Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 56-60

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 56-60 Begitulah makin dipikir makin pedih perasaan Toan Ki, akhirnya ia berjalan kedepan dengan menunduk seperti orang linglung, dalam hati terpikir pula olehnya,
Jilid 56
Begitulah makin dipikir makin pedih perasaan Toan Ki, akhirnya ia berjalan kedepan dengan menunduk seperti orang linglung, dalam hati terpikir pula olehnya, "Ya, asalkan nona Ong merasa senang dan bahagia, apa artinya kalau aku berkorban baginya?"

Melihat Toan Ki mendadak pergi sendiri, cepat Buyung Hok berseru, "Toan-heng, kita baru berkumpul dan belum lagi bicara, mengapa terburu-buru hendak pergi?"

Tapi Toan Ki sendiri sedang melamun, sama sekali ia tidak dengar seruan Buyung Hok itu dan tetap berjalan kedepan dengan kepala menunduk.

Sesudah berseru pula beberapa kali dan tetap tidak dijawab Toan Ki, akhirnya Buyung Hok cuma menghela napas gegetun saja.

"Kongcu, biar kutangkap dia kembali!" teriak Po-ok.

"Jangan main kasar." cepat Buyung Hok mencegahnya. "Dia adalah Toan-kongcu dari Tayli, lain kali kalau kalian ketemu dia lagi, kalian harus menghormatinya seperti kalian menghormati aku."

Po-ok cuma saling pandang saja dengan Pau-put-tong dan tidak bersuara.

Lalu Buyung Hok berkata pula, "Nona cilik yang ditolong bocah kepala besi itu adalah murid Ting Jun-jiu, urusan yang tiada sangkut-pautnya dengan kita jangan kalian ikut campur lagi."

Tiba-tiba Hong Po-ok mengedipi Pau Put-tong lalu katanya kepada Buyung Hok, "Kongcu, nona Ong sedang menantikan engkau disana, apa engkau takkan menemuinya?"

Buyung Hok hanya tersenyum tawar saja, katanya, "Kalian masih ingin menguber si bocah kepala besi itu, bukan?"

"Ini... ini...." sahut Po-ok dengan gelagapan.

"Segala apa masakah mampu membohongi Kongcu? Sudahlah, katakan terus terang saja!" seru Pau Put-tong.

Maka dengan tertawa kikuk Po-ok bertutur, "Kami masing-masing pernah dihantam sekali oleh Thi-thausiaucu (bocah kepala besi) itu dan sangat menderita untuk beberapa hari lamanya, sampai sekarang kami sangat penasaran, betapapun kami ingin menanggalkan kerudung besinya itu untuk melihat bagaimana sebenarnya tampang asli bocah itu."

Buyung Hok berpikir sejenak sambil menengadah, katanya kemudian, "Tapi ilmu silat orang berkepala besi itu sangat aneh, kalian harus hati-hati!"

"Tahu, Kongcu!" sahut Po-ok sambil tepuk tangan, sekali melompat segera ia lari secepat terbang kedepan disusul oleh Pau Put-tong.

Waktu Buyung Hok menoleh, ia lihat Toan Ki sudah agak jauh, untuk menyusulnya tentu dapat, tapi tadi Toan Ki sudah tidak mau menjawab teriakannya, dengan sendirinya ia pun tidak ingin menyusulnya lagi, hanya dalam hati ia agak menyesal.

Dilain pihak Hong Po-ok dan Pau Put-tong sedang menguber secepat terbang kedepan, sesudah tujuh atau delapan li jauhnya, tetap bayangan Thi-thau-jin (orang berkepala besi) itu tidak ditemukan.

Po-ok dan Put-tong berwatak sama, suka berkelahi dan senang cari perkara, kalau bisa biar terjadi "perang dunia", dan mereka akan dapat berkelahi sepuas-puasnya. Meski yang mereka kejar itu tidak diketemukan, tapi mereka masih terus menguber kedepan.

Mereka tidak tahu lari Yu Goan-ci secepat terbang itu mungkin sudah dua-tiga puluh li lebih jauh didepan mereka.

Sesudah membawa lari A Ci tanpa memikirkan keganasan Ting-lokoai, Goan-ci terus berlari kesetanan kedepan, betapa cepat larinya itu sampai dia sendiri tidak percaya. Yang terpikir olehnya hanya sejauh mungkin meninggalkan Ting-lokoai agar A Ci dapat diselamatkan, pikiran lain tidak ada, Tapi sesudah berpuluh li jauhnya berlari, ketika terbayang olehnya betapa ganas dan kejamnya Ting Jun-jiu, mulailah ia merasa takut. Bukannya ia takut diri sendiri akan dihajar atau dibunuh sekalipun oleh Ting Jun-jiu, ia takut bila Sing-siok Lokoai mengalihkan rasa murkanya kepada A Ci dan menyiksa anak dara itu dengan berlipat ganda lebih kejam.

Dalam takutnya itu tanpa terasa ia menoleh kebelakang untuk melihat apakah Lokoai mengejarnya atau tidak. Tapi sekali ia menoleh, seketika kaki terasa lemas. Sebab sama sekali tak terduga olehnya bahwa larinya bisa sedemikian cepatnya bagaikan terbang.

Dalam kagetnya itu, larinya jadi sedikit meleng, dan ketika ia berpaling kedepan lagi, wah, celaka, tahu-tahu ia sudah hampir menubruk sebatang pohon besar yang didepannya.

Keruan ia kaget. Sekuatnya ia hendak mengerem, tapi biar pun "rem angin" pada saat itu juga sukar ditahan lagi.

Dalam seribu kali kelabakan Goan-ci masih sempat lemparkan A Ci kesamping dengan pelahan. Menyusul sambil tutup mata dan meringis kuda, terdengarlah suara "blang" yang keras, badannya tertumbuk dengan tepat pada batang pohon besar itu.

Goan-ci terus peluk erat-erat pohon yang ditubruknya itu, sehingga sekian lamanya baru dapat pulih semangatnya. Anehnya ia tidak terluka apa-apa, sebaliknya tiba-tiba daun pohon itu rontok berhamburan, hanya sekejap saja ditanah sekitar pohon itu sudah berlapiskan permadani daun pohon yang tebal.

Diam-diam Goan-ci heran, waktu itu bukan musim rontok, malahan daun pohon itu tadi masih kelihatan menghijau segar, mengapa mendadak bisa layu dan rontok semua?

Ia tidak tahu bahwa karena pelukannya itu, tanpa terasa ia telah salurkan hawa maha dingin dan maha beracun dalam tubuhnya kepada pohon itu sehingga pohon itu mati beku dan kering.

Waktu Goan-ci menoleh pula, ia lihat A Ci sedang duduk ditanah dan lagi menangis tersedu-sedu sambil menutupi mukanya dengan tangan. Karena disekitar situ sunyi senyap, maka Goan-ci dapat mendengar suara tangisan A Ci yang lirih itu dengan jelas.

Ketika ia turun tangan menolong A Ci, yang terpikir olehnya hanya menyelamat-kan anak dara itu dari tangan jahat Ting Jun-jiu, sama sekali tak terpikir olehnya bagaimana urusan selanjutnya atas diri anak dara itu. Sekarang melihat A Ci menangis tersedu-sedan maka bingunglah Goan-ci.

Sesudah ragu-ragu sebentar akhirnya mendekati A Ci dan memanggilnya dengan kikuk, "No...nona..."

Mendadak A Ci berdiri, "plak" kontan ia hantam sekali hingga tepat mengenai dada Goan-ci, "Kenapa kau

selamatkan?" teriaknya melengking.

Karena tidak menyangka, Goan-ci hampir jatuh kena genjotan itu. Cepat ia menjawab, "Kalau...kalau aku tidak turun tangan, tentu.... tentu waktu itu nona akan.... akan menderita hebat."

"Peduli apa denganmu jika aku menderita?" semprot A Ci.

Goan-ci jadi gelagapan, untuk sejenak ia tertegun, kemudian baru berkata, "Nona, maksudku supaya engkau terhindar dari derita dan tiada... tiada maksud jahat. Jika engkau menyalahkan aku dan tidak senang, ai, tahu begitu, tentu....tentu aku tidak perlu ikut campur urusan ini."

"Sudah tentu aku tidak senang," kata A Ci sambil menangis. "Bila mendadak kedua matamu buta, apakah kamu akan senang?"

"Jika kedua mata nona dapat melihat kembali biarpun aku yang harus buta juga aku suka dan rela." sahut Goan-ci dengan tersenyum getir.

A Ci termangu-mangu sejenak dan pelahan berhenti menangis. Lalu ia tanya, "Siapakah kau?"

Perasaan Goan-ci seakan dihantam sekali dengan keras oleh pertanyaan itu.

Maklum, ia menghormati A Ci, memuja A Ci meski anak dara itu tiada didampingnya juga senantiasa ia terkenang padanya. Dahulu ia dianggap sebagai "badut besi" oleh anak dara itu dan hampir setiap hari berkumpul, sekarang sesudah berhadapan, paling tidak ia berharap suaranya akan segera dikenal anak dara itu, siapa duga A Ci bertanya malah, hal ini menandakan sudah lama bayangan "si-badut besi" terhapus dalam ingatan anak dara itu.

Ya, memang. Sebagai seorang Tuan Putri yang dihormati di Lamkhia, sudah tentu A Ci banyak mempunyai permainan yang serba baru, hilang seorang badut besi, dengan sendirinya masih banyak badut-badut lainnya yang serba baru dan serba lucu yang dapat menyenangkan hatinya. Maka rupa "si-badut besi" memang sudah lama dilupakannya sama sekali.

Apalagi waktu Goan-ci menyelamatkannya dari tangan jahat Ting Jun-jiu, yang terpikir oleh A Ci adalah penolongnya itu pasti seorang terkemuka dari dunia persilatan, betapapun tidak terpikir olehnya akan diri Goan-ci.

Begitulah selagi Goan-ci termangu-mangu tak bisa menjawab, tiba-tiba A Ci tanya pula, "Apakah engkau ini Buyung-kongcu?"

"Buyung-kongcu?" Goan-ci mengulangi nama itu. Seketika didepan matanya terbayang potongan Buyung Hok yang gagah dan cakap itu, biarpun ia tidak memakai topeng besi yang sialan itu juga pasti bukan apa-apa kalau dibandingkan Buyung Hok, apalagi sekarang ia memakai kerudung besi sehingga lebih mirip setan dari pada manusia.

Seketika ia merasa diri sendiri sangat rendah dan jelek, maka dengan suara lirih ia menjawab, "O, bu... bukan, aku bukan Buyung-kongcu."

Tertampak A Ci miringkan kepala dan berpikir sejenak, lalu berkata pula, "Dari suaramu, agaknya usiamu belum seberapa tua, apakah engkau ini kawan Buyung-kongcu?"

Kiranya kesan A Ci terhadap Buyung Hok sangat mendalam, sekarang meski kedua matanya sudah buta, ia sangka penolongnya itu pasti juga seorang muda yang lemah lembut, ganteng dan cakap sebab itulah ia tanya Goan-ci apakah kawan Buyung-kongcu.

Melihat sikap A Ci sekarang telah berubah agak riang, Goan-ci lantas menuruti haluan anak dara itu, jawabnya, "Ya, kami memang saling kenal."

Pelahan A Ci mendongak, lalu katanya, "Jika demikian, tentu... tentu kaupun sama cakapnya seperti Buyungkongcu?" habis mengeluarkan kata-kata itu, wajahnya yang pucat itu bersemu merah.

Sejak tadi A Ci memejamkan kedua matanya pula sudah mengusap bersih darahnya tadi, maka sekilas pandang takkan ketahuan bila dia gadis buta, Kini pipinya bersemu kemerah-merahan, tampaknya menjadi tambah ayu.

Goan-ci sampai terkesima memandangi gadis cantik itu dan tidak dapat membuka suara.

Selang sejenak, kembali A Ci tanya, "Apa yang sedang kau lakukan?"

"Aku....aku sedang memandangimu." sahut Goan-ci.

"Memandang aku? Mengapa memandang aku?" tanya A Ci.

"Engkau sangat cantik, aku tidak bermaksud apa-apa melainkan ingin memandangmu saja." sahut Goan-ci.

Merah muka A Ci semakin merata, katanya pula. "Kau....kau bilang aku cantik?"

Goan-ci menghela napas, sahutnya, "Ya, belum pernah kulihat seorang nona yang lebih cantik dari padamu."

Sesudah kedua matanya dibutakan Ting Jun-jiu, sebenarnya perasaan A Ci sangat tertekan. Cuma saja ia adalah murid Sing-siok-pai, sudah sering dilihatnya segala macam dan cara siksaan keji. Kalau dibandingkan dosanya yang mencuri kitab pusaka gurunya dan cuma dihukum membutakan mata oleh Sing-siok Lokoai, maka hukuman yang diterimanya itu boleh dikatakan terlalu ringan, sebab itulah ia berduka karena matanya buta, tapi tidak begitu berduka sebagai orang biasa yang mendadak menjadi buta.

Sekarang dalam khayalnya ia kira penolongnya itu adalah seorang pemuda ganteng dan tinggi pula ilmu silatnya, sekali hatinya sudah timbul rasa senang, ditambah lagi pujian Goan-ci tadi, karuan ia tambah gembira, hati pun berdebar-debar juga.

Selamanya tiada orang pernah memperhatikan apakah dia cantik atau jelek, dalam perguruan ia cuma dianggap anak kecil oleh para Suhengnya, begitu pula Siau Hong memandangnya sebagai anak dara yang nakal, hanya dahulu Goan-ci pernah memuji kecantikannya. Tapi kedudukan Goan-ci terlalu rendah, pujian itu tidak lebih dianggapnya sebagai pujian seorang hamba kepada junjungannya.

Sekarang A Ci tidak tahu siapakah sebenarnya penolongnya itu, sama-sama pujian dan sama pula orangnya, namun reaksi yang timbul dari perasaan A Ci sekarang jauh berbeda daripada dahulu. Saking senangnya sampai sekian lamanya ia tidak sanggup bersuara.

Agak lama kemudian barulah ia berkata pula. "Kau bilang aku cantik, engkau mengatakan selamanya tidak pernah melihat seorang nona lain yang lebih cantik dari padaku?"

"Ya." jawab Goan-ci.

"Bukankah engkau cuma....cuma sengaja hendak membikin senang hatiku saja?"

"Tidak, aku....aku berkata dengan sungguh-sungguh. Jika aku mempunyai pikiran palsu dan maksud jahat, biarlah aku mati tak terkubur."

Betapa hormat dan agungnya A Ci bagi Goan-ci, sudah tentu ucapannya itu dikeluarkan dengan nada setulus hati. Namun pada waktu mengucapkan kata-kata "pikiran" dan"maksud" itu, mau tak mau ia merasa ucapannya itu telah menodai A Ci.

Kembali A Ci termangu-mangu dengan muka muram, katanya kemudian, "Tapi kukira engkau berdusta. Aku....aku sudah buta, andaikan cantik juga terbatas, ya, kecuali....kecuali kaum wanita didunia ini sudah buta semua barulah aku akan terhitung orang yang paling cantik."

Goan-ci merasa merinding oleh kata-kata anak dara itu. Sudah tentu didunia ini tiada seorang pun yang berkuasa membutakan mata seluruh kaum wanita didunia ini. Tapi ia kenal sifat A Ci, jika anak dara itu mempunyai kemampuan itu, pasti tanpa ragu ia akan berbuat seperti apa yang dikehendaki itu.

Maka cepat ia berkata, "Nona, meski kedua matamu sudah buta, tapi engkau tetap sama cantiknya, hendaknya jangan kau pikir yang tidak-tidak."

A Ci terdiam.

Maka Goan-ci berkata pula, "Nona, sebelum diriku tentu sudah pernah ada orang memuji akan kecantikanmu."

A Ci berpikir sejenak, lalu menjawab, "Ya, ada seorang juga pernah mengatakan aku cantik."

Hati Goan-ci mendebar keras, katanya. "Nona, siapakah orang itu?"

Mendadak A Ci tertawa, katanya, "Jika kau lihat orang itu, tentu kau pun akan tertawa terpingkal-pingkal, Dia adalah seorang bocah dungu, aku telah kerudungi dia dengan sebuah topeng besi dan kuberi sebuah nama padanya, yaitu si-badut besi. Sungguh lucu rupanya, aku sering menggoda dia sebagai binatang hiburan seperti kucing kesayanganku itu."

Sebenarnya Goan-ci sengaja memancing A Ci agar membicarakan dirinya untuk menjajaki bagaimana kesan anak dara itu terhadapnya, dengan demikian bila perlu ia dapat bicara terus terang siapa dirinya. Sekarang ternyata A Ci menganggapnya tidak lebih hanya seperti seekor kucing piaraannya saja, keruan kepalanya seperti diguyur air dingin, ia pikir kalau sekarang dia mengaku siapa dirinya, tentu anak dara itu akan sangat kecewa. Maka ia cuma menghela napas panjang saja.

A Ci merasa heran, ia tanya, "kenapa engkau menghela napas?"

"O, tidak!" sahut Goan-ci gugup, "Kupikir orang....orang itu harus dikasihani!"

"Dia sudah mati." kata A Ci. "Kalau tidak, tentu aku akan mengelotoki topeng besinya yang sudah melengket dengan mukanya itu, dan tentu akan sangat menarik sekali kelihatannya."

Kembali Goan-ci merinding mendengar kata-kata itu tanpa terasa ia mundur setindak, ia meraba kerudung besi diatas kepalanya sendiri. Kerudung itu sudah lengket dengan kulit dagingnya, kalau dibeset mentah-mentah, bukan saja sangat membahayakan jiwanya yang terang ia pasti akan kesakitan setengah mati lebih dulu.

Goan-ci merasa tidak pernah berbuat salah terhadap A Ci, dahulu malah banyak disiksa olehnya, mengapa sampai sekarang dirinya masih belum terhindar dari ancaman anak dara ini? Tapi selama beberapa tahun ini ia sudah kenyang menderita, sudah biasa difitnah dan disiksa orang, maka ia cuma berpikir sejenak lalu menjawab menuruti haluan A Ci,

"ya, kukira pasti sangat menyenangkan!"

A Ci bertambah gembira, mendadak tangannya bergerak dan kebetulan lengan Goan-ci terpegang, katanya, "Kukira engkau serupa dengan aku, juga suka kepada permainan yang aneh-aneh itu."

Karena lengannya dipegang A Ci, badan Goan-ci menjadi agak gemetaran, dan karena itu suaranya menjadi terputus-putus, jawabnya, "Thi-thau-jin....Thi-thau-jin itu....."

"Thi-thau-jin itu kenapa?" A Ci menegas.

"Mestinya kau suruh Thi-thau-jin itu memasukkan kepalanya kedalam mulut binatang buas sebangsa singa atau harimau, coba apakah gigi binatang buas itu sanggup tidak menggigit kepala besinya itu," kata Goan-ci.

"Hah, ternyata pikiranmu sama seperti aku." seru A Ci sambil bertepuk tangan dan tertawa. "Aku justru sudah pernah mencobanya, sudah pernah kusuruh dia masukkan kepalanya kemulut singa, tapi tidak cedera!"

Saking senangnya sehingga waktu bicara tangan A Ci ikut bergerak-gerak dan tanpa sengaja jarinya menyenggol topeng besi Goan-ci dan mengeluarkan suara "cring" yang nyaring pelahan, karuan Goan-ci kaget dan cepat melompat mundur.

"He, tanganku menyentuh apa barusan ini?" tanya A Ci.

"O, ini, Hou-sim-kia (kaca pelindung dada) pada bajuku ini." cepat Goan-ci berdusta.

"Wah, itu tentu sebuah benda mestika yang tiada taranya," puji A Ci sambil manggut-manggut.

Karena tahu asal-usul dirinya tidak mungkin dikatakan terus terang lagi, maka Goan-ci sengaja membual sekalian, katanya, "Ya, memang benda ini gemblengan dari besi meteor yang diketemukan dipuncak Thian-san, tidak mempan senjata dan dapat menolak segala bahaya."

"Wah, hebat benar!" demikian kelihatan sekali A Ci sangat kagum, "Sebenarnya siapakah namamu?"

"Aku she Ong bernama Sing-thian," sahut Goan-ci mengada-ada.

Tapi A Ci percaya saja, tanyanya pula, "Dan ilmu silatmu dari aliran manakah?"

"Tentang asal-usul ilmu silatku ini sungguh luar biasa, yaitu berasal dari warisan Tat-mo Cosu. namanya...." demikian Goan-ci sengaja membesar-besarkan dirinya, Ia pikir jika senantiasa dapat berada bersama dengan A Ci, tentu hidupnya akan sangat gembira, maka ia menyambung...."namanya Kek-lok-pai, dan aku....aku adalah Ciangbunjin dari Kek-lok-pai (golongan paling gembira)."

Tentu saja A Ci bertambah tertarik, katanya, "Usiamu masih muda, tapi ternyata sudah menjadi ketua sesuatu aliran persilatan yang besar, pantas dengan gampang saja dapat kau selamatkan aku dari tangan jahat Ting Junjiu."

Padahal waktu Goan-ci menolong A Ci tadi, sesungguhnya adalah tindakan yang tidak pernah direncanakan sebelumnya, Coba kalau sekarang dia teringat pada perbuatan itu, biarpun mati pun dia tidak berani lagi. Karena itu dalam hati ia tersenyum getir atas pujian A Ci itu, tapi dimulut tetap ia berkata, "Ya, sudah tentu, Ting Jun-jiu itu terhitung manusia apa? Huh, semua orang takut padanya, hanya aku saja tidak takut!"

A Ci melangkah maju setindak, ia mendongak dihadapan Goan-ci. Maka terenduslah Goan-ci bau harum yang mendebar-debarkan jantungnya. Malahan anak dara itu lantas ulurkan tangannya dan pelahan meraba lengan Goan-ci dari atas kebawah, lalu ia pegang telapak tangan Goan-ci.

Dengan menahan napas Goan-ci coba memandang tangan A Ci, ia lihat sebuah tangan yang putih bersih laksana salju dan halus sebagai sutra, seketika ia terkesima.

"Kenapa engkau tidak tanya namaku?" tanya A Ci tiba-tiba.

"O, ya, siapa namamu?" tanya Goan-ci dengan kaku.

"Aku she Toan, bernama A Ci."

"A... A Ci!" untuk sejenak barulah Goan-ci dapat mengucapkan nama itu dengan suara lemah.

"Ya, aku....aku suka kau panggil namaku, Coba panggil lagi sekali!" pinta A Ci dengan berseri-seri.

Maka Goan-ci memanggilnya lagi, "A Ci!"

Selama ini Goan-ci menganggap A Ci seakan-akan bidadari dari khayangan, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa pada suatu hari ia dapat langsung menyebut nama A Ci, bahkan atas permintaan anak dara itu dengan segala senang hati, malahan dapat pegang-pegang tangannya pula.

Begitulah, maka tampak wajah A Ci yang berseri-seri itu tambah manis, katanya, "Apakah engkau sudi mendampingi aku?"

Hati Goan-ci tergetar hebat, sudah tentu seribu kali ia ingin berdampingan dengan A Ci. Tapi ia pun khawatir bila lama berada bersama dengan anak dara itu, jangan-jangan nanti akan ketahuan bahwa dirinya tak lain tak bukan adalah "si-badut besi" yang disangkanya sudah mati itu, kan urusan bisa runyam?

Topeng besi yang sebel itu tadi telah tersenggol jari A Ci dan hampir diketahui, ia pegang kerudung besi itu dan dibetot-betot sekuatnya, ia benar-benar ingin mencopot topi besi itu dari kepalanya.

Merasa Goan-ci mendadak melangkah mundur, hati A Ci menjadi pedih, katanya, "O, kiranya engkau tidak sudi berada bersamaku."

"Tidak, ti....tidak!" cepat Goan-ci menjawab, "Aku....aku khawatir...."

"Khawatir apa ?"

"Aku khawatir bila berada disampingmu, mungkin aku....aku tak dapat membuatmu senang."

"Salah besar sangkaanmu." kata A Ci, "Justru kalau engkau berada disampingku, maka pasti senanglah aku, Jika Sing-siok Lokoai tak mau mengampuni aku dan bila engkau tidak mengawani aku, lalu bagaimana jadinya bila aku dipergoki dia?"

Walaupun tahu bahwa ucapan A Ci ini ditujukan kepada "Ong Sing-thian" dan bukan terhadap seorang Yu Goan-ci, tapi hatinya merasakan juga semacam kenikmatan yang sukar dilukiskan. Sejak keluarganya berantakan dan hidup merana penuh siksa derita, sungguh mimpi pun Goan-ci tidak pernah menduga dia akan dapat merasakan kenikmatan batin seperti sekarang ini.

A Ci mendongak dan tanya pula, "Bagaimana, apa engkau sudi?"

"Ya, sudah tentu aku sudi, cuma...."

"Aku melarang engkau berkata 'cuma' apa segala!" cepat A Ci memotongnya.

Sikap anak dara yang mengomel aleman itu membuat hati Goan-ci bertambah terombang-ambing, katanya, "Ya, sudah, jika engkau tidak suka mendengarkan, biarlah tidak kukatakan."

Maka tertawalah A Ci, katanya pula, "Sekarang bawalah aku ketepi sungai dulu."

"Ketepi sungai?" Goan-ci menegas dengan heran.

"Ya, mukaku tentu sangat kotor, aku ingin cuci muka."

"Meski mukamu masih ada sedikit noda darah, tapi engkau tetap sangat manis dipandang."

Kembali A Ci tertawa, tapi sekali ini tertawa yang memilukan.

Dengan gemetar Goan-ci mengulurkan tangannya, katanya, "Bo...boleh kau pegang tanganku, biar aku membawamu kesana."

A Ci lantas mengulurkan tangannya untuk memegang tangan Goan-ci.

Seketika badan Goan-ci seperti kena setrom dan gemetar. Sungguh mimpi pun tak terpikir olehnya bahwa pada suatu hari A Ci dapat mengulurkan tangan untuk memegang tangannya, dapat mengucapkan kata-kata sedemikian ramah kepadanya. Setindak demi setindak ia bawa A Ci kedepan, ia merasa seperti terbang diawang-awang, semangat serasa kabur.

Selang agak lama barulah A Ci tanya pula, "Apakah disekitarmu sini tiada sungai kecil?"

Mendadak Goan-ci sadar dari lamunannya, ia dengar jauh disana ada suara gemericiknya air, maka cepat jawabnya, "Ada, tampaknya didepan sana ada sebuah sungai."

Benar juga, sesudah menyusur hutan, tertampaklah sebuah sungai kecil dengan airnya yang jernih sedang mengalir dengan tenangnya.

Sesudah membawa A Ci ketepi sungai, lalu kata Goan-ci, "Nah, A Ci, sekarang engkau sudah berdiri ditepi sungai."

A Ci berjongkok, ia rendam tangannya sejenak didalam air sungai, lalu berkata, "Coba kamu menyingkir dulu, kalau aku memanggilmu barulah boleh kau kembali kesini."

Goan-ci menjadi gugup karena anak dara itu menyuruhnya menyingkir, tanyanya, "Sebab apa?"

Tapi A Ci jadi marah-marah, katanya, "Aku menyuruhmu menyingkir dan kamu harus segera menyingkir!"

Dasar sifat A Ci memang manja, ketika hidup dalam istana Lam-ih Tai-ong di Lamkhia ia sudah biasa berkuasa dan main perintah, maka tanpa terasa sifat tuan putrinya itu menonjol lagi.

Tapi, sesudah berkata, segera ia ingat, "Wah, sekarang aku tidak boleh main perintah lagi, jika dia sampai marah dan aku ditinggalkan, lantas bagaimana?"

Karena itu, cepat ia berdiri dan berkata pula dengan suara halus, "Perasaanku sedang tertekan sehingga bicaraku agak kasar, harap engkau jangan marah padaku."

Padahal dahulu Goan-ci sudah kenyang dihajar, dicambuk dan disiksa oleh A Ci, untuk itu Goan-ci harus bersorak malah sekarang cuma didamprat saja, hal ini boleh dikatakan kejadian yang terlalu biasa dan soal kecil.

Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa sekarang A Ci berbalik minta maaf padanya dan mohon dia jangan marah. Saking gugupnya lantaran perbedaan yang menyolok itu, cepat Goan-ci menjawab, "Ah, ti...tidak, Asalkan engkau senang boleh kau bicara sesukamu kepadaku."

Mendengar itu, diam-diam A Ci merasa heran juga. Ia tidak paham mengapa "Ong-kongcu" yang serba jempolan ini sedemikian baik hati dan suka mengalah padanya? Apakah dirinya memang sudah ditakdirkan mempunyai rejeki sebesar ini? Demikian pikir A Ci.

Karena senang, maka ia berkata pula, "Jika demikian, hendaknya menyingkir dulu. Tapi jangan mengintip, lho!"

"Namun...namun aku tetap khawatir bila meninggalkanmu," kata Goan-ci sambil geleng kepala.

"Tidak apa-apa, lekas pergi!" ujar A Ci dengan tertawa.

Tapi Goan-ci masih merasa berat, setiap melangkah tentu menoleh satu kali, Akhirnya beberapa puluh tindak jauhnya, lalu ia berhenti.

Selang agak lama barulah terdengar suara A Ci yang merdu itu memanggilnya, "Ong-kongcu, dimanakah

engkau?"

Goan-ci memang sedang menunggu dengan tidak sabar lagi, demi mendengar seruan anak dara itu, terus saja ia melompat kedepan A Ci.

Noda darah dimuka A Ci sekarang sudah tercuci bersih, pakaian lelaki yang semula juga sudah berganti dengan baju wanita yang sepan berwarna ungu. Kedua matanya setengah terpejam, wajah tersenyum manis menantikan datangnya "Ong-kongcu".

Tapi mendadak Goan-ci terpatung ditempatnya, sepatah kata pun tak sanggup diucapkannya.

"Ong-kongcu, coba lihat, sekarang aku tidak sejelek tadi, bukan?" demikian A Ci berkata lagi.

Tetap Goan-ci tidak sanggup bersuara.

Mendadak air muka A Ci mengunjuk rasa cemas dan khawatir, serunya, "Ong-kongcu, apakah... apakah engkau tidak berada disini?"

Dengan susah payah akhirnya Goan-ci menjawab satu kata saja, "Ada!"

"Kenapa engkau tidak menjawab pertanyaanku?" tegur A Ci.

"Aku....aku tidak tahu cara bagaimana harus bicara." sahut Goan-ci tergagap.

A Ci melangkah maju dua tindak, mendadak tangan meraba keatas dan tanpa sengaja menyenggol pula topeng besi Goan-ci.

Keruan Goan-ci kaget dan cepat menyurut mundur.

A Ci tertegun, tampaknya sangat heran, tanyanya kemudian, "Engkau....memakai topi apakah itu?"

Goan-ci sampai keluar keringat dingin, sahutnya dengan gugup, "O, tidak apa-apa, hanya....hanya topi biasa saja."

"Aku seperti menyentuh sepotong besi?" ujar A Ci.

"O, bukan, bukan!" seru Goan-ci gugup sambil goyang tangan tanpa pikiran apa A Ci dapat melihatnya atau tidak. "Ini hanya sepotong batu giok hiasan topiku."

Sambil berkata, ia pun melangkah mundur terus, tiada hentinya ia berpikir, "Bila ingin berada bersama A Ci, maka sekali-kali tidak boleh A Ci mengetahui bahwa diriku adalah si-badut besi alias Yu Goan-ci. Tapi kalau topeng besi ini tetap berada pada kepalaku, pada suatu hari akhirnya tentu juga akan diketahui anak dara itu, tatkala mana apakah ia masih akan sedemikian baiknya kepada diriku?"

Begitulah, maka sambil kedua tangan memegangi kerudung besi itu, dalam hati Goan-ci terus menjerit, "Aku harus lepaskan ini, harus lepaskan ini!" Mendadak ia putar tubuh terus tinggal pergi.

Mendengar langkah orang, A Ci menjadi khawatir, teriaknya, "Ong-kongcu, apakah engkau hendak pergi? Hendak kemana?"

Mendadak Goan-ci berhenti dan menjawab, "A Ci, tiba-tiba aku teringat kepada sesuatu urusan yang harus kuselesaikan. Hendaknya kau tunggu disini, bila urusanku sudah beres, segera kukembali kesini."

Air muka A Ci berubah sedih, katanya, "Urusan apakah yang harus kau selesaikan, apa sangat penting?"

"Ya, sangat penting," sahut Goan-ci dengan tersenyum getir. "Jika tidak kuselesaikan, maka....maka aku tidak dapat berada bersamamu lagi."

Semula A Ci melengak oleh jawaban Goan-ci itu. Tapi segera terpikir olehnya, "Dia masih muda dan ganteng, sudah tentu ia mempunyai kekasih. Sekarang mendadak aku hendak ditinggalkan, boleh jadi dia hendak pergi menceraikan kekasihnya itu untuk kemudian datang kembali untuk berkumpul denganku."

Berpikir demikian, A Ci menjadi gembira lagi, katanya, "Baiklah, aku akan menunggumu disini, tapi jangan lama-lama, ya?"

Sebabnya Goan-ci hendak meninggalkan A Ci adalah karena bertekad akan menghilangkan kerudung besi yang membungkus kepalanya itu. Tapi kerudung itu sudah melengket dengan kulit dagingnya, untuk melepaskannya dengan paksa sudah tentu bukan soal mudah, bisa jadi jiwanya akan melayang sekalian. Dan kalau mati, tentu dia tak dapat kembali lagi untuk bertemu dengan A Ci.

Karena itu Goan-ci menjadi tertegun disitu dan sulit menjawab. Sebaliknya A Ci sedang pikir kejurusan lain, ia menduga "Ong-kongcu" yang ganteng itu tentu sangat banyak kekasihnya, kalau mesti menceraikan mereka satu per-satu, tentu juga akan banyak makan tempo. Maka katanya kemudian, "Ya, sudahlah, bolehlah kau pergi dan aku akan tetap menunggu disini asal engkau pasti kembali kesini."

"Aku pasti akan kembali." sahut Goan-ci.

"Ya, sudahlah, boleh berangkatlah!" kata A Ci sambil menghela napas pelahan.

Goan-ci mundur beberapa tindak, tiba-tiba ia berkata pula. "A Ci, kamu sendirian....."

"Aku takkan pergi dari sini, rasanya takkan berhalangan, asalkan engkau lekas pergi dan lekas kembali." sahut A Ci.

Teringat bila nanti kerudung besi sudah dilepaskan, sedangkan mata A Ci sudah buta, tentu tidak dapat mengenali dirinya lagi, selanjutnya akan dapatlah berdampingan dengan anak dara pujaannya itu, hidup didunia ini masakah ada yang lebih gembira dan bahagia dari pada kejadian ini?

Segera Goan-ci putar tubuh dan berlari pergi secepat terbang, ia ingin pergi kesuatu kota dan cari seorang pandai besi untuk membuka topengnya itu secara paksa.

Tapi bila membayangkan betapa akibatnya kalau topeng itu dibeset mentah-mentah dari mukanya, mau tak mau ia sendiri pun merasa ngeri.

Namun demi hidup berdampingan selamanya dengan A Ci, agar anak dara itu percaya dia adalah Ciangbunjin dari Kek-lok-pai, ia harus berani "menyerempet bahaya", betapapun siksa derita harus berani dihadapinya. Karena itu ia tidak gentar lagi, maju terus pantang mundur.

Ia berlari-lari beberapa li jauhnya, tapi sekitarnya adalah hutan belukar belaka, entah kota terletak dimana. Ia menjadi gelisah, ia lari keatas sebuah bukit kecil dan memandang jauh sekitarnya. Ia lihat diarah Timur-laut sana ada mengepul asap cerobong dapur, ia pikir disana tentu ada rumah penduduk, segera ia lari pula kearah

itu.

Tapi baru satu-dua li jauhnya, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang perempuan, "Oooi, engkoh Jun-jiu yang tercinta! Lotoa bikin marah padamu, mengapa aku pun tidak digubris lagi olehmu?"

Suara itu sangat halus dan terputus-putus, tapi sangat jelas.

Goan-ci terkesiap, cepat ia menyusup dan sembunyi ditengah semak-semak rumput ditepi jalan, diam-diam ia mengeluh mengapa dunia sesempit ini, dimana-mana selalu kepergok Sing-siok Lokoai.

Maka terdengar Ting Jun-jiu sedang membentak dengan gusar, "Pergi sana, pergi!"

Dari suaranya jelas orangnya sudah sangat dekat dengan tempat sembunyi Goan-ci itu. Karuan Goan-ci tambah takut, sampai bernapas pun tidak berani keras-keras.

Waktu ia mengintip, ia lihat lengan baju Ting Jun-jiu robek sebagian, mukanya merah padam dan sedang berlari kearahnya, dibelakang iblis tua itu menyusul Yap Ji-nio yang genit.

Melihat muka Ting Jun-jiu yang bengis itu, saking takutnya sampai Goan-ci memejamkan mata. Ia berharap iblis itu terus lari lewat kesana dengan demikian tempat sembunyinya itu tidak sampai diketahui.

Ia tidak tahu bahwa sesudah tubuhnya penuh dengan racun dingin Peng Jan (ulat sutra es), maka unsur racun yang bersemayam dalam tubuhnya jauh lebih jahat daripada badan Ting Jun-jiu, jadi Goan-ci sesungguhnya sudah berubah menjadi "manusia berbisa".

Selama hidup Ting Jun-jiu suka berkutetan dengan makluk-makluk berbisa, biar pun disemak rumput hanya bersembunyi seekor ular berbisa, bila dia melayang lewat juga dapat diketahuinya, apalagi Goan-ci yang badannya penuh racun ulat sutra es yang maha lihai?

Maka ketika Ting Jun-jiu mendekat dengan tempat sembunyi Goan-ci itu, mendadak ia berhenti, air mukanya menampilkan rasa curiga dan ragu.

Ting Jun-jiu tidak tahu yang sembunyi dalam semak-semak itu adalah Yu Goan-ci, ia cuma merasa ada sesuatu makluk yang maha dingin dan maha berbisa berada ditempat dekat situ. Ia pun khawatir makluk maha berbisa

itu terkejut dan lari, juga khawatir karena Pek-giok-giok-ting tidak dibawanya sehingga sulit untuk menangkap makluk maha berbisa itu. Lantaran itulah, maka ia menjadi ragu dan tertegun ditempat.

Karena untuk sekian lamanya tiada terdengar sesuatu suara, Goan-ci lantas membuka matanya, ia lihat jarak Sing-siok Lokoai dengan tempat sembunyinya cuma empat-lima meter jauhnya, keruan ia ketakutan dan gemetar. Dan celaka, karena gemetarnya sehingga rumput disekitarnya ikut berkresekan.

Sebaliknya Ting Jun-jiu juga kaget, ia menyangka makluk maha berbisa itu tentu sangat besar, maka ia pun tidak berani sembarangan bertindak.

Melihat Ting Jun-jiu mendadak berhenti, maka Yap Ji-nio ikut berhenti, katanya, "Engkoh Jun-jiu apakah engkau mau rujuk kembali denganku! Ai, dasar tidak punya perasaan, tidak ingat bahwa orang siang malam senantiasa merindukan dikau!"

Ting Jun-jiu sama sekali tidak menoleh, hanya sinar matanya memandang kesemak rumput dengan tajam. Selang sejenak mendadak jarinya menyelentik tiga kali, tiga butir obat sebesar gundu berwarna kuning muda terus menyambar ketengah semak rumput itu.

Melihat tindakan Ting Jun-jiu, air muka Yap Ji-nio berubah, mestinya hendak bicara menjadi urung, lekas ia mundur kebelakang.

Hal itu dapat dilihat Goan-ci dengan jelas, meski ia tidak kenal benda apakah ketiga putar gundu warna kuning itu, tapi ia menduga pasti benda yang sangat berbisa.

Ia menjadi takut dan karena itu badan semakin gemetar. Kebetulan juga, waktu ketiga butir gundu warna kuning yang diselentikan Ting Jun-jiu itu jatuh kebawah, sebutir diantaranya tepat mengenai kepala besi Goanci, "Blang", mendadak gundu itu meletus dan menghamburkan kabut kuning, segera terendus pula bau yang aneh, tapi Goan-ci sendiri tidak merasakan apa-apa.

Sedang gundu yang lain jatuh disampingnya dan juga meledak, kabut kuning lantas menjalar memenuhi tanah, dimana kabut itu menyambar, segera tetumbuhan yang tadinya menghijau segar itu menjadi layu dan kering.

Selagi Goan-ci merasa bingung, sementara itu gundu yang ketiga telah jatuh tepat dipunggung tangannya. Dengan kaget ia kebaskan tangannya, tapi gundu itu sudah keburu pecah, tiba-tiba ia merasa punggung tangan dingin segar, selain itu tiada terasa apa-apa.

Karena itu barulah ia merasa lega. Ia coba mengintip kesana, ia lihat wajah Ting Jun-jiu tampak merasa kaget dan khawatir.

Dalam pada itu terdengar Yap Ji-nio juga berkata dengan terperanjat, "He, engkoh Jun-jiu, makluk aneh apakah yang berada ditengah semak-semak rumput itu? Beruntun kau timpuk tiga butir 'Hoa-kut-wan'(pil pemunah tulang), kenapa hasilnya nihil?"

Ting Jun-jiu menoleh dan melototi Yap Ji-nio, semprotnya, "Maksudmu Hoa-kut-wan ini kurang lihai?"

"Eh, engkoh Jun-jiu, jangan main-main," sahut Ji-nio sambil mundur lagi beberapa tindak. Ia khawatir janganjangan dirinya akan dibuat percobaan dengan gundu berbisa si iblis.

Padahal Ting Jun-jiu sendiri juga sedang heran dan ragu, karena ketiga butir Hoa-kut-wan yang ditimpukkan tadi tidak membawa hasil apa-apa. Padahal kabut kuning yang dihamburkan gundu Hoa-kut-wan itu sangat jahat, kalau kena badan orang rasanya seperti dibakar, baik binatang mau pun manusia pasti tidak tahan.

Sama sekali tak terduga olehnya bahwa dia justru kebentur Yu Goan-ci yang badannya penuh terisi unsur racun dingin dari ulat sutra es, biarpun makluk berbisa paling lihai didunia ini juga tidak dapat meng-apa-apakan dia sekarang.

Ting Jun-jiu tidak berani sembarangan menyingkap semak rumput itu untuk memeriksa, sebaliknya ia malah mundur lagi dua langkah. Lalu tangannya bergerak pula, dari dalam lengan baju lantas melayang keluar dua titik api hijau dan terbang kedepan dari kanan dan kiri.

Berulang-ulang Ting Jun-jiu menyentik pula sehingga kedua titik bunga api itu mendadak menyala menjadi dua gumpal api unggun dan jatuh ketanah, api yang berkobar itu terus menjalar kedepan, lalu kedua ujung api saling sambung menjadi satu hingga berwujud sebuah lingkaran api seluas beberapa meter.

Meski api yang berkobar itu tidak terlalu hebat, namun dalam sekejap saja lingkaran api itu menjadi sangat sempit.

"Hebat benar ilmu 'Tok-yap-sau-heng'(api berbisa mencari jejak) yang kau semburkan ini, sungguh banyak menambah pengalamanku, engkoh Jun-jiu," demikian Yap Ji-nio memuji dari jauh.

Ting Jun-jiu tampak berseri-seri, sahutnya, "Ya, biarpun makluk yang sembunyi disemak rumput itu betapa

bandelnya, jika apiku sudah membakar, akhirnya dia pasti akan menjadi abu."

Dilain pihak Goan-ci menjadi ketakutan, karena terkepung ditengah api dan lingkaran api itu makin lama makin sempit, demi mendengar ucapan Ting Jun-jiu itu, ia tambah takut hingga giginya gemerutukan.

Suara kertukan gigi itu segera didengar oleh Sing-siok Lokoai dan dikenali adalah suara manusia, segera ia membentak, "Siapa itu? Tidak lekas keluar?!"

Goan-ci pikir urusan sudah begini, untuk sembunyi lagi terang tidak dapat, malah sebentar lagi bisa mati konyol terbakar menjadi abu. Bahkan A Ci yang sedang menunggu-nunggu kembalinya itu tentu akan sia-sia.

Maka terpaksa ia berdiri dan berseru dengan ketakutan, "Suhu, akulah yang sembunyi di sini, harap engkau jangan gusar, aku .... "

Girang dan kejut pula Ting-lokai demi melihat yang muncul itu adalah Goan-ci. Cepat ia membentak pula, "Di mana A Ci?"

"Dia ... dia entah sudah lari ke mana? " sahut Goan Ci.

Tiba-tiba Ting-lokoai menghantam ke depan tenaga pukulannya membikin Goan-ci terpental dari lingkaran api yang sementara itu sudah menyempit itu. Sesaat kemudian, mendadak api menjulang tinggi ke atas. lain menyurut kembali dan sebentar lagi lantas padam

Segera Jun-jiu membentak Goak-ci, "Mestinya akan kubiarkan kamu terbakar menjadi abu, sekarang aku mengampuni jiwamu, kenapa kamu tidak lekas menyembah dan berterima kasih?"

Dengan ketakutan Goan-ci berlutut dan menyembah, katanya, "Ya, banyak terima kasih atas budi kebaikan Suhu."

Pada saat Goan-ci berlutut itulah, sekonyong-konyong Ting Jun-jiu sambar pergelangan tangan Goan-ci dan dipegang erat-erat.

Keruan Goan-ci kaget, serunya. "Suhu, ken... kenapa .... "

Sebenarnya tidak nanti Goan-ci berani meronta atau melawan, tapi karena dipegang secara mendadak, dalam kagetnya dengan sendirinya iapun hendak menarik kembali tangannya. Karena itu suatu arus hawa murni terus menerjang ke arah urat nadi pergelangan tangan yang terpencet itu.

Kontan Ting Jun-jiu merasa tangannya kedinginan, seperti ada arus racun meresap ke tubuhnya. Sungguh kagetnya bukan buatan, lekas ia lepas tangan dan melangkah mundur.

Sebaliknya saking ketakutan kedua kaki Goan-ci menjadi lemas dan kembali ia menyembah-nyembah lagi.

Pada waktu pertama kalinya bertemu dengan Goan-ci memang Ting Jun-jiu sudah merasa dalam tubuh pemuda itu mengeram unsur racun yang jauh lebih hebat dan lebih kuat daripada dirinya.

Apalagi ia habis bertempur, dengan Buyung Hok dan Toan Yan-khing, banyak tenaganya terbuang tatkala menggunakan . "Hoa-kang-tai-hoat", maka sekarang unsur racun dalam tubuhnya menjadi lebih lemah daripada Goan-ci, Dan sebabnya dia lantas lepas tangan sebenarnya juga lantaran dia merasa takut.

Kini melihat Goan-ci berulang menyembah dan minta ampun, walaupun dalam hati Ting-lokoai sendiri sangat jeri, namun sedikit pun ia tidak perlihatkan perasaannya itu, tiba-tiba ia melangkah maju, bentaknya, "Waktu kau angkat guru padaku kamu telah bersumpah setia, tapi sekarang kau berani mendurhakai guru dan membawa lari sumoai sendiri, sekarang kau berani minta ampun padaku?”

Goan-ci tidak menjawab melainkan terus menyembah.

"Baiklah, boleh juga jiwamu kuampuni, tapi selanjutnya kamu harus betul-betul setia, tidak boleh main gila lagi," kata Lokoai.

"Terima kasih, Suhu, Tecu pasti tidak berani lagi," sahut Goan-ci.

"Nah, sekarang katakan, di mana A Ci?" tanya Jun-jiu.

Jika tanya urusan lain, tentu Goan-ci akan menjawab terus terang. Tapi yang ditanya sekarang adalah di mana beradanya A Ci, sudah tentu ia tidak mau mengaku. Maka ia hanya menunduk sambil berlutut saja dan tidak bersuara.

Ting Jun-jiu menjadi gusar, bentaknya, "Baru saja kau minta ampun, tapi sekarang sudah tidak menurut padaku lagi?"

Mendadak ia angkat sebelah kaki dan menginjak di atas kepala besi Goan-ci sehingga menempel tanah.

Walaupun demikian, tetap Goan-ci tidak mau menjawab.

Yap Ji-nio mengikuti semua kejadian ini. Ia lihat api berbisa yang dibakar oleh Ting-lokoai itu tidak mendapatkan sesuatu makluk berbisa apa-apa, sebaliknya muncul seorang Thi-thau-jin (orang berkepala besi) yang aneh, maka ia pun sangat terkejut.

Ketika dilihatnya Goan-ci berlutut, dan menyembah minta ampun kepada Sing-siok Lokoai, segera iapun melangkah maju, katanya, "Engkau Jun-jiu, sejak kapan kau menerima murid berkepala besi ini?"

Ting-lokoai hanya berdehem dan tidak gubris padanya.

Saat itu Yap Ji-nio sudah di depan Goan-ci, dengan heran ia menjentik, di kerudung besi itu sehingga mengeluarkan suara "plak-plok" dua kali.

Memangnya boyok Goan-ci sudah pegal kerena kepalanya diinjak. Sekarang diselentik oleh Yap Ji-nio. keruan kepala terasa sakit dan mata berkunang-kunang, tanpa kuasa lagi hawa mumi lantas bergolak.

Yap Ji-nio kembali ulur tangan untuk meraba kepala besi Goan-ci yang dianggapnya lucu itu.

Tak tersangka olehnya saat itu di atas kerudung besi itu penuh dengan hawa murni yang maha dingin sehingga membeku selapis es yang tipis.

Maka begitu tangan Yap Ji-nio menyentuhnya, seketika ia merasa dingin, tak terhingga dan cepat menarik kembali tangannya. Namun sedikit terlambat. "cret", kulit di telapak tangan sobek sebagian terlengket dikerudung besi itu.

Karena kesakitan, Yap Ji-nio menjadi murka, bentaknya, "Thi-thau-siaucu, kau main sihir apa?” menyusul

tangannya menabok dari samping.

Melihat Yap Ji-nio hendak menghajar Goan-ci, hal ini kebetulan malah bagi Ting Jun-jin, segera ia menarik kakinva dan melangkah mundur.

Karena kepala mendadak enteng, Goan-ci menjadi terjengkang kebelakang, kepalanya membentur batu hingga bersuara nyaring, karena jumpalitan yang tak sengaja itu serangan Yap Ji-nio menjadi luput malah.

Sekali luput serangannya, segera Ji-nio melangkah maju dan serangan lain dilontarkan lagi.

Melihat wanita itu sangat genit dan galak, pula menyebut gurunya "Engkoh Jun-jiu", maka Goan-ci tidak berani melawan, ia hanya melindungi tempat yang berbahaya dengan kedua tangan sambil berteriak-teriak, "Suhu aku benar benar tidak tahu di mana beradanya A Ci, sungguh tidak tahu!"

Baru habis ucapannya, tahu-tahu tubuhnya kena dihanjut tiga kali oleh Yap Ji-nio sehingga mencelat.

Yap Ji-nio merasa tubuh Thi-thau-jiu itu sedingin es, tenaga pukulan yang dilontarkan itu segera hilang sirna tanpa bekas. Mendadak ia ingat Thi-thau-jin itu adalah murid Ting-lokoai, dengan hilangnya tenaga pukulan sendiri secara aneh jangan-jangan kena dimakan oleh "Hoa-kang-tai-hoat” dari Sing-siok-pai yang maha lihai itu.

Dalam pada itu dengan napas terengah-engah Goan-ci berkata, "Suhu, aku benar-benar tidak tahu jejak A Ci."

Ting Jun-jiu mendengus katanya, "Kamu yang membawa lari A Ci, di mana dia, mengapa tidak tahu?"

Goan-ci menjadi bungkam, ia lihat tangan sang guru mulai terangkat lagi. ia ketakutan dan berseru pula, "Ampun Suhu! Tecu benar-benar tidak... tidak tahu di mana A Ci berada!"

Pelahan tangan Ting-lokoai menabok ke depan, kira-kira belasan senti di atas kepala Goan-ci mendadak tangannya membalik dan berganti arah, "blang", tahu-tahu sebatang pohon di samping sana dihantamnya sehingga patah.

"Jika pukulanku ini mengenai kepalamu, bagaimana jadinya denganmu?" bentak Lokoai.

"Tecu ... Tecu tidak sanggup menahan pukulan Suhu ini," sahut Goan-ci dengan ketakutan dan gelagapan.

"Ya, mungkin kepala besimu ini bisa gepeng kena pukulanku ini," jengek Lokoai.

"Terima kasih atas kemurahan hati Suhu," kata Goan-ci.

"Kamu tidak mengaku di mana A Ci berada, mana dapat kuampuni jiwamu?" damprat Lokoai.

Goan-ci menghela napas, sahutnya, "Suhu tampaknya aku sudah ditakdirkan harus rnati di bawah pukulanmu. Aku.... tidak bisa berkata lain."

Jin-jiu melengak tapi lantas tertawa dan berkata, "Kamu jujur, rasanya tak nanti mendustai aku"

Merasa ada harapan buat hidup, cepat Goan-ci menyembah dan berkata pula, "Ya, mana Tecu berani berdusta."

"Baiklah," kata Ting-lokoai, "dahulu waktu kau angkat guru padaku, pernah kukatakan akan menjodohkan A Ci padamu. Sekarang dia sudah buta, apakah kamu masih mau terima dia?"

Cepat Gaan-ci menjawab, "A Ci adalah gadis secantik bidadari, mana Tecu berani mengimpikan hal itu."

"Ahh, tidak perlu pura-pura," ujar Lokoai dengan tertawa. "Meski kamu durhaka padaku, tetap aku dapat mengampuni dosamu. Sekarang boleh kau bawa aku menemui A Ci, aku pasti akan menjodohkan dia padamu."

Tapi Goan-ci tahu yang disukai A Ci adalah pemuda ganteng seperti Buyung Hok, jika anak dara itu mengetahui orang yang menyelamatkan dia itu adalah "si badut besi" yang pernah diperbudak olehnya, pasti dia akan sangat kecewa dan tidak nanti mau menjadi istrinya.

Meski tak keruan rasa hatinya pada saat itu tapi ia tetap menjawab, "Tecu benar-benar tidak tahu di mana beradanya A Ci, betapapun Suhu akan memaksa pengakuan Tecu juga percuma."

Sungguh gusar Ting Jun-jiu tak terkatakan, coba kalau bukan ingin mencari Pek-giok-giok-ting yang berada

pada A Ci itu, tentu sekarang Goan-ci sudah dibunuhnya.

Tapi ia dapat berlaku tenang lagi, dengan tersenyum ia berkata, "Baiklah, berdirilah!"

Goan-ci mendongak ke atas, ia ragu dan tidak berani berdiri.

"Aku, bilang berdirilah!" ucap Jun-jiu pula.

Dan barulah Goan-ci berani berdiri.

Mendadak Ting Jin-jiu melengos, katanya,"Sudahlah, lekas enyah! Kamu tidak setia padaku, aku pun tidak sudi mempunyai murid seperti dirimu lagi."

Habis berkata terus saja ia melesat pergi, hanya sekejap saja sudah menghilang di kejauhan sana.

Untuk sekian lama Goan-ci termangu-mangu ketika ia sadar, ia coba melihat sekitarnya, namun Jing Jun-jiu benar-benar sudah pergi, bahkan Yap Ji-nio juga sudah menghilang, ia sangsi apakah bukan sedang mengimpi.

Waktu ia coba membenturkan kepala pada sepotong batu, "trang", kepala terasa sakit, terang bukan dalam mimpi.

Ia jalan beberapa tindak ke depan sambil memanggil-manggil, "Suhu! Suhu!"

Tapi keadaan sunyi senyap, tiada seorangpun yang kelihatan. Ia tahu tidak mungkin dirinya diampuni dengan begitu mudah. Maka kembali ia bersaru, "Suhu, Tecu akan memberitahukan jejak A Ci."

Ia pikir kalau sang Suhu masih berada di situ pasti akan perlihatkan diri lagi jika mendengar ucapannya itu. Siapa tahu tetap tiada suara jawaban meski dia sudah mengulangi seruannya itu.

Setelah berpikir sejenak, mendadak ia berlari cepat ke depan, namun tetap tiada seorang pun dilihatnya.

Buru sekarang ia merasa lega. Ia pikir, barangkali Sing-siok Lokoai menaruh belas kasihan padanya agar bisa hidup bersama dengan A Ci, maka benar-benar mau mengampuninya.

Teringat kerudung besinya itu harus lekas melepaskan, maki cepat ia lari pula ke depan untuk mencari kota. Sesudah beberapa li lagi, benar juga dari jauh kelihatan di depan ada sebuah kota.

Segera ia menanggalkan bajunya untuk membungkus kepalanya hingga rapat, hanya matanya yang kelihatan.

Setelah setengah li lagi, tiba-tiba dilihatnya ada dua orang sedang datang dari depan, Goan-ci kenal kedua orang itu adalah kambratnya Buyung Hok, yaitu Hong Po-ok dan Pau Put-tong. Keruan ia terkejut dan berhenti lari.

Secepat angin Hong Po-ok dan Pau Put-tong sudah lewat di rampingnya. Baru Goan-ci merasa lega, sekonyong-konyong pundaknya di tepuk orang sekali.

"He, kenapa kepalamu dibungkus rapat” itulah, suara Pau Put-ton alias si "bukan."

"O, aku ... aku meriang,tidak boleh kena angin," Goan-ci membohong.

"Samko, buat apa gubris seorang desa, ayolah kita lekas mengejar ke sana!" demikian Po-ok sedang memanggil.

"Bukan, bukan! Dia membungkus kepalannya dengan baju, larinya tadi juga kelihatan sangat cepat, tidak mungkin orang sakit, kukira pasti Tai-thau-Siaucu itu!" sahut Put-tong

Goan-ci menjadi gugup, badan terasa lemas lekas ia menggoyang-goyang kedua tangannya dan berkata, "'Tidak, tidak, aku bukan si Thi-thau-siaucu itu!"

Tapi karena ia menggoyang-goyangkan kedua tangannya, maka baju yang membungkus kepalanya menjadi kendur dan terbuka sehingga kelihatanlah kerudung besinya itu.

Maka tertawalah Pau Put-tong terbahak-bahak, katanya, "Nah, Site, tajam tidak pandangan Samko mu ini?"

"Awas, Samkol" tiba-tiba Po-ok menarik mundur Pau Put-tong.

Meski Put-tong tidak kenal apa artinya takut, tapi derita sengsara ia sudah kena pukulan berbisa Goan-ci tempo hari itu masih terasa ngeri bila teringat olehnya, maka ia pun menurut saja ketika ditarik mundur.

Goan-ci masih coba hendak menutupi kepalanya yang khas itu. Namun Pau Put-tong sudah lantas membentaknya "Hai. Thi-thau-siaucu, sebenarnya kamu ini manusia apa?"

"O. aku ... aku cuma seorang kecil yang tak berarti buat apa tuan-tuan, mencari perkara padaku” sahut Goan-ci.

"Bukan, bukan! Pukulanmu yang berbisa itu sampai Hian-thong Taisu dari Siau-lim-si juga tidak tahan, kami berdua saudara justru sangat kagum padamu," kata Put-tong. "Tampaknya biar betapapun tinggi kepandaian Ting Jun-jiu juga tidak sesuai menjadi gurumu, entah asal-usulmu sebenarnya dari mana?"

. "Aku ... aku tidak punya asal-usul apa-apa," sahut Goan-ci gugup.

Tiba-tiba Pau Put-tong melangkah maju setindak. Begitu pula Hong Po-ok lantas cabut belatinya yang mengkilap itu dan melangkah maju.

Melihat belati Po-ok yang tajam itu Goan-ci menjadi girang, cepat katanyaa, "Eh, tuan ini, aku ingin pinjam sesuatu barang padamu, entah boleh tidak ?”.

Seketika air muka Po-ok berubah hebat.

Maklum, di dunia kangouw banyak sekali istilah-istilah yang kedengarannya sangat sopan, tapi mengandung arti yang sebaliknya. Misalnya orang berkata "mohon petunjuk", maka itu berarti ajak berkelahi. Dan bila dipakai kata-kata "pijam," maka besar kemungkinan barang yang hendak "dipinjam" itu adalah sebelah tangan, mata atau buah kepala dari lawan itu.

Sebab itulah Hong Po-ok menjadi kaget demi mendengar Goan-ci ingin "Pinjam" sesuatu padanya, cepat ia tanya; "Apa yang hendak kau pinjam?"

Goan-ci tuding Po-ok, tapi susah untuk menerangkan.Keruan sikap Goan-ci ini membikin Hong Po-ok tambah

kuatir cepat ia mundur selangkah lagi.

"Sebenarnya kau mau pinjam apa? ... " belum habis Pau Put-tong bertanya, mendadak ia loncat ke samping sana secepat anak panah dan menghilang ke dalam semak-semak rumput. Menyusul segera terdengar dua kali teriakan orang yang aneh tahu-tahu Pau Put-tong sudah melompat balik lagi dengan menjinjing dua orang.

Kedua orang itu tampak meronta-ronta tapi cengkeraman Put-tong seperti kaitan kuatnya, betapapun sukar terlepas.

Sesudah dekat, Put-tong melemparkan kedua tawanan itu ke tanah segera ia pun meloncat dan menginjak punggung mereka.

"Sute, lekas turun tangan!" seru kedua orang itu tiba-tiba sambil mengangkat kepalanya.

Baru sekarang Goan-ci dapat melihat jelas bahwa kedua orang ini adalah saudara seperguruannya.

Pau Put-tong bergelak tertawa, katanya, "Kiranya kalian adalah anak murid Sing-siok Lokoai. Kalian main sembunyi di situ ingin berbuat apa?"

"Pau-enghiong, kami diperintahkan Suhu untuk mengawasi jejak Thi-thau-jin ini dan tiada sangkut-pautnya denganmu, harap sudilah angkat kakimu!" mohon kedua orang itu.

Put-tong terbahak-bahak lagi, mendadak ia lompat turun dari punggung kedua tawanan itu.

Sebagai kesatria, ia tidak sudi banyak tingkah dengan murid Sing-siok-pai yang dianggapnya kaum keroco itu.

Sebaliknya Goan-ci menjadi kuatir, cepat ia berseru. "Pau-enghiong, jangan bebaskan mereka!"

Namun kedua murid Sing-siok-pai sudah merangkak bangun, mereka terus menubruk maju. Selagi Goan-ci tercengang, tahu-tahu kedua lengannya sudah dicengkeram kedua Suhengnya itu.

"Ayo, lekas ikut kami menemui Suhu!" bentak kedua orang itu.

"Ai, kenapa kedua Suheng bikin susah padaku!. Jika sudi melepaskan diriku, sungguh budi kebaikan kalian takkan kulupakau," mohon Goan-ci.

"Tidak bisal" bentak kedua orang itu dengan bengis, Lalu Goan-ci diseret pergi.

Otomatis Goan-ci meronta sebisanya, maksudnya cuma ingin melepaskan diri dari pegangan kedua orang itu. Tak tersangka baru saja tangan bergerak, tahu-tahu kedua orang itu sudah lantas mencelat pergi sehingga beberapa rneter jauhnya tulang mereka patah dan kepala pecah, ternyata sudah terbanting mati semua.

Keruan Goan-ci tambah kaget, sesudah tercengang sejenak, segera ia angkat langkah seribu alias kabur.

Menyaksikan kejadian itu sungguh heran dan kejut Pau Put-tong dan Hong Po-ok tak terkatakan.

Melihat Goan-ci lari, berbareng mereka berseru, "Nanti dulu!"

Namun Goan-ci sudah ketakutan, ia lihat ke dua Suhengnya mendadak terbanting mampus, ia sangka itu perbuatan Pan Put-tong dan Hong Po-ok, maka ia lari terbirit-birit. Apalagi mendengar seruan kedua orang itu, ia jadi makin takut dan ingin lari lebih cepat. Namun kaki menjadi lemas malah dan akhirnya jatuh tersungkur di tanah.

Seperti angin lesus cepatnya Hong Po-ok sudah lantas menyusul sampai di depan Goan-ci, tanyanya, "Tadi sebenarnya kau ingin pinjam apa padaku?”.

"Tidak, aku , .. aku tidak berani pinjam lagi," sahut Goan-ci dengan takut sambil memandang belati yang masih dipegang Po-ok itu.

Melihat sinar mata orang mengincar belatinya, tiba-tibi Po-ok paham maksudnya, tanyanya pula "0, apa barangkali kau ingin meminjam belatiku ini"

"Ya ... ya, sebenarnya ada maksudku hendak pinjam, tapi ... tapi kalau tuan tidak boleh, ya, sudahlah.," kata Goan-ci dengan tergegap.

"Belatiku ini tajamnya bukan main, dapat memotong besi seperti mengupas mangga, apa kau mau meminjamnya untuk mengupas kerudung pada kepalamu ini?" tanya Po-ok.

"Ya, betul," sabut Goan-ci.

Po-ok tertawa dingin, jengeknya, "Hm, ketika di depan Siau-lim-si aku pernah hendak mengupas topengmu ini, tapi kamu tidak mau, bahkan menghantam aku satu kali sehingga aku menderita setengah mati, sekarang ... hm .... "

Goan-ci menjadi ketakutan, sahutnya, "Aha.,, tentu Hong-toaya salah paham, mana mampu aku menyerangmu?"

Hong Po-ok adalah seorang laki-laki jujur, melihat Goan-ci menyangkal perbuatanya itu, ia menjadi gusar, dampratnya, "Bagus, sudah memukul orang dan sekarang berani mungkir, Habis apakah orang yang memukul aku di Siau-lim-si itu adalah tangan babi atau tangan anjing?"

"Bukan, tapi cakar kura-kura," sambung Put-tong.

"Itu berkat kesaktian Sing-siok Losian dan tiada sangkut-pautnya denganku," kata Goan-ci dengan kikuk.

Mendengar itu, Po-ok dan Put-tong tambah heran dan bingung, sudah terang mereka kena pukulan berbisa Thithau-jin ini sehingga menderi ta sekian lamanya, sampai Sih-sin-ih juga geleng-gelengkepala tak berdaya, coba kalau tidak ditolong oleh hwesio muda itu, mungkin sampai saat ini mereka masih tersiksa, mengapa Thi-thaujin ini tidak mau mengakui perbuatannya dahulu itu? Tapi kalau melihat sikapnya jelas bukan sengaja pura pura hodoh?

Maka dengan terheran-heran mereka sama tanya, "Kau bilang itu berkat kesakitan Sing-siok Lokoai?"

"Ya, Sing-siok Losian bilang itu adalah ilmu gaib Slng-siok-pai dan tidak boleh diceritakan kepada orang luar," sahut Goan-ci sesudah ragu sejenak.

"Ilmu gaib?' Po-ok dan Put-tong menegas dengan heran. "Jadi Sing-siok-pai juga punya ilmu gaib? Eh. sobat kepala besi, cobalah jelaskan!"

Goan-ci memandang belati tajam di tangan Hong Po-ok itu ia jadi sangsi untuk menceritakan "mantra" ajaran Sing-siok Lokoai itu, ia masih ingat apa yang dikatakan Lokoai bahwa mantera itu sangat manjur, bila ia ucapkan mantera itu, maka dari jauh juga sang guru itu akan dapat membantunya dengan ilmu gaib. Tapi sekarang ia telah membawa lari A Ci, entah mantera itu masih manjur atau tidak.

Melihat Goan-ci ragu-ragu, segera Po-ok menarik Put-tong, katanya, "Samko marilah kita pergi saja, Thi-thaujin ini adalah musuh kita, buat apa kita meminjamkan belati padanya!"

Goan-ci menjadi gugup karena akan ditinggalpergi, ia tahu belati Hong po-ok itu sangat tajam dan sukar mencari senjata serupa itu, maka cepat ia berseru, "Nanti dulu, baiklah akan kuterangkan, ilmu gaib itu ,ia mulai dengan membaca mantera yang berbunyi 'Sing-siok Losian, Sing-siok Losian, lindungilah muridmu, atasi musuh dan memperoleh kemenangan, satu-tiga-lima-tujuh-sembilan dan sekali aku membaca-mantera ini dari jauh segera beliau akan menggunakan ilmu gaibnya untuk menolong aku."

Semula Po-ok dan Put-tong melengak oleh keterangan itu. Tapi segara mereka merasa geli dan tertawa terpingkal-pingkal Hong Po-ok sampai melengking dan Pau Put-tong mendongak sambil memegangi perutnya yang melilit saking gelinya.

"Jangan kalian anggap lucu, justru dengan ilmu gaib itulah sudah kulukai kalian dengan sekali pukul saja " ujar Goan-ci.

Po-ok coba menahan rasa gelinya, lalu berkata "Sobat kepala besi, meski kami pernah dilukai olehmu, tapi melihat kamu dibohongi iblis tua itu secara kelewatan, maka kami sekarang ikut penasaran. Haha, iblis tua itu mahir ilmu gaib kentut! Jika kamu dikatakan jago kelas satu di dunia persilatan, inilah yang betul!”.

Tapi Goan-ci berulang goyang tangannya, katanya, "Hendaknya tuan jangan berkata demikian, dari mana aku bisa dikatakan jago kelas satu? Hehe, masakah aku jago kelas satu?"

Ia termangu-mangu pula ketika teringat dalam anggapan A, Ci ia pun disangka sebagai jago kelas satu, paling baik hal ini akan tetap menjadi impian muluk bagi anak dara itu agar dia selalu merasa gembira.

Melihat Goan-ci tiba-tiba termangu-mangu, maka Po-ok berkata pula, "Malah, menurut pendapatku, mungkin ilmu silat Sing-siok Lokoai sendiri juga tidak bisa lebih tinggi daripadamu."

"Ai, jangan dibicarakan lagi," demikian Goan-ci berulang menggoyang tangan pula.

"Hong-site," kata Put-tong, "Orang ini tampiknya setengah gila, tidak perlu banyak bicara lagi dengan dia."

Tapi dengan sungguh-sungguh Po-ok berhata pula, "Sobat kepala besi, pada suatu hari nanti tentu kamu akan tahu bahwa apa yang kukatakan ini bukanlah omong kosong. Ilmu silatmu sangat tinggi, pukulanmu yang berbisa itu boleh dikata nomor satu di jagat ini, yang kuharap adalah selanjutnya jangan sembarangan kau pukul orang lagi!"

"Sudah tentu," sahut Goan-ci cepat. "Asal orang tidak memukul aku, tidak nanti kupukul orang."

Tiba-tiba Po-ok melemparkan belati ke arah Goan-ci setelah digosok-gosok beberapa kali pada kain celananya, katanya "Baiklah, orang she Hong telah anggap dirimu sebagai kawan, belati ini, kuberikan padamu!"

Cepat Goan-ci menyambut belati itu untuk sejenak ia tertegun, tapi mendadak ta berlutut.

Kepalsuan orang kangouw sukat diduga, sebagai orang kangouw kawakan, sudah tentu Hong Po-ok dan Pau Put-tong selalu waspada. Maka demi melihat Goan-ci mendadak berlutut, cepat mereka melangkah mundur ke samping.

Sudah tentu Goan-ci tiada maksud menyerang atau maksud jahat tain tapi dengan menurut aturan ia menjura tiga kali, lalu berkata, "Tuan berdua sudi menganggap aku sebagai kawan, sungguh aku orang she Yu merasa sangat berterima kasih.”

"0, kiranya kamu she Yu?" Po-ok menegas.

"Ya," sahut Goan-ci.

"Yu-keh-siang-hiap dari Cip-hian-ceng yang tersohor itu apakah angkatan tua keluargamu?” tanya Pau Puttong.

Goan-ci menjadi pilu teringat kepada ayah dan pamannya itu. Sejenak kemudian barulah ia menjawab, "Sudah lama kukagum pada kedua pendekar tua yang tersohor dari Cip-hian-ceng itu, cuma sayang tiada punya rejeki untuk bertemu dengan kedua Yu-lounghiong "itu!"

Sembari berkata air matanya lantas bercucuran juga, cuma dia memakai topeng besi sehingga orang lain tidak

tahu.

Hong Po-ok saling pandang sekejap dengan Pau Put-tong, mereka tahu Thi-thau jin ini tentu belum mau menjelaskan asal-usutnya, mereka sekarang sudah berkawan, masakah kelak tiada kesempatan untuk berjumpa pula?

Karena itu, mereka lantas memberi salam dan berkata, "Baiklah, sobat Yu. sampai berjumpa pula kelak”

"Ya, sampai berjumpa," sahut Goan-ci sambil membalas hormat.

Dan sesudah kedua orang itu pergi, cepat Goan-ci juga lantas berangkat. Tidak lama, sampailah di tepi sebuah sungai kecil.

Sambil bercerminkan air sungai, pelahan Goan-ci mengangkat belatinya, tapi tangan terasa gemetar luar biasa. Maklum, topeng besi itu telah melengket dengan kulit dagingnya di bagian kepala, kalau dibesetnya mentahmentah bukan mustahil jiwanya akan terancam sudah tentu hal ini membuatnya takut.

Tapi demi teringat bila nanti topeng besi itu sudah dilepaskan, untuk selanjutnya ia akan dapat hidup berdampingan untuk selamanya dengan A Ci dalam kedudukannya sebagai. "Ong Sing thian, Ciangbunjin dari Kek-lok-pai," maka seketika semangat jantannya timbul lagi. ia pegang kencang belatinya dan perlahan memotong" bagian sela-sela sambungan topeng besi bekas las-lasan itu.

Memang belati Hong Po-ok itu sangat tajam maka sekali potong dengan pelahan, seketika tempat las itu terbelah.

Lalu Goan-ci simpan baik-baik belati itu, dengan sebelah tangan pegang belahan topeng besi bagian depan dan tangan lain pegang belahan bagian belakang sambil meringis menahan sakit terus saja ia pantang sekuatkuatnya.

Dia Sudah nekat maka sekali pentang kulit daging yang melengket pada topeng itu lantas ikut terubek mentahmentah.

Seketika ia merasa kesakitan luar biasa, pandangannya menjadi gelap, ia menjerit sekali, lalu tak sadarkan diri lagi.

Entah berapa lama kemudian, pelahan ia siuman kembali. Ia merasa kepala sakit luar biasa, sampai mata juga sukar dibuka. Ia hendak merangkak bangun, ketika tangan menahan tanah barulah ia tahu bahwa separoh badannya bagian atas telah terendam dalam air sungai. Cepat ia raba pula kepala sendiri, tapi yang terpegang oleh tangannya itu terasa sangat keras dan dingin.

Kiranya setelah topeng besi itu terbeset dari kepalanya berikut kulit daging yang melengket itu saking sakitnya ia jatuh pingsan dan secara kebetulan bagian kepala itu terendam dalam air sungai sehingga jiwanya tertolongmalah.

Maklum, begitu kepalanya terendam air, ketika hawa berbisa, maha dingin dari tubuhnya ikut mengalir keluar, segera air sungai di sekeliling kepalanya lantas membeku menjadi es sehingga membungkus kepalanya, darah ya ng tadinya mengucur lantas mampet. kepalanya sekarang kembali seperti bertopeng lagi, cuma sekali ini topeng es dan bukan topeng besi. Ia sendiri merasa kaget ketika meraba kepalanya dan mengira topeng besi itu belum terlepas, dalam kaget dan kecewanya kembali ia jatuh pingsan lagi.

Jilid 57
Waktu untuk kedua kalinya ia siuman kembali, sementara itu lapisan es yang membungkus kepalanya sudah mulai cair, sekarang tempat luka itu dirasakannya bagai dibakar panasnya.

Sekuatnya ia coba berbangkit, ketika ia berkaca pula pada air sungai kembali, ia kaget lagi. Semula ia mengira ada suatu mahluk aneh atau siluman yang berdiri ditepi sungai tapi segera diketahuinya bahwa "siluman” itu tak lain tak bukan adalah bayangan sendiri.

Untuk sekian lamanya ia terkesima. Akhirnya dengan tabahkan diri ia coba berkaca lagi.

Sekarang ia memeriksa mukanya sendiri dengan jelas, kelihatan kulit daging sudah dedel dowe beberapa bagian kepalanya sudah botak karena ikut mengelotoknya kulit berambut itu. Hidungnya juga sudah coplok sehingga sekarang dia lebih mirip tengkorak hidup, pendek kata mukanya sekarang teramat jelek.

Ia sangat berduka, pedih hatinya, perlahan ia pejamkan mata. Ia tahu biarpun nanti lukanya sembuh, namun mukanya yang jelek itu mungkin tiada bandingannya lagi didunia ini.

Untunglah sekarang A Ci sudah buta, anak dara itu dapat diajak kesuatu tempat yang tiada pernah didatangi orang, disitulah mereka berdua akan dapat hidup aman tentram dan muka yang jelek tentu takkan menjadi soal.

Segera ia lemparkan topeng besi berikut kulit daging dan rambut yang masih melengket itu kedalam sungai, sambil menahan sakit ia lari kembali kehutan sana.

Ketika hampir sampai ditempat tujuan, hati Goan-ci mulai berdebar-debar. Sesudah menyusur hutan itu, tertampaklah seorang wanita duduk ditepi sungai kecil itu. Dari jauh Goan-ci sudah lantas berseru, "A Ci! A Ci!”

Tapi wanita itu tidak menjawab, juga tidak menoleh, hanya diam saja.

Goan-ci menjadi kuatir, jangan-jangan kepergiannya yang terlalu lama itu membikin si anak dara itu kurang senang,, tapi sesidah dekat barulah ia tahu urusan agak ganjil, sebab wanita itu tidak memakai baju ungu yang merupakan tanda pengenal A Ci yang khas.

Mendadak wanita itu terkikik-kikk, lalu berpaling dan berkata, "Sudah pulangkah kau? Sudah lama aku menunggumu disini…………”

Goan-ci kaget, kiranya wanita ini adalah Bu ok put cok Yap Ji nio, sidurjana maha jahat.

Sebaliknya Yap Ji nio juga terperanjat demi melihat muka Goan-ci itu. Dia berjuluk Bu ok put cok, segala kejahatan pernah diperbuatnya, maka kejadian yang bagaimana kejamnya juga pernah dilihat, tapi demi melihat muka Goan-ci yang bonyok itu, mau tak mau ia pun merasa ngeri.

Dalam pada itu Goan-ci telah melangkah maju dan bertanya, "Dimanakah A Ci?”

"Kau cari dia?” Tanya Ji nio sesudah menenangkan diri.

Goan-ci tahu Yap Ji nio adalah kenalan Tiang Jan jiu dan sama jahatnya, kalau bukan karena A Ci, sejak tadi tentu dia sudah lari terbirit-birit, tapi sekarang ia malah mendesak maju dan berseru:

"A Ci…..dimana A Ci?”

Muka Goan-ci masih babak bonyok, sinar matanya mengunjuk rasa tak sabar, Ji nio menjadi jeri, dengan tersenyum yang dibuat-buat ia tanya, "Apakah A Ci yang kau maksudkan itu si nona baju ungu yang beraut muka bundar telur itu?”

"Ya benar, dimana dia?” teriak Goan-ci dengan tidak sabar.

"Dia sedang cuci kaki ditepi sungai, buat apa kamu gembar-gembor!” sahut Ji nio sambil tunding semak rumput ditepi sungai.

Goan-ci percaya saja, segera ia lari kesana tapi dengan cepat sekali Yap Ji nio menggeser kebelakangnya dan terus menghantam.

Sama sekali Goan-ci tidak menduga akan serangan itu sehingga tepat kena digenjot, ia terhuyung-huyung kedepan dan jatuh tersungkur. Dan begitu jatuh diatas tanah, segera ia lihat A Ci juga meringkuk ditengah

semak-semak rumput situ, entah sudah mati atau masih hidup.

Dilain pihak Yap Ji nio juga lantas memburu tiba, dengan kaki ia injak punggung Goan-cid an membentak, "Siapa kau?”

"A Ci! A Ci! Kau telah mengapakan A Ci?” teriak Goan-ci dengan napas terengah karena menguatirkan keselamatan A Ci, tanpa pikir lagi ia terus meronta sekuatnya.

Seketika Ji nio merasa ditolak suatu arus tenaga yang maha kuat, tanpa kuasa tubuhnya roboh terjengkang.

Sekali melompat bangun, terus saja Goan-ci pegang pundak Yap Ji nio dan digentak-gentak, tanyanya, "Bagaimana keadaan A Ci, kenapa dia?”

Seketika Yap Ji nio merasa suatu tenaga maha kuat dan maha dingin menerjang kedalam badannya, saking dinginnya sehingga gigi gemerutuk dan mata mendelik, sudah tentu ia tidak sanggup bersuara.

Melihat keadaan perempuan durjana itu, Goan-ci jadi kaget malah. Ia tahu ilmu silat lawan sangat tinggi, kini air mukanya begitu aneh, jangan-jangan sedang mengerahkan sejenis ilmu maha lihai utk membikin celaka dirinya.

Goan-ci menjadi jeri, pegangannya jadi kendur, dengan lemas Ji nio jatuh terkulai ketanah, tampaknya lebih banyak menghembuskan napas dari pada menarik napas, bahkan berkutik pun tidak lagi.

Untuk sejenak Goan-ci terkesima, ia sangka nasibnya sendiri masih mujur, penyakit ayan iblis itu mendadak kumat. Kesempatan bagus ini tidak boleh disia-siakan, cepat ia lari kearah A Ci. Ia lihat A Ci hanya tertutuk hiat tonya, ia merasa lega. Kepandaian membuka hiat to yang tertutuk itu masih dipunyai Goan-ci, maka perlahan ia tepuk beberapa kali tubuh A Ci.

Sesudah menarik napas segar, lalu A Ci merangkak bangun, "aku sudah mendengar semuanya” katanya.

Goan-ci tercengang, tanyanya, "Kau dengar apa?”

Dengan wajah berseri-seri A Ci menjawab, "Aku telah mendengar, hanya sekali gebrak saja kamu merobohkan Bu-ok-put-cok Yap Ji nio sehingga tak bisa berkutik lagi. Sekarang napasnya sudah putus belum?”

"Bu-ok-put-cok Yap Ji nio?” Goan-ci menegas.

"Ya, dia sudah mati, bukan?” sahut A Ci dengan tertawa.

Sebagai putra jago silat yang luas pergaulannya, dengan sendirinyadi Cip hian ceng dahulu sering juga Goan-ci mendengar orang bercerita tentang "Thian he su ok” empat durjana didunia, siapa tahu wanita yang menggeletak di depannya sekarang ini adalah si durjana kedua dari Su ok itu, coba kalau tahu sejak tadi, tidak nanti ia berani main pegang-pegang segala. Seketika ia berkeringat dingin dan tidak dapat bersuara.

"He…kenapakah kau?” Tanya A Ci dengan heran.

"Ooo….dia….” sebenarnya Goan-ci hendak menerangkan bahwa penyakit ayan Yap Ji nio mendadak kumat. Tapi demi terpikir sekarang diri sendiri adalah Ong Sing thian, Ciangbunjin Kek lok pai, mana boleh jeri kepada Su ok apa segala? Mka terpaksa ia menyambung, "Dia sudah menggeletak? Orang macam dia mana sanggup tahan sekali hantamanku. Eh…A Ci, marilah kita pergi saja!”

Sambil mendongak didepan Goan-ci, tampak sekali A Ci sangat kagum kepada pemuda itu, katanya"Ilmu silat Bu ok put cok Yap Ji nio sangat tinggi, sampai Ting lokoai sendiri juga sering mengatakan demikian pada murid-muridnya, tapi sekarang hanya dalam sekejap saja ternyata sudah kaubereskan dengan sangat mudah, sesudah kukenal dirimu, untuk selanjutnya aku takkan kuatir dihina orang lagi.”

Saking terharusampai suaranya menjadi parau dan airmata hampir menetes.

"Ya, sudah tentu takkan ada orang berani menghinamu lagi, aku akan selalu berada bersamamu.” Cepat Goanci menghiburnya, lalu ditambahkan lagi dengan suara pelan, "Ya, aku akan selalu berada bersamamu.”

Maka tertawalah A Ci dengan senang, pikirnya sejenak, lalu berkata pula, "Engkau sangat baik kepadaku, sekarang ada satu permohonanku lagi.”

"Urusan apa? Silahkan bicara saja, tapi…..tapi kita harus pergi dulu dari sini,” kata Goan-ci.

Rupanya ia kuatir sebentar Yap Ji nio akan sembuh kembali dari penyakit ayan yang kumat itu dan tentu dirinya sukar melawannya. Sama sekali tak terpikir olehnya biarpun Yap Ji nio belum mati juga tidak nanti wanita durjana itu berani sembarangan menyerang lagi.

"Tapi kukira engkau takkan meluluskan permintaanku,” ujar A Ci.

Goan-ci membawanya meninggalkan tempat itu sambil menjawabnya, "Aku pasti akan meluluskan permintaanmu.”

"Belum lagi aku menerangkan apa yang kuminta, masakan engkau sudah lantas meluluskan?” A Ci menegas dengan tersenyum.

Goan-ci pikir biarpun apa yang diminta anak dara itu, asal dirinya mampu, biarpun masuk kelautan api atau terjun keair mendidih juga akan dilakoni. Maka jawabnya lantas, "Apa yang kau minta, cobalah ceritakan?”

A Ci merandek, perlahan ia mendongak, air mukanya penuh harap, katanya, "Ong kongcu, kumintakau suka merebut kedudukan Ciangbunjin Sing siok pai agar aku dapat menjadi ketua Sing siok pai itu.”

"Ap….apa katamu?” Goan-ci menegas dengan mata terbelalak. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa apa yang diminta anak dara itu adalah urusan demikian.

"Ya, aku pikir dibawah dukunganmu tentu akan dapat menjadi ciangbunjin Sing siok pai” sahut A Ci.

"He….A….A Ci, apakah engkau sengaja bergurau?” ujar Goan-ci dengan gemetar.

Bibir A Ci yang merah tipi situ mencibir, aleman omelnya, "Baru saja kau bilang akan meluluskan permintaanku, mengapa hanya urusan sekecil ini saja enggan kau terima?”

"Kau……kau bilang ini urusan kecil?” kata Goan-ci dengan menyengir.

"Habis ilmu silatmu begini tinggi, kau pun menyatakan bahwa orang lain takut kepada Ting Jun jiu, hanya engkau yang tidak takut. Jika demikian untuk mengalahkan Ting Jun jiu bagimu kan bukan soal sulit?”

Terpaksa Goan-ci menjawab, "Ya sudah tentu bukan……bukan soal sulit.”

A Ci makin senang, serunya, "Itulah bagus! Habis kau kalahkan Ting Jun jiu, dapat kaunagkat aku menjadi Ciangbunjin Sing siok pai, malhan Ting Jun jiu diharuskan mengaku sebagai muridku…ha…ha…bukankah sangat hebat!”

Seketika Goan-ci tidak sanggup bicara lagi, bahwasannya Ting Jun jiu adalah gurunya A Ci, minta bantuan orang luar untuk merebut kedudukan ketua dari tangan sang guru saja sudah merupakan kejadian luar biasa didunia persilatan, apalagi sang guru diharuskan pula mengaku guru pada sang murid, hal ini benar-benar tidak pernah terjadi dan tidak pernah terdengar.

Tapi Sing siok pai adalah golongan jahat yang paling aneh di dunia ini, bagi A Ci hal itu dianggapnya sebagai sesuatu yang menarik dan menyenangkan.

Goan-ci termangu-mangu agak lama, katanya kemudian, "A Ci, nama Sing siok pai sudah dibenci orang, lebih baik engkau jangan menjadi ciangbunjinnya.”

"Ehm…emoh!” ucap A Ci dengan aleman, "tadi engkau sudah menyanggupi, sekarang tidak boleh mungkir. Nama Sing siok pai sangat disegani, apalagi pusaka Pek giok ting juga Cuma aku yang tahu tempatnya, maka ciangbunjin seharusnya dijabat olehku.”

"Tidak, aku tidak mungkin Cuma untuk mengalahkan Ting Jun jiu, hal ini……”

Sesungguhnya perasaan Goan-ci sangat bingung. Dia mengaku ciangbunjin Kek lokpaid an mengaku berilmu silat maha tinggi, hal ini tidak lebih Cuma untuk menyenangkan hati A Ci saja, sama sekali tak terduga olehnya bahwa pikirananak dara itu memang aneh-aneh dan macam-macam, tahu-tahu timbul keinginannya menjadi ciangbunjin Sing siok pai.

Jangankan pada hakikatnya Goan-ci tidak berani bergebrak melawan Ting Jun jiu bahkan bertemu saja takut, lalu dengan kemampuan apa ia dapat merebut kedudukan ciangbunjin itu bagi A Ci?

Sementara itu A Ci tampak menunduk, lalu berkata , "Ong kongcu, aku merasa agak kurang sesuai untuk berada bersamamu…….”

Goan-ci terkejut, cepat serunya, "A Ci, kenapa kaubicara demikian?”

"Habis engkau adalah ciangbunjin suatu aliran besar, sebaliknya aku bukan apa-apa, mana aku sesuai menjadi

kawanmu?” kata A Ci.

"Aaai…aku juga bukan…….” Hampir saja Goan-ci menjelaskan bahwa dirinya sebenarnya juga bukan ketua Kek lok pai apa segala, untung ucapannya tidak jadi diteruskan.

"Engkau bukan apa?” A Ci menegas.

"Ooo….aku….aku bukan menolak permintaanmu itu,” demikian cepat Goan-cig anti haluan, "Cuma……Cuma Sing siok pai itu entah ada dimana, cara bagaimana kita dapat menemukan dia?”

"Inikan gampang,” ujar A Ci dengan tersenyum, "Asal aku menyalakan panah isyarat perguruan segera dapat kupancing dia kesini.”

"He…..jangan-jangan!” cepat Goan-ci mencegah.

NamunA Ci sudah lantas mengeluarkan sebatang panah kecil warna ungu,ia pecahkan ekor panah itu dengan kukunya, obat bakar sebangsa belirang bila terkena angin segera menyala dengan sendirinya, "sreng” panah it uterus meluncur keudara bagai roket dengan membawa jalur asap ungu.

Melihat itu saking kuatirnya Goan-ci sampai lemas dan hampir-hampir jatuh terkulai.

"Coba lihatlah, betapa tinginya panah itu?” ujar A Ci.

Terpaksa Goan-ci menengadah, ia lihat asap ungu itu sudah tinggi diudara. Mendadak terdengar suara "dorr”, panah roket itu meletus sehingga terjadi kembang api yang berwarna ungu, bunga api sedemikianbesar sehingga dalam jarak belasan li jauhnya juga akan kelihatan.

Karuan kaget Goan-ci bukan buatan, lekas ia tarik tangan A Cid an berseru, "Lekas lari!”

Karena ditarik tanpa kuasa A Ci terus ikut lari kedepan, serunya, "Heh, ada apa? Kita tunggu disini saja, asal melihat api ungu, segera Ting Jun jiu akan memburu kesini!”

Tapi Goan-ci tidak sempat bicara lagi, ia lari terus sambil menyeret anak dara itu, sekaligus berlari sejauh beberapa li barulah berhenti.

"Apakah kamu tidak beran bergebrak dengan Ting Jun jiu?” Tanya A Ci sambil mengibaskan tangan Goan-ci.

"Ah…Ting……Ting Jun jiu itu terhitung apa?” sahut Goan-ci dengan terengah-engah.

"Habis, mengapa lari?”

"Aku bukan lari, tapi kukuatir pada waktu kuhajar Ting Jun jiu nanti, tanpa sengaja engkau akan ikut dicelakai olehnya, maka kubawa dirimu menyingkir kesini.”

"Lalu, sekarang bagaimana?”

"Biarlah ku kembali kesana sendirian untuk menghajar Ting Jun jiu.”

"Tidak! Tadi kamu sudah menyatakan takkan meninggalkan aku lagi.”

Sebenarnya Goan-ci Cuma ingin pergi kesana lalu balik lagi dan menyatakan Ting Jun jiu sudah dibinasakan olehnya, dengan alasan demikian mungkin urusan akan dapat selesai untuk sementara.

Kedua mata A Ci buta, ia sangka arah yang dituju adalah tempat tadi, tak tahunya justru arah yang berlawanan. Sesudah beberapa li lagi, A Ci mengira sudah kembali ketempat semula, padahal jaraknya dengan tempat tadi sudah tambah jauh.

Lalu Goan-ci berhenti, katanya pura-pura , "Eh….mengapa tidak Nampak batang hidung Ting lokoai?”

"Kecuali dia tidak melihat isyarat panahku tadi, kalau melihat tentu dia akan memburu kesini,” ujar A Ci, "aku masih ada panah isyarat seperti itu, biarlah kulepaskan lagi sebatang.”

"Jangan!” cepat Goan-ci mencegah.

Tapi tindakan A Ci sangat cepat tahu-tahu panah roket yang kedua sudah diluncurkan keudara dengan membawa api ungu,

Karuan Goan-ci berkeringat dingin, hendak mengajak A Ci melarikan diri lagi kuatir anak dara itu gusar, kalau tidak lari, sebentar tentu akan celaka ditangan Ting Jun jiu.

Tengah Goan-ci merasa bingung, dari jauh sana sudah terdengar duara Ting lokoai yang terputus-putus tapi cukup jelas, "A Ci, jika kauingin kembali kedalam perguruan, aku masih dapat mengampunimu.”

"Ya, tecu memang ingin masuk kembali ke perguruanSing siok pai!” teriak A Ci, "suhu lekas engkau kemari!”

"Ini dia, sudah datang!” demikian jawab Ting Jun jiu, suaranya dari jau mendekat damn tahu-tahu orangnya sudah muncul.

Seketika kedua kaki Goan-ci terasa lumpuh, ia duduk diatas sepotong batu dan pasrah nasib, A Ci bersandar disampingnya, diam-diam ia pun kebat-kebit demi mendengar Sing siok lokoai benar-enar telah tiba Jun jiu yang sengaja dipancing datang untuk melawan "Ong Kongcu” ini, sekarang tentu lagi terkesima dan heran demi melihat dirinya berada bersama dengan seorang "kongcu yang gagah perkasa”.

Saat itu Ting Jun jiu memang sangat heran, ia berdiri tertegun dalam jarak beberapa meter jauhnya, dengan sinar mata yang berkilat-kilat ia pandang Goan-ci.

Karena topeng besinya sudah dibeset mentah-mentah dari kepalanya, sekarang luka bekas besetan itu juga sudah kering sehingga muka Goan-ci lebih mirip setan daripada manusia, tampaknya sangat menyeramkan, tapi pemuda itu sedang gemetar duduk diatas batu.

Biarpun Ting Jun jiu sudah berpengalaman, seketika juga tidak dapat meraba orang maca apakah Yu Goan-ci itu, sesudah mengamati sejenak, kemudian ia menegur, "Siapakah saudara ini?”

Diam-diam A Ci membatin, "Ting Jun jiu ternyata belum kenal dengan Ong Sing thian, dari suaranya kedengaran merasa jeri, hal ini menandakan Ong Sing thian pasti sangat gagah perkasa dan berwibawa.”

Berpikir demikian, ia merasa lega dan tinggal menantikan jawaban Goan-ci saja.

Tapi tunggu punya tunggu, tetap tiada suara sahutan Goan-ci.

Kiranya goan-ci sendiri lagi lemas demi melihat Ting Jun jiu benar-benar memburu datang, sampai tenaga untuk membuka suara saja sukar dikeluarkan.

Maka dengan suara mengikis tawa A Ci lantas mendahului berkata, "Ting Jun jiu, apakah kau belum pernah melihat kongcu ini?”

Mendengar A Ci tiba-tiba langsung memanggil namanya, keruan gusar Ting Jun jiu tidak kepalang tapi demi mendengar nada suara anak perempuan itu agak angkuh seperti tidak takut lagi padanya, maka ia coba bersabar dan menjawab :”Ya, belum pernah kami kenal. Siapakah dia?”

Tuan ini adalah Ong Sing thian, ciangbunjin Kek lok pai, masakah belum pernah kau dengar namanya? Ujar A Ci dengan tertawa.

Sing siok Lokoai melengak, banyak sekali aliran dan golonganorang Bulim, tapi selama ini belum pernah didengar ada nama "Kek lok pai” segala, Mendadak ia membentak, "Kek lok pai” apa? Ngaco belo belaka”

"Huh, kau sendiri mirip kura-kura dalam sumur, apa mau dikata lagi?” jengek A Ci, "Ong kongcu buat apa banyak bicara dengan dia, boleh kau turun tangan saja.”

Ting Jun jiu menjadi heran, katanya ,”Kau suruh dia turun tangan, turun kemana?”

"Begini kurasa sudah terlalu lama kaujabat ketua Sing siok pai, tentu kaupun sudah bosan maka kupikir kini seharusnya diganti oleh orang lain,” kata A Ci.

Ting Lokoai mendongkol dan geli pula, ia coba Tanya lagi, "Habis mesti diganti siapa?”

"Sudah tentu aku,” sahut A Ci sambil tunding hidungnya sendiri, "dan kamu boleh menyembah dan menyebut aku sebagai suhu.”

Rasa gusar Ting Jun jiu tak tertahankan lagi, sekali membentak mendadak ia menubruk maju, kelima jari

tangannya bagaikan kaitan terus mencakar kepala A Ci, sedangkan tangan lain juga siap didepan dada untuk menjaga kalau Goan-ci mendadak juga menyerangnya.

Sebenarnya Goan-ci tidak berani bersuara, kini demi Nampak Ting Jun jiu menyerang dengan ganas dalam gugupnya mendadak ia berteriak, "nanti dulu!”

Saking gugupnya sehingga suaranya menjadi gemetar dan lain dari pada biasanya.

Ting Jun jiu adalah tokoh jempolan, begitu Goan-ci membuka suara saja, segera dapat didengarnya pihak lawan itu memiliki lwekang yang maha tinggi, terang seorang tokoh yang tidak boleh dipandang enteng, maka cepat ia menggeser dan cengkeramannya tadi berganti arah kepada Goan-ci.

Dalam sekejap itu Goan-ci pikir bila tidak melawan tentu akan mati, daripada mati konyol lebih baik berusaha sebisanya, maka dengan pejamkan mata, kedua tangannya terus menolak kedepan dengan cepat.

Kedua tangannya itu menolak lurus kedepan, sedikitpun tidak bergaya, tapi membawa sambaran angin dingin yang maha kuat. Keruan Sing siok Lokoai terperanjat, cepat ia tarik kembali serangannya dan melangkah kesamping dua tindak sambil membentak, "Siapakah kau?”

Waktu Goan-cimembuka mata kembali, ia lihat Sing siok Lokoai sudah menggeser pergi, ternyata dirinya nyaris mati konyol, ia pikir tak mungkin akan terjadi lagi seperti ini, hampir-hampir ia berlutut dan minta ampun.

Namun tiba-tiba terdengar A Ci berseru, "Ong kongcu, sekali gebrak saja dia sudah terdesak mundur, mengapa engkau tidak menyerang lagi?”

"Dia…..dia terdesak mundur?” Goan-ci mengulangi ucapan itu dengan bingung.

Sesudah mengadu tenaga dengan Goan-ci, segera Lokoai dapat mengukur tenaga dalam lawan ternyata sangat aneh, tapi rasanya seperti sudah dikenalnya juga. Mendadak teringat olehnya, maka dengan tertawa ia berkata, "He…he..kiranya kamu ini angkatan tua Thi thau siancu itu?”

Dan belum lagi Goan-ci menjawab, tiba-tiba A Ci bertanya, "Ong kongcu, Thi thau siancu apa maksudnya?”

Goan-ci menjadi gelagapan, sahutnya dengan tergagap, "Ooo…aku….aku mempunyai seorang murid, kepalanya sangat lihai, tentu Ting Jun jiu sudah…..sudah pernah telan pil pahit dari dia, makanya teringat padanya.”

A Ci menjadi girang, katanya, "Ting Jun jiu, kiranya dengan muridnya saja kamu sudah keok, apalagi sekarang berani melawan Ong kongcu? Ha…ha…kedudukanku sebagai ciangbunjin Sing siok pai sudah terang tak bisa ditawar-tawar lagi.”

Keruan gusar Ting Jun jiu bukan buatan, sehingga rambut dan jenggotnya seakan-akan tegak melandak.

Melihat sikap Ting Jun jiu yang menakutkan itu, hampir-hampir Goan-ci angkat langkah seribu alias melarikan diri, Cuma ia tak tega meninggalkan A Ci, terpaksa ia kuatkan semangatnya untuk menantikan tindakan Ting Lokoai selanjutnya.

Sementara itu Ting Jun jiu sudah menggerakkan unsur racun ketelapak tangannya dan setiap saat siap untuk dihantamkan, tapi karena ia pun merasa jeri maka sebegitu jauh masih belum bertindak, ia yakin Goan-ci pasti gurunya Thi thau siaucu alias si bocah berkepala besi, dahulu ia pernah mengadu tenaga satu kali dengan Thi thau siaucu itu dan hampir-hampir celaka, sudah tentu sekarang ia lebih-lebih jeri terhadap Goan-ci yang disangkanya guru Thi thau siaucu.

Coba kalau A Ci tidak berada disitu, mungkin sejak tadi ia sudah mencari alasan untuk mengeluyur pergi, tapi sekarang A Ci telah membuka suara hendak merebut kedudukan ciangbunjin, bahkan suruh dia berbalik mengangkat guru pada anak dara itu, sedangkan Ting Jun jiu sendiri memang juga pernah mendurhakai gurunya sendiri.

A Ci adalah murid didikannya, dengan sendirinya ia tahu anak dara itu berani bicara berani berbuat. Karena itulah, dalam keadaan demikian tidak mungkin ia melarikan diri.

Begitulah kedua belah pihak saling menunggu sekian lamanya, dalam takutnya kaki Goan-ci terasa lemas, beberapa kali hampir saja ia berlutut dan minta ampun, untung dia masih dapat bertahan mengingat A Ci yang berada diampingnya. Namun demikian, tidak urung ia menjadi gemetar juga.

Sebaliknya Sing siok lokoai menjadi kaget malah, dia tidak kenal seluk beluk pihak musuh, maka ragu-ragu untuk menyerang. Sekarang mendadak Goan-ci gemetar lagi, ia menjadi kuatir jangan-jangan pihak lawan sedang menghimpun kekuatan, maka cepat ia mundur selangkah.

Sekejap itu saja entah sudah berapa kali ia berpikir, teringat olehnya kejadian pada waktu pertama kalinya ia mengadu tangan dengan Goan-ci. Dahulu sudah terang Goan-ci lebih unggul, tapi bocah kepala besi itu

berteriak-teriak minta ampun malah. Tatkala itu dirinya pernah curiga jangan-jangan bocah itu sengaja mempermainkannya.

Sekarang guru bocah kepala besi itu mendadak muncul pula disini, bukan mustahil memang orang inilah yang dahulu sengaja menyuruh bocah kepala besi itu untuk menjajaki kepandaiannya dan pada saat genting A Ci digondol lari, boleh jadi tujuan mereka adalah ingin mendapatkan Pek giok giok ting itu.

Demikianlah karena sejak mula pikiran Sing siok lokoai memang sudah jeri dan menjurus kearah yang salah maka semakin dipikir semakin ia bertambah ragu.

Melihat Ting lokoai hanya memandang dirinya dan tidak lantas turun tangan, diam-diam Goan-ci merasa lega, tapi tetap gemetaran.

A Ci tidak dapat melihat, tapi dapat mendengar, sesudah sekian lama tidak terdengar pertarungan kedua orang itu, sebaliknya terdengar suara gemetar orang, keruan ia terheran-heran dan segerta Tanya, "Ong kongcu, siapakah yang gemetar?”

"Ti…..tidak ada…..” sahut Goan-ci depat denga terputus-putus.

Keruan A Ci tambah kaget, serunya ,”Hei Ong kongcu, apakah kau yang gemetaran?”

"Mana…..mana bisa, aku justru lagi…..lagi menghimpun tenaga …..” sahut Goan-ci.

"Habis, mengapa engkau tidak lantas turun tangan saja?” desak A Ci.

"Ya, segera aku turun tangan, " sahut Goan-ci sambil telan air liur. sekuatnya ia coba angkat tangan dengan perlahan.

Melihat lawan mulai angkat tangan dan siap menyerang, Ting Jun jiu menjadi tegang, segera tangan kirinya siap didepan dada dan tangan kanannya membalik keatas dengan gaya siap melawan musuh.

Dengan susah payah barulah Goan-ci sanggup angkat tangannya keatas, namun tiada keberanian untuk dipukulkan sehingga telapak tangannya hanya siap menyerang tapi tetap gemetar.

Sungguh kejut Ting Jun jiu tak terkatakan, ia sudah banyak berpengalaman, tapi belum pernah melihat ilmu pukulan aneh yang gemetar seperti ini. Sekilas pikir ia kuatir bila pukulan lawan terlanjur dilontarkan, untuk bicara secara baik-baik jangan sampai bergebrak, kunci daripada semua itu justru terletak pada A Ci.

Maka ia lantas mundur lagi selangkah sambil berseru, "A Ci!”

"Ada apa Ting Jun jiu? Apakah kamu sudah mau menyembah guru kepadaku?” sahut A Ci.

"A Ci,” kata Ting Jun jiu dengan menahan gusar, "tentu kau tahu aku tiada tandingannya didunia ini, kau berani main gila seperti ini tentu akan kau terima ganjarannya. Tapi kalau kau mau insaf akan dosamu, biarlah aku takkan mengusut kesalahanmu ini.”

Namun A Ci cukup cerdik, ia sudah dapat mendengar suara Ting Jun jiu yang keder itu, iblis itu sekarang hanya mirip "macan kertas” saja, galak diluar, tapi didalam hati sebenarnya ketakutan setengah mati.

Maka A Ci tertawa seanng, sahutnya, "Ha…ha….jika memang benar kamu tiada tandingannya didunia ini, maka lekas kau binasakan Ong kongcu dan tangkap aku agar dapat menunjukkan tempat penyimpanan Pek giok giok ting di Lamkhia itu, mengapa kau masih ragu dan sangsi?”

Sungguh dongkol Ting Jun jiu tidak kepalang tapi tak berdaya, ia hanya melotot sekali kepada Goan-ci.

Sebaliknya Goan-ci juga dapat mendengar suara Ting Jun jiu yang jeri itu, ia pikir apa barangkali karena mukaku terlalu menyeramkan sehingga ting Lokoai ketakutan?

Mka dengan tabahkan hati ia berkata denganharapan dapat menggertak iblis itu, "Ya, A Ci ingin menjadi ketua Sing siok pai,kau mau menyerahkan jabatanmu kepadanya atau tidak!”

Sudah tentu Ting Jun jiu tidak mau menyerah mentah-mentah hanya karena digertak begitu saja, ia pikir paling tidak juga mesti menjajal dulu kepandaian sejati pihak lawan. Bila memang tidak sanggup melawan rasanya masih belum terlambat untuk melarikan diri.

Maka ia hanya tertawa dingin saja tanpa menjawab, sedangkan tangan perlahan mulai menolak kedepan.

Melihat tangan iblis tua itu sudah mulai bergerak, seketika hati Goan-ci kebat kebit dan keluar keringat dingin, kedua kaki terasa lemas dan tanpa kuasa terus duduk mendeprok ditanah.

Melihat lawan mendadak duduk, maka gerak tangan Ting Jun jiu bertambah cepat.

Melihat demikian, Goan-ci menjadi ketakutan, ia menjerit sekali sambil berjumpalitan kesana, maka terdengarlah suara "blang!” sekali, pukulan Ting Jun jiu mengenai tanah sehingga berwujud sebuah liang kecil.

Mestinya Goan-ci hendak merangkak bangun untuk melarikan diri, tapi demi Nampak betapa hebat pukulan Ting Jun jiu itu kakinya semakin terasa lemas sehingga berdiripun tidak sanggup.

Dalam pada itu A Ci juga mendengar gelagat tidak enak, cepat ia Tanya, "Ong kongcu, bagaimana kesudahannya?”

"A Ci,” sahut Goan-ci dengan suara yang dibuat-buat, "jabatan ketua Sing siok pai kukira….”

Belum lagi Goan-ci selesai bicara mendadak Ting Jun jiu mendesak maju dan pukulan kedua dilontarkan lagi. Terpaksa Goan-ci menghindar dengan berjumpalitan dan berguling-guling ditanah.

Namun tenaga pukulan Ting Jun jiu itu belum dikerahkan seluruhnya, mendadak ia membentak,” Kenapa kamu tidak balas menyerang?”

"Ya, mengapa engkau tidak balas hantam dia, Ong kongcu?” cepat A Ci juga berseru.

Tapi Goan-ci sudah lemas sehingga bersuarapun tidak sanggup. Ia lihat pukulan Ting Jun jiu itu mulai mendekat pula, saking ketakutan nyalinya serasa pecah, tanpa pikir lagi ia meringkuk, ia sembunyikan mukanya dibawah ketiak.

Sekilas itulah sekonyong-konyong pikirannya tergerak, tiba-tiba teringat olehnya sesuatu gambar dengan gaya yang aneh yang pernah dibacanya dalam kitab berbahasa sangsekerta itu. Dengan sendirinya sebelah tangannya yang lain terus diputar kebelakang, lalu dijulurkan kedepan pula melalui selangkangan.

Pengalaman Ting Jun jiu terlalu banyak dan pengetahuannya sangat luas, meski dia tidak kenal Ih kin keng

segala tapi demi melihat gaya aneh yang dipasang Goan-ci itu, segera ia tahu bahwa lawan sedang mengerahkan lwekang yang maha dahsyat, maka pukulannya lantas dihentikan setengah jalan.

Sesudah meringkuk dengan gaya yang aneh itu, segera Goan-ci merasa hawa murni dalam tubuhnya bergejolak dengan cepat dan hebat seakan-akan membanjir ketelapak tangan yang menjulur kedepan melalui selangkangan itu bahkan terus merembes keluar dan menyambar kedepan.

Keruan mendadak Ting Jun jiu merasa diterjang oleh suatu arus tenaga yang maha kuat, terpaksa ia pun mengerahkan tenaga yang ditahan tadi.

Tapi celaka, sedikit dia keluarkan tenaga, tenaga lawan yang membanjir itu pun segera bertambah kuat, ketika tangannya tertolak kedepan seluruhnya, maka tenaga lawan yang membanjir itupun terasa luar biasa kerasnya dan dukar ditolak kembali.

Ting Jun jiu menjadi gugup dan guar, ia mendakkan tubuh sedikit dan pasang kuda-kuda lebih kuat, mendadak ia membentak sekali, ia pun segenap tenaganya pada tangan kanan tertolak kedepan sekuatnya.

Dengan pukulan sepenuh tenaga ini, ia pikir paling tidak akan dapat mengadu tangan dengan pihak lawan, pada kesempatan mana segera ia dapat salurkan unsure racun.

Tak tersangka justru pada saat pertaruhannya yang terakhir itu, tiba-tiba ia merasa tangannya ditolak kembali oleh suatu arus tenaga yang tak terbendungkan. Tanpa ampun lagi Ting Jun jiu menjerit, tubuh terpental keudara dan berjumpalitan sehingga beberapa kali baru kemudian jatuh kebawah sejauh beberapa meter.

Sesudah berdiri dan tenangkan semangat, ia coba memandang kearah Goan-ci, sungguh ia tidak percaya dapat bertemu dengan seorang lawan yang sedemikian lihai.

A Ci menjadi girang ketika mendengar jeritan aneh Ting Lokoai, lalu ada suara orang terpental jatuh pula, segera ia berseru, "Ong kongcu, Ting Jun jiu sudah mampus belum?”

Keruan Ting Lokoai sangat gusar, teriaknya, "Hendak mampuskan aku? Huh…tidak segampang ini!”

"Ong kongcu, lekas kau bereskan dia, jangan sampai dia lolos!” seru A Ci pula.

Tenaga dalam yang dikeluarkan Goan-ci dengan gaya aneh yang dipelajarinya menurut gambar dalam kitab Ih kin keng itu memang tak terbendungkan. Namun kalau Ting Jun jiu tidak menyerang dengan sepenuh tenaga tentu tidak sampai terpental, tapi lantaran dia bermaksud menjajal Goan-cid an kalau dapat akan mengadu tangan dengan lawan.

Siapa duga tenaganya itu jauh kalah kuat daripada tenaga aneh yang dilontarkan Goan-ci itu sehingga sebelum dia sempat menggunakan Hoa kang tai hoat, dia sendiri sudah mencelat keudara.

Untung dia masih dapat menutup hiat to pada tubuhnya dan jatuh kebawah dengan baik, kalau tidak tentu Sing siok lokoai sudah tamat riwayatnya.

Dilain pihak Goan-ci juga sangat bersyukur Sing siok lokoai mendadak terpental pergi didengarnya pula A Ci sedang mendesak agar dia turun tangan lebih jauh, maka cepat ia jawab, "Ah, musuh yang sudah ngacir buat apa dikejar? Biarkan dia pergi saja. Dan tentang ketua Sing siok pai sudah tentu…..sudah tentu menjadi bagianmu untuk menjabatnya.”

Segera A Ci berseru, "Nah, Ting Jun jiu kau dengar tidak? Mulai hari ini aku adalah cingbunjin Sing siok pai.”

"Huh, kamu manusia apa? Berani mengaku sebagai ciangbunjin Sing siok pai?” sahut Ting lokoai dengan gusar.

"Hahaha!” A Ci terbahak-bahak. "Kamu sudah dikalahkan Ong kongcu, masakan kamu masih berani mengangkangi kedudukan ciangbunjin? Haha…apa kau tidak kuatir ditertawai orang seluruh jagat?”

"Kamu sengaja menggunakan tenaga orang luar, kamu dapat dianggap sebagai murid murtad golongan kita, masakah kau berani mengaku pula sebagai ciangbunjin apa segala?” sahut Ting Jun jiu.

Tapi dengan tertawa A Ci berkata, "Bagaimana hubunganku dengan Ong kongcu tentu dapat kau saksikan sendiri, dia bukanlah orang luar sebagaimana kau sangka. Segera juga kami akan kembali ke Sing siok pai, barangsiapa diantara murid Sing siok pai berani mengakuimu sebagai ketua segera akan kuhukum mati, sebaliknya yang menyembah kepadaku sebagai ciangbunjin baru tentu akan kuberi hadiah dan naik pangkat. Huh….percuma saja kamu mengaku sebagai bekas ciangbunjin, coba jawab, pusaka Sing siok pai kita, yaitu Pek giok giok ting sekarang berada ditangan siapa?”

Dasar mulut A Ci memang tajam, biasanya Ting Jun jiu paling suka mendengar sanjung puji, tapi sekarang ia kalah didebat sehingga tidak dapat menjawab.

Melihat lawannya bungkam, A Ci makin dapat angin, segera ia berseru pula, "Nah, Ting Jun jiu, lekas menyembah kepada ciangbunjin baru! Kalau tidak menurut, hari ini tentu akan kuadili dosamu ini.”

Ting jun jiu terperanjat, cepat ia melompat mundur dulu dua tindak, lalu mendamprat dengan suara bengis, "A Ci, jika kau jatuh ketanganku lagi, tentu akan kubeset kulitmu dan membetot ototmu…..”

Belum habis ucapannya, mendadak A Ci mengikik tawa, sahutnya, "Hihi…boleh kau keluarkan ancaman lebih banyak, apabila kamu yang jatuh ditanganku, pasti akan kuperlakukan kamu menurut resepmu itu….”

Terpaksa Ting Jun jiu tutup mulut. Habis dia tidak unggul melawan "Ong Sing thian”, dengan sendirinya kemungkinan dia akan ditawan A Ci akan lebih besar, maka bukan mustahil ancaman yang dia keluarkan itu akan menjadi "Senjata makan tuan”.

Tentu saja A Ci tambah senang, ia terbahak-bahak puas, katanya pula, "Nah, Ting Jun jiu, betapapun aku masih menaruh belas kasihan padamu, bolehlah lekas enyah. Tapi ingat, selanjutnya kamu dilarang menyebut nama Sing siok pai dan menginjak Sing siok pai dalam jarak seratus li disekitarnya.”

Saking dongkolnya sampai muka Ting lokoai pucat pasi, tapi ia masih tidak mau kalah suara, segera ia pun berkata, "Sing siok losian adalah ketua Sing siok pai, siapa yang berani tidak mengakui aku?”

"Huh, kamu sudah kalah, masih berani mengaku sebagai ketua? Ini, sekarang akulah yang menjadi ketua!” seru A Ci.

"Kentut, akulah ciangbunjin resmi Sing siok pai, sedangkan kamu Cuma ciangbunjin palsu, siapa yang mau mengakuimu?” ujar Ting lokoai.

"Sudahlah, pendek kata bila kamu sampai kepergok olehku disekitar Sing siok pai, maka awas jika jiwa anjingmu, pasti tidak ku ampuni,” ancam A Ci, "Nah, lekas enyah, masih menggonggong terus disini buat apa?”

Adu mulut kalah, adu tenaga juga keok, keruan Ting Jun jiu hanya mendelik belaka. Dibawah ejek sindir A Ci itu, akhirnya ia putar tubuh dan mengeluyur pergi dengan cepat.

Sungguh senang A Ci tak terlukiskan, hanya dengan mendamprat ting Jun jiu habis-habisan dan secara paksa

dapat dapat merebut kedudukan ciangbunjin Sing siok pai hal ini boleh dikatakan merupakan hasil karya terbesar selama hidupnya.

Setelah puas tertawa, kemudian ia berseru, "Ong kongcu! Ong kongcu!”

Sementara itu Goan-ci sudah bangun, ketika mendengar A Ci berkata kepada Ting Jun jiu tentang "bagaimana hubunganku dengan Ong kongcu” dan "dia bukanlah orang luar” lagi, tanpa kuasa hatinya berdebar-debar dan semangat seolah-olah melayang-layang diangkasa, maka ia hanya memandangi A Ci dengan termangu-mangu sehingga tidak mendengar panggilannya itu.

Yang terpikir olehnya saat itu adalah derita sengsara yang pernah dirasakan selama hidupnya adalah berkat A Ci, tapi bahagia yang dirasakannya juga adalah atas hadiah anak dara itu. Sungguh kejadian aneh didunia ini sukar dibayangkan oleh siapa pun juga.

Begitulah sesudah A Ci mengulangi panggilannya beberapa kali lagi barulah Goan-ci tersadar dari lamunannya, cepat ia menjawab, "Ya, A Ci ada urusan apa?”

"Mengapa engkau diam saja?” omel A Ci sambil menjengkitkan bibir, "kamu tidak gubris lagi padaku?”

"Ah, masakan aku tidak gubris lagi padamu kecuali aku sudah mati,” sahut Goan-ci.

"Wah, ilmu silatmu sungguh maha tinggi dan Ting Jun jiu benar-benar sudah kau kalahkan,” ujar A Ci dengan tertawa, "urusan yang masih kita kerjakan masih sangat banyak, buat apa kita tinggal lagi disini?”

Sebenarnya tadi sebab apa Ting Jun jiu bisa terpental keudara dan jatuh terus ngacir, hal ini sampai sekarang belum lagi dimengerti Goan-ci. Sekarang mendengar A Ci bilang masih banyak urusan yang harus dikerjakan, ia menjadi gugup dan kuatir, cepat ia Tanya, "kem….kembali ada urusan apa lagi?”

"Sekarang kita pergi mencari orang Kai pang untuk merebut Pak kau pang, masakah kamu sudah melupakan perkataanku tadi?” sahut A Ci.

"Sesudah mendapatkan Pak kau pang, lalu aku akan menemui cihu. Kukira cihu yang kini telah menjabat Lam ih Taiong, pasti tidak sudi menjadi Pangcu kaum jembel itu, bisa jadidia dengan suka hati atau kalau perlu akan kugunakan sedikit akal, tentu dia akan menyerahkan Pak kau pang kepadaku, dengan demikian aku akan dapat merangkap menjadi pangcu Kai pang!”

Berkata sampai disini, ia tertawa dengan sangat gembira.

Goan-ci sendiri tertegun sejenak, katanya kemudian, "Baiklah, mari kita berangkat!”

Namun dalam hati ia ambil keputusan akan membawa anak dara itu ketempat sepi, tempat yang jauh dari masyarakat, toh A Ci sudah buta dan tentu takkan tahu.

Sebaliknya A Ci mengira Goan-ci sudah menerima permintaannya itu. Dan belum lagi urusan ini selesai, diamdiam ia mulai peras otak pula untuk memikirkan urusan aneh yang akan dilakukan selanjutnya.

Sebagai gadis yang cerdik, diam-diam A Ci merasakan Goan-ci suka menurut kepada segala keinginannya, apa yang diminta tentu takkan ditolak.

Dalam girangnya ia merasa pergaulannya dengan Goan-ci ini jauh lebih menyenangkan daripada waktu berada bersama Siau Hong. Apalagi Siau Hong adalah cihunya, sedangkan Goan-ci dalam anggapannya adalah seorang kongcu muda yang gagah perkasa, dalam lubuk hatinya telah bersemi asmara yang penuh manisnya madu sehingga derita karena matanya buta itu terlupakan sama sekali.

Begitulah Goan-ci membawa A Ci menuju kedepan, tidak lama kemudian mereka sampai disuatu kota. Ketika mereka lalu dijalan besar, terdengarlah suara percakapan orang ditepi jalan dengan rasa menyesal, "lihatlah orang itu! Ya, mukanya benar-benar luar biasa! Aaai….sunguh hebat, selama hidup tidak pernah kulihat orang semacam ini!”

Mendengar bisikan orang-orang itu, A Ci menjadi lebih senang. Ia sangka setiap orang sama mengagumi betapa gagah perkasanya pemuda yang mendampinginya itu.

Sebaliknya Goan-ci cukup paham apa artinya kata-kata orang ditepi jalan itu, maka ia hanya berjalan terus dengan cepat sambil menunduk.

Tiba-tiba A Ci teringat sesuatu dan berkata, "Kita masih harus mencari para tetua Kai pang diberbagai tempat, maka kita tidak boleh tanpa binatang tunggangan. Kota ini agaknya cukup besar, boleh kita beli dua ekor kudanya yang paling bagus.”

Sesudah dalam perjalanan lagi, dengan tertawa A Ci berkata, "Ong kongcu, dimana engkau berada, sampai

bicara pun orang merasa sungkan, hal ini menandakan engkau pasi sangat berwibawa dan dihormati atau ditakuti.”

"Aku pun tidak sengaja hendak menakuti mereka,” Sahut Goanci.

"A Ci, berada bersamaku, apakah engkau merasa takut?”

"Entah, kalau aku dapat melihat, bisa jadi aku pun akan merasa takut,” sahut A Ci.

"Ah….tidak….tentu tidak!” cepat Goan-ci berkata pula.

Dan sesudah mereka keluar dari kota itu, segera Goan-ci melarikan kuda mereka kearah barat. Ia sengaja memilih tempat atau jalan yang sepi, tempat yang dituju makin lama makin sunyi.

Sepanjang jalan mereka banyak bicara dan banyak gembira sehingga tidak merasa kesepian.

Selama beberapa hari itu boleh dikatakan adalah saat-saat paling bahagia bagi hidup Goan-ci selama ini.

Beberapa hari kemudian entah sudah sampai dimana, sepanjang mata memandang hanya lereng gunung belaka, sama sekali tidak kelihatan ada penduduk disekitar situ.

A Ci mulai rebut, ia Tanya, "Kita berada ditempat mana ini? Mengapa tiada terdengar suara orang?”

"Didepan sana adalah sebuah kota, Cuma hari sudah dekat magrib, jika kita dapat mencapai kota itu tentu juga sudah malam dan tiada sesuatu yang menarik dikota yang sudah sunyi itu,” sahut Goan-ci.

"Mengapa berturut-turut kita selalu lewat dibeberapa kota pada waktu malam?” tiba-tiba A Ci berkerut kening, "sebenarnya ada apa kau dustai aku?”

Air muka Goan-ci berubah, cepat ia menjawab, "Aku dustaimu? Buat apa aku berdusta? Ini kan Cuma kebetulan saja.”

"Sudah beberapa hari kita tidak mendengar suara seorang pun, jangankan pula hendakmencari orang Kai pang. Coba cara bagaimana aku harus pulang ke Lamkhia dan menemui Cihu?”

"Engkau masih akan pulang ke Lamkhia?” Tanya Goan-ci.

"Sudah tentu” sahut A Ci dengan bersitegang, "Aku adalah puteri Toan hok kuncu kerajaan Tayli, Cihuku adalah Lam ih Taiong. Nanti kalau kamu bertemu dengan cihu, apa kau mau menjadi Taiong juga?”

Teringat siksa derita yang dialaminya di istana Lam ih Taiong dahulu itu, Goan-ci merasa ngeri dan tanpa terasa suaranya menjadi agak gemetaran, "Tidak, aku tidak ingin menjadi Tai ong segala, A Ci, bukankah kau bilang hendak selalu berdampingan denganku? Untuk itu biarlah kitamencari suatu tempat yang jarang didatangi manusia, kita dapat hidup bahagia bagai dewa kahyangan.”

"Tidak enak, tidak enak,” sahut A Ci sambil goyang-goyang tangan. "Kalau kita Cuma hidup berduaan saja, siapa lagi yang tahu bahwa aku telah berkenalan dengan seorang kawan yang memiliki kepandaian maha tinggi? Dan cara bagaimana aku dapat terkenal pula didunia ini?”

Goan-ci tersenyum getir, katanya, "A Ci…..”

"Sudahlah jangan bicara lagi,” sela A Ci.

"Permainan yang begitu banyak dan menyenangkan diistana Lam ih Taiong saja membosankanku, masakah aku bisa kerasan tinggal dipegunungan yang sepi? Kau bilang didepan sana ada sebuah kota, nah lekas cari tahu kita berada ditempat mana dan nanti akan kuberitahukan selanjutnya kita harus kemana.”

Diam-diam Goan-ci menghela napas. Sebenarnya ia ingin membawa A Ci meninggalkan Tionggoan dan menuju kesuatu tempat yang jarang didatangi manusia, disitulah mereka berdua dapat hidup berdampingan selamanya, tanpa peduli pertengkaran dan saling bunuh didunia persilatan lagi.

Tapi harapannya ternyata sukar terkabul, sebab A Ci terang masih suka kepada keramaian dan kedudukan, rasanya kelak masih banyak kesulitan yang harus dihadapinya.

Terpaksa Goan-ci hanya mengiakan secara samar-samar saja lalu melarikan kuda menuju depan.

Makin lama A Ci makin tak sabar lagi, serunya, "Mengapa belum sampai? Kita seperti berjalan dilereng gunung, bukan?”

"Sesudah melintasi pegunungan ini, didepan sana adalah kota,” sahut Goan-ci.

"Aaai…kamu ini, untuk apa sih kau bawa aku ketempat sunyi seperti ini?” omel A Ci.

Tengah bicara, tiba-tiba terdengar kumandang suara seruling. Suara seruling itu terputus-putus tiba-tiba tajam melengking, kadang-kadang merendah, kedengarannya sangat aneh.

Sebenarnya Goan-ci ingin menghindarkan arah datangnya suara seruling itu, tapi saat itu mereka kebetulan berada ditengah-tengah suatu selat gunung, jalan disitu hanya satu-satunya, kalau putar balik tentu akan membuat A Ci curiga, maka terpaksa Goan-ci membawanya maju terus.

Sebaliknya A Ci menjadi sangat senang, dia mendengar suara seruling itu, katanya, "Wah, sesudah dekat kota keadaan memang sangat berbeda, siapakah gerangan peniup seruling itu? Apakah ada kawanan ular yang merayap kesini?”

A Ci sudah biasa main binatang berbisa, ia dengar diantara suara seruling itu tercampur suara mendesis-desis, maka segera ia tahu ada kawanan ular yang merayap kearah mereka.

Waktu Goan-ci memandang kedepan, benar juga dilihatnya ada dua ekor ular raksasa dengan warna belangbonteng sedang merayap datang dengan amat cepat, anehnya diatas pungung ular-ular itu berdiri satu orang.

Besar kedua ular itu kira-kira sebulatan paha, panjangnya belasan meter, kedua ular itu merayap berjajar seperti berbaris, penunggang ular itu berdiri dengan kaki menginjak diatas badan tiap-tiap ular, jadi seperti main ski saja meluncur dengan cepat, walaupun badan ular pada umumnya sangat licin, tapi orang itu dapat berdiri dengan mantap, bahkan sambil meniup seruling lagi.

Keruan Goan-ci terheran-heran, katanya, "Wah A Ci, ada pemandangan aneh ini!”

"Pemandangan aneh apa? Lekas ceritakan padaku,” pinta A Ci.

"Ada seorang yaitu seorang padri asing yang kurus kering, kedua kakinya menginjak diatas dua ekor ular dan sedang meluncur kemari,” tutur Goan-ci.

Segala permainan dan segala dolanan yang aneh-aneh tentu pernah dicoba oleh A Ci. Tapi permainan menunggang ular seperti apa yang diceritakan Goan-ci ini belum pernah dicobanya. Maka cepat ia berkata, "Wah, sangat menarik! Lekas kau rampas kedua ekor ular itu, marilah kita juga menunggang ular saja, bukankah jauh lebih menyenangkan daripada menunggang kuda?”

Goan-ci tidak menduga anak dara itu dapat mengeluarkan pikiran yang aneh-aneh, ia jadi ragu dan menyesal telanjur diceritakan padanya.

Selagi ia tidak tahu cara bagaimana harus berbuat, sementara itu kedua ekor ular raksasa itu sudah meluncur tiba, ketika padri asing penunggang ular itu meniup sulingnya dengan suara melengking sekali, kedua ular itu lantas berhenti, lalu padri asing itu memandang Goan-cid an A Ci dengan matanya yang besar melotot itu.

Goan-ci melihat padri itu berkulit hitam hangus kepalanya kurus bagai tengkorak, tapi matanya bersinar sehingga membuat siapa yang memandangnya merasa risi.

Tiba-tiba padri itu menunjuk kuda tunggangan Goan-ci berdua, lalu mulutnya mengeluarkan kata-kata yang aneh dan panjang lebar. Tapi Goan-ci lantas dapat memahami bahasa yang digunakan padri itu bukan lain adalah bahasa yang pernah dipelajarinya dari Polo Singh dahulu itu.

Tapi karena dulu dia dipaksa belajar, selain setiap hari kenyang dihajar, pada hakkatnya ia tidak paham bahasa apa-apaan itu. Maka sekarang ia pun tidak dapat menangkap apa maksud ucapan padri asing itu.

"Ong kongcu, apa yang dibicarakan orang ini?” Tanya A Ci.

"Aku pun tidak paham,” sahut Goan-ci

"Tampaknya dia menghendaki kedua ekor kuda kita.”

"Hah, mungkin dia sudah bosan menunggang ular, maka ingin bertukar dengan kuda kita. Ayolah boleh tukar saja dengan dia, Tanya dulu dia berani tambah berapa, namanya tukar tambah!” kata A Ci.

Goan-ci mengamat-amati pula sikap padri asing itu, lalu sahutnya, "tapi rasanya bukan begitu maksudnya, agaknya dia Cuma ingin ambil kedua ekor kuda kita untuk tangsal perut kedua ekor ularnya yang tampaknya sudah kelaparan itu.”

"Masa? Mengapa begini kurangajar hwesio asing ini?” seru A Ci dengan gusar.

Dalam pada itu padri itu masih mengoceh terus, suaranya makin lama makin tajam. Lwekang Goan-ci jauh lebih kuat, dia tidak merasakan apa-apa tapi A Ci lantas merasa perasaannya kacau dan tubuhnya bergoyanggoyang hampir jatuh dari kudanya.

Cepat Goan-ci mengangkatnya dan dipindahkan diatas kudanya, jadi dua orang menunggang seekor kuda.

Dan baru saja A Ci meninggalkan kudanya, mendadak ular dibawah injakan kaki kanan padri asing itu lantas menubruk maju, secepat kilat leher kuda itu dililit sehingga kuda itu terguling-guling ditanah sambil meringkik ngeri.

"Ada apa? Ada apa?” A Ci Tanya berulang-ulang.

Dalam pada itu kepala ular itu mendadak menyusup kedalam mulut kuda , lalu ringkikan kuda itu makin lama makin lemah dan akhirnya berhenti.

Goan-ci sampai terkesima menyaksikan itu, sesudah A Ci mengulangi pertanyaan baru ia dapat menjawab, "Ooo…seekor ular milik padri itu menggigit mati kudamu.”

A Ci tercengang, tapi segera katanya, "Jangan kuatir, kita suruh dia ganti dengan ularnya saja!”

Sementara itu ular tadi telah menarik kembali kepalanya dari mulut kuda sambil menjulur-julurkan lidahnya yang merah, lalu mengesot ditanah dengan kemalas-malasan bagaikan seorang yang habis makan terlalu kenyang dan ingin mengaso dulu.

Sedang ular yang lain juga mulai mendesis-desis, tampaknya sudah tidak sabar lagi. Padri asing itu pun menunding kuda yang ditunggangi Goan-ci bersama A Ci itu sambil membentak-bentak.

Goan-ci pikir padri ini sangat aneh, rasanya sukar dilawan, paling selamat kuda ini diserahkan saja padanya dan habis perkara.

Maka ia lantas berkata, "Harap Taysu jangan gusar, biarlah kami turun dulu dari kuda ini!”

Lalu ia lompat turun dan memayang A Ci pula kebawah dan kemudian mereka melangkah mundur beberapa tindak.

Dalam sekejap ular raksasa itu sudah menyambar maju, sekali gigit kepala kuda itu dicaploknya. Maka terdengarlah suara siat suit yang keras hanya sekejap saja otak kuda itu telah disedot habis lalu ular itupun mengesot ditanah dengan kemalas-malasan.

Adapun padri asing itu tenang-tenang saja berjalan mondar-mandir sambil menggendong tangan sedangkan Goan-ci merasa bingung, ia berdiri diam disitu tanpa berdaya.

Segera A Ci Tanya lagi, "Bagaimana dengan kedua ekor ular itu? Kenapa engkau tidak minta ganti padanya?”

"Bahasa kita dengan padri itu tidak sama, daripada susuh-susah, biarkanlah,” ujar Goan-ci.

"Bahasa tidak sama, apa salahnya?” kata A Ci, "kau gebah dia biar ngacir dan ular-ular itu kan menjadi milik kita?”

Tapi meski Goan-ci sudah peras otak juga tidak ingat cara bagaimana harus mengucapkan kata "ular” sebagaimana dahulu Polo singh pernah mengajarkannya.

Tapi ia yakin padri ini besar kemungkinan adalah bangsanya Polo singh, boleh jadi mereka adalah kenalan pula, kalau ia sebut nama Polo singh bukan mustahil akan dapat berunding secara baik-baik dengan padri itu. Maka segera ia berkata, "Polo singh!”

Benar juga padri itu tampak melengak dan memandang kearahnya.

Maka tertawalah A Ci dengan terkikik geli, serunya ,”Hihi…kiranya kaupun mahir bicara dalam bahasanya yang aneh itu.”

"Tidak, aku tidak dapat, Polo singh adalah nama orang,” sahut Goan-ci.

Tiba-tiba padri itu mendekati Goan-cid an menegas, "Polo singh?”

Goan-ci manggut-manggut, "Ya, Polo singh…..Polo singh!”

Tapi mendadak padri itu menjambret dada Goan-ci dengan lima jarinya yang kurus kering itu sambil digoncang-goncangkan dan mulutnya mengoceh panjang lebar, entah apa yang dimaksudkannya.

Karuan Goan-ci terkejut, cepat serunya, "Heh…apa-apaan ini?”

Dengan mendelik padri itu mengamati Goan-ci sejenak, tampaknya ia agak aseran, tiba-tiba serunya tajam, "Polo singh?”

Sekarang Goan-ci tahu bahwa maksudnya telah mendatangkan celaka malah baginya, terpaksa ia berkata lagi, "Ya, sekali Polo Singh tetap Polo singh, biarpun kau pegang aku lebih keras juga tiada gunanya.”

Sudah tentu padri itu tidak paham apa yang dikatakan Goan-ci, ia tambah gusar dan mengomel pula panjang lebar sambil mengoncangkan Goan-ci lebih keras.

A Ci tidak sabar mendengarkan percekcokan mereka itu, katanya, "Buat apa banyak rewel dengan dia, bereskan saja dia , Ong kongcu!”

Segera Goan-ci sedikit menarik dirinya dengan maksud meronta. Tak terduga cengkeraman padri itu ternyata sangat kuat.

"bret!”

Tahu-tahu bajunya robek dan isi sakunya jatuh semua ketanah.

Diantaranya terdapat belati pemberian Hong Po ok sehingga menerbitkan suara nyaring waktu jatuh dan

mengeluarkan sinar kemilau.

Padri itu terus jemput belati itu sambil diobat-abitkan dua tigakali kearah Goan-ci dan mengucapkan dua kalimat entah apa maksudnya.

"Jika Taysu suka pada belati ini, biarlah kuberikan padamu,” cepat kata Goan-ci.

"Heh mana boleh!” seru A Ci.

"Apakah kedua ekor ularnya itu lebih bagus daripada kuda kita, masakah harus tambah dengan sebilah belati!”

Goan-ci serba runyam menghadapi kedua orang didepannya sekarang ini, yang satu tidak dikenal bahasanya, yang lain buta dan bicara asal buka mulut saja. Terpaksa ia menjawab, "Kau diam saja A Ci, biar aku yang melayani dia.”

Sesudah memeriksa belati itu, kemudian padri itu mendadak angkat tangannya. Cepat Goan-ci menarik mundur A Ci, ia sangka padri itu hendak menyerang.

"Apakah padri itu hendak menyerang kita?” Tanya A Ci.

"Belum, entah dia mau apa?” sahut Goan-ci.

Dan sesudah geraki belati itu beberapa kali, kemudian padri itu membuang belati itu ketanah.

"Eh, kiranya Taysu tidak sudi, ya sudah kuambil kembali saja,” kata Goan-ci sambil melangkah maju untuk menjemput belati itu.

Kebetulan belati itu jatuh dekat kitab Ih kin keng yang tadi ikut jatuh ketanah, maka Goan-ci lantas sekalian menjemputnya kembali.

Tapi mendadak terdengar padri itu berteriak aneh, sebelum Goan-ci tahu apa yang terjadi, mendadak tangannya kena dipegang padri itu dengan kencang sehingga belati dan Ih kin keng yang sudah diambilnya itu jatuh pula

ketanah.

Tanpa menghiraukan belati itu , padri itu terus jemput Ih kin keng.

Goan-ci terkejut, cepat serunya, "Heh, taysu, tidak boleh ambil kitab itu!”

Berbareng ia meronta sekuatnya sehingga terlepas dari cekalan padri itu sekalian ia terus mendorong pundak orang.

Yang dipikir padri itu adalah menjemput Ih kin keng, maka ia tidak sempat menghindarkan dorongan Goan-ci itu. Kebetulan dorongan itu mengenai Koh cing hiat dipundaknya, mendadak saja padri itu berteriak aneh sekali terus mencelat bagai terbang.

Karuan Goan-ci tercengang, ia sangka ginkang padri ini benar-benar sangat hebat.

Ketika ia perhatikan lebih jauh, ia lihat padri itu terpental belasan meter jauhnya, baru turun ketanah, malahan diatas tanah padri itu masih berjumpalitan lagi beberapa kali.

Goan-ci menjulurkan lidah melihat ketangkasan padri itu, cepat ia jemput kembali belatinya dan siap melawan orang.

Tak terduga sesudah dapat berdiri kembali, padri itu Cuma melotot saja kepada Goan-ci, lalu ia merogoh keluar serulingnya dan ditiup beberapa kali.

Mndengar suara seruling, kedua ekor ular yang tadinya mengesot ditanah mendadak mengangkat kepalanya dan menggoyang ekor terus menerjang maju dengan cepat.

Keruan Goan-ci terkejut, cepat serunya, "A Ci lekas lari!”

"Ada apa?” A Ci kaget juga.

Goan-ci tidak sempat menerangkan lagi, sedangkan kedua ekor itu sudah merayap tiba.

Meski dia biasa main ular, tapi terhadap ular sebesar itu ia menjadi bingung juga, terpaksa ia hanya pegang tangan A Ci sambil menahan napas.

Anehnya ketika ular-ular itu kira-kira dua tiga meter didepan Goan-ci, ia dengar suara seruling yang ditiup padri itu makin lama makin melengking tajam, malahan sambil meniup seruling, padri itu pun menari-nari, keringat tampak memenuhi jidatnya, suatu tanda sedang mengerahkan tenaga untuk mendesak ularnya agar menyerang, tapi celaka baginya, kedua ekor ular itu tetap meringkuk saja dan tak mau bergerak.

Suara seruling itu makin lama makin keras dan tinggi, sampai akhirnya….

"Prak!”

Mendadak seruling itu pecah menjadi dua belah. Wajah padri itu tampak berubah pucat, cepat ia kabur dan menghilang dibalik lembah sana.

"Bagaimana?” Tanya A Ci cepat.

"Padri itu sudah lari, tapi kedua ekor ular raksasa masih meringkuk disini tanpa bergerak,” sahut Goan-ci.

"Wah, tentu mereka takut padamu, agaknya mereka sudah kenal maksud manusia, coba kau dekati mereka untuk melihat bagaimana reaksinya?”

"Men………….mendekati mereka?” Goan-ci menegas dengan kuatir.

"Ya, apa kau takut?” Tanya A Ci.

Mendadak Goan-ci membusungkan dada, sahutnya, "sudah tentu tidak…….tidak takut.”

Tapi melihat kedua ekor ular yang luar biasa besarnya itu, mau tidak mau ia merasa ngeri juga.

Dengan perlahan akhirnya ia mendekati ular-ular itu, ia pentang tangan dan beraksi hendak menyerang sambil mulut mendesis-desis.

Namun kedua ular itu meringkuk semakin erat, tampaknya sangat ketakutan.

"Bagaimana, apa mereka mau tunduk pada perintahmu?” Tanya A Ci pula.

"Tampaknya kedua ekor ular ini kurang cerdik, rasanya tidak berguna untuk ditaklukan,” ujar Goan-ci.

"Habis bagaimana, kuda kita sudah mati, tanpa kedua ekor ular ini cara bagaimana kita melanjutkan perjalanan?” omel A Ci.

Terpaksa Goan-ci menjawab, "Baiklah, akan kucoba lagi!”

Lalu perlahan ia mengulur tangan kedepan hendak meraba kepala ular.

Melihat kepala ular menunduk ditanah sambil menjulurkan lidah, kembali Goan-ci ragu dan takut.

Dan selagi ia hendak menarik kembali tangannya, tiba-tiba kedua ular itu meloncat keatas terus memanggut lengannya.

Kontan saja Goan-ci menjerit.

Keruan A Ci ikut kaget, "Ada apa?” tanyanya cepat.

"Aku……..aku digigit ular!” seru Goan-ci sambil meringis. Ia sangka jiwanya pasti akan melayang sehingga suara pun terasa lemas.

Namun kedua ular itu lantas melepaskan gigitannya, dengan cepat terus merayap pergi dan melilit erat pada suatu batang pohon besar.

Makin lama kain keras lilitannya, hanya sekejap saja terdengarlah suara…

"Pletak! Pletok!” perut kedua ular raksasa itu pecah dan darah memenuhi tanah disekitar pohon.

Dengan mata terbelalak Goan-ci memandang bangkai ular-ular itu, hampir-hampir ia mengira didalam mimpi.

Dalam pada itu, A Ci berseru pula, "Ong kongcu, bagaimana keadaanmu?”

Goan-ci coba angkat lengannya yang digigit ular itu dan digerak-gerakkan, tapi tidak terasa sakit, hanya tempat yang digigit itu terdapat dua baris bekas gigitan.

Maka jawabnya, "Aku tidak apa-apa.”

"Dan bagaimana kedua ekor ular itu?” Tanya A Ci pula.

"Sudah mati,” sahut Goan-ci.

"Aaai….mengapa kaubunuh ular itu?” Tanya pula A Ci

"Aku tidak membunuhnya, tapi mereka mati sendiri,” sahut Goan-ci.

Biarpun A Ci sangat pintar juga tidak dapat mengetahui sebenarnya apa yang menyebabkan kematian ular-ular itu, maka ia hanya menghela napas dan menyatakan rasa sayangnya.

Kiranya unsur racun yang terhimpun dalam tubuh Goan-ci itu jauh lebih lihai daripada ular-ular berbisa itu, maka begitu ular-ular itu mengigit Goan-ci, darah berbisa dibadan Goan-ci itu berbalik membinasakan mereka malah.

Ketika Goan-ci memandang kedepan, tiba-tiba dilihatnya ada lagi dua ekor ular yang lain sedang mrayap tiba, ia tersenyum getir dan berkata, "Tidak perlu menyesal A Ci, ada dua ekor ular lain yang sedang mendatangi pula, malahan lebih besar daripada tadi.”

"Hah…apa juga dapat dipakai sebagai kendaraan?” seru A Ci dengan girang.

"Ya” sahut Goan-ci, "malahan kedua ekor ular ini jauhlebih aneh, ekor mereka terlibat menjadi satu dan diatasnya duduk seorang padri asing.”

"Wah, apa betul!” seru A Ci sambil bertepuk tangan.

"Buat apa aku dustaimu,” sahut Goan-ci.

Cepat sekali kedua ekor ular itu sudah merayap tiba. Waktu Goan-ci memperhatikan padri yang duduk diatas seekor ular, ia lihat usianya sudah sangat tua, mukanya penuh keriput, tapi sinar matanya tajam.

Goan-ci tahu tidak mungkin lagi untuk melarikan diri, terpaksa ia berdiri disitu dengan harapan akan selamat lagi seperti tadi.

Tiba-tiba A Ci berseru, "Heh padri! Apakah kamu mewakili kawanmu tadi hendak member ganti kerugian binatang tunggangan kepada kami?”

Padri itu memandang bangkai ular dengan air muka terkejut, lalu membuka suara dan ternyata sangat fasih berbahasa tionghoa, katanya,”Apa kalian datang dari Siau lim si?”

A Ci merasa senang mendengar padri itu mahir bahasa Tionghoa, sahutnya cepat, "Ai mengapa jawabmu menyimpang seribu derajat? Aku Tanya apakah kau datang untuk mengganti kuda kami yang mati digigit ular kalian itu?”

Tapi jawaban padri itu tetap menyimpang,

"Yang manakah diantara kalian yang diminta tolong oleh Polo Singh Sute?”

Goan-ci terperanjat, tanpa terasa ia tanya, "Apakah engkau ini suhengnya Polo Singh?”

"Benar, namaku Cilo Singh,” sahut padri itu.

"Apakah engkau yang dimintai tolong oleh suteku itu? Jika begitu barang yang dia minta agar kau sampaikan kepada kami itu boleh kau serahkan padaku saja.”

Jilid 58
"Ong kongcu, apakah Cilo Singh ini orang gila?” seru A Ci dengan kurang senang karena orang bicara tak keruan juntrungannya.

Sebaliknya Goan-ci sudah kenyang merasakan siksaan Polo Singh di Siau lim si dahulu, ia tahu ilmu silatnya sangat tinggi sekarang diketahui padri ini adalah Suheng Polo Singh, keruan ia tambah keder sehingga lupa bahwa A Ci sudah buta, berulang ia goyang tangan memberi tanda agar A Ci jangan bersuara. Lalu katanya, "Taysu ini tentu salah paham, aku tidak datang dari Siau lim si, juga tidak pernah melihat……melihat Polo Singh segala.”

Cilo Singh mengunjuk rasa tidak percaya, katanya, "Habis, mengapa tadi kausebut nama Polo Singh ? Dan kitab Ih kin keng berbahasa sansekerta yang merupakan pusaka Siau lim si itu, mengapa bisa berada padamu?”

Pada hakikatnya Goan-ci tidak tahu buku yang jatuh dari saku Siau Hong dan ditemukannya itu buku apa, jangankan nama Ih kin keng segala, maka jawabnya, "Ah, tentu Taysu salah paham.”

Cilo Singh tampak mulai aseran, katanya, "Apa kauingin mengangkangi Ih kin keng itu? Jika demikian, jangan kau salahkan aku main kasar, ya?”

Goan-ci menjadi gugup, sahutnya, "Bilakah aku mempunyai Ih kin keng segala? Ini, yang ada padaku hanya barang-barang seperti ini saja!”

Lalu ia keluarkan seluruh isi saku dan ditunjukkan kepada padri itu. Tapi terang kitab Ih kin keng dalam tulisan sansekerta itu pun terdapat diantaranya.

Cilo Singh menjadi girang, pikirnya, "Waktu Sute menyerahkan kitab pusaka ini kepada bocah ini, tentu tidak pernah menerangkan apa-apa padanya, maka bocah ini tidak tahu seluk beluk tentang Ih kin keng ini.”

Segera ia meloncat maju kedepan Goan-ci.

Sebaliknya Goan-ci berkata lagi, "Coba lihat milikku hanya ini saja. Belati ini memang sangat tajam, jika Taysu suka boleh…..”

Tiba-tiba A Ci mengikik tawa. Ia pikir padri asing ini pasti juga takkan terhindar daripada kekalahan, sebab itulah ia tertawa.

Sebaliknya Goan-ci sedang kelabakan menghadapi Cilo Singh, ia tidak paham mengapa A Ci tertawa, maka ia hanya berdiri tertegun ditempatnya.

Sementara itu Cilo Singh sudah mendekat, matanya menatap belati di tangan Goan-ci itu dan berkata, "Ai… benar-benar sebuah senjata pusaka yang hebat, apakah sicu sudi memberikan padaku?”

"Senjata ini memang juga pemberian orang lain, silahkan Taysu ambil saja,” ujar Goan-ci.

Maka pelahan Cilo Singh mengulurkan tangannya, tampaknya belati itu akan dipegangnya, tapi mendadak tangannya membelok kesamping sehingga kitab Ih kin keng yang dipegang Goan-ci pada tangan lain yang disambarnya.

Perubahan gerakan Cilo Singh ini teramat cepat sehingga tahu-tahu Ih kin keng itu sudah kena direbut olehnya.

Keruan Goan-ci tercengang, cepat ia berseru, "He…tidak boleh, tidak boleh! Buku kecil itu akan kupakai sendiri.”

Dari pengalamannya sejak berada di kotaraja negeri Liau, beberapa kali Goan-ci lolos dari cengkeraman maut berkat ajaran gambar dalam Ih kin keng itu, maka sudah tentu ia tidak mau kitab itu direbut orang dengan begitu saja.

Namun Cilo Singh sudah lantas melompat mundur, sahutnya, "Kau mau pakai, aku pun hendak memakainya.”

Goan-ci sudah kenyang dianiaya dan didamprat orang, demi mendengar jawaban padri itu, ia tertegun, terpaksa ia berkata, "Tapi…..tapi mana boleh begitu? Kau rebut barangku dengan cara sewenang-wenang, hal ini mana boleh?”

”Ong kongcu, barang apa yang direbut olehnya?” Tanya A Ci tiba-tiba.

"Ooo…hanya sejilid buku kecil saja, yaitu…..”

"Masakah kau tinggal diam barangmu direbut padri setan itu?” potong A Ci dengan mendongkol dan heran pula.

Tapi Goan-ci sekali-kali tidak berani melawan Cilo Singh, ia lihat padri itu sedang membalik-balik halaman kecil itu, wajahnya menampilkan rasa girang. Maka dengan lagak seorang dermawan, segera Goan-ci berkata, "Ya sudahlah, toh buku itu bukan sesuatu barang penting, jika kau mau boleh ambil saja.”

Tiba-tiba A Ci menggentak kaki, katanya, "Ai, kamu ini sungguh sangat aneh, ilmu silatmu begini tinggi, tapi diam saja meski barangmu dirampas orang!”

Mendadak hati Goan-ci tergerak. Diam-diam ia heran mengapa A Ci, Hong Po ok, Pau Put tong dan lain-lain sama mengatakan ilmu silatnya sangat tinggi, apa yang mereka katakana itu tidak mungkin benar, tapi bila teringat pada apa yang dilakukannya paling akhir ini selalu berhasil, setiap tindakannya selalu menguntungkan dirinya, jangan-jangan Tuhan menaruh belas kasihan padaku sehingga diriku benar-benar telah diberkati dengan ilmu silat yang maha tinggi?

Betapapun Goan-ci bukanlah anak dungu, meski pengalamannya selama ini membuatnya bingung, tapi akhirnya toh terpikir juga akan kemungkinan seperti apa yang dikatakan orang-orang atas ilmu silatnya itu.

Maka dengan membusungkan dada segera ia berkata, "Benar A Ci, memang tepat katamu, biarlah kurebut kembali barangku itu.”

Lalu dengan langkah lebar ia mendekati Cilo Singh.

Ketika mendadak Cilo Singh mengangkat kepala dan memandang dengan sorot mata yang bersinar tajam, kembali Goan-ci merasa jeri lagi, ia coba menunjuk Ih kin keng ditangan padri itu dan berkata, "buku itu tidak boleh diberikan padamu, nah, kembalikan padaku!”

"Jika demikian, ambillah kembali!” sahut Cilo Singh.

Goan-ci menjadi girang dan segera hendak mengambil kitab itu. Tak disangka baru saja tangan diangsurkan, tahu-tahu tangan kanan Cilo Singh ditarik sedikit sehingga tangan Goan-ci memegang tempat kosong. Berbareng itu tangan kiri Cilo Singh seperti bisa mulur belasan senti lebih panjang dan tahu-tahu punggung

Goan-ci kena digebuk sekali dengan keras.

Karena tidak berjaga-jaga, hantaman Cilo Singh itu membuat Goan-ci terjungkal kedepan sejauh beberapa meter, darah serasa bergolak dalam rongga dadanya.

Mendengar ada orang terkena pukulan dan kemudian terjungkal jatuh, A Ci mengira setiap orang pasti tidak tahan digebuk oleh "Ong Sing thian”, maka dengan bertepuk tangan ia berseru girang, "Wah, Ong kongcu benar-benar sangat hebat!”

Sudah tentu Goan-ci hanya menyengir saja atas pujian itu. Ia merangkak bangun dan merasa menyesal telah sembarangan turun tangan. Tadi nya ia sangka diri sendiri memiliki ilmu silat yang tinggi seperti dikatakan A Ci dan lain-lain, siapa tahu sekali maju lantas telan pil pahit sehingga membuatnya kehilangan kepercayaan atas diri sendiri.

Ia tidak tahu bahwa lweekangnya sekarang sama sekali tidak dibawah Cilo Singh, soalnya ia tidak tahu cara bagaimana harus menggunakannya untuk melawan musuh, makanya tidak berhasil merebut kembali kitab pusaka, sebaliknya malah kena digebuk sekali oleh "Thong Pi kang” ilmu tangan panjang Cilo Singh.

Waktu ia pandang pula padri itu, ia lihat Cilo Singh sedang memandang A Ci dengan sinar mata keheranheranan, ia tambah gugup, kuatir Cilo Singh mengatakan dirinya kena digebuk dan terjungkal, hal ini tentu akan sangat mengecewakan A Ci.

Sebab itulah maka berulang Goan-ci menggoyang-goyang tangan sambil mendekati Cilo Singh, katanya dengan suara keras, "Ya, sudah tentu, sekali aku turun tangan, mana dia tahan?”

Sebaliknya Cilo Singh jadi melongo, sebab saat itu Goan-ci sedang memberi hormat padanya sambil memberi tanda agar dia jangan bersuara.

Maka terdengar A Ci bertanya pula, "Apakah barangmu sudah kau rebut kembali?”

"Sudah tentu,” sahut Goan-ci cepat.

Tapi Cilo Singh mendadak acungkan Ih kin keng yang dipegangnya itu dan berkata, "Ini……”

Namun cepat Goan-ci memberi tanda tutup mulut padanya, saking gugupnya hampir saja ia berlutut untuk memohon. Lalu teriaknya keras-keras, "A Ci, biar kupergi mengejarnya, kautunggu saja disini dan jangan pergi ya!”

Habis berkata segera Goan-ci lari ke sana sambil menoleh dan menggapai-gapakan tangan kepada Cilo Singh.

Cilo Singh tahu pasti ada sesuatu yang ganjil maka tanpa bicara ia pun menyusul ketempat Goan-ci itu. Sesudah belasan meter ia tidak tahan lagi akan rasa herannya, segera ia buka suara, "Kamu ini main gila apa?”

"Taysu,” cepat Goan-ci menjawab dengan tersenyum pahit, "barang yang kau inginkan sudah kau peroleh, pula engkau sudah gebuk aku satu kali, sekarang apa salahnya kalau engkau mengalah sedikit kepadaku?”

Cilo Singh memandang sekejap kearah A Ci, lalu tersenyum penuh kelicikan, katanya, "Ya, pahamlah aku! Kau ingin nona itu mengira kamu telah mengalahkan aku, betul tidak?”

"Ya, betul,” sahut Goan-ci, "Jika Taysu suka membantu dalam hal ini, sungguh aku akan sangat berterima kasih.”

Cilo Singh pikir sejenak, lalu berkata, "Aku ingin membantumu, tapi kau pun harus membantuku, yaitu membawaku pergi mencari suteku, Polo Singh.”

Goan-ci terkejut, sahutnya kemudian, "Tapi ……tapi Polo Singh berada diSiau lim si, mana dapat aku membawamu kesana?”

"Kamu sudah bertemu dengan dia , tentu tahu dia berada dimana,” ucapCilo Singh. "Dibiara yang besar seperti Siau lim si itu, kalau tidak kau beritahukan tempatnya, cara bagaimana aku dapat menemukan dia?”

Tapi Goan-ci menggoyang-goyangkan tangan, katanya, "Tidak, tidak bisa, aku tidak berani pulang ke Siau lim si lagi.”

Mendadak Cilo Singh menjulurkan tangannya, kelima jarinya mirip kaitan terus mencengkeram pundak Goanci dengan kencang.

Jika tadi Goan-ci belum merasakan gebukan, tentu sekarang dia berani meronta dan mungkin malah melawan,

dengan demikian tentu dia dapat melepaskan diri dari cengkeraman orang dan mungkin juga Cilo Singh bisa celaka.

Tapi sekarang dia sudah kehilangan kepercayaan atas diri sendiri sehingga untuk meronta saja tidak berani, apalagi melawan. Sebaliknya kalau berteriak kuatir didengar A Ci, maka terpaksa ia hanya memohon saja dengan suara lirih, "Taysu….lepas…..lepas!”

Namun Cilo Singh tidak mengendurkan cengkeramannya, bahkan diperkeras malah. Dengan demikian ia sangka Goan-ci akan berteriak kesakitan dan minta ampun. Tak terduga lweekang Goan-ci secara otomatis lantas mengeluarkan daya perlawanan, kontan suatu arus tenaga maha kuat menggetar keatas sehingga cengkeramannya hampir terlepas.

Keruan Cilo Singh kaget, tapi waktu ia pandang muka Goan-ci, ia lihat pemuda tetap mengunjuk rasa kuatir dan gugup.

Dasar Cilo Singh memang licin,, segera ia tahu ada sesuatu yang ganjil atas diri pemuda itu, ia berkata dengansuara perlahan, "Aku akan melepaskanmu jika kamu berjanji akan membawaku pergi mencari Polo Singh.”

Terpaksa Goan-ci menjawab dengan tersenyum getir, Baiklah! Tapi aku pun mempunyai suatu syarat.”

"Syarat apa?” Tanya Cilo Singh.

"Yaitu Taysu tidak boleh mengatakan aku tidak mahir ilmu silat di depan A Ci.”

Cilo Singh menjadi heran, katanya, "Kamu tidak bisa silat……O, ya, kamu tidak bisa ilmu silat.”

"Dan Taysu harus pura-pura sudah kukalahkan danmau ikut ke Siau lim si,” kata Goan-ci pula, "Jika kau mau memenuhi permintaanku ini, jangankan membawamu mencari Polo Singh, biar menjadi budakmu juga aku rela.”

"Baiklah aku terima,” kata Cilo Singh kemudian setelah berpikir cepat, lalu ia lepaskan cekalannya ata pundak Goan-ci.

"A Ci,” segera Goan-ci berseru, "Cilo Singh Taysu ini telah…..telah kususul kembali!”

Sudah tentu A Ci tidak tahu seluk beluk apa yang terjadi, ia sangka hal itu pasti betul, sebab "Ong kongcu” maha sakti, segala apa tentu dapat dilakukannya dengan baik, maka ia pun Tanya lebih jauh,”dan dimanakah kedua ekor ular yang dapat dikendarai itu?”

"Masih ada disini,” sahut Goan-ci, "Dia juga boleh membiarkamu menumpang di atas ular-ular ini,” sambari berkata ia pun memberi tanda kepada Cilo Singh agar menyatakan setuju.

Maka Cilo Singh mengangguk, lalu Goan-ci berkata pula, "Cilo Singh Taysu ini cukup kenal gelagat, dan………….dia tidak mampu melawan aku, maka terima dibawah perintahku.”

Wah bagus!” seru A Ci senang, "Dan dimanakah ular-ular itu? Coba naikkan aku keatas elor mereka.”

Segera Goan-ci memberi tanda, dan Cilo Singh lantas bersuit dua kali, lalu kedua ekor ular raksasa itu saling melilit sehingga bagian ekornya terangkat keatas seperti tempet duduk kereta. Lalu Goan-ci mengangkat A Ci duduk diatasnya, Tentu saja senang anak dara itu tak terkatakan dan tertawa terus-menerus.

Melihat A Ci sangat gembira, diam-diam Goan-ci bersyukur karena akalnya berhasil dengan baik, walaupn untuk selanjutnya ia harus tunduk kepada perintah orang, tapi sementara ini ia sudah dapat membuat senang hati A Ci, pula perjalanan ke Siau lim si sangat jauh, di tengah jalan besar, kemungkinan masih ada kesempatan untuk melarikan diri.

"Kita akan pergi kemana?” dengan tertawa A Ci tanya.

"Marilah kita pergi ke Siau lim si saja, mau?” ajak Goan-ci.

Biarpun A Ci adalah anak dara yang tidak kenal apa artinya takut, tapi Siau lim si adalah pusatnya dunia persilatan dan tempat suci agama Buddha, ia terkesiap juga demi mendengar ajakan itu.

"Ada apa pergi ke Siau lim si?” tanyanya kemudian.

"Menurut Cilo Singh Taysu ini, katanya dia ada seorangsute terkurung di biara itu, maka…….maka aku dimintai bantuan agar pergi menolongnya,” tutur Goan-ci.

"Menolong orang ke Siau lim si, apakah kau yakin akan berhasil?” Tanya A Ci dengan berkerut kening.

"Sudah tentu,” sahut Goan-ci.

"Jika begitu, ayolah kita berangkat,” kataA Ci, "Eh, cara bagaimana mengendarai ular ini agar mau berjalan?”

Segera Cilo Singh bersuit pula dan kedua ekor ular itu lantasa merayap ke depan.

A Ci merasa kdatangan ular itu sangat "stabil”!” saking senangnya sampai dia ngakak terus.

Dasar dia memang gadis yang pintar, maka dalam waktu tiga hari saja, ia sudah paham cara bagaimana mengendalikan ular-ular itu, baik maju, mundur maupun berhenti atau membelok, semua itu tidak perlu bantuan Cilo Singh lagi.

Melihat A Ci sangat gembira, sudah tentu Goan-ci juga sangat senang. Selama dua tiga hari itu sebenarnya banyak kesempatan untuk melarikan diri. Tapi Goan-ci merasa berat dan yang dijaga benar-benar oleh Cilo Singh adalah A Ci sehingga Goan-ci tidak dapat kabur.

Jalan yang mereka lalui adalah jalan kecil dipegunungan yang sepi, tapi terkadang juga ketemu orang. Sedangkan mereka bertiga mempunyai corak sendiri-sendiri. Cilo Singh bermuka seperti tengkorak hidup yang lain seorang padri asing yang kurus kering sedangkan A Ci cantik molek, tapi buta kedua matanya, apalagi duduk di atas ekor ular.

Pemandangan demikian benar-benar luar biasa, maka orang yang ketemu di tengah jalan kebanyakan lari terbirit-birit, ada satu dua orang yang lebih tabah juga Cuma menontot saja dari jauh.

Beberapa kali A Ci minta Goan-ci membawanya ke kota, maksudnya hendak mengadakan "pawai” mengendarai ular untuk ditonton orang kota, tapi Goan-ci memberi macam-macam alasan untuk menolak permintaan anak dara itu.

Kalau orang lain, tentu A Ci sudah mendampratnya dan tinggal pergi sendiri dengan mengendarai Ularnya. Tapi terhadap "Ong Sing thian” ini diam-diam sudah bersemi asmaranya, walaupun beberapa kali ia marahmarah, tapi juga tidak tega untuk tinggal pergi sendiri.

Selama tujuh atau delapan hari berlalu dengan tiada terjadi apa-apa. Lama-lama A Ci menjadi bosan duduk diatas ekor ular, terkadang ia pun turun untuk jalan berendeng Goan-ci.

Hari itu sudah dekat magrib, Goan-ci dan A Ci jalan di depan Cilo Singh bersama ularnya ikut dibelakang, beberapa kali Goan-ci menoleh dan melihat padri itu kira-kira ketinggalan belasan meter jauhnya, kalau dia tarik A Ci terus melarikan diri mungkin dapat lolos, kuatirnya kalau tidak berhasil dan Cilo Singh membongkar gua wasiatnya tentang pembohongannya kepada A Ci, kan bisa runyam?

Karena itulah ia menjadi ragu dan sampai tidak terasa ketika ada seorang berpapasan dengan dia. Sebaliknya A Ci lebih dulu mendengar ada suara tindakan orang lain, lalu ia berhenti dan berkata, "Ong kongcu, ada orang datang!”

Waktu Goan-ci memandang ke depan, tertampak seorang hwesio dengan jubah kelabu, muka bercahaya dan sikap agung berwibawa, walaupun tampaknya pelahan datangnya, tahu-tahu sudah mendekat dan sekejap saja sudah berselisih lalu disamping mereka.

Sudah beberapa hari A Ci tidak bertemu dengan orang luar, Cilo Singh itu adalah padri yang tidak suka bicara pula, A Ci memang lagi kesal, maka cepat ia Tanya pada Goan-ci, "Ong kongcu, macam apakah dia itu?”

"Seorang padri suci,” sahut Goan-ci.

"Huh, hanya seorang hwesio biasa, dari mana kau tahu dia suci dan tidak?” kata A Ci.

Waktu Goan-ci menoleh, ia lihat padri yang sudah lalu itu juga sedang berpaling untuk memandangnya. Melihat muka padri yang bercahaya dan agung itu, dengan sendirinya timbul rasa suka dan kagum Goan-ci, maka cepat ia berkata, "Ya, A Ci, memang benar seorang padri suci.”

"Coba kau panggil dia, akan kutanya dia apakah betul dia padri suci atau Cuma hwesio sontoloyo?” ujar A Ci dengan tertawa.

Keruan Goan-ci terkejut, katanya, "He, A Ci, Taysu itu tampak sangat agung, mana boleh mengolok-olok dia?”

Namun A Ci sudah lantas berteriak, "Hai Toa hwesio, apa kau dengar ucapanku? Apa kamu datang dari ?”

Diam-diam Goan-ci mengeluh dan tidak sempat mencegah lagi. Cilo Singh yang melihat hwesio itu air mukanya berubah dan menyapa, "Bilakah Tai lun Beng Ong berkunjung ke negeri tengah ini?”

Hwesio itu memang Tai lun Beng Ong alias Cumoti adanya. Karena disapa, segera ia pun menjawab dengan tertawa, "Ooo, kiranya Cilo Singh Suheng, kenapa engkau juga mengembara kenegeri Song sini?”

Melihat Cilo Singh begitu prihatin terhadap hwesio tak dikenal ini, pula menyebutnya sebagai "Tai lun Beng Ong”, diam-diam Goan-ci pikir orang ini pasti tidak sembarangan asal usulnya. Karena itu segera ia hendak membawa lari A Ci pada kesempatan kedua hwesio itu sedang bicara.

Tapi A Ci keburu berkata lagi, "Eh, Toa hwesio, apakah gelaranmu Tai lun Beng Ong?”

Sejak mula Cumoti tidak pernah berpaling kearah Cilo Singh, juga tidak pernah menaruh perhatian pada A Ci, sebaliknya sinar matanya terus menatap tajam atas diri Goan-ci saja.

Goan-ci merinding sendiri karena dipandang sedemikian rupa, ia menjadi bingung pula.

Segera Cumoti merangkap tangan member hormat dan menyapa, "numpang Tanya siapakah nama Sicu yang mulia ini?”

Nyata sekali lihat saja ia sudah lantas tahu bahwa sinar mata Goan-ci itu sangat luar biasa. Lwekang maha tinggi, tentu seorang kosen yang jarang diketemukan, Cuma mukanya sedemikian jelek, makanya ia Tanya. Bahkan pada kedua tangan yang terangkap di depan dada itu diam-diam telah dikerahkan tenaga dalamnya untuk menyerang ke depan.

Namun lwekang Goan-ci memang maha tinggi, tenaga dalam Cumoti yang sangat kuat itu ternyata tidak dirasakan olehnya sama sekali, ia hanya menjawab, "Aku……aku bernama………”

Ia lihat sinar mata orang berkilat-kilat seakan-akan dapat membaca isi hatinya, maka nama samarannya sebagai "Ong Sing thian” menjadi tidak berani diucapkan.

"Barangkali Sicu ada sesuatu yang susah dikatakan, sehingga tidak ingin memberitahukan namamu, bukan?” Tanya Cumoti pula.

"Ya, boleh……boleh dikatakan demikian” sahut Goan-ci dengan samar-samar.

Memangnya A Ci sedang mendongkol karena hwesio yang disebut Tai lun Beng Ong itu tidak gubris padanya, sekarang dia bertanya kepada Goan-ci maka hati A Ci menjadi senang lagi, ia pikir pasti potongan Ong Sing thian yang gagah perkasa itu membikin hwesio itu menjadi gugup sehingga lupa menjawab pertanyaannya tadi.

Demi mendengar Goan-ci enggan mengatakan namanya,segera ia berseru, "Toahwesio, tuan ini adalah Ong Sing thian, Ong kongcu, Ciangbunkin Kek lok pai diwilayah barat sana, mungkin pengalamanmu terlalu cetek, maka tidak kenal dia.”

Cumoti menjadi curiga, meski dia datang dari negeri Turfan yang jauh, tapi ia cukup kenal setiap aliran dan golongan dunia persilatan, dahulu malah pernah bergaul dengan Buyung siansing dan saling tukar pikiran tentang ilmu silat.

Buyung siansing itu adalah seorang kosen yang aneh, setiap aliran dan golongan persilatan di dunia ini boleh dikatakan dikenal semua olehnya, tapi tidak pernah menyebut tentang "Kek lok pai” sedangkan laki-laki bermuka jelek yang berada didepannya sekarang terang memiliki ilmu silat luar biasa, dengan sendirinya Cumoti ragu dan curiga.

"Kau bilang Kek lok pai?” demikian Cumoti menegas pula.

"Nah, betul tidak kukatakan pengalamanmu terlalu cetek?” ujar A Ci. "Kek lok pai itu adalah perguruan ciptaan Tat mo locou sendiri. Jika kau datang dari Siau lim si, maka lekas kau pulang kesana, katakana kepada Ciang bunjin dari Kek lok pai, Ong Sing thian dan Ciangbunjin dari Sing lok pai, Toan A Ci hendak berkunjung kesana, suruhlah hwesio disana diap-siap menyambut kedatangan kami dikaki gunung Siau sit san!”

Sejak A Ci buta dan berada bersama Goan-ci yang dianggapnya sebagai Ong Sing thian yang maha sakti, semenjak itu ia lantas hidup dialam khayal yang dianggapnya sebagai kehidupan nyata, maka setiap tutur katanya sekarang menjadi mirip dengan orang yang maha kuasa dan tak terkalahkan.

Meski lus pengalaman Cumoti, untuk sejenak ia menjadi bingung juga mendengar ucapan anak dara itu, kemudian baru ia Tanya, "Lisicu, lalu Toan A Ci, Ciangbunjin Sing siok pai itu berada dimana?”

A Ci mengikik tawa, sahutnya, "Orangnya sebesar ini dan berdiri didepanmu, masakah tidak kaulihat?”

Cumoti tambah curiga mendengar itu, katanya, "Ooo, kiranya Lisicu sendiri adalah ketua Sing siok pai, habis Ting Jun jiu itu……”

"Biarlah kuterangkan padamu agar bisa menambah pengetahuanmu tentang perubahan besar dalam dunia persilatan pada masa akhir-akhir ini,” kata A Ci. "Ting Jun jiu telah dikalahkan olehku bersama Ong kongcu, sudah lama dia kehilangan mahkotanya sebagai ketua Sing siok pai!”

"O, jika demikian, ilmu silat Ong kongcu ini benar-benar luar biasa,” kata Cumoti sambil mengangguk.

Meski A Ci sengaja mengatakan bahwa dia sendiri dan Ong kongcu telah mengalahkan Ting Jun jiu, tapi yang dipuji Cumoti hanya Goan-ci saja, sebab sekali pandang saja ia sudah tahu ilmu silat A Ci hanya biasa saja, kalau ada yang mampu mengalahkan Sing siok lokoai, maka orang itu tentu adalah "Ciangbunjin Kek lok pai” ini.

Maka dengan berseri-seri A Ci mengoceh pula, "Sudah tentu luar biasa, Kau lihat padri yang bernama Cilo Singh itu bukan? Dia datang dari Thian tok dan pandai menaklukan ular, tapi hanya sekali gebrak saja, Ong kongcu sudah mengalahkan ia sehingga sepanjang jalan terpaksa dia menurut segala perintah kami.”

"Kiranya demikian,” kata Cumoti dengan tersenyum, "Di negeri Thian tok sendiri Cilo Singh sudah termasuk seorang jag kelas satu, tapi mengapa begini sial, hanya sekali gebrak saja lantas keok?”

Cilo Singh dapat mendengar nada Cumoti itu sengaja hendak mengolok-olok padanya, masakah dia yang malah diputar balikkan oleh A Ci, kalau Cumoti nanti menyiarkannya kepada orang lain pula, maka pamor Cilo Singh bisa hilang habis-habisan, apalagi Turfan berdekatan dengan Thian tok, kalau berita kekalahannya sampai di negeri asalnya itu dia akan kehilangan muka.

Saking gusarnya Cilo Singh tidak hiraukan lagi janjinya kepada Goan-ci yang minta dia pura-pura mengaku di kalahkan olehnya,dengan tertawa dingin ia lantas menjawab.’’Hehe,memangnya sekali gebrak saja aku sudah dikalahkan Ong-kongcu itu!’’

"Ya, paling-paling juga Cuma dua kali gebrak masakah kau sanggup bertahan sampai tiga kali gebrak?” ujar A Ci.

Keruan yang kelabakan adalah Goan-ci sehingga berkeringat, serunya, "A Ci, sudahlah jangan bicara lagi.”

"Tidak bisa, padri ini suka plintat-plintut, harus kau beri pelajaran lagi padanya,” kata A Ci.

"Memberi…….memberi hajaran?” Goan-ci komat-kamit sendiri.

Dan belum lagi A Ci buka suara lagi, disebelah lain Cilo Singh sudah lantas menjengek, "Hm, nona cilik, hendaknya jangan mimpi disiang bolong lagi. Ketika dia bertarung denganku, hanya sekali gebrak saja sudah terjungkal! Tapi dia kuatirdiketahui olehmu, maka aku diminta pura-pura dikalahkan oleh dia. Hm, cara bagaimana ia berani lagi member hajaran padaku?

Mendengar Cilo Singh telah membongkar rahasianya, diam-diam Goan-ci mengeluh, "Wah, celaka! Tamatlah riwayatku!”

Seketika kaki terasa lemas, dan jatuh duduk di atas tanah.

Sebaliknya A Ci mencibir dan menjawab Cilo Singh, "Huh, kau sendirilah yang mimpi di siang bolong! Kamu ini kutu apa sehingga mampu mengalahkan Ong kongcu dalam sekali gebrak? Dan buat apa dia mesti minta kamu pura-pura kalah apa segala?”

Cumoti juga tidak mempercayai uraian Cilo Singh itu, segera ia pun berkata, "Cilo Singh suheng, orang beragama tidak boleh berdusta!”

Cilo Singh tertawa dingin, katanya, "Jika aku dapat menangkapnya, tentu Ben gong akan percaya bukan?”

A Ci menjadi gusar, serunya, "Ong kongcu,padri ini terlalu kurang ajar, harus kau hajar adat padanya!”

Tapi kepala Goan-ci serasa mendengung-dengung, terhadap ucapan A Ci itu sudah tentu sukar menjawab. Ia sadar meski sementara ini A Ci belum lagi percaya kepada cerita Cilo Singh itu, tapi sebentar lagi bila Cilo Singh dapat menangkapnya, tentu anak dara itu akan percaya dan segala kebohongan yang dikarangnya secara indah dan muluk-muluk pasti juga akan terbongkar.

Begitulah, maka Goan-ci Cuma termangu-mangu duduk diatas tanah, sampai Cilo Singhsudah mendekatinya juga dia tidak tahu.

Melihat Cilo Singh sudah hampir turun tangan segera Cumoti melangkah maju dan berkata, "Nanti dulu, ilmu silat Ong sicu ini sangat tinggi, masakah Hud heng (saudara dalam Buddha) tidak dapat melihatnya?”

Sudah tentu Cilo Singh juga dapat melihat itu, tapi ia memang benar sekali hantam saja pernah membuat Goanci terjungkal. Sebab itulah ia menjawab dengan mendengus, "Hm, biarpun ilmu silatnya tinggi, tetap tidak melebihiku.”

Mestinya Cumoti hendak bicara lagi, tapi ia lantas ganti pikiran dan mengundurkan diri.

Segera Cilo Singh membentak, "Ayo bangun dan bergebrak denganku!”

Tapi Goan-ci Cuma menunduk saja dan badan agak gemetar.

"Ong kongcu tidak perlu berdiri untuk bergebrak denganmu,” segera A Ci berseru, "biarpun duduk juga dia akan dapat merobohkanmu dengan sangat mudah.”

Cilo Singh tertawa dingin beberapa kali, mendadak tangannya mencengkeram pundak Goan-ci, kelima jarinya yang kurus bagai kaitan itu seakan-akan amblas ke dalam daging Goan-ci. Tapi lwekang Goan-ci teramat tinggi sehingga tidak merasa sakit.

Waktu Cilo Singh angkat tangannya, seketika Goan-ci kena diangkat ke atas.

"Lepas Taysu, lepas!” cepat Goan-ci memohon.

"Hm” jengek Cilo Singh, "Nah, katakana lekas, kamu yang menang atau aku yang menang?”

Tenggorokan Goan-ci terasa kering dan tersumbat. Ketika ia berpaling kea rah A Ci, sekilas dilihatnya anak dara itu sedang menantikan jawaban dengan rasa cemas dan tidak sabar. Goan-ci pikir ada baiknya juga rasa kecewa A Ci itu ditunda barang sebentar saja. Maka dengan suara keras ia menjawab, "sudah tentu kamu yang dikalahkan olehku.”

Cilo Singh menjadi murka, ia angkat tangannya lebih tinggi lagi.

Sebenarnya tubuh Cilo Singh tidak lebih tinggi daripada Goan-ci, tapi ia mahir "Thong pi kang”, tangan lain mengkeret makin pendek, sebaliknya tangan yang mengangkat Goan-ci itu mengulur makin panjang sehingga Goan-ci terangkat keatasdan terkatung-katung dipermukaan bumi.

"Nah, bagaimana?” Tanya Cilo Singh pula dengan mengekek tawa aneh.

Air muka A Ci tampak mulai sangsi, serunya, "Ong kongcu, bagaimana dirimu?”

Sungguh perasaan Goan-ci sangat sedih, ia pikir tidak dapat bohong lagi, maka dengan tersenyumgetir ia menjawab, "A Ci, biarlah kukatakan terus terang padamu, aku sebenarnya……”

Belum selesai ucapannya, tiba-tiba air muka A Ci tampak berubah hebat. Melihat itu, mendadak Goan-ci berhenti bicara.

Maka dengan suara gemetar A Ci bertanya, "Sebe…….sebenarnya kenapa?”

Tiba-tiba Goan-ci ganti haluan dan menjawab, "aku sebenarnya sedang mempermainkan dia. Coba kau pikir, sedangkan Ting Jun jiu saja bukan …..bukan tandinganku, apalagi Cuma seorang padri asing, masakah aku takut?”

A Ci tidak dapat melihat keadaan Goan-ci yang terkatung-katung di udara itu, maka ia tertawa senang demi mendengar jawaban itu.

Cumoti juga sangat heran karena selama ini Goan-ci tetap tidak bisa menyerang. Ia pun mengira apa yang dkatakan Goan-ci untuk sekadar menghibur A Ci itu memang sungguhan, maka katanya, "Ong kongcu memang orang yang kocak dan suka berkelakar.”

Tergeraklah hati Goan-ci, tiba-tibaia pikir Tai lun Beng Ong ini tampaknya pasti seorang jago kelas wahid, mungkin dia akan dapat menolong diriku.

Maka cepat sahutnya, "Eh Taysu…kalau menurut pendapatmu, cara…..cara agaimanakah aku harus bertindak agar bisa mengatasi dia?”

"Buat apa mesti kau Tanya orang lain?” sela A Ci.

"Aku sengaja hendak menguji sampai dimana pengetahuan ilmu silat Taysu ini,” jar Goan-ci.

"Ooo…kiranya demikian,” kata A Ci dengan tertawa.

Seketika Cumoti juga tidak tahu benar atau tidak ucapan Goan-ci itu, aka dengan tersenyum, ia menjawab, "Jika kau hantam Siau-hai-hiat, mau tak mau dia terpaksa harus melepaskanmu.”

"Tapi terletak di manakah ‘Siau hai hiat’ itu?” Tanya Goan-ci pula.

Cumoti mengira Goan-ci sedang mengujinya, tanpa pikir ia pun menjawab lagi, "terletak sedikit di bawah ‘Leng to hiat’ dan sedikit di atas ‘Jing leng hiat’”

Keruan Goan-ci menjadi kelabakan, dahulu ia pernah belajar mengenali tempat hiat to dengan paman dan ayahnya, tapi dasar anak bambungan, ia lebih suka main ular dan cari jangkrik daripada menghapalkan pelajarannya. Sebab itulah ia sudah lupa hiat to manakah yang bernama Jing leng hiat dan Leng to hiat.

Terpaksa ia Tanya pula, "Dan terletak dimanakah kedua hiat to itu?”

Tapi sebelum Cumoti menjawab, segera Cilo Singh menyela dengan suara kurang senang, "Tai lun Beng Ong, sebenarnya apa maksudmu?”

"Ong sicu ini sedang menguji kepandaianku, terpaksa mesti kujawab, "sahut Cumoti dengan tertawa.

"Huh, dia tahu ilmu silat apa?” jengek Cilo Singh gusar, "Jika dia paham ilmu silat mengapa tidaktahu bahwa Siau hai hiat itu terletak di lengan?”

Kata-kata Cilo Singh ini lantas menyadarkan Goan-ci malah sehingga ia mengetahui bahwa hiat to yang disuruh serang oleh Tai lun Beng Ong ituterletak diatas lengan. Karena Cilo Singh mencengkeram pundak kanannya sehingga tangan kanannya tidak leluasa bergerak, terpaksa ia angkat tangan kirinya.

Melihat Goan-ci benar-benar hendak menghantamnya, Cilo Singh menjadi gusar, mendadak cengkeramannya

diperkeras sehingga jarinya yang kurus kering itu seakan-akan ambles semua ke dalam pundak Goan-ci.

Tapi Goan-ci tetap seperti tidak merasakan apa-apa, sebaliknya Cilo Singh lantas merasa pundak orang timbul suatu daya sedot yang maha kuat, tenaga yang dikerahkannya untuk mencengkeram itu seakan-akan disedot keluar dari tangannya. Dalam kagetnya tanpa menunggu hantaman Goan-ci tiba, segera ia angkat tangannya dan Goan-ci dilemparkan hingga jatuh.

Ketika pukulan Goan-ci dilontarkan ia sudah terlempar lebih dahulu sejauh belasan meter. Jatuhnya yang keras itu kalau orang lain tentu tak tahan, tapi Goan-ci anggap seperti tidak terjadi apa-apa dengan cepat ia merangkak bangun lagi.

"Nah, bagaimana menurut pendapatmu, Beng ong?” jengek Cilo Singh.

Sebagai seorang cerdas segera Cumoti dapat melihat tenaga dalam Goan-ci sangat hebat, tapi dalam hal ilmu silat sejati boleh dikatakan tidak becus sama sekali. Jadi mirip sepotong intan yang belum digosok sehingga tidak diketahui bahwa batu itu sebenarnya adalah batu mestika yang jarang terdapat.

Maka ia sengaja menggoyang kepala dan berkata, "meski dapat kaulemparkan dia, tapi menurut pendapatku, kalau bukan dia sengaja mengalah, tentu dia sengaja hendak mempermainkanmu.”

Sebenarnya Goan-ci sedang lesu, demi mendengar ucapan Tai lun Beng Ong itu, tiba-tiba ia mendapat akal lagi, cepat serunya, "Ya, memang aku Cuma main-main saja denganmu, tapi kamu malah anggap sungguhan dan senang setengah mati, hahaha!”

"Hm, jadi sengaja kau permainkan aku maksudmu?” sahut Cilo Singh, saking gusarnya ia tertawa, "jika demikian, coba jawab, Ih kin keng yang maha penting ini mengapa bisa berada di tanganku?”

"He, Ong kongcu, ‘keng-keng’ apa yang dia maksudkan? Bukankah kau bilang sudah direbut kembali?” seru A Ci.

"Ya, memang sudah kurebut kembali sejak tadi, jangan kau percaya kepada ocehannya,” sahut Goan-ci cepat.

Cilo Singh jadi naik darah sehingga tanpa pikir ia keluarkan Ih kin keng dalam tulisan sansekerta itu, katanya, "jika begitu, habis barang apakah ini?”

Baru saja ia keluarkan kitab itu, di sebelah lain tubuh Cumoti mendadak seperti melembung belasan sentilebih besar sehingga lengan bajunya mirip tertiup angin. Tapi dia cukup cerdik, segera ia tenangkan diri seperti semula sehingga perubahan sikapnya itu tidak diketahui oleh Cilo Singh.

Sebaliknya Goan-ci menjadi serba runyam ketika Cilo Singh mengeluarkan Ih kin keng itu. Tapi ia pikir A Ci toh tidak dapat melihat, asal terus menyangkal saja tentu keadaan masih bisa dikuasainya.

Maka ia segaja terkekeh-kekeh beberapa kali, sahutnya, "Hehe…barang apa yang kau pegang itu? Haha… sungguh menggelikan, benar-benar lucu….hahaha…..haha…..

"Apa kamu sudah buta, sehingga barangnu sendiri tidak kau kenali lagi?” damprat Cilo Singh dengan gusar.

"Hud heng,” tiba-tiba Cumoti menyela, "bolehkah kitab itu kupinjam lihat sebentar?”

Waktu bicara, kedua tangan Cumoti tetap terselubung di tengah lengan bajunya yang longgar, bicaranya dengan tersenyum-senyum pula sehingga sedikit pun tiada tanda mencurigakan.

Tapi mendadak Cilo Singh terperanjat demi mendengar nada ucapan Cumoti itu, cepat ia berpaling kearah Cumoti, demi Nampak air muka orang itu tersenyum-senyum saja dan kedua tangannya terselip dalam lengan baju, barulah Cilo Singh merasa lega.

Siapa duga pada saat itu juga tiba-tiba dirasakan ada suatu tenaga halus tapi maha kuat sedang menerjang ke urat nadi tangan kanannya. Seketika tangan Cilo Singh terasa kesemutan, cekalannya menjadi kendur, Ih kin keng yang dipegangnya itu mendadak meloncat keatas.

Segera Cilo Singh sadar kena diselomoti Tai lun Beng Ong. Sekilas ia lihat Cumoti tetap tersenyum-senyum, bahkan jubahnya juga tidak bergerak sedikit pun, entah dengan cara bagaimana ia mengeluarkan tenaga gaib maha maha kuat itu.

Maka cepat Cilo Singh mengapung ke atas dengan maksud hendak menyambar kembali Ih kin keng itu.

Tapi pada saat tubuhnya terapung di uadara itulah, kembali tenaga dalam yang halus tapi sangat kuat itu menyerangnya tanpa bersuara dan tepat mengenai dadanya, ia menjerit sekali terus terpental. Ia berkaok-kaok murka, "Tai lun Beng Ong, apa maksudmu ini?”

Tapi Cumoti hanya tersenyum saja, sekali tangan bergerak, tahu-tahu Ih kin keng itu terbang ke tangannya, lalu ia berkata, "Ih kin keng ini adalah milik Siau lim si, maka kugunakan ilmu silat Siau lim si untuk merebutnya kembali.”

Cilo Singh juga bukan tokoh sembarangan, demi mendengar ucapan Cumoti itu, tiba-tiba ia ingat sesuatu, katanya segera, "Apakah Bu siang jiat ci?”

Cumoti hanya tersenyum saja tanpa menjawab.

Keruan Cilo Singh muram dan lesu, sepatah kata pun tidak anggup bicara lagi.

Baru sekarang Goan-ci yang mengikuti kejadian itu dapat menghela napas lega, katanya, "Wah, kepandaian Taysu ini benar-benar maha sakti!”

Padahal ketika Cumoti menggunakan "Bu siang jiat ci” (jari maut tanpa wujud) tadi sedikitpun tidak bergerak, tapi tenaga jari itu diam-diam menyambar keluar dari dalam lengan bajunya.

Sebagai seorang tokoh besar, sekali omong saja Cilo Singh lantas tahu ilmu yang digunakan Cumoti itu adalah Bu siang jiat ci, tapi tidak demikian dengan Goan-ci, ia hanya memuji sekadarnya saja.

Lalu Cumoti menjawab dengan tersenyum, "Ah, hanya sedikit kepandaian tak berarti, semoga tidak ditertawakan kaum ahli.”

A Ci tidak dapat melihat. Ia hanya dengar percakapan ketiga orang itu dan sukar memahami apa sbenarnya yang terjadi, maka cepat ia bertanya, "Apa yang terjadi Ong kongcu? Apa sudah bergebrak dengan Toa hwesio itu?”

Belum lagi Goan-ci menjawab, mendadak Cumoti ulur tangannya untuk menjabat sebelah tangan Goan-ci. Sejak tadi ia sudah tahu lwekang Goan-ci sangat tinggi, tapi dilihatnya pula Goan-ci dibanting terjungkal oleh Cilo Singh dengan sangat mudah, hal ini membuatnya tidak habis mengerti, maka sekarang ia sengaja hendak menjajal sampai dimanakah sebenarnya lwekang Goan-ci?

Sebaliknya Goan-ci menjadi tergetar ketika mendadak tangannya digenggam tangan Cumoti, tenaga dingin

dalam tubuhnya otomatis lantas terhimpun ke telapak tangannya itu.

Seketika Cumoti merasa tenaga yang dikerahkannya tahu-tahu disedt oleh pihak lawan, keruan ia terkejut dan cepat lepas tangan.

Keadaan begitu pernah dialami Cumoti dahulu ketika mengadu tangan dengan Toan ki di Thian liong si Tayli. Siapa duga hari ini pengalaman itu berulang lagi.

Kalau Toan ki memiliki ilmu sakti masih dapat dimengerti mengingat keluarga Toan memang dikenal sebagai keluarga jago silat yang disegani, tapi siapakah gerangan Ong Sing thian yang berada di depannya sekarang ini, mengapa ilmu silatnya juga sedemikian lihay dan aneh.

Tampaknya jago-jago muda di dunia persilatan tionggoan telah "patah tumbuh hilang berganti”, jago tua hilang lahir jago muda yang lebih sakti, terang harapannya untuk menjagoi dunia persilatan akan sukar tercapai.

Begitulah Cumoti termangu-mangu sejenak ditempatnya, kemudian ia tertawa dan menjawab pertanyaan A Ci tadi, "Lisicu tidak perlu kuatir, akujustru sangat cocok dengan Ong sicu, masa bisa saling labrak malah?”

A Ci merasa senang, katanya, "Toa hwesio kamu benar-benar licin, sudah tahu akan mampir melawan Ong kongcu, lalu kau bicara menurut arah angin.”

"Haha, jika Lisicu adalah ketua Sing siok pai tentunya juga pernah mendengar namaku yang rendah?” kata Cumoti dengan tertawa.

"Itu pun bergantung apakah kamu memang terkenal atau tidak,” ujar A Ci. "Didunia ini jumlah hwesio sebanyak bulu kucing, ari mana dapat kukenal si anu atau si dia satu persatu?”

Cumoti tidak marah, ia tetap tersenyum dan berkata, "siauceng adalah Tai lun Beng Ong Cumoti, Koksu kerajaan Turfan.”

Mendengar itu, mendadak badan A Ci bergetar tanpa terasa wajahnya menjadi pucat. Goan-ci terkejut, cepat ia Tanya, "Ada apa A Ci?”

"Ooo…ti….tidak apa-apa,” sahut A Ci setelah terkesima sejenak. SEbabnya dia pucat bukanlah karena takut

melainkan karena kegirangan.

Waktu mula-mula ia dengar namanya "Tai lun Beng Ong”, hal ini tidak berkesan baginya. Tapi demi mendengar nama "Cumoti, Koksu (imam Negara) kerajaan Turfan”, hal inilah yang mengguncangkan perasaannya.

Ia pernah dengar Sing siok lokoai menyebut nama Cumoti dan diketahui adalah jago kelas wahid sekarang, tokoh semacam Cumoti juga begitu jerinya terhadap Ong Sing thian, maka betapa bahagia dirinya yang telah dapat berkenalan dengan Ong kongcu yang gagah perkasa ini, sungguh ia tidak sanggup melukiskannya.

Dengan girang segera A Ci berkata pula, "O kiranya Cumoti Taysu, tadi aku omong kasar, harap dimaafkan.”

Sebaliknya Goan-ci mengira ucapan Cumoti yang menilai tinggi padanya tadi, sengaja hendak menutupi kepincangannya agar tidak diketahui A Ci, maka Goan-ci merasa sangat berterima kasih. Segera ia Tanya A Ci dengan suara perlahan, "A Ci, apakah asal-usul Taysu ini sangat hebat?”

"Sudah tentu,” sahut A Ci. "Dia adalah orang kosen kalangan Buddha, sudah tentu luar biasa.”

Padahal kalau A Ci memuji Cumoti, ini berarti juga menaikkan gengsi Ong Sing thian yang dia cintai itu.

Maka Goan-ci lantas member hormat kepada Cumoti, "Taysu sungguh entah cara bagaimana aku harus berterima kasih padamu”

TapiCumoti diam-diam saja, ia hanya member tanda kepada Goan-ci, lalu tunding kearah A Ci.

Maka tahulah Goan-ci bahwa padri itu telah paham maksudnya, sekarang dia Cuma member isyarat tangan, hal ini menandakan dia sengaja hendak membantunya agar tidak diketahui A Ci.

Sejak kecil Goan-ci tidak disukai ayah dan pamannya, ketika terlunta-lunta di kangouw juga kenyang dihina dan dianiaya orang, tiada seorang pun yang mau memahami dan memperhatikan dia seperti Cumoti sekarang. Saking terharunya terus saja Goan-ci hendak member sembah.

Namun lengan jubah Cumoti telah mengebas, suatu tenaga yang tak kelihatan mengangkatnya bangun,

katanya, "Ong sicu, jika engkau tidak mencela kepada Siau ceng, marilah kita mengikat persahabatan saja.”

"He, Taysu, mana….mana aku berani?” sahut Goan-ci gugup.

"Ong kongcu,” kata A Ci, "meski Cumoti Taysu adalah Koksu negeri Turfan, tapi nanti bila sudah sampai Lamkhia di negeri Liau, Cihuku adalah Lam ih Taiong di sana, dengan sendirinya kedudukanmu nanti juga tidak rendah, maka sekarang kaupun tidak perlu terlalu merendah diri.”

Cumoti melengak, ia tahu negeri Liau adalah salah satu negeri yang terkuat pada waktu itu, Lam ih Taiong adalah perdana menteri yang berkuasa penih, tampaknya nona cilik yang buta ini bukanlah sembarangan putrid. Maka katanya, "ucapan Lisicu ini memang betul, harap Ong sicu tidak perlu merendah diri.”

Namun Goan-ci masih goyang-goyang tangan dan berkata, "Taysu, aku…….”

Tapi mendadak Cumoti sedikit geraki tangannya, serangkum angin menyambar ke depan sehingga dada Goanci terasa sesak, untuk bicara menjadi susah.

Malahan lantas terdengar suara bisikan orang yang sangat halus menyusup telinganya, "jika kamu banyak omong lagi tentu rahasiamu akan diketahui nona itu. Sekarang aku pun tidak mau banyak omong denganmu, nanti malam saja antara tengah malam aku akan datang menemuimu, dan kita akan dapat bicara dengan lebih jelas.”

Berulang Goan-ci mengangguk, ia lihat A Ci dan Cilo Singh seperti tidak mendengar apa-apa, tahulah Goan-ci bahwa ucapan Cumoti itu hanya ditujukan padanya seorang saja. Maka ia pun menjawab, "Baiklah, sudah tentu aku menurut saja.”

Cumoti terbahak-bahak, katanya, "Sungguh tidak nyana tanpa sengaja dapat berkenalan dengan seorang ksatria gagah perkasa seperti Ong kongcu sungguh sangat beruntung.”

Sebaliknya Goan-ci juga juga menjawab dengan setulus hati, "jika dapat berkawan dengan Taysu, tentu saya juga merasa bahagia.”

Lalu Cumoti berpaling kepada Cilo Singh yang berdiri diam di samping dengan wajah muram itu, "Hud heng, kukira Ong kongcu juga tidak perlu padamu lagi, lebih baik permisi kepada Ong kongcu dan lekas pulang ke Thian tok saja!”

Urusan sudah begini, bukan saja Cilo Singh tidak dapat menyuruh Goan-ci membawanya pergi mencari Polo Singh, bahkan Ih kin keng yang mestinya sudah ditemukan itu direbut pula oleh Cumoti, saking murka dan gemas, akhirnya ia menjadi putus asa, katanya kemudian, "Baiklah, Ong kongcu, aku akan pulang ke Thian tok saja.”

"Silahkan!” sahut Goan-ci.

"Dan kedua ekor ular itu pun boleh kau bawa pulang sekalian, aku tidak perlu lagi. Awas, lain kali jangan sampai kepergok olehku,” demikian A Ci ikut berkata.

Dengan lesu dan patah semangat Cilo Singh lantas tinggal pergi kea rah barat dengan membawa kedua ekor ularnya.

"Sekarang silahkan Ong kongcu berdua melanjutkan perjalanan, siauceng ada urusan, semoga kelak berjumpa pula,” kata Cumoti.

Mendengar Cumoti akan pergi, seketika Goan-ci merasa seperti akan kehilangan sesuatu, tapi demi teringat tengah malam padri itu akan datang menemuinya, maka iapun menjawab, "Baiklah, Taysu silahkan!”

Pada waktu berangkat, kembali Cumoti berpaling dan tersenyum pada Goan-ci, wajahnya yang agung berwibawa itu membuat orang merasa suka dan hormat pula, sungguh mirip malaikat dewata hidup, Goan-ci sampai termangu-mangu, sesudah didesak A Ci baru ia sadar, lalu mereka melanjutkan perjalanan kedepan.

Sambil berjalan Goan-ci merasa tidak sabar lagi, ia berharap hari lekas gelap dan malam lekas tiba serta lekas tengah malam.

Waktu mereka bermalam ditengah jalan, karena letih A Ci lantas tertidur diatas tanah rumput, sebaliknya Goanci masih mondar-mandir saja sambil terkadang menengadah memandang langit.

Kira-kira dekat tengah malam, benar juga dilihatnya Cumoti melayang tiba seperti dewa yang turun dari kahyangan, cepat Goan-ci berlutut member hormat.

Cumoti membangunkannya, katanya, "kita sudah berkawan, buat apa pakai peradaban seperti ini?”

"Taysu, sekali-kali aku tidak berani mengharapkan sesuatu yang muluk-muluk, biar pun menjadi budak Taysu juga aku merasa kurang sesuai,” kata Goan-ci.

Cumoti tersenyum, katanya, "Jangan bikin nona Toan terjaga, marilah kita menyingkir kesana,” lalu ia tarik tangan Goan-ci dan diajak pergi.

Dalam perjalanan yang tidak terlalu jauh itu berturut-turut Goan-ci menggunakan tujuh macam cara yang berbeda untuk menjajal lwekang Goan-ci, tapi yang dapat disimpulkan adalah kepandaian Goan-ci mirip dengan "Hoa kang tai hoat” Sing siok pai, sedangkan tenaga dalamnya sukar dijajaki, pula unsur racun yang maha dingin dan maha jahat di tubuh Goan-ci itu sudah mencapai tingkatan yang sukar diukur.

Memang maksud Cumoti akan memperalat kebodohan Goan-ci itu, sekarang tekadnya semakin teguh, sebaliknya Goan-ci sama sekali tidak tahu.

Tidak lama kemudian, sampailah mereka di tengah suatu hutan. Disitu lagi-lagi Goan-ci hendak menyembah, tapi ditahan Cumoti pula.

Dengan sangat Goan-ci memohon, "Taysu, kepandaianmu begini sakti, engkau sangat baik pula padaku, kalau engkau tidak terima penghormatanku, bagaimana perasaanku bisa tentram?”

"Sekarang aku Cuma kawanmu saja,” sahut Cumoti dengan tersenyum, "bila kelak aku ada maksud menerima mu sebagai murid, tatkala itulah baru boleh kau sembah padaku.”

Mendengar demikian, tanpa terasa Goan-ci berjingkrak kegiranga. Dahulu ia angkat guru pada Ting Jun jiu dan merasa bangga mempunyai seorang suhu yang bergaya dewa, tapi berhubung prsoalan A Ci sehingga hubungannya dengan Ting lokoai menjadi retak, ia memang ingin mencari guru lain lagi.

Meski batin Cumoti itu sangat licin dan keji, tapi lahirnya tampak agung sehingga membuat siapa yang memandangnya tentu timbul rasa kagum dan hormat. Apalagi Ting Jun jiu suka main kekerasan terhadap Goan-ci, sebaliknya Cumoti mau membantu kesukarannya malah, yaitu membantunya membohongi A Ci, sebab itulah ia menjadi sangat senang demi mendengar Cumoti ada kemungkinan akan menerimanya sebagai murid.

Sesudah berjingkrak senang sebentar, tiba-tiba teringat pula olehnya bahwa Tai lun Beng ong ini adalah seorang hwesio, kalau dirinya mengangkat dia sebagai guru, bukankah juga akan cukur rambut dan menjadi hwesio dan hwesio harus masuk kelenteng dan dilarang kawin, lalu cara bagaimana dirinya dapat berdampingan dengan A Ci untuk selamanya?

Wah, cialat! Ia menjadi ragu demi teringat demikian itu.

Rupanya Cumoti dapat meraba isi hatinya, dengan tersenyum ia berkata, "kelak bila kamu ada maksud menjadi muridku, maka boleh kuanggap dirimu sebagai muridku dari keluarga preman.”

Keruan Goan-ci kegirangan setengah mati, cepat ia menjawab, "Taysu, jika demikian Tecu…..”

"Nanti dulu,” tiba-tiba Cumoti mengebaskan lengan bajunya sehingga ucapan Goan-ci itu tertahan, "aku belum menyanggupi untuk menerimamu sebagai murid, mana boleh kamu mengaku tecu padaku?”

Goan-ci menjadi bingung, ia garuk-garuk kepala dan telinga dengan serba salah.

"Begini,” ucap Cumoti lebih lanjut, "bila kamu memang benar ingin menjadi muridku, maka kau harus berbuat dulu beberapa hal yang bajik, dengan demikian barulah aku dapat menerimamu.”

"Sudah tentu mau, silahkan Taysu member petunjuk,” seru Goan-ci cepat.

"Nah, coba dengarkan,” kata Cumoti dengan

Tersenyum, "Ada seorang Toa ok jin (Manusia maha jahat), namanya Toan Ki, apakah pernah kau dengar namanya?”

"Toan Ki, Toan Ki?” demikian Goan-ci mengulangi dua kali nama itu, lalu menjawab, "Belum, belum pernah dengar.”

"Lahirnya orang itu kelihatan sangat alim dan seperti putra seorang bangsawan, tapi sebenarnya seorang maha jahat, maha busuk. Ketahuilah bahwa Lam hai gok sin, itu si durjana ketiga dari Su ok adalah muridnya.”

Goan-ci terkejut, sahutnya, "jadi Toan Ki itu adalah gurunya Gak losam, tentu saja jahatnya bukan buatan!”

Dasar pengalaman Goan-ci memang dangkal maka demi mendengar cerita Cumoti secara sepihak dan sengaja dibesar-besarkan itu ia lantas percaya penuh bahwa Toan Ki memang benar adalah Toa ok jin yang harus diganyang.

Maka Cumoti meneruskan, "Nah, kalau kamu ingin mengumpulkan jasa dan berbuat bajik, maka tugasmu yang pertama harus membasmi Toa ok jin yang bernama Toan Ki itu.”

Kembali Goan-ci terperanjat, sahutnya, "Taysu jika…..jika Toan Ki adalah Toa ok jin macam begitu, ilmu silatnya dengan sendirinya juga sangat tinggi, masakah aku…..aku mampu…..”

Sampai disini ia jadi menggigil dan gigi gemertukan, bicaranya menjadi macet.

"Menurut pendapatmu, bagaimana dengan kepandaianku?” Tanya Cumoti.

"Kepandaian Taysu maha sakti, sungguh belum pernah kulihat selama ini,” sahut Goan-ci.

"Nah, baiklah, maka aku akan mengajarkan sejurus ilmu sakti padamu,” kata Cumoti. "Nanti bila ketemu Toan Ki, asal kaujabat erat tangannya maka kamu pasti akan dapat menaklukan dia.”

Sudah tentu Goan-ci masih ragu-ragu, ia hanya pandang Cumoti dan tidak bicara lagi.

Segera Cumoti berlagak seperti "dukun klenik” yang sedang beraksi, ia tepuk beberapa kali badan Goan-ci, katanya, "Nah, sekarang sudah kusalurkan ilmu saktiku ke dalam badanmu, sebelum ketemu Toan Ki, sama sekali jangan kau jabat tangan dengan siapa pun juga.”

Goan-ci manggut-manggut tanda tahu, sahutnya, "Jika demikian, berada dimanakah Toan Ki itu?”

"Besok pagi boleh kau lanjutkan perjalanan ke timur sana, kira-kira tujuh atau delapan li jauhnya tentu akan kau temukan dia, "tutur Cumoti. "Dia sedang duduk termenung sendirian ditengah hutan.”

Goan-ci gosok-gosok telapak tangan sendiri lalu dipentang dan dipandang, katanya, "Baiklah, besok pagi-pagi aku lantas berangkat kesana.”

Mlihat tipu muslihatnya sudah dimakan Goan-ci, segera Cumoti mengundurkan diri, "Sementara ini kita berpisah dulu, nanti bila usahamu sudah berhasil, tentu aku akan datang menjengukmu lagi.”

Ia sengaja hendak pamer, maka begitu selesai berkata, mendadak tubuhnya melayang pergi secepat angin, hanya sekejap saja orangnya sudah menghilang tanpa bekas.

Di samping kagum tak terkatakan, Goan-ci juga girang akan mendapat guru maha sakti.

Padahal maksud tujuan Cumoti adalah lantaran dia pernah kecundang di tangan orang she Toan dari Tayli, untuk membalas dendam tidak mampu, kini dilihatnya ilmu Goan-ci ini agak mirip dengan kepandaian Toan Ki itu, bedanya Cuma yang satu keras, maha panas, sebaliknya yang lain maha dingin dan maha berbisa, sebab itulah ia ingin memperalat kebodohan Goan-ci untuk melabrak Toan Ki.

Begitulah, maka kemudian Goan-ci lantas kembali ke tempat semula, pelahan ia mendekati Cumoti, ia lihat anak dara itu masih tidur sangat nyenyak.

Di bawah sinar bulan dan bintang yang remang-remang, ia lihat muka yang cantik itu ber tambah menggiurkan. Dilihatnya pula mulut anak dara itu mengulum senyum, seperti sedang mengimpikan sesuatu yang menyenangkan.

Goan-ci termangu-mangu memandangi wajah yang cantik itu, kebetulan angin meniup sehingga rambut A Ci tersebar dan menutupi mukanya, pelahan Goan-ci membetulkan rambut anak dara itu.

A Ci seperti berasa, ia membalik tubuh sedikit, mulutnya bergumam, "Ong kogncu, di dunia persilatan hanya dikenal Lam Buyung dan Pak Kiau Hong, tapi tiada orang tahu masih ada seorang Se ek Kek lok Ong (Ong si maha gembira dari benua barat) seperti dirimu.”

Sudah jelas kata-kata itu Cuma igauan A Ci saja, tapi Goan-ci merasa nikmat juga mendengarnya. Ia tahu Lam Buyung dan Pak Kiau Hong adalah tokoh tertinggi di dunia persilatan masa kini, sekarang kedudukan dirinya dalam pandangan anak dara itu di sejajarkan dengan kedua tokoh ternama itu, hal ini menandakan betapa cinta A Ci kepadanya.

Pelahan Goan-ci meraba muka sendiri yang benjal benjol bekas luka itu, ia merasa tiak mengecewakan meski dirinya telah menyerempet bahaya dan menahan sakit dengan membeset topeng besi itu. Kelak kalau bisa mengangkat guru pada Tai lun beng ong pula, boleh jadi dirinya akan dapat belajar ilmu silat maha tinggi, tatkala itu tentu takkan kuatir lagi rahasianya diketahui A Ci.

Begitulah Goan-ci lantas rebah di samping A Ci dengan berbantalkan lengan sendiri. Ia terus memandangi wajah yang cantik ayu itu semalam suntuk tanpa tidur.

Ketika fajar menyingsing, pelahan barulah A Ci mendusin, ia mengulet kemalas-malasan, lalu bangun duduk.

Lekas Goan-ci menyapa, "Kamu sudah bangun A Ci?”

Tiba-tiba A Ci bertiarap pula ke tanah rumput itu, ia pegang tangan Goan-ci katanya, "Aku bermimpi.”

"Mimpi tentang apa?” Tanya Goan-ci.

"Aku mimpi menyaksikan pertemuan para jago kelas satu dunia, mereka saling bertanding untuk menentukan kepandaian masing-masing.”

"Hasilnya bagaimana, siapa yang jadi juara?” Tanya Goan-ci.

A Ci tertawa, katanya, "Ada seorang kongcu muda tak terkenal, ia robohkan Lam Buyung dan mengalahkan Pak Kiau Hong, pada padri Siau lim si tidak ada yang berani maju, Sing siok lokoai dihajarnya hingga minta ampun. Juara ilmu silat itu tentunya dengan sendirinya dipegang oleh kongcu muda itu.”

"Siapakah kongcu muda itu?” Tanya Goan-ci.

Air muka A Ci berubah merah, ia cubit pelahan tangan Goan-ci, lalu berkata, "ialah engkau sendiri, aaai dasar linglung!”

Goan-ci benar-benar terlena dibuai rayuan A Ci itu sehingga untuk sekian lamanya ia tidak anggup bersuara.

Akhirnya terdengar A Ci terkikik-kikik, katanya pula, "kenapa diam saja? Apa kau rasa tidak dapat melawan mereka?”

"Sudahlah A Ci, jangan bicara tentang impian lagi,” cepat Goan-ci menjawab. "tapi hari ini aku benar-benar hendak pergi melabrak seorang Toa ok jin.”

"Toa ok jin apa?” Tanya A Ci.

Goan-ci ingat A Ci she Toan, sedangkan Toan Ki yang hendak dicarinya itu juga she Toan, jangan-jangan nanti anak dara itu akan kurang senang. Maka ia menjawab, "entah siapa namanya, yang terang dia adalah seorang maha jahat, maka harus ditumpas. Namun ilmu silat Toa ok jin itu sangat hebat pula, maka waktu kulabrak dia, paling baik kamu jangan dekat-dekat.”

"Ya, aku tahu,” sahutA Ci. "padahal, engkau sudah pasti akan menang, aku mendekat atau melihat dari jauh juga sama saja.”

"Marilah kita berangkat,” ajak Goan-ci. Segera ia gandeng tangan A Ci san menuju ke timur.

Kira-kira belasan li jauhnya, benar juga di depan terdapat hutan lebat. Goan-ci pikir sebentar lagi dirinya akan bertempur melawan seorang jahat yang ilmu silatnya sangat tinggi, meski Tai lun beng ong sudah mengajarkan ilmu sakti kepadanya, tapi betapapun ia tetap merasa jeri.

Diam-diam ia coba periksa telapak tangan yang akan dipakai menggenggam tangan Toa ok jinn anti. Ia lihat tangan sendiri toh sama saja seperti sehari-hari dan tidak ada tanda mempunyai ilmu sakti apa segala. Maka ia tambah kebat-kebit dan tidak tentram.

Sampai diluar hutan, Goan-ci merasa ragu dan berhenti.

"Apa sudah sampai?” Tanya A Ci.

"Ya, di sini ada sebuah heng lim (hutan pohon apricot), konon Toa ok jin itu sembunyi disini, maka boleh kau tunggu disini saja,” kata Goan-ci.

Sebenarnya A Ci adalah seorang gadis yang bandel, tapi sekarang ia sangat penurut, sahutnya, "Baiklah, boleh kau labrak Toa ok jin itu dan aku akan menunggu di sini.”

Sesudah mendudukkan A Ci di atas sebuah akar pohon, lalu Goan-ci masuk ke hutan yang sangat lebat dan rindang itu sehingga rasanya sangat dingin dan seram.

Sampai sekian lama Goan-ci menyusur hutan itu dan tetap tidak menemukan seorang pun. Ia pikir Toan Ki itu tentu tidak berada di situ lagi, selagi ia hendak putar balik, tiba-tiba terdengar disebelah timur laut sana ada suara orang menghela napas perlahan.

Goan-ci tercengang, ia coba mencari kearah suara itu. Sesudah berputar dan membelok beberapa kali, akhirnya dilihatnya ada seseorang dengan menggendong tangan sedang berdiri di situ dengan menengadah sambil tiada hentinya berkeluh kesah.

Goan-ci sembunyi di balik pohon. Ia pikir orang ini mungkin bukan Toan Ki, sebab seorang yang maha jahat tidak mungkin berada sendirian disini sambil berkeluh kesah.

Mendadak terdengar orang itu berkomat kamit sendiri, "Nona Ong! Nona Ong! Tahukah dikau ada seorang sedang rindu dan sedih bagimu?”

Mendengar itu, baru sekarang Goan-ci tahu bahwa orang ini bahkan adalah seorang yang romantik, tampaknya dia merindukan seorang nona she Ong, tapi harapannya tak tercapai, makanya berkeluh kesah, sambil pikir segera Goan-ci melangkah maju.

Cepat orang itu berpaling demi mendengar suara tindakan Goan-ci. Maka tertampaklah dengan jelas, kiranya orang ini adalah seorang kongcu muda.

Orang ini bukan lain daripada Toan Ki adanya. Sebenarnya ia sedang merindukan Ong Giok yan, ketika mendadak didengarnya ada suara tindakan orang dari belakang, ia kaget dan cepat berpaling, sebab baru saja kemarin ia ketemu Cumoti, ia kuatir jangan-jangan akan diserang padri itu dari belakang. Tapi demi Nampak orang yang datang ini adalah seorang laki-laki bermuka maha jelek, ia jadi terheran-heran pula.

Sebaliknya Goan-ci juga dapat melihat jelas sikap Toan Ki yang kelihatan linglung itu, tapi usianya masih muda dan wajahnya cakap, jelas bukan Toa ok jin sebagaimana disangkanya semula.

Sebelum Toan Ki menegurnya, segera ia mendahului membuka suara, "sebentar lagi ditengah hutan ini akan terjadi suatu pertempuran dahsyat maka lebih baik saudara lekas pergi dari sini saja!”

Toan Ki hanya mengiakan sekali dengan acuh tak acuh dan tetap berdiri di situ.

Maka Goan-ci berkata pula, "tampaknya saudara bukanlah orang persilatan, daripada nanti tersangkut dalam pertempuran yang dahsyat, lebih baik lekas pergi saja, carilah suatu tempat lain jika kamu ingin berkeluh kesah lagi.”

Sebenarnya Toan Ki sangat benci kepada ilmu silat, sekarang ia sendiri sudah memiliki kungfu maha tinggi, tapi sifatnya itu masih tetap tidak berubah, maka dengan berkerut kening ia menjawab, "Kusangka tempat inilah paling aman, tentram dan dapat kugunakan untuk termenung dengan tenang. Kenapa kalian tidak mencari tempat lain untuk bertempur?”

"Ada orang berjanji untuk bertemu dengan aku di tengah hutan ini,” kata Goan-ci.

"Jika begitu, kenapa saudara sendiri tidak takut?” Tanya Toan Ki. "apa barangkali saudara sendiri memiliki kepandaian hebat?”

Goan-ci tersenyum getir, sahutnya, "biarpun aku ingin menghindari juga tidak dapat lagi.”

"Sebab apa?” Tanya Toan Ki dengan heran.

"Habis aku sendiri adalah salah satu pihak yang akan bertempur di tengah hutan ini, cara bagaimana aku boleh pergi?” kata Goan-ci.

Melihat muka orang meski jeleknya tiada takaran, tapi mempunyai hati nurani yang baik, maka Toan Ki coba member nasihat, "mumpung belum terjadi, jika sekarang kau mau tinggal pergi, bukankah pertarungan dahsyat nanti dapat dihindarkan.”

"Tidak bisa,” sahut Goan-ci. "justru akulah yang hendak melabrak Toa ok jin itu, sebelum bertemu mana boleh kutinggal pergi?”

Toan Ki tahu urusan permusuhan di dunia persilatan biasanya sukar dilerai, maka katanya pula sesudah

berpikir sejenak, "Jika demikian, siapakah Toa ok jin itu?”

"Toa ok jin itu bernama……ah, lebih baik saudara jangan mengetahuinya, jangan-jangan engkau akan semaput bila mendengar namanya,” demikian Goan-ci merasa tidak tega menakut-nakuti kongcu yang lemah lembut ini dengan nama Toa ok jin.

Sama sekali tak terduga olehnya bahwa orang dihadapannya sekarang ini justru adalah "Toa ok jin” itu?”

"Aku…..aku tidak tahu,” sahut Goan-ci dengan bimbang.

Keruan Toan Ki tambah heran tanyanya, "jika kamu tidak yakin akan dapat mengalahkan Toa ok jin itu, tapi kau datang juga kesini untuk mencari perkara padanya, masakah di dunia ini ada orang tolol macam dirimu ini?”

Goan-ci hanya tersenyum getir saja, sahutnya, "meski aku tidak becus apa-apa, tapi ada seorang padri sakti pernah menepuk beberapa kali pada badanku dan telah mengajarkan semacam ilmu sakti padaku, asal aku genggam tangan Toa ok jin itu, segera aku dapat mengalahkan dia.”

Apa yang dikatakan Goan-ci ini biarpun dia sendiri juga tidak yakin. Untung Toan Ki juga masih hijau dalam hal ilmu silat, ia hanya merasa tertarik oleh cerita itu, maka tanyanya pula, "apakah telapak tanganmu itu terdapat jimat sehingga begitu sakti?”

"Ini lihat, sama saja seperti biasa,” sahut Goan-ci sambil membuka tangannya.

"Jika demikian, jadi dalam hatimu sebenarnya kau pun tidak percaya kepada omongan padri itu?” Tanya Toan Ki.

Tapi Goan-ci tidak menjawab, ia hanya geleng-geleng kepala , lalu menghela napas dan berkata, "sudahlah, saudara tidak perlu urus, lekas pergi dari sini saja!”

"Tidak apa, kepandaian lain aku tidak punya kalau bicara tentang lari, kuyakin tiada seorangpun mampu memburu aku,” sahut Toan Ki. "maka biarlah aku nanti menonton saja dipinggir.”

Sebenarnya Toan Ki juga tidak ingin melihat orang bertempur, soalnya ia lihat Goan-ci adalah seorang yang

jujur, tampaknya pasti tidak mampu melawan Toa ok jin itu, mana bila perlu ia bermaksud hendak membantunya dengan menyeretnya melarikan diri.

"apakah saudara tidak kuatir ikut terembet nanti?” Tanya Goan-ci.

"Tidak, aku tidak kenal Toa ok jin itu, masakah dia akan mengganggu aku?” sahut Toan Ki.

Melihat orang susah disuruh pergi, terpaksa Goan-ci tidak banyak omong lagi, ia terus menuju ketengah hutan lebih jauh. Tapi disana keadaan rindang gelap, meski sudah dicari kesana kemari tetap tiada seorang pun yang diketemukan.

Diam-diam Goan-ci sangat heran, ia pikir mungkin Tai lun beng ong salah duga tentu Toa ok jin yang bernama Toan Ki itu sudah keburu pergi dari situ. Ketika ia hendak putar balik, tiba-tiba dilihatnya Toan Ki masih mengikuti dibelakangnya.

Sekonyong-konyong hatinya tergerak, teringat apa yang dikatakan Tai lun beng ong bahwa potongan Toan Ki itu sangat mirip seorang putra bangsawan dan orang yang berada didepannya sekarang bukabkah seorang kongcu bangsawan, jangan-jangan inilah dia….

Goan-ci sampai tercengang memandangi Toan Ki. Selagi ia hendak Tanya namanya, tiba-tiba ia ganti pikiran lagi, ia merasa bila kongcu lemah lembut seperti ini adalah seorang Toa ok jin, maka di dunia ini tentu tiada orang baik lagi, buat apa dirinya mesti tanya pula?

Jilid 59
Tengah Goan Ci bersangsi, tiba-tiba di luar hutan sana bergema suara orang mengakak tawa, suara tertawa itu sangat nyaring dan lepas. Menyusul berkumandang pula suara tertawa kaum wanita, suaranya genit menggiurkan.

Goan Ci lantas teringat kepada A Ci yang sedang menunggunya di luar hutan itu, kalau ada orang datang, mungkin akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lagi. Maka cepat ia lari keluar hutan sana.

Dan baru saja tubuhnya bergerak, tahu-tahu di sebelahnya angin berkesiur, gerakan Toan Ki ternyata lebih cepat daripada dia dan tahu-tahu sudah melayang ke depan sana.

Goan Ci terkesiap dan bersuara kaget, ia pikir orang ternyata memiliki kepandaian setinggi ini. Tapi dilihatnya pula kelakuan Taan Ki seperti orang kesurupan setan, maka ia jadi tertegun, sementara itu Toan Ki sudah menghilang dari pandangannya.

Waktu Goan Ci pasang telinga, ia dengar di luar hutan sana sayup-sayup ada suara orang bicara. Cuma tidak terdengar jelas. Segera ia pun lari ke sana secepat terbang, hanya sekejap saja ia sudah berada di luar hutan, ia lihat Toan Ki berdiri di tengah jalan sambil terlongong-longong memandang ke depan sana.

Waktu Goan Ci celingukan sekitarnya, ia jadi kelabakan karena A Ci tidak terlihat. Segera ia berteriak-teriak, "A Ci ... A Ci Dimana kau?”

Sungguh rasa kuatir Goan Ci sukar dilukiskan demi tidak memperoleh jawaban A Ci, seketika keringat membasahi tubuhnya dan otot-otot hijau memenuhijidatnya. ia coba perhatikan Toan Ki dan tanya, "Saudara tadi keluar lebih dulu, apakah kau lihat A Ci?”

Tapi Toan Ki masih menteleng ke depan padahal dijalan sana keadaan sunyi senyap tiada seorang pun dan entah apa yang dia pandang.

Sesudah Goan Ci mengulangi pertanyaannya barulah ia jawab dengan bingung. "Hah, apa? A Ci?”

"Ya, seorang gadis cantik berbaju ungu, kedua matanya buta, dia takkan pergi jauh dari sini, sahut Goan Ci.

Apakah kau lihat dia?”.

"Tadi dia sudah pergi!” kata Toan Ki.

"Pergi kemana?” desak Goan Ci.

Toan Ki tersenyum getir, sahutnya, "Ya, dia sudah pergi. Melirik saja tidak padaku, anggapnya dunia ini seperti tiada seorang aku ini”

Goan Ci menjadi kuatir dan tambah gopoh, cepat tanyanya pula. "Apa yang kau ocehkan? Dimana A Ci? Tentu kau lihat dia?”.

Sembari berseru, berulang ia goyang-goyangkan bahu Toan Ki.

Karena itu barulah Toan Ki seperti tersadar dari impiannya, dengan kening berkerut ia tanya, "Ada apa sobat?”

"A Ci Aku mencari A Ci” seru Goan Ci, saking gugupnya sampai suaranya serak.

"O, kiranya saudaraa hendak mencari orang, sayang tidak dapat kubantu apa-apa”, sahut Toan Ki.

"Kentut” semprot Goan Ci, "Baru saja kau bilang melihat dia. Nah lekas katakan, telah kau bawa kemana dia?”

Sebabnya Toan Ki mendadak lari keluar hutan tadi adalah karena tiba-tiba mendengar suara tertawa seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dikenalnya sebagai suara Buyung Hok dan Ong Giok yan, sebab itulah ia lari keluar seperti kesetanan. Tapi yang dapat dilihatnya hanya bayangan belakang Ong Giok yan saja, lantaran itu ia menyesal setengah mati dan merasa kehilangan sesuatu sehingga seperti orang linglung.

Ketika ditanya Goan Ci pada hakikatnya ia tidak mendengarkan, sebaliknya ia berkeluh kesah akan perasaan sendiri sekarang di dengarnya Goan Ci berkata, "Baru saja kau bilang melihat dia”, ia sangka "dia” yang dimaksudkan itu adalah Buyung Hok, maka kembali angot pula ketolol-tololannya, sahutnya, "Ya, aku memang melihat dia. Cuma dia tidak melihat aku”.

"Sudah tentu dia tak dapat melihatmu”, kata Goan Ci cepat.

Yang dimaksudkan Goan Ci adalah karena A Ci sudah buta, sudah tentu tak bisa melihat.

Maka Toan Ki menghela napas, katanya, "Dalam hatinya hanya terisi seorang saja, orang lain hanya terpandang dan tak terlihat olehnya”.

Goan Ci merasa bangga, sahutnya, "Sudah tentu dalam hatinya hanya terdapat seorang saja”.

Nyata terjadi salah wesel antara mereka, yang satu maksudkan Ong Giok yan, yang lain A ci, tentu saja tidak kelop.

Lalu Goan Ci berkata lagi, "Dan sekarang ke manakah dia?”.

"Entah aku tidak tahu”, sahut Toan Ki, "Wahai Toan Ki Kemanakah dia pergi, apakah kau tahu?”

Goan Ci berjingkrak kaget demi mendengar nama Toan Ki disebut. Beruntun ia mundur tiga langkah, hatinya berdebar-debar, tanyanya, "Kau bilang Toan Ki? sia..siapakah yang bernama Toan Ki?”

"Aku inilah Toan Ki sendiri”, sahut Toan Ki.

Keruan Goan Ci tambah kaget, serunya, "Jadi kau ini..”

Mendadak ia berhenti lalu menyambung lagi dengan bentakan bengis, "Dimana A Ci? Lekas katakan "

Sebenarnya Goan Ci sudah biasa dimaki dan dihajar orang, biarpun dipukul mati juga tidak heran. Tapi sekarang diketahuinya bahwa pemuda dihadapannya ini adalah Toan Ki, ditambah ‘provokasi’ yang telah dicekoki Cumoti, maka ia anggap Toan Ki benar-benar seorang Toa ok jin, apalagi mendadak A Ci menghilang, hal ini digandengkan dengan kejahatan sang Toa ok jin pula, maka ia yakin hilangnya A Ci pasti juga permainan Toan Ki.

Soalnya menyangkut keselamatan A Ci, dalam keadaan terpaksa pun ia berani menyelamatkan A Ci didepan

hidung Ting jun-jiu, apalagi sekarang yang dihadapi adalah Toan Ki, si Toa ok jin.

Dalam kadaan gusar, muka Goan Ci yang babak bandas bekas luka menjadi merah padam, matanya berkilatkilat, tampaknya sangat seram.

Ketika Toan Ki memandang sekejap padanya, ia pun terkesiap dan menyurut mundur selangkah, katanya, "A Ci? A Ci apa?”.

"Eh, masih berlagak pilon?” damprat Goan Ci dengan gusar.

"Aku tidak tahu tentang A Ci segala, jangan kau tanya padaku” ujar Toan Ki sambil goyang-goyang kedua tangannya.

Melihat orang menyangkal, Goan Ci tambah murka sehingga mukanya yang jelek itu tambah beringas, kedua tangannya terus diangkat, dengan kaku ia menubruk ke depan. Meski gerak ilmu silatnya suma biasa saja, tapi mukanya itulah yang menakutkan.

Toan Ki terkejut, cepat ia keluarkan Leng po wipoh yang aneh, sedikit meluncur segera tubrukan Goan Ci dapat dihindarkannya.

Dengan tubrukan yang kalap itu Goan Ci sangka pasti akan kena sasarannya, siapa tahu mendadak lawan meluncur pergi, sampai ujung bajunya saja tidak tersenggol. Goan Ci tertegun sejenak, tiba-tiba ia bersuara aneh dan kembali menubruk pula. Cepat Toan Ki berseru, "Hei sobat, ada urusan apa hendaknya dibicarakan baik-baik”.

"Kembalikan A Ci ku” teriak Goan Ci dengan suara aneh.

"Aku tidak tahu A Ci itu apa?” sahut Toan Ki.

"Kentut, baru saja kau bilang melihat dia semprot” Goan Ci. Tengah bicara, berulang Goan Ci menubruk beberapa kali.

Meski Toan Ki tidak balas menyerang namun sama sekali Goan Ci tidak pikirkan lawan itu sebenarnya bukan Toa ok jin segala, sebaliknya ia sangka ilmu sakti yang diajarkan Tai lun beng ong padanya teramat lihai

sehingga Toa ok jin tidak berani melawannya. Maka ia makin dapat hati dan menubruk semakin cepat.

Begitulah yang satu menubruk dan yang lain menghindar. Kedua orang sama-sama cepat luar biasa. Toan Ki menjadi kebat-kebit, ia merasa kejadian sekarang ini jauh lebih berbahaya daripada dahulu waktu ia mempermainkan Lam hai gok sin, untunglah gerak Leng po wipoh teramat aneh dan bagus sehingga sebegitu jauh Toan Ki selalu dapat terhindar dari bahaya.

Setelah udak-udakan hampir setengah jam, tetap Goan Ci tidak mampu memegang Toan Ki, saking nafsunya sampai matanya merah membara dan menakutkan. Tapi Toan Ki terus tutup mata malah dan anggap tidak melihat, hanya kakinya saja yang bekerja.

Sembari mengudak Toan Ki, diam-diam Goan Ci merasa kuatir juga akan keselamatan A Ci, keringat mengucur deras dari jidatnya bagai air hujan sehingga menghalangi pandangannya, terpaksa ia mengangkat lengan baju untuk mengusap.

Di luar dugaan, sesudah sekian lama ia menubruk kian kemari, debu pasir ikut bertebaran dan memenuhi lengan bajunya, sekali ia mengusap keringat pada mukanya, seketika matanya kelilipan dan tidak dapat melihat lagi.

Keruan Goan Ci jadi kelabakan, walaupun soal mata kelilipan hanya sekejap saja sudah dapat disembuhkan, tapi menghadapi seorang Toa ok jin, kalau mendadak diserang kan bisa celaka. Maka terpaksa tangannya mencakar-cakar dan di obat-abitkan ke depan.

Tak tersangka permainan secara ngawur itu justru mendatangkan hasil di luar dugaan. Pada waktu menggunakan Leng-po-wi-poh yaitu langkah ajaib andalan Toan Ki, jika musuh mengincar tubuhnya dan menyerang menurut aturan, biarpun berusaha sampai sekarat juga takkan kena. sebaliknya kalau menyerang secara ngawur dan serabutan, hal ini justru berbahaya bagi pemain langkah aneh ini.

Sekarang mata Goan Ci kelilipan sehingga terpaksa ia mencakar dan menjambret sekenanya, tahu-tahu malah Toan Ki kena dipegangnya.

"Nah, kena dia” seru Goan Ci dalam hati.

Keruan Toan Ki terkejut, sekuatnya ia mengebaskan tangannya, "bret” sepotong lengan bajunya terobek dan pegangan Goan Ci juga terlepas.

Leng-po-wi-poh yang selama ini menguntungkan itu sekarang mendadak tidak manjur, keruan Toan Ki kaget sehingga langkahnya sedikit terlambat, sedang lawan terlihat menubruk maju lagi, dalam gugupnya terpaksa Toan Ki menggeser mundur sedikit dan otomatis kedua tangannya digunakan menyambut tubrukan orang. Maka terdengarlah suara "plak-plok” dua kali, empat tangan seketika saling lengket.

Goan Ci masih ingat pesan Tai-lun-beng-ong, maka segera ia kerahkan tenaga. Tubuh kedua orang pun lantas terpaku di tempat masing-masing tanpa bergerak lagi.

Pada saat itulah tiba-tiba Cumoti tampak melayang tiba. Orang pandai seperti dia ini ternyata juga tercengang demi melihat keadaan kedua orang yang saling dorong dengan kedua tangan masing-masing mirip dua orang pegulat yang sedang mengukur tenaga.

Tertampak muka Toan Ki merah membara, badan menguap mirip kuali panas yang baru ditutupnya, sebaliknya sekujur badan Goan Ci tampak terbungkus oleh selapis salju putih tipis.

Cumoti sangat luas pengalamannya, tadinya ia cuma mengetahui ilmu yang dimiliki oleh Toan Ki dan Goan Ci itu yang satu maha keras dan panas sebaliknya yang lain maha dingin dan maha berbisa, lebih dari itu ia tidak tahu darimana datangnya kedua macam ilmu silat yang sangat aneh itu.

Sekarang sesudah kedua orang saling gebrak, ia jadi terperanjat pula demi melihat keadaan panas-dingin diantara mereka itu.

Sejak Toan Ki makan katak merah dan tanpa sengaja menggunakan "Cu-hap-sin-kang” untuk menyedot Iwekang beberapa jago kelas satu, sebenarnya kekuatannya boleh dikatakan tiada tandingannya lagi di dunia ini. Tapi kebetulan muncul pula seorang Goan Ci yang telah mengisap racun maha dingin dari ulat sutra es dan memperoleh pula Ih-kin-keng yang mujizat sehingga berhasil memiliki "Peng-jan-gi-keng” ilmu ajaib ulat sutra es. Ilmu kedua orang itu justru berlawanan sehingga sekali gebrak kedua orang benar-benar ketemu tandingan yang sama kuatnya dan sukar dipisahkan.

Bagi Toan Ki sudah tentu tiada maksud hendak membikin susah orang, sebaliknya meski Goan Ci ingin merobohkan Toan Ki, hal ini pun tidak mudahi ia pun tidak tahu cara bagaimana harus melaksanakan maksudnya itu.

Oleh karena kepandaian kedua orang sama-sama maha kuat dan hebat, maka begitu tangan saling menempel, secara otomatis tenaga murni kedua orang lantas dikeluarkan untuk menyerang lawan, semakin kuat daya tekanan lawan, dengan sendirinya tenaga perlawanan yang dikeluarkanjuga tambah kuat. sebab itulah sekali gebrak mereka lantas mengeluarkan tenaga murni masing-masing sepenuhnya sehingga boleh dikata pertarungan mereka ini adalah pertarungan yang maha dahsyat dan jarang terdapat di dunia persilatan.

Hanya sebentar saja Cumoti menyaksikan disamping, terlihat sekujur badan Toan Ki sudah terbungkus oleh uap panas hingga mirip sebuah anglo, sebaliknya badan Goan Ci juga perlahan terbungkus oleh selapis es tipis mirip sebuah almari es.

Diam-diam Cumoti sangat senang karena usahanya mengadu domba kedua orang itu telah berhasil, segera ia melangkah maju dan angkat tangan hendak melontarkan pukulan kearah Toan Ki. Tapi belum lagi pukulannya terjadi, tiba-tiba dari belakang terdengar teriakan orang yang sangat nyaring "Jangan taysu”.

Cepat Cumoti menoleh, ia lihat di belakangnya sudah berdiri seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kiranya Buyung Hok dan Ong Giok yan berdua,

"Kenapa jangan?” Tanya Cumoti.

Seketika Buyung Hok tak bisa menjawab, sebabnya dia berseru mencegah adalah lantaran rasa sayangnya kepada kepandaian Toan Ki dan Goan Ci yang luar biasa itu sehingga tanpa terasa ia mencegah serangan gelap Cumoti itu.

Karena tidak mendapat jawaban, Cumoti berkata pula. "Dahulu Siau-ceng bersahabat sangat akrab dengan Buyung siansing, ketika berbicara tentang ilmu pedang di dunia ini. Buyung siansing menyatakan bahwa Lakmeh-sin-kiam dari Thian-liong-si di Tayli adalah ilmu pedang nomor satu di dunia ini. cuma sayang beliau tidak pernah menyaksikan sendiri sehingga hal ini sangat disesalkannya. Tatkala itu aku berjanji padanya untuk berusaha melaksanakan cita-cita beliau itu. Kini meski Buyung siansing sudah wafat, tapi tetap harus kutepati janji, biarpun Lak-meh-sin-kiam-boh (kitab ilmu pedang) sudah musnah, tapi Toan Ki ini sudah menghapalkan seluruh isi kitab ilmu pedang itu di luar kepala sehingga pada hakikatnya dia merupakan kiam-boh hidup, maka hendak kutawan dia ke depan makam Buyung sian sing untuk dibakar di sana guna menepati janji ku itu”.

"Taisu”, tiba-tiba Ong Giok yan berseru, "Persahabatanku dengan Toan kongcu ini belum lama, tapi kami agak cocok satu sama lain. Maka janjimu yang tidak penting itu harap dianggap sebagai kelakar saja dan tak perlu ditepati”.

Tapi Cumoti melihat Toan Ki sudah tak bisa bergerak lagi, sekali pegang tentu akan dapat ditawannya dengan mudah, sudah tentu ia tidak mau menuruti permintaan Ong Giok yan itu, katanya dengan terbahak-bahak, "Hahaha.. Lisicu anggap aku ini orang apa? Masakah boleh janji tidak ditepati?”

Sembari berkata, terus saja tangannya mencengkeram pundak Toan Ki.

Ong Giok yan menjerit tertahan, sambil menutup mukanya dengan tangan karena tidak tega menyaksikan lebih jauh. Namun Buyung Hok lantas bertindaki ia melayang maju sambil membentak, "Tahan Taisu”.

Dengan cepat luar biasa ia melayang sampai di samping Cumoti jari tengahnya terus menyelentik "Siau-yauhiat” dipinggang paderi itu.

Tapi pada saat itu pula mendadak Cumoti menjerit aneh sekali, tahu-tahu tubuhnya terpental pergi dengan berjumpalitan, totokan Buyung Hok secepat kilat itu ternyata mengenai tempat kosong, segera ia menarik kembali tangannya, sementara itu Cumoti kelihatan berdiri di tempat sejauh tiga empat meter sana dengan muka pucat dan badan agak gemetar.

Buyung Hok tidak tahu apa yang telah terjadi dalam sekejap itu, maka ia coba tanya "Ada apa Taisu?”

Sudah tentu Cumoti tidak dapat menjelaskan, yang terang baru saja jarinya menyentuh pundak Toan Ki, mendadak ia merasa yang dipegangnya itu seperti arang yang membara, berbareng terasa dari badan Toan Ki timbul semacam daya sedot yang maha kuat hingga tenaga dalamnya terhisap.

Keruan kaget Cumoti tidak kepalang dan cepat menarik kembali tangannya, untung ia masih dapat melepaskan diri dari sedotan Toan Ki, hal ini boleh dikatakan luar biasa berkat ketangkasan dan kecerdikannya yang dapat bertindak dengan cepat-

Walaupun demikian tidak urung tenaga dalam Cumoti itu juga sudah tersedot sebagian oleh Cu-hap-sin-kang ilmu sakti katak merah yang dimiliki Toan Ki itu.

Saat itu Toan Ki sedang mengukur tenaga dengan Goan Ci, ketika mendadak mendapat bantuan tenaga segar dari luar, seketika juga Goan Ci didesaknya hingga mundur setindak.

Dan sedikit badan Goan Ci bergeraki segera lapisan es yang membungkus tubuhnya itu sama rontok dan jatuh ke tanah. Tapi hanya setindak saja ia terdesak mundur, lalu ia dapat berhenti pula dengan kuat, sedang Pengjan-ih-kang tetap bekerja sehingga dengan cepat badannya kembali terbungkus oleh selapis es tipis yang baru bahkan makin lama makin tebal lapisan es itu dan mengeluarkan cahaya gemerlapan di bawah sinar sang surya.

Sebaliknya badan Toan Ki tampak menguap lebih keras lagi hingga seperti mengepulkan asap yang tipis, pemandangan yang berlawanan dengan Goan Ci itu sungguh sangat aneh dan menarik.

Sesudah Cumoti kaget setengah mati, lekas ia kerahkan tenaga murni untuk menghimpun kembali Iwekangnya hingga seketika tidak sanggup bersuara, sedangkan Buyung Hok juga melongo menyaksikan apa yang terjadi tadi.

"Piauko, apakah dapat kau pisahkan mereka?” Tanya Ong Giok yan kemudian.

Buyung Hok menghela napas panjang, sahutnya, "Hari ini barulah kutahu bahwa ilmu silat sesungguhnya tiada batasnya, mungkin di jaman ini tiada seeorang pun yang dapat memisahkan mereka ini”.

Ong Giok yan merasa kuatir, katanya. "Habis, apakah Toan kongcu dan laki-laki jelek ini akan…”

"Mereka berdiri terpaku disini, pada akhirnya tenaga mereka tentu akan habis dan tatkala itu dengan sendirinya mereka akan terpisah”, ujar Buyung Hok.

Walaupun tidak dijelaskan juga Ong Giok yan tahu bahwa terpisahnya kedua orang itu nanti tentu akan dibarengi dengan kematian mereka. Dalam keadaan demikian, mau tidak mau teringat juga olehnya kebaikan Toan Ki padanya selama ini sehingga sedikit banyak ia pun merasa cemas.

Dengan termangu-mangu Buyung Hok menyaksikan Toan Ki dan Goan Ci yang saling pegang tanpa bergerak itu, mendadak ia berteriak. "Piaumoi, selama hidupku, terang ilmu silatku tak mungkin mencapai setinggi mereka ini”.

"Pertarungan mereka ini kelak tentu akan dibuat cerita pujian sepanjang masa didunia persilatan, sebaliknya aku hanya menyaksikan saja tanpa dapat berbuat apa-apa dalam cerita itu nanti entah diriku akan dijadikan peranan sebagai apa?”.

Belum lagi Ong Giok yan menjawab, tiba-tiba Buyung Hok menyambung dengan menjengek. "Hm, tentu aku akan diceritakan sebagai seorang pengecut yang tiada taranya. Ya, biarpun aku harus binasa tergetar oleh tenaga mereka, akan kupisahkan mereka agar dapat meninggalkan nama harum di kemudian hari”.

Ong Giok yan terkejut mendengar tekad sang piauko itu, cepat ia berseru "Jangan Piauko”.

Namun sudah terlambat. Buyung Hok merangkap kedua tangannya bagaikan orang senbahyang terus menerjang kedepan.

Dalam hal pengetahuan, Ong Giok yan ada lebih tinggi daripada Buyung Hoki ia tahu sekali sang Piauko menerjang sepenuh tenaga, andaikan dapat memisahkan kedua orang yang sedang mengadu tenaga itu, tapi sang Piauko sendiri tentujuga tidak dapat menahan gencetan dua arus tenaga yang berlawanan dan maha hebat itu dan pasti akan binasa seketika.

Maka ia menjadi kuatir dan tanpa berdaya, ia hanya bisa menangis saja sambil mendekap muka sendiri.

Syukurlah pada saat Buyung Hok mulai menerjang itu, sekonyong-konyong dari dua jurusan menyambar pula dua rangkum angin yang maha kuat dengan cepat luar biasa.

Maka tertampaklah dari sebelah timur melayang tiba seorang leki-leki berbaju hitam berperawakan tegap, muka berkedok, hanya kelihatan kedua matanya, sedangkan dari sebelah barat muncul seorang padri berjubah putih dan melulu matanya yang kelihatan.

Datangnya kedua orang ini sedemikian cepat sehingga seakan-akan dua jalur sinar hitam putih mendadak berkelebat ke depan Buyung Hok, berbareng kedua orang itu angkat tangannya pula sehingga dua arus tenaga yang sangat kuat menyambar kearah Buyung Hok, tanpa kuasa lagi Buyung Hok terpental mundur.

Sesudah mendesak mundur Buyung Hok, segera laki-laki baju hitam dan padri berjubah putih bergabung menjadi satu, dengan berjajar mereka terus menerjang ke depan, tenaga pukulan mereka pun terhimpun menjadi satu sehingga mendadak Toan Ki dan Goan Ci dapat dipisahkan. Bahkan kedua orang itu sedikit pun tidak berhenti, secepat kilat mereka lantas berpencar pula, seorang ke timur dan yang lain ke barat, hanya dalam sekejap saja mereka lantas menghiaing lagi.

Rupanya kedua orang yang berbaju hitam-putih itu telah menggabungkan tenaga pukulan mereka menjadi suatu jalur tenaga yang sempit untuk menerobos keempat tangan Toan Ki dan Goan Ci yang saling lengket itu sehingga kedua pemuda itu dapat dipisahkan secara mentah-mentah bahkan tenaga pukulan gabungan itu tidak lantas lenyap, tapi masih terus menyambar kedepan sehingga sebatang pohon itu seakan-akan terbelah oleh sebuah kampak raksasa yang maha tajam dan tumbang seketika.

Toan Ki dan Goan Ci juga tergetar mundur dua tiga tindaki lapisan es di tubuh Goan Ci sama rontok pula, sedang hawa berbisa Toan Ki juga menguap lenyap tanpa bekas.

Waktu Goan Ci terhuyung-huyung mundur, ia masih sempat mengetahui berkelebatnya bayangan si orang berbaju hitam yang melayang kearah barat sana, seketika ia tercengang dan teringat sesuatu.

Dahulu waktu Kiau Hong mengamuk di Cip-hian-ceng, saat itu Goan Ci mengikuti peristiwa itu dengan sembunyi di balik dinding, ia menyaksikan para ksatria sama menggeletak mati atau terluka parah, akhirnya Kiau Hong juga tidak tahan, tapi dapat di tolong oleh seorang laki-laki berbaju hitam dengan seutas tambang panjang, sebab itu kesan Goan Ci kepada orang berbaju hitam itu sangat mendalam.

Maka sekarang sekilas lihat saja ia dapat mengenali orang berbaju hitam tadi bukan lain adalah orang yang sama dahulu itu. sedangkan padri baju putih yang melayang kearah timur itu tidak keburu dilihat oleh Goan Ci.

Sebaliknya arah berdiri Cumoti dan Buyung Hok kebetulan dapat melihat bayangan tubuh padri berjubah putih itu. Mestinya Cumoti sudah mulai tenang kembali, tapi demi nampak potongan tubuh padri itu, kembali air mukanya berubah hebat pebuh keheranan dan kesangsian, ia berpaling dan tanya Buyung Hok, "Taisu tadi itu apakah…”

Tapi Buyung Hok lantas menggeleng kepala dan menjawab, "Gerak tubuhnya terlalu cepat, menyesal tidak jelas kulihatnya”.

Cumoti tercengang sambil bergumam sendiri. "Apakah dia….ah tentu, mata ku yang kabur sehingga mengira dia seorang sobatku yang lama”.

Dalam pada itu sesudah terpisah dari Toan Ki, segera Goan Ci memeriksa sekitarnya dan tidak mendapatkan A Ci, yang terlihat hanya Ong Giok yan dan Buyung Hok saja, maka kembali ia berteriak aneh. "Dimana A Ci?” segera Toan Ki hendak ditubruknya pula.

Tapi baru saja badannya bergeraki tiba-tiba terdengar suara sambutan A Ci dari tempat jauh. "ong kongcu, aku berada disini”

Sungguh girang Goan Ci melebihi putus lotere 120 juta demi mendengar suara A Ci, sekuatnya ia menahan tubuhnya sehingga terjatuh ketanahi tapi biarpun dia terbanting lebih keras juga takkan terasa sakit bahkan seoera ia meloncat bangun terus memburu kearah datangnya suara A Ci.

Maka tertampaklah A Ci sedang mendatangi dengan perlahan, bajunya yang berwarna ungu muda itu bergerakgerak ditiup angin, wajahnya menampilkan senyuman manis.

Saking girangnya Goan Ci sampai berteriak-teriak aneh terus memapak maju, meski ia lewat disamping Ong Giok yan yang kecantikannya boleh dikata tiada tandingannya di dunia ini, tapi sekejappun Goan Ci tidak meliriknya, mungkin dalam pandangannya biarpun bidadari yang turun dari kahyanganjuga tak dapat menandingi si A Ci kesayangannya itu.

Sesudah dekat, dengan napas memburu ia lantas tanya, "A Ci, kemanakah dikau pergi? Ai….aku….aku sungguh sangat kuatir”.

"Bukankah sekarang aku sudah kembali, kuatir apa?” sahut A Ci.

Tadi Goan Ci memang kelabakan setengah mati dengan hilangnya A Ci, kini demi ditegur oleh dara itu, seketika ia merasa rasa kuatirnya itu memang berlebihan, dalam keadaan buta dengan sendirinya A Ci takkan meninggalkannya, mengapa mesti kuatir?

Sekarang sesudah anak dara itu diketemukan kembali, sungguh girangnya sudah dilukiskan, segala apa yang terjadi tadi telah dikesampingkan seluruhnya. Maka dengan tertawa A Ci tanya, "Apakah kau jadi berkelahi dengan orang?”

Goan Ci hanya memandangi anak dara itu dengan terkesima, pada hakikatnya ia tidak dengar apa yang ditanyakan itu.

Berulang A Ci tanya pula, tapi mendadak Goan Ci malah balas tanya diluar garis. "Kenapa engkau tidak omong dan lantas tinggal pergi begitu saja?”

A Ci tertawa genit, sahutnya, "Aku pergi mencari tahu tentang dirimu”.

"Hah Kau..kau” seru Goan Ci terkejut.

"Tadi kudengar Buyung kongcu dan nona Ong Giok yan berdua lewat di luar hutan itu, teringat olehku bahwa Buyung kongcu adalah kawanmu, maka aku lantas berseru memanggilnya dan berbicara tentang dirimu”.

Seketka kepala Goan Ci seperti diguyur air es, keluhnya di dalam hati. "Wah, celaka tamat tamatlah riwayatku sekarang”

"He, kenapa kau? Mengapa diam saja?” Tanya A Ci dengan heran.

Belum lagi Goan Ci menjawab, tiba-tiba sebuah tangan orang meraih pundaknya, cepat Goan Ci menoleh, ia lihat orang itu adalah Buyung Hok yang sedang memandang padanya dengan tertawa. Keruan kejut Goan Ci tambah hebat sehingga mundur setindak.

Tapi dengan tertawa Buyung Hok berkata, "A Ci, sayang kau datang terlambat sedikit, Ong kongcu mu ini sangat mengkuatirkan dirimu dan dia telah unjuk ilmu saktinya sehingga kami benar-benar terpesona”.

Dengan girang A Ci menjawab. "Apakah betul? Ah, Buyung kongcu sendiri terlalu rendah hati”.

"Sekali-kali aku tidak rendah hati”, sahut Buyung Hok. "Betapa tinggi ilmu silat Ong kongcu sungguh sukar diukur”.

Mendengar ini, A Ci tertawa lebih gembira lagi. sebaliknya Goan Ci berdiri terpaku di tempatnya dengan perasaan bingung.

Sehabis berkata, lalu Buyung Hok lari pergi dengan perlahan, katanya. "Kami masih ada sedikit urusan, sampai bertemu pula”. Hanya sekejap saja orangnya sudah pergi jauh.

Sesudah termangu-mangu sebentar, kemudian Goan Ci berkata, "A Ci, ketika kau tanya mereka tentang diriku, apa yang dikatakannya padamu?”.

"Semula Buyung kongcu tercengang”, tutur A Ci, "Tapi kemudian nona Ong Giok yan mengingatkan dia, lalu ia mengatakan bahwa engkau sangat mirip dia bahkan orang lain sering menyangka kalian adalah saudara sekandung”.

Kembali Goan Ci termangu-mangu, sungguh terima kasihnya tak terhinggakan kepada Buyung Hok dan Ong Giok yan berdua, ia tahu kedua orang itu tentu melihat A Ci sudah buta, tatkala membicarakan diriku tampaknya anak dara ini sedemikian mesra, karena tidak ingin A Ci sedih dan kecewa, maka mereka sengaja membohonginya, hal ini tidak ubahnya seperti telah menolong jiwaku.

Sampai sekian lama Goan Ci tertegun, ketika ia menoleh, ia lihat Toan Kij uga sudah pergi, sedang Cumoti tampak lagi bergerak keluar hutan sana dengan cepat, segera Goan Ci berteriak-teriak. "Taisu.. Taisu”.

Tapi Cumoti sama sekali tidak menoleh, secepat terbang orangnya menghilang di balik pohon sana.

"Taisu, nanti malam akan kau cari aku lagi tidak?” seru Goan Ci pula.

Darijauh terdengar Cumoti menjawab, "Kamu tidak dapat membedakan antara yang jahat dan bajik, buat apa aku berhubungan lagi denganmu?”.

Goan Ci semakin gugup, serunya pula. "Tapi engkau telah berjanji akan terima aku sebagai murid, apa… apa…”

Tapi segera teringat olehnya bahwa A Ci berada disitu, ucapannya itu tentu akan membikin rahasianya terbongkar, seketika ia berkeringat dingin dan tidak sanggup meneruskan ucapannya.

Sementara itu Cumoti sudah berada sangat jauh tapi suaranya masih terdengar, "Jika kau mau taat kepada pesanku dan berdaya untuk membasmi Toa ok jin Toan Ki, maka harapanmu akan kuterima sebagai murid dikemudian hari mungkin bisa terkabul”.

Saking girangnya Goan Ci menjawab dengan suara keras, "Ya, ya Taisu Engkau sendiri jangan lupa ya”.

Habis itu, suasana di tengah hutan lantas sunyi senyap, sampai agak lama baru terdengar A Ci bersuara, "Ong kongcu, ilmu silatmu sendiri sudah tergolong kelas wahid, sampai Ting jun jiu juga kena kau labrak hingga ngacir mengapa engkau sedemikian menghormat kepada Tai lun beng ong ini, bukankah hal ini akan merosotkan harga dirimu?”

Goan Ci merasakan nada ucapan A Ci itu mengandung rasa kecewa, tidak puas dan mendongkol, agaknya menaruh curiga pula kepadanya, maka cepat ia menjawab, "A Ci, rupanya kau..kau tidak tahu bahwa aku hanya pura-pura hendak mengangkat guru padanya, tapi..tapi sebenarnya aku mempunyai maksud tujuan tertentu.....”

"Ah, kiranya demikian, jadi engkau hanya pura-pura saja hendak mengangkat guru kepadanya”, A Ci menegas dengan tertawa.

"Ya, sudah tentu hanya pura-pura saja”, sahut Goan Ci. "Coba pikirkan, aku Ong sing-thian adalah ciangbunjin Kek…Kek-lok-pai, masakah aku sudi berguru pula kepada orang lain? Tentang maksudku hendak mengangkat guru kepadanya sudah tentu pura-pura saja. Bicara tentang ilmu silat sejati, huh. masakah Cumoti itu….”

Sebenarnya ia hendak mengatakan Cumoti itu tak mungkin dapat menandingi dirinya, tapi dia adalah seorang jujur, terhadap Cumoti memang dia sangat kagum, biarpun dibelakang juga tidak mau berlaku kurang sopan, sebab itulah ia urung melanjutkan ucapannya itu.

Maka dengan tertawa A Ci berkata, "Ong kongcu, jangankan cuma Cumoti, sedangkan tokoh maha hebat seperti Buyung kongcu itu juga sedemikian menghormat dan segan padamu, sudah tentu Cumoti itu sekali-kali bukan tandinganmu. Tapi engkau sengaja pura-pura hendak berguru padanya, sebenarnya apa maksud tujuanmu?”

Goan Ci bukan anak bebal, tapi juga bukan orang pintar dan cerdik, disuruh mencari akal mendadak untuk membohong sekali-kali tak bisa. Maka demi ditanya oleh A Ci terpaksa ia menjawab. "Tentang ini..ini. ehm..ini.”

Seketika A Ci ngambek, dengan mulut menjengit ia berkata "Jika engkau tidak sudi menerangkan juga tak apa, memangnya aku juga tidak sesuai untuk ikut mengetahui rahasia dunia persilatan yang maha penting ini”.

Goan Ci menjadi gugup melihat A Ci kurang senang, cepat katanya. "Ini pun bukan rahasia apa-apa, jika kau ingin tahu, sudah tentu dapat kuterangkan”. Berbareng itu ia coba peras otak dengan harapan dapat menemukan sesuatu akal untuk menjawab pertanyaan A Ci itu, tapi meski sudah dipikir kian kem ri tetap tak diperoleh sesuatu akal yang baik.

Karena Goan Ci tergagap-gagap tak bisa menerangkan lebih jauhi A Ci mengira pemuda itu sengaja tidak mau bicara terus terang padanya. Biasanya A Ci terlalu dimanjakan dan tinggi hati meski sekarang matanya buta tapi dalam waktu singkat silat-silatnya itu sukar berubah. Maka dalam gusarnya segera ia membuang muka terus tinggal pergi dengan cepat.

Keruan Goan Ci tambah gugup, cepat ia berseru, "A Ci, A Ci, jangan gusar, biarlah kukatakan padamu sekarang juga”.

"Huh, tidak begini” jengek A Ci. "Aku tidak suka dengar lagi”.

Mendadak kakinya kesandung sesuatu dan jatuh tersungkur, sambil menjerit kaget. Meski matanya sudah buta, tapi ilmu silat A Ci masih cukup lihai, sekali tangan kanan menahan tanah, dengan enteng ia melompat bangun lagi.

Segera Goan Ci mendekatinya sambil bertanya. "Engkau tidak apa-apa bukan, A Ci?”.

"Biar terbanting mati saja daripada hidup di siksa” sahut A Ci.

Diam-diam Goan Ci heran bilakah dirinya pernah menyiksa anak dara ini? selama berkenalan dengan A Ci, yang sudah kenyang dihina dan disiksa adalah Goan Ci sendiri, tapi sekarang anak dara ini mengomeli dia dan memutar balikkan apa yang terjadi sebenarnya, keruan Goan Ci serba runyam.

Waktu A Ci berdiri tegak kembali, ketika ia coba meraba barang apa yang menyandung kakinya itu hingga jatuhi ternyata di situ terlintang sebatang pohon tumbang yang sudah terbelah menjadi dua, bagian batang pohon yang terbelah terasa sangat licin dan rajin, rasanya sekali-kali bukan dipotong oleh gergaji dan sebagainya, andaikata dikapak juga tidak mungkin terdapat kapak sebesar itu yang dapat membelahnya dari atas kebawah dan tidak mungkin pula terdapat manusia raksasa yang mampu membelah sebatang pohon besar dari atas.

Sesudahberpikir sejenak segera A Ci tahu sebab musababnya, katanya dengan suara terputus-putus, "Ong…ong kongcu, tadi engkau telah-telah bertanding dengan orang dan membelah pohon ini menjadi dua bukan?”.

Sebenarnya watak Goan Ci sangat rendah hati dan tidak suka membual serta mengagulkan diri sebab dia tahu diri sendiri adalah orang bodoh, hendak membual juga tidak bisa, tapi sekarang dihadap n A Ci, ia menjadi kuatir kalau anak dara itu mengetahui harga dirinya yang tidak laku sepeserpun, sekali guci wasiatnya terbongkar, seketika anak dara itu akan meninggalkan dirinya.

Sebab itulah, setiap kesempatan yang dapat menaikkan harga diri dan ilmu silatnya tentu tidak disia-sia kan olehnya.

Akan tetapi terbelahnya pohon sebesar ini adalah lantaran gabungan tenaga laki-laki baju hitam dan padri jubah putih yang dilakukannya dalam sekejap setelah memisahkan Goan Ci dan Toan Ki, betapa hebatnya tenaga gabungan itu mana dapat ditandingi oleh siapapun juga. Biarpun sekarang Goan Ci hendak membual dihadapan A Ci juga tidak berani mengaku mempunyai kemampuan sehebat itu.

Karena itu ia hanya menjawab dengan tergagap. "Tentang ini…ini bukan..”

"Ong kongcu”, sela A Ci dengan tersenyum. "Engkau ini sangat baik. Cuma ada sesuatu yang kurang”.

"Kur..kurang apa?” Tanya Goan Ci cepat.

"Engkau terlalu rendah hati”, ujar A Ci. "Sudah terang gamblang ilmu silatmu maha tinggi, tapi engkau tidak mau mengaku. Meski orang pandai biasanya memang tidak suka pamer, tapi terhadap-terhadap diriku masakah kaupun anggap seperti orang lain?”.

Hati Goan Ci berdebar-debar hebat, dengan suara kikuk ia jawab, "Terhadapmu sudah..sudah tentu lain dari yang lain. Kau bilang apa tentu itu yang kulakukan. A Ci, sejak berjumpa denganmu aku selalu bersikap demikian”.

A Ci menghela napas, katanya. "Cuma sayang aku tidak pernah dapat melihat wajahmu, ya, seumur hidup ini aku takkan dapat melihatmu lagi”.

Seketika anak dara itu menjadi muram durja. Tapi sejurus kemudian ia lantas berkata dengan tertawa lagi. "Menurut Buyung kongcu itu, katanya orang lain suka angap mukamu sangat mirip dengan dia, tapi ia sendiri merasa tak dapat membandingimu. Nyata engkau memang seorang yang ganteng bagus, ilmu silatmu sangat tinggi pula, sebaliknya aku., aku hanya seorang nona buta, dimanakah letak kebaikanku sehingga berharga mendapatkan perhatianmu?”.

Hati Goan Ci sangat terharu, mendadak ia berlutut dan katanya dengan suara gemetar, "No..nona hendaklah jangan berkata demikian lagi, aku..Ong sing thian hanya berharap selama hidup ini senantiasa dapat berdampingan denga nona, untuk itu biarpun aku menjadi budakmu juga aku rela”.

Sudah tentu A Ci tidak tahu Goan Ci berlutut, tapi dari nada ucapannya itu ia dapat mendengar perasaan pemuda itu sangat terguncang, maka ia sangat girang, katanya, "Ong kongcu, engkau sedemikian baik padaku, ya, boleh dikata kita ini memang ada jodoh, aku pun berharap dapat berdampingan denganmu untuk selamanya dan takkan berpisah lagi. Cuma…cuma, dikemudian hari nanti kurasakan engkau belum tentu tetap setia padaku seperti sekarang”.

Goan Ci menjadi gugup, cepat ia bersumpah dengan suara keras, "Tuhan menjadi saksi bila, bila kelak aku berbuat tidak pantas kepada nona A Ci, biarlah Tuhan menghukum aku tersiksa selama hidup dan takkan hidup gembira seperti sekarang ini”.

"Hihijadi sekarang engkau sangat gembira?” Tanya A Ci dengan tertawa.

"Ya, gembira sekali”, seru Goan Ci sambil berdiri "Sekarang aku merasa sangat bahagia, mungkin malaikat dewata juga tak dapat melebihiku”.

Tiba-tiba A Ci termenung-menung sambil menengadah, katanya, "Ong kongcu, engkau telah menipu Tai lun beng ong dan pura-pura menyatakan hendak mengangkat guru kepadanya, sebenarnya apa maksud tujuanmu? Apakah dalam ilmu silatnya itu ada sesuatu yang istimewa yang ingin kau selami dan engkau menipunya untuk mendapatkan kepandaiannya itu, lalu akan kau binasakan dia? ya, bagus, kukira pasti demikian. Cuma saja Cumoti itu sangat licin, rasanya tidak mudah untuk mengakali dia”.

Diam-diam Goan Ci terkejut, ia tak habis mengerti mengapa yang dipikirkan anak dara itu selalu hal-hal yang keji seperti itu? Tapi dengan uraian A Ci itu, kini dapat memecahkan kesulitan Goan Ci malah, sebenarnya ia serba susah karena tak dapat memberi alasan yang masuk akal untuk membohongi A Ci, sekarang ia tidak perlu cari akal lagi, segera ia mengiakan dan membenarkan saja untuk menuruti jalan pikiran A Ci itu.

Maka A Ci berkata pula, "Ong kongcu, bahwasannya ilmu silatmu sangat tinggi, tetapi Cumoti yang cerdik dan pintar itu tidak mungkin tidak tahu dan tentu dia takkan mau mengatakan padamu tentang ilmu sakti andalannya dengan sejujurnya, maka jika kau ingin menipu ilmu silatnya kukira hanya ada satu jalan”.

"Jalan bagaimana?” Tanya Goan Ci.

"Begini, tutur A ci. "Lebih dulu engkau berjanji dengan dia agar saling mengajarkan kepandaian andalan masing-masing, harus saling tukar kepandaian masing-masing baru akan membawa manfaat bagi kedua pihaki dengan demikian tentu dia akan keluarkan kepandaiannya yang sejati tanpa curiga, sebaliknya kau pun mesti mengajarkan kepandaianmu yang sejati kepadanya, sekali-kali tidak boleh main simpan kepandaian, sebab dengan kecerdikan Cumoti itu, sedikit kau curang tentu akan diketahuinya”.

"Aku., aku harus mengajarkan dia dengan kepandaianku yang sejati?” Goan Ci menegas dengan ragu-ragu. sedang di dalam hati ia membatin. "Aku mempunyai kepandaian sejati apa? Kalau kepandaian gegares sih aku memang hebat”.

Tapi dengan tersenyum A Ci berkata, "Ya, kau pun harus mengajarkan kepandaianmu yang sejati padanya, kalau tidak tentu sukar mendapatkan kepandaian Cumoti yang sejati. Cuma saja harus kau tinggalkan satu dua jurus terakhir yang paling lihai dan jangan buru-buru diajarkan semua padanya, dengan demikian tentu dia takkan turun tangan lebih dulu untuk membunuh mu”.

Goan Ci terperanjat, serunya. "Apa? Dia akan turun tangan lebih dulu membunuh aku?”

"Ya, kalau dia tidak turun tangan lebih dulu maka engkau yang harus turun tangan lebih dulu”, sahut A Ci "Ong kongcu, aku menaksir dia juga mempunyai maksud tujuan yang sama seperti dirimu, tapi hendaklah engkau

jangan terlalu tamak, asal sudah dapat menguasai sembilan bagian dari seluruh kepandaiannya yang sejati, sisanya boleh kau tinggalkan saja. yang paling penting turun tangan lebih dulu dan sekali hantam lantas binasakan dia daripada akhirnya engkau yang akan dibunuh olehnya, kan bisa runyam?”

Seketika Goan Ci merinding, ia sudah kenal watak A Ci yang kejam, asal dapat menyenangkan diri sendiri, tentang mati hidup orang lain tidak pernah dipikirkan, hal ini Goan Ci sendiri sudah kenyang merasakannya.

Tapi dasar Goan Ci sudah kesemsem benar-benar padanya, meski seram atas sifat anak dara itu, namaun dalam hati ia masih pikir, "Ya, betapapun yang dipikirkan itu adalah demi kebaikanku, jika aku tidak turun tangan lebih dulu untuk membinasakan cumoti, tentu aku sendiri yang akan mampus dibunuh oleh Cumoti”.

Kalau terang-terangan suruh dia membunuh orang, terutama padri sakti yang sangat dipujanya itu betapapun ia merasa segan, semula ia berharap Cumoti lekas datang menemuinya lagi, tapi sekarang berbalik ia berharap semoga padri itu jangan diketemukan.

Dan karena tidak mendengar jawaban Goan Ci, segera A Ci bertanya lagi. "Kenapa? Apakah perkataanku salah?”

"Ooo..tidak..tidak perkataanmu sangat tepat” cepat Goan Ci menjawab. "Aku sedang berpikir kelak Cumoti itu hendak tukar pikiran tentang ilmu silat denganku, lantas ilmu silat mana yang harus kupakai untuk mengadakan pertukaran dengan dia”.

Diam-diam A Ci pikir, "Ong kongcu ini sekarang sangat kesemsem padaku, agaknya dia memang sungguhsungguh, tetapi siapa yang berani menjamin dia takkan berubah pikiran di kemudian hari? Andaikata kelak mendadak timbul maksud jahatnya dan aku ditinggal pergi begitu saja, sedangkan kedua mataku sudah buta, lantas cara bagaimana aku dapat hidup di dunia ini? Namun jika aku sudah berhasil memperoleh ilmu saktinya, aku dapat menggunakan telinga sebagai gantinya mata, dalam kedudukanku sebagai ketua Siong siokpai, aku dapat menyuruh para murid mengiringi disekelilingku, tatkala itu bila dia berani main gila tentunya aku dapat berdaya untuk membunuhnya. Maka hal yang terpenting sekarang adalah belajar ilmu saktinya. Tapi kalau aku bicara terus terang minta belajar padanya belum tentu dia mau meluluskan, maka lebih baik aku mengakali dia saja”.

Sesudah ambil keputusan demikian, segera ia berkata, "Ong kongcu, meski kedua mataku sudah buta, tapi pikiranku masih cukup cerdas bukan?”

"Sudah tentu, sahut Goan Ci. "Kecerdasanmu bahkan jauh lebih hebat daripadaku, otakmu lebih tajam daripadaku”.

"Itulah sukar dipastikan”, ujar A Ci dengan tertawa. "Tapi sebodoh-bodohnya seorang tentu akan pintar bila dua orang suka berunding. Maka kalau kita berdua mau bersatu padu, kukira cara berpkir kita tentu akan lebih sempurna”.

"Jika begitu, apa pun yang nona hendak katakan padaku boleh silahkan bicara terus terang saja, aku pasti akan menurut”, sahut Goan Ci.

"Kupikir Cumoti itu sangat licin dan licik, sebaliknya engkau sangat lugu dan jujur, bila bergebrak dengan dia, mungkin engkau akan tertipu olehnya. Maka lebih baik begini saja, boleh keluarkan segenap ilmu silatmu padaku, nanti aku akan ikut memikirkan bagian-bagian mana yang boleh diajarkan kepada Cumoti itu dan bagian mana yang harus dirahasiakan”.

Keruan Goan Ci kelabakan oleh permintaan A Ci itu, pikirnya. "Wah, celaka Apa barangkali dia telah mengetahui rahasiaku yang sebenarnya tidak becus sesuatu ilmu silat apa pun dan sekarang sengaja hendak membikin susah padaku? Wah, lantas bagaimana baiknya ini,?”

Karena tidak memperoleh jawaban Goan Ci, dasar A Ci memang kelewat pintar, sebaliknya tidak dapat melihat perubahan air mukaGoan Ci, maka disangkanya pemuda itu sungkan mengunjukkan ilmu silatnya sendiri. Diam-diam A Ci pikir pula, ilmu silat Ong sing thian ini maha sakti, dia adalah seorang ciangbunjin pula, sudah tentu dia bukan orang bodoh dan tidak dapat kutipu dengan begini saja, kulihat dia memang sungkan memamerkan ilmu silatnya padaku. Karena gugupnya itu, tanpa terasa menangislah A Ci. Goan Ci terkejut, cepat serunya, "He, kenapa nona?”

"Sudahlah, lekas-lekas kau pergi saja dan selanjutnya jangan urus diriku pula, aku pun tidak ingin melihatmu lagi”, sahut A Ci sambil terguguk.

Keruan bukan main kejut Goan Ci, sahutnya cepat, "Ai, baru saja kita bicara baik-baik, kenapa mendadak nona berkata demikian?”

Mendengar suara orang agak gemetar, diam-diam A Ci bergirang, pikirnya, "Orang ini ternyata benar-benar telah jatuh hati padaku, untuk menipu dia terang sangat susah, lebih baik bicara terus terang dan memohon padanya, mungkin dia akan dapat meluluskan permintaanku”.

Karena itu segera A Ci berkata. "Kukira sepuluh hari atau setengah bulan lagi tentu akan kau tinggalkan diriku, daripada nanti sedih dan berduka, lebih baik sekarang kita lekas berpisah saja”.

Goan Ci menjadi girang dan kuatir pula, cepat sahutnya, "Aku sudah menyatakan selama hidup takkan meninggalkan nona, janji sudah kukatakan, sumpah sudah kuucapkan, masakah nona masih tidak percaya?”

"Aku justru tidak percaya” ujar A Ci sambil goyang kepala.

"Habis bagaimana, apa perlu kukorek hatiku ini supaya nona memeriksanya sendiri, dengan demikian tentu nona akan percaya”.

Tiba-tiba A Ci menangis lagi sambil berkata. "Kau..kau tahu kedua mataku sudah buta, maka segaja menggunakan kata-kata demikian untuk menyindir aku”.

Goan Ci tambah gugup sehingga keluar keringat, mendadak ia berlutut dan bermaksud merangkul kaki A Ci, tapi sebelum menyentuh kaki anak dara itu, tiba-tiba timbul rasa takutnya dan cepat menarik kembali tangannya dan berkata. "Sekali-kali aku tidak bermaksud begitu, jika aku sengaja biarlah aku dikutuk”.

A Ci dapat mendengar suara Goan Ci berlutut dihadapannya, diam-diam ia sangat girang, tapi air matanya semakin bercucuran, katanya dengan sesenggukan, "Ya, kecuali kau penuhi sesuatu permintaanku baru aku mau percaya”.

"Jangankan satu, biarpun seratus atau seribu permintaan nona juga akan kuterima”, sahut Goan Ci cepat. "Nah, lekas nona katakan”.

"Tapi-tapi engkau toh tidak bakalan menerima, biar kukatakan juga percuma, paling-paling akan dibuat buah tertawaanmu saja”, ujar A Ci.

Begitulah A Ci sengaja jual mahal untuk memancingkan Ci, semakin dia tak mau bicara, semakin bernafsu Goan Ci memohon.

Akhirnya berkatalah A Ci, "Apabila engkau benar jujur kepadaku, maka hendaknya kau ajarkan sedikit banyak ilmu silat saktimu padaku, agar kelak bila kau tinggalkan aku, paling tidak aku sudah mempunyai sedikit ilmu penjaga diri”

Jika Goan Ci benar-benar mempunyai ilmu sakti, sedikit A Ci memohon saja pasti akan diluluskannya.

Akan tetapi pada hakikatnya Goan Ci tidak mahir ilmu silat apa-apa, dibandingkan kepandaian A Ci sendiri bahkan juga selisih sangat jauh, darimana Goan Ci dapat menerima permintaan itu.

A Ci menjadi gelisah karena sampai lama tidak mendengar jawaban Goan Ci. Pikirnya, "Mumpung sekarang dia sangat kesemsem padaku, betapapun aku harus minta dia meluluskan permohonanku”.

Maka sengaja dia menghela napas, lalu berkata, "Ong kongcu, bahwasannya aku minta kau ajarkan ilmu saktimu, hal ini memang tidak pantas dan tentu sukar diterima olehmu, tapi akupun tidak menyalahkanmu, maka biarlah kita berpisah saja mulai sekarang”.

Goan Ci menjadi gugup, sepat serunya, "Tidak..Tidak aku meluluskan permintaanmu, aku akan mengajarkan ilmu sakti padamu”.

A Ci sangat girang, tapi lahirnya ia berlagak anggap sepele dan berkata. "Kamu terpaksa menerima permintaanku, andaikan mengajar juga kurang rela dalam hati, buat apa sih begini? Lebih baik kita berpisah saja dan untuk selanjutnya tidak perlu bertemu lagi”.

Dalam gugupnya timbul suatu pikiran pada benak Goan Ci. "Betapapun harus kuhalangi kepergiannya, soal mengajar ilmu juga bukan pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam satu-dua hari, paling penting sekarang aku harus menahannya disini”.

Dalam bingung itu tiba-tiba teringat olehnya kejadian di Cip-hian-ceng dahulu, tatkala mana ayahnya minta seorang tokoh persilatan agar sudi memberi petunjuk beberapa jurus kepadanya. Maka tokoh persilatan itu minta dia mengunjuk dulu apa-apa yang telah pernah dipelajarinya agar dapat diketahui sampai dimana kepandaian yang telah dikuasainya.

Namun Goan Ci sendiri menyadari dalam hal ilmu silat dirinya terlalu tak becus, sekali main tentu akan membikin malu sang ayah dan pamannya maka biarpun sudah dipaksa-paksa tetap ia tidak mau main, sudah tentu tokoh persilatan itu tidak senang dan karena itu pula lantas tidak jadi memberi petunjuk.

Teringat akan kejadian dahulu itu segera Goan Ci berkata. "Nona, jika engkau hendak mempelajari ilmu saktiku, maka kita harus mencari suatu tempat yang sunyi sepi agar tidak diganggu orang luar. Lebih dulu harus kau tunjukkan segenap kepandaian yang pernah kau pelajari dari Sing-siok-pai, dengan demikian barulah aku dapat menilai kepandaianmu dan kemudian mengajarkan ilmu-ilmu sakti padamu”.

"Bagus, memang seharusnya begitu, seru A Ci dengan girang. Cuma kita juga tidak perlu mencari tempat yang terlalu sepi, paling baik sembari mengajarkan ilmu padaku, kita sambil mencari markas besar Kai pang, dengan

demikian kita dapat segera merebut kedudukan Pang cu dari kaum jembel itu untuk dikembalikan kepada Cihuku dinegeri Liau sana. Besar kemungkinan cihu tak mau terima, dengan demikian aku sendirilah nanti yang akan menjadi Pangcu. Wah, sungguh hebat, selain menjadi Ciangbunjin Sing-siok-pai aku pun merangkap menjadi Pangcu Kai pang, aku akan bekerja sama dengan ciangbunjin Kek-lo-pai untuk menjagoi dunia persilatan ini, biarpun siau-lim-pai, Koh-soh Buyung dan lain-lain juga pasti akan keder bila mendengar nama kita. Wah, sungguh bagus sekali, bukan?”

Begitulah makin bicara makin gembira, meski kedua matanya buta, tapi tidak mengurangi kecantikannya tatkala gembira ria demikian sehingga jantung Goan Ci berdebar-debar dibuatnya.

Sesudah A Ci tenang kembali, lalu berkatalah Goan Ci. "Untuk merebut kedudukan Pangcu dari Kai pang memang juga bukan soal sulit. Cuma saja kalau aku yang merebutnya bagimu, nanti rasanya takkan membikin tokoh Kai pang itu tunduk benar-benar, lebih baik tunggu saja nanti bila aku sudah mengajarkan ilmu sakti padamu dan kau sendiri dapat menundukkan mereka dengan kepandaianmu sendiri, paling-paling aku cuma mengawalmu dari samping saja untuk menjaga keselamatanmu, dengan demikian bukankah jauh lebih baik?”

"Ya, ya, bagus” seru A Ci. "Ong kongcu, sifatku memang terlalu tergesa-gesa. Kita juga tidak perlu mencari tempat sepi lagi, disini kan tidak ada orang lain. Nah, biar kutunjukkan kepandaian Sing-siok-pai yang paling kasar kepadamu agar engkau dapat segera pula mengajarkan ilmu sakti padaku. Nah, kunci dari pengantar ilmu silat Sing-siok-pai adalah begini”.

Lalu ia menguraikan istilah-istilah yang merupakan kunci ilmu silat Sing-siok-pai yang pernah dipelajarinya dariTing Lokoai, menyusul ia tunjukkan pula beberapa jurus permainannya.

Diam-diam Goan Ci berpikir, sebenarnya aku telah diterima sebagai murid oleh Ting Lokoai tapi karena membela A Ci sehingga aku bermusuhan dengan dia, maka sedikitpun aku belum memperoleh kepandaiannya, sebaliknya malah banyak mengalami kesukaran selama ini. sekarang aku mengaku sebagai seorang kosen yang memiliki ilmu sakti segala, padahal kepandaianku hanya gegares belaka, ilmu sakti apa segala sama sekali aku tidak becus. Tapi agar tidak mencurigakan A Ci, terpaksa aku main kayu sekadar mengelabui dia, biarlah kukatakan ilmu silat Sing-siok-pai tidak berguna, selain itu aku tidak punya cara lain”.

Segera ia berkata. "Nona, kulihat ilmu silat yang kau pelajari telah tersesat kejalan yang tidak benar, ilmu silat Sing-siok-pai memang juga tidak terlalu jelek, maka aku harus mempelajarinya dahulu agar dapat memahami di mana letak kesalahannya, dengan demikian barulah aku dapat memberi petunjuk padamu agar kembali kearah yang benar”.

"Betul” seru A Ci dengan girang. "Memang guruku, eh, tidak. Ting Lokoai itu memang biasanya tidak suka menerima murid yang sudah pernah belajar silat sebab katanya orang yang sudah pernah belajar silat bila disuruh ganti belajar ilmu silat Sing-siok-pai akan beberapa kali lebih sukar daripada orang yang tadinya sama sekali belum pernah belajar silat. Tapi sekarang, Ong kongcu, tentu engkau akan banyak lebih susah bila mengajarkan ilmu sakti padaku”.

"Ah.. hanya sedikit kesukaran ini apa alangannya?” sahut Goan Ci. Nah. coba aku akan mulai Jurus pertama yang kau mainkan tadi adalah begini, dan jurus kedua demikian” Begitulah Goan Ci lantas menirukan gaya permainan A Ci tadi dan mulai berlatih.

Ilmu silat Sing-siok-pai itu dasarnya memang berpangkal pada ilmu berbisa, semakin kuat Iwekang yang berbisa jahat, semakin lihai pula ilmunya itu.

Dua jurus pertama yang dipertunjukkan A Ci tadi disebut Kim goan kek sik (gaya jagat tak berkutub) yaitu jurus permulaan dari kungfu Sing-siok-pai. Bagi yang mulai berlatih biasanya perlu makan waktu sebulan dua bulan baru dapat menguasainya betul-betul.

Tapi sekarang Goan Ci sudah memiliki Iwekang yang tinggi, racun ulat sutra es yang maha hebat dan mujizat itu luar biasa kuatnya, sampai Ting Lokoai sendiri pun kewalahan.

Kini Goan Ci menirukan gaya permainan A Ci tadi, sekali tangannya bergeraki segera terjadilah jurus pertama itu dengan sempurna, bahkan ketika tangannya menampar ke depan, mendadak terdengar suara gemuruh yang keras, sebatang pohon kecil yang terletak kira-kira dua tiga meter di depan sana kontan tumbang.

Keruan Goan Ci kaget, ia coba memainkan jurus kedua dan kembali tangannya menampar lagi kedepan tapi lagi-lagi sebatang pohon terhantam patah menjadi dua.

Ia bergirang dan terperanjat pula, pikirnya, "Wah. ilmu silat Sing-siok-pai ini ternyata membawa daya sakti sehebat ini jangan-jangan dia sengaja hendak mempermainkan aku, dia sendiri mahir ilmu selihai ini, tapi mengapa minta belajar ilmu sakti apa segala padaku?”

A Ci sendiri ketika mendengar suara tumbangnya pohon itu segera berkata, "Wah. benar-benar maha lihai Ong kongcu, lekas kau ajarkan padaku, cara bagaimana sekali hantam dapat menumbangkan pohon?”

"Apakah jurus yang kau mainkan tadi tidak dapat menumbangkan pohon?” Tanya Goan Ci dengan ragu.

A Ci mengikik tawa, sahutnya, "Jurus Kun goan bu kek sik ini adalah jurus pengantar yang paling kasar dan dipelajari setiap murid Sing-siok-pai yang mulai belajar, kalau sekali hantam dapat tumbangkan pohon, bukankah setiap murid Sing-siok-pai akan menjadi jago yang tiada tandingannya di dunia ini?”

Tapi Goan Ci tetap tidak paham sebab musabab pohon tumbang itu. segera ia coba menghantam pula tapi tidak menurut gaya permainan A Ci tadi. sekarang pohon yang di arah itu ternyata bergoyang sedikitpun tidak, ia coba perkeras tenaganya, tetap pohon itu tidak bergeming, sebaliknya ketika ia gunakan gaya Kun goan bu kek sik lagi, "Blam” kontan pohon itu patah dan tumbang bagai dipotong dengan sebatang kapak raksasa.

Kiranya setiap jurus dan setiap gaya ilmu silat Sing-siok-pai dapat mengembangkan racun dingin dari tenaga dalam melalui jurus ilmu silat itu. untuk ini yang lebih penting adalah tenaga dalam dengan racun dingin yang hebat, dengan demikian baru dapat dikerahkan melalui daya serangan yang dilontarkan dengan sepenuhnya.

Untuk belajar jurus ilmu silat Sing-siok-pai itu gampang, yang susah adalah memiliki Iwekang yang hebat itu. Pada umumnya murid Sing-siok-pai hanya pandai menggunakan gaya ilmu silat mereka, diantaranya cuma Ti sing cu dan beberapa orang lagi yang cukup tinggi Iwekangnya, dan diantara mereka itulah tergolong tokoh pilihan dalam Sing-siok-pai.

Sekarang Goan Ci tidak paham seluk beluk hal itu, ia pun tidak berani banyak tanya, sebab kuatir rahasianya diketahui A Ci. Lantaran itu, ia hanya minta agar A Ci mengunjukkan ilmu silatnya yang lain.

A Ci lantas meneruskan permainannya sejurus dan Goan Ci juga lantas menjiplak dengan cara yang sama, tapi pada setiap jurus itu ia dapat mengerahkan tenaga serangan yang maha hebat.

Maka sesudah belasan jurus Goan Ci merasa apa yang dipelajari sudah terlalu banyak dan sukar untuk diingat semua, segera ia minta A Ci berhenti dulu dan mengulangi lagi dari semula.

Dengan tertawa A Ci berkata, "Ong kongcu, menurut pendapatmu, tentu ilmu silat Sing-siok-pai ini terlalu dangkal dan mentertawakan, bukan?”

"Juga tidak, diantaranya banyak pula yang dapat dipakai. Cuma ..Cuma memang agak kurang bernilai”, ujar Goan Ci dengan lagak maha guru.

Sembari bicara, ia pun menirukan gaya A Ci sambil sebelah kakinya menendang kedepan sehingga sepotong batu kena disambarnya sehingga mencelat, sungguh kebetulan juga, ketika batu itu mencelat beberapa meter jauhnya dan waktu turunnya dengan tepat hampir menimpa kepala dua orang yang saat itu sedang berjalan datang dengan cepat.

Melihat batu itu akan menjatuhi kepala orang Goan Ci menjadi kuatir, cepat ia menjerit, "Wah, celaka. He awas Ada batu jatuh”.

Seorang di antaranya yang berada di sebelah kiri segera menggeser ke samping, kedua tangannya menolak sekaligus ke atas sehingga batu yang menyambar itu kena ditolak ke samping dan membentur tebing disisinya sehingga menerbitkan suara keras diserta meletiknya lelatu api.

Orang itu menjadi gusar dampratnya, "Siapa yang berani main gila dengan tuanmu”

Dengan cepat sekali mereka lantas melompat kehadapan Goan Ci dan A Ci.

Melihat kedua orang itu berbaju compang camping, berdandan sebagai pengemis dengan membawa beberapa buah kantung kain, maka Goan Ci segera tahu kedua orang itu pasti anggota Kai pang. Lekas ia memberi hormat dan berkata, "Maafkan kedua Toako dari Kai pang, kami tidak sengaja, sudilah kalian jangan marah”.

Karena Goan Ci cukup sopan dan telah minta maaf, pula dari daya sambaran batu yang keras tadi, kedua orang Kai pang itu percaya ilmu silat Goan Ci pasti sangat lihai, maka mereka pun tidak ingin cari perkara, segera mereka membalas hormat dan menjawab. "Ah, tidak apa-apa”

Habis itu segera mereka hendak melanjutkan perjalanan.

Tiba-tiba A Ci berseru, "He, apakah kalian orang Kai pang? Wah, bagus, sangat kebetulan Memang aku hendak mencari sarangmu untuk merebut kedudukan Pangcu kalian, sekarang kalian datang ke sini, eh, dimanakah letak markas besar kalian sekarang?”

Mendengar orang hendak merebut kedudukan Pangcu organisasi mereka, pula melihat dandanan A Ci jelas bukan sesama anggota Kai pang, terang hal ini merupakan suatu hinaan maha besar bagi kehormatan Kai pang mereka, keruan seketika air muka kedua orang Kai pang itu berubah hebat, berbareng mereka bertanya, "Siapa kamu ini? Kenapa sembarangan menghina kami?”

A Ci sengaja mencari alasan untuk cari perkara kepada Kai pang, sekarang kedua orang itu menanyakan asal usulnya, keruan hal ini sangat kebetulan baginya, segera ia jawab dengan tersenyum. "Aku ini ketua Sing-siokpai yang baru, aku she Toan bernama Ci”.

Si pengemis yang pertama degan badan tinggi kurus itu tampak berkerut kening, katanya. "Pemimpin Singsiok-pai adalah Ting Lokoai, hal ini diketahui oleh setiap orang kangouw, mengapa kamu budak cilik ini berani sembarangan omong?”

Pengemis yang lain bertubuh sedang, usianya sudah mendekati setengah abad, tapi kedudukannya tampak lebih rendah daripada temannya sehingga segala apa hanya menurut perintah si pengemis kurus saja, tapi dia dapat berpkir lebih hati-hati, maka dengan suara perlahan ia membisiki kawannya itu. "Tik hiante, kita masih ada urusan penting, lebih baik jangan menggubris anak kecil yang masih ingusan ini”.

Si pengemis kurus mendengus sekali, katanya, "Hm, seorang budak buta, seorang lagi..”

Sampai disini ia melirik sekejap kearah Goan Ci dengan sikap jijik dan memandang rendah, nyata bila dia meneruskan ucapannya itu dapat ditaksir apa yang akan dikatakan kalau bukan jelek seperti siluman tentu adalah mirip setan.

Sudah tentu Goan Ci tidak mau memberi kesempatan padanya untuk mengucapkan kata-kata yang dapat membongkar keburukan wajahnya itu. Maka tanpa bicara lagi tangannya terus bergerak, ia pakai gaya permainan silat A Ci yang disebut Kun goan bu kek sik tadi dan menghantam perlahan kedepan.

Ilmu silat pengemis kurus itu juga sangat hebat, gerak-geriknya juga cepat. Begitu melihat Goan Ci menghantam, meski jarak mereka sebenarnya ada dua tiga meter jauhnya dan tangan Goan Ci tidak nanti dapat mencapai badannya, namun dia tidak berani gegabah dan lekas menghimpun tenaga untuk menyambut serangan itu.

Maka terdengarlah suara krak sekali, mendadak tubuh pengemis itu terjengkang kebelakang, ternyata tulang punggungnya patah sebatas pinggang, orangnya menjadi mirip tertekuk menjadi dua.

Keruan pengemis yang lebih tua tadi terkejut, ia berseru, "He, Tik hiante, ken..kenapakah? He, engkau sudah meninggal”

Sebenarnya Goan Ci tiada maksud hendak membunuh orang, tujuannya hanya untuk mencegah agar pengemis kurus itu tidak mengucapkan kata-kata yang akan membongkar rahasia kejelekan mukanya, siapa duga mendadak terdengar pengemis tua itu mengatakan lawannya sudah mati, keruan ia terkejut dan berseru, "He, kenapa dia?”

Segera ia memburu maju, ketika ia periksa pengemis kurus itu, ia lihat kedua biji matanya melotot keluar, mukanya sangat mengerikan. Goan Ci menjadi takut dan menyesal, katanya dengan gelagapan, "O..ini..ini...”

Sebaliknya si pengemis tua menjadi kuatir dirinya juga akan diserang oleh Goan Ci yang mukanya buruk menakutkan itu, ia pikir daripada mati konyol lebih baik turun tangan lebih dulu, maka selagi Goan Ci

berjongkok memeriksa si pengemis kurus, segera pengemis tua itu angkat kedua kepalan dan sekuatnya menghantam punggung Goan Ci.

Pertama, Goan Ci memang tidak becus ilmu silat segala, mka tidak dapat berkelit. Kedua, dia telah membinasakan si pengemis kurus secara tidak sengaja, ia merasa menyesal, maka rela digebuk beberapa kali oleh lawan untuk sekedar menebus dosanya.

Maka terdengarlah suara "blak-bluk” dua kali, kedua kepalan si pengemis tua itu dengan keras mengenai punggung Goan Ci. Akan tetapi yang roboh terpental justru pengemis iu sendiri dengan mulut menyemburkan darah segar.

Goan Ci kaget, serunya, "He, kenapa dia?”

Sebalinya A Ci memujinya, "Ong kongcu, ilmu silatmu benar-benar maha hebat, hanya sekali dua gebrak saja sudah membereskan kedua jago pilihan Kaipang”.

Melihat darah segar masih terus menyembur keluar dari mulut pengemis tua itu, Goan Ci menjadi takut, segera ia pegang tangan A ci dan diseretnya lari. "Marilah kita lekas pergi, lekas”

Tanpa kuasa A Ci diseret Goan Ci dan ikut lari dengan cepat, ia dengar angin berkesiur ditepi telinga, ia tahu mereka berlari sangat kencang, ia menjadi senang dan berseru. "Wah, sangat enak. Ayolah lari lebih cepat lagi”

Maka dalam sekejap saja mereka sudah lari sejauh belasan li. Dari belakang sayup-sayup terdengar suara teriakan orang, "Yu hiante Berhenti dulu, Yu hiante..”

Jelas itu suara Pau Put tong, tapi Goan Ci habis membunuh orang, ia kuatir ditangkap oleh Pau Put tong, maka bukannya dia berhenti, sebaliknya lari terlebih cepat.

Orang yang memanggil itu memang betul Pau Put tong, sekarang dia bersama Hong Po ok, Buyung Hok, Ting Pek-jwan dan Kongya Kian serta Ong Giok yan telah berkumpul kembali. Mereka telah bicara diri Goan Ci yang aneh itu, karena tertarik, maka Buyung Hok lantas putar balik mencarinya lagi dengan maksud hendak tanya lebih jauh tentang seluk beluk diri Goan Ci itu.

Dari jauh mereka melihat Goan Ci merobohkan dua orang, lalu melarikan diri dengan menyeret A Ci, Buyung Hok melihat cara lari Goan Ci itu sangat kaku, tampaknya seperti orang yang sama sekali tidak mahir ginkang,

tapi betapa pesat larinya itu rasanya tidak dibawah dirinya.

Tatkala itu jarak mereka sudah dua tiga li jauhnya. Buyung Hok menaksir andaikan mengejar juga susah menyusulnya. Karena itu ia hanya heran dan gegetun saja menyaksikan menghilangnya bayangan Goan Ci dan A Ci.

Ketika mereka sampai di tempat menggeletaknya kedua pengemis tadi, mereka terkesiap menyaksikan keadaan kedua pengemis yang terbinasa dan terluka parah itu. Lebih-lebih pengemis yang mati itu, badannya terlipat ke belakang, keadaannya sangat luar biasa.

Segera Kongya Kian memayang bangun pengemis tua itu, ia keluarkan sebutir pil dan dijejalkan kemulutnya. Tapi darah segar masih terus mengucur dari mulut pengemis itu sehingga obat luka itu tidak dapat ditelannya.

Cepat Pek-jwan menutuk dua kali pada hiatto penting di dada pengemis itu. sebenarnya ilmu menutuk Ting Pek-jwan yang disebut cat hiat ci (tutukan menghentikan darah) biasanya sangat manjur, sekali tutuk tentu darah yang mengucur keluar akan mampet. Tapi sekarang darah segar ternyata masih menyembur keluar dari mulut pengemis tua itu, keruan hal ini membuat Ting Pek-jwan heran.

"Ting toako, orang ini terluka parah dan terserang pula oleh racun dingin, maka harus kau tutuk hiatto pada punggungnya”, ujar Ong Giok yan.

Jilid 60
Pek-jwan tercengang. Tapi segera ia menurut dan menutuk dua hiat-to punggung pengemis tua. Benar juga darah lantas berhenti menyembur keluar dari mulutnya. Dengan demikian dapatlah Kongya Kian memberikan pil lagi dan dapat ditelan oleh pengemis itu.

Sesudah menarik napas dalam-dalam, dengan suara terputus-putus pengemis tua itu berkata, "Banyak terima kasih atas.....atas pertolonganmu. Numpang tanya sia........siapakah nama inkong (tuan penolong) yang budiman ?"

"Membantu sesamanya bagi orang kangouw adalah soal biasa. Kenapa mesti dipikirkan." sahut Pek-jwan.

Kembali pengemis tua itu menarik napas dalam-dalam lagi. ia merasa tenaganya sudah habis, ada maksudnya hendak mengeluarkan sesuatu dari bajunya tapi tidak kuat lagi. Maka katanya, "To.... tolong...."

Kongya Kian tahu maksudnya. Katanya, "Apakah engkau hendak mengambil sesuatu barangmu ?”

Pengemis itu mengangguk.

Segera Kongya Kian mengeluarkan isi saku pengemis itu. Ternyata macam-macam benda yang dibawanya. Ada am-gi, ada alat ketikan api, ada obat-obatan, ada makanan kering dan sedikit uang perak.

"Aku.... aku tidak kuat lagi." demikian pengemis itu bicara dengan lemah. "di sini sehelai.... sehelai maklumat yang sangat... sangat penting. Mohon in-kong suka.....suka mengingat sesama orang Kangouw dan.......dan sudilah menyampaikannya ke.....kepada Tianglo Kai-pang kami, untuk itu sungguh aku sangat berterima kasih.”

Habis berkata, sambil terengah-engah ia mengulurkan tangan untuk mengambil satu lipatan kertas kuning yang dipegang Kongya Kian yaitu salah satu isi sakunya yang dikeluarkan Kongya Kian tadi.

"Harap jangan kuatir” Buyung Hok coba menghiburnya. Jika keadaanmu sudah ditolong lagi, maka kami berkewajiban menyampaikannya barangmu kepada Tiang lo dari Pang kalian.

Habis berkata segera ia terima kertas kuning yang dipegang pengemis itu.

"Aku bernama Ih It-jing,” dengan suara lemah pengemis itu berkata lagi. "Mohon tuan suka sampaikan kepada kawan-kawanku, bahwa........bahwa aku baru datang dari negeri se-he, kertas.........kertas ini berisi maklumat raja se-he tentang sayembara mencari menantu raja. urusan........urusan ini maha penting dan menyangkut jaya dan runtuhnya nasib kerajaan song kita. Maka Pang kami..........Pang kami.......”

Sampai disini ia tidak sanggup bicara lagi, kelihatannya ia sangat bernafsu hendak menghabiskan pembicaraannya, tapi tenggorokan serasa tersumbat. Rasanya darah hendak menyembur keluar lagi.

Tiba-tiba ia melihat wajah Buyung Hok yang ganteng itu, teringat sesuatu olehnya, segera ia tanya sekuatnya, "Siapa........siapakah tuan ? Apakah........apakah …Koh-soh........”

"Benar, aku Buyung Hok dari Koh-soh,” sahut Buyung Hok.

Pengemis tua itu terperanjat, serunya, "He, kau.... kau musuh besar kami.........”

Mendadak ia rebut kembali kertas kuning tadi.

Namun Buyung Hok tidak mau merebut dengan dia dan membiarkan kertas itu diserobot kembali olehnya. Pikirnya, "Orang Kai-pang masih tetap mencurigai aku sebagai pembunuh Be Tai-goan, wakil pangcu mereka. Paling akhir ini meski kabar bohong itu agak reda, tapi orang ini baru pulang dari se-h e. Dengan sendirinya belum tahu perkembangan dunia persilatan terakhir ini.”

Sesudah merebut kembali kertas kuning itu, segera si pengemis tua merobeknya menjadi dua dan selagi hendak merobek pula, baru saja tangannya bergeraki mendadak tenaganya sudah habis, darah menyembur lagi dari mulutnya, kaki berkelojotan sekali lalu melayanglah jiwanya.

Hong Po-ok coba mengambil kertas kuning yang sudah terobek menjadi dua itu dan dibentang menjadi satu. Ia lihat pada kertas itu banyak tertulis huruf asing yang tak dikenal. Pada bawah tulisan itu malah terdapat pula sebuah cap merah.

Kongya Kian paham beberapa tulisan asing, setelah membaca tulisan pada kertas kuning itu, kemudian ia berkata, "Kertas ini memang benar berisi maklumat tentang sayembara mencari menantu raja se-he. Maklumat ini berbunyi, "Putri Bon Gi dari kerajaan se-he kini sudah dewasa. Maka baginda raja bermaksud mencari

menantu yang serba pintar dan gagah perwira. Ditetapkan mulai hari Tiongchiu tahun ini akan diadakan sayembara pemilihan dan dapat diikuti oleh bangsa apa pun juga asalkan merasa cukup memenuhi syarat sayembara. Pada hari memasukkan formulir sayembara, para calon akan diterima pula oleh baginda raja sendiri Andaikata para calon itu akhirnya gagal terpilih, maka mereka juga akan diberi pangkat dan diangkat sebagai panglima menurut kepandaian masing-masing."

Sambil mendengarkan isi maklumat itu, Hong Po-ok tertawa terbahak-bahaki katanya, "Ai, orang Kai-pang ini benar-benar sangat menggelikan Jauh-jauh ia datang membawa kertas maklumat ini dari se-he, apa barangkali maksudnya hendak diberikan kepada salah seorang Tianglo dan kawan mereka agar ikut sayembara untuk dipilih sebagai menantu raja se-he ?”

"Bukan, bukan” demikian seru Pau Put-tong dengan istilahnya yang khas. "Agaknya site tidak tahu bahwa para Tianglo Kai-pang itu sudah tua lagi jelek. Tapi diantara anak murid mereka yang muda, sudah tentu tidak kurang daripada yang serba pintar dan tampan. Kalau salah seorang diantara mereka ada yang terpilih menjadi menantu raja se-he bukankah Kai-pang akan naik pangkat juga seketika?”

"Kabarnya para ksatria Kai-pang biasanya tidak kemaruk kepada kedudukan dan kemewahan hidup. Mengapa Ih It-jing ini justru terpengaruh oleh hal-hal dmeikian itu ?” ujar Pek-jwan dengan berkerut kening.

"Toako,” kata Kongya Kian, "Pengemis ini tadi mengatakan bahwa urusan ini sangat penting dan menyangkut nasib kerajaan Song, jika apa yang dikatakan ini benar, maka tujuannya pulang ke sini rasanya tidak mungkin melulu untuk kepentingan Kai-pang mereka saja.”

"Bukan, bukan?” kembali Pau Put-tong berseru sambil geleng kepala.

"Samte mempunyai pendapat apa lagi?” tanya Kongya Kian.

"Kau tanya padaku mempunyai pendapat apa lagi, itu berarti kau anggap aku sudah pernah mengemukakan sesuatu pendapat. Padahal aku belum menyatakan apa-apa. Hal ini menandakan sebenarnya kamu tidak percaya aku mempunyai sesuatu pendapat, sebaliknya sekarang justru tanya padaku. Dengan demikian bukankah kau maksudkan aku cuma omong kosong saja, betul tidak ?”

Sifat Hong Po-ok adalah suka berkelahi, tapi lawannya sudah tentu orang lain. Dengan saudara angkat sendiri tidak mungkin berkelahi. Sebaliknya Pau Put-tong suka berdebat, untuk ini sudah tentu tidak peduli dengan kawan atau lawan, asal tidak cocok, terus saja berdebat tidak habis-habis.

Sudah tentu Kongya Kian kenal wataknya. Maka dengan tersenyum ia berkata, "Tidak, aku benar-benar

mengharapkan pendapatmu yang baik. Biasanya samte juga sering memberi pendapat yang berguna.”

Dan selagi Put-tong hendak putar lidah lagi, namun Pek-jwan telah menyelanya, "Ya, samte mempunyai pendapat apa ? Apakah kau tahu maksud tujuan Ih It-jing ini dengan membawa formulir tentang sayembara mencari menantu raja se-he ini ?”

"Aku bukan Ih It-jing, dari mana kutahu ?” sahut Put-tong.

Maka Buyung Hok coba minta pendapat Kongya Kian. Tapi dengan tersenyum Kongya Kian berkata, "Pikiranku pasti tidak sama dengan samte.”

Ia tahu apa yang dikatakannya nanti pasti akan didebat oleh Pau Put-tong, maka sebelumnya ia sengaja menyatakan hal ini.

Put-tong melototnya sekali, katanya, "Bukan, bukan sekali ini jiko salah terka, apa yang kupikir sekali ini justru serupa dan persis dengan pendapatmu."

"Terima kasih kepada langit dan bumi. sekali ini benar-benar luar biasa.” ujar Kongya Kian dengan tertawa.

"Jiko, sebenarnya bagaimana pendapatmu ?” tanya Buyung Hok.

"Dijaman ini berdiri lima negara yaitu Liau, Song, Turfan, Se-he dan Tayli,” demikian Kongya Kian mulai bicara. "Kecuali kerajaan Tayli yang terpencil di selatan dan tiada maksud berebut pengaruh dengan negara lain, maka keempat negara lain itu semuanya mempunyai nafsu besar untuk mengakangi dunia ini....”

"Jiko, engkau salah besar” tiba-tiba Put-tong menyela. "Kerajaan Yan kita meski tidak punya wilayah kekuasaan yang sah, tapi Kongcunya senantiasa berusaha memulihkan wibawa pemerintah kita. siapa tahu kalau kelak kerajaan Yan kita akan berdiri kembali dan berkembang dengan jaya ?”

Ketika Pau Put-tong bicara tentang kerajaan Yan mereka, wajah Bung Hok dan Ting Pek-jwan tampak bersikap serius dan kereng, berbareng mereka menyatakan, "Ya, cita-cita membangun kembali negara kita senantiasa tidak pernah kita lupakan."

Seperti pernah diceritakan bahwa leluhur Buyung Hok adalah suku bangsa Sianpi (Siberia). Keluarga Buyung

dengan negeri Yan yang mereka dirikan pernah juga merajai bagian-bagian wilayah Tiongkok selama beberapa dinasti. Akhirnya keluarga Buyung dapat ditumpas oleh kerajaan Gui sehingga keturunan mereka hidup terpencar di mana-mana. Namun begitu keturunan keluarga Buyung selama ini masih bercita-cita membangun kembali kerajaan Yan mereka.

Sampai jaman berakhirnya dinasti Tong, diantara keluarga Buyung itu muncul seorang yang berbakat tinggi namanya Buyung Liong-sia. Orang ini telah melebur berbagai aliran ilmu silat sehingga menjadi suatu aliran tersendiri serta tiada tandingannya di dunia ini.

Sudah tentu Buyung Liong-sia tidak pernah melupakan cita-cita leluhurnya untuk membangun kembali kerajaan Yan. Maka ia pun mengumpulkan banyak orang-orang gagah untuk persiapan pergerakannya.

Tapi pada waktu itu kebetulan Tiong Khong-in sudah berhasil mendirikan kerajaan Song dan dapat menguasai seluruh negeri sepenuhnya sehingga Buyung Liong-sia tidak dapat berbuat apa-apa meski memiliki ilmu silat setinggi langit. Akhirnya ia meninggal dunia dengan masgul tanpa berhasil apa-apa dari segala jerih payahnya itu.

Beberapa keturunan kemudian, akhirnya sampailah di tangan Buyung Hok yang menurunkan segala cita-cita tinggi dan ilmu silat leluhur yang hebat itu. Cuma untuk membangun kembali kerajaan Yan pada waktu itu boleh dikatakan suatu penghinaan dan pemberontakan yang tak bisa diampuni oleh pemerintah Song. Maka meski Buyung Hok diam-diam menghimpun kekuatan, namun lahirnya sedikitpun tidak kentara kecuali beberapa orang kepercayaannya seperti Tiong Pek-jwan dan lain-lain, orang luar boleh dikatakan tiada seorang pun yang tahu. Orang Bu-lim hanya kenal "Koh-soh Buyung” sebagai suatu keluarga yang memiliki ilmu silat maha tinggi dan mempersamakan mereka dengan aliran dan perkumpulan kangouw biasa.

Begitulah, maka ketika Pau Put-tong menyebut tentang usaha pergerakan mereka dalam membangun kembali kerajaan Yan, karena disekitar mereka adalah pegunungan yang sepi, maka dengan penuh semangat serentak mereka melolos senjata sebagai tanda tekad bulat mereka.

Sebaliknya Giok-yan lantas menyingkir pergi menjauhi sang Piauko dan kawan-kawannya itu. Maklum, ibunya selalu anti usaha pergerakan keluarga Buyung yang dipandangnya sebagai pemberontakan itu. Ia anggap citacita keluarga Buyung hendak merajai dunia hanya lamunan belaka dan tiada harapan lagi. Sebaliknya besar kemungkinan akan menyeret keluarga mereka ke lembah kehancuran, sebab itulah maka ibu Giok-yan melarang Buyung Hok berkunjung ke rumahnya dan lebih suka hidup menyepi di perkampungan yang dikelilingi rawa-rawa itu.

Kongya Kian memandang sekejap ke arah Giok-yan yang menyingkir ke samping itu, lalu katanya pula, "Sudah beberapa tahun negeri Liau berperang dengan kerajaan song. Meski Liau agak unggul, tapi untuk membasmi song adalah tidak mungkin, sebaliknya se-he dan Turfan berdiri tegak di sebelah barat kedua negeri ini memiliki kekuatan yang tidak sedikit. Asal salah satu negeri itu mau membantu Liau, pasti song akan

terancam keruntuhan. Begitu pula sebaliknya bila song yang dibantu se-he maka Liau akan celaka.”

Mendadak Hong Po-ok menepuk paha dan berkata, "Tepat ucapan jiko ini. selamanya Kai-pang sangat setia kepada pemerintah song, sebabnya Ih It-jing ini membawa pulang formulir sayembara dari se-he ini agaknya dia berharap dari kerajaan song ada seorang ksatria muda perkasa dapat ikut memperebutkan sayembara itu. Bila antara negeri song dan se-he terikat hubungan keluarga, maka kuatlah kedudukan mereka dan tiada tandingannya lagi di dunia ini.”

Kongya Kian mengangguk-angguk, katanya, "Memang kedudukan akan menjadi kuat tapi bilang tiada tandingannya, mungkin agak berlebih-lebihan, cuma dengan kekayaan perbekalan kerajaan Song ditambah kekuatan pasukan se-he, tenaga gabungan mereka ini memang akan sukar dilawan oleh Liau dan Turfan. Tentang kerajaan Tayli yang kecil itu sudah tentu jadi tiada artinya. Maka menurut tafsiranku, bila song dan sehe bersatu, maka tindakan pertama yang akan dilakukan pasti mencaplok Tayli, langkah selanjutnya barulah menyerang Liau.”

"Perhitungan Ih It-jing yang muluk-muluk itu mungkin memang demikian, tapi hubungan keluarga antara song dan se-he rasanya tidak dapat berjalan selancar itu.” ujar Pek-jwan. "Sebab kalau negeri Liau, Turfan dan Tayli mengetahui berita ini, tentu mereka akan berusaha untuk menyabot dan menggagalkan maksud itu.”

"Ya, bukan saja akan menyabot, bahkan masing-masing negeri itu tentu juga ingin ikut dalam sayembara memperebutkan putri kerajaan se-he itu.” tukas Kongya Kian.

"Dan entah putri se-he itu cantik atau jelek, entah wataknya halus atau kasar,” ujar Pek-jwan.

"Ha ha ha " Put-tong terbahak. "Kenapa toako bersangsi, apakah kau ingin ikut sayembara itu untuk mencalonkan diri sebagai menantu raja se-he ?”

"Kalau usia Toakomu ini lebih muda 20 tahun dan ilmu silatnya sepuluh kali lebih lihai, kalau seratus kali lebih cakap mukaku, maka detik ini juga segera aku terbang ke se-he untuk mencalonkan diri sebagai menantu raja,” sahut Pek-jwan. "Samte, usaha membangun kembali kerajaan Yan kita sudah berlangsung selama ratusan tahun dan tetap tinggal cita-cita saja tanpa sesuatu hasil. Kalau dipikirkan benar-benar soalnya adalah karena kurang dukungan yang kuat. Bila se-he dapat menjadi sanak keluarga Buyung, kerajaan Yan kita dengan bantuan kekuatan pasukanse-he yang hebat itu, sekali keluarga Buyung bergerak di Tionggoan sini, masakah usaha kita takkan berhasil dengan baik ?”

Biasanya segala apa tentu didebat oleh Pau Put-tong, tapi ucapan Ting Pek-jwan sekarang membuatnya mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, benar Asal urusan ini berguna bagi membangun kembali kerajaan Yan kita, maka tidak peduli putri se-he itu cantik atau jelek seperti siluman, ya, asalkan dia sudi menjadi biniku,

biarpun dia sejelek babi betina juga aku akan menikahinya”.

Mendengar itu, semua orang bergelak tertawa, pandangan mereka sama beralih kepada Buyung Hok seorang.

Sudah tentu Buyung Hok tahu maksud keempat kawannya itu, yaitu dia yang diharapkan pergi ke se-he untuk mengikuti sayembara itu. Kalau bicara tentang kecakapan muka, umur dan kepandaian ilmu silat serta sastra, di jaman ini mungkin tiada seorang pemuda lain yang dapat membandinginya.

Maka kalau dia sendiri mau pergi ke Se-he, boleh dikatakan 74% usaha mereka akan berhasil. Tapi kalau raja se-he menilai calon menantu dengan asal usulnya, meski Buyung Hok sendiri adalah keturunan kerajaan Yan, tapi keluarga mereka sudah lama runtuh, sekarang mereka hanya tinggal sebagai keluarga biasa dalam negeri Song. untuk dibandingkan dengan putera bangsawan dari negeri Song, Tayli, Turfan, Liau dan lain-lain, terang Buyung Hok harus mengaku kalah.

Berpikir sampai disini. Buyung Hok memandang sekejap pada kertas maklumat itu.

Kongya Kian dapat menerka apa yang dipikirkan junjungannya itu, maka katanya, "Di dalam maklumat ini diterangkan dengan jelas tidak memandang kedudukan dan asal usul keturunan, yang dinilai cuma kepandaiannya calonnya, sebab tentang kedudukan akan segera diperoleh bila yang calon sudah terpilih menjadi menantu raja, sebaliknya kepandaian dan ketampanan sang calon tidaklah dapat dianugrahi oleh raja. Kongcuya, cita-cita keluarga Buyung selama beratus tahun ini sekarang tergantung kepada.......kepada keputusanmu.........?

Bicara sampai disini, karena guncangan perasaannya sampai suaranya menjadi gemetar.

Wajah Buyung Hok juga tambah pucat, ia tahu sedang menghadapi suatu kesempatan bagus yang sukar dicari, sebab biasanya kalau seorang putri raja mencari jodoh, hal ini selamanya diperintahkan oleh raja kepada salah seorang petugas istana untuk mencarikan calon pemuda bangsawan yang setimpal dan tidak pernah terjadi dengan dengan tara pemilihan terbuka seperti sekarang ini.

Tanpa terasa ia memandang ke arah Ong Giok-yan. ia lihat gadis itu sedang berdiri di bawah pohon sambil memandang jauh ke sana, tampaknya sangat kesepian dan harus dikasihani.

Buyung Hok tahu sang Piamoai itu sejak kecil sudah sangat cinta padanya, meski ayang Buyung Hok dan bibi yaitu ibu Giok-yan tidak cocok dan merintangi hubungan baik mereka tapi akhirnya gadis itu meninggalkan rumah dan berkelana di kangouw hanya untuk mencari dirinya. Biasanya Buyung Hok tidak terlalu memperhatikan soal asmara, yang dipikirkan hanya usaha membangun kembali kerajaan leluhur saja.

Tapi betapa pun ia adalah manusia yang berperasaan, Giok-yan sedemikian cinta padanya, sudah tentu ia pun dapat merasakan, sekarang kalau mendadak mesti meninggalkan sang piaumoai untuk melamar seorang putri raja bangsa lain yang tak pernah dikenalnya, walaupun tujuannya adalah demi cita-cita membangun kembali negaranya, tapi dalam hati ia benar-benar tidak tega.

Melihat Buyung Hok termenung-menung, Kongya Kian berdehem sekali, katanya, "Kongcu, sejak dahulu seorang besar harus kesampingkan soal kecil, seorang pahlawan, seorang ksatria sejati harus berani menembus rintangan ikatan pribadi.”

"ya, kalau kerajaan yan kita dapat dibangun kembali, dengan sendirinya Kongcu adalah rajanya, sebagai seorang raja, punya empat istri dan puluhan selirjuga tidak mengherankan.” demikian Pau Put-tong ikut bicara. "Maka nanti putri se-he akan menjadi permaisuri, sedang nona ong dapatlah diberi gelar sebagai Se-Kiongnionio (permaisuri kedua)”

Diam-diam Buyung Hok mengangguk juga. Teringat olehnya pesan mendiang ayahnya yang selalu meminta dia mengutamakan nasib negara daripada urusan pribadi, demi negara urusan asmaranya boleh dikatakan tiada artinya. Apalagi selama ini ia pandang Giok-yan hanya sebagai adik cilik saja meski gadis itu cinta benar-benar kepadanya. Asalkan cita-citanya kelak terkabul, Giok-yan akan diberi gelar kehormatan sebagai selir kesayangan raja, tentu gadis itu akan senang.

Sesudah berpikir sejenaki Buyung Hok tidak merisaukan urusan Giok-yan lagi, katanya.

"Ucapan saudara-saudara memang beralasan, sekarang memang terbuka suatu kesempatan bagus untuk membangun kembali kerajaan Yan kita yang jaya. Cuma sebagai seorang ksatria kita harus dapat menepati janji, betapa pun surat maklumat ini harus kita sampaikan kepada orang Kai-pang.”

"Ya, betul.” Pek-jwan menanggapi. Jangankan Kai-pang, andaikan ada juga kita tidak boleh menggelapkan maklumat ini sehingga memalukan derajat kita.”

"Betul.” kata Po-ok. "Toako dan jiko silakan mengawal Kongcu ke Se-he, samko dan aku bertugas mengirim surat maklumat ini kepada Kai-pang. sampai hari Tiongchiu tahun depan masih ada satu tahun lamanya. Jika mereka ingin memilih calon yang akan dikirim juga masih keburu dan kita tak adpat dituduh mengakali mereka.”

"Kita selalu bertindak secara terang-terangan. Biarlah kita bersama mengirimkan surat maklumat ini kepada para Tiang lo Kai-pang. Habis itu barulah kita berangkat ke Se-he” ujar Buyung Hok.

"Ucapan Kongcu ini sangat cocok dengan pendapatku. Memang kita tidak boleh menimbulkan prasangka jelek atas diri kita.” kata Pek-jwan.

Serentak Kongya Kian, Pau Put-tong dan Hong Po-ok juga mengangguk setuju. Mereka mengubur kedua anggota Kai-pang tadi dan mengambil dua kantung kain milik anggota-anggota Kai-pang itu sebagai tanda pengenalnya.

Kemudian Buyung Hok memanggil Ong Giok-yan, katanya, "Piaumoai, kedua murid Kai-pang ini telah dibunuh orang. Dalam hal ini menyangkut suatu urusan besar, untuk itu aku harus pergi sendiri ke markas besar Kai-pang. Kebetulan sekali dapat mengantar Piaumoai pulang ke Man-to-san-ceng.”

Mendengar nama kediamannya disebut, Giok-yan terkejut. Katanya, "Ti.... tidak. Aku tidak mau pulang. Kalau melihat aku, tentu aku akan dibunuh ibu.”

Buyung Hok tertawa, katanya, "Meski watak bibi agak keras, beliau cuma mempunyai seorang putri tunggal. Mana beliau tega membunuhmu. Paling-paling cuma akan didampratnya saja”

"Tidak..aku tak mau pulang. Biarlah aku ikut pergi ke Kai-pang." sahut Giok-yan.

Karena Buyung Hok sudah mengambil keputusan akan pergi ke Se-he untuk ikut sayembara memperebutkan putri raja, maka dalam hati ia merasa tidak enak terhadap Giok-yan. Ia pikir sementara ini biarlah menuruti permintaan gadis itu saja.

Maka katanya, "Lebih baik begini saja. untuk ikut berkelana di dunia kangouw terang tidak pantas. Maka janganlah kau ikut pergi ke Kai-pang. Tapi karena kamu tidak mau pulang, bolehlah tinggal sementara di yancu-oh kediamanku itu. Nanti kalau urusanku sudah beres, segera aku pulang untuk menemuimu.”

Air muka Giok-yan barulah merah. Dalam hati diam-diam ia bergirang. cita-cita yang diharapkannya selama ini adalah menjadi istri sang Piauko dan tinggal bersama di yan-cu-oh. Sekarang Buyung Hok menyatakan dia boleh tinggal di sana. Meski belum secara resmi meminang padanya, namun urusan terang sudah maju selangkah lagi.

Giok-yan tidak enak untuk menyatakan setuju dengan begitu saja. Maka perlahan ia menunduk dan matanya memantulkan sinar yang penuh arti.

Kongya Kian saling pandang sekejap dengan Ting Pek-jwan. Mereka merasa berdosa karena telah membohongi seorang gadis yang masih polos dan hijau itu. Namun begitu akhirnya mereka melanjutkanjuga perjalanan ke selatan.

Sungguh Giok-yan sukar menyembunyikan perasaannya yang girang itu karena sang Piauko sudi menerimanya tinggal di yan-cu-oh. Meski ia pun merasa sikap Buyung Hoki Ting Pek-jwan dan lain agak luar biasa terhadap dia, tapi biasanya Giok-yan memang tidak suka menyangka jelek kepada siapa pun, maka sedikit pun ia tidak curiga.

Hari itu, karena mereka meneruskan perjalanan secara tergesa-gesa sehingga melampaui pos penginapan, maka sampai hari sudah gelap mereka masih berada dijal n pegunungan.

Diam-diam Pek-jwan memikirkan Giok-yan yang tidak biasa berjalan jauh itu. Kalau mereka sendiri biarpun melanjutkan perjalanan sepanjang malam juga tidak menjadi soal. Maka katanya, "Marilah kita mencari suatu gua atau kelenting rusak untuk sekedar menginap semalam.”

"Ya, kita harus memasak sedikit air untuk menyeduh teh dan cuci muka nona Ong." ujar Pau Put-tong.

Karena mereka sudah bertekad akan pergi ke Se-he untuk mencalonkan Buyung Hok sebagai menantu raja, maka sepanjang jalan mereka melayani Giok-yan dengan jauh lebih baik daripada biasanya, sudah tentu Giokyan tidak tahu bahwa sebabnya mereka berbuat begitu adalah karena rasa tidak enak dalam hati mereka itu. Ia sangka mungkin Pek-jwan berempat anggap dia adalah bakal istri junjungan mereka, dengan sendirinya sekarang lebih menaruh hormat padanya. Maka dalam senangnya itu terkadang ia pun merasa agak kikuk.

Hong Po-ok berjalan paling depan untuk mencari tempat yang dapat dibuat berteduh. Tapi makin jauh jalan pegunungan itu, makin berliku dan terjal. Lebih-lebih tiada sesuatu sungai kecil atau mata air segala. Kalau dia sendiri mestinya tidak usah memikirkan tempat mengaso tapi mencari suatu tempat yang cocok untuk Giokyan benar-benar sangat sulit.

Sekaligus Po-ok berlari beberapa li jauhnya, selagi ia menggerutu karena belum juga menemukan suatu tempat baik, sesudah melintasi sebuah tanjakan, tiba-tiba dilihatnya di lembah sebelah kanan ada setitik sinar lampu.

Sungguh girang Po-ok tidak kepalang, segera ia berpaling ke belakang dan berteriaki "Di sana ada rumah tinggal orang”

Mendengar itu, dengan cepat Buyung Hok dan lain-lain memburu ke tempat Po-ok itu.

Kata Kongya Kian dengan girang, "Tampaknya rumah tinggal kaum pemburu atau petani gunung. Paling tidak kita akan dapat minta numpang semalam bagi nona Ong."

Segera mereka berenam berjalan ke arah sinar lampu itu dengan cepat.Jarak cahaya itu sangat jauhi sudah sekian lama mereka berjalan tapi api sinar itu masih kelihatan berkelip-kelip dna tidak nampak sesuatu rumah pun.

Hok Po-ok mulai tak sabar, terus saja ia memaki, "Kurang ajar, tampaknya cahaya itu agak tidak beres.”

"Berhenti dulu" mendadak Ting Pek-jwan berseru, "Kongcuya, coba lihat, itu adalah cahaya hijau.”

Waktu Buyung Hok memperhatikan, benarjuga. Ia lihat sinar itu hijau gilap, berbeda dengan sinar lampu pada umumnya yang berwarna kemerah-merahan dan kekuning-kuningan.

Kecuali ong Giok-yan. Buyung Hok dan kawan-kawannya itu adalah tokoh kangouw ulung, segera mereka mempercepat langkah menuju ke arah sinar lampu itu. Kira-kira satu li pula, sekarang sinar lampu dapat terlihat lebih jelas.

"Ada golongan sia-mo-gwa-to (orang-orang jahat dan golongan sesat) yang sedang berkumpul disitu”

Sebenarnya dengan kepandaian Buyung Hok berlima boleh dikata tidak perlu jeri kepada siapa pun dan golongan apa pun di dunia kangouw. Tapi sekarang mereka harus memikirkan ong Giok-yan, mereka tidak ingin membikin si nona ikut menghadapi bahaya. Maka meski Pau put-tong dan Hong Po-ok sudah getol berkelahi, namun sedapatnya mereka harus menahan diri.

Maka Buyung Hok berkata, "Sudahlah, disana jalannya kurang bersih. Marilah kita putar kembali kejalan yang lain saja.”

Dan baru beberapa langkah mereka putar balik ke arah tadi, tiba-tiba suatu suara sayup-sayup berkumandang datang dari arah sinar hijau tadi. "Jika sudah tahu sia-mo-gwa-to berkumpul disini, kalian beberapa ekor siluman kecil itu kenapa tidak ikut hadir untuk meramaikan pertemuan ini ?”

Suara itu terkadang keras dan terkadang perlahan sehingga membikin pendengarnya merasa tidak enak. Tapi setiap kata-katanya terdengar sangat jelas.

Buyung Hok hanya mendengus saja, ia tahu ucapan Pau Put-tong tadi telah didengar pihak lawan. Dari suara yang terputus-putus itu dapat diketahui Iwekang pembicara itu tidaklah cetek tapi juga belum terhitung kelas satu. Maka ia lantas memberi tanda dan berkata, "Sudahlah, kita tiada waktu buat gubris mereka. Marilah kita pergi saja.”

Tapi suara itu lantas mendamprat, "Binatang kecil, berani omong besar. Apa dengan demikian kau mau lari dengan mencawat ekor ? Kalau mau lari, paling tidak kalian harus menyembah dulu 200 kali kepada kakekmu ini”

Sungguh Po-ok tidak tahan lagi, katanya segera dengan suara tertahan, "Kongcu, biarlah aku ke sana untuk memberi hajaran padanya”

Tapi Buyung Hok menggeleng kepala, katanya, "Dia tidak tahu siapa kita ini, maka tak perlu menggubrisnya”

Terpaksa Po-ok mengiakan. Lalu mereka berjalan lagi belasan tindak tapi kembali suara orang itu bergema pula, " Yang jantan kalau mau larijuga boleh, tapi yang betina harus ditinggalkan disini untuk menghibur kakekmu.”

Mendengar Ong Giok-yang dihina dengan kata-kata kotor oleh orang itu, seketika Buyung Hok dan lain-lain merandek dan sangat gusar. Ketika mereka berpaling, kembali terdengar suara orang itu, "Bagaimana ? Antarkan ke sini yang betina itu aga kakek......”

Baru berkata sampai disitu, mendadak Ting Pek-jwan mengerahkan tenaga dalamnya dan membarengi membentak sekeras-kerasnya, "Kekkk”

Perpaduan lafal "kek” itu berbarengan dengan suara orang itu, seketika suaranya mengguncang lembah pegunungan itu dan anak telinga semua orang serasa pekak- serentak terdengarlah suara jeritan ngeri dari arah cahaya hijau sana. Di malam sunyi dan ditengah menggemanya suara "kek” yang mengguncang lembah itu terseling lagi suara jeritan ngeri orang, maka kedengarannya menjadi sangat seram.

Rupanya Ting Pek-jwan telah melukai pihak lawan dengan suara bentakannya yang membawa tenaga dalam maha kuat itu. Dari suara jeritan tadi agaknya luka orang itu tidak ringan, bisa jadi sudah tewas malah.

Dan begitu suara jeritan orang tadi lenyap, tiba-tiba terdengar suara mendesing satu kali. sebatang anak panah berapi hijau meluncur ke udara terus meletus di atas.

"Sekali sudah berbuat, ayolah bereskan sampai akhirnya biar kita sapu bersih sarang kaum iblis ini.” ajak Hong Po-ok

"Ya, kita sudah mengalah dengan maksud menghindarkan percekcokan, tapi sekali sudah berbuat harus dilakukan sampai selesai” kata Buyung Hok. Habis berkata, segera mereka berlari cepat ke arah musuh.

Meski Giok-yan sangat luas pengetahuannya terhadap segala macam ilmu silat dari setiap aliran dan setiap golongan, tapi Iwekangnya terlalu cetek, pengalamannya juga tidak ada. Karena kuatir gadis itu mendapat celaka, maka Buyung Hok sengaja melambatkan langkahnya untuk mendampingi Giok-yan.

Di bawah cahaya api hijau yang remang-remang, sementara itu terdengar suara bentakan Hong Po-ok dan Pau Put-tong. Terang mereka sudah mulai bergebrak dengan musuh. Menyusul terdengarlah tiga sosok bayangan orang mencelat ke atas disusul suara "plak-plok” beberapa kali, nyata tiga orang itu telah kena dibereskan oleh Put-tong dan Po-ok sehingga tertumbuk di dinding batu.

Waktu Buyung Hok berlari sampai di bawah sinar hijau, ia lihat Ting Pek-jwan dan Kongya Kian telah berdiri disamping sebuah wajan perunggu yang besar dengan air muka sangat prihatin. Dari dalam wajan kaki tiga tertutup itu tampak mengepulkan asap yang halus dan memantul cepat ke atas bagai panah.

"Rupanya golongan song Tho-kong dari Pekilin-tong di sujwan barat.” ujar Giok-yan.

"Pengetahuan nona benar-benar sangat luas.” puji Kongya Kian.

Tapi Pau Put-tong lantas menyanggahnya, "Dari mana nona tahu ? Cara mengepulkan asap sebagai tanda berita sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu belum tentu adalah perbuatan orang she song dari......”

Belum habis ucapannya tiba-tiba Kongya Kian menunjukkan sebelah kaki wajan itu dengan isyarat.

Waktu Pau Put-tong berjongkok dan coba menyalakan ketikan api, ia lihat kaki wajan itu memang benar berukir sebuah huruf "song” yaitu ukiran dalam goresan yang melingkar-lingkar mirip ular kecil, wajan itu tampaknya adalah barang antik yang berharga.

Dasar Pau Put-tong memang suka ngotot. Meski tahu apa yang dikatakan ong Giok-yan memang benar, tapi dia tetap menyanggah.

"Ya, sekalipun wajan ini milik orang she Song dari sujwan barat, tapi siapa berani menjamin bahwa barang ini bukan barang curian ? Apalagi wajan begini besar, kemungkinan adalah barang palsu.”

Kiranya orang golongan song Tho-kong dari Pekilin-tong di sujwan barat itu adalah suku bangsa Biau yang adat istiadatnya sangat berbeda dengan orang persilatan di Tionggoan. Mereka suka memakai racun, kepandaian mereka ini sangat disegani orang-orang kangouw. Baiknya mereka jarang bermusuhan dengan orang luar, asal orang tidak sembarang n memasuki wilayah kekuasaan mereka, maka mereka pun tidak sembarangan menyerang orang.

Sekarang melihat wajan milik golongan song Tho-kong itu, diam-diam Buyung Hok dan lain-lain agak ragu. Mereka heran mengapa song Tho-kong bisa sampai di pegunungan ini padahal jaraknya dengan sujwan barat masih sangat jauh dan rasanya tidak mungkin termasuk wilayah pengaruh song Tho-kong.

Dengan kepandaian Buyung Hoki Ting Pek-jwan dan lain-lain sudah tentu tidak perlu takut kepada song Thokong apa segala. Cuma saja mereka tiada permusuhan dengan golongan petualang itu. Kalau menang juga kurang gemilang, sebaliknya kalau sampai terlibat permusuhan dengan mereka tentu kelak akan memusingkan kepala. Padahal yang mereka pikirkan sekarang hanya cara bagaimana membangun kembali kerajaan Yan, sedapatnya mereka tidak ingin bermusuhan dengan orang apalagi dengan suku bangsa yang tak beradab itu.

Maka sesudah berpikir sejenaki tiba-tiba Buyung Hok berkata, "Sudahlah tempat seperti ini lebih baik kita tinggal pergi saja”

Ia lihat di tepi wajan perunggu itu menggeletak seorang tua yang sudah kempas kempis napasnya, berbaju coklat ringkas, pinggangnya terlipat seutas tali rumput, dengan mata mendelik sedang memandang mereka, ia menduga orang tua ini pasti yang memaki mereka tadi. Maka ia coba memberi isyarat kepada Pau Put-tong.

Put-tong dapat menangkap maksudnya, segera ia pegang galah bambu tempat gantungan pelita hijau, ia angkat ujung galah bambu itu, "bles” ia sambitkan galah itu sehingga menembus dada orang tua yang menggeletak di tanah itu, pelita hijau itu pun padam seketika.

Karena tidak menduga-duga, Giok-yan sampai menjerit kaget.

Kongya Kian lantas berkata, "orang yang berjiwa kecil bukanlah jantan, kalau tidak keji bukanlah laki-laki sejati. Ini namanya membunuh orang melenyapkan saksi, supaya tidakk meninggalkan penyakit di kemudian

hari”

Habis berkata, sekali kakinya bekerja, segera wajan besar itu pun di depaknya hingga roboh.

Segera Buyung Hok gandeng tangan Giok-yan dan diajak melompat ke samping kiri sana. Tapi baru beberapa meter jauhnya, dalam kegelapan tiba-tiba terdengar sambaran angin tajam, sebatang golok dan sebatang pedang telah menyerang sekaligus dari samping.

Tapi sekali Buyung Hok mengibaskan lengan bajunya, dengan kepandaian yang khas ia bikin bacokan golok dari sebelah kiri itu mengenai kepala orang di sebelah kanan dan tusukan pedang dari sebelah kanan menembus dada orang di sebelah kiri. Hanya dalam sekejap saja sekaligus dua penyergap itu telah dibereskan, bahkan langkah Buyung Hok sedikit pun tidak berhenti dan hasil terus berlari cepat ke depan. "Hebat benar, Kongcuya " puji Kongya Kian.

Buyung Hok hanya tersenyum saja, mendadak ia lompat ke depan, "plok”, ia papak seorang musuh yang menubruk dari depan sehingga orang itu terjungkal ke bawah bukit, menyusul tangan lain menghantam pula. Rupanya musuh telah angkat kedua tangannya untuk menahan, tapi lantas terdengar jeritan orang itu dan muntah darah.

Dalam kegelapan Buyung Hok tiba-tiba mencium bau anyir busuk menyusul terdengar suara mendesis perlahan menyambar dari depan. Cepat Buyung Hok mengerahkan tenaga pada tangan dan memukul ke depan sehingga sebelum mencapai sasarannya senjata gelap yang belum diketahui bagaimana bentuknya itu telah terpental balik ke sana menyusul terdengar pula suara jeritan panjang seorang. Rupanya senjata telah makan tuan sipenyergap itu.

Terkepung ditengah-tengah rmusuh dalam malam gelap, hanya sekenanya Buyung Hok membunuh beberapa orang, tapi ilmu silat yang satu makin tinggi daripada yang lain, sesudah merobohkan enam orang, diam-diam Buyung Hok merasa terkesiap. Pikirnya, "Tiga orang yang pertama agaknya orang-orang song Tho-kong dari sujwan barat, tapi tiga orang lagijelas dari golongan lain. Permusuhan bertambah banyaki sungguh gelagatnya tidak menguntungkan.”

Maka terdengar Ting Pek-jwan berseru, "Ayolah berramai-ramai kita terjang ke Thing-hiang-siau-tiok”

Seperti diketahui "Thing-hiang-siau-tiok” adalah sebuah papilion diperkampungan yan-cu-oh kediaman Buyung Hoki letaknya di sebelah barat papiliun itu biasanya ditempati A Cu. sekarang Pek-jwan mengajak menerjang ke Thing-hiang-siau-tiok. itu berarti ia menganjurkan menerjang ke arah barat untuk menghindari cegatan musuh yang berjumlah banyak itu. Ia sengaja menggunakan kata-kata kode itu.

Buyung Hok tahu maksud kawannya itu. Tapi saat itu keadaan gelap gulita dan sukar membedakan arah, ia tidak tahu arah barat terletak di sebelah mana. Ketika ia perhatikan, ia dengar angin pukulan Ting Pek-jwan sedang bergerak di sisi kanan belakangnya, segera ia tarik Giok-yan dan mundur ke samping Pek-jwan.

Tiba-tiba terdengar suara "plak-plok” dua kali, kembali Pek-jwan mengadu tangan dengan musuh. Rupanya orang itu tidak mampu menahan hantaman Pek-jwan yang hebat itu, tiba-tiba terdengar jeritannya, tapi anehnya suaranya makin menjauh ke bawahi menyusul terdengar suara gedebukan jatuhnya batu dan patahnya ranting pohon dan sebagainya.

Diam-diam Buyung Hok terkejut ia tahu, musuh terjerumus ke bawah jurang. Dalam keadaan gelap ia tidak tahu bahwa di sisi mereka adalah jurang, untung ada musuh yang dihantam terjungkal ke dalam jurang. Kalau tidak, bukan mustahil mereka sendiri akan terjerumus juga tanpa sadar.

Pada saat itulah, tiba-tiba dari tempat yang tinggi di sebelah kiri sana terdengar suara seruan orang, "Tokoh kosen dari manakah yang mengacaukan Ban-sian-tai-hwe ini? Apa memang tidak pandang sebelah mata kepada 36 gua Cinjin dan 72 pulau dewa ?”

Buyung Hok dan Ting Pek-jwan bersuara heran perlahan. Mereka pernah mendengar tentang "36 gua Cinjin dan 72 pulau Dewa", tapi apa yang disebut Cinjin (malaikat) dan Dewa itu tidak lebih hanya kawanan jago silat yang tidak termasuk sesuatu perkumpulan atau golongan serta tidak berasal dari sesuatu aliran persilatan tertentu.

Mereka hidup bebas dan tinggal di 36 gua dan 72 pulau terpencil, ilmu silat mereka ada yang yang tinggi dan ada yang rendah, biasanya mereka pun tiada hubungan satu sama lain dan tidak membawa pengaruh apa-apa bagi dunia kangouw, maka mereka justru berkumpul di pegunungan ini.

Segera Buyung Hok menjawab dengan suara lantang, "Kami berenam sedang menempuh perjalanan pada malam hari dan tidak mengetahui kalian berkumpul di sini. Maka telah banyak mengganggu, harap dimaafkan. Apa yang terjadi ini hanya salah paham saja, hendaknya jangan dianggap sungguh-sungguh dan sukalah kalian membiarkan kami pergi dari sini.”

Ucapan Buyung Hok ini tidak keras juga tidak merendahi pula tidak memberitahukan siapa dirinya, tapi ia pun minta maaf karena telah terlanjur membunuh beberapa orang.

Di luar dugaan, sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang beraneka ragam nadanya, ada yang terbahakbahaki ada yang terkekeh, ada yang terkikik dan ada yang terhoho, makin lama makin riuh suara tertawa itu.

Semula suara tertawa itu cuma belasan orang saja, tapi akhirnya di delapan penjuru terdengar penuh orang tertawa sehingga kedengarannya tidak kurang dari beberapa ratus orang banyaknya.

Mendengar begitu banyak jumlah orang-orang itu, didengarnya istilah "Ban-sian-tai-hwe” (pertemuan besar berlaksa dewa) tadi, maka diam-diam Buyung Hok membatin, "sialan benar malam ini kejeblos ke dalam pertemuan besar kaum tak karuan ini, baiknya aku sendiri belum memperkenalkan diri, maka lebih baik tinggal pergi saja agar urusan tidak tambah runyam. Apalagi jumlah mereka terlalu banyak, betapa pun enam orang sukar melayani mereka.”

Di tengah tertawa ramai itu, tiba-tiba terdengar seorang yang berada di tempat tinggi sana berkata, "Ucapanmu tadi sungguh seenaknya sendiri saja. Kalian sudah mencelakai beberapa orang saudara kami, kalau sekarang kami membiarkan kalian pergi, lalu kemana muka para dewa ke-36 gua dan ke-y72 pulau ini harus ditaruh ?”

Buyung Hok coba tenangkan diri dan memperhatikan sekitarnya, ia lihat dimana-mana baik di atas puncak, di lereng, di tanjakan pegunungan itu penuh berdiri orang. Ada yang lengan bajunya panjang gondrong, ada yang pakaiannya singsat ringkas, ada kakek yang berjenggot panjang, ada wanita dengan sanggulnya yang menjambul tinggi. Orang-orang itu tadi entah sembunyi dimana, tapi sekerang mendadak seperti muncul dari bawah tanah.

Kini Ting Pek-jwan berempat juga sudah berkumpul di sekitar Buyung Hok dan Giok-yan dalam posisi melindungi. Tapi ditengah kepungan musuh yang berjumlah beratus orang itu, mereka hanya mirip sebuah sampan di tengah samudra saja.

Buyung Hok, Ting Pek-jwan dan lain-lain selama hidupnya entah sudah mengalami pertempuran dahsyat berapa kali banyaknya, tapi melihat suasana sekarang mau tak mau mereka rada kuatir juga. Pikir mereka, " orang-orang ini semuanya aneh-aneh. Kalau cuma sepuluh atau belasan oang saja kita takkan takut, tapi kalau mereka berkumpul menjadi satu, betapa pun sukar dilayani.”

Maka dengan Iwekang yang kuat segera Buyung Hok berseru menjawab, "Kata peribahasa, yang tidak tahu tidak dapat disalahkan. Tentang nama kebesaran cinjin ke-36 gua dan para Dewa ke-72 pulau memang sudah lama kudengar dan sekali-kali tidak berani sengaja mengacau, song Tho-kong dari Pekilin-tong, Hian-hong-cu dari Ca-liong-tong di perbatasan Tibet, ciang ciu-hu siansing, tocu dari Hian-beng-to di luat utara, para cianpwe ini kukira juga hadir disini semua, sungguh kami tidak sengaja mengacau ke sini. untuk ini hendaknya kalian maklum.”

Tiba-tiba terdengar suara seorang tua tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Kau sebut-sebut nama kami lantas ingin mengeluyur pergi begini saja ? Hehehe "

Buyung Hok menjadi mendongkol, sahutnya, "Kami cuma menghormati kalian adalah orang tua maka ingin berlaku sopan. Hal ini jangan kalian artikan bahwa aku Buyung Hok takut pada kalian."

Mendengar nama "Buyung Hok” seketika terdengar suara kaget orang banyak. Suara orang tua tadi lantas bertanya, "Apakah Koh-soh Buyung yang terkenal dengan "in-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin itu ?”

"Benar, memang akulah adanya,” sahut Buyung Hoki

"Wah. Koh-soh Buyung memang bukan kaum sembarangan. Ayolah para pemegang lampu, marilah kita maju menjumpainya " demikian seru orang tua itu.

Dan baru habis ucapannya, mendadak dari jurusan tenggara sana menjulang tinggi ke udara sebuah pelita kuning, menyusul sebelah barat dan barat laut juga ada pelita merah yang naik ke angkasa. Dalam sekejap itu dari segenap penjuru menjadi penuh sinar pelita dengan aneka macam ragamnya.

Nyata setiap tokoh Tongcu (pemilik goa) dan tocu (pemilik pulau) yang hadir itu masing-masing mempunyai warna dan corak pelita yang berbeda-beda. sinar pelita itu berkelip-kelip, sebentar terang sebentar guram sehingga wajah semua orang tampaknya menjadi sangat aneh tersorot sinar pelita yang warna warni itu

Buyung Hok melihat orang-orang itu pun rupa-rupa ragamnya, ada laki-laki, ada wanita, ada yang tampan dan ada yang jeleki ada hwesio, juga ada tocu. sebagian besar menghunus senjata, bentuk senjata mereka pun sangat aneh dan tak terkenal namanya.

"Hai, Buyung Hok” segera seorang berada di sebelah barat mulai bersuara, "keluarga Buyung kalian suka malang melintang di daerah Tionggoan, hal itu pun masa bodoh. Tetapi sekarang kau berani main terobos di tengah pertemuan kami ini, bukankah kamu terlalu memandang enteng kepada kami ? Kamu terkenal suka "menggunakan kepandaian orang untuk menyerang kembali pada orang itu. Maka aku ingin tanya kepadamu, cara bagaimana kamu akan menggunakan kepandaianku untuk menyerang padaku ?”

Waktu Buyung Hok memandang ke arah suara itu, ia lihat di atas batu padas sana duduk bersila seorang tua berkepala besar. Kepala yang besar itu gundul kelimis tanpa seutas rambut pun, wajahnya merah membara sehingga kalau dipandang dari jauh kepalanya mirip sebuah bola merah.

"Terimalah salamku, mohon tanya siapakah nama tuan ?” segera Buyung Hok memberi hormat dan bertanya.

Kakek kepala besar itu tertawa sambil pegang perutnya yang buncit, katanya, "Aku justru ingin menguji dirimu

ingin kulihat apakah Buyung-si dari Koh-soh benar-benar maha pintar atau cuma omong kosong belaka. Tadi kutanya padamu cara bagaimana akan kau gunakan kepandaianku untuk menyerang kembali padaku. Bila dapat kaujawab dengan tepat, tentang orang lain aku tidak menjamin, tapi aku sendiri pasti takkan membikin susah padamu dan kemana kau mau pergi boleh kau pergi dengan bebas.”

Melihat gelagatnya, Buyung Hok tahu urusan hari ini tentu susah diselesaikan dengan kata-kata saja, tapi mau tak mau ia harus main beberapa jurus dulu. Maka katanya. Jika demikian, baiklah aku akan mengiringi main beberapa jurus, silahkan cianpwe mulai dulu "

Kembali orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Aku sedang menguji dirimu dan bukan ingin diuji olehmu. Kalau kamu tidak dapat memberikan jawaban, maka istilahmu yang terkenal itu hendaknya lekas dihapus saja "

Diam-diam Buyung Hok sangat mendongkol, orang tua itu hanya duduk nongkrong di tempatnya, tidak dikenal namanya atau dari golongan mana, sudah tentu susah diketahui apa kungfu andalannya dan kalau tidak tahu apa kepandaiannya, cara bagaimana dapat menyerang kembali dengan kepandaian orang itu ?

Selagi Buyung Hok berpikir di sebelah sana si kakek lantas mengejeki "Kami para kawan dari ke-36 gua dan ke-72 pulau biasanya hidup terpencar dan tidak suka ikut campur tetek bengek di Tionggoan. Kalau gunung tiada harimau, monyetpun akan mengaku sebagai raja. Hah, bocah ingusan macam dirimu ini juga berani mengaku sebagai "Lam Buyung dan Pak Kiau Hong” apa segala. Haha, sungguh menggelikan, hahaha, benarbenar tidak tahu malu. Dengarkan, jika hari ini kau ingin meloloskan diri, hal ini tidak sulit asalkan kau sembah sepuluh kali kepada tiap-tiap Cinjin ke-36 gua dan tiap-tiap Dewa ke-72 pulau, jadi total jendral harus menyembah menyembah 1.080 kali, habis itu segera kami melepaskan kalian."

Memangnya sejak tadi Pau Put-tong sudah tidak sabar, sekarang ia lebih-lebih tidak tahan lagi, segera ia berteriaki "Kau minta Kongcuya kami "menggunakan kepandaianmu untuk menyerangmu” tapi sekarang kau suruh dia menyembah padamu. Tentang kepandaianmu yang khas memang Kongcuya kami tidak dapat menirukannya. Haha, benar-benar menggelikan. hahaha, benar-benar tidak tahu malu "

Ia bicara dengan menengadah dan menirukan lagu suara si kakek dengan mirip benar.

Karuan kakek itu sangat gusar, mendadak ia batuk sekali, sekumur riak kental terus menyemprot ke muka Pau Put-tong.

Cepat Put-tong mengegos sehingga riak kental itu menyambar lewat di sisi telinganya, tapi mendadak riak kental itu dapat berputar di udara, "plok", tahu-tahu menyambar kembali dan tepat mengenai batok kepala Pau Put-tong.

Kekuatan riak kental itu sungguh tidak kecil, seketika Pau Put-tong merasa kepala pening, badan terhuyunghuyung. Kiranya riak kental itu tepat mengenai "yang-pek-hiat” di tengah-tengah batok kepala.

Buyung Hok terkejut, bahwa riak kental dapat diguanakan sebagai senjata adalah tidak mengherankan tapi riak kental itu dapat berputar di udara, inilah yang luar biasa.

Terdengar kakek itu terbahak-bahaki katanya, "Nah, Buyung Hok, aku pun tidak mau paksa harus kau gunakan kepandaianku untuk menyerang aku, cukup asal dapat kau katakan asal usul ludahku barusan ini, maka aku akan menyerah padamu.”

Buyung Hok memeras otak dengan cepat, tetapi betapa pun tidak ingat siapakah tokoh yang mahir menggunakan ludah sebagai senjata ini. Tiba-tiba dari sebelahnya suara seorang yang nyaring merdu berkata, "Tuan Bok-tocu, engkau sudah berhasil meyakinkan ilmu sakti "cio-tau-bi-sin-kang”, sungguh tidak mudah latihanmu ini. Korban yang telah jatuh di bawah keganasanmu tentu juga tidak sedikit. Kongcu kami mengingat jerih payahmu yang telah berlatih mati-matian, maka tidak mau membongkar asal usul kepandaianmu ini agar engkau terhindar dari kutukan sesama orang persilatan. Memangnya kau kira Kongcu juga begitu rendah untuk menyerangmu kembali dengan kepandaianmu yang keji ini ?”

Dari suaranya saja segera Buyung Hok tahu bahwa pembicara itu adalah Giok-yan. sungguh ia sangat girang dan terperanjat pula. Ia tahu Giok-yan sangat pintar, sekali baca segera dapat mengingatnya di luar kepala, maka segala kitab pusaka ilmu silat yang tersimpan dalam lemari ayahandanya boleh dikata sudah dibacanya dan dapat mengapalkan di luar kepala segala ilmu silat dari aliran mana pun boleh dikata serba tahu, hanya cara menggunakan saja ia tidak dapat. Kungfu "cio-tau-bi-sin-kang” atau ilmu sakti lima gantang beres tidak pernah didengar oleh Buyung Hok, sebaliknya Giok-yan ternyata mengenalnya tapi entah tepat tidak tebakan gadis itu.

Tertampak muka si kakek kepala besar yang tadinya merah membara itu mendadak berubah menjadi pucat tapi hanya sebentar saja lantas kembali merah lagi. Dengan tertawa ia berkata, "Dara cilik tahu apa, hendaknya jangan sembarang omong, "tio-tau-bi-sin-kang” adalah ilmu keji dan membikin celaka orang, masakan orang macam aku sudi melatihnya ? Namun begitu kamu dapat menyebut she kakekmu ini, boleh dikatakan lumayan juga.”

Mendengar jawaban itu, Giok-yan tahu tebakannya benar cuma saja kakek itu tidak mau mengaku. Segera ia berkata pula, "Tuan-bok-tongcu dari Jik-yam-tong di gunung Ngo-ci-san pulau Hainam, siapakah orang kangouw yang tidak kenal namamu ini ? Kirainya ilmu Tuan bok-tongcu barusan ini bukan "cio-tau-bi-sinkang”, jika begitu tentu adalah semacam ilmu sakti lain perubahan dari Te-hew-kang.”

"Te-hwe-kang” Pemimpin golongan jik-yam-tong itu selamanya dari keluarga Tuan bok-

Kakek tua berkepala besar itu bernama Tuan-Bok Goan.

Ketika mendengar Giok-yan dapat menyebut asal usulnya tapi sengaja menutupi pula kepandaiannya "cio-taubi-sin-kang”, maka diam-diam kakek itu merasa berterima kasih. Apalagi sebenarnya di kalangan kangouw, Jik-yam-tong adalah suatu golongan keroco yang tak terkenal, tapi di mulut Giok-yan sekarang telah dikatakan sebagai golongan yang tersohor. Tentu saja ia tambah senang. Dengan tertawa ia berkata, Yya, memang kepandaianku ini adalah salah satu bagian dari Te-hwe-kang. Karena sudah kukatakan tadi, sekali dapat kau sebut asal usulku, maka aku pun takkan mempersulitkalian.”

Pada saat itulah, sekoyong-konyong dari bawah batu padas di depan sana terdengar suara seorang yang sangat halus dengan nada seperti orang menangis terguguk-guguk, sedang berkata, "Tuan Bok Goan, suamiku dan saudaraku apakah dibunuh olehmu ?Jadi kamu jahanam ini telah meyakinkan "tio-tau-bi-sinkang” dan telah membinasakan mereka ?”

Orang yang bicara itu teraling-aling oleh bayangan gelap batu padas sehingga tidak jelas bagaimana potongannya, tetapi lamat-lamat kelihatan seorang wanita yang berbaju hitam, berbadan jangkung dan lengan bajunya sangat panjang.

Tuan Bok Goan tertawa, sahutnya, "siapakah nyonya ? Pada hakikatnya aku tidak kenal apa "cio-tau-bisinkang” itu, jangan kau percaya kepada obrolan nona cilik ini”

Tiba-tiba wanita itu menggapai Giok-yan dan memanggil, "Nona cilik, marilah sini. Aku ingin tanya padamu.”

Sekali wanita itu menggapai, tiba-tiba Giok-yan merasa suatu tenaga tarik yang kuat telah menariknya ke sana sehingga tanpa kuasa ia melangkah satu tindak ke depan.

Ketika wanita itu menggapai lagi, kembali Giok-yan hendak tertarik maju pula, karuan ia menjerit kaget.

Buyung Hok tahu pihak lawan sedang menggunakan "Kim-liong-kang” (ilmu menangkap naga), semacam ilmu menangkap dan mencengkeram yang lihai. Kalau ilmu mencengkeram dan menangkap seperti itu sudah terlatih sempurna, maka sekali menggapai tangan saja segera lawan dapat dipegangnya dari jauh.

Padahal Iwekang Giok-yan sangat cetek, sebaliknya wanita itu hanya dapat membikin nona itu tertarik maju satu-dua tindak saja. Hal ini menandakan kepandaian wanita itu belum seberapa tinggi.

Sementara itu tertampak si wanita menggapai pula untuk ketiga kalinya, segera Buyung Hok mengebaskan lengan bajunya, ia keluarkan ilmu "Tau-coan-sing-ih”, ilmu andalannya yang lihai. Kontan tenaga cengkeraman dari jauh itu menyerang kembali ke arah wanita itu sendiri. Rupanya wanita itu menjadi kaget, ia berteriak sekali sambil sempoyongan ke depan.

Sesudah terhuyung-huyung kira-kira dua-tiga meter berada di depan Buyung Hok, barulah wanita itu dapat menahan tubuhnya. Karuan ia kaget setengah mati dan kuatir diserang pula, maka sekuatnya ia melompat mundur untuk kemudian mengamat-amati Buyung Hok dengan melenggong.

"Le-hujin dari ya-hoa-to di laut selatan, kepandaianmu "jai-yan-kang” memang sangat hebat. Kagum sungguh kagum.” kata Giok-yan.

Wanita itu tampak sangsi, sahutnya "Nona cilik, dari......dari mana kau kenal aku ? Dan mengapa tahu pula ilmu Jai-yan-kang kami?”

Karena sekarang wanita yang dipanggil sebagai Le-hujin atau nyonya Le itu sudah tidak teraling oleh bayangan batu padas, maka semua orang dapat melihat jelas pakaiannya yang hitam mulus itu, tapi diantara warna hitam bajunya itu seperti terdapat macam-macam benang emas, benang perak dan benang yang berwarna-warni iain sehingga di bawah sinar pelita tampaknya menjadi kemilauan.

"Cit-jai-po-ih (baju pusaka tata warna) adalah pusaka ya-hoa-to (pulau bunga kelapa), siapakah di dunia ini yang tidak tahu ?”sahut Giok-yan. "Tadi Le-hujin telah unjuk ilmu sakti yang mahir menangkap dari jauh, sudah tentu kepandaian ini adalah Jai-yan-kang (ilmu menangkap burung) yang terkenal dari ya-hoa-to”

Kiranya ya-hoa-to atau pulau bunga kelapa yang disebut Giok-yan itu terletak di laut selatan yang banyak bukit karangnya dan banyak menghasilkan sarang burung, cuma sarang burung itu berada diatas karang-karang ang terjal sehingga untuk mengunduhnya tidaklah gampang.

Keluarga Le sudah turun temurun tinggal di pulau kelapa itu dan dari kebiasaan mereka mengunduh sarang burung itu terlatihlah semacam kungfu Jai-yan-kang itu.

Memangnya Le-huji sudah jeri ketika sekali gapai kena diseret maju oleh Buyung Hoki apalagi asal usulnya kena dibongkar pula oleh Giok-yan, karuan ia tambah jeri. Ia mengira segala kepandaiannya sudah dapat diukur oleh pihak lawan, maka ia menjadi tidak berani main-main lagi. Terpaksa ia berkata kepada Tuan-bok Goan, "Tuan-bok-loji, seorang laki-laki sejati berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Nah, katakan terus terang saja, sebenarnya suamiku dan saudaraku dibunuhmu olehmu atau bukan ?”

Tiba-tiba Tuan-bok Goan tertawa pula, katanya, "Maaf, maaf Kiranya Le-hujin dari ya-hoa-to- Kalau dibicaranya sebenarnya kita adalah tetangga malah. Tapi selamanya aku tidak pernah bertemu dengan suamimu, dari mana bisa dikatakan dia dibunuh olehku?”

Tapi Le-hujin tampak masih sangsi, katanya, "Baiklah, akhirnya urusan pasti akan ketahuan. Asalkan memang betul bukan kamu yang membunuhnya” Habis berkata kembali ia menyingkir dan sembunyi di balik batu padas pula.

Dan baru saja Le-hujin mengundurkan diri, sekonyong-konyong terdengar sesuatu benda berat jatuh dari atas sebatang pohon yang besar, "bluk”, benda itu jatuh diatas batu padas. Ketika diperhatikan, kiranya sebuah wajan raksasa dari perunggu.

Buyung Hok terkejut, cepat ia menengadah dulu untuk melihat teken macam apakah orang yang sembunyi di pucuk pohon itu sehingga mampu mengangkat suatu benda yang beratnya beratus-ratus kati ke atas pohon untuk kemudian dibanting ke bawah ? Kalau melihat bentuk wajah itu, tampaknya serupa dengan wajan perunggu dari Pek-lin-tong tadi. Cuma bangun wajan ini jauh lebih besar. Barangkala song Tho-kong sendiri yang sembunyi di atas pohon Tapi waktu ia pandang ke atas toh tiada sesuatu bayangan pun yang terlihat.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara desis angin yang sangat halus dan hampir sukar terdengar. Namun Buyung Hok teramat cerdik. Cepat ia meloncat ke atas dan kedua lengan bajunya mengebat sehingga menyangkutkan serangkum angin keras yang menghantam kembali ke arah sambaran sambaran itu. Tepat pada saat itu didepannya tertampak gemerdepnya benda-benda halus, beratus-ratus jarum selembut bulu kerbau terpental balik dan bertebaran ke berbagai penjuru.

Menyusul terdengar suara teriakan ramai Kongya Kian, Hong Po-ok dan orang-orang disekitar situ. "Wah. celaka ini jarum berbisa Jahanam, siapa yang menggunakan senjata sekeji ini ? Aduh, gatal sekali "

Dalam keadaan tubuh terapung di udara, sekilat pandang Buyung Hok melihat tutup wajan itu sedikit bergerak seperti ada sesuatu hendak menerobos keluar dari dalam wajan. Dalam keadaan genting demikian, tiada sempat buat pikir lagi. segera Buyung Hok lemparkan Giok-yan yang dirangkulnya ketika meloncat ke atas tadi, katanya, "Duduklah di atas pohon”

Menyusul badannya lantas menurun ke bawah tapi bukan ke tanah melainkan ke atas wajan raksasa itu

Ia merasa tutup wajan masih bergerak-gerak, segera ia gunakan kepandaian membikin antap badannya untuk menindih tutup wajan sekuatnya.

Apa yang terjadi itu berlangsung dalam sekejap dan baru Buyung Hok dapat menindih tutup wajan tetap ditempatnya, sementara itu jerit dan bentakan orang disekitarnya sudah tambah ramai, "Aduh, lekas ambilkan obat penawarnya ini jarum berbisa Gu-mo-ciam (jarum bulu kerbau) dari Pek-lin-tong. Dalam waktu satu jam dapat membuat nyawa orang melayang, lihainya bukan kepalang wah, celaka, dimana bangsat tua song Thokong itu ? Dimana dia ? Keparat ya, lekas seret dia keluar dan paksa ia memberi obat penawarnya Kurang ajar, bangsat tua ini sembarangan menghamburkan jarumnya sampai kawan sendiri juga diserang song Tho-kong song Tho-kong dimana kamu, keparat Lekas berikan obat penawarmu "

Begitulah seketika terjadi riuh ramai makian dan suara orang ingin mencari Song Tho-kong untuk minta obat penawar racun, orang yang terkena jarum berbisa itu ada yang berjingkrak saking gatal, ada yang memeluk pohon saking tak tahan rasa sakit. Nyata racun Gu-mo-ciam atau jarum bulu kerbau itu luar biasa lihainya sehingga siapa yang terkena akan tersiksa oleh rasa gatal dan sakit yang tak terhingga.

Padahal diantara orang-orang yang kena jarum itu ada ketua dari sesuatu golongan dan ada pemimpin dari sesuatu perkumpulan, tapi dalam keadaan tersiksa mereka menjadi lupa daratan akan kedudukannya sendiri dan tidak kenal malu lagi.

Sebaliknya yang diperhatikan oleh Buyung Hok adalah kawan-kawannya, sekilas ia pun melihat Kongya Kian memegangi dada dan perutnya sedang mengerahkan tenaga dalam, sedang Hong Po-ok tampak melonjaklonjak sambil mencaci maki kalang kabut. Maka tahulah Buyung Hok bahwa kedua kawan itu telah terkena jarum berbisa tadi. Ia menjadi kuatir dan gusar pula.

Terang menghamburnya jarum berbisa bagai hujan tadi dilakukan oleh seorang dengan pesawat rahasia yang mungkin terpasang di dalam wajah raksasa itu. Kalau tidak, rasanya tidak mungkin dapat menghamburkan jarum halus dalam sekejap saja.

Yang paling membuatnya gemas adalah kelicikan penyerang tak kelihatan itu. Lebih dulu Buyung Hok dipancing supaya menengadah ke atas pohon, pada saat itulah jarum berbisa lantas dihamburkan dari dalam wajan. Coba kalau dia kurang cerdik dan tidak tangkas, pasti beratus-ratus atau beribu-ribu jarum berbisa itu sudah bersarang di tubuhnya.

Sebaliknya penyerang itu rupanya bersembunyi di dalam wajan sehingga jarum berbisa yang dihantam kembali oleh Buyung Hok itu hanya mengenai orang-orang disekitarnya dan tidak mengenai penyerang gelap itu.

Maka terdengarlah suara seorang yang sengaja dibikin-bikin berkata, "Buyung Hok, sekali ini kamu telah salah lakon. Mengapa berbalik kau gunakan kepandaian orang untuk menyerang dirimu ? Bukankah sangat tidak cocok dengan kebiasaan Koh-soh Buyung ?”

Yang bicara itu kedengaran berada agak jauh dan rupanya terlindung di belakang batu padas sehingga tidak ikut terkena jarum berbisa. Makanya dia berani mengejek.

Tapi Buyung Hok tidak gubris padanya, ia pikir untuk memusnahkan racun jarum itu harus mencari penyerang yang sembunyi di dalam wajan, ia merasa tutup wajan yang diinjaknya itu bergerak terus, terang orang di dalam wajan itu sedang berusaha menerobos keluar.

Kepandaian Buyung Hong sangat hebat. Dengan jarinya ia gantol pada dahan pohon sehingga dia dapat membuat badannya seenteng kapas atau seberat bukit berlaksa kati. Bila orang itu ingin menerobos keluar, kalau dia tidak membobol wajan itu dengan pedang mustika, maka dia harus menggunakan tenaga sanggahan punggungnya untuk mengangkat pohon dengan tenaga tindihan Buyung Hok itu.

Sebenarnya orang yang berada di dalam wajan itu memiliki tenaga raksasa. Biasanya dengan tenaga punggungnya ia mampu menumbuk rubuh seekor banteng. Karena itulah dia sekarang berani main sembunyi dalam wajan tanpa kuatir.

Tapi sekali ini dia salah hitung. Meski sudah berulang kali ia menyundul ke atas.

Tetap tutup wajan itu tak bergeming seperti tertindih oleh sebuah bukit. Karuan orang itu kelabakan. Berulang ia mengerahkan tenaga tapi tetap susah keluar.

Diam-diam Buyung Hok sudah memperhitungkan setiap kali orang di dalam wajan itu menyundul, setiap kali pula tentu akan banyak mengorbankan tenaga dalam, sebab ia sengaja mengadu tenaga sundulan orang dengan tindihan tiohon besar itu.

Maka tertampak pohon yang dipakai sebagai pegangan itu bergoyang-goyang seakan-akan tumbang. Tapi untuk menyundul sebatang pohon bersama akar-akarnya memang terlalu sulit namun akar pohon sedikit demi sedikit juga mulai banyak yang putus. Kalau orang di dalam wajan ini menggunakan tenaga lagi beberapa kali, bukan mustahil dia akan dapat menyingkap tutup wajan dan menerobos keluar.

Namun Buyung Hok juga sudah siap sedia. Ia menduga begitu orang itu menerobos keluar, tentu akan menghamburkan jarum berbisa lagi untuk melindungi tubuhnya. Dan sekali hantam, semua jarum orang itu tentu akan dapat dipukul kembali dan mengenai tubuh orang itu sendiri. Dengan demikian, maka pasti dia akan mengeluarkan obat penawar untuk menyembuhkan lukanya sendiri dan tidak perlu susah lagi berusaha merebutnya.

Tiba-tiba ia merasa tutup wajan bergoncang hebat dua kali lagi, habis itu tahu-tahu lantas berhenti dan tiada terdengar sesuatu gerak gerik orang di dalam wajan.

Buyung Hok menaksir orang itu tentu lagi menghimpun tenaga untuk menyundul sekuatnya buat menerobos keluar dari wajan. Maka ia sengaja mengendurkan tenaga tindihan sedang telapak tangan kanan sudah siap menghantam.

Tak terduga sampai sekian lama orang di dalam wajan itu tidak bergerak lagi, seperti sudah mati sesak di dalam.

Dalam pada itu jerit tangis orang banyak semakin riuh ramai. Beberapa orang yang lebih rendah kepandaiannya saking tak tahan akan derita sakit dan gatal telah berguling-guling di tanah, ada yang membentur-benturkan kepala di atas batu dan ada yang memukul-mukul dada sendiri

Beramai-ramai mereka berteriak-teriak mencari song Tho-kong dan ingin menyeretnya keluar untuk mengambil obat penawarnya. Di tengah suara teriakan yang menyeramkan itu, ada belasan orang menjadi kalap terus menerjang ke arah Buyung Hok.

Tapi Buyung Hok segera meloncat ke atas dengan enteng, selagi ia hendak duduk di dahan pohon sekonyongkonyong terdengar suara mendesir-desir halus, dari samping menyambar tiba secomot sinarperak gemerdap, kembali beribu jarum berbisa yang halus telah menyambar lagi ke arahnya.

Serangan ini sama sekali di luar dugaan Buyung Hok, song Tho-kong yang menyerang dengan jarum berbisa itu sudah pasti masih berada di dalam wajan, sedangkan jumlah jarum berbisa yang berhamburan dan keras agaknya bukan dilakukan oleh tenaga manusia melainkan dihamburkan dengan menggunakan sesuatu pesawat tertentu, apa barangkali ada begundal song Tho-kong yang bersembunyi di samping situ dan sekarang menyerangnya secara keji ?

Saat itu Buyung Hok sedang terapung di udara, untuk menghindar terang sangat susah-Kalau menghantam kembali jarum berbisa itu dengan tenaga pukulan yang dahsyat, ia kuatir seperti kejadian tadi yaitu mengenai kawan sendiri karena waktu itu Pek-jwan berempat masih berada di bawah.

Tapi Buyung Hok bukan Buyung Hok kalau dia lantas mati kutu begitu saja. Gelar "Lam Buyung dan Pak Kiau Hong” memang bukan gelaran kosong belaka.

Ilmu silat keluarga Buyung sebenarnya sangat hebat dan susah diukur. Meski Buyung Hok selama ini lebih giat dalam usahanya hendak membangun kembali kerajaannya sehingga tiada sempat meyakinkan ilmu silat

leluhurnya dengan tekun, tapi sebagai ahli waris Koh-soh Buyung sudah tentu bukanlah tokoh sembarangan.

Ketika lengan bajunya mengebas sekali, bagaikan layar perahu yang tertiup angin dengan tenaga kebasan itu tubuhnya terus melompat ke samping. Berbareng itu dari kebasan lengan bajunya lantas terlontar suatu arus kekuatan yang maha kuat sehingga beribu jarum berbisa itu tergampuk terbang ke udara. Habis itu dengan gaya yang indah, dengan ringan seperti burung kemudian Buyung Hok meluncur turun.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar