Pendekar Hina Kelana Jilid 31-35

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 31-35 Begitulah, Feng Qingyang pun mulai mengupas jurus ketiga dengan berbagai macam bentuk perubahannya yang dapat digunakan untuk mengalahkan ilmu golok Tian Boguang.
Begitulah, Feng Qingyang pun mulai mengupas jurus ketiga dengan berbagai macam bentuk perubahannya yang dapat digunakan untuk mengalahkan ilmu golok Tian Boguang. Linghu Chong terkesima dan hatinya merasa gembira tak terkatakan saat mendengarnya. Ia tak ubahnya seperti seorang pemuda desa yang tiba-tiba berada di dalam sebuah istana mewah, dengan melihat dan mendengar segala jenis pemandangan dan pengalaman yang benar-benar baru dan menarik. Dengan waktu yang serbaterbatas, Linghu Chong hanya mampu menguasai seperlima bagian dari penjelasan Feng Qingyang. Selebihnya, ia hanya berusaha menghafal dan mengingat-ingat di dalam benaknya.

Feng Qingyang bagaikan seorang guru yang bersemangat karena menemukan murid cerdas. Sebaliknya, Linghu Chong pun menerima segala penjelasan dengan giat dan gembira. Tak terasa, waktu pun berlalu begitu cepat. Tiba-tiba saja terdengar suara Tian Boguang berteriak di luar gua, “Saudara Linghu, hari sudah terang. Kau sudah bangun atau belum?”

Linghu Chong tertegun dan berseru, “Apa? Hari sudah pagi lagi?”

“Benar, sayang sekali kita hanya punya waktu singkat,” jawab Feng Qingyang. “Tapi apa yang kau pelajari sudah melampaui perkiraanku. Sekarang kau boleh keluar untuk bertanding dengannya.”

“Baiklah,” jawab Linghu Chong. Ia lantas memejamkan mata untuk merenungkan kembali apa saja yang dipelajarinya semalam. Tiba-tiba ia membuka mata dan bertanya, “Kakek Guru, ada satu hal yang saya tidak mengerti. Mengapa semua gerak perubahan pada jurus ini bersifat menyerang tanpa ada satu pun gerakan bertahan?”

“Ilmu Sembilan Pedang Dugu memang hanya mengenal maju dan tidak tahu apa artinya mundur. Sekali kau melangkah maju, maka jangan pernah mundur kembali!” jawab Feng Qingyang. “Oleh karena itu, setiap gerakan adalah serangan belaka yang memaksa musuh tidak punya pilihan lain kecuali bertahan. Dengan sendirinya, kita hanya perlu menyerang tanpa perlu bertahan. Pencipta ilmu pedang ini adalah pendekar besar Dugu Qiubai. Namanya, yaitu ‘Qiubai’ bermakna ‘mencari kekalahan’, karena beliau memang selalu unggul dalam setiap pertarungan, sampai-sampai ingin sekali menemui kekalahan. Namun harapannya itu tidak pernah terwujud sampai akhir hayatnya. Karena ilmu pedang Beliau memang tidak ada tandingannya di dunia ini, jadi untuk apa memikirkan cara mempertahankan diri? Padahal, andai saja ada orang yang bisa memaksa Beliau mengeluarkan jurus bertahan, tentu Beliau akan merasa sangat gembira dan bahagia tak terkira.”

Linghu Chong bergumam, “Dugu Qiubai. Beliau bernama Dugu Qiubai.” Sambil berdecak kagum ia membayangkan tokoh mahasakti tersebut semasa hidupnya. Jangankan mengalahkan dia, mencari orang yang bisa membuatnya bertahan saja sulit. Kepandaiannya sungguh sukar untuk dibayangkan.

Sementara itu suara Tian Boguang kembali terdengar, “Saudara Linghu, keluar kau!”

“Aku datang!” jawab Linghu Chong sambil menghunus pedangnya.

“Chong’er, intisari jurus ketiga ini belum dibahas sampai mendalam. Aku khawatir dia melukaimu atau membuntungi tanganmu. Jika demikian yang terjadi, maka satu-satunya jalan adalah menyerah kalah dan menerima nasib. Ini adalah satu-satunya hal yang saat ini menjadi perhatianku,” kata Feng Qingyang

“Saya akan berusaha sekuat tenaga, Kakek Guru!” seru Linghu Chong dengan penuh semangat.

Segera ia berlari keluar gua. Begitu sampai di hadapan Tian Boguang, ia pura-pura menguap sambil mengusap matanya. “Saudara Tian, bagaimana tidurmu semalam? Apa cukup nyenyak?” Sambil berkata demikian, ia berpikir, “Yang harus kulakukan saat ini adalah mengulur waktu. Jika aku punya tambahan waktu beberapa jam lagi untuk belajar jurus ketiga lebih dalam, tantu aku tidak perlu takut lagi padanya.”

Tian Boguang menjawab sambil mengacungkan goloknya, “Saudara Linghu, sesungguhnya aku tidak ingin melukai dirimu. Tapi kau sendiri keras kepala tidak mau ikut denganku meninggalkan Gunung Huashan. Jika pertarungan ini dilangsungkan terus-menerus terpaksa aku harus mencincang tubuhmu sepuluh kali atau dua puluh kali, meskipun aku sendiri akan sangat menyesalinya. Bukankah itu tidak baik untukmu?”

“Untuk apa kau mengancam seperti itu?” balas Linghu Chong. “Cukup kau buntungi lengan kananku atau kau lukai pergelangan tanganku, maka aku tidak bisa lagi memegang senjata. Demikian rasanya sudah beres dan kau bisa berbuat sesukamu padaku. Untuk selanjutnya kau bisa membunuh atau menangkapku hidup-hidup.”

“Aku hanya ingin kau mengaku kalah, itu saja. Buat apa aku membuatmu cacad lengan atau tangan kananmu?” sahut Tian Boguang sambil menggeleng.

Linghu Chong gembira karena pancingannya berhasil. Namun ia pura-pura memasang wajah ragu, “Ah, jangan-jangan hanya mulutmu saja yang berkata demikian. Bila sudah kalah nanti kau menjadi kalap dan menggunakan cara keji dan mengerikan.”

“Kau tidak perlu memanas-manasi aku!” sahut Tian Boguang. “Pertama, kita berdua tidak ada permusuhan; kedua, aku menghormatimu sebagai seorang laki-laki sejati; ketiga, bila aku benar-benar melukaimu sampai parah, aku khawatir ada orang lain yang menghukumku. Nah, silakan kita mulai lagi!”

“Baik, silakan kau maju lebih dulu!” ujar Linghu Chong.

Tian Boguang pun melancarkan gerak tipuan, dan disusul dengan serangan menebas dari samping dengan sangat cepat. Di bawah sinar matahari pagi, golok Tian Boguang berkilat-kilat dan terlihat sangat tajam. Linghu Chong berusaha menandinginya dengan menggunakan salah satu gerak perubahan dari jurus ketiga Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Namun, serangan golok Tian Boguang sangat cepat. Di saat ia mencoba melancarkan serangan, tahu-tahu serangan golok lawan sudah sudah berganti gaya. Dengan demikian, Linghu Chong dapat dikatakan ketinggalan satu langkah.

Setelah dua atau tiga kali saling serang, diam-diam Linghu Chong merasa gelisah, “Celaka, sungguh celaka! Ilmu pedang yang baru saja kupelajari tidak dapat kumainkan dengan baik. Tentu saat ini Kakek Guru sedang memaki kebodohanku.”

Setelah beberapa jurus terlewati, butir-butir keringat mulai bercucuran membasahi dahi Linghu Chong. Sebaliknya, Tian Boguang justru melihat ilmu pedang yang dimainkan pihak lawan kali ini sungguh dahsyat dan mengerikan. Bahkan, ia merasa setiap serangan goloknya mampu dipecahkan oleh pedang pemuda itu. Mau tidak mau dalam hati Tian Boguang merasa khawatir juga.

Dalam hati, penjahat itu bertanya-tanya, “Beberapa gerakan pedangnya jelas-jelas bisa membunuhku. Tapi, kenapa dia sengaja membuatnya agak lamban? Ah, rupanya dia sengaja bermurah hati agar aku menyadari keampuhannya dan mundur teratur. Ya, aku memang menyadari kehebatannya, tapi tetap pantang bagiku untuk mundur. Terpaksa aku harus bertahan sekuat tenaga.”

Karena berpikir demikian, Tian Boguang tidak berani mengerahkan segenap kekuatannya supaya ia tidak kehabisan tenaga jika kemudian keadaan menjadi genting. Begitulah, kedua orang itu sama-sama gentar, dan mereka pun saling menyerang dengan sangat hati-hati.

Tidak lama kemudian permainan golok Tian Boguang bertambah lebih cepat. Sebaliknya, jurus ketiga Pedang Dugu yang dimainkan Linghu Chong juga semakin lancar. Akibatnya, dari kilatan sinar pedang dan golok, tampak pertandingan antara mereka terlihat semakin cepat dan seru.

Tiba-tiba Tian Boguang memekik sambil melepaskan tendangan yang tepat bersarang di perut Linghu Chong. Seketika tubuh pemuda itu pun terlempar ke belakang. Dalam keadaan terkapar di tanah, terlintas sebuah pikiran di benak Linghu Chong, “Aku butuh sehari semalam lagi untuk mendalami jurus ketiga Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Aku yakin esok pasti aku bisa mengalahkannya.” Usai berpikir demikian, ia pun melepaskan pedang dan pura-pura terguling-guling dengan mata terpejam.

Melihat itu Tian Boguang merasa khawatir jangan-jangan Linghu Chong terluka parah. Tapi ia sudah hafal watak pemuda itu yang licin dan banyak tipu muslihat. Jangan-jangan jika ia mendekat untuk memeriksa, pemuda itu bangkit kembali dan melayangkan pukulan tak terduga. Maka, Tian Boguang pun melangkah maju dengan golok terhunus di depan dada sambil bertanya, “Saudara Linghu, bagaimana keadaanmu? Kau baik-baik saja?”

Setelah berkali-kali mengulangi seruannya, barulah Tian Boguang melihat Linghu Chong bangun perlahan-lahan dengan napas terengah-engah.

“Mari… mari kita bertarung lagi!” ajak pemuda itu dengan suara gemetar. Perlahan ia mencoba berdiri, namun belum sampai tegak sudah jatuh kembali.

“Tampaknya kau sudah tidak kuat lagi,” kata Tian Boguang. “Baiklah, kau boleh beristirahat semalam saja. Besok pagi kau ikut denganku turun gunung!”

Dalam hati Linghu Chong merasa gembira namun masih tetap ditutupinya. Pura-pura ia bersusah payah untuk mencoba berdiri dengan napas terengah-engah. Rupanya Tian Boguang tidak lagi merasa curiga. Ia mencoba memapah Linghu Chong namun sambil menginjak pedang pemuda itu yang terjatuh di tanah. Selain itu ia juga meletakkan gagang goloknya di titik nadi pada lengan kanan Linghu Chong untuk berjaga-jaga apabila pemuda itu tiba-tiba menyerang dengan licik.

Di lain pihak, Linghu Chong pura-pura menggantungkan berat tubuhnya pada lengan kiri Tian Boguang sehingga dirinya terlihat benar-benar lemah tak berdaya. Akan tetapi, pemuda itu kemudian pura-pura meronta sambil membentak, “Keparat! Siapa yang minta bantuanmu?” Sambil menggerutu ia kemudian masuk kembali ke dalam gua.

Feng Qingyang manyambut dengan tersenyum. Orang tua itu berkata, “Tanpa susah payah, kau berhasil mengulur waktu sehingga memperoleh kesempatan semalam lagi. Hanya saja, apa kau tidak berpikir caramu tadi cukup hina dan tidak tahu malu?”

Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Apa boleh buat? Menghadapi manusia hina dan kotor seperti dia terpaksa harus menggunakan cara yang hina pula.”

“Tapi, bagaimana jika kau menghadapi orang baik?” tanya Feng Qingyang dengan wajah serius.

“Menghadapi orang baik?” sahut Linghu Chong agak terkejut. Untuk sekian saat ia hanya terdiam.

“Bagaimana jika yang kau hadapi orang baik?” desak Feng Qingyang dengan nada dingin dan sorot mata tajam.

Linghu Chong akhirnya menjawab, “Meskipun yang saya hadapi orang baik, tapi kalau dia hendak membunuh saya, mana mungkin saya berpeluk tangan begitu saja? Jika saya terdesak maka menggunakan cara sedikit rendah dan kotor juga tidak menjadi masalah.”

“Bagus sekali! Bagus sekali!” puji Feng Qingyang dengan gembira. “Ucapanmu tadi telah membuktikan bahwa dirimu bukan seorang munafik, atau orang yang suka berlagak alim. Seorang laki-laki sejati harus berani bertindak bebas, seperti angin berhembus dan air mengalir. Datang dan pergi dengan merdeka. Peduli apa dengan peraturan dunia persilatan dan tata tertib perguruan segala? Persetan semuanya!”

Linghu Chong hanya tersenyum. Semua ucapan Feng Qingyang benar-benar mengena di lubuk hatinya yang paling dalam dan membuat perasaannya sangat gembira. Namun demikian, ia juga teringat pada nasihat gurunya untuk selalu menjunjung tinggi tata tertib Perguruan Huashan dan juga jangan sampai melanggar peraturan dunia persilatan. Apalagi ucapan Feng Qingyang tadi yang berbunyi “seorang munafik yang suka berlagak baik” seolah-olah menyindir julukan Yue Buqun sebagai Si Pedang Budiman. Mau tidak mau Linghu Chong hanya bisa tersenyum tanpa berani bersuara.

Dengan jari-jemarinya yang kurus kering, Feng Qingyang membelai kepala Linghu Chong sambil tersenyum, “Tak kusangka Yue Buqun memiliki murid yang berpandangan bebas seperti dirimu. Boleh kukatakan bocah itu tidak sepenuhnya gagal.” Jelas yang dimaksud dengan “bocah” di sini adalah Yue Buqun.

Feng Qingyang lantas menepuk-nepuk bahu Linghu Chong dan melanjutkan bicara, “Nak, kau benar-benar sesuai dengan seleraku. Mari kita berlatih lagi dengan lebih dalam jurus pertama dan jurus ketiga ciptaan Pendekar Besar Dugu.”

Maka, Feng Qingyang pun mulai menguraikan secara lebih mendalam beberapa kata kunci pada jurus pertama Ilmu Sembilan Pedang Dugu kepada Linghu Chong. Setelah Linghu Chong memahaminya, ia lantas menjelaskan dengan seksama bagian-bagian pada jurus pertama yang memiliki hubungan dengan jurus ketiga, baik itu secara lisan maupun gerakan tubuh. Karena di dalam gua belakang terdapat beberapa pedang berserakan, maka mereka pun bisa langsung memeragakan gerakan-gerakan pada jurus tersebut. Linghu Chong berusaha mengingat semua pelajaran dari Feng Qingyang sepenuh hati, dan apabila ada yang tidak dipahaminya, maka ia langsung bertanya secara rinci saat itu juga.

Karena kali ini waktunya lebih luang, maka cara belajar Linghu Chong pun tidak tergesa-gesa seperti tadi malam. Setiap gerakan perubahan dan variasi jurus ia pelajari dengan sebaik-baiknya dan selengkap-lengkapnya. Setelah makan malam, Linghu Chong juga menyempatkan diri untuk tidur, dan setelah bangun ia kembali berlatih dengan lebih giat dan pikiran segar.

Esok paginya Tian Boguang mengira luka Linghu Chong cukup parah akibat pertarungan kemarin sehingga ia tidak berteriak-teriak untuk menantang pemuda itu keluar. Kesempatan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Linghu Chong untuk memperdalam latihannya di gua belakang. Setelah lewat tengah hari Linghu Chong telah menguasai dengan baik semua gerak perubahan dan variasi jurus ketiga dari Ilmu Sembilan Pedang Dugu.

Feng Qingyang mengakhiri latihan dengan berkata, “Tidak masalah jika hari ini kau masih kalah darinya. Kau bisa berlatih lagi malam ini dan aku yakin besok kau pasti menang.”

Linghu Chong mengangguk dan kemudian melangkah keluar perlahan-lahan. Karena kemarin pedangnya tertinggal di luar, maka kali ini yang ia bawa adalah salah satu pedang milik sesepuh Huashan yang berserakan di dalam gua belakang.

Sesampainya di luar, ia melihat Tian Boguang sedang berdiri di pinggiran tebing. Dengan memasang wajah heran, ia pun menegur, “Hei, mengapa Saudara Tian belum juga pergi? Aku kira kau sudah turun gunung sejak kemarin.”

“Aku sedang menunggumu,” jawab Tian Boguang. “Aku minta maaf kemarin telah melukaimu. Apa hari ini sudah sembuh?”

Linghu Chong menjawab, “Aku belum merasa sembuh. Luka di bagian paha karena serangan golokmu masih terasa sakit.”

“Hahahaha. Dalam pertarungan di Kota Hengyang dulu luka Saudara Linghu sepertinya jauh lebih parah daripada sekarang. Tapi, waktu itu kau sama sekali tidak merintih kesakitan,” ujar Tian Boguang. “Aku sudah hafal kalau kau ini punya segudang tipu muslihat. Keluhanmu tadi pasti hanya pura-pura. Jika kau memperlihatkan kelemahan, pasti kau menyembunyikan serangan kejutan. Huh, aku tidak akan tertipu lagi!”

“Kau tidak mau tertipu?” sahut Linghu Chong. “Sekarang ini kau sudah tertipu. Meskipun kau menyadarinya juga sudah terlambat. Nah, Saudara Tian, terimalah seranganku!” bersamaan dengan itu Linghu Chong pun menusukkan pedangnya ke arah dada lawan.

Tian Boguang menangkis dengan cepat namun hanya mengenai tempat kosong, sementara serangan kedua Linghu Chong sudah menyusul.

“Cepat sekali!” seru Tian Boguang memuji sambil menyilangkan goloknya untuk menjaga diri.

“Aku punya beberapa yang lebih cepat,” jawab Linghu Chong sambil berturut-turut melancarkan serangan ketiga, keempat, kelima, dan keenam sambil berseru. Serangan selanjutnya selalu lebih dahsyat dari serangan sebelumnya. Yang ia gunakan adalah intisari Sembilan Pedang Dugu yang hanya mengenal maju terus pantang mundur. Setiap ayunan pedang adalah serangan, dan bukan pertahanan.

Setelah belasan jurus berlalu, Tian Boguang merasa sangat terdesak. Ia bingung tidak tahu harus bagaimana menangkis serangan Linghu Chong yang mengalir deras bagaikan tanpa akhir. Setiap kali menerima serangan lawan, tanpa sadar ia bergerak mundur selangkah. Maka setelah belasan jurus, tanpa sadar posisi tubuhnya sudah berada di tepi jurang. Sebaliknya, serangan-serangan Linghu Chong tidak menjadi kendur. Kembali ia melancarkan empat kali tusukan yang semuanya mengarah ke titik mematikan di tubuh lawan.

Sekuat tenaga Tian Boguang berusaha menangkis serangan pertama dan kedua. Namun serangan ketiga dan keempat tidak bisa ditahannya lagi. Ia hanya melangkah mundur dan betapa terkejut hatinya karena menginjak tempat kosong. Jelas jika diteruskan maka tubuhnya akan jatuh ke dasar jurang dan hancur lumat di bawah sana. Maka, pada saat-saat genting tersebut Tian Boguang menusukkan goloknya sekuat tenaga ke dalam tanah untuk menyelamatkan diri. Bersamaan dengan itu, pedang Linghu Chong sudah mengancam di depan lehernya.

Wajah Tian Boguang pucat pasi seperti kertas. Linghu Chong hanya terdiam tanpa bersuara dengan ujung pedangnya masih menodong leher penjahat itu.

Selang agak lama barulah Tian Boguang berseru, “Aku sudah kalah. Kalau mau bunuh silakan bunuh! Apalagi yang kau tunggu?”

Namun Linghu Chong menarik mundur pedangnya dan melompat ke belakang. “Kekalahan Saudara Tian kali ini hanya karena lengah sesaat sehingga bisa didahului olehku. Sebaiknya jangan diperhitungkan. Mari kita ulangi lagi!”

Tian Boguang mendengus karena merasa terhina. Ia pun menerjang maju sambil mengayunkan goloknya secepat kilat. “Kali ini aku menyerang lebih dulu. Tak akan kubiarkan kau mengambil keuntungan lagi!” demikian ia membentak.

Dengan cepat Linghu Chong mengangkat pedang dan menusuk miring mengarah ke perut lawan sambil menghindari serangan golok tersebut. Menyadari itu, Tian Boguang segera memutar goloknya untuk menangkis pedang lawan. Ia menduga tenaganya jauh lebih kuat sehingga pedang Linghu Chong pasti terlempar ke bawah.

Akan tetapi, serangan Linghu Chong tersebut hanyalah permulaan. Serangan kedua dan ketiga sambung-menyambung tanpa jeda. Setiap serangan dilancarkan sangat tepat dan ganas. Yang dituju pun tempat-tempat berbahaya pada tubuh Tian Boguang.

Karena tidak bisa mengimbangi kecepatan pedang lawan, terpaksa Tian Boguang melangkah mundur lagi. Sungguh tak disangka setelah belasan jurus ia sudah kembali ke posisi semula, yaitu di tepi jurang.

Linghu Chong terus menusukkan pedang ke bagian bawah lawan membuat Tian Boguang terpaksa mengayunkan goloknya untuk menangkis. Pada saat yang bersamaan tangan kiri Linghu Chong sudah bergerak menembus pertahanan lawan dan siap menotok titik Tanzhong pada dada Tian Boguang.

Tian Boguang sadar apabila titik tersebut tertotok, maka tubuhnya akan lemah lunglai dan jatuh ke dasar jurang yang luar biasa dalam tersebut. Entah bagaimana keadaannya nanti. Namun demikian, Linghu Chong menghentikan serangan dan menahan totokannya hanya beberapa senti di depan dada Tian Boguang.

Kedua orang itu hanya terdiam tanpa suara. Beberapa saat kemudian Linghu Chong melompat mundur ke belakang.

Tian Boguang duduk di atas batu sambil memejamkan mata dan merenungi apa yang baru saja ia alami. Selang agak lama barulah ia berdiri dan kemudian menerjang dengan lebih ganas. Goloknya mengayun dari atas ke bawah sekuat tenaga. Kali ini ia memilih posisi membelakangi gunung sehingga jika sampai terdesak lagi tidak akan mundur ke arah jurang, paling-paling masuk ke dalam gua. Dengan posisi seperti ini ia tidak perlu takut lagi jatuh ke jurang sehingga bisa bertarung habis-habisan.

Namun Linghu Chong telah memahami dengan baik segala perubahan dan variasi ilmu golok Tian Boguang. Maka begitu Tian Boguang mengayunkan goloknya, dengan cepat ia mengelak ke kanan sambil pedangnya menyerang lengan kiri lawan. Tian Boguang terpaksa memutar goloknya untuk menangkis serangan tersebut, namun pedang Linghu Chong sudah berubah arah dan kini menusuk ke arah pinggang kiri.

Saat memutar golok, Tian Boguang berusaha bertahan dan menyerang secara sekaligus. Tentu saja untuk melancarkan jurus serangan ia harus menghimpun tenaga secukupnya. Dalam keadaan terdesak, Tian Boguang tidak cukup tenaga untuk menyilangkan golok di dekat pinggang, sehingga mau tidak mau ia harus bergeser ke kanan satu langkah. Tanpa memberi kesempatan, Linghu Chong pun melayangkan satu tusukan ke pipi kanan Tian Boguang. Tian Boguang berusaha menangkis, namun pedang Linghu Chong sudah menusuk ke paha kiri pria itu. Tak punya kesempatan untuk menangkis, Tian Boguang kembali bergeser ke kanan satu langkah.

Begitulah, serangan Linghu Chong susul-menyusul tanpa henti ke arah tubuh bagian kiri lawan sehingga mau tidak mau Tian Boguang terpaksa bergeser ke arah kanan. Belasan jurus kemudian Tian Boguang sudah terpojok ke dinding tebing di sebelah mulut gua. Ia pun mengayunkan goloknya dengan kalap ke segala arah tidak peduli lagi serangan Linghu Chong. Namun, pedang Linghu Chong tetap lebih menguasai keadaan. Tahu-tahu kain lengan baju dan celana Tian Boguang robek sebanyak enam tempat di bagian kiri, mulai lengan, pinggang, dan paha. Tian Boguang paham benar, jika Linghu Chong mau, pemuda itu bisa saja melukai kulitnya atau bahkan membuntungi lengan dan pahanya, atau menguraikan isi perutnya. Namun hal itu tidak dilakukannya.

Dalam sekejap, Tian Boguang menderita putus asa dan kehilangan semua harapan. Dalam keadaan tertekan penjahat itu muntah darah dan berdiri sempoyongan.

Linghu Chong merasa sangat heran dan kagum karena berhasil mendesak dan mengalahkan Tian Boguang sebanyak tiga kali dalam sehari, padahal selama beberapa hari sebelumnya ia selalu kalah. Meskipun pihak lawan memiliki tenaga lebih kuat, namun anehnya ia bisa mengalahkannya tanpa mengeluarkan banyak tenaga.

Namun melihat penjahat itu muntah darah mau tidak mau hatinya merasa prihatin juga. Ia pun berkata, “Saudara Tian mengapa harus seperti ini? Kalah menang dalam sebuah pertandingan itu kan suatu hal yang biasa? Bukankah berkali-kali aku tersungkur di tanganmu?”

Tian Boguang membuang golok di tanah dan menenangkan diri. Ia berkata, “Ilmu pedang Sesepuh Feng sungguh luar biasa. Benar-benar tiada bandingannya di zaman ini. Aku bukan lagi tandinganmu. Selamanya aku bukan lagi tandinganmu.”

Linghu Chong memungut golok Tian Boguang dan mengembalikannya dengan penuh hormat, yaitu dipegang dengan dua tangan dengan gagang mengarah ke Tian Boguang. “Ucapan Saudara Tian memang benar. Kemenanganku yang kebetulan ini hanya karena petunjuk Kakek Guru Feng belaka. Sekarang Beliau memintamu untuk berjanji sesuatu, entah Saudara Tian bersedia melakukan atau tidak?” ujar pemuda itu.

Tian Boguang menjawab dengan perasaan pedih, “Jiwa dan ragaku ada di tanganmu. Untuk apa bertanya seperti itu?”

Linghu Chong berkata, “Kakek Guru Feng sudah lama mengasingkan diri dari urusan dunia persilatan. Bahkan, banyak orang menganggap Beliau sudah meninggal. Maka, jika nanti Saudara Tian meninggalkan tempat ini, janganlah sekali-kali membicarakan keberadaan Beliau kepada orang lain. Untuk itu aku akan sangat berterima kasih.”

“Mengapa kau harus repot-repot menyuruhku berjanji?” tanya Tian Boguang dengan nada dingin. “Bukankah jauh lebih mudah jika kau tikam aku dengan pedangmu sehingga mulutku tertutup selamanya?”

Linghu Chong justru mundur dan menyarungkan pedangnya sambil menjawab, “Dulu ketika kepandaian Saudara Tian berada jauh di atasku, sekali kau ayunkan golok tentu aku sudah mati sejak dulu. Jika kau lakukan itu, mana mungkin masih ada hari ini untukku? Sekali lagi aku memohon kepadamu dengan sangat, jangan membicarakan keberadaan Kakek Guru Feng kepada orang lain meskipun kau diancam dan dipaksa.”

“Baiklah, aku berjanji,” jawab Tian Boguang.

“Terima kasih, Saudara Tian!” kata Linghu Chong sambil membungkuk dan memberi hormat.

Tian Boguang berkata, “Saudara Linghu, kedatanganku kemari untuk mengajakmu turun gunung adalah karena perintah seseorang. Meskipun hari ini aku gagal, namun urusan ini belum kuanggap selesai. Mungkin seumur hidup aku tidak bisa lagi memaksamu melalui pertarungan. Namun aku tidak akan menyerah begitu saja karena ini menyangkut hidup-matiku. Jika kelak aku menggunakan tipu muslihat, hendaknya Saudara Linghu bisa memakluminya. Baiklah, sampai jumpa lagi!”

Usai berkata demikian Tian Boguang memberi hormat dan melangkah pergi.

Begitu teringat di dalam tubuh penjahat itu terdapat racun, seketika Linghu Chong merasa prihatin. Ada perasaan kehilangan sewaktu membayangkan beberapa hari lagi Tian Boguang akan mati mengenaskan oleh racun ganas tersebut. Setelah mengalami sejumlah pertarungan di antara mereka, entah mengapa Linghu Chong merasa ada kedekatan dengan penjahat tersebut. Hampir saja ia ikut pergi karena kasihan, namun segera diurungkan begitu teringat bahwa dirinya sedang menjalani masa hukuman di Tebing Perenungan yang mana ia tidak boleh meninggalkan tempat itu tanpa seizin sang guru. Di samping itu, Tian Boguang adalah maling cabul yang gemar melakukan berbagai jenis kejahatan. Jika pergi bersama dengannya, bukankah itu sama artinya ikut berkubang dalam dosa? Bukankah itu akan mencemarkan nama baik diri sendiri dan mendatangkan banyak masalah besar di kemudian hari? Berpikir demikian membuat Linghu Chong menahan diri dan hanya memandang Tian Boguang melangkah pergi menuruni jalan setapak meninggalkan puncak Huashan tersebut.

Linghu Chong kemudian masuk ke dalam gua dan menyembah di hadapan Feng Qingyang sambil berkata, “Kakek Guru Feng bukan hanya menyelamatkan jiwa saya, tapi juga mengajarkan ilmu pedang mahatinggi kepada saya. Entah bagaimana saya bisa membalas budi baik sebesar ini?”

“Ilmu pedang mahatinggi? Ilmu pedang mahatinggi? Hm, masih terlalu jauh,” sahut Feng Qingyang sambil tersenyum. Sebuah senyuman hampa yang menampakkan perasaan pedih dan kesepian.

Linghu Chong berkata dengan hormat, “Apakah saya boleh belajar semua jurus dalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu kepada Kakek Guru?”

“Kau ingin belajar? Apa kelak kau tidak akan menyesal?” tanya Feng Qingyang.

Linghu Chong agak bingung mendengar pertanyaan itu, namun sejenak kemudian ia paham dan menjawab, “Saya tahu, Sembilan Pedang Dugu memang bukan ilmu pedang perguruan kita. Saya tahu Kakek Guru khawatir kelak saya akan dimarahi Guru. Tapi biasanya Guru tidak melarang saya untuk mempelajari ilmu silat dari golongan lain sebagai perbandingan. Guru berkata bahwa batuan dari gunung lain dapat digunakan untuk mengasah permata menjadi lebih indah. Lagipula saya juga sudah mempelajari ilmu pedang Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan Henshan yang terukir di dinding gua ini. Bahkan, ilmu silat aliran sesat juga tak luput dari perhatian saya. Kini saya bertemu Ilmu Sembilan Pedang Dugu yang jauh lebih hebat. Sungguh, bagaikan mukjizat yang diimpi-impikan setiap orang di dunia persilatan. Saya sangat beruntung bisa bertemu dan mendapat petunjuk dari sesepuh dari perguruan sendiri. Kesempatan seperti ini mana mungkin saya sia-siakan? Ini adalah anugerah yang tidak ternilai harganya. Seumur hidup saya tidak akan pernah menyesal.” Usai berkata demikian, pemuda itu pun berlutut di atas tanah.

“Baik, akan kuajarkan kepadamu,” kata Feng Qingyang sambil tersenyum. “Jika tidak kuajarkan kepadamu, aku khawatir bisa-bisa Ilmu Sembilan Pedang Dugu ikut punah setelah aku mati nanti.”

Untuk sementara waktu raut muka Feng Qingyang tampak berseri-seri, namun kemudian kembali datar dan dingin.

“Tian Boguang tidak akan menyerah begitu saja. Jika dia datang lagi kemari, paling tidak sepuluh atau lima belas hari lagi dari sekarang. Di samping ilmu silatmu saat ini berada di atasnya, kau juga punya banyak akal untuk mengalahkannya. Aku yakin kau tidak perlu takut lagi kepadanya. Sekarang kau punya cukup banyak waktu untuk memperdalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Kau bisa mengulanginya dari awal supaya lebih terpupuk dengan baik.”

Kali ini Feng Qingyang mengulangi kembali penjelasannya mengenai jurus pertama Ilmu Sembilan Pedang Dugu, yang berupa petunjuk umum. Setiap kalimat dijelaskan dengan sangat rinci beserta segala variasi dan perubahan yang terkandung di dalamnya. Sebelumnya Linghu Chong memaksakan diri untuk mengingat dan menghafal, tanpa disertai pemahaman yang baik mengenai maksud dan tujuan di balik jurus tersebut. Sekarang dengan penjelasan yang tenang tanpa tergesa-gesa dari Feng Qingyang membuat Linghu Chong dapat mempelajari banyak prinsip dasar kemajuan dan tingkatan ilmu silat, serta beberapa variasi dan yang luar biasa. Pemuda itu merasa sangat kagum dan bahagia mendengarkan uraian sang kakek dengan seksama.

Selama beberapa hari di atas Tebing Perenungan itu Feng Qingyang mengajarkan semua jurus dalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu kepada Linghu Chong. Mereka mulai dari jurus pertama yaitu Petunjuk Umum; jurus kedua yaitu Cara Mengalahkan Pedang; jurus ketiga Cara Mengalahkan Golok; jurus keempat Cara Mengalahkan Tombak; jurus kelima Cara Mengalahkan Gada; jurus keenam Cara Mengalahkan Cambuk; jurus ketujuh Cara Mengalahkan Tapak; jurus kedelapan Cara Mengalahkan Senjata Rahasia; dan jurus kesembilan Cara Mengalahkan Tenaga Dalam.

Mengenai jurus keempat yaitu Cara Mengalahkan Tombak juga termasuk bagaimana cara mengalahkan toya, trisula, tongkat, sekop, tongkat berkepala ular, dan sejenisnya.

Jurus kelima berupa Cara Mengalahkan Gada juga termasuk cara mengalahkan senjata berukuran pendek dan pentungan, termasuk gada besar, ruyung, pena penotok, tongkat pendek, belati, kampak, cakram besi, perisai, palu godam, dan sejenisnya.

Jurus keenam berupa Cara Mengalahkan Cambuk juga termasuk tali panjang, toya berlekuk tiga, toya berlekuk sembilan, tombak berantai, jaring, bandul bertali, dan sejenisnya.

Meskipun hanya terdiri atas sembilan jurus, namun Ilmu Sembilan Pedang Dugu memiliki variasi dan jumlah gerak perubahan yang tidak terhingga banyaknya. Semakin dipelajari, semakin membuat Linghu Chong terkesan. Linghu Chong juga menemukan betapa hebat daya serang jurus itu juga keterkaitannya yang luar biasa antara satu jurus dengan jurus lainnya. Tiga jurus terakhir dirasa Linghu Chong sebagai bagian yang peling sulit.

Jurus ketujuh berupa Cara Mengalahkan Tapak juga termasuk bagaimana mengalahkan tinju, tendangan, totokan jari, dan pukulan telapak tangan. Apabila bertemu musuh yang bertarung dengan mengandalkan tangan kosong tentu bisa dipastikan ia seorang yang sangat sakti dan kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Lawan seperti itu tidak ada bedanya baik menggunakan senjata ataupun tanpa senjata. Di dunia persilatan pun terdapat berbagai macam jenis dan gaya pukulan, tendangan, tinju, tapak, ataupun totokan, dan kesemuanya sangat rumit untuk dihadapi. Tidak hanya menghadapi pukulan, jurus ketujuh ini juga bisa digunakan untuk menghadapi serangan gulat, totokan urat nadi, serangan cakar, dan sebagainya.

Jurus kedelapan adalah Cara Mengalahkan Senjata Rahasia, termasuk di sini adalah berbagai jenis senjata rahasia dan anak panah. Jurus ini juga sangat sulit dipelajari karena harus benar-benar menguasai ilmu pendengaran yang baik dan teknik membedakan senjata. Dalam menggunakan jurus kedelapan ini tidak hanya menggunakan pedang untuk menangkis senjata rahasia lawan, tapi juga bagaimana mengembalikan senjata rahasia tersebut menggunakan kekuatan pedang untuk berbalik melukai si penyerang.

Jurus kesembilan adalah Cara Mengalahkan Tenaga Dalam, di mana Feng Qingyang hanya mengajarkan teknik berlatih dan rumusnya saja kepada Linghu Chong. Orang tua itu berkata, “Jurus ini hanya digunakan untuk menghadapi musuh yang memiliki tenaga dalam tinggi. Intisari jurus ini tergantung pada penafsiranmu pribadi.”

Feng Qingyang diam sejenak kemudian melanjutkan, “Bertahun-tahun yang lalu, dengan menggunakan sembilan jurus tersebut, Pendekar Dugu Qiubai malang melintang di dunia persilatan tanpa ada yang mampu menandingi. Ini semua karena Beliau telah menguasai puncak kesempurnaan dari segala teknik ilmu pedang. Nah, meskipun sama-sama mempelajari ilmu pedang Perguruan Huashan, namun kau dan adik-adikmu memiliki tingkat kepandaian yang berbeda. Begitu pula dengan Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Meskipun kau sudah mengetahui segala teknik dan jurus di dalamnya, namun apabila kau tidak giat berlatih, tetap saja kau bukan tandingan ahli silat papan atas di masa kini. Kau telah berkecimpung di dunia persilatan. Menang atau kalah adalah pilihan. Maka itu, berlatihlah dengan giat dan rajin. Paling tidak dua puluh tahun lagi kau bisa merajai dunia persilatan.”

Linghu Chong memahami bahwa Ilmu Sembilan Pedang Dugu sesungguhnya memiliki variasi dan gerak perubahan yang tidak terbatas, tergantung keadaan. Tentu saja waktu yang diperlukan untuk benar-benar menguasainya tidak dapat diketahui dengan pasti. Maka itu, ketika Feng Qingyang mengatakan bahwa untuk benar-benar bisa menguasainya dibutuhkan waktu dua puluh tahun, sama sekali tidak membuat pemuda itu terkejut.

Linghu Chong pun berkata, “Jika saya bisa memahami dan menguasai Ilmu Sembilan Pedang Dugu dan melestarikan ilmu ciptaan Pendekar Dugu Qiubai ini, tentu saya akan sangat bersyukur.”

Feng Qingyang menyahut, “Kau tidak perlu terlalu merendahkan diri. Memang Pendekar Dugu seorang yang luar biasa cerdas, sehingga ilmu ciptaannya pun sangat istimewa. Hendaknya kau ingat bahwa Ilmu Sembilan Pedang Dugu tidak cukup hanya dihafalkan saja, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memahami kegunaannya. Kalau kau sudah mengetahui intisari dan hakikat penggunaannya, maka di kala bertemu musuh, semakin tidak terikat oleh susunan jurus yang kau hafalkan justru semakin baik. Walaupun kau sama sekali tidak ingat variasi dan perubahan, itu tidak menjadi soal. Pikiranmu cerdas dan bakatmu cemerlang, sungguh tepat bagimu untuk bisa mempelajari ilmu pedang ini. Aku sudah mengajarkan semuanya kepadamu. Di zaman sekarang ini, entah apakah masih ada pendekar yang benar-benar hebat di luar sana? Untuk selanjutnya kau harus bisa berlatih sendiri dengan sebaik-baiknya. Selamat tinggal.”

Linghu Chong terkejut mendengarnya, “Kakek Guru hendak… hendak ke mana?”

“Aku tinggal di balik puncak Huashan ini selama puluhan tahun,” jawab Feng Qingyang. “Aku sengaja keluar untuk mengajarimu dengan harapan supaya ilmu hebat ciptaan Pendekar Dugu tidak punah begitu saja bersama kematianku kelak. Sekarang semuanya sudah kuwariskan kepadamu. Sudah waktunya aku kembali ke tempat tinggalku.”

“Jadi, Kakek Guru tinggal di balik puncak Huashan ini? Bagus sekali!” sahut Linghu Chong. “Kalau begitu mulai saat ini, siang dan malam saya bisa melayani dan menemani Kakek Guru.”

“Tidak bisa. Mulai saat ini aku tidak ingin bertemu orang-orang Huashan lagi, termasuk dirimu tanpa kecuali,” sahut Feng Qingyang dengan wajah galak.

Melihat Linghu Chong ketakutan dan bingung, Feng Qingyang pun merendahkan nada bicaranya, “Chong’er, takdir telah mempertemukan kita. Aku juga sangat menyukai sifatmu. Kau seorang anak yang penuh kebebasan, yang bisa mewarisi ilmu pedang dariku. Jika kau masih menganggapku sebagai kakek gurumu, maka jangan sekali-kali kau datang mencariku sehingga menimbulkan masalah besar di kemudian hari.”

“Mengapa demikian, Kakek Guru?” tanya Linghu Chong dengan hati berduka.

“Sudahlah. Tolong jangan sekali-kali kau bercerita kepada gurumu tentang pertemuan kita ini,” ujar Feng Qingyang.

“Saya… saya akan mematuhi perintah Kakek Guru Feng,” jawab Linghu Chong lirih. Air matanya mulai berlinang membasahi pipi.

“Anak pintar, anak pintar!” kata Feng Qingyang sambil membelai kepala pemuda itu. Ia kemudian melesat pergi dan menghilang begitu saja di balik tebing Puncak Gadis Kumala tersebut. Linghu Chong tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya memandang tebing tersebut dengan perasaan haru dan sedih yang mendalam.

Telah belasan hari Linghu Chong melewati waktu bersama Feng Qingyang. Meskipun selama ini yang mereka bicarakan cuma seputar ilmu silat, namun Linghu Chong benar-benar kagum terhadap jiwa dan tindakan kakek-gurunya tersebut. Di atas itu semua, ia merasa saling cocok dengan Feng Qingyang, dan akrab lahir batin. Meskipun Feng Qingyang adalah paman dari gurunya, namun jauh di lubuk hati Linghu Chong terasa bahwa hubungan mereka bagaikan sahabat karib yang sebaya, yang sudah lama tidak bertemu. Perbedaan usia di antara mereka tidak lagi terasa. Bahkan, Linghu Chong merasa lebih akrab dengan Feng Qingyang daripada dengan Yue Buqun, gurunya sendiri.

Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Saat masih muda, mungkin sifat Kakek Guru Feng sama persis denganku; tidak kenal takut, riang gembira, tanpa beban, dan melakukan apa saja dengan perasaan merdeka. Saat Beliau mengajarkan ilmu pedang kepadaku, Beliau selalu menegaskan bahwa ‘bukan pedang yang mengendalikan orang, tetapi orang yang mengendalikan pedang.’ Beliau juga berkata, ‘jurus pedang adalah mati, sedangkan orang yang memainkan adalah hidup.’ Kalimat ini sangat benar, tapi mengapa Guru tidak pernah menyampaikan soal itu?”

Setelah merenung sejenak, Linghu Chong pun menemukan jawaban, “Ah, aku tahu sekarang! Guru pasti paham soal ini. Namun Beliau juga sadar kalau sifatku bebas merdeka sehingga Beliau enggan menyampaikan hal ini kepadaku. Agaknya Beliau khawatir aku terjebak dalam pikiran liar dan tidak mau lagi mengikuti aturan baku dalam berlatih ilmu pedang. Mungkin Guru akan menyampaikan rumusan tersebut apabila ilmu silatku sudah dirasa cukup tinggi. Hm, sedangkan adik-adik seperguruan memiliki ilmu silat yang lebih rendah dariku. Aku yakin mereka tidak akan paham jika kalimat rumus dasar tersebut aku sampaikan. Rasanya hanya buang-buang waktu saja.”

Sekejap kemudian pikiran pemuda itu beralih ke hal lain, “Kakek Guru Feng telah mencapai puncak kesempurnaan dalam ilmu pedang. Sayang sekali, aku belum sempat melihat Beliau bertarung dan memperlihatkan kepandaian sehingga aku bisa bertambah pengalaman. Jika dibandingkan dengan Guru, aku yakin ilmu pedang Kakek Guru Feng lebih tinggi.”

Teringat pula olehnya betapa raut muka Feng Qingyang selalu diliputi ketegangan dan pucat pasi. Ia pun berpikir, “Selama belasan hari ini Kakek Guru Feng seringkali menghirup napas panjang. Sepertinya Beliau teringat peristiwa menakutkan atau sejenisnya yang pernah Beliau alami.”

Usai berpikir demikian Linghu Chong pun keluar dari gua dan melanjutkan berlatih. Untuk sekian lama ia menusukkan pedang secara acak ke segala arah. Namun setelah satu jam, tanpa terasa ia memainkan jurus Burung Feng Datang Menyembah, ilmu perguruannya sendiri.

Sambil menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum hambar, pemuda itu menggumam sendiri, “Salah! Ini salah!” Kembali ia memainkan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Namun tak lama kemudian ketika melakukan tusukan kembali yang keluar adalah gaya Burung Feng Datang Menyembah.

“Ah, kebiasaan seseorang memang sulit diubah!” gerutu Linghu Chong pada dirinya sendiri. “Aku sudah terlalu hafal jurus pedang Perguruan Huashan sehingga pada saat melatih ilmu Sembilan Pedang Dugu, jurus-jurus tersebut tanpa sengaja terselip di dalamnya. Ini bukan lagi ilmu Pedang Sembilan Dugu.”

Tiba-tiba terlintas pikiran di benaknya, “Tunggu dulu! Kakek Guru Feng mengajarkan kepadaku supaya bermain pedang dengan bebas sesuai kehendak hati tanpa keterikatan. Jadi, apa salahnya kalau kuselingi dengan ilmu pedang Perguruan Huashan? Bahkan, bisa juga ilmu pedang Songshan, Taishan, Hengshan, dan Henshan, atau ilmu silat Sekte Iblis? Biarlah aku berlatih sesuai kehendak hati. Jika aku memaksakan diri untuk tidak melibatkan jurus-jurus pedang tersebut, bukankah itu justru membuatku terjebak dalam keterikatan?”

Usai berpikir demikian, Linghu Chong segera mengayunkan pedangnya dan kembali berlatih. Ia mencoba menggabungkan jurus-jurus silat Serikat Pedang Lima Gunung dan diselingi dengan jurus-jurus Sekte Iblis yang terukir di dinding gua belakang. Dalam hati Linghu Chong merasa gembira memainkan jurus-jurus tersebut, namun meskipun sudah belasan kali mencoba tetap saja ia merasa kesulitan menggabungkan ilmu silat Serikat Pedang Lima Gunung yang terdiri dari lima perguruan, apalagi ditambah dengan ilmu silat Sekte Iblis. Boleh dikata menggabungkan berbagai ilmu silat dari berbagai aliran adalah suatu hal yang mendekati mustahil.

Linghu Chong pun berhenti berlatih dan berpikir, “Huh, aku tidak mampu menggabungkan jurus-jurus ini, lalu kenapa aku harus memaksa? Memangnya ini wajib?” Berpikir demikian membuat hatinya merasa tenang dan bebas dari gelisah.

Maka untuk selanjutnya Linghu Chong hanya berlatih secara merdeka tanpa peduli lagi ilmu pedang dari perguruan mana yang ia gunakan. Yang penting ia merasa cocok maka ilmu tersebut bisa dipadukan dengan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Hanya saja, jurus yang paling banyak ia selipkan lagi-lagi Burung Feng Datang Menyembah.

Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, “Hei, andai saja Adik Kecil melihat bagaimana aku memainkan jurus Burung Feng ini, entah bagaimana pendapatnya?”

Begitu teringat pada gadis bernama Yue Lingshan itu, Linghu Chong pun tersenyum gembira. Rasa rindunya bangkit kembali setelah beberapa hari ini ia sibuk memeras otak memikirkan berbagai macam gerak perubahan dan variasi ilmu Sembilan Pedang Dugu.

Namun kemudian terlintas pula dalam benaknya tentang kedekatan Yue Lingshan dengan Lin Pingzhi. “Aku yakin Adik Kecil masih mengajarkan ilmu silat kepada Adik Lin secara diam-diam. Meskipun Guru sudah melarang Adik Kecil, tapi Adik Kecil punya sifat bandel. Apalagi Ibu Guru suka memanjakannya, pasti dia kembali mengajar Adik Lin. Tapi, aih, meskipun mereka tidak lagi belajar bersama, tetap saja mereka bisa bertemu setiap hari dan bertambah akrab.”

Berpikir demikian membuat senyum lembut di bibir Linghu Chong pudar dan berubah menjadi senyum kecut. Wajahnya bahkan berubah menjadi murung, tanpa kesan gembira sama sekali. Perlahan ia pun menyarungkan kembali pedangnya dan menghentikan latihan.

Tiba-tiba terdengar suara Lu Dayou datang memanggil dengan nada khawatir, “Kakak Pertama! Kakak Pertama! Ada berita buruk!”

Linghu Chong terkejut mendengarnya. Dalam hati ia berpikir, “Gawat! Tian Boguang berkata bahwa dirinya belum menyerah dan akan mengusahakan segala cara untuk bisa membawaku turun gunung. Sekarang rupa-rupanya dia menangkap dan menculik Adik Kecil sebagai sandera untuk memaksaku mengikuti ajakannya.”

Dengan cepat ia melesat ke tepi tebing untuk menyambut kedatangan Lu Dayou yang berlari mendaki ke atas sambil menjinjing keranjang makanan.

“Celaka… celaka ini!” teriak Lu Dayou kemudian.

“Ada apa? Ada apa dengan Adik Kecil?” desak Linghu Chong dengan nada khawatir.

Lu Dayou sudah melompat ke atas tebing dan kemudian menaruh keranjangnya di atas batu besar. “Adik Kecil? Adik Kecil baik-baik saja. Tapi, bisa jadi sebentar lagi kita semua dalam masalah besar. Sungguh celaka!”

Mendengar Yue Lingshan baik-baik saja, perasaan Linghu Chong sedikit lega. Ia pun kembali bertanya, “Apanya yang celaka? Apanya yang menjadi masalah?”

“Guru… Guru dan Ibu Guru sudah pulang,” jawab Lu Dayou dengan nafas terengah-engah.

Linghu Chong berseru, “Huh! Guru dan Ibu Guru sudah pulang kau sebut itu berita buruk? Masalah besar omong kosong!”

“Tidak, tidak, bukan itu. Kau tidak mengerti,” sahut Lu Dayou. “Baru saja Guru dan Ibu Guru pulang, bahkan belum sempat minum, tiba-tiba datang beberapa orang. Mereka orang-orang Serikat Pedang Lima Gunung seperti kita. Mereka dari Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan.”

“Kunjungan sesama orang Serikat Pedang Lima Gunung?” tanya Linghu Chong semakin heran. “Apanya yang aneh jika orang-orang Songshan dan yang lain datang menemui Guru?”

“Tidak, tidak… kau belum tahu juga,” jawab Lu Dayou. “Begini, di antara mereka ada tiga orang yang mengaku berasal dari Perguruan Huashan. Mereka memanggil Guru dengan sebutan ‘Kakak’. Tapi anehnya, Guru tidak memanggil ‘Adik’ pada mereka.”

“Mengapa demikian? Seperti apa ketiga orang itu?” Linghu Chong kembali bertanya dengan perasaan terkejut.

“Yang pertama berwajah kekuning-kuningan, dipanggil dengan nama Feng Buping,” jawab Lu Dayou. “Yang kedua berdandan seperti pendeta Tao, sedangkan yang ketiga bertubuh pendek. Aku tidak tahu siapa nama mereka, tapi sepertinya mereka berdua juga memiliki nama ‘Bu’. Aku yakin mereka seangkatan dengan Guru.”

Linghu Chong mengangguk, “Bisa jadi mereka adalah saudara seperguruan Guru yang berkhianat dan dikeluarkan dari Perguruan Huashan.”

“Benar, dugaan Kakak Pertama benar,” sahut Lu Dayou. “Begitu Guru melihat mereka langsung tidak senang. Beliau berkata, ‘Saudara Feng, kalian bertiga sudah tidak memiliki hubungan lagi dengan Perguruan Huashan. Untuk apa kalian datang kemari?’ – Feng Buping menjawab, ‘Kakak Yue, memangnya Gunung Huashan milikmu? Mengapa Kakak Yue melarang orang lain datang ke sini?’ – Guru mendengus dan berkata, ‘Jika kalian hanya berkunjung ke gunung ini sudah tentu boleh. Tapi Yue Buqun bukan lagi kakak seperguruanmu. Sebutan ‘kakak’ sudah pasti aku tidak berani menerimanya.’ – Feng Buping berkata, ‘Hm, dahulu gurumu telah menggunakan tipu muslihat licik sehingga bisa mengangkangi Perguruan Huashan ini. Kami datang kemari karena merasa memiliki kewajiban untuk menyelesaikan hutang lama. Setelah semuanya beres, jangankan memanggilmu ‘kakak’, memanggil namamu saja aku tidak sudi. Meskipun kau berlutut memohon-mohon kepadaku, aku sudah tidak peduli.’”

“Oh,” ujar Linghu Chong. Hatinya mulai gelisah membayangkan persoalan yang sedang dihadapi sang guru.

Lu Dayou melanjutkan cerita, “Tentu saja kami para murid merasa gusar mendengar ucapan Feng Buping itu. Adik Kecil bahkan memaki-maki karena tidak tahan. Tapi Ibu Guru yang sabar dan lembut melarang Adik Kecil untuk bertindak. Guru sendiri menanggapi dengan tenang. Beliau berkata dengan nada datar, ‘Kau ingin membuat perhitungan denganku? Perhitungan seperti apa yang kau harapkan?’ – Feng Buping menjawab dengan suara keras, ‘Kau menduduki jabatan ketua Perguruan Huashan selama dua puluh tahun lebih. Apa kau masih merasa belum puas? Bukankah sudah saatnya kau menyerahkan jabatanmu kepada orang lain?’ – Guru tersenyum dan menjawab, ‘Oh, rupanya kedatangan kalian bermaksud untuk merebut kedudukanku ini? Sebenarnya tidak perlu repot-repot seperti ini. Asalkan Saudara Feng memenuhi syarat untuk menjabat sebagai ketua perguruan, tentu aku akan menyerahkan kedudukanku ini kepadamu.’ – Feng Buping berkata, ‘Gurumu telah menggunakan tipu muslihat licik untuk merebut jabatan ketua Perguruan Huashan. Sekarang aku sudah melapor kepada Ketua Zuo. Beliau sudah mengabulkan gugatanku dan menyerahkan Panji Pancawarna kepadaku untuk mengambil alih jabatan ketua Perguruan Huashan dari tanganmu.’ Selesai berkata demikian ia pun mengeluarkan sebuah bendera kecil yang tidak lain adalah Panji Pancawarna, bendera lambang kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung.”

Linghu Chong menukas dengan kesal, “Huh, Ketua Serikat sudah bertindak melebihi batas. Ini masalah internal Perguruan Huashan. Kita tidak butuh campur tangan darinya mengenai masalah rumah tangga di sini. Memangnya dia punya wewenang memecat dan mengangkat ketua Perguruan Huashan?”

“Benar,” sahut Lu Dayou. “Ibu Guru juga berkata demikian. Tapi seorang tua bermarga Lu dari Perguruan Songshan berusaha keras membela Feng Buping. Orang itu mempunyai nama lengkap Lu Bai si Tapak Bangau, yang pernah kulihat ikut mendesak Paman Liu saat Upacara Cuci Tangan Baskom Emas dulu. Dia mengatakan bahwa Feng Buping seharusnya yang lebih pantas menjadi ketua Perguruan Huashan, dan dia juga berdebat, adu pendapat melawan Ibu Guru. Selain itu, dua orang dari Perguruan Taishan dan Hengshan juga ikut membela Feng Buping. Ketiga perguruan itu sepertinya bersatu untuk memusuhi Perguruan Huashan kita. Hanya Perguruan Henshan saja yang tidak ikut terlibat. Melihat keadaan seperti itu, aku yakin akan segera terjadi masalah besar, sehingga aku pun berlari kemari untuk memberitahukannya padamu.”

“Kesulitan perguruan menjadi tanggung jawab kita bersama. Para murid wajib membela dengan segenap jiwa dan raga. Selama aku masih bernafas, aku siap kehilangan nyawa demi membela kehormatan Guru,” ujar Linghu Chong. “Adik Keenam, mari kita berangkat!”

Lu Dayou menyahut, “Benar, apabila Guru melihat perjuanganmu, tentu Beliau tidak akan menyalahkanmu karena meninggalkan puncak gunung ini.”

Belum selesai Lu Dayou berkata, tahu-tahu Linghu Chong sudah berlari ke bawah dan berseru, “Aku tidak peduli meskipun nanti dimarahi Guru. Guru seorang budiman yang tidak suka berdebat dengan orang lain. Aku khawatir Guru akan menyerahkan jabatannya begitu saja. Bagiku, ini lebih celaka.”

Lu Dayou pun bergegas mengejar kakak pertamanya. Di tengah perjalanan Linghu Chong mendengar suara seseorang berteriak keras dari balik tebing depan. “Linghu Chong! Linghu Chong! Di mana kau?”

“Siapa yang memanggil namaku?” balas Linghu Chong.

“Apakah kau Linghu Chong?” seru beberapa orang bersamaan.

“Benar!” jawab Linghu Chong.

Tiba-tiba muncul dua sosok bayangan manusia berkelebat dan menghadang di tengah jalan. Jalan setapak di dekat puncak tersebut sangat sempit dan di salah satu sisinya terbentang jurang yang sangat dalam. Saat kedua orang itu tiba-tiba saja muncul, Linghu Chong sedang berlari sangat kencang. Buru-buru ia menghentikan langkah sehingga nyaris bertabrakan dengan kedua orang itu. Jarak antara dirinya dan kedua orang itu kini hanya satu kaki saja. Ternyata wajah kedua orang itu dihiasi benjolan dan terlihat menyeramkan. Karena sangat terkejut Linghu Chong pun melompat muncur beberapa meter sambil berteriak, “Siapa kalian?”

Namun, kejutan lain muncul pula. Tiba-tiba saja di belakang tubuh Linghu Chong sudah menghadang pula dua orang laki-laki berwajah buruk. Ketika Linghu Chong menoleh, hampir saja hidungnya bersentuhan dengan hidung kedua orang tersebut. Maka, Linghu Chong pun mencoba menghindar ke samping. Lagi-lagi muncul dua orang berwajah menyeramkan menghadang langkah kakinya. Kedua orang itu mendesak tubuh Linghu Chong sampai merapat di dinding tebing, sedangkan mereka berdua berdiri tepat di tepi jurang dalam. Bahkan, mereka terlihat melayang di udara karena hanya satu kaki saja yang menginjak tanah.

Linghu Chong bingung bercampur heran karena tiba-tiba saja dirinya sudah dikepung rapat oleh enam orang aneh sekaligus. Sejenak ia tidak tahu harus berbuat apa. Jantung pun terdengar berdebar kencang. Tak hanya itu, dalam waktu kurang dari sedetik tahu-tahu keenam orang itu sudah maju bersama-sama sehingga tubuh Linghu Chong berada di tengah-tengah mereka dalam jarak beberapa senti saja. Linghu Chong merasakan udara hangat berhembus di sekitar wajah dan tengkuk karena keenam orang aneh itu bernafas bersama-sama. Dalam keadaan terburu-buru Linghu Chong berniat mencabut pedang. Namun baru saja jarinya meraba gagang, keenam orang itu lagi-lagi melangkah maju bersama-sama sehingga tubuh Linghu Chong terhimpit di tengah-tengah. Akibatnya, tubuh Linghu Chong tidak bisa bergerak sedikit pun.

Pada saat itulah terdengar suara Lu Dayou yang baru tiba di tempat itu, “Hei, siapa kalian? Kalian mau apa?”

Linghu Chong sendiri baru kali ini mengalami kejadian aneh seperti itu. Meskipun biasanya sangat cerdik dan banyak akal, namun hari itu ia benar-benar merasa bingung dan gelisah. Keenam orang berwajah aneh itu sekilas mirip monster; bukan hanya karena wajah mereka yang buruk rupa, namun juga karena tingkah laku mereka yang ganjil. Ia pun mencoba mendorong kedua orang di depannya namun mereka berdiri terlalu dekat sehingga sulit baginya untuk mengangkat kedua tangan, apalagi melakukan dorongan. Terlintas dalam benaknya jangan-jangan keenam orang itu adalah pengikut Feng Buping.

Keenam orang itu terus menerus mendorong Linghu Chong hingga benar-benar terdesak. Jangankan bergerak, untuk bernafas saja sulit bagi pemuda itu. Bahkan persendian Linghu Chong terdengar sampai berbunyi. Tanpa berani memandang mata kedua orang yang berdiri di depannya, Linghu Chong pun menutup mata rapat-rapat. Sejenak kemudian terdengar salah satu dari mereka berkata, “Linghu Chong, kami akan membawamu menemui Biksuni cilik.”

Mendengar itu Linghu Chong berseru dalam hati, “Oh, tidak! Ternyata mereka satu komplotan dengan Tian Boguang.”

Segera ia pun berteriak, “Hei, lepaskan aku! Kalau tidak kalian lepaskan, aku akan bunuh diri menggunakan pedang. Aku lebih baik mati daripada kalian bawa pergi.”

Baru saja ia berkata demikian tiba-tiba kedua lengannya sudah dipegang oleh masing-masing dua tangan yang berkekuatan besar. Cengkeraman tangan mereka membuat Linghu Chong merasa sangat kesakitan. Dalam keadaan seperti ini ilmu Sembilan Pedang Dugu juga tidak ada gunanya. Yang bisa ia lakukan hanya mengeluh di dalam hati.

Terdengar pula seseorang dari mereka berkata, “Biksuni cilik ingin bertemu denganmu. Kau menurut saja. Jadi anak yang baik ya?”

“Kau tidak boleh bunuh diri. Kalau kau bunuh diri akan kubuat kau mati tidak, hidup pun tidak,” ancam yang lain.

Temannya menyahut, “Jika dia sudah mati bunuh diri, bagaimana caramu membuatnya hidup tidak, mati pun tidak?”

“Aku hanya menakut-nakuti dia supaya tidak bunuh diri,” jawab yang satunya tadi.

“Kalau cuma menakut-nakuti seharusnya jangan biarkan dia mendengar. Sekarang dia sudah tahu, tentu tidak dapat ditakut-takuti lagi,” ujar temannya.

“Aku tetap ingin menakut-nakuti dia, kau mau apa?” sahut yang pertama.

“Aku bilang lebih baik dia dibujuk saja,” kata yang seorang lagi.

“Tidak bisa. Sekali aku menakut-nakuti orang, tetap akan kutakut-takuti dia,” sahut yang satunya bersikeras.

“Tapi aku lebih suka membujuknya,” sahut yang lain. Dan begitulah, orang-orang itu terus saja bertengkar sendiri.

Sambil tetap memejamkan mata, Linghu Chong mendengar pertengkaran mereka. Diam-diam ia berpikir, “Enam orang aneh ini memiliki ilmu silat yang tinggi, tapi tingkah laku mereka seperti orang bodoh.” Segera ia menemukan akal dan berteriak, “Terserah kalian mau menakut-nakuti atau membujuk aku. Jika kalian tidak melepaskan aku, maka aku akan segera bunuh diri dengan cara menggigit lidah.”

Tapi mendadak secepat kilat kedua pipi Linghu Chong diremas kencang oleh salah satu dari mereka. “Bocah ini sangat bandel. Kalau lidahnya sampai putus, dia nanti tidak bisa bicara. Tentu Biksuni cilik menjadi tidak senang,” demikian sahut orang itu.

“Jika lidahnya putus tentu orangnya akan mati. Mana mungkin cuma tidak bisa bicara?” seorang lainnya bertanya.

“Belum tentu dia langsung mati,” kata yang pertama tadi. “Kalau tidak percaya kau boleh menggigit lidahmu sendiri.”

“Aku percaya kalau lidah putus pasti mati. Maka, aku tidak perlu menggigit lidahku sendiri. Kau yang tidak percaya, maka kau saja yang mencoba.”

“Hei, kenapa harus aku yang mencoba?” sahut orang tadi. “Lebih baik dia saja.”

Kemudian terdengar suara jeritan Lu Dayou, pertanda salah satu orang aneh telah menangkapnya.

Orang itu pun membentak kepada Si Monyet Keenam, “Cepat, gigit lidahmu sampai putus! Aku ingin tahu kau akan mati atau tidak. Lekas gigit!”

“Tidak, tidak, aku tidak mau! Bila lidahku tergigit sampai putus, tentu aku akan mati,” teriak Lu Dayou.

“Nah, apa kataku tadi?” kata si orang aneh di dekatnya. “Bila lidah putus tentu orangnya akan mati. Dia juga mengaku demikian.”

“Dia belum mati. Pendapatmu tidak terbukti,” sahut kawannya.

“Dia belum mati karena belum menggigit lidahnya. Tapi sekali gigit tentu dia akan mati,” ujar yang lain.

Linghu Chong semakin kesal mendengar pertengkaran yang tidak perlu itu. Ia berusaha sekuat tenaga meronta-ronta untuk membebaskan diri namun tenaga kedua orang yang mencengkeram lengannya sangat kuat. Rasa sakit yang ia rasakan seperti tembus ke sumsum tulang. Sejenak kemudian pemuda itu menemukan akal. Mendadak ia menjerit dan pura-pura pingsan.

Melihat itu, keenam orang aneh itu pun berseru terkejut. Bahkan salah satu yang mencengkeram pipi Linghu Chong segera melepaskan pegangannya.

“Celaka! Dia mati ketakutan,” sahut salah seorang.

“Tidak, tidak mungkin. Mana mungkin mati semudah itu?” sahut yang lain.

“Seandainya mati juga bukan karena ketakutan,” sahut yang lain lagi.

“Kalau begitu, karena apa?” tanya yang pertama tadi.

Lu Dayou yang tidak menyadari tipu muslihat sang kakak pertama terkejut mengira Linghu Chong benar-benar mati akibat didesak orang-orang aneh itu. Melihat itu ia pun menjerit dan menangis seketika.

Sementara itu kembali terdengar suara pertengkaran, “Aku yakin dia mati ketakutan.”

“Tidak, dia mati karena cengkeramanmu terlalu keras,” kata yang lain.

“Sebenarnya apa penyebab kematiannya?” tanya yang seorang lagi.

Tiba-tiba Linghu Chong berteriak,” Aku mati bunuh diri dengan cara menutup urat nadiku sendiri.”

Mendengar itu keenam orang aneh tertawa terbahak-bahak dan berkata bersama-sama, “Hahahaha. Ternyata kau belum mati. Kau cuma pura-pura mati.”

Linghu Chong berseru, “Aku tidak pura-pura mati. Aku tadi sudah mati tapi hidup kembali.”

“Apa benar kau bisa menutup urat nadi sendiri?” tanya salah seorang penasaran. “Wah, ini kepandaian yang sulit dipelajari. Kau ajarkan kepadaku saja.”

Yang lain menyahut, “Ilmu Menutup Urat Nadi itu sangat sulit. Bocah ini tentu berdusta.”

Linghu Chong berkata, “Kau bilang aku berdusta? Kalau aku berdusta mengapa tadi aku bisa mati dengan menutup urat nadi sendiri?”

Orang aneh itu menggaruk-garuk kepala dan berkata, “Benar juga. Ini memang agak aneh.”

Linghu Chong semakin memanfaatkan kebodohan mereka berenam itu, “Jika kalian tidak segera melepaskanku, maka aku akan menutup urat nadiku lagi. Kali ini aku akan mati untuk selamanya, tidak akan hidup kembali.”

Kedua orang yang memegangi lengannya segera melepaskan cengkeraman masing-masing. “Tidak boleh! Kau tidak boleh mati. Kalau kau mati urusan menjadi runyam,” seru mereka.

Linghu Chong berkata, “Kalau aku tidak boleh mati, lekas kalian menyingkir. Ada urusan penting yang harus kuselesaikan.”

“Tidak boleh, tidak boleh!” seru dua orang yang berdiri di depannya sambil menggeleng bersamaan. “Kau harus ikut kami menemui si biksuni cilik.”

Sekuat tenaga Linghu Chong melompat dengan maksud melampaui kedua orang tersebut. Namun keduanya ikut melompat dengan kecepatan yang sangat tinggi. Begitu membentur tubuh mereka, Linghu Chong merasa seperti menabrak tembok.

Dalam keadaan masih melayang di udara Linghu Chong mencoba mencabut pedang dari sarungnya. Namun, baru saja meraba gagang pedang tahu-tahu dua orang aneh yang tadi dibelakangnya dengan cepat mencengkeram bahu pemuda itu, masing-masing kiri dan kanan. Pedang itu baru keluar dari sarungnya sebanyak sepertiga bagian namun sudah berhenti begitu saja, akibat cengkeraman kuat kedua orang aneh yang membuat Linghu Chong merasa seperti ditimpa beban ratusan kilo. Rencana untuk mengerahkan ilmu Pedang Sembilan Dugu gagal begitu saja.

Kedua orang tadi menekan bahu Linghu Chong sampai ke bawah. Jangankan melawan, mencoba berdiri tegak saja pemuda itu merasa kesulitan, apalagi mengeluarkan senjata. Kedua orang aneh yang memegangi bahunya berteriak, “Angkat saja dia!” Maka, kedua orang aneh lainnya serentak mengangkat kedua kaki pemuda itu.

“Hei, apa-apaan kalian ini?” seru Lu Dayou berteriak-teriak.

“Orang ini terlalu banyak bicara. Kita bunuh saja dia!” sahut salah seorang yang kemudian mendekat dan berniat memukul kepala Lu Dayou.

Dengan cepat Linghu Chong mencegah, “Jangan dibunuh! Jangan dibunuh!”

“Baik, aku menurut padamu. Aku tidak membunuhnya, hanya kubuat bisu saja,” sahut orang aneh tadi sambil jarinya menotok ke belakang –ke arah Lu Dayou– tanpa menoleh sedikit pun. Tahu-tahu Si Monyet Keenam sudah kehilangan suaranya. Meskipun ia berteriak namun suaranya sama sekali tidak keluar.

Linghu Chong terperanjat menyaksikan kehebatan orang tadi dalam mengerahkan tenaga dalam dan menotok secara jitu dari jarak jauh tepat mengenai titik bisu Lu Dayou. Tanpa terasa ia bersorak memuji, “Hebat sekali! Ilmu silat yang hebat!”

Orang aneh itu terlihat senang menerima pujian Linghu Chong. Ia pun tertawa dan berkata, “Ini belum seberapa. Aku masih mempunyai banyak kepandaian lain yang lebih hebat. Akan kuperlihatkan kepadamu.”

Biasanya Linghu Chong sangat senang menambah pengalaman. Namun kali ini ia sangat mengkhawatirkan keselamatan sang guru. Maka dengan cepat ia menjawab, “Tidak, aku tidak ingin melihatnya.”

Orang aneh itu tampak tersinggung dan bertanya, “Mengapa tidak ingin melihatnya? Padahal aku justru ingin menunjukkannya.” Usai berkata demikian orang itu pun meloncat ke atas dan tahu-tahu sudah melayang di atas kepala keempat temannya yang mengusung tubuh Linghu Chong. Tubuhnya melayang dalam keadaan mendatar seperti seekor burung walet yang terbang dengan indahnya.

Seumur hidup baru kali ini Linghu Chong menyaksikan ilmu meringankan tubuh sehebat itu. Tanpa terasa ia kembali memuji, “Hebat sekali!”

Orang aneh itu mendarat di atas tanah dengan lembut tanpa menerbangkan debu sedikit pun. Ketika menoleh ke arah Linghu Chong, wajahnya yang lonjong seperti kepala kuda tampak berseri-seri. Ia berkata dengan gembira, “Ini belum seberapa. Masih ada lagi yang lebih hebat.”

Linghu Chong heran melihat orang itu sebenarnya sudah tua. Usianya kira-kira di atas enam puluh tahun, namun kelakuannya seperti anak kecil. Semakin dipuji semakin menjadi-jadi. Kehebatan ilmu silat dan tingkah laku mereka yang polos sungguh bertolak belakang.

Tiba-tiba terlintas sebuah pikiran di benak Linghu Chong, “Orang-orang ini berilmu tinggi tapi kekanak-kanakan. Guru dan Ibu Guru sedang dikepung orang-orang dari Serikat Pedang Lima Gunung lainnya. Hei, kenapa aku tidak memanfaatkan kesaktian enam orang ini?”

Usai berpikir demikian Linghu Chong berkata, “Kepandaianmu yang hanya sedikit ini tidak ada gunanya dipamerkan di Gunung Huashan sini.”

“Kepandaian sedikit bagaimana?” tanya orang bermuka lonjong itu tidak terima. “Buktinya, kau tidak bisa berkutik ketika kami tangkap?”

“Aku ini hanya kaum keroco di dalam Perguruan Huashan, sudah tentu mudah sekali kalian tangkap,” jawab Linghu Chong. “Sekarang di gunung ini sedang berkumpul para jago silat dari Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan tentu saja Huashan. Mana mungkin kalian berani menghadapi mereka?”

“Kenapa tidak berani?” teriak orang itu. “Di mana mereka?”

Salah satu orang aneh menyahut, “Kita menang taruhan melawan si biksuni cilik, sehingga kita bisa disuruh kemari untuk membawa Linghu Chong ke hadapan si biksuni cilik. Kita tidak disuruh untuk mencari gara-gara dengan Perguruan Songshan dan yang lain. Cukup satu perbuatan untuk satu kemenangan, tidak perlu kemenangan yang lain. Mari kita berangkat saja!”

Mendengar itu Linghu Chong pun berpikir, “Keenam orang aneh ini sudah jelas adalah suruhan Yilin, dan bukan musuh Perguruan Huashan. Sepertinya mereka kalah bertaruh dan sebagai hukuman harus membawaku kepada Yilin. Tapi sungguh lucu, mereka tidak mau mengakui kekalahan dan mengatakan bahwa pihak mereka yang menang taruhan.”

Linghu Chong kemudian tertawa dan berkata. “Pantas saja jago-jago dari Perguruan Songshan mengatakan bahwa mereka memandang rendah terhadap kalian semua, orang-orang aneh, tua bangka berwajah lonjong seperti kuda, berkulit kasap dan keriput. Kalau bertemu pasti kalian semua akan dipitas seperti semut. Tapi sungguh sayang, mereka juga berkata kalian sudah lari terbirit-birit begitu mendengar suara mereka.”

Mendengar itu keenam kakek aneh tersebut langsung berjingkrak marah. Empat orang yang memegangi lengan dan kaki Linghu Chong langsung meletakkan pemuda itu di tanah. Mereka lantas berteriak-teriak, “Di mana orang-orang itu berada? Bawa kami ke sana secepatnya! Lekas!”

“Kami adalah Enam Dewa Lembah Persik. Sudah bosan hidup rupanya orang-orang Songshan itu. Enak saja mau memitas kami seperti semut. Kurang ajar!” lanjut mereka.

Linghu Chong semakin memanas-manasi mereka, “Eh, kalian mengaku sebagai Enam Dewa Lembah Persik, tapi orang-orang Songshan dan kawan-kawannya justru menyebut kalian Enam Setan Lembah Persik, atau bahkan Enam Bocah Lembah Persik. Saranku, sebaiknya kalian menghindari mereka saja. Ilmu silat mereka sangat tinggi. Kalian sudah pasti bukan tandingan mereka. Kenapa kalian tidak segera lari saja sebelum terlambat?”

“Tidak mungkin! Biar sekarang juga kita labrak mereka,” seru si kakek bermuka merah.

Tapi kakek yang bermuka benjol menyela, “Tapi, bila orang-orang Songshan itu berani bermulut besar, pasti mereka juga mempunyai kepandaian luar biasa. Jangan-jangan kita memang bukan tandingan mereka.”

Si muka panjang menyahut, “Adik Keenam memang pengecut. Kita belum berangkat, juga belum bertarung lawan mereka. Bagaimana kau sudah mengaku kalah?”

Si penakut balas bertanya, “Bagaimana kalau ternyata mereka benar-benar bisa memitas kita seperti semut? Bukankah ini sangat buruk? Lalu, kalau kita dipitas sampai mati, bagaimana kita akan melarikan diri?”

“Benar sekali!” seru Linghu Chong dengan perasaan sangat geli. “Jika ingin lari, sebaiknya sekarang saja. Aku takut kalian nanti terlambat sehingga jago-jago dari Songshan itu bisa menemukan kalian.”

Mendengar itu si muka benjol semakin ketakutan. Tubuhnya langsung melesat, dan dalam waktu sekejap sudah menghilang entah ke mana.

Linghu Chong semakin terperanjat melihatnya. Dalam hati ia berpikir, “Luar biasa! Ilmu meringankan tubuh orang itu benar-benar hebat seperti siluman.”

Salah satu orang aneh kembali berkata, “Adik Keenam memang penakut. Biar saja dia lari. Kita berlima yang akan berangkat melabrak orang-orang Perguruan Songshan itu.”

“Ya, benar! Kita berangkat menghajar mereka! Enam Dewa Lembah Persik tak terkalahkan!” seru keempat kawan yang lainnya.

Si aneh pertama tadi menepuk bahu Linghu Chong perlahan sambil berkata, “Cepat kau tunjukkan di mana tempatnya. Bawa kami ke sana! Aku ingin tahu bagaimana orang-orang itu memitas kami seperti semut.”

Linghu Chong menjawab, “Aku tidak keberatan membawa kalian ke sana. Tapi aku, Linghu Chong adalah laki-laki sejati yang pantang menyerah karena dipaksa atau diancam pihak lain. Aku bersedia membawa kalian ke sana karena aku ikut kesal mendengar kesombongan orang-orang Perguruan Songshan yang meremehkan kehebatan kalian. Juga karena aku mengagumi kehebatan ilmu silat kalian sehingga aku rela mengantarkan kalian menemui orang-orang itu, biar dunia persilatan tahu siapa yang omong kosong. Tapi, jika kalian berani memaksa diriku untuk melakukan ini itu dengan mengandalkan jumlah kalian yang benayak, maka Linghu Chong lebih baik mati saja.”

Serentak kelima kakek aneh itu bertepuk tangan dan memuji, “Bagus sekali! Kau memang laki-laki sejati. Kau juga memiliki penglihatan yang tajam sehingga bisa mengenali kehebatan ilmu silat kami.”

Linghu Chong berkata, “Kalau demikian kalian nanti tidak boleh sembarangan bicara di hadapan mereka. Jangan sampai di dunia persilatan ada yang menertawakan Enam Dewa Lembah Persik adalah kumpulan orang bodoh, kekanak-kanakan, yang tidak tahu seluk beluk kehidupan. Maka, kalian harus menurut kepadaku. Dengarkan semua perintahku. Jika tidak, maka kalian bisa membuatku malu dan kita semua akan terlihat bodoh.”

Tidak disangka, ucapan Linghu Chong yang hanya coba-coba ternyata ditanggapi serius oleh kelima orang aneh tersebut. “Benar. Ucapanmu benar. Tidak ada yang boleh merendahkan Enam Dewa Lembah Persik sebagai orang bodoh dan kekanak-kanakan,” kata mereka bersama-sama.

Rupanya ucapan Linghu Chong tadi benar-benar membuat penasaran dan menyinggung perasaan kelima orang aneh tersebut. Semangat mereka bangkit karena sebutan yang mereka anggap memalukan tersebut.

Linghu Chong mengangguk dan berkata, “Baiklah, kalau begitu kalian bisa ikut denganku.” Usai berkata demikian pemuda itu langsung melesat pergi menyusuri jalan setapak. Kelima kakek aneh pun mengikuti sambil membawa tubuh Lu Dayou.

Setelah melewati dua li, rombongan tersebut bertemu si orang aneh penakut yang melarikan diri tadi. Si penakut itu tampak bersembunyi di balik batu cadas besar, sambil sesekali menampakkan wajahnya untuk melihat keadaan.

Linghu Chong pun berseru memanggil untuk membangkitkan keberaniannya, “Hei, kepandaian orang-orang Songshan itu masih selisih jauh darimu. Jangan takut pada mereka! Kita akan pergi beramai-ramai menghajar mereka.”

Si penakut terlihat senang. Ia pun menjawab, “Baik, aku ikut! Tapi... kau tadi bilang ilmuku dengan mereka masih selisih jauh. Maksudmu, aku lebih hebat atau mereka yang lebih hebat?” Ternyata orang itu meskipun bodoh tapi juga sangat hati-hati.

“Tentu saja kau yang lebih unggul,” jawab Linghu Chong dengan tertawa. “Caramu berlari tadi menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuhmu. Betapa pun hebatnya mereka tetap tidak akan mampu menyusul dirimu.”

Orang aneh penakut itu terlihat semakin senang. Ia berjalan mendekati Linghu Chong namun masih dengan wajah sedikit ragu. “Tapi kalau mereka bisa mengejarku, bagaimana?” ucapnya.

“Tenang saja! Jika mereka berani macam-macam denganmu, maka... ini!” sahut Linghu Chong sambil mencabut pedang dari sarungnya sampai setengah bagian, kemudian memasukkannya dengan gerakan mantap. “Sekali tebas akan kubunuh mereka.”

“Bagus, bagus!” seru si penakut senang. “Apa yang kau katakan harus kau tepati. Kalau begitu, mari kita pergi!”

Dalam hati Linghu Chong tertawa terbahak-bahak mengamati kelakuan keenam orang tua itu. Mereka berilmu tinggi namun terlihat polos dan sepertinya bukan orang jahat. Tidak ada salahnya kalau menggunakan tenaga mereka sebagai bala bantuan.

Maka pemuda itu pun berkata, “Sudah lama aku mendengar nama besar kalian yang termasyhur. Hari ini bisa bertemu langsung tentu menjadi kehormatan bagiku. Namun kalau boleh aku tahu, siapa saja nama kalian ini?”

Ucapan Linghu Chong terdengar unik dan tidak masuk akal. Namun karena mengandung pujian untuk keenam orang aneh itu, membuat mereka langsung gembira dan tidak mau berpikir panjang. Si muka keriput yang pertama kali bersuara, “Aku yang tertua, namaku Dewa Akar Persik.”

“Aku yang kedua, namaku Dewa Dahan Persik,” sahut yang lain.

“Kalau aku, entah yang nomor tiga atau empat, namaku Dewa Ranting Persik,” sahut salah satu di antara mereka. Ia kemudian menunjuk rekan yang lain sambil berkata, “Dia juga tidak jelas yang ketiga atau keempat. Namanya Dewa Daun Persik.”

Linghu Chong heran dan bertanya, “Mengapa kalian berdua tidak jelas siapa yang nomor tiga, siapa yang nomor empat?”

“Jangankan kami, ayah dan ibu kami juga lupa urutan kami,” sahut Dewa Ranting Persik.

Dewa Daun Persik menukas, “Saat ayah dan ibumu melahirkanmu, jika mereka lupa bahwa mereka pernah melahirkanmu, sebagai anak kecil apa kau tahu bagaimana dirimu ada di dunia?”

Benar juga, benar juga! Untungnya kedua orang tuaku ingat bagaimana mereka melahirkan aku,” ujar Linghu Chong sambil kemudian bergelak tawa.

“Nah, itu dia!” sahut Dewa Daun Persik.

“Jadi, kedua orang tua kalian lupa?” lanjut Linghu Chong.

Dewa Daun Persik berkata, “Sewaktu Ayah dan Ibu melahirkan kami berdua, mereka masih ingat siapa yang lebih tua, siapa yang lebih muda. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian mereka lupa siapa di antara kami yang lebih tua. Itulah sebabnya kami juga tidak mengetahui siapa yang menjadi kakak, siapa yang menjadi adik.” Bicara sampai di sini tangannya lalu menunjuk ke arah Dewa Ranting Persik. “Dia bersikeras meminta aku memanggil ‘kakak ketiga’ kepadanya. Jika tidak, dia akan memukulku. Apa boleh buat? Aku terpaksa menuruti permintaannya.”

Linghu Chong tersenyum menanggapi, “Jadi, kalian ini dua bersaudara kandung?”

“Benar, kami semua adalah enam bersaudara,” sahut Dewa Ranting Persik.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Hm, orang tua mereka bodoh dan pelupa, tidak heran jika memiliki enam anak yang bodoh pula.”

“Lalu, siapa nama kalian berdua?” lanjut Linghu Chong kepada kedua orang aneh selanjutnya.

“Biar aku yang menjawab,” sahut si penakut. “Aku adalah adik keenam, namaku Dewa Buah Persik. Sedangkan kakak kelima ini bernama Dewa Bunga Persik.”

Linghu Chong tertawa geli mendengarnya. Dalam hati ia berkata, “Dewa Bunga Persik berwajah buruk, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan bunga persik yang sebenarnya.”

Melihat raut muka Linghu Chong yang tersenyum simpul, Dewa Bunga Persik salah paham dan berkata dengan gembira, “Di antara kami berenam, namaku yang paling bagus dan enak didengar.”

“Benar, namamu memang sangat indah,” sahut Linghu Chong. “Tapi nama-nama yang lain juga bagus. Dewa Akar Persik, Dewa Dahan Persik, Dewa Ranting Persik, Dewa Daun Persik, Dewa Buah Persik, andai saja aku punya nama sebagus kalian, tentu aku akan merasa sangat senang.”

Enam Dewa Lembah Persik yang kekanak-kanakan itu bergembira mendengar pujian Linghu Chong. Mereka sama-sama menganggap pemuda itu adalah manusia paling baik di dunia.

“Sekarang mari kita berangkat!” sahut Linghu Chong sambil kemudian menunjuk ke arah Lu Dayou, “tapi sebelumnya, tolong buka totokan pada adikku itu. Ilmu totokan kalian sangat hebat. Jelas-jelas aku tidak akan mampu membukanya dengan tanganku sendiri.”

Mendengar pujian itu, Enam Dewa Lembah Persik pun berlomba-lomba mendatangi Lu Dayou. Yang paling cepat di antara mereka segera membuka totokan pada tubuh pemuda itu tanpa kesulitan.

Jarak antara Tebing Perenungan dengan Gedung Kebajikan sekitar tiga atau empat li. Selain Lu Dayou, ketujuh orang tersebut memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat bagus, sehingga tidak membutuhkan waktu lama, Linghu Chong beserta Enam Dewa Lembah Persik sudah mencapai gedung utama Perguruan Huashan tersebut. Di sana mereka melihat Lao Denuo, Liang Fa, Shi Daizi, Gao Genming, Yue Lingshan, Lin Pingzhi, dan belasan murid lainnya berdiri di luar gedung sambil menintip dengan wajah gelisah. Menyaksikan sang kakak pertama datang, mereka terlihat sedikit lega.

Lao Denuo menghampiri Linghu Chong, kemudian berbisik, “Kakak Pertama, di dalam Guru dan Ibu Guru sedang menerima tamu.”

Linghu Chong menoleh dan memberi isyarat kepada Enam Dewa Lembah Persik supaya berhenti dan tidak bersuara. Ia kemudian berbisik pula kepada Lao Denuo, “Adik Kedua, keenam orang ini adalah kawanku, tidak perlu diurusi. Biar aku melihat ke dalam.”

Pada umumnya, apabila Yue Buqun dan Ning Zhongze sedang menerima tamu, para murid tidak akan berani mengintip di luar Gedung Kebajikan. Namun karena saat ini sang guru dan ibu-guru sedang menghadapi masalah besar, mau tidak mau mereka pun memberanikan diri berdiri dan mengintip di luar untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Itulah sebabnya, ketika melihat Linghu Chong mendekati gedung, mereka menganggap itu bukan sebagai hal yang tidak pantas.

Linghu Chong kemudian mendekati jendela dan mengintai ke dalam ruangan. Tampak seorang pria kurus duduk di kursi tamu kehormatan, sambil memegang Panji Pancawarna lambang kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung. Ia tidak lain adalah Lu Bai si Tapak Bangau dari Perguruan Songshan. Di sebelahnya duduk seorang pendeta dan seorang pria setengah baya. Dari seragam mereka dapat diketahui kalau kedua orang itu berasal dari Perguruan Taishan dan Hengshan.

Selanjutnya, Linghu Chong melihat tiga orang berusia sekitar lima puluh tahun atau lebih. Dari bentuk pedang yang mereka bawa dapat diketahui kalau ketiga orang itu berasal dari Perguruan Huashan. Salah satu di antara mereka berwajah kekuning-kuningan dengan raut muka terlihat murung. Kiranya orang ini adalah Feng Buping seperti yang diceritakan Lu Dayou tadi. Yue Buqun dan Ning Zhongze tampak duduk di atas kursi tuan rumah menghadapi mereka. Poci dan cawan teh serta makanan ringan tampak tertaruh di atas masing-masing meja tuan rumah dan para tamu.

Terdengar si orang tua dari Perguruan Hengshan berkata, “Saudara Yue, sebenarnya kami tidak pantas ikut campur urusan perguruanmu yang mulia. Namun bagaimanapun juga, Serikat Pedang Lima Gunung sudah berjanji untuk saling membantu, senafas-seirama. Jika ada satu golongan yang berbuat tidak benar, maka keempat yang lainnya ikut menanggung malu. Maka itu, ucapan Nyonya Yue tadi yang mengatakan bahwa kami dari Songshan, Taishan, dan Hengshan tidak berhak ikut campur sepertinya kurang tepat.” Sorot mata pria tua itu tampak berwarna kekuning-kuningan seperti seseorang yang menderita penyakit kuning.

Lega hati Linghu Chong mengetahui bahwa yang terjadi di antara mereka masih sebatas pertengkaran mulut saja. Ia bersyukur Lu Dayou memberi kabar tepat waktu.

Ning Zhongze menjawab, “Ucapan Kakak Lu ini seolah menuduh Perguruan Huashan kami tidak tahu diri sehingga mencemarkan nama baik perguruan kalian yang terhormat, bukan begitu?”

Pria tua bermarga Lu itu menjawab sambil menyeringai, “Hehehe, ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang kalau ketua Perguruan Huashan yang sesungguhnya adalah Pendekar Ning. Tadinya aku tidak percaya, tapi setelah pertemuan yang menyenangkan ini, mau tidak mau semuanya terbukti sudah.”

Ning Zhongze gusar mendengar ucapan yang bernada mengejek suaminya itu. Ia pun menjawab, “Bagaimanapun juga Kakak Lu adalah tamu kami. Tidak sepantasnya kalau kami berbuat salah kepadamu. Hanya saja, sungguh sayang kalau seorang kesatria dari Perguruan Hengshan ternyata suka bicara sembarangan seperti tadi. Kelak bila bertemu dengan Tuan Besar Mo rasanya hal ini perlu untuk aku tanyakan.”

“Oh, jadi hanya karena aku ini tamu, lantas Nyonya Yue merasa segan? Apabila kita berada di luar Gunung Huashan tentu Nyonya Yue sudah mengayunkan pedang memenggal kepalaku, begitu?” sahut si tua Lu.

“Mana mungkin aku berani?” tukas Ning Zhongze. “Perguruan Huashan kami tidak mungkin berani selancang itu terhadap perguruanmu yang mulia. Bukankah telah terjadi seorang dari Perguruan Hengshan yang berteman dengan Sekte Iblis, lantas dibereskan oleh Ketua Serikat? Kami dari Huashan mana mungkin berani macam-macam?”

Yang dimaksud oleh Ning Zhongze adalah Liu Zhengfeng dari Perguruan Hengshan yang bersahabat dengan Qu Yang dari Sekte Iblis. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa pembantaian Keluarga Liu dilakukan oleh Perguruan Songshan yang mengatasnamakan Serikat Pedang Lima Gunung. Dalam hal ini Ning Zhongze telah menyinggung aib Perguruan Hengshan sekaligus menyindir si tua Lu yang tidak merasa kehilangan atas pembantaian itu, justru bergabung dengan orang-orang Songshan untuk mendesak Perguruan Huashan.

Mendengar itu wajah si tua Lu tampak merah padam. Ia pun berkata lantang, “Nyonya Yue, dari zaman dahulu hingga sekarang sudah biasa ada murid suatu perguruan yang berkhianat. Kedatangan kami ke Huashan sini hanya untuk membantu menegakkan keadilan untuk Saudara Feng serta membersihkan pengaruh jahat dari perguruannya.”

“Siapa yang kau maksud dengan pengaruh jahat itu?” sahut Ning Zhongze dengan nada menantang. “Suamiku terkenal dengan julukan Si Pedang Budiman. Lantas, bagaimana dengan julukanmu?” Tampak tangan wanita itu sudah meraba gagang pedang.

Wajah si tua Lu semakin merah. Ia tidak menjawab pertanyaan Ning Zhongze. Hanya sepasang matanya yang kekuning-kuningan tampak memandang tajam ke arah istri ketua Perguruan Huashan tersebut.

Linghu Chong yang masih mengintip di luar gedung juga bertanya-tanya siapa sebenarnya laki-laki tua bermarga Lu dari Perguruan Hengshan tersebut. Meskipun usianya sudah tua namun tidak begitu terkenal di dunia persilatan. Pemuda itu lantas bertanya kepada Lao Denuo, “Siapa orang itu? Apa julukannya?”

Sebelum bergabung dengan Perguruan Huashan, Lao Denuo sudah memiliki pengalaman di dunia persilatan. Selain itu wawasan dan pengetahuannya juga cukup luas. Maka, ia pun bisa menjawab pertanyaan Linghu Chong.

“Orang tua itu bernama Lu Lianrong. Julukannya adalah Si Rajawali Bermata Emas. Namun karena ia suka bicara lancang dan gemar mencampuri urusan pihak lain, maka kaum persilatan diam-diam suka mengejeknya dengan julukan Si Gagak Bermata Emas,” demikian jawab Lao Denuo dengan suara berbisik.

Linghu Chong tersenyum mendengarnya. Ia pun berpikir, “Mungkin tidak ada orang yang berani mengejek si tua itu dengan sebutan Gagak Bermata Emas. Tapi aku yakin, secara tidak langsung ia pasti pernah mendengar ejekan itu ditujukan kepadanya. Saat Ibu Guru menanyakan apa julukannya, ia langsung terdiam, pertanda ia tahu kalau sebenarnya Ibu Guru sedang menanyakan apa ejekannya.”

Terdengar Lu Lianrong mendengus dan berseru, “Huh, apa benar suamimu berjuluk Si Pedang Budiman? Tapi, menurutku dia lebih baik memakai julukan Si Pedang Munafik.”

Mendengar gurunya dihina, Linghu Chong tidak tahan lagi. Ia pun berteriak, “Hei, Gagak Bermata Buta, kalau kau berani lekas keluar hadapi kami!”

Sebenarnya Yue Buqun yang memiliki tenaga dalam tinggi telah mendengar suara Linghu Chong saat berbisik dengan Lao Denuo tadi. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Mengapa Chong’er ada di sini? Berani sekali ia turun dari puncak sebelum masa hukuman berakhir?” Dan kini begitu mendengar teriakan murid pertamanya itu, ia pun membentak, “Chong’er, kau jangan kurang ajar! Paman Lu adalah tamu di sini. Jaga mulutmu!”

Lu Lianrong marah luar biasa. Sebelumnya ia telah mendengar kelakuan Linghu Chong saat di kota Hengshan. Maka, ia pun balas memaki, “Oh, aku kira siapa, ternyata bocah yang suka main perempuan di Hengshan dulu. Hm, jagoan Huashan benar-benar punya banyak bakat terpendam.”

“Betul sekali,” jawab Linghu Chong tertawa. “Aku memang pernah main perempuan di kota Hengshan bersama seorang pelacur yang bermarga Lu.”

“Kau!” bentak Yue Buqun kepada Linghu Chong. “Kau jangan sembarangan mengoceh!”

Linghu Chong ketakutan mendengar kemarahan sang guru. Namun di pihak lawan, ternyata Lu Bai, Feng Buping dan yang lain tanpa terasa ikut tersenyum mendengar gurauan itu.

Lu Lianrong sendiri sudah habis kesabarannya. Ia pun melompat keluar menjebol daun jendela sampai melayang di udara. Begitu sampai di luar ia melihat banyak murid Huashan dan berteriak kepada mereka, “Binatang mana yang berani sembarangan bicara tadi?” Karena sebelum ini ia tidak pernah bertemu Linghu Chong, maka jari tangannya pun menujuk secara sembarangan.

Murid-murid Huashan terdiam tanpa suara sedikit pun. Melihat itu Lu Lianrong semakin gusar dan kembali berteriak, “Jawab pertanyaanku! Binatang mana yang baru saja bicara?”

Linghu Chong bergelak tawa dan menjawab, “Hahahaha, bukankah kau sendiri yang baru saja bicara? Mana aku tahu kau ini dari jenis binatang apa?”

Kemarahan Lu Lianrong meledak-ledak begitu mendengar ejekan terbaru ini. Sekuat tenaga ia mengayunkan pedangnya ke arah Linghu Chong. Namun Linghu Chong sempat melompat mundur. Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dari dalam gedung dan menangkis serangan Lu Lianrong menggunakan pedang pula. Rupanya orang itu tidak lain adalah Ning Zhongze, sang ibu-guru.

Gerakan Ning Zhongze mulai dari menerjang keluar gedung, mencabut pedang saat masih melayang di udara, dan bagaimana ia menangkis serangan Lu Lianrong, semuanya dilakukan dengan gesit dan anggun. Meskipun gerakan tersebut sangat cepat, namun para hadirin dapat melihat keindahan di balik kecepatan tersebut.

Yue Buqun melangkah keluar gedung dengan tenang sambil berkata, “Kita semua bersaudara. Urusan seperti ini seharusnya dibicarakan baik-baik. Mengapa harus memakai kekerasan?”

Ketua Huashan itu lantas mencabut pedang yang tergantung di pinggang Lao Denuo, kemudian mengayunkannya untuk membentur di atas pedang istrinya dan pedang Lu Lianrong yang masih beradu. Lu Lianrong merasa tekanan pedang Yue Buqun begitu kuat. Ia mencoba mengangkat pedangnya namun sedikit pun tidak bergerak. Wajahnya tampak bersemu merah karena tiga kali ia mengerahkan segenap tenaga untuk menyentakkan pedang ke atas, namun tetap saja tidak bergerak sedikit pun.

Yue Buqun berkata sambil tersenyum, “Serikat Pedang Lima Gunung senafas seirama seperti keluarga sendiri. Hendaknya Kakak Lu jangan menghiraukan ucapan anak kecil.” Usai berkata demikian ia menoleh ke arah Linghu Chong dan membentak, “Kau jangan sembarangan bicara! Lekas, minta maaf pada Paman Lu!”

Linghu Chong melangkah maju dan memberi hormat sambil berkata, “Mohon maaf, Paman Lu! Saya tadi seperti orang buta yang tidak tahu sopan santun. Saya berani sembarangan bicara seperti burung gagak yang berkaok-kaok. Sungguh, sikap saya yang berani merendahkan tokoh hebat di dunia persilatan tadi sama rendahnya seperti binatang. Mohon Paman Lu jangan dengarkan ocehan gagak busuk, gagak celaka tadi. Anggap saja seperti kentut.”

Ucapan Linghu Chong yang kembali menyinggung soal gagak itu bukannya membuat lega Lu Lianrong tapi justru makin membuat orang tua itu semakin gusar. Yue Lingshan bahkan sampai tertawa cekikikan karena tidak kuasa menahan geli.

Sementara itu Yue Buqun merasakan betapa Lu Lianrong berturut-turut sebanyak tiga kali mengerahkan tenaganya untuk menolak pedangnya ke atas. Ia hanya tersenyum dan perlahan-lahan menarik pedangnya untuk dikembalikan kepada Lao Denuo. Akibatnya, pedang Lu Lianrong yang sudah terlanjur dialiri banyak tenaga tinggal mendorong pedang Nyonya Yue saja sehingga keduanya pun patah seketika. Kedua patahan itu jatuh di tanah disertai bunyi benturan yang sangat keras. Tidak hanya itu, pedang patah Lu Lianrong terus terdorong dan mengayun ke atas dan hampir mengenai dahinya sendiri. Beruntung ia memiliki lengan yang kuat sehingga mampu menghentikan laju pedang tersebut pada saat yang tepat. Namun demikian, kejadian tersebut mau tidak mau membuat orang tua itu merasa konyol.

“Kalian... kalian dua orang mengeroyok satu!” bentak Lu Lianrong gusar. Namun, begitu melihat pedang Ning Zhongze juga patah ia langsung sadar kalau Yue Buqun hanya melerai tanpa bermaksud membela istrinya. Apalagi Lu Bai, Feng Buping, dan rombongan yang lain juga ikut ke luar gedung untuk menyaksikan apa yang terjadi. Menyadari hal itu, ia hanya bisa menggerutu, “Kalian… kalian….”

Maka, dengan perasaan malu Lu Lianrong pun menghentakkan kakinya ke tanah, kemudian buru-buru pergi ke dalam gedung tanpa melirik sedikit pun dengan tangan masih memegang pedangnya yang telah patah.

Yue Buqun sendiri sempat melihat kehadiran Enam Dewa Lembah Persik di belakang Linghu Chong. Ia segera menyapa, “Tuan berenam sudi berkunjung ke Gunung Huashan sini. Mohon maaf jika sambutan kami membuat Tuan berenam kurang berkenan di hati.”

Keenam orang tua aneh itu hanya diam terbengong-bengong. Linghu Chong segera menyahut, “Ini adalah guruku, ketua Perguruan Huashan....”

Tiba-tiba Feng Buping menyela, “Memang benar dia itu gurumu. Tapi, apakah dia benar-benar ketua Perguruan Huashan harus menunggu keputusan nanti.” Ia kemudian menoleh ke arah Yue Buqun, “Nah, Saudara Yue, ilmu Kabut Lembayung Senja yang kau perlihatkan tadi memang hebat. Namun hanya melulu mengandalkan tenaga dalam sungguh kurang tepat jika memimpin Perguruan Huashan. Semua orang tahu kalau Huashan adalah satu dari Serikat Pedang Lima Gunung. Semua orang tahu kalau Huashan adalah perguruan ilmu pedang. Tapi kau hanya menekuni pelajaran tenaga dalam saja. Jadi, sebenarnya kau telah melakukan penyelewengan. Kau telah menyesatkan perguruan ini.”

“Ucapan Saudara Feng sungguh berlebihan,” ujar Yue Buqun. “Memang benar Serikat Pedang Lima Gunung mengandalkan pedang. Namun setiap perguruan tentu juga mengutamakan tenaga dalam untuk mengendalikan jurus pedang. Jurus pedang adalah ilmu luar, sedangkan tenaga adalah ilmu dalam. Luar dan dalam harus dilatih secara bersamaan, barulah ilmu silat dapat dikatakan sempurna. Bila Saudara Feng hanya berlatih jurus pedang melulu, tentu akan kelihatan kelemahannya bila berjumpa ahli tenaga dalam.”

Feng Buping mencibir dan berkata, “Belum tentu seperti itu. Memang sangat baik apabila ada seseorang yang menguasai Tridharma dan sembilan keahlian, yaitu pengobatan, ramalan, perbintangan, menguasai Empat Kitab dan Lima Karya Klasik, dan juga menguasai delapan belas jenis senjata. Sungguh pantas apabila dia disebut guru besar di segala bidang. Tapi, umur manusia terbatas, mana ada kesempatan untuk menguasai semuanya? Pada saat seseorang mendalami ilmu pedang, itu saja sudah sulit untuk menjadi ahli, mengapa harus dipaksa dengan belajar dan berlatih ilmu lainnya? Aku tidak mengatakan berlatih tenaga dalam itu jelek. Hanya saja, ilmu silat yang paling utama dalam perguruan kita adalah jurus pedang. Tapi mungkin saja kau juga ingin mencoba belajar ilmu yang menyimpang. Walaupun kau ingin belajar ilmu Penyedot Bintang milik Sekte Iblis, itu urusanmu pribadi, apalagi hanya belajar tenaga dalam mengiringi pedang. Tapi, pada umumnya manusia memang serakah, dan keserakahan sering mendatangkan bencana dan malapetaka. Apabila orang biasa yang serakah, tentu dia hanya mengundang penderitaan untuk diri sendiri. Lain halnya dengan dirimu yang kini telah mengetuai Perguruan Huashan. Apabila kau tersesat jalan, maka bencana yang ditimbulkan olehmu bisa membuat murid-murid Huashan ikut celaka dan menanggung akibatnya.”

Mendengar uraian Feng Buping membuat keringat dingin mengalir di dahi Linghu Chong. Pemuda itu berpikir, “Kakek Guru Feng telah mengajarkan kepadaku pelajaran ilmu pedang, tanpa disertai tenaga dalam. Apakah mungkin Beliau anggota Kelompok Pedang? Apakah salah jika aku belajar dari Beliau?”

Terdengar Yue Buqun berkata, “Membawa bencana bagi murid-murid Huashan bagaimana? Sepertinya ucapanmu itu sulit dibuktikan,” ujar Yue Buqun tersenyum.

“Mengapa sulit dibuktikan?” bentak si pendek yang berada di sebelah Feng Buping. Meskipun tubuhnya terkesan kerdil namun suara bentakannya terdengar sangat dahsyat. “Kau bilang tidak ada buktinya? Lihatlah murid-muridmu yang tidak becus itu! Bukankah mereka adalah korban dari bencana yang kau ciptakan? Kakak Feng berkata bahwa kau telah terjerumus ke dalam kesesatan, dan kau tidak pantas menjadi ketua Perguruan Huashan. Kakak Feng sangat benar. Apakah kau bersedia mengundurkan diri, atau perlu kami paksa untuk mundur?”

Lu Dayou baru saja tiba di tempat itu dan langsung berbisik kepada Linghu Chong yang sedang memandang tajam ke arah si pendek, “Aku ingat sekarang. Si pendek itu bernama Cheng Buyou, karena tadi Guru memanggilnya demikian.”

Yue Buqun berkata, “Saudara Cheng, Kelompok Pedang kalian telah meninggalkan Gunung Huashan sejak dua puluh lima tahun yang lalu, dan kami sudah berhenti menyebut kalian sebagai sesama saudara perguruan. Tapi, kenapa kalian hari ini datang mencari masalah? Jika kalian memang mengaku hebat, mengapa tidak mendirikan perguruan sendiri? Jika perguruan yang kalian dirikan bisa meraih nama besar di dunia persilatan dan mengalahkan Huashan, tentu aku akan mengaku kalah. Tapi, sekarang kalian justru datang mencari perkara. Hm, ini tidak ada manfaatnya sama sekali selain merusak hubungan baik kita.”

Cheng Buyou menjawab dengan lantang, “Kakak Yue, kami memang tidak ada dendam dan permusuhan dengan dirimu. Tapi, setelah kau mengangkangi jabatan sebagai ketua Perguruan Huashan dan menyesatkan murid-muridmu dengan lebih mengutamakan latihan tenaga dalam daripada jurus pedang. Akibatnya, wibawa Perguruan Huashan di dunia persilatan menjadi runtuh. Pada akhirnya, kau tidak hanya melalaikan tanggung jawab, tetapi juga melimpahkan aib kepada banyak orang. Sebagai murid Huashan aku tidak boleh hanya menjadi penonton dan berpangku tangan. Apalagi kau menggunakan cara-cara licik dan tidak jujur dalam mengusir orang-orang dari Kelompok Pedang. Tidak seorang pun dari kelompok kami yang mendapatkan pengakuan di dunia persilatan. Kami sudah memikul kerugian ini selama dua puluh lima tahun, dan kini saatnya kami membuat perhitungan denganmu.”

Yue Buqun menjawab, “Saudara Cheng, perselisihan antara Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang sudah menjadi cerita lama. Pada pertandingan di Puncak Gadis Kumala dulu sudah ditentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Siapa yang benar, siapa yang salah sudah jelas kelihatan. Lalu, untuk apa sekarang kalian bertiga mengungkit-ungkit kembali?”

“Siapa yang menyaksikan akhir pertandingan di waktu itu? Kami bertiga adalah anggota Kelompok Pedang, mengapa kami tidak melihat hasil akhir pertandingan itu?” tanya Cheng Buyou. “Tetapi kau memperoleh kedudukan ketua Perguruan Huashan dengan cara yang curang dan tidak beres. Jika tidak, mengapa Ketua Serikat sampai mengirimkan Panji Pancawarna dan memerintahkan kau mengundurkan diri?”

“Sungguh aneh, sungguh aneh,” sahut Yue Buqun sambil menggeleng. “Ketua Zuo memiliki wawasan luas dan juga sangat bijaksana. Menurut akal sehat, tidak mungkin Beliau secara tiba-tiba mengirimkan Panji Pancawarna untuk menurunkan dan mengganti ketua Perguruan Huashan.”

“Jadi, kau menganggap panji ini palsu?” tanya Cheng Buyou sambil menunjuk ke arah bendera kebesaran Serikat Pedang Lima Gunung tersebut.

Yue Buqun menjawab, “Panji itu tidak palsu. Hanya saja, itu hanya benda mati, tidak bisa berbicara.”

Mendengar itu, Lu Bai dari Perguruan Songshan yang dari tadi hanya diam menonton segera ikut bicara, “Saudara Yue, kau berani mengatakan panji ini tidak bisa bicara. Tapi apakah aku juga tidak bisa bicara?”

“Mana berani aku berkata demikian?” sahut Yue Buqun. “Tapi persoalan ini sangat penting. Meskipun seandainya Ketua Zuo benar-benar mempunyai maksud demikian, tidak seharusnya Beliau hanya mendengar pendapat dari satu pihak saja. Seharusnya Beliau juga mendengar kata-kataku terlebih dulu. Selain itu, kedudukan Ketua Zuo adalah sebagai ketua Serikat Pedang Lima Gunung. Wewenang Beliau hanya meliputi urusan antara lima perguruan. Mengenai masalah rumah tangga di masing-masing Perguruan Taishan, Hengshan, Henshan, dan Huashan, adalah tanggung jawab masing-masing ketua di dalamnya.”

“Kau sungguh banyak bicara!” bentak Cheng Buyou. “Yang jelas kau tidak akan menyerahkan kedudukan ketua kepada kami, bukan begitu?”

Saat mengucapkan kata “ketua”, pria bertubuh pendek itu mencabut pedangnya; saat berkata “kepada” ia melancarkan satu tusukan kepada Yue Buqun; saat mengucapkan kata “kami” ia melakukan tusukan kedua; saat berkata “bukan” ia melakukan tusukan ketiga; dan ketika berkata “begitu” ia melakukan tusukan keempat. Keempat kata sekaligus keempat serangan itu dilakukannya secara berurutan dalam satu tarikan nafas saja.

Dalam waktu yang sangat cepat Cheng Buyou telah melakukan empat tusukan, dan masing-masing mengarah pada empat titik yang berbeda. Tusukan pertama merobek kain baju pada bagian bahu kiri Yue Buqun; tusukan kedua merobek kain baju pada bahu sebelah kanan; tusukan ketiga mengenai lengan baju sebelah kiri; sedangkan tusukan keempat merobek kain baju sebelah dada kanan. Keempat serangan itu dilakukan secara lurus dan menghasilkan delapan lubang pada baju Yue Buqun. Dan yang lebih menarik, masing-masing serangan sama sekali tidak menggores kulit ketua Huashan tersebut. Apa yang dilakukan Cheng Buyou, mulai dari gerakannya yang gesit, kecepatan yang luar biasa, ketepatan sasaran, serta bagaimana ia mengendalikan pedang telah membuktikan kalau laki-laki bertubuh pendek ini seorang tokoh silat papan atas.

Murid-murid Huashan terperanjat bercampur ngeri menyaksikan kehebatan Cheng Buyou, kecuali Linghu Chong. Pemuda itu hanya berpikir, “Keempat tusukan ini jelas-jelas jurus Perguruan Huashan. Aku pernah meihatnya di dinding gua, tapi Guru sama sekali belum pernah memeragakannya. Jagoan dari Kelompok Pedang ini benar-benar luar biasa.”

Di lain pihak, Lu Bai, Feng Buping, dan anggota rombongan lainnya merasa kagum melihat sikap Yue Buqun yang tetap tenang. Saat Cheng Buyou melancarkan empat serangan secara tiba-tiba dan masing-masing bisa merenggut nyawa Yue Buqun, namun Yue Buqun menghadapinya dengan tersenyum dan menanggapinya dengan enteng. Ketua Perguruan Huashan ini terlihat sangat percaya diri. Tujuan Cheng Buyou dan yang lain datang ke Gunung Huashan adalah untuk merebut jabatan ketua perguruan dari tangan Yue Buqun. Bagaimapun juga Yue Buqun dirasa perlu untuk mempersiapkan perlindungan diri terhadap musuh-musuhnya yang bisa jadi melakukan serangan tiba-tiba. Akan tetapi, terhadap serangan mendadak yang dilakukan Cheng Buyou itu, Yue Buqun sama sekali tidak menghindar dan menghadapi setiap tusukan tanpa rasa khawatir sedikit pun. Hal ini menujukkan betapa matang perhitungan ketua Huashan tersebut, sehingga bisa menghadapi Cheng Buyou dengan cara yang mengesankan. Dalam waktu seketika ia mampu mengendalikan diri dan bersikap tenang, sehingga memperlihatkan betapa ilmu silatnya masih berada jauh di atas Cheng Buyou. Tanpa menggerakkan jari sedikit pun, Yue Buqun telah memperlihatkan bagaimana dia memenangkan pertarungan tersebut.

Sementara itu Linghu Chong dengan mudah mengenali keempat serangan Cheng Buyou tadi mirip dengan gambar di dinding gua rahasia yang pernah ia temukan beberapa waktu lalu. Ia juga mengetahui bahwa keempat tusukan itu sebenarnya berasal dari satu serangan saja, di mana Cheng Buyou telah melakukan pengembangan dengan beberapa variasi, sehingga keempat tusukan itu terlihat berbeda satu sama lain. Dalam hal ini Linghu Chong berpikir, bagaimanapun hebatnya jurus yang diciptakan Kelompok Pedang, tetap tidak mampu melebihi batasan gambar-gambar di dinding gua rahasia.

Terdengar Ning Zhongze mengancam, “Saudara Cheng, suamiku sengaja mengalah dan mengalah, mengingat kalian adalah tamu-tamu kami. Sekarang kau baru saja membuat baju suamiku robek di delapan titik. Jika kau tetap tidak tahu diri, maka kami tidak perlu segan-segan lagi. Kesabaran kami terhadap tamu kehormatan sekalipun, tetap ada batasnya.”

Cheng Buyou pun menanggapi, “Apa? Mengalah pada tamu? Omong kosong apa lagi ini? Nyonya Yue, apabila kau bisa mengalahkan keempat seranganku tadi, maka aku akan turun gunung dengan suka hati. Tidak hanya itu, bahkan aku berjanji tidak akan datang ke Gunung Huashan lagi seumur hidupku.”

Awalnya Cheng Buyou mengira ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi. Namun begitu melihat sikap Yue Buqun yang tenang-tenang saja menghadapi keempat tusukannya, diam-diam ia merasa gentar juga. Pria bertubuh pendek itu berpikir, “Meskipun memiliki nama besar di Perguruan Huashan, namun Nyonya Yue tetap saja seorang perempuan. Mana mungkin ia tidak ngeri melihat empat seranganku tadi? Jika kami bertarung, aku yakin bisa mengalahkannya. Dengan cara ini, mungkin aku bisa menekan Yue Buqun untuk menyerah demi keselamatan istrinya. Atau, aku bisa membuat Yue Buqun ketakutan sehingga dia sukarela menyerahkan kedudukan ketua Huashan kepada Kakak Feng.”

Namun begitu menyadari Ning Zhongze ternyata agak ngeri melihat serangannya itu, rasa sombongnya pun kembali bangkit. Karena tidak berani menantang Yue Buqun, maka ia pun menantang istrinya saja, “Huh, mengalah kepada tamu? Asalkan Nyonya Gak mampu memecahkan keempat seranganku tadi, tanpa disuruh aku akan segera pergi dan tidak sudi menginjak Huashan ini lagi.”

Maka, Cheng Buyou lantas berseru lantang sambil memberi hormat, “Silakan maju, Nyonya Yue! Pendekar Ning adalah jago terkemuka dari Perguruan Huashan Kelompok Tenaga Dalam. Hari ini Cheng Buyou ingin sekali berkenalan dengan ilmu tenaga dalam andalan Pendekar Ning.” Dengan bicara seperti itu, Cheng Buyou ingin sekali menjelaskan di hadapan semua orang bahwa ini akan menjadi pertarungan antara wakil Kelompok Pedang melawan wakil Kelompok Tenaga Dalam.

Meskipun Ning Zhongze tidak yakin mampu mengalahkan keempat serangan tersebut, namun sifatnya yang keras membuatnya tersinggung mendengar tantangan itu. Ia pun mencabut pedang siap menghadapi Cheng Buyou.

Buru-buru Linghu Chong mencegah, “Ibu Guru, jalan yang ditempuh Kelompok Pedang sesat dan menyimpang, mana mungkin bisa disejajarkan dengan kelompok kita yang murni? Biar saya saja selaku murid Huashan yang mencoba permainannya. Jika tenaga dalam saya nanti tidak mampu menghadapinya, barulah Ibu Guru yang maju membereskannya.”

Tanpa menunggu jawaban Ning Zhongze, ia pun melangkah maju dan berdiri membelakangi sang ibu-guru serta menghadapi lawan. Saat itu tangannya telah menyambar sebatang sapu kotor yang tadi berada di sudut dinding gedung.

Sambil mengacungkan sapunya ke arah Cheng Buyou, Linghu Chong berkata, “Tuan Cheng, kau bukan lagi murid Perguruan Huashan, jadi tidak perlu aku memanggil ‘paman’ kepadamu. Tapi jika kau mau menyadari kekeliruanmu, maka kau boleh masuk kembali ke dalam perguruanku. Tapi entah Guru sudi menerimamu atau tidak? Tapi jika kau diterima kembali, maka sesuai peraturan, kau harus memanggilku dengan sebutan ‘kakak pertama’, bagaimana?”

“Omong kosong! Kau binatang kotor!” bentak Cheng Buyou marah-marah. “Asalkan kau mampu menahan empat kali seranganku tadi, maka aku, Cheng Buyou yang akan mengangkatmu sebagai guru.”

Linghu Chong menggeleng-gelengkan kepala dan menjawab, “Aku tidak sudi mempunyai murid seperti dirimu....”

“Ambil pedangmu, keparat!” bentak Cheng Buyou menukas.

Linghu Chong menjawab dengan sikap mengejek, “Sebatang rumput bisa menjadi senjata ampuh, asalkan dialiri tenaga dalam yang cukup. Untuk menghadapi serangan Saudara Cheng yang sepele tadi, aku tidak perlu menggunakan pedang.”

“Baik, kau sendiri yang sombong. Jangan salahkan aku bila berbuat kejam!” seru Cheng Buyou mengancam.

Yue Buqun dan Ning Zhongze mengetahui ilmu silat Cheng Buyou jauh lebih tinggi di atas Linghu Chong. Menghadapi dengan sapu sama artinya dengan bunuh diri. Berpikir demikian, suami-istri itu pun berseru serentak, “Chong’er, mundur!”

Namun teriakan itu sudah terlambat. Cheng Buyou telah menyerang maju menggunakan jurus seperti yang ia tujukan kepada Yue Buqun tadi. Ada beberapa alasan mengapa ia menggunakan jurus yang sama. Pertama, karena jurus tersebut adalah jurus andalannya; kedua, karena ia memang menantang Linghu Chong untuk menghadapi jurus tersebut; ketiga, karena Linghu Chong menggunakan sapu sebagai senjata, sehingga dengan menggunakan jurus yang pernah diperlihatkan, maka Linghu Chong bisa menduga ke mana arah serangan yang akan terjadi, sehingga Cheng Buyou menganggap hal ini cukup adil.

Di lain pihak, Linghu Chong pernah mempelajari cara memecahkan serangan tersebut sebelum bertemu Cheng Buyou. Sebagaimana yang terdapat pada gambar-gambar di dinding gua belakang peninggalan para tetua Sekte Iblis, jurus tersebut dapat dihadapi dengan menggunakan senjata aneh berbentuk tombak dengan ujung seperti sekop. Kebetulan sapu yang dipedang Linghu Chong mirip dengan senjata pada gambar tersebut. Itulah sebabnya pemuda itu memilih sapu sebagai senjata daripada menggunakan ilmu Sembilan Pedang Dugu, karena ia sendiri merasa belum cukup menguasai ilmu tersebut.

Maka, ketika Cheng Buyou melancarkan tusukan, Linghu Chong pun menyodorkan sapu ke wajah lawannya itu. Cara yang ia tempuh untuk memecah serangan ini benar-benar berbahaya. Apabila yang ia pegang benar-benar tombak sekop, tentu lawan akan terluka parah, atau bahkan mati seketika. Maka, satu-satunya cara untuk menghindari tombak tersebut adalah dengan membatalkan tusukan dan melompat mundur.

Namun bagaimana halnya jika yang digunakan sebagai penangkis serangan berupa sapu kotor? Ilmu tenaga dalam Linghu Chong belum sampai pada tingkat sempurna, sehingga apa yang ia ucapkan tadi, bahwa sebatang rumput bisa menjadi senjata ampuh asalkan dialiri tenaga dalam hanyalah bualan belaka. Apabila sapu tersebut mengenai sasaran, paling-paling Cheng Buyou hanya merasa tergores saja, sama sekali tidak akan menyebabkan luka serius. Sebaliknya, pedang Cheng Buyou akan terus meluncur dan menembus dada Linghu Chong. Namun itu semua sudah diperhitungkan dengan baik oleh Linghu Chong. Meskipun yang ia pegang hanya sapu kotor, namun benda itu sudah cukup ampuh untuk memaksa Cheng Buyou membatalkan serangan. Bagaimana tidak, seorang tokoh senior tentu akan merasa sangat malu jika di depan umum wajahnya sampai terkena kotoran yang menempel pada sapu tersebut. Daripada meneruskan serangan untuk membunuh seorang Linghu Chong, tentu lebih baik menghindari sodoran sapu.

Perhitungan Linghu Chong tepat sekali. Cheng Buyou memalingkan wajah menghindari sapu tersebut, sambil kemudian mengayunkan pedang untuk memotong gagang sapu. Linghu Chong menggerakkan sapunya ke bawah untuk menghindari ayunan pedang lawan.

Cheng Buyou merasa sangat malu karena serangan pertamanya gagal demi untuk menangkis sapu kotor milik lawan. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa jurus sapu yang digunakan Linghu Chong adalah ciptaan para tetua Sekte Iblis yang memeras otak dengan segenap kemampuan mereka. Entah berapa lama waktu yang digunakan para tetua tersebut untuk bermusyawarah menciptakan jurus untuk mematahkan serangan seperti yang kini dimainkan oleh Cheng Buyou itu. Cheng Buyou hanya mengira Linghu Chong secara kebetulan menyodorkan sapu ke arah wajahnya sehingga dapat mematahkan serangan pertama darinya.

Dengan perasaan gusar Cheng Buyou melancarkan serangan kedua ke arah Linghu Chong. Berbeda dengan sewaktu menyerang Yue Buqun tadi, kali ini Cheng Buyou menyerang ketiak Linghu Chong sebagaimana serangan keempat pada Yue Buqun, yaitu menuju dada dekat ketiak pemuda itu. Menghadapi itu, Linghu Chong memutar tubuh sambil memindahkan sapunya ke tangan kiri. Sepertinya ia hendak menghindari serangan lawan namun secepat kilat sapunya bergerak menerjang ke dada Cheng Buyou.

Ukuran sapu lebih panjang daripada pedang. Maka, meskipun dilakukan belakangan, sapu tersebut lebih dulu mengenai dada Cheng Buyou sebelum ujung pedang mengenai ketiak Linghu Chong. Maka terdengar suara Linghu Chong berseru, “Kena!”

Dengan disertai suara mendesing, Cheng Buyou mengayunkan pedang secepat kilat memotong gagang sapu yang terbuat dari bambu di tangan Linghu Chong. Namun demikian, para hadirin dapat mengetahui dengan jelas bahwa Cheng Buyou sudah kalah. Apabila Linghu Chong menggunakan tombak sekop, atau tombak garu, atau tombak bulan sabit, tentu dada Cheng Buyou sudah terluka parah. Namun Cheng Buyou tidak sudi mengakui kekalahannya. Apabila Linghu Chong seorang pendekar papan atas tentu ia langsung membuang senjata dan menyerah kalah. Namun Linghu Chong masih terhitung keponakan sendiri, tentu akan sangat memalukan jika ia mengaku kalah begitu saja, apalagi karena terkena sebuah sapu kotor.

Berpikir demikian membuat Cheng Buyou melanjutkan pertandingan. Kali ini ia melancarkan tiga serangan mematikan dengan segenap kemampuannya. Dua di antaranya sudah dikenali Linghu Chong lewat gambar di dinding gua belakang, sementara serangan ketiga masih asing baginya. Meskipun demikian, sejak memelajari ilmu Sembilan Pedang Dugu, maka serangan sesulit apa pun bisa ia patahkan.

Demi menghindari serangan itu, Linghu Chong pun berkelit kemudian mengacungkan gagang sapu di tangannya sebagai toya untuk menghadapi serangan selanjutnya. Cara yang ia gunakan adalah meniru gambar pemegang toya di dinding gua belakang. Apabila yang dipegangnya benar-benar sebatang toya besi, tentu pedang Cheng Buyou akan patah ketika beradu dan berakibat fatal.

Namun Linghu Chong hanya berpikir cepat dan menggunakan apa yang ada di tangannya karena didesak keadaan. Toya yang ada di tangannya bukan terbuat dari besi, melainkan hanya sebatang bambu tua bekas gagang sapu. Maka begitu kedua senjata beradu, bukannya patah justru pedang Cheng Buyou menancap ke ujung bambu dan menusuk masuk ke dalam sampai yang tersisa hanya gagangnya saja. Dalam keadaan seperti itu pikiran Linghu Chong bekerja cepat. Segera ia memukul bambu itu dengan tangan kanan sehingga terlempar ke samping beserta pedang milik Cheng Buyou yang terjebak di dalamnya.

Cheng Buyou dipenuhi rasa malu bercampur marah karena sebagai seorang ahli pedang ia harus kehilangan senjata di hadapan banyak orang. Dengan mengerahkan segenap tenaga ia pun menghantam dada Linghu Chong menggunakan pukulan tangan kosong. Dalam hal pertarungan tangan kosong, Cheng Buyou lebih berpengalaman daripada Linghu Chong yang selama ini hanya berlatih ilmu pedang saja. Akibatnya, pemuda itu pun roboh tersungkur dan memuntahkan darah segar.

Tiba-tiba empat sosok bayangan berkelebat menangkap tubuh Cheng Buyou. Mereka tidak lain adalah empat orang Dewa Lembah Persik. Masing-masing memegang tangan dan kaki Cheng Buyou. Sekejap kemudian terdengar suara jeritan pria itu dan disusul dengan bau anyir darah bertebaran memenuhi ruangan.

Kejadian mengerikan tersebut berlangsung sangat cepat dan mendadak. Keempat orang tua aneh itu telah menarik tubuh Cheng Buyou menuju empat arah yang berbeda dengan tenaga mereka yang luar biasa. Akibatnya, tubuh pria pendek itu terbelah menjadi empat bagian dengan isi perut berhamburan di udara. Terdengar Yue Lingshan menjerit ngeri dan kemudian jatuh pingsan setelah menyaksikan pemandangan itu. Bahkan, para ahli silat papan atas yang sudah kenyang pengalaman seperti Yue Buqun, Lu Bai, dan Feng Buping juga merasa gentar melihat perbuatan empat orang aneh tersebut.

Pada saat yang bersamaan dengan terbunuhnya Cheng Buyou, dua orang yang lain, yaitu Dewa Bunga Persik dan Dewa Buah Persik menyambar tubuh Linghu Chong yang tergeletak di lantai dan membawa lari pemuda itu menuju ke arah kaki gunung dengan kecepatan luar biasa.

Yue Buqun dan Feng Buping serentak mencabut pedang masing-masing untuk kemudian menyerang Dewa Ranting Persik dan Dewa Daun Persik. Secepat kilat, Dewa Akar Persik dan Dewa Dahan Persik menangkis serangan tersebut dengan menggunakan pentungan besi yang mereka bawa. Sewaktu logam-logam beradu terdengar suara benturan yang sangat keras. Saat itulah keempat pembunuh Cheng Buyou melesat pergi dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka yang nyaris sempurna.

Hanya dalam waktu beberapa detik saja, Enam Dewa Lembah Persik telah menghilang dengan membawa lari tubuh Linghu Chong dari Gedung Kebajikan. Yue Buqun, Feng Buping, dan Lu Bai hanya saling pandang dengan perasaan heran menyaksikan kekuatan dan kecepatan enam orang tua aneh tadi. Menyaksikan mayat Cheng Buyou yang terpotong-potong dan berserakan di lantai membuat para hadirin merasa ngeri bercampur malu. Sampai agak lama Lu Bai dan Feng Buping hanya bisa menggelengkan kepala.

Sementara itu Linghu Chong yang terluka parah akibat pukulan Cheng Buyou tadi sampai kehilangan kesadarannya ketika dilarikan Enam Dewa Lembah Persik. Ketika siuman dan membuka mata, ia mendapati dua orang bermuka panjang sedang menunggui dirinya dengan wajah harap-harap cemas. Kedua pasang mata itu terlihat memandang kepadanya tanpa berkedip.

“Aha, dia sudah sadar! Dia sudah sadar! Bocah ini tidak akan mati,” seru salah seorang dari mereka yang tidak lain adalah Dewa Bunga Persik.

“Tentu saja dia tidak akan mati. Mana mungkin dia mati hanya karena pukulan tadi?” sahut yang lainnya, yaitu Dewa Buah Persik.

“Huh, enak saja kau bicara,” tukas Dewa Bunga Persik. “Kalau pukulan tadi mengenai tubuhmu tentu kau tidak akan terluka. Tapi bocah ini jangan disamakan dengan dirimu. Bisa jadi dia kehilangan nyawa karena pukulan itu.”

“Sudah jelas dia tidak mati, mengapa kau katakan dia akan kehilangan nyawa?” desak Dewa Buah Persik tidak mau kalah.

“Aku tidak bilang dia pasti mati, tapi aku bilang bisa jadi dia akan mati,” kata Dewa Bunga Persik.

“Kalau dia sudah siuman kembali tentu tidak ada alasan lagi mengatakan bisa jadi dia akan mati,” sahut Dewa Buah Persik.

“Kalau aku tetap berpendapat demikian, kau mau apa?” kata Dewa Bunga Persik tidak kalah keras.

“Itu membuktikan kalau pandanganmu kurang tajam. Bahkan, bisa kukatakan pada hakikatnya kau tidak mengetahui apa-apa,” ujar Dewa Buah Persik.

“Jika kau tahu dia tidak akan mati, mengapa tadi kau menghela napas dan merasa begitu khawatir?” tanya Dewa Bunga Persik.

“Aku menghela napas bukan karena mengkhawatirkan kematiannya, tapi aku takut biksuni cilik merasa cemas bila melihat keadaannya,” kata Dewa Buah Persik. “Alasan kedua, kita telah bertaruh dengan biksuni cilik bahwa kita pasti bisa membawa bocah ini turun gunung hidup-hidup untuk menemuinya. Tapi kini Linghu Chong dalam keadaan setengah mati. Aku takut biksuni cilik tidak mau mengakui keberhasilan kita.”

Linghu Chong dapat mendengar dengan baik apa yang menjadi perdebatan kedua bersaudara itu. Kata-kata mereka sangat lucu namun menunjukkan bahwa mereka sangat menaruh perhatian terhadap keselamatan dirinya. Dalam hal ini Linghu Chong merasa geli sekaligus terharu. Saat mereka menyebut soal “biksuni cilik”, Linghu Chong yakin bahwa yang dimaksud adalah Yilin dari Perguruan Henshan. Dengan tersenyum ia berkata lirih, “Kalian berdua jangan khawatir. Aku, Linghu Chong, tidak akan mati semudah ini.”

“Nah, kau dengar itu?” sahut Dewa Buah Persik kepada saudaranya dengan perasaan gembira. “Dia sendiri yang menyatakan kalau dia tidak akan mati.”

“Waktu aku berpendapat tadi, dia belum bisa bersuara,” sahut Dewa Bunga Persik tidak mau kalah.

“Sejak tadi dia sudah membuka matanya. Dengan sendirinya ia juga bisa bersuara. Akan hal ini siapa pun bisa menduganya,” kata Dewa Buah Persik.

Linghu Chong semakin merasa jemu mendengar pertengkaran kedua orang yang tidak bermanfaat itu. Jika diterus-teruskan mereka bisa bertengkar seharian. Ia pun berkata sambil tersenyum, “Sebenarnya aku akan mati. Tapi ketika mendengar kalian berharap aku jangan mati, maka aku pun tidak mati. Enam Dewa Lembah Persik mempunyai nama besar di.. uhuk-uhuk… dunia persilatan. Bila kalian meminta aku jangan mati, maka aku pun tidak berani mati.”

Mendengar pujian itu hati Dewa Buah Persik dan Dewa Bunga Persik merasa senang sekali. Mereka pun berkata bersamaan, “Benar sekali, benar sekali! Ucapan bocah ini masuk akal. Mari kita beri tahu saudara-saudara yang lain.”

Setelah kedua bersaudara itu pergi, Linghu Chong baru menyadari kalau dirinya sedang terbaring di atas ranjang kayu. Kelambu yang menyelubungi ranjang tersebut sudah kumal dan lapuk. Dalam keadaan tidak tahu menahu di mana dirinya saat ini, ia mencoba menoleh namun dadanya langsung terasa sakit dan panas. Maka, ia pun kembali ke posisi semula.

Tidak seberapa lama kemudian Enam Dewa Lembah Persik masuk ke dalam kamar. Keenam orang aneh itu langsung bicara tanpa henti. Ada yang membual tentang jasanya sendiri; ada yang menyatakan khawatir atas luka yang dialami Linghu Chong; ada yang bersyukur karena pemuda itu memilih tetap hidup demi mereka; ada yang mengatakan demi menyelamatkan Linghu Chong yang terluka maka mereka batal membuat perhitungan dengan orang-orang Songshan, karena jika tidak, keenam orang aneh itu pasti akan membelah tubuh mereka menjadi empat.

Demi untuk menyenangkan hati Enam Dewa Lembah Persik, Linghu Chong ikut bersuara dan memberikan beberapa pujian. Namun setelah itu ia jatuh pingsan. Beberapa saat kemudian pemuda itu siuman dan samar-samar ia merasa dadanya muak dan sesak. Darah di seluruh tubuhnya seakan-akan bergolak saling tumbuk. Apa yang ia rasakan sangat tidak enak dan sulit diungkapkan.

Linghu Chong merasa tubuhnya panas seperti sedang dipanggang. Tak kuasa menahan lagi ia pun merintih pelan. Namun terdengar suara membentak kepadanya, “Diam! Jangan bersuara!”

Begitu membuka mata, Linghu Chong melihat sebuah pelita dengan api sebesar kacang menyala di atas meja. Tubuhnya sendiri terbaring di lantai dalam keadaan nyaris telanjang. Rupanya hawa panas yang menjalar di sekujur tubuhnya berasal dari Enam Dewa Lembah Persik yang mengelilingi tubuhnya dan menyalurkan tenaga dalam masing-masing. Satu orang memegangi kepalanya, satu orang menahan perutnya, dua orang memegangi tangan kanan dan kiri, serta dua orang lagi memegangi kaki kanan dan kirinya.

Dalam keadaan terkejut Linghu Chong merasakan suatu hawa panas menyusup masuk melalui telapak kaki kiri, naik ke paha, perut, dada, lengan kanan, dan berakhir di telapak tangan kanan. Bersamaan dengan itu, hawa panas yang lain juga menyusup masuk melalui telapak tangan kiri, naik ke lengan, dada, perut, paha kanan, dan akhirnya sampai ke telapak kaki kanan. Kedua arus hawa panas tersebut terus berputar-putar kian kemari di dalam tubuh Linghu Chong. Pemuda itu merasa tubuhnya semakin panas seperti dipanggang.

Dalam hati Linghu Chong merasa sangat berterima kasih atas perhatian Enam Dewa Lembah Persik yang bermaksud menyembuhkan lukanya dengan menyalurkan tenaga dalam mereka. Maka, ia pun mengerahkan tenaga dalam Huashan untuk menambah kekuatan hawa panas dari keenam orang itu. Tidak disangka-sangka, begitu tenaga dalam Linghu Chong bekerja mulai dari pusarnya, tiba-tiba bagian perut terasa sakit luar biasa seperti ditikam. Kontan saja darah segar pun menyembur deras dari mulut pemuda itu.

“Celaka!” seru Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.

Dewa Daun Persik yang memegangi ubun-ubun Linghu Chong segera memberikan tepukan sehingga pemuda itu pingsan kembali. Dalam keadaan samar-samar itu Linghu Chong marasakan tubuhnya sebentar panas sebentar dingin. Kedua arus hawa murni tersebut menelusur kian kemari di antara urat nadi anggota badannya. Di antara kedua tangan dan kedua kaki kadang-kadang terasa betapa kedua aliran hawa tersebut saling bertabrakan dan saling menundukkan. Rasanya benar-benar menderita.

Selang agak lama Linghu Chong merasa tubuhnya agak segar. Kepalanya terasa dingin dan ia pun mendapatkan kembali kesadarannya. Sayup-sayup terdengar suara Enam Dewa Lembah Persik berdebat adu pendapat. Begitu membuka mata, pemuda itu melihat Dewa Dahan Persik sedang berdiri di hadapannya dan berkata, “Coba kalian lihat, dia sudah tidak berkeringat lagi. Cara yang kugunakan berhasil, betul tidak? Hawa murni yang kusalurkan mengalir dari titik Zhong-Du menuju titik Feng-Shi dan Huan-Tiao, kemudian berputar kembali menuju titik Yuan-Ye pada tubuhnya. Aku yakin, caraku ini bisa mengobati luka dalam di tubuhnya.”

“Masih juga kau berani membual!” sahut Dewa Akar Persik. “Coba kalau dua hari yang lalu aku tidak menggunakan caraku, yaitu dengan menyalurkan hawa murni ke berbagai urat nadi di bagian kaki dan hati, tentu bocah ini sudah mati sejak lama. Apa kau mengira masih punya kesempatan untuk mengirim hawa murni memutar menuju titik Yuan-Ye?”

“Memang benar!” sahut Dewa Ranting Persik. “Hanya saja, meskipun Kakak Pertama bisa menyembuhkan luka dalamnya, namun kedua kakinya bisa lumpuh. Bukankah ini berarti metode pengobatanmu kurang sempurna? Aku rasa cara yang kugunakan adalah yang paling baik. Luka dalam bocah ini terletak di bagian jantung yang mengalami penyumbatan. Segala penyembuhan harus dimulai dari sana.”

“Huh, omong kosong apa pula ini?” tukas Dewa Akar Persik dengan gusar. “Kau bukan cacing dalam perutnya, dari mana kau tahu kalau luka dalamnya terletak di bagian jantung? Memangnya kau sudah masuk dan memeriksa ke dalam tubuhnya?”

Dewa Daun Persik ikut berkata, “Cara menyalurkan hawa murni yang berputar di titik Yuan-Ye dalam tubuhnya aku rasa kurang baik. Sebaiknya kita sembuhkan dulu kakinya melalui saluran Shaoyin dekat ginjal.” Usai berkata demikian –tanpa menunggu pendapat dari saudara yang lain– ia langsung menekan titik Yin-Gu pada lutut kiri Linghu Chong dan menyalurkan tenaga dalamnya.

Melihat itu Dewa Dahan Persik menjadi gusar dan berkata, “Hei, kau sungguh berani! Baiklah, kita lihat saja siapa yang benar.” Usai berkata demikian ia langsung menyalurkan tenaga dalam lebih hebat dari sebelumnya ke tubuh Linghu Chong. Tidak mau ketinggalan, keempat saudara yang lain ikut menyalurkan tenaga dalam masing-masing ke tubuh pemuda itu.

Akan tetapi Linghu Chong justru merasa muak dan ingin muntah. Darah terasa sudah memenuhi kerongkongan hendak menyembur keluar dari mulut. Dalam hati ia hanya bisa mengeluh. “Gawat, ini sungguh gawat! Keenam orang aneh ini sebenarnya bermaksud baik ingin menyelamatkan hidupku, namun mereka sama-sama tidak mau mengalah dan memegang teguh pendapat masing-masing. Nasibku sungguh sial kali ini.” Sesungguhnya ia ingin berteriak menyuruh mereka berhenti saja, namun sedikit pun mulutnya tidak mampu bersuara dan lidah terasa kelu.

Kembali terdengar suara Dewa Akar Persik berkata, “Bocah ini mendapat pukulan di dada, yang tentunya mengakibatkan luka dalam di beberapa bagian. Untuk itu pengobatan terbaik adalah menyalurkan hawa murni melalui tangan menuju paru-paru. Mari kita salurkan tenaga dalam melalui titik Zhong-Fu, Chi-Ze, Kong-Zui, Lie-Que, Tai-Yuan, dan Shao-Shang.”

Dewa Dahan Persik menanggapi, “Kakak Pertama, aku mengagumi kepandaianmu dalam banyak hal. Namun dalam hal pengobatan menggunakan hawa murni jelas ilmuku lebih baik. Bocah ini mendderita demam di sekujur tubuhnya. Ini pertanda bahwa di dalamnya terlalu banyak mendapat arus tenaga panas. Kita harus mengobatinya melalui jalur Tai-Yang. Mari kita sembuhkan dia dengan menyalurkan tenaga melalui titik Shang-Yang, He-Gu, Shousan-Li, Qu-Chi, dan Ying-Xiang.”

“Salah semua! Salah semua!” seru Dewa Ranting Persik sambil menggelengkan kepala.

“Kau tahu apa? Kenapa kau bilang cara yang kuusulkan salah?” bentak Dewa Dahan Persik.

Di lain pihak, Dewa Akar Persik menanggapi dengan tersenyum gembira, “Adik Ketiga mempunyai pemahaman yang bagus dalam ilmu pengobatan. Dia tahu kalau caramu salah dan caraku benar.”

Dewa Daun Persik menyela, “Hm, Kakak Kedua mungkin saja salah, tapi Kakak Pertama juga belum tentu benar. Lihat bocah itu. Pandangannya terlihat kosong. Bibirnya bergetar tapi dia tidak mau bicara.”

Dalam hati Linghu Chong menggerutu, “Siapa bilang aku tidak mau bicara? Kalian telah menyalurkan hawa murni secara sembarangan dalam tubuhku, dan sekarang aku sudah tidak kuat bicara.”

Dewa Daun Persik melanjutkan, “Hei, lihat! Bocah ini mulai tidak waras, pikirannya sudah tidak berfungsi dengan baik. Kita harus mengobatinya melalui saluran Yang-Ming pada perut.”

Linghu Chong menggerutu dalam hati, “Pikiran kalian yang tidak jalan! Kalian yang sudah tidak waras!”

Begitulah, Linghu Chong lantas merasa sakit pada titik Si-Bai yang tepat di bawah matanya. Kemudian pada titik Di-Cang di sudut mulut juga terasa ngilu. Selanjutnya beberapa titik nadi juga mengalami sakit, mulai dari Da-Ying, Jia-Che di bagian wajah dan beberapa titik di atas kepala, seperti Tou-Wei dan Xia-Guang. Pada detik selanjutnya rasa ngilu dan gatal menjalar di seluruh wajahnya sampai terasa kejang.

“Lihatlah, meskipun kau tekan di sana-sini tetap saja dia tidak bicara,” kata Dewa Buah Persik. “Aku rasa bukan otaknya yang sakit, tapi lidahnya yang kelu. Ini artinya dia terkena gejala demam berat. Biar aku alirkan tenaga dalam melalui titik Yin-Bai, Tai-Bai, Gong-Sun, Shang-Qiu, Di-ji, dan lain-lainnya. Tapi... tapi kalau dia tidak sembuh kalian jangan salahkan aku!”

“Enak saja!” sahut Dewa Dahan Persik. “Kalau dia tidak sembuh berarti jiwanya melayang. Sudah tentu kau yang harus disalahkan.”

Dewa Buah Persik menanggapi, “Tapi jika kalian sudah tahu bahwa lidahnya kelu, dan penyembuhan pada saluran Tai-Yin dari kaki ke limpa tidak berhasil, apakah kalian akan membiarkan dia mati begitu saja?”

“Tapi kalau cara pengobatanmu salah, urusan bisa menjadi runyam,” desak Dewa Ranting Persik.

Dewa Bunga Persik menyela, “Cara pengobatan yang salah memang bisa menjadi urusan yang runyam. Tapi kalau tidak bisa menyembuhkanya, urusan bisa lebih runyam lagi. Kita sudah berusaha cukup lama tapi dia tidak juga pulih. Aku yakin dia mempunyai masalah pada jantung. Mari kita obati dia melalui saluran Shao-Yang dari tangan ke jantung. Jelas bahwa kunci dari pengobatan ini adalah titik Shao-Hai, Tong-Li, Shen-Men, dan Shao-Chong.”

Dewa Buah Persik menukas, “Bukankah kemarin kau bilang bahwa kita harus mengobati melalui saluran Shao-yin dari kaki ke ginjal, mengapa sekarang kau bilang soal saluran Shao-Yang dari tangan ke jantung? Saluran Shao-yang mengumpulkan energi panas, sadangkan saluran Shao-Yin mengumpulkan energi dingin. Yin dan Yang jelas-jelas berlawanan. Kenapa pikiranmu bisa berubah-ubah seperti ini?”

“Salah atau benar sulit untuk diketahui karena belum kau lakukan,” ujar Dewa Bunga Persik. “Padahal bocah ini hanya terluka luarnya saja dan tidak terlalu parah. Tapi sudah sekian lama kita berusaha menyembuhkannya kenapa tetap saja gagal? Kukira penyakitnya ini harus kita sembuhkan dari dalam.”

Dewa Buah Persik menjawab,” Yin ada karena Yang; Yang ada karena Yin. Yin dan Yang memang berlawanan tapi sebenarnya saling melengkapi. Tai Chi melahirkan dua bagian, bergabung menjadi Tai Chi maka itu sesuatu dibagi menjadi dua, dan yang dua digabung menjadi satu. Shao-Yang dan Shao-Yin adalah dua bagian yang berpasangan. Sunguh tidak benar kalau hanya mengobati pada satu saluran saja.”

Mendengar perdebatan itu, Linghu Chong hanya bisa memaki dalam hati, “Kalian hanya berdebat seperti orang bodoh, tapi bagaimana dengan nyawaku? Sungguh tidak berguna!”

Terdengar Dewa Akar Persik berkata, “Kita sudah mencoba dengan berbagai cara namun tetap saja tidak berhasil. Terpaksa aku harus menggunakan cara yang luar biasa.”

“Cara yang luar biasa, bagaimana?” tanya saudara-saudaranya.

“Penyakit bocah ini sepertinya semacam penyakit yang aneh, maka harus disembuhkan dengan cara yang aneh pula,” jawab Dewa Akar Persik. “Maka, aku akan menyembuhkannya dengan menotok titik Yin-Tang, Jin-Lu, Yu-Ye, Yu-yao, Bai-Lao, dan dua belas jalan darahnya yang paling aneh serta jarang dikenal.”

“Kakak Pertama, jangan lakukan itu! Itu terlalu berbahaya,” seru Dewa Bunga Persik juga yang lainnya.

“Jangan bagaimana?” bentak Dewa Akar Persik. “Jika tidak kita lakukan maka jiwa bocah ini tidak akan tertolong lagi.”

Sekejap kemudian Linghu Chong merasa titik Yin-Tang, Jin-Lu, dan beberapa lainnya sakit luar biasa bagaikan ditusuk pisau tajam. Rasa sakitnya begitu dahsyatnya sehingga ia tidak bisa membedakan titik mana yang paling sakit. Ia membuka mulut ingin berteriak namun tidak bisa bersuara sama sekali. Pada saat itu, suatu arus hawa panas mendesak masuk ke dalam tubuhnya bagaikan gelombang pasang air laut melalui jalur Tai-Yin dari kaki ke limpa. Sesaat kemudian sebuah arus lain masuk melalui jalur Shao-Yang dari tangan menuju jantung. Kedua arus panas itu terkadang saling bertubrukan dan saling mendesak dengan hebat dan liar. Menyusul kemudian tiga arus hawa panas lainnya mendesak masuk melalui jalur yang berbeda.

Linghu Chong merasa gusar dan marah luar biasa karena tubuhnya menderita menjadi ajang pertempuran arus panas yang dikerahkan ke enam orang tua aneh itu. Memang sudah dua hari lamanya keenam orang itu mengobati Linghu Chong dengan cara-cara liar, akan tetapi saat ia sedang pingsan sehingga tidak mengetahui apa yang terjadi. Sedangkan saat ini ia dalam keadaan sadar tapi tidak mampu menghentikan perbutan Enam Dewa Lembah Persik. Yang kini ia rasakan adalah enam arus hawa panas saling mendesak di sekujur tubuhnya dan menjadikan bagian-bagian penting seperti hati, ginjal, paru-paru, jantung, limpa, lambung, usus, kantong kemih, dan yang lain sebagai arena bermain dan ajang pertempuran. Dalam hati ia hanya bisa mencaci maki Enam Dewa Lembah Persik, “Awas kalian, anjing tua! Jika aku tidak mati maka kalian akan kucincang habis.”

Jauh di lubuk hatinya, Linghu Chong tahu kalau Enam Dewa Lembah Persik mempunyai niat baik yaitu ingin mengobati dirinya menggunakan tenaga dalam mereka. Cara seperti ini biasanya hanya digunakan untuk mengobati orang yang mempunyai hubungan dekat. Akan tetapi linghu Chong sendiri merasa seperti dibakar hidup-hidup. Penderitaannya sudah tak tertahankan dan andai ia bisa bicara tentu ia akan memaki dengan kata-kata yang paling kasar.

Enam Dewa Lembah Persik tetap saja berdebat sambil tangan mereka mengobati Linghu Chong. Mereka tidak menyadari kalau perbuatan mereka justru membuat luka pada tubuh Linghu Chong semakin parah dan keadaannya bertambah buruk. Untungnya sejak kecil Linghu Chong sendiri sudah mempelajari ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan yang hebat. Meskipun belum mencapai tingkat sempurna, namun karena yang ia pelajari adalah ilmu tenaga dalam murni sehingga ia mempunyai dasar-dasar yang kuat. Berkat dasar-dasar tenaga dalam itulah ia mampu bertahan hidup dan tidak mudah menyerah menghadapi penderitaan akibat ulah keenam orang tua itu.

Selang agak lama Enam Dewa Lembah Persik akhirnya mengetahui kalau keadaan menjadi buruk mereka dapat merasakan denyut jantung Linghu Chong terdengar semakin lemah, nafasnya pun semakin berat. Mau tidak mau Enam Dewa Lembah Persik merasa khawatir jangan-jangan pemuda itu akan segera tewas beberapa detik lagi .

Dewa Buah Persik yang penakut mula-mula melepaskan tangannya dari tubuh Linghu Chong. “Sudahlah, aku tidak mau meneruskannya lagi. Aku takut dia nanti terlanjur mati. Aku takut arwahnya penasaran dan mungkin akan datang menggodaku. Aku takut.”

Dewa Akar Persik membentak, “Jika bocah ini berontak maka yang akan dimaki pertama kali adalah kau. Dan jika ia menjadi hantu maka yang akan dikejar adalah kau dan hanya kau!”

Dewa Buah Persik semakin ketakutan dan menjerit kemudian melompat keluar jendela

Kelima Dewa Persik yang lain menarik tangan masing-masing. Mereka saling pandang satu sama lain dan kemudian menggelengkan kepala tidak tahu harus berbuat apa.

“Tampaknya bocah ini sulit diselamatkan lagi. Lantas bagaimana ini baiknya?” tanya Dewa Daun Persik.

“Bagaimana kalau kita katakan pada biksuni cilik bahwa bocah ini terluka parah akibat pukulan musuh bertubuh pendek itu, dan akhirnya mati? Kemudian kita sampaikan pula bahwa si pendek itu sudah kita belah menjadi empat untuk membalas dendam bocah ini,” usul Dewa Dahan Persik.

“Apa perlu kita katakan juga kalau kita telah berusaha menyembuhkan dia menggunakan tenaga dalam kita?” tanya Dewa Akar Persik.

“Tidak, tidak! Sebaiknya jangan sekali-kali kita beri tahukan!” seru Dewa Dahan Persik.

“Tapi bagaimana kalau biksuni cilik bertanya mengapa kita tidak berusaha menyembuhkannya? Bagaimana coba?” sahut Dewa Akar Persik kembali bertanya.

“Kalau begitu katakan saja kalau kita sudah berusaha menyembuhkannya namun tidak berhasil,” kata Dewa Dahan Persik.

“Lalu, apakah biksuni cilik tidak akan menganggap kita, Enam Dewa Lembah Persik, sebagai orang-orang tidak berguna, tidak becus, lebih rendah daripada enam ekor anjing?” tanya Dewa Akar Persik.

Dewa Dahan Persik menyahut, “Apa? Biksuni cilik memaki kita sebagai anjing? Sungguh keterlaluan!”

“Tidak, biksuni cilik tidak memaki. Aku saja yang bilang demikian,” kata Dewa Akar Persik.

“Jika dia tidak memaki, dari mana kau tahu dia menyebut kita anjing?” tanya Dewa Dahan Persik.

“Aku tadi hanya membayangkan saja,” sahut Dewa Akar Persik.

“Atau mungkin dia tidak akan memaki kita,” kata Dewa Dahan Persik ragu-ragu.

“Kalau bocah ini mati pasti biksuni cilik akan sangat sedih kemungkinan besar dia akan memaki kita seperti itu,” ujar Dewa Akar Persik.

“Aku yakin biksuni cilik pasti akan menangis sedih tapi tidak sampai memaki kita,” ujar Dewa Dahan Persik.

“Aku lebih suka dia memaki kita sebagai anjing daripada kita melihatnya menangis sedih,” kata Dewa Akar Persik.

“Seandainya dia benar-benar memaki kita juga tidak akan memanggil kita sebagai anjing,” kata Dewa Dahan Persik.

“Lantas, dia memaki kita sebagai apa?” tanya Dewa Akar Persik.

Dewa Dahan Persik menjawab, “Memangnya kita berenam ini mirip anjing? Sedikit pun tidak mirip anjing. Maka, kukira dia mungkin akan memaki kita sebagai kucing.”

“Huh, mengapa memaki kita sebagai kucing?” sela Dewa Daun Persik. “Memangnya kita mirip kucing?”

“Kata-kata untuk memaki tidak perlu harus mirip dengan orang yang dimaki,” sahut Dewa Bunga Persik. “Kita adalah manusia. Kita adalah orang. Bila biksuni cilik mengatakan kita adalah orang, maka ini bukan lagi makian.”

“Tapi bagaimana kalau dia menyebut kita sebagai orang tolol atau orang bodoh? Bukankah itu juga makian,” sahut Dewa Buah Persik.

Dewa Bunga Persik menyahut, “Tapi setidaknya itu lebih lumayan daripada disebut anjing.”

“Tapi bagaimana kalau kita di sebut anjing pintar, anjing hebat, anjing pemberani, atau anjing kesatria? Mana yang lebih baik di sebut sebagai orang bodoh atau anjing pintar?” tanya Dewa Ranting Persik.

Sejak tadi Linghu Chong terbaring lemah tapi dalam hati merasa geli mendengar perdebatan yang tidak bermanfaat itu. Entah bagaimana ada arus hawa panas mendorong ke atas sehingga membuatnya dapat bersuara, “Enam ekor anjing tentu lebih baik daripada kalian!”

Kontan saja para kakek aneh itu terperanjat mendengar suara pemuda tersebut. Tiba-tiba Dewa Buah Persik yang bersembunyi di luar kamar berteriak, “Mengapa enam ekor anjing lebih baik daripada kami?”

“Benar, kenapa enam anjing lebih baik dari pada kami?” sahut kelima yang lainnya

Linghu Chong ingin sekali mencaci maki mereka namun sedikit pun tidak ada tenaga. Hanya dengan suara lemah ia berkata, “Antarkan... antarkan aku kembali... ke Gunung Huashan. Hanya guruku... hanya guruku saja yang bisa menolong jiwaku.....”

“Apa katamu?” sahut Dewa Akar Persik. “Kau bilang hanya gurumu saja yang mampu menolong jiwamu? Jadi maksudmu Enam Dewa Lembah Persik tidak mampu melakukannya?”

Linghu Chong berusaha keras untuk menganggukkan kepala. Mulutnya dapat terbuka namun sulit mengeluarkan suara.

“Omong kosong!” bentak Dewa Daun Persik. “Apa kepandaian gurumu? Mana mungkin ia lebih pandai daripada Enam Dewa Lembah Persik?”

“Hm, bagaimana kalau kita ajak gurunya bertanding melawan kita?” seru Dewa Bunga Persik.

“Benar. Nanti kita berempat menarik tangan dan kakinya ke arah yang berbeda. Kita buat tubuhnya menjadi empat potong,” kata Dewa Dahan Persik.

“Benar sekali,” teriak Dewa Buah Persik sabil melompat masuk dalam kamar. “Bahkan setiap laki-laki dan perempuan Huashan akan kita belah menjadi empat potong.”

“Tidak hanya mereka,” seru Dewa Bunga Persik. “Kucing, anjing, kambing, ayam peliharaan mereka juga kita belah menjadi empat potong. Bahkan, ikan dan udang juga kita potong-potong. Semua kita tarik tangan dan kaki nya sampai robek tubuhnya menjadi empat potong.”

“Hei, bagaimana caranya? Memangnya ikan dan udang punya tangan dan kaki?” tanya Dewa Ranting Persik.

“Ya... ya... kita belah kepalanya, ekornya, siripnya, dan perutnya.... jadilah empat potong,” jawab Dewa Bunga sambil berpikir sejenak.

“Tapi kepala ikan bukan tangan atau kaki,” desak Dewa Ranting Persik

“Memang bukan tapi tidak masalah,” jawab dewa Bung persik.

“Tentu saja ini jadi masalah. Karena itu bukan tangan dan kaki sehingga ucapanmu yang pertama tadi tidak tepat,” kata Dewa Ranting Persik.

Dewa Bunga Persik tetap tidak mau kalah. Ia berkata, “Kenapa kau bilang ucapanku tidak tepat? Ucapan yang mana?”

“Bukankah tadi kau berkata, kucing, anjing, kambing, ayam peliharaan mereka juga kita belah menjadi empat potong. Bahkan, ikan dan udang juga kita potong-potong. Semua kita tarik tangan dan kaki nya sampai robek tubuhnya menjadi empat potong?”

“Tentu saja aku bilang begitu. Tapi yang kukatakan itu bukan kalimat pertama. Aku telah berkata ratusan bahkan ribuan kalimat, lantas kenapa kau bilang itu kalimat pertama? Jika kita menghitung mulai hari kelahiranku, maka aku telah berkata sebanyak jutaan kalimat. Dengan demikian yang kukatakan tadi bukan kalimat pertama,” jawab Dewa Bunga Persik.

Dewa Ranting Persik terdiam tidak bisa bicara menghadapi alasan yang dikemukakan tersebut. Ia tidak punya pendapat untuk menyerang balik.

Dewa Dahan Persik menyahut, “Apa tadi kau bilang kura-kura juga?”

“Tentu saja. Kura-kura juga punya dua kaki depan juga kaki belakang, jadi keempatnya juga bisa ditarik sampai putus.”

Dewa Dahan Persik bertanya, “Tapi kalau kita tarik empat kakinya mana mungkin bisa merobek tubuhnya menjadi empat potong?”

“Mengapa tidak bisa? Memangnya kura-kura punya ilmu silat untuk menghadapi kita?” tanya Dewa Bunga Persik tidak paham.

“Memang mudah membelah tubuh kura-kura menjadi empat potong, tapi bagaimana dengan tempurungnya yang keras? Apa kita bisa merobek tempurung dengan cara menarik keempat kakinya? Kalau kita paksakan maka yang putus hanya empat kakinya sedangkan tempurung tetap utuh. Itu artinya tubuh kura-kura terbelah menjadi lima, bukan empat potong,” kata Dewa Dahan Persik.

Dewa Akar Persik menengahi, “Kalian hanya bisa membelah tubuh kura-kura menjadi empat dan menyisakan tempurungnya saja. Maka kau bisa katakan ‘merobek menjadi empat potong ditambah sebuah tempurung yang tidak bisa dirobek. Maka bisa kukatakan menjadi lima potong bukan hanya keliru, tapi salah kaprah.”

Dewa Daun Persik berkata, “Kakak pertama, apa yang kau bilang juga tidak benar. Keliru bicara tidak sama dengan salah kaprah, sedangkan salah kaprah juga tidak sama dengan keliru bicara. Keduanya jelas berbeda. Kenapa kau campur adukkan keduanya menjadi satu sehingga membuat bingung?”

Mendengar ocehan keenam orang itu, Linghu Chong pasti tertawa terbahak-bahak andai saja dirinya tidak dalam keadaan setengah mati. Percakapan mereka sungguh sangat lucu dan jenaka, tapi juga membuat persaan jengkel. Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Entah seperti apa kedua orang tua yang melahirkan keenam orang aneh yang selalu bertengkar ini. Apakah mungkin yang kuasa membuat lelucon dengan menciptakan mereka? Perdebatan mereka bisa berlarut-larut, sedangkan hidupku lebih berharga. Aku harus mencari cara untuk bisa lolos dari semua ini.”

Berpikir demikian membuat semangat Linghu Chong bangkit. Ia pun berkata, “Aku minta arak.”

Mendengar itu Enam Dewa Lembah Persik bersorak gembira, “Lihat, dia ingin minum arak! Dia tidak jadi mati!”

“Mati atau tidak urusan nanti,” jawab Linghu Chong sambil merintih. “Yang jelas sekarang aku ingin minum arak sepuas-puasnya.”

“Ya, baik! Aku ambilkan,” sahut Dewa Ranting Persik yang segera melangkah pergi dan sekejap kemudian sudah kembali membawa sepoci arak.

Keadaan Linghu Chong sebenarnya sudah sangat parah. Namun begitu mencium bau arak semangatnya bangkit kembali. Ia berkata, “Tolong... suapi aku!”

Dewa Ranting Persik lantas menempelkan poci arak itu ke mulut Linghu Chong dan menuangkannya seteguk demi seteguk membuat pemuda itu merasa sedikit segar. Pikirannya pun kembali bekerja, “Keenam orang ini suka dipuji. Aku terpaksa harus menipu mereka.”

Maka, pemuda itu pun berkata, “Guruku sering memuji bahwa jago paling... paling sakti di dunia ini adalah... Enam Dewa... Enam Dewa....”

Linghu Chong sengaja menghentikan suaranya untuk memancing perhatian keenam orang tua aneh itu. Benar dugaanya, keenamnya pun serentak bertanya, “Enam dewa apa?”

Linghu Chong menyambung, “Enam Dewa Lembah… Lembah ….”

“Enam Dewa Lembah Persik!” sahut keenam orang aneh bersamaan.

Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Benar. Guruku sering berkata bahwa Beliau sangat ingin memiliki... memiliki kesempatan bisa minum arak dan bersahabat dengan keenam kesa... kesa....”

“Keenam kesatria, begitu?” seru Enam Dewa mempertegas.

“Betul, Guru ingin keenam kesatria besar itu sudi memperlihatkan kesaktian mereka di hadapan murid-murid Huashan....” kali ini Linghu Chong benar-benar berhenti bicara karena nafasnya terasa sesak.

Akan tetapi Enam Dewa Lembah Persik semakin penasaran dan tidak mau berhenti. Bersama-sama mereka bertanya, “Bagaimana? Selanjutnya bagaimana?”

“Dari mana gurumu mengetahui kesaktian kami?”

“Wah, ketua Perguruan Huashan itu memang benar-benar baik hati. Barangsiapa berani mengganggu sebatang rumput saja di Huashan, tentu kita takkan mengampuninya.”

“Kami ingin bersahabat dengannya. Mari kita berangkat sekarang juga ke Huashan!”

Linghu Chong gembira mendengar kata-kata itu. Ia pun segera menanggapi, “Betul, kita berangkat sekarang juga!”

Enam Dewa Lembah Persik begitu polos dan lugu. Setelah Linghu Chong mengenakan kembali pakaiannya, mereka langsung menggotong pemuda itu dan membawanya pergi menuju ke Gunung Huashan.

Setengah hari kemudian tiba-tiba Dewa Akar Persik menghentikan perjalanan berkata, “Celaka ini! Biksuni cilik menyuruh kita membawa bocah ini ke hadapannya. Tapi, mengapa kita justru membawanya kembali ke Huashan? Jika kita tidak membawa bocah ini kepada si biksuni cilik, lantas bagaimana kita bisa memenangkan taruhan? Kita harus menang dua kali. Ini sungguh memalukan.”

“Kali ini ucapan Kakak Pertama benar,” sahut Dewa Dahan Persik. “Lebih baik kita menghadap biksuni cilik dulu, baru kemudian berangkat menuju Huashan. Kita harus memenangkan taruhan ini lebih dulu.”

Serentak mereka berenam pun memutar haluan menuju ke arah selatan. Menyadari itu Linghu Chong langsung berteriak, “Yang ingin ditemui biksuni cilik itu orang yang masih hidup atau orang yang sudah mati?”

“Sudah tentu yang masih hidup,” jawab Dewa Akar Persik.

“Nah, apabila kalian tidak mengantarkan aku ke Huashan, maka aku akan memutus urat nadiku sendiri supaya aku mati seketika,” kata Linghu Chong.

“Bagus sekali,” seru Dewa Buah senang. “Ilmu memutuskan urat nadi adalah ilmu yang unik dan kami belum pernah melihatnya. Coba kau jelaskan kepada kami bagaimana caranya!”

Dewa Dahan Persik menyahut, “Apa gunanya kau ingin melatih ilmu itu? Sekali kau memutus urat nadimu maka kau akan langsung mati. Apa manfaatnya ilmu seperti itu?”

“Ada manfaatnya,” seru Linghu Chong. “Misalnya dalam keadaan di mana kalian dipaksa oleh seseorang dan kalian merasa tidak mampu lagi menanggung siksaan, maka daripada menderita lebih baik memutuskan urat nadi sendiri supaya segera mati.”

Mendengar itu Enam Dewa lembah Persik menjadi khawatir. Mereka berkata, “Biksuni cilik ingin bertemu denganmu hidup-hidup. Kami sama sekali tidak bermaksud menyakitimu.”

Linghu Chong menjawab sambil menghela nafas , “Ya, kalian mungkin memang bermaksud baik. Tapi, aku harus melapor dan minta izin terlebih dahulu kepada Guru. Jika tidak, lebih baik aku mati bunuh diri daripada dipaksa-paksa. Lagi pula Guru dan ibu guru sejak lama ingin sekali bertemu kalian enam Pend… Pend….”

“Enam Pendekar Besar!” seru Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.

Linghu Chong menganggukkan kepala.

“Baiklah,” jawab Dewa Akar. “Terlambat sedikit tidak menjadi masalah. Biarlah kami mengantarmu pulang ke Huashan dahulu.”

Setelah berjalan beberapa jam akhirnya sampailah rombongan itu di Gunung Huashan. Begitu melihat kedatangan mereka para murid bergegas melapor kepada Yue Buqun. Mendengar Linghu Chong dan keenam penculiknya telah kembali, Yue Buqun dan Ning Zhongze segera keluar menyambut mereka disertai para murid dengan perasaan heran.

Enam Dewa Lembah Persik berjalan sangat cepat dan mereka sudah tiba di halaman Gedung Kebajikan saat pihak Yue Buqun baru saja melangkah keluar dari pintu gedung utama Perguruan Huashan tersebut. Tampak dua di antara orang-orang aneh itu menggotong Linghu Chong yang terbaring di atas tandu.

Ning Zhongze langsung berlari menghampiri. Tampak keadaan murid pertama suaminya itu begitu lemah dengan wajah pucat dan tubuh kurus. Setelah diperiksa denyut nadinya pun lemah dan kacau. Jiwanya sungguh dalam bahaya.

Nyonya Yue berseru kaget, “Chong’er, Chong’er!”

Linghu Chong membuka mata sedikit dan menyapa dengan suara lirih, “Ibu... Ibu Gu....”

Air mata Ning Zhongze bercucuran. Ia kemudian berkata, “Chong’er, biar aku yang membalaskan sakit hatimu!” Usai berkata demikian wanita itu mencabut pedangnya siap menusuk Dewa Bunga Persik yang menggotong tandu Linghu Chong tersebut.

“Tunggu dulu!” seru Yue Buqun mencegah istrinya. Ia lalu memberi salam kepada Enam Dewa Lembah Persik dan berkata, “Maafkan jika kami tidak mengadakan sambutan yang sepantasnya atas kunjungan Anda berenam di Gunung Huashan ini. Kalau boleh tahu, siapakah nama Anda berenam yang mulia ini dan dari mana kiranya berasal?”

Mendengar itu Enam Dewa merasa marah bercampur kecewa karena sudah terlanjur senang dengan cerita Linghu Chong bahwa gurunya sangat mengagumi kehebatan mereka. Siapa sangka kalimat pertama yang diucapkan Yue Buqun adalah menanyakan nama mereka. Ini pertanda Yue Buqun tidak tahu menahu perihal Enam Dewa Lembah Persik.

Maka Dewa Akar Persik pun berkata, “Katanya kalian berdua, suami-istri, sangat mengagumi kami enam bersaudara? Apa itu semua hanya kebohongan? Ternyata kalian sama sekali tidak mengenal kami. Sungguh memalukan!”

Dewa Dahan Persik ikut bicara, “Bukankah kau pernah bilang bahwa Enam Dewa Lembah Persik adalah jagoan paling sakti di dunia persilatan? Ah, aku tahu! Kau sudah lama mendengar nama besar Enam Dewa Lembah Persik, tapi kau tidak tahu seperti apa rupa mereka. Apa kau tidak tahu kalau keenam orang hebat itu adalah kami?”

Dewa Ranting Persik berkata, “Kau benar, Kakak Kedua. Dia bilang sangat ingin bertemu dan bersahabat dengan kita untuk minum arak bersama-sama. Sekarang kami datang kemari, kau justru tidak merasa gembira dan tidak pula mengundang kami minum arak. Ini pertanda dia memang sudah mendengar nama besar Enam Dewa Lembah Persik tapi tidak tahu seperti apa wajah kita. Hahaha, sunguh menyenangkan.”

Yue Buqun semakin terheran-heran. Dengan bersikap dingin ia berkata, “Kalian mengaku sebagai Enam Dewa Lembah Persik, sementara aku ini hanya manusia biasa, jelas tidak berani bersahabat dengan para dewa.”

Enam Dewa tertawa riang. Mereka menganggap sindiran Yue Buqun sebagai pujian. Dengan senang hati mereka berkata, “Tidak masalah. Kami Enam Dewa sudah bersahabat dengan muridmu. Untuk bersahabat denganmu juga suatu hal yang mudah.”

Dewa Buah Persik menambahkan, “Meskipun ilmu silatmu rendah, kami tetap tidak akan memandang hina kepadamu. Untuk itu kau tidak perlu merasa khawatir.”

Dewa Bunga Persik berkata, “Misalkan dalam ilmu silat ada yang kurang jelas bagimu, kau boleh bertanya kepada kami. Silakan saja, kami siap memberikan petunjuk seperlunya.”

Ucapan Enam Dewa Lembah Persik yang polos dan apa adanya sangat menyinggung perasaan Yue Buqun. Namun kesabaran Yue Buqun sungguh luar biasa. Meskipun hatinya panas namun mulutnya tetap tersenyum dan berkata, “Terima kasih atas maksud baik kalian!”

“Tidak perlu berterima kasih,” kata Dewa Dahan Persik. “Bila Enam Dewa Lembah Persik sudah menganggapmu sebagai sahabat, sudah tentu segala apa yang kami ketahui akan kami ajarkan kepadamu.”

Dewa Buah Persik menambahkan, “Baiklah, sekarang juga akan kuperlihatkan beberapa gerakan agar segenap warga Perguruan Huashan kalian bertambah pengalaman.”

Ning Zhongze tidak sesabar suaminya. Ia tidak tahu kalau Enam Dewa Lembah Persik punya sifat kekanak-kanaan dan polos. Apa yang mereka ucapkan sebenarnya bersifat apa adanya, namun bagi Ning Zhongze diangap sebagai sebuah penghinaan. Karena tidak kuasa menahan amarah, wanita itu pun mencabut pedangnya dan secepat kilat sudah menodong ulu hati Dewa Buah Persik.

Ning Zhongze berkata, “Baik, aku ingin belajar seperti apa kehebatan senjatamu.”

Dewa Buah Persik menjawab, “Selamanya Enam Dewa Lembah Persik tidak menggunakan senjata. Katanya kau kagum dengan ilmu silat kami, tapi mengapa kau tidak tahu tentang hal ini?”

Ning Zhongze semakin gusar mendengar ucapan yang bernada menghina itu. “Aku memang tidak tahu soal itu,” bentak Ning Zhongze sambil menusukkan pedangnya ke depan. Tusukan ini sangat cepat dan tiba-tiba, dan disertai tenaga yang sangat kuat.

Dewa Buah Persik sama sekali tidak menduga kalau wanita yang dianggapnya sebagai teman itu benar-benar menusukkan pedangnya. Dalam sekejap pedang Nyonya Yue sudah menancap di dadanya. Sebenarnya Dewa Buah Persik masih punya kesempatan untuk melakukan balasan. Namun karena pada dasarnya ia bersifat penakut sehingga hanya berdiam diri sambil memandang ngeri ketika pedang itu sudah menancap di dadanya.

Dewa Ranting Persik menerjang Nyonya Yue dan memukul bahu wanita itu. Ning Zhongze jatuh terhuyung-huyung dan pedangnya pun terlepas dari genggaman.

Dewa Akar Persik dan yang lain menjerit kaget melihat pemandangan itu. Dewa Ranting Persik segera melesat mengangkat tubuh Dewa Buah Persik dan membawanya lari secepat kilat, sedangkan keempat saudaranya yang lain maju menerjang ke arah Ning Zhongze. Dengan kecepatan tak terbayangkan, mereka menangkap tangan dan kaki wanita itu untuk kemudian dipentangkan ke empat arah yang berbeda.

Yue Buqun ngeri membayangkan nasib istrinya tentu akan seperti Cheng Buyou yang mati dalam keadaan terbelah menjadi empat potong. Ia pun mencabut pedangnya dan bergerak menyerang Dewa Akar Persik dan Dewa Daun Persik sekaligus. Sehebat apapun kesabaran Yue Buqun tetap saja gemetar saat mengayunkan pedangnya sehingga kedua orang yang menjadi sasaran itu bisa menghindar.

Melihat sang ibu-guru dalam bahaya, Linghu Chong yang masih terbaring di atas tandu berusaha bangkit dengan susah payah. Entah dari mana kekuatannya berasal, ia mendadak bisa bangun sambil berteriak, “Jangan melukai ibu-guruku! Jika tidak, aku akan segera memutuskan urat nadiku sendiri!” Usai berkata demikian pemuda itu muntah darah dan akhirnya jatuh pingsan.

Mendengar teriakan itu Dewa Akar Persik berseru sambil menghindari tusukan Yue Buqun, “Celaka! Bocah itu mau memutuskan urat nadinya sendiri. Urusan bisa runyam. Lebih baik kita ampuni saja perempuan ini.”

Tanpa banyak bicara lagi keempat orang tua aneh itu langsung melepaskan tubuh Ning Zhongze dan melesat pergi menyusul Dewa Ranting Persik yang melarikan Dewa Buah Persik.

Yue Buqun dan Yue Lingshan berlari menghampiri Ning Zhongze yang lolos dari maut. Sebelum mereka meraih tubuh Ning Zhongze, wanita itu sudah melompat dan mendarat di tanah dengan perasaan marah bercampur ngeri. Tubuh Ning Zhongze tampak gemetar dan wajahnya pucat pasi.

Yue Buqun berkata, “Adik, kau jangan gusar. Kita pasti akan membalas kejadian ini. Keenam orang itu benar-benar lawan yang tangguh. Untung kau berhasil membinasakan salah satu dari mereka.”

Ning Zhongze termangu-mangu. Jantungnya berdebar-debar membayangkan kematian tragis Cheng Buyou beberapa hari yang lalu dan kini hampir saja terjadi padanya. “Aku… aku… aku….” Demikian ia hanya bisa menggumam tidak jelas karena perasaannya masih terguncang.

Menyadari hal itu Yue Buqun segera berkata kepada putrinya, “Shan’er, antar ibumu masuk ke dalam untuk beristirahat!”

Setelah Yue Lingshan membawa ibunya masuk ke dalam, Yue Buqun segera memeriksa keadaan tubuh Linghu Chong yang berlumuran darah. Murid pertamanya itu tampak begitu lemah, nafasnya lirih dengan udara yang keluar lebih banyak daripada yang masuk, sepertinya sebentar lagi akan mati. Segera Yue Buqun menyalurkan tenaga dalam melalui telapak tangannya yang ditempelkan pada titik Ling-Tai di punggung Linghu Chong. Tiba-tiba ia merasakan di dalam tubuh pemuda itu terdapat beberapa arus tenaga aneh yang melawan tenaga dalam kirimannya. Hampir saja tangan Yue Buqun terlepas karena arus tenaga tersebut mendorong keluar. Dalam keterkejutannya, Yue Buqun segera menguasai diri dan kemudian menambahkan tenaga dalam untuk melawan arus hawa murni tersebut. Yue Buqun kemudian menempelkan telapak tangan yang lain pada titik Tan-Zhong di dada Linghu Chong. Tiba-tiba saja suatu arus tenaga menghantam tangannya, bahkan membuat dada Yue Buqun terasa sesak seperti dipukul dengan pentungan.

Yue Buqun terheran-heran untuk sementara waktu. Ia bisa merasakan betapa di dalam tubuh Linghu Chong sedang bertarung beberapa arus hawa murni yang bertumbuk kian kemari. Hawa murni yang berkeliaran di dalam tubuh Linghu Chong jelas berasal dari tingkatan tinggi namun bukan dari golongan putih dalam dunia persilatan. Meskipun tenaga dalam Kabut Lembayung Senja lebih tinggi, namun dua saja di antara hawa-hawa murni tersebut adakalanya bergabung sudah cukup untuk mendesaknya keluar.

Setelah dirasakan dengan seksama, Yue Buqun menemukan ada enam jenis hawa murni liar yang berkeliaran kian kemari di dalam tubuh Linghu Chong. Khawatir kalau-kalau tenaganya akan terbuang sia-sia, Yue Buqun menarik tangannya dan tidak berani lagi meraba tubuh murid pertamanya itu. Ia pun berpikir, “Enam hawa murni ini pasti berasal dari enam orang aneh itu. Hm, mereka sungguh keji, menyalurkan tenaga dalam masing-masing melalui urat nadi Chong’er sehingga anak ini kenyang menderita, mati tak bisa, hidup pun sulit.”

Yue Buqun hanya menggelengkan kepala, kemudian menyuruh Gao Genming dan Lu Dayou untuk menggotong tubuh Linghu Chong masuk ke dalam kamar. Ia sendiri lantas pergi menjenguk sang istri.

Keadaan Ning Zhongze masih terguncang. Wajahnya tampak pucat pasi saat duduk di tepi ranjang dengan berpengang pada lengan putrinya. Begitu melihat suaminya datang, Ning Zhongze langsung bertanya, “Bagaimana keadaan Chong’er? Apa lukanya berbahaya?”

Yue Buqun diam sejenak. Ia kemudian menceritakan apa yang baru saja ia temukan di dalam tubuh Linghu Chong, bahwa ada enam macam hawa murni yang berkeliaran di urat nadi pemuda itu. Keenamnya sama-sama kuat dan saling bertumbukan.

Ning Zhongze menanggapi dengan nada khawatir, “Jika demikian, keenam hawa murni itu harus dipunahkan satu per satu. Tapi, apa waktunya masih mencukupi?”

Yue Buqun termenung sambil menengadah. Lama kemudian ia baru berkata, “Adik, menurut pendapatmu, ada maksud dan tujuan apa sampai keenam siluman itu menyiksa Chong’er sedemikian rupa?”

“Sepertinya mereka mencoba memaksa Chong’er menyerah. Mungkin mereka ingin memaksa Chong’er membocorkan rahasia perguruan kita,” jawab Ning Zhongze menduga-duga. “Tentunya Chong’er lebih baik mati dan bersikeras tidak mau mengaku sehingga keenam siluman itu lantas menyiksanya dengan kejam.”

“Sepertinya masuk akal juga,” ujar Yue Buqun. “Tapi dalam perguruan kita tidak terdapat rahasia apa-apa. Keenam siluman itu juga tidak mengenal kita, juga tidak punya permusuhan dengan kita. Apa sebabnya mereka menculik Chong’er dan kemudian mengembalikannya ke sini?”

“Aku khawatir jangan-jangan... Ah, tidak mungkin….” sahut Nyonya Yue namun terhenti begitu saja. Ia kemudian saling pandang dengan sang suami dan mengerutkan kening.

Tiba-tiba Yue Lingshan ikut bicara, “Ayah, Ibu, meskipun dalam perguruan kita tidak terdapat rahasia apa pun, tapi ilmu silat Perguruan Huashan amat terkenal. Dengan menangkap Kakak Pertama mungkin mereka berniat memaksanya membocorkan intisari ilmu tenaga dalam dan jurus pedang perguruan kita.”

“Aku pun sempat berpikir demikian,” ujar Yue Buqun. “Tapi tingkatan tenaga dalam Chong’er masih terbatas. Dengan kehebatan enam siluman itu, mereka bisa langsung mengetahui kekuatan Chong’er. Lagipula jenis tenaga dalam mereka berbeda dengan tenaga dalam perguruan kita. Tentu bukan ini yang mereka incar. Begitu pula dengan ilmu pedang juga sepertinya tidak menarik perhatian mereka. Misalkan mereka hendak memaksa Chong’er mengakui sesuatu, tentunya dapat dibawa ke tempat lain untuk disiksa dengan lebih kejam. Kenapa harus dikembalikan ke sini?”

Mendengar nada pembicaraan sang suami yang yang tegas, Ning Zhongze dapat melihat bahwa suaminya itu telah meyakini sesuatu. Ia pun mendesak, “Jadi, menurutmu, mereka memiliki tujuan apa?”

“Memanfaatkan luka parah Chong’er untuk menguras tenaga dalamku,” jawab Yue Buqun dengan wajah serius.

Ning Zhongze hampir melonjak bangun dan berseru, “Benar juga! Demi menyelamatkan nyawa Chong’er kau tentu akan menyalurkan tenaga dalammu untuk mengusir hawa murni mereka. Nah, pada saat kau dalam keadaan payah, keenam siluman itu akan datang kembali dan dengan mudah membinasakan kita semua.”

Wanita itu terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Untung sekarang mereka tinggal berlima. Anehnya, kenapa tadi begitu mendengar bentakan Chong’er, mereka langsung melepaskan diriku?” Usai berkata demikian Ning Zhongze menggigil ngeri karena teringat saat-saat berbahaya tadi.

“Justru itu yang membuatku curiga. Mereka takut Chong’er benar-benar bunuh diri dengan memutus urat nadi sendiri. Nah, jika Chong’er mati, maka rencana mereka tentu sia-sia, bukan?” jawab Yue Buqun. “Kau telah membunuh seorang dari mereka. Sepantasnya mereka menyimpan dendam terhadap kita. Namun saat Chong’er mengancam hendak bunuh diri dengan memutus urat nadi, mereka segera melepaskan dirimu. Coba pikir, mana mungkin mereka membiarkan Chong’er tetap hidup kalau tidak ada maksud tersembunyi?”

Ning Zhongze menggerutu dalam hati, “Huh, mereka berenam sungguh kejam dan licik! Mereka merobek tubuh Cheng Buyou tanpa berkedip. Sungguh kekejaman yang jarang ada di dunia persilatan. Setiap kali teringat kebrutalan mereka, jantungku berdebar kencang. Apa yang mereka lakukan telah membuat Feng Buping menunda rencananya untuk merebut Perguruan Huashan kita. Karena peristiwa itu, Feng Buping meninggalkan Huashan dengan sangat kecewa bersama Lu Bai dan yang lain. Memang apa yang dilakukan keenam orang aneh itu cukup membantu perguruan kita. Tapi, siapa sangka mereka kini datang kembali untuk membuat onar? Dalam hal ini aku pun sependapat dengan Kakak mengenai rencana licik mereka.”

Usai berpikir demikian Ning Zhongze berkata, “Jika begitu, kau tidak boleh menyalurkan tenaga dalam untuk Chong’er. Biar aku saja! Meskipun tenaga dalamku tidak sehebat dirimu, tapi semoga dapat menyelamatkan jiwanya untuk sementara.

Usai berkata demikian Ning Zhongze melangkah pergi keluar kamar, namun suaminya langsung mencegah, “Adik, jangan kau lakukan itu!”

Ning Zhongze berhenti melangkah dan menoleh ke arah sang suami.

“Jangan kau lakukan itu, karena hawa murni keenam siluman itu sungguh dahsyat,” kata Yue Buqun sambil menggeleng.

Ning Zhongze termenung sejenak. Ia kemudian duduk kembali dan berkata, “Hanya ilmu Kabut Lembayung Senja saja yang bisa menyembuhkannya. Jadi, bagaimana baiknya?”

“Kita usahakan sebisa-bisanya untuk menyelamatkan nyawa Chong’er. Tapi, untuk hal ini tidak perlu membuang banyak tenaga dalam,” ujar Yue Buqun.

Pasangan suami-istri tersebut beserta Yue Lingshan kemudian masuk ke dalam kamar Linghu Chong. Tampak pemuda itu terbaring tak berdaya dengan napas sangat lemah, membuat air mata Ning Zhongze bercucuran tak bisa dibendung lagi. Ia mencoba memeriksa denyut nadi Linghu Chong namun suaminya mencegah dan menggelengkan kepala.

Yue Buqun lalu menggunakan kedua telapak tangannya untuk menyalurkan tenaga dalam Kabut Lembayung Senja. Namun begitu tenaga dalam tersebut berbenturan dengan hawa murni yang bergejolak di dalam tubuh sang murid pertama, seketika badan Yue Buqun terlihat bergetar. Ia pun mundur dan mengerahkan tenaga dalam lebih kuat sampai wajahnya memancarkan cahaya ungu.

Tiba-tiba terdengar suara Linghu Chong merintih, “Adik Lin... di mana Adik... Lin?”

Yue Lingshan heran dan bertanya, “Ada apa kau mencari Lin Kecil?”

Dengan mata terpejam Linghu Chong berkata lirih, “Sebelum... sebelum ayahnya meninggal... sempat menitipkan... wasiat kepadaku.... Aku harus... aku harus menyampaikannya sebelum... sebelum terlambat... Tolong… tolong panggilkan dia….”

Yue Lingshan bergegas keluar kamar sambil menutup muka untuk menyembunyikan air matanya yang berlinang-linang. Murid-murid Huashan lainnya sebenarnya sudah menunggu di luar karena mencemaskan keadaan sang kakak pertama. Begitu Yue Lingshan memanggil, Lin Pingzhi pun bergegas masuk dan segera mendekati Linghu Chong berbaring. “Kakak Pertama, hendaklah kau jaga badanmu baik-baik,” kata pemuda itu.

“Apa... apa kau Adik Lin?” tanya Linghu Chong dengan mata masih terpejam.

“Benar, ini aku,” sahut Lin Pingzhi.

“Sebelum... sebelum ayahmu wafat, aku... aku berada di sampingnya,” ujar Linghu Chong dengan suara terputus-putus. Suaranya terdengar semakin lemah. Lin Pingzhi dan yang lain sampai-sampai menahan napas tak bersuara sama sekali. Keadaan kamar tersebut menjadi sunyi senyap.

Selang agak lama, Linghu Chong berhasil menghirup napas dan melanjutkan bicara, “Beliau minta... minta kepadaku supaya... menyampaikan wasiat... wasiat kepadamu. Katanya... di rumah lama Keluarga Lin… di Gang Matahari... terdapat benda pusaka... yang harus dijaga, tetapi… tetapi kau tidak boleh membacanya... karena bisa... mendatangkan... malapetaka.”

Lin Pingzhi terheran-heran dan bertanya, “Apa? Rumah lama Keluarga Lin di Gang Matahari? Tapi, tapi di sana tidak ada benda pusaka. Memangnya benda pusaka macam apa yang dimaksudkan ayahku?”

“Aku tidak tahu… Hanya... hanya itu wasiat ayahmu... Aku tidak mendengar... kalimat selain itu....” sahut Linghu Chong lirih.

Yue Buqun, Ning Zhongze, Yue Lingshan, dan terutama Lin Pingzhi menunggu kalimat selanjutnya, namun Linghu Chong terdiam tidak bicara lagi.

Yue Buqun menghela napas kemudian berkata kepada Yue Lingshan dan Lin Pingzhi, “Kalian berdua boleh menemani Kakak Pertama. Bila penyakitnya ada perubahan, segera laporkan kepadaku.”

Kedua muda-mudi itu mengangguk dan mengiakan.

Yue Buqun dan istrinya melangkah keluar meninggalkan ruangan itu. Mereka kemudian masuk ke kamar sendiri. Sesudah pintu kamar ditutup, Ning Zhongze kembali meneteskan air mata.

“Jangan terlalu sedih. Kita yang akan membalaskan dendam Chong’er,” kata Yue Buqun.

Ning Zhongze menjawab, “Keenam manusia aneh itu telah menyusun rencana jahat pada kita. Aku yakin mereka pasti akan kembali ke sini. Jika kita menghadapi mereka, mungkin kita tidak akan kalah, tapi keadaan juga bisa saja berbalik…”

“Mungkin kita tidak akan kalah bagaimana?” tukas Yue Buqun. “Mudah diucapkan tapi sulit untuk dibuktikan. Jika menghadapi tiga dari mereka, mungkin pertarungan akan berlangsung imbang. Tapi kalau menghadapi empat orang dari mereka, rasanya kita yang akan terdesak. Dan apabila lima dari mereka maju bersama-sama, hm….” Sampai di sini ia hanya menggeleng perlahan.

Sebenarnya Ning Zhongze menyadari kalau ia dan sang suami bukan tandingan kelima orang aneh itu, namun ia berharap Yue Buqun bisa menghadapi mereka dengan menggunakan ilmu Kabut Lembayung Senja. Kini, begitu mendengar pengakuan jujur dari Yue Buqun membuat perasaan wanita itu menjadi gelisah. Ia pun berkata, “Lalu, bagaimana baiknya? Apa kita hanya berpeluk tangan menunggu kehancuran saja?”

Yue Buqun menjawab, “Adik, kau jangan putus asa. Seorang laki-laki sejati harus berani melihat kenyataan. Tahu kapan waktunya maju, kapan waktunya mundur. Kalah atau menang tidak ditentukan dari pertarungan sekali atau dua kali saja. Balas dendam meskipun ditunda sepuluh tahun juga tidak terlambat.”

“Jadi, menurutmu kita sebaiknya melarikan diri saja?” tanya Ning Zhongze.

“Bukan lari,” sahut Yue Buqun. “Kita hanya menghindar untuk sementara waktu. Musuh berjumlah banyak, sedangkan kita hanya berdua. Kau sendiri sudah membunuh salah satu di antara mereka. Jadi, sekalipun kita menghindar juga tidak terlalu merusak nama baik Perguruan Huashan. Selain itu, kalau kita tidak membocorkan masalah ini, pihak luar juga tidak akan tahu.”

“Meskipun sudah kubunuh seorang di antara mereka, tapi tetap saja jiwa Chong’er terancam bahaya. Kedudukan kita dengan mereka tetap saja imbang. Oh, Chong’er....” kata Ning Zhongze. Dengan suara serak ia melanjutkan, “Kakak, aku menuruti ajakanmu. Tapi, apakah kita bisa membawa serta Chong’er dan menyembuhkannya perlahan-lahan?”

Yue Buqun diam saja tidak menjawab.

“Apa kita tidak bisa membawa serta Chong’er?” Ning Zhongze kembali bertanya.

“Luka Chong’er terlalu parah,” jawab Yue Buqun. “Kalau dia kita paksakan ikut serta dalam perjalanan ini, tentu tidak sampai satu jam nyawanya bisa melayang.”

“Lantas... bagaimana baiknya?” tanya Ning Zhongze setengah meratap. “Apa benar sudah tidak ada cara lagi untuk menyelamatkan jiwanya?”

Yue Buqun menghela napas dan berkata, “Aih, beberapa waktu yang lalu aku sudah berniat untuk mengajarkan ilmu Kabut Lembayung Senja kepadanya. Tapi aku menundanya karena dia terjerumus menuju jalan sesat yang dianut Kelompok Pedang sewaktu kau mengujinya. Andai saja waktu itu ia tidak salah jalan tentu saat ini sudah bisa mempelajari ilmu Kabut Lembayung Senja. Meskipun hanya mempelajari beberapa bagian saja, sudah cukup baginya untuk melakukan penyembuhan terhadap diri sendiri serta mampu menangkal gangguan enam hawa murni liar itu.”

Tiba-tiba Ning Zhongze bangkit dan berkata, “Kakak, masalah ini belum terlambat. Mengapa tidak sekarang saja kau ajarkan ilmu Kabut Lembayung Senja kepadanya? Sekalipun ia dalam keadaan payah dan sulit memahaminya, tetap saja lebih baik daripada tidak sama sekali. Atau, kau bisa meninggalkan kitab ilmu Kabut Lembayung Senja biar ia mempelajarinya sendiri.”

“Adik,” kata Yue Buqun dengan suara halus sambil memegangi tangan sang istri, “kasih sayangku kepada Chong’er tidak ubahnya seperti kepadamu. Akan tetapi, coba kau pikirkan lagi, saat ini Chong’er sedang terluka parah, apa mungkin ia bisa menerima pelajaran dariku dengan baik? Jika aku menyerahkan kitab ilmu Kabut Lembayung Senja kepadanya supaya ia pelajari sendiri saat sudah bangun nanti, lantas bagaimana jika kelima siluman itu datang lagi kemari? Apakah Chong’er sudah mampu menghadapi mereka? Lalu bagaimana dengan nasib kitab pusaka paling berharga dalam Perguruan Huashan kita? Jika mereka sampai merebut kitab itu dan mempelajarinya, maka ini sama artinya dengan harimau tumbuh sayap. Dunia persilatan dalam bahaya besar. Jika kejadian seperti ini benar-benar terjadi, tentu aku, Yue Buqun, akan merasa sangat berdosa di hadapan kawan-kawan persilatan.”

Ning Zhongze tidak bisa membantah ucapan sang suami. Tak terasa air matanya kembali meleleh membasahi pipi.

Yue Buqun melanjutkan, “Tingkah laku kawanan siluman itu sukar ditebak dan tidak jelas. Kita tidak boleh membuang-buang waktu. Daripada terlambat lebih baik kita berangkat sekarang juga.”

“Apakah kita pergi sekarang dan meninggalkan Chong’er begitu saja menerima siksaan dari kelima siluman itu? Tidak, tidak! Aku akan tinggal di sini untuk menjaganya,” kata Ning Zhongze. Begitu mengucapkan kalimat ini, ia langsung sadar bahwa ini adalah ucapan seorang ibu rumah tangga biasa, dan bukan ucapan seorang pendekar wanita ternama dari Perguruan Huashan. Jika ia tetap tinggal demi menuruti perasaan, apakah mungkin bisa melindungi Linghu Chong? Apakah bukan berarti hanya akan menambah jumlah korban? Apakah Yue Buqun dan Yue Lingshan rela meninggalkan Gunung Huashan tanpa dirinya? Menyadari hal itu membuat hatinya bertambah sedih dan air matanya semakin deras keluar.

Yue Buqun menggeleng dan menghela napas panjang. Ia memindahkan bantal di atas ranjang dan mengeluarkan sebuah kotak besi berukuran tipis. Begitu dibuka di dalamnya terdapat sebuah kitab kecil yang dibungkus kain beludru. Setelah memasukkan kitab tersebut di balik baju, Yue Buqun membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Tak disangka ternyata Yue Lingshan sudah berdiri menunggu di depan pintu.

Gadis itu langsung berkata, “Ayah, keadaan Kakak Pertama tampaknya... tampaknya... tampaknya sudah sulit ditolong lagi.”

“Apa yang terjadi? Bagaimana keadaannya?” sahut Yue Buqun menegas.

“Dia... dia mengigau tidak jelas. Pikirannya semakin tidak jernih,” jawab Yue Lingshan.

“Dia mengigau apa?” tanya Yue Buqun.

Muka Yue Lingshan bersemu merah. Ia hanya menjawab, “Entahlah. Aku tidak tahu dia bicara apa.”

Yue Lingshan tidak berani berterus terang bahwa Linghu Chong mengigau tentang dirinya. Bergolaknya enam arus hawa murni telah membuat pemuda itu tidak kuasa lagi menahan perasaannya. Ketika samar-samar ia melihat Yue Lingshan berdiri di samping ranjangnya, ia pun berkata tanpa sengaja, “Oh, Adik Kecil, aku sangat... aku sangat merindukanmu. Apakah karena kau telah mencintai... Adik Lin, maka... maka tidak peduli lagi kepadaku?”

Yue Lingshan waktu itu terperanjat dan tersipu malu karena Linghu Chong tiba-tiba mengutarakan perasaannya di hadapan Lin Pingzhi. Bahkan, Linghu Chong juga berkata, “Adik Kecil, kita dibesarkan bersama, berlatih ilmu silat bersama, sungguh aku tidak tahu... apa salahku padamu. Jika kau marah padaku, silakan memaki dan memukul diriku. Bahkan, sekalipun kau tusuk... badanku dengan pedangmu... aku takkan menolak. Hanya saja... hanya saja janganlah kau bersikap dingin... kepadaku!”

Ucapan Linghu Chong tersebut sudah dipendamnya selama berbulan-bulan. Kali ini pikirannya sedang tidak sadar sehingga isi hatinya pun tercurahkan begitu saja. Lin Pingzhi sendiri merasa rikuh dan berkata lirih kepada Yue Lingshan, “Biar aku keluar sebentar.”

“Jangan, kau di sini saja menjaga Kakak Pertama,” seru Yue Lingshan sambil bergegas keluar menuju kamar yang lain tempat ayah dan ibunya berunding. Kebetulan sewaktu ia sampai di depan kamar tersebut, kedua orang tuanya sedang membicarakan kitab ilmu Kabut Lembayung Senja yang bisa digunakan untuk menyembuhkan Linghu Chong. Maka, ia pun hanya menunggu di depan pintu tanpa berani masuk ke dalam kamar untuk menyela.

Begitulah, setelah menerima laporan dari Yue Lingshan, Yue Buqun segera memberi perintah, “Kumpulkan semua orang di aula utama Gedung Kebajikan.”

Yue Lingshan menjawab, “Baik, Ayah! Tapi, bagaimana dengan Kakak Pertama? Siapa yang harus menjaganya?”

“Biar Dayou yang menjaganya,” jawab Yue Buqun.

Yue Lingshan pun bergegas pergi menyampaikan perintah ayahnya itu kepada saudara-saudara seperguruannya yang lain. Sebentar kemudaian seluruh murid Huashan kecuali Linghu Chong dan Lu Dayou berkumpul di aula utama menunggu keputusan sang guru. Yue Buqun sendiri duduk di kursi tengah, sedangkan Ning Zhongze duduk di sampingnya.

Setelah memandang sekilas kepada murid-muridnya itu, Yue Buqun berkata, “Sebagian angkatan tua perguruan kita ada yang tersesat lebih mengutamakan latihan jurus pedang daripada tenaga dalam. Mereka tidak mau tahu bahwa ilmu silat paling tinggi di dunia ini pasti disertai tenaga dalam yang hebat pula. Bagaimanapun bagusnya ilmu silat yang dilatih apabila tenaga dalamnya kurang baik tetap saja tidak akan mencapai kesempurnaan. Sungguh sayang, para sesepuh itu tidak mau sadar dan memilih mendirikan aliran sendiri yang mereka namakan Perguruan Huashan Kelompok Pedang, sedangkan aliran kita yang murni disebut Perguruan Huashan Kelompok Tenaga Dalam. Perselisihan antara Kelompok Pedang dan Kelompok Tenaga Dalam sudah berlangsung selama puluhan tahun. Sudah pasti hal ini mengganggu perkembangan perguruan kita. Benar-benar sebuah malapetaka bagi kita.” Berkata sampai di sini ia pun menghela napas panjang.

Melihat itu Ning Zhongze diam-diam berpikir, “Kelima siluman itu bisa datang setiap saat, tapi kau masih sempat-sempatnya bercerita soal masa lalu.” Meskipun merasa kesal, namun ia hanya berani melirik ke arah sang suami tanpa berani menyela sedikit pun. Saat pandangan matanya tertuju pada langit-langit aula di mana terdapat papan nama bertuliskan “Gedung Kebajikan”, kembali wanita itu berpikir, “Saat pertama kali aku bergabung dengan Perguruan Huashan, tulisan yang terdapat pada papan nama itu berbunyi ‘Tenaga Pedang Menghempas Awan’, tapi mengapa sekarang berubah menjadi ‘Gedung Kebajikan’? Tidak seorang pun yang tahu di mana papan nama yang lama kini berada. Aih, saat itu aku hanya gadis kecil berusia tiga belas tahun.”

Terdengar Yue Buqun melanjutkan, “Meskipun demikian, kebenaran pada akhirnya selalu menang. Sekitar dua puluh lima tahun silam Kelompok Pedang mengalami kekalahan habis-habisan dan terpaksa mengundurkan diri dari Perguruan Huashan. Sejak saat itu aku pun diangkat sebagai ketua perguruan yang baru. Tidak disangka-sangka beberapa hari yang lalu kalian melihat sendiri beberapa orang anggota Kelompok Pedang yang dipimpin Feng Buping datang kemari. Entah bagaimana caranya mereka berhasil membujuk ketua Serikat Pedang Lima Gunung sehingga memperoleh Panji Pancawarna untuk memaksaku menyerahkan kedudukan ketua Perguruan Huashan. Sebenarnya, aku sendiri sudah berniat ingin mengundurkan diri setelah puluhan tahun memimpin dan menghadapi berbagai macam permasalahan rumit, baik itu urusan dalam perguruan maupun yang berkaitan dengan Serikat Pedang Lima Gunung. Sekarang ada orang yang datang untuk menggantikan kedudukanku, sungguh hal seperti ini sangat aku harapkan.”

Mendengar itu Gao Genming menyela, “Guru, murid buangan seperti Feng Buping sudah lama tersesat ke jalan yang salah. Mereka tidak ada bedanya seperti anggota Sekte Iblis. Kami tidak akan mengizinkan mereka mengaku sebagai murid Huashan lagi, apalagi seenaknya mengambil jabatan ketua. Jika hal ini sampai terjadi, bukankah Perguruan Huashan akan hancur dalam sekejap saja?”

“Benar, kita tidak boleh tinggal diam. Tipu muslihat para jahanam itu harus kita gagalkan,” sahut Lao Denuo, Liang Fa, Shi Daizi, dan yang lain.

Melihat semangat murid-muridnya itu, Yue Buqun tersenyum dan melanjutkan, “Masalah jabatan ketua bagiku hanya masalah kecil. Tapi, kalau Kelompok Pedang dibiarkan menguasai perguruan kita, tentu ilmu silat Perguruan Huashan yang terkenal selama ratusan tahun akan hancur dalam waktu singkat. Lalu, bagaimana cara kita harus bertanggung jawab kepada para leluhur yang telah tiada jika kelak bertemu di alam sana?”

“Benar, ucapan Guru benar! Kami tidak akan membiarkan mereka berbuat seenaknya!” sahut para murid.

Yue Buqun melanjutkan, “Aku tidak takut dengan Feng Buping dan Kelompok Pedangnya. Tapi mereka sudah berhasil mendapatkan Panji Pancawarna dari Serikat Pedang Lima Gunung, serta bersekongkol dengan para jago dari Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan. Hal seperti ini yang tidak boleh dianggap enteng. Oleh sebab itu....” Sampai di sini ia diam sejenak untuk memandang tajam ke arah murid-muridnya, kemudian berkata, “Hari ini kita berangkat ke Gunung Songshan untuk menemui Ketua Zuo. Kita akan menuntut keadilan padanya.”

Mendengar itu para murid terperanjat. Perguruan Songshan adalah pemimpin dari Serikat Pedang Lima Gunung, sedangkan ketuanya, yaitu Zuo Lengchan, termasuk tokoh nomor satu di dunia persilatan saat ini. Selain memiliki ilmu silat yang sangat tinggi juga terkenal cerdas dan banyak akal. Setiap orang di dunia persilatan bila mendengar namanya disebut pasti merasa gentar dan segan. Di dunia persilatan, perselisihan antara dua pihak sangat sulit diselesaikan hanya dengan pembicaraan saja. Setiap permusuhan hampir pasti diselesaikan dengan pertarungan. Mendengar sang guru mengajak pergi ke Songshan, para murid hanya diam tanpa bersuara sambil berpikir, “Ilmu silat Guru memang sangat tinggi, namun sepertinya belum bisa menandingi kehebatan Ketua Zuo. Di samping itu, Ketua Zuo juga memiliki dua belas adik seperguruan yang juga berilmu hebat. Kaum persilatan menyebut mereka sebagai Tiga Belas Penjaga Gunung Songshan. Meskipun Fei Bin si Tapak Songyang Besar telah meninggal, namun tetap saja tersisa dua belas orang lainnya yang masing-masing mempunyai kepandaian tinggi. Sebaliknya, para murid dari pihak Huashan kami mana ada yang mampu menandingi mereka? Bukankah rencana Guru untuk mendatangi Gunung Songshan sama artinya dengan mencari masalah?”

Sebaliknya, Ning Zhongze dapat membaca rencana suaminya. Wanita itu berpikir, “Ini benar-benar rencana yang bagus. Sebenarnya kami meninggalkan Gunung Huashan adalah untuk menghindari serangan lima orang aneh dari Lembah Persik. Namun, kalau berita ini sampai tersebar luas, entah harus ke mana kami menyembunyikan wajah? Sebaliknya, kalau dunia persilatan mendengar kami naik ke Gunung Songshan adalah untuk menuntut keadilan, maka yang kami dapatkan adalah pujian dan penghormatan atas keberanian kami. Ketua Zuo bukan seorang picik, pasti Beliau sudi mendengar kami. Aku rasa permasalahan ini tidak perlu harus diselesaikan dengan pertempuran dan adu senjata.”

Setelah berpikir demikian, Nyonya Yue pun berkata, “Feng Buping dan begundalnya datang kemari dengan membawa Panji Pancawarna. Bisa jadi panji tersebut telah ia curi, atau ia rebut dari orang lain. Namun, jika panji tersebut benar-benar diperoleh dari Ketua Zuo, maka kita tidak bisa tinggal diam begitu saja karena Perguruan Songshan sudah berani melanggar batas-batas urusan internal Perguruan Huashan kita. Kita akan ke sana menuntut keadilan. Meskipun Ketua Zuo berilmu sangat tinggi dan Perguruan Songshan memiliki banyak murid, namun kita orang-orang Huashan tidak takut mati dan pantang menyerah begitu saja menghadapi ketidakadilan. Nah, barangsiapa yang bernyali kecil dan pengecut, lebih baik tinggal di sini saja. Tidak perlu ikut.”

Mendengar ucapan sang ibu-guru seperti itu sudah tentu tidak seorang pun murid Huashan yang mau disebut sebagai pengecut. Serentak mereka menjawab, “Asalkan Guru dan Ibu Guru memberikan perintah, sekalipun menyeberangi lautan api juga kami tidak akan mundur.”

“Bagus kalau begitu,” sahut Ning Zhongze. “Urusan ini tidak boleh ditunda. Segera kalian berbenah, satu jam lagi kita berangkat.”

Pertemuan pun bubar. Ning Zhongze bergegas menjenguk Linghu Chong. Dilihatnya pemuda itu bernapas terputus-putus, seolah nyawanya hanya tinggal hitungan detik saja. Hati Ning Zhongze bertambah pedih. Namun ia harus memaksa diri untuk tega meninggalkan murid pertama suaminya itu demi keselamatan orang banyak dari serangan Lima Dewa Lembah Persik yang bisa datang setiap saat. Lu Dayou kemudian diperintahkan untuk memindahkan tubuh Linghu Chong ke kamar samping bagian belakang dan menjaganya baik-baik.

Ning Zhongze kemudian berkata, “Dayou, demi masa depan Perguruan Huashan, kami terpaksa berangkat ke Gunung Songshan untuk meminta keadilan pada Ketua Zuo. Perjalanan ini sangat berbahaya. Keadaan kakak pertamamu sangat parah. Hendaknya kau jaga dia baik-baik. Bila musuh datang kalian boleh bersembunyi. Terimalah penghinaan untuk sementara dan tidak perlu membuang nyawa dengan percuma.”

Dengan mata berkaca-kaca Lu Dayou mengangguk menyanggupi perintah tersebut. Ia kemudian ikut mengantar kepergian guru, ibu-guru, dan saudara-saudara seperguruan yang lain, dan setelah itu kembali ke kamar tempat Linghu Chong berbaring di dalamnya.

Saat itu bisa dikatakan bahwa di Perguruan Huashan hanya tinggal dua orang saja, yaitu Linghu Chong yang sedang pingsan dan Lu Dayou yang berjaga. Keadaan mulai gelap membuat perasaan Lu Dayou mulai timbul rasa takut.

Setelah memberanikan diri ke dapur untuk memasak bubur, Lu Dayou kemudian membawa bubur yang telah matang ke kamar dan menyuapkannya kepada Linghu Chong. Baru suapan ketiga Linghu Chong sudah menyemburkan bubur itu keluar. Warna muntahannya berubah merah karena bercampur darah. Lu Dayou kembali membaringkan tubuh kakak pertamanya di ranjang, kemudian menaruh mangkuk buburnya di atas meja. Pemuda itu termangu-mangu memandang keluar jendela yang gelap gulita. Suara burung hantu yang mengerikan tiba-tiba terdengar berkumandang dari kejauhan.

Mendengar itu Lu Dayou pun berpikir, “Kata orang-orang, burung hantu yang berbunyi pada waktu malam pertanda sedang menghitung jumlah bulu alis orang yang sedang sakit. Bila jumlahnya terhitung jelas olehnya, maka orang yang sakit itu akan mati.”

Maka, dengan cepat Lu Dayou menjilat ujung jari kemudian mengoleskannya ke alis Linghu Chong dengan harapan agar burung hantu tersebut kesulitan menghitung. Namun suara burung hantu itu tetap saja masih terdengar. Perasaan pemuda itu bertambah ngeri. Tanpa sadar ia memoles alisnya sendiri dengan air ludah pula.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara langkah ringan seseorang mendekati kamar tersebut. Dengan cepat Lu Dayou meniup padam api pelita dan mencabut pedang serta berjaga di samping Linghu Chong. Suara langkah tersebut semakin dekat. Jantung Lu Dayou semakin berdebar-debar. “Celaka! Musuh ternyata mengetahui Kakak Pertama dirawat di sini. Aduh, bagaimana caraku melindungi Kakak Pertama?” demikian pikirnya.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar