Begitulah, Feng Qingyang pun
mulai mengupas jurus ketiga dengan berbagai macam bentuk perubahannya yang
dapat digunakan untuk mengalahkan ilmu golok Tian Boguang. Linghu Chong
terkesima dan hatinya merasa gembira tak terkatakan saat mendengarnya. Ia tak ubahnya
seperti seorang pemuda desa yang tiba-tiba berada di dalam sebuah istana mewah,
dengan melihat dan mendengar segala jenis pemandangan dan pengalaman yang
benar-benar baru dan menarik. Dengan waktu yang serbaterbatas, Linghu Chong
hanya mampu menguasai seperlima bagian dari penjelasan Feng Qingyang.
Selebihnya, ia hanya berusaha menghafal dan mengingat-ingat di dalam benaknya.
Feng Qingyang bagaikan seorang
guru yang bersemangat karena menemukan murid cerdas. Sebaliknya, Linghu Chong
pun menerima segala penjelasan dengan giat dan gembira. Tak terasa, waktu pun
berlalu begitu cepat. Tiba-tiba saja terdengar suara Tian Boguang berteriak di
luar gua, “Saudara Linghu, hari sudah terang. Kau sudah bangun atau belum?”
Linghu Chong tertegun dan
berseru, “Apa? Hari sudah pagi lagi?”
“Benar, sayang sekali kita
hanya punya waktu singkat,” jawab Feng Qingyang. “Tapi apa yang kau pelajari
sudah melampaui perkiraanku. Sekarang kau boleh keluar untuk bertanding
dengannya.”
“Baiklah,” jawab Linghu Chong.
Ia lantas memejamkan mata untuk merenungkan kembali apa saja yang dipelajarinya
semalam. Tiba-tiba ia membuka mata dan bertanya, “Kakek Guru, ada satu hal yang
saya tidak mengerti. Mengapa semua gerak perubahan pada jurus ini bersifat
menyerang tanpa ada satu pun gerakan bertahan?”
“Ilmu Sembilan Pedang Dugu
memang hanya mengenal maju dan tidak tahu apa artinya mundur. Sekali kau
melangkah maju, maka jangan pernah mundur kembali!” jawab Feng Qingyang. “Oleh
karena itu, setiap gerakan adalah serangan belaka yang memaksa musuh tidak
punya pilihan lain kecuali bertahan. Dengan sendirinya, kita hanya perlu
menyerang tanpa perlu bertahan. Pencipta ilmu pedang ini adalah pendekar besar
Dugu Qiubai. Namanya, yaitu ‘Qiubai’ bermakna ‘mencari kekalahan’, karena
beliau memang selalu unggul dalam setiap pertarungan, sampai-sampai ingin
sekali menemui kekalahan. Namun harapannya itu tidak pernah terwujud sampai
akhir hayatnya. Karena ilmu pedang Beliau memang tidak ada tandingannya di
dunia ini, jadi untuk apa memikirkan cara mempertahankan diri? Padahal, andai
saja ada orang yang bisa memaksa Beliau mengeluarkan jurus bertahan, tentu
Beliau akan merasa sangat gembira dan bahagia tak terkira.”
Linghu Chong bergumam, “Dugu
Qiubai. Beliau bernama Dugu Qiubai.” Sambil berdecak kagum ia membayangkan
tokoh mahasakti tersebut semasa hidupnya. Jangankan mengalahkan dia, mencari
orang yang bisa membuatnya bertahan saja sulit. Kepandaiannya sungguh sukar
untuk dibayangkan.
Sementara itu suara Tian
Boguang kembali terdengar, “Saudara Linghu, keluar kau!”
“Aku datang!” jawab Linghu
Chong sambil menghunus pedangnya.
“Chong’er, intisari jurus
ketiga ini belum dibahas sampai mendalam. Aku khawatir dia melukaimu atau
membuntungi tanganmu. Jika demikian yang terjadi, maka satu-satunya jalan adalah
menyerah kalah dan menerima nasib. Ini adalah satu-satunya hal yang saat ini
menjadi perhatianku,” kata Feng Qingyang
“Saya akan berusaha sekuat
tenaga, Kakek Guru!” seru Linghu Chong dengan penuh semangat.
Segera ia berlari keluar gua.
Begitu sampai di hadapan Tian Boguang, ia pura-pura menguap sambil mengusap
matanya. “Saudara Tian, bagaimana tidurmu semalam? Apa cukup nyenyak?” Sambil
berkata demikian, ia berpikir, “Yang harus kulakukan saat ini adalah mengulur
waktu. Jika aku punya tambahan waktu beberapa jam lagi untuk belajar jurus
ketiga lebih dalam, tantu aku tidak perlu takut lagi padanya.”
Tian Boguang menjawab sambil
mengacungkan goloknya, “Saudara Linghu, sesungguhnya aku tidak ingin melukai
dirimu. Tapi kau sendiri keras kepala tidak mau ikut denganku meninggalkan
Gunung Huashan. Jika pertarungan ini dilangsungkan terus-menerus terpaksa aku
harus mencincang tubuhmu sepuluh kali atau dua puluh kali, meskipun aku sendiri
akan sangat menyesalinya. Bukankah itu tidak baik untukmu?”
“Untuk apa kau mengancam
seperti itu?” balas Linghu Chong. “Cukup kau buntungi lengan kananku atau kau
lukai pergelangan tanganku, maka aku tidak bisa lagi memegang senjata. Demikian
rasanya sudah beres dan kau bisa berbuat sesukamu padaku. Untuk selanjutnya kau
bisa membunuh atau menangkapku hidup-hidup.”
“Aku hanya ingin kau mengaku
kalah, itu saja. Buat apa aku membuatmu cacad lengan atau tangan kananmu?”
sahut Tian Boguang sambil menggeleng.
Linghu Chong gembira karena
pancingannya berhasil. Namun ia pura-pura memasang wajah ragu, “Ah,
jangan-jangan hanya mulutmu saja yang berkata demikian. Bila sudah kalah nanti
kau menjadi kalap dan menggunakan cara keji dan mengerikan.”
“Kau tidak perlu
memanas-manasi aku!” sahut Tian Boguang. “Pertama, kita berdua tidak ada
permusuhan; kedua, aku menghormatimu sebagai seorang laki-laki sejati; ketiga,
bila aku benar-benar melukaimu sampai parah, aku khawatir ada orang lain yang
menghukumku. Nah, silakan kita mulai lagi!”
“Baik, silakan kau maju lebih
dulu!” ujar Linghu Chong.
Tian Boguang pun melancarkan
gerak tipuan, dan disusul dengan serangan menebas dari samping dengan sangat
cepat. Di bawah sinar matahari pagi, golok Tian Boguang berkilat-kilat dan
terlihat sangat tajam. Linghu Chong berusaha menandinginya dengan menggunakan
salah satu gerak perubahan dari jurus ketiga Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Namun,
serangan golok Tian Boguang sangat cepat. Di saat ia mencoba melancarkan
serangan, tahu-tahu serangan golok lawan sudah sudah berganti gaya. Dengan
demikian, Linghu Chong dapat dikatakan ketinggalan satu langkah.
Setelah dua atau tiga kali
saling serang, diam-diam Linghu Chong merasa gelisah, “Celaka, sungguh celaka!
Ilmu pedang yang baru saja kupelajari tidak dapat kumainkan dengan baik. Tentu
saat ini Kakek Guru sedang memaki kebodohanku.”
Setelah beberapa jurus
terlewati, butir-butir keringat mulai bercucuran membasahi dahi Linghu Chong.
Sebaliknya, Tian Boguang justru melihat ilmu pedang yang dimainkan pihak lawan
kali ini sungguh dahsyat dan mengerikan. Bahkan, ia merasa setiap serangan
goloknya mampu dipecahkan oleh pedang pemuda itu. Mau tidak mau dalam hati Tian
Boguang merasa khawatir juga.
Dalam hati, penjahat itu
bertanya-tanya, “Beberapa gerakan pedangnya jelas-jelas bisa membunuhku. Tapi,
kenapa dia sengaja membuatnya agak lamban? Ah, rupanya dia sengaja bermurah
hati agar aku menyadari keampuhannya dan mundur teratur. Ya, aku memang
menyadari kehebatannya, tapi tetap pantang bagiku untuk mundur. Terpaksa aku
harus bertahan sekuat tenaga.”
Karena berpikir demikian, Tian
Boguang tidak berani mengerahkan segenap kekuatannya supaya ia tidak kehabisan
tenaga jika kemudian keadaan menjadi genting. Begitulah, kedua orang itu
sama-sama gentar, dan mereka pun saling menyerang dengan sangat hati-hati.
Tidak lama kemudian permainan
golok Tian Boguang bertambah lebih cepat. Sebaliknya, jurus ketiga Pedang Dugu
yang dimainkan Linghu Chong juga semakin lancar. Akibatnya, dari kilatan sinar
pedang dan golok, tampak pertandingan antara mereka terlihat semakin cepat dan
seru.
Tiba-tiba Tian Boguang memekik
sambil melepaskan tendangan yang tepat bersarang di perut Linghu Chong.
Seketika tubuh pemuda itu pun terlempar ke belakang. Dalam keadaan terkapar di
tanah, terlintas sebuah pikiran di benak Linghu Chong, “Aku butuh sehari
semalam lagi untuk mendalami jurus ketiga Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Aku yakin
esok pasti aku bisa mengalahkannya.” Usai berpikir demikian, ia pun melepaskan
pedang dan pura-pura terguling-guling dengan mata terpejam.
Melihat itu Tian Boguang merasa
khawatir jangan-jangan Linghu Chong terluka parah. Tapi ia sudah hafal watak
pemuda itu yang licin dan banyak tipu muslihat. Jangan-jangan jika ia mendekat
untuk memeriksa, pemuda itu bangkit kembali dan melayangkan pukulan tak
terduga. Maka, Tian Boguang pun melangkah maju dengan golok terhunus di depan
dada sambil bertanya, “Saudara Linghu, bagaimana keadaanmu? Kau baik-baik
saja?”
Setelah berkali-kali
mengulangi seruannya, barulah Tian Boguang melihat Linghu Chong bangun
perlahan-lahan dengan napas terengah-engah.
“Mari… mari kita bertarung
lagi!” ajak pemuda itu dengan suara gemetar. Perlahan ia mencoba berdiri, namun
belum sampai tegak sudah jatuh kembali.
“Tampaknya kau sudah tidak
kuat lagi,” kata Tian Boguang. “Baiklah, kau boleh beristirahat semalam saja.
Besok pagi kau ikut denganku turun gunung!”
Dalam hati Linghu Chong merasa
gembira namun masih tetap ditutupinya. Pura-pura ia bersusah payah untuk
mencoba berdiri dengan napas terengah-engah. Rupanya Tian Boguang tidak lagi
merasa curiga. Ia mencoba memapah Linghu Chong namun sambil menginjak pedang
pemuda itu yang terjatuh di tanah. Selain itu ia juga meletakkan gagang
goloknya di titik nadi pada lengan kanan Linghu Chong untuk berjaga-jaga
apabila pemuda itu tiba-tiba menyerang dengan licik.
Di lain pihak, Linghu Chong
pura-pura menggantungkan berat tubuhnya pada lengan kiri Tian Boguang sehingga
dirinya terlihat benar-benar lemah tak berdaya. Akan tetapi, pemuda itu
kemudian pura-pura meronta sambil membentak, “Keparat! Siapa yang minta
bantuanmu?” Sambil menggerutu ia kemudian masuk kembali ke dalam gua.
Feng Qingyang manyambut dengan
tersenyum. Orang tua itu berkata, “Tanpa susah payah, kau berhasil mengulur
waktu sehingga memperoleh kesempatan semalam lagi. Hanya saja, apa kau tidak
berpikir caramu tadi cukup hina dan tidak tahu malu?”
Linghu Chong tertawa dan
menjawab, “Apa boleh buat? Menghadapi manusia hina dan kotor seperti dia
terpaksa harus menggunakan cara yang hina pula.”
“Tapi, bagaimana jika kau
menghadapi orang baik?” tanya Feng Qingyang dengan wajah serius.
“Menghadapi orang baik?” sahut
Linghu Chong agak terkejut. Untuk sekian saat ia hanya terdiam.
“Bagaimana jika yang kau
hadapi orang baik?” desak Feng Qingyang dengan nada dingin dan sorot mata
tajam.
Linghu Chong akhirnya
menjawab, “Meskipun yang saya hadapi orang baik, tapi kalau dia hendak membunuh
saya, mana mungkin saya berpeluk tangan begitu saja? Jika saya terdesak maka
menggunakan cara sedikit rendah dan kotor juga tidak menjadi masalah.”
“Bagus sekali! Bagus sekali!”
puji Feng Qingyang dengan gembira. “Ucapanmu tadi telah membuktikan bahwa
dirimu bukan seorang munafik, atau orang yang suka berlagak alim. Seorang
laki-laki sejati harus berani bertindak bebas, seperti angin berhembus dan air
mengalir. Datang dan pergi dengan merdeka. Peduli apa dengan peraturan dunia
persilatan dan tata tertib perguruan segala? Persetan semuanya!”
Linghu Chong hanya tersenyum.
Semua ucapan Feng Qingyang benar-benar mengena di lubuk hatinya yang paling
dalam dan membuat perasaannya sangat gembira. Namun demikian, ia juga teringat
pada nasihat gurunya untuk selalu menjunjung tinggi tata tertib Perguruan
Huashan dan juga jangan sampai melanggar peraturan dunia persilatan. Apalagi
ucapan Feng Qingyang tadi yang berbunyi “seorang munafik yang suka berlagak
baik” seolah-olah menyindir julukan Yue Buqun sebagai Si Pedang Budiman. Mau
tidak mau Linghu Chong hanya bisa tersenyum tanpa berani bersuara.
Dengan jari-jemarinya yang
kurus kering, Feng Qingyang membelai kepala Linghu Chong sambil tersenyum, “Tak
kusangka Yue Buqun memiliki murid yang berpandangan bebas seperti dirimu. Boleh
kukatakan bocah itu tidak sepenuhnya gagal.” Jelas yang dimaksud dengan “bocah”
di sini adalah Yue Buqun.
Feng Qingyang lantas
menepuk-nepuk bahu Linghu Chong dan melanjutkan bicara, “Nak, kau benar-benar
sesuai dengan seleraku. Mari kita berlatih lagi dengan lebih dalam jurus
pertama dan jurus ketiga ciptaan Pendekar Besar Dugu.”
Maka, Feng Qingyang pun mulai
menguraikan secara lebih mendalam beberapa kata kunci pada jurus pertama Ilmu
Sembilan Pedang Dugu kepada Linghu Chong. Setelah Linghu Chong memahaminya, ia
lantas menjelaskan dengan seksama bagian-bagian pada jurus pertama yang
memiliki hubungan dengan jurus ketiga, baik itu secara lisan maupun gerakan
tubuh. Karena di dalam gua belakang terdapat beberapa pedang berserakan, maka
mereka pun bisa langsung memeragakan gerakan-gerakan pada jurus tersebut.
Linghu Chong berusaha mengingat semua pelajaran dari Feng Qingyang sepenuh
hati, dan apabila ada yang tidak dipahaminya, maka ia langsung bertanya secara
rinci saat itu juga.
Karena kali ini waktunya lebih
luang, maka cara belajar Linghu Chong pun tidak tergesa-gesa seperti tadi
malam. Setiap gerakan perubahan dan variasi jurus ia pelajari dengan
sebaik-baiknya dan selengkap-lengkapnya. Setelah makan malam, Linghu Chong juga
menyempatkan diri untuk tidur, dan setelah bangun ia kembali berlatih dengan
lebih giat dan pikiran segar.
Esok paginya Tian Boguang
mengira luka Linghu Chong cukup parah akibat pertarungan kemarin sehingga ia
tidak berteriak-teriak untuk menantang pemuda itu keluar. Kesempatan ini
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Linghu Chong untuk memperdalam latihannya di
gua belakang. Setelah lewat tengah hari Linghu Chong telah menguasai dengan
baik semua gerak perubahan dan variasi jurus ketiga dari Ilmu Sembilan Pedang
Dugu.
Feng Qingyang mengakhiri
latihan dengan berkata, “Tidak masalah jika hari ini kau masih kalah darinya.
Kau bisa berlatih lagi malam ini dan aku yakin besok kau pasti menang.”
Linghu Chong mengangguk dan
kemudian melangkah keluar perlahan-lahan. Karena kemarin pedangnya tertinggal
di luar, maka kali ini yang ia bawa adalah salah satu pedang milik sesepuh
Huashan yang berserakan di dalam gua belakang.
Sesampainya di luar, ia
melihat Tian Boguang sedang berdiri di pinggiran tebing. Dengan memasang wajah
heran, ia pun menegur, “Hei, mengapa Saudara Tian belum juga pergi? Aku kira
kau sudah turun gunung sejak kemarin.”
“Aku sedang menunggumu,” jawab
Tian Boguang. “Aku minta maaf kemarin telah melukaimu. Apa hari ini sudah
sembuh?”
Linghu Chong menjawab, “Aku
belum merasa sembuh. Luka di bagian paha karena serangan golokmu masih terasa
sakit.”
“Hahahaha. Dalam pertarungan
di Kota Hengyang dulu luka Saudara Linghu sepertinya jauh lebih parah daripada
sekarang. Tapi, waktu itu kau sama sekali tidak merintih kesakitan,” ujar Tian
Boguang. “Aku sudah hafal kalau kau ini punya segudang tipu muslihat. Keluhanmu
tadi pasti hanya pura-pura. Jika kau memperlihatkan kelemahan, pasti kau
menyembunyikan serangan kejutan. Huh, aku tidak akan tertipu lagi!”
“Kau tidak mau tertipu?” sahut
Linghu Chong. “Sekarang ini kau sudah tertipu. Meskipun kau menyadarinya juga
sudah terlambat. Nah, Saudara Tian, terimalah seranganku!” bersamaan dengan itu
Linghu Chong pun menusukkan pedangnya ke arah dada lawan.
Tian Boguang menangkis dengan
cepat namun hanya mengenai tempat kosong, sementara serangan kedua Linghu Chong
sudah menyusul.
“Cepat sekali!” seru Tian
Boguang memuji sambil menyilangkan goloknya untuk menjaga diri.
“Aku punya beberapa yang lebih
cepat,” jawab Linghu Chong sambil berturut-turut melancarkan serangan ketiga,
keempat, kelima, dan keenam sambil berseru. Serangan selanjutnya selalu lebih
dahsyat dari serangan sebelumnya. Yang ia gunakan adalah intisari Sembilan
Pedang Dugu yang hanya mengenal maju terus pantang mundur. Setiap ayunan pedang
adalah serangan, dan bukan pertahanan.
Setelah belasan jurus berlalu,
Tian Boguang merasa sangat terdesak. Ia bingung tidak tahu harus bagaimana
menangkis serangan Linghu Chong yang mengalir deras bagaikan tanpa akhir.
Setiap kali menerima serangan lawan, tanpa sadar ia bergerak mundur selangkah.
Maka setelah belasan jurus, tanpa sadar posisi tubuhnya sudah berada di tepi
jurang. Sebaliknya, serangan-serangan Linghu Chong tidak menjadi kendur.
Kembali ia melancarkan empat kali tusukan yang semuanya mengarah ke titik
mematikan di tubuh lawan.
Sekuat tenaga Tian Boguang
berusaha menangkis serangan pertama dan kedua. Namun serangan ketiga dan
keempat tidak bisa ditahannya lagi. Ia hanya melangkah mundur dan betapa
terkejut hatinya karena menginjak tempat kosong. Jelas jika diteruskan maka
tubuhnya akan jatuh ke dasar jurang dan hancur lumat di bawah sana. Maka, pada
saat-saat genting tersebut Tian Boguang menusukkan goloknya sekuat tenaga ke
dalam tanah untuk menyelamatkan diri. Bersamaan dengan itu, pedang Linghu Chong
sudah mengancam di depan lehernya.
Wajah Tian Boguang pucat pasi
seperti kertas. Linghu Chong hanya terdiam tanpa bersuara dengan ujung
pedangnya masih menodong leher penjahat itu.
Selang agak lama barulah Tian
Boguang berseru, “Aku sudah kalah. Kalau mau bunuh silakan bunuh! Apalagi yang
kau tunggu?”
Namun Linghu Chong menarik
mundur pedangnya dan melompat ke belakang. “Kekalahan Saudara Tian kali ini
hanya karena lengah sesaat sehingga bisa didahului olehku. Sebaiknya jangan
diperhitungkan. Mari kita ulangi lagi!”
Tian Boguang mendengus karena
merasa terhina. Ia pun menerjang maju sambil mengayunkan goloknya secepat kilat.
“Kali ini aku menyerang lebih dulu. Tak akan kubiarkan kau mengambil keuntungan
lagi!” demikian ia membentak.
Dengan cepat Linghu Chong
mengangkat pedang dan menusuk miring mengarah ke perut lawan sambil menghindari
serangan golok tersebut. Menyadari itu, Tian Boguang segera memutar goloknya
untuk menangkis pedang lawan. Ia menduga tenaganya jauh lebih kuat sehingga
pedang Linghu Chong pasti terlempar ke bawah.
Akan tetapi, serangan Linghu
Chong tersebut hanyalah permulaan. Serangan kedua dan ketiga sambung-menyambung
tanpa jeda. Setiap serangan dilancarkan sangat tepat dan ganas. Yang dituju pun
tempat-tempat berbahaya pada tubuh Tian Boguang.
Karena tidak bisa mengimbangi
kecepatan pedang lawan, terpaksa Tian Boguang melangkah mundur lagi. Sungguh
tak disangka setelah belasan jurus ia sudah kembali ke posisi semula, yaitu di
tepi jurang.
Linghu Chong terus menusukkan
pedang ke bagian bawah lawan membuat Tian Boguang terpaksa mengayunkan goloknya
untuk menangkis. Pada saat yang bersamaan tangan kiri Linghu Chong sudah
bergerak menembus pertahanan lawan dan siap menotok titik Tanzhong pada dada
Tian Boguang.
Tian Boguang sadar apabila
titik tersebut tertotok, maka tubuhnya akan lemah lunglai dan jatuh ke dasar
jurang yang luar biasa dalam tersebut. Entah bagaimana keadaannya nanti. Namun
demikian, Linghu Chong menghentikan serangan dan menahan totokannya hanya
beberapa senti di depan dada Tian Boguang.
Kedua orang itu hanya terdiam
tanpa suara. Beberapa saat kemudian Linghu Chong melompat mundur ke belakang.
Tian Boguang duduk di atas
batu sambil memejamkan mata dan merenungi apa yang baru saja ia alami. Selang
agak lama barulah ia berdiri dan kemudian menerjang dengan lebih ganas.
Goloknya mengayun dari atas ke bawah sekuat tenaga. Kali ini ia memilih posisi
membelakangi gunung sehingga jika sampai terdesak lagi tidak akan mundur ke
arah jurang, paling-paling masuk ke dalam gua. Dengan posisi seperti ini ia
tidak perlu takut lagi jatuh ke jurang sehingga bisa bertarung habis-habisan.
Namun Linghu Chong telah
memahami dengan baik segala perubahan dan variasi ilmu golok Tian Boguang. Maka
begitu Tian Boguang mengayunkan goloknya, dengan cepat ia mengelak ke kanan
sambil pedangnya menyerang lengan kiri lawan. Tian Boguang terpaksa memutar
goloknya untuk menangkis serangan tersebut, namun pedang Linghu Chong sudah
berubah arah dan kini menusuk ke arah pinggang kiri.
Saat memutar golok, Tian
Boguang berusaha bertahan dan menyerang secara sekaligus. Tentu saja untuk
melancarkan jurus serangan ia harus menghimpun tenaga secukupnya. Dalam keadaan
terdesak, Tian Boguang tidak cukup tenaga untuk menyilangkan golok di dekat
pinggang, sehingga mau tidak mau ia harus bergeser ke kanan satu langkah. Tanpa
memberi kesempatan, Linghu Chong pun melayangkan satu tusukan ke pipi kanan
Tian Boguang. Tian Boguang berusaha menangkis, namun pedang Linghu Chong sudah
menusuk ke paha kiri pria itu. Tak punya kesempatan untuk menangkis, Tian
Boguang kembali bergeser ke kanan satu langkah.
Begitulah, serangan Linghu
Chong susul-menyusul tanpa henti ke arah tubuh bagian kiri lawan sehingga mau
tidak mau Tian Boguang terpaksa bergeser ke arah kanan. Belasan jurus kemudian
Tian Boguang sudah terpojok ke dinding tebing di sebelah mulut gua. Ia pun
mengayunkan goloknya dengan kalap ke segala arah tidak peduli lagi serangan
Linghu Chong. Namun, pedang Linghu Chong tetap lebih menguasai keadaan.
Tahu-tahu kain lengan baju dan celana Tian Boguang robek sebanyak enam tempat
di bagian kiri, mulai lengan, pinggang, dan paha. Tian Boguang paham benar,
jika Linghu Chong mau, pemuda itu bisa saja melukai kulitnya atau bahkan
membuntungi lengan dan pahanya, atau menguraikan isi perutnya. Namun hal itu
tidak dilakukannya.
Dalam sekejap, Tian Boguang
menderita putus asa dan kehilangan semua harapan. Dalam keadaan tertekan
penjahat itu muntah darah dan berdiri sempoyongan.
Linghu Chong merasa sangat
heran dan kagum karena berhasil mendesak dan mengalahkan Tian Boguang sebanyak
tiga kali dalam sehari, padahal selama beberapa hari sebelumnya ia selalu kalah.
Meskipun pihak lawan memiliki tenaga lebih kuat, namun anehnya ia bisa
mengalahkannya tanpa mengeluarkan banyak tenaga.
Namun melihat penjahat itu
muntah darah mau tidak mau hatinya merasa prihatin juga. Ia pun berkata,
“Saudara Tian mengapa harus seperti ini? Kalah menang dalam sebuah pertandingan
itu kan suatu hal yang biasa? Bukankah berkali-kali aku tersungkur di
tanganmu?”
Tian Boguang membuang golok di
tanah dan menenangkan diri. Ia berkata, “Ilmu pedang Sesepuh Feng sungguh luar
biasa. Benar-benar tiada bandingannya di zaman ini. Aku bukan lagi tandinganmu.
Selamanya aku bukan lagi tandinganmu.”
Linghu Chong memungut golok
Tian Boguang dan mengembalikannya dengan penuh hormat, yaitu dipegang dengan
dua tangan dengan gagang mengarah ke Tian Boguang. “Ucapan Saudara Tian memang
benar. Kemenanganku yang kebetulan ini hanya karena petunjuk Kakek Guru Feng
belaka. Sekarang Beliau memintamu untuk berjanji sesuatu, entah Saudara Tian
bersedia melakukan atau tidak?” ujar pemuda itu.
Tian Boguang menjawab dengan
perasaan pedih, “Jiwa dan ragaku ada di tanganmu. Untuk apa bertanya seperti
itu?”
Linghu Chong berkata, “Kakek
Guru Feng sudah lama mengasingkan diri dari urusan dunia persilatan. Bahkan,
banyak orang menganggap Beliau sudah meninggal. Maka, jika nanti Saudara Tian
meninggalkan tempat ini, janganlah sekali-kali membicarakan keberadaan Beliau
kepada orang lain. Untuk itu aku akan sangat berterima kasih.”
“Mengapa kau harus repot-repot
menyuruhku berjanji?” tanya Tian Boguang dengan nada dingin. “Bukankah jauh
lebih mudah jika kau tikam aku dengan pedangmu sehingga mulutku tertutup
selamanya?”
Linghu Chong justru mundur dan
menyarungkan pedangnya sambil menjawab, “Dulu ketika kepandaian Saudara Tian
berada jauh di atasku, sekali kau ayunkan golok tentu aku sudah mati sejak
dulu. Jika kau lakukan itu, mana mungkin masih ada hari ini untukku? Sekali
lagi aku memohon kepadamu dengan sangat, jangan membicarakan keberadaan Kakek
Guru Feng kepada orang lain meskipun kau diancam dan dipaksa.”
“Baiklah, aku berjanji,” jawab
Tian Boguang.
“Terima kasih, Saudara Tian!”
kata Linghu Chong sambil membungkuk dan memberi hormat.
Tian Boguang berkata, “Saudara
Linghu, kedatanganku kemari untuk mengajakmu turun gunung adalah karena
perintah seseorang. Meskipun hari ini aku gagal, namun urusan ini belum
kuanggap selesai. Mungkin seumur hidup aku tidak bisa lagi memaksamu melalui
pertarungan. Namun aku tidak akan menyerah begitu saja karena ini menyangkut
hidup-matiku. Jika kelak aku menggunakan tipu muslihat, hendaknya Saudara
Linghu bisa memakluminya. Baiklah, sampai jumpa lagi!”
Usai berkata demikian Tian
Boguang memberi hormat dan melangkah pergi.
Begitu teringat di dalam tubuh
penjahat itu terdapat racun, seketika Linghu Chong merasa prihatin. Ada
perasaan kehilangan sewaktu membayangkan beberapa hari lagi Tian Boguang akan
mati mengenaskan oleh racun ganas tersebut. Setelah mengalami sejumlah
pertarungan di antara mereka, entah mengapa Linghu Chong merasa ada kedekatan
dengan penjahat tersebut. Hampir saja ia ikut pergi karena kasihan, namun
segera diurungkan begitu teringat bahwa dirinya sedang menjalani masa hukuman
di Tebing Perenungan yang mana ia tidak boleh meninggalkan tempat itu tanpa
seizin sang guru. Di samping itu, Tian Boguang adalah maling cabul yang gemar
melakukan berbagai jenis kejahatan. Jika pergi bersama dengannya, bukankah itu
sama artinya ikut berkubang dalam dosa? Bukankah itu akan mencemarkan nama baik
diri sendiri dan mendatangkan banyak masalah besar di kemudian hari? Berpikir
demikian membuat Linghu Chong menahan diri dan hanya memandang Tian Boguang
melangkah pergi menuruni jalan setapak meninggalkan puncak Huashan tersebut.
Linghu Chong kemudian masuk ke
dalam gua dan menyembah di hadapan Feng Qingyang sambil berkata, “Kakek Guru Feng
bukan hanya menyelamatkan jiwa saya, tapi juga mengajarkan ilmu pedang
mahatinggi kepada saya. Entah bagaimana saya bisa membalas budi baik sebesar
ini?”
“Ilmu pedang mahatinggi? Ilmu
pedang mahatinggi? Hm, masih terlalu jauh,” sahut Feng Qingyang sambil
tersenyum. Sebuah senyuman hampa yang menampakkan perasaan pedih dan kesepian.
Linghu Chong berkata dengan
hormat, “Apakah saya boleh belajar semua jurus dalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu
kepada Kakek Guru?”
“Kau ingin belajar? Apa kelak
kau tidak akan menyesal?” tanya Feng Qingyang.
Linghu Chong agak bingung
mendengar pertanyaan itu, namun sejenak kemudian ia paham dan menjawab, “Saya
tahu, Sembilan Pedang Dugu memang bukan ilmu pedang perguruan kita. Saya tahu
Kakek Guru khawatir kelak saya akan dimarahi Guru. Tapi biasanya Guru tidak
melarang saya untuk mempelajari ilmu silat dari golongan lain sebagai
perbandingan. Guru berkata bahwa batuan dari gunung lain dapat digunakan untuk
mengasah permata menjadi lebih indah. Lagipula saya juga sudah mempelajari ilmu
pedang Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan Henshan yang terukir di
dinding gua ini. Bahkan, ilmu silat aliran sesat juga tak luput dari perhatian
saya. Kini saya bertemu Ilmu Sembilan Pedang Dugu yang jauh lebih hebat.
Sungguh, bagaikan mukjizat yang diimpi-impikan setiap orang di dunia
persilatan. Saya sangat beruntung bisa bertemu dan mendapat petunjuk dari
sesepuh dari perguruan sendiri. Kesempatan seperti ini mana mungkin saya
sia-siakan? Ini adalah anugerah yang tidak ternilai harganya. Seumur hidup saya
tidak akan pernah menyesal.” Usai berkata demikian, pemuda itu pun berlutut di
atas tanah.
“Baik, akan kuajarkan
kepadamu,” kata Feng Qingyang sambil tersenyum. “Jika tidak kuajarkan kepadamu,
aku khawatir bisa-bisa Ilmu Sembilan Pedang Dugu ikut punah setelah aku mati
nanti.”
Untuk sementara waktu raut
muka Feng Qingyang tampak berseri-seri, namun kemudian kembali datar dan
dingin.
“Tian Boguang tidak akan
menyerah begitu saja. Jika dia datang lagi kemari, paling tidak sepuluh atau lima
belas hari lagi dari sekarang. Di samping ilmu silatmu saat ini berada di
atasnya, kau juga punya banyak akal untuk mengalahkannya. Aku yakin kau tidak
perlu takut lagi kepadanya. Sekarang kau punya cukup banyak waktu untuk
memperdalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu. Kau bisa mengulanginya dari awal supaya
lebih terpupuk dengan baik.”
Kali ini Feng Qingyang
mengulangi kembali penjelasannya mengenai jurus pertama Ilmu Sembilan Pedang
Dugu, yang berupa petunjuk umum. Setiap kalimat dijelaskan dengan sangat rinci
beserta segala variasi dan perubahan yang terkandung di dalamnya. Sebelumnya
Linghu Chong memaksakan diri untuk mengingat dan menghafal, tanpa disertai
pemahaman yang baik mengenai maksud dan tujuan di balik jurus tersebut.
Sekarang dengan penjelasan yang tenang tanpa tergesa-gesa dari Feng Qingyang
membuat Linghu Chong dapat mempelajari banyak prinsip dasar kemajuan dan
tingkatan ilmu silat, serta beberapa variasi dan yang luar biasa. Pemuda itu
merasa sangat kagum dan bahagia mendengarkan uraian sang kakek dengan seksama.
Selama beberapa hari di atas
Tebing Perenungan itu Feng Qingyang mengajarkan semua jurus dalam Ilmu Sembilan
Pedang Dugu kepada Linghu Chong. Mereka mulai dari jurus pertama yaitu Petunjuk
Umum; jurus kedua yaitu Cara Mengalahkan Pedang; jurus ketiga Cara Mengalahkan
Golok; jurus keempat Cara Mengalahkan Tombak; jurus kelima Cara Mengalahkan
Gada; jurus keenam Cara Mengalahkan Cambuk; jurus ketujuh Cara Mengalahkan
Tapak; jurus kedelapan Cara Mengalahkan Senjata Rahasia; dan jurus kesembilan
Cara Mengalahkan Tenaga Dalam.
Mengenai jurus keempat yaitu
Cara Mengalahkan Tombak juga termasuk bagaimana cara mengalahkan toya, trisula,
tongkat, sekop, tongkat berkepala ular, dan sejenisnya.
Jurus kelima berupa Cara
Mengalahkan Gada juga termasuk cara mengalahkan senjata berukuran pendek dan
pentungan, termasuk gada besar, ruyung, pena penotok, tongkat pendek, belati,
kampak, cakram besi, perisai, palu godam, dan sejenisnya.
Jurus keenam berupa Cara
Mengalahkan Cambuk juga termasuk tali panjang, toya berlekuk tiga, toya
berlekuk sembilan, tombak berantai, jaring, bandul bertali, dan sejenisnya.
Meskipun hanya terdiri atas
sembilan jurus, namun Ilmu Sembilan Pedang Dugu memiliki variasi dan jumlah
gerak perubahan yang tidak terhingga banyaknya. Semakin dipelajari, semakin
membuat Linghu Chong terkesan. Linghu Chong juga menemukan betapa hebat daya
serang jurus itu juga keterkaitannya yang luar biasa antara satu jurus dengan
jurus lainnya. Tiga jurus terakhir dirasa Linghu Chong sebagai bagian yang
peling sulit.
Jurus ketujuh berupa Cara
Mengalahkan Tapak juga termasuk bagaimana mengalahkan tinju, tendangan, totokan
jari, dan pukulan telapak tangan. Apabila bertemu musuh yang bertarung dengan
mengandalkan tangan kosong tentu bisa dipastikan ia seorang yang sangat sakti
dan kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Lawan seperti itu tidak ada
bedanya baik menggunakan senjata ataupun tanpa senjata. Di dunia persilatan pun
terdapat berbagai macam jenis dan gaya pukulan, tendangan, tinju, tapak, ataupun
totokan, dan kesemuanya sangat rumit untuk dihadapi. Tidak hanya menghadapi
pukulan, jurus ketujuh ini juga bisa digunakan untuk menghadapi serangan gulat,
totokan urat nadi, serangan cakar, dan sebagainya.
Jurus kedelapan adalah Cara
Mengalahkan Senjata Rahasia, termasuk di sini adalah berbagai jenis senjata
rahasia dan anak panah. Jurus ini juga sangat sulit dipelajari karena harus
benar-benar menguasai ilmu pendengaran yang baik dan teknik membedakan senjata.
Dalam menggunakan jurus kedelapan ini tidak hanya menggunakan pedang untuk
menangkis senjata rahasia lawan, tapi juga bagaimana mengembalikan senjata
rahasia tersebut menggunakan kekuatan pedang untuk berbalik melukai si
penyerang.
Jurus kesembilan adalah Cara
Mengalahkan Tenaga Dalam, di mana Feng Qingyang hanya mengajarkan teknik
berlatih dan rumusnya saja kepada Linghu Chong. Orang tua itu berkata, “Jurus
ini hanya digunakan untuk menghadapi musuh yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Intisari jurus ini tergantung pada penafsiranmu pribadi.”
Feng Qingyang diam sejenak
kemudian melanjutkan, “Bertahun-tahun yang lalu, dengan menggunakan sembilan
jurus tersebut, Pendekar Dugu Qiubai malang melintang di dunia persilatan tanpa
ada yang mampu menandingi. Ini semua karena Beliau telah menguasai puncak
kesempurnaan dari segala teknik ilmu pedang. Nah, meskipun sama-sama
mempelajari ilmu pedang Perguruan Huashan, namun kau dan adik-adikmu memiliki
tingkat kepandaian yang berbeda. Begitu pula dengan Ilmu Sembilan Pedang Dugu.
Meskipun kau sudah mengetahui segala teknik dan jurus di dalamnya, namun
apabila kau tidak giat berlatih, tetap saja kau bukan tandingan ahli silat
papan atas di masa kini. Kau telah berkecimpung di dunia persilatan. Menang
atau kalah adalah pilihan. Maka itu, berlatihlah dengan giat dan rajin. Paling
tidak dua puluh tahun lagi kau bisa merajai dunia persilatan.”
Linghu Chong memahami bahwa
Ilmu Sembilan Pedang Dugu sesungguhnya memiliki variasi dan gerak perubahan
yang tidak terbatas, tergantung keadaan. Tentu saja waktu yang diperlukan untuk
benar-benar menguasainya tidak dapat diketahui dengan pasti. Maka itu, ketika
Feng Qingyang mengatakan bahwa untuk benar-benar bisa menguasainya dibutuhkan
waktu dua puluh tahun, sama sekali tidak membuat pemuda itu terkejut.
Linghu Chong pun berkata,
“Jika saya bisa memahami dan menguasai Ilmu Sembilan Pedang Dugu dan
melestarikan ilmu ciptaan Pendekar Dugu Qiubai ini, tentu saya akan sangat
bersyukur.”
Feng Qingyang menyahut, “Kau
tidak perlu terlalu merendahkan diri. Memang Pendekar Dugu seorang yang luar
biasa cerdas, sehingga ilmu ciptaannya pun sangat istimewa. Hendaknya kau ingat
bahwa Ilmu Sembilan Pedang Dugu tidak cukup hanya dihafalkan saja, tetapi yang
terpenting adalah bagaimana memahami kegunaannya. Kalau kau sudah mengetahui intisari
dan hakikat penggunaannya, maka di kala bertemu musuh, semakin tidak terikat
oleh susunan jurus yang kau hafalkan justru semakin baik. Walaupun kau sama
sekali tidak ingat variasi dan perubahan, itu tidak menjadi soal. Pikiranmu
cerdas dan bakatmu cemerlang, sungguh tepat bagimu untuk bisa mempelajari ilmu
pedang ini. Aku sudah mengajarkan semuanya kepadamu. Di zaman sekarang ini,
entah apakah masih ada pendekar yang benar-benar hebat di luar sana? Untuk
selanjutnya kau harus bisa berlatih sendiri dengan sebaik-baiknya. Selamat
tinggal.”
Linghu Chong terkejut
mendengarnya, “Kakek Guru hendak… hendak ke mana?”
“Aku tinggal di balik puncak
Huashan ini selama puluhan tahun,” jawab Feng Qingyang. “Aku sengaja keluar
untuk mengajarimu dengan harapan supaya ilmu hebat ciptaan Pendekar Dugu tidak
punah begitu saja bersama kematianku kelak. Sekarang semuanya sudah kuwariskan
kepadamu. Sudah waktunya aku kembali ke tempat tinggalku.”
“Jadi, Kakek Guru tinggal di
balik puncak Huashan ini? Bagus sekali!” sahut Linghu Chong. “Kalau begitu
mulai saat ini, siang dan malam saya bisa melayani dan menemani Kakek Guru.”
“Tidak bisa. Mulai saat ini
aku tidak ingin bertemu orang-orang Huashan lagi, termasuk dirimu tanpa
kecuali,” sahut Feng Qingyang dengan wajah galak.
Melihat Linghu Chong ketakutan
dan bingung, Feng Qingyang pun merendahkan nada bicaranya, “Chong’er, takdir
telah mempertemukan kita. Aku juga sangat menyukai sifatmu. Kau seorang anak
yang penuh kebebasan, yang bisa mewarisi ilmu pedang dariku. Jika kau masih
menganggapku sebagai kakek gurumu, maka jangan sekali-kali kau datang mencariku
sehingga menimbulkan masalah besar di kemudian hari.”
“Mengapa demikian, Kakek
Guru?” tanya Linghu Chong dengan hati berduka.
“Sudahlah. Tolong jangan
sekali-kali kau bercerita kepada gurumu tentang pertemuan kita ini,” ujar Feng
Qingyang.
“Saya… saya akan mematuhi
perintah Kakek Guru Feng,” jawab Linghu Chong lirih. Air matanya mulai
berlinang membasahi pipi.
“Anak pintar, anak pintar!”
kata Feng Qingyang sambil membelai kepala pemuda itu. Ia kemudian melesat pergi
dan menghilang begitu saja di balik tebing Puncak Gadis Kumala tersebut. Linghu
Chong tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia hanya memandang tebing tersebut
dengan perasaan haru dan sedih yang mendalam.
Telah belasan hari Linghu
Chong melewati waktu bersama Feng Qingyang. Meskipun selama ini yang mereka
bicarakan cuma seputar ilmu silat, namun Linghu Chong benar-benar kagum
terhadap jiwa dan tindakan kakek-gurunya tersebut. Di atas itu semua, ia merasa
saling cocok dengan Feng Qingyang, dan akrab lahir batin. Meskipun Feng
Qingyang adalah paman dari gurunya, namun jauh di lubuk hati Linghu Chong
terasa bahwa hubungan mereka bagaikan sahabat karib yang sebaya, yang sudah
lama tidak bertemu. Perbedaan usia di antara mereka tidak lagi terasa. Bahkan,
Linghu Chong merasa lebih akrab dengan Feng Qingyang daripada dengan Yue Buqun,
gurunya sendiri.
Dalam hati Linghu Chong
berpikir, “Saat masih muda, mungkin sifat Kakek Guru Feng sama persis denganku;
tidak kenal takut, riang gembira, tanpa beban, dan melakukan apa saja dengan
perasaan merdeka. Saat Beliau mengajarkan ilmu pedang kepadaku, Beliau selalu
menegaskan bahwa ‘bukan pedang yang mengendalikan orang, tetapi orang yang
mengendalikan pedang.’ Beliau juga berkata, ‘jurus pedang adalah mati,
sedangkan orang yang memainkan adalah hidup.’ Kalimat ini sangat benar, tapi
mengapa Guru tidak pernah menyampaikan soal itu?”
Setelah merenung sejenak,
Linghu Chong pun menemukan jawaban, “Ah, aku tahu sekarang! Guru pasti paham
soal ini. Namun Beliau juga sadar kalau sifatku bebas merdeka sehingga Beliau
enggan menyampaikan hal ini kepadaku. Agaknya Beliau khawatir aku terjebak
dalam pikiran liar dan tidak mau lagi mengikuti aturan baku dalam berlatih ilmu
pedang. Mungkin Guru akan menyampaikan rumusan tersebut apabila ilmu silatku
sudah dirasa cukup tinggi. Hm, sedangkan adik-adik seperguruan memiliki ilmu
silat yang lebih rendah dariku. Aku yakin mereka tidak akan paham jika kalimat
rumus dasar tersebut aku sampaikan. Rasanya hanya buang-buang waktu saja.”
Sekejap kemudian pikiran
pemuda itu beralih ke hal lain, “Kakek Guru Feng telah mencapai puncak
kesempurnaan dalam ilmu pedang. Sayang sekali, aku belum sempat melihat Beliau
bertarung dan memperlihatkan kepandaian sehingga aku bisa bertambah pengalaman.
Jika dibandingkan dengan Guru, aku yakin ilmu pedang Kakek Guru Feng lebih
tinggi.”
Teringat pula olehnya betapa
raut muka Feng Qingyang selalu diliputi ketegangan dan pucat pasi. Ia pun
berpikir, “Selama belasan hari ini Kakek Guru Feng seringkali menghirup napas
panjang. Sepertinya Beliau teringat peristiwa menakutkan atau sejenisnya yang
pernah Beliau alami.”
Usai berpikir demikian Linghu
Chong pun keluar dari gua dan melanjutkan berlatih. Untuk sekian lama ia menusukkan
pedang secara acak ke segala arah. Namun setelah satu jam, tanpa terasa ia
memainkan jurus Burung Feng Datang Menyembah, ilmu perguruannya sendiri.
Sambil menggeleng-gelengkan
kepala dan tersenyum hambar, pemuda itu menggumam sendiri, “Salah! Ini salah!”
Kembali ia memainkan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Namun tak lama kemudian ketika
melakukan tusukan kembali yang keluar adalah gaya Burung Feng Datang Menyembah.
“Ah, kebiasaan seseorang
memang sulit diubah!” gerutu Linghu Chong pada dirinya sendiri. “Aku sudah
terlalu hafal jurus pedang Perguruan Huashan sehingga pada saat melatih ilmu
Sembilan Pedang Dugu, jurus-jurus tersebut tanpa sengaja terselip di dalamnya.
Ini bukan lagi ilmu Pedang Sembilan Dugu.”
Tiba-tiba terlintas pikiran di
benaknya, “Tunggu dulu! Kakek Guru Feng mengajarkan kepadaku supaya bermain
pedang dengan bebas sesuai kehendak hati tanpa keterikatan. Jadi, apa salahnya
kalau kuselingi dengan ilmu pedang Perguruan Huashan? Bahkan, bisa juga ilmu
pedang Songshan, Taishan, Hengshan, dan Henshan, atau ilmu silat Sekte Iblis?
Biarlah aku berlatih sesuai kehendak hati. Jika aku memaksakan diri untuk tidak
melibatkan jurus-jurus pedang tersebut, bukankah itu justru membuatku terjebak
dalam keterikatan?”
Usai berpikir demikian, Linghu
Chong segera mengayunkan pedangnya dan kembali berlatih. Ia mencoba
menggabungkan jurus-jurus silat Serikat Pedang Lima Gunung dan diselingi dengan
jurus-jurus Sekte Iblis yang terukir di dinding gua belakang. Dalam hati Linghu
Chong merasa gembira memainkan jurus-jurus tersebut, namun meskipun sudah
belasan kali mencoba tetap saja ia merasa kesulitan menggabungkan ilmu silat
Serikat Pedang Lima Gunung yang terdiri dari lima perguruan, apalagi ditambah
dengan ilmu silat Sekte Iblis. Boleh dikata menggabungkan berbagai ilmu silat
dari berbagai aliran adalah suatu hal yang mendekati mustahil.
Linghu Chong pun berhenti
berlatih dan berpikir, “Huh, aku tidak mampu menggabungkan jurus-jurus ini,
lalu kenapa aku harus memaksa? Memangnya ini wajib?” Berpikir demikian membuat
hatinya merasa tenang dan bebas dari gelisah.
Maka untuk selanjutnya Linghu
Chong hanya berlatih secara merdeka tanpa peduli lagi ilmu pedang dari
perguruan mana yang ia gunakan. Yang penting ia merasa cocok maka ilmu tersebut
bisa dipadukan dengan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Hanya saja, jurus yang paling
banyak ia selipkan lagi-lagi Burung Feng Datang Menyembah.
Tiba-tiba terlintas dalam
pikirannya, “Hei, andai saja Adik Kecil melihat bagaimana aku memainkan jurus
Burung Feng ini, entah bagaimana pendapatnya?”
Begitu teringat pada gadis
bernama Yue Lingshan itu, Linghu Chong pun tersenyum gembira. Rasa rindunya
bangkit kembali setelah beberapa hari ini ia sibuk memeras otak memikirkan
berbagai macam gerak perubahan dan variasi ilmu Sembilan Pedang Dugu.
Namun kemudian terlintas pula
dalam benaknya tentang kedekatan Yue Lingshan dengan Lin Pingzhi. “Aku yakin
Adik Kecil masih mengajarkan ilmu silat kepada Adik Lin secara diam-diam.
Meskipun Guru sudah melarang Adik Kecil, tapi Adik Kecil punya sifat bandel.
Apalagi Ibu Guru suka memanjakannya, pasti dia kembali mengajar Adik Lin. Tapi,
aih, meskipun mereka tidak lagi belajar bersama, tetap saja mereka bisa bertemu
setiap hari dan bertambah akrab.”
Berpikir demikian membuat
senyum lembut di bibir Linghu Chong pudar dan berubah menjadi senyum kecut.
Wajahnya bahkan berubah menjadi murung, tanpa kesan gembira sama sekali.
Perlahan ia pun menyarungkan kembali pedangnya dan menghentikan latihan.
Tiba-tiba terdengar suara Lu
Dayou datang memanggil dengan nada khawatir, “Kakak Pertama! Kakak Pertama! Ada
berita buruk!”
Linghu Chong terkejut
mendengarnya. Dalam hati ia berpikir, “Gawat! Tian Boguang berkata bahwa
dirinya belum menyerah dan akan mengusahakan segala cara untuk bisa membawaku
turun gunung. Sekarang rupa-rupanya dia menangkap dan menculik Adik Kecil
sebagai sandera untuk memaksaku mengikuti ajakannya.”
Dengan cepat ia melesat ke
tepi tebing untuk menyambut kedatangan Lu Dayou yang berlari mendaki ke atas
sambil menjinjing keranjang makanan.
“Celaka… celaka ini!” teriak
Lu Dayou kemudian.
“Ada apa? Ada apa dengan Adik
Kecil?” desak Linghu Chong dengan nada khawatir.
Lu Dayou sudah melompat ke
atas tebing dan kemudian menaruh keranjangnya di atas batu besar. “Adik Kecil?
Adik Kecil baik-baik saja. Tapi, bisa jadi sebentar lagi kita semua dalam
masalah besar. Sungguh celaka!”
Mendengar Yue Lingshan
baik-baik saja, perasaan Linghu Chong sedikit lega. Ia pun kembali bertanya,
“Apanya yang celaka? Apanya yang menjadi masalah?”
“Guru… Guru dan Ibu Guru sudah
pulang,” jawab Lu Dayou dengan nafas terengah-engah.
Linghu Chong berseru, “Huh!
Guru dan Ibu Guru sudah pulang kau sebut itu berita buruk? Masalah besar omong
kosong!”
“Tidak, tidak, bukan itu. Kau
tidak mengerti,” sahut Lu Dayou. “Baru saja Guru dan Ibu Guru pulang, bahkan
belum sempat minum, tiba-tiba datang beberapa orang. Mereka orang-orang Serikat
Pedang Lima Gunung seperti kita. Mereka dari Perguruan Songshan, Taishan, dan
Hengshan.”
“Kunjungan sesama orang
Serikat Pedang Lima Gunung?” tanya Linghu Chong semakin heran. “Apanya yang
aneh jika orang-orang Songshan dan yang lain datang menemui Guru?”
“Tidak, tidak… kau belum tahu
juga,” jawab Lu Dayou. “Begini, di antara mereka ada tiga orang yang mengaku
berasal dari Perguruan Huashan. Mereka memanggil Guru dengan sebutan ‘Kakak’.
Tapi anehnya, Guru tidak memanggil ‘Adik’ pada mereka.”
“Mengapa demikian? Seperti apa
ketiga orang itu?” Linghu Chong kembali bertanya dengan perasaan terkejut.
“Yang pertama berwajah
kekuning-kuningan, dipanggil dengan nama Feng Buping,” jawab Lu Dayou. “Yang
kedua berdandan seperti pendeta Tao, sedangkan yang ketiga bertubuh pendek. Aku
tidak tahu siapa nama mereka, tapi sepertinya mereka berdua juga memiliki nama
‘Bu’. Aku yakin mereka seangkatan dengan Guru.”
Linghu Chong mengangguk, “Bisa
jadi mereka adalah saudara seperguruan Guru yang berkhianat dan dikeluarkan
dari Perguruan Huashan.”
“Benar, dugaan Kakak Pertama
benar,” sahut Lu Dayou. “Begitu Guru melihat mereka langsung tidak senang.
Beliau berkata, ‘Saudara Feng, kalian bertiga sudah tidak memiliki hubungan
lagi dengan Perguruan Huashan. Untuk apa kalian datang kemari?’ – Feng Buping
menjawab, ‘Kakak Yue, memangnya Gunung Huashan milikmu? Mengapa Kakak Yue
melarang orang lain datang ke sini?’ – Guru mendengus dan berkata, ‘Jika kalian
hanya berkunjung ke gunung ini sudah tentu boleh. Tapi Yue Buqun bukan lagi
kakak seperguruanmu. Sebutan ‘kakak’ sudah pasti aku tidak berani menerimanya.’
– Feng Buping berkata, ‘Hm, dahulu gurumu telah menggunakan tipu muslihat licik
sehingga bisa mengangkangi Perguruan Huashan ini. Kami datang kemari karena
merasa memiliki kewajiban untuk menyelesaikan hutang lama. Setelah semuanya
beres, jangankan memanggilmu ‘kakak’, memanggil namamu saja aku tidak sudi.
Meskipun kau berlutut memohon-mohon kepadaku, aku sudah tidak peduli.’”
“Oh,” ujar Linghu Chong.
Hatinya mulai gelisah membayangkan persoalan yang sedang dihadapi sang guru.
Lu Dayou melanjutkan cerita,
“Tentu saja kami para murid merasa gusar mendengar ucapan Feng Buping itu. Adik
Kecil bahkan memaki-maki karena tidak tahan. Tapi Ibu Guru yang sabar dan
lembut melarang Adik Kecil untuk bertindak. Guru sendiri menanggapi dengan
tenang. Beliau berkata dengan nada datar, ‘Kau ingin membuat perhitungan
denganku? Perhitungan seperti apa yang kau harapkan?’ – Feng Buping menjawab
dengan suara keras, ‘Kau menduduki jabatan ketua Perguruan Huashan selama dua
puluh tahun lebih. Apa kau masih merasa belum puas? Bukankah sudah saatnya kau
menyerahkan jabatanmu kepada orang lain?’ – Guru tersenyum dan menjawab, ‘Oh,
rupanya kedatangan kalian bermaksud untuk merebut kedudukanku ini? Sebenarnya
tidak perlu repot-repot seperti ini. Asalkan Saudara Feng memenuhi syarat untuk
menjabat sebagai ketua perguruan, tentu aku akan menyerahkan kedudukanku ini
kepadamu.’ – Feng Buping berkata, ‘Gurumu telah menggunakan tipu muslihat licik
untuk merebut jabatan ketua Perguruan Huashan. Sekarang aku sudah melapor
kepada Ketua Zuo. Beliau sudah mengabulkan gugatanku dan menyerahkan Panji
Pancawarna kepadaku untuk mengambil alih jabatan ketua Perguruan Huashan dari
tanganmu.’ Selesai berkata demikian ia pun mengeluarkan sebuah bendera kecil
yang tidak lain adalah Panji Pancawarna, bendera lambang kebesaran Serikat
Pedang Lima Gunung.”
Linghu Chong menukas dengan
kesal, “Huh, Ketua Serikat sudah bertindak melebihi batas. Ini masalah internal
Perguruan Huashan. Kita tidak butuh campur tangan darinya mengenai masalah
rumah tangga di sini. Memangnya dia punya wewenang memecat dan mengangkat ketua
Perguruan Huashan?”
“Benar,” sahut Lu Dayou. “Ibu
Guru juga berkata demikian. Tapi seorang tua bermarga Lu dari Perguruan
Songshan berusaha keras membela Feng Buping. Orang itu mempunyai nama lengkap
Lu Bai si Tapak Bangau, yang pernah kulihat ikut mendesak Paman Liu saat
Upacara Cuci Tangan Baskom Emas dulu. Dia mengatakan bahwa Feng Buping
seharusnya yang lebih pantas menjadi ketua Perguruan Huashan, dan dia juga
berdebat, adu pendapat melawan Ibu Guru. Selain itu, dua orang dari Perguruan
Taishan dan Hengshan juga ikut membela Feng Buping. Ketiga perguruan itu
sepertinya bersatu untuk memusuhi Perguruan Huashan kita. Hanya Perguruan
Henshan saja yang tidak ikut terlibat. Melihat keadaan seperti itu, aku yakin
akan segera terjadi masalah besar, sehingga aku pun berlari kemari untuk
memberitahukannya padamu.”
“Kesulitan perguruan menjadi
tanggung jawab kita bersama. Para murid wajib membela dengan segenap jiwa dan
raga. Selama aku masih bernafas, aku siap kehilangan nyawa demi membela
kehormatan Guru,” ujar Linghu Chong. “Adik Keenam, mari kita berangkat!”
Lu Dayou menyahut, “Benar,
apabila Guru melihat perjuanganmu, tentu Beliau tidak akan menyalahkanmu karena
meninggalkan puncak gunung ini.”
Belum selesai Lu Dayou
berkata, tahu-tahu Linghu Chong sudah berlari ke bawah dan berseru, “Aku tidak
peduli meskipun nanti dimarahi Guru. Guru seorang budiman yang tidak suka
berdebat dengan orang lain. Aku khawatir Guru akan menyerahkan jabatannya
begitu saja. Bagiku, ini lebih celaka.”
Lu Dayou pun bergegas mengejar
kakak pertamanya. Di tengah perjalanan Linghu Chong mendengar suara seseorang
berteriak keras dari balik tebing depan. “Linghu Chong! Linghu Chong! Di mana
kau?”
“Siapa yang memanggil namaku?”
balas Linghu Chong.
“Apakah kau Linghu Chong?”
seru beberapa orang bersamaan.
“Benar!” jawab Linghu Chong.
Tiba-tiba muncul dua sosok
bayangan manusia berkelebat dan menghadang di tengah jalan. Jalan setapak di
dekat puncak tersebut sangat sempit dan di salah satu sisinya terbentang jurang
yang sangat dalam. Saat kedua orang itu tiba-tiba saja muncul, Linghu Chong
sedang berlari sangat kencang. Buru-buru ia menghentikan langkah sehingga
nyaris bertabrakan dengan kedua orang itu. Jarak antara dirinya dan kedua orang
itu kini hanya satu kaki saja. Ternyata wajah kedua orang itu dihiasi benjolan
dan terlihat menyeramkan. Karena sangat terkejut Linghu Chong pun melompat
muncur beberapa meter sambil berteriak, “Siapa kalian?”
Namun, kejutan lain muncul
pula. Tiba-tiba saja di belakang tubuh Linghu Chong sudah menghadang pula dua
orang laki-laki berwajah buruk. Ketika Linghu Chong menoleh, hampir saja
hidungnya bersentuhan dengan hidung kedua orang tersebut. Maka, Linghu Chong
pun mencoba menghindar ke samping. Lagi-lagi muncul dua orang berwajah
menyeramkan menghadang langkah kakinya. Kedua orang itu mendesak tubuh Linghu
Chong sampai merapat di dinding tebing, sedangkan mereka berdua berdiri tepat
di tepi jurang dalam. Bahkan, mereka terlihat melayang di udara karena hanya
satu kaki saja yang menginjak tanah.
Linghu Chong bingung bercampur
heran karena tiba-tiba saja dirinya sudah dikepung rapat oleh enam orang aneh
sekaligus. Sejenak ia tidak tahu harus berbuat apa. Jantung pun terdengar
berdebar kencang. Tak hanya itu, dalam waktu kurang dari sedetik tahu-tahu
keenam orang itu sudah maju bersama-sama sehingga tubuh Linghu Chong berada di
tengah-tengah mereka dalam jarak beberapa senti saja. Linghu Chong merasakan
udara hangat berhembus di sekitar wajah dan tengkuk karena keenam orang aneh
itu bernafas bersama-sama. Dalam keadaan terburu-buru Linghu Chong berniat
mencabut pedang. Namun baru saja jarinya meraba gagang, keenam orang itu
lagi-lagi melangkah maju bersama-sama sehingga tubuh Linghu Chong terhimpit di
tengah-tengah. Akibatnya, tubuh Linghu Chong tidak bisa bergerak sedikit pun.
Pada saat itulah terdengar
suara Lu Dayou yang baru tiba di tempat itu, “Hei, siapa kalian? Kalian mau
apa?”
Linghu Chong sendiri baru kali
ini mengalami kejadian aneh seperti itu. Meskipun biasanya sangat cerdik dan
banyak akal, namun hari itu ia benar-benar merasa bingung dan gelisah. Keenam
orang berwajah aneh itu sekilas mirip monster; bukan hanya karena wajah mereka
yang buruk rupa, namun juga karena tingkah laku mereka yang ganjil. Ia pun
mencoba mendorong kedua orang di depannya namun mereka berdiri terlalu dekat
sehingga sulit baginya untuk mengangkat kedua tangan, apalagi melakukan
dorongan. Terlintas dalam benaknya jangan-jangan keenam orang itu adalah
pengikut Feng Buping.
Keenam orang itu terus menerus
mendorong Linghu Chong hingga benar-benar terdesak. Jangankan bergerak, untuk
bernafas saja sulit bagi pemuda itu. Bahkan persendian Linghu Chong terdengar
sampai berbunyi. Tanpa berani memandang mata kedua orang yang berdiri di
depannya, Linghu Chong pun menutup mata rapat-rapat. Sejenak kemudian terdengar
salah satu dari mereka berkata, “Linghu Chong, kami akan membawamu menemui
Biksuni cilik.”
Mendengar itu Linghu Chong
berseru dalam hati, “Oh, tidak! Ternyata mereka satu komplotan dengan Tian
Boguang.”
Segera ia pun berteriak, “Hei,
lepaskan aku! Kalau tidak kalian lepaskan, aku akan bunuh diri menggunakan
pedang. Aku lebih baik mati daripada kalian bawa pergi.”
Baru saja ia berkata demikian
tiba-tiba kedua lengannya sudah dipegang oleh masing-masing dua tangan yang
berkekuatan besar. Cengkeraman tangan mereka membuat Linghu Chong merasa sangat
kesakitan. Dalam keadaan seperti ini ilmu Sembilan Pedang Dugu juga tidak ada
gunanya. Yang bisa ia lakukan hanya mengeluh di dalam hati.
Terdengar pula seseorang dari
mereka berkata, “Biksuni cilik ingin bertemu denganmu. Kau menurut saja. Jadi
anak yang baik ya?”
“Kau tidak boleh bunuh diri.
Kalau kau bunuh diri akan kubuat kau mati tidak, hidup pun tidak,” ancam yang
lain.
Temannya menyahut, “Jika dia
sudah mati bunuh diri, bagaimana caramu membuatnya hidup tidak, mati pun
tidak?”
“Aku hanya menakut-nakuti dia
supaya tidak bunuh diri,” jawab yang satunya tadi.
“Kalau cuma menakut-nakuti
seharusnya jangan biarkan dia mendengar. Sekarang dia sudah tahu, tentu tidak
dapat ditakut-takuti lagi,” ujar temannya.
“Aku tetap ingin
menakut-nakuti dia, kau mau apa?” sahut yang pertama.
“Aku bilang lebih baik dia
dibujuk saja,” kata yang seorang lagi.
“Tidak bisa. Sekali aku
menakut-nakuti orang, tetap akan kutakut-takuti dia,” sahut yang satunya
bersikeras.
“Tapi aku lebih suka
membujuknya,” sahut yang lain. Dan begitulah, orang-orang itu terus saja
bertengkar sendiri.
Sambil tetap memejamkan mata,
Linghu Chong mendengar pertengkaran mereka. Diam-diam ia berpikir, “Enam orang
aneh ini memiliki ilmu silat yang tinggi, tapi tingkah laku mereka seperti
orang bodoh.” Segera ia menemukan akal dan berteriak, “Terserah kalian mau
menakut-nakuti atau membujuk aku. Jika kalian tidak melepaskan aku, maka aku
akan segera bunuh diri dengan cara menggigit lidah.”
Tapi mendadak secepat kilat
kedua pipi Linghu Chong diremas kencang oleh salah satu dari mereka. “Bocah ini
sangat bandel. Kalau lidahnya sampai putus, dia nanti tidak bisa bicara. Tentu
Biksuni cilik menjadi tidak senang,” demikian sahut orang itu.
“Jika lidahnya putus tentu
orangnya akan mati. Mana mungkin cuma tidak bisa bicara?” seorang lainnya
bertanya.
“Belum tentu dia langsung
mati,” kata yang pertama tadi. “Kalau tidak percaya kau boleh menggigit lidahmu
sendiri.”
“Aku percaya kalau lidah putus
pasti mati. Maka, aku tidak perlu menggigit lidahku sendiri. Kau yang tidak
percaya, maka kau saja yang mencoba.”
“Hei, kenapa harus aku yang
mencoba?” sahut orang tadi. “Lebih baik dia saja.”
Kemudian terdengar suara
jeritan Lu Dayou, pertanda salah satu orang aneh telah menangkapnya.
Orang itu pun membentak kepada
Si Monyet Keenam, “Cepat, gigit lidahmu sampai putus! Aku ingin tahu kau akan
mati atau tidak. Lekas gigit!”
“Tidak, tidak, aku tidak mau!
Bila lidahku tergigit sampai putus, tentu aku akan mati,” teriak Lu Dayou.
“Nah, apa kataku tadi?” kata
si orang aneh di dekatnya. “Bila lidah putus tentu orangnya akan mati. Dia juga
mengaku demikian.”
“Dia belum mati. Pendapatmu
tidak terbukti,” sahut kawannya.
“Dia belum mati karena belum
menggigit lidahnya. Tapi sekali gigit tentu dia akan mati,” ujar yang lain.
Linghu Chong semakin kesal
mendengar pertengkaran yang tidak perlu itu. Ia berusaha sekuat tenaga
meronta-ronta untuk membebaskan diri namun tenaga kedua orang yang mencengkeram
lengannya sangat kuat. Rasa sakit yang ia rasakan seperti tembus ke sumsum
tulang. Sejenak kemudian pemuda itu menemukan akal. Mendadak ia menjerit dan
pura-pura pingsan.
Melihat itu, keenam orang aneh
itu pun berseru terkejut. Bahkan salah satu yang mencengkeram pipi Linghu Chong
segera melepaskan pegangannya.
“Celaka! Dia mati ketakutan,”
sahut salah seorang.
“Tidak, tidak mungkin. Mana
mungkin mati semudah itu?” sahut yang lain.
“Seandainya mati juga bukan
karena ketakutan,” sahut yang lain lagi.
“Kalau begitu, karena apa?”
tanya yang pertama tadi.
Lu Dayou yang tidak menyadari
tipu muslihat sang kakak pertama terkejut mengira Linghu Chong benar-benar mati
akibat didesak orang-orang aneh itu. Melihat itu ia pun menjerit dan menangis
seketika.
Sementara itu kembali
terdengar suara pertengkaran, “Aku yakin dia mati ketakutan.”
“Tidak, dia mati karena
cengkeramanmu terlalu keras,” kata yang lain.
“Sebenarnya apa penyebab
kematiannya?” tanya yang seorang lagi.
Tiba-tiba Linghu Chong berteriak,”
Aku mati bunuh diri dengan cara menutup urat nadiku sendiri.”
Mendengar itu keenam orang
aneh tertawa terbahak-bahak dan berkata bersama-sama, “Hahahaha. Ternyata kau
belum mati. Kau cuma pura-pura mati.”
Linghu Chong berseru, “Aku
tidak pura-pura mati. Aku tadi sudah mati tapi hidup kembali.”
“Apa benar kau bisa menutup
urat nadi sendiri?” tanya salah seorang penasaran. “Wah, ini kepandaian yang
sulit dipelajari. Kau ajarkan kepadaku saja.”
Yang lain menyahut, “Ilmu
Menutup Urat Nadi itu sangat sulit. Bocah ini tentu berdusta.”
Linghu Chong berkata, “Kau
bilang aku berdusta? Kalau aku berdusta mengapa tadi aku bisa mati dengan
menutup urat nadi sendiri?”
Orang aneh itu menggaruk-garuk
kepala dan berkata, “Benar juga. Ini memang agak aneh.”
Linghu Chong semakin
memanfaatkan kebodohan mereka berenam itu, “Jika kalian tidak segera
melepaskanku, maka aku akan menutup urat nadiku lagi. Kali ini aku akan mati
untuk selamanya, tidak akan hidup kembali.”
Kedua orang yang memegangi
lengannya segera melepaskan cengkeraman masing-masing. “Tidak boleh! Kau tidak
boleh mati. Kalau kau mati urusan menjadi runyam,” seru mereka.
Linghu Chong berkata, “Kalau
aku tidak boleh mati, lekas kalian menyingkir. Ada urusan penting yang harus
kuselesaikan.”
“Tidak boleh, tidak boleh!”
seru dua orang yang berdiri di depannya sambil menggeleng bersamaan. “Kau harus
ikut kami menemui si biksuni cilik.”
Sekuat tenaga Linghu Chong
melompat dengan maksud melampaui kedua orang tersebut. Namun keduanya ikut
melompat dengan kecepatan yang sangat tinggi. Begitu membentur tubuh mereka,
Linghu Chong merasa seperti menabrak tembok.
Dalam keadaan masih melayang
di udara Linghu Chong mencoba mencabut pedang dari sarungnya. Namun, baru saja
meraba gagang pedang tahu-tahu dua orang aneh yang tadi dibelakangnya dengan
cepat mencengkeram bahu pemuda itu, masing-masing kiri dan kanan. Pedang itu
baru keluar dari sarungnya sebanyak sepertiga bagian namun sudah berhenti
begitu saja, akibat cengkeraman kuat kedua orang aneh yang membuat Linghu Chong
merasa seperti ditimpa beban ratusan kilo. Rencana untuk mengerahkan ilmu
Pedang Sembilan Dugu gagal begitu saja.
Kedua orang tadi menekan bahu
Linghu Chong sampai ke bawah. Jangankan melawan, mencoba berdiri tegak saja
pemuda itu merasa kesulitan, apalagi mengeluarkan senjata. Kedua orang aneh
yang memegangi bahunya berteriak, “Angkat saja dia!” Maka, kedua orang aneh
lainnya serentak mengangkat kedua kaki pemuda itu.
“Hei, apa-apaan kalian ini?”
seru Lu Dayou berteriak-teriak.
“Orang ini terlalu banyak
bicara. Kita bunuh saja dia!” sahut salah seorang yang kemudian mendekat dan
berniat memukul kepala Lu Dayou.
Dengan cepat Linghu Chong
mencegah, “Jangan dibunuh! Jangan dibunuh!”
“Baik, aku menurut padamu. Aku
tidak membunuhnya, hanya kubuat bisu saja,” sahut orang aneh tadi sambil
jarinya menotok ke belakang –ke arah Lu Dayou– tanpa menoleh sedikit pun.
Tahu-tahu Si Monyet Keenam sudah kehilangan suaranya. Meskipun ia berteriak
namun suaranya sama sekali tidak keluar.
Linghu Chong terperanjat
menyaksikan kehebatan orang tadi dalam mengerahkan tenaga dalam dan menotok
secara jitu dari jarak jauh tepat mengenai titik bisu Lu Dayou. Tanpa terasa ia
bersorak memuji, “Hebat sekali! Ilmu silat yang hebat!”
Orang aneh itu terlihat senang
menerima pujian Linghu Chong. Ia pun tertawa dan berkata, “Ini belum seberapa.
Aku masih mempunyai banyak kepandaian lain yang lebih hebat. Akan kuperlihatkan
kepadamu.”
Biasanya Linghu Chong sangat
senang menambah pengalaman. Namun kali ini ia sangat mengkhawatirkan
keselamatan sang guru. Maka dengan cepat ia menjawab, “Tidak, aku tidak ingin
melihatnya.”
Orang aneh itu tampak
tersinggung dan bertanya, “Mengapa tidak ingin melihatnya? Padahal aku justru
ingin menunjukkannya.” Usai berkata demikian orang itu pun meloncat ke atas dan
tahu-tahu sudah melayang di atas kepala keempat temannya yang mengusung tubuh
Linghu Chong. Tubuhnya melayang dalam keadaan mendatar seperti seekor burung
walet yang terbang dengan indahnya.
Seumur hidup baru kali ini
Linghu Chong menyaksikan ilmu meringankan tubuh sehebat itu. Tanpa terasa ia
kembali memuji, “Hebat sekali!”
Orang aneh itu mendarat di
atas tanah dengan lembut tanpa menerbangkan debu sedikit pun. Ketika menoleh ke
arah Linghu Chong, wajahnya yang lonjong seperti kepala kuda tampak
berseri-seri. Ia berkata dengan gembira, “Ini belum seberapa. Masih ada lagi
yang lebih hebat.”
Linghu Chong heran melihat
orang itu sebenarnya sudah tua. Usianya kira-kira di atas enam puluh tahun,
namun kelakuannya seperti anak kecil. Semakin dipuji semakin menjadi-jadi.
Kehebatan ilmu silat dan tingkah laku mereka yang polos sungguh bertolak
belakang.
Tiba-tiba terlintas sebuah
pikiran di benak Linghu Chong, “Orang-orang ini berilmu tinggi tapi
kekanak-kanakan. Guru dan Ibu Guru sedang dikepung orang-orang dari Serikat
Pedang Lima Gunung lainnya. Hei, kenapa aku tidak memanfaatkan kesaktian enam
orang ini?”
Usai berpikir demikian Linghu
Chong berkata, “Kepandaianmu yang hanya sedikit ini tidak ada gunanya
dipamerkan di Gunung Huashan sini.”
“Kepandaian sedikit
bagaimana?” tanya orang bermuka lonjong itu tidak terima. “Buktinya, kau tidak
bisa berkutik ketika kami tangkap?”
“Aku ini hanya kaum keroco di
dalam Perguruan Huashan, sudah tentu mudah sekali kalian tangkap,” jawab Linghu
Chong. “Sekarang di gunung ini sedang berkumpul para jago silat dari Perguruan
Songshan, Taishan, Hengshan, dan tentu saja Huashan. Mana mungkin kalian berani
menghadapi mereka?”
“Kenapa tidak berani?” teriak
orang itu. “Di mana mereka?”
Salah satu orang aneh
menyahut, “Kita menang taruhan melawan si biksuni cilik, sehingga kita bisa
disuruh kemari untuk membawa Linghu Chong ke hadapan si biksuni cilik. Kita
tidak disuruh untuk mencari gara-gara dengan Perguruan Songshan dan yang lain.
Cukup satu perbuatan untuk satu kemenangan, tidak perlu kemenangan yang lain.
Mari kita berangkat saja!”
Mendengar itu Linghu Chong pun
berpikir, “Keenam orang aneh ini sudah jelas adalah suruhan Yilin, dan bukan
musuh Perguruan Huashan. Sepertinya mereka kalah bertaruh dan sebagai hukuman
harus membawaku kepada Yilin. Tapi sungguh lucu, mereka tidak mau mengakui
kekalahan dan mengatakan bahwa pihak mereka yang menang taruhan.”
Linghu Chong kemudian tertawa
dan berkata. “Pantas saja jago-jago dari Perguruan Songshan mengatakan bahwa
mereka memandang rendah terhadap kalian semua, orang-orang aneh, tua bangka
berwajah lonjong seperti kuda, berkulit kasap dan keriput. Kalau bertemu pasti
kalian semua akan dipitas seperti semut. Tapi sungguh sayang, mereka juga
berkata kalian sudah lari terbirit-birit begitu mendengar suara mereka.”
Mendengar itu keenam kakek
aneh tersebut langsung berjingkrak marah. Empat orang yang memegangi lengan dan
kaki Linghu Chong langsung meletakkan pemuda itu di tanah. Mereka lantas
berteriak-teriak, “Di mana orang-orang itu berada? Bawa kami ke sana
secepatnya! Lekas!”
“Kami adalah Enam Dewa Lembah
Persik. Sudah bosan hidup rupanya orang-orang Songshan itu. Enak saja mau
memitas kami seperti semut. Kurang ajar!” lanjut mereka.
Linghu Chong semakin memanas-manasi
mereka, “Eh, kalian mengaku sebagai Enam Dewa Lembah Persik, tapi orang-orang
Songshan dan kawan-kawannya justru menyebut kalian Enam Setan Lembah Persik,
atau bahkan Enam Bocah Lembah Persik. Saranku, sebaiknya kalian menghindari
mereka saja. Ilmu silat mereka sangat tinggi. Kalian sudah pasti bukan
tandingan mereka. Kenapa kalian tidak segera lari saja sebelum terlambat?”
“Tidak mungkin! Biar sekarang
juga kita labrak mereka,” seru si kakek bermuka merah.
Tapi kakek yang bermuka benjol
menyela, “Tapi, bila orang-orang Songshan itu berani bermulut besar, pasti
mereka juga mempunyai kepandaian luar biasa. Jangan-jangan kita memang bukan
tandingan mereka.”
Si muka panjang menyahut,
“Adik Keenam memang pengecut. Kita belum berangkat, juga belum bertarung lawan
mereka. Bagaimana kau sudah mengaku kalah?”
Si penakut balas bertanya,
“Bagaimana kalau ternyata mereka benar-benar bisa memitas kita seperti semut?
Bukankah ini sangat buruk? Lalu, kalau kita dipitas sampai mati, bagaimana kita
akan melarikan diri?”
“Benar sekali!” seru Linghu
Chong dengan perasaan sangat geli. “Jika ingin lari, sebaiknya sekarang saja.
Aku takut kalian nanti terlambat sehingga jago-jago dari Songshan itu bisa
menemukan kalian.”
Mendengar itu si muka benjol
semakin ketakutan. Tubuhnya langsung melesat, dan dalam waktu sekejap sudah
menghilang entah ke mana.
Linghu Chong semakin
terperanjat melihatnya. Dalam hati ia berpikir, “Luar biasa! Ilmu meringankan
tubuh orang itu benar-benar hebat seperti siluman.”
Salah satu orang aneh kembali
berkata, “Adik Keenam memang penakut. Biar saja dia lari. Kita berlima yang
akan berangkat melabrak orang-orang Perguruan Songshan itu.”
“Ya, benar! Kita berangkat
menghajar mereka! Enam Dewa Lembah Persik tak terkalahkan!” seru keempat kawan
yang lainnya.
Si aneh pertama tadi menepuk
bahu Linghu Chong perlahan sambil berkata, “Cepat kau tunjukkan di mana
tempatnya. Bawa kami ke sana! Aku ingin tahu bagaimana orang-orang itu memitas
kami seperti semut.”
Linghu Chong menjawab, “Aku tidak
keberatan membawa kalian ke sana. Tapi aku, Linghu Chong adalah laki-laki
sejati yang pantang menyerah karena dipaksa atau diancam pihak lain. Aku
bersedia membawa kalian ke sana karena aku ikut kesal mendengar kesombongan
orang-orang Perguruan Songshan yang meremehkan kehebatan kalian. Juga karena
aku mengagumi kehebatan ilmu silat kalian sehingga aku rela mengantarkan kalian
menemui orang-orang itu, biar dunia persilatan tahu siapa yang omong kosong.
Tapi, jika kalian berani memaksa diriku untuk melakukan ini itu dengan
mengandalkan jumlah kalian yang benayak, maka Linghu Chong lebih baik mati
saja.”
Serentak kelima kakek aneh itu
bertepuk tangan dan memuji, “Bagus sekali! Kau memang laki-laki sejati. Kau
juga memiliki penglihatan yang tajam sehingga bisa mengenali kehebatan ilmu
silat kami.”
Linghu Chong berkata, “Kalau
demikian kalian nanti tidak boleh sembarangan bicara di hadapan mereka. Jangan
sampai di dunia persilatan ada yang menertawakan Enam Dewa Lembah Persik adalah
kumpulan orang bodoh, kekanak-kanakan, yang tidak tahu seluk beluk kehidupan.
Maka, kalian harus menurut kepadaku. Dengarkan semua perintahku. Jika tidak,
maka kalian bisa membuatku malu dan kita semua akan terlihat bodoh.”
Tidak disangka, ucapan Linghu
Chong yang hanya coba-coba ternyata ditanggapi serius oleh kelima orang aneh
tersebut. “Benar. Ucapanmu benar. Tidak ada yang boleh merendahkan Enam Dewa
Lembah Persik sebagai orang bodoh dan kekanak-kanakan,” kata mereka
bersama-sama.
Rupanya ucapan Linghu Chong
tadi benar-benar membuat penasaran dan menyinggung perasaan kelima orang aneh
tersebut. Semangat mereka bangkit karena sebutan yang mereka anggap memalukan
tersebut.
Linghu Chong mengangguk dan
berkata, “Baiklah, kalau begitu kalian bisa ikut denganku.” Usai berkata demikian
pemuda itu langsung melesat pergi menyusuri jalan setapak. Kelima kakek aneh
pun mengikuti sambil membawa tubuh Lu Dayou.
Setelah melewati dua li,
rombongan tersebut bertemu si orang aneh penakut yang melarikan diri tadi. Si
penakut itu tampak bersembunyi di balik batu cadas besar, sambil sesekali
menampakkan wajahnya untuk melihat keadaan.
Linghu Chong pun berseru
memanggil untuk membangkitkan keberaniannya, “Hei, kepandaian orang-orang
Songshan itu masih selisih jauh darimu. Jangan takut pada mereka! Kita akan
pergi beramai-ramai menghajar mereka.”
Si penakut terlihat senang. Ia
pun menjawab, “Baik, aku ikut! Tapi... kau tadi bilang ilmuku dengan mereka
masih selisih jauh. Maksudmu, aku lebih hebat atau mereka yang lebih hebat?”
Ternyata orang itu meskipun bodoh tapi juga sangat hati-hati.
“Tentu saja kau yang lebih
unggul,” jawab Linghu Chong dengan tertawa. “Caramu berlari tadi menunjukkan
kehebatan ilmu meringankan tubuhmu. Betapa pun hebatnya mereka tetap tidak akan
mampu menyusul dirimu.”
Orang aneh penakut itu
terlihat semakin senang. Ia berjalan mendekati Linghu Chong namun masih dengan
wajah sedikit ragu. “Tapi kalau mereka bisa mengejarku, bagaimana?” ucapnya.
“Tenang saja! Jika mereka
berani macam-macam denganmu, maka... ini!” sahut Linghu Chong sambil mencabut
pedang dari sarungnya sampai setengah bagian, kemudian memasukkannya dengan
gerakan mantap. “Sekali tebas akan kubunuh mereka.”
“Bagus, bagus!” seru si
penakut senang. “Apa yang kau katakan harus kau tepati. Kalau begitu, mari kita
pergi!”
Dalam hati Linghu Chong
tertawa terbahak-bahak mengamati kelakuan keenam orang tua itu. Mereka berilmu
tinggi namun terlihat polos dan sepertinya bukan orang jahat. Tidak ada
salahnya kalau menggunakan tenaga mereka sebagai bala bantuan.
Maka pemuda itu pun berkata,
“Sudah lama aku mendengar nama besar kalian yang termasyhur. Hari ini bisa
bertemu langsung tentu menjadi kehormatan bagiku. Namun kalau boleh aku tahu,
siapa saja nama kalian ini?”
Ucapan Linghu Chong terdengar
unik dan tidak masuk akal. Namun karena mengandung pujian untuk keenam orang
aneh itu, membuat mereka langsung gembira dan tidak mau berpikir panjang. Si
muka keriput yang pertama kali bersuara, “Aku yang tertua, namaku Dewa Akar
Persik.”
“Aku yang kedua, namaku Dewa
Dahan Persik,” sahut yang lain.
“Kalau aku, entah yang nomor
tiga atau empat, namaku Dewa Ranting Persik,” sahut salah satu di antara
mereka. Ia kemudian menunjuk rekan yang lain sambil berkata, “Dia juga tidak
jelas yang ketiga atau keempat. Namanya Dewa Daun Persik.”
Linghu Chong heran dan
bertanya, “Mengapa kalian berdua tidak jelas siapa yang nomor tiga, siapa yang
nomor empat?”
“Jangankan kami, ayah dan ibu
kami juga lupa urutan kami,” sahut Dewa Ranting Persik.
Dewa Daun Persik menukas,
“Saat ayah dan ibumu melahirkanmu, jika mereka lupa bahwa mereka pernah
melahirkanmu, sebagai anak kecil apa kau tahu bagaimana dirimu ada di dunia?”
Benar juga, benar juga!
Untungnya kedua orang tuaku ingat bagaimana mereka melahirkan aku,” ujar Linghu
Chong sambil kemudian bergelak tawa.
“Nah, itu dia!” sahut Dewa
Daun Persik.
“Jadi, kedua orang tua kalian
lupa?” lanjut Linghu Chong.
Dewa Daun Persik berkata,
“Sewaktu Ayah dan Ibu melahirkan kami berdua, mereka masih ingat siapa yang
lebih tua, siapa yang lebih muda. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian mereka
lupa siapa di antara kami yang lebih tua. Itulah sebabnya kami juga tidak
mengetahui siapa yang menjadi kakak, siapa yang menjadi adik.” Bicara sampai di
sini tangannya lalu menunjuk ke arah Dewa Ranting Persik. “Dia bersikeras
meminta aku memanggil ‘kakak ketiga’ kepadanya. Jika tidak, dia akan memukulku.
Apa boleh buat? Aku terpaksa menuruti permintaannya.”
Linghu Chong tersenyum
menanggapi, “Jadi, kalian ini dua bersaudara kandung?”
“Benar, kami semua adalah enam
bersaudara,” sahut Dewa Ranting Persik.
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Hm, orang tua mereka bodoh dan pelupa, tidak heran jika memiliki
enam anak yang bodoh pula.”
“Lalu, siapa nama kalian
berdua?” lanjut Linghu Chong kepada kedua orang aneh selanjutnya.
“Biar aku yang menjawab,”
sahut si penakut. “Aku adalah adik keenam, namaku Dewa Buah Persik. Sedangkan
kakak kelima ini bernama Dewa Bunga Persik.”
Linghu Chong tertawa geli
mendengarnya. Dalam hati ia berkata, “Dewa Bunga Persik berwajah buruk, sama
sekali tidak bisa dibandingkan dengan bunga persik yang sebenarnya.”
Melihat raut muka Linghu Chong
yang tersenyum simpul, Dewa Bunga Persik salah paham dan berkata dengan
gembira, “Di antara kami berenam, namaku yang paling bagus dan enak didengar.”
“Benar, namamu memang sangat
indah,” sahut Linghu Chong. “Tapi nama-nama yang lain juga bagus. Dewa Akar
Persik, Dewa Dahan Persik, Dewa Ranting Persik, Dewa Daun Persik, Dewa Buah
Persik, andai saja aku punya nama sebagus kalian, tentu aku akan merasa sangat
senang.”
Enam Dewa Lembah Persik yang
kekanak-kanakan itu bergembira mendengar pujian Linghu Chong. Mereka sama-sama
menganggap pemuda itu adalah manusia paling baik di dunia.
“Sekarang mari kita
berangkat!” sahut Linghu Chong sambil kemudian menunjuk ke arah Lu Dayou, “tapi
sebelumnya, tolong buka totokan pada adikku itu. Ilmu totokan kalian sangat
hebat. Jelas-jelas aku tidak akan mampu membukanya dengan tanganku sendiri.”
Mendengar pujian itu, Enam
Dewa Lembah Persik pun berlomba-lomba mendatangi Lu Dayou. Yang paling cepat di
antara mereka segera membuka totokan pada tubuh pemuda itu tanpa kesulitan.
Jarak antara Tebing Perenungan
dengan Gedung Kebajikan sekitar tiga atau empat li. Selain Lu Dayou, ketujuh
orang tersebut memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat bagus, sehingga
tidak membutuhkan waktu lama, Linghu Chong beserta Enam Dewa Lembah Persik
sudah mencapai gedung utama Perguruan Huashan tersebut. Di sana mereka melihat
Lao Denuo, Liang Fa, Shi Daizi, Gao Genming, Yue Lingshan, Lin Pingzhi, dan
belasan murid lainnya berdiri di luar gedung sambil menintip dengan wajah
gelisah. Menyaksikan sang kakak pertama datang, mereka terlihat sedikit lega.
Lao Denuo menghampiri Linghu
Chong, kemudian berbisik, “Kakak Pertama, di dalam Guru dan Ibu Guru sedang
menerima tamu.”
Linghu Chong menoleh dan
memberi isyarat kepada Enam Dewa Lembah Persik supaya berhenti dan tidak
bersuara. Ia kemudian berbisik pula kepada Lao Denuo, “Adik Kedua, keenam orang
ini adalah kawanku, tidak perlu diurusi. Biar aku melihat ke dalam.”
Pada umumnya, apabila Yue
Buqun dan Ning Zhongze sedang menerima tamu, para murid tidak akan berani
mengintip di luar Gedung Kebajikan. Namun karena saat ini sang guru dan
ibu-guru sedang menghadapi masalah besar, mau tidak mau mereka pun memberanikan
diri berdiri dan mengintip di luar untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi.
Itulah sebabnya, ketika melihat Linghu Chong mendekati gedung, mereka
menganggap itu bukan sebagai hal yang tidak pantas.
Linghu Chong kemudian mendekati
jendela dan mengintai ke dalam ruangan. Tampak seorang pria kurus duduk di
kursi tamu kehormatan, sambil memegang Panji Pancawarna lambang kebesaran
Serikat Pedang Lima Gunung. Ia tidak lain adalah Lu Bai si Tapak Bangau dari
Perguruan Songshan. Di sebelahnya duduk seorang pendeta dan seorang pria
setengah baya. Dari seragam mereka dapat diketahui kalau kedua orang itu
berasal dari Perguruan Taishan dan Hengshan.
Selanjutnya, Linghu Chong
melihat tiga orang berusia sekitar lima puluh tahun atau lebih. Dari bentuk
pedang yang mereka bawa dapat diketahui kalau ketiga orang itu berasal dari
Perguruan Huashan. Salah satu di antara mereka berwajah kekuning-kuningan
dengan raut muka terlihat murung. Kiranya orang ini adalah Feng Buping seperti
yang diceritakan Lu Dayou tadi. Yue Buqun dan Ning Zhongze tampak duduk di atas
kursi tuan rumah menghadapi mereka. Poci dan cawan teh serta makanan ringan
tampak tertaruh di atas masing-masing meja tuan rumah dan para tamu.
Terdengar si orang tua dari
Perguruan Hengshan berkata, “Saudara Yue, sebenarnya kami tidak pantas ikut
campur urusan perguruanmu yang mulia. Namun bagaimanapun juga, Serikat Pedang
Lima Gunung sudah berjanji untuk saling membantu, senafas-seirama. Jika ada
satu golongan yang berbuat tidak benar, maka keempat yang lainnya ikut
menanggung malu. Maka itu, ucapan Nyonya Yue tadi yang mengatakan bahwa kami
dari Songshan, Taishan, dan Hengshan tidak berhak ikut campur sepertinya kurang
tepat.” Sorot mata pria tua itu tampak berwarna kekuning-kuningan seperti
seseorang yang menderita penyakit kuning.
Lega hati Linghu Chong
mengetahui bahwa yang terjadi di antara mereka masih sebatas pertengkaran mulut
saja. Ia bersyukur Lu Dayou memberi kabar tepat waktu.
Ning Zhongze menjawab, “Ucapan
Kakak Lu ini seolah menuduh Perguruan Huashan kami tidak tahu diri sehingga
mencemarkan nama baik perguruan kalian yang terhormat, bukan begitu?”
Pria tua bermarga Lu itu
menjawab sambil menyeringai, “Hehehe, ternyata benar apa yang dikatakan
orang-orang kalau ketua Perguruan Huashan yang sesungguhnya adalah Pendekar
Ning. Tadinya aku tidak percaya, tapi setelah pertemuan yang menyenangkan ini,
mau tidak mau semuanya terbukti sudah.”
Ning Zhongze gusar mendengar
ucapan yang bernada mengejek suaminya itu. Ia pun menjawab, “Bagaimanapun juga
Kakak Lu adalah tamu kami. Tidak sepantasnya kalau kami berbuat salah kepadamu.
Hanya saja, sungguh sayang kalau seorang kesatria dari Perguruan Hengshan
ternyata suka bicara sembarangan seperti tadi. Kelak bila bertemu dengan Tuan
Besar Mo rasanya hal ini perlu untuk aku tanyakan.”
“Oh, jadi hanya karena aku ini
tamu, lantas Nyonya Yue merasa segan? Apabila kita berada di luar Gunung
Huashan tentu Nyonya Yue sudah mengayunkan pedang memenggal kepalaku, begitu?”
sahut si tua Lu.
“Mana mungkin aku berani?”
tukas Ning Zhongze. “Perguruan Huashan kami tidak mungkin berani selancang itu
terhadap perguruanmu yang mulia. Bukankah telah terjadi seorang dari Perguruan
Hengshan yang berteman dengan Sekte Iblis, lantas dibereskan oleh Ketua
Serikat? Kami dari Huashan mana mungkin berani macam-macam?”
Yang dimaksud oleh Ning
Zhongze adalah Liu Zhengfeng dari Perguruan Hengshan yang bersahabat dengan Qu
Yang dari Sekte Iblis. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa pembantaian
Keluarga Liu dilakukan oleh Perguruan Songshan yang mengatasnamakan Serikat
Pedang Lima Gunung. Dalam hal ini Ning Zhongze telah menyinggung aib Perguruan
Hengshan sekaligus menyindir si tua Lu yang tidak merasa kehilangan atas
pembantaian itu, justru bergabung dengan orang-orang Songshan untuk mendesak
Perguruan Huashan.
Mendengar itu wajah si tua Lu
tampak merah padam. Ia pun berkata lantang, “Nyonya Yue, dari zaman dahulu
hingga sekarang sudah biasa ada murid suatu perguruan yang berkhianat.
Kedatangan kami ke Huashan sini hanya untuk membantu menegakkan keadilan untuk
Saudara Feng serta membersihkan pengaruh jahat dari perguruannya.”
“Siapa yang kau maksud dengan
pengaruh jahat itu?” sahut Ning Zhongze dengan nada menantang. “Suamiku
terkenal dengan julukan Si Pedang Budiman. Lantas, bagaimana dengan julukanmu?”
Tampak tangan wanita itu sudah meraba gagang pedang.
Wajah si tua Lu semakin merah.
Ia tidak menjawab pertanyaan Ning Zhongze. Hanya sepasang matanya yang
kekuning-kuningan tampak memandang tajam ke arah istri ketua Perguruan Huashan
tersebut.
Linghu Chong yang masih
mengintip di luar gedung juga bertanya-tanya siapa sebenarnya laki-laki tua
bermarga Lu dari Perguruan Hengshan tersebut. Meskipun usianya sudah tua namun
tidak begitu terkenal di dunia persilatan. Pemuda itu lantas bertanya kepada
Lao Denuo, “Siapa orang itu? Apa julukannya?”
Sebelum bergabung dengan
Perguruan Huashan, Lao Denuo sudah memiliki pengalaman di dunia persilatan.
Selain itu wawasan dan pengetahuannya juga cukup luas. Maka, ia pun bisa
menjawab pertanyaan Linghu Chong.
“Orang tua itu bernama Lu
Lianrong. Julukannya adalah Si Rajawali Bermata Emas. Namun karena ia suka
bicara lancang dan gemar mencampuri urusan pihak lain, maka kaum persilatan
diam-diam suka mengejeknya dengan julukan Si Gagak Bermata Emas,” demikian
jawab Lao Denuo dengan suara berbisik.
Linghu Chong tersenyum
mendengarnya. Ia pun berpikir, “Mungkin tidak ada orang yang berani mengejek si
tua itu dengan sebutan Gagak Bermata Emas. Tapi aku yakin, secara tidak
langsung ia pasti pernah mendengar ejekan itu ditujukan kepadanya. Saat Ibu
Guru menanyakan apa julukannya, ia langsung terdiam, pertanda ia tahu kalau
sebenarnya Ibu Guru sedang menanyakan apa ejekannya.”
Terdengar Lu Lianrong
mendengus dan berseru, “Huh, apa benar suamimu berjuluk Si Pedang Budiman?
Tapi, menurutku dia lebih baik memakai julukan Si Pedang Munafik.”
Mendengar gurunya dihina,
Linghu Chong tidak tahan lagi. Ia pun berteriak, “Hei, Gagak Bermata Buta,
kalau kau berani lekas keluar hadapi kami!”
Sebenarnya Yue Buqun yang
memiliki tenaga dalam tinggi telah mendengar suara Linghu Chong saat berbisik
dengan Lao Denuo tadi. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Mengapa Chong’er ada di
sini? Berani sekali ia turun dari puncak sebelum masa hukuman berakhir?” Dan
kini begitu mendengar teriakan murid pertamanya itu, ia pun membentak,
“Chong’er, kau jangan kurang ajar! Paman Lu adalah tamu di sini. Jaga mulutmu!”
Lu Lianrong marah luar biasa.
Sebelumnya ia telah mendengar kelakuan Linghu Chong saat di kota Hengshan.
Maka, ia pun balas memaki, “Oh, aku kira siapa, ternyata bocah yang suka main
perempuan di Hengshan dulu. Hm, jagoan Huashan benar-benar punya banyak bakat
terpendam.”
“Betul sekali,” jawab Linghu
Chong tertawa. “Aku memang pernah main perempuan di kota Hengshan bersama
seorang pelacur yang bermarga Lu.”
“Kau!” bentak Yue Buqun kepada
Linghu Chong. “Kau jangan sembarangan mengoceh!”
Linghu Chong ketakutan
mendengar kemarahan sang guru. Namun di pihak lawan, ternyata Lu Bai, Feng
Buping dan yang lain tanpa terasa ikut tersenyum mendengar gurauan itu.
Lu Lianrong sendiri sudah
habis kesabarannya. Ia pun melompat keluar menjebol daun jendela sampai
melayang di udara. Begitu sampai di luar ia melihat banyak murid Huashan dan
berteriak kepada mereka, “Binatang mana yang berani sembarangan bicara tadi?”
Karena sebelum ini ia tidak pernah bertemu Linghu Chong, maka jari tangannya
pun menujuk secara sembarangan.
Murid-murid Huashan terdiam
tanpa suara sedikit pun. Melihat itu Lu Lianrong semakin gusar dan kembali berteriak,
“Jawab pertanyaanku! Binatang mana yang baru saja bicara?”
Linghu Chong bergelak tawa dan
menjawab, “Hahahaha, bukankah kau sendiri yang baru saja bicara? Mana aku tahu
kau ini dari jenis binatang apa?”
Kemarahan Lu Lianrong
meledak-ledak begitu mendengar ejekan terbaru ini. Sekuat tenaga ia mengayunkan
pedangnya ke arah Linghu Chong. Namun Linghu Chong sempat melompat mundur.
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dari dalam gedung dan menangkis serangan
Lu Lianrong menggunakan pedang pula. Rupanya orang itu tidak lain adalah Ning
Zhongze, sang ibu-guru.
Gerakan Ning Zhongze mulai
dari menerjang keluar gedung, mencabut pedang saat masih melayang di udara, dan
bagaimana ia menangkis serangan Lu Lianrong, semuanya dilakukan dengan gesit
dan anggun. Meskipun gerakan tersebut sangat cepat, namun para hadirin dapat
melihat keindahan di balik kecepatan tersebut.
Yue Buqun melangkah keluar
gedung dengan tenang sambil berkata, “Kita semua bersaudara. Urusan seperti ini
seharusnya dibicarakan baik-baik. Mengapa harus memakai kekerasan?”
Ketua Huashan itu lantas
mencabut pedang yang tergantung di pinggang Lao Denuo, kemudian mengayunkannya
untuk membentur di atas pedang istrinya dan pedang Lu Lianrong yang masih
beradu. Lu Lianrong merasa tekanan pedang Yue Buqun begitu kuat. Ia mencoba
mengangkat pedangnya namun sedikit pun tidak bergerak. Wajahnya tampak bersemu
merah karena tiga kali ia mengerahkan segenap tenaga untuk menyentakkan pedang
ke atas, namun tetap saja tidak bergerak sedikit pun.
Yue Buqun berkata sambil
tersenyum, “Serikat Pedang Lima Gunung senafas seirama seperti keluarga
sendiri. Hendaknya Kakak Lu jangan menghiraukan ucapan anak kecil.” Usai
berkata demikian ia menoleh ke arah Linghu Chong dan membentak, “Kau jangan
sembarangan bicara! Lekas, minta maaf pada Paman Lu!”
Linghu Chong melangkah maju
dan memberi hormat sambil berkata, “Mohon maaf, Paman Lu! Saya tadi seperti
orang buta yang tidak tahu sopan santun. Saya berani sembarangan bicara seperti
burung gagak yang berkaok-kaok. Sungguh, sikap saya yang berani merendahkan
tokoh hebat di dunia persilatan tadi sama rendahnya seperti binatang. Mohon
Paman Lu jangan dengarkan ocehan gagak busuk, gagak celaka tadi. Anggap saja
seperti kentut.”
Ucapan Linghu Chong yang
kembali menyinggung soal gagak itu bukannya membuat lega Lu Lianrong tapi
justru makin membuat orang tua itu semakin gusar. Yue Lingshan bahkan sampai
tertawa cekikikan karena tidak kuasa menahan geli.
Sementara itu Yue Buqun
merasakan betapa Lu Lianrong berturut-turut sebanyak tiga kali mengerahkan
tenaganya untuk menolak pedangnya ke atas. Ia hanya tersenyum dan
perlahan-lahan menarik pedangnya untuk dikembalikan kepada Lao Denuo.
Akibatnya, pedang Lu Lianrong yang sudah terlanjur dialiri banyak tenaga
tinggal mendorong pedang Nyonya Yue saja sehingga keduanya pun patah seketika.
Kedua patahan itu jatuh di tanah disertai bunyi benturan yang sangat keras.
Tidak hanya itu, pedang patah Lu Lianrong terus terdorong dan mengayun ke atas
dan hampir mengenai dahinya sendiri. Beruntung ia memiliki lengan yang kuat
sehingga mampu menghentikan laju pedang tersebut pada saat yang tepat. Namun
demikian, kejadian tersebut mau tidak mau membuat orang tua itu merasa konyol.
“Kalian... kalian dua orang
mengeroyok satu!” bentak Lu Lianrong gusar. Namun, begitu melihat pedang Ning
Zhongze juga patah ia langsung sadar kalau Yue Buqun hanya melerai tanpa
bermaksud membela istrinya. Apalagi Lu Bai, Feng Buping, dan rombongan yang
lain juga ikut ke luar gedung untuk menyaksikan apa yang terjadi. Menyadari hal
itu, ia hanya bisa menggerutu, “Kalian… kalian….”
Maka, dengan perasaan malu Lu
Lianrong pun menghentakkan kakinya ke tanah, kemudian buru-buru pergi ke dalam
gedung tanpa melirik sedikit pun dengan tangan masih memegang pedangnya yang
telah patah.
Yue Buqun sendiri sempat
melihat kehadiran Enam Dewa Lembah Persik di belakang Linghu Chong. Ia segera
menyapa, “Tuan berenam sudi berkunjung ke Gunung Huashan sini. Mohon maaf jika
sambutan kami membuat Tuan berenam kurang berkenan di hati.”
Keenam orang tua aneh itu
hanya diam terbengong-bengong. Linghu Chong segera menyahut, “Ini adalah
guruku, ketua Perguruan Huashan....”
Tiba-tiba Feng Buping menyela,
“Memang benar dia itu gurumu. Tapi, apakah dia benar-benar ketua Perguruan
Huashan harus menunggu keputusan nanti.” Ia kemudian menoleh ke arah Yue Buqun,
“Nah, Saudara Yue, ilmu Kabut Lembayung Senja yang kau perlihatkan tadi memang
hebat. Namun hanya melulu mengandalkan tenaga dalam sungguh kurang tepat jika
memimpin Perguruan Huashan. Semua orang tahu kalau Huashan adalah satu dari
Serikat Pedang Lima Gunung. Semua orang tahu kalau Huashan adalah perguruan
ilmu pedang. Tapi kau hanya menekuni pelajaran tenaga dalam saja. Jadi,
sebenarnya kau telah melakukan penyelewengan. Kau telah menyesatkan perguruan
ini.”
“Ucapan Saudara Feng sungguh
berlebihan,” ujar Yue Buqun. “Memang benar Serikat Pedang Lima Gunung
mengandalkan pedang. Namun setiap perguruan tentu juga mengutamakan tenaga
dalam untuk mengendalikan jurus pedang. Jurus pedang adalah ilmu luar,
sedangkan tenaga adalah ilmu dalam. Luar dan dalam harus dilatih secara
bersamaan, barulah ilmu silat dapat dikatakan sempurna. Bila Saudara Feng hanya
berlatih jurus pedang melulu, tentu akan kelihatan kelemahannya bila berjumpa
ahli tenaga dalam.”
Feng Buping mencibir dan
berkata, “Belum tentu seperti itu. Memang sangat baik apabila ada seseorang
yang menguasai Tridharma dan sembilan keahlian, yaitu pengobatan, ramalan,
perbintangan, menguasai Empat Kitab dan Lima Karya Klasik, dan juga menguasai
delapan belas jenis senjata. Sungguh pantas apabila dia disebut guru besar di
segala bidang. Tapi, umur manusia terbatas, mana ada kesempatan untuk menguasai
semuanya? Pada saat seseorang mendalami ilmu pedang, itu saja sudah sulit untuk
menjadi ahli, mengapa harus dipaksa dengan belajar dan berlatih ilmu lainnya?
Aku tidak mengatakan berlatih tenaga dalam itu jelek. Hanya saja, ilmu silat
yang paling utama dalam perguruan kita adalah jurus pedang. Tapi mungkin saja
kau juga ingin mencoba belajar ilmu yang menyimpang. Walaupun kau ingin belajar
ilmu Penyedot Bintang milik Sekte Iblis, itu urusanmu pribadi, apalagi hanya
belajar tenaga dalam mengiringi pedang. Tapi, pada umumnya manusia memang
serakah, dan keserakahan sering mendatangkan bencana dan malapetaka. Apabila
orang biasa yang serakah, tentu dia hanya mengundang penderitaan untuk diri
sendiri. Lain halnya dengan dirimu yang kini telah mengetuai Perguruan Huashan.
Apabila kau tersesat jalan, maka bencana yang ditimbulkan olehmu bisa membuat
murid-murid Huashan ikut celaka dan menanggung akibatnya.”
Mendengar uraian Feng Buping
membuat keringat dingin mengalir di dahi Linghu Chong. Pemuda itu berpikir,
“Kakek Guru Feng telah mengajarkan kepadaku pelajaran ilmu pedang, tanpa
disertai tenaga dalam. Apakah mungkin Beliau anggota Kelompok Pedang? Apakah
salah jika aku belajar dari Beliau?”
Terdengar Yue Buqun berkata,
“Membawa bencana bagi murid-murid Huashan bagaimana? Sepertinya ucapanmu itu
sulit dibuktikan,” ujar Yue Buqun tersenyum.
“Mengapa sulit dibuktikan?”
bentak si pendek yang berada di sebelah Feng Buping. Meskipun tubuhnya terkesan
kerdil namun suara bentakannya terdengar sangat dahsyat. “Kau bilang tidak ada
buktinya? Lihatlah murid-muridmu yang tidak becus itu! Bukankah mereka adalah
korban dari bencana yang kau ciptakan? Kakak Feng berkata bahwa kau telah
terjerumus ke dalam kesesatan, dan kau tidak pantas menjadi ketua Perguruan
Huashan. Kakak Feng sangat benar. Apakah kau bersedia mengundurkan diri, atau
perlu kami paksa untuk mundur?”
Lu Dayou baru saja tiba di
tempat itu dan langsung berbisik kepada Linghu Chong yang sedang memandang
tajam ke arah si pendek, “Aku ingat sekarang. Si pendek itu bernama Cheng
Buyou, karena tadi Guru memanggilnya demikian.”
Yue Buqun berkata, “Saudara
Cheng, Kelompok Pedang kalian telah meninggalkan Gunung Huashan sejak dua puluh
lima tahun yang lalu, dan kami sudah berhenti menyebut kalian sebagai sesama
saudara perguruan. Tapi, kenapa kalian hari ini datang mencari masalah? Jika
kalian memang mengaku hebat, mengapa tidak mendirikan perguruan sendiri? Jika
perguruan yang kalian dirikan bisa meraih nama besar di dunia persilatan dan
mengalahkan Huashan, tentu aku akan mengaku kalah. Tapi, sekarang kalian justru
datang mencari perkara. Hm, ini tidak ada manfaatnya sama sekali selain merusak
hubungan baik kita.”
Cheng Buyou menjawab dengan
lantang, “Kakak Yue, kami memang tidak ada dendam dan permusuhan dengan dirimu.
Tapi, setelah kau mengangkangi jabatan sebagai ketua Perguruan Huashan dan
menyesatkan murid-muridmu dengan lebih mengutamakan latihan tenaga dalam
daripada jurus pedang. Akibatnya, wibawa Perguruan Huashan di dunia persilatan
menjadi runtuh. Pada akhirnya, kau tidak hanya melalaikan tanggung jawab,
tetapi juga melimpahkan aib kepada banyak orang. Sebagai murid Huashan aku
tidak boleh hanya menjadi penonton dan berpangku tangan. Apalagi kau
menggunakan cara-cara licik dan tidak jujur dalam mengusir orang-orang dari
Kelompok Pedang. Tidak seorang pun dari kelompok kami yang mendapatkan
pengakuan di dunia persilatan. Kami sudah memikul kerugian ini selama dua puluh
lima tahun, dan kini saatnya kami membuat perhitungan denganmu.”
Yue Buqun menjawab, “Saudara
Cheng, perselisihan antara Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang sudah
menjadi cerita lama. Pada pertandingan di Puncak Gadis Kumala dulu sudah
ditentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Siapa yang benar, siapa yang
salah sudah jelas kelihatan. Lalu, untuk apa sekarang kalian bertiga
mengungkit-ungkit kembali?”
“Siapa yang menyaksikan akhir
pertandingan di waktu itu? Kami bertiga adalah anggota Kelompok Pedang, mengapa
kami tidak melihat hasil akhir pertandingan itu?” tanya Cheng Buyou. “Tetapi
kau memperoleh kedudukan ketua Perguruan Huashan dengan cara yang curang dan
tidak beres. Jika tidak, mengapa Ketua Serikat sampai mengirimkan Panji
Pancawarna dan memerintahkan kau mengundurkan diri?”
“Sungguh aneh, sungguh aneh,”
sahut Yue Buqun sambil menggeleng. “Ketua Zuo memiliki wawasan luas dan juga
sangat bijaksana. Menurut akal sehat, tidak mungkin Beliau secara tiba-tiba
mengirimkan Panji Pancawarna untuk menurunkan dan mengganti ketua Perguruan
Huashan.”
“Jadi, kau menganggap panji
ini palsu?” tanya Cheng Buyou sambil menunjuk ke arah bendera kebesaran Serikat
Pedang Lima Gunung tersebut.
Yue Buqun menjawab, “Panji itu
tidak palsu. Hanya saja, itu hanya benda mati, tidak bisa berbicara.”
Mendengar itu, Lu Bai dari
Perguruan Songshan yang dari tadi hanya diam menonton segera ikut bicara,
“Saudara Yue, kau berani mengatakan panji ini tidak bisa bicara. Tapi apakah
aku juga tidak bisa bicara?”
“Mana berani aku berkata
demikian?” sahut Yue Buqun. “Tapi persoalan ini sangat penting. Meskipun
seandainya Ketua Zuo benar-benar mempunyai maksud demikian, tidak seharusnya
Beliau hanya mendengar pendapat dari satu pihak saja. Seharusnya Beliau juga
mendengar kata-kataku terlebih dulu. Selain itu, kedudukan Ketua Zuo adalah
sebagai ketua Serikat Pedang Lima Gunung. Wewenang Beliau hanya meliputi urusan
antara lima perguruan. Mengenai masalah rumah tangga di masing-masing Perguruan
Taishan, Hengshan, Henshan, dan Huashan, adalah tanggung jawab masing-masing
ketua di dalamnya.”
“Kau sungguh banyak bicara!”
bentak Cheng Buyou. “Yang jelas kau tidak akan menyerahkan kedudukan ketua
kepada kami, bukan begitu?”
Saat mengucapkan kata “ketua”,
pria bertubuh pendek itu mencabut pedangnya; saat berkata “kepada” ia
melancarkan satu tusukan kepada Yue Buqun; saat mengucapkan kata “kami” ia
melakukan tusukan kedua; saat berkata “bukan” ia melakukan tusukan ketiga; dan
ketika berkata “begitu” ia melakukan tusukan keempat. Keempat kata sekaligus
keempat serangan itu dilakukannya secara berurutan dalam satu tarikan nafas
saja.
Dalam waktu yang sangat cepat
Cheng Buyou telah melakukan empat tusukan, dan masing-masing mengarah pada
empat titik yang berbeda. Tusukan pertama merobek kain baju pada bagian bahu
kiri Yue Buqun; tusukan kedua merobek kain baju pada bahu sebelah kanan;
tusukan ketiga mengenai lengan baju sebelah kiri; sedangkan tusukan keempat
merobek kain baju sebelah dada kanan. Keempat serangan itu dilakukan secara
lurus dan menghasilkan delapan lubang pada baju Yue Buqun. Dan yang lebih
menarik, masing-masing serangan sama sekali tidak menggores kulit ketua Huashan
tersebut. Apa yang dilakukan Cheng Buyou, mulai dari gerakannya yang gesit,
kecepatan yang luar biasa, ketepatan sasaran, serta bagaimana ia mengendalikan
pedang telah membuktikan kalau laki-laki bertubuh pendek ini seorang tokoh
silat papan atas.
Murid-murid Huashan
terperanjat bercampur ngeri menyaksikan kehebatan Cheng Buyou, kecuali Linghu
Chong. Pemuda itu hanya berpikir, “Keempat tusukan ini jelas-jelas jurus
Perguruan Huashan. Aku pernah meihatnya di dinding gua, tapi Guru sama sekali
belum pernah memeragakannya. Jagoan dari Kelompok Pedang ini benar-benar luar
biasa.”
Di lain pihak, Lu Bai, Feng
Buping, dan anggota rombongan lainnya merasa kagum melihat sikap Yue Buqun yang
tetap tenang. Saat Cheng Buyou melancarkan empat serangan secara tiba-tiba dan
masing-masing bisa merenggut nyawa Yue Buqun, namun Yue Buqun menghadapinya
dengan tersenyum dan menanggapinya dengan enteng. Ketua Perguruan Huashan ini
terlihat sangat percaya diri. Tujuan Cheng Buyou dan yang lain datang ke Gunung
Huashan adalah untuk merebut jabatan ketua perguruan dari tangan Yue Buqun.
Bagaimapun juga Yue Buqun dirasa perlu untuk mempersiapkan perlindungan diri
terhadap musuh-musuhnya yang bisa jadi melakukan serangan tiba-tiba. Akan
tetapi, terhadap serangan mendadak yang dilakukan Cheng Buyou itu, Yue Buqun
sama sekali tidak menghindar dan menghadapi setiap tusukan tanpa rasa khawatir
sedikit pun. Hal ini menujukkan betapa matang perhitungan ketua Huashan
tersebut, sehingga bisa menghadapi Cheng Buyou dengan cara yang mengesankan.
Dalam waktu seketika ia mampu mengendalikan diri dan bersikap tenang, sehingga
memperlihatkan betapa ilmu silatnya masih berada jauh di atas Cheng Buyou.
Tanpa menggerakkan jari sedikit pun, Yue Buqun telah memperlihatkan bagaimana
dia memenangkan pertarungan tersebut.
Sementara itu Linghu Chong
dengan mudah mengenali keempat serangan Cheng Buyou tadi mirip dengan gambar di
dinding gua rahasia yang pernah ia temukan beberapa waktu lalu. Ia juga
mengetahui bahwa keempat tusukan itu sebenarnya berasal dari satu serangan
saja, di mana Cheng Buyou telah melakukan pengembangan dengan beberapa variasi,
sehingga keempat tusukan itu terlihat berbeda satu sama lain. Dalam hal ini
Linghu Chong berpikir, bagaimanapun hebatnya jurus yang diciptakan Kelompok
Pedang, tetap tidak mampu melebihi batasan gambar-gambar di dinding gua
rahasia.
Terdengar Ning Zhongze
mengancam, “Saudara Cheng, suamiku sengaja mengalah dan mengalah, mengingat
kalian adalah tamu-tamu kami. Sekarang kau baru saja membuat baju suamiku robek
di delapan titik. Jika kau tetap tidak tahu diri, maka kami tidak perlu
segan-segan lagi. Kesabaran kami terhadap tamu kehormatan sekalipun, tetap ada
batasnya.”
Cheng Buyou pun menanggapi,
“Apa? Mengalah pada tamu? Omong kosong apa lagi ini? Nyonya Yue, apabila kau
bisa mengalahkan keempat seranganku tadi, maka aku akan turun gunung dengan
suka hati. Tidak hanya itu, bahkan aku berjanji tidak akan datang ke Gunung
Huashan lagi seumur hidupku.”
Awalnya Cheng Buyou mengira
ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi. Namun begitu melihat
sikap Yue Buqun yang tenang-tenang saja menghadapi keempat tusukannya,
diam-diam ia merasa gentar juga. Pria bertubuh pendek itu berpikir, “Meskipun
memiliki nama besar di Perguruan Huashan, namun Nyonya Yue tetap saja seorang
perempuan. Mana mungkin ia tidak ngeri melihat empat seranganku tadi? Jika kami
bertarung, aku yakin bisa mengalahkannya. Dengan cara ini, mungkin aku bisa
menekan Yue Buqun untuk menyerah demi keselamatan istrinya. Atau, aku bisa
membuat Yue Buqun ketakutan sehingga dia sukarela menyerahkan kedudukan ketua
Huashan kepada Kakak Feng.”
Namun begitu menyadari Ning
Zhongze ternyata agak ngeri melihat serangannya itu, rasa sombongnya pun
kembali bangkit. Karena tidak berani menantang Yue Buqun, maka ia pun menantang
istrinya saja, “Huh, mengalah kepada tamu? Asalkan Nyonya Gak mampu memecahkan
keempat seranganku tadi, tanpa disuruh aku akan segera pergi dan tidak sudi
menginjak Huashan ini lagi.”
Maka, Cheng Buyou lantas
berseru lantang sambil memberi hormat, “Silakan maju, Nyonya Yue! Pendekar Ning
adalah jago terkemuka dari Perguruan Huashan Kelompok Tenaga Dalam. Hari ini
Cheng Buyou ingin sekali berkenalan dengan ilmu tenaga dalam andalan Pendekar
Ning.” Dengan bicara seperti itu, Cheng Buyou ingin sekali menjelaskan di
hadapan semua orang bahwa ini akan menjadi pertarungan antara wakil Kelompok
Pedang melawan wakil Kelompok Tenaga Dalam.
Meskipun Ning Zhongze tidak
yakin mampu mengalahkan keempat serangan tersebut, namun sifatnya yang keras
membuatnya tersinggung mendengar tantangan itu. Ia pun mencabut pedang siap
menghadapi Cheng Buyou.
Buru-buru Linghu Chong
mencegah, “Ibu Guru, jalan yang ditempuh Kelompok Pedang sesat dan menyimpang,
mana mungkin bisa disejajarkan dengan kelompok kita yang murni? Biar saya saja
selaku murid Huashan yang mencoba permainannya. Jika tenaga dalam saya nanti
tidak mampu menghadapinya, barulah Ibu Guru yang maju membereskannya.”
Tanpa menunggu jawaban Ning
Zhongze, ia pun melangkah maju dan berdiri membelakangi sang ibu-guru serta
menghadapi lawan. Saat itu tangannya telah menyambar sebatang sapu kotor yang
tadi berada di sudut dinding gedung.
Sambil mengacungkan sapunya ke
arah Cheng Buyou, Linghu Chong berkata, “Tuan Cheng, kau bukan lagi murid
Perguruan Huashan, jadi tidak perlu aku memanggil ‘paman’ kepadamu. Tapi jika
kau mau menyadari kekeliruanmu, maka kau boleh masuk kembali ke dalam
perguruanku. Tapi entah Guru sudi menerimamu atau tidak? Tapi jika kau diterima
kembali, maka sesuai peraturan, kau harus memanggilku dengan sebutan ‘kakak pertama’,
bagaimana?”
“Omong kosong! Kau binatang
kotor!” bentak Cheng Buyou marah-marah. “Asalkan kau mampu menahan empat kali
seranganku tadi, maka aku, Cheng Buyou yang akan mengangkatmu sebagai guru.”
Linghu Chong
menggeleng-gelengkan kepala dan menjawab, “Aku tidak sudi mempunyai murid
seperti dirimu....”
“Ambil pedangmu, keparat!”
bentak Cheng Buyou menukas.
Linghu Chong menjawab dengan
sikap mengejek, “Sebatang rumput bisa menjadi senjata ampuh, asalkan dialiri
tenaga dalam yang cukup. Untuk menghadapi serangan Saudara Cheng yang sepele
tadi, aku tidak perlu menggunakan pedang.”
“Baik, kau sendiri yang
sombong. Jangan salahkan aku bila berbuat kejam!” seru Cheng Buyou mengancam.
Yue Buqun dan Ning Zhongze
mengetahui ilmu silat Cheng Buyou jauh lebih tinggi di atas Linghu Chong.
Menghadapi dengan sapu sama artinya dengan bunuh diri. Berpikir demikian,
suami-istri itu pun berseru serentak, “Chong’er, mundur!”
Namun teriakan itu sudah
terlambat. Cheng Buyou telah menyerang maju menggunakan jurus seperti yang ia
tujukan kepada Yue Buqun tadi. Ada beberapa alasan mengapa ia menggunakan jurus
yang sama. Pertama, karena jurus tersebut adalah jurus andalannya; kedua,
karena ia memang menantang Linghu Chong untuk menghadapi jurus tersebut;
ketiga, karena Linghu Chong menggunakan sapu sebagai senjata, sehingga dengan
menggunakan jurus yang pernah diperlihatkan, maka Linghu Chong bisa menduga ke
mana arah serangan yang akan terjadi, sehingga Cheng Buyou menganggap hal ini
cukup adil.
Di lain pihak, Linghu Chong
pernah mempelajari cara memecahkan serangan tersebut sebelum bertemu Cheng
Buyou. Sebagaimana yang terdapat pada gambar-gambar di dinding gua belakang
peninggalan para tetua Sekte Iblis, jurus tersebut dapat dihadapi dengan
menggunakan senjata aneh berbentuk tombak dengan ujung seperti sekop. Kebetulan
sapu yang dipedang Linghu Chong mirip dengan senjata pada gambar tersebut.
Itulah sebabnya pemuda itu memilih sapu sebagai senjata daripada menggunakan
ilmu Sembilan Pedang Dugu, karena ia sendiri merasa belum cukup menguasai ilmu
tersebut.
Maka, ketika Cheng Buyou
melancarkan tusukan, Linghu Chong pun menyodorkan sapu ke wajah lawannya itu.
Cara yang ia tempuh untuk memecah serangan ini benar-benar berbahaya. Apabila
yang ia pegang benar-benar tombak sekop, tentu lawan akan terluka parah, atau
bahkan mati seketika. Maka, satu-satunya cara untuk menghindari tombak tersebut
adalah dengan membatalkan tusukan dan melompat mundur.
Namun bagaimana halnya jika
yang digunakan sebagai penangkis serangan berupa sapu kotor? Ilmu tenaga dalam
Linghu Chong belum sampai pada tingkat sempurna, sehingga apa yang ia ucapkan
tadi, bahwa sebatang rumput bisa menjadi senjata ampuh asalkan dialiri tenaga
dalam hanyalah bualan belaka. Apabila sapu tersebut mengenai sasaran, paling-paling
Cheng Buyou hanya merasa tergores saja, sama sekali tidak akan menyebabkan luka
serius. Sebaliknya, pedang Cheng Buyou akan terus meluncur dan menembus dada
Linghu Chong. Namun itu semua sudah diperhitungkan dengan baik oleh Linghu
Chong. Meskipun yang ia pegang hanya sapu kotor, namun benda itu sudah cukup
ampuh untuk memaksa Cheng Buyou membatalkan serangan. Bagaimana tidak, seorang
tokoh senior tentu akan merasa sangat malu jika di depan umum wajahnya sampai
terkena kotoran yang menempel pada sapu tersebut. Daripada meneruskan serangan
untuk membunuh seorang Linghu Chong, tentu lebih baik menghindari sodoran sapu.
Perhitungan Linghu Chong tepat
sekali. Cheng Buyou memalingkan wajah menghindari sapu tersebut, sambil
kemudian mengayunkan pedang untuk memotong gagang sapu. Linghu Chong
menggerakkan sapunya ke bawah untuk menghindari ayunan pedang lawan.
Cheng Buyou merasa sangat malu
karena serangan pertamanya gagal demi untuk menangkis sapu kotor milik lawan.
Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa jurus sapu yang digunakan Linghu Chong
adalah ciptaan para tetua Sekte Iblis yang memeras otak dengan segenap
kemampuan mereka. Entah berapa lama waktu yang digunakan para tetua tersebut
untuk bermusyawarah menciptakan jurus untuk mematahkan serangan seperti yang
kini dimainkan oleh Cheng Buyou itu. Cheng Buyou hanya mengira Linghu Chong
secara kebetulan menyodorkan sapu ke arah wajahnya sehingga dapat mematahkan
serangan pertama darinya.
Dengan perasaan gusar Cheng
Buyou melancarkan serangan kedua ke arah Linghu Chong. Berbeda dengan sewaktu
menyerang Yue Buqun tadi, kali ini Cheng Buyou menyerang ketiak Linghu Chong
sebagaimana serangan keempat pada Yue Buqun, yaitu menuju dada dekat ketiak
pemuda itu. Menghadapi itu, Linghu Chong memutar tubuh sambil memindahkan
sapunya ke tangan kiri. Sepertinya ia hendak menghindari serangan lawan namun
secepat kilat sapunya bergerak menerjang ke dada Cheng Buyou.
Ukuran sapu lebih panjang
daripada pedang. Maka, meskipun dilakukan belakangan, sapu tersebut lebih dulu
mengenai dada Cheng Buyou sebelum ujung pedang mengenai ketiak Linghu Chong.
Maka terdengar suara Linghu Chong berseru, “Kena!”
Dengan disertai suara
mendesing, Cheng Buyou mengayunkan pedang secepat kilat memotong gagang sapu
yang terbuat dari bambu di tangan Linghu Chong. Namun demikian, para hadirin
dapat mengetahui dengan jelas bahwa Cheng Buyou sudah kalah. Apabila Linghu
Chong menggunakan tombak sekop, atau tombak garu, atau tombak bulan sabit,
tentu dada Cheng Buyou sudah terluka parah. Namun Cheng Buyou tidak sudi
mengakui kekalahannya. Apabila Linghu Chong seorang pendekar papan atas tentu
ia langsung membuang senjata dan menyerah kalah. Namun Linghu Chong masih
terhitung keponakan sendiri, tentu akan sangat memalukan jika ia mengaku kalah
begitu saja, apalagi karena terkena sebuah sapu kotor.
Berpikir demikian membuat
Cheng Buyou melanjutkan pertandingan. Kali ini ia melancarkan tiga serangan
mematikan dengan segenap kemampuannya. Dua di antaranya sudah dikenali Linghu
Chong lewat gambar di dinding gua belakang, sementara serangan ketiga masih
asing baginya. Meskipun demikian, sejak memelajari ilmu Sembilan Pedang Dugu,
maka serangan sesulit apa pun bisa ia patahkan.
Demi menghindari serangan itu,
Linghu Chong pun berkelit kemudian mengacungkan gagang sapu di tangannya
sebagai toya untuk menghadapi serangan selanjutnya. Cara yang ia gunakan adalah
meniru gambar pemegang toya di dinding gua belakang. Apabila yang dipegangnya
benar-benar sebatang toya besi, tentu pedang Cheng Buyou akan patah ketika
beradu dan berakibat fatal.
Namun Linghu Chong hanya
berpikir cepat dan menggunakan apa yang ada di tangannya karena didesak
keadaan. Toya yang ada di tangannya bukan terbuat dari besi, melainkan hanya
sebatang bambu tua bekas gagang sapu. Maka begitu kedua senjata beradu,
bukannya patah justru pedang Cheng Buyou menancap ke ujung bambu dan menusuk
masuk ke dalam sampai yang tersisa hanya gagangnya saja. Dalam keadaan seperti
itu pikiran Linghu Chong bekerja cepat. Segera ia memukul bambu itu dengan tangan
kanan sehingga terlempar ke samping beserta pedang milik Cheng Buyou yang
terjebak di dalamnya.
Cheng Buyou dipenuhi rasa malu
bercampur marah karena sebagai seorang ahli pedang ia harus kehilangan senjata
di hadapan banyak orang. Dengan mengerahkan segenap tenaga ia pun menghantam
dada Linghu Chong menggunakan pukulan tangan kosong. Dalam hal pertarungan
tangan kosong, Cheng Buyou lebih berpengalaman daripada Linghu Chong yang
selama ini hanya berlatih ilmu pedang saja. Akibatnya, pemuda itu pun roboh
tersungkur dan memuntahkan darah segar.
Tiba-tiba empat sosok bayangan
berkelebat menangkap tubuh Cheng Buyou. Mereka tidak lain adalah empat orang
Dewa Lembah Persik. Masing-masing memegang tangan dan kaki Cheng Buyou. Sekejap
kemudian terdengar suara jeritan pria itu dan disusul dengan bau anyir darah
bertebaran memenuhi ruangan.
Kejadian mengerikan tersebut
berlangsung sangat cepat dan mendadak. Keempat orang tua aneh itu telah menarik
tubuh Cheng Buyou menuju empat arah yang berbeda dengan tenaga mereka yang luar
biasa. Akibatnya, tubuh pria pendek itu terbelah menjadi empat bagian dengan
isi perut berhamburan di udara. Terdengar Yue Lingshan menjerit ngeri dan
kemudian jatuh pingsan setelah menyaksikan pemandangan itu. Bahkan, para ahli
silat papan atas yang sudah kenyang pengalaman seperti Yue Buqun, Lu Bai, dan
Feng Buping juga merasa gentar melihat perbuatan empat orang aneh tersebut.
Pada saat yang bersamaan
dengan terbunuhnya Cheng Buyou, dua orang yang lain, yaitu Dewa Bunga Persik
dan Dewa Buah Persik menyambar tubuh Linghu Chong yang tergeletak di lantai dan
membawa lari pemuda itu menuju ke arah kaki gunung dengan kecepatan luar biasa.
Yue Buqun dan Feng Buping
serentak mencabut pedang masing-masing untuk kemudian menyerang Dewa Ranting Persik
dan Dewa Daun Persik. Secepat kilat, Dewa Akar Persik dan Dewa Dahan Persik
menangkis serangan tersebut dengan menggunakan pentungan besi yang mereka bawa.
Sewaktu logam-logam beradu terdengar suara benturan yang sangat keras. Saat
itulah keempat pembunuh Cheng Buyou melesat pergi dengan menggunakan ilmu
meringankan tubuh mereka yang nyaris sempurna.
Hanya dalam waktu beberapa
detik saja, Enam Dewa Lembah Persik telah menghilang dengan membawa lari tubuh
Linghu Chong dari Gedung Kebajikan. Yue Buqun, Feng Buping, dan Lu Bai hanya
saling pandang dengan perasaan heran menyaksikan kekuatan dan kecepatan enam
orang tua aneh tadi. Menyaksikan mayat Cheng Buyou yang terpotong-potong dan
berserakan di lantai membuat para hadirin merasa ngeri bercampur malu. Sampai
agak lama Lu Bai dan Feng Buping hanya bisa menggelengkan kepala.
Sementara itu Linghu Chong
yang terluka parah akibat pukulan Cheng Buyou tadi sampai kehilangan
kesadarannya ketika dilarikan Enam Dewa Lembah Persik. Ketika siuman dan
membuka mata, ia mendapati dua orang bermuka panjang sedang menunggui dirinya
dengan wajah harap-harap cemas. Kedua pasang mata itu terlihat memandang
kepadanya tanpa berkedip.
“Aha, dia sudah sadar! Dia
sudah sadar! Bocah ini tidak akan mati,” seru salah seorang dari mereka yang
tidak lain adalah Dewa Bunga Persik.
“Tentu saja dia tidak akan
mati. Mana mungkin dia mati hanya karena pukulan tadi?” sahut yang lainnya,
yaitu Dewa Buah Persik.
“Huh, enak saja kau bicara,”
tukas Dewa Bunga Persik. “Kalau pukulan tadi mengenai tubuhmu tentu kau tidak
akan terluka. Tapi bocah ini jangan disamakan dengan dirimu. Bisa jadi dia
kehilangan nyawa karena pukulan itu.”
“Sudah jelas dia tidak mati,
mengapa kau katakan dia akan kehilangan nyawa?” desak Dewa Buah Persik tidak
mau kalah.
“Aku tidak bilang dia pasti
mati, tapi aku bilang bisa jadi dia akan mati,” kata Dewa Bunga Persik.
“Kalau dia sudah siuman
kembali tentu tidak ada alasan lagi mengatakan bisa jadi dia akan mati,” sahut
Dewa Buah Persik.
“Kalau aku tetap berpendapat
demikian, kau mau apa?” kata Dewa Bunga Persik tidak kalah keras.
“Itu membuktikan kalau
pandanganmu kurang tajam. Bahkan, bisa kukatakan pada hakikatnya kau tidak
mengetahui apa-apa,” ujar Dewa Buah Persik.
“Jika kau tahu dia tidak akan
mati, mengapa tadi kau menghela napas dan merasa begitu khawatir?” tanya Dewa
Bunga Persik.
“Aku menghela napas bukan
karena mengkhawatirkan kematiannya, tapi aku takut biksuni cilik merasa cemas
bila melihat keadaannya,” kata Dewa Buah Persik. “Alasan kedua, kita telah
bertaruh dengan biksuni cilik bahwa kita pasti bisa membawa bocah ini turun
gunung hidup-hidup untuk menemuinya. Tapi kini Linghu Chong dalam keadaan
setengah mati. Aku takut biksuni cilik tidak mau mengakui keberhasilan kita.”
Linghu Chong dapat mendengar
dengan baik apa yang menjadi perdebatan kedua bersaudara itu. Kata-kata mereka
sangat lucu namun menunjukkan bahwa mereka sangat menaruh perhatian terhadap
keselamatan dirinya. Dalam hal ini Linghu Chong merasa geli sekaligus terharu.
Saat mereka menyebut soal “biksuni cilik”, Linghu Chong yakin bahwa yang
dimaksud adalah Yilin dari Perguruan Henshan. Dengan tersenyum ia berkata
lirih, “Kalian berdua jangan khawatir. Aku, Linghu Chong, tidak akan mati
semudah ini.”
“Nah, kau dengar itu?” sahut
Dewa Buah Persik kepada saudaranya dengan perasaan gembira. “Dia sendiri yang
menyatakan kalau dia tidak akan mati.”
“Waktu aku berpendapat tadi,
dia belum bisa bersuara,” sahut Dewa Bunga Persik tidak mau kalah.
“Sejak tadi dia sudah membuka
matanya. Dengan sendirinya ia juga bisa bersuara. Akan hal ini siapa pun bisa
menduganya,” kata Dewa Buah Persik.
Linghu Chong semakin merasa
jemu mendengar pertengkaran kedua orang yang tidak bermanfaat itu. Jika
diterus-teruskan mereka bisa bertengkar seharian. Ia pun berkata sambil
tersenyum, “Sebenarnya aku akan mati. Tapi ketika mendengar kalian berharap aku
jangan mati, maka aku pun tidak mati. Enam Dewa Lembah Persik mempunyai nama
besar di.. uhuk-uhuk… dunia persilatan. Bila kalian meminta aku jangan mati,
maka aku pun tidak berani mati.”
Mendengar pujian itu hati Dewa
Buah Persik dan Dewa Bunga Persik merasa senang sekali. Mereka pun berkata
bersamaan, “Benar sekali, benar sekali! Ucapan bocah ini masuk akal. Mari kita
beri tahu saudara-saudara yang lain.”
Setelah kedua bersaudara itu
pergi, Linghu Chong baru menyadari kalau dirinya sedang terbaring di atas
ranjang kayu. Kelambu yang menyelubungi ranjang tersebut sudah kumal dan lapuk.
Dalam keadaan tidak tahu menahu di mana dirinya saat ini, ia mencoba menoleh namun
dadanya langsung terasa sakit dan panas. Maka, ia pun kembali ke posisi semula.
Tidak seberapa lama kemudian
Enam Dewa Lembah Persik masuk ke dalam kamar. Keenam orang aneh itu langsung
bicara tanpa henti. Ada yang membual tentang jasanya sendiri; ada yang
menyatakan khawatir atas luka yang dialami Linghu Chong; ada yang bersyukur
karena pemuda itu memilih tetap hidup demi mereka; ada yang mengatakan demi
menyelamatkan Linghu Chong yang terluka maka mereka batal membuat perhitungan
dengan orang-orang Songshan, karena jika tidak, keenam orang aneh itu pasti
akan membelah tubuh mereka menjadi empat.
Demi untuk menyenangkan hati
Enam Dewa Lembah Persik, Linghu Chong ikut bersuara dan memberikan beberapa
pujian. Namun setelah itu ia jatuh pingsan. Beberapa saat kemudian pemuda itu
siuman dan samar-samar ia merasa dadanya muak dan sesak. Darah di seluruh
tubuhnya seakan-akan bergolak saling tumbuk. Apa yang ia rasakan sangat tidak
enak dan sulit diungkapkan.
Linghu Chong merasa tubuhnya
panas seperti sedang dipanggang. Tak kuasa menahan lagi ia pun merintih pelan.
Namun terdengar suara membentak kepadanya, “Diam! Jangan bersuara!”
Begitu membuka mata, Linghu
Chong melihat sebuah pelita dengan api sebesar kacang menyala di atas meja.
Tubuhnya sendiri terbaring di lantai dalam keadaan nyaris telanjang. Rupanya
hawa panas yang menjalar di sekujur tubuhnya berasal dari Enam Dewa Lembah
Persik yang mengelilingi tubuhnya dan menyalurkan tenaga dalam masing-masing.
Satu orang memegangi kepalanya, satu orang menahan perutnya, dua orang
memegangi tangan kanan dan kiri, serta dua orang lagi memegangi kaki kanan dan
kirinya.
Dalam keadaan terkejut Linghu
Chong merasakan suatu hawa panas menyusup masuk melalui telapak kaki kiri, naik
ke paha, perut, dada, lengan kanan, dan berakhir di telapak tangan kanan.
Bersamaan dengan itu, hawa panas yang lain juga menyusup masuk melalui telapak
tangan kiri, naik ke lengan, dada, perut, paha kanan, dan akhirnya sampai ke
telapak kaki kanan. Kedua arus hawa panas tersebut terus berputar-putar kian
kemari di dalam tubuh Linghu Chong. Pemuda itu merasa tubuhnya semakin panas
seperti dipanggang.
Dalam hati Linghu Chong merasa
sangat berterima kasih atas perhatian Enam Dewa Lembah Persik yang bermaksud
menyembuhkan lukanya dengan menyalurkan tenaga dalam mereka. Maka, ia pun
mengerahkan tenaga dalam Huashan untuk menambah kekuatan hawa panas dari keenam
orang itu. Tidak disangka-sangka, begitu tenaga dalam Linghu Chong bekerja
mulai dari pusarnya, tiba-tiba bagian perut terasa sakit luar biasa seperti
ditikam. Kontan saja darah segar pun menyembur deras dari mulut pemuda itu.
“Celaka!” seru Enam Dewa
Lembah Persik bersamaan.
Dewa Daun Persik yang
memegangi ubun-ubun Linghu Chong segera memberikan tepukan sehingga pemuda itu
pingsan kembali. Dalam keadaan samar-samar itu Linghu Chong marasakan tubuhnya
sebentar panas sebentar dingin. Kedua arus hawa murni tersebut menelusur kian
kemari di antara urat nadi anggota badannya. Di antara kedua tangan dan kedua
kaki kadang-kadang terasa betapa kedua aliran hawa tersebut saling bertabrakan
dan saling menundukkan. Rasanya benar-benar menderita.
Selang agak lama Linghu Chong
merasa tubuhnya agak segar. Kepalanya terasa dingin dan ia pun mendapatkan
kembali kesadarannya. Sayup-sayup terdengar suara Enam Dewa Lembah Persik
berdebat adu pendapat. Begitu membuka mata, pemuda itu melihat Dewa Dahan
Persik sedang berdiri di hadapannya dan berkata, “Coba kalian lihat, dia sudah
tidak berkeringat lagi. Cara yang kugunakan berhasil, betul tidak? Hawa murni yang
kusalurkan mengalir dari titik Zhong-Du menuju titik Feng-Shi dan Huan-Tiao,
kemudian berputar kembali menuju titik Yuan-Ye pada tubuhnya. Aku yakin, caraku
ini bisa mengobati luka dalam di tubuhnya.”
“Masih juga kau berani
membual!” sahut Dewa Akar Persik. “Coba kalau dua hari yang lalu aku tidak
menggunakan caraku, yaitu dengan menyalurkan hawa murni ke berbagai urat nadi
di bagian kaki dan hati, tentu bocah ini sudah mati sejak lama. Apa kau mengira
masih punya kesempatan untuk mengirim hawa murni memutar menuju titik Yuan-Ye?”
“Memang benar!” sahut Dewa
Ranting Persik. “Hanya saja, meskipun Kakak Pertama bisa menyembuhkan luka
dalamnya, namun kedua kakinya bisa lumpuh. Bukankah ini berarti metode
pengobatanmu kurang sempurna? Aku rasa cara yang kugunakan adalah yang paling
baik. Luka dalam bocah ini terletak di bagian jantung yang mengalami
penyumbatan. Segala penyembuhan harus dimulai dari sana.”
“Huh, omong kosong apa pula
ini?” tukas Dewa Akar Persik dengan gusar. “Kau bukan cacing dalam perutnya,
dari mana kau tahu kalau luka dalamnya terletak di bagian jantung? Memangnya
kau sudah masuk dan memeriksa ke dalam tubuhnya?”
Dewa Daun Persik ikut berkata,
“Cara menyalurkan hawa murni yang berputar di titik Yuan-Ye dalam tubuhnya aku
rasa kurang baik. Sebaiknya kita sembuhkan dulu kakinya melalui saluran Shaoyin
dekat ginjal.” Usai berkata demikian –tanpa menunggu pendapat dari saudara yang
lain– ia langsung menekan titik Yin-Gu pada lutut kiri Linghu Chong dan
menyalurkan tenaga dalamnya.
Melihat itu Dewa Dahan Persik
menjadi gusar dan berkata, “Hei, kau sungguh berani! Baiklah, kita lihat saja
siapa yang benar.” Usai berkata demikian ia langsung menyalurkan tenaga dalam
lebih hebat dari sebelumnya ke tubuh Linghu Chong. Tidak mau ketinggalan,
keempat saudara yang lain ikut menyalurkan tenaga dalam masing-masing ke tubuh
pemuda itu.
Akan tetapi Linghu Chong
justru merasa muak dan ingin muntah. Darah terasa sudah memenuhi kerongkongan
hendak menyembur keluar dari mulut. Dalam hati ia hanya bisa mengeluh. “Gawat,
ini sungguh gawat! Keenam orang aneh ini sebenarnya bermaksud baik ingin
menyelamatkan hidupku, namun mereka sama-sama tidak mau mengalah dan memegang
teguh pendapat masing-masing. Nasibku sungguh sial kali ini.” Sesungguhnya ia
ingin berteriak menyuruh mereka berhenti saja, namun sedikit pun mulutnya tidak
mampu bersuara dan lidah terasa kelu.
Kembali terdengar suara Dewa
Akar Persik berkata, “Bocah ini mendapat pukulan di dada, yang tentunya
mengakibatkan luka dalam di beberapa bagian. Untuk itu pengobatan terbaik
adalah menyalurkan hawa murni melalui tangan menuju paru-paru. Mari kita
salurkan tenaga dalam melalui titik Zhong-Fu, Chi-Ze, Kong-Zui, Lie-Que,
Tai-Yuan, dan Shao-Shang.”
Dewa Dahan Persik menanggapi,
“Kakak Pertama, aku mengagumi kepandaianmu dalam banyak hal. Namun dalam hal
pengobatan menggunakan hawa murni jelas ilmuku lebih baik. Bocah ini mendderita
demam di sekujur tubuhnya. Ini pertanda bahwa di dalamnya terlalu banyak
mendapat arus tenaga panas. Kita harus mengobatinya melalui jalur Tai-Yang.
Mari kita sembuhkan dia dengan menyalurkan tenaga melalui titik Shang-Yang,
He-Gu, Shousan-Li, Qu-Chi, dan Ying-Xiang.”
“Salah semua! Salah semua!”
seru Dewa Ranting Persik sambil menggelengkan kepala.
“Kau tahu apa? Kenapa kau
bilang cara yang kuusulkan salah?” bentak Dewa Dahan Persik.
Di lain pihak, Dewa Akar
Persik menanggapi dengan tersenyum gembira, “Adik Ketiga mempunyai pemahaman
yang bagus dalam ilmu pengobatan. Dia tahu kalau caramu salah dan caraku
benar.”
Dewa Daun Persik menyela, “Hm,
Kakak Kedua mungkin saja salah, tapi Kakak Pertama juga belum tentu benar.
Lihat bocah itu. Pandangannya terlihat kosong. Bibirnya bergetar tapi dia tidak
mau bicara.”
Dalam hati Linghu Chong
menggerutu, “Siapa bilang aku tidak mau bicara? Kalian telah menyalurkan hawa
murni secara sembarangan dalam tubuhku, dan sekarang aku sudah tidak kuat
bicara.”
Dewa Daun Persik melanjutkan,
“Hei, lihat! Bocah ini mulai tidak waras, pikirannya sudah tidak berfungsi
dengan baik. Kita harus mengobatinya melalui saluran Yang-Ming pada perut.”
Linghu Chong menggerutu dalam
hati, “Pikiran kalian yang tidak jalan! Kalian yang sudah tidak waras!”
Begitulah, Linghu Chong lantas
merasa sakit pada titik Si-Bai yang tepat di bawah matanya. Kemudian pada titik
Di-Cang di sudut mulut juga terasa ngilu. Selanjutnya beberapa titik nadi juga
mengalami sakit, mulai dari Da-Ying, Jia-Che di bagian wajah dan beberapa titik
di atas kepala, seperti Tou-Wei dan Xia-Guang. Pada detik selanjutnya rasa
ngilu dan gatal menjalar di seluruh wajahnya sampai terasa kejang.
“Lihatlah, meskipun kau tekan
di sana-sini tetap saja dia tidak bicara,” kata Dewa Buah Persik. “Aku rasa
bukan otaknya yang sakit, tapi lidahnya yang kelu. Ini artinya dia terkena
gejala demam berat. Biar aku alirkan tenaga dalam melalui titik Yin-Bai,
Tai-Bai, Gong-Sun, Shang-Qiu, Di-ji, dan lain-lainnya. Tapi... tapi kalau dia
tidak sembuh kalian jangan salahkan aku!”
“Enak saja!” sahut Dewa Dahan
Persik. “Kalau dia tidak sembuh berarti jiwanya melayang. Sudah tentu kau yang
harus disalahkan.”
Dewa Buah Persik menanggapi,
“Tapi jika kalian sudah tahu bahwa lidahnya kelu, dan penyembuhan pada saluran
Tai-Yin dari kaki ke limpa tidak berhasil, apakah kalian akan membiarkan dia
mati begitu saja?”
“Tapi kalau cara pengobatanmu
salah, urusan bisa menjadi runyam,” desak Dewa Ranting Persik.
Dewa Bunga Persik menyela,
“Cara pengobatan yang salah memang bisa menjadi urusan yang runyam. Tapi kalau
tidak bisa menyembuhkanya, urusan bisa lebih runyam lagi. Kita sudah berusaha
cukup lama tapi dia tidak juga pulih. Aku yakin dia mempunyai masalah pada
jantung. Mari kita obati dia melalui saluran Shao-Yang dari tangan ke jantung.
Jelas bahwa kunci dari pengobatan ini adalah titik Shao-Hai, Tong-Li, Shen-Men,
dan Shao-Chong.”
Dewa Buah Persik menukas,
“Bukankah kemarin kau bilang bahwa kita harus mengobati melalui saluran
Shao-yin dari kaki ke ginjal, mengapa sekarang kau bilang soal saluran
Shao-Yang dari tangan ke jantung? Saluran Shao-yang mengumpulkan energi panas,
sadangkan saluran Shao-Yin mengumpulkan energi dingin. Yin dan Yang jelas-jelas
berlawanan. Kenapa pikiranmu bisa berubah-ubah seperti ini?”
“Salah atau benar sulit untuk
diketahui karena belum kau lakukan,” ujar Dewa Bunga Persik. “Padahal bocah ini
hanya terluka luarnya saja dan tidak terlalu parah. Tapi sudah sekian lama kita
berusaha menyembuhkannya kenapa tetap saja gagal? Kukira penyakitnya ini harus
kita sembuhkan dari dalam.”
Dewa Buah Persik menjawab,”
Yin ada karena Yang; Yang ada karena Yin. Yin dan Yang memang berlawanan tapi
sebenarnya saling melengkapi. Tai Chi melahirkan dua bagian, bergabung menjadi
Tai Chi maka itu sesuatu dibagi menjadi dua, dan yang dua digabung menjadi
satu. Shao-Yang dan Shao-Yin adalah dua bagian yang berpasangan. Sunguh tidak
benar kalau hanya mengobati pada satu saluran saja.”
Mendengar perdebatan itu,
Linghu Chong hanya bisa memaki dalam hati, “Kalian hanya berdebat seperti orang
bodoh, tapi bagaimana dengan nyawaku? Sungguh tidak berguna!”
Terdengar Dewa Akar Persik
berkata, “Kita sudah mencoba dengan berbagai cara namun tetap saja tidak
berhasil. Terpaksa aku harus menggunakan cara yang luar biasa.”
“Cara yang luar biasa,
bagaimana?” tanya saudara-saudaranya.
“Penyakit bocah ini sepertinya
semacam penyakit yang aneh, maka harus disembuhkan dengan cara yang aneh pula,”
jawab Dewa Akar Persik. “Maka, aku akan menyembuhkannya dengan menotok titik
Yin-Tang, Jin-Lu, Yu-Ye, Yu-yao, Bai-Lao, dan dua belas jalan darahnya yang
paling aneh serta jarang dikenal.”
“Kakak Pertama, jangan lakukan
itu! Itu terlalu berbahaya,” seru Dewa Bunga Persik juga yang lainnya.
“Jangan bagaimana?” bentak
Dewa Akar Persik. “Jika tidak kita lakukan maka jiwa bocah ini tidak akan
tertolong lagi.”
Sekejap kemudian Linghu Chong
merasa titik Yin-Tang, Jin-Lu, dan beberapa lainnya sakit luar biasa bagaikan
ditusuk pisau tajam. Rasa sakitnya begitu dahsyatnya sehingga ia tidak bisa
membedakan titik mana yang paling sakit. Ia membuka mulut ingin berteriak namun
tidak bisa bersuara sama sekali. Pada saat itu, suatu arus hawa panas mendesak
masuk ke dalam tubuhnya bagaikan gelombang pasang air laut melalui jalur
Tai-Yin dari kaki ke limpa. Sesaat kemudian sebuah arus lain masuk melalui
jalur Shao-Yang dari tangan menuju jantung. Kedua arus panas itu terkadang
saling bertubrukan dan saling mendesak dengan hebat dan liar. Menyusul kemudian
tiga arus hawa panas lainnya mendesak masuk melalui jalur yang berbeda.
Linghu Chong merasa gusar dan
marah luar biasa karena tubuhnya menderita menjadi ajang pertempuran arus panas
yang dikerahkan ke enam orang tua aneh itu. Memang sudah dua hari lamanya
keenam orang itu mengobati Linghu Chong dengan cara-cara liar, akan tetapi saat
ia sedang pingsan sehingga tidak mengetahui apa yang terjadi. Sedangkan saat ini
ia dalam keadaan sadar tapi tidak mampu menghentikan perbutan Enam Dewa Lembah
Persik. Yang kini ia rasakan adalah enam arus hawa panas saling mendesak di
sekujur tubuhnya dan menjadikan bagian-bagian penting seperti hati, ginjal,
paru-paru, jantung, limpa, lambung, usus, kantong kemih, dan yang lain sebagai
arena bermain dan ajang pertempuran. Dalam hati ia hanya bisa mencaci maki Enam
Dewa Lembah Persik, “Awas kalian, anjing tua! Jika aku tidak mati maka kalian
akan kucincang habis.”
Jauh di lubuk hatinya, Linghu
Chong tahu kalau Enam Dewa Lembah Persik mempunyai niat baik yaitu ingin
mengobati dirinya menggunakan tenaga dalam mereka. Cara seperti ini biasanya
hanya digunakan untuk mengobati orang yang mempunyai hubungan dekat. Akan
tetapi linghu Chong sendiri merasa seperti dibakar hidup-hidup. Penderitaannya
sudah tak tertahankan dan andai ia bisa bicara tentu ia akan memaki dengan
kata-kata yang paling kasar.
Enam Dewa Lembah Persik tetap
saja berdebat sambil tangan mereka mengobati Linghu Chong. Mereka tidak
menyadari kalau perbuatan mereka justru membuat luka pada tubuh Linghu Chong
semakin parah dan keadaannya bertambah buruk. Untungnya sejak kecil Linghu
Chong sendiri sudah mempelajari ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan yang hebat.
Meskipun belum mencapai tingkat sempurna, namun karena yang ia pelajari adalah
ilmu tenaga dalam murni sehingga ia mempunyai dasar-dasar yang kuat. Berkat
dasar-dasar tenaga dalam itulah ia mampu bertahan hidup dan tidak mudah
menyerah menghadapi penderitaan akibat ulah keenam orang tua itu.
Selang agak lama Enam Dewa
Lembah Persik akhirnya mengetahui kalau keadaan menjadi buruk mereka dapat
merasakan denyut jantung Linghu Chong terdengar semakin lemah, nafasnya pun
semakin berat. Mau tidak mau Enam Dewa Lembah Persik merasa khawatir
jangan-jangan pemuda itu akan segera tewas beberapa detik lagi .
Dewa Buah Persik yang penakut
mula-mula melepaskan tangannya dari tubuh Linghu Chong. “Sudahlah, aku tidak
mau meneruskannya lagi. Aku takut dia nanti terlanjur mati. Aku takut arwahnya
penasaran dan mungkin akan datang menggodaku. Aku takut.”
Dewa Akar Persik membentak,
“Jika bocah ini berontak maka yang akan dimaki pertama kali adalah kau. Dan
jika ia menjadi hantu maka yang akan dikejar adalah kau dan hanya kau!”
Dewa Buah Persik semakin
ketakutan dan menjerit kemudian melompat keluar jendela
Kelima Dewa Persik yang lain
menarik tangan masing-masing. Mereka saling pandang satu sama lain dan kemudian
menggelengkan kepala tidak tahu harus berbuat apa.
“Tampaknya bocah ini sulit
diselamatkan lagi. Lantas bagaimana ini baiknya?” tanya Dewa Daun Persik.
“Bagaimana kalau kita katakan
pada biksuni cilik bahwa bocah ini terluka parah akibat pukulan musuh bertubuh
pendek itu, dan akhirnya mati? Kemudian kita sampaikan pula bahwa si pendek itu
sudah kita belah menjadi empat untuk membalas dendam bocah ini,” usul Dewa
Dahan Persik.
“Apa perlu kita katakan juga
kalau kita telah berusaha menyembuhkan dia menggunakan tenaga dalam kita?”
tanya Dewa Akar Persik.
“Tidak, tidak! Sebaiknya
jangan sekali-kali kita beri tahukan!” seru Dewa Dahan Persik.
“Tapi bagaimana kalau biksuni
cilik bertanya mengapa kita tidak berusaha menyembuhkannya? Bagaimana coba?”
sahut Dewa Akar Persik kembali bertanya.
“Kalau begitu katakan saja
kalau kita sudah berusaha menyembuhkannya namun tidak berhasil,” kata Dewa
Dahan Persik.
“Lalu, apakah biksuni cilik
tidak akan menganggap kita, Enam Dewa Lembah Persik, sebagai orang-orang tidak
berguna, tidak becus, lebih rendah daripada enam ekor anjing?” tanya Dewa Akar
Persik.
Dewa Dahan Persik menyahut,
“Apa? Biksuni cilik memaki kita sebagai anjing? Sungguh keterlaluan!”
“Tidak, biksuni cilik tidak
memaki. Aku saja yang bilang demikian,” kata Dewa Akar Persik.
“Jika dia tidak memaki, dari
mana kau tahu dia menyebut kita anjing?” tanya Dewa Dahan Persik.
“Aku tadi hanya membayangkan
saja,” sahut Dewa Akar Persik.
“Atau mungkin dia tidak akan
memaki kita,” kata Dewa Dahan Persik ragu-ragu.
“Kalau bocah ini mati pasti
biksuni cilik akan sangat sedih kemungkinan besar dia akan memaki kita seperti
itu,” ujar Dewa Akar Persik.
“Aku yakin biksuni cilik pasti
akan menangis sedih tapi tidak sampai memaki kita,” ujar Dewa Dahan Persik.
“Aku lebih suka dia memaki
kita sebagai anjing daripada kita melihatnya menangis sedih,” kata Dewa Akar
Persik.
“Seandainya dia benar-benar
memaki kita juga tidak akan memanggil kita sebagai anjing,” kata Dewa Dahan
Persik.
“Lantas, dia memaki kita
sebagai apa?” tanya Dewa Akar Persik.
Dewa Dahan Persik menjawab,
“Memangnya kita berenam ini mirip anjing? Sedikit pun tidak mirip anjing. Maka,
kukira dia mungkin akan memaki kita sebagai kucing.”
“Huh, mengapa memaki kita
sebagai kucing?” sela Dewa Daun Persik. “Memangnya kita mirip kucing?”
“Kata-kata untuk memaki tidak
perlu harus mirip dengan orang yang dimaki,” sahut Dewa Bunga Persik. “Kita
adalah manusia. Kita adalah orang. Bila biksuni cilik mengatakan kita adalah
orang, maka ini bukan lagi makian.”
“Tapi bagaimana kalau dia
menyebut kita sebagai orang tolol atau orang bodoh? Bukankah itu juga makian,”
sahut Dewa Buah Persik.
Dewa Bunga Persik menyahut,
“Tapi setidaknya itu lebih lumayan daripada disebut anjing.”
“Tapi bagaimana kalau kita di
sebut anjing pintar, anjing hebat, anjing pemberani, atau anjing kesatria? Mana
yang lebih baik di sebut sebagai orang bodoh atau anjing pintar?” tanya Dewa
Ranting Persik.
Sejak tadi Linghu Chong
terbaring lemah tapi dalam hati merasa geli mendengar perdebatan yang tidak
bermanfaat itu. Entah bagaimana ada arus hawa panas mendorong ke atas sehingga
membuatnya dapat bersuara, “Enam ekor anjing tentu lebih baik daripada kalian!”
Kontan saja para kakek aneh
itu terperanjat mendengar suara pemuda tersebut. Tiba-tiba Dewa Buah Persik
yang bersembunyi di luar kamar berteriak, “Mengapa enam ekor anjing lebih baik
daripada kami?”
“Benar, kenapa enam anjing
lebih baik dari pada kami?” sahut kelima yang lainnya
Linghu Chong ingin sekali
mencaci maki mereka namun sedikit pun tidak ada tenaga. Hanya dengan suara
lemah ia berkata, “Antarkan... antarkan aku kembali... ke Gunung Huashan. Hanya
guruku... hanya guruku saja yang bisa menolong jiwaku.....”
“Apa katamu?” sahut Dewa Akar
Persik. “Kau bilang hanya gurumu saja yang mampu menolong jiwamu? Jadi maksudmu
Enam Dewa Lembah Persik tidak mampu melakukannya?”
Linghu Chong berusaha keras
untuk menganggukkan kepala. Mulutnya dapat terbuka namun sulit mengeluarkan
suara.
“Omong kosong!” bentak Dewa
Daun Persik. “Apa kepandaian gurumu? Mana mungkin ia lebih pandai daripada Enam
Dewa Lembah Persik?”
“Hm, bagaimana kalau kita ajak
gurunya bertanding melawan kita?” seru Dewa Bunga Persik.
“Benar. Nanti kita berempat
menarik tangan dan kakinya ke arah yang berbeda. Kita buat tubuhnya menjadi
empat potong,” kata Dewa Dahan Persik.
“Benar sekali,” teriak Dewa
Buah Persik sabil melompat masuk dalam kamar. “Bahkan setiap laki-laki dan
perempuan Huashan akan kita belah menjadi empat potong.”
“Tidak hanya mereka,” seru
Dewa Bunga Persik. “Kucing, anjing, kambing, ayam peliharaan mereka juga kita
belah menjadi empat potong. Bahkan, ikan dan udang juga kita potong-potong.
Semua kita tarik tangan dan kaki nya sampai robek tubuhnya menjadi empat
potong.”
“Hei, bagaimana caranya?
Memangnya ikan dan udang punya tangan dan kaki?” tanya Dewa Ranting Persik.
“Ya... ya... kita belah
kepalanya, ekornya, siripnya, dan perutnya.... jadilah empat potong,” jawab
Dewa Bunga sambil berpikir sejenak.
“Tapi kepala ikan bukan tangan
atau kaki,” desak Dewa Ranting Persik
“Memang bukan tapi tidak
masalah,” jawab dewa Bung persik.
“Tentu saja ini jadi masalah.
Karena itu bukan tangan dan kaki sehingga ucapanmu yang pertama tadi tidak
tepat,” kata Dewa Ranting Persik.
Dewa Bunga Persik tetap tidak
mau kalah. Ia berkata, “Kenapa kau bilang ucapanku tidak tepat? Ucapan yang
mana?”
“Bukankah tadi kau berkata,
kucing, anjing, kambing, ayam peliharaan mereka juga kita belah menjadi empat
potong. Bahkan, ikan dan udang juga kita potong-potong. Semua kita tarik tangan
dan kaki nya sampai robek tubuhnya menjadi empat potong?”
“Tentu saja aku bilang begitu.
Tapi yang kukatakan itu bukan kalimat pertama. Aku telah berkata ratusan bahkan
ribuan kalimat, lantas kenapa kau bilang itu kalimat pertama? Jika kita
menghitung mulai hari kelahiranku, maka aku telah berkata sebanyak jutaan
kalimat. Dengan demikian yang kukatakan tadi bukan kalimat pertama,” jawab Dewa
Bunga Persik.
Dewa Ranting Persik terdiam
tidak bisa bicara menghadapi alasan yang dikemukakan tersebut. Ia tidak punya
pendapat untuk menyerang balik.
Dewa Dahan Persik menyahut,
“Apa tadi kau bilang kura-kura juga?”
“Tentu saja. Kura-kura juga
punya dua kaki depan juga kaki belakang, jadi keempatnya juga bisa ditarik
sampai putus.”
Dewa Dahan Persik bertanya,
“Tapi kalau kita tarik empat kakinya mana mungkin bisa merobek tubuhnya menjadi
empat potong?”
“Mengapa tidak bisa? Memangnya
kura-kura punya ilmu silat untuk menghadapi kita?” tanya Dewa Bunga Persik
tidak paham.
“Memang mudah membelah tubuh
kura-kura menjadi empat potong, tapi bagaimana dengan tempurungnya yang keras?
Apa kita bisa merobek tempurung dengan cara menarik keempat kakinya? Kalau kita
paksakan maka yang putus hanya empat kakinya sedangkan tempurung tetap utuh.
Itu artinya tubuh kura-kura terbelah menjadi lima, bukan empat potong,” kata
Dewa Dahan Persik.
Dewa Akar Persik menengahi,
“Kalian hanya bisa membelah tubuh kura-kura menjadi empat dan menyisakan
tempurungnya saja. Maka kau bisa katakan ‘merobek menjadi empat potong ditambah
sebuah tempurung yang tidak bisa dirobek. Maka bisa kukatakan menjadi lima potong
bukan hanya keliru, tapi salah kaprah.”
Dewa Daun Persik berkata,
“Kakak pertama, apa yang kau bilang juga tidak benar. Keliru bicara tidak sama
dengan salah kaprah, sedangkan salah kaprah juga tidak sama dengan keliru
bicara. Keduanya jelas berbeda. Kenapa kau campur adukkan keduanya menjadi satu
sehingga membuat bingung?”
Mendengar ocehan keenam orang
itu, Linghu Chong pasti tertawa terbahak-bahak andai saja dirinya tidak dalam
keadaan setengah mati. Percakapan mereka sungguh sangat lucu dan jenaka, tapi
juga membuat persaan jengkel. Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Entah seperti
apa kedua orang tua yang melahirkan keenam orang aneh yang selalu bertengkar
ini. Apakah mungkin yang kuasa membuat lelucon dengan menciptakan mereka?
Perdebatan mereka bisa berlarut-larut, sedangkan hidupku lebih berharga. Aku
harus mencari cara untuk bisa lolos dari semua ini.”
Berpikir demikian membuat
semangat Linghu Chong bangkit. Ia pun berkata, “Aku minta arak.”
Mendengar itu Enam Dewa Lembah
Persik bersorak gembira, “Lihat, dia ingin minum arak! Dia tidak jadi mati!”
“Mati atau tidak urusan
nanti,” jawab Linghu Chong sambil merintih. “Yang jelas sekarang aku ingin
minum arak sepuas-puasnya.”
“Ya, baik! Aku ambilkan,”
sahut Dewa Ranting Persik yang segera melangkah pergi dan sekejap kemudian
sudah kembali membawa sepoci arak.
Keadaan Linghu Chong
sebenarnya sudah sangat parah. Namun begitu mencium bau arak semangatnya
bangkit kembali. Ia berkata, “Tolong... suapi aku!”
Dewa Ranting Persik lantas
menempelkan poci arak itu ke mulut Linghu Chong dan menuangkannya seteguk demi
seteguk membuat pemuda itu merasa sedikit segar. Pikirannya pun kembali
bekerja, “Keenam orang ini suka dipuji. Aku terpaksa harus menipu mereka.”
Maka, pemuda itu pun berkata,
“Guruku sering memuji bahwa jago paling... paling sakti di dunia ini adalah...
Enam Dewa... Enam Dewa....”
Linghu Chong sengaja
menghentikan suaranya untuk memancing perhatian keenam orang tua aneh itu.
Benar dugaanya, keenamnya pun serentak bertanya, “Enam dewa apa?”
Linghu Chong menyambung, “Enam
Dewa Lembah… Lembah ….”
“Enam Dewa Lembah Persik!”
sahut keenam orang aneh bersamaan.
Linghu Chong tersenyum dan
menjawab, “Benar. Guruku sering berkata bahwa Beliau sangat ingin memiliki...
memiliki kesempatan bisa minum arak dan bersahabat dengan keenam kesa...
kesa....”
“Keenam kesatria, begitu?”
seru Enam Dewa mempertegas.
“Betul, Guru ingin keenam
kesatria besar itu sudi memperlihatkan kesaktian mereka di hadapan murid-murid
Huashan....” kali ini Linghu Chong benar-benar berhenti bicara karena nafasnya
terasa sesak.
Akan tetapi Enam Dewa Lembah
Persik semakin penasaran dan tidak mau berhenti. Bersama-sama mereka bertanya,
“Bagaimana? Selanjutnya bagaimana?”
“Dari mana gurumu mengetahui
kesaktian kami?”
“Wah, ketua Perguruan Huashan
itu memang benar-benar baik hati. Barangsiapa berani mengganggu sebatang rumput
saja di Huashan, tentu kita takkan mengampuninya.”
“Kami ingin bersahabat
dengannya. Mari kita berangkat sekarang juga ke Huashan!”
Linghu Chong gembira mendengar
kata-kata itu. Ia pun segera menanggapi, “Betul, kita berangkat sekarang juga!”
Enam Dewa Lembah Persik begitu
polos dan lugu. Setelah Linghu Chong mengenakan kembali pakaiannya, mereka
langsung menggotong pemuda itu dan membawanya pergi menuju ke Gunung Huashan.
Setengah hari kemudian
tiba-tiba Dewa Akar Persik menghentikan perjalanan berkata, “Celaka ini!
Biksuni cilik menyuruh kita membawa bocah ini ke hadapannya. Tapi, mengapa kita
justru membawanya kembali ke Huashan? Jika kita tidak membawa bocah ini kepada
si biksuni cilik, lantas bagaimana kita bisa memenangkan taruhan? Kita harus
menang dua kali. Ini sungguh memalukan.”
“Kali ini ucapan Kakak Pertama
benar,” sahut Dewa Dahan Persik. “Lebih baik kita menghadap biksuni cilik dulu,
baru kemudian berangkat menuju Huashan. Kita harus memenangkan taruhan ini
lebih dulu.”
Serentak mereka berenam pun
memutar haluan menuju ke arah selatan. Menyadari itu Linghu Chong langsung
berteriak, “Yang ingin ditemui biksuni cilik itu orang yang masih hidup atau orang
yang sudah mati?”
“Sudah tentu yang masih
hidup,” jawab Dewa Akar Persik.
“Nah, apabila kalian tidak
mengantarkan aku ke Huashan, maka aku akan memutus urat nadiku sendiri supaya
aku mati seketika,” kata Linghu Chong.
“Bagus sekali,” seru Dewa Buah
senang. “Ilmu memutuskan urat nadi adalah ilmu yang unik dan kami belum pernah
melihatnya. Coba kau jelaskan kepada kami bagaimana caranya!”
Dewa Dahan Persik menyahut,
“Apa gunanya kau ingin melatih ilmu itu? Sekali kau memutus urat nadimu maka
kau akan langsung mati. Apa manfaatnya ilmu seperti itu?”
“Ada manfaatnya,” seru Linghu
Chong. “Misalnya dalam keadaan di mana kalian dipaksa oleh seseorang dan kalian
merasa tidak mampu lagi menanggung siksaan, maka daripada menderita lebih baik
memutuskan urat nadi sendiri supaya segera mati.”
Mendengar itu Enam Dewa lembah
Persik menjadi khawatir. Mereka berkata, “Biksuni cilik ingin bertemu denganmu
hidup-hidup. Kami sama sekali tidak bermaksud menyakitimu.”
Linghu Chong menjawab sambil
menghela nafas , “Ya, kalian mungkin memang bermaksud baik. Tapi, aku harus
melapor dan minta izin terlebih dahulu kepada Guru. Jika tidak, lebih baik aku
mati bunuh diri daripada dipaksa-paksa. Lagi pula Guru dan ibu guru sejak lama
ingin sekali bertemu kalian enam Pend… Pend….”
“Enam Pendekar Besar!” seru
Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.
Linghu Chong menganggukkan
kepala.
“Baiklah,” jawab Dewa Akar.
“Terlambat sedikit tidak menjadi masalah. Biarlah kami mengantarmu pulang ke
Huashan dahulu.”
Setelah berjalan beberapa jam
akhirnya sampailah rombongan itu di Gunung Huashan. Begitu melihat kedatangan
mereka para murid bergegas melapor kepada Yue Buqun. Mendengar Linghu Chong dan
keenam penculiknya telah kembali, Yue Buqun dan Ning Zhongze segera keluar
menyambut mereka disertai para murid dengan perasaan heran.
Enam Dewa Lembah Persik
berjalan sangat cepat dan mereka sudah tiba di halaman Gedung Kebajikan saat
pihak Yue Buqun baru saja melangkah keluar dari pintu gedung utama Perguruan
Huashan tersebut. Tampak dua di antara orang-orang aneh itu menggotong Linghu
Chong yang terbaring di atas tandu.
Ning Zhongze langsung berlari
menghampiri. Tampak keadaan murid pertama suaminya itu begitu lemah dengan
wajah pucat dan tubuh kurus. Setelah diperiksa denyut nadinya pun lemah dan
kacau. Jiwanya sungguh dalam bahaya.
Nyonya Yue berseru kaget,
“Chong’er, Chong’er!”
Linghu Chong membuka mata
sedikit dan menyapa dengan suara lirih, “Ibu... Ibu Gu....”
Air mata Ning Zhongze
bercucuran. Ia kemudian berkata, “Chong’er, biar aku yang membalaskan sakit
hatimu!” Usai berkata demikian wanita itu mencabut pedangnya siap menusuk Dewa
Bunga Persik yang menggotong tandu Linghu Chong tersebut.
“Tunggu dulu!” seru Yue Buqun
mencegah istrinya. Ia lalu memberi salam kepada Enam Dewa Lembah Persik dan
berkata, “Maafkan jika kami tidak mengadakan sambutan yang sepantasnya atas
kunjungan Anda berenam di Gunung Huashan ini. Kalau boleh tahu, siapakah nama
Anda berenam yang mulia ini dan dari mana kiranya berasal?”
Mendengar itu Enam Dewa merasa
marah bercampur kecewa karena sudah terlanjur senang dengan cerita Linghu Chong
bahwa gurunya sangat mengagumi kehebatan mereka. Siapa sangka kalimat pertama
yang diucapkan Yue Buqun adalah menanyakan nama mereka. Ini pertanda Yue Buqun
tidak tahu menahu perihal Enam Dewa Lembah Persik.
Maka Dewa Akar Persik pun
berkata, “Katanya kalian berdua, suami-istri, sangat mengagumi kami enam
bersaudara? Apa itu semua hanya kebohongan? Ternyata kalian sama sekali tidak
mengenal kami. Sungguh memalukan!”
Dewa Dahan Persik ikut bicara,
“Bukankah kau pernah bilang bahwa Enam Dewa Lembah Persik adalah jagoan paling
sakti di dunia persilatan? Ah, aku tahu! Kau sudah lama mendengar nama besar
Enam Dewa Lembah Persik, tapi kau tidak tahu seperti apa rupa mereka. Apa kau
tidak tahu kalau keenam orang hebat itu adalah kami?”
Dewa Ranting Persik berkata,
“Kau benar, Kakak Kedua. Dia bilang sangat ingin bertemu dan bersahabat dengan
kita untuk minum arak bersama-sama. Sekarang kami datang kemari, kau justru
tidak merasa gembira dan tidak pula mengundang kami minum arak. Ini pertanda
dia memang sudah mendengar nama besar Enam Dewa Lembah Persik tapi tidak tahu
seperti apa wajah kita. Hahaha, sunguh menyenangkan.”
Yue Buqun semakin
terheran-heran. Dengan bersikap dingin ia berkata, “Kalian mengaku sebagai Enam
Dewa Lembah Persik, sementara aku ini hanya manusia biasa, jelas tidak berani
bersahabat dengan para dewa.”
Enam Dewa tertawa riang.
Mereka menganggap sindiran Yue Buqun sebagai pujian. Dengan senang hati mereka
berkata, “Tidak masalah. Kami Enam Dewa sudah bersahabat dengan muridmu. Untuk
bersahabat denganmu juga suatu hal yang mudah.”
Dewa Buah Persik menambahkan,
“Meskipun ilmu silatmu rendah, kami tetap tidak akan memandang hina kepadamu.
Untuk itu kau tidak perlu merasa khawatir.”
Dewa Bunga Persik berkata,
“Misalkan dalam ilmu silat ada yang kurang jelas bagimu, kau boleh bertanya
kepada kami. Silakan saja, kami siap memberikan petunjuk seperlunya.”
Ucapan Enam Dewa Lembah Persik
yang polos dan apa adanya sangat menyinggung perasaan Yue Buqun. Namun
kesabaran Yue Buqun sungguh luar biasa. Meskipun hatinya panas namun mulutnya
tetap tersenyum dan berkata, “Terima kasih atas maksud baik kalian!”
“Tidak perlu berterima kasih,”
kata Dewa Dahan Persik. “Bila Enam Dewa Lembah Persik sudah menganggapmu
sebagai sahabat, sudah tentu segala apa yang kami ketahui akan kami ajarkan
kepadamu.”
Dewa Buah Persik menambahkan,
“Baiklah, sekarang juga akan kuperlihatkan beberapa gerakan agar segenap warga
Perguruan Huashan kalian bertambah pengalaman.”
Ning Zhongze tidak sesabar
suaminya. Ia tidak tahu kalau Enam Dewa Lembah Persik punya sifat
kekanak-kanaan dan polos. Apa yang mereka ucapkan sebenarnya bersifat apa
adanya, namun bagi Ning Zhongze diangap sebagai sebuah penghinaan. Karena tidak
kuasa menahan amarah, wanita itu pun mencabut pedangnya dan secepat kilat sudah
menodong ulu hati Dewa Buah Persik.
Ning Zhongze berkata, “Baik,
aku ingin belajar seperti apa kehebatan senjatamu.”
Dewa Buah Persik menjawab,
“Selamanya Enam Dewa Lembah Persik tidak menggunakan senjata. Katanya kau kagum
dengan ilmu silat kami, tapi mengapa kau tidak tahu tentang hal ini?”
Ning Zhongze semakin gusar
mendengar ucapan yang bernada menghina itu. “Aku memang tidak tahu soal itu,”
bentak Ning Zhongze sambil menusukkan pedangnya ke depan. Tusukan ini sangat
cepat dan tiba-tiba, dan disertai tenaga yang sangat kuat.
Dewa Buah Persik sama sekali
tidak menduga kalau wanita yang dianggapnya sebagai teman itu benar-benar
menusukkan pedangnya. Dalam sekejap pedang Nyonya Yue sudah menancap di
dadanya. Sebenarnya Dewa Buah Persik masih punya kesempatan untuk melakukan
balasan. Namun karena pada dasarnya ia bersifat penakut sehingga hanya berdiam
diri sambil memandang ngeri ketika pedang itu sudah menancap di dadanya.
Dewa Ranting Persik menerjang
Nyonya Yue dan memukul bahu wanita itu. Ning Zhongze jatuh terhuyung-huyung dan
pedangnya pun terlepas dari genggaman.
Dewa Akar Persik dan yang lain
menjerit kaget melihat pemandangan itu. Dewa Ranting Persik segera melesat
mengangkat tubuh Dewa Buah Persik dan membawanya lari secepat kilat, sedangkan
keempat saudaranya yang lain maju menerjang ke arah Ning Zhongze. Dengan
kecepatan tak terbayangkan, mereka menangkap tangan dan kaki wanita itu untuk
kemudian dipentangkan ke empat arah yang berbeda.
Yue Buqun ngeri membayangkan
nasib istrinya tentu akan seperti Cheng Buyou yang mati dalam keadaan terbelah
menjadi empat potong. Ia pun mencabut pedangnya dan bergerak menyerang Dewa
Akar Persik dan Dewa Daun Persik sekaligus. Sehebat apapun kesabaran Yue Buqun
tetap saja gemetar saat mengayunkan pedangnya sehingga kedua orang yang menjadi
sasaran itu bisa menghindar.
Melihat sang ibu-guru dalam
bahaya, Linghu Chong yang masih terbaring di atas tandu berusaha bangkit dengan
susah payah. Entah dari mana kekuatannya berasal, ia mendadak bisa bangun
sambil berteriak, “Jangan melukai ibu-guruku! Jika tidak, aku akan segera
memutuskan urat nadiku sendiri!” Usai berkata demikian pemuda itu muntah darah
dan akhirnya jatuh pingsan.
Mendengar teriakan itu Dewa
Akar Persik berseru sambil menghindari tusukan Yue Buqun, “Celaka! Bocah itu
mau memutuskan urat nadinya sendiri. Urusan bisa runyam. Lebih baik kita ampuni
saja perempuan ini.”
Tanpa banyak bicara lagi
keempat orang tua aneh itu langsung melepaskan tubuh Ning Zhongze dan melesat
pergi menyusul Dewa Ranting Persik yang melarikan Dewa Buah Persik.
Yue Buqun dan Yue Lingshan
berlari menghampiri Ning Zhongze yang lolos dari maut. Sebelum mereka meraih
tubuh Ning Zhongze, wanita itu sudah melompat dan mendarat di tanah dengan
perasaan marah bercampur ngeri. Tubuh Ning Zhongze tampak gemetar dan wajahnya
pucat pasi.
Yue Buqun berkata, “Adik, kau
jangan gusar. Kita pasti akan membalas kejadian ini. Keenam orang itu
benar-benar lawan yang tangguh. Untung kau berhasil membinasakan salah satu
dari mereka.”
Ning Zhongze termangu-mangu.
Jantungnya berdebar-debar membayangkan kematian tragis Cheng Buyou beberapa
hari yang lalu dan kini hampir saja terjadi padanya. “Aku… aku… aku….” Demikian
ia hanya bisa menggumam tidak jelas karena perasaannya masih terguncang.
Menyadari hal itu Yue Buqun
segera berkata kepada putrinya, “Shan’er, antar ibumu masuk ke dalam untuk
beristirahat!”
Setelah Yue Lingshan membawa
ibunya masuk ke dalam, Yue Buqun segera memeriksa keadaan tubuh Linghu Chong
yang berlumuran darah. Murid pertamanya itu tampak begitu lemah, nafasnya lirih
dengan udara yang keluar lebih banyak daripada yang masuk, sepertinya sebentar
lagi akan mati. Segera Yue Buqun menyalurkan tenaga dalam melalui telapak
tangannya yang ditempelkan pada titik Ling-Tai di punggung Linghu Chong.
Tiba-tiba ia merasakan di dalam tubuh pemuda itu terdapat beberapa arus tenaga
aneh yang melawan tenaga dalam kirimannya. Hampir saja tangan Yue Buqun terlepas
karena arus tenaga tersebut mendorong keluar. Dalam keterkejutannya, Yue Buqun
segera menguasai diri dan kemudian menambahkan tenaga dalam untuk melawan arus
hawa murni tersebut. Yue Buqun kemudian menempelkan telapak tangan yang lain
pada titik Tan-Zhong di dada Linghu Chong. Tiba-tiba saja suatu arus tenaga
menghantam tangannya, bahkan membuat dada Yue Buqun terasa sesak seperti
dipukul dengan pentungan.
Yue Buqun terheran-heran untuk
sementara waktu. Ia bisa merasakan betapa di dalam tubuh Linghu Chong sedang
bertarung beberapa arus hawa murni yang bertumbuk kian kemari. Hawa murni yang
berkeliaran di dalam tubuh Linghu Chong jelas berasal dari tingkatan tinggi
namun bukan dari golongan putih dalam dunia persilatan. Meskipun tenaga dalam
Kabut Lembayung Senja lebih tinggi, namun dua saja di antara hawa-hawa murni
tersebut adakalanya bergabung sudah cukup untuk mendesaknya keluar.
Setelah dirasakan dengan
seksama, Yue Buqun menemukan ada enam jenis hawa murni liar yang berkeliaran
kian kemari di dalam tubuh Linghu Chong. Khawatir kalau-kalau tenaganya akan
terbuang sia-sia, Yue Buqun menarik tangannya dan tidak berani lagi meraba
tubuh murid pertamanya itu. Ia pun berpikir, “Enam hawa murni ini pasti berasal
dari enam orang aneh itu. Hm, mereka sungguh keji, menyalurkan tenaga dalam
masing-masing melalui urat nadi Chong’er sehingga anak ini kenyang menderita,
mati tak bisa, hidup pun sulit.”
Yue Buqun hanya menggelengkan
kepala, kemudian menyuruh Gao Genming dan Lu Dayou untuk menggotong tubuh
Linghu Chong masuk ke dalam kamar. Ia sendiri lantas pergi menjenguk sang
istri.
Keadaan Ning Zhongze masih
terguncang. Wajahnya tampak pucat pasi saat duduk di tepi ranjang dengan
berpengang pada lengan putrinya. Begitu melihat suaminya datang, Ning Zhongze
langsung bertanya, “Bagaimana keadaan Chong’er? Apa lukanya berbahaya?”
Yue Buqun diam sejenak. Ia
kemudian menceritakan apa yang baru saja ia temukan di dalam tubuh Linghu
Chong, bahwa ada enam macam hawa murni yang berkeliaran di urat nadi pemuda
itu. Keenamnya sama-sama kuat dan saling bertumbukan.
Ning Zhongze menanggapi dengan
nada khawatir, “Jika demikian, keenam hawa murni itu harus dipunahkan satu per
satu. Tapi, apa waktunya masih mencukupi?”
Yue Buqun termenung sambil
menengadah. Lama kemudian ia baru berkata, “Adik, menurut pendapatmu, ada
maksud dan tujuan apa sampai keenam siluman itu menyiksa Chong’er sedemikian
rupa?”
“Sepertinya mereka mencoba
memaksa Chong’er menyerah. Mungkin mereka ingin memaksa Chong’er membocorkan
rahasia perguruan kita,” jawab Ning Zhongze menduga-duga. “Tentunya Chong’er
lebih baik mati dan bersikeras tidak mau mengaku sehingga keenam siluman itu
lantas menyiksanya dengan kejam.”
“Sepertinya masuk akal juga,”
ujar Yue Buqun. “Tapi dalam perguruan kita tidak terdapat rahasia apa-apa.
Keenam siluman itu juga tidak mengenal kita, juga tidak punya permusuhan dengan
kita. Apa sebabnya mereka menculik Chong’er dan kemudian mengembalikannya ke
sini?”
“Aku khawatir jangan-jangan...
Ah, tidak mungkin….” sahut Nyonya Yue namun terhenti begitu saja. Ia kemudian
saling pandang dengan sang suami dan mengerutkan kening.
Tiba-tiba Yue Lingshan ikut
bicara, “Ayah, Ibu, meskipun dalam perguruan kita tidak terdapat rahasia apa
pun, tapi ilmu silat Perguruan Huashan amat terkenal. Dengan menangkap Kakak
Pertama mungkin mereka berniat memaksanya membocorkan intisari ilmu tenaga
dalam dan jurus pedang perguruan kita.”
“Aku pun sempat berpikir
demikian,” ujar Yue Buqun. “Tapi tingkatan tenaga dalam Chong’er masih
terbatas. Dengan kehebatan enam siluman itu, mereka bisa langsung mengetahui
kekuatan Chong’er. Lagipula jenis tenaga dalam mereka berbeda dengan tenaga
dalam perguruan kita. Tentu bukan ini yang mereka incar. Begitu pula dengan
ilmu pedang juga sepertinya tidak menarik perhatian mereka. Misalkan mereka
hendak memaksa Chong’er mengakui sesuatu, tentunya dapat dibawa ke tempat lain
untuk disiksa dengan lebih kejam. Kenapa harus dikembalikan ke sini?”
Mendengar nada pembicaraan
sang suami yang yang tegas, Ning Zhongze dapat melihat bahwa suaminya itu telah
meyakini sesuatu. Ia pun mendesak, “Jadi, menurutmu, mereka memiliki tujuan
apa?”
“Memanfaatkan luka parah
Chong’er untuk menguras tenaga dalamku,” jawab Yue Buqun dengan wajah serius.
Ning Zhongze hampir melonjak
bangun dan berseru, “Benar juga! Demi menyelamatkan nyawa Chong’er kau tentu
akan menyalurkan tenaga dalammu untuk mengusir hawa murni mereka. Nah, pada
saat kau dalam keadaan payah, keenam siluman itu akan datang kembali dan dengan
mudah membinasakan kita semua.”
Wanita itu terdiam sejenak,
lalu melanjutkan, “Untung sekarang mereka tinggal berlima. Anehnya, kenapa tadi
begitu mendengar bentakan Chong’er, mereka langsung melepaskan diriku?” Usai
berkata demikian Ning Zhongze menggigil ngeri karena teringat saat-saat berbahaya
tadi.
“Justru itu yang membuatku
curiga. Mereka takut Chong’er benar-benar bunuh diri dengan memutus urat nadi
sendiri. Nah, jika Chong’er mati, maka rencana mereka tentu sia-sia, bukan?”
jawab Yue Buqun. “Kau telah membunuh seorang dari mereka. Sepantasnya mereka
menyimpan dendam terhadap kita. Namun saat Chong’er mengancam hendak bunuh diri
dengan memutus urat nadi, mereka segera melepaskan dirimu. Coba pikir, mana
mungkin mereka membiarkan Chong’er tetap hidup kalau tidak ada maksud
tersembunyi?”
Ning Zhongze menggerutu dalam
hati, “Huh, mereka berenam sungguh kejam dan licik! Mereka merobek tubuh Cheng
Buyou tanpa berkedip. Sungguh kekejaman yang jarang ada di dunia persilatan.
Setiap kali teringat kebrutalan mereka, jantungku berdebar kencang. Apa yang
mereka lakukan telah membuat Feng Buping menunda rencananya untuk merebut
Perguruan Huashan kita. Karena peristiwa itu, Feng Buping meninggalkan Huashan
dengan sangat kecewa bersama Lu Bai dan yang lain. Memang apa yang dilakukan
keenam orang aneh itu cukup membantu perguruan kita. Tapi, siapa sangka mereka
kini datang kembali untuk membuat onar? Dalam hal ini aku pun sependapat dengan
Kakak mengenai rencana licik mereka.”
Usai berpikir demikian Ning
Zhongze berkata, “Jika begitu, kau tidak boleh menyalurkan tenaga dalam untuk
Chong’er. Biar aku saja! Meskipun tenaga dalamku tidak sehebat dirimu, tapi
semoga dapat menyelamatkan jiwanya untuk sementara.
Usai berkata demikian Ning
Zhongze melangkah pergi keluar kamar, namun suaminya langsung mencegah, “Adik,
jangan kau lakukan itu!”
Ning Zhongze berhenti
melangkah dan menoleh ke arah sang suami.
“Jangan kau lakukan itu,
karena hawa murni keenam siluman itu sungguh dahsyat,” kata Yue Buqun sambil
menggeleng.
Ning Zhongze termenung
sejenak. Ia kemudian duduk kembali dan berkata, “Hanya ilmu Kabut Lembayung
Senja saja yang bisa menyembuhkannya. Jadi, bagaimana baiknya?”
“Kita usahakan sebisa-bisanya
untuk menyelamatkan nyawa Chong’er. Tapi, untuk hal ini tidak perlu membuang
banyak tenaga dalam,” ujar Yue Buqun.
Pasangan suami-istri tersebut
beserta Yue Lingshan kemudian masuk ke dalam kamar Linghu Chong. Tampak pemuda
itu terbaring tak berdaya dengan napas sangat lemah, membuat air mata Ning
Zhongze bercucuran tak bisa dibendung lagi. Ia mencoba memeriksa denyut nadi
Linghu Chong namun suaminya mencegah dan menggelengkan kepala.
Yue Buqun lalu menggunakan
kedua telapak tangannya untuk menyalurkan tenaga dalam Kabut Lembayung Senja.
Namun begitu tenaga dalam tersebut berbenturan dengan hawa murni yang bergejolak
di dalam tubuh sang murid pertama, seketika badan Yue Buqun terlihat bergetar.
Ia pun mundur dan mengerahkan tenaga dalam lebih kuat sampai wajahnya
memancarkan cahaya ungu.
Tiba-tiba terdengar suara
Linghu Chong merintih, “Adik Lin... di mana Adik... Lin?”
Yue Lingshan heran dan
bertanya, “Ada apa kau mencari Lin Kecil?”
Dengan mata terpejam Linghu
Chong berkata lirih, “Sebelum... sebelum ayahnya meninggal... sempat
menitipkan... wasiat kepadaku.... Aku harus... aku harus menyampaikannya sebelum...
sebelum terlambat... Tolong… tolong panggilkan dia….”
Yue Lingshan bergegas keluar
kamar sambil menutup muka untuk menyembunyikan air matanya yang
berlinang-linang. Murid-murid Huashan lainnya sebenarnya sudah menunggu di luar
karena mencemaskan keadaan sang kakak pertama. Begitu Yue Lingshan memanggil,
Lin Pingzhi pun bergegas masuk dan segera mendekati Linghu Chong berbaring.
“Kakak Pertama, hendaklah kau jaga badanmu baik-baik,” kata pemuda itu.
“Apa... apa kau Adik Lin?”
tanya Linghu Chong dengan mata masih terpejam.
“Benar, ini aku,” sahut Lin
Pingzhi.
“Sebelum... sebelum ayahmu
wafat, aku... aku berada di sampingnya,” ujar Linghu Chong dengan suara
terputus-putus. Suaranya terdengar semakin lemah. Lin Pingzhi dan yang lain
sampai-sampai menahan napas tak bersuara sama sekali. Keadaan kamar tersebut
menjadi sunyi senyap.
Selang agak lama, Linghu Chong
berhasil menghirup napas dan melanjutkan bicara, “Beliau minta... minta
kepadaku supaya... menyampaikan wasiat... wasiat kepadamu. Katanya... di rumah
lama Keluarga Lin… di Gang Matahari... terdapat benda pusaka... yang harus
dijaga, tetapi… tetapi kau tidak boleh membacanya... karena bisa...
mendatangkan... malapetaka.”
Lin Pingzhi terheran-heran dan
bertanya, “Apa? Rumah lama Keluarga Lin di Gang Matahari? Tapi, tapi di sana
tidak ada benda pusaka. Memangnya benda pusaka macam apa yang dimaksudkan
ayahku?”
“Aku tidak tahu… Hanya...
hanya itu wasiat ayahmu... Aku tidak mendengar... kalimat selain itu....” sahut
Linghu Chong lirih.
Yue Buqun, Ning Zhongze, Yue
Lingshan, dan terutama Lin Pingzhi menunggu kalimat selanjutnya, namun Linghu
Chong terdiam tidak bicara lagi.
Yue Buqun menghela napas
kemudian berkata kepada Yue Lingshan dan Lin Pingzhi, “Kalian berdua boleh
menemani Kakak Pertama. Bila penyakitnya ada perubahan, segera laporkan
kepadaku.”
Kedua muda-mudi itu mengangguk
dan mengiakan.
Yue Buqun dan istrinya
melangkah keluar meninggalkan ruangan itu. Mereka kemudian masuk ke kamar
sendiri. Sesudah pintu kamar ditutup, Ning Zhongze kembali meneteskan air mata.
“Jangan terlalu sedih. Kita
yang akan membalaskan dendam Chong’er,” kata Yue Buqun.
Ning Zhongze menjawab, “Keenam
manusia aneh itu telah menyusun rencana jahat pada kita. Aku yakin mereka pasti
akan kembali ke sini. Jika kita menghadapi mereka, mungkin kita tidak akan
kalah, tapi keadaan juga bisa saja berbalik…”
“Mungkin kita tidak akan kalah
bagaimana?” tukas Yue Buqun. “Mudah diucapkan tapi sulit untuk dibuktikan. Jika
menghadapi tiga dari mereka, mungkin pertarungan akan berlangsung imbang. Tapi
kalau menghadapi empat orang dari mereka, rasanya kita yang akan terdesak. Dan
apabila lima dari mereka maju bersama-sama, hm….” Sampai di sini ia hanya
menggeleng perlahan.
Sebenarnya Ning Zhongze
menyadari kalau ia dan sang suami bukan tandingan kelima orang aneh itu, namun
ia berharap Yue Buqun bisa menghadapi mereka dengan menggunakan ilmu Kabut
Lembayung Senja. Kini, begitu mendengar pengakuan jujur dari Yue Buqun membuat
perasaan wanita itu menjadi gelisah. Ia pun berkata, “Lalu, bagaimana baiknya?
Apa kita hanya berpeluk tangan menunggu kehancuran saja?”
Yue Buqun menjawab, “Adik, kau
jangan putus asa. Seorang laki-laki sejati harus berani melihat kenyataan. Tahu
kapan waktunya maju, kapan waktunya mundur. Kalah atau menang tidak ditentukan
dari pertarungan sekali atau dua kali saja. Balas dendam meskipun ditunda
sepuluh tahun juga tidak terlambat.”
“Jadi, menurutmu kita
sebaiknya melarikan diri saja?” tanya Ning Zhongze.
“Bukan lari,” sahut Yue Buqun.
“Kita hanya menghindar untuk sementara waktu. Musuh berjumlah banyak, sedangkan
kita hanya berdua. Kau sendiri sudah membunuh salah satu di antara mereka.
Jadi, sekalipun kita menghindar juga tidak terlalu merusak nama baik Perguruan
Huashan. Selain itu, kalau kita tidak membocorkan masalah ini, pihak luar juga
tidak akan tahu.”
“Meskipun sudah kubunuh
seorang di antara mereka, tapi tetap saja jiwa Chong’er terancam bahaya.
Kedudukan kita dengan mereka tetap saja imbang. Oh, Chong’er....” kata Ning
Zhongze. Dengan suara serak ia melanjutkan, “Kakak, aku menuruti ajakanmu.
Tapi, apakah kita bisa membawa serta Chong’er dan menyembuhkannya
perlahan-lahan?”
Yue Buqun diam saja tidak
menjawab.
“Apa kita tidak bisa membawa
serta Chong’er?” Ning Zhongze kembali bertanya.
“Luka Chong’er terlalu parah,”
jawab Yue Buqun. “Kalau dia kita paksakan ikut serta dalam perjalanan ini,
tentu tidak sampai satu jam nyawanya bisa melayang.”
“Lantas... bagaimana baiknya?”
tanya Ning Zhongze setengah meratap. “Apa benar sudah tidak ada cara lagi untuk
menyelamatkan jiwanya?”
Yue Buqun menghela napas dan
berkata, “Aih, beberapa waktu yang lalu aku sudah berniat untuk mengajarkan
ilmu Kabut Lembayung Senja kepadanya. Tapi aku menundanya karena dia terjerumus
menuju jalan sesat yang dianut Kelompok Pedang sewaktu kau mengujinya. Andai
saja waktu itu ia tidak salah jalan tentu saat ini sudah bisa mempelajari ilmu
Kabut Lembayung Senja. Meskipun hanya mempelajari beberapa bagian saja, sudah
cukup baginya untuk melakukan penyembuhan terhadap diri sendiri serta mampu
menangkal gangguan enam hawa murni liar itu.”
Tiba-tiba Ning Zhongze bangkit
dan berkata, “Kakak, masalah ini belum terlambat. Mengapa tidak sekarang saja
kau ajarkan ilmu Kabut Lembayung Senja kepadanya? Sekalipun ia dalam keadaan
payah dan sulit memahaminya, tetap saja lebih baik daripada tidak sama sekali.
Atau, kau bisa meninggalkan kitab ilmu Kabut Lembayung Senja biar ia
mempelajarinya sendiri.”
“Adik,” kata Yue Buqun dengan
suara halus sambil memegangi tangan sang istri, “kasih sayangku kepada Chong’er
tidak ubahnya seperti kepadamu. Akan tetapi, coba kau pikirkan lagi, saat ini
Chong’er sedang terluka parah, apa mungkin ia bisa menerima pelajaran dariku
dengan baik? Jika aku menyerahkan kitab ilmu Kabut Lembayung Senja kepadanya
supaya ia pelajari sendiri saat sudah bangun nanti, lantas bagaimana jika
kelima siluman itu datang lagi kemari? Apakah Chong’er sudah mampu menghadapi
mereka? Lalu bagaimana dengan nasib kitab pusaka paling berharga dalam
Perguruan Huashan kita? Jika mereka sampai merebut kitab itu dan
mempelajarinya, maka ini sama artinya dengan harimau tumbuh sayap. Dunia
persilatan dalam bahaya besar. Jika kejadian seperti ini benar-benar terjadi,
tentu aku, Yue Buqun, akan merasa sangat berdosa di hadapan kawan-kawan persilatan.”
Ning Zhongze tidak bisa
membantah ucapan sang suami. Tak terasa air matanya kembali meleleh membasahi
pipi.
Yue Buqun melanjutkan,
“Tingkah laku kawanan siluman itu sukar ditebak dan tidak jelas. Kita tidak
boleh membuang-buang waktu. Daripada terlambat lebih baik kita berangkat
sekarang juga.”
“Apakah kita pergi sekarang
dan meninggalkan Chong’er begitu saja menerima siksaan dari kelima siluman itu?
Tidak, tidak! Aku akan tinggal di sini untuk menjaganya,” kata Ning Zhongze.
Begitu mengucapkan kalimat ini, ia langsung sadar bahwa ini adalah ucapan
seorang ibu rumah tangga biasa, dan bukan ucapan seorang pendekar wanita
ternama dari Perguruan Huashan. Jika ia tetap tinggal demi menuruti perasaan,
apakah mungkin bisa melindungi Linghu Chong? Apakah bukan berarti hanya akan
menambah jumlah korban? Apakah Yue Buqun dan Yue Lingshan rela meninggalkan
Gunung Huashan tanpa dirinya? Menyadari hal itu membuat hatinya bertambah sedih
dan air matanya semakin deras keluar.
Yue Buqun menggeleng dan
menghela napas panjang. Ia memindahkan bantal di atas ranjang dan mengeluarkan
sebuah kotak besi berukuran tipis. Begitu dibuka di dalamnya terdapat sebuah
kitab kecil yang dibungkus kain beludru. Setelah memasukkan kitab tersebut di
balik baju, Yue Buqun membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Tak disangka
ternyata Yue Lingshan sudah berdiri menunggu di depan pintu.
Gadis itu langsung berkata,
“Ayah, keadaan Kakak Pertama tampaknya... tampaknya... tampaknya sudah sulit
ditolong lagi.”
“Apa yang terjadi? Bagaimana
keadaannya?” sahut Yue Buqun menegas.
“Dia... dia mengigau tidak
jelas. Pikirannya semakin tidak jernih,” jawab Yue Lingshan.
“Dia mengigau apa?” tanya Yue
Buqun.
Muka Yue Lingshan bersemu
merah. Ia hanya menjawab, “Entahlah. Aku tidak tahu dia bicara apa.”
Yue Lingshan tidak berani
berterus terang bahwa Linghu Chong mengigau tentang dirinya. Bergolaknya enam
arus hawa murni telah membuat pemuda itu tidak kuasa lagi menahan perasaannya.
Ketika samar-samar ia melihat Yue Lingshan berdiri di samping ranjangnya, ia
pun berkata tanpa sengaja, “Oh, Adik Kecil, aku sangat... aku sangat
merindukanmu. Apakah karena kau telah mencintai... Adik Lin, maka... maka tidak
peduli lagi kepadaku?”
Yue Lingshan waktu itu
terperanjat dan tersipu malu karena Linghu Chong tiba-tiba mengutarakan
perasaannya di hadapan Lin Pingzhi. Bahkan, Linghu Chong juga berkata, “Adik
Kecil, kita dibesarkan bersama, berlatih ilmu silat bersama, sungguh aku tidak
tahu... apa salahku padamu. Jika kau marah padaku, silakan memaki dan memukul
diriku. Bahkan, sekalipun kau tusuk... badanku dengan pedangmu... aku takkan
menolak. Hanya saja... hanya saja janganlah kau bersikap dingin... kepadaku!”
Ucapan Linghu Chong tersebut
sudah dipendamnya selama berbulan-bulan. Kali ini pikirannya sedang tidak sadar
sehingga isi hatinya pun tercurahkan begitu saja. Lin Pingzhi sendiri merasa
rikuh dan berkata lirih kepada Yue Lingshan, “Biar aku keluar sebentar.”
“Jangan, kau di sini saja
menjaga Kakak Pertama,” seru Yue Lingshan sambil bergegas keluar menuju kamar
yang lain tempat ayah dan ibunya berunding. Kebetulan sewaktu ia sampai di
depan kamar tersebut, kedua orang tuanya sedang membicarakan kitab ilmu Kabut
Lembayung Senja yang bisa digunakan untuk menyembuhkan Linghu Chong. Maka, ia
pun hanya menunggu di depan pintu tanpa berani masuk ke dalam kamar untuk
menyela.
Begitulah, setelah menerima
laporan dari Yue Lingshan, Yue Buqun segera memberi perintah, “Kumpulkan semua
orang di aula utama Gedung Kebajikan.”
Yue Lingshan menjawab, “Baik,
Ayah! Tapi, bagaimana dengan Kakak Pertama? Siapa yang harus menjaganya?”
“Biar Dayou yang menjaganya,”
jawab Yue Buqun.
Yue Lingshan pun bergegas
pergi menyampaikan perintah ayahnya itu kepada saudara-saudara seperguruannya
yang lain. Sebentar kemudaian seluruh murid Huashan kecuali Linghu Chong dan Lu
Dayou berkumpul di aula utama menunggu keputusan sang guru. Yue Buqun sendiri
duduk di kursi tengah, sedangkan Ning Zhongze duduk di sampingnya.
Setelah memandang sekilas
kepada murid-muridnya itu, Yue Buqun berkata, “Sebagian angkatan tua perguruan
kita ada yang tersesat lebih mengutamakan latihan jurus pedang daripada tenaga
dalam. Mereka tidak mau tahu bahwa ilmu silat paling tinggi di dunia ini pasti
disertai tenaga dalam yang hebat pula. Bagaimanapun bagusnya ilmu silat yang
dilatih apabila tenaga dalamnya kurang baik tetap saja tidak akan mencapai
kesempurnaan. Sungguh sayang, para sesepuh itu tidak mau sadar dan memilih
mendirikan aliran sendiri yang mereka namakan Perguruan Huashan Kelompok
Pedang, sedangkan aliran kita yang murni disebut Perguruan Huashan Kelompok
Tenaga Dalam. Perselisihan antara Kelompok Pedang dan Kelompok Tenaga Dalam
sudah berlangsung selama puluhan tahun. Sudah pasti hal ini mengganggu
perkembangan perguruan kita. Benar-benar sebuah malapetaka bagi kita.” Berkata
sampai di sini ia pun menghela napas panjang.
Melihat itu Ning Zhongze
diam-diam berpikir, “Kelima siluman itu bisa datang setiap saat, tapi kau masih
sempat-sempatnya bercerita soal masa lalu.” Meskipun merasa kesal, namun ia
hanya berani melirik ke arah sang suami tanpa berani menyela sedikit pun. Saat
pandangan matanya tertuju pada langit-langit aula di mana terdapat papan nama
bertuliskan “Gedung Kebajikan”, kembali wanita itu berpikir, “Saat pertama kali
aku bergabung dengan Perguruan Huashan, tulisan yang terdapat pada papan nama
itu berbunyi ‘Tenaga Pedang Menghempas Awan’, tapi mengapa sekarang berubah
menjadi ‘Gedung Kebajikan’? Tidak seorang pun yang tahu di mana papan nama yang
lama kini berada. Aih, saat itu aku hanya gadis kecil berusia tiga belas
tahun.”
Terdengar Yue Buqun
melanjutkan, “Meskipun demikian, kebenaran pada akhirnya selalu menang. Sekitar
dua puluh lima tahun silam Kelompok Pedang mengalami kekalahan habis-habisan
dan terpaksa mengundurkan diri dari Perguruan Huashan. Sejak saat itu aku pun
diangkat sebagai ketua perguruan yang baru. Tidak disangka-sangka beberapa hari
yang lalu kalian melihat sendiri beberapa orang anggota Kelompok Pedang yang
dipimpin Feng Buping datang kemari. Entah bagaimana caranya mereka berhasil
membujuk ketua Serikat Pedang Lima Gunung sehingga memperoleh Panji Pancawarna
untuk memaksaku menyerahkan kedudukan ketua Perguruan Huashan. Sebenarnya, aku
sendiri sudah berniat ingin mengundurkan diri setelah puluhan tahun memimpin dan
menghadapi berbagai macam permasalahan rumit, baik itu urusan dalam perguruan
maupun yang berkaitan dengan Serikat Pedang Lima Gunung. Sekarang ada orang
yang datang untuk menggantikan kedudukanku, sungguh hal seperti ini sangat aku
harapkan.”
Mendengar itu Gao Genming
menyela, “Guru, murid buangan seperti Feng Buping sudah lama tersesat ke jalan
yang salah. Mereka tidak ada bedanya seperti anggota Sekte Iblis. Kami tidak
akan mengizinkan mereka mengaku sebagai murid Huashan lagi, apalagi seenaknya
mengambil jabatan ketua. Jika hal ini sampai terjadi, bukankah Perguruan
Huashan akan hancur dalam sekejap saja?”
“Benar, kita tidak boleh
tinggal diam. Tipu muslihat para jahanam itu harus kita gagalkan,” sahut Lao
Denuo, Liang Fa, Shi Daizi, dan yang lain.
Melihat semangat
murid-muridnya itu, Yue Buqun tersenyum dan melanjutkan, “Masalah jabatan ketua
bagiku hanya masalah kecil. Tapi, kalau Kelompok Pedang dibiarkan menguasai
perguruan kita, tentu ilmu silat Perguruan Huashan yang terkenal selama ratusan
tahun akan hancur dalam waktu singkat. Lalu, bagaimana cara kita harus
bertanggung jawab kepada para leluhur yang telah tiada jika kelak bertemu di
alam sana?”
“Benar, ucapan Guru benar!
Kami tidak akan membiarkan mereka berbuat seenaknya!” sahut para murid.
Yue Buqun melanjutkan, “Aku
tidak takut dengan Feng Buping dan Kelompok Pedangnya. Tapi mereka sudah
berhasil mendapatkan Panji Pancawarna dari Serikat Pedang Lima Gunung, serta
bersekongkol dengan para jago dari Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan.
Hal seperti ini yang tidak boleh dianggap enteng. Oleh sebab itu....” Sampai di
sini ia diam sejenak untuk memandang tajam ke arah murid-muridnya, kemudian
berkata, “Hari ini kita berangkat ke Gunung Songshan untuk menemui Ketua Zuo.
Kita akan menuntut keadilan padanya.”
Mendengar itu para murid
terperanjat. Perguruan Songshan adalah pemimpin dari Serikat Pedang Lima
Gunung, sedangkan ketuanya, yaitu Zuo Lengchan, termasuk tokoh nomor satu di
dunia persilatan saat ini. Selain memiliki ilmu silat yang sangat tinggi juga
terkenal cerdas dan banyak akal. Setiap orang di dunia persilatan bila
mendengar namanya disebut pasti merasa gentar dan segan. Di dunia persilatan,
perselisihan antara dua pihak sangat sulit diselesaikan hanya dengan
pembicaraan saja. Setiap permusuhan hampir pasti diselesaikan dengan
pertarungan. Mendengar sang guru mengajak pergi ke Songshan, para murid hanya
diam tanpa bersuara sambil berpikir, “Ilmu silat Guru memang sangat tinggi,
namun sepertinya belum bisa menandingi kehebatan Ketua Zuo. Di samping itu,
Ketua Zuo juga memiliki dua belas adik seperguruan yang juga berilmu hebat.
Kaum persilatan menyebut mereka sebagai Tiga Belas Penjaga Gunung Songshan.
Meskipun Fei Bin si Tapak Songyang Besar telah meninggal, namun tetap saja
tersisa dua belas orang lainnya yang masing-masing mempunyai kepandaian tinggi.
Sebaliknya, para murid dari pihak Huashan kami mana ada yang mampu menandingi
mereka? Bukankah rencana Guru untuk mendatangi Gunung Songshan sama artinya
dengan mencari masalah?”
Sebaliknya, Ning Zhongze dapat
membaca rencana suaminya. Wanita itu berpikir, “Ini benar-benar rencana yang
bagus. Sebenarnya kami meninggalkan Gunung Huashan adalah untuk menghindari
serangan lima orang aneh dari Lembah Persik. Namun, kalau berita ini sampai tersebar
luas, entah harus ke mana kami menyembunyikan wajah? Sebaliknya, kalau dunia
persilatan mendengar kami naik ke Gunung Songshan adalah untuk menuntut
keadilan, maka yang kami dapatkan adalah pujian dan penghormatan atas
keberanian kami. Ketua Zuo bukan seorang picik, pasti Beliau sudi mendengar
kami. Aku rasa permasalahan ini tidak perlu harus diselesaikan dengan
pertempuran dan adu senjata.”
Setelah berpikir demikian,
Nyonya Yue pun berkata, “Feng Buping dan begundalnya datang kemari dengan
membawa Panji Pancawarna. Bisa jadi panji tersebut telah ia curi, atau ia rebut
dari orang lain. Namun, jika panji tersebut benar-benar diperoleh dari Ketua
Zuo, maka kita tidak bisa tinggal diam begitu saja karena Perguruan Songshan
sudah berani melanggar batas-batas urusan internal Perguruan Huashan kita. Kita
akan ke sana menuntut keadilan. Meskipun Ketua Zuo berilmu sangat tinggi dan
Perguruan Songshan memiliki banyak murid, namun kita orang-orang Huashan tidak
takut mati dan pantang menyerah begitu saja menghadapi ketidakadilan. Nah,
barangsiapa yang bernyali kecil dan pengecut, lebih baik tinggal di sini saja.
Tidak perlu ikut.”
Mendengar ucapan sang ibu-guru
seperti itu sudah tentu tidak seorang pun murid Huashan yang mau disebut
sebagai pengecut. Serentak mereka menjawab, “Asalkan Guru dan Ibu Guru
memberikan perintah, sekalipun menyeberangi lautan api juga kami tidak akan
mundur.”
“Bagus kalau begitu,” sahut
Ning Zhongze. “Urusan ini tidak boleh ditunda. Segera kalian berbenah, satu jam
lagi kita berangkat.”
Pertemuan pun bubar. Ning
Zhongze bergegas menjenguk Linghu Chong. Dilihatnya pemuda itu bernapas
terputus-putus, seolah nyawanya hanya tinggal hitungan detik saja. Hati Ning
Zhongze bertambah pedih. Namun ia harus memaksa diri untuk tega meninggalkan
murid pertama suaminya itu demi keselamatan orang banyak dari serangan Lima
Dewa Lembah Persik yang bisa datang setiap saat. Lu Dayou kemudian
diperintahkan untuk memindahkan tubuh Linghu Chong ke kamar samping bagian
belakang dan menjaganya baik-baik.
Ning Zhongze kemudian berkata,
“Dayou, demi masa depan Perguruan Huashan, kami terpaksa berangkat ke Gunung
Songshan untuk meminta keadilan pada Ketua Zuo. Perjalanan ini sangat
berbahaya. Keadaan kakak pertamamu sangat parah. Hendaknya kau jaga dia
baik-baik. Bila musuh datang kalian boleh bersembunyi. Terimalah penghinaan
untuk sementara dan tidak perlu membuang nyawa dengan percuma.”
Dengan mata berkaca-kaca Lu
Dayou mengangguk menyanggupi perintah tersebut. Ia kemudian ikut mengantar
kepergian guru, ibu-guru, dan saudara-saudara seperguruan yang lain, dan
setelah itu kembali ke kamar tempat Linghu Chong berbaring di dalamnya.
Saat itu bisa dikatakan bahwa
di Perguruan Huashan hanya tinggal dua orang saja, yaitu Linghu Chong yang
sedang pingsan dan Lu Dayou yang berjaga. Keadaan mulai gelap membuat perasaan
Lu Dayou mulai timbul rasa takut.
Setelah memberanikan diri ke
dapur untuk memasak bubur, Lu Dayou kemudian membawa bubur yang telah matang ke
kamar dan menyuapkannya kepada Linghu Chong. Baru suapan ketiga Linghu Chong
sudah menyemburkan bubur itu keluar. Warna muntahannya berubah merah karena
bercampur darah. Lu Dayou kembali membaringkan tubuh kakak pertamanya di
ranjang, kemudian menaruh mangkuk buburnya di atas meja. Pemuda itu termangu-mangu
memandang keluar jendela yang gelap gulita. Suara burung hantu yang mengerikan
tiba-tiba terdengar berkumandang dari kejauhan.
Mendengar itu Lu Dayou pun
berpikir, “Kata orang-orang, burung hantu yang berbunyi pada waktu malam
pertanda sedang menghitung jumlah bulu alis orang yang sedang sakit. Bila
jumlahnya terhitung jelas olehnya, maka orang yang sakit itu akan mati.”
Maka, dengan cepat Lu Dayou
menjilat ujung jari kemudian mengoleskannya ke alis Linghu Chong dengan harapan
agar burung hantu tersebut kesulitan menghitung. Namun suara burung hantu itu
tetap saja masih terdengar. Perasaan pemuda itu bertambah ngeri. Tanpa sadar ia
memoles alisnya sendiri dengan air ludah pula.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara langkah ringan seseorang mendekati kamar tersebut. Dengan cepat
Lu Dayou meniup padam api pelita dan mencabut pedang serta berjaga di samping
Linghu Chong. Suara langkah tersebut semakin dekat. Jantung Lu Dayou semakin
berdebar-debar. “Celaka! Musuh ternyata mengetahui Kakak Pertama dirawat di
sini. Aduh, bagaimana caraku melindungi Kakak Pertama?” demikian pikirnya.