Pendekar Hina Kelana Jilid 121-125

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 121-125 Begitu totokan pada tubuhnya telah terbuka, Linghu Chong hanya perlu mengerahkan sedikit tenaga saja dan seketika tali tambang yang mengikat kedua tangannya pun putus berhamburan.
Begitu totokan pada tubuhnya telah terbuka, Linghu Chong hanya perlu mengerahkan sedikit tenaga saja dan seketika tali tambang yang mengikat kedua tangannya pun putus berhamburan. Dengan cepat ia melolos pedang pendek dari balik baju sambil berkata, “Kitab pusaka ada di sini. Siapa yang ingin membaca?”

Sepasang Orang Aneh Tongbai adalah yang paling polos di antara kawanan penjahat itu. Mereka lambat berpikir dan tidak menyadari bahwa kedua tangan Linghu Chong telah terbebas dari ikatan. Maka, begitu mendengar ucapan Linghu Chong tersebut, tanpa pikir panjang mereka lantas mengulurkan tangan masing-masing untuk menerimanya dengan perasaan senang.

Tiba-tiba sinar perak berkelebat dua kali. Disusul kemudian pergelangan tangan kanan Sepasang Orang Aneh Tongbai masing-masing telah terpotong dan jatuh ke lantai. Serentak mereka berdua menjerit ngeri sambil melompat mundur.

Linghu Chong lantas mengerahkan tenaga memutuskan tali pengikat pada kakinya. Begitu tubuhnya benar-benar bebas, ia pun melompat ke depan Ren Yingying dan berkata kepada You Xun, “Begitu jurus pedang bekerja, segera bunuh semua habis-habisan! Nah, Saudara You, itulah kalimat kunci pada Jurus Pedang Penakluk Iblis. Apa kau masih ingin membaca kitab pusaka ini?”

Si licik You Xun menyadari hanya tinggal dirinya seorang yang masih tersisa. Dengan muka pucat pasi seperti mayat ia menjawab gugup, “Ter… terima kasih, aku ... aku tidak … tidak ingin membacanya!”

“Ah, jangan terlalu sungkan. Cukup baca sekilas saja juga boleh. Ini tidak akan menyakitkan,” ujar Linghu Chong dengan tersenyum. Sambil berkata demikian ia mengurut dan menepuk punggung serta pinggang Ren Yingying untuk melancarkan urat nadi gadis itu yang masih tertotok.

Dengan badan gemetar You Xun berkata, “Tuan Muda … Tuan Muda Linghu, Tuan ... Tuan Pendekar Linghu, kau … kau … kau ….” mendadak ia bertekuk lutut dan menyembah, “Hamba memang pantas mati. Asalkan Gadis … Gadis Suci dan Ketua Linghu memberi perintah, sekalipun menyeberangi lautan api atau terjun ke dalam air mendidih juga … juga hamba laksanakan.”

Linghu Chong berkata sambil mencibir, “Untuk mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis, maka langkah pertama sangat menyenangkan. Mengapa kau tidak mencobanya?”

Berkali-kali You Xun menyembah dan berkata, “Gadis Suci dan Ketua Linghu sangat bijaksana, setiap kaum persilatan mengetahui hal ini. Hamba mohon ampun dan mohon izin untuk menebus dosa dengan mengabdi setulus hati. Hamba akan menyiarkan ke seluruh dunia persilatan, bahwa Gadis Suci dan Ketua Linghu adalah sepasang … sepasang ... eh, maksudku ... maksudku ....” Seketika You Xun merasa serbasalah. Ia ingat bahwa sifat Ren Yingying sangat pemalu dan suka menutup-nutupi hubungannya dengan Linghu Chong. Dengan mengucapkan istilah “sepasang” tadi, You Xun menjadi semakin ketakutan jangan-jangan Sang Gadis Suci justru semakin marah kepadanya,

Saat itu Ren Yingying telah bangkit dan melihat Sepasang Orang Aneh Tongbai masih berdiri berdampingan. Keduanya adalah sepasang laki-laki dan perempuan yang aneh. Masing-masing hanya memiliki satu mata dan satu kaki dengan dibantu tongkat tembaga sebagai penyangga sekaligus senjata. Kini Linghu Chong bahkan baru saja membuat mereka masing-masing kehilangan tangan kanan.

Meskipun darah masih mengucur dari luka keduanya, namun tidak sedikit pun rasa gentar terlihat pada wajah mereka. Sungguh sangat berbeda dengan You Xun yang sejak tadi suka berlagak, namun kini bertekuk lutut dengan wajah pucat pasi.

Ren Yingying lantas bertanya, “Apakah kalian pasangan suami-istri?”

Yang laki-laki dari Sepasang Orang Aneh Tongbai bernama Zhou Gutong, dan yang perempuan bernama Wu Baiying. Menanggapi pertanyaan itu, Zhou Gutong menjawab bengis, “Kami berdua telah jatuh ke tanganmu. Hendak membunuh atau menyiksa pelan-pelan juga terserah kalian. Untuk apa banyak bertanya segala?”

Ren Yingying sangat suka kepada sifat seperti ini. Dengan nada dingin ia pun kembali berkata, “Aku bertanya apakah kalian ini suami-istri atau bukan?”

Wu Baiying menjawab, “Kami sudah hidup bersama selama dua puluh tahun. Hubungan kami jauh lebih baik daripada orang lain yang menikah secara resmi.”

“Di antara kalian berdua hanya seorang saja yang akan kubiarkan hidup,” kata Ren Yingying. “Kalian ini masing-masing hanya memiliki satu kaki, satu tangan, dan satu .…” Teringat bahwa ayahnya juga bermata satu seketika Ren Yingying menghentikan ucapannya. Setelah diam sejenak barulah ia melanjutkan, “Kalian berdua silakan bertarung sampai mati salah satu. Yang menang boleh pergi dari sini dengan bebas.”

“Setuju!” seru Sepasang Orang Aneh Tongbai bersama-sama. Segera tongkat penyangga mereka bergerak, namun masing-masing mengayun ke batok kepala sendiri.

“Tunggu dulu!” seru Ren Yingying berteriak. Dengan pedang panjang di tangan kanan dan pedang pendek di tangan kiri ia melompat maju dan menangkis kedua tongkat tersebut. Rupanya kedua orang ini bertekad bulat hendak bunuh diri sehingga masing-masing memukul kepala sendiri dengan sangat keras. Tangan kanan Ren Yingying berhasil menangkis tongkat Zhou Gutong, namun karena tangan kirinya lebih lemah sehingga hanya sedikit memperlambat laju tongkat Wu Baiying. Akibatnya, kepala wanita itu tetap terserempet oleh tongkatnya sampai mengucurkan darah.

“Biar aku saja yang bunuh diri,” seru Zhou Gutong kepada pasangannya. “Gadis Suci sudah menyatakan akan membebaskan salah satu dari kita. Bukankah ini yang terbaik?”

“Aku saja yang mati, biar kau yang hidup. Kenapa juga harus berebut di antara kita?” sahut Wu Baiying.

Ren Yingying mengangguk dan berkata, “Bagus sekali. Cinta kalian berdua memang teguh. Benar-benar cinta sejati. Aku sungguh-sungguh menghargai hubungan kalian. Nah, kalian berdua kubiarkan tetap hidup. Lekas kalian balut tangan kalian yang buntung itu.”

Sungguh senang rasa hati Sepasang Orang Aneh Tongbai. Segera mereka membuang tongkat masing-masing, kemudian si pria membalut luka yang wanita, dan si wanita membalut luka si pria.

“Tapi masih ada syaratnya. Kalian harus melaksanakan ini dengan baik,” kata Ren Yingying kemudian. “Setelah turun gunung, kalian harus segera menyembah langit dan bumi, mengadakan upacara pernikahan secara resmi. Kalian sudah lama hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, bukankah ini ….” Sebenarnya ia hendak mengatakan “bukankah ini tidak pantas?” namun segera teringat bahwa dirinya juga sudah lumayan lama berkelana bersama Linghu Chong tanpa ikatan resmi. Menyadari hal itu seketika kepalanya tertunduk dan wajahnya bersemu merah.

Sepasang Orang Aneh Tongbai saling pandang sejenak, lalu keduanya memberi hormat dan berkata, “Terima kasih atas kebaikan Gadis Suci.”

Ren Yingying lalu menyuruh Zhou Gutong untuk menanggalkan pakaian dan menukarnya dengan pakaian perempuan yang dipakai Linghu Chong. Sementara itu, You Xun terdengar ikut bicara, “Gadis Suci berbudi luhur, Beliau tidak hanya mengampuni jiwa kalian berdua, tapi juga memberikan saran demi kebaikan hidup kalian di masa yang akan datang. Sungguh peruntungan kalian tidaklah kecil. Aku sangat mengetahui kebaikan budi Gadis Suci sehingga bersyukur menjadi bawahan Beliau. Aku akan melayani Gadis Suci seumur hidup dengan sepenuh hati.”

Ren Yingying lantas bertanya, “Atas perintah siapa kalian datang ke Gunung Henshan kali ini, dan ada muslihat apa?”

“Hamba telah tertipu oleh si anjing busuk Yue Buqun,” jawab You Xun. “Ia mengaku telah mendapatkan Lencana Kayu Hitam dari Ketua Ren. Ia mengaku mendapat titah untuk menangkap semua murid Perguruan Henshan dan membawa mereka ke Tebing Kayu Hitam.”

“Yue Buqun memegang Lencana Kayu Hitam?” sahut Ren Yingying menegas.

“Benar sekali,” jawab You Xun. “Hamba melihat dengan mata kepala sendiri dia benar-benar memegang Lencana Kayu Hitam lambang kebesaran Sekte Matahari dan Bulan. Jika tidak, mana mungkin hamba sudi melaksanakan perintahnya? Bukankah hamba selamanya selalu tunduk dan patuh terhadap Ketua Ren dan Gadis Suci belaka?”

Ren Yingying tampak termenung dan berpikir, “Bagaimana caranya Yue Buqun bisa memegang Lencana Kayu Hitam? Ah, aku lupa kalau dia telah menelan Pil Pembusuk Otak sehingga mau tidak mau harus tunduk kepada sekte kami. Mungkinkah dia datang menemui Ayah dan mendapatkan lencana tersebut?”

Usai berpikir demikian ia lantas bertanya, “Apakah Yue Buqun menjanjikan kepada kalian bahwa ia akan mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis apabila kalian berhasil melaksanakan perintah?”

You Xun kembali menyembah dan menjawab, “Si anjing Yue Buqun benar-benar bermulut manis. Kami termakan tipuannya.”

Ren Yingying bertanya, “Kalian tadi berkata bahwa tugas ini telah dijalankan dengan baik. Bagaimana caranya bisa terjadi demikian?”

You Xun menjawab, “Ada beberapa orang yang menaburkan racun di sumber mata air di puncak gunung, sehingga semua murid Perguruan Henshan terbius tak sadarkan diri. Bahkan, para anggota lainnya yang tinggal di Lembah Tongyuan juga ikut pingsan pula. Saat ini mereka semua telah dibawa menuju ke Tebing Kayu Hitam.”

“Apakah ada orang-orang yang terbunuh?” sahut Linghu Chong.

“Sebanyak delapan atau sembilan orang anggota yang tinggal di Lembah Tongyuan terpaksa dibunuh, karena mereka tidak mempan terhadap obat bius dan berusaha melawan,” jawab You Xun.

“Siapa mereka?” tanya Linghu Chong mendesak.

“Hamba tidak mengenal siapa mereka,” ujar You Xun. “Hanya saja ... mereka bukan sahabat baik Ketua Linghu.”

Linghu Chong manggut-manggut lega. Terdengar Ren Yingying berkata, “Mari kita tinggalkan tempat ini.”

“Baik,” jawab Linghu Chong sambil memungut pedang panjang peninggalan Biksu Xibao, sementara pedang pendek sudah sejak tadi dikembalikannya kepada Ren Yingying. “Bila kita bertemu lagi dengan perempuan galak itu, aku harus memberi pelajaran kepadanya dengan baik,” katanya sambil tertawa.

“Terima kasih banyak atas kebaikan hati Gadis Suci dan Pendekar Linghu yang mengampuni selembar nyawa hamba,” ujar You Xun senang.

“Ah, jangan terlalu sungkan,” sahut Ren Yingying. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan kiri dan secepat kilat pedang pendeknya melesat dan menancap di dada You Xun. Manusia licik bermulut licin yang seumur hidup suka berlagak itu pun roboh dan tewas seketika.

Linghu Chong dan Ren Yingying lalu turun meninggalkan Loteng Kura-Kura Sakti tersebut. Suasana pegunungan begitu sunyi dan hanya suara kicauan burung saja yang terdengar. Ren Yingying menoleh ke arah Linghu Chong yang kini berkepala botak, membuatnya tertawa cekikikan.

Menanggapi hal itu Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Linghu Chong telah mencukur rambut dan menjadi biksu. Mulai hari ini aku sudah bertekad bulat hendak meninggalkan masyarakat ramai. Maka itu, sampai di sini saja kebersamaan kita, Nona. Marilah kita berpisah sekarang juga.”

Ren Yingying sadar pemuda itu hanya bergurau saja. Namun, karena cintanya begitu mendalam, mau tidak mau hatinya merasa khawatir. Ia pun berkata, “Kakak Chong, kau jangan bergurau seperti ini. Aku … aku ….” Padahal saat membunuh You Xun tadi sedikit pun ia tidak berkedip. Namun, mendengar ucapan Linghu Chong yang terkesan sungguh-sungguh itu tanpa terasa tubuhnya gemetar.

Linghu Chong terkesan melihatnya. Sambil menepuk dahi sendiri ia pun berkata, “Tapi karena didampingi seorang calon istri yang cantik jelita seperti ini, maka si biksu memilih kembali lagi ke dalam masyarakat ramai.”

“Huh, kukira setelah You Xun mati tidak ada lagi manusia yang bermulut licin di dunia ini,” ujar Ren Yingying sambil tertawa. “Kukira dunia persilatan akan tenang dan damai tanpa manusia bermulut licin seperti dia. Tak kusangka ... hehe.”

Linghu Chong tersenyum menjawab, “Aku bukan manusia bermulut licin. Cobalah kau sentuh kepalaku. Mulai sekarang aku pantas dijuluki si manusia berkepala licin.”

“Huh, kita bicara persoalan yang penting saja,” sahut Ren Yingying kemudian. “Murid-murid Perguruan Henshan sudah dibawa pergi ke Tebing Kayu Hitam. Kita harus segera membebaskan mereka. Ini benar-benar masalah yang rumit. Bahkan, ini bisa merusak hubungan baik antara aku dan Ayah ….”

“Benar,” ujar Linghu Chong. “Bahkan ini juga bisa merusak hubungan baik antara menantu dengan bapak mertua.”

Ren Yingying melirik pemuda itu dengan tatapan galak, namun dalam hati merasa senang sekali.

Linghu Chong melanjutkan, “Urusan ini jangan sampai terlambat. Kita harus lekas-lekas menyusul ke sana untuk menolong mereka. Kita harus menghadang di tengah jalan.”

“Benar. Kita harus membunuh semua orang suruhan Yue Buqun. Basmi mereka tanpa kecuali, agar jangan sampai Ayah tahu,” kata Ren Yingying. Sejenak kemudian tiba-tiba ia menghela napas.

Linghu Chong dapat memahami perasaannya. Si nona bermaksud menyembunyikan urusan besar seperti ini dari telinga Ren Woxing, meskipun hal ini jelas tidak mudah. Sebaliknya, Linghu Chong sendiri menjabat sebagai ketua Perguruan Henshan, maka begitu semua anggotanya ditawan orang, mana boleh ia tinggal diam tanpa menolong? Ren Yingying memang sudah bertekad hendak membela dan membantunya, meskipun harus rela melawan perintah ayah sendiri.

Mengingat urusan sudah seperti ini, maka segala sesuatu harus diputuskan dengan tegas. Linghu Chong lantas mengulurkan tangan kirinya untuk menggenggam erat-erat tangan kanan Ren Yingying. Semula gadis itu hendak meronta, tapi melihat keadaan begitu sepi tiada seorang pun yang tampak, maka ia pun diam saja membiarkan tangannya dipegang Linghu Chong.

“Yingying, aku paham perasaanmu,” kata Linghu Chong. “Urusan ini tentu akan membuat kalian, ayah dan anak berselisih paham. Sungguh aku merasa tidak enak hati.”

“Jika Ayah memikirkan diriku tentu takkan membuat susah Perguruan Henshan,” kata Ren Yingying sambil menggeleng perlahan. “Menurut dugaanku, Ayah tidak bermaksud buruk kepadamu.”

Seketika Linghu Chong dapat menangkap maksud ucapan tersebut. Ia pun berkata, “Benar juga. Sepertinya ayahmu sengaja menangkap murid-murid Henshan sebagai sandera agar aku bergabung dengan Sekte Matahari dan Bulan.”

“Tepat,” ujar Ren Yingying. “Sesungguhnya Ayah sangat suka kepadamu. Apalagi kau adalah satu-satunya ahli waris ilmu sakti Ayah.”

“Aku sendiri juga sangat menghormati ayahmu. Apalagi Beliau adalah ayah dari nenekku, sehingga terhitung kakek buyutku. Tapi aku sudah pasti tidak sudi masuk menjadi anggota sekte kalian,” jawab Linghu Chong. “Aku merasa muak dan ngeri bila mendengar sanjung puji para anggota terhadap ayahmu, semacam: ‘Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan.’”

“Ya, aku tahu. Maka itu, aku pun tidak pernah membujukmu agar masuk menjadi anggota sekte kami,” kata Ren Yingying. “Bila kau masuk sekte, kelak kau pun akan diangkat menjadi ahli waris kedudukan Ayah. Setelah resmi menjadi ketua, siang-malam kau akan selalu mendengar sanjung puji para anggota yang membuatmu risih dan jijik. Namun, lama-lama kau akan terbiasa dan sifatmu pasti juga akan berubah tidak seperti ini lagi. Contohnya, sejak Ayah pulang kembali ke Tebing Kayu Hitam, pribadinya sudah berubah dengan cepat.”

“Tapi kita juga tidak boleh membuat ayahmu marah,” ujar Linghu Chong sambil menggenggam tangan Ren Yingying yang satu lagi. Ia lantas menyambung, “Yingying, setelah kita bebaskan murid-murid Perguruan Henshan, segera kita langsungkan upacara pernikahan saja. Tidak perlu kita terlalu banyak adat, misalnya memakai perantara makcomblang dan bertunangan segala. Kita berdua lantas meletakkan senjata dan mengundurkan diri dari dunia persilatan. Kita hidup mengasingkan diri tanpa mencampuri urusan luar. Yang kita pikirkan hanyalah bagaimana membuat banyak anak saja.”

Semula Ren Yingying mendengarkan semua ucapan Linghu Chong dengan termangu saja. Raut mukanya tampak bersemu merah, dan hati senang tak terlukiskan. Namun, begitu mendengar kalimat terakhir, seketika ia pun terkejut dan melotot. Sekuatnya ia meronta dan melepaskan kedua tangannya dari genggaman Linghu Chong.

“Hei, setelah menjadi suami istri bukankah harus punya anak?” ujar Linghu Chong dengan tertawa.

“Jika kau sembarangan bicara lagi, maka selama tiga hari aku tidak akan bicara denganmu,” ancam Ren Yingying.

Linghu Chong hafal watak gadis itu yang selalu menepati ucapannya. Maka, ia pun menjawab sambil menjulurkan lidah, “Baiklah, urusan yang lebih penting harus kita selesaikan dulu. Mari kita pergi ke Puncak Jianxing lebih dulu untuk melihat keadaan.”

Dengan ilmu meringankan tubuh masing-masing keduanya dapat mencapai puncak utama Gunung Henshan tersebut dengan cepat. Setibanya di Biara Wuse ternyata tidak seorang pun terdapat di sana. Tempat tinggal para murid juga kosong melompong. Berbagai perabotan berserakan di sana-sini, pedang dan golok juga tercecer di mana-mana. Untungnya di tempat itu tidak terdapat noda darah sedikit pun, sepertinya tidak sampai ada jatuh korban.

Mereka berdua kemudian pergi ke Lembah Tongyuan. Di tempat itu juga tidak terdapat seorang pun. Hanya di atas meja masih tersisa bermacam-macam makanan dan arak. Seketika Linghu Chong ketagihan minum, namun sama sekali tidak berani minum sisa arak tersebut. Jelas ia teringat cerita You Xun tentang obat bius yang disebarkan para pengikut Yue Buqun.

“Perutku sudah lapar. Marilah kita turun gunung saja untuk mencari makan,” ajaknya kemudian.

Ren Yingying lantas merobek baju luar Linghu Chong dan memakaikannya sebagai pembungkus kepala kekasihnya itu. Linghu Chong tertawa dan berkata, “Memang harus begini. Jika tidak, bisa-bisa aku dituduh sebagai biksu yang menculik anak gadis orang.”

Keduanya lantas turun gunung dan menemukan kedai makan pada saat lewat tengah hari. Setelah mengisi perut sampai kenyang mereka lantas melanjutkan perjalanan dan menemukan jalur menuju Tebing Kayu Hitam. Sambil menghela napas dalam-dalam pasangan tersebut pun bergegas menyusuri jalan tersebut dengan cepat.

Beberapa jam kemudian, tiba-tiba dari balik gunung sayup-sayup terdengar suara orang membentak dan memaki. Sewaktu mereka berhenti dan mendengarkan dengan seksama, sepertinya itu adalah suara Enam Dewa Lembah Persik. Dengan cepat mereka pun melaju ke arah datangnya suara. Lambat laun suara-suara itu terdengar semakin jelas, dan memang benar suara Enam Dewa Lembah Persik.

“Keenam bayi ini sedang bertengkar dengan siapa?” kata Ren Yingying dengan suara tertahan.

Setelah berbelok di suatu tanjakan, mereka lantas bersembunyi di balik pohon. Terdengar Enam Dewa Lembah Persik masih saja membentak-bentak sambil mengepung satu orang. Rupanya mereka sedang bertempur sengit. Orang yang sedang dikeroyok itu bergerak dengan kecepatan luar biasa, hanya terlihat sosok bayangannya menyelinap kian-kemari di antara keenam lawannya itu. Ketika diperhatikan dengan seksama, ternyata orang itu adalah ibu Yilin, yaitu si nenek penjaga Kuil Gantung.

Sejenak kemudian, terdengar suara Dewa Akar Persik dan Dewa Buah Persik berteriak-teriak. Rupanya pipi mereka masing-masing telah terkena tamparan si nenek.

Linghu Chong senang melihat hal ini. Ia pun berbisik kepada Ren Yingying, “Ini namanya hutang besar bayar kontan! Biar aku yang ganti mencukur gundul kepalanya.” Segera ia pun bersiap-siap. Tangannya menggenggam gagang pedang, menunggu Enam Dewa Lembah Persik kewalahan dan ia pun melompat keluar untuk membantu.

Sementara itu kembali terdengar suara tamparan berulang-ulang. Enam Dewa Lembah Persik berturut-turut terkena pukulan tangan si nenek. Keenam bersaudara itu sangat murka. Sungguh mereka bermaksud hendak memegang kaki dan tangan perempuan itu agar dapat merobek tubuhnya menjadi empat potong. Akan tetapi, gerakan si nenek memang sangat cepat laksana bayangan setan. Beberapa kali Enam Dewa Lembah Persik nyaris berhasil memegang kaki atau tangannya, namun selalu luput terpaut satu-dua senti saja. Setelah itu kembali mereka terkena tamparan lagi.

Sebaliknya, si nenek juga sadar bahwa keenam lawannya sangat kuat dan gesit pula. Ia sendiri khawatir kehabisan tenaga dan akhirnya bisa tertangkap oleh keenam bersaudara itu. Maka tidak lama kemudian, perempuan itu kembali membuka serangan. Berturut-turut ia menampar muka empat orang lawannya, kemudian melompat ke belakang dan melesat hendak melarikan diri. Langkah si nenek ini benar-benar secepat kilat. Hanya dalam sekejap saja sudah puluhan meter jauhnya. Meskipun Enam Dewa Lembah Persik membentak-bentak dan sesumbar, tetap saja sukar untuk menyusulnya.

Namun sialnya, si nenek justru berlari ke arah persembunyian Linghu Chong dan Ren Yingying. Segera saja Linghu Chong melompat keluar sambil melintangkan pedang dan membentak, “Mau lari ke mana?” Begitu sinar putih berkelebat, seketika ujung pedangnya mengacung ke leher perempuan itu.

Karena serangan ini mengarah ke tempat yang mematikan, si nenek terkejut. Ia pun menoleh untuk menghindar. Namun, Linghu Chong lantas memiringkan pedangnya ke samping mengincar bahu kanan si nenek. Dalam keadaan tidak bisa berkelit lagi, terpaksa si nenek melompat mundur.

Linghu Chong lantas maju dan kembali menusuk sehingga perempuan itu terpaksa mundur lagi selangkah. Dengan pedang di tangan, jelas si nenek bukan tandingannya. Dalam tiga kali serangan Linghu Chong kembali mendesak mundur perempuan itu beberapa langkah. Kalau dia mau, tentu dengan mudah riwayat si nenek sudah berakhir di tangannya.

Melihat itu, Enam Dewa Lembah Persik bersorak gembira. Begitu ujung pedang Linghu Chong sudah menodong di depan dada si nenek dan membuatnya tidak berani bergerak lagi, pada saat itulah Enam Dewa Lembah Persik memburu maju. Empat orang di antaranya serentak memegang kedua kaki dan kedua tangan perempuan itu dan mengangkatnya ke atas.

“Jangan membunuhnya!” teriak Linghu Chong.

Namun Dewa Bunga Persik masih penasaran. Dengan gemas ia menampar muka si nenek satu kali.

“Gantung saja dia!” seru Linghu Chong.

“Ya, benar. Tapi di mana ada tali?” seru Dewa Akar Persik.

Enam Dewa Lembah Persik tidak satu pun yang membawa tali. Di tengah hutan seperti itu juga sulit untuk mencari tali. Dewa Bunga Persik dan Dewa Dahan Persik berusaha mencari di sekitar situ. Ketika sedikit saja pegangan keempat Dewa Persik yang lainnya agak kendur, segera si nenek meronta dan melepaskan diri. Secepat kilat ia menggelinding di tanah untuk kemudian melesat pergi.

Namun, baru saja perempuan itu bermaksud lari sekuat tenaga, tiba-tiba di punggungnya terasa sudah menempel suatu benda tajam. Sekejap kemudian terdengar Linghu Chong berkata dengan tersenyum, “Berhenti! Tetap di sini!” Ternyata ujung pedangnya telah mengancam punggung si nenek.

Sama sekali si nenek tidak menyangka ilmu pedang Linghu Chong sedemikian hebatnya. Wajahnya tampak pucat dan hatinya menjadi gentar. Terpaksa ia hanya berdiri mematung, tidak berani bergerak lagi.

Segera Enam Dewa Lembah Persik memburu maju. Enam jari pun bekerja serentak, masing-masing menotok titk-titik nadi di tubuh si nenek. Sambil meraba pipi yang panas dan perih akibat tamparan tadi segera Dewa Dahan Persik bermaksud membalas.

Linghu Chong merasa tidak enak hati bila ibu Yilin sampai terluka. Segera ia pun berseru, “Jangan dulu! Biarlah kita kerek saja tubuhnya di atas pohon.”

Enam Dewa Lembah Persik sangat senang mendengarnya. Tanpa disuruh lagi mereka lantas menguliti batang pohon untuk dipintal menjadi tali. Linghu Chong lalu bertanya kepada mereka apa sebab musababnya sampai berkelahi melawan perempuan itu.

Dewa Ranting Persik menjawab, “Tadinya kami sedang berak bersama di sini. Selagi kami asyik menguras isi perut, tiba-tiba saja perempuan ini berlari ke sini dan langsung bertanya, ‘Hei, apakah kalian melihat seorang biksuni cilik?’ – Cara bicaranya kasar, juga mengganggu kami yang sedang berak ….”

Mendengar kata-kata yang menjijikkan itu, Ren Yingying mengerutkan kening dan berjalan menyingkir agak jauh.

Dengan tertawa Linghu Chong lantas berkata, “Benar. Perempuan ini memang tidak kenal tatakrama pergaulan.”

“Sudah tentu kami tidak mengubrisnya dan menyuruh dia lekas pergi,” lanjut Dewa Ranting Persik. “Tapi perempuan ini lantas main pukul dan begitulah, kami pun berhantam dengannya. Sebenarnya kami bisa menang dengan mudah. Tapi, pantat kami masih kotor dan bau, membuat kami kurang leluasa dalam bertarung. Untung saja Saudara Linghu datang tepat waktu. Jika tidak, tentu dia sudah lolos.”

“Belum tentu,” bantah Dewa Bunga Persik. “Kita tadi sengaja membiarkan dia lari beberapa langkah, lalu mengejar dan menangkapnya, supaya dia gembira sia-sia.”

“Benar. Di bawah tangan Enam Dewa Lembah Persik tidak pernah ada cerita musuh bisa sampai lolos. Kami selalu dapat menangkap dan membekuk dia kembali,” sambung Dewa Buah Persik.

“Cara kami ini seperti kucing mempermainkan tikus. Kami biasa membiarkan lawan lolos untuk kemudian menangkapnya kembali,” sahut Dewa Akar Persik.

Linghu Chong hafal watak mereka yang tidak mau kalah dan selalu menjaga gengsi. Maka, ia pun sengaja memuji, “Satu kucing saja bisa menangkap enam tikus. Apalagi enam kucing tentu sangat mudah menangkap satu tikus.”

Keenam bersaudara itu senang mendengar pujian tersebut dan semakin bersemangat memintal tali. Begitu selesai, segera kaki dan tangan si nenek pun ditelikung dan diikat kencang, lalu tubuhnya dikerek di atas pohon.

Dengan pedangnya yang tajam Linghu Chong menebang dari atas batang pohon sehingga teriris sepanjang dua-tiga meter. Setelah itu ia lantas menggoreskan sebuah kalimat menggunakan ujung pedang yang berbunyi: “Gentong cuka nomor satu di dunia.”

Dewa Akar Persik bertanya, “Saudara Linghu, mengapa perempuan ini disebut gentong cuka nomor satu di dunia? Apakah kepandaiannya minum cuka sangat hebat? Ah, aku tidak percaya. Bagaimana kalau kita lepaskan dia dulu? Aku ingin berlomba minum cuka dengannya.”

“Minum cuka adalah kata ejekan,” jawab Linghu Chong menjelaskan. “Kalian Enam Dewa Lembah Persik adalah pahlawan yang tiada bandingannya. Nama besar kalian berkumandang di angkasa, harum di seluruh penjuru dunia, pandai ilmu sastra dan mahir ilmu silat, membuat Mahabiksu Fangzheng segan terhadap kalian, Zuo Lengchan pun merasa gentar. Nenek bangsat ini jelas bukan tandingan kalian, sehingga tidak ada gunanya harus berlomba segala.”

Enam Dewa Lembah Persik tertawa gembira dan menjawab serentak, “Benar sekali, benar sekali.”

“Nah, sekarang ganti aku yang bertanya kepada keenam Saudara Persik,” ujar Linghu Chong kemudian. “Apakah kalian melihat Adik Yilin atau tidak?”

“Apakah yang kau maksudkan biksuni cilik cantik jelita dari Perguruan Henshan itu?” sahut Dewa Ranting Persik. “Kalau biksuni cilik itu kami tidak tahu. Tapi kalau dua biksu bertubuh besar kami melihatnya.”

“Mereka masing-masing adalah ayah dan murid biksuni cilik itu,” sambung Enam Dewa Lembah Persik.

Linghu Chong bertanya, “Di mana mereka sekarang?”

“Mereka sudah lewat kira-kira dua jam yang lalu,” tutur Dewa Daun Persik. “Mereka mengajak kami minum arak di kota depan sana. Kami jawab, habis berak akan segera menyusul. Tak disangka, perempuan sial ini keburu datang dan mengganggu kami.”

Linghu Chong termenung sejenak memikirkan hal ini. Ia lantas berkata, “Baiklah, kalian boleh menyusul nanti, biar aku pergi ke sana dulu. Kalian berenam adalah pahlawan besar, tidak mungkin mengganggu musuh yang sudah tertangkap. Kalau sampai kalian memukul perempuan ini, itu bisa merusak nama besar kalian.”

“Benar sekali,” sahut Enam Dewa Lembah Persik serentak.

Ren Yingying tertawa berkata, “Kau tidak jadi mencukur rambut perempuan itu, tentunya karena kau mengingat Adik Yilin-mu. Itu artinya dendammu hanya terbalas sebagian kecil saja.”

Setelah berjalan beberapa kilo jauhnya, mereka berdua pun tiba di suatu kota yang cukup ramai. Pada rumah makan kedua mereka baru bisa bertemu Biksu Bujie dan Tian Boguang sedang duduk menghadap makanan dan minuman di atas meja. Melihat Linghu Chong dan Ren Yingying datang, kedua orang itu berseru senang. Segera Bujie menyuruh pelayan menambahkan makanan dan arak.

Ketika Linghu Chong bertanya ada kejadian apa, Tian Boguang lantas bercerita, “Karena kejadian yang memalukan di Henshan itu, kami tidak punya muka lagi untuk berada di sana. Aku mengajak Kakek Guru lekas-lekas turun gunung saja. Untuk selanjutnya, kami berdua tidak punya muka lagi untuk menginjakkan kaki di Lembah Tongyuan.”

Mendengar cerita Tian Boguang itu, jelas mereka belum mengetahui kalau di Perguruan Henshan telah terjadi penculikan besar-besaran. Linghu Chong dan Ren Yingying sendiri berniat membebaskan murid-murid Perguruan Henshan itu secara diam-diam sehingga tidak memberi tahu mereka berdua tentang peristiwa tersebut. Maka, Linghu Chong lantas berkata kepada Bujie, “Biksu besar, aku ingin meminta bantuanmu untuk menyelesaikan suatu urusan, apakah kau mau?”

“Tentu saja mau. Urusan apa?” sahut Bujie.

“Tapi urusan ini perlu dirahasiakan. Cucu-muridmu ini sama sekali tidak boleh ikut campur,” ujar Linghu Chong.

“Apa susahnya? Akan kusuruh dia menyingkir sejauh mungkin dan tidak boleh mengganggu urusanku. Beres sudah,” jawab Bujie.

Linghu Chong berkata, “Baiklah. Di timur sana kira-kira belasan li jauhnya, pada sebatang pohon yang tinggi ada seseorang terikat dan digantung tinggi di atas pohon ….”

“Oh,” sahut Bujie dengan wajah serbasalah dan tubuh gemetar.

Linghu Chong berkata, “Orang yang sedang dikerek itu adalah temanku. Aku meminta bantuanmu agar pergi ke sana untuk menolongnya.”

“Mudah saja,” ujar Bujie. “Tapi mengapa tidak kau sendiri yang menolongnya?”

“Terus terang, temanku itu seorang perempuan,” kata Linghu Chong dengan sengaja menahan suara sambil memoncongkan bibirnya ke arah Ren Yingying. “Aku merasa tidak enak karena selalu bersama Nona Ren.”

“Hahahaha!” Bujie bergelak tawa. “Ya, ya, aku tahu! Tentu kau takut kalau-kalau Nona Ren minum cuka.” Istilah ini maksudnya adalah cemburu.

Ren Yingying melotot sekejap kepada mereka berdua. Linghu Chong lantas berkata sambil tertawa kepada Bujie, “Justru perempuan itu yang suka cemburu. Dulu suaminya hanya memandang sekejap dan memuji sekali saja kepada wanita lain, tapi perempuan itu langsung kabur tanpa pamit. Akibatnya malah membuat susah suaminya yang mencari ke seluruh pelosok dunia selama belasan tahun.”

Mendengar uraian itu, bola mata Bujie melotot dan napasnya memburu pula. Dengan suara terputus-putus ia bertanya, “Apakah dia … dia … dia ….” Namun pertanyaan ini tidak sanggup untuk dilanjutkannya.

“Kabarnya sampai sekarang suaminya masih terus mencari tapi belum juga bertemu,” sambung Linghu Chong.

Sampai di sini lalu terdengar suara Enam Dewa Lembah Persik datang ke rumah makan itu dengan bersenda gurau. Namun, Biksu Bujie seakan-akan tidak melihat kedatangan mereka. Kedua tangannya memegang erat-erat lengan Linghu Chong dan menegas, “Apakah ben… benar katamu ini?”

“Dia sendiri yang berkata padaku,” sahut Linghu Chong. “Katanya, biarpun suaminya berhasil menemukan dia, biarpun berlutut dan menyembah kepadanya juga dia tetap tidak mau berkumpul kembali dengan suaminya itu. Sebab itulah bila kau melepaskannya, dia pasti akan segera kabur. Gerak tubuh perempuan itu teramat cepat. Hanya dalam satu kedipan mata saja dia sudah lenyap.”

“Aku tidak akan berkedip, aku tidak akan berkedip,” ujar Bujie.

Linghu Chong melanjutkan, “Aku juga bertanya mengapa dia tidak mau bertemu dengan suaminya, dia menjawab suaminya adalah manusia paling tidak berperasaan di dunia, orang yang paling doyan perempuan. Biarpun bertemu kembali juga tak ada gunanya.”

Tiba-tiba Bujie berteriak satu kali, kemudian memutar tubuh hendak berangkat. Namun Linghu Chong sempat menarik dan membisikinya, “Akan kuajarkan satu akal bagus padamu, dijamin dia tidak akan dapat melarikan diri.”

Bujie terkejut bercampur senang. Setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia berlutut dan menyembah beberapa kali kepada Linghu Chong sambil berkata, “Saudara Linghu, eh, maksudku ... Ketua Linghu, Guru Linghu, Sesepuh Linghu, aku mohon kepadamu lekas mengajarkan akal bagus itu kepadaku. Biarlah aku meng… mengangkatmu sebagai guru.”

“Ah, mana aku berani, lekas bangun!” sahut Linghu Chong menahan geli. Lalu ia menarik Bujie untuk bangun sambil berbisik di telinga biksu besar itu, “Nanti bila sudah kau turunkan dia dari atas pohon, jangan sekali-kali kau buka tali ringkusannya, lebih-lebih jangan membuka totokannya. Cukup kau gendong saja dia ke dalam penginapan. Sewa satu kamar di situ. Nah, sekarang coba kau pikirkan, bagaimana caranya supaya seorang perempuan tidak berani lari keluar kamar?”

Bujie menjadi bingung. Sambil menggaruk-garuk kepala botaknya ia berkata, “Aku … aku tidak tahu.”

“Mudah sekali,” kata Linghu Chong. “Lucuti semua pakaiannya, lalu simpan agak jauh. Setelah itu, barulah kau buka totokannya. Dalam keadaan telanjang bulat mana mungkin dia berani lari keluar kamar?”

Bujie senang sekali. Ia bertepuk tangan dan berseru, “Bagus sekali! Akal bagus! Guru, budi baikmu ….” tidak sampai ucapannya selesai, ia langsung melompat keluar melalui jendela dan lenyap dalam sekejap.

“Hei, sungguh aneh kelakuan biksu besar itu? Kenapa dia begitu terburu-buru? Memangnya mau ke mana?” kata Dewa Akar Persik.

“Pasti dia kebelet berak, makanya terburu-buru,” kata Dewa Ranting Persik.

“Tapi kenapa dia menyembah kepada Saudara Linghu dan memanggil guru kepadanya?” ujar Dewa Bunga Persik. “Sudah tua begitu kenapa berak saja perlu diajari orang lain?”

“Memangnya berak ada sangkut pautnya dengan usia?” bantah Dewa Daun Persik. “Apakah anak umur tiga tahun bisa berak sendiri tanpa diajari orang tuanya?”

Ren Yingying tahu pembicaraan keenam orang dungu ini semakin lama tentu semakin melantur. Maka ia pun memberi isyarat kepada Linghu Chong dan pergi meninggalkan rumah makan tersebut.

Linghu Chong pun berkata, “Keenam Saudara Persik, kalian terkenal sebagai ahli minum arak tanpa tanding. Maka itu, silakan kalian minum sepuas-puasnya di sini. Aku sendiri tidak sanggup minum banyak-banyak, terpaksa harus berangkat lebih dulu.”

Karena dipuji demikian, Enam Dewa Lembah Persik menjadi senang. Dalam anggapan mereka jika tidak minum habis beberapa guci rasanya akan kehilangan nama besar tersebut. Maka beramai-ramai mereka pun berteriak, “Pelayan, lekas bawakan enam guci arak yang paling enak!”

Seorang lagi berkata, “Saudara Linghu, kemampuanmu minum arak selisih jauh dengan kami. Baiklah, kau boleh berangkat lebih dulu. Setelah puas barulah kami segera menyusul.”

Seorang yang lain menyahut, “Kalau kau menunggu sampai kami puas, bisa-bisa esok hari baru bisa berangkat.”

Begitulah, hanya dengan satu kalimat pujian saja Linghu Chong sudah dapat menghindarkan diri dari gangguan keenam bersaudara yang dungu tersebut. Setibanya di luar rumah makan, dengan menahan tawa Ren Yingying berkata, “Kau telah memulihkan hubungan suami istri Biksu Bujie. Jasamu sungguh tiada tara. Hanya saja, cara yang kau ajarkan kepaadanya agak … agak ….” sampai di sini kepalanya pun menunduk dengan wajah bersemu merah.

Linghu Chong hanya memandangi gadis itu sambil tertawa tanpa berkata apa-apa.

Setelah cukup jauh meninggalkan kota, Linghu Chong masih saja tersenyum-senyum sambil memandangi Ren Yingying.

“Kau lihat apa? Apa kau tidak kenal lagi padaku?” omel si nona.

“Aku sedang berpikir, perempuan itu pernah menggantung aku di atas loteng, kubalas dengan menggantungnya di atas pohon,” kata Linghu Chong dengan tertawa. “Dia mencukur bersih rambutku, kubalas dengan menyuruh suaminya melucuti pakaiannya sampai telanjang bulat. Ini namanya satu dibalas satu.”

“Satu dibalas satu katamu?” sahut Ren Yingying menegas sambil melirik dan tersenyum.

“Semoga Biksu Bujie tidak main kasar. Semoga mereka berdua, suami-istri dapat berkumpul kembali dengan bahagia,” ujar Linghu Chong tertawa.

Ren Yingying ikut tertawa dan berkata, “Tapi hati-hati, lain kali bila bertemu lagi dengan perempuan itu tentu kau akan merasakan pembalasannya.”

“Aku membantu mereka bersatu kembali, dia justru harus berterima kasih kepadaku,” sahut Linghu Chong. Lalu ia memandang beberapa saat ke arah Ren Yingying sambil cengar-cengir. Sikapnya terlihat sangat aneh.

“Apa yang sedang kau tertawakan?” tanya gadis itu.

“Biksu Bujie dan istrinya bersatu kembali. Aku sedang membayangkan entah apa yang akan mereka bicarakan di dalam kamar penginapan nanti,” sahut Linghu Chong.

“Tapi mengapa kau memandangi aku seperti itu?” gerutu Ren Yingying.

Tiba-tiba ia dapat menangkap maksud Linghu Chong. Rupanya pemuda bandel ini sedang membayangkan Biksu Bujie melucuti pakaian istrinya hingga telanjang bulat. Pikirannya sedang membayangkan ke sana, tapi matanya memandangi Ren Yingying sambil tersenyum-senyum. Seketika wajah Ren Yingying menjadi merah. Segera ia pun mengangkat tangan memukul Linghu Chong.

Dengan cepat Linghu Chong mengelak, lalu berkata dengan tertawa, “Hei, hei, istri yang memukul suami adalah perempuan jahat.”

Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara-suara mendesing nyaring perlahan. Ren Yingying mengenali itu adalah suara suitan sebagai kode rahasia antara sesama anggota Sekte Matahari dan Bulan. Ia lantas memberi isyarat kepada Linghu Chong untuk tidak berbicara, lalu mengajaknya berlari ke arah sumber datangnya suara suitan tersebut.

Tidak jauh kemudian, tampak seorang perempuan berdandan seperti pelayan rumah makan berlari dari arah barat. Tempat di situ cukup lapang, tidak terdapat semak atau pohon untuk bersembunyi, sehingga orang itu dapat melihat kedatangan Ren Yingying dan langsung tercengang agak tak percaya.

Maka, perempuan itu pun memberi hormat sambil menyapa, “Hamba Sang Sanniang, ketua Balai Angin Surga, menyampaikan sembah hormat kepada Gadis Suci. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan!”

Ren Yingying mengangguk beberapa kali. Menyusul kemudian tampak dari arah timur muncul pula seorang tua bertubuh kecil, memakai baju berwarna cokelat tua, mirip kaum hartawan kampung. Dengan langkah cepat ia mendekati Ren Yingying dan memberi hormat, lalu berkata, “Hamba Wang Cheng menyampaikan sembah bakti kepada Gadis Suci. Semoga Ketua berjaya selalu, melindungi rakyat jelata.”

“Kau juga berada di sini, Tetua Wang?” tanya Ren Yingying kepadanya. Rupanya Wang Cheng adalah salah satu di antara sepuluh tetua utama dalam agama mereka.

Wang Cheng menjawab hormat, “Hamba ditugasi Ketua Ren untuk mencari berita di sekitar sini. Saudari Sang, apakah ada suatu berita yang kau peroleh?”

“Lapor kepada Gadis Suci dan Tetua Wang,” ujar Sang Sanniang, “pagi ini saat berada di rumah penukaran kuda, hamba melihat rombongan Perguruan Songshan yang berjumlah sekitar enam sampai tujuh puluh orang sedang menuju ke Gunung Huashan.”

“Jadi mereka benar-benar menuju ke Huashan?” sahut Wang Cheng menegas.

“Ada urusan apa orang-orang Perguruan Songshan pergi ke Huashan?” sela Ren Yingying.

Wang Cheng menjawab, “Ketua Ren memperoleh berita, bahwa sejak Yue Buqun menjabat sebagai ketua Perguruan Lima Gunung lantas bermaksud memerangi agama kita. Kabarnya ia sibuk mengumpulkan murid-murid dari Perguruan Lima Gunung di Gunung Huashan. Melihat gelagat ini kemungkinan besar mereka hendak menyerang Tebing Kayu Hitam secara besar-besaran.”

“Benarkah demikian?” sahut Ren Yingying penasaran. Ia merasa sangsi jangan-jangan Wang Cheng yang terkenal licik ini sengaja memutarbalikkan kenyataan. Padahal, mungkin saja orang tua ini yang memimpin penangkapan murid-murid Perguruan Henshan dan bermaksud mengalihkan tuduhan. Namun, raut wajah Sang Sanniang tampaknya bersungguh-sungguh. Sepertinya ada masalah lain di balik semua dugaan ini, demikian ia berpikir. Gadis itu lantas berkata, “Pendekar Linghu adalah ketua Perguruan Henshan, namun mengapa dia tidak tahu-menahu tentang apa yang kau katakan tadi? Bukankah ini aneh?”

“Hamba telah mnyelidiki bahwa murid-murid Perguruan Taishan dan Hengshan juga sudah bergerak menuju ke Huashan. Hanya Perguruan Henshan saja yang belum tampak bergerak,” jawab Wang Cheng. “Pelindung Kiri Xiang Wentian telah memerintahkan kami untuk menyelidiki masalah ini. Lebih dulu Tetua Bao Dachu telah diperintahkan untuk menyelidiki Perguruan Henshan. Hamba diperintah pula untuk berjaga di sekitar sini sebagai penghubung berita yang akan dibawa Tetua Bao.”

Ren Yingying saling pandang sejenak dengan Linghu Chong. Meskipun hati mereka bimbang, namun penuturan Wang Cheng ini jelas bersungguh-sungguh. Dalam hati masing-masing muncul pertanyaan, “Apakah semua yang dikatakannya benar?”

Wang Cheng lantas memberi hormat kepada Linghu Chong dan meminta maaf, “Hamba hanya sekadar melaksanakan perintah, oleh karena itu mohon Ketua Linghu jangan marah.”

Linghu Chong membalas hormat dan berkata, “Tidak lama lagi aku dan Nona Ren akan menikah ….”

“Hei!” seru Ren Yingying terkejut dengan muka bersemu merah. Ia tidak menyangka Linghu Chong akan berkata seperti itu di depan orang lain, namun ia juga tidak membantah sama sekali.

“Tetua Wang menerima perintah dari calon ayah mertuaku,” lanjut Linghu Chong, “oleh karena itu, sebagai kaum muda sudah tentu kami ikut bertanggung jawab atas hal ini.”

Dengan wajah gembira Wang Cheng dan Sang Sanniang serentak berkata, “Selamat untuk Gadis Suci dan Ketua Linghu! Selamat!”

Dengan wajah semakin merah Ren Yingying menyingkir agak jauh.

Wang Cheng kembali berkata, “Pelindung Kiri Xiang berpesan kepada hamba dan Tetua Bao agar jangan sekali-kali berlaku kasar terhadap murid-murid Perguruan Henshan. Kami hanya boleh mencari berita saja, dan dilarang melakukan kekerasan. Hamba pun menjalankan perintah Beliau dengan taat.”

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara seorang perempuan menyela dengan tertawa, “Ilmu pedang Pendekar Linghu tanpa tanding di dunia ini. Bahwasanya Pelindung Kiri Xiang menyuruh kalian jangan main kekerasan sebenarnya adalah demi kebaikan kalian sendiri.”

Begitu menoleh, Linghu Chong melihat seorang perempuan muncul di atas dahan pepohonan. Ternyata yang baru datang ini tidak lain adalah Lan Fenghuang, ketua Partai Lima Dewi.

“Adik, kau baik-baik saja?” sahut Linghu Chong menyapa kepadanya.

“Kau juga baik-baik saja, Kakak?” balas Lan Fenghuang. Ia lantas berpaling ke arah Wang Cheng dan menegur, “Jika kau ingin menyapa diriku, silakan! Mengapa harus mengerutkan kening segala?”

“Ah, mana aku berani?” sahut Wang Cheng. Ia tahu sekujur badan perempuan ini penuh dengan benda berbisa, maka yang lebih baik jangan mengganggu sedikit pun. Segera ia pun mendekati Ren Yingying dan berkata, “Bagaimana selanjutnya hamba bertindak terhadap masalah ini, mohon Gadis Suci sudi memberi petunjuk.”

“Lakukan saja sesuai perintah Ketua,” sahut Ren Yingying.

“Baik,” jawab Wang Cheng dengan hormat. Ia dan Sang Sanniang lantas mohon diri.

Setelah mereka berdua pergi, Lan Fenghuang berkata, “Murid-murid Perguruan Henshan telah ditawan orang, mengapa kalian tidak lekas pergi menolongnya?”

“Kami baru saja meninggalkan Gunung Henshan, tapi di sepanjang jalan belum juga menemukan jejak,” jawab Linghu Chong.

“Jalan ini bukan menuju ke Gunung Huashan. Kalian telah salah arah,” ujar Lan Fenghuang.

“Jalan ke Huashan?” sahut Linghu Chong menegas. “Jadi mereka ditawan ke Huashan? Apa kau sendiri melihatnya?”

Lan Fenghuang menjawab, “Di Lembah Tongyuan kemarin aku merasa air teh yang kuminum agak-agak aneh. Namun, aku diam saja tanpa menunjukkan rasa curigaku. Satu per satu orang-orang di sana roboh tak sadarkan diri. Aku pun pura-pura ikut roboh pingsan.”

“Main racun melawan Ketua Lan dari Partai Lima Dewi sama saja mengundang masalah sendiri,” ujar Linghu Chong dengan tersenyum.

Lan Fenghuang tertawa pula dan berkata, “Keparat-keparat itu memang tidak tahu adat.”

Linghu Chong bertanya, “Apakah kau tidak membalas mereka dengan racun pula?”

“Kenapa tidak?” sahut Lan Fenghuang. “Ada dua bangsat yang mengira aku benar-benar jatuh pingsan. Mereka mendekatiku dan bermaksud main gila. Begitu menggerayangi tubuhku, mereka langsung mati keracunan. Sisanya menjadi ketakutan dan tidak berani mendekat. Katanya aku sudah sekarat tapi masih tetap berbisa.” Usai berkata demikian ia pun tertawa geli.

“Lantas bagaimana?” tanya Linghu Chong.

“Untuk mengetahui permainan apa yang akan mereka lakukan, aku tetap pura-pura tidak sadarkan diri,” lanjut Lan Fenghuang. “Kemudian kawanan bangsat ini turun dari Puncak Jianxing dengan menculik serombongan biksuni. Kulihat sendiri yang memimpin kawanan bangsat ini adalah gurumu, Tuan Yue. Kakak, sepertinya gurumu itu agak-agak tidak beres. Kau telah menjabat sebagi ketua Perguruan Henshan, tapi dia malah memimpin anak buahnya menangkap sekian banyak anak buahmu. Bukankah ia sengaja ingin bermusuhan denganmu?”

Linghu Chong hanya terdiam. Ia paham Lan Fenghuang seorang perempuan dari suku Miao yang pada umumnya berwatak polos, lugu, dan suka berbicara tanpa pikir.

“Melihat perbuatannya itu aku sungguh merasa gemas,” lanjut Lan Fenghuang. “Pada saat itu juga aku bermaksud meracuninya sampai mampus. Tapi kemudian aku berpikir tentang perasaanmu kepadanya. Andaikan aku ingin meracuninya juga bisa kulakukan lain waktu.”

“Kau selalu memikirkan perasaanku, aku sungguh berterima kasih,” kata Linghu Chong.

“Ah, biasa saja,” ujar Lan Fenghuang. “Kudengar pula percakapan mereka bahwa selagi kau tidak berada di Gunung Henshan, maka mereka harus lekas-lekas pergi. Orang-orang itu takut jika kau pulang dan memergoki perbuatan mereka. Namun, ada pula yang menyayangkan dirimu sedang tidak berada di Henshan. Andai saja kau ada tentu sekaligus akan ditawan pula, dan segala urusan pun beres sudah. Huh, enak saja bicara demikian!”

Linghu Chong menjawab, “Adik, ada kau yang mendampingiku di sana, rasanya tidaklah mudah jika mereka hendak menangkap diriku.”

Lan Fenghuang sangat senang. Ia tertawa dan berkata, “Boleh dikata mereka sedang beruntung. Coba saja mereka berani mengganggu seujung rambutmu, hm, pasti akan kubalas dengan meracuni seratus orang di antara mereka.” Berkata demikian ia lantas berpaling kepada Ren Yingying, “Nona Ren, janganlah kau minum cuka. Hubunganku dengan Kakak Linghu bagaikan saudara kandung.”

Wajah Ren Yingying menjadi merah. Dengan tersenyum ia menjawab, “Ketua Linghu sendiri sering membicarakan tentang dirimu. Katanya, kau sangat baik kepadanya.”

“Bagus sekali kalau begitu!” seru Lan Fenghuang senang. “Sebenarnya aku khawatir kalau-kalau dia tidak berani menyebut namaku di hadapanmu.”

Ren Yingying lantas bertanya, “Kau pura-pura tak sadarkan diri, tapi mengapa bisa lolos dari cengkeraman mereka? Mengapa kau tidak ikut dibawa mereka?”

“Mereka takut terhadap tubuhku yang berbisa sehingga tak ada seorang pun yang berani menyentuhku,” jawab Lan Fenghuang. “Ada di antaranya yang menyarankan agar aku dibacok saja sampai mati dengan golok, ada pula yang mengusulkan agar membunuhku dengan senjata rahasia. Akan tetapi, mereka hanya berani bicara saja, tapi tak seorang pun yang berani turun tangan. Akhirnya, mereka pun beramai-ramai kabur turun gunung. Aku lantas mengikuti jejak mereka. Setelah yakin mereka menuju ke arah Gunung Huashan, aku pun segera berusaha mencari Kakak Linghu untuk menyampaikan berita penting ini.”

“Sungguh aku sangat berterima kasih padamu. Kalau tidak bertemu denganmu, tentu kami akan menuju ke Tebing Kayu Hitam dengan sia-sia,” kata Linghu Chong. “Sekarang urusan ini tidak boleh ditunda-tunda lagi. Mari kita lekas mengejar ke Gunung Huashan.”

Ketiga orang itu lantas berbelok ke barat dan melanjutkan perjalanan secepat-cepatnya. Namun, di sepanjang jalan ternyata tidak tampak satu pun tanda-tanda yang mencurigakan.

Linghu Chong dan Ren Yingying sama-sama merasa ragu dan bimbang. Mereka berpikir, “Rombongan itu berisi ratusan orang. Tapi aneh, kenapa tidak ada jejak sama sekali. Mustahil pula tidak ada seorang pun yang melihat mereka. Jangan-jangan mereka tidak menempuh jalur ini?”

Pada hari ketiga di sebuah kedai kecil, ketiganya bertemu empat orang yang memakai seragam Perguruan Hengshan. Saat itu Linghu Chong sedang menyamar sehingga tidak dikenali oleh mereka. Diam-diam Linghu Chong memasang telinga mendengarkan percakapan mereka. Orang-orang Perguruan Hengshan itu tampak sedang bergembira seolah ada banyak harta karun di Gunung Huashan sedang menunggu kedatangan mereka.

Terdengar salah seorang serkata, “Untungnya Kakak Huang sangat baik hati dan sudi mengirim kabar gembira ini kepada kita. Beruntung pula kita sedang berada di Shanxi sehingga masih sempat menyusul ke sana. Sementara itu, para kakak dan adik seperguruan yang berada di Gunung Hengshan tentu tidak seberuntung kita.”

“Tapi kita juga jangan senang dulu. Yang paling penting adalah kita harus lekas-lekas menyusul ke sana,” ujar yang lain menanggapi. “Urusan seperti ini kurasa bisa terjadi perubahan setiap saat.”

Linghu Chong sangat penasaran ingin tahu ada persoalan menarik apa sehingga keempat orang ini begitu berhasrat menuju ke Gunung Huashan. Tapi mereka berempat sama sekali tidak menyinggung persoalan yang dimaksudkan itu.

Lan Fenghuang beratnya, “Apakah perlu merobohkan mereka dengan racun untuk dimintai keterangan?”

Mengingat Tuan Besar Mo sangat baik kepadanya, Linghu Chong tidak ingin menyusahkan murid-murid Perguruan Hengshan tersebut. Maka, ia pun menjawab, “Kita tidak perlu mengganggu mereka. Yang paling baik adalah kita harus secepatnya berangkat ke Huashan.”

Beberapa hari kemudian sampailah mereka di kaki Gunung Huashan. Saat itu matahari sudah terbenam, namun Linghu Chong sendiri sudah sangat hafal keadaan di pegunungan itu. Ia berkata, “Sebaiknya kita naik ke atas melalui jalan kecil di belakang gunung, tentu tidak akan bertemu dengan orang lain.”

Di antara kelima pegunungan, Huashan memang terkenal yang paling curam. Jalan kecil di belakang gunung juga sangat terjal dan sulit didaki. Untungnya ilmu silat ketiga orang ini sama-sama tinggi. Tebing yang terjal bukan rintangan bagi mereka. Akhirnya mereka pun sampai di puncak saat menjelang pagi dini hari.

Linghu Chong membawa kedua rekannya menuju ke Aula Utama. Keadaan di tempat itu ternyata gelap gulita. Masing-masing memasang telinga untuk mendengarkan dengan seksama, namun keadaan tetap sunyi senyap. Sewaktu mendatangi tempat tinggal para murid Huashan, ternyata di sana juga kosong melompong. Ketika Linghu Chong menyalakan api, kamar yang kosong itu tampak penuh dengan debu. Beberapa kamar yang lain juga demikian, pertanda para murid sudah lama tidak pulang ke Huashan.

Lan Fenghuang menjadi rikuh karena keadaan tidak sesuai dengan laporannya. Ia berkata, “Apakah mungkin aku tertipu oleh kawanan bangsat itu? Mungkinkah mereka mengaku datang ke Huashan sini, tapi sebenarnya menuju ke tempat lain?”

Linghu Chong juga merasa sangsi dan khawatir. Teringat olehnya saat menyerbu Biara Shaolin dulu, waktu itu rombongannya pun menyerbu tempat kosong, lalu menghadapi bahaya. Jangan-jangan Yue Buqun kembali menggunakan siasat yang sama? Namun sekarang mereka hanya bertiga. Andaikan masuk perangkap juga mudah untuk meloloskan diri. Justru yang dikhawatirkan adalah murid-murid Perguruan Henshan. Jangan-jangan mereka dikurung di suatu tempat rahasia dan sukar untuk diketemukan lagi mengingat sudah sekian lamanya mereka digiring kemari.

“Bagaimana kalau kita berpencar diri untuk mencari? Dua jam lagi kita berkumpul kembali di tempat ini,” kata Lan Fenghuang.

“Baiklah,” jawab Linghu Chong setuju. Ia berpikir kepandaian Lan Fenghuang dalam ilmu racun tidak perlu disangsikan lagi, tentu tiada seorang pun yang sanggup menghadapinya. Namun ia tetap berpesan, “Orang lain tidak perlu kau takuti. Tapi, bila bertemu guruku hendaknya kau berhati-hati terhadap ilmu pedangnya yang sangat cepat luar biasa.”

Diterpa cahaya lilin Lan Fenghuang dapat melihat wajah Linghu Chong berkata dengan sungguh-sungguh. Ia pun terkesan dan menjawab, “Kakak, aku akan selalu mengingat nasihatmu ini.” Usai berkata ia lantas mendorong pintu dan bergegas pergi.

Linghu Chong dan Ren Yingying memeriksa lagi ke beberapa tempat lainnya. Sampai-sampai tempat tinggal pribadi Yue Buqun dan Ning Zhongze di tepi Jurang Tianqin juga diselidiki, namun tetap tiada seorang pun yang mereka temukan.

“Ini benar-benar aneh,” kata Linghu Chong. “Biasanya kalau orang-orang Huashan turun gunung, sedikitnya disisakan beberapa orang sebagai penjaga rumah. Tapi sekarang mengapa tiada seorang pun yang tinggal di sini?”

Terakhir mereka mendatangi tempat tinggal Yue Lingshan yang terletak di sebelah Jurang Tianqin, tidak jauh dari tempat tinggal Yue Buqun suami-istri. Begitu membuka pintu, seketika ia teringat kenangan masa lalu saat datang menjemput sang adik kecil untuk bermain-main atau berlatih pedang bersama. Namun, kini Yue Lingshan telah tiada, pergi untuk selamanya. Tak kuasa menahan pilu, air mata Linghu Chong pun berlinang di pipi.

Pemuda itu lantas mendorong pintu, ternyata dipalang dari dalam. Ren Yingying pun melompati pagar dan membukanya dari dalam. Mereka masuk ke ruangan dalam dan menyalakan lilin yang terdapat di atas meja. Keadaan ruangan itu juga kosong melompong dan penuh debu, bahkan perabot keperluan perempuan juga tidak terdapat sama sekali.

Melihat itu Linghu Chong berpikir, “Mungkinkah setelah menikah dengan Adik Lin, lantas Adik Kecil tidak tinggal di sini lagi? Tentu mereka tinggal di rumah baru, dan semua perabotan dibawa pula ke sana.”

Diperiksanya laci meja dan di situ tersimpan berbagai mainan anak-anak seperti boneka, kuda kayu, kelereng batu, keranjang bambu, dan sebagainya. Itu semua adalah mainan yang pernah mereka gunakan di waktu kecil dulu, dan sebagian adalah buatan tangan Linghu Chong sendiri. Yue Lingshan masih merawat dan menyimpan semuanya dengan baik. Linghu Chong merasa pedih teringat kenangan masa lalu. Kini, sang adik kecil sudah berada di alam sana, tanpa terasa ia kembali mencucurkan air mata.

Ren Yingying terdiam dan perlahan melangkah keluar kemudian menutup pintu. Seorang diri Linghu Chong termangu-mangu cukup lama di dalam ruangan tersebut. Setelah menguasai dirinya kembali, ia pun memadamkan lilin dan keluar ruangan pula.

Agar Linghu Chong melupakan kepedihan hatinya, Ren Yingying berkata, “Kakak Chong, di puncak tertinggi Huashan ada suatu tempat yang sangat berarti dalam hidupmu. Maukah kau membawaku ke sana?”

“Tentu yang kau maksud itu adalah Tebing Perenungan,” kata Linghu Chong. “Baiklah. Mari kita pergi ke sana. Tapi entah apakah Kakek Guru Feng masih di sana atau tidak?”

Segera ia mendahului melangkah di depan menyusuri jalan setapak menuju ke tempat itu. Linghu Chong sangat mengenal tempat tersebut dengan baik. Meskipun Tebing Perenungan terletak di belakang gunung dan jaraknya juga tidak dekat, namun keduanya sampai di sana dengan cepat.

Setibanya di puncak Linghu Chong berkata, “Aku pernah tinggal di gua itu ….” Baru sekian ia bicara, tiba-tiba terdengar suara senjata berbenturan dua kali. Mereka berdua sangat terkejut dan bergegas mendekati gua. Tak lama kemudian terdengar suara jerit ngeri seseorang. Sepertinya ada yang bertarung di dalam gua dan ada yang terluka pula.

Linghu Chong segera melolos pedang dan mendahului berlari ke dalam gua. Ia pernah tanpa sengaja menemukan gua rahasia di dalam gua tersebut yang berisikan gambar-gambar ukiran ilmu pedang Serikat Pedang Lima Gunung. Dulu sebelum pergi ia sempat menutup lorong masuk ke dalam gua rahasia tersebut. Namun, kini penutup lorong itu telah terbuka. Tampak pula cahaya api menerangi bagian dalam gua rahasia itu. Linghu Chong dan Ren Yingying segera melangkah menyusuri lorong dengan hati berdebar-debar.

Tak disangka ternyata keadaan di dalam gua rahasia itu terang benderang oleh cahaya berpuluh-puluh obor. Paling tidak ada dua ratus orang berada di sana. Mereka sedang asyik memandangi jurus-jurus ilmu silat yang terukir di dinding gua tersebut. Masing-masing memperhatikan ukiran-ukiran itu dengan seksama, sehingga suasana terasa hening dan sunyi.

Ketika mendengar suara benturan senjata dan jeritan ngeri tadi, Linghu Chong dan Ren Yingying membayangkan keadaan di dalam gua tentu gelap gulita dan terjadi pertarungan sengit yang berdarah-darah. Siapa sangka ternyata keadaan di dalam gua itu terang benderang dan sangat hening meskipun terdapat ratusan orang berdiri di dalamnya?

Meskipun gua depan tempat Linghu Chong dikurung dulu sangat sempit, namun gua rahasia di bagian belakang sangat luas dan lebar. Meskipun di dalamnya berdiri sekitar dua ratus orang, tetap saja masih terlihat adanya tempat luang. Hanya saja, orang-orang sebanyak itu masing-masing terdiam seperti mayat hidup. Keadaan tampak begitu menyeramkan.

Ren Yingying berdiri merapat pada bahu kiri Linghu Chong. Melihat raut muka gadis itu agak pucat dan menunjukkan rasa takut, perlahan-lahan Linghu Chong merangkul pinggangnya. Mereka melihat orang-orang di dalam gua itu memakai tiga jenis seragam berbeda warna. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata mereka adalah orang-orang Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan. Di antaranya bahkan terdapat orang-orang tua yang sudah beruban. Jelas sekali di dalam gua ini terdapat banyak tokoh terkemuka dan para sesepuh dari ketiga perguruan tersebut yang ikut hadir. Setelah diperhatikan lagi, ternyata murid-murid Perguruan Huashan dan Henshan tidak seorang pun yang berada di dalam situ.

Orang-orang ketiga perguruan itu sama-sama memandangi ukiran di dinding dengan seksama, namun mereka tidak bercampur aduk. Masing-masing berdiri di dalam kelompoknya. Orang-orang Songshan memandangi ukiran ilmu ilmu pedang Perguruan Songshan, begitu pula orang-orang Taishan dan Hengshan. Seketika Linghu Chong teringat kepada percakapan keempat murid Hengshan yang ditemuinya di kedai kecil dalam perjalanan tadi. Konon mereka mendapat berita penting dan buru-buru menyusul ke Huashan seolah terdapat harta karun di gunung ini. Ternyata harta karun yang mereka maksudkan adalah gambar-gambar ilmu pedang sakti peninggalan leluhur yang terukir di dinding gua tersebut.

Sekilas Linghu Chong memandang ke arah kelompok Perguruan Hengshan. Tampak seorang tua kurus berambut putih memandang dinding gua dengan penuh perhatian. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Orang tua itu tidak lain adalah Tuan Besar Mo, ketua Perguruan Hengshan sendiri. Linghu Chong merasa bingung hendak mendekat ke arahnya untuk menyampaikan salam hormat atau tidak.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang dalam kelompok Perguruan Songshan berteriak gusar, “Hei, kau ini bukan murid Songshan, mengapa kau ikut melihat ukiran di dinding sebelah sini?” Orang yang membentak itu ternyata seorang tokoh tua berseragam kuning. Ia sedang melotot kepada seorang laki-laki jangkung setengah baya, sambil mengacungkan pedangnya ke dada orang itu.

Si jangkung mendengus dan menjawab, “Huh, memangnya aku memandangi ukiran milik perguruanmu?”

“Kau berani menyangkal?” damprat orang tua dari Songshan itu. “Kau ini berasal dari perguruan mana? Kalau kau hanya mencuri lihat ilmu pedang Perguruan Songshan kami, masih bisa dimaafkan. Tapi kau berani pula memandangi cara mematahkan ilmu pedang perguruan kami, ini benar-benar kurang ajar!”

Serentak lima orang murid Songshan bergerak mengelilingi si jangkung dengan pedang di tangan masing-masing.

“Aku sama sekali tidak paham terhadap ilmu pedang kalian yang mengesankan itu. Andaikan aku memandangi ukiran mengenai cara untuk mematahkan ilmu pedang kalian juga tidak ada gunanya,” ujar si jangkung berusaha membela diri.

“Pendek kata, dengan memandangi ukiran dinding di sebelah sini tentu kau punya niat tidak baik pula,” jawab si Songshan tua bengis.

Si jangkung menyahut, “Tapi ketua Perguruan Lima Gunung, Tuan Yue, telah mengundang kita kemari untuk mempelajari berbagai macam ilmu pedang leluhur yang terukir di dinding ini. Beliau tidak pernah membatasi bagian mana yang boleh dilihat dan bagian mana dilarang.”

Si Songshan tua tetap bersikeras, “Jelas kau punya maksud tidak baik terhadap Perguruan Songshan kami dan hal ini tidak dapat kami biarkan.”

“Serikat Pedang Lima Gunung telah dilebur menjadi satu. Yang ada kini hanyalah Perguruan Lima Gunung, mana ada Perguruan Songshan segala?” sahut si jangkung dengan angkuh. “Bila Serikat Pedang Lima Gunung tidak dilebur menjadi satu mana mungkin Tuan Yue mengizinkan kita semua ini masuk ke dalam gua rahasia di puncak Huashan sini, apalagi untuk mendalami ilmu pedang leluhur ini?”

Si Songshan tua tidak bisa menjawab. Tiba-tiba salah seorang rekannya mendorong keras pundak belakang si jangkung sambil membentak, “Mulutmu memang pintar bicara, ya?”

Si jangkung serentak membalik sehingga pergelangan murid Songshan itu tertangkap olehnya, lantas ditarik pula. Seketika murid Songshan itu pun terbanting jatuh.

Pada saat itulah terdengar pula suara teriakan di tengah-tengah kelompok Perguruan Taishan, “Siapa kau? Beraninya kau memakai seragam Perguruan Taishan kami dan menyusupkan diri di sini untuk mencuri lihat? Beraninya kau mengamati ukiran ilmu pedang Perguruan Taishan di dinding ini?”

Menyusul kemudian terlihat seorang muda berseragam Taishan berlari keluar meninggalkan kalangan. Namun, ia segera dihadang oleh seorang murid Taishan lainnya yang juga membentak, “Berhenti! Siapa kau? Beraninya kau mengacau di sini?”

Pemuda itu tidak menjawab, tapi pedangnya lantas menusuk sambil tubuh menerjang ke depan. Tapi si penghadang mengelak sambil tangannya mencolok kedua mata lawan. Terpaksa si anak muda melompat mundur. Namun si penghadang terus saja memburu maju. Kembali tangannya menjulur ke depan untuk menyerang kedua mata pemuda itu.

Lantaran diserang dari jarak dekat, pedang si pemuda sukar digunakan untuk menangkis. Terpaksa ia kembali melompat mundur. Segera si penghadang menyapu dengan sebelah kakinya. Untung pemuda itu sempat meloncat ke atas, tapi tetap saja dadanya terkena pukulan. Seketika ia pun jatuh terguling dan muntah darah. Dari belakang dua orang murid Taishan memburu maju dan membekuknya.

Sementara itu, di sisi lain si jangkung sudah terkepung oleh empat-lima orang murid Perguruan Songshan dan sedang diserang dengan gencar. Ilmu pedang si jangkung terlihat sangat lihai. Ditinjau dari gerakannya, ia jelas bukan orang Serikat Pedang Lima Gunung sendiri.

Serentak beberapa orang Songshan yang menonton di pinggir berteriak, “Keparat ini bukan orang Serikat Pedang Lima Gunung kita! Dia adalah mata-mata musuh yang ikut menyusup kemari.”

Karena terjadi pertempuran di dua tempat, seketika suasana di dalam gua yang tadinya sunyi senyap itu berubah menjadi kacau-balau.

Dalam keadaan ribut tersebut Linghu Chong berpikir, “Orang-orang di sini berkumpul atas undangan Guru, pasti bukan untuk tujuan yang baik. Aku harus mencari Paman Mo dan memintanya untuk memimpin orang-orang Hengshan meninggalkan gua ini. Mengenai ilmu pedang Hengshan yang terukir di sini dapat kuceritakan pada Beliau lain kali.”

Segera ia pun menyelinap maju ke arah kalangan Perguruan Hengshan. Namun, baru beberapa langkah saja, tiba-tiba terdengar suara gemuruh keras laksana gugurnya batu-batuan gunung yang sangat dahsyat. Banyak di antara orang-orang itu yang menjerit ngeri dan ketakutan.

Linghu Chong terkejut. Dengan cepat ia berputar balik. Dilihatnya debu pasir bertebaran di dalam gua. Ia tidak berpikiran untuk mencari Tuan Besar Mo lagi. Yang perlu segera didatanginya saat ini adalah Ren Yingying. Akan tetapi, suasana telah berubah menjadi sangat kacau. Orang-orang berlari serabutan, senjata menyambar tak kenal arah, dan yang terlihat hanya debu pasir belaka. Linghu Chong benar-benar tidak tahu di mana Ren Yingying saat itu berada.

Sekuat tenaga Linghu Chong berdesak-desakan di tengah banyak orang. Beberapa kali ia harus berkelit untuk menghindari serangan senjata yang datang entah dari mana. Begitu sampai di mulut gua, ia malah mengeluh. Tampak sepotong batu yang sangat besar telah menutup mulut gua itu dengan sangat rapat. Entah berapa ton berat batu besar tersebut. Dengan kata lain, pintu gua itu kini telah buntu tersumbat oleh batu. Dalam keadaan gugup Linghu Chong tidak melihat suatu lubang pun untuk dijadikan jalan keluar.

“Yingying! Yingying! Di mana kau?” serunya kemudian.

Sayup-sayup terdengar Ren Yingying menjawab satu kali di kejauhan. Sepertinya gadis itu juga ikut terkurung di dalam gua. Namun, di tengah keramaian dua ratus orang sungguh sulit menentukan dengan pasti di mana si nona berada. Diam-diam Linghu Chong merasa heran, “Aneh, kenapa Yingying ikut terkurung di dalam gua? Bukankah tadi ia menunggu di lorong dekat mulut gua?” Sejenak kemudian ia pun paham dan berpikir, “Aku tahu. Begitu batu besar ini jatuh, Yingying tidak pergi begitu saja. Tapi dia memilih masuk ke dalam gua untuk ikut terkurung bersamaku. Hm, aku ke sini untuk mencarinya, tapi dia malah menerjang ke sana untuk mencariku.” Berpikir demikian Linghu Chong pun segera berputar balik ke dalam gua lebar.

Pada mulanya keadaan di dalam gua terang benderang oleh cahaya berpuluh-puluh obor. Namun, dalam keadaan kacau-balau tersebut, tanpa sadar ada di antara mereka yang melemparkan obor di tangan untuk mencari selamat. Ditambah lagi debu dan pasir memenuhi gua tersebut, sehingga pemandangan menjadi remang-remang seperti berkabut tebal.

“Mulut gua telah tersumbat! Kita terkurung di sini!” demikian orang-orang itu berteriak ketakutan.

“Ini pasti tipu muslihat si keparat Yue Buqun!” teriak seorang lainnya dengan murka.

“Benar!” sahut seorang lagi dengan mengertakkan gigi. “Bangsat itu memancing kita ke sini untuk melihat ilmu pedang sialan ….”

Beberapa puluh orang lantas beramai-ramai mendorong batu raksasa itu. Akan tetapi, batu ini laksana sebuah bukit, sedikit pun tidak bergerak meski orang-orang itu mendorong sepenuh tenaga.

“Lekas, lekas keluar melalui terowongan di belakang sana!” teriak seseorang kemudian.

Sebelumnya memang sudah ada beberapa orang yang berpikir demikian. Mereka menemukan terowongan sempit yang dulu digali seorang gembong aliran sesat menggunakan kapak. Gua rahasia ini memang pernah digunakan untuk mengurung sepuluh tetua Sekte Iblis pada zaman tersebut. Setelah satu per satu orang-orang itu mati, akhirnya tinggal seorang saja yang mencoba menggali jalan keluar menggunakan kapak. Namun, belum sampai mendapatkan hasil, ia akhirnya tewas pula karena kehabisan tenaga.

Lebih dari dua puluh orang sudah berbondong-bondong mendahului lari ke arah ujung terowongan sempit bawah tanah tersebut dan berdesak-desakan di sana. Padahal terowongan itu hanya cukup dilewati satu orang saja. Kini puluhan orang berebut untuk melewatinya lebih dulu, tentu saja hal ini sangat tidak mungkin. Karena keributan ini, kembali belasan obor menjadi padam pula.

Di tengah keributan itu ada dua orang laki-laki kekar mendesak maju sekuatnya dengan menyisihkan orang-orang lainnya. Mereka terus saja menyusup maju ke mulut terowongan. Tapi mulut terowongan itu sangat sempit. Karena kedua orang itu juga saling berebut lebih dulu, akhirnya kepala masing-masing malah terbentur dinding. Tidak seorang pun yang akhirnya mampu memasuk lubang lorong tersebut.

Tiba-tiba laki-laki kekar di sebelah kanan mengayunkan tangannya. Seketika laki-laki sebelah kiri menjerit ngeri. Pada dadanya telah tertancap sebilah belati. Menyusul kemudian laki-laki sebelah kanan itu mendorongnya minggir. Dengan cepat ia sendiri lantas menerobos masuk ke dalam lorong disusul oleh yang lainnya secara dorong-mendorong dan tarik-menarik. Masing-masing berebut menyelamatkan diri lebih dulu.

Sementara itu, Linghu Chong sangat cemas dan khawatir karena tidak dapat menemukan Ren Yingying. Ia berpikir, “Zaman dulu kesepuluh tetua Sekte Iblis itu memiliki ilmu silat setinggi langit. Namun ternyata mereka juga terjebak dan terkubur di dalam gua ini. Jangan-jangan nasib buruk demikian juga akan menimpa diriku dan Yingying. Bila muslihat ini memang sengaja diatur oleh Guru, maka bisa jadi sangat berbahaya, karena aku tahu betapa tinggi kepandaian Guru.”

Dilihatnya orang-orang itu semakin berdesakan di mulut terowongan. Karena terlalu gelisah tiba-tiba timbul pikiran jahat dalam benak Linghu Chong, “Orang-orang ini hanya menghalang-halangi saja. Mereka harus dibunuh semua agar aku dan Yingying dapat lolos dengan selamat.”

Segera ia bermaksud mengayunkan pedang untuk membunuh orang yang paling dekat di sebelahnya. Tiba-tiba dilihatnya seorang pemuda menjambak-jambak rambut sendiri dengan badan gemetar dan wajah pucat pasi. Sepertinya pemuda itu sangat takut mati. Seketika timbul rasa kasihan dalam hati Linghu Chong. Ia merenung, “Aku dan dia bernasib sama. Kami sama-sama terjebak oleh perangkap musuh. Seharusnya aku bahu-membahu bersama mereka untuk mencari jalan keluar. Mana boleh aku membunuh orang lain untuk mencari selamat sendiri?” Karena itu pedangnya pun lantas ditarik kembali dan dipegang melintang di depan dada.

Tak lama kemudian terdengar orang-orang itu berteriak, “Ayo, lekas masuk ke sana, lekas!”

“Hei, kenapa diam saja? Lekas merangkak ke depan!”

Beberapa orang yang tidak sabar lantas memaki, “Keparat, kenapa diam saja? Apa kau sudah mampus di situ?”

“Tarik saja! Tarik saja kembali!”

Ternyata laki-laki kekar tadi belum juga menerobos masuk lubang lorong sejak tadi. Kedua kakinya masih tertinggal di belakang. Sepertinya ia juga menghadapi jalan buntu di depan sana, hanya saja tidak mau mundur kembali.

Dua orang yang berteriak-teriak tadi benar-benar tidak sabar lagi. Mereka masing-masing menarik sebelah kaki laki-laki kekar itu sekuat tenaga. Sejenak kemudian belasan orang menjerit kaget. Yang ditarik kembali itu ternyata sesosok tubuh yang sudah tidak berkepala lagi. Potongan leher laki-laki kekar itu masih menyemburkan darah segar. Rupanya seseorang telah menunggu di dalam terowongan dan memenggal kepala laki-laki bertubuh kekar itu.

Pada saat itulah Linghu Chong melihat seseorang duduk di sudut gua. Di bawah cahaya obor yang remang-remang samar-samar orang itu seperti Ren Yingying. Karena senangnya ia pun berlari ke sana, namun baru beberapa langkah lantas bertumbukan dengan desakan banyak orang. Sekuat tenaga Linghu Chong mendorong ke depan. Namun, keadaan orang-orang itu sudah sangat panik dan kacau. Mereka sudah kehilangan akal sehat. Bagaikan orang kalap mereka menerjang kian-kemari tak menentu. Ada yang memutar senjatanya secara serabutan, ada yang berteriak-teriak seperti orang gila, ada yang merangkul orang lain tanpa mau melepaskan, ada pula yang merangkak-rangkak di tanah sambil mengerang-erang.

Baru saja Linghu Chong maju dua-tiga langkah kedua kakinya lantas dirangkul orang. Ia menepuk keras satu kali pada kepala orang itu sampai menjerit kesakitan. Namun, bukannya melepaskan tangan, orang itu bahkan memeluk lebih kencang.

“Lepaskan! Kalau tidak akan kubunuh kau!” bentak Linghu Chong.

Mendadak betisnya terasa sakit, rupanya karena digigit orang itu. Terkejut dan gusar hati Linghu Chong dibuatnya. Dilihatnya keadaan orang-orang itu sudah semakin gila. Obor di dalam gua semakin sedikit pula. Kini yang menyala hanya tinggal dua obor saja, lebih-lebih tergeletak di tanah.

“Ambil obor itu, ambil obor itu, lekas!” seru Linghu Chong.

Namun, seorang pendeta gemuk terbahak-bahak sambil mengangkat sebelah kakinya. Seketika salah satu obor itu pun diinjaknya hingga padam. Tanpa pikir lagi Linghu Chong mengangkat pedangnya. Sekali tebas ia pun memenggal kepala orang yang memeluk kedua kakinya itu. Tiba-tiba pandangannya menjadi gelap. Rupanya api obor yang terakhir pun sudah padam pula.

Begitu semua obor padam, suasana di dalam gua menjadi sunyi. Semuanya kebingungan oleh perubahan yang mendadak ini. Sekejap kemudian, keributan kembali terjadi. Orang-orang itu kembali berteriak-teriak dan menjerit-jerit seperti orang gila.

Diam-diam Linghu Chong, “Hari ini rasanya tidak ada lagi kesempaatan untuk bisa keluar dengan selamat. Tapi untungnya, aku bisa mati bersama Yingying,” Karena berpikiran demikian, hatinya tidak lagi merasa takut, tapi malah berbalik senang. Perlahan-lahan ia mencoba maju menuju ke tempat Ren Yingying tadi berada.

Namun, baru beberapa langkah, mendadak dari samping ada orang berlari dan menabraknya dengan keras. Rupanya tenaga dalam orang ini sangat kuat. Tumbukannya yang keras membuat Linghu Chong terdorong mundur dan hampir jatuh terduduk. Untung ia masih sempat menahan diri dan memutar kembali. Segera ia pun menyelinap lagi ke arah Ren Yingying duduk tadi. Apa yang terdengar olehnya hanya suara jerit tangis dan bentakan melulu disertai benturan berpuluh-puluh senjata.

Dalam keadaan gelap gulita, semua orang menjadi bingung dan gelisah. Hampir semuanya sudah setengah gila ingin mencari selamat sendiri-sendiri. Beberapa di antara mereka memang tokoh sepuh yang berpengalaman dan bisa berpikir panjang. Namun, menghadapi sambaran senjata orang lain yang sedang kalap, mau tidak mau mereka terpaksa harus mengangkat senjata untuk menjaga diri. Maka itu yang terdengar hanya suara benturan senjata yang nyaring dan jeritan ngeri tak terputus-putus. Menyusul kemudian ada orang merintih kesakitan dan mencaci maki, jelas banyak di antaranya yang terluka oleh serangan membabi buta kawan sendiri.

Meskipun ilmu pedang Linghu Chong sangat tinggi juga tidak berdaya menghadapi keadaan seperti itu. Setiap saat ia pun bisa terluka oleh serangan yang sukar diketahui dari mana datangnya. Tiba-tiba pikirannya tergerak. Segera ia pun mengangkat pedang dan memutarnya dengan kencang untuk melindungi tubuh bagian atas. Selangkah demi selangkah ia bergesar mendekati dinding gua. Asalkan dinding gua bisa teraba, ia merasa lebih aman. Dengan berjalan merapat di dinding tentu ia akan lebih terhindar dari bahaya-bahaya yang mengancam. Apabila merambat di dinding sedikit demi sedikit tentu juga bisa secepatnya bergabung dengan Ren Yingying di sebelah sana.

Jarak antara tempat Linghu Chong berdiri dengan dinding gua sebenarnya hanya belasan meter saja. Akan tetapi, karena terhalang oleh hujan sambaran senjata yang bertubi-tubi, terpaksa ia harus berhati-hati kalau tidak mau lekas-lekas kehilangan nyawa. “Jika aku mati terkena pedang seorang tokoh persilatan papan atas rasanya masih berharga,” pikirnya kemudian. “Tapi keadaan seperti sekarang ini sungguh gawat. Bisa jadi aku mati secara mendadak tanpa mengetahui siapa dan bagaimana musuh menyerang. Bisa jadi yang membunuhku hanyalah seorang jago kelas kambing. Menghadapi keadaan seperti ini, sekalipun Pendekar Dugu hidup kembali juga akan mati akal dan tidak berdaya.”

Teringat kepada Dugu Qiubai, sang pencipta ilmu sakti Sembilan Pedang Dugu, seketika pikiran Linghu Chong menjadi terang. “Benar sekali. Keadaan saat ini sangat genting, dan hanya tersisa dua pilihan saja, aku terbunuh secara tidak jelas atau aku yang membunuh orang lain secara membabi buta. Semakin banyak orang yang kubunuh, akan semakin berkurang pula bahaya yang mengancam.”

Segera ia pun memutar pedangnya dengan cepat. Yang ia mainkan adalah Jurus Mematahkan Senjata Rahasia, bagian dari Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Berturut-turut ia menebas ke kanan, kiri, depan, dan belakang. Gerakan Jurus Mematahkan Senjata Rahasia ini sedemikian cepat dan rapat. Sekalipun terjadi hujan panah menerjang juga sulit untuk mengenai tubuhnya.

Begitulah, sekali pedangnya bergerak, segera diikuti suara jeritan beberapa orang di dekatnya. Sampai pada akhirnya pedangnya kembali menusuk tubuh seseorang. Namun, dari suara jeritannya yang tertahan, sepertinya yang tertusuk kali ini seorang perempuan.

Seketika Linghu Chong pun terkejut. Tangannya menjadi lemas dan pedang hampir-hampir terlepas dari genggaman. “Jangan-jangan dia Yingying! Apakah aku telah membunuh Yingying?” demikian hatinya bertanya-tanya. Perasaannya kembali gelisah, dan ia pun berteriak, “Yingying! Yingying! Apakah kau Yingying?” Akan tetapi, perempuan itu sudah tidak bersuara lagi.

Sebenarnya Linghu Chong sangat hafal suara Ren Yingying. Namun, karena suasana di dalam gua sedemikian kacaunya, hiruk-pikuk, serta riuh bergemuruh, sementara jeritan perempuan tadi juga sangat pelan, membuat Linghu Chong sulit untuk membedakannya. Karena perasaannya juga sangat cemas ia menjadi agak linglung dan merasa suara itu seperti suara kekasihnya.

Kembali ia memanggil beberapa kali dan tetap tidak mendapatkan jawaban. Ia lantas berjongkok untuk meraba tanah. Tak disangka, entah dari mana datangnya, tiba-tiba pantatnya ditendang orang. Seketika tubuhnya pun terpental ke depan. Selagi ia melayang di udara, tahu-tahu paha kirinya terasa sakit pula. Rupanya ia baru saja terkena sabetan cambuk seseorang.

Sesaat kemudian kepala Linghu Chong pun membentur dinding batu. Untung sebelumnya ia sempat melindungi dengan tangan kiri. Jika tidak, mungkin kepalanya itu sudah pecah. Meskipun demikian, baik kepala maupun tangan, paha serta pantat, semua terasa sakit dan nyeri, serta tulang-tulangnya terasa remuk redam pula.

Setelah menenangkan diri, kembali ia berseru memanggil, “Yingying! Yingying!”

Namun, tetap tak terdengar suatu jawaban. Sebaliknya, ia mendengar suaranya sendiri terasa serak seperti suara orang merintih dan menangis tanpa air mata. Tak terlukiskan betapa cemas dan sedih rasa hatinya. Dalam keadaan bingung tiba-tiba ia berteriak, “Aku telah membunuh Yingying! Aku telah membunuh Yingying!” Dengan kalap ia memutar pedang dan menerjang maju. Kontan beberapa orang jatuh terguling menjadi korban.

Di tengah suara yang ribut itu, tiba-tiba terdengar suara petikan kecapi sebanyak dua kali. Meskipun suara kecapi ini sangat lirih dan tenggelam dalam riuh gemuruhnya teriakan banyak orang, namun dalam pendengaran Linghu Chong benar-benar bagaikan halilintar menggelegar yang menggetarkan perasaannya.

“Yingying! Yingying!” ia berteriak dengan sangat gembira. Karena terdorong perasaan, ia pun bermaksud menerjang ke arah suara kecapi tersebut. Namun, segera ia sadar bahwa tempat suara kecapi itu jaraknya tidak dekat. Untuk mendekati tempat yang berjarak hanya belasan meter itu rasanya jauh lebih berbahaya daripada berkelana ribuan kilo di dunia persilatan.

Suara kecapi itu jelas dipetik oleh Ren Yingying. Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Yingying masih selamat. Aku tidak boleh menempuh bahaya dan mati konyol begitu saja. Bila harus mati biarlah kami berdua mati bersama bergandeng tangan. Dengan demikian tentu tidak akan menyesal sampai di alam sana.”

Segera Linghu Chong mundur dua langkah sehingga punggungnya merapat pada dinding gua. “Begini lebih aman,” pikirnya. Tiba-tiba terasa ada angin tajam menyambar. Rupanya seseorang sedang memutar senjata menerjang di depannya. Tanpa pikir Linghu Chong langsung menusuk ke depan. Namun, baru saja pedangnya bergerak, ia merasa tindakannya ini tidak benar.

Intisari Ilmu Sembilan Pedang Dugu adalah bagaimana mengincar titik kelemahan ilmu silat lawan. Namun, dalam keadaan gelap gulita seperti ini, jangankan gerak serangannya, wajah musuh saja tidak dapat ia lihat. Karena sulit melihat gerakan lawan maka titik kelemahannya pun sulit pula untuk diketahui. Dengan demikian, dalam keadaan seperti ini Ilmu Sembilan Pedang Dugu menjadi tidak berguna sama sekali.

Untungnya, Linghu Chong dengan cepat dapat menguasai keadaan. Begitu pedangnya bergerak segera ia mengelak pula ke samping. Benar juga, segera ia mendengar suara tusukan yang keras, disusul suara benturan dan jeritan ngeri. Dapat diduga senjata si penyerang itu lebih dulu menusuk dinding, kemudian patah dan menancap pada tubuhnya sendiri.

Sejenak Linghu Chong tertegun. Ia menduga orang itu tentu sudah mati karena tidak mengeluarkan suara lagi. Ia berpikir, “Dalam keadaan gelap gulita seperti ini, setinggi apa pun ilmu silatku juga tidak berbeda dengan para jago silat kelas kambing. Terpaksa aku harus bersabar menunggu kesempatan untuk bergabung dengan Yingying.”

Sementara itu, suara sambaran senjata dan teriakan-teriakan sudah mulai banyak berkurang. Tentunya dalam waktu singkat ini telah jatuh sejumlah korban yang tidak sedikit. Ia kembali memutar pedang di depan untuk menjaga diri kalau-kalau mendadak diserang orang secara serabutan. Suara kecapi kembali terdengar kemudian lenyap pula tanpa irama. Kembali Linghu Chong merasa khawatir. “Jangan-jangan Yingying terluka atau mungkin pemetik kecapi itu bukan dia? Tapi kalau bukan dia, memangnya siapa lagi yang datang ke tempat ini dengan membawa kecapi?”

Selang agak lama kemudian suara teriakan dan bentakan mulai mereda. Namun, di atas tanah tidak sedikit orang yang merintih-rintih dan mencaci maki. Terkadang masih juga ada suara benturan senjata dan suara bentakan yang timbul dari tempat dekat dinding. Sepertinya banyak pula yang berdiri merapat dinding sehingga dapat menyelamatkan diri. Tentu orang-orang ini termasuk tokoh terkemuka yang cerdas dan berpikiran panjang.

“Yingying, di mana kau?” seru Linghu Chong.

Kembali terdengar suara kecapi berbunyi dari arah depan seolah memberi jawaban. Tanpa pikir lagi Linghu Chong lantas melompat ke arah itu. Ketika kaki kirinya menyentuh tanah terasa menginjak sesuatu yang lunak. Ternyata tubuh seseorang telah diinjaknya. Seketika angin tajam pun menyambar. Rupanya senjata seseorang telah menyerang ke arahnya.

Untungnya, tenaga dalam Linghu Chong sangat tinggi sehingga menambah kepekaannya. Meski serangan lawan tidak dapat dilihat, namun ia dapat merasakan tepat pada waktunya sehingga sempat melompat kembali ke tempat semula. Ia berpikir, “Di atas tanah penuh bergeletakan banyak orang. Ada yang sudah mati, ada yang hanya terluka. Sungguh sukar untuk dilewati begitu saja.”

Terdengar pula suara angin menyambar kian-kemari. Rupanya orang-orang yang berdiri merapat dinding sedang memutar senjata masing-masing untuk menjaga diri. Dalam sekejap kembali beberapa orang roboh di tanah, entah tewas atau hanya terluka.

Tiba-tiba terdengar suara seorang tua berseru, “Wahai kawan-kawan, dengarkan dulu kata-kataku! Kita sama-sama terjebak oleh tipu muslihat Yue Buqun. Menghadapi bahaya seperti ini kita harus bersatu padu untuk mencari selamat. Tidak boleh memutar senjata dan saling bunuh kawan sendiri!”

Serentak beberapa orang menanggapi, “Benar! Benar!”

Dari suara-suara itu Linghu Chong dapat memperikirakan ada enam sampai tujuh puluh orang yang berdiri merapat di dinding gua. Rupanya mereka sudah bisa berpikir dengan tenang sehingga tidak menyerang lagi secara serabutan.

Orang tua tadi lantas berkata, “Aku adalah Yuzhongzi dari Perguruan Taishan. Nah, sekarang tolong kawan-kawan sekalian kembali menyimpan senjata masing-masing. Kita sama-sama berada dalam kegelapan. Apabila di antara kita bertabrakan, tolong jangan sampai saling menyerang. Apakah kawan-kawan dapat mengabulkan permintaanku ini?”

Serentak banyak orang menjawab, “Tentu saja bisa! Memang demikian seharusnya!”

Setelah itu tak terdengar lagi suara bergeraknya senjata. Menyusul kemudian terdengar suara puluhan senjata kembali disarungkan. Kini keadaan menjadi sunyi senyap.

“Sekarang hendaknya kawan-kawan bersumpah bahwa kita tidak akan saling mencelakai di dalam gua ini. Barangsiapa yang melanggar sumpah tentu akan mati tak terkubur di sini,” seru Yuzhongzi memecah keheningan. “Sebagai pelopor, maka aku, Yuzhongzi dari Perguruan Taishan mendahului bersumpah demikian.”

Segera orang-orang yang lain pun ikut bersumpah pula. Mereka berpikir, “Pendeta Yuzhongzi ini termasuk angkatan tua yang berpengalaman. Tindakannya sungguh tepat. Kalau kita bersatu padu mungkin masih ada harapan untuk keluar dengan selamat. Kalau tidak, tentu semuanya akan mati konyol di sini.”

“Bagus sekali. Terima kasih, kawan-kawan semua. Sekarang silakan memberitahukan nama kalian masing-masing,” kata Yuzhongzi kemudian.

Seketika terdengar suara teriakan menanggapi, “Aku dari Perguruan Hengshan, namaku ....”

“Aku dari Perguruan Songshan, namaku ....”

“Aku dari Perguruan Taishan, namaku ....”

Begitulah, masing-masing lantas saling menyebut asal perguruan dan nama masing-masing. Ternyata orang-orang yang tersisa ini memang benar-benar para tokoh terkemuka dari ketiga perguruan besar tersebut. Namun demikian, Linghu Chong tidak mendengar suara Tuan Besar Mo sama sekali.

Setelah semua orang memperkenalkan diri, akhirnya tiba giliran Linghu Chong untuk berseru pula, “Aku dari Perguruan Henshan, namaku Linghu Chong.”

“Hah, ternyata ketua Perguruan Henshan ada di sini! Pendekar Linghu ada di sini! Bagus sekali, bagus sekali!” seru para pendekar itu dengan nada gembira.

Dalam kegelapan Linghu Chong hanya menyeringai. Ia berpikir, “Apanya yang bagus? Aku sendiri juga tidak becus dan ikut konyol di sini.” Namun, ia segera paham bahwa para kesatria itu sangat kagum terhadap ilmu pedangnya yang teramat tinggi. Dengan keberadaannya di dalam gua seolah menambah harapan bagi mereka untuk bisa lolos dengan selamat.

Tiba-tiba Yuzhongzi bertanya, “Izinkan aku bertanya kepada Ketua Linghu, mengapa dari Perguruan Henshan hanya kau seorang yang datang kemari?” Pendeta tua ini memang sangat berpengalaman. Ia merasa sangsi jangan-jangan Linghu Chong menyembunyikan sesuatu dan bermaksud merugikan mereka semua, mengingat dirinya adalah murid pertama Yue Buqun. Mau tidak mau hal ini memang menimbulkan kecurigaan karena dari dua ratus orang yang terkurung di dalam gua tersebut tidak seorang pun yang berasal dari Perguruan Huashan ataupun Henshan. Sementara itu, Linghu Chong jelas memiliki hubungan dengan kedua perguruan tersebut.

Maka, Linghu Chong pun menjawab, “Aku sedang mencari seorang teman, dia adalah Ying…” sampai di sini ia segera teringat bahwa Ren Yingying adalah putri tunggal Ren Woxing, ketua Sekte Iblis yang selama ini dimusuhi oleh golongan yang menamakan dirinya aliran lurus, terutama Serikat Pedang Lima Gunung. Maka, ia merasa lebih baik menghentikan pembicaraan supaya tidak menimbulkan masalah yang lebih rumit lagi.

Sementara itu, Yuzhongzi terdengar membicarakan hal lain, “Apakah kawan-kawan ada yang masih memegang obor dan pemantik api? Tolong segera dinyalakan!”

“Betul juga, betul juga!” sorak banyak orang dengan gembira.

“Hei, mengapa kita menjadi pikun dan tidak memikirkan hal ini sejak tadi?”

“Ayo, lekas kita nyalakan obor!”

Dalam keadaan kacau seperti tadi yang terpikir oleh mereka hanyalah bagaimana bisa segera menyelamatkan diri. Tidak seorang pun yang berkesempatan menyalakan obor, karena begitu lengah sedikit saja tentu akan segera terbunuh oleh orang di dekatnya.

Sejenak kemudian terdengar suara pemantik api beberapa kali, dan setelah itu beberapa titik cahaya kembali bermunculan. Rupanya orang-orang itu telah menyalakan beberapa obor. Sorak gembira pun terdengar seketika.

Sekilas pandang Linghu Chong melihat pada dinding gua itu penuh berdiri banyak orang. Semuanya dalam keadaan berlumur darah. Sebagian tampak masih menghunus senjata. Rupanya orang-orang ini lebih suka berhati-hati daripada mengambil risiko dibunuh orang. Meskipun mereka semua telah bersumpah, tapi tiada salahnya menjaga diri terhadap segala kemungkinan.

Linghu Chong kemudian melangkah ke dinding di depannya dengan maksud untuk mencari Ren Yingying.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seseorang membentak, “Sekarang saatnya!”

Sekejap kemudian dari dalam terowongan sempit muncul beberapa orang bersenjata dan langsung membunuh beberapa orang di depan mereka. Rupanya orang-orang inilah yang tadi telah memenggal kepala laki-laki bertubuh kekar yang berusaha menerobos ke dalam terowongan sempit tersebut.

“Hei, siapa kalian?” teriak para pendekar sambil melolos senjata untuk melawan. Hanya beberapa jurus saja keadaan kembali gelap gulita. Obor yang menyala tadi telah padam satu persatu. Entah disebabkan oleh sambaran angin para penyerang itu atau terkena debu yang berhamburan.

Secepat kilat Linghu Chong melompat dan melayang ke dinding di depannya. Terasa dari sebelah kanan ada senjata yang menyerang tiba. Dalam kegelapan itu ia sukar untuk menangkis, sehingga terpaksa harus mendekam ke bawah. Sesaat kemudian terdengar suara pedang membentur dinding.

Linghu Chong berpikir orang itu belum tentu hendak menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Mungkin karena dirinya tiba-tiba melompat maka orang itu pun mengayunkan senjata untuk berjaga-jaga. Maka, untuk beberapa saat ia pun mendekam ke bawah tanpa bergerak. Setelah mengayunkan senjata beberapa kali dan tidak mengenai sasaran, orang itu akhirnya berhenti.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak memberi aba-aba, “Bunuh semua kawanan anjing ini! Jangan ada yang dibiarkan hidup seorang pun!”

“Baik!” jawab belasan lainnya menanggapi.

Menyusul kemudian terdengar beberapa orang berteriak, “Hei, itu suara Zuo Lengchan! Benar, itu suara Zuo Lengchan!”

Lalu beberapa orang lainnya berteriak pula, “Guru! Guru! Muridmu ada di sini!”

Linghu Chong sendiri juga mengenali suara orang yang baru saja memerintahkan pembantaian tadi memang suara Zuo Lengchan, ketua Perguruan Songshan yang sudah buta kedua matanya. Ia pun berpikir, “Mengapa Zuo Lengchan ada disini? Apakah perangkap ini sengaja dipersiapkan olehnya? Ah, ternyata ini semua bukan perbuatan Guru!”

Meskipun beberapa kali Yue Buqun bermaksud jahat, namun kedudukannya sebagai guru sekaligus orang tua angkat begitu mendalam di hati Linghu Chong. Sedikit pun pemuda itu tidak pernah melupakan hubungan baik ini. Maka, begitu terpikir olehnya bahwa tipu muslihat ini bukan diatur oleh Yue Buqun, tanpa terasa Linghu Chong pun merasa senang dan terhibur. Ia merasa ratusan kali lebih menyenangkan jika mati di tangan Zuo Lengchan daripada di tangan guru sendiri.

Terdengar Zuo Lengchan menjawab dengan suara dingin, “Hm, kalian masih punya muka untuk memanggil ‘guru’ kepadaku? Tanpa meminta izin lebih dulu, kalian berani datang ke Puncak Huashan ini. Perbuatan kalian yang durhaka dan lancang ini mana mungkin dapat kuampuni? Dalam Perguruan Songshan mana boleh ada murid murtad macam kalian?”

Salah seorang menjawab dengan suara lantang, “Guru, di tengah jalan kami mendengar kabar bahwa di gua Puncak Huashan ini terdapat ukiran jurus-jurus ilmu silat peninggalan leluhur kita. Kami khawatir apabila pulang dulu ke Songshan untuk melapor kepada Guru tentu memakan waktu terlalu lama, dan mungkin ukiran di dinding telanjur sudah dihapus orang. Karena itulah kami cepat-cepat memburu kemari. Kami bermaksud bila sudah melihat semua ilmu pedang Perguruan Songshan yang terukir di sini, maka kami akan segera pulang untuk melapor kepada Guru.”

“Hm, kalian tahu aku sudah buta, dan kalian mengambil keuntungan dari cacatku ini, hah?” sahut Zuo Lengchan bengis. “Aku tahu kalian mengira diriku ini sudah tidak berguna lagi. Nanti apabila sudah berhasil mempelajari ilmu pedang bagus tersebut, memangnya kalian masih mau menganggapku sebagai guru? Aku juga tahu kalian telah bersumpah setia lebih dulu kepada Yue Buqun, karena hanya dengan begitu barulah dia mengizinkan kalian melihat ukiran ilmu silat di sini. Bukan begitu?”

“Be… benar. Kami memang pantas mati,” sahut si murid Songshan. “Namun, kami terpaksa melakukannya. Bagaimanapun juga kelima perguruan telah dilebur, dan Yue Buqun telah dilantik sebagai ketua. Mau tidak mau kami harus tunduk kepada perintahnya. Tapi itu hanyalah siasat belaka. Kami berniat akan membangkitkan kembali kejayaan Perguruan Songshan di bawah bimibingan Guru.”

“Guru, sungguh tidak disangka bangsat itu telah menjebak kami di sini,” sambung seorang lainnya. “Mohon bebaskanlah kami dari sini. Pimpinlah kami untuk mencari keparat Yue Buqun dan membalas sakit hati ini kepadanya.”

“Hm, enak sekali cara berpikirmu itu,” sahut Zuo Lengchan mencibir. Setelah diam sejenak, tiba-tiba ia berkata, “Linghu Chong, ternyata kau juga datang. Memangnya apa yang kau kerjakan di sini?”

Linghu Chong menjawab, “Aku pernah tinggal di sini. Mau datang ke sini atau tidak adalah urusanku, peduli apa denganmu? Kau sendiri sedang apa di sini?”

“Huh, kematian sudah di depan mata, tapi kau masih berlagak di depan angkatan tua,” ujar Zuo Lengchan sambil tertawa dingin.

“Kau memakai tipu muslihat keji dan mencelakai para kesatria di dunia persilatan,” balas Linghu Chong. “Dosamu terlalu banyak. Setiap orang berhak membinasakanmu. Tapi kau masih berani mengaku angkatan tua segala, hah?”

“Pingzhi,” kata Zuo Lengchan tiba-tiba. “Cepat bunuh dia!”

“Baik!” jawab seseorang dalam kegelapan. Suara ini jelas suara Lin Pingzhi.

Linghu Chong terkejut dan berpikir, “Ternyata Lin Pingzhi juga berada di sini. Zuo Lengchan dan ia sudah sama-sama buta. Selama beberapa waktu ini tentu mereka sudah terbiasa berlatih memainkan pedang tanpa melihat, menggunakan telinga sebagai pengganti mata. Ketajaman telinga mereka pasti sudah sangat hebat. Dalam kegelapan seperti sekarang ini keadaan menjadi terbalik, aku bagaikan orang buta, sebaliknya mereka yang diuntungkan. Entah bagaimana caraku dapat menandingi mereka?” Seketika ia pun berkeringat dingin dan tidak berani bersuara lagi. Hatinya berharap semoga mereka tidak tahu di mana dirinya kini berdiri.

Terdengar Lin Pingzhi berseru, “Linghu Chong, selama ini kau merajalela di dunia persilatan. Nama besarmu terkenal di mana-mana. Tapi hari ini akhirnya kau akan mati di tanganku, haha, hahaha!”

Sungguh seram dan mengerikan suara gelak tawa pemuda itu. Selangkah demi selangkah ia semakin mendekati tempat Linghu Chong berada.

Rupanya ketika Linghu Chong bertanya jawab dengan Zuo Lengchan tadi, diam-diam Lin Pingzhi memperhatikan di mana letak keberadaan dirinya itu. Kini Lin Pingzhi tinggal berjalan ke arah sasarannya dengan pedang di tangan. Seketika suasana di dalam gua menjadi sunyi senyap. Yang terdengar hanya suara langkah kaki Lin Pingzhi yang mendirikan bulu roma. Setiap pemuda itu maju satu langkah, membuat Linghu Chong merasa jiwanya semakin dekat dengan pintu akhirat.

“Tunggu dulu!” tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak. “Keparat Linghu Chong itu telah membutakan kedua mataku sehingga aku tidak bisa melihat dunia untuk selamanya. Biarlah aku … aku yang membunuh bangsat ini.”

“Benar! Benar!” sahut belasan orang lainnya beramai-ramai. Sejenak kemudian terdengar pula mereka melangkah maju ke arah Linghu Chong.

Seketika jantung Linghu Chong terasa berdebar kencang. Ia sadar dirinya pernah membutakan lima belas pasang mata saat bertempur di halaman kuil bobrok pada suatu malam beberapa bulan yang lalu. Pertempuran itu terjadi karena mereka mengincar Kitab Pedang Penakluk Iblis. Pertemuan kedua juga terjadi ketika Linghu Chong datang ke Gunung Songshan menghadiri peresmian Perguruan Lima Gunung tempo hari. Saat itu kelima belas orang tersebut bermaksud membalas dendam, namun mereka dapat diringkus oleh Biksu Bujie.

Dalam hal ini Linghu Chong berpikir, “Belasan orang ini sudah lama buta. Ketajaman telinga mereka tentu jauh lebih hebat lagi. Menghadapi seorang Lin Pingzhi saja sudah sukar, apalagi ditambah dengan belasan orang ini? Benar-benar sulit untuk dilawan.”

Terdengar suara langkah mereka semakin detik semakin dekat. Dengan menahan napas diam-diam Linghu Chong menggeser tubuhnya beberapa langkah ke samping. Seketika terdengar suara benturan senjata beberapa kali. Rupanya pedang orang-orang itu telah menusuk dinding tempat Linghu Chong berdiri tadi. Untungnya belasan orang itu menyerang bersama, sehingga suara mereka bercampur aduk dan menyebabkan suara langkah Linghu Chong menggeser diri luput dari perhatian mereka. Kini tidak seorang pun yang tahu ke mana pemuda itu berpindah tempat.

Perlahan-lahan Linghu Chong berjongkok dan meraba tanah. Begitu tangannya menemukan sebilah pedang, segera ia melemparkannya ke depan. Terdengar pedang itu membentur dinding gua. Serentak belasan orang buta pun menerjang maju ke arah suara. Sesaat kemudian terdengar suara benturan senjata yang ramai. Rupanya mereka langsung terlibat pertempuran melawan para kesatria tiga perguruan yang masih hidup. Berkali-kali terdengar bentakan dan jeritan ngeri. Dalam sekejap saja sudah ada beberapa orang yang roboh binasa.

Sebenarnya kepandaian para kesatria ini tidaklah lemah. Namun, di dalam kegelapan jelas mereka bukan tandingan kawanan orang buta itu.

Di tengah suasana ribut tersebut Linghu Chong lantas bergeser lagi beberapa langkah ke kiri dan meraba-raba dinding gua di sekitar situ. Setelah yakin tiada orang lain maka ia lantas berjongkok dan merenung, “Zuo Lengchan membawa Lin Pingzhi dan kawanan orang buta itu kemari. Jelas dia sengaja memasang perangkap untuk mengurung semua orang di dalam gua ini. Kemudian dalam keadaan gelap gulita, ia mengerahkan kawanan orang buta itu untuk membinasakan semuanya. Hanya saja, dari mana dia dapat mengetahui letak gua rahasia ini?”

Sejenak kemudian ia pun menemukan jawaban, “Ah, benar sekali. Tempo hari di Gunung Songshan Adik Kecil memainkan jurus-jurus yang terukir di dinding gua ini untuk mengalahkan para tokoh terkemuka dari Perguruan Taishan dan Hengshan. Kalau Adik Kecil pernah datang kemari, tentu Lin Pingzhi juga pernah kemari.”

Tiba-tiba terdengar suara Lin Pingzhi berteriak mengolok-olok, “Linghu Chong, kenapa kau tidak berani memperlihatkan diri? Huh, dasar pengecut! Orang gagah macam apa kau ini?”

Seketika Linghu Chong merasa gusar. Segera ia bermaksud melabrak pemuda itu, namun dengan cepat dapat menahan diri. Ia berpikir, “Sebelum aku dapat menemukan Yingying, untuk apa aku harus mengadu nyawa dengannya? Apalagi aku sudah berjanji kepada Adik Kecil untuk menjaga baik-baik orang bermarga Lin ini. Bila aku bertempur dengannya dan mati terbunuh tentu rasanya konyol. Sebaliknya, kalau sampai dia yang mati juga aku akan merasa bersalah.”

“Semua orang di sini adalah bangsat pengecut. Bunuh semua pengkhianat di sini!” seru Zuo Lengchan memberi perintah. “Kalau semua sudah mati, si bocah Linghu Chong mau bersembunyi di mana lagi?”

Dalam sekejap suara benturan senjata dan bentakan di sana-sini terdengar semakin ramai. Linghu Chong tetap bertiarap sehingga tidak seorang pun yang dapat menyerangnya. Ia memasang telinga dengan seksama kalau-kalau terdengar suara Ren Yingying. Ia berpikir gadis itu sangat cerdik. Dalam keadaan bahaya seperti ini tentu tidak akan membunyikan kecapi.

Linghu Chong semakin cermat dalam mendengarkan keadaan di dalam gua maut tersebut. Ternyata pertempuran antara para kesatria melawan kawanan orang buta ini terjadi sedemikian hebatnya. Sambil bertempur riuh ramai terdengar pula suara bentakan dan caci maki. Berkali-kali ia mendengar orang memaki dengan kata-kata: “Persetan nenekmu!”

Linghu Chong merasa heran. Kata-kata “persetan nenekmu” itu terdengar lain daripada yang lain. Pada umumnya kata-kata makian yang sering diucapkan orang adalah “persetan ibumu” atau cukup “nenekmu” saja. Namun, istilah “persetan nenekmu” benar-benar baru didengarnya kali ini. Ia berpikir apakah mungkin orang yang memaki itu berasal dari suatu daerah tertentu, yang biasa menggunakan istilah demikian?

Namun, setelah diperhatikan lagi, akhirnya Linghu Chong menemukan sesuatu yang aneh. Apabila ucapan “persetan nenekmu” itu dilontarkan oleh dua orang secara bersamaan, maka untuk selanjutnya senjata kedua orang itu lantas berhenti. Sebaliknya, kalau yang memaki “persetan nenekmu” hanya satu orang, maka pertarungan pun terus saja berlangsung. Setelah dipikir lagi, Linghu Chong akhirnya paham. “Rupanya makian ini adalah semacam kata sandi di antara orang-orang buta itu untuk membedakan mana kawan dan mana lawan,” demikian ia berpikir.

Dalam kegelapan tersebut semua orang bertempur secara serabutan. Tentu saja sangat sulit membedakan kawan atau lawan. Namun, orang-orang buta itu telah menggunakan kata sandi sebelum mereka menyerang. Apabila dua orang bertemu dan sama-sama mengucapkan “persetan nenekmu”, maka itu berarti mereka saling bertemu kawan sendiri. Namun, apabila ucapan “persetan nenekmu” tidak dibalas dengan istilah yang sama, maka tanpa ragu si orang buta pun melancarkan serangannya, dan tak lama setelah itu korban kembali berjatuhan.

Setelah mengetahui rahasia serangan kawanan orang buta itu, perlahan-lahan Linghu Chong berdiri sambil menyilangkan pedangnya di depan dada. Didengarnya suara makian “persetan nenekmu” itu semakin lama semakin ramai. Sebaliknya, suara benturan senjata dan suara bentakan dengan istilah lain semakin mereda. Jelas orang-orang Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan semakin banyak yang terbunuh. Namun, selama ini ia tetap tidak mendengar suara Ren Yingying sedikit pun. Ia menjadi khawatir jangan-jangan Ren Yingying benar-benar telah terbunuh olehnya dirinya sendiri. Namun, di sisi lain ia juga bersyukur gadis itu tidak menjadi korban keganasan kawanan orang buta tersebut.

Linghu Chong lantas merenung, “Murid-murid Songshan telah mendengar tentang gambar-gambar jurus pedang leluhur perguruan mereka terukir di dinding gua ini. Mereka pun berbondong-bondong datang kemari untuk melihat. Hanya karena tidak meminta izin terlebih dulu, mereka lantas dihukum mati tanpa ampun oleh Zuo Lengchan. Pasti ia juga bermaksud membunuhku, namun tidak tahu kalau aku berada di mana. Hm, sungguh kasihan murid-murid Songshan ini, juga yang lainnya. Mereka harus mati di tangan manusia gila semacam Zuo Lengchan.”

Tidak lama kemudian suara pertempuran akhirnya berhenti sudah. Terdengar Zuo Lengchan berseru, “Semuanya, sisir seluruh gua ini! Kalau ada yang masih hidup, segera dibunuh saja!”

“Baik,” sahut kawanan orang buta itu. Mereka lantas berpencar sambil menebas dan mengayunkan senjata ke segala arah. Suara sambaran angin tajam terdengar menderu-deru di sana-sini. Sebanyak dua kali pedang orang-orang buta itu hampir mengenai tubuh Linghu Chong, namun dapat ditangkisnya sambil ikut memaki, “Persetan nenekmu!”

Ternyata suaranya yang dibuat-buat agak serak dan kata-kata makiannya yang meniru itu telah membuat jiwa Linghu Chong lolos dari maut. Suara sambaran pedang dan caci maki kawanan orang buta itu terus saja berlangsung sampai sekian lamanya. Linghu Chong benar-benar sangat cemas dan hampir saja ia menangis memikirkan keselamatan Ren Yingying. Sungguh ingin sekali ia berteriak memanggil, “Yingying, Yingying, di mana kau?”

“Berhenti!” teriak Zuo Lengchan memberi aba-aba. Kawanan orang buta itu serentak berhenti di tempat masing-masing. Dengan terbahak-bahak Zuo Lengchan lantas berkata, “Para murid pengkhianat ini sudah mampus semua. Mereka sungguh tidak tahu malu. Hanya karena ingin belajar ilmu pedang, mereka rela bersumpah setia kepada si keparat Yue Buqun. Hahaha! Hahaha! Bangsat cilik Linghu Chong tentu sudah mampus pula di bawah pedang kalian. Hahahaha! Linghu Chong, di mana kau? Apa kau sudah mampus, hah?”

Linghu Chong terdiam tanpa menjawab sedikit pun sambil menahan napas.

Zuo Lengchan melanjutkan, “Pingzhi, hari ini orang yang paling kau benci sudah mampus. Tentu kau merasa puas, bukan?”

“Semua ini berkat rencana matang dari Saudara Zuo,” jawab Lin Pingzhi. “Benar-benar perangkap yang sempurna.”

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Jadi Zuo Lengchan dan Lin Pingzhi sudah mengangkat saudara. Huh, mereka memang pantas menjadi saudara. Rupanya demi mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis, Zuo Lengchan bersikap sedemikian baik kepada bocah ini.”

Terdengar Zuo Lengchan berkata, “Tapi kalau terowongan rahasia menuju gua ini tidak kau ceritakan padaku, maka sulit bagiku untuk menyusun rencana dan membalas dendam.”

Lin Pingzhi menyahut, “Sayang sekali, dalam kekacauan tadi aku tidak dapat membunuh si bangsat Linghu Chong dengan tanganku sendiri.”

Linghu Chong merasa heran mengapa Lin Pingzhi begitu membencinya. Terdengar Zuo Lengchan menjawab dengan suara tertahan, “Tidak penting siapa yang telah membunuhnya, semua sama saja.” Sejenak kemudian ia kembali memberi aba-aba. “Sekarang marilah kita keluar dari sini. Mungkin si keparat Yue Buqun sedang berada di luar gua. Selagi matahari belum terbit marilah kita beramai-ramai mengeroyoknya. Dalam kegelapan malam tentu kita bisa menang.”

“Baik!” jawab Lin Pingzhi setuju. Sejenak kemudian terdengar kawanan orang buta itu melangkah pergi. Rupanya mereka kembali masuk ke dalam terowongan sempit di belakang gua. Semakin lama suara mereka terasa semakin menjauh, dan akhirnya tak terdengar apa-apa lagi.

“Yingying, di mana kau?” seru Linghu Chong dengan suara berbisik.

Tiba-tiba di atas kepalanya terdengar suara seseorang mendesis, “Sssst, jangan keras-keras! Aku ada di sini.”

Betapa bahagia perasaan Linghu Chong sampai-sampai kedua kakinya terasa lemas dan ia pun jatuh terduduk di tanah.

Ketika kawanan orang buta tadi mengamuk secara ganas, maka yang paling aman adalah bersembunyi di tempat yang tinggi sehingga tidak terjangkau oleh pedang musuh. Hal ini sebenarnya sangat mudah diketahui. Namun, dalam keadaan sedemikian gawat semacam tadi, pikiran semua orang menjadi bingung sehingga sama sekali tidak memikirkan hal demikian.

Ren Yingying lantas melompat turun. Segera Linghu Chong membuang pedangnya dan langsung memeluk erat-erat tubuh kekasihnya itu. Keduanya sama-sama bahagia dan saling mencucurkan air mata. Perlahan-lahan Linghu Chong mencium pipi si nona dan berbisik, “Kau benar-benar membuatku khawatir setengah mati.”

Dalam kegelapan Ren Yingying tidak menghindari ciuman tersebut. Dengan perlahan ia menjawab, “Ketika kau memaki dengan kata-kata ‘persetan nenekmu’, seketika aku lantas mengenali suaramu.”

Linghu Chong tertawa geli dan kemudian bertanya, “Kau sendiri tidak terluka, bukan?”

“Tidak,” jawab Ren Yingying.

“Tadinya aku sangat khawatir karena menusuk seorang perempuan. Aku takut kalau-kalau telah menusukmu. Tapi setelah itu aku lega karena mendengar suara kecapi yang terputus-putus,” ujar Linghu Chong.

“Kau sama sekali tidak dapat membedakan suaraku dengan suara perempuan lain. Sudah seperti ini kau masih berani bilang senantiasa memikirkanku?” jawab Ren Yingying sambil tersenyum.

“Tapi setelah itu suara kecapi tidak terdengar lagi. Aku takut jangan-jangan kau memang terluka parah sehingga tidak mampu memetik kecapi lagi,” lanjut Linghu Chong.

Ren Yingying berkata, “Sebenarnya sejak tadi aku sudah melompat ke tempat tinggi itu. Khawatir diketahui orang, aku tidak berani bersuara memanggilmu. Maka, aku hanya bisa melemparkan uang logam ke arah kecapi yang tertinggal di tanah, dengan harapan kau akan mengetahui keberadaanku.”

“Oh, ternyata demikian. Aku tidak pernah menduganya. Aku sungguh bodoh, pantas dipukul, pantas dipukul,” ujar Linghu Chong sambil menampar pelan pipinya sendiri. “Aih, Nona Ren sungguh bernasib sial mendapatkan calon suami yang bodoh ini. Waktu itu aku hanya merasa heran, mengapa kecapi yang kau bunyikan itu tanpa irama? Kenapa pula tidak kau mainkan Lagu Kahyangan Biru, atau Menertawakan Dunia Persilatan?”

Ren Yingying masih membiarkan tubuhnya dipeluk Linghu Chong. Ia menjawab, “Memangnya aku seorang dewi kahyangan, bisa memainkan lagu hanya dengan melemparkan uang logam dalam kegelapan?’

“Kau memang seorang dewi kahyangan,” sahut Linghu Chong sambil tertawa.

Begitu mendengar pujian ini Ren Yingying berusaha meronta namun Linghu Chong memeluknya lebih erat. Pemuda itu lantas bertanya, “Mengapa lemparanmu tadi hanya terdengar beberapa kali saja? Mengapa kau tidak membunyikan kecapi lagi?”

“Aku terlalu miskin,” jawab Ren Yingying dengan tertawa. “Hanya itu saja uangku yang tersisa di saku. Setelah kulemparkan ke bawah, habis sudah.”

Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Sayang sekali di gua ini tidak ada pegadaian, juga tidak ada pasar uang. Andaikan ada, tentu Nona Ren bisa meminjam beberapa keping.”

Ren Yingying kembali tertawa dan berkata, “Setelah persediaan uangku habis, aku lantas melemparkan jepit rambut, tusuk konde emas, juga anting-anting mutiara pula. Namun, ketika orang-orang buta itu mulai mengganas, aku tidak berani melempar lagi. Pendengaran mereka sudah pasti jauh lebih tajam.”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang tertawa sinis di mulut terowongan sempit. Seketika Linghu Chong dan Ren Yingying berteriak kaget. Dengan tangan kiri ia merangkul si nona sedangkan tangan kanannya memungut kembali pedangnya di tanah. Setelah itu Linghu Chong lantas membentak, “Siapa di situ?”

“Pendekar Linghu, ini aku!” sahut orang itu dengan nada dingin. Suara ini jelas suara Lin Pingzhi. Menyusul kemudian terdengar pula suara langkah kaki banyak orang muncul dari terowongan sempit tersebut. Rupanya kawanan orang buta tadi telah kembali lagi ke dalam gua utama.

Diam-diam Linghu Chong memaki dirinya sendiri yang terlalu ceroboh. Seharusnya terpikir olehnya bahwa Zuo Lengchan adalah bajingan tua yang sangat licik. Setelah membantai para kesatria di dalam gua mana mungkin dia pergi begitu saja? Tentu tadi dia hanya pura-pura berlalu bersama para begundalnya, namun diam-diam bersembunyi di terowongan untuk mendengarkan gerak-gerik di dalam gua. Lantaran dapat berkumpul kembali dengan Ren Yingying setelah melewati saat-saat berbahaya tadi, Linghu Chong menjadi lupa daratan dan tidak ingat bahwa musuh tangguh setiap saat mungkin akan muncul kembali.

Tiba-tiba Ren Yingying berbisik sambil menarik lengan pemuda itu, “Naik ke atas!” Bersama-sama mereka berdua pun meloncat ke atas.

Sejak tadi Ren Yingying bersembunyi di atas batu karang yang mencuat pada dinding gua. Maka, meski dalam kegelapan ia masih ingat di mana letak batu karang tersebut dan dapat hinggap lagi di atasnya dengan tepat. Sebaliknya, Linghu Chong yang tidak tahu menahu hanya meloncat mengikuti si nona. Tanpa sadar kakinya telah menginjak tempat kosong, dan tubuhnya pun jatuh kembali ke bawah. Untungnya, Ren Yingying sempat menarik sebelah tangannya dan membawanya naik ke atas.

Batu karang yang menonjol pada dinding gua itu luasnya kurang dari satu meter. Linghu Chong dan Ren Yingying berkumpul di situ bisa dikatakan kurang leluasa. Diam-diam Linghu Chong merasa bersyukur kekasihnya dapat bertindak dengan cepat. Dengan berdiri di atas karang tersebut tentu tidak mudah dikepung dan dikerubut oleh kawanan orang buta itu.

“Kedua setan cilik itu meloncat ke atas,” terdengar Zuo Lengchan berkata.

“Ya, di depan sana!” sahut Lin Pingzhi.

“Linghu Chong, apakah kau akan terus bersembunyi di sana seumur hidup?” seru Zuo Lengchan membentak.

Namun, Linghu Chong diam saja tanpa menjawab. Ia sadar sedikit saja bersuara tentu tempat persembunyiannya bersama Ren Yingying akan segera diketahui musuh. Tangan kanannya tetap menghunus pedang dan tangan kiri merangkul pinggang Ren Yingying yang ramping. Sebaliknya, Ren Yingying juga memegang pedang pendek di tangan kiri, dan merangkul pinggang Linghu Chong dengan tangan kanan. Kedua orang itu merasa sangat puas dan terhibur, karena mereka dapat berkumpul bersama. Sekalipun hari ini harus mati juga takkan menyesal.

Kembali terdengar Zuo Lengchan berseru, “Bola mata kalian dibutakan oleh siapa, apa kalian sudah lupa?”

Serentak belasan orang buta itu menjadi murka. Mereka meraung-raung kemudian melompat ke atas sambil mengayunkan pedang serta menusuk secara serabutan.

Linghu Chong dan Ren Yingying diam saja. Serangan belasan orang buta itu sia-sia dan tidak mengenai sasaran. Ketika orang-orang buta itu melompat lagi untuk yang kedua kalinya, salah seorang di antara mereka hanya berjarak satu meter di depan batu karang menonjol tersebut. Linghu Chong yang dapat merasakan hembusan angin yang dibawa orang buta itu, segera menusukkan pedangnya ke arah tersebut. Seketika orang buta itu pun menjerit ngeri karena dadanya tertusuk pedang lawan dan ia pun jatuh terbanting ke tanah.

Seorang musuh buta telah tewas, namun hal itu juga membuat tempat persembunyian Linghu Chong dan Ren Yingying dapat diketahui. Serentak beberapa orang buta pun melompat ke atas untuk menyerang bersamaan.

Batu karang yang menonjol itu tingginya tiga-empat meter dari permukaan tanah. Kawanan orang buta yang melompat ke atas tentu membawa hembusan angin menyambar tajam. Meskipun dalam suasana gelap gulita, Linghu Chong dan Ren Yingying dapat dengan jelas merasakan hembusan angin tersebut. Maka, keduanya pun menyongsong serangan mereka dengan senjata masing-masing, sehingga dua orang buta kembali tertusuk dan menjadi korban.

Untuk sementara orang-orang buta lainnya menjadi gentar. Mereka sama-sama menengadah ke atas sambil mencaci maki, namun sedikit pun tidak berani menyerang lagi.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba angin kencang menyambar tiba. Terdengar ada dua orang melompat dari kanan dan kiri. Segera Linghu Chong dan Ren Yingying menusukkan pedang masing-masing. Maka, terdengarlah suara empat pedang beradu dengan keras. Kali ini Linghu Chong merasa lengannya pegal-pegal, bahkan pedangnya hampir saja terlepas dari genggaman. Jelas yang datang menyerang dirinya adalah Zuo Lengchan sendiri.

Sementara itu, Ren Yingying terdengar menjerit kesakitan karena pundaknya terluka oleh pedang musuh. Hampir saja ia terpeleset jatuh ke bawah. Untungnya Linghu Chong sempat merangkul pinggang gadis itu lebih kencang. Zuo Lengchan dan rekannya kembali meloncat untuk melancarkan serangan. Pedang Linghu Chong pun menusuk lawan yang menyerang Ren Yingying. Ketika kedua pedang berbenturan, mendadak orang itu mengubah gerakan pedangnya dengan cepat, yaitu memotong ke bawah menggesek pedang Linghu Chong. Sepertinya orang yang dihadapi Linghu Chong kali ini tiada lain adalah Lin Pingzhi.

Segera ia pun menarik tubuh untuk mengelak. Terasa angin tajam menyambar melalui pedang Lin Pingzhi itu dan menghembus ke arah Ren Yingying. Dalam keadaan tubuh terapung, ternyata Lin Pingzhi sanggup melancarkan tiga kali serangan secara berturut-turut. Diam-diam Linghu Chong mengakui kehebatan Jurus Pedang Penakluk Iblis yang menjadi rebutan dunia persilatan itu.

Khawatir Ren Yingying akan terluka lagi, tanpa pikir panjang Linghu Chong pun melompat turun sambil tetap merangkul kekasihnya itu. Sambil punggung merapat di dinding ia memutar pedang dengan kencang agar musuh tidak berani mendekat.

Tiba-tiba terdengar Zuo Lengchan tertawa panjang sambil menusukkan pedangnya. Begitu kedua pedang beradu, tubuh Linghu Chong langsung tergetar. Terasa suatu arus tenaga dalam berhawa dingin masuk ke dalam tubuhnya melalui pedang. Seketika teringat olehnya pertandingan antara Ren Woxing dan Zuo Lengchan di Biara Shaolin dahulu. Waktu itu Ren Woxing menggunakan Jurus Penyedot Bintang untuk menghisap tenaga dalam Zuo Lengchan. Tak disangka, Zuo Lengchan ternyata sengaja membiarkan tenaga dalamnya yang mengandung racun mahadingin itu dihisap lawan, sehingga Ren Woxing nyaris mati kedinginan dan membeku.

Kini Zuo Lengchan kembali melakukan hal yang sama, yaitu membiarkan tenaga dalamnya dihisap oleh Linghu Chong. Sudah tentu Linghu Chong tidak mau masuk perangkap. Segera ia mengerahkan tenaga untuk menolak hawa dingin itu keluar. Karena terlalu keras ia mendesak hawa dingin tersebut, tak terasa jari tangannya menjadi kendur, dan pedang pun terlepas dari genggaman.

Segenap kepandaian Linghu Chong jelas terletak pada ilmu pedangnya yang lihai. Maka, ia pun buru-buru berjongkok dan meraba-raba di tanah. Di dalam gua itu tergeletak sekitar dua ratus mayat. Sudah pasti di atas tanah juga banyak berserakan senjata mereka. Dalam keadaan gelap gulita itu, Linghu Chong dan Ren Yingying telah menjadi orang buta, sedangkan kawanan orang buta itu justru bisa “melihat” mereka. Meskipun dalam keadaan terdesak, namun sepasang kekasih ini tetap pantang untuk menyerah. Asalkan dapat memungut suatu senjata, entah golok ataupun pedang, tentu dapat digunakan untuk menahan serangan musuh meski hanya sementara.

Tak disangka, yang teraba oleh tangan Linghu Chong adalah wajah seseorang yang sudah kaku dan dingin. Tangannya juga terasa lengket karena terkena darah pada mayat tersebut. Ia pun terkejut dan bergeser dua langkah ke dekat dinding gua sambil merangkul Ren Yingying. Di sisi lain, Ren Yingying melangkah sambil memainkan pedang pendeknya untuk menangkis dua serangan musuh. Namun, pada serangan ketiga yang lebih keras, pedang pendek itu akhirnya terlepas pula dan melayang entah ke mana.

Perasaan Linghu Chong bertambah khawatir. Kembali ia berjongkok dan meraba-raba lantai gua. Kini tangannya merasa menemukan sesuatu, semacam tongkat pendek. Dalam keadaan gawat seperti itu ia tidak sempat lagi memeriksa apa sebenarnya benda tersebut. Ketika terasa angin tajam datang menyambar, segera ia pun mengangkat tongkat pendek itu untuk menangkis. Tanpa ampun, tongkat tersebut langsung patah terkena pedang lawan.

Pada waktu mengangkat kepala untuk berkelit, tiba-tiba Linghu Chong melihat di depan matanya tampak meletik beberapa titik sinar putih kehijauan. Beberapa titik cahaya itu sangat lemah namun di dalam gua yang gelap gulita bagaikan bintang kejora yang bersinar di cakrawala. Samar-samar bentuk tubuh dan kelebat pedang musuh pun kini dapat dibedakan olehnya.

Tanpa terasa, Linghu Chong dan Ren Yingying bersorak gembira. Pada saat itu pedang Zuo Lengchan kembali datang menusuk. Segera Linghu Chong mengangkat tongkat pendeknya itu untuk menusuk leher lawan. Tempat yang diarah memang merupakan titik kelemahan pada jurus itu. Seketika Zuo Lengchan pun menarik serangannya dan menghindari tusukan tersebut. Meskipun kedua matanya sudah buta, namun perasaannya sangat peka sehingga ia mampu berkelit dengan cukup gesit. Sambil melompat mundur ia pun mencaci maki dengan rasa penasaran.

Kesempatan itu segera digunakan oleh Ren Yingying untuk berjongkok dan memungut sebilah pedang. Ia lalu menyerahkan pedang itu kepada Linghu Chong dan memindahkan tongkat pendek tadi ke tangannya. Gadis itu lantas memutar tongkat pendek tersebut dengan kencang sehingga titik-titik cahaya putih kehijauan semakin banyak bertaburan di udara tanpa terputus.

Seketika semangat Linghu Chong pun bangkit menyala. Dalam keadaan gawat yang menentukan antara hidup dan mati, ia tidak mau lagi berbelas kasihan terhadap lawan. Segera pedangnya bekerja dengan cepat. Sambil mulutnya memaki, “Persetan nenekmu!” kontan seorang buta tewas tertusuk dan roboh.

Ternyata gerak tangannya lebih cepat daripada mulutnya. Baru enam kali ia memaki “persetan nenekmu”, ternyata sudah sebelas orang buta sisanya sudah mati berjatuhan di tanah. Kawanan orang buta itu rupanya terlalu polos. Ketika mendengar suara “persetan nenekmu”, masing-masing mengira sedang berhadapan dengan kawan sendiri sehingga tidak melakukan perlawanan. Sebelum orang-orang itu sempat berpikir lebih banyak lagi, tahu-tahu pedang Linghu Chong sudah menusuk leher mereka. Seketika jiwa mereka pun melayang menemui sang nenek di alam sana.

Menyadari hal ini Zuo Lengchan dan Lin Pingzhi menjadi kebingungan. Mereka pun bertanya-tanya dengan gelisah, “Ada apa? Apakah ada api?”

“Benar!” bentak Linghu Chong sambil menyerang Zuo Lengchan tiga kali.

Rupanya Zuo Lengchan sudah sangat terlatih bertarung menghadapi serangan musuh menggunakan telinga. Berturut-turut ia dapat menangkis ketiga serangan Linghu Chong tersebut. Sebaliknya, Linghu Chong merasa lengannya pegal-pegal. Kembali terasa suatu arus hawa dingin menyalur masuk melalui pedangnya saat beradu dengan senjata musuh.

Tiba-tiba terlintas suatu pikiran dalam benak Linghu Chong. Segera ia pun berdiri tegak dan menahan senjata. Sedikit pun tidak bergerak lagi. Karena tidak mendengar gerak-gerik lawan, Zuo Lengchan menjadi kelabakan. Dengan gelisah ia memutar pedangnya secara cepat untuk melindungi segenap titik penting pada tubuhnya.

Sementara itu, Ren Yingying masih terus memutar tongkat pendek di tangannya. Berkat percikan titik cahaya yang bertebaran keluar dari tongkat tersebut, Linghu Chong dapat membedakan musuh dengan cukup jelas. Perlahan-lahan ia lantas menjulurkan pedangnya ke arah lengan kanan Lin Pingzhi, sedikit demi sedikit mendekati sasaran.

Lin Pingzhi memiringkan kepala untuk mendengarkan serangan lawan. Akan tetapi, pedang Linghu Chong itu bergerak dengan sangat perlahan, sedikit pun tidak menimbulkan suara. Begitu ujung pedang tersebut sudah tinggal beberapa senti saja di depan sasaran, mendadak Linghu Chong pun mendorongnya dengan sangat cepat. Seketika semua urat pada lengan kanan Lin Pingzhi putus sudah.

Lin Pingzhi menjerit keras. Pedangnya pun terlepas dari genggaman dan jatuh ke tanah. Dengan kalap ia menubruk maju. Namun, pedang Linghu Chong kembali bekerja. Kini kedua kaki Lin Pingzhi yang tertusuk olehnya. Tanpa ampun, pemuda itu pun roboh terguling sambil mencaci maki penuh kebencian.

Sewaktu Linghu Chong berpaling ke arah Zuo Lengchan, di bawah titik-titik cahaya yang remang-remang ia melihat gembong Perguruan Songshan yang sudah buta itu sedang mengertakkan gigi. Wajahnya terlihat beringas menakutkan. Tangannya terus saja mengayun-ayunkan pedang dengan sangat gencar. Namun, sehebat apa pun ilmu pedangnya tetap bukan tandingan Ilmu Sembilan Pedang Dugu.

Sesaat Linghu Chong merenung, “Manusia ini adalah biang keladi kekacauan di dunia persilatan. Dosanya tidak dapat diampuni lagi.”

Usai berpikir demikian tiba-tiba ia berteriak nyaring dan pedangnya pun bekerja dengan sangat cepat. Dalam sekaligus Zuo Lengchan langsung terkena tiga tusukan. Satu di dahi, satu di leher, dan satu lagi tepat di dadanya. Setelah melukai lawan, Linghu Chong segera melompat mundur sambil menggandeng tangan Ren Yingying. Tampak Zuo Lengchan berdiri mematung. Sejenak kemudian orang itu pun roboh ke depan. Pedangnya kemudian berputar balik dan menusuk perut sendiri hingga tembus ke belakang.

Setelah perasaannya agak tenang, Linghu Chong mencoba memandangi tongkat pendek di tangan Ren Yingying yang memercikkan titik-titik sinar putih kehijauan tersebut. Cahaya ini sangat lemah sehingga tidak jelas benda apakah sebenarnya tongkat tersebut.

Khawatir kalau-kalau Lin Pingzhi kembali melakukan serangan kalap, segera Linghu Chong mengayunkan pedang memutus semua urat di lengan kiri pemuda itu. Kemudian ia pun menggeledah beberapa mayat untuk mencari pemantik api. Berturut-turut dua orang telah digerayanginya, namun tidak terdapat apa pun di saku baju mereka. Tiba-tiba terlintas suatu pikiran di benaknya, dan ia pun memaki, “Persetan nenekmu! Manusia buta sudah tentu tidak membawa pemantik api segala.”

Pada mayat kelima barulah Linghu Chong menemukan pemantik api. Segera ia membakar sehelai kain sebagai pengganti obor. Begitu keadaan menjadi lebih terang, pasangan itu langsung menjerit bersamaan, karena tongkat pendek yang dipegang Ren Yingying ternyata sepotong tulang paha yang sudah sangat tua. Segera Ren Yingying pun melemparkan tulang itu sambil memaki, “Persetan ne...” namun sampai di sini ia lantas berhenti dan merasa tidak pantas.

Melihat tulang paha tua itu Linghu Chong langsung paham dan berkata, “Yingying, jiwa kita telah tertolong oleh tetua dari agama sucimu.”

“Tetua dari agamaku?” tanya Ren Yingying tidak mengerti.

Linghu Chong pun bercerita, “Lebih dari seratus tahun yang lalu sepuluh orang tetua Sekte Matahari dan Bulan pernah menyerbu ke Gunung Huashan. Namun, mereka justru terjebak dan terkurung di dalam gua ini untuk selamanya dan akhirnya mati penasaran. Yang tertinggal dari mereka saat ini hanyalah senjata dan tulang belulang saja. Tulang yang kau pegang tadi adalah tulang paha, entah berasal dari tetua yang mana.”

Setelah diam sejenak ia lantas melanjutkan, “Tanpa sengaja tulang paha ini kuambil dari tanah dan kugunakan untuk menangkis serangan pedang Zuo Lengchan. Untung saja Zuo Lengchan memotongnya sehingga tulang ini langsung memercikkan sinar putih kehijauan. Tulang ini sudah berusia ratusan tahun dan mengandung api setan di dalamnya.”

Sesungguhnya yang dimaksud dengan api setan adalah cahaya yang ditimbulkan oleh fosfor yang dikandung dalam tulang tersebut. Tulang yang sudah berusia tua itu mengandung banyak fosfor yang tentunya baru saja menyerap cahaya obor yang tadi menerangi gua. Cahaya tersebut kemudian dipendarkan dalam percikan-percikan api setan putih kehijauan yang kemudian menyelamatkan jiwa Linghu Chong dan Ren Yingying.

Ren Yingying menghela napas lega. Ia lantas memberi hormat ke arah potongan tulang paha tadi dan berkata, “Mohon maaf atas ketidaktahuanku. Ternyata aku berhadapan dengan tetua agama sendiri.”

Linghu Chong lantas menemukan dua buah obor dan segera menyalakannya. Setelah keadaan semakin terang, ia pun berpikir dengan perasaan gelisah, “Entah bagaimana nasib Paman Guru Mo? Apakah Beliau dapat selamat dari kekacauan ini?”

“Paman Guru Mo! Paman Guru Mo!” seru Linghu Chong memanggil-manggil. Namun, ia sama sekali tidak mendengar jawaban dari ketua Perguruan Hengshan tersebut. Mengingat keadaan tadi sedemikian kacaunya, Linghu Chong merasa tiada harapan lagi bagi Tuan Besar Mo untuk tetap selamat. Dengan perasaan pilu ia terkenang kebaikan Tuan Besar Mo selama ini kepadanya. Ia pun memandangi mayat para kesatria yang tergeletak di dalam gua tersebut, namun sangat sulit untuk mengetahui yang mana jasad Tuan Besar Mo berada.

Dengan perasaan sedih Linghu Chong merenung, “Kami baru saja lolos dari kematian. Namun, keadaan di dalam gua ini masih cukup berbahaya. Aku harus segera mengajak Yingying pergi. Kelak bila keadaan sudah aman, aku akan kembali lagi kemari untuk mencari jasad Paman Mo dan menguburkannya secara layak.”

Usai berpikir demikian Linghu Chong lantas menggendong tubuh Lin Pingzhi dan melangkah memasuki terowongan sempit menuju ke luar gua. Ren Yingying pun memungut kecapinya yang sudah rusak berlubang-lubang dan juga pedang pendeknya, lalu berjalan di belakang kekasihnya tanpa banyak bertanya. Rupanya ia paham kalau Linghu Chong pernah bersumpah untuk memenuhi wasiat terakhir Yue Lingshan, yaitu selalu menjaga Lin Pingzhi dari bahaya yang mengancam.

Perlahan-lahan mereka menyusuri terowongan sempit yang dulu digali oleh tetua Sekte Iblis tersebut. Dengan penuh kewaspadaan Linghu Chong menyiapkan pedang di depan dada. Ia berpikir Zuo Lengchan yang licik itu mungkin saja menyuruh orang lain berjaga di terowongan tersebut. Tak disangka, sampai di ujung terowongan ternyata tiada seorang pun yang terlihat. Perlahan Linghu Chong mendorong batu penutup terowongan tersebut. Seketika matanya terbelalak silau. Rupanya matahari telah terbit sejak tadi, dan ini berarti pertempuran di dalam gua maut tersebut telah cukup banyak memakan waktu.

Tidak hanya di dalam, bahkan di luar terowongan pun tidak terdapat seorang pun begundal Zuo Lengchan. Segera Linghu Chong melompat keluar dan menarik tubuh Lin Pingzhi dari lorong sempit tersebut. Disusul kemudian Ren Yingying melompat pula. Betapa nyaman perasaan mereka setelah menghirup udara segar. Mereka merasa saat ini benar-benar sudah berada di tempat yang aman, yaitu di gua kecil tempat para murid Perguruan Huashan menjalani hukuman perenungan.

Ren Yingying bertanya, “Ketika dihukum oleh gurumu, apakah kau tinggal di gua kecil ini?”

“Benar,” sahut Linghu Chong. “Bagaimana menurutmu?”

Ren Yingying tersenyum menjawab, “Menurutku kau tidak mungkin bermeditasi, tapi menghabiskan waktu bersama ....” Sebenarnya ia hendak menyebut “adik kecilmu”, namun segera berhenti karena takut membuat Linghu Chong kembali berduka.

Linghu Chong lantas berkata, “Di sini pula aku mendapatkan pelajaran ilmu pedang dari Kakek Guru Feng. Entah Beliau masih tinggal di sekitar sini atau tidak? Semoga kesehatan Beliau baik-baik saja. Beliau pernah bersumpah tidak akan menemui orang Huashan lagi. Tapi, bukankah aku sudah dipecat dari Perguruan Huashan?”

Ren Yingying menyahut, “Ayahku sangat mengagumi kehebatan ilmu pedang Beliau. Kalau begitu, mari kita bersama mencari Beliau.”

Linghu Chong segera menyarungkan pedangnya dan meletakkan tubuh Lin Pingzhi di dekat mulut gua. Kemudian ia pun melangkah sambil menggandeng tangan Ren Yingying.

Akan tetapi, baru saja keluar dari gua tersebut, tiba-tiba suatu benda berkelebat di atas kepala mereka, sepertinya menimpa turun ke bawah. Dengan cepat mereka berdua pun melompat untuk menghindar. Namun sayang sekali sudah terlambat. Benda yang meluncur ke bawah tersebut ternyata sebuah jala yang sangat besar dan langsung membungkus rapat tubuh mereka berdua.

Dengan perasaan terkejut, keduanya pun melolos pedang untuk memotong jala itu. Namun, jala ini tampaknya terbuat dari bahan istimewa, sampai-sampai pedang mereka tidak mampu untuk merobeknya.

Tiba-tiba sebuah jala kembali menyambar dari atas sehingga tubuh mereka terbungkus semakin rapat. Menyusul kemudian dari atas gua melompat turun seseorang sambil menarik tali jala itu kencang-kencang dengan sekuat tenaga.

“Hei, Guru!” seru Linghu Chong memanggil.

Ternyata yang melempar jala tersebut tidak lain memang Yue Buqun orangnya.

Setelah Yue Buqun menarik tali jala kencang-kencang, maka Linghu Chong dan Ren Yingying tampak seperti dua ekor ikan besar yang masuk jaring nelayan. Semula mereka masih meronta-ronta, tapi akhirnya sulit untuk bergerak lagi.

Dalam kegelisahannya, Ren Yingying bingung tidak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba dilihatnya bibir Linghu Chong tersenyum simpul, sikapnya sangat senang. Diam-diam ia pun merasa heran. “Jangan-jangan Kakak Chong mendapat akal untuk meloloskan diri?” pikirnya.

Terdengar Yue Buqun berkata bengis, “Bangsat cilik, dengan riang gembira kau keluar dari gua itu. Tentunya kau tidak mengira akan tertimpa bencana, bukan?”

“Bagiku ini bukan sesuatu bencana,” sahut Linghu Chong acuh tak acuh. “Pada akhirnya setiap manusia harus mati. Kini aku dapat mati bersama istriku tercinta, tentu hatiku merasa sangat senang.”

Baru sekarang Ren Yingying paham, ternyata senyum simpul di bibir Linghu Chong tadi adalah karena merasa bahagia dapat mati bersama dengannya. Seketika perasaan takut gadis itu langsung buyar dan berganti dengan perasaan bahagia.

“Bangsat cilik!” sahut Yue Buqun memaki, “Kematian sudah di depan mata, tapi mulutmu masih saja melantur.” Usai berkata demikian ia lantas mengikat tubuh muda-mudi itu dengan tali jala lebih kencang lagi.

“Aku ingat, jala pusaka ini adalah milik Lao Touzi. Pasti kau merebutnya saat menyerbu Puncak Henshan dan Lembah Tongyuan,” ujar Linghu Chong. “Tak kusangka sikapmu padaku ternyata sedemikian baik. Kau tahu kami sudah bersumpah untuk sehidup semati sehingga kau sengaja membungkus tubuh kami berdua, suami istri ini bersama-sama. Kau telah membesarkanku sejak kecil, sungguh pantas kalau kau mengetahui isi hatiku. Kau memang sahabatku yang sangat baik, Tuan Yue.”

Sengaja Linghu Chong berbicara panjang lebar dengan maksud hendak mengulur waktu, siapa tahu ia akan memperoleh akal untuk membebaskan diri. Selain itu, ia juga berharap Feng Qingyang tiba-tiba muncul untuk menolongnya.

Yue Buqun sangat gemas dan membentak, “Bangsat cilik, sejak kecil kau memang suka membual tak aturan. Sifat busukmu ternyata tidak berubah sampai sekarang. Biarlah kupotong dulu lidahmu agar nanti jika masuk neraka kau tidak perlu lagi disiksa potong lidah di sana.” Usai berkata demikian tiba-tiba kakinya langsung menendang ke pinggang Linghu Chong. Seketika titik bisu Linghu Chong pun tertotok sehingga pemuda itu tidak bisa bersuara lagi.

Yue Buqun lantas berkata kepada Ren Yingying, “Nona Ren, kau ingin aku membunuhnya lebih dulu atau membunuhmu lebih dulu?”

Ren Yingying menjawab, “Terserah kau lebih suka membunuh siapa lebih dulu, apa urusannya denganku? Yang pasti, obat penawar Pil Pembusuk Otak yang kusimpan hanya tinggal tiga butir.”

Begitu mendengar “Pil Pembusuk Otak”, seketika raut muka Yue Buqun berubah pucat. Sejak dipaksa menelan pil beracun itu, perasaan Yue Buqun sangat tertekan. Siang malam ia mencari akal untuk bisa mendapatkan obat penawarnya. Maka, bergitu datang kesempatan segera ia melemparkan jala pusaka milik Lao Touzi yang terbuat dari benang logam untuk meringkus kedua muda-mudi itu. Menurut rencana sebenarnya ia hendak membunuh Linghu Chong dan Ren Yingying lebih dulu, baru kemudian menggeledah tubuh si nona untuk mencari obat penawar pil beracun yang pernah ditelannya waktu itu.

Akan tetapi, begitu mendengar Ren Yingying hanya menyimpan tiga butir obat penawar Pil Pembusuk Otak saja, seketika perasaan Yue Buqun kembali gelisah. Dengan demikian apabila mereka berdua dibunuh, maka ia sendiri hanya dapat bertahan hidup selama tiga tahun saja. Sesudah tiga tahun terlewati, maka racun pada pil mulai bekerja dan menyerang otak. Mula-mula ia akan menjadi gila, dan akhirnya mati pelan-pelan dalam keadaan tersiksa.

Meskipun terkenal pandai menyembunyikan perasaan, tetap saja tangan Yue Buqun terlihat gemetar membayangkan hal itu. Akhirnya ia pun berkata, “Baiklah, mari kita mengadakan kesepakatan. Nyawa kalian berdua akan kuampuni, asalkan kau mengatakan kepadaku cara meracik obat penawar itu.”

Ren Yingying tertawa dan menjawab, “Haha, biarpun usiaku masih muda dan pengalamanku dangkal, tapi aku cukup mengenal kepribadian Tuan Yue dari Perguruan Huashan yang termasyhur. Kalau ucapanmu dapat dipercaya, tentu kau tidak akan lagi dijuluki sebagai Si Pedang Budiman.”

“Pintar bicara! Rupanya ini hasil pergaulanmu dengan Linghu Chong, hah?” sahut Yue Buqun. “Kau tidak perlu banyak bicara lagi! Cukup katakan saja bagaimana cara meracik obat penawar pil iblis itu!”

“Sudah tentu takkan kukatakan,” jawab Ren Yingying tegas. “Kelak tiga tahun lagi Kakak Chong dan aku akan menyambut kedatanganmu di pintu akhirat. Tapi, waktu itu wajahmu tentu sudah berbeda dengan sekarang ini. Jangan-jangan kami tidak bisa mengenalimu lagi.”

Yue Buqun merinding mendengarnya. Ia paham, begitu kuman dalam pil itu bekerja menyerang otak, maka pikirannya akan langsung menjadi gila. Setelah itu lantas muncul dorongan untuk merusak tubuh sendiri. Tangannya akan bergerak mencakari wajah hingga hancur tak berbentuk.

“Baiklah,” sahut Yue Buqun kemudian. Rupanya perasaan takut di hatinya telah berubah menjadi gusar. “Meskipun wajahku kelak akan hancur, tapi paling tidak wajahmu akan hancur terlebih dulu. Aku tidak akan membunuhmu, melainkan hanya merusak wajahmu yang cantik ini. Akan kupotong hidung dan telingamu, akan kusayat-sayat pipimu yang putih halus. Coba lihat, apakah Kakak Chong-mu yang tercinta ini masih tetap menyukai siluman seperti dirimu atau tidak?” Usai berkata ia langsung melolos pedang di tangan kanan.

Ren Yingying menjerit ngeri. Meskipun tidak takut mati, namun kalau wajahnya sampai disayat-sayat hingga rusak, lantas terlihat oleh Linghu Chong, maka hal ini sungguh sangat mengerikan baginya.

Meskipun titik bisu Linghu Chong sedang tertotok sehingga mulutnya tidak bisa bersuara, namun tangan dan kakinya masih dapat bergerak. Ia pun memahami perasaan Ren Yingying. Dengan sikunya ia menyinggung si nona, lalu kedua jarinya bergerak hendak mencolok kedua mata sendiri.

Ren Yingying pun menjerit kaget, “Kakak Chong, jangan!”

Sebenarnya Yue Buqun tidak bersungguh-sungguh hendak merusak wajah Ren Yingying. Hal ini hanya digunakan untuk mendesak si nona agar mau mengajarkan cara meracik obat penawar Pil Pembusuk Otak. Maka, begitu melihat Linghu Chong hendak membutakan mata sendiri, dengan sendirinya rencana yang jitu tersebut menjadi tidak berguna lagi. Dengan kecepatan luar biasa sebelah tangan Yue Buqun lantas menjulur. Dari luar jala ia memegang pergelangan tangan Linghu Chong sambil membentak, “Hentikan!”

Begitu kedua tangan mereka bertemu segera Jurus Penyedot Bintang pun bekerja pula. Yue Buqun merasa tenaga dalamnya membanjir keluar dengan sangat deras. Ia menjerit kaget dan berusaha meronta untuk melepaskan cengkeramannya, namun sudah terlambat. Tangan kirinya itu terasa sudah melekat kuat pada pergelangan tangan Linghu Chong.

Tanpa pikir panjang Linghu Chong lantas membalik tangannya. Kini ia berbalik mencengkeram tangan Yue Buqun dan mengerahkan Jurus Penyedot Bintang lebih keras lagi. Berangsur-angsur ia menghisap tenaga dalam Yue Buqun ke dalam tubuhnya dengan lebih kencang.

Yue Buqun sangat gugup dan segera mengayunkan pedang di tangan kanan untuk menebas tubuh Linghu Chong. Akan tetapi, Linghu Chong lebih dulu menarik tangannya sehingga tubuh Yue Buqun ikut terseret maju. Akibatnya, tebasan pedang tersebut meleset dan mengenai tanah.

Tenaga dalam Yue Buqun masih terus membanjir keluar. Ketika bermaksud menyerang lagi, ternyata tangan kanannya sudah semakin lemah lunglai. Lengannya itu bahkan susah untuk digerakkan. Dengan sisa tenaga ia berusaha mengangkat pedang dan mengarahkan ujungnya ke dahi Linghu Chong. Lengan dan pedang itu tampak gemetar, namun perlahan-lahan menusuk ke depan.

Ren Yingying menjadi khawatir. Ia bermaksud menggunakan jari untuk menyentil batang pedang Yue Buqun tersebut, namun kedua lengannya tertindih oleh tubuh Linghu Chong. Jala pusaka itu terikat dengan kencang pula. Meskipun sudah meronta sekuat tenaga namun tetap sukar menarik tangannya yang tertindih itu.

Tangan kiri Linghu Chong sendiri juga terjepit oleh Ren Yingying sehingga tidak dapat digerakkan. Tampak ujung pedang Yue Buqun sudah semakin mendekati dahinya. Dalam keadaan genting itu ia merenung, “Aku telah membunuh Zuo Lengchan dan melukai Lin Pingzhi dengan tusukan pedang perlahan-lahan. Kini Guru juga hendak membunuhku dengan cara yang sama. Sungguh cepat sekali datangnya hukum karma.”

Yue Buqun merasakan tenaga dalamnya semakin habis terkuras, namun ujung pedangnya juga tinggal beberapa senti saja dari kening Linghu Chong. Perasaan cemas dan senang bercampur aduk. Ia berharap tusukan pedangnya ini dapat membinasakan Linghu Chong. Sekalipun tenaga dalamnya terkuras habis, asalkan ia bisa tetap hidup tentu masih ada harapan untuk berlatih kembali.

Pada saat itulah tiba-tiba dari belakang terdengar suara teriakan seorang gadis muda, “Hei, apa yang kau lakukan? Cepat lepaskan pedangmu!”

Setelah itu terdengar suara langkah kaki seseorang berlari-lari mendekati tempat itu. Yue Buqun tidak peduli dan terus saja menusukkan pedangnya ke depan. Ujung pedangnya kini hanya tinggal dua senti saja untuk dapat membinasakan Linghu Chong. Hidup atau mati benar-benar tergantung pada hasil tusukannya itu.

Dengan sisa-sisa tenaga ia berusaha terus mendorong pedangnya ke depan. Akhirnya, ujung pedangnya sudah menyentuh dahi Linghu Chong. Namun, pada saat itu juga punggungnya terasa dingin. Tiba-tiba sebilah pedang telah menembus tubuhnya dari punggung hingga ke dada. Seketika tubuh Yue Buqun pun lemas dan langsung roboh di tanah.

“Kakak Linghu, apa kau baik-baik saja?” terdengar suara gadis itu menyapa. Ternyata ia adalah Yilin, si biksuni muda dari Perguruan Henshan.

Linghu Chong tidak dapat membuka suara karena titik bisunya belum terbuka. Darahnya pun terasa sedang bergemuruh memenuhi rongga dada. Maka, Ren Yingying menjawab, “Adik Yilin, Kakak Linghu baik-baik saja.”

“Syukurlah kalau begitu,” seru Yilin senang. Tiba-tiba ia tercengang dan menjerit ketakutan, “Hah, bukankah dia ini Tuan Yue? Aku … aku telah membunuh Tuan Yue!”

“Benar,” sahut Ren Yingying. “Selamat untukmu! Kau telah berhasil membalaskan kematian gurumu. Sekarang tolong kau lepaskan tali pengikat jala ini untuk membebaskan kami berdua.”

“O, ya, ya!” jawab Yilin gemetar. “Jadi aku … aku telah mem… membunuh dia?”

Meskipun sudah lama belajar silat, namun pada dasarnya ia berhati kecil. Melihat Yue Buqun tengkurap di tanah bermandikan darah segar, seketika tangannya langsung gemetar. Ia bermaksud memegang tali jala untuk membukanya, namun kedua tangannya terasa lemas tak bertenaga. Beberapa kali ia mencoba membuka ikatan tali jala tersebut, tapi tetap saja kesulitan.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang membentak, “Biksuni cilik, kau berani membunuh ketua Perguruan Lima Gunung! Dosamu harus mendapat hukuman yang setimpal!” Tampak seorang tua berbaju kuning sedang menyerbu maju dengan pedang di tangan kanan. Ia tidak lain adalah Lao Denuo.

“Celaka!” seru Linghu Chong dalam hati.

Segera Ren Yingying berseru, “Adik, lekas ambil pedangmu untuk melawannya!”

Mula-mula Yilin tertegun, namun ia segera mencabut pedang di tubuh Yue Buqun. Sementara itu, Lao Denuo sudah melancarkan tiga serangan berturut-turut. Yilin dapat menangkis kedua serangan, namun serangan ketiga telah menggores bahu kirinya hingga terluka ringan.

Sebenarnya Lao Denuo bukan pendukung Yue Buqun. Tujuannya menyerang Yilin hanyalah untuk mencegah biksuni muda itu membebaskan Linghu Chong dan Ren Yingying. Serangan-serangan orang tua itu tampak semakin cepat. Yang ia mainkan adalah Jurus Pedang Penakluk Iblis. Hanya saja karena latihannya belum sempurna, maka kecepatannya sangat jauh bila dibandingkan dengan Lin Pingzhi. Namun, pada dasarnya kepandaian Lao Denuo memang cukup tinggi dan juga lebih berpengalaman. Ia menguasai ilmu pedang Songshan dan Huashan dengan baik. Tentu saja Yilin bukan tandingannya.

Meskipun demikian, ilmu silat Yilin sendiri juga sudah maju pesat. Siang malam ia berada dalam bimbingan Yihe dan Yiqing untuk mempelajari ilmu pedang leluhur Perguruan Henshan yang diperoleh Linghu Chong dari dinding gua rahasia dulu. Di samping itu, karena Lao Denuo juga sedikit ragu-ragu dalam memainkan Jurus Pedang Penakluk Iblis, sehingga cenderung memainkan campuran ilmu pedang Songshan dan Huashan. Karena kedua ilmu pedang itu dicampur aduk, akibatnya malah kehilangan kesaktiannya. Maka, untuk sementara Yilin masih dapat menghadapi kepandaian Lao Denuo tersebut.

Pada mulanya Yilin agak gugup karena serangan lawan begitu mendadak sehingga bahunya pun terluka. Namun, begitu teringat kalau dirinya sampai kalah, maka nasib Linghu Chong dan Ren Yingying tentu dalam bahaya. Dalam benaknya terlintas suatu pikiran, “Jika musuh hendak membunuh Kakak Linghu, maka dia harus melangkahi mayatku lebih dahulu.” Seketika ia pun tidak takut mati dan terus menyerang melancarkan jurus-jurus pedang Henshan dengan lebih nekat.

Menghadapi perlawanan sengit yang tidak kenal takut itu, Lao Denuo menjadi sukar untuk mengalahkan Yilin. Terpaksa ia bertarung sambil memaki, “Biksuni cilik, keparat kau! Persetan ibumu!”

Ren Yingying melihat cara bertempur Yilin yang nekat itu sebenarnya hanya bisa bertahan untuk sementara saja. Segera ia pun meronta berusaha membebaskan diri. Setelah menggeser tubuhnya akhirnya ia bisa menggerakkan tangan kiri dan membuka totokan Linghu Chong. Setelah itu ia lantas melolos pedang pendeknya yang terselip di pinggang.

“Hei, Lao Denuo, siapa itu yang ada di belakangmu?” seru Linghu Chong begitu mulutnya bisa kembali berbicara.

Namun, Lao Denuo cukup berpengalaman. Dalam pertempuran mati-matian seperti itu tentu saja ia tidak mau tertipu oleh seruan Linghu Chong tersebut. Ia memilih tidak peduli terhadap teriakan itu, sebaliknya justru mempergencar serangan-serangannya.

Sementara itu, diam-diam Ren Yingying bermaksud melemparkan pedang pendeknya dari dalam jala. Namun jarak pertarungan antara Yilin dan Lao Denuo sangat dekat. Ia takut kalau lemparannya sedikit melenceng tentu malah mengenai tubuh Yilin.

Tiba-tiba terdengar Yilin menjerit. Ternyata bahunya kembali terkena senjata musuh. Kalau luka yang pertama tadi hanya tergores sedikit, maka luka yang kedua ini agak parah sehingga darah pun bercucuran membasahi rumput.

“Eh, ada monyet!” kembali Linghu Chong berseru pula. “Ah, aku kenal monyet itu. Itu monyet piaraan Adik Keenam dulu. Hei, monyet yang baik, cepat kau tubruk keparat itu! Gigit orang itu sampai mampus! Dia adalah bajingan yang membunuh majikanmu!”

Waktu itu demi mencuri kitab pusaka Awan Lembayung, Lao Denuo telah membunuh Lu Dayou, murid keenam Perguruan Huashan. Lu Dayou memang memiliki seekor kera yang selalu hinggap di atas bahunya. Setelah ia terbunuh, kera kecil itu pun menghilang entah ke mana.

Kini mendengar Linghu Chong berseru tentang monyet, mau tidak mau Lao Denuo merinding juga. Ia berpikir, “Entah dia bohong atau tidak, tapi kalau binatang itu benar-benar menubruk ke tubuhku dan menggigit leherku, rasanya repot juga untuk mengusirnya.” Maka, tanpa pikir lagi pedangnya lantas menebas ke belakang. Padahal kalau dipikir dengan jernih, mana mungkin ada seekor monyet berani mendekati dua manusia yang sedang bertarung?

Pada saat itulah Ren Yingying segera melemparkan pedang pendeknya melalui bagian bawah jala yang sedikit terbuka. Pedang pendek itu melesat secepat kilat menyambar ke arah tengkuk Lao Denuo. Namun, Lao Denuo sangat cekatan dan berhasil mengelak. Dengan sedikit menunduk ke bawah, pedang Ren Yingying itu hanya lewat di atas kepalanya. Tapi mendadak pergelangan kaki kiri orang tua itu terasa kencang karena terjerat oleh seutas tali, bahkan tali itu lantas tertarik sehingga tubuhnya pun jatuh tersungkur.

Ternyata dalam keadaan gawat tersebut, Linghu Chong tidak menyia-nyiakan kesempatan. Sewaktu Lao Denuo mendekam ke bawah untuk menghindari sambaran pedang pendek tadi, Linghu Chong mempersiapkan serangan kedua. Meskipun tidak mampu membebaskan diri, namun tali jala yang cukup panjang itu dapat dilecutkannya untuk menjerat kaki Lao Denuo dan menariknya hingga jatuh.

“Bunuh dia! Lekas bunuh dia!” seru Linghu Chong dan Ren Yingying bersama-sama.

Yilin lantas mengangkat pedangnya hendak memenggal kepala Lao Denuo. Namun pada dasarnya ia bersifat welas asih dan bernyali kecil pula. Sewaktu membunuh Yue Buqun tadi ia hanya terdorong oleh perasaan ingin menolong Linghu Chong, sehingga tanpa pikir panjang pedangnya langsung menusuk begitu saja. Namun, sekarang ketika pedangnya hampir mengenai leher Lao Denuo, tiba-tiba saja timbul perasaan tidak tega. Akibatnya, serangannya itu sedikit melenceng dan hanya mengenai pundak kanan Lao Denuo.

Tulang pundak Lao Denuo patah seketika. Pedangnya pun terlepas dari genggaman. Khawatir Yilin kembali menyerang, Lao Denuo segera melompat bangun sambil menahan sakit. Setelah meronta dan terlepas dari jerat tali jala tadi, secepat kilat ia lantas kabur melarikan diri ke bawah tebing.

Tiba-tiba dari arah lain muncul dua orang, perempuan dan laki-laki. Seorang perempuan yang berjalan di depan lantas membentak, “Hei, apa kau yang memaki anak perempuanku tadi, hah?” Ternyata perempuan itu adalah ibu Yilin, si perempuan tua penjaga Kuil Gantung yang selama ini menyamar sebagai nenek bisu tuli.

Tanpa menjawab Lao Denuo lantas mengangkat kaki hendak menendang. Namun, gerak tubuh si nenek sangat cepat sukar untuk dilukiskan. Hanya sedikit berkelit, tahu-tahu tangannya sudah menampar wajah Lao Denuo satu kali.

“Kurang ajar!” bentak perempuan itu. “Tadi kau memaki ‘persetan ibumu’ kepadanya! Maka kuberi tahu padamu, akulah ibunya!”

“Jangan lepaskan dia! Jangan lepaskan dia!” seru Linghu Chong.

Sebenarnya si nenek sudah mengangkat tangan hendak memukul keras-keras kepala Lao Denuo. Namun, begitu mendengar seruan Linghu Chong itu, ia menjadi marah dan berkata, “Setan cilik, aku justru ingin melepaskan dia, kau mau apa?” Usai berkata ia lantas memberi jalan kepada Lao Denuo sambil menendang pantatnya satu kali.

Bagaikan lolos dari neraka, Lao Denuo langsung berlari tunggang langgang turun dari puncak gunung itu.

Orang kedua yang ikut di belakang si nenek tidak lain adalah Biksu Bujie. Dengan tertawa ia mendekati Linghu Chong dan berkata, “Hei, masih banyak tempat bermain yang bagus. Mengapa kalian lebih suka bermain petak umpet di dalam jala?”

“Lekas buka jala itu, Ayah! Lepaskan Kakak Linghu dan Nona Ren,” seru Yilin.

Tapi si nenek menyela dengan muka beringas, “Aku masih harus membuat perhitungan dengan setan cilik ini, jangan lepaskan dia!”

“Hahahahaha!” Linghu Chong bergelak tertawa. “Suami-istri naik tempat tidur, makcomblang ikut senang tapi dibuang beegitu saja. Kalian suami-istri telah berkumpul kembali mengapa tidak mengucapkan terima kasih kepada makcomblang ini?”

Namun, nenek itu malah menendang tubuh Linghu Chong satu kali dengan gemas, dan memaki, “Aku berterima kasih dengan cara menendangmu.”

“Hei, Enam Dewa Lembah Persik juga datang,” teriak Linghu Chong tiba-tiba. “Lekas kalian tolong aku!”

Rupanya si nenek agak gentar terhadap Enam Dewa Lembah Persik. Begitu mendengar seruan Linghu Chong, ia terkejut dan langsung menoleh. Maka, kesempatan ini pun dimaanfaatkan Linghu Chong untuk membuka tali pengikat jala dengan sangat cepat dan membiarkan Ren Yingying merangkak keluar. Ketika ia sendiri hendak merangkak, tiba-tiba si nenek membentak, “Kau tidak boleh keluar!”
“Tidak boleh juga tidak masalah,” ujar Linghu Chong tertawa. “Di dalam jala ini ada duniaku tersendiri. Di sini aku merasa nyaman, bagaikan di kahyangan. Seorang laki-laki sejati sanggup mengkerut atau memuai sesuai kebutuhan. Saat mengkerut aku masuk jala, saat memuai aku keluar jala. Masalah seperti ini tidak ada artinya buatku. Aku Linghu ….” Seketika ia langsung terdiam begitu pandangannya bergeser ke arah mayat Yue Buqun yang tegeletak di situ. Meskipun mantan gurunya itu berkali-kali hendak mencelakainya, namun ia tidak sanggup melupakan kebaikan Yue Buqun yang sudah merawatnya sejak kecil. Ia menganggap rusaknya hubungan guru dan murid semata-mata hanya dikarenakan Kitab Pedang Penakluk Iblis. Seketika hatinya menjadi pilu dan rongga dada terasa panas pula. Tanpa terasa air mata pun berlinang-linang dan mengucur di pipi pemuda itu.

Sepertinya si nenek tidak mengetahui perasaan Linghu Chong. Ia masih saja marah-marah dan memaki, “Setan cilik, kalau aku tidak menghajarmu, maka rasa benciku tidak akan terlampiaskan!” Usai berkata demikian ia segera mengangkat tangan hendak menampar muka Linghu Chong.

Yilin tampak sedih dan berteriak mencegah, “Ibu, jangan ….”

Sementara itu, Linghu Chong tersadar dari lamunannya dan entah bagaimana tangannya di dalam jala sudah memegang sebilah pedang di luar jala. Rupanya Ren Yingying sempat menyerahkan senjata itu pada saat sang kekasih sedang termangu-mangu.

Begitu senjata sudah di tangan, segera Linghu Chong mengacungkan pedangnya dan menusuk ke arah titik penting di pundak kanan si nenek. Terpaksa perempuan tua itu mundur selangkah.

Melihat Linghu Chong berani melawannya bahkan balas menyerang, si nenek bertambah marah. Tubuhnya bergerak secepat angin. Tangannya menghantam dan kaki menendang bersama-sama. Berkali-kali ia melancarkan tujuh-delapan serangan sekaligus. Namun, Linghu Chong selalu dapat melawannya dengan tidak kalah cepat pula. Pedangnya itu selalu mengancam tempat-tempat berbahaya di tubuh si nenek. Hanya saja, setiap kali ujung pedang hampir mengenai sasaran segera ditariknya kembali. Ilmu Sembilan Pedang Dugu boleh dikata tidak memiliki tandingan di dunia ini. Kalau saja Linghu Chong tidak memberi kelonggaran, mungkin si nenek sudah berlubang-lubang tubuhnya sejak tadi.

Setelah bergerak lagi beberapa jurus, akhirnya perempuan itu menghela napas panjang. Ia menyadari ilmu silat Linghu Chong sangat jauh di atasnya. Maka, ia pun berhenti menyerang dengan raut muka memendam kecewa.

“Istriku,” sahut Biksu Bujie menenangkannya, “kita semua adalah kawan sendiri. Untuk apa berselisih?”

“Siapa yang menyuruhmu ikut bicara?” bentak si nenek gusar. Segera ia bermaksud melampiaskan kemarahannya kepada Bujie.

Kesempatan itu segera digunakan Linghu Chong untuk meletakkan pedangnya dan menerobos keluar dari dalam jala. Sambil tertawa ia berkata, “Jika kau ingin melampiaskan kemarahanmu, silakan pukul aku saja!”

Tanpa permisi perempuan itu langsung menampar muka Linghu Chong dengan sangat keras. Pemuda itu berteriak tapi tidak menghindar sedikit pun.

“Kenapa kau tidak menghindar?” bentak si nenek gusar.

“Aku tidak mampu menghindarinya,” sahut Linghu Chong tertawa. “Aku bisa apa?”

Nenek itu mendengus. Kembali ia mengangkat tangan hendak memukul, namun diurungkannya. Ia tahu Linghu Chong sengaja mengalah kepadanya karena menghormati Yilin.

Sementara itu, Ren Yingying sedang menarik tangan Yilin dan berkata kepadanya, “Adik, syukur kau datang tepat waktu dan menolong kami. Tapi, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?”

“Kami semua, murid-murid Perguruan Henshan telah ditangkap oleh anak buahnya,” jawab Yilin sambil menunjuk ke arah mayat Yue Buqun. “Kami dikurung di tempat yang terpisah-pisah. Aku dan ketiga kakak dikurung di suatu gua. Kemudian Ayah, Ibu, dan Bukebujie datang menolong kami. Selanjutnya kami berpencar untuk menolong saudara-saudara lainnya. Aku bersama Ayah dan Ibu, sementara ketiga kakak bersama Bukebujie. Ketika sampai di bawah tebing ini aku mendengar ada orang berbicara di atas. Karena suaranya seperti suara Kakak Linghu, maka aku pun berlari meninggalkan Ayah dan Ibu untuk mendahului naik ke atas sini.”

Ren Yingying berkata, “Ketua Linghu dan aku mencari kalian ke berbagai tempat dan tidak menemukan seorang pun. Ternyata kalian dikurung di dalam sebuah gua.”

Linghu Chong menyahut, “Si bangsat tua berbaju kuning tadi adalah manusia jahat. Sungguh hatiku tidak rela melihatnya sampai lolos.” Ia lantas memungut kembali pedangnya di tanah lalu menambahkan, “Mari kita lekas mengejarnya.”

Kelima orang itu bergegas turun dari Tebing Perenungan tersebut. Tidak lama kemudian mereka pun bertemu Bukebujie alias Tian Boguang bersama tujuh orang murid Henshan sedang mendaki ke atas. Salah seorang di antara ketujuh murid itu adalah Yiqing. Mereka semua begitu gembira dapat berkumpul kembali dengan selamat.

Dalam hati Linghu Chong merenung, “Boleh dikata di dunia ini aku adalah orang yang paling paham seluk beluk Gunung Huashan. Namun, aku sama sekali tidak tahu kalau di bawah lembah sana terdapat sebuah gua, sedangkan orang luar macam Saudara Tian kenapa bisa menemukannya? Ini sungguh aneh.”

Dengan penasaran Linghu Chong lantas menarik baju Tian Boguang dan mengajaknya berjalan pelan-pelan agar tertinggal di belakang rombongan. Perlahan ia bertanya, “Saudara Tian, ternyata di bawah lembah Pegunungan Huashan ini terdapat gua rahasia lain, padahal aku tidak mengetahuinya sama sekali. Sungguh aku merasa heran dan sangat kagum kepadamu.”

“Sebenarnya juga tidak perlu heran seperti itu,” sahut Tian Boguang dengan tersenyum.

“Ah, aku tahu,” ujar Linghu Chong kemudian. “Tentu kau menangkap salah seorang murid Huashan, lalu memaksanya menunjukkan di mana letak gua rahasia itu.”

“Juga bukan seperti itu,” sahut Tian Boguang.

“Lalu dari mana kau tahu ada gua di sana? Tolong kau jawab pertanyaanku ini,” pinta Linghu Chong.

Tiba-tiba sikap Tian Boguang terlihat kaku dan rikuh. Ia lantas menjawab dengan tersenyum, “Kurang pantas rasanya jika kuterangkan hal ini. Lebih baik tidak kukatakan saja.”

“Kita berdua sama-sama kaum berandalan di dunia persilatan, apanya yang tidak sopan?” ujar Linghu Chong. “Sudahlah, lekas kau terangkan saja.”

“Jika kukatakan, hendaknya Ketua Linghu jangan marah,” kata Tian Boguang.

“Kenapa aku harus marah?” sahut Linghu Chong tertawa. “Seharusnya aku malah berterima kasih kepadamu karena telah menyelamatkan orang-orang Perguruan Henshan.”

Maka, dengan suara tertahan Tian Boguang berkata, “Terus terang, sebagaimana diketahui oleh Ketua Linghu sendiri bahwa aku sudah lama malang melintang sebagai penjahat cabul di dunia ini. Tapi, sejak kepalaku digunduli oleh Kakek Guru dan menjadi biksu dengan nama Bukebujie, maka dengan sendirinya aku tidak bisa melakukan begituan lagi ….”

Teringat kepada nama aneh pemberian Biksu Bujie kepada Tian Boguang tersebut, tanpa terasa Linghu Chong tersenyum geli. Tian Boguang paham apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda itu. Seketika mukanya menjadi merah, dan ia pun berkata, “Namun, kepandaian yang telah kumiliki sejak dulu tidak hilang begitu saja. Entah bagaimana, di mana ada perempuan berkumpul, tentu aku dapat … dapat merasakannya.”

Linghu Chong terheran-heran dan bertanya, “Bagaimana kau bisa melakukannya? Bagaimana caranya?”

“Aku juga tidak tahu bagaimana caranya. Rasanya aku bisa membedakan dengan jelas bagaimana bau badan perempuan dan bagaimana bau badan laki-laki, meskipun jaraknya sangat jauh,” jawab Tian Boguang.

“Hahahaha! Saudara Tian benar-benar seorang mahacerdik!” puji Linghu Chong dengan bergelak tawa. “Pada umumnya para biksu memiliki telinga sakti atau mata sakti, namun Saudara Tian justru memiliki hidung sakti.”

“Ah, tidak benar, tidak benar!” sahut Tian Boguang.

“Kepandaian Saudara Tian terasah berkat latihan keras dan pengalaman panjang. Jika dulu ilmu saktimu itu kau gunakan untuk kejahatan, tidak disangka, kini dapat kau gunakan untuk menolong murid-murid Perguruan Henshan,” kata Linghu Chong dengan terus tertawa.

Mendengar gelak tawa itu, Ren Yingying menoleh ke belakang hendak bertanya. Namun, melihat sikap Tian Boguang yang rikuh dan wajahnya bersemu merah, si nona menduga tentu mereka sedang membicarakan hal-hal yang kurang sopan. Maka, ia pun batal bertanya.

Tiba-tiba Tian Boguang berhenti di situ dan berkata, “Hei, di sebelah kiri sana sepertinya ada beberapa anggota Perguruan Henshan.” Usai berkata ia lantas mengendus-endus dengan kuat beberapa kali, lalu melangkah ke arah semak-semak di bawah lereng sana sambil mengendap-endap mencari sesuatu. Perbuatannya itu tampak seperti anjing pemburu yang sedang mencari jejak hewan buruannya.

Tidak lama kemudian, mendadak ia bersorak gembira dan berseru, “Ini dia, di sebelah sini!”

Tempat yang ditunjuknya berupa tumpukan belasan bongkah batu besar. Setiap bongkahan batu itu sangat berat. Segera ia pun bekerja keras. Sebongkah batu besar itu lantas disingkirkan dari tempatnya.

Dengan cepat Biksu Bujie dan Linghu Chong ikut membantu. Sebentar saja belasan batu besar telah mereka singkirkan. Ternyata di bawahnya terdapat sepotong balok batu. Ketika mereka mengangkat balok batu itu, segera tampak sebuah lubang gua bawah tanah. Di dalam gua tersebut berbaring beberapa biksuni, jelas mereka adalah murid-murid Perguruan Henshan seluruhnya.

Lekas-lekas Yiqing dan dua orang lainnya melompat turun ke dalam gua dan mengangkat keluar saudara-saudara seperguruan mereka itu. Sudah lima-enam orang yang berhasil digotong keluar. Di dalam gua ternyata masih ada yang lain, semuanya dalam keadaan payah. Segera mereka menyeret keluar semua murid Perguruan Henshan yang terkurung itu. Yihe, Zheng E, dan Qin Juan tampak berada di antaranya. Gua sesempit itu ternyata berisi tiga puluhan orang. Andaikan terlambat semalam saja, tentu mereka semua mati lemas karena kehabisan udara.

Teringat betapa kejam sang guru, mau tidak mau Linghu Chong merasa ngeri juga. Segera ia pun memuji Tian Boguang, “Saudara Tian, kepandaianmu sungguh istimewa. Para kakak dan adik tersembunyi di dalam gua bawah tanah sedalam ini, tapi kau dapat mengendusnya. Sungguh aku sangat kagum padamu.”

“Sebenarnya tidak terlalu istimewa,” ujar Tian Boguang. “Untunglah di antara para bibi itu ada yang berasal dari kalangan awam ….”

“Para bibi apa?” tanya Linghu Chong heran. Namun, ia segera paham dan berkata, “Ah, benar juga! Kau adalah murid Adik Yilin.”

“Bila yang terkurung di dalam gua ini hanya para bibi dari kalangan biksuni, maka sukar bagiku untuk menemukan mereka,” jawab Tian Boguang.

“Oh, rupanya ada perbedaan besar antara kaum agama dengan kaum awam?” tanya Linghu Chong.

“Sudah tentu ada bedanya,” ujar Tian Boguang. “Perempuan dari kalangan awam pada tubuhnya terdapat bau bedak dan gincu yang wangi.”

Linghu Chong pun paham permasalahannya. Harumnya bedak dan gincu itu menambah kuat bau perempuan mereka sehingga membuat Tian Boguang lebih cepat dalam menemukan mereka.

Beramai-ramai Yiqing, Yilin, dan yang lain sibuk menyadarkan para saudara seperguruannya yang sudah payah itu. Setelah diberi minum air jernih, satu per satu dari mereka akhirnya sadar kembali, terutama Yihe yang memiliki tenaga dalam paling tinggi.

“Yang kita selamatkan ini belum ada sepertiga dari semua saudara-saudara kita,” kata Linghu Chong. “Maka itu, Saudara Tian, harap kau pertunjukkan kesaktianmu. Marilah kita mencari lagi saudara-saudara yang lain.”

Saat itu si nenek sedang melirik kepada Tian Boguang dengan penuh rasa curiga. Tiba-tiba ia bertanya kasar, “Bagaimana kau bisa mengetahui mereka terkurung di sini? Kemungkinan besar kau berada di sekitar sini ketika mereka disekap, benar tidak?”

“Tidak, tidak,” segera Tian Boguang membantah. “Aku senantiasa ikut Kakek Guru. Ke mana pun Beliau pergi aku tidak pernah berpisah selangkah pun.”

“Apa kau senantiasa ikut di sisinya?” sahut si nenek menegas dengan muka cemberut.

Diam-diam Tian Boguang merasa ucapannya keliru. Ia tahu Biksu Bujie dan istrinya baru saja berkumpul kembali setelah sekian lamanya berpisah. Segala perbuatan mereka di sepanjang jalan, baik itu menangis, tertawa, bertengkar, atau bermesraan, semua disaksikan oleh Tian Boguang. Kalau sekarang si nenek guru sampai marah karena malu, tentu ia bisa celaka. Maka, dengan cepat ia pun menjawab, “Bukan begitu maksudku. Selama setengah tahun ini aku selalu mendampingi Kakek Guru, tapi kira-kira sepuluh hari terakhir kami berpisah dan baru bertemu kembali di Gunung Huashan ini.”

Sudah tentu si nenek setengah percaya dan setengah ragu. Ia kembali bertanya, “Lalu bagaimana kau bisa mengetahui para biksuni terkurung di dalam gua ini?”

“Tentang ini … ini ….” seketika Tian Boguang menjadi sukar memberi jawaban.

Pada saat itulah tiba-tiba dari arah lereng gunung bergema suara trompet disusul suara genderang bergemuruh yang sangat ramai. Sepertinya ada beribu-ribu prajurit menyerbu Gunung Huashan. Seketika semua orang menjadi tercengang.

Ren Yingying lantas berbisik kepada Linghu Chong, “Ayahku datang.”

“Oh ….” ujar Linghu Chong terputus. Sebenarnya ia hendak berkata, “Oh, ternyata ayah mertuaku yang datang!” namun tiba-tiba merasa tidak enak untuk melanjutkannya.

Si nenek tampak heran dan bertanya, “Apakah ada pasukan yang datang?”

Tiba-tiba suara genderang dan terompet itu berhenti serentak. Sebanyak tujuh atau delapan orang lantas berteriak bersama-sama, “Pemimpin Sekte Matahari dan Bulan, penguasa dunia persilatan, pelindung rakyat jelata, Paduka Yang Mulia Baginda Ketua Ren telah tiba!”

Tenaga dalam orang-orang itu sangat dahsyat. Suara teriakan mereka seketika menggelegar di angkasa lembah pegunungan itu sampai menimbulkan suara yang bergemuruh. Maka, terdengarlah gema suara mereka berkali-kali, “Ketua Ren telah tiba! Ketua Ren telah tiba!”

Raut muka Biksu Bujie dan para murid Henshan seketika pucat mendengar gema suara itu. Belum lenyap suara gema yang pertama berkumandang, kembali terdengar pula banyak orang berteriak, “Hidup Ketua Ren! Semoga Ketua Ren panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan!”

Dari suara gemuruh yang menggetarkan bumi itu, jumlah mereka yang berteriak-teriak sedikitnya ada dua sampai tiga ribu orang. Sejenak kemudian, gema suara itu terdengar mulai reda. Setelah suasana hening, kembali terdengar seseorang berseru dengan lantang, “Pemimpin Sekte Matahari dan Bulan, Ketua Ren yang mahabijaksana, sang juruselamat memberikan perintah: Hendaknya para ketua dari Serikat Pedang Lima Gunung beserta semua muridnya mematuhi perintah untuk berangkat dan berkumpul di Puncak Menyongsong Mentari!”

Orang itu mengulangi titah sang ketua sampai tiga kali. Selang sejenak ia lantas menyambung kembali, “Para ketua cabang dan semua wakilnya harap segera memimpin anak buah masing-masing mengadakan pemeriksaan di segenap puncak gunung. Jaga semua jalur keluar-masuk dengan ketat. Orang yang tidak berkepentingan dilarang melewati pegunungan ini. Yang melanggar perintah bisa dibunuh saja tanpa perkara.”

Segera terdengar dua-tiga puluh orang mengiakan perintah itu.

Linghu Chong saling pandang sekejap dengan Ren Yingying. Mereka paham apa artinya perintah tersebut, yaitu setiap anggota Serikat Pedang Lima Gunung harus pergi ke Puncak Menyongsong Mentari untuk menghadap kepada Ren Woxing. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Ketua Ren adalah ayah dari Yingying. Bagaimanapun juga ia adalah calon mertuaku. Tiada salahnya kalau aku ke sana sekarang.”

Karena itu, ia lantas berkata kepada Yihe dan yang lain, “Masih ada sebagian saudara kita yang terkurung. Hendaknya Saudara Tian menjadi penunjuk jalan untuk menolong mereka keluar. Ketua Ren adalah ayah Nona Ren, rasanya Beliau tidak akan menyusahkan kita. Aku dan Nona Ren akan mendahului pergi ke puncak timur sana. Setelah saudara-saudara kita berkumpul seluruhnya, hendaknya semua beramai-ramai bergabung ke sana pula.”

Yihe, Yiqing, Yilin, dan yang lain serentak mengiakan. Mereka lantas mengikuti Tian Boguang pergi mencari teman-teman lain yang masih terkurung di berbagai tempat.

Tiba-tiba si nenek mengomel, “Huh, untuk apa aku harus mematuhi perintah si Ketua Ren itu? Baiklah, aku ingin melihat bagaimana orang bermarga Ren itu membunuhku tanpa perkara.”

Linghu Chong paham watak si nenek ini memang sukar diajak bicara. Seandainya ia bersedia pergi menemui Ren Woxing, bukan tidak mungkin malah menimbulkan gara-gara. Maka, ia pun melangkah pergi dengan Ren Yingying saja setelah memberi hormat kepada Biksu Bujie dan istrinya itu.

Sambil berjalan Linghu Chong bercerita, “Gunung Huashan memiliki tiga puncak tertinggi, yaitu puncak barat, puncak timur, dan puncak selatan. Puncak barat dan timur adalah yang terutama. Puncak timur memiliki sebutan Puncak Menyongsong Mentari. Ayahmu sengaja memilih Puncak Menyongsong Mentari sebagai tempat pertemuan dengan para kesatria Serikat Pedang Lima Gunung sudah tentu mempunyai maksud yang mendalam. Sepertinya kami semua diminta untuk menyongsong kedatangan ayahmu sebagai penguasa tertinggi. Sudah pasti ayahmu mendengar berita bahwa semua anggota Serikat Pedang Lima Gunung sedang berkumpul di Gunung Huashan sini, lantas ia pun datang untuk memerintahkan kami semua untuk menghadap.”

Ren Yingying berkata, “Di antara para pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung itu, dalam sehari saja telah terbunuh tiga orang, yaitu Tuan Yue, Zuo Lengchan, dan Tuan Besar Mo. Perguruan Taishan sendiri belum jelas siapa yang menjadi ketua baru. Dengan demikian, di antara Serikat Pedang Lima Gunung hanya tinggal kau seorang saja yang menjabat ketua.”

Linghu Chong menjawab, “Selain Perguruan Henshan kami, hampir semua tulang punggung Serikat Pedang Lima Gunung sudah tewas di gua belakang Tebing Perenungan itu. Sementara itu, murid-murid Henshan sendiri juga baru saja terkurung dalam keadaan payah. Karena itu, aku khawatir ….”

“Kau khawatir ayahku akan menumpas habis Serikat Pedang Lima Gunung kalian pada kesempatan seperti sekarang ini?” sahut Ren Yingying menegas.

Linghu Chong mengangguk sambil menghela napas, lalu berkata, “Sebenarnya Beliau tidak perlu turun tangan juga orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung sudah tidak berarti lagi.”

“Perhitungan ayahku kali ini benar-benar sangat jitu,” kata Ren Yingying. “Tuan Yue telah memancing berbagai tokoh inti dari Serikat Pedang Lima Gunung untuk masuk ke dalam gua rahasia di Gunung Huashan sini untuk melihat ilmu pedang para leluhur yang terukir di dinding. Diam-diam tentu dia bermaksud menumpas mereka semua agar dapat menjabat sebagai ketua Perguruan Lima Gunung dengan leluasa. Tak disangka, kesempatan itu justru digunakan oleh Zuo Lengchan dengan mengajak segerombolan orang buta untuk membinasakan Tuan Yue di dalam gua gelap tersebut.” Mengingat Linghu Chong sedang berduka, ia tidak berani sembarangan menyebut nama Yue Buqun.

“Kau bilang Zuo Lengchan bermaksud membunuh guruku?” sahut Linghu Chong menegas. “Jadi bukan aku yang diincar Zuo Lengchan?”

“Dia tidak menyangka kau juga datang ke sini,” sahut Ren Yingying. “Ilmu pedangmu sudah mahasakti, sudah lama pula kau mengetahui jurus-jurus ilmu pedang leluhur yang terukir di dinding gua itu. Maka, ia menduga kau tidak akan tertarik oleh umpan yang dipasang Tuan Yue itu. Bukankah kita masuk ke dalam gua itu hanya karena kebetulan saja?”

“Benar juga,” ujar Linghu Chong. “Sebenarnya antara aku dan Zuo Lengchan tidak terdapat permusuhan yang mendalam. Kedua matanya telah dibutakan oleh Guru. Selain itu, Guru juga telah merebut kedudukan ketua Perguruan Lima Gunung dan menghancurkan rencana jangka panjangnya. Hal inilah yang menjadi dendam kesumat baginya.”

“Zuo Lengchan pasti sudah mengatur tipu muslihat untuk memancing Tuan Yue masuk ke dalam gua itu,” lanjut Ren Yingying. “Dia bermaksud membunuh Tuan Yue di dalam gua yang gelap gulita. Tapi entah bagaimana Tuan Yue berhasil mengetahui tipu muslihat itu sehingga berbalik menanti di mulut gua. Ia bermaksud menangkap Zuo Lengchan dan gerombolannya menggunakan jala pusaka tadi. Kini Zuo Lengchan dan gurumu sudah meninggal semua. Kita hanya bisa menduga-duga, sementara seluk-beluk masalah ini secara terperinci mungkin tiada seorang pun yang tahu.”

Linghu Chong mengangguk dengan perasaan pilu.

Ren Yingying kembali berkata, “Sepertinya sudah sejak lama Tuan Yue merencanakan tipu muslihatnya untuk memancing kedatangan tokoh-tokoh inti Serikat Pedang Lima Gunung ke dalam gua itu. Sewaktu pertandingan di puncak Songshan tempo hari, adik kecilmu telah memainkan jurus-jurus leluhur Perguruan Taishan, Hengshan, Songshan, dan Henshan untuk menghadapi para ketua dari golongan masing-masing. Sudah tentu kepandaiannya yang luar biasa itu sangat menarik perhatian banyak orang. Hanya murid-murid Perguruan Henshan saja yang tidak tertarik oleh kepandaian Nona Yue karena kau sudah mengajarkan ilmu pedang leluhur yang kau peroleh dari ukiran di dinding gua tersebut kepada mereka. Sementara itu, orang-orang Perguruan Hengshan, Songshan, dan Taishan tentu merasa penasaran dan berusaha mencari tahu dari mana Nona Yue dapat mempelajari ilmu pedang mereka yang lihai itu. Nah, di situlah Tuan Yue sengaja membocorkan sedikit rahasianya, lalu menentukan hari serta membuka pintu lebar-lebar gua keramat tersebut. Tentu saja para pemuka dari ketiga perguruan lantas membanjir ke sana dan berebut mendahului masuk ke dalam gua itu.”

“Benar sekali. Kaum persilatan seperti kita ini memang mudah tertarik kepada ilmu silat,” sahut Linghu Chong. “Begitu mendengar di mana ada ilmu silat yang istimewa, biarpun menghadapi bahaya besar juga tetap berangkat untuk melihatnya. Apalagi kalau menyangkut ilmu silat tertinggi dari perguruan sendiri, tentu saja harus dicari sampai bertemu. Bahkan, tokoh semacam Paman Guru Mo yang biasanya acuh tak acuh akhirnya juga menjadi korban tipu muslihat guruku.”

Ren Yingying berkata, “Sepertinya Tuan Yue sudah menduga Perguruan Henshan kalian tidak akan datang kemari. Maka itu, dia lantas mengatur siasat lain. Dengan menaburkan obat bius, para murid Henshan dapat ditawan dan dibawa ke Huashan sini.”

Linghu Chong terlihat heran dan bertanya, “Aku tidak mengerti, mengapa Guru harus bersusah payah mengangkut orang-orang Henshan kemari? Padahal perjalanan cukup jauh, dan di tengah jalan bisa saja terjadi perlawanan. Kalau dia langsung membunuh orang-orang kami di Gunung Henshan bukankah jauh lebih mudah?” Setelah diam sejenak, ia kembali berkata, “Ah, aku paham sekarang. Kalau murid-murid Henshan dibunuh habis, ini berarti Perguruan Lima Gunung akan menjadi pincang. Padahal, Guru ingin menjadi ketua Perguruan Lima Gunung secara sempurna. Tanpa Perguruan Henshan berarti jabatannya itu tidak sesuai lagi dengan namanya.”

“Sudah tentu demikian,” ujar Ren Yingying. “Tapi yang kau katakan itu hanyalah satu alasan saja. Aku rasa masih ada satu alasan lain yang lebih besar.”

“Apa itu?” Linghu Chong bertanya.

“Yang paling baik baginya adalah bisa menangkapmu hidup-hidup,” tutur Ren Yingying. “Dengan mengangkut semua murid Perguruan Henshan kemari, ia bermaksud memaksamu untuk datang pula dan menyerahkan sesuatu yang ia butuhkan. Nah, sesuatu itu sebenarnya ada di tanganku.”

“Oh ya, aku tahu!” seru Linghu Chong sambil menepuk paha. “Yang diinginkan guruku adalah obat penawar Pil Pembusuk Otak.”

“Setelah Tuan Yue menelan pil itu, dengan sendirinya dia menjadi tidak tenteram siang dan malam,” ujar Ren Yingying. “Bagaimanapun juga dia berusaha hendak memusnahkan racun yang mengeram di dalam tubuhnya itu. Dia tahu, hanya melalui dirimu barulah obat penawar itu dapat diperoleh.”

“Benar,” jawab Linghu Chong. “Itu karena dia tahu kalau aku ini jantung hatimu. Hanya diriku saja yang dapat membuatmu rela menyerahkan obat penawar itu kepadanya.”

Ren Yingying menukas, “Huh, dasar tidak tahu malu, memuji diri sendiri! Kalau dia sampai menangkapmu dan memaksaku menyerahkan obat penawar itu kepadanya, maka aku tidak sudi untuk melakukannya. Obat penawar tersebut bagaikan harta karun tak ternilai bagi agama kami.”

Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Pepatah mengatakan: memang sulit menemukan harta karun tak ternilai, tapi jauh lebih sulit menemukan kekasih sejati.”

Ren Yingying menunduk dengan wajah bersemu merah. Dalam hati ia mengakui kebenaran pepatah tersebut.

Akhirnya, mereka berdua sampai di sebuah jalan setapak yang menanjak terjal. Jalan ini sangat kecil sehingga tidak bisa dilalui secara berdampingan.

“Kau berjalan di depan,” kata Ren Yingying.

“Lebih baik kau saja yang berjalan di depan. Bila kau jatuh terperosok tentu akan segera kupeluk,” ujar Linghu Chong.

“Tidak, kau saja yang berjalan di depan, juga tidak boleh menoleh ke belakang. Apa yang diperintahkan Nenek harus selalu kau patuhi!” kata Ren Yingying dengan tertawa.

“Baiklah, aku akan berjalan lebih dulu,” jawab Linghu Chong. “Tapi kalau aku sampai jatuh terperosok, maka kau harus memeluk diriku.”

“Tidak, tidak!” sahut Ren Yingying dengan cepat. Rupanya ia khawatir Linghu Chong pura-pura jatuh dan sengaja main gila padanya. Maka itu, ia segera mendahului berjalan di depan.

Meskipun banyak bercanda, namun sorot mata Linghu Chong tetap memancarkan kesedihan. Ren Yingying paham kalau pemuda itu masih berduka atas kematian Yue Buqun. Maka, sepanjang perjalanan ia pun memancing Linghu Chong untuk selalu bicara dan bercanda. Setiap kali Linghu Chong memang tertawa namun tidak pernah sampai sepenuhnya.

Setelah membelok beberapa tikungan, akhirnya mereka sampai di atas Puncak Gadis Kumala. Linghu Chong lantas menunjuk tempat-tempat yang indah di puncak tersebut. Ren Yingying sadar tempat-tempat indah ini dulunya tentu sering menjadi tempat bermain antara Linghu Chong dan Yue Lingshan. Maka, ia hanya memandang sekali terhadap tempat-tempat indah tersebut tanpa banyak bertanya, karena takut Linghu Chong kembali berduka.

Turun dari Puncak Gadis Kumala, setelah berbelok melalui sebuah tikungan lagi, dan melewati jalan menanjak ke atas akhirnya sampailah mereka di Puncak Menyongsong Mentari. Tampak di lereng puncak tersebut penuh berdiri pos-pos penjagaan. Para anggota Sekte Matahari dan Bulan terlihat memakai seragam yang terdiri dari tujuh warna dan berdiri di bawah panji-panji sesuai warna masing-masing. Linghu Chong melihat keadaan mereka jauh lebih teratur dan tertib dibandingkan saat datang ke Tebing Kayu Hitam tempo hari.

Diam-diam Linghu Chong memuji dalam hati, “Ketua Ren benar-benar manusia luar biasa. Aku pernah memimpin ribuan pendekar menyerbu Biara Shaolin, tapi keadaan mereka kacau balau dan sama sekali tidak tertib, mana bisa dibandingkan dengan Sekte Matahari dan Bulan ini? Beribu-ribu anak-buahnya ternyata dapat melaksanakan tugas dengan sangat teratur, seperti badan menggerakkan lengan, lengan menggerakkan tangan, tangan menggerakkan jari, semuanya bagaikan satu kesatuan yang serasi. Dongfang Bubai juga manusia hebat. Tapi sayang, pikirannya menjadi kacau dan terlalu percaya kepada Yang Lianting. Akibatnya, ia pun kehilangan segalanya.”

Begitu melihat kedatangan Ren Yingying, segenap anggota Sekte Matahari dan Bulan serentak membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Terhadap Linghu Chong mereka juga memberikan penghormatan yang sama. Panji komando setingkat demi setingkat dikibarkan dari bawah hingga ke atas puncak untuk menyampaikan laporan kepada Ren Woxing tentang kedatangan mereka berdua.

Melihat setiap tempat penting di sekitar Puncak Menyongsong Mentari itu terjaga oleh anggota Sekte Matahari dan Bulan yang beribu-ribu jumlahnya, jelas Ren Woxing telah mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghadapi lawan. Linghu Chong pun berpikir, “Andaikan para ketua Serikat Pedang Lima Gunung masih hidup dan berkumpul di Huashan sini, belum tentu mereka sanggup menghadapi lawan yang begini kuat. Jangankan melawan, untuk bertahan saja rasanya tidak mampu. Apalagi sekarang keadaan sudah berantakan, kekuatan kelima perguruan sudah mendekati nol. Semuanya kini terserah kepada takdir dan tinggal menerima nasib. Apabila Ren Woxing hendak membunuh habis orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung, tidak mungkin aku berdiam diri. Biarlah aku mati bersama murid-murid Henshan di Puncak Huashan ini.”

Meskipun Linghu Chong cukup pintar dan cerdik, namun ia tidak biasa bermain siasat, juga tidak berbakat memimpin pekerjaan besar dan menghadapi kejadian luar biasa. Kini menghadapi kehancuran Perguruan Henshan secara total, ia merasa tidak punya akal untuk menyelamatkannya. Biarlah segala sesuatu terserah keadaan, menyerah kepada nasib saja. Terpikir pula olehnya bahwa Ren Yingying mempunyai hubungan darah dengan Ren Woxing. Tentu si nona akan bingung dan akhirnya memilih tidak membela pihak mana pun. Sudah pasti ia tidak akan membantu pihak Henshan dan memusuhi ayahnya sendiri. Maka itu, ia lantas menenangkan pikiran. Segenap anggota Sekte Matahari dan Bulan yang bersiaga menghunus senjata di sepanjang jalan itu dianggapnya sepi. Ia tetap bercanda dengan Ren Yingying atau membicarakan keindahan alam pegunungan Huashan yang mereka lalui itu.

Sebaliknya, pikiran Ren Yingying menjadi kusut dan sedih. Ia tidak dapat bersikap acuh tak acuh seperti Linghu Chong. Di sepanjang jalan ia justru memeras otak mencari akal bagaimana membantu sang kekasih. “Kakak Chong benar-benar tidak kenal takut. Sekalipun langit runtuh juga ia masih bisa bercanda. Keadaan sudah sedemikian gawat. Ayah datang kemari dengan segenap kekuatan, tentu bukan dengan tujuan yang baik. Aku tidak tahu harus bagaimana. Terpaksa yang paling baik adalah menunggu dan melihat serta berbuat menurut keadaan nanti. Mungkin saja ada jalan tengah yang baik bagi kedua pihak,” demikian pikirnya.

Keduanya terus mendaki puncak tersebut. Setibanya di atas, mendadak terompet berbunyi disertai suara petasan, menyusul kemudian bergema pula suara genderang dan tetabuhan lainnya, bagaikan sebuah upacara menyambut kedatangan tamu agung.

“Hehe, bapak mertua menyambut kedatangan menantu tersayang,” kata Linghu Chong dengan suara perlahan sambil tertawa.

Ren Yingying melotot kepadanya. Dalam hati ia merasa sedih bercampur kesal terhadap sikap Linghu Chong yang acuh tak acuh itu. “Pada saat genting seperti ini masih sempat bercanda segala,” pikirnya.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa seseorang, lalu ia berseru dengan lantang, “Nona Besar, Adik Linghu, kalian sudah ditunggu sekian lama oleh Ketua Ren.” Rupanya yang menyapa itu seorang tua jangkung berjubah ungu dengan wajah berseri-seri. Ia tidak lain adalah Xiang Wentian.

Linghu Chong menjawab dengan gembira, “Hei, Kakak Xiang, apa kau baik-baik saja? Sungguh aku sangat rindu padamu.”

“Di Tebing Kayu Hitam aku sering mendengar keharuman namamu di dunia persilatan. Sungguh aku ikut gembira dan mengangkat cawan sebagai pujianku untukmu. Selama ini entah sudah berapa banyak guci arak yang kuhabiskan demi merayakan kejayaanmu,” kata Xiang Wentian dengan tertawa. “Mari, mari, kita harus lekas-lekas menghadap Ketua!” Usai berkata ia langsung menggandeng tangan Linghu Chong dan mengajak pemuda itu menuju ke suatu panggung batu yang menjulang tinggi di atas puncak tersebut.

Di sebelah timur panggung batu terdapat lima tiang batu yang berjajar bagaikan telapak tangan raksasa. Orang-orang menyebut tiang batu itu dengan nama Telapak Dewa. Kelima tiang batu tersebut menjulang tinggi ke angkasa, dan yang paling tengah adalah yang paling tinggi. Di atas tiang batu paling tinggi itu terdapat sebuah kursi megah, di mana seseorang tampak sedang duduk di atasnya. Orang itu tidak lain adalah Ren Woxing.

Ren Yingying melangkah mendekati telapak tangan batu raksasa itu. Sambil menengadah ia menyapa, “Ayah!”

Linghu Chong juga memberi hormat dan menyapa, “Linghu Chong menyampaikan salam hormat kepada Ketua!”

Ren Woxing bergelak tawa dan berkata, “Adik Kecil, kau datang pada saat yang tepat. Kita adalah keluarga sendiri, tidak perlu banyak adat. Hari ini aku hendak menemui para kesatria di seluruh jagat. Pertama kita bicara urusan resmi, baru kemudian kita bicara urusan keluarga. Nah, silakan duduk wahai ... wahai adikku sayang.”

Mula-mula Linghu Chong mengira Ren Woxing hendak memanggil “wahai menantu sayang” kepadanya. Namun, karena belum resmi, maka panggilannya langsung diganti menjadi “wahai adikku sayang”. Meskipun demikian, Linghu Chong melihat gelagat baik bahwa Ren Woxing jelas sangat merestui perjodohan dirinya dengan Ren Yingying. Apalagi ucapannya yang pertama tadi menyebutkan “kita adalah keluarga sendiri” serta “pertama kita bicara urusan resmi, baru kemudian kita bicara urusan keluarga”, jelas dirinya tidak lagi dianggap sebagai orang lain.

Tentu saja hati Linghu Chong merasa sangat senang. Ia lantas berdiri tegak kembali. Namun, tiba-tiba pada titik dantian di sekitar perutnya bergolak suatu hawa dingin yang langsung menerjang ke atas. Seketika seluruh tubuhnya pun menggigil bagaikan tercebur ke dalam sungai es.

Ren Yingying terkejut melihatnya. Segera ia melangkah maju dan bertanya, “Ada apa denganmu?”

“Aku … aku ….” ternyata sukar bagi Linghu Chong untuk membuka suara.

Meskipun duduk di atas tempat yang begitu tinggi, namun pandangan Ren Woxing sungguh sangat tajam. Segera ia bertanya, “Apakah kau baru saja bertarung melawan Zuo Lengchan?”

Linghu Chong hanya bisa mengangguk.

“Tidak masalah,” ujar Ren Woxing. “Kau telah menyedot hawa dingin beracun darinya. Sebentar lagi kalau hawa dingin itu sudah buyar, tentu kau akan sehat kembali. Tapi, mengapa Zuo Lengchan belum juga tiba?”

“Zuo Lengchan memasang perangkap keji hendak mencelakai Kakak Linghu dan aku,” jawab Ren Yingying. “Dia akhirnya dapat dibinasakan oleh Kakak Linghu.”

“Oh!” sahut Ren Woxing. Karena ia duduk di tempat yang tinggi maka raut mukanya tidak terlihat jelas. Namun demikian, nada suaranya terdengar penuh rasa kecewa yang tak terhingga.

Ren Yingying memahami perasaan sang ayah. Hari ini secara besar-besaran ayahnya telah mengerahkan segenap kekuatan menuju Gunung Huashan dengan maksud untuk menaklukkan Serikat Pedang Lima Gunung secara keseluruhan. Zuo Lengchan merupakan musuh bebuyutan ayahnya selama ini, dan kini telah mati di tangan orang lain. Padahal, Ren Woxing ingin sekali melihatnya bertekuk lutut dan mengaku kalah disaksikan banyak orang.

Segera Ren Yingying menggenggam tangan kanan Linghu Chong dan menyalurkan tenaga dalam untuk membantu pemuda itu menolak hawa dingin beracun milik Zuo Lengchan. Sementara itu, tangan Linghu Chong yang kiri dipegang oleh Xiang Wentian. Kedua orang itu mengerahkan tenaga bersama-sama sehingga Linghu Chong merasa hawa dingin dalam tubuhnya pun musnah sedikit demi sedikit.

Ketika bertempur di Biara Shaolin dahulu, Zuo Lengchan sengaja membiarkan tenaga dalamnya yang mahadingin dihisap sekian banyak oleh Ren Woxing. Akibatnya, setelah meninggalkan biara tersebut Ren Woxing hampir mati kedinginan di tanah bersalju. Waktu itu Linghu Chong, Xiang Wentian, dan Ren Yingying berusaha menyalurkan tenaga dalam kepadanya dan ikut membeku menjadi manusia salju. Akan tetapi, saat ini Linghu Chong hanya sedikit menghisap hawa dingin Zuo Lengchan melalui persentuhan pedang dalam waktu yang singkat pula. Maka, dalam sebentar saja ia sudah tidak menggigil lagi.

“Sudah, sudah, terima kasih untuk kalian berdua,” katanya kemudian.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar