Tanpa pikir panjang Linghu
Chong lantas membuang pedangnya dan bergegas menghampiri Ren Yingying. Di luar
dugaan, tiba-tiba Yue Buqun berseru sekali, kemudian pedangnya menyambar
secepat kilat mengarah ke pinggang kiri pemuda itu.
Tempat yang diincar ini
sungguh berbahaya. Dalam keadaan terkejut Linghu Chong bermaksud segera
memungut kembali pedangnya namun sudah terlambat. Pedang Yue Buqun lebih dulu
menancap di belakang pinggangnya. Untungnya tenaga dalam Linghu Chong sangat
bagus. Seketika otot pinggangnya mengkerut untuk melawan sehingga serangan
tersebut tidak sampai menusuk terlalu dalam.
Yue Buqun tampak gembira.
Dicabutnya pedang itu dan kembali ia menebas ke bawah. Lekas-lekas Linghu Chong
menjatuhkan diri dan menggelindingkan tubuhnya. Namun, Yue Buqun terus saja
mengejar dan kembali mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah. Untung Linghu
Chong sempat mengelak lagi, sehingga serangan Yue Buqun itu hanya mengenai
tanah, namun selisih beberapa senti saja dari kepalanya.
Sambil menyeringai bengis, Yue
Buqun kembali mengangkat pedangnya. Kali ini ia melangkah maju dan dengan
sekali tebas kepala Linghu Chong pasti akan terpenggal. Dalam keadaan genting
itu, tiba-tiba sebelah kakinya menginjak tempat lunak. Tubuhnya langsung
terjerumus jatuh ke bawah. Ia bermaksud melompat ke atas dengan ilmu
meringankan tubuhnya yang tinggi, namun saat itu langit dan bumi terasa seperti
berputar-putar. Selanjutnya ia pun jatuh tak sadarkan diri. Rupanya Yue Buqun
telah jatuh terjerumus ke dalam lubang perangkap yang digali para anggota Sekte
Iblis tadi.
Linghu Chong benar-benar lolos
dari lubang jarum. Hampir saja ia mati konyol oleh serangan di luar dugaan
tadi. Perlahan-lahan ia merangkak bangun sambil mendekap luka di pinggang
belakangnya. Pada saat itulah terdengar seruan beberapa orang dari semak-semak,
“Nona Besar! Gadis Suci!” Kemudian beberapa orang tampak berlari-lari keluar.
Mereka tidak lain adalah Bao Dachu, Tetua Mo, dan empat orang lainnya.
Bao Dachu tiba di tepi lubang
perangkap. Sambil menahan napas ia mengetuk kepala Yue Buqun berkali-kali
menggunakan gagang goloknya sekuat tenaga. Ia sadar tenaga dalam orang ini
sangat tinggi. Obat bius dalam lubang jebakan itu mungkin hanya mebuatnya
pingsan sebentar. Maka, ketukan keras tadi pasti akan membuatnya pingsan lebih
lama lagi.
Sementara itu, Linghu Chong
dengan susah payah mendekati tempat Ren Yingying menggeletak dan bertanya,
“Bagian mana yang ditotok olehnya?”
“Apakah kau tidak … tidak
apa-apa?” Ren Yingying balik bertanya. Suaranya terdengar gemetar karena rasa
khawatir yang begitu besar.
“Jangan khawatir, aku takkan
... takkan mati,” sahut Linghu Chong.
“Bunuh bangsat keparat itu!”
teriak Ren Yingying tiba-tiba.
“Baik!” jawab Bao Dachu paham.
Namun Linghu Chong lebih dulu
mencegah, “Jang… jangan!”
Ren Yingying mengerti
perasaannya dan segera mengganti perintah, “Tangkap saja dia!” Rupanya ia tidak
tahu kalau lubang perangkap itu mengandung obat bius.
Terdengar Bao Dachu menjawab,
“Baik!” Namun, ia tidak berani berterus terang bahwa lubang perangkap itu
adalah hasil karyanya, karena ketika tadi Sang Gadis Suci dikejar-kejar dan
diringkus oleh Yue Buqun, sama sekali ia dan rekan-rekannya tidak berani keluar
untuk menolong karena takut mati. Peristiwa ini kalau sampai diketahui oleh
Tebing Kayu Hitam tentu bisa menjadi musibah besar bagi mereka dan berakhir
dengan hukuman mati.
Maka, Bao Dachu pun menahan
napas dan terjun ke dalam lubang, kemudian dengan kecepatan tinggi ia
mencengkeram tengkuk Yue Buqun dan menyeret tubuh orang itu ke atas. Dengan cekatan
ia menotok pula beberapa titik nadi penting pada tubuh ketua Perguruan Lima
Gunung tersebut. Selanjutnya, kaki dan tangan Yue Buqun pun diikat pula
menggunakan tambang. Sudah terkena bius, diketok kepalanya, lalu titik nadinya
ditotok, dan diikat menggunakan tambang, sekalipun kepandaian Yue Buqun
setinggi langit juga tidak mungkin bisa lolos.
Linghu Chong saling pandang
dengan Ren Yingying. Kedua muda-mudi ini merasa seperti baru saja terbangun
dari sebuah mimpi buruk. Selang agak lama barulah Ren Yingying menangis. Linghu
Chong mendekati dan memeluknya. Setelah pengalaman pahit tersebut, mereka
merasa hidup belum pernah seindah saat ini. Perlahan-lahan Linghu Chong membuka
semua totokan pada tubuh Ren Yingying tersebut.
Ketika tiba-tiba melihat sang
ibu-guru masih tergeletak di tanah, barulah Linghu Chong ingat dan berteriak,
“Celaka!”
Segera ia pun mendekati Ning
Zhongze dan membuka totokan pada tubuh Nyonya Yue tersebut sambil berkata,
“Maafkan aku, Ibu Guru.”
Ning Zhongze telah menyaksikan
semuanya dengan jelas. Ia sangat mengetahui bagaimana kepribadian Linghu Chong,
juga bagaimana perasaan pemuda itu kepada putrinya. Linghu Chong selalu
memperlakukan Yue Lingshan bagaikan seorang dewi kahyangan, sehingga ia yakin
semua tuduhan Yue Buqun adalah palsu belaka. Tuduhan sang suami bahwa Linghu
Chong telah memerkosa dan membunuh Yue Lingshan sungguh tidak masuk akal sama
sekali. Apalagi setelah menyaksikan secara langsung betapa besar rasa cinta dan
kesetiaan Linghu Chong terhadap Ren Yingying, keyakinan Ning Zhongze bahwa
suaminya telah melancarkan fitnah semakin bertambah kuat.
Ning Zhongze juga menyaksikan
dengan mata kepala sendiri bagaimana suaminya telah dikalahkan oleh Linghu
Chong, namun pemuda itu tidak tega menyerang lebih lanjut. Sebaliknya, Yue
Buqun malah balas menyerang dari belakang secara keji dan tiba-tiba. Padahal,
golongan hitam sekalipun tidak sudi melakukan perbuatan serendah ini, namun
seorang ketua Perguruan Lima Gunung yang terhormat ternyata tega berbuat
demikian. Sungguh memalukan, sungguh memuakkan.
Dalam keadaan putus asa Ning
Zhongze bertanya lirih, “Chong’er, apakah benar Shan’er telah dibunuh oleh Lin
Pingzhi?”
Linghu Chong menjadi pilu, air
matanya pun jatuh bercucuran. “Murid … aku … aku .…” sahutnya tersedu-sedu.
“Dia tidak sudi menganggapmu
sebagai murid, tapi aku masih tetap mengakuimu sebagai murid,” ujar Ning
Zhongze. “Jika kau tidak keberatan, maka aku dapat tetap menjadi ibu-gurumu.”
Linghu Chong sangat terharu.
Ia pun menyembah sambil berseru, “Ibu Guru! Ibu Guru!”
Perlahan-lahan Ning Zhongze
membelai rambut Linghu Chong sambil mengalirkan air mata. Dengan lirih ia
berkata, “Apakah yang dikatakan Nona Ren benar? Apakah Lin Pingzhi telah
berhasil menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis dan bergabung dengan Zuo
Lengchan pula? Dan ... dan apakah benar dia juga membunuh Shan’er?”
“Benar,” sahut Linghu Chong.
“Coba kau putar tubuhmu ke
sana,” kata Ning Zhongze, “Akan kuperiksa lukamu.”
“Baik,” jawab Linghu Chong
sambil memutar tubuhnya. Ning Zhongze lantas menyobek baju bagian punggung
pemuda itu, kemudian menotok urat nadinya untuk menghentikan pendarahan. “Apa
kau membawa obat luka Perguruan Henshan?” ujarnya kemudian.
“Ya, ada,” jawab Linghu Chong.
Segera Ren Yingying mengambil obat tersebut dari balik baju Linghu Chong dan
menyerahkannya kepada Ning Zhongze.
Ning Zhongze perlahan
membersihkan bercak-bercak darah pada luka Linghu Chong, baru kemudian
menaburkan obat Perguruan Henshan yang mujarab itu kepadanya. Ia lantas
mengeluarkan sehelai saputangan berwarna putih bersih untuk menutup luka itu,
lalu merobek gaunnya sebagai pembalut.
Linghu Chong selalu menganggap
Ning Zhongze seperti ibu kandung sendiri, sehingga perlakuan tersebut membuat
hatinya merasa sangat nyaman dan terharu. Rasa sakit pada lukanya sampai-sampai
terlupakan.
“Kelak tugas membunuh Lin
Pingzhi untuk membalaskan sakit hati Shan’er menjadi tanggung jawabmu,” kata
Ning Zhongze kemudian.
“Tapi Adik … Adik Kecil telah
meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Ia berpesan agar aku melindungi Lin
Pingzhi. Permintaan terakhirnya itu terpaksa kusanggupi, maka urusan ini …
sungguh membuatku sulit,” jawab Linghu Chong.
“Karma buruk, ini karma
buruk,” ujar Ning Zhongze sambil menghela napas panjang. “Chong’er, untuk
selanjutnya terhadap siapa pun juga janganlah kau terlalu berbaik hati,”
lanjutnya.
Ucapan Ning Zhongze itu
diakhiri dengan penegasan. Linghu Chong pun menjawab, “Baik.”
Tiba-tiba tengkuknya terasa
hangat-hangat basah, seperti terkena tetesan benda cair. Begitu menoleh,
dilihatnya muka Ning Zhongze telah memutih, pucat pasi. Ia pun terkejut dan
menjerit, “Ibu Guru!”
Segera Linghu Chong bangkit
dan memegangi tubuh Ning Zhongze. Ternyata sebilah pisau belati telah menancap
di dada istri Yue Buqun tersebut, tepat pada bagian jantung. Seketika wanita
itu pun meninggal dunia.
Linghu Chong terkejut bukan
kepalang hingga mulutnya ternganga tak bisa bersuara. Ren Yingying juga sangat
terperanjat, namun karena tidak memiliki hubungan keluarga atau pertemanan
dengan Ning Zhongze, maka rasa sedihnya tidak terlalu mendalam. Segera ia
memapah Linghu Chong yang tampak lemas itu. Selang sejenak, barulah Linghu
Chong dapat menangis.
Melihat kejadian sedih
tersebut, Bao Dachu berpikir tentu akan banyak kata-kata mesra diucapkan oleh
mereka berdua. Maka, ia pun tidak berani mengganggu sedikit pun. Selain itu, ia
juga takut lubang jebakan tersebut akan diusut oleh Ren Yingying, sehingga ia
pun buru-buru mengangkat tubuh Yue Buqun dan membawanya ke tempat Tetua Mo
berdiri.
“Untuk apa mereka me…
menangkap guruku?” tanya Linghu Chong.
“Kau masih memanggil ‘guru’
padanya?” sahut Ren Yingying.
“Sudah terbiasa,” jawab Linghu
Chong. “Mengapa Ibu Guru bunuh diri? Mengapa … mengapa Ibu Guru bunuh diri?”
“Sudah tentu disebabkan si
penjahat Yue Buqun itu,” kata Ren Yingying dengan gemas. “Apa gunanya mempunyai
suami pengecut dan tidak tahu malu seperti dia? Karena tidak bisa membunuh
suami sendiri, terpaksa ia memilih bunuh diri. Kita harus lekas membunuh Yue
Buqun untuk membalaskan sakit hati ibu-gurumu.”
Namun, Linghu Chong menjadi
ragu-ragu. “Kau berkata dia harus dibunuh? Bagaimanapun juga dia pernah menjadi
guruku dan juga membesarkan diriku.”
“Meski dia pernah menjadi
gurumu, pernah membesarkan dirimu pula, tapi sudah berapa kali dia bermaksud
mencelakaimu? Antara budi dan dendam sudah seimbang dan saling menghapuskan.
Sebaliknya, budi baik ibu-gurumu belum sempat kau balas. Coba pikir, apakah
kematian ibu-gurumu ini bukan disebabkan karena perbuatannya?”
Linghu Chong menghela napas
dan menjawab dengan pilu, “Budi baik Ibu Guru rasanya sukar untuk kubalas
seumur hidup. Meskipun aku dan Yue Buqun tidak memiliki hubungan lagi, tapi
bagaimanapun juga aku tetap tidak dapat membunuhnya.”
“Kau tidak perlu turun tangan
sendiri,” ujar Ren Yingying. Mendadak ia berseru, “Bao Dachu!”
“Ya, Nona Besar!” sahut Bao
Dachu. Segera ia melangkah maju bersama Tetua Mo dan yang lain.
“Apakah Ayah yang telah
menugasi kalian kemari untuk menyelesaikan masalah ini?” tanya Ren Yingying.
“Benar,” sahut Bao Dachu penuh
hormat. “Atas titah Ketua Ren, hamba bersama Tetua Ge, Tetua Du, dan Tetua Mo,
serta sepuluh murid telah ditugasi untuk menangkap Yue Buqun dengan segala
cara.”
“Di mana Tetua Ge dan Tetua
Du?” tanya Ren Yingying.
“Tadi mereka pergi memancing
kedatangan Yue Buqun dan sampai sekarang belum kembali. Jangan-jangan …
jangan-jangan ….”
“Coba kau geledah badan Yue
Buqun,” sahut Ren Yingying.
“Baik,” jawab Bao Dachu.
Segera ia mulai menggeledah tubuh Yue Buqun. Hasilnya, dari balik baju orang
itu ditemukan sehelai panji sutra kecil, yaitu panji kebesaran Serikat Pedang
Lima Gunung. Selain itu, terdapat belasan tahil emas perak, dan dua potong
medali tembaga.
Dengan suara gemas Bao Dachu
lantas berkata, “Lapor kepada Nona Besar, Tetua Ge dan Tetua Du ternyata
benar-benar dicelakai oleh keparat ini. Dalam bajunya hamba temukan dua medali
milik kedua tetua kita itu.” Usai berkata ia lantas mengayunkan kakinya
menendang pinggang Yue Buqun keras-keras.
“Jangan sakiti dia!” seru
Linghu Chong.
“Baik,” jawab Bao Dachu penuh hormat.
“Ambil air dingin, siram dia
agar siuman!” perintah Ren Yingying kemudian.
Tetua Mo lantas membuka
kantong air yang tergantung di pinggangnya dan menyiramkan isinya ke muka Yue
Buqun. Sejenak kemudian, Yue Buqun membuka matanya sambil bersuara kesakitan di
bagian pinggang dan kepala.
Ren Yingying berkata, “Orang
bermarga Yue, apakah kau telah membunuh kedua tetua kami?”
Bao Dachu tampak
meembentur-benturkan kedua medali tembaga yang dipegangnya itu hingga
mengeluarkan suara nyaring.
Menyadari dirinya berada di
bawah cengkeraman musuh dan tidak bisa lolos dari kematian, Yue Buqun pun
memaki dengan lantang, “Memang aku yang telah membunuh mereka. Semua anggota
Sekte Iblis adalah penjahat. Setiap orang berhak membunuhnya.”
Bao Dachu merasa gusar dan
bermaksud menendang lagi. Namun, begitu teringat larangan Linghu Chong tadi ia
pun mengurungkan niatnya. Ia sadar hubungan Linghu Chong dengan Ketua Ren
sangat baik, serta merupakan calon suami sang nona besar pula. Maka itu, ia
tidak berani menentang kata-kata Linghu Chong sama sekali.
Ren Yingying tertawa dingin
dan menjawab, “Kau anggap dirimu sebagai ketua golongan lurus bersih, akan
tetapi perbuatanmu seratus kali lebih kotor dan lebih rendah daripada
orang-orang Sekte Matahari dan Bulan. Secara tidak tahu malu kau berani memaki
kami sebagai orang jahat. Istrimu sendiri merasa malu atas perbuatanmu,
sehingga ia lebih suka bunuh diri daripada menjadi pasanganmu. Apakah kau masih
punya muka untuk hidup terus di dunia ini, hah?”
“Siluman betina, berani kau
sembarangan bicara. Jelas-jelas istriku dibunuh olehmu, tapi kau mengatakan ia
bunuh diri,” damprat Yue Buqun.
“Coba dengarkan itu, Kakak
Chong. Ucapannya sungguh tidak tahu malu,” kata Ren Yingying.
“Yingying, aku ingin memohon
sesuatu padamu,” kata Linghu Chong.
“Aku tahu kau hendak memintaku
agar melepaskan dia. Pepatah mengatakan, meringkus harimau lebih mudah daripada
melepas harimau,” sahut Ren Yingying. “Orang ini berhati culas dan berjiwa
keji, ilmu silatnya tinggi pula. Kelak kalau kau bertemu dia lagi, mungkin akan
susah untuk membekuknya kembali.”
Linghu Chong menjawab, “Mulai
hari ini hubunganku dengannya sebagai murid dan guru sudah putus. Semua ilmu
pedangnya juga telah kupahami. Jika dia berani mencari perkara denganku, maka
aku pun tidak akan segan-segan lagi kepadanya.”
Ren Yingying paham Linghu
Chong pasti tidak mengizinkannya untuk membunuh Yue Buqun. Asalkan sekarang
Linghu Chong benar-benar memutuskan segala hubungan dengan Yue Buqun, maka bila
bertemu lagi juga tidak perlu gentar. Segera ia pun menjawab, “Baiklah, hari
ini kita bisa mengampuni jiwanya. Nah, Tetua Bao dan Tetua Mo, selanjutnya
kalian bisa sebarkan berita ini di kalangan persilatan bahwa Yue Buqun telah
berhasil kita bekuk, lalu kita ampuni jiwanya. Sampaikan pula bahwa Yue Buqun
telah rela membuat cacat dirinya sendiri demi untuk mempelajari Jurus Pedang
Penakluk Iblis. Sekarang dia bukan seorang laki-laki, juga bukan seorang
perempuan. Sebarkan berita ini supaya diketahui oleh para kesatria di seluruh
jagat.”
Serentak Bao Dachu dan Tetua
Mo mengiakan dan menyanggupi perintah tersebut. Raut muka Yue Buqun tampak
pucat pasi, kedua matanya berkedip-kedip memancarkan sinar kemarahan penuh
dengan rasa benci dan dendam. Namun demikian, ada pula sedikit rasa gembira di
hatinya karena yakin nyawanya telah lolos dari maut.
Ren Yingying berkata, “Hm, kau
benci padaku, memangnya aku takut padamu?” Sambil berkata demikian ia
mengayunkan pedangnya untuk memotong tambang pengikat tubuh Yue Buqun.
Didekatinya tawanan itu dan dibukanya sebuah totokan di bagian punggung. Lalu
tangan kanannya menahan mulut ketua Perguruan Lima Gunung tersebut, sementara
tangan kiri menepuk perlahan di belakang kepalanya. Tanpa kuasa Yue Buqun
membuka mulut dan tahu-tahu Ren Yingying telah memasukkan semacam pil ke dalam
mulutnya.
Selama melakukan perbuatan
tersebut, Ren Yingying selalu membelakangi Linghu Chong sehingga Linghu Chong
tidak bisa melihat dengan jelas bahwa gadis itu telah memasukkan pil ke dalam
mulut gurunya. Yang dilihatnya hanyalah tambang pengikat tubuh sang guru telah
dibuka dan itu membuat hatinya senang.
Ren Yingying lantas memencet
hidung Yue Buqun hingga sulit bernapas. Terpaksa Yue Buqun harus membuka mulut
untuk menghirup udara. Tanpa ampun Ren Yingying lantas mengerahkan tenaga dalam
untuk mendorong pil di dalam mulut Yue Buqun itu sehingga masuk ke dalam perut
bersama aliran napas.
Yue Buqun gemetar membayangkan
pil yang telah masuk ke dalam perutnya itu adalah Pil Pembusuk Otak, obat ajaib
yang sangat keji milik Sekte Iblis. Ia pernah mendengar barangsiapa menelan pil
tersebut maka setiap tahun pada perayaan hari raya perahu naga ia harus memakan
obat penawarnya yang terdapat di Tebing Kayu Hitam. Karena jika tidak, maka
kuman dalam pil tersebut akan bekerja dan menggerogoti otak orang itu. Tentu
akibatnya sungguh mengerikan. Orang itu akan menjadi gila dan menyiksa diri
sendiri. Meski orang itu sangat cerdas dan sabar dalam menghadapi setiap
masalah, namun tidak mungkin ia sanggup bertahan menghapi serangan kuman Pil Pembusuk
Otak. Jika otaknya sudah mulai digerogoti oleh kuman-kuman itu, maka hal
pertama yang ia lakukan pasti mencakari wajah sendiri. Membayangkan itu semua
membuat Yue Buqun yang biasanya licin dan tenang, tiba-tiba berubah gemetar dan
tubuhnya basah kuyup oleh keringat dingin.
Ren Yingying lantas berpaling
kepada Linghu Chong dan berkata, “Kakak Chong, totokan Tetua Bao tadi agak
berat, tapi kini sudah kubuka semuanya. Hanya saja, ada dua titik yang butuh
beberapa saat lagi baru benar-benar bisa terbuka. Setelah itu baru dia dapat
berjalan kembali.”
“Terima kasih banyak padamu,”
sahut Linghu Chong.
Dalam hati Ren Yingying merasa
geli karena pemuda itu tidak tahu apa yang telah diperbuatnya terhadap Yue
Buqun tadi. Namun bagaimanapun juga itu semua adalah demi kebaikan dan
keselamatan sang kekasih hati. Selang sejenak, Ren Yingying yakin pil tadi
telah dicerna dalam perut Yue Buqun dan tidak mungkin dimuntahkan keluar. Saat
itu barulah ia melancarkan kembali dua titik nadi Yue Buqun yang tertotok sambil
berbisik, “Setiap tahun pada Hari Raya Perahu Naga kau bisa datang ke Tebing
Kayu Hitam. Di sana aku akan memberikan obat penawarnya padamu.”
Bisikan itu membuat Yue Buqun
semakin yakin bahwa obat yang ditelannya tadi memang benar-benar Pil Pembusuk
Otak. Tanpa kuasa badannya menjadi gemetar. “Jadi pil tadi adalah … adalah ….”
ujarnya gugup.
“Benar, dan kau harus diberi
selamat,” kata Ren Yingying. “Obat mujarab kami itu tidak mudah dibuat. Dalam
agama kami hanya tokoh-tokoh utama yang berkedudukan tinggi dan berkepandaian
tinggi saja yang memenuhi syarat untuk menelan obat dewa itu. Betul tidak,
Tetua Bao?”
“Betul sekali,” sahut Bao
Dachu. “Atas kemurahan hati Ketua Ren, maka hamba berkesempatan menelan obat
dewa tersebut. Oleh sebab itu, selamanya hamba sangat setia dan tunduk kepada
Ketua Ren. Bahkan sejak itu, Ketua Ren juga semakin menaruh kepercayaan penuh
kepada hamba. Sungguh tiada terkatakan manfaat obat dewa tersebut.”
Linghu Chong terkejut dan
berkata, “Hei, kau memberikan pil ….”
“Ah, mungkin karena dia
terlalu lapar sehingga memakan barang apa pun yang dilihatnya,” kata Ren
Yingying dengan tersenyum. “Nah, Yue Buqun, selanjutnya kau harus berusaha
membela dan mendukung kepentingan Kakak Chong dan aku. Hal ini tentu akan
bermanfaat untukmu.”
Sungguh tak terlukiskan
bagaimana rasa benci Yue Buqun. Ia berpikir, “Jika siluman betina ini kebetulan
mengalami celaka atau dibunuh orang, maka yang akan ikut mati konyol tentulah
diriku sendiri. Bahkan, kalau dia hanya terluka parah sehingga tidak dapat
pulang ke Tebing Kayu Hitam pada Hari Raya Perahu Naga juga sudah cukup
menyusahkan diriku. Kalau sudah demikian, ke mana lagi aku harus mencarinya?”
Membayangkan hal ini membuat hatinya khawatir dan badan kembali gemetar.
Sementara itu, Linghu Chong menghela
napas dan merenung, “Pada dasarnya Yingying berasal dari golongan hitam
sehingga tingkah lakunya pun agak-agak aneh pula. Tapi apa yang diperbuatnya
itu sesungguhnya demi kebaikanku juga. Aku tidak mungkin menyalahkan dia.”
“Tetua Bao,” ujar Ren Yingying
kemudian. “Kau pulanglah lebih dulu ke Tebing Kayu Hitam dan melapor kepada
Ketua. Katakan bahwa ketua Perguruan Lima Gunung yang terhormat, Yue Buqun
alias Tuan Yue si Pedang Budiman, kini telah masuk agama kita dengan sukarela
dan setulus hati. Obat dewa milik Ketua juga sudah ditelannya, sehingga dia
tidak mungkin berkhianat lagi.”
Sebenarnya Bao Dachu sedang
bingung karena ia ditugasi Sang Ketua untuk menangkap Yue Buqun entah bagaimana
caranya. Sementara itu, di lain pihak ia juga takut kepada Linghu Chong yang
meminta agar Yue Buqun dibebaskan. Kini begitu mengetahui Yue Buqun telah
menelan Pil Pembusuk Otak, tentu saja hatinya sangat senang dan menganggap Ren
Yingying telah memberikan jalan keluar terbaik. Maka, mulutnya langsung
mengeluarkan sanjung puji kepada sang tuan putri, “Nona Besar telah memenangkan
pertempuran dengan bijaksana. Segala urusan menjadi lancar. Ketua Ren pasti
sangat bahagia mendengarnya. Hidup Ketua! Hidup Nona Besar! Semoga Ketua
panjang umur, merajai dunia persilatan, melindungi rakyat jelata!”
Ren Yingying berkata, “Karena
Tuan Yue sudah masuk menjadi anggota agama kita, maka mengenai hal-hal yang
merugikan nama baiknya tidak perlu lagi kalian siarkan di dunia persilatan.
Mengenai pil dewa yang sudah ditelannya juga jangan sampai kalian bocorkan.
Orang ini mempunyai kedudukan sangat tinggi di dunia persilatan, cerdas dan
tangkas pula dalam segala hal. Kelak Ketua tentu akan sangat memerlukan
tenaganya.”
“Kami siap melaksanakan
perintah Nona Besar,” jawab Bao Dachu dan yang lain serentak.
Melihat keadaan Yue Buqun yang
runyam itu, Linghu Chong ikut merasa sedih. Meskipun Yue Buqun hendak
membunuhnya serta sering bersikap keji pula kepadanya, namun ia selalu
terkenang kepada budi baik pasangan suami-istri Yue yang telah membesarkan
dirinya lebih dari dua puluh tahun lamanya. Bagaimanapun juga Linghu Chong
selalu menghormati Yue Buqun sebagai seorang ayah. Sebenarnya ia bermaksud
mengutarakan kata-kata yang dapat menghibur Yue Buqun, tapi tenggorokan serasa
terkunci dan sukar berbicara pula.
“Tetua Bao,” kata Ren
Yingying, “bila kalian pulang ke Tebing Kayu Hitam, sampaikanlah hormat baktiku
kepada Ayah dan juga kepada Paman Xiang. Tolong sampaikan kepada Beliau berdua,
bahwa aku sedang menunggu dia … menunggu … menunggu luka Tuan Muda Linghu
sembuh dahulu, barulah aku pulang ke sana.”
Terhadap gadis lain, tentu Bao
Dachu akan menjawab dengan kata-kata sanjung puji, “Hamba berharap Tuan Muda
Linghu bisa lekas sembuh dan berkunjung ke Tebing Kayu Hitam bersama Nona Besar.
Kami juga berharap bisa secepatnya mengangkat secawan arak untuk bersulang
memberi selamat kepada Tuan Muda dan Nona Besar dalam hari yang bahagia.”
Namun, terhadap Ren Yingying sama sekali ia tidak berani berkata muluk-muluk
seperti itu. Bahkan, memandang wajah sang nona besar saja Bao Dachu tidak
berani. Ia hanya menjawab, “Baik,” sambil membungkuk memberi hormat dengan
sikap sungguh-sungguh.
Bao Dachu paham benar bahwa
tuan putrinya itu sangat pemalu. Ren Yingying memang khawatir orang-orang
menertawai dirinya telah jatuh cinta kepada Linghu Chong, bahkan banyak di
antara mereka yang menjadi korban perasaannya. Ada yang membutakan mata
sendiri, ada pula yang dibuang ke pulau terpencil hanya karena memergoki
dirinya berjalan bersama Linghu Chong beberapa waktu yang lalu. Membayangkan
peristiwa itu Bao Dachu tidak berani menunda lebih lama lagi. Segera ia mohon
diri dan berangkat meninggalkan lembah itu bersama kawan-kawannya. Sikap
hormatnya terhadap Linghu Chong bahkan melebihi hormatnya kepada Ren Yingying.
Ia sadar jika dirinya semakin hormat kepada Linghu Chong tentu akan semakin
menyenangkan hati Ren Yingying. Sebagai tokoh berpengalaman di dunia
persilatan, sudah tentu Bao Dachu dapat menyelami perasaan anak gadis pada
umumnya.
Sepeninggal mereka, Ren
Yingying lantas berkata kepada Yue Buqun, “Tuan Yue, kau juga boleh pergi.
Mengenai jenazah istrimu apakah akan kau bawa pulang ke Gunung Huashan untuk
dimakamkan di sana?”
Yue Buqun menggeleng dan
berkata, “Aku pasrah kepada kalian berdua. Istriku silakan dikubur di sini
saja.” Usai berkata demikian, tanpa memandang sedikit pun kepada Linghu Chong
maupun Ren Yingying, segera ia melangkah pergi dengan cepat. Dalam sekejap saja
tubuhnya sudah menghilang di balik semak-semak pepohonan.
Menjelang senja, Linghu Chong
dan Ren Yingying telah selesai memakamkan jenazah Ning Zhongze di samping
kuburan Yue Lingshan. Karena hatinya merasa berduka, kembali Linghu Chong
menangis sedih.
Esok paginya Ren Yingying
bertanya kepada Linghu Chong, “Kakak Chong, bagaimana keadaaan lukamu yang
baru?”
“Kali ini tidak terlalu parah,
kau tidak perlu khawatir,” jawab pemuda itu.
“Bagus kalau begitu. Tempat
kita ini sudah diketahui orang, kurasa dua-tiga hari lagi kita harus pindah ke
tempat lain,” ujar Ren Yingying.
“Benar juga,” kata Linghu
Chong. “Adik Kecil sudah ditemani ibunya, tentu dia tidak akan kesepian lagi.”
Berkata demikian membuat hatinya kembali pilu. Ia lantas mengalihkan
pembicaraaan, “Guru selalu mengutamakan kebajikan dan kejujuran sepanjang
hidupnya. Namun, kini sifatnya telah banyak berubah gara-gara mempelajari jurus
pedang iblis itu.”
Ren Yingying mengangguk dan
menjawab, “Kurasa ucapanmu itu tidak sepenuhnya benar. Sebelum mempelajari
jurus pedang itu sifat gurumu juga sudah berubah. Dia mengirim Lao Denuo dan
adik kecilmu ke Fuzhou dengan menyamar sebagai penjual arak untuk mengintai
Keluarga Lin. Apakah menurutmu itu bukan tindakan licik? Sebenarnya waktu itu
gurumu sudah merencanakan tipu muslihat untuk merebut Kitab Pedang Penakluk
Iblis.”
Linghu Chong terdiam. Ia
memang pernah berpikir tentang ini namun tidak berani menyelaminya lebih dalam.
Terdengar Ren Yingying
melanjutkan, “Sebenarnya ilmu pedang Keluarga Lin itu tidak pantas disebut
Jurus Pedang Penakluk Iblis. Menurutku sebaiknya diberi nama Jurus Pedang Iblis
saja. Kalau kitab pedang ini tetap beredar di dunia persilatan, sudah pasti
akan selalu timbul malapetaka yang tiada habis-habisnya. Yue Buqun masih hidup,
Lin Pingzhi sudah menghafal seluruh isinya pula. Hanya saja, aku yakin dia takkan
membacakan semuanya kepada Zuo Lengchan dan Lao Denuo. Bocah bermarga Lin itu
tidak bodoh, mana mungkin dia mau memberikan kitab berharga itu kepada orang
lain?”
Linghu Chong menjawab, “Zuo
Lengchan dan Lin Pingzhi memang sama-sama buta, tapi Lao Denuo tidak. Dalam hal
ini tentu dia yang akan mendapat keuntungan. Ketiganya adalah manusia-manusia
licik dan keji. Kini mereka berkumpul menjadi satu, tentu akan terjadi saling
jegal dan tipu-menipu di antara mereka. Entah bagaimana jadinya, dua lawan satu
mungkin Lin Pingzhi yang akan tersisihkan.”
“Apakah kau benar-benar hendak
melindungi Lin Pingzhi?” tanya Ren Yingying.
Linghu Chong menjawab sambil
memandang makam Yue Lingshan, “Aku tidak seharusnya menyanggupi permintaan Adik
Kecil untuk melindungi Lin Pingzhi. Orang ini lebih keji daripada binatang.
Sudah sepantasnya ia kucabik-cabik hingga hancur luluh. Huh, mana mungkin aku
akan membantu dia? Hanya saja, aku sudah terlanjur berjanji kepada Adik Kecil.
Bila aku sampai mengingkarinya, tentu ia tidak akan tenteram di alam sana.”
“Ketika masih hidup ia tidak
tahu siapa yang benar-benar baik kepadanya. Kini di alam sana seharusnya ia
tahu,” kata Ren Yingying. “Oleh karena itu, ia pasti tidak menginginkan kau
melindungi Lin Pingzhi lagi.”
“Sukar dipastikan,” ujar
Linghu Chong. “Cinta Adik Kecil terhadap Lin Pingzhi sudah terlalu mendalam.
Sekalipun ia sendiri sadar dibunuh oleh suaminya itu, namun tetap saja ia tidak
tega membiarkan Lin Pingzhi hidup merana dalam keadaan buta.”
Diam-diam Ren Yingying merenung,
“Ucapanmu tidak salah. Seandainya hal ini terjadi padaku, aku juga tidak peduli
bagaimana sikapmu terhadap diriku. Aku akan tetap mencintaimu dengan segenap
jiwa dan ragaku.”
Begitulah, keduanya lantas
kembali tinggal di lembah sunyi tersebut. Sepuluh hari kemudian luka baru di
pinggang Linghu Chong sudah jauh lebih baik. Ia memutuskan kembali ke Perguruan
Henshan untuk menyerahkan jabatan ketua kepada murid yang dianggapnya paling
layak. Setelah itu, ia ingin mengajak Ren Yingying berkelana mencari tempat
yang sunyi, bebas dari dunia persilatan.
Ren Yingying menanggapi,
“Bagaimana dengan tanggung jawabmu terhadap wasiat Nona Yue? Bukankah kau harus
melindungi Lin Pingzhi?”
Linghu Chong menggaruk-garuk
kepala dan menjawab, “Sebaiknya jangan kau bicarakan lagi. Masalah ini
benar-benar membuatku pusing. Aku akan melaksanakan wasiat ini sesuai keadaaan
saja.”
Ren Yingying tersenyum dan
tidak berkata lagi. Keduanya lantas memberi hormat di depan makam Ning Zhongze
dan Yue Lingshan, lalu berangkat meninggalkan lembah sunyi permai yang penuh
kenangan tersebut.
Setelah berjalan selama
setengah hari barulah mereka memasuki sebuah kota kecil. Di sana mereka
beristirahat di dalam sebuah kedai makan dan memesan dua mangkuk bakmi. Sambil
menyumpit makanannya Linghu Chong berkata, “Sampai sekarang kita belum
menyembah Langit dan Bumi menjadi pengantin ....”
Muka Ren Yingying bersemu
merah dan lekas-lekas memotong, “Huh, siapa pula yang akan menikah denganmu?”
“Kita berdua yang akan menikah
kelak,” sahut Linghu Chong tersenyum. “Jika kau menolak maka aku akan memaksamu
menikah denganku.”
Ren Yingying tampak ingin
tersenyum tapi berusaha keras menahan bibirnya lalu berkata, “Selama di dalam
lembah kau selalu bersikap alim. Begitu keluar, kau kembali liar dan suka
sembarangan bicara lagi.”
Linghu Chong masih saja
tersenyum dan berkata, “Kita harus memikirkan masak-masak rencana masa depan
yang mahapenting ini. Pada saat di dalam lembah kemarin, aku tiba-tiba
berpikir, kelak setelah menikah kita akan memiliki banyak anak.”
Ren Yingying langsung berdiri
dengan wajah cemberut. “Jika kau masih saja bicara yang tidak perlu, aku tidak
mau ikut ke Henshan lagi.”
“Baiklah, baiklah,” sahut
Linghu Chong sambil tertawa. Namun tetap saja ia melanjutkan, “Lembah tempat kita
tinggal kemarin banyak ditumbuhi pohon persik. Jika kita tetap berada di sana
dan memiliki enam orang anak, maka mereka akan disebut sebagai Enam Dewa Lembah
Persik Cilik.”
“Apa maksudmu?” sahut Ren
Yingying sambil kembali duduk. Meskipun mulutnya berkata pedas, namun dalam
hati merasa begitu bahagia. Matanya tampak berbinar-binar. Begitu ia beradu
pandang dengan Linghu Chong, seketika hatinya merasa malu dan lekas-lekas
wajahnya menunduk sambil menelan bakmi di dalam mulutnya.
Linghu Chong berkata, “Dalam
perjalanan menuju ke Gunung Henshan nanti bisa jadi kita akan berjumpa kawan
atau kenalan. Mungkin mereka mengira kita sudah menikah dan aku takut kau tidak
senang atas kesalahpahaman ini.”
Ren Yingying segera menjawab,
“Kau benar. Sebaiknya kita kembali menyamar sebagai dua petani, tentu tidak
akan ada yang mengenali.”
“Tapi wajahmu terlalu cantik.
Meski menyamar sebagai apa saja juga tetap menarik perhatian orang membuat bumi
berguncang,” ujar Linghu Chong. “Jika kita berjalan bersama tentu orang-orang
berkata, ‘Lihat, ada seorang gadis yang sangat cantik berjalan bersama pemuda
tolol. Benar-benar seperti bunga mawar tumbuh di atas kotoran kerbau.’ Namun
setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata si bunga mawar adalah Gadis Suci
Sekte Matahari dan Bulan, sementara si pemuda tolol yang seperti kotoran kerbau
ini adalah Linghu Chong, pangeran gagah pujaan hatinya.”
“Kau ini memang suka asal
bicara, “sahut Ren Yingying sambil menahan senyum.
Linghu Chong kembali berkata,
“Aku akan menyamar sebagai orang biasa yang tidak menarik perhatian murid-murid
Henshan. Aku harus bisa melihat keadaan perguruan dari dekat secara langsung.
Apabila keadaan aman dan tenteram, aku akan menyerahkan jabatan ketua kepada
salah seorang murid. Setelah itu kita bisa bertemu di suatu tempat rahasia dan
pergi bersama. Urusan ini hanya kita yang tahu. Boleh dikata, dewa tidak
melihat, hantu tidak mendengar.”
Ren Yingying paham Linghu
Chong berusaha mencari cara demi menyesuaikan keadaan dengan sifatnya yang
pemalu itu. Sungguh ia merasa sangat senang dan segera menjawab, “Baiklah.
Karena yang akan kita datangi adalah Perguruan Henshan, maka sebaiknya kau
mencukur botak kepalamu dan menyamar sebagai biksuni. Dengan cara ini dijamin
tidak seorang pun yang akan curiga. Sini, biar kudandani kau menjadi seorang
biksuni yang cantik.”
Linghu Chong tertawa dan
menggoyang-goyangkan tangannya. Ia berkata, “Jangan, jangan! Setiap kali
melihat biksuni, aku akan selalu kalah berjudi. Bila aku menyamar sebagai
biksuni tentu akan sial selamanya, aku tidak mau.”
Ren Yingying tertawa pula dan
menjawab, “Seorang laki-laki sejati tidak kaku dan pandai menyesuaikan diri.
Kenapa kau terlalu banyak percaya takhayul? Sini, biar aku yang mencukur botak
kepalamu.”
Linghu Chong berkata, “Kalau hanya
untuk menghindari perhatian orang rasanya tidak perlu menyamar biksuni. Tentu
saja aku akan ke Gunung Henshan dalam pakaian wanita. Wajahku bisa disamarkan,
tapi bagaimana dengan suaraku? Sekali saja aku membuka suara pasti akan
ketahuan. Maka itu, yang paling baik aku harus menyamar sebagai seorang bisu
tuli. Apakah kau masih ingat kepada wanita tua yang tinggal di Kuil Gantung, di
Gunung Cui Ping, belakang puncak utama Henshan itu?”
Ren Yingying bertepuk tangan
dan menjawab, “Bagus sekali, bagus sekali. Memang di Kuil Gantung itu ada
seorang babu tua yang bisu juga tuli. Kita dulu pernah bertempur sengit di sana
melawan Jia Bu dan pasukannya, tapi perempuan tua itu sedikit pun tidak
mendengar. Ketika kita bertanya padanya, dia hanya ternganga saja tak bisa
menjawab. Apakah kau ingin menyamar sebagai dia?”
“Benar,” sahut Linghu Chong.
“Baiklah, mari kita pergi
membeli pakaian dan setelah itu kau akan segera kudandani,” kata Ren Yingying.
Dengan membayar dua tahil
perak Ren Yingying berhasil mendapatkan seikat rambut panjang milik seorang
penduduk di situ. Ditatanya dengan baik rambut itu kemudian dipasangnya di atas
kepala Linghu Chong sebagai sanggul. Ia kemudian membantu pemuda itu memakai
pakaian petani perempuan. Kini Linghu Chong sudah berubah seperti seorang
wanita. Kemudian Ren Yingying menambahkan bedak kekuning-kuningan pada
wajahnya, di sana-sini ditambah pula dengan tujuh titik tahi lalat palsu.
Kemudian pada kulit muka sebelah kanan ditarik ke bawah dan ditempeli sepotong
koyo sehingga alis kanan Linghu Chong ikut tertarik menyerong ke bawah,
mulutnya juga menjadi agak peot. Sewaktu bercermin, Linghu Chong sampai-sampai
tidak mengenal dirinya sendiri.
“Nah, sekarang kau sudah
benar-benar mirip dengan dia. Hanya tingkah lakumu yang masih perlu dilatih,”
ujar Ren Yingying. “Kau harus berlagak bodoh, berlagak tolol, seperti orang
linglung. Yang paling penting, apabila ada orang tiba-tiba menggertak di
belakangmu, jangan sekali-kali kau melonjak terkejut supaya rahasia
penyamaranmu tidak terbongkar.”
“Berlagak tolol adalah hal
yang paling mudah, pura-pura bodoh adalah keahlianku,” ujar Linghu Chong dengan
tertawa.
Di sepanjang jalan Linghu
Chong tetap menyamar menjadi babu tua yang bisu dan tuli sekaligus sebagai
latihan agar nanti di Gunung Henshan penyamarannya tidak mudah terbongkar. Ia
dan Ren Yingying tidak bermalam di penginapan, tapi mencari kuil rusak untuk
beristirahat. Terkadang Ren Yingying sengaja menggertak di belakang Linghu
Chong, namun pemuda itu ternyata tidak terkejut dan pura-pura tidak mendengar.
Hari berikutnya sampailah
mereka di kaki Gunung Henshan. Keduanya berjanji akan bertemu kembali di
sekitar Kuil Gantung tiga hari kemudian. Linghu Chong kemudian menuju ke Puncak
Jianxing seorang diri, sementara Ren Yingying berpesiar menikmati keindahan
pegunungan tersebut.
Hari sudah mulai petang ketika
Linghu Chong tiba di Puncak Jianxing. Ia paham Yiqing dan Zhang E sangat
cermat, sehingga bila ia langsung menuju ke biara utama tentu akan membuat
mereka curiga. Menurutnya, lebih baik menyelidiki secara diam-diam saja
terlebih dulu. Segera ia pun mencari sebuah gua sepi untuk beristirahat dan
tidur. Ketika terbangun tampak sang rembulan sudah menghias di angkasa. Ia pun
bangkit dan bergegas menuju ke Biara Wuse, yaitu biara induk di Puncak
Jianxing.
Setibanya di pinggir pagar
tembok biara itu, ia mendengar suara benturan senjata berulang-ulang. Linghu
Chong terkesiap dan berpikir, “Apakah ada musuh yang datang menyerang? Musuh
dari mana kira-kira?” Segera tangannya meraba pedang pendek milik Ren Yingying
yang terselip di balik bajunya.
Sepertinya suara itu berasal
dari sebuah rumah yang berada puluhan meter di luar Biara Wuse. Tampak cahaya
lilin keluar dari balik jendela rumah tersebut. Linghu Chong segera merapat ke
dinding dan mendengar suara pertarungan semakin keras dan nyaring.
Perlahan-lahan ia mengintai ke dalam melalui jendela. Seketika hatinya langsung
lega, karena yang terlihat adalah Yihe dan Yilin sedang berlatih pedang,
sementara Yiqing dan Zheng E berdiri menyaksikan. Rupanya mereka sedang
berlatih ilmu pedang hasil ajarannya tempo hari, yaitu ilmu pedang Henshan yang
terukir pada dinding gua rahasia di puncak Huashan.
Dibanding sebelumnya,
permainan pedang Yihe dan Yilin terlihat sudah jauh lebih matang. Pada jurus
kesekian, pedang Yihe tampak berputar semakin cepat. Beberapa gerakan
berikutnya Yilin agak lengah, sehingga ujung pedang Yihe tahu-tahu sudah
mengancam di depan dadanya. Untuk menangkis jelas tidak sempat lagi, sehingga
Yilin hanya bisa menjerit lesu.
“Adik, kau kalah lagi,” kata
Yihe kemudian.
Yilin menunduk malu dan
menjawab, “Aku sudah berlatih sekian lama, tapi masih tak ada kemajuan.”
“Sudah lebih maju daripada
latihan sebelumnya,” kata Yihe. “Mari kita coba lagi.”
Akan tetapi, Yiqing menyela,
“Adik Yilin mungkin sudah lelah, lebih baik tidur saja dulu bersama Adik Zheng.
Besok kita bisa berlatih lagi.”
“Baik,” jawab Yilin sambil
menyarungkan pedangnya. Setelah memberi hormat kepada Yiqing dan Yihe, ia
lantas menggandeng tangan Zheng E keluar dari ruang latihan tersebut.
Sewaktu Yilin membalikkan
badan, Linghu Chong dapat melihat wajah biksuni muda itu tampak pucat dan
kurus. “Adik Yilin ini selalu saja berhati murung,” pikirnya.
Yihe menutup pintu ruangan
kemudian memandang ke arah Yiqing sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setelah
suara langkah Yilin dan Zheng E terdengar menjauh barulah ia berkata, “Hati
Adik Yilin selalu saja tidak bisa tenang. Hati yang kacau dan pikiran tergoda
adalah pantangan besar bagi kaum biarawati seperti kita. Entah bagaimana cara
kita harus menasihatinya?”
“Memang sukar untuk
menasihatinya,” kata Yiqing. “Yang paling bagus adalah kalau dia sendiri yang
punya kesadaran.”
Yihe berkata, “Aku tahu kenapa
hati Adik Yilin tidak bisa tenang. Ia senantiasa terkenang kepada ….”
“Di tempat suci ini hendaknya
Kakak Yihe jangan bicara hal-hal demikian,” sahut Yiqing menukas sambil
menggoyang-goyangkan tangan. “Sebenarnya tiada salahnya kita membiarkan Adik
Yilin sadar sendiri apabila kita tidak buru-buru ingin menuntut balas kematian
Guru dan Bibi Guru.”
Yihe berkata, “Dulu Guru
sering mengatakan bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah suratan takdir, demi
memenuhi hukum karma. Kita harus mengikuti dan menurut apa adanya, sedikit pun
tidak boleh dipaksakan. Begitu pula dalam berlatih ilmu silat harus setahap
demi setahap, karena jika dipaksakan bisa mengakibatkan kesesatan. Kulihat Adik
Yilin adalah orang yang berperasaan dalam. Dari luar terlihat tenang, tapi
dalam hati penuh gejolak. Sebenarnya dia tidak cocok memasuki dunia biara
seperti kita.”
Yiqing menghela napas dan
menjawab, “Aku juga pernah memikirkan hal ini. Hanya saja, Perguruan Henshan
bagaimanapun juga harus dipimpin oleh seseorang dari kalangan agama kita
sendiri. Kakak Linghu sudah sering menyatakan bahwa ia hanya sementara saja
menjabat sebagai ketua kita. Namun, yang paling penting adalah kita harus lebih
dulu membalas perbuatan Yue Buqun itu. Dia telah mencelakai Guru dan Bibi ….”
Linghu Chong terperanjat dan
berpikir, “Mengapa mereka menuduh Guru telah membunuh Biksuni Dingxian dan
Biksuni Dingyi?”
Terdengar Yiqing melanjutkan,
“Kalau sakit hati ini tidak lekas kita balas, tentu kita sebagai murid
selamanya tidak nyenyak tidur dan tidak enak makan.”
“Tidak hanya kau saja yang
gelisah, mungkin aku jauh lebih resah tentang sakit hati guru kita ini,” ujar
Yihe. “Baiklah, mulai besok aku akan mempercepat dan mempergiat latihan Adik
Yilin.”
“Tapi juga jangan terlalu
dipaksakan,” sahut Yiqing. “Kulihat beberapa hari terakhir ini semangat Adik
Yilin agak mundur.”
“Benar,” jawab Yihe. Lalu
kedua murid tertua Henshan itu membereskan senjata-senjata dan memadamkan
pelita. Mereka lantas kembali ke kamar masing-masing untuk tidur.
Linghu Chong masih diam
berdiri di luar jendela dengan pikiran rumit. “Aneh, mengapa mereka menuduh
Guru telah mencelakai kedua biksuni sepuh? Mengapa pula mereka ingin
membalaskan kematian kedua biksuni sepuh sebelum aku menyerahkan jabatan ketua
kepada orang lain? Mengapa pula mereka harus menyuruh Adik Yilin giat berlatih
pedang siang dan malam?”
Ia tetap saja berdiri
merenungkan hal itu sampai cukup lama, tapi tidak juga menemukan jawabannya.
Perlahan-lahan ia pun melangkah sambil berpikir, “Sebaiknya besok aku bertanya
langsung kepada Kakak Yihe dan Kakak Yiqing.”
Tiba-tiba Linghu Chong melihat
bayangannya bergerak-gerak. Ketika memandang ke atas tampak sang rembulan
bersinar terang dan seperti menggantung di pucuk pepohonan. Seketika itu pula
seberkas pikiran terlintas dalam benaknya, hampir saja ia berteriak sendiri.
Dalam hati ia berkata, “Seharusnya aku menyadari hal ini sejak dulu. Mengapa
mereka sudah lama mengetahui hal ini, sebaliknya aku tidak?”
Ia pun menyelinap ke pinggir
tembok di luar sebuah rumah kecil, lalu berdiri merapat agar bayangannya tidak
terlihat para peronda. Di tempat itu barulah ia merenung dan berpikir dengan
cermat. Ia mencoba mengenang kembali kematian Biksuni Dingxian dan Biksuni
Dingyi di Biara Shaolin dulu. Waktu itu Biksuni Dingxian sempat mewariskan
jabatan ketua Perguruan Henshan kepadanya namun tidak mengatakan sama sekali
siapa orang yang telah mencelakai dirinya. Ketika Linghu Chong memeriksa
jenazah kedua biksuni sepuh, pada tubuh mereka tidak terdapat suatu luka
apapun, juga tidak menderita luka dalam atau mati keracunan. Untuk membuka
pakaian mereka juga rasanya tidak pantas. Dengan demikian penyebab kematian
mereka sungguh sangat misterius.
Kemudian setelah meninggalkan
Biara Shaolin dan beristirahat dalam sebuah gua, Ren Yingying pernah bercerita
bahwa dirinya sempat membuka baju kedua biksuni sepuh itu untuk memeriksa luka
mereka. Ternyata pada ulu hati keduanya terdapat satu titik merah bekas tusukan
jarum, jelas luka inilah yang mengakibatkan kematian mereka. Saat itu Ren
Yingying melonjak terkejut dan berkata, “Jarum beracun. Di dunia persilatan ini
siapa yang biasa menggunakan jarum beracun?”
Ren Woxing dan Xiang Wentian
yang kaya pengalaman juga tidak tahu menahu ketika ditanyai tentang hal ini.
Hanya saja, Ren Woxing menyebutkan bahwa itu bukan jarum beracun, melainkan
sebuah jarum tajam biasa namun ditusukkan tepat ke titik maut mereka berdua.
Namun, tusukan pada ulu hati Biksuni Dingxian agak melenceng sehingga nyawanya
tidak langsung putus sampai kedatangan Linghu Chong.
Waktu itu Linghu Chong dan Ren
Yingying bersama membahas siapa kira-kira pembunuh kedua biksuni sepuh. Karena
jarum tersebut menusuk tepat di ulu hati, maka serangan tersebut jelas
dilakukan secara berhadapan. Jadi, orang yang mencelakai kedua biksuni sudah
pasti seorang tokoh silat papan atas. Meskipun tidak menemukan siapa sebenarnya
pelaku pembunuhan itu, namun Linghu Chong dan Ren Yingying sepakat mengucapkan
janji bahwa mereka tidak akan pernah mengampuni penjahat itu.
Teringat akan hal ini, tanpa
terasa kedua tangan Linghu Chong mendorong dinding dengan badan agak gemetar.
Ia merenung, “Tusukan jarum seperti itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang
telah mempelajari Kitab Pedang Penakluk Iblis atau Kitab Bunga Mentari.
Dongfang Bubai selalu berada di Tebing Kayu Hitam sehingga tidak mungkin ia
menjadi pelakunya. Lagipula jika Dongfang Bubai menyusup ke dalam Biara Shaolin
tidak mungkin tusukan jarumnya pada ulu hati Biksuni Dingxian bisa sampai
melenceng. Jurus Pedang Penakluk Iblis yang dipelajari Zuo Lengchan adalah
palsu, tidak sempurna, jadi tidak mungkin pula ia yang membunuh kedua biksuni
sepuh. Lin Pingzhi sendiri mungkin baru saja mendapatkan Kitab Pedang Penakluk
Iblis, atau mungkin ia sama sekali belum mendapatkannya. Aku masih ingat
bagaimana suara Lin Pingzhi saat itu. Benar, suaranya belum melengking seperti
perempuan. Jelas kalau ia belum mempelajari Jurus Pedang Penakluk Iblis”
Berpikir sampai di sini tanpa
terasa dahi Linghu Chong mengalirkan keringat dingin. Ia tahu saat itu yang
mampu menggunakan sebatang jarum kecil untuk membinasakan kedua biksuni sepuh
dari depan hanyalah Yue Buqun seorang. Teringat pula olehnya bagaimana Yue
Buqun menyusun rencana sangat matang agar dapat menjadi ketua Perguruan Lima
Gunung. Ia sengaja membiarkan Lao Denuo menyusup ke dalam Perguruan Huashan
selama belasan tahun tanpa membuka penyamarannya. Ia juga sengaja membiarkan
Lao Denuo membawa lari Kitab Pedang Penakluk Iblis palsu untuk menjebak Zuo
Lengchan, sehingga dengan mudah kedua mata Zuo Lengchan dapat dibutakan olehnya
di atas Panggung Fengshan. Mengingat Biksuni Dingxian dan kawan-kawannya
bersikeras menentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu, maka
Yue Buqun telah mencari kesempatan untuk membunuhnya demi mengurangi pihak yang
menentang cita-citanya. Pantas saja Biksuni Dingxian tidak mau menyebutkan
siapa pembunuhnya di depan Linghu Chong. Andai saja si pembunuh adalah Zuo
Lengchan atau Dongfang Bubai, tentu biksuni sepuh itu tidak akan
menutup-nutupinya.
Linghu Chong merenungkan
kembali percakapannya dengan Ren Yingying di gua saat hujan salju waktu itu.
Ren Yingying bercerita setelah kalah bertanding di Biara Shaolin, Yue Buqun
menendang dada Linghu Chong sampai pemuda itu jatuh pingsan, namun kakinya
sendiri juga ikut tergetar patah. Hal ini sangat mengherankan Ren Yingying,
bahkan Ren Woxing juga tidak habis pikir atas kejadian ini. Sebagaimana yang ia
ketahui, di dalam tubuh Linghu Chong memang sudah banyak berkumpul berbagai
tenaga dalam yang dihisapnya dari beberapa tokoh silat papan atas. Namun
demikian, untuk bisa menggunakan campuran tenaga dalam itu supaya bisa
menyerang balik jika lawan melakukan serangan diperlukan latihan yang cukup
keras. Jika Ren Woxing memang sudah bisa melakukannya, tetapi Linghu Chong
waktu itu jelas belum mencapai tingkat demikian. Maka, apa yang terjadi saat
itu adalah Yue Buqun sengaja mengerahkan tenaga dalam untuk mematahkan kakinya
sendiri sambil menendang dada Linghu Chong. Ia sengaja memperlihatkan kelemahan
dirinya di hadapan Zuo Lengchan agar saingan beratnya itu memandang rendah
terhadap dirinya.
Begitulah, dalam pertarungan
di Panggung Fengshan, Zuo Lengchan terlalu meremehkan Yue Buqun sehingga
usahanya yang dirintis dengan susah payah sekian lama yaitu menggabungkan
Serikat Pedang Lima Gunung di bawah kekuasaannya harus berakhir dengan sia-sia,
sementara orang lain yang menikmati keuntungan.
Sebenarnya hal ini cukup mudah
untuk dipahami. Akan tetapi, selama ini Linghu Chong tidak pernah menaruh
curiga kepada Sang Guru. Mungkin juga, rasa curiga kepada Yue Buqun sebenarnya
ada namun segera dikuburnya dalam-dalam. Setiap kali ia memikirkan peristiwa
pembunuhan kedua biksuni sepuh selalu saja bayangan sang guru tidak muncul
dalam benaknya. Entah karena ia memang tidak ingin memunculkannya, atau mungkin
karena takut. Namun, kali ini begitu mendengar percakapan Yihe dan Yiqing
seketika rasa curiganya kepada Yue Buqun langsung bangkit begitu saja.
Seumur hidup Linghu Chong
selalu menghormati dan menyayangi Yue Buqun. Tak disangka Sang Guru ternyata
begitu keji dan munafik. Ia merasa hidupnya kini seolah tak berarti lagi.
Seluruh tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Kakinya terasa berat untuk
melangkah menuju bangunan-bangunan lain di lingkungan biara Henshan tersebut.
Akhirnya ia memutuskan untuk mencari tempat sepi di salah satu lembah dan tidur
di situ.
Keesokan harinya Linghu Chong
pergi ke Lembah Tongyuan, yaitu tempat tinggal para jago silat golongan hitam
yang dulu ikut bergabung ke dalam Perguruan Henshan. Saat itu hari sudah mulai
terang. Linghu Chong berjalan menyusuri tepian sungai kecil. Di atas aliran air
yang jernih ia pun bercermin kalau-kalau ada penyamarannya yang rusak. Begitu
sampai di bangunan tempat tinggal para jagoan itu, ia langsung masuk melalui
pintu utama. Namun, baru saja beberapa langkah mendadak terdengar suara ramai
berkumandang dari dalam.
Di dalam pekarangan tersebut
terdapat banyak orang. Beberapa di antara mereka berteriak-teriak, “Sungguh
aneh! Keparat mana yang melakukan ini semua?”
“Ya, benar-benar bangsat!
Kapan hal ini dilakukan? Mengapa tiada seorang pun yang tahu?”
“Hei, mereka ini bukan
jago-jago lemah. Mengapa mereka bisa dikerjai orang lain tanpa bersuara sedikit
pun?”
Dari suara ribut-ribut itu
Linghu Chong dapat menduga bahwa di dalam tentu terjadi suatu hal yang luar
biasa. Segera ia menyelinap masuk. Dilihatnya di pekarangan dalam dan serambi
samping sudah penuh berdiri banyak orang. Semuanya menengadah, memandang ke
pucuk pohon gongsun yang berdiri di tengah halaman pekarangan bangunan
tersebut.
Linghu Chong ikut mendongak ke
atas. Seketika ia pun terheran-heran. Dilihatnya pada pucuk pohon yang
tingginya belasan meter itu tergantung delapan orang. Mereka adalah tujuh orang
yang dulu pernah mengeroyok Yu Canghai karena mengira ketua Perguruan Qingcheng
itu menyimpan Kitab Pedang Penakluk Iblis, sedangkan seorang lagi adalah pria
berpakaian saudagar. Ketujuh orang itu adalah Nyonya Zhang, Yan Sanxing, Qiu
Songnian, Biksu Xibao, Pendeta Yuling, Wu Baiying, dan Zhou Gutong. Sementara
yang berpakaian saudagar adalah You Xun si Manusia Licin Susah Dipegang. Sepertinya
kedelapan orang itu semua dalam keadaan tertotok. Kaki dan tangan mereka diikat
dan tubuh mereka digantung di atas ketinggaian tiga meter dari tanah. Tampak
tubuh mereka terayun-ayun pula akibat hembusan angin.
Mulut kedelapan orang itu
tidak bisa bersuara, sementara wajah mereka bersemu merah menahan malu. Yang
lebih parah lagi, kedua ekor ular hitam piaraan Yan Sanxing berkeliaran merayap
di tubuh mereka. Kalau yang dirambati adalah tubuh Yan Sanxing tentu tidak
menjadi soal, karena ia bergelar si Pengemis Jahat Berular Dua. Namun, jika
kedua ular itu merayap pada ketujuh orang lainnya tentu masing-masing merasa
khawatir dan ngeri.
Tiba-tiba seseorang meloncat
ke atas. Ia tidak lain adalah Ji Wushi si Kucing Malam. Dengan sebilah belati
dipotongnya tali yang menggantung Wu Baiying dan Zhou Gutong. Seketika tubuh
kedua orang yang dijuluki Sepasang Orang Aneh Tongbai itu pun jatuh ke bawah.
Segera seorang pendek bulat menangkap tubuh mereka. Si cebol ini tidak lain
adalah Lao Touzi. Dalam sekejap saja Ji Wushi sudah berhasil menjatuhkan
kedelapan orang itu ke bawah dan masing-masing ditangkap oleh orang-orang
lainnya. Satu persatu totokan pada tubuh mereka pun dibuka pula.
Begitu bebas, Qiu Songnian
langsung mencaci maki dengan kata-kata yang paling kotor. Namun, tiba-tiba
kedelapan orang itu saling pandang dengan sikap yang lucu. Ada yang terkejut,
ada pula yang tertawa geli.
Sewaktu Zu Qianqiu memeriksa,
ternyata pada dahi mereka masing-masing telah tertulis satu kata. Ada yang
tertulis “awas” ada pula yang tertulis “ketahuan” dan sebagainya. Jika tulisan
pada dahi kedelapan orang itu dibaca berurutan, maka akan tersusun kalimat yang
berbunyi: “Persekongkolan licik sudah ketahuan, awas jiwa anjing kalian.”
Orang-orang yang lainnya satu
per satu mengulangi ucapan Zu Qianqiu. “Persekongkolan licik sudah ketahuan,
awas jiwa anjing kalian.”
Biksu Xibao yang berhati kasar
langsung mencaci maki, “Persekongkolan licik ketahuan apanya? Memangnya siapa
yang berjiwa anjing?”
Pendeta Yuling segera mencegah
rekannya itu memaki lebih lanjut. Ia lantas menghapus huruf di dahinya
menggunakan air ludah.
Zu Qianqiu pun bertanya,
“Saudara You, entah bagaimana kalian berdelapan bisa dikerjai orang, dapatkah
kau menceritakannya?”
You Xun tersenyum-senyum dan
menjawab, “Sungguh memalukan bila kuceritakan. Semalam aku tidur dengan sangat
nyenyak. Entah mengapa tahu-tahu titik nadiku sudah tertotok dan tubuhku
tergantung tinggi di atas pohon ini. Mengenai diriku yang tidak becus ini boleh
dikata wajar diperlakukan demikian. Tapi, tokoh-tokoh yang serbacerdas seperti
Pendeta Yuling, Nyonya Zhang, dan yang lain ternyata juga ikut dikerjai. Maka,
bajingan yang mengerjai kami itu kemungkinan besar memakai semacam obat bius.”
Nyonya Zhang menyahut, “Huh,
mungkin seperti itu!” Ia tidak ingin banyak bicara dan segera pergi ke dalam
untuk mencuci muka disusul Pendeta Yuling yang lain.
Orang-orang di tempat itu
tidak ikut pergi melainkan bercakap-cakap ramai membicarakan kejadian aneh
tersebut. Kebanyakan mereka berkata, “Ucapan You Xun tidak lengkap. Pasti ada
suatu rencana yang disembunyikannya. Jika tidak, mengapa di antara kita semua
yang berjumlah ratusan ini hanya mereka berdelapan saja yang dibius dan
digantung?” Orang-orang itu juga bingung memikirkan maksud dari kalimat
“Persekongkolan licik sudah ketahuan”, entah persekongkolan licik apa yang
dimaksud?
“Orang sakti dari mana pula
yang bisa meringkus dan menggantung mereka berdelapan?” tanya mereka bingung.
Terdengar seseorang di antara
mereka tertawa dan berkata, “Untung sekali hari ini Enam Setan Lembah Persik
tidak berada di sini. Kalau mereka di sini tentu urusan ini akan bertambah
runyam.”
“Dari mana kau tahu mereka
tidak berada di sini? Keenam orang itu suka berbuat gila-gilaan. Bukan mustahil
apa yang terjadi ini adalah hasil perbuatan mereka,” kata seorang lagi.
“Tidak, tidak mungkin
perbuatan mereka,” ujar Zu Qianqiu.
“Bagaimana Saudara Zu dapat
mengetahuinya?” tanya orang pertama tadi.
“Meski ilmu silat Enam Dewa
Lembah Persik sangat bagus, namun isi kepala mereka sangat terbatas,” kata Zu
Qianqiu. “Jangankan kalimat-kalimat itu, untuk menulis kata ‘persekongkolan’
saja aku jamin mereka tidak bisa.”
Semua orang pun bergelak tawa
membenarkan ucapan Zu Qianqiu. Mereka terus saja bercakap-cakap tentang kejadian
lucu dan aneh itu sehingga tidak seorang pun memerhatikan babu tua samaran
Linghu Chong yang sedang memasang wajah dungu.
Linghu Chong sengaja mengambil
sepotong kain lap untuk membersihkan ruangan itu dengan kepala menunduk, tapi
diam-diam ia mengawasi gerak-gerik mereka. “Apa yang sebenarnya direncanakan
oleh kedelapan orang tadi? Apakah mereka berniat mengganggu ketentraman
Perguruan Henshan? Siapa pula yang telah menangkap dan menggantung mereka?”
Lewat tengah hari, tiba-tiba
terdengar suara orang berteriak-teriak di luar, “Aneh, sungguh aneh! Semuanya
lekaslah kemari, coba lihat itu!”
Serentak orang-orang pun
berlari keluar. Linghu Chong juga ikut serta namun dengan langkah
perlahan-lahan. Tampak di samping kanan pekarangan puluhan orang sedang
mengerumuni sesuatu. Ketika Linghu Chong sampai di sana, orang-orang itu sedang
ramai memperbincangkan sesuatu. Rupanya ada belasan orang duduk tidak bergerak
dengan wajah menghadap tebing, jelas titik nadi mereka telah tertotok semua.
Pada dinding batuan cadas tampak beberapa huruf berwarna kuning, yang juga
berbunyi: “Persekongkolan licik sudah ketahuan, awas jiwa anjing kalian”.
Tulisan itu dibuat dengan menggunakan air tanah liat, tampaknya belum kering
benar, pertanda baru saja ditulis.
Para jagoan silat itu segera
memutar tubuh belasan orang itu sehingga tampak wajah mereka masing-masing.
Ternyata di antara mereka terdapat Sepasang Beruang dari Gurun Utara. Ji Wushi
kembali tampil ke muka untuk membuka totokan pada tubuh Si Beruang Hitam dan Si
Beruang Putih tersebut. Namun, yang dibukanya hanyalah totokan pada titik bisu
saja, sehingga mereka hanya bisa berbicara tapi tetap tidak bisa bergerak.
Ji Wushi lantas bertanya, “Ada
sesuatu yang tidak kumengerti, maka itu aku ingin meminta keterangan kepada
kalian. Coba jelaskan, sesungguhnya kalian berdua terlibat suatu persekongkolan
rahasia apa? Semua orang di sini penasaran ingin mengetahuinya.”
“Benar, benar! Persekongkolan
apa yang kalian kerjakan, katakan pada kami!” seru orang banyak serentak.
“Persekongkolan kakek moyangmu
tujuh belas turunan! Persekongkolan apa lagi? Persekongkolan anak bulus, hah?”
sahut Si Beruang Hitam mencaci maki.
“Kalau begitu, kalian ditotok
oleh siapa? Tentu kau bisa menceritakan pada kami, bukan?” tanya Zu Qianqiu pula.
Beruang Putih menjawab, “Tentu
bagus kalau aku bisa tahu. Aku tadi sedang berjalan-jalan di sini. Entah
bagaimana, tahu-tahu tubuhku rasanya kesemutan. Ternyata punggungku sudah
ditotok orang. Keparat, kalau benar laki-laki sejati seharusnya berkelahi dari
depan. Silakan pakai senjata macam apa juga akan kulayani. Tapi ini malah main
sergap, huh, kesatria macam apa? Dasar bangsat!”
“Boleh juga kalau kalian
berdua tidak mau berterus terang,” ujar Zu Qianqiu. “Entah ada rahasia apa,
tapi yang jelas urusan ini sudah ada yang tahu. Jika muslihat ini dilanjutkan,
kukira tidak akan ada hasilnya. Pesanku pada kalian semua supaya lebih
berhati-hati.”
“Saudara Zu,” sahut seseorang,
“mereka tidak mau berterus terang. Kita tinggalkan saja mereka di sini selama tiga
hari tiga malam biar kelaparan.”
“Benar,” sahut yang lain
menanggapi. “Jika kita membebaskan mereka, jangan-jangan orang sakti itu akan
marah kepada kita dan bisa-bisa malah kita sendiri yang akan digantung di atas
pohon. Kalau begitu bisa runyam jadinya.”
“Yang kalian katakan tidak
salah,” kata Ji Wushi. Ia kemudian berkata kepada Sepasang Beruang Gurun Utara
dan yang lain, “Maaf, Saudara-Saudara. Bukannya aku tidak mau menolong kalian,
tapi masalahnya aku sendiri juga merasa takut.”
Beruang Hitam dan Beruang
Putih saling pandang, lalu sama-sama memaki dengan kata-kata kotor. Hanya saja
mereka tidak berani terang-terangan memaki Ji Wushi dan yang lain secara
langsung. Selama totokan mereka belum terbuka sungguh berbahaya jika sampai
membuat orang-orang itu marah.
Ji Wushi hanya tertawa dan
berkata, “Semuanya, mari kita pergi dari sini!”
Mengikuti ajakan Si Kucing
Malam, orang-orang yang berkerumun itu lantas membubarkan diri. Linghu Chong
juga ikut melangkah perlahan-lahan meninggalkan tempat tersebut. Ketika ia
keluar meninggalkan pekarangan bangunan itu, tiba-tiba kembali terdengar suara
ribut-ribut dari dalam.
Begitu menengok ke arah
datangnya suara, Linghu Chong melihat orang-orang sedang memandang ke atas
sambil bergelak tawa. Ia pun ikut mengangkat kepalanya dan melihat di atas
pohon gongsun kembali terdapat dua orang sedang tergantung-gantung dengan kedua
kaki di atas. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata kedua orang itu
adalah Tian Boguang dan Biksu Bujie.
Kontan saja Linghu Chong
terheran-heran. Ia berpikir, “Biksu Bujie dan Tian Boguang masing-masing adalah
ayah dan murid Adik Yilin. Bagaimanapun juga mereka tidak mungkin punya niat
buruk terhadap Perguruan Henshan. Justru sebaliknya, kalau Perguruan Henshan
mengalami kesulitan tentu mereka berdua akan tampil membantu. Tapi, mengapa
mereka pun digantung di atas pohon? Siapa sebenarnya yang melakukan ini semua?”
Linghu Chong benar-benar tak
habis pikir. Tadinya ia menduga ada orang sakti telah meringkus kelompok Nyonya
Zhang bertujuh, You Xun, Sepasang Beruang Gurun Utara, dan belasan lainnya
karena kemungkinan besar mereka hendak mengacau di Gunung Henshan. Namun,
dugaan itu langsung buyar begitu melihat Biksu Bujie dan Tian Boguang juga
mengalami nasib yang sama. Sekilas terbayang suatu pikiran dalam benaknya,
“Biksu Bujie bersifat polos dan lugu seperti anak kecil. Biasanya ia jarang
memiliki musuh. Tapi mengapa ia pun digantung orang di atas pohon? Ah, tentu
ada orang yang sengaja bercanda dengannya. Untuk menangkap Biksu Bujie rasanya
tidak mungkin dilakukan oleh satu orang saja. Kemungkinan besar pelakunya
adalah Enam Dewa Lembah Persik.”
Akan tetapi, lantas terpikir
pula olehnya tentang perkataan Zu Qianqiu tadi, bahwa Enam Dewa Lembah Persik
tidak mungkin mampu menulis kata-kata sebagus itu. Maka, dengan penuh tanda
tanya Linghu Chong melangkah ke dalam pekarangan. Di tengah suara riuh gelak
tawa orang banyak, ia melihat pada leher Biksu Bujie dan Tian Boguang
masing-masing terpasang seutas pita kertas berwarna kuning yang mengandung
tulisan. Pita yang berada pada tubuh Bujie bertuliskan: “Manusia tidak
berperasaan nomor satu di dunia, paling doyan perempuan.” Sementara itu pita
kertas pada leher Tian Boguang bertuliskan: “Manusia tidak berguna nomor satu
di dunia, sangat tidak becus bekerja.”
Begitu membaca kedua tulisan
tersebut seketika timbul suatu pikiran dalam benak Linghu Chong, “Kedua pita
kertas ini sepertinya salah pasang. Bagaimana mungkin Biksu Bujie dikatakan
‘manusia yang paling doyan perempuan’? Manusia yang paling doyan perempuan
bukankah seharusnya dialamatkan kepada Tian Boguang? Sebaliknya, sebutan
‘manusia tidak berguna’ seharusnya diberikan kepada Biksu Bujie. Dia ini hidup
tanpa aturan, tidak punya pantangan sama sekali. Tidak pantang membunuh, tidak
pantang makan dan minum, segalanya ia lahap. Sesudah menjadi biksu pun ia
berani menikahi biksuni. Hanya saja sebutan ‘tidak becus bekerja’ entah apa
maksudnya?”
Akan tetapi, kedua pita kertas
itu masing-masing terpasang dengan rapi di leher mereka berdua. Sepertinya
orang sakti yang telah menggantung Bujie dan Tian Boguang tidak dalam keadaan
tergesa-gesa, sehingga tidak mungkin salah memasang.
Sementara itu, para jagoan
lainnya menjadi gempar melihat pemandangan ini. Mereka tertawa sambil
menunjuk-nunjuk kedua pita kertas tersebut dan berkata, “Manusia tidak
berperasaan nomor satu di dunia seharusnya Tian Boguang. Tapi, kenapa biksu
besar ini disebut paling doyan perempuan?”
Ji Wushi dan Zu Qianqiu
berunding sejenak dengan suara perlahan. Mereka pun merasa kejadian ini agak
mengundang tanda tanya. Mereka juga sadar bahwa Biksu Bujie berteman baik
dengan Linghu Chong. Maka itu, biksu besar tersebut dan Tian Boguang harus
segera ditolong turun lebih dahulu.
Segera Ji Wushi melompat ke
atas pohon. Dengan cekatan ia memotong tali pengikat kedua orang itu. Berbeda
dengan kelompok Nyonya Zhang dan Sepasang Beruang Gurun Utara yang langsung
mencaci maki begitu bebas dari totokan, Biksu Bujie dan Tian Boguang ternyata
hanya diam saja dengan wajah murung.
Perlahan Ji Wushi bertanya,
“Biksu besar, kenapa kau juga ikut tergantung di atas?”
Bujie hanya
menggeleng-gelengkan kepala. Perlahan ia melepas pita yang terpasang di
lehernya kemudian membaca tulisan tersebut. Setelah termangu-mangu cukup lama
sambil memandangi pita tersebut, tiba-tiba ia menangis keras sambil
membanting-banting kaki.
Kejadian ini benar-benar di
luar dugaan. Seketika suara gelak tawa orang banyak itu menjadi lenyap dan
masing-masing memandangi Bujie dengan terheran-heran. Bujie masih terus saja
menangis sambil memukul-mukul dada sendiri. Semakin menangis ia terlihat
semakin berduka.
“Kakek Guru, janganlah kau
bersedih,” ujar Tian Boguang membujuk. “Kebetulan saja kita disergap lawan.
Kita harus menemukan keparat itu dan mencincang tubuhnya ….” Belum selesai ia
berkata tiba-tiba tangan Bujie menampar wajahnya. Seketika tubuh Tian Boguang
pun terdorong sampai beberapa meter jauhnya dan hampir saja roboh terjungkal.
Sebelah pipinya langsung berwarna merah membekas tangan.
“Bajingan!” seru Bujie memaki.
“Kita digantung di sini adalah sebagai buah perbuatan atas dosa-dosa kita.
Beraninya kau ... beraninya kau ... beraninya kau hendak membunuh orang?”
Tian Boguang kebingungan
mendengarnya. Seseorang yang telah menangkap dan menggantung dirinya beserta
sang kakek guru tentu sangat luar biasa. Jika tidak, mengapa Biksu Bujie begitu
segan kepada orang itu? Karena tidak tahu seluk-beluk masalah ini, Tian Boguang
terpaksa hanya menunduk dan menjawab, “Baik, baik!”
Sejenak Bujie hanya termenung
di tempatnya. Tiba-tiba ia kembali menangis sambil memukul-mukul dada sendiri.
Kemudian tangannya menghantam lagi ke belakang dengan sangat cepat. Untungnya
Tian Boguang bergerak lebih cepat, sehingga sempat menghindari pukulan itu
sambil berteriak, “Kakek Guru!”
Sekali pukulannya meleset,
Bujie tidak mengulanginya lagi. Namun tangannya lantas berputar balik dan
menghantam sebuah meja batu di tengah halaman itu dengan sangat keras. Seketika
kerikil-kerikil kecil pun melesat berhamburan. Kedua telapak tangan Bujie terus
saja menghantam secara bergantian disertai jerit tangis keluar dari mulutnya.
Makin menghantam pukulannya makin keras. Ia tidak peduli meski kedua tangannya
berlumuran darah terkena potongan meja tersebut. Akhirnya, setelah memukul
sepuluh kali, meja batu itu pun hancur menjadi empat potongan kecil yang
terlempar ke empat penjuru.
Semua orang terkejut
menyaksikan kekuatan pukulan Bujie. Kini tidak seorang pun berani membuka suara
apalagi bergelak tawa. Masing-masing khawatir jangan-jangan Bujie lantas melampiaskan
kemarahan kepada mereka. Lagipula siapa yang mau kepalanya dihancurkan oleh
pukulan biksu besar tersebut? Tidak seorang pun dari mereka yang merasa kepala
masing-masing lebih keras daripada meja batu yang telah hancur itu.
Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan Ji
Wushi hanya saling pandang dengan perasaan bingung. Masing-masing
bertanya-tanya apa sebenarnya yang telah menimpa diri Biksu Bujie.
Sementara itu, Tian Boguang
yang menyadari adanya gelagat kurang baik segera berkata, “Tolong kalian jaga
Kakek Guru. Aku akan pergi memberi tahu Guru.”
Mendengar itu Linghu Chong
berpikir, “Meski aku sudah menyamar tapi Adik Yilin berpandangan cermat.
Jangan-jangan penyamaranku ini bisa diketahui olehnya. Aku pernah menyamar
sebagai perwira tentara, pernah menyamar sebagai petani, tapi semuanya adalah
kaum laki-laki. Sekarang aku menyamar sebagai perempuan bisu, rasanya sangat
rikuh dan canggung. Gawat kalau sampai Adik Yilin mencurigaiku.”
Segera ia pun bersembunyi di
dalam rumah penyimpanan kayu bakar di belakang pekarangan dan berpikir,
“Sepasang Beruang Gurun Utara dan yang lain masih mematung di sana. Tentu Zu
Qianqiu, Lao Touzi, dan Ji Wushi berniat pergi untuk menguping percakapan
mereka nanti malam. Sebaiknya aku tidur dulu dan bangun nanti malam untuk ikut
mendengarkan pembicaraan mereka pula.”
Linghu Chong memang sudah
sangat mengantuk karena ia hanya tidur sebentar sore kemarin di dalam gua.
Akhirnya ia pun terlelap sambil sayup-sayup mendengar suara tangisan Biksu
Bujie yang aneh dan lucu itu.
Sewaktu terbangun ternyata
hari sudah gelap. Ia pun melangkah ke dapur mencari nasi atau makanan lain di
sana. Tidak seorang pun yang menaruh perhatian kepadanya. Beberapa lama
kemudian, ketika suasana sudah sunyi, ia lantas berjalan memutar ke belakang
gunung dan perlahan-lahan mendekati tempat Sepasang Beruang Gurun Utara dan
yang lain dilumpuhkan. Sesudah agak dekat, ia pun berjongkok di seberang sebuah
sungai kecil dan di situlah ia memasang telinga untuk mendengarkan.
Tidak lama kemudian terdengar
suara napas banyak orang di depan tempatnya bersembunyi. Paling tidak ada
belasan orang yang tersebar di sekitar situ. Diam-diam Linghu Chong merasa geli
dan berpikir, “Mereka pasti hendak menguping pembicaraan seperti aku. Di antara
orang-orang itu, Ji Wushi memang yang paling cerdik. Ia sengaja membuka totokan
pada titik bisu Sepasang Beruang Gurun Utara, namun tidak membuka titik bisu
korban lainnya. Kedua beruang itu agak ceroboh dan suka berbicara sembarangan.
Jika totokan yang lain ikut dibuka, tentu salah seorang yang cerdik di antara
mereka akan segera melarang keduanya banyak bicara.”
Benar juga, sesaat kemudian
terdengar Beruang Putih sedang marah-marah dan memaki, “Bangsat, nyamuknya
banyak sekali. Bisa-bisa darahku akan terhisap habis. Nyamuk busuk, nyamuk
bangsat, terkutuklah delapan belas keturunan nenek moyangmu!”
“Aneh,” sahut Beruang Hitam
menanggapi dengan tertawa. “Nyamuk-nyamuk ini kenapa hanya menggigitmu saja dan
tidak menggigit diriku?”
“Itu karena darahmu bau.
Nyamuk tidak doyan makan darahmu,” sahut Beruang Putih jengkel.
“Justru lebih baik aku
memiliki darah yang bau daripada digigit beratus-ratus nyamuk sekaligus,” ujar
Beruang Hitam.
Kembali Beruang Putih mencaci
maki dengan kata-kata kotor. Diam-diam Linghu Chong membayangkan bagaimana
rasanya digigit beratus-ratus nyamuk sekaligus, sedangkan badan tidak bisa
bergerak sama sekali. Sungguh rasanya memang sangat menjengkelkan.
Beruang Putih kembali berkata,
“Bila totokan ini sudah terbuka, maka orang pertama yang akan kucari untuk membuat
perhitungan adalah Ji Wushi si kucing bangsat itu. Akan kutotok titik nadinya,
lalu kumakan daging pahanya sedikit demi sedikit.”
“Kalau aku lebih suka makan
daging para biksuni muda itu,” sahut Beruang Hitam sambil tertawa. “Kulit
mereka halus, dagingnya putih, tentu jauh lebih lezat dan gurih.”
Beruang Putih menukas, “Tapi
Tuan Yue memerintahkan kita untuk menangkap para biksuni dan membawanya ke
Huashan, bukan untuk memakan mereka.”
“Jumlah biksuni cilik itu ada
beratus-ratus orang,” jawab Beruang Hitam, “kalau kita makan dua atau tiga mana
mungkin Tuan Yue bisa tahu?”
Linghu Chong terperanjat
mendengarnya. Ia merenung, “Hah, Guru telah menyuruh mereka? Kenapa Guru
memerintahkan mereka menangkap murid-murid Henshan untuk dibawa ke Huashan? Apakah
ini yang dimaksud dengan ‘persekongkolan licik’ itu? Lantas, bagaimana mereka
bisa menerima perintah dari Guru?”
Tiba-tiba kembali terdengar
Beruang Putih memaki dengan suara keras, “Bangsat! Bajingan!”
Beruang Hitam berkata gusar,
“Terserah kalau kau tidak mau memakan daging biksuni. Tapi kenapa pula harus
mencaci-maki seperti itu?”
“Aku tidak memaki dirimu. Aku
memaki nyamuk,” sahut Beruang Putih.
Bermacam-macam pikiran
memenuhi benak Linghu Chong. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki berjalan
mendekat ke arahnya. Orang itu berhenti tepat di belakangnya dan kemudian ikut
berjongkok sambil menarik lengan bajunya secara perlahan.
Linghu Chong sangat terkejut
tak terkatakan. Ia berpikir, “Siapakah yang datang ini? Jangan-jangan
penyamaranku telah diketahuinya.” Perlahan ia menoleh. Di bawah sinar rembulan
yang remang-remang dilihatnya seraut wajah bulat cantik. Ternyata yang datang
itu tidak lain adalah Yilin.
Perasaan Linghu Chong terkejut
bercampur senang. “Rupanya Adik Yilin telah mengetahui penyamaranku. Ah, aku
sendiri memang kurang percaya diri dengan samaranku ini,” pikirnya.
Yilin tampak memiringkan
wajahnya ke samping, serta sedikit memoncongkan bibirnya yang mungil itu seolah
mengajak Linghu Chong pergi ke suatu tempat. Ia lalu berdiri dan tangannya
terus saja menarik-narik lengan baju pemuda itu seperti ingin mengajak bicara
di tempat yang agak jauh. Linghu Chong pun menurut dan mengikuti biksuni muda
itu melangkah ke arah barat.
Keduanya berjalan tanpa
berbicara sepatah kata pun. Mereka menyusuri jalan sempit meninggalkan Lembah
Tongyuan. Setelah agak jauh berjalan tiba-tiba Yilin berkata, “Kau tidak dapat
mendengar pembicaraan mereka, untuk apa pula berada di sana? Kenapa kau datang
lagi ke tempat berbahaya itu?” Ucapan ini agaknya tidak ditujukan kepada Linghu
Chong, melainkan hanya bergumam sendiri saja.
Linghu Chong tercengang
mendengarnya. Ia hanya berpikir, “Apa maksud perkataannya ini? Kenapa ia
berkata aku tidak dapat mendengar pembicaraan mereka? Sebenarnya ia hanya
memancing atau benar-benar tidak mengenali penyamaranku?” Namun mengingat Yilin
biasanya tidak pernah bergurau, kemungkinan besar gadis itu memang belum
mengetahui penyamarannya.
Yilin kemudian membelok ke
utara, menuju ke arah Celah Tungku Porselen. Setelah melintasi suatu tanjakan,
akhirnya mereka pun sampai di tepi sebuah sungai kecil. Dengan suara perlahan
Yilin berkata, “Biasanya kita suka berbicara di sini. Apakah kau sudah bosan
denganku?” Sejenak kemudian ia lantas tertawa dan menyambung, “Kau tidak bisa mendengar
semua ucapanku. Nenek Bisu, justru jika kau bisa mendengar semua ucapanku, aku
takkan bicara lagi denganmu.”
Melihat nada Yilin yang
sungguh-sungguh, Linghu Chong yakin bahwa gadis itu mengira dirinya benar-benar
si babu bisu penunggu Kuil Gantung. Tiba-tiba timbul pikiran nakal dalam
benaknya, “Rupanya ia belum tahu penyamaranku. Aku jadi penasaran ingin tahu
apa yang hendak dibicarakannya.”
Setibanya di bawah pohon,
Yilin lantas mengajaknya duduk di atas sebongkah batu panjang. Linghu Chong
sengaja duduk miring dan membelakangi sinar rembulan agar wajahnya tidak tampak
dengan jelas. Dalam hati ia berpikir, “Apakah penyamaranku ini begitu mirip
dengan babu bisu itu, sampai-sampai Adik Yilin tidak dapat membedakannya?
Mungkin karena tertutup oleh gelapnya malam sehingga lumayan mirip. Ternyata
kepandaian Yingying dalam ilmu menyamar memang luar biasa.”
Yilin termangu-mangu
memandangi bulan sabit di langit sambil menghela napas. Hampir saja Linghu
Chong berkata, “Kau ini masih begitu muda, tapi mengapa menanggung beban begitu
berat? Sebenarnya ada masalah apa?” Untung saja ia segera ingat pada
penyamarannya dan mampu menahan diri.
Terdengar Yilin berkata lirih,
“Nenek bisu, kau sangat baik padaku. Aku sering mengajakmu ke sini dan
mengutarakan isi hatiku kepadamu. Selamanya kau tidak pernah merasa jemu.
Dengan sabar kau menunggu semua kisahku. Sebenarnya aku tidak sepantasnya
membuatmu repot. Tapi kau memang sangat baik, bagaikan ibu kandungku sendiri.
Aku tidak punya ibu. Jika punya, apakah mungkin aku berani berbicara kepadanya
seperti apa yang telah kubicarakan kepadamu?”
Mendengar biksuni muda itu
hendak membeberkan isi hatinya, Linghu Chong berpikir, “Sungguh tidak pantas
kalau aku mendengarkan rahasia orang lain dan membuatnya tertipu seperti ini.
Sebaiknya aku pergi saja.” Perlahan-lahan ia pun mencoba bangkit dari duduk.
Namun, Yilin lantas menarik
lengan bajunya dan berkata, “Nenek bisu, apakah kau hendak pergi?” Suaranya
terdengar penuh dengan rasa kecewa.
Linghu Chong memandang sekejap
padanya. Wajahnya tampak sayu, dengan sinar mata penuh permohonan. Perasaan
pemuda itu langsung luluh dan berpikir, “Raut mukanya tampak kurus. Jika isi
hatinya tidak disampaikan, jangan-jangan ia bisa jatuh sakit. Biarlah
kudengarkan semua apa yang akan diceritakannya. Asalkan dia tetap tidak
mengenali samaranku tentu dia tidak akan malu.” Berpikir demikian,
perlahan-lahan Linghu Chong pun duduk kembali.
“Nenek bisu, kau baik sekali
sudi mendengarkan isi hatiku,” ujar Yilin perlahan sambil merangkul pundak Linghu
Chong. “Harap kau mau menemani aku duduk sebentar di sini. Andai saja kau tahu
betapa kesal rasa hatiku.”
Diam-diam Linghu Chong merasa
geli. Ia merenung, “Dalam hidupku ini nasibku memang tidak jauh dari
nenek-nenek. Dulu ketika pertama kali bertemu Yingying, aku mengira ia seorang
nenek tua. Kini ganti Adik Yilin yang mengira diriku seorang nenek pula. Entak
berapa ratus kali aku memanggil nenek kepada Yingying. Kini aku harus
bersiap-siap jika Adik Yilin memanggil nenek pula kepadaku. Ini namanya hukum
karma, barangsiapa menanam, ia akan menuai hasil perbuatannya.”
Yilin terus saja berbicara,
“Pagi tadi ayahku hampir saja mati gantung diri, apakah kau tahu? Dia dikerek
tinggi-tinggi di atas pohon entah oleh siapa, pada tubuhnya ditempeli pula semacam
pita kertas yang menyebutkan bahwa Ayah adalah manusia tak berperasaan nomor
satu di dunia, manusia yang paling doyan perempuan. Padahal seumur hidup,
ayahku hanya memikirkan ibuku seorang. Entah atas dasar apa tuduhan itu
dialamatkan kepada Ayah? Pasti orang yang memasang pita itu telah salah tempel.
Pita yang seharusnya dipasang pada tubuh Tian Boguang justru ditempel di tubuh
Ayah. Padahal, sebenarnya ini bukan masalah besar. Cukup robek dan buang saja
pita itu sudah habis perkara. Tapi, kenapa pula Ayah harus gantung diri
segala?”
Linghu Chong terkejut
sekaligus merasa geli. Ia berpikir, “Kenapa Biksu Bujie mencoba bunuh diri?
Yilin mengatakan ayahnya hampir saja mati gantung diri, itu berarti Biksu Bujie
belum mati. Mungkin saja ada rahasia lain yang tersembunyi di balik masalah
ini. Rupanya Adik Yilin terlalu polos dan tidak mengetahui gelagat pada diri
ayahnya.”
Yilin menyambung, “Kemudian
Tian Boguang berlari-lari ke Puncak Jianxing untuk mencari diriku, tapi ia
bertemu Kakak Yihe. Tian Boguang pun dianggap telah melanggar peraturan berani
sembarangan datang ke Puncak Jianxing. Tanpa banyak bicara Kakak Yihe lantas
melolos pedang dan menyerangnya. Hampir saja jiwa Tian Boguang melayang,
sungguh sangat berbahaya.”
Seketika Linghu Chong pun teringat
pada hari pelantikannya sebagai ketua Perguruan Henshan. Ia berpikir, “Waktu
itu aku menempatkan para anggota baru yang kebanyakan laki-laki di Lembah
Tongyuan. Aku menetapkan peraturan bahwa tidak seorang pun di antara mereka
boleh naik ke Puncak Jianxing tanpa izin dariku. Apalagi seorang Tian Boguang
sudah terlanjur memiliki nama busuk sebagai mantan penjahat cabul. Sebaliknya,
Yihe terkenal berwatak keras, maka tidak heran begitu bertemu langsung main
senjata. Namun, ilmu silat Tian Boguang jauh lebih tinggi daripada murid-murid
Henshan pada umumnya. Yihe tidak mungkin mampu membunuhnya.”
Hampir saja Linghu Chong
hendak mengangguk sebagai tanda setuju atas ucapan Yilin tadi, namun ia segera
sadar bahwa dirinya sedang menyamar sebagai perempuan bisu tuli. “Tak peduli
apa pun yang ia katakan, apakah benar atau salah, sama sekali aku tidak boleh
menggeleng atau mengangguk. Si nenek bisu yang asli pasti tak bisa mendengar
apa pun yang ia ucapkan,” pikirnya.
Yilin kembali melanjutkan,
“Ketika Tian Boguang menjelaskan maksud kedatangannya, Kakak Yihe sudah
melancarkan belasan jurus. Untung Kakak Yihe segera menarik pedangnya sehingga
Tian Boguang tidak sampai terluka. Begitu mendengar berita itu aku segera
berlari ke Lembah Tongyuan, tapi Ayah sudah tidak terlihat lagi. Aku pun
bertanya kepada orang-orang. Mereka berkata Ayah tadi hanya menangis
meraung-raung di dalam pekarangan. Tidak seorang pun yang berani mendekatinya.
Setelah itu, Ayah menghilang entah ke mana. Aku lantas mencarinya di sekitar
Lembah Tongyuan, dan akhirnya kutemukan ia di belakang gunung sana dalam
keadaan tergantung di atas pohon. Aku sangat khawatir. Segera aku pun melompat
ke atas pohon itu. Kulihat seutas tali menjerat di lehernya. Sepertinya napas
Ayah sudah hampir putus. Syukur berkat Sang Buddha aku bisa datang pada saat
yang tepat. Kuturunkan Ayah dan ia pun sadar. Kami lantas saling berpelukan dan
menangis.”
Yilin terdiam sejenak lalu
melanjutkan, “Kulihat di leher Ayah masih tetap tertempel sehelai pita kertas
yang bertuliskan, ‘Manusia tak berperasaan nomor satu di dunia dan sebagainya’.
Kukatakan kepada Ayah, ‘Orang itu sungguh jahat. Berkali-kali ia mencoba
menggantungmu. Salah tempel pita kertas juga tidak dibetulkan.’
Sambil menangis Ayah menjawab,
‘Kali ini aku bukan digantung orang lain, tapi aku sendiri yang hendak gantung
diri. Aku … aku tidak ingin hidup lagi,’
Aku lantas menghiburnya,
‘Ayah, tentunya kau diserang mendadak oleh orang itu, dan karena kurang waspada
kau pun dipecundangi. Ayah tidak perlu sedih. Biarlah kita mencarinya untuk
bertanya. Kalau tidak bisa memberi alasan yang tepat, ganti kita yang menangkap
dan menggantungnya, lalu pita ini kita tempel pula di lehernya.’
Tapi Ayah menjawab, ‘Pita ini
ditujukan kepadaku, mana boleh digantung pada orang lain? Aku, Biksu Bujie,
memang manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia paling doyan
perempuan. Mana ada orang lain yang melebihi aku? Dasar anak kecil, jangan
sembarang bicara kalau kau tidak tahu seluk-beluknya.’
Wahai Nenek bisu, ucapan ayahku
ini sungguh aneh, bukan? Maka, aku pun bertanya, ‘Ayah, kau bilang pita kertas
ini tidak salah pasang?’
Ayah menjawab, ‘Sudah tentu
tidak salah. Aku … aku telah berdosa kepada ibumu. Kau tidak perlu
mengkhawatirkan aku, karena aku tidak ingin hidup lagi.’”
Linghu Chong teringat Biksu
Bujie pernah bercerita konon ia sangat mencintai ibu Yilin seorang. Namun,
karena perempuan itu seorang biksuni, Bujie pun meninggalkan rumah dan menjadi
biksu pula. Menurut jalan pikiran Bujie yang polos, hanya seorang biksu yang
pantas menikahi biksuni. Peristiwa ini benar-benar aneh dan jarang terjadi.
Bujie mengaku berdosa kepada ibu Yilin, mungkin karena di kemudian hari ia
jatuh hati kepada wanita lain. Pantas saja kalau ia mengaku sebagai “manusia
tak berperasaan, manusia paling doyan perempuan”. Berpikir sampai di sini,
Linghu Chong merasa agak jelas terhadap seluk-beluk permasalahan ini.
Terdengar Yilin melanjutkan,
“Karena Ayah menangis dengan sangat sedih, maka aku pun ikut menangis.
Sebaliknya, Ayah malah kemudian menghiburku dan berkata, ‘Anak manis, jangan
menangis, jangan menangis! Kalau Ayah nanti mati, tentu kau akan sebatang kara
di dunia ini dan siapa lagi yang akan menjaga dirimu?’ – Kata-katanya itu
justru membuat tangisku semakin keras.”
Diam-diam Linghu Chong melirik
dan melihat air mata bercucuran di pipi Yilin.
Dengan terisak-isak biksuni
muda itu melanjutkan, “Kemudian Ayah berkata pula, ‘Baiklah, aku tidak jadi
mati saja. Hanya saja, aku merasa tidak enak terhadap mendiang ibumu.’
Aku pun bertanya, ‘Sebenarnya
apa dosa Ayah terhadap Ibu?’
Ayah menghela napas lalu
menjawab dengan sedih, ‘Sebagaimana yang sudah kau ketahui, semula ibumu
seorang biksuni. Sekali melihat ibumu aku langsung tergila-gila. Bagaimanapun
juga aku bertekad harus menikahi dia. Tapi ibumu menyatakan keberatan karena
dia sudah menjadi biksuni, takut terhadap Sang Buddha. Lalu kukatakan bahwa aku
yang akan menanggung akibatnya. Kalau Sang Buddha marah biarlah Dia marah
kepadaku dan aku yang dikutuk. Ibumu menjawab bahwa orang awam seperti diriku
memang sepantasnya menikah dan punya anak, sedangkan ibumu sudah menyucikan
diri dan mempersembahkan jiwa raga untuk agama. Bila sampai punya pikiran
menyimpang, ibumu takut mendapat murka dari Sang Buddha. Kupikir ucapannya
cukup masuk akal. Namun, aku sudah bertekad akan menikahi ibumu. Untuk
menghindarkan ibumu dari derita bila kelak harus masuk neraka, maka aku pun
menjadi biksu. Kalau Sang Buddha marah biarlah marah kepadaku. Andaikan harus
masuk neraka biarlah kami suami-istri masuk bersama-sama.”
Mendengar itu Linghu Chong
merenung, “Biksu Bujie sungguh berhasrat besar. Ia menjadi biksu justru untuk
memikul beban dosa calon istrinya. Jika perasaannya sedemikian dalam, lantas
mengapa ia kemudian berpindah ke lain hati?”
Yilin melanjutkan, “Aku lantas
bertanya, ‘Apakah setelah itu Ayah bisa menikahi Ibu?’
Ayah menjawab, ‘Sudah tentu
kami menikah. Kalau tidak, lantas dari mana kau dilahirkan? Hanya saja, ini
semua memang salahku. Pada waktu kau berumur tiga bulan, aku menggendongmu
berjemur sinar matahari di depan pintu .…’
Aku menukas, ‘Berjemur sinar
matahari apa salahnya?’
Ayah menjawab, ‘Bukan itu
masalahnya. Kebetulan waktu itu ada seorang nyonya muda yang cantik lewat
dengan menunggang kuda. Ketika melihat seorang biksu berbadan besar menggendong
bayi mungil, ia pun memandang heran sambil memuji, ‘Cantik sekali bayi ini.’
Aku merasa senang dan menjawab, ‘Anda sendiri juga sangat cantik.’ – Nyonya itu
tertegun dan bertanya, ‘Dari mana kau dapatkan bayi ini?’ – Aku pun tersinggung
dan berkata, ‘Apa maksud ucapanmu? Bayi ini adalah anakku sendiri.’ – Nyonya
muda itu kelihatan marah dan memaki, ‘Aku bertanya baik-baik, kenapa kau malah
menggoda aku? Apakah kau sudah bosan hidup?’ – Aku menjawab, ‘Menggoda
bagaimana? Memangnya biksu bukan manusia, sehingga tidak boleh punya anak?
Kalau kau tidak percaya, baiklah, akan kubuktikan padamu.’ – Tak disangka
nyonya itu bertambah marah. Ia lantas melolos pedang dan melompat turun dari
kuda untuk kemudian menyerang diriku. Bukankah perbuatannya itu sungguh
keterlaluan?”
Dalam hati Linghu Chong merasa
geli. “Biksu Bujie benar-benar polos. Ia tidak merasa pantang berbicara apa
saja. Ia mengatakan segala yang ingin ia ucapkan. Namun, bagi orang lain
kata-katanya itu bisa jadi terkesan kurang sopan. Seorang biksu menggendong
anak bayi memang sudah janggal, apalagi itu anak kandungnya sendiri. Kalau
demikian kenapa tidak piara rambut saja?”
Terdengar Yilin masih saja
terus bercerita, “Kukatakan kepada Ayah, ‘Benar, nyonya muda itu memang agak galak.
Sudah jelas aku adalah anakmu dan ini tidak bohong, tapi kenapa dia melolos
senjata menyerang Ayah?’
Ayah menjawab, ‘Benar. Waktu
itu aku dapat menghindari serangannya sambil berkata, ‘Hei, kenapa kau
menyerang orang tanpa alasan? Anak ini kalau bukan anakku, memangnya anakmu?’
Ternyata ucapanku ini membuat nyonya itu bertambah marah. Sebanyak tiga kali
dia menusuk padaku. Karena semua serangannya tidak bisa mengenai diriku, maka
dia pun menyerang dengan lebih gencar. Sebenarnya aku tidak gentar padanya.
Namun waktu itu aku sedang menggendongmu dan takut kalau sampai kau terkena
pedangnya. Maka, ketika dia menusuk untuk kedelapan kalinya, aku mendapat
peluang dan segera kutendang perutnya hingga ia jatuh terguling. Nyonya itu
lantas merangkak bangun sambil terus memaki, ‘Dasar biksu jahat tidak tahu
malu, kotor dan rendah, suka melecehkan perempuan!’ – Pada saat itulah ibumu
pulang dari mencuci pakaian di tepi sungai dan mendengar caci maki wanita itu.
Setelah memaki, perempuan itu lantas pergi dengan kudanya. Ketika aku mengajak
ibumu bicara, ternyata ibumu tidak menjawab sama sekali, melainkan langsung
menangis. Aku bertanya mengapa dia menangis, namun dia tidak menjawabnya. –
Esok paginya ibumu lantas menghilang. Di atas meja kutemukan secarik kertas
bertuliskan, ‘Manusia tak berperasaan, suka main perempuan’. Aku sangat sedih
dan membawamu pergi mencari ibumu ke segala penjuru, tapi tak bisa menemukannya
lagi.’
Aku pun berkata, ‘Mungkin Ibu
mendengar caci maki perempuan itu terhadap Ayah dan menyangka Ayah benar-benar
telah menggoda perempuan itu.’
Ayah menjawab, ‘Benar, tuduhan
itu memang tidak beralasan. Tapi kemudian setelah kupikir-pikir lagi ternyata
tuduhan itu pun tidak salah. Sewaktu aku melihat perempuan itu, seketika timbul
dalam pikiranku bahwa wanita itu memang cantik. Aku tidak hanya berpikiran
demikian bahkan juga sempat memujinya memakai mulutku ini. Padahal, waktu itu
aku sudah menikah dengan ibumu tapi tetap saja memuji kecantikan wanita lain,
baik itu dalam hati maupun dengan ucapan. Aku memang manusia tidak berperasaan
dan doyan main perempuan.’”
Linghu Chong termangu-mangu
menanggapi dalam hati, “Ternyata ibu Adik Yilin sangat pencemburu. Ini
benar-benar kesalahpahaman besar. Seharusnya ia sudi mendengar penjelasan Biksu
Bujie sehingga permasalahan ini menjadi jelas.”
Yilin melanjutkan: “Aku lantas
bertanya kepada Ayah, ‘Apakah Ayah bisa menemukan Ibu atau tidak?’
Ayah menjawab, ‘Aku telah
mencarinya ke mana-mana, tapi tidak dapat menemukan ibumu. Ibumu seorang
biksuni, kupikir tentu ia kembali masuk ke dalam biara. Oleh karena itu, aku
pun mendatangi setiap biara namun tetap tidak dapat menemukannya. Sampai
akhirnya aku datang ke Gunung Henshan dan bertemu Biksuni Dingyi di Biara Awan
Putih. Beliau sangat menyukaimu yang lucu dan mungil. Apalagi waktu itu kau
sedang sakit sehingga Beliau pun menyarankan agar aku menitipkanmu kepada
Beliau. Dengan demikian kau tidak perlu kubawa ke mana-mana dan keselamatanmu
bisa tetap terjaga.’”
Menyinggung tentang Biksuni
Dingyi membuat Yilin kembali menangis sedih. Ia berkata, “Sejak kecil aku tidak
mempunyai ibu. Aku bisa seperti ini adalah berkat Guru yang telah
membesarkanku. Akan tetapi, sekarang Guru telah meninggal dibunuh orang, dan
orang yang telah mencelakainya adalah guru Kakak Linghu sendiri. Masalah ini
benar-benar membuatku serbasalah. Sama seperti aku, sejak kecil Kakak Linghu
juga tidak memiliki ibu, dan ia pun dibesarkan oleh gurunya. Bahkan dia lebih
menderita lagi karena selain tidak punya ibu, juga tidak memiliki ayah. Sudah
tentu ia sangat menghormati gurunya bagai orang tua kandung sendiri. Kalau aku
membalas dendam Guru dengan membunuh guru Kakak Linghu, entah betapa sedih
perasaan Kakak Linghu.”
Yilin terdiam sejenak kemudian
melanjutkan, “Menurut cerita Ayah, setelah diriku dititipkan di dalam Biara
Awan Putih, ia kembali mencari Ibu ke dalam setiap biara di dunia ini. Bahkan,
Ayah sampai mengunjungi Tembok Besar, Mongolia, Tibet, negeri barat, dan
berbagai tempat terpencil demi untuk mencari ibuku. Namun, sedikit pun ia tidak
mendengar berita tentang Ibu. Berpikir demikian, Ayah menduga Ibu pasti sangat
kecewa dan takut terhadap murka Sang Buddha dan memutuskan untuk bunuh diri.
Wahai, Nenek bisu. Ibuku telah menyerahkan jiwa raga kepada Sang Buddha. Ia
memilih untuk menjalani kehidupan sebagai seorang biarawati dan menahan diri
dari semua godaan duniawi. Meskipun demikian, pada akhirnya Ibu menerima cinta
Ayah dan menikah dengannya. Namun, baru saja melahirkanku, Ibu melihat Ayah
menggoda perempuan lain dan dicaci maki sebagai manusia rendah dan tidak tahu
malu, sudah tentu Ibu sangat marah dan putus asa. Ibu berwatak sangat keras dan
merasa hidupnya telah penuh dengan dosa. Maka, sangat masuk akal kalau Ibu
kemudian mengambil keputusan bunuh diri.”
Yilin menghela napas dan
melanjutkan, “Setelah Ayah menceritakan ini semua, barulah aku mengerti kenapa
Ayah begitu sedih melihat pita bertuliskan, ‘Manusia tak berperasaan nomor satu
di dunia, manusia paling doyan main perempuan’. Aku pun bertanya kepadanya,
‘Apakah tulisan yang ditinggalkan Ibu di atas meja itu lantas kau perlihatkan
kepada orang lain?’
Ayah menjawab, ‘Sama sekali
tidak. Aku tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang masalah ini. Sudah
tentu aku pun merasa tidak pantas menceritakan hal ini kepada orang lain. Tapi
aku merasa ini benar-benar aneh. Sepertinya hantu ibumu datang mencariku. Ia
bermaksud membalas sakit hati dan membersihkan nama baiknya. Kalimat yang
tertulis pada pita yang menempel di leherku mirip sekali dengan pesan
terakhirnya sebelum pergi dulu. Sepertinya ibumu memang menghendaki nyawaku.
Baiklah, aku pun rela ikut dengannya.’
Ayah kemudian berkata, ‘Aku
sendiri sudah lama putus asa karena tidak bisa menemukan ibumu. Ingin rasanya
aku mengakhiri hidup agar bisa bersama ibumu di alam sana. Akan tetapi, umurku
memang masih panjang. Sering aku mencoba bunuh diri namun selalu saja gagal.
Setiap kali aku menggantung diri selalu saja talinya putus. Mungkin karena
badanku terlalu berat. Cara kedua aku bermaksud menggorok leherku ini namun golok
yang tergantung di pinggangku mendadak hilang entah ke mana. Aih, benar-benar
runyam. Ingin mati ternyata tidak mudah.’
Aku lantas berkata, ‘Ayah
keliru. Justru Sang Buddha memberkatimu agar tidak bunuh diri, sehingga tali
gantunganmu pun putus dan golokmu mendadak hilang. Kalau tidak, saat ini tentu
aku sudah tidak punya ayah lagi.’
Ayah menjawab, ‘Ucapanmu
mungkin ada benarnya juga. Kemungkinan besar Sang Buddha ingin menghukumku agar
lebih lama menderita di dunia ini, agar aku tidak lekas-lekas bertemu ibumu di
alam sana.’
Aku lalu berkata, ‘Semula aku
mengira pita kertas yang terpasang di leher Tian Boguang itu tertukar denganmu,
sehingga aku sangat marah.’
Ayah menjawab, ‘Mana mungkin
keliru? Dahulu si Bukebujie pernah berlaku kurang ajar kepadamu, bukankah
pantas kalau ia disebut ‘manusia tidak berguna’? Aku juga menyuruhnya menjadi
perantara agar si bocah Linghu Chong itu menikahimu, tapi dia selalu
bermalas-malasan dan tidak bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Bukankah
pantas kalau dia disebut ‘tidak becus bekerja’ seperti yang tertera pada pita
kertas itu? Semua yang tertulis pada pita kertas itu memang sangat cocok dan
tepat baginya.’
Aku pun berkata, ‘Ayah, kalau
kau kembali menyuruh Tian Boguang untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas seperti
itu, maka aku benar-benar sangat marah. Sejak awal Kakak Linghu menyukai adik
seperguruannya, dan kini dia menyukai Nona Ren dari Sekte Iblis. Meskipun dia
juga sangat baik kepadaku, tapi selamanya tidak pernah menempatkan diriku dalam
hatinya.’”
Ucapan terakhir ini
benar-benar membuat Linghu Chong merasa bersalah. Sejak awal ia telah berlaku
sangat baik kepada Yilin sehingga biksuni muda itu jatuh hati. Memang pada
mulanya ia tidak merasakan cinta Yilin kepadanya, namun kemudian lambat laun ia
pun mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, perasaan hatinya memang sama persis
sebagaimana yang dikatakan Yilin tersebut. Pada awalnya ia memang mencintai Yue
Lingshan, dan kemudian beralih kepada Ren Yingying dengan sepenuh hati. Selama
ia berkelana di dunia persilatan, jarang sekali pikirannya teringat kepada
Yilin.
Terdengar Yilin berkata,
“Mendengar ucapanku itu, Ayah menjadi gusar. Dia mencaci maki Kakak Linghu,
‘Bocah Linghu Chong itu memang buta. Dia punya dua bola mata tapi tidak bisa
melihat. Sungguh jauh lebih tolol daripada Tian Boguang. Bagaimanapun juga Tian
Boguang masih bisa melihat kecantikan putriku, tapi Linghu Chong benar-benar
manusia paling tolol di muka bumi.’
Sebenarnya masih banyak
kata-kata kotor yang dilontarkan Ayah kepada Kakak Linghu, sulit bagiku untuk
menirukannya. Ayah berkata pula, ‘Kau kira siapa orang paling buta di dunia
ini? Bukan Zuo Lengchan, tetapi Linghu Chong! Walaupun mata Zuo Lengchan sudah
buta, tapi Linghu Chong jauh lebih buta daripada dia.’
Nenek bisu, bukankah tidak
sepantasnya Ayah mencaci maki Kakak Linghu seperti itu? Aku pun berkata, ‘Ayah,
Nona Yue dan Nona Ren seratus kali lebih cantik daripada anakmu ini. Bagaimana
mungkin mereka bisa dibandingkan denganku? Lagipula aku sudah menyerahkan jiwa
raga kepada Sang Buddha. Aku sudah cukup bersyukur atas budi pertolongannya
waktu itu serta kebaikannya terhadap Guru. Maka itu, aku senantiasa terkenang
kepadanya. Ibu memang benar. Setelah menjadi biarawati pikiran kita harus
bersih dari hasrat dan nafsu. Jika tidak, maka Sang Buddha akan murka dan
menghukum kita.’
Ayah berkata, ‘Sekali kau
sudah masuk agama apa lantas tidak boleh menikah? Jika semua perempuan memeluk
agama dan tidak menikah serta punya anak, bukankah di dunia ini takkan ada
manusia lagi? Ibumu seorang biksuni, tapi bukankah dia menikah dengan biksu
semacam aku serta melahirkanmu ke dunia?’
Aku menjawab, ‘Ayah, jangan
lagi kita bicarakan urusan ini. Bagiku lebih … lebih baik Ibu tidak usah
melahirkanku saja.’”
Berkata sampai di sini suara
Yilin menjadi terputus-putus. Setelah diam sejenak ia pun menyambung kembali,
“Ayah berkata bahwa ia akan mencari Kakak Linghu dan membawanya kepadaku agar
kami bisa menikah. Aku sangat khawatir dan menyatakan jika sampai Ayah
melakukan hal ini maka aku tidak akan mau bicara lagi dengannya. Jika Ayah
datang ke Puncak Jianxing maka aku akan menghidar dan tidak mau bertemu lagi
dengannya. Apabila Tian Boguang yang ditugasi menyampaikan hal ini kepada Kakak
Linghu, maka aku akan segera meminta agar Kakak Yihe dan Kakak Yiqing
mengusirnya. Selamanya Tian Boguang tidak boleh lagi menginjakkan kaki di
Gunung Henshan. Ayah mengenal sifatku yang teguh. Melihat tekadku sudah bulat
seperti itu, Ayah hanya menghela napas kemudian melangkah pergi.
Wahai Nenek bisu, kepergian
Ayah kali ini entah sampai kapan aku bisa melihatnya lagi. Aku juga tidak tahu
apakah Ayah akan bunuh diri lagi atau tidak. Sungguh aku sangat khawatir.
Untung kemudian aku bertemu Tian Boguang dan menyuruhnya mencari dan menjaga
Ayah. Setelah itu aku melihat beberapa orang menuju ke Lembah Tongyuan secara
mencurigakan. Mereka lantas bersembunyi di tengah semak-semak, entah apa yang
mereka lakukan? Diam-diam aku pun membuntuti mereka, tapi malah bertemu
denganmu. Nenek bisu, kau ini tidak bisa ilmu silat, juga tidak dapat mendengar
pembicaraan orang. Bila sampai orang lain melihatmu bukankah sangat berbahaya?
Untuk selanjutnya jangan lagi bersembunyi di semak-semak seperti tadi.
Memangnya kau kira sedang bermain petak umpet seperti anak kecil?”
Mendengar sampai di sini,
hampir saja Linghu Chong tertawa geli. Ia berpikir, “Adik Yilin benar-benar
polos dan kekanak-kanakan sehingga menganggap orang lain juga berpikiran
seperti dirinya.”
Yilin melanjutkan,
“Akhir-akhir ini Kakak Yihe dan Kakak Yiqing selalu menyuruhku giat berlatih
pedang. Aku mendengar dari Adik Qin Juan konon Kakak Yihe dan Kakak Yiqing
pernah berunding dengan beberapa kakak yang lain, bahwa Kakak Linghu tentu
tidak mau menjadi ketua Perguruan Henshan untuk selamanya. Sementara itu, Yue
Buqun adalah orang yang telah membunuh Guru dan Bibi Ketua, dengan sendirinya
Perguruan Henshan tidak sudi dilebur ke dalam Perguruan Lima Gunung dan
menerimanya sebagai ketua. Oleh sebab itu, para kakak bermaksud memintaku untuk
menjadi ketua Perguruan Henshan. Nenek bisu, waktu itu sedikit pun aku tidak
percaya pada cerita Adik Qin, tapi Adik Qin berani bersumpah bahwa apa yang
diceritakannya tidak bohong. Katanya, menurut pertimbangan para kakak yang
berunding itu, di antara para biksuni angkatan ‘Yi’, Kakak Linghu paling baik
kepadaku. Apabila aku yang menjadi ketua, tentu cocok dengan kehendak Kakak
Linghu. Mereka mendukung diriku, semuanya adalah demi Kakak Linghu. Mereka
berharap aku berlatih pedang dengan baik supaya bisa membunuh Yue Buqun,
sehingga tidak seorang pun yang keberatan bila aku diangkat sebagai ketua
Perguruan Henshan. Andai saja aku tidak bisa membunuh Yue Buqun, maka mereka
akan mengepungnya dengan formasi tujuh pedang. Dengan penjelasan ini, barulah
aku percaya. Hanya saja, jabatan ketua itu rasanya terlalu berat bagiku. Ilmu
pedangku biarpun dilatih sepuluh tahun lagi juga tidak bisa melebihi Kakak Yihe
dan Kakak Yiqing, apalagi untuk membunuh Yue Buqun lebih-lebih sangat tidak
mungkin. Pikiranku sendiri sedang kusut. Urusan ini membuat hatiku bertambah
bingung. Nenek bisu, apa yang harus kulakukan sekarang?”
Baru sekarang Linghu Chong
paham duduk permasalahannya. Pantas saja Yihe, Yiqing, dan yang lain begitu
giat dalam mengawasi Yilin berlatih pedang. Rupanya mereka berharap Yilin kelak
dapat mewarisi jabatan ketua Perguruan Henshan darinya. Ia pun berpikir,
“Sungguh jerih payah mereka patut dipuji dan mereka pun telah memikirkan
segalanya, itu juga demi diriku.”
Dengan perasaan hambar, Yilin
lalu berkata, “Nenek bisu, sering kukatakan padamu bahwa aku senantiasa
terkenang kepada Kakak Linghu. Siang terkenang, malam terkenang, selalu terbawa
mimpi pula. Teringat olehku betapa ia mati-matian tanpa menghiraukan
keselamatan jiwanya sendiri demi untuk menolongku dari niat jahat Tian Boguang
dulu. Sesudah ia terluka, kugendong tubuhya untuk melarikan diri. Teringat
olehku ia meminta agar aku mendongeng untuknya. Lebih-lebih yang sering
teringat olehku adalah ketika aku dan dia ti… tidur bersama dalam satu ranjang
di wisma apa itu di Kota Hengshan. Satu selimut kami pakai bersama. Nenek bisu,
aku tahu kau tidak bisa mendengar, sehingga aku tidak malu mengatakan hal ini
kepadamu. Jika tidak kukatakan sekarang, rasanya aku bisa gila. Akan kupanggil
nama Kakak Linghu, supaya dalam beberapa hari ini hatiku merasa tenteram.”
Sejenak Yilin terdiam,
kemudian dengan perlahan ia memanggil, “Kakak Linghu! Kakak Linghu!”
Suara panggilan ini terdengar
sedemikian halus, lembut, dan mesra. Sungguh penuh dengan rasa rindu yang
mendalam. Tanpa terasa tubuh Linghu Chong bergetar. Ia mengetahui kalau biksuni
muda tersebut menyimpan rasa cinta kepadanya, namun ia tidak mengira kalau
perasaan Yilin sedalam ini. Ia pun merenung, “Sedemikian dalam perasaannya
kepadaku, selama hidupku ini entah bagaimana bisa membalasnya?”
Terdengar Yilin menghela
napas, lalu berkata, “Nenek bisu, Ayah tidak memahami perasaanku. Kakak Yihe,
Kakak Yiqing, dan para kakak yang lain juga tidak memahami diriku. Aku
merindukan Kakak Linghu hanya karena aku tidak bisa melupakan dia. Aku pun
sadar bahwa pikiranku ini tidak sepantasnya. Sebagai biksuni mana boleh aku
memikirkan seorang laki-laki, apalagi dia adalah ketua perguruanku sendiri?
Setiap hari aku selalu berdoa kepada Dewi Guanyin, serta memohon agar Sang
Buddha memberkati diriku, membantuku agar bisa melupakan Kakak Linghu. Setiap
hari aku membaca kitab yang mengajarkan agar memandang segala yang ada di dunia
fana ini sebagai ilusi belaka. Biarpun cantik jelita, gagah serta cakap, pada
akhirnya juga tinggal tulang belulang saja. Apakah artinya kemewahan dan
kesenangan? Manusia hidup tidak ubahnya seperti impian belaka. Ajaran dalam
kitab suci sudah pasti benar, akan tetapi … akan tetapi … apa yang dapat
kulakukan? Aku hanya dapat berdoa dan memohon semoga Buddha Yang Maha Pengasih
memberkati Kakak Linghu selalu selamat dan supaya dia terikat jodoh dengan Nona
Ren, hidup bahagia sampai tua, selamanya riang gembira. Kakak Linghu suka hidup
merdeka tanpa keterikatan, semoga Nona Ren tidak mengekangnya. Jika selamanya
Kakak Linghu selalu gembira, maka aku pun ikut bahagia.” Ia diam sejenak
kemudian melanjutkan lirih, “Kami percaya bahwa Sang Buddha dan Dewi Guanyin
yang welas asih selalu memberkati semua orang di penjuru dunia.”
Ucapannya ini terdengar
sungguh-sungguh dan sangat tulus. Ia kemudian memandang rembulan di langit dan
berkata, “Hari sudah larut malam, aku harus pulang. Hendaknya kau pun pulang
juga.” Bersama itu ia mengeluarkan dua potong kue mantou dan menggenggamkannya
ke dalam tangan Linghu Chong sambil melanjutkan, “Nenek bisu, mengapa hari ini
kau tidak memandang diriku sama sekali? Apakah badanmu kurang sehat?”
Setelah menunggu sejenak dan
tidak mendapatkan jawaban, Yilin lantas bergumam sendiri, “Sungguh bodoh. Sudah
jelas kau tidak bisa mendengar, tapi aku malah bertanya padamu.”
Perlahan-lahan Yilin pun
bangkit dan melangkah pergi.
Linghu Chong masih saja duduk
di atas batu dan menyaksikan bayangan Yilin menghilang dalam kegelapan malam.
Ia mencoba mengingat kembali apa yang diucapkan gadis itu tadi. Kata-kata
biksuni muda tersebut sungguh sangat menggetarkan hatinya. Tanpa terasa ia pun
termangu-mangu seorang diri.
Beberapa lama kemudian, ketika
ia berpaling dan memandang sungai seketika hatinya menjadi terkejut karena
tampak pada permukaan air terdapat dua bayangan yang sama persis sedang duduk
berjajar di atas batu. Ia mengira pandangannya sedang kabur. Setelah
mengusap-usap kedua mata dan kembali memandang, tetap saja ia melihat dua
bayangan yang sama persis. Seketika ia pun berkeringat dingin dan tidak berani
menoleh.
Kedua bayangan di permukaan
air itu sangat mirip satu sama lain. Yang satu jelas dirinya, sedangkan yang
satu lagi berada tepat di belakangnya. Ia yakin, sekali tangan orang itu
bergerak seketika dirinya pasti akan dibereskan. Dalam keadaan demikian ia
benar-benar tercengang dan sama sekali tidak berpikir harus melompat ke depan.
Entah bagaimana, orang itu
tahu-tahu berada di belakangnya tanpa suara sedikit pun. Linghu Chong sama
sekali tidak menyadari kedatangannya sehingga dapat dibayangkan betapa tinggi
kepandaian orang ini. Seketika muncul suatu pikiran dalam benaknya, “Hantu! Dia
pasti hantu.” Berpikir tentang hantu, perasaannya semakin bertambah takut.
Untuk sekian lamanya ia tertegun, kemudian baru memandang lagi ke arah sungai.
Air sungai yang mengalir
tenang perlahan itu membuat bayangan remang-remang tersebut tidak jelas
terlihat. Namun, kedua bayangan itu sama-sama memakai baju wanita yang
berlengan longgar. Tusuk konde di atas kepala masing-masing juga sama persis.
Semakin dirasakan, Linghu Chong semakin ketakutan. Jantungnya berdebar kencang
seakan-akan hendak melompat keluar dari rongga dadanya. Tiba-tiba entah dari
mana datangnya keberanian, ia pun menoleh sehingga tepat muka bertemu muka
dengan hantu tersebut.
Setelah melihat dengan jelas,
tanpa terasa ia menarik napas panjang. Wanita di hadapannya ini samar-samar
dapat dikenalinya sebagai si babu bisu-tuli yang menjaga Kuil Gantung di Gunung
Cuiping. Namun, bagaimana perempuan ini tiba-tiba hadir di belakangnya tanpa
menimbulkan suara, sungguh sangat mengherankan.
Rasa takut Linghu Chong segera
lenyap seketika, tapi rasa herannya sedikit pun tidak berkurang. Segera ia
berkata, “O, Nenek bisu, ternyata ... kau yang datang. Sungguh ... sungguh
membuatku sangat ... terkejut.” Suaranya ini agak gemetar. Sekalipun dikatakan
tidak takut, tapi agaknya ia masih diliputi perasaan gentar.
Nenek bisu itu mengenakan
pakaian dan tusuk konde yang sama persis dengan dirinya. Bajunya juga berwarna
abu-abu pucat seperti yang dikenakan Linghu Chong. Setelah agak tenang pemuda
itu pun berkata, “Maaf, Nenek bisu. Ingatan Nona Ren sungguh hebat. Dia masih
ingat dandananmu dan mendandaniku sama persis denganmu. Sekarang kita bagaikan
saudara kembar.”
Dilihatnya raut muka si nenek
bisu dingin dan kaku, sedikit pun tidak menunjukkan rasa gusar ataupun senang.
Entah apa yang sedang terpikir dalam benak perempuan tua ini? Diam-diam Linghu
Chong merenung. “Orang ini sungguh aneh. Aku telah menyamar sebagai dirinya dan
ketahuan pula olehnya, maka aku tidak boleh tinggal terlalu lama di sini.”
Segera ia pun bangkit dan memberi hormat kepada nenek itu sambil berkata,
“Sudah larut malam, aku mohon diri dulu.”
Usai berkata Linghu Chong
lantas memutar tubuh dan melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah ia
berjalan tiba-tiba di depannya sudah berdiri seseorang menghalangi jalannya,
siapa lagi kalau bukan si nenek bisu tersebut. Entah bagaimana caranya
tahu-tahu wanita itu sudah berada di hadapannya. Saat bertarung melawan
Dongfang Bubai yang mahagesit sekalipun ia masih bisa melihat sekelebat
bayangannya. Namun, kecepatan orang ini bahkan tidak menimbulkan suara sama
sekali, seolah-olah kakinya melayang tidak menginjak tanah, benar-benar sangat
mengherankan.
Sungguh heran bercampur kaget
perasaan Linghu Chong bukan kepalang. Ia sadar malam ini benar-benar bertemu
seorang sakti. Yang lebih celaka lagi ialah dirinya justru sedang menyamar
sebagai orang itu. Jelas hal ini sangat mengundang kemarahannya.
Maka, Linghu Chong pun kembali
memberi hormat dan berkata, “Maafkan aku, Nenek. Aku mengaku salah. Baiklah,
aku akan segera berganti pakaian dan setelah itu aku akan datang ke Kuil
Gantung untuk meminta maaf kepadamu.”
Nenek bisu itu tetap kaku
tidak menunjukkan perasaan apa pun di wajahnya.
“Ah, aku lupa. Tentunya kau tidak
dapat mendengar ucapanku,” ujar Linghu Chong. Kemudian ia berjongkok dan
menulis di atas tanah menggunakan jari: “Maaf, lain kali aku tidak berani
lagi.” Sewaktu tegak kembali, dilihatnya si nenek tetap berdiri mematung,
sedikit pun tidak memandang kepada apa ia tuliskan.
Sambil menunjuk tulisan di
atas tanah itu, dengan suara keras Linghu Chong berseru, “Maaf, lain kali tidak
berani lagi!”
Namun, nenek itu tetap tidak
bergerak. Ia hanya berdiri seperti patung belaka.
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Celaka, jangan-jangan dia buta huruf!”
Berkali-kali ia lantas
membungkuk-bungkukkan badan, sambil tangannya melepas pakaian samaran dan
rambut palsu yang ia kenakan. Kemudian ia memberi hormat sebagai tanda meminta
maaf. Namun, nenek itu tetap saja diam, sedikit pun tidak bergerak.
Linghu Chong benar-benar
kehabisan akal. Tanpa sadar tangannya menggaruk-garuk kepala meski tidak gatal.
Sambil memiringkan tubuh, ia lalu bergegas menyelinap lewat di samping si
nenek.
Baru saja kakinya bergerak,
mendadak nenek itu menggeliat dan tahu-tahu sudah menghadang lagi di depannya.
Linghu Chong terkesiap dan berkata, “Maaf!” Kakinya lantas melangkah ke kanan,
tapi menyusul ia meloncat lewat ke sebelah kiri. Namun, baru saja kakinya
menapak di tanah, tahu-tahu si nenek sudah berdiri lagi di depannya dan kembali
menghadang langkahnya.
Tentu saja Linghu Chong sangat
penasaran. Berkali-kali ia melompat, makin lama makin cepat. Namun, selangkah
pun si nenek bisu tidak mau ketinggalan, selalu saja menghadang jalan yang hendak
dilewatinya. Linghu Chong menjadi gusar. Melihat si nenek bisu masih
merintangi, segera tangan kirinya mendorong pundak wanita itu. Namun, baru saja
jarinya hampir mengenai sasaran, tahu-tahu tangan si nenek yang kurus kering
itu memotong ke bawah, menebas pergelangan tangannya.
Linghu Chong lekas menarik
tangannya. Walaupun begitu cepat ia menarik serangan tetap saja punggung
tangannya tergores kuku jari kelingking si nenek. Betapa sakit rasanya seperti
disayat pisau. Lantaran merasa bersalah, Linghu Chong tidak berani bertempur
melawan si nenek bisu. Yang ia harapkan hanya secepatnya bisa pergi
menghindarinya. Segera ia pun menunduk dan bermaksud menyelinap di sisi orang
itu. Namun, baru saja tubuhnya bergerak tiba-tiba angin pukulan sudah menyambar.
Rupanya nenek bisu telah menghantamkan telapak tangan ke arah batok kepalanya.
Lekas-lekas Linghu Chong
berkelit, namun serangan itu teramat cepat. Pukulan itu sempat mengenai
bahunya. Sebaliknya, nenek itu agak menggeliat. Ternyata pada saat pukulan si
nenek mengenai sasaran, bersamaan pula Jurus Penyedot Bintang dalam tubuh
Linghu Chong bekerja sehingga menghisap tenaga pukulan lawan tersebut.
Tiba-tiba si nenek menjulurkan
tangan yang satunya. Kali ini jarinya yang lentik kurus bagaikan cakar ayam menusuk
kedua mata Linghu Chong. Dengan perasaan terkejut Linghu Chong lekas-lekas
menunduk ke bawah untuk menghindar, sehingga punggungnya menjadi terbuka.
Untungnya si nenek bisu sudah jera terhadap Jurus Penyedot Bintang, sehingga
tidak berani melanjutkan serangan meski kesempatan terbuka lebar. Sebaliknya,
tangan kanannya lantas mencukil balik ke atas untuk tetap menyerang kedua mata
Linghu Chong. Jelas si nenek sudah memutuskan akan mencakar bola mata lawannya
itu. Bagaimanapun hebatnya Jurus Penyedot Bintang tentu tidak bisa dikerahkan
melalui bola mata. Sedikit saja kedua mata terkena tusukan jari nenek itu, maka
Linghu Chong pasti akan buta.
Linghu Chong pun mengangkat
tangannya untuk menangkis serangan. Si nenek bisu mengikuti dengan memutar
tangannya. Kelima jarinya lantas mencakar mata kiri Linghu Chong. Begitu Linghu
Chong menangkis, mendadak jari kanan si nenek mencolok telinganya. Terpaksa ia
pun melompat menghindar.
Gaya bertarung nenek bisu itu
terlihat lucu, mirip cara bertengkar perempuan bawel yang kampungan, namun
selalu mengincar titik-titik penting di tubuh lawan. Ditambah lagi gerakannya
yang cepat luar biasa, sehingga dalam beberapa jurus saja Linghu Chong sudah
terdesak mundur.
Sebenarnya ilmu silat
perempuan tua ini tidak terlalu tinggi. Yang istimewa darinya hanyalah pada
gerakannya yang lincah dan sangat gesit, serta sergapan secara tiba-tiba.
Dibandingkan Yue Buqun atau Zuo Lengchan, atau bahkan dengan Ren Yingying
sekalipun ia masih kalah jauh. Akan tetapi, Linghu Chong sendiri kurang mahir
dalam ilmu silat tangan kosong. Andai saja si nenek bisu tidak terlalu takut
terhadap Jurus Penyedot Bintang, maka dapat dipastikan pemuda itu sudah kenyang
terkena pukulan sejak tadi.
Setelah melewati beberapa
jurus berikutnya, Linghu Chong sadar bahwa satu-satunya jalan untuk meloloskan
diri adalah dengan mencabut pedang. Namun, baru saja tangan kanannya menyentuh
gagang pedang pendek yang terselip di balik baju, si nenek bisu seolah
mengetahui maksudnya. Dengan sangat cepat perempuan itu melancarkan serangan
sebanyak tujuh-delapan kali. Terpaksa Linghu Chong harus berkelit dan menangkis
sehingga tidak sempat lagi melolos pedangnya.
Serangan si nenek bisu semakin
lama semakin cepat dan keji. Linghu Chong merasa heran padahal selamanya di antara
mereka tidak terdapat permusuhan apa-apa, namun orang itu tidak segan-segan
hendak mencongkel matanya keluar. Linghu Chong merasa keadaan begitu gawat.
Segera ia pun menggertak keras, kemudian tangan kirinya melindungi kedua mata,
sementara tangan kanan meraba dada untuk mencabut pedang pendek. Tak peduli
lawan terus memukul dan menendang yang penting ia dapat menarik pedang
pendeknya keluar.
Tak disangka, pada saat itu
tiba-tiba kepalanya terasa kencang. Ternyata si nenek bisu telah menjambak
rambutnya. Sekejap kemudian Linghu Chong merasa kedua kakinya melayang di atas
tanah, dan setelah itu langit terasa berputar-putar dan bumi terbalik. Jelas
tubuhnya berputar cepat di udara. Rupanya si nenek bisu telah menjambak
rambutnya dan mengangkat serta mengayunkan tubuh pemuda itu sekuat tenaga.
Semakin lama semakin cepat.
“Hei, hei, apa yang kau
lakukan?” sahut Linghu Chong berteriak-teriak. Kedua tangannya mencoba mencakar
dan memukul serabutan, tapi mendadak kedua ketiaknya, kanan dan kiri terasa
pegal. Rupanya si nenek bisu telah menotok bagian tersebut. Disusul kemudian
titik nadi bagian punggung, pinggang, dada, dan leher Linghu Chong tertotok
pula. Seketika pemuda itu merasa sekujur tubuhnya lemas dan tidak bisa bergerak
lagi. Lebih celaka lagi si nenek ternyata tidak mau berhenti memutar-mutar
tubuhnya. Bahkan kini semakin cepat.
Sambil merasakan suara angin
yang menderu-deru di telinganya Linghu Chong berpikir, “Selama hidup aku sudah
banyak menemui kejadian-kejadian aneh. Tapi baru kali ini aku bernasib sial
menjadi gangsingan.”
Nenek itu terus saja menjambak
rambut Linghu Chong dan memutar tubuh pemuda itu dengan kencang. Linghu Chong
merasa pusing dan matanya berkunang-kunang. Melihat pemuda itu hampir
kehilangan kesadaran, nenek bisu pun menghentikan permainannya dan membanting
tubuh Linghu Chong ke tanah dengan sangat keras.
Sebenarnya Linghu Chong merasa
tidak bermusuhan dengan nenek bisu itu. Namun, sekarang setelah dirinya
dikerjai sampai setengah mati, ia pun tidak kuasa lagi menahan marah. Segera
mulutnya mencaci maki, “Perempuan busuk, perempuan keparat! Kalau saja aku bisa
mencabut pedang, tentu tubuhmu kubuat berlubang-lubang!”
Nenek itu memandangnya dengan
sikap dingin. Raut mukanya tetap tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
Melihat itu, Linghu Chong
berpikir, “Aku sudah kalah, tapi paling tidak aku harus memakinya agar
kekalahanku tidak terlalu parah. Tapi tubuhku kini tidak bisa berkutik. Jika
dia tahu aku mencaci-maki, tentu dia akan menyiksaku dengan lebih kejam.”
Segera ia pun mendapat akal,
yaitu terus memaki tapi sambil tertawa-tawa. “Dasar perempuan bangsat,
perempuan busuk! Langit sadar akan kejahatanmu sehingga kau diciptakan bisu dan
tuli, tidak bisa tertawa, tidak bisa menangis pula, mirip orang tolol! Lahir
sebagai anjing atau babi rasanya jauh lebih beruntung!”
Semakin mencaci maki dengan
kata-kata yang keji, semakin riang pula Linghu Chong tertawa. Sebenarnya ia
hanya berpura-pura tertawa, supaya si nenek bisu tuli itu tidak tahu kalau ia
sedang memaki. Begitu melihat perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan sikap
gusar, Linghu Chong merasa akalnya membawa hasil dan ia pun menjadi senang dan
benar-benar tertawa terbahak-bahak.
Perlahan nenek bisu melangkah
maju. Tiba-tiba sebelah tangannya kembali menjambak rambut Linghu Chong dan
menyeret pemuda itu ke depan. Langkahnya semakin lama semakin cepat. Linghu
Chong merasa kesakitan karena badannya bergesekan di atas tanah berbatu. Dengan
gemas ia kembali mencaci-maki tanpa berhenti, namun kali ini tidak bisa tertawa
lagi.
Nenek bisu itu menyeret tubuh
Linghu Chong ke atas gunung. Sambil melirik mengamati keadaan setempat, Linghu
Chong dapat merasakan bahwa perempuan itu membawanya ke arah barat, menuju ke
arah Kuil Gantung. Kini Linghu Chong telah yakin kalau orang yang mengerjai
Biksu Bujie, Tian Boguang, Sepasang Beruang Gurun Utara, Qiu Songnian, dan yang
lain tentu nenek bisu-tuli ini pula. Perempuan tua ini meskipun bisu tuli namun
ternyata memiliki kecepatan dan kekuatan yang sangat hebat. Selain dia,
sepertinya tidak ada lagi yang bisa dicurigai oleh Linghu Chong.
Dahulu Linghu Chong memang
pernah datang ke Kuil Gantung dan bertemu nenek bisu tersebut. Namun, waktu itu
sedikit pun ia tidak tahu kalau perempuan ini ternyata menyembunyikan
kepandaian sedemikian hebat. Yang ia tahu nenek tersebut seorang bisu tuli yang
berwajah tolol dan lamban dalam bekerja. Bahkan, para tokoh silat papan atas
seperti Biksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, serta Ren Yingying dan Shangguan Yun
juga tidak mencurigainya. Diam-diam Linghu Chong memuji kepandaian nenek bisu
ini dalam mengelabui orang.
Lantas pemuda itu berpikir
pula, “Jika nenek ini sampai menggantung tubuhku di atas pohon gongsun di
Lembah Tongyuan, lalu menempelkan pula pita kertas pada tubuhku dengan tuduhan
sebagai manusia paling cabul nomor satu di dunia, tentu aku akan sangat
kehilangan muka. Padahal, sebagai ketua Perguruan Henshan aku kini berdandan
sebagai wanita. Untungnya, dia menyeretku menuju Kuil Gantung. Biarlah dia
menggantung aku di sana dan menghajar tubuhku pula. Itu lebih baik daripada
membuatku malu di depan umum.”
Dasar sudah menjadi sifat
Linghu Chong meskipun sedang bernasib sial tapi masih merasa beruntung juga.
Terpikir pula olehnya, “Entah apakah dia tahu siapa diriku yang sebenarnya?
Jangan-jangan dia memang sudah tahu kalau aku ini ketua Perguruan Henshan
sehingga tidak mempermalukan aku di depan umum.”
Di sepanjang jalan yang
menanjak itu tubuh Linghu Chong diseret oleh si nenek bisu. Sudah tentu
badannya babak belur terluka oleh batu-batu pegunungan. Untungnya ia menghadap
ke atas sehingga tidak mendapat luka di bagian panca indera.
Setibanya di Kuil Gantung, si
nenek bisu terus saja menyeretnya masuk ke dalam ruang tengah. Pintu kuil
lantas ditutup rapat. Sesaat kemudian mereka berdua sudah berada di dalam
Loteng Kura-Kura Sakti.
“Wah, celaka, ini celaka!”
ujar Linghu Chong mengeluh karena ia sadar Loteng Kura-Kura Sakti terletak di
atas jurang yang tak terukur dalamnya, sedangkan di luar terdapat sebuah
jembatan gantung yang menghubungkan dengan Loteng Ular Dewa di sisi lain Puncak
Cuiping. “Jangan-jangan tubuhku akan digantung di jembatan layang itu,”
pikirnya. Perasaan khawatir terlintas di benak Linghu Chong karena Kuil Gantung
tersebut jarang didatangi orang. Bisa-bisa ia akan mati kelaparan di tempat
ini.
Sesampainya di dalam Loteng
Kura-Kura Sakti, nenek bisu langsung membanting Linghu Chong di lantai,
kemudian meninggalkannya pergi. Dengan tubuh tergeletak Linghu Chong mencoba
menerka siapa sebenarnya nenek bisu ini, tapi tidak juga menemukan jawaban. Ia
hanya menduga bisa jadi nenek ini seorang tokoh angkatan tua Perguruan Henshan,
atau mungkin pelayan Biksuni Dingjing, Biksuni Dingxian, dan Biksuni Dingyi di
masa lalu. Tapi entah bagaimana caranya nenek itu bisa mengetahui muslihat
licik Nyonya Zhang dan yang lain sehingga kemudian meringkus dan menggantung
tubuh mereka di atas pohon?
Berpikir sampai di sini hati
Linghu Chong menjadi lega. Ia berpikir, “Mengingat aku ini ketua Perguruan
Henshan sudah tentu dia akan menghormatiku dan tidak membuatku susah.” Tapi
lantas terpikir lagi olehnya, “Celaka, karena aku sedang menyamar,
jangan-jangan dia tidak mengenali aku! Jika dia mengira aku adalah orang jahat
yang bersekongkol dengan Nyonya Zhang dan yang lain, atau dia mengira aku
adalah mata-mata yang sedang menyamar di sini dan bertujuan hendak merusak
Perguruan Henshan, wah, bisa jadi ia akan memberi ‘perlakuan yang lebih
istimewa’ kepadaku. Bisa runyam kalau aku disiksa olehnya nanti.”
Tanpa terdengar suara langkah
kaki tahu-tahu si nenek bisu sudah naik kembali ke atas loteng dengan membawa
seutas tambang. Segera kaki dan tangan Linghu Chong pun ditelikung dan
diikatnya kencang-kencang. Perempuan tua itu lantas mengeluarkan pula sepotong
pita kertas berwarna kuning dan memasangnya di leher Linghu Chong.
Sudah tentu Linghu Chong
sangat penasaran ingin mengetahui apa yang tertulis pada pita kertas itu. Akan
tetapi, tiba-tiba pandangannya menjadi gelap. Rupanya kedua matanya telah
ditutup oleh si nenek bisu menggunakan sehelai kain hitam.
“Cerdik benar nenek ini,”
pikir Linghu Chong. “Dia tahu aku ingin sekali membaca apa yang tertulis pada
pita kertas ini, namun mataku langsung ditutupnya. Tapi, haha, Linghu Chong
selamanya adalah anak bandel. Sudah tentu apa yang tertulis di atas pita kertas
ini jelas bukan kata-kata pujian untukku. Jadi, untuk apa aku harus
membacanya?”
Tiba-tiba ia merasa kaki dan
tangannya yang diikat itu seperti tertarik kencang, lantas tubuhnya pun
terapung ke atas. Ternyata nenek bisu sudah menggantungnya tinggi-tinggi di
atas balok belandar. Sungguh gusar rasa hati Linghu Chong dan mulutnya kembali
mencaci-maki. Meskipun berwatak suka ugal-ugalan, tapi di sisi lain ia juga
sangat berhati-hati. Dalam hati ia merenung, “Kalau aku hanya mencaci-maki
sembarangan, tetap tidak dapat memperbaiki keadaan. Sebaiknya aku mengerahkan
tenaga dalam perlahan-lahan untuk membuka totokan. Bila aku sudah memegang
senjata tentu dapat mengatasi nenek ini. Akan kugantung pula tubuhnya di tempat
yang tinggi, dan akan kupasang pita kertas kuning pada lehernya. Entah apa yang
harus kutulis pada pita itu? Nenek jahat nomor satu di dunia? Ah, jangan-jangan
dia malah menjadi senang. Biarlah kutulis saja: ‘Nenek jahat nomor delapan
belas di dunia’, biar kepalanya pecah memikirkan siapa pula ketujuh belas nenek
jahat lainnya yang lebih tinggi derajatnya daripada dia.” Linghu Chong kemudian
memasang telinga dan tidak mendengar suara napas seorang pun. Rupanya nenek
bisu itu sudah pergi.
Setelah tergantung-gantung
sekitar dua jam, Linghu Chong mulai merasa lapar. Begitu menggerakkan badan
terasa aliran darahnya sudah mulai lancar. Tiba-tiba tubuhnya terguncang,
kemudian jatuh terbanting di lantai dengan keras. Ternyata si nenek bisu telah
melepaskan tali gantungan. Tapi sejak kapan nenek itu datang sedikit pun Linghu
Chong tidak mendengar langkah kakinya.
Nenek itu lantas melepaskan
kain hitam penutup mata Linghu Chong. Titik nadi bagian leher belum lancar
sehingga pemuda itu sukar menunduk untuk membaca tulisan pada pita kertas
tersebut, kecuali pada bagian paling bawah sekilas terbaca kata “perempuan”.
Perlahan Linghu Chong
mengeluh, “Sial!” Ia yakin si nenek benar-benar mengira dirinya sebagai seorang
perempuan tua. Kalau dirinya disebut sebagai pemuda cabul, bajingan tengik,
atau manusia rendah segala tidak menjadi soal. Tapi dianggap sebagai perempuan,
benar-benar masalah konyol baginya.
Dilihatnya si nenek bisu
mengambil sebuah mangkuk. “Apakah dia hendak mengambilkan semangkuk sup
untukku? Kalau semangkuk arak tentu lebih baik,” pikirnya.
Di luar dugaan, tiba-tiba
Linghu Chong menjerit kesakitan karena kepalanya terasa kepanasan. Ternyata
mangkuk tersebut bersisi air mendidih dan oleh si nenek langsung disiramkan
begitu saja di atas kepala pemuda itu.
“Nenek bangsat, apa yang
hendak kau lakukan padaku?” bentak Linghu Chong memaki.
Si nenek tetap saja tidak
terpengaruh. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebilah pisau cukur dari balik bajunya.
Seketika Linghu Chong
terperanjat. Kulit kepalanya terasa sakit dan perih. Rupanya si nenek bisu
sedang mencukur rambutnya. Perasaan Linghu Chong semakin gusar. Ia tidak tahu
apa maksud dan tujuan nenek gila ini sebenarnya. Sejenak kemudian ia merasa
kepalanya sudah gundul kelimis. Rambutnya telah dicukur bersih oleh si nenek
bisu.
“Bagus sekali. Hari ini Linghu
Chong benar-benar telah menjadi biksu. Ah, salah. Aku memakai baju perempuan,
pantasnya disebut sebagai biksuni,” demikian ia berpikir. Tiba-tiba jantungnya
berdebar. Perasaan ngeri merasuki pikirannya. “Yingying menyuruhku menyamar
sebagai biksuni, dan kini ucapannya menjadi kenyataan. Mungkin juga nenek iblis
ini telah mengetahui siapa diriku yang sebenarnya dan menganggap seorang
laki-laki tidak pantas menjadi ketua Perguruan Henshan. Maka itu, tidak saja ia
mencukur rambutku, bahkan mungkin juga ia akan … akan mengebiri kemaluanku,
supaya aku tidak bisa berbuat kotor di tempat suci ini. Nasibku bisa-bisa mirip
dengan Tian Boguang. Wah, nenek gila ini ternyata bisa berbuat apa saja.
Sungguh sial, sepertinya hari ini aku, Linghu Chong harus menerima takdir. Ah,
asal jangan sekali-kali aku disuruh berlatih Jurus Pedang Penakluk Iblis.”
Selesai mencukur gundul kepala
Linghu Chong, nenek bisu lantas menyapu bersih rambut pemuda itu yang
berserakan di atas lantai. Linghu Chong merasa keadaan sudah sangat gawat.
Segera ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk membuka sisa beberapa totokan pada
tubuhnya.
Begitu merasa aliran darahnya
sudah mulai lancar, tiba-tiba bagian punggung, pinggang, dan bahunya terasa
kesemutan kembali. Rupanya titik-titik tersebut kembali ditotok oleh si nenek
bisu. Seketika perasaan Linghu Chong bagaikan balon gembos. Ia hanya bisa
menghela napas panjang. Rasanya begitu lemas, sampai-sampai caci maki susah
untuk diucapkan lagi.
Si nenek bisu lantas
menanggalkan pita kertas yang terpasang di leher Linghu Chong itu dan
menaruhnya di samping. Baru sekarang Linghu Chong dapat melihat dengan jelas
apa yang tertulis pada pita kertas tersebut, yaitu: “Manusia buta nomor satu di
dunia, bukan laki-laki dan bukan perempuan.”
Dalam hati Linghu Chong mengeluh,
“Celaka! Ternyata nenek gila ini hanya pura-pura bisu dan tuli. Ia sebenarnya
bisa mendengar. Kalau tidak, dari mana dia tahu kalau Biksu Bujie pernah
menyebutku sebagai manusia buta nomor satu di dunia? Hanya ada dua kemungkinan.
Pertama, dia mencuri dengar ketika Biksu Bujie bicara dengan Yilin, dan yang
kedua dia mencuri dengar ketika Yilin berbicara padaku tadi. Atau bisa juga
kedua-duanya telah ia saksikan.”
Berpikir sampai di sini segera
ia pun berteriak, “Sudahlah, kau tidak perlu menyamar dan berpura-pura lagi!
Kau bukan seorang bisu-tuli.”
Tapi nenek itu tetap tidak
peduli. Sebaliknya, ia terus saja menggerayangi tubuh Linghu Chong dan menarik
pakaian wanita yang dikenakan pemuda itu.
“He, hei, apa yang hendak kau
lakukan?” sahut Linghu Chong khawatir. Ia tidak tahu apakah nenek ini
benar-benar tidak dapat mendengar atau hanya sengaja berpura-pura. Dalam
sekejap baju wanita yang dipakainya telah ditarik begitu saja oleh si nenek
sehingga robek menjadi dua belah dan terlepas dari tubuhnya.
“Jika kau berani mengganggu
seujung rambutku saja tentu akan kucincang tubuhmu hingga hancur lebur,” teriak
Linghu Chong gusar. Tapi lantas terpikir olehnya, “Wah, bukan hanya seujung
rambut, dia bahkan sudah mencukur gundul kepalaku.”
Tampak si nenek mengambil
sepotong batu asah. Kemudian batu asah itu dibasahinya dengan beberapa tetes
air, untuk selanjutnya digunakan mengasah pisau cukur tadi. Sejenak kemudian
pisau cukur itu pun ditaruhnya di samping. Dari balik baju dikeluarkannya dua
buah botol porselen kecil, yang masing-masing bertuliskan “Salep Penyambung
Kahyangan” dan “Pil Empedu Beruang”. Jelas keduanya adalah obat-obatan mujarab
buatan Perguruan Henshan yang sudah sangat dikenal oleh Linghu Chong.
Kemudian si nenek tampak
menyiapkan pula beberapa potong kain putih sebagai pembalut luka. Linghu Chong
merasa heran karena merasa tidak memiliki luka baru. Melihat cara si nenek
menyiapkan segala perlengkapan itu, sepertinya hendak membuat sebuah luka baru
atau lebih pada dirinya. Tanpa sadar Linghu Chong pun menghela napas panjang
penuh perasaan cemas.
Selesai menyiapkan itu semua,
kedua mata si nenek memandang tajam ke arah Linghu Chong. Sejenak kemudian ia
mengangkat tubuh pemuda itu dan meletakkannya di atas meja. Selanjutnya ia
kembali memandang Linghu Chong dengan sikap kaku tak berperasaan.
Linghu Chong sudah kenyang
pengalaman dalam pertempuran macam apa pun juga. Sekalipun terluka parah dan
dikepung musuh, belum pernah ia merasa takut atau gentar. Tapi kini menghadapi
seorang nenek gila seperti itu, dalam hati timbul juga rasa ngeri yang tak
terlukiskan.
Perlahan si nenek mengangkat
pisau cukurnya. Di bawah cahaya lilin yang berkedip-kedip, pisau cukur yang
tajam itu tampak berkilauan. Butir keringat dingin penuh membasahi dahi Linghu
Chong. Sungguh ngeri hatinya membayangkan sebentar lagi akan dikebiri oleh si
nenek gila.
Tiba-tiba terlintas satu
pikiran dalam benaknya. Tanpa pikir panjang ia pun berteriak, “Kau adalah …
istri Biksu Bujie!”
Tubuh nenek itu tampak gemetar
dan kakinya mundur selangkah. Dengan terputus-putus ia berkata, “Da… dari mana
… kau ... tahu?” Suaranya serak dan kering. Ucapannya sekata demi sekata dan
sangat kaku, mirip seperti anak kecil yang baru belajar bicara.
Ketika mengucapkan
kata-katanya tadi, Linghu Chong memang tidak berpikir panjang. Kini begitu
ditanya balik oleh si nenek barulah ia berpikir mengapa sampai bisa menarik
kesimpulan seperti itu. Tapi ia lantas berkata, “Hm, sudah tentu aku tahu.
Sudah sejak tadi aku tahu.”
Namun, dalam hati sebenarnya
ia bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Benar juga, dari mana aku tahu? Oh,
tentu dari pita kertas terpasang di leher Biksu Bujie itu. Pada pita itu
tertulis tuduhan bahwa Bujie adalah manusia tak berperasaan, orang yang paling
doyan perempuan. Tentang hal ini, selain Bujie sendiri tiada orang lain yang
tahu kecuali istrinya.”
Karena berpikiran demikian,
Linghu Chong kembali berseru, “Kau sendiri justru masih selalu terkenang kepada
manusia yang tidak berperasaan dan paling doyan perempuan itu. Jika tidak, waktu
ia hendak gantung diri, kenapa kau potong tali gantungannya? Ketika ia hendak
menggorok leher sendiri, kenapa kau sembunyikan goloknya? Huh, manusia yang tak
berperasaan dan paling doyan main perempuan seperti itu kenapa tidak dibiarkan
mati saja? Untuk apa pula kau urus dia lagi?”
Si nenek menjawab, “Kalau ...
membiarkan dia ... mampus dengan mudah dan ... cepat, itu terlalu ... enak
baginya.”
“Benar katamu,” sahut Linghu
Chong. “Biarkan saja dia menderita cemas dan khawatir selama belasan tahun
terakhir ini. Dia mencarimu sampai ke negeri Tibet, sampai ke gurun utara dan
wilayah barat. Dia mencarimu ke dalam setiap biara, tapi kau malah enak-enakan
menikmati hidupmu di sini. Dengan cara begini barulah kau merasa puas, bukan?”
“Itu baru ... setimpal,” ujar
si nenek. “Dia sudah ... menikahi aku. Tapi kenapa ... dia masih menggoda
perempuan ... lain?”
“Siapa yang bilang dia
menggoda perempuan lain?” tanya Linghu Chong. “Wanita itu hanya memandang dan
memuji putrimu lalu Biksu Bujie balas memandang dan memujinya, bukankah ini
wajar? Kenapa kau anggap dosa besar?”
“Seorang laki-laki kalau ...
sudah beristri,” sahut si nenek, “jika dia memandang dan mengincar ...
perempuan lain, hal ini dilarang ... keras.”
Linghu Chong merasa nenek ini
benar-benar aneh. Segera ia membantah, “Kau sendiri sudah menjadi istri orang,
tapi mengapa masih memandang laki-laki lain juga?”
Nenek itu menjadi gusar dan
menyahut, “Kapan pula aku memandang ... laki-laki lain? Omong kosong!”
“Bukankah sekarang ini kau
sedang memandang diriku? Memangnya aku bukan laki-laki?” kata Linghu Chong.
“Padahal Bujie hanya memandang perempuan lain beberapa detik saja. Sementara
itu kau malah menjambak rambutku, meraba kepalaku, ini berarti telah melanggar
larangan suci tersebut. Untung kau hanya menyentuh kulit kepalaku saja, tidak
sampai meraba wajahku. Jika tidak, kau pasti akan dihukum berat oleh Dewi
Guanyin.” Ia berpikir nenek ini jarang bergaul, tentu pengetahuannya sangat
kurang. Maka, perempuan ini perlu digertak supaya tidak sembarangan menganiaya
orang.
Terdengar nenek itu menjawab,
“Untuk memotong kepalamu ... aku tidak perlu menyentuh badanmu.”
“Kalau mau memotong kepalaku,
boleh saja. Silakan!” sahut Linghu Chong.
“Kau ingin ... aku membunuhmu?
Jelas tidak boleh secepat ini,” ujar si nenek dengan suara semakin lancar.
“Sekarang ada dua pilihan untukmu, kau boleh pilih sesukamu. Pertama, kau harus
lekas menikahi Yilin sebagai istrimu dan jangan membuatnya sakit hati lagi.
Sebaliknya, jika kau menolak, maka aku akan mengebiri dirimu sehingga kau
berubah menjadi siluman serbakonyol. Laki-laki bukan, perempuan juga bukan,
alias banci. Nah, jika kau tidak mau menikahi Yilin, maka kau takkan mampu
menikah pula dengan perempuan busuk lainnya yang tidak tahu malu.”
Sudah belasan tahun perempuan
tua ini berpura-pura bisu dan tuli. Sudah sekian lama ia tidak pernah berbicara
sehingga lidahnya terasa kaku. Kini setelah berbicara sebentar barulah
ucapannya mulai lancar kembali.
“Yilin memang seorang gadis
yang sangat baik. Tapi di dunia ini selain dia apakah semua perempuan itu busuk
dan tidak tahu malu?” jawab Linghu Chong.
“Aku rasa memang begitu.
Andaikan baik juga terbatas,” kata si nenek. “Nah, kau mau menerima syaratku
atau tidak? Lekas katakan!”
Linghu Chong menjawab, “Adik
Yilin adalah teman baikku. Jika dia tahu kau memaksaku seperti ini, tentu dia
akan sangat marah.”
“Asal kau menikahinya sebagai
istri, tentu dia akan gembira dan semua kemarahannya lenyap pula,” kata si
nenek.
“Dia seorang gadis yang alim.
Dia sudah bersumpah tidak akan menikah seumur hidup,” bantah Linghu Chong.
“Apabila pikirannya sampai bercabang tentu akan mendapat murka dari Sang
Buddha.”
“Bila kau menjadi biksu, maka
kalian berdua akan bersama menanggung kemarahan Sang Buddha,” jawab si nenek.
“Aku telah mencukur rambutmu. Memangnya kau kira tidak ada tujuannya?”
Linghu Chong bergelak tawa dan
berkata, “O, ternyata kau mencukur rambutku supaya aku menjadi biksu, lalu
menikahi si biksuni cilik. Suamimu dulu berbuat begitu, sehingga sekarang kau
pun memintaku meniru caranya?”
“Bukan urusanku,” sahut si
nenek.
“Tapi di dunia ini sangat
banyak manusia berkepala gundul. Memiliki kepala botak licin tidak berarti
biksu, bukan?” lanjut Linghu Chong sambil terus tertawa.
“Ini bukan masalah sulit,”
jawab si nenek. “Akan kusulut kepalamu dengan api dupa sehingga tercipta
sembilan titik hangus. Memiliki kepala gundul memang tidak selalu seorang
biksu. Tapi kepala gundul ditambah dengan bekas sulutan api dupa adalah tanda
pengenal kaum biksu, bukan?” Usai berkata demikian si nenek mempersiapkan diri
untuk mulai bertindak.
“Hei, nanti dulu, sebentar
lagi,” lekas-lekas Linghu Chong mencegah. “Menjadi biksu harus dilakukan dengan
sukarela, bukan dengan cara paksaan seperti ini.”
“Hanya ada dua pilihan,” jawab
si nenek. “Menjadi biksu atau menjadi kasim.”
Linghu Chong sangat khawatir.
Ia merenung, “Perempuan tua ini benar-benar gila. Ia suka memaksakan apa yang
menjadi keinginannya. Aku harus mencari akal untuk mengulur waktu.” Usai
berpikir demikian ia pun menjawab, “Kalau aku menjadi kasim, jangan-jangan pada
suatu saat pikiranku tiba-tiba berubah dan ingin menikahi Adik Yilin, lantas
bagaimana? Bukankah urusan ini menjadi runyam? Bukankah kau malah merugikan
kami berdua?”
“Kaum persilatan seperti kita
harus berpikiran terbuka, bicara tegas, dan cepat memutuskan,” sahut si nenek.
“Sekali kau mengambil keputusan, mana boleh untuk selanjutnya berubah pikiran
seperti itu? Mau jadi biksu ya jadilah biksu, mau jadi kasim ya jadilah kasim.
Bagaimana bisa seorang laki-laki sejati bersikap menjijikkan macam demikian?”
“Kalau aku menjadi kasim,
tentunya sudah tidak dapat disebut laki-laki sejati lagi,” ujar Linghu Chong
sambil tertawa.
“Persetan!” bentak si nenek.
“Kita ini sedang bicara urusan penting, bukan sedang bergurau, kau tahu?”
Linghu Chong menyeringai
sambil merenung, “Adik Yilin cantik dan lembut. Perasaannya kepadaku juga
sangat mendalam. Bila ia menjadi istriku tentu ini suatu kebahagiaan
tersendiri. Tapi hatiku sudah menjadi milik Yingying seorang, mana boleh aku
mengingkari dia? Nenek gila ini memaksaku secara kasar. Seorang kesatria meski
harus mati juga tidak boleh menyerah.”
Karena berpikir demikian maka
ia pun menjawab, “Nenek tua, coba kau jawab dulu pertanyaanku. Seorang
laki-laki yang tidak berperasaan, tidak beriman, suka main perempuan, menurutmu
orang seperti ini baik atau tidak?”
“Kenapa harus bertanya lagi?
Orang seperti itu sudah tentu lebih kotor daripada babi, lebih rendah daripada
anjing. Percuma saja dia menjadi manusia,” jawab si nenek.
“Nah, itu dia,” sahut Linghu
Chong. “Adik Yilin seorang gadis cantik, sangat baik pula terhadapku. Bagaimana
mungkin aku tidak senang mendapatkan dia? Masalahnya, sudah lama aku menjalin
kasih dengan seorang nona lain. Nona ini telah menanam budi mahabesar atas diriku.
Seandainya diriku kau cincang hingga hancur luluh juga tidak mungkin aku
mengingkarinya. Sebab kalau aku sampai mengingkarinya, bukankah aku akan
berubah menjadi manusia tak berperasaan nomor satu di dunia, manusia yang
paling doyan perempuan? Bukankah gelar nomor satu yang diperoleh Biksu Bujie
itu akan kurebut?”
“Nona yang kau maksudkan itu
tentu Nona Ren dari Sekte Iblis, benar tidak? Dia pasti gadis yang pernah
menolongmu saat kau dikepung pasukan Sekte Iblis di jembatan gantung waktu itu,
bukan?” tanya si nenek.
“Benar, memang dia orangnya.
Kau sendiri juga melihatnya,” kata Linghu Chong.
“Mudah sekali kalau begitu,”
ujar si nenek. “Akan kusuruh Nona Ren itu mencampakkan dirimu. Anggap saja dia
yang mengingkarimu dan bukan kau yang mengingkari dia.”
“Dia takkan mungkin
mengingkari diriku. Dia sudi menyelamatkan aku tanpa menghiraukan keselamatan
dirinya sendiri. Sudah tentu aku pun rela berkorban untuknya. Aku takkan pernah
mengingkari dia dan dia pun sudah pasti takkan mengkhianati aku,” kata Linghu
Chong.
“Kalau urusan sudah mendesak,
kurasa ia pun takkan bisa berbuat apa-apa,” ujar si nenek. “Di Lembah Tongyuan
sana banyak terdapat laki-laki busuk. Dia bisa mencari salah seorang untuk
menjadi suaminya.”
“Enak saja!” damprat Linghu
Chong gusar.
“Apa kau kira aku tidak bisa
melakukan hal ini?” tanya si nenek. Perempuan tua itu lantas melangkah keluar.
Terdengar pintu kamar sebelah terbuka, lalu ia kembali dengan membawa seorang
perempuan muda dengan kaki dan tangan terikat ke belakang. Gadis yang dibawanya
itu tidak lain adalah Ren Yingying.
Seketika Linghu Chong sangat
terkejut. Sama sekali tak disangka olehnya bahwa Ren Yingying pun telah jatuh
pula ke dalam cengkeraman si nenek. Namun, ia merasa lega ketika melihat
keadaan gadis itu baik-baik saja tanpa terluka sedikit pun.
“Kau pun berada di sini,
Yingying?” serunya.
“Ya. Aku sudah mendengar
seluruh percakapan kalian,” sahut Ren Yingying dengan tersenyum. “Kau
menyatakan takkan mengingkari diriku, sungguh aku merasa sangat senang.”
“Di hadapanku tidak boleh
bicara hal-hal yang memalukan seperti ini,” bentak si nenek. “Nona cilik,
katakan saja terus terang. Kau ingin dia menjadi biksu atau kasim”
Wajah Ren Yingying langsung
bersemu merah dan ia menjawab, “Huh, bicaramu benar-benar tidak tahu malu.”
“Aku sudah memikirkan hal ini
dengan cermat. Aku pun percaya bocah Linghu Chong ini sukar meninggalkanmu
untuk menikahi Yilin,” kata si nenek.
“Bagus sekali! Sejak kau mulai
bicara kembali, hanya ucapan inilah yang paling baik,” sorak Linghu Chong.
“Baiklah, aku akan mengatakan
hal yang lebih baik lagi,” kata si nenek. “Aku mau mengalah sedikit, dan
mengenakkan bocah Linghu Chong ini. Biarlah dia menikahi kalian berdua
sekaligus. Dia bisa menjadi biksu dan memiliki dua istri. Kalau dia menjadi
kasim jelas tidak mungkin menikahi siapa-siapa. Hanya saja, sesudah kalian
menikah, kau tidak boleh menyakiti anak perempuanku. Kalian sama-sama
sederajat. Tidak ada yang namanya istri tua atau istri muda. Namun, karena
usiamu lebih tua, makaYilin boleh memanggil ‘kakak’ kepadamu.”
“Tapi aku ….” baru saja Linghu
Chong hendak bicara, tahu-tahu si nenek sudah menotok titik bisunya.
Menyusul kemudian si nenek
lantas menotok pula titik bisu Ren Yingying, lalu berkata, “Sekali aku sudah
mengambil keputusan, maka kalian tidak punya hak bicara lagi. Hm, apa kau tidak
senang, dalam sekaligus mendapatkan dua istri yang cantik jelita? Si bangsat
gundul Bujie itu sungguh tidak becus. Anak perempuannya sakit rindu, tapi dia
cuma gelisah dan kelabakan tanpa daya. Sebaliknya, aku hanya turun tangan
sedikit saja segala urusan langsung beres.”
Usai berkata demikian
perempuan tua itu lalu melangkah pergi.
Linghu Chong dan Ren Yingying
hanya saling pandang sambil menyeringai. Untuk bicara mereka tidak dapat, untuk
memberi isyarat juga tidak bisa bergerak.
Sementara itu matahari baru
saja terbit di ufuk timur. Sinarnya yang hangat memancar masuk melalui jendela.
Linghu Chong menatap wajah Ren Yingying yang cantik memesona. Dilihatnya sinar
mata si nona sedang menatap pisau cukur yang terlempar di lantai serta botol
obat dan kain pembalut yang terletak di atas bangku. Raut mukanya berseri-seri,
jelas ia sedang menertawai Linghu Chong yang nyaris dikebiri. Namun sorot mata
gadis itu segera beralih dan kepalanya menunduk dengan wajah bersemu merah.
Sepertinya ia merasa malu karena urusan demikian tidak pantas untuk diucapkan,
bahkan untuk dipikirkan.
Melihat wajah si nona yang
rikuh dan malu itu, tanpa terasa jantung Linghu Chong berdebar kencang.
Terpikir olehnya, “Andai saja saat ini tubuhku dapat bergerak bebas, sungguh
aku ingin memeluk dan menciumnya. Sekalipun dia merasa malu juga tetap tidak
bisa mengelak.”
Dilihatnya sinar mata Ren
Yingying perlahan menggeser ke arahnya. Ketika sinar mata keduanya bertemu,
lekas-lekas Ren Yingying berpaling. Warna merah di pipinya tadi sebenarnya
sudah memudar tapi kini mendadak timbul kembali.
Dalam benak Linghu Chong
terlintas pikiran, “Cintaku terhadap Yingying suci dan teguh. Selamanya takkan
pernah berubah. Tapi kalau nenek gila itu memaksaku menikahi Adik Yilin, maka
aku harus pura-pura menurutinya. Apabila totokanku sudah terbuka dan aku sudah
memegang senjata, maka aku takkan gentar lagi padanya. Bagaimanapun hebatnya
nenek jahat ini kalau dibandingkan Zuo Lengchan atau Ketua Ren jelas masih
kalah jauh. Apalagi dalam ilmu pedang sudah tentu dia bukan tandinganku.
Kehebatannya hanya terletak dalam hal kegesitan dan menyergap secara tiba-tiba.
Kalau ia benar-benar bertarung secara terang-terangan, aku yakin Yingying dapat
mengalahkannya. Dalam hal kekuatan tenaga juga masih kalah melawan Biksu
Bujie.”
Usai berpikir demikian,
sekilas dilihatnya Ren Yingying sedang memandangnya lagi. Hanya saja saat ini
si nona tidak lagi malu-malu. Sepertinya ia sudah tidak memikirkan soal kasim
segala. Sorot mata gadis itu beralih ke atas dengan bibir tersenyum simpul.
Rupanya ia sedang menertawai kepala Linghu Chong yang gundul licin.
Linghu Chong sendiri ingin
tertawa, namun mulutnya entah mengapa tidak dapat mengeluarkan suara.
Dilihatnya Ren Yingying bertambah geli. Tiba-tiba bola mata gadis itu tampak
mengerling aneh, seolah memperlihatkan raut muka yang nakal. Ia menampilkan
wajah mengejek lalu mengedipkan mata kirinya sekali, kemudian sekali lagi.
Linghu Chong tidak paham apa
maksud gadis itu. Dilihatnya si nona kembali berkedip dua kali. Akhirnya,
Linghu Chong pun berpikir, “Dia berkedip dua kali, apa maksudnya? Ah, aku tahu.
Tentu dia sedang mengejek aku yang dipaksa menikahi dua istri.”
Segera ia pun membalas main
mata dengan mengedipkan mata kiri satu kali sambil memperlihatkan sikap yang
tegas, seolah hendak mengatakan. “Aku hanya menikah denganmu seorang saja. Aku
tidak akan pernah mengambil istri kedua.”
Namun, Ren Yingying tampak
menggeleng perlahan sambil mata kiri mengedip satu kali. Linghu Chong balas
menggeleng. Ia bermaksud menggelengkan kepala lebih keras untuk menunjukkan
tekadnya yang kuat, namun sekujur tubuhnya tertotok terlalu banyak, sukar
mengeluarkan tenaga. Terpaksa ia hanya memperlihatkan sikap dan raut muka
sungguh-sungguh dan setulus hati.
Ren Yingying terlihat
mengangguk perlahan. Sorot matanya kini beralih ke tempat pisau cukur yang
tergeletak di lantai. Perlahan ia menggeleng kembali, seolah hendak mengatakan,
“Aku tahu tekadmu. Tapi tolong diingat, jangan-jangan kau akan dikebiri oleh
pisau cukur itu.”
Linghu Chong tidak menanggapi.
Ia hanya menatap tajam kepada si nona. Sinar mata Ren Yingying kemudian juga
bergeser dan keduanya saling pandang kembali.
Jarak kedua muda-mudi itu
sekitar dua-tiga meter. Namun dengan saling pandang entah bagaimana dua pasang
mata mereka dapat saling berbicara. Keduanya bagaikan satu hati dan saling
memahami perasaan masing-masing. Tidak ada lagi rasa bimbang dalam hati mereka.
Menikahi Yilin atau tidak, bukan lagi masalah penting. Menjadi biksu atau kasim
bukan lagi masalah penting. Bahkan, hidup atau mati juga bukan lagi masalah
penting. Bagi mereka asalkan kedua hati telah bersatu, masing-masing sudah
merasa puas. Sekalipun hari itu langit runtuh dan bumi hancur juga takkan merusak
perasaan bahagia mereka.
Kedua muda-mudi itu saling
pandang dengan mesra. Entah sudah berapa lama waktu berlalu tiba-tiba terdengar
suara tangga loteng berbunyi. Begitu mendengar ada orang yang datang seketika
suasana mesra di antara kedua orang itu mulai buyar dan mereka pun terbangun
dari alam bahagia yang tak bertepi itu.
Terdengar suara seorang
perempuan muda berkata, “Nenek bisu, untuk apa kau bawa aku kemari?” Suara ini
jelas suara Yilin.
Linghu Chong dan Ren Yingying
lantas mendengar dua orang memasuki ruang sebelah dan duduk di sana. Terdengar
suara si nenek berkata perlahan, “Jangan lagi kau memanggil aku nenek bisu. Aku
sama sekali tidak bisu.”
“Hahh, jadi … jadi … kau tidak
… tidak bisu? Apa kau sudah sembuh?” seru Yilin dengan perasaan sangat
terkejut.
“Selamanya aku bukan seorang
bisu,” sahut si nenek.
“Jika begitu kau pun … kau pun
tidak tuli. Jadi kau … kau dapat mendengar … mendengar semua ceritaku?” sahut
Yilin menegas. Nada suaranya memperlihatkan rasa kaget dan heran tak terhingga.
“Kenapa kau takut, Nak?” kata
si nenek. “Jika aku dapat mendengar ucapanmu bukankah itu lebih baik?”
Untuk pertama kalinya Linghu
Chong mendengar nada ucapan perempuan tua itu sangat lembut, penuh dengan kasih
sayang. Ini menunjukkan hatinya tidak sekeras batu. Di depan putri kandung
sendiri akhirnya mengalir juga perasaan hangat seorang ibu.
Namun Yilin masih sangat
terperanjat. Dengan suara gemetar ia menjawab, “Ti… tidak, aku… aku pergi
saja!”
“Nanti dulu, duduklah sebentar
saja,” kata si nenek mencegah. “Aku ingin membicarakan suatu hal penting
denganmu.”
“Tidak, aku … aku tidak mau
dengar,” jawab Yilin. “Kau … kau telah menipuku. Selama ini kusangka kau tidak
dapat mendengar, maka itu …. maka itu, aku bercerita macam-macam padamu.
Ternyata … ternyata kau menipu aku.” Suaranya terdengar serak dan
terputus-putus. Sepertinya ia hampir menangis.
Perlahan si nenek menepuk bahu
Yilin dan berkata lembut, “Anak baik, anak manis, jangan khawatir. Aku tidak
berniat menipumu. Aku hanya khawatir kau jatuh sakit karena menahan perasaanmu,
maka itu aku pun membiarkanmu bercerita agar hatimu lebih lapang. Sejak pertama
kali aku menginjakkan kaki di Gunung Henshan ini, aku sudah menyamar sebagai
seorang bisu tuli. Ini karena suatu alasan pribadi, jadi bukan untuk menipumu
saja.”
Yilin menangis tersedu-sedu.
Dengan lembut si nenek kembali berkata, “Aku hendak membicarakan suatu urusan
penting denganmu. Setelah mendengarnya tentu kau akan senang.”
“Apakah soal ayahku?” tanya
Yilin.
“Tentang ayahmu? Huh, persetan
dia mampus atau hidup,” sahut si nenek. “Yang akan kubicarakan adalah mengenai
Kakak Linghu-mu.”
“Tidak. Jang… jangan kau
sebut-sebut dia lagi. Aku … aku tidak mau bicara tentang dia lagi untuk
selamanya,” jawab Yilin dengan suara terputus-putus. “Sudahlah, aku mau pulang
untuk sembahyang.”
“Jangan, tunggu dulu!
Dengarkan dulu uraianku!” kata si nenek. “Kakak Linghu-mu bilang padaku bahwa
sesungguhnya dalam hati dia sangat menyukaimu. Dia sepuluh kali lipat lebih
menyukaimu daripada Nona Ren dari Sekte Iblis itu.”
Linghu Chong memandang sekejap
kepada Ren Yingying, kemudian memaki dalam hati, “Perempuan tua bangka.
Pembohong besar nomor satu di dunia!”
Sementara itu terdengar Yilin
menghela napas lalu berkata, “Kau tidak perlu berdusta padaku. Ketika pertama
kali aku mengenalnya, Kakak Linghu hanya menyukai adik seperguruannya seorang.
Kemudian sesudah adik seperguruannya itu meninggalkannya dan menikah dengan
orang lain, ia lantas menyukai Nona Ren seorang. Dalam lubuk hatinya kini hanya
Nona Ren saja yang ia cintai.”
Kembali pandangan Linghu Chong
beradu dengan Ren Yingying. Hati keduanya sama-sama merasa berbunga-bunga dan
sangat bahagia.
Terdengar si nenek berkata,
“Sebenarnya diam-diam dia sangat menyukaimu. Hanya saja, kau ini seorang
biarawati, sedangkan dia juga ketua Perguruan Henshan. Rasanya tidak pantas
kalau ia mengutarakan isi hati dengan bebas. Tapi kini dia sudah mengambil
keputusan, sudah menetapkan niat, sudah bertekad bulat akan menikahimu. Sebab
itulah ia lantas mencukur rambutnya dan menjadi biksu.”
“Hahhh!” kembali Yilin
menjerit kaget. “Tidak bisa … tidak bisa demikian! Tidak boleh … tidak boleh
demikian! Tolong kau suruh … suruh dia jangan menjadi biksu.”
“Sudah terlambat,” sahut si
nenek dengan nada menyesal. “Kini dia sudah menjadi biksu. Katanya,
bagaimanapun juga dia harus menikahimu. Kalau sampai gagal, maka dia akan bunuh
diri atau menjadi kasim saja.”
“Menjadi kasim?” Yilin
menegas. “Kasim itu apa? Kata Guru istilah kasim tidak baik untuk diucapkan,
apalagi oleh kaum biarawati seperti kami.”
Si nenek menjawab, “Kasim
bukan istilah kotor. Kasim adalah pelayan kaisar, pelayan keluarga kaisar,
semacam kaum hamba sahaya di dalam istana.”
“Tapi Kakak Linghu sangat
menjunjung tinggi harga diri, seorang yang suka hidup bebas merdeka. Mana
mungkin ia sudi menjadi pelayan kaisar?” ujar Yilin. “Bahkan menjadi kaisar
sekalipun dia tidak mungkin mau, apalagi menjadi pelayan kaisar? Aku yakin
tidak mungkin dia menjadi kasim.”
Si nenek menjawab, “Bukan
maksudku seperti itu. Istilah kasim aku gunakan hanya sebagai perumpamaan saja.
Maksudku, orang yang sudah menjadi kasim selama hidupnya tidak bisa mempunyai
anak lagi.”
“Ah, aku tidak percaya,” kata
Yilin. “Kakak Linghu dan Nona Ren akan segera menikah. Mereka pasti akan
memiliki beberapa bayi yang mungil. Mereka berdua pasangan serasi. Yang satu
tampan dan yang satu cantik. Pasti anak-anak mereka juga lucu dan
menyenangkan.”
Linghu Chong melirik Ren
Yingying. Dilihatnya kedua belah pipi si nona bersemu merah. Rasa malu dan
bahagia bercampur di dalam hati gadis itu.
Sepertinya si nenek menjadi
gusar. Terdengar suaranya berubah keras, “Sekali aku berkata tidak bisa punya
anak, maka dia takkan punya anak. Jangankan anak, punya istri juga tidak bisa.
Dia sudah terikat sumpah, mau tidak mau harus menikah denganmu.”
“Tapi yang aku tahu dia hanya
mencintai Nona Ren seorang,” ujar Yilin.
“Dia bisa menikahi Nona Ren
dan juga menikahimu, paham?” kata si nenek. “Jadi, dia akan punya dua istri.
Jangankan hanya dua, bahkan sudah biasa laki-laki di dunia ini memiliki
beberapa istri dan banyak gundik.”
“Ah, tidak bisa, tidak bisa,”
kata Yilin. “Dalam hati seseorang kalau sudah mencintai siapa, maka yang dia
pikirkan hanyalah orang itu saja. Siang terpikir malam terkenang. Saat makan ia
teringat, kala tidur juga terbawa mimpi. Mana mungkin ada tempat di hatinya
untuk orang lain? Sama seperti Ayah. Sejak Ibu meninggalkannya, maka ia pun
berkelana menjelajahi segenap pelosok dunia untuk mencari. Di dunia ini masih
banyak wanita lain. Meskipun seorang laki-laki boleh mempunyai banyak istri,
tapi Ayah tidak mau menikah lagi dengan perempuan lain.”
Seketika nenek itu terdiam.
Cukup lama ia tidak bersuara karena kata-kata Yilin itu tepat mengena di
hatinya. Akhirnya, setelah menghela napas ia kembali berkata, “Semula ayahmu
berbuat salah. Mungkin kemudian dia … dia merasa menyesal.”
“Sudahlah, aku pulang saja,”
kata Yilin. “Nenek, bila kau bicara pada orang lain bahwa Kakak Linghu ingin
menikahiku, maka aku tidak … tidak mau hidup lagi.”
“Kenapa? Dia memang ingin
menikahimu, apakah kau tidak senang?” tanya si nenek.
“Tidak, tidak!” jawab Yilin.
“Hatiku memang senantiasa memikirkannya. Aku selalu berdoa agar ia diberkati
hidup bahagia dan sehat selalu. Semoga ia terbebas dari segala kesulitan dan
terlepas dari bencana. Semoga terkabul cita-citanya menjadi suami-istri dengan
Nona Ren. Mungkin kau tidak paham isi hatiku. Nenek, aku hanya berharap asalkan
Kakak Linghu merasa senang, merasa bahagia, maka aku pun akan ikut merasa
senang dan bahagia.”
“Jika dia tidak berhasil
menikahimu, maka dia takkan merasa senang dan takkan bahagia. Menjadi manusia
mungkin juga tidak ada artinya lagi,” ujar si nenek bersikeras.
“Ah, semua ini memang salahku.
Kukira kau tidak dapat mendengar, maka aku banyak bercerita soal Kakak Linghu
kepadamu,” kata Yilin. “Dia seorang pahlawan besar pada zaman ini, sementara
aku hanya seorang biksuni cilik yang tak berarti. Dia pernah berkata padaku
bahwa setiap kali bertemu biksuni, selalu saja ia kalah judi. Melihat aku saja
sudah membuatnya sial, mana bisa dia menikahi aku? Aku sudah menyerahkan jiwa
ragaku ke dalam Agama Buddha. Aku harus menghilangkan segala keinginan duniawi.
Aku tidak dapat memikirkan hal-hal seperti itu lagi. Nenek, untuk selanjutnya
kau jangan lagi menyinggung-nyinggung masalah ini. Untuk selanjutnya aku pun
tidak akan … tidak akan menemuimu lagi.”
Sepertinya si nenek menjadi
kelabakan. Ia berkata, “Kau bocah cilik berkelakuan aneh dan membingungkan.
Linghu Chong sudah menjadi biksu demi dirimu. Dia sudah bersumpah harus
menikahimu. Bila Sang Buddha murka biarlah dia yang mendapat murka.”
Yilin menghela napas dan
berkata, “Apakah mungkin dia punya jalan pikiran seperti ayahku? Tidak mungkin.
Ibuku cantik dan cerdas. Perangainya halus dan ramah. Boleh dikata ia adalah
wanita paling baik di dunia ini. Ayahku menjadi biksu demi ibuku adalah hal
yang pantas. Tapi aku … aku sedikit pun tidak bisa menyamai ibuku. Mana mungkin
Kakak Linghu ....”
Dalam hati Linghu Chong
tertawa geli. Ia berpikir, “Ibumu cantik dan cerdas, rasanya kurang tepat.
Perangainya halus, sangat-sangat tidak benar. Justru sebaliknya, sedikit pun
ibumu tidak bisa menyamaimu.”
Terdengar si nenek kembali
bertanya. “Dari mana kau tahu?”
“Tentu saja aku tahu,” sahut
Yilin. “Setiap kali Ayah bertemu denganku, selalu saja ia bercerita tentang
kebaikan Ibu, tentang budi pekerti Ibu yang halus pula. Selamanya Ibu tidak
pernah marah dan memaki orang. Selama hidup Ibu tidak pernah menyakiti orang,
bahkan seekor semut pun tidak pernah terinjak olehnya. Kata Ayah, meskipun
seluruh wanita terbaik di dunia ini bergabung menjadi satu juga tidak bisa
menyamai ibuku seorang.”
“Be… betulkah dia berkata
demikian? Ah … mungkin … mungkin dia hanya berpura-pura,” kata si nenek dengan
suara gemetar, jelas perasaannya agak terguncang.
“Sudah tentu benar,” sahut
Yilin. “Aku adalah anak perempuannya, mana mungkin Ayah berdusta padaku?”
Seketika suasana di Loteng
Kura-Kura Dewa itu menjadi sunyi senyap. Rupanya si nenek tenggelam dalam
perasaannya.
“Nenek, aku mau pulang,” kata
Yilin kemudian. “Selanjutnya aku takkan menemui Kakak Linghu lagi. Aku hanya
berdoa setiap hari semoga Dewi Guanyin selalu melimpahkan berkah kepadanya.”
Kemudian terdengar suara langkah kakinya perlahan turun ke bawah.
Selang agak lama barulah si nenek
seperti tersadar dari lamunan. Terdengar ia bergumam perlahan, “Apa benar dia
mengatakan bahwa aku adalah wanita paling baik di dunia? Dia telah menjelajahi
segenap penjuru dunia demi untuk mencariku? Jika begitu, dia bukan lagi manusia
yang tak berperasaan, bukan manusia yang paling doyan perempuan.”
Tiba-tiba perempuan tua itu
berseru keras, “Yilin! Yilin! Di mana kau?”
Namun, Yilin sudah pergi jauh.
Nenek itu berteriak lagi beberapa kali dan tidak juga mendapat suatu jawaban.
Segera ia pun berlari-lari ke bawah loteng. Ia berlari dengan tergesa-gesa dan
cepat, tapi suara langkahnya tetap terdengar sangat lirih, bahkan nyaris tak
terdengar. Ini pertanda ilmu meringankan tubuhnya memang sangat luar biasa.
Linghu Chong saling pandang
dengan Ren Yingying. Seketika bermacam-macam pikiran berkecamuk dalam benak
mereka. Sinar mentari yang memancar masuk melalui jendela membuat pisau cukur
yang sangat tajam itu tampak berkilauan. Diam-diam Linghu Chong merasa
bersyukur, “Tak pernah kusangka bencana yang hampir saja mengancam
keselamatanku ini ternyata berakhir begitu saja.”
Tiba-tiba terdengar suara
beberapa orang berbicara di bawah Kuil Gantung. Namun, karena jaraknya agak
jauh maka percakapan itu tidak dapat terdengar jelas. Selang sejenak, barulah percakapan
mereka samar-samar bisa didengar. Rupanya ada satu rombongan sedang berjalan
mendekati kuil tersebut.
“Ada yang datang!” sahut
Linghu Chong.
Begitu mendengar suaranya
sendiri seketika Linghu Chong sadar bahwa totokan pada titik bisunya telah terbuka.
Di antara berbagai titik nadi pada tubuh manusia, titik bisu memang yang paling
dangkal dan cepat terbuka jika mengalami totokan. Apalagi tenaga dalam Linghu
Chong jauh lebih kuat daripada Ren Yingying, sehingga dapat melepaskan diri
lebih dulu dari totokan tersebut.
Ren Yingying mengangguk
perlahan. Segera Linghu Chong bermaksud menggerakkan tangan dan kaki, namun
ternyata masih belum terbebas. Terpaksa ia berkata dengan suara tertahan,
“Mungkin mereka musuh. Kita harus segera melepaskan semua totokan pada tubuh
kita.”
Kembali Ren Yingying
mengangguk sambil memasang telinga untuk mendengarkan. Dari suara di bawah itu
sepertinya ada tujuh atau delapan orang yang sedang menuju Kuil Gantung.
Linghu Chong berpikir, “Semoga
mereka naik ke Loteng Ular Sakti di sebelah sana.”
Akan tetapi, harapan ternyata
tidak sesuai dengan kenyataan. Beberapa orang itu justru menaiki tangga yang
menuju ke atas Loteng Kura-Kura Dewa.
Terdengar seseorang di antara
mereka berkata dengan suara kasar, “Bahkan hantu pun tidak ada di Kuil Gantung
ini. Lantas, apa pula yang hendak kita cari di sini?”
Linghu Chong mengenali suara
tersebut adalah suara Qiu Songnian. Jelas yang datang ke tempat itu adalah
kelompok Nyonya Zhang bertujuh.
Menyusul Biksu Xibao berkata,
“Kita mendapat perintah seperti ini, lebih baik dijalani saja.”
Linghu Chong mengerahkan
tenaga dalam sebanyak-banyaknya untuk menerjang totokan pada tubuhnya yang
belum terbuka. Akan tetapi, tenaga dalamnya itu diperoleh dari menghisap orang
lain, sehingga meskipun sangat kuat, namun tidak dapat digunakan secara
leluasa. Semakin terburu-buru ternyata semakin macet pula.
Sementara itu, terdengar Yan
Sanxing berkata, “Tuan Yue berkata bahwa, jika kita berhasil melaksanakan tugas
ini, maka Beliau akan mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis kepada kita.
Ucapannya ini memang sukar dipercaya. Coba kalian pikir, orang yang berjuang ke
Gunung Henshan ini tidak terhitung banyaknya. Kita belum berjasa apa-apa, tapi
mengapa Tuan Yue berjanji akan menurunkan jurus pedang itu kepada kita?”
Suara percakapan mereka
terdengar semakin jelas. Rupanya mereka telah melalui anak tangga yang menuju
Loteng Kura-Kura Dewa. Maka, begitu membuka pintu seketika mereka pun melihat
Linghu Chong dan Ren Yingying dalam keadaan kaki dan tangan terikat kencang.
Yang satu di atas meja, yang satu duduk di lantai. Menyaksikan itu semua
masing-masing menjerit kaget bercampur heran.
“Hah, mengapa Nona Ren berada
di sini? Hei, ada seorang biksu pula,” kata You Xun. Rupanya yang datang tidak
hanya kelompok Nyonya Zhang bertujuh, karena Si Licin Susah Dipegang juga ikut
serta.
“Siapa yang berani kurang ajar
terhadap Nona Ren?” seru Nyonya Zhang. Segera ia pun mendekati Ren Yingying dan
bermaksud melepaskan tali ikatannya.
“Jangan, jangan dulu, Nyonya
Zhang!” seru You Xun.
“Tunggu apa lagi?” tanya
Nyonya Zhang.
“Biar kupikirkan dulu
masak-masak,” sahut You Xun. “Melihat gelagatnya, tampaknya Nona Ren diringkus
orang sehingga tidak bisa berkutik. Ini benar-benar kejadian aneh dan ajaib.”
“Hei, orang ini bukan biksu.
Tapi dia adalah … adalah … Ketua Linghu, Tuan Muda Linghu Chong!” tiba-tiba
Pendeta Yuling berseru kaget.
Serentak orang-orang itu
berpaling ke arah Linghu Chong. Selang sejenak barulah mereka dapat mengenali
pemuda itu. Kedelapan orang ini biasanya sangat hormat kepada Ren Yingying,
juga sangat takut kepada Linghu Chong. Maka, untuk sekian lamanya mereka hanya
saling pandang saja. Tidak seorang pun yang berani mengutarakan pendapat.
Tiba-tiba Yan Sanxing dan Qiu
Songnian serentak berkata, “Bagus sekali. Kita benar-benar berjasa besar!”
“Benar!” sahut Pendeta Yuling.
“Mereka hanya dapat menangkap beberapa orang biksuni cilik. Apa hebatnya?
Sementara kita berhasil membekuk ketua Perguruan Henshan. Ini baru yang namanya
jasa besar. Tuan Yue pasti akan mengajarkan Jurus Pedang Penakluk Iblis kepada
kita.”
“Jadi, kita harus bagaimana?”
sahut Nyonya Zhang sambil menarik kembali tangannya yang hampir saja membuka
ikatan pada tubuh Ren Yingying.
Kedelapan orang itu sama-sama
berpikir, “Jika Nona Ren dibebaskan, mana mungkin kita bisa menangkap Linghu
Chong? Bisa-bisa kita semua akan kehilangan nyawa di sini.” Rupanya
masing-masing merasa sangat segan terhadap kedudukan dan kekuasaan Ren Yingying
dalam Sekte Matahari dan Bulan.
You Xun tertawa kecil dan
berkata, “Pepatah mengatakan, bernyali kecil bukan kesatria, tidak kejam bukan
laki-laki. Disebut tidak kesatria bukan masalah. Tapi kalau tidak menjadi
laki-laki rasanya sungguh sayang, sungguh sayang!”
“Jadi menurutmu, kita harus
membunuh Nona Ren untuk menghilangkan saksi?” tanya Pendeta Yuling.
“Bukan aku yang mengatakan,
tapi kau sendiri yang menyimpulkan demikian,” jawab You Xun.
Nyonya Zhang langsung saja
membentak, “Gadis Suci berjasa besar kepada kita. Kita semua berhutang budi
kepada Beliau. Siapa yang berani kurang ajar terhadap Beliau, maka akulah orang
pertama yang akan menghalangi.”
“Sampai sekarang kita belum
juga melepaskan dia, apakah kau pikir dia akan bermurah hati mengampuni kita?”
kata Qiu Songnian. “Lagipula, mana mungkin dia membiarkan kita menangkap Linghu
Chong?”
Nyonya Zhang menyahut,
“Bagaimanapun juga kita pernah bergabung ke dalam Perguruan Henshan. Kalau
sekarang kita harus memberontak terhadap ketua sendiri, ini namanya
pengkhianatan!” Usai berkata demikian tangannya kembali menjulur hendak membuka
ikatan Ren Yingying.
“Tunggu dulu!” bentak Qiu
Songnian dengan suara bengis.
“Kau berani membentak,
memangnya aku takut padamu?” jawab Nyonya Zhang gusar.
Tanpa banyak bicara Qiu
Songnian mengeluarkan goloknya. Namun, gerakan Nyonya Zhang sendiri sangat
cepat. Tahu-tahu tangannya sudah melolos keluar sebilah belati dari balik
bajunya dan dengan dua kali gerakan ia sudah memutuskan tali yang mengikat kaki
dan tangan Ren Yingying. Ia sadar ilmu silat Ren Yingying sangat tinggi. Dengan
membebaskan gadis itu, maka ketujuh orang lainnya tidak perlu ditakuti lagi
Qiu Songnian tidak tinggal
diam. Segera ia mengayunkan goloknya ke arah Nyonya Zhang. Namun, Nyonya Zhang
juga tidak kalah cepatnya. Dengan tiga kali tusukan ia dapat mendesak biksu
berambut itu mundur.
Sementara itu You Xun dan yang
lain merasa gentar melihat Ren Yingying sudah terbebas dari ikatan.
Masing-masing melangkah mundur ke tepi ruangan untuk berjaga-jaga. Bahkan,
mereka bermaksud melarikan diri pula. Namun, begitu melihat Ren Yingying tetap
tergeletak di lantai tanpa bergerak, barulah mereka sadar bahwa titik nadi Sang
Gadis Suci telah tertotok. Serentak mereka pun melangkah maju kembali.
“Hehe, sebenarnya kita semua
adalah sahabat baik,” kata You Xun dengan cengar-cengir. “Untuk apa harus main
senjata segala? Bukankah ini berbahaya?”
Qiu Songnian menjawab, “Kalau
totokan Nona Ren sudah terbuka, apakah jiwa kita masih bisa dipertahankan?”
Usai berkata ia kembali menerjang Nyonya Zhang.
Meskipun tubuh Qiu Songnian
tinggi besar, ditambah senjatanya juga berat, tapi menghadapi seorang perempuan
tua bersenjata belati macam Nyonya Zhang sedikit pun ia tidak bisa unggul.
Bahkan biksu berambut ini berkali-kali terdesak mundur.
“Hei-hei, jangan berkelahi
lagi, jangan berkelahi lagi! Apa pun masalahnya, mari kita bicarakan
baik-baik,” kata You Xun sambil tertawa kecil. Laki-laki yang berdandan mirip
saudagar itu melangkah mendekati keduanya sambil berkipas-kipas.
“Minggir sana! Jangan
mengganggu!” bentak Qiu Songnian.
“Baik, baik!” sahut You Xun
dengan tetap tertawa. Ia lantas berbalik, namun tiba-tiba tangannya bekerja
cepat. Terdengar Nyonya Zhang menjerit ngeri, karena tahu-tahu gagang kipas You
Xun yang terbuat dari baja sudah menancap di tenggorokan perempuan berambut
putih itu.
“Aih, aih, sudah kukatakan
kita semua bersahabat, untuk apa main senjata segala? Tapi kau tidak mau
menurut. Bukankah ini namanya mementingkan diri sendiri?” kata You Xun sambil
menarik kipasnya. Seketika darah segar pun menyembur keluar dari leher Nyonya
Zhang.
Apa yang baru saja terjadi
benar-benar di luar dugaan semua orang. Qiu Songnian melompat mundur sambil
memaki, “Sialan, ternyata anak bulus ini membantuku.”
“Kalau bukan membantu dirimu,
apakah aku harus membantu dia?” sahut You Xun dengan tertawa. Ia berpaling
kepada Ren Yingying dan berkata, “Nona Ren, kau adalah putri kesayangan Ketua
Ren. Kami semua hormat kepadamu karena memandang ayahmu. Namun, rasa segan dan
takut kami kepadamu juga karena kau memegang obat penawar Pil Pembusuk Otak
yang pernah kami telan. Kalau obat penawar itu dapat kami miliki, maka Gadis
Suci macam dirimu sudah tidak berarti lagi.”
“Benar, benar, ambil obat
penawarnya dan bunuh dia!” seru keenam yang lain beramai-ramai.
Pendeta Yuling berkata, “Tapi
kita harus bersumpah lebih dulu. Barangsiapa membocorkan peristiwa ini, biarlah
dia mati membusuk oleh ratusan pil maut yang telah dimakannya.”
Ketujuh orang itu merasa tidak
mempunyai pilihan lain kecuali membunuh Ren Yingying. Namun, mereka juga sangat
takut kepada Ren Woxing. Apabila peristiwa ini sampai diketahui oleh ketua
Sekte Iblis tersebut, maka sekalipun dunia ini sangat luas tetap saja tiada
tempat bagi mereka untuk bersembunyi. Tanpa ragu-ragu lagi masing-masing pun
mengucapkan sumpah sesuai saran Pendeta Yuling.
Linghu Chong paham bahwa
begitu mereka selesai bersumpah, tentu Ren Yingying akan segera dibunuh pula.
Segera ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk membobol beberapa titik nadinya
yang masih tertotok. Namun, meskipun tenaga dalamnya sangat kuat tetap saja
sulit untuk dikendalikan dengan baik. Totokan pada tubuhnya belum juga bisa
terbuka. Menyadari hal ini hatinya sangat gelisah dan khawatir.
Linghu Chong lantas memandang
ke arah Ren Yingying. Dilihatnya si nona juga sedang memandang dirinya dengan
mesra. Sedikit pun gadis itu tidak menunjukkan rasa takut dan gentar. Linghu
Chong lega melihatnya dan ia pun berpikir, “Sekalipun kami berdua akan mati,
namun rasanya sungguh bahagia bisa mati bersama pada waktu yang sama dan di
tempat yang sama pula.”
Terdengar Qiu Songnian berseru
kepada You Xun, “Lekas kerjakan!”
“Saudara Qiu terkenal cepat
dan tegas dalam menghadapi setiap urusan. Maka lebih baik Saudara Qiu saja yang
turun tangan,” jawab You Xun.
“Bangsat! Kalau kau tidak
turun tangan, maka kau sendiri yang akan kubunuh segera,” bentak Qiu Songnian.
“Kalau Saudara Qiu tidak
berani, biar kita minta Saudara Yan saja yang turun tangan,” ujar You Xun
dengan tertawa.
“Nenekmu,” sahut Qiu Songnian
memaki. “Mengapa aku tidak berani? Masalahnya hari ini aku sedang tidak ingin
membunuh orang.”
“Sebenarnya siapa pun yang
turun tangan juga sama saja. Bukankah kita sudah bersumpah tidak akan
membocorkan peristiwa ini?” kata Pendeta Yuling.
“Jika begitu, bagaimana kalau
Saudara Pendeta saja yang turun tangan?” ujar Biksu Xibao.
“Hei, kenapa semuanya harus
bingung seperti ini?” sahut Yan Sanxing. “Apabila kita memang tidak bisa saling
percaya, maka yang paling baik adalah masing-masing mengayunkan senjata secara
bersama-sama pada tubuh Nona Ren, bagaimana?”
Ketujuh orang ini adalah
kumpulan manusia kejam dan serakah. Di samping itu mereka juga berhati licik.
Masing-masing saling mencurigai sehingga pada saat-saat gawat seperti itu masih
juga berusaha melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Meskipun demikian,
mereka tetap tidak berani berkata kasar kepada Ren Yingying.
“Tunggu dulu,” seru You Xun
kemudian. “Biar kuambil dulu obat penawar racun pil tersebut dari tubuhnya.”
“Kenapa pula harus kau yang
mengambilnya?” sahut Qiu Songnian. “Setelah kau ambil obat penawar itu tentu
akan kau gunakan untuk memeras kami. Biar aku saja yang mengambil.”
“Kau yang mengambil? Memangnya
siapa yang percaya kau tidak akan memeras kami?” sahut You Xun tidak terima.
“Sudahlah, jangan buang-buang
waktu lagi!” seru Pendeta Yuling. “Bila terlalu lama, jangan-jangan totokannya
terbuka sendiri. Urusan ini bisa runyam kalau sudah begitu. Yang paling penting
adalah kita harus segera membinasakan dia, baru kemudian membagi obat
penawarnya.”
Segera Yuling mendahului
mencabut pedang. Keenam orang lainnya pun beramai-ramai mempersiapkan senjata
masing-masing dan mengelilingi tubuh Ren Yingying.
Melihat ajal sudah dekat, Ren
Yingying pun memandang Linghu Chong tanpa berkedip. Teringat saat-saat indah
dan bahagia selama berdampingan dengan pemuda itu, sekilas bibirnya pun
tersenyum manis.
“Sekarang aku akan menghitung
sampai tiga, lalu kita turun tangan bersama!” seru Yan Sanxing. “Nah, mulai!
Satu … dua … tiga!” Begitu hitungan ketiga diucapkan, serentak tujuh bentuk
senjata pun menyambar turun ke arah Ren Yingying bersama-sama.
Sungguh tak disangka, ketujuh
senjata itu tanpa diperintah tiba-tiba berhenti begitu saja pada jarak beberapa
senti dari tubuh Sang Gadis Suci.
“Dasar pengecut!” gerutu Qiu
Songnian. “Kenapa tidak diteruskan? Huh, kalian selalu saja ingin orang lain
yang membunuhnya agar tidak ikut menanggung dosa.”
“Hei, kau sendiri kenapa juga
berbuat demikian?” jawab Biksu Xibao. “Golokmu juga berhenti di tengah jalan.
Kalau kau memang pemberani kenapa senjatamu tidak menyentuh kulit Nona Ren?”
Ketujuh orang ini sama-sama
manusia busuk, berjiwa licik. Masing-masing mengharapkan Ren Yingying biarlah
mati terkena senjata orang lain, sehingga kalau peristiwa ini sampai terbongkar
mereka bisa mengelakkan diri dari tanggung jawab. Selain itu dalam hati mereka
ternyata masih ada juga rasa segan menodai senjata masing-masing dengan darah
seorang tuan putri yang selama ini mereka hormati.
“Baiklah, mari kita ulangi
kembali!” seru Qiu Songnian. “Kali ini kalau ada yang menahan senjata, maka dia
adalah bangsat anak haram, anak anjing, babi! Nah, biar aku yang menghitung.
Satu … dua …”
Tiba-tiba Linghu Chong
berseru, “Jurus Pedang Penakluk Iblis!”
Serentak ketujuh orang itu
menoleh begitu mendengar istilah tersebut. Empat di antaranya lantas bertanya
bersama-sama, “Kau bilang apa?”
Memang sudah sejak lama
ketujuh orang ini mengincar kitab pusaka Jurus Pedang Penakluk Iblis. Bersama
Nyonya Zhang mereka pernah mengeroyok Yu Canghai, karena mengira mendiang ketua
Perguruan Qingcheng itu menyimpan kitab pusaka tersebut. Apalagi setelah
mendengar berita menggemparkan bahwa Yue Buqun berhasil membutakan kedua mata
Zuo Lengchan, membuat mereka semakin bernafsu untuk menguasai jurus pedang
sakti tersebut. Maka, begitu mendengar ilmu itu disebut-sebut, serentak mereka
pun mengesampingkan semua urusan.
Kini ketujuh pasang mata
mereka memandang tanpa berkedip ke arah Linghu Chong. Terdengar mulut pemuda
itu berkata, “Jurus Pedang Penakluk Iblis, ilmu pedang mahasakti di seluruh
dunia. Latih dulu kekuatan tenaga, baru kemudian latih kesaktian pedang. Kalau
kekuatan tenaga sudah kokoh, maka kesaktian pedang akan sempurna dengan
sendirinya. Bagaimana cara membangkitkan kekuatan tenaga, serta bagaimana cara
membangkitkan kesaktian pedang, rahasia keajaibannya dapat dicari dalam kitab
ini.”
Setiap kali ia menyebut satu
kalimat, serentak ketujuh orang itu maju satu langkah pula ke arahnya.
Tahu-tahu mereka sudah meninggalkan Ren Yingying dan kini ganti mengelilingi
tubuh Linghu Chong.
“Apakah kalimat tadi …
terdapat dalam Kitab Pedang Penakluk Iblis?” tanya Qiu Songnian ketika Linghu
Chong menghentikan uraiannya.
“Kalau bukan Kitab Pedang
Penakluk Iblis, memangnya kau kira ini Kitab Iblis Penakluk Pedang?” sahut
Linghu Chong gusar.
“Coba uraikan lanjutannya,”
kata Qiu Songnian.
Linghu Chong mengangguk lalu
kembali berkata, “Untuk melatih kekuatan tenaga, maka perasaan harus tulus dan
bersungguh-sungguh. Pikiran harus tenang, hati harus bersih ....” Sampai di
sini ucapannya lantas berhenti.
“Ayo teruskan, teruskan!”
desak Biksu Xibao. Sementara itu Pendeta Yuling tampak komat-kamit mengulangi
kalimat yang diucapkan Linghu Chong tadi. Sepertinya ia sedang mencoba
menghafalkannya di luar kepala.
Sebenarnya Linghu Chong sama
sekali belum pernah membaca isi Kitab Pedang Penakluk Iblis. Apa yang baru saja
ia ucapkan tadi adalah kata pengantar dalam mempelajari ilmu pedang Perguruan
Huashan aliran tenaga dalam. Tentu saja ia hanya sekadar menukar istilah Jurus
Pedang Perguruan Huashan menjadi Jurus Pedang Penakluk Iblis. Namun, ketujuh
penjahat di hadapannya tidak pernah mengenal ilmu pedang Perguruan Huashan,
selain itu juga sangat berhasrat menguasai Jurus Pedang Penakluk Iblis. Maka,
begitu mendengar uraian Linghu Chong tersebut, mereka menjadi semakin
tergila-gila dan ingin mengetahui lebih banyak, tanpa memikirkan apakah kalimat
yang mereka dengar itu asli atau tidak.
Linghu Chong sendiri sudah
lama tidak berlatih ilmu Pedang Huashan, sehingga rumusan yang pernah diajarkan
Yue Buqun sudah banyak yang terlupakan dari ingatannya. Di samping itu,
kemampuan baca tulisnya juga rendah sehingga uraian kalimatnya pun macet di
tengah jalan. Namun, demi menolong jiwa Ren Yingying terpaksa ia mencoba
mengarang sebisanya.
“Mengalirlah dengan lembut,
penuhi pedangmu dengan kekuatan, bunuh semua yang ada ... Selanjutnya, jika
tidak berhasil membunuh, maka ilmu pedang tidak berguna lagi .... Entah apa
lanjutannya, aku lupa. Aku belum tuntas menghafalkannya,” ujar Linghu Chong.
Mengenai kata bunuh-membunuh ini jelas adalah hasil karangannya sendiri.
Biksu Xibao tidak sabar dan
membentak, “Di mana kitab pusaka itu? Biar kami baca sendiri!” Yang lain ikut
meendesak pula.
“Kitab pusaka itu … yang pasti
tidak berada padaku. Bahkan, uang saja aku tidak punya,” sahut Linghu Chong
sambil melirik ke arah perutnya. Tentu saja hal ini menimbulkan rasa curiga
ketujuh orang itu. Serentak dua buah tangan pun menjulur maju menggerayangi
perutnya itu. Yang satu adalah tangan Biksu Xibao, dan yang satunya lagi adalah
tangan Qiu Songnian.
Tiba-tiba terdengar kedua
orang itu menjerit ngeri. Kepala Biksu Xibao yang botak licin hancur dengan
otak berhamburan, sementara punggung Qiu Songnian tertembus pedang sampai ke
dada. Ternyata masing-masing telah dibereskan oleh Yan Sanxing dan Pendeta
Yuling.
“Hm, kita sudah bekerja keras
demi mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis, akhirnya bertemu juga di sini,”
ujar Yan Sanxing tertawa. “Namun, kedua bajingan ini bermaksud mengangkanginya.
Memangnya di dunia ini ada urusan semudah itu?” Menyusul ia lantas menendang
dua kali. Seketika kedua sosok mayat tersebut terlempar hingga ke pinggir
ruangan loteng.
Sebenarnya Linghu Chong
berpura-pura mengutarakan isi Kitab Pedang Penakluk Iblis hanyalah untuk
menyelamatkan Ren Yingying dari bahaya. Sedapat-dapatnya ia mencari akal untuk
mengalihkan perhatian orang-orang itu, serta ia juga bermaksud mengulur waktu
sambil menunggu totokan pada tubuhnya dan juga pada tubuh Ren Yingying terbuka
sendiri oleh waktu. Tak disangka, akalnya ini ternyata sangat manjur. Bukan
saja ketujuh orang itu dapat dipancing meninggalkan Ren Yingying, bahkan mereka
justru saling bunuh pula. Kini tujuh orang itu tinggal berlima saja. Diam-diam
Linghu Chong merasa sangat senang.
“Sabar dulu,” tiba-tiba You
Xun menyela. “Apakah kitab pusaka itu benar-benar ada di tubuh Linghu Chong
atau tidak juga belum pasti. Tapi kita sendiri malah saling membunuh. Bukankah
ini sangat merugikan ….”
Belum usai ia berbicara, Yan
Sanxing sudah melotot dan menegur, “Huh, kau sebut kami tidak sabar, sebenarnya
kau tidak senang, bukan? Barangkali kau juga ingin mengangkangi sendiri kitab
pusaka itu?”
“Mengangkangi sendiri jelas
tidak berani. Memangnya siapa pula yang ingin meniru biksu gundul itu?
Memangnya enak punya kepala hancur?” sahut You Xun. “Masalahnya kita datang ke
sini demi satu tujuan bersama. Kitab pusaka yang terkenal di seluruh dunia
persilatan ini sudah pasti setiap orang ingin melihatnya. Maka, apa salahnya
kalau kita miliki bersama?”
“Benar,” ujar Sepasang Orang Aneh
Tongbai bersamaan. “Siapa pun tidak boleh mengangkangi kitab pusaka itu. Kita
harus membacanya bersama.”
Yan Sanxing lantas berkata
kepada kepada You Xun, “Baiklah, silakan kau saja yang mengambil kitab pusaka
itu dari balik baju bocah Linghu ini.”
You Xun menggeleng dengan
tersenyum, lalu berkata, “Lebih baik tidak usah. Aku sama sekali tidak punya
niat mengangkangi kitab pusaka itu. Silakan Saudara Yan saja yang mengambil.
Asalkan aku diizinkan membaca sekilas saja sudah membuat hatiku puas.”
“Kalau begitu, kau saja yang
mengambilnya,” kata Yan Sanxing kepada Pendeta Yuling.
“Kurasa lebih baik Saudara Yan
saja yang mengambil,” jawab Pendeta Yuling.
Ketika Yan Sanxing memandang
Sepasang Orang Aneh Tongbai, ternyata kedua orang itu pun menggelengkan kepala,
pertanda mereka merasa enggan pula.
Dengan suara gusar Yan Sanxing
lantas memaki, “Apa kalian pikir aku tidak tahu isi hati kalian? Kalian ingin
aku yang mengambil kitab pusaka itu, lalu diam-diam kalian membunuhku dari
belakang untuk mengurangi saingan. Hm, aku, si marga Yan sama sekali tidak sudi
ditipu mentah-mentah.”
Kelima orang itu lantas
terdiam dan saling pandang. Masing-masing juga tidak mau tertipu. Keadaan pun
menjadi buntu dan menegangkan.
Linghu Chong khawatir kelima
orang itu kembali mendekati Ren Yingying. Maka ia pun berbicara, “Hei, kalian
tidak perlu bertengkar, biar aku mengingat-ingatnya lagi. Oh ya, kalau tidak
salah, seperti ini kalimat selanjutnya: Pedang Penakluk Iblis muncul, bunuh
semua habis-habisan. Kalau tidak habis maka … eh, apa ya? Kalau tidak habis …
dijual lagi … eh, salah. Wah, ini konyol. Isi kitab pusaka ini memang terlalu
dalam maknanya sehingga sukar dipahami.”
Kelima orang itu kembali
memperhatikan ucapan Linghu Chong dengan seksama. Semakin Linghu Chong kebingungan
dan pura-pura tidak mengerti, justru membuat mereka semakin penasaran.
Yan Sanxing tidak sabar dan
segera mengangkat goloknya, lalu berseru, “Sebenarnya urusan ini tidak sulit
kalau kalian membiarkan aku merogoh baju bocah ini. Baiklah, biar aku yang
mengambilnya dan kalian berempat silakan berjaga di luar pintu. Dengan
demikian, kalian tidak bisa membokong aku, dan aku pun tidak dapat kabur begitu
saja,”
Tanpa bicara Sepasang Orang
Aneh Tongbai segera melangkah keluar. You Xun keluar pula mengikuti pasangan
tersebut sambil cengar-cengir. Tinggal Pendeta Yuling saja yang merasa sangsi
dan hanya mundur dua-tiga langkah.
“Kau juga harus keluar dari
tempat ini!” bentak Yan Sanxing.
“Apa-apaan kau main bentak?
Memangnya aku takut padamu? Mau keluar atau tidak bukan urusanmu! Ada hak apa
kau memerintah diriku?” jawab Yuling gusar. Namun, tetap saja pada akhirnya ia
pun mengundurkan diri ke luar pintu.
Maka, You Xun dan yang lain
pun berjaga di luar pintu sambil keempat pasang mata mereka memandang tajam ke
dalam. Tanpa berkedip mereka mengawasi gerak-gerik Yan Sanxing. Mereka yakin Si
Pengemis Kejam Berkawan Ular itu tidak mungkin bisa melarikan diri dari Loteng
Kura-Kura Dewa yang terletak menggantung di puncak gunung tersebut.
Satu-satunya jalan keluar hanyalah jambatan layang menuju Loteng Ular Sakti,
namun jalur ini cukup berbahaya jika dilewati dengan tergesa-gesa.
Yan Sanxing sendiri masih
tetap tidak percaya pada keempat orang itu. Sambil kepala menoleh ke arah
pintu, ia berjalan mundur mendekati Linghu Chong. Sesudah dekat, tangan kirinya
lantas menjulur dan meraba-raba baju pemuda itu, sementara tangan kanan tetap
memegang golok untuk berjaga-jaga.
Akan tetapi, ternyata dalam
baju Linghu Chong tidak terdapat suatu kitab apa pun, kecuali sebatang pedang
pendek. Hatinya semakin penasaran. Goloknya pun dipindahkan ke mulut. Tangan
kirinya lantas mencengkeram dada Linghu Chong, sementara tangan kanan kembali
meraba baju pemuda itu. Di luar dugaan, begitu tangan kirinya mengerahkan
tenaga untuk mencengkeram, seketika ia merasa tenaga dalamnya mengalir keluar
melalui tangan kirinya itu.
Yan Sanxing sangat terkejut
dan lekas-lekas hendak menarik kembali tangannya, namun terasa seperti melekat
kuat di tubuh Linghu Chong. Semakin kuat ia menarik tangan semakin deras pula
tenaganya yang terhisap keluar. Semakin ia meronta, semakin membanjir pula
tenaga dalamnya bagaikan air bah yang sukar dibendung lagi.
Linghu Chong menyadari bahwa
Jurus Penyedot Bintang dalam tubuhnya telah bekerja menghisap seluruh tenaga
dalam Si Pengemis Kejam Berkawan Ular. Dengan gembira ia sengaja berkata, “Hei,
kenapa kau totok nadi dadaku? Cepat lepaskan, biar kuuraikan rahasia Jurus
Pedang Penakluk Iblis kepadamu.” Kemudian ia pun pura-pura menggerakkan bibir
seperti sedang berbicara.
Melihat itu, You Xun dan yang
lain mengira Linghu Chong benar-benar sedang menguraikan isi kitab pusaka
kepada Yan Sanxing seorang. Masing-masing merasa rugi jika tidak ikut
mendengarkan. Maka serentak mereka pun berlari ke hadapan Linghu Chong.
“Benar, benar. Kitab inilah
yang kau cari. Keluarkan saja, biar teman-temanmu ikut membaca!” seru Linghu
Chong dengan sengaja. Padahal, saat itu tangan Yan Sanxing sudah melekat kuat
pada tubuhnya, mana mungkin bisa ditarik keluar?
Namun, Pendeta Yuling mengira
Yan Sanxing benar-benar telah menemukan kitab pusaka tersebut dalam baju Linghu
Chong. Ia juga mengira Yan Sanxing tidak mau mengeluarkan kitab tersebut, tapi
ingin mengangkanginya sendiri. Sudah tentu ia tidak tinggal diam. Segera ia pun
menjulurkan tangannya ke dalam baju Linghu Chong. Akibatnya, tangan pendeta
jahat itu terasa lengket pula. Tenaga dalamnya juga membanjir keluar dengan
sangat deras.
“Hei, hei, kalian berdua
jangan berebut. Kalau kitab pusaka ini sampai robek nanti tidak bisa dibaca
lagi!” seru Linghu Chong kembali berpura-pura.
Mendengar itu Sepasang Orang
Aneh Tongbai saling pandang dan sama-sama mengangguk setuju. Keduanya lantas
berkelebat mengayunkan senjata masing-masing yang berupa tongkat tembaga
penyangga tubuh. Tanpa ampun, kepala Yan Sanxing dan Pendeta Yuling pecah
berantakan. Otak mereka berhamburan di mana-mana.
Begitu kedua orang itu tewas,
tenaga mereka pun buyar pula. Kedua tangan mereka yang melekat di tubuh Linghu
Chong juga ikut terlepas. Sebaliknya, Linghu Chong justru mendapat keuntungan.
Dengan menghisap tenaga dalam kedua penjahat itu seketika totokan pada tubuhnya
pun terbuka dan urat nadinya kembali lancar seketika.