikian
hebatnya. Sambil bertempur riuh ramai terdengar pula suara bentakan dan caci
maki. Berkali-kali ia mendengar orang memaki dengan kata-kata: “Persetan
nenekmu!”
Linghu Chong merasa heran.
Kata-kata “persetan nenekmu” itu terdengar lain daripada yang lain. Pada
umumnya kata-kata makian yang sering diucapkan orang adalah “persetan ibumu”
atau cukup “nenekmu” saja. Namun, istilah “persetan nenekmu” benar-benar baru
didengarnya kali ini. Ia berpikir apakah mungkin orang yang memaki itu berasal
dari suatu daerah tertentu, yang biasa menggunakan istilah demikian?
Namun, setelah diperhatikan
lagi, akhirnya Linghu Chong menemukan sesuatu yang aneh. Apabila ucapan
“persetan nenekmu” itu dilontarkan oleh dua orang secara bersamaan, maka untuk
selanjutnya senjata kedua orang itu lantas berhenti. Sebaliknya, kalau yang
memaki “persetan nenekmu” hanya satu orang, maka pertarungan pun terus saja
berlangsung. Setelah dipikir lagi, Linghu Chong akhirnya paham. “Rupanya makian
ini adalah semacam kata sandi di antara orang-orang buta itu untuk membedakan
mana kawan dan mana lawan,” demikian ia berpikir.
Dalam kegelapan tersebut semua
orang bertempur secara serabutan. Tentu saja sangat sulit membedakan kawan atau
lawan. Namun, orang-orang buta itu telah menggunakan kata sandi sebelum mereka
menyerang. Apabila dua orang bertemu dan sama-sama mengucapkan “persetan
nenekmu”, maka itu berarti mereka saling bertemu kawan sendiri. Namun, apabila
ucapan “persetan nenekmu” tidak dibalas dengan istilah yang sama, maka tanpa
ragu si orang buta pun melancarkan serangannya, dan tak lama setelah itu korban
kembali berjatuhan.
Setelah mengetahui rahasia
serangan kawanan orang buta itu, perlahan-lahan Linghu Chong berdiri sambil
menyilangkan pedangnya di depan dada. Didengarnya suara makian “persetan
nenekmu” itu semakin lama semakin ramai. Sebaliknya, suara benturan senjata dan
suara bentakan dengan istilah lain semakin mereda. Jelas orang-orang Perguruan
Songshan, Taishan, dan Hengshan semakin banyak yang terbunuh. Namun, selama ini
ia tetap tidak mendengar suara Ren Yingying sedikit pun. Ia menjadi khawatir
jangan-jangan Ren Yingying benar-benar telah terbunuh olehnya dirinya sendiri.
Namun, di sisi lain ia juga bersyukur gadis itu tidak menjadi korban keganasan
kawanan orang buta tersebut.
Linghu Chong lantas merenung,
“Murid-murid Songshan telah mendengar tentang gambar-gambar jurus pedang
leluhur perguruan mereka terukir di dinding gua ini. Mereka pun berbondong-bondong
datang kemari untuk melihat. Hanya karena tidak meminta izin terlebih dulu,
mereka lantas dihukum mati tanpa ampun oleh Zuo Lengchan. Pasti ia juga
bermaksud membunuhku, namun tidak tahu kalau aku berada di mana. Hm, sungguh
kasihan murid-murid Songshan ini, juga yang lainnya. Mereka harus mati di
tangan manusia gila semacam Zuo Lengchan.”
Tidak lama kemudian suara
pertempuran akhirnya berhenti sudah. Terdengar Zuo Lengchan berseru, “Semuanya,
sisir seluruh gua ini! Kalau ada yang masih hidup, segera dibunuh saja!”
“Baik,” sahut kawanan orang
buta itu. Mereka lantas berpencar sambil menebas dan mengayunkan senjata ke
segala arah. Suara sambaran angin tajam terdengar menderu-deru di sana-sini.
Sebanyak dua kali pedang orang-orang buta itu hampir mengenai tubuh Linghu
Chong, namun dapat ditangkisnya sambil ikut memaki, “Persetan nenekmu!”
Ternyata suaranya yang
dibuat-buat agak serak dan kata-kata makiannya yang meniru itu telah membuat
jiwa Linghu Chong lolos dari maut. Suara sambaran pedang dan caci maki kawanan
orang buta itu terus saja berlangsung sampai sekian lamanya. Linghu Chong
benar-benar sangat cemas dan hampir saja ia menangis memikirkan keselamatan Ren
Yingying. Sungguh ingin sekali ia berteriak memanggil, “Yingying, Yingying, di
mana kau?”
“Berhenti!” teriak Zuo
Lengchan memberi aba-aba. Kawanan orang buta itu serentak berhenti di tempat
masing-masing. Dengan terbahak-bahak Zuo Lengchan lantas berkata, “Para murid
pengkhianat ini sudah mampus semua. Mereka sungguh tidak tahu malu. Hanya karena
ingin belajar ilmu pedang, mereka rela bersumpah setia kepada si keparat Yue
Buqun. Hahaha! Hahaha! Bangsat cilik Linghu Chong tentu sudah mampus pula di
bawah pedang kalian. Hahahaha! Linghu Chong, di mana kau? Apa kau sudah mampus,
hah?”
Linghu Chong terdiam tanpa
menjawab sedikit pun sambil menahan napas.
Zuo Lengchan melanjutkan,
“Pingzhi, hari ini orang yang paling kau benci sudah mampus. Tentu kau merasa
puas, bukan?”
“Semua ini berkat rencana
matang dari Saudara Zuo,” jawab Lin Pingzhi. “Benar-benar perangkap yang
sempurna.”
Mendengar itu Linghu Chong
berpikir, “Jadi Zuo Lengchan dan Lin Pingzhi sudah mengangkat saudara. Huh,
mereka memang pantas menjadi saudara. Rupanya demi mendapatkan Kitab Pedang
Penakluk Iblis, Zuo Lengchan bersikap sedemikian baik kepada bocah ini.”
Terdengar Zuo Lengchan
berkata, “Tapi kalau terowongan rahasia menuju gua ini tidak kau ceritakan
padaku, maka sulit bagiku untuk menyusun rencana dan membalas dendam.”
Lin Pingzhi menyahut, “Sayang
sekali, dalam kekacauan tadi aku tidak dapat membunuh si bangsat Linghu Chong
dengan tanganku sendiri.”
Linghu Chong merasa heran
mengapa Lin Pingzhi begitu membencinya. Terdengar Zuo Lengchan menjawab dengan
suara tertahan, “Tidak penting siapa yang telah membunuhnya, semua sama saja.”
Sejenak kemudian ia kembali memberi aba-aba. “Sekarang marilah kita keluar dari
sini. Mungkin si keparat Yue Buqun sedang berada di luar gua. Selagi matahari
belum terbit marilah kita beramai-ramai mengeroyoknya. Dalam kegelapan malam
tentu kita bisa menang.”
“Baik!” jawab Lin Pingzhi
setuju. Sejenak kemudian terdengar kawanan orang buta itu melangkah pergi.
Rupanya mereka kembali masuk ke dalam terowongan sempit di belakang gua.
Semakin lama suara mereka terasa semakin menjauh, dan akhirnya tak terdengar
apa-apa lagi.
“Yingying, di mana kau?” seru
Linghu Chong dengan suara berbisik.
Tiba-tiba di atas kepalanya
terdengar suara seseorang mendesis, “Sssst, jangan keras-keras! Aku ada di
sini.”
Betapa bahagia perasaan Linghu
Chong sampai-sampai kedua kakinya terasa lemas dan ia pun jatuh terduduk di
tanah.
Ketika kawanan orang buta tadi
mengamuk secara ganas, maka yang paling aman adalah bersembunyi di tempat yang
tinggi sehingga tidak terjangkau oleh pedang musuh. Hal ini sebenarnya sangat
mudah diketahui. Namun, dalam keadaan sedemikian gawat semacam tadi, pikiran
semua orang menjadi bingung sehingga sama sekali tidak memikirkan hal demikian.
Ren Yingying lantas melompat
turun. Segera Linghu Chong membuang pedangnya dan langsung memeluk erat-erat
tubuh kekasihnya itu. Keduanya sama-sama bahagia dan saling mencucurkan air
mata. Perlahan-lahan Linghu Chong mencium pipi si nona dan berbisik, “Kau
benar-benar membuatku khawatir setengah mati.”
Dalam kegelapan Ren Yingying
tidak menghindari ciuman tersebut. Dengan perlahan ia menjawab, “Ketika kau
memaki dengan kata-kata ‘persetan nenekmu’, seketika aku lantas mengenali
suaramu.”
Linghu Chong tertawa geli dan
kemudian bertanya, “Kau sendiri tidak terluka, bukan?”
“Tidak,” jawab Ren Yingying.
“Tadinya aku sangat khawatir
karena menusuk seorang perempuan. Aku takut kalau-kalau telah menusukmu. Tapi
setelah itu aku lega karena mendengar suara kecapi yang terputus-putus,” ujar
Linghu Chong.
“Kau sama sekali tidak dapat
membedakan suaraku dengan suara perempuan lain. Sudah seperti ini kau masih
berani bilang senantiasa memikirkanku?” jawab Ren Yingying sambil tersenyum.
“Tapi setelah itu suara kecapi
tidak terdengar lagi. Aku takut jangan-jangan kau memang terluka parah sehingga
tidak mampu memetik kecapi lagi,” lanjut Linghu Chong.
Ren Yingying berkata,
“Sebenarnya sejak tadi aku sudah melompat ke tempat tinggi itu. Khawatir
diketahui orang, aku tidak berani bersuara memanggilmu. Maka, aku hanya bisa
melemparkan uang logam ke arah kecapi yang tertinggal di tanah, dengan harapan
kau akan mengetahui keberadaanku.”
“Oh, ternyata demikian. Aku
tidak pernah menduganya. Aku sungguh bodoh, pantas dipukul, pantas dipukul,”
ujar Linghu Chong sambil menampar pelan pipinya sendiri. “Aih, Nona Ren sungguh
bernasib sial mendapatkan calon suami yang bodoh ini. Waktu itu aku hanya
merasa heran, mengapa kecapi yang kau bunyikan itu tanpa irama? Kenapa pula
tidak kau mainkan Lagu Kahyangan Biru, atau Menertawakan Dunia Persilatan?”
Ren Yingying masih membiarkan
tubuhnya dipeluk Linghu Chong. Ia menjawab, “Memangnya aku seorang dewi
kahyangan, bisa memainkan lagu hanya dengan melemparkan uang logam dalam
kegelapan?’
“Kau memang seorang dewi
kahyangan,” sahut Linghu Chong sambil tertawa.
Begitu mendengar pujian ini Ren
Yingying berusaha meronta namun Linghu Chong memeluknya lebih erat. Pemuda itu
lantas bertanya, “Mengapa lemparanmu tadi hanya terdengar beberapa kali saja?
Mengapa kau tidak membunyikan kecapi lagi?”
“Aku terlalu miskin,” jawab
Ren Yingying dengan tertawa. “Hanya itu saja uangku yang tersisa di saku.
Setelah kulemparkan ke bawah, habis sudah.”
Linghu Chong menghela napas
dan berkata, “Sayang sekali di gua ini tidak ada pegadaian, juga tidak ada
pasar uang. Andaikan ada, tentu Nona Ren bisa meminjam beberapa keping.”
Ren Yingying kembali tertawa
dan berkata, “Setelah persediaan uangku habis, aku lantas melemparkan jepit
rambut, tusuk konde emas, juga anting-anting mutiara pula. Namun, ketika
orang-orang buta itu mulai mengganas, aku tidak berani melempar lagi.
Pendengaran mereka sudah pasti jauh lebih tajam.”
Tiba-tiba terdengar suara
seseorang tertawa sinis di mulut terowongan sempit. Seketika Linghu Chong dan
Ren Yingying berteriak kaget. Dengan tangan kiri ia merangkul si nona sedangkan
tangan kanannya memungut kembali pedangnya di tanah. Setelah itu Linghu Chong
lantas membentak, “Siapa di situ?”
“Pendekar Linghu, ini aku!”
sahut orang itu dengan nada dingin. Suara ini jelas suara Lin Pingzhi. Menyusul
kemudian terdengar pula suara langkah kaki banyak orang muncul dari terowongan
sempit tersebut. Rupanya kawanan orang buta tadi telah kembali lagi ke dalam
gua utama.
Diam-diam Linghu Chong memaki
dirinya sendiri yang terlalu ceroboh. Seharusnya terpikir olehnya bahwa Zuo
Lengchan adalah bajingan tua yang sangat licik. Setelah membantai para kesatria
di dalam gua mana mungkin dia pergi begitu saja? Tentu tadi dia hanya pura-pura
berlalu bersama para begundalnya, namun diam-diam bersembunyi di terowongan
untuk mendengarkan gerak-gerik di dalam gua. Lantaran dapat berkumpul kembali
dengan Ren Yingying setelah melewati saat-saat berbahaya tadi, Linghu Chong
menjadi lupa daratan dan tidak ingat bahwa musuh tangguh setiap saat mungkin
akan muncul kembali.
Tiba-tiba Ren Yingying
berbisik sambil menarik lengan pemuda itu, “Naik ke atas!” Bersama-sama mereka
berdua pun meloncat ke atas.
Sejak tadi Ren Yingying
bersembunyi di atas batu karang yang mencuat pada dinding gua. Maka, meski
dalam kegelapan ia masih ingat di mana letak batu karang tersebut dan dapat
hinggap lagi di atasnya dengan tepat. Sebaliknya, Linghu Chong yang tidak tahu
menahu hanya meloncat mengikuti si nona. Tanpa sadar kakinya telah menginjak
tempat kosong, dan tubuhnya pun jatuh kembali ke bawah. Untungnya, Ren Yingying
sempat menarik sebelah tangannya dan membawanya naik ke atas.
Batu karang yang menonjol pada
dinding gua itu luasnya kurang dari satu meter. Linghu Chong dan Ren Yingying
berkumpul di situ bisa dikatakan kurang leluasa. Diam-diam Linghu Chong merasa
bersyukur kekasihnya dapat bertindak dengan cepat. Dengan berdiri di atas
karang tersebut tentu tidak mudah dikepung dan dikerubut oleh kawanan orang
buta itu.
“Kedua setan cilik itu
meloncat ke atas,” terdengar Zuo Lengchan berkata.
“Ya, di depan sana!” sahut Lin
Pingzhi.
“Linghu Chong, apakah kau akan
terus bersembunyi di sana seumur hidup?” seru Zuo Lengchan membentak.
Namun, Linghu Chong diam saja
tanpa menjawab. Ia sadar sedikit saja bersuara tentu tempat persembunyiannya
bersama Ren Yingying akan segera diketahui musuh. Tangan kanannya tetap
menghunus pedang dan tangan kiri merangkul pinggang Ren Yingying yang ramping.
Sebaliknya, Ren Yingying juga memegang pedang pendek di tangan kiri, dan
merangkul pinggang Linghu Chong dengan tangan kanan. Kedua orang itu merasa sangat
puas dan terhibur, karena mereka dapat berkumpul bersama. Sekalipun hari ini
harus mati juga takkan menyesal.
Kembali terdengar Zuo Lengchan
berseru, “Bola mata kalian dibutakan oleh siapa, apa kalian sudah lupa?”
Serentak belasan orang buta
itu menjadi murka. Mereka meraung-raung kemudian melompat ke atas sambil
mengayunkan pedang serta menusuk secara serabutan.
Linghu Chong dan Ren Yingying
diam saja. Serangan belasan orang buta itu sia-sia dan tidak mengenai sasaran.
Ketika orang-orang buta itu melompat lagi untuk yang kedua kalinya, salah
seorang di antara mereka hanya berjarak satu meter di depan batu karang
menonjol tersebut. Linghu Chong yang dapat merasakan hembusan angin yang dibawa
orang buta itu, segera menusukkan pedangnya ke arah tersebut. Seketika orang
buta itu pun menjerit ngeri karena dadanya tertusuk pedang lawan dan ia pun
jatuh terbanting ke tanah.
Seorang musuh buta telah
tewas, namun hal itu juga membuat tempat persembunyian Linghu Chong dan Ren
Yingying dapat diketahui. Serentak beberapa orang buta pun melompat ke atas
untuk menyerang bersamaan.
Batu karang yang menonjol itu
tingginya tiga-empat meter dari permukaan tanah. Kawanan orang buta yang
melompat ke atas tentu membawa hembusan angin menyambar tajam. Meskipun dalam suasana
gelap gulita, Linghu Chong dan Ren Yingying dapat dengan jelas merasakan
hembusan angin tersebut. Maka, keduanya pun menyongsong serangan mereka dengan
senjata masing-masing, sehingga dua orang buta kembali tertusuk dan menjadi
korban.
Untuk sementara orang-orang
buta lainnya menjadi gentar. Mereka sama-sama menengadah ke atas sambil mencaci
maki, namun sedikit pun tidak berani menyerang lagi.
Beberapa saat kemudian,
tiba-tiba angin kencang menyambar tiba. Terdengar ada dua orang melompat dari
kanan dan kiri. Segera Linghu Chong dan Ren Yingying menusukkan pedang
masing-masing. Maka, terdengarlah suara empat pedang beradu dengan keras. Kali
ini Linghu Chong merasa lengannya pegal-pegal, bahkan pedangnya hampir saja
terlepas dari genggaman. Jelas yang datang menyerang dirinya adalah Zuo
Lengchan sendiri.
Sementara itu, Ren Yingying
terdengar menjerit kesakitan karena pundaknya terluka oleh pedang musuh. Hampir
saja ia terpeleset jatuh ke bawah. Untungnya Linghu Chong sempat merangkul
pinggang gadis itu lebih kencang. Zuo Lengchan dan rekannya kembali meloncat
untuk melancarkan serangan. Pedang Linghu Chong pun menusuk lawan yang
menyerang Ren Yingying. Ketika kedua pedang berbenturan, mendadak orang itu
mengubah gerakan pedangnya dengan cepat, yaitu memotong ke bawah menggesek
pedang Linghu Chong. Sepertinya orang yang dihadapi Linghu Chong kali ini tiada
lain adalah Lin Pingzhi.
Segera ia pun menarik tubuh
untuk mengelak. Terasa angin tajam menyambar melalui pedang Lin Pingzhi itu dan
menghembus ke arah Ren Yingying. Dalam keadaan tubuh terapung, ternyata Lin
Pingzhi sanggup melancarkan tiga kali serangan secara berturut-turut. Diam-diam
Linghu Chong mengakui kehebatan Jurus Pedang Penakluk Iblis yang menjadi
rebutan dunia persilatan itu.
Khawatir Ren Yingying akan
terluka lagi, tanpa pikir panjang Linghu Chong pun melompat turun sambil tetap
merangkul kekasihnya itu. Sambil punggung merapat di dinding ia memutar pedang
dengan kencang agar musuh tidak berani mendekat.
Tiba-tiba terdengar Zuo
Lengchan tertawa panjang sambil menusukkan pedangnya. Begitu kedua pedang
beradu, tubuh Linghu Chong langsung tergetar. Terasa suatu arus tenaga dalam
berhawa dingin masuk ke dalam tubuhnya melalui pedang. Seketika teringat
olehnya pertandingan antara Ren Woxing dan Zuo Lengchan di Biara Shaolin
dahulu. Waktu itu Ren Woxing menggunakan Jurus Penyedot Bintang untuk menghisap
tenaga dalam Zuo Lengchan. Tak disangka, Zuo Lengchan ternyata sengaja
membiarkan tenaga dalamnya yang mengandung racun mahadingin itu dihisap lawan,
sehingga Ren Woxing nyaris mati kedinginan dan membeku.
Kini Zuo Lengchan kembali
melakukan hal yang sama, yaitu membiarkan tenaga dalamnya dihisap oleh Linghu
Chong. Sudah tentu Linghu Chong tidak mau masuk perangkap. Segera ia
mengerahkan tenaga untuk menolak hawa dingin itu keluar. Karena terlalu keras
ia mendesak hawa dingin tersebut, tak terasa jari tangannya menjadi kendur, dan
pedang pun terlepas dari genggaman.
Segenap kepandaian Linghu
Chong jelas terletak pada ilmu pedangnya yang lihai. Maka, ia pun buru-buru
berjongkok dan meraba-raba di tanah. Di dalam gua itu tergeletak sekitar dua
ratus mayat. Sudah pasti di atas tanah juga banyak berserakan senjata mereka.
Dalam keadaan gelap gulita itu, Linghu Chong dan Ren Yingying telah menjadi orang
buta, sedangkan kawanan orang buta itu justru bisa “melihat” mereka. Meskipun
dalam keadaan terdesak, namun sepasang kekasih ini tetap pantang untuk
menyerah. Asalkan dapat memungut suatu senjata, entah golok ataupun pedang,
tentu dapat digunakan untuk menahan serangan musuh meski hanya sementara.
Tak disangka, yang teraba oleh
tangan Linghu Chong adalah wajah seseorang yang sudah kaku dan dingin.
Tangannya juga terasa lengket karena terkena darah pada mayat tersebut. Ia pun
terkejut dan bergeser dua langkah ke dekat dinding gua sambil merangkul Ren
Yingying. Di sisi lain, Ren Yingying melangkah sambil memainkan pedang
pendeknya untuk menangkis dua serangan musuh. Namun, pada serangan ketiga yang
lebih keras, pedang pendek itu akhirnya terlepas pula dan melayang entah ke
mana.
Perasaan Linghu Chong
bertambah khawatir. Kembali ia berjongkok dan meraba-raba lantai gua. Kini
tangannya merasa menemukan sesuatu, semacam tongkat pendek. Dalam keadaan gawat
seperti itu ia tidak sempat lagi memeriksa apa sebenarnya benda tersebut.
Ketika terasa angin tajam datang menyambar, segera ia pun mengangkat tongkat
pendek itu untuk menangkis. Tanpa ampun, tongkat tersebut langsung patah
terkena pedang lawan.
Pada waktu mengangkat kepala
untuk berkelit, tiba-tiba Linghu Chong melihat di depan matanya tampak meletik
beberapa titik sinar putih kehijauan. Beberapa titik cahaya itu sangat lemah
namun di dalam gua yang gelap gulita bagaikan bintang kejora yang bersinar di
cakrawala. Samar-samar bentuk tubuh dan kelebat pedang musuh pun kini dapat
dibedakan olehnya.
Tanpa terasa, Linghu Chong dan
Ren Yingying bersorak gembira. Pada saat itu pedang Zuo Lengchan kembali datang
menusuk. Segera Linghu Chong mengangkat tongkat pendeknya itu untuk menusuk
leher lawan. Tempat yang diarah memang merupakan titik kelemahan pada jurus
itu. Seketika Zuo Lengchan pun menarik serangannya dan menghindari tusukan
tersebut. Meskipun kedua matanya sudah buta, namun perasaannya sangat peka
sehingga ia mampu berkelit dengan cukup gesit. Sambil melompat mundur ia pun
mencaci maki dengan rasa penasaran.
Kesempatan itu segera
digunakan oleh Ren Yingying untuk berjongkok dan memungut sebilah pedang. Ia
lalu menyerahkan pedang itu kepada Linghu Chong dan memindahkan tongkat pendek
tadi ke tangannya. Gadis itu lantas memutar tongkat pendek tersebut dengan
kencang sehingga titik-titik cahaya putih kehijauan semakin banyak bertaburan
di udara tanpa terputus.
Seketika semangat Linghu Chong
pun bangkit menyala. Dalam keadaan gawat yang menentukan antara hidup dan mati,
ia tidak mau lagi berbelas kasihan terhadap lawan. Segera pedangnya bekerja
dengan cepat. Sambil mulutnya memaki, “Persetan nenekmu!” kontan seorang buta
tewas tertusuk dan roboh.
Ternyata gerak tangannya lebih
cepat daripada mulutnya. Baru enam kali ia memaki “persetan nenekmu”, ternyata
sudah sebelas orang buta sisanya sudah mati berjatuhan di tanah. Kawanan orang
buta itu rupanya terlalu polos. Ketika mendengar suara “persetan nenekmu”,
masing-masing mengira sedang berhadapan dengan kawan sendiri sehingga tidak
melakukan perlawanan. Sebelum orang-orang itu sempat berpikir lebih banyak
lagi, tahu-tahu pedang Linghu Chong sudah menusuk leher mereka. Seketika jiwa
mereka pun melayang menemui sang nenek di alam sana.
Menyadari hal ini Zuo Lengchan
dan Lin Pingzhi menjadi kebingungan. Mereka pun bertanya-tanya dengan gelisah,
“Ada apa? Apakah ada api?”
“Benar!” bentak Linghu Chong
sambil menyerang Zuo Lengchan tiga kali.
Rupanya Zuo Lengchan sudah
sangat terlatih bertarung menghadapi serangan musuh menggunakan telinga.
Berturut-turut ia dapat menangkis ketiga serangan Linghu Chong tersebut.
Sebaliknya, Linghu Chong merasa lengannya pegal-pegal. Kembali terasa suatu
arus hawa dingin menyalur masuk melalui pedangnya saat beradu dengan senjata
musuh.
Tiba-tiba terlintas suatu
pikiran dalam benak Linghu Chong. Segera ia pun berdiri tegak dan menahan
senjata. Sedikit pun tidak bergerak lagi. Karena tidak mendengar gerak-gerik
lawan, Zuo Lengchan menjadi kelabakan. Dengan gelisah ia memutar pedangnya secara
cepat untuk melindungi segenap titik penting pada tubuhnya.
Sementara itu, Ren Yingying
masih terus memutar tongkat pendek di tangannya. Berkat percikan titik cahaya
yang bertebaran keluar dari tongkat tersebut, Linghu Chong dapat membedakan
musuh dengan cukup jelas. Perlahan-lahan ia lantas menjulurkan pedangnya ke
arah lengan kanan Lin Pingzhi, sedikit demi sedikit mendekati sasaran.
Lin Pingzhi memiringkan kepala
untuk mendengarkan serangan lawan. Akan tetapi, pedang Linghu Chong itu
bergerak dengan sangat perlahan, sedikit pun tidak menimbulkan suara. Begitu
ujung pedang tersebut sudah tinggal beberapa senti saja di depan sasaran,
mendadak Linghu Chong pun mendorongnya dengan sangat cepat. Seketika semua urat
pada lengan kanan Lin Pingzhi putus sudah.
Lin Pingzhi menjerit keras.
Pedangnya pun terlepas dari genggaman dan jatuh ke tanah. Dengan kalap ia
menubruk maju. Namun, pedang Linghu Chong kembali bekerja. Kini kedua kaki Lin
Pingzhi yang tertusuk olehnya. Tanpa ampun, pemuda itu pun roboh terguling
sambil mencaci maki penuh kebencian.
Sewaktu Linghu Chong berpaling
ke arah Zuo Lengchan, di bawah titik-titik cahaya yang remang-remang ia melihat
gembong Perguruan Songshan yang sudah buta itu sedang mengertakkan gigi.
Wajahnya terlihat beringas menakutkan. Tangannya terus saja mengayun-ayunkan
pedang dengan sangat gencar. Namun, sehebat apa pun ilmu pedangnya tetap bukan
tandingan Ilmu Sembilan Pedang Dugu.
Sesaat Linghu Chong merenung,
“Manusia ini adalah biang keladi kekacauan di dunia persilatan. Dosanya tidak
dapat diampuni lagi.”
Usai berpikir demikian
tiba-tiba ia berteriak nyaring dan pedangnya pun bekerja dengan sangat cepat.
Dalam sekaligus Zuo Lengchan langsung terkena tiga tusukan. Satu di dahi, satu
di leher, dan satu lagi tepat di dadanya. Setelah melukai lawan, Linghu Chong
segera melompat mundur sambil menggandeng tangan Ren Yingying. Tampak Zuo
Lengchan berdiri mematung. Sejenak kemudian orang itu pun roboh ke depan.
Pedangnya kemudian berputar balik dan menusuk perut sendiri hingga tembus ke
belakang.
Setelah perasaannya agak
tenang, Linghu Chong mencoba memandangi tongkat pendek di tangan Ren Yingying
yang memercikkan titik-titik sinar putih kehijauan tersebut. Cahaya ini sangat
lemah sehingga tidak jelas benda apakah sebenarnya tongkat tersebut.
Khawatir kalau-kalau Lin
Pingzhi kembali melakukan serangan kalap, segera Linghu Chong mengayunkan
pedang memutus semua urat di lengan kiri pemuda itu. Kemudian ia pun
menggeledah beberapa mayat untuk mencari pemantik api. Berturut-turut dua orang
telah digerayanginya, namun tidak terdapat apa pun di saku baju mereka.
Tiba-tiba terlintas suatu pikiran di benaknya, dan ia pun memaki, “Persetan
nenekmu! Manusia buta sudah tentu tidak membawa pemantik api segala.”
Pada mayat kelima barulah
Linghu Chong menemukan pemantik api. Segera ia membakar sehelai kain sebagai
pengganti obor. Begitu keadaan menjadi lebih terang, pasangan itu langsung
menjerit bersamaan, karena tongkat pendek yang dipegang Ren Yingying ternyata
sepotong tulang paha yang sudah sangat tua. Segera Ren Yingying pun melemparkan
tulang itu sambil memaki, “Persetan ne...” namun sampai di sini ia lantas
berhenti dan merasa tidak pantas.
Melihat tulang paha tua itu
Linghu Chong langsung paham dan berkata, “Yingying, jiwa kita telah tertolong
oleh tetua dari agama sucimu.”
“Tetua dari agamaku?” tanya
Ren Yingying tidak mengerti.
Linghu Chong pun bercerita,
“Lebih dari seratus tahun yang lalu sepuluh orang tetua Sekte Matahari dan
Bulan pernah menyerbu ke Gunung Huashan. Namun, mereka justru terjebak dan
terkurung di dalam gua ini untuk selamanya dan akhirnya mati penasaran. Yang
tertinggal dari mereka saat ini hanyalah senjata dan tulang belulang saja.
Tulang yang kau pegang tadi adalah tulang paha, entah berasal dari tetua yang
mana.”
Setelah diam sejenak ia lantas
melanjutkan, “Tanpa sengaja tulang paha ini kuambil dari tanah dan kugunakan
untuk menangkis serangan pedang Zuo Lengchan. Untung saja Zuo Lengchan
memotongnya sehingga tulang ini langsung memercikkan sinar putih kehijauan.
Tulang ini sudah berusia ratusan tahun dan mengandung api setan di dalamnya.”
Sesungguhnya yang dimaksud
dengan api setan adalah cahaya yang ditimbulkan oleh fosfor yang dikandung
dalam tulang tersebut. Tulang yang sudah berusia tua itu mengandung banyak
fosfor yang tentunya baru saja menyerap cahaya obor yang tadi menerangi gua.
Cahaya tersebut kemudian dipendarkan dalam percikan-percikan api setan putih
kehijauan yang kemudian menyelamatkan jiwa Linghu Chong dan Ren Yingying.
Ren Yingying menghela napas
lega. Ia lantas memberi hormat ke arah potongan tulang paha tadi dan berkata,
“Mohon maaf atas ketidaktahuanku. Ternyata aku berhadapan dengan tetua agama
sendiri.”
Linghu Chong lantas menemukan
dua buah obor dan segera menyalakannya. Setelah keadaan semakin terang, ia pun
berpikir dengan perasaan gelisah, “Entah bagaimana nasib Paman Guru Mo? Apakah
Beliau dapat selamat dari kekacauan ini?”
“Paman Guru Mo! Paman Guru
Mo!” seru Linghu Chong memanggil-manggil. Namun, ia sama sekali tidak mendengar
jawaban dari ketua Perguruan Hengshan tersebut. Mengingat keadaan tadi
sedemikian kacaunya, Linghu Chong merasa tiada harapan lagi bagi Tuan Besar Mo
untuk tetap selamat. Dengan perasaan pilu ia terkenang kebaikan Tuan Besar Mo
selama ini kepadanya. Ia pun memandangi mayat para kesatria yang tergeletak di
dalam gua tersebut, namun sangat sulit untuk mengetahui yang mana jasad Tuan
Besar Mo berada.
Dengan perasaan sedih Linghu
Chong merenung, “Kami baru saja lolos dari kematian. Namun, keadaan di dalam
gua ini masih cukup berbahaya. Aku harus segera mengajak Yingying pergi. Kelak
bila keadaan sudah aman, aku akan kembali lagi kemari untuk mencari jasad Paman
Mo dan menguburkannya secara layak.”
Usai berpikir demikian Linghu
Chong lantas menggendong tubuh Lin Pingzhi dan melangkah memasuki terowongan
sempit menuju ke luar gua. Ren Yingying pun memungut kecapinya yang sudah rusak
berlubang-lubang dan juga pedang pendeknya, lalu berjalan di belakang
kekasihnya tanpa banyak bertanya. Rupanya ia paham kalau Linghu Chong pernah
bersumpah untuk memenuhi wasiat terakhir Yue Lingshan, yaitu selalu menjaga Lin
Pingzhi dari bahaya yang mengancam.
Perlahan-lahan mereka
menyusuri terowongan sempit yang dulu digali oleh tetua Sekte Iblis tersebut.
Dengan penuh kewaspadaan Linghu Chong menyiapkan pedang di depan dada. Ia
berpikir Zuo Lengchan yang licik itu mungkin saja menyuruh orang lain berjaga
di terowongan tersebut. Tak disangka, sampai di ujung terowongan ternyata tiada
seorang pun yang terlihat. Perlahan Linghu Chong mendorong batu penutup
terowongan tersebut. Seketika matanya terbelalak silau. Rupanya matahari telah
terbit sejak tadi, dan ini berarti pertempuran di dalam gua maut tersebut telah
cukup banyak memakan waktu.
Tidak hanya di dalam, bahkan
di luar terowongan pun tidak terdapat seorang pun begundal Zuo Lengchan. Segera
Linghu Chong melompat keluar dan menarik tubuh Lin Pingzhi dari lorong sempit
tersebut. Disusul kemudian Ren Yingying melompat pula. Betapa nyaman perasaan
mereka setelah menghirup udara segar. Mereka merasa saat ini benar-benar sudah
berada di tempat yang aman, yaitu di gua kecil tempat para murid Perguruan
Huashan menjalani hukuman perenungan.
Ren Yingying bertanya, “Ketika
dihukum oleh gurumu, apakah kau tinggal di gua kecil ini?”
“Benar,” sahut Linghu Chong.
“Bagaimana menurutmu?”
Ren Yingying tersenyum
menjawab, “Menurutku kau tidak mungkin bermeditasi, tapi menghabiskan waktu
bersama ....” Sebenarnya ia hendak menyebut “adik kecilmu”, namun segera
berhenti karena takut membuat Linghu Chong kembali berduka.
Linghu Chong lantas berkata,
“Di sini pula aku mendapatkan pelajaran ilmu pedang dari Kakek Guru Feng. Entah
Beliau masih tinggal di sekitar sini atau tidak? Semoga kesehatan Beliau
baik-baik saja. Beliau pernah bersumpah tidak akan menemui orang Huashan lagi.
Tapi, bukankah aku sudah dipecat dari Perguruan Huashan?”
Ren Yingying menyahut, “Ayahku
sangat mengagumi kehebatan ilmu pedang Beliau. Kalau begitu, mari kita bersama
mencari Beliau.”
Linghu Chong segera menyarungkan
pedangnya dan meletakkan tubuh Lin Pingzhi di dekat mulut gua. Kemudian ia pun
melangkah sambil menggandeng tangan Ren Yingying.
Akan tetapi, baru saja keluar
dari gua tersebut, tiba-tiba suatu benda berkelebat di atas kepala mereka,
sepertinya menimpa turun ke bawah. Dengan cepat mereka berdua pun melompat
untuk menghindar. Namun sayang sekali sudah terlambat. Benda yang meluncur ke
bawah tersebut ternyata sebuah jala yang sangat besar dan langsung membungkus
rapat tubuh mereka berdua.
Dengan perasaan terkejut,
keduanya pun melolos pedang untuk memotong jala itu. Namun, jala ini tampaknya
terbuat dari bahan istimewa, sampai-sampai pedang mereka tidak mampu untuk
merobeknya.
Tiba-tiba sebuah jala kembali
menyambar dari atas sehingga tubuh mereka terbungkus semakin rapat. Menyusul
kemudian dari atas gua melompat turun seseorang sambil menarik tali jala itu
kencang-kencang dengan sekuat tenaga.
“Hei, Guru!” seru Linghu Chong
memanggil.
Ternyata yang melempar jala
tersebut tidak lain memang Yue Buqun orangnya.
Setelah Yue Buqun menarik tali
jala kencang-kencang, maka Linghu Chong dan Ren Yingying tampak seperti dua
ekor ikan besar yang masuk jaring nelayan. Semula mereka masih meronta-ronta,
tapi akhirnya sulit untuk bergerak lagi.
Dalam kegelisahannya, Ren
Yingying bingung tidak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba dilihatnya bibir
Linghu Chong tersenyum simpul, sikapnya sangat senang. Diam-diam ia pun merasa
heran. “Jangan-jangan Kakak Chong mendapat akal untuk meloloskan diri?”
pikirnya.
Terdengar Yue Buqun berkata
bengis, “Bangsat cilik, dengan riang gembira kau keluar dari gua itu. Tentunya
kau tidak mengira akan tertimpa bencana, bukan?”
“Bagiku ini bukan sesuatu
bencana,” sahut Linghu Chong acuh tak acuh. “Pada akhirnya setiap manusia harus
mati. Kini aku dapat mati bersama istriku tercinta, tentu hatiku merasa sangat
senang.”
Baru sekarang Ren Yingying
paham, ternyata senyum simpul di bibir Linghu Chong tadi adalah karena merasa
bahagia dapat mati bersama dengannya. Seketika perasaan takut gadis itu
langsung buyar dan berganti dengan perasaan bahagia.
“Bangsat cilik!” sahut Yue
Buqun memaki, “Kematian sudah di depan mata, tapi mulutmu masih saja melantur.”
Usai berkata demikian ia lantas mengikat tubuh muda-mudi itu dengan tali jala
lebih kencang lagi.
“Aku ingat, jala pusaka ini
adalah milik Lao Touzi. Pasti kau merebutnya saat menyerbu Puncak Henshan dan
Lembah Tongyuan,” ujar Linghu Chong. “Tak kusangka sikapmu padaku ternyata
sedemikian baik. Kau tahu kami sudah bersumpah untuk sehidup semati sehingga
kau sengaja membungkus tubuh kami berdua, suami istri ini bersama-sama. Kau
telah membesarkanku sejak kecil, sungguh pantas kalau kau mengetahui isi
hatiku. Kau memang sahabatku yang sangat baik, Tuan Yue.”
Sengaja Linghu Chong berbicara
panjang lebar dengan maksud hendak mengulur waktu, siapa tahu ia akan
memperoleh akal untuk membebaskan diri. Selain itu, ia juga berharap Feng
Qingyang tiba-tiba muncul untuk menolongnya.
Yue Buqun sangat gemas dan
membentak, “Bangsat cilik, sejak kecil kau memang suka membual tak aturan.
Sifat busukmu ternyata tidak berubah sampai sekarang. Biarlah kupotong dulu
lidahmu agar nanti jika masuk neraka kau tidak perlu lagi disiksa potong lidah
di sana.” Usai berkata demikian tiba-tiba kakinya langsung menendang ke pinggang
Linghu Chong. Seketika titik bisu Linghu Chong pun tertotok sehingga pemuda itu
tidak bisa bersuara lagi.
Yue Buqun lantas berkata
kepada Ren Yingying, “Nona Ren, kau ingin aku membunuhnya lebih dulu atau
membunuhmu lebih dulu?”
Ren Yingying menjawab,
“Terserah kau lebih suka membunuh siapa lebih dulu, apa urusannya denganku?
Yang pasti, obat penawar Pil Pembusuk Otak yang kusimpan hanya tinggal tiga
butir.”
Begitu mendengar “Pil Pembusuk
Otak”, seketika raut muka Yue Buqun berubah pucat. Sejak dipaksa menelan pil
beracun itu, perasaan Yue Buqun sangat tertekan. Siang malam ia mencari akal
untuk bisa mendapatkan obat penawarnya. Maka, bergitu datang kesempatan segera
ia melemparkan jala pusaka milik Lao Touzi yang terbuat dari benang logam untuk
meringkus kedua muda-mudi itu. Menurut rencana sebenarnya ia hendak membunuh
Linghu Chong dan Ren Yingying lebih dulu, baru kemudian menggeledah tubuh si
nona untuk mencari obat penawar pil beracun yang pernah ditelannya waktu itu.
Akan tetapi, begitu mendengar
Ren Yingying hanya menyimpan tiga butir obat penawar Pil Pembusuk Otak saja,
seketika perasaan Yue Buqun kembali gelisah. Dengan demikian apabila mereka
berdua dibunuh, maka ia sendiri hanya dapat bertahan hidup selama tiga tahun
saja. Sesudah tiga tahun terlewati, maka racun pada pil mulai bekerja dan
menyerang otak. Mula-mula ia akan menjadi gila, dan akhirnya mati pelan-pelan
dalam keadaan tersiksa.
Meskipun terkenal pandai
menyembunyikan perasaan, tetap saja tangan Yue Buqun terlihat gemetar membayangkan
hal itu. Akhirnya ia pun berkata, “Baiklah, mari kita mengadakan kesepakatan.
Nyawa kalian berdua akan kuampuni, asalkan kau mengatakan kepadaku cara meracik
obat penawar itu.”
Ren Yingying tertawa dan
menjawab, “Haha, biarpun usiaku masih muda dan pengalamanku dangkal, tapi aku
cukup mengenal kepribadian Tuan Yue dari Perguruan Huashan yang termasyhur.
Kalau ucapanmu dapat dipercaya, tentu kau tidak akan lagi dijuluki sebagai Si
Pedang Budiman.”
“Pintar bicara! Rupanya ini
hasil pergaulanmu dengan Linghu Chong, hah?” sahut Yue Buqun. “Kau tidak perlu
banyak bicara lagi! Cukup katakan saja bagaimana cara meracik obat penawar pil
iblis itu!”
“Sudah tentu takkan
kukatakan,” jawab Ren Yingying tegas. “Kelak tiga tahun lagi Kakak Chong dan
aku akan menyambut kedatanganmu di pintu akhirat. Tapi, waktu itu wajahmu tentu
sudah berbeda dengan sekarang ini. Jangan-jangan kami tidak bisa mengenalimu
lagi.”
Yue Buqun merinding
mendengarnya. Ia paham, begitu kuman dalam pil itu bekerja menyerang otak, maka
pikirannya akan langsung menjadi gila. Setelah itu lantas muncul dorongan untuk
merusak tubuh sendiri. Tangannya akan bergerak mencakari wajah hingga hancur
tak berbentuk.
“Baiklah,” sahut Yue Buqun
kemudian. Rupanya perasaan takut di hatinya telah berubah menjadi gusar.
“Meskipun wajahku kelak akan hancur, tapi paling tidak wajahmu akan hancur
terlebih dulu. Aku tidak akan membunuhmu, melainkan hanya merusak wajahmu yang
cantik ini. Akan kupotong hidung dan telingamu, akan kusayat-sayat pipimu yang
putih halus. Coba lihat, apakah Kakak Chong-mu yang tercinta ini masih tetap
menyukai siluman seperti dirimu atau tidak?” Usai berkata ia langsung melolos
pedang di tangan kanan.
Ren Yingying menjerit ngeri.
Meskipun tidak takut mati, namun kalau wajahnya sampai disayat-sayat hingga
rusak, lantas terlihat oleh Linghu Chong, maka hal ini sungguh sangat
mengerikan baginya.
Meskipun titik bisu Linghu
Chong sedang tertotok sehingga mulutnya tidak bisa bersuara, namun tangan dan
kakinya masih dapat bergerak. Ia pun memahami perasaan Ren Yingying. Dengan
sikunya ia menyinggung si nona, lalu kedua jarinya bergerak hendak mencolok
kedua mata sendiri.
Ren Yingying pun menjerit
kaget, “Kakak Chong, jangan!”
Sebenarnya Yue Buqun tidak
bersungguh-sungguh hendak merusak wajah Ren Yingying. Hal ini hanya digunakan
untuk mendesak si nona agar mau mengajarkan cara meracik obat penawar Pil
Pembusuk Otak. Maka, begitu melihat Linghu Chong hendak membutakan mata
sendiri, dengan sendirinya rencana yang jitu tersebut menjadi tidak berguna
lagi. Dengan kecepatan luar biasa sebelah tangan Yue Buqun lantas menjulur.
Dari luar jala ia memegang pergelangan tangan Linghu Chong sambil membentak,
“Hentikan!”
Begitu kedua tangan mereka
bertemu segera Jurus Penyedot Bintang pun bekerja pula. Yue Buqun merasa tenaga
dalamnya membanjir keluar dengan sangat deras. Ia menjerit kaget dan berusaha
meronta untuk melepaskan cengkeramannya, namun sudah terlambat. Tangan kirinya
itu terasa sudah melekat kuat pada pergelangan tangan Linghu Chong.
Tanpa pikir panjang Linghu
Chong lantas membalik tangannya. Kini ia berbalik mencengkeram tangan Yue Buqun
dan mengerahkan Jurus Penyedot Bintang lebih keras lagi. Berangsur-angsur ia
menghisap tenaga dalam Yue Buqun ke dalam tubuhnya dengan lebih kencang.
Yue Buqun sangat gugup dan
segera mengayunkan pedang di tangan kanan untuk menebas tubuh Linghu Chong.
Akan tetapi, Linghu Chong lebih dulu menarik tangannya sehingga tubuh Yue Buqun
ikut terseret maju. Akibatnya, tebasan pedang tersebut meleset dan mengenai
tanah.
Tenaga dalam Yue Buqun masih
terus membanjir keluar. Ketika bermaksud menyerang lagi, ternyata tangan
kanannya sudah semakin lemah lunglai. Lengannya itu bahkan susah untuk
digerakkan. Dengan sisa tenaga ia berusaha mengangkat pedang dan mengarahkan
ujungnya ke dahi Linghu Chong. Lengan dan pedang itu tampak gemetar, namun
perlahan-lahan menusuk ke depan.
Ren Yingying menjadi khawatir.
Ia bermaksud menggunakan jari untuk menyentil batang pedang Yue Buqun tersebut,
namun kedua lengannya tertindih oleh tubuh Linghu Chong. Jala pusaka itu
terikat dengan kencang pula. Meskipun sudah meronta sekuat tenaga namun tetap
sukar menarik tangannya yang tertindih itu.
Tangan kiri Linghu Chong
sendiri juga terjepit oleh Ren Yingying sehingga tidak dapat digerakkan. Tampak
ujung pedang Yue Buqun sudah semakin mendekati dahinya. Dalam keadaan genting
itu ia merenung, “Aku telah membunuh Zuo Lengchan dan melukai Lin Pingzhi
dengan tusukan pedang perlahan-lahan. Kini Guru juga hendak membunuhku dengan
cara yang sama. Sungguh cepat sekali datangnya hukum karma.”
Yue Buqun merasakan tenaga
dalamnya semakin habis terkuras, namun ujung pedangnya juga tinggal beberapa
senti saja dari kening Linghu Chong. Perasaan cemas dan senang bercampur aduk.
Ia berharap tusukan pedangnya ini dapat membinasakan Linghu Chong. Sekalipun
tenaga dalamnya terkuras habis, asalkan ia bisa tetap hidup tentu masih ada
harapan untuk berlatih kembali.
Pada saat itulah tiba-tiba
dari belakang terdengar suara teriakan seorang gadis muda, “Hei, apa yang kau
lakukan? Cepat lepaskan pedangmu!”
Setelah itu terdengar suara
langkah kaki seseorang berlari-lari mendekati tempat itu. Yue Buqun tidak
peduli dan terus saja menusukkan pedangnya ke depan. Ujung pedangnya kini hanya
tinggal dua senti saja untuk dapat membinasakan Linghu Chong. Hidup atau mati
benar-benar tergantung pada hasil tusukannya itu.
Dengan sisa-sisa tenaga ia
berusaha terus mendorong pedangnya ke depan. Akhirnya, ujung pedangnya sudah
menyentuh dahi Linghu Chong. Namun, pada saat itu juga punggungnya terasa
dingin. Tiba-tiba sebilah pedang telah menembus tubuhnya dari punggung hingga
ke dada. Seketika tubuh Yue Buqun pun lemas dan langsung roboh di tanah.
“Kakak Linghu, apa kau
baik-baik saja?” terdengar suara gadis itu menyapa. Ternyata ia adalah Yilin,
si biksuni muda dari Perguruan Henshan.
Linghu Chong tidak dapat
membuka suara karena titik bisunya belum terbuka. Darahnya pun terasa sedang
bergemuruh memenuhi rongga dada. Maka, Ren Yingying menjawab, “Adik Yilin,
Kakak Linghu baik-baik saja.”
“Syukurlah kalau begitu,” seru
Yilin senang. Tiba-tiba ia tercengang dan menjerit ketakutan, “Hah, bukankah
dia ini Tuan Yue? Aku … aku telah membunuh Tuan Yue!”
“Benar,” sahut Ren Yingying.
“Selamat untukmu! Kau telah berhasil membalaskan kematian gurumu. Sekarang
tolong kau lepaskan tali pengikat jala ini untuk membebaskan kami berdua.”
“O, ya, ya!” jawab Yilin
gemetar. “Jadi aku … aku telah mem… membunuh dia?”
Meskipun sudah lama belajar
silat, namun pada dasarnya ia berhati kecil. Melihat Yue Buqun tengkurap di
tanah bermandikan darah segar, seketika tangannya langsung gemetar. Ia
bermaksud memegang tali jala untuk membukanya, namun kedua tangannya terasa
lemas tak bertenaga. Beberapa kali ia mencoba membuka ikatan tali jala tersebut,
tapi tetap saja kesulitan.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara orang membentak, “Biksuni cilik, kau berani membunuh ketua
Perguruan Lima Gunung! Dosamu harus mendapat hukuman yang setimpal!” Tampak
seorang tua berbaju kuning sedang menyerbu maju dengan pedang di tangan kanan.
Ia tidak lain adalah Lao Denuo.
“Celaka!” seru Linghu Chong
dalam hati.
Segera Ren Yingying berseru,
“Adik, lekas ambil pedangmu untuk melawannya!”
Mula-mula Yilin tertegun,
namun ia segera mencabut pedang di tubuh Yue Buqun. Sementara itu, Lao Denuo
sudah melancarkan tiga serangan berturut-turut. Yilin dapat menangkis kedua
serangan, namun serangan ketiga telah menggores bahu kirinya hingga terluka
ringan.
Sebenarnya Lao Denuo bukan
pendukung Yue Buqun. Tujuannya menyerang Yilin hanyalah untuk mencegah biksuni
muda itu membebaskan Linghu Chong dan Ren Yingying. Serangan-serangan orang tua
itu tampak semakin cepat. Yang ia mainkan adalah Jurus Pedang Penakluk Iblis.
Hanya saja karena latihannya belum sempurna, maka kecepatannya sangat jauh bila
dibandingkan dengan Lin Pingzhi. Namun, pada dasarnya kepandaian Lao Denuo
memang cukup tinggi dan juga lebih berpengalaman. Ia menguasai ilmu pedang
Songshan dan Huashan dengan baik. Tentu saja Yilin bukan tandingannya.
Meskipun demikian, ilmu silat
Yilin sendiri juga sudah maju pesat. Siang malam ia berada dalam bimbingan Yihe
dan Yiqing untuk mempelajari ilmu pedang leluhur Perguruan Henshan yang
diperoleh Linghu Chong dari dinding gua rahasia dulu. Di samping itu, karena Lao
Denuo juga sedikit ragu-ragu dalam memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis,
sehingga cenderung memainkan campuran ilmu pedang Songshan dan Huashan. Karena
kedua ilmu pedang itu dicampur aduk, akibatnya malah kehilangan kesaktiannya.
Maka, untuk sementara Yilin masih dapat menghadapi kepandaian Lao Denuo
tersebut.
Pada mulanya Yilin agak gugup
karena serangan lawan begitu mendadak sehingga bahunya pun terluka. Namun,
begitu teringat kalau dirinya sampai kalah, maka nasib Linghu Chong dan Ren
Yingying tentu dalam bahaya. Dalam benaknya terlintas suatu pikiran, “Jika
musuh hendak membunuh Kakak Linghu, maka dia harus melangkahi mayatku lebih
dahulu.” Seketika ia pun tidak takut mati dan terus menyerang melancarkan
jurus-jurus pedang Henshan dengan lebih nekat.
Menghadapi perlawanan sengit
yang tidak kenal takut itu, Lao Denuo menjadi sukar untuk mengalahkan Yilin.
Terpaksa ia bertarung sambil memaki, “Biksuni cilik, keparat kau! Persetan
ibumu!”
Ren Yingying melihat cara
bertempur Yilin yang nekat itu sebenarnya hanya bisa bertahan untuk sementara
saja. Segera ia pun meronta berusaha membebaskan diri. Setelah menggeser
tubuhnya akhirnya ia bisa menggerakkan tangan kiri dan membuka totokan Linghu
Chong. Setelah itu ia lantas melolos pedang pendeknya yang terselip di
pinggang.
“Hei, Lao Denuo, siapa itu
yang ada di belakangmu?” seru Linghu Chong begitu mulutnya bisa kembali
berbicara.
Namun, Lao Denuo cukup
berpengalaman. Dalam pertempuran mati-matian seperti itu tentu saja ia tidak
mau tertipu oleh seruan Linghu Chong tersebut. Ia memilih tidak peduli terhadap
teriakan itu, sebaliknya justru mempergencar serangan-serangannya.
Sementara itu, diam-diam Ren
Yingying bermaksud melemparkan pedang pendeknya dari dalam jala. Namun jarak
pertarungan antara Yilin dan Lao Denuo sangat dekat. Ia takut kalau lemparannya
sedikit melenceng tentu malah mengenai tubuh Yilin.
Tiba-tiba terdengar Yilin
menjerit. Ternyata bahunya kembali terkena senjata musuh. Kalau luka yang
pertama tadi hanya tergores sedikit, maka luka yang kedua ini agak parah
sehingga darah pun bercucuran membasahi rumput.
“Eh, ada monyet!” kembali
Linghu Chong berseru pula. “Ah, aku kenal monyet itu. Itu monyet piaraan Adik
Keenam dulu. Hei, monyet yang baik, cepat kau tubruk keparat itu! Gigit orang
itu sampai mampus! Dia adalah bajingan yang membunuh majikanmu!”
Waktu itu demi mencuri kitab
pusaka Awan Lembayung, Lao Denuo telah membunuh Lu Dayou, murid keenam
Perguruan Huashan. Lu Dayou memang memiliki seekor kera yang selalu hinggap di
atas bahunya. Setelah ia terbunuh, kera kecil itu pun menghilang entah ke mana.
Kini mendengar Linghu Chong
berseru tentang monyet, mau tidak mau Lao Denuo merinding juga. Ia berpikir,
“Entah dia bohong atau tidak, tapi kalau binatang itu benar-benar menubruk ke
tubuhku dan menggigit leherku, rasanya repot juga untuk mengusirnya.” Maka,
tanpa pikir lagi pedangnya lantas menebas ke belakang. Padahal kalau dipikir
dengan jernih, mana mungkin ada seekor monyet berani mendekati dua manusia yang
sedang bertarung?
Pada saat itulah Ren Yingying
segera melemparkan pedang pendeknya melalui bagian bawah jala yang sedikit
terbuka. Pedang pendek itu melesat secepat kilat menyambar ke arah tengkuk Lao
Denuo. Namun, Lao Denuo sangat cekatan dan berhasil mengelak. Dengan sedikit
menunduk ke bawah, pedang Ren Yingying itu hanya lewat di atas kepalanya. Tapi
mendadak pergelangan kaki kiri orang tua itu terasa kencang karena terjerat
oleh seutas tali, bahkan tali itu lantas tertarik sehingga tubuhnya pun jatuh
tersungkur.
Ternyata dalam keadaan gawat
tersebut, Linghu Chong tidak menyia-nyiakan kesempatan. Sewaktu Lao Denuo
mendekam ke bawah untuk menghindari sambaran pedang pendek tadi, Linghu Chong
mempersiapkan serangan kedua. Meskipun tidak mampu membebaskan diri, namun tali
jala yang cukup panjang itu dapat dilecutkannya untuk menjerat kaki Lao Denuo
dan menariknya hingga jatuh.
“Bunuh dia! Lekas bunuh dia!”
seru Linghu Chong dan Ren Yingying bersama-sama.
Yilin lantas mengangkat
pedangnya hendak memenggal kepala Lao Denuo. Namun pada dasarnya ia bersifat
welas asih dan bernyali kecil pula. Sewaktu membunuh Yue Buqun tadi ia hanya
terdorong oleh perasaan ingin menolong Linghu Chong, sehingga tanpa pikir
panjang pedangnya langsung menusuk begitu saja. Namun, sekarang ketika
pedangnya hampir mengenai leher Lao Denuo, tiba-tiba saja timbul perasaan tidak
tega. Akibatnya, serangannya itu sedikit melenceng dan hanya mengenai pundak
kanan Lao Denuo.
Tulang pundak Lao Denuo patah
seketika. Pedangnya pun terlepas dari genggaman. Khawatir Yilin kembali
menyerang, Lao Denuo segera melompat bangun sambil menahan sakit. Setelah
meronta dan terlepas dari jerat tali jala tadi, secepat kilat ia lantas kabur
melarikan diri ke bawah tebing.
Tiba-tiba dari arah lain
muncul dua orang, perempuan dan laki-laki. Seorang perempuan yang berjalan di
depan lantas membentak, “Hei, apa kau yang memaki anak perempuanku tadi, hah?”
Ternyata perempuan itu adalah ibu Yilin, si perempuan tua penjaga Kuil Gantung
yang selama ini menyamar sebagai nenek bisu tuli.
Tanpa menjawab Lao Denuo
lantas mengangkat kaki hendak menendang. Namun, gerak tubuh si nenek sangat
cepat sukar untuk dilukiskan. Hanya sedikit berkelit, tahu-tahu tangannya sudah
menampar wajah Lao Denuo satu kali.
“Kurang ajar!” bentak
perempuan itu. “Tadi kau memaki ‘persetan ibumu’ kepadanya! Maka kuberi tahu
padamu, akulah ibunya!”
“Jangan lepaskan dia! Jangan
lepaskan dia!” seru Linghu Chong.
Sebenarnya si nenek sudah
mengangkat tangan hendak memukul keras-keras kepala Lao Denuo. Namun, begitu
mendengar seruan Linghu Chong itu, ia menjadi marah dan berkata, “Setan cilik,
aku justru ingin melepaskan dia, kau mau apa?” Usai berkata ia lantas memberi
jalan kepada Lao Denuo sambil menendang pantatnya satu kali.
Bagaikan lolos dari neraka,
Lao Denuo langsung berlari tunggang langgang turun dari puncak gunung itu.
Orang kedua yang ikut di
belakang si nenek tidak lain adalah Biksu Bujie. Dengan tertawa ia mendekati
Linghu Chong dan berkata, “Hei, masih banyak tempat bermain yang bagus. Mengapa
kalian lebih suka bermain petak umpet di dalam jala?”
“Lekas buka jala itu, Ayah!
Lepaskan Kakak Linghu dan Nona Ren,” seru Yilin.
Tapi si nenek menyela dengan
muka beringas, “Aku masih harus membuat perhitungan dengan setan cilik ini,
jangan lepaskan dia!”
“Hahahahaha!” Linghu Chong
bergelak tertawa. “Suami-istri naik tempat tidur, makcomblang ikut senang tapi
dibuang beegitu saja. Kalian suami-istri telah berkumpul kembali mengapa tidak
mengucapkan terima kasih kepada makcomblang ini?”
Namun, nenek itu malah
menendang tubuh Linghu Chong satu kali dengan gemas, dan memaki, “Aku berterima
kasih dengan cara menendangmu.”
“Hei, Enam Dewa Lembah Persik
juga datang,” teriak Linghu Chong tiba-tiba. “Lekas kalian tolong aku!”
Rupanya si nenek agak gentar
terhadap Enam Dewa Lembah Persik. Begitu mendengar seruan Linghu Chong, ia
terkejut dan langsung menoleh. Maka, kesempatan ini pun dimaanfaatkan Linghu
Chong untuk membuka tali pengikat jala dengan sangat cepat dan membiarkan Ren
Yingying merangkak keluar. Ketika ia sendiri hendak merangkak, tiba-tiba si
nenek membentak, “Kau tidak boleh keluar!”
“Tidak boleh juga tidak
masalah,” ujar Linghu Chong tertawa. “Di dalam jala ini ada duniaku tersendiri.
Di sini aku merasa nyaman, bagaikan di kahyangan. Seorang laki-laki sejati sanggup
mengkerut atau memuai sesuai kebutuhan. Saat mengkerut aku masuk jala, saat
memuai aku keluar jala. Masalah seperti ini tidak ada artinya buatku. Aku
Linghu ….” Seketika ia langsung terdiam begitu pandangannya bergeser ke arah
mayat Yue Buqun yang tegeletak di situ. Meskipun mantan gurunya itu
berkali-kali hendak mencelakainya, namun ia tidak sanggup melupakan kebaikan
Yue Buqun yang sudah merawatnya sejak kecil. Ia menganggap rusaknya hubungan
guru dan murid semata-mata hanya dikarenakan Kitab Pedang Penakluk Iblis.
Seketika hatinya menjadi pilu dan rongga dada terasa panas pula. Tanpa terasa
air mata pun berlinang-linang dan mengucur di pipi pemuda itu.
Sepertinya si nenek tidak
mengetahui perasaan Linghu Chong. Ia masih saja marah-marah dan memaki, “Setan
cilik, kalau aku tidak menghajarmu, maka rasa benciku tidak akan
terlampiaskan!” Usai berkata demikian ia segera mengangkat tangan hendak
menampar muka Linghu Chong.
Yilin tampak sedih dan
berteriak mencegah, “Ibu, jangan ….”
Sementara itu, Linghu Chong
tersadar dari lamunannya dan entah bagaimana tangannya di dalam jala sudah
memegang sebilah pedang di luar jala. Rupanya Ren Yingying sempat menyerahkan
senjata itu pada saat sang kekasih sedang termangu-mangu.
Begitu senjata sudah di
tangan, segera Linghu Chong mengacungkan pedangnya dan menusuk ke arah titik
penting di pundak kanan si nenek. Terpaksa perempuan tua itu mundur selangkah.
Melihat Linghu Chong berani
melawannya bahkan balas menyerang, si nenek bertambah marah. Tubuhnya bergerak
secepat angin. Tangannya menghantam dan kaki menendang bersama-sama.
Berkali-kali ia melancarkan tujuh-delapan serangan sekaligus. Namun, Linghu
Chong selalu dapat melawannya dengan tidak kalah cepat pula. Pedangnya itu
selalu mengancam tempat-tempat berbahaya di tubuh si nenek. Hanya saja, setiap
kali ujung pedang hampir mengenai sasaran segera ditariknya kembali. Ilmu
Sembilan Pedang Dugu boleh dikata tidak memiliki tandingan di dunia ini. Kalau
saja Linghu Chong tidak memberi kelonggaran, mungkin si nenek sudah
berlubang-lubang tubuhnya sejak tadi.
Setelah bergerak lagi beberapa
jurus, akhirnya perempuan itu menghela napas panjang. Ia menyadari ilmu silat
Linghu Chong sangat jauh di atasnya. Maka, ia pun berhenti menyerang dengan
raut muka memendam kecewa.
“Istriku,” sahut Biksu Bujie
menenangkannya, “kita semua adalah kawan sendiri. Untuk apa berselisih?”
“Siapa yang menyuruhmu ikut
bicara?” bentak si nenek gusar. Segera ia bermaksud melampiaskan kemarahannya
kepada Bujie.
Kesempatan itu segera
digunakan Linghu Chong untuk meletakkan pedangnya dan menerobos keluar dari
dalam jala. Sambil tertawa ia berkata, “Jika kau ingin melampiaskan
kemarahanmu, silakan pukul aku saja!”
Tanpa permisi perempuan itu
langsung menampar muka Linghu Chong dengan sangat keras. Pemuda itu berteriak
tapi tidak menghindar sedikit pun.
“Kenapa kau tidak menghindar?”
bentak si nenek gusar.
“Aku tidak mampu
menghindarinya,” sahut Linghu Chong tertawa. “Aku bisa apa?”
Nenek itu mendengus. Kembali
ia mengangkat tangan hendak memukul, namun diurungkannya. Ia tahu Linghu Chong
sengaja mengalah kepadanya karena menghormati Yilin.
Sementara itu, Ren Yingying
sedang menarik tangan Yilin dan berkata kepadanya, “Adik, syukur kau datang
tepat waktu dan menolong kami. Tapi, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?”
“Kami semua, murid-murid
Perguruan Henshan telah ditangkap oleh anak buahnya,” jawab Yilin sambil
menunjuk ke arah mayat Yue Buqun. “Kami dikurung di tempat yang terpisah-pisah.
Aku dan ketiga kakak dikurung di suatu gua. Kemudian Ayah, Ibu, dan Bukebujie
datang menolong kami. Selanjutnya kami berpencar untuk menolong saudara-saudara
lainnya. Aku bersama Ayah dan Ibu, sementara ketiga kakak bersama Bukebujie.
Ketika sampai di bawah tebing ini aku mendengar ada orang berbicara di atas.
Karena suaranya seperti suara Kakak Linghu, maka aku pun berlari meninggalkan
Ayah dan Ibu untuk mendahului naik ke atas sini.”
Ren Yingying berkata, “Ketua
Linghu dan aku mencari kalian ke berbagai tempat dan tidak menemukan seorang
pun. Ternyata kalian dikurung di dalam sebuah gua.”
Linghu Chong menyahut, “Si
bangsat tua berbaju kuning tadi adalah manusia jahat. Sungguh hatiku tidak rela
melihatnya sampai lolos.” Ia lantas memungut kembali pedangnya di tanah lalu
menambahkan, “Mari kita lekas mengejarnya.”
Kelima orang itu bergegas
turun dari Tebing Perenungan tersebut. Tidak lama kemudian mereka pun bertemu
Bukebujie alias Tian Boguang bersama tujuh orang murid Henshan sedang mendaki
ke atas. Salah seorang di antara ketujuh murid itu adalah Yiqing. Mereka semua
begitu gembira dapat berkumpul kembali dengan selamat.
Dalam hati Linghu Chong
merenung, “Boleh dikata di dunia ini aku adalah orang yang paling paham seluk
beluk Gunung Huashan. Namun, aku sama sekali tidak tahu kalau di bawah lembah
sana terdapat sebuah gua, sedangkan orang luar macam Saudara Tian kenapa bisa
menemukannya? Ini sungguh aneh.”
Dengan penasaran Linghu Chong
lantas menarik baju Tian Boguang dan mengajaknya berjalan pelan-pelan agar
tertinggal di belakang rombongan. Perlahan ia bertanya, “Saudara Tian, ternyata
di bawah lembah Pegunungan Huashan ini terdapat gua rahasia lain, padahal aku
tidak mengetahuinya sama sekali. Sungguh aku merasa heran dan sangat kagum
kepadamu.”
“Sebenarnya juga tidak perlu
heran seperti itu,” sahut Tian Boguang dengan tersenyum.
“Ah, aku tahu,” ujar Linghu
Chong kemudian. “Tentu kau menangkap salah seorang murid Huashan, lalu
memaksanya menunjukkan di mana letak gua rahasia itu.”
“Juga bukan seperti itu,”
sahut Tian Boguang.
“Lalu dari mana kau tahu ada
gua di sana? Tolong kau jawab pertanyaanku ini,” pinta Linghu Chong.
Tiba-tiba sikap Tian Boguang
terlihat kaku dan rikuh. Ia lantas menjawab dengan tersenyum, “Kurang pantas
rasanya jika kuterangkan hal ini. Lebih baik tidak kukatakan saja.”
“Kita berdua sama-sama kaum
berandalan di dunia persilatan, apanya yang tidak sopan?” ujar Linghu Chong.
“Sudahlah, lekas kau terangkan saja.”
“Jika kukatakan, hendaknya
Ketua Linghu jangan marah,” kata Tian Boguang.
“Kenapa aku harus marah?”
sahut Linghu Chong tertawa. “Seharusnya aku malah berterima kasih kepadamu
karena telah menyelamatkan orang-orang Perguruan Henshan.”
Maka, dengan suara tertahan
Tian Boguang berkata, “Terus terang, sebagaimana diketahui oleh Ketua Linghu
sendiri bahwa aku sudah lama malang melintang sebagai penjahat cabul di dunia
ini. Tapi, sejak kepalaku digunduli oleh Kakek Guru dan menjadi biksu dengan
nama Bukebujie, maka dengan sendirinya aku tidak bisa melakukan begituan lagi
….”
Teringat kepada nama aneh
pemberian Biksu Bujie kepada Tian Boguang tersebut, tanpa terasa Linghu Chong
tersenyum geli. Tian Boguang paham apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda itu.
Seketika mukanya menjadi merah, dan ia pun berkata, “Namun, kepandaian yang
telah kumiliki sejak dulu tidak hilang begitu saja. Entah bagaimana, di mana
ada perempuan berkumpul, tentu aku dapat … dapat merasakannya.”
Linghu Chong terheran-heran
dan bertanya, “Bagaimana kau bisa melakukannya? Bagaimana caranya?”
“Aku juga tidak tahu bagaimana
caranya. Rasanya aku bisa membedakan dengan jelas bagaimana bau badan perempuan
dan bagaimana bau badan laki-laki, meskipun jaraknya sangat jauh,” jawab Tian
Boguang.
“Hahahaha! Saudara Tian
benar-benar seorang mahacerdik!” puji Linghu Chong dengan bergelak tawa. “Pada
umumnya para biksu memiliki telinga sakti atau mata sakti, namun Saudara Tian
justru memiliki hidung sakti.”
“Ah, tidak benar, tidak
benar!” sahut Tian Boguang.
“Kepandaian Saudara Tian
terasah berkat latihan keras dan pengalaman panjang. Jika dulu ilmu saktimu itu
kau gunakan untuk kejahatan, tidak disangka, kini dapat kau gunakan untuk
menolong murid-murid Perguruan Henshan,” kata Linghu Chong dengan terus
tertawa.
Mendengar gelak tawa itu, Ren
Yingying menoleh ke belakang hendak bertanya. Namun, melihat sikap Tian Boguang
yang rikuh dan wajahnya bersemu merah, si nona menduga tentu mereka sedang
membicarakan hal-hal yang kurang sopan. Maka, ia pun batal bertanya.
Tiba-tiba Tian Boguang
berhenti di situ dan berkata, “Hei, di sebelah kiri sana sepertinya ada beberapa
anggota Perguruan Henshan.” Usai berkata ia lantas mengendus-endus dengan kuat
beberapa kali, lalu melangkah ke arah semak-semak di bawah lereng sana sambil
mengendap-endap mencari sesuatu. Perbuatannya itu tampak seperti anjing pemburu
yang sedang mencari jejak hewan buruannya.
Tidak lama kemudian, mendadak
ia bersorak gembira dan berseru, “Ini dia, di sebelah sini!”
Tempat yang ditunjuknya berupa
tumpukan belasan bongkah batu besar. Setiap bongkahan batu itu sangat berat.
Segera ia pun bekerja keras. Sebongkah batu besar itu lantas disingkirkan dari
tempatnya.
Dengan cepat Biksu Bujie dan
Linghu Chong ikut membantu. Sebentar saja belasan batu besar telah mereka
singkirkan. Ternyata di bawahnya terdapat sepotong balok batu. Ketika mereka
mengangkat balok batu itu, segera tampak sebuah lubang gua bawah tanah. Di
dalam gua tersebut berbaring beberapa biksuni, jelas mereka adalah murid-murid
Perguruan Henshan seluruhnya.
Lekas-lekas Yiqing dan dua
orang lainnya melompat turun ke dalam gua dan mengangkat keluar saudara-saudara
seperguruan mereka itu. Sudah lima-enam orang yang berhasil digotong keluar. Di
dalam gua ternyata masih ada yang lain, semuanya dalam keadaan payah. Segera
mereka menyeret keluar semua murid Perguruan Henshan yang terkurung itu. Yihe,
Zheng E, dan Qin Juan tampak berada di antaranya. Gua sesempit itu ternyata
berisi tiga puluhan orang. Andaikan terlambat semalam saja, tentu mereka semua
mati lemas karena kehabisan udara.
Teringat betapa kejam sang
guru, mau tidak mau Linghu Chong merasa ngeri juga. Segera ia pun memuji Tian
Boguang, “Saudara Tian, kepandaianmu sungguh istimewa. Para kakak dan adik
tersembunyi di dalam gua bawah tanah sedalam ini, tapi kau dapat mengendusnya.
Sungguh aku sangat kagum padamu.”
“Sebenarnya tidak terlalu
istimewa,” ujar Tian Boguang. “Untunglah di antara para bibi itu ada yang
berasal dari kalangan awam ….”
“Para bibi apa?” tanya Linghu
Chong heran. Namun, ia segera paham dan berkata, “Ah, benar juga! Kau adalah
murid Adik Yilin.”
“Bila yang terkurung di dalam
gua ini hanya para bibi dari kalangan biksuni, maka sukar bagiku untuk
menemukan mereka,” jawab Tian Boguang.
“Oh, rupanya ada perbedaan
besar antara kaum agama dengan kaum awam?” tanya Linghu Chong.
“Sudah tentu ada bedanya,”
ujar Tian Boguang. “Perempuan dari kalangan awam pada tubuhnya terdapat bau
bedak dan gincu yang wangi.”
Linghu Chong pun paham
permasalahannya. Harumnya bedak dan gincu itu menambah kuat bau perempuan
mereka sehingga membuat Tian Boguang lebih cepat dalam menemukan mereka.
Beramai-ramai Yiqing, Yilin,
dan yang lain sibuk menyadarkan para saudara seperguruannya yang sudah payah
itu. Setelah diberi minum air jernih, satu per satu dari mereka akhirnya sadar
kembali, terutama Yihe yang memiliki tenaga dalam paling tinggi.
“Yang kita selamatkan ini
belum ada sepertiga dari semua saudara-saudara kita,” kata Linghu Chong. “Maka
itu, Saudara Tian, harap kau pertunjukkan kesaktianmu. Marilah kita mencari
lagi saudara-saudara yang lain.”
Saat itu si nenek sedang
melirik kepada Tian Boguang dengan penuh rasa curiga. Tiba-tiba ia bertanya
kasar, “Bagaimana kau bisa mengetahui mereka terkurung di sini? Kemungkinan
besar kau berada di sekitar sini ketika mereka disekap, benar tidak?”
“Tidak, tidak,” segera Tian
Boguang membantah. “Aku senantiasa ikut Kakek Guru. Ke mana pun Beliau pergi
aku tidak pernah berpisah selangkah pun.”
“Apa kau senantiasa ikut di
sisinya?” sahut si nenek menegas dengan muka cemberut.
Diam-diam Tian Boguang merasa
ucapannya keliru. Ia tahu Biksu Bujie dan istrinya baru saja berkumpul kembali
setelah sekian lamanya berpisah. Segala perbuatan mereka di sepanjang jalan,
baik itu menangis, tertawa, bertengkar, atau bermesraan, semua disaksikan oleh
Tian Boguang. Kalau sekarang si nenek guru sampai marah karena malu, tentu ia
bisa celaka. Maka, dengan cepat ia pun menjawab, “Bukan begitu maksudku. Selama
setengah tahun ini aku selalu mendampingi Kakek Guru, tapi kira-kira sepuluh
hari terakhir kami berpisah dan baru bertemu kembali di Gunung Huashan ini.”
Sudah tentu si nenek setengah
percaya dan setengah ragu. Ia kembali bertanya, “Lalu bagaimana kau bisa
mengetahui para biksuni terkurung di dalam gua ini?”
“Tentang ini … ini ….”
seketika Tian Boguang menjadi sukar memberi jawaban.
Pada saat itulah tiba-tiba
dari arah lereng gunung bergema suara trompet disusul suara genderang
bergemuruh yang sangat ramai. Sepertinya ada beribu-ribu prajurit menyerbu
Gunung Huashan. Seketika semua orang menjadi tercengang.
Ren Yingying lantas berbisik
kepada Linghu Chong, “Ayahku datang.”
“Oh ….” ujar Linghu Chong
terputus. Sebenarnya ia hendak berkata, “Oh, ternyata ayah mertuaku yang
datang!” namun tiba-tiba merasa tidak enak untuk melanjutkannya.
Si nenek tampak heran dan
bertanya, “Apakah ada pasukan yang datang?”
Tiba-tiba suara genderang dan
terompet itu berhenti serentak. Sebanyak tujuh atau delapan orang lantas
berteriak bersama-sama, “Pemimpin Sekte Matahari dan Bulan, penguasa dunia
persilatan, pelindung rakyat jelata, Paduka Yang Mulia Baginda Ketua Ren telah
tiba!”
Tenaga dalam orang-orang itu
sangat dahsyat. Suara teriakan mereka seketika menggelegar di angkasa lembah
pegunungan itu sampai menimbulkan suara yang bergemuruh. Maka, terdengarlah
gema suara mereka berkali-kali, “Ketua Ren telah tiba! Ketua Ren telah tiba!”
Raut muka Biksu Bujie dan para
murid Henshan seketika pucat mendengar gema suara itu. Belum lenyap suara gema
yang pertama berkumandang, kembali terdengar pula banyak orang berteriak,
“Hidup Ketua Ren! Semoga Ketua Ren panjang umur, hidup abadi, merajai dunia
persilatan!”
Dari suara gemuruh yang
menggetarkan bumi itu, jumlah mereka yang berteriak-teriak sedikitnya ada dua
sampai tiga ribu orang. Sejenak kemudian, gema suara itu terdengar mulai reda.
Setelah suasana hening, kembali terdengar seseorang berseru dengan lantang,
“Pemimpin Sekte Matahari dan Bulan, Ketua Ren yang mahabijaksana, sang
juruselamat memberikan perintah: Hendaknya para ketua dari Serikat Pedang Lima
Gunung beserta semua muridnya mematuhi perintah untuk berangkat dan berkumpul
di Puncak Menyongsong Mentari!”
Orang itu mengulangi titah
sang ketua sampai tiga kali. Selang sejenak ia lantas menyambung kembali, “Para
ketua cabang dan semua wakilnya harap segera memimpin anak buah masing-masing
mengadakan pemeriksaan di segenap puncak gunung. Jaga semua jalur keluar-masuk
dengan ketat. Orang yang tidak berkepentingan dilarang melewati pegunungan ini.
Yang melanggar perintah bisa dibunuh saja tanpa perkara.”
Segera terdengar dua-tiga
puluh orang mengiakan perintah itu.
Linghu Chong saling pandang
sekejap dengan Ren Yingying. Mereka paham apa artinya perintah tersebut, yaitu
setiap anggota Serikat Pedang Lima Gunung harus pergi ke Puncak Menyongsong
Mentari untuk menghadap kepada Ren Woxing. Dalam hati Linghu Chong berpikir,
“Ketua Ren adalah ayah dari Yingying. Bagaimanapun juga ia adalah calon
mertuaku. Tiada salahnya kalau aku ke sana sekarang.”
Karena itu, ia lantas berkata
kepada Yihe dan yang lain, “Masih ada sebagian saudara kita yang terkurung.
Hendaknya Saudara Tian menjadi penunjuk jalan untuk menolong mereka keluar.
Ketua Ren adalah ayah Nona Ren, rasanya Beliau tidak akan menyusahkan kita. Aku
dan Nona Ren akan mendahului pergi ke puncak timur sana. Setelah
saudara-saudara kita berkumpul seluruhnya, hendaknya semua beramai-ramai
bergabung ke sana pula.”
Yihe, Yiqing, Yilin, dan yang
lain serentak mengiakan. Mereka lantas mengikuti Tian Boguang pergi mencari
teman-teman lain yang masih terkurung di berbagai tempat.
Tiba-tiba si nenek mengomel,
“Huh, untuk apa aku harus mematuhi perintah si Ketua Ren itu? Baiklah, aku
ingin melihat bagaimana orang bermarga Ren itu membunuhku tanpa perkara.”
Linghu Chong paham watak si
nenek ini memang sukar diajak bicara. Seandainya ia bersedia pergi menemui Ren
Woxing, bukan tidak mungkin malah menimbulkan gara-gara. Maka, ia pun melangkah
pergi dengan Ren Yingying saja setelah memberi hormat kepada Biksu Bujie dan
istrinya itu.
Sambil berjalan Linghu Chong
bercerita, “Gunung Huashan memiliki tiga puncak tertinggi, yaitu puncak barat,
puncak timur, dan puncak selatan. Puncak barat dan timur adalah yang terutama.
Puncak timur memiliki sebutan Puncak Menyongsong Mentari. Ayahmu sengaja
memilih Puncak Menyongsong Mentari sebagai tempat pertemuan dengan para
kesatria Serikat Pedang Lima Gunung sudah tentu mempunyai maksud yang mendalam.
Sepertinya kami semua diminta untuk menyongsong kedatangan ayahmu sebagai
penguasa tertinggi. Sudah pasti ayahmu mendengar berita bahwa semua anggota
Serikat Pedang Lima Gunung sedang berkumpul di Gunung Huashan sini, lantas ia
pun datang untuk memerintahkan kami semua untuk menghadap.”
Ren Yingying berkata, “Di
antara para pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung itu, dalam sehari saja telah
terbunuh tiga orang, yaitu Tuan Yue, Zuo Lengchan, dan Tuan Besar Mo. Perguruan
Taishan sendiri belum jelas siapa yang menjadi ketua baru. Dengan demikian, di
antara Serikat Pedang Lima Gunung hanya tinggal kau seorang saja yang menjabat
ketua.”
Linghu Chong menjawab, “Selain
Perguruan Henshan kami, hampir semua tulang punggung Serikat Pedang Lima Gunung
sudah tewas di gua belakang Tebing Perenungan itu. Sementara itu, murid-murid
Henshan sendiri juga baru saja terkurung dalam keadaan payah. Karena itu, aku
khawatir ….”
“Kau khawatir ayahku akan
menumpas habis Serikat Pedang Lima Gunung kalian pada kesempatan seperti
sekarang ini?” sahut Ren Yingying menegas.
Linghu Chong mengangguk sambil
menghela napas, lalu berkata, “Sebenarnya Beliau tidak perlu turun tangan juga
orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung sudah tidak berarti lagi.”
“Perhitungan ayahku kali ini
benar-benar sangat jitu,” kata Ren Yingying. “Tuan Yue telah memancing berbagai
tokoh inti dari Serikat Pedang Lima Gunung untuk masuk ke dalam gua rahasia di
Gunung Huashan sini untuk melihat ilmu pedang para leluhur yang terukir di
dinding. Diam-diam tentu dia bermaksud menumpas mereka semua agar dapat
menjabat sebagai ketua Perguruan Lima Gunung dengan leluasa. Tak disangka,
kesempatan itu justru digunakan oleh Zuo Lengchan dengan mengajak segerombolan
orang buta untuk membinasakan Tuan Yue di dalam gua gelap tersebut.” Mengingat
Linghu Chong sedang berduka, ia tidak berani sembarangan menyebut nama Yue
Buqun.
“Kau bilang Zuo Lengchan
bermaksud membunuh guruku?” sahut Linghu Chong menegas. “Jadi bukan aku yang diincar
Zuo Lengchan?”
“Dia tidak menyangka kau juga
datang ke sini,” sahut Ren Yingying. “Ilmu pedangmu sudah mahasakti, sudah lama
pula kau mengetahui jurus-jurus ilmu pedang leluhur yang terukir di dinding gua
itu. Maka, ia menduga kau tidak akan tertarik oleh umpan yang dipasang Tuan Yue
itu. Bukankah kita masuk ke dalam gua itu hanya karena kebetulan saja?”
“Benar juga,” ujar Linghu
Chong. “Sebenarnya antara aku dan Zuo Lengchan tidak terdapat permusuhan yang
mendalam. Kedua matanya telah dibutakan oleh Guru. Selain itu, Guru juga telah
merebut kedudukan ketua Perguruan Lima Gunung dan menghancurkan rencana jangka
panjangnya. Hal inilah yang menjadi dendam kesumat baginya.”
“Zuo Lengchan pasti sudah
mengatur tipu muslihat untuk memancing Tuan Yue masuk ke dalam gua itu,” lanjut
Ren Yingying. “Dia bermaksud membunuh Tuan Yue di dalam gua yang gelap gulita.
Tapi entah bagaimana Tuan Yue berhasil mengetahui tipu muslihat itu sehingga
berbalik menanti di mulut gua. Ia bermaksud menangkap Zuo Lengchan dan gerombolannya
menggunakan jala pusaka tadi. Kini Zuo Lengchan dan gurumu sudah meninggal
semua. Kita hanya bisa menduga-duga, sementara seluk-beluk masalah ini secara
terperinci mungkin tiada seorang pun yang tahu.”
Linghu Chong mengangguk dengan
perasaan pilu.
Ren Yingying kembali berkata,
“Sepertinya sudah sejak lama Tuan Yue merencanakan tipu muslihatnya untuk
memancing kedatangan tokoh-tokoh inti Serikat Pedang Lima Gunung ke dalam gua
itu. Sewaktu pertandingan di puncak Songshan tempo hari, adik kecilmu telah
memainkan jurus-jurus leluhur Perguruan Taishan, Hengshan, Songshan, dan
Henshan untuk menghadapi para ketua dari golongan masing-masing. Sudah tentu
kepandaiannya yang luar biasa itu sangat menarik perhatian banyak orang. Hanya
murid-murid Perguruan Henshan saja yang tidak tertarik oleh kepandaian Nona Yue
karena kau sudah mengajarkan ilmu pedang leluhur yang kau peroleh dari ukiran
di dinding gua tersebut kepada mereka. Sementara itu, orang-orang Perguruan
Hengshan, Songshan, dan Taishan tentu merasa penasaran dan berusaha mencari
tahu dari mana Nona Yue dapat mempelajari ilmu pedang mereka yang lihai itu.
Nah, di situlah Tuan Yue sengaja membocorkan sedikit rahasianya, lalu
menentukan hari serta membuka pintu lebar-lebar gua keramat tersebut. Tentu
saja para pemuka dari ketiga perguruan lantas membanjir ke sana dan berebut
mendahului masuk ke dalam gua itu.”
“Benar sekali. Kaum persilatan
seperti kita ini memang mudah tertarik kepada ilmu silat,” sahut Linghu Chong.
“Begitu mendengar di mana ada ilmu silat yang istimewa, biarpun menghadapi
bahaya besar juga tetap berangkat untuk melihatnya. Apalagi kalau menyangkut
ilmu silat tertinggi dari perguruan sendiri, tentu saja harus dicari sampai
bertemu. Bahkan, tokoh semacam Paman Guru Mo yang biasanya acuh tak acuh
akhirnya juga menjadi korban tipu muslihat guruku.”
Ren Yingying berkata,
“Sepertinya Tuan Yue sudah menduga Perguruan Henshan kalian tidak akan datang
kemari. Maka itu, dia lantas mengatur siasat lain. Dengan menaburkan obat bius,
para murid Henshan dapat ditawan dan dibawa ke Huashan sini.”
Linghu Chong terlihat heran
dan bertanya, “Aku tidak mengerti, mengapa Guru harus bersusah payah mengangkut
orang-orang Henshan kemari? Padahal perjalanan cukup jauh, dan di tengah jalan
bisa saja terjadi perlawanan. Kalau dia langsung membunuh orang-orang kami di
Gunung Henshan bukankah jauh lebih mudah?” Setelah diam sejenak, ia kembali
berkata, “Ah, aku paham sekarang. Kalau murid-murid Henshan dibunuh habis, ini
berarti Perguruan Lima Gunung akan menjadi pincang. Padahal, Guru ingin menjadi
ketua Perguruan Lima Gunung secara sempurna. Tanpa Perguruan Henshan berarti
jabatannya itu tidak sesuai lagi dengan namanya.”
“Sudah tentu demikian,” ujar
Ren Yingying. “Tapi yang kau katakan itu hanyalah satu alasan saja. Aku rasa
masih ada satu alasan lain yang lebih besar.”
“Apa itu?” Linghu Chong
bertanya.
“Yang paling baik baginya
adalah bisa menangkapmu hidup-hidup,” tutur Ren Yingying. “Dengan mengangkut
semua murid Perguruan Henshan kemari, ia bermaksud memaksamu untuk datang pula
dan menyerahkan sesuatu yang ia butuhkan. Nah, sesuatu itu sebenarnya ada di
tanganku.”
“Oh ya, aku tahu!” seru Linghu
Chong sambil menepuk paha. “Yang diinginkan guruku adalah obat penawar Pil
Pembusuk Otak.”
“Setelah Tuan Yue menelan pil
itu, dengan sendirinya dia menjadi tidak tenteram siang dan malam,” ujar Ren
Yingying. “Bagaimanapun juga dia berusaha hendak memusnahkan racun yang
mengeram di dalam tubuhnya itu. Dia tahu, hanya melalui dirimu barulah obat
penawar itu dapat diperoleh.”
“Benar,” jawab Linghu Chong.
“Itu karena dia tahu kalau aku ini jantung hatimu. Hanya diriku saja yang dapat
membuatmu rela menyerahkan obat penawar itu kepadanya.”
Ren Yingying menukas, “Huh,
dasar tidak tahu malu, memuji diri sendiri! Kalau dia sampai menangkapmu dan
memaksaku menyerahkan obat penawar itu kepadanya, maka aku tidak sudi untuk
melakukannya. Obat penawar tersebut bagaikan harta karun tak ternilai bagi
agama kami.”
Linghu Chong tersenyum dan
menjawab, “Pepatah mengatakan: memang sulit menemukan harta karun tak ternilai,
tapi jauh lebih sulit menemukan kekasih sejati.”
Ren Yingying menunduk dengan
wajah bersemu merah. Dalam hati ia mengakui kebenaran pepatah tersebut.
Akhirnya, mereka berdua sampai
di sebuah jalan setapak yang menanjak terjal. Jalan ini sangat kecil sehingga
tidak bisa dilalui secara berdampingan.
“Kau berjalan di depan,” kata
Ren Yingying.
“Lebih baik kau saja yang
berjalan di depan. Bila kau jatuh terperosok tentu akan segera kupeluk,” ujar
Linghu Chong.
“Tidak, kau saja yang berjalan
di depan, juga tidak boleh menoleh ke belakang. Apa yang diperintahkan Nenek
harus selalu kau patuhi!” kata Ren Yingying dengan tertawa.
“Baiklah, aku akan berjalan
lebih dulu,” jawab Linghu Chong. “Tapi kalau aku sampai jatuh terperosok, maka
kau harus memeluk diriku.”
“Tidak, tidak!” sahut Ren
Yingying dengan cepat. Rupanya ia khawatir Linghu Chong pura-pura jatuh dan
sengaja main gila padanya. Maka itu, ia segera mendahului berjalan di depan.
Meskipun banyak bercanda,
namun sorot mata Linghu Chong tetap memancarkan kesedihan. Ren Yingying paham
kalau pemuda itu masih berduka atas kematian Yue Buqun. Maka, sepanjang
perjalanan ia pun memancing Linghu Chong untuk selalu bicara dan bercanda.
Setiap kali Linghu Chong memang tertawa namun tidak pernah sampai sepenuhnya.
Setelah membelok beberapa
tikungan, akhirnya mereka sampai di atas Puncak Gadis Kumala. Linghu Chong
lantas menunjuk tempat-tempat yang indah di puncak tersebut. Ren Yingying sadar
tempat-tempat indah ini dulunya tentu sering menjadi tempat bermain antara
Linghu Chong dan Yue Lingshan. Maka, ia hanya memandang sekali terhadap
tempat-tempat indah tersebut tanpa banyak bertanya, karena takut Linghu Chong
kembali berduka.
Turun dari Puncak Gadis
Kumala, setelah berbelok melalui sebuah tikungan lagi, dan melewati jalan
menanjak ke atas akhirnya sampailah mereka di Puncak Menyongsong Mentari.
Tampak di lereng puncak tersebut penuh berdiri pos-pos penjagaan. Para anggota
Sekte Matahari dan Bulan terlihat memakai seragam yang terdiri dari tujuh warna
dan berdiri di bawah panji-panji sesuai warna masing-masing. Linghu Chong
melihat keadaan mereka jauh lebih teratur dan tertib dibandingkan saat datang
ke Tebing Kayu Hitam tempo hari.
Diam-diam Linghu Chong memuji
dalam hati, “Ketua Ren benar-benar manusia luar biasa. Aku pernah memimpin
ribuan pendekar menyerbu Biara Shaolin, tapi keadaan mereka kacau balau dan
sama sekali tidak tertib, mana bisa dibandingkan dengan Sekte Matahari dan
Bulan ini? Beribu-ribu anak-buahnya ternyata dapat melaksanakan tugas dengan
sangat teratur, seperti badan menggerakkan lengan, lengan menggerakkan tangan,
tangan menggerakkan jari, semuanya bagaikan satu kesatuan yang serasi. Dongfang
Bubai juga manusia hebat. Tapi sayang, pikirannya menjadi kacau dan terlalu
percaya kepada Yang Lianting. Akibatnya, ia pun kehilangan segalanya.”
Begitu melihat kedatangan Ren
Yingying, segenap anggota Sekte Matahari dan Bulan serentak membungkukkan badan
sebagai tanda hormat. Terhadap Linghu Chong mereka juga memberikan penghormatan
yang sama. Panji komando setingkat demi setingkat dikibarkan dari bawah hingga
ke atas puncak untuk menyampaikan laporan kepada Ren Woxing tentang kedatangan
mereka berdua.
Melihat setiap tempat penting
di sekitar Puncak Menyongsong Mentari itu terjaga oleh anggota Sekte Matahari
dan Bulan yang beribu-ribu jumlahnya, jelas Ren Woxing telah mengerahkan
segenap kekuatannya untuk menghadapi lawan. Linghu Chong pun berpikir,
“Andaikan para ketua Serikat Pedang Lima Gunung masih hidup dan berkumpul di
Huashan sini, belum tentu mereka sanggup menghadapi lawan yang begini kuat.
Jangankan melawan, untuk bertahan saja rasanya tidak mampu. Apalagi sekarang
keadaan sudah berantakan, kekuatan kelima perguruan sudah mendekati nol. Semuanya
kini terserah kepada takdir dan tinggal menerima nasib. Apabila Ren Woxing
hendak membunuh habis orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung, tidak mungkin aku
berdiam diri. Biarlah aku mati bersama murid-murid Henshan di Puncak Huashan
ini.”
Meskipun Linghu Chong cukup
pintar dan cerdik, namun ia tidak biasa bermain siasat, juga tidak berbakat
memimpin pekerjaan besar dan menghadapi kejadian luar biasa. Kini menghadapi
kehancuran Perguruan Henshan secara total, ia merasa tidak punya akal untuk
menyelamatkannya. Biarlah segala sesuatu terserah keadaan, menyerah kepada
nasib saja. Terpikir pula olehnya bahwa Ren Yingying mempunyai hubungan darah
dengan Ren Woxing. Tentu si nona akan bingung dan akhirnya memilih tidak
membela pihak mana pun. Sudah pasti ia tidak akan membantu pihak Henshan dan
memusuhi ayahnya sendiri. Maka itu, ia lantas menenangkan pikiran. Segenap
anggota Sekte Matahari dan Bulan yang bersiaga menghunus senjata di sepanjang
jalan itu dianggapnya sepi. Ia tetap bercanda dengan Ren Yingying atau
membicarakan keindahan alam pegunungan Huashan yang mereka lalui itu.
Sebaliknya, pikiran Ren
Yingying menjadi kusut dan sedih. Ia tidak dapat bersikap acuh tak acuh seperti
Linghu Chong. Di sepanjang jalan ia justru memeras otak mencari akal bagaimana membantu
sang kekasih. “Kakak Chong benar-benar tidak kenal takut. Sekalipun langit
runtuh juga ia masih bisa bercanda. Keadaan sudah sedemikian gawat. Ayah datang
kemari dengan segenap kekuatan, tentu bukan dengan tujuan yang baik. Aku tidak
tahu harus bagaimana. Terpaksa yang paling baik adalah menunggu dan melihat
serta berbuat menurut keadaan nanti. Mungkin saja ada jalan tengah yang baik
bagi kedua pihak,” demikian pikirnya.
Keduanya terus mendaki puncak
tersebut. Setibanya di atas, mendadak terompet berbunyi disertai suara petasan,
menyusul kemudian bergema pula suara genderang dan tetabuhan lainnya, bagaikan
sebuah upacara menyambut kedatangan tamu agung.
“Hehe, bapak mertua menyambut
kedatangan menantu tersayang,” kata Linghu Chong dengan suara perlahan sambil
tertawa.
Ren Yingying melotot
kepadanya. Dalam hati ia merasa sedih bercampur kesal terhadap sikap Linghu
Chong yang acuh tak acuh itu. “Pada saat genting seperti ini masih sempat
bercanda segala,” pikirnya.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa
seseorang, lalu ia berseru dengan lantang, “Nona Besar, Adik Linghu, kalian
sudah ditunggu sekian lama oleh Ketua Ren.” Rupanya yang menyapa itu seorang
tua jangkung berjubah ungu dengan wajah berseri-seri. Ia tidak lain adalah
Xiang Wentian.
Linghu Chong menjawab dengan
gembira, “Hei, Kakak Xiang, apa kau baik-baik saja? Sungguh aku sangat rindu
padamu.”
“Di Tebing Kayu Hitam aku
sering mendengar keharuman namamu di dunia persilatan. Sungguh aku ikut gembira
dan mengangkat cawan sebagai pujianku untukmu. Selama ini entah sudah berapa
banyak guci arak yang kuhabiskan demi merayakan kejayaanmu,” kata Xiang Wentian
dengan tertawa. “Mari, mari, kita harus lekas-lekas menghadap Ketua!” Usai
berkata ia langsung menggandeng tangan Linghu Chong dan mengajak pemuda itu
menuju ke suatu panggung batu yang menjulang tinggi di atas puncak tersebut.
Di sebelah timur panggung batu
terdapat lima tiang batu yang berjajar bagaikan telapak tangan raksasa.
Orang-orang menyebut tiang batu itu dengan nama Telapak Dewa. Kelima tiang batu
tersebut menjulang tinggi ke angkasa, dan yang paling tengah adalah yang paling
tinggi. Di atas tiang batu paling tinggi itu terdapat sebuah kursi megah, di
mana seseorang tampak sedang duduk di atasnya. Orang itu tidak lain adalah Ren
Woxing.
Ren Yingying melangkah
mendekati telapak tangan batu raksasa itu. Sambil menengadah ia menyapa,
“Ayah!”
Linghu Chong juga memberi
hormat dan menyapa, “Linghu Chong menyampaikan salam hormat kepada Ketua!”
Ren Woxing bergelak tawa dan
berkata, “Adik Kecil, kau datang pada saat yang tepat. Kita adalah keluarga
sendiri, tidak perlu banyak adat. Hari ini aku hendak menemui para kesatria di
seluruh jagat. Pertama kita bicara urusan resmi, baru kemudian kita bicara
urusan keluarga. Nah, silakan duduk wahai ... wahai adikku sayang.”
Mula-mula Linghu Chong mengira
Ren Woxing hendak memanggil “wahai menantu sayang” kepadanya. Namun, karena
belum resmi, maka panggilannya langsung diganti menjadi “wahai adikku sayang”.
Meskipun demikian, Linghu Chong melihat gelagat baik bahwa Ren Woxing jelas
sangat merestui perjodohan dirinya dengan Ren Yingying. Apalagi ucapannya yang
pertama tadi menyebutkan “kita adalah keluarga sendiri” serta “pertama kita
bicara urusan resmi, baru kemudian kita bicara urusan keluarga”, jelas dirinya
tidak lagi dianggap sebagai orang lain.
Tentu saja hati Linghu Chong
merasa sangat senang. Ia lantas berdiri tegak kembali. Namun, tiba-tiba pada
titik dantian di sekitar perutnya bergolak suatu hawa dingin yang langsung
menerjang ke atas. Seketika seluruh tubuhnya pun menggigil bagaikan tercebur ke
dalam sungai es.
Ren Yingying terkejut
melihatnya. Segera ia melangkah maju dan bertanya, “Ada apa denganmu?”
“Aku … aku ….” ternyata sukar
bagi Linghu Chong untuk membuka suara.
Meskipun duduk di atas tempat
yang begitu tinggi, namun pandangan Ren Woxing sungguh sangat tajam. Segera ia
bertanya, “Apakah kau baru saja bertarung melawan Zuo Lengchan?”
Linghu Chong hanya bisa
mengangguk.
“Tidak masalah,” ujar Ren
Woxing. “Kau telah menyedot hawa dingin beracun darinya. Sebentar lagi kalau
hawa dingin itu sudah buyar, tentu kau akan sehat kembali. Tapi, mengapa Zuo
Lengchan belum juga tiba?”
“Zuo Lengchan memasang
perangkap keji hendak mencelakai Kakak Linghu dan aku,” jawab Ren Yingying.
“Dia akhirnya dapat dibinasakan oleh Kakak Linghu.”
“Oh!” sahut Ren Woxing. Karena
ia duduk di tempat yang tinggi maka raut mukanya tidak terlihat jelas. Namun
demikian, nada suaranya terdengar penuh rasa kecewa yang tak terhingga.
Ren Yingying memahami perasaan
sang ayah. Hari ini secara besar-besaran ayahnya telah mengerahkan segenap
kekuatan menuju Gunung Huashan dengan maksud untuk menaklukkan Serikat Pedang
Lima Gunung secara keseluruhan. Zuo Lengchan merupakan musuh bebuyutan ayahnya
selama ini, dan kini telah mati di tangan orang lain. Padahal, Ren Woxing ingin
sekali melihatnya bertekuk lutut dan mengaku kalah disaksikan banyak orang.
Segera Ren Yingying
menggenggam tangan kanan Linghu Chong dan menyalurkan tenaga dalam untuk
membantu pemuda itu menolak hawa dingin beracun milik Zuo Lengchan. Sementara
itu, tangan Linghu Chong yang kiri dipegang oleh Xiang Wentian. Kedua orang itu
mengerahkan tenaga bersama-sama sehingga Linghu Chong merasa hawa dingin dalam
tubuhnya pun musnah sedikit demi sedikit.
Ketika bertempur di Biara
Shaolin dahulu, Zuo Lengchan sengaja membiarkan tenaga dalamnya yang mahadingin
dihisap sekian banyak oleh Ren Woxing. Akibatnya, setelah meninggalkan biara
tersebut Ren Woxing hampir mati kedinginan di tanah bersalju. Waktu itu Linghu
Chong, Xiang Wentian, dan Ren Yingying berusaha menyalurkan tenaga dalam
kepadanya dan ikut membeku menjadi manusia salju. Akan tetapi, saat ini Linghu
Chong hanya sedikit menghisap hawa dingin Zuo Lengchan melalui persentuhan
pedang dalam waktu yang singkat pula. Maka, dalam sebentar saja ia sudah tidak
menggigil lagi.
“Sudah, sudah, terima kasih
untuk kalian berdua,” katanya kemudian.