Pendekar Hina Kelana Jilid 116-120

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 116-120 Tanpa pikir panjang Linghu Chong lantas membuang pedangnya dan bergegas menghampiri Ren Yingying.
Tanpa pikir panjang Linghu Chong lantas membuang pedangnya dan bergegas menghampiri Ren Yingying. Di luar dugaan, tiba-tiba Yue Buqun berseru sekali, kemudian pedangnya menyambar secepat kilat mengarah ke pinggang kiri pemuda itu.

Tempat yang diincar ini sungguh berbahaya. Dalam keadaan terkejut Linghu Chong bermaksud segera memungut kembali pedangnya namun sudah terlambat. Pedang Yue Buqun lebih dulu menancap di belakang pinggangnya. Untungnya tenaga dalam Linghu Chong sangat bagus. Seketika otot pinggangnya mengkerut untuk melawan sehingga serangan tersebut tidak sampai menusuk terlalu dalam.

Yue Buqun tampak gembira. Dicabutnya pedang itu dan kembali ia menebas ke bawah. Lekas-lekas Linghu Chong menjatuhkan diri dan menggelindingkan tubuhnya. Namun, Yue Buqun terus saja mengejar dan kembali mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah. Untung Linghu Chong sempat mengelak lagi, sehingga serangan Yue Buqun itu hanya mengenai tanah, namun selisih beberapa senti saja dari kepalanya.

Sambil menyeringai bengis, Yue Buqun kembali mengangkat pedangnya. Kali ini ia melangkah maju dan dengan sekali tebas kepala Linghu Chong pasti akan terpenggal. Dalam keadaan genting itu, tiba-tiba sebelah kakinya menginjak tempat lunak. Tubuhnya langsung terjerumus jatuh ke bawah. Ia bermaksud melompat ke atas dengan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi, namun saat itu langit dan bumi terasa seperti berputar-putar. Selanjutnya ia pun jatuh tak sadarkan diri. Rupanya Yue Buqun telah jatuh terjerumus ke dalam lubang perangkap yang digali para anggota Sekte Iblis tadi.

Linghu Chong benar-benar lolos dari lubang jarum. Hampir saja ia mati konyol oleh serangan di luar dugaan tadi. Perlahan-lahan ia merangkak bangun sambil mendekap luka di pinggang belakangnya. Pada saat itulah terdengar seruan beberapa orang dari semak-semak, “Nona Besar! Gadis Suci!” Kemudian beberapa orang tampak berlari-lari keluar. Mereka tidak lain adalah Bao Dachu, Tetua Mo, dan empat orang lainnya.

Bao Dachu tiba di tepi lubang perangkap. Sambil menahan napas ia mengetuk kepala Yue Buqun berkali-kali menggunakan gagang goloknya sekuat tenaga. Ia sadar tenaga dalam orang ini sangat tinggi. Obat bius dalam lubang jebakan itu mungkin hanya mebuatnya pingsan sebentar. Maka, ketukan keras tadi pasti akan membuatnya pingsan lebih lama lagi.

Sementara itu, Linghu Chong dengan susah payah mendekati tempat Ren Yingying menggeletak dan bertanya, “Bagian mana yang ditotok olehnya?”

“Apakah kau tidak … tidak apa-apa?” Ren Yingying balik bertanya. Suaranya terdengar gemetar karena rasa khawatir yang begitu besar.

“Jangan khawatir, aku takkan ... takkan mati,” sahut Linghu Chong.

“Bunuh bangsat keparat itu!” teriak Ren Yingying tiba-tiba.

“Baik!” jawab Bao Dachu paham.

Namun Linghu Chong lebih dulu mencegah, “Jang… jangan!”

Ren Yingying mengerti perasaannya dan segera mengganti perintah, “Tangkap saja dia!” Rupanya ia tidak tahu kalau lubang perangkap itu mengandung obat bius.

Terdengar Bao Dachu menjawab, “Baik!” Namun, ia tidak berani berterus terang bahwa lubang perangkap itu adalah hasil karyanya, karena ketika tadi Sang Gadis Suci dikejar-kejar dan diringkus oleh Yue Buqun, sama sekali ia dan rekan-rekannya tidak berani keluar untuk menolong karena takut mati. Peristiwa ini kalau sampai diketahui oleh Tebing Kayu Hitam tentu bisa menjadi musibah besar bagi mereka dan berakhir dengan hukuman mati.

Maka, Bao Dachu pun menahan napas dan terjun ke dalam lubang, kemudian dengan kecepatan tinggi ia mencengkeram tengkuk Yue Buqun dan menyeret tubuh orang itu ke atas. Dengan cekatan ia menotok pula beberapa titik nadi penting pada tubuh ketua Perguruan Lima Gunung tersebut. Selanjutnya, kaki dan tangan Yue Buqun pun diikat pula menggunakan tambang. Sudah terkena bius, diketok kepalanya, lalu titik nadinya ditotok, dan diikat menggunakan tambang, sekalipun kepandaian Yue Buqun setinggi langit juga tidak mungkin bisa lolos.

Linghu Chong saling pandang dengan Ren Yingying. Kedua muda-mudi ini merasa seperti baru saja terbangun dari sebuah mimpi buruk. Selang agak lama barulah Ren Yingying menangis. Linghu Chong mendekati dan memeluknya. Setelah pengalaman pahit tersebut, mereka merasa hidup belum pernah seindah saat ini. Perlahan-lahan Linghu Chong membuka semua totokan pada tubuh Ren Yingying tersebut.

Ketika tiba-tiba melihat sang ibu-guru masih tergeletak di tanah, barulah Linghu Chong ingat dan berteriak, “Celaka!”

Segera ia pun mendekati Ning Zhongze dan membuka totokan pada tubuh Nyonya Yue tersebut sambil berkata, “Maafkan aku, Ibu Guru.”

Ning Zhongze telah menyaksikan semuanya dengan jelas. Ia sangat mengetahui bagaimana kepribadian Linghu Chong, juga bagaimana perasaan pemuda itu kepada putrinya. Linghu Chong selalu memperlakukan Yue Lingshan bagaikan seorang dewi kahyangan, sehingga ia yakin semua tuduhan Yue Buqun adalah palsu belaka. Tuduhan sang suami bahwa Linghu Chong telah memerkosa dan membunuh Yue Lingshan sungguh tidak masuk akal sama sekali. Apalagi setelah menyaksikan secara langsung betapa besar rasa cinta dan kesetiaan Linghu Chong terhadap Ren Yingying, keyakinan Ning Zhongze bahwa suaminya telah melancarkan fitnah semakin bertambah kuat.

Ning Zhongze juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana suaminya telah dikalahkan oleh Linghu Chong, namun pemuda itu tidak tega menyerang lebih lanjut. Sebaliknya, Yue Buqun malah balas menyerang dari belakang secara keji dan tiba-tiba. Padahal, golongan hitam sekalipun tidak sudi melakukan perbuatan serendah ini, namun seorang ketua Perguruan Lima Gunung yang terhormat ternyata tega berbuat demikian. Sungguh memalukan, sungguh memuakkan.

Dalam keadaan putus asa Ning Zhongze bertanya lirih, “Chong’er, apakah benar Shan’er telah dibunuh oleh Lin Pingzhi?”

Linghu Chong menjadi pilu, air matanya pun jatuh bercucuran. “Murid … aku … aku .…” sahutnya tersedu-sedu.

“Dia tidak sudi menganggapmu sebagai murid, tapi aku masih tetap mengakuimu sebagai murid,” ujar Ning Zhongze. “Jika kau tidak keberatan, maka aku dapat tetap menjadi ibu-gurumu.”

Linghu Chong sangat terharu. Ia pun menyembah sambil berseru, “Ibu Guru! Ibu Guru!”

Perlahan-lahan Ning Zhongze membelai rambut Linghu Chong sambil mengalirkan air mata. Dengan lirih ia berkata, “Apakah yang dikatakan Nona Ren benar? Apakah Lin Pingzhi telah berhasil menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis dan bergabung dengan Zuo Lengchan pula? Dan ... dan apakah benar dia juga membunuh Shan’er?”

“Benar,” sahut Linghu Chong.

“Coba kau putar tubuhmu ke sana,” kata Ning Zhongze, “Akan kuperiksa lukamu.”

“Baik,” jawab Linghu Chong sambil memutar tubuhnya. Ning Zhongze lantas menyobek baju bagian punggung pemuda itu, kemudian menotok urat nadinya untuk menghentikan pendarahan. “Apa kau membawa obat luka Perguruan Henshan?” ujarnya kemudian.

“Ya, ada,” jawab Linghu Chong. Segera Ren Yingying mengambil obat tersebut dari balik baju Linghu Chong dan menyerahkannya kepada Ning Zhongze.

Ning Zhongze perlahan membersihkan bercak-bercak darah pada luka Linghu Chong, baru kemudian menaburkan obat Perguruan Henshan yang mujarab itu kepadanya. Ia lantas mengeluarkan sehelai saputangan berwarna putih bersih untuk menutup luka itu, lalu merobek gaunnya sebagai pembalut.

Linghu Chong selalu menganggap Ning Zhongze seperti ibu kandung sendiri, sehingga perlakuan tersebut membuat hatinya merasa sangat nyaman dan terharu. Rasa sakit pada lukanya sampai-sampai terlupakan.

“Kelak tugas membunuh Lin Pingzhi untuk membalaskan sakit hati Shan’er menjadi tanggung jawabmu,” kata Ning Zhongze kemudian.

“Tapi Adik … Adik Kecil telah meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Ia berpesan agar aku melindungi Lin Pingzhi. Permintaan terakhirnya itu terpaksa kusanggupi, maka urusan ini … sungguh membuatku sulit,” jawab Linghu Chong.

“Karma buruk, ini karma buruk,” ujar Ning Zhongze sambil menghela napas panjang. “Chong’er, untuk selanjutnya terhadap siapa pun juga janganlah kau terlalu berbaik hati,” lanjutnya.

Ucapan Ning Zhongze itu diakhiri dengan penegasan. Linghu Chong pun menjawab, “Baik.”

Tiba-tiba tengkuknya terasa hangat-hangat basah, seperti terkena tetesan benda cair. Begitu menoleh, dilihatnya muka Ning Zhongze telah memutih, pucat pasi. Ia pun terkejut dan menjerit, “Ibu Guru!”

Segera Linghu Chong bangkit dan memegangi tubuh Ning Zhongze. Ternyata sebilah pisau belati telah menancap di dada istri Yue Buqun tersebut, tepat pada bagian jantung. Seketika wanita itu pun meninggal dunia.

Linghu Chong terkejut bukan kepalang hingga mulutnya ternganga tak bisa bersuara. Ren Yingying juga sangat terperanjat, namun karena tidak memiliki hubungan keluarga atau pertemanan dengan Ning Zhongze, maka rasa sedihnya tidak terlalu mendalam. Segera ia memapah Linghu Chong yang tampak lemas itu. Selang sejenak, barulah Linghu Chong dapat menangis.

Melihat kejadian sedih tersebut, Bao Dachu berpikir tentu akan banyak kata-kata mesra diucapkan oleh mereka berdua. Maka, ia pun tidak berani mengganggu sedikit pun. Selain itu, ia juga takut lubang jebakan tersebut akan diusut oleh Ren Yingying, sehingga ia pun buru-buru mengangkat tubuh Yue Buqun dan membawanya ke tempat Tetua Mo berdiri.

“Untuk apa mereka me… menangkap guruku?” tanya Linghu Chong.

“Kau masih memanggil ‘guru’ padanya?” sahut Ren Yingying.

“Sudah terbiasa,” jawab Linghu Chong. “Mengapa Ibu Guru bunuh diri? Mengapa … mengapa Ibu Guru bunuh diri?”

“Sudah tentu disebabkan si penjahat Yue Buqun itu,” kata Ren Yingying dengan gemas. “Apa gunanya mempunyai suami pengecut dan tidak tahu malu seperti dia? Karena tidak bisa membunuh suami sendiri, terpaksa ia memilih bunuh diri. Kita harus lekas membunuh Yue Buqun untuk membalaskan sakit hati ibu-gurumu.”

Namun, Linghu Chong menjadi ragu-ragu. “Kau berkata dia harus dibunuh? Bagaimanapun juga dia pernah menjadi guruku dan juga membesarkan diriku.”

“Meski dia pernah menjadi gurumu, pernah membesarkan dirimu pula, tapi sudah berapa kali dia bermaksud mencelakaimu? Antara budi dan dendam sudah seimbang dan saling menghapuskan. Sebaliknya, budi baik ibu-gurumu belum sempat kau balas. Coba pikir, apakah kematian ibu-gurumu ini bukan disebabkan karena perbuatannya?”

Linghu Chong menghela napas dan menjawab dengan pilu, “Budi baik Ibu Guru rasanya sukar untuk kubalas seumur hidup. Meskipun aku dan Yue Buqun tidak memiliki hubungan lagi, tapi bagaimanapun juga aku tetap tidak dapat membunuhnya.”

“Kau tidak perlu turun tangan sendiri,” ujar Ren Yingying. Mendadak ia berseru, “Bao Dachu!”

“Ya, Nona Besar!” sahut Bao Dachu. Segera ia melangkah maju bersama Tetua Mo dan yang lain.

“Apakah Ayah yang telah menugasi kalian kemari untuk menyelesaikan masalah ini?” tanya Ren Yingying.

“Benar,” sahut Bao Dachu penuh hormat. “Atas titah Ketua Ren, hamba bersama Tetua Ge, Tetua Du, dan Tetua Mo, serta sepuluh murid telah ditugasi untuk menangkap Yue Buqun dengan segala cara.”

“Di mana Tetua Ge dan Tetua Du?” tanya Ren Yingying.

“Tadi mereka pergi memancing kedatangan Yue Buqun dan sampai sekarang belum kembali. Jangan-jangan … jangan-jangan ….”

“Coba kau geledah badan Yue Buqun,” sahut Ren Yingying.

“Baik,” jawab Bao Dachu. Segera ia mulai menggeledah tubuh Yue Buqun. Hasilnya, dari balik baju orang itu ditemukan sehelai panji sutra kecil, yaitu panji kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung. Selain itu, terdapat belasan tahil emas perak, dan dua potong medali tembaga.

Dengan suara gemas Bao Dachu lantas berkata, “Lapor kepada Nona Besar, Tetua Ge dan Tetua Du ternyata benar-benar dicelakai oleh keparat ini. Dalam bajunya hamba temukan dua medali milik kedua tetua kita itu.” Usai berkata ia lantas mengayunkan kakinya menendang pinggang Yue Buqun keras-keras.

“Jangan sakiti dia!” seru Linghu Chong.

“Baik,” jawab Bao Dachu penuh hormat.

“Ambil air dingin, siram dia agar siuman!” perintah Ren Yingying kemudian.

Tetua Mo lantas membuka kantong air yang tergantung di pinggangnya dan menyiramkan isinya ke muka Yue Buqun. Sejenak kemudian, Yue Buqun membuka matanya sambil bersuara kesakitan di bagian pinggang dan kepala.

Ren Yingying berkata, “Orang bermarga Yue, apakah kau telah membunuh kedua tetua kami?”

Bao Dachu tampak meembentur-benturkan kedua medali tembaga yang dipegangnya itu hingga mengeluarkan suara nyaring.

Menyadari dirinya berada di bawah cengkeraman musuh dan tidak bisa lolos dari kematian, Yue Buqun pun memaki dengan lantang, “Memang aku yang telah membunuh mereka. Semua anggota Sekte Iblis adalah penjahat. Setiap orang berhak membunuhnya.”

Bao Dachu merasa gusar dan bermaksud menendang lagi. Namun, begitu teringat larangan Linghu Chong tadi ia pun mengurungkan niatnya. Ia sadar hubungan Linghu Chong dengan Ketua Ren sangat baik, serta merupakan calon suami sang nona besar pula. Maka itu, ia tidak berani menentang kata-kata Linghu Chong sama sekali.

Ren Yingying tertawa dingin dan menjawab, “Kau anggap dirimu sebagai ketua golongan lurus bersih, akan tetapi perbuatanmu seratus kali lebih kotor dan lebih rendah daripada orang-orang Sekte Matahari dan Bulan. Secara tidak tahu malu kau berani memaki kami sebagai orang jahat. Istrimu sendiri merasa malu atas perbuatanmu, sehingga ia lebih suka bunuh diri daripada menjadi pasanganmu. Apakah kau masih punya muka untuk hidup terus di dunia ini, hah?”

“Siluman betina, berani kau sembarangan bicara. Jelas-jelas istriku dibunuh olehmu, tapi kau mengatakan ia bunuh diri,” damprat Yue Buqun.

“Coba dengarkan itu, Kakak Chong. Ucapannya sungguh tidak tahu malu,” kata Ren Yingying.

“Yingying, aku ingin memohon sesuatu padamu,” kata Linghu Chong.

“Aku tahu kau hendak memintaku agar melepaskan dia. Pepatah mengatakan, meringkus harimau lebih mudah daripada melepas harimau,” sahut Ren Yingying. “Orang ini berhati culas dan berjiwa keji, ilmu silatnya tinggi pula. Kelak kalau kau bertemu dia lagi, mungkin akan susah untuk membekuknya kembali.”

Linghu Chong menjawab, “Mulai hari ini hubunganku dengannya sebagai murid dan guru sudah putus. Semua ilmu pedangnya juga telah kupahami. Jika dia berani mencari perkara denganku, maka aku pun tidak akan segan-segan lagi kepadanya.”

Ren Yingying paham Linghu Chong pasti tidak mengizinkannya untuk membunuh Yue Buqun. Asalkan sekarang Linghu Chong benar-benar memutuskan segala hubungan dengan Yue Buqun, maka bila bertemu lagi juga tidak perlu gentar. Segera ia pun menjawab, “Baiklah, hari ini kita bisa mengampuni jiwanya. Nah, Tetua Bao dan Tetua Mo, selanjutnya kalian bisa sebarkan berita ini di kalangan persilatan bahwa Yue Buqun telah berhasil kita bekuk, lalu kita ampuni jiwanya. Sampaikan pula bahwa Yue Buqun telah rela membuat cacat dirinya sendiri demi untuk mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis. Sekarang dia bukan seorang laki-laki, juga bukan seorang perempuan. Sebarkan berita ini supaya diketahui oleh para kesatria di seluruh jagat.”

Serentak Bao Dachu dan Tetua Mo mengiakan dan menyanggupi perintah tersebut. Raut muka Yue Buqun tampak pucat pasi, kedua matanya berkedip-kedip memancarkan sinar kemarahan penuh dengan rasa benci dan dendam. Namun demikian, ada pula sedikit rasa gembira di hatinya karena yakin nyawanya telah lolos dari maut.

Ren Yingying berkata, “Hm, kau benci padaku, memangnya aku takut padamu?” Sambil berkata demikian ia mengayunkan pedangnya untuk memotong tambang pengikat tubuh Yue Buqun. Didekatinya tawanan itu dan dibukanya sebuah totokan di bagian punggung. Lalu tangan kanannya menahan mulut ketua Perguruan Lima Gunung tersebut, sementara tangan kiri menepuk perlahan di belakang kepalanya. Tanpa kuasa Yue Buqun membuka mulut dan tahu-tahu Ren Yingying telah memasukkan semacam pil ke dalam mulutnya.

Selama melakukan perbuatan tersebut, Ren Yingying selalu membelakangi Linghu Chong sehingga Linghu Chong tidak bisa melihat dengan jelas bahwa gadis itu telah memasukkan pil ke dalam mulut gurunya. Yang dilihatnya hanyalah tambang pengikat tubuh sang guru telah dibuka dan itu membuat hatinya senang.

Ren Yingying lantas memencet hidung Yue Buqun hingga sulit bernapas. Terpaksa Yue Buqun harus membuka mulut untuk menghirup udara. Tanpa ampun Ren Yingying lantas mengerahkan tenaga dalam untuk mendorong pil di dalam mulut Yue Buqun itu sehingga masuk ke dalam perut bersama aliran napas.

Yue Buqun gemetar membayangkan pil yang telah masuk ke dalam perutnya itu adalah Pil Pembusuk Otak, obat ajaib yang sangat keji milik Sekte Iblis. Ia pernah mendengar barangsiapa menelan pil tersebut maka setiap tahun pada perayaan hari raya perahu naga ia harus memakan obat penawarnya yang terdapat di Tebing Kayu Hitam. Karena jika tidak, maka kuman dalam pil tersebut akan bekerja dan menggerogoti otak orang itu. Tentu akibatnya sungguh mengerikan. Orang itu akan menjadi gila dan menyiksa diri sendiri. Meski orang itu sangat cerdas dan sabar dalam menghadapi setiap masalah, namun tidak mungkin ia sanggup bertahan menghapi serangan kuman Pil Pembusuk Otak. Jika otaknya sudah mulai digerogoti oleh kuman-kuman itu, maka hal pertama yang ia lakukan pasti mencakari wajah sendiri. Membayangkan itu semua membuat Yue Buqun yang biasanya licin dan tenang, tiba-tiba berubah gemetar dan tubuhnya basah kuyup oleh keringat dingin.

Ren Yingying lantas berpaling kepada Linghu Chong dan berkata, “Kakak Chong, totokan Tetua Bao tadi agak berat, tapi kini sudah kubuka semuanya. Hanya saja, ada dua titik yang butuh beberapa saat lagi baru benar-benar bisa terbuka. Setelah itu baru dia dapat berjalan kembali.”

“Terima kasih banyak padamu,” sahut Linghu Chong.

Dalam hati Ren Yingying merasa geli karena pemuda itu tidak tahu apa yang telah diperbuatnya terhadap Yue Buqun tadi. Namun bagaimanapun juga itu semua adalah demi kebaikan dan keselamatan sang kekasih hati. Selang sejenak, Ren Yingying yakin pil tadi telah dicerna dalam perut Yue Buqun dan tidak mungkin dimuntahkan keluar. Saat itu barulah ia melancarkan kembali dua titik nadi Yue Buqun yang tertotok sambil berbisik, “Setiap tahun pada Hari Raya Perahu Naga kau bisa datang ke Tebing Kayu Hitam. Di sana aku akan memberikan obat penawarnya padamu.”

Bisikan itu membuat Yue Buqun semakin yakin bahwa obat yang ditelannya tadi memang benar-benar Pil Pembusuk Otak. Tanpa kuasa badannya menjadi gemetar. “Jadi pil tadi adalah … adalah ….” ujarnya gugup.

“Benar, dan kau harus diberi selamat,” kata Ren Yingying. “Obat mujarab kami itu tidak mudah dibuat. Dalam agama kami hanya tokoh-tokoh utama yang berkedudukan tinggi dan berkepandaian tinggi saja yang memenuhi syarat untuk menelan obat dewa itu. Betul tidak, Tetua Bao?”

“Betul sekali,” sahut Bao Dachu. “Atas kemurahan hati Ketua Ren, maka hamba berkesempatan menelan obat dewa tersebut. Oleh sebab itu, selamanya hamba sangat setia dan tunduk kepada Ketua Ren. Bahkan sejak itu, Ketua Ren juga semakin menaruh kepercayaan penuh kepada hamba. Sungguh tiada terkatakan manfaat obat dewa tersebut.”

Linghu Chong terkejut dan berkata, “Hei, kau memberikan pil ….”

“Ah, mungkin karena dia terlalu lapar sehingga memakan barang apa pun yang dilihatnya,” kata Ren Yingying dengan tersenyum. “Nah, Yue Buqun, selanjutnya kau harus berusaha membela dan mendukung kepentingan Kakak Chong dan aku. Hal ini tentu akan bermanfaat untukmu.”

Sungguh tak terlukiskan bagaimana rasa benci Yue Buqun. Ia berpikir, “Jika siluman betina ini kebetulan mengalami celaka atau dibunuh orang, maka yang akan ikut mati konyol tentulah diriku sendiri. Bahkan, kalau dia hanya terluka parah sehingga tidak dapat pulang ke Tebing Kayu Hitam pada Hari Raya Perahu Naga juga sudah cukup menyusahkan diriku. Kalau sudah demikian, ke mana lagi aku harus mencarinya?” Membayangkan hal ini membuat hatinya khawatir dan badan kembali gemetar.

Sementara itu, Linghu Chong menghela napas dan merenung, “Pada dasarnya Yingying berasal dari golongan hitam sehingga tingkah lakunya pun agak-agak aneh pula. Tapi apa yang diperbuatnya itu sesungguhnya demi kebaikanku juga. Aku tidak mungkin menyalahkan dia.”

“Tetua Bao,” ujar Ren Yingying kemudian. “Kau pulanglah lebih dulu ke Tebing Kayu Hitam dan melapor kepada Ketua. Katakan bahwa ketua Perguruan Lima Gunung yang terhormat, Yue Buqun alias Tuan Yue si Pedang Budiman, kini telah masuk agama kita dengan sukarela dan setulus hati. Obat dewa milik Ketua juga sudah ditelannya, sehingga dia tidak mungkin berkhianat lagi.”

Sebenarnya Bao Dachu sedang bingung karena ia ditugasi Sang Ketua untuk menangkap Yue Buqun entah bagaimana caranya. Sementara itu, di lain pihak ia juga takut kepada Linghu Chong yang meminta agar Yue Buqun dibebaskan. Kini begitu mengetahui Yue Buqun telah menelan Pil Pembusuk Otak, tentu saja hatinya sangat senang dan menganggap Ren Yingying telah memberikan jalan keluar terbaik. Maka, mulutnya langsung mengeluarkan sanjung puji kepada sang tuan putri, “Nona Besar telah memenangkan pertempuran dengan bijaksana. Segala urusan menjadi lancar. Ketua Ren pasti sangat bahagia mendengarnya. Hidup Ketua! Hidup Nona Besar! Semoga Ketua panjang umur, merajai dunia persilatan, melindungi rakyat jelata!”

Ren Yingying berkata, “Karena Tuan Yue sudah masuk menjadi anggota agama kita, maka mengenai hal-hal yang merugikan nama baiknya tidak perlu lagi kalian siarkan di dunia persilatan. Mengenai pil dewa yang sudah ditelannya juga jangan sampai kalian bocorkan. Orang ini mempunyai kedudukan sangat tinggi di dunia persilatan, cerdas dan tangkas pula dalam segala hal. Kelak Ketua tentu akan sangat memerlukan tenaganya.”

“Kami siap melaksanakan perintah Nona Besar,” jawab Bao Dachu dan yang lain serentak.

Melihat keadaan Yue Buqun yang runyam itu, Linghu Chong ikut merasa sedih. Meskipun Yue Buqun hendak membunuhnya serta sering bersikap keji pula kepadanya, namun ia selalu terkenang kepada budi baik pasangan suami-istri Yue yang telah membesarkan dirinya lebih dari dua puluh tahun lamanya. Bagaimanapun juga Linghu Chong selalu menghormati Yue Buqun sebagai seorang ayah. Sebenarnya ia bermaksud mengutarakan kata-kata yang dapat menghibur Yue Buqun, tapi tenggorokan serasa terkunci dan sukar berbicara pula.

“Tetua Bao,” kata Ren Yingying, “bila kalian pulang ke Tebing Kayu Hitam, sampaikanlah hormat baktiku kepada Ayah dan juga kepada Paman Xiang. Tolong sampaikan kepada Beliau berdua, bahwa aku sedang menunggu dia … menunggu … menunggu luka Tuan Muda Linghu sembuh dahulu, barulah aku pulang ke sana.”

Terhadap gadis lain, tentu Bao Dachu akan menjawab dengan kata-kata sanjung puji, “Hamba berharap Tuan Muda Linghu bisa lekas sembuh dan berkunjung ke Tebing Kayu Hitam bersama Nona Besar. Kami juga berharap bisa secepatnya mengangkat secawan arak untuk bersulang memberi selamat kepada Tuan Muda dan Nona Besar dalam hari yang bahagia.” Namun, terhadap Ren Yingying sama sekali ia tidak berani berkata muluk-muluk seperti itu. Bahkan, memandang wajah sang nona besar saja Bao Dachu tidak berani. Ia hanya menjawab, “Baik,” sambil membungkuk memberi hormat dengan sikap sungguh-sungguh.

Bao Dachu paham benar bahwa tuan putrinya itu sangat pemalu. Ren Yingying memang khawatir orang-orang menertawai dirinya telah jatuh cinta kepada Linghu Chong, bahkan banyak di antara mereka yang menjadi korban perasaannya. Ada yang membutakan mata sendiri, ada pula yang dibuang ke pulau terpencil hanya karena memergoki dirinya berjalan bersama Linghu Chong beberapa waktu yang lalu. Membayangkan peristiwa itu Bao Dachu tidak berani menunda lebih lama lagi. Segera ia mohon diri dan berangkat meninggalkan lembah itu bersama kawan-kawannya. Sikap hormatnya terhadap Linghu Chong bahkan melebihi hormatnya kepada Ren Yingying. Ia sadar jika dirinya semakin hormat kepada Linghu Chong tentu akan semakin menyenangkan hati Ren Yingying. Sebagai tokoh berpengalaman di dunia persilatan, sudah tentu Bao Dachu dapat menyelami perasaan anak gadis pada umumnya.

Sepeninggal mereka, Ren Yingying lantas berkata kepada Yue Buqun, “Tuan Yue, kau juga boleh pergi. Mengenai jenazah istrimu apakah akan kau bawa pulang ke Gunung Huashan untuk dimakamkan di sana?”

Yue Buqun menggeleng dan berkata, “Aku pasrah kepada kalian berdua. Istriku silakan dikubur di sini saja.” Usai berkata demikian, tanpa memandang sedikit pun kepada Linghu Chong maupun Ren Yingying, segera ia melangkah pergi dengan cepat. Dalam sekejap saja tubuhnya sudah menghilang di balik semak-semak pepohonan.

Menjelang senja, Linghu Chong dan Ren Yingying telah selesai memakamkan jenazah Ning Zhongze di samping kuburan Yue Lingshan. Karena hatinya merasa berduka, kembali Linghu Chong menangis sedih.

Esok paginya Ren Yingying bertanya kepada Linghu Chong, “Kakak Chong, bagaimana keadaaan lukamu yang baru?”

“Kali ini tidak terlalu parah, kau tidak perlu khawatir,” jawab pemuda itu.

“Bagus kalau begitu. Tempat kita ini sudah diketahui orang, kurasa dua-tiga hari lagi kita harus pindah ke tempat lain,” ujar Ren Yingying.

“Benar juga,” kata Linghu Chong. “Adik Kecil sudah ditemani ibunya, tentu dia tidak akan kesepian lagi.” Berkata demikian membuat hatinya kembali pilu. Ia lantas mengalihkan pembicaraaan, “Guru selalu mengutamakan kebajikan dan kejujuran sepanjang hidupnya. Namun, kini sifatnya telah banyak berubah gara-gara mempelajari jurus pedang iblis itu.”

Ren Yingying mengangguk dan menjawab, “Kurasa ucapanmu itu tidak sepenuhnya benar. Sebelum mempelajari jurus pedang itu sifat gurumu juga sudah berubah. Dia mengirim Lao Denuo dan adik kecilmu ke Fuzhou dengan menyamar sebagai penjual arak untuk mengintai Keluarga Lin. Apakah menurutmu itu bukan tindakan licik? Sebenarnya waktu itu gurumu sudah merencanakan tipu muslihat untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis.”

Linghu Chong terdiam. Ia memang pernah berpikir tentang ini namun tidak berani menyelaminya lebih dalam.

Terdengar Ren Yingying melanjutkan, “Sebenarnya ilmu pedang Keluarga Lin itu tidak pantas disebut Jurus Pedang Penakluk Iblis. Menurutku sebaiknya diberi nama Jurus Pedang Iblis saja. Kalau kitab pedang ini tetap beredar di dunia persilatan, sudah pasti akan selalu timbul malapetaka yang tiada habis-habisnya. Yue Buqun masih hidup, Lin Pingzhi sudah menghafal seluruh isinya pula. Hanya saja, aku yakin dia takkan membacakan semuanya kepada Zuo Lengchan dan Lao Denuo. Bocah bermarga Lin itu tidak bodoh, mana mungkin dia mau memberikan kitab berharga itu kepada orang lain?”

Linghu Chong menjawab, “Zuo Lengchan dan Lin Pingzhi memang sama-sama buta, tapi Lao Denuo tidak. Dalam hal ini tentu dia yang akan mendapat keuntungan. Ketiganya adalah manusia-manusia licik dan keji. Kini mereka berkumpul menjadi satu, tentu akan terjadi saling jegal dan tipu-menipu di antara mereka. Entah bagaimana jadinya, dua lawan satu mungkin Lin Pingzhi yang akan tersisihkan.”

“Apakah kau benar-benar hendak melindungi Lin Pingzhi?” tanya Ren Yingying.

Linghu Chong menjawab sambil memandang makam Yue Lingshan, “Aku tidak seharusnya menyanggupi permintaan Adik Kecil untuk melindungi Lin Pingzhi. Orang ini lebih keji daripada binatang. Sudah sepantasnya ia kucabik-cabik hingga hancur luluh. Huh, mana mungkin aku akan membantu dia? Hanya saja, aku sudah terlanjur berjanji kepada Adik Kecil. Bila aku sampai mengingkarinya, tentu ia tidak akan tenteram di alam sana.”

“Ketika masih hidup ia tidak tahu siapa yang benar-benar baik kepadanya. Kini di alam sana seharusnya ia tahu,” kata Ren Yingying. “Oleh karena itu, ia pasti tidak menginginkan kau melindungi Lin Pingzhi lagi.”

“Sukar dipastikan,” ujar Linghu Chong. “Cinta Adik Kecil terhadap Lin Pingzhi sudah terlalu mendalam. Sekalipun ia sendiri sadar dibunuh oleh suaminya itu, namun tetap saja ia tidak tega membiarkan Lin Pingzhi hidup merana dalam keadaan buta.”

Diam-diam Ren Yingying merenung, “Ucapanmu tidak salah. Seandainya hal ini terjadi padaku, aku juga tidak peduli bagaimana sikapmu terhadap diriku. Aku akan tetap mencintaimu dengan segenap jiwa dan ragaku.”

Begitulah, keduanya lantas kembali tinggal di lembah sunyi tersebut. Sepuluh hari kemudian luka baru di pinggang Linghu Chong sudah jauh lebih baik. Ia memutuskan kembali ke Perguruan Henshan untuk menyerahkan jabatan ketua kepada murid yang dianggapnya paling layak. Setelah itu, ia ingin mengajak Ren Yingying berkelana mencari tempat yang sunyi, bebas dari dunia persilatan.

Ren Yingying menanggapi, “Bagaimana dengan tanggung jawabmu terhadap wasiat Nona Yue? Bukankah kau harus melindungi Lin Pingzhi?”

Linghu Chong menggaruk-garuk kepala dan menjawab, “Sebaiknya jangan kau bicarakan lagi. Masalah ini benar-benar membuatku pusing. Aku akan melaksanakan wasiat ini sesuai keadaaan saja.”

Ren Yingying tersenyum dan tidak berkata lagi. Keduanya lantas memberi hormat di depan makam Ning Zhongze dan Yue Lingshan, lalu berangkat meninggalkan lembah sunyi permai yang penuh kenangan tersebut.

Setelah berjalan selama setengah hari barulah mereka memasuki sebuah kota kecil. Di sana mereka beristirahat di dalam sebuah kedai makan dan memesan dua mangkuk bakmi. Sambil menyumpit makanannya Linghu Chong berkata, “Sampai sekarang kita belum menyembah Langit dan Bumi menjadi pengantin ....”

Muka Ren Yingying bersemu merah dan lekas-lekas memotong, “Huh, siapa pula yang akan menikah denganmu?”

“Kita berdua yang akan menikah kelak,” sahut Linghu Chong tersenyum. “Jika kau menolak maka aku akan memaksamu menikah denganku.”

Ren Yingying tampak ingin tersenyum tapi berusaha keras menahan bibirnya lalu berkata, “Selama di dalam lembah kau selalu bersikap alim. Begitu keluar, kau kembali liar dan suka sembarangan bicara lagi.”

Linghu Chong masih saja tersenyum dan berkata, “Kita harus memikirkan masak-masak rencana masa depan yang mahapenting ini. Pada saat di dalam lembah kemarin, aku tiba-tiba berpikir, kelak setelah menikah kita akan memiliki banyak anak.”

Ren Yingying langsung berdiri dengan wajah cemberut. “Jika kau masih saja bicara yang tidak perlu, aku tidak mau ikut ke Henshan lagi.”

“Baiklah, baiklah,” sahut Linghu Chong sambil tertawa. Namun tetap saja ia melanjutkan, “Lembah tempat kita tinggal kemarin banyak ditumbuhi pohon persik. Jika kita tetap berada di sana dan memiliki enam orang anak, maka mereka akan disebut sebagai Enam Dewa Lembah Persik Cilik.”

“Apa maksudmu?” sahut Ren Yingying sambil kembali duduk. Meskipun mulutnya berkata pedas, namun dalam hati merasa begitu bahagia. Matanya tampak berbinar-binar. Begitu ia beradu pandang dengan Linghu Chong, seketika hatinya merasa malu dan lekas-lekas wajahnya menunduk sambil menelan bakmi di dalam mulutnya.

Linghu Chong berkata, “Dalam perjalanan menuju ke Gunung Henshan nanti bisa jadi kita akan berjumpa kawan atau kenalan. Mungkin mereka mengira kita sudah menikah dan aku takut kau tidak senang atas kesalahpahaman ini.”

Ren Yingying segera menjawab, “Kau benar. Sebaiknya kita kembali menyamar sebagai dua petani, tentu tidak akan ada yang mengenali.”

“Tapi wajahmu terlalu cantik. Meski menyamar sebagai apa saja juga tetap menarik perhatian orang membuat bumi berguncang,” ujar Linghu Chong. “Jika kita berjalan bersama tentu orang-orang berkata, ‘Lihat, ada seorang gadis yang sangat cantik berjalan bersama pemuda tolol. Benar-benar seperti bunga mawar tumbuh di atas kotoran kerbau.’ Namun setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata si bunga mawar adalah Gadis Suci Sekte Matahari dan Bulan, sementara si pemuda tolol yang seperti kotoran kerbau ini adalah Linghu Chong, pangeran gagah pujaan hatinya.”

“Kau ini memang suka asal bicara, “sahut Ren Yingying sambil menahan senyum.

Linghu Chong kembali berkata, “Aku akan menyamar sebagai orang biasa yang tidak menarik perhatian murid-murid Henshan. Aku harus bisa melihat keadaan perguruan dari dekat secara langsung. Apabila keadaan aman dan tenteram, aku akan menyerahkan jabatan ketua kepada salah seorang murid. Setelah itu kita bisa bertemu di suatu tempat rahasia dan pergi bersama. Urusan ini hanya kita yang tahu. Boleh dikata, dewa tidak melihat, hantu tidak mendengar.”

Ren Yingying paham Linghu Chong berusaha mencari cara demi menyesuaikan keadaan dengan sifatnya yang pemalu itu. Sungguh ia merasa sangat senang dan segera menjawab, “Baiklah. Karena yang akan kita datangi adalah Perguruan Henshan, maka sebaiknya kau mencukur botak kepalamu dan menyamar sebagai biksuni. Dengan cara ini dijamin tidak seorang pun yang akan curiga. Sini, biar kudandani kau menjadi seorang biksuni yang cantik.”

Linghu Chong tertawa dan menggoyang-goyangkan tangannya. Ia berkata, “Jangan, jangan! Setiap kali melihat biksuni, aku akan selalu kalah berjudi. Bila aku menyamar sebagai biksuni tentu akan sial selamanya, aku tidak mau.”

Ren Yingying tertawa pula dan menjawab, “Seorang laki-laki sejati tidak kaku dan pandai menyesuaikan diri. Kenapa kau terlalu banyak percaya takhayul? Sini, biar aku yang mencukur botak kepalamu.”

Linghu Chong berkata, “Kalau hanya untuk menghindari perhatian orang rasanya tidak perlu menyamar biksuni. Tentu saja aku akan ke Gunung Henshan dalam pakaian wanita. Wajahku bisa disamarkan, tapi bagaimana dengan suaraku? Sekali saja aku membuka suara pasti akan ketahuan. Maka itu, yang paling baik aku harus menyamar sebagai seorang bisu tuli. Apakah kau masih ingat kepada wanita tua yang tinggal di Kuil Gantung, di Gunung Cui Ping, belakang puncak utama Henshan itu?”

Ren Yingying bertepuk tangan dan menjawab, “Bagus sekali, bagus sekali. Memang di Kuil Gantung itu ada seorang babu tua yang bisu juga tuli. Kita dulu pernah bertempur sengit di sana melawan Jia Bu dan pasukannya, tapi perempuan tua itu sedikit pun tidak mendengar. Ketika kita bertanya padanya, dia hanya ternganga saja tak bisa menjawab. Apakah kau ingin menyamar sebagai dia?”

“Benar,” sahut Linghu Chong.

“Baiklah, mari kita pergi membeli pakaian dan setelah itu kau akan segera kudandani,” kata Ren Yingying.

Dengan membayar dua tahil perak Ren Yingying berhasil mendapatkan seikat rambut panjang milik seorang penduduk di situ. Ditatanya dengan baik rambut itu kemudian dipasangnya di atas kepala Linghu Chong sebagai sanggul. Ia kemudian membantu pemuda itu memakai pakaian petani perempuan. Kini Linghu Chong sudah berubah seperti seorang wanita. Kemudian Ren Yingying menambahkan bedak kekuning-kuningan pada wajahnya, di sana-sini ditambah pula dengan tujuh titik tahi lalat palsu. Kemudian pada kulit muka sebelah kanan ditarik ke bawah dan ditempeli sepotong koyo sehingga alis kanan Linghu Chong ikut tertarik menyerong ke bawah, mulutnya juga menjadi agak peot. Sewaktu bercermin, Linghu Chong sampai-sampai tidak mengenal dirinya sendiri.

“Nah, sekarang kau sudah benar-benar mirip dengan dia. Hanya tingkah lakumu yang masih perlu dilatih,” ujar Ren Yingying. “Kau harus berlagak bodoh, berlagak tolol, seperti orang linglung. Yang paling penting, apabila ada orang tiba-tiba menggertak di belakangmu, jangan sekali-kali kau melonjak terkejut supaya rahasia penyamaranmu tidak terbongkar.”

“Berlagak tolol adalah hal yang paling mudah, pura-pura bodoh adalah keahlianku,” ujar Linghu Chong dengan tertawa.

Di sepanjang jalan Linghu Chong tetap menyamar menjadi babu tua yang bisu dan tuli sekaligus sebagai latihan agar nanti di Gunung Henshan penyamarannya tidak mudah terbongkar. Ia dan Ren Yingying tidak bermalam di penginapan, tapi mencari kuil rusak untuk beristirahat. Terkadang Ren Yingying sengaja menggertak di belakang Linghu Chong, namun pemuda itu ternyata tidak terkejut dan pura-pura tidak mendengar.

Hari berikutnya sampailah mereka di kaki Gunung Henshan. Keduanya berjanji akan bertemu kembali di sekitar Kuil Gantung tiga hari kemudian. Linghu Chong kemudian menuju ke Puncak Jianxing seorang diri, sementara Ren Yingying berpesiar menikmati keindahan pegunungan tersebut.

Hari sudah mulai petang ketika Linghu Chong tiba di Puncak Jianxing. Ia paham Yiqing dan Zhang E sangat cermat, sehingga bila ia langsung menuju ke biara utama tentu akan membuat mereka curiga. Menurutnya, lebih baik menyelidiki secara diam-diam saja terlebih dulu. Segera ia pun mencari sebuah gua sepi untuk beristirahat dan tidur. Ketika terbangun tampak sang rembulan sudah menghias di angkasa. Ia pun bangkit dan bergegas menuju ke Biara Wuse, yaitu biara induk di Puncak Jianxing.

Setibanya di pinggir pagar tembok biara itu, ia mendengar suara benturan senjata berulang-ulang. Linghu Chong terkesiap dan berpikir, “Apakah ada musuh yang datang menyerang? Musuh dari mana kira-kira?” Segera tangannya meraba pedang pendek milik Ren Yingying yang terselip di balik bajunya.

Sepertinya suara itu berasal dari sebuah rumah yang berada puluhan meter di luar Biara Wuse. Tampak cahaya lilin keluar dari balik jendela rumah tersebut. Linghu Chong segera merapat ke dinding dan mendengar suara pertarungan semakin keras dan nyaring. Perlahan-lahan ia mengintai ke dalam melalui jendela. Seketika hatinya langsung lega, karena yang terlihat adalah Yihe dan Yilin sedang berlatih pedang, sementara Yiqing dan Zheng E berdiri menyaksikan. Rupanya mereka sedang berlatih ilmu pedang hasil ajarannya tempo hari, yaitu ilmu pedang Henshan yang terukir pada dinding gua rahasia di puncak Huashan.

Dibanding sebelumnya, permainan pedang Yihe dan Yilin terlihat sudah jauh lebih matang. Pada jurus kesekian, pedang Yihe tampak berputar semakin cepat. Beberapa gerakan berikutnya Yilin agak lengah, sehingga ujung pedang Yihe tahu-tahu sudah mengancam di depan dadanya. Untuk menangkis jelas tidak sempat lagi, sehingga Yilin hanya bisa menjerit lesu.

“Adik, kau kalah lagi,” kata Yihe kemudian.

Yilin menunduk malu dan menjawab, “Aku sudah berlatih sekian lama, tapi masih tak ada kemajuan.”

“Sudah lebih maju daripada latihan sebelumnya,” kata Yihe. “Mari kita coba lagi.”

Akan tetapi, Yiqing menyela, “Adik Yilin mungkin sudah lelah, lebih baik tidur saja dulu bersama Adik Zheng. Besok kita bisa berlatih lagi.”

“Baik,” jawab Yilin sambil menyarungkan pedangnya. Setelah memberi hormat kepada Yiqing dan Yihe, ia lantas menggandeng tangan Zheng E keluar dari ruang latihan tersebut.

Sewaktu Yilin membalikkan badan, Linghu Chong dapat melihat wajah biksuni muda itu tampak pucat dan kurus. “Adik Yilin ini selalu saja berhati murung,” pikirnya.

Yihe menutup pintu ruangan kemudian memandang ke arah Yiqing sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setelah suara langkah Yilin dan Zheng E terdengar menjauh barulah ia berkata, “Hati Adik Yilin selalu saja tidak bisa tenang. Hati yang kacau dan pikiran tergoda adalah pantangan besar bagi kaum biarawati seperti kita. Entah bagaimana cara kita harus menasihatinya?”

“Memang sukar untuk menasihatinya,” kata Yiqing. “Yang paling bagus adalah kalau dia sendiri yang punya kesadaran.”

Yihe berkata, “Aku tahu kenapa hati Adik Yilin tidak bisa tenang. Ia senantiasa terkenang kepada ….”

“Di tempat suci ini hendaknya Kakak Yihe jangan bicara hal-hal demikian,” sahut Yiqing menukas sambil menggoyang-goyangkan tangan. “Sebenarnya tiada salahnya kita membiarkan Adik Yilin sadar sendiri apabila kita tidak buru-buru ingin menuntut balas kematian Guru dan Bibi Guru.”

Yihe berkata, “Dulu Guru sering mengatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah suratan takdir, demi memenuhi hukum karma. Kita harus mengikuti dan menurut apa adanya, sedikit pun tidak boleh dipaksakan. Begitu pula dalam berlatih ilmu silat harus setahap demi setahap, karena jika dipaksakan bisa mengakibatkan kesesatan. Kulihat Adik Yilin adalah orang yang berperasaan dalam. Dari luar terlihat tenang, tapi dalam hati penuh gejolak. Sebenarnya dia tidak cocok memasuki dunia biara seperti kita.”

Yiqing menghela napas dan menjawab, “Aku juga pernah memikirkan hal ini. Hanya saja, Perguruan Henshan bagaimanapun juga harus dipimpin oleh seseorang dari kalangan agama kita sendiri. Kakak Linghu sudah sering menyatakan bahwa ia hanya sementara saja menjabat sebagai ketua kita. Namun, yang paling penting adalah kita harus lebih dulu membalas perbuatan Yue Buqun itu. Dia telah mencelakai Guru dan Bibi ….”

Linghu Chong terperanjat dan berpikir, “Mengapa mereka menuduh Guru telah membunuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi?”

Terdengar Yiqing melanjutkan, “Kalau sakit hati ini tidak lekas kita balas, tentu kita sebagai murid selamanya tidak nyenyak tidur dan tidak enak makan.”

“Tidak hanya kau saja yang gelisah, mungkin aku jauh lebih resah tentang sakit hati guru kita ini,” ujar Yihe. “Baiklah, mulai besok aku akan mempercepat dan mempergiat latihan Adik Yilin.”

“Tapi juga jangan terlalu dipaksakan,” sahut Yiqing. “Kulihat beberapa hari terakhir ini semangat Adik Yilin agak mundur.”

“Benar,” jawab Yihe. Lalu kedua murid tertua Henshan itu membereskan senjata-senjata dan memadamkan pelita. Mereka lantas kembali ke kamar masing-masing untuk tidur.

Linghu Chong masih diam berdiri di luar jendela dengan pikiran rumit. “Aneh, mengapa mereka menuduh Guru telah mencelakai kedua biksuni sepuh? Mengapa pula mereka ingin membalaskan kematian kedua biksuni sepuh sebelum aku menyerahkan jabatan ketua kepada orang lain? Mengapa pula mereka harus menyuruh Adik Yilin giat berlatih pedang siang dan malam?”

Ia tetap saja berdiri merenungkan hal itu sampai cukup lama, tapi tidak juga menemukan jawabannya. Perlahan-lahan ia pun melangkah sambil berpikir, “Sebaiknya besok aku bertanya langsung kepada Kakak Yihe dan Kakak Yiqing.”

Tiba-tiba Linghu Chong melihat bayangannya bergerak-gerak. Ketika memandang ke atas tampak sang rembulan bersinar terang dan seperti menggantung di pucuk pepohonan. Seketika itu pula seberkas pikiran terlintas dalam benaknya, hampir saja ia berteriak sendiri. Dalam hati ia berkata, “Seharusnya aku menyadari hal ini sejak dulu. Mengapa mereka sudah lama mengetahui hal ini, sebaliknya aku tidak?”

Ia pun menyelinap ke pinggir tembok di luar sebuah rumah kecil, lalu berdiri merapat agar bayangannya tidak terlihat para peronda. Di tempat itu barulah ia merenung dan berpikir dengan cermat. Ia mencoba mengenang kembali kematian Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi di Biara Shaolin dulu. Waktu itu Biksuni Dingxian sempat mewariskan jabatan ketua Perguruan Henshan kepadanya namun tidak mengatakan sama sekali siapa orang yang telah mencelakai dirinya. Ketika Linghu Chong memeriksa jenazah kedua biksuni sepuh, pada tubuh mereka tidak terdapat suatu luka apapun, juga tidak menderita luka dalam atau mati keracunan. Untuk membuka pakaian mereka juga rasanya tidak pantas. Dengan demikian penyebab kematian mereka sungguh sangat misterius.

Kemudian setelah meninggalkan Biara Shaolin dan beristirahat dalam sebuah gua, Ren Yingying pernah bercerita bahwa dirinya sempat membuka baju kedua biksuni sepuh itu untuk memeriksa luka mereka. Ternyata pada ulu hati keduanya terdapat satu titik merah bekas tusukan jarum, jelas luka inilah yang mengakibatkan kematian mereka. Saat itu Ren Yingying melonjak terkejut dan berkata, “Jarum beracun. Di dunia persilatan ini siapa yang biasa menggunakan jarum beracun?”

Ren Woxing dan Xiang Wentian yang kaya pengalaman juga tidak tahu menahu ketika ditanyai tentang hal ini. Hanya saja, Ren Woxing menyebutkan bahwa itu bukan jarum beracun, melainkan sebuah jarum tajam biasa namun ditusukkan tepat ke titik maut mereka berdua. Namun, tusukan pada ulu hati Biksuni Dingxian agak melenceng sehingga nyawanya tidak langsung putus sampai kedatangan Linghu Chong.

Waktu itu Linghu Chong dan Ren Yingying bersama membahas siapa kira-kira pembunuh kedua biksuni sepuh. Karena jarum tersebut menusuk tepat di ulu hati, maka serangan tersebut jelas dilakukan secara berhadapan. Jadi, orang yang mencelakai kedua biksuni sudah pasti seorang tokoh silat papan atas. Meskipun tidak menemukan siapa sebenarnya pelaku pembunuhan itu, namun Linghu Chong dan Ren Yingying sepakat mengucapkan janji bahwa mereka tidak akan pernah mengampuni penjahat itu.

Teringat akan hal ini, tanpa terasa kedua tangan Linghu Chong mendorong dinding dengan badan agak gemetar. Ia merenung, “Tusukan jarum seperti itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah mempelajari Kitab Pedang Penakluk Iblis atau Kitab Bunga Mentari. Dongfang Bubai selalu berada di Tebing Kayu Hitam sehingga tidak mungkin ia menjadi pelakunya. Lagipula jika Dongfang Bubai menyusup ke dalam Biara Shaolin tidak mungkin tusukan jarumnya pada ulu hati Biksuni Dingxian bisa sampai melenceng. Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dipelajari Zuo Lengchan adalah palsu, tidak sempurna, jadi tidak mungkin pula ia yang membunuh kedua biksuni sepuh. Lin Pingzhi sendiri mungkin baru saja mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis, atau mungkin ia sama sekali belum mendapatkannya. Aku masih ingat bagaimana suara Lin Pingzhi saat itu. Benar, suaranya belum melengking seperti perempuan. Jelas kalau ia belum mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis”

Berpikir sampai di sini tanpa terasa dahi Linghu Chong mengalirkan keringat dingin. Ia tahu saat itu yang mampu menggunakan sebatang jarum kecil untuk membinasakan kedua biksuni sepuh dari depan hanyalah Yue Buqun seorang. Teringat pula olehnya bagaimana Yue Buqun menyusun rencana sangat matang agar dapat menjadi ketua Perguruan Lima Gunung. Ia sengaja membiarkan Lao Denuo menyusup ke dalam Perguruan Huashan selama belasan tahun tanpa membuka penyamarannya. Ia juga sengaja membiarkan Lao Denuo membawa lari Kitab Pedang Penakluk Iblis palsu untuk menjebak Zuo Lengchan, sehingga dengan mudah kedua mata Zuo Lengchan dapat dibutakan olehnya di atas Panggung Fengshan. Mengingat Biksuni Dingxian dan kawan-kawannya bersikeras menentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu, maka Yue Buqun telah mencari kesempatan untuk membunuhnya demi mengurangi pihak yang menentang cita-citanya. Pantas saja Biksuni Dingxian tidak mau menyebutkan siapa pembunuhnya di depan Linghu Chong. Andai saja si pembunuh adalah Zuo Lengchan atau Dongfang Bubai, tentu biksuni sepuh itu tidak akan menutup-nutupinya.

Linghu Chong merenungkan kembali percakapannya dengan Ren Yingying di gua saat hujan salju waktu itu. Ren Yingying bercerita setelah kalah bertanding di Biara Shaolin, Yue Buqun menendang dada Linghu Chong sampai pemuda itu jatuh pingsan, namun kakinya sendiri juga ikut tergetar patah. Hal ini sangat mengherankan Ren Yingying, bahkan Ren Woxing juga tidak habis pikir atas kejadian ini. Sebagaimana yang ia ketahui, di dalam tubuh Linghu Chong memang sudah banyak berkumpul berbagai tenaga dalam yang dihisapnya dari beberapa tokoh silat papan atas. Namun demikian, untuk bisa menggunakan campuran tenaga dalam itu supaya bisa menyerang balik jika lawan melakukan serangan diperlukan latihan yang cukup keras. Jika Ren Woxing memang sudah bisa melakukannya, tetapi Linghu Chong waktu itu jelas belum mencapai tingkat demikian. Maka, apa yang terjadi saat itu adalah Yue Buqun sengaja mengerahkan tenaga dalam untuk mematahkan kakinya sendiri sambil menendang dada Linghu Chong. Ia sengaja memperlihatkan kelemahan dirinya di hadapan Zuo Lengchan agar saingan beratnya itu memandang rendah terhadap dirinya.

Begitulah, dalam pertarungan di Panggung Fengshan, Zuo Lengchan terlalu meremehkan Yue Buqun sehingga usahanya yang dirintis dengan susah payah sekian lama yaitu menggabungkan Serikat Pedang Lima Gunung di bawah kekuasaannya harus berakhir dengan sia-sia, sementara orang lain yang menikmati keuntungan.

Sebenarnya hal ini cukup mudah untuk dipahami. Akan tetapi, selama ini Linghu Chong tidak pernah menaruh curiga kepada Sang Guru. Mungkin juga, rasa curiga kepada Yue Buqun sebenarnya ada namun segera dikuburnya dalam-dalam. Setiap kali ia memikirkan peristiwa pembunuhan kedua biksuni sepuh selalu saja bayangan sang guru tidak muncul dalam benaknya. Entah karena ia memang tidak ingin memunculkannya, atau mungkin karena takut. Namun, kali ini begitu mendengar percakapan Yihe dan Yiqing seketika rasa curiganya kepada Yue Buqun langsung bangkit begitu saja.

Seumur hidup Linghu Chong selalu menghormati dan menyayangi Yue Buqun. Tak disangka Sang Guru ternyata begitu keji dan munafik. Ia merasa hidupnya kini seolah tak berarti lagi. Seluruh tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Kakinya terasa berat untuk melangkah menuju bangunan-bangunan lain di lingkungan biara Henshan tersebut. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari tempat sepi di salah satu lembah dan tidur di situ.

Keesokan harinya Linghu Chong pergi ke Lembah Tongyuan, yaitu tempat tinggal para jago silat golongan hitam yang dulu ikut bergabung ke dalam Perguruan Henshan. Saat itu hari sudah mulai terang. Linghu Chong berjalan menyusuri tepian sungai kecil. Di atas aliran air yang jernih ia pun bercermin kalau-kalau ada penyamarannya yang rusak. Begitu sampai di bangunan tempat tinggal para jagoan itu, ia langsung masuk melalui pintu utama. Namun, baru saja beberapa langkah mendadak terdengar suara ramai berkumandang dari dalam.

Di dalam pekarangan tersebut terdapat banyak orang. Beberapa di antara mereka berteriak-teriak, “Sungguh aneh! Keparat mana yang melakukan ini semua?”

“Ya, benar-benar bangsat! Kapan hal ini dilakukan? Mengapa tiada seorang pun yang tahu?”

“Hei, mereka ini bukan jago-jago lemah. Mengapa mereka bisa dikerjai orang lain tanpa bersuara sedikit pun?”

Dari suara ribut-ribut itu Linghu Chong dapat menduga bahwa di dalam tentu terjadi suatu hal yang luar biasa. Segera ia menyelinap masuk. Dilihatnya di pekarangan dalam dan serambi samping sudah penuh berdiri banyak orang. Semuanya menengadah, memandang ke pucuk pohon gongsun yang berdiri di tengah halaman pekarangan bangunan tersebut.

Linghu Chong ikut mendongak ke atas. Seketika ia pun terheran-heran. Dilihatnya pada pucuk pohon yang tingginya belasan meter itu tergantung delapan orang. Mereka adalah tujuh orang yang dulu pernah mengeroyok Yu Canghai karena mengira ketua Perguruan Qingcheng itu menyimpan Kitab Pedang Penakluk Iblis, sedangkan seorang lagi adalah pria berpakaian saudagar. Ketujuh orang itu adalah Nyonya Zhang, Yan Sanxing, Qiu Songnian, Biksu Xibao, Pendeta Yuling, Wu Baiying, dan Zhou Gutong. Sementara yang berpakaian saudagar adalah You Xun si Manusia Licin Susah Dipegang. Sepertinya kedelapan orang itu semua dalam keadaan tertotok. Kaki dan tangan mereka diikat dan tubuh mereka digantung di atas ketinggaian tiga meter dari tanah. Tampak tubuh mereka terayun-ayun pula akibat hembusan angin.

Mulut kedelapan orang itu tidak bisa bersuara, sementara wajah mereka bersemu merah menahan malu. Yang lebih parah lagi, kedua ekor ular hitam piaraan Yan Sanxing berkeliaran merayap di tubuh mereka. Kalau yang dirambati adalah tubuh Yan Sanxing tentu tidak menjadi soal, karena ia bergelar si Pengemis Jahat Berular Dua. Namun, jika kedua ular itu merayap pada ketujuh orang lainnya tentu masing-masing merasa khawatir dan ngeri.

Tiba-tiba seseorang meloncat ke atas. Ia tidak lain adalah Ji Wushi si Kucing Malam. Dengan sebilah belati dipotongnya tali yang menggantung Wu Baiying dan Zhou Gutong. Seketika tubuh kedua orang yang dijuluki Sepasang Orang Aneh Tongbai itu pun jatuh ke bawah. Segera seorang pendek bulat menangkap tubuh mereka. Si cebol ini tidak lain adalah Lao Touzi. Dalam sekejap saja Ji Wushi sudah berhasil menjatuhkan kedelapan orang itu ke bawah dan masing-masing ditangkap oleh orang-orang lainnya. Satu persatu totokan pada tubuh mereka pun dibuka pula.

Begitu bebas, Qiu Songnian langsung mencaci maki dengan kata-kata yang paling kotor. Namun, tiba-tiba kedelapan orang itu saling pandang dengan sikap yang lucu. Ada yang terkejut, ada pula yang tertawa geli.

Sewaktu Zu Qianqiu memeriksa, ternyata pada dahi mereka masing-masing telah tertulis satu kata. Ada yang tertulis “awas” ada pula yang tertulis “ketahuan” dan sebagainya. Jika tulisan pada dahi kedelapan orang itu dibaca berurutan, maka akan tersusun kalimat yang berbunyi: “Persekongkolan licik sudah ketahuan, awas jiwa anjing kalian.”

Orang-orang yang lainnya satu per satu mengulangi ucapan Zu Qianqiu. “Persekongkolan licik sudah ketahuan, awas jiwa anjing kalian.”

Biksu Xibao yang berhati kasar langsung mencaci maki, “Persekongkolan licik ketahuan apanya? Memangnya siapa yang berjiwa anjing?”

Pendeta Yuling segera mencegah rekannya itu memaki lebih lanjut. Ia lantas menghapus huruf di dahinya menggunakan air ludah.

Zu Qianqiu pun bertanya, “Saudara You, entah bagaimana kalian berdelapan bisa dikerjai orang, dapatkah kau menceritakannya?”

You Xun tersenyum-senyum dan menjawab, “Sungguh memalukan bila kuceritakan. Semalam aku tidur dengan sangat nyenyak. Entah mengapa tahu-tahu titik nadiku sudah tertotok dan tubuhku tergantung tinggi di atas pohon ini. Mengenai diriku yang tidak becus ini boleh dikata wajar diperlakukan demikian. Tapi, tokoh-tokoh yang serbacerdas seperti Pendeta Yuling, Nyonya Zhang, dan yang lain ternyata juga ikut dikerjai. Maka, bajingan yang mengerjai kami itu kemungkinan besar memakai semacam obat bius.”

Nyonya Zhang menyahut, “Huh, mungkin seperti itu!” Ia tidak ingin banyak bicara dan segera pergi ke dalam untuk mencuci muka disusul Pendeta Yuling yang lain.

Orang-orang di tempat itu tidak ikut pergi melainkan bercakap-cakap ramai membicarakan kejadian aneh tersebut. Kebanyakan mereka berkata, “Ucapan You Xun tidak lengkap. Pasti ada suatu rencana yang disembunyikannya. Jika tidak, mengapa di antara kita semua yang berjumlah ratusan ini hanya mereka berdelapan saja yang dibius dan digantung?” Orang-orang itu juga bingung memikirkan maksud dari kalimat “Persekongkolan licik sudah ketahuan”, entah persekongkolan licik apa yang dimaksud?

“Orang sakti dari mana pula yang bisa meringkus dan menggantung mereka berdelapan?” tanya mereka bingung.

Terdengar seseorang di antara mereka tertawa dan berkata, “Untung sekali hari ini Enam Setan Lembah Persik tidak berada di sini. Kalau mereka di sini tentu urusan ini akan bertambah runyam.”

“Dari mana kau tahu mereka tidak berada di sini? Keenam orang itu suka berbuat gila-gilaan. Bukan mustahil apa yang terjadi ini adalah hasil perbuatan mereka,” kata seorang lagi.

“Tidak, tidak mungkin perbuatan mereka,” ujar Zu Qianqiu.

“Bagaimana Saudara Zu dapat mengetahuinya?” tanya orang pertama tadi.

“Meski ilmu silat Enam Dewa Lembah Persik sangat bagus, namun isi kepala mereka sangat terbatas,” kata Zu Qianqiu. “Jangankan kalimat-kalimat itu, untuk menulis kata ‘persekongkolan’ saja aku jamin mereka tidak bisa.”

Semua orang pun bergelak tawa membenarkan ucapan Zu Qianqiu. Mereka terus saja bercakap-cakap tentang kejadian lucu dan aneh itu sehingga tidak seorang pun memerhatikan babu tua samaran Linghu Chong yang sedang memasang wajah dungu.

Linghu Chong sengaja mengambil sepotong kain lap untuk membersihkan ruangan itu dengan kepala menunduk, tapi diam-diam ia mengawasi gerak-gerik mereka. “Apa yang sebenarnya direncanakan oleh kedelapan orang tadi? Apakah mereka berniat mengganggu ketentraman Perguruan Henshan? Siapa pula yang telah menangkap dan menggantung mereka?”

Lewat tengah hari, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak-teriak di luar, “Aneh, sungguh aneh! Semuanya lekaslah kemari, coba lihat itu!”

Serentak orang-orang pun berlari keluar. Linghu Chong juga ikut serta namun dengan langkah perlahan-lahan. Tampak di samping kanan pekarangan puluhan orang sedang mengerumuni sesuatu. Ketika Linghu Chong sampai di sana, orang-orang itu sedang ramai memperbincangkan sesuatu. Rupanya ada belasan orang duduk tidak bergerak dengan wajah menghadap tebing, jelas titik nadi mereka telah tertotok semua. Pada dinding batuan cadas tampak beberapa huruf berwarna kuning, yang juga berbunyi: “Persekongkolan licik sudah ketahuan, awas jiwa anjing kalian”. Tulisan itu dibuat dengan menggunakan air tanah liat, tampaknya belum kering benar, pertanda baru saja ditulis.

Para jagoan silat itu segera memutar tubuh belasan orang itu sehingga tampak wajah mereka masing-masing. Ternyata di antara mereka terdapat Sepasang Beruang dari Gurun Utara. Ji Wushi kembali tampil ke muka untuk membuka totokan pada tubuh Si Beruang Hitam dan Si Beruang Putih tersebut. Namun, yang dibukanya hanyalah totokan pada titik bisu saja, sehingga mereka hanya bisa berbicara tapi tetap tidak bisa bergerak.

Ji Wushi lantas bertanya, “Ada sesuatu yang tidak kumengerti, maka itu aku ingin meminta keterangan kepada kalian. Coba jelaskan, sesungguhnya kalian berdua terlibat suatu persekongkolan rahasia apa? Semua orang di sini penasaran ingin mengetahuinya.”

“Benar, benar! Persekongkolan apa yang kalian kerjakan, katakan pada kami!” seru orang banyak serentak.

“Persekongkolan kakek moyangmu tujuh belas turunan! Persekongkolan apa lagi? Persekongkolan anak bulus, hah?” sahut Si Beruang Hitam mencaci maki.

“Kalau begitu, kalian ditotok oleh siapa? Tentu kau bisa menceritakan pada kami, bukan?” tanya Zu Qianqiu pula.

Beruang Putih menjawab, “Tentu bagus kalau aku bisa tahu. Aku tadi sedang berjalan-jalan di sini. Entah bagaimana, tahu-tahu tubuhku rasanya kesemutan. Ternyata punggungku sudah ditotok orang. Keparat, kalau benar laki-laki sejati seharusnya berkelahi dari depan. Silakan pakai senjata macam apa juga akan kulayani. Tapi ini malah main sergap, huh, kesatria macam apa? Dasar bangsat!”

“Boleh juga kalau kalian berdua tidak mau berterus terang,” ujar Zu Qianqiu. “Entah ada rahasia apa, tapi yang jelas urusan ini sudah ada yang tahu. Jika muslihat ini dilanjutkan, kukira tidak akan ada hasilnya. Pesanku pada kalian semua supaya lebih berhati-hati.”

“Saudara Zu,” sahut seseorang, “mereka tidak mau berterus terang. Kita tinggalkan saja mereka di sini selama tiga hari tiga malam biar kelaparan.”

“Benar,” sahut yang lain menanggapi. “Jika kita membebaskan mereka, jangan-jangan orang sakti itu akan marah kepada kita dan bisa-bisa malah kita sendiri yang akan digantung di atas pohon. Kalau begitu bisa runyam jadinya.”

“Yang kalian katakan tidak salah,” kata Ji Wushi. Ia kemudian berkata kepada Sepasang Beruang Gurun Utara dan yang lain, “Maaf, Saudara-Saudara. Bukannya aku tidak mau menolong kalian, tapi masalahnya aku sendiri juga merasa takut.”

Beruang Hitam dan Beruang Putih saling pandang, lalu sama-sama memaki dengan kata-kata kotor. Hanya saja mereka tidak berani terang-terangan memaki Ji Wushi dan yang lain secara langsung. Selama totokan mereka belum terbuka sungguh berbahaya jika sampai membuat orang-orang itu marah.

Ji Wushi hanya tertawa dan berkata, “Semuanya, mari kita pergi dari sini!”

Mengikuti ajakan Si Kucing Malam, orang-orang yang berkerumun itu lantas membubarkan diri. Linghu Chong juga ikut melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat tersebut. Ketika ia keluar meninggalkan pekarangan bangunan itu, tiba-tiba kembali terdengar suara ribut-ribut dari dalam.

Begitu menengok ke arah datangnya suara, Linghu Chong melihat orang-orang sedang memandang ke atas sambil bergelak tawa. Ia pun ikut mengangkat kepalanya dan melihat di atas pohon gongsun kembali terdapat dua orang sedang tergantung-gantung dengan kedua kaki di atas. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata kedua orang itu adalah Tian Boguang dan Biksu Bujie.

Kontan saja Linghu Chong terheran-heran. Ia berpikir, “Biksu Bujie dan Tian Boguang masing-masing adalah ayah dan murid Adik Yilin. Bagaimanapun juga mereka tidak mungkin punya niat buruk terhadap Perguruan Henshan. Justru sebaliknya, kalau Perguruan Henshan mengalami kesulitan tentu mereka berdua akan tampil membantu. Tapi, mengapa mereka pun digantung di atas pohon? Siapa sebenarnya yang melakukan ini semua?”

Linghu Chong benar-benar tak habis pikir. Tadinya ia menduga ada orang sakti telah meringkus kelompok Nyonya Zhang bertujuh, You Xun, Sepasang Beruang Gurun Utara, dan belasan lainnya karena kemungkinan besar mereka hendak mengacau di Gunung Henshan. Namun, dugaan itu langsung buyar begitu melihat Biksu Bujie dan Tian Boguang juga mengalami nasib yang sama. Sekilas terbayang suatu pikiran dalam benaknya, “Biksu Bujie bersifat polos dan lugu seperti anak kecil. Biasanya ia jarang memiliki musuh. Tapi mengapa ia pun digantung orang di atas pohon? Ah, tentu ada orang yang sengaja bercanda dengannya. Untuk menangkap Biksu Bujie rasanya tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja. Kemungkinan besar pelakunya adalah Enam Dewa Lembah Persik.”

Akan tetapi, lantas terpikir pula olehnya tentang perkataan Zu Qianqiu tadi, bahwa Enam Dewa Lembah Persik tidak mungkin mampu menulis kata-kata sebagus itu. Maka, dengan penuh tanda tanya Linghu Chong melangkah ke dalam pekarangan. Di tengah suara riuh gelak tawa orang banyak, ia melihat pada leher Biksu Bujie dan Tian Boguang masing-masing terpasang seutas pita kertas berwarna kuning yang mengandung tulisan. Pita yang berada pada tubuh Bujie bertuliskan: “Manusia tidak berperasaan nomor satu di dunia, paling doyan perempuan.” Sementara itu pita kertas pada leher Tian Boguang bertuliskan: “Manusia tidak berguna nomor satu di dunia, sangat tidak becus bekerja.”

Begitu membaca kedua tulisan tersebut seketika timbul suatu pikiran dalam benak Linghu Chong, “Kedua pita kertas ini sepertinya salah pasang. Bagaimana mungkin Biksu Bujie dikatakan ‘manusia yang paling doyan perempuan’? Manusia yang paling doyan perempuan bukankah seharusnya dialamatkan kepada Tian Boguang? Sebaliknya, sebutan ‘manusia tidak berguna’ seharusnya diberikan kepada Biksu Bujie. Dia ini hidup tanpa aturan, tidak punya pantangan sama sekali. Tidak pantang membunuh, tidak pantang makan dan minum, segalanya ia lahap. Sesudah menjadi biksu pun ia berani menikahi biksuni. Hanya saja sebutan ‘tidak becus bekerja’ entah apa maksudnya?”

Akan tetapi, kedua pita kertas itu masing-masing terpasang dengan rapi di leher mereka berdua. Sepertinya orang sakti yang telah menggantung Bujie dan Tian Boguang tidak dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga tidak mungkin salah memasang.

Sementara itu, para jagoan lainnya menjadi gempar melihat pemandangan ini. Mereka tertawa sambil menunjuk-nunjuk kedua pita kertas tersebut dan berkata, “Manusia tidak berperasaan nomor satu di dunia seharusnya Tian Boguang. Tapi, kenapa biksu besar ini disebut paling doyan perempuan?”

Ji Wushi dan Zu Qianqiu berunding sejenak dengan suara perlahan. Mereka pun merasa kejadian ini agak mengundang tanda tanya. Mereka juga sadar bahwa Biksu Bujie berteman baik dengan Linghu Chong. Maka itu, biksu besar tersebut dan Tian Boguang harus segera ditolong turun lebih dahulu.

Segera Ji Wushi melompat ke atas pohon. Dengan cekatan ia memotong tali pengikat kedua orang itu. Berbeda dengan kelompok Nyonya Zhang dan Sepasang Beruang Gurun Utara yang langsung mencaci maki begitu bebas dari totokan, Biksu Bujie dan Tian Boguang ternyata hanya diam saja dengan wajah murung.

Perlahan Ji Wushi bertanya, “Biksu besar, kenapa kau juga ikut tergantung di atas?”

Bujie hanya menggeleng-gelengkan kepala. Perlahan ia melepas pita yang terpasang di lehernya kemudian membaca tulisan tersebut. Setelah termangu-mangu cukup lama sambil memandangi pita tersebut, tiba-tiba ia menangis keras sambil membanting-banting kaki.

Kejadian ini benar-benar di luar dugaan. Seketika suara gelak tawa orang banyak itu menjadi lenyap dan masing-masing memandangi Bujie dengan terheran-heran. Bujie masih terus saja menangis sambil memukul-mukul dada sendiri. Semakin menangis ia terlihat semakin berduka.

“Kakek Guru, janganlah kau bersedih,” ujar Tian Boguang membujuk. “Kebetulan saja kita disergap lawan. Kita harus menemukan keparat itu dan mencincang tubuhnya ….” Belum selesai ia berkata tiba-tiba tangan Bujie menampar wajahnya. Seketika tubuh Tian Boguang pun terdorong sampai beberapa meter jauhnya dan hampir saja roboh terjungkal. Sebelah pipinya langsung berwarna merah membekas tangan.

“Bajingan!” seru Bujie memaki. “Kita digantung di sini adalah sebagai buah perbuatan atas dosa-dosa kita. Beraninya kau ... beraninya kau ... beraninya kau hendak membunuh orang?”

Tian Boguang kebingungan mendengarnya. Seseorang yang telah menangkap dan menggantung dirinya beserta sang kakek guru tentu sangat luar biasa. Jika tidak, mengapa Biksu Bujie begitu segan kepada orang itu? Karena tidak tahu seluk-beluk masalah ini, Tian Boguang terpaksa hanya menunduk dan menjawab, “Baik, baik!”

Sejenak Bujie hanya termenung di tempatnya. Tiba-tiba ia kembali menangis sambil memukul-mukul dada sendiri. Kemudian tangannya menghantam lagi ke belakang dengan sangat cepat. Untungnya Tian Boguang bergerak lebih cepat, sehingga sempat menghindari pukulan itu sambil berteriak, “Kakek Guru!”

Sekali pukulannya meleset, Bujie tidak mengulanginya lagi. Namun tangannya lantas berputar balik dan menghantam sebuah meja batu di tengah halaman itu dengan sangat keras. Seketika kerikil-kerikil kecil pun melesat berhamburan. Kedua telapak tangan Bujie terus saja menghantam secara bergantian disertai jerit tangis keluar dari mulutnya. Makin menghantam pukulannya makin keras. Ia tidak peduli meski kedua tangannya berlumuran darah terkena potongan meja tersebut. Akhirnya, setelah memukul sepuluh kali, meja batu itu pun hancur menjadi empat potongan kecil yang terlempar ke empat penjuru.

Semua orang terkejut menyaksikan kekuatan pukulan Bujie. Kini tidak seorang pun berani membuka suara apalagi bergelak tawa. Masing-masing khawatir jangan-jangan Bujie lantas melampiaskan kemarahan kepada mereka. Lagipula siapa yang mau kepalanya dihancurkan oleh pukulan biksu besar tersebut? Tidak seorang pun dari mereka yang merasa kepala masing-masing lebih keras daripada meja batu yang telah hancur itu.

Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan Ji Wushi hanya saling pandang dengan perasaan bingung. Masing-masing bertanya-tanya apa sebenarnya yang telah menimpa diri Biksu Bujie.

Sementara itu, Tian Boguang yang menyadari adanya gelagat kurang baik segera berkata, “Tolong kalian jaga Kakek Guru. Aku akan pergi memberi tahu Guru.”

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Meski aku sudah menyamar tapi Adik Yilin berpandangan cermat. Jangan-jangan penyamaranku ini bisa diketahui olehnya. Aku pernah menyamar sebagai perwira tentara, pernah menyamar sebagai petani, tapi semuanya adalah kaum laki-laki. Sekarang aku menyamar sebagai perempuan bisu, rasanya sangat rikuh dan canggung. Gawat kalau sampai Adik Yilin mencurigaiku.”

Segera ia pun bersembunyi di dalam rumah penyimpanan kayu bakar di belakang pekarangan dan berpikir, “Sepasang Beruang Gurun Utara dan yang lain masih mematung di sana. Tentu Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan Ji Wushi berniat pergi untuk menguping percakapan mereka nanti malam. Sebaiknya aku tidur dulu dan bangun nanti malam untuk ikut mendengarkan pembicaraan mereka pula.”

Linghu Chong memang sudah sangat mengantuk karena ia hanya tidur sebentar sore kemarin di dalam gua. Akhirnya ia pun terlelap sambil sayup-sayup mendengar suara tangisan Biksu Bujie yang aneh dan lucu itu.

Sewaktu terbangun ternyata hari sudah gelap. Ia pun melangkah ke dapur mencari nasi atau makanan lain di sana. Tidak seorang pun yang menaruh perhatian kepadanya. Beberapa lama kemudian, ketika suasana sudah sunyi, ia lantas berjalan memutar ke belakang gunung dan perlahan-lahan mendekati tempat Sepasang Beruang Gurun Utara dan yang lain dilumpuhkan. Sesudah agak dekat, ia pun berjongkok di seberang sebuah sungai kecil dan di situlah ia memasang telinga untuk mendengarkan.

Tidak lama kemudian terdengar suara napas banyak orang di depan tempatnya bersembunyi. Paling tidak ada belasan orang yang tersebar di sekitar situ. Diam-diam Linghu Chong merasa geli dan berpikir, “Mereka pasti hendak menguping pembicaraan seperti aku. Di antara orang-orang itu, Ji Wushi memang yang paling cerdik. Ia sengaja membuka totokan pada titik bisu Sepasang Beruang Gurun Utara, namun tidak membuka titik bisu korban lainnya. Kedua beruang itu agak ceroboh dan suka berbicara sembarangan. Jika totokan yang lain ikut dibuka, tentu salah seorang yang cerdik di antara mereka akan segera melarang keduanya banyak bicara.”

Benar juga, sesaat kemudian terdengar Beruang Putih sedang marah-marah dan memaki, “Bangsat, nyamuknya banyak sekali. Bisa-bisa darahku akan terhisap habis. Nyamuk busuk, nyamuk bangsat, terkutuklah delapan belas keturunan nenek moyangmu!”

“Aneh,” sahut Beruang Hitam menanggapi dengan tertawa. “Nyamuk-nyamuk ini kenapa hanya menggigitmu saja dan tidak menggigit diriku?”

“Itu karena darahmu bau. Nyamuk tidak doyan makan darahmu,” sahut Beruang Putih jengkel.

“Justru lebih baik aku memiliki darah yang bau daripada digigit beratus-ratus nyamuk sekaligus,” ujar Beruang Hitam.

Kembali Beruang Putih mencaci maki dengan kata-kata kotor. Diam-diam Linghu Chong membayangkan bagaimana rasanya digigit beratus-ratus nyamuk sekaligus, sedangkan badan tidak bisa bergerak sama sekali. Sungguh rasanya memang sangat menjengkelkan.

Beruang Putih kembali berkata, “Bila totokan ini sudah terbuka, maka orang pertama yang akan kucari untuk membuat perhitungan adalah Ji Wushi si kucing bangsat itu. Akan kutotok titik nadinya, lalu kumakan daging pahanya sedikit demi sedikit.”

“Kalau aku lebih suka makan daging para biksuni muda itu,” sahut Beruang Hitam sambil tertawa. “Kulit mereka halus, dagingnya putih, tentu jauh lebih lezat dan gurih.”

Beruang Putih menukas, “Tapi Tuan Yue memerintahkan kita untuk menangkap para biksuni dan membawanya ke Huashan, bukan untuk memakan mereka.”

“Jumlah biksuni cilik itu ada beratus-ratus orang,” jawab Beruang Hitam, “kalau kita makan dua atau tiga mana mungkin Tuan Yue bisa tahu?”

Linghu Chong terperanjat mendengarnya. Ia merenung, “Hah, Guru telah menyuruh mereka? Kenapa Guru memerintahkan mereka menangkap murid-murid Henshan untuk dibawa ke Huashan? Apakah ini yang dimaksud dengan ‘persekongkolan licik’ itu? Lantas, bagaimana mereka bisa menerima perintah dari Guru?”

Tiba-tiba kembali terdengar Beruang Putih memaki dengan suara keras, “Bangsat! Bajingan!”

Beruang Hitam berkata gusar, “Terserah kalau kau tidak mau memakan daging biksuni. Tapi kenapa pula harus mencaci-maki seperti itu?”

“Aku tidak memaki dirimu. Aku memaki nyamuk,” sahut Beruang Putih.

Bermacam-macam pikiran memenuhi benak Linghu Chong. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki berjalan mendekat ke arahnya. Orang itu berhenti tepat di belakangnya dan kemudian ikut berjongkok sambil menarik lengan bajunya secara perlahan.

Linghu Chong sangat terkejut tak terkatakan. Ia berpikir, “Siapakah yang datang ini? Jangan-jangan penyamaranku telah diketahuinya.” Perlahan ia menoleh. Di bawah sinar rembulan yang remang-remang dilihatnya seraut wajah bulat cantik. Ternyata yang datang itu tidak lain adalah Yilin.

Perasaan Linghu Chong terkejut bercampur senang. “Rupanya Adik Yilin telah mengetahui penyamaranku. Ah, aku sendiri memang kurang percaya diri dengan samaranku ini,” pikirnya.

Yilin tampak memiringkan wajahnya ke samping, serta sedikit memoncongkan bibirnya yang mungil itu seolah mengajak Linghu Chong pergi ke suatu tempat. Ia lalu berdiri dan tangannya terus saja menarik-narik lengan baju pemuda itu seperti ingin mengajak bicara di tempat yang agak jauh. Linghu Chong pun menurut dan mengikuti biksuni muda itu melangkah ke arah barat.

Keduanya berjalan tanpa berbicara sepatah kata pun. Mereka menyusuri jalan sempit meninggalkan Lembah Tongyuan. Setelah agak jauh berjalan tiba-tiba Yilin berkata, “Kau tidak dapat mendengar pembicaraan mereka, untuk apa pula berada di sana? Kenapa kau datang lagi ke tempat berbahaya itu?” Ucapan ini agaknya tidak ditujukan kepada Linghu Chong, melainkan hanya bergumam sendiri saja.

Linghu Chong tercengang mendengarnya. Ia hanya berpikir, “Apa maksud perkataannya ini? Kenapa ia berkata aku tidak dapat mendengar pembicaraan mereka? Sebenarnya ia hanya memancing atau benar-benar tidak mengenali penyamaranku?” Namun mengingat Yilin biasanya tidak pernah bergurau, kemungkinan besar gadis itu memang belum mengetahui penyamarannya.

Yilin kemudian membelok ke utara, menuju ke arah Celah Tungku Porselen. Setelah melintasi suatu tanjakan, akhirnya mereka pun sampai di tepi sebuah sungai kecil. Dengan suara perlahan Yilin berkata, “Biasanya kita suka berbicara di sini. Apakah kau sudah bosan denganku?” Sejenak kemudian ia lantas tertawa dan menyambung, “Kau tidak bisa mendengar semua ucapanku. Nenek Bisu, justru jika kau bisa mendengar semua ucapanku, aku takkan bicara lagi denganmu.”

Melihat nada Yilin yang sungguh-sungguh, Linghu Chong yakin bahwa gadis itu mengira dirinya benar-benar si babu bisu penunggu Kuil Gantung. Tiba-tiba timbul pikiran nakal dalam benaknya, “Rupanya ia belum tahu penyamaranku. Aku jadi penasaran ingin tahu apa yang hendak dibicarakannya.”

Setibanya di bawah pohon, Yilin lantas mengajaknya duduk di atas sebongkah batu panjang. Linghu Chong sengaja duduk miring dan membelakangi sinar rembulan agar wajahnya tidak tampak dengan jelas. Dalam hati ia berpikir, “Apakah penyamaranku ini begitu mirip dengan babu bisu itu, sampai-sampai Adik Yilin tidak dapat membedakannya? Mungkin karena tertutup oleh gelapnya malam sehingga lumayan mirip. Ternyata kepandaian Yingying dalam ilmu menyamar memang luar biasa.”

Yilin termangu-mangu memandangi bulan sabit di langit sambil menghela napas. Hampir saja Linghu Chong berkata, “Kau ini masih begitu muda, tapi mengapa menanggung beban begitu berat? Sebenarnya ada masalah apa?” Untung saja ia segera ingat pada penyamarannya dan mampu menahan diri.

Terdengar Yilin berkata lirih, “Nenek bisu, kau sangat baik padaku. Aku sering mengajakmu ke sini dan mengutarakan isi hatiku kepadamu. Selamanya kau tidak pernah merasa jemu. Dengan sabar kau menunggu semua kisahku. Sebenarnya aku tidak sepantasnya membuatmu repot. Tapi kau memang sangat baik, bagaikan ibu kandungku sendiri. Aku tidak punya ibu. Jika punya, apakah mungkin aku berani berbicara kepadanya seperti apa yang telah kubicarakan kepadamu?”

Mendengar biksuni muda itu hendak membeberkan isi hatinya, Linghu Chong berpikir, “Sungguh tidak pantas kalau aku mendengarkan rahasia orang lain dan membuatnya tertipu seperti ini. Sebaiknya aku pergi saja.” Perlahan-lahan ia pun mencoba bangkit dari duduk.

Namun, Yilin lantas menarik lengan bajunya dan berkata, “Nenek bisu, apakah kau hendak pergi?” Suaranya terdengar penuh dengan rasa kecewa.

Linghu Chong memandang sekejap padanya. Wajahnya tampak sayu, dengan sinar mata penuh permohonan. Perasaan pemuda itu langsung luluh dan berpikir, “Raut mukanya tampak kurus. Jika isi hatinya tidak disampaikan, jangan-jangan ia bisa jatuh sakit. Biarlah kudengarkan semua apa yang akan diceritakannya. Asalkan dia tetap tidak mengenali samaranku tentu dia tidak akan malu.” Berpikir demikian, perlahan-lahan Linghu Chong pun duduk kembali.

“Nenek bisu, kau baik sekali sudi mendengarkan isi hatiku,” ujar Yilin perlahan sambil merangkul pundak Linghu Chong. “Harap kau mau menemani aku duduk sebentar di sini. Andai saja kau tahu betapa kesal rasa hatiku.”

Diam-diam Linghu Chong merasa geli. Ia merenung, “Dalam hidupku ini nasibku memang tidak jauh dari nenek-nenek. Dulu ketika pertama kali bertemu Yingying, aku mengira ia seorang nenek tua. Kini ganti Adik Yilin yang mengira diriku seorang nenek pula. Entak berapa ratus kali aku memanggil nenek kepada Yingying. Kini aku harus bersiap-siap jika Adik Yilin memanggil nenek pula kepadaku. Ini namanya hukum karma, barangsiapa menanam, ia akan menuai hasil perbuatannya.”

Yilin terus saja berbicara, “Pagi tadi ayahku hampir saja mati gantung diri, apakah kau tahu? Dia dikerek tinggi-tinggi di atas pohon entah oleh siapa, pada tubuhnya ditempeli pula semacam pita kertas yang menyebutkan bahwa Ayah adalah manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia yang paling doyan perempuan. Padahal seumur hidup, ayahku hanya memikirkan ibuku seorang. Entah atas dasar apa tuduhan itu dialamatkan kepada Ayah? Pasti orang yang memasang pita itu telah salah tempel. Pita yang seharusnya dipasang pada tubuh Tian Boguang justru ditempel di tubuh Ayah. Padahal, sebenarnya ini bukan masalah besar. Cukup robek dan buang saja pita itu sudah habis perkara. Tapi, kenapa pula Ayah harus gantung diri segala?”

Linghu Chong terkejut sekaligus merasa geli. Ia berpikir, “Kenapa Biksu Bujie mencoba bunuh diri? Yilin mengatakan ayahnya hampir saja mati gantung diri, itu berarti Biksu Bujie belum mati. Mungkin saja ada rahasia lain yang tersembunyi di balik masalah ini. Rupanya Adik Yilin terlalu polos dan tidak mengetahui gelagat pada diri ayahnya.”

Yilin menyambung, “Kemudian Tian Boguang berlari-lari ke Puncak Jianxing untuk mencari diriku, tapi ia bertemu Kakak Yihe. Tian Boguang pun dianggap telah melanggar peraturan berani sembarangan datang ke Puncak Jianxing. Tanpa banyak bicara Kakak Yihe lantas melolos pedang dan menyerangnya. Hampir saja jiwa Tian Boguang melayang, sungguh sangat berbahaya.”

Seketika Linghu Chong pun teringat pada hari pelantikannya sebagai ketua Perguruan Henshan. Ia berpikir, “Waktu itu aku menempatkan para anggota baru yang kebanyakan laki-laki di Lembah Tongyuan. Aku menetapkan peraturan bahwa tidak seorang pun di antara mereka boleh naik ke Puncak Jianxing tanpa izin dariku. Apalagi seorang Tian Boguang sudah terlanjur memiliki nama busuk sebagai mantan penjahat cabul. Sebaliknya, Yihe terkenal berwatak keras, maka tidak heran begitu bertemu langsung main senjata. Namun, ilmu silat Tian Boguang jauh lebih tinggi daripada murid-murid Henshan pada umumnya. Yihe tidak mungkin mampu membunuhnya.”

Hampir saja Linghu Chong hendak mengangguk sebagai tanda setuju atas ucapan Yilin tadi, namun ia segera sadar bahwa dirinya sedang menyamar sebagai perempuan bisu tuli. “Tak peduli apa pun yang ia katakan, apakah benar atau salah, sama sekali aku tidak boleh menggeleng atau mengangguk. Si nenek bisu yang asli pasti tak bisa mendengar apa pun yang ia ucapkan,” pikirnya.

Yilin kembali melanjutkan, “Ketika Tian Boguang menjelaskan maksud kedatangannya, Kakak Yihe sudah melancarkan belasan jurus. Untung Kakak Yihe segera menarik pedangnya sehingga Tian Boguang tidak sampai terluka. Begitu mendengar berita itu aku segera berlari ke Lembah Tongyuan, tapi Ayah sudah tidak terlihat lagi. Aku pun bertanya kepada orang-orang. Mereka berkata Ayah tadi hanya menangis meraung-raung di dalam pekarangan. Tidak seorang pun yang berani mendekatinya. Setelah itu, Ayah menghilang entah ke mana. Aku lantas mencarinya di sekitar Lembah Tongyuan, dan akhirnya kutemukan ia di belakang gunung sana dalam keadaan tergantung di atas pohon. Aku sangat khawatir. Segera aku pun melompat ke atas pohon itu. Kulihat seutas tali menjerat di lehernya. Sepertinya napas Ayah sudah hampir putus. Syukur berkat Sang Buddha aku bisa datang pada saat yang tepat. Kuturunkan Ayah dan ia pun sadar. Kami lantas saling berpelukan dan menangis.”

Yilin terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Kulihat di leher Ayah masih tetap tertempel sehelai pita kertas yang bertuliskan, ‘Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia dan sebagainya’. Kukatakan kepada Ayah, ‘Orang itu sungguh jahat. Berkali-kali ia mencoba menggantungmu. Salah tempel pita kertas juga tidak dibetulkan.’

Sambil menangis Ayah menjawab, ‘Kali ini aku bukan digantung orang lain, tapi aku sendiri yang hendak gantung diri. Aku … aku tidak ingin hidup lagi,’

Aku lantas menghiburnya, ‘Ayah, tentunya kau diserang mendadak oleh orang itu, dan karena kurang waspada kau pun dipecundangi. Ayah tidak perlu sedih. Biarlah kita mencarinya untuk bertanya. Kalau tidak bisa memberi alasan yang tepat, ganti kita yang menangkap dan menggantungnya, lalu pita ini kita tempel pula di lehernya.’

Tapi Ayah menjawab, ‘Pita ini ditujukan kepadaku, mana boleh digantung pada orang lain? Aku, Biksu Bujie, memang manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia paling doyan perempuan. Mana ada orang lain yang melebihi aku? Dasar anak kecil, jangan sembarang bicara kalau kau tidak tahu seluk-beluknya.’

Wahai Nenek bisu, ucapan ayahku ini sungguh aneh, bukan? Maka, aku pun bertanya, ‘Ayah, kau bilang pita kertas ini tidak salah pasang?’

Ayah menjawab, ‘Sudah tentu tidak salah. Aku … aku telah berdosa kepada ibumu. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku, karena aku tidak ingin hidup lagi.’”

Linghu Chong teringat Biksu Bujie pernah bercerita konon ia sangat mencintai ibu Yilin seorang. Namun, karena perempuan itu seorang biksuni, Bujie pun meninggalkan rumah dan menjadi biksu pula. Menurut jalan pikiran Bujie yang polos, hanya seorang biksu yang pantas menikahi biksuni. Peristiwa ini benar-benar aneh dan jarang terjadi. Bujie mengaku berdosa kepada ibu Yilin, mungkin karena di kemudian hari ia jatuh hati kepada wanita lain. Pantas saja kalau ia mengaku sebagai “manusia tak berperasaan, manusia paling doyan perempuan”. Berpikir sampai di sini, Linghu Chong merasa agak jelas terhadap seluk-beluk permasalahan ini.

Terdengar Yilin melanjutkan, “Karena Ayah menangis dengan sangat sedih, maka aku pun ikut menangis. Sebaliknya, Ayah malah kemudian menghiburku dan berkata, ‘Anak manis, jangan menangis, jangan menangis! Kalau Ayah nanti mati, tentu kau akan sebatang kara di dunia ini dan siapa lagi yang akan menjaga dirimu?’ – Kata-katanya itu justru membuat tangisku semakin keras.”

Diam-diam Linghu Chong melirik dan melihat air mata bercucuran di pipi Yilin.

Dengan terisak-isak biksuni muda itu melanjutkan, “Kemudian Ayah berkata pula, ‘Baiklah, aku tidak jadi mati saja. Hanya saja, aku merasa tidak enak terhadap mendiang ibumu.’

Aku pun bertanya, ‘Sebenarnya apa dosa Ayah terhadap Ibu?’

Ayah menghela napas lalu menjawab dengan sedih, ‘Sebagaimana yang sudah kau ketahui, semula ibumu seorang biksuni. Sekali melihat ibumu aku langsung tergila-gila. Bagaimanapun juga aku bertekad harus menikahi dia. Tapi ibumu menyatakan keberatan karena dia sudah menjadi biksuni, takut terhadap Sang Buddha. Lalu kukatakan bahwa aku yang akan menanggung akibatnya. Kalau Sang Buddha marah biarlah Dia marah kepadaku dan aku yang dikutuk. Ibumu menjawab bahwa orang awam seperti diriku memang sepantasnya menikah dan punya anak, sedangkan ibumu sudah menyucikan diri dan mempersembahkan jiwa raga untuk agama. Bila sampai punya pikiran menyimpang, ibumu takut mendapat murka dari Sang Buddha. Kupikir ucapannya cukup masuk akal. Namun, aku sudah bertekad akan menikahi ibumu. Untuk menghindarkan ibumu dari derita bila kelak harus masuk neraka, maka aku pun menjadi biksu. Kalau Sang Buddha marah biarlah marah kepadaku. Andaikan harus masuk neraka biarlah kami suami-istri masuk bersama-sama.”

Mendengar itu Linghu Chong merenung, “Biksu Bujie sungguh berhasrat besar. Ia menjadi biksu justru untuk memikul beban dosa calon istrinya. Jika perasaannya sedemikian dalam, lantas mengapa ia kemudian berpindah ke lain hati?”

Yilin melanjutkan, “Aku lantas bertanya, ‘Apakah setelah itu Ayah bisa menikahi Ibu?’

Ayah menjawab, ‘Sudah tentu kami menikah. Kalau tidak, lantas dari mana kau dilahirkan? Hanya saja, ini semua memang salahku. Pada waktu kau berumur tiga bulan, aku menggendongmu berjemur sinar matahari di depan pintu .…’

Aku menukas, ‘Berjemur sinar matahari apa salahnya?’

Ayah menjawab, ‘Bukan itu masalahnya. Kebetulan waktu itu ada seorang nyonya muda yang cantik lewat dengan menunggang kuda. Ketika melihat seorang biksu berbadan besar menggendong bayi mungil, ia pun memandang heran sambil memuji, ‘Cantik sekali bayi ini.’ Aku merasa senang dan menjawab, ‘Anda sendiri juga sangat cantik.’ – Nyonya itu tertegun dan bertanya, ‘Dari mana kau dapatkan bayi ini?’ – Aku pun tersinggung dan berkata, ‘Apa maksud ucapanmu? Bayi ini adalah anakku sendiri.’ – Nyonya muda itu kelihatan marah dan memaki, ‘Aku bertanya baik-baik, kenapa kau malah menggoda aku? Apakah kau sudah bosan hidup?’ – Aku menjawab, ‘Menggoda bagaimana? Memangnya biksu bukan manusia, sehingga tidak boleh punya anak? Kalau kau tidak percaya, baiklah, akan kubuktikan padamu.’ – Tak disangka nyonya itu bertambah marah. Ia lantas melolos pedang dan melompat turun dari kuda untuk kemudian menyerang diriku. Bukankah perbuatannya itu sungguh keterlaluan?”

Dalam hati Linghu Chong merasa geli. “Biksu Bujie benar-benar polos. Ia tidak merasa pantang berbicara apa saja. Ia mengatakan segala yang ingin ia ucapkan. Namun, bagi orang lain kata-katanya itu bisa jadi terkesan kurang sopan. Seorang biksu menggendong anak bayi memang sudah janggal, apalagi itu anak kandungnya sendiri. Kalau demikian kenapa tidak piara rambut saja?”

Terdengar Yilin masih saja terus bercerita, “Kukatakan kepada Ayah, ‘Benar, nyonya muda itu memang agak galak. Sudah jelas aku adalah anakmu dan ini tidak bohong, tapi kenapa dia melolos senjata menyerang Ayah?’

Ayah menjawab, ‘Benar. Waktu itu aku dapat menghindari serangannya sambil berkata, ‘Hei, kenapa kau menyerang orang tanpa alasan? Anak ini kalau bukan anakku, memangnya anakmu?’ Ternyata ucapanku ini membuat nyonya itu bertambah marah. Sebanyak tiga kali dia menusuk padaku. Karena semua serangannya tidak bisa mengenai diriku, maka dia pun menyerang dengan lebih gencar. Sebenarnya aku tidak gentar padanya. Namun waktu itu aku sedang menggendongmu dan takut kalau sampai kau terkena pedangnya. Maka, ketika dia menusuk untuk kedelapan kalinya, aku mendapat peluang dan segera kutendang perutnya hingga ia jatuh terguling. Nyonya itu lantas merangkak bangun sambil terus memaki, ‘Dasar biksu jahat tidak tahu malu, kotor dan rendah, suka melecehkan perempuan!’ – Pada saat itulah ibumu pulang dari mencuci pakaian di tepi sungai dan mendengar caci maki wanita itu. Setelah memaki, perempuan itu lantas pergi dengan kudanya. Ketika aku mengajak ibumu bicara, ternyata ibumu tidak menjawab sama sekali, melainkan langsung menangis. Aku bertanya mengapa dia menangis, namun dia tidak menjawabnya. – Esok paginya ibumu lantas menghilang. Di atas meja kutemukan secarik kertas bertuliskan, ‘Manusia tak berperasaan, suka main perempuan’. Aku sangat sedih dan membawamu pergi mencari ibumu ke segala penjuru, tapi tak bisa menemukannya lagi.’

Aku pun berkata, ‘Mungkin Ibu mendengar caci maki perempuan itu terhadap Ayah dan menyangka Ayah benar-benar telah menggoda perempuan itu.’

Ayah menjawab, ‘Benar, tuduhan itu memang tidak beralasan. Tapi kemudian setelah kupikir-pikir lagi ternyata tuduhan itu pun tidak salah. Sewaktu aku melihat perempuan itu, seketika timbul dalam pikiranku bahwa wanita itu memang cantik. Aku tidak hanya berpikiran demikian bahkan juga sempat memujinya memakai mulutku ini. Padahal, waktu itu aku sudah menikah dengan ibumu tapi tetap saja memuji kecantikan wanita lain, baik itu dalam hati maupun dengan ucapan. Aku memang manusia tidak berperasaan dan doyan main perempuan.’”

Linghu Chong termangu-mangu menanggapi dalam hati, “Ternyata ibu Adik Yilin sangat pencemburu. Ini benar-benar kesalahpahaman besar. Seharusnya ia sudi mendengar penjelasan Biksu Bujie sehingga permasalahan ini menjadi jelas.”

Yilin melanjutkan: “Aku lantas bertanya kepada Ayah, ‘Apakah Ayah bisa menemukan Ibu atau tidak?’

Ayah menjawab, ‘Aku telah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak dapat menemukan ibumu. Ibumu seorang biksuni, kupikir tentu ia kembali masuk ke dalam biara. Oleh karena itu, aku pun mendatangi setiap biara namun tetap tidak dapat menemukannya. Sampai akhirnya aku datang ke Gunung Henshan dan bertemu Biksuni Dingyi di Biara Awan Putih. Beliau sangat menyukaimu yang lucu dan mungil. Apalagi waktu itu kau sedang sakit sehingga Beliau pun menyarankan agar aku menitipkanmu kepada Beliau. Dengan demikian kau tidak perlu kubawa ke mana-mana dan keselamatanmu bisa tetap terjaga.’”

Menyinggung tentang Biksuni Dingyi membuat Yilin kembali menangis sedih. Ia berkata, “Sejak kecil aku tidak mempunyai ibu. Aku bisa seperti ini adalah berkat Guru yang telah membesarkanku. Akan tetapi, sekarang Guru telah meninggal dibunuh orang, dan orang yang telah mencelakainya adalah guru Kakak Linghu sendiri. Masalah ini benar-benar membuatku serbasalah. Sama seperti aku, sejak kecil Kakak Linghu juga tidak memiliki ibu, dan ia pun dibesarkan oleh gurunya. Bahkan dia lebih menderita lagi karena selain tidak punya ibu, juga tidak memiliki ayah. Sudah tentu ia sangat menghormati gurunya bagai orang tua kandung sendiri. Kalau aku membalas dendam Guru dengan membunuh guru Kakak Linghu, entah betapa sedih perasaan Kakak Linghu.”

Yilin terdiam sejenak kemudian melanjutkan, “Menurut cerita Ayah, setelah diriku dititipkan di dalam Biara Awan Putih, ia kembali mencari Ibu ke dalam setiap biara di dunia ini. Bahkan, Ayah sampai mengunjungi Tembok Besar, Mongolia, Tibet, negeri barat, dan berbagai tempat terpencil demi untuk mencari ibuku. Namun, sedikit pun ia tidak mendengar berita tentang Ibu. Berpikir demikian, Ayah menduga Ibu pasti sangat kecewa dan takut terhadap murka Sang Buddha dan memutuskan untuk bunuh diri. Wahai, Nenek bisu. Ibuku telah menyerahkan jiwa raga kepada Sang Buddha. Ia memilih untuk menjalani kehidupan sebagai seorang biarawati dan menahan diri dari semua godaan duniawi. Meskipun demikian, pada akhirnya Ibu menerima cinta Ayah dan menikah dengannya. Namun, baru saja melahirkanku, Ibu melihat Ayah menggoda perempuan lain dan dicaci maki sebagai manusia rendah dan tidak tahu malu, sudah tentu Ibu sangat marah dan putus asa. Ibu berwatak sangat keras dan merasa hidupnya telah penuh dengan dosa. Maka, sangat masuk akal kalau Ibu kemudian mengambil keputusan bunuh diri.”

Yilin menghela napas dan melanjutkan, “Setelah Ayah menceritakan ini semua, barulah aku mengerti kenapa Ayah begitu sedih melihat pita bertuliskan, ‘Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia paling doyan main perempuan’. Aku pun bertanya kepadanya, ‘Apakah tulisan yang ditinggalkan Ibu di atas meja itu lantas kau perlihatkan kepada orang lain?’

Ayah menjawab, ‘Sama sekali tidak. Aku tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang masalah ini. Sudah tentu aku pun merasa tidak pantas menceritakan hal ini kepada orang lain. Tapi aku merasa ini benar-benar aneh. Sepertinya hantu ibumu datang mencariku. Ia bermaksud membalas sakit hati dan membersihkan nama baiknya. Kalimat yang tertulis pada pita yang menempel di leherku mirip sekali dengan pesan terakhirnya sebelum pergi dulu. Sepertinya ibumu memang menghendaki nyawaku. Baiklah, aku pun rela ikut dengannya.’

Ayah kemudian berkata, ‘Aku sendiri sudah lama putus asa karena tidak bisa menemukan ibumu. Ingin rasanya aku mengakhiri hidup agar bisa bersama ibumu di alam sana. Akan tetapi, umurku memang masih panjang. Sering aku mencoba bunuh diri namun selalu saja gagal. Setiap kali aku menggantung diri selalu saja talinya putus. Mungkin karena badanku terlalu berat. Cara kedua aku bermaksud menggorok leherku ini namun golok yang tergantung di pinggangku mendadak hilang entah ke mana. Aih, benar-benar runyam. Ingin mati ternyata tidak mudah.’

Aku lantas berkata, ‘Ayah keliru. Justru Sang Buddha memberkatimu agar tidak bunuh diri, sehingga tali gantunganmu pun putus dan golokmu mendadak hilang. Kalau tidak, saat ini tentu aku sudah tidak punya ayah lagi.’

Ayah menjawab, ‘Ucapanmu mungkin ada benarnya juga. Kemungkinan besar Sang Buddha ingin menghukumku agar lebih lama menderita di dunia ini, agar aku tidak lekas-lekas bertemu ibumu di alam sana.’

Aku lalu berkata, ‘Semula aku mengira pita kertas yang terpasang di leher Tian Boguang itu tertukar denganmu, sehingga aku sangat marah.’

Ayah menjawab, ‘Mana mungkin keliru? Dahulu si Bukebujie pernah berlaku kurang ajar kepadamu, bukankah pantas kalau ia disebut ‘manusia tidak berguna’? Aku juga menyuruhnya menjadi perantara agar si bocah Linghu Chong itu menikahimu, tapi dia selalu bermalas-malasan dan tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Bukankah pantas kalau dia disebut ‘tidak becus bekerja’ seperti yang tertera pada pita kertas itu? Semua yang tertulis pada pita kertas itu memang sangat cocok dan tepat baginya.’

Aku pun berkata, ‘Ayah, kalau kau kembali menyuruh Tian Boguang untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas seperti itu, maka aku benar-benar sangat marah. Sejak awal Kakak Linghu menyukai adik seperguruannya, dan kini dia menyukai Nona Ren dari Sekte Iblis. Meskipun dia juga sangat baik kepadaku, tapi selamanya tidak pernah menempatkan diriku dalam hatinya.’”

Ucapan terakhir ini benar-benar membuat Linghu Chong merasa bersalah. Sejak awal ia telah berlaku sangat baik kepada Yilin sehingga biksuni muda itu jatuh hati. Memang pada mulanya ia tidak merasakan cinta Yilin kepadanya, namun kemudian lambat laun ia pun mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, perasaan hatinya memang sama persis sebagaimana yang dikatakan Yilin tersebut. Pada awalnya ia memang mencintai Yue Lingshan, dan kemudian beralih kepada Ren Yingying dengan sepenuh hati. Selama ia berkelana di dunia persilatan, jarang sekali pikirannya teringat kepada Yilin.

Terdengar Yilin berkata, “Mendengar ucapanku itu, Ayah menjadi gusar. Dia mencaci maki Kakak Linghu, ‘Bocah Linghu Chong itu memang buta. Dia punya dua bola mata tapi tidak bisa melihat. Sungguh jauh lebih tolol daripada Tian Boguang. Bagaimanapun juga Tian Boguang masih bisa melihat kecantikan putriku, tapi Linghu Chong benar-benar manusia paling tolol di muka bumi.’

Sebenarnya masih banyak kata-kata kotor yang dilontarkan Ayah kepada Kakak Linghu, sulit bagiku untuk menirukannya. Ayah berkata pula, ‘Kau kira siapa orang paling buta di dunia ini? Bukan Zuo Lengchan, tetapi Linghu Chong! Walaupun mata Zuo Lengchan sudah buta, tapi Linghu Chong jauh lebih buta daripada dia.’

Nenek bisu, bukankah tidak sepantasnya Ayah mencaci maki Kakak Linghu seperti itu? Aku pun berkata, ‘Ayah, Nona Yue dan Nona Ren seratus kali lebih cantik daripada anakmu ini. Bagaimana mungkin mereka bisa dibandingkan denganku? Lagipula aku sudah menyerahkan jiwa raga kepada Sang Buddha. Aku sudah cukup bersyukur atas budi pertolongannya waktu itu serta kebaikannya terhadap Guru. Maka itu, aku senantiasa terkenang kepadanya. Ibu memang benar. Setelah menjadi biarawati pikiran kita harus bersih dari hasrat dan nafsu. Jika tidak, maka Sang Buddha akan murka dan menghukum kita.’

Ayah berkata, ‘Sekali kau sudah masuk agama apa lantas tidak boleh menikah? Jika semua perempuan memeluk agama dan tidak menikah serta punya anak, bukankah di dunia ini takkan ada manusia lagi? Ibumu seorang biksuni, tapi bukankah dia menikah dengan biksu semacam aku serta melahirkanmu ke dunia?’

Aku menjawab, ‘Ayah, jangan lagi kita bicarakan urusan ini. Bagiku lebih … lebih baik Ibu tidak usah melahirkanku saja.’”

Berkata sampai di sini suara Yilin menjadi terputus-putus. Setelah diam sejenak ia pun menyambung kembali, “Ayah berkata bahwa ia akan mencari Kakak Linghu dan membawanya kepadaku agar kami bisa menikah. Aku sangat khawatir dan menyatakan jika sampai Ayah melakukan hal ini maka aku tidak akan mau bicara lagi dengannya. Jika Ayah datang ke Puncak Jianxing maka aku akan menghidar dan tidak mau bertemu lagi dengannya. Apabila Tian Boguang yang ditugasi menyampaikan hal ini kepada Kakak Linghu, maka aku akan segera meminta agar Kakak Yihe dan Kakak Yiqing mengusirnya. Selamanya Tian Boguang tidak boleh lagi menginjakkan kaki di Gunung Henshan. Ayah mengenal sifatku yang teguh. Melihat tekadku sudah bulat seperti itu, Ayah hanya menghela napas kemudian melangkah pergi.

Wahai Nenek bisu, kepergian Ayah kali ini entah sampai kapan aku bisa melihatnya lagi. Aku juga tidak tahu apakah Ayah akan bunuh diri lagi atau tidak. Sungguh aku sangat khawatir. Untung kemudian aku bertemu Tian Boguang dan menyuruhnya mencari dan menjaga Ayah. Setelah itu aku melihat beberapa orang menuju ke Lembah Tongyuan secara mencurigakan. Mereka lantas bersembunyi di tengah semak-semak, entah apa yang mereka lakukan? Diam-diam aku pun membuntuti mereka, tapi malah bertemu denganmu. Nenek bisu, kau ini tidak bisa ilmu silat, juga tidak dapat mendengar pembicaraan orang. Bila sampai orang lain melihatmu bukankah sangat berbahaya? Untuk selanjutnya jangan lagi bersembunyi di semak-semak seperti tadi. Memangnya kau kira sedang bermain petak umpet seperti anak kecil?”

Mendengar sampai di sini, hampir saja Linghu Chong tertawa geli. Ia berpikir, “Adik Yilin benar-benar polos dan kekanak-kanakan sehingga menganggap orang lain juga berpikiran seperti dirinya.”

Yilin melanjutkan, “Akhir-akhir ini Kakak Yihe dan Kakak Yiqing selalu menyuruhku giat berlatih pedang. Aku mendengar dari Adik Qin Juan konon Kakak Yihe dan Kakak Yiqing pernah berunding dengan beberapa kakak yang lain, bahwa Kakak Linghu tentu tidak mau menjadi ketua Perguruan Henshan untuk selamanya. Sementara itu, Yue Buqun adalah orang yang telah membunuh Guru dan Bibi Ketua, dengan sendirinya Perguruan Henshan tidak sudi dilebur ke dalam Perguruan Lima Gunung dan menerimanya sebagai ketua. Oleh sebab itu, para kakak bermaksud memintaku untuk menjadi ketua Perguruan Henshan. Nenek bisu, waktu itu sedikit pun aku tidak percaya pada cerita Adik Qin, tapi Adik Qin berani bersumpah bahwa apa yang diceritakannya tidak bohong. Katanya, menurut pertimbangan para kakak yang berunding itu, di antara para biksuni angkatan ‘Yi’, Kakak Linghu paling baik kepadaku. Apabila aku yang menjadi ketua, tentu cocok dengan kehendak Kakak Linghu. Mereka mendukung diriku, semuanya adalah demi Kakak Linghu. Mereka berharap aku berlatih pedang dengan baik supaya bisa membunuh Yue Buqun, sehingga tidak seorang pun yang keberatan bila aku diangkat sebagai ketua Perguruan Henshan. Andai saja aku tidak bisa membunuh Yue Buqun, maka mereka akan mengepungnya dengan formasi tujuh pedang. Dengan penjelasan ini, barulah aku percaya. Hanya saja, jabatan ketua itu rasanya terlalu berat bagiku. Ilmu pedangku biarpun dilatih sepuluh tahun lagi juga tidak bisa melebihi Kakak Yihe dan Kakak Yiqing, apalagi untuk membunuh Yue Buqun lebih-lebih sangat tidak mungkin. Pikiranku sendiri sedang kusut. Urusan ini membuat hatiku bertambah bingung. Nenek bisu, apa yang harus kulakukan sekarang?”

Baru sekarang Linghu Chong paham duduk permasalahannya. Pantas saja Yihe, Yiqing, dan yang lain begitu giat dalam mengawasi Yilin berlatih pedang. Rupanya mereka berharap Yilin kelak dapat mewarisi jabatan ketua Perguruan Henshan darinya. Ia pun berpikir, “Sungguh jerih payah mereka patut dipuji dan mereka pun telah memikirkan segalanya, itu juga demi diriku.”

Dengan perasaan hambar, Yilin lalu berkata, “Nenek bisu, sering kukatakan padamu bahwa aku senantiasa terkenang kepada Kakak Linghu. Siang terkenang, malam terkenang, selalu terbawa mimpi pula. Teringat olehku betapa ia mati-matian tanpa menghiraukan keselamatan jiwanya sendiri demi untuk menolongku dari niat jahat Tian Boguang dulu. Sesudah ia terluka, kugendong tubuhya untuk melarikan diri. Teringat olehku ia meminta agar aku mendongeng untuknya. Lebih-lebih yang sering teringat olehku adalah ketika aku dan dia ti… tidur bersama dalam satu ranjang di wisma apa itu di Kota Hengshan. Satu selimut kami pakai bersama. Nenek bisu, aku tahu kau tidak bisa mendengar, sehingga aku tidak malu mengatakan hal ini kepadamu. Jika tidak kukatakan sekarang, rasanya aku bisa gila. Akan kupanggil nama Kakak Linghu, supaya dalam beberapa hari ini hatiku merasa tenteram.”

Sejenak Yilin terdiam, kemudian dengan perlahan ia memanggil, “Kakak Linghu! Kakak Linghu!”

Suara panggilan ini terdengar sedemikian halus, lembut, dan mesra. Sungguh penuh dengan rasa rindu yang mendalam. Tanpa terasa tubuh Linghu Chong bergetar. Ia mengetahui kalau biksuni muda tersebut menyimpan rasa cinta kepadanya, namun ia tidak mengira kalau perasaan Yilin sedalam ini. Ia pun merenung, “Sedemikian dalam perasaannya kepadaku, selama hidupku ini entah bagaimana bisa membalasnya?”

Terdengar Yilin menghela napas, lalu berkata, “Nenek bisu, Ayah tidak memahami perasaanku. Kakak Yihe, Kakak Yiqing, dan para kakak yang lain juga tidak memahami diriku. Aku merindukan Kakak Linghu hanya karena aku tidak bisa melupakan dia. Aku pun sadar bahwa pikiranku ini tidak sepantasnya. Sebagai biksuni mana boleh aku memikirkan seorang laki-laki, apalagi dia adalah ketua perguruanku sendiri? Setiap hari aku selalu berdoa kepada Dewi Guanyin, serta memohon agar Sang Buddha memberkati diriku, membantuku agar bisa melupakan Kakak Linghu. Setiap hari aku membaca kitab yang mengajarkan agar memandang segala yang ada di dunia fana ini sebagai ilusi belaka. Biarpun cantik jelita, gagah serta cakap, pada akhirnya juga tinggal tulang belulang saja. Apakah artinya kemewahan dan kesenangan? Manusia hidup tidak ubahnya seperti impian belaka. Ajaran dalam kitab suci sudah pasti benar, akan tetapi … akan tetapi … apa yang dapat kulakukan? Aku hanya dapat berdoa dan memohon semoga Buddha Yang Maha Pengasih memberkati Kakak Linghu selalu selamat dan supaya dia terikat jodoh dengan Nona Ren, hidup bahagia sampai tua, selamanya riang gembira. Kakak Linghu suka hidup merdeka tanpa keterikatan, semoga Nona Ren tidak mengekangnya. Jika selamanya Kakak Linghu selalu gembira, maka aku pun ikut bahagia.” Ia diam sejenak kemudian melanjutkan lirih, “Kami percaya bahwa Sang Buddha dan Dewi Guanyin yang welas asih selalu memberkati semua orang di penjuru dunia.”

Ucapannya ini terdengar sungguh-sungguh dan sangat tulus. Ia kemudian memandang rembulan di langit dan berkata, “Hari sudah larut malam, aku harus pulang. Hendaknya kau pun pulang juga.” Bersama itu ia mengeluarkan dua potong kue mantou dan menggenggamkannya ke dalam tangan Linghu Chong sambil melanjutkan, “Nenek bisu, mengapa hari ini kau tidak memandang diriku sama sekali? Apakah badanmu kurang sehat?”

Setelah menunggu sejenak dan tidak mendapatkan jawaban, Yilin lantas bergumam sendiri, “Sungguh bodoh. Sudah jelas kau tidak bisa mendengar, tapi aku malah bertanya padamu.”

Perlahan-lahan Yilin pun bangkit dan melangkah pergi.

Linghu Chong masih saja duduk di atas batu dan menyaksikan bayangan Yilin menghilang dalam kegelapan malam. Ia mencoba mengingat kembali apa yang diucapkan gadis itu tadi. Kata-kata biksuni muda tersebut sungguh sangat menggetarkan hatinya. Tanpa terasa ia pun termangu-mangu seorang diri.

Beberapa lama kemudian, ketika ia berpaling dan memandang sungai seketika hatinya menjadi terkejut karena tampak pada permukaan air terdapat dua bayangan yang sama persis sedang duduk berjajar di atas batu. Ia mengira pandangannya sedang kabur. Setelah mengusap-usap kedua mata dan kembali memandang, tetap saja ia melihat dua bayangan yang sama persis. Seketika ia pun berkeringat dingin dan tidak berani menoleh.

Kedua bayangan di permukaan air itu sangat mirip satu sama lain. Yang satu jelas dirinya, sedangkan yang satu lagi berada tepat di belakangnya. Ia yakin, sekali tangan orang itu bergerak seketika dirinya pasti akan dibereskan. Dalam keadaan demikian ia benar-benar tercengang dan sama sekali tidak berpikir harus melompat ke depan.

Entah bagaimana, orang itu tahu-tahu berada di belakangnya tanpa suara sedikit pun. Linghu Chong sama sekali tidak menyadari kedatangannya sehingga dapat dibayangkan betapa tinggi kepandaian orang ini. Seketika muncul suatu pikiran dalam benaknya, “Hantu! Dia pasti hantu.” Berpikir tentang hantu, perasaannya semakin bertambah takut. Untuk sekian lamanya ia tertegun, kemudian baru memandang lagi ke arah sungai.

Air sungai yang mengalir tenang perlahan itu membuat bayangan remang-remang tersebut tidak jelas terlihat. Namun, kedua bayangan itu sama-sama memakai baju wanita yang berlengan longgar. Tusuk konde di atas kepala masing-masing juga sama persis. Semakin dirasakan, Linghu Chong semakin ketakutan. Jantungnya berdebar kencang seakan-akan hendak melompat keluar dari rongga dadanya. Tiba-tiba entah dari mana datangnya keberanian, ia pun menoleh sehingga tepat muka bertemu muka dengan hantu tersebut.

Setelah melihat dengan jelas, tanpa terasa ia menarik napas panjang. Wanita di hadapannya ini samar-samar dapat dikenalinya sebagai si babu bisu-tuli yang menjaga Kuil Gantung di Gunung Cuiping. Namun, bagaimana perempuan ini tiba-tiba hadir di belakangnya tanpa menimbulkan suara, sungguh sangat mengherankan.

Rasa takut Linghu Chong segera lenyap seketika, tapi rasa herannya sedikit pun tidak berkurang. Segera ia berkata, “O, Nenek bisu, ternyata ... kau yang datang. Sungguh ... sungguh membuatku sangat ... terkejut.” Suaranya ini agak gemetar. Sekalipun dikatakan tidak takut, tapi agaknya ia masih diliputi perasaan gentar.

Nenek bisu itu mengenakan pakaian dan tusuk konde yang sama persis dengan dirinya. Bajunya juga berwarna abu-abu pucat seperti yang dikenakan Linghu Chong. Setelah agak tenang pemuda itu pun berkata, “Maaf, Nenek bisu. Ingatan Nona Ren sungguh hebat. Dia masih ingat dandananmu dan mendandaniku sama persis denganmu. Sekarang kita bagaikan saudara kembar.”

Dilihatnya raut muka si nenek bisu dingin dan kaku, sedikit pun tidak menunjukkan rasa gusar ataupun senang. Entah apa yang sedang terpikir dalam benak perempuan tua ini? Diam-diam Linghu Chong merenung. “Orang ini sungguh aneh. Aku telah menyamar sebagai dirinya dan ketahuan pula olehnya, maka aku tidak boleh tinggal terlalu lama di sini.” Segera ia pun bangkit dan memberi hormat kepada nenek itu sambil berkata, “Sudah larut malam, aku mohon diri dulu.”

Usai berkata Linghu Chong lantas memutar tubuh dan melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan tiba-tiba di depannya sudah berdiri seseorang menghalangi jalannya, siapa lagi kalau bukan si nenek bisu tersebut. Entah bagaimana caranya tahu-tahu wanita itu sudah berada di hadapannya. Saat bertarung melawan Dongfang Bubai yang mahagesit sekalipun ia masih bisa melihat sekelebat bayangannya. Namun, kecepatan orang ini bahkan tidak menimbulkan suara sama sekali, seolah-olah kakinya melayang tidak menginjak tanah, benar-benar sangat mengherankan.

Sungguh heran bercampur kaget perasaan Linghu Chong bukan kepalang. Ia sadar malam ini benar-benar bertemu seorang sakti. Yang lebih celaka lagi ialah dirinya justru sedang menyamar sebagai orang itu. Jelas hal ini sangat mengundang kemarahannya.

Maka, Linghu Chong pun kembali memberi hormat dan berkata, “Maafkan aku, Nenek. Aku mengaku salah. Baiklah, aku akan segera berganti pakaian dan setelah itu aku akan datang ke Kuil Gantung untuk meminta maaf kepadamu.”

Nenek bisu itu tetap kaku tidak menunjukkan perasaan apa pun di wajahnya.

“Ah, aku lupa. Tentunya kau tidak dapat mendengar ucapanku,” ujar Linghu Chong. Kemudian ia berjongkok dan menulis di atas tanah menggunakan jari: “Maaf, lain kali aku tidak berani lagi.” Sewaktu tegak kembali, dilihatnya si nenek tetap berdiri mematung, sedikit pun tidak memandang kepada apa ia tuliskan.

Sambil menunjuk tulisan di atas tanah itu, dengan suara keras Linghu Chong berseru, “Maaf, lain kali tidak berani lagi!”

Namun, nenek itu tetap tidak bergerak. Ia hanya berdiri seperti patung belaka.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Celaka, jangan-jangan dia buta huruf!”

Berkali-kali ia lantas membungkuk-bungkukkan badan, sambil tangannya melepas pakaian samaran dan rambut palsu yang ia kenakan. Kemudian ia memberi hormat sebagai tanda meminta maaf. Namun, nenek itu tetap saja diam, sedikit pun tidak bergerak.

Linghu Chong benar-benar kehabisan akal. Tanpa sadar tangannya menggaruk-garuk kepala meski tidak gatal. Sambil memiringkan tubuh, ia lalu bergegas menyelinap lewat di samping si nenek.

Baru saja kakinya bergerak, mendadak nenek itu menggeliat dan tahu-tahu sudah menghadang lagi di depannya. Linghu Chong terkesiap dan berkata, “Maaf!” Kakinya lantas melangkah ke kanan, tapi menyusul ia meloncat lewat ke sebelah kiri. Namun, baru saja kakinya menapak di tanah, tahu-tahu si nenek sudah berdiri lagi di depannya dan kembali menghadang langkahnya.

Tentu saja Linghu Chong sangat penasaran. Berkali-kali ia melompat, makin lama makin cepat. Namun, selangkah pun si nenek bisu tidak mau ketinggalan, selalu saja menghadang jalan yang hendak dilewatinya. Linghu Chong menjadi gusar. Melihat si nenek bisu masih merintangi, segera tangan kirinya mendorong pundak wanita itu. Namun, baru saja jarinya hampir mengenai sasaran, tahu-tahu tangan si nenek yang kurus kering itu memotong ke bawah, menebas pergelangan tangannya.

Linghu Chong lekas menarik tangannya. Walaupun begitu cepat ia menarik serangan tetap saja punggung tangannya tergores kuku jari kelingking si nenek. Betapa sakit rasanya seperti disayat pisau. Lantaran merasa bersalah, Linghu Chong tidak berani bertempur melawan si nenek bisu. Yang ia harapkan hanya secepatnya bisa pergi menghindarinya. Segera ia pun menunduk dan bermaksud menyelinap di sisi orang itu. Namun, baru saja tubuhnya bergerak tiba-tiba angin pukulan sudah menyambar. Rupanya nenek bisu telah menghantamkan telapak tangan ke arah batok kepalanya.

Lekas-lekas Linghu Chong berkelit, namun serangan itu teramat cepat. Pukulan itu sempat mengenai bahunya. Sebaliknya, nenek itu agak menggeliat. Ternyata pada saat pukulan si nenek mengenai sasaran, bersamaan pula Jurus Penyedot Bintang dalam tubuh Linghu Chong bekerja sehingga menghisap tenaga pukulan lawan tersebut.

Tiba-tiba si nenek menjulurkan tangan yang satunya. Kali ini jarinya yang lentik kurus bagaikan cakar ayam menusuk kedua mata Linghu Chong. Dengan perasaan terkejut Linghu Chong lekas-lekas menunduk ke bawah untuk menghindar, sehingga punggungnya menjadi terbuka. Untungnya si nenek bisu sudah jera terhadap Jurus Penyedot Bintang, sehingga tidak berani melanjutkan serangan meski kesempatan terbuka lebar. Sebaliknya, tangan kanannya lantas mencukil balik ke atas untuk tetap menyerang kedua mata Linghu Chong. Jelas si nenek sudah memutuskan akan mencakar bola mata lawannya itu. Bagaimanapun hebatnya Jurus Penyedot Bintang tentu tidak bisa dikerahkan melalui bola mata. Sedikit saja kedua mata terkena tusukan jari nenek itu, maka Linghu Chong pasti akan buta.

Linghu Chong pun mengangkat tangannya untuk menangkis serangan. Si nenek bisu mengikuti dengan memutar tangannya. Kelima jarinya lantas mencakar mata kiri Linghu Chong. Begitu Linghu Chong menangkis, mendadak jari kanan si nenek mencolok telinganya. Terpaksa ia pun melompat menghindar.

Gaya bertarung nenek bisu itu terlihat lucu, mirip cara bertengkar perempuan bawel yang kampungan, namun selalu mengincar titik-titik penting di tubuh lawan. Ditambah lagi gerakannya yang cepat luar biasa, sehingga dalam beberapa jurus saja Linghu Chong sudah terdesak mundur.

Sebenarnya ilmu silat perempuan tua ini tidak terlalu tinggi. Yang istimewa darinya hanyalah pada gerakannya yang lincah dan sangat gesit, serta sergapan secara tiba-tiba. Dibandingkan Yue Buqun atau Zuo Lengchan, atau bahkan dengan Ren Yingying sekalipun ia masih kalah jauh. Akan tetapi, Linghu Chong sendiri kurang mahir dalam ilmu silat tangan kosong. Andai saja si nenek bisu tidak terlalu takut terhadap Jurus Penyedot Bintang, maka dapat dipastikan pemuda itu sudah kenyang terkena pukulan sejak tadi.

Setelah melewati beberapa jurus berikutnya, Linghu Chong sadar bahwa satu-satunya jalan untuk meloloskan diri adalah dengan mencabut pedang. Namun, baru saja tangan kanannya menyentuh gagang pedang pendek yang terselip di balik baju, si nenek bisu seolah mengetahui maksudnya. Dengan sangat cepat perempuan itu melancarkan serangan sebanyak tujuh-delapan kali. Terpaksa Linghu Chong harus berkelit dan menangkis sehingga tidak sempat lagi melolos pedangnya.

Serangan si nenek bisu semakin lama semakin cepat dan keji. Linghu Chong merasa heran padahal selamanya di antara mereka tidak terdapat permusuhan apa-apa, namun orang itu tidak segan-segan hendak mencongkel matanya keluar. Linghu Chong merasa keadaan begitu gawat. Segera ia pun menggertak keras, kemudian tangan kirinya melindungi kedua mata, sementara tangan kanan meraba dada untuk mencabut pedang pendek. Tak peduli lawan terus memukul dan menendang yang penting ia dapat menarik pedang pendeknya keluar.

Tak disangka, pada saat itu tiba-tiba kepalanya terasa kencang. Ternyata si nenek bisu telah menjambak rambutnya. Sekejap kemudian Linghu Chong merasa kedua kakinya melayang di atas tanah, dan setelah itu langit terasa berputar-putar dan bumi terbalik. Jelas tubuhnya berputar cepat di udara. Rupanya si nenek bisu telah menjambak rambutnya dan mengangkat serta mengayunkan tubuh pemuda itu sekuat tenaga. Semakin lama semakin cepat.

“Hei, hei, apa yang kau lakukan?” sahut Linghu Chong berteriak-teriak. Kedua tangannya mencoba mencakar dan memukul serabutan, tapi mendadak kedua ketiaknya, kanan dan kiri terasa pegal. Rupanya si nenek bisu telah menotok bagian tersebut. Disusul kemudian titik nadi bagian punggung, pinggang, dada, dan leher Linghu Chong tertotok pula. Seketika pemuda itu merasa sekujur tubuhnya lemas dan tidak bisa bergerak lagi. Lebih celaka lagi si nenek ternyata tidak mau berhenti memutar-mutar tubuhnya. Bahkan kini semakin cepat.

Sambil merasakan suara angin yang menderu-deru di telinganya Linghu Chong berpikir, “Selama hidup aku sudah banyak menemui kejadian-kejadian aneh. Tapi baru kali ini aku bernasib sial menjadi gangsingan.”

Nenek itu terus saja menjambak rambut Linghu Chong dan memutar tubuh pemuda itu dengan kencang. Linghu Chong merasa pusing dan matanya berkunang-kunang. Melihat pemuda itu hampir kehilangan kesadaran, nenek bisu pun menghentikan permainannya dan membanting tubuh Linghu Chong ke tanah dengan sangat keras.

Sebenarnya Linghu Chong merasa tidak bermusuhan dengan nenek bisu itu. Namun, sekarang setelah dirinya dikerjai sampai setengah mati, ia pun tidak kuasa lagi menahan marah. Segera mulutnya mencaci maki, “Perempuan busuk, perempuan keparat! Kalau saja aku bisa mencabut pedang, tentu tubuhmu kubuat berlubang-lubang!”

Nenek itu memandangnya dengan sikap dingin. Raut mukanya tetap tidak menunjukkan perasaan apa-apa.

Melihat itu, Linghu Chong berpikir, “Aku sudah kalah, tapi paling tidak aku harus memakinya agar kekalahanku tidak terlalu parah. Tapi tubuhku kini tidak bisa berkutik. Jika dia tahu aku mencaci-maki, tentu dia akan menyiksaku dengan lebih kejam.”

Segera ia pun mendapat akal, yaitu terus memaki tapi sambil tertawa-tawa. “Dasar perempuan bangsat, perempuan busuk! Langit sadar akan kejahatanmu sehingga kau diciptakan bisu dan tuli, tidak bisa tertawa, tidak bisa menangis pula, mirip orang tolol! Lahir sebagai anjing atau babi rasanya jauh lebih beruntung!”

Semakin mencaci maki dengan kata-kata yang keji, semakin riang pula Linghu Chong tertawa. Sebenarnya ia hanya berpura-pura tertawa, supaya si nenek bisu tuli itu tidak tahu kalau ia sedang memaki. Begitu melihat perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan sikap gusar, Linghu Chong merasa akalnya membawa hasil dan ia pun menjadi senang dan benar-benar tertawa terbahak-bahak.

Perlahan nenek bisu melangkah maju. Tiba-tiba sebelah tangannya kembali menjambak rambut Linghu Chong dan menyeret pemuda itu ke depan. Langkahnya semakin lama semakin cepat. Linghu Chong merasa kesakitan karena badannya bergesekan di atas tanah berbatu. Dengan gemas ia kembali mencaci-maki tanpa berhenti, namun kali ini tidak bisa tertawa lagi.

Nenek bisu itu menyeret tubuh Linghu Chong ke atas gunung. Sambil melirik mengamati keadaan setempat, Linghu Chong dapat merasakan bahwa perempuan itu membawanya ke arah barat, menuju ke arah Kuil Gantung. Kini Linghu Chong telah yakin kalau orang yang mengerjai Biksu Bujie, Tian Boguang, Sepasang Beruang Gurun Utara, Qiu Songnian, dan yang lain tentu nenek bisu-tuli ini pula. Perempuan tua ini meskipun bisu tuli namun ternyata memiliki kecepatan dan kekuatan yang sangat hebat. Selain dia, sepertinya tidak ada lagi yang bisa dicurigai oleh Linghu Chong.

Dahulu Linghu Chong memang pernah datang ke Kuil Gantung dan bertemu nenek bisu tersebut. Namun, waktu itu sedikit pun ia tidak tahu kalau perempuan ini ternyata menyembunyikan kepandaian sedemikian hebat. Yang ia tahu nenek tersebut seorang bisu tuli yang berwajah tolol dan lamban dalam bekerja. Bahkan, para tokoh silat papan atas seperti Biksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, serta Ren Yingying dan Shangguan Yun juga tidak mencurigainya. Diam-diam Linghu Chong memuji kepandaian nenek bisu ini dalam mengelabui orang.

Lantas pemuda itu berpikir pula, “Jika nenek ini sampai menggantung tubuhku di atas pohon gongsun di Lembah Tongyuan, lalu menempelkan pula pita kertas pada tubuhku dengan tuduhan sebagai manusia paling cabul nomor satu di dunia, tentu aku akan sangat kehilangan muka. Padahal, sebagai ketua Perguruan Henshan aku kini berdandan sebagai wanita. Untungnya, dia menyeretku menuju Kuil Gantung. Biarlah dia menggantung aku di sana dan menghajar tubuhku pula. Itu lebih baik daripada membuatku malu di depan umum.”

Dasar sudah menjadi sifat Linghu Chong meskipun sedang bernasib sial tapi masih merasa beruntung juga. Terpikir pula olehnya, “Entah apakah dia tahu siapa diriku yang sebenarnya? Jangan-jangan dia memang sudah tahu kalau aku ini ketua Perguruan Henshan sehingga tidak mempermalukan aku di depan umum.”

Di sepanjang jalan yang menanjak itu tubuh Linghu Chong diseret oleh si nenek bisu. Sudah tentu badannya babak belur terluka oleh batu-batu pegunungan. Untungnya ia menghadap ke atas sehingga tidak mendapat luka di bagian panca indera.

Setibanya di Kuil Gantung, si nenek bisu terus saja menyeretnya masuk ke dalam ruang tengah. Pintu kuil lantas ditutup rapat. Sesaat kemudian mereka berdua sudah berada di dalam Loteng Kura-Kura Sakti.

“Wah, celaka, ini celaka!” ujar Linghu Chong mengeluh karena ia sadar Loteng Kura-Kura Sakti terletak di atas jurang yang tak terukur dalamnya, sedangkan di luar terdapat sebuah jembatan gantung yang menghubungkan dengan Loteng Ular Dewa di sisi lain Puncak Cuiping. “Jangan-jangan tubuhku akan digantung di jembatan layang itu,” pikirnya. Perasaan khawatir terlintas di benak Linghu Chong karena Kuil Gantung tersebut jarang didatangi orang. Bisa-bisa ia akan mati kelaparan di tempat ini.

Sesampainya di dalam Loteng Kura-Kura Sakti, nenek bisu langsung membanting Linghu Chong di lantai, kemudian meninggalkannya pergi. Dengan tubuh tergeletak Linghu Chong mencoba menerka siapa sebenarnya nenek bisu ini, tapi tidak juga menemukan jawaban. Ia hanya menduga bisa jadi nenek ini seorang tokoh angkatan tua Perguruan Henshan, atau mungkin pelayan Biksuni Dingjing, Biksuni Dingxian, dan Biksuni Dingyi di masa lalu. Tapi entah bagaimana caranya nenek itu bisa mengetahui muslihat licik Nyonya Zhang dan yang lain sehingga kemudian meringkus dan menggantung tubuh mereka di atas pohon?

Berpikir sampai di sini hati Linghu Chong menjadi lega. Ia berpikir, “Mengingat aku ini ketua Perguruan Henshan sudah tentu dia akan menghormatiku dan tidak membuatku susah.” Tapi lantas terpikir lagi olehnya, “Celaka, karena aku sedang menyamar, jangan-jangan dia tidak mengenali aku! Jika dia mengira aku adalah orang jahat yang bersekongkol dengan Nyonya Zhang dan yang lain, atau dia mengira aku adalah mata-mata yang sedang menyamar di sini dan bertujuan hendak merusak Perguruan Henshan, wah, bisa jadi ia akan memberi ‘perlakuan yang lebih istimewa’ kepadaku. Bisa runyam kalau aku disiksa olehnya nanti.”

Tanpa terdengar suara langkah kaki tahu-tahu si nenek bisu sudah naik kembali ke atas loteng dengan membawa seutas tambang. Segera kaki dan tangan Linghu Chong pun ditelikung dan diikatnya kencang-kencang. Perempuan tua itu lantas mengeluarkan pula sepotong pita kertas berwarna kuning dan memasangnya di leher Linghu Chong.

Sudah tentu Linghu Chong sangat penasaran ingin mengetahui apa yang tertulis pada pita kertas itu. Akan tetapi, tiba-tiba pandangannya menjadi gelap. Rupanya kedua matanya telah ditutup oleh si nenek bisu menggunakan sehelai kain hitam.

“Cerdik benar nenek ini,” pikir Linghu Chong. “Dia tahu aku ingin sekali membaca apa yang tertulis pada pita kertas ini, namun mataku langsung ditutupnya. Tapi, haha, Linghu Chong selamanya adalah anak bandel. Sudah tentu apa yang tertulis di atas pita kertas ini jelas bukan kata-kata pujian untukku. Jadi, untuk apa aku harus membacanya?”

Tiba-tiba ia merasa kaki dan tangannya yang diikat itu seperti tertarik kencang, lantas tubuhnya pun terapung ke atas. Ternyata nenek bisu sudah menggantungnya tinggi-tinggi di atas balok belandar. Sungguh gusar rasa hati Linghu Chong dan mulutnya kembali mencaci-maki. Meskipun berwatak suka ugal-ugalan, tapi di sisi lain ia juga sangat berhati-hati. Dalam hati ia merenung, “Kalau aku hanya mencaci-maki sembarangan, tetap tidak dapat memperbaiki keadaan. Sebaiknya aku mengerahkan tenaga dalam perlahan-lahan untuk membuka totokan. Bila aku sudah memegang senjata tentu dapat mengatasi nenek ini. Akan kugantung pula tubuhnya di tempat yang tinggi, dan akan kupasang pita kertas kuning pada lehernya. Entah apa yang harus kutulis pada pita itu? Nenek jahat nomor satu di dunia? Ah, jangan-jangan dia malah menjadi senang. Biarlah kutulis saja: ‘Nenek jahat nomor delapan belas di dunia’, biar kepalanya pecah memikirkan siapa pula ketujuh belas nenek jahat lainnya yang lebih tinggi derajatnya daripada dia.” Linghu Chong kemudian memasang telinga dan tidak mendengar suara napas seorang pun. Rupanya nenek bisu itu sudah pergi.

Setelah tergantung-gantung sekitar dua jam, Linghu Chong mulai merasa lapar. Begitu menggerakkan badan terasa aliran darahnya sudah mulai lancar. Tiba-tiba tubuhnya terguncang, kemudian jatuh terbanting di lantai dengan keras. Ternyata si nenek bisu telah melepaskan tali gantungan. Tapi sejak kapan nenek itu datang sedikit pun Linghu Chong tidak mendengar langkah kakinya.

Nenek itu lantas melepaskan kain hitam penutup mata Linghu Chong. Titik nadi bagian leher belum lancar sehingga pemuda itu sukar menunduk untuk membaca tulisan pada pita kertas tersebut, kecuali pada bagian paling bawah sekilas terbaca kata “perempuan”.

Perlahan Linghu Chong mengeluh, “Sial!” Ia yakin si nenek benar-benar mengira dirinya sebagai seorang perempuan tua. Kalau dirinya disebut sebagai pemuda cabul, bajingan tengik, atau manusia rendah segala tidak menjadi soal. Tapi dianggap sebagai perempuan, benar-benar masalah konyol baginya.

Dilihatnya si nenek bisu mengambil sebuah mangkuk. “Apakah dia hendak mengambilkan semangkuk sup untukku? Kalau semangkuk arak tentu lebih baik,” pikirnya.

Di luar dugaan, tiba-tiba Linghu Chong menjerit kesakitan karena kepalanya terasa kepanasan. Ternyata mangkuk tersebut bersisi air mendidih dan oleh si nenek langsung disiramkan begitu saja di atas kepala pemuda itu.

“Nenek bangsat, apa yang hendak kau lakukan padaku?” bentak Linghu Chong memaki.

Si nenek tetap saja tidak terpengaruh. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebilah pisau cukur dari balik bajunya.

Seketika Linghu Chong terperanjat. Kulit kepalanya terasa sakit dan perih. Rupanya si nenek bisu sedang mencukur rambutnya. Perasaan Linghu Chong semakin gusar. Ia tidak tahu apa maksud dan tujuan nenek gila ini sebenarnya. Sejenak kemudian ia merasa kepalanya sudah gundul kelimis. Rambutnya telah dicukur bersih oleh si nenek bisu.

“Bagus sekali. Hari ini Linghu Chong benar-benar telah menjadi biksu. Ah, salah. Aku memakai baju perempuan, pantasnya disebut sebagai biksuni,” demikian ia berpikir. Tiba-tiba jantungnya berdebar. Perasaan ngeri merasuki pikirannya. “Yingying menyuruhku menyamar sebagai biksuni, dan kini ucapannya menjadi kenyataan. Mungkin juga nenek iblis ini telah mengetahui siapa diriku yang sebenarnya dan menganggap seorang laki-laki tidak pantas menjadi ketua Perguruan Henshan. Maka itu, tidak saja ia mencukur rambutku, bahkan mungkin juga ia akan … akan mengebiri kemaluanku, supaya aku tidak bisa berbuat kotor di tempat suci ini. Nasibku bisa-bisa mirip dengan Tian Boguang. Wah, nenek gila ini ternyata bisa berbuat apa saja. Sungguh sial, sepertinya hari ini aku, Linghu Chong harus menerima takdir. Ah, asal jangan sekali-kali aku disuruh berlatih Jurus Pedang Penakluk Iblis.”

Selesai mencukur gundul kepala Linghu Chong, nenek bisu lantas menyapu bersih rambut pemuda itu yang berserakan di atas lantai. Linghu Chong merasa keadaan sudah sangat gawat. Segera ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk membuka sisa beberapa totokan pada tubuhnya.

Begitu merasa aliran darahnya sudah mulai lancar, tiba-tiba bagian punggung, pinggang, dan bahunya terasa kesemutan kembali. Rupanya titik-titik tersebut kembali ditotok oleh si nenek bisu. Seketika perasaan Linghu Chong bagaikan balon gembos. Ia hanya bisa menghela napas panjang. Rasanya begitu lemas, sampai-sampai caci maki susah untuk diucapkan lagi.

Si nenek bisu lantas menanggalkan pita kertas yang terpasang di leher Linghu Chong itu dan menaruhnya di samping. Baru sekarang Linghu Chong dapat melihat dengan jelas apa yang tertulis pada pita kertas tersebut, yaitu: “Manusia buta nomor satu di dunia, bukan laki-laki dan bukan perempuan.”

Dalam hati Linghu Chong mengeluh, “Celaka! Ternyata nenek gila ini hanya pura-pura bisu dan tuli. Ia sebenarnya bisa mendengar. Kalau tidak, dari mana dia tahu kalau Biksu Bujie pernah menyebutku sebagai manusia buta nomor satu di dunia? Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, dia mencuri dengar ketika Biksu Bujie bicara dengan Yilin, dan yang kedua dia mencuri dengar ketika Yilin berbicara padaku tadi. Atau bisa juga kedua-duanya telah ia saksikan.”

Berpikir sampai di sini segera ia pun berteriak, “Sudahlah, kau tidak perlu menyamar dan berpura-pura lagi! Kau bukan seorang bisu-tuli.”

Tapi nenek itu tetap tidak peduli. Sebaliknya, ia terus saja menggerayangi tubuh Linghu Chong dan menarik pakaian wanita yang dikenakan pemuda itu.

“He, hei, apa yang hendak kau lakukan?” sahut Linghu Chong khawatir. Ia tidak tahu apakah nenek ini benar-benar tidak dapat mendengar atau hanya sengaja berpura-pura. Dalam sekejap baju wanita yang dipakainya telah ditarik begitu saja oleh si nenek sehingga robek menjadi dua belah dan terlepas dari tubuhnya.

“Jika kau berani mengganggu seujung rambutku saja tentu akan kucincang tubuhmu hingga hancur lebur,” teriak Linghu Chong gusar. Tapi lantas terpikir olehnya, “Wah, bukan hanya seujung rambut, dia bahkan sudah mencukur gundul kepalaku.”

Tampak si nenek mengambil sepotong batu asah. Kemudian batu asah itu dibasahinya dengan beberapa tetes air, untuk selanjutnya digunakan mengasah pisau cukur tadi. Sejenak kemudian pisau cukur itu pun ditaruhnya di samping. Dari balik baju dikeluarkannya dua buah botol porselen kecil, yang masing-masing bertuliskan “Salep Penyambung Kahyangan” dan “Pil Empedu Beruang”. Jelas keduanya adalah obat-obatan mujarab buatan Perguruan Henshan yang sudah sangat dikenal oleh Linghu Chong.

Kemudian si nenek tampak menyiapkan pula beberapa potong kain putih sebagai pembalut luka. Linghu Chong merasa heran karena merasa tidak memiliki luka baru. Melihat cara si nenek menyiapkan segala perlengkapan itu, sepertinya hendak membuat sebuah luka baru atau lebih pada dirinya. Tanpa sadar Linghu Chong pun menghela napas panjang penuh perasaan cemas.

Selesai menyiapkan itu semua, kedua mata si nenek memandang tajam ke arah Linghu Chong. Sejenak kemudian ia mengangkat tubuh pemuda itu dan meletakkannya di atas meja. Selanjutnya ia kembali memandang Linghu Chong dengan sikap kaku tak berperasaan.

Linghu Chong sudah kenyang pengalaman dalam pertempuran macam apa pun juga. Sekalipun terluka parah dan dikepung musuh, belum pernah ia merasa takut atau gentar. Tapi kini menghadapi seorang nenek gila seperti itu, dalam hati timbul juga rasa ngeri yang tak terlukiskan.

Perlahan si nenek mengangkat pisau cukurnya. Di bawah cahaya lilin yang berkedip-kedip, pisau cukur yang tajam itu tampak berkilauan. Butir keringat dingin penuh membasahi dahi Linghu Chong. Sungguh ngeri hatinya membayangkan sebentar lagi akan dikebiri oleh si nenek gila.

Tiba-tiba terlintas satu pikiran dalam benaknya. Tanpa pikir panjang ia pun berteriak, “Kau adalah … istri Biksu Bujie!”

Tubuh nenek itu tampak gemetar dan kakinya mundur selangkah. Dengan terputus-putus ia berkata, “Da… dari mana … kau ... tahu?” Suaranya serak dan kering. Ucapannya sekata demi sekata dan sangat kaku, mirip seperti anak kecil yang baru belajar bicara.

Ketika mengucapkan kata-katanya tadi, Linghu Chong memang tidak berpikir panjang. Kini begitu ditanya balik oleh si nenek barulah ia berpikir mengapa sampai bisa menarik kesimpulan seperti itu. Tapi ia lantas berkata, “Hm, sudah tentu aku tahu. Sudah sejak tadi aku tahu.”

Namun, dalam hati sebenarnya ia bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Benar juga, dari mana aku tahu? Oh, tentu dari pita kertas terpasang di leher Biksu Bujie itu. Pada pita itu tertulis tuduhan bahwa Bujie adalah manusia tak berperasaan, orang yang paling doyan perempuan. Tentang hal ini, selain Bujie sendiri tiada orang lain yang tahu kecuali istrinya.”

Karena berpikiran demikian, Linghu Chong kembali berseru, “Kau sendiri justru masih selalu terkenang kepada manusia yang tidak berperasaan dan paling doyan perempuan itu. Jika tidak, waktu ia hendak gantung diri, kenapa kau potong tali gantungannya? Ketika ia hendak menggorok leher sendiri, kenapa kau sembunyikan goloknya? Huh, manusia yang tak berperasaan dan paling doyan main perempuan seperti itu kenapa tidak dibiarkan mati saja? Untuk apa pula kau urus dia lagi?”

Si nenek menjawab, “Kalau ... membiarkan dia ... mampus dengan mudah dan ... cepat, itu terlalu ... enak baginya.”

“Benar katamu,” sahut Linghu Chong. “Biarkan saja dia menderita cemas dan khawatir selama belasan tahun terakhir ini. Dia mencarimu sampai ke negeri Tibet, sampai ke gurun utara dan wilayah barat. Dia mencarimu ke dalam setiap biara, tapi kau malah enak-enakan menikmati hidupmu di sini. Dengan cara begini barulah kau merasa puas, bukan?”

“Itu baru ... setimpal,” ujar si nenek. “Dia sudah ... menikahi aku. Tapi kenapa ... dia masih menggoda perempuan ... lain?”

“Siapa yang bilang dia menggoda perempuan lain?” tanya Linghu Chong. “Wanita itu hanya memandang dan memuji putrimu lalu Biksu Bujie balas memandang dan memujinya, bukankah ini wajar? Kenapa kau anggap dosa besar?”

“Seorang laki-laki kalau ... sudah beristri,” sahut si nenek, “jika dia memandang dan mengincar ... perempuan lain, hal ini dilarang ... keras.”

Linghu Chong merasa nenek ini benar-benar aneh. Segera ia membantah, “Kau sendiri sudah menjadi istri orang, tapi mengapa masih memandang laki-laki lain juga?”

Nenek itu menjadi gusar dan menyahut, “Kapan pula aku memandang ... laki-laki lain? Omong kosong!”

“Bukankah sekarang ini kau sedang memandang diriku? Memangnya aku bukan laki-laki?” kata Linghu Chong. “Padahal Bujie hanya memandang perempuan lain beberapa detik saja. Sementara itu kau malah menjambak rambutku, meraba kepalaku, ini berarti telah melanggar larangan suci tersebut. Untung kau hanya menyentuh kulit kepalaku saja, tidak sampai meraba wajahku. Jika tidak, kau pasti akan dihukum berat oleh Dewi Guanyin.” Ia berpikir nenek ini jarang bergaul, tentu pengetahuannya sangat kurang. Maka, perempuan ini perlu digertak supaya tidak sembarangan menganiaya orang.

Terdengar nenek itu menjawab, “Untuk memotong kepalamu ... aku tidak perlu menyentuh badanmu.”

“Kalau mau memotong kepalaku, boleh saja. Silakan!” sahut Linghu Chong.

“Kau ingin ... aku membunuhmu? Jelas tidak boleh secepat ini,” ujar si nenek dengan suara semakin lancar. “Sekarang ada dua pilihan untukmu, kau boleh pilih sesukamu. Pertama, kau harus lekas menikahi Yilin sebagai istrimu dan jangan membuatnya sakit hati lagi. Sebaliknya, jika kau menolak, maka aku akan mengebiri dirimu sehingga kau berubah menjadi siluman serbakonyol. Laki-laki bukan, perempuan juga bukan, alias banci. Nah, jika kau tidak mau menikahi Yilin, maka kau takkan mampu menikah pula dengan perempuan busuk lainnya yang tidak tahu malu.”

Sudah belasan tahun perempuan tua ini berpura-pura bisu dan tuli. Sudah sekian lama ia tidak pernah berbicara sehingga lidahnya terasa kaku. Kini setelah berbicara sebentar barulah ucapannya mulai lancar kembali.

“Yilin memang seorang gadis yang sangat baik. Tapi di dunia ini selain dia apakah semua perempuan itu busuk dan tidak tahu malu?” jawab Linghu Chong.

“Aku rasa memang begitu. Andaikan baik juga terbatas,” kata si nenek. “Nah, kau mau menerima syaratku atau tidak? Lekas katakan!”

Linghu Chong menjawab, “Adik Yilin adalah teman baikku. Jika dia tahu kau memaksaku seperti ini, tentu dia akan sangat marah.”

“Asal kau menikahinya sebagai istri, tentu dia akan gembira dan semua kemarahannya lenyap pula,” kata si nenek.

“Dia seorang gadis yang alim. Dia sudah bersumpah tidak akan menikah seumur hidup,” bantah Linghu Chong. “Apabila pikirannya sampai bercabang tentu akan mendapat murka dari Sang Buddha.”

“Bila kau menjadi biksu, maka kalian berdua akan bersama menanggung kemarahan Sang Buddha,” jawab si nenek. “Aku telah mencukur rambutmu. Memangnya kau kira tidak ada tujuannya?”

Linghu Chong bergelak tawa dan berkata, “O, ternyata kau mencukur rambutku supaya aku menjadi biksu, lalu menikahi si biksuni cilik. Suamimu dulu berbuat begitu, sehingga sekarang kau pun memintaku meniru caranya?”

“Bukan urusanku,” sahut si nenek.

“Tapi di dunia ini sangat banyak manusia berkepala gundul. Memiliki kepala botak licin tidak berarti biksu, bukan?” lanjut Linghu Chong sambil terus tertawa.

“Ini bukan masalah sulit,” jawab si nenek. “Akan kusulut kepalamu dengan api dupa sehingga tercipta sembilan titik hangus. Memiliki kepala gundul memang tidak selalu seorang biksu. Tapi kepala gundul ditambah dengan bekas sulutan api dupa adalah tanda pengenal kaum biksu, bukan?” Usai berkata demikian si nenek mempersiapkan diri untuk mulai bertindak.

“Hei, nanti dulu, sebentar lagi,” lekas-lekas Linghu Chong mencegah. “Menjadi biksu harus dilakukan dengan sukarela, bukan dengan cara paksaan seperti ini.”

“Hanya ada dua pilihan,” jawab si nenek. “Menjadi biksu atau menjadi kasim.”

Linghu Chong sangat khawatir. Ia merenung, “Perempuan tua ini benar-benar gila. Ia suka memaksakan apa yang menjadi keinginannya. Aku harus mencari akal untuk mengulur waktu.” Usai berpikir demikian ia pun menjawab, “Kalau aku menjadi kasim, jangan-jangan pada suatu saat pikiranku tiba-tiba berubah dan ingin menikahi Adik Yilin, lantas bagaimana? Bukankah urusan ini menjadi runyam? Bukankah kau malah merugikan kami berdua?”

“Kaum persilatan seperti kita harus berpikiran terbuka, bicara tegas, dan cepat memutuskan,” sahut si nenek. “Sekali kau mengambil keputusan, mana boleh untuk selanjutnya berubah pikiran seperti itu? Mau jadi biksu ya jadilah biksu, mau jadi kasim ya jadilah kasim. Bagaimana bisa seorang laki-laki sejati bersikap menjijikkan macam demikian?”

“Kalau aku menjadi kasim, tentunya sudah tidak dapat disebut laki-laki sejati lagi,” ujar Linghu Chong sambil tertawa.

“Persetan!” bentak si nenek. “Kita ini sedang bicara urusan penting, bukan sedang bergurau, kau tahu?”

Linghu Chong menyeringai sambil merenung, “Adik Yilin cantik dan lembut. Perasaannya kepadaku juga sangat mendalam. Bila ia menjadi istriku tentu ini suatu kebahagiaan tersendiri. Tapi hatiku sudah menjadi milik Yingying seorang, mana boleh aku mengingkari dia? Nenek gila ini memaksaku secara kasar. Seorang kesatria meski harus mati juga tidak boleh menyerah.”

Karena berpikir demikian maka ia pun menjawab, “Nenek tua, coba kau jawab dulu pertanyaanku. Seorang laki-laki yang tidak berperasaan, tidak beriman, suka main perempuan, menurutmu orang seperti ini baik atau tidak?”

“Kenapa harus bertanya lagi? Orang seperti itu sudah tentu lebih kotor daripada babi, lebih rendah daripada anjing. Percuma saja dia menjadi manusia,” jawab si nenek.

“Nah, itu dia,” sahut Linghu Chong. “Adik Yilin seorang gadis cantik, sangat baik pula terhadapku. Bagaimana mungkin aku tidak senang mendapatkan dia? Masalahnya, sudah lama aku menjalin kasih dengan seorang nona lain. Nona ini telah menanam budi mahabesar atas diriku. Seandainya diriku kau cincang hingga hancur luluh juga tidak mungkin aku mengingkarinya. Sebab kalau aku sampai mengingkarinya, bukankah aku akan berubah menjadi manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia yang paling doyan perempuan? Bukankah gelar nomor satu yang diperoleh Biksu Bujie itu akan kurebut?”

“Nona yang kau maksudkan itu tentu Nona Ren dari Sekte Iblis, benar tidak? Dia pasti gadis yang pernah menolongmu saat kau dikepung pasukan Sekte Iblis di jembatan gantung waktu itu, bukan?” tanya si nenek.

“Benar, memang dia orangnya. Kau sendiri juga melihatnya,” kata Linghu Chong.

“Mudah sekali kalau begitu,” ujar si nenek. “Akan kusuruh Nona Ren itu mencampakkan dirimu. Anggap saja dia yang mengingkarimu dan bukan kau yang mengingkari dia.”

“Dia takkan mungkin mengingkari diriku. Dia sudi menyelamatkan aku tanpa menghiraukan keselamatan dirinya sendiri. Sudah tentu aku pun rela berkorban untuknya. Aku takkan pernah mengingkari dia dan dia pun sudah pasti takkan mengkhianati aku,” kata Linghu Chong.

“Kalau urusan sudah mendesak, kurasa ia pun takkan bisa berbuat apa-apa,” ujar si nenek. “Di Lembah Tongyuan sana banyak terdapat laki-laki busuk. Dia bisa mencari salah seorang untuk menjadi suaminya.”

“Enak saja!” damprat Linghu Chong gusar.

“Apa kau kira aku tidak bisa melakukan hal ini?” tanya si nenek. Perempuan tua itu lantas melangkah keluar. Terdengar pintu kamar sebelah terbuka, lalu ia kembali dengan membawa seorang perempuan muda dengan kaki dan tangan terikat ke belakang. Gadis yang dibawanya itu tidak lain adalah Ren Yingying.

Seketika Linghu Chong sangat terkejut. Sama sekali tak disangka olehnya bahwa Ren Yingying pun telah jatuh pula ke dalam cengkeraman si nenek. Namun, ia merasa lega ketika melihat keadaan gadis itu baik-baik saja tanpa terluka sedikit pun.

“Kau pun berada di sini, Yingying?” serunya.

“Ya. Aku sudah mendengar seluruh percakapan kalian,” sahut Ren Yingying dengan tersenyum. “Kau menyatakan takkan mengingkari diriku, sungguh aku merasa sangat senang.”

“Di hadapanku tidak boleh bicara hal-hal yang memalukan seperti ini,” bentak si nenek. “Nona cilik, katakan saja terus terang. Kau ingin dia menjadi biksu atau kasim”

Wajah Ren Yingying langsung bersemu merah dan ia menjawab, “Huh, bicaramu benar-benar tidak tahu malu.”

“Aku sudah memikirkan hal ini dengan cermat. Aku pun percaya bocah Linghu Chong ini sukar meninggalkanmu untuk menikahi Yilin,” kata si nenek.

“Bagus sekali! Sejak kau mulai bicara kembali, hanya ucapan inilah yang paling baik,” sorak Linghu Chong.

“Baiklah, aku akan mengatakan hal yang lebih baik lagi,” kata si nenek. “Aku mau mengalah sedikit, dan mengenakkan bocah Linghu Chong ini. Biarlah dia menikahi kalian berdua sekaligus. Dia bisa menjadi biksu dan memiliki dua istri. Kalau dia menjadi kasim jelas tidak mungkin menikahi siapa-siapa. Hanya saja, sesudah kalian menikah, kau tidak boleh menyakiti anak perempuanku. Kalian sama-sama sederajat. Tidak ada yang namanya istri tua atau istri muda. Namun, karena usiamu lebih tua, makaYilin boleh memanggil ‘kakak’ kepadamu.”

“Tapi aku ….” baru saja Linghu Chong hendak bicara, tahu-tahu si nenek sudah menotok titik bisunya.

Menyusul kemudian si nenek lantas menotok pula titik bisu Ren Yingying, lalu berkata, “Sekali aku sudah mengambil keputusan, maka kalian tidak punya hak bicara lagi. Hm, apa kau tidak senang, dalam sekaligus mendapatkan dua istri yang cantik jelita? Si bangsat gundul Bujie itu sungguh tidak becus. Anak perempuannya sakit rindu, tapi dia cuma gelisah dan kelabakan tanpa daya. Sebaliknya, aku hanya turun tangan sedikit saja segala urusan langsung beres.”

Usai berkata demikian perempuan tua itu lalu melangkah pergi.

Linghu Chong dan Ren Yingying hanya saling pandang sambil menyeringai. Untuk bicara mereka tidak dapat, untuk memberi isyarat juga tidak bisa bergerak.

Sementara itu matahari baru saja terbit di ufuk timur. Sinarnya yang hangat memancar masuk melalui jendela. Linghu Chong menatap wajah Ren Yingying yang cantik memesona. Dilihatnya sinar mata si nona sedang menatap pisau cukur yang terlempar di lantai serta botol obat dan kain pembalut yang terletak di atas bangku. Raut mukanya berseri-seri, jelas ia sedang menertawai Linghu Chong yang nyaris dikebiri. Namun sorot mata gadis itu segera beralih dan kepalanya menunduk dengan wajah bersemu merah. Sepertinya ia merasa malu karena urusan demikian tidak pantas untuk diucapkan, bahkan untuk dipikirkan.

Melihat wajah si nona yang rikuh dan malu itu, tanpa terasa jantung Linghu Chong berdebar kencang. Terpikir olehnya, “Andai saja saat ini tubuhku dapat bergerak bebas, sungguh aku ingin memeluk dan menciumnya. Sekalipun dia merasa malu juga tetap tidak bisa mengelak.”

Dilihatnya sinar mata Ren Yingying perlahan menggeser ke arahnya. Ketika sinar mata keduanya bertemu, lekas-lekas Ren Yingying berpaling. Warna merah di pipinya tadi sebenarnya sudah memudar tapi kini mendadak timbul kembali.

Dalam benak Linghu Chong terlintas pikiran, “Cintaku terhadap Yingying suci dan teguh. Selamanya takkan pernah berubah. Tapi kalau nenek gila itu memaksaku menikahi Adik Yilin, maka aku harus pura-pura menurutinya. Apabila totokanku sudah terbuka dan aku sudah memegang senjata, maka aku takkan gentar lagi padanya. Bagaimanapun hebatnya nenek jahat ini kalau dibandingkan Zuo Lengchan atau Ketua Ren jelas masih kalah jauh. Apalagi dalam ilmu pedang sudah tentu dia bukan tandinganku. Kehebatannya hanya terletak dalam hal kegesitan dan menyergap secara tiba-tiba. Kalau ia benar-benar bertarung secara terang-terangan, aku yakin Yingying dapat mengalahkannya. Dalam hal kekuatan tenaga juga masih kalah melawan Biksu Bujie.”

Usai berpikir demikian, sekilas dilihatnya Ren Yingying sedang memandangnya lagi. Hanya saja saat ini si nona tidak lagi malu-malu. Sepertinya ia sudah tidak memikirkan soal kasim segala. Sorot mata gadis itu beralih ke atas dengan bibir tersenyum simpul. Rupanya ia sedang menertawai kepala Linghu Chong yang gundul licin.

Linghu Chong sendiri ingin tertawa, namun mulutnya entah mengapa tidak dapat mengeluarkan suara. Dilihatnya Ren Yingying bertambah geli. Tiba-tiba bola mata gadis itu tampak mengerling aneh, seolah memperlihatkan raut muka yang nakal. Ia menampilkan wajah mengejek lalu mengedipkan mata kirinya sekali, kemudian sekali lagi.

Linghu Chong tidak paham apa maksud gadis itu. Dilihatnya si nona kembali berkedip dua kali. Akhirnya, Linghu Chong pun berpikir, “Dia berkedip dua kali, apa maksudnya? Ah, aku tahu. Tentu dia sedang mengejek aku yang dipaksa menikahi dua istri.”

Segera ia pun membalas main mata dengan mengedipkan mata kiri satu kali sambil memperlihatkan sikap yang tegas, seolah hendak mengatakan. “Aku hanya menikah denganmu seorang saja. Aku tidak akan pernah mengambil istri kedua.”

Namun, Ren Yingying tampak menggeleng perlahan sambil mata kiri mengedip satu kali. Linghu Chong balas menggeleng. Ia bermaksud menggelengkan kepala lebih keras untuk menunjukkan tekadnya yang kuat, namun sekujur tubuhnya tertotok terlalu banyak, sukar mengeluarkan tenaga. Terpaksa ia hanya memperlihatkan sikap dan raut muka sungguh-sungguh dan setulus hati.

Ren Yingying terlihat mengangguk perlahan. Sorot matanya kini beralih ke tempat pisau cukur yang tergeletak di lantai. Perlahan ia menggeleng kembali, seolah hendak mengatakan, “Aku tahu tekadmu. Tapi tolong diingat, jangan-jangan kau akan dikebiri oleh pisau cukur itu.”

Linghu Chong tidak menanggapi. Ia hanya menatap tajam kepada si nona. Sinar mata Ren Yingying kemudian juga bergeser dan keduanya saling pandang kembali.

Jarak kedua muda-mudi itu sekitar dua-tiga meter. Namun dengan saling pandang entah bagaimana dua pasang mata mereka dapat saling berbicara. Keduanya bagaikan satu hati dan saling memahami perasaan masing-masing. Tidak ada lagi rasa bimbang dalam hati mereka. Menikahi Yilin atau tidak, bukan lagi masalah penting. Menjadi biksu atau kasim bukan lagi masalah penting. Bahkan, hidup atau mati juga bukan lagi masalah penting. Bagi mereka asalkan kedua hati telah bersatu, masing-masing sudah merasa puas. Sekalipun hari itu langit runtuh dan bumi hancur juga takkan merusak perasaan bahagia mereka.

Kedua muda-mudi itu saling pandang dengan mesra. Entah sudah berapa lama waktu berlalu tiba-tiba terdengar suara tangga loteng berbunyi. Begitu mendengar ada orang yang datang seketika suasana mesra di antara kedua orang itu mulai buyar dan mereka pun terbangun dari alam bahagia yang tak bertepi itu.

Terdengar suara seorang perempuan muda berkata, “Nenek bisu, untuk apa kau bawa aku kemari?” Suara ini jelas suara Yilin.

Linghu Chong dan Ren Yingying lantas mendengar dua orang memasuki ruang sebelah dan duduk di sana. Terdengar suara si nenek berkata perlahan, “Jangan lagi kau memanggil aku nenek bisu. Aku sama sekali tidak bisu.”

“Hahh, jadi … jadi … kau tidak … tidak bisu? Apa kau sudah sembuh?” seru Yilin dengan perasaan sangat terkejut.

“Selamanya aku bukan seorang bisu,” sahut si nenek.

“Jika begitu kau pun … kau pun tidak tuli. Jadi kau … kau dapat mendengar … mendengar semua ceritaku?” sahut Yilin menegas. Nada suaranya memperlihatkan rasa kaget dan heran tak terhingga.

“Kenapa kau takut, Nak?” kata si nenek. “Jika aku dapat mendengar ucapanmu bukankah itu lebih baik?”

Untuk pertama kalinya Linghu Chong mendengar nada ucapan perempuan tua itu sangat lembut, penuh dengan kasih sayang. Ini menunjukkan hatinya tidak sekeras batu. Di depan putri kandung sendiri akhirnya mengalir juga perasaan hangat seorang ibu.

Namun Yilin masih sangat terperanjat. Dengan suara gemetar ia menjawab, “Ti… tidak, aku… aku pergi saja!”

“Nanti dulu, duduklah sebentar saja,” kata si nenek mencegah. “Aku ingin membicarakan suatu hal penting denganmu.”

“Tidak, aku … aku tidak mau dengar,” jawab Yilin. “Kau … kau telah menipuku. Selama ini kusangka kau tidak dapat mendengar, maka itu …. maka itu, aku bercerita macam-macam padamu. Ternyata … ternyata kau menipu aku.” Suaranya terdengar serak dan terputus-putus. Sepertinya ia hampir menangis.

Perlahan si nenek menepuk bahu Yilin dan berkata lembut, “Anak baik, anak manis, jangan khawatir. Aku tidak berniat menipumu. Aku hanya khawatir kau jatuh sakit karena menahan perasaanmu, maka itu aku pun membiarkanmu bercerita agar hatimu lebih lapang. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di Gunung Henshan ini, aku sudah menyamar sebagai seorang bisu tuli. Ini karena suatu alasan pribadi, jadi bukan untuk menipumu saja.”

Yilin menangis tersedu-sedu. Dengan lembut si nenek kembali berkata, “Aku hendak membicarakan suatu urusan penting denganmu. Setelah mendengarnya tentu kau akan senang.”

“Apakah soal ayahku?” tanya Yilin.

“Tentang ayahmu? Huh, persetan dia mampus atau hidup,” sahut si nenek. “Yang akan kubicarakan adalah mengenai Kakak Linghu-mu.”

“Tidak. Jang… jangan kau sebut-sebut dia lagi. Aku … aku tidak mau bicara tentang dia lagi untuk selamanya,” jawab Yilin dengan suara terputus-putus. “Sudahlah, aku mau pulang untuk sembahyang.”

“Jangan, tunggu dulu! Dengarkan dulu uraianku!” kata si nenek. “Kakak Linghu-mu bilang padaku bahwa sesungguhnya dalam hati dia sangat menyukaimu. Dia sepuluh kali lipat lebih menyukaimu daripada Nona Ren dari Sekte Iblis itu.”

Linghu Chong memandang sekejap kepada Ren Yingying, kemudian memaki dalam hati, “Perempuan tua bangka. Pembohong besar nomor satu di dunia!”

Sementara itu terdengar Yilin menghela napas lalu berkata, “Kau tidak perlu berdusta padaku. Ketika pertama kali aku mengenalnya, Kakak Linghu hanya menyukai adik seperguruannya seorang. Kemudian sesudah adik seperguruannya itu meninggalkannya dan menikah dengan orang lain, ia lantas menyukai Nona Ren seorang. Dalam lubuk hatinya kini hanya Nona Ren saja yang ia cintai.”

Kembali pandangan Linghu Chong beradu dengan Ren Yingying. Hati keduanya sama-sama merasa berbunga-bunga dan sangat bahagia.

Terdengar si nenek berkata, “Sebenarnya diam-diam dia sangat menyukaimu. Hanya saja, kau ini seorang biarawati, sedangkan dia juga ketua Perguruan Henshan. Rasanya tidak pantas kalau ia mengutarakan isi hati dengan bebas. Tapi kini dia sudah mengambil keputusan, sudah menetapkan niat, sudah bertekad bulat akan menikahimu. Sebab itulah ia lantas mencukur rambutnya dan menjadi biksu.”

“Hahhh!” kembali Yilin menjerit kaget. “Tidak bisa … tidak bisa demikian! Tidak boleh … tidak boleh demikian! Tolong kau suruh … suruh dia jangan menjadi biksu.”

“Sudah terlambat,” sahut si nenek dengan nada menyesal. “Kini dia sudah menjadi biksu. Katanya, bagaimanapun juga dia harus menikahimu. Kalau sampai gagal, maka dia akan bunuh diri atau menjadi kasim saja.”

“Menjadi kasim?” Yilin menegas. “Kasim itu apa? Kata Guru istilah kasim tidak baik untuk diucapkan, apalagi oleh kaum biarawati seperti kami.”

Si nenek menjawab, “Kasim bukan istilah kotor. Kasim adalah pelayan kaisar, pelayan keluarga kaisar, semacam kaum hamba sahaya di dalam istana.”

“Tapi Kakak Linghu sangat menjunjung tinggi harga diri, seorang yang suka hidup bebas merdeka. Mana mungkin ia sudi menjadi pelayan kaisar?” ujar Yilin. “Bahkan menjadi kaisar sekalipun dia tidak mungkin mau, apalagi menjadi pelayan kaisar? Aku yakin tidak mungkin dia menjadi kasim.”

Si nenek menjawab, “Bukan maksudku seperti itu. Istilah kasim aku gunakan hanya sebagai perumpamaan saja. Maksudku, orang yang sudah menjadi kasim selama hidupnya tidak bisa mempunyai anak lagi.”

“Ah, aku tidak percaya,” kata Yilin. “Kakak Linghu dan Nona Ren akan segera menikah. Mereka pasti akan memiliki beberapa bayi yang mungil. Mereka berdua pasangan serasi. Yang satu tampan dan yang satu cantik. Pasti anak-anak mereka juga lucu dan menyenangkan.”

Linghu Chong melirik Ren Yingying. Dilihatnya kedua belah pipi si nona bersemu merah. Rasa malu dan bahagia bercampur di dalam hati gadis itu.

Sepertinya si nenek menjadi gusar. Terdengar suaranya berubah keras, “Sekali aku berkata tidak bisa punya anak, maka dia takkan punya anak. Jangankan anak, punya istri juga tidak bisa. Dia sudah terikat sumpah, mau tidak mau harus menikah denganmu.”

“Tapi yang aku tahu dia hanya mencintai Nona Ren seorang,” ujar Yilin.

“Dia bisa menikahi Nona Ren dan juga menikahimu, paham?” kata si nenek. “Jadi, dia akan punya dua istri. Jangankan hanya dua, bahkan sudah biasa laki-laki di dunia ini memiliki beberapa istri dan banyak gundik.”

“Ah, tidak bisa, tidak bisa,” kata Yilin. “Dalam hati seseorang kalau sudah mencintai siapa, maka yang dia pikirkan hanyalah orang itu saja. Siang terpikir malam terkenang. Saat makan ia teringat, kala tidur juga terbawa mimpi. Mana mungkin ada tempat di hatinya untuk orang lain? Sama seperti Ayah. Sejak Ibu meninggalkannya, maka ia pun berkelana menjelajahi segenap pelosok dunia untuk mencari. Di dunia ini masih banyak wanita lain. Meskipun seorang laki-laki boleh mempunyai banyak istri, tapi Ayah tidak mau menikah lagi dengan perempuan lain.”

Seketika nenek itu terdiam. Cukup lama ia tidak bersuara karena kata-kata Yilin itu tepat mengena di hatinya. Akhirnya, setelah menghela napas ia kembali berkata, “Semula ayahmu berbuat salah. Mungkin kemudian dia … dia merasa menyesal.”

“Sudahlah, aku pulang saja,” kata Yilin. “Nenek, bila kau bicara pada orang lain bahwa Kakak Linghu ingin menikahiku, maka aku tidak … tidak mau hidup lagi.”

“Kenapa? Dia memang ingin menikahimu, apakah kau tidak senang?” tanya si nenek.

“Tidak, tidak!” jawab Yilin. “Hatiku memang senantiasa memikirkannya. Aku selalu berdoa agar ia diberkati hidup bahagia dan sehat selalu. Semoga ia terbebas dari segala kesulitan dan terlepas dari bencana. Semoga terkabul cita-citanya menjadi suami-istri dengan Nona Ren. Mungkin kau tidak paham isi hatiku. Nenek, aku hanya berharap asalkan Kakak Linghu merasa senang, merasa bahagia, maka aku pun akan ikut merasa senang dan bahagia.”

“Jika dia tidak berhasil menikahimu, maka dia takkan merasa senang dan takkan bahagia. Menjadi manusia mungkin juga tidak ada artinya lagi,” ujar si nenek bersikeras.

“Ah, semua ini memang salahku. Kukira kau tidak dapat mendengar, maka aku banyak bercerita soal Kakak Linghu kepadamu,” kata Yilin. “Dia seorang pahlawan besar pada zaman ini, sementara aku hanya seorang biksuni cilik yang tak berarti. Dia pernah berkata padaku bahwa setiap kali bertemu biksuni, selalu saja ia kalah judi. Melihat aku saja sudah membuatnya sial, mana bisa dia menikahi aku? Aku sudah menyerahkan jiwa ragaku ke dalam Agama Buddha. Aku harus menghilangkan segala keinginan duniawi. Aku tidak dapat memikirkan hal-hal seperti itu lagi. Nenek, untuk selanjutnya kau jangan lagi menyinggung-nyinggung masalah ini. Untuk selanjutnya aku pun tidak akan … tidak akan menemuimu lagi.”

Sepertinya si nenek menjadi kelabakan. Ia berkata, “Kau bocah cilik berkelakuan aneh dan membingungkan. Linghu Chong sudah menjadi biksu demi dirimu. Dia sudah bersumpah harus menikahimu. Bila Sang Buddha murka biarlah dia yang mendapat murka.”

Yilin menghela napas dan berkata, “Apakah mungkin dia punya jalan pikiran seperti ayahku? Tidak mungkin. Ibuku cantik dan cerdas. Perangainya halus dan ramah. Boleh dikata ia adalah wanita paling baik di dunia ini. Ayahku menjadi biksu demi ibuku adalah hal yang pantas. Tapi aku … aku sedikit pun tidak bisa menyamai ibuku. Mana mungkin Kakak Linghu ....”

Dalam hati Linghu Chong tertawa geli. Ia berpikir, “Ibumu cantik dan cerdas, rasanya kurang tepat. Perangainya halus, sangat-sangat tidak benar. Justru sebaliknya, sedikit pun ibumu tidak bisa menyamaimu.”

Terdengar si nenek kembali bertanya. “Dari mana kau tahu?”

“Tentu saja aku tahu,” sahut Yilin. “Setiap kali Ayah bertemu denganku, selalu saja ia bercerita tentang kebaikan Ibu, tentang budi pekerti Ibu yang halus pula. Selamanya Ibu tidak pernah marah dan memaki orang. Selama hidup Ibu tidak pernah menyakiti orang, bahkan seekor semut pun tidak pernah terinjak olehnya. Kata Ayah, meskipun seluruh wanita terbaik di dunia ini bergabung menjadi satu juga tidak bisa menyamai ibuku seorang.”

“Be… betulkah dia berkata demikian? Ah … mungkin … mungkin dia hanya berpura-pura,” kata si nenek dengan suara gemetar, jelas perasaannya agak terguncang.

“Sudah tentu benar,” sahut Yilin. “Aku adalah anak perempuannya, mana mungkin Ayah berdusta padaku?”

Seketika suasana di Loteng Kura-Kura Dewa itu menjadi sunyi senyap. Rupanya si nenek tenggelam dalam perasaannya.

“Nenek, aku mau pulang,” kata Yilin kemudian. “Selanjutnya aku takkan menemui Kakak Linghu lagi. Aku hanya berdoa setiap hari semoga Dewi Guanyin selalu melimpahkan berkah kepadanya.” Kemudian terdengar suara langkah kakinya perlahan turun ke bawah.

Selang agak lama barulah si nenek seperti tersadar dari lamunan. Terdengar ia bergumam perlahan, “Apa benar dia mengatakan bahwa aku adalah wanita paling baik di dunia? Dia telah menjelajahi segenap penjuru dunia demi untuk mencariku? Jika begitu, dia bukan lagi manusia yang tak berperasaan, bukan manusia yang paling doyan perempuan.”

Tiba-tiba perempuan tua itu berseru keras, “Yilin! Yilin! Di mana kau?”

Namun, Yilin sudah pergi jauh. Nenek itu berteriak lagi beberapa kali dan tidak juga mendapat suatu jawaban. Segera ia pun berlari-lari ke bawah loteng. Ia berlari dengan tergesa-gesa dan cepat, tapi suara langkahnya tetap terdengar sangat lirih, bahkan nyaris tak terdengar. Ini pertanda ilmu meringankan tubuhnya memang sangat luar biasa.

Linghu Chong saling pandang dengan Ren Yingying. Seketika bermacam-macam pikiran berkecamuk dalam benak mereka. Sinar mentari yang memancar masuk melalui jendela membuat pisau cukur yang sangat tajam itu tampak berkilauan. Diam-diam Linghu Chong merasa bersyukur, “Tak pernah kusangka bencana yang hampir saja mengancam keselamatanku ini ternyata berakhir begitu saja.”

Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berbicara di bawah Kuil Gantung. Namun, karena jaraknya agak jauh maka percakapan itu tidak dapat terdengar jelas. Selang sejenak, barulah percakapan mereka samar-samar bisa didengar. Rupanya ada satu rombongan sedang berjalan mendekati kuil tersebut.

“Ada yang datang!” sahut Linghu Chong.

Begitu mendengar suaranya sendiri seketika Linghu Chong sadar bahwa totokan pada titik bisunya telah terbuka. Di antara berbagai titik nadi pada tubuh manusia, titik bisu memang yang paling dangkal dan cepat terbuka jika mengalami totokan. Apalagi tenaga dalam Linghu Chong jauh lebih kuat daripada Ren Yingying, sehingga dapat melepaskan diri lebih dulu dari totokan tersebut.

Ren Yingying mengangguk perlahan. Segera Linghu Chong bermaksud menggerakkan tangan dan kaki, namun ternyata masih belum terbebas. Terpaksa ia berkata dengan suara tertahan, “Mungkin mereka musuh. Kita harus segera melepaskan semua totokan pada tubuh kita.”

Kembali Ren Yingying mengangguk sambil memasang telinga untuk mendengarkan. Dari suara di bawah itu sepertinya ada tujuh atau delapan orang yang sedang menuju Kuil Gantung.

Linghu Chong berpikir, “Semoga mereka naik ke Loteng Ular Sakti di sebelah sana.”

Akan tetapi, harapan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Beberapa orang itu justru menaiki tangga yang menuju ke atas Loteng Kura-Kura Dewa.

Terdengar seseorang di antara mereka berkata dengan suara kasar, “Bahkan hantu pun tidak ada di Kuil Gantung ini. Lantas, apa pula yang hendak kita cari di sini?”

Linghu Chong mengenali suara tersebut adalah suara Qiu Songnian. Jelas yang datang ke tempat itu adalah kelompok Nyonya Zhang bertujuh.

Menyusul Biksu Xibao berkata, “Kita mendapat perintah seperti ini, lebih baik dijalani saja.”

Linghu Chong mengerahkan tenaga dalam sebanyak-banyaknya untuk menerjang totokan pada tubuhnya yang belum terbuka. Akan tetapi, tenaga dalamnya itu diperoleh dari menghisap orang lain, sehingga meskipun sangat kuat, namun tidak dapat digunakan secara leluasa. Semakin terburu-buru ternyata semakin macet pula.

Sementara itu, terdengar Yan Sanxing berkata, “Tuan Yue berkata bahwa, jika kita berhasil melaksanakan tugas ini, maka Beliau akan mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis kepada kita. Ucapannya ini memang sukar dipercaya. Coba kalian pikir, orang yang berjuang ke Gunung Henshan ini tidak terhitung banyaknya. Kita belum berjasa apa-apa, tapi mengapa Tuan Yue berjanji akan menurunkan jurus pedang itu kepada kita?”

Suara percakapan mereka terdengar semakin jelas. Rupanya mereka telah melalui anak tangga yang menuju Loteng Kura-Kura Dewa. Maka, begitu membuka pintu seketika mereka pun melihat Linghu Chong dan Ren Yingying dalam keadaan kaki dan tangan terikat kencang. Yang satu di atas meja, yang satu duduk di lantai. Menyaksikan itu semua masing-masing menjerit kaget bercampur heran.

“Hah, mengapa Nona Ren berada di sini? Hei, ada seorang biksu pula,” kata You Xun. Rupanya yang datang tidak hanya kelompok Nyonya Zhang bertujuh, karena Si Licin Susah Dipegang juga ikut serta.

“Siapa yang berani kurang ajar terhadap Nona Ren?” seru Nyonya Zhang. Segera ia pun mendekati Ren Yingying dan bermaksud melepaskan tali ikatannya.

“Jangan, jangan dulu, Nyonya Zhang!” seru You Xun.

“Tunggu apa lagi?” tanya Nyonya Zhang.

“Biar kupikirkan dulu masak-masak,” sahut You Xun. “Melihat gelagatnya, tampaknya Nona Ren diringkus orang sehingga tidak bisa berkutik. Ini benar-benar kejadian aneh dan ajaib.”

“Hei, orang ini bukan biksu. Tapi dia adalah … adalah … Ketua Linghu, Tuan Muda Linghu Chong!” tiba-tiba Pendeta Yuling berseru kaget.

Serentak orang-orang itu berpaling ke arah Linghu Chong. Selang sejenak barulah mereka dapat mengenali pemuda itu. Kedelapan orang ini biasanya sangat hormat kepada Ren Yingying, juga sangat takut kepada Linghu Chong. Maka, untuk sekian lamanya mereka hanya saling pandang saja. Tidak seorang pun yang berani mengutarakan pendapat.

Tiba-tiba Yan Sanxing dan Qiu Songnian serentak berkata, “Bagus sekali. Kita benar-benar berjasa besar!”

“Benar!” sahut Pendeta Yuling. “Mereka hanya dapat menangkap beberapa orang biksuni cilik. Apa hebatnya? Sementara kita berhasil membekuk ketua Perguruan Henshan. Ini baru yang namanya jasa besar. Tuan Yue pasti akan mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis kepada kita.”

“Jadi, kita harus bagaimana?” sahut Nyonya Zhang sambil menarik kembali tangannya yang hampir saja membuka ikatan pada tubuh Ren Yingying.

Kedelapan orang itu sama-sama berpikir, “Jika Nona Ren dibebaskan, mana mungkin kita bisa menangkap Linghu Chong? Bisa-bisa kita semua akan kehilangan nyawa di sini.” Rupanya masing-masing merasa sangat segan terhadap kedudukan dan kekuasaan Ren Yingying dalam Sekte Matahari dan Bulan.

You Xun tertawa kecil dan berkata, “Pepatah mengatakan, bernyali kecil bukan kesatria, tidak kejam bukan laki-laki. Disebut tidak kesatria bukan masalah. Tapi kalau tidak menjadi laki-laki rasanya sungguh sayang, sungguh sayang!”

“Jadi menurutmu, kita harus membunuh Nona Ren untuk menghilangkan saksi?” tanya Pendeta Yuling.

“Bukan aku yang mengatakan, tapi kau sendiri yang menyimpulkan demikian,” jawab You Xun.

Nyonya Zhang langsung saja membentak, “Gadis Suci berjasa besar kepada kita. Kita semua berhutang budi kepada Beliau. Siapa yang berani kurang ajar terhadap Beliau, maka akulah orang pertama yang akan menghalangi.”

“Sampai sekarang kita belum juga melepaskan dia, apakah kau pikir dia akan bermurah hati mengampuni kita?” kata Qiu Songnian. “Lagipula, mana mungkin dia membiarkan kita menangkap Linghu Chong?”

Nyonya Zhang menyahut, “Bagaimanapun juga kita pernah bergabung ke dalam Perguruan Henshan. Kalau sekarang kita harus memberontak terhadap ketua sendiri, ini namanya pengkhianatan!” Usai berkata demikian tangannya kembali menjulur hendak membuka ikatan Ren Yingying.

“Tunggu dulu!” bentak Qiu Songnian dengan suara bengis.

“Kau berani membentak, memangnya aku takut padamu?” jawab Nyonya Zhang gusar.

Tanpa banyak bicara Qiu Songnian mengeluarkan goloknya. Namun, gerakan Nyonya Zhang sendiri sangat cepat. Tahu-tahu tangannya sudah melolos keluar sebilah belati dari balik bajunya dan dengan dua kali gerakan ia sudah memutuskan tali yang mengikat kaki dan tangan Ren Yingying. Ia sadar ilmu silat Ren Yingying sangat tinggi. Dengan membebaskan gadis itu, maka ketujuh orang lainnya tidak perlu ditakuti lagi

Qiu Songnian tidak tinggal diam. Segera ia mengayunkan goloknya ke arah Nyonya Zhang. Namun, Nyonya Zhang juga tidak kalah cepatnya. Dengan tiga kali tusukan ia dapat mendesak biksu berambut itu mundur.

Sementara itu You Xun dan yang lain merasa gentar melihat Ren Yingying sudah terbebas dari ikatan. Masing-masing melangkah mundur ke tepi ruangan untuk berjaga-jaga. Bahkan, mereka bermaksud melarikan diri pula. Namun, begitu melihat Ren Yingying tetap tergeletak di lantai tanpa bergerak, barulah mereka sadar bahwa titik nadi Sang Gadis Suci telah tertotok. Serentak mereka pun melangkah maju kembali.

“Hehe, sebenarnya kita semua adalah sahabat baik,” kata You Xun dengan cengar-cengir. “Untuk apa harus main senjata segala? Bukankah ini berbahaya?”

Qiu Songnian menjawab, “Kalau totokan Nona Ren sudah terbuka, apakah jiwa kita masih bisa dipertahankan?” Usai berkata ia kembali menerjang Nyonya Zhang.

Meskipun tubuh Qiu Songnian tinggi besar, ditambah senjatanya juga berat, tapi menghadapi seorang perempuan tua bersenjata belati macam Nyonya Zhang sedikit pun ia tidak bisa unggul. Bahkan biksu berambut ini berkali-kali terdesak mundur.

“Hei-hei, jangan berkelahi lagi, jangan berkelahi lagi! Apa pun masalahnya, mari kita bicarakan baik-baik,” kata You Xun sambil tertawa kecil. Laki-laki yang berdandan mirip saudagar itu melangkah mendekati keduanya sambil berkipas-kipas.

“Minggir sana! Jangan mengganggu!” bentak Qiu Songnian.

“Baik, baik!” sahut You Xun dengan tetap tertawa. Ia lantas berbalik, namun tiba-tiba tangannya bekerja cepat. Terdengar Nyonya Zhang menjerit ngeri, karena tahu-tahu gagang kipas You Xun yang terbuat dari baja sudah menancap di tenggorokan perempuan berambut putih itu.

“Aih, aih, sudah kukatakan kita semua bersahabat, untuk apa main senjata segala? Tapi kau tidak mau menurut. Bukankah ini namanya mementingkan diri sendiri?” kata You Xun sambil menarik kipasnya. Seketika darah segar pun menyembur keluar dari leher Nyonya Zhang.

Apa yang baru saja terjadi benar-benar di luar dugaan semua orang. Qiu Songnian melompat mundur sambil memaki, “Sialan, ternyata anak bulus ini membantuku.”

“Kalau bukan membantu dirimu, apakah aku harus membantu dia?” sahut You Xun dengan tertawa. Ia berpaling kepada Ren Yingying dan berkata, “Nona Ren, kau adalah putri kesayangan Ketua Ren. Kami semua hormat kepadamu karena memandang ayahmu. Namun, rasa segan dan takut kami kepadamu juga karena kau memegang obat penawar Pil Pembusuk Otak yang pernah kami telan. Kalau obat penawar itu dapat kami miliki, maka Gadis Suci macam dirimu sudah tidak berarti lagi.”

“Benar, benar, ambil obat penawarnya dan bunuh dia!” seru keenam yang lain beramai-ramai.

Pendeta Yuling berkata, “Tapi kita harus bersumpah lebih dulu. Barangsiapa membocorkan peristiwa ini, biarlah dia mati membusuk oleh ratusan pil maut yang telah dimakannya.”

Ketujuh orang itu merasa tidak mempunyai pilihan lain kecuali membunuh Ren Yingying. Namun, mereka juga sangat takut kepada Ren Woxing. Apabila peristiwa ini sampai diketahui oleh ketua Sekte Iblis tersebut, maka sekalipun dunia ini sangat luas tetap saja tiada tempat bagi mereka untuk bersembunyi. Tanpa ragu-ragu lagi masing-masing pun mengucapkan sumpah sesuai saran Pendeta Yuling.

Linghu Chong paham bahwa begitu mereka selesai bersumpah, tentu Ren Yingying akan segera dibunuh pula. Segera ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk membobol beberapa titik nadinya yang masih tertotok. Namun, meskipun tenaga dalamnya sangat kuat tetap saja sulit untuk dikendalikan dengan baik. Totokan pada tubuhnya belum juga bisa terbuka. Menyadari hal ini hatinya sangat gelisah dan khawatir.

Linghu Chong lantas memandang ke arah Ren Yingying. Dilihatnya si nona juga sedang memandang dirinya dengan mesra. Sedikit pun gadis itu tidak menunjukkan rasa takut dan gentar. Linghu Chong lega melihatnya dan ia pun berpikir, “Sekalipun kami berdua akan mati, namun rasanya sungguh bahagia bisa mati bersama pada waktu yang sama dan di tempat yang sama pula.”

Terdengar Qiu Songnian berseru kepada You Xun, “Lekas kerjakan!”

“Saudara Qiu terkenal cepat dan tegas dalam menghadapi setiap urusan. Maka lebih baik Saudara Qiu saja yang turun tangan,” jawab You Xun.

“Bangsat! Kalau kau tidak turun tangan, maka kau sendiri yang akan kubunuh segera,” bentak Qiu Songnian.

“Kalau Saudara Qiu tidak berani, biar kita minta Saudara Yan saja yang turun tangan,” ujar You Xun dengan tertawa.

“Nenekmu,” sahut Qiu Songnian memaki. “Mengapa aku tidak berani? Masalahnya hari ini aku sedang tidak ingin membunuh orang.”

“Sebenarnya siapa pun yang turun tangan juga sama saja. Bukankah kita sudah bersumpah tidak akan membocorkan peristiwa ini?” kata Pendeta Yuling.

“Jika begitu, bagaimana kalau Saudara Pendeta saja yang turun tangan?” ujar Biksu Xibao.

“Hei, kenapa semuanya harus bingung seperti ini?” sahut Yan Sanxing. “Apabila kita memang tidak bisa saling percaya, maka yang paling baik adalah masing-masing mengayunkan senjata secara bersama-sama pada tubuh Nona Ren, bagaimana?”

Ketujuh orang ini adalah kumpulan manusia kejam dan serakah. Di samping itu mereka juga berhati licik. Masing-masing saling mencurigai sehingga pada saat-saat gawat seperti itu masih juga berusaha melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Meskipun demikian, mereka tetap tidak berani berkata kasar kepada Ren Yingying.

“Tunggu dulu,” seru You Xun kemudian. “Biar kuambil dulu obat penawar racun pil tersebut dari tubuhnya.”

“Kenapa pula harus kau yang mengambilnya?” sahut Qiu Songnian. “Setelah kau ambil obat penawar itu tentu akan kau gunakan untuk memeras kami. Biar aku saja yang mengambil.”

“Kau yang mengambil? Memangnya siapa yang percaya kau tidak akan memeras kami?” sahut You Xun tidak terima.

“Sudahlah, jangan buang-buang waktu lagi!” seru Pendeta Yuling. “Bila terlalu lama, jangan-jangan totokannya terbuka sendiri. Urusan ini bisa runyam kalau sudah begitu. Yang paling penting adalah kita harus segera membinasakan dia, baru kemudian membagi obat penawarnya.”

Segera Yuling mendahului mencabut pedang. Keenam orang lainnya pun beramai-ramai mempersiapkan senjata masing-masing dan mengelilingi tubuh Ren Yingying.

Melihat ajal sudah dekat, Ren Yingying pun memandang Linghu Chong tanpa berkedip. Teringat saat-saat indah dan bahagia selama berdampingan dengan pemuda itu, sekilas bibirnya pun tersenyum manis.

“Sekarang aku akan menghitung sampai tiga, lalu kita turun tangan bersama!” seru Yan Sanxing. “Nah, mulai! Satu … dua … tiga!” Begitu hitungan ketiga diucapkan, serentak tujuh bentuk senjata pun menyambar turun ke arah Ren Yingying bersama-sama.

Sungguh tak disangka, ketujuh senjata itu tanpa diperintah tiba-tiba berhenti begitu saja pada jarak beberapa senti dari tubuh Sang Gadis Suci.

“Dasar pengecut!” gerutu Qiu Songnian. “Kenapa tidak diteruskan? Huh, kalian selalu saja ingin orang lain yang membunuhnya agar tidak ikut menanggung dosa.”

“Hei, kau sendiri kenapa juga berbuat demikian?” jawab Biksu Xibao. “Golokmu juga berhenti di tengah jalan. Kalau kau memang pemberani kenapa senjatamu tidak menyentuh kulit Nona Ren?”

Ketujuh orang ini sama-sama manusia busuk, berjiwa licik. Masing-masing mengharapkan Ren Yingying biarlah mati terkena senjata orang lain, sehingga kalau peristiwa ini sampai terbongkar mereka bisa mengelakkan diri dari tanggung jawab. Selain itu dalam hati mereka ternyata masih ada juga rasa segan menodai senjata masing-masing dengan darah seorang tuan putri yang selama ini mereka hormati.

“Baiklah, mari kita ulangi kembali!” seru Qiu Songnian. “Kali ini kalau ada yang menahan senjata, maka dia adalah bangsat anak haram, anak anjing, babi! Nah, biar aku yang menghitung. Satu … dua …”

Tiba-tiba Linghu Chong berseru, “Jurus Pedang Penakluk Iblis!”

Serentak ketujuh orang itu menoleh begitu mendengar istilah tersebut. Empat di antaranya lantas bertanya bersama-sama, “Kau bilang apa?”

Memang sudah sejak lama ketujuh orang ini mengincar kitab pusaka Jurus Pedang Penakluk Iblis. Bersama Nyonya Zhang mereka pernah mengeroyok Yu Canghai, karena mengira mendiang ketua Perguruan Qingcheng itu menyimpan kitab pusaka tersebut. Apalagi setelah mendengar berita menggemparkan bahwa Yue Buqun berhasil membutakan kedua mata Zuo Lengchan, membuat mereka semakin bernafsu untuk menguasai jurus pedang sakti tersebut. Maka, begitu mendengar ilmu itu disebut-sebut, serentak mereka pun mengesampingkan semua urusan.

Kini ketujuh pasang mata mereka memandang tanpa berkedip ke arah Linghu Chong. Terdengar mulut pemuda itu berkata, “Jurus Pedang Penakluk Iblis, ilmu pedang mahasakti di seluruh dunia. Latih dulu kekuatan tenaga, baru kemudian latih kesaktian pedang. Kalau kekuatan tenaga sudah kokoh, maka kesaktian pedang akan sempurna dengan sendirinya. Bagaimana cara membangkitkan kekuatan tenaga, serta bagaimana cara membangkitkan kesaktian pedang, rahasia keajaibannya dapat dicari dalam kitab ini.”

Setiap kali ia menyebut satu kalimat, serentak ketujuh orang itu maju satu langkah pula ke arahnya. Tahu-tahu mereka sudah meninggalkan Ren Yingying dan kini ganti mengelilingi tubuh Linghu Chong.

“Apakah kalimat tadi … terdapat dalam Kitab Pedang Penakluk Iblis?” tanya Qiu Songnian ketika Linghu Chong menghentikan uraiannya.

“Kalau bukan Kitab Pedang Penakluk Iblis, memangnya kau kira ini Kitab Iblis Penakluk Pedang?” sahut Linghu Chong gusar.

“Coba uraikan lanjutannya,” kata Qiu Songnian.

Linghu Chong mengangguk lalu kembali berkata, “Untuk melatih kekuatan tenaga, maka perasaan harus tulus dan bersungguh-sungguh. Pikiran harus tenang, hati harus bersih ....” Sampai di sini ucapannya lantas berhenti.

“Ayo teruskan, teruskan!” desak Biksu Xibao. Sementara itu Pendeta Yuling tampak komat-kamit mengulangi kalimat yang diucapkan Linghu Chong tadi. Sepertinya ia sedang mencoba menghafalkannya di luar kepala.

Sebenarnya Linghu Chong sama sekali belum pernah membaca isi Kitab Pedang Penakluk Iblis. Apa yang baru saja ia ucapkan tadi adalah kata pengantar dalam mempelajari ilmu pedang Perguruan Huashan aliran tenaga dalam. Tentu saja ia hanya sekadar menukar istilah Jurus Pedang Perguruan Huashan menjadi Jurus Pedang Penakluk Iblis. Namun, ketujuh penjahat di hadapannya tidak pernah mengenal ilmu pedang Perguruan Huashan, selain itu juga sangat berhasrat menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis. Maka, begitu mendengar uraian Linghu Chong tersebut, mereka menjadi semakin tergila-gila dan ingin mengetahui lebih banyak, tanpa memikirkan apakah kalimat yang mereka dengar itu asli atau tidak.

Linghu Chong sendiri sudah lama tidak berlatih ilmu Pedang Huashan, sehingga rumusan yang pernah diajarkan Yue Buqun sudah banyak yang terlupakan dari ingatannya. Di samping itu, kemampuan baca tulisnya juga rendah sehingga uraian kalimatnya pun macet di tengah jalan. Namun, demi menolong jiwa Ren Yingying terpaksa ia mencoba mengarang sebisanya.

“Mengalirlah dengan lembut, penuhi pedangmu dengan kekuatan, bunuh semua yang ada ... Selanjutnya, jika tidak berhasil membunuh, maka ilmu pedang tidak berguna lagi .... Entah apa lanjutannya, aku lupa. Aku belum tuntas menghafalkannya,” ujar Linghu Chong. Mengenai kata bunuh-membunuh ini jelas adalah hasil karangannya sendiri.

Biksu Xibao tidak sabar dan membentak, “Di mana kitab pusaka itu? Biar kami baca sendiri!” Yang lain ikut meendesak pula.

“Kitab pusaka itu … yang pasti tidak berada padaku. Bahkan, uang saja aku tidak punya,” sahut Linghu Chong sambil melirik ke arah perutnya. Tentu saja hal ini menimbulkan rasa curiga ketujuh orang itu. Serentak dua buah tangan pun menjulur maju menggerayangi perutnya itu. Yang satu adalah tangan Biksu Xibao, dan yang satunya lagi adalah tangan Qiu Songnian.

Tiba-tiba terdengar kedua orang itu menjerit ngeri. Kepala Biksu Xibao yang botak licin hancur dengan otak berhamburan, sementara punggung Qiu Songnian tertembus pedang sampai ke dada. Ternyata masing-masing telah dibereskan oleh Yan Sanxing dan Pendeta Yuling.

“Hm, kita sudah bekerja keras demi mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis, akhirnya bertemu juga di sini,” ujar Yan Sanxing tertawa. “Namun, kedua bajingan ini bermaksud mengangkanginya. Memangnya di dunia ini ada urusan semudah itu?” Menyusul ia lantas menendang dua kali. Seketika kedua sosok mayat tersebut terlempar hingga ke pinggir ruangan loteng.

Sebenarnya Linghu Chong berpura-pura mengutarakan isi Kitab Pedang Penakluk Iblis hanyalah untuk menyelamatkan Ren Yingying dari bahaya. Sedapat-dapatnya ia mencari akal untuk mengalihkan perhatian orang-orang itu, serta ia juga bermaksud mengulur waktu sambil menunggu totokan pada tubuhnya dan juga pada tubuh Ren Yingying terbuka sendiri oleh waktu. Tak disangka, akalnya ini ternyata sangat manjur. Bukan saja ketujuh orang itu dapat dipancing meninggalkan Ren Yingying, bahkan mereka justru saling bunuh pula. Kini tujuh orang itu tinggal berlima saja. Diam-diam Linghu Chong merasa sangat senang.

“Sabar dulu,” tiba-tiba You Xun menyela. “Apakah kitab pusaka itu benar-benar ada di tubuh Linghu Chong atau tidak juga belum pasti. Tapi kita sendiri malah saling membunuh. Bukankah ini sangat merugikan ….”

Belum usai ia berbicara, Yan Sanxing sudah melotot dan menegur, “Huh, kau sebut kami tidak sabar, sebenarnya kau tidak senang, bukan? Barangkali kau juga ingin mengangkangi sendiri kitab pusaka itu?”

“Mengangkangi sendiri jelas tidak berani. Memangnya siapa pula yang ingin meniru biksu gundul itu? Memangnya enak punya kepala hancur?” sahut You Xun. “Masalahnya kita datang ke sini demi satu tujuan bersama. Kitab pusaka yang terkenal di seluruh dunia persilatan ini sudah pasti setiap orang ingin melihatnya. Maka, apa salahnya kalau kita miliki bersama?”

“Benar,” ujar Sepasang Orang Aneh Tongbai bersamaan. “Siapa pun tidak boleh mengangkangi kitab pusaka itu. Kita harus membacanya bersama.”

Yan Sanxing lantas berkata kepada kepada You Xun, “Baiklah, silakan kau saja yang mengambil kitab pusaka itu dari balik baju bocah Linghu ini.”

You Xun menggeleng dengan tersenyum, lalu berkata, “Lebih baik tidak usah. Aku sama sekali tidak punya niat mengangkangi kitab pusaka itu. Silakan Saudara Yan saja yang mengambil. Asalkan aku diizinkan membaca sekilas saja sudah membuat hatiku puas.”

“Kalau begitu, kau saja yang mengambilnya,” kata Yan Sanxing kepada Pendeta Yuling.

“Kurasa lebih baik Saudara Yan saja yang mengambil,” jawab Pendeta Yuling.

Ketika Yan Sanxing memandang Sepasang Orang Aneh Tongbai, ternyata kedua orang itu pun menggelengkan kepala, pertanda mereka merasa enggan pula.

Dengan suara gusar Yan Sanxing lantas memaki, “Apa kalian pikir aku tidak tahu isi hati kalian? Kalian ingin aku yang mengambil kitab pusaka itu, lalu diam-diam kalian membunuhku dari belakang untuk mengurangi saingan. Hm, aku, si marga Yan sama sekali tidak sudi ditipu mentah-mentah.”

Kelima orang itu lantas terdiam dan saling pandang. Masing-masing juga tidak mau tertipu. Keadaan pun menjadi buntu dan menegangkan.

Linghu Chong khawatir kelima orang itu kembali mendekati Ren Yingying. Maka ia pun berbicara, “Hei, kalian tidak perlu bertengkar, biar aku mengingat-ingatnya lagi. Oh ya, kalau tidak salah, seperti ini kalimat selanjutnya: Pedang Penakluk Iblis muncul, bunuh semua habis-habisan. Kalau tidak habis maka … eh, apa ya? Kalau tidak habis … dijual lagi … eh, salah. Wah, ini konyol. Isi kitab pusaka ini memang terlalu dalam maknanya sehingga sukar dipahami.”

Kelima orang itu kembali memperhatikan ucapan Linghu Chong dengan seksama. Semakin Linghu Chong kebingungan dan pura-pura tidak mengerti, justru membuat mereka semakin penasaran.

Yan Sanxing tidak sabar dan segera mengangkat goloknya, lalu berseru, “Sebenarnya urusan ini tidak sulit kalau kalian membiarkan aku merogoh baju bocah ini. Baiklah, biar aku yang mengambilnya dan kalian berempat silakan berjaga di luar pintu. Dengan demikian, kalian tidak bisa membokong aku, dan aku pun tidak dapat kabur begitu saja,”

Tanpa bicara Sepasang Orang Aneh Tongbai segera melangkah keluar. You Xun keluar pula mengikuti pasangan tersebut sambil cengar-cengir. Tinggal Pendeta Yuling saja yang merasa sangsi dan hanya mundur dua-tiga langkah.

“Kau juga harus keluar dari tempat ini!” bentak Yan Sanxing.

“Apa-apaan kau main bentak? Memangnya aku takut padamu? Mau keluar atau tidak bukan urusanmu! Ada hak apa kau memerintah diriku?” jawab Yuling gusar. Namun, tetap saja pada akhirnya ia pun mengundurkan diri ke luar pintu.

Maka, You Xun dan yang lain pun berjaga di luar pintu sambil keempat pasang mata mereka memandang tajam ke dalam. Tanpa berkedip mereka mengawasi gerak-gerik Yan Sanxing. Mereka yakin Si Pengemis Kejam Berkawan Ular itu tidak mungkin bisa melarikan diri dari Loteng Kura-Kura Dewa yang terletak menggantung di puncak gunung tersebut. Satu-satunya jalan keluar hanyalah jambatan layang menuju Loteng Ular Sakti, namun jalur ini cukup berbahaya jika dilewati dengan tergesa-gesa.

Yan Sanxing sendiri masih tetap tidak percaya pada keempat orang itu. Sambil kepala menoleh ke arah pintu, ia berjalan mundur mendekati Linghu Chong. Sesudah dekat, tangan kirinya lantas menjulur dan meraba-raba baju pemuda itu, sementara tangan kanan tetap memegang golok untuk berjaga-jaga.

Akan tetapi, ternyata dalam baju Linghu Chong tidak terdapat suatu kitab apa pun, kecuali sebatang pedang pendek. Hatinya semakin penasaran. Goloknya pun dipindahkan ke mulut. Tangan kirinya lantas mencengkeram dada Linghu Chong, sementara tangan kanan kembali meraba baju pemuda itu. Di luar dugaan, begitu tangan kirinya mengerahkan tenaga untuk mencengkeram, seketika ia merasa tenaga dalamnya mengalir keluar melalui tangan kirinya itu.

Yan Sanxing sangat terkejut dan lekas-lekas hendak menarik kembali tangannya, namun terasa seperti melekat kuat di tubuh Linghu Chong. Semakin kuat ia menarik tangan semakin deras pula tenaganya yang terhisap keluar. Semakin ia meronta, semakin membanjir pula tenaga dalamnya bagaikan air bah yang sukar dibendung lagi.

Linghu Chong menyadari bahwa Jurus Penyedot Bintang dalam tubuhnya telah bekerja menghisap seluruh tenaga dalam Si Pengemis Kejam Berkawan Ular. Dengan gembira ia sengaja berkata, “Hei, kenapa kau totok nadi dadaku? Cepat lepaskan, biar kuuraikan rahasia Jurus Pedang Penakluk Iblis kepadamu.” Kemudian ia pun pura-pura menggerakkan bibir seperti sedang berbicara.

Melihat itu, You Xun dan yang lain mengira Linghu Chong benar-benar sedang menguraikan isi kitab pusaka kepada Yan Sanxing seorang. Masing-masing merasa rugi jika tidak ikut mendengarkan. Maka serentak mereka pun berlari ke hadapan Linghu Chong.

“Benar, benar. Kitab inilah yang kau cari. Keluarkan saja, biar teman-temanmu ikut membaca!” seru Linghu Chong dengan sengaja. Padahal, saat itu tangan Yan Sanxing sudah melekat kuat pada tubuhnya, mana mungkin bisa ditarik keluar?

Namun, Pendeta Yuling mengira Yan Sanxing benar-benar telah menemukan kitab pusaka tersebut dalam baju Linghu Chong. Ia juga mengira Yan Sanxing tidak mau mengeluarkan kitab tersebut, tapi ingin mengangkanginya sendiri. Sudah tentu ia tidak tinggal diam. Segera ia pun menjulurkan tangannya ke dalam baju Linghu Chong. Akibatnya, tangan pendeta jahat itu terasa lengket pula. Tenaga dalamnya juga membanjir keluar dengan sangat deras.

“Hei, hei, kalian berdua jangan berebut. Kalau kitab pusaka ini sampai robek nanti tidak bisa dibaca lagi!” seru Linghu Chong kembali berpura-pura.

Mendengar itu Sepasang Orang Aneh Tongbai saling pandang dan sama-sama mengangguk setuju. Keduanya lantas berkelebat mengayunkan senjata masing-masing yang berupa tongkat tembaga penyangga tubuh. Tanpa ampun, kepala Yan Sanxing dan Pendeta Yuling pecah berantakan. Otak mereka berhamburan di mana-mana.

Begitu kedua orang itu tewas, tenaga mereka pun buyar pula. Kedua tangan mereka yang melekat di tubuh Linghu Chong juga ikut terlepas. Sebaliknya, Linghu Chong justru mendapat keuntungan. Dengan menghisap tenaga dalam kedua penjahat itu seketika totokan pada tubuhnya pun terbuka dan urat nadinya kembali lancar seketika.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar