Musim semi selalu menjadi saat
paling tepat untuk bersantai di setiap tahun. Angin sepoi-sepoi yang berhembus
dengan lembut meniup dedaunan pohon liu dan bunga-bunga liar, membuat udara
terasa begitu segar bagi siapa saja yang menghirupnya.
Di tepi selatan jalan raya
berbatu yang membentang dari gerbang barat Kota Fuzhou, Provinsi Fujian,
berdiri sebuah gedung yang cukup megah. Di depan gedung itu tampak menjulang
dua batang tiang bendera berukuran tujuh meter. Pada masing-masing tiang
terpasang bendera berwarna hijau yang berkibaran tertiup angin. Bendera sebelah
kiri bersulamkan gambar seekor singa jantan dengan benang warna kuning. Sewaktu
bendera melambai-lambai, gambar singa itu bagaikan hidup, seolah hendak
melompat dan siap menerkam setiap saat. Tepat di atas kepala singa tersulam
gambar dua ekor kelelawar dengan benang warna hitam, masing-masing sedang
mengepakkan sayapnya. Sementara itu pada bendera yang terpasang di tiang
sebelah kanan tampak bersulamkan benang warna hitam pula yang membentuk tulisan
berbunyi “Biro Ekspedisi Fuwei”. Melihat betapa kuat dan indahnya sulaman pada
kedua bendera tersebut, jelas semuanya dikerjakan oleh kaum ahli yang ternama.
Pintu utama gedung tersebut
berwarna merah dengan dihiasi paku-paku tembaga seukuran cawan teh. Diterpa
sinar matahari, paku-paku tembaga itu tampak bercahaya dan berkilat-kilat. Di
atas pintu terpasang sebuah papan nama berwarna hitam, bertuliskan huruf-huruf
kuning emas berukuran besar yang juga berbunyi “Biro Ekspedisi Fuwei”. Di bawah
huruf-huruf besar tersebut melintang beberapa huruf yang lebih kecil, berbunyi
“Kantor Pusat”.
Di balik pintu utama –di
sebelah kanan dan kiri lorong– terdapat dua baris bangku panjang. Tampak duduk
di sana delapan orang laki-laki gagah berseragam rapi sedang asyik bersenda
gurau.
Tiba-tiba dari arah belakang
terdengar suara derap kaki beberapa ekor kuda. Kedelapan pria berseragam itu
serentak bangkit dan berlari keluar. Dari pintu samping sebelah barat gedung
muncul lima orang penunggang kuda yang kemudian berhenti tepat di depan pintu
utama tadi. Kuda yang paling depan berwarna putih bersih, memakai pelana indah
yang tepiannya dihiasi sepuhan perak. Penunggangnya seorang pemuda berpakaian
mewah berusia kurang lebih sembilan belas tahun. Di atas bahu pemuda itu
hinggap seekor elang pemburu. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya, serta
seperangkat busur dan anak panah tampak menghiasi punggungnya. Tangan kirinya
juga memegang sehelai cambuk. Keempat penunggang yang lain berada di belakang,
dan semuanya mengenakan seragam warna hitam.
“Tuan Muda hendak berburu
lagi!” seru tiga di antara delapan laki-laki penjaga pintu hampir bersamaan.
Pemuda itu tersenyum sambil
melecutkan cambuknya ke udara. Kuda putih tunggangannya langsung meringkik
sambil mengangkat kedua kaki depan, kemudian melaju kencang bagaikan terbang.
“Pengawal Shi,” sahut salah
seorang penjaga pintu gerbang, “bagaimana kalau nanti kami dibawakan seekor
babi hutan untuk makan malam?”
“Jangan khawatir, akan kami
sisakan ekornya saja untuk kalian,” jawab seorang penunggang kuda berusia empat
puluhan yang dipanggil Pengawal Shi itu. “Yang penting berjagalah dengan baik
dan jangan mabuk sebelum kami pulang.”
Usai berkata demikian, ia
langsung memacu kuda menyusul sang Tuan Muda diiringi ketiga rekannya
meninggalkan kedelapan penjaga pintu yang ramai bergelak tawa tersebut.
Tuan muda yang melaju paling
depan tadi bernama Lin Pingzhi, putra tunggal pemilik Biro Ekspedisi Fuwei.
Kuda putih yang dikendarainya berlari kencang bagaikan terbang di udara. Hanya
dalam waktu singkat keempat pengikutnya sudah tertinggal jauh di belakang.
Adapun keempat pengikutnya itu adalah para pegawai biro, yang terdiri atas dua
orang pengawal bermarga Shi dan Zheng, serta dua orang pengiring bernama Bai Er
dan Chen Qi.
Begitu sampai di atas tanjakan
bukit, Lin Pingzhi segera melepaskan elang pemburunya. Tidak lama kemudian
sepasang kelinci berwarna coklat kekuningan sudah berlari-lari keluar dari
dalam hutan karena diburu elang tersebut. Dengan cepat Lin Pingzhi melepaskan
anak panahnya. Seekor di antara dua kelinci itu langsung roboh di tanah.
Sewaktu hendak membidik lagi, kelinci yang lain ternyata sudah menghilang di
dalam semak-semak.
Pengawal Zheng dan yang lain
baru saja tiba. Dengan tertawa ia memuji, “Sungguh hebat bidikan Tuan Muda!”
Kemudian terdengar suara Bai
Er berseru dari dalam hutan sebelah kiri mereka, “Tuan Muda, lekas kemari! Di
sini ada ayam hutan!”
Lin Pingzhi menjalankan
kudanya menuju tempat itu dan melihat seekor ayam hutan berbulu indah melayang keluar
dari balik semak pohon. Segera ia melepaskan panah namun meleset, sementara
ayam itu justru melayang di atas kepalanya. Dengan cekatan pemuda itu
melecutkan cambuknya ke atas, sehingga ayam tersebut langsung jatuh ke bawah
dan bulunya yang berwarna-warni tampak bertebaran di udara.
Kelima orang Biro Fuwei itu
pun bergelak tawa melihatnya.
“Jangankan cuma seekor ayam
hutan, lecutan cambuk Tuan Muda bahkan mampu menjatuhkan seekor rajawali,” ujar
Pengawal Shi memuji.
Mereka berlima lantas menyusur
kian kemari sampai ke tengah hutan. Demi untuk menyenangkan hati sang majikan
muda, kedua pengawal dan kedua pengiring selalu mengusik setiap binatang yang
mereka temui dan menggiringnya ke arah Lin Pingzhi. Padahal sebenarnya, mereka
sendiri mampu membinasakan hewan-hewan tersebut. Tidak terasa, perburuan
tersebut sudah melewati empat jam. Tampak Lin Pingzhi telah mendapatkan
tambahan dua ekor kelinci dan dua ekor ayam hutan lagi. Namun demikian, ia
masih belum puas juga dan ingin memperoleh hasil yang lebih besar.
“Mari kita mencari lagi di
depan sana, dan coba lihat apa yang bisa kita temukan,” ajak pemuda itu.
Diam-diam Pengawal Shi
berpikir kalau menuruti hasrat sang majikan muda, bisa jadi sampai hari gelap
pun tidak akan berhenti. Tentu pada akhirnya para pengawal yang akan ditegur
nyonya majikan. Maka, Pengawal Shi pun menyahut, “Hari sudah mendekati petang.
Jalan di sini banyak batunya dan sukar dilewati. Bisa-bisa kuda putih
terpeleset jatuh. Selagi hari masih terang lebih baik kita pulang sekarang
saja. Bagaimana kalau besok kita berangkat lebih awal supaya bisa mendapatkan
buruan yang lebih besar?”
Pengawal Shi sangat hafal
sifat sang majikan muda yang keras kepala dan sulit dibujuk, kecuali dengan
menyampaikan kemungkinan bahwa si kuda putih akan mengalami celaka atau
terluka. Lin Pingzhi memang sangat menyayangi hewan tunggangannya itu. Kuda
tersebut berasal dari negeri barat yang kemudian dibeli oleh neneknya dari
pihak ibu yang tinggal di Kota Luoyang dengan sejumlah emas. Kuda itu lalu diberikan
kepadanya sebagai hadiah saat ia berulang tahun yang ketujuh belas.
Sesuai dugaan, Lin Pingzhi
tampak tertegun sejenak kemudian menepuk leher kudanya sambil berkata, “Si Naga
Putih sangat cerdik dan pintar. Justru kuda-kuda kalian itu yang perlu dikhawatirkan.
Baiklah, kita pulang saja. Aku takut pantat Chen Qi yang akan pecah terbentur
batu kalau kudanya nanti tiba-tiba terpeleset.”
Sambil bergelak tawa, kelima
orang itu memutar kuda masing-masing kembali ke arah semula. Lin Pingzhi melaju
paling depan dan menempuh jalur berbeda dibandingkan sewaktu berangkat tadi.
Kali ini ia membelokkan kudanya ke arah utara dan memacunya dengan kencang.
Setelah melaju cukup lama dan merasa puas, ia lalu memperlambat langkah kudanya
perlahan-lahan. Tampak di tepi jalan terpancang panji sebuah kedai penjual
arak.
“Tuan Muda!” seru Pengawal
Zheng yang telah menyusul bersama ketiga lainnya. “Bagaimana kalau kita minum
dulu barang secawan di situ? Daging kelinci dan ayam hutan yang masih segar ini
sangat cocok sebagai teman minum arak.”
Lin Pingzhi tertawa dan
menjawab, “Sebenarnya kalian tidak sungguh-sungguh menemani aku berburu, tetapi
hanya ingin keluar untuk minum arak. Kalau sekarang tidak kutraktir minum,
tentu besok kalian akan malas jika kuajak keluar lagi.” Usai berkata demikian
pemuda itu mendahului ke depan. Begitu tiba di depan kedai arak, ia langsung
melompat turun dari kudanya dan memasuki kedai tersebut.
Biasanya, si pemilik kedai
yang bernama si tua Cai segera muncul keluar untuk menambatkan kuda pemuda itu
sambil mengucapkan kata-kata sanjung puji, misalnya, “Wah, wah, coba lihat!
Tuan Muda baru saja berburu. Hasil buruannya begitu banyak. Di dunia ini mana
ada yang bisa menandingi kepandaian Tuan Muda?”
Namun hari ini sungguh
berbeda. Si tua Cai tidak terlihat muncul, suasana kedai juga tampak sunyi
senyap. Yang terlihat hanya seorang gadis muda berbaju hijau dengan dua konde
di atas kepala sedang duduk di samping anglo. Sepertinya ia sibuk memasak arak
sampai-sampai tidak menoleh sedikit pun untuk memandang ke arah Lin Pingzhi dan
rombongan.
“Kau di mana, Cai Tua?” seru
Pengawal Zheng. “Lekaslah keluar menuntun kuda Tuan Muda!”
Bai Er dan Chen Qi segera
menarik bangku panjang di samping salah satu meja, kemudian membersihkan debu
di atasnya menggunakan lengan baju masing-masing. Setelah itu keduanya pun
mempersilakan Lin Pingzhi duduk. Pengawal Shi dan Pengawal Zheng mendampingi
sang tuan muda, sementara kedua pengiring mengambil tempat duduk pada meja yang
lain.
Dari dalam terdengar suara orang
terbatuk-batuk, disusul kemudian muncul seorang laki-laki berambut putih
memberi sambutan, “Selamat datang, Tuan-Tuan. Apakah Anda sekalian mau minum
arak?” Dilihat dari logatnya sepertinya ia berasal dari daerah utara.
“Memangnya kami kemari mau minum
teh? Tentu saja kami mau minum arak. Lekas bawakan kami tiga poci Arak Bambu
Hijau,” sahut Pengawal Zheng. “Hei, ke mana perginya si tua Cai? Apa kedai ini
sudah berganti pemilik?”
“Baik, baik, Tuan! Wan’er,
lekas bawakan tiga poci arak Bambu Hijau,” sahut orang tua itu sekaligus
memerintah si gadis baju hijau. “Sekadar perkenalan, saya bermarga Sa.
Sebenarnya saya lahir di kota ini namun sejak kecil sudah ikut berkelana ke
daerah lain untuk berdagang. Anak dan menantu sudah meninggal semua. Ibarat pepatah
mengatakan, setinggi-tingginya pohon menjulang tetap saja daunnya jatuh di
dekat akar. Akhirnya, saya pun memutuskan pulang ke kampung halaman sini
bersama cucu perempuan saya tadi. Tidak disangka setelah empat puluh tahun
lebih meninggalkan kampung halaman, seluruh sanak keluarga sudah tak tersisa
seorang pun. Ada yang meninggal, ada pula yang pindah ke daerah lain. Untunglah
saya bertemu Cai Tua yang merasa jenuh meneruskan usahanya. Ia menjual kedai
arak ini kepada kami seharga tiga puluh tahil perak. Senang rasanya bisa pulang
ke tanah kelahiran dan mendengar logat daerah ini. Namun, malu juga rasanya
sudah lupa bahasa kampung sendiri.”
Sementara itu, si gadis
berbaju hijau yang dipanggil Wan’er tadi telah datang membawa sebuah nampan
kayu dengan kepala menunduk. Dipindahkannya cawan, sumpit, dan tiga poci arak
pada nampan itu ke atas meja Lin Pingzhi. Setelah menjalankan tugasnya, dengan
kepala tetap menunduk ia menyingkir pergi. Sedikit pun tidak memandang wajah
para tamunya.
Lin Pingzhi tertegun melihat
perawakan Wan’er yang langsing tetapi berkulit gelap dan kasap. Muka gadis itu
sangat jelek, penuh dengan burik bekas penyakit cacar. Mungkin karena baru saja
melakukan pekerjaan sebagai penjual arak, gerak-geriknya terlihat masih kaku.
Demikian pikir Lin Pingzhi sehingga ia tidak lagi memedulikan tingkah laku
gadis tersebut.
Sementara itu, Pengawal Shi
telah menyerahkan seekor ayam hutan dan seekor kelinci kepada Kakek Sa, dan
berkata, “Tolong kau bersihkan dan masaklah menjadi dua piring!”
“Baik, baik!” sahut Kakek Sa
penuh hormat. “Sebagai teman minum arak, silakan Tuan-Tuan menikmati dulu
sedikit daging rebus dan kacang goreng kedai kami.”
Tanpa menunggu perintah, si
gadis burik bernama Wan’er segera membawakan potongan daging rebus dan kacang
goreng tersebut untuk dihidangkan ke meja tamu-tamunya.
Pengawal Zheng berkata, “Tuan
Muda Lin ini adalah putra majikan Biro Ekspedisi Fuwei. Beliau seorang kesatria
muda yang budiman dan murah hati. Bagi tuan muda kami uang bukanlah masalah.
Asalkan masakanmu nanti cocok dengan seleranya, maka semua modal yang telah kau
keluarkan untuk membuka kedai ini pasti akan segera kembali.”
“Baik, baik! Terima kasih
banyak, terima kasih banyak!” jawab Kakek Sa penuh hormat, kemudian pergi ke
dapur membawa ayam hutan dan kelinci tadi.
Pengawal Zheng lantas
menuangkan arak untuk Lin Pingzhi dan Pengawal Shi, serta untuk dirinya
sendiri. Sekali teguk ia sudah menghabiskan isi cawannya. Sambil berkecap-kecap
ia berkata, “Kedai ini sudah berganti pemilik, tapi rasa araknya tidak
berubah.”
Usai berkata ia kembali
mengisi cawannya dengan arak yang berwarna hijau seperti daun bambu itu. Baru
saja hendak minum untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba terdengar suara derap
kaki kuda di luar kedai. Tampak dua orang penunggang muncul dari arah utara.
Mereka memacu kuda masing-masing dengan cepat dan dalam sekejap saja sudah
sampai di depan kedai.
Terdengar salah seorang dari
mereka berseru, “Hei, di sini ada kedai arak! Mari kita minum dulu barang
secawan!”
Pengawal Shi dapat mengenali
logat bicara orang-orang itu sepertinya berasal dari Provinsi Sichuan. Begitu
menoleh keluar ia melihat dua orang laki-laki memakai topi berpinggiran lebar
–seperti caping– dengan baju berwarna ungu. Setelah menambatkan kuda
masing-masing mereka lantas masuk ke dalam kedai. Sekilas kedua orang itu
memandang ke arah Lin Pingzhi dan yang lain, kemudian duduk dengan lagak
seperti tuan besar.
Begitu caping dibuka, tampak
kedua orang itu memakai ikat kepala berupa kain warna putih. Yang tampak aneh
lagi adalah kaki mereka memakai sandal rami bertali, bukan sepatu seperti
masyarakat pada umumnya. Pengawal Shi paham tradisi orang Sichuan kebanyakan
memang berdandan seperti itu. Sejak kematian Perdana Menteri Zhuge Liang pada
zaman Tiga Negara, orang-orang Sichuan merasa sangat kehilangan. Dengan memakai
ikat kepala warna putih, mereka senantiasa menunjukkan sikap berkabung meskipun
peristiwa itu sudah berlalu lebih dari seribu tahun.
Sementara itu, Lin Pingzhi
yang tidak tahu menahu diam-diam merasa heran. Ia berpikir, “Dandanan kedua
orang ini halus tidak, kasar juga tidak. Pakaian mereka rapi, tapi alas kaki
seperti kaum rendahan. Benar-benar aneh.”
“Arak! Bawakan kami arak!”
seru salah seorang yang lebih muda. “Sialan! Pegunungan di wilayah Fujian ini
benar-benar banyak. Sampai-sampai kuda pun kepayahan.”
Dengan muka menunduk, Wan’er
si gadis burik mendekati kedua tamunya yang baru datang itu. Ia pun bertanya
dengan suara lirih, “Minta arak apa?”
Walaupun suaranya sangat pelan
tapi terdengar merdu. Lelaki muda tadi melongok. Tiba-tiba ia tertawa sambil
menjulurkan tangan kanan menyentuh dagu Wan’er sehingga muka gadis itu
mendongak ke atas. Tak lama kemudian terdengar suaranya berseru sambil tertawa,
“Wah, sayang! Sungguh sayang!”
Wan’er terkejut dan segera
melangkah mundur. Laki-laki yang satunya menyahut sambil tertawa, “Adik Yu,
tubuh nona belang ini boleh juga. Sayang sekali mukanya kasap seperti kertas
amplas.”
Kedua orang Sichuan itu lantas
tertawa lebih keras dan terbahak-bahak.
Melihat ulah mereka Lin
Pingzhi naik darah. Ia menggebrak meja sambil berteriak, “Makhluk macam apa
kalian ini? Dua bajingan buta berani kurang ajar di Kota Fuzhou kita!”
“Hei, Kakak Jia, ada orang
sedang mencaci-maki. Menurutmu, anak kelinci itu sedang memaki siapa?” ujar
pemuda bermarga Yu sambil mencibir.
Muka Lin Pingzhi memang putih
dan cantik seperti ibunya. Biasanya kalau ada yang berani mengolok-olok, pasti
orang itu akan langsung ditampar olehnya. Sekarang mendengar ada orang asing
berani menyebutnya sebagai anak kelinci –yang maksudnya berkulit putih halus–
sudah tentu ia sangat tersinggung. Tanpa pikir lagi, ia pun menyambar poci arak
di atas meja dan melemparkannya ke arah orang Sichuan itu. Namun demikian, si
marga Yu sempat berkelit sehingga poci yang terbuat dari timah itu terus saja
melayang ke luar kedai. Arak pun berceceran di lantai. Serentak Pengawal Shi
dan Pengawal Zheng bangkit dan melompat maju ke sisi kedua orang dari Sichuan
tersebut.
Si marga Yu masih saja tertawa
dan mengejek, “Bocah ini lebih baik naik panggung opera dan berperan sebagai
pelacur kecil, mungkin lebih menarik. Kalau berkelahi jelas dia tidak pantas.”
“Apa kalian tidak tahu kalau
Beliau ini adalah Tuan Muda Lin dari Biro Ekspedisi Fuwei? Sungguh besar
nyalimu berani menepuk lalat di atas kepala harimau!” bentak Pengawal Zheng.
Seketika tangan kirinya pun melayangkan pukulan ke wajah si marga Yu.
Namun, hanya dalam sekali
gerak tahu-tahu tangan Pengawal Zheng sudah terpegang oleh lawan, dan dalam
sekali tarik pula, tubuhnya langsung terhuyung ke depan menabrak meja. Sekejap
kemudian siku si marga Yu juga bekerja dengan cepat mengenai tengkuk Pengawal
Zheng, sehingga pria itu jatuh ke tanah bersama meja kayu yang hancur
berantakan.
Meskipun Pengawal Zheng bukan
jago pilihan di antara para pegawai Biro Fuwei, namun ia juga bukan golongan
lemah. Kini hanya dalam sekali gebrak saja ia sudah roboh, jelas menunjukkan
pihak lawan bukan orang sembarangan. Demikian pikir Pengawal Shi yang kemudian
bertanya, “Siapa sebenarnya sobat berdua ini? Sebagai sesama kaum persilatan,
apakah kalian benar-benar tidak memandang kepada Biro Ekspedisi Fuwei?”
“Biro Ekspedisi Fuwei? Hehe,
baru kali ini aku mendengarnya. Perusahaan macam apa pula itu?” sahut si marga
Yu mengejek.
“Perusahaan khusus menghajar
anjing macam kalian!” bentak Lin Pingzhi sambil melompat maju lalu tangan
kirinya menghantam ke depan. Sampai di tengah jalan tangan kanannya memukul
pula dari bawah. Gerakan ini dinamakan jurus Sinar Menerobos Mega, yang
merupakan bagian dari ilmu Tapak Semesta milik keluarganya.
“Hei, anak manis ini boleh
juga,” ejek si marga Yu sambil menangkis serangan itu, kemudian tangan kanannya
maju pula untuk mencengkeram pundak lawan.
Dengan cepat Lin Pingzhi
menuduk ke bawah, bersamaan tangan kirinya memukul ke depan. Si marga Yu
mengelak dengan memiringkan sedikit kepala. Akan tetapi, gerakan tangan Lin
Pingzhi cepat pula berubah dan kini memainkan jurus Bunga di Balik Kabut. Tanpa
ampun, si marga Yu pun terkena tamparan pemuda itu satu kali.
Si marga Yu sangat gusar
dibuatnya. Kakinya lantas menendang ke depan, namun Lin Pingzhi sempat mengelak
ke samping sambil membalas dengan tendangan pula.
Sementara itu, Pengawal Shi
juga sudah terlibat pertarungan melawan orang bermarga Jia. Tampak Bai Er
membangunkan Pengawal Zheng yang masih meringis kesakitan. Sambil mencaci-maki,
Pengawal Zheng bangkit menerjang dengan maksud membantu Lin Pingzhi mengeroyok
si marga Yu.
“Kau bantu Pengawal Shi saja!”
seru Lin Pingzhi mencegah. “Aku sendiri bisa membereskan bajingan ini.”
Pengawal Zheng paham watak si
tuan muda yang selalu ingin tampil sempurna dan enggan dibantu orang lain. Maka
itu, ia pun mengambil sebatang kaki meja yang patah tadi untuk dipukulkan pada
kepala si marga Jia.
Pada saat itu Chen Qi dan Bai
Er berlari keluar menuju kuda-kuda mereka. Yang satu mengambil pedang Lin
Pingzhi, sedangkan yang lain mengambil tombak pemburu. Keduanya lantas masuk
kembali dengan mulut mencaci-maki. Kedua pegawai biro ini memang bukan petarung
yang hebat. Akan tetapi dalam hal kekuatan mulut, mereka sudah biasa
berteriak-teriak di sepanjang jalan saat mengawal barang dan rombongan. Maka
itu, sudah sewajarnya kalau makian mereka terdengar sangat lantang. Apalagi
yang mereka lontarkan adalah caci maki berlogat Fujian, sudah tentu kedua orang
Sichuan itu sama sekali tidak mengerti maksudnya. Keduanya hanya yakin kalau
yang mereka ucapkan pasti bukan kata-kata yang baik.
Lin Pingzhi semakin
bersemangat dan memusatkan perhatiannya untuk melancarkan jurus-jurus Tapak
Semesta terhadap si marga Yu. Biasanya ia berlatih melawan para pegawai biro,
dan tidak seorang pun dari mereka yang mampu menandinginya. Hal ini tentu saja
dapat dimaklumi. Pertama, karena ilmu pukulan ini memang hebat; dan kedua, para
pegawai dengan sendirinya lebih suka mengalah daripada benar-benar bertarung
melawan sang majikan muda. Oleh karena itu, meskipun pemahamannya terhadap
jurus-jurus terdebut sangat mendalam, namun pertarungan yang sesungguhnya
jarang sekali ia alami.
Sebelum ini Lin Pingzhi pernah
bertarung melawan para penjahat jalanan di Kota Fuzhou. Tentu saja mereka bukan
tandingan kehebatan Tapak Semesta milik Keluarga Lin. Dalam tiga jurus saja
para berandalan itu sudah berlarian dengan wajah pucat dan babak belur.
Akan tetapi, kali ini yang menjadi
lawannya adalah pemuda jago silat dari Sichuan. Setelah belasan jurus berlalu
rasa congkak Lin Pingzhi mulai lenyap. Bahkan, orang bermarga Yu itu sambil
bertempur masih sempat membuka mulut untuk mengolok-olok pula. “Nak,
jangan-jangan kau ini seorang nona manis yang menyamar sebagai laki-laki?
Mukamu putih dan cantik. Bagaimana kalau kita sudahi saja pertarungan ini dan
beri aku satu ciuman? Setelah itu kita berteman dan bertamasya bersama!”
Lin Pingzhi semakin gusar. Ia
lantas melirik ke arah Pengawal Shi dan Pengawal Zheng. Ternyata kedua pegawai
ayahnya itu juga tidak lebih unggul dari lawan meskipun mereka bertarung
bersama-sama. Bahkan hidung Pengawal Zheng sudah berwarna biru matang serta
mengeluarkan darah sampai membasahi baju akibat terkena pukulan si marga Jia.
Tanpa pikir lagi, Lin Pingzhi mempercepat gerakannya dan berhasil menampar
wajah lawan lebih keras dari sebelumnya.
“Dasar anak bulus!” bentak si
marga Yu murka. “Sebenarnya aku hanya ingin bermain-main denganmu. Melihat
wajahmu yang cantik, aku ingin memelukmu. Sebaliknya, kau malah menghajar
kekasihmu ini. Baiklah, jangan salahkan aku jika terlalu kasar!” Usai berkata
demikian, tiba-tiba pukulan si marga Yu berubah lebih gencar. Kepalan tangannya
bekerja naik-turun dan menghantam Lin Pingzhi seperti angin badai.
Pertarungan kedua pemuda itu
akhirnya berpindah ke luar kedai arak. Ketika si marga Yu memukul ke depan,
tiba-tiba Lin Pingzhi teringat ajaran ayahnya mengenai teknik menangkis dan
mendorong serangan lawan. Maka, ia pun memainkan teknik itu menggunakan tangan
kiri. Akan tetapi, tenaga si marga Yu ternyata sungguh kuat, sehingga dorongan
tersebut tidak mampu menghentikan serangannya. Sebaliknya, justru dada Lin
Pingzhi yang terkena pukulan musuh. Dalam keadaan sempoyongan, tahu-tahu leher
pemuda itu terkena cengkeraman tangan kiri lawan pula.
Sekuat tenaga si marga Yu
mendesak Lin Pingzhi sampai membungkuk ke bawah. Menyusul kemudian tangan yang
satunya ikut menekan tengkuk pemuda itu dengan cara melintang di atas tangan
yang pertama tadi. Gerakan ini dinamakan jurus Palang Pintu Besi.
“Anak bulus, sekarang kau bisa
menyembah dan memanggil paman kepadaku sebanyak tiga kali. Setelah itu, barulah
kulepaskan dirimu,” ujarnya dengan tertawa.
Melihat itu, Pengawal Shi dan
Pengawal Zheng berniat meninggalkan lawan yang sedang mereka hadapi untuk
segera membantu Lin Pingzhi. Akan tetapi, orang bermarga Jia berusaha keras
menghalangi dengan melancarkan berbagai serangan sehingga kedua pegawai biro
itu sulit menyingkir.
Di sisi lain, Bai Er
lekas-lekas mengangkat tombaknya dan menusuk ke arah punggung si marga Yu
sambil berteriak, “Kau lepas tanganmu atau tidak? Apa kau ingin mampus…”
Belum selesai ia berkata,
tiba-tiba si marga Yu menyepak ke belakang – tanpa menoleh – menggunakan kaki
kiri sehingga tombak yang ia pegang terlempar sejauh beberapa meter. Tidak
hanya itu, kaki kanan pemuda itu juga ikut mendepak sehingga Bai Er jatuh
terguling beberapa kali.
“Bangsat keparat! Terkutuklah
nenek moyangmu tujuh belas keturunan!” sahut Chen Qi ikut mencaci-maki. Hanya
saja ia tidak menerjang maju, melainkan mundur karena ketakutan.
“Anak manis, kau mau menyembah
kepadaku atau tidak?” tanya si marga Yu sambil tertawa. Ia menambah tenaga pada
kedua tangannya sehingga kepala Lin Pingzhi semakin tertunduk ke bawah. Makin
lama wajah pemuda itu semakin rendah dan nyaris menyentuh tanah.
Lin Pingzhi yang terdesak
mencoba mengayunkan kepalan untuk menghantam perut lawan, tetapi selalu kurang
beberapa senti dan gagal mencapai sasaran. Sebaliknya, tengkuknya terasa sangat
sakit seakan-akan hendak patah pula. Matanya berkunang-kunang dan telinga pun
terasa mendenging.
Dalam keadaan terdesak, kedua
tangan Lin Pingzhi menghantam dan mencakar sembarangan. Tiba-tiba tangannya
menyentuh suatu benda keras yang terselip di dalam sepatu. Tanpa pikir lagi,
benda itu pun disambar dan ditusukkannya ke depan sehingga menancap di perut
orang bermarga Yu.
“Aaahh!” jerit si marga Yu
kesakitan. Kedua tangannya melemah dan ia berjalan mundur dua-tiga langkah.
Raut mukanya menampilkan perasaan takut dan ngeri. Ternyata sebilah pisau
belati telah menancap di perutnya. Gagang belati itu berwarna keemasan dan
tampak berkilauan terkena cahaya matahari senja di ufuk barat. Pemuda dari
Sichuan itu membuka mulut lebar-lebar namun tidak mampu bersuara. Tangannya
mencoba untuk mencabut belati itu, namun tidak berani menyentuh gagangnya.
Lin Pingzhi sendiri juga
berdebar-debar ketakutan dan berjalan mundur beberapa langkah. Sementara itu,
si marga Jia dan kedua pengawal biro juga menghentikan pertarungan. Mereka
terperanjat melihat keadaan si marga Yu. Pemuda itu tampak mulai
terhuyung-huyung. Akhirnya ia nekad memegang gagang belati dengan tangan kanan
dan mencabutnya sekuat tenaga. Seketika darah segar pun menyembur keluar sampai
dua-tiga meter jauhnya. Semua yang menyaksikan sampai menjerit kaget seolah
tidak percaya dengan mata sendiri.
“Kakak Jia… Kakak Jia… ka…
katakan ke… kepada Ayah supaya membalaskan sakit hatiku,” serunya dengan suara
terputus-putus sambil melemparkan pisau belati itu ke depan. Sekejap kemudian
ia pun roboh di tanah. Tubuhnya menggelepar beberapa kali, kemudian berhenti
untuk selamanya.
“Adik Yu, Adik Yu!” seru si
marga Jia sambil berlari mendekati kawannya itu.
“Ambil senjata!” ujar Pengawal
Shi dengan suara lirih kepada rekan-rekannya. Ia lantas mendahului berlari ke
samping kudanya dan mengambil sebilah golok panjang. Sebagai seorang pengawal
berpengalaman, ia yakin si marga Jia akan melabrak pihaknya habis-habisan.
Akan tetapi, orang bermarga Jia
itu hanya menatap tajam ke arah Lin Pingzhi beberapa detik. Dengan cepat ia
memungut pisau belati di atas tanah tadi, kemudian melompat mendekati kudanya.
Sekali hentak, tahu-tahu ia sudah berada di atas pelana. Tanpa membuang banyak
waktu, ia memotong tali kendali yang tertambat di pohon dan memacu kudanya
secepat angin menuju utara.
Chen Qi mendekati mayat si
marga Yu dan menendangnya satu kali sehingga terbalik ke atas. Darah segar
tampak masih mengucur keluar. “Dasar bajingan! Kau memang sudah bosan hidup
sehingga berani mengusik tuan muda kami.”
Akan tetapi, Lin Pingzhi
sendiri belum pernah membunuh orang sebelumnya. Dengan nada gemetar pemuda itu
berkata, “Pengawal Shi… Pengawal Shi… bagai… bagaimana ini? Aku tidak pernah…
aku tidak bermaksud membunuhnya.”
Pengawal Shi tampak sedang
merenung. Ia berpikir, “Biro Ekspedisi Fuwei sudah berdiri selama tiga
generasi. Pertempuran yang berakhir dengan kematian sudah sering kami hadapi.
Namun biasanya yang kami bunuh adalah para penjahat atau kaum persilatan
golongan hitam, dan itu pun terjadi di pegunungan sepi atau hutan yang sunyi.
Selanjutnya, mayat-mayat mereka kami kubur begitu saja, habis perkara. Namun
kali ini yang menjadi korban bukan seorang penjahat, juga terjadi di dekat
permukiman penduduk. Pembunuhan bukan masalah remeh. Bahkan putra seorang
pejabat atau walikota sekalipun tidak bisa dengan mudah lolos dari jerat hukum,
apalagi hanya putra seorang pengusaha biro ekspedisi.”
Berpikir demikian, Pengawal
Shi mengerutkan dahi lalu berkata, “Pindahkan mayat itu ke dalam kedai. Di sini
dekat jalan raya. Kita tidak ingin kalau sampai ada orang yang melihatnya.”
Untungnya waktu itu matahari
sudah terbenam, serta jalanan juga sunyi sepi. Dengan cepat Bai Er dan Chen Qi
menggotong mayat si marga Yu masuk ke dalam kedai.
“Apakah Tuan Muda membawa
uang?” bisik Pengawal Shi kepada Lin Pingzhi.
“Ada. Aku punya,” jawab Lin
Pingzhi dengan cepat sambil mengeluarkan seluruh isi kantongnya yang berjumlah
dua puluh tahil perak.
Pengawal Shi menerima uang itu
lantas masuk ke dalam kedai. Diletakkannya semua uang itu di atas meja lalu
berkata kepada si pemilik, “Kakek Sa, orang asing ini telah menggoda cucu
perempuanmu. Demi membela kebenaran, Tuan Muda kami terpaksa membunuhnya. Kita
semua menjadi saksi. Urusan ini muncul karena kalian. Kalau sampai beritanya
meluas, tentu kalian pun tidak akan lepas dari masalah. Ambil semua uang ini
dan lupakan yang telah terjadi. Marilah kita kubur mayat ini dan anggap saja
tidak pernah terjadi apa-apa.”
“Ya, ya, ya!” sahut Kakek Sa
sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Pengawal Zheng ikut berbicara,
“Membunuh beberapa penjahat bagi kami hanyalah urusan kecil. Kedua tikus
Sichuan ini bermata jelalatan dan sangat mencurigakan. Kalau bukan kaum
perampok, tentu mereka adalah penjahat yang biasa menodai perempuan. Kedatangan
mereka ke Kota Fuzhou ini sudah pasti untuk melakukan kejahatan. Tuan muda kami
mengetahui penyamaran mereka dan segera bertindak tegas. Jasa tuan muda kami
sebenarnya cukup besar, namun Beliau tidak suka menonjolkan diri. Lebih baik
persoalan ini dianggap selesai saja. Oleh karena itu, hendaknya kalian tutup
mulut rapat-rapat. Kalau urusan ini sampai bocor, tentu kalian akan celaka
sendiri. Sudah pasti masyarakat akan menganggap kalian sebagai komplotan mereka,
mengingat logat bicara kalian terdengar asing. Kalian akan dituduh membuka
kedai arak hanya sebagai penyamaran, padahal sebenarnya kalian adalah mata-mata
mereka. Bagaimana tidak? Kalian baru saja membuka kedai arak, tiba-tiba saja
muncul dua penjahat dari luar daerah. Bukankah ini sangat kebetulan?”
“Kami tidak akan bicara
apa-apa. Kami tidak mengetahui apa-apa,” ujar Kakek Sa terburu-buru.
Pengawal Shi telah memimpin
Bai Er dan Chen Qi mengubur jenazah si marga Yu di kebun sayur belakang kedai
arak. Kemudian mereka juga membersihkan ceceran darah di depan kedai tadi.
Pengawal Zheng kembali berkata
kepada Kakek Sa, “Jika dalam sepuluh hari tidak terjadi apa-apa, maka kami akan
mengirim lima puluh tahil perak lagi kepadamu. Tapi awas kalau kalian sembarangan
mengoceh di sana-sini… Huh, Biro Fuwei kami sudah banyak membinasakan kawanan
penjahat. Kalau ditambah dengan kalian berdua, paling-paling hanya kebun
sayurmu itu saja yang bertambah isinya dengan dua mayat.”
“Kami tidak berani! Kami tidak
berani! Terima kasih banyak! Terima kasih banyak!” sahut Kakek Sa gugup.
Hari telah gelap ketika semua
urusan di kedai itu dirasa beres. Perasaan Lin Pingzhi sudah agak tenang
meskipun jantungnya masih berdebar-debar. Sepanjang perjalanan pulang ia
terus-menerus berpikir, apakah peristiwa pembunuhan tersebut harus dilaporkan
kepada ayahnya atau tidak.
Sesampainya di rumah, Lin
Pingzhi langsung berjalan memasuki ruang depan. Dilihatnya sang ayah sedang
duduk di kursi malas sambil memejamkan mata. Sepertinya majikan Biro Ekspedisi
Fuwei yang bernama Lin Zhennan itu sedang memikirkan sesuatu.
“Ayah,” dengan sikap agak kaku
Lin Pingzhi menyapa.
Lin Zhennan membuka mata dan
menjawab sambil tersenyum ramah, “Baru pulang dari berburu? Mendapat babi hutan
atau tidak?”
“Tidak,” jawab Lin Pingzhi
gugup.
Tiba-tiba Lin Zhennan
mengangkat sebatang pipa cangklong dan memukulkannya ke pundak Lin Pingzhi
sambil membentak, “Terima ini!”
Lin Pingzhi hafal kebiasaan
ayahnya yang suka menyerang tiba-tiba untuk mengetahui sampai di mana
perkembangan ilmu silatnya. Biasanya, apabila sang ayah menyerang dengan jurus
kedua puluh enam dari Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang bernama Bintang Jatuh
Melayang, tentu secara spontan Lin Pingzhi langsung menangkisnya dengan jurus
keempat puluh enam yang bernama Bunga Mekar Menghadap Buddha. Namun hari ini
perasaannya sedang gelisah. Ia mengira peristiwa di kedai arak tadi telah
terbongkar sehingga sang ayah berniat menghukumnya. Maka itu, ia tidak berani
berkelit dan hanya berseru, “Ayah!”
“Hei, ada apa ini?” tegur Lin
Zhennan sambil menahan pipa cangklongnya yang sudah berjarak beberapa senti di
atas pundak Lin Pingzhi. “Kalau bertemu musuh tangguh tentu sebelah bahumu ini
sudah terpenggal begitu saja.” Meskipun ucapannya bernada membentak, namun
bibirnya tetap tersenyum.
“Baik,” jawab Lin Pingzhi
sambil kemudian menunduk ke bawah. Dengan cepat ia memutar ke belakang Lin
Zhennan dan menyambar kemoceng yang terletak di atas meja teh untuk ditusukkan
ke punggung ayahnya itu. Gerakan inilah yang disebut jurus Bunga Mekar
Menghadap Buddha.
“Harusnya tadi seperti ini!”
seru Lin Zhennan sambil mengangguk. Pipa cangklongnya lantas menangkis, dan
kemudian balas menyerang menggunakan jurus Meniup Seruling di Tengah Sungai.
Dengan penuh semangat Lin Pingzhi mematahkan serangan ayahnya menggunakan jurus
Pelangi Melintas dari Timur.
Ayah dan anak itu bertarung
hingga lebih dari lima puluh jurus, sampai akhirnya pipa cangklong Lin Zhennan
dengan cepat menotok dada kiri Lin Pingzhi satu kali. Karena tidak sempat
menangkis, seketika Lin Pingzhi merasa lengan kanannya kaku kesemutan sehingga
kemoceng yang dipegangnya pun jatuh di atas lantai.
“Bagus, bagus sekali! Selama
sebulan ini kau sudah mendapat banyak kemajuan. Hari ini kau dapat bertahan
empat jurus lebih banyak daripada kemarin!” kata Lin Zhennan dengan tersenyum
sambil duduk kembali. Setelah mengisi tembakau ke dalam pipa, ia menyambung,
“Ping’er, coba tebak! Hari ini kita baru saja mendapatkan berita bagus.”
Tanpa disuruh, Lin Pingzhi
langsung mengambil pemantik api untuk menyalakan tembakau di pipa ayahnya
sambil bertanya, “Apakah Ayah telah menerima order barang kawalan dalam jumlah
besar?”
Lin Zhennan menggeleng dan
berkata, “Selama pelayanan kita bagus, order kawalan pasti akan datang dengan sendirinya.
Kau tidak perlu khawatir perusahaan kita sepi rejeki. Yang perlu kita pikirkan
adalah bagaimana menambah kekuatan agar dapat melaksanakan tugas pengawalan
dengan lebih baik. Jangan sampai banyak order datang, tetapi kita tidak mampu
memenuhinya.”
Setelah menghembuskan asap
tembakaunya, Lin Zhennan kembali berkata, “Berita bagus yang ini disampaikan
oleh Pengawal Zhang dari cabang Hunan, bahwa Pendeta Yu pemimpin Kuil Cemara
Angin telah menerima barang-barang hadiah dari kita. Beliau adalah ketua
Perguruan Qingcheng yang terletak di Sichuan Barat.”
Mendengar nama “Pendeta Yu di
Sichuan Barat”, jantung Lin Pingzhi langsung berdebar kencang. Spontan ia
menegas, “Barang-barang hadiah dari kita telah diterima Pendeta Yu?”
“Benar!” sahut Lin Zhennan.
“Beberapa urusan perusahaan memang ada yang tidak Ayah bicarakan denganmu
sehingga wajar kalau kau pun kurang begitu mengetahuinya. Namun, Ayah merasa
kau ini sudah mulai dewasa, sehingga cepat atau lambat beban yang Ayah pikul
selama ini harus dipindahkan ke atas bahumu. Maka, mulai sekarang kau harus
lebih banyak memperhatikan dan mempelajari pekerjaan-pekerjaan dalam perusahaan
kita.”
Setelah diam sejenak, ia
melanjutkan, “Nak, keluarga kita sudah tiga generasi melakukan pekerjaan
mengawal barang. Biro kita telah menjadi perusahaan pengawalan terbesar dan
terkuat di sepanjang daerah selatan Sungai Yangtze. Dari mana datangnya
kemajuan-kemajuan yang kita peroleh selama ini? Pertama, karena nama besar
kakek buyutmu; kedua, karena ilmu silat yang diturunkan leluhur kita juga cukup
disegani pihak kawan maupun lawan, misalnya Ilmu Pedang Penakluk Iblis ataupun
Tapak Semesta. Akan tetapi, dunia usaha tidaklah sederhana itu. Nama besar
hanya berperan dua puluh persen saja, sedangkan kepandaian ilmu silat berperan
dua puluh persen pula. Sisanya yang enam puluh persen ditentukan oleh kemampuan
kita menjalin hubungan baik dengan berbagai pihak, baik itu dari golongan putih
maupun golongan hitam.”
Lin Zhennan menghisap pipa
cangklongnya dan menghembuskan banyak asap, kemudian melanjutkan, “Coba pikir,
kereta perusahaan kita sudah menjelajahi sepuluh provinsi. Jika dalam setiap
perjalanan harus bertempur melawan orang lain, dari mana kita mendapatkan
cadangan nyawa untuk bertahan hidup? Padahal, meskipun bisa menang tetap saja
jatuh korban di pihak kita. Untuk mengganti kerugian serta uang pensiun para
pegawai kita yang gugur diperlukan biaya tidak sedikit. Tidak jarang kita harus
menambal dengan menggunakan kas perusahaan karena upah pengawalan yang kita
terima tidak mencukupi. Maka itu, kita yang hidup dari usaha pengawalan ini
harus mengutamakan persahabatan. Tangan juga harus selalu terbuka. Menjalin
hubungan baik jauh lebih penting daripada main senjata dan mengandalkan
kepandaian belaka.”
“Ya, Ayah,” jawab Lin Pingzhi.
Biasanya, ia selalu mendengarkan penuturan sang ayah dengan penuh semangat,
mengingat Biro Ekspedisi Fuwei lambat laun akan diwarisi olehnya. Namun kali
ini hatinya sedang gelisah memikirkan “pendeta bermarga Yu dari Sichuan Barat”
sehingga ucapan ayahnya itu sama sekali tidak menimbulkan hasrat untuk balik
bertanya.
Beberapa kali Lin Zhennan
mengetuk pipa cangklongnya di atas lantai untuk mengeluarkan abu tembakau.
Sejenak kemudian ia kembali berkata, “Ilmu silat Ayah tidak sehebat kakekmu,
apalagi dibandingkan kakek buyutmu. Akan tetapi, keterampilan ayahmu ini dalam
mengelola perusahaan lebih baik daripada Beliau berdua. Kakek buyutmu
mendirikan perusahaan ini dan membuka empat kantor di Fujian, Guangdong,
Zhejiang, dan Jiangsu. Selama kepemimpinan Ayah, telah dibuka enam cabang baru
di Shandong, Hunan, Hebei, Hubei, Jiangxi, dan Guangxi. Apa kau tahu rahasia
kesuksesan Ayah? Tentu saja ‘menciptakan banyak sahabat dan sedikit musuh’.
Ingat ini dengan baik, perusahaan kita bernama ‘Fuwei’, yang mengandung makna:
‘rejeki dan wibawa’. Rejeki lebih utama daripada wibawa. Rejeki bisa datang
kalau kita memiliki banyak teman dan sedikit musuh. Sebaliknya, kalau
perusahaan kita bernama ‘Weifu’, itu berarti kita lebih mengutamakan wibawa
daripada rejeki. Wibawa bisa ditegakkan dengan bermain kasar dan mengandalkan
kekuatan. Tentu saja ini bukan sifat keluarga kita, hahaha.”
Lin Pingzhi ikut tertawa,
meskipun tidak mengandung rasa gembira yang sesungguhnya.
Ternyata Lin Zhennan belum
juga menyadari kegelisahan putranya itu. Ia masih saja bercerita panjang lebar,
“Pepatah mengatakan, ‘Kuasai Sichuan setelah menaklukkan Gansu’. Namun,
perusahaan kita mengatakan, ‘Kuasai Sichuan setelah menaklukkan Hubei’.
Perusahaan pengawalan kita pertama kali berdiri di Fujian sini, kemudian
merambah ke barat melalui Jiangxi dan Hunan, sampai akhirnya berhenti di Hubei.
Lantas, mengapa kita tidak meneruskannya hingga ke Sichuan? Sichuan adalah
provinsi yang paling subur dan makmur. Orang-orang menyebut Sichuan sebagai
surga dunia. Banyak penduduk kaya raya hidup di sana. Dari daerah itu kita bisa
merambah lagi ke utara hingga mencapai Shanxi, serta ke selatan mencapai Yunnan
dan Guizhou. Dengan demikian perusahaan kita paling tidak akan bertambah besar
tiga kali lipat dari sekarang. Hanya saja, daerah Sichuan terkenal sebagai
kandang harimau mendekam dan naga bersembunyi. Banyak orang sakti tinggal di
daerah itu. Maka, kita harus menjalin hubungan baik dengan dua perguruan silat
ternama di sana, yaitu Perguruan Qingcheng dan Emei.”
Lin Zhennan terdiam sejenak,
lalu melanjutkan, “Sudah tiga tahun ini, setiap tahun baru Ayah selalu mengutus
orang secara khusus untuk mengantarkan hadiah-hadiah berharga ke Kuil Cemara
Angin di Gunung Qingcheng dan Biara Puncak Emas di Gunung Emei. Pendeta
Jinguang ketua Perguruan Emei menerima utusan kita dengan ramah dan menjamu
makan pula. Akan tetapi, semua hadiah yang kita berikan dikembalikannya semua
tanpa membuka segel sedikit pun. Sebaliknya, Pendeta Yu ketua Perguruan
Qingcheng lebih tertutup sifatnya. Murid-muridnya selalu menghadang utusan kita
di lereng gunung, dan mengatakan bahwa guru mereka sedang bermeditasi tingkat
tinggi sehingga tidak bisa menerima tamu. Mereka mengaku telah memiliki segala
macam barang di dalam kuil sehingga tidak perlu menerima hadiah dari luar.
Jangankan untuk menemui Pendeta Yu, utusan kita bahkan tidak mengetahui ke arah
mana pintu Kuil Cemara Angin menghadap. Sesampainya di sini para utusan yang
kita kirim selalu mengeluh. Kalau saja tidak teringat pada pesan Ayah yang
melarang mereka mengumbar kemarahan, mungkin mereka sudah berkelahi dengan
orang-orang yang tidak tahu diri itu.”
Sampai di sini Lin Zhennan
lantas bangkit dari tempat duduknya. Dengan nada gembira ia melanjutkan, “Kau
tahu, tidak? Setelah sekian lama akhirnya Pendeta Yu bersedia menerima hadiah
yang kita kirim. Bahkan, ia telah mengutus empat orang muridnya untuk membalas
kunjungan ke Fujian sini…”
“Empat orang murid? Bukannya
dua saja?” mendadak Lin Pingzhi menyela.
“Empat orang murid!” sahut Lin
Zhennan yakin. “Coba pikir, Pendeta Yu rupanya memandang penting urusan ini.
Bukankah ini suatu penghargaan untuk Biro Fuwei kita? Maka itu, Ayah pun
mengirim pesan kepada cabang-cabang kita di Jiangxi, Hunan, dan Hubei agar
memberi sambutan sebaik-baiknya kepada empat tamu agung tersebut di sepanjang
jalan.”
“Ayah, apakah orang Sichuan
kalau bicara suka menyebut orang lain sebagai ‘anak bulus’ atau ‘anak kelinci’
segala?” tanya Lin Pingzhi tiba-tiba.
“Ah, itu hanya ucapan kaum
kasar,” jawab Lin Zhennan sambil tertawa. “Orang kasar ada di mana-mana dan
ucapan mereka sudah tentu kasar pula. Coba lihat para pegawai kita, baik itu
pengawal ataupun pengiring kereta. Pada saat berjudi dan minum arak mereka juga
suka mengumpat dan memaki. Bahkan jauh lebih kasar dan kotor daripada ucapan
orang Sichuan yang kau maksudkan itu. Memangnya ada masalah apa kau menanyakan
hal ini?”
“Tidak ada,” sahut Lin Pingzhi
gugup.
Lin Zhennan kembali berpesan,
“Nanti kalau keempat murid Qingcheng itu datang, kau harus bersikap akrab pada
mereka. Perhatikan dan pelajarilah gaya-gaya murid dari perguruan ternama.
Menjalin persahabatan dengan mereka tentu akan sangat bermanfaat bagimu di
kemudian hari”
Lin Pingzhi larut dalam
pikirannya sementara sang ayah sibuk bercerita panjang lebar. Pemuda itu merasa
semakin gelisah selama peristiwa pembunuhan di kedai arak tadi belum ia
sampaikan kepada sang ayah. Ia berpikir mungkin lebih baik bercerita kepada
ibunya saja terlebih dahulu.
Setelah makan malam, Lin
Pingzhi dan kedua orang tuanya berkumpul di ruang tengah untuk bercakap-cakap.
Lin Zhennan membahas pada bulan enam yang akan datang saudara dari istrinya
akan berulang tahun. Istrinya itu – atau ibu Lin Pingzhi – berasal dari
Keluarga Golok Emas Wang yang sangat terkenal di Kota Luoyang. Dalam hal ini
Lin Zhennan merasa bingung hendak memberikan hadiah ulang tahun macam apa
kepada saudara iparnya tersebut.
Tiba-tiba terdengar suara
ribut-ribut di luar. Menyusul kemudian beberapa orang pegawai masuk ke dalam
ruangan.
“Ada apa ini?” sahut Lin
Zhennan bertanya.
Tiga orang pegawai tampak
menggigil ketakutan. Salah seorang yang paling depan berkata gugup, “Ketua...
Ketua....”
“Ada masalah apa? Lekas
katakan!” seru Lin Zhennan dengan perasaan mulai kesal.
“Bai Er… Bai Er telah tewas,”
jawab seorang pegawai yang tidak lain adalah Chen Qi.
Lin Zhennan terkejut dan
segera bertanya, “Siapa yang membunuh dia? Pasti kalian berjudi dan berkelahi,
bukan?” Dalam hati ia sangat gusar. Sungguh berat baginya mengelola perusahaan
yang memiliki banyak orang kasar di dalamnya. Sering sekali mereka berkelahi
tanpa alasan yang jelas. Apalagi kalau perkelahian itu berakhir dengan kematian
dan terjadi di kota besar, sudah pasti akan mengundang banyak masalah.
“Bukan, Ketua! Bukan seperti
itu!” jawab Chen Qi. “Tadi sewaktu hendak membuang hajat, Xiao Li melihat Bai
Er sudah tergeletak di kebun sayur di samping kakus. Mayatnya sudah kaku, namun
tidak terdapat luka sama sekali. Tidak seorang pun yang tahu bagaimana ia
meninggal. Mungkin saja… mungkin saja ia terkena penyakit maut sehingga mati
mendadak.”
Lin Zhennan menghela nafas
panjang dan berusaha menenangkan diri. “Coba kulihat ke sana,” ujarnya sambil
melangkah pergi. Lin Pingzhi mengikuti di belakang sang ayah menuju kebun sayur
tersebut.
Sesampainya di tengah kebun,
tampak beberapa orang pengawal dan pengiring sudah berkerumun di sana. Begitu
sang pemimpin perusahaan datang, mereka langsung bergeser memberi jalan. Lin
Zhennan melihat pakaian Bai Er sudah terbuka tapi di tubuhnya tidak terdapat noda
darah sedikit pun. Segera ia bertanya kepada Pengawal Zhu yang berdiri di
sebelahnya, “Apa benar tidak ada luka di tubuhnya?”
“Sudah saya periksa dengan
teliti, sekujur tubuhnya ternyata tidak terluka sedikit pun. Tampaknya juga
bukan mati karena keracunan,” jawab Pengawal Zhu.
Lin Zhennan mengangguk dan
melihat wajah Bai Er memang biasa saja. Sedikit pun tidak ada tanda
kebiru-biruan sebagaimana orang keracunan pada umumnya. Hanya saja pegawainya
itu tampak mati dengan bibir tersenyum.
Lin Zhennan lantas berkata,
“Beri tahu Kasir Dong untuk mengurus pemakaman. Juga kirimkan seratus tahil
perak kepada keluarga Bai Er.”
Kematian seorang pengiring
rendahan sudah pasti tidak terlalu menyita pikiran Lin Zhennan. Setelah memberi
perintah seperlunya ia pun kembali ke ruang tengah. Kepada Lin Pingzhi ia
berkata, “Bukankah tadi Bai Er ikut pergi berburu bersamamu?”
“Benar,” jawab Lin Pingzhi.
“Sewaktu pulang tadi ia masih segar bugar, tak disangka mendadak langsung
terserang penyakit dan meninggal.”
“Di dunia ini sudah biasa
terjadi hal-hal yang mendadak,” ujar Lin Zhennan. “Kebaikan atau keburukan
sering terjadi tiba-tiba dan sukar diperkirakan sebelumnya. Sudah lama Ayah
ingin membuka jalan ke daerah Sichuan tetapi selalu gagal. Selama sepuluh tahun
terakhir, Ayah memeras otak memikirkan hal ini. Siapa sangka Pendeta Yu
tiba-tiba terbuka pikirannya dan mau menerima hadiah dari kita; bahkan,
mengirimkan empat orang muridnya pula untuk balas berkunjung kemari.”
Lin Pingzhi berkata, “Ayah,
meskipun Perguruan Qingcheng adalah perguruan terkemuka di dunia persilatan,
tetapi nama Biro Ekspedisi Fuwei kita juga tidak rendah di mata kaum pendekar.
Kita sudah mengirimkan hadiah kepada Pendeta Yu setiap tahun. Kalau sekarang ia
mengirim orangnya kemari, bukankah ini hanya sekadar kunjungan balasan atau
penghormatan timbal balik saja?”
“Kau tahu apa?” sahut Lin
Zhennan sambil tertawa. “Perguruan Qingcheng dan Emei sudah berdiri selama
ratusan tahun, serta memiliki tidak sedikit bibit unggul di antara
murid-muridnya. Kedua perguruan ini memang tidak sebesar Shaolin atau Wudang,
namun hanya selisih sedikit di bawah Serikat Pedang Lima Gunung, yaitu
perserikatan yang terdiri atas Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, Huashan,
dan Henshan. Kakek buyutmu –yaitu Kakek Yuantu– memang telah menciptakan tujuh
puluh dua jurus Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang pernah mengguncangkan dunia
persilatan. Bisa dikatakan pada zaman itu tidak seorang pun yang mampu
menandingi ilmu pedang kakek buyutmu. Namun, setelah Kakek Yuantu meninggal dan
ilmu pedang mahasakti itu diwarisi kakekmu, ternyata banyak mengalami
kemunduran. Lebih-lebih ketika diwariskan kepada Ayah, malah semakin mundur
lagi. Keluarga Lin dalam tiga generasi terakhir ini masing-masing hanya
memiliki seorang putra tunggal saja dan tidak menerima murid dari luar. Dengan
hanya mengandalkan kekuatan kita berdua, sudah pasti kita tidak sebanding
dengan perguruan-perguruan silat tersebut.”
Lin Pingzhi yang masih
penasaran terus mendesak, “Tapi bukankah kita bisa mengumpulkan semua kekuatan
perusahaan kita yang tersebar di sepuluh provinsi? Bersama-sama pasti kita
mampu menghadapi kekuatan Perguruan Shaolin, Wudang, Emei, Qingcheng, serta
Serikat Pedang Lima Gunung?”
Lin Zhennan merasa geli dan
menjawab, “Nak, tidak apa-apa kalau kau bicara seperti itu di depan Ayah. Namun
kalau kau bicara di luar sana dan didengar orang lain, tentu akan mendatangkan
banyak masalah. Sebanyak delapan puluh empat orang pengawal kita yang tersebar
di sepuluh kantor cabang memang memiliki kepandaian sendiri-sendiri. Kalau
mereka digabung menjadi satu tentu tidak akan kalah menghadapi golongan mana
pun. Akan tetapi, apa manfaatnya andaikata perusahaan kita dapat mengalahkan
perguruan-perguruan itu? Sebagai perusahaan ekspedisi, kita seharusnya mencari
banyak sahabat, bukannya mencari musuh. Kita tidak akan menderita kerugian
apa-apa dengan bersikap rendah hati.”
Tiba-tiba kembali terdengar
suara ribut-ribut di luar, “Celaka! Pengawal Zheng juga meninggal!”
Lin Zhennan dan Lin Pingzhi
sama-sama terperanjat. Bahkan, Lin Pingzhi sampai melonjak dari kursi dan
berkata dengan suara gemetar, “Mereka pasti da… datang untuk membalas…” Belum
selesai perkataannya, dengan cepat ia menahan mulut. Lin Zhennan sendiri sudah
bergegas keluar sehingga tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan putranya
tadi.
Chen Qi datang dengan
tergesa-gesa. “Ce… celaka, Ketua! Ini gawat! Pe… Pengawal Zheng juga telah di…
ambil nyawanya oleh… oleh hantu jahat dari Sichuan!” serunya dengan nada gugup.
“Hantu jahat dari Sichuan apa
lagi ini? Omong kosong!” bentak Lin Zhennan sambil memalingkan muka.
“Saya bicara be... benar,
Ketua,” sahut Chen Qi gugup. “Hantu itu... orang dari Sichuan itu sangat ganas
semasa hidupnya. Tentu dia semakin ganas setelah mati...,” Begitu menoleh ke
arah Lin Pingzhi dan melihat raut muka sang tuan muda terlihat gusar, ia tidak
berani bicara lagi.
Lin Zhennan lalu bertanya,
“Kau bilang Pengawal Zheng telah meninggal? Di mana jasadnya kini dan bagaimana
dia bisa mati?”
Saat itu beberapa pegawai yang
lain juga sudah berlarian datang. Seorang pengawal menjawab, “Pengawal Zheng
meninggal di dalam kandang. Kematiannya sama persis dengan Bai Er. Tubuhnya
tidak terluka sedikit pun, juga tidak mengeluarkan darah setetes pun. Wajahnya
juga tidak terlihat bengkak atau membiru. Sepertinya... sepertinya mereka
berdua terkena gangguan setan jahat sewaktu berburu bersama Tuan Muda tadi.”
Lin Zhennan mendengus dan
berkata, “Huh, seumur hidup aku belum pernah melihat hantu atau setan
semacamnya. Mari kita pergi melihatnya.” Usai bicara ia langsung bergegas
keluar menuju ke tempat yang dimaksud.
Sesampainya di sana, jasad
Pengawal Zheng tampak tergeletak di tanah, dengan kedua tangan masih memegang
pelana kuda. Sepertinya ia sedang melepas pelana dari punggung kuda ketika
tiba-tiba roboh binasa. Sama sekali tidak ditemukan pula tanda-tanda bertarung
melawan orang lain.
Hari sudah mulai gelap. Lin
Zhennan menyuruh seorang anak buahnya mengambil lentera. Perlahan-lahan ia
membuka pakaian Pengawal Zheng. Diperiksanya dengan teliti sekujur mayat
pegawainya itu, ternyata memang tidak terdapat luka sedikit pun. Selain itu
juga tidak terdapat patah tulang sama sekali, termasuk tulang jari sekalipun.
Lin Zhennan tidak percaya
takhayul. Kematian Bai Er tadi dianggapnya sebagai suatu kebetulan saja. Namun
sekarang Pengawal Zheng juga mati dalam keadaan serupa. Apabila keduanya mati
karena diserang penyakit, mengapa tidak terdapat bintik-bintik merah atau hitam
pada tubuh mereka? Mungkinkah kematian mereka berhubungan dengan suatu hal
dalam kegiatan berburu putranya tadi?
Berpikir demikian, Lin Zhennan
lantas mengajukan pertanyaan kepada Lin Pingzhi. “Selain Pengawal Zheng dan Bai
Er, yang ikut pergi berburu bersamamu adalah Pengawal Shi dan dia, bukan?”
ujarnya sambil menunjuk wajah Chen Qi.
Lin Pingzhi hanya mengangguk
tanpa bersuara.
“Kalau begitu, kalian berdua
ikut aku!” kata Lin Zhennan. Ia kemudian berkata kepada seorang pengiring
lainnya, “Coba kau panggil Pengawal Shi agar datang ke ruang timur. Aku ingin
bicara dengannya.”
Sesampainya di ruang timur,
Lin Zhennan mengambil tempat duduk dan bertanya, “Apa yang sebenarnya telah
terjadi?”
Sadar bahwa dirinya tidak
dapat menutupi peristiwa itu lagi, Lin Pingzhi terpaksa menceritakan semua
pengalamannya sewaktu pulang dari berburu siang tadi. Ia bercerita mula-mula
rombongannya singgah untuk minum di sebuah kedai arak. Kemudian datang dua
orang Sichuan yang bersikap kurang ajar terhadap gadis penjual arak di kedai
itu. Lin Pingzhi turun tangan dan bertarung melawan salah seorang pemuda dari
Sichuan tersebut. Akhirnya, orang itu berhasil mencengkeram tengkuknya dan
menekannya sampai menyentuh tanah. Pada saat itulah Lin Pingzhi mencabut
sebilah pisau belati dari balik sepatu dan digunakannya untuk membunuh lawan.
Pengawal Shi lantas mengubur mayat orang Sichuan itu di dalam kebun sayur, dan
memberikan beberapa tahil perak kepada pemilik kedai sebagai penutup mulut.
Semakin mendengarkan cerita
itu, Lin Zhennan semakin penasaran. Namun demikian, sebagai seorang yang sudah
lama berkecimpung di dunia persilatan, ia merasa wajar jika anaknya berkelahi
dan membunuh orang. Dengan tenang tanpa bersuara ia mengikuti cerita Lin
Pingzhi sampai selesai.
Setelah merenung sejenak, Lin
Zhennan lantas bertanya, “Apakah kedua orang itu tidak mengatakan dari aliran
atau golongan mana mereka berasal?”
“Tidak,” jawab Lin Pingzhi.
“Apakah dari ucapan dan
tingkah laku mereka, kau menemukan suatu hal yang luar biasa?” tanya Lin
Zhennan lebih lanjut.
“Tidak ada yang aneh dengan
mereka. Hanya saja, orang bermarga Yu itu mengatakan…”
“Apa? Jadi, orang yang telah
kau bunuh itu bermarga Yu?” sahut Lin Zhennan menukas.
“Ya. Aku mendengar rekannya
memanggil dia dengan sebutan ‘Adik Yu’. Tapi aku sendiri juga kurang begitu
yakin. Mereka berasal dari daerah lain, sudah tentu logat bahasa mereka berbeda
dengan kita,” jawab Lin Pingzhi.
Mendengar itu, Lin Zhennan
menggelengkan kepala dan menggumam, “Tidak mungkin! Tidak mungkin bisa
kebetulan seperti ini. Pendeta Yu berkata hendak mengirim orang-orangnya
kemari. Namun, mengapa mereka bisa sampai di Fuzhou secepat ini? Memangnya
mereka punya sayap?”
Lin Pingzhi terperanjat dan
segera bertanya, “Apakah Ayah khawatir kedua orang itu berasal dari Perguruan
Qingcheng?”
Lin Zhennan tidak menjawab.
Selang sejenak, ia berkata sambil menggerakkan tangan, “Sewaktu kau menyerang
dengan jurus Tapak Semesta, bagaimana cara dia menangkis pukulanmu?”
“Dia tidak dapat menangkis
sehingga terkena tamparanku,” sahut Lin Pingzhi.
“Bagus sekali! Bagus sekali!”
seru Lin Zhennan sambil tersenyum.
Sejak tadi suasana di ruangan
itu sangat tegang, namun kini agak mencair oleh pujian Lin Zhennan tersebut.
Lin Pingzhi sendiri ikut tersenyum. Perasaannya yang tertekan menjadi agak
longgar.
“Sewaktu kau menyerang lagi
dengan gerakan ini, bagaimana ia menyerang balik?” tanya Lin Zhennan sambil
memperagakan suatu contoh serangan.
Lin Pingzhi menjawab, “Waktu
itu aku sedang marah sehingga tidak melihat dengan jelas bagaimana sikapnya.
Yang pasti, aku berhasil memukul dadanya.”
Mendengar itu, raut muka Lin
Zhennan tampak lebih tenang. Ia berkata, “Bagus sekali, bagus sekali! Serangan
kita memang harus demikian. Karena dia tidak mampu menangkis sama sekali,
rasanya tidak mungkin kalau dia memiliki hubungan dengan Pendeta Yu dari Perguruan
Qingcheng.”
Rupanya ucapan “bagus sekali”
yang diucapkannya beberapa kali tadi bukan dimaksudkan untuk memuji kemenangan
Lin Pingzhi, tetapi disebabkan oleh rasa lega karena orang yang mati itu
ternyata bukan anggota Perguruan Qingcheng. Lin Zhennan berpikir orang Sichuan
banyak yang bermarga Yu dan mahir ilmu silat. Karena orang itu bisa dibunuh
putranya, sudah pasti ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, serta tidak mungkin
pula berasal dari Perguruan Qingcheng.
Sambil jari tengah tangannya
mengetuk meja beberapa kali, ia kembali bertanya lebih lanjut, “Lalu, bagaimana
cara dia mencengkeram tengkukmu?”
Lin Pingzhi langsung
menggerakan tangan untuk memperagakan bagaimana dirinya dibekuk oleh si marga
Yu sampai tidak bisa berkutik.
Chen Qi yang sudah mulai
berkurang rasa takutnya ikut berkata, “Kemudian Bai Er mencoba menikam punggung
orang itu dengan tombak, tapi tahu-tahu dia sudah ditendang ke belakang dan
tombak pun terlempar. Bahkan, Bai Er sendiri sampai terguling-guling tidak bisa
bangun.”
Perasaan Lin Zhennan tergetar
mendengarnya. Segera ia bertanya sambil bangkit dari kursi, “Orang itu mendepak
ke belakang sehingga Bai Er terjungkal? Bagaimana... bagaimana cara dia
melakukannya?”
“Kalau tidak salah seperti
ini,” jawab Chen Qi sambil memperagakan gerakan itu. Tangannya memegang
sandaran kursi, lalu kedua kakinya susul menyusul mendepak ke belakang.
Dasar ilmu silat Chen Qi
memang rendah sehingga gerakannya terlihat kaku dan menggelikan. Dengan menahan
tawa, Lin Pingzhi berkata, “Ayah, coba lihat itu…” Namun begitu melihat wajah
Lin Zhennan menampilkan rasa tegang, seketika ia langsung berhenti berbicara.
“Kedua depakan ke belakang itu
mirip jurus Tendangan Tanpa Bayangan yang menjadi kebanggaan Perguruan
Qingcheng,” ujar Lin Zhennan. “Nak, sebenarnya bagaimana cara dia melontarkan
kedua depakan itu?”
Lin Pingzhi menjawab, “Waktu
itu kepalaku ditekan ke bawah sehingga tidak bisa melihat dengan jelas
bagaimana dia menendang ke belakang.”
“Benar juga, hanya Pengawal
Shi saja yang bisa memberi keterangan,” ujar Lin Zhennan. Segera ia keluar
ruangan dan berteriak, “Hei, di mana Pengawal Shi? Sudah sekian lama mengapa
belum datang juga?”
Dua orang pengiring segera
mendekat dan menjawab, “Kami sudah mencari kemana-mana, tapi Pengawal Shi tidak
dapat ditemukan.”
Perasaan Lin Zhennan semakin
gelisah. Ia berpikir, “Kalau kedua tendangan itu benar-benar jurus Tendangan
Tanpa Bayangan, sudah pasti orang bermarga Yu itu anggota Perguruan Qingcheng.
Jika memang demikian, siapa dia sebenarnya?”
Berpikir demikian, ia
memutuskan untuk memeriksa secara langsung. Segera ia kembali memberi perintah
kepada dua pengiring tadi, “Coba kalian panggil Pengawal Cui dan Pengawal Ji
kemari!”
Kedua pengawal yang dimaksud
tersebut adalah orang kepercayaan Lin Zhennan. Selain berpengalaman luas, cara
bekerja mereka pun rajin dan teliti. Sejak mengetahui Pengawal Zheng tewas dan
Pengawal Shi menghilang, mereka langsung bersiap-siap di luar ruangan. Maka
begitu mendengar nama mereka disebut oleh Lin Zhennan, keduanya segera masuk ke
dalam.
Lin Zhennan berkata, “Kita
harus memeriksa ke sana. Pengawal Cui, Pengawal Ji, Ping’er, dan Chen Qi,
kalian semua ikut aku!”
Kelima orang itu lantas memacu
kuda dengan kencang ke luar kota melalui gerbang utara. Lin Pingzhi berkuda
paling depan sebagai penunjuk jalan. Tidak lama kemudian, rombongan itu telah
sampai di depan kedai arak kecil yang menjadi tujuan mereka.
Pintu kedai tampak tertutup
rapat. Lin Pingzhi segera mengetuk dan berseru, “Kakek Sa! Kakek Sa! Lekas
bukakan pintu!” Meskipun sudah diketuk berkali-kali, tidak juga terdengar suara
jawaban dari dalam.
Pengawal Cui memandang ke arah
Lin Zhennan seolah meminta izin untuk mendobrak. Setelah Lin Zhennan
mengangguk, kedua tangan Pengawal Cui langsung menghantam ke depan sehingga
palang pintu kedai patah seketika. Daun pintu itu terdorong ke dalam lalu
kembali ke depan beberapa kali. Engsel yang telah berkarat mengeluarkan suara
keriat-keriut menambah seram suasana.
Begitu pintu terbuka, Pengawal
Cui segera menarik badan Lin Pingzhi ke samping. Setelah yakin tidak ada bahaya
mengancam dari dalam, barulah mereka melangkah masuk. Sebuah pelita yang berada
di atas meja langsung dinyalakan sebagai penerang selain lentera yang mereka
bawa. Kelima orang itu memeriksa bagian dalam dan luar kedai dengan seksama,
namun tidak seorang pun tampak terlihat. Segala perabotan di dalam kedai
ternyata masih lengkap, tidak satu pun yang dibawa pergi.
“Sepertinya kakek itu khawatir
tersangkut masalah ini. Apalagi mayat tersebut dikubur di dalam kebun sayurnya.
Rasanya tidak aneh kalau dia menyingkir pergi,” kata Lin Zhennan sambil
mengangguk. Ia kemudian berjalan menuju kebun sayur dan berkata, “Chen Qi, gali
kebun ini dan keluarkan mayatnya!”
Sejak awal Chen Qi sangat
yakin bahwa dua kematian misterius di dalam Biro Fuwei terjadi akibat ulah
hantu penasaran orang Sichuan tersebut. Dengan sangat terpaksa ia mengangkat
cangkul dan mulai menggali kebun tempat mayat orang itu dikubur. Akan tetapi,
belum seberapa lama ia mencangkul, kaki dan tangannya sudah gemetar, dan
akhirnya terkulai lemas tak bertenaga.
“Dasar tak berguna! Kau masih
berani menyebut dirimu pengiring kereta, hah?” bentak Pengawal Ji. Segera ia
merebut cangkul dan menyodorkan lentera di tangannya kepada Chen Qi. Sebentar
saja ia mencangkul, baju jenazah samar-samar mulai terlihat. Tidak lama
kemudian, setelah mengayunkan beberapa cangkulan lagi, mayat tersebut akhirnya
terlihat seluruhnya. Dengan menggunakan gagang cangkul, Pengawal Ji mengangkat
mayat itu ke atas.
Chen Qi buru-buru memalingkan
mukanya ke arah lain karena takut memandang mayat tersebut. Tiba-tiba ia
mendengar suara keempat orang lainnya berteriak kaget. Karena semakin
ketakutan, ia pun menjatuhkan lentera di tangannya sehingga suasana di kebun
sayur itu menjadi gelap gulita.
Terdengar suara Lin Pingzhi
berkata dengan nada terputus-putus, “Yang dikubur di sini tadi jelas-jelas
orang dari Sichuan itu. Mengapa… mengapa…”
“Nyalakan kembali lenteranya!”
seru Lin Zhennan.
Pengawal Cui memungut lentera
di atas tanah tadi dan menyalakannya kembali. Lin Zhennan lantas berjongkok
memeriksa mayat tersebut dengan teliti. Sejenak kemudian ia berkata, “Tidak
terdapat luka sedikit pun. Kematiannya sama persis dengan yang lain.”
Chen Qi memberanikan diri
memandang ke arah mayat. Seketika ia langsung menjerit kaget, “Pengawal Shi!
Ini Pengawal Shi!”
Ternyata, mayat yang baru saja
diangkat dari kuburan tersebut adalah Pengawal Shi, sementara mayat orang
Sichuan bermarga Yu sudah menghilang entah ke mana.
“Ada yang tidak beres dengan
kakek bermarga Sa itu,” ujar Lin Zhennan. Segera ia menyambar lentera dan
kemudian berlari ke dalam kedai untuk memeriksa kembali. Dari guci arak di
dapur sampai panci, mangkuk, piring, meja, dan kursi, semuanya tanpa kecuali
dijungkirbalikkan untuk diperiksa dengan lebih cermat. Namun demikian, tetap
saja tidak terdapat suatu petunjuk yang mencurigakan.
Lin Pingzhi dan yang lain ikut
masuk ke dalam kedai dan memeriksa pula. Tiba-tiba pemuda itu berteriak, “Ayah,
coba ke sini dan lihat ini!”
Lin Zhennan bergegas menuju ke
arah putranya bersuara. Ternyata Lin Pingzhi menemukan sesuatu di dalam kamar
tidur Wan’er, cucu Kakek Sa. Pemuda itu tampak memegang sehelai saputangan
berwarna hijau. “Ayah, seorang gadis dari keluarga miskin mana mungkin bisa
memiliki saputangan seperti ini?” ujarnya.
Lin Zhennan mengambil
saputangan itu. Samar-samar tercium olehnya bau harum yang menarik perhatian.
Saputangan ini sangat halus dan terasa agak mantap, jelas terbuat dari bahan
sutra pilihan. Ketika diperiksa lebih lanjut, tampak di tepi benda itu terdapat
lingkaran berupa tiga garis benang berwarna hijau. Salah satu ujungnya
bersulamkan setangkai bunga mawar berwarna merah, sepertinya dikerjakan dengan
sangat teliti dan indah sekali.
“Dari mana kau peroleh saputangan
ini?” tanya Lin Zhennan.
“Kutemukan di sudut kolong
ranjang,” jawab Lin Pingzhi. “Mungkin mereka pergi dengan tergesa-gesa sehingga
tidak sempat melihat saputangan ini jatuh sewaktu berbenah.”
Dengan menggunakan lentera,
Lin Zhennan berjongkok memeriksa kolong ranjang namun tidak menemukan apa-apa
lagi. Setelah merenung sejenak ia lalu berkata, “Kau bilang nona penjual arak
itu mukanya sangat jelek. Aku berpikir pakaiannya pasti tidak terlalu bagus.
Namun, apakah penampilannya sangat bersih dan teliti?”
“Waktu itu aku tidak terlalu
memperhatikan dia, tapi rasanya memang tidak terlalu buruk dan dekil,” jawab
Lin Pingzhi. “Kalau pakaiannya kotor, tentu aku dapat merasakan risih sewaktu
dia membawakan arak untukku.”
“Bagaimana pendapatmu, Adik
Cui?” sahut Lin Zhennan sambil berpaling kepada Pengawal Cui.
“Saya rasa kematian Pengawal
Shi dan Pengawal Zheng tentu ada sangkut-pautnya dengan kakek dan cucu ini.
Bahkan kemungkinan besar, mereka adalah para penjahat yang sedang menyamar,”
sahut Pengawal Cui.
“Kedua orang Sichuan itu bisa
jadi adalah komplotan mereka,” ujar Pengawal Ji menambahkan. “Kalau tidak,
untuk apa mereka menukar mayat di kebun sayur?”
“Tapi orang bermarga Yu
jelas-jelas berbuat kasar dan menggoda nona itu. Kalau tidak, mana mungkin aku
berkelahi dengannya?” sahut Lin Pingzhi. “Rasanya tidak mungkin mereka ini satu
komplotan.”
“Dalam hal ini Tuan Muda masih
kurang berpengalaman,” ujar Pengawal Cui. “Kita ini hidup di dunia persilatan
dan sudah biasa menemui orang-orang yang bersikap palsu dan jahat. Mereka
sering memasang perangkap untuk menjerat lawannya. Misalnya, dua orang
pura-pura berkelahi supaya muncul pihak ketiga melerai mereka. Begitu ini
terjadi, mendadak dua orang yang berkelahi tadi berbalik mengeroyok orang ketiga
tersebut.”
Pengawal Ji bertanya dengan
suara lirih, “Bagaimana pendapat Ketua tentang masalah ini?”
“Sasaran yang dituju si kakek
dan gadis penjual arak ini sudah pasti diri kita,” jawab Lin Zhennan. “Hanya
saja, aku belum yakin apakah mereka berdua benar-benar komplotan orang-orang
Sichuan itu atau bukan.”
Menyadari sesuatu, tiba-tiba
Lin Pingzhi berkata, “Ayah berkata bahwa Pendeta Yu dari Kuil Cemara Angin
telah mengirim empat muridnya berkunjung kemari. Bukankah jumlah mereka… jumlah
mereka sudah lengkap empat orang?”
Kata-kata ini menghantam
perasaan Lin Zhennan bagaikan palu godam. Beberapa saat ia terkesima dan
merenung, kemudian berkata lirih, “Selamanya Biro Ekspedisi Fuwei selalu
menghormati Perguruan Qingcheng dan belum pernah berbuat sesuatu yang tidak
baik terhadap mereka. Lalu, untuk apa Pendeta Yu mengirim orang-orangnya ke
sini mengganggu kita? Untuk apa?”
Kelima orang itu hanya saling
pandang dengan perasaan bingung tanpa bersuara sedikit pun. Setelah agak lama,
barulah Lin Zhennan kembali berkata, “Marilah kita pindahkan dulu jenazah
Pengawal Shi ke dalam rumah. Tentang peristiwa ini hendaknya jangan sampai
tersiar supaya tidak diketahui oleh pihak yang berwajib. Aku tidak ingin
menimbulkan masalah yang lainnya lagi.” Setelah diam sejenak ia melanjutkan,
“Keluarga Lin selalu menghormati orang lain. Namun, kami juga bukan pengecut
yang menerima penghinaan begitu saja.”
Pengawal Ji berkata dengan
nada tegas, “Ketua, pepatah mengatakan, ‘para prajurit diberi makan selama
setahun untuk menghadapi satu pertempuran.’ Sudah cukup banyak kami menerima
budi baik Ketua. Kami semua siap mengangkat senjata demi membela nama baik Biro
Fuwei.”
“Terima kasih banyak atas
kesetiaan kalian,” sahut Lin Zhennan sambil menganggukkan kepala. Ia lantas
mengajak rombongannya itu kembali ke dalam kota.
Sesampainya di kantor pusat,
tampak para pegawai berkumpul di depan pintu utama. Puluhan obor yang mereka
pegang membuat suasana malam itu terang benderang bagaikan siang. Lin Zhennan
sendiri berdebar-debar menyaksikan pemandangan ini.
“Ketua sudah pulang! Ketua
sudah pulang!” seru orang-orang itu bersama-sama.
Istri Lin Zhennan menyambut
dengan wajah kesal. “Suamiku, coba kau lihat itu! Sungguh berani mereka
menghina kita!”
Meskipun sudah menikah dengan
Lin Zhennan, namun perempuan ini lebih akrab dipanggil dengan sebutan “Nyonya
Wang”, sesuai marga aslinya. Begitu melihat sang suami datang, Nyonya Wang
langsung bercerita sambil menunjuk potongan dua batang tiang bendera yang
saling melintang di atas tanah. Keduanya tidak lain adalah tiang panji-panji
Biro Ekspedisi Fuwei yang selama ini berdiri gagah di depan pintu utama gedung
kantor pusat. Ditinjau dari bekas patahannya yang halus, jelas tiang-tiang
tersebut dipotong menggunakan golok yang sangat tajam.
Nyonya Wang yang saat itu
sedang tidak memegang senjata segera melolos pedang sang suami untuk memotong
tali bendera dari tiangnya. Kemudian ia melipat panji-panji perusahaan Keluarga
Lin tersebut dan membawanya masuk ke dalam gedung.
Lin Zhennan lantas berkata,
“Adik Cui, lekas kau potong sisa tiang bendera yang masih tertinggal di altar
batu itu. Huh, mereka pikir mudah menjatuhkan nama besar Biro Ekspedisi Fuwei?”
“Baik, Ketua,” sahut Pengawal
Cui kemudian bergegas menjalankan perintah.
Terdengar Pengawal Ji memaki,
“Bangsat keparat! Mereka adalah kaum pengecut rendah yang beraninya menyerang
diam-diam saat Ketua sedang meninggalkan markas!”
Lin Zhennan mengajak Lin
Pingzhi masuk ke dalam rumah, meninggalkan Pengawal Ji yang masih memaki-maki
di luar. Mereka melihat Nyonya Wang telah membentangkan kedua bendera tadi di
atas dua buah meja. Ayah dan anak itu semakin kesal menyaksikan keadaan
panji-panji tersebut. Tampak sulaman gambar singa jantan pada bendera yang satu
telah kehilangan matanya, sementara bendera yang lainnya – yang bertuliskan
Biro Ekspedisi Fuwei – telah kehilangan huruf “wei”.
Lin Zhennan seorang yang
sangat sabar dan jarang sekali marah. Namun begitu melihat panji-panji
kebesaran keluarganya dirusak orang, rasa gusarnya sulit terbendung lagi.
Tangannya lantas menggebrak meja dengan keras, sampai-sampai salah satu kaki
meja yang terbuat dari kayu Huali itu patah dibuatnya.
Lin Pingzhi ketakutan dan
berkata dengan gemetar, “Ayah, ini semua... ini semua adalah kesalahanku.
Akulah penyebab semua kekacauan ini.”
Lin Zhennan menjawab lantang,
“Kita dari keluarga Lin membunuh orang secara kesatria! Kalau aku bertemu
bajingan rendah seperti dia, sudah pasti aku juga akan membunuhnya!”
Nyonya Wang menyela,
“Memangnya seperti apa orang yang kau bunuh?”
Lin Pingzhi pun menjawab
pertanyaan ibunya dengan menceritakan semuanya, mulai dari kematian orang
Sichuan bermarga Yu sampai dengan tewasnya Pengawal Shi. Nyonya Wang telah
mengetahui kematian Pengawal Zheng dan Bai Er. Kematian Pengawal Shi bukannya
membuat wanita ini takut, melainkan semakin gusar.
Sambil menggebrak meja, ia
bangkit dan berkata, “Suamiku, mana mungkin kita biarkan Biro Ekspedisi Fuwei
direndahkan orang seperti ini? Mari kita kumpulkan orang-orang dan bersama-sama
kita berangkat ke Sichuan menuntut keadilan kepada Perguruan Qingcheng. Jika
perlu, aku akan mengajak ayah dan kedua saudaraku sekalian.”
Sifat Nyonya Wang sejak kecil
memang pemarah. Sewaktu masih gadis ia sudah terbiasa mencabut golok hanya
karena masalah sepele. Ia sendiri berasal dari Keluarga Golok Emas Wang, yaitu
sebuah keluarga terhormat dan sangat disegani di Kota Luoyang. Itulah sebabnya
sampai sekarang ia lebih akrab dipanggil dengan sebutan “Nyonya Wang” daripada
“Nyonya Lin”.
Meskipun ilmu silat Nyonya
Wang tidak terlalu tinggi, namun orang-orang yang berselisih dengannya lebih
memilih untuk mengalah, mengingat nama besar sang ayah, yaitu Wang Yuanba si
Golok Emas Tanpa Tanding. Sampai sekarang meskipun ia sudah bersuami dan
putranya juga sudah tumbuh besar, namun sifat pemarah Nyonya Wang masih tetap
tidak berubah.
Mendengar saran sang istri,
Lin Zhennan menjawab, “Masalahnya kita belum tahu dengan pasti siapa yang
menjadi musuh kita. Belum tentu pelakunya benar-benar dari Perguruan Qingcheng.
Namun siapapun mereka, aku rasa mereka tidak akan berhenti sampai di sini hanya
dengan membunuh dua pengawal dan merusak tiang bendera kita....”
“Memangnya mereka mau apa
lagi?” sahut Nyonya Wang menukas.
Lin Zhennan diam tidak
menjawab, melainkan hanya melirik ke arah Lin Pingzhi. Anehnya, Nyonya Wang
langsung paham maksud suaminya. Mendadak wajahnya berubah pucat dan jantung pun
berdebar-debar.
Lin Pingzhi yang tidak
menyadari gelagat di antara kedua orang tuanya memberanikan diri untuk bicara,
“Masalah ini disebabkan oleh kecerobohanku. Laki-laki sejati berani berbuat
berani bertanggung jawab. Sedikit pun... sedikit pun aku tidak gentar.”
Meskipun mengaku tidak gentar, tetap saja suaranya terdengar gemetar.
“Hm, kalau mereka berani
menyentuh seujung rambutmu, maka mereka harus melangkahi mayat ibumu ini lebih
dulu,” kata Nyonya Wang. “Panji kebesaran perusahaan kita sudah berkibar selama
tiga generasi. Belum pernah sekali pun kita tunduk dan menyerah kepada orang
lain. Jika sakit hati ini tidak dibalas, rasanya tidak pantas lagi kita disebut
sebagai manusia. Aku tidak sanggup lagi berdiri di depan cermin,” lanjut wanita
itu sambil berpaling ke arah suaminya.
Lin Zhennan mengangguk dan
menjawab, “Akan kukirim orang untuk menyelidiki apakah di dalam kota ditemukan
wajah-wajah asing yang tidak dikenal. Juga akan kutambah jumlah penjaga di
sekitar gedung kantor ini. Kalian berdua tunggu saja di dalam! Lebih-lebih,
Ping’er tidak boleh sampai keluar sedikit pun.”
“Ya, aku mengerti!” jawab
Nyonya Wang.
Kedua suami-istri ini yakin
bahwa cepat atau lambat putra mereka pasti menjadi sasaran musuh. Mereka berada
di tempat terang, sementara musuh berada di dalam gelap. Sedikit saja Lin
Pingzhi melangkah keluar gedung, tentu bahaya akan langsung mengancamnya.
Lin Zhennan berjalan ke depan
sampai di aula gedung, di mana para pegawai telah berkumpul menunggu
perintahnya. Segera ia memerintahkan mereka untuk menyebar menyelidiki
kemungkinan adanya wajah-wajah asing mencurigakan yang berkeliaran di dalam
kota, serta menambah jumlah para penjaga untuk meronda di sekitar gedung.
Rupanya para pegawai ini merasa dipermalukan, karena kedua tiang bendera telah
dirobohkan musuh sementara mereka tidak mengetahui sama sekali. Dengan perasaan
gusar, mereka telah berseragam lengkap dan mempersiapkan senjata masing-masing.
Perintah yang telah disampaikan sang ketua segera dilaksanakan dengan penuh
tanggung jawab.
Lin Zhennan terharu
menyaksikan semangat persatuan para pegawainya yang merasa ikut memiliki Biro
Ekspedisi Fuwei itu. Setelah mendengar sumpah mereka yang siap bekerja dan
berkorban demi kehormatan perusahaan, ia lantas masuk kembali menemui istri dan
putranya di ruang tengah.
“Ping’er, kesehatan ibumu
selama beberapa hari ini agak menurun,” ujarnya kepada Lin Pingzhi. “Setiap saat
musuh bisa datang menyerang. Bagaimana kalau kau tidur di depan pintu kamar
sekaligus menjaga ibumu?”
Mendengar ini Nyonya Wang
langsung menyela, “Aku tidak perlu...” namun ia langsung paham akan maksud
sesungguhnya dari ucapan sang suami. Sebenarnya Lin Zhennan bukan meminta agar
Lin Pingzhi melindungi ibunya, melainkan supaya putranya itu dekat dengan sang
ibu dan ini akan membuatnya lebih aman. Mereka sadar Lin Pingzhi bersifat
angkuh dan sudah pasti merasa direndahkan jika secara terang-terangan ia disuruh
berlindung kepada sang ibu demi keselamatan dirinya. Tentu putranya itu akan
tersinggung dan memilih keluar rumah menantang musuh. Jelas ini sangat
berbahaya. Menyadari maksud sang suami, Nyonya Wang pun menahan kata-katanya.
“Benar, Ping’er. Ibu sedang
tidak enak badan. Ayahmu biar memimpin para pegawai, sementara kau menjaga di
luar kamar Ibu. Bagaimana kalau musuh sampai datang dan menyusup kemari? Tentu
Ibu sangat membutuhkan bantuanmu,” ujar wanita itu kemudian.
“Sudah pasti aku akan menemani
Ibu di sini,” jawab Lin Pingzhi tanpa ragu.
Malam itu Lin Pingzhi pun
tidur di atas ranjang yang telah diletakkan di luar kamar orang tuanya. Pintu
kamar sengaja dibiarkan terbuka agar Nyonya Wang bisa melihat keadaan putranya
setiap saat. Lin Zhennan sendiri berjaga di luar bersama para pegawai. Sampai
cukup lama mereka tidak menemukan tanda-tanda musuh kembali menyerang. Merasa
keadaan sudah lebih aman, Lin Zhennan pun masuk ke dalam kamar dan tidur di
samping sang istri. Meskipun demikian, pedangnya tetap dipersiapkan di samping
bantal.
Begitu matahari terbit
tiba-tiba terdengar suara seorang pegawai memanggil-manggil dari luar jendela
dengan suara lirih, “Tuan Muda! Tuan Muda!”
Lin Pingzhi yang semalaman
tidak bisa tidur, pagi itu masih pulas karena baru bisa memejamkan mata saat
fajar menyingsing. Bukan ia yang terbangun oleh panggilan itu melainkan Lin
Zhennan yang segera bangkit dan bertanya, “Ada masalah apa?”
“Kuda putih milik Tuan Muda...
kuda itu sudah... sudah mati,” jawab pegawai itu dari luar. Kalau yang mati
kuda lainnya tentu tidak menjadi persoalan. Namun karena yang mati adalah kuda
putih kesayangan Lin Pingzhi, buru-buru ia melapor kepada sang majikan muda.
Mendengar suara ribut-ribut,
Lin Pingzhi terbangun pula dari tidurnya dan berkata, “Akan kulihat ke sana.”
Lin Zhennan berpikir kematian
kuda putih ini tentu ada sangkut pautnya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya.
Ia pun bergegas menuju ke kandang bersama Lin Pingzhi. Sesampainya di sana
mereka menyaksikan si kuda putih sudah tergeletak tanpa nyawa. Sebagaimana
kasus kematian yang terjadi sebelumnya, kali ini juga tidak ditemukan bekas
luka apa pun pada tubuh hewan tersebut.
“Apakah semalam terdengar
suara ringkikan kuda atau keributan lain yang mencurigakan?” tanya Lin Zhennan.
“Tidak, Tuan! Tidak ada sama
sekali,” jawab si tukang kuda.
Lin Zhennan memegangi tangan
Lin Pingzhi yang meraba-raba bangkai kuda kesayangannya itu. “Sudahlah, Nak!
Ayah akan membelikan kuda baru yang lebih bagus untukmu,” ujarnya menghibur.
Lin Pingzhi hanya diam
termangu sambil meneteskan air mata.
Tiba-tiba seorang pegawai yang
tidak lain adalah Chen Qi datang dengan napas terengah-engah. Ia berkata dengan
suara gemetar, “Ketua, ini celaka! Sungguh celaka! Para pengawal kita telah...
telah terbunuh semua! Mereka mati dibunuh hantu gentayangan itu..!”
“Apa katamu? Mati semua?”
sahut Lin Zhennan dan Lin Pingzhi bersamaan.
“Benar, mati semua!” jawab
Chen Qi tegang.
“Siapa saja yang mati?” sahut
Lin Pingzhi gusar. Tanpa sadar tangannya mencengkeram kerah baju Chen Qi dan
menariknya ke depan.
“Tuan Muda... Tuan Muda...
mati,” jawab Chen Qi ketakutan.
Lin Zhennan sangat gusar
mendengar jawaban ini. Dalam dunia persilatan, seseorang yang masih hidup
dikatakan mati adalah suatu pantangan besar karena dianggap dapat memendekkan
umur orang itu. Namun karena Chen Qi mengucapkannya tanpa sengaja, ia pun
menahan amarahnya dan berusaha menenangkan pikiran.
Sejenak kemudian, kembali
terdengar suara ribut-ribut di luar. “Di mana Ketua? Kami harus segera melapor,”
seru seorang pegawai dari luar kandang. “Hantu gentayangan ini sangat ganas.
Apa yang harus kita lakukan?”
“Aku di sini!” jawab Lin
Zhennan berteriak. “Ada apa lagi ini?”
Seorang pengawal dan tiga
orang pengiring segera masuk ke dalam kandang. Pengawal itu berkata, “Ketua,
para pengawal yang tadi malam meronda tidak ada yang kembali dengan selamat.”
Lin Zhennan terperanjat.
Semula ia berpikir ada seorang pegawai lagi yang mati, namun ternyata yang
menjadi korban adalah semua pegawainya yang berangkat meronda tadi malam.
Padahal, ia ingat semalam telah mengirim dua puluh tiga orang pengawal untuk
meronda di sekeliling kota.
“Apa kau yakin mereka mati
semua?” sahutnya kemudian. “Mungkin saja mereka masih meronda dan belum kembali
sampai siang ini.”
Pengawal itu menggeleng dan
menjawab, “Tapi kami telah... telah menemukan tujuh belas sosok mayat....”
“Tujuh belas mayat?” sahut Lin
Zhennan dan Lin Pingzhi kembali bersama-sama. Perasaan ngeri tergambar jelas di
raut wajah mereka.
“Benar, Ketua! Jumlahnya ada
tujuh belas mayat. Di antaranya terdapat Pengawal Fu, Pengawal Qian, dan
Pengawal Wu. Mayat-mayat tersebut telah kami tempatkan di ruang depan,” jawab
si pengawal mempertegas laporannya.
Tanpa banyak bertanya lagi Lin
Zhennan bergegas menuju ke ruang depan gedung perusahaannya. Tampak di ruangan
itu terbaring tujuh belas sosok mayat pegawai Biro Fuwei dalam keadaan membujur
kaku, sementara meja dan kursi telah disisihkan ke tepi merapat dinding.
Meskipun sudah kenyang
pengalaman dan sering mengalami kesulitan dalam hidup, tetap saja perasaan Lin
Zhennan tergetar dibuatnya. Tanpa disadari tangannya gemetar dan lututnya
terasa lemas menyaksikan pemandangan tersebut.
“Kenapa... kenapa... kenapa?”
ujarnya bertanya-tanya. Suaranya kering dan nyaris tak terdengar oleh yang
lainnya.
Tiba-tiba terdengar lagi suara
ribut di luar, “Ya ampun! Pengawal Gao yang baik juga menjadi korban.”
Kali ini yang masuk adalah
lima orang tetangga dengan menggotong selembar papan pintu di mana jasad
Pengawal Gao terbaring di atasnya.
“Sewaktu membuka pintu tadi
pagi, saya terkejut karena melihat mayat Tuan Gao sudah tergeletak di jalanan.
Mungkin ia terkena penyakit menular atau diganggu makhluk halus. Saya pun
meminta bantuan para tetangga yang lain untuk membawa jenazahnya kemari,” ujar
salah seorang tetangga memberi penjelasan kepada Lin Zhennan.
“Terima kasih banyak!” jawab
Lin Zhennan sambil memberi hormat. Kepada seorang pegawai ia memberi perintah,
“Sampaikan kepada kasir untuk memberikan tiga tael perak, masing-masing kepada
para tetangga yang baik ini; sebagai rasa terima kasih dariku.”
Namun para tetangga tidak tega
menerima hadiah tersebut. Dengan wajah ngeri, mereka lekas-lekas mohon diri
setelah menyaksikan belasan mayat memenuhi ruangan. Tidak lama kemudian datang
lagi empat jenazah, sehingga hanya tinggal seorang saja yang belum ditemukan.
Pegawai yang seorang lagi itu adalah Pengawal Zhu, dan mereka yakin tidak lama
lagi mayatnya akan segera ditemukan.
Lin Zhennan masuk ke kamar dan
meneguk secangkir teh hangat untuk menenangkan perasaan. Meskipun demikian,
jantungnya masih juga berdebar-debar. Dengan perasaan gelisah ia berjalan ke
halaman depan dan memandang ke sekeliling. Hatinya terguncang menyaksikan
panji-panji kebesaran Biro Ekspedisi Fuwei yang selama ini berkibar dengan
gagah, sekarang sudah tiada lagi. Musuh telah membunuh lebih dari dua puluh
orang pegawainya namun tidak pernah menampakkan diri sama sekali. Mereka juga
tidak pernah mengumumkan latar belakang dan tujuan pembantaian ini.
Perlahan Lin Zhennan berpaling
ke arah papan nama bertuliskan huruf emas yang terpasang di atas pintu gedung.
Sambil menghela napas ia berpikir, “Puluhan tahun lamanya nama besar Biro
Ekspedisi Fuwei berjaya di mana-mana. Apakah hari ini akan hancur di tanganku?”
Tiba-tiba terlihat seekor kuda
muncul dari ujung jalan menuju ke arah gedung biro. Kuda itu berjalan
pelan-pelan dengan mengangkut sesosok mayat yang tersampir di atas pelana. Lin
Zhennan bergegas menghampirinya dan ternyata kuda itu mengangkut jasad Pengawal
Zhu. Rupanya musuh telah membunuh pegawainya itu dan meletakkan mayatnya di
atas punggung kuda. Kuda ini hafal jalan pulang sehingga akhirnya sampai di
hadapan sang majikan.
Lin Zhennan menghela napas
panjang dan meneteskan air mata membasahi mayat Pengawal Zhu. Seorang diri ia
menggendong mayat pegawainya itu ke dalam gedung sambil berkata, “Adik Zhu,
jika aku tidak bisa membalaskan kematianmu, biarlah aku mati penasaran. Namun
sayangnya, kau kembali ke sini tanpa bisa menyebutkan siapa orangnya yang telah
membunuhmu.”
Sebenarnya Pengawal Zhu
hanyalah seorang pegawai biasa, dan juga tidak terlalu akrab dengan Lin
Zhennan. Adapun sumpah dan air mata yang dikeluarkan itu jelas dikarenakan
perasaan gusar dan putus asa yang sudah memenuhi rongga dadanya.
Lin Zhennan kemudian melihat
istrinya berdiri di depan ruang aula sambil memegang sebilah golok emas di
tangan kiri. “Dasar penjahat busuk, kau hanya berani menyerang dengan
sembunyi-sembunyi! Jika kau memang laki-laki, lekas keluar! Tunjukkan batang
hidungmu! Apa kau lebih suka disebut sebagai pengecut, hah?” bentaknya sambil
menunjuk-nunjuk dengan tangan kanan.
Lin Zhennan bertanya,
“Istriku, apa kau melihat sesuatu?”
Nyonya Wang menjawab, “Tidak.
Kawanan bangsat itu tidak berani menampakkan diri karena takut terhadap Ilmu
Pedang Penakluk Iblis milik keluarga kita.” Sambil mengacungkan goloknya,
wanita itu melanjutkan, “Dia juga takut terhadap golok emas di tanganku ini!”
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara orang tertawa dari salah satu sudut atap rumah. Disusul
kemudian sebuah senjata rahasia melesat menyambar ke arah Nyonya Wang dan
mengenai golok yang dipegangnya. Seketika golok emas pun terlepas dari pegangan
sementara Nyonya Wang merasa tangannya tergetar kesakitan. Golok emas tersebut
terus melayang sampai jatuh di tengah halaman.
Tanpa pikir lagi, Lin Zhennan
menerjang ke atas dan menusukkan pedangnya. Yang ia mainkan adalah jurus
Menyapu Bersih Kaum Iblis, di mana ujung pedangnya terlihat bagaikan sari bunga
bertebaran di udara. Sudah beberapa hari Lin Zhennan menyimpan dendam terhadap
musuh yang tidak terlihat itu. Kini begitu ada kesempatan, amarahnya langsung
meledak dan ia pun menyerang dengan sekuat tenaga. Namun pedang di tangannya
ternyata hanya mengenai tempat kosong, sementara musuh yang ia cari telah
menghilang entah ke mana.
Nyonya Wang dan Lin Pingzhi
ikut naik ke atap untuk membantu, namun mereka bertiga tidak menemukan apa-apa.
“Jahanam! Anak anjing! Kalau
kau memang laki-laki lekas keluar dan bertarung denganku! Pengecut macam apa
pula kau ini?” bentak Nyonya Wang. “ Ke mana bajingan itu pergi? Siapa dia
sebenarnya?” ujarnya kemudian –bertanya kepada sang suami.
Lin Zhennan menggeleng dan
menjawab, “Simpan tenagamu.”
Ketiganya terus mencari ke
segenap penjuru atap gedung namun tidak menemukan siapa-siapa. Mereka lalu
melompat turun dan mendarat di halaman depan.
Lin Zhennan lantas bertanya
kepada sang istri, “Senjata rahasia macam apa yang telah menjatuhkan golokmu
tadi?”
“Entahlah, aku tidak tahu.
Benar-benar keparat!” jawab Nyonya Wang setengah memaki.
Mereka segera memeriksa di
sekitar pelataran namun tidak menemukan suatu senjata rahasia apapun. Hanya
saja di bawah salah satu pohon ditemukan pecahan batu bata yang sebagian telah
lembut seperti pasir. Sepertinya si penyerang gelap memang menggunakan batu
bata itu untuk menjatuhkan golok emas di tangan Nyonya Wang. Lin Zhennan merasa
kagum sekaligus ngeri membayangkan tenaga dalam si penyerang yang mampu
menjatuhkan senjata istrinya hanya dengan sepotong batu bata kecil saja. Nyonya
Wang sendiri yang sejak semula sibuk mencaci-maki kini terdiam tanpa suara.
Perasaan gusar di hatinya telah berubah menjadi takut menyaksikan remukan batu
bata tersebut. Tanpa bicara sedikit pun, wanita itu lalu masuk kembali ke dalam
ruangan.
Setelah suami dan putranya
ikut masuk, Nyonya Wang segera menutup pintu dan berkata, “Musuh terlalu kuat.
Kita tidak bisa menandinginya. Apa... apa yang harus kita lakukan?”
Lin Zhennan menjawab,
“Terpaksa kita harus meminta bantuan para sahabat. Sudah sewajarnya dalam hidup
ini kita saling membantu dan meminta bantuan kepada pihak lain.”
“Kita memang memiliki banyak
sahabat. Namun dari sekian banyak jumlah mereka, memangnya berapa orang yang
berkepandaian di atas kita?” ujar Nyonya Wang. “Jika kita mendatangkan para
sahabat yang berkepandaian biasa saja atau bahkan di bawah kita, tentu mereka
tidak akan banyak membantu.”
“Pendapatmu memang tidak
salah,” jawab Lin Zhennan. “Tapi dengan adanya banyak orang tentu akan
menghasilkan banyak pikiran. Tiada salahnya kalau kita mendatangkan mereka
untuk berunding bersama.”
“Benar juga! Kalau begitu,
siapa saja yang menurutmu pantas untuk kita undang?” tanya sang istri.
“Kita bisa mengundang yang
paling dekat dulu,” jawab Lin Zhennan. “Tentu saja kita datangkan para jago
yang bergabung di cabang Hangzhou, Nanchang, dan Guangzhou. Kemudian kita
undang pula para pendekar dari luar perusahaan yang berasal dari Fujian sini,
serta tiga provinsi terdekat lainnya.”
Nyonya Wang mengerutkan kening
dan bertanya, “Tapi apakah kau tidak takut, dengan mendatangkan sedemikian
banyak bala bantuan justru akan menjatuhkan nama besar Biro Ekspedisi Fuwei?”
“Istriku, bukankah saat ini
kau berusia tiga puluh sembilan tahun?” tiba-tiba Lin Zhennan bertanya masalah
lainnya.
“Dalam keadaan seperti ini
masih sempat-sempatnya kau bertanya soal umur segala!” gerutu sang istri. “Aku
lahir di tahun macan, memangnya kau sudah lupa?”
Lin Zhennan menjawab, “Tentu
saja tidak. Aku berniat mengirimkan kartu undangan perayaan ulang tahunmu yang
keempat puluh kepada para sahabat....”
“Apa? Kenapa ulang tahunku
dimajukan? Apa aku sudah kelihatan tua?” sahut sang istri menukas.
“Bukan, bukan itu maksudku.
Rambutmu masih hitam dan belum beruban, mana mungkin orang menganggapmu sudah
tua?” ujar Lin Zhennan sambil menggeleng. “Aku hanya menjadikan ulang tahunmu
sebagai alasan untuk mendatangkan bala bantuan. Kalau mereka sudah berkumpul,
barulah kita ceritakan maksud yang sebenarnya secara diam-diam. Nah, dengan
demikian nama baik perusahaan kita tidak akan tercemar.”
Nyonya Wang terdiam sejenak,
kemudian menjawab, “Bagus juga. Terserah bagaimana pendapatmu. Kalau begitu,
hadiah macam apa yang akan kau berikan kepadaku?”
“Sudah pasti hadiah yang
paling berharga,” jawab Lin Zhennan dengan berbisik di telinga istrinya. “Tahun
depan kita akan memiliki bayi yang gemuk dan lucu.”
“Huh, dasar bandot tua!
Keadaan sudah seperti ini masih juga bercanda!” gerutu Nyonya Wang dengan muka
merah.
Lin Zhennan tertawa sambil
melangkah menuju kantor untuk menyuruh kasir menyiapkan kartu undangan. Ia
sengaja bergurau demi mengurangi kegelisahan istrinya, meskipun perasaannya
sendiri sangat tertekan. Diam-diam ia merasa bimbang juga dengan keputusannya
itu. “Air dari tempat jauh susah memadamkan kebakaran di tempat dekat. Malam
ini tentu akan terjadi peristiwa lagi. Bila harus menunggu datangnya bala
bantuan, aku khawatir saat mereka datang, perusahaan ini sudah tinggal nama,”
katanya dalam hati.
Begitu tiba di depan pintu
kantor, tiba-tiba Lin Zhennan disambut dua orang pegawainya yang terlihat
sangat pucat karena ketakutan. Mereka berkata, “Celaka... celaka, Ketua!”
“Ada apa lagi ini?” tanya Lin
Zhennan dengan jantung berdebar-debar.
“Tadi... Kasir Dong menyuruh
Lin Fu pergi membeli peti mati. Tapi... tapi baru saja sampai di ujung Jalan
Timur, mendadak Lin Fu roboh dan meninggal,” jawab salah seorang di antara
mereka.
“Di mana? Di mana mayatnya
sekarang?” tanya Lin Zhennan mendesak kedua pegawainya itu.
“Masih... masih di tempat dia
terbunuh,” jawab si pegawai.
“Kenapa masih di sana? Lekas
kalian bawa kemari!” seru Lin Zhennan memberi perintah. Dalam hati ia semakin
geram karena si pembunuh kini berani menghabisi nyawa anak buahnya di siang
hari.
Kedua pegawai pun menyahut,
“Baik! Baik, Ketua!” Meskipun menjawab demikian, namun kaki mereka tidak
bergeser sedikit pun.
“Ada apa lagi ini? Lekas
pergi!” bentak Lin Zhennan.
Salah seorang kembali menjawab
dengan suara gemetar, “Sebaiknya... sebaiknya Ketua pergi sendiri untuk
melihatnya.”
Lin Zhennan yakin telah
terjadi lagi suatu peristiwa aneh. Ia pun mendengus dan bergegas melangkah ke
luar kantor. Di dekat pintu utama gedung telah berdiri tiga pengawal dan lima
pengiring yang masing-masing memandang ke luar dengan wajah pucat.
“Ada apa ini?” tanya Lin
Zhennan kepada mereka.
Belum sampai ada yang
menjawab, ia menyaksikan sendiri altar batu di depan pintu kantornya telah
ditulisi seseorang dengan menggunakan darah. Tulisan tersebut terdiri atas enam
kata yang berbunyi: “Keluar pintu lebih sepuluh langkah, mati!”
Selain tulisan di altar, juga
ditemukan garis panjang melintang yang berjarak sekitar sepuluh langkah dari
pintu gedung. Garis ini juga dibuat dari darah dengan lebar sekitar dua atau
tiga senti, disertai tulisan: “Lewati garis ini dan kau akan mati”.
“Sejak kapan tulisan dan garis
itu dibuat? Apa ada di antara kalian yang melihatnya?” tanya Lin Zhennan
segera.
Salah seorang pegawai
menjawab, “Ketika Lin Fu terbunuh, kami beramai-ramai langsung menuju ke tempat
ia ditemukan. Akibatnya, tidak seorang pun dari kami yang melihat ke arah sini.
Entah siapa pula yang berani bercanda membuat tulisan ini.”
Lin Zhennan semakin geram dan
penasaran. Ia pun berteriak lantang, “Aku yang bermarga Lin sudah bosan hidup!
Bunuh saja aku karena berani melewati garis yang kau buat! Aku ingin tahu
seperti apa kau membunuhku!” Usai berteriak, ia pun melangkah dengan yakin
mendekati garis darah tersebut.
“Ketua! Ketua!” seru dua orang
pengawal mencoba mencegah sang majikan.
Namun Lin Zhennan tidak
peduli. Ia sudah melangkah melewati garis darah yang masih basah tersebut.
Dengan sepatunya ia berusaha menghapus tulisan darah di atas altar sambil
berkata kepada para pegawainya, “Bajingan itu hanya menggertak saja. Kalian
tidak perlu takut. Segeralah pergi membeli peti mati, sekalian mampir ke Biara
Langit Damai di sisi barat kota untuk mengundang para biksu. Minta kepada
mereka untuk mengadakan upacara doa besar-besaran selama beberapa hari di sini.
Biarlah mereka yang mengusir semua pengaruh jahat dan arwah gentayangan di
gedung ini.”
Tiga orang pengawal bergegas
merapikan pakaian dan mengambil senjata, untuk kemudian melaksanakan perintah
sang majikan. Keberanian mereka timbul setelah menyaksikan sendiri bagaimana
Lin Zhennan melewati garis darah itu tanpa mendapat celaka. Dengan berjalan
berdampingan mereka bertiga melewati garis itu pula. Setelah melihat ketiganya
menghilang di ujung jalan, barulah Lin Zhennan masuk kembali ke dalam gedung.
Kepada jurutulisnya yang
bermarga Huang, ia lantas berkata, “Jurutulis Huang, tolong kau tuliskan
beberapa undangan kepada para sahabat dan pegawai kita di beberapa cabang untuk
minum arak di sini, merayakan ulang tahun istriku.”
“Baik, Ketua! Lalu, tanggal
berapa mereka harus datang kemari?” tanya Jurutulis Huang.
Belum sempat Lin Zhennan
menjawab, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di luar ruangan. Lin Zhennan
memiringkan kepala agar dapat mendengar lebih jelas. Terdengar suara seseorang
roboh di lantai. Ia pun bergegas keluar dan melihat Pengawal Di, salah satu dari
tiga orang pegawai yang tadi berangkat membeli peti mati telah tergeletak tak
berdaya.
“Adik Di, bagaimana
keadaanmu?” tanya Lin Zhennan sambil memapah bangun pegawainya itu.
“Mereka... mereka sudah mati
semua. Hanya... hanya saya yang bisa berlari pulang,” jawab Pengawal Di dengan
suara lemah.
“Apa kau mengenali para
penyerang itu?” tanya Lin Zhennan mendesak.
“Sa... saya... tidak...
tidak... ta...” jawab Pengawal Di dengan suara terputus-putus. Akhirnya ia pun
menghembuskan napas terakhir pula menyusul kawan-kawannya yang lain.
Dalam waktu singkat peristiwa
ini langsung tersebar. Lin Pingzhi dan ibunya bergegas keluar untuk melihat
bagaimana wujud garis darah ancaman dari musuh tersebut. Tidak seorang pun
pegawai yang berani keluar untuk mengambil mayat dua orang rekan Pengawal Di.
“Biarlah aku sendiri yang
mengambil mayat mereka,” ujar Lin Zhennan dengan suara lantang.
“Jangan, Ketua! Ketua tidak
boleh pergi!” sahut Jurutulis Huang mencegah. Ia lalu berseru kepada para
pegawai, “Hei, semuanya! Barangsiapa bersedia mengambil jenazah kedua kawan
kita di luar itu, maka dia akan mendapat hadiah tiga puluh tael perak.”
Meskipun Jurutulis Huang
mengulangi pengumumannya sampai dua kali, namun tidak seorang pun yang berani
melangkah keluar pintu. Tiba-tiba terdengar suara Nyonya Wang mencari-cari
anaknya. “Mana Pingzhi? Ke mana perginya Pingzhi? Ping’er!... Ping’er!” teriak
perempuan itu dengan suara penuh kecemasan.
“Tuan Muda! Tuan Muda!” seru
para pegawai ikut berteriak-teriak memanggil. Mereka ikut panik karena sang
majikan muda tiba-tiba menghilang entah ke mana.
“Aku di sini!” seru Lin
Pingzhi dari luar gedung.
Semua orang gembira
mendengarnya dan beramai-ramai menuju ke luar gedung. Terlihat Lin Pingzhi
muncul dari ujung jalan sambil memanggul mayat kedua pegawainya masing-masing
di bahu kiri dan kanan. Lin Zhennan dan istrinya pun menyambut dengan senjata
di tangan demi melindungi putra mereka itu. Serentak para pegawai bersorak
memuji, “Tuan Muda memang seorang pemberani! Sungguh tidak kenal takut!”
Lin Zhennan dan Nyonya Wang
juga merasa bangga melihat keberanian putra mereka itu. Terdengar Nyonya Wang
menegur, “Nak, kau sangat gegabah. Kedua pengawal ini memang orang baik. Tapi
usahamu untuk mengambil jasad mereka sungguh terlalu berbahaya.”
Lin Pingzhi hanya tersenyum.
Dalam hati ia berpikir sedih, “Gara-gara perbuatanku membunuh satu orang,
sekarang banyak pegawai yang menjadi korban balas dendam. Kalau aku tidak
berani bertanggung jawab, sungguh tidak pantas aku disebut manusia.”
Tiba-tiba terdengar suara
teriakan dari arah belakang, “Hah!... Kakek... Kakek Hua juga meninggal!”
Seorang pesuruh dengan muka pucat berlari-lari melapor kepada Lin Zhennan,
“Ketua, Kakek Hua telah keluar melalui pintu belakang hendak pergi ke pasar
berbelanja sayuran. Tahu-tahu ia sudah ditemukan mati pada jarak belasan
langkah dari pintu. Ternyata... ternyata di belakang juga ada garis darah
dengan kalimat ancaman yang sama!”
Kakek Hua yang dimaksud adalah
jurumasak Keluarga Lin. Kepandaiannya dalam menciptakan masakan lezat menjadi
daya tarik tersendiri untuk memikat para pejabat sehingga menggunakan jasa
layanan Biro Ekspedisi Fuwei. Bisa dikatakan Kakek Hua ini adalah senjata
rahasia andalan Lin Zhennan untuk menarik perhatian para tamu dari kalangan
terhormat.
Mendengar laporan tersebut Lin
Zhennan menggigil dan berpikir, “Kakek Hua hanya seorang jurumasak. Dia bukan
pengawal, juga bukan pengiring kereta. Dalam tata krama perampokan sekalipun
hanya para pengawal yang boleh dibunuh, sedangkan kusir kereta dan kuli angkut
biasanya dibiarkan hidup. Tapi kali ini, mengapa semua penghuni gedung seolah
hendak dibinasakan semua?”
Kematian Kakek Hua membuat
semua pegawai bertambah panik. Lin Zhennan pun berseru, “Tetap tenang, jangan
gelisah! Kawanan bangsat itu hanya berani main sergap secara sembunyi-sembunyi.
Bukankah kalian melihat sendiri bagaimana aku tadi bersama istri dan anakku
tidak diserang meskipun berani melewati garis darah di halaman depan? Mereka
tidak berani berbuat apa-apa.”
Semua pegawai mengangguk membenarkan
ucapan Lin Zhennan. Namun, tetap saja tiada seorang pun dari mereka yang berani
melangkah keluar. Lin Zhennan dan Nyonya Wang hanya bisa saling pandang.
Pasangan suami-istri itu kini benar-benar merasa lemah dan terdesak.
Malam harinya Lin Zhennan
menunjuk dua puluh orang pegawainya untuk menjaga keamanan. Namun ketika ia
keluar untuk memeriksa, ternyata para pegawai itu tidak melakukan ronda
sebagaimana mestinya. Mereka terlihat hanya duduk bergerombol di ruang tengah.
Tidak seorang pun yang berani berjaga di luar; bahkan, untuk ke kamar kecil
saja setiap orang minta ditemani.
Ketika melihat sang majikan
muncul, para pegawai itu merasa malu, namun tetap saja tidak seorang pun lantas
keluar untuk meronda. Lin Zhennan sendiri merasa maklum karena musuh memang
benar-benar ganas dan berilmu tinggi; sementara ia sendiri merasa tidak
memiliki jalan keluar yang lebih baik. Maka itu, ia pun tidak memarahi mereka,
bahkan mengambilkan arak dan makanan untuk dinikmati bersama. Karena dicekam
ketakutan, mereka makan dan minum tanpa bersuara. Tidak lama kemudian, sebagian
besar dari mereka sudah tertidur pulas karena mabuk.
Hari berikutnya lima orang
pegawai biro tampak memacu kuda masing-masing meninggalkan gedung kantor.
Setelah diselidiki ternyata mereka memutuskan untuk mengungsi daripada
menderita tekanan batin seperti itu. Lin Zhennan hanya menggelengkan kepala dan
menghela napas panjang, lalu berkata, “Ketika datang gangguan, burung-burung
beterbangan ke segala arah. Kami dari Keluarga Lin tidak mampu melindungi
kalian. Saudara-saudara silakan pergi kalau merasa lebih aman jika meninggalkan
gedung ini!”
Para pegawai tidak menjawab.
Beberapa pengawal tampak mencaci maki kelima rekan mereka yang dianggap
pengecut dan tidak setia kawan itu. Beberapa pegawai lainnya hanya terdiam dan
menghela napas panjang. Dalam hati mereka pun ingin secepatnya terbebas dari
ancaman maut yang mengintai setiap saat itu.
Tiba-tiba pada sore harinya
datang lima ekor kuda mengangkut mayat kelima pegawai yang kabur tadi siang.
Kelima orang itu berusaha kabur dengan harapan bisa menyelamatkan diri namun
justru mengantarkan nyawa lebih cepat kepada si pembunuh.
Melihat ini, perasaan dendam
Lin Pingzhi semakin menjadi-jadi. Dengan menghunus pedang ia menerjang keluar
dan berdiri beberapa langkah di luar garis darah sambil berteriak menantang si
pembunuh, “Hei, kau yang ada di sana! Aku, Lin Pingzhi, adalah orang yang telah
membunuh si marga Yu dari Szechwan. Laki-laki sejati berani berbuat berani
bertanggung jawab. Jika kau ingin membalas dendam, maka tusukkan pedangmu ke
jantungku! Aku tidak akan menolak! Tapi kau telah membantai orang-orang yang
tidak bersalah. Mereka tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini. Huh, kaum
pengecut macam apa pula kalian ini? Selama kalian tidak berani menampakkan
diri, maka kalian pantas disebut sebagai kawanan anjing busuk!”
Lin Pingzhi berteriak semakin
keras dan lantang; bahkan, sambil membuka baju dan menepuk-nepuk dada. “Lekas
kalian keluar dan bawa golokmu kemari! Aku seorang laki-laki sejati, tidak
takut mati! Apakah kalian takut berdiri di hadapanku dan bertarung secara
jantan? Dasar kalian memang pengecut busuk! Binatang rendah!”
Orang-orang yang lewat di
jalanan hanya memandang dengan heran tanpa berani mendekat karena telah tersiar
kabar bahwa Biro Ekspedisi Fuwei adalah perusahaan maut. Lin Zhennan dan sang
istri bergegas keluar pula untuk melindungi putra tunggal mereka itu. Kemarahan
mereka bertiga yang sudah tertumpuk selama beberapa hari ini akhirnya meledak
sudah. Dengan sangat gusar ketiganya berteriak-teriak menantang musuh yang tak
terlihat itu.
Para pegawai biro hanya
menyaksikan dari dalam gedung dengan perasaan sangat kagum terhadap ketiga
majikan tersebut. Mereka mengetahui bahwa Lin Zhennan seorang yang
berkepandaian tinggi, sementara Nyonya Wang terkenal sebagai wanita pemberani.
Akan tetapi perbuatan Lin Pingzhi benar-benar menarik perhatian. Biasanya, sang
majikan muda bersikap lemah lembut seperti perempuan, namun kali ini terlihat
begitu gagah dan tidak kenal takut.
“Garis kematian apa pula ini?
Aku telah melangkahinya dan aku ingin tahu bagaimana kalian membunuhku,” lanjut
Lin Pingzhi sambil melangkah lebih jauh lagi melewati garis tersebut sambil
mengacungkan pedang.
“Benar, benar!” sahut sang
ibu. “Para pengecut itu hanyalah kaum rendahan. Kalian takut berhadapan muka
dengan putraku.” Usai berkata ia pun maju dan menggandeng tangan Lin Pingzhi,
kemudian mengajak putranya itu kembali ke dalam gedung.
Lin Pingzhi terlihat gemetar
karena kemarahannya sudah memuncak. Begitu masuk ke dalam kamar ia langsung
merebahkan diri di atas ranjang dan menangis keras-keras.
Lin Zhennan memahami perasaan
putra tunggalnya itu. Sambil membelai kepala Lin Pingzhi, ia berkata, “Nak, kau
tadi sungguh berani. Keluarga Lin bangga kepadamu. Tapi apa boleh buat? Musuh
tetap tidak mau menampakkan batang hidungnya. Sebaiknya kita beristirahat saja
untuk saat ini.”
Lin Pingzhi terus saja
menangis sampai akhirnya tertidur karena letih.
Malam harinya setelah makan
bersama, Lin Pingzhi mendengar pembicaraan ayah dan ibunya tentang rencana
beberapa orang pengawal yang hendak membuat jalur rahasia berupa terowongan di
bawah tanah. Dengan cara ini mereka bisa meloloskan diri tanpa harus melangkahi
garis ancaman. Jika mereka tetap berada di dalam gedung kantor, cepat atau
lambat, kematian akan mendatangi mereka.
Nyonya Wang berkata, “Biarkan
saja kalau mereka hendak menggali terowongan rahasia. Tapi, aku takut... aku
takut....”
Lin Zhennan menyadari perasaan
sang istri. Rupanya Nyonya Wang khawatir jangan-jangan rencana kabur melalui
terowongan ini juga akan mengalami kegagalan seperti yang dilakukan lima
pengawal siang tadi.
“Sebaiknya aku pergi
memeriksa,” sahut Lin Zhennan. “Jika terowongan bawah tanah itu selesai digali,
tentu ini bisa menjadi jalan keluar yang aman untuk semua pegawai kita.”
Usai berbicara, ia pun
melangkah pergi dan sejenak kemudian kembali lagi sambil berkata, “Rencana
hanya tinggal rencana. Tidak seorang pun yang berani turun tangan untuk mulai
menggali.”
Malam itu, Lin Pingzhi dan
kedua orang tuanya merasa sangat letih. Ketiganya pun tertidur pulas sejak
makan malam berakhir. Sementara itu para pegawai biro seolah sudah berputus
asa. Mereka hanya pasrah menunggu nasib sehingga tidak seorang pun yang
menjalankan tugas meronda sebagaimana yang telah dijadwalkan.
Tepat tengah malam Lin Pingzhi
dibangunkan seseorang. Seketika ia pun mengambil pedang yang terselip di bawah
bantal. Namun hal itu segera dibatalkannya karena yang datang tidak lain adalah
sang ibu sendiri.
“Ping’er, ini Ibu. Tolong
jangan bersuara!” Setelah melihat anaknya tenang, Nyonya Wang melanjutkan,
“Ayahmu sudah pergi sejak tadi namun sampai kini belum juga kembali. Mari kita
cari bersama-sama!”
“Ayah ke mana?” tanya Lin
Pingzhi dengan perasaan khawatir.
“Entahlah,” jawab sang ibu.
Sambil memegang senjata
masing-masing, Lin Pingzhi dan Nyonya Wang melangkah ke luar kamar. Mula-mula
mereka mencari Lin Zhennan ke ruang depan, namun yang ada hanya para pegawai
saja. Di bawah cahaya lilin, tampak belasan pegawai sedang sibuk bermain kartu.
Rupanya mereka sudah sangat putus asa sehingga tidak peduli lagi dengan ancaman
si pembunuh. Nyonya Wang mengajak Lin Pingzhi mencari ke tempat lain. Sengaja
mereka tidak menceritakan tentang hilangnya Lin Zhennan karena khawatir para
pegawai menjadi panik dan keadaan pun bertambah rumit.
Lin Pingzhi dan ibunya mencari
ke berbagai tempat namun tidak juga menemukan di mana sang ayah berada.
Keduanya sama-sama gelisah memikirkan keselamatan Lin Zhennan. Pikiran buruk
pun datang menghantui.
Tiba-tiba terdengar
suara-suara aneh dari arah ruang senjata. Lin Pingzhi pun menghampiri dan
mengintip ke dalam. Betapa gembira hati pemuda itu ketika mengetahui Lin
Zhennan ternyata berada di dalam sana.
“Rupanya Ayah ada di sini!”
serunya perlahan.
Lin Zhennan tampak sedang
mengerjakan sesuatu dan langsung menoleh ketika putranya memanggil. Lin Pingzhi
sendiri langsung terdiam melihat raut muka sang ayah tampak tegang dan
menyeramkan, seolah baru saja menemukan sesuatu yang aneh. Rasa gembiranya
seketika berubah menjadi ngeri.
Nyonya Wang segera masuk ke
dalam untuk memeriksa. Tampak darah berceceran di lantai. Lin Zhennan sendiri
sedang sibuk mengamati sesosok mayat yang terbaring di atas tiga bangku
berjajar. Mayat tersebut adalah Pengawal Huo yang tadi siang mencoba kabur
bersama keempat rekannya, namun kembali dalam keadaan tewas. Perlahan-lahan,
Lin Pingzhi ikut masuk pula dan menutup pintu, kemudian berdiri di belakang
sang ayah.
Lin Zhennan telah membedah
dada Pengawal Huo dan mengeluarkan jantungnya. Tampak jantung itu sudah hancur
menjadi beberapa bagian. Dengan suara gugup Lin Zhennan pun berkata, “Tidak
salah lagi! Ini adalah... ini adalah...”
“Tapak Penghancur Jantung!”
seru istrinya. “Ini adalah ilmu kebanggaan Perguruan Qingcheng.”
Lin Zhennan mengangguk dan
terdiam. Kepalanya menunduk untuk sekian lama.
Lin Pingzhi baru sadar kalau
ayahnya sejak tadi menghilang karena sibuk meneliti mayat Pengawal Huo dengan
tujuan untuk mencari tahu penyebab kematiannya.
Setelah membungkus mayat
tersebut dan meletakkannya di sudut ruangan, Lin Zhennan mengajak istri dan
anaknya kembali ke kamar tidur. Di sana ia melanjutkan pembicaraannya, “Kali
ini aku sudah tidak ragu lagi. Pelaku pembunuhan terhadap para pegawai kita
adalah tokoh terkemuka dari Perguruan Qingcheng. Istriku, menurutmu apa yang
harus kita perbuat?”
Tiba-tiba Lin Pingzhi menyela,
“Sekarang kita sudah tahu siapa musuh kita. Semua ini terjadi akibat ulahku.
Besok aku akan datang untuk menantangnya. Jika aku kalah biarlah aku mati di
tangan mereka.”
Lin Zhennan menggeleng dan
berkata, “Orang ini menguasai Tapak Penghancur Jantung. Dengan jurus ini dia
bisa menghancurkan jantung seseorang tanpa harus melukai kulitnya. Tentu dia
seorang tokoh terkemuka dalam Perguruan Qingcheng. Jika dia mau, tentu sejak
kemarin-kemarin kau sudah mati di tangannya. Aku rasa Perguruan Qingcheng ingin
mempermainkan kita secara keji terlebih dulu.”
“Kalau begitu apa tujuannya
mempermainkan kita?” sahut Lin Pingzhi bertanya.
“Keparat dari Qingcheng ini
memperlakukan kita seperti kucing sedang mempermainkan tikus. Kita dibuat mati
pelan-pelan karena takut, dengan demikian barulah dia merasa puas.” jawab Lin
Zhennan.
“Berani-beraninya dia
memandang rendah terhadap Biro Ekspedisi Fuwei,” sahut Lin Pingzhi kesal.
“Mungkin dia takut kepada Ilmu Pedang Penakluk Iblis sehingga tidak berani
menghadapi Ayah secara terang-terangan. Jika tidak, kenapa dia hanya berani
membunuh dengan sembunyi-sembunyi?”
“Ping’er, Ilmu Pedang Penakluk
Iblis milik Ayah memang cukup ampuh untuk menghadapi para penjahat dan perampok
jalanan. Namun jika dibandingkan dengan Tapak Penghancur Jantung sudah pasti
Ayah kalah jauh,” jawab Lin Zhennan. “Selama ini Ayah tidak pernah takut kepada
siapa pun. Tapi setelah melihat jantung Pengawal Huo yang hancur itu, Ayah...
Ayah sungguh merasa ngeri.”
Melihat ayahnya sudah
menyerah, Lin Pingzhi pun terdiam tidak berani lagi berpendapat. Ibunya ganti
berbicara, “Meskipun musuh sangat kuat, kita tidak boleh menyerah begitu saja.
Untuk saat ini lebih baik kita menghindar dulu.”
“Aku juga berpikir demikian,”
sahut Lin Zhennan.
“Suamiku, sebaiknya malam ini
kita berangkat ke Luoyang meminta bantuan Ayah. Yang penting kita sudah tahu
siapa musuh kita sebenarnya. Balas dendam lain kali juga belum terlambat,”
lanjut Nyonya Wang.
Lin Zhennan menjawab, “Benar!
Ayah Mertua sangat luas pergaulannya. Tentu Beliau bisa memberi saran dan
pertimbangan kepada kita. Mari kita berbenah dan berangkat malam ini juga!”
Mendengar ajakan sang ayah,
Lin Pingzhi menyahut, “Kalau begitu kita akan meninggalkan para pegawai begitu
saja, tanpa pemimpin?”
“Musuh tidak ada urusan dengan
mereka. Jika kita sudah pergi, tentu orang dari Qingcheng itu tidak mau
buang-buang tenaga hanya untuk membunuh para pegawai yang tidak bersalah,”
jawab Lin Zhennan.
Lin Pingzhi terdiam mendengar
jawaban ayahnya yang cukup beralasan itu. Ia sadar kalau kematian para pegawai
merupakan akibat dari perbuatannya, yaitu membunuh orang Szechwan bermarga Yu.
Jika dirinya sudah pergi tentu si pelaku tidak mau repot-repot lagi membunuh
yang masih tersisa.
Berpikir demikian, Lin Pingzhi
kemudian bergegas menuju kamarnya untuk berbenah. Selama ini ia belum pernah
melakukan perjalanan jauh. Perjalanan ke Luoyang membuatnya khawatir pihak musuh
akan datang dan membakar habis rumah yang ditinggalkan. Maka, ia pun membungkus
semua benda kesayangannya termasuk patung kuda dari batu kumala dan lembaran
kulit macan tutul hasil perburuannya dahulu. Benda-benda tersebut dijadikan
satu dengan pakaian-pakaiannya, sehingga tercipta dua bungkusan yang cukup
besar.
Dengan memanggul perbekalan
tersebut, Lin Pingzhi kembali ke kamar orang tuanya. Melihat itu Nyonya Wang
tertawa geli dan berkata, “Kita ini hendak mengungsi, bukannya pindah rumah.
Mengapa kau membawa barang begitu banyak?”
Lin Zhennan hanya menggeleng
dan menghela napas panjang. Ia merasa maklum karena sejak kecil Lin Pingzhi
hidup mewah dan berkecukupan. Wajar saja jika kali ini putranya itu merasa
bingung hendak berbuat apa ketika tiba-tiba harus pergi meninggalkan rumah.
Dengan perasaan haru ia pun berkata, “Di rumah Kakek nanti kau tidak akan
menderita kekurangan. Yang perlu kita bawa hanya uang dan perhiasan secukupnya.
Lagipula kita nanti akan melewati kantor-kantor cabang di Jiangxi, Hunan, dan
Hubei. Semakin sedikit barang yang kita bawa akan semakin baik. Dengan demikian
kita bisa berjalan lebih cepat.”
Dengan berat hati Lin Pingzhi
terpaksa meninggalkan sebagian besar isi bungkusannya itu.
Nyonya Wang ganti mengajukan
pertanyaan kepada sang suami, “Kita nanti menunggang kuda secara
terang-terangan melewati pintu depan, ataukah sembunyi-sembunyi lewat pintu
belakang?”
Lin Zhennan tidak menjawab. Ia
hanya merebahkan diri di atas kursi malas sambil menghisap pipa cangklongnya
dan memejamkan mata. Selang agak lama, barulah ia membuka mata dan berbicara,
“Ping’er, beri tahu semua pegawai supaya ikut berbenah dan mengungsi besok
pagi. Sampaikan pula kepada kasir untuk membagi-bagikan uang perusahaan kepada
mereka. Bilang saja, kita mengungsi untuk menghindari wabah penyakit menular,
dan setelah keadaan aman barulah kita kembali lagi ke sini.”
“Baik, Ayah!” jawab Lin
Pingzhi. Ia pun melangkah pergi dengan perasaan bercampur aduk.
Nyonya Wang bingung mendengar
ucapan suaminya itu. Ia pun bertanya, “Jadi, kita semua akan meninggalkan
perusahaan? Lalu, siapa nanti yang akan bertugas menjaga gedung ini?”
“Tidak ada,” jawab Lin
Zhennan. “Rumah ini sudah terkenal sebagai tempat angker, yang dihuni setan
jahat pencabut nyawa. Meskipun kita biarkan tanpa penjaga, tidak mungkin ada
orang lain yang berani masuk kemari. Lagipula kalau kita pergi, tentu tidak ada
pegawai yang sudi berjaga di sini.”
Lin Pingzhi telah mengumumkan
perintah ayahnya di hadapan para pegawai. Seketika suasana gedung menjadi ribut
dan bergemuruh. Perasaan gembira dan takut bercampur aduk menjadi satu di dalam
hati mereka.
Sementara itu Lin Zhennan
berkata, “Istriku, besok aku dan Ping’er akan menyamar sebagai pengawal,
sedangkan kau sebaiknya menyamar sebagai pelayan. Pagi-pagi sekali kita pergi
dari sini. Dalam waktu serentak puluhan orang melaju bersama-sama. Tidak peduli
bagaimanapun hebatnya musuh, tentu hanya mampu menyergap satu-dua orang saja
dan kesulitan mengejar lebih lanjut.”
“Rencana bagus!” seru Nyonya
Wang. Ia lantas keluar kamar dan sejenak kemudian sudah kembali dengan membawa
sepasang pakaian pelayan dan dua pasang pakaian pengiring kereta.
Ketika Lin Pingzhi kembali ke
kamar, ia segera mengambil pakaian itu dan bersama ayahnya lantas berdandan
sebagai dua orang pegawai rendahan. Sementara itu Nyonya Wang juga telah
berdandan sebagai kaum pelayan. Selembar saputangan digunakannya sebagai
kerudung untuk menutup rambut pula. Lin Pingzhi sebenarnya sangat mual karena
baju yang ia pakai menebarkan bau kurang sedap, bekas keringat pegawainya.
Namun, pemuda itu merasa tidak mempunyai pilihan lain.
Pagi-pagi sekali Lin Zhennan
membuka pintu utama gedungnya dan berkata di hadapan para pegawai,
“Saudara-saudaraku, tahun ini kita kurang beruntung. Wabah penyakit menyerang
perusahaan kita dan menjatuhkan banyak korban. Kita terpaksa harus menghindar
untuk sementara. Jika kalian masih ingin bekerja di Biro Ekspedisi Fuwei, maka
pergilah ke cabang Hangzhou atau Jiangxi. Di sana kalian akan diterima dengan
baik oleh Pengawal Liu dan Pengawal Yi. Nah, sekarang marilah kita berangkat
bersama-sama!”
Usai berkata demikian,
sejumlah hampir seratus orang pegawainya serentak memacu kuda masing-masing,
meninggalkan gedung kantor pusat Biro Ekspedisi Fuwei bersama-sama. Lin Zhennan
menutup dan mengunci pintu, lalu memacu kuda pula bersama anak dan istrinya.
Para pegawai tidak lagi takut melewati garis darah. Justru sebaliknya, mereka
berpikir akan semakin aman jika secepat-cepatnya pergi menjauhi gedung maut
tersebut. Rombongan itu bergerak menuju gerbang kota sebelah utara untuk keluar
dari Fuzhou. Rupanya mereka tidak memiliki tujuan yang pasti. Masing-masing
hanya mengikuti ke arah mana kuda yang paling depan berlari.
Lin Zhennan sendiri tiba-tiba
memberi isyarat kepada istri dan anaknya supaya memperlambat kuda
masing-masing, sehingga ketiganya kini berada di urutan paling belakang dalam
rombongan. Ketika sampai di sebuah persimpangan, Lin Zhennan mengajak berhenti
dan berkata, “Biarlah mereka menuju ke utara, sementara kita berputar kembali
ke selatan.”
Bukankah kita hendak ke
Luoyang? Mengapa sekarang harus kembali ke selatan?” tanya Nyonya Wang.
“Musuh tentu sudah mengira
kalau kita akan pergi ke Luoyang, sehingga mereka pun bersiap-siap menghadang
di utara. Untuk itu, sebaiknya kita mengambil jalan memutar lewat selatan.
Dengan demikian keparat itu tidak akan memperoleh apa-apa,” jawab Lin Zhennan.
Lin Pingzhi tiba-tiba membuka
suara, “Ayah!”
“Ada apa?” tanya Lin Zhennan.
Lin Pingzhi terdiam tidak
menjawab, dan sejenak kemudian kembali berkata, “Ayah!”
Nyonya Wang menyahut, “Kau
ingin bicara apa, lekas katakan!”
“Lebih baik kita tetap bersama
mereka menuju ke utara,” jawab Lin Pingzhi. “Jika kita dihadang musuh, maka aku
yang akan menghadapinya. Kematian sekian banyak pegawai kita adalah karena
kesalahanku. Jika kita menghindar bagaimana bisa membalas dendam mereka?”
“Tentu saja kita harus
membalas sakit hati ini,” sahut Nyonya Wang. “Tapi ilmu silatmu masih kalah
jauh dibandingkan mereka; terutama untuk menghadapi Tapak Penghancur Jantung
yang mengerikan itu.”
“Memangnya kenapa?” balas Lin
Pingzhi. “Lebih baik aku mati seperti Pengawal Huo daripada menghindari
tanggung jawab. Paling-paling hanya jantungku ini yang hancur.”
Raut muka Lin Zhennan berubah
merah mendengar ucapan putranya itu. Ia pun membentak dengan suara keras, “Jika
Keluarga Lin dalam tiga atau empat generasi berikutnya suka bersifat gegabah
seperti dirimu, maka Biro Ekspedisi Fuwei akan bangkrut dengan sendirinya tanpa
harus menunggu gangguan dari luar.”
Melihat ayahnya marah Lin
Pingzhi langsung terdiam. Tanpa banyak bicara ia pun mengikuti kedua orang
tuanya bergerak menuju selatan. Begitu meninggalkan Kota Fuzhou, mereka lalu
berbelok ke arah barat daya. Setelah menyeberangi Sungai Min, mereka sampai di
sebuah kota kecil bernama Nanyu. Ketiganya terus saja berjalan tanpa
beristirahat, sampai akhirnya merasa letih juga.
Saat itu matahari telah berada
di atas kepala. Di tepi jalan yang sepi, mereka melihat sebuah kedai kecil dan
memutuskan untuk makan di situ. Kepada pemilik kedai Lin Zhennan memesan
makanan apapun yang tersedia, serta meminta untuk disiapkan secepat mungkin. Si
pemilik kedai pun masuk ke dapur namun sampai lama tidak juga muncul kembali.
“Pelayan! Pelayan!” seru Lin
Zhennan memanggil-manggil. Akan tetapi, tidak seorang pun yang muncul atau
menjawab panggilan tersebut. Nyonya Wang ikut memanggil namun tetap saja tidak
terdengar suara jawaban.
Menyadari gelagat yang tidak
baik, Nyonya Wang segera menghunus goloknya dan berlari ke dalam. Dilihatnya si
pemilik kedai sudah tergeletak tanpa nyawa. Di dekat pintu juga tergeletak
mayat seorang wanita, yang tidak lain adalah istri si pemilik kedai. Perlahan
Nyonya Wang menyentuh bibir kedua mayat tersebut dan ternyata masih hangat,
jelas kematian mereka baru saja terjadi.
Lin Zhennan dan Lin Pingzhi
segera melolos pedang masing-masing dan bergerak mengitari kedai kecil itu
untuk memeriksa. Kedai ini berdiri di tengah perbukitan dan dekat dengan hutan
sehingga keadaannya begitu sunyi. Nyonya Wang kembali bergabung dengan suami
dan putranya. Bertiga mereka melihat ke sekeliling namun tidak menemukan
tanda-tanda kehadiran seseorang.
Dengan tetap menghunus
pedangnya, Lin Zhennan berteriak menantang, “Saudara dari Perguruan Qingcheng,
Lin Zhennan berdiri di sini siap menyambut takdir. Silakan keluar untuk bertemu
muka!”
Beberapa kali Lin Zhennan
mengulangi teriakannya, namun yang terdengar hanyalah gema suaranya sendiri
yang terpantul di lembah bukit tersebut. Ketiganya menyadari kalau musuh sedang
mengintai di balik persembunyiannya. Dengan perasaan gelisah mereka menanti si
pembunuh itu keluar untuk melancarkan serangan.
Sejenak kemudian ganti Lin
Pingzhi yang berteriak menantang, “Lin Pingzhi ada di sini! Keluarlah dan
bertarung denganku! Aku tahu kalian terlalu pengecut untuk menampakkan diri.
Kalian hanya berani main sembunyi-sembunyi seperti maling rendahan.”
Tiba-tiba dari dalam hutan di
sebelah kedai terdengar suara gelak tawa seseorang. Sekilas Lin Pingzhi melihat
sesosok bayangan berkelebat ke arahnya. Sekejap kemudian di hadapannya sudah
berdiri seorang laki-laki bertubuh gagah. Tanpa pikir lagi ia pun menyerang
menggunakan pedang di tangannya. Laki-laki itu bergerak ke samping untuk
menghindar. Lin Pingzhi segera mengganti serangan dengan menebaskan pedangnya
ke samping. Si laki-laki menyeringai sambil melangkah ke sebelah kiri. Dengan
cepat Lin Pingzhi memukul menggunakan tangan kiri, lalu menusukkan pedangnya
kembali.
Lin Zhennan dan Nyonya Wang
berniat maju untuk membantu putra mereka. Namun, melihat Lin Pingzhi memainkan
Ilmu Pedang Penakluk Iblis dengan tenang dan teratur, keduanya pun menahan
diri. Lin Zhennan melihat laki-laki yang bertarung melawan putranya itu tampak
memakai baju berwarna ungu dengan pedang tergantung di pinggangnya. Usianya
diperkirakan sekitar dua puluh empat tahun, dan wajahnya berulangkali tersenyum
menyeringai.
Kesabaran Lin Pingzhi akhirnya
goyah juga. Jurus-jurus pedangnya menjadi tidak terarah lagi karena tak kuasa
menahan amarah menyaksikan wajah musuhnya yang terus-menerus menghina. Padahal,
laki-laki itu masih menghadapinya dengan tangan kosong saja. Tanpa menyerang,
ia hanya menghindar ke sana dan kemari.
Setelah melewati dua puluh
jurus, orang itu tertawa dingin sambil berkata, “Ternyata Ilmu Pedang Penakluk
Iblis hanya begini saja! Sungguh menyedihkan!” Tiba-tiba tangannya menyentil
senjata Lin Pingzhi dengan keras.
Seketika Lin Pingzhi merasa
tangannya kesemutan dan pedangnya pun terpental jatuh. Menyusul kemudian kaki
pria itu menyepak tubuhnya sampai jatuh dan terguling-guling di tanah.
Lin Zhennan dan Nyonya Wang
segera melompat maju untuk melindungi putra mereka. Keduanya pun berdiri
berdampingan dengan membelakangi tubuh Lin Pingzhi.
Lin Zhennan bertanya,
“Siapakah nama Saudara ini? Apakah Saudara berasal dari Perguruan Qingcheng?”
Laki-laki itu menjawab dengan
angkuh, “Melihat permainan pedang anakmu yang payah, rasanya kalian tidak
pantas mengetahui siapa namaku. Hanya saja, memang benar kalau aku berasal dari
Perguruan Qingcheng.”
Lin Zhennan menancapkan
pedangnya di atas tanah, kemudian berkata sambil kedua tangan memberi hormat,
“Selama ini kami selalu menghormati Pendeta Yu dari Kuil Cemara Angin. Setiap
tahun kami selalu mengirimkan bingkisan hadiah kepada Beliau. Untuk tahun ini,
Beliau juga membalas kunjungan dengan mengirimkan empat orang murid Qingcheng
ke Fuzhou. Namun, entah apa sebabnya Saudara berusaha mempersulit kami?”
Pemuda dari Qingcheng itu
tertawa dingin, kemudian menjawab, “Kau benar. Guruku memang telah mengirimkan
empat orang muridnya menuju Fuzhou, dan salah satunya adalah aku.”
“Bagus sekali kalau begitu!”
seru Lin Zhennan. “Kalau boleh saya tahu, siapakah marga yang mulia dan nama
yang harum dari Saudara ini?”
Pemuda itu menunjukkan sikap
enggan. Setelah terdiam beberapa saat, ia pun mendengus dan berkata, “Namaku Yu
Renhao!”
“Oh!” sahut Lin Zhennan sambil
menganggukkan kepala. “Ternyata Saudara adalah salah satu dari Ying Xiong Hao
Jie, yaitu Empat Jagoan Qingcheng. Aku benar-benar kagum menyaksikan kehebatan
Tapak Penghancur Jantung yang Saudara miliki. Luar biasa! Bisa membunuh tanpa
mengeluarkan darah korban.” Setelah terdiam sejenak, Lin Zhennan melanjutkan,
“Pendekar Yu sudah jauh-jauh datang kemari, seharusnya mendapatkan sambutan
yang pantas dari kami. Dalam hal ini Lin Zhennan merasa bersalah dan pantas
mendapatkan hukuman.”
Diam-diam Yu Renhao kagum dan
bangga karena Lin Zhennan ternyata mengenal dirinya. Namun ia kemudian menjawab
dengan sinis, “Mengenai Tapak Penghancur Jantung... eh, putramu yang tampan dan
berkepandaian tinggi itulah yang sudah mengadakan penyambutan. Sampai-sampai
putra kesayangan guru kami tewas di tangannya.”
Lin Zhennan langsung gemetar
mendengar pernyataan Yu Renhao. Keringat dingin pun mengalir di punggungnya.
Sejak awal ia sudah menduga kalau si marga Yu yang dibunuh Lin Pingzhi adalah
murid Perguruan Qingcheng. Ia berniat meminta bantuan ayah mertuanya yang
sangat dihormati di dunia persilatan untuk memintakan maaf secara sopan ke Kuil
Cemara Angin. Akan tetapi, ternyata kejadiannya lebih rumit lagi. Pemuda
Szechwan yang mati di tangan putranya itu ternyata putra kesayangan Pendeta Yu
Canghai, ketua Perguruan Qingcheng.
Karena masalah sudah seperti
ini, maka tiada lagi pilihan untuknya selain bertarung habis-habisan. Dengan
tetap berusaha tenang, Lin Zhennan menjawab sambil tertawa, “Ah, lucu sekali!
Pendekar Yu benar-benar pandai bercanda!”
“Bercanda bagaimana?” sahut Yu
Renhao dengan mata melotot.
“Siapa orangnya di dunia
persilatan ini yang belum pernah mendengar kehebatan Pendeta Yu dan betapa
ketat peraturan di Perguruan Qingcheng?” sahut Lin Zhennan. “Padahal, yang
dibunuh anakku hanya seorang berandal muda yang telah menggoda anak gadis orang
di sebuah kedai arak. Putraku yang berilmu rendah bisa membunuhnya, sehingga
dapat dibayangkan betapa rendah ilmu silat bajingan itu. Nah, dengan demikian
bagaimana mungkin kalau dia adalah putra kesayangan Pendeta Yu? Pendekar Yu
memang pandai bercanda.”
Kata-kata Lin Zhennan sungguh
beralasan sehingga Yu Renhao tidak bisa menjawab sama sekali. Pemuda bertubuh
gagah itu hanya terdiam tanpa bicara sedikit pun.
Tiba-tiba dari balik hutan
kembali terdengar suara seseorang berseru lantang, “Pepatah mengatakan: ‘Dua
tangan tentu sulit melawan delapan tangan’. Kejadian di kedai arak yang
sebenarnya adalah Tuan Muda Lin telah mengeroyok Adik Yu kami secara licik.”
Sesaat kemudian muncul seorang
bertubuh kurus dengan membawa kipas di tangannya. Orang itu melanjutkan, “Andai
saja pertarungan tersebut berlangsung secara adil, tentu Adik Yu kami tidak
akan tewas. Tuan Muda Lin telah meracuni arak yang diminum Adik Yu. Tidak hanya
itu, ia juga menyerang Adik Yu dengan tujuh belas buah senjata rahasia beracun.
Anak bulus ini sungguh kejam! Kunjungan persahabatan kami telah disambut dengan
cara yang kurang ramah.”
Lin Zhennan bertanya dengan
suara datar, “Siapakah nama Saudara yang mulia?”
“Namaku adalah Fang Renzhi,”
jawab si orang kurus.
Sementara itu, Lin Pingzhi
yang tadi terguling akibat tendangan Yu Renhao telah bangkit kembali dan
berdiri di samping ayahnya. Ia menghunus pedangnya dan bersiap melanjutkan
pertarungan. Akan tetapi, ucapan Fang Renzhi benar-benar di luar dugaan. Dengan
perasaan sangat gusar ia pun berteriak, “Omong kosong! Dasar kau manusia rendah
tak berbudi! Aku sama sekali tidak mengenal Adik Yu-mu itu. Aku juga tidak tahu
apakah dia berasal dari Perguruan Qingcheng atau bukan. Apa untungnya aku
meracuni bajingan itu?”
“Oh, benar-benar kebohongan
busuk!” ujar Fang Renzhi sambil menggelengkan kepala. “Kalau kau mengaku tidak
mengenal Adik Yu, lalu untuk apa kau menyiapkan anak buahmu yang berjumlah tiga
puluh orang di luar kedai? Adik Yu kami melihatmu menggoda gadis penjual arak
tersebut, dan ia memukulmu satu kali sekadar untuk memberimu pelajaran.
Sebenarnya Adik Yu bermaksud mengampuni jiwamu. Akan tetapi, kau justru
memerintahkan para pengawalmu untuk mengeroyoknya seperti anjing!”
Lin Pingzhi merasa dadanya
panas, seolah hendak meledak mendengar ocehan Fang Renzhi. Ia pun membentak,
“Bedebah kalian orang-orang Qingcheng! Apakah semua orang Qingcheng adalah
penjahat tengik yang suka berkata bohong?”
“Anak bulus, kau berani memaki
kami, hah?” sahut Fang Renzhi sambil menyeringai.
“Ya, kau mau apa?” teriak Lin
Pingzhi gusar.
“Silakan saja kau lanjutkan
makianmu itu. Tidak masalah bagiku,” ujar Fang Renzhi sambil mengangguk.
Lin Pingzhi memalingkan muka
dengan perasaan heran. Tiba-tiba ia merasakan hembusan angin datang menyambar
dan tahu-tahu Fang Renzhi sudah berkelebat ke arahnya. Tanpa pikir lagi, Lin
Pingzhi pun menghantam orang kurus itu namun pihak lawan bekerja lebih cepat.
Telapak tangan Fang Renzhi lebih dulu menampar pipi pemuda itu satu kali. Lin
Pingzhi merasa kesakitan luar biasa. Matanya berkunang-kunang dan hampir saja
ia jatuh pingsan.
Dalam waktu singkat Fang
Renzhi sudah kembali ke tempat semula sambil meraba-raba pipinya dan berkata,
“Anak bulus, kenapa kau memukul wajahku? Sakit sekali ini! Hahaha...”
Melihat putranya dihina,
Nyonya Wang segera mengayunkan goloknya disertai jurus Api Liar Membakar Langit
ke arah Fang Renzhi. Serangan ini sungguh dahsyat dan tidak terduga sebelumnya.
Namun Fang Renzhi sempat berkelit ke samping. Apabila ia terlambat sedetik
saja, tentu lengan kanannya sudah buntung tertebas golok Nyonya Wang.
“Perempuan sial!” bentak Fang
Renzhi. Menyadari ilmu silat Nyonya Wang ternyata tidak bisa dianggap remeh, ia
pun melolos pedang yang tergantung di pinggangnya. Dalam sekejap saja keduanya
sudah terlibat pertarungan seru.
Sementara itu Lin Zhennan
masih berhadapan dengan Yu Renhao. Ia mengangkat pedangnya dan berkata,
“Perguruan Qingcheng boleh saja menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei. Salah atau
benar biarlah dunia persilatan yang menentukan. Nah, Pendekar Yu, silakan
maju!”
Yu Renhao pun mencabut
pedangnya dan berkata, “Silakan menyerang lebih dulu, Ketua Lin!”
Diam-diam Lin Zhennan
berpikir, “Konon Jurus Pedang Cemara Angin dari Perguruan Qingcheng merupakan
gabungan dari ulet dan ringan; ulet seperti pohon cemara, dan ringan seperti
angin. Harapanku untuk menang hanyalah dengan cara mendahului serangan.” Tanpa
segan lagi, pedang Lin Zhennan pun bergerak menebas dari samping memainkan
jurus Menghalau Kawanan Iblis.
Melihat serangan lawan cukup
dahsyat, Yu Renhao mengambil langkah menghindar. Lin Zhennan langsung mengubah
serangannya dengan memainkan jurus Zhong Kui Menyolok Mata. Ujung pedangnya
bergerak mengincar mata lawan. Ketika Yu Renhao kembali menghindar dengan
melompat mundur, serangan ketiga Lin Zhennan sudah memburu pula. Terpaksa Yu
Renhao pun menangkisnya dengan keras. Tangan kedua orang itu sama-sama bergetar
menahan pedang masing-masing.
Dalam hati Lin Zhennan kembali
merenung, “Ternyata ilmu silat Perguruan Qingcheng tidak sehebat dugaanku.
Dengan kemampuannya yang seperti ini, mana mungkin ia menguasai Tapak
Penghancur Jantung? Aku yakin ada tokoh hebat lainnya yang telah membantai para
pegawaiku.”
Yu Renhao membalas serangan
dengan menusuk ke arah tujuh titik berbeda di tubuh lawan. Serangan ini begitu
cepat bagaikan hujan meteor menghiasi angkasa. Lin Zhennan mundur untuk
kemudian melancarkan jurus baru yang tidak kalah cepatnya. Pertarungan antara
keduanya berlangsung semakin seru. Setelah dua puluh jurus berlalu belum
terlihat pihak mana yang lebih unggul.
Di sisi lain, pertarungan
antara Nyonya Wang melawan Fang Renzhi berlangsung tidak seimbang. Golok emas
Nyonya Wang tampaknya bukan tandingan pedang laki-laki bertubuh kurus itu.
Meskipun demikian, beberapa kali Nyonya Wang berhasil lolos dari ujung senjata
lawan. Melihat sang ibu terdesak, Lin Pingzhi segera menerjang ke depan sambil
mengayunkan pedangnya. Fang Renzhi berhasil menghindari pedang pemuda itu yang
hampir saja mengenai kepalanya.
Dengan penuh kemarahan Lin
Pingzhi menyerang Fang Renzhi seperti orang gila. Tiba-tiba ia merasa kakinya
tersandung sesuatu. Tanpa ampun, tubuh pemuda itu pun terhuyung-huyung dan
akhirnya jatuh tersungkur dengan muka mencium tanah.
Sesaat kemudian, terdengar
suara seorang laki-laki berseru mengancam, “Jangan bergerak!”
Lin Pingzhi tidak dapat melihat
ke belakang. Ia hanya merasakan punggungnya telah diinjak seseorang dan suatu
benda lancip menempel pula di kulitnya. Sekali benda lancip itu ditekan, tentu
akan langsung menembus jantung pemuda itu. Sesaat kemudian Lin Pingzhi juga
mendengar ibunya berteriak, “Jangan bunuh anakku! Jangan bunuh anakku!”
Rupanya sewaktu Lin Pingzhi
memburu Fang Renzhi tadi, muncul seseorang lainnya yang lantas menjegal kaki
pemuda itu dari belakang. Begitu Lin Pingzhi roboh, orang itu langsung
menginjak punggungnya dan mengancam dengan sebilah pedang. Nyonya Wang sendiri
bingung harus berbuat apa. Dalam keadaan panik, tahu-tahu Fang Renzhi telah
menyerang tulang rusuknya dengan keras menggunakan siku tangan. Disusul
kemudian, kaki Fang Renzhi bekerja pula menendang lutut Nyonya Wang sehingga
wanita itu jatuh ke tanah.
Orang yang telah menjegal Lin
Pingzhi tidak lain adalah si marga Jia yang tempo hari menjadi saksi kematian
putra Pendeta Yu Canghai. Nama lengkapnya adalah Jia Renda. Setelah peristiwa
di kedai arak itu ia melarikan diri dan bergabung dengan Fang Renzhi dan Yu
Renhao.
Tangan Fang Renzhi telah
bekerja cepat menotok titik nadi Nyonya Wang dan Lin Pingzhi sehingga ibu dan
anak itu tidak mampu bergerak lagi. Dengan tetap menghunus pedang ia pun
bergerak mendekati pertarungan Lin Zhennan dan Yu Renhao.
Melihat anak dan istrinya
tertangkap, perhatian Lin Zhennan menjadi agak terganggu. Serangannya tidak
lagi gencar dan lebih mudah dipatahkan. Yu Renhao merasa senang dan bergelak
tawa. Seketika pedangnya pun bergerak melancarkan serangan yang ternyata sangat
mengejutkan Lin Zhennan.
“Bagaimana… bagaimana kau bisa
memainkan Ilmu Pendang Penakluk Iblis?” seru Lin Zhennan tak percaya.
“Bagaimana menurutmu
permainanku ini?” jawab Yu Renhao dengan terus menyerang.
“Dari mana kau... kau
mempelajarinya?” sahut Lin Zhennan dengan tergagap-gagap.
“Apa hebatnya jurus pedang
seperti ini?” seru Fang Renzhi yang ikut menyerang. “Aku juga bisa
memainkannya.” Laki-laki bertubuh kurus itu melancarkan jurus Menghalau Kawanan
Iblis, Zhong Kui Menyolok Mata, dan Burung Walet Hinggap di Cabang; yang
kesemuanya adalah bagian dari Ilmu Pedang Penakluk Iblis kebanggan Keluarga
Lin.
Lin Zhennan sama sekali tidak
menyangka ilmu pedang leluhurnya yang diwariskan turun-temurun ternyata dapat
dimainkan orang lain. Pikirannya yang dilanda kebingungan membuat permainan
pedangnya semakin lemah dan kacau.
“Kena kau!” bentak Yu Renhao
tiba-tiba, sambil pedangnya bergerak menusuk lutut lawan. Lin Zhennan
kehilangan keseimbangan dan langsung jatuh dalam keadaan berlutut di tanah.
Walaupun ia dapat bangkit kembali, namun ujung pedang Yu Renhao telah mengancam
di depan dadanya.
“Adik Yu, jurus Bintang Jatuh
Menghantam Bulan yang kau mainkan benar-benar hebat,” seru Jia Renda memuji.
Serangan tersebut juga bagian dari Ilmu Pedang Penakluk Iblis.
“Kalian... kalian ternyata
menguasai Ilmu Pedang Penakluk Iblis,” sahut Lin Zhennan sambil menghela napas.
“Bailkah, lekas bunuh kami bertiga secepatnya!” Sambil berkata demikian
pedangnya pun jatuh ke tanah. Tiba-tiba ia merasa punggungnya kesemutan dan
tubuhnya tak dapat digerakkan lagi. Rupanya Fang Renzhi telah menotoknya dari
belakang.
“Tidak semudah itu,” jawab
Fang Renzhi. “Kalian bertiga anak-anak bulus, mendapat kehormatan untuk menemui
guru kami di Kuil Cemara Angin!”
Jia Renda tidak membuang
kesempatan untuk membalas sakit hatinya. Ia mencengkeram bahu Lin Pingzhi dan
mengangkatnya ke atas. Tangannya lalu bergerak menampar pipi pemuda itu dengan
sangat keras. “Bajingan cilik! Mulai hari ini sampai nanti di Gunung Qingcheng
kau akan kusiksa delapan belas kali sehari. Wajahmu yang cantik ini akan kubuat
belang-belang!” bentaknya memaki-maki.
Dengan penuh kebencian, Lin
Pingzhi meludahi wajah Jia Renda. Karena jarak mereka sangat dekat, tanpa ampun
hidung Jia Renda langsung basah dibuatnya. Dengan sangat gusar, Jia Renda pun
membanting tubuh Lin Pingzhi di tanah. Merasa belum puas, kakinya pun
mendendang iga pemuda itu sekeras-kerasnya.
“Cukup, cukup!” sahut Fang
Renzhi melerai sambil tersenyum lebar. “Kalau kau hajar dia sampai mati,
bagaimana kau akan bertanggung jawab di hadapan Guru? Bocah ini cantik seperti
perempuan, sudah pasti ia tidak tahan menerima tendanganmu.”
Dibandingkan dengan yang lain,
sebenarnya ilmu silat Jia Renda tergolong biasa saja. Ditambah lagi dengan
kelakuannya yang buruk membuat ia tidak disukai murid-murid Qingcheng yang
lain, kecuali putra bungsu gurunya yang telah meninggal tempo hari. Itulah
sebabnya mengapa ia sangat membenci Lin Pingzhi setengah mati. Namun demikian,
karena takut terhadap Fang Renzhi dan Yu Renhao, ia hanya balas meludahi wajah
Lin Pingzhi beberapa kali.
Mereka bertiga lalu membawa
masuk tubuh Lin Zhennan, Nyonya Wang, dan Lin Pingzhi ke dalam kedai kecil
tadi. Setelah itu Fang Renzhi berkata, “Sebelum perjalanan pulang sebaiknya
kita makan dulu. Adik Jia, coba kau memasak sesuatu untuk kita.”
“Baik!” jawab Jia Renda tanpa
membantah dan langsung masuk ke dapur.
Yu Renhao termenung sejenak
kemudian berkata, “Kakak Fang, kita harus berhati-hati. Tiga orang ini jangan
sampai mendapat kesempatan untuk kabur. Apalagi si tua ini, ilmu silatnya
lumayan hebat.”
“Apa susahnya?” jawab Fang
Renzhi. “Setelah makan nanti kita putuskan saja urat syaraf tangan dan kaki
mereka. Setelah itu, kita tembus tulang pundak mereka menggunakan tali, dan
kita ikat mereka menjadi satu seperti kepiting. Dengan demikian, tidak mungkin
mereka bisa kabur.”
Kepala Lin Zhennan langsung
pening mendengar rencana keji Fang Renzhi. Lin Pingzhi yang tidak sabar segera
memaki dengan kasar, “Tidak tahu malu! Bunuh saja kami bertiga daripada kau
perlakukan kami dengan cara hina seperti itu! Perbuatan kalian sama seperti
bajingan rendah yang kotor dan tercela!”
Fang Renzhi tersenyum
menyeringai dan berkata, “Sekali lagi kau bicara tidak sopan, aku segera
mencari tahi kerbau atau anjing untuk kujejalkan ke dalam mulutmu itu.”
Ancaman ini ternyata sangat
manjur. Lin Pingzhi langsung terdiam menutup mulutnya rapat-rapat. Namun
demikian dalam hati ia tetap saja mengutuk laki-laki bertubuh kurus itu.
“Adik Yu,” kata Fang Renzhi
selanjutnya, “Guru telah mengajarkan Ilmu Pedang Penakluk Iblis dan kita
berhasil memainkannya dengan baik. Kau buat Ketua Lin tidak berdaya menghadapi
jurus kebanggaan keluarganya sendiri.” Kemudian ia berpaling kepada Lin Zhennan
dan melanjutkan, “Ketua Lin, aku yakin saat ini kau pasti sedang berpikir: dari
mana Perguruan Qingcheng memperoleh Ilmu Pedang Penakluk Iblis, bukan begitu?”
Ucapan Fang Renzhi benar-benar
sesuai dengan pikiran Lin Zhennan. Majikan Biro Fuwei itu memang sedang
merenung, “Dari mana orang-orang Qingcheng busuk ini mempelajari Ilmu Pedang
Penakluk Iblis keluarga kami?”
Sementara itu Lin Pingzhi
dalam hati berharap memperoleh kekuatan untuk bangkit dan menyerang kedua orang
itu sampai tewas. Akan tetapi, karena tubuhnya sedang tertotok, ia sama sekali
tidak mampu bergerak apalagi bangkit dan bertarung. Lebih-lebih ketika
merenungkan ancaman Fang Renzhi yang mengerikan tadi –yang akan memutus urat
syarafnya dan mengikat tubuhnya seperti kepiting– tentu baginya lebih baik mati
daripada menderita begitu.
Sungguh tak disangka tiba-tiba
terdengar suara Jia Renda menjerit, “Aaaah...! Aaaah...!”
Fang Renzhi dan Yu Renhao
segera melompat dan berlari ke dapur sambil menghunus pedang masing-masing. Begitu
keduanya pergi, dari pintu depan muncul sesosok bayangan berkelebat memasuki
kedai dan langsung mendekati Lin Pingzhi. Orang itu menarik kerah baju Lin
Pingzhi dan mengangkat tubuh pemuda itu dengan kedua tangan. Lin Pingzhi
sendiri menjerit kaget karena orang yang baru datang ini tidak lain adalah si
gadis burik penjual arak di luar Kota Fuzhou tempo hari.
Gadis burik itu membawa tubuh
Lin Pingzhi keluar melalui pintu depan menuju pepohonan di mana kuda-kuda
ditambatkan. Tubuh pemuda itu segera dinaikkannya ke punggung salah satu kuda.
Ketika Lin Pingzhi masih dilanda kebingungan, tahu-tahu si gadis burik sudah
memotong tali kendali yang tertambat di pohon, kemudian memukul paha belakang
kuda dengan keras. Merasa kesakitan, kuda itu pun berlari kencang membawa tubuh
Lin Pingzhi yang terangkut di punggungnya.
“Ayah! Ibu!” teriak Lin
Pingzhi dengan perasaan kacau. Karena mengkhawatirkan keadaan kedua orang
tuanya serta tidak ingin kabur seorang diri, ia pun menghentak keras sehingga
tubuhnya jatuh ke tanah. Setelah terguling-guling beberapa kali, ia akhirnya
masuk ke dalam semak belukar yang cukup lebat. Sementara itu kuda yang telah
membawanya terus saja berlari dan masuk ke dalam hutan.
Perlahan-lahan Lin Pingzhi
mencoba bangkit, namun totokan pada tubuhnya belum terbuka sehingga kakinya
terasa kaku untuk bergerak. Akibatnya, ia pun kembali terjatuh dan masuk ke
dalam semak yang lebih lebat. Sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sakit akibat
jatuh dari punggung kuda tadi serta terbentur bebatuan hutan.
Samar-samar terdengar suara
langkah kaki beberapa orang mendekati tempatnya. Lin Pingzhi pun mendekam di
dalam semak tanpa bergerak sedikit pun. Ternyata orang-orang itu sedang
terlibat pertempuran. Perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan melihat dua pihak
sedang bertarung seru. Tampak Fang Renzhi dan Yu Renhao di satu pihak melawan
si gadis burik dan seorang pria di pihak lain. Pria itu memakai cadar berwarna
hitam sehingga wajahnya sulit untuk dikenali. Hanya saja, orang itu terlihat
memiliki rambut putih sehingga tanpa ragu lagi Lin Pingzhi langsung yakin kalau
dia adalah Kakek Sa, si pemilik kedai arak di luar Kota Fuzhou.
Diam-diam Lin Pingzhi
merenung, “Tadinya aku mengira Kakek Sa dan cucu perempuannya adalah anggota
Perguruan Qingcheng yang telah membantai para pegawai Biro Fuwei. Tak disangka,
mereka justru berusaha menolongku. Oh! Kalau saja aku tahu mereka mahir ilmu
silat, tentu tempo hari aku tidak perlu repot-repot berlagak sebagai pahlawan.
Huh, kini semuanya sudah terlambat dan malapetaka sudah terjadi.” Sesaat
kemudian ia kembali berpikir, “Sebenarnya ini adalah kesempatanku untuk
menolong Ayah dan Ibu. Tapi sayang, tubuhku tertotok sehingga tidak bisa
bergerak sama sekali.”
Di tengah pertarungan itu
terdengar Fang Renzhi berteriak, “Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau bisa
memainkan ilmu pedang Qingcheng milik kami?”
Kakek Sa tidak menjawab. Ia
hanya mengayunkan pedangnya terus menerus. Serangan yang ia lancarkan memang
menggunakan ilmu pedang Perguruan Qingcheng. Fang Renzhi melompat mundur setelah
pedang di tangannya terlempar ke udara. Melihat kakak seperguruannya terdesak,
Yu Renhao meninggalkan si gadis burik dan bergerak melindungi Fang Renzhi.
Namun, Kakek Sa dengan cepat dapat menangkis semua serangan pemuda bertubuh
gagah itu.
“Kau! Kau!” seru Yu Renhao
tertahan. Suaranya terdengar penuh dengan perasaan kejut bercampur ngeri.
Sesaat kemudian pedangnya pun terlempar pula ke udara.
Si gadis burik menerjang ke
depan hendak menusukkan pedangnya, namun Kakek Sa sempat mencegah, “Jangan bunuh
mereka!”
“Tapi mereka sangat kejam dan
banyak membantai orang,” jawab si gadis burik.
“Mari kita pergi!” sahut Kakek
Sa. Melihat si gadis burik masih penasaran, ia kembali berkata,”Jangan lupakan
perintah Guru!”
“Baiklah, kali ini kuampuni
nyawa mereka,” jawab si gadis burik sambil mengangguk. Usai berkata, ia
langsung melesat masuk ke dalam hutan, sementara Kakek Sa mengikuti di
belakangnya. Sekejap kemudian kedua bayangan mereka sudah lenyap ditelan
lebatnya pepohonan.
Fang Renzhi dan Yu Renhao
terdiam sambil berusaha menenangkan diri. Mereka lantas memungut pedang
masing-masing yang berserakan di tanah.
“Sungguh tidak masuk akal!
Dari mana orang itu bisa memainkan jurus pedang perguruan kita?” tanya Yu
Renhao tak percaya.
“Sebenarnya dia hanya
mengetahui beberapa jurus saja,” sahut Fang Renzhi. “Namun, ketika memainkan
jurus Angsa Terbang ke Angkasa, oh... dia benar-benar sempurna!”
“Mereka berhasil menyelamatkan
si bocah Lin,” seru Yu Renhao.
Fang Renzhi tersentak dan
berkata, “Jangan-jangan ini semua hanya siasat mereka untuk menjauhkan kita
dari suami-istri Lin”
“Sialan!” sahut Yu Renhao
geram. Keduanya pun bergegas kembali menuju kedai kecil tadi.
Keadaan kini menjadi sunyi
senyap. Selang agak lama, Lin Pingzhi mendengar suara langkah kaki kuda sedang
berjalan mendekat. Sesaat kemudian, dua ekor kuda yang masing-masing
ditunggangi Fang Renzhi dan Yu Renhao muncul dan melewati jalanan hutan
tersebut. Lin Zhennan dan Nyonya Wang tampak berjalan di belakang dengan tangan
terikat pada pelana. Hampir saja Lin Pingzhi berteriak memanggil ayah dan
ibunya itu namun berhasil menahan diri. Ia sadar, sedikit saja menimbulkan
suara tentu akan segera tertangkap dan kehilangan kesempatan membebaskan kedua
orang tuanya.
Di belakang Lin Zhennan dan
istrinya terdapat seorang pria berjalan terpincang-pincang. Ia tidak lain
adalah Jia Renda. Darah terlihat membasahi pembalut warna putih yang membungkus
kepalanya. Rupanya sewaktu berada di dapur tadi ia telah dipukul seseorang
sehingga Fang Renzhi dan Yu Renhao bergegas mendatanginya. Pada saat itulah si
gadis burik masuk ke dalam kedai dan membawa Lin Pingzhi kabur.
“Bangsat! Kalian boleh senang
bisa menyelamatkan si anak kelinci itu! Tapi aku masih memiliki dua kelinci tua
ini. Setiap saat mereka akan kusiksa sesuka hati. Lihat saja, sampai di Gunung
Qingcheng nanti apakah nyawa mereka masih ada!” seru Jia Renda memaki-maki
Kakek Sa dan Wan’er yang sudah lama pergi.
Mendengar itu Fang Renzhi
membentak, “Adik Jia, ingat baik-baik pesan Guru yang menyuruh kita untuk
menangkap Lin Zhennan suami-istri hidup-hidup! Kalau sampai kedua orang ini
mati atau cacad, entah berapa banyak lembaran kulitmu yang akan dibeset nanti?”
Jia Renda mendengus dan
langsung berhenti memaki.
Lin Pingzhi mendengar
orang-orang Qingcheng itu berjalan semakin jauh dan akhirnya lenyap ditelan
gelapnya hutan. Hatinya merasa sedikit lega dengan apa yang baru saja ia
dengar. “Mereka harus membawa Ayah dan Ibu ke Gunung Qingcheng dalam keadaan
hidup. Szechwan terletak sangat jauh di barat sana. Aku masih punya kesempatan
untuk menolong Ayah dan Ibu.” Sejenak ia terdiam, kemudian berpikir lagi,
“Setelah menemukan cabang Biro Fuwei yang paling dekat dari sini, aku harus
segera mengirim surat kepada Kakek di Luoyang.”
Setelah berpikir demikian, Lin
Pingzhi mencoba bangkit namun totokan pada tubuhnya ternyata belum terbuka.
Terpaksa ia harus sabar menunggu meskipun banyak nyamuk dan serangga menggigit
kulitnya. Setelah menahan gatal dan kesal selama beberapa jam, akhirnya ia bisa
kembali bergerak. Saat itu matahari telah terbenam dan keadaan menjadi gelap
gulita.
“Sebaiknya aku menyamar saja.
Tiga bangsat dari Qingcheng itu sudah hafal dengan wajahku. Entah bagaimana aku
bisa membebaskan Ayah dan Ibu kalau sampai terbunuh?” Berpikir demikian, Lin
Pingzhi segera bergegas menuju kedai kecil tempat keluarganya disekap musuh
tadi.
Begitu masuk ke dalam, ia
langsung mencari pelita di dapur dan segera menyalakannya. Dicarinya pula
seperangkat pakaian untuk menyamar namun tidak juga ia dapatkan. Rupanya
suami-istri pemilik kedai ini benar-benar sangat miskin. Mereka bahkan tidak
memiliki pakaian ganti.
Merasa kecewa Lin Pingzhi pun
berjalan keluar dan menemukan mayat kedua pemilik kedai itu yang dibiarkan
tergeletak begitu saja di atas tanah. Terpaksa ia harus menelanjangi mayat si
laki-laki dan mengambil pakaiannya. Tiba-tiba angin berhembus memadamkan
pelita, sehingga ia merasa ngeri juga berada di dalam kegelapan bersama dua
sosok mayat.
Dengan langkah berat, Lin
Pingzhi menyeret mayat si suami menuju dapur. Setelah menyalakan pelitanya
kembali, ia pun melucuti pakaian pria malang itu. Tak disangka, baunya sungguh
memuakkan. Tadinya Lin Pingzhi berniat mencuci pakaian itu terlebih dahulu;
namun, begitu teringat keadaan ayah dan ibunya yang harus segera ditolong, ia
langsung mengurungkan niat tersebut.
“Jika aku sampai kehilangan
kesempatan hanya karena mencuci pakaian kotor ini, aku pasti akan menyesal
seumur hidup,” demikian pikirnya.
Tanpa banyak pertimbangan
lagi, Lin Pingzhi pun mengganti pakaiannya dengan pakaian pria pemilik kedai
tersebut sambil menggertakkan gigi. Mayat pasangan suami-istri itu lalu
dikuburnya dalam satu liang. Setelah itu ia juga menemukan senjata ayah dan
ibunya yang berserakan di tanah. Dipungutnya pedang dan golok tersebut lalu
dibungkusnya menggunakan selembar kain untuk kemudian disembunyikannya di balik
baju.
Keadaan malam itu sangat
sunyi. Samar-samar hanya terdengar suara katak bertalu-talu. Lin Pingzhi merasa
sangat pilu dan hampir saja menjerit keras-keras. Pelita di tangannya pun
dilemparkan ke udara hingga akhirnya jatuh ke dalam sebuah kolam di depan
kedai. Suasana kini kembali gelap gulita.
“Lin Pingzhi, Lin Pingzhi!
Jika kau hanya menuruti amarahmu, maka kau akan lengah dan akhinya jatuh ke
tangan Perguruan Qingcheng lagi. Nasibmu tentu tak jauh beda dengan pelita yang
tercebur kolam tadi,” teriaknya kepada diri sendiri.
Perlahan ia mengusap matanya
yang hampir menangis menggunakan lengan baju. Kembali ia mencium bau busuk dan
hampir saja muntah dibuatnya. Namun, hatinya kembali berkata, “Kalau aku tidak
dapat menahan bau busuk pakaian ini, maka aku bukan laki-laki sejati.”
Dengan menahan rasa sakit
akibat terjatuh dari kuda tadi, Lin Pingzhi melangkah sedikit demi sedikit. Ia
terus saja berjalan tanpa kenal arah dan tujuan, naik dan turun menyusuri
perbukitan sepanjang malam. Ketika pagi tiba, ia pun tersentak kaget karena
matanya disilaukan cahaya matahari yang terbit di ufuk timur.
“Astaga! Bukankah
bangsat-bangsat itu membawa Ayah dan Ibu menuju ke Gunung Qingcheng? Szechwan
terletak di barat, tapi kenapa aku justru berjalan menuju timur?” Berpikir
demikian ia pun berputar balik dan langsung berlari membelakangi matahari.
“Ayah dan Ibu sudah berjalan sepanjang malam ke arah barat, sudah pasti aku tertinggal
jauh. Tidak mungkin aku bisa mengejar mereka kalau hanya berjalan kaki. Aku
harus membeli seekor kuda. Tapi, entah berapa harganya kira-kira?”
Lin Pingzhi meraba saku yang
ternyata kosong melompong. Ketika meninggalkan Fuzhou, ayah dan ibunya membungkus
sejumlah uang dan perhiasan sebagai bekal mereka dan mengikat bungkusan itu di
pelana kuda. Kini kuda itu sudah dibawa serta oleh orang-orang Qingcheng. Lin
Pingzhi benar-benar patah semangat. Ia tidak memiliki uang sedikit pun untuk
membeli kuda baru.
“Apa yang harus aku lakukan?
Apa yang harus aku lakukan?” ujarnya bingung sambil mendongak ke langit. “Aku
harus menolong Ayah dan Ibu. Entah bagaimana caranya, aku tidak boleh
menyerah!”
Pemuda itu melanjutkan
perjalanan menuruni bukit. Menjelang tengah hari ia merasa perutnya sangat
lapar. Tiba-tiba matanya melihat beberapa pohon lengkeng sedang berbuah lebat.
Meskipun belum matang benar, namun lumayan baginya untuk sekadar mengganjal
perut.
Segera dihampirinya pohon itu
lalu ia julurkan lengan ke atas untuk meraih buahnya yang ranum. Hampir saja
ujung jarinya menyentuh sasaran pada saat hatinya tiba-tiba berontak, “Buah
lengkeng ini pasti ada yang memiliki. Mengambil tanpa izin sama artinya dengan
mencuri. Keluarga Lin turun temurun melakukan pekerjaan mengawal dan menjaga
harta benda milik orang lain; mana boleh sekarang aku mencuri hanya demi
mengenyangkan perut sendiri? Jika sampai ada orang yang melihatku dan melapor
kepada Ayah, tentu Ayah akan sangat malu. Nama baik Keluarga Lin dan Biro Ekspedisi
Fuwei akan tercemar oleh perbuatanku.”
Sejak kecil Lin Pingzhi sering
mendapatkan nasihat dari Lin Zhennan bahwa segala kejahatan merampok
sesungguhnya berasal dari mencuri. Mula-mula mereka mengambil harta orang lain
secara kecil-kecilan, dan perbuatan ini lama-lama menjadi kebiasaan. Setelah
kekuatannya bertambah besar, si pencuri akhirnya tidak malu lagi mengambil
milik orang lain secara paksa.
Teringat nasihat ayahnya itu,
Lin Pingzhi berkeringat dingin. Mulutnya pun mengucapkan tekad, “Suatu hari
nanti Ayah dan aku akan membangun kembali Biro Ekspedisi Fuwei. Aku harus
selalu bersikap kesatria dan melakukan perbuatan laki-laki sejati. Aku tidak
akan mencuri. Lebih baik mengemis daripada mencuri.”
Dengan langkah cepat, Lin
Pingzhi melanjutkan perjalanan dan membuang jauh-jauh keinginannya terhadap
buah lengkeng tadi, atau buah-buah lain yang ditemuinya di jalan. Sampai
akhirnya ia memasuki sebuah desa kecil. Dengan perasaan canggung, ia mulai
meminta-minta di depan sebuah rumah. Selama ini ia selalu hidup berkecukupan
dan dilayani para pembantu keluarganya; tentu sungguh aneh rasanya kalau
sekarang harus mengisi perut dengan cara mengemis. Meskipun hanya mengucapkan
satu-dua patah kata, seketika wajahnya langsung merah dan kepala pun tertunduk malu.
Istri si pemilik rumah muncul
dengan wajah bengis. Rupanya ia baru saja dimarahi dan dipukul oleh suaminya
yang seorang petani. Begitu melihat ada pengemis muda datang ke rumahnya,
wanita itu langsung melampiaskan amarahnya habis-habisan.
“Dasar kau maling kecil!”
bentaknya sambil mengacungkan sebatang sapu. “Pasti kau yang telah mencuri
ayam-ayamku! Kau sudah sering mencuri di sini dan kini berani datang lagi.
Gara-gara ulahmu suamiku marah dan memukuli tubuhku. Huh, sekalipun aku
mempunyai nasi basi, juga tidak akan kuberikan kepada maling sialan sepertimu!”
Wanita itu mencaci-maki Lin
Pingzhi sambil terus mendesak maju. Lin Pingzhi yang merasa serbasalah
melangkah mundur sedikit demi sedikit. Wanita itu semakin kesal dan memukulkan
sapunya ke wajah Lin Pingzhi. Pemuda itu menjadi gusar. Sambil mengelak ia
berusaha membalas dengan sebuah pukulan. Akan tetapi hatinya lantas berbisik,
“Sungguh memalukan! Aku berusaha memukul wanita desa ini hanya karena tidak
diberi makan.”
Karena berusaha membatalkan
pukulannya secara tiba-tiba, ditambah lagi dengan perutnya yang semakin lapar,
Lin Pingzhi pun kehilangan keseimbangan. Ia akhirnya terpeleset dan jatuh
tertelungkup dengan wajah menimpa kotoran kerbau. Tanpa ampun, sapu wanita itu
pun mendarat pula berkali-kali di atas kepalanya.
Melihat keadaan Lin Pingzhi
yang konyol, wanita itu tertawa geli dan berkata, “Hahaha. Dasar maling busuk!
Kau pantas mendapatkan ini semua.” Usai berkata ia meludahi punggung pemuda itu
dan kemudian masuk kembali ke dalam rumah.
Lin Pingzhi sangat gusar tak
terkatakan. Dengan susah payah ia mencoba bangkit meskipun kembali jatuh
berkali-kali. Wajah dan tangannya penuh dengan kotoran kerbau. Tiba-tiba wanita
pemilik rumah itu keluar lagi dengan membawa empat batang jagung rebus yang
masih panas.
“Pergilah, setan kecil! Bawa
ini untukmu!” katanya sambil menyodorkan jagung itu ke tangan Lin Pingzhi. “Kau
ini sebenarnya tampan, bahkan lebih cantik daripada menantu perempuanku. Tapi
kau malas bekerja dan menjadi pengemis. Dasar tak berguna!”
Lin Pingzhi semakin gusar.
Hampir saja ia membanting jagung-jagung itu ke tanah. Tampak si wanita tertawa
dan berkata, “Bagus sekali! Silakan kau buang saja jagung-jagung ini! Buang
saja kalau kau memang tidak takut mati kelaparan.”
Dalam hati Lin Pingzhi
menyadari kesalahannya, “Demi menyelamatkan Ayah dan Ibu, demi membangun
kembali kejayaan Biro Ekspedisi Fuwei, aku harus kuat menahan segala
penghinaan. Mulai hari ini aku harus tegar, tak peduli betapa berat penghinaan
yang aku terima. Aku hanya perlu menggertakkan gigi dan menerima semuanya.
Hanya dihina seorang istri petani rasanya bukan masalah besar.”
Usai berpikir demikian ia pun
berkata, “Terima kasih banyak” Tanpa menunggu jawaban, ia segera menggerogoti
jagung-jagung tersebut dengan lahap. Karena sangat lapar, keempat jagung rebus
itu sudah habis dalam waktu singkat.
Si wanita desa tersenyum dan
berkata, “Aku tahu kau tidak akan membuang jagung-jagung ini.” Ia lantas masuk
kembali ke dalam rumah sambil menggumam, “Bocah ini terlalu lapar. Sepertinya
memang bukan dia yang telah mencuri ayam-ayamku. Huh, andai saja suamiku
memiliki kesabaran seperti dia, tentu hidupku akan jauh lebih baik.”
Lin Pingzhi pun melanjutkan
perjalanan dengan semangat baru. Di sepanjang jalan ia mengisi perut dengan
cara mengemis atau kadang memakan buah-buahan liar di hutan. Untungnya saat itu
Provinsi Fujian sedang mengalami kemakmuran. Panen melimpah ruah sehingga
banyak penduduk yang kelebihan bahan pangan. Lagipula, meskipun Lin Pingzhi
memoles mukanya dengan lumpur dan kotoran tetap saja tutur bahasanya lembut dan
sopan sehingga banyak orang yang senang memberinya sedekah.
Sambil mengemis, pemuda itu
juga berusaha mencari informasi tentang keberadaan ayah dan ibunya, meskipun
sampai saat ini hasilnya tetap saja nihil. Delapan hari kemudian sampailah ia
di Provinsi Jiangxi. Ia kemudian bertanya di mana letak ibu kota daerah itu
yang bernama Nancang. Ia berpikir di sana pasti terdapat kantor cabang Biro
Ekspedisi Fuwei yang dapat memberinya informasi, atau sekadar uang untuk
membeli kuda.
Begitu memasuki Kota Nancang,
ia langsung bertanya di mana alamat Biro Ekspedisi Fuwei cabang Jiangxi.
Seorang laki-laki menjawab, “Untuk apa kau bertanya soal Biro Fuwei? Perusahaan
itu sudah habis terbakar dan rata dengan tanah. Bahkan, tidak sedikit rumah
tetangga ikut dimakan api.”
Lin Pingzhi mengeluh dalam
hati. Ia pun mendatangi kantor cabang perusahaan keluarganya itu dan melihat
dengan mata kepala sendiri betapa yang tersisa di sana hanya tinggal
puing-puing reruntuhan saja. Cukup lama ia berdiri mematung sambil menggerutu
dalam hati, “Huh, ini pasti perbuatan orang-orang Qingcheng pula. Aku tidak mau
mati dulu sebelum bisa membalas sakit hati ini.”
Tanpa menunggu lebih lama, ia
pun melanjutkan perjalanan ke arah barat. Beberapa hari kemudian sampailah ia
di Changsha, ibu kota Provinsi Hunan. Setelah bertanya kepada penduduk di sana,
ternyata kantor Biro Ekspedisi Fuwei di kota ini masih berdiri tegak dan tidak
mengalami kebakaran. Seketika perasaannya lega dan ia pun bergegas menuju ke
sana dengan langkah lebar.
Lin Pingzhi akhirnya menemukan
di mana letak kantor cabang perusahaan keluarganya itu berada. Meskipun tidak
semegah gedung pusat di Kota Fuzhou, kantor cabang di Kota Changsa ini
terhitung lumayan besar. Tampak pintu utama gedung juga bercat warna merah,
dengan dihiasi dua patung singa jantan di kanan-kiri gerbang.
Perlahan-lahan Lin Pingzhi
mengintip ke dalam, namun keadaan tampak sangat sepi. Untuk melangkah masuk ke
dalam gedung ia merasa ragu-ragu karena keadaannya sangat kotor dan dekil;
jangan-jangan para pegawai di situ tidak mengenalinya pula. Ketika mendongak ke
atas, dilihatnya papan nama perusahaan tidak terpasang sebagaimana mestinya.
Papan yang bertuliskan “Biro Ekspedisi Fuwei Cabang Hunan” itu tampak terbalik
cara memasangnya.
“Bagaimana mungkin para
pegawai di sini sedemikian ceroboh?” katanya dalam hati.
Lin Pingzhi kemudian memandang
ke arah tiang bendera di depan gedung. Betapa terkejut hatinya menyaksikan
bukannya panji-panji kebesaran Biro Fuwei yang berkibar, melainkan sepasang
sepatu rusak di tiang sebelah kiri, dan selembar celana wanita di tiang sebelah
kanan. Celana wanita itu bermotif bunga-bunga dan terlihat robek di sana-sini.
Belum habis rasa herannya
tiba-tiba dari dalam kantor keluar seorang laki-laki yang langsung membentak
dirinya, “Hei, anak bulus! Apa yang kau lakukan di sini? Mau mencuri, hah?”
Mendengar logat bicara orang
itu mirip dengan murid-murid Qingcheng, Lin Pingzhi buru-buru memutar badan
untuk segera pergi. Akan tetapi, sebuah tendangan lebih dulu mendarat di
punggungnya, membuat pemuda itu jatuh tersungkur.
Lin Pingzhi berniat bangun dan
melawan, namun segera ia teringat bahwa menuruti amarah hanya akan merugikan
diri sendiri. Justru ini adalah kesempatan yang baik untuk mendapatkan
informasi di mana ayah dan ibunya berada. Maka itu, ia pun menenangkan diri dan
pura-pura meringis kesakitan. Untungnya, murid Qingcheng tersebut kurang cermat
sehingga hanya bergelak tawa sambil memaki, “Dasar anak bulus!”
Setelah orang itu kembali ke
dalam, Lin Pingzhi bangun dan berjalan dengan gaya terpincang-pincang memasuki
sebuah gang kecil. Di sana ia kembali mengemis dan mendapatkan semangkuk beras
untuk mengisi perut.
“Di sekelilingku banyak musuh
berkeliaran, aku harus berhati-hati!” katanya dalam hati. Ia kemudian mengusap
wajahnya dengan debu dan jelaga sehingga terlihat hitam dan kotor. Sambil
menunggu hari gelap, ia pun tidur di sudut gang tersebut.
Ketika malam tiba, Lin Pingzhi
bergegas menyusup ke dalam gedung perusahaan. Dengan sebilah pedang disiapkan
di pinggang, ia pun mengendap-endap menuju pintu belakang. Setelah yakin
keadaan aman, pemuda itu lantas melompati pagar tembok, dan hinggap di
pekarangan gedung yang ternyata berupa sebidang kebun sayur. Perlahan-lahan ia
menyusuri tembok tersebut selangkah demi selangkah.
Suasana kantor cabang Changsa
yang biasanya ramai itu kini telah sunyi sepi dan gelap gulita. Tidak terdengar
suara seorang pun, juga tidak terdapat cahaya pelita sedikit pun. Sampai-sampai
Lin Pingzhi dapat mendengar suara detak jantungnya sendiri. Dengan tangan
meraba-raba tembok, ia terus berjalan perlahan-lahan. Kakinya sangat
berhati-hati dalam melangkah jangan sampai tersandung batu atau menginjak
ranting kecil agar tidak menimbulkan suara berisik sedikit pun.
Setelah melintasi pekarangan,
Lin Pingzhi melihat seberkas cahaya pelita memancar dari arah jendela ruangan
sisi timur. Dengan perasaan tegang ia pun merangkak mendekati jendela itu dan
kemudian duduk meringkuk di bawah sambil menahan napas. Telinganya lantas
mendengar suara orang sedang bercakap-cakap di dalam ruangan tersebut.
“Besok pagi kita bakar saja
gedung ekspedisi bulus ini supaya kita tidak perlu tinggal lebih lama di sini
seperti orang tolol,” ujar seseorang kepada rekannya.
“Jangan! Tidak boleh!” jawab
seorang lainnya. “Kakak Pi dan yang lain telah membakar gedung kantor cabang di
Nancang. Konon belasan rumah penduduk di sana ikut terbakar pula. Kejadian
seperti ini sudah tentu merugikan nama baik Perguruan Qingcheng kita. Guru
pasti akan menghukum mereka.”
Lin Pingzhi merasa geram
mendengarnya. Kini ia tidak ragu lagi bahwa pelaku pembakaran kantor cabang
Nancang adalah orang-orang Perguruan Qingcheng pula. Namun ia merasa heran
mengapa setelah pembantaian besar-besaran itu mereka masih juga mempersoalkan
nama baik?
Pembicaraan di dalam terus
berlanjut. Terdengar orang yang pertama tadi berkata, “Kalau tidak dibakar, apa
terus dibiarkan begini saja? Apa kita tinggalkan dalam keadaan utuh seperti
ini?”
Rekannya menjawab, “Adik Ji,
kau ini memang suka terburu nafsu. Kita sudah membalik papan nama biro ini;
kita juga menggantung celana wanita dan sepatu rusak pada tiang bendera di
depan. Nama baik Biro Ekspedisi Fuwei Cabang Hunan sudah kita hancurkan. Jadi,
untuk apa lagi kita bersusah payah membakar gedung bulus ini?”
“Kau benar, Kakak Shen,” kata
orang pertama yang bermarga Ji sambil tertawa. “Celana wanita robek itu akan
memberikan pengaruh buruk bagi Biro Fuwei. Bisa dijamin selama tiga ratus tahun
mereka akan bernasib sial terus menerus. Hahahaha...”
Kedua murid Qingcheng itu pun
tertawa terbahak-bahak. Si marga Ji kembali berkata, “Besok kita akan pergi ke
Kota Hengshan untuk menghadiri upacara yang diadakan Liu Zhengfeng. Hadiah apa
yang bisa kita berikan kepadanya? Huh, berita ini sangat mendadak. Kalau hadiah
yang kita berikan kurang berharga, tentu akan merusak nama baik Perguruan
Qingcheng.”
“Masalah hadiah sudah
kupersiapkan dengan baik,” jawab si marga Shen sambil tersenyum. “Kau tidak
perlu khawatir. Aku jamin, Perguruan Qingcheng tidak akan kehilangan muka dalam
upacara Cuci Tangan Baskom Emas tersebut. Bahkan, hadiah dari perguruan kita
pasti menjadi hadiah yang paling istimewa.”
“Hei, hadiah apa itu? Kenapa
aku tidak tahu sama sekali?” sahut si marga Ji senang.
Si marga Shen tertawa bangga,
lalu menjawab, “Hadiah ini sebenarnya kita ‘pinjam’ dari orang lain. Kita sama
sekali tidak perlu keluar uang untuk membelinya. Coba lihat, apakah ini cukup
bagus?”
Samar-samar Lin Pingzhi
mendengar suara tangan membuka bungkusan atau sejenisnya. Sesaat kemudian
terdengar si marga Ji berseru, “Wah, hebat! Kakak Shen, apa kau mempunyai ilmu
sihir? Dari mana kau dapatkan benda-benda ini?”
Lin Pingzhi sangat penasaran
dan ingin sekali mengetahui benda apa yang sedang dibicarakan kedua orang itu.
Namun ia sadar, begitu mengangkat kepala untuk mengintip ke dalam, seketika
bayangannya akan terlihat oleh mereka berdua. Maka itu, ia pun berusaha menahan
diri dan tetap bersabar.
“Memangnya kita menempati
kantor Biro Fuwei ini dengan cuma-cuma?” sahut si marga Shen. “Sepasang kuda
kumala ini sebenarnya hendak kupersembahkan kepada Guru; namun sekarang
sebaiknya si tua Liu Zhengfeng itu saja yang beruntung mendapatkannya.”
Perasaan Lin Pingzhi kembali
bergolak mendengar ucapan si marga Shen. Ia pun menggerutu dalam hati, “Huh,
kelakuan Perguruan Qingcheng tidak ada bedanya dengan perampok jalanan. Mereka
merampas benda kawalan Biro Fuwei untuk mengambil hati orang lain. Mereka
merugikan pihak lain demi mengangkat nama sendiri. Padahal, jika ada benda yang
hilang, tentu Ayah yang harus bertanggung jawab mengganti kerugiannya. Dasar
keparat!”
Si marga Ji terdengar berkata,
“Kakak Shen, hubungan Guru dengan Liu Zhengfeng konon kurang begitu akrab. Apa
tidak sebaiknya kita berikan sedikit hadiah saja, sementara sisanya kita bawa
pulang?”
“Rupanya kau belum paham juga,
Adik Ji,” jawab si marga Shen. “Liu Zhengfeng hendak menggelar upacara Cuci
Tangan Baskom Emas. Tentunya dalam acara tersebut banyak tokoh persilatan yang
hadir. Sesungguhnya hadiah yang kita bawa ini hanya sekadar untuk pamer, supaya
Perguruan Qingcheng tidak dipandang rendah oleh mereka.”
Si marga Ji menjawab, “Kakak
Shen memang cerdik.” Ia diam sejenak kemudian melanjutkan, “Tapi, kalau kita...
kalau kita pulang ke Szechwan dengan tangan hampa tentu rasanya tidak enak
juga.”
“Jangan khawatir!” sahut si
marga Shen tenang. “Guru mungkin tidak terlalu peduli dengan benda-benda
seperti ini. Yang perlu kita pikirkan justru istri muda Beliau. Ini ada empat
bungkusan sudah kupersiapkan. Satu untuk para istri Guru, terutama yang paling
muda; satu untuk segenap saudara seperguruan; dan sisa dua bungkus untuk kita
berdua. Terserah kau boleh pilih yang mana.”
“Terima kasih, Kakak Shen,”
sahut si marga Ji. “Memangnya apa saja isi bungkusan ini?”
Lin Pingzhi kembali mendengar
suara bungkusan dibuka. Disusul kemudian terdengar suara si marga Ji berseru
kaget, “Wah, ternyata isinya emas dan permata! Dasar keparat! Kita sekarang
kaya raya! Biro Fuwei memang pandai mengumpulkan harta. Kakak Shen, di mana kau
menemukan ini semua? Padahal, sudah kucari belasan kali, sampai-sampai lantai
juga kugali; namun tidak juga kutemukan harta benda apapun, selain seratus tael
perak saja. Kakak Shen, di mana kau temukan harta karun ini?”
Si marga Shen tersenyum bangga
dengan dirinya sendiri. “Harta kekayaan perusahaan ini tidak mungkin disimpan
di sembarang tempat. Mungkin kau tidak tahu kalau selama ini aku mengamati
kegiatanmu membongkar lemari, mencongkel dinding, dan membobol laci. Sungguh kesibukan
yang sia-sia,” ujarnya. “Kita hidup di dunia persilatan tidak boleh hanya
mengandalkan ilmu silat belaka, tapi juga ini...” katanya sambil menunjuk
kepala sendiri.
Si marga Ji menjawab, “Aku
tahu, tapi bagaimana caranya? Kakak Shen, tolong katakan padaku!”
“Coba pikir, apakah menurutmu
ada yang aneh dengan tempat ini?” tanya si marga Shen.
“Aneh? Banyak yang aneh
menurutku,” sahut si marga Ji. “Perusahaan bulus ini memiliki ilmu silat
rendah, tapi berani-beraninya memasang bendera bergambar singa gagah.”
“Maka itu kita menggantinya
dengan celana perempuan,” kata si marga Shen sambil tertawa. “Coba kau ingat
lagi, apakah ada yang aneh dengan perusahaan pengawalan ini?”
“Aku ingat sekarang,” ujar si
marga Ji sambil menepuk pahanya. “Ketua cabang di sini, yaitu Pengawal Zhang
telah meletakkan peti mati di dalam kamar tidurnya. Bukankah ini malah membawa
kesialan? Hahaha.”
“Gunakan kepalamu!” sahut si
marga Shen dengan suara tertahan. “Kenapa dia meletakkan peti mati di dalam
kamar tidur? Apakah peti itu berisi jasad istrinya, ataukah anaknya, ataukah
orang lain yang sangat dicintainya? Aku rasa tidak. Tentu peti mati itu
digunakan untuk menyimpan....”
“Aha!” seru si marga Ji sampai
melonjak dari kursinya. “Harta karun ini pasti disimpan di dalam peti mati itu.
Keparat! Dasar anak bulus! Kakak Shen, dua bungkusan ini sama beratnya. Mana
berani aku mengambil jumlah yang sama denganmu? Sudah seharusnya kau
mendapatkan bagian lebih banyak.” Usai berkata, ia lantas membuka bungkusannya
dan memindahkan sebagian isinya ke dalam bungkusan si marga Shen. Si marga Shen
hanya tersenyum-senyum tanpa menolak sedikit pun.
Si marga Ji kembali berkata,
“Sekarang sudah larut malam. Aku akan mengambil air hangat untuk mencuci kaki
kita sebelum tidur.” Sambil menguap ia pun mendorong pintu dan berjalan keluar
kamar.
Lin Pingzhi memberanikan diri
melirik ke dalam melalui celah jendela. Samar-samar ia melihat si marga Ji
ternyata bertubuh pendek dan gemuk. Kemungkinan besar orang itulah yang
menendangnya tadi siang. Tidak lama kemudian orang bermarga Ji itu telah
kembali dengan membawa sebaskom air hangat.
“Kakak Shen,” katanya sambil
menyodorkan baskom di tangan. “Kali ini Guru telah mengirim belasan murid untuk
menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei. Namun, sepertinya kita berdua saja yang
memperoleh harta rampasan paling banyak. Berkat dirimu kita bisa mendapatkan
hasil seperti ini. Kelompok Kakak Jiang yang dikirim menyerang cabang
Guangzhou, atau kelompok Kakak Ma yang menyerang cabang Hangzhou, mungkin
mereka tidak menemukan apa-apa. Meskipun mereka melihat ada peti mati di sana,
namun sudah pasti tidak ada yang menduga terdapat harta karun di dalamnya.”
Si marga Shen menjawab, “Kakak
Fang dan Adik Yu, serta si bodoh Jia Renda kabarnya telah menklukkan kantor
pusat Biro Fuwei di Fuzhou. Tentu mereka mendapatkan hasil yang lebih besar.
Akan tetapi sayangnya, putra bungsu guru kita tewas di sana. Sepertinya mereka
akan mendapat marah besar.”
“Sebenarnya bukan mereka yang
menghancurkan kantor pusat Biro Fuwei di Fuzhou,” sahut si marga Ji. “Kakak
Fang dan Adik Yu hanya bertugas mengintai. Guru tidak akan memarahi mereka atas
kematian putra bungsu Beliau. Guru memang telah mempersiapkan serangan ini
secara besar-besaran. Segenap murid-murid Qingcheng dikirim untuk menghancurkan
Biro Ekspedisi Fuwei baik itu pusat ataupun cabang-cabangnya sekaligus. Bahkan,
Guru sendiri ikut datang ke Fuzhou untuk membantai para pegawai di sana. Dalam
hal ini Guru terlalu berlebihan karena ilmu silat Keluarga Lin ternyata tidak
sehebat nama besarnya. Hanya tiga orang saudara kita saja sudah cukup untuk
menangkap Lin Zhennan dan istrinya.”
Lin Pingzhi tergetar dan
berkeringat dingin begitu mendengar percakapan yang terakhir ini. Ternyata
Perguruan Qingcheng sejak awal memang sudah berniat untuk menghancurkan Biro
Ekspedisi Fuwei. Bahkan, Yu Canghai sendiri ikut datang ke Fuzhou dan turun
tangan secara langsung. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa yang membantai
para pegawai ayahnya dengan jurus Tapak Penghancur Jantung tidak lain adalah ketua
Perguruan Qingcheng tersebut.
Lin Pingzhi pun bertanya-tanya
dalam hati mengapa Perguruan Qingcheng menghancurkan Biro Fuwei? Memangnya ada
dendam apa di antara kedua pihak? Ia merasa sedikit lega setelah mengetahui
penyebab kehancuran Biro Fuwei ternyata bukan karena perbuatannya yang telah
membunuh putra bungsu Yu Canghai. Sebaliknya, rasa dendamnya semakin
berkobar-kobar. Andai saja ia tidak ingat kalau ilmu silat lawan lebih hebat,
tentu ia sudah menerobos jendela dan mencincang habis kedua murid Qingcheng
itu. Samar-samar terdengar mereka berdua sedang mencuci kaki masing-masing.
Si marga Shen berkata, “Guru
tidak berlebihan, Adik Ji. Puluhan tahun yang lalu Biro Ekspedisi Fuwei dan
Ilmu Pedang Penakluk Iblis pernah menggetarkan dunia persilatan. Mungkin
keturunan mereka saja yang terlalu bodoh sehingga tidak becus mewarisi
kepandaian leluhur.”
Raut muka Lin Pingzhi langsung
berubah merah mendengarnya. Dalam hati ia mengakui kalau ilmu silatnya memang
terlalu rendah.
Terdengar si marga Shen melanjutkan,
“Sebelum kita berangkat bukankah Guru telah mengajarkan beberapa jurus Ilmu
Pedang Penakluk Iblis? Memang sulit untuk mendalami semua jurus yang diajarkan
Beliau itu dalam waktu dua bulan. Akan tetapi, aku bisa merasakan di dalam ilmu
pedang Keluarga Lin itu tersembunyi banyak kekuatan yang mengerikan. Kau
sendiri sudah hafal berapa jurus, Adik Ji?”
Si marga Ji menjawab, “Guru
pernah bilang bahwa jurus ini sangat istimewa, bahkan Lin Zhennan sendiri belum
menguasainya dengan sempurna. Maka itu, aku jadi malas mempelajarinya. Kakak
Shen, kabarnya Guru telah memberi perintah agar kita semua berkumpul di Kota
Hengshan. Ini berarti, Kakak Fang akan membawa Lin Zhennan suami-istri ke sana
pula, bukan begitu? Aku jadi penasaran ingin melihat seperti apa wajah ahli
waris Ilmu Pedang Penakluk Iblis yang luar biasa itu, hahaha.”
Lin Pingzhi terkejut bercampur
senang mendengar di mana keberadaan ayah dan ibunya.
“Beberapa hari lagi kau akan
bertemu dengannya. Kau bisa belajar langsung kepadanya tentang kehebatan Ilmu
Pedang Penakluk Iblis itu, hahaha,” jawab si marga Shen sambil tertawa pula.
Tiba-tiba daun jendela
terbuka. Lin Pingzhi terkejut mengira persembunyiannya telah diketahui oleh
kedua orang itu. Ketika hendak beranjak pergi mendadak kepalanya sudah basah
kuyup tersiram air hangat. Hampir saja ia menjerit kaget. Untungnya setelah itu
jendela ditutup kembali dan pelita di dalam kamar dipadamkan pula. Keadaan kini
menjadi gelap gulita tanpa cahaya.
Jantung Lin Pingzhi berdebar
kencang setelah mengalami kejadian yang sangat mengejutkan itu. Ia baru sadar
kalau si marga Ji baru saja membuang air kotor bekas cucian kaki melalui
jendela dan tepat menyiram kepalanya. Meskipun demikian, ia merasa gembira
karena baru saja memperoleh informasi tentang keberadaan kedua orang tuanya.
Jangankan disiram air kotor, disiram air kencing sekalipun juga tidak menjadi
masalah baginya.
Suasana malam mulai sepi.
Khawatir kedua murid Qingcheng itu mendengarnya melangkah pergi, Lin Pingzhi
pun menunggu sampai mereka benar-benar tertidur lelap. Selang agak lama,
terdengar suara dengkuran dari dalam kamar. Perlahan-lahan Lin Pingzhi berdiri.
Namun seketika ia terkejut dan langsung berjongkok kembali begitu melihat
bayangan orang bergerak-gerak di dalam kamar. Setelah diperhatikan dengan
seksama, ternyata itu adalah bayangan yang terjadi akibat api pelita
bergoyang-goyang tertiup angin malam. Sepertinya si marga Ji lupa mengunci
jendela kamar setelah membuang air bekas cucian kaki tadi.
“Ini adalah kesempatan emas
untuk membalas dendam,” pikirnya. Pemuda itu lantas menghunus pedang milik
ayahnya dan perlahan-lahan masuk ke dalam kamar melalui jendela yang tidak
terkunci itu.
Di bawah cahaya rembulan yang
menerobos masuk, Lin Pingzhi dapat melihat dua orang tertidur pulas di atas
ranjang masing-masing. Yang satu berkepala botak, tidur menghadap dinding;
sementara yang satunya lagi tidur terlentang dengan alis tebal dan janggut
kasar.
Di antara kedua ranjang itu
terdapat sebuah meja di mana lima buah bungkusan serta dua bilah pedang
tertaruh di atasnya. Lin Pingzhi mengangkat pedangnya dan mendekati si janggut
sambil berpikir, “Dengan sekali tusuk aku bisa membunuh mereka seperti memotong
sayur.” Namun, baru saja hendak mengayunkan pedangnya, tiba-tiba ia berpikir,
“Tunggu dulu! Membunuh mereka yang sedang tidur adalah perbuatan manusia
rendah. Ini bukan perbuatan seorang kesatria. Lebih baik aku memperdalam ilmu
silatku lebih dulu, baru kemudian menantang mereka bertarung secara jantan.”
Berpikir demikian, Lin Pingzhi
pun menyarungkan kembali pedangnya di pinggang. Perlahan ia mengambil kelima
bungkusan di atas meja, kemudian melangkah keluar melalui jendela. Setelah
mengikat tiga bungkus harta Biro Fuwei itu di punggung, serta membawa kedua
sisanya di tangan kiri dan kanan, ia lalu berjalan dengan sangat hati-hati
menuju pekarangan belakang.
Takut menimbulkan suara
berisik yang akan membangunkan kedua murid Qingcheng tadi, Lin Pingzhi
mendorong pintu belakang dengan sangat perlahan dan keluar meninggalkan gedung
kantor cabang perusahaan keluarganya tersebut. Setelah berpikir sejenak untuk
membedakan arah, ia lalu berlari menuju gerbang kota sisi selatan.
Saat itu gerbang belum dibuka
karena masih tengah malam. Lin Pingzhi terpaksa bersembunyi di balik gundukan
tanah sambil beristirahat menunggu fajar tiba. Meskipun demikian, ia tidak bisa
memejamkan mata karena jantungnya berdebar kencang, takut kedua murid Qingcheng
tadi tiba-tiba muncul mengejar dirinya.
Akhirnya fajar pun menyingsing
di ufuk timur. Begitu para petugas membuka gerbang, Lin Pingzhi langsung
berlari sekencang-kencangnya meninggalkan Kota Changsa tersebut. Setelah
berlari sejauh belasan kilo, ia mulai yakin telah terlepas dari bahaya sehingga
memperlambat langkah kakinya. Sejak meninggalkan Fuzhou, baru kali ini hatinya
merasa lega; karena selain mengetahui keberadaan ayah dan ibunya, ia juga
mendapatkan cukup banyak uang sebagai bekal perjalanan.
Pagi itu ia singgah di sebuah
kedai tepi jalan untuk mengisi perut. Di sana ia hanya makan semangkuk bakmi
karena khawatir pihak Qingcheng datang mengejarnya. Untuk membayar makanannya,
Lin Pingzhi merogoh salah satu bungkusan yang ia bawa dan mengeluarkan sepotong
perak. Pemilik kedai segera mengumpulkan semua uang miliknya untuk membayar
kembalian namun tetap saja tidak mencukupi. Lin Pingzhi berkata, “Sudahlah,
ambil saja semuanya!” Selama masa pelarian itu ia sudah kenyang dihina orang.
Baru kali ini sifatnya sebagai seorang majikan muda yang dermawan pulih
kembali.
Setelah melewati belasan kilo
selanjutnya, Lin Pingzhi sampai di sebuah kota besar. Ia mencari penginapan dan
memesan sebuah kamar yang paling mewah. Di dalam kamar itu ia membuka kelima
bungkusan yang diambilnya dari cabang Changsa tadi. Ternyata keempat bungkusan
yang pertama berisi emas, perak, perhiasan, dan batu permata; sementara
bungkusan yang satunya lagi berisi sebuah kotak yang dilapisi kain beludru. Di
dalam kotak itu terdapat sepasang patung kuda yang terbuat dari kumala.
“Hanya dari satu cabang saja
sudah terkumpul harta karun sebanyak ini. Tidak heran kalau Perguruan Qingcheng
begitu serakah ingin menguasai Biro Ekspedisi Fuwei,” demikian pikirnya.
Lin Pingzhi memasukkan
beberapa potong perak ke dalam saku sebagai bekal perjalanan, kemudian
membungkus sisanya menjadi satu bungkusan besar, untuk kemudian digendongnya di
punggung. Setelah meninggalkan penginapan, ia pergi ke pasar membeli dua ekor
kuda. Dengan cara menunggangi kedua kuda itu secara bergantian, ia pun melaju
sekencang-kencangnya. Setiap hari pemuda ini hanya beristirahat sekitar empat
atau lima jam saja.
Setelah melalui perjalanan
panjang dan memakan waktu berhari-hari, Lin Pingzhi akhirnya sampai juga di
Kota Hengshan. Di sana ia menjumpai begitu banyak kaum persilatan
berlalu-lalang di jalan. Khawatir bertemu Fang Renzhi atau murid Qingcheng
lainnya, ia pun berjalan menunduk dan berusaha mencari penginapan untuk
memperbaiki penyamaran. Tak disangka, penginapan-penginapan di kota itu telah
penuh oleh pengunjung.
Salah seorang pemilik
penginapan yang ditemuinya berkata, “Tiga hari lagi Tuan Majikan Liu akan
mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Tidak heran kalau semua kamar di
penginapan kami telah habis ditempati para tamu Beliau.”
Tanpa kenal menyerah Lin
Pingzhi mencari penginapan di pinggiran kota. Akhirnya ia pun menemukan sebuah
penginapan kecil yang menyediakan kamar-kamar sederhana.
Setelah menutup pintu dan
jendela kamar yang disewanya, pemuda itu berpikir, “Meskipun wajahku kukotori
dengan debu dan lumpur, namun bajingan bermarga Fang itu sangat cerdik. Sudah
pasti ia dapat mengetahui penyamaranku.”
Berpikir demikian, Lin Pingzhi
bergegas pergi membeli tiga lembar koyo di toko obat dan segera kembali ke
penginapan. Dua lembar koyo itu lantas ditempelkannya di ujung dahi kiri dan
kanan sehingga kedua alisnya tertarik ke bawah. Selembar lainnya ditempelkan di
pipi kiri sehingga tepi mulutnya ikut tertarik ke atas dan giginya pun
kelihatan. Ketika bercermin, wajahnya terlihat begitu jelek, sampai-sampai ia
sendiri muak melihat wajahnya itu.
Kemudian Lin Pingzhi
membungkus semua emas dan perak yang ia bawa menjadi satu dan mengikatnya di
punggung. Bungkusan tersebut lantas ditutupinya dengan baju luar sehingga
wujudnya kini terlihat seperti seorang bungkuk.
“Penampilanku sungguh
mengerikan. Jangankan orang-orang Qingcheng, bahkan Ayah dan Ibu mungkin tidak
bisa mengenaliku lagi,” demikian pikirnya.