Jilid 56
Begitulah makin dipikir makin
pedih perasaan Toan Ki, akhirnya ia berjalan kedepan dengan menunduk seperti
orang linglung, dalam hati terpikir pula olehnya, "Ya, asalkan nona Ong
merasa senang dan bahagia, apa artinya kalau aku berkorban baginya?"
Melihat Toan Ki mendadak pergi
sendiri, cepat Buyung Hok berseru, "Toan-heng, kita baru berkumpul dan
belum lagi bicara, mengapa terburu-buru hendak pergi?"
Tapi Toan Ki sendiri sedang
melamun, sama sekali ia tidak dengar seruan Buyung Hok itu dan tetap berjalan
kedepan dengan kepala menunduk.
Sesudah berseru pula beberapa
kali dan tetap tidak dijawab Toan Ki, akhirnya Buyung Hok cuma menghela napas
gegetun saja.
"Kongcu, biar kutangkap
dia kembali!" teriak Po-ok.
"Jangan main kasar."
cepat Buyung Hok mencegahnya. "Dia adalah Toan-kongcu dari Tayli, lain
kali kalau kalian ketemu dia lagi, kalian harus menghormatinya seperti kalian
menghormati aku."
Po-ok cuma saling pandang saja
dengan Pau-put-tong dan tidak bersuara.
Lalu Buyung Hok berkata pula,
"Nona cilik yang ditolong bocah kepala besi itu adalah murid Ting Jun-jiu,
urusan yang tiada sangkut-pautnya dengan kita jangan kalian ikut campur
lagi."
Tiba-tiba Hong Po-ok mengedipi
Pau Put-tong lalu katanya kepada Buyung Hok, "Kongcu, nona Ong sedang
menantikan engkau disana, apa engkau takkan menemuinya?"
Buyung Hok hanya tersenyum
tawar saja, katanya, "Kalian masih ingin menguber si bocah kepala besi
itu, bukan?"
"Ini... ini...."
sahut Po-ok dengan gelagapan.
"Segala apa masakah mampu
membohongi Kongcu? Sudahlah, katakan terus terang saja!" seru Pau
Put-tong.
Maka dengan tertawa kikuk
Po-ok bertutur, "Kami masing-masing pernah dihantam sekali oleh
Thi-thausiaucu (bocah kepala besi) itu dan sangat menderita untuk beberapa hari
lamanya, sampai sekarang kami sangat penasaran, betapapun kami ingin
menanggalkan kerudung besinya itu untuk melihat bagaimana sebenarnya tampang
asli bocah itu."
Buyung Hok berpikir sejenak
sambil menengadah, katanya kemudian, "Tapi ilmu silat orang berkepala besi
itu sangat aneh, kalian harus hati-hati!"
"Tahu, Kongcu!"
sahut Po-ok sambil tepuk tangan, sekali melompat segera ia lari secepat terbang
kedepan disusul oleh Pau Put-tong.
Waktu Buyung Hok menoleh, ia
lihat Toan Ki sudah agak jauh, untuk menyusulnya tentu dapat, tapi tadi Toan Ki
sudah tidak mau menjawab teriakannya, dengan sendirinya ia pun tidak ingin
menyusulnya lagi, hanya dalam hati ia agak menyesal.
Dilain pihak Hong Po-ok dan
Pau Put-tong sedang menguber secepat terbang kedepan, sesudah tujuh atau delapan
li jauhnya, tetap bayangan Thi-thau-jin (orang berkepala besi) itu tidak
ditemukan.
Po-ok dan Put-tong berwatak
sama, suka berkelahi dan senang cari perkara, kalau bisa biar terjadi
"perang dunia", dan mereka akan dapat berkelahi sepuas-puasnya. Meski
yang mereka kejar itu tidak diketemukan, tapi mereka masih terus menguber
kedepan.
Mereka tidak tahu lari Yu
Goan-ci secepat terbang itu mungkin sudah dua-tiga puluh li lebih jauh didepan
mereka.
Sesudah membawa lari A Ci
tanpa memikirkan keganasan Ting-lokoai, Goan-ci terus berlari kesetanan
kedepan, betapa cepat larinya itu sampai dia sendiri tidak percaya. Yang
terpikir olehnya hanya sejauh mungkin meninggalkan Ting-lokoai agar A Ci dapat
diselamatkan, pikiran lain tidak ada, Tapi sesudah berpuluh li jauhnya berlari,
ketika terbayang olehnya betapa ganas dan kejamnya Ting Jun-jiu, mulailah ia
merasa takut. Bukannya ia takut diri sendiri akan dihajar atau dibunuh
sekalipun oleh Ting Jun-jiu, ia takut bila Sing-siok Lokoai mengalihkan rasa
murkanya kepada A Ci dan menyiksa anak dara itu dengan berlipat ganda lebih
kejam.
Dalam takutnya itu tanpa
terasa ia menoleh kebelakang untuk melihat apakah Lokoai mengejarnya atau
tidak. Tapi sekali ia menoleh, seketika kaki terasa lemas. Sebab sama sekali
tak terduga olehnya bahwa larinya bisa sedemikian cepatnya bagaikan terbang.
Dalam kagetnya itu, larinya
jadi sedikit meleng, dan ketika ia berpaling kedepan lagi, wah, celaka,
tahu-tahu ia sudah hampir menubruk sebatang pohon besar yang didepannya.
Keruan ia kaget. Sekuatnya ia
hendak mengerem, tapi biar pun "rem angin" pada saat itu juga sukar
ditahan lagi.
Dalam seribu kali kelabakan
Goan-ci masih sempat lemparkan A Ci kesamping dengan pelahan. Menyusul sambil
tutup mata dan meringis kuda, terdengarlah suara "blang" yang keras,
badannya tertumbuk dengan tepat pada batang pohon besar itu.
Goan-ci terus peluk erat-erat
pohon yang ditubruknya itu, sehingga sekian lamanya baru dapat pulih
semangatnya. Anehnya ia tidak terluka apa-apa, sebaliknya tiba-tiba daun pohon
itu rontok berhamburan, hanya sekejap saja ditanah sekitar pohon itu sudah
berlapiskan permadani daun pohon yang tebal.
Diam-diam Goan-ci heran, waktu
itu bukan musim rontok, malahan daun pohon itu tadi masih kelihatan menghijau
segar, mengapa mendadak bisa layu dan rontok semua?
Ia tidak tahu bahwa karena
pelukannya itu, tanpa terasa ia telah salurkan hawa maha dingin dan maha
beracun dalam tubuhnya kepada pohon itu sehingga pohon itu mati beku dan
kering.
Waktu Goan-ci menoleh pula, ia
lihat A Ci sedang duduk ditanah dan lagi menangis tersedu-sedu sambil menutupi
mukanya dengan tangan. Karena disekitar situ sunyi senyap, maka Goan-ci dapat
mendengar suara tangisan A Ci yang lirih itu dengan jelas.
Ketika ia turun tangan
menolong A Ci, yang terpikir olehnya hanya menyelamat-kan anak dara itu dari
tangan jahat Ting Jun-jiu, sama sekali tak terpikir olehnya bagaimana urusan
selanjutnya atas diri anak dara itu. Sekarang melihat A Ci menangis
tersedu-sedan maka bingunglah Goan-ci.
Sesudah ragu-ragu sebentar
akhirnya mendekati A Ci dan memanggilnya dengan kikuk, "No...nona..."
Mendadak A Ci berdiri,
"plak" kontan ia hantam sekali hingga tepat mengenai dada Goan-ci,
"Kenapa kau
selamatkan?" teriaknya
melengking.
Karena tidak menyangka,
Goan-ci hampir jatuh kena genjotan itu. Cepat ia menjawab, "Kalau...kalau
aku tidak turun tangan, tentu.... tentu waktu itu nona akan.... akan menderita
hebat."
"Peduli apa denganmu jika
aku menderita?" semprot A Ci.
Goan-ci jadi gelagapan, untuk
sejenak ia tertegun, kemudian baru berkata, "Nona, maksudku supaya engkau
terhindar dari derita dan tiada... tiada maksud jahat. Jika engkau menyalahkan
aku dan tidak senang, ai, tahu begitu, tentu....tentu aku tidak perlu ikut
campur urusan ini."
"Sudah tentu aku tidak senang,"
kata A Ci sambil menangis. "Bila mendadak kedua matamu buta, apakah kamu
akan senang?"
"Jika kedua mata nona
dapat melihat kembali biarpun aku yang harus buta juga aku suka dan rela."
sahut Goan-ci dengan tersenyum getir.
A Ci termangu-mangu sejenak
dan pelahan berhenti menangis. Lalu ia tanya, "Siapakah kau?"
Perasaan Goan-ci seakan
dihantam sekali dengan keras oleh pertanyaan itu.
Maklum, ia menghormati A Ci,
memuja A Ci meski anak dara itu tiada didampingnya juga senantiasa ia terkenang
padanya. Dahulu ia dianggap sebagai "badut besi" oleh anak dara itu
dan hampir setiap hari berkumpul, sekarang sesudah berhadapan, paling tidak ia
berharap suaranya akan segera dikenal anak dara itu, siapa duga A Ci bertanya
malah, hal ini menandakan sudah lama bayangan "si-badut besi"
terhapus dalam ingatan anak dara itu.
Ya, memang. Sebagai seorang
Tuan Putri yang dihormati di Lamkhia, sudah tentu A Ci banyak mempunyai
permainan yang serba baru, hilang seorang badut besi, dengan sendirinya masih
banyak badut-badut lainnya yang serba baru dan serba lucu yang dapat
menyenangkan hatinya. Maka rupa "si-badut besi" memang sudah lama
dilupakannya sama sekali.
Apalagi waktu Goan-ci
menyelamatkannya dari tangan jahat Ting Jun-jiu, yang terpikir oleh A Ci adalah
penolongnya itu pasti seorang terkemuka dari dunia persilatan, betapapun tidak
terpikir olehnya akan diri Goan-ci.
Begitulah selagi Goan-ci
termangu-mangu tak bisa menjawab, tiba-tiba A Ci tanya pula, "Apakah
engkau ini Buyung-kongcu?"
"Buyung-kongcu?" Goan-ci
mengulangi nama itu. Seketika didepan matanya terbayang potongan Buyung Hok
yang gagah dan cakap itu, biarpun ia tidak memakai topeng besi yang sialan itu
juga pasti bukan apa-apa kalau dibandingkan Buyung Hok, apalagi sekarang ia
memakai kerudung besi sehingga lebih mirip setan dari pada manusia.
Seketika ia merasa diri
sendiri sangat rendah dan jelek, maka dengan suara lirih ia menjawab, "O,
bu... bukan, aku bukan Buyung-kongcu."
Tertampak A Ci miringkan
kepala dan berpikir sejenak, lalu berkata pula, "Dari suaramu, agaknya
usiamu belum seberapa tua, apakah engkau ini kawan Buyung-kongcu?"
Kiranya kesan A Ci terhadap
Buyung Hok sangat mendalam, sekarang meski kedua matanya sudah buta, ia sangka
penolongnya itu pasti juga seorang muda yang lemah lembut, ganteng dan cakap
sebab itulah ia tanya Goan-ci apakah kawan Buyung-kongcu.
Melihat sikap A Ci sekarang
telah berubah agak riang, Goan-ci lantas menuruti haluan anak dara itu,
jawabnya, "Ya, kami memang saling kenal."
Pelahan A Ci mendongak, lalu
katanya, "Jika demikian, tentu... tentu kaupun sama cakapnya seperti
Buyungkongcu?" habis mengeluarkan kata-kata itu, wajahnya yang pucat itu
bersemu merah.
Sejak tadi A Ci memejamkan
kedua matanya pula sudah mengusap bersih darahnya tadi, maka sekilas pandang
takkan ketahuan bila dia gadis buta, Kini pipinya bersemu kemerah-merahan,
tampaknya menjadi tambah ayu.
Goan-ci sampai terkesima
memandangi gadis cantik itu dan tidak dapat membuka suara.
Selang sejenak, kembali A Ci
tanya, "Apa yang sedang kau lakukan?"
"Aku....aku sedang
memandangimu." sahut Goan-ci.
"Memandang aku? Mengapa
memandang aku?" tanya A Ci.
"Engkau sangat cantik,
aku tidak bermaksud apa-apa melainkan ingin memandangmu saja." sahut
Goan-ci.
Merah muka A Ci semakin
merata, katanya pula. "Kau....kau bilang aku cantik?"
Goan-ci menghela napas,
sahutnya, "Ya, belum pernah kulihat seorang nona yang lebih cantik dari
padamu."
Sesudah kedua matanya
dibutakan Ting Jun-jiu, sebenarnya perasaan A Ci sangat tertekan. Cuma saja ia
adalah murid Sing-siok-pai, sudah sering dilihatnya segala macam dan cara
siksaan keji. Kalau dibandingkan dosanya yang mencuri kitab pusaka gurunya dan cuma
dihukum membutakan mata oleh Sing-siok Lokoai, maka hukuman yang diterimanya
itu boleh dikatakan terlalu ringan, sebab itulah ia berduka karena matanya
buta, tapi tidak begitu berduka sebagai orang biasa yang mendadak menjadi buta.
Sekarang dalam khayalnya ia
kira penolongnya itu adalah seorang pemuda ganteng dan tinggi pula ilmu
silatnya, sekali hatinya sudah timbul rasa senang, ditambah lagi pujian Goan-ci
tadi, karuan ia tambah gembira, hati pun berdebar-debar juga.
Selamanya tiada orang pernah
memperhatikan apakah dia cantik atau jelek, dalam perguruan ia cuma dianggap
anak kecil oleh para Suhengnya, begitu pula Siau Hong memandangnya sebagai anak
dara yang nakal, hanya dahulu Goan-ci pernah memuji kecantikannya. Tapi
kedudukan Goan-ci terlalu rendah, pujian itu tidak lebih dianggapnya sebagai
pujian seorang hamba kepada junjungannya.
Sekarang A Ci tidak tahu
siapakah sebenarnya penolongnya itu, sama-sama pujian dan sama pula orangnya,
namun reaksi yang timbul dari perasaan A Ci sekarang jauh berbeda daripada
dahulu. Saking senangnya sampai sekian lamanya ia tidak sanggup bersuara.
Agak lama kemudian barulah ia
berkata pula. "Kau bilang aku cantik, engkau mengatakan selamanya tidak
pernah melihat seorang nona lain yang lebih cantik dari padaku?"
"Ya." jawab Goan-ci.
"Bukankah engkau
cuma....cuma sengaja hendak membikin senang hatiku saja?"
"Tidak, aku....aku
berkata dengan sungguh-sungguh. Jika aku mempunyai pikiran palsu dan maksud
jahat, biarlah aku mati tak terkubur."
Betapa hormat dan agungnya A
Ci bagi Goan-ci, sudah tentu ucapannya itu dikeluarkan dengan nada setulus
hati. Namun pada waktu mengucapkan kata-kata "pikiran"
dan"maksud" itu, mau tak mau ia merasa ucapannya itu telah menodai A
Ci.
Kembali A Ci termangu-mangu
dengan muka muram, katanya kemudian, "Tapi kukira engkau berdusta.
Aku....aku sudah buta, andaikan cantik juga terbatas, ya, kecuali....kecuali
kaum wanita didunia ini sudah buta semua barulah aku akan terhitung orang yang
paling cantik."
Goan-ci merasa merinding oleh
kata-kata anak dara itu. Sudah tentu didunia ini tiada seorang pun yang
berkuasa membutakan mata seluruh kaum wanita didunia ini. Tapi ia kenal sifat A
Ci, jika anak dara itu mempunyai kemampuan itu, pasti tanpa ragu ia akan
berbuat seperti apa yang dikehendaki itu.
Maka cepat ia berkata,
"Nona, meski kedua matamu sudah buta, tapi engkau tetap sama cantiknya,
hendaknya jangan kau pikir yang tidak-tidak."
A Ci terdiam.
Maka Goan-ci berkata pula,
"Nona, sebelum diriku tentu sudah pernah ada orang memuji akan kecantikanmu."
A Ci berpikir sejenak, lalu
menjawab, "Ya, ada seorang juga pernah mengatakan aku cantik."
Hati Goan-ci mendebar keras,
katanya. "Nona, siapakah orang itu?"
Mendadak A Ci tertawa,
katanya, "Jika kau lihat orang itu, tentu kau pun akan tertawa
terpingkal-pingkal, Dia adalah seorang bocah dungu, aku telah kerudungi dia
dengan sebuah topeng besi dan kuberi sebuah nama padanya, yaitu si-badut besi.
Sungguh lucu rupanya, aku sering menggoda dia sebagai binatang hiburan seperti
kucing kesayanganku itu."
Sebenarnya Goan-ci sengaja
memancing A Ci agar membicarakan dirinya untuk menjajaki bagaimana kesan anak
dara itu terhadapnya, dengan demikian bila perlu ia dapat bicara terus terang
siapa dirinya. Sekarang ternyata A Ci menganggapnya tidak lebih hanya seperti
seekor kucing piaraannya saja, keruan kepalanya seperti diguyur air dingin, ia
pikir kalau sekarang dia mengaku siapa dirinya, tentu anak dara itu akan sangat
kecewa. Maka ia cuma menghela napas panjang saja.
A Ci merasa heran, ia tanya,
"kenapa engkau menghela napas?"
"O, tidak!" sahut
Goan-ci gugup, "Kupikir orang....orang itu harus dikasihani!"
"Dia sudah mati."
kata A Ci. "Kalau tidak, tentu aku akan mengelotoki topeng besinya yang
sudah melengket dengan mukanya itu, dan tentu akan sangat menarik sekali
kelihatannya."
Kembali Goan-ci merinding
mendengar kata-kata itu tanpa terasa ia mundur setindak, ia meraba kerudung
besi diatas kepalanya sendiri. Kerudung itu sudah lengket dengan kulit
dagingnya, kalau dibeset mentah-mentah, bukan saja sangat membahayakan jiwanya
yang terang ia pasti akan kesakitan setengah mati lebih dulu.
Goan-ci merasa tidak pernah
berbuat salah terhadap A Ci, dahulu malah banyak disiksa olehnya, mengapa
sampai sekarang dirinya masih belum terhindar dari ancaman anak dara ini? Tapi
selama beberapa tahun ini ia sudah kenyang menderita, sudah biasa difitnah dan
disiksa orang, maka ia cuma berpikir sejenak lalu menjawab menuruti haluan A
Ci,
"ya, kukira pasti sangat
menyenangkan!"
A Ci bertambah gembira,
mendadak tangannya bergerak dan kebetulan lengan Goan-ci terpegang, katanya,
"Kukira engkau serupa dengan aku, juga suka kepada permainan yang
aneh-aneh itu."
Karena lengannya dipegang A
Ci, badan Goan-ci menjadi agak gemetaran, dan karena itu suaranya menjadi terputus-putus,
jawabnya, "Thi-thau-jin....Thi-thau-jin itu....."
"Thi-thau-jin itu
kenapa?" A Ci menegas.
"Mestinya kau suruh
Thi-thau-jin itu memasukkan kepalanya kedalam mulut binatang buas sebangsa
singa atau harimau, coba apakah gigi binatang buas itu sanggup tidak menggigit
kepala besinya itu," kata Goan-ci.
"Hah, ternyata pikiranmu
sama seperti aku." seru A Ci sambil bertepuk tangan dan tertawa. "Aku
justru sudah pernah mencobanya, sudah pernah kusuruh dia masukkan kepalanya
kemulut singa, tapi tidak cedera!"
Saking senangnya sehingga
waktu bicara tangan A Ci ikut bergerak-gerak dan tanpa sengaja jarinya
menyenggol topeng besi Goan-ci dan mengeluarkan suara "cring" yang
nyaring pelahan, karuan Goan-ci kaget dan cepat melompat mundur.
"He, tanganku menyentuh
apa barusan ini?" tanya A Ci.
"O, ini, Hou-sim-kia
(kaca pelindung dada) pada bajuku ini." cepat Goan-ci berdusta.
"Wah, itu tentu sebuah
benda mestika yang tiada taranya," puji A Ci sambil manggut-manggut.
Karena tahu asal-usul dirinya
tidak mungkin dikatakan terus terang lagi, maka Goan-ci sengaja membual
sekalian, katanya, "Ya, memang benda ini gemblengan dari besi meteor yang
diketemukan dipuncak Thian-san, tidak mempan senjata dan dapat menolak segala
bahaya."
"Wah, hebat benar!"
demikian kelihatan sekali A Ci sangat kagum, "Sebenarnya siapakah
namamu?"
"Aku she Ong bernama
Sing-thian," sahut Goan-ci mengada-ada.
Tapi A Ci percaya saja,
tanyanya pula, "Dan ilmu silatmu dari aliran manakah?"
"Tentang asal-usul ilmu
silatku ini sungguh luar biasa, yaitu berasal dari warisan Tat-mo Cosu.
namanya...." demikian Goan-ci sengaja membesar-besarkan dirinya, Ia pikir
jika senantiasa dapat berada bersama dengan A Ci, tentu hidupnya akan sangat
gembira, maka ia menyambung...."namanya Kek-lok-pai, dan aku....aku adalah
Ciangbunjin dari Kek-lok-pai (golongan paling gembira)."
Tentu saja A Ci bertambah
tertarik, katanya, "Usiamu masih muda, tapi ternyata sudah menjadi ketua
sesuatu aliran persilatan yang besar, pantas dengan gampang saja dapat kau
selamatkan aku dari tangan jahat Ting Junjiu."
Padahal waktu Goan-ci menolong
A Ci tadi, sesungguhnya adalah tindakan yang tidak pernah direncanakan
sebelumnya, Coba kalau sekarang dia teringat pada perbuatan itu, biarpun mati
pun dia tidak berani lagi. Karena itu dalam hati ia tersenyum getir atas pujian
A Ci itu, tapi dimulut tetap ia berkata, "Ya, sudah tentu, Ting Jun-jiu
itu terhitung manusia apa? Huh, semua orang takut padanya, hanya aku saja tidak
takut!"
A Ci melangkah maju setindak,
ia mendongak dihadapan Goan-ci. Maka terenduslah Goan-ci bau harum yang
mendebar-debarkan jantungnya. Malahan anak dara itu lantas ulurkan tangannya
dan pelahan meraba lengan Goan-ci dari atas kebawah, lalu ia pegang telapak
tangan Goan-ci.
Dengan menahan napas Goan-ci coba
memandang tangan A Ci, ia lihat sebuah tangan yang putih bersih laksana salju
dan halus sebagai sutra, seketika ia terkesima.
"Kenapa engkau tidak
tanya namaku?" tanya A Ci tiba-tiba.
"O, ya, siapa
namamu?" tanya Goan-ci dengan kaku.
"Aku she Toan, bernama A
Ci."
"A... A Ci!" untuk
sejenak barulah Goan-ci dapat mengucapkan nama itu dengan suara lemah.
"Ya, aku....aku suka kau
panggil namaku, Coba panggil lagi sekali!" pinta A Ci dengan berseri-seri.
Maka Goan-ci memanggilnya
lagi, "A Ci!"
Selama ini Goan-ci menganggap
A Ci seakan-akan bidadari dari khayangan, sama sekali tak terpikir olehnya
bahwa pada suatu hari ia dapat langsung menyebut nama A Ci, bahkan atas
permintaan anak dara itu dengan segala senang hati, malahan dapat pegang-pegang
tangannya pula.
Begitulah, maka tampak wajah A
Ci yang berseri-seri itu tambah manis, katanya, "Apakah engkau sudi
mendampingi aku?"
Hati Goan-ci tergetar hebat,
sudah tentu seribu kali ia ingin berdampingan dengan A Ci. Tapi ia pun khawatir
bila lama berada bersama dengan anak dara itu, jangan-jangan nanti akan
ketahuan bahwa dirinya tak lain tak bukan adalah "si-badut besi" yang
disangkanya sudah mati itu, kan urusan bisa runyam?
Topeng besi yang sebel itu
tadi telah tersenggol jari A Ci dan hampir diketahui, ia pegang kerudung besi
itu dan dibetot-betot sekuatnya, ia benar-benar ingin mencopot topi besi itu
dari kepalanya.
Merasa Goan-ci mendadak
melangkah mundur, hati A Ci menjadi pedih, katanya, "O, kiranya engkau
tidak sudi berada bersamaku."
"Tidak, ti....tidak!"
cepat Goan-ci menjawab, "Aku....aku khawatir...."
"Khawatir apa ?"
"Aku khawatir bila berada
disampingmu, mungkin aku....aku tak dapat membuatmu senang."
"Salah besar
sangkaanmu." kata A Ci, "Justru kalau engkau berada disampingku, maka
pasti senanglah aku, Jika Sing-siok Lokoai tak mau mengampuni aku dan bila
engkau tidak mengawani aku, lalu bagaimana jadinya bila aku dipergoki
dia?"
Walaupun tahu bahwa ucapan A
Ci ini ditujukan kepada "Ong Sing-thian" dan bukan terhadap seorang
Yu Goan-ci, tapi hatinya merasakan juga semacam kenikmatan yang sukar
dilukiskan. Sejak keluarganya berantakan dan hidup merana penuh siksa derita,
sungguh mimpi pun Goan-ci tidak pernah menduga dia akan dapat merasakan
kenikmatan batin seperti sekarang ini.
A Ci mendongak dan tanya pula,
"Bagaimana, apa engkau sudi?"
"Ya, sudah tentu aku
sudi, cuma...."
"Aku melarang engkau
berkata 'cuma' apa segala!" cepat A Ci memotongnya.
Sikap anak dara yang mengomel
aleman itu membuat hati Goan-ci bertambah terombang-ambing, katanya, "Ya,
sudah, jika engkau tidak suka mendengarkan, biarlah tidak kukatakan."
Maka tertawalah A Ci, katanya
pula, "Sekarang bawalah aku ketepi sungai dulu."
"Ketepi sungai?"
Goan-ci menegas dengan heran.
"Ya, mukaku tentu sangat
kotor, aku ingin cuci muka."
"Meski mukamu masih ada
sedikit noda darah, tapi engkau tetap sangat manis dipandang."
Kembali A Ci tertawa, tapi
sekali ini tertawa yang memilukan.
Dengan gemetar Goan-ci
mengulurkan tangannya, katanya, "Bo...boleh kau pegang tanganku, biar aku
membawamu kesana."
A Ci lantas mengulurkan
tangannya untuk memegang tangan Goan-ci.
Seketika badan Goan-ci seperti
kena setrom dan gemetar. Sungguh mimpi pun tak terpikir olehnya bahwa pada
suatu hari A Ci dapat mengulurkan tangan untuk memegang tangannya, dapat
mengucapkan kata-kata sedemikian ramah kepadanya. Setindak demi setindak ia
bawa A Ci kedepan, ia merasa seperti terbang diawang-awang, semangat serasa
kabur.
Selang agak lama barulah A Ci
tanya pula, "Apakah disekitarmu sini tiada sungai kecil?"
Mendadak Goan-ci sadar dari
lamunannya, ia dengar jauh disana ada suara gemericiknya air, maka cepat
jawabnya, "Ada, tampaknya didepan sana ada sebuah sungai."
Benar juga, sesudah menyusur
hutan, tertampaklah sebuah sungai kecil dengan airnya yang jernih sedang
mengalir dengan tenangnya.
Sesudah membawa A Ci ketepi
sungai, lalu kata Goan-ci, "Nah, A Ci, sekarang engkau sudah berdiri
ditepi sungai."
A Ci berjongkok, ia rendam
tangannya sejenak didalam air sungai, lalu berkata, "Coba kamu menyingkir
dulu, kalau aku memanggilmu barulah boleh kau kembali kesini."
Goan-ci menjadi gugup karena
anak dara itu menyuruhnya menyingkir, tanyanya, "Sebab apa?"
Tapi A Ci jadi marah-marah,
katanya, "Aku menyuruhmu menyingkir dan kamu harus segera menyingkir!"
Dasar sifat A Ci memang manja,
ketika hidup dalam istana Lam-ih Tai-ong di Lamkhia ia sudah biasa berkuasa dan
main perintah, maka tanpa terasa sifat tuan putrinya itu menonjol lagi.
Tapi, sesudah berkata, segera
ia ingat, "Wah, sekarang aku tidak boleh main perintah lagi, jika dia
sampai marah dan aku ditinggalkan, lantas bagaimana?"
Karena itu, cepat ia berdiri
dan berkata pula dengan suara halus, "Perasaanku sedang tertekan sehingga
bicaraku agak kasar, harap engkau jangan marah padaku."
Padahal dahulu Goan-ci sudah
kenyang dihajar, dicambuk dan disiksa oleh A Ci, untuk itu Goan-ci harus
bersorak malah sekarang cuma didamprat saja, hal ini boleh dikatakan kejadian
yang terlalu biasa dan soal kecil.
Sama sekali tak terpikir
olehnya bahwa sekarang A Ci berbalik minta maaf padanya dan mohon dia jangan
marah. Saking gugupnya lantaran perbedaan yang menyolok itu, cepat Goan-ci
menjawab, "Ah, ti...tidak, Asalkan engkau senang boleh kau bicara sesukamu
kepadaku."
Mendengar itu, diam-diam A Ci
merasa heran juga. Ia tidak paham mengapa "Ong-kongcu" yang serba
jempolan ini sedemikian baik hati dan suka mengalah padanya? Apakah dirinya
memang sudah ditakdirkan mempunyai rejeki sebesar ini? Demikian pikir A Ci.
Karena senang, maka ia berkata
pula, "Jika demikian, hendaknya menyingkir dulu. Tapi jangan mengintip,
lho!"
"Namun...namun aku tetap
khawatir bila meninggalkanmu," kata Goan-ci sambil geleng kepala.
"Tidak apa-apa, lekas
pergi!" ujar A Ci dengan tertawa.
Tapi Goan-ci masih merasa
berat, setiap melangkah tentu menoleh satu kali, Akhirnya beberapa puluh tindak
jauhnya, lalu ia berhenti.
Selang agak lama barulah
terdengar suara A Ci yang merdu itu memanggilnya, "Ong-kongcu, dimanakah
engkau?"
Goan-ci memang sedang menunggu
dengan tidak sabar lagi, demi mendengar seruan anak dara itu, terus saja ia
melompat kedepan A Ci.
Noda darah dimuka A Ci
sekarang sudah tercuci bersih, pakaian lelaki yang semula juga sudah berganti
dengan baju wanita yang sepan berwarna ungu. Kedua matanya setengah terpejam,
wajah tersenyum manis menantikan datangnya "Ong-kongcu".
Tapi mendadak Goan-ci
terpatung ditempatnya, sepatah kata pun tak sanggup diucapkannya.
"Ong-kongcu, coba lihat,
sekarang aku tidak sejelek tadi, bukan?" demikian A Ci berkata lagi.
Tetap Goan-ci tidak sanggup
bersuara.
Mendadak air muka A Ci
mengunjuk rasa cemas dan khawatir, serunya, "Ong-kongcu, apakah... apakah
engkau tidak berada disini?"
Dengan susah payah akhirnya
Goan-ci menjawab satu kata saja, "Ada!"
"Kenapa engkau tidak
menjawab pertanyaanku?" tegur A Ci.
"Aku....aku tidak tahu
cara bagaimana harus bicara." sahut Goan-ci tergagap.
A Ci melangkah maju dua
tindak, mendadak tangan meraba keatas dan tanpa sengaja menyenggol pula topeng
besi Goan-ci.
Keruan Goan-ci kaget dan cepat
menyurut mundur.
A Ci tertegun, tampaknya
sangat heran, tanyanya kemudian, "Engkau....memakai topi apakah itu?"
Goan-ci sampai keluar keringat
dingin, sahutnya dengan gugup, "O, tidak apa-apa, hanya....hanya topi
biasa saja."
"Aku seperti menyentuh
sepotong besi?" ujar A Ci.
"O, bukan, bukan!"
seru Goan-ci gugup sambil goyang tangan tanpa pikiran apa A Ci dapat melihatnya
atau tidak. "Ini hanya sepotong batu giok hiasan topiku."
Sambil berkata, ia pun
melangkah mundur terus, tiada hentinya ia berpikir, "Bila ingin berada
bersama A Ci, maka sekali-kali tidak boleh A Ci mengetahui bahwa diriku adalah
si-badut besi alias Yu Goan-ci. Tapi kalau topeng besi ini tetap berada pada
kepalaku, pada suatu hari akhirnya tentu juga akan diketahui anak dara itu,
tatkala mana apakah ia masih akan sedemikian baiknya kepada diriku?"
Begitulah, maka sambil kedua
tangan memegangi kerudung besi itu, dalam hati Goan-ci terus menjerit,
"Aku harus lepaskan ini, harus lepaskan ini!" Mendadak ia putar tubuh
terus tinggal pergi.
Mendengar langkah orang, A Ci
menjadi khawatir, teriaknya, "Ong-kongcu, apakah engkau hendak pergi?
Hendak kemana?"
Mendadak Goan-ci berhenti dan
menjawab, "A Ci, tiba-tiba aku teringat kepada sesuatu urusan yang harus
kuselesaikan. Hendaknya kau tunggu disini, bila urusanku sudah beres, segera
kukembali kesini."
Air muka A Ci berubah sedih,
katanya, "Urusan apakah yang harus kau selesaikan, apa sangat
penting?"
"Ya, sangat
penting," sahut Goan-ci dengan tersenyum getir. "Jika tidak
kuselesaikan, maka....maka aku tidak dapat berada bersamamu lagi."
Semula A Ci melengak oleh
jawaban Goan-ci itu. Tapi segera terpikir olehnya, "Dia masih muda dan
ganteng, sudah tentu ia mempunyai kekasih. Sekarang mendadak aku hendak
ditinggalkan, boleh jadi dia hendak pergi menceraikan kekasihnya itu untuk
kemudian datang kembali untuk berkumpul denganku."
Berpikir demikian, A Ci
menjadi gembira lagi, katanya, "Baiklah, aku akan menunggumu disini, tapi
jangan lama-lama, ya?"
Sebabnya Goan-ci hendak
meninggalkan A Ci adalah karena bertekad akan menghilangkan kerudung besi yang
membungkus kepalanya itu. Tapi kerudung itu sudah melengket dengan kulit
dagingnya, untuk melepaskannya dengan paksa sudah tentu bukan soal mudah, bisa
jadi jiwanya akan melayang sekalian. Dan kalau mati, tentu dia tak dapat
kembali lagi untuk bertemu dengan A Ci.
Karena itu Goan-ci menjadi
tertegun disitu dan sulit menjawab. Sebaliknya A Ci sedang pikir kejurusan
lain, ia menduga "Ong-kongcu" yang ganteng itu tentu sangat banyak
kekasihnya, kalau mesti menceraikan mereka satu per-satu, tentu juga akan
banyak makan tempo. Maka katanya kemudian, "Ya, sudahlah, bolehlah kau
pergi dan aku akan tetap menunggu disini asal engkau pasti kembali
kesini."
"Aku pasti akan
kembali." sahut Goan-ci.
"Ya, sudahlah, boleh
berangkatlah!" kata A Ci sambil menghela napas pelahan.
Goan-ci mundur beberapa
tindak, tiba-tiba ia berkata pula. "A Ci, kamu sendirian....."
"Aku takkan pergi dari
sini, rasanya takkan berhalangan, asalkan engkau lekas pergi dan lekas kembali."
sahut A Ci.
Teringat bila nanti kerudung
besi sudah dilepaskan, sedangkan mata A Ci sudah buta, tentu tidak dapat
mengenali dirinya lagi, selanjutnya akan dapatlah berdampingan dengan anak dara
pujaannya itu, hidup didunia ini masakah ada yang lebih gembira dan bahagia
dari pada kejadian ini?
Segera Goan-ci putar tubuh dan
berlari pergi secepat terbang, ia ingin pergi kesuatu kota dan cari seorang
pandai besi untuk membuka topengnya itu secara paksa.
Tapi bila membayangkan betapa
akibatnya kalau topeng itu dibeset mentah-mentah dari mukanya, mau tak mau ia
sendiri pun merasa ngeri.
Namun demi hidup berdampingan
selamanya dengan A Ci, agar anak dara itu percaya dia adalah Ciangbunjin dari
Kek-lok-pai, ia harus berani "menyerempet bahaya", betapapun siksa
derita harus berani dihadapinya. Karena itu ia tidak gentar lagi, maju terus
pantang mundur.
Ia berlari-lari beberapa li
jauhnya, tapi sekitarnya adalah hutan belukar belaka, entah kota terletak
dimana. Ia menjadi gelisah, ia lari keatas sebuah bukit kecil dan memandang
jauh sekitarnya. Ia lihat diarah Timur-laut sana ada mengepul asap cerobong
dapur, ia pikir disana tentu ada rumah penduduk, segera ia lari pula kearah
itu.
Tapi baru satu-dua li jauhnya,
tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang perempuan, "Oooi, engkoh
Jun-jiu yang tercinta! Lotoa bikin marah padamu, mengapa aku pun tidak digubris
lagi olehmu?"
Suara itu sangat halus dan
terputus-putus, tapi sangat jelas.
Goan-ci terkesiap, cepat ia
menyusup dan sembunyi ditengah semak-semak rumput ditepi jalan, diam-diam ia
mengeluh mengapa dunia sesempit ini, dimana-mana selalu kepergok Sing-siok
Lokoai.
Maka terdengar Ting Jun-jiu
sedang membentak dengan gusar, "Pergi sana, pergi!"
Dari suaranya jelas orangnya
sudah sangat dekat dengan tempat sembunyi Goan-ci itu. Karuan Goan-ci tambah
takut, sampai bernapas pun tidak berani keras-keras.
Waktu ia mengintip, ia lihat
lengan baju Ting Jun-jiu robek sebagian, mukanya merah padam dan sedang berlari
kearahnya, dibelakang iblis tua itu menyusul Yap Ji-nio yang genit.
Melihat muka Ting Jun-jiu yang
bengis itu, saking takutnya sampai Goan-ci memejamkan mata. Ia berharap iblis
itu terus lari lewat kesana dengan demikian tempat sembunyinya itu tidak sampai
diketahui.
Ia tidak tahu bahwa sesudah tubuhnya
penuh dengan racun dingin Peng Jan (ulat sutra es), maka unsur racun yang
bersemayam dalam tubuhnya jauh lebih jahat daripada badan Ting Jun-jiu, jadi
Goan-ci sesungguhnya sudah berubah menjadi "manusia berbisa".
Selama hidup Ting Jun-jiu suka
berkutetan dengan makluk-makluk berbisa, biar pun disemak rumput hanya
bersembunyi seekor ular berbisa, bila dia melayang lewat juga dapat
diketahuinya, apalagi Goan-ci yang badannya penuh racun ulat sutra es yang maha
lihai?
Maka ketika Ting Jun-jiu
mendekat dengan tempat sembunyi Goan-ci itu, mendadak ia berhenti, air mukanya
menampilkan rasa curiga dan ragu.
Ting Jun-jiu tidak tahu yang
sembunyi dalam semak-semak itu adalah Yu Goan-ci, ia cuma merasa ada sesuatu
makluk yang maha dingin dan maha berbisa berada ditempat dekat situ. Ia pun
khawatir makluk maha berbisa
itu terkejut dan lari, juga
khawatir karena Pek-giok-giok-ting tidak dibawanya sehingga sulit untuk
menangkap makluk maha berbisa itu. Lantaran itulah, maka ia menjadi ragu dan
tertegun ditempat.
Karena untuk sekian lamanya
tiada terdengar sesuatu suara, Goan-ci lantas membuka matanya, ia lihat jarak
Sing-siok Lokoai dengan tempat sembunyinya cuma empat-lima meter jauhnya,
keruan ia ketakutan dan gemetar. Dan celaka, karena gemetarnya sehingga rumput
disekitarnya ikut berkresekan.
Sebaliknya Ting Jun-jiu juga
kaget, ia menyangka makluk maha berbisa itu tentu sangat besar, maka ia pun
tidak berani sembarangan bertindak.
Melihat Ting Jun-jiu mendadak
berhenti, maka Yap Ji-nio ikut berhenti, katanya, "Engkoh Jun-jiu apakah
engkau mau rujuk kembali denganku! Ai, dasar tidak punya perasaan, tidak ingat
bahwa orang siang malam senantiasa merindukan dikau!"
Ting Jun-jiu sama sekali tidak
menoleh, hanya sinar matanya memandang kesemak rumput dengan tajam. Selang
sejenak mendadak jarinya menyelentik tiga kali, tiga butir obat sebesar gundu
berwarna kuning muda terus menyambar ketengah semak rumput itu.
Melihat tindakan Ting Jun-jiu,
air muka Yap Ji-nio berubah, mestinya hendak bicara menjadi urung, lekas ia
mundur kebelakang.
Hal itu dapat dilihat Goan-ci
dengan jelas, meski ia tidak kenal benda apakah ketiga putar gundu warna kuning
itu, tapi ia menduga pasti benda yang sangat berbisa.
Ia menjadi takut dan karena
itu badan semakin gemetar. Kebetulan juga, waktu ketiga butir gundu warna
kuning yang diselentikan Ting Jun-jiu itu jatuh kebawah, sebutir diantaranya
tepat mengenai kepala besi Goanci, "Blang", mendadak gundu itu
meletus dan menghamburkan kabut kuning, segera terendus pula bau yang aneh, tapi
Goan-ci sendiri tidak merasakan apa-apa.
Sedang gundu yang lain jatuh
disampingnya dan juga meledak, kabut kuning lantas menjalar memenuhi tanah,
dimana kabut itu menyambar, segera tetumbuhan yang tadinya menghijau segar itu
menjadi layu dan kering.
Selagi Goan-ci merasa bingung,
sementara itu gundu yang ketiga telah jatuh tepat dipunggung tangannya. Dengan
kaget ia kebaskan tangannya, tapi gundu itu sudah keburu pecah, tiba-tiba ia
merasa punggung tangan dingin segar, selain itu tiada terasa apa-apa.
Karena itu barulah ia merasa
lega. Ia coba mengintip kesana, ia lihat wajah Ting Jun-jiu tampak merasa kaget
dan khawatir.
Dalam pada itu terdengar Yap
Ji-nio juga berkata dengan terperanjat, "He, engkoh Jun-jiu, makluk aneh
apakah yang berada ditengah semak-semak rumput itu? Beruntun kau timpuk tiga
butir 'Hoa-kut-wan'(pil pemunah tulang), kenapa hasilnya nihil?"
Ting Jun-jiu menoleh dan
melototi Yap Ji-nio, semprotnya, "Maksudmu Hoa-kut-wan ini kurang
lihai?"
"Eh, engkoh Jun-jiu,
jangan main-main," sahut Ji-nio sambil mundur lagi beberapa tindak. Ia
khawatir janganjangan dirinya akan dibuat percobaan dengan gundu berbisa si
iblis.
Padahal Ting Jun-jiu sendiri
juga sedang heran dan ragu, karena ketiga butir Hoa-kut-wan yang ditimpukkan
tadi tidak membawa hasil apa-apa. Padahal kabut kuning yang dihamburkan gundu
Hoa-kut-wan itu sangat jahat, kalau kena badan orang rasanya seperti dibakar,
baik binatang mau pun manusia pasti tidak tahan.
Sama sekali tak terduga
olehnya bahwa dia justru kebentur Yu Goan-ci yang badannya penuh terisi unsur
racun dingin dari ulat sutra es, biarpun makluk berbisa paling lihai didunia
ini juga tidak dapat meng-apa-apakan dia sekarang.
Ting Jun-jiu tidak berani
sembarangan menyingkap semak rumput itu untuk memeriksa, sebaliknya ia malah
mundur lagi dua langkah. Lalu tangannya bergerak pula, dari dalam lengan baju
lantas melayang keluar dua titik api hijau dan terbang kedepan dari kanan dan
kiri.
Berulang-ulang Ting Jun-jiu
menyentik pula sehingga kedua titik bunga api itu mendadak menyala menjadi dua
gumpal api unggun dan jatuh ketanah, api yang berkobar itu terus menjalar
kedepan, lalu kedua ujung api saling sambung menjadi satu hingga berwujud
sebuah lingkaran api seluas beberapa meter.
Meski api yang berkobar itu
tidak terlalu hebat, namun dalam sekejap saja lingkaran api itu menjadi sangat
sempit.
"Hebat benar ilmu
'Tok-yap-sau-heng'(api berbisa mencari jejak) yang kau semburkan ini, sungguh
banyak menambah pengalamanku, engkoh Jun-jiu," demikian Yap Ji-nio memuji
dari jauh.
Ting Jun-jiu tampak
berseri-seri, sahutnya, "Ya, biarpun makluk yang sembunyi disemak rumput
itu betapa
bandelnya, jika apiku sudah
membakar, akhirnya dia pasti akan menjadi abu."
Dilain pihak Goan-ci menjadi
ketakutan, karena terkepung ditengah api dan lingkaran api itu makin lama makin
sempit, demi mendengar ucapan Ting Jun-jiu itu, ia tambah takut hingga giginya
gemerutukan.
Suara kertukan gigi itu segera
didengar oleh Sing-siok Lokoai dan dikenali adalah suara manusia, segera ia
membentak, "Siapa itu? Tidak lekas keluar?!"
Goan-ci pikir urusan sudah
begini, untuk sembunyi lagi terang tidak dapat, malah sebentar lagi bisa mati
konyol terbakar menjadi abu. Bahkan A Ci yang sedang menunggu-nunggu kembalinya
itu tentu akan sia-sia.
Maka terpaksa ia berdiri dan
berseru dengan ketakutan, "Suhu, akulah yang sembunyi di sini, harap
engkau jangan gusar, aku .... "
Girang dan kejut pula
Ting-lokai demi melihat yang muncul itu adalah Goan-ci. Cepat ia membentak
pula, "Di mana A Ci?"
"Dia ... dia entah sudah
lari ke mana? " sahut Goan Ci.
Tiba-tiba Ting-lokoai
menghantam ke depan tenaga pukulannya membikin Goan-ci terpental dari lingkaran
api yang sementara itu sudah menyempit itu. Sesaat kemudian, mendadak api
menjulang tinggi ke atas. lain menyurut kembali dan sebentar lagi lantas padam
Segera Jun-jiu membentak
Goak-ci, "Mestinya akan kubiarkan kamu terbakar menjadi abu, sekarang aku
mengampuni jiwamu, kenapa kamu tidak lekas menyembah dan berterima kasih?"
Dengan ketakutan Goan-ci
berlutut dan menyembah, katanya, "Ya, banyak terima kasih atas budi
kebaikan Suhu."
Pada saat Goan-ci berlutut
itulah, sekonyong-konyong Ting Jun-jiu sambar pergelangan tangan Goan-ci dan
dipegang erat-erat.
Keruan Goan-ci kaget, serunya.
"Suhu, ken... kenapa .... "
Sebenarnya tidak nanti Goan-ci
berani meronta atau melawan, tapi karena dipegang secara mendadak, dalam
kagetnya dengan sendirinya iapun hendak menarik kembali tangannya. Karena itu
suatu arus hawa murni terus menerjang ke arah urat nadi pergelangan tangan yang
terpencet itu.
Kontan Ting Jun-jiu merasa
tangannya kedinginan, seperti ada arus racun meresap ke tubuhnya. Sungguh
kagetnya bukan buatan, lekas ia lepas tangan dan melangkah mundur.
Sebaliknya saking ketakutan
kedua kaki Goan-ci menjadi lemas dan kembali ia menyembah-nyembah lagi.
Pada waktu pertama kalinya
bertemu dengan Goan-ci memang Ting Jun-jiu sudah merasa dalam tubuh pemuda itu
mengeram unsur racun yang jauh lebih hebat dan lebih kuat daripada dirinya.
Apalagi ia habis bertempur,
dengan Buyung Hok dan Toan Yan-khing, banyak tenaganya terbuang tatkala
menggunakan . "Hoa-kang-tai-hoat", maka sekarang unsur racun dalam
tubuhnya menjadi lebih lemah daripada Goan-ci, Dan sebabnya dia lantas lepas
tangan sebenarnya juga lantaran dia merasa takut.
Kini melihat Goan-ci berulang
menyembah dan minta ampun, walaupun dalam hati Ting-lokoai sendiri sangat jeri,
namun sedikit pun ia tidak perlihatkan perasaannya itu, tiba-tiba ia melangkah
maju, bentaknya, "Waktu kau angkat guru padaku kamu telah bersumpah setia,
tapi sekarang kau berani mendurhakai guru dan membawa lari sumoai sendiri,
sekarang kau berani minta ampun padaku?”
Goan-ci tidak menjawab
melainkan terus menyembah.
"Baiklah, boleh juga
jiwamu kuampuni, tapi selanjutnya kamu harus betul-betul setia, tidak boleh
main gila lagi," kata Lokoai.
"Terima kasih, Suhu, Tecu
pasti tidak berani lagi," sahut Goan-ci.
"Nah, sekarang katakan,
di mana A Ci?" tanya Jun-jiu.
Jika tanya urusan lain, tentu
Goan-ci akan menjawab terus terang. Tapi yang ditanya sekarang adalah di mana
beradanya A Ci, sudah tentu ia tidak mau mengaku. Maka ia hanya menunduk sambil
berlutut saja dan tidak bersuara.
Ting Jun-jiu menjadi gusar,
bentaknya, "Baru saja kau minta ampun, tapi sekarang sudah tidak menurut
padaku lagi?"
Mendadak ia angkat sebelah
kaki dan menginjak di atas kepala besi Goan-ci sehingga menempel tanah.
Walaupun demikian, tetap
Goan-ci tidak mau menjawab.
Yap Ji-nio mengikuti semua
kejadian ini. Ia lihat api berbisa yang dibakar oleh Ting-lokoai itu tidak mendapatkan
sesuatu makluk berbisa apa-apa, sebaliknya muncul seorang Thi-thau-jin (orang
berkepala besi) yang aneh, maka ia pun sangat terkejut.
Ketika dilihatnya Goan-ci
berlutut, dan menyembah minta ampun kepada Sing-siok Lokoai, segera iapun
melangkah maju, katanya, "Engkau Jun-jiu, sejak kapan kau menerima murid
berkepala besi ini?"
Ting-lokoai hanya berdehem dan
tidak gubris padanya.
Saat itu Yap Ji-nio sudah di
depan Goan-ci, dengan heran ia menjentik, di kerudung besi itu sehingga
mengeluarkan suara "plak-plok" dua kali.
Memangnya boyok Goan-ci sudah
pegal kerena kepalanya diinjak. Sekarang diselentik oleh Yap Ji-nio. keruan
kepala terasa sakit dan mata berkunang-kunang, tanpa kuasa lagi hawa mumi
lantas bergolak.
Yap Ji-nio kembali ulur tangan
untuk meraba kepala besi Goan-ci yang dianggapnya lucu itu.
Tak tersangka olehnya saat itu
di atas kerudung besi itu penuh dengan hawa murni yang maha dingin sehingga
membeku selapis es yang tipis.
Maka begitu tangan Yap Ji-nio
menyentuhnya, seketika ia merasa dingin, tak terhingga dan cepat menarik
kembali tangannya. Namun sedikit terlambat. "cret", kulit di telapak
tangan sobek sebagian terlengket dikerudung besi itu.
Karena kesakitan, Yap Ji-nio
menjadi murka, bentaknya, "Thi-thau-siaucu, kau main sihir apa?” menyusul
tangannya menabok dari
samping.
Melihat Yap Ji-nio hendak
menghajar Goan-ci, hal ini kebetulan malah bagi Ting Jun-jin, segera ia menarik
kakinva dan melangkah mundur.
Karena kepala mendadak enteng,
Goan-ci menjadi terjengkang kebelakang, kepalanya membentur batu hingga
bersuara nyaring, karena jumpalitan yang tak sengaja itu serangan Yap Ji-nio
menjadi luput malah.
Sekali luput serangannya,
segera Ji-nio melangkah maju dan serangan lain dilontarkan lagi.
Melihat wanita itu sangat genit
dan galak, pula menyebut gurunya "Engkoh Jun-jiu", maka Goan-ci tidak
berani melawan, ia hanya melindungi tempat yang berbahaya dengan kedua tangan
sambil berteriak-teriak, "Suhu aku benar benar tidak tahu di mana
beradanya A Ci, sungguh tidak tahu!"
Baru habis ucapannya,
tahu-tahu tubuhnya kena dihanjut tiga kali oleh Yap Ji-nio sehingga mencelat.
Yap Ji-nio merasa tubuh
Thi-thau-jiu itu sedingin es, tenaga pukulan yang dilontarkan itu segera hilang
sirna tanpa bekas. Mendadak ia ingat Thi-thau-jin itu adalah murid Ting-lokoai,
dengan hilangnya tenaga pukulan sendiri secara aneh jangan-jangan kena dimakan
oleh "Hoa-kang-tai-hoat” dari Sing-siok-pai yang maha lihai itu.
Dalam pada itu dengan napas
terengah-engah Goan-ci berkata, "Suhu, aku benar-benar tidak tahu jejak A
Ci."
Ting Jun-jiu mendengus
katanya, "Kamu yang membawa lari A Ci, di mana dia, mengapa tidak
tahu?"
Goan-ci menjadi bungkam, ia
lihat tangan sang guru mulai terangkat lagi. ia ketakutan dan berseru pula,
"Ampun Suhu! Tecu benar-benar tidak... tidak tahu di mana A Ci
berada!"
Pelahan tangan Ting-lokoai
menabok ke depan, kira-kira belasan senti di atas kepala Goan-ci mendadak
tangannya membalik dan berganti arah, "blang", tahu-tahu sebatang
pohon di samping sana dihantamnya sehingga patah.
"Jika pukulanku ini
mengenai kepalamu, bagaimana jadinya denganmu?" bentak Lokoai.
"Tecu ... Tecu tidak
sanggup menahan pukulan Suhu ini," sahut Goan-ci dengan ketakutan dan
gelagapan.
"Ya, mungkin kepala
besimu ini bisa gepeng kena pukulanku ini," jengek Lokoai.
"Terima kasih atas
kemurahan hati Suhu," kata Goan-ci.
"Kamu tidak mengaku di
mana A Ci berada, mana dapat kuampuni jiwamu?" damprat Lokoai.
Goan-ci menghela napas,
sahutnya, "Suhu tampaknya aku sudah ditakdirkan harus rnati di bawah pukulanmu.
Aku.... tidak bisa berkata lain."
Jin-jiu melengak tapi lantas
tertawa dan berkata, "Kamu jujur, rasanya tak nanti mendustai aku"
Merasa ada harapan buat hidup,
cepat Goan-ci menyembah dan berkata pula, "Ya, mana Tecu berani
berdusta."
"Baiklah," kata
Ting-lokoai, "dahulu waktu kau angkat guru padaku, pernah kukatakan akan
menjodohkan A Ci padamu. Sekarang dia sudah buta, apakah kamu masih mau terima
dia?"
Cepat Gaan-ci menjawab,
"A Ci adalah gadis secantik bidadari, mana Tecu berani mengimpikan hal
itu."
"Ahh, tidak perlu
pura-pura," ujar Lokoai dengan tertawa. "Meski kamu durhaka padaku,
tetap aku dapat mengampuni dosamu. Sekarang boleh kau bawa aku menemui A Ci,
aku pasti akan menjodohkan dia padamu."
Tapi Goan-ci tahu yang disukai
A Ci adalah pemuda ganteng seperti Buyung Hok, jika anak dara itu mengetahui
orang yang menyelamatkan dia itu adalah "si badut besi" yang pernah
diperbudak olehnya, pasti dia akan sangat kecewa dan tidak nanti mau menjadi
istrinya.
Meski tak keruan rasa hatinya
pada saat itu tapi ia tetap menjawab, "Tecu benar-benar tidak tahu di mana
beradanya A Ci, betapapun Suhu akan memaksa pengakuan Tecu juga percuma."
Sungguh gusar Ting Jun-jiu tak
terkatakan, coba kalau bukan ingin mencari Pek-giok-giok-ting yang berada
pada A Ci itu, tentu sekarang
Goan-ci sudah dibunuhnya.
Tapi ia dapat berlaku tenang
lagi, dengan tersenyum ia berkata, "Baiklah, berdirilah!"
Goan-ci mendongak ke atas, ia
ragu dan tidak berani berdiri.
"Aku, bilang
berdirilah!" ucap Jun-jiu pula.
Dan barulah Goan-ci berani
berdiri.
Mendadak Ting Jin-jiu
melengos, katanya,"Sudahlah, lekas enyah! Kamu tidak setia padaku, aku pun
tidak sudi mempunyai murid seperti dirimu lagi."
Habis berkata terus saja ia
melesat pergi, hanya sekejap saja sudah menghilang di kejauhan sana.
Untuk sekian lama Goan-ci
termangu-mangu ketika ia sadar, ia coba melihat sekitarnya, namun Jing Jun-jiu
benar-benar sudah pergi, bahkan Yap Ji-nio juga sudah menghilang, ia sangsi
apakah bukan sedang mengimpi.
Waktu ia coba membenturkan
kepala pada sepotong batu, "trang", kepala terasa sakit, terang bukan
dalam mimpi.
Ia jalan beberapa tindak ke
depan sambil memanggil-manggil, "Suhu! Suhu!"
Tapi keadaan sunyi senyap,
tiada seorangpun yang kelihatan. Ia tahu tidak mungkin dirinya diampuni dengan
begitu mudah. Maka kembali ia bersaru, "Suhu, Tecu akan memberitahukan
jejak A Ci."
Ia pikir kalau sang Suhu masih
berada di situ pasti akan perlihatkan diri lagi jika mendengar ucapannya itu.
Siapa tahu tetap tiada suara jawaban meski dia sudah mengulangi seruannya itu.
Setelah berpikir sejenak,
mendadak ia berlari cepat ke depan, namun tetap tiada seorang pun dilihatnya.
Buru sekarang ia merasa lega.
Ia pikir, barangkali Sing-siok Lokoai menaruh belas kasihan padanya agar bisa
hidup bersama dengan A Ci, maka benar-benar mau mengampuninya.
Teringat kerudung besinya itu
harus lekas melepaskan, maki cepat ia lari pula ke depan untuk mencari kota.
Sesudah beberapa li lagi, benar juga dari jauh kelihatan di depan ada sebuah
kota.
Segera ia menanggalkan bajunya
untuk membungkus kepalanya hingga rapat, hanya matanya yang kelihatan.
Setelah setengah li lagi,
tiba-tiba dilihatnya ada dua orang sedang datang dari depan, Goan-ci kenal
kedua orang itu adalah kambratnya Buyung Hok, yaitu Hong Po-ok dan Pau
Put-tong. Keruan ia terkejut dan berhenti lari.
Secepat angin Hong Po-ok dan
Pau Put-tong sudah lewat di rampingnya. Baru Goan-ci merasa lega,
sekonyong-konyong pundaknya di tepuk orang sekali.
"He, kenapa kepalamu
dibungkus rapat” itulah, suara Pau Put-ton alias si "bukan."
"O, aku ... aku
meriang,tidak boleh kena angin," Goan-ci membohong.
"Samko, buat apa gubris
seorang desa, ayolah kita lekas mengejar ke sana!" demikian Po-ok sedang
memanggil.
"Bukan, bukan! Dia
membungkus kepalannya dengan baju, larinya tadi juga kelihatan sangat cepat,
tidak mungkin orang sakit, kukira pasti Tai-thau-Siaucu itu!" sahut
Put-tong
Goan-ci menjadi gugup, badan
terasa lemas lekas ia menggoyang-goyang kedua tangannya dan berkata,
"'Tidak, tidak, aku bukan si Thi-thau-siaucu itu!"
Tapi karena ia
menggoyang-goyangkan kedua tangannya, maka baju yang membungkus kepalanya
menjadi kendur dan terbuka sehingga kelihatanlah kerudung besinya itu.
Maka tertawalah Pau Put-tong
terbahak-bahak, katanya, "Nah, Site, tajam tidak pandangan Samko mu
ini?"
"Awas, Samkol"
tiba-tiba Po-ok menarik mundur Pau Put-tong.
Meski Put-tong tidak kenal apa
artinya takut, tapi derita sengsara ia sudah kena pukulan berbisa Goan-ci tempo
hari itu masih terasa ngeri bila teringat olehnya, maka ia pun menurut saja
ketika ditarik mundur.
Goan-ci masih coba hendak
menutupi kepalanya yang khas itu. Namun Pau Put-tong sudah lantas membentaknya
"Hai. Thi-thau-siaucu, sebenarnya kamu ini manusia apa?"
"O. aku ... aku cuma
seorang kecil yang tak berarti buat apa tuan-tuan, mencari perkara padaku”
sahut Goan-ci.
"Bukan, bukan! Pukulanmu
yang berbisa itu sampai Hian-thong Taisu dari Siau-lim-si juga tidak tahan,
kami berdua saudara justru sangat kagum padamu," kata Put-tong.
"Tampaknya biar betapapun tinggi kepandaian Ting Jun-jiu juga tidak sesuai
menjadi gurumu, entah asal-usulmu sebenarnya dari mana?"
. "Aku ... aku tidak
punya asal-usul apa-apa," sahut Goan-ci gugup.
Tiba-tiba Pau Put-tong
melangkah maju setindak. Begitu pula Hong Po-ok lantas cabut belatinya yang
mengkilap itu dan melangkah maju.
Melihat belati Po-ok yang
tajam itu Goan-ci menjadi girang, cepat katanyaa, "Eh, tuan ini, aku ingin
pinjam sesuatu barang padamu, entah boleh tidak ?”.
Seketika air muka Po-ok
berubah hebat.
Maklum, di dunia kangouw
banyak sekali istilah-istilah yang kedengarannya sangat sopan, tapi mengandung
arti yang sebaliknya. Misalnya orang berkata "mohon petunjuk", maka
itu berarti ajak berkelahi. Dan bila dipakai kata-kata "pijam," maka
besar kemungkinan barang yang hendak "dipinjam" itu adalah sebelah
tangan, mata atau buah kepala dari lawan itu.
Sebab itulah Hong Po-ok
menjadi kaget demi mendengar Goan-ci ingin "Pinjam" sesuatu padanya,
cepat ia tanya; "Apa yang hendak kau pinjam?"
Goan-ci tuding Po-ok, tapi
susah untuk menerangkan.Keruan sikap Goan-ci ini membikin Hong Po-ok tambah
kuatir cepat ia mundur
selangkah lagi.
"Sebenarnya kau mau
pinjam apa? ... " belum habis Pau Put-tong bertanya, mendadak ia loncat ke
samping sana secepat anak panah dan menghilang ke dalam semak-semak rumput.
Menyusul segera terdengar dua kali teriakan orang yang aneh tahu-tahu Pau
Put-tong sudah melompat balik lagi dengan menjinjing dua orang.
Kedua orang itu tampak
meronta-ronta tapi cengkeraman Put-tong seperti kaitan kuatnya, betapapun sukar
terlepas.
Sesudah dekat, Put-tong
melemparkan kedua tawanan itu ke tanah segera ia pun meloncat dan menginjak
punggung mereka.
"Sute, lekas turun
tangan!" seru kedua orang itu tiba-tiba sambil mengangkat kepalanya.
Baru sekarang Goan-ci dapat
melihat jelas bahwa kedua orang ini adalah saudara seperguruannya.
Pau Put-tong bergelak tertawa,
katanya, "Kiranya kalian adalah anak murid Sing-siok Lokoai. Kalian main
sembunyi di situ ingin berbuat apa?"
"Pau-enghiong, kami
diperintahkan Suhu untuk mengawasi jejak Thi-thau-jin ini dan tiada
sangkut-pautnya denganmu, harap sudilah angkat kakimu!" mohon kedua orang
itu.
Put-tong terbahak-bahak lagi,
mendadak ia lompat turun dari punggung kedua tawanan itu.
Sebagai kesatria, ia tidak
sudi banyak tingkah dengan murid Sing-siok-pai yang dianggapnya kaum keroco
itu.
Sebaliknya Goan-ci menjadi
kuatir, cepat ia berseru. "Pau-enghiong, jangan bebaskan mereka!"
Namun kedua murid
Sing-siok-pai sudah merangkak bangun, mereka terus menubruk maju. Selagi
Goan-ci tercengang, tahu-tahu kedua lengannya sudah dicengkeram kedua Suhengnya
itu.
"Ayo, lekas ikut kami
menemui Suhu!" bentak kedua orang itu.
"Ai, kenapa kedua Suheng
bikin susah padaku!. Jika sudi melepaskan diriku, sungguh budi kebaikan kalian
takkan kulupakau," mohon Goan-ci.
"Tidak bisal" bentak
kedua orang itu dengan bengis, Lalu Goan-ci diseret pergi.
Otomatis Goan-ci meronta
sebisanya, maksudnya cuma ingin melepaskan diri dari pegangan kedua orang itu.
Tak tersangka baru saja tangan bergerak, tahu-tahu kedua orang itu sudah lantas
mencelat pergi sehingga beberapa rneter jauhnya tulang mereka patah dan kepala
pecah, ternyata sudah terbanting mati semua.
Keruan Goan-ci tambah kaget,
sesudah tercengang sejenak, segera ia angkat langkah seribu alias kabur.
Menyaksikan kejadian itu
sungguh heran dan kejut Pau Put-tong dan Hong Po-ok tak terkatakan.
Melihat Goan-ci lari,
berbareng mereka berseru, "Nanti dulu!"
Namun Goan-ci sudah ketakutan,
ia lihat ke dua Suhengnya mendadak terbanting mampus, ia sangka itu perbuatan
Pan Put-tong dan Hong Po-ok, maka ia lari terbirit-birit. Apalagi mendengar
seruan kedua orang itu, ia jadi makin takut dan ingin lari lebih cepat. Namun
kaki menjadi lemas malah dan akhirnya jatuh tersungkur di tanah.
Seperti angin lesus cepatnya
Hong Po-ok sudah lantas menyusul sampai di depan Goan-ci, tanyanya, "Tadi
sebenarnya kau ingin pinjam apa padaku?”.
"Tidak, aku , .. aku
tidak berani pinjam lagi," sahut Goan-ci dengan takut sambil memandang
belati yang masih dipegang Po-ok itu.
Melihat sinar mata orang
mengincar belatinya, tiba-tibi Po-ok paham maksudnya, tanyanya pula "0,
apa barangkali kau ingin meminjam belatiku ini"
"Ya ... ya, sebenarnya
ada maksudku hendak pinjam, tapi ... tapi kalau tuan tidak boleh, ya,
sudahlah.," kata Goan-ci dengan tergegap.
"Belatiku ini tajamnya
bukan main, dapat memotong besi seperti mengupas mangga, apa kau mau
meminjamnya untuk mengupas kerudung pada kepalamu ini?" tanya Po-ok.
"Ya, betul," sabut
Goan-ci.
Po-ok tertawa dingin,
jengeknya, "Hm, ketika di depan Siau-lim-si aku pernah hendak mengupas
topengmu ini, tapi kamu tidak mau, bahkan menghantam aku satu kali sehingga aku
menderita setengah mati, sekarang ... hm .... "
Goan-ci menjadi ketakutan,
sahutnya, "Aha.,, tentu Hong-toaya salah paham, mana mampu aku
menyerangmu?"
Hong Po-ok adalah seorang
laki-laki jujur, melihat Goan-ci menyangkal perbuatanya itu, ia menjadi gusar,
dampratnya, "Bagus, sudah memukul orang dan sekarang berani mungkir, Habis
apakah orang yang memukul aku di Siau-lim-si itu adalah tangan babi atau tangan
anjing?"
"Bukan, tapi cakar
kura-kura," sambung Put-tong.
"Itu berkat kesaktian
Sing-siok Losian dan tiada sangkut-pautnya denganku," kata Goan-ci dengan
kikuk.
Mendengar itu, Po-ok dan
Put-tong tambah heran dan bingung, sudah terang mereka kena pukulan berbisa
Thithau-jin ini sehingga menderi ta sekian lamanya, sampai Sih-sin-ih juga
geleng-gelengkepala tak berdaya, coba kalau tidak ditolong oleh hwesio muda
itu, mungkin sampai saat ini mereka masih tersiksa, mengapa Thi-thaujin ini
tidak mau mengakui perbuatannya dahulu itu? Tapi kalau melihat sikapnya jelas
bukan sengaja pura pura hodoh?
Maka dengan terheran-heran
mereka sama tanya, "Kau bilang itu berkat kesakitan Sing-siok
Lokoai?"
"Ya, Sing-siok Losian
bilang itu adalah ilmu gaib Slng-siok-pai dan tidak boleh diceritakan kepada
orang luar," sahut Goan-ci sesudah ragu sejenak.
"Ilmu gaib?' Po-ok dan
Put-tong menegas dengan heran. "Jadi Sing-siok-pai juga punya ilmu gaib?
Eh. sobat kepala besi, cobalah jelaskan!"
Goan-ci memandang belati tajam
di tangan Hong Po-ok itu ia jadi sangsi untuk menceritakan "mantra"
ajaran Sing-siok Lokoai itu, ia masih ingat apa yang dikatakan Lokoai bahwa
mantera itu sangat manjur, bila ia ucapkan mantera itu, maka dari jauh juga
sang guru itu akan dapat membantunya dengan ilmu gaib. Tapi sekarang ia telah
membawa lari A Ci, entah mantera itu masih manjur atau tidak.
Melihat Goan-ci ragu-ragu,
segera Po-ok menarik Put-tong, katanya, "Samko marilah kita pergi saja,
Thi-thaujin ini adalah musuh kita, buat apa kita meminjamkan belati
padanya!"
Goan-ci menjadi gugup karena
akan ditinggalpergi, ia tahu belati Hong po-ok itu sangat tajam dan sukar
mencari senjata serupa itu, maka cepat ia berseru, "Nanti dulu, baiklah
akan kuterangkan, ilmu gaib itu ,ia mulai dengan membaca mantera yang berbunyi
'Sing-siok Losian, Sing-siok Losian, lindungilah muridmu, atasi musuh dan
memperoleh kemenangan, satu-tiga-lima-tujuh-sembilan dan sekali aku
membaca-mantera ini dari jauh segera beliau akan menggunakan ilmu gaibnya untuk
menolong aku."
Semula Po-ok dan Put-tong
melengak oleh keterangan itu. Tapi segara mereka merasa geli dan tertawa
terpingkal-pingkal Hong Po-ok sampai melengking dan Pau Put-tong mendongak
sambil memegangi perutnya yang melilit saking gelinya.
"Jangan kalian anggap
lucu, justru dengan ilmu gaib itulah sudah kulukai kalian dengan sekali pukul
saja " ujar Goan-ci.
Po-ok coba menahan rasa
gelinya, lalu berkata "Sobat kepala besi, meski kami pernah dilukai
olehmu, tapi melihat kamu dibohongi iblis tua itu secara kelewatan, maka kami
sekarang ikut penasaran. Haha, iblis tua itu mahir ilmu gaib kentut! Jika kamu
dikatakan jago kelas satu di dunia persilatan, inilah yang betul!”.
Tapi Goan-ci berulang goyang
tangannya, katanya, "Hendaknya tuan jangan berkata demikian, dari mana aku
bisa dikatakan jago kelas satu? Hehe, masakah aku jago kelas satu?"
Ia termangu-mangu pula ketika
teringat dalam anggapan A, Ci ia pun disangka sebagai jago kelas satu, paling
baik hal ini akan tetap menjadi impian muluk bagi anak dara itu agar dia selalu
merasa gembira.
Melihat Goan-ci tiba-tiba
termangu-mangu, maka Po-ok berkata pula, "Malah, menurut pendapatku,
mungkin ilmu silat Sing-siok Lokoai sendiri juga tidak bisa lebih tinggi
daripadamu."
"Ai, jangan dibicarakan
lagi," demikian Goan-ci berulang menggoyang tangan pula.
"Hong-site," kata
Put-tong, "Orang ini tampiknya setengah gila, tidak perlu banyak bicara
lagi dengan dia."
Tapi dengan sungguh-sungguh
Po-ok berhata pula, "Sobat kepala besi, pada suatu hari nanti tentu kamu
akan tahu bahwa apa yang kukatakan ini bukanlah omong kosong. Ilmu silatmu
sangat tinggi, pukulanmu yang berbisa itu boleh dikata nomor satu di jagat ini,
yang kuharap adalah selanjutnya jangan sembarangan kau pukul orang lagi!"
"Sudah tentu," sahut
Goan-ci cepat. "Asal orang tidak memukul aku, tidak nanti kupukul
orang."
Tiba-tiba Po-ok melemparkan
belati ke arah Goan-ci setelah digosok-gosok beberapa kali pada kain celananya,
katanya "Baiklah, orang she Hong telah anggap dirimu sebagai kawan, belati
ini, kuberikan padamu!"
Cepat Goan-ci menyambut belati
itu untuk sejenak ia tertegun, tapi mendadak ta berlutut.
Kepalsuan orang kangouw sukat
diduga, sebagai orang kangouw kawakan, sudah tentu Hong Po-ok dan Pau Put-tong
selalu waspada. Maka demi melihat Goan-ci mendadak berlutut, cepat mereka
melangkah mundur ke samping.
Sudah tentu Goan-ci tiada
maksud menyerang atau maksud jahat tain tapi dengan menurut aturan ia menjura
tiga kali, lalu berkata, "Tuan berdua sudi menganggap aku sebagai kawan,
sungguh aku orang she Yu merasa sangat berterima kasih.”
"0, kiranya kamu she
Yu?" Po-ok menegas.
"Ya," sahut Goan-ci.
"Yu-keh-siang-hiap dari
Cip-hian-ceng yang tersohor itu apakah angkatan tua keluargamu?” tanya Pau
Puttong.
Goan-ci menjadi pilu teringat
kepada ayah dan pamannya itu. Sejenak kemudian barulah ia menjawab, "Sudah
lama kukagum pada kedua pendekar tua yang tersohor dari Cip-hian-ceng itu, cuma
sayang tiada punya rejeki untuk bertemu dengan kedua Yu-lounghiong
"itu!"
Sembari berkata air matanya
lantas bercucuran juga, cuma dia memakai topeng besi sehingga orang lain tidak
tahu.
Hong Po-ok saling pandang
sekejap dengan Pau Put-tong, mereka tahu Thi-thau jin ini tentu belum mau menjelaskan
asal-usutnya, mereka sekarang sudah berkawan, masakah kelak tiada kesempatan
untuk berjumpa pula?
Karena itu, mereka lantas
memberi salam dan berkata, "Baiklah, sobat Yu. sampai berjumpa pula kelak”
"Ya, sampai
berjumpa," sahut Goan-ci sambil membalas hormat.
Dan sesudah kedua orang itu
pergi, cepat Goan-ci juga lantas berangkat. Tidak lama, sampailah di tepi
sebuah sungai kecil.
Sambil bercerminkan air
sungai, pelahan Goan-ci mengangkat belatinya, tapi tangan terasa gemetar luar
biasa. Maklum, topeng besi itu telah melengket dengan kulit dagingnya di bagian
kepala, kalau dibesetnya mentahmentah bukan mustahil jiwanya akan terancam
sudah tentu hal ini membuatnya takut.
Tapi demi teringat bila nanti
topeng besi itu sudah dilepaskan, untuk selanjutnya ia akan dapat hidup
berdampingan untuk selamanya dengan A Ci dalam kedudukannya sebagai. "Ong
Sing thian, Ciangbunjin dari Kek-lok-pai," maka seketika semangat
jantannya timbul lagi. ia pegang kencang belatinya dan perlahan memotong" bagian
sela-sela sambungan topeng besi bekas las-lasan itu.
Memang belati Hong Po-ok itu
sangat tajam maka sekali potong dengan pelahan, seketika tempat las itu
terbelah.
Lalu Goan-ci simpan baik-baik
belati itu, dengan sebelah tangan pegang belahan topeng besi bagian depan dan
tangan lain pegang belahan bagian belakang sambil meringis menahan sakit terus
saja ia pantang sekuatkuatnya.
Dia Sudah nekat maka sekali
pentang kulit daging yang melengket pada topeng itu lantas ikut terubek
mentahmentah.
Seketika ia merasa kesakitan
luar biasa, pandangannya menjadi gelap, ia menjerit sekali, lalu tak sadarkan
diri lagi.
Entah berapa lama kemudian,
pelahan ia siuman kembali. Ia merasa kepala sakit luar biasa, sampai mata juga
sukar dibuka. Ia hendak merangkak bangun, ketika tangan menahan tanah barulah
ia tahu bahwa separoh badannya bagian atas telah terendam dalam air sungai.
Cepat ia raba pula kepala sendiri, tapi yang terpegang oleh tangannya itu
terasa sangat keras dan dingin.
Kiranya setelah topeng besi
itu terbeset dari kepalanya berikut kulit daging yang melengket itu saking
sakitnya ia jatuh pingsan dan secara kebetulan bagian kepala itu terendam dalam
air sungai sehingga jiwanya tertolongmalah.
Maklum, begitu kepalanya
terendam air, ketika hawa berbisa, maha dingin dari tubuhnya ikut mengalir
keluar, segera air sungai di sekeliling kepalanya lantas membeku menjadi es
sehingga membungkus kepalanya, darah ya ng tadinya mengucur lantas mampet.
kepalanya sekarang kembali seperti bertopeng lagi, cuma sekali ini topeng es dan
bukan topeng besi. Ia sendiri merasa kaget ketika meraba kepalanya dan mengira
topeng besi itu belum terlepas, dalam kaget dan kecewanya kembali ia jatuh
pingsan lagi.
Jilid 57
Waktu untuk kedua kalinya ia
siuman kembali, sementara itu lapisan es yang membungkus kepalanya sudah mulai
cair, sekarang tempat luka itu dirasakannya bagai dibakar panasnya.
Sekuatnya ia coba berbangkit,
ketika ia berkaca pula pada air sungai kembali, ia kaget lagi. Semula ia
mengira ada suatu mahluk aneh atau siluman yang berdiri ditepi sungai tapi
segera diketahuinya bahwa "siluman” itu tak lain tak bukan adalah bayangan
sendiri.
Untuk sekian lamanya ia
terkesima. Akhirnya dengan tabahkan diri ia coba berkaca lagi.
Sekarang ia memeriksa mukanya
sendiri dengan jelas, kelihatan kulit daging sudah dedel dowe beberapa bagian
kepalanya sudah botak karena ikut mengelotoknya kulit berambut itu. Hidungnya
juga sudah coplok sehingga sekarang dia lebih mirip tengkorak hidup, pendek
kata mukanya sekarang teramat jelek.
Ia sangat berduka, pedih
hatinya, perlahan ia pejamkan mata. Ia tahu biarpun nanti lukanya sembuh, namun
mukanya yang jelek itu mungkin tiada bandingannya lagi didunia ini.
Untunglah sekarang A Ci sudah
buta, anak dara itu dapat diajak kesuatu tempat yang tiada pernah didatangi
orang, disitulah mereka berdua akan dapat hidup aman tentram dan muka yang
jelek tentu takkan menjadi soal.
Segera ia lemparkan topeng
besi berikut kulit daging dan rambut yang masih melengket itu kedalam sungai,
sambil menahan sakit ia lari kembali kehutan sana.
Ketika hampir sampai ditempat
tujuan, hati Goan-ci mulai berdebar-debar. Sesudah menyusur hutan itu,
tertampaklah seorang wanita duduk ditepi sungai kecil itu. Dari jauh Goan-ci
sudah lantas berseru, "A Ci! A Ci!”
Tapi wanita itu tidak
menjawab, juga tidak menoleh, hanya diam saja.
Goan-ci menjadi kuatir,
jangan-jangan kepergiannya yang terlalu lama itu membikin si anak dara itu
kurang senang,, tapi sesidah dekat barulah ia tahu urusan agak ganjil, sebab
wanita itu tidak memakai baju ungu yang merupakan tanda pengenal A Ci yang
khas.
Mendadak wanita itu
terkikik-kikk, lalu berpaling dan berkata, "Sudah pulangkah kau? Sudah
lama aku menunggumu disini…………”
Goan-ci kaget, kiranya wanita
ini adalah Bu ok put cok Yap Ji nio, sidurjana maha jahat.
Sebaliknya Yap Ji nio juga
terperanjat demi melihat muka Goan-ci itu. Dia berjuluk Bu ok put cok, segala
kejahatan pernah diperbuatnya, maka kejadian yang bagaimana kejamnya juga
pernah dilihat, tapi demi melihat muka Goan-ci yang bonyok itu, mau tak mau ia
pun merasa ngeri.
Dalam pada itu Goan-ci telah
melangkah maju dan bertanya, "Dimanakah A Ci?”
"Kau cari dia?” Tanya Ji
nio sesudah menenangkan diri.
Goan-ci tahu Yap Ji nio adalah
kenalan Tiang Jan jiu dan sama jahatnya, kalau bukan karena A Ci, sejak tadi
tentu dia sudah lari terbirit-birit, tapi sekarang ia malah mendesak maju dan
berseru:
"A Ci…..dimana A Ci?”
Muka Goan-ci masih babak
bonyok, sinar matanya mengunjuk rasa tak sabar, Ji nio menjadi jeri, dengan
tersenyum yang dibuat-buat ia tanya, "Apakah A Ci yang kau maksudkan itu
si nona baju ungu yang beraut muka bundar telur itu?”
"Ya benar, dimana dia?”
teriak Goan-ci dengan tidak sabar.
"Dia sedang cuci kaki
ditepi sungai, buat apa kamu gembar-gembor!” sahut Ji nio sambil tunding semak
rumput ditepi sungai.
Goan-ci percaya saja, segera
ia lari kesana tapi dengan cepat sekali Yap Ji nio menggeser kebelakangnya dan
terus menghantam.
Sama sekali Goan-ci tidak
menduga akan serangan itu sehingga tepat kena digenjot, ia terhuyung-huyung kedepan
dan jatuh tersungkur. Dan begitu jatuh diatas tanah, segera ia lihat A Ci juga
meringkuk ditengah
semak-semak rumput situ, entah
sudah mati atau masih hidup.
Dilain pihak Yap Ji nio juga
lantas memburu tiba, dengan kaki ia injak punggung Goan-cid an membentak,
"Siapa kau?”
"A Ci! A Ci! Kau telah
mengapakan A Ci?” teriak Goan-ci dengan napas terengah karena menguatirkan
keselamatan A Ci, tanpa pikir lagi ia terus meronta sekuatnya.
Seketika Ji nio merasa ditolak
suatu arus tenaga yang maha kuat, tanpa kuasa tubuhnya roboh terjengkang.
Sekali melompat bangun, terus
saja Goan-ci pegang pundak Yap Ji nio dan digentak-gentak, tanyanya,
"Bagaimana keadaan A Ci, kenapa dia?”
Seketika Yap Ji nio merasa
suatu tenaga maha kuat dan maha dingin menerjang kedalam badannya, saking
dinginnya sehingga gigi gemerutuk dan mata mendelik, sudah tentu ia tidak
sanggup bersuara.
Melihat keadaan perempuan
durjana itu, Goan-ci jadi kaget malah. Ia tahu ilmu silat lawan sangat tinggi,
kini air mukanya begitu aneh, jangan-jangan sedang mengerahkan sejenis ilmu
maha lihai utk membikin celaka dirinya.
Goan-ci menjadi jeri,
pegangannya jadi kendur, dengan lemas Ji nio jatuh terkulai ketanah, tampaknya
lebih banyak menghembuskan napas dari pada menarik napas, bahkan berkutik pun
tidak lagi.
Untuk sejenak Goan-ci
terkesima, ia sangka nasibnya sendiri masih mujur, penyakit ayan iblis itu
mendadak kumat. Kesempatan bagus ini tidak boleh disia-siakan, cepat ia lari
kearah A Ci. Ia lihat A Ci hanya tertutuk hiat tonya, ia merasa lega.
Kepandaian membuka hiat to yang tertutuk itu masih dipunyai Goan-ci, maka
perlahan ia tepuk beberapa kali tubuh A Ci.
Sesudah menarik napas segar,
lalu A Ci merangkak bangun, "aku sudah mendengar semuanya” katanya.
Goan-ci tercengang, tanyanya,
"Kau dengar apa?”
Dengan wajah berseri-seri A Ci
menjawab, "Aku telah mendengar, hanya sekali gebrak saja kamu merobohkan
Bu-ok-put-cok Yap Ji nio sehingga tak bisa berkutik lagi. Sekarang napasnya
sudah putus belum?”
"Bu-ok-put-cok Yap Ji
nio?” Goan-ci menegas.
"Ya, dia sudah mati,
bukan?” sahut A Ci dengan tertawa.
Sebagai putra jago silat yang
luas pergaulannya, dengan sendirinyadi Cip hian ceng dahulu sering juga Goan-ci
mendengar orang bercerita tentang "Thian he su ok” empat durjana didunia,
siapa tahu wanita yang menggeletak di depannya sekarang ini adalah si durjana
kedua dari Su ok itu, coba kalau tahu sejak tadi, tidak nanti ia berani main
pegang-pegang segala. Seketika ia berkeringat dingin dan tidak dapat bersuara.
"He…kenapakah kau?” Tanya
A Ci dengan heran.
"Ooo….dia….” sebenarnya
Goan-ci hendak menerangkan bahwa penyakit ayan Yap Ji nio mendadak kumat. Tapi
demi terpikir sekarang diri sendiri adalah Ong Sing thian, Ciangbunjin Kek lok
pai, mana boleh jeri kepada Su ok apa segala? Mka terpaksa ia menyambung,
"Dia sudah menggeletak? Orang macam dia mana sanggup tahan sekali
hantamanku. Eh…A Ci, marilah kita pergi saja!”
Sambil mendongak didepan
Goan-ci, tampak sekali A Ci sangat kagum kepada pemuda itu, katanya"Ilmu
silat Bu ok put cok Yap Ji nio sangat tinggi, sampai Ting lokoai sendiri juga
sering mengatakan demikian pada murid-muridnya, tapi sekarang hanya dalam
sekejap saja ternyata sudah kaubereskan dengan sangat mudah, sesudah kukenal
dirimu, untuk selanjutnya aku takkan kuatir dihina orang lagi.”
Saking terharusampai suaranya
menjadi parau dan airmata hampir menetes.
"Ya, sudah tentu takkan
ada orang berani menghinamu lagi, aku akan selalu berada bersamamu.” Cepat
Goanci menghiburnya, lalu ditambahkan lagi dengan suara pelan, "Ya, aku
akan selalu berada bersamamu.”
Maka tertawalah A Ci dengan
senang, pikirnya sejenak, lalu berkata pula, "Engkau sangat baik kepadaku,
sekarang ada satu permohonanku lagi.”
"Urusan apa? Silahkan
bicara saja, tapi…..tapi kita harus pergi dulu dari sini,” kata Goan-ci.
Rupanya ia kuatir sebentar Yap
Ji nio akan sembuh kembali dari penyakit ayan yang kumat itu dan tentu dirinya
sukar melawannya. Sama sekali tak terpikir olehnya biarpun Yap Ji nio belum
mati juga tidak nanti wanita durjana itu berani sembarangan menyerang lagi.
"Tapi kukira engkau
takkan meluluskan permintaanku,” ujar A Ci.
Goan-ci membawanya
meninggalkan tempat itu sambil menjawabnya, "Aku pasti akan meluluskan
permintaanmu.”
"Belum lagi aku
menerangkan apa yang kuminta, masakan engkau sudah lantas meluluskan?” A Ci
menegas dengan tersenyum.
Goan-ci pikir biarpun apa yang
diminta anak dara itu, asal dirinya mampu, biarpun masuk kelautan api atau
terjun keair mendidih juga akan dilakoni. Maka jawabnya lantas, "Apa yang
kau minta, cobalah ceritakan?”
A Ci merandek, perlahan ia
mendongak, air mukanya penuh harap, katanya, "Ong kongcu, kumintakau suka
merebut kedudukan Ciangbunjin Sing siok pai agar aku dapat menjadi ketua Sing
siok pai itu.”
"Ap….apa katamu?” Goan-ci
menegas dengan mata terbelalak. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa apa yang
diminta anak dara itu adalah urusan demikian.
"Ya, aku pikir dibawah
dukunganmu tentu akan dapat menjadi ciangbunjin Sing siok pai” sahut A Ci.
"He….A….A Ci, apakah
engkau sengaja bergurau?” ujar Goan-ci dengan gemetar.
Bibir A Ci yang merah tipi
situ mencibir, aleman omelnya, "Baru saja kau bilang akan meluluskan
permintaanku, mengapa hanya urusan sekecil ini saja enggan kau terima?”
"Kau……kau bilang ini
urusan kecil?” kata Goan-ci dengan menyengir.
"Habis ilmu silatmu
begini tinggi, kau pun menyatakan bahwa orang lain takut kepada Ting Jun jiu,
hanya engkau yang tidak takut. Jika demikian untuk mengalahkan Ting Jun jiu
bagimu kan bukan soal sulit?”
Terpaksa Goan-ci menjawab,
"Ya sudah tentu bukan……bukan soal sulit.”
A Ci makin senang, serunya,
"Itulah bagus! Habis kau kalahkan Ting Jun jiu, dapat kaunagkat aku
menjadi Ciangbunjin Sing siok pai, malhan Ting Jun jiu diharuskan mengaku
sebagai muridku…ha…ha…bukankah sangat hebat!”
Seketika Goan-ci tidak sanggup
bicara lagi, bahwasannya Ting Jun jiu adalah gurunya A Ci, minta bantuan orang
luar untuk merebut kedudukan ketua dari tangan sang guru saja sudah merupakan
kejadian luar biasa didunia persilatan, apalagi sang guru diharuskan pula mengaku
guru pada sang murid, hal ini benar-benar tidak pernah terjadi dan tidak pernah
terdengar.
Tapi Sing siok pai adalah
golongan jahat yang paling aneh di dunia ini, bagi A Ci hal itu dianggapnya
sebagai sesuatu yang menarik dan menyenangkan.
Goan-ci termangu-mangu agak
lama, katanya kemudian, "A Ci, nama Sing siok pai sudah dibenci orang,
lebih baik engkau jangan menjadi ciangbunjinnya.”
"Ehm…emoh!” ucap A Ci
dengan aleman, "tadi engkau sudah menyanggupi, sekarang tidak boleh
mungkir. Nama Sing siok pai sangat disegani, apalagi pusaka Pek giok ting juga
Cuma aku yang tahu tempatnya, maka ciangbunjin seharusnya dijabat olehku.”
"Tidak, aku tidak mungkin
Cuma untuk mengalahkan Ting Jun jiu, hal ini……”
Sesungguhnya perasaan Goan-ci
sangat bingung. Dia mengaku ciangbunjin Kek lokpaid an mengaku berilmu silat
maha tinggi, hal ini tidak lebih Cuma untuk menyenangkan hati A Ci saja, sama
sekali tak terduga olehnya bahwa pikirananak dara itu memang aneh-aneh dan
macam-macam, tahu-tahu timbul keinginannya menjadi ciangbunjin Sing siok pai.
Jangankan pada hakikatnya
Goan-ci tidak berani bergebrak melawan Ting Jun jiu bahkan bertemu saja takut,
lalu dengan kemampuan apa ia dapat merebut kedudukan ciangbunjin itu bagi A Ci?
Sementara itu A Ci tampak
menunduk, lalu berkata , "Ong kongcu, aku merasa agak kurang sesuai untuk
berada bersamamu…….”
Goan-ci terkejut, cepat
serunya, "A Ci, kenapa kaubicara demikian?”
"Habis engkau adalah
ciangbunjin suatu aliran besar, sebaliknya aku bukan apa-apa, mana aku sesuai menjadi
kawanmu?” kata A Ci.
"Aaai…aku juga bukan…….”
Hampir saja Goan-ci menjelaskan bahwa dirinya sebenarnya juga bukan ketua Kek
lok pai apa segala, untung ucapannya tidak jadi diteruskan.
"Engkau bukan apa?” A Ci
menegas.
"Ooo….aku….aku bukan
menolak permintaanmu itu,” demikian cepat Goan-cig anti haluan,
"Cuma……Cuma Sing siok pai itu entah ada dimana, cara bagaimana kita dapat
menemukan dia?”
"Inikan gampang,” ujar A
Ci dengan tersenyum, "Asal aku menyalakan panah isyarat perguruan segera
dapat kupancing dia kesini.”
"He…..jangan-jangan!”
cepat Goan-ci mencegah.
NamunA Ci sudah lantas
mengeluarkan sebatang panah kecil warna ungu,ia pecahkan ekor panah itu dengan
kukunya, obat bakar sebangsa belirang bila terkena angin segera menyala dengan
sendirinya, "sreng” panah it uterus meluncur keudara bagai roket dengan
membawa jalur asap ungu.
Melihat itu saking kuatirnya
Goan-ci sampai lemas dan hampir-hampir jatuh terkulai.
"Coba lihatlah, betapa
tinginya panah itu?” ujar A Ci.
Terpaksa Goan-ci menengadah,
ia lihat asap ungu itu sudah tinggi diudara. Mendadak terdengar suara
"dorr”, panah roket itu meletus sehingga terjadi kembang api yang berwarna
ungu, bunga api sedemikianbesar sehingga dalam jarak belasan li jauhnya juga
akan kelihatan.
Karuan kaget Goan-ci bukan
buatan, lekas ia tarik tangan A Cid an berseru, "Lekas lari!”
Karena ditarik tanpa kuasa A
Ci terus ikut lari kedepan, serunya, "Heh, ada apa? Kita tunggu disini
saja, asal melihat api ungu, segera Ting Jun jiu akan memburu kesini!”
Tapi Goan-ci tidak sempat
bicara lagi, ia lari terus sambil menyeret anak dara itu, sekaligus berlari
sejauh beberapa li barulah berhenti.
"Apakah kamu tidak beran
bergebrak dengan Ting Jun jiu?” Tanya A Ci sambil mengibaskan tangan Goan-ci.
"Ah…Ting……Ting Jun jiu
itu terhitung apa?” sahut Goan-ci dengan terengah-engah.
"Habis, mengapa lari?”
"Aku bukan lari, tapi
kukuatir pada waktu kuhajar Ting Jun jiu nanti, tanpa sengaja engkau akan ikut
dicelakai olehnya, maka kubawa dirimu menyingkir kesini.”
"Lalu, sekarang
bagaimana?”
"Biarlah ku kembali
kesana sendirian untuk menghajar Ting Jun jiu.”
"Tidak! Tadi kamu sudah
menyatakan takkan meninggalkan aku lagi.”
Sebenarnya Goan-ci Cuma ingin
pergi kesana lalu balik lagi dan menyatakan Ting Jun jiu sudah dibinasakan
olehnya, dengan alasan demikian mungkin urusan akan dapat selesai untuk
sementara.
Kedua mata A Ci buta, ia
sangka arah yang dituju adalah tempat tadi, tak tahunya justru arah yang
berlawanan. Sesudah beberapa li lagi, A Ci mengira sudah kembali ketempat
semula, padahal jaraknya dengan tempat tadi sudah tambah jauh.
Lalu Goan-ci berhenti, katanya
pura-pura , "Eh….mengapa tidak Nampak batang hidung Ting lokoai?”
"Kecuali dia tidak
melihat isyarat panahku tadi, kalau melihat tentu dia akan memburu kesini,”
ujar A Ci, "aku masih ada panah isyarat seperti itu, biarlah kulepaskan
lagi sebatang.”
"Jangan!” cepat Goan-ci
mencegah.
Tapi tindakan A Ci sangat
cepat tahu-tahu panah roket yang kedua sudah diluncurkan keudara dengan membawa
api ungu,
Karuan Goan-ci berkeringat
dingin, hendak mengajak A Ci melarikan diri lagi kuatir anak dara itu gusar,
kalau tidak lari, sebentar tentu akan celaka ditangan Ting Jun jiu.
Tengah Goan-ci merasa bingung,
dari jauh sana sudah terdengar duara Ting lokoai yang terputus-putus tapi cukup
jelas, "A Ci, jika kauingin kembali kedalam perguruan, aku masih dapat
mengampunimu.”
"Ya, tecu memang ingin
masuk kembali ke perguruanSing siok pai!” teriak A Ci, "suhu lekas engkau
kemari!”
"Ini dia, sudah datang!”
demikian jawab Ting Jun jiu, suaranya dari jau mendekat damn tahu-tahu orangnya
sudah muncul.
Seketika kedua kaki Goan-ci
terasa lumpuh, ia duduk diatas sepotong batu dan pasrah nasib, A Ci bersandar
disampingnya, diam-diam ia pun kebat-kebit demi mendengar Sing siok lokoai
benar-enar telah tiba Jun jiu yang sengaja dipancing datang untuk melawan
"Ong Kongcu” ini, sekarang tentu lagi terkesima dan heran demi melihat
dirinya berada bersama dengan seorang "kongcu yang gagah perkasa”.
Saat itu Ting Jun jiu memang
sangat heran, ia berdiri tertegun dalam jarak beberapa meter jauhnya, dengan
sinar mata yang berkilat-kilat ia pandang Goan-ci.
Karena topeng besinya sudah
dibeset mentah-mentah dari kepalanya, sekarang luka bekas besetan itu juga
sudah kering sehingga muka Goan-ci lebih mirip setan daripada manusia,
tampaknya sangat menyeramkan, tapi pemuda itu sedang gemetar duduk diatas batu.
Biarpun Ting Jun jiu sudah
berpengalaman, seketika juga tidak dapat meraba orang maca apakah Yu Goan-ci
itu, sesudah mengamati sejenak, kemudian ia menegur, "Siapakah saudara
ini?”
Diam-diam A Ci membatin,
"Ting Jun jiu ternyata belum kenal dengan Ong Sing thian, dari suaranya
kedengaran merasa jeri, hal ini menandakan Ong Sing thian pasti sangat gagah
perkasa dan berwibawa.”
Berpikir demikian, ia merasa
lega dan tinggal menantikan jawaban Goan-ci saja.
Tapi tunggu punya tunggu,
tetap tiada suara sahutan Goan-ci.
Kiranya goan-ci sendiri lagi
lemas demi melihat Ting Jun jiu benar-benar memburu datang, sampai tenaga untuk
membuka suara saja sukar dikeluarkan.
Maka dengan suara mengikis
tawa A Ci lantas mendahului berkata, "Ting Jun jiu, apakah kau belum
pernah melihat kongcu ini?”
Mendengar A Ci tiba-tiba
langsung memanggil namanya, keruan gusar Ting Jun jiu tidak kepalang tapi demi
mendengar nada suara anak perempuan itu agak angkuh seperti tidak takut lagi
padanya, maka ia coba bersabar dan menjawab :”Ya, belum pernah kami kenal.
Siapakah dia?”
Tuan ini adalah Ong Sing
thian, ciangbunjin Kek lok pai, masakah belum pernah kau dengar namanya? Ujar A
Ci dengan tertawa.
Sing siok Lokoai melengak,
banyak sekali aliran dan golonganorang Bulim, tapi selama ini belum pernah
didengar ada nama "Kek lok pai” segala, Mendadak ia membentak, "Kek
lok pai” apa? Ngaco belo belaka”
"Huh, kau sendiri mirip
kura-kura dalam sumur, apa mau dikata lagi?” jengek A Ci, "Ong kongcu buat
apa banyak bicara dengan dia, boleh kau turun tangan saja.”
Ting Jun jiu menjadi heran,
katanya ,”Kau suruh dia turun tangan, turun kemana?”
"Begini kurasa sudah
terlalu lama kaujabat ketua Sing siok pai, tentu kaupun sudah bosan maka
kupikir kini seharusnya diganti oleh orang lain,” kata A Ci.
Ting Lokoai mendongkol dan
geli pula, ia coba Tanya lagi, "Habis mesti diganti siapa?”
"Sudah tentu aku,” sahut
A Ci sambil tunding hidungnya sendiri, "dan kamu boleh menyembah dan
menyebut aku sebagai suhu.”
Rasa gusar Ting Jun jiu tak
tertahankan lagi, sekali membentak mendadak ia menubruk maju, kelima jari
tangannya bagaikan kaitan
terus mencakar kepala A Ci, sedangkan tangan lain juga siap didepan dada untuk
menjaga kalau Goan-ci mendadak juga menyerangnya.
Sebenarnya Goan-ci tidak
berani bersuara, kini demi Nampak Ting Jun jiu menyerang dengan ganas dalam
gugupnya mendadak ia berteriak, "nanti dulu!”
Saking gugupnya sehingga
suaranya menjadi gemetar dan lain dari pada biasanya.
Ting Jun jiu adalah tokoh
jempolan, begitu Goan-ci membuka suara saja, segera dapat didengarnya pihak
lawan itu memiliki lwekang yang maha tinggi, terang seorang tokoh yang tidak
boleh dipandang enteng, maka cepat ia menggeser dan cengkeramannya tadi
berganti arah kepada Goan-ci.
Dalam sekejap itu Goan-ci
pikir bila tidak melawan tentu akan mati, daripada mati konyol lebih baik
berusaha sebisanya, maka dengan pejamkan mata, kedua tangannya terus menolak
kedepan dengan cepat.
Kedua tangannya itu menolak
lurus kedepan, sedikitpun tidak bergaya, tapi membawa sambaran angin dingin
yang maha kuat. Keruan Sing siok Lokoai terperanjat, cepat ia tarik kembali
serangannya dan melangkah kesamping dua tindak sambil membentak, "Siapakah
kau?”
Waktu Goan-cimembuka mata
kembali, ia lihat Sing siok Lokoai sudah menggeser pergi, ternyata dirinya
nyaris mati konyol, ia pikir tak mungkin akan terjadi lagi seperti ini,
hampir-hampir ia berlutut dan minta ampun.
Namun tiba-tiba terdengar A Ci
berseru, "Ong kongcu, sekali gebrak saja dia sudah terdesak mundur,
mengapa engkau tidak menyerang lagi?”
"Dia…..dia terdesak
mundur?” Goan-ci mengulangi ucapan itu dengan bingung.
Sesudah mengadu tenaga dengan
Goan-ci, segera Lokoai dapat mengukur tenaga dalam lawan ternyata sangat aneh,
tapi rasanya seperti sudah dikenalnya juga. Mendadak teringat olehnya, maka
dengan tertawa ia berkata, "He…he..kiranya kamu ini angkatan tua Thi thau
siancu itu?”
Dan belum lagi Goan-ci
menjawab, tiba-tiba A Ci bertanya, "Ong kongcu, Thi thau siancu apa
maksudnya?”
Goan-ci menjadi gelagapan,
sahutnya dengan tergagap, "Ooo…aku….aku mempunyai seorang murid, kepalanya
sangat lihai, tentu Ting Jun jiu sudah…..sudah pernah telan pil pahit dari dia,
makanya teringat padanya.”
A Ci menjadi girang, katanya,
"Ting Jun jiu, kiranya dengan muridnya saja kamu sudah keok, apalagi
sekarang berani melawan Ong kongcu? Ha…ha…kedudukanku sebagai ciangbunjin Sing
siok pai sudah terang tak bisa ditawar-tawar lagi.”
Keruan gusar Ting Jun jiu
bukan buatan, sehingga rambut dan jenggotnya seakan-akan tegak melandak.
Melihat sikap Ting Jun jiu
yang menakutkan itu, hampir-hampir Goan-ci angkat langkah seribu alias
melarikan diri, Cuma ia tak tega meninggalkan A Ci, terpaksa ia kuatkan
semangatnya untuk menantikan tindakan Ting Lokoai selanjutnya.
Sementara itu Ting Jun jiu
sudah menggerakkan unsur racun ketelapak tangannya dan setiap saat siap untuk
dihantamkan, tapi karena ia pun merasa jeri maka sebegitu jauh masih belum
bertindak, ia yakin Goan-ci pasti gurunya Thi thau siaucu alias si bocah
berkepala besi, dahulu ia pernah mengadu tenaga satu kali dengan Thi thau
siaucu itu dan hampir-hampir celaka, sudah tentu sekarang ia lebih-lebih jeri
terhadap Goan-ci yang disangkanya guru Thi thau siaucu.
Coba kalau A Ci tidak berada
disitu, mungkin sejak tadi ia sudah mencari alasan untuk mengeluyur pergi, tapi
sekarang A Ci telah membuka suara hendak merebut kedudukan ciangbunjin, bahkan
suruh dia berbalik mengangkat guru pada anak dara itu, sedangkan Ting Jun jiu
sendiri memang juga pernah mendurhakai gurunya sendiri.
A Ci adalah murid didikannya,
dengan sendirinya ia tahu anak dara itu berani bicara berani berbuat. Karena
itulah, dalam keadaan demikian tidak mungkin ia melarikan diri.
Begitulah kedua belah pihak
saling menunggu sekian lamanya, dalam takutnya kaki Goan-ci terasa lemas,
beberapa kali hampir saja ia berlutut dan minta ampun, untung dia masih dapat
bertahan mengingat A Ci yang berada diampingnya. Namun demikian, tidak urung ia
menjadi gemetar juga.
Sebaliknya Sing siok lokoai
menjadi kaget malah, dia tidak kenal seluk beluk pihak musuh, maka ragu-ragu
untuk menyerang. Sekarang mendadak Goan-ci gemetar lagi, ia menjadi kuatir
jangan-jangan pihak lawan sedang menghimpun kekuatan, maka cepat ia mundur
selangkah.
Sekejap itu saja entah sudah
berapa kali ia berpikir, teringat olehnya kejadian pada waktu pertama kalinya
ia mengadu tangan dengan Goan-ci. Dahulu sudah terang Goan-ci lebih unggul,
tapi bocah kepala besi itu
berteriak-teriak minta ampun
malah. Tatkala itu dirinya pernah curiga jangan-jangan bocah itu sengaja
mempermainkannya.
Sekarang guru bocah kepala
besi itu mendadak muncul pula disini, bukan mustahil memang orang inilah yang
dahulu sengaja menyuruh bocah kepala besi itu untuk menjajaki kepandaiannya dan
pada saat genting A Ci digondol lari, boleh jadi tujuan mereka adalah ingin
mendapatkan Pek giok giok ting itu.
Demikianlah karena sejak mula
pikiran Sing siok lokoai memang sudah jeri dan menjurus kearah yang salah maka
semakin dipikir semakin ia bertambah ragu.
Melihat Ting lokoai hanya
memandang dirinya dan tidak lantas turun tangan, diam-diam Goan-ci merasa lega,
tapi tetap gemetaran.
A Ci tidak dapat melihat, tapi
dapat mendengar, sesudah sekian lama tidak terdengar pertarungan kedua orang
itu, sebaliknya terdengar suara gemetar orang, keruan ia terheran-heran dan
segerta Tanya, "Ong kongcu, siapakah yang gemetar?”
"Ti…..tidak ada…..” sahut
Goan-ci depat denga terputus-putus.
Keruan A Ci tambah kaget,
serunya ,”Hei Ong kongcu, apakah kau yang gemetaran?”
"Mana…..mana bisa, aku
justru lagi…..lagi menghimpun tenaga …..” sahut Goan-ci.
"Habis, mengapa engkau
tidak lantas turun tangan saja?” desak A Ci.
"Ya, segera aku turun
tangan, " sahut Goan-ci sambil telan air liur. sekuatnya ia coba angkat
tangan dengan perlahan.
Melihat lawan mulai angkat
tangan dan siap menyerang, Ting Jun jiu menjadi tegang, segera tangan kirinya
siap didepan dada dan tangan kanannya membalik keatas dengan gaya siap melawan
musuh.
Dengan susah payah barulah
Goan-ci sanggup angkat tangannya keatas, namun tiada keberanian untuk
dipukulkan sehingga telapak tangannya hanya siap menyerang tapi tetap gemetar.
Sungguh kejut Ting Jun jiu tak
terkatakan, ia sudah banyak berpengalaman, tapi belum pernah melihat ilmu
pukulan aneh yang gemetar seperti ini. Sekilas pikir ia kuatir bila pukulan
lawan terlanjur dilontarkan, untuk bicara secara baik-baik jangan sampai
bergebrak, kunci daripada semua itu justru terletak pada A Ci.
Maka ia lantas mundur lagi
selangkah sambil berseru, "A Ci!”
"Ada apa Ting Jun jiu?
Apakah kamu sudah mau menyembah guru kepadaku?” sahut A Ci.
"A Ci,” kata Ting Jun jiu
dengan menahan gusar, "tentu kau tahu aku tiada tandingannya didunia ini,
kau berani main gila seperti ini tentu akan kau terima ganjarannya. Tapi kalau
kau mau insaf akan dosamu, biarlah aku takkan mengusut kesalahanmu ini.”
Namun A Ci cukup cerdik, ia
sudah dapat mendengar suara Ting Jun jiu yang keder itu, iblis itu sekarang
hanya mirip "macan kertas” saja, galak diluar, tapi didalam hati
sebenarnya ketakutan setengah mati.
Maka A Ci tertawa seanng,
sahutnya, "Ha…ha….jika memang benar kamu tiada tandingannya didunia ini,
maka lekas kau binasakan Ong kongcu dan tangkap aku agar dapat menunjukkan
tempat penyimpanan Pek giok giok ting di Lamkhia itu, mengapa kau masih ragu
dan sangsi?”
Sungguh dongkol Ting Jun jiu
tidak kepalang tapi tak berdaya, ia hanya melotot sekali kepada Goan-ci.
Sebaliknya Goan-ci juga dapat
mendengar suara Ting Jun jiu yang jeri itu, ia pikir apa barangkali karena
mukaku terlalu menyeramkan sehingga ting Lokoai ketakutan?
Mka dengan tabahkan hati ia
berkata denganharapan dapat menggertak iblis itu, "Ya, A Ci ingin menjadi
ketua Sing siok pai,kau mau menyerahkan jabatanmu kepadanya atau tidak!”
Sudah tentu Ting Jun jiu tidak
mau menyerah mentah-mentah hanya karena digertak begitu saja, ia pikir paling
tidak juga mesti menjajal dulu kepandaian sejati pihak lawan. Bila memang tidak
sanggup melawan rasanya masih belum terlambat untuk melarikan diri.
Maka ia hanya tertawa dingin
saja tanpa menjawab, sedangkan tangan perlahan mulai menolak kedepan.
Melihat tangan iblis tua itu
sudah mulai bergerak, seketika hati Goan-ci kebat kebit dan keluar keringat
dingin, kedua kaki terasa lemas dan tanpa kuasa terus duduk mendeprok ditanah.
Melihat lawan mendadak duduk,
maka gerak tangan Ting Jun jiu bertambah cepat.
Melihat demikian, Goan-ci
menjadi ketakutan, ia menjerit sekali sambil berjumpalitan kesana, maka
terdengarlah suara "blang!” sekali, pukulan Ting Jun jiu mengenai tanah
sehingga berwujud sebuah liang kecil.
Mestinya Goan-ci hendak
merangkak bangun untuk melarikan diri, tapi demi Nampak betapa hebat pukulan
Ting Jun jiu itu kakinya semakin terasa lemas sehingga berdiripun tidak
sanggup.
Dalam pada itu A Ci juga
mendengar gelagat tidak enak, cepat ia Tanya, "Ong kongcu, bagaimana
kesudahannya?”
"A Ci,” sahut Goan-ci
dengan suara yang dibuat-buat, "jabatan ketua Sing siok pai kukira….”
Belum lagi Goan-ci selesai
bicara mendadak Ting Jun jiu mendesak maju dan pukulan kedua dilontarkan lagi.
Terpaksa Goan-ci menghindar dengan berjumpalitan dan berguling-guling ditanah.
Namun tenaga pukulan Ting Jun
jiu itu belum dikerahkan seluruhnya, mendadak ia membentak,” Kenapa kamu tidak
balas menyerang?”
"Ya, mengapa engkau tidak
balas hantam dia, Ong kongcu?” cepat A Ci juga berseru.
Tapi Goan-ci sudah lemas
sehingga bersuarapun tidak sanggup. Ia lihat pukulan Ting Jun jiu itu mulai
mendekat pula, saking ketakutan nyalinya serasa pecah, tanpa pikir lagi ia
meringkuk, ia sembunyikan mukanya dibawah ketiak.
Sekilas itulah
sekonyong-konyong pikirannya tergerak, tiba-tiba teringat olehnya sesuatu
gambar dengan gaya yang aneh yang pernah dibacanya dalam kitab berbahasa
sangsekerta itu. Dengan sendirinya sebelah tangannya yang lain terus diputar
kebelakang, lalu dijulurkan kedepan pula melalui selangkangan.
Pengalaman Ting Jun jiu
terlalu banyak dan pengetahuannya sangat luas, meski dia tidak kenal Ih kin
keng
segala tapi demi melihat gaya
aneh yang dipasang Goan-ci itu, segera ia tahu bahwa lawan sedang mengerahkan
lwekang yang maha dahsyat, maka pukulannya lantas dihentikan setengah jalan.
Sesudah meringkuk dengan gaya
yang aneh itu, segera Goan-ci merasa hawa murni dalam tubuhnya bergejolak
dengan cepat dan hebat seakan-akan membanjir ketelapak tangan yang menjulur
kedepan melalui selangkangan itu bahkan terus merembes keluar dan menyambar
kedepan.
Keruan mendadak Ting Jun jiu
merasa diterjang oleh suatu arus tenaga yang maha kuat, terpaksa ia pun
mengerahkan tenaga yang ditahan tadi.
Tapi celaka, sedikit dia
keluarkan tenaga, tenaga lawan yang membanjir itu pun segera bertambah kuat,
ketika tangannya tertolak kedepan seluruhnya, maka tenaga lawan yang membanjir
itupun terasa luar biasa kerasnya dan dukar ditolak kembali.
Ting Jun jiu menjadi gugup dan
guar, ia mendakkan tubuh sedikit dan pasang kuda-kuda lebih kuat, mendadak ia
membentak sekali, ia pun segenap tenaganya pada tangan kanan tertolak kedepan
sekuatnya.
Dengan pukulan sepenuh tenaga
ini, ia pikir paling tidak akan dapat mengadu tangan dengan pihak lawan, pada
kesempatan mana segera ia dapat salurkan unsure racun.
Tak tersangka justru pada saat
pertaruhannya yang terakhir itu, tiba-tiba ia merasa tangannya ditolak kembali
oleh suatu arus tenaga yang tak terbendungkan. Tanpa ampun lagi Ting Jun jiu
menjerit, tubuh terpental keudara dan berjumpalitan sehingga beberapa kali baru
kemudian jatuh kebawah sejauh beberapa meter.
Sesudah berdiri dan tenangkan
semangat, ia coba memandang kearah Goan-ci, sungguh ia tidak percaya dapat
bertemu dengan seorang lawan yang sedemikian lihai.
A Ci menjadi girang ketika
mendengar jeritan aneh Ting Lokoai, lalu ada suara orang terpental jatuh pula,
segera ia berseru, "Ong kongcu, Ting Jun jiu sudah mampus belum?”
Keruan Ting Lokoai sangat
gusar, teriaknya, "Hendak mampuskan aku? Huh…tidak segampang ini!”
"Ong kongcu, lekas kau
bereskan dia, jangan sampai dia lolos!” seru A Ci pula.
Tenaga dalam yang dikeluarkan
Goan-ci dengan gaya aneh yang dipelajarinya menurut gambar dalam kitab Ih kin
keng itu memang tak terbendungkan. Namun kalau Ting Jun jiu tidak menyerang
dengan sepenuh tenaga tentu tidak sampai terpental, tapi lantaran dia bermaksud
menjajal Goan-cid an kalau dapat akan mengadu tangan dengan lawan.
Siapa duga tenaganya itu jauh
kalah kuat daripada tenaga aneh yang dilontarkan Goan-ci itu sehingga sebelum
dia sempat menggunakan Hoa kang tai hoat, dia sendiri sudah mencelat keudara.
Untung dia masih dapat menutup
hiat to pada tubuhnya dan jatuh kebawah dengan baik, kalau tidak tentu Sing
siok lokoai sudah tamat riwayatnya.
Dilain pihak Goan-ci juga
sangat bersyukur Sing siok lokoai mendadak terpental pergi didengarnya pula A
Ci sedang mendesak agar dia turun tangan lebih jauh, maka cepat ia jawab,
"Ah, musuh yang sudah ngacir buat apa dikejar? Biarkan dia pergi saja. Dan
tentang ketua Sing siok pai sudah tentu…..sudah tentu menjadi bagianmu untuk
menjabatnya.”
Segera A Ci berseru,
"Nah, Ting Jun jiu kau dengar tidak? Mulai hari ini aku adalah cingbunjin
Sing siok pai.”
"Huh, kamu manusia apa?
Berani mengaku sebagai ciangbunjin Sing siok pai?” sahut Ting lokoai dengan
gusar.
"Hahaha!” A Ci
terbahak-bahak. "Kamu sudah dikalahkan Ong kongcu, masakan kamu masih
berani mengangkangi kedudukan ciangbunjin? Haha…apa kau tidak kuatir ditertawai
orang seluruh jagat?”
"Kamu sengaja menggunakan
tenaga orang luar, kamu dapat dianggap sebagai murid murtad golongan kita,
masakah kau berani mengaku pula sebagai ciangbunjin apa segala?” sahut Ting Jun
jiu.
Tapi dengan tertawa A Ci
berkata, "Bagaimana hubunganku dengan Ong kongcu tentu dapat kau saksikan
sendiri, dia bukanlah orang luar sebagaimana kau sangka. Segera juga kami akan
kembali ke Sing siok pai, barangsiapa diantara murid Sing siok pai berani
mengakuimu sebagai ketua segera akan kuhukum mati, sebaliknya yang menyembah
kepadaku sebagai ciangbunjin baru tentu akan kuberi hadiah dan naik pangkat.
Huh….percuma saja kamu mengaku sebagai bekas ciangbunjin, coba jawab, pusaka
Sing siok pai kita, yaitu Pek giok giok ting sekarang berada ditangan siapa?”
Dasar mulut A Ci memang tajam,
biasanya Ting Jun jiu paling suka mendengar sanjung puji, tapi sekarang ia
kalah didebat sehingga tidak dapat menjawab.
Melihat lawannya bungkam, A Ci
makin dapat angin, segera ia berseru pula, "Nah, Ting Jun jiu, lekas
menyembah kepada ciangbunjin baru! Kalau tidak menurut, hari ini tentu akan
kuadili dosamu ini.”
Ting jun jiu terperanjat,
cepat ia melompat mundur dulu dua tindak, lalu mendamprat dengan suara bengis,
"A Ci, jika kau jatuh ketanganku lagi, tentu akan kubeset kulitmu dan
membetot ototmu…..”
Belum habis ucapannya,
mendadak A Ci mengikik tawa, sahutnya, "Hihi…boleh kau keluarkan ancaman
lebih banyak, apabila kamu yang jatuh ditanganku, pasti akan kuperlakukan kamu
menurut resepmu itu….”
Terpaksa Ting Jun jiu tutup
mulut. Habis dia tidak unggul melawan "Ong Sing thian”, dengan sendirinya
kemungkinan dia akan ditawan A Ci akan lebih besar, maka bukan mustahil ancaman
yang dia keluarkan itu akan menjadi "Senjata makan tuan”.
Tentu saja A Ci tambah senang,
ia terbahak-bahak puas, katanya pula, "Nah, Ting Jun jiu, betapapun aku
masih menaruh belas kasihan padamu, bolehlah lekas enyah. Tapi ingat,
selanjutnya kamu dilarang menyebut nama Sing siok pai dan menginjak Sing siok
pai dalam jarak seratus li disekitarnya.”
Saking dongkolnya sampai muka
Ting lokoai pucat pasi, tapi ia masih tidak mau kalah suara, segera ia pun
berkata, "Sing siok losian adalah ketua Sing siok pai, siapa yang berani
tidak mengakui aku?”
"Huh, kamu sudah kalah,
masih berani mengaku sebagai ketua? Ini, sekarang akulah yang menjadi ketua!”
seru A Ci.
"Kentut, akulah
ciangbunjin resmi Sing siok pai, sedangkan kamu Cuma ciangbunjin palsu, siapa
yang mau mengakuimu?” ujar Ting lokoai.
"Sudahlah, pendek kata
bila kamu sampai kepergok olehku disekitar Sing siok pai, maka awas jika jiwa
anjingmu, pasti tidak ku ampuni,” ancam A Ci, "Nah, lekas enyah, masih
menggonggong terus disini buat apa?”
Adu mulut kalah, adu tenaga
juga keok, keruan Ting Jun jiu hanya mendelik belaka. Dibawah ejek sindir A Ci
itu, akhirnya ia putar tubuh dan mengeluyur pergi dengan cepat.
Sungguh senang A Ci tak
terlukiskan, hanya dengan mendamprat ting Jun jiu habis-habisan dan secara
paksa
dapat dapat merebut kedudukan
ciangbunjin Sing siok pai hal ini boleh dikatakan merupakan hasil karya
terbesar selama hidupnya.
Setelah puas tertawa, kemudian
ia berseru, "Ong kongcu! Ong kongcu!”
Sementara itu Goan-ci sudah
bangun, ketika mendengar A Ci berkata kepada Ting Jun jiu tentang
"bagaimana hubunganku dengan Ong kongcu” dan "dia bukanlah orang
luar” lagi, tanpa kuasa hatinya berdebar-debar dan semangat seolah-olah
melayang-layang diangkasa, maka ia hanya memandangi A Ci dengan termangu-mangu
sehingga tidak mendengar panggilannya itu.
Yang terpikir olehnya saat itu
adalah derita sengsara yang pernah dirasakan selama hidupnya adalah berkat A
Ci, tapi bahagia yang dirasakannya juga adalah atas hadiah anak dara itu.
Sungguh kejadian aneh didunia ini sukar dibayangkan oleh siapa pun juga.
Begitulah sesudah A Ci
mengulangi panggilannya beberapa kali lagi barulah Goan-ci tersadar dari
lamunannya, cepat ia menjawab, "Ya, A Ci ada urusan apa?”
"Mengapa engkau diam
saja?” omel A Ci sambil menjengkitkan bibir, "kamu tidak gubris lagi
padaku?”
"Ah, masakan aku tidak
gubris lagi padamu kecuali aku sudah mati,” sahut Goan-ci.
"Wah, ilmu silatmu
sungguh maha tinggi dan Ting Jun jiu benar-benar sudah kau kalahkan,” ujar A Ci
dengan tertawa, "urusan yang masih kita kerjakan masih sangat banyak, buat
apa kita tinggal lagi disini?”
Sebenarnya tadi sebab apa Ting
Jun jiu bisa terpental keudara dan jatuh terus ngacir, hal ini sampai sekarang
belum lagi dimengerti Goan-ci. Sekarang mendengar A Ci bilang masih banyak
urusan yang harus dikerjakan, ia menjadi gugup dan kuatir, cepat ia Tanya,
"kem….kembali ada urusan apa lagi?”
"Sekarang kita pergi
mencari orang Kai pang untuk merebut Pak kau pang, masakah kamu sudah melupakan
perkataanku tadi?” sahut A Ci.
"Sesudah mendapatkan Pak
kau pang, lalu aku akan menemui cihu. Kukira cihu yang kini telah menjabat Lam
ih Taiong, pasti tidak sudi menjadi Pangcu kaum jembel itu, bisa jadidia dengan
suka hati atau kalau perlu akan kugunakan sedikit akal, tentu dia akan
menyerahkan Pak kau pang kepadaku, dengan demikian aku akan dapat merangkap
menjadi pangcu Kai pang!”
Berkata sampai disini, ia
tertawa dengan sangat gembira.
Goan-ci sendiri tertegun
sejenak, katanya kemudian, "Baiklah, mari kita berangkat!”
Namun dalam hati ia ambil
keputusan akan membawa anak dara itu ketempat sepi, tempat yang jauh dari
masyarakat, toh A Ci sudah buta dan tentu takkan tahu.
Sebaliknya A Ci mengira
Goan-ci sudah menerima permintaannya itu. Dan belum lagi urusan ini selesai,
diamdiam ia mulai peras otak pula untuk memikirkan urusan aneh yang akan
dilakukan selanjutnya.
Sebagai gadis yang cerdik,
diam-diam A Ci merasakan Goan-ci suka menurut kepada segala keinginannya, apa
yang diminta tentu takkan ditolak.
Dalam girangnya ia merasa
pergaulannya dengan Goan-ci ini jauh lebih menyenangkan daripada waktu berada
bersama Siau Hong. Apalagi Siau Hong adalah cihunya, sedangkan Goan-ci dalam
anggapannya adalah seorang kongcu muda yang gagah perkasa, dalam lubuk hatinya
telah bersemi asmara yang penuh manisnya madu sehingga derita karena matanya
buta itu terlupakan sama sekali.
Begitulah Goan-ci membawa A Ci
menuju kedepan, tidak lama kemudian mereka sampai disuatu kota. Ketika mereka
lalu dijalan besar, terdengarlah suara percakapan orang ditepi jalan dengan
rasa menyesal, "lihatlah orang itu! Ya, mukanya benar-benar luar biasa!
Aaai….sunguh hebat, selama hidup tidak pernah kulihat orang semacam ini!”
Mendengar bisikan orang-orang
itu, A Ci menjadi lebih senang. Ia sangka setiap orang sama mengagumi betapa
gagah perkasanya pemuda yang mendampinginya itu.
Sebaliknya Goan-ci cukup paham
apa artinya kata-kata orang ditepi jalan itu, maka ia hanya berjalan terus
dengan cepat sambil menunduk.
Tiba-tiba A Ci teringat
sesuatu dan berkata, "Kita masih harus mencari para tetua Kai pang
diberbagai tempat, maka kita tidak boleh tanpa binatang tunggangan. Kota ini
agaknya cukup besar, boleh kita beli dua ekor kudanya yang paling bagus.”
Sesudah dalam perjalanan lagi,
dengan tertawa A Ci berkata, "Ong kongcu, dimana engkau berada, sampai
bicara pun orang merasa
sungkan, hal ini menandakan engkau pasi sangat berwibawa dan dihormati atau
ditakuti.”
"Aku pun tidak sengaja
hendak menakuti mereka,” Sahut Goanci.
"A Ci, berada bersamaku,
apakah engkau merasa takut?”
"Entah, kalau aku dapat
melihat, bisa jadi aku pun akan merasa takut,” sahut A Ci.
"Ah….tidak….tentu tidak!”
cepat Goan-ci berkata pula.
Dan sesudah mereka keluar dari
kota itu, segera Goan-ci melarikan kuda mereka kearah barat. Ia sengaja memilih
tempat atau jalan yang sepi, tempat yang dituju makin lama makin sunyi.
Sepanjang jalan mereka banyak
bicara dan banyak gembira sehingga tidak merasa kesepian.
Selama beberapa hari itu boleh
dikatakan adalah saat-saat paling bahagia bagi hidup Goan-ci selama ini.
Beberapa hari kemudian entah
sudah sampai dimana, sepanjang mata memandang hanya lereng gunung belaka, sama
sekali tidak kelihatan ada penduduk disekitar situ.
A Ci mulai rebut, ia Tanya,
"Kita berada ditempat mana ini? Mengapa tiada terdengar suara orang?”
"Didepan sana adalah
sebuah kota, Cuma hari sudah dekat magrib, jika kita dapat mencapai kota itu
tentu juga sudah malam dan tiada sesuatu yang menarik dikota yang sudah sunyi
itu,” sahut Goan-ci.
"Mengapa berturut-turut
kita selalu lewat dibeberapa kota pada waktu malam?” tiba-tiba A Ci berkerut
kening, "sebenarnya ada apa kau dustai aku?”
Air muka Goan-ci berubah,
cepat ia menjawab, "Aku dustaimu? Buat apa aku berdusta? Ini kan Cuma
kebetulan saja.”
"Sudah beberapa hari kita
tidak mendengar suara seorang pun, jangankan pula hendakmencari orang Kai pang.
Coba cara bagaimana aku harus pulang ke Lamkhia dan menemui Cihu?”
"Engkau masih akan pulang
ke Lamkhia?” Tanya Goan-ci.
"Sudah tentu” sahut A Ci
dengan bersitegang, "Aku adalah puteri Toan hok kuncu kerajaan Tayli,
Cihuku adalah Lam ih Taiong. Nanti kalau kamu bertemu dengan cihu, apa kau mau
menjadi Taiong juga?”
Teringat siksa derita yang
dialaminya di istana Lam ih Taiong dahulu itu, Goan-ci merasa ngeri dan tanpa
terasa suaranya menjadi agak gemetaran, "Tidak, aku tidak ingin menjadi
Tai ong segala, A Ci, bukankah kau bilang hendak selalu berdampingan denganku?
Untuk itu biarlah kitamencari suatu tempat yang jarang didatangi manusia, kita
dapat hidup bahagia bagai dewa kahyangan.”
"Tidak enak, tidak enak,”
sahut A Ci sambil goyang-goyang tangan. "Kalau kita Cuma hidup berduaan
saja, siapa lagi yang tahu bahwa aku telah berkenalan dengan seorang kawan yang
memiliki kepandaian maha tinggi? Dan cara bagaimana aku dapat terkenal pula
didunia ini?”
Goan-ci tersenyum getir,
katanya, "A Ci…..”
"Sudahlah jangan bicara
lagi,” sela A Ci.
"Permainan yang begitu
banyak dan menyenangkan diistana Lam ih Taiong saja membosankanku, masakah aku
bisa kerasan tinggal dipegunungan yang sepi? Kau bilang didepan sana ada sebuah
kota, nah lekas cari tahu kita berada ditempat mana dan nanti akan
kuberitahukan selanjutnya kita harus kemana.”
Diam-diam Goan-ci menghela
napas. Sebenarnya ia ingin membawa A Ci meninggalkan Tionggoan dan menuju
kesuatu tempat yang jarang didatangi manusia, disitulah mereka berdua dapat
hidup berdampingan selamanya, tanpa peduli pertengkaran dan saling bunuh
didunia persilatan lagi.
Tapi harapannya ternyata sukar
terkabul, sebab A Ci terang masih suka kepada keramaian dan kedudukan, rasanya
kelak masih banyak kesulitan yang harus dihadapinya.
Terpaksa Goan-ci hanya
mengiakan secara samar-samar saja lalu melarikan kuda menuju depan.
Makin lama A Ci makin tak
sabar lagi, serunya, "Mengapa belum sampai? Kita seperti berjalan dilereng
gunung, bukan?”
"Sesudah melintasi
pegunungan ini, didepan sana adalah kota,” sahut Goan-ci.
"Aaai…kamu ini, untuk apa
sih kau bawa aku ketempat sunyi seperti ini?” omel A Ci.
Tengah bicara, tiba-tiba
terdengar kumandang suara seruling. Suara seruling itu terputus-putus tiba-tiba
tajam melengking, kadang-kadang merendah, kedengarannya sangat aneh.
Sebenarnya Goan-ci ingin
menghindarkan arah datangnya suara seruling itu, tapi saat itu mereka kebetulan
berada ditengah-tengah suatu selat gunung, jalan disitu hanya satu-satunya,
kalau putar balik tentu akan membuat A Ci curiga, maka terpaksa Goan-ci
membawanya maju terus.
Sebaliknya A Ci menjadi sangat
senang, dia mendengar suara seruling itu, katanya, "Wah, sesudah dekat
kota keadaan memang sangat berbeda, siapakah gerangan peniup seruling itu?
Apakah ada kawanan ular yang merayap kesini?”
A Ci sudah biasa main binatang
berbisa, ia dengar diantara suara seruling itu tercampur suara mendesis-desis,
maka segera ia tahu ada kawanan ular yang merayap kearah mereka.
Waktu Goan-ci memandang
kedepan, benar juga dilihatnya ada dua ekor ular raksasa dengan warna
belangbonteng sedang merayap datang dengan amat cepat, anehnya diatas pungung
ular-ular itu berdiri satu orang.
Besar kedua ular itu kira-kira
sebulatan paha, panjangnya belasan meter, kedua ular itu merayap berjajar
seperti berbaris, penunggang ular itu berdiri dengan kaki menginjak diatas
badan tiap-tiap ular, jadi seperti main ski saja meluncur dengan cepat,
walaupun badan ular pada umumnya sangat licin, tapi orang itu dapat berdiri
dengan mantap, bahkan sambil meniup seruling lagi.
Keruan Goan-ci terheran-heran,
katanya, "Wah A Ci, ada pemandangan aneh ini!”
"Pemandangan aneh apa?
Lekas ceritakan padaku,” pinta A Ci.
"Ada seorang yaitu
seorang padri asing yang kurus kering, kedua kakinya menginjak diatas dua ekor
ular dan sedang meluncur kemari,” tutur Goan-ci.
Segala permainan dan segala
dolanan yang aneh-aneh tentu pernah dicoba oleh A Ci. Tapi permainan menunggang
ular seperti apa yang diceritakan Goan-ci ini belum pernah dicobanya. Maka
cepat ia berkata, "Wah, sangat menarik! Lekas kau rampas kedua ekor ular
itu, marilah kita juga menunggang ular saja, bukankah jauh lebih menyenangkan
daripada menunggang kuda?”
Goan-ci tidak menduga anak
dara itu dapat mengeluarkan pikiran yang aneh-aneh, ia jadi ragu dan menyesal
telanjur diceritakan padanya.
Selagi ia tidak tahu cara
bagaimana harus berbuat, sementara itu kedua ekor ular raksasa itu sudah
meluncur tiba, ketika padri asing penunggang ular itu meniup sulingnya dengan
suara melengking sekali, kedua ular itu lantas berhenti, lalu padri asing itu
memandang Goan-cid an A Ci dengan matanya yang besar melotot itu.
Goan-ci melihat padri itu
berkulit hitam hangus kepalanya kurus bagai tengkorak, tapi matanya bersinar
sehingga membuat siapa yang memandangnya merasa risi.
Tiba-tiba padri itu menunjuk
kuda tunggangan Goan-ci berdua, lalu mulutnya mengeluarkan kata-kata yang aneh
dan panjang lebar. Tapi Goan-ci lantas dapat memahami bahasa yang digunakan
padri itu bukan lain adalah bahasa yang pernah dipelajarinya dari Polo Singh
dahulu itu.
Tapi karena dulu dia dipaksa
belajar, selain setiap hari kenyang dihajar, pada hakkatnya ia tidak paham
bahasa apa-apaan itu. Maka sekarang ia pun tidak dapat menangkap apa maksud
ucapan padri asing itu.
"Ong kongcu, apa yang
dibicarakan orang ini?” Tanya A Ci.
"Aku pun tidak paham,”
sahut Goan-ci
"Tampaknya dia
menghendaki kedua ekor kuda kita.”
"Hah, mungkin dia sudah
bosan menunggang ular, maka ingin bertukar dengan kuda kita. Ayolah boleh tukar
saja dengan dia, Tanya dulu dia berani tambah berapa, namanya tukar tambah!”
kata A Ci.
Goan-ci mengamat-amati pula
sikap padri asing itu, lalu sahutnya, "tapi rasanya bukan begitu
maksudnya, agaknya dia Cuma ingin ambil kedua ekor kuda kita untuk tangsal
perut kedua ekor ularnya yang tampaknya sudah kelaparan itu.”
"Masa? Mengapa begini
kurangajar hwesio asing ini?” seru A Ci dengan gusar.
Dalam pada itu padri itu masih
mengoceh terus, suaranya makin lama makin tajam. Lwekang Goan-ci jauh lebih
kuat, dia tidak merasakan apa-apa tapi A Ci lantas merasa perasaannya kacau dan
tubuhnya bergoyanggoyang hampir jatuh dari kudanya.
Cepat Goan-ci mengangkatnya
dan dipindahkan diatas kudanya, jadi dua orang menunggang seekor kuda.
Dan baru saja A Ci
meninggalkan kudanya, mendadak ular dibawah injakan kaki kanan padri asing itu
lantas menubruk maju, secepat kilat leher kuda itu dililit sehingga kuda itu
terguling-guling ditanah sambil meringkik ngeri.
"Ada apa? Ada apa?” A Ci
Tanya berulang-ulang.
Dalam pada itu kepala ular itu
mendadak menyusup kedalam mulut kuda , lalu ringkikan kuda itu makin lama makin
lemah dan akhirnya berhenti.
Goan-ci sampai terkesima
menyaksikan itu, sesudah A Ci mengulangi pertanyaan baru ia dapat menjawab,
"Ooo…seekor ular milik padri itu menggigit mati kudamu.”
A Ci tercengang, tapi segera
katanya, "Jangan kuatir, kita suruh dia ganti dengan ularnya saja!”
Sementara itu ular tadi telah
menarik kembali kepalanya dari mulut kuda sambil menjulur-julurkan lidahnya
yang merah, lalu mengesot ditanah dengan kemalas-malasan bagaikan seorang yang
habis makan terlalu kenyang dan ingin mengaso dulu.
Sedang ular yang lain juga
mulai mendesis-desis, tampaknya sudah tidak sabar lagi. Padri asing itu pun
menunding kuda yang ditunggangi Goan-ci bersama A Ci itu sambil
membentak-bentak.
Goan-ci pikir padri ini sangat
aneh, rasanya sukar dilawan, paling selamat kuda ini diserahkan saja padanya
dan habis perkara.
Maka ia lantas berkata,
"Harap Taysu jangan gusar, biarlah kami turun dulu dari kuda ini!”
Lalu ia lompat turun dan
memayang A Ci pula kebawah dan kemudian mereka melangkah mundur beberapa
tindak.
Dalam sekejap ular raksasa itu
sudah menyambar maju, sekali gigit kepala kuda itu dicaploknya. Maka
terdengarlah suara siat suit yang keras hanya sekejap saja otak kuda itu telah
disedot habis lalu ular itupun mengesot ditanah dengan kemalas-malasan.
Adapun padri asing itu
tenang-tenang saja berjalan mondar-mandir sambil menggendong tangan sedangkan
Goan-ci merasa bingung, ia berdiri diam disitu tanpa berdaya.
Segera A Ci Tanya lagi,
"Bagaimana dengan kedua ekor ular itu? Kenapa engkau tidak minta ganti
padanya?”
"Bahasa kita dengan padri
itu tidak sama, daripada susuh-susah, biarkanlah,” ujar Goan-ci.
"Bahasa tidak sama, apa salahnya?”
kata A Ci, "kau gebah dia biar ngacir dan ular-ular itu kan menjadi milik
kita?”
Tapi meski Goan-ci sudah peras
otak juga tidak ingat cara bagaimana harus mengucapkan kata "ular”
sebagaimana dahulu Polo singh pernah mengajarkannya.
Tapi ia yakin padri ini besar
kemungkinan adalah bangsanya Polo singh, boleh jadi mereka adalah kenalan pula,
kalau ia sebut nama Polo singh bukan mustahil akan dapat berunding secara
baik-baik dengan padri itu. Maka segera ia berkata, "Polo singh!”
Benar juga padri itu tampak
melengak dan memandang kearahnya.
Maka tertawalah A Ci dengan
terkikik geli, serunya ,”Hihi…kiranya kaupun mahir bicara dalam bahasanya yang
aneh itu.”
"Tidak, aku tidak dapat,
Polo singh adalah nama orang,” sahut Goan-ci.
Tiba-tiba padri itu mendekati
Goan-cid an menegas, "Polo singh?”
Goan-ci manggut-manggut,
"Ya, Polo singh…..Polo singh!”
Tapi mendadak padri itu
menjambret dada Goan-ci dengan lima jarinya yang kurus kering itu sambil
digoncang-goncangkan dan mulutnya mengoceh panjang lebar, entah apa yang
dimaksudkannya.
Karuan Goan-ci terkejut, cepat
serunya, "Heh…apa-apaan ini?”
Dengan mendelik padri itu
mengamati Goan-ci sejenak, tampaknya ia agak aseran, tiba-tiba serunya tajam,
"Polo singh?”
Sekarang Goan-ci tahu bahwa
maksudnya telah mendatangkan celaka malah baginya, terpaksa ia berkata lagi,
"Ya, sekali Polo Singh tetap Polo singh, biarpun kau pegang aku lebih
keras juga tiada gunanya.”
Sudah tentu padri itu tidak
paham apa yang dikatakan Goan-ci, ia tambah gusar dan mengomel pula panjang
lebar sambil mengoncangkan Goan-ci lebih keras.
A Ci tidak sabar mendengarkan
percekcokan mereka itu, katanya, "Buat apa banyak rewel dengan dia,
bereskan saja dia , Ong kongcu!”
Segera Goan-ci sedikit menarik
dirinya dengan maksud meronta. Tak terduga cengkeraman padri itu ternyata
sangat kuat.
"bret!”
Tahu-tahu bajunya robek dan
isi sakunya jatuh semua ketanah.
Diantaranya terdapat belati
pemberian Hong Po ok sehingga menerbitkan suara nyaring waktu jatuh dan
mengeluarkan sinar kemilau.
Padri itu terus jemput belati
itu sambil diobat-abitkan dua tigakali kearah Goan-ci dan mengucapkan dua
kalimat entah apa maksudnya.
"Jika Taysu suka pada
belati ini, biarlah kuberikan padamu,” cepat kata Goan-ci.
"Heh mana boleh!” seru A
Ci.
"Apakah kedua ekor
ularnya itu lebih bagus daripada kuda kita, masakah harus tambah dengan sebilah
belati!”
Goan-ci serba runyam
menghadapi kedua orang didepannya sekarang ini, yang satu tidak dikenal
bahasanya, yang lain buta dan bicara asal buka mulut saja. Terpaksa ia
menjawab, "Kau diam saja A Ci, biar aku yang melayani dia.”
Sesudah memeriksa belati itu,
kemudian padri itu mendadak angkat tangannya. Cepat Goan-ci menarik mundur A
Ci, ia sangka padri itu hendak menyerang.
"Apakah padri itu hendak
menyerang kita?” Tanya A Ci.
"Belum, entah dia mau
apa?” sahut Goan-ci.
Dan sesudah geraki belati itu
beberapa kali, kemudian padri itu membuang belati itu ketanah.
"Eh, kiranya Taysu tidak
sudi, ya sudah kuambil kembali saja,” kata Goan-ci sambil melangkah maju untuk
menjemput belati itu.
Kebetulan belati itu jatuh
dekat kitab Ih kin keng yang tadi ikut jatuh ketanah, maka Goan-ci lantas
sekalian menjemputnya kembali.
Tapi mendadak terdengar padri
itu berteriak aneh, sebelum Goan-ci tahu apa yang terjadi, mendadak tangannya
kena dipegang padri itu dengan kencang sehingga belati dan Ih kin keng yang
sudah diambilnya itu jatuh pula
ketanah.
Tanpa menghiraukan belati itu
, padri itu terus jemput Ih kin keng.
Goan-ci terkejut, cepat
serunya, "Heh, taysu, tidak boleh ambil kitab itu!”
Berbareng ia meronta sekuatnya
sehingga terlepas dari cekalan padri itu sekalian ia terus mendorong pundak
orang.
Yang dipikir padri itu adalah
menjemput Ih kin keng, maka ia tidak sempat menghindarkan dorongan Goan-ci itu.
Kebetulan dorongan itu mengenai Koh cing hiat dipundaknya, mendadak saja padri
itu berteriak aneh sekali terus mencelat bagai terbang.
Karuan Goan-ci tercengang, ia
sangka ginkang padri ini benar-benar sangat hebat.
Ketika ia perhatikan lebih
jauh, ia lihat padri itu terpental belasan meter jauhnya, baru turun ketanah,
malahan diatas tanah padri itu masih berjumpalitan lagi beberapa kali.
Goan-ci menjulurkan lidah
melihat ketangkasan padri itu, cepat ia jemput kembali belatinya dan siap
melawan orang.
Tak terduga sesudah dapat
berdiri kembali, padri itu Cuma melotot saja kepada Goan-ci, lalu ia merogoh
keluar serulingnya dan ditiup beberapa kali.
Mndengar suara seruling, kedua
ekor ular yang tadinya mengesot ditanah mendadak mengangkat kepalanya dan
menggoyang ekor terus menerjang maju dengan cepat.
Keruan Goan-ci terkejut, cepat
serunya, "A Ci lekas lari!”
"Ada apa?” A Ci kaget
juga.
Goan-ci tidak sempat
menerangkan lagi, sedangkan kedua ekor itu sudah merayap tiba.
Meski dia biasa main ular,
tapi terhadap ular sebesar itu ia menjadi bingung juga, terpaksa ia hanya
pegang tangan A Ci sambil menahan napas.
Anehnya ketika ular-ular itu
kira-kira dua tiga meter didepan Goan-ci, ia dengar suara seruling yang ditiup
padri itu makin lama makin melengking tajam, malahan sambil meniup seruling,
padri itu pun menari-nari, keringat tampak memenuhi jidatnya, suatu tanda
sedang mengerahkan tenaga untuk mendesak ularnya agar menyerang, tapi celaka
baginya, kedua ekor ular itu tetap meringkuk saja dan tak mau bergerak.
Suara seruling itu makin lama
makin keras dan tinggi, sampai akhirnya….
"Prak!”
Mendadak seruling itu pecah
menjadi dua belah. Wajah padri itu tampak berubah pucat, cepat ia kabur dan
menghilang dibalik lembah sana.
"Bagaimana?” Tanya A Ci
cepat.
"Padri itu sudah lari,
tapi kedua ekor ular raksasa masih meringkuk disini tanpa bergerak,” sahut
Goan-ci.
"Wah, tentu mereka takut
padamu, agaknya mereka sudah kenal maksud manusia, coba kau dekati mereka untuk
melihat bagaimana reaksinya?”
"Men………….mendekati
mereka?” Goan-ci menegas dengan kuatir.
"Ya, apa kau takut?”
Tanya A Ci.
Mendadak Goan-ci membusungkan
dada, sahutnya, "sudah tentu tidak…….tidak takut.”
Tapi melihat kedua ekor ular
yang luar biasa besarnya itu, mau tidak mau ia merasa ngeri juga.
Dengan perlahan akhirnya ia
mendekati ular-ular itu, ia pentang tangan dan beraksi hendak menyerang sambil
mulut mendesis-desis.
Namun kedua ular itu meringkuk
semakin erat, tampaknya sangat ketakutan.
"Bagaimana, apa mereka
mau tunduk pada perintahmu?” Tanya A Ci pula.
"Tampaknya kedua ekor
ular ini kurang cerdik, rasanya tidak berguna untuk ditaklukan,” ujar Goan-ci.
"Habis bagaimana, kuda
kita sudah mati, tanpa kedua ekor ular ini cara bagaimana kita melanjutkan
perjalanan?” omel A Ci.
Terpaksa Goan-ci menjawab,
"Baiklah, akan kucoba lagi!”
Lalu perlahan ia mengulur
tangan kedepan hendak meraba kepala ular.
Melihat kepala ular menunduk
ditanah sambil menjulurkan lidah, kembali Goan-ci ragu dan takut.
Dan selagi ia hendak menarik
kembali tangannya, tiba-tiba kedua ular itu meloncat keatas terus memanggut
lengannya.
Kontan saja Goan-ci menjerit.
Keruan A Ci ikut kaget,
"Ada apa?” tanyanya cepat.
"Aku……..aku digigit
ular!” seru Goan-ci sambil meringis. Ia sangka jiwanya pasti akan melayang
sehingga suara pun terasa lemas.
Namun kedua ular itu lantas
melepaskan gigitannya, dengan cepat terus merayap pergi dan melilit erat pada
suatu batang pohon besar.
Makin lama kain keras
lilitannya, hanya sekejap saja terdengarlah suara…
"Pletak! Pletok!” perut
kedua ular raksasa itu pecah dan darah memenuhi tanah disekitar pohon.
Dengan mata terbelalak Goan-ci
memandang bangkai ular-ular itu, hampir-hampir ia mengira didalam mimpi.
Dalam pada itu, A Ci berseru
pula, "Ong kongcu, bagaimana keadaanmu?”
Goan-ci coba angkat lengannya
yang digigit ular itu dan digerak-gerakkan, tapi tidak terasa sakit, hanya
tempat yang digigit itu terdapat dua baris bekas gigitan.
Maka jawabnya, "Aku tidak
apa-apa.”
"Dan bagaimana kedua ekor
ular itu?” Tanya A Ci pula.
"Sudah mati,” sahut
Goan-ci.
"Aaai….mengapa kaubunuh
ular itu?” Tanya pula A Ci
"Aku tidak membunuhnya,
tapi mereka mati sendiri,” sahut Goan-ci.
Biarpun A Ci sangat pintar
juga tidak dapat mengetahui sebenarnya apa yang menyebabkan kematian ular-ular
itu, maka ia hanya menghela napas dan menyatakan rasa sayangnya.
Kiranya unsur racun yang
terhimpun dalam tubuh Goan-ci itu jauh lebih lihai daripada ular-ular berbisa
itu, maka begitu ular-ular itu mengigit Goan-ci, darah berbisa dibadan Goan-ci
itu berbalik membinasakan mereka malah.
Ketika Goan-ci memandang
kedepan, tiba-tiba dilihatnya ada lagi dua ekor ular yang lain sedang mrayap
tiba, ia tersenyum getir dan berkata, "Tidak perlu menyesal A Ci, ada dua
ekor ular lain yang sedang mendatangi pula, malahan lebih besar daripada tadi.”
"Hah…apa juga dapat
dipakai sebagai kendaraan?” seru A Ci dengan girang.
"Ya” sahut Goan-ci,
"malahan kedua ekor ular ini jauhlebih aneh, ekor mereka terlibat menjadi
satu dan diatasnya duduk seorang padri asing.”
"Wah, apa betul!” seru A
Ci sambil bertepuk tangan.
"Buat apa aku dustaimu,”
sahut Goan-ci.
Cepat sekali kedua ekor ular
itu sudah merayap tiba. Waktu Goan-ci memperhatikan padri yang duduk diatas
seekor ular, ia lihat usianya sudah sangat tua, mukanya penuh keriput, tapi
sinar matanya tajam.
Goan-ci tahu tidak mungkin
lagi untuk melarikan diri, terpaksa ia berdiri disitu dengan harapan akan
selamat lagi seperti tadi.
Tiba-tiba A Ci berseru,
"Heh padri! Apakah kamu mewakili kawanmu tadi hendak member ganti kerugian
binatang tunggangan kepada kami?”
Padri itu memandang bangkai
ular dengan air muka terkejut, lalu membuka suara dan ternyata sangat fasih
berbahasa tionghoa, katanya,”Apa kalian datang dari Siau lim si?”
A Ci merasa senang mendengar
padri itu mahir bahasa Tionghoa, sahutnya cepat, "Ai mengapa jawabmu
menyimpang seribu derajat? Aku Tanya apakah kau datang untuk mengganti kuda
kami yang mati digigit ular kalian itu?”
Tapi jawaban padri itu tetap
menyimpang,
"Yang manakah diantara
kalian yang diminta tolong oleh Polo Singh Sute?”
Goan-ci terperanjat, tanpa
terasa ia tanya, "Apakah engkau ini suhengnya Polo Singh?”
"Benar, namaku Cilo
Singh,” sahut padri itu.
"Apakah engkau yang
dimintai tolong oleh suteku itu? Jika begitu barang yang dia minta agar kau
sampaikan kepada kami itu boleh kau serahkan padaku saja.”
Jilid 58
"Ong kongcu, apakah Cilo
Singh ini orang gila?” seru A Ci dengan kurang senang karena orang bicara tak
keruan juntrungannya.
Sebaliknya Goan-ci sudah
kenyang merasakan siksaan Polo Singh di Siau lim si dahulu, ia tahu ilmu
silatnya sangat tinggi sekarang diketahui padri ini adalah Suheng Polo Singh,
keruan ia tambah keder sehingga lupa bahwa A Ci sudah buta, berulang ia goyang
tangan memberi tanda agar A Ci jangan bersuara. Lalu katanya, "Taysu ini
tentu salah paham, aku tidak datang dari Siau lim si, juga tidak pernah
melihat……melihat Polo Singh segala.”
Cilo Singh mengunjuk rasa
tidak percaya, katanya, "Habis, mengapa tadi kausebut nama Polo Singh ?
Dan kitab Ih kin keng berbahasa sansekerta yang merupakan pusaka Siau lim si
itu, mengapa bisa berada padamu?”
Pada hakikatnya Goan-ci tidak
tahu buku yang jatuh dari saku Siau Hong dan ditemukannya itu buku apa,
jangankan nama Ih kin keng segala, maka jawabnya, "Ah, tentu Taysu salah paham.”
Cilo Singh tampak mulai
aseran, katanya, "Apa kauingin mengangkangi Ih kin keng itu? Jika
demikian, jangan kau salahkan aku main kasar, ya?”
Goan-ci menjadi gugup,
sahutnya, "Bilakah aku mempunyai Ih kin keng segala? Ini, yang ada padaku
hanya barang-barang seperti ini saja!”
Lalu ia keluarkan seluruh isi
saku dan ditunjukkan kepada padri itu. Tapi terang kitab Ih kin keng dalam
tulisan sansekerta itu pun terdapat diantaranya.
Cilo Singh menjadi girang,
pikirnya, "Waktu Sute menyerahkan kitab pusaka ini kepada bocah ini, tentu
tidak pernah menerangkan apa-apa padanya, maka bocah ini tidak tahu seluk beluk
tentang Ih kin keng ini.”
Segera ia meloncat maju
kedepan Goan-ci.
Sebaliknya Goan-ci berkata
lagi, "Coba lihat milikku hanya ini saja. Belati ini memang sangat tajam,
jika Taysu suka boleh…..”
Tiba-tiba A Ci mengikik tawa.
Ia pikir padri asing ini pasti juga takkan terhindar daripada kekalahan, sebab
itulah ia tertawa.
Sebaliknya Goan-ci sedang
kelabakan menghadapi Cilo Singh, ia tidak paham mengapa A Ci tertawa, maka ia
hanya berdiri tertegun ditempatnya.
Sementara itu Cilo Singh sudah
mendekat, matanya menatap belati di tangan Goan-ci itu dan berkata, "Ai…
benar-benar sebuah senjata pusaka yang hebat, apakah sicu sudi memberikan
padaku?”
"Senjata ini memang juga
pemberian orang lain, silahkan Taysu ambil saja,” ujar Goan-ci.
Maka pelahan Cilo Singh
mengulurkan tangannya, tampaknya belati itu akan dipegangnya, tapi mendadak
tangannya membelok kesamping sehingga kitab Ih kin keng yang dipegang Goan-ci
pada tangan lain yang disambarnya.
Perubahan gerakan Cilo Singh
ini teramat cepat sehingga tahu-tahu Ih kin keng itu sudah kena direbut
olehnya.
Keruan Goan-ci tercengang,
cepat ia berseru, "He…tidak boleh, tidak boleh! Buku kecil itu akan kupakai
sendiri.”
Dari pengalamannya sejak
berada di kotaraja negeri Liau, beberapa kali Goan-ci lolos dari cengkeraman
maut berkat ajaran gambar dalam Ih kin keng itu, maka sudah tentu ia tidak mau
kitab itu direbut orang dengan begitu saja.
Namun Cilo Singh sudah lantas
melompat mundur, sahutnya, "Kau mau pakai, aku pun hendak memakainya.”
Goan-ci sudah kenyang dianiaya
dan didamprat orang, demi mendengar jawaban padri itu, ia tertegun, terpaksa ia
berkata, "Tapi…..tapi mana boleh begitu? Kau rebut barangku dengan cara
sewenang-wenang, hal ini mana boleh?”
”Ong kongcu, barang apa yang
direbut olehnya?” Tanya A Ci tiba-tiba.
"Ooo…hanya sejilid buku
kecil saja, yaitu…..”
"Masakah kau tinggal diam
barangmu direbut padri setan itu?” potong A Ci dengan mendongkol dan heran
pula.
Tapi Goan-ci sekali-kali tidak
berani melawan Cilo Singh, ia lihat padri itu sedang membalik-balik halaman
kecil itu, wajahnya menampilkan rasa girang. Maka dengan lagak seorang
dermawan, segera Goan-ci berkata, "Ya sudahlah, toh buku itu bukan sesuatu
barang penting, jika kau mau boleh ambil saja.”
Tiba-tiba A Ci menggentak
kaki, katanya, "Ai, kamu ini sungguh sangat aneh, ilmu silatmu begini
tinggi, tapi diam saja meski barangmu dirampas orang!”
Mendadak hati Goan-ci
tergerak. Diam-diam ia heran mengapa A Ci, Hong Po ok, Pau Put tong dan
lain-lain sama mengatakan ilmu silatnya sangat tinggi, apa yang mereka katakana
itu tidak mungkin benar, tapi bila teringat pada apa yang dilakukannya paling
akhir ini selalu berhasil, setiap tindakannya selalu menguntungkan dirinya,
jangan-jangan Tuhan menaruh belas kasihan padaku sehingga diriku benar-benar
telah diberkati dengan ilmu silat yang maha tinggi?
Betapapun Goan-ci bukanlah
anak dungu, meski pengalamannya selama ini membuatnya bingung, tapi akhirnya
toh terpikir juga akan kemungkinan seperti apa yang dikatakan orang-orang atas
ilmu silatnya itu.
Maka dengan membusungkan dada
segera ia berkata, "Benar A Ci, memang tepat katamu, biarlah kurebut
kembali barangku itu.”
Lalu dengan langkah lebar ia
mendekati Cilo Singh.
Ketika mendadak Cilo Singh
mengangkat kepala dan memandang dengan sorot mata yang bersinar tajam, kembali
Goan-ci merasa jeri lagi, ia coba menunjuk Ih kin keng ditangan padri itu dan
berkata, "buku itu tidak boleh diberikan padamu, nah, kembalikan padaku!”
"Jika demikian, ambillah
kembali!” sahut Cilo Singh.
Goan-ci menjadi girang dan
segera hendak mengambil kitab itu. Tak disangka baru saja tangan diangsurkan,
tahu-tahu tangan kanan Cilo Singh ditarik sedikit sehingga tangan Goan-ci
memegang tempat kosong. Berbareng itu tangan kiri Cilo Singh seperti bisa mulur
belasan senti lebih panjang dan tahu-tahu punggung
Goan-ci kena digebuk sekali
dengan keras.
Karena tidak berjaga-jaga,
hantaman Cilo Singh itu membuat Goan-ci terjungkal kedepan sejauh beberapa
meter, darah serasa bergolak dalam rongga dadanya.
Mendengar ada orang terkena
pukulan dan kemudian terjungkal jatuh, A Ci mengira setiap orang pasti tidak
tahan digebuk oleh "Ong Sing thian”, maka dengan bertepuk tangan ia
berseru girang, "Wah, Ong kongcu benar-benar sangat hebat!”
Sudah tentu Goan-ci hanya
menyengir saja atas pujian itu. Ia merangkak bangun dan merasa menyesal telah
sembarangan turun tangan. Tadi nya ia sangka diri sendiri memiliki ilmu silat
yang tinggi seperti dikatakan A Ci dan lain-lain, siapa tahu sekali maju lantas
telan pil pahit sehingga membuatnya kehilangan kepercayaan atas diri sendiri.
Ia tidak tahu bahwa
lweekangnya sekarang sama sekali tidak dibawah Cilo Singh, soalnya ia tidak
tahu cara bagaimana harus menggunakannya untuk melawan musuh, makanya tidak
berhasil merebut kembali kitab pusaka, sebaliknya malah kena digebuk sekali
oleh "Thong Pi kang” ilmu tangan panjang Cilo Singh.
Waktu ia pandang pula padri
itu, ia lihat Cilo Singh sedang memandang A Ci dengan sinar mata
keheranheranan, ia tambah gugup, kuatir Cilo Singh mengatakan dirinya kena
digebuk dan terjungkal, hal ini tentu akan sangat mengecewakan A Ci.
Sebab itulah maka berulang
Goan-ci menggoyang-goyang tangan sambil mendekati Cilo Singh, katanya dengan
suara keras, "Ya, sudah tentu, sekali aku turun tangan, mana dia tahan?”
Sebaliknya Cilo Singh jadi
melongo, sebab saat itu Goan-ci sedang memberi hormat padanya sambil memberi
tanda agar dia jangan bersuara.
Maka terdengar A Ci bertanya
pula, "Apakah barangmu sudah kau rebut kembali?”
"Sudah tentu,” sahut
Goan-ci cepat.
Tapi Cilo Singh mendadak
acungkan Ih kin keng yang dipegangnya itu dan berkata, "Ini……”
Namun cepat Goan-ci memberi
tanda tutup mulut padanya, saking gugupnya hampir saja ia berlutut untuk
memohon. Lalu teriaknya keras-keras, "A Ci, biar kupergi mengejarnya,
kautunggu saja disini dan jangan pergi ya!”
Habis berkata segera Goan-ci
lari ke sana sambil menoleh dan menggapai-gapakan tangan kepada Cilo Singh.
Cilo Singh tahu pasti ada
sesuatu yang ganjil maka tanpa bicara ia pun menyusul ketempat Goan-ci itu.
Sesudah belasan meter ia tidak tahan lagi akan rasa herannya, segera ia buka
suara, "Kamu ini main gila apa?”
"Taysu,” cepat Goan-ci
menjawab dengan tersenyum pahit, "barang yang kau inginkan sudah kau
peroleh, pula engkau sudah gebuk aku satu kali, sekarang apa salahnya kalau
engkau mengalah sedikit kepadaku?”
Cilo Singh memandang sekejap
kearah A Ci, lalu tersenyum penuh kelicikan, katanya, "Ya, pahamlah aku!
Kau ingin nona itu mengira kamu telah mengalahkan aku, betul tidak?”
"Ya, betul,” sahut
Goan-ci, "Jika Taysu suka membantu dalam hal ini, sungguh aku akan sangat
berterima kasih.”
Cilo Singh pikir sejenak, lalu
berkata, "Aku ingin membantumu, tapi kau pun harus membantuku, yaitu
membawaku pergi mencari suteku, Polo Singh.”
Goan-ci terkejut, sahutnya
kemudian, "Tapi ……tapi Polo Singh berada diSiau lim si, mana dapat aku
membawamu kesana?”
"Kamu sudah bertemu
dengan dia , tentu tahu dia berada dimana,” ucapCilo Singh. "Dibiara yang
besar seperti Siau lim si itu, kalau tidak kau beritahukan tempatnya, cara
bagaimana aku dapat menemukan dia?”
Tapi Goan-ci
menggoyang-goyangkan tangan, katanya, "Tidak, tidak bisa, aku tidak berani
pulang ke Siau lim si lagi.”
Mendadak Cilo Singh
menjulurkan tangannya, kelima jarinya mirip kaitan terus mencengkeram pundak
Goanci dengan kencang.
Jika tadi Goan-ci belum
merasakan gebukan, tentu sekarang dia berani meronta dan mungkin malah melawan,
dengan demikian tentu dia
dapat melepaskan diri dari cengkeraman orang dan mungkin juga Cilo Singh bisa
celaka.
Tapi sekarang dia sudah
kehilangan kepercayaan atas diri sendiri sehingga untuk meronta saja tidak
berani, apalagi melawan. Sebaliknya kalau berteriak kuatir didengar A Ci, maka
terpaksa ia hanya memohon saja dengan suara lirih, "Taysu….lepas…..lepas!”
Namun Cilo Singh tidak
mengendurkan cengkeramannya, bahkan diperkeras malah. Dengan demikian ia sangka
Goan-ci akan berteriak kesakitan dan minta ampun. Tak terduga lweekang Goan-ci
secara otomatis lantas mengeluarkan daya perlawanan, kontan suatu arus tenaga
maha kuat menggetar keatas sehingga cengkeramannya hampir terlepas.
Keruan Cilo Singh kaget, tapi
waktu ia pandang muka Goan-ci, ia lihat pemuda tetap mengunjuk rasa kuatir dan
gugup.
Dasar Cilo Singh memang
licin,, segera ia tahu ada sesuatu yang ganjil atas diri pemuda itu, ia berkata
dengansuara perlahan, "Aku akan melepaskanmu jika kamu berjanji akan
membawaku pergi mencari Polo Singh.”
Terpaksa Goan-ci menjawab
dengan tersenyum getir, Baiklah! Tapi aku pun mempunyai suatu syarat.”
"Syarat apa?” Tanya Cilo
Singh.
"Yaitu Taysu tidak boleh
mengatakan aku tidak mahir ilmu silat di depan A Ci.”
Cilo Singh menjadi heran,
katanya, "Kamu tidak bisa silat……O, ya, kamu tidak bisa ilmu silat.”
"Dan Taysu harus
pura-pura sudah kukalahkan danmau ikut ke Siau lim si,” kata Goan-ci pula,
"Jika kau mau memenuhi permintaanku ini, jangankan membawamu mencari Polo
Singh, biar menjadi budakmu juga aku rela.”
"Baiklah aku terima,”
kata Cilo Singh kemudian setelah berpikir cepat, lalu ia lepaskan cekalannya
ata pundak Goan-ci.
"A Ci,” segera Goan-ci
berseru, "Cilo Singh Taysu ini telah…..telah kususul kembali!”
Sudah tentu A Ci tidak tahu
seluk beluk apa yang terjadi, ia sangka hal itu pasti betul, sebab "Ong
kongcu” maha sakti, segala apa tentu dapat dilakukannya dengan baik, maka ia
pun Tanya lebih jauh,”dan dimanakah kedua ekor ular yang dapat dikendarai itu?”
"Masih ada disini,” sahut
Goan-ci, "Dia juga boleh membiarkamu menumpang di atas ular-ular ini,”
sambari berkata ia pun memberi tanda kepada Cilo Singh agar menyatakan setuju.
Maka Cilo Singh mengangguk,
lalu Goan-ci berkata pula, "Cilo Singh Taysu ini cukup kenal gelagat,
dan………….dia tidak mampu melawan aku, maka terima dibawah perintahku.”
Wah bagus!” seru A Ci senang,
"Dan dimanakah ular-ular itu? Coba naikkan aku keatas elor mereka.”
Segera Goan-ci memberi tanda,
dan Cilo Singh lantas bersuit dua kali, lalu kedua ekor ular raksasa itu saling
melilit sehingga bagian ekornya terangkat keatas seperti tempet duduk kereta.
Lalu Goan-ci mengangkat A Ci duduk diatasnya, Tentu saja senang anak dara itu
tak terkatakan dan tertawa terus-menerus.
Melihat A Ci sangat gembira,
diam-diam Goan-ci bersyukur karena akalnya berhasil dengan baik, walaupn untuk
selanjutnya ia harus tunduk kepada perintah orang, tapi sementara ini ia sudah
dapat membuat senang hati A Ci, pula perjalanan ke Siau lim si sangat jauh, di
tengah jalan besar, kemungkinan masih ada kesempatan untuk melarikan diri.
"Kita akan pergi kemana?”
dengan tertawa A Ci tanya.
"Marilah kita pergi ke
Siau lim si saja, mau?” ajak Goan-ci.
Biarpun A Ci adalah anak dara
yang tidak kenal apa artinya takut, tapi Siau lim si adalah pusatnya dunia
persilatan dan tempat suci agama Buddha, ia terkesiap juga demi mendengar
ajakan itu.
"Ada apa pergi ke Siau
lim si?” tanyanya kemudian.
"Menurut Cilo Singh Taysu
ini, katanya dia ada seorangsute terkurung di biara itu, maka…….maka aku
dimintai bantuan agar pergi menolongnya,” tutur Goan-ci.
"Menolong orang ke Siau
lim si, apakah kau yakin akan berhasil?” Tanya A Ci dengan berkerut kening.
"Sudah tentu,” sahut
Goan-ci.
"Jika begitu, ayolah kita
berangkat,” kataA Ci, "Eh, cara bagaimana mengendarai ular ini agar mau
berjalan?”
Segera Cilo Singh bersuit pula
dan kedua ekor ular itu lantasa merayap ke depan.
A Ci merasa kdatangan ular itu
sangat "stabil”!” saking senangnya sampai dia ngakak terus.
Dasar dia memang gadis yang
pintar, maka dalam waktu tiga hari saja, ia sudah paham cara bagaimana
mengendalikan ular-ular itu, baik maju, mundur maupun berhenti atau membelok,
semua itu tidak perlu bantuan Cilo Singh lagi.
Melihat A Ci sangat gembira,
sudah tentu Goan-ci juga sangat senang. Selama dua tiga hari itu sebenarnya banyak
kesempatan untuk melarikan diri. Tapi Goan-ci merasa berat dan yang dijaga
benar-benar oleh Cilo Singh adalah A Ci sehingga Goan-ci tidak dapat kabur.
Jalan yang mereka lalui adalah
jalan kecil dipegunungan yang sepi, tapi terkadang juga ketemu orang. Sedangkan
mereka bertiga mempunyai corak sendiri-sendiri. Cilo Singh bermuka seperti
tengkorak hidup yang lain seorang padri asing yang kurus kering sedangkan A Ci
cantik molek, tapi buta kedua matanya, apalagi duduk di atas ekor ular.
Pemandangan demikian
benar-benar luar biasa, maka orang yang ketemu di tengah jalan kebanyakan lari
terbirit-birit, ada satu dua orang yang lebih tabah juga Cuma menontot saja
dari jauh.
Beberapa kali A Ci minta
Goan-ci membawanya ke kota, maksudnya hendak mengadakan "pawai”
mengendarai ular untuk ditonton orang kota, tapi Goan-ci memberi macam-macam
alasan untuk menolak permintaan anak dara itu.
Kalau orang lain, tentu A Ci
sudah mendampratnya dan tinggal pergi sendiri dengan mengendarai Ularnya. Tapi
terhadap "Ong Sing thian” ini diam-diam sudah bersemi asmaranya, walaupun
beberapa kali ia marahmarah, tapi juga tidak tega untuk tinggal pergi sendiri.
Selama tujuh atau delapan hari
berlalu dengan tiada terjadi apa-apa. Lama-lama A Ci menjadi bosan duduk diatas
ekor ular, terkadang ia pun turun untuk jalan berendeng Goan-ci.
Hari itu sudah dekat magrib,
Goan-ci dan A Ci jalan di depan Cilo Singh bersama ularnya ikut dibelakang,
beberapa kali Goan-ci menoleh dan melihat padri itu kira-kira ketinggalan
belasan meter jauhnya, kalau dia tarik A Ci terus melarikan diri mungkin dapat
lolos, kuatirnya kalau tidak berhasil dan Cilo Singh membongkar gua wasiatnya
tentang pembohongannya kepada A Ci, kan bisa runyam?
Karena itulah ia menjadi ragu
dan sampai tidak terasa ketika ada seorang berpapasan dengan dia. Sebaliknya A
Ci lebih dulu mendengar ada suara tindakan orang lain, lalu ia berhenti dan
berkata, "Ong kongcu, ada orang datang!”
Waktu Goan-ci memandang ke
depan, tertampak seorang hwesio dengan jubah kelabu, muka bercahaya dan sikap
agung berwibawa, walaupun tampaknya pelahan datangnya, tahu-tahu sudah mendekat
dan sekejap saja sudah berselisih lalu disamping mereka.
Sudah beberapa hari A Ci tidak
bertemu dengan orang luar, Cilo Singh itu adalah padri yang tidak suka bicara
pula, A Ci memang lagi kesal, maka cepat ia Tanya pada Goan-ci, "Ong
kongcu, macam apakah dia itu?”
"Seorang padri suci,”
sahut Goan-ci.
"Huh, hanya seorang
hwesio biasa, dari mana kau tahu dia suci dan tidak?” kata A Ci.
Waktu Goan-ci menoleh, ia
lihat padri yang sudah lalu itu juga sedang berpaling untuk memandangnya.
Melihat muka padri yang bercahaya dan agung itu, dengan sendirinya timbul rasa
suka dan kagum Goan-ci, maka cepat ia berkata, "Ya, A Ci, memang benar
seorang padri suci.”
"Coba kau panggil dia,
akan kutanya dia apakah betul dia padri suci atau Cuma hwesio sontoloyo?” ujar
A Ci dengan tertawa.
Keruan Goan-ci terkejut,
katanya, "He, A Ci, Taysu itu tampak sangat agung, mana boleh
mengolok-olok dia?”
Namun A Ci sudah lantas
berteriak, "Hai Toa hwesio, apa kau dengar ucapanku? Apa kamu datang dari
?”
Diam-diam Goan-ci mengeluh dan
tidak sempat mencegah lagi. Cilo Singh yang melihat hwesio itu air mukanya
berubah dan menyapa, "Bilakah Tai lun Beng Ong berkunjung ke negeri tengah
ini?”
Hwesio itu memang Tai lun Beng
Ong alias Cumoti adanya. Karena disapa, segera ia pun menjawab dengan tertawa,
"Ooo, kiranya Cilo Singh Suheng, kenapa engkau juga mengembara kenegeri
Song sini?”
Melihat Cilo Singh begitu
prihatin terhadap hwesio tak dikenal ini, pula menyebutnya sebagai "Tai
lun Beng Ong”, diam-diam Goan-ci pikir orang ini pasti tidak sembarangan asal
usulnya. Karena itu segera ia hendak membawa lari A Ci pada kesempatan kedua
hwesio itu sedang bicara.
Tapi A Ci keburu berkata lagi,
"Eh, Toa hwesio, apakah gelaranmu Tai lun Beng Ong?”
Sejak mula Cumoti tidak pernah
berpaling kearah Cilo Singh, juga tidak pernah menaruh perhatian pada A Ci,
sebaliknya sinar matanya terus menatap tajam atas diri Goan-ci saja.
Goan-ci merinding sendiri karena
dipandang sedemikian rupa, ia menjadi bingung pula.
Segera Cumoti merangkap tangan
member hormat dan menyapa, "numpang Tanya siapakah nama Sicu yang mulia
ini?”
Nyata sekali lihat saja ia
sudah lantas tahu bahwa sinar mata Goan-ci itu sangat luar biasa. Lwekang maha
tinggi, tentu seorang kosen yang jarang diketemukan, Cuma mukanya sedemikian
jelek, makanya ia Tanya. Bahkan pada kedua tangan yang terangkap di depan dada
itu diam-diam telah dikerahkan tenaga dalamnya untuk menyerang ke depan.
Namun lwekang Goan-ci memang
maha tinggi, tenaga dalam Cumoti yang sangat kuat itu ternyata tidak dirasakan
olehnya sama sekali, ia hanya menjawab, "Aku……aku bernama………”
Ia lihat sinar mata orang
berkilat-kilat seakan-akan dapat membaca isi hatinya, maka nama samarannya
sebagai "Ong Sing thian” menjadi tidak berani diucapkan.
"Barangkali Sicu ada
sesuatu yang susah dikatakan, sehingga tidak ingin memberitahukan namamu,
bukan?” Tanya Cumoti pula.
"Ya, boleh……boleh
dikatakan demikian” sahut Goan-ci dengan samar-samar.
Memangnya A Ci sedang
mendongkol karena hwesio yang disebut Tai lun Beng Ong itu tidak gubris
padanya, sekarang dia bertanya kepada Goan-ci maka hati A Ci menjadi senang
lagi, ia pikir pasti potongan Ong Sing thian yang gagah perkasa itu membikin
hwesio itu menjadi gugup sehingga lupa menjawab pertanyaannya tadi.
Demi mendengar Goan-ci enggan
mengatakan namanya,segera ia berseru, "Toahwesio, tuan ini adalah Ong Sing
thian, Ong kongcu, Ciangbunkin Kek lok pai diwilayah barat sana, mungkin
pengalamanmu terlalu cetek, maka tidak kenal dia.”
Cumoti menjadi curiga, meski
dia datang dari negeri Turfan yang jauh, tapi ia cukup kenal setiap aliran dan
golongan dunia persilatan, dahulu malah pernah bergaul dengan Buyung siansing
dan saling tukar pikiran tentang ilmu silat.
Buyung siansing itu adalah
seorang kosen yang aneh, setiap aliran dan golongan persilatan di dunia ini
boleh dikatakan dikenal semua olehnya, tapi tidak pernah menyebut tentang
"Kek lok pai” sedangkan laki-laki bermuka jelek yang berada didepannya
sekarang terang memiliki ilmu silat luar biasa, dengan sendirinya Cumoti ragu
dan curiga.
"Kau bilang Kek lok pai?”
demikian Cumoti menegas pula.
"Nah, betul tidak
kukatakan pengalamanmu terlalu cetek?” ujar A Ci. "Kek lok pai itu adalah
perguruan ciptaan Tat mo locou sendiri. Jika kau datang dari Siau lim si, maka
lekas kau pulang kesana, katakana kepada Ciang bunjin dari Kek lok pai, Ong
Sing thian dan Ciangbunjin dari Sing lok pai, Toan A Ci hendak berkunjung
kesana, suruhlah hwesio disana diap-siap menyambut kedatangan kami dikaki
gunung Siau sit san!”
Sejak A Ci buta dan berada
bersama Goan-ci yang dianggapnya sebagai Ong Sing thian yang maha sakti,
semenjak itu ia lantas hidup dialam khayal yang dianggapnya sebagai kehidupan
nyata, maka setiap tutur katanya sekarang menjadi mirip dengan orang yang maha
kuasa dan tak terkalahkan.
Meski lus pengalaman Cumoti,
untuk sejenak ia menjadi bingung juga mendengar ucapan anak dara itu, kemudian
baru ia Tanya, "Lisicu, lalu Toan A Ci, Ciangbunjin Sing siok pai itu
berada dimana?”
A Ci mengikik tawa, sahutnya,
"Orangnya sebesar ini dan berdiri didepanmu, masakah tidak kaulihat?”
Cumoti tambah curiga mendengar
itu, katanya, "Ooo, kiranya Lisicu sendiri adalah ketua Sing siok pai,
habis Ting Jun jiu itu……”
"Biarlah kuterangkan
padamu agar bisa menambah pengetahuanmu tentang perubahan besar dalam dunia
persilatan pada masa akhir-akhir ini,” kata A Ci. "Ting Jun jiu telah
dikalahkan olehku bersama Ong kongcu, sudah lama dia kehilangan mahkotanya sebagai
ketua Sing siok pai!”
"O, jika demikian, ilmu
silat Ong kongcu ini benar-benar luar biasa,” kata Cumoti sambil mengangguk.
Meski A Ci sengaja mengatakan
bahwa dia sendiri dan Ong kongcu telah mengalahkan Ting Jun jiu, tapi yang
dipuji Cumoti hanya Goan-ci saja, sebab sekali pandang saja ia sudah tahu ilmu
silat A Ci hanya biasa saja, kalau ada yang mampu mengalahkan Sing siok lokoai,
maka orang itu tentu adalah "Ciangbunjin Kek lok pai” ini.
Maka dengan berseri-seri A Ci
mengoceh pula, "Sudah tentu luar biasa, Kau lihat padri yang bernama Cilo
Singh itu bukan? Dia datang dari Thian tok dan pandai menaklukan ular, tapi
hanya sekali gebrak saja, Ong kongcu sudah mengalahkan ia sehingga sepanjang
jalan terpaksa dia menurut segala perintah kami.”
"Kiranya demikian,” kata
Cumoti dengan tersenyum, "Di negeri Thian tok sendiri Cilo Singh sudah
termasuk seorang jag kelas satu, tapi mengapa begini sial, hanya sekali gebrak
saja lantas keok?”
Cilo Singh dapat mendengar
nada Cumoti itu sengaja hendak mengolok-olok padanya, masakah dia yang malah
diputar balikkan oleh A Ci, kalau Cumoti nanti menyiarkannya kepada orang lain
pula, maka pamor Cilo Singh bisa hilang habis-habisan, apalagi Turfan
berdekatan dengan Thian tok, kalau berita kekalahannya sampai di negeri asalnya
itu dia akan kehilangan muka.
Saking gusarnya Cilo Singh
tidak hiraukan lagi janjinya kepada Goan-ci yang minta dia pura-pura mengaku di
kalahkan olehnya,dengan tertawa dingin ia lantas menjawab.’’Hehe,memangnya
sekali gebrak saja aku sudah dikalahkan Ong-kongcu itu!’’
"Ya, paling-paling juga
Cuma dua kali gebrak masakah kau sanggup bertahan sampai tiga kali gebrak?”
ujar A Ci.
Keruan yang kelabakan adalah
Goan-ci sehingga berkeringat, serunya, "A Ci, sudahlah jangan bicara
lagi.”
"Tidak bisa, padri ini
suka plintat-plintut, harus kau beri pelajaran lagi padanya,” kata A Ci.
"Memberi…….memberi
hajaran?” Goan-ci komat-kamit sendiri.
Dan belum lagi A Ci buka suara
lagi, disebelah lain Cilo Singh sudah lantas menjengek, "Hm, nona cilik,
hendaknya jangan mimpi disiang bolong lagi. Ketika dia bertarung denganku,
hanya sekali gebrak saja sudah terjungkal! Tapi dia kuatirdiketahui olehmu,
maka aku diminta pura-pura dikalahkan oleh dia. Hm, cara bagaimana ia berani
lagi member hajaran padaku?
Mendengar Cilo Singh telah
membongkar rahasianya, diam-diam Goan-ci mengeluh, "Wah, celaka! Tamatlah
riwayatku!”
Seketika kaki terasa lemas,
dan jatuh duduk di atas tanah.
Sebaliknya A Ci mencibir dan
menjawab Cilo Singh, "Huh, kau sendirilah yang mimpi di siang bolong! Kamu
ini kutu apa sehingga mampu mengalahkan Ong kongcu dalam sekali gebrak? Dan
buat apa dia mesti minta kamu pura-pura kalah apa segala?”
Cumoti juga tidak mempercayai
uraian Cilo Singh itu, segera ia pun berkata, "Cilo Singh suheng, orang
beragama tidak boleh berdusta!”
Cilo Singh tertawa dingin,
katanya, "Jika aku dapat menangkapnya, tentu Ben gong akan percaya bukan?”
A Ci menjadi gusar, serunya,
"Ong kongcu,padri ini terlalu kurang ajar, harus kau hajar adat padanya!”
Tapi kepala Goan-ci serasa
mendengung-dengung, terhadap ucapan A Ci itu sudah tentu sukar menjawab. Ia
sadar meski sementara ini A Ci belum lagi percaya kepada cerita Cilo Singh itu,
tapi sebentar lagi bila Cilo Singh dapat menangkapnya, tentu anak dara itu akan
percaya dan segala kebohongan yang dikarangnya secara indah dan muluk-muluk
pasti juga akan terbongkar.
Begitulah, maka Goan-ci Cuma
termangu-mangu duduk diatas tanah, sampai Cilo Singhsudah mendekatinya juga dia
tidak tahu.
Melihat Cilo Singh sudah
hampir turun tangan segera Cumoti melangkah maju dan berkata, "Nanti dulu,
ilmu silat Ong sicu ini sangat tinggi, masakah Hud heng (saudara dalam Buddha)
tidak dapat melihatnya?”
Sudah tentu Cilo Singh juga
dapat melihat itu, tapi ia memang benar sekali hantam saja pernah membuat
Goanci terjungkal. Sebab itulah ia menjawab dengan mendengus, "Hm, biarpun
ilmu silatnya tinggi, tetap tidak melebihiku.”
Mestinya Cumoti hendak bicara
lagi, tapi ia lantas ganti pikiran dan mengundurkan diri.
Segera Cilo Singh membentak,
"Ayo bangun dan bergebrak denganku!”
Tapi Goan-ci Cuma menunduk
saja dan badan agak gemetar.
"Ong kongcu tidak perlu
berdiri untuk bergebrak denganmu,” segera A Ci berseru, "biarpun duduk
juga dia akan dapat merobohkanmu dengan sangat mudah.”
Cilo Singh tertawa dingin
beberapa kali, mendadak tangannya mencengkeram pundak Goan-ci, kelima jarinya
yang kurus bagai kaitan itu seakan-akan amblas ke dalam daging Goan-ci. Tapi
lwekang Goan-ci teramat tinggi sehingga tidak merasa sakit.
Waktu Cilo Singh angkat
tangannya, seketika Goan-ci kena diangkat ke atas.
"Lepas Taysu, lepas!”
cepat Goan-ci memohon.
"Hm” jengek Cilo Singh,
"Nah, katakana lekas, kamu yang menang atau aku yang menang?”
Tenggorokan Goan-ci terasa
kering dan tersumbat. Ketika ia berpaling kea rah A Ci, sekilas dilihatnya anak
dara itu sedang menantikan jawaban dengan rasa cemas dan tidak sabar. Goan-ci
pikir ada baiknya juga rasa kecewa A Ci itu ditunda barang sebentar saja. Maka
dengan suara keras ia menjawab, "sudah tentu kamu yang dikalahkan olehku.”
Cilo Singh menjadi murka, ia
angkat tangannya lebih tinggi lagi.
Sebenarnya tubuh Cilo Singh
tidak lebih tinggi daripada Goan-ci, tapi ia mahir "Thong pi kang”, tangan
lain mengkeret makin pendek, sebaliknya tangan yang mengangkat Goan-ci itu
mengulur makin panjang sehingga Goan-ci terangkat keatasdan terkatung-katung
dipermukaan bumi.
"Nah, bagaimana?” Tanya
Cilo Singh pula dengan mengekek tawa aneh.
Air muka A Ci tampak mulai
sangsi, serunya, "Ong kongcu, bagaimana dirimu?”
Sungguh perasaan Goan-ci
sangat sedih, ia pikir tidak dapat bohong lagi, maka dengan tersenyumgetir ia
menjawab, "A Ci, biarlah kukatakan terus terang padamu, aku sebenarnya……”
Belum selesai ucapannya,
tiba-tiba air muka A Ci tampak berubah hebat. Melihat itu, mendadak Goan-ci
berhenti bicara.
Maka dengan suara gemetar A Ci
bertanya, "Sebe…….sebenarnya kenapa?”
Tiba-tiba Goan-ci ganti haluan
dan menjawab, "aku sebenarnya sedang mempermainkan dia. Coba kau pikir,
sedangkan Ting Jun jiu saja bukan …..bukan tandinganku, apalagi Cuma seorang
padri asing, masakah aku takut?”
A Ci tidak dapat melihat
keadaan Goan-ci yang terkatung-katung di udara itu, maka ia tertawa senang demi
mendengar jawaban itu.
Cumoti juga sangat heran
karena selama ini Goan-ci tetap tidak bisa menyerang. Ia pun mengira apa yang
dkatakan Goan-ci untuk sekadar menghibur A Ci itu memang sungguhan, maka
katanya, "Ong kongcu memang orang yang kocak dan suka berkelakar.”
Tergeraklah hati Goan-ci,
tiba-tibaia pikir Tai lun Beng Ong ini tampaknya pasti seorang jago kelas
wahid, mungkin dia akan dapat menolong diriku.
Maka cepat sahutnya, "Eh
Taysu…kalau menurut pendapatmu, cara…..cara agaimanakah aku harus bertindak
agar bisa mengatasi dia?”
"Buat apa mesti kau Tanya
orang lain?” sela A Ci.
"Aku sengaja hendak
menguji sampai dimana pengetahuan ilmu silat Taysu ini,” jar Goan-ci.
"Ooo…kiranya demikian,”
kata A Ci dengan tertawa.
Seketika Cumoti juga tidak
tahu benar atau tidak ucapan Goan-ci itu, aka dengan tersenyum, ia menjawab,
"Jika kau hantam Siau-hai-hiat, mau tak mau dia terpaksa harus
melepaskanmu.”
"Tapi terletak di manakah
‘Siau hai hiat’ itu?” Tanya Goan-ci pula.
Cumoti mengira Goan-ci sedang
mengujinya, tanpa pikir ia pun menjawab lagi, "terletak sedikit di bawah
‘Leng to hiat’ dan sedikit di atas ‘Jing leng hiat’”
Keruan Goan-ci menjadi
kelabakan, dahulu ia pernah belajar mengenali tempat hiat to dengan paman dan
ayahnya, tapi dasar anak bambungan, ia lebih suka main ular dan cari jangkrik
daripada menghapalkan pelajarannya. Sebab itulah ia sudah lupa hiat to manakah
yang bernama Jing leng hiat dan Leng to hiat.
Terpaksa ia Tanya pula,
"Dan terletak dimanakah kedua hiat to itu?”
Tapi sebelum Cumoti menjawab,
segera Cilo Singh menyela dengan suara kurang senang, "Tai lun Beng Ong,
sebenarnya apa maksudmu?”
"Ong sicu ini sedang
menguji kepandaianku, terpaksa mesti kujawab, "sahut Cumoti dengan
tertawa.
"Huh, dia tahu ilmu silat
apa?” jengek Cilo Singh gusar, "Jika dia paham ilmu silat mengapa
tidaktahu bahwa Siau hai hiat itu terletak di lengan?”
Kata-kata Cilo Singh ini
lantas menyadarkan Goan-ci malah sehingga ia mengetahui bahwa hiat to yang
disuruh serang oleh Tai lun Beng Ong ituterletak diatas lengan. Karena Cilo
Singh mencengkeram pundak kanannya sehingga tangan kanannya tidak leluasa bergerak,
terpaksa ia angkat tangan kirinya.
Melihat Goan-ci benar-benar
hendak menghantamnya, Cilo Singh menjadi gusar, mendadak cengkeramannya
diperkeras sehingga jarinya
yang kurus kering itu seakan-akan ambles semua ke dalam pundak Goan-ci.
Tapi Goan-ci tetap seperti
tidak merasakan apa-apa, sebaliknya Cilo Singh lantas merasa pundak orang
timbul suatu daya sedot yang maha kuat, tenaga yang dikerahkannya untuk
mencengkeram itu seakan-akan disedot keluar dari tangannya. Dalam kagetnya
tanpa menunggu hantaman Goan-ci tiba, segera ia angkat tangannya dan Goan-ci
dilemparkan hingga jatuh.
Ketika pukulan Goan-ci
dilontarkan ia sudah terlempar lebih dahulu sejauh belasan meter. Jatuhnya yang
keras itu kalau orang lain tentu tak tahan, tapi Goan-ci anggap seperti tidak
terjadi apa-apa dengan cepat ia merangkak bangun lagi.
"Nah, bagaimana menurut
pendapatmu, Beng ong?” jengek Cilo Singh.
Sebagai seorang cerdas segera
Cumoti dapat melihat tenaga dalam Goan-ci sangat hebat, tapi dalam hal ilmu
silat sejati boleh dikatakan tidak becus sama sekali. Jadi mirip sepotong intan
yang belum digosok sehingga tidak diketahui bahwa batu itu sebenarnya adalah
batu mestika yang jarang terdapat.
Maka ia sengaja menggoyang
kepala dan berkata, "meski dapat kaulemparkan dia, tapi menurut
pendapatku, kalau bukan dia sengaja mengalah, tentu dia sengaja hendak
mempermainkanmu.”
Sebenarnya Goan-ci sedang
lesu, demi mendengar ucapan Tai lun Beng Ong itu, tiba-tiba ia mendapat akal
lagi, cepat serunya, "Ya, memang aku Cuma main-main saja denganmu, tapi
kamu malah anggap sungguhan dan senang setengah mati, hahaha!”
"Hm, jadi sengaja kau
permainkan aku maksudmu?” sahut Cilo Singh, saking gusarnya ia tertawa,
"jika demikian, coba jawab, Ih kin keng yang maha penting ini mengapa bisa
berada di tanganku?”
"He, Ong kongcu,
‘keng-keng’ apa yang dia maksudkan? Bukankah kau bilang sudah direbut kembali?”
seru A Ci.
"Ya, memang sudah kurebut
kembali sejak tadi, jangan kau percaya kepada ocehannya,” sahut Goan-ci cepat.
Cilo Singh jadi naik darah
sehingga tanpa pikir ia keluarkan Ih kin keng dalam tulisan sansekerta itu,
katanya, "jika begitu, habis barang apakah ini?”
Baru saja ia keluarkan kitab
itu, di sebelah lain tubuh Cumoti mendadak seperti melembung belasan sentilebih
besar sehingga lengan bajunya mirip tertiup angin. Tapi dia cukup cerdik,
segera ia tenangkan diri seperti semula sehingga perubahan sikapnya itu tidak
diketahui oleh Cilo Singh.
Sebaliknya Goan-ci menjadi
serba runyam ketika Cilo Singh mengeluarkan Ih kin keng itu. Tapi ia pikir A Ci
toh tidak dapat melihat, asal terus menyangkal saja tentu keadaan masih bisa
dikuasainya.
Maka ia segaja terkekeh-kekeh
beberapa kali, sahutnya, "Hehe…barang apa yang kau pegang itu? Haha…
sungguh menggelikan, benar-benar lucu….hahaha…..haha…..
"Apa kamu sudah buta,
sehingga barangnu sendiri tidak kau kenali lagi?” damprat Cilo Singh dengan
gusar.
"Hud heng,” tiba-tiba
Cumoti menyela, "bolehkah kitab itu kupinjam lihat sebentar?”
Waktu bicara, kedua tangan
Cumoti tetap terselubung di tengah lengan bajunya yang longgar, bicaranya
dengan tersenyum-senyum pula sehingga sedikit pun tiada tanda mencurigakan.
Tapi mendadak Cilo Singh
terperanjat demi mendengar nada ucapan Cumoti itu, cepat ia berpaling kearah
Cumoti, demi Nampak air muka orang itu tersenyum-senyum saja dan kedua
tangannya terselip dalam lengan baju, barulah Cilo Singh merasa lega.
Siapa duga pada saat itu juga
tiba-tiba dirasakan ada suatu tenaga halus tapi maha kuat sedang menerjang ke
urat nadi tangan kanannya. Seketika tangan Cilo Singh terasa kesemutan,
cekalannya menjadi kendur, Ih kin keng yang dipegangnya itu mendadak meloncat
keatas.
Segera Cilo Singh sadar kena
diselomoti Tai lun Beng Ong. Sekilas ia lihat Cumoti tetap tersenyum-senyum,
bahkan jubahnya juga tidak bergerak sedikit pun, entah dengan cara bagaimana ia
mengeluarkan tenaga gaib maha maha kuat itu.
Maka cepat Cilo Singh
mengapung ke atas dengan maksud hendak menyambar kembali Ih kin keng itu.
Tapi pada saat tubuhnya
terapung di uadara itulah, kembali tenaga dalam yang halus tapi sangat kuat itu
menyerangnya tanpa bersuara dan tepat mengenai dadanya, ia menjerit sekali
terus terpental. Ia berkaok-kaok murka, "Tai lun Beng Ong, apa maksudmu
ini?”
Tapi Cumoti hanya tersenyum
saja, sekali tangan bergerak, tahu-tahu Ih kin keng itu terbang ke tangannya,
lalu ia berkata, "Ih kin keng ini adalah milik Siau lim si, maka kugunakan
ilmu silat Siau lim si untuk merebutnya kembali.”
Cilo Singh juga bukan tokoh
sembarangan, demi mendengar ucapan Cumoti itu, tiba-tiba ia ingat sesuatu,
katanya segera, "Apakah Bu siang jiat ci?”
Cumoti hanya tersenyum saja
tanpa menjawab.
Keruan Cilo Singh muram dan
lesu, sepatah kata pun tidak anggup bicara lagi.
Baru sekarang Goan-ci yang
mengikuti kejadian itu dapat menghela napas lega, katanya, "Wah,
kepandaian Taysu ini benar-benar maha sakti!”
Padahal ketika Cumoti
menggunakan "Bu siang jiat ci” (jari maut tanpa wujud) tadi sedikitpun
tidak bergerak, tapi tenaga jari itu diam-diam menyambar keluar dari dalam
lengan bajunya.
Sebagai seorang tokoh besar,
sekali omong saja Cilo Singh lantas tahu ilmu yang digunakan Cumoti itu adalah
Bu siang jiat ci, tapi tidak demikian dengan Goan-ci, ia hanya memuji
sekadarnya saja.
Lalu Cumoti menjawab dengan
tersenyum, "Ah, hanya sedikit kepandaian tak berarti, semoga tidak
ditertawakan kaum ahli.”
A Ci tidak dapat melihat. Ia
hanya dengar percakapan ketiga orang itu dan sukar memahami apa sbenarnya yang
terjadi, maka cepat ia bertanya, "Apa yang terjadi Ong kongcu? Apa sudah
bergebrak dengan Toa hwesio itu?”
Belum lagi Goan-ci menjawab,
mendadak Cumoti ulur tangannya untuk menjabat sebelah tangan Goan-ci. Sejak
tadi ia sudah tahu lwekang Goan-ci sangat tinggi, tapi dilihatnya pula Goan-ci
dibanting terjungkal oleh Cilo Singh dengan sangat mudah, hal ini membuatnya
tidak habis mengerti, maka sekarang ia sengaja hendak menjajal sampai dimanakah
sebenarnya lwekang Goan-ci?
Sebaliknya Goan-ci menjadi
tergetar ketika mendadak tangannya digenggam tangan Cumoti, tenaga dingin
dalam tubuhnya otomatis lantas
terhimpun ke telapak tangannya itu.
Seketika Cumoti merasa tenaga
yang dikerahkannya tahu-tahu disedt oleh pihak lawan, keruan ia terkejut dan
cepat lepas tangan.
Keadaan begitu pernah dialami
Cumoti dahulu ketika mengadu tangan dengan Toan ki di Thian liong si Tayli.
Siapa duga hari ini pengalaman itu berulang lagi.
Kalau Toan ki memiliki ilmu
sakti masih dapat dimengerti mengingat keluarga Toan memang dikenal sebagai
keluarga jago silat yang disegani, tapi siapakah gerangan Ong Sing thian yang
berada di depannya sekarang ini, mengapa ilmu silatnya juga sedemikian lihay
dan aneh.
Tampaknya jago-jago muda di
dunia persilatan tionggoan telah "patah tumbuh hilang berganti”, jago tua
hilang lahir jago muda yang lebih sakti, terang harapannya untuk menjagoi dunia
persilatan akan sukar tercapai.
Begitulah Cumoti
termangu-mangu sejenak ditempatnya, kemudian ia tertawa dan menjawab pertanyaan
A Ci tadi, "Lisicu tidak perlu kuatir, akujustru sangat cocok dengan Ong
sicu, masa bisa saling labrak malah?”
A Ci merasa senang, katanya,
"Toa hwesio kamu benar-benar licin, sudah tahu akan mampir melawan Ong
kongcu, lalu kau bicara menurut arah angin.”
"Haha, jika Lisicu adalah
ketua Sing siok pai tentunya juga pernah mendengar namaku yang rendah?” kata
Cumoti dengan tertawa.
"Itu pun bergantung
apakah kamu memang terkenal atau tidak,” ujar A Ci. "Didunia ini jumlah
hwesio sebanyak bulu kucing, ari mana dapat kukenal si anu atau si dia satu
persatu?”
Cumoti tidak marah, ia tetap
tersenyum dan berkata, "siauceng adalah Tai lun Beng Ong Cumoti, Koksu
kerajaan Turfan.”
Mendengar itu, mendadak badan
A Ci bergetar tanpa terasa wajahnya menjadi pucat. Goan-ci terkejut, cepat ia
Tanya, "Ada apa A Ci?”
"Ooo…ti….tidak apa-apa,”
sahut A Ci setelah terkesima sejenak. SEbabnya dia pucat bukanlah karena takut
melainkan karena kegirangan.
Waktu mula-mula ia dengar
namanya "Tai lun Beng Ong”, hal ini tidak berkesan baginya. Tapi demi
mendengar nama "Cumoti, Koksu (imam Negara) kerajaan Turfan”, hal inilah yang
mengguncangkan perasaannya.
Ia pernah dengar Sing siok
lokoai menyebut nama Cumoti dan diketahui adalah jago kelas wahid sekarang,
tokoh semacam Cumoti juga begitu jerinya terhadap Ong Sing thian, maka betapa
bahagia dirinya yang telah dapat berkenalan dengan Ong kongcu yang gagah
perkasa ini, sungguh ia tidak sanggup melukiskannya.
Dengan girang segera A Ci
berkata pula, "O kiranya Cumoti Taysu, tadi aku omong kasar, harap
dimaafkan.”
Sebaliknya Goan-ci mengira
ucapan Cumoti yang menilai tinggi padanya tadi, sengaja hendak menutupi
kepincangannya agar tidak diketahui A Ci, maka Goan-ci merasa sangat berterima
kasih. Segera ia Tanya A Ci dengan suara perlahan, "A Ci, apakah asal-usul
Taysu ini sangat hebat?”
"Sudah tentu,” sahut A
Ci. "Dia adalah orang kosen kalangan Buddha, sudah tentu luar biasa.”
Padahal kalau A Ci memuji
Cumoti, ini berarti juga menaikkan gengsi Ong Sing thian yang dia cintai itu.
Maka Goan-ci lantas member
hormat kepada Cumoti, "Taysu sungguh entah cara bagaimana aku harus berterima
kasih padamu”
TapiCumoti diam-diam saja, ia
hanya member tanda kepada Goan-ci, lalu tunding kearah A Ci.
Maka tahulah Goan-ci bahwa
padri itu telah paham maksudnya, sekarang dia Cuma member isyarat tangan, hal
ini menandakan dia sengaja hendak membantunya agar tidak diketahui A Ci.
Sejak kecil Goan-ci tidak
disukai ayah dan pamannya, ketika terlunta-lunta di kangouw juga kenyang dihina
dan dianiaya orang, tiada seorang pun yang mau memahami dan memperhatikan dia
seperti Cumoti sekarang. Saking terharunya terus saja Goan-ci hendak member
sembah.
Namun lengan jubah Cumoti
telah mengebas, suatu tenaga yang tak kelihatan mengangkatnya bangun,
katanya, "Ong sicu, jika
engkau tidak mencela kepada Siau ceng, marilah kita mengikat persahabatan
saja.”
"He, Taysu, mana….mana
aku berani?” sahut Goan-ci gugup.
"Ong kongcu,” kata A Ci,
"meski Cumoti Taysu adalah Koksu negeri Turfan, tapi nanti bila sudah
sampai Lamkhia di negeri Liau, Cihuku adalah Lam ih Taiong di sana, dengan
sendirinya kedudukanmu nanti juga tidak rendah, maka sekarang kaupun tidak
perlu terlalu merendah diri.”
Cumoti melengak, ia tahu
negeri Liau adalah salah satu negeri yang terkuat pada waktu itu, Lam ih Taiong
adalah perdana menteri yang berkuasa penih, tampaknya nona cilik yang buta ini
bukanlah sembarangan putrid. Maka katanya, "ucapan Lisicu ini memang
betul, harap Ong sicu tidak perlu merendah diri.”
Namun Goan-ci masih
goyang-goyang tangan dan berkata, "Taysu, aku…….”
Tapi mendadak Cumoti sedikit
geraki tangannya, serangkum angin menyambar ke depan sehingga dada Goanci
terasa sesak, untuk bicara menjadi susah.
Malahan lantas terdengar suara
bisikan orang yang sangat halus menyusup telinganya, "jika kamu banyak
omong lagi tentu rahasiamu akan diketahui nona itu. Sekarang aku pun tidak mau
banyak omong denganmu, nanti malam saja antara tengah malam aku akan datang
menemuimu, dan kita akan dapat bicara dengan lebih jelas.”
Berulang Goan-ci mengangguk,
ia lihat A Ci dan Cilo Singh seperti tidak mendengar apa-apa, tahulah Goan-ci
bahwa ucapan Cumoti itu hanya ditujukan padanya seorang saja. Maka ia pun
menjawab, "Baiklah, sudah tentu aku menurut saja.”
Cumoti terbahak-bahak,
katanya, "Sungguh tidak nyana tanpa sengaja dapat berkenalan dengan
seorang ksatria gagah perkasa seperti Ong kongcu sungguh sangat beruntung.”
Sebaliknya Goan-ci juga juga
menjawab dengan setulus hati, "jika dapat berkawan dengan Taysu, tentu
saya juga merasa bahagia.”
Lalu Cumoti berpaling kepada
Cilo Singh yang berdiri diam di samping dengan wajah muram itu, "Hud heng,
kukira Ong kongcu juga tidak perlu padamu lagi, lebih baik permisi kepada Ong
kongcu dan lekas pulang ke Thian tok saja!”
Urusan sudah begini, bukan
saja Cilo Singh tidak dapat menyuruh Goan-ci membawanya pergi mencari Polo
Singh, bahkan Ih kin keng yang mestinya sudah ditemukan itu direbut pula oleh
Cumoti, saking murka dan gemas, akhirnya ia menjadi putus asa, katanya
kemudian, "Baiklah, Ong kongcu, aku akan pulang ke Thian tok saja.”
"Silahkan!” sahut
Goan-ci.
"Dan kedua ekor ular itu
pun boleh kau bawa pulang sekalian, aku tidak perlu lagi. Awas, lain kali
jangan sampai kepergok olehku,” demikian A Ci ikut berkata.
Dengan lesu dan patah semangat
Cilo Singh lantas tinggal pergi kea rah barat dengan membawa kedua ekor
ularnya.
"Sekarang silahkan Ong
kongcu berdua melanjutkan perjalanan, siauceng ada urusan, semoga kelak
berjumpa pula,” kata Cumoti.
Mendengar Cumoti akan pergi,
seketika Goan-ci merasa seperti akan kehilangan sesuatu, tapi demi teringat
tengah malam padri itu akan datang menemuinya, maka iapun menjawab,
"Baiklah, Taysu silahkan!”
Pada waktu berangkat, kembali
Cumoti berpaling dan tersenyum pada Goan-ci, wajahnya yang agung berwibawa itu
membuat orang merasa suka dan hormat pula, sungguh mirip malaikat dewata hidup,
Goan-ci sampai termangu-mangu, sesudah didesak A Ci baru ia sadar, lalu mereka
melanjutkan perjalanan kedepan.
Sambil berjalan Goan-ci merasa
tidak sabar lagi, ia berharap hari lekas gelap dan malam lekas tiba serta lekas
tengah malam.
Waktu mereka bermalam ditengah
jalan, karena letih A Ci lantas tertidur diatas tanah rumput, sebaliknya Goanci
masih mondar-mandir saja sambil terkadang menengadah memandang langit.
Kira-kira dekat tengah malam,
benar juga dilihatnya Cumoti melayang tiba seperti dewa yang turun dari
kahyangan, cepat Goan-ci berlutut member hormat.
Cumoti membangunkannya,
katanya, "kita sudah berkawan, buat apa pakai peradaban seperti ini?”
"Taysu, sekali-kali aku
tidak berani mengharapkan sesuatu yang muluk-muluk, biar pun menjadi budak
Taysu juga aku merasa kurang sesuai,” kata Goan-ci.
Cumoti tersenyum, katanya,
"Jangan bikin nona Toan terjaga, marilah kita menyingkir kesana,” lalu ia
tarik tangan Goan-ci dan diajak pergi.
Dalam perjalanan yang tidak
terlalu jauh itu berturut-turut Goan-ci menggunakan tujuh macam cara yang
berbeda untuk menjajal lwekang Goan-ci, tapi yang dapat disimpulkan adalah
kepandaian Goan-ci mirip dengan "Hoa kang tai hoat” Sing siok pai,
sedangkan tenaga dalamnya sukar dijajaki, pula unsur racun yang maha dingin dan
maha jahat di tubuh Goan-ci itu sudah mencapai tingkatan yang sukar diukur.
Memang maksud Cumoti akan
memperalat kebodohan Goan-ci itu, sekarang tekadnya semakin teguh, sebaliknya
Goan-ci sama sekali tidak tahu.
Tidak lama kemudian, sampailah
mereka di tengah suatu hutan. Disitu lagi-lagi Goan-ci hendak menyembah, tapi
ditahan Cumoti pula.
Dengan sangat Goan-ci memohon,
"Taysu, kepandaianmu begini sakti, engkau sangat baik pula padaku, kalau
engkau tidak terima penghormatanku, bagaimana perasaanku bisa tentram?”
"Sekarang aku Cuma
kawanmu saja,” sahut Cumoti dengan tersenyum, "bila kelak aku ada maksud
menerima mu sebagai murid, tatkala itulah baru boleh kau sembah padaku.”
Mendengar demikian, tanpa
terasa Goan-ci berjingkrak kegiranga. Dahulu ia angkat guru pada Ting Jun jiu
dan merasa bangga mempunyai seorang suhu yang bergaya dewa, tapi berhubung
prsoalan A Ci sehingga hubungannya dengan Ting lokoai menjadi retak, ia memang
ingin mencari guru lain lagi.
Meski batin Cumoti itu sangat
licin dan keji, tapi lahirnya tampak agung sehingga membuat siapa yang
memandangnya tentu timbul rasa kagum dan hormat. Apalagi Ting Jun jiu suka main
kekerasan terhadap Goan-ci, sebaliknya Cumoti mau membantu kesukarannya malah,
yaitu membantunya membohongi A Ci, sebab itulah ia menjadi sangat senang demi
mendengar Cumoti ada kemungkinan akan menerimanya sebagai murid.
Sesudah berjingkrak senang
sebentar, tiba-tiba teringat pula olehnya bahwa Tai lun Beng ong ini adalah
seorang hwesio, kalau dirinya mengangkat dia sebagai guru, bukankah juga akan
cukur rambut dan menjadi hwesio dan hwesio harus masuk kelenteng dan dilarang
kawin, lalu cara bagaimana dirinya dapat berdampingan dengan A Ci untuk
selamanya?
Wah, cialat! Ia menjadi ragu
demi teringat demikian itu.
Rupanya Cumoti dapat meraba
isi hatinya, dengan tersenyum ia berkata, "kelak bila kamu ada maksud
menjadi muridku, maka boleh kuanggap dirimu sebagai muridku dari keluarga
preman.”
Keruan Goan-ci kegirangan
setengah mati, cepat ia menjawab, "Taysu, jika demikian Tecu…..”
"Nanti dulu,” tiba-tiba
Cumoti mengebaskan lengan bajunya sehingga ucapan Goan-ci itu tertahan,
"aku belum menyanggupi untuk menerimamu sebagai murid, mana boleh kamu
mengaku tecu padaku?”
Goan-ci menjadi bingung, ia
garuk-garuk kepala dan telinga dengan serba salah.
"Begini,” ucap Cumoti
lebih lanjut, "bila kamu memang benar ingin menjadi muridku, maka kau
harus berbuat dulu beberapa hal yang bajik, dengan demikian barulah aku dapat
menerimamu.”
"Sudah tentu mau,
silahkan Taysu member petunjuk,” seru Goan-ci cepat.
"Nah, coba dengarkan,”
kata Cumoti dengan
Tersenyum, "Ada seorang
Toa ok jin (Manusia maha jahat), namanya Toan Ki, apakah pernah kau dengar
namanya?”
"Toan Ki, Toan Ki?”
demikian Goan-ci mengulangi dua kali nama itu, lalu menjawab, "Belum,
belum pernah dengar.”
"Lahirnya orang itu
kelihatan sangat alim dan seperti putra seorang bangsawan, tapi sebenarnya
seorang maha jahat, maha busuk. Ketahuilah bahwa Lam hai gok sin, itu si
durjana ketiga dari Su ok adalah muridnya.”
Goan-ci terkejut, sahutnya,
"jadi Toan Ki itu adalah gurunya Gak losam, tentu saja jahatnya bukan
buatan!”
Dasar pengalaman Goan-ci
memang dangkal maka demi mendengar cerita Cumoti secara sepihak dan sengaja
dibesar-besarkan itu ia lantas percaya penuh bahwa Toan Ki memang benar adalah
Toa ok jin yang harus diganyang.
Maka Cumoti meneruskan,
"Nah, kalau kamu ingin mengumpulkan jasa dan berbuat bajik, maka tugasmu
yang pertama harus membasmi Toa ok jin yang bernama Toan Ki itu.”
Kembali Goan-ci terperanjat,
sahutnya, "Taysu jika…..jika Toan Ki adalah Toa ok jin macam begitu, ilmu
silatnya dengan sendirinya juga sangat tinggi, masakah aku…..aku mampu…..”
Sampai disini ia jadi
menggigil dan gigi gemertukan, bicaranya menjadi macet.
"Menurut pendapatmu,
bagaimana dengan kepandaianku?” Tanya Cumoti.
"Kepandaian Taysu maha
sakti, sungguh belum pernah kulihat selama ini,” sahut Goan-ci.
"Nah, baiklah, maka aku
akan mengajarkan sejurus ilmu sakti padamu,” kata Cumoti. "Nanti bila
ketemu Toan Ki, asal kaujabat erat tangannya maka kamu pasti akan dapat
menaklukan dia.”
Sudah tentu Goan-ci masih
ragu-ragu, ia hanya pandang Cumoti dan tidak bicara lagi.
Segera Cumoti berlagak seperti
"dukun klenik” yang sedang beraksi, ia tepuk beberapa kali badan Goan-ci,
katanya, "Nah, sekarang sudah kusalurkan ilmu saktiku ke dalam badanmu,
sebelum ketemu Toan Ki, sama sekali jangan kau jabat tangan dengan siapa pun
juga.”
Goan-ci manggut-manggut tanda
tahu, sahutnya, "Jika demikian, berada dimanakah Toan Ki itu?”
"Besok pagi boleh kau
lanjutkan perjalanan ke timur sana, kira-kira tujuh atau delapan li jauhnya
tentu akan kau temukan dia, "tutur Cumoti. "Dia sedang duduk
termenung sendirian ditengah hutan.”
Goan-ci gosok-gosok telapak
tangan sendiri lalu dipentang dan dipandang, katanya, "Baiklah, besok
pagi-pagi aku lantas berangkat kesana.”
Mlihat tipu muslihatnya sudah
dimakan Goan-ci, segera Cumoti mengundurkan diri, "Sementara ini kita
berpisah dulu, nanti bila usahamu sudah berhasil, tentu aku akan datang
menjengukmu lagi.”
Ia sengaja hendak pamer, maka
begitu selesai berkata, mendadak tubuhnya melayang pergi secepat angin, hanya
sekejap saja orangnya sudah menghilang tanpa bekas.
Di samping kagum tak
terkatakan, Goan-ci juga girang akan mendapat guru maha sakti.
Padahal maksud tujuan Cumoti
adalah lantaran dia pernah kecundang di tangan orang she Toan dari Tayli, untuk
membalas dendam tidak mampu, kini dilihatnya ilmu Goan-ci ini agak mirip dengan
kepandaian Toan Ki itu, bedanya Cuma yang satu keras, maha panas, sebaliknya yang
lain maha dingin dan maha berbisa, sebab itulah ia ingin memperalat kebodohan
Goan-ci untuk melabrak Toan Ki.
Begitulah, maka kemudian
Goan-ci lantas kembali ke tempat semula, pelahan ia mendekati Cumoti, ia lihat
anak dara itu masih tidur sangat nyenyak.
Di bawah sinar bulan dan
bintang yang remang-remang, ia lihat muka yang cantik itu ber tambah
menggiurkan. Dilihatnya pula mulut anak dara itu mengulum senyum, seperti
sedang mengimpikan sesuatu yang menyenangkan.
Goan-ci termangu-mangu
memandangi wajah yang cantik itu, kebetulan angin meniup sehingga rambut A Ci
tersebar dan menutupi mukanya, pelahan Goan-ci membetulkan rambut anak dara
itu.
A Ci seperti berasa, ia
membalik tubuh sedikit, mulutnya bergumam, "Ong kogncu, di dunia
persilatan hanya dikenal Lam Buyung dan Pak Kiau Hong, tapi tiada orang tahu
masih ada seorang Se ek Kek lok Ong (Ong si maha gembira dari benua barat)
seperti dirimu.”
Sudah jelas kata-kata itu Cuma
igauan A Ci saja, tapi Goan-ci merasa nikmat juga mendengarnya. Ia tahu Lam
Buyung dan Pak Kiau Hong adalah tokoh tertinggi di dunia persilatan masa kini,
sekarang kedudukan dirinya dalam pandangan anak dara itu di sejajarkan dengan
kedua tokoh ternama itu, hal ini menandakan betapa cinta A Ci kepadanya.
Pelahan Goan-ci meraba muka
sendiri yang benjal benjol bekas luka itu, ia merasa tiak mengecewakan meski
dirinya telah menyerempet bahaya dan menahan sakit dengan membeset topeng besi
itu. Kelak kalau bisa mengangkat guru pada Tai lun beng ong pula, boleh jadi
dirinya akan dapat belajar ilmu silat maha tinggi, tatkala itu tentu takkan
kuatir lagi rahasianya diketahui A Ci.
Begitulah Goan-ci lantas rebah
di samping A Ci dengan berbantalkan lengan sendiri. Ia terus memandangi wajah
yang cantik ayu itu semalam suntuk tanpa tidur.
Ketika fajar menyingsing,
pelahan barulah A Ci mendusin, ia mengulet kemalas-malasan, lalu bangun duduk.
Lekas Goan-ci menyapa,
"Kamu sudah bangun A Ci?”
Tiba-tiba A Ci bertiarap pula
ke tanah rumput itu, ia pegang tangan Goan-ci katanya, "Aku bermimpi.”
"Mimpi tentang apa?”
Tanya Goan-ci.
"Aku mimpi menyaksikan
pertemuan para jago kelas satu dunia, mereka saling bertanding untuk menentukan
kepandaian masing-masing.”
"Hasilnya bagaimana,
siapa yang jadi juara?” Tanya Goan-ci.
A Ci tertawa, katanya, "Ada
seorang kongcu muda tak terkenal, ia robohkan Lam Buyung dan mengalahkan Pak
Kiau Hong, pada padri Siau lim si tidak ada yang berani maju, Sing siok lokoai
dihajarnya hingga minta ampun. Juara ilmu silat itu tentunya dengan sendirinya
dipegang oleh kongcu muda itu.”
"Siapakah kongcu muda
itu?” Tanya Goan-ci.
Air muka A Ci berubah merah,
ia cubit pelahan tangan Goan-ci, lalu berkata, "ialah engkau sendiri, aaai
dasar linglung!”
Goan-ci benar-benar terlena
dibuai rayuan A Ci itu sehingga untuk sekian lamanya ia tidak anggup bersuara.
Akhirnya terdengar A Ci
terkikik-kikik, katanya pula, "kenapa diam saja? Apa kau rasa tidak dapat
melawan mereka?”
"Sudahlah A Ci, jangan
bicara tentang impian lagi,” cepat Goan-ci menjawab. "tapi hari ini aku
benar-benar hendak pergi melabrak seorang Toa ok jin.”
"Toa ok jin apa?” Tanya A
Ci.
Goan-ci ingat A Ci she Toan,
sedangkan Toan Ki yang hendak dicarinya itu juga she Toan, jangan-jangan nanti
anak dara itu akan kurang senang. Maka ia menjawab, "entah siapa namanya,
yang terang dia adalah seorang maha jahat, maka harus ditumpas. Namun ilmu
silat Toa ok jin itu sangat hebat pula, maka waktu kulabrak dia, paling baik
kamu jangan dekat-dekat.”
"Ya, aku tahu,” sahutA
Ci. "padahal, engkau sudah pasti akan menang, aku mendekat atau melihat
dari jauh juga sama saja.”
"Marilah kita berangkat,”
ajak Goan-ci. Segera ia gandeng tangan A Ci san menuju ke timur.
Kira-kira belasan li jauhnya,
benar juga di depan terdapat hutan lebat. Goan-ci pikir sebentar lagi dirinya
akan bertempur melawan seorang jahat yang ilmu silatnya sangat tinggi, meski
Tai lun beng ong sudah mengajarkan ilmu sakti kepadanya, tapi betapapun ia
tetap merasa jeri.
Diam-diam ia coba periksa
telapak tangan yang akan dipakai menggenggam tangan Toa ok jinn anti. Ia lihat
tangan sendiri toh sama saja seperti sehari-hari dan tidak ada tanda mempunyai
ilmu sakti apa segala. Maka ia tambah kebat-kebit dan tidak tentram.
Sampai diluar hutan, Goan-ci
merasa ragu dan berhenti.
"Apa sudah sampai?” Tanya
A Ci.
"Ya, di sini ada sebuah
heng lim (hutan pohon apricot), konon Toa ok jin itu sembunyi disini, maka
boleh kau tunggu disini saja,” kata Goan-ci.
Sebenarnya A Ci adalah seorang
gadis yang bandel, tapi sekarang ia sangat penurut, sahutnya, "Baiklah,
boleh kau labrak Toa ok jin itu dan aku akan menunggu di sini.”
Sesudah mendudukkan A Ci di
atas sebuah akar pohon, lalu Goan-ci masuk ke hutan yang sangat lebat dan
rindang itu sehingga rasanya sangat dingin dan seram.
Sampai sekian lama Goan-ci
menyusur hutan itu dan tetap tidak menemukan seorang pun. Ia pikir Toan Ki itu
tentu tidak berada di situ lagi, selagi ia hendak putar balik, tiba-tiba
terdengar disebelah timur laut sana ada suara orang menghela napas perlahan.
Goan-ci tercengang, ia coba
mencari kearah suara itu. Sesudah berputar dan membelok beberapa kali, akhirnya
dilihatnya ada seseorang dengan menggendong tangan sedang berdiri di situ
dengan menengadah sambil tiada hentinya berkeluh kesah.
Goan-ci sembunyi di balik
pohon. Ia pikir orang ini mungkin bukan Toan Ki, sebab seorang yang maha jahat
tidak mungkin berada sendirian disini sambil berkeluh kesah.
Mendadak terdengar orang itu
berkomat kamit sendiri, "Nona Ong! Nona Ong! Tahukah dikau ada seorang
sedang rindu dan sedih bagimu?”
Mendengar itu, baru sekarang
Goan-ci tahu bahwa orang ini bahkan adalah seorang yang romantik, tampaknya dia
merindukan seorang nona she Ong, tapi harapannya tak tercapai, makanya berkeluh
kesah, sambil pikir segera Goan-ci melangkah maju.
Cepat orang itu berpaling demi
mendengar suara tindakan Goan-ci. Maka tertampaklah dengan jelas, kiranya orang
ini adalah seorang kongcu muda.
Orang ini bukan lain daripada
Toan Ki adanya. Sebenarnya ia sedang merindukan Ong Giok yan, ketika mendadak
didengarnya ada suara tindakan orang dari belakang, ia kaget dan cepat
berpaling, sebab baru saja kemarin ia ketemu Cumoti, ia kuatir jangan-jangan
akan diserang padri itu dari belakang. Tapi demi Nampak orang yang datang ini
adalah seorang laki-laki bermuka maha jelek, ia jadi terheran-heran pula.
Sebaliknya Goan-ci juga dapat
melihat jelas sikap Toan Ki yang kelihatan linglung itu, tapi usianya masih
muda dan wajahnya cakap, jelas bukan Toa ok jin sebagaimana disangkanya semula.
Sebelum Toan Ki menegurnya,
segera ia mendahului membuka suara, "sebentar lagi ditengah hutan ini akan
terjadi suatu pertempuran dahsyat maka lebih baik saudara lekas pergi dari sini
saja!”
Toan Ki hanya mengiakan sekali
dengan acuh tak acuh dan tetap berdiri di situ.
Maka Goan-ci berkata pula,
"tampaknya saudara bukanlah orang persilatan, daripada nanti tersangkut
dalam pertempuran yang dahsyat, lebih baik lekas pergi saja, carilah suatu
tempat lain jika kamu ingin berkeluh kesah lagi.”
Sebenarnya Toan Ki sangat
benci kepada ilmu silat, sekarang ia sendiri sudah memiliki kungfu maha tinggi,
tapi sifatnya itu masih tetap tidak berubah, maka dengan berkerut kening ia
menjawab, "Kusangka tempat inilah paling aman, tentram dan dapat kugunakan
untuk termenung dengan tenang. Kenapa kalian tidak mencari tempat lain untuk
bertempur?”
"Ada orang berjanji untuk
bertemu dengan aku di tengah hutan ini,” kata Goan-ci.
"Jika begitu, kenapa
saudara sendiri tidak takut?” Tanya Toan Ki. "apa barangkali saudara
sendiri memiliki kepandaian hebat?”
Goan-ci tersenyum getir, sahutnya,
"biarpun aku ingin menghindari juga tidak dapat lagi.”
"Sebab apa?” Tanya Toan
Ki dengan heran.
"Habis aku sendiri adalah
salah satu pihak yang akan bertempur di tengah hutan ini, cara bagaimana aku
boleh pergi?” kata Goan-ci.
Melihat muka orang meski
jeleknya tiada takaran, tapi mempunyai hati nurani yang baik, maka Toan Ki coba
member nasihat, "mumpung belum terjadi, jika sekarang kau mau tinggal
pergi, bukankah pertarungan dahsyat nanti dapat dihindarkan.”
"Tidak bisa,” sahut
Goan-ci. "justru akulah yang hendak melabrak Toa ok jin itu, sebelum
bertemu mana boleh kutinggal pergi?”
Toan Ki tahu urusan permusuhan
di dunia persilatan biasanya sukar dilerai, maka katanya pula sesudah
berpikir sejenak, "Jika
demikian, siapakah Toa ok jin itu?”
"Toa ok jin itu
bernama……ah, lebih baik saudara jangan mengetahuinya, jangan-jangan engkau akan
semaput bila mendengar namanya,” demikian Goan-ci merasa tidak tega
menakut-nakuti kongcu yang lemah lembut ini dengan nama Toa ok jin.
Sama sekali tak terduga
olehnya bahwa orang dihadapannya sekarang ini justru adalah "Toa ok jin”
itu?”
"Aku…..aku tidak tahu,”
sahut Goan-ci dengan bimbang.
Keruan Toan Ki tambah heran
tanyanya, "jika kamu tidak yakin akan dapat mengalahkan Toa ok jin itu,
tapi kau datang juga kesini untuk mencari perkara padanya, masakah di dunia ini
ada orang tolol macam dirimu ini?”
Goan-ci hanya tersenyum getir
saja, sahutnya, "meski aku tidak becus apa-apa, tapi ada seorang padri
sakti pernah menepuk beberapa kali pada badanku dan telah mengajarkan semacam
ilmu sakti padaku, asal aku genggam tangan Toa ok jin itu, segera aku dapat
mengalahkan dia.”
Apa yang dikatakan Goan-ci ini
biarpun dia sendiri juga tidak yakin. Untung Toan Ki juga masih hijau dalam hal
ilmu silat, ia hanya merasa tertarik oleh cerita itu, maka tanyanya pula,
"apakah telapak tanganmu itu terdapat jimat sehingga begitu sakti?”
"Ini lihat, sama saja
seperti biasa,” sahut Goan-ci sambil membuka tangannya.
"Jika demikian, jadi
dalam hatimu sebenarnya kau pun tidak percaya kepada omongan padri itu?” Tanya
Toan Ki.
Tapi Goan-ci tidak menjawab,
ia hanya geleng-geleng kepala , lalu menghela napas dan berkata,
"sudahlah, saudara tidak perlu urus, lekas pergi dari sini saja!”
"Tidak apa, kepandaian
lain aku tidak punya kalau bicara tentang lari, kuyakin tiada seorangpun mampu
memburu aku,” sahut Toan Ki. "maka biarlah aku nanti menonton saja
dipinggir.”
Sebenarnya Toan Ki juga tidak
ingin melihat orang bertempur, soalnya ia lihat Goan-ci adalah seorang yang
jujur, tampaknya pasti tidak
mampu melawan Toa ok jin itu, mana bila perlu ia bermaksud hendak membantunya
dengan menyeretnya melarikan diri.
"apakah saudara tidak
kuatir ikut terembet nanti?” Tanya Goan-ci.
"Tidak, aku tidak kenal
Toa ok jin itu, masakah dia akan mengganggu aku?” sahut Toan Ki.
Melihat orang susah disuruh
pergi, terpaksa Goan-ci tidak banyak omong lagi, ia terus menuju ketengah hutan
lebih jauh. Tapi disana keadaan rindang gelap, meski sudah dicari kesana kemari
tetap tiada seorang pun yang diketemukan.
Diam-diam Goan-ci sangat
heran, ia pikir mungkin Tai lun beng ong salah duga tentu Toa ok jin yang
bernama Toan Ki itu sudah keburu pergi dari situ. Ketika ia hendak putar balik,
tiba-tiba dilihatnya Toan Ki masih mengikuti dibelakangnya.
Sekonyong-konyong hatinya
tergerak, teringat apa yang dikatakan Tai lun beng ong bahwa potongan Toan Ki
itu sangat mirip seorang putra bangsawan dan orang yang berada didepannya
sekarang bukabkah seorang kongcu bangsawan, jangan-jangan inilah dia….
Goan-ci sampai tercengang
memandangi Toan Ki. Selagi ia hendak Tanya namanya, tiba-tiba ia ganti pikiran
lagi, ia merasa bila kongcu lemah lembut seperti ini adalah seorang Toa ok jin,
maka di dunia ini tentu tiada orang baik lagi, buat apa dirinya mesti tanya
pula?
Jilid 59
Tengah Goan Ci bersangsi,
tiba-tiba di luar hutan sana bergema suara orang mengakak tawa, suara tertawa
itu sangat nyaring dan lepas. Menyusul berkumandang pula suara tertawa kaum
wanita, suaranya genit menggiurkan.
Goan Ci lantas teringat kepada
A Ci yang sedang menunggunya di luar hutan itu, kalau ada orang datang, mungkin
akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lagi. Maka cepat ia lari keluar
hutan sana.
Dan baru saja tubuhnya
bergerak, tahu-tahu di sebelahnya angin berkesiur, gerakan Toan Ki ternyata
lebih cepat daripada dia dan tahu-tahu sudah melayang ke depan sana.
Goan Ci terkesiap dan bersuara
kaget, ia pikir orang ternyata memiliki kepandaian setinggi ini. Tapi
dilihatnya pula kelakuan Taan Ki seperti orang kesurupan setan, maka ia jadi
tertegun, sementara itu Toan Ki sudah menghilang dari pandangannya.
Waktu Goan Ci pasang telinga,
ia dengar di luar hutan sana sayup-sayup ada suara orang bicara. Cuma tidak
terdengar jelas. Segera ia pun lari ke sana secepat terbang, hanya sekejap saja
ia sudah berada di luar hutan, ia lihat Toan Ki berdiri di tengah jalan sambil
terlongong-longong memandang ke depan sana.
Waktu Goan Ci celingukan
sekitarnya, ia jadi kelabakan karena A Ci tidak terlihat. Segera ia
berteriak-teriak, "A Ci ... A Ci Dimana kau?”
Sungguh rasa kuatir Goan Ci
sukar dilukiskan demi tidak memperoleh jawaban A Ci, seketika keringat
membasahi tubuhnya dan otot-otot hijau memenuhijidatnya. ia coba perhatikan
Toan Ki dan tanya, "Saudara tadi keluar lebih dulu, apakah kau lihat A Ci?”
Tapi Toan Ki masih menteleng
ke depan padahal dijalan sana keadaan sunyi senyap tiada seorang pun dan entah
apa yang dia pandang.
Sesudah Goan Ci mengulangi
pertanyaannya barulah ia jawab dengan bingung. "Hah, apa? A Ci?”
"Ya, seorang gadis cantik
berbaju ungu, kedua matanya buta, dia takkan pergi jauh dari sini, sahut Goan
Ci.
Apakah kau lihat dia?”.
"Tadi dia sudah pergi!”
kata Toan Ki.
"Pergi kemana?” desak
Goan Ci.
Toan Ki tersenyum getir,
sahutnya, "Ya, dia sudah pergi. Melirik saja tidak padaku, anggapnya dunia
ini seperti tiada seorang aku ini”
Goan Ci menjadi kuatir dan
tambah gopoh, cepat tanyanya pula. "Apa yang kau ocehkan? Dimana A Ci?
Tentu kau lihat dia?”.
Sembari berseru, berulang ia
goyang-goyangkan bahu Toan Ki.
Karena itu barulah Toan Ki
seperti tersadar dari impiannya, dengan kening berkerut ia tanya, "Ada apa
sobat?”
"A Ci Aku mencari A Ci”
seru Goan Ci, saking gugupnya sampai suaranya serak.
"O, kiranya saudaraa
hendak mencari orang, sayang tidak dapat kubantu apa-apa”, sahut Toan Ki.
"Kentut” semprot Goan Ci,
"Baru saja kau bilang melihat dia. Nah lekas katakan, telah kau bawa
kemana dia?”
Sebabnya Toan Ki mendadak lari
keluar hutan tadi adalah karena tiba-tiba mendengar suara tertawa seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang dikenalnya sebagai suara Buyung Hok dan
Ong Giok yan, sebab itulah ia lari keluar seperti kesetanan. Tapi yang dapat
dilihatnya hanya bayangan belakang Ong Giok yan saja, lantaran itu ia menyesal
setengah mati dan merasa kehilangan sesuatu sehingga seperti orang linglung.
Ketika ditanya Goan Ci pada
hakikatnya ia tidak mendengarkan, sebaliknya ia berkeluh kesah akan perasaan
sendiri sekarang di dengarnya Goan Ci berkata, "Baru saja kau bilang
melihat dia”, ia sangka "dia” yang dimaksudkan itu adalah Buyung Hok, maka
kembali angot pula ketolol-tololannya, sahutnya, "Ya, aku memang melihat
dia. Cuma dia tidak melihat aku”.
"Sudah tentu dia tak
dapat melihatmu”, kata Goan Ci cepat.
Yang dimaksudkan Goan Ci
adalah karena A Ci sudah buta, sudah tentu tak bisa melihat.
Maka Toan Ki menghela napas,
katanya, "Dalam hatinya hanya terisi seorang saja, orang lain hanya
terpandang dan tak terlihat olehnya”.
Goan Ci merasa bangga,
sahutnya, "Sudah tentu dalam hatinya hanya terdapat seorang saja”.
Nyata terjadi salah wesel
antara mereka, yang satu maksudkan Ong Giok yan, yang lain A ci, tentu saja
tidak kelop.
Lalu Goan Ci berkata lagi,
"Dan sekarang ke manakah dia?”.
"Entah aku tidak tahu”,
sahut Toan Ki, "Wahai Toan Ki Kemanakah dia pergi, apakah kau tahu?”
Goan Ci berjingkrak kaget demi
mendengar nama Toan Ki disebut. Beruntun ia mundur tiga langkah, hatinya
berdebar-debar, tanyanya, "Kau bilang Toan Ki? sia..siapakah yang bernama
Toan Ki?”
"Aku inilah Toan Ki
sendiri”, sahut Toan Ki.
Keruan Goan Ci tambah kaget,
serunya, "Jadi kau ini..”
Mendadak ia berhenti lalu
menyambung lagi dengan bentakan bengis, "Dimana A Ci? Lekas katakan "
Sebenarnya Goan Ci sudah biasa
dimaki dan dihajar orang, biarpun dipukul mati juga tidak heran. Tapi sekarang
diketahuinya bahwa pemuda dihadapannya ini adalah Toan Ki, ditambah ‘provokasi’
yang telah dicekoki Cumoti, maka ia anggap Toan Ki benar-benar seorang Toa ok
jin, apalagi mendadak A Ci menghilang, hal ini digandengkan dengan kejahatan
sang Toa ok jin pula, maka ia yakin hilangnya A Ci pasti juga permainan Toan
Ki.
Soalnya menyangkut keselamatan
A Ci, dalam keadaan terpaksa pun ia berani menyelamatkan A Ci didepan
hidung Ting jun-jiu, apalagi
sekarang yang dihadapi adalah Toan Ki, si Toa ok jin.
Dalam kadaan gusar, muka Goan
Ci yang babak bandas bekas luka menjadi merah padam, matanya berkilatkilat,
tampaknya sangat seram.
Ketika Toan Ki memandang
sekejap padanya, ia pun terkesiap dan menyurut mundur selangkah, katanya,
"A Ci? A Ci apa?”.
"Eh, masih berlagak pilon?”
damprat Goan Ci dengan gusar.
"Aku tidak tahu tentang A
Ci segala, jangan kau tanya padaku” ujar Toan Ki sambil goyang-goyang kedua
tangannya.
Melihat orang menyangkal, Goan
Ci tambah murka sehingga mukanya yang jelek itu tambah beringas, kedua tangannya
terus diangkat, dengan kaku ia menubruk ke depan. Meski gerak ilmu silatnya
suma biasa saja, tapi mukanya itulah yang menakutkan.
Toan Ki terkejut, cepat ia
keluarkan Leng po wipoh yang aneh, sedikit meluncur segera tubrukan Goan Ci
dapat dihindarkannya.
Dengan tubrukan yang kalap itu
Goan Ci sangka pasti akan kena sasarannya, siapa tahu mendadak lawan meluncur
pergi, sampai ujung bajunya saja tidak tersenggol. Goan Ci tertegun sejenak,
tiba-tiba ia bersuara aneh dan kembali menubruk pula. Cepat Toan Ki berseru,
"Hei sobat, ada urusan apa hendaknya dibicarakan baik-baik”.
"Kembalikan A Ci ku”
teriak Goan Ci dengan suara aneh.
"Aku tidak tahu A Ci itu
apa?” sahut Toan Ki.
"Kentut, baru saja kau
bilang melihat dia semprot” Goan Ci. Tengah bicara, berulang Goan Ci menubruk
beberapa kali.
Meski Toan Ki tidak balas
menyerang namun sama sekali Goan Ci tidak pikirkan lawan itu sebenarnya bukan
Toa ok jin segala, sebaliknya ia sangka ilmu sakti yang diajarkan Tai lun beng
ong padanya teramat lihai
sehingga Toa ok jin tidak
berani melawannya. Maka ia makin dapat hati dan menubruk semakin cepat.
Begitulah yang satu menubruk
dan yang lain menghindar. Kedua orang sama-sama cepat luar biasa. Toan Ki
menjadi kebat-kebit, ia merasa kejadian sekarang ini jauh lebih berbahaya
daripada dahulu waktu ia mempermainkan Lam hai gok sin, untunglah gerak Leng po
wipoh teramat aneh dan bagus sehingga sebegitu jauh Toan Ki selalu dapat
terhindar dari bahaya.
Setelah udak-udakan hampir
setengah jam, tetap Goan Ci tidak mampu memegang Toan Ki, saking nafsunya
sampai matanya merah membara dan menakutkan. Tapi Toan Ki terus tutup mata
malah dan anggap tidak melihat, hanya kakinya saja yang bekerja.
Sembari mengudak Toan Ki,
diam-diam Goan Ci merasa kuatir juga akan keselamatan A Ci, keringat mengucur
deras dari jidatnya bagai air hujan sehingga menghalangi pandangannya, terpaksa
ia mengangkat lengan baju untuk mengusap.
Di luar dugaan, sesudah sekian
lama ia menubruk kian kemari, debu pasir ikut bertebaran dan memenuhi lengan
bajunya, sekali ia mengusap keringat pada mukanya, seketika matanya kelilipan
dan tidak dapat melihat lagi.
Keruan Goan Ci jadi kelabakan,
walaupun soal mata kelilipan hanya sekejap saja sudah dapat disembuhkan, tapi
menghadapi seorang Toa ok jin, kalau mendadak diserang kan bisa celaka. Maka
terpaksa tangannya mencakar-cakar dan di obat-abitkan ke depan.
Tak tersangka permainan secara
ngawur itu justru mendatangkan hasil di luar dugaan. Pada waktu menggunakan
Leng-po-wi-poh yaitu langkah ajaib andalan Toan Ki, jika musuh mengincar
tubuhnya dan menyerang menurut aturan, biarpun berusaha sampai sekarat juga
takkan kena. sebaliknya kalau menyerang secara ngawur dan serabutan, hal ini
justru berbahaya bagi pemain langkah aneh ini.
Sekarang mata Goan Ci kelilipan
sehingga terpaksa ia mencakar dan menjambret sekenanya, tahu-tahu malah Toan Ki
kena dipegangnya.
"Nah, kena dia” seru Goan
Ci dalam hati.
Keruan Toan Ki terkejut,
sekuatnya ia mengebaskan tangannya, "bret” sepotong lengan bajunya terobek
dan pegangan Goan Ci juga terlepas.
Leng-po-wi-poh yang selama ini
menguntungkan itu sekarang mendadak tidak manjur, keruan Toan Ki kaget sehingga
langkahnya sedikit terlambat, sedang lawan terlihat menubruk maju lagi, dalam
gugupnya terpaksa Toan Ki menggeser mundur sedikit dan otomatis kedua tangannya
digunakan menyambut tubrukan orang. Maka terdengarlah suara "plak-plok”
dua kali, empat tangan seketika saling lengket.
Goan Ci masih ingat pesan
Tai-lun-beng-ong, maka segera ia kerahkan tenaga. Tubuh kedua orang pun lantas
terpaku di tempat masing-masing tanpa bergerak lagi.
Pada saat itulah tiba-tiba
Cumoti tampak melayang tiba. Orang pandai seperti dia ini ternyata juga
tercengang demi melihat keadaan kedua orang yang saling dorong dengan kedua
tangan masing-masing mirip dua orang pegulat yang sedang mengukur tenaga.
Tertampak muka Toan Ki merah
membara, badan menguap mirip kuali panas yang baru ditutupnya, sebaliknya
sekujur badan Goan Ci tampak terbungkus oleh selapis salju putih tipis.
Cumoti sangat luas
pengalamannya, tadinya ia cuma mengetahui ilmu yang dimiliki oleh Toan Ki dan
Goan Ci itu yang satu maha keras dan panas sebaliknya yang lain maha dingin dan
maha berbisa, lebih dari itu ia tidak tahu darimana datangnya kedua macam ilmu
silat yang sangat aneh itu.
Sekarang sesudah kedua orang
saling gebrak, ia jadi terperanjat pula demi melihat keadaan panas-dingin
diantara mereka itu.
Sejak Toan Ki makan katak
merah dan tanpa sengaja menggunakan "Cu-hap-sin-kang” untuk menyedot
Iwekang beberapa jago kelas satu, sebenarnya kekuatannya boleh dikatakan tiada
tandingannya lagi di dunia ini. Tapi kebetulan muncul pula seorang Goan Ci yang
telah mengisap racun maha dingin dari ulat sutra es dan memperoleh pula
Ih-kin-keng yang mujizat sehingga berhasil memiliki "Peng-jan-gi-keng”
ilmu ajaib ulat sutra es. Ilmu kedua orang itu justru berlawanan sehingga
sekali gebrak kedua orang benar-benar ketemu tandingan yang sama kuatnya dan
sukar dipisahkan.
Bagi Toan Ki sudah tentu tiada
maksud hendak membikin susah orang, sebaliknya meski Goan Ci ingin merobohkan
Toan Ki, hal ini pun tidak mudahi ia pun tidak tahu cara bagaimana harus
melaksanakan maksudnya itu.
Oleh karena kepandaian kedua
orang sama-sama maha kuat dan hebat, maka begitu tangan saling menempel, secara
otomatis tenaga murni kedua orang lantas dikeluarkan untuk menyerang lawan,
semakin kuat daya tekanan lawan, dengan sendirinya tenaga perlawanan yang
dikeluarkanjuga tambah kuat. sebab itulah sekali gebrak mereka lantas
mengeluarkan tenaga murni masing-masing sepenuhnya sehingga boleh dikata
pertarungan mereka ini adalah pertarungan yang maha dahsyat dan jarang terdapat
di dunia persilatan.
Hanya sebentar saja Cumoti
menyaksikan disamping, terlihat sekujur badan Toan Ki sudah terbungkus oleh uap
panas hingga mirip sebuah anglo, sebaliknya badan Goan Ci juga perlahan
terbungkus oleh selapis es tipis mirip sebuah almari es.
Diam-diam Cumoti sangat senang
karena usahanya mengadu domba kedua orang itu telah berhasil, segera ia
melangkah maju dan angkat tangan hendak melontarkan pukulan kearah Toan Ki.
Tapi belum lagi pukulannya terjadi, tiba-tiba dari belakang terdengar teriakan
orang yang sangat nyaring "Jangan taysu”.
Cepat Cumoti menoleh, ia lihat
di belakangnya sudah berdiri seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kiranya
Buyung Hok dan Ong Giok yan berdua,
"Kenapa jangan?” Tanya
Cumoti.
Seketika Buyung Hok tak bisa
menjawab, sebabnya dia berseru mencegah adalah lantaran rasa sayangnya kepada
kepandaian Toan Ki dan Goan Ci yang luar biasa itu sehingga tanpa terasa ia
mencegah serangan gelap Cumoti itu.
Karena tidak mendapat jawaban,
Cumoti berkata pula. "Dahulu Siau-ceng bersahabat sangat akrab dengan
Buyung siansing, ketika berbicara tentang ilmu pedang di dunia ini. Buyung
siansing menyatakan bahwa Lakmeh-sin-kiam dari Thian-liong-si di Tayli adalah
ilmu pedang nomor satu di dunia ini. cuma sayang beliau tidak pernah
menyaksikan sendiri sehingga hal ini sangat disesalkannya. Tatkala itu aku
berjanji padanya untuk berusaha melaksanakan cita-cita beliau itu. Kini meski
Buyung siansing sudah wafat, tapi tetap harus kutepati janji, biarpun
Lak-meh-sin-kiam-boh (kitab ilmu pedang) sudah musnah, tapi Toan Ki ini sudah
menghapalkan seluruh isi kitab ilmu pedang itu di luar kepala sehingga pada
hakikatnya dia merupakan kiam-boh hidup, maka hendak kutawan dia ke depan makam
Buyung sian sing untuk dibakar di sana guna menepati janji ku itu”.
"Taisu”, tiba-tiba Ong
Giok yan berseru, "Persahabatanku dengan Toan kongcu ini belum lama, tapi
kami agak cocok satu sama lain. Maka janjimu yang tidak penting itu harap
dianggap sebagai kelakar saja dan tak perlu ditepati”.
Tapi Cumoti melihat Toan Ki
sudah tak bisa bergerak lagi, sekali pegang tentu akan dapat ditawannya dengan
mudah, sudah tentu ia tidak mau menuruti permintaan Ong Giok yan itu, katanya
dengan terbahak-bahak, "Hahaha.. Lisicu anggap aku ini orang apa? Masakah
boleh janji tidak ditepati?”
Sembari berkata, terus saja
tangannya mencengkeram pundak Toan Ki.
Ong Giok yan menjerit
tertahan, sambil menutup mukanya dengan tangan karena tidak tega menyaksikan
lebih jauh. Namun Buyung Hok lantas bertindaki ia melayang maju sambil
membentak, "Tahan Taisu”.
Dengan cepat luar biasa ia
melayang sampai di samping Cumoti jari tengahnya terus menyelentik
"Siau-yauhiat” dipinggang paderi itu.
Tapi pada saat itu pula
mendadak Cumoti menjerit aneh sekali, tahu-tahu tubuhnya terpental pergi dengan
berjumpalitan, totokan Buyung Hok secepat kilat itu ternyata mengenai tempat
kosong, segera ia menarik kembali tangannya, sementara itu Cumoti kelihatan
berdiri di tempat sejauh tiga empat meter sana dengan muka pucat dan badan agak
gemetar.
Buyung Hok tidak tahu apa yang
telah terjadi dalam sekejap itu, maka ia coba tanya "Ada apa Taisu?”
Sudah tentu Cumoti tidak dapat
menjelaskan, yang terang baru saja jarinya menyentuh pundak Toan Ki, mendadak
ia merasa yang dipegangnya itu seperti arang yang membara, berbareng terasa
dari badan Toan Ki timbul semacam daya sedot yang maha kuat hingga tenaga
dalamnya terhisap.
Keruan kaget Cumoti tidak
kepalang dan cepat menarik kembali tangannya, untung ia masih dapat melepaskan
diri dari sedotan Toan Ki, hal ini boleh dikatakan luar biasa berkat
ketangkasan dan kecerdikannya yang dapat bertindak dengan cepat-
Walaupun demikian tidak urung
tenaga dalam Cumoti itu juga sudah tersedot sebagian oleh Cu-hap-sin-kang ilmu
sakti katak merah yang dimiliki Toan Ki itu.
Saat itu Toan Ki sedang
mengukur tenaga dengan Goan Ci, ketika mendadak mendapat bantuan tenaga segar
dari luar, seketika juga Goan Ci didesaknya hingga mundur setindak.
Dan sedikit badan Goan Ci
bergeraki segera lapisan es yang membungkus tubuhnya itu sama rontok dan jatuh
ke tanah. Tapi hanya setindak saja ia terdesak mundur, lalu ia dapat berhenti
pula dengan kuat, sedang Pengjan-ih-kang tetap bekerja sehingga dengan cepat
badannya kembali terbungkus oleh selapis es tipis yang baru bahkan makin lama
makin tebal lapisan es itu dan mengeluarkan cahaya gemerlapan di bawah sinar
sang surya.
Sebaliknya badan Toan Ki
tampak menguap lebih keras lagi hingga seperti mengepulkan asap yang tipis,
pemandangan yang berlawanan dengan Goan Ci itu sungguh sangat aneh dan menarik.
Sesudah Cumoti kaget setengah
mati, lekas ia kerahkan tenaga murni untuk menghimpun kembali Iwekangnya hingga
seketika tidak sanggup bersuara, sedangkan Buyung Hok juga melongo menyaksikan
apa yang terjadi tadi.
"Piauko, apakah dapat kau
pisahkan mereka?” Tanya Ong Giok yan kemudian.
Buyung Hok menghela napas
panjang, sahutnya, "Hari ini barulah kutahu bahwa ilmu silat sesungguhnya
tiada batasnya, mungkin di jaman ini tiada seeorang pun yang dapat memisahkan
mereka ini”.
Ong Giok yan merasa kuatir,
katanya. "Habis, apakah Toan kongcu dan laki-laki jelek ini akan…”
"Mereka berdiri terpaku
disini, pada akhirnya tenaga mereka tentu akan habis dan tatkala itu dengan
sendirinya mereka akan terpisah”, ujar Buyung Hok.
Walaupun tidak dijelaskan juga
Ong Giok yan tahu bahwa terpisahnya kedua orang itu nanti tentu akan dibarengi
dengan kematian mereka. Dalam keadaan demikian, mau tidak mau teringat juga
olehnya kebaikan Toan Ki padanya selama ini sehingga sedikit banyak ia pun
merasa cemas.
Dengan termangu-mangu Buyung
Hok menyaksikan Toan Ki dan Goan Ci yang saling pegang tanpa bergerak itu,
mendadak ia berteriak. "Piaumoi, selama hidupku, terang ilmu silatku tak
mungkin mencapai setinggi mereka ini”.
"Pertarungan mereka ini
kelak tentu akan dibuat cerita pujian sepanjang masa didunia persilatan,
sebaliknya aku hanya menyaksikan saja tanpa dapat berbuat apa-apa dalam cerita
itu nanti entah diriku akan dijadikan peranan sebagai apa?”.
Belum lagi Ong Giok yan
menjawab, tiba-tiba Buyung Hok menyambung dengan menjengek. "Hm, tentu aku
akan diceritakan sebagai seorang pengecut yang tiada taranya. Ya, biarpun aku
harus binasa tergetar oleh tenaga mereka, akan kupisahkan mereka agar dapat
meninggalkan nama harum di kemudian hari”.
Ong Giok yan terkejut
mendengar tekad sang piauko itu, cepat ia berseru "Jangan Piauko”.
Namun sudah terlambat. Buyung
Hok merangkap kedua tangannya bagaikan orang senbahyang terus menerjang
kedepan.
Dalam hal pengetahuan, Ong
Giok yan ada lebih tinggi daripada Buyung Hoki ia tahu sekali sang Piauko
menerjang sepenuh tenaga, andaikan dapat memisahkan kedua orang yang sedang
mengadu tenaga itu, tapi sang Piauko sendiri tentujuga tidak dapat menahan
gencetan dua arus tenaga yang berlawanan dan maha hebat itu dan pasti akan
binasa seketika.
Maka ia menjadi kuatir dan
tanpa berdaya, ia hanya bisa menangis saja sambil mendekap muka sendiri.
Syukurlah pada saat Buyung Hok
mulai menerjang itu, sekonyong-konyong dari dua jurusan menyambar pula dua
rangkum angin yang maha kuat dengan cepat luar biasa.
Maka tertampaklah dari sebelah
timur melayang tiba seorang leki-leki berbaju hitam berperawakan tegap, muka berkedok,
hanya kelihatan kedua matanya, sedangkan dari sebelah barat muncul seorang
padri berjubah putih dan melulu matanya yang kelihatan.
Datangnya kedua orang ini
sedemikian cepat sehingga seakan-akan dua jalur sinar hitam putih mendadak
berkelebat ke depan Buyung Hok, berbareng kedua orang itu angkat tangannya pula
sehingga dua arus tenaga yang sangat kuat menyambar kearah Buyung Hok, tanpa
kuasa lagi Buyung Hok terpental mundur.
Sesudah mendesak mundur Buyung
Hok, segera laki-laki baju hitam dan padri berjubah putih bergabung menjadi
satu, dengan berjajar mereka terus menerjang ke depan, tenaga pukulan mereka
pun terhimpun menjadi satu sehingga mendadak Toan Ki dan Goan Ci dapat
dipisahkan. Bahkan kedua orang itu sedikit pun tidak berhenti, secepat kilat
mereka lantas berpencar pula, seorang ke timur dan yang lain ke barat, hanya
dalam sekejap saja mereka lantas menghiaing lagi.
Rupanya kedua orang yang
berbaju hitam-putih itu telah menggabungkan tenaga pukulan mereka menjadi suatu
jalur tenaga yang sempit untuk menerobos keempat tangan Toan Ki dan Goan Ci
yang saling lengket itu sehingga kedua pemuda itu dapat dipisahkan secara
mentah-mentah bahkan tenaga pukulan gabungan itu tidak lantas lenyap, tapi
masih terus menyambar kedepan sehingga sebatang pohon itu seakan-akan terbelah
oleh sebuah kampak raksasa yang maha tajam dan tumbang seketika.
Toan Ki dan Goan Ci juga
tergetar mundur dua tiga tindaki lapisan es di tubuh Goan Ci sama rontok pula,
sedang hawa berbisa Toan Ki juga menguap lenyap tanpa bekas.
Waktu Goan Ci terhuyung-huyung
mundur, ia masih sempat mengetahui berkelebatnya bayangan si orang berbaju
hitam yang melayang kearah barat sana, seketika ia tercengang dan teringat
sesuatu.
Dahulu waktu Kiau Hong
mengamuk di Cip-hian-ceng, saat itu Goan Ci mengikuti peristiwa itu dengan
sembunyi di balik dinding, ia menyaksikan para ksatria sama menggeletak mati
atau terluka parah, akhirnya Kiau Hong juga tidak tahan, tapi dapat di tolong
oleh seorang laki-laki berbaju hitam dengan seutas tambang panjang, sebab itu
kesan Goan Ci kepada orang berbaju hitam itu sangat mendalam.
Maka sekarang sekilas lihat
saja ia dapat mengenali orang berbaju hitam tadi bukan lain adalah orang yang
sama dahulu itu. sedangkan padri baju putih yang melayang kearah timur itu
tidak keburu dilihat oleh Goan Ci.
Sebaliknya arah berdiri Cumoti
dan Buyung Hok kebetulan dapat melihat bayangan tubuh padri berjubah putih itu.
Mestinya Cumoti sudah mulai tenang kembali, tapi demi nampak potongan tubuh
padri itu, kembali air mukanya berubah hebat pebuh keheranan dan kesangsian, ia
berpaling dan tanya Buyung Hok, "Taisu tadi itu apakah…”
Tapi Buyung Hok lantas
menggeleng kepala dan menjawab, "Gerak tubuhnya terlalu cepat, menyesal
tidak jelas kulihatnya”.
Cumoti tercengang sambil bergumam
sendiri. "Apakah dia….ah tentu, mata ku yang kabur sehingga mengira dia
seorang sobatku yang lama”.
Dalam pada itu sesudah
terpisah dari Toan Ki, segera Goan Ci memeriksa sekitarnya dan tidak
mendapatkan A Ci, yang terlihat hanya Ong Giok yan dan Buyung Hok saja, maka
kembali ia berteriak aneh. "Dimana A Ci?” segera Toan Ki hendak
ditubruknya pula.
Tapi baru saja badannya
bergeraki tiba-tiba terdengar suara sambutan A Ci dari tempat jauh. "ong
kongcu, aku berada disini”
Sungguh girang Goan Ci melebihi
putus lotere 120 juta demi mendengar suara A Ci, sekuatnya ia menahan tubuhnya
sehingga terjatuh ketanahi tapi biarpun dia terbanting lebih keras juga takkan
terasa sakit bahkan seoera ia meloncat bangun terus memburu kearah datangnya
suara A Ci.
Maka tertampaklah A Ci sedang
mendatangi dengan perlahan, bajunya yang berwarna ungu muda itu bergerakgerak
ditiup angin, wajahnya menampilkan senyuman manis.
Saking girangnya Goan Ci
sampai berteriak-teriak aneh terus memapak maju, meski ia lewat disamping Ong
Giok yan yang kecantikannya boleh dikata tiada tandingannya di dunia ini, tapi
sekejappun Goan Ci tidak meliriknya, mungkin dalam pandangannya biarpun
bidadari yang turun dari kahyanganjuga tak dapat menandingi si A Ci
kesayangannya itu.
Sesudah dekat, dengan napas
memburu ia lantas tanya, "A Ci, kemanakah dikau pergi? Ai….aku….aku
sungguh sangat kuatir”.
"Bukankah sekarang aku
sudah kembali, kuatir apa?” sahut A Ci.
Tadi Goan Ci memang kelabakan
setengah mati dengan hilangnya A Ci, kini demi ditegur oleh dara itu, seketika
ia merasa rasa kuatirnya itu memang berlebihan, dalam keadaan buta dengan
sendirinya A Ci takkan meninggalkannya, mengapa mesti kuatir?
Sekarang sesudah anak dara itu
diketemukan kembali, sungguh girangnya sudah dilukiskan, segala apa yang
terjadi tadi telah dikesampingkan seluruhnya. Maka dengan tertawa A Ci tanya,
"Apakah kau jadi berkelahi dengan orang?”
Goan Ci hanya memandangi anak
dara itu dengan terkesima, pada hakikatnya ia tidak dengar apa yang ditanyakan
itu.
Berulang A Ci tanya pula, tapi
mendadak Goan Ci malah balas tanya diluar garis. "Kenapa engkau tidak
omong dan lantas tinggal pergi begitu saja?”
A Ci tertawa genit, sahutnya,
"Aku pergi mencari tahu tentang dirimu”.
"Hah Kau..kau” seru Goan
Ci terkejut.
"Tadi kudengar Buyung
kongcu dan nona Ong Giok yan berdua lewat di luar hutan itu, teringat olehku
bahwa Buyung kongcu adalah kawanmu, maka aku lantas berseru memanggilnya dan
berbicara tentang dirimu”.
Seketka kepala Goan Ci seperti
diguyur air es, keluhnya di dalam hati. "Wah, celaka tamat tamatlah
riwayatku sekarang”
"He, kenapa kau? Mengapa
diam saja?” Tanya A Ci dengan heran.
Belum lagi Goan Ci menjawab,
tiba-tiba sebuah tangan orang meraih pundaknya, cepat Goan Ci menoleh, ia lihat
orang itu adalah Buyung Hok yang sedang memandang padanya dengan tertawa.
Keruan kejut Goan Ci tambah hebat sehingga mundur setindak.
Tapi dengan tertawa Buyung Hok
berkata, "A Ci, sayang kau datang terlambat sedikit, Ong kongcu mu ini
sangat mengkuatirkan dirimu dan dia telah unjuk ilmu saktinya sehingga kami
benar-benar terpesona”.
Dengan girang A Ci menjawab.
"Apakah betul? Ah, Buyung kongcu sendiri terlalu rendah hati”.
"Sekali-kali aku tidak
rendah hati”, sahut Buyung Hok. "Betapa tinggi ilmu silat Ong kongcu
sungguh sukar diukur”.
Mendengar ini, A Ci tertawa
lebih gembira lagi. sebaliknya Goan Ci berdiri terpaku di tempatnya dengan
perasaan bingung.
Sehabis berkata, lalu Buyung
Hok lari pergi dengan perlahan, katanya. "Kami masih ada sedikit urusan,
sampai bertemu pula”. Hanya sekejap saja orangnya sudah pergi jauh.
Sesudah termangu-mangu
sebentar, kemudian Goan Ci berkata, "A Ci, ketika kau tanya mereka tentang
diriku, apa yang dikatakannya padamu?”.
"Semula Buyung kongcu
tercengang”, tutur A Ci, "Tapi kemudian nona Ong Giok yan mengingatkan
dia, lalu ia mengatakan bahwa engkau sangat mirip dia bahkan orang lain sering
menyangka kalian adalah saudara sekandung”.
Kembali Goan Ci
termangu-mangu, sungguh terima kasihnya tak terhinggakan kepada Buyung Hok dan
Ong Giok yan berdua, ia tahu kedua orang itu tentu melihat A Ci sudah buta,
tatkala membicarakan diriku tampaknya anak dara ini sedemikian mesra, karena
tidak ingin A Ci sedih dan kecewa, maka mereka sengaja membohonginya, hal ini
tidak ubahnya seperti telah menolong jiwaku.
Sampai sekian lama Goan Ci
tertegun, ketika ia menoleh, ia lihat Toan Kij uga sudah pergi, sedang Cumoti
tampak lagi bergerak keluar hutan sana dengan cepat, segera Goan Ci
berteriak-teriak. "Taisu.. Taisu”.
Tapi Cumoti sama sekali tidak
menoleh, secepat terbang orangnya menghilang di balik pohon sana.
"Taisu, nanti malam akan
kau cari aku lagi tidak?” seru Goan Ci pula.
Darijauh terdengar Cumoti
menjawab, "Kamu tidak dapat membedakan antara yang jahat dan bajik, buat
apa aku berhubungan lagi denganmu?”.
Goan Ci semakin gugup, serunya
pula. "Tapi engkau telah berjanji akan terima aku sebagai murid, apa…
apa…”
Tapi segera teringat olehnya
bahwa A Ci berada disitu, ucapannya itu tentu akan membikin rahasianya
terbongkar, seketika ia berkeringat dingin dan tidak sanggup meneruskan
ucapannya.
Sementara itu Cumoti sudah
berada sangat jauh tapi suaranya masih terdengar, "Jika kau mau taat
kepada pesanku dan berdaya untuk membasmi Toa ok jin Toan Ki, maka harapanmu
akan kuterima sebagai murid dikemudian hari mungkin bisa terkabul”.
Saking girangnya Goan Ci
menjawab dengan suara keras, "Ya, ya Taisu Engkau sendiri jangan lupa ya”.
Habis itu, suasana di tengah
hutan lantas sunyi senyap, sampai agak lama baru terdengar A Ci bersuara,
"Ong kongcu, ilmu silatmu sendiri sudah tergolong kelas wahid, sampai Ting
jun jiu juga kena kau labrak hingga ngacir mengapa engkau sedemikian menghormat
kepada Tai lun beng ong ini, bukankah hal ini akan merosotkan harga dirimu?”
Goan Ci merasakan nada ucapan
A Ci itu mengandung rasa kecewa, tidak puas dan mendongkol, agaknya menaruh
curiga pula kepadanya, maka cepat ia menjawab, "A Ci, rupanya kau..kau
tidak tahu bahwa aku hanya pura-pura hendak mengangkat guru padanya, tapi..tapi
sebenarnya aku mempunyai maksud tujuan tertentu.....”
"Ah, kiranya demikian,
jadi engkau hanya pura-pura saja hendak mengangkat guru kepadanya”, A Ci
menegas dengan tertawa.
"Ya, sudah tentu hanya
pura-pura saja”, sahut Goan Ci. "Coba pikirkan, aku Ong sing-thian adalah
ciangbunjin Kek…Kek-lok-pai, masakah aku sudi berguru pula kepada orang lain?
Tentang maksudku hendak mengangkat guru kepadanya sudah tentu pura-pura saja.
Bicara tentang ilmu silat sejati, huh. masakah Cumoti itu….”
Sebenarnya ia hendak
mengatakan Cumoti itu tak mungkin dapat menandingi dirinya, tapi dia adalah
seorang jujur, terhadap Cumoti memang dia sangat kagum, biarpun dibelakang juga
tidak mau berlaku kurang sopan, sebab itulah ia urung melanjutkan ucapannya
itu.
Maka dengan tertawa A Ci
berkata, "Ong kongcu, jangankan cuma Cumoti, sedangkan tokoh maha hebat
seperti Buyung kongcu itu juga sedemikian menghormat dan segan padamu, sudah
tentu Cumoti itu sekali-kali bukan tandinganmu. Tapi engkau sengaja pura-pura
hendak berguru padanya, sebenarnya apa maksud tujuanmu?”
Goan Ci bukan anak bebal, tapi
juga bukan orang pintar dan cerdik, disuruh mencari akal mendadak untuk
membohong sekali-kali tak bisa. Maka demi ditanya oleh A Ci terpaksa ia
menjawab. "Tentang ini..ini. ehm..ini.”
Seketika A Ci ngambek, dengan
mulut menjengit ia berkata "Jika engkau tidak sudi menerangkan juga tak
apa, memangnya aku juga tidak sesuai untuk ikut mengetahui rahasia dunia
persilatan yang maha penting ini”.
Goan Ci menjadi gugup melihat
A Ci kurang senang, cepat katanya. "Ini pun bukan rahasia apa-apa, jika
kau ingin tahu, sudah tentu dapat kuterangkan”. Berbareng itu ia coba peras
otak dengan harapan dapat menemukan sesuatu akal untuk menjawab pertanyaan A Ci
itu, tapi meski sudah dipikir kian kem ri tetap tak diperoleh sesuatu akal yang
baik.
Karena Goan Ci tergagap-gagap
tak bisa menerangkan lebih jauhi A Ci mengira pemuda itu sengaja tidak mau
bicara terus terang padanya. Biasanya A Ci terlalu dimanjakan dan tinggi hati
meski sekarang matanya buta tapi dalam waktu singkat silat-silatnya itu sukar
berubah. Maka dalam gusarnya segera ia membuang muka terus tinggal pergi dengan
cepat.
Keruan Goan Ci tambah gugup,
cepat ia berseru, "A Ci, A Ci, jangan gusar, biarlah kukatakan padamu
sekarang juga”.
"Huh, tidak begini”
jengek A Ci. "Aku tidak suka dengar lagi”.
Mendadak kakinya kesandung
sesuatu dan jatuh tersungkur, sambil menjerit kaget. Meski matanya sudah buta,
tapi ilmu silat A Ci masih cukup lihai, sekali tangan kanan menahan tanah,
dengan enteng ia melompat bangun lagi.
Segera Goan Ci mendekatinya
sambil bertanya. "Engkau tidak apa-apa bukan, A Ci?”.
"Biar terbanting mati
saja daripada hidup di siksa” sahut A Ci.
Diam-diam Goan Ci heran
bilakah dirinya pernah menyiksa anak dara ini? selama berkenalan dengan A Ci,
yang sudah kenyang dihina dan disiksa adalah Goan Ci sendiri, tapi sekarang
anak dara ini mengomeli dia dan memutar balikkan apa yang terjadi sebenarnya,
keruan Goan Ci serba runyam.
Waktu A Ci berdiri tegak
kembali, ketika ia coba meraba barang apa yang menyandung kakinya itu hingga
jatuhi ternyata di situ terlintang sebatang pohon tumbang yang sudah terbelah
menjadi dua, bagian batang pohon yang terbelah terasa sangat licin dan rajin,
rasanya sekali-kali bukan dipotong oleh gergaji dan sebagainya, andaikata
dikapak juga tidak mungkin terdapat kapak sebesar itu yang dapat membelahnya
dari atas kebawah dan tidak mungkin pula terdapat manusia raksasa yang mampu
membelah sebatang pohon besar dari atas.
Sesudahberpikir sejenak segera
A Ci tahu sebab musababnya, katanya dengan suara terputus-putus, "Ong…ong
kongcu, tadi engkau telah-telah bertanding dengan orang dan membelah pohon ini
menjadi dua bukan?”.
Sebenarnya watak Goan Ci
sangat rendah hati dan tidak suka membual serta mengagulkan diri sebab dia tahu
diri sendiri adalah orang bodoh, hendak membual juga tidak bisa, tapi sekarang
dihadap n A Ci, ia menjadi kuatir kalau anak dara itu mengetahui harga dirinya
yang tidak laku sepeserpun, sekali guci wasiatnya terbongkar, seketika anak
dara itu akan meninggalkan dirinya.
Sebab itulah, setiap
kesempatan yang dapat menaikkan harga diri dan ilmu silatnya tentu tidak
disia-sia kan olehnya.
Akan tetapi terbelahnya pohon
sebesar ini adalah lantaran gabungan tenaga laki-laki baju hitam dan padri
jubah putih yang dilakukannya dalam sekejap setelah memisahkan Goan Ci dan Toan
Ki, betapa hebatnya tenaga gabungan itu mana dapat ditandingi oleh siapapun
juga. Biarpun sekarang Goan Ci hendak membual dihadapan A Ci juga tidak berani
mengaku mempunyai kemampuan sehebat itu.
Karena itu ia hanya menjawab
dengan tergagap. "Tentang ini…ini bukan..”
"Ong kongcu”, sela A Ci
dengan tersenyum. "Engkau ini sangat baik. Cuma ada sesuatu yang kurang”.
"Kur..kurang apa?” Tanya
Goan Ci cepat.
"Engkau terlalu rendah
hati”, ujar A Ci. "Sudah terang gamblang ilmu silatmu maha tinggi, tapi
engkau tidak mau mengaku. Meski orang pandai biasanya memang tidak suka pamer,
tapi terhadap-terhadap diriku masakah kaupun anggap seperti orang lain?”.
Hati Goan Ci berdebar-debar
hebat, dengan suara kikuk ia jawab, "Terhadapmu sudah..sudah tentu lain
dari yang lain. Kau bilang apa tentu itu yang kulakukan. A Ci, sejak berjumpa
denganmu aku selalu bersikap demikian”.
A Ci menghela napas, katanya.
"Cuma sayang aku tidak pernah dapat melihat wajahmu, ya, seumur hidup ini
aku takkan dapat melihatmu lagi”.
Seketika anak dara itu menjadi
muram durja. Tapi sejurus kemudian ia lantas berkata dengan tertawa lagi.
"Menurut Buyung kongcu itu, katanya orang lain suka angap mukamu sangat
mirip dengan dia, tapi ia sendiri merasa tak dapat membandingimu. Nyata engkau
memang seorang yang ganteng bagus, ilmu silatmu sangat tinggi pula, sebaliknya
aku., aku hanya seorang nona buta, dimanakah letak kebaikanku sehingga berharga
mendapatkan perhatianmu?”.
Hati Goan Ci sangat terharu, mendadak
ia berlutut dan katanya dengan suara gemetar, "No..nona hendaklah jangan
berkata demikian lagi, aku..Ong sing thian hanya berharap selama hidup ini
senantiasa dapat berdampingan denga nona, untuk itu biarpun aku menjadi budakmu
juga aku rela”.
Sudah tentu A Ci tidak tahu
Goan Ci berlutut, tapi dari nada ucapannya itu ia dapat mendengar perasaan
pemuda itu sangat terguncang, maka ia sangat girang, katanya, "Ong kongcu,
engkau sedemikian baik padaku, ya, boleh dikata kita ini memang ada jodoh, aku
pun berharap dapat berdampingan denganmu untuk selamanya dan takkan berpisah
lagi. Cuma…cuma, dikemudian hari nanti kurasakan engkau belum tentu tetap setia
padaku seperti sekarang”.
Goan Ci menjadi gugup, cepat
ia bersumpah dengan suara keras, "Tuhan menjadi saksi bila, bila kelak aku
berbuat tidak pantas kepada nona A Ci, biarlah Tuhan menghukum aku tersiksa
selama hidup dan takkan hidup gembira seperti sekarang ini”.
"Hihijadi sekarang engkau
sangat gembira?” Tanya A Ci dengan tertawa.
"Ya, gembira sekali”,
seru Goan Ci sambil berdiri "Sekarang aku merasa sangat bahagia, mungkin
malaikat dewata juga tak dapat melebihiku”.
Tiba-tiba A Ci
termenung-menung sambil menengadah, katanya, "Ong kongcu, engkau telah
menipu Tai lun beng ong dan pura-pura menyatakan hendak mengangkat guru
kepadanya, sebenarnya apa maksud tujuanmu? Apakah dalam ilmu silatnya itu ada
sesuatu yang istimewa yang ingin kau selami dan engkau menipunya untuk
mendapatkan kepandaiannya itu, lalu akan kau binasakan dia? ya, bagus, kukira
pasti demikian. Cuma saja Cumoti itu sangat licin, rasanya tidak mudah untuk
mengakali dia”.
Diam-diam Goan Ci terkejut, ia
tak habis mengerti mengapa yang dipikirkan anak dara itu selalu hal-hal yang
keji seperti itu? Tapi dengan uraian A Ci itu, kini dapat memecahkan kesulitan
Goan Ci malah, sebenarnya ia serba susah karena tak dapat memberi alasan yang
masuk akal untuk membohongi A Ci, sekarang ia tidak perlu cari akal lagi,
segera ia mengiakan dan membenarkan saja untuk menuruti jalan pikiran A Ci itu.
Maka A Ci berkata pula,
"Ong kongcu, bahwasannya ilmu silatmu sangat tinggi, tetapi Cumoti yang
cerdik dan pintar itu tidak mungkin tidak tahu dan tentu dia takkan mau
mengatakan padamu tentang ilmu sakti andalannya dengan sejujurnya, maka jika
kau ingin menipu ilmu silatnya kukira hanya ada satu jalan”.
"Jalan bagaimana?” Tanya
Goan Ci.
"Begini, tutur A ci.
"Lebih dulu engkau berjanji dengan dia agar saling mengajarkan kepandaian
andalan masing-masing, harus saling tukar kepandaian masing-masing baru akan membawa
manfaat bagi kedua pihaki dengan demikian tentu dia akan keluarkan
kepandaiannya yang sejati tanpa curiga, sebaliknya kau pun mesti mengajarkan
kepandaianmu yang sejati kepadanya, sekali-kali tidak boleh main simpan
kepandaian, sebab dengan kecerdikan Cumoti itu, sedikit kau curang tentu akan
diketahuinya”.
"Aku., aku harus
mengajarkan dia dengan kepandaianku yang sejati?” Goan Ci menegas dengan
ragu-ragu. sedang di dalam hati ia membatin. "Aku mempunyai kepandaian
sejati apa? Kalau kepandaian gegares sih aku memang hebat”.
Tapi dengan tersenyum A Ci
berkata, "Ya, kau pun harus mengajarkan kepandaianmu yang sejati padanya,
kalau tidak tentu sukar mendapatkan kepandaian Cumoti yang sejati. Cuma saja
harus kau tinggalkan satu dua jurus terakhir yang paling lihai dan jangan
buru-buru diajarkan semua padanya, dengan demikian tentu dia takkan turun
tangan lebih dulu untuk membunuh mu”.
Goan Ci terperanjat, serunya.
"Apa? Dia akan turun tangan lebih dulu membunuh aku?”
"Ya, kalau dia tidak
turun tangan lebih dulu maka engkau yang harus turun tangan lebih dulu”, sahut
A Ci "Ong kongcu, aku menaksir dia juga mempunyai maksud tujuan yang sama
seperti dirimu, tapi hendaklah engkau
jangan terlalu tamak, asal
sudah dapat menguasai sembilan bagian dari seluruh kepandaiannya yang sejati,
sisanya boleh kau tinggalkan saja. yang paling penting turun tangan lebih dulu
dan sekali hantam lantas binasakan dia daripada akhirnya engkau yang akan
dibunuh olehnya, kan bisa runyam?”
Seketika Goan Ci merinding, ia
sudah kenal watak A Ci yang kejam, asal dapat menyenangkan diri sendiri,
tentang mati hidup orang lain tidak pernah dipikirkan, hal ini Goan Ci sendiri
sudah kenyang merasakannya.
Tapi dasar Goan Ci sudah
kesemsem benar-benar padanya, meski seram atas sifat anak dara itu, namaun
dalam hati ia masih pikir, "Ya, betapapun yang dipikirkan itu adalah demi
kebaikanku, jika aku tidak turun tangan lebih dulu untuk membinasakan cumoti,
tentu aku sendiri yang akan mampus dibunuh oleh Cumoti”.
Kalau terang-terangan suruh dia
membunuh orang, terutama padri sakti yang sangat dipujanya itu betapapun ia
merasa segan, semula ia berharap Cumoti lekas datang menemuinya lagi, tapi
sekarang berbalik ia berharap semoga padri itu jangan diketemukan.
Dan karena tidak mendengar
jawaban Goan Ci, segera A Ci bertanya lagi. "Kenapa? Apakah perkataanku
salah?”
"Ooo..tidak..tidak
perkataanmu sangat tepat” cepat Goan Ci menjawab. "Aku sedang berpikir
kelak Cumoti itu hendak tukar pikiran tentang ilmu silat denganku, lantas ilmu
silat mana yang harus kupakai untuk mengadakan pertukaran dengan dia”.
Diam-diam A Ci pikir,
"Ong kongcu ini sekarang sangat kesemsem padaku, agaknya dia memang
sungguhsungguh, tetapi siapa yang berani menjamin dia takkan berubah pikiran di
kemudian hari? Andaikata kelak mendadak timbul maksud jahatnya dan aku
ditinggal pergi begitu saja, sedangkan kedua mataku sudah buta, lantas cara
bagaimana aku dapat hidup di dunia ini? Namun jika aku sudah berhasil
memperoleh ilmu saktinya, aku dapat menggunakan telinga sebagai gantinya mata,
dalam kedudukanku sebagai ketua Siong siokpai, aku dapat menyuruh para murid
mengiringi disekelilingku, tatkala itu bila dia berani main gila tentunya aku
dapat berdaya untuk membunuhnya. Maka hal yang terpenting sekarang adalah
belajar ilmu saktinya. Tapi kalau aku bicara terus terang minta belajar padanya
belum tentu dia mau meluluskan, maka lebih baik aku mengakali dia saja”.
Sesudah ambil keputusan
demikian, segera ia berkata, "Ong kongcu, meski kedua mataku sudah buta,
tapi pikiranku masih cukup cerdas bukan?”
"Sudah tentu, sahut Goan
Ci. "Kecerdasanmu bahkan jauh lebih hebat daripadaku, otakmu lebih tajam
daripadaku”.
"Itulah sukar
dipastikan”, ujar A Ci dengan tertawa. "Tapi sebodoh-bodohnya seorang
tentu akan pintar bila dua orang suka berunding. Maka kalau kita berdua mau
bersatu padu, kukira cara berpkir kita tentu akan lebih sempurna”.
"Jika begitu, apa pun
yang nona hendak katakan padaku boleh silahkan bicara terus terang saja, aku
pasti akan menurut”, sahut Goan Ci.
"Kupikir Cumoti itu
sangat licin dan licik, sebaliknya engkau sangat lugu dan jujur, bila bergebrak
dengan dia, mungkin engkau akan tertipu olehnya. Maka lebih baik begini saja,
boleh keluarkan segenap ilmu silatmu padaku, nanti aku akan ikut memikirkan
bagian-bagian mana yang boleh diajarkan kepada Cumoti itu dan bagian mana yang
harus dirahasiakan”.
Keruan Goan Ci kelabakan oleh
permintaan A Ci itu, pikirnya. "Wah, celaka Apa barangkali dia telah
mengetahui rahasiaku yang sebenarnya tidak becus sesuatu ilmu silat apa pun dan
sekarang sengaja hendak membikin susah padaku? Wah, lantas bagaimana baiknya
ini,?”
Karena tidak memperoleh
jawaban Goan Ci, dasar A Ci memang kelewat pintar, sebaliknya tidak dapat
melihat perubahan air mukaGoan Ci, maka disangkanya pemuda itu sungkan
mengunjukkan ilmu silatnya sendiri. Diam-diam A Ci pikir pula, ilmu silat Ong
sing thian ini maha sakti, dia adalah seorang ciangbunjin pula, sudah tentu dia
bukan orang bodoh dan tidak dapat kutipu dengan begini saja, kulihat dia memang
sungkan memamerkan ilmu silatnya padaku. Karena gugupnya itu, tanpa terasa
menangislah A Ci. Goan Ci terkejut, cepat serunya, "He, kenapa nona?”
"Sudahlah, lekas-lekas
kau pergi saja dan selanjutnya jangan urus diriku pula, aku pun tidak ingin
melihatmu lagi”, sahut A Ci sambil terguguk.
Keruan bukan main kejut Goan
Ci, sahutnya cepat, "Ai, baru saja kita bicara baik-baik, kenapa mendadak
nona berkata demikian?”
Mendengar suara orang agak
gemetar, diam-diam A Ci bergirang, pikirnya, "Orang ini ternyata benar-benar
telah jatuh hati padaku, untuk menipu dia terang sangat susah, lebih baik
bicara terus terang dan memohon padanya, mungkin dia akan dapat meluluskan
permintaanku”.
Karena itu segera A Ci
berkata. "Kukira sepuluh hari atau setengah bulan lagi tentu akan kau
tinggalkan diriku, daripada nanti sedih dan berduka, lebih baik sekarang kita
lekas berpisah saja”.
Goan Ci menjadi girang dan
kuatir pula, cepat sahutnya, "Aku sudah menyatakan selama hidup takkan
meninggalkan nona, janji sudah kukatakan, sumpah sudah kuucapkan, masakah nona
masih tidak percaya?”
"Aku justru tidak
percaya” ujar A Ci sambil goyang kepala.
"Habis bagaimana, apa
perlu kukorek hatiku ini supaya nona memeriksanya sendiri, dengan demikian
tentu nona akan percaya”.
Tiba-tiba A Ci menangis lagi
sambil berkata. "Kau..kau tahu kedua mataku sudah buta, maka segaja
menggunakan kata-kata demikian untuk menyindir aku”.
Goan Ci tambah gugup sehingga
keluar keringat, mendadak ia berlutut dan bermaksud merangkul kaki A Ci, tapi
sebelum menyentuh kaki anak dara itu, tiba-tiba timbul rasa takutnya dan cepat
menarik kembali tangannya dan berkata. "Sekali-kali aku tidak bermaksud
begitu, jika aku sengaja biarlah aku dikutuk”.
A Ci dapat mendengar suara
Goan Ci berlutut dihadapannya, diam-diam ia sangat girang, tapi air matanya
semakin bercucuran, katanya dengan sesenggukan, "Ya, kecuali kau penuhi
sesuatu permintaanku baru aku mau percaya”.
"Jangankan satu, biarpun
seratus atau seribu permintaan nona juga akan kuterima”, sahut Goan Ci cepat.
"Nah, lekas nona katakan”.
"Tapi-tapi engkau toh
tidak bakalan menerima, biar kukatakan juga percuma, paling-paling akan dibuat
buah tertawaanmu saja”, ujar A Ci.
Begitulah A Ci sengaja jual
mahal untuk memancingkan Ci, semakin dia tak mau bicara, semakin bernafsu Goan
Ci memohon.
Akhirnya berkatalah A Ci,
"Apabila engkau benar jujur kepadaku, maka hendaknya kau ajarkan sedikit
banyak ilmu silat saktimu padaku, agar kelak bila kau tinggalkan aku, paling
tidak aku sudah mempunyai sedikit ilmu penjaga diri”
Jika Goan Ci benar-benar
mempunyai ilmu sakti, sedikit A Ci memohon saja pasti akan diluluskannya.
Akan tetapi pada hakikatnya
Goan Ci tidak mahir ilmu silat apa-apa, dibandingkan kepandaian A Ci sendiri
bahkan juga selisih sangat jauh, darimana Goan Ci dapat menerima permintaan
itu.
A Ci menjadi gelisah karena
sampai lama tidak mendengar jawaban Goan Ci. Pikirnya, "Mumpung sekarang
dia sangat kesemsem padaku, betapapun aku harus minta dia meluluskan
permohonanku”.
Maka sengaja dia menghela
napas, lalu berkata, "Ong kongcu, bahwasannya aku minta kau ajarkan ilmu
saktimu, hal ini memang tidak pantas dan tentu sukar diterima olehmu, tapi
akupun tidak menyalahkanmu, maka biarlah kita berpisah saja mulai sekarang”.
Goan Ci menjadi gugup, sepat
serunya, "Tidak..Tidak aku meluluskan permintaanmu, aku akan mengajarkan
ilmu sakti padamu”.
A Ci sangat girang, tapi
lahirnya ia berlagak anggap sepele dan berkata. "Kamu terpaksa menerima
permintaanku, andaikan mengajar juga kurang rela dalam hati, buat apa sih begini?
Lebih baik kita berpisah saja dan untuk selanjutnya tidak perlu bertemu lagi”.
Dalam gugupnya timbul suatu
pikiran pada benak Goan Ci. "Betapapun harus kuhalangi kepergiannya, soal
mengajar ilmu juga bukan pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam satu-dua hari,
paling penting sekarang aku harus menahannya disini”.
Dalam bingung itu tiba-tiba
teringat olehnya kejadian di Cip-hian-ceng dahulu, tatkala mana ayahnya minta
seorang tokoh persilatan agar sudi memberi petunjuk beberapa jurus kepadanya.
Maka tokoh persilatan itu minta dia mengunjuk dulu apa-apa yang telah pernah
dipelajarinya agar dapat diketahui sampai dimana kepandaian yang telah
dikuasainya.
Namun Goan Ci sendiri
menyadari dalam hal ilmu silat dirinya terlalu tak becus, sekali main tentu akan
membikin malu sang ayah dan pamannya maka biarpun sudah dipaksa-paksa tetap ia
tidak mau main, sudah tentu tokoh persilatan itu tidak senang dan karena itu
pula lantas tidak jadi memberi petunjuk.
Teringat akan kejadian dahulu
itu segera Goan Ci berkata. "Nona, jika engkau hendak mempelajari ilmu
saktiku, maka kita harus mencari suatu tempat yang sunyi sepi agar tidak
diganggu orang luar. Lebih dulu harus kau tunjukkan segenap kepandaian yang
pernah kau pelajari dari Sing-siok-pai, dengan demikian barulah aku dapat
menilai kepandaianmu dan kemudian mengajarkan ilmu-ilmu sakti padamu”.
"Bagus, memang seharusnya
begitu, seru A Ci dengan girang. Cuma kita juga tidak perlu mencari tempat yang
terlalu sepi, paling baik sembari mengajarkan ilmu padaku, kita sambil mencari
markas besar Kai pang, dengan
demikian kita dapat segera
merebut kedudukan Pang cu dari kaum jembel itu untuk dikembalikan kepada Cihuku
dinegeri Liau sana. Besar kemungkinan cihu tak mau terima, dengan demikian aku
sendirilah nanti yang akan menjadi Pangcu. Wah, sungguh hebat, selain menjadi
Ciangbunjin Sing-siok-pai aku pun merangkap menjadi Pangcu Kai pang, aku akan
bekerja sama dengan ciangbunjin Kek-lo-pai untuk menjagoi dunia persilatan ini,
biarpun siau-lim-pai, Koh-soh Buyung dan lain-lain juga pasti akan keder bila
mendengar nama kita. Wah, sungguh bagus sekali, bukan?”
Begitulah makin bicara makin
gembira, meski kedua matanya buta, tapi tidak mengurangi kecantikannya tatkala
gembira ria demikian sehingga jantung Goan Ci berdebar-debar dibuatnya.
Sesudah A Ci tenang kembali,
lalu berkatalah Goan Ci. "Untuk merebut kedudukan Pangcu dari Kai pang
memang juga bukan soal sulit. Cuma saja kalau aku yang merebutnya bagimu, nanti
rasanya takkan membikin tokoh Kai pang itu tunduk benar-benar, lebih baik
tunggu saja nanti bila aku sudah mengajarkan ilmu sakti padamu dan kau sendiri
dapat menundukkan mereka dengan kepandaianmu sendiri, paling-paling aku cuma
mengawalmu dari samping saja untuk menjaga keselamatanmu, dengan demikian bukankah
jauh lebih baik?”
"Ya, ya, bagus” seru A
Ci. "Ong kongcu, sifatku memang terlalu tergesa-gesa. Kita juga tidak
perlu mencari tempat sepi lagi, disini kan tidak ada orang lain. Nah, biar
kutunjukkan kepandaian Sing-siok-pai yang paling kasar kepadamu agar engkau
dapat segera pula mengajarkan ilmu sakti padaku. Nah, kunci dari pengantar ilmu
silat Sing-siok-pai adalah begini”.
Lalu ia menguraikan
istilah-istilah yang merupakan kunci ilmu silat Sing-siok-pai yang pernah
dipelajarinya dariTing Lokoai, menyusul ia tunjukkan pula beberapa jurus
permainannya.
Diam-diam Goan Ci berpikir,
sebenarnya aku telah diterima sebagai murid oleh Ting Lokoai tapi karena
membela A Ci sehingga aku bermusuhan dengan dia, maka sedikitpun aku belum
memperoleh kepandaiannya, sebaliknya malah banyak mengalami kesukaran selama
ini. sekarang aku mengaku sebagai seorang kosen yang memiliki ilmu sakti
segala, padahal kepandaianku hanya gegares belaka, ilmu sakti apa segala sama
sekali aku tidak becus. Tapi agar tidak mencurigakan A Ci, terpaksa aku main
kayu sekadar mengelabui dia, biarlah kukatakan ilmu silat Sing-siok-pai tidak
berguna, selain itu aku tidak punya cara lain”.
Segera ia berkata. "Nona,
kulihat ilmu silat yang kau pelajari telah tersesat kejalan yang tidak benar,
ilmu silat Sing-siok-pai memang juga tidak terlalu jelek, maka aku harus
mempelajarinya dahulu agar dapat memahami di mana letak kesalahannya, dengan
demikian barulah aku dapat memberi petunjuk padamu agar kembali kearah yang
benar”.
"Betul” seru A Ci dengan
girang. "Memang guruku, eh, tidak. Ting Lokoai itu memang biasanya tidak
suka menerima murid yang sudah pernah belajar silat sebab katanya orang yang
sudah pernah belajar silat bila disuruh ganti belajar ilmu silat Sing-siok-pai
akan beberapa kali lebih sukar daripada orang yang tadinya sama sekali belum
pernah belajar silat. Tapi sekarang, Ong kongcu, tentu engkau akan banyak lebih
susah bila mengajarkan ilmu sakti padaku”.
"Ah.. hanya sedikit
kesukaran ini apa alangannya?” sahut Goan Ci. Nah. coba aku akan mulai Jurus
pertama yang kau mainkan tadi adalah begini, dan jurus kedua demikian”
Begitulah Goan Ci lantas menirukan gaya permainan A Ci tadi dan mulai berlatih.
Ilmu silat Sing-siok-pai itu
dasarnya memang berpangkal pada ilmu berbisa, semakin kuat Iwekang yang berbisa
jahat, semakin lihai pula ilmunya itu.
Dua jurus pertama yang
dipertunjukkan A Ci tadi disebut Kim goan kek sik (gaya jagat tak berkutub)
yaitu jurus permulaan dari kungfu Sing-siok-pai. Bagi yang mulai berlatih
biasanya perlu makan waktu sebulan dua bulan baru dapat menguasainya
betul-betul.
Tapi sekarang Goan Ci sudah
memiliki Iwekang yang tinggi, racun ulat sutra es yang maha hebat dan mujizat
itu luar biasa kuatnya, sampai Ting Lokoai sendiri pun kewalahan.
Kini Goan Ci menirukan gaya
permainan A Ci tadi, sekali tangannya bergeraki segera terjadilah jurus pertama
itu dengan sempurna, bahkan ketika tangannya menampar ke depan, mendadak
terdengar suara gemuruh yang keras, sebatang pohon kecil yang terletak
kira-kira dua tiga meter di depan sana kontan tumbang.
Keruan Goan Ci kaget, ia coba
memainkan jurus kedua dan kembali tangannya menampar lagi kedepan tapi
lagi-lagi sebatang pohon terhantam patah menjadi dua.
Ia bergirang dan terperanjat
pula, pikirnya, "Wah. ilmu silat Sing-siok-pai ini ternyata membawa daya
sakti sehebat ini jangan-jangan dia sengaja hendak mempermainkan aku, dia
sendiri mahir ilmu selihai ini, tapi mengapa minta belajar ilmu sakti apa
segala padaku?”
A Ci sendiri ketika mendengar
suara tumbangnya pohon itu segera berkata, "Wah. benar-benar maha lihai
Ong kongcu, lekas kau ajarkan padaku, cara bagaimana sekali hantam dapat
menumbangkan pohon?”
"Apakah jurus yang kau
mainkan tadi tidak dapat menumbangkan pohon?” Tanya Goan Ci dengan ragu.
A Ci mengikik tawa, sahutnya,
"Jurus Kun goan bu kek sik ini adalah jurus pengantar yang paling kasar
dan dipelajari setiap murid Sing-siok-pai yang mulai belajar, kalau sekali
hantam dapat tumbangkan pohon, bukankah setiap murid Sing-siok-pai akan menjadi
jago yang tiada tandingannya di dunia ini?”
Tapi Goan Ci tetap tidak paham
sebab musabab pohon tumbang itu. segera ia coba menghantam pula tapi tidak
menurut gaya permainan A Ci tadi. sekarang pohon yang di arah itu ternyata
bergoyang sedikitpun tidak, ia coba perkeras tenaganya, tetap pohon itu tidak
bergeming, sebaliknya ketika ia gunakan gaya Kun goan bu kek sik lagi,
"Blam” kontan pohon itu patah dan tumbang bagai dipotong dengan sebatang
kapak raksasa.
Kiranya setiap jurus dan
setiap gaya ilmu silat Sing-siok-pai dapat mengembangkan racun dingin dari
tenaga dalam melalui jurus ilmu silat itu. untuk ini yang lebih penting adalah
tenaga dalam dengan racun dingin yang hebat, dengan demikian baru dapat
dikerahkan melalui daya serangan yang dilontarkan dengan sepenuhnya.
Untuk belajar jurus ilmu silat
Sing-siok-pai itu gampang, yang susah adalah memiliki Iwekang yang hebat itu.
Pada umumnya murid Sing-siok-pai hanya pandai menggunakan gaya ilmu silat
mereka, diantaranya cuma Ti sing cu dan beberapa orang lagi yang cukup tinggi
Iwekangnya, dan diantara mereka itulah tergolong tokoh pilihan dalam
Sing-siok-pai.
Sekarang Goan Ci tidak paham
seluk beluk hal itu, ia pun tidak berani banyak tanya, sebab kuatir rahasianya
diketahui A Ci. Lantaran itu, ia hanya minta agar A Ci mengunjukkan ilmu
silatnya yang lain.
A Ci lantas meneruskan
permainannya sejurus dan Goan Ci juga lantas menjiplak dengan cara yang sama,
tapi pada setiap jurus itu ia dapat mengerahkan tenaga serangan yang maha
hebat.
Maka sesudah belasan jurus
Goan Ci merasa apa yang dipelajari sudah terlalu banyak dan sukar untuk diingat
semua, segera ia minta A Ci berhenti dulu dan mengulangi lagi dari semula.
Dengan tertawa A Ci berkata,
"Ong kongcu, menurut pendapatmu, tentu ilmu silat Sing-siok-pai ini
terlalu dangkal dan mentertawakan, bukan?”
"Juga tidak, diantaranya
banyak pula yang dapat dipakai. Cuma ..Cuma memang agak kurang bernilai”, ujar
Goan Ci dengan lagak maha guru.
Sembari bicara, ia pun
menirukan gaya A Ci sambil sebelah kakinya menendang kedepan sehingga sepotong
batu kena disambarnya sehingga mencelat, sungguh kebetulan juga, ketika batu
itu mencelat beberapa meter jauhnya dan waktu turunnya dengan tepat hampir
menimpa kepala dua orang yang saat itu sedang berjalan datang dengan cepat.
Melihat batu itu akan
menjatuhi kepala orang Goan Ci menjadi kuatir, cepat ia menjerit, "Wah,
celaka. He awas Ada batu jatuh”.
Seorang di antaranya yang
berada di sebelah kiri segera menggeser ke samping, kedua tangannya menolak
sekaligus ke atas sehingga batu yang menyambar itu kena ditolak ke samping dan
membentur tebing disisinya sehingga menerbitkan suara keras diserta meletiknya
lelatu api.
Orang itu menjadi gusar
dampratnya, "Siapa yang berani main gila dengan tuanmu”
Dengan cepat sekali mereka
lantas melompat kehadapan Goan Ci dan A Ci.
Melihat kedua orang itu
berbaju compang camping, berdandan sebagai pengemis dengan membawa beberapa
buah kantung kain, maka Goan Ci segera tahu kedua orang itu pasti anggota Kai
pang. Lekas ia memberi hormat dan berkata, "Maafkan kedua Toako dari Kai
pang, kami tidak sengaja, sudilah kalian jangan marah”.
Karena Goan Ci cukup sopan dan
telah minta maaf, pula dari daya sambaran batu yang keras tadi, kedua orang Kai
pang itu percaya ilmu silat Goan Ci pasti sangat lihai, maka mereka pun tidak
ingin cari perkara, segera mereka membalas hormat dan menjawab. "Ah, tidak
apa-apa”
Habis itu segera mereka hendak
melanjutkan perjalanan.
Tiba-tiba A Ci berseru,
"He, apakah kalian orang Kai pang? Wah, bagus, sangat kebetulan Memang aku
hendak mencari sarangmu untuk merebut kedudukan Pangcu kalian, sekarang kalian
datang ke sini, eh, dimanakah letak markas besar kalian sekarang?”
Mendengar orang hendak merebut
kedudukan Pangcu organisasi mereka, pula melihat dandanan A Ci jelas bukan
sesama anggota Kai pang, terang hal ini merupakan suatu hinaan maha besar bagi
kehormatan Kai pang mereka, keruan seketika air muka kedua orang Kai pang itu
berubah hebat, berbareng mereka bertanya, "Siapa kamu ini? Kenapa
sembarangan menghina kami?”
A Ci sengaja mencari alasan
untuk cari perkara kepada Kai pang, sekarang kedua orang itu menanyakan asal
usulnya, keruan hal ini sangat kebetulan baginya, segera ia jawab dengan
tersenyum. "Aku ini ketua Sing-siokpai yang baru, aku she Toan bernama Ci”.
Si pengemis yang pertama degan
badan tinggi kurus itu tampak berkerut kening, katanya. "Pemimpin
Singsiok-pai adalah Ting Lokoai, hal ini diketahui oleh setiap orang kangouw,
mengapa kamu budak cilik ini berani sembarangan omong?”
Pengemis yang lain bertubuh
sedang, usianya sudah mendekati setengah abad, tapi kedudukannya tampak lebih
rendah daripada temannya sehingga segala apa hanya menurut perintah si pengemis
kurus saja, tapi dia dapat berpkir lebih hati-hati, maka dengan suara perlahan
ia membisiki kawannya itu. "Tik hiante, kita masih ada urusan penting,
lebih baik jangan menggubris anak kecil yang masih ingusan ini”.
Si pengemis kurus mendengus
sekali, katanya, "Hm, seorang budak buta, seorang lagi..”
Sampai disini ia melirik
sekejap kearah Goan Ci dengan sikap jijik dan memandang rendah, nyata bila dia
meneruskan ucapannya itu dapat ditaksir apa yang akan dikatakan kalau bukan
jelek seperti siluman tentu adalah mirip setan.
Sudah tentu Goan Ci tidak mau
memberi kesempatan padanya untuk mengucapkan kata-kata yang dapat membongkar
keburukan wajahnya itu. Maka tanpa bicara lagi tangannya terus bergerak, ia
pakai gaya permainan silat A Ci yang disebut Kun goan bu kek sik tadi dan
menghantam perlahan kedepan.
Ilmu silat pengemis kurus itu
juga sangat hebat, gerak-geriknya juga cepat. Begitu melihat Goan Ci
menghantam, meski jarak mereka sebenarnya ada dua tiga meter jauhnya dan tangan
Goan Ci tidak nanti dapat mencapai badannya, namun dia tidak berani gegabah dan
lekas menghimpun tenaga untuk menyambut serangan itu.
Maka terdengarlah suara krak
sekali, mendadak tubuh pengemis itu terjengkang kebelakang, ternyata tulang
punggungnya patah sebatas pinggang, orangnya menjadi mirip tertekuk menjadi
dua.
Keruan pengemis yang lebih tua
tadi terkejut, ia berseru, "He, Tik hiante, ken..kenapakah? He, engkau
sudah meninggal”
Sebenarnya Goan Ci tiada
maksud hendak membunuh orang, tujuannya hanya untuk mencegah agar pengemis
kurus itu tidak mengucapkan kata-kata yang akan membongkar rahasia kejelekan
mukanya, siapa duga mendadak terdengar pengemis tua itu mengatakan lawannya
sudah mati, keruan ia terkejut dan berseru, "He, kenapa dia?”
Segera ia memburu maju, ketika
ia periksa pengemis kurus itu, ia lihat kedua biji matanya melotot keluar,
mukanya sangat mengerikan. Goan Ci menjadi takut dan menyesal, katanya dengan
gelagapan, "O..ini..ini...”
Sebaliknya si pengemis tua
menjadi kuatir dirinya juga akan diserang oleh Goan Ci yang mukanya buruk
menakutkan itu, ia pikir daripada mati konyol lebih baik turun tangan lebih
dulu, maka selagi Goan Ci
berjongkok memeriksa si
pengemis kurus, segera pengemis tua itu angkat kedua kepalan dan sekuatnya
menghantam punggung Goan Ci.
Pertama, Goan Ci memang tidak
becus ilmu silat segala, mka tidak dapat berkelit. Kedua, dia telah
membinasakan si pengemis kurus secara tidak sengaja, ia merasa menyesal, maka
rela digebuk beberapa kali oleh lawan untuk sekedar menebus dosanya.
Maka terdengarlah suara
"blak-bluk” dua kali, kedua kepalan si pengemis tua itu dengan keras
mengenai punggung Goan Ci. Akan tetapi yang roboh terpental justru pengemis iu
sendiri dengan mulut menyemburkan darah segar.
Goan Ci kaget, serunya,
"He, kenapa dia?”
Sebalinya A Ci memujinya,
"Ong kongcu, ilmu silatmu benar-benar maha hebat, hanya sekali dua gebrak
saja sudah membereskan kedua jago pilihan Kaipang”.
Melihat darah segar masih
terus menyembur keluar dari mulut pengemis tua itu, Goan Ci menjadi takut,
segera ia pegang tangan A ci dan diseretnya lari. "Marilah kita lekas
pergi, lekas”
Tanpa kuasa A Ci diseret Goan
Ci dan ikut lari dengan cepat, ia dengar angin berkesiur ditepi telinga, ia
tahu mereka berlari sangat kencang, ia menjadi senang dan berseru. "Wah,
sangat enak. Ayolah lari lebih cepat lagi”
Maka dalam sekejap saja mereka
sudah lari sejauh belasan li. Dari belakang sayup-sayup terdengar suara
teriakan orang, "Yu hiante Berhenti dulu, Yu hiante..”
Jelas itu suara Pau Put tong,
tapi Goan Ci habis membunuh orang, ia kuatir ditangkap oleh Pau Put tong, maka
bukannya dia berhenti, sebaliknya lari terlebih cepat.
Orang yang memanggil itu
memang betul Pau Put tong, sekarang dia bersama Hong Po ok, Buyung Hok, Ting
Pek-jwan dan Kongya Kian serta Ong Giok yan telah berkumpul kembali. Mereka
telah bicara diri Goan Ci yang aneh itu, karena tertarik, maka Buyung Hok
lantas putar balik mencarinya lagi dengan maksud hendak tanya lebih jauh
tentang seluk beluk diri Goan Ci itu.
Dari jauh mereka melihat Goan
Ci merobohkan dua orang, lalu melarikan diri dengan menyeret A Ci, Buyung Hok
melihat cara lari Goan Ci itu sangat kaku, tampaknya seperti orang yang sama
sekali tidak mahir ginkang,
tapi betapa pesat larinya itu
rasanya tidak dibawah dirinya.
Tatkala itu jarak mereka sudah
dua tiga li jauhnya. Buyung Hok menaksir andaikan mengejar juga susah
menyusulnya. Karena itu ia hanya heran dan gegetun saja menyaksikan
menghilangnya bayangan Goan Ci dan A Ci.
Ketika mereka sampai di tempat
menggeletaknya kedua pengemis tadi, mereka terkesiap menyaksikan keadaan kedua
pengemis yang terbinasa dan terluka parah itu. Lebih-lebih pengemis yang mati
itu, badannya terlipat ke belakang, keadaannya sangat luar biasa.
Segera Kongya Kian memayang
bangun pengemis tua itu, ia keluarkan sebutir pil dan dijejalkan kemulutnya.
Tapi darah segar masih terus mengucur dari mulut pengemis itu sehingga obat
luka itu tidak dapat ditelannya.
Cepat Pek-jwan menutuk dua
kali pada hiatto penting di dada pengemis itu. sebenarnya ilmu menutuk Ting
Pek-jwan yang disebut cat hiat ci (tutukan menghentikan darah) biasanya sangat
manjur, sekali tutuk tentu darah yang mengucur keluar akan mampet. Tapi
sekarang darah segar ternyata masih menyembur keluar dari mulut pengemis tua
itu, keruan hal ini membuat Ting Pek-jwan heran.
"Ting toako, orang ini
terluka parah dan terserang pula oleh racun dingin, maka harus kau tutuk hiatto
pada punggungnya”, ujar Ong Giok yan.
Jilid 60
Pek-jwan tercengang. Tapi
segera ia menurut dan menutuk dua hiat-to punggung pengemis tua. Benar juga
darah lantas berhenti menyembur keluar dari mulutnya. Dengan demikian dapatlah
Kongya Kian memberikan pil lagi dan dapat ditelan oleh pengemis itu.
Sesudah menarik napas
dalam-dalam, dengan suara terputus-putus pengemis tua itu berkata, "Banyak
terima kasih atas.....atas pertolonganmu. Numpang tanya sia........siapakah
nama inkong (tuan penolong) yang budiman ?"
"Membantu sesamanya bagi
orang kangouw adalah soal biasa. Kenapa mesti dipikirkan." sahut Pek-jwan.
Kembali pengemis tua itu
menarik napas dalam-dalam lagi. ia merasa tenaganya sudah habis, ada maksudnya
hendak mengeluarkan sesuatu dari bajunya tapi tidak kuat lagi. Maka katanya,
"To.... tolong...."
Kongya Kian tahu maksudnya.
Katanya, "Apakah engkau hendak mengambil sesuatu barangmu ?”
Pengemis itu mengangguk.
Segera Kongya Kian
mengeluarkan isi saku pengemis itu. Ternyata macam-macam benda yang dibawanya.
Ada am-gi, ada alat ketikan api, ada obat-obatan, ada makanan kering dan
sedikit uang perak.
"Aku.... aku tidak kuat
lagi." demikian pengemis itu bicara dengan lemah. "di sini
sehelai.... sehelai maklumat yang sangat... sangat penting. Mohon in-kong
suka.....suka mengingat sesama orang Kangouw dan.......dan sudilah
menyampaikannya ke.....kepada Tianglo Kai-pang kami, untuk itu sungguh aku
sangat berterima kasih.”
Habis berkata, sambil
terengah-engah ia mengulurkan tangan untuk mengambil satu lipatan kertas kuning
yang dipegang Kongya Kian yaitu salah satu isi sakunya yang dikeluarkan Kongya
Kian tadi.
"Harap jangan kuatir”
Buyung Hok coba menghiburnya. Jika keadaanmu sudah ditolong lagi, maka kami berkewajiban
menyampaikannya barangmu kepada Tiang lo dari Pang kalian.
Habis berkata segera ia terima
kertas kuning yang dipegang pengemis itu.
"Aku bernama Ih It-jing,”
dengan suara lemah pengemis itu berkata lagi. "Mohon tuan suka sampaikan
kepada kawan-kawanku, bahwa........bahwa aku baru datang dari negeri se-he,
kertas.........kertas ini berisi maklumat raja se-he tentang sayembara mencari
menantu raja. urusan........urusan ini maha penting dan menyangkut jaya dan
runtuhnya nasib kerajaan song kita. Maka Pang kami..........Pang kami.......”
Sampai disini ia tidak sanggup
bicara lagi, kelihatannya ia sangat bernafsu hendak menghabiskan
pembicaraannya, tapi tenggorokan serasa tersumbat. Rasanya darah hendak
menyembur keluar lagi.
Tiba-tiba ia melihat wajah
Buyung Hok yang ganteng itu, teringat sesuatu olehnya, segera ia tanya
sekuatnya, "Siapa........siapakah tuan ? Apakah........apakah
…Koh-soh........”
"Benar, aku Buyung Hok
dari Koh-soh,” sahut Buyung Hok.
Pengemis tua itu terperanjat,
serunya, "He, kau.... kau musuh besar kami.........”
Mendadak ia rebut kembali
kertas kuning tadi.
Namun Buyung Hok tidak mau
merebut dengan dia dan membiarkan kertas itu diserobot kembali olehnya.
Pikirnya, "Orang Kai-pang masih tetap mencurigai aku sebagai pembunuh Be
Tai-goan, wakil pangcu mereka. Paling akhir ini meski kabar bohong itu agak
reda, tapi orang ini baru pulang dari se-h e. Dengan sendirinya belum tahu
perkembangan dunia persilatan terakhir ini.”
Sesudah merebut kembali kertas
kuning itu, segera si pengemis tua merobeknya menjadi dua dan selagi hendak
merobek pula, baru saja tangannya bergeraki mendadak tenaganya sudah habis,
darah menyembur lagi dari mulutnya, kaki berkelojotan sekali lalu melayanglah
jiwanya.
Hong Po-ok coba mengambil
kertas kuning yang sudah terobek menjadi dua itu dan dibentang menjadi satu. Ia
lihat pada kertas itu banyak tertulis huruf asing yang tak dikenal. Pada bawah
tulisan itu malah terdapat pula sebuah cap merah.
Kongya Kian paham beberapa
tulisan asing, setelah membaca tulisan pada kertas kuning itu, kemudian ia
berkata, "Kertas ini memang benar berisi maklumat tentang sayembara
mencari menantu raja se-he. Maklumat ini berbunyi, "Putri Bon Gi dari
kerajaan se-he kini sudah dewasa. Maka baginda raja bermaksud mencari
menantu yang serba pintar dan
gagah perwira. Ditetapkan mulai hari Tiongchiu tahun ini akan diadakan
sayembara pemilihan dan dapat diikuti oleh bangsa apa pun juga asalkan merasa
cukup memenuhi syarat sayembara. Pada hari memasukkan formulir sayembara, para
calon akan diterima pula oleh baginda raja sendiri Andaikata para calon itu
akhirnya gagal terpilih, maka mereka juga akan diberi pangkat dan diangkat
sebagai panglima menurut kepandaian masing-masing."
Sambil mendengarkan isi
maklumat itu, Hong Po-ok tertawa terbahak-bahaki katanya, "Ai, orang
Kai-pang ini benar-benar sangat menggelikan Jauh-jauh ia datang membawa kertas
maklumat ini dari se-he, apa barangkali maksudnya hendak diberikan kepada salah
seorang Tianglo dan kawan mereka agar ikut sayembara untuk dipilih sebagai
menantu raja se-he ?”
"Bukan, bukan” demikian
seru Pau Put-tong dengan istilahnya yang khas. "Agaknya site tidak tahu
bahwa para Tianglo Kai-pang itu sudah tua lagi jelek. Tapi diantara anak murid
mereka yang muda, sudah tentu tidak kurang daripada yang serba pintar dan
tampan. Kalau salah seorang diantara mereka ada yang terpilih menjadi menantu
raja se-he bukankah Kai-pang akan naik pangkat juga seketika?”
"Kabarnya para ksatria
Kai-pang biasanya tidak kemaruk kepada kedudukan dan kemewahan hidup. Mengapa
Ih It-jing ini justru terpengaruh oleh hal-hal dmeikian itu ?” ujar Pek-jwan
dengan berkerut kening.
"Toako,” kata Kongya
Kian, "Pengemis ini tadi mengatakan bahwa urusan ini sangat penting dan
menyangkut nasib kerajaan Song, jika apa yang dikatakan ini benar, maka
tujuannya pulang ke sini rasanya tidak mungkin melulu untuk kepentingan
Kai-pang mereka saja.”
"Bukan, bukan?” kembali
Pau Put-tong berseru sambil geleng kepala.
"Samte mempunyai pendapat
apa lagi?” tanya Kongya Kian.
"Kau tanya padaku
mempunyai pendapat apa lagi, itu berarti kau anggap aku sudah pernah
mengemukakan sesuatu pendapat. Padahal aku belum menyatakan apa-apa. Hal ini
menandakan sebenarnya kamu tidak percaya aku mempunyai sesuatu pendapat,
sebaliknya sekarang justru tanya padaku. Dengan demikian bukankah kau maksudkan
aku cuma omong kosong saja, betul tidak ?”
Sifat Hong Po-ok adalah suka
berkelahi, tapi lawannya sudah tentu orang lain. Dengan saudara angkat sendiri
tidak mungkin berkelahi. Sebaliknya Pau Put-tong suka berdebat, untuk ini sudah
tentu tidak peduli dengan kawan atau lawan, asal tidak cocok, terus saja
berdebat tidak habis-habis.
Sudah tentu Kongya Kian kenal
wataknya. Maka dengan tersenyum ia berkata, "Tidak, aku benar-benar
mengharapkan pendapatmu yang
baik. Biasanya samte juga sering memberi pendapat yang berguna.”
Dan selagi Put-tong hendak
putar lidah lagi, namun Pek-jwan telah menyelanya, "Ya, samte mempunyai
pendapat apa ? Apakah kau tahu maksud tujuan Ih It-jing ini dengan membawa
formulir tentang sayembara mencari menantu raja se-he ini ?”
"Aku bukan Ih It-jing,
dari mana kutahu ?” sahut Put-tong.
Maka Buyung Hok coba minta
pendapat Kongya Kian. Tapi dengan tersenyum Kongya Kian berkata,
"Pikiranku pasti tidak sama dengan samte.”
Ia tahu apa yang dikatakannya
nanti pasti akan didebat oleh Pau Put-tong, maka sebelumnya ia sengaja
menyatakan hal ini.
Put-tong melototnya sekali,
katanya, "Bukan, bukan sekali ini jiko salah terka, apa yang kupikir
sekali ini justru serupa dan persis dengan pendapatmu."
"Terima kasih kepada
langit dan bumi. sekali ini benar-benar luar biasa.” ujar Kongya Kian dengan
tertawa.
"Jiko, sebenarnya
bagaimana pendapatmu ?” tanya Buyung Hok.
"Dijaman ini berdiri lima
negara yaitu Liau, Song, Turfan, Se-he dan Tayli,” demikian Kongya Kian mulai
bicara. "Kecuali kerajaan Tayli yang terpencil di selatan dan tiada maksud
berebut pengaruh dengan negara lain, maka keempat negara lain itu semuanya
mempunyai nafsu besar untuk mengakangi dunia ini....”
"Jiko, engkau salah
besar” tiba-tiba Put-tong menyela. "Kerajaan Yan kita meski tidak punya
wilayah kekuasaan yang sah, tapi Kongcunya senantiasa berusaha memulihkan
wibawa pemerintah kita. siapa tahu kalau kelak kerajaan Yan kita akan berdiri
kembali dan berkembang dengan jaya ?”
Ketika Pau Put-tong bicara
tentang kerajaan Yan mereka, wajah Bung Hok dan Ting Pek-jwan tampak bersikap
serius dan kereng, berbareng mereka menyatakan, "Ya, cita-cita membangun
kembali negara kita senantiasa tidak pernah kita lupakan."
Seperti pernah diceritakan
bahwa leluhur Buyung Hok adalah suku bangsa Sianpi (Siberia). Keluarga Buyung
dengan negeri Yan yang mereka
dirikan pernah juga merajai bagian-bagian wilayah Tiongkok selama beberapa
dinasti. Akhirnya keluarga Buyung dapat ditumpas oleh kerajaan Gui sehingga
keturunan mereka hidup terpencar di mana-mana. Namun begitu keturunan keluarga
Buyung selama ini masih bercita-cita membangun kembali kerajaan Yan mereka.
Sampai jaman berakhirnya
dinasti Tong, diantara keluarga Buyung itu muncul seorang yang berbakat tinggi
namanya Buyung Liong-sia. Orang ini telah melebur berbagai aliran ilmu silat
sehingga menjadi suatu aliran tersendiri serta tiada tandingannya di dunia ini.
Sudah tentu Buyung Liong-sia
tidak pernah melupakan cita-cita leluhurnya untuk membangun kembali kerajaan
Yan. Maka ia pun mengumpulkan banyak orang-orang gagah untuk persiapan
pergerakannya.
Tapi pada waktu itu kebetulan
Tiong Khong-in sudah berhasil mendirikan kerajaan Song dan dapat menguasai
seluruh negeri sepenuhnya sehingga Buyung Liong-sia tidak dapat berbuat apa-apa
meski memiliki ilmu silat setinggi langit. Akhirnya ia meninggal dunia dengan
masgul tanpa berhasil apa-apa dari segala jerih payahnya itu.
Beberapa keturunan kemudian,
akhirnya sampailah di tangan Buyung Hok yang menurunkan segala cita-cita tinggi
dan ilmu silat leluhur yang hebat itu. Cuma untuk membangun kembali kerajaan
Yan pada waktu itu boleh dikatakan suatu penghinaan dan pemberontakan yang tak
bisa diampuni oleh pemerintah Song. Maka meski Buyung Hok diam-diam menghimpun
kekuatan, namun lahirnya sedikitpun tidak kentara kecuali beberapa orang
kepercayaannya seperti Tiong Pek-jwan dan lain-lain, orang luar boleh dikatakan
tiada seorang pun yang tahu. Orang Bu-lim hanya kenal "Koh-soh Buyung” sebagai
suatu keluarga yang memiliki ilmu silat maha tinggi dan mempersamakan mereka
dengan aliran dan perkumpulan kangouw biasa.
Begitulah, maka ketika Pau
Put-tong menyebut tentang usaha pergerakan mereka dalam membangun kembali
kerajaan Yan, karena disekitar mereka adalah pegunungan yang sepi, maka dengan
penuh semangat serentak mereka melolos senjata sebagai tanda tekad bulat
mereka.
Sebaliknya Giok-yan lantas
menyingkir pergi menjauhi sang Piauko dan kawan-kawannya itu. Maklum, ibunya
selalu anti usaha pergerakan keluarga Buyung yang dipandangnya sebagai
pemberontakan itu. Ia anggap citacita keluarga Buyung hendak merajai dunia
hanya lamunan belaka dan tiada harapan lagi. Sebaliknya besar kemungkinan akan
menyeret keluarga mereka ke lembah kehancuran, sebab itulah maka ibu Giok-yan
melarang Buyung Hok berkunjung ke rumahnya dan lebih suka hidup menyepi di
perkampungan yang dikelilingi rawa-rawa itu.
Kongya Kian memandang sekejap
ke arah Giok-yan yang menyingkir ke samping itu, lalu katanya pula, "Sudah
beberapa tahun negeri Liau berperang dengan kerajaan song. Meski Liau agak
unggul, tapi untuk membasmi song adalah tidak mungkin, sebaliknya se-he dan
Turfan berdiri tegak di sebelah barat kedua negeri ini memiliki kekuatan yang
tidak sedikit. Asal salah satu negeri itu mau membantu Liau, pasti song akan
terancam keruntuhan. Begitu
pula sebaliknya bila song yang dibantu se-he maka Liau akan celaka.”
Mendadak Hong Po-ok menepuk
paha dan berkata, "Tepat ucapan jiko ini. selamanya Kai-pang sangat setia
kepada pemerintah song, sebabnya Ih It-jing ini membawa pulang formulir
sayembara dari se-he ini agaknya dia berharap dari kerajaan song ada seorang
ksatria muda perkasa dapat ikut memperebutkan sayembara itu. Bila antara negeri
song dan se-he terikat hubungan keluarga, maka kuatlah kedudukan mereka dan
tiada tandingannya lagi di dunia ini.”
Kongya Kian mengangguk-angguk,
katanya, "Memang kedudukan akan menjadi kuat tapi bilang tiada
tandingannya, mungkin agak berlebih-lebihan, cuma dengan kekayaan perbekalan
kerajaan Song ditambah kekuatan pasukan se-he, tenaga gabungan mereka ini
memang akan sukar dilawan oleh Liau dan Turfan. Tentang kerajaan Tayli yang
kecil itu sudah tentu jadi tiada artinya. Maka menurut tafsiranku, bila song
dan sehe bersatu, maka tindakan pertama yang akan dilakukan pasti mencaplok
Tayli, langkah selanjutnya barulah menyerang Liau.”
"Perhitungan Ih It-jing
yang muluk-muluk itu mungkin memang demikian, tapi hubungan keluarga antara
song dan se-he rasanya tidak dapat berjalan selancar itu.” ujar Pek-jwan.
"Sebab kalau negeri Liau, Turfan dan Tayli mengetahui berita ini, tentu
mereka akan berusaha untuk menyabot dan menggagalkan maksud itu.”
"Ya, bukan saja akan
menyabot, bahkan masing-masing negeri itu tentu juga ingin ikut dalam sayembara
memperebutkan putri kerajaan se-he itu.” tukas Kongya Kian.
"Dan entah putri se-he
itu cantik atau jelek, entah wataknya halus atau kasar,” ujar Pek-jwan.
"Ha ha ha " Put-tong
terbahak. "Kenapa toako bersangsi, apakah kau ingin ikut sayembara itu
untuk mencalonkan diri sebagai menantu raja se-he ?”
"Kalau usia Toakomu ini
lebih muda 20 tahun dan ilmu silatnya sepuluh kali lebih lihai, kalau seratus
kali lebih cakap mukaku, maka detik ini juga segera aku terbang ke se-he untuk
mencalonkan diri sebagai menantu raja,” sahut Pek-jwan. "Samte, usaha
membangun kembali kerajaan Yan kita sudah berlangsung selama ratusan tahun dan
tetap tinggal cita-cita saja tanpa sesuatu hasil. Kalau dipikirkan benar-benar
soalnya adalah karena kurang dukungan yang kuat. Bila se-he dapat menjadi sanak
keluarga Buyung, kerajaan Yan kita dengan bantuan kekuatan pasukanse-he yang
hebat itu, sekali keluarga Buyung bergerak di Tionggoan sini, masakah usaha
kita takkan berhasil dengan baik ?”
Biasanya segala apa tentu
didebat oleh Pau Put-tong, tapi ucapan Ting Pek-jwan sekarang membuatnya
mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, benar Asal urusan ini berguna bagi
membangun kembali kerajaan Yan kita, maka tidak peduli putri se-he itu cantik
atau jelek seperti siluman, ya, asalkan dia sudi menjadi biniku,
biarpun dia sejelek babi
betina juga aku akan menikahinya”.
Mendengar itu, semua orang
bergelak tertawa, pandangan mereka sama beralih kepada Buyung Hok seorang.
Sudah tentu Buyung Hok tahu
maksud keempat kawannya itu, yaitu dia yang diharapkan pergi ke se-he untuk
mengikuti sayembara itu. Kalau bicara tentang kecakapan muka, umur dan
kepandaian ilmu silat serta sastra, di jaman ini mungkin tiada seorang pemuda
lain yang dapat membandinginya.
Maka kalau dia sendiri mau
pergi ke Se-he, boleh dikatakan 74% usaha mereka akan berhasil. Tapi kalau raja
se-he menilai calon menantu dengan asal usulnya, meski Buyung Hok sendiri
adalah keturunan kerajaan Yan, tapi keluarga mereka sudah lama runtuh, sekarang
mereka hanya tinggal sebagai keluarga biasa dalam negeri Song. untuk
dibandingkan dengan putera bangsawan dari negeri Song, Tayli, Turfan, Liau dan
lain-lain, terang Buyung Hok harus mengaku kalah.
Berpikir sampai disini. Buyung
Hok memandang sekejap pada kertas maklumat itu.
Kongya Kian dapat menerka apa
yang dipikirkan junjungannya itu, maka katanya, "Di dalam maklumat ini
diterangkan dengan jelas tidak memandang kedudukan dan asal usul keturunan,
yang dinilai cuma kepandaiannya calonnya, sebab tentang kedudukan akan segera
diperoleh bila yang calon sudah terpilih menjadi menantu raja, sebaliknya
kepandaian dan ketampanan sang calon tidaklah dapat dianugrahi oleh raja.
Kongcuya, cita-cita keluarga Buyung selama beratus tahun ini sekarang
tergantung kepada.......kepada keputusanmu.........?
Bicara sampai disini, karena
guncangan perasaannya sampai suaranya menjadi gemetar.
Wajah Buyung Hok juga tambah
pucat, ia tahu sedang menghadapi suatu kesempatan bagus yang sukar dicari,
sebab biasanya kalau seorang putri raja mencari jodoh, hal ini selamanya diperintahkan
oleh raja kepada salah seorang petugas istana untuk mencarikan calon pemuda
bangsawan yang setimpal dan tidak pernah terjadi dengan dengan tara pemilihan
terbuka seperti sekarang ini.
Tanpa terasa ia memandang ke
arah Ong Giok-yan. ia lihat gadis itu sedang berdiri di bawah pohon sambil
memandang jauh ke sana, tampaknya sangat kesepian dan harus dikasihani.
Buyung Hok tahu sang Piamoai
itu sejak kecil sudah sangat cinta padanya, meski ayang Buyung Hok dan bibi
yaitu ibu Giok-yan tidak cocok dan merintangi hubungan baik mereka tapi
akhirnya gadis itu meninggalkan rumah dan berkelana di kangouw hanya untuk
mencari dirinya. Biasanya Buyung Hok tidak terlalu memperhatikan soal asmara,
yang dipikirkan hanya usaha membangun kembali kerajaan leluhur saja.
Tapi betapa pun ia adalah
manusia yang berperasaan, Giok-yan sedemikian cinta padanya, sudah tentu ia pun
dapat merasakan, sekarang kalau mendadak mesti meninggalkan sang piaumoai untuk
melamar seorang putri raja bangsa lain yang tak pernah dikenalnya, walaupun
tujuannya adalah demi cita-cita membangun kembali negaranya, tapi dalam hati ia
benar-benar tidak tega.
Melihat Buyung Hok
termenung-menung, Kongya Kian berdehem sekali, katanya, "Kongcu, sejak
dahulu seorang besar harus kesampingkan soal kecil, seorang pahlawan, seorang
ksatria sejati harus berani menembus rintangan ikatan pribadi.”
"ya, kalau kerajaan yan
kita dapat dibangun kembali, dengan sendirinya Kongcu adalah rajanya, sebagai
seorang raja, punya empat istri dan puluhan selirjuga tidak mengherankan.”
demikian Pau Put-tong ikut bicara. "Maka nanti putri se-he akan menjadi
permaisuri, sedang nona ong dapatlah diberi gelar sebagai Se-Kiongnionio
(permaisuri kedua)”
Diam-diam Buyung Hok
mengangguk juga. Teringat olehnya pesan mendiang ayahnya yang selalu meminta
dia mengutamakan nasib negara daripada urusan pribadi, demi negara urusan
asmaranya boleh dikatakan tiada artinya. Apalagi selama ini ia pandang Giok-yan
hanya sebagai adik cilik saja meski gadis itu cinta benar-benar kepadanya. Asalkan
cita-citanya kelak terkabul, Giok-yan akan diberi gelar kehormatan sebagai
selir kesayangan raja, tentu gadis itu akan senang.
Sesudah berpikir sejenaki
Buyung Hok tidak merisaukan urusan Giok-yan lagi, katanya.
"Ucapan saudara-saudara
memang beralasan, sekarang memang terbuka suatu kesempatan bagus untuk
membangun kembali kerajaan Yan kita yang jaya. Cuma sebagai seorang ksatria
kita harus dapat menepati janji, betapa pun surat maklumat ini harus kita
sampaikan kepada orang Kai-pang.”
"Ya, betul.” Pek-jwan
menanggapi. Jangankan Kai-pang, andaikan ada juga kita tidak boleh menggelapkan
maklumat ini sehingga memalukan derajat kita.”
"Betul.” kata Po-ok.
"Toako dan jiko silakan mengawal Kongcu ke Se-he, samko dan aku bertugas
mengirim surat maklumat ini kepada Kai-pang. sampai hari Tiongchiu tahun depan
masih ada satu tahun lamanya. Jika mereka ingin memilih calon yang akan dikirim
juga masih keburu dan kita tak adpat dituduh mengakali mereka.”
"Kita selalu bertindak
secara terang-terangan. Biarlah kita bersama mengirimkan surat maklumat ini
kepada para Tiang lo Kai-pang. Habis itu barulah kita berangkat ke Se-he” ujar
Buyung Hok.
"Ucapan Kongcu ini sangat
cocok dengan pendapatku. Memang kita tidak boleh menimbulkan prasangka jelek
atas diri kita.” kata Pek-jwan.
Serentak Kongya Kian, Pau
Put-tong dan Hong Po-ok juga mengangguk setuju. Mereka mengubur kedua anggota
Kai-pang tadi dan mengambil dua kantung kain milik anggota-anggota Kai-pang itu
sebagai tanda pengenalnya.
Kemudian Buyung Hok memanggil Ong
Giok-yan, katanya, "Piaumoai, kedua murid Kai-pang ini telah dibunuh
orang. Dalam hal ini menyangkut suatu urusan besar, untuk itu aku harus pergi
sendiri ke markas besar Kai-pang. Kebetulan sekali dapat mengantar Piaumoai
pulang ke Man-to-san-ceng.”
Mendengar nama kediamannya
disebut, Giok-yan terkejut. Katanya, "Ti.... tidak. Aku tidak mau pulang.
Kalau melihat aku, tentu aku akan dibunuh ibu.”
Buyung Hok tertawa, katanya,
"Meski watak bibi agak keras, beliau cuma mempunyai seorang putri tunggal.
Mana beliau tega membunuhmu. Paling-paling cuma akan didampratnya saja”
"Tidak..aku tak mau
pulang. Biarlah aku ikut pergi ke Kai-pang." sahut Giok-yan.
Karena Buyung Hok sudah
mengambil keputusan akan pergi ke Se-he untuk ikut sayembara memperebutkan putri
raja, maka dalam hati ia merasa tidak enak terhadap Giok-yan. Ia pikir
sementara ini biarlah menuruti permintaan gadis itu saja.
Maka katanya, "Lebih baik
begini saja. untuk ikut berkelana di dunia kangouw terang tidak pantas. Maka
janganlah kau ikut pergi ke Kai-pang. Tapi karena kamu tidak mau pulang,
bolehlah tinggal sementara di yancu-oh kediamanku itu. Nanti kalau urusanku
sudah beres, segera aku pulang untuk menemuimu.”
Air muka Giok-yan barulah
merah. Dalam hati diam-diam ia bergirang. cita-cita yang diharapkannya selama
ini adalah menjadi istri sang Piauko dan tinggal bersama di yan-cu-oh. Sekarang
Buyung Hok menyatakan dia boleh tinggal di sana. Meski belum secara resmi
meminang padanya, namun urusan terang sudah maju selangkah lagi.
Giok-yan tidak enak untuk
menyatakan setuju dengan begitu saja. Maka perlahan ia menunduk dan matanya
memantulkan sinar yang penuh arti.
Kongya Kian saling pandang
sekejap dengan Ting Pek-jwan. Mereka merasa berdosa karena telah membohongi
seorang gadis yang masih polos dan hijau itu. Namun begitu akhirnya mereka
melanjutkanjuga perjalanan ke selatan.
Sungguh Giok-yan sukar
menyembunyikan perasaannya yang girang itu karena sang Piauko sudi menerimanya
tinggal di yan-cu-oh. Meski ia pun merasa sikap Buyung Hoki Ting Pek-jwan dan
lain agak luar biasa terhadap dia, tapi biasanya Giok-yan memang tidak suka
menyangka jelek kepada siapa pun, maka sedikit pun ia tidak curiga.
Hari itu, karena mereka
meneruskan perjalanan secara tergesa-gesa sehingga melampaui pos penginapan,
maka sampai hari sudah gelap mereka masih berada dijal n pegunungan.
Diam-diam Pek-jwan memikirkan
Giok-yan yang tidak biasa berjalan jauh itu. Kalau mereka sendiri biarpun
melanjutkan perjalanan sepanjang malam juga tidak menjadi soal. Maka katanya, "Marilah
kita mencari suatu gua atau kelenting rusak untuk sekedar menginap semalam.”
"Ya, kita harus memasak
sedikit air untuk menyeduh teh dan cuci muka nona Ong." ujar Pau Put-tong.
Karena mereka sudah bertekad
akan pergi ke Se-he untuk mencalonkan Buyung Hok sebagai menantu raja, maka
sepanjang jalan mereka melayani Giok-yan dengan jauh lebih baik daripada
biasanya, sudah tentu Giokyan tidak tahu bahwa sebabnya mereka berbuat begitu
adalah karena rasa tidak enak dalam hati mereka itu. Ia sangka mungkin Pek-jwan
berempat anggap dia adalah bakal istri junjungan mereka, dengan sendirinya
sekarang lebih menaruh hormat padanya. Maka dalam senangnya itu terkadang ia
pun merasa agak kikuk.
Hong Po-ok berjalan paling
depan untuk mencari tempat yang dapat dibuat berteduh. Tapi makin jauh jalan
pegunungan itu, makin berliku dan terjal. Lebih-lebih tiada sesuatu sungai
kecil atau mata air segala. Kalau dia sendiri mestinya tidak usah memikirkan
tempat mengaso tapi mencari suatu tempat yang cocok untuk Giokyan benar-benar
sangat sulit.
Sekaligus Po-ok berlari
beberapa li jauhnya, selagi ia menggerutu karena belum juga menemukan suatu
tempat baik, sesudah melintasi sebuah tanjakan, tiba-tiba dilihatnya di lembah
sebelah kanan ada setitik sinar lampu.
Sungguh girang Po-ok tidak
kepalang, segera ia berpaling ke belakang dan berteriaki "Di sana ada
rumah tinggal orang”
Mendengar itu, dengan cepat
Buyung Hok dan lain-lain memburu ke tempat Po-ok itu.
Kata Kongya Kian dengan
girang, "Tampaknya rumah tinggal kaum pemburu atau petani gunung. Paling
tidak kita akan dapat minta numpang semalam bagi nona Ong."
Segera mereka berenam berjalan
ke arah sinar lampu itu dengan cepat.Jarak cahaya itu sangat jauhi sudah sekian
lama mereka berjalan tapi api sinar itu masih kelihatan berkelip-kelip dna
tidak nampak sesuatu rumah pun.
Hok Po-ok mulai tak sabar,
terus saja ia memaki, "Kurang ajar, tampaknya cahaya itu agak tidak
beres.”
"Berhenti dulu"
mendadak Ting Pek-jwan berseru, "Kongcuya, coba lihat, itu adalah cahaya
hijau.”
Waktu Buyung Hok
memperhatikan, benarjuga. Ia lihat sinar itu hijau gilap, berbeda dengan sinar
lampu pada umumnya yang berwarna kemerah-merahan dan kekuning-kuningan.
Kecuali ong Giok-yan. Buyung
Hok dan kawan-kawannya itu adalah tokoh kangouw ulung, segera mereka
mempercepat langkah menuju ke arah sinar lampu itu. Kira-kira satu li pula,
sekarang sinar lampu dapat terlihat lebih jelas.
"Ada golongan
sia-mo-gwa-to (orang-orang jahat dan golongan sesat) yang sedang berkumpul
disitu”
Sebenarnya dengan kepandaian
Buyung Hok berlima boleh dikata tidak perlu jeri kepada siapa pun dan golongan
apa pun di dunia kangouw. Tapi sekarang mereka harus memikirkan ong Giok-yan,
mereka tidak ingin membikin si nona ikut menghadapi bahaya. Maka meski Pau
put-tong dan Hong Po-ok sudah getol berkelahi, namun sedapatnya mereka harus
menahan diri.
Maka Buyung Hok berkata,
"Sudahlah, disana jalannya kurang bersih. Marilah kita putar kembali
kejalan yang lain saja.”
Dan baru beberapa langkah
mereka putar balik ke arah tadi, tiba-tiba suatu suara sayup-sayup berkumandang
datang dari arah sinar hijau tadi. "Jika sudah tahu sia-mo-gwa-to
berkumpul disini, kalian beberapa ekor siluman kecil itu kenapa tidak ikut
hadir untuk meramaikan pertemuan ini ?”
Suara itu terkadang keras dan
terkadang perlahan sehingga membikin pendengarnya merasa tidak enak. Tapi
setiap kata-katanya terdengar sangat jelas.
Buyung Hok hanya mendengus
saja, ia tahu ucapan Pau Put-tong tadi telah didengar pihak lawan. Dari suara
yang terputus-putus itu dapat diketahui Iwekang pembicara itu tidaklah cetek
tapi juga belum terhitung kelas satu. Maka ia lantas memberi tanda dan berkata,
"Sudahlah, kita tiada waktu buat gubris mereka. Marilah kita pergi saja.”
Tapi suara itu lantas
mendamprat, "Binatang kecil, berani omong besar. Apa dengan demikian kau
mau lari dengan mencawat ekor ? Kalau mau lari, paling tidak kalian harus
menyembah dulu 200 kali kepada kakekmu ini”
Sungguh Po-ok tidak tahan
lagi, katanya segera dengan suara tertahan, "Kongcu, biarlah aku ke sana
untuk memberi hajaran padanya”
Tapi Buyung Hok menggeleng
kepala, katanya, "Dia tidak tahu siapa kita ini, maka tak perlu
menggubrisnya”
Terpaksa Po-ok mengiakan. Lalu
mereka berjalan lagi belasan tindak tapi kembali suara orang itu bergema pula,
" Yang jantan kalau mau larijuga boleh, tapi yang betina harus
ditinggalkan disini untuk menghibur kakekmu.”
Mendengar Ong Giok-yang dihina
dengan kata-kata kotor oleh orang itu, seketika Buyung Hok dan lain-lain
merandek dan sangat gusar. Ketika mereka berpaling, kembali terdengar suara
orang itu, "Bagaimana ? Antarkan ke sini yang betina itu aga kakek......”
Baru berkata sampai disitu,
mendadak Ting Pek-jwan mengerahkan tenaga dalamnya dan membarengi membentak
sekeras-kerasnya, "Kekkk”
Perpaduan lafal "kek” itu
berbarengan dengan suara orang itu, seketika suaranya mengguncang lembah
pegunungan itu dan anak telinga semua orang serasa pekak- serentak terdengarlah
suara jeritan ngeri dari arah cahaya hijau sana. Di malam sunyi dan ditengah
menggemanya suara "kek” yang mengguncang lembah itu terseling lagi suara
jeritan ngeri orang, maka kedengarannya menjadi sangat seram.
Rupanya Ting Pek-jwan telah
melukai pihak lawan dengan suara bentakannya yang membawa tenaga dalam maha
kuat itu. Dari suara jeritan tadi agaknya luka orang itu tidak ringan, bisa
jadi sudah tewas malah.
Dan begitu suara jeritan orang
tadi lenyap, tiba-tiba terdengar suara mendesing satu kali. sebatang anak panah
berapi hijau meluncur ke udara terus meletus di atas.
"Sekali sudah berbuat,
ayolah bereskan sampai akhirnya biar kita sapu bersih sarang kaum iblis ini.”
ajak Hong Po-ok
"Ya, kita sudah mengalah
dengan maksud menghindarkan percekcokan, tapi sekali sudah berbuat harus
dilakukan sampai selesai” kata Buyung Hok. Habis berkata, segera mereka berlari
cepat ke arah musuh.
Meski Giok-yan sangat luas
pengetahuannya terhadap segala macam ilmu silat dari setiap aliran dan setiap
golongan, tapi Iwekangnya terlalu cetek, pengalamannya juga tidak ada. Karena
kuatir gadis itu mendapat celaka, maka Buyung Hok sengaja melambatkan
langkahnya untuk mendampingi Giok-yan.
Di bawah cahaya api hijau yang
remang-remang, sementara itu terdengar suara bentakan Hong Po-ok dan Pau
Put-tong. Terang mereka sudah mulai bergebrak dengan musuh. Menyusul terdengarlah
tiga sosok bayangan orang mencelat ke atas disusul suara "plak-plok”
beberapa kali, nyata tiga orang itu telah kena dibereskan oleh Put-tong dan
Po-ok sehingga tertumbuk di dinding batu.
Waktu Buyung Hok berlari
sampai di bawah sinar hijau, ia lihat Ting Pek-jwan dan Kongya Kian telah
berdiri disamping sebuah wajan perunggu yang besar dengan air muka sangat
prihatin. Dari dalam wajan kaki tiga tertutup itu tampak mengepulkan asap yang
halus dan memantul cepat ke atas bagai panah.
"Rupanya golongan song
Tho-kong dari Pekilin-tong di sujwan barat.” ujar Giok-yan.
"Pengetahuan nona
benar-benar sangat luas.” puji Kongya Kian.
Tapi Pau Put-tong lantas
menyanggahnya, "Dari mana nona tahu ? Cara mengepulkan asap sebagai tanda
berita sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu belum tentu adalah perbuatan
orang she song dari......”
Belum habis ucapannya
tiba-tiba Kongya Kian menunjukkan sebelah kaki wajan itu dengan isyarat.
Waktu Pau Put-tong berjongkok
dan coba menyalakan ketikan api, ia lihat kaki wajan itu memang benar berukir
sebuah huruf "song” yaitu ukiran dalam goresan yang melingkar-lingkar
mirip ular kecil, wajan itu tampaknya adalah barang antik yang berharga.
Dasar Pau Put-tong memang suka
ngotot. Meski tahu apa yang dikatakan ong Giok-yan memang benar, tapi dia tetap
menyanggah.
"Ya, sekalipun wajan ini
milik orang she Song dari sujwan barat, tapi siapa berani menjamin bahwa barang
ini bukan barang curian ? Apalagi wajan begini besar, kemungkinan adalah barang
palsu.”
Kiranya orang golongan song
Tho-kong dari Pekilin-tong di sujwan barat itu adalah suku bangsa Biau yang
adat istiadatnya sangat berbeda dengan orang persilatan di Tionggoan. Mereka
suka memakai racun, kepandaian mereka ini sangat disegani orang-orang kangouw.
Baiknya mereka jarang bermusuhan dengan orang luar, asal orang tidak sembarang
n memasuki wilayah kekuasaan mereka, maka mereka pun tidak sembarangan
menyerang orang.
Sekarang melihat wajan milik
golongan song Tho-kong itu, diam-diam Buyung Hok dan lain-lain agak ragu.
Mereka heran mengapa song Tho-kong bisa sampai di pegunungan ini padahal
jaraknya dengan sujwan barat masih sangat jauh dan rasanya tidak mungkin
termasuk wilayah pengaruh song Tho-kong.
Dengan kepandaian Buyung Hoki
Ting Pek-jwan dan lain-lain sudah tentu tidak perlu takut kepada song Thokong
apa segala. Cuma saja mereka tiada permusuhan dengan golongan petualang itu.
Kalau menang juga kurang gemilang, sebaliknya kalau sampai terlibat permusuhan
dengan mereka tentu kelak akan memusingkan kepala. Padahal yang mereka pikirkan
sekarang hanya cara bagaimana membangun kembali kerajaan Yan, sedapatnya mereka
tidak ingin bermusuhan dengan orang apalagi dengan suku bangsa yang tak beradab
itu.
Maka sesudah berpikir sejenaki
tiba-tiba Buyung Hok berkata, "Sudahlah tempat seperti ini lebih baik kita
tinggal pergi saja”
Ia lihat di tepi wajan
perunggu itu menggeletak seorang tua yang sudah kempas kempis napasnya, berbaju
coklat ringkas, pinggangnya terlipat seutas tali rumput, dengan mata mendelik
sedang memandang mereka, ia menduga orang tua ini pasti yang memaki mereka
tadi. Maka ia coba memberi isyarat kepada Pau Put-tong.
Put-tong dapat menangkap
maksudnya, segera ia pegang galah bambu tempat gantungan pelita hijau, ia
angkat ujung galah bambu itu, "bles” ia sambitkan galah itu sehingga
menembus dada orang tua yang menggeletak di tanah itu, pelita hijau itu pun
padam seketika.
Karena tidak menduga-duga,
Giok-yan sampai menjerit kaget.
Kongya Kian lantas berkata,
"orang yang berjiwa kecil bukanlah jantan, kalau tidak keji bukanlah
laki-laki sejati. Ini namanya membunuh orang melenyapkan saksi, supaya tidakk
meninggalkan penyakit di kemudian
hari”
Habis berkata, sekali kakinya
bekerja, segera wajan besar itu pun di depaknya hingga roboh.
Segera Buyung Hok gandeng
tangan Giok-yan dan diajak melompat ke samping kiri sana. Tapi baru beberapa
meter jauhnya, dalam kegelapan tiba-tiba terdengar sambaran angin tajam,
sebatang golok dan sebatang pedang telah menyerang sekaligus dari samping.
Tapi sekali Buyung Hok
mengibaskan lengan bajunya, dengan kepandaian yang khas ia bikin bacokan golok
dari sebelah kiri itu mengenai kepala orang di sebelah kanan dan tusukan pedang
dari sebelah kanan menembus dada orang di sebelah kiri. Hanya dalam sekejap
saja sekaligus dua penyergap itu telah dibereskan, bahkan langkah Buyung Hok
sedikit pun tidak berhenti dan hasil terus berlari cepat ke depan. "Hebat
benar, Kongcuya " puji Kongya Kian.
Buyung Hok hanya tersenyum
saja, mendadak ia lompat ke depan, "plok”, ia papak seorang musuh yang menubruk
dari depan sehingga orang itu terjungkal ke bawah bukit, menyusul tangan lain
menghantam pula. Rupanya musuh telah angkat kedua tangannya untuk menahan, tapi
lantas terdengar jeritan orang itu dan muntah darah.
Dalam kegelapan Buyung Hok
tiba-tiba mencium bau anyir busuk menyusul terdengar suara mendesis perlahan
menyambar dari depan. Cepat Buyung Hok mengerahkan tenaga pada tangan dan
memukul ke depan sehingga sebelum mencapai sasarannya senjata gelap yang belum
diketahui bagaimana bentuknya itu telah terpental balik ke sana menyusul
terdengar pula suara jeritan panjang seorang. Rupanya senjata telah makan tuan
sipenyergap itu.
Terkepung ditengah-tengah
rmusuh dalam malam gelap, hanya sekenanya Buyung Hok membunuh beberapa orang,
tapi ilmu silat yang satu makin tinggi daripada yang lain, sesudah merobohkan
enam orang, diam-diam Buyung Hok merasa terkesiap. Pikirnya, "Tiga orang
yang pertama agaknya orang-orang song Tho-kong dari sujwan barat, tapi tiga
orang lagijelas dari golongan lain. Permusuhan bertambah banyaki sungguh
gelagatnya tidak menguntungkan.”
Maka terdengar Ting Pek-jwan
berseru, "Ayolah berramai-ramai kita terjang ke Thing-hiang-siau-tiok”
Seperti diketahui
"Thing-hiang-siau-tiok” adalah sebuah papilion diperkampungan yan-cu-oh
kediaman Buyung Hoki letaknya di sebelah barat papiliun itu biasanya ditempati
A Cu. sekarang Pek-jwan mengajak menerjang ke Thing-hiang-siau-tiok. itu
berarti ia menganjurkan menerjang ke arah barat untuk menghindari cegatan musuh
yang berjumlah banyak itu. Ia sengaja menggunakan kata-kata kode itu.
Buyung Hok tahu maksud
kawannya itu. Tapi saat itu keadaan gelap gulita dan sukar membedakan arah, ia
tidak tahu arah barat terletak di sebelah mana. Ketika ia perhatikan, ia dengar
angin pukulan Ting Pek-jwan sedang bergerak di sisi kanan belakangnya, segera
ia tarik Giok-yan dan mundur ke samping Pek-jwan.
Tiba-tiba terdengar suara
"plak-plok” dua kali, kembali Pek-jwan mengadu tangan dengan musuh.
Rupanya orang itu tidak mampu menahan hantaman Pek-jwan yang hebat itu,
tiba-tiba terdengar jeritannya, tapi anehnya suaranya makin menjauh ke bawahi
menyusul terdengar suara gedebukan jatuhnya batu dan patahnya ranting pohon dan
sebagainya.
Diam-diam Buyung Hok terkejut
ia tahu, musuh terjerumus ke bawah jurang. Dalam keadaan gelap ia tidak tahu
bahwa di sisi mereka adalah jurang, untung ada musuh yang dihantam terjungkal
ke dalam jurang. Kalau tidak, bukan mustahil mereka sendiri akan terjerumus
juga tanpa sadar.
Pada saat itulah, tiba-tiba
dari tempat yang tinggi di sebelah kiri sana terdengar suara seruan orang,
"Tokoh kosen dari manakah yang mengacaukan Ban-sian-tai-hwe ini? Apa
memang tidak pandang sebelah mata kepada 36 gua Cinjin dan 72 pulau dewa ?”
Buyung Hok dan Ting Pek-jwan
bersuara heran perlahan. Mereka pernah mendengar tentang "36 gua Cinjin
dan 72 pulau Dewa", tapi apa yang disebut Cinjin (malaikat) dan Dewa itu
tidak lebih hanya kawanan jago silat yang tidak termasuk sesuatu perkumpulan
atau golongan serta tidak berasal dari sesuatu aliran persilatan tertentu.
Mereka hidup bebas dan tinggal
di 36 gua dan 72 pulau terpencil, ilmu silat mereka ada yang yang tinggi dan
ada yang rendah, biasanya mereka pun tiada hubungan satu sama lain dan tidak
membawa pengaruh apa-apa bagi dunia kangouw, maka mereka justru berkumpul di
pegunungan ini.
Segera Buyung Hok menjawab
dengan suara lantang, "Kami berenam sedang menempuh perjalanan pada malam
hari dan tidak mengetahui kalian berkumpul di sini. Maka telah banyak
mengganggu, harap dimaafkan. Apa yang terjadi ini hanya salah paham saja,
hendaknya jangan dianggap sungguh-sungguh dan sukalah kalian membiarkan kami
pergi dari sini.”
Ucapan Buyung Hok ini tidak
keras juga tidak merendahi pula tidak memberitahukan siapa dirinya, tapi ia pun
minta maaf karena telah terlanjur membunuh beberapa orang.
Di luar dugaan,
sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang beraneka ragam nadanya, ada yang
terbahakbahaki ada yang terkekeh, ada yang terkikik dan ada yang terhoho, makin
lama makin riuh suara tertawa itu.
Semula suara tertawa itu cuma
belasan orang saja, tapi akhirnya di delapan penjuru terdengar penuh orang
tertawa sehingga kedengarannya tidak kurang dari beberapa ratus orang
banyaknya.
Mendengar begitu banyak jumlah
orang-orang itu, didengarnya istilah "Ban-sian-tai-hwe” (pertemuan besar
berlaksa dewa) tadi, maka diam-diam Buyung Hok membatin, "sialan benar
malam ini kejeblos ke dalam pertemuan besar kaum tak karuan ini, baiknya aku
sendiri belum memperkenalkan diri, maka lebih baik tinggal pergi saja agar urusan
tidak tambah runyam. Apalagi jumlah mereka terlalu banyak, betapa pun enam
orang sukar melayani mereka.”
Di tengah tertawa ramai itu,
tiba-tiba terdengar seorang yang berada di tempat tinggi sana berkata,
"Ucapanmu tadi sungguh seenaknya sendiri saja. Kalian sudah mencelakai
beberapa orang saudara kami, kalau sekarang kami membiarkan kalian pergi, lalu
kemana muka para dewa ke-36 gua dan ke-y72 pulau ini harus ditaruh ?”
Buyung Hok coba tenangkan diri
dan memperhatikan sekitarnya, ia lihat dimana-mana baik di atas puncak, di
lereng, di tanjakan pegunungan itu penuh berdiri orang. Ada yang lengan bajunya
panjang gondrong, ada yang pakaiannya singsat ringkas, ada kakek yang
berjenggot panjang, ada wanita dengan sanggulnya yang menjambul tinggi.
Orang-orang itu tadi entah sembunyi dimana, tapi sekerang mendadak seperti
muncul dari bawah tanah.
Kini Ting Pek-jwan berempat
juga sudah berkumpul di sekitar Buyung Hok dan Giok-yan dalam posisi
melindungi. Tapi ditengah kepungan musuh yang berjumlah beratus orang itu,
mereka hanya mirip sebuah sampan di tengah samudra saja.
Buyung Hok, Ting Pek-jwan dan
lain-lain selama hidupnya entah sudah mengalami pertempuran dahsyat berapa kali
banyaknya, tapi melihat suasana sekarang mau tak mau mereka rada kuatir juga.
Pikir mereka, " orang-orang ini semuanya aneh-aneh. Kalau cuma sepuluh
atau belasan oang saja kita takkan takut, tapi kalau mereka berkumpul menjadi
satu, betapa pun sukar dilayani.”
Maka dengan Iwekang yang kuat
segera Buyung Hok berseru menjawab, "Kata peribahasa, yang tidak tahu
tidak dapat disalahkan. Tentang nama kebesaran cinjin ke-36 gua dan para Dewa
ke-72 pulau memang sudah lama kudengar dan sekali-kali tidak berani sengaja
mengacau, song Tho-kong dari Pekilin-tong, Hian-hong-cu dari Ca-liong-tong di
perbatasan Tibet, ciang ciu-hu siansing, tocu dari Hian-beng-to di luat utara,
para cianpwe ini kukira juga hadir disini semua, sungguh kami tidak sengaja
mengacau ke sini. untuk ini hendaknya kalian maklum.”
Tiba-tiba terdengar suara
seorang tua tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Kau sebut-sebut nama kami
lantas ingin mengeluyur pergi begini saja ? Hehehe "
Buyung Hok menjadi mendongkol,
sahutnya, "Kami cuma menghormati kalian adalah orang tua maka ingin
berlaku sopan. Hal ini jangan kalian artikan bahwa aku Buyung Hok takut pada
kalian."
Mendengar nama "Buyung
Hok” seketika terdengar suara kaget orang banyak. Suara orang tua tadi lantas
bertanya, "Apakah Koh-soh Buyung yang terkenal dengan "in-pi-ci-to,
hoan-si-pi-sin itu ?”
"Benar, memang akulah
adanya,” sahut Buyung Hoki
"Wah. Koh-soh Buyung
memang bukan kaum sembarangan. Ayolah para pemegang lampu, marilah kita maju
menjumpainya " demikian seru orang tua itu.
Dan baru habis ucapannya,
mendadak dari jurusan tenggara sana menjulang tinggi ke udara sebuah pelita
kuning, menyusul sebelah barat dan barat laut juga ada pelita merah yang naik
ke angkasa. Dalam sekejap itu dari segenap penjuru menjadi penuh sinar pelita
dengan aneka macam ragamnya.
Nyata setiap tokoh Tongcu
(pemilik goa) dan tocu (pemilik pulau) yang hadir itu masing-masing mempunyai
warna dan corak pelita yang berbeda-beda. sinar pelita itu berkelip-kelip,
sebentar terang sebentar guram sehingga wajah semua orang tampaknya menjadi
sangat aneh tersorot sinar pelita yang warna warni itu
Buyung Hok melihat orang-orang
itu pun rupa-rupa ragamnya, ada laki-laki, ada wanita, ada yang tampan dan ada
yang jeleki ada hwesio, juga ada tocu. sebagian besar menghunus senjata, bentuk
senjata mereka pun sangat aneh dan tak terkenal namanya.
"Hai, Buyung Hok” segera
seorang berada di sebelah barat mulai bersuara, "keluarga Buyung kalian
suka malang melintang di daerah Tionggoan, hal itu pun masa bodoh. Tetapi
sekarang kau berani main terobos di tengah pertemuan kami ini, bukankah kamu
terlalu memandang enteng kepada kami ? Kamu terkenal suka "menggunakan
kepandaian orang untuk menyerang kembali pada orang itu. Maka aku ingin tanya
kepadamu, cara bagaimana kamu akan menggunakan kepandaianku untuk menyerang
padaku ?”
Waktu Buyung Hok memandang ke
arah suara itu, ia lihat di atas batu padas sana duduk bersila seorang tua
berkepala besar. Kepala yang besar itu gundul kelimis tanpa seutas rambut pun,
wajahnya merah membara sehingga kalau dipandang dari jauh kepalanya mirip
sebuah bola merah.
"Terimalah salamku, mohon
tanya siapakah nama tuan ?” segera Buyung Hok memberi hormat dan bertanya.
Kakek kepala besar itu tertawa
sambil pegang perutnya yang buncit, katanya, "Aku justru ingin menguji
dirimu
ingin kulihat apakah Buyung-si
dari Koh-soh benar-benar maha pintar atau cuma omong kosong belaka. Tadi
kutanya padamu cara bagaimana akan kau gunakan kepandaianku untuk menyerang
kembali padaku. Bila dapat kaujawab dengan tepat, tentang orang lain aku tidak
menjamin, tapi aku sendiri pasti takkan membikin susah padamu dan kemana kau
mau pergi boleh kau pergi dengan bebas.”
Melihat gelagatnya, Buyung Hok
tahu urusan hari ini tentu susah diselesaikan dengan kata-kata saja, tapi mau
tak mau ia harus main beberapa jurus dulu. Maka katanya. Jika demikian, baiklah
aku akan mengiringi main beberapa jurus, silahkan cianpwe mulai dulu "
Kembali orang tua itu tertawa
terkekeh-kekeh, katanya, "Aku sedang menguji dirimu dan bukan ingin diuji
olehmu. Kalau kamu tidak dapat memberikan jawaban, maka istilahmu yang terkenal
itu hendaknya lekas dihapus saja "
Diam-diam Buyung Hok sangat
mendongkol, orang tua itu hanya duduk nongkrong di tempatnya, tidak dikenal
namanya atau dari golongan mana, sudah tentu susah diketahui apa kungfu
andalannya dan kalau tidak tahu apa kepandaiannya, cara bagaimana dapat
menyerang kembali dengan kepandaian orang itu ?
Selagi Buyung Hok berpikir di
sebelah sana si kakek lantas mengejeki "Kami para kawan dari ke-36 gua dan
ke-72 pulau biasanya hidup terpencar dan tidak suka ikut campur tetek bengek di
Tionggoan. Kalau gunung tiada harimau, monyetpun akan mengaku sebagai raja.
Hah, bocah ingusan macam dirimu ini juga berani mengaku sebagai "Lam
Buyung dan Pak Kiau Hong” apa segala. Haha, sungguh menggelikan, hahaha,
benarbenar tidak tahu malu. Dengarkan, jika hari ini kau ingin meloloskan diri,
hal ini tidak sulit asalkan kau sembah sepuluh kali kepada tiap-tiap Cinjin
ke-36 gua dan tiap-tiap Dewa ke-72 pulau, jadi total jendral harus menyembah
menyembah 1.080 kali, habis itu segera kami melepaskan kalian."
Memangnya sejak tadi Pau
Put-tong sudah tidak sabar, sekarang ia lebih-lebih tidak tahan lagi, segera ia
berteriaki "Kau minta Kongcuya kami "menggunakan kepandaianmu untuk
menyerangmu” tapi sekarang kau suruh dia menyembah padamu. Tentang kepandaianmu
yang khas memang Kongcuya kami tidak dapat menirukannya. Haha, benar-benar
menggelikan. hahaha, benar-benar tidak tahu malu "
Ia bicara dengan menengadah
dan menirukan lagu suara si kakek dengan mirip benar.
Karuan kakek itu sangat gusar,
mendadak ia batuk sekali, sekumur riak kental terus menyemprot ke muka Pau
Put-tong.
Cepat Put-tong mengegos
sehingga riak kental itu menyambar lewat di sisi telinganya, tapi mendadak riak
kental itu dapat berputar di udara, "plok", tahu-tahu menyambar
kembali dan tepat mengenai batok kepala Pau Put-tong.
Kekuatan riak kental itu
sungguh tidak kecil, seketika Pau Put-tong merasa kepala pening, badan
terhuyunghuyung. Kiranya riak kental itu tepat mengenai "yang-pek-hiat” di
tengah-tengah batok kepala.
Buyung Hok terkejut, bahwa
riak kental dapat diguanakan sebagai senjata adalah tidak mengherankan tapi
riak kental itu dapat berputar di udara, inilah yang luar biasa.
Terdengar kakek itu
terbahak-bahaki katanya, "Nah, Buyung Hok, aku pun tidak mau paksa harus
kau gunakan kepandaianku untuk menyerang aku, cukup asal dapat kau katakan asal
usul ludahku barusan ini, maka aku akan menyerah padamu.”
Buyung Hok memeras otak dengan
cepat, tetapi betapa pun tidak ingat siapakah tokoh yang mahir menggunakan
ludah sebagai senjata ini. Tiba-tiba dari sebelahnya suara seorang yang nyaring
merdu berkata, "Tuan Bok-tocu, engkau sudah berhasil meyakinkan ilmu sakti
"cio-tau-bi-sin-kang”, sungguh tidak mudah latihanmu ini. Korban yang
telah jatuh di bawah keganasanmu tentu juga tidak sedikit. Kongcu kami
mengingat jerih payahmu yang telah berlatih mati-matian, maka tidak mau
membongkar asal usul kepandaianmu ini agar engkau terhindar dari kutukan sesama
orang persilatan. Memangnya kau kira Kongcu juga begitu rendah untuk
menyerangmu kembali dengan kepandaianmu yang keji ini ?”
Dari suaranya saja segera
Buyung Hok tahu bahwa pembicara itu adalah Giok-yan. sungguh ia sangat girang
dan terperanjat pula. Ia tahu Giok-yan sangat pintar, sekali baca segera dapat
mengingatnya di luar kepala, maka segala kitab pusaka ilmu silat yang tersimpan
dalam lemari ayahandanya boleh dikata sudah dibacanya dan dapat mengapalkan di
luar kepala segala ilmu silat dari aliran mana pun boleh dikata serba tahu,
hanya cara menggunakan saja ia tidak dapat. Kungfu "cio-tau-bi-sin-kang”
atau ilmu sakti lima gantang beres tidak pernah didengar oleh Buyung Hok,
sebaliknya Giok-yan ternyata mengenalnya tapi entah tepat tidak tebakan gadis
itu.
Tertampak muka si kakek kepala
besar yang tadinya merah membara itu mendadak berubah menjadi pucat tapi hanya
sebentar saja lantas kembali merah lagi. Dengan tertawa ia berkata, "Dara
cilik tahu apa, hendaknya jangan sembarang omong, "tio-tau-bi-sin-kang”
adalah ilmu keji dan membikin celaka orang, masakan orang macam aku sudi melatihnya
? Namun begitu kamu dapat menyebut she kakekmu ini, boleh dikatakan lumayan
juga.”
Mendengar jawaban itu,
Giok-yan tahu tebakannya benar cuma saja kakek itu tidak mau mengaku. Segera ia
berkata pula, "Tuan-bok-tongcu dari Jik-yam-tong di gunung Ngo-ci-san
pulau Hainam, siapakah orang kangouw yang tidak kenal namamu ini ? Kirainya
ilmu Tuan bok-tongcu barusan ini bukan "cio-tau-bi-sinkang”, jika begitu
tentu adalah semacam ilmu sakti lain perubahan dari Te-hew-kang.”
"Te-hwe-kang” Pemimpin
golongan jik-yam-tong itu selamanya dari keluarga Tuan bok-
Kakek tua berkepala besar itu
bernama Tuan-Bok Goan.
Ketika mendengar Giok-yan
dapat menyebut asal usulnya tapi sengaja menutupi pula kepandaiannya
"cio-taubi-sin-kang”, maka diam-diam kakek itu merasa berterima kasih.
Apalagi sebenarnya di kalangan kangouw, Jik-yam-tong adalah suatu golongan
keroco yang tak terkenal, tapi di mulut Giok-yan sekarang telah dikatakan
sebagai golongan yang tersohor. Tentu saja ia tambah senang. Dengan tertawa ia
berkata, Yya, memang kepandaianku ini adalah salah satu bagian dari
Te-hwe-kang. Karena sudah kukatakan tadi, sekali dapat kau sebut asal usulku,
maka aku pun takkan mempersulitkalian.”
Pada saat itulah,
sekoyong-konyong dari bawah batu padas di depan sana terdengar suara seorang
yang sangat halus dengan nada seperti orang menangis terguguk-guguk, sedang
berkata, "Tuan Bok Goan, suamiku dan saudaraku apakah dibunuh olehmu ?Jadi
kamu jahanam ini telah meyakinkan "tio-tau-bi-sinkang” dan telah
membinasakan mereka ?”
Orang yang bicara itu
teraling-aling oleh bayangan gelap batu padas sehingga tidak jelas bagaimana
potongannya, tetapi lamat-lamat kelihatan seorang wanita yang berbaju hitam,
berbadan jangkung dan lengan bajunya sangat panjang.
Tuan Bok Goan tertawa, sahutnya,
"siapakah nyonya ? Pada hakikatnya aku tidak kenal apa
"cio-tau-bisinkang” itu, jangan kau percaya kepada obrolan nona cilik ini”
Tiba-tiba wanita itu menggapai
Giok-yan dan memanggil, "Nona cilik, marilah sini. Aku ingin tanya
padamu.”
Sekali wanita itu menggapai,
tiba-tiba Giok-yan merasa suatu tenaga tarik yang kuat telah menariknya ke sana
sehingga tanpa kuasa ia melangkah satu tindak ke depan.
Ketika wanita itu menggapai
lagi, kembali Giok-yan hendak tertarik maju pula, karuan ia menjerit kaget.
Buyung Hok tahu pihak lawan
sedang menggunakan "Kim-liong-kang” (ilmu menangkap naga), semacam ilmu
menangkap dan mencengkeram yang lihai. Kalau ilmu mencengkeram dan menangkap
seperti itu sudah terlatih sempurna, maka sekali menggapai tangan saja segera lawan
dapat dipegangnya dari jauh.
Padahal Iwekang Giok-yan
sangat cetek, sebaliknya wanita itu hanya dapat membikin nona itu tertarik maju
satu-dua tindak saja. Hal ini menandakan kepandaian wanita itu belum seberapa
tinggi.
Sementara itu tertampak si wanita
menggapai pula untuk ketiga kalinya, segera Buyung Hok mengebaskan lengan
bajunya, ia keluarkan ilmu "Tau-coan-sing-ih”, ilmu andalannya yang lihai.
Kontan tenaga cengkeraman dari jauh itu menyerang kembali ke arah wanita itu
sendiri. Rupanya wanita itu menjadi kaget, ia berteriak sekali sambil
sempoyongan ke depan.
Sesudah terhuyung-huyung
kira-kira dua-tiga meter berada di depan Buyung Hok, barulah wanita itu dapat
menahan tubuhnya. Karuan ia kaget setengah mati dan kuatir diserang pula, maka
sekuatnya ia melompat mundur untuk kemudian mengamat-amati Buyung Hok dengan
melenggong.
"Le-hujin dari ya-hoa-to
di laut selatan, kepandaianmu "jai-yan-kang” memang sangat hebat. Kagum
sungguh kagum.” kata Giok-yan.
Wanita itu tampak sangsi,
sahutnya "Nona cilik, dari......dari mana kau kenal aku ? Dan mengapa tahu
pula ilmu Jai-yan-kang kami?”
Karena sekarang wanita yang
dipanggil sebagai Le-hujin atau nyonya Le itu sudah tidak teraling oleh
bayangan batu padas, maka semua orang dapat melihat jelas pakaiannya yang hitam
mulus itu, tapi diantara warna hitam bajunya itu seperti terdapat macam-macam
benang emas, benang perak dan benang yang berwarna-warni iain sehingga di bawah
sinar pelita tampaknya menjadi kemilauan.
"Cit-jai-po-ih (baju
pusaka tata warna) adalah pusaka ya-hoa-to (pulau bunga kelapa), siapakah di
dunia ini yang tidak tahu ?”sahut Giok-yan. "Tadi Le-hujin telah unjuk
ilmu sakti yang mahir menangkap dari jauh, sudah tentu kepandaian ini adalah
Jai-yan-kang (ilmu menangkap burung) yang terkenal dari ya-hoa-to”
Kiranya ya-hoa-to atau pulau
bunga kelapa yang disebut Giok-yan itu terletak di laut selatan yang banyak
bukit karangnya dan banyak menghasilkan sarang burung, cuma sarang burung itu
berada diatas karang-karang ang terjal sehingga untuk mengunduhnya tidaklah
gampang.
Keluarga Le sudah turun
temurun tinggal di pulau kelapa itu dan dari kebiasaan mereka mengunduh sarang
burung itu terlatihlah semacam kungfu Jai-yan-kang itu.
Memangnya Le-huji sudah jeri
ketika sekali gapai kena diseret maju oleh Buyung Hoki apalagi asal usulnya
kena dibongkar pula oleh Giok-yan, karuan ia tambah jeri. Ia mengira segala
kepandaiannya sudah dapat diukur oleh pihak lawan, maka ia menjadi tidak berani
main-main lagi. Terpaksa ia berkata kepada Tuan-bok Goan, "Tuan-bok-loji,
seorang laki-laki sejati berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Nah,
katakan terus terang saja, sebenarnya suamiku dan saudaraku dibunuhmu olehmu
atau bukan ?”
Tiba-tiba Tuan-bok Goan
tertawa pula, katanya, "Maaf, maaf Kiranya Le-hujin dari ya-hoa-to- Kalau
dibicaranya sebenarnya kita adalah tetangga malah. Tapi selamanya aku tidak
pernah bertemu dengan suamimu, dari mana bisa dikatakan dia dibunuh olehku?”
Tapi Le-hujin tampak masih
sangsi, katanya, "Baiklah, akhirnya urusan pasti akan ketahuan. Asalkan
memang betul bukan kamu yang membunuhnya” Habis berkata kembali ia menyingkir
dan sembunyi di balik batu padas pula.
Dan baru saja Le-hujin
mengundurkan diri, sekonyong-konyong terdengar sesuatu benda berat jatuh dari
atas sebatang pohon yang besar, "bluk”, benda itu jatuh diatas batu padas.
Ketika diperhatikan, kiranya sebuah wajan raksasa dari perunggu.
Buyung Hok terkejut, cepat ia
menengadah dulu untuk melihat teken macam apakah orang yang sembunyi di pucuk
pohon itu sehingga mampu mengangkat suatu benda yang beratnya beratus-ratus
kati ke atas pohon untuk kemudian dibanting ke bawah ? Kalau melihat bentuk
wajah itu, tampaknya serupa dengan wajan perunggu dari Pek-lin-tong tadi. Cuma
bangun wajan ini jauh lebih besar. Barangkala song Tho-kong sendiri yang
sembunyi di atas pohon Tapi waktu ia pandang ke atas toh tiada sesuatu bayangan
pun yang terlihat.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara desis angin yang sangat halus dan hampir sukar terdengar. Namun
Buyung Hok teramat cerdik. Cepat ia meloncat ke atas dan kedua lengan bajunya
mengebat sehingga menyangkutkan serangkum angin keras yang menghantam kembali
ke arah sambaran sambaran itu. Tepat pada saat itu didepannya tertampak
gemerdepnya benda-benda halus, beratus-ratus jarum selembut bulu kerbau
terpental balik dan bertebaran ke berbagai penjuru.
Menyusul terdengar suara
teriakan ramai Kongya Kian, Hong Po-ok dan orang-orang disekitar situ.
"Wah. celaka ini jarum berbisa Jahanam, siapa yang menggunakan senjata
sekeji ini ? Aduh, gatal sekali "
Dalam keadaan tubuh terapung
di udara, sekilat pandang Buyung Hok melihat tutup wajan itu sedikit bergerak
seperti ada sesuatu hendak menerobos keluar dari dalam wajan. Dalam keadaan
genting demikian, tiada sempat buat pikir lagi. segera Buyung Hok lemparkan
Giok-yan yang dirangkulnya ketika meloncat ke atas tadi, katanya,
"Duduklah di atas pohon”
Menyusul badannya lantas
menurun ke bawah tapi bukan ke tanah melainkan ke atas wajan raksasa itu
Ia merasa tutup wajan masih
bergerak-gerak, segera ia gunakan kepandaian membikin antap badannya untuk
menindih tutup wajan sekuatnya.
Apa yang terjadi itu
berlangsung dalam sekejap dan baru Buyung Hok dapat menindih tutup wajan tetap
ditempatnya, sementara itu jerit dan bentakan orang disekitarnya sudah tambah
ramai, "Aduh, lekas ambilkan obat penawarnya ini jarum berbisa Gu-mo-ciam
(jarum bulu kerbau) dari Pek-lin-tong. Dalam waktu satu jam dapat membuat nyawa
orang melayang, lihainya bukan kepalang wah, celaka, dimana bangsat tua song
Thokong itu ? Dimana dia ? Keparat ya, lekas seret dia keluar dan paksa ia
memberi obat penawarnya Kurang ajar, bangsat tua ini sembarangan menghamburkan
jarumnya sampai kawan sendiri juga diserang song Tho-kong song Tho-kong dimana
kamu, keparat Lekas berikan obat penawarmu "
Begitulah seketika terjadi
riuh ramai makian dan suara orang ingin mencari Song Tho-kong untuk minta obat
penawar racun, orang yang terkena jarum berbisa itu ada yang berjingkrak saking
gatal, ada yang memeluk pohon saking tak tahan rasa sakit. Nyata racun
Gu-mo-ciam atau jarum bulu kerbau itu luar biasa lihainya sehingga siapa yang
terkena akan tersiksa oleh rasa gatal dan sakit yang tak terhingga.
Padahal diantara orang-orang
yang kena jarum itu ada ketua dari sesuatu golongan dan ada pemimpin dari
sesuatu perkumpulan, tapi dalam keadaan tersiksa mereka menjadi lupa daratan
akan kedudukannya sendiri dan tidak kenal malu lagi.
Sebaliknya yang diperhatikan
oleh Buyung Hok adalah kawan-kawannya, sekilas ia pun melihat Kongya Kian
memegangi dada dan perutnya sedang mengerahkan tenaga dalam, sedang Hong Po-ok
tampak melonjaklonjak sambil mencaci maki kalang kabut. Maka tahulah Buyung Hok
bahwa kedua kawan itu telah terkena jarum berbisa tadi. Ia menjadi kuatir dan
gusar pula.
Terang menghamburnya jarum
berbisa bagai hujan tadi dilakukan oleh seorang dengan pesawat rahasia yang
mungkin terpasang di dalam wajah raksasa itu. Kalau tidak, rasanya tidak
mungkin dapat menghamburkan jarum halus dalam sekejap saja.
Yang paling membuatnya gemas
adalah kelicikan penyerang tak kelihatan itu. Lebih dulu Buyung Hok dipancing
supaya menengadah ke atas pohon, pada saat itulah jarum berbisa lantas
dihamburkan dari dalam wajan. Coba kalau dia kurang cerdik dan tidak tangkas,
pasti beratus-ratus atau beribu-ribu jarum berbisa itu sudah bersarang di
tubuhnya.
Sebaliknya penyerang itu
rupanya bersembunyi di dalam wajan sehingga jarum berbisa yang dihantam kembali
oleh Buyung Hok itu hanya mengenai orang-orang disekitarnya dan tidak mengenai
penyerang gelap itu.
Maka terdengarlah suara
seorang yang sengaja dibikin-bikin berkata, "Buyung Hok, sekali ini kamu
telah salah lakon. Mengapa berbalik kau gunakan kepandaian orang untuk
menyerang dirimu ? Bukankah sangat tidak cocok dengan kebiasaan Koh-soh Buyung
?”
Yang bicara itu kedengaran
berada agak jauh dan rupanya terlindung di belakang batu padas sehingga tidak
ikut terkena jarum berbisa. Makanya dia berani mengejek.
Tapi Buyung Hok tidak gubris
padanya, ia pikir untuk memusnahkan racun jarum itu harus mencari penyerang
yang sembunyi di dalam wajan, ia merasa tutup wajan yang diinjaknya itu
bergerak terus, terang orang di dalam wajan itu sedang berusaha menerobos
keluar.
Kepandaian Buyung Hong sangat
hebat. Dengan jarinya ia gantol pada dahan pohon sehingga dia dapat membuat
badannya seenteng kapas atau seberat bukit berlaksa kati. Bila orang itu ingin
menerobos keluar, kalau dia tidak membobol wajan itu dengan pedang mustika,
maka dia harus menggunakan tenaga sanggahan punggungnya untuk mengangkat pohon
dengan tenaga tindihan Buyung Hok itu.
Sebenarnya orang yang berada
di dalam wajan itu memiliki tenaga raksasa. Biasanya dengan tenaga punggungnya
ia mampu menumbuk rubuh seekor banteng. Karena itulah dia sekarang berani main
sembunyi dalam wajan tanpa kuatir.
Tapi sekali ini dia salah
hitung. Meski sudah berulang kali ia menyundul ke atas.
Tetap tutup wajan itu tak
bergeming seperti tertindih oleh sebuah bukit. Karuan orang itu kelabakan.
Berulang ia mengerahkan tenaga tapi tetap susah keluar.
Diam-diam Buyung Hok sudah
memperhitungkan setiap kali orang di dalam wajan itu menyundul, setiap kali
pula tentu akan banyak mengorbankan tenaga dalam, sebab ia sengaja mengadu
tenaga sundulan orang dengan tindihan tiohon besar itu.
Maka tertampak pohon yang
dipakai sebagai pegangan itu bergoyang-goyang seakan-akan tumbang. Tapi untuk
menyundul sebatang pohon bersama akar-akarnya memang terlalu sulit namun akar
pohon sedikit demi sedikit juga mulai banyak yang putus. Kalau orang di dalam
wajan ini menggunakan tenaga lagi beberapa kali, bukan mustahil dia akan dapat
menyingkap tutup wajan dan menerobos keluar.
Namun Buyung Hok juga sudah
siap sedia. Ia menduga begitu orang itu menerobos keluar, tentu akan
menghamburkan jarum berbisa lagi untuk melindungi tubuhnya. Dan sekali hantam,
semua jarum orang itu tentu akan dapat dipukul kembali dan mengenai tubuh orang
itu sendiri. Dengan demikian, maka pasti dia akan mengeluarkan obat penawar
untuk menyembuhkan lukanya sendiri dan tidak perlu susah lagi berusaha
merebutnya.
Tiba-tiba ia merasa tutup
wajan bergoncang hebat dua kali lagi, habis itu tahu-tahu lantas berhenti dan
tiada terdengar sesuatu gerak gerik orang di dalam wajan.
Buyung Hok menaksir orang itu
tentu lagi menghimpun tenaga untuk menyundul sekuatnya buat menerobos keluar
dari wajan. Maka ia sengaja mengendurkan tenaga tindihan sedang telapak tangan
kanan sudah siap menghantam.
Tak terduga sampai sekian lama
orang di dalam wajan itu tidak bergerak lagi, seperti sudah mati sesak di
dalam.
Dalam pada itu jerit tangis
orang banyak semakin riuh ramai. Beberapa orang yang lebih rendah kepandaiannya
saking tak tahan akan derita sakit dan gatal telah berguling-guling di tanah,
ada yang membentur-benturkan kepala di atas batu dan ada yang memukul-mukul
dada sendiri
Beramai-ramai mereka
berteriak-teriak mencari song Tho-kong dan ingin menyeretnya keluar untuk
mengambil obat penawarnya. Di tengah suara teriakan yang menyeramkan itu, ada
belasan orang menjadi kalap terus menerjang ke arah Buyung Hok.
Tapi Buyung Hok segera meloncat
ke atas dengan enteng, selagi ia hendak duduk di dahan pohon sekonyongkonyong
terdengar suara mendesir-desir halus, dari samping menyambar tiba secomot
sinarperak gemerdap, kembali beribu jarum berbisa yang halus telah menyambar
lagi ke arahnya.
Serangan ini sama sekali di
luar dugaan Buyung Hok, song Tho-kong yang menyerang dengan jarum berbisa itu
sudah pasti masih berada di dalam wajan, sedangkan jumlah jarum berbisa yang
berhamburan dan keras agaknya bukan dilakukan oleh tenaga manusia melainkan
dihamburkan dengan menggunakan sesuatu pesawat tertentu, apa barangkali ada
begundal song Tho-kong yang bersembunyi di samping situ dan sekarang
menyerangnya secara keji ?
Saat itu Buyung Hok sedang
terapung di udara, untuk menghindar terang sangat susah-Kalau menghantam
kembali jarum berbisa itu dengan tenaga pukulan yang dahsyat, ia kuatir seperti
kejadian tadi yaitu mengenai kawan sendiri karena waktu itu Pek-jwan berempat
masih berada di bawah.
Tapi Buyung Hok bukan Buyung
Hok kalau dia lantas mati kutu begitu saja. Gelar "Lam Buyung dan Pak Kiau
Hong” memang bukan gelaran kosong belaka.
Ilmu silat keluarga Buyung
sebenarnya sangat hebat dan susah diukur. Meski Buyung Hok selama ini lebih
giat dalam usahanya hendak membangun kembali kerajaannya sehingga tiada sempat
meyakinkan ilmu silat
leluhurnya dengan tekun, tapi
sebagai ahli waris Koh-soh Buyung sudah tentu bukanlah tokoh sembarangan.
Ketika lengan bajunya mengebas
sekali, bagaikan layar perahu yang tertiup angin dengan tenaga kebasan itu tubuhnya
terus melompat ke samping. Berbareng itu dari kebasan lengan bajunya lantas
terlontar suatu arus kekuatan yang maha kuat sehingga beribu jarum berbisa itu
tergampuk terbang ke udara. Habis itu dengan gaya yang indah, dengan ringan
seperti burung kemudian Buyung Hok meluncur turun.