Pendekar Hina Kelana Jilid 1-5

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 1-5 Musim semi selalu menjadi saat paling tepat untuk bersantai di setiap tahun. Angin sepoi-sepoi yang berhembus dengan lembut meniup dedaunan pohon liu dan bunga-bunga liar,
Musim semi selalu menjadi saat paling tepat untuk bersantai di setiap tahun. Angin sepoi-sepoi yang berhembus dengan lembut meniup dedaunan pohon liu dan bunga-bunga liar, membuat udara terasa begitu segar bagi siapa saja yang menghirupnya.

Di tepi selatan jalan raya berbatu yang membentang dari gerbang barat Kota Fuzhou, Provinsi Fujian, berdiri sebuah gedung yang cukup megah. Di depan gedung itu tampak menjulang dua batang tiang bendera berukuran tujuh meter. Pada masing-masing tiang terpasang bendera berwarna hijau yang berkibaran tertiup angin. Bendera sebelah kiri bersulamkan gambar seekor singa jantan dengan benang warna kuning. Sewaktu bendera melambai-lambai, gambar singa itu bagaikan hidup, seolah hendak melompat dan siap menerkam setiap saat. Tepat di atas kepala singa tersulam gambar dua ekor kelelawar dengan benang warna hitam, masing-masing sedang mengepakkan sayapnya. Sementara itu pada bendera yang terpasang di tiang sebelah kanan tampak bersulamkan benang warna hitam pula yang membentuk tulisan berbunyi “Biro Ekspedisi Fuwei”. Melihat betapa kuat dan indahnya sulaman pada kedua bendera tersebut, jelas semuanya dikerjakan oleh kaum ahli yang ternama.

Pintu utama gedung tersebut berwarna merah dengan dihiasi paku-paku tembaga seukuran cawan teh. Diterpa sinar matahari, paku-paku tembaga itu tampak bercahaya dan berkilat-kilat. Di atas pintu terpasang sebuah papan nama berwarna hitam, bertuliskan huruf-huruf kuning emas berukuran besar yang juga berbunyi “Biro Ekspedisi Fuwei”. Di bawah huruf-huruf besar tersebut melintang beberapa huruf yang lebih kecil, berbunyi “Kantor Pusat”.

Di balik pintu utama –di sebelah kanan dan kiri lorong– terdapat dua baris bangku panjang. Tampak duduk di sana delapan orang laki-laki gagah berseragam rapi sedang asyik bersenda gurau.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara derap kaki beberapa ekor kuda. Kedelapan pria berseragam itu serentak bangkit dan berlari keluar. Dari pintu samping sebelah barat gedung muncul lima orang penunggang kuda yang kemudian berhenti tepat di depan pintu utama tadi. Kuda yang paling depan berwarna putih bersih, memakai pelana indah yang tepiannya dihiasi sepuhan perak. Penunggangnya seorang pemuda berpakaian mewah berusia kurang lebih sembilan belas tahun. Di atas bahu pemuda itu hinggap seekor elang pemburu. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya, serta seperangkat busur dan anak panah tampak menghiasi punggungnya. Tangan kirinya juga memegang sehelai cambuk. Keempat penunggang yang lain berada di belakang, dan semuanya mengenakan seragam warna hitam.

“Tuan Muda hendak berburu lagi!” seru tiga di antara delapan laki-laki penjaga pintu hampir bersamaan.

Pemuda itu tersenyum sambil melecutkan cambuknya ke udara. Kuda putih tunggangannya langsung meringkik sambil mengangkat kedua kaki depan, kemudian melaju kencang bagaikan terbang.

“Pengawal Shi,” sahut salah seorang penjaga pintu gerbang, “bagaimana kalau nanti kami dibawakan seekor babi hutan untuk makan malam?”

“Jangan khawatir, akan kami sisakan ekornya saja untuk kalian,” jawab seorang penunggang kuda berusia empat puluhan yang dipanggil Pengawal Shi itu. “Yang penting berjagalah dengan baik dan jangan mabuk sebelum kami pulang.”

Usai berkata demikian, ia langsung memacu kuda menyusul sang Tuan Muda diiringi ketiga rekannya meninggalkan kedelapan penjaga pintu yang ramai bergelak tawa tersebut.

Tuan muda yang melaju paling depan tadi bernama Lin Pingzhi, putra tunggal pemilik Biro Ekspedisi Fuwei. Kuda putih yang dikendarainya berlari kencang bagaikan terbang di udara. Hanya dalam waktu singkat keempat pengikutnya sudah tertinggal jauh di belakang. Adapun keempat pengikutnya itu adalah para pegawai biro, yang terdiri atas dua orang pengawal bermarga Shi dan Zheng, serta dua orang pengiring bernama Bai Er dan Chen Qi.

Begitu sampai di atas tanjakan bukit, Lin Pingzhi segera melepaskan elang pemburunya. Tidak lama kemudian sepasang kelinci berwarna coklat kekuningan sudah berlari-lari keluar dari dalam hutan karena diburu elang tersebut. Dengan cepat Lin Pingzhi melepaskan anak panahnya. Seekor di antara dua kelinci itu langsung roboh di tanah. Sewaktu hendak membidik lagi, kelinci yang lain ternyata sudah menghilang di dalam semak-semak.

Pengawal Zheng dan yang lain baru saja tiba. Dengan tertawa ia memuji, “Sungguh hebat bidikan Tuan Muda!”

Kemudian terdengar suara Bai Er berseru dari dalam hutan sebelah kiri mereka, “Tuan Muda, lekas kemari! Di sini ada ayam hutan!”

Lin Pingzhi menjalankan kudanya menuju tempat itu dan melihat seekor ayam hutan berbulu indah melayang keluar dari balik semak pohon. Segera ia melepaskan panah namun meleset, sementara ayam itu justru melayang di atas kepalanya. Dengan cekatan pemuda itu melecutkan cambuknya ke atas, sehingga ayam tersebut langsung jatuh ke bawah dan bulunya yang berwarna-warni tampak bertebaran di udara.

Kelima orang Biro Fuwei itu pun bergelak tawa melihatnya.

“Jangankan cuma seekor ayam hutan, lecutan cambuk Tuan Muda bahkan mampu menjatuhkan seekor rajawali,” ujar Pengawal Shi memuji.

Mereka berlima lantas menyusur kian kemari sampai ke tengah hutan. Demi untuk menyenangkan hati sang majikan muda, kedua pengawal dan kedua pengiring selalu mengusik setiap binatang yang mereka temui dan menggiringnya ke arah Lin Pingzhi. Padahal sebenarnya, mereka sendiri mampu membinasakan hewan-hewan tersebut. Tidak terasa, perburuan tersebut sudah melewati empat jam. Tampak Lin Pingzhi telah mendapatkan tambahan dua ekor kelinci dan dua ekor ayam hutan lagi. Namun demikian, ia masih belum puas juga dan ingin memperoleh hasil yang lebih besar.

“Mari kita mencari lagi di depan sana, dan coba lihat apa yang bisa kita temukan,” ajak pemuda itu.

Diam-diam Pengawal Shi berpikir kalau menuruti hasrat sang majikan muda, bisa jadi sampai hari gelap pun tidak akan berhenti. Tentu pada akhirnya para pengawal yang akan ditegur nyonya majikan. Maka, Pengawal Shi pun menyahut, “Hari sudah mendekati petang. Jalan di sini banyak batunya dan sukar dilewati. Bisa-bisa kuda putih terpeleset jatuh. Selagi hari masih terang lebih baik kita pulang sekarang saja. Bagaimana kalau besok kita berangkat lebih awal supaya bisa mendapatkan buruan yang lebih besar?”

Pengawal Shi sangat hafal sifat sang majikan muda yang keras kepala dan sulit dibujuk, kecuali dengan menyampaikan kemungkinan bahwa si kuda putih akan mengalami celaka atau terluka. Lin Pingzhi memang sangat menyayangi hewan tunggangannya itu. Kuda tersebut berasal dari negeri barat yang kemudian dibeli oleh neneknya dari pihak ibu yang tinggal di Kota Luoyang dengan sejumlah emas. Kuda itu lalu diberikan kepadanya sebagai hadiah saat ia berulang tahun yang ketujuh belas.

Sesuai dugaan, Lin Pingzhi tampak tertegun sejenak kemudian menepuk leher kudanya sambil berkata, “Si Naga Putih sangat cerdik dan pintar. Justru kuda-kuda kalian itu yang perlu dikhawatirkan. Baiklah, kita pulang saja. Aku takut pantat Chen Qi yang akan pecah terbentur batu kalau kudanya nanti tiba-tiba terpeleset.”

Sambil bergelak tawa, kelima orang itu memutar kuda masing-masing kembali ke arah semula. Lin Pingzhi melaju paling depan dan menempuh jalur berbeda dibandingkan sewaktu berangkat tadi. Kali ini ia membelokkan kudanya ke arah utara dan memacunya dengan kencang. Setelah melaju cukup lama dan merasa puas, ia lalu memperlambat langkah kudanya perlahan-lahan. Tampak di tepi jalan terpancang panji sebuah kedai penjual arak.

“Tuan Muda!” seru Pengawal Zheng yang telah menyusul bersama ketiga lainnya. “Bagaimana kalau kita minum dulu barang secawan di situ? Daging kelinci dan ayam hutan yang masih segar ini sangat cocok sebagai teman minum arak.”

Lin Pingzhi tertawa dan menjawab, “Sebenarnya kalian tidak sungguh-sungguh menemani aku berburu, tetapi hanya ingin keluar untuk minum arak. Kalau sekarang tidak kutraktir minum, tentu besok kalian akan malas jika kuajak keluar lagi.” Usai berkata demikian pemuda itu mendahului ke depan. Begitu tiba di depan kedai arak, ia langsung melompat turun dari kudanya dan memasuki kedai tersebut.

Biasanya, si pemilik kedai yang bernama si tua Cai segera muncul keluar untuk menambatkan kuda pemuda itu sambil mengucapkan kata-kata sanjung puji, misalnya, “Wah, wah, coba lihat! Tuan Muda baru saja berburu. Hasil buruannya begitu banyak. Di dunia ini mana ada yang bisa menandingi kepandaian Tuan Muda?”

Namun hari ini sungguh berbeda. Si tua Cai tidak terlihat muncul, suasana kedai juga tampak sunyi senyap. Yang terlihat hanya seorang gadis muda berbaju hijau dengan dua konde di atas kepala sedang duduk di samping anglo. Sepertinya ia sibuk memasak arak sampai-sampai tidak menoleh sedikit pun untuk memandang ke arah Lin Pingzhi dan rombongan.

“Kau di mana, Cai Tua?” seru Pengawal Zheng. “Lekaslah keluar menuntun kuda Tuan Muda!”

Bai Er dan Chen Qi segera menarik bangku panjang di samping salah satu meja, kemudian membersihkan debu di atasnya menggunakan lengan baju masing-masing. Setelah itu keduanya pun mempersilakan Lin Pingzhi duduk. Pengawal Shi dan Pengawal Zheng mendampingi sang tuan muda, sementara kedua pengiring mengambil tempat duduk pada meja yang lain.

Dari dalam terdengar suara orang terbatuk-batuk, disusul kemudian muncul seorang laki-laki berambut putih memberi sambutan, “Selamat datang, Tuan-Tuan. Apakah Anda sekalian mau minum arak?” Dilihat dari logatnya sepertinya ia berasal dari daerah utara.

“Memangnya kami kemari mau minum teh? Tentu saja kami mau minum arak. Lekas bawakan kami tiga poci Arak Bambu Hijau,” sahut Pengawal Zheng. “Hei, ke mana perginya si tua Cai? Apa kedai ini sudah berganti pemilik?”

“Baik, baik, Tuan! Wan’er, lekas bawakan tiga poci arak Bambu Hijau,” sahut orang tua itu sekaligus memerintah si gadis baju hijau. “Sekadar perkenalan, saya bermarga Sa. Sebenarnya saya lahir di kota ini namun sejak kecil sudah ikut berkelana ke daerah lain untuk berdagang. Anak dan menantu sudah meninggal semua. Ibarat pepatah mengatakan, setinggi-tingginya pohon menjulang tetap saja daunnya jatuh di dekat akar. Akhirnya, saya pun memutuskan pulang ke kampung halaman sini bersama cucu perempuan saya tadi. Tidak disangka setelah empat puluh tahun lebih meninggalkan kampung halaman, seluruh sanak keluarga sudah tak tersisa seorang pun. Ada yang meninggal, ada pula yang pindah ke daerah lain. Untunglah saya bertemu Cai Tua yang merasa jenuh meneruskan usahanya. Ia menjual kedai arak ini kepada kami seharga tiga puluh tahil perak. Senang rasanya bisa pulang ke tanah kelahiran dan mendengar logat daerah ini. Namun, malu juga rasanya sudah lupa bahasa kampung sendiri.”

Sementara itu, si gadis berbaju hijau yang dipanggil Wan’er tadi telah datang membawa sebuah nampan kayu dengan kepala menunduk. Dipindahkannya cawan, sumpit, dan tiga poci arak pada nampan itu ke atas meja Lin Pingzhi. Setelah menjalankan tugasnya, dengan kepala tetap menunduk ia menyingkir pergi. Sedikit pun tidak memandang wajah para tamunya.

Lin Pingzhi tertegun melihat perawakan Wan’er yang langsing tetapi berkulit gelap dan kasap. Muka gadis itu sangat jelek, penuh dengan burik bekas penyakit cacar. Mungkin karena baru saja melakukan pekerjaan sebagai penjual arak, gerak-geriknya terlihat masih kaku. Demikian pikir Lin Pingzhi sehingga ia tidak lagi memedulikan tingkah laku gadis tersebut.

Sementara itu, Pengawal Shi telah menyerahkan seekor ayam hutan dan seekor kelinci kepada Kakek Sa, dan berkata, “Tolong kau bersihkan dan masaklah menjadi dua piring!”

“Baik, baik!” sahut Kakek Sa penuh hormat. “Sebagai teman minum arak, silakan Tuan-Tuan menikmati dulu sedikit daging rebus dan kacang goreng kedai kami.”

Tanpa menunggu perintah, si gadis burik bernama Wan’er segera membawakan potongan daging rebus dan kacang goreng tersebut untuk dihidangkan ke meja tamu-tamunya.

Pengawal Zheng berkata, “Tuan Muda Lin ini adalah putra majikan Biro Ekspedisi Fuwei. Beliau seorang kesatria muda yang budiman dan murah hati. Bagi tuan muda kami uang bukanlah masalah. Asalkan masakanmu nanti cocok dengan seleranya, maka semua modal yang telah kau keluarkan untuk membuka kedai ini pasti akan segera kembali.”

“Baik, baik! Terima kasih banyak, terima kasih banyak!” jawab Kakek Sa penuh hormat, kemudian pergi ke dapur membawa ayam hutan dan kelinci tadi.

Pengawal Zheng lantas menuangkan arak untuk Lin Pingzhi dan Pengawal Shi, serta untuk dirinya sendiri. Sekali teguk ia sudah menghabiskan isi cawannya. Sambil berkecap-kecap ia berkata, “Kedai ini sudah berganti pemilik, tapi rasa araknya tidak berubah.”

Usai berkata ia kembali mengisi cawannya dengan arak yang berwarna hijau seperti daun bambu itu. Baru saja hendak minum untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda di luar kedai. Tampak dua orang penunggang muncul dari arah utara. Mereka memacu kuda masing-masing dengan cepat dan dalam sekejap saja sudah sampai di depan kedai.

Terdengar salah seorang dari mereka berseru, “Hei, di sini ada kedai arak! Mari kita minum dulu barang secawan!”

Pengawal Shi dapat mengenali logat bicara orang-orang itu sepertinya berasal dari Provinsi Sichuan. Begitu menoleh keluar ia melihat dua orang laki-laki memakai topi berpinggiran lebar –seperti caping– dengan baju berwarna ungu. Setelah menambatkan kuda masing-masing mereka lantas masuk ke dalam kedai. Sekilas kedua orang itu memandang ke arah Lin Pingzhi dan yang lain, kemudian duduk dengan lagak seperti tuan besar.

Begitu caping dibuka, tampak kedua orang itu memakai ikat kepala berupa kain warna putih. Yang tampak aneh lagi adalah kaki mereka memakai sandal rami bertali, bukan sepatu seperti masyarakat pada umumnya. Pengawal Shi paham tradisi orang Sichuan kebanyakan memang berdandan seperti itu. Sejak kematian Perdana Menteri Zhuge Liang pada zaman Tiga Negara, orang-orang Sichuan merasa sangat kehilangan. Dengan memakai ikat kepala warna putih, mereka senantiasa menunjukkan sikap berkabung meskipun peristiwa itu sudah berlalu lebih dari seribu tahun.

Sementara itu, Lin Pingzhi yang tidak tahu menahu diam-diam merasa heran. Ia berpikir, “Dandanan kedua orang ini halus tidak, kasar juga tidak. Pakaian mereka rapi, tapi alas kaki seperti kaum rendahan. Benar-benar aneh.”

“Arak! Bawakan kami arak!” seru salah seorang yang lebih muda. “Sialan! Pegunungan di wilayah Fujian ini benar-benar banyak. Sampai-sampai kuda pun kepayahan.”

Dengan muka menunduk, Wan’er si gadis burik mendekati kedua tamunya yang baru datang itu. Ia pun bertanya dengan suara lirih, “Minta arak apa?”

Walaupun suaranya sangat pelan tapi terdengar merdu. Lelaki muda tadi melongok. Tiba-tiba ia tertawa sambil menjulurkan tangan kanan menyentuh dagu Wan’er sehingga muka gadis itu mendongak ke atas. Tak lama kemudian terdengar suaranya berseru sambil tertawa, “Wah, sayang! Sungguh sayang!”

Wan’er terkejut dan segera melangkah mundur. Laki-laki yang satunya menyahut sambil tertawa, “Adik Yu, tubuh nona belang ini boleh juga. Sayang sekali mukanya kasap seperti kertas amplas.”

Kedua orang Sichuan itu lantas tertawa lebih keras dan terbahak-bahak.

Melihat ulah mereka Lin Pingzhi naik darah. Ia menggebrak meja sambil berteriak, “Makhluk macam apa kalian ini? Dua bajingan buta berani kurang ajar di Kota Fuzhou kita!”

“Hei, Kakak Jia, ada orang sedang mencaci-maki. Menurutmu, anak kelinci itu sedang memaki siapa?” ujar pemuda bermarga Yu sambil mencibir.

Muka Lin Pingzhi memang putih dan cantik seperti ibunya. Biasanya kalau ada yang berani mengolok-olok, pasti orang itu akan langsung ditampar olehnya. Sekarang mendengar ada orang asing berani menyebutnya sebagai anak kelinci –yang maksudnya berkulit putih halus– sudah tentu ia sangat tersinggung. Tanpa pikir lagi, ia pun menyambar poci arak di atas meja dan melemparkannya ke arah orang Sichuan itu. Namun demikian, si marga Yu sempat berkelit sehingga poci yang terbuat dari timah itu terus saja melayang ke luar kedai. Arak pun berceceran di lantai. Serentak Pengawal Shi dan Pengawal Zheng bangkit dan melompat maju ke sisi kedua orang dari Sichuan tersebut.

Si marga Yu masih saja tertawa dan mengejek, “Bocah ini lebih baik naik panggung opera dan berperan sebagai pelacur kecil, mungkin lebih menarik. Kalau berkelahi jelas dia tidak pantas.”

“Apa kalian tidak tahu kalau Beliau ini adalah Tuan Muda Lin dari Biro Ekspedisi Fuwei? Sungguh besar nyalimu berani menepuk lalat di atas kepala harimau!” bentak Pengawal Zheng. Seketika tangan kirinya pun melayangkan pukulan ke wajah si marga Yu.

Namun, hanya dalam sekali gerak tahu-tahu tangan Pengawal Zheng sudah terpegang oleh lawan, dan dalam sekali tarik pula, tubuhnya langsung terhuyung ke depan menabrak meja. Sekejap kemudian siku si marga Yu juga bekerja dengan cepat mengenai tengkuk Pengawal Zheng, sehingga pria itu jatuh ke tanah bersama meja kayu yang hancur berantakan.

Meskipun Pengawal Zheng bukan jago pilihan di antara para pegawai Biro Fuwei, namun ia juga bukan golongan lemah. Kini hanya dalam sekali gebrak saja ia sudah roboh, jelas menunjukkan pihak lawan bukan orang sembarangan. Demikian pikir Pengawal Shi yang kemudian bertanya, “Siapa sebenarnya sobat berdua ini? Sebagai sesama kaum persilatan, apakah kalian benar-benar tidak memandang kepada Biro Ekspedisi Fuwei?”

“Biro Ekspedisi Fuwei? Hehe, baru kali ini aku mendengarnya. Perusahaan macam apa pula itu?” sahut si marga Yu mengejek.

“Perusahaan khusus menghajar anjing macam kalian!” bentak Lin Pingzhi sambil melompat maju lalu tangan kirinya menghantam ke depan. Sampai di tengah jalan tangan kanannya memukul pula dari bawah. Gerakan ini dinamakan jurus Sinar Menerobos Mega, yang merupakan bagian dari ilmu Tapak Semesta milik keluarganya.

“Hei, anak manis ini boleh juga,” ejek si marga Yu sambil menangkis serangan itu, kemudian tangan kanannya maju pula untuk mencengkeram pundak lawan.

Dengan cepat Lin Pingzhi menuduk ke bawah, bersamaan tangan kirinya memukul ke depan. Si marga Yu mengelak dengan memiringkan sedikit kepala. Akan tetapi, gerakan tangan Lin Pingzhi cepat pula berubah dan kini memainkan jurus Bunga di Balik Kabut. Tanpa ampun, si marga Yu pun terkena tamparan pemuda itu satu kali.

Si marga Yu sangat gusar dibuatnya. Kakinya lantas menendang ke depan, namun Lin Pingzhi sempat mengelak ke samping sambil membalas dengan tendangan pula.

Sementara itu, Pengawal Shi juga sudah terlibat pertarungan melawan orang bermarga Jia. Tampak Bai Er membangunkan Pengawal Zheng yang masih meringis kesakitan. Sambil mencaci-maki, Pengawal Zheng bangkit menerjang dengan maksud membantu Lin Pingzhi mengeroyok si marga Yu.

“Kau bantu Pengawal Shi saja!” seru Lin Pingzhi mencegah. “Aku sendiri bisa membereskan bajingan ini.”

Pengawal Zheng paham watak si tuan muda yang selalu ingin tampil sempurna dan enggan dibantu orang lain. Maka itu, ia pun mengambil sebatang kaki meja yang patah tadi untuk dipukulkan pada kepala si marga Jia.

Pada saat itu Chen Qi dan Bai Er berlari keluar menuju kuda-kuda mereka. Yang satu mengambil pedang Lin Pingzhi, sedangkan yang lain mengambil tombak pemburu. Keduanya lantas masuk kembali dengan mulut mencaci-maki. Kedua pegawai biro ini memang bukan petarung yang hebat. Akan tetapi dalam hal kekuatan mulut, mereka sudah biasa berteriak-teriak di sepanjang jalan saat mengawal barang dan rombongan. Maka itu, sudah sewajarnya kalau makian mereka terdengar sangat lantang. Apalagi yang mereka lontarkan adalah caci maki berlogat Fujian, sudah tentu kedua orang Sichuan itu sama sekali tidak mengerti maksudnya. Keduanya hanya yakin kalau yang mereka ucapkan pasti bukan kata-kata yang baik.

Lin Pingzhi semakin bersemangat dan memusatkan perhatiannya untuk melancarkan jurus-jurus Tapak Semesta terhadap si marga Yu. Biasanya ia berlatih melawan para pegawai biro, dan tidak seorang pun dari mereka yang mampu menandinginya. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi. Pertama, karena ilmu pukulan ini memang hebat; dan kedua, para pegawai dengan sendirinya lebih suka mengalah daripada benar-benar bertarung melawan sang majikan muda. Oleh karena itu, meskipun pemahamannya terhadap jurus-jurus terdebut sangat mendalam, namun pertarungan yang sesungguhnya jarang sekali ia alami.

Sebelum ini Lin Pingzhi pernah bertarung melawan para penjahat jalanan di Kota Fuzhou. Tentu saja mereka bukan tandingan kehebatan Tapak Semesta milik Keluarga Lin. Dalam tiga jurus saja para berandalan itu sudah berlarian dengan wajah pucat dan babak belur.

Akan tetapi, kali ini yang menjadi lawannya adalah pemuda jago silat dari Sichuan. Setelah belasan jurus berlalu rasa congkak Lin Pingzhi mulai lenyap. Bahkan, orang bermarga Yu itu sambil bertempur masih sempat membuka mulut untuk mengolok-olok pula. “Nak, jangan-jangan kau ini seorang nona manis yang menyamar sebagai laki-laki? Mukamu putih dan cantik. Bagaimana kalau kita sudahi saja pertarungan ini dan beri aku satu ciuman? Setelah itu kita berteman dan bertamasya bersama!”

Lin Pingzhi semakin gusar. Ia lantas melirik ke arah Pengawal Shi dan Pengawal Zheng. Ternyata kedua pegawai ayahnya itu juga tidak lebih unggul dari lawan meskipun mereka bertarung bersama-sama. Bahkan hidung Pengawal Zheng sudah berwarna biru matang serta mengeluarkan darah sampai membasahi baju akibat terkena pukulan si marga Jia. Tanpa pikir lagi, Lin Pingzhi mempercepat gerakannya dan berhasil menampar wajah lawan lebih keras dari sebelumnya.

“Dasar anak bulus!” bentak si marga Yu murka. “Sebenarnya aku hanya ingin bermain-main denganmu. Melihat wajahmu yang cantik, aku ingin memelukmu. Sebaliknya, kau malah menghajar kekasihmu ini. Baiklah, jangan salahkan aku jika terlalu kasar!” Usai berkata demikian, tiba-tiba pukulan si marga Yu berubah lebih gencar. Kepalan tangannya bekerja naik-turun dan menghantam Lin Pingzhi seperti angin badai.

Pertarungan kedua pemuda itu akhirnya berpindah ke luar kedai arak. Ketika si marga Yu memukul ke depan, tiba-tiba Lin Pingzhi teringat ajaran ayahnya mengenai teknik menangkis dan mendorong serangan lawan. Maka, ia pun memainkan teknik itu menggunakan tangan kiri. Akan tetapi, tenaga si marga Yu ternyata sungguh kuat, sehingga dorongan tersebut tidak mampu menghentikan serangannya. Sebaliknya, justru dada Lin Pingzhi yang terkena pukulan musuh. Dalam keadaan sempoyongan, tahu-tahu leher pemuda itu terkena cengkeraman tangan kiri lawan pula.

Sekuat tenaga si marga Yu mendesak Lin Pingzhi sampai membungkuk ke bawah. Menyusul kemudian tangan yang satunya ikut menekan tengkuk pemuda itu dengan cara melintang di atas tangan yang pertama tadi. Gerakan ini dinamakan jurus Palang Pintu Besi.

“Anak bulus, sekarang kau bisa menyembah dan memanggil paman kepadaku sebanyak tiga kali. Setelah itu, barulah kulepaskan dirimu,” ujarnya dengan tertawa.

Melihat itu, Pengawal Shi dan Pengawal Zheng berniat meninggalkan lawan yang sedang mereka hadapi untuk segera membantu Lin Pingzhi. Akan tetapi, orang bermarga Jia berusaha keras menghalangi dengan melancarkan berbagai serangan sehingga kedua pegawai biro itu sulit menyingkir.

Di sisi lain, Bai Er lekas-lekas mengangkat tombaknya dan menusuk ke arah punggung si marga Yu sambil berteriak, “Kau lepas tanganmu atau tidak? Apa kau ingin mampus…”

Belum selesai ia berkata, tiba-tiba si marga Yu menyepak ke belakang – tanpa menoleh – menggunakan kaki kiri sehingga tombak yang ia pegang terlempar sejauh beberapa meter. Tidak hanya itu, kaki kanan pemuda itu juga ikut mendepak sehingga Bai Er jatuh terguling beberapa kali.

“Bangsat keparat! Terkutuklah nenek moyangmu tujuh belas keturunan!” sahut Chen Qi ikut mencaci-maki. Hanya saja ia tidak menerjang maju, melainkan mundur karena ketakutan.

“Anak manis, kau mau menyembah kepadaku atau tidak?” tanya si marga Yu sambil tertawa. Ia menambah tenaga pada kedua tangannya sehingga kepala Lin Pingzhi semakin tertunduk ke bawah. Makin lama wajah pemuda itu semakin rendah dan nyaris menyentuh tanah.

Lin Pingzhi yang terdesak mencoba mengayunkan kepalan untuk menghantam perut lawan, tetapi selalu kurang beberapa senti dan gagal mencapai sasaran. Sebaliknya, tengkuknya terasa sangat sakit seakan-akan hendak patah pula. Matanya berkunang-kunang dan telinga pun terasa mendenging.

Dalam keadaan terdesak, kedua tangan Lin Pingzhi menghantam dan mencakar sembarangan. Tiba-tiba tangannya menyentuh suatu benda keras yang terselip di dalam sepatu. Tanpa pikir lagi, benda itu pun disambar dan ditusukkannya ke depan sehingga menancap di perut orang bermarga Yu.

“Aaahh!” jerit si marga Yu kesakitan. Kedua tangannya melemah dan ia berjalan mundur dua-tiga langkah. Raut mukanya menampilkan perasaan takut dan ngeri. Ternyata sebilah pisau belati telah menancap di perutnya. Gagang belati itu berwarna keemasan dan tampak berkilauan terkena cahaya matahari senja di ufuk barat. Pemuda dari Sichuan itu membuka mulut lebar-lebar namun tidak mampu bersuara. Tangannya mencoba untuk mencabut belati itu, namun tidak berani menyentuh gagangnya.

Lin Pingzhi sendiri juga berdebar-debar ketakutan dan berjalan mundur beberapa langkah. Sementara itu, si marga Jia dan kedua pengawal biro juga menghentikan pertarungan. Mereka terperanjat melihat keadaan si marga Yu. Pemuda itu tampak mulai terhuyung-huyung. Akhirnya ia nekad memegang gagang belati dengan tangan kanan dan mencabutnya sekuat tenaga. Seketika darah segar pun menyembur keluar sampai dua-tiga meter jauhnya. Semua yang menyaksikan sampai menjerit kaget seolah tidak percaya dengan mata sendiri.

“Kakak Jia… Kakak Jia… ka… katakan ke… kepada Ayah supaya membalaskan sakit hatiku,” serunya dengan suara terputus-putus sambil melemparkan pisau belati itu ke depan. Sekejap kemudian ia pun roboh di tanah. Tubuhnya menggelepar beberapa kali, kemudian berhenti untuk selamanya.

“Adik Yu, Adik Yu!” seru si marga Jia sambil berlari mendekati kawannya itu.

“Ambil senjata!” ujar Pengawal Shi dengan suara lirih kepada rekan-rekannya. Ia lantas mendahului berlari ke samping kudanya dan mengambil sebilah golok panjang. Sebagai seorang pengawal berpengalaman, ia yakin si marga Jia akan melabrak pihaknya habis-habisan.

Akan tetapi, orang bermarga Jia itu hanya menatap tajam ke arah Lin Pingzhi beberapa detik. Dengan cepat ia memungut pisau belati di atas tanah tadi, kemudian melompat mendekati kudanya. Sekali hentak, tahu-tahu ia sudah berada di atas pelana. Tanpa membuang banyak waktu, ia memotong tali kendali yang tertambat di pohon dan memacu kudanya secepat angin menuju utara.

Chen Qi mendekati mayat si marga Yu dan menendangnya satu kali sehingga terbalik ke atas. Darah segar tampak masih mengucur keluar. “Dasar bajingan! Kau memang sudah bosan hidup sehingga berani mengusik tuan muda kami.”

Akan tetapi, Lin Pingzhi sendiri belum pernah membunuh orang sebelumnya. Dengan nada gemetar pemuda itu berkata, “Pengawal Shi… Pengawal Shi… bagai… bagaimana ini? Aku tidak pernah… aku tidak bermaksud membunuhnya.”

Pengawal Shi tampak sedang merenung. Ia berpikir, “Biro Ekspedisi Fuwei sudah berdiri selama tiga generasi. Pertempuran yang berakhir dengan kematian sudah sering kami hadapi. Namun biasanya yang kami bunuh adalah para penjahat atau kaum persilatan golongan hitam, dan itu pun terjadi di pegunungan sepi atau hutan yang sunyi. Selanjutnya, mayat-mayat mereka kami kubur begitu saja, habis perkara. Namun kali ini yang menjadi korban bukan seorang penjahat, juga terjadi di dekat permukiman penduduk. Pembunuhan bukan masalah remeh. Bahkan putra seorang pejabat atau walikota sekalipun tidak bisa dengan mudah lolos dari jerat hukum, apalagi hanya putra seorang pengusaha biro ekspedisi.”

Berpikir demikian, Pengawal Shi mengerutkan dahi lalu berkata, “Pindahkan mayat itu ke dalam kedai. Di sini dekat jalan raya. Kita tidak ingin kalau sampai ada orang yang melihatnya.”

Untungnya waktu itu matahari sudah terbenam, serta jalanan juga sunyi sepi. Dengan cepat Bai Er dan Chen Qi menggotong mayat si marga Yu masuk ke dalam kedai.

“Apakah Tuan Muda membawa uang?” bisik Pengawal Shi kepada Lin Pingzhi.

“Ada. Aku punya,” jawab Lin Pingzhi dengan cepat sambil mengeluarkan seluruh isi kantongnya yang berjumlah dua puluh tahil perak.

Pengawal Shi menerima uang itu lantas masuk ke dalam kedai. Diletakkannya semua uang itu di atas meja lalu berkata kepada si pemilik, “Kakek Sa, orang asing ini telah menggoda cucu perempuanmu. Demi membela kebenaran, Tuan Muda kami terpaksa membunuhnya. Kita semua menjadi saksi. Urusan ini muncul karena kalian. Kalau sampai beritanya meluas, tentu kalian pun tidak akan lepas dari masalah. Ambil semua uang ini dan lupakan yang telah terjadi. Marilah kita kubur mayat ini dan anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa.”

“Ya, ya, ya!” sahut Kakek Sa sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Pengawal Zheng ikut berbicara, “Membunuh beberapa penjahat bagi kami hanyalah urusan kecil. Kedua tikus Sichuan ini bermata jelalatan dan sangat mencurigakan. Kalau bukan kaum perampok, tentu mereka adalah penjahat yang biasa menodai perempuan. Kedatangan mereka ke Kota Fuzhou ini sudah pasti untuk melakukan kejahatan. Tuan muda kami mengetahui penyamaran mereka dan segera bertindak tegas. Jasa tuan muda kami sebenarnya cukup besar, namun Beliau tidak suka menonjolkan diri. Lebih baik persoalan ini dianggap selesai saja. Oleh karena itu, hendaknya kalian tutup mulut rapat-rapat. Kalau urusan ini sampai bocor, tentu kalian akan celaka sendiri. Sudah pasti masyarakat akan menganggap kalian sebagai komplotan mereka, mengingat logat bicara kalian terdengar asing. Kalian akan dituduh membuka kedai arak hanya sebagai penyamaran, padahal sebenarnya kalian adalah mata-mata mereka. Bagaimana tidak? Kalian baru saja membuka kedai arak, tiba-tiba saja muncul dua penjahat dari luar daerah. Bukankah ini sangat kebetulan?”

“Kami tidak akan bicara apa-apa. Kami tidak mengetahui apa-apa,” ujar Kakek Sa terburu-buru.

Pengawal Shi telah memimpin Bai Er dan Chen Qi mengubur jenazah si marga Yu di kebun sayur belakang kedai arak. Kemudian mereka juga membersihkan ceceran darah di depan kedai tadi.

Pengawal Zheng kembali berkata kepada Kakek Sa, “Jika dalam sepuluh hari tidak terjadi apa-apa, maka kami akan mengirim lima puluh tahil perak lagi kepadamu. Tapi awas kalau kalian sembarangan mengoceh di sana-sini… Huh, Biro Fuwei kami sudah banyak membinasakan kawanan penjahat. Kalau ditambah dengan kalian berdua, paling-paling hanya kebun sayurmu itu saja yang bertambah isinya dengan dua mayat.”

“Kami tidak berani! Kami tidak berani! Terima kasih banyak! Terima kasih banyak!” sahut Kakek Sa gugup.

Hari telah gelap ketika semua urusan di kedai itu dirasa beres. Perasaan Lin Pingzhi sudah agak tenang meskipun jantungnya masih berdebar-debar. Sepanjang perjalanan pulang ia terus-menerus berpikir, apakah peristiwa pembunuhan tersebut harus dilaporkan kepada ayahnya atau tidak.

Sesampainya di rumah, Lin Pingzhi langsung berjalan memasuki ruang depan. Dilihatnya sang ayah sedang duduk di kursi malas sambil memejamkan mata. Sepertinya majikan Biro Ekspedisi Fuwei yang bernama Lin Zhennan itu sedang memikirkan sesuatu.

“Ayah,” dengan sikap agak kaku Lin Pingzhi menyapa.

Lin Zhennan membuka mata dan menjawab sambil tersenyum ramah, “Baru pulang dari berburu? Mendapat babi hutan atau tidak?”

“Tidak,” jawab Lin Pingzhi gugup.

Tiba-tiba Lin Zhennan mengangkat sebatang pipa cangklong dan memukulkannya ke pundak Lin Pingzhi sambil membentak, “Terima ini!”

Lin Pingzhi hafal kebiasaan ayahnya yang suka menyerang tiba-tiba untuk mengetahui sampai di mana perkembangan ilmu silatnya. Biasanya, apabila sang ayah menyerang dengan jurus kedua puluh enam dari Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang bernama Bintang Jatuh Melayang, tentu secara spontan Lin Pingzhi langsung menangkisnya dengan jurus keempat puluh enam yang bernama Bunga Mekar Menghadap Buddha. Namun hari ini perasaannya sedang gelisah. Ia mengira peristiwa di kedai arak tadi telah terbongkar sehingga sang ayah berniat menghukumnya. Maka itu, ia tidak berani berkelit dan hanya berseru, “Ayah!”

“Hei, ada apa ini?” tegur Lin Zhennan sambil menahan pipa cangklongnya yang sudah berjarak beberapa senti di atas pundak Lin Pingzhi. “Kalau bertemu musuh tangguh tentu sebelah bahumu ini sudah terpenggal begitu saja.” Meskipun ucapannya bernada membentak, namun bibirnya tetap tersenyum.

“Baik,” jawab Lin Pingzhi sambil kemudian menunduk ke bawah. Dengan cepat ia memutar ke belakang Lin Zhennan dan menyambar kemoceng yang terletak di atas meja teh untuk ditusukkan ke punggung ayahnya itu. Gerakan inilah yang disebut jurus Bunga Mekar Menghadap Buddha.

“Harusnya tadi seperti ini!” seru Lin Zhennan sambil mengangguk. Pipa cangklongnya lantas menangkis, dan kemudian balas menyerang menggunakan jurus Meniup Seruling di Tengah Sungai. Dengan penuh semangat Lin Pingzhi mematahkan serangan ayahnya menggunakan jurus Pelangi Melintas dari Timur.

Ayah dan anak itu bertarung hingga lebih dari lima puluh jurus, sampai akhirnya pipa cangklong Lin Zhennan dengan cepat menotok dada kiri Lin Pingzhi satu kali. Karena tidak sempat menangkis, seketika Lin Pingzhi merasa lengan kanannya kaku kesemutan sehingga kemoceng yang dipegangnya pun jatuh di atas lantai.

“Bagus, bagus sekali! Selama sebulan ini kau sudah mendapat banyak kemajuan. Hari ini kau dapat bertahan empat jurus lebih banyak daripada kemarin!” kata Lin Zhennan dengan tersenyum sambil duduk kembali. Setelah mengisi tembakau ke dalam pipa, ia menyambung, “Ping’er, coba tebak! Hari ini kita baru saja mendapatkan berita bagus.”

Tanpa disuruh, Lin Pingzhi langsung mengambil pemantik api untuk menyalakan tembakau di pipa ayahnya sambil bertanya, “Apakah Ayah telah menerima order barang kawalan dalam jumlah besar?”

Lin Zhennan menggeleng dan berkata, “Selama pelayanan kita bagus, order kawalan pasti akan datang dengan sendirinya. Kau tidak perlu khawatir perusahaan kita sepi rejeki. Yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana menambah kekuatan agar dapat melaksanakan tugas pengawalan dengan lebih baik. Jangan sampai banyak order datang, tetapi kita tidak mampu memenuhinya.”

Setelah menghembuskan asap tembakaunya, Lin Zhennan kembali berkata, “Berita bagus yang ini disampaikan oleh Pengawal Zhang dari cabang Hunan, bahwa Pendeta Yu pemimpin Kuil Cemara Angin telah menerima barang-barang hadiah dari kita. Beliau adalah ketua Perguruan Qingcheng yang terletak di Sichuan Barat.”

Mendengar nama “Pendeta Yu di Sichuan Barat”, jantung Lin Pingzhi langsung berdebar kencang. Spontan ia menegas, “Barang-barang hadiah dari kita telah diterima Pendeta Yu?”

“Benar!” sahut Lin Zhennan. “Beberapa urusan perusahaan memang ada yang tidak Ayah bicarakan denganmu sehingga wajar kalau kau pun kurang begitu mengetahuinya. Namun, Ayah merasa kau ini sudah mulai dewasa, sehingga cepat atau lambat beban yang Ayah pikul selama ini harus dipindahkan ke atas bahumu. Maka, mulai sekarang kau harus lebih banyak memperhatikan dan mempelajari pekerjaan-pekerjaan dalam perusahaan kita.”

Setelah diam sejenak, ia melanjutkan, “Nak, keluarga kita sudah tiga generasi melakukan pekerjaan mengawal barang. Biro kita telah menjadi perusahaan pengawalan terbesar dan terkuat di sepanjang daerah selatan Sungai Yangtze. Dari mana datangnya kemajuan-kemajuan yang kita peroleh selama ini? Pertama, karena nama besar kakek buyutmu; kedua, karena ilmu silat yang diturunkan leluhur kita juga cukup disegani pihak kawan maupun lawan, misalnya Ilmu Pedang Penakluk Iblis ataupun Tapak Semesta. Akan tetapi, dunia usaha tidaklah sederhana itu. Nama besar hanya berperan dua puluh persen saja, sedangkan kepandaian ilmu silat berperan dua puluh persen pula. Sisanya yang enam puluh persen ditentukan oleh kemampuan kita menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak, baik itu dari golongan putih maupun golongan hitam.”

Lin Zhennan menghisap pipa cangklongnya dan menghembuskan banyak asap, kemudian melanjutkan, “Coba pikir, kereta perusahaan kita sudah menjelajahi sepuluh provinsi. Jika dalam setiap perjalanan harus bertempur melawan orang lain, dari mana kita mendapatkan cadangan nyawa untuk bertahan hidup? Padahal, meskipun bisa menang tetap saja jatuh korban di pihak kita. Untuk mengganti kerugian serta uang pensiun para pegawai kita yang gugur diperlukan biaya tidak sedikit. Tidak jarang kita harus menambal dengan menggunakan kas perusahaan karena upah pengawalan yang kita terima tidak mencukupi. Maka itu, kita yang hidup dari usaha pengawalan ini harus mengutamakan persahabatan. Tangan juga harus selalu terbuka. Menjalin hubungan baik jauh lebih penting daripada main senjata dan mengandalkan kepandaian belaka.”

“Ya, Ayah,” jawab Lin Pingzhi. Biasanya, ia selalu mendengarkan penuturan sang ayah dengan penuh semangat, mengingat Biro Ekspedisi Fuwei lambat laun akan diwarisi olehnya. Namun kali ini hatinya sedang gelisah memikirkan “pendeta bermarga Yu dari Sichuan Barat” sehingga ucapan ayahnya itu sama sekali tidak menimbulkan hasrat untuk balik bertanya.

Beberapa kali Lin Zhennan mengetuk pipa cangklongnya di atas lantai untuk mengeluarkan abu tembakau. Sejenak kemudian ia kembali berkata, “Ilmu silat Ayah tidak sehebat kakekmu, apalagi dibandingkan kakek buyutmu. Akan tetapi, keterampilan ayahmu ini dalam mengelola perusahaan lebih baik daripada Beliau berdua. Kakek buyutmu mendirikan perusahaan ini dan membuka empat kantor di Fujian, Guangdong, Zhejiang, dan Jiangsu. Selama kepemimpinan Ayah, telah dibuka enam cabang baru di Shandong, Hunan, Hebei, Hubei, Jiangxi, dan Guangxi. Apa kau tahu rahasia kesuksesan Ayah? Tentu saja ‘menciptakan banyak sahabat dan sedikit musuh’. Ingat ini dengan baik, perusahaan kita bernama ‘Fuwei’, yang mengandung makna: ‘rejeki dan wibawa’. Rejeki lebih utama daripada wibawa. Rejeki bisa datang kalau kita memiliki banyak teman dan sedikit musuh. Sebaliknya, kalau perusahaan kita bernama ‘Weifu’, itu berarti kita lebih mengutamakan wibawa daripada rejeki. Wibawa bisa ditegakkan dengan bermain kasar dan mengandalkan kekuatan. Tentu saja ini bukan sifat keluarga kita, hahaha.”

Lin Pingzhi ikut tertawa, meskipun tidak mengandung rasa gembira yang sesungguhnya.

Ternyata Lin Zhennan belum juga menyadari kegelisahan putranya itu. Ia masih saja bercerita panjang lebar, “Pepatah mengatakan, ‘Kuasai Sichuan setelah menaklukkan Gansu’. Namun, perusahaan kita mengatakan, ‘Kuasai Sichuan setelah menaklukkan Hubei’. Perusahaan pengawalan kita pertama kali berdiri di Fujian sini, kemudian merambah ke barat melalui Jiangxi dan Hunan, sampai akhirnya berhenti di Hubei. Lantas, mengapa kita tidak meneruskannya hingga ke Sichuan? Sichuan adalah provinsi yang paling subur dan makmur. Orang-orang menyebut Sichuan sebagai surga dunia. Banyak penduduk kaya raya hidup di sana. Dari daerah itu kita bisa merambah lagi ke utara hingga mencapai Shanxi, serta ke selatan mencapai Yunnan dan Guizhou. Dengan demikian perusahaan kita paling tidak akan bertambah besar tiga kali lipat dari sekarang. Hanya saja, daerah Sichuan terkenal sebagai kandang harimau mendekam dan naga bersembunyi. Banyak orang sakti tinggal di daerah itu. Maka, kita harus menjalin hubungan baik dengan dua perguruan silat ternama di sana, yaitu Perguruan Qingcheng dan Emei.”

Lin Zhennan terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Sudah tiga tahun ini, setiap tahun baru Ayah selalu mengutus orang secara khusus untuk mengantarkan hadiah-hadiah berharga ke Kuil Cemara Angin di Gunung Qingcheng dan Biara Puncak Emas di Gunung Emei. Pendeta Jinguang ketua Perguruan Emei menerima utusan kita dengan ramah dan menjamu makan pula. Akan tetapi, semua hadiah yang kita berikan dikembalikannya semua tanpa membuka segel sedikit pun. Sebaliknya, Pendeta Yu ketua Perguruan Qingcheng lebih tertutup sifatnya. Murid-muridnya selalu menghadang utusan kita di lereng gunung, dan mengatakan bahwa guru mereka sedang bermeditasi tingkat tinggi sehingga tidak bisa menerima tamu. Mereka mengaku telah memiliki segala macam barang di dalam kuil sehingga tidak perlu menerima hadiah dari luar. Jangankan untuk menemui Pendeta Yu, utusan kita bahkan tidak mengetahui ke arah mana pintu Kuil Cemara Angin menghadap. Sesampainya di sini para utusan yang kita kirim selalu mengeluh. Kalau saja tidak teringat pada pesan Ayah yang melarang mereka mengumbar kemarahan, mungkin mereka sudah berkelahi dengan orang-orang yang tidak tahu diri itu.”

Sampai di sini Lin Zhennan lantas bangkit dari tempat duduknya. Dengan nada gembira ia melanjutkan, “Kau tahu, tidak? Setelah sekian lama akhirnya Pendeta Yu bersedia menerima hadiah yang kita kirim. Bahkan, ia telah mengutus empat orang muridnya untuk membalas kunjungan ke Fujian sini…”

“Empat orang murid? Bukannya dua saja?” mendadak Lin Pingzhi menyela.

“Empat orang murid!” sahut Lin Zhennan yakin. “Coba pikir, Pendeta Yu rupanya memandang penting urusan ini. Bukankah ini suatu penghargaan untuk Biro Fuwei kita? Maka itu, Ayah pun mengirim pesan kepada cabang-cabang kita di Jiangxi, Hunan, dan Hubei agar memberi sambutan sebaik-baiknya kepada empat tamu agung tersebut di sepanjang jalan.”

“Ayah, apakah orang Sichuan kalau bicara suka menyebut orang lain sebagai ‘anak bulus’ atau ‘anak kelinci’ segala?” tanya Lin Pingzhi tiba-tiba.

“Ah, itu hanya ucapan kaum kasar,” jawab Lin Zhennan sambil tertawa. “Orang kasar ada di mana-mana dan ucapan mereka sudah tentu kasar pula. Coba lihat para pegawai kita, baik itu pengawal ataupun pengiring kereta. Pada saat berjudi dan minum arak mereka juga suka mengumpat dan memaki. Bahkan jauh lebih kasar dan kotor daripada ucapan orang Sichuan yang kau maksudkan itu. Memangnya ada masalah apa kau menanyakan hal ini?”

“Tidak ada,” sahut Lin Pingzhi gugup.

Lin Zhennan kembali berpesan, “Nanti kalau keempat murid Qingcheng itu datang, kau harus bersikap akrab pada mereka. Perhatikan dan pelajarilah gaya-gaya murid dari perguruan ternama. Menjalin persahabatan dengan mereka tentu akan sangat bermanfaat bagimu di kemudian hari”

Lin Pingzhi larut dalam pikirannya sementara sang ayah sibuk bercerita panjang lebar. Pemuda itu merasa semakin gelisah selama peristiwa pembunuhan di kedai arak tadi belum ia sampaikan kepada sang ayah. Ia berpikir mungkin lebih baik bercerita kepada ibunya saja terlebih dahulu.

Setelah makan malam, Lin Pingzhi dan kedua orang tuanya berkumpul di ruang tengah untuk bercakap-cakap. Lin Zhennan membahas pada bulan enam yang akan datang saudara dari istrinya akan berulang tahun. Istrinya itu – atau ibu Lin Pingzhi – berasal dari Keluarga Golok Emas Wang yang sangat terkenal di Kota Luoyang. Dalam hal ini Lin Zhennan merasa bingung hendak memberikan hadiah ulang tahun macam apa kepada saudara iparnya tersebut.

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar. Menyusul kemudian beberapa orang pegawai masuk ke dalam ruangan.

“Ada apa ini?” sahut Lin Zhennan bertanya.

Tiga orang pegawai tampak menggigil ketakutan. Salah seorang yang paling depan berkata gugup, “Ketua... Ketua....”

“Ada masalah apa? Lekas katakan!” seru Lin Zhennan dengan perasaan mulai kesal.

“Bai Er… Bai Er telah tewas,” jawab seorang pegawai yang tidak lain adalah Chen Qi.

Lin Zhennan terkejut dan segera bertanya, “Siapa yang membunuh dia? Pasti kalian berjudi dan berkelahi, bukan?” Dalam hati ia sangat gusar. Sungguh berat baginya mengelola perusahaan yang memiliki banyak orang kasar di dalamnya. Sering sekali mereka berkelahi tanpa alasan yang jelas. Apalagi kalau perkelahian itu berakhir dengan kematian dan terjadi di kota besar, sudah pasti akan mengundang banyak masalah.

“Bukan, Ketua! Bukan seperti itu!” jawab Chen Qi. “Tadi sewaktu hendak membuang hajat, Xiao Li melihat Bai Er sudah tergeletak di kebun sayur di samping kakus. Mayatnya sudah kaku, namun tidak terdapat luka sama sekali. Tidak seorang pun yang tahu bagaimana ia meninggal. Mungkin saja… mungkin saja ia terkena penyakit maut sehingga mati mendadak.”

Lin Zhennan menghela nafas panjang dan berusaha menenangkan diri. “Coba kulihat ke sana,” ujarnya sambil melangkah pergi. Lin Pingzhi mengikuti di belakang sang ayah menuju kebun sayur tersebut.

Sesampainya di tengah kebun, tampak beberapa orang pengawal dan pengiring sudah berkerumun di sana. Begitu sang pemimpin perusahaan datang, mereka langsung bergeser memberi jalan. Lin Zhennan melihat pakaian Bai Er sudah terbuka tapi di tubuhnya tidak terdapat noda darah sedikit pun. Segera ia bertanya kepada Pengawal Zhu yang berdiri di sebelahnya, “Apa benar tidak ada luka di tubuhnya?”

“Sudah saya periksa dengan teliti, sekujur tubuhnya ternyata tidak terluka sedikit pun. Tampaknya juga bukan mati karena keracunan,” jawab Pengawal Zhu.

Lin Zhennan mengangguk dan melihat wajah Bai Er memang biasa saja. Sedikit pun tidak ada tanda kebiru-biruan sebagaimana orang keracunan pada umumnya. Hanya saja pegawainya itu tampak mati dengan bibir tersenyum.

Lin Zhennan lantas berkata, “Beri tahu Kasir Dong untuk mengurus pemakaman. Juga kirimkan seratus tahil perak kepada keluarga Bai Er.”

Kematian seorang pengiring rendahan sudah pasti tidak terlalu menyita pikiran Lin Zhennan. Setelah memberi perintah seperlunya ia pun kembali ke ruang tengah. Kepada Lin Pingzhi ia berkata, “Bukankah tadi Bai Er ikut pergi berburu bersamamu?”

“Benar,” jawab Lin Pingzhi. “Sewaktu pulang tadi ia masih segar bugar, tak disangka mendadak langsung terserang penyakit dan meninggal.”

“Di dunia ini sudah biasa terjadi hal-hal yang mendadak,” ujar Lin Zhennan. “Kebaikan atau keburukan sering terjadi tiba-tiba dan sukar diperkirakan sebelumnya. Sudah lama Ayah ingin membuka jalan ke daerah Sichuan tetapi selalu gagal. Selama sepuluh tahun terakhir, Ayah memeras otak memikirkan hal ini. Siapa sangka Pendeta Yu tiba-tiba terbuka pikirannya dan mau menerima hadiah dari kita; bahkan, mengirimkan empat orang muridnya pula untuk balas berkunjung kemari.”

Lin Pingzhi berkata, “Ayah, meskipun Perguruan Qingcheng adalah perguruan terkemuka di dunia persilatan, tetapi nama Biro Ekspedisi Fuwei kita juga tidak rendah di mata kaum pendekar. Kita sudah mengirimkan hadiah kepada Pendeta Yu setiap tahun. Kalau sekarang ia mengirim orangnya kemari, bukankah ini hanya sekadar kunjungan balasan atau penghormatan timbal balik saja?”

“Kau tahu apa?” sahut Lin Zhennan sambil tertawa. “Perguruan Qingcheng dan Emei sudah berdiri selama ratusan tahun, serta memiliki tidak sedikit bibit unggul di antara murid-muridnya. Kedua perguruan ini memang tidak sebesar Shaolin atau Wudang, namun hanya selisih sedikit di bawah Serikat Pedang Lima Gunung, yaitu perserikatan yang terdiri atas Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, Huashan, dan Henshan. Kakek buyutmu –yaitu Kakek Yuantu– memang telah menciptakan tujuh puluh dua jurus Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang pernah mengguncangkan dunia persilatan. Bisa dikatakan pada zaman itu tidak seorang pun yang mampu menandingi ilmu pedang kakek buyutmu. Namun, setelah Kakek Yuantu meninggal dan ilmu pedang mahasakti itu diwarisi kakekmu, ternyata banyak mengalami kemunduran. Lebih-lebih ketika diwariskan kepada Ayah, malah semakin mundur lagi. Keluarga Lin dalam tiga generasi terakhir ini masing-masing hanya memiliki seorang putra tunggal saja dan tidak menerima murid dari luar. Dengan hanya mengandalkan kekuatan kita berdua, sudah pasti kita tidak sebanding dengan perguruan-perguruan silat tersebut.”

Lin Pingzhi yang masih penasaran terus mendesak, “Tapi bukankah kita bisa mengumpulkan semua kekuatan perusahaan kita yang tersebar di sepuluh provinsi? Bersama-sama pasti kita mampu menghadapi kekuatan Perguruan Shaolin, Wudang, Emei, Qingcheng, serta Serikat Pedang Lima Gunung?”

Lin Zhennan merasa geli dan menjawab, “Nak, tidak apa-apa kalau kau bicara seperti itu di depan Ayah. Namun kalau kau bicara di luar sana dan didengar orang lain, tentu akan mendatangkan banyak masalah. Sebanyak delapan puluh empat orang pengawal kita yang tersebar di sepuluh kantor cabang memang memiliki kepandaian sendiri-sendiri. Kalau mereka digabung menjadi satu tentu tidak akan kalah menghadapi golongan mana pun. Akan tetapi, apa manfaatnya andaikata perusahaan kita dapat mengalahkan perguruan-perguruan itu? Sebagai perusahaan ekspedisi, kita seharusnya mencari banyak sahabat, bukannya mencari musuh. Kita tidak akan menderita kerugian apa-apa dengan bersikap rendah hati.”

Tiba-tiba kembali terdengar suara ribut-ribut di luar, “Celaka! Pengawal Zheng juga meninggal!”

Lin Zhennan dan Lin Pingzhi sama-sama terperanjat. Bahkan, Lin Pingzhi sampai melonjak dari kursi dan berkata dengan suara gemetar, “Mereka pasti da… datang untuk membalas…” Belum selesai perkataannya, dengan cepat ia menahan mulut. Lin Zhennan sendiri sudah bergegas keluar sehingga tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan putranya tadi.

Chen Qi datang dengan tergesa-gesa. “Ce… celaka, Ketua! Ini gawat! Pe… Pengawal Zheng juga telah di… ambil nyawanya oleh… oleh hantu jahat dari Sichuan!” serunya dengan nada gugup.

“Hantu jahat dari Sichuan apa lagi ini? Omong kosong!” bentak Lin Zhennan sambil memalingkan muka.

“Saya bicara be... benar, Ketua,” sahut Chen Qi gugup. “Hantu itu... orang dari Sichuan itu sangat ganas semasa hidupnya. Tentu dia semakin ganas setelah mati...,” Begitu menoleh ke arah Lin Pingzhi dan melihat raut muka sang tuan muda terlihat gusar, ia tidak berani bicara lagi.

Lin Zhennan lalu bertanya, “Kau bilang Pengawal Zheng telah meninggal? Di mana jasadnya kini dan bagaimana dia bisa mati?”

Saat itu beberapa pegawai yang lain juga sudah berlarian datang. Seorang pengawal menjawab, “Pengawal Zheng meninggal di dalam kandang. Kematiannya sama persis dengan Bai Er. Tubuhnya tidak terluka sedikit pun, juga tidak mengeluarkan darah setetes pun. Wajahnya juga tidak terlihat bengkak atau membiru. Sepertinya... sepertinya mereka berdua terkena gangguan setan jahat sewaktu berburu bersama Tuan Muda tadi.”

Lin Zhennan mendengus dan berkata, “Huh, seumur hidup aku belum pernah melihat hantu atau setan semacamnya. Mari kita pergi melihatnya.” Usai bicara ia langsung bergegas keluar menuju ke tempat yang dimaksud.

Sesampainya di sana, jasad Pengawal Zheng tampak tergeletak di tanah, dengan kedua tangan masih memegang pelana kuda. Sepertinya ia sedang melepas pelana dari punggung kuda ketika tiba-tiba roboh binasa. Sama sekali tidak ditemukan pula tanda-tanda bertarung melawan orang lain.

Hari sudah mulai gelap. Lin Zhennan menyuruh seorang anak buahnya mengambil lentera. Perlahan-lahan ia membuka pakaian Pengawal Zheng. Diperiksanya dengan teliti sekujur mayat pegawainya itu, ternyata memang tidak terdapat luka sedikit pun. Selain itu juga tidak terdapat patah tulang sama sekali, termasuk tulang jari sekalipun.

Lin Zhennan tidak percaya takhayul. Kematian Bai Er tadi dianggapnya sebagai suatu kebetulan saja. Namun sekarang Pengawal Zheng juga mati dalam keadaan serupa. Apabila keduanya mati karena diserang penyakit, mengapa tidak terdapat bintik-bintik merah atau hitam pada tubuh mereka? Mungkinkah kematian mereka berhubungan dengan suatu hal dalam kegiatan berburu putranya tadi?

Berpikir demikian, Lin Zhennan lantas mengajukan pertanyaan kepada Lin Pingzhi. “Selain Pengawal Zheng dan Bai Er, yang ikut pergi berburu bersamamu adalah Pengawal Shi dan dia, bukan?” ujarnya sambil menunjuk wajah Chen Qi.

Lin Pingzhi hanya mengangguk tanpa bersuara.

“Kalau begitu, kalian berdua ikut aku!” kata Lin Zhennan. Ia kemudian berkata kepada seorang pengiring lainnya, “Coba kau panggil Pengawal Shi agar datang ke ruang timur. Aku ingin bicara dengannya.”

Sesampainya di ruang timur, Lin Zhennan mengambil tempat duduk dan bertanya, “Apa yang sebenarnya telah terjadi?”

Sadar bahwa dirinya tidak dapat menutupi peristiwa itu lagi, Lin Pingzhi terpaksa menceritakan semua pengalamannya sewaktu pulang dari berburu siang tadi. Ia bercerita mula-mula rombongannya singgah untuk minum di sebuah kedai arak. Kemudian datang dua orang Sichuan yang bersikap kurang ajar terhadap gadis penjual arak di kedai itu. Lin Pingzhi turun tangan dan bertarung melawan salah seorang pemuda dari Sichuan tersebut. Akhirnya, orang itu berhasil mencengkeram tengkuknya dan menekannya sampai menyentuh tanah. Pada saat itulah Lin Pingzhi mencabut sebilah pisau belati dari balik sepatu dan digunakannya untuk membunuh lawan. Pengawal Shi lantas mengubur mayat orang Sichuan itu di dalam kebun sayur, dan memberikan beberapa tahil perak kepada pemilik kedai sebagai penutup mulut.

Semakin mendengarkan cerita itu, Lin Zhennan semakin penasaran. Namun demikian, sebagai seorang yang sudah lama berkecimpung di dunia persilatan, ia merasa wajar jika anaknya berkelahi dan membunuh orang. Dengan tenang tanpa bersuara ia mengikuti cerita Lin Pingzhi sampai selesai.

Setelah merenung sejenak, Lin Zhennan lantas bertanya, “Apakah kedua orang itu tidak mengatakan dari aliran atau golongan mana mereka berasal?”

“Tidak,” jawab Lin Pingzhi.

“Apakah dari ucapan dan tingkah laku mereka, kau menemukan suatu hal yang luar biasa?” tanya Lin Zhennan lebih lanjut.

“Tidak ada yang aneh dengan mereka. Hanya saja, orang bermarga Yu itu mengatakan…”

“Apa? Jadi, orang yang telah kau bunuh itu bermarga Yu?” sahut Lin Zhennan menukas.

“Ya. Aku mendengar rekannya memanggil dia dengan sebutan ‘Adik Yu’. Tapi aku sendiri juga kurang begitu yakin. Mereka berasal dari daerah lain, sudah tentu logat bahasa mereka berbeda dengan kita,” jawab Lin Pingzhi.

Mendengar itu, Lin Zhennan menggelengkan kepala dan menggumam, “Tidak mungkin! Tidak mungkin bisa kebetulan seperti ini. Pendeta Yu berkata hendak mengirim orang-orangnya kemari. Namun, mengapa mereka bisa sampai di Fuzhou secepat ini? Memangnya mereka punya sayap?”

Lin Pingzhi terperanjat dan segera bertanya, “Apakah Ayah khawatir kedua orang itu berasal dari Perguruan Qingcheng?”

Lin Zhennan tidak menjawab. Selang sejenak, ia berkata sambil menggerakkan tangan, “Sewaktu kau menyerang dengan jurus Tapak Semesta, bagaimana cara dia menangkis pukulanmu?”

“Dia tidak dapat menangkis sehingga terkena tamparanku,” sahut Lin Pingzhi.

“Bagus sekali! Bagus sekali!” seru Lin Zhennan sambil tersenyum.

Sejak tadi suasana di ruangan itu sangat tegang, namun kini agak mencair oleh pujian Lin Zhennan tersebut. Lin Pingzhi sendiri ikut tersenyum. Perasaannya yang tertekan menjadi agak longgar.

“Sewaktu kau menyerang lagi dengan gerakan ini, bagaimana ia menyerang balik?” tanya Lin Zhennan sambil memperagakan suatu contoh serangan.

Lin Pingzhi menjawab, “Waktu itu aku sedang marah sehingga tidak melihat dengan jelas bagaimana sikapnya. Yang pasti, aku berhasil memukul dadanya.”

Mendengar itu, raut muka Lin Zhennan tampak lebih tenang. Ia berkata, “Bagus sekali, bagus sekali! Serangan kita memang harus demikian. Karena dia tidak mampu menangkis sama sekali, rasanya tidak mungkin kalau dia memiliki hubungan dengan Pendeta Yu dari Perguruan Qingcheng.”

Rupanya ucapan “bagus sekali” yang diucapkannya beberapa kali tadi bukan dimaksudkan untuk memuji kemenangan Lin Pingzhi, tetapi disebabkan oleh rasa lega karena orang yang mati itu ternyata bukan anggota Perguruan Qingcheng. Lin Zhennan berpikir orang Sichuan banyak yang bermarga Yu dan mahir ilmu silat. Karena orang itu bisa dibunuh putranya, sudah pasti ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, serta tidak mungkin pula berasal dari Perguruan Qingcheng.

Sambil jari tengah tangannya mengetuk meja beberapa kali, ia kembali bertanya lebih lanjut, “Lalu, bagaimana cara dia mencengkeram tengkukmu?”

Lin Pingzhi langsung menggerakan tangan untuk memperagakan bagaimana dirinya dibekuk oleh si marga Yu sampai tidak bisa berkutik.

Chen Qi yang sudah mulai berkurang rasa takutnya ikut berkata, “Kemudian Bai Er mencoba menikam punggung orang itu dengan tombak, tapi tahu-tahu dia sudah ditendang ke belakang dan tombak pun terlempar. Bahkan, Bai Er sendiri sampai terguling-guling tidak bisa bangun.”

Perasaan Lin Zhennan tergetar mendengarnya. Segera ia bertanya sambil bangkit dari kursi, “Orang itu mendepak ke belakang sehingga Bai Er terjungkal? Bagaimana... bagaimana cara dia melakukannya?”

“Kalau tidak salah seperti ini,” jawab Chen Qi sambil memperagakan gerakan itu. Tangannya memegang sandaran kursi, lalu kedua kakinya susul menyusul mendepak ke belakang.

Dasar ilmu silat Chen Qi memang rendah sehingga gerakannya terlihat kaku dan menggelikan. Dengan menahan tawa, Lin Pingzhi berkata, “Ayah, coba lihat itu…” Namun begitu melihat wajah Lin Zhennan menampilkan rasa tegang, seketika ia langsung berhenti berbicara.

“Kedua depakan ke belakang itu mirip jurus Tendangan Tanpa Bayangan yang menjadi kebanggaan Perguruan Qingcheng,” ujar Lin Zhennan. “Nak, sebenarnya bagaimana cara dia melontarkan kedua depakan itu?”

Lin Pingzhi menjawab, “Waktu itu kepalaku ditekan ke bawah sehingga tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana dia menendang ke belakang.”

“Benar juga, hanya Pengawal Shi saja yang bisa memberi keterangan,” ujar Lin Zhennan. Segera ia keluar ruangan dan berteriak, “Hei, di mana Pengawal Shi? Sudah sekian lama mengapa belum datang juga?”

Dua orang pengiring segera mendekat dan menjawab, “Kami sudah mencari kemana-mana, tapi Pengawal Shi tidak dapat ditemukan.”

Perasaan Lin Zhennan semakin gelisah. Ia berpikir, “Kalau kedua tendangan itu benar-benar jurus Tendangan Tanpa Bayangan, sudah pasti orang bermarga Yu itu anggota Perguruan Qingcheng. Jika memang demikian, siapa dia sebenarnya?”

Berpikir demikian, ia memutuskan untuk memeriksa secara langsung. Segera ia kembali memberi perintah kepada dua pengiring tadi, “Coba kalian panggil Pengawal Cui dan Pengawal Ji kemari!”

Kedua pengawal yang dimaksud tersebut adalah orang kepercayaan Lin Zhennan. Selain berpengalaman luas, cara bekerja mereka pun rajin dan teliti. Sejak mengetahui Pengawal Zheng tewas dan Pengawal Shi menghilang, mereka langsung bersiap-siap di luar ruangan. Maka begitu mendengar nama mereka disebut oleh Lin Zhennan, keduanya segera masuk ke dalam.

Lin Zhennan berkata, “Kita harus memeriksa ke sana. Pengawal Cui, Pengawal Ji, Ping’er, dan Chen Qi, kalian semua ikut aku!”

Kelima orang itu lantas memacu kuda dengan kencang ke luar kota melalui gerbang utara. Lin Pingzhi berkuda paling depan sebagai penunjuk jalan. Tidak lama kemudian, rombongan itu telah sampai di depan kedai arak kecil yang menjadi tujuan mereka.

Pintu kedai tampak tertutup rapat. Lin Pingzhi segera mengetuk dan berseru, “Kakek Sa! Kakek Sa! Lekas bukakan pintu!” Meskipun sudah diketuk berkali-kali, tidak juga terdengar suara jawaban dari dalam.

Pengawal Cui memandang ke arah Lin Zhennan seolah meminta izin untuk mendobrak. Setelah Lin Zhennan mengangguk, kedua tangan Pengawal Cui langsung menghantam ke depan sehingga palang pintu kedai patah seketika. Daun pintu itu terdorong ke dalam lalu kembali ke depan beberapa kali. Engsel yang telah berkarat mengeluarkan suara keriat-keriut menambah seram suasana.

Begitu pintu terbuka, Pengawal Cui segera menarik badan Lin Pingzhi ke samping. Setelah yakin tidak ada bahaya mengancam dari dalam, barulah mereka melangkah masuk. Sebuah pelita yang berada di atas meja langsung dinyalakan sebagai penerang selain lentera yang mereka bawa. Kelima orang itu memeriksa bagian dalam dan luar kedai dengan seksama, namun tidak seorang pun tampak terlihat. Segala perabotan di dalam kedai ternyata masih lengkap, tidak satu pun yang dibawa pergi.

“Sepertinya kakek itu khawatir tersangkut masalah ini. Apalagi mayat tersebut dikubur di dalam kebun sayurnya. Rasanya tidak aneh kalau dia menyingkir pergi,” kata Lin Zhennan sambil mengangguk. Ia kemudian berjalan menuju kebun sayur dan berkata, “Chen Qi, gali kebun ini dan keluarkan mayatnya!”

Sejak awal Chen Qi sangat yakin bahwa dua kematian misterius di dalam Biro Fuwei terjadi akibat ulah hantu penasaran orang Sichuan tersebut. Dengan sangat terpaksa ia mengangkat cangkul dan mulai menggali kebun tempat mayat orang itu dikubur. Akan tetapi, belum seberapa lama ia mencangkul, kaki dan tangannya sudah gemetar, dan akhirnya terkulai lemas tak bertenaga.

“Dasar tak berguna! Kau masih berani menyebut dirimu pengiring kereta, hah?” bentak Pengawal Ji. Segera ia merebut cangkul dan menyodorkan lentera di tangannya kepada Chen Qi. Sebentar saja ia mencangkul, baju jenazah samar-samar mulai terlihat. Tidak lama kemudian, setelah mengayunkan beberapa cangkulan lagi, mayat tersebut akhirnya terlihat seluruhnya. Dengan menggunakan gagang cangkul, Pengawal Ji mengangkat mayat itu ke atas.

Chen Qi buru-buru memalingkan mukanya ke arah lain karena takut memandang mayat tersebut. Tiba-tiba ia mendengar suara keempat orang lainnya berteriak kaget. Karena semakin ketakutan, ia pun menjatuhkan lentera di tangannya sehingga suasana di kebun sayur itu menjadi gelap gulita.

Terdengar suara Lin Pingzhi berkata dengan nada terputus-putus, “Yang dikubur di sini tadi jelas-jelas orang dari Sichuan itu. Mengapa… mengapa…”

“Nyalakan kembali lenteranya!” seru Lin Zhennan.

Pengawal Cui memungut lentera di atas tanah tadi dan menyalakannya kembali. Lin Zhennan lantas berjongkok memeriksa mayat tersebut dengan teliti. Sejenak kemudian ia berkata, “Tidak terdapat luka sedikit pun. Kematiannya sama persis dengan yang lain.”

Chen Qi memberanikan diri memandang ke arah mayat. Seketika ia langsung menjerit kaget, “Pengawal Shi! Ini Pengawal Shi!”

Ternyata, mayat yang baru saja diangkat dari kuburan tersebut adalah Pengawal Shi, sementara mayat orang Sichuan bermarga Yu sudah menghilang entah ke mana.

“Ada yang tidak beres dengan kakek bermarga Sa itu,” ujar Lin Zhennan. Segera ia menyambar lentera dan kemudian berlari ke dalam kedai untuk memeriksa kembali. Dari guci arak di dapur sampai panci, mangkuk, piring, meja, dan kursi, semuanya tanpa kecuali dijungkirbalikkan untuk diperiksa dengan lebih cermat. Namun demikian, tetap saja tidak terdapat suatu petunjuk yang mencurigakan.

Lin Pingzhi dan yang lain ikut masuk ke dalam kedai dan memeriksa pula. Tiba-tiba pemuda itu berteriak, “Ayah, coba ke sini dan lihat ini!”

Lin Zhennan bergegas menuju ke arah putranya bersuara. Ternyata Lin Pingzhi menemukan sesuatu di dalam kamar tidur Wan’er, cucu Kakek Sa. Pemuda itu tampak memegang sehelai saputangan berwarna hijau. “Ayah, seorang gadis dari keluarga miskin mana mungkin bisa memiliki saputangan seperti ini?” ujarnya.

Lin Zhennan mengambil saputangan itu. Samar-samar tercium olehnya bau harum yang menarik perhatian. Saputangan ini sangat halus dan terasa agak mantap, jelas terbuat dari bahan sutra pilihan. Ketika diperiksa lebih lanjut, tampak di tepi benda itu terdapat lingkaran berupa tiga garis benang berwarna hijau. Salah satu ujungnya bersulamkan setangkai bunga mawar berwarna merah, sepertinya dikerjakan dengan sangat teliti dan indah sekali.

“Dari mana kau peroleh saputangan ini?” tanya Lin Zhennan.

“Kutemukan di sudut kolong ranjang,” jawab Lin Pingzhi. “Mungkin mereka pergi dengan tergesa-gesa sehingga tidak sempat melihat saputangan ini jatuh sewaktu berbenah.”

Dengan menggunakan lentera, Lin Zhennan berjongkok memeriksa kolong ranjang namun tidak menemukan apa-apa lagi. Setelah merenung sejenak ia lalu berkata, “Kau bilang nona penjual arak itu mukanya sangat jelek. Aku berpikir pakaiannya pasti tidak terlalu bagus. Namun, apakah penampilannya sangat bersih dan teliti?”

“Waktu itu aku tidak terlalu memperhatikan dia, tapi rasanya memang tidak terlalu buruk dan dekil,” jawab Lin Pingzhi. “Kalau pakaiannya kotor, tentu aku dapat merasakan risih sewaktu dia membawakan arak untukku.”

“Bagaimana pendapatmu, Adik Cui?” sahut Lin Zhennan sambil berpaling kepada Pengawal Cui.

“Saya rasa kematian Pengawal Shi dan Pengawal Zheng tentu ada sangkut-pautnya dengan kakek dan cucu ini. Bahkan kemungkinan besar, mereka adalah para penjahat yang sedang menyamar,” sahut Pengawal Cui.

“Kedua orang Sichuan itu bisa jadi adalah komplotan mereka,” ujar Pengawal Ji menambahkan. “Kalau tidak, untuk apa mereka menukar mayat di kebun sayur?”

“Tapi orang bermarga Yu jelas-jelas berbuat kasar dan menggoda nona itu. Kalau tidak, mana mungkin aku berkelahi dengannya?” sahut Lin Pingzhi. “Rasanya tidak mungkin mereka ini satu komplotan.”

“Dalam hal ini Tuan Muda masih kurang berpengalaman,” ujar Pengawal Cui. “Kita ini hidup di dunia persilatan dan sudah biasa menemui orang-orang yang bersikap palsu dan jahat. Mereka sering memasang perangkap untuk menjerat lawannya. Misalnya, dua orang pura-pura berkelahi supaya muncul pihak ketiga melerai mereka. Begitu ini terjadi, mendadak dua orang yang berkelahi tadi berbalik mengeroyok orang ketiga tersebut.”

Pengawal Ji bertanya dengan suara lirih, “Bagaimana pendapat Ketua tentang masalah ini?”

“Sasaran yang dituju si kakek dan gadis penjual arak ini sudah pasti diri kita,” jawab Lin Zhennan. “Hanya saja, aku belum yakin apakah mereka berdua benar-benar komplotan orang-orang Sichuan itu atau bukan.”

Menyadari sesuatu, tiba-tiba Lin Pingzhi berkata, “Ayah berkata bahwa Pendeta Yu dari Kuil Cemara Angin telah mengirim empat muridnya berkunjung kemari. Bukankah jumlah mereka… jumlah mereka sudah lengkap empat orang?”

Kata-kata ini menghantam perasaan Lin Zhennan bagaikan palu godam. Beberapa saat ia terkesima dan merenung, kemudian berkata lirih, “Selamanya Biro Ekspedisi Fuwei selalu menghormati Perguruan Qingcheng dan belum pernah berbuat sesuatu yang tidak baik terhadap mereka. Lalu, untuk apa Pendeta Yu mengirim orang-orangnya ke sini mengganggu kita? Untuk apa?”

Kelima orang itu hanya saling pandang dengan perasaan bingung tanpa bersuara sedikit pun. Setelah agak lama, barulah Lin Zhennan kembali berkata, “Marilah kita pindahkan dulu jenazah Pengawal Shi ke dalam rumah. Tentang peristiwa ini hendaknya jangan sampai tersiar supaya tidak diketahui oleh pihak yang berwajib. Aku tidak ingin menimbulkan masalah yang lainnya lagi.” Setelah diam sejenak ia melanjutkan, “Keluarga Lin selalu menghormati orang lain. Namun, kami juga bukan pengecut yang menerima penghinaan begitu saja.”

Pengawal Ji berkata dengan nada tegas, “Ketua, pepatah mengatakan, ‘para prajurit diberi makan selama setahun untuk menghadapi satu pertempuran.’ Sudah cukup banyak kami menerima budi baik Ketua. Kami semua siap mengangkat senjata demi membela nama baik Biro Fuwei.”

“Terima kasih banyak atas kesetiaan kalian,” sahut Lin Zhennan sambil menganggukkan kepala. Ia lantas mengajak rombongannya itu kembali ke dalam kota.

Sesampainya di kantor pusat, tampak para pegawai berkumpul di depan pintu utama. Puluhan obor yang mereka pegang membuat suasana malam itu terang benderang bagaikan siang. Lin Zhennan sendiri berdebar-debar menyaksikan pemandangan ini.

“Ketua sudah pulang! Ketua sudah pulang!” seru orang-orang itu bersama-sama.

Istri Lin Zhennan menyambut dengan wajah kesal. “Suamiku, coba kau lihat itu! Sungguh berani mereka menghina kita!”

Meskipun sudah menikah dengan Lin Zhennan, namun perempuan ini lebih akrab dipanggil dengan sebutan “Nyonya Wang”, sesuai marga aslinya. Begitu melihat sang suami datang, Nyonya Wang langsung bercerita sambil menunjuk potongan dua batang tiang bendera yang saling melintang di atas tanah. Keduanya tidak lain adalah tiang panji-panji Biro Ekspedisi Fuwei yang selama ini berdiri gagah di depan pintu utama gedung kantor pusat. Ditinjau dari bekas patahannya yang halus, jelas tiang-tiang tersebut dipotong menggunakan golok yang sangat tajam.

Nyonya Wang yang saat itu sedang tidak memegang senjata segera melolos pedang sang suami untuk memotong tali bendera dari tiangnya. Kemudian ia melipat panji-panji perusahaan Keluarga Lin tersebut dan membawanya masuk ke dalam gedung.

Lin Zhennan lantas berkata, “Adik Cui, lekas kau potong sisa tiang bendera yang masih tertinggal di altar batu itu. Huh, mereka pikir mudah menjatuhkan nama besar Biro Ekspedisi Fuwei?”

“Baik, Ketua,” sahut Pengawal Cui kemudian bergegas menjalankan perintah.

Terdengar Pengawal Ji memaki, “Bangsat keparat! Mereka adalah kaum pengecut rendah yang beraninya menyerang diam-diam saat Ketua sedang meninggalkan markas!”

Lin Zhennan mengajak Lin Pingzhi masuk ke dalam rumah, meninggalkan Pengawal Ji yang masih memaki-maki di luar. Mereka melihat Nyonya Wang telah membentangkan kedua bendera tadi di atas dua buah meja. Ayah dan anak itu semakin kesal menyaksikan keadaan panji-panji tersebut. Tampak sulaman gambar singa jantan pada bendera yang satu telah kehilangan matanya, sementara bendera yang lainnya – yang bertuliskan Biro Ekspedisi Fuwei – telah kehilangan huruf “wei”.

Lin Zhennan seorang yang sangat sabar dan jarang sekali marah. Namun begitu melihat panji-panji kebesaran keluarganya dirusak orang, rasa gusarnya sulit terbendung lagi. Tangannya lantas menggebrak meja dengan keras, sampai-sampai salah satu kaki meja yang terbuat dari kayu Huali itu patah dibuatnya.

Lin Pingzhi ketakutan dan berkata dengan gemetar, “Ayah, ini semua... ini semua adalah kesalahanku. Akulah penyebab semua kekacauan ini.”

Lin Zhennan menjawab lantang, “Kita dari keluarga Lin membunuh orang secara kesatria! Kalau aku bertemu bajingan rendah seperti dia, sudah pasti aku juga akan membunuhnya!”

Nyonya Wang menyela, “Memangnya seperti apa orang yang kau bunuh?”

Lin Pingzhi pun menjawab pertanyaan ibunya dengan menceritakan semuanya, mulai dari kematian orang Sichuan bermarga Yu sampai dengan tewasnya Pengawal Shi. Nyonya Wang telah mengetahui kematian Pengawal Zheng dan Bai Er. Kematian Pengawal Shi bukannya membuat wanita ini takut, melainkan semakin gusar.

Sambil menggebrak meja, ia bangkit dan berkata, “Suamiku, mana mungkin kita biarkan Biro Ekspedisi Fuwei direndahkan orang seperti ini? Mari kita kumpulkan orang-orang dan bersama-sama kita berangkat ke Sichuan menuntut keadilan kepada Perguruan Qingcheng. Jika perlu, aku akan mengajak ayah dan kedua saudaraku sekalian.”

Sifat Nyonya Wang sejak kecil memang pemarah. Sewaktu masih gadis ia sudah terbiasa mencabut golok hanya karena masalah sepele. Ia sendiri berasal dari Keluarga Golok Emas Wang, yaitu sebuah keluarga terhormat dan sangat disegani di Kota Luoyang. Itulah sebabnya sampai sekarang ia lebih akrab dipanggil dengan sebutan “Nyonya Wang” daripada “Nyonya Lin”.

Meskipun ilmu silat Nyonya Wang tidak terlalu tinggi, namun orang-orang yang berselisih dengannya lebih memilih untuk mengalah, mengingat nama besar sang ayah, yaitu Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding. Sampai sekarang meskipun ia sudah bersuami dan putranya juga sudah tumbuh besar, namun sifat pemarah Nyonya Wang masih tetap tidak berubah.

Mendengar saran sang istri, Lin Zhennan menjawab, “Masalahnya kita belum tahu dengan pasti siapa yang menjadi musuh kita. Belum tentu pelakunya benar-benar dari Perguruan Qingcheng. Namun siapapun mereka, aku rasa mereka tidak akan berhenti sampai di sini hanya dengan membunuh dua pengawal dan merusak tiang bendera kita....”

“Memangnya mereka mau apa lagi?” sahut Nyonya Wang menukas.

Lin Zhennan diam tidak menjawab, melainkan hanya melirik ke arah Lin Pingzhi. Anehnya, Nyonya Wang langsung paham maksud suaminya. Mendadak wajahnya berubah pucat dan jantung pun berdebar-debar.

Lin Pingzhi yang tidak menyadari gelagat di antara kedua orang tuanya memberanikan diri untuk bicara, “Masalah ini disebabkan oleh kecerobohanku. Laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Sedikit pun... sedikit pun aku tidak gentar.” Meskipun mengaku tidak gentar, tetap saja suaranya terdengar gemetar.

“Hm, kalau mereka berani menyentuh seujung rambutmu, maka mereka harus melangkahi mayat ibumu ini lebih dulu,” kata Nyonya Wang. “Panji kebesaran perusahaan kita sudah berkibar selama tiga generasi. Belum pernah sekali pun kita tunduk dan menyerah kepada orang lain. Jika sakit hati ini tidak dibalas, rasanya tidak pantas lagi kita disebut sebagai manusia. Aku tidak sanggup lagi berdiri di depan cermin,” lanjut wanita itu sambil berpaling ke arah suaminya.

Lin Zhennan mengangguk dan menjawab, “Akan kukirim orang untuk menyelidiki apakah di dalam kota ditemukan wajah-wajah asing yang tidak dikenal. Juga akan kutambah jumlah penjaga di sekitar gedung kantor ini. Kalian berdua tunggu saja di dalam! Lebih-lebih, Ping’er tidak boleh sampai keluar sedikit pun.”

“Ya, aku mengerti!” jawab Nyonya Wang.

Kedua suami-istri ini yakin bahwa cepat atau lambat putra mereka pasti menjadi sasaran musuh. Mereka berada di tempat terang, sementara musuh berada di dalam gelap. Sedikit saja Lin Pingzhi melangkah keluar gedung, tentu bahaya akan langsung mengancamnya.

Lin Zhennan berjalan ke depan sampai di aula gedung, di mana para pegawai telah berkumpul menunggu perintahnya. Segera ia memerintahkan mereka untuk menyebar menyelidiki kemungkinan adanya wajah-wajah asing mencurigakan yang berkeliaran di dalam kota, serta menambah jumlah para penjaga untuk meronda di sekitar gedung. Rupanya para pegawai ini merasa dipermalukan, karena kedua tiang bendera telah dirobohkan musuh sementara mereka tidak mengetahui sama sekali. Dengan perasaan gusar, mereka telah berseragam lengkap dan mempersiapkan senjata masing-masing. Perintah yang telah disampaikan sang ketua segera dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Lin Zhennan terharu menyaksikan semangat persatuan para pegawainya yang merasa ikut memiliki Biro Ekspedisi Fuwei itu. Setelah mendengar sumpah mereka yang siap bekerja dan berkorban demi kehormatan perusahaan, ia lantas masuk kembali menemui istri dan putranya di ruang tengah.

“Ping’er, kesehatan ibumu selama beberapa hari ini agak menurun,” ujarnya kepada Lin Pingzhi. “Setiap saat musuh bisa datang menyerang. Bagaimana kalau kau tidur di depan pintu kamar sekaligus menjaga ibumu?”

Mendengar ini Nyonya Wang langsung menyela, “Aku tidak perlu...” namun ia langsung paham akan maksud sesungguhnya dari ucapan sang suami. Sebenarnya Lin Zhennan bukan meminta agar Lin Pingzhi melindungi ibunya, melainkan supaya putranya itu dekat dengan sang ibu dan ini akan membuatnya lebih aman. Mereka sadar Lin Pingzhi bersifat angkuh dan sudah pasti merasa direndahkan jika secara terang-terangan ia disuruh berlindung kepada sang ibu demi keselamatan dirinya. Tentu putranya itu akan tersinggung dan memilih keluar rumah menantang musuh. Jelas ini sangat berbahaya. Menyadari maksud sang suami, Nyonya Wang pun menahan kata-katanya.

“Benar, Ping’er. Ibu sedang tidak enak badan. Ayahmu biar memimpin para pegawai, sementara kau menjaga di luar kamar Ibu. Bagaimana kalau musuh sampai datang dan menyusup kemari? Tentu Ibu sangat membutuhkan bantuanmu,” ujar wanita itu kemudian.

“Sudah pasti aku akan menemani Ibu di sini,” jawab Lin Pingzhi tanpa ragu.

Malam itu Lin Pingzhi pun tidur di atas ranjang yang telah diletakkan di luar kamar orang tuanya. Pintu kamar sengaja dibiarkan terbuka agar Nyonya Wang bisa melihat keadaan putranya setiap saat. Lin Zhennan sendiri berjaga di luar bersama para pegawai. Sampai cukup lama mereka tidak menemukan tanda-tanda musuh kembali menyerang. Merasa keadaan sudah lebih aman, Lin Zhennan pun masuk ke dalam kamar dan tidur di samping sang istri. Meskipun demikian, pedangnya tetap dipersiapkan di samping bantal.

Begitu matahari terbit tiba-tiba terdengar suara seorang pegawai memanggil-manggil dari luar jendela dengan suara lirih, “Tuan Muda! Tuan Muda!”

Lin Pingzhi yang semalaman tidak bisa tidur, pagi itu masih pulas karena baru bisa memejamkan mata saat fajar menyingsing. Bukan ia yang terbangun oleh panggilan itu melainkan Lin Zhennan yang segera bangkit dan bertanya, “Ada masalah apa?”

“Kuda putih milik Tuan Muda... kuda itu sudah... sudah mati,” jawab pegawai itu dari luar. Kalau yang mati kuda lainnya tentu tidak menjadi persoalan. Namun karena yang mati adalah kuda putih kesayangan Lin Pingzhi, buru-buru ia melapor kepada sang majikan muda.

Mendengar suara ribut-ribut, Lin Pingzhi terbangun pula dari tidurnya dan berkata, “Akan kulihat ke sana.”

Lin Zhennan berpikir kematian kuda putih ini tentu ada sangkut pautnya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Ia pun bergegas menuju ke kandang bersama Lin Pingzhi. Sesampainya di sana mereka menyaksikan si kuda putih sudah tergeletak tanpa nyawa. Sebagaimana kasus kematian yang terjadi sebelumnya, kali ini juga tidak ditemukan bekas luka apa pun pada tubuh hewan tersebut.

“Apakah semalam terdengar suara ringkikan kuda atau keributan lain yang mencurigakan?” tanya Lin Zhennan.

“Tidak, Tuan! Tidak ada sama sekali,” jawab si tukang kuda.

Lin Zhennan memegangi tangan Lin Pingzhi yang meraba-raba bangkai kuda kesayangannya itu. “Sudahlah, Nak! Ayah akan membelikan kuda baru yang lebih bagus untukmu,” ujarnya menghibur.

Lin Pingzhi hanya diam termangu sambil meneteskan air mata.

Tiba-tiba seorang pegawai yang tidak lain adalah Chen Qi datang dengan napas terengah-engah. Ia berkata dengan suara gemetar, “Ketua, ini celaka! Sungguh celaka! Para pengawal kita telah... telah terbunuh semua! Mereka mati dibunuh hantu gentayangan itu..!”

“Apa katamu? Mati semua?” sahut Lin Zhennan dan Lin Pingzhi bersamaan.

“Benar, mati semua!” jawab Chen Qi tegang.

“Siapa saja yang mati?” sahut Lin Pingzhi gusar. Tanpa sadar tangannya mencengkeram kerah baju Chen Qi dan menariknya ke depan.

“Tuan Muda... Tuan Muda... mati,” jawab Chen Qi ketakutan.

Lin Zhennan sangat gusar mendengar jawaban ini. Dalam dunia persilatan, seseorang yang masih hidup dikatakan mati adalah suatu pantangan besar karena dianggap dapat memendekkan umur orang itu. Namun karena Chen Qi mengucapkannya tanpa sengaja, ia pun menahan amarahnya dan berusaha menenangkan pikiran.

Sejenak kemudian, kembali terdengar suara ribut-ribut di luar. “Di mana Ketua? Kami harus segera melapor,” seru seorang pegawai dari luar kandang. “Hantu gentayangan ini sangat ganas. Apa yang harus kita lakukan?”

“Aku di sini!” jawab Lin Zhennan berteriak. “Ada apa lagi ini?”

Seorang pengawal dan tiga orang pengiring segera masuk ke dalam kandang. Pengawal itu berkata, “Ketua, para pengawal yang tadi malam meronda tidak ada yang kembali dengan selamat.”

Lin Zhennan terperanjat. Semula ia berpikir ada seorang pegawai lagi yang mati, namun ternyata yang menjadi korban adalah semua pegawainya yang berangkat meronda tadi malam. Padahal, ia ingat semalam telah mengirim dua puluh tiga orang pengawal untuk meronda di sekeliling kota.

“Apa kau yakin mereka mati semua?” sahutnya kemudian. “Mungkin saja mereka masih meronda dan belum kembali sampai siang ini.”

Pengawal itu menggeleng dan menjawab, “Tapi kami telah... telah menemukan tujuh belas sosok mayat....”

“Tujuh belas mayat?” sahut Lin Zhennan dan Lin Pingzhi kembali bersama-sama. Perasaan ngeri tergambar jelas di raut wajah mereka.

“Benar, Ketua! Jumlahnya ada tujuh belas mayat. Di antaranya terdapat Pengawal Fu, Pengawal Qian, dan Pengawal Wu. Mayat-mayat tersebut telah kami tempatkan di ruang depan,” jawab si pengawal mempertegas laporannya.

Tanpa banyak bertanya lagi Lin Zhennan bergegas menuju ke ruang depan gedung perusahaannya. Tampak di ruangan itu terbaring tujuh belas sosok mayat pegawai Biro Fuwei dalam keadaan membujur kaku, sementara meja dan kursi telah disisihkan ke tepi merapat dinding.

Meskipun sudah kenyang pengalaman dan sering mengalami kesulitan dalam hidup, tetap saja perasaan Lin Zhennan tergetar dibuatnya. Tanpa disadari tangannya gemetar dan lututnya terasa lemas menyaksikan pemandangan tersebut.

“Kenapa... kenapa... kenapa?” ujarnya bertanya-tanya. Suaranya kering dan nyaris tak terdengar oleh yang lainnya.

Tiba-tiba terdengar lagi suara ribut di luar, “Ya ampun! Pengawal Gao yang baik juga menjadi korban.”

Kali ini yang masuk adalah lima orang tetangga dengan menggotong selembar papan pintu di mana jasad Pengawal Gao terbaring di atasnya.

“Sewaktu membuka pintu tadi pagi, saya terkejut karena melihat mayat Tuan Gao sudah tergeletak di jalanan. Mungkin ia terkena penyakit menular atau diganggu makhluk halus. Saya pun meminta bantuan para tetangga yang lain untuk membawa jenazahnya kemari,” ujar salah seorang tetangga memberi penjelasan kepada Lin Zhennan.

“Terima kasih banyak!” jawab Lin Zhennan sambil memberi hormat. Kepada seorang pegawai ia memberi perintah, “Sampaikan kepada kasir untuk memberikan tiga tael perak, masing-masing kepada para tetangga yang baik ini; sebagai rasa terima kasih dariku.”

Namun para tetangga tidak tega menerima hadiah tersebut. Dengan wajah ngeri, mereka lekas-lekas mohon diri setelah menyaksikan belasan mayat memenuhi ruangan. Tidak lama kemudian datang lagi empat jenazah, sehingga hanya tinggal seorang saja yang belum ditemukan. Pegawai yang seorang lagi itu adalah Pengawal Zhu, dan mereka yakin tidak lama lagi mayatnya akan segera ditemukan.

Lin Zhennan masuk ke kamar dan meneguk secangkir teh hangat untuk menenangkan perasaan. Meskipun demikian, jantungnya masih juga berdebar-debar. Dengan perasaan gelisah ia berjalan ke halaman depan dan memandang ke sekeliling. Hatinya terguncang menyaksikan panji-panji kebesaran Biro Ekspedisi Fuwei yang selama ini berkibar dengan gagah, sekarang sudah tiada lagi. Musuh telah membunuh lebih dari dua puluh orang pegawainya namun tidak pernah menampakkan diri sama sekali. Mereka juga tidak pernah mengumumkan latar belakang dan tujuan pembantaian ini.

Perlahan Lin Zhennan berpaling ke arah papan nama bertuliskan huruf emas yang terpasang di atas pintu gedung. Sambil menghela napas ia berpikir, “Puluhan tahun lamanya nama besar Biro Ekspedisi Fuwei berjaya di mana-mana. Apakah hari ini akan hancur di tanganku?”

Tiba-tiba terlihat seekor kuda muncul dari ujung jalan menuju ke arah gedung biro. Kuda itu berjalan pelan-pelan dengan mengangkut sesosok mayat yang tersampir di atas pelana. Lin Zhennan bergegas menghampirinya dan ternyata kuda itu mengangkut jasad Pengawal Zhu. Rupanya musuh telah membunuh pegawainya itu dan meletakkan mayatnya di atas punggung kuda. Kuda ini hafal jalan pulang sehingga akhirnya sampai di hadapan sang majikan.

Lin Zhennan menghela napas panjang dan meneteskan air mata membasahi mayat Pengawal Zhu. Seorang diri ia menggendong mayat pegawainya itu ke dalam gedung sambil berkata, “Adik Zhu, jika aku tidak bisa membalaskan kematianmu, biarlah aku mati penasaran. Namun sayangnya, kau kembali ke sini tanpa bisa menyebutkan siapa orangnya yang telah membunuhmu.”

Sebenarnya Pengawal Zhu hanyalah seorang pegawai biasa, dan juga tidak terlalu akrab dengan Lin Zhennan. Adapun sumpah dan air mata yang dikeluarkan itu jelas dikarenakan perasaan gusar dan putus asa yang sudah memenuhi rongga dadanya.

Lin Zhennan kemudian melihat istrinya berdiri di depan ruang aula sambil memegang sebilah golok emas di tangan kiri. “Dasar penjahat busuk, kau hanya berani menyerang dengan sembunyi-sembunyi! Jika kau memang laki-laki, lekas keluar! Tunjukkan batang hidungmu! Apa kau lebih suka disebut sebagai pengecut, hah?” bentaknya sambil menunjuk-nunjuk dengan tangan kanan.

Lin Zhennan bertanya, “Istriku, apa kau melihat sesuatu?”

Nyonya Wang menjawab, “Tidak. Kawanan bangsat itu tidak berani menampakkan diri karena takut terhadap Ilmu Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kita.” Sambil mengacungkan goloknya, wanita itu melanjutkan, “Dia juga takut terhadap golok emas di tanganku ini!”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dari salah satu sudut atap rumah. Disusul kemudian sebuah senjata rahasia melesat menyambar ke arah Nyonya Wang dan mengenai golok yang dipegangnya. Seketika golok emas pun terlepas dari pegangan sementara Nyonya Wang merasa tangannya tergetar kesakitan. Golok emas tersebut terus melayang sampai jatuh di tengah halaman.

Tanpa pikir lagi, Lin Zhennan menerjang ke atas dan menusukkan pedangnya. Yang ia mainkan adalah jurus Menyapu Bersih Kaum Iblis, di mana ujung pedangnya terlihat bagaikan sari bunga bertebaran di udara. Sudah beberapa hari Lin Zhennan menyimpan dendam terhadap musuh yang tidak terlihat itu. Kini begitu ada kesempatan, amarahnya langsung meledak dan ia pun menyerang dengan sekuat tenaga. Namun pedang di tangannya ternyata hanya mengenai tempat kosong, sementara musuh yang ia cari telah menghilang entah ke mana.

Nyonya Wang dan Lin Pingzhi ikut naik ke atap untuk membantu, namun mereka bertiga tidak menemukan apa-apa.

“Jahanam! Anak anjing! Kalau kau memang laki-laki lekas keluar dan bertarung denganku! Pengecut macam apa pula kau ini?” bentak Nyonya Wang. “ Ke mana bajingan itu pergi? Siapa dia sebenarnya?” ujarnya kemudian –bertanya kepada sang suami.

Lin Zhennan menggeleng dan menjawab, “Simpan tenagamu.”

Ketiganya terus mencari ke segenap penjuru atap gedung namun tidak menemukan siapa-siapa. Mereka lalu melompat turun dan mendarat di halaman depan.

Lin Zhennan lantas bertanya kepada sang istri, “Senjata rahasia macam apa yang telah menjatuhkan golokmu tadi?”

“Entahlah, aku tidak tahu. Benar-benar keparat!” jawab Nyonya Wang setengah memaki.

Mereka segera memeriksa di sekitar pelataran namun tidak menemukan suatu senjata rahasia apapun. Hanya saja di bawah salah satu pohon ditemukan pecahan batu bata yang sebagian telah lembut seperti pasir. Sepertinya si penyerang gelap memang menggunakan batu bata itu untuk menjatuhkan golok emas di tangan Nyonya Wang. Lin Zhennan merasa kagum sekaligus ngeri membayangkan tenaga dalam si penyerang yang mampu menjatuhkan senjata istrinya hanya dengan sepotong batu bata kecil saja. Nyonya Wang sendiri yang sejak semula sibuk mencaci-maki kini terdiam tanpa suara. Perasaan gusar di hatinya telah berubah menjadi takut menyaksikan remukan batu bata tersebut. Tanpa bicara sedikit pun, wanita itu lalu masuk kembali ke dalam ruangan.

Setelah suami dan putranya ikut masuk, Nyonya Wang segera menutup pintu dan berkata, “Musuh terlalu kuat. Kita tidak bisa menandinginya. Apa... apa yang harus kita lakukan?”

Lin Zhennan menjawab, “Terpaksa kita harus meminta bantuan para sahabat. Sudah sewajarnya dalam hidup ini kita saling membantu dan meminta bantuan kepada pihak lain.”

“Kita memang memiliki banyak sahabat. Namun dari sekian banyak jumlah mereka, memangnya berapa orang yang berkepandaian di atas kita?” ujar Nyonya Wang. “Jika kita mendatangkan para sahabat yang berkepandaian biasa saja atau bahkan di bawah kita, tentu mereka tidak akan banyak membantu.”

“Pendapatmu memang tidak salah,” jawab Lin Zhennan. “Tapi dengan adanya banyak orang tentu akan menghasilkan banyak pikiran. Tiada salahnya kalau kita mendatangkan mereka untuk berunding bersama.”

“Benar juga! Kalau begitu, siapa saja yang menurutmu pantas untuk kita undang?” tanya sang istri.

“Kita bisa mengundang yang paling dekat dulu,” jawab Lin Zhennan. “Tentu saja kita datangkan para jago yang bergabung di cabang Hangzhou, Nanchang, dan Guangzhou. Kemudian kita undang pula para pendekar dari luar perusahaan yang berasal dari Fujian sini, serta tiga provinsi terdekat lainnya.”

Nyonya Wang mengerutkan kening dan bertanya, “Tapi apakah kau tidak takut, dengan mendatangkan sedemikian banyak bala bantuan justru akan menjatuhkan nama besar Biro Ekspedisi Fuwei?”

“Istriku, bukankah saat ini kau berusia tiga puluh sembilan tahun?” tiba-tiba Lin Zhennan bertanya masalah lainnya.

“Dalam keadaan seperti ini masih sempat-sempatnya kau bertanya soal umur segala!” gerutu sang istri. “Aku lahir di tahun macan, memangnya kau sudah lupa?”

Lin Zhennan menjawab, “Tentu saja tidak. Aku berniat mengirimkan kartu undangan perayaan ulang tahunmu yang keempat puluh kepada para sahabat....”

“Apa? Kenapa ulang tahunku dimajukan? Apa aku sudah kelihatan tua?” sahut sang istri menukas.

“Bukan, bukan itu maksudku. Rambutmu masih hitam dan belum beruban, mana mungkin orang menganggapmu sudah tua?” ujar Lin Zhennan sambil menggeleng. “Aku hanya menjadikan ulang tahunmu sebagai alasan untuk mendatangkan bala bantuan. Kalau mereka sudah berkumpul, barulah kita ceritakan maksud yang sebenarnya secara diam-diam. Nah, dengan demikian nama baik perusahaan kita tidak akan tercemar.”

Nyonya Wang terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Bagus juga. Terserah bagaimana pendapatmu. Kalau begitu, hadiah macam apa yang akan kau berikan kepadaku?”

“Sudah pasti hadiah yang paling berharga,” jawab Lin Zhennan dengan berbisik di telinga istrinya. “Tahun depan kita akan memiliki bayi yang gemuk dan lucu.”

“Huh, dasar bandot tua! Keadaan sudah seperti ini masih juga bercanda!” gerutu Nyonya Wang dengan muka merah.

Lin Zhennan tertawa sambil melangkah menuju kantor untuk menyuruh kasir menyiapkan kartu undangan. Ia sengaja bergurau demi mengurangi kegelisahan istrinya, meskipun perasaannya sendiri sangat tertekan. Diam-diam ia merasa bimbang juga dengan keputusannya itu. “Air dari tempat jauh susah memadamkan kebakaran di tempat dekat. Malam ini tentu akan terjadi peristiwa lagi. Bila harus menunggu datangnya bala bantuan, aku khawatir saat mereka datang, perusahaan ini sudah tinggal nama,” katanya dalam hati.

Begitu tiba di depan pintu kantor, tiba-tiba Lin Zhennan disambut dua orang pegawainya yang terlihat sangat pucat karena ketakutan. Mereka berkata, “Celaka... celaka, Ketua!”

“Ada apa lagi ini?” tanya Lin Zhennan dengan jantung berdebar-debar.

“Tadi... Kasir Dong menyuruh Lin Fu pergi membeli peti mati. Tapi... tapi baru saja sampai di ujung Jalan Timur, mendadak Lin Fu roboh dan meninggal,” jawab salah seorang di antara mereka.

“Di mana? Di mana mayatnya sekarang?” tanya Lin Zhennan mendesak kedua pegawainya itu.

“Masih... masih di tempat dia terbunuh,” jawab si pegawai.

“Kenapa masih di sana? Lekas kalian bawa kemari!” seru Lin Zhennan memberi perintah. Dalam hati ia semakin geram karena si pembunuh kini berani menghabisi nyawa anak buahnya di siang hari.

Kedua pegawai pun menyahut, “Baik! Baik, Ketua!” Meskipun menjawab demikian, namun kaki mereka tidak bergeser sedikit pun.

“Ada apa lagi ini? Lekas pergi!” bentak Lin Zhennan.

Salah seorang kembali menjawab dengan suara gemetar, “Sebaiknya... sebaiknya Ketua pergi sendiri untuk melihatnya.”

Lin Zhennan yakin telah terjadi lagi suatu peristiwa aneh. Ia pun mendengus dan bergegas melangkah ke luar kantor. Di dekat pintu utama gedung telah berdiri tiga pengawal dan lima pengiring yang masing-masing memandang ke luar dengan wajah pucat.

“Ada apa ini?” tanya Lin Zhennan kepada mereka.

Belum sampai ada yang menjawab, ia menyaksikan sendiri altar batu di depan pintu kantornya telah ditulisi seseorang dengan menggunakan darah. Tulisan tersebut terdiri atas enam kata yang berbunyi: “Keluar pintu lebih sepuluh langkah, mati!”

Selain tulisan di altar, juga ditemukan garis panjang melintang yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari pintu gedung. Garis ini juga dibuat dari darah dengan lebar sekitar dua atau tiga senti, disertai tulisan: “Lewati garis ini dan kau akan mati”.

“Sejak kapan tulisan dan garis itu dibuat? Apa ada di antara kalian yang melihatnya?” tanya Lin Zhennan segera.

Salah seorang pegawai menjawab, “Ketika Lin Fu terbunuh, kami beramai-ramai langsung menuju ke tempat ia ditemukan. Akibatnya, tidak seorang pun dari kami yang melihat ke arah sini. Entah siapa pula yang berani bercanda membuat tulisan ini.”

Lin Zhennan semakin geram dan penasaran. Ia pun berteriak lantang, “Aku yang bermarga Lin sudah bosan hidup! Bunuh saja aku karena berani melewati garis yang kau buat! Aku ingin tahu seperti apa kau membunuhku!” Usai berteriak, ia pun melangkah dengan yakin mendekati garis darah tersebut.

“Ketua! Ketua!” seru dua orang pengawal mencoba mencegah sang majikan.

Namun Lin Zhennan tidak peduli. Ia sudah melangkah melewati garis darah yang masih basah tersebut. Dengan sepatunya ia berusaha menghapus tulisan darah di atas altar sambil berkata kepada para pegawainya, “Bajingan itu hanya menggertak saja. Kalian tidak perlu takut. Segeralah pergi membeli peti mati, sekalian mampir ke Biara Langit Damai di sisi barat kota untuk mengundang para biksu. Minta kepada mereka untuk mengadakan upacara doa besar-besaran selama beberapa hari di sini. Biarlah mereka yang mengusir semua pengaruh jahat dan arwah gentayangan di gedung ini.”

Tiga orang pengawal bergegas merapikan pakaian dan mengambil senjata, untuk kemudian melaksanakan perintah sang majikan. Keberanian mereka timbul setelah menyaksikan sendiri bagaimana Lin Zhennan melewati garis darah itu tanpa mendapat celaka. Dengan berjalan berdampingan mereka bertiga melewati garis itu pula. Setelah melihat ketiganya menghilang di ujung jalan, barulah Lin Zhennan masuk kembali ke dalam gedung.

Kepada jurutulisnya yang bermarga Huang, ia lantas berkata, “Jurutulis Huang, tolong kau tuliskan beberapa undangan kepada para sahabat dan pegawai kita di beberapa cabang untuk minum arak di sini, merayakan ulang tahun istriku.”

“Baik, Ketua! Lalu, tanggal berapa mereka harus datang kemari?” tanya Jurutulis Huang.

Belum sempat Lin Zhennan menjawab, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di luar ruangan. Lin Zhennan memiringkan kepala agar dapat mendengar lebih jelas. Terdengar suara seseorang roboh di lantai. Ia pun bergegas keluar dan melihat Pengawal Di, salah satu dari tiga orang pegawai yang tadi berangkat membeli peti mati telah tergeletak tak berdaya.

“Adik Di, bagaimana keadaanmu?” tanya Lin Zhennan sambil memapah bangun pegawainya itu.

“Mereka... mereka sudah mati semua. Hanya... hanya saya yang bisa berlari pulang,” jawab Pengawal Di dengan suara lemah.

“Apa kau mengenali para penyerang itu?” tanya Lin Zhennan mendesak.

“Sa... saya... tidak... tidak... ta...” jawab Pengawal Di dengan suara terputus-putus. Akhirnya ia pun menghembuskan napas terakhir pula menyusul kawan-kawannya yang lain.

Dalam waktu singkat peristiwa ini langsung tersebar. Lin Pingzhi dan ibunya bergegas keluar untuk melihat bagaimana wujud garis darah ancaman dari musuh tersebut. Tidak seorang pun pegawai yang berani keluar untuk mengambil mayat dua orang rekan Pengawal Di.

“Biarlah aku sendiri yang mengambil mayat mereka,” ujar Lin Zhennan dengan suara lantang.

“Jangan, Ketua! Ketua tidak boleh pergi!” sahut Jurutulis Huang mencegah. Ia lalu berseru kepada para pegawai, “Hei, semuanya! Barangsiapa bersedia mengambil jenazah kedua kawan kita di luar itu, maka dia akan mendapat hadiah tiga puluh tael perak.”

Meskipun Jurutulis Huang mengulangi pengumumannya sampai dua kali, namun tidak seorang pun yang berani melangkah keluar pintu. Tiba-tiba terdengar suara Nyonya Wang mencari-cari anaknya. “Mana Pingzhi? Ke mana perginya Pingzhi? Ping’er!... Ping’er!” teriak perempuan itu dengan suara penuh kecemasan.

“Tuan Muda! Tuan Muda!” seru para pegawai ikut berteriak-teriak memanggil. Mereka ikut panik karena sang majikan muda tiba-tiba menghilang entah ke mana.

“Aku di sini!” seru Lin Pingzhi dari luar gedung.

Semua orang gembira mendengarnya dan beramai-ramai menuju ke luar gedung. Terlihat Lin Pingzhi muncul dari ujung jalan sambil memanggul mayat kedua pegawainya masing-masing di bahu kiri dan kanan. Lin Zhennan dan istrinya pun menyambut dengan senjata di tangan demi melindungi putra mereka itu. Serentak para pegawai bersorak memuji, “Tuan Muda memang seorang pemberani! Sungguh tidak kenal takut!”

Lin Zhennan dan Nyonya Wang juga merasa bangga melihat keberanian putra mereka itu. Terdengar Nyonya Wang menegur, “Nak, kau sangat gegabah. Kedua pengawal ini memang orang baik. Tapi usahamu untuk mengambil jasad mereka sungguh terlalu berbahaya.”

Lin Pingzhi hanya tersenyum. Dalam hati ia berpikir sedih, “Gara-gara perbuatanku membunuh satu orang, sekarang banyak pegawai yang menjadi korban balas dendam. Kalau aku tidak berani bertanggung jawab, sungguh tidak pantas aku disebut manusia.”

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah belakang, “Hah!... Kakek... Kakek Hua juga meninggal!” Seorang pesuruh dengan muka pucat berlari-lari melapor kepada Lin Zhennan, “Ketua, Kakek Hua telah keluar melalui pintu belakang hendak pergi ke pasar berbelanja sayuran. Tahu-tahu ia sudah ditemukan mati pada jarak belasan langkah dari pintu. Ternyata... ternyata di belakang juga ada garis darah dengan kalimat ancaman yang sama!”

Kakek Hua yang dimaksud adalah jurumasak Keluarga Lin. Kepandaiannya dalam menciptakan masakan lezat menjadi daya tarik tersendiri untuk memikat para pejabat sehingga menggunakan jasa layanan Biro Ekspedisi Fuwei. Bisa dikatakan Kakek Hua ini adalah senjata rahasia andalan Lin Zhennan untuk menarik perhatian para tamu dari kalangan terhormat.

Mendengar laporan tersebut Lin Zhennan menggigil dan berpikir, “Kakek Hua hanya seorang jurumasak. Dia bukan pengawal, juga bukan pengiring kereta. Dalam tata krama perampokan sekalipun hanya para pengawal yang boleh dibunuh, sedangkan kusir kereta dan kuli angkut biasanya dibiarkan hidup. Tapi kali ini, mengapa semua penghuni gedung seolah hendak dibinasakan semua?”

Kematian Kakek Hua membuat semua pegawai bertambah panik. Lin Zhennan pun berseru, “Tetap tenang, jangan gelisah! Kawanan bangsat itu hanya berani main sergap secara sembunyi-sembunyi. Bukankah kalian melihat sendiri bagaimana aku tadi bersama istri dan anakku tidak diserang meskipun berani melewati garis darah di halaman depan? Mereka tidak berani berbuat apa-apa.”

Semua pegawai mengangguk membenarkan ucapan Lin Zhennan. Namun, tetap saja tiada seorang pun dari mereka yang berani melangkah keluar. Lin Zhennan dan Nyonya Wang hanya bisa saling pandang. Pasangan suami-istri itu kini benar-benar merasa lemah dan terdesak.

Malam harinya Lin Zhennan menunjuk dua puluh orang pegawainya untuk menjaga keamanan. Namun ketika ia keluar untuk memeriksa, ternyata para pegawai itu tidak melakukan ronda sebagaimana mestinya. Mereka terlihat hanya duduk bergerombol di ruang tengah. Tidak seorang pun yang berani berjaga di luar; bahkan, untuk ke kamar kecil saja setiap orang minta ditemani.

Ketika melihat sang majikan muncul, para pegawai itu merasa malu, namun tetap saja tidak seorang pun lantas keluar untuk meronda. Lin Zhennan sendiri merasa maklum karena musuh memang benar-benar ganas dan berilmu tinggi; sementara ia sendiri merasa tidak memiliki jalan keluar yang lebih baik. Maka itu, ia pun tidak memarahi mereka, bahkan mengambilkan arak dan makanan untuk dinikmati bersama. Karena dicekam ketakutan, mereka makan dan minum tanpa bersuara. Tidak lama kemudian, sebagian besar dari mereka sudah tertidur pulas karena mabuk.

Hari berikutnya lima orang pegawai biro tampak memacu kuda masing-masing meninggalkan gedung kantor. Setelah diselidiki ternyata mereka memutuskan untuk mengungsi daripada menderita tekanan batin seperti itu. Lin Zhennan hanya menggelengkan kepala dan menghela napas panjang, lalu berkata, “Ketika datang gangguan, burung-burung beterbangan ke segala arah. Kami dari Keluarga Lin tidak mampu melindungi kalian. Saudara-saudara silakan pergi kalau merasa lebih aman jika meninggalkan gedung ini!”

Para pegawai tidak menjawab. Beberapa pengawal tampak mencaci maki kelima rekan mereka yang dianggap pengecut dan tidak setia kawan itu. Beberapa pegawai lainnya hanya terdiam dan menghela napas panjang. Dalam hati mereka pun ingin secepatnya terbebas dari ancaman maut yang mengintai setiap saat itu.

Tiba-tiba pada sore harinya datang lima ekor kuda mengangkut mayat kelima pegawai yang kabur tadi siang. Kelima orang itu berusaha kabur dengan harapan bisa menyelamatkan diri namun justru mengantarkan nyawa lebih cepat kepada si pembunuh.

Melihat ini, perasaan dendam Lin Pingzhi semakin menjadi-jadi. Dengan menghunus pedang ia menerjang keluar dan berdiri beberapa langkah di luar garis darah sambil berteriak menantang si pembunuh, “Hei, kau yang ada di sana! Aku, Lin Pingzhi, adalah orang yang telah membunuh si marga Yu dari Szechwan. Laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Jika kau ingin membalas dendam, maka tusukkan pedangmu ke jantungku! Aku tidak akan menolak! Tapi kau telah membantai orang-orang yang tidak bersalah. Mereka tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini. Huh, kaum pengecut macam apa pula kalian ini? Selama kalian tidak berani menampakkan diri, maka kalian pantas disebut sebagai kawanan anjing busuk!”

Lin Pingzhi berteriak semakin keras dan lantang; bahkan, sambil membuka baju dan menepuk-nepuk dada. “Lekas kalian keluar dan bawa golokmu kemari! Aku seorang laki-laki sejati, tidak takut mati! Apakah kalian takut berdiri di hadapanku dan bertarung secara jantan? Dasar kalian memang pengecut busuk! Binatang rendah!”

Orang-orang yang lewat di jalanan hanya memandang dengan heran tanpa berani mendekat karena telah tersiar kabar bahwa Biro Ekspedisi Fuwei adalah perusahaan maut. Lin Zhennan dan sang istri bergegas keluar pula untuk melindungi putra tunggal mereka itu. Kemarahan mereka bertiga yang sudah tertumpuk selama beberapa hari ini akhirnya meledak sudah. Dengan sangat gusar ketiganya berteriak-teriak menantang musuh yang tak terlihat itu.

Para pegawai biro hanya menyaksikan dari dalam gedung dengan perasaan sangat kagum terhadap ketiga majikan tersebut. Mereka mengetahui bahwa Lin Zhennan seorang yang berkepandaian tinggi, sementara Nyonya Wang terkenal sebagai wanita pemberani. Akan tetapi perbuatan Lin Pingzhi benar-benar menarik perhatian. Biasanya, sang majikan muda bersikap lemah lembut seperti perempuan, namun kali ini terlihat begitu gagah dan tidak kenal takut.

“Garis kematian apa pula ini? Aku telah melangkahinya dan aku ingin tahu bagaimana kalian membunuhku,” lanjut Lin Pingzhi sambil melangkah lebih jauh lagi melewati garis tersebut sambil mengacungkan pedang.

“Benar, benar!” sahut sang ibu. “Para pengecut itu hanyalah kaum rendahan. Kalian takut berhadapan muka dengan putraku.” Usai berkata ia pun maju dan menggandeng tangan Lin Pingzhi, kemudian mengajak putranya itu kembali ke dalam gedung.

Lin Pingzhi terlihat gemetar karena kemarahannya sudah memuncak. Begitu masuk ke dalam kamar ia langsung merebahkan diri di atas ranjang dan menangis keras-keras.

Lin Zhennan memahami perasaan putra tunggalnya itu. Sambil membelai kepala Lin Pingzhi, ia berkata, “Nak, kau tadi sungguh berani. Keluarga Lin bangga kepadamu. Tapi apa boleh buat? Musuh tetap tidak mau menampakkan batang hidungnya. Sebaiknya kita beristirahat saja untuk saat ini.”

Lin Pingzhi terus saja menangis sampai akhirnya tertidur karena letih.

Malam harinya setelah makan bersama, Lin Pingzhi mendengar pembicaraan ayah dan ibunya tentang rencana beberapa orang pengawal yang hendak membuat jalur rahasia berupa terowongan di bawah tanah. Dengan cara ini mereka bisa meloloskan diri tanpa harus melangkahi garis ancaman. Jika mereka tetap berada di dalam gedung kantor, cepat atau lambat, kematian akan mendatangi mereka.

Nyonya Wang berkata, “Biarkan saja kalau mereka hendak menggali terowongan rahasia. Tapi, aku takut... aku takut....”

Lin Zhennan menyadari perasaan sang istri. Rupanya Nyonya Wang khawatir jangan-jangan rencana kabur melalui terowongan ini juga akan mengalami kegagalan seperti yang dilakukan lima pengawal siang tadi.

“Sebaiknya aku pergi memeriksa,” sahut Lin Zhennan. “Jika terowongan bawah tanah itu selesai digali, tentu ini bisa menjadi jalan keluar yang aman untuk semua pegawai kita.”

Usai berbicara, ia pun melangkah pergi dan sejenak kemudian kembali lagi sambil berkata, “Rencana hanya tinggal rencana. Tidak seorang pun yang berani turun tangan untuk mulai menggali.”

Malam itu, Lin Pingzhi dan kedua orang tuanya merasa sangat letih. Ketiganya pun tertidur pulas sejak makan malam berakhir. Sementara itu para pegawai biro seolah sudah berputus asa. Mereka hanya pasrah menunggu nasib sehingga tidak seorang pun yang menjalankan tugas meronda sebagaimana yang telah dijadwalkan.

Tepat tengah malam Lin Pingzhi dibangunkan seseorang. Seketika ia pun mengambil pedang yang terselip di bawah bantal. Namun hal itu segera dibatalkannya karena yang datang tidak lain adalah sang ibu sendiri.

“Ping’er, ini Ibu. Tolong jangan bersuara!” Setelah melihat anaknya tenang, Nyonya Wang melanjutkan, “Ayahmu sudah pergi sejak tadi namun sampai kini belum juga kembali. Mari kita cari bersama-sama!”

“Ayah ke mana?” tanya Lin Pingzhi dengan perasaan khawatir.

“Entahlah,” jawab sang ibu.

Sambil memegang senjata masing-masing, Lin Pingzhi dan Nyonya Wang melangkah ke luar kamar. Mula-mula mereka mencari Lin Zhennan ke ruang depan, namun yang ada hanya para pegawai saja. Di bawah cahaya lilin, tampak belasan pegawai sedang sibuk bermain kartu. Rupanya mereka sudah sangat putus asa sehingga tidak peduli lagi dengan ancaman si pembunuh. Nyonya Wang mengajak Lin Pingzhi mencari ke tempat lain. Sengaja mereka tidak menceritakan tentang hilangnya Lin Zhennan karena khawatir para pegawai menjadi panik dan keadaan pun bertambah rumit.

Lin Pingzhi dan ibunya mencari ke berbagai tempat namun tidak juga menemukan di mana sang ayah berada. Keduanya sama-sama gelisah memikirkan keselamatan Lin Zhennan. Pikiran buruk pun datang menghantui.

Tiba-tiba terdengar suara-suara aneh dari arah ruang senjata. Lin Pingzhi pun menghampiri dan mengintip ke dalam. Betapa gembira hati pemuda itu ketika mengetahui Lin Zhennan ternyata berada di dalam sana.

“Rupanya Ayah ada di sini!” serunya perlahan.

Lin Zhennan tampak sedang mengerjakan sesuatu dan langsung menoleh ketika putranya memanggil. Lin Pingzhi sendiri langsung terdiam melihat raut muka sang ayah tampak tegang dan menyeramkan, seolah baru saja menemukan sesuatu yang aneh. Rasa gembiranya seketika berubah menjadi ngeri.

Nyonya Wang segera masuk ke dalam untuk memeriksa. Tampak darah berceceran di lantai. Lin Zhennan sendiri sedang sibuk mengamati sesosok mayat yang terbaring di atas tiga bangku berjajar. Mayat tersebut adalah Pengawal Huo yang tadi siang mencoba kabur bersama keempat rekannya, namun kembali dalam keadaan tewas. Perlahan-lahan, Lin Pingzhi ikut masuk pula dan menutup pintu, kemudian berdiri di belakang sang ayah.

Lin Zhennan telah membedah dada Pengawal Huo dan mengeluarkan jantungnya. Tampak jantung itu sudah hancur menjadi beberapa bagian. Dengan suara gugup Lin Zhennan pun berkata, “Tidak salah lagi! Ini adalah... ini adalah...”

“Tapak Penghancur Jantung!” seru istrinya. “Ini adalah ilmu kebanggaan Perguruan Qingcheng.”

Lin Zhennan mengangguk dan terdiam. Kepalanya menunduk untuk sekian lama.

Lin Pingzhi baru sadar kalau ayahnya sejak tadi menghilang karena sibuk meneliti mayat Pengawal Huo dengan tujuan untuk mencari tahu penyebab kematiannya.

Setelah membungkus mayat tersebut dan meletakkannya di sudut ruangan, Lin Zhennan mengajak istri dan anaknya kembali ke kamar tidur. Di sana ia melanjutkan pembicaraannya, “Kali ini aku sudah tidak ragu lagi. Pelaku pembunuhan terhadap para pegawai kita adalah tokoh terkemuka dari Perguruan Qingcheng. Istriku, menurutmu apa yang harus kita perbuat?”

Tiba-tiba Lin Pingzhi menyela, “Sekarang kita sudah tahu siapa musuh kita. Semua ini terjadi akibat ulahku. Besok aku akan datang untuk menantangnya. Jika aku kalah biarlah aku mati di tangan mereka.”

Lin Zhennan menggeleng dan berkata, “Orang ini menguasai Tapak Penghancur Jantung. Dengan jurus ini dia bisa menghancurkan jantung seseorang tanpa harus melukai kulitnya. Tentu dia seorang tokoh terkemuka dalam Perguruan Qingcheng. Jika dia mau, tentu sejak kemarin-kemarin kau sudah mati di tangannya. Aku rasa Perguruan Qingcheng ingin mempermainkan kita secara keji terlebih dulu.”

“Kalau begitu apa tujuannya mempermainkan kita?” sahut Lin Pingzhi bertanya.

“Keparat dari Qingcheng ini memperlakukan kita seperti kucing sedang mempermainkan tikus. Kita dibuat mati pelan-pelan karena takut, dengan demikian barulah dia merasa puas.” jawab Lin Zhennan.

“Berani-beraninya dia memandang rendah terhadap Biro Ekspedisi Fuwei,” sahut Lin Pingzhi kesal. “Mungkin dia takut kepada Ilmu Pedang Penakluk Iblis sehingga tidak berani menghadapi Ayah secara terang-terangan. Jika tidak, kenapa dia hanya berani membunuh dengan sembunyi-sembunyi?”

“Ping’er, Ilmu Pedang Penakluk Iblis milik Ayah memang cukup ampuh untuk menghadapi para penjahat dan perampok jalanan. Namun jika dibandingkan dengan Tapak Penghancur Jantung sudah pasti Ayah kalah jauh,” jawab Lin Zhennan. “Selama ini Ayah tidak pernah takut kepada siapa pun. Tapi setelah melihat jantung Pengawal Huo yang hancur itu, Ayah... Ayah sungguh merasa ngeri.”

Melihat ayahnya sudah menyerah, Lin Pingzhi pun terdiam tidak berani lagi berpendapat. Ibunya ganti berbicara, “Meskipun musuh sangat kuat, kita tidak boleh menyerah begitu saja. Untuk saat ini lebih baik kita menghindar dulu.”

“Aku juga berpikir demikian,” sahut Lin Zhennan.

“Suamiku, sebaiknya malam ini kita berangkat ke Luoyang meminta bantuan Ayah. Yang penting kita sudah tahu siapa musuh kita sebenarnya. Balas dendam lain kali juga belum terlambat,” lanjut Nyonya Wang.

Lin Zhennan menjawab, “Benar! Ayah Mertua sangat luas pergaulannya. Tentu Beliau bisa memberi saran dan pertimbangan kepada kita. Mari kita berbenah dan berangkat malam ini juga!”

Mendengar ajakan sang ayah, Lin Pingzhi menyahut, “Kalau begitu kita akan meninggalkan para pegawai begitu saja, tanpa pemimpin?”

“Musuh tidak ada urusan dengan mereka. Jika kita sudah pergi, tentu orang dari Qingcheng itu tidak mau buang-buang tenaga hanya untuk membunuh para pegawai yang tidak bersalah,” jawab Lin Zhennan.

Lin Pingzhi terdiam mendengar jawaban ayahnya yang cukup beralasan itu. Ia sadar kalau kematian para pegawai merupakan akibat dari perbuatannya, yaitu membunuh orang Szechwan bermarga Yu. Jika dirinya sudah pergi tentu si pelaku tidak mau repot-repot lagi membunuh yang masih tersisa.

Berpikir demikian, Lin Pingzhi kemudian bergegas menuju kamarnya untuk berbenah. Selama ini ia belum pernah melakukan perjalanan jauh. Perjalanan ke Luoyang membuatnya khawatir pihak musuh akan datang dan membakar habis rumah yang ditinggalkan. Maka, ia pun membungkus semua benda kesayangannya termasuk patung kuda dari batu kumala dan lembaran kulit macan tutul hasil perburuannya dahulu. Benda-benda tersebut dijadikan satu dengan pakaian-pakaiannya, sehingga tercipta dua bungkusan yang cukup besar.

Dengan memanggul perbekalan tersebut, Lin Pingzhi kembali ke kamar orang tuanya. Melihat itu Nyonya Wang tertawa geli dan berkata, “Kita ini hendak mengungsi, bukannya pindah rumah. Mengapa kau membawa barang begitu banyak?”

Lin Zhennan hanya menggeleng dan menghela napas panjang. Ia merasa maklum karena sejak kecil Lin Pingzhi hidup mewah dan berkecukupan. Wajar saja jika kali ini putranya itu merasa bingung hendak berbuat apa ketika tiba-tiba harus pergi meninggalkan rumah. Dengan perasaan haru ia pun berkata, “Di rumah Kakek nanti kau tidak akan menderita kekurangan. Yang perlu kita bawa hanya uang dan perhiasan secukupnya. Lagipula kita nanti akan melewati kantor-kantor cabang di Jiangxi, Hunan, dan Hubei. Semakin sedikit barang yang kita bawa akan semakin baik. Dengan demikian kita bisa berjalan lebih cepat.”

Dengan berat hati Lin Pingzhi terpaksa meninggalkan sebagian besar isi bungkusannya itu.

Nyonya Wang ganti mengajukan pertanyaan kepada sang suami, “Kita nanti menunggang kuda secara terang-terangan melewati pintu depan, ataukah sembunyi-sembunyi lewat pintu belakang?”

Lin Zhennan tidak menjawab. Ia hanya merebahkan diri di atas kursi malas sambil menghisap pipa cangklongnya dan memejamkan mata. Selang agak lama, barulah ia membuka mata dan berbicara, “Ping’er, beri tahu semua pegawai supaya ikut berbenah dan mengungsi besok pagi. Sampaikan pula kepada kasir untuk membagi-bagikan uang perusahaan kepada mereka. Bilang saja, kita mengungsi untuk menghindari wabah penyakit menular, dan setelah keadaan aman barulah kita kembali lagi ke sini.”

“Baik, Ayah!” jawab Lin Pingzhi. Ia pun melangkah pergi dengan perasaan bercampur aduk.

Nyonya Wang bingung mendengar ucapan suaminya itu. Ia pun bertanya, “Jadi, kita semua akan meninggalkan perusahaan? Lalu, siapa nanti yang akan bertugas menjaga gedung ini?”

“Tidak ada,” jawab Lin Zhennan. “Rumah ini sudah terkenal sebagai tempat angker, yang dihuni setan jahat pencabut nyawa. Meskipun kita biarkan tanpa penjaga, tidak mungkin ada orang lain yang berani masuk kemari. Lagipula kalau kita pergi, tentu tidak ada pegawai yang sudi berjaga di sini.”

Lin Pingzhi telah mengumumkan perintah ayahnya di hadapan para pegawai. Seketika suasana gedung menjadi ribut dan bergemuruh. Perasaan gembira dan takut bercampur aduk menjadi satu di dalam hati mereka.

Sementara itu Lin Zhennan berkata, “Istriku, besok aku dan Ping’er akan menyamar sebagai pengawal, sedangkan kau sebaiknya menyamar sebagai pelayan. Pagi-pagi sekali kita pergi dari sini. Dalam waktu serentak puluhan orang melaju bersama-sama. Tidak peduli bagaimanapun hebatnya musuh, tentu hanya mampu menyergap satu-dua orang saja dan kesulitan mengejar lebih lanjut.”

“Rencana bagus!” seru Nyonya Wang. Ia lantas keluar kamar dan sejenak kemudian sudah kembali dengan membawa sepasang pakaian pelayan dan dua pasang pakaian pengiring kereta.

Ketika Lin Pingzhi kembali ke kamar, ia segera mengambil pakaian itu dan bersama ayahnya lantas berdandan sebagai dua orang pegawai rendahan. Sementara itu Nyonya Wang juga telah berdandan sebagai kaum pelayan. Selembar saputangan digunakannya sebagai kerudung untuk menutup rambut pula. Lin Pingzhi sebenarnya sangat mual karena baju yang ia pakai menebarkan bau kurang sedap, bekas keringat pegawainya. Namun, pemuda itu merasa tidak mempunyai pilihan lain.

Pagi-pagi sekali Lin Zhennan membuka pintu utama gedungnya dan berkata di hadapan para pegawai, “Saudara-saudaraku, tahun ini kita kurang beruntung. Wabah penyakit menyerang perusahaan kita dan menjatuhkan banyak korban. Kita terpaksa harus menghindar untuk sementara. Jika kalian masih ingin bekerja di Biro Ekspedisi Fuwei, maka pergilah ke cabang Hangzhou atau Jiangxi. Di sana kalian akan diterima dengan baik oleh Pengawal Liu dan Pengawal Yi. Nah, sekarang marilah kita berangkat bersama-sama!”

Usai berkata demikian, sejumlah hampir seratus orang pegawainya serentak memacu kuda masing-masing, meninggalkan gedung kantor pusat Biro Ekspedisi Fuwei bersama-sama. Lin Zhennan menutup dan mengunci pintu, lalu memacu kuda pula bersama anak dan istrinya. Para pegawai tidak lagi takut melewati garis darah. Justru sebaliknya, mereka berpikir akan semakin aman jika secepat-cepatnya pergi menjauhi gedung maut tersebut. Rombongan itu bergerak menuju gerbang kota sebelah utara untuk keluar dari Fuzhou. Rupanya mereka tidak memiliki tujuan yang pasti. Masing-masing hanya mengikuti ke arah mana kuda yang paling depan berlari.

Lin Zhennan sendiri tiba-tiba memberi isyarat kepada istri dan anaknya supaya memperlambat kuda masing-masing, sehingga ketiganya kini berada di urutan paling belakang dalam rombongan. Ketika sampai di sebuah persimpangan, Lin Zhennan mengajak berhenti dan berkata, “Biarlah mereka menuju ke utara, sementara kita berputar kembali ke selatan.”

Bukankah kita hendak ke Luoyang? Mengapa sekarang harus kembali ke selatan?” tanya Nyonya Wang.

“Musuh tentu sudah mengira kalau kita akan pergi ke Luoyang, sehingga mereka pun bersiap-siap menghadang di utara. Untuk itu, sebaiknya kita mengambil jalan memutar lewat selatan. Dengan demikian keparat itu tidak akan memperoleh apa-apa,” jawab Lin Zhennan.

Lin Pingzhi tiba-tiba membuka suara, “Ayah!”

“Ada apa?” tanya Lin Zhennan.

Lin Pingzhi terdiam tidak menjawab, dan sejenak kemudian kembali berkata, “Ayah!”

Nyonya Wang menyahut, “Kau ingin bicara apa, lekas katakan!”

“Lebih baik kita tetap bersama mereka menuju ke utara,” jawab Lin Pingzhi. “Jika kita dihadang musuh, maka aku yang akan menghadapinya. Kematian sekian banyak pegawai kita adalah karena kesalahanku. Jika kita menghindar bagaimana bisa membalas dendam mereka?”

“Tentu saja kita harus membalas sakit hati ini,” sahut Nyonya Wang. “Tapi ilmu silatmu masih kalah jauh dibandingkan mereka; terutama untuk menghadapi Tapak Penghancur Jantung yang mengerikan itu.”

“Memangnya kenapa?” balas Lin Pingzhi. “Lebih baik aku mati seperti Pengawal Huo daripada menghindari tanggung jawab. Paling-paling hanya jantungku ini yang hancur.”

Raut muka Lin Zhennan berubah merah mendengar ucapan putranya itu. Ia pun membentak dengan suara keras, “Jika Keluarga Lin dalam tiga atau empat generasi berikutnya suka bersifat gegabah seperti dirimu, maka Biro Ekspedisi Fuwei akan bangkrut dengan sendirinya tanpa harus menunggu gangguan dari luar.”

Melihat ayahnya marah Lin Pingzhi langsung terdiam. Tanpa banyak bicara ia pun mengikuti kedua orang tuanya bergerak menuju selatan. Begitu meninggalkan Kota Fuzhou, mereka lalu berbelok ke arah barat daya. Setelah menyeberangi Sungai Min, mereka sampai di sebuah kota kecil bernama Nanyu. Ketiganya terus saja berjalan tanpa beristirahat, sampai akhirnya merasa letih juga.

Saat itu matahari telah berada di atas kepala. Di tepi jalan yang sepi, mereka melihat sebuah kedai kecil dan memutuskan untuk makan di situ. Kepada pemilik kedai Lin Zhennan memesan makanan apapun yang tersedia, serta meminta untuk disiapkan secepat mungkin. Si pemilik kedai pun masuk ke dapur namun sampai lama tidak juga muncul kembali.

“Pelayan! Pelayan!” seru Lin Zhennan memanggil-manggil. Akan tetapi, tidak seorang pun yang muncul atau menjawab panggilan tersebut. Nyonya Wang ikut memanggil namun tetap saja tidak terdengar suara jawaban.

Menyadari gelagat yang tidak baik, Nyonya Wang segera menghunus goloknya dan berlari ke dalam. Dilihatnya si pemilik kedai sudah tergeletak tanpa nyawa. Di dekat pintu juga tergeletak mayat seorang wanita, yang tidak lain adalah istri si pemilik kedai. Perlahan Nyonya Wang menyentuh bibir kedua mayat tersebut dan ternyata masih hangat, jelas kematian mereka baru saja terjadi.

Lin Zhennan dan Lin Pingzhi segera melolos pedang masing-masing dan bergerak mengitari kedai kecil itu untuk memeriksa. Kedai ini berdiri di tengah perbukitan dan dekat dengan hutan sehingga keadaannya begitu sunyi. Nyonya Wang kembali bergabung dengan suami dan putranya. Bertiga mereka melihat ke sekeliling namun tidak menemukan tanda-tanda kehadiran seseorang.

Dengan tetap menghunus pedangnya, Lin Zhennan berteriak menantang, “Saudara dari Perguruan Qingcheng, Lin Zhennan berdiri di sini siap menyambut takdir. Silakan keluar untuk bertemu muka!”

Beberapa kali Lin Zhennan mengulangi teriakannya, namun yang terdengar hanyalah gema suaranya sendiri yang terpantul di lembah bukit tersebut. Ketiganya menyadari kalau musuh sedang mengintai di balik persembunyiannya. Dengan perasaan gelisah mereka menanti si pembunuh itu keluar untuk melancarkan serangan.

Sejenak kemudian ganti Lin Pingzhi yang berteriak menantang, “Lin Pingzhi ada di sini! Keluarlah dan bertarung denganku! Aku tahu kalian terlalu pengecut untuk menampakkan diri. Kalian hanya berani main sembunyi-sembunyi seperti maling rendahan.”

Tiba-tiba dari dalam hutan di sebelah kedai terdengar suara gelak tawa seseorang. Sekilas Lin Pingzhi melihat sesosok bayangan berkelebat ke arahnya. Sekejap kemudian di hadapannya sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh gagah. Tanpa pikir lagi ia pun menyerang menggunakan pedang di tangannya. Laki-laki itu bergerak ke samping untuk menghindar. Lin Pingzhi segera mengganti serangan dengan menebaskan pedangnya ke samping. Si laki-laki menyeringai sambil melangkah ke sebelah kiri. Dengan cepat Lin Pingzhi memukul menggunakan tangan kiri, lalu menusukkan pedangnya kembali.

Lin Zhennan dan Nyonya Wang berniat maju untuk membantu putra mereka. Namun, melihat Lin Pingzhi memainkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis dengan tenang dan teratur, keduanya pun menahan diri. Lin Zhennan melihat laki-laki yang bertarung melawan putranya itu tampak memakai baju berwarna ungu dengan pedang tergantung di pinggangnya. Usianya diperkirakan sekitar dua puluh empat tahun, dan wajahnya berulangkali tersenyum menyeringai.

Kesabaran Lin Pingzhi akhirnya goyah juga. Jurus-jurus pedangnya menjadi tidak terarah lagi karena tak kuasa menahan amarah menyaksikan wajah musuhnya yang terus-menerus menghina. Padahal, laki-laki itu masih menghadapinya dengan tangan kosong saja. Tanpa menyerang, ia hanya menghindar ke sana dan kemari.

Setelah melewati dua puluh jurus, orang itu tertawa dingin sambil berkata, “Ternyata Ilmu Pedang Penakluk Iblis hanya begini saja! Sungguh menyedihkan!” Tiba-tiba tangannya menyentil senjata Lin Pingzhi dengan keras.

Seketika Lin Pingzhi merasa tangannya kesemutan dan pedangnya pun terpental jatuh. Menyusul kemudian kaki pria itu menyepak tubuhnya sampai jatuh dan terguling-guling di tanah.

Lin Zhennan dan Nyonya Wang segera melompat maju untuk melindungi putra mereka. Keduanya pun berdiri berdampingan dengan membelakangi tubuh Lin Pingzhi.

Lin Zhennan bertanya, “Siapakah nama Saudara ini? Apakah Saudara berasal dari Perguruan Qingcheng?”

Laki-laki itu menjawab dengan angkuh, “Melihat permainan pedang anakmu yang payah, rasanya kalian tidak pantas mengetahui siapa namaku. Hanya saja, memang benar kalau aku berasal dari Perguruan Qingcheng.”

Lin Zhennan menancapkan pedangnya di atas tanah, kemudian berkata sambil kedua tangan memberi hormat, “Selama ini kami selalu menghormati Pendeta Yu dari Kuil Cemara Angin. Setiap tahun kami selalu mengirimkan bingkisan hadiah kepada Beliau. Untuk tahun ini, Beliau juga membalas kunjungan dengan mengirimkan empat orang murid Qingcheng ke Fuzhou. Namun, entah apa sebabnya Saudara berusaha mempersulit kami?”

Pemuda dari Qingcheng itu tertawa dingin, kemudian menjawab, “Kau benar. Guruku memang telah mengirimkan empat orang muridnya menuju Fuzhou, dan salah satunya adalah aku.”

“Bagus sekali kalau begitu!” seru Lin Zhennan. “Kalau boleh saya tahu, siapakah marga yang mulia dan nama yang harum dari Saudara ini?”

Pemuda itu menunjukkan sikap enggan. Setelah terdiam beberapa saat, ia pun mendengus dan berkata, “Namaku Yu Renhao!”

“Oh!” sahut Lin Zhennan sambil menganggukkan kepala. “Ternyata Saudara adalah salah satu dari Ying Xiong Hao Jie, yaitu Empat Jagoan Qingcheng. Aku benar-benar kagum menyaksikan kehebatan Tapak Penghancur Jantung yang Saudara miliki. Luar biasa! Bisa membunuh tanpa mengeluarkan darah korban.” Setelah terdiam sejenak, Lin Zhennan melanjutkan, “Pendekar Yu sudah jauh-jauh datang kemari, seharusnya mendapatkan sambutan yang pantas dari kami. Dalam hal ini Lin Zhennan merasa bersalah dan pantas mendapatkan hukuman.”

Diam-diam Yu Renhao kagum dan bangga karena Lin Zhennan ternyata mengenal dirinya. Namun ia kemudian menjawab dengan sinis, “Mengenai Tapak Penghancur Jantung... eh, putramu yang tampan dan berkepandaian tinggi itulah yang sudah mengadakan penyambutan. Sampai-sampai putra kesayangan guru kami tewas di tangannya.”

Lin Zhennan langsung gemetar mendengar pernyataan Yu Renhao. Keringat dingin pun mengalir di punggungnya. Sejak awal ia sudah menduga kalau si marga Yu yang dibunuh Lin Pingzhi adalah murid Perguruan Qingcheng. Ia berniat meminta bantuan ayah mertuanya yang sangat dihormati di dunia persilatan untuk memintakan maaf secara sopan ke Kuil Cemara Angin. Akan tetapi, ternyata kejadiannya lebih rumit lagi. Pemuda Szechwan yang mati di tangan putranya itu ternyata putra kesayangan Pendeta Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng.

Karena masalah sudah seperti ini, maka tiada lagi pilihan untuknya selain bertarung habis-habisan. Dengan tetap berusaha tenang, Lin Zhennan menjawab sambil tertawa, “Ah, lucu sekali! Pendekar Yu benar-benar pandai bercanda!”

“Bercanda bagaimana?” sahut Yu Renhao dengan mata melotot.

“Siapa orangnya di dunia persilatan ini yang belum pernah mendengar kehebatan Pendeta Yu dan betapa ketat peraturan di Perguruan Qingcheng?” sahut Lin Zhennan. “Padahal, yang dibunuh anakku hanya seorang berandal muda yang telah menggoda anak gadis orang di sebuah kedai arak. Putraku yang berilmu rendah bisa membunuhnya, sehingga dapat dibayangkan betapa rendah ilmu silat bajingan itu. Nah, dengan demikian bagaimana mungkin kalau dia adalah putra kesayangan Pendeta Yu? Pendekar Yu memang pandai bercanda.”

Kata-kata Lin Zhennan sungguh beralasan sehingga Yu Renhao tidak bisa menjawab sama sekali. Pemuda bertubuh gagah itu hanya terdiam tanpa bicara sedikit pun.

Tiba-tiba dari balik hutan kembali terdengar suara seseorang berseru lantang, “Pepatah mengatakan: ‘Dua tangan tentu sulit melawan delapan tangan’. Kejadian di kedai arak yang sebenarnya adalah Tuan Muda Lin telah mengeroyok Adik Yu kami secara licik.”

Sesaat kemudian muncul seorang bertubuh kurus dengan membawa kipas di tangannya. Orang itu melanjutkan, “Andai saja pertarungan tersebut berlangsung secara adil, tentu Adik Yu kami tidak akan tewas. Tuan Muda Lin telah meracuni arak yang diminum Adik Yu. Tidak hanya itu, ia juga menyerang Adik Yu dengan tujuh belas buah senjata rahasia beracun. Anak bulus ini sungguh kejam! Kunjungan persahabatan kami telah disambut dengan cara yang kurang ramah.”

Lin Zhennan bertanya dengan suara datar, “Siapakah nama Saudara yang mulia?”

“Namaku adalah Fang Renzhi,” jawab si orang kurus.

Sementara itu, Lin Pingzhi yang tadi terguling akibat tendangan Yu Renhao telah bangkit kembali dan berdiri di samping ayahnya. Ia menghunus pedangnya dan bersiap melanjutkan pertarungan. Akan tetapi, ucapan Fang Renzhi benar-benar di luar dugaan. Dengan perasaan sangat gusar ia pun berteriak, “Omong kosong! Dasar kau manusia rendah tak berbudi! Aku sama sekali tidak mengenal Adik Yu-mu itu. Aku juga tidak tahu apakah dia berasal dari Perguruan Qingcheng atau bukan. Apa untungnya aku meracuni bajingan itu?”

“Oh, benar-benar kebohongan busuk!” ujar Fang Renzhi sambil menggelengkan kepala. “Kalau kau mengaku tidak mengenal Adik Yu, lalu untuk apa kau menyiapkan anak buahmu yang berjumlah tiga puluh orang di luar kedai? Adik Yu kami melihatmu menggoda gadis penjual arak tersebut, dan ia memukulmu satu kali sekadar untuk memberimu pelajaran. Sebenarnya Adik Yu bermaksud mengampuni jiwamu. Akan tetapi, kau justru memerintahkan para pengawalmu untuk mengeroyoknya seperti anjing!”

Lin Pingzhi merasa dadanya panas, seolah hendak meledak mendengar ocehan Fang Renzhi. Ia pun membentak, “Bedebah kalian orang-orang Qingcheng! Apakah semua orang Qingcheng adalah penjahat tengik yang suka berkata bohong?”

“Anak bulus, kau berani memaki kami, hah?” sahut Fang Renzhi sambil menyeringai.

“Ya, kau mau apa?” teriak Lin Pingzhi gusar.

“Silakan saja kau lanjutkan makianmu itu. Tidak masalah bagiku,” ujar Fang Renzhi sambil mengangguk.

Lin Pingzhi memalingkan muka dengan perasaan heran. Tiba-tiba ia merasakan hembusan angin datang menyambar dan tahu-tahu Fang Renzhi sudah berkelebat ke arahnya. Tanpa pikir lagi, Lin Pingzhi pun menghantam orang kurus itu namun pihak lawan bekerja lebih cepat. Telapak tangan Fang Renzhi lebih dulu menampar pipi pemuda itu satu kali. Lin Pingzhi merasa kesakitan luar biasa. Matanya berkunang-kunang dan hampir saja ia jatuh pingsan.

Dalam waktu singkat Fang Renzhi sudah kembali ke tempat semula sambil meraba-raba pipinya dan berkata, “Anak bulus, kenapa kau memukul wajahku? Sakit sekali ini! Hahaha...”

Melihat putranya dihina, Nyonya Wang segera mengayunkan goloknya disertai jurus Api Liar Membakar Langit ke arah Fang Renzhi. Serangan ini sungguh dahsyat dan tidak terduga sebelumnya. Namun Fang Renzhi sempat berkelit ke samping. Apabila ia terlambat sedetik saja, tentu lengan kanannya sudah buntung tertebas golok Nyonya Wang.

“Perempuan sial!” bentak Fang Renzhi. Menyadari ilmu silat Nyonya Wang ternyata tidak bisa dianggap remeh, ia pun melolos pedang yang tergantung di pinggangnya. Dalam sekejap saja keduanya sudah terlibat pertarungan seru.

Sementara itu Lin Zhennan masih berhadapan dengan Yu Renhao. Ia mengangkat pedangnya dan berkata, “Perguruan Qingcheng boleh saja menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei. Salah atau benar biarlah dunia persilatan yang menentukan. Nah, Pendekar Yu, silakan maju!”

Yu Renhao pun mencabut pedangnya dan berkata, “Silakan menyerang lebih dulu, Ketua Lin!”

Diam-diam Lin Zhennan berpikir, “Konon Jurus Pedang Cemara Angin dari Perguruan Qingcheng merupakan gabungan dari ulet dan ringan; ulet seperti pohon cemara, dan ringan seperti angin. Harapanku untuk menang hanyalah dengan cara mendahului serangan.” Tanpa segan lagi, pedang Lin Zhennan pun bergerak menebas dari samping memainkan jurus Menghalau Kawanan Iblis.

Melihat serangan lawan cukup dahsyat, Yu Renhao mengambil langkah menghindar. Lin Zhennan langsung mengubah serangannya dengan memainkan jurus Zhong Kui Menyolok Mata. Ujung pedangnya bergerak mengincar mata lawan. Ketika Yu Renhao kembali menghindar dengan melompat mundur, serangan ketiga Lin Zhennan sudah memburu pula. Terpaksa Yu Renhao pun menangkisnya dengan keras. Tangan kedua orang itu sama-sama bergetar menahan pedang masing-masing.

Dalam hati Lin Zhennan kembali merenung, “Ternyata ilmu silat Perguruan Qingcheng tidak sehebat dugaanku. Dengan kemampuannya yang seperti ini, mana mungkin ia menguasai Tapak Penghancur Jantung? Aku yakin ada tokoh hebat lainnya yang telah membantai para pegawaiku.”

Yu Renhao membalas serangan dengan menusuk ke arah tujuh titik berbeda di tubuh lawan. Serangan ini begitu cepat bagaikan hujan meteor menghiasi angkasa. Lin Zhennan mundur untuk kemudian melancarkan jurus baru yang tidak kalah cepatnya. Pertarungan antara keduanya berlangsung semakin seru. Setelah dua puluh jurus berlalu belum terlihat pihak mana yang lebih unggul.

Di sisi lain, pertarungan antara Nyonya Wang melawan Fang Renzhi berlangsung tidak seimbang. Golok emas Nyonya Wang tampaknya bukan tandingan pedang laki-laki bertubuh kurus itu. Meskipun demikian, beberapa kali Nyonya Wang berhasil lolos dari ujung senjata lawan. Melihat sang ibu terdesak, Lin Pingzhi segera menerjang ke depan sambil mengayunkan pedangnya. Fang Renzhi berhasil menghindari pedang pemuda itu yang hampir saja mengenai kepalanya.

Dengan penuh kemarahan Lin Pingzhi menyerang Fang Renzhi seperti orang gila. Tiba-tiba ia merasa kakinya tersandung sesuatu. Tanpa ampun, tubuh pemuda itu pun terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh tersungkur dengan muka mencium tanah.

Sesaat kemudian, terdengar suara seorang laki-laki berseru mengancam, “Jangan bergerak!”

Lin Pingzhi tidak dapat melihat ke belakang. Ia hanya merasakan punggungnya telah diinjak seseorang dan suatu benda lancip menempel pula di kulitnya. Sekali benda lancip itu ditekan, tentu akan langsung menembus jantung pemuda itu. Sesaat kemudian Lin Pingzhi juga mendengar ibunya berteriak, “Jangan bunuh anakku! Jangan bunuh anakku!”

Rupanya sewaktu Lin Pingzhi memburu Fang Renzhi tadi, muncul seseorang lainnya yang lantas menjegal kaki pemuda itu dari belakang. Begitu Lin Pingzhi roboh, orang itu langsung menginjak punggungnya dan mengancam dengan sebilah pedang. Nyonya Wang sendiri bingung harus berbuat apa. Dalam keadaan panik, tahu-tahu Fang Renzhi telah menyerang tulang rusuknya dengan keras menggunakan siku tangan. Disusul kemudian, kaki Fang Renzhi bekerja pula menendang lutut Nyonya Wang sehingga wanita itu jatuh ke tanah.

Orang yang telah menjegal Lin Pingzhi tidak lain adalah si marga Jia yang tempo hari menjadi saksi kematian putra Pendeta Yu Canghai. Nama lengkapnya adalah Jia Renda. Setelah peristiwa di kedai arak itu ia melarikan diri dan bergabung dengan Fang Renzhi dan Yu Renhao.

Tangan Fang Renzhi telah bekerja cepat menotok titik nadi Nyonya Wang dan Lin Pingzhi sehingga ibu dan anak itu tidak mampu bergerak lagi. Dengan tetap menghunus pedang ia pun bergerak mendekati pertarungan Lin Zhennan dan Yu Renhao.

Melihat anak dan istrinya tertangkap, perhatian Lin Zhennan menjadi agak terganggu. Serangannya tidak lagi gencar dan lebih mudah dipatahkan. Yu Renhao merasa senang dan bergelak tawa. Seketika pedangnya pun bergerak melancarkan serangan yang ternyata sangat mengejutkan Lin Zhennan.

“Bagaimana… bagaimana kau bisa memainkan Ilmu Pendang Penakluk Iblis?” seru Lin Zhennan tak percaya.

“Bagaimana menurutmu permainanku ini?” jawab Yu Renhao dengan terus menyerang.

“Dari mana kau... kau mempelajarinya?” sahut Lin Zhennan dengan tergagap-gagap.

“Apa hebatnya jurus pedang seperti ini?” seru Fang Renzhi yang ikut menyerang. “Aku juga bisa memainkannya.” Laki-laki bertubuh kurus itu melancarkan jurus Menghalau Kawanan Iblis, Zhong Kui Menyolok Mata, dan Burung Walet Hinggap di Cabang; yang kesemuanya adalah bagian dari Ilmu Pedang Penakluk Iblis kebanggan Keluarga Lin.

Lin Zhennan sama sekali tidak menyangka ilmu pedang leluhurnya yang diwariskan turun-temurun ternyata dapat dimainkan orang lain. Pikirannya yang dilanda kebingungan membuat permainan pedangnya semakin lemah dan kacau.

“Kena kau!” bentak Yu Renhao tiba-tiba, sambil pedangnya bergerak menusuk lutut lawan. Lin Zhennan kehilangan keseimbangan dan langsung jatuh dalam keadaan berlutut di tanah. Walaupun ia dapat bangkit kembali, namun ujung pedang Yu Renhao telah mengancam di depan dadanya.

“Adik Yu, jurus Bintang Jatuh Menghantam Bulan yang kau mainkan benar-benar hebat,” seru Jia Renda memuji. Serangan tersebut juga bagian dari Ilmu Pedang Penakluk Iblis.

“Kalian... kalian ternyata menguasai Ilmu Pedang Penakluk Iblis,” sahut Lin Zhennan sambil menghela napas. “Bailkah, lekas bunuh kami bertiga secepatnya!” Sambil berkata demikian pedangnya pun jatuh ke tanah. Tiba-tiba ia merasa punggungnya kesemutan dan tubuhnya tak dapat digerakkan lagi. Rupanya Fang Renzhi telah menotoknya dari belakang.

“Tidak semudah itu,” jawab Fang Renzhi. “Kalian bertiga anak-anak bulus, mendapat kehormatan untuk menemui guru kami di Kuil Cemara Angin!”

Jia Renda tidak membuang kesempatan untuk membalas sakit hatinya. Ia mencengkeram bahu Lin Pingzhi dan mengangkatnya ke atas. Tangannya lalu bergerak menampar pipi pemuda itu dengan sangat keras. “Bajingan cilik! Mulai hari ini sampai nanti di Gunung Qingcheng kau akan kusiksa delapan belas kali sehari. Wajahmu yang cantik ini akan kubuat belang-belang!” bentaknya memaki-maki.

Dengan penuh kebencian, Lin Pingzhi meludahi wajah Jia Renda. Karena jarak mereka sangat dekat, tanpa ampun hidung Jia Renda langsung basah dibuatnya. Dengan sangat gusar, Jia Renda pun membanting tubuh Lin Pingzhi di tanah. Merasa belum puas, kakinya pun mendendang iga pemuda itu sekeras-kerasnya.

“Cukup, cukup!” sahut Fang Renzhi melerai sambil tersenyum lebar. “Kalau kau hajar dia sampai mati, bagaimana kau akan bertanggung jawab di hadapan Guru? Bocah ini cantik seperti perempuan, sudah pasti ia tidak tahan menerima tendanganmu.”

Dibandingkan dengan yang lain, sebenarnya ilmu silat Jia Renda tergolong biasa saja. Ditambah lagi dengan kelakuannya yang buruk membuat ia tidak disukai murid-murid Qingcheng yang lain, kecuali putra bungsu gurunya yang telah meninggal tempo hari. Itulah sebabnya mengapa ia sangat membenci Lin Pingzhi setengah mati. Namun demikian, karena takut terhadap Fang Renzhi dan Yu Renhao, ia hanya balas meludahi wajah Lin Pingzhi beberapa kali.

Mereka bertiga lalu membawa masuk tubuh Lin Zhennan, Nyonya Wang, dan Lin Pingzhi ke dalam kedai kecil tadi. Setelah itu Fang Renzhi berkata, “Sebelum perjalanan pulang sebaiknya kita makan dulu. Adik Jia, coba kau memasak sesuatu untuk kita.”

“Baik!” jawab Jia Renda tanpa membantah dan langsung masuk ke dapur.

Yu Renhao termenung sejenak kemudian berkata, “Kakak Fang, kita harus berhati-hati. Tiga orang ini jangan sampai mendapat kesempatan untuk kabur. Apalagi si tua ini, ilmu silatnya lumayan hebat.”

“Apa susahnya?” jawab Fang Renzhi. “Setelah makan nanti kita putuskan saja urat syaraf tangan dan kaki mereka. Setelah itu, kita tembus tulang pundak mereka menggunakan tali, dan kita ikat mereka menjadi satu seperti kepiting. Dengan demikian, tidak mungkin mereka bisa kabur.”

Kepala Lin Zhennan langsung pening mendengar rencana keji Fang Renzhi. Lin Pingzhi yang tidak sabar segera memaki dengan kasar, “Tidak tahu malu! Bunuh saja kami bertiga daripada kau perlakukan kami dengan cara hina seperti itu! Perbuatan kalian sama seperti bajingan rendah yang kotor dan tercela!”

Fang Renzhi tersenyum menyeringai dan berkata, “Sekali lagi kau bicara tidak sopan, aku segera mencari tahi kerbau atau anjing untuk kujejalkan ke dalam mulutmu itu.”

Ancaman ini ternyata sangat manjur. Lin Pingzhi langsung terdiam menutup mulutnya rapat-rapat. Namun demikian dalam hati ia tetap saja mengutuk laki-laki bertubuh kurus itu.

“Adik Yu,” kata Fang Renzhi selanjutnya, “Guru telah mengajarkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis dan kita berhasil memainkannya dengan baik. Kau buat Ketua Lin tidak berdaya menghadapi jurus kebanggaan keluarganya sendiri.” Kemudian ia berpaling kepada Lin Zhennan dan melanjutkan, “Ketua Lin, aku yakin saat ini kau pasti sedang berpikir: dari mana Perguruan Qingcheng memperoleh Ilmu Pedang Penakluk Iblis, bukan begitu?”

Ucapan Fang Renzhi benar-benar sesuai dengan pikiran Lin Zhennan. Majikan Biro Fuwei itu memang sedang merenung, “Dari mana orang-orang Qingcheng busuk ini mempelajari Ilmu Pedang Penakluk Iblis keluarga kami?”

Sementara itu Lin Pingzhi dalam hati berharap memperoleh kekuatan untuk bangkit dan menyerang kedua orang itu sampai tewas. Akan tetapi, karena tubuhnya sedang tertotok, ia sama sekali tidak mampu bergerak apalagi bangkit dan bertarung. Lebih-lebih ketika merenungkan ancaman Fang Renzhi yang mengerikan tadi –yang akan memutus urat syarafnya dan mengikat tubuhnya seperti kepiting– tentu baginya lebih baik mati daripada menderita begitu.

Sungguh tak disangka tiba-tiba terdengar suara Jia Renda menjerit, “Aaaah...! Aaaah...!”

Fang Renzhi dan Yu Renhao segera melompat dan berlari ke dapur sambil menghunus pedang masing-masing. Begitu keduanya pergi, dari pintu depan muncul sesosok bayangan berkelebat memasuki kedai dan langsung mendekati Lin Pingzhi. Orang itu menarik kerah baju Lin Pingzhi dan mengangkat tubuh pemuda itu dengan kedua tangan. Lin Pingzhi sendiri menjerit kaget karena orang yang baru datang ini tidak lain adalah si gadis burik penjual arak di luar Kota Fuzhou tempo hari.

Gadis burik itu membawa tubuh Lin Pingzhi keluar melalui pintu depan menuju pepohonan di mana kuda-kuda ditambatkan. Tubuh pemuda itu segera dinaikkannya ke punggung salah satu kuda. Ketika Lin Pingzhi masih dilanda kebingungan, tahu-tahu si gadis burik sudah memotong tali kendali yang tertambat di pohon, kemudian memukul paha belakang kuda dengan keras. Merasa kesakitan, kuda itu pun berlari kencang membawa tubuh Lin Pingzhi yang terangkut di punggungnya.

“Ayah! Ibu!” teriak Lin Pingzhi dengan perasaan kacau. Karena mengkhawatirkan keadaan kedua orang tuanya serta tidak ingin kabur seorang diri, ia pun menghentak keras sehingga tubuhnya jatuh ke tanah. Setelah terguling-guling beberapa kali, ia akhirnya masuk ke dalam semak belukar yang cukup lebat. Sementara itu kuda yang telah membawanya terus saja berlari dan masuk ke dalam hutan.

Perlahan-lahan Lin Pingzhi mencoba bangkit, namun totokan pada tubuhnya belum terbuka sehingga kakinya terasa kaku untuk bergerak. Akibatnya, ia pun kembali terjatuh dan masuk ke dalam semak yang lebih lebat. Sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sakit akibat jatuh dari punggung kuda tadi serta terbentur bebatuan hutan.

Samar-samar terdengar suara langkah kaki beberapa orang mendekati tempatnya. Lin Pingzhi pun mendekam di dalam semak tanpa bergerak sedikit pun. Ternyata orang-orang itu sedang terlibat pertempuran. Perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan melihat dua pihak sedang bertarung seru. Tampak Fang Renzhi dan Yu Renhao di satu pihak melawan si gadis burik dan seorang pria di pihak lain. Pria itu memakai cadar berwarna hitam sehingga wajahnya sulit untuk dikenali. Hanya saja, orang itu terlihat memiliki rambut putih sehingga tanpa ragu lagi Lin Pingzhi langsung yakin kalau dia adalah Kakek Sa, si pemilik kedai arak di luar Kota Fuzhou.

Diam-diam Lin Pingzhi merenung, “Tadinya aku mengira Kakek Sa dan cucu perempuannya adalah anggota Perguruan Qingcheng yang telah membantai para pegawai Biro Fuwei. Tak disangka, mereka justru berusaha menolongku. Oh! Kalau saja aku tahu mereka mahir ilmu silat, tentu tempo hari aku tidak perlu repot-repot berlagak sebagai pahlawan. Huh, kini semuanya sudah terlambat dan malapetaka sudah terjadi.” Sesaat kemudian ia kembali berpikir, “Sebenarnya ini adalah kesempatanku untuk menolong Ayah dan Ibu. Tapi sayang, tubuhku tertotok sehingga tidak bisa bergerak sama sekali.”

Di tengah pertarungan itu terdengar Fang Renzhi berteriak, “Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau bisa memainkan ilmu pedang Qingcheng milik kami?”

Kakek Sa tidak menjawab. Ia hanya mengayunkan pedangnya terus menerus. Serangan yang ia lancarkan memang menggunakan ilmu pedang Perguruan Qingcheng. Fang Renzhi melompat mundur setelah pedang di tangannya terlempar ke udara. Melihat kakak seperguruannya terdesak, Yu Renhao meninggalkan si gadis burik dan bergerak melindungi Fang Renzhi. Namun, Kakek Sa dengan cepat dapat menangkis semua serangan pemuda bertubuh gagah itu.

“Kau! Kau!” seru Yu Renhao tertahan. Suaranya terdengar penuh dengan perasaan kejut bercampur ngeri. Sesaat kemudian pedangnya pun terlempar pula ke udara.

Si gadis burik menerjang ke depan hendak menusukkan pedangnya, namun Kakek Sa sempat mencegah, “Jangan bunuh mereka!”

“Tapi mereka sangat kejam dan banyak membantai orang,” jawab si gadis burik.

“Mari kita pergi!” sahut Kakek Sa. Melihat si gadis burik masih penasaran, ia kembali berkata,”Jangan lupakan perintah Guru!”

“Baiklah, kali ini kuampuni nyawa mereka,” jawab si gadis burik sambil mengangguk. Usai berkata, ia langsung melesat masuk ke dalam hutan, sementara Kakek Sa mengikuti di belakangnya. Sekejap kemudian kedua bayangan mereka sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan.

Fang Renzhi dan Yu Renhao terdiam sambil berusaha menenangkan diri. Mereka lantas memungut pedang masing-masing yang berserakan di tanah.

“Sungguh tidak masuk akal! Dari mana orang itu bisa memainkan jurus pedang perguruan kita?” tanya Yu Renhao tak percaya.

“Sebenarnya dia hanya mengetahui beberapa jurus saja,” sahut Fang Renzhi. “Namun, ketika memainkan jurus Angsa Terbang ke Angkasa, oh... dia benar-benar sempurna!”

“Mereka berhasil menyelamatkan si bocah Lin,” seru Yu Renhao.

Fang Renzhi tersentak dan berkata, “Jangan-jangan ini semua hanya siasat mereka untuk menjauhkan kita dari suami-istri Lin”

“Sialan!” sahut Yu Renhao geram. Keduanya pun bergegas kembali menuju kedai kecil tadi.

Keadaan kini menjadi sunyi senyap. Selang agak lama, Lin Pingzhi mendengar suara langkah kaki kuda sedang berjalan mendekat. Sesaat kemudian, dua ekor kuda yang masing-masing ditunggangi Fang Renzhi dan Yu Renhao muncul dan melewati jalanan hutan tersebut. Lin Zhennan dan Nyonya Wang tampak berjalan di belakang dengan tangan terikat pada pelana. Hampir saja Lin Pingzhi berteriak memanggil ayah dan ibunya itu namun berhasil menahan diri. Ia sadar, sedikit saja menimbulkan suara tentu akan segera tertangkap dan kehilangan kesempatan membebaskan kedua orang tuanya.

Di belakang Lin Zhennan dan istrinya terdapat seorang pria berjalan terpincang-pincang. Ia tidak lain adalah Jia Renda. Darah terlihat membasahi pembalut warna putih yang membungkus kepalanya. Rupanya sewaktu berada di dapur tadi ia telah dipukul seseorang sehingga Fang Renzhi dan Yu Renhao bergegas mendatanginya. Pada saat itulah si gadis burik masuk ke dalam kedai dan membawa Lin Pingzhi kabur.

“Bangsat! Kalian boleh senang bisa menyelamatkan si anak kelinci itu! Tapi aku masih memiliki dua kelinci tua ini. Setiap saat mereka akan kusiksa sesuka hati. Lihat saja, sampai di Gunung Qingcheng nanti apakah nyawa mereka masih ada!” seru Jia Renda memaki-maki Kakek Sa dan Wan’er yang sudah lama pergi.

Mendengar itu Fang Renzhi membentak, “Adik Jia, ingat baik-baik pesan Guru yang menyuruh kita untuk menangkap Lin Zhennan suami-istri hidup-hidup! Kalau sampai kedua orang ini mati atau cacad, entah berapa banyak lembaran kulitmu yang akan dibeset nanti?”

Jia Renda mendengus dan langsung berhenti memaki.

Lin Pingzhi mendengar orang-orang Qingcheng itu berjalan semakin jauh dan akhirnya lenyap ditelan gelapnya hutan. Hatinya merasa sedikit lega dengan apa yang baru saja ia dengar. “Mereka harus membawa Ayah dan Ibu ke Gunung Qingcheng dalam keadaan hidup. Szechwan terletak sangat jauh di barat sana. Aku masih punya kesempatan untuk menolong Ayah dan Ibu.” Sejenak ia terdiam, kemudian berpikir lagi, “Setelah menemukan cabang Biro Fuwei yang paling dekat dari sini, aku harus segera mengirim surat kepada Kakek di Luoyang.”

Setelah berpikir demikian, Lin Pingzhi mencoba bangkit namun totokan pada tubuhnya ternyata belum terbuka. Terpaksa ia harus sabar menunggu meskipun banyak nyamuk dan serangga menggigit kulitnya. Setelah menahan gatal dan kesal selama beberapa jam, akhirnya ia bisa kembali bergerak. Saat itu matahari telah terbenam dan keadaan menjadi gelap gulita.

“Sebaiknya aku menyamar saja. Tiga bangsat dari Qingcheng itu sudah hafal dengan wajahku. Entah bagaimana aku bisa membebaskan Ayah dan Ibu kalau sampai terbunuh?” Berpikir demikian, Lin Pingzhi segera bergegas menuju kedai kecil tempat keluarganya disekap musuh tadi.

Begitu masuk ke dalam, ia langsung mencari pelita di dapur dan segera menyalakannya. Dicarinya pula seperangkat pakaian untuk menyamar namun tidak juga ia dapatkan. Rupanya suami-istri pemilik kedai ini benar-benar sangat miskin. Mereka bahkan tidak memiliki pakaian ganti.

Merasa kecewa Lin Pingzhi pun berjalan keluar dan menemukan mayat kedua pemilik kedai itu yang dibiarkan tergeletak begitu saja di atas tanah. Terpaksa ia harus menelanjangi mayat si laki-laki dan mengambil pakaiannya. Tiba-tiba angin berhembus memadamkan pelita, sehingga ia merasa ngeri juga berada di dalam kegelapan bersama dua sosok mayat.

Dengan langkah berat, Lin Pingzhi menyeret mayat si suami menuju dapur. Setelah menyalakan pelitanya kembali, ia pun melucuti pakaian pria malang itu. Tak disangka, baunya sungguh memuakkan. Tadinya Lin Pingzhi berniat mencuci pakaian itu terlebih dahulu; namun, begitu teringat keadaan ayah dan ibunya yang harus segera ditolong, ia langsung mengurungkan niat tersebut.

“Jika aku sampai kehilangan kesempatan hanya karena mencuci pakaian kotor ini, aku pasti akan menyesal seumur hidup,” demikian pikirnya.

Tanpa banyak pertimbangan lagi, Lin Pingzhi pun mengganti pakaiannya dengan pakaian pria pemilik kedai tersebut sambil menggertakkan gigi. Mayat pasangan suami-istri itu lalu dikuburnya dalam satu liang. Setelah itu ia juga menemukan senjata ayah dan ibunya yang berserakan di tanah. Dipungutnya pedang dan golok tersebut lalu dibungkusnya menggunakan selembar kain untuk kemudian disembunyikannya di balik baju.

Keadaan malam itu sangat sunyi. Samar-samar hanya terdengar suara katak bertalu-talu. Lin Pingzhi merasa sangat pilu dan hampir saja menjerit keras-keras. Pelita di tangannya pun dilemparkan ke udara hingga akhirnya jatuh ke dalam sebuah kolam di depan kedai. Suasana kini kembali gelap gulita.

“Lin Pingzhi, Lin Pingzhi! Jika kau hanya menuruti amarahmu, maka kau akan lengah dan akhinya jatuh ke tangan Perguruan Qingcheng lagi. Nasibmu tentu tak jauh beda dengan pelita yang tercebur kolam tadi,” teriaknya kepada diri sendiri.

Perlahan ia mengusap matanya yang hampir menangis menggunakan lengan baju. Kembali ia mencium bau busuk dan hampir saja muntah dibuatnya. Namun, hatinya kembali berkata, “Kalau aku tidak dapat menahan bau busuk pakaian ini, maka aku bukan laki-laki sejati.”

Dengan menahan rasa sakit akibat terjatuh dari kuda tadi, Lin Pingzhi melangkah sedikit demi sedikit. Ia terus saja berjalan tanpa kenal arah dan tujuan, naik dan turun menyusuri perbukitan sepanjang malam. Ketika pagi tiba, ia pun tersentak kaget karena matanya disilaukan cahaya matahari yang terbit di ufuk timur.

“Astaga! Bukankah bangsat-bangsat itu membawa Ayah dan Ibu menuju ke Gunung Qingcheng? Szechwan terletak di barat, tapi kenapa aku justru berjalan menuju timur?” Berpikir demikian ia pun berputar balik dan langsung berlari membelakangi matahari. “Ayah dan Ibu sudah berjalan sepanjang malam ke arah barat, sudah pasti aku tertinggal jauh. Tidak mungkin aku bisa mengejar mereka kalau hanya berjalan kaki. Aku harus membeli seekor kuda. Tapi, entah berapa harganya kira-kira?”

Lin Pingzhi meraba saku yang ternyata kosong melompong. Ketika meninggalkan Fuzhou, ayah dan ibunya membungkus sejumlah uang dan perhiasan sebagai bekal mereka dan mengikat bungkusan itu di pelana kuda. Kini kuda itu sudah dibawa serta oleh orang-orang Qingcheng. Lin Pingzhi benar-benar patah semangat. Ia tidak memiliki uang sedikit pun untuk membeli kuda baru.

“Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan?” ujarnya bingung sambil mendongak ke langit. “Aku harus menolong Ayah dan Ibu. Entah bagaimana caranya, aku tidak boleh menyerah!”

Pemuda itu melanjutkan perjalanan menuruni bukit. Menjelang tengah hari ia merasa perutnya sangat lapar. Tiba-tiba matanya melihat beberapa pohon lengkeng sedang berbuah lebat. Meskipun belum matang benar, namun lumayan baginya untuk sekadar mengganjal perut.

Segera dihampirinya pohon itu lalu ia julurkan lengan ke atas untuk meraih buahnya yang ranum. Hampir saja ujung jarinya menyentuh sasaran pada saat hatinya tiba-tiba berontak, “Buah lengkeng ini pasti ada yang memiliki. Mengambil tanpa izin sama artinya dengan mencuri. Keluarga Lin turun temurun melakukan pekerjaan mengawal dan menjaga harta benda milik orang lain; mana boleh sekarang aku mencuri hanya demi mengenyangkan perut sendiri? Jika sampai ada orang yang melihatku dan melapor kepada Ayah, tentu Ayah akan sangat malu. Nama baik Keluarga Lin dan Biro Ekspedisi Fuwei akan tercemar oleh perbuatanku.”

Sejak kecil Lin Pingzhi sering mendapatkan nasihat dari Lin Zhennan bahwa segala kejahatan merampok sesungguhnya berasal dari mencuri. Mula-mula mereka mengambil harta orang lain secara kecil-kecilan, dan perbuatan ini lama-lama menjadi kebiasaan. Setelah kekuatannya bertambah besar, si pencuri akhirnya tidak malu lagi mengambil milik orang lain secara paksa.

Teringat nasihat ayahnya itu, Lin Pingzhi berkeringat dingin. Mulutnya pun mengucapkan tekad, “Suatu hari nanti Ayah dan aku akan membangun kembali Biro Ekspedisi Fuwei. Aku harus selalu bersikap kesatria dan melakukan perbuatan laki-laki sejati. Aku tidak akan mencuri. Lebih baik mengemis daripada mencuri.”

Dengan langkah cepat, Lin Pingzhi melanjutkan perjalanan dan membuang jauh-jauh keinginannya terhadap buah lengkeng tadi, atau buah-buah lain yang ditemuinya di jalan. Sampai akhirnya ia memasuki sebuah desa kecil. Dengan perasaan canggung, ia mulai meminta-minta di depan sebuah rumah. Selama ini ia selalu hidup berkecukupan dan dilayani para pembantu keluarganya; tentu sungguh aneh rasanya kalau sekarang harus mengisi perut dengan cara mengemis. Meskipun hanya mengucapkan satu-dua patah kata, seketika wajahnya langsung merah dan kepala pun tertunduk malu.

Istri si pemilik rumah muncul dengan wajah bengis. Rupanya ia baru saja dimarahi dan dipukul oleh suaminya yang seorang petani. Begitu melihat ada pengemis muda datang ke rumahnya, wanita itu langsung melampiaskan amarahnya habis-habisan.

“Dasar kau maling kecil!” bentaknya sambil mengacungkan sebatang sapu. “Pasti kau yang telah mencuri ayam-ayamku! Kau sudah sering mencuri di sini dan kini berani datang lagi. Gara-gara ulahmu suamiku marah dan memukuli tubuhku. Huh, sekalipun aku mempunyai nasi basi, juga tidak akan kuberikan kepada maling sialan sepertimu!”

Wanita itu mencaci-maki Lin Pingzhi sambil terus mendesak maju. Lin Pingzhi yang merasa serbasalah melangkah mundur sedikit demi sedikit. Wanita itu semakin kesal dan memukulkan sapunya ke wajah Lin Pingzhi. Pemuda itu menjadi gusar. Sambil mengelak ia berusaha membalas dengan sebuah pukulan. Akan tetapi hatinya lantas berbisik, “Sungguh memalukan! Aku berusaha memukul wanita desa ini hanya karena tidak diberi makan.”

Karena berusaha membatalkan pukulannya secara tiba-tiba, ditambah lagi dengan perutnya yang semakin lapar, Lin Pingzhi pun kehilangan keseimbangan. Ia akhirnya terpeleset dan jatuh tertelungkup dengan wajah menimpa kotoran kerbau. Tanpa ampun, sapu wanita itu pun mendarat pula berkali-kali di atas kepalanya.

Melihat keadaan Lin Pingzhi yang konyol, wanita itu tertawa geli dan berkata, “Hahaha. Dasar maling busuk! Kau pantas mendapatkan ini semua.” Usai berkata ia meludahi punggung pemuda itu dan kemudian masuk kembali ke dalam rumah.

Lin Pingzhi sangat gusar tak terkatakan. Dengan susah payah ia mencoba bangkit meskipun kembali jatuh berkali-kali. Wajah dan tangannya penuh dengan kotoran kerbau. Tiba-tiba wanita pemilik rumah itu keluar lagi dengan membawa empat batang jagung rebus yang masih panas.

“Pergilah, setan kecil! Bawa ini untukmu!” katanya sambil menyodorkan jagung itu ke tangan Lin Pingzhi. “Kau ini sebenarnya tampan, bahkan lebih cantik daripada menantu perempuanku. Tapi kau malas bekerja dan menjadi pengemis. Dasar tak berguna!”

Lin Pingzhi semakin gusar. Hampir saja ia membanting jagung-jagung itu ke tanah. Tampak si wanita tertawa dan berkata, “Bagus sekali! Silakan kau buang saja jagung-jagung ini! Buang saja kalau kau memang tidak takut mati kelaparan.”

Dalam hati Lin Pingzhi menyadari kesalahannya, “Demi menyelamatkan Ayah dan Ibu, demi membangun kembali kejayaan Biro Ekspedisi Fuwei, aku harus kuat menahan segala penghinaan. Mulai hari ini aku harus tegar, tak peduli betapa berat penghinaan yang aku terima. Aku hanya perlu menggertakkan gigi dan menerima semuanya. Hanya dihina seorang istri petani rasanya bukan masalah besar.”

Usai berpikir demikian ia pun berkata, “Terima kasih banyak” Tanpa menunggu jawaban, ia segera menggerogoti jagung-jagung tersebut dengan lahap. Karena sangat lapar, keempat jagung rebus itu sudah habis dalam waktu singkat.

Si wanita desa tersenyum dan berkata, “Aku tahu kau tidak akan membuang jagung-jagung ini.” Ia lantas masuk kembali ke dalam rumah sambil menggumam, “Bocah ini terlalu lapar. Sepertinya memang bukan dia yang telah mencuri ayam-ayamku. Huh, andai saja suamiku memiliki kesabaran seperti dia, tentu hidupku akan jauh lebih baik.”

Lin Pingzhi pun melanjutkan perjalanan dengan semangat baru. Di sepanjang jalan ia mengisi perut dengan cara mengemis atau kadang memakan buah-buahan liar di hutan. Untungnya saat itu Provinsi Fujian sedang mengalami kemakmuran. Panen melimpah ruah sehingga banyak penduduk yang kelebihan bahan pangan. Lagipula, meskipun Lin Pingzhi memoles mukanya dengan lumpur dan kotoran tetap saja tutur bahasanya lembut dan sopan sehingga banyak orang yang senang memberinya sedekah.

Sambil mengemis, pemuda itu juga berusaha mencari informasi tentang keberadaan ayah dan ibunya, meskipun sampai saat ini hasilnya tetap saja nihil. Delapan hari kemudian sampailah ia di Provinsi Jiangxi. Ia kemudian bertanya di mana letak ibu kota daerah itu yang bernama Nancang. Ia berpikir di sana pasti terdapat kantor cabang Biro Ekspedisi Fuwei yang dapat memberinya informasi, atau sekadar uang untuk membeli kuda.

Begitu memasuki Kota Nancang, ia langsung bertanya di mana alamat Biro Ekspedisi Fuwei cabang Jiangxi. Seorang laki-laki menjawab, “Untuk apa kau bertanya soal Biro Fuwei? Perusahaan itu sudah habis terbakar dan rata dengan tanah. Bahkan, tidak sedikit rumah tetangga ikut dimakan api.”

Lin Pingzhi mengeluh dalam hati. Ia pun mendatangi kantor cabang perusahaan keluarganya itu dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa yang tersisa di sana hanya tinggal puing-puing reruntuhan saja. Cukup lama ia berdiri mematung sambil menggerutu dalam hati, “Huh, ini pasti perbuatan orang-orang Qingcheng pula. Aku tidak mau mati dulu sebelum bisa membalas sakit hati ini.”

Tanpa menunggu lebih lama, ia pun melanjutkan perjalanan ke arah barat. Beberapa hari kemudian sampailah ia di Changsha, ibu kota Provinsi Hunan. Setelah bertanya kepada penduduk di sana, ternyata kantor Biro Ekspedisi Fuwei di kota ini masih berdiri tegak dan tidak mengalami kebakaran. Seketika perasaannya lega dan ia pun bergegas menuju ke sana dengan langkah lebar.

Lin Pingzhi akhirnya menemukan di mana letak kantor cabang perusahaan keluarganya itu berada. Meskipun tidak semegah gedung pusat di Kota Fuzhou, kantor cabang di Kota Changsa ini terhitung lumayan besar. Tampak pintu utama gedung juga bercat warna merah, dengan dihiasi dua patung singa jantan di kanan-kiri gerbang.

Perlahan-lahan Lin Pingzhi mengintip ke dalam, namun keadaan tampak sangat sepi. Untuk melangkah masuk ke dalam gedung ia merasa ragu-ragu karena keadaannya sangat kotor dan dekil; jangan-jangan para pegawai di situ tidak mengenalinya pula. Ketika mendongak ke atas, dilihatnya papan nama perusahaan tidak terpasang sebagaimana mestinya. Papan yang bertuliskan “Biro Ekspedisi Fuwei Cabang Hunan” itu tampak terbalik cara memasangnya.

“Bagaimana mungkin para pegawai di sini sedemikian ceroboh?” katanya dalam hati.

Lin Pingzhi kemudian memandang ke arah tiang bendera di depan gedung. Betapa terkejut hatinya menyaksikan bukannya panji-panji kebesaran Biro Fuwei yang berkibar, melainkan sepasang sepatu rusak di tiang sebelah kiri, dan selembar celana wanita di tiang sebelah kanan. Celana wanita itu bermotif bunga-bunga dan terlihat robek di sana-sini.

Belum habis rasa herannya tiba-tiba dari dalam kantor keluar seorang laki-laki yang langsung membentak dirinya, “Hei, anak bulus! Apa yang kau lakukan di sini? Mau mencuri, hah?”

Mendengar logat bicara orang itu mirip dengan murid-murid Qingcheng, Lin Pingzhi buru-buru memutar badan untuk segera pergi. Akan tetapi, sebuah tendangan lebih dulu mendarat di punggungnya, membuat pemuda itu jatuh tersungkur.

Lin Pingzhi berniat bangun dan melawan, namun segera ia teringat bahwa menuruti amarah hanya akan merugikan diri sendiri. Justru ini adalah kesempatan yang baik untuk mendapatkan informasi di mana ayah dan ibunya berada. Maka itu, ia pun menenangkan diri dan pura-pura meringis kesakitan. Untungnya, murid Qingcheng tersebut kurang cermat sehingga hanya bergelak tawa sambil memaki, “Dasar anak bulus!”

Setelah orang itu kembali ke dalam, Lin Pingzhi bangun dan berjalan dengan gaya terpincang-pincang memasuki sebuah gang kecil. Di sana ia kembali mengemis dan mendapatkan semangkuk beras untuk mengisi perut.

“Di sekelilingku banyak musuh berkeliaran, aku harus berhati-hati!” katanya dalam hati. Ia kemudian mengusap wajahnya dengan debu dan jelaga sehingga terlihat hitam dan kotor. Sambil menunggu hari gelap, ia pun tidur di sudut gang tersebut.

Ketika malam tiba, Lin Pingzhi bergegas menyusup ke dalam gedung perusahaan. Dengan sebilah pedang disiapkan di pinggang, ia pun mengendap-endap menuju pintu belakang. Setelah yakin keadaan aman, pemuda itu lantas melompati pagar tembok, dan hinggap di pekarangan gedung yang ternyata berupa sebidang kebun sayur. Perlahan-lahan ia menyusuri tembok tersebut selangkah demi selangkah.

Suasana kantor cabang Changsa yang biasanya ramai itu kini telah sunyi sepi dan gelap gulita. Tidak terdengar suara seorang pun, juga tidak terdapat cahaya pelita sedikit pun. Sampai-sampai Lin Pingzhi dapat mendengar suara detak jantungnya sendiri. Dengan tangan meraba-raba tembok, ia terus berjalan perlahan-lahan. Kakinya sangat berhati-hati dalam melangkah jangan sampai tersandung batu atau menginjak ranting kecil agar tidak menimbulkan suara berisik sedikit pun.

Setelah melintasi pekarangan, Lin Pingzhi melihat seberkas cahaya pelita memancar dari arah jendela ruangan sisi timur. Dengan perasaan tegang ia pun merangkak mendekati jendela itu dan kemudian duduk meringkuk di bawah sambil menahan napas. Telinganya lantas mendengar suara orang sedang bercakap-cakap di dalam ruangan tersebut.

“Besok pagi kita bakar saja gedung ekspedisi bulus ini supaya kita tidak perlu tinggal lebih lama di sini seperti orang tolol,” ujar seseorang kepada rekannya.

“Jangan! Tidak boleh!” jawab seorang lainnya. “Kakak Pi dan yang lain telah membakar gedung kantor cabang di Nancang. Konon belasan rumah penduduk di sana ikut terbakar pula. Kejadian seperti ini sudah tentu merugikan nama baik Perguruan Qingcheng kita. Guru pasti akan menghukum mereka.”

Lin Pingzhi merasa geram mendengarnya. Kini ia tidak ragu lagi bahwa pelaku pembakaran kantor cabang Nancang adalah orang-orang Perguruan Qingcheng pula. Namun ia merasa heran mengapa setelah pembantaian besar-besaran itu mereka masih juga mempersoalkan nama baik?

Pembicaraan di dalam terus berlanjut. Terdengar orang yang pertama tadi berkata, “Kalau tidak dibakar, apa terus dibiarkan begini saja? Apa kita tinggalkan dalam keadaan utuh seperti ini?”

Rekannya menjawab, “Adik Ji, kau ini memang suka terburu nafsu. Kita sudah membalik papan nama biro ini; kita juga menggantung celana wanita dan sepatu rusak pada tiang bendera di depan. Nama baik Biro Ekspedisi Fuwei Cabang Hunan sudah kita hancurkan. Jadi, untuk apa lagi kita bersusah payah membakar gedung bulus ini?”

“Kau benar, Kakak Shen,” kata orang pertama yang bermarga Ji sambil tertawa. “Celana wanita robek itu akan memberikan pengaruh buruk bagi Biro Fuwei. Bisa dijamin selama tiga ratus tahun mereka akan bernasib sial terus menerus. Hahahaha...”

Kedua murid Qingcheng itu pun tertawa terbahak-bahak. Si marga Ji kembali berkata, “Besok kita akan pergi ke Kota Hengshan untuk menghadiri upacara yang diadakan Liu Zhengfeng. Hadiah apa yang bisa kita berikan kepadanya? Huh, berita ini sangat mendadak. Kalau hadiah yang kita berikan kurang berharga, tentu akan merusak nama baik Perguruan Qingcheng.”

“Masalah hadiah sudah kupersiapkan dengan baik,” jawab si marga Shen sambil tersenyum. “Kau tidak perlu khawatir. Aku jamin, Perguruan Qingcheng tidak akan kehilangan muka dalam upacara Cuci Tangan Baskom Emas tersebut. Bahkan, hadiah dari perguruan kita pasti menjadi hadiah yang paling istimewa.”

“Hei, hadiah apa itu? Kenapa aku tidak tahu sama sekali?” sahut si marga Ji senang.

Si marga Shen tertawa bangga, lalu menjawab, “Hadiah ini sebenarnya kita ‘pinjam’ dari orang lain. Kita sama sekali tidak perlu keluar uang untuk membelinya. Coba lihat, apakah ini cukup bagus?”

Samar-samar Lin Pingzhi mendengar suara tangan membuka bungkusan atau sejenisnya. Sesaat kemudian terdengar si marga Ji berseru, “Wah, hebat! Kakak Shen, apa kau mempunyai ilmu sihir? Dari mana kau dapatkan benda-benda ini?”

Lin Pingzhi sangat penasaran dan ingin sekali mengetahui benda apa yang sedang dibicarakan kedua orang itu. Namun ia sadar, begitu mengangkat kepala untuk mengintip ke dalam, seketika bayangannya akan terlihat oleh mereka berdua. Maka itu, ia pun berusaha menahan diri dan tetap bersabar.

“Memangnya kita menempati kantor Biro Fuwei ini dengan cuma-cuma?” sahut si marga Shen. “Sepasang kuda kumala ini sebenarnya hendak kupersembahkan kepada Guru; namun sekarang sebaiknya si tua Liu Zhengfeng itu saja yang beruntung mendapatkannya.”

Perasaan Lin Pingzhi kembali bergolak mendengar ucapan si marga Shen. Ia pun menggerutu dalam hati, “Huh, kelakuan Perguruan Qingcheng tidak ada bedanya dengan perampok jalanan. Mereka merampas benda kawalan Biro Fuwei untuk mengambil hati orang lain. Mereka merugikan pihak lain demi mengangkat nama sendiri. Padahal, jika ada benda yang hilang, tentu Ayah yang harus bertanggung jawab mengganti kerugiannya. Dasar keparat!”

Si marga Ji terdengar berkata, “Kakak Shen, hubungan Guru dengan Liu Zhengfeng konon kurang begitu akrab. Apa tidak sebaiknya kita berikan sedikit hadiah saja, sementara sisanya kita bawa pulang?”

“Rupanya kau belum paham juga, Adik Ji,” jawab si marga Shen. “Liu Zhengfeng hendak menggelar upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Tentunya dalam acara tersebut banyak tokoh persilatan yang hadir. Sesungguhnya hadiah yang kita bawa ini hanya sekadar untuk pamer, supaya Perguruan Qingcheng tidak dipandang rendah oleh mereka.”

Si marga Ji menjawab, “Kakak Shen memang cerdik.” Ia diam sejenak kemudian melanjutkan, “Tapi, kalau kita... kalau kita pulang ke Szechwan dengan tangan hampa tentu rasanya tidak enak juga.”

“Jangan khawatir!” sahut si marga Shen tenang. “Guru mungkin tidak terlalu peduli dengan benda-benda seperti ini. Yang perlu kita pikirkan justru istri muda Beliau. Ini ada empat bungkusan sudah kupersiapkan. Satu untuk para istri Guru, terutama yang paling muda; satu untuk segenap saudara seperguruan; dan sisa dua bungkus untuk kita berdua. Terserah kau boleh pilih yang mana.”

“Terima kasih, Kakak Shen,” sahut si marga Ji. “Memangnya apa saja isi bungkusan ini?”

Lin Pingzhi kembali mendengar suara bungkusan dibuka. Disusul kemudian terdengar suara si marga Ji berseru kaget, “Wah, ternyata isinya emas dan permata! Dasar keparat! Kita sekarang kaya raya! Biro Fuwei memang pandai mengumpulkan harta. Kakak Shen, di mana kau menemukan ini semua? Padahal, sudah kucari belasan kali, sampai-sampai lantai juga kugali; namun tidak juga kutemukan harta benda apapun, selain seratus tael perak saja. Kakak Shen, di mana kau temukan harta karun ini?”

Si marga Shen tersenyum bangga dengan dirinya sendiri. “Harta kekayaan perusahaan ini tidak mungkin disimpan di sembarang tempat. Mungkin kau tidak tahu kalau selama ini aku mengamati kegiatanmu membongkar lemari, mencongkel dinding, dan membobol laci. Sungguh kesibukan yang sia-sia,” ujarnya. “Kita hidup di dunia persilatan tidak boleh hanya mengandalkan ilmu silat belaka, tapi juga ini...” katanya sambil menunjuk kepala sendiri.

Si marga Ji menjawab, “Aku tahu, tapi bagaimana caranya? Kakak Shen, tolong katakan padaku!”

“Coba pikir, apakah menurutmu ada yang aneh dengan tempat ini?” tanya si marga Shen.

“Aneh? Banyak yang aneh menurutku,” sahut si marga Ji. “Perusahaan bulus ini memiliki ilmu silat rendah, tapi berani-beraninya memasang bendera bergambar singa gagah.”

“Maka itu kita menggantinya dengan celana perempuan,” kata si marga Shen sambil tertawa. “Coba kau ingat lagi, apakah ada yang aneh dengan perusahaan pengawalan ini?”

“Aku ingat sekarang,” ujar si marga Ji sambil menepuk pahanya. “Ketua cabang di sini, yaitu Pengawal Zhang telah meletakkan peti mati di dalam kamar tidurnya. Bukankah ini malah membawa kesialan? Hahaha.”

“Gunakan kepalamu!” sahut si marga Shen dengan suara tertahan. “Kenapa dia meletakkan peti mati di dalam kamar tidur? Apakah peti itu berisi jasad istrinya, ataukah anaknya, ataukah orang lain yang sangat dicintainya? Aku rasa tidak. Tentu peti mati itu digunakan untuk menyimpan....”

“Aha!” seru si marga Ji sampai melonjak dari kursinya. “Harta karun ini pasti disimpan di dalam peti mati itu. Keparat! Dasar anak bulus! Kakak Shen, dua bungkusan ini sama beratnya. Mana berani aku mengambil jumlah yang sama denganmu? Sudah seharusnya kau mendapatkan bagian lebih banyak.” Usai berkata, ia lantas membuka bungkusannya dan memindahkan sebagian isinya ke dalam bungkusan si marga Shen. Si marga Shen hanya tersenyum-senyum tanpa menolak sedikit pun.

Si marga Ji kembali berkata, “Sekarang sudah larut malam. Aku akan mengambil air hangat untuk mencuci kaki kita sebelum tidur.” Sambil menguap ia pun mendorong pintu dan berjalan keluar kamar.

Lin Pingzhi memberanikan diri melirik ke dalam melalui celah jendela. Samar-samar ia melihat si marga Ji ternyata bertubuh pendek dan gemuk. Kemungkinan besar orang itulah yang menendangnya tadi siang. Tidak lama kemudian orang bermarga Ji itu telah kembali dengan membawa sebaskom air hangat.

“Kakak Shen,” katanya sambil menyodorkan baskom di tangan. “Kali ini Guru telah mengirim belasan murid untuk menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei. Namun, sepertinya kita berdua saja yang memperoleh harta rampasan paling banyak. Berkat dirimu kita bisa mendapatkan hasil seperti ini. Kelompok Kakak Jiang yang dikirim menyerang cabang Guangzhou, atau kelompok Kakak Ma yang menyerang cabang Hangzhou, mungkin mereka tidak menemukan apa-apa. Meskipun mereka melihat ada peti mati di sana, namun sudah pasti tidak ada yang menduga terdapat harta karun di dalamnya.”

Si marga Shen menjawab, “Kakak Fang dan Adik Yu, serta si bodoh Jia Renda kabarnya telah menklukkan kantor pusat Biro Fuwei di Fuzhou. Tentu mereka mendapatkan hasil yang lebih besar. Akan tetapi sayangnya, putra bungsu guru kita tewas di sana. Sepertinya mereka akan mendapat marah besar.”

“Sebenarnya bukan mereka yang menghancurkan kantor pusat Biro Fuwei di Fuzhou,” sahut si marga Ji. “Kakak Fang dan Adik Yu hanya bertugas mengintai. Guru tidak akan memarahi mereka atas kematian putra bungsu Beliau. Guru memang telah mempersiapkan serangan ini secara besar-besaran. Segenap murid-murid Qingcheng dikirim untuk menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei baik itu pusat ataupun cabang-cabangnya sekaligus. Bahkan, Guru sendiri ikut datang ke Fuzhou untuk membantai para pegawai di sana. Dalam hal ini Guru terlalu berlebihan karena ilmu silat Keluarga Lin ternyata tidak sehebat nama besarnya. Hanya tiga orang saudara kita saja sudah cukup untuk menangkap Lin Zhennan dan istrinya.”

Lin Pingzhi tergetar dan berkeringat dingin begitu mendengar percakapan yang terakhir ini. Ternyata Perguruan Qingcheng sejak awal memang sudah berniat untuk menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei. Bahkan, Yu Canghai sendiri ikut datang ke Fuzhou dan turun tangan secara langsung. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa yang membantai para pegawai ayahnya dengan jurus Tapak Penghancur Jantung tidak lain adalah ketua Perguruan Qingcheng tersebut.

Lin Pingzhi pun bertanya-tanya dalam hati mengapa Perguruan Qingcheng menghancurkan Biro Fuwei? Memangnya ada dendam apa di antara kedua pihak? Ia merasa sedikit lega setelah mengetahui penyebab kehancuran Biro Fuwei ternyata bukan karena perbuatannya yang telah membunuh putra bungsu Yu Canghai. Sebaliknya, rasa dendamnya semakin berkobar-kobar. Andai saja ia tidak ingat kalau ilmu silat lawan lebih hebat, tentu ia sudah menerobos jendela dan mencincang habis kedua murid Qingcheng itu. Samar-samar terdengar mereka berdua sedang mencuci kaki masing-masing.

Si marga Shen berkata, “Guru tidak berlebihan, Adik Ji. Puluhan tahun yang lalu Biro Ekspedisi Fuwei dan Ilmu Pedang Penakluk Iblis pernah menggetarkan dunia persilatan. Mungkin keturunan mereka saja yang terlalu bodoh sehingga tidak becus mewarisi kepandaian leluhur.”

Raut muka Lin Pingzhi langsung berubah merah mendengarnya. Dalam hati ia mengakui kalau ilmu silatnya memang terlalu rendah.

Terdengar si marga Shen melanjutkan, “Sebelum kita berangkat bukankah Guru telah mengajarkan beberapa jurus Ilmu Pedang Penakluk Iblis? Memang sulit untuk mendalami semua jurus yang diajarkan Beliau itu dalam waktu dua bulan. Akan tetapi, aku bisa merasakan di dalam ilmu pedang Keluarga Lin itu tersembunyi banyak kekuatan yang mengerikan. Kau sendiri sudah hafal berapa jurus, Adik Ji?”

Si marga Ji menjawab, “Guru pernah bilang bahwa jurus ini sangat istimewa, bahkan Lin Zhennan sendiri belum menguasainya dengan sempurna. Maka itu, aku jadi malas mempelajarinya. Kakak Shen, kabarnya Guru telah memberi perintah agar kita semua berkumpul di Kota Hengshan. Ini berarti, Kakak Fang akan membawa Lin Zhennan suami-istri ke sana pula, bukan begitu? Aku jadi penasaran ingin melihat seperti apa wajah ahli waris Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang luar biasa itu, hahaha.”

Lin Pingzhi terkejut bercampur senang mendengar di mana keberadaan ayah dan ibunya.

“Beberapa hari lagi kau akan bertemu dengannya. Kau bisa belajar langsung kepadanya tentang kehebatan Ilmu Pedang Penakluk Iblis itu, hahaha,” jawab si marga Shen sambil tertawa pula.

Tiba-tiba daun jendela terbuka. Lin Pingzhi terkejut mengira persembunyiannya telah diketahui oleh kedua orang itu. Ketika hendak beranjak pergi mendadak kepalanya sudah basah kuyup tersiram air hangat. Hampir saja ia menjerit kaget. Untungnya setelah itu jendela ditutup kembali dan pelita di dalam kamar dipadamkan pula. Keadaan kini menjadi gelap gulita tanpa cahaya.

Jantung Lin Pingzhi berdebar kencang setelah mengalami kejadian yang sangat mengejutkan itu. Ia baru sadar kalau si marga Ji baru saja membuang air kotor bekas cucian kaki melalui jendela dan tepat menyiram kepalanya. Meskipun demikian, ia merasa gembira karena baru saja memperoleh informasi tentang keberadaan kedua orang tuanya. Jangankan disiram air kotor, disiram air kencing sekalipun juga tidak menjadi masalah baginya.

Suasana malam mulai sepi. Khawatir kedua murid Qingcheng itu mendengarnya melangkah pergi, Lin Pingzhi pun menunggu sampai mereka benar-benar tertidur lelap. Selang agak lama, terdengar suara dengkuran dari dalam kamar. Perlahan-lahan Lin Pingzhi berdiri. Namun seketika ia terkejut dan langsung berjongkok kembali begitu melihat bayangan orang bergerak-gerak di dalam kamar. Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata itu adalah bayangan yang terjadi akibat api pelita bergoyang-goyang tertiup angin malam. Sepertinya si marga Ji lupa mengunci jendela kamar setelah membuang air bekas cucian kaki tadi.

“Ini adalah kesempatan emas untuk membalas dendam,” pikirnya. Pemuda itu lantas menghunus pedang milik ayahnya dan perlahan-lahan masuk ke dalam kamar melalui jendela yang tidak terkunci itu.

Di bawah cahaya rembulan yang menerobos masuk, Lin Pingzhi dapat melihat dua orang tertidur pulas di atas ranjang masing-masing. Yang satu berkepala botak, tidur menghadap dinding; sementara yang satunya lagi tidur terlentang dengan alis tebal dan janggut kasar.

Di antara kedua ranjang itu terdapat sebuah meja di mana lima buah bungkusan serta dua bilah pedang tertaruh di atasnya. Lin Pingzhi mengangkat pedangnya dan mendekati si janggut sambil berpikir, “Dengan sekali tusuk aku bisa membunuh mereka seperti memotong sayur.” Namun, baru saja hendak mengayunkan pedangnya, tiba-tiba ia berpikir, “Tunggu dulu! Membunuh mereka yang sedang tidur adalah perbuatan manusia rendah. Ini bukan perbuatan seorang kesatria. Lebih baik aku memperdalam ilmu silatku lebih dulu, baru kemudian menantang mereka bertarung secara jantan.”

Berpikir demikian, Lin Pingzhi pun menyarungkan kembali pedangnya di pinggang. Perlahan ia mengambil kelima bungkusan di atas meja, kemudian melangkah keluar melalui jendela. Setelah mengikat tiga bungkus harta Biro Fuwei itu di punggung, serta membawa kedua sisanya di tangan kiri dan kanan, ia lalu berjalan dengan sangat hati-hati menuju pekarangan belakang.

Takut menimbulkan suara berisik yang akan membangunkan kedua murid Qingcheng tadi, Lin Pingzhi mendorong pintu belakang dengan sangat perlahan dan keluar meninggalkan gedung kantor cabang perusahaan keluarganya tersebut. Setelah berpikir sejenak untuk membedakan arah, ia lalu berlari menuju gerbang kota sisi selatan.

Saat itu gerbang belum dibuka karena masih tengah malam. Lin Pingzhi terpaksa bersembunyi di balik gundukan tanah sambil beristirahat menunggu fajar tiba. Meskipun demikian, ia tidak bisa memejamkan mata karena jantungnya berdebar kencang, takut kedua murid Qingcheng tadi tiba-tiba muncul mengejar dirinya.

Akhirnya fajar pun menyingsing di ufuk timur. Begitu para petugas membuka gerbang, Lin Pingzhi langsung berlari sekencang-kencangnya meninggalkan Kota Changsa tersebut. Setelah berlari sejauh belasan kilo, ia mulai yakin telah terlepas dari bahaya sehingga memperlambat langkah kakinya. Sejak meninggalkan Fuzhou, baru kali ini hatinya merasa lega; karena selain mengetahui keberadaan ayah dan ibunya, ia juga mendapatkan cukup banyak uang sebagai bekal perjalanan.

Pagi itu ia singgah di sebuah kedai tepi jalan untuk mengisi perut. Di sana ia hanya makan semangkuk bakmi karena khawatir pihak Qingcheng datang mengejarnya. Untuk membayar makanannya, Lin Pingzhi merogoh salah satu bungkusan yang ia bawa dan mengeluarkan sepotong perak. Pemilik kedai segera mengumpulkan semua uang miliknya untuk membayar kembalian namun tetap saja tidak mencukupi. Lin Pingzhi berkata, “Sudahlah, ambil saja semuanya!” Selama masa pelarian itu ia sudah kenyang dihina orang. Baru kali ini sifatnya sebagai seorang majikan muda yang dermawan pulih kembali.

Setelah melewati belasan kilo selanjutnya, Lin Pingzhi sampai di sebuah kota besar. Ia mencari penginapan dan memesan sebuah kamar yang paling mewah. Di dalam kamar itu ia membuka kelima bungkusan yang diambilnya dari cabang Changsa tadi. Ternyata keempat bungkusan yang pertama berisi emas, perak, perhiasan, dan batu permata; sementara bungkusan yang satunya lagi berisi sebuah kotak yang dilapisi kain beludru. Di dalam kotak itu terdapat sepasang patung kuda yang terbuat dari kumala.

“Hanya dari satu cabang saja sudah terkumpul harta karun sebanyak ini. Tidak heran kalau Perguruan Qingcheng begitu serakah ingin menguasai Biro Ekspedisi Fuwei,” demikian pikirnya.

Lin Pingzhi memasukkan beberapa potong perak ke dalam saku sebagai bekal perjalanan, kemudian membungkus sisanya menjadi satu bungkusan besar, untuk kemudian digendongnya di punggung. Setelah meninggalkan penginapan, ia pergi ke pasar membeli dua ekor kuda. Dengan cara menunggangi kedua kuda itu secara bergantian, ia pun melaju sekencang-kencangnya. Setiap hari pemuda ini hanya beristirahat sekitar empat atau lima jam saja.

Setelah melalui perjalanan panjang dan memakan waktu berhari-hari, Lin Pingzhi akhirnya sampai juga di Kota Hengshan. Di sana ia menjumpai begitu banyak kaum persilatan berlalu-lalang di jalan. Khawatir bertemu Fang Renzhi atau murid Qingcheng lainnya, ia pun berjalan menunduk dan berusaha mencari penginapan untuk memperbaiki penyamaran. Tak disangka, penginapan-penginapan di kota itu telah penuh oleh pengunjung.

Salah seorang pemilik penginapan yang ditemuinya berkata, “Tiga hari lagi Tuan Majikan Liu akan mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Tidak heran kalau semua kamar di penginapan kami telah habis ditempati para tamu Beliau.”

Tanpa kenal menyerah Lin Pingzhi mencari penginapan di pinggiran kota. Akhirnya ia pun menemukan sebuah penginapan kecil yang menyediakan kamar-kamar sederhana.

Setelah menutup pintu dan jendela kamar yang disewanya, pemuda itu berpikir, “Meskipun wajahku kukotori dengan debu dan lumpur, namun bajingan bermarga Fang itu sangat cerdik. Sudah pasti ia dapat mengetahui penyamaranku.”

Berpikir demikian, Lin Pingzhi bergegas pergi membeli tiga lembar koyo di toko obat dan segera kembali ke penginapan. Dua lembar koyo itu lantas ditempelkannya di ujung dahi kiri dan kanan sehingga kedua alisnya tertarik ke bawah. Selembar lainnya ditempelkan di pipi kiri sehingga tepi mulutnya ikut tertarik ke atas dan giginya pun kelihatan. Ketika bercermin, wajahnya terlihat begitu jelek, sampai-sampai ia sendiri muak melihat wajahnya itu.

Kemudian Lin Pingzhi membungkus semua emas dan perak yang ia bawa menjadi satu dan mengikatnya di punggung. Bungkusan tersebut lantas ditutupinya dengan baju luar sehingga wujudnya kini terlihat seperti seorang bungkuk.

“Penampilanku sungguh mengerikan. Jangankan orang-orang Qingcheng, bahkan Ayah dan Ibu mungkin tidak bisa mengenaliku lagi,” demikian pikirnya.



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar