Pendekar Hina Kelana Jilid 11-15

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 11-15 Liu Zhengfeng berkata, “Meskipun Keponakan Linghu bermaksud baik,
Liu Zhengfeng berkata, “Meskipun Keponakan Linghu bermaksud baik, namun mulutnya terkesan lancang dan suka bicara omong kosong melebihi batas. Tapi harus diakui, untuk menghadapi penjahat sakti seperti Tian Boguang memang harus pandai berdusta seperti yang dilakukannya. Membohongi seorang penjahat adalah suatu hal yang sangat sulit.”

Yilin menyahut, “Jadi menurut Paman Liu, Kakak Linghu hanya berdusta saja? Jadi, dia hanya ingin menipu Tian Boguang?”

“Tentu saja,” jawab Liu Zhengfeng. “Mana mungkin kaum laki-laki Serikat Pedang Lima Gunung memiliki keyakinan konyol seperti itu; bahwa biksuni adalah racun paling mematikan? Esok lusa adalah hari upacara pengunduran diriku. Jika benar kaum biksuni adalah racun, mana mungkin aku mengundang para kakak dan keponakan dari Perguruan Henshan yang mulia? Justru aku sangat menghormati Kakak Dingyi dan mengharap kehadiran kalian semua di rumahku ini.”

Mendengar penjelasan Liu Zhengfeng, wajah Dingyi terlihat sedikit tenang. Namun ia masih saja memaki, “Huh, mulut Linghu Chong yang kotor itu entah hasil didikan siapa?” Perkataannya ini seolah menyindir guru Linghu Chong, atau ketua Perguruan Huashan.

“Kakak Dingyi jangan marah,” ujar Liu Zhengfeng. “Tian Boguang adalah penjahat berilmu tinggi. Aku yakin Keponakan Linghu merasa tidak sanggup mengalahkannya dalam pertarungan, sehingga menggunakan kata-kata yang kotor dan kasar untuk membebaskan Keponakan Yilin. Coba pikir, Tian Boguang sudah berkelana ke mana-mana, tentu pengalamannya sedemikian luas. Untuk membohongi manusia seperti dia diperlukan kata-kata yang tepat meskipun ada pihak lain yang harus tersinggung. Kita hidup di dunia persilatan, sekali-kali tentu bertemu dengan masalah sulit seperti ini. Tentu saja Tuan Yue dan segenap Perguruan Huashan sangat menghormati Perguruan Henshan yang mulia. Apabila Keponakan Linghu tidak menghormati tiga biksuni sepuh, mana mungkin dia begitu mati-matian berusaha menyelamatkan seorang murid Henshan?”

“Terima kasih atas penjelasanmu, Adik Liu,” sahut Dingyi sambil mengangguk. Ia lantas bertanya kepada Yilin, “Apakah Tian Boguang kemudian membebaskanmu?”

“Tidak juga,” jawab Yilin. “Waktu itu Kakak Linghu terus-menerus berusaha meyakinkannya. Ia berkata, ‘Saudara Tian, ilmu ringan tubuhmu nomor satu di dunia. Namun, jika kau terkena kutukan karena menyentuh biksuni, maka semua kehebatanmu hanya sia-sia belaka.’

Tian Boguang terlihat ragu-ragu dan memandang sejenak ke arah saya, kemudian berkata, ‘Terima kasih atas nasihat Saudara Linghu. Aku biasa berkelana seorang diri ke mana-mana. Hidup atau mati bukan hal yang penting bagiku. Apalagi yang harus aku takutkan? Kita sudah terlanjur bertemu dengan biksuni ini, bukankah sebaiknya kita biarkan saja dia tetap di sini untuk menemani kita minum?”

Pada saat itulah tiba-tiba seorang pemuda yang duduk di meja sebelah menerjang ke arah kami sambil menghunus pedang. Ia membentak, ‘Apakah kau ini... kau ini bernama Tian Boguang?’

‘Benar, akulah orangnya,’ jawab Tian Boguang. ‘Memangnya kenapa?’

Pemuda itu berkata, ‘Kau penjahat cabul, aku akan membunuhmu! Setiap orang persilatan menginginkan kepalamu, tapi kau malah enak-enakan minum di sini. Benar-benar mencari mampus.’

Usai berkata ia langsung mengayunkan pedangnya menggunakan jurus Perguruan Taishan. Pemuda itu... pemuda itu adalah dia!” kata Yilin sambil menunjuk ke arah mayat yang tergeletak di atas papan pintu.

“Dia adalah muridku,” sahut Pendeta Tianmen sambil mengangguk. “Chi Baicheng, Chi Baicheng, kau sungguh bocah pintar.”

Yilin melanjutkan, “Tian Boguang bergerak secepat kilat dan tahu-tahu tangannya sudah memegang golok. Kemudian ia berkata sambil tersenyum, ‘Sudahlah, sudahlah! Mari minum lagi, mari minum lagi!’ Usai berkata ia lantas menyarungkan kembali goloknya di pinggang.

Tidak seorang pun di loteng rumah minum tersebut yang mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya telah terjadi. Entah bagaimana, tiba-tiba dada kakak dari Taishan itu sudah terluka dan menyemburkan darah. Ia memandangi Tian Boguang dengan sorot mata tajam, kemudian roboh di lantai.”

Yilin kemudian menoleh ke arah Pendeta Tiansong yang terbaring di samping mayat Chi Baicheng, kemudian melanjutkan, “Paman dari Taishan itu lantas maju menyerang Tian Boguang dengan pedangnya pula. Tentu saja ilmu silat paman itu lebih hebat daripada keponakannya tadi. Namun, Tian Boguang mampu menangkis semua serangannya sambil tetap duduk di atas bangku. Tiga puluh jurus terlewati namun penjahat itu tidak juga berdiri. Ia mampu mengatasi semua serangan paman itu.”

Pendeta Tianmen tertegun mendengarnya. Ia kemudian menoleh kepada Tiansong dan bertanya, “Adik, apakah ilmu silat penjahat itu sedemikian hebat?”

Tiansong tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang kemudian memalingkan muka ke arah lain.

Yilin melanjutkan, “Pada saat itulah Kakak Linghu melolos pedangnya dan segera menyerang Tian Boguang. Penjahat itu langsung berdiri dan menangkis....”

“Apa kau tidak salah?” sela Dingyi. “Pendeta Tiansong menyerang dengan tiga puluh jurus namun tidak mampu membuatnya berdiri, mengapa serangan Linghu Chong yang hanya sekali langsung membuat keparat itu bangun? Memangnya ilmu silat Linghu Chong lebih hebat daripada Pendeta Tiansong?”

Yilin menjawab, “Begitulah yang terjadi. Tian Boguang berkata, ‘Saudara Linghu sudah kuanggap sebagai kawan yang sederajat. Karena kau menyerangku sambil berdiri, maka aku pun ikut berdiri. Jika aku tetap saja duduk di sini, itu berarti aku tidak menghormati dirimu. Meskipun ilmu silatku jauh lebih hebat, namun tidak sepantasnya aku menghina dirimu. Nah, kalau menghadapi si hidung... hidung kerbau itu, maka ceritanya tentu lain.’

Kakak Linghu menjawab, ‘Terima kasih atas pujianmu. Aku tidak pantas menerima penghormatan setinggi ini.’ Usai berkata, ia kembali menyerang Tian Boguang sebanyak tiga kali. Guru, tiga serangan Kakak Linghu ini sungguh cepat dan mengerikan. Sinar pedangnya terlihat mengepung rapat tubuh Tian Boguang....”

Dingyi menukas, “Itu adalah jurus Tiga Puncak Gunung Huashan, ciptaan si tua Yue. Konon, serangan kedua lebih hebat daripada yang pertama, dan yang ketiga lebih hebat daripada yang kedua. Lantas, bagaimana cara Tian Boguang menangkisnya?”

Yilin menjawab, “Tiap kali menangkis, Tian Boguang mundur satu langkah. Jadi, ia mundur sebanyak tiga langkah. Sambil mundur ia memuji, ‘Jurus bagus!’ Kemudian ia berpaling ke arah Paman Tiansong dan bertanya, ‘Hidung kerbau, kenapa kau tidak bergabung mengeroyok aku?’ Memang, sejak Kakak Linghu menyerang untuk yang pertama kalinya, Paman Tiansong langsung melangkah mundur.

Paman Tiansong menjawab, ‘Aku seorang kesatria dari Perguruan Taishan. Mana mungkin aku merendahkan diriku dengan bertarung melawan penjahat busuk seperti dirimu?’

Saya pun menyahut, ‘Paman jangan salah paham! Kakak Linghu orang yang baik.’

Paman Tiansong menjawab, ‘Orang baik apanya? Mungkin yang benar, dia adalah begundal Tian Boguang yang paling baik.’ Usai berkata demikian tiba-tiba Paman Tiansong menjerit kesakitan. Beliau mendekap dada sambil memandang heran.

Saya melihat darah mengalir melalui sela-sela jari tangan Paman Tiansong. Entah ilmu apa yang dipakai Tian Boguang, tahu-tahu ia sudah melukai dada Paman Tiansong. Padahal, sama sekali saya tidak melihatnya menggerakkan tangan atau mengayunkan golok. Sudah pasti serangannya sangat cepat dan tak terlihat. Saya pun menjerit, ‘Jangan bunuh dia! Jangan bunuh dia!’

Tian Boguang menjawab, ‘Baiklah, karena si cantik yang meminta, maka aku tidak akan membunuhmu.’

Segera Paman Tiansong berlari menuruni tangga loteng. Kakak Linghu berniat menyusul tapi dicegah Tian Boguang. “Saudara Linghu tidak perlu menolongnya. Si hidung kerbau itu sangat sombong; untuk apa kau mempermalukan dirimu sendiri? Lebih baik di sini saja, kita lanjutkan minum bersama.’

Kakak Linghu mengangguk dan kembali duduk dengan tersenyum dingin. Ia kemudian menuang arak dan meminumnya sampai habis dua mangkuk.

Guru, salah satu larangan utama dalam agama kita adalah tidak boleh minum arak. Meskipun Kakak Linghu bukan pengikut Buddha, namun tidak sebaiknya ia minum arak tanpa henti seperti itu. Arak sangat buruk untuk kesehatannya. Namun saya tidak berani menasihatinya. Saya takut dia kembali memaki, ‘Setiap kali melihat biksuni....’”

“Sudahlah, sudahlah, dia tidak akan mengucapkan kalimat gila itu lagi untuk selamanya,” sahut Dingyi.

“Benar, Guru,” jawab Yilin sedih.

“Apa yang terjadi setelah itu?” tanya Dingyi.

Yilin menjawab, “Kemudian Tian Boguang berkata, ‘Hidung kerbau tadi terhitung lumayan juga. Serangan golokku sangat cepat dan mematikan, namun dia sempat mundur beberapa senti sehingga lolos dari maut. Hm, ilmu silat Perguruan Taishan ternyata bukan nama kosong. Saudara Linghu, karena si hidung kerbau tadi dapat meloloskan diri, tentu di kemudian hari dia akan mendatangkan kesulitan bagimu. Sebenarnya aku ingin membunuhnya; namun sayang, dia berhasil menghindari seranganku.’

Kakak Linghu menjawab, ‘Setiap hari aku selalu bertemu masalah. Lupakan saja semuanya, dan sebaiknya kita minum lagi. Kalau serangan Saudara Tian tadi ditujukan kepadaku, tentu aku sudah mati dan tidak sempat menghindarinya. Ilmu silatku jelas tidak sehebat Paman Tiansong.’

Tian Boguang menjawab, ‘Sebenarnya aku tadi menghadapi dirimu hanya dengan setengah kekuatan saja. Itu semua sebagai balas budi karena tadi malam kau sudah berbaik hati mengampuni nyawaku.

Waktu itu saya merasa sangat bingung. Jangan-jangan dalam pertarungan tadi malam Kakak Linghu berhasil mengalahkan Tian Boguang dan mengampuni nyawanya.”

Para hadirin terkejut pula mendengar hal ini. Mereka sama-sama berpikir, tidak seharusnya Linghu Chong mengampuni seorang penjahat cabul semacam Tian Boguang.

Terdengar Yilin kembali bercerita, “Kakak Linghu kemudian menjawab, ‘Dalam pertarungan di gua tadi malam aku sudah mengerahkan segenap kemampuan. Ilmu silatku jauh lebih rendah darimu, mana mungkin aku berani mengaku telah bermurah hati kepadamu?’

Tian Boguang menjawab, ‘Bukankah tadi malam sewaktu aku memburu kalian di dalam gua, kau telah menusuk bahuku? Waktu itu aku hanya mendengar suara biksuni cilik ini, sedangkan kau telah menahan napasmu. Aku sama sekali tidak mengetahui keberadaanmu, tapi kau bersikap kesatria dengan menusukku secara perlahan saja. Saudara Linghu, sebenarnya kau bisa saja membunuhku dengan mudah. Bagiku kau bukan pemuda biasa, tapi seorang laki-laki sejati yang tidak sudi membunuh orang lain secara licik.’

Kakak Linghu menjawab, ‘Tadi malam aku tidak tahan melihatmu mendekati biksuni ini. Meskipun aku tidak suka terhadap biksuni, namun aku juga tidak suka menyaksikan pemerkosaan. Apalagi dia ini murid Perguruan Henshan. Sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung, mana mungkin aku berpeluk tangan menyaksikan saudaraku disakiti? Maka itu, aku pun menusukmu sebelum kau mendekatinya.’

Tian Boguang berkata, ‘Meskipun demikian, andai saja kau dorong pedangmu dua atau tiga senti lagi, tentu nyawaku sudah melayang. Tapi mengapa ketika pedangmu sudah mengenai sasaran tiba-tiba kau tarik kembali?’

Kakak Linghu menjawab, ‘Sebagai murid Huashan sejak kecil aku dididik guruku untuk selalu bersikap kesatria. Aku tidak akan membunuh musuh secara diam-diam. Kau lebih dulu menebas bahuku, sebagai gantinya kutusuk bahumu; bukankah itu adil? Sekarang kita sama-sama tidak saling berhutang. Kalau bertempur lagi tidak perlu segan!’

Tian Boguang tertawa dan berkata, ‘Bagus sekali, bagus sekali! Aku senang bisa berteman denganmu. Mari kita habiskan semua arak di meja ini.’

Kakak Linghu berkata, ‘Ilmu silatmu lebih hebat. Tapi kalau urusan minum arak, belum tentu aku kalah darimu, Saudara Tian.’

Tian Boguang menegas, ‘Apa? Jadi, kau hendak menantangku adu minum? Boleh juga. Mari kita minum sepuluh mangkuk sekaligus!’

Kakak Linghu menjawab, ‘Saudara Tian, kupikir kau ini seorang laki-laki sejati, tapi kau sengaja menantangku dalam keadaan seperti ini. Kau sengaja hendak mengambil keuntungan dalam kelemahanku. Hm, ternyata aku sudah salah sangka terhadapmu. Dalam hal ini aku sungguh menyesal.’

Tian Boguang melirik Kakak Linghu dan bertanya, ‘Mengambil keuntungan bagaimana?’

Kakak Linghu menjawab, ‘Kau sendiri tahu kalau aku ini paling muak melihat biksuni. Begitu melihat dia, selera minumku langsung hilang. Bagaimana aku bisa melayanimu adu minum kalau dia masih ada di sini?’

Tian Boguang tertawa terbahak-bahak dan berkata, ‘Saudara Linghu, kau ini memang sangat licik. Kau gunakan segala tipu muslihat untuk membebaskan biksuni cilik ini. Akan tetapi, aku menyukai wanita cantik melebihi segalanya. Aku telah menangkap biksuni cilik ini, dan aku tidak akan pernah melepaskannya. Apabila kau ingin aku melepaskannya, maka kau harus menerima syarat dariku.’

Kakak Linghu bertanya, ‘Syarat macam apa? Cepat katakan! Sekalipun harus mendaki gunung pedang, atau terjun ke dalam minyak mendidih juga aku tidak takut. Jika aku tidak berani menerima syarat darimu, maka aku bukan laki-laki sejati.’

Tian Boguang menuang arak pada guci ke dalam dua mangkuk, lalu berkata, ‘Mari minum dulu sebelum aku jelaskan apa persyaratannya.’

Kakak Linghu langsung mengambil satu mangkuk dan meneguk habis isinya, sedangkan Tian Boguang mengambil mangkuk yang satunya lagi. Setelah minum, penjahat itu berkata, ‘Saudara Linghu, kau ini sudah kuanggap sebagai teman. Dalam dunia persilatan ada pantangan mengganggu istri seorang teman. Maka itu, aku memintamu untuk menikahi... menikahi... menikahi biksuni cilik ini....’” Raut muka Yilin bersemu merah dan bicaranya terputus-putus ketika menceritakan bagian ini. Kepalanya pun tertunduk dan suaranya semakin lirih.

“Omong kosong!” bentak Dingyi sambil kembali menggebrak meja. “Benar-benar manusia cabul yang tidak tahu adat. Lalu bagaimana setelah itu?”

Yilin menjawab dengan suara lembut, “Tian Boguang terus saja mengoceh untuk mendesak Kakak Linghu. Ia berkata, ‘Seorang laki-laki sejati pantang menjilat ludahnya sendiri. Perkataan yang sudah diucapkan bagaikan kereta kuda yang tidak bisa ditarik mundur. Apabila kau menikahi... menikahi biksuni cilik ini, maka aku akan melepaskannya. Tidak hanya itu, aku bahkan membungkuk kepadanya dan menaruh penghormatan besar kepada biksuni cilik ini. Inilah syarat yang aku ajukan.’

Kakak Linghu menjawab, ‘Huh, kau suruh aku menikahinya? Apa kau ingin membuatku sial seumur hidup? Sudahlah, kau cari syarat yang lain saja!’

Tapi Tian Boguang terus saja mengoceh. Katanya kalau biksuni memelihara rambut tentu tidak bisa disebut biksuni lagi. Dia terus berkata macam-macam. Entah apa saja yang diucapkannya karena saya memejamkan mata dan menutup kedua telinga.

Kakak Linghu akhirnya membentak, ‘Tutup mulutmu! Persetan dengan syaratmu itu! Kita ini kaum persilatan. Syarat yang paling baik adalah bertempur sampai salah satu dari kita mati.’”

Tian Boguang menjawab dengan wajah mengejek, ‘Kalau bertarung jelas kau ini bukan tandinganku.’

‘Memang benar,’ jawab Kakak Linghu. ‘Kalau bertempur sambil berdiri, memang aku bukan tandinganmu. Pertama, karena ilmu ringan tubuhmu sangat sempurna; kedua, karena aku sendiri sudah terluka dan kehilangan banyak darah. Oleh karena itu, aku menantangmu bertarung sambil duduk.’”

Mendengar sampai di sini para hadirin terkejut bukan main. Mereka masih ingat cerita Yilin tentang betapa hebatnya ilmu silat Tian Boguang. Sambil tetap duduk di atas bangku, penjahat itu telah membunuh Chi Baicheng dalam sekali serang; juga bagaimana dia menangkis semua serangan Pendeta Tiansong sebanyak tiga puluh jurus tanpa bangkit sedikit pun. Akan tetapi, Linghu Chong justru menantangnya bertarung sambil duduk.

He Sanqi mengangguk dan berkata, “Apa yang dilakukan Linghu Chong sungguh cerdik. Menghadapi penjahat seperti Tian Boguang memang harus memancing kemarahannya terlebih dulu.”

Yilin berkata, “Namun Tian Boguang sama sekali tidak marah mendengar tantangan itu. Dia justru memuji, ‘Saudara Linghu, aku mengagumi keberanianmu, tapi tidak kagum terhadap ilmu silatmu.’

Kakak Linghu membalas, ‘Aku mengagumi ilmu golokmu yang dilakukan sambil berdiri, bukan ilmu golok sambil duduk.’

Tian Boguang bergelak tawa dan berkata, ‘Ada satu hal yang tidak kau ketahui. Sewaktu masih remaja, aku pernah menderita sakit lumpuh. Selama dua tahun aku berlatih golok sambil duduk. Boleh dikata, bertarung sambil duduk adalah keahlianku yang sangat istimewa. Bukankah tadi kau melihat sendiri bagaimana aku menghadapi si hidung... si hidung... si pendeta dari Taishan tanpa berdiri sedikit pun? Sebenarnya aku tidak bermaksud merendahkannya, namun hanya sekadar memperagakan kehalianku yang satu itu. Dalam hal ini, jelas kau bukan tandinganku, Saudara Linghu.’

Dengan tenang Kakak Linghu menjawab, ‘Saudara Tian, ada satu hal pula yang tidak kau ketahui. Karena sakit lumpuh, kau telah berlatih ilmu golok sambil duduk selama dua tahun. Hm, hanya dua tahun saja. Padahal, hampir setiap hari aku berlatih ilmu pedang sambil duduk. Ilmu silatku memang lebih rendah darimu. Namun, untuk yang satu ini jelas kepandaianku lebih tinggi.’”

Mendengar sampai di sini para hadirin serentak berpaling ke arah Lao Denuo seolah ingin tahu apakah Perguruan Huashan memang memiliki teknik bertarung sambil duduk. Lao Denuo yang menyadari isi pikiran mereka buru-buru menggeleng sambil menjawab, “Tidak, tidak benar. Dalam perguruan kami tidak terdapat ilmu pedang sambil duduk. Kakak Pertama hanya bercanda.”

Yilin melanjutkan ceritanya, “Begitulah, Tian Boguang juga merasa heran. Ia pun berkata, ‘Apa benar demikian, Saudara Linghu? Wah, pengalamanku benar-benar sempit. Aku jadi penasaran ingin melihat seperti apa ilmu pedang Huashan sambil duduk itu. Kalau boleh tahu, apa nama jurus tersebut?’

Kakak Linghu menjawab, ‘Ilmu pedang sambil duduk ini bukan ajaran guruku, melainkan hasil ciptaanku sendiri.’

Tian Boguang terkesima dan memuji, ‘Saudara Linghu, kau ini benar-benar pandai dan berbakat. Sungguh mengagumkan!’”

Para hadirin memaklumi mengapa Tian Boguang berkata demikian. Bagi seorang pesilat, menciptakan jurus baru merupakan suatu hal yang sangat sulit. Hanya seorang tokoh papan atas yang berilmu tinggi atau berwawasan luas saja yang bisa melakukannya. Sebuah perguruan ternama seperti Huashan telah berdiri selama ratusan tahun dan setiap jurus-jurusnya telah diperbaiki dan diuji ribuan kali. Untuk memperbaiki satu jurus saja bukanlah hal yang mudah; apalagi menciptakan sebuah jurus baru.

Diam-diam Lao Denuo merasa heran. Ia berpikir, “Apakah Kakak Pertama telah menciptakan sebuah jurus pedang baru? Mengapa ia tidak pernah cerita kepada Guru?”

Yilin melanjutkan, “Waktu itu Kakak Linghu tertawa dan berkata, ‘Ilmu pedang ciptaanku ini sangat bau; kau tidak perlu mengaguminya.’

Tian Boguang heran dan bertanya, ‘Mengapa demikian? Jurus pedang biasanya disebut bagus atau buruk, kenapa yang ini kau sebut bau?’

Kakak Linghu menjawab, ‘Terus terang saja, jurus pedang ini kuciptakan berdasarkan pengalamanku pribadi. Setiap pagi aku buang hajat di dalam kakus, dan selalu saja ada lalat yang terbang kesana-kemari membuatku kesal. Maka itu, setiap kali masuk kakus aku pun membawa pedang untuk menusuk lalat-lalat yang beterbangan itu. Pada awalnya memang sangat sulit. Namun, hari-hari berikutnya tusukanku semakin jitu. Setiap kali menusuk selalu tepat sasaran. Akhirnya, tangan dan perasaanku dapat bekerja selaras. Kebiasaanku ini menjadi suatu kepandaian baru. Karena ilmu pedang ini kuciptakan di dalam kakus, maka jangan heran kalau ilmu pedang ciptaanku ini kusebut bau.’

Saya pun tertawa geli mendengar penjelasan Kakak Linghu yang jenaka itu. Sebaliknya, Tian Boguang merasa sangat terhina. Ia berkata, ‘Linghu Chong, aku menganggapmu sebagai teman yang sederajat, tapi kau justru menyamakan aku dengan lalat kakus. Kalau begitu aku tidak perlu segan-segan lagi. Biar aku mencoba kehebatan jurus pedang kakus ciptaanmu yang... yang....’”

Mendengar sampai di sini para hadirin tersenyum dan mengangguk-angguk memuji kecerdikan Linghu Chong. Memang dalam pertandingan adu kesaktian, para pendekar selalu berusaha menahan amarah masing-masing. Barangsiapa yang marah berarti dia sudah kalah setengah permainan. Dalam hal ini perkataan Linghu Chong telah berhasil menyinggung perasaan Tian Boguang, sehingga penjahat cabul itu menjadi gusar.

“Bagus sekali!” sahut Dingyi memuji. “Selanjutnya bagaimana?”

“Kakak Linghu hanya tertawa,” lanjut Yilin. “Ia berkata, ‘Aku sungguh-sungguh tidak bermaksud membuat Saudara Tian tersinggung. Ilmu pedang kakus aku ciptakan hanya sebatas iseng saja. Aku sama sekali tidak berniat menyamakan Saudara Tian dengan lalat-lalat kotor. Mohon Saudara Tian sudi memberi maaf.’

Saya semakin geli mendengar perkataan Kakak Linghu sehingga saya pun tertawa dan membuat Tian Boguang bertambah gusar. Ia lantas melolos goloknya dan berkata, ‘Baiklah, akan kulayani tantanganmu, Saudara Linghu. Kita bertarung sambil duduk dan lihat saja, siapa yang lebih unggul!’

Kali ini wajah Tian Boguang tampak sangat beringas. Saya khawatir jangan-jangan dia berniat membunuh Kakak Linghu.

Namun, Kakak Linghu tetap terlihat tenang. Ia berkata sambil tertawa, ‘Sebenarnya aku merasa sayang kalau harus bertanding melawan seorang teman baru sepertimu. Mengapa persahabatan yang baru terjalin ini harus rusak hanya karena ilmu pedangku yang bau? Dalam pertarungan sambil duduk, jelas kau bukan tandinganku. Jika Saudara Tian melayani tantanganku, aku takut tersiar kabar bahwa Linghu Chong sengaja mengambil keuntungan dari kelemahan Tian Boguang. Kemenangan seperti ini jelas bukan kemenangan yang gemilang.’

Tian Boguang menjawab, ‘Tidak benar! Pertandingan ini terjadi karena sukarela. Tidak seorang pun akan menyalahkanmu atas masalah ini.’

Kakak Linghu menegas, ‘Jadi, Saudara Tian secara sukarela bersedia bertanding denganku?’

Tian Boguang menjawab, ‘Tepat sekali!’

‘Bertarung sambil duduk?’

‘Ya, bertarung sambil duduk!’

‘Kalau begitu kita harus tentukan aturannya. Siapa yang berdiri lebih dulu sebelum jelas pihak mana yang menang, maka dia dinyatakan kalah,’ kata Kakak Linghu.

‘Setuju! Siapa yang berdiri lebih dulu dinyatakan kalah!’ sahut Tian Boguang.”

Kakak Linghu kembali bertanya, ‘Lalu, apa ketentuan bagi yang kalah?’

‘Terserah padamu,’ jawab Tian Boguang.

‘Begini saja,’ sahut Kakak Linghu. ‘Aku mempunyai dua hukuman. Pertama, barangsiapa yang kalah tidak boleh lagi bersikap kurang ajar kepada biksuni cilik ini. Bila bertemu harus memberi hormat, ‘Guru, saya Tian Boguang menyampaikan salam hormat....’

‘Huh, apa maksudmu? Darimana kau tahu kalau aku yang akan kalah? Kalau kau yang kalah bagaimana?’ sahut Tian Boguang.

‘Sama saja,’ jawab Kakak Linghu. ‘Intinya, barangsiapa yang kalah wajib bergabung dengan Perguruan Henshan untuk menjadi murid biksuni cilik ini, serta menjadi cucu-murid Biksuni Dingyi.’”

Yilin kemudian berpaling ke arah Dingyi dan bertanya, “Guru, ucapan Kakak Linghu ini sangat menggelikan. Bila salah satu dari mereka kalah, maka wajib menjadi murid Henshan. Padahal, mana boleh saya menerima seorang murid?” Usai berkata demikian biksuni jelita ini tersenyum lembut. Raut mukanya bagaikan matahari pagi terbit dari balik bukit.

“Huh, manusia-manusia kasar seperti mereka suka bicara apa saja. Kau tidak perlu terlalu memercayainya. Linghu Chong hanya berusaha membuat Tian Boguang marah,” jawab Dingyi. Usai berkata demikian ia lantas berpikir bagaimana Linghu Chong bisa menghadapi Tian Boguang. Diam-diam ia mengakui kalau si bocah Linghu Chong yang disebutnya bajingan itu ternyata jauh lebih cerdik daripada dirinya. Biksuni tua ini lantas bertanya, “Bagaimana cerita selanjutnya?”

“Melihat Kakak Linghu berbicara dengan penuh percaya diri, Tian Boguang tampak mulai ragu-ragu,” lanjut Yilin. “Sepertinya ia khawatir jangan-jangan Kakak Linghu memang menyimpan kepandaian istimewa, yaitu mahir bertarung sambil duduk. Kembali Kakak Linghu memancing amarahnya, ‘Jika kau belum siap menjadi murid Perguruan Henshan, sebaiknya pertandingan ini dibatalkan saja.’

Tian Boguang bertambah gusar dan berkata, ‘Omong kosong! Baiklah, aku setuju dengan aturanmu. Barangsiapa yang kalah wajib menjadi murid biksuni cilik ini.’

Mendengar hal ini saya pun berseru, ‘Aku tidak bisa menerima kalian sebagai murid. Kepandaianku rendah, dan guruku juga tidak mungkin mengizinkan. Lagipula anggota Perguruan Henshan adalah kaum perempuan semua. Mana boleh... mana boleh....’

Tiba-tiba Kakak Linghu menukas, ‘Diam kau! Aku sedang berunding dengan Saudara Tian. Kau tidak boleh ikut campur.’ Kemudian ia berpaling kepada Tian Boguang, ‘Nah, hukuman yang kedua adalah sebagai berikut; barangsiapa yang kalah wajib mengayunkan senjata kepada diri sendiri dan menjadi kasim.’

Guru, sebenarnya apa maksud perkataan Kakak Linghu ini? Mohon Guru sudi memberi penjelasan.”

Para hadirin tertawa mendengar kepolosan Yilin. Rupanya biksuni kecil ini tidak tahu kalau yang dimaksud dengan kasim adalah pelayan kaisar yang telah dikebiri atau dipotong kemaluannya.

Dingyi tersenyum geli dan menjawab, “Itu hanyalah istilah kotor yang biasa diucapkan kaum bajingan. Anak manis, sebaiknya kau tidak perlu tahu apa artinya.”

“Oh, jadi itu hanyalah kata-kata buruk?” ujar Yilin mengangguk-angguk. Ia lantas kembali bercerita, “Tian Boguang kemudian berkata, ‘Saudara Linghu, apa kau yakin pasti menang jika bertanding denganku?’

Kakak Linghu menjawab, ‘Tentu saja! Jika bertarung sambil berdiri aku menempati urutan kedelapan puluh sembilan dalam dunia persilatan. Tapi jika bertempur sambil duduk, maka urutanku terhitung nomor dua.’

Tian Boguang terlihat heran dan bertanya, ‘Kalau begitu, siapa yang menempati urutan pertama?’

Kakak Linghu menjawab, ‘Tentu saja pemimpin aliran sesat yang bernama Dongfang Bubai.’”

Mendengar nama Dongfang Bubai disebut, seketika wajah para hadirin berubah pucat. Menyadari hal itu Yilin merasa serbasalah. Ia pun bertanya, “Guru, apakah saya salah bicara?”

“Sebaiknya jangan kau sebut nama itu lagi,” jawab Dingyi. “Selanjutnya bagaimana?”

“Tian Boguang kemudian berkata, ‘Kalau Ketua Dongfang kau sebut sebagai pesilat nomor satu di dunia, maka aku sangat setuju. Tapi kalau kau sebut dirimu sebagai yang nomor dua sudah tentu ini sangat berlebihan. Memangnya kau merasa sudah lebih hebat daripada Tuan Yue, gurumu sendiri?’

Kakak Linghu menjawab, ‘Aku tadi berkata kalau bertarung sambil duduk maka diriku ini terhitung nomor dua paling hebat setelah Ketua Dongfang. Namun kalau bertarung sambil berdiri jelas guruku lebih hebat. Beliau menempati urutan kedelapan, sedangkan aku hanya urutan kedelapan puluh sembilan. Jelas aku masih kalah jauh.’

‘Ah, benar juga,’ sahut Tian Boguang sambil menganggukkan kepala. ‘Nah, kalau bertarung sambil berdiri, aku ini masuk urutan nomor berapa? Lalu, siapa pula yang menentukan urutannya?’

Kakak Linghu menjawab dengan berbisik, ‘Sebenarnya ini merupakan rahasia besar. Mengingat aku merasa cocok mengobrol denganmu, maka rahasia ini akan kuceritakan pula. Tapi tolong, jangan sampai kau ceritakan hal ini kepada orang lain karena bisa menimbulkan kekacauan di dunia persilatan. Sekitar tiga bulan yang lalu, kelima guru besar dari Serikat Pedang Lima Gunung berkumpul di Huashan untuk membicarakan kehebatan tokoh-tokoh persilatan pada zaman ini. Mereka kemudian menentukan urutan kehebatan para pesilat ternama. Saudara Tian, meskipun para guru besar kami tidak suka kepadamu, tapi mereka tetap mengakui kehebatanmu. Dalam bertempur sambil berdiri, urutanmu adalah nomor empat belas di dunia persilatan.’

“Omong kosong!” sahut Pendeta Tianmen dan Biksuni Dingyi bersamaan. “Mana ada pertemuan seperti itu?”

“Hah, jadi Kakak Linghu berbohong lagi kepadanya?” sahut Yilin. “Memang, Tian Boguang sempat ragu-ragu dan tidak percaya. Namun ia kemudian berkata, ‘Hm, para ketua Serikat Pedang Lima Gunung adalah tokoh-tokoh terkemuka di dunia persilatan. Apa benar mereka menempatkan diriku pada urutan keempat belas? Hm, ini sungguh berlebihan. Saudara Linghu, kau sendiri bagaimana? Apakah waktu itu kau juga memperlihatkan Jurus Pedang Kakus ciptaanmu itu di hadapan mereka, sehingga mereka pun menobatkan dirimu sebagai pesilat sambil duduk nomor dua di dunia?’

Kakak Linghu menjawab sambil tertawa, ‘Jurus Pedang Kakus tidak pantas dipamerkan di depan umum, apalagi di hadapan kelima guru besar kami. Jurus tersebut hanya kugunakan untuk menusuk lalat-lalat yang menggangguku di dalam kakus saja. Namun pada suatu kesempatan aku pernah bertemu dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh terkemuka dari aliran sesat. Waktu itu mereka memuji Jurus Pedang Kakus ciptaanku konon tiada tandingannya di dunia ini, kecuali untuk menghadapi Ketua Dongfang mereka. Jurus Pedang Kakus memang luar biasa, namun selama ini belum pernah kugunakan selain untuk menusuk lalat. Lagipula, siapa orangnya yang mau bertarung melawanku sambil duduk? Meskipun Saudara Tian bersedia bertanding denganku sambil duduk, tetap saja aku merasa khawatir; jangan-jangan di tengah babak nanti kau merasa gusar karena tidak bisa mengalahkan aku, lantas melupakan perjanjian dan berdiri menyerangku. Kalau bertarung sambil berdiri jelas aku bukan tandinganmu. Kau urutan keempat belas, sedangkan aku hanya urutan kedelapan puluh sembilan. Dalam sekali tebas tentu kau bisa langsung memotong tubuhku. Kehebatanmu bertarung sambil berdiri jelas tidak diragukan lagi, sedangkan kehebatanku dalam bertarung sambil duduk sama sekali tidak ada gunanya.’

Tian Boguang menyahut, ‘Saudara Linghu, kau ini memang licin dan pandai bersilat lidah. Darimana kau tahu kalau aku akan kalah? Darimana kau tahu kalau aku akan marah dan berdiri melanggar perjanjian? Aku ini selalu memegang janji. Jika aku sudah berjanji akan menghadapimu sambil duduk, maka aku tidak akan berdiri sampai kau benar-benar mengaku kalah.’

Kakak Linghu menjawab, ‘Aku senang kalau kau punya sifat seperti itu. Baiklah, kalau demikian aku akan mengganti ketentuan nomor dua. Asalkan jika nanti setelah kalah kau tidak membunuhku, maka hukuman kedua boleh kita hapuskan. Kau tidak perlu menjadi ka... kasim, supaya kau jangan sampai putus keturunan.’

Tian Boguang menyahut, ‘Cukup bicaranya. Mari kita mulai!’

Usai berkata ia lantas membalik meja sehingga terlempar ke samping beserta semua arak di atasnya. Keduanya pun berhadapan di atas bangku masing-masing. Kakak Linghu menghunus pedang, sedangkan Tian Boguang mengangkat goloknya.

‘Kau boleh menyerang lebih dulu,’ seru Kakak Linghu. ‘Barangsiapa yang meninggalkan bangkunya terlebih dulu, dinyatakan kalah. Barangsiapa yang mengangkat pantat terlebih dulu, dinyatakan kalah.’

Tian Boguang menjawab, ‘Baik, siapa yang mengangkat pantatnya lebih dulu dinyatakan kalah. Mari kita mulai!’

Tiba-tiba Tian Boguang melirik ke arah saya, dan berkata, ‘Saudara Linghu, sekarang aku tahu rencanamu. Jangan-jangan kau menantangku bertarung sambil duduk supaya biksuni cilik ini bisa membantumu menyerangku dari belakang. Atau, bisa saja dia menggangguku sehingga aku terpaksa bangkit dari bangku.’

Kakak Linghu menjawab, ‘Aku tidak perlu dibantu oleh siapa pun. Bila sampai ada yang membantu diriku anggap saja aku kalah. Hei, Biksuni cilik! Kau ingin aku menang atau kalah?’

Saya pun menjawab, ‘Tentu saja aku ingin kau menang. Bukankah kau ini ahli silat sambil duduk nomor dua di dunia? Sudah pasti kau akan menang.’

Kakak Linghu kembali berkata, ‘Kalau begitu, cepat kau pergi! Lebih cepat lebih baik, makin jauh makin bagus. Kalau di dekatku ada perempuan gundul pembawa sial seperti dirimu, mana mungkin aku bisa menang?’ Usai bicara ia langsung menusukkan pedangnya ke arah Tian Boguang.

Sambil menangkis, Tian Boguang berkata, ‘Hebat sekali! Hebat sekali! Benar-benar siasat yang sangat hebat untuk menyelamatkan biksuni cilik. Saudara Linghu, aku sungguh kagum dengan tipu muslihatmu. Segala cara kau tempuh demi menyelamatkan biksuni kesayanganmu ini; meskipun nyawamu sebagai taruhannya.’

Pada saat itulah saya baru sadar maksud di balik semua ini. Kakak Linghu sengaja menantang Tian Boguang bertarung sambil duduk supaya saya mempunyai kesempatan untuk melarikan diri. Tian Boguang sedikit pun tidak bisa meninggalkan bangku, sehingga tidak mungkin dia bangkit dan mengejar saya.”

Para hadirin terkagum-kagum mendengar kecerdikan Linghu Chong. Mereka mengakui ilmu silat Tian Boguang memang jauh lebih hebat. Akan tetapi, Linghu Chong menemukan siasat luar biasa untuk dapat meloloskan Yilin.

Biksuni Dingyi menyahut, “Istilah ‘biksuni kesayangan’ dan sebagainya jangan kau sebut-sebut lagi. Hal ini juga jangan pernah kau pikirkan sedikit pun di dalam benakmu.”

“Baik, Guru,” jawab Yilin sambil menunduk. “Saya baru tahu kalau kata-kata ini tidak boleh diucapkan.”

“Jadi dengan cara itu kau bisa meloloskan diri?” tanya Dingyi. “Jika Tian Boguang membunuh Linghu Chong, maka kau tidak punya kesempatan lagi.”

“Benar, Guru,” jawab Yilin. “Kakak Linghu berkali-kali memaksa saya pergi meninggalkan rumah minum tersebut. Akhirnya, dengan berat hati saya memberi hormat dan berkata, ‘Terima kasih atas semua pertolonganmu, Kakak Linghu.’

Saya lantas berlari menuruni tangga loteng tempat mereka bertanding. Namun baru saja sampai di tengah-tengah terdengar suara Tian Boguang berteriak, ‘Kena!’ Saat saya menoleh, wajah saya terciprat dua tetes darah. Rupanya bahu Kakak Linghu terluka.

Terdengar suara Tian Boguang mengejek, ‘Ternyata jago pedang sambil duduk nomor dua di dunia tidak ada apa-apanya.’

Kakak Linghu menjawab, ‘Tentu saja. Biksuni cilik itu belum pergi. Sehebat apapun ilmu pedangku tetap saja aku harus bernasib sial selama masih ada dia di sini.’

Saya berpikir kalau Kakak Linghu sangat tidak menyukai kaum biksuni sehingga jika saya terus menerus di sana, maka bisa-bisa dia akan terbunuh di tangan Tian Boguang. Maka itu, saya kembali berlari menuruni tangga. Sesampainya di luar rumah minum, saya kembali mendengar suara pertarungan mereka dan teriakan Tian Boguang, ‘Kena!’

Saya yakin Kakak Linghu pasti kembali terluka. Namun, saya takut jika kembali ke atas bisa membuat Kakak Linghu marah. Maka, saya pun mencari jalan lain, yaitu memanjat tiang rumah minum tersebut. Begitu sampai di atas genting, saya lantas mengintip melalui lubang jendela. Pemandangan di loteng itu sangat mengerikan. Kakak Linghu tampak bertempur dengan tangkas meskipun tubuhnya berlumuran darah; sementara Tian Boguang masih segar bugar, tidak terluka sama sekali.

Beberapa saat kemudian, Tian Boguang kembali berseru, ‘Kena!’ Rupanya ia telah melukai lengan kiri Kakak Linghu. Penjahat itu lantas berkata, ‘Saudara Linghu, kali ini aku berbaik hati kepadamu.’

Kakak Linghu menjawab sambil tertawa, ‘Aku tahu. Jika kau menambah sedikit tenaga saja, tentu lenganku sudah buntung.’

Guru, dalam keadaan seperti itu Kakak Linghu masih bisa tertawa-tawa.

Tian Boguang bertanya kepadanya, ‘Kau masih ingin bertarung?’

‘Tentu saja!’ jawab Kakak Linghu. ‘Memangnya aku terlihat berdiri?’

‘Menurutku lebih baik kita akhiri saja pertandingan ini. Silakan Saudara Linghu berdiri dan mengaku kalah,’ ujar Tian Boguang. ‘Lupakan saja semua perjanjian. Kau tidak perlu mengakui biksuni cilik itu sebagai guru.’

Kakak Linghu menjawab, ‘Perkataan seorang laki-laki sejati bagaikan panah yang terlepas dari busurnya. Mana boleh ditarik kembali?’

Tian Boguang tetap saja mendesak, ‘Saudara Linghu, aku sudah banyak bertemu laki-laki gagah berani di dunia ini. Tapi yang benar-benar jantan dan kesatria hanya dirimu seorang. Baiklah, pertandingan ini kita anggap seri saja. Impas, tidak ada yang menang ataupun yang kalah, bagaimana?’

Kakak Linghu hanya tersenyum tanpa menjawab. Darah bercucuran dari beberapa tempat di tubuhnya dan tampak membasahi lantai. Tian Boguang kemudian menyimpan goloknya dan berniat bangkit. Tiba-tiba ia teringat bahwa siapa yang berdiri lebih dulu dinyatakan kalah. Maka itu, ia segera mengurungkan niat tersebut.

Kakak Linghu tertawa dan memuji, ‘Saudara Tian, kau sungguh cerdik!’”

Mendengar cerita Yilin sampai di sini, tanpa sadar para hadirin menghela napas bersama-sama. Ternyata mereka sangat menyayangkan nasib Linghu Chong.

Yilin melanjutkan, “Kemudian Tian Boguang mengangkat kembali goloknya dan berkata, ‘Saudara Linghu, aku tidak perlu segan-segan lagi karena kau telah menolak kebaikan hatiku. Aku terpaksa harus menyerangmu dengan gencar supaya bisa segera menyusul biksuni cilik tadi. Jika aku terlalu lama di sini, bisa-bisa biksuni cilik tadi sudah menghilang entah ke mana.’

Saya sangat gemetar mendengar ucapan Tian Boguang itu. Saya ingin menghindari Tian Boguang, tapi tidak tega meninggalkan Kakak Linghu. Saya lantas teringat bahwa Kakak Linghu berjuang mati-matian menghadapi Tian Boguang semata-mata demi untuk menyelamatkan saya. Maka, satu-satunya jalan untuk mencegah Tian Boguang membunuh Kakak Linghu adalah dengan cara bunuh diri di hadapan mereka.”

Berpikir demikian, saya pun menghunus pedang yang sudah patah ujungnya dan bersiap melompat ke dalam loteng. Pada saat itulah saya melihat Kakak Linghu kembali terluka. Kali ini keadaannya sudah sangat parah. Ia akhirnya roboh di lantai beserta bangkunya. Tangannya mendorong lantai untuk mencoba bangkit kembali, namun sedikit pun ia tidak bisa bangun.

Tian Boguang sangat senang. Sambil tersenyum ia berkata, ‘Kalau bertarung sambil duduk, kau ini nomor dua di dunia. Tapi kalau bertarung sambil merangkak urutanmu nomor berapa? Sudahlah, kau sudah kalah.’ Usai berkata ia lantas bangkit dari bangku.

Tiba-tiba Kakak Linghu tertawa keras dan berseru, ‘Kau yang kalah!’

‘Kalah bagaimana?’ sahut Tian Boguang. ‘Kau yang kalah. Kau sudah jatuh di lantai. Bukankah kita sepakat barangsiapa meninggalkan bangku terlebih dulu maka dia dinyatakan... dinyatakan....’ Tian Boguang tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, hanya jarinya menunjuk-nunjuk dengan raut muka tidak percaya. Ia baru sadar kalau dirinya sudah bangkit berdiri, sementara Kakak Linghu terkapar di lantai dengan bangku ikut terguling namun tetap menempel di pantatnya.

Begitulah, meskipun keadaan Kakak Linghu sangat parah, namun berdasarkan perjanjian, maka ia tetap terhitung sebagai pemenang.”

Mendengar cerita Yilin ini para hadirin bertepuk tangan dan bersorak memuji kemenangan Linghu Chong. Hanya Yu Canghai yang mendengus dan terlihat bermuka masam. Ia kemudian berkata, “Huh, hanya bajingan rendah yang bersedia main akal-akalan menghadapi maling cabul seperti Tian Boguang. Sungguh membuat malu kaum lurus saja.”

“Akal-akalan bagaimana?” sahut Dingyi. “Laki-laki sejati bertarung mengandalkan kecerdasan, bukan hanya kekuatan. Yang aku tahu selama ini belum ada murid Perguruan Qingcheng yang bisa seperti dia.”

Setelah mendengar bagaimana perjuangan Linghu Chong membela nama baik Perguruan Henshan tanpa memedulikan keselamatan diri sendiri, diam-diam Dingyi merasa sangat berterima kasih terhadap pemuda itu. Semua kebencian dan rasa gusarnya telah hilang sama sekali.

Yu Canghai kembali berkata sinis, “Benar-benar laki-laki sejati yang suka merangkak di depan kaki penjahat cabul.”

Dingyi menyahut, “Huh, Perguruan Qingcheng sendiri....”

Khawatir jangan-jangan Dingyi kembali bertengkar dengan Yu Canghai, Liu Zhengfeng buru-buru menyela dengan cara bertanya kepada Yilin, “Keponakan Yilin, apakah Tian Boguang bersedia mengaku kalah?”

Yilin menjawab, “Waktu itu Tian Boguang hanya diam termangu-mangu. Kakak Linghu lantas berseru, ‘Adik dari Henshan, kau boleh turun kemari. Terimalah ucapan selamat dariku karena sekarang kau sudah mendapatkan seorang murid baru, seorang murid yang sangat hebat.’

Rupanya keberadaan saya di atas genting telah diketahui oleh Kakak Linghu. Meskipun Tian Boguang seorang penjahat, namun ia bersikap kesatria. Sebenarnya mudah baginya untuk membunuh Kakak Linghu dan menangkap saya. Akan tetapi ia hanya berseru kepada saya, ‘Biksuni cilik, jika sampai aku melihatmu lagi maka akan kupenggal kepalamu.’

Kebetulan sekali saya sendiri tidak sudi punya murid seperti dia. Ancamannya itu justru membuat saya lega. Setelah dia pergi meninggalkan Rumah Minum Pemabuk Dewa, saya pun melompat masuk ke dalam loteng untuk mengobati luka Kakak Linghu menggunakan Salep Penyambung Langit. Saya menemukan sebanyak tiga belas tempat luka di tubuhnya....”

“Selamat untukmu, Biksuni Dingyi!” ujar Yu Canghai menukas.

“Selamat apa?” sahut Dingyi dengan sorot mata tajam.

“Selamat karena kau baru saja memperoleh seorang cucu murid yang berilmu silat tinggi dan memiliki nama besar di dunia persilatan,” jawab Yu Canghai dengan nada mengejek.

Amarah Dingyi kembali meledak. Biksuni tua ini menggebrak meja dan bangkit berdiri. Buru-buru Pendeta Tianmen melerai mereka. “Pendeta Yu, kau memang suka mencari gara-gara. Sebagai pendeta agama Tao tidak sepantasnya bercanda seperti tadi.”

Yu Canghai diam tak menjawab. Menyadari dirinya memang salah serta ada perasaan segan terhadap Tianmen, ia pun berpaling seolah tidak mendengar teguran ketua Perguruan Taishan tersebut. Dingyi sendiri juga kembali duduk di kursinya.

Yilin melanjutkan, “Setelah membubuhkan obat luka, saya lalu membantu Kakak Linghu memakaikan bajunya kembali. Kakak Linghu bernapas dengan terputus-putus, sambil berkata, ‘Tolong ambilkan arak untukku.’

Saya pun menuangkan arak ke dalam mangkuk dan membantunya minum. Pada saat itulah terdengar langkah kaki dua orang sedang menaiki tangga loteng. Mereka adalah murid-murid Perguruan Qingcheng. Salah satunya adalah dia....” Berkata demikian ia lantas menunjuk murid Qingcheng yang ikut menggotong masuk mayat Luo Renjie, atau yang telah disiram air teh oleh Dingyi tadi. “Yang satu lagi adalah si jahat Luo Renjie. Mereka berdua memandangi Kakak Linghu, kemudian memandangi saya dengan sikap kurang ajar.”

Diam-diam para hadirin berpikiran sama. Ketika Luo Renjie dan saudaranya datang ke Rumah Minum Pemabuk Dewa, tentu mereka heran melihat Linghu Chong yang berlumuran darah sedang duduk dengan seorang biksuni cantik. Apalagi Yilin tampak menuangkan arak untuk Linghu Chong, sudah tentu membuat kedua murid Qingcheng memandang rendah kepadanya.

Yilin terus saja bercerita, “Kakak Linghu memandang Luo Renjie dengan sorot mata tajam, kemudian bertanya kepada saya, ‘Adik Biksuni, apa kau tahu nama jurus andalan Perguruan Qingcheng?’

Saya menjawab, ‘Tidak tahu. Kabarnya ilmu silat Perguruan Qingcheng banyak jenisnya dan bagus-bagus.’

Kakak Linghu berkata, ‘Memang bagus-bagus. Tapi ada satu jurus yang paling bagus. Sebenarnya ingin kukatakan kepadamu tapi takut akan menimbulkan keributan.’ Sambil berkata demikian Kakak Linghu melirik ke arah Luo Renjie.

Luo Renjie menjadi gusar mendengar ucapan Kakak Linghu. Dia melangkah maju dan bertanya, ‘Apa maksudmu dengan jurus yang paling bagus? Cepat katakan!’

Kakak Linghu menjawab, ‘Sebenarnya aku takut mengatakannya, tapi karena kalian memaksa, baiklah! Jurus terbaik Perguruan Qingcheng bernama Belibis Mendarat Tampak Pantat.’

Luo Renjie semakin marah dan membentak, ‘Omong kosong! Perguruan Qingcheng tidak mempunyai jurus gila seperti itu.’

Kakak Linghu tertawa dan berkata, ‘Aneh, sungguh aneh. Padahal jurus itu adalah ilmu silat andalan Perguruan Qingcheng yang mulia, tapi mengapa kau belum mempelajarinya? Eh, begini saja. Coba kau berdiri membelakangi diriku, biar kutunjukkan seperti apa jurusnya.’

Luo Renjie sadar dirinya hendak dipermainkan. Ia pun memukul wajah Kakak Linghu. Kakak Linghu mencoba berdiri untuk melawan namun tubuhnya sangat lemas karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Akibatnya, ia pun jatuh terduduk kembali di atas bangku. Pukulan itu membuat hidung Kakak Linghu mengeluarkan darah.

Ketika Luo Renjie memukul lagi, saya pun menangkisnya dan berseru, ‘Jangan! Dia sudah terluka parah, apa kau tidak melihatnya? Pendekar macam apa kau ini berani menyerang orang yang sudah terluka?’

Luo Renjie memaki saya, ‘Heh, Buksuni cilik! Rupanya kau sudah jatuh cinta kepada si keparat ini. Cepat pergi! Kalau tidak, kau pun akan kuhajar sekalian.’

Saya berkata, ‘Silakan saja kalau kau berani memukulku. Aku akan mengadu kepada Pendeta Yu biar kalian dihukum.’

Kedua penjahat itu hanya tertawa dan tidak takut sedikit pun. Luo Renjie berkata, ‘Kau seorang biksuni tidak berbudi, berani melanggar peraturan agama. Setiap orang berhak menghukummu.’

Guru, bukankah dia telah menuduh orang yang tidak bersalah?

Luo Renjie kemudian mengulurkan tangan kiri hendak menyentuh saya. Saya pun menangkis namun gerakannya itu hanya sekadar pancingan; karena tangan yang kanan dengan cepat mencubit pipi saya sambil ia bergelak tawa. Saya sangat marah dan balas memukul sebanyak tiga kali, namun semua dapat dihindarinya.

Pada saat itulah Kakak Linghu berkata, ‘Adik, kau tidak perlu menanggapinya. Biarkan aku memulihkan tenaga untuk kemudian menghadapi mereka.’ Saya kemudian berpaling ke arahnya. Tampak wajah Kakak Linghu sangat pucat.

Luo Renjie menerjang dengan kasar ke arah Kakak Linghu. Namun Kakak Linghu berhasil membelokkan arah pukulannya dengan tangan kiri. Seketika tubuh Luo Renjie pun berbalik. Dengan cepat Kakak Linghu melayangkan tendangan dan tepat mendarat di... di pantat Luo Renjie. Tanpa ampun, Luo Renjie pun terlempar dengan tubuh menggelinding di tangga loteng.

Kemudian Kakak Linghu berkata kepada saya, ‘Adik Biksuni, itu tadi yang kusebut sebagai jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat, ilmu kebanggan Perguruan Qingcheng. Bagaimana menurut pendapatmu?’

Waktu itu saya ingin tertawa namun tidak jadi karena melihat wajah Kakak Linghu semakin bertambah pucat. Saya berkata kepadanya, ‘Beristirahatlah, jangan bicara lagi.’

Darah yang mengalir di tubuhnya semakin banyak. Rupanya tendangan tadi sempat membuat luka yang saya obati kembali terbuka.

Saat itu Luo Renjie telah berlari kembali ke loteng tempat kami berada sambil menghunus pedang. Ia berkata, ‘Apa kau bernama Linghu Chong dari Perguruan Huashan?’

Kakak Linghu menjawab sambil tertawa, ‘Kau adalah orang ketiga dari Perguruan Qingcheng yang telah menyerangku dengan jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat. Sudah ada... sudah ada... tiga orang....’

Melihat Luo Renjie semakin gusar, saya pun meraih pedang untuk melindungi Kakak Linghu. Luo Renjie lantas berkata kepada kawannya, ‘Adik Li, coba kau layani biksuni ini!’

Murid Qingcheng bermarga Li itu lantas menyerang saya dengan pedangnya. Saya terpaksa bertarung menghadapinya. Sementara itu Luo Renjie sendiri menyerang Kakak Linghu dengan pedangnya pula. Kakak Linghu berusaha menangkis, sehingga luka di tubuhnya bertambah parah. Hanya dalam beberapa jurus saja, pedang Kakak Linghu sudah jatuh di lantai.

Luo Renjie lantas menodongkan pedangnya ke dada Kakak Linghu sambil berkata, ‘Panggil aku dengan sebutan ‘Kakek dari Qingcheng’ sebanyak tiga kali, maka jiwamu akan kuampuni.’

‘Baik,’ sahut Kakak Linghu. ‘Akan kupanggil kau dengan sebutan kakek, asalkan kau ajari aku jurus Belibis Mendarat....”

Belum selesai ucapan Kakak Linghu, tiba-tiba Luo Renjie sudah menusukkan pedangnya di dada Kakak Linghu. Penjahat itu sungguh keji....” Sampai pada bagian ini Yilin kembali menangis berlinangan air mata. “Aku... aku... aku melihatnya dengan jelas, namun tidak sanggup mencegah pedang itu menancap... menancap di dada Kakak Linghu.”

Seketika suasana berubah hening. Yu Canghai merasa semua pasang mata para hadirin sedang memandang ke arahnya dengan perasaan benci dan kesal. Ia lantas berkata, “Biksuni, apakah ceritamu ini benar? Kau bilang Renjie telah menusuk dada Linghu Chong; tapi kenapa dia juga ikut terbunuh?”

Yilin menjawab, “Kakak Linghu jatuh di lantai setelah tertusuk pedang Luo Renjie tapi tidak langsung meninggal. Dia justru tertawa lebar dan berkata kepada saya secara perlahan, ‘Adik Biksuni, ada sebuah rahasia... sebuah rahasia besar yang ingin kusampaikan kepadamu. Ini tentang... tentang Kitab Pedang Penakluk Iblis milik... milik Biro Ekspedisi Fuwei... yang disimpan... disimpan di....”

Seketika jantung Yu Canghai berdebar kencang begitu Yilin menyebut suatu benda yang saat itu sedang diincar Perguruan Qingcheng. Bahkan, ia sampai berkata, “Di mana....” Namun ia segera menahan diri karena menyadari bahwa pertanyaan ini bisa menimbulkan masalah. Sambil jantungnya berdebar-debar ia menunggu kelanjutan cerita Yilin. Jika sampai Biksuni Dingyi mengetahui masalah ini, tentu urusan akan bertambah panjang.

Yilin melanjutkan, “Begitu mendengar ucapan Kakak Linghu, si jahat Luo Renjie merasa penasaran. Ia pun mendekat dan berusaha memasang telinga untuk ikut mendengarkan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis disimpan. Di luar dugaan, tiba-tiba Kakak Linghu meraih pedangnya di lantai dan langsung menusuk perut Luo Renjie sampai tembus ke tenggorokan. Luo Renjie roboh seketika. Tubuhnya kejang-kejang beberapa kali sebelum tewas. Rupanya... rupanya Kakak Linghu hanya berbohong untuk mengalihkan perhatiannya saja. Begitu ia lengah, Kakak Linghu berhasil membunuhnya.”

Sampai di sini Yilin merasa sangat sedih. Ia pun jatuh pingsan karena tidak mampu lagi menahan perasaannya. Dingyi segera memeluk tubuh muridnya itu dan menyandarkannya di bahu, sambil matanya tetap melotot ke arah Yu Canghai.

Sejenak semua orang terdiam membayangkan apa yang telah terjadi di Rumah Minum Pemabuk Dewa tersebut. Bagi tokoh-tokoh papan atas seperti Liu Zhengfeng, Pendeta Tianmen, He Sanqi, dan Tuan Wen, ilmu silat Linghu Chong dan Luo Renjie terhitung biasa-biasa saja. Akan tetapi, akhir dari pertarungan mereka yang sama sekali tidak terduga itu sungguh peristiwa yang jarang terjadi di dunia persilatan.

Liu Zhengfeng lantas bertanya kepada murid Qingcheng yang membawa masuk jasad Luo Renjie tadi, “Keponakan Li, kau adalah saksi mata peristiwa ini, benar demikian?”

Si marga Li tidak menjawab, hanya memandang ke arah Yu Canghai. Para hadirin melihat raut mukanya yang jelas-jelas menujukkan kalau apa yang diceritakan Yilin memang benar demikian. Andai saja Yilin berkata bohong, tentu ia sudah membantahnya dari tadi.

Yu Canghai sendiri merasa gusar dan berpaling ke arah Lao Denuo. Ia berkata, “Keponakan Lao, memangnya apa kesalahan Perguruan Qingcheng kami di mata perguruanmu yang mulia, sehingga kakak pertamamu selalu mencari gara-gara terhadap muridku?”

“Saya tidak tahu,” jawab Lao Denuo. “Sepertinya terjadi masalah pribadi antara Kakak Pertama dengan Saudara Luo. Sungguh, ini semua tidak ada sangkut pautnya dengan hubungan baik antara Perguruan Qingcheng dan Huashan.”

Yu Canghai berkata sinis, “Tidak ada sangkut-pautnya bagaimana? Enak saja kau bicara....”

Belum selesai ia berkata tiba-tiba jendela sebelah barat didobrak orang dan kemudian dari situ melayang masuk sesosok tubuh manusia. Para hadirin yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh persilatan papan atas segera menghindar dan bersiap siaga. Belum sempat mereka mengetahui siapa orang yang telah melayang masuk tadi, tiba-tiba jendela yang lain ikut terbuka dan satu lagi tubuh yang terlempar masuk ke dalam. Kedua orang itu jatuh tengkurap dengan wajah menghadap lantai dan keduanya memakai seragam warna ungu; seperti seragam murid-murid Qingcheng pada umumnya. Di pantat mereka tergambar pula telapak kaki yang masih kotor dan basah.

Lebih mengejutkan lagi tiba-tiba dari luar terdengar suara orang berseru lantang, “Ini adalah jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat.”

Tanpa banyak bicara Yu Canghai langsung menerjang ke arah suara sambil melayangkan pukulan. Namun ia tidak menjumpai siapa-siapa. Sambil mendorong bingkai jendela menggunakan tangan kiri, ia lantas melompat ke luar dan dalam sekejap sudah mendarat di atas genting. Ternyata di atap rumah Liu Zhengfeng itu juga tidak terdapat siapa-siapa. Matanya lantas memandang ke segala arah, namun yang terlihat hanyalah hujan gerimis turun dari langit gelap.

Keadaan malam itu begitu sunyi. Tidak seorang pun terlihat berkeliaran di sana. Yu Canghai berpikir si penyerang tidak mungkin menghilang bergitu saja dan pasti masih bersembunyi di sekitar situ. Ia juga yakin kalau orang yang bisa melumpuhkan kedua muridnya pasti seorang lawan yang cukup tangguh. Maka itu, ia pun menghunus pedang dan mulai berlari mengelilingi kediaman Liu Zhengfeng yang besar dan megah.

Liu Zhengfeng, Biksuni Dingyi, He Sanqi, Tuan Wen, dan Lao Denuo ikut melompat ke atap, sedangkan Pendeta Tianmen tetap duduk di kursi mengingat kedudukannya yang lebih tinggi. Dari atas genting mereka melihat pedang di tangan Yu Canghai berkilat-kilat di tengah kegelapan. Pendeta bertubuh pendek itu memeriksa setiap rumah dan bilik di lingkungan kediaman Liu Zhengfeng dengan kecepatan luar biasa. Setiap mata yang melihat diam-diam memuji di dalam hati betapa hebat ilmu ringan tubuh ketua Perguruan Qingcheng tersebut.

Yu Canghai terus menyisir ke segala arah; baik itu sudut bangunan, ataupun pohon-pohon di pekarangan, namun ia tidak menemukan satu pun hal yang mencurigakan. Dengan penasaran ia masuk kembali ke dalam ruangan untuk memeriksa kedua muridnya yang telah dilemparkan orang tadi. Baginya tendangan yang dilakukan si penyerang terhadap pantat kedua muridnya jelas-jelas sangat merendahkan Perguruan Qingcheng.

Sesampainya di dalam, Yu Canghai langsung membalik tubuh salah satu dari kedua muridnya yang masih tengkurap di lantai. Ternyata dia adalah Shen Renjun. Yu Canghai merasa tidak perlu membalik muridnya yang satu lagi karena dari janggutnya yang kasar, dapat dikenali kalau dia adalah Ji Rentong. Mereka berdua adalah murid-murid Qingcheng yang dulu dikirim untuk menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei cabang Hunan.

Yu Canghai lantas menepuk dua kali titik nadi di bawah iga Shen Renjun sambil bertanya, “Siapa yang telah menyerangmu?”

Shen Renjun membuka mulut hendak bicara namun sulit mengeluarkan suara. Tentu saja Yu Canghai terkejut bukan main. Tepukannya tadi meskipun pelan sebenarnya disertai tenaga dalam tingkat tinggi, namun totokan pada tubuh Shen Renjun ternyata tetap tidak terbuka. Jelas si pelaku seorang yang berkepandaian tinggi. Bukannya takut, Yu Canghai justru semakin penasaran. Ia pun menyalurkan tenaga dalam yang lebih kuat melalui titik Lingtai di punggung Shen Renjun.

Sejenak kemudian Shen Renjun dapat berbicara meskipun dengan suara tergagap-gagap, “Guru... saya... saya tidak tahu... siapa... siapa yang telah menyerang kami.”

“Di mana kalian diserang?” tanya Yu Canghai.

“Tadi ketika saya dan Adik Ji keluar untuk buang air tiba-tiba punggung kami merasa kesemutan karena ditotok orang. Tahu-tahu anak bulus itu sudah melemparkan tubuh kami ke dalam ruangan ini melalui jendela,” jawab Shen Renjun.

“Dia pasti seorang ahli silat papan atas,” ujar Yu Canghai.

“Benar, Guru,” sahut Shen Renjun.

Yu Canghai benar-benar penasaran entah darimana si penyerang kedua muridnya berasal. Diam-diam ia mengamati pula raut muka Pendeta Tianmen yang tampak biasa-biasa saja. Sepertinya ketua Perguruan Taishan itu tidak peduli terhadap apa yang baru saja terjadi. Yu Canghai pun berpikir, “Hm, Serikat Pedang Lima Gunung bagaikan satu pohon dengan lima cabang. Tianmen benar-benar tidak peduli terhadap masalah yang menimpa Perguruan Qingcheng kami. Sepertinya ia juga menyalahkanku karena Renjie telah membunuh Linghu Chong.”

Tiba-tiba terlintas pikiran dalam benak Yu Canghai bahwa si penyerang mungkin telah menyusup di aula depan dan berbaur dengan para tamu Liu Zhengfeng yang berjumlah ratusan orang. Maka, ia pun mengajak Shen Renjun menuju ke sana. Di tempat itu terlihat orang-orang masih ramai membicarakan kematian Chi Baicheng dari Taishan dan Luo Renjie dari Qingcheng.

Melihat Yu Canghai datang, sebagian para tamu yang mengenalinya sebagai ketua Perguruan Qingcheng langsung terdiam menghentikan pembicaraan. Sementara itu yang tidak mengenalinya juga ikut terdiam; karena meskipun bertubuh pendek, namun Yu Canghai terlihat sangat berwibawa. Seketika suasana aula utama kediaman Liu yang berisikan ratusan orang itu berubah sunyi, dan semua pandangan pun beralih kepada sang ketua Qingcheng.

Begitu berada di tengah ruangan, sinar mata Yu Canghai memandang tajam ke segala arah. Satu per satu tamu Liu Zhengfeng dipandanginya dengan seksama. Kebanyakan dari mereka adalah para pesilat kelas dua di dunia persilatan. Meskipun banyak dari mereka yang tidak terkenal, namun Yu Canghai dapat menebak darimana orang-orang ini berasal berdasarkan warna seragam yang mereka pakai. Ternyata tidak satu pun dari mereka yang terlihat mencurigakan. Yu Canghai berpikir ilmu silat mereka pasti biasa-biasa saja dan tidak mungkin bisa melumpuhkan Shen Renjun dan Ji Rentong, kemudian menghilang dengan sangat cepat.

Sampai akhirnya, pandangan Yu Canghai tertuju kepada seseorang yang berwajah jelek dan berbadan bungkuk. Beberapa titik di mukanya ditempel dengan koyo. Tingkah laku orang ini juga cukup mencurigakan bagi Yu Canghai.

Diam-diam Yu Canghai memikirkan asal-usul laki-laki bungkuk yang dicurigainya itu. “Mungkinkah dia?” ujarnya dalam hati. “Mu Gaofeng si Bungkuk dari Utara jarang sekali menginjakkan kaki di daratan tengah sini. Dia juga tidak memiliki hubungan baik dengan Serikat Pedang Lima Gunung. Hm, untuk apa dia muncul dalam acara Cuci Tangan Baskom Emas Liu Zhengfeng ini? Tapi kalau orang ini bukan dia, lantas siapa lagi manusia jelek bertubuh bungkuk yang berkecimpung di dunia persilatan?”

Pandangan semua orang ikut beralih pula ke arah si orang bungkuk yang sedang diperhatikan Yu Canghai. Beberapa tokoh persilatan yang sudah berpengalaman ikut terperanjat menyaksikan kehadiran si bungkuk tersebut. Bahkan, Liu Zhengfeng tampil ke depan memberikan sambutan dengan penuh hormat, “Saya tidak menyadari kehadiran Saudara yang terhormat sehingga terlambat dalam memberikan penyambutan. Mohon dimaafkan.”

Sebenarnya si orang bungkuk ini bukan ahli silat papan atas. Ia tidak lain adalah Lin Pingzhi, tuan muda Biro Ekspedisi Fuwei. Sejak tadi ia hanya duduk di sudut ruangan dan tidak berani menonjolkan diri karena takut dikenali oleh orang-orang Perguruan Qingcheng. Akan tetapi karena Yu Canghai kini memandang tajam ke arahnya, mau tidak mau ia pun menjadi pusat perhatian semua orang di aula tersebut.

Dengan perasaan serbasalah, Lin Pingzhi bangkit dari duduk dan balas memberi hormat, “Tidak benar, tidak benar. Saya tidak pantas menerima penghormatan ini.”

Liu Zhengfeng heran mendengar si orang bungkuk ini berbicara dengan logat daerah selatan, padahal Mu Gaofeng terkenal dengan julukan Si Bungkuk dari Utara. Jika diamati dengan seksama, usia orang bungkuk ini juga terlihat jauh lebih muda dibandingkan Mu Gaofeng. Apalagi Mu Gaofeng terkenal kasar dan tidak tahu aturan, sedangkan orang ini bersikap sangat sopan. Untuk lebih meyakinkan, Liu Zhengfeng pun bertanya, “Saya bernama Liu Zhengfeng, tuan rumah di sini. Kalau boleh saya tahu, siapakah nama Tuan yang mulia?”

Lin Pingzhi sama sekali tidak menduga kalau sang tuan rumah akan muncul untuk menanyakan siapa namanya. Ia membuka mulut namun tidak mengeluarkan suara sedikit pun.

“Apakah Anda dan Pendekar Mu....” ujar Liu Zhengfeng kemudian.

Seketika Lin Pingzhi mendapat akal mendengar perkataan itu. Ia berpikir, “Margaku adalah Lin. Rasanya tidak masalah kalau aku sekarang mengaku bermarga Mu, mengingat kedua kata ini sangat mirip jika ditulis.” Maka dengan cepat ia pun menjawab, “Saya... saya memang bermarga Mu.”

Liu Zhengfeng semakin yakin kalau si orang bungkuk di hadapannya jelas bukan Mu Gaofeng. Maka ia pun berkata, “Kedatangan Tuan Mu merupakan suatu kehormatan bagi keluarga Liu. Jika boleh saya tahu, ada hubungan apa antara Tuan Mu dengan Pendekar Mu Gaofeng, si Bungkuk dari Utara?”

Seumur hidup baru kali ini Lin Pingzhi mendengar ada seorang pendekar bungkuk bernama Mu Gaofeng. Dilihat dari sikap hormat Liu Zhengfeng, sepertinya Mu Gaofeng ini seorang tokoh papan atas di dunia persilatan. Di samping itu, Yu Canghai terlihat memandanginya dengan tatapan curiga. Maka, Lin Pingzhi pun terpaksa berkata bohong, “Si Bungkuk dari Utara, Pendekar Mu adalah... Beliau adalah sesepuh saya.”

Karena tidak melihat adanya orang lain lagi yang mencurigakan di ruangan itu, Yu Canghai berani menyimpulkan kalau Lin Pingzhi adalah si penyerang terhadap Shen Renjun dan Ji Rentong. Kalau yang datang adalah Mu Gaofeng tentu ia merasa segan meskipun tidak takut kepadanya. Namun karena yang membuat ulah hanya kerabat mudanya, maka ia merasa tidak perlu khawatir lagi. Karena orang bungkuk ini berani membuat ulah dengannya, maka ia berniat membuat perhitungan dengan Lin Pingzhi.

Yu Canghai pun berkata, “Selama ini Perguruan Qingcheng tidak pernah berselisih dengan Pendekar Mu Gaofeng si Bungkuk dari Utara. Tapi kenapa Tuan Mu mengganggu murid-muridku?”

Baru kali ini Lin Pingzhi mengetahui, bahkan berhadapan langsung dengan Yu Canghai, pendeta bertubuh pendek yang telah menghancurkan keluarganya. Dendamnya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Ingin rasanya ia mencabut pedang dan menusuk dada Yu Canghai. Akan tetapi setelah mengalami berbagai pengalaman pahit, kini perasaannya menjadi lebih terkendali. Dengan menahan gusar, Lin Pingzhi pun berkata, “Perguruan Qingcheng suka sekali membuat onar. Melihat terjadinya ketidakadilan, Pendekar Mu terpaksa turun tangan. Beliau sangat suka membantu kaum lemah yang tertindas, tidak peduli salah ataupun benar.”

Mendengar itu Liu Zhengfeng merasa geli di dalam hati. Meskipun memiliki kepandaian tinggi, namun Mu Gaofeng seorang yang berkelakuan buruk. Sebenarnya ia tadi menyebut istilah “Pendekar Mu” hanya sekadar untuk basa-basi saja. Meskipun demikian, kaum persilatan umumnya tidak suka mencari gara-gara dengan Mu Gaofeng karena si bungkuk ini seorang yang berpikiran sempit dan sangat keji. Barangsiapa mengganggu dirinya, maka ia akan membalas dengan cara-cara yang jauh lebih berat dan mengerikan.

Melihat jawaban yang bernada memuji itu, Liu Zhengfeng semakin yakin kalau Lin Pingzhi benar-benar kerabat Mu Gaofeng. Demi mencegah terjadinya perselisihan antara Lin Pingzhi dan Yu Canghai yang bisa mengundang kemarahan Mu Gaofeng, maka ia pun berkata, “Pendeta Yu dan Saudara Mu adalah tamu-tamu kehormatanku. Bagaimanapun juga kuharap kalian berdua sudi memandang kepadaku. Marilah kita bersama-sama mengeringkan cawan sebagai tanda damai. Pelayan, bawakan arak kemari.”

Segera seorang pelayan datang memenuhi panggilan sang majikan.

Meskipun Yu Canghai tidak takut kepada pemuda bungkuk di hadapannya, namun jika mengingat kekejaman dan kelicikan Mu Gaofeng yang sangat terkenal, mau tidak mau ketua Perguruan Qingcheng ini merasa ngeri juga. Meskipun arak telah dituang, ia tidak segera meminumnya, namun tetap memandang tajam ke arah Lin Pingzhi.

Sebaliknya, dendam Lin Pingzhi kepada pendeta pendek itu sudah tidak terlukiskan lagi. Rasa dendam itu pula yang membuat pemuda ini kehilangan rasa takutnya. Dalam hati ia berpikir, “Mungkin saat ini Ayah dan Ibu telah mengalami nasib yang paling buruk karena pendeta pendek ini menurunkan tangan jahatnya. Huh, lebih baik aku mati daripada berdamai dengan bangsat ini.”

Lin Pingzhi pun memandang wajah Yu Canghai dengan sorot mata berapi-api. Dalam hati ia ingin sekali mengutuk dan mencaci-maki Yu Canghai. Melihat sikap pemuda itu, amarah Yu Canghai bergolak pula. Ia lantas mengulurkan tangannya untuk memegang pergelangan Lin Pingzhi sambil berkata, “Baiklah, baiklah! Ucapan Saudara Liu memang benar. Kita ini sebagai tamu namun sudah bersikap lancang di sini. Saudara Mu, mari kita saling mengenal lebih dekat.”

Sepertinya Yu Canghai mengajak Lin Pingzhi bersalaman, namun sesungguhnya ia mengerahkan tenaga dalam untuk menyakiti pemuda itu. Lin Pingzhi bermaksud menarik tangannya namun tenaga Yu Canghai sangat kuat. Meskipun pergelangannya terasa sakit namun mulutnya tetap diam tak bersuara. Tujuan Yu Canghai sebenarnya bukan untuk meremukkan tangan Lin Pingzhi, melainkan hanya untuk memaksanya mohon ampun saja. Namun dendam Lin Pingzhi sudah begitu dalam. Meskipun mati ia sama sekali tidak takut. Bukannya merintih, ia justru semakin melotot ke arah Yu Canghai.

Liu Zhengfeng yang berdiri di sebelah mereka dapat melihat butiran keringat mengalir di dahi Lin Pingzhi. Dalam hati ia memuji keberanian pemuda itu yang telah menantang Yu Canghai. Dalam hati ia bermaksud melerai, namun baru saja berkata, “Pendeta Yu!” tiba-tiba terdengar suara seorang lainnya berteriak melengking, “Hai, Pendeta Yu! Rupanya hari ini hatimu sedang gembira, sampai-sampai cucu Mu Gaofeng juga kau ajak bercanda.”

Semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat seorang bungkuk berbadan bulat pendek berdiri di pintu masuk ruangan. Wajah orang ini sangat jelek, penuh bercak dan benjolan di sana-sini. Banyak di antara para hadirin yang belum pernah bertemu Mu Gaofeng dan kini mereka sangat terkejut setelah mengetahui orangnya seperti apa. Belum habis rasa heran para hadirin tiba-tiba pria bungkuk itu sudah melesat ke arah Lin Pingzhi.

Tubuh Mu Gaofeng memang gemuk dan bulat, namun kecepatannya sungguh luar biasa dan sulit diikuti mata. Dalam sekejap ia sudah berdiri di samping Lin Pingzhi dan menepuk bahu pemuda itu sambil memuji, “Cucuku yang baik, cucuku yang tampan, kau telah memuji kakekmu ini sebagai pendekar budiman yang suka membantu kaum lemah melawan penindasan. Kakek sungguh senang.” Usai berkata demikian ia menepuk kembali bahu si pemuda.

Meskipun hanya berupa tepukan, sesungguhnya Mu Gaofeng telah menyalurkan tenaga dalam melalui tubuh Lin Pingzhi untuk menyerang balik sang ketua Qingcheng. Yu Canghai sendiri merasa kepanasan dan hampir saja melepas cengekeramannya. Namun ia segera mengerahkan tenaga lebih banyak lagi untuk memperkuat genggamannya.

Karena tepukan pertamanya tidak mampu melepaskan tangan Yu Canghai, Mu Gaofeng pun menepuk sekali lagi sambil mengerahkan delapan puluh persen tenaga yang ia miliki. Lin Pingzhi merasa tidak tahan lagi atas tepukan yang kedua ini. Tubuhnya telah menjadi media adu kesaktian antara kedua tokoh keji tersebut. Pandangannya terasa gelap, tenggorokannya terasa amis karena segumpal darah segar sudah naik ke mulutnya. Namun demikian, ia nekad menelan kembali darah tersebut ke dalam perut.

Yu Canghai sendiri juga merasa panas pada bagian tangannya. Terpaksa ia pun melepaskan genggamannya sambil berpikir, “Si bungkuk ini benar-benar licik dan kejam. Demi untuk mengalahkan aku, dia tidak segan-segan membuat cucunya terluka.”

Melihat Yu Canghai mundur selangkah, Lin Pingzhi segera mengumpulkan tenaga untuk berkata, “Pendeta Yu, ilmu silat Perguruan Qingcheng ternyata begitu saja. Dibandingkan Si Bungkuk dari Utara jelas kau kalah jauh. Mungkin lebih baik kau pindah perguruan saja, menjadi murid Pendekar Mu. Dengan demikian... dengan demikian kau akan... kau akan bertambah kuat....”

Meskipun hatinya senang namun pemuda ini telah menderita luka dalam cukup gawat sehingga badannya terasa lemas. Kalimat yang diucapkannya dapat diselesaikan dengan susah payah. Ia merasa beberapa organ tubuhnya di bagian dalam bagaikan naik ke atas. Kakinya terasa lemas dan hampir saja ia jatuh dan tidak sanggup berdiri lagi.

“Tentu saja aku senang jika bisa menjadi murid Pendekar Mu,” jawab Yu Canghai. “Namun kau juga murid Pendekar Mu. Tidak ada salahnya jika aku belajar lebih dulu darimu.” Maksud ucapan Yu Canghai ini adalah tantangan untuk Lin Pingzhi, sedangkan Mu Gaofeng tidak boleh ikut membantu.

Mu Gaofeng pun tertawa dan berkata, “Hahaha. Cucuku yang baik, dengan kepandaianmu yang rendah ini bukan tidak mungkin dalam sekali hantam saja kau akan mati di tangan Pendeta Yu. Sayang sekali jika cucu setampan dirimu harus mati di sini. Bagaimana jika kau menyembah kepada Kakek lebih dulu, biar Kakek mewakili dirimu untuk menghadapinya?”

Lin Pingzhi kembali melotot tajam ke arah Yu Canghai sambil berpikir, “Jika aku melayani tantangan Yu Canghai, tentu ia akan langsung membunuhku dalam sekali pukul. Jika demikian yang terjadi, bagaimana mungkin aku bisa membalaskan sakit hati Ayah dan Ibu? Namun aku, Lin Pingzhi, juga tidak sudi menyembah manusia bungkuk ini dan memanggilnya sebagai kakek. Aku memang sudah terhina, namun menyembahnya di depan umum jelas perbuatan yang sangat merendahkan Keluarga Lin kami. Apabila bisa selamat, tentu Ayah tidak akan sanggup lagi berjalan dengan bangga mengingat penghinaan ini. Tentu Ayah tidak memiliki muka lagi untuk berkecimpung di dunia persilatan. Sekali aku menyembah Si Bungkuk dari Utara, maka untuk selamanya aku akan hidup di bawah nama besarnya dan tidak akan menjadi diriku lagi.” Berpikir demikian membuat badan Lin Pingzhi gemetar sampai-sampai ia berdiri sambil memegang tepi meja. Ia tidak dapat memutuskan harus bagaimana.

Melihat itu Yu Canghai pun berpikir, “Hm, aku yakin bocah ini bukan cucu Mu Gaofeng. Jika tidak, mengapa ia memanggil dengan sebutan ‘Sesepuh’, bukan ‘Kakek’? Tidak mungkin Mu Gaofeng menyuruh bocah ini berlutut di saat-saat begini kalau dia memang benar-benar cucunya.” Berpikir demikian Yu Canghai pun memanas-manasi Lin Pingzhi dengan berkata, “Kau memang seorang pengecut. Apa susahnya bagimu menyembah dan memanggilnya kakek? Tentu kau bisa mendapat bantuannya, bukan?”

Lin Pingzhi sendiri sedang terkenang pada penderitaan kedua orang tuanya, serta kematian para pegawai Biro Ekspedisi Fuwei akibat kekejaman Perguruan Qingcheng. Ia merasa kepandaiannya terlalu rendah sehingga untuk membalas dendam saat ini rasanya terlalu sulit. Satu-satunya jalan adalah dengan meminta bantuan Mu Gaofeng. Diam-diam ia merenung, “Laki-laki sejati menerima sedikit penghinaan adalah hal yang biasa, asalkan cita-citaku bisa segera terwujud.” Berpikir demikian, ia pun berpaling ke arah Mu Gaofeng dan berlutut di hadapan manusia bungkuk itu sambil menyembah, “Kakek, dosa jahanam Yu Canghai ini sangat besar. Ia merampok dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa. Ia adalah musuh bersama kaum persilatan. Mohon Kakek menegakkan keadilan dan menumpas penyakit busuk ini!”

Perbuatan Lin Pingzhi ini benar-benar di luar dugaan Yu Canghai dan Mu Gaofeng. Padahal sebelumnya ia bersikeras menahan sakit saat dicengkeram Yu Canghai tadi, namun kini menyembah dan memohon perlindungan Mu Gaofeng. Pada umumnya orang persilatan sangat menjaga kehormatan. Lebih baik mati mengalami siksaan daripada merendahkan diri menyembah orang lain, apalagi di depan umum. Namun yang dilakukan Lin Pingzhi benar-benar kebalikannya.

Sementara itu para hadirin menganggap perbuatan Lin Pingzhi biasa-biasa saja karena mereka mengira pemuda ini benar-benar cucu Mu Gaofeng. Jadi, berlutut dan menyembah si bungkuk merupakan hal yang sewajarnya. Di antara semua orang di situ hanya Mu Gaofeng saja yang mengetahui kalau Lin Pingzhi tidak memiliki hubungan apapun dengannya. Sementara itu, Yu Canghai hanya menduga-duga saja karena pemuda itu memanggil “kakek” kepada Mu Gaofeng dengan suara gemetar.

Mu Gaofeng bergelak tawa dan berkata, “Anak baik, anak manis, kau ingin kita melanjutkan permainan ini, mengapa?” Ucapan ini seolah ditujukan kepada Lin Pingzhi padahal matanya memandang ke arah Yu Canghai.

Tentu saja Yu Canghai bertambah gusar. Namun demikian ia masih bisa menahan diri. Jika sampai terjadi pertarungan melawan Si Bungkuk dari Utara tentu bukan hanya nyawa yang dipertaruhkan, tapi juga nama baik Perguruan Qingcheng. Maka dengan sopan ia pun berkata, “Jika Pendekar Mu berniat mempertunjukkan ilmu silatnya yang luar biasa sehingga kami bertambah pengalaman, terpaksa saya harus melayani.”

Berdasarkan pengalaman adu tenaga tadi, Yu Canghai merasakan kekuatan Mu Gaofeng sungguh luar biasa. Meskipun berbadan bungkuk, namun Mu Gaofeng memiliki tenaga dalam yang meledak-ledak; bagaikan halilintar atau ombak yang menggulung dahsyat. Sambil memandangi lawannya, Yu Canghai berpikir, “Pantas saja si bungkuk ini demikian sombong. Jika dia mengalahkan aku dalam waktu singkat, tentu dia akan mendesakku pula dengan serangan bertubi-tubi. Untuk menghadapi manusia seperti ini aku harus menggunakan jurus bertahan. Tenaga dalamnya yang besar dan menggebu-gebu akan kehilangan kekuatan setelah melewati ratusan jurus. Dengan cara seperti ini barulah aku bisa menemukan titik kelemahannya.”

Sebaliknya, Mu Gaofeng juga tidak berani sembarangan dalam menghadapi Yu Canghai. Meskipun ukuran tubuh lawannya itu pendek dan kecil namun penampilannya sangat berwibawa, bagaikan gunung yang tegak dan kokoh. Jelas, tenaga dalam sang ketua Qingcheng tidak bisa dipandang rendah. “Hm, pendeta pendek ini menyimpan kekuatan yang luar biasa. Setiap angkatan dalam Perguruan Qingcheng melahirkan tokoh-tokoh hebat. Hidung kerbau ini bisa menjadi ketua Qingcheng tentu karena ia tidak mudah untuk dikalahkan. Jika dalam pertarungan ini aku sampai kalah, maka nama besar yang sudah kubangun selama ini akan hancur begitu saja,” demikian pikirnya.

Ketika semua mata memandang ke arah dua orang bertubuh pendek yang siap bertarung itu, tiba-tiba dua sosok tubuh manusia kembali melayang dan jatuh tersungkur di lantai. Ditinjau dari seragam mereka yang berwarna ungu, jelas keduanya adalah murid-murid Perguruan Qingcheng. Pada pantat mereka masing-masing terdapat bekas tapak kaki. Pada saat yang hampir bersamaan terdengar pula suara nyaring dan merdu berseru, “Ini adalah jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat, ilmu andalan Perguruan Qingcheng!”

Yu Canghai terkejut dan sangat marah. Tanpa membuang waktu ia langsung melesat ke arah datangnya suara. Dilihatnya seorang anak perempuan berbaju hijau sedang berdiri di dekat meja. Tanpa pikir lagi, ia langsung memegang lengan anak itu.

“Aduh, Ibu!” jerit si gadis kecil kesakitan. Ia kemudian menangis keras-keras.

Yu Canghai merasa serbasalah. Begitu mendengar suara seseorang mengejek Perguruan Qingcheng ia langsung menerjang dengan sekuat tenaga tanpa berpikir panjang. Tak disangka, ternyata yang berteriak demikian hanyalah seorang gadis kecil dan terlanjur ia cengkeram. Seketika ia merasa telah melakukan kesalahan besar karena gadis sekecil itu mana mungkin mampu melemparkan tubuh kedua muridnya. Di hadapan banyak orang, tentu perbuatan ini sangat memalukan, apalagi dirinya seorang ketua perguruan ternama. Maka dengan segera ia pun melepaskan lengan gadis kecil tersebut.

Tak disangka anak itu justru menangis semakin keras. “Aduh, Ibu! Dia telah mematahkan lenganku! Ooo, Ibu, tanganku sakit sekali! Aduh, aduh! Uh-uh-uh, sakit sekali!” demikian teriaknya.

Yu Canghai memang sudah banyak berpengalaman di dunia persilatan. Berbagai masalah yang sangat rumit dapat diatasinya. Akan tetapi baru kali ini ia menemui masalah yang sangat memalukan. Menghadapi seorang anak kecil seperti itu ternyata ia merasa kesulitan. Di bawah sorot mata ratusan hadirin, wajahnya terlihat merah padam. Seolah-olah mereka menuduh dirinya tidak berani menghadapi Mu Gaofeng dan mengalihkan serangan pada seorang anak kecil.

Dengan suara perlahan Yu Canghai mencoba membujuk gadis kecil itu, “Sudah, jangan menangis! Tanganmu tidak apa-apa; tidak patah, juga tidak sakit.”

“Tanganku sudah patah!” jerit anak itu semakin keras. “Tanganku sudah patah! Aduh, Ibu, sakit sekali. Uh-uh-uh, orang tua menyakiti anak kecil. Aduh, sakit!”

Para hadirin memandang gadis kecil itu dengan seksama. Usianya baru sekitar tiga belas tahun; kulitnya putih bersih dan wajahnya terlihat menyenangkan. Seketika timbul rasa simpati mereka terhadap anak berbaju hijau tersebut. Bahkan, ada dua orang yang berteriak kasar, “Hajar saja hidung kerbau itu!”

Yu Canghai merasa terpojok. Ia sadar telah membangkitkan amarah banyak orang. Merasa serbasalah, ketua Perguruan Qingcheng itu mencoba membujuk lagi, “Adik kecil, jangan menangis. Aku minta maaf. Coba kulihat tanganmu apa ada yang terluka.”

Baru saja tangannya bergerak, gadis kecil itu kembali menjerit keras, “Tidak mau! Jangan sentuh aku! Aduh, Ibu! Tanganku telah dipatahkan pendeta pendek ini!”

Sementara Yu Canghai kebingungan, seorang berseragam ungu maju untuk membantu. Ia tidak lain adalah Fang Renzhi, murid paling cerdik dalam Perguruan Qingcheng. Dengan menggunakan jurus memutarbalikkan fakta, ia pun menyapa si gadis kecil, “Hei, Nona kecil. Kau jangan berpura-pura. Tangan guruku sama sekali tidak menyentuh bajumu. Lantas, bagaimana bisa mematahkan lenganmu?”

Di luar dugaan, anak itu justru berteriak, “Ibu, ada yang hendak memukulku!”

Biksuni Dingyi yang sejak tadi menahan kesal akhirnya maju dan langsung melayangkan tangan untuk menampar wajah Fang Renzhi sambil membentak, “Memalukan! Orang tua beraninya menggertak anak kecil!”

Fang Renzhi berniat menangkis serangan itu. Dingyi segera menjulurkan tangannya yang lain untuk menangkap lengan Fang Renzhi dan mendorongnya ke bawah. Apabila sang biksuni menambah tenaga, tentu siku murid Qingcheng bertubuh kurus itu sudah patah.

Melihat muridnya dalam bahaya, Yu Canghai langsung menyerang punggung Dingyi menggunakan totokan. Terpaksa Dingyi melepaskan tangan Fang Renzhi untuk menangkis serangan tersebut. Melihat muridnya terbebas, Yu Canghai pun melompat mundur dan membatalkan serangan. “Maaf!” katanya.

Dingyi kemudian mendekati si gadis kecil dan memegangi lengannya. Dengan suara lembut biksuni tua itu bertanya, “Anak manis, mana yang sakit? Biar aku yang mengobati.”

Setelah memeriksa lengan anak itu dan ternyata tidak patah, Dingyi merasa lega. Namun begitu lengan baju gadis itu digulung, tampak empat ruas garis merah bekas cengkeraman tangan orang dewasa melingkar di kulit lengannya yang langsung membuat Dingyi kembali gusar.

“Lihat ini, keparat!” seru Dingyi kepada Fang Renzhi sambil menunjukkan lengan si gadis kecil. “Kau bilang gurumu tidak pernah menyentuhnya. Lalu, ini bekas tangan siapa?”

Si gadis baju hijau berseru, “Bekas tangan si bulus itu.” Sambil berkata demikian ia menunjuk ke arah Yu Canghai.

Maka meledaklah tawa para hadirin seketika. Mereka bergelak tawa begitu keras, sampai-sampai ada salah seorang yang menyemburkan teh di mulutnya, serta ada pula yang jatuh terguling-guling di lantai.

Yu Canghai merasa heran mengapa para hadirin tiada henti-henti menertawakan dirinya. Padahal ejekan “bulus” merupakan hal yang biasa di daerah asalnya. Ia merasa tidak ada yang aneh dengan ejekan ini. Namun melihat para hadirin terus-menerus tertawa, diam-diam hatinya merasa malu juga.

Fang Renzhi segera melompat ke samping Yu Canghai dan mencabut selembar kertas yang menempel di punggung sang guru. Kertas itu lantas diremasnya menjadi bola kecil. Yu Canghai memungut dan membukanya kembali. Betapa terkejut dirinya karena pada kertas itu terdapat gambar seekor bulus berukuran besar.

Yu Canghai merasa malu bukan main. Ia yakin gambar bulus itu sudah dipersiapkan untuk mempermainkan dirinya. Sewaktu gadis kecil itu menangis dan menjerit-jerit untuk mengalihkan perhatian, seseorang berkepandaian tinggi telah bergerak cepat menempelkan gambar tersebut di punggung Yu Canghai. Berpikir demikian Yu Canghai pun mengamati ke segala arah dan akhirnya pandangannya tertuju kepada Liu Zhengfeng, sang tuan rumah. “Anak sial ini pasti anggota Keluarga Liu. Jangan-jangan Liu Zhengfeng sendiri yang telah mempermainkan diriku,” demikian pikirnya.

Menyadari dirinya sedang dicurigai, Liu Zhengfeng segera maju dan bertanya kepada si gadis kecil, “Adik kecil, kau ini berasal dari mana? Siapa ayah dan ibumu? Di mana mereka?”

Gadis kecil itu menjawab, “Ayah dan ibuku pergi jauh. Aku disuruh duduk di sini untuk melihat pertunjukan menarik. Mereka bilang sebentar lagi akan ada dua sosok manusia yang melayang melalui jendela dan kemudian jatuh tersungkur di lantai. Konon dua orang itu sedang memainkan jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat andalan Perguruan Qingcheng.” Usai berkata demikian gadis itu langsung bertepuk tangan dan tertawa riang meskipun masih berlinangan air mata.

Melihat itu para hadirin serentak ikut tertawa. Sebaliknya, orang-orang Qingcheng benar-benar kehilangan muka. Kedua saudara mereka masih tengkurap di lantai dengan bekas tapak kaki menghiasi pantat masing-masing. Keadaan mereka sama persis dengan yang dialami Shen Renjun dan Ji Rentong.

Yu Canghai semakin gelisah. Untuk membuka totokan mereka diperlukan waktu yang lama, serta menguras banyak tenaga. Padahal, selain Mu Gaofeng terdapat pula seorang musuh lain yang berkepandaian tinggi sedang bersembunyi.

Maka itu, Yu Canghai lantas berkata, “Pindahkan mereka berdua dari sini.”

“Baik, Guru,” jawab Fang Renzhi. Ia lantas mengajak saudara-saudaranya melaksanakan perintah sang guru.

Melihat itu si gadis kecil berseru, “Wah, orang-orang Qingcheng banyak sekali. Satu belibis mendarat digotong dua orang; dua belibis mendarat digotong empat orang.”

Dengan muka merah Yu Canghai bertanya kepada anak itu, “Kau ini sebenarnya anak siapa? Apakah yang baru kau katakan ini hasil didikian ayah atau ibumu?”

Sambil berkata demikian ia berpikir, “Anak sial ini tidak mungkin mengarang kata-kata seperti tadi. Pasti ada orang lain yang telah mengajarinya. Kata-kata ‘Belibis Mendarat Tampak Pantat’ diciptakan oleh Linghu Chong. Mungkin Perguruan Huashan berniat membalas kematian Linghu Chong dengan cara seperti ini. Di antara orang-orang Huashan, yang bisa menotok murid-muridku dengan tenaga dalam sehebat ini sudah pasti hanyalah... hanyalah Yue Buqun seorang. Mungkinkah dia yang telah bermain di balik semua ini?”

Membayangkan pelaku penyerangan terhadap murid-muridnya adalah Yue Buqun, ketua Perguruan Huashan, seketika Yu Canghai merasa khawatir. Ia sadar ilmu silat Yue Buqun sangat tinggi. Apabila perguruannya sampai berselisih dengan pihak Huashan, maka keempat perguruan lainnya dalam Serikat Pedang Lima Gunung akan segera turun tangan. Tentu saja ini menjadi bencana besar bagi Perguruan Qingcheng.

Sementara itu, si gadis kecil berbaju hijau seolah tidak memedulikan pertanyaan Yu Canghai. Ia tetap terlihat asyik berhitung, “Satu dikali dua ada dua; dua dikali dua ada empat; tiga dikali dua ada enam; empat dikali dua ada delapan....”

“Aku bertanya kepadamu!” bentak Yu Canghai.

Gadis kecil itu tersentak kaget dan kembali menangis keras. Ia lantas menyembunyikan wajahnya di balik lengan Dingyi. Sang biksuni pun menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut sambil berkata, “Jangan takut, anak manis! Jangan takut, anak manis!”

Kembali Dingyi melotot ke arah Yu Canghai dan balas membentak, “Kenapa kau menggertak anak ini?”

Yu Canghai hanya mendengus. Dalam hati ia berpikir Serikat Pedang Lima Gunung telah bersatu untuk menghadapi Perguruan Qingcheng.

Muka si gadis kecil melongok dari balik lengan baju Dingyi sambil tertawa. Ia lantas berkata, “Nenek, dua kali dua ada empat, dua belibis mendarat diangkut empat orang; tiga kali dua ada enam, tiga belibis mendarat diangkut enam orang; empat kali dua ada delapan....”

Para hadirin merasa heran melihat tingkah laku anak ini. Umumnya anak kecil yang suka menangis dan tertawa dalam waktu singkat adalah mereka yang masih berusia di bawah tujuh tahun. Akan tetapi, gadis ini paling tidak sudah berusia tiga belas tahun. Tidak sepatasnya ia bersikap demikian. Mendengar ucapannya selalu mempermalukan Perguruan Qingcheng, sudah tentu ada orang lain yang bersembunyi dan mengajarinya.

Yu Canghai semakin penasaran. Ia pun berseru, “Wahai orang gagah yang bersembunyi di sana! Entah kawan entah lawan, sebaiknya kau tunjukkan dirimu! Kenapa kau memperalat anak kecil untuk menyampaikan omong kosong ini? Apakah ini tindakan seorang kesatria?”

Meskipun bertubuh kecil, Yu Canghai ternyata mampu berteriak dengan keras dan nyaring hingga membuat telinga para hadirin ikut berdengung. Seketika suasana di aula itu berubah sunyi senyap, namun tetap saja tidak terdengar suara seorang pun yang menjawab.

Sejenak kemudian si gadis kecil kembali bertanya kepada Dingyi, “Nenek, dia menyebut-nyebut tentang orang gagah. Apa kira-kira di dalam Perguruan Qingcheng juga terdapat orang gagah?”

Dingyi adalah tokoh sepuh dalam Perguruan Henshan, sudah pasti ia pantang merendahkan pihak lain di depan umum. Meskipun tidak menyukai Perguruan Qingcheng, terpaksa biksuni ini menjawab, “Di masa lalu dalam Perguruan Qingcheng memang... memang banyak terdapat orang gagah.”

“Kalau sekarang bagaimana?” sahut si gadis kecil. “Apa masih ada orang Qingcheng yang bersikap kesatria?”

“Kenapa tidak kau tanyakan langsung saja kepada pendeta itu? Dia adalah ketua Perguruan Qingcheng,” jawab Dingyi sambil menggerakkan bibirnya ke arah Yu Canghai.

Ternyata gadis itu benar-benar bertanya kepada Yu Canghai, “Pendeta, kalau ada orang menganiaya orang lain yang sedang terluka parah, apakah orang itu pantas disebut kesatria?”

Pertanyaan ini membuat Yu Canghai tergetar. Ia berpikir, “Gadis ini benar-benar dari Perguruan Huashan.”

Sebagian hadirin yang mendengar tentang kematian Linghu Chong di tangan Luo Renjie diam-diam berpikir pula, “Jangan-jangan gadis kecil ini ada sangkut pautnya dengan Perguruan Huashan.”

Sebaliknya, Lao Denuo bertanya dalam hati, “Ucapan anak ini jelas-jelas membela Kakak Pertama. Memangnya, siapa anak ini sebenarnya?”

Yilin yang telah pulih dari pingsan diam-diam sangat berterima kasih mendengar pertanyaan gadis kecil itu. Sebenarya sejak tadi ingin sekali ia mengajukan pertanyaan tersebut kepada Yu Canghai untuk sekadar meminta keadilan. Namun sifatnya yang lembut dan sopan membuatnya menahan diri untuk bertanya demikian. Kali ini si gadis kecil telah menyampaikan pertanyaan itu, sehingga dalam hati ia merasa sangat bersyukur. Tak terasa air matanya pun menetes karena perasaan haru.

Yu Canghai balik bertanya dengan suara perlahan, “Siapa yang mengajarimu bertanya seperti itu?”

Gadis itu tidak menjawab, justru kembali bertanya, “Apakah kau punya murid bernama Luo Renjie? Dia melihat ada orang lain terluka parah; bukannya memberi pertolongan, tapi justru menusuknya dengan pedang. Apakah perbuatan muridmu itu termasuk perbuatan kesatria? Apakah yang mengajari Luo Renjie berbuat demikian adalah kau sendiri?”

Pertanyaan seperti itu sudah tentu membuat Yu Canghai serbasalah. Terpaksa ia balik mendesak dengan sikap bengis, “Aku bertanya kepadamu, siapa sebenarnya yang telah menyuruhmu mencari masalah denganku? Apakah ayahmu berasal dari Huashan?”

Si gadis kecil menoleh ke arah Dingyi dan bertanya, “Nenek, apakah caranya menggertak anak kecil seperti aku ini juga termasuk perbuatan kesatria?”

“Entahlah, aku sulit menjawabnya,” jawab Dingyi.

Para hadirin semakin heran melihat anak itu. Semula mereka mengira ada orang lain yang mendalangi ucapannya. Namun ternyata, anak itu berbicara sesuai keadaan yang sedang ia alami. Jelas apa yang baru saja ia tanyakan bukan hasil karangan sebelumnya. Dalam hati mereka memuji kecerdasan dan kepandaian anak sekecil itu.

Di sisi lain, dengan pandangan samar-samar karena genangan air mata, Yilin mengamat-amati wajah gadis kecil tersebut. Dalam hati ia berpikir, “Sepertinya aku pernah melihat adik kecil ini, tapi entah di mana.” Sejenak kemudian ia terkesiap. “Aku tahu! Kemarin aku melihat adik kecil ini di Rumah Makan Dewa Mabuk.”

Yilin kemudian mengingat-ingat peristiwa kemarin pagi. Selain dirinya yang duduk semeja bersama Linghu Chong dan Tian Boguang, ia juga melihat sekitar tujuh sampai delapan meja lainnya terisi penuh oleh tamu. Setelah Tian Boguang melukai Pendeta Tiansong dan membunuh Chi Baicheng, satu per satu para tamu pergi keluar karena takut. Sementara itu para pelayan juga tidak berani keluar untuk menyuguhkan arak. Para tamu lainnya yang tersisa di loteng rumah arak tersebut hanya seorang biksu bertubuh tinggi besar yang duduk dekat tangga, serta dua orang di meja lainnya. Setelah Tian Boguang pergi dan Linghu Chong saling bunuh dengan Luo Renjie, ketiga tamu tersebut tetap saja duduk tenang di meja masing-masing.

Yilin kini teringat bahwa gadis kecil ini adalah salah satu di antara dua orang tamu yang tersisa, selain si biksu besar. Waktu itu Yilin hanya melihat punggung gadis itu sehingga tidak mengenalinya sewaktu muncul di rumah Liu Zhengfeng saat ini. Lagipula si gadis kecil kemarin memakai baju berwarna kuning, sedangkan sekarang berwarna hijau. Andai saja kemarin gadis kecil itu berpaling memperlihatkan wajahnya, tentu Yilin hari ini dapat langsung mengenalinya.

Kembali Yilin berusaha mengingat-ingat siapakah dua orang tamu lainnya. Salah satunya yang duduk semeja dengan si gadis kecil di rumah arak tersebut jelas seorang laki-laki. Akan tetapi, apakah laki-laki itu seorang tua atau muda, serta memakai baju berwarna apa sama sekali luput dari perhatian Yilin yang saat itu sedang dirundung ketakutan. Yang mengherankan baginya adalah di meja satunya lagi, mengapa ada seorang biksu yang gemar minum arak? Siapa sebenarnya biksu bertubuh besar tersebut? Ketika Tian Boguang mengakui kekalahannya, biksu besar itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya keras sekali. Begitu pula si gadis kecil juga ikut tertawa. Suara tertawanya itu mirip sekali dengan suara gadis kecil yang kini ada di pelukan Biksuni Dingyi. Yilin semakin yakin kalau gadis itu adalah dia.

Kini pikiran Yilin melayang-layang membayangkan wajah Linghu Chong yang selalu ceria. Terkenang olehnya bagaimana pemuda itu membohongi Luo Renjie sehingga murid Qingcheng tersebut mendekat dan berhasil dibunuhnya. Setelah kejadian itu Linghu Chong sekarat dan kehilangan kesadarannya. Yilin lantas mengangkat dan menggendong tubuhnya meninggalkan rumah arak.

Meskipun tubuh Linghu Chong lebih besar dan gagah, namun Yilin menguasai sedikit ilmu silat sehingga cukup kuat untuk menggendongnya sambil berjalan. Apalagi setelah perjuangan si pemuda yang mengorbankan nyawa sendiri membuat Yilin tidak merasa berat sama sekali. Pada saat itu pikiran sang biksuni muda sedang kosong, tidak tahu harus berjalan ke mana. Tubuh Linghu Chong terasa semakin dingin dan dingin. Tanpa sadar Yilin sudah membawanya melewati gerbang pintu masuk Kota Hengyang.

Akhirnya Yilin melihat sebuah kolam yang sangat indah, dengan sejumlah bunga teratai bermekaran di permukaannya. Tiba-tiba ia merasa punggungnya seperti tertumbuk oleh sesuatu. Karena tidak tahan lagi, ia pun roboh bersama tubuh Linghu Chong yang digendongnya.

Beberapa waktu kemudian, ketika terbangun dari pingsan, Yilin merasa matanya silau oleh cahaya matahari. Ia berniat melanjutkan perjalanan namun jasad Linghu Chong sudah menghilang entah ke mana. Ia sangat terkejut dan cemas menyadari hal ini. Beberapa kali ia berlari mengelilingi kolam teratai namun hasilnya nihil.

“Apakah aku sedang bermimpi?” demikian pikirnya. Namun melihat pakaiannya yang berlumuran darah jelas itu semua bukan mimpi. Memikirkan hal ini hampir saja ia jatuh pingsan kembali.

Setelah berusaha menenangkan diri, ia pun kembali mencari dengan cara mengelilingi kolam namun hasilnya tetap sia-sia. Sungguh aneh, jasad Linghu Chong telah menghilang tanpa jejak bagaikan asap tertiup angin. Air kolam juga terlihat tenang, tidak ada tanda-tanda jasad Linghu Chong tercebur ke dalamnya.

Akhirnya Yilin memutuskan untuk menyusul gurunya ke rumah Liu Zhengfeng di Kota Hengshan. Di sepanjang jalan ia selalu bertanya-tanya dalam hati, ke mana perginya jasad Linghu Chong? Apakah diambil orang? Ataukah diseret binatang liar? Ia merasa sangat berdosa karena tidak bisa menjaga jasad pahlawan penolongnya itu dengan baik, padahal Linghu Chong telah berkorban nyawa demi untuk melindunginya. Seandainya jasad Linghu Chong benar-benar dimangsa binatang liar, ia tentu akan bunuh diri menebus dosa.

Tiba-tiba muncul pikiran aneh di dalam benaknya, yaitu suatu pikiran yang selama ini belum pernah ia bayangkan. Pikiran ini muncul berkali-kali namun ia selalu berusaha menekannya dengan alasan: “Mengapa aku selalu terkenang akan hal ini? Mengapa aku selalu memikirkan hal yang tidak perlu ini? Ini benar-benar tidak bermanfaat. Tidak, ini tidak boleh terjadi.”

Akan tetapi, untuk kali ini ia tidak dapat menahan perasaannya lagi. Dalam benaknya kembali muncul suatu pikiran; pikiran yang menurutnya tidak pantas untuk seorang biksuni. Namun, pikiran tersebut ternyata sulit dihapus begitu saja. “Ketika aku menggendong jasad Kakak Linghu, hatiku merasa tenteram dan damai. Rasanya begitu bahagia, seperti membaca kitab suci Buddha dalam suasana hening. Aku berharap bisa terus-menerus menggendongnya. Bagaimanapun juga aku harus dapat menemukan jasadnya kembali. Bukan, bukan karena takut akan dimakan binatang liar, tapi entah mengapa aku ingin menemukannya kembali. Oh, mengapa aku harus pingsan sewaktu berada di tepi kolam kemarin? Padahal, aku ingin sekali jasad Kakak Linghu selamanya ada dalam pangkuanku. Aih, mengapa timbul perasaan seperti ini? Tidak boleh! Ini tidak boleh terjadi! Guru tidak memperbolehkan, Sang Buddha juga tidak mengizinkan. Pikiran demikian adalah pikiran setan dan iblis. Tapi... tapi, ke mana perginya jasad Kakak Linghu?”

Pikiran Yilin terasa kacau. Sebentar-sebentar ia terbayang senyuman Linghu Chong yang menawan hati. Kadang ia teringat pula wajah pemuda itu saat memaki, “Dasar biksuni kecil pembawa sial!” Entah bagaimana, dadanya terasa sakit seperti ditusuk pisau saat memikirkan hal itu...

Tiba-tiba terdengar suara Yu Canghai berseru, “Lao Denuo, gadis kecil ini berasal dari Perguruan Huashan, bukan?”

“Bukan,” jawab Lao Denuo. “Baru kali ini saya melihatnya. Dia tidak berasal dari perguruan kami.”

“Baik, kalau kau tidak mau mengakuinya juga tidak masalah,” sahut Yu Canghai. Tiba-tiba tangannya bergerak melemparkan sebuah senjata rahasia berupa bor kecil yang melayang ke arah Yilin, disertai teriakan, “Biksuni cilik, lihat ini!”

Yilin yang pikirannya masih melayang-layang justru merasa senang kalau senjata tersebut mengenai dirinya. Dalam hati ia berkata, “Bagus, aku memang sudah tidak ingin hidup lagi. Rasanya lebih baik kalau aku mati saja.”

Beberapa hadirin lantas berteriak-teriak, “Awas, Biksuni!” Namun tetap saja Yilin tidak berusaha menghindar sedikit pun. Entah mengapa hatinya merasa sangat kesepian dan ingin cepat-cepat mati terkena senjata rahasia Yu Canghai tersebut.

Dengan gerakan lembut, Biksuni Dingyi mendorong tubuh Dingyi ke samping. Gerakan berikutnya dilakukannya dengan gesit dan cepat, yaitu melompat ke depan menghadang datangnya senjata rahasia. Meskipun demikian, ia tidak langsung menangkap bor kecil tersebut melainkan menunggu sampai benar-benar dekat untuk sekadar memamerkan kepandaiannya.

Akan tetapi, Yu Canghai sendiri sudah memperhitungkan serangannya. Bor kecil itu diatur sedemikian rupa sehingga jatuh di lantai sebelum tertangkap oleh Dingyi. Tentu saja para hadirin kagum melihat kehebatan tenaga dalam ketua Perguruan Qingcheng tersebut yang bisa membuat senjata yang ia lemparkan tiba-tiba jatuh pada jarak satu meter di depan sasaran. Sebaliknya, wajah Dingyi terlihat bersemu merah menahan malu.

Tiba-tiba Yu Canghai kembali melemparkan sesuatu ke arah lain. Benda tersebut adalah bola kertas bergambar bulus yang dilemparkannya ke arah gadis kecil berbaju hijau. Jika tadi Yu Canghai melemparkan bor kecil ke arah Yilin dengan perlahan, maka kali ini gulungan kertas yang dilemparkannya ke arah si gadis kecil jelas-jelas disertai tenaga dalam. Bola kertas itu melayang dengan cepat dan apabila menghantam wajah si gadis kecil tentu akan mengakibatkan luka yang tidak ringan.

Dingyi yang berdiri di depan Yilin merasa tidak sempat lagi melindungi gadis berbaju hijau tersebut. Ia hanya bisa berteriak, “Kau....”

Akan tetapi, si gadis kecil kembali membuat kejutan. Tiba-tiba saja ia jatuh terduduk di lantai tepat ketika bola kertas itu hampir menyambar wajahnya. Kejadian ini jelas menunjukkan gadis berbaju hijau itu diam-diam menguasai ilmu silat. Meskipun demikian tetap saja ia berlagak menangis sambil memanggil-manggil, “Ibu, Ibu, dia mau membunuhku!”

Yu Canghai merasa penasaran dan semakin curiga. Meskipun demikian ia tidak menyerang lagi karena tata krama dalam dunia persilatan yang berlaku seperti itu; tidak sepantasnya seorang yang berkedudukan lebih tinggi melancarkan serangan jarak jauh untuk yang kedua kalinya apabila serangan pertama gagal.

Melihat wajah Yu Canghai bersemu merah menahan malu, Dingyi merasa sangat senang dalam hati. Akan tetapi, ia merasa tidak sepantasnya mempermalukan Perguruan Qingcheng lebih lanjut. Maka, ia pun berkata kepada Yilin, “Aku tidak tahu di mana sebenarnya ayah dan ibu anak ini. Sebaiknya coba kau temani dia menemukan kedua orang tuanya itu. Kasihan kalau ada orang dewasa yang menggertaknya lagi.”

“Baik, Guru!” jawab Yilin. Ia lantas menggandeng anak itu dan mengajaknya melangkah pergi. Gadis kecil berbaju hijau tersebut terlihat sangat riang berjalan bersama sang biksuni muda. Sementara itu Yu Canghai hanya melirik tanpa berkata sedikit pun.

Sesampainya di luar, Yilin lantas bertanya kepada anak itu, “Adik kecil, kau ini bermarga apa dan namamu siapa?”

Si gadis kecil menjawab sambil tertawa, “Margaku Linghu, namaku Chong.”

Seketika Yilin tergetar mendengarnya. Ia pun menukas, “Aku bertanya sungguh-sungguh, tapi kenapa kau malah bercanda?”

“Siapa bilang aku bercanda?” jawab si gadis kecil. “Memangnya di dunia ini hanya temanmu itu saja yang bernama Linghu Chong?”

Mendengar perkataan gadis kecil itu, Yilin langsung menghela napas dan meneteskan air mata. Ia berkata, “Aku telah berhutang budi kepada Kakak Linghu. Ia telah berkorban nyawa demi menolong diriku. Aku... aku tidak pantas menjadi temannya.”

Si gadis kecil tidak menanggapi. Pandangannya saat itu tertuju kepada dua orang bungkuk yang bergegas meninggalkan rumah Liu Zhengfeng. Mereka tidak lain adalah Mu Gaofeng dan Lin Pingzhi. Gadis itu pun berkata sambil tertawa, “Kakak, lihat itu! Ternyata di dunia ada pemandangan yang seaneh ini. Ada orang tua bungkuk, berjalan bersama seorang muda yang bungkuk pula.”

Mendengar anak itu suka menghina orang lain, Yilin merasa kesal. Ia pun berkata, “Adik, apa kau tidak keberatan jika pergi sendiri mencari ayah dan ibumu? Aku merasa kurang enak badan. Kepalaku terasa agak pusing.”

“Ah, kau hanya berpura-pura saja,” sahut si gadis kecil tersenyum. “Aku tahu kau tidak senang karena aku telah menggunakan nama Linghu Chong. Kakak sayang, bukankah gurumu sendiri yang telah menyuruhmu untuk mengantarkan aku? Kalau terjadi apa-apa atas diriku, kalau ada orang lain menggangguku, tentu gurumu akan marah dan menyalahkanmu.”

Yilin menjawab, “Kepandaianmu lebih tinggi dariku. Selain itu kau juga sangat cerdik. Bahkan, Pendeta Yu yang ternama tidak tahu harus bagaimana menghadapimu. Orang-orang justru sangat bersyukur apabila tidak kau kerjai. Jadi, bagaimana mungkin ada yang berani mengganggu dirimu?”

“Kakak yang baik, kau ini sungguh lucu. Kalau saja tadi gurumu tidak melindungiku, mungkin aku sudah dihajar oleh pendeta bertubuh pendek itu,” sahut si gadis kecil. “Baiklah, aku tidak akan memakai nama Linghu Chong lagi. Nama asliku adalah Qu Feiyan. Karena kakekku lebih suka memanggilku dengan nama ‘Feifei’, maka kau juga boleh memanggilku seperti itu.”

Begitu Qu Feiyan memperkenalkan nama aslinya, rasa kesal dalam hati Yilin mendadak lenyap begitu saja. Namun demikian, ia tetap bertanya-tanya dari mana gadis kecil itu mengetahui bahwa ia sedang memikirkan Linghu Chong. Ia lantas berkata, “Nona Qu, mari kita pergi mencari ayah dan ibumu. Menurutmu, kita harus mencari mereka ke mana?”

Qu Feiyan menjawab, “Sudah tentu aku tahu ke mana mereka pergi. Tapi, jika kau ingin mencari mereka lebih baik kau pergi saja sendiri. Aku tidak mau ikut.”

Yilin menjadi heran dan bertanya, “Kenapa kau tidak mau ikut?”

“Tentu saja,” sahut Qu Feiyan. “Aku masih telalu muda untuk pergi ke sana. Sebaliknya, meskipun usiamu juga masih muda, namun kau sudah tidak punya gairah hidup lagi. Kau sedang tertekan dan ingin cepat-cepat mati. Mungkin sebaiknya memang kau sendiri yang pergi ke sana.”

Yilin terkesiap dan bertanya, “Jadi maksudmu... maksudmu mereka sudah....”

“Sudah lama ayah dan ibuku tewas dibunuh orang jahat,” sahut Qu Feiyan. “Jika kau ingin mencari mereka ke alam sana, silakan kau pergi sendiri saja. Aku tidak mau ikut.”

Yilin kembali merasa kesal. Ia berkata, “Ayah dan ibumu sudah meninggal, kenapa mereka kau jadikan bahan bercanda? Sudahlah, lebih baik kita berpisah di sini saja. Aku akan kembali ke tempat Guru.”

Qu Feiyan lantas memegang lengan Yilin dan berkata, “Kakak yang baik, aku ini sebatang kara. Aku mohon kau sudi menemaniku, sebentar saja.”

Yilin pun menjawab, “Baiklah, akan kutemani kau sebentar. Tapi, kau tidak boleh bicara sembarangan lagi. Selain itu, aku ini seorang biksuni. Tidak sepantasnya kau panggil aku dengan sebutan kakak.”

Qu Feiyan tertawa dan menjawab, “Menurutmu, kata-kataku ini kau anggap buruk; namun bagiku ini adalah ucapan yang baik. Baik atau buruk tergantung pendapat kita masing-masing. Kau ini lebih tua dariku, apa salahnya kalau kupanggil ‘kakak’? Kakak Yilin, kenapa kau tidak berhenti menjadi biksuni saja.”

Yilin terkejut mendengar pertanyaan itu. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur satu kali.

Qu Feiyan melepaskan pegangannya dan melanjutkan, “Apa enaknya menjadi biksuni? Tidak boleh makan ikan, udang, ayam, bebek, juga daging sapi atau kambing. Kakak, kau ini sangat cantik. Sayang sekali kecantikanmu tidak sempurna karena kepalamu dicukur gundul. Bagaimana kalau Kakak memanjangkan rambut saja? Sudah pasti kau akan bertambah cantik dan molek.”

Mendengar ucapan Qu Feiyan yang lugu itu, Yilin tersenyum dan menjawab, “Kami adalah kaum biarawati. Semua yang ada di dunia ini hampa belaka. Hidup laksana mimpi. Tidak ada bedanya berwajah cantik ataupun jelek.”

Qu Feiyan tidak menanggapi ucapan Yilin melainkan hanya memandangi wajahnya. Saat itu hujan telah berhenti. Di bawah sinar bulan purnama wajah Yilin terlihat semakin cantik bagaikan batu pualam yang putih bersih.

Melihat itu Qu Feiyan menarik napas dan berkata, “Kakak, kau ini benar-benar cantik. Pantas saja kalau dia selalu memikirkanmu.”

Muka Yilin bersemu merah. Ia pun menukas, “Kau ini bicara apa? Kalau kau bicara sembarangan lagi, aku akan pulang sekarang juga.”

“Baiklah, aku tidak akan sembarangan bicara lagi,” sahut Qu Feiyan. “Kakak yang baik, aku harap kau sudi memberikan sedikit Salep Penyambung Langit untuk mengobati seseorang yang saat ini sedang terluka parah.”

“Menolong siapa?” tanya Yilin heran.

“Orang ini sangat penting. Namun, untuk sementara aku belum bisa mengatakannya kepadamu,” jawab Qu Feiyan sambil tertawa.

“Sebenarnya aku bisa saja memberikan obat itu kepadamu,” ujar Yilin. “Tapi guruku memberi peringatan supaya obat ini tidak boleh sembarangan dipakai untuk menolong orang jahat.”

Qu Feiyan kembali bertanya, “Kakak, kalau ada orang yang memaki gurumu dengan kata-kata kotor, apakah orang itu termasuk golongan orang jahat?”

“Tentu saja,” jawab Yilin. “Sudah pasti dia termasuk orang jahat.”

Qu Feiyan terdiam sejenak kemudian berkata lagi, “Sungguh aneh. Padahal ada seseorang berteriak-teriak bahwa biksuni itu pembawa sial. Dia memaki gurumu dengan bahasa yang kasar. Tapi kau malah mengoleskan salep tersebut untuk mengobati lukanya....”

Tanpa menunggu ucapan Qu Feiyan selesai, Yilin yang merasa gusar segera memutar badan untuk kembali ke rumah Liu Zhengfeng. Namun, Qu Feiyan sudah lebih dulu melompat dan menghadang di depannya.

Tiba-tiba Yilin teringat kalau kemarin Qu Feiyan menyaksikan pertarungan Linghu Chong melawan Tian Boguang. Ia pun berpikir, “Kemarin pagi anak ini beserta seorang kawannya menyaksikan pertarungan antara Kakak Linghu dan Tian Boguang. Sampai Kakak Linghu terbunuh dan aku membawa jasadnya menuruni tangga, anak ini masih tetap duduk di sana. Pantas kalau dia mengetahui semua perbuatanku. Jangan-jangan dia dan temannya juga mengikuti sewaktu aku menggendong jasad Kakak Linghu. Kalau begitu... kalau begitu dia mungkin tahu ke mana hilangnya jasad Kakak Linghu....” Ia ingin bertanya tapi tak sanggup bicara. Hanya wajahnya yang terlihat bersemu merah menahan malu.

“Kakak, aku tahu kau ingin bertanya apa kepadaku,” sahut Qu Feiyan. “Aku tahu kau ingin bertanya di mana jasad Kakak Linghu berada, bukan?”

“Ya, ya... benar sekali,” jawab Yilin tergagap-gagap. “Jika kau tahu, tentu aku akan... aku akan sangat berterima kasih.”

“Aku sendiri juga tidak tahu,” jawab Qu Feiyan. “Namun, ada satu orang yang tahu di mana jasad Kakak Linghu berada. Sayangnya, orang itu saat ini sedang terluka parah. Jiwanya dalam bahaya. Jika Kakak bersedia menolongnya menggunakan Salep Penyambung Langit, tentu dia akan memberitahukan di mana jasad Kakak Linghu berada. Jika Kakak Yilin tidak segera turun tangan, mungkin dia tidak akan tertolong lagi.”

“Jadi, kau sendiri juga tidak tahu di mana jasad Kakak Linghu berada,” sahut Yilin menegas.

“Sungguh aku tidak tahu,” jawab Qu Feiyan. “Aku bersumpah, jika aku, Qu Feiyan, mengetahui di mana jasad Linghu Chong berada, biarlah aku mati tertusuk secara mengenaskan.”

“Sudahlah, aku percaya kepadamu. Kau tidak perlu bersumpah segala,” sahut Yilin sambil menutup mulut Qu Feiyan. “Jadi, siapa sebenarnya orang yang terluka itu?”

“Orang itu orang baik,” jawab Qu Feiyan. “Tapi tempat yang akan kita datangi bukan tempat baik.”

Yilin tidak peduli. Asalkan bisa menemukan jasad Linghu Chong, menerobos hutan pedang sekalipun ia tidak merasa takut. Dengan cepat ia pun berkata, “Mari kita berangkat sekarang juga!”

Yilin kemudian melangkah di belakang Qu Feiyan. Keduanya berjalan menuju ke arah barat laut menyusuri jalanan Kota Hengshan yang sunyi senyap. Malam semakin larut. Tiada seorang pun yang terlihat berlalu-lalang. Hanya sayup-sayup terdengar suara lolongan anjing membuat bulu kuduk merinding.

Meskipun menempuh perjalanan yang cukup jauh, ditambah lagi dengan suasana yang begitu menyeramkan, Yilin merasa tidak keberatan sama sekali. Asalkan bisa menemukan di mana jasad Linghu Chong berada, ia bersedia melakukan apa saja. Tampak Qu Feiyan kemudian membawanya menyusuri sebuah lorong sempit yang panjang. Akhirnya mereka pun sampai di sebuah rumah yang pada bagian atas pintunya tergantung sebuah lentera kecil berwarna merah.

Sebanyak tiga kali Qu Feiyan mengetuk pintu rumah tersebut. Tidak lama kemudian pintu pun terbuka dan seorang laki-laki melongok dari dalam dengan wajah curiga, terutama saat melihat Yilin. Qu Feiyan segera berbisik di telinga orang itu sambil memberikan sesuatu. Orang itu manggut-manggut lalu berkata, “Silakan, silakan masuk ke dalam!”

Qu Feiyan dan Yilin segera masuk ke dalam rumah tersebut. Mereka berjalan mengikuti laki-laki tadi yang melangkah agak terburu-buru. Sesampainya di sebuah kamar, laki-laki itu berhenti dan berkata, “Silakan Nona dan Biksuni duduk di dalam kamar ini.”

Begitu masuk ke dalam, Yilin mencium bau yang sangat harum memenuhi ruangan. Kamar tersebut tertata sangat indah dan rapi. Di tengah ruangan terdapat sebuah ranjang besar yang sangat bagus. Kain penutupnya terbuat dari sutra halus yang berhiaskan sulaman gaya Xiang, bermotif sepasang burung bermain di atas kolam. Jika diperhatikan dengan seksama, gambar kedua burung tersebut sangat indah dan teliti, bagaikan benar-benar hidup.

Sejak kecil Yilin tinggal di dalam Biara Awan Putih. Sehari-hari ia hidup sederhana sehingga seumur hidup baru kali ini menyaksikan ruangan sebagus itu. Selain ranjang yang terkesan mewah, ia juga melihat sebatang lilin merah di atas meja dekat ranjang menerangi ruangan kamar. Di dekat lilin terdapat kotak rias serta sebuah cermin tergantung di dinding. Yang membuat Yilin terkejut adalah sepasang sepatu laki-laki dan sepasang sepatu perempuan di dekat ranjang. Karena merasa malu, ia buru-buru memalingkan muka sehingga bayangan wajahnya yang cantik dan bersemu merah terpantul di cermin.

Tidak lama kemudian seorang pelayan cantik terlihat masuk ke dalam kamar. Ia menghidangkan teh untuk Yilin dan Qu Feiyan. Wanita itu berpakaian rapi dan ketat. Bibirnya selalu tersenyum dan langkah kakinya terlihat genit seperti dibuat-buat.

Yilin semakin takut melihatnya. Perlahan ia berbisik kepada Qu Feiyan, “Sebenarnya ini tempat apa?”

Qu Feiyan hanya tertawa tidak menjawab. Ia justru berbisik kepada si pelayan cantik supaya melakukan sesuatu. Wanita itu tertawa genit dan segera keluar memenuhi permintaan Yilin. Ia melangkah perlahan-lahan sambil menggoyang pinggul.

Melihat tingkah laku wanita itu, Yilin yakin kalau dia bukan orang baik-baik. Ia pun kembali bertanya, “Kenapa kau membawaku kemari? Memangnya ini tempat apa?”

Qu Feiyan tersenyum dan menjawab, “Ini adalah salah satu tempat menarik di Kota Hengshan. Namanya Wisma Kumala.”

“Wisma Kumala?” sahut Yilin menegas.

“Benar. Wisma Kumala adalah rumah pelacuran terbaik di kota ini,” jawab Qu Feiyan.

Seketika jantung Yilin berdebar kencang mendengar jawaban tersebut. Hampir saja ia jatuh pingsan mendengar istilah “pelacuran”. Sejak awal ia memang sudah menduga kalau rumah yang dimasukinya ini bukanlah tempat baik-baik, namun baru sekarang ia mengetahui kalau dirinya sedang berada di dalam sebuah rumah pelacuran.

Meskipun tidak mengetahui dengan pasti pekerjaan jenis apa yang dilakukan oleh seorang pelacur, namun Yilin pernah mendengar cerita dari saudara-saudara seperguruannya, yaitu murid-murid Henshan dari kalangan bukan biksuni, bahwa seorang pelacur adalah golongan wanita rendah dan hina. Mereka bersedia tidur dengan laki-laki yang bukan suaminya untuk mendapatkan uang.

“Jangan-jangan Qu Feiyan hendak menjadikan diriku sebagai pelacur,” demikian pikirnya dengan mata berkaca-kaca hampir menangis.

Tiba-tiba dari kamar sebelah terdengar suara gelak tawa seorang laki-laki. Yilin sangat terkejut karena mengenali suara tersebut, yang tidak lain adalah suara Tian Boguang, si Pengelana Tunggal Selaksa Li. Seketika kakinya terasa lemas dan tubuhnya terkulai di atas kursi.

“Ada apa?” Qu Feiyan bertanya.

“Itu... itu suara Tian Boguang,” jawab Yilin.

“Benar sekali. Aku juga tahu kalau itu suara Tian Boguang, muridmu yang lucu,” ujar Qu Feiyan sambil tertawa.

“Hei, siapa yang menyebut-nyebut namaku?” teriak Tian Boguang dari kamar sebelah.

“Tian Boguang, gurumu ada di sini!” seru Qu Feiyan balas berteriak. “Lekas kau kemari dan memberi hormat kepadanya.”

“Guru apa pula?” sahut Tian Boguang. Sepertinya ia sangat marah. “Perempuan hina, jika kau mengoceh sembarangan lagi, akan kurobek mulutmu!”

Qu Feiyan berteriak, “Bukankah kau telah mengangkat Biksuni Yilin dari Perguruan Henshan sebagai gurumu? Dia ada di sini. Lekaslah kemari dan menyembahnya.”

“Mana mungkin dia bisa berada di tempat ini?” sahut Tian Boguang menegas. “Hei, bagaimana... bagaimana kau tahu? Siapa sebenarnya kau ini? Awas, aku akan segera membunuhmu!” Suaranya yang keras itu terkesan bernada khawatir.

“Cepatlah kau datang ke sini dan berlutut menyembah Biksuni Yilin!” bentak Qu Feiyan.

Buru-buru Yilin mencegah, “Jangan, jangan kau suruh dia kemari!”

Tian Boguang berseru kaget mendengar suara Yilin. Ia pun melompat turun dari ranjangnya diikuti suara seorang perempuan bertanya, “Tuan hendak ke mana?”

Qu Feiyan kembali berteriak, “Tian Boguang, kau jangan kabur! Gurumu ada di sini untuk menyelesaikan perhitungan.”

“Guru apa? Murid apa?” bentak Tian Boguang dengan nada gusar. “Aku telah ditipu oleh Linghu Chong. Sekali biksuni cilik itu datang menemuiku, aku akan segera memenggal kepalanya.”

“Bagus, bagus!” sahut Yilin dengan suara gemetar. “Aku tidak akan ke sana dan... dan kau tidak perlu kemari.”

Qu Feiyan kembali berteriak, “Tian Boguang, kau punya nama besar di dunia persilatan. Kenapa kau tidak bersikap layaknya seorang laki-laki sejati? Apa kau mau mengingkari janji yang telah kau ucapkan sendiri? Lekas kemari dan berlutut kepada gurumu!”

Tian Boguang terdengar hanya mendengus, tidak menjawab.

Yilin buru-buru menyahut, “Aku tidak mau menerima penghormatannya. Aku tidak ingin melihatnya lagi. Dia bukan... dia bukan muridku.”

Tian Boguang terdengar melompat senang dan berkata, “Kau dengar sendiri, bukan? Biksuni cilik itu tidak ingin melihatku.”

Qu Feiyan menyahut, “Boleh saja. Kau tidak perlu datang kemari untuk menyembah gurumu. Hanya saja, sewaktu datang ke rumah ini, kami dibuntuti oleh dua orang. Sebaiknya kau segera membersihkan jalan dan membereskan mereka berdua. Gurumu dan aku hendak beristirahat di sini, dan kau bisa berjaga di luar. Jika kau bisa bekerja dengan baik, mungkin aku tidak akan mengumumkan perjanjianmu dengan Linghu Chong. Sebaliknya, jika kau tidak becus bekerja, maka seluruh dunia akan tahu bahwa Tian Boguang telah berjanji akan mengangkat Biksuni Yilin dari Perguruan Henshan sebagai gurunya.”

Tian Boguang diam sejenak kemudian membentak ke arah lain, “Hei, sedang apa kalian bersembunyi di situ? Mau mengintip, hah?” Usai berseru demikian lantas terdengar suara jendela terbuka disusul suara penjahat cabul itu melompat ke atas.

Yilin dan Qu Feiyan mendengar suara dua buah senjata jatuh di atas genting, disusul suara jeritan seorang laki-laki dan langkah kaki seorang lainnya melarikan diri. Kemudian kembali terdengar suara jendela ditutup. Rupanya Tian Boguang sudah masuk kembali ke dalam kamarnya.

“Aku telah membunuh salah seorang di antara mereka. Ternyata dia murid Perguruan Qingcheng. Sementara, yang satunya lagi melarikan diri,” ujar penjahat itu memberi laporan.

“Dasar tidak berguna! Kenapa kau biarkan dia lolos?” sahut Qu Feiyan.

“Aku tidak bisa membunuhnya,” jawab Tian Boguang. “Karena... karena dia seorang biksuni dari Henshan.”

“Oh, ternyata dia adalah bibi perguruanmu,” kata Qu Feiyan sambil tertawa. “Pantas saja kau tidak berani membunuhnya.”

Yilin sangat gugup mendengarnya. Ia pun bertanya, “Jadi, yang lolos itu kakakku? Bagaimana ini? Dia pasti melapor kepada Guru.”

Tian Boguang berseru, “Hei, gadis kecil, siapa namamu?”

“Sebaiknya kau tidak perlu menanyakan itu,” sahut Qu Feiyan sambil tertawa. “Jika kau tetap diam, maka gurumu tidak akan mempersoalkan lagi masalah perjanjian kemarin.”

Merasa tidak ada gunanya bertanya, Tian Boguang pun diam seketika.

Yilin buru-buru berkata, “Mari kita tinggalkan tempat ini secepatnya!”

“Tapi kau belum mengobati orang itu,” sahut Qu Feiyan. “Bukankah ada yang hendak kau tanyakan kepadanya? Tapi, kalau kau memang takut gurumu tidak senang, maka kau boleh pergi. Tidak ada ruginya bagiku.”

Yilin terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Aku sudah terlanjur masuk ke sini. Sebaiknya... sebaiknya kita segera pergi menemui orang itu.”

Qu Feiyan tersenyum dan melangkah mendekati sisi ranjang. Di situ ia mendorong dinding kamar sebelah timur. Perlahan-lahan, sebuah pintu rahasia terbuka di salah satu bagian dinding. Gadis kecil itu kemudian mengajak Yilin masuk ke dalamnya.

Yilin merasa rumah pelacuran tersebut benar-benar aneh. Untungnya, Tian Boguang berada di dalam kamar sebelah barat. Yilin merasa semakin jauh dari penjahat cabul itu tentu akan semakin baik. Maka, ia pun memberanikan diri berjalan mengikuti Qu Feiyan memasuki lorong gelap di balik pintu rahasia tersebut.

Di ujung lorong rahasia terdapat sebuah kamar yang lebih sempit dan gelap gulita. Di dalam kamar itu terdapat sebuah ranjang dengan kelambu tertutup serta sebuah jendela. Samar-samar Yilin mengetahui kalau ada seseorang tidur di atas ranjang tersebut. Menyadari hal itu, ia hanya berhenti di pintu sementara Qu Feiyan sudah masuk ke dalam.

“Kakak, masuklah kemari. Ini adalah orang yang harus kau obati dengan Salep Penyambung Langit,” ujar Qu Feiyan memanggil.

“Apakah dia benar-benar tahu di mana jasad Kakak Linghu berada?” tanya Yilin ragu-ragu.

“Mungkin tahu, mungkin juga tidak.” sahut Qu Feiyan ringan. “Aku tidak berani menjamin.”

“Tapi... tapi kau tadi berkata dia mengetahuinya,” ujar Yilin dengan nada kesal.

“Aku ini bukan laki-laki sejati. Aku tidak punya keharusan untuk menepati ucapanku,” sahut Qu Feiyan sambil tertawa. “Sekarang begini saja; kau boleh mengobatinya, boleh tidak. Kalau tidak mau silakan pergi dari sini. Tidak ada seorang pun yang akan merintangimu.”

Yilin terdiam. Mengingat ini adalah peluang untuk menemukan jasad Linghu Chong, maka ia pun menjawab, “Baiklah, aku akan mengobati lukanya.”

Biksuni muda itu lantas kembali ke kamar pertama untuk mengambil lilin. Setelah itu ia berjalan lagi menyusuri lorong rahasia dan masuk ke dalam kamar sempit tadi. Perlahan-lahan ia mendekati tempat tidur dan menyingkap kelambu. Tampak seorang laki-laki tertidur dengan wajah ditutupi sehelai sapu tangan berwarna hijau. Menyadari orang itu tidak bisa melihat dirinya, Yilin pun merasa lebih leluasa.

“Bagian mana yang terluka?” tanya Yilin kepada Qu Feiyan.

“Coba lihat dadanya,” sahut Qu Feiyan. “Lukanya sangat dalam, hampir saja mengenai jantung.”

Perlahan-lahan Yilin membuka selimut yang menutupi tubuh orang itu. Tampak sebuah luka cukup lebar menganga di dadanya. Darah sudah berhenti namun bisa saja kambuh sewaktu-waktu. Keadaan orang ini begitu parah. Dalam hati Yilin berkata, “Tidak peduli siapa dia, aku harus segera menolongnya.”

Setelah menyerahkan lilin di tangannya kepada Qu Feiyan, Yilin lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil dari balik bajunya. Di dalam kotak itu tersimpan Salep Penyambung Langit, obat luka buatan Perguruan Henshan yang sangat mujarab. Setelah membuka kotak dan meletakkannya di atas meja dekat ranjang, ia pun mengoleskan salep tersebut di sekitar luka orang itu.

Terdengar Qu Feiyan berkata lirih, “Beberapa titik nadi orang ini sudah ditotok untuk menghentikan pendarahan. Jika tidak, mungkin sekarang dia sudah mati.”

Yilin mengangguk. Orang itu memang sudah dalam keadaan tertotok sehingga darahnya berhenti mengucur. Ia lantas mengambil kapas yang menutup luka orang itu. Seketika darah kembali memancar keluar. Untungnya, Yilin pernah belajar mengobati luka dari kakak seperguruannya. Dengan tangan kiri ia menekan luka itu, kemudian dengan tangan kanan ia mengoleskan Salep Penyambung Langit tepat pada luka tersebut. Kemudian, ia kembali meletakkan sejumlah kapas di atasnya.

Salep Penyambung Langit merupakan harta pusaka Perguruan Henshan. Obat ini sangat manjur karena dibuat dari bahan-bahan bermutu tinggi dengan resep yang sangat dirahasiakan. Sekali obat ini dioleskan, luka akan langsung mengering dan pendarahan berhenti dalam waktu singkat.

Samar-samar terdengar suara napas orang itu, pertanda ia sudah mulai terjaga dan keadaannya membaik. Yilin pun memberanikan diri untuk bertanya, “Tuan, apakah kau sudi memberikan sedikit keterangan padaku?”

Tiba-tiba Qu Feiyan sedikit memiringkan badannya sehingga lilin di tangannya bergoyang-goyang dan api pun padam. Seketika ruangan sempit tersebut kembali kehilangan penerangan.

“Aduh, maaf! Lilinnya padam,” seru gadis kecil itu dengan sikap polos.

Suasana begitu gelap sampai-sampai Yilin tidak dapat melihat jari tangannya sendiri. Hatinya merasa gugup. Diam-diam ia berpikir, “Tempat ini sangat gelap. Tidak sepantasnya seorang biksuni seperti aku berada di sini bersama seorang pria; apalagi di dalam sebuah rumah pelacuran. Setelah mengetahui kabar tentang jasad Kakak Linghu, aku harus segera pergi.”

Maka dengan suara gemetar ia kembali bertanya, “Tuan, apakah keadaanmu sudah lebih baik?”

Orang itu tidak menjawab, hanya merintih perlahan.

“Rupanya ia masih demam. Coba kau pegang dahinya, panasnya bukan main,” kata Qu Feiyan sambil memegang tangan Yilin dan menyentuhkannya pada dahi pria tersebut. Sebelumnya, Qu Feiyan sudah menyingkirkan sapu tangan yang menutupi wajah orang itu. Namun, keadaan begitu gelap sehingga Yilin tetap tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.

Yilin merasa dahi orang itu benar-benar panas seperti terbakar. Rasa kasihan langsung timbul dalam hatinya. Ia lalu berkata, “Aku masih punya obat yang lain. Tolong nyalakan lilinnya.”

“Baik, aku akan mengambil pemantik api,” jawab Qu Feiyan sambil melangkah pergi.

Dengan cepat Yilin menarik lengan baju gadis itu dan berkata, “Jangan tinggalkan aku sendirian di sini.”

Qu Feiyan tertawa dan berkata, “Kalau begitu keluarkan saja obatmu sekarang.”

Yilin pun mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dari balik bajunya dan menuangkan tiga butir pil, lalu berkata, “Ini adalah Pil Empedu Beruang Putih. Kau saja yang memberikan kepadanya.”

“Dalam keadaan gelap begini, sayang sekali kalau obatmu sampai jatuh ke lantai dan hilang,” jawab Qu Feiyan. “Ini menyangkut nyawa seseorang. Kakak, jika kau takut berada di dalam kamar ini, maka sebaiknya kau saja yang pergi mencari pemantik api.”

Di satu sisi Yilin merasa takut berada di dalam kamar gelap bersama seorang laki-laki tidak dikenal, namun di sisi lain ia juga takut berkeliaran sendiri di dalam sebuah rumah pelacuran. Maka, biksuni muda itu pun menjawab, “Tidak, tidak... aku tidak mau pergi.”

“Jika kau berniat menolong nyawa seseorang, maka kau tidak boleh melakukannya dengan setengah-setengah,” ujar Qu Feiyan. “Kakak yang baik, masukkan saja obatmu ke dalam mulutnya, lalu minumkan teh dalam cangkir ini untuk membantu dia agar mudah menelan. Keadaan kamar ini gelap gulita; kenapa kau harus takut dia mengenalimu? Terimalah cangkir teh ini, jangan sampai tumpah.”

Perlahan-lahan Yilin meraba tangan Qu Feiyan dan menerima cangkir teh tersebut. Dalam hati ia merenung, “Guru selalu mengajarkan kepadaku bahwa seorang pengikut Buddha harus mengutamakan sifat welas asih. Menolong satu nyawa jauh lebih mulia daripada membangun tujuh tempat ibadah. Meskipun orang ini tidak tahu di mana jasad Kakak Linghu berada, aku harus tetap mengobatinya.”

Perlahan-lahan Yilin menyentuh wajah pria itu dan merabanya sampai bertemu bagian mulut. Dimasukkannya ketiga butir Pil Empedu Beruang Putih di tangannya ke dalam mulut orang itu dan kemudian diminumkannya secangkir teh tadi sampai beberapa teguk. Samar-samar ia mendengar orang itu berkata lirih, “Terima... kasih.”

Yilin tertegun sejenak, kemudian kembali bertanya, “Tuan Pendekar, aku tahu lukamu sangat parah. Tidak sepantasnya aku mengganggu istirahatmu. Tapi, aku terpaksa harus bertanya sekarang juga. Apakah Tuan mengetahui di mana jasad Kakak Linghu Chong berada?”

“Jasad... jasad siapa?” sahut orang itu lirih. Suaranya menggumam tidak jelas.

“Jasad Pendekar Linghu Chong. Apakah kau mengetahuinya?” ujar Yilin sambil mendekatkan telinganya di depan mulut orang itu.

Orang itu kembali bergumam dengan suara tidak jelas. Yilin kembali mengulangi pertanyaan dengan lebih mendekatkan telinganya, namun orang itu bergumam semakin tidak jelas. Hanya suara napasnya yang terdengar naik turun. Sepertinya ia sudah berusaha keras menjawab pertanyaan Yilin namun suaranya tidak bisa dikeluarkan lagi.

Seketika Yilin teringat bahwa Salep Penyambung Langit dan Pil Empedu Beruang Putih memiliki efek samping yang cukup keras selain khasiatnya yang manjur. Lebih-lebih, Pil Empedu Beruang Putih yang berguna mengobati luka dari dalam akan membuat si pengguna kehilangan kesadaran sampai beberapa jam. Menyadari hal ini diam-diam Yilin merasa malu. Tidak sepantasnya ia memaksakan diri bertanya demikian kepada orang itu. Perlahan ia menghela napas lalu melangkah mundur dan berkata, “Biarlah dia beristirahat dulu. Akan kutunggu di sini.”

“Apa nyawa orang ini bisa diselamatkan?” tanya Qu Feiyan.

“Aku berharap demikian,” jawab Yilin. “Luka di dadanya terlalu dalam, hampir mengenai jantung. Nona Qu, sebenarnya.... siapa sebenarnya orang ini?”

Qu Feiyan tidak menjawab. Ia justru mengalihkan pembicaraan, “Ternyata benar apa yang dikatakan kakekku; kau ini belum bisa mengesampingkan urusan duniawi. Kau tidak seharusnya menjadi biksuni.”

Yilin terheran-heran dan bertanya, “Jadi, kakekmu mengenal aku? Bagaimana... bagaimana dia bisa mengetahui sifatku?”

Qu Feiyan menjawab, “Kemarin Kakek dan aku menyaksikan pertandingan antara Linghu Chong dan Tian Boguang di Rumah Arak Huiyan.”

“Oh, jadi yang duduk semeja denganmu kemarin adalah kakekmu?” tanya Yilin menegas.

“Benar sekali,” sahut Qu Feiyan. “Kakak Linghu-mu itu memang pandai bersilat lidah. Saat dia mengaku sebagai ahli silat sambil duduk nomor dua di dunia, Kakek sempat percaya dan penasaran ingin melihat sampai tuntas. Kakek ingin tahu bagaimana Jurus Pedang Kakus bisa mengalahkan Tian Boguang. Tidak tahunya... hahahaha!”

Meskipun keadaan gelap gulita, sehingga Yilin tidak bisa melihat dengan jelas wajah Qu Feiyan, namun ia dapat membayangkan gadis kecil itu sedang tertawa terpingkal-pingkal. Tentu saja ini membuat perasaannya bertambah sedih.

Qu Feiyan melanjutkan, “Setelah Tian Boguang meninggalkan tempat pertarungan, Kakek menyebutnya sebagai pengecut yang tidak dapat dipercaya. Jelas-jelas dia sudah kalah, tapi tidak mau menyembahmu sebagai guru. Bagaimana bisa dia kabur begitu saja dan mengingkari janjinya?”

“Kakak Linghu hanya main akal-akalan saja,” jawab Yilin. “Dia tidak menang dalam arti yang sebenarnya.”

Qu Feiyan berkata, “Kakak Yilin, kau ini benar-benar baik. Meskipun Tian Boguang sudah berbuat jahat tapi kau masih saja membelanya.”

Yilin hanya terdiam tidak menjawab.

Qu Feiyan melanjutkan, “Setelah Kakak Linghu-mu saling bunuh dengan murid Qingcheng, kau segera menggendong tubuhnya meninggalkan rumah arak tanpa tujuan yang jelas. Waktu itu Kakek berkata, ‘Biksuni cilik ini mudah jatuh cinta. Aku khawatir kematian Linghu Chong bisa membuatnya gila. Mari kita ikuti dari belakang.’

Diam-diam kami pun mengikutimu yang berjalan entah ke mana. Kakek kembali berkata, ‘Feifei, coba kau lihat biksuni itu. Andai saja Linghu Chong tidak mati, tentu dia akan memelihara rambut dan menjadi istrinya.’”

Seketika wajah Yilin bersemu merah. Untungnya keadaan sangat gelap sehingga Qu Feiyan tidak bisa melihatnya.

“Kakak, apakah perkataan kakekku benar?” sahut Qu Feiyan bertanya.

“Aih, bukan begitu,” jawab Yilin. “Aku sungguh merasa bersalah karena menyebabkan kematian Kakak Linghu. Aku berharap bukan dia yang mati, tetapi diriku saja. Andai Sang Buddha bersedia mencabut nyawaku untuk menggantikan Kakak Linghu, aku rela. Asalkan Kakak Linghu bisa hidup kembali, meskipun harus masuk neraka paling dasar dan tidak dilahirkan kembali... aku beredia.”

Yilin mengucapkan sumpahnya dengan suara agak keras dan bersungguh-sungguh, sehingga orang yang terluka di atas ranjang itu pun terbangun dan merintih perlahan.

“Nona Qu, dia sudah bangun,” seru Yilin gembira. “Coba kau tanyakan apakah keadaannya sudah lebih baik?”

“Kenapa harus aku yang bertanya? Memangnya kau sendiri tidak punya mulut?” ujar Qu Feiyan.

Sejenak Yilin merasa ragu-ragu. Ia kemudian melangkah maju dan menyingkap kelambu. Perlahan ia bertanya, “Tuan, apakah...?

Tiba-tiba orang itu kembali merintih. Yilin merasa belum saatnya untuk mengajukan pertanyaan. Maka itu, ia pun mundur kembali. Sayup-sayup terdengar napas orang itu mulai teratur, pertanda keadaannya sudah jauh lebih baik. Sepertinya ia kembali tertidur.

Qu Feiyan melanjutkan pembicaraan, “Kakak, mengapa kau rela mati demi Linghu Chong? Apakah dirimu benar-benar menyukainya?”

“Tidak, tidak!” sahut Yilin cepat. “Aku ini seorang biarawati, tidak boleh memikirkan urusan duniawi. Kakak Linghu dan aku sama sekali belum pernah bertemu, tapi... tapi dia rela mengorbankan nyawa demi untuk melindungi kehormatanku. Aku hanya... aku hanya merasa berhutang budi kepadanya.”

Qu Feiyan bertanya, “Lantas, apabila dia hidup kembali, apakah kau bersedia melakukan apa saja untuknya?”

“Tentu saja!” sahut Yilin. “Meskipun harus mati seribu kali aku tidak akan menolak.”

Tiba-tiba Qu Feiyan berseru dengan suara keras, “Kakak Linghu, kau dengar itu tidak? Kakak Yilin telah menyatakan perasaannya....”

“Nona Qu, kau jangan bercanda?” sela Yilin dengan perasaan gusar.

Qu Feiyan tidak peduli. Ia tetap saja berteriak, “Kakak Linghu, dia telah berkata bahwa jika kau tidak mati, maka dia akan melakukan segalanya untukmu.”

Dari nada ucapan Qu Feiyan yang tegas, Yilin dapat merasakan kalau gadis kecil ini tidak sedang bercanda. Seketika jantung biksuni muda itu berdebar kencang dan perasaannya gelisah. Ia hanya bisa berkata, “Kau... kau....”

Tiba-tiba Qu Feiyan mengeluarkan pemantik api yang sejak tadi disembunyikannya di dalam baju. Setelah menyalakan lilin, ia tersenyum lebar sambil meraih lengan Yilin dan mengajaknya mendekati ranjang. Pada saat gadis kecil itu menyingkap kelambu, jantung Yilin berdebar semakin kencang. Matanya berkunang-kunang menyaksikan wajah pria yang baru saja diobatinya itu. Seketika kakinya terasa lemas dan hampir saja ia jatuh di lantai.

Qu Feiyan buru-buru meraih bahu Yilin dan membantunya berdiri tegak. Ia lantas berkata, “Aku tahu ini akan menjadi kejutan besar untukmu. Sekarang lihatlah dengan jelas, siapa sebenarnya orang ini!”

Yilin hanya bisa berkata, “Dia... dia adalah....” Suaranya terdengar sangat lirih. Dilihatnya pria yang berbaring di atas ranjang tersebut ternyata seorang pemuda berwajah bersih, beralis lentik, dan berbibir tipis. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah sang pahlawan penolong yang kemarin berjuang mati-matian di Rumah Arak Huiyan. Dia adalah Linghu Chong.

Yilin kembali berkata dengan suara gemetar sambil menarik lengan Qu Feiyan, “Jadi, dia... dia... dia belum mati?”

Qu Feiyan menjawab, “Dia memang belum mati. Tapi kalau obatmu tidak manjur, dia pasti akan mati.”

“Tidak, dia tidak akan mati. Dia tidak akan mati! Dia... dia pasti selamat,” seru Yilin. Karena terlalu gembira, ia pun menangis pula.

“Hei, dia tidak mati, mengapa kau malah menangis?” tanya Qu Feiyan terheran-heran.

Kedua kaki Yilin terasa lemas. Ia lalu duduk di atas ranjang sambil tetap menangis. “Aku sungguh bahagia. Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepadamu. Nona Qu, ternyata kau telah... kau telah menyelamatkan nyawa Kakak Linghu.”

Qu Feiyan menjawab, “Bukan aku, tapi kau sendiri yang telah menolongnya. Aku tidak tahu cara mengobati orang, dan aku juga tidak memiliki Salep Penyambung Langit.”

Seketika Yilin menyadari sesuatu. Ia pun bangkit dan memegang lengan Qu Feiyan, lalu berkata, “Pasti kakekmu yang telah melakukan ini semua. Kakekmu yang telah membawa Kakak Linghu kemari.”

Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita memanggil-manggil di luar, “Yilin! Yilin!”

Yilin sangat terkejut karena suara tersebut adalah suara Biksuni Dingyi. Ia berniat menjawab namun Qu Feiyan segera membungkam mulutnya dan mematikan lilin.

“Apa kau lupa ini tempat apa?” bisik Qu Feiyan. “Jangan menjawab panggilan gurumu!”

Yilin terdiam. Ia merasa serbasalah. Di satu sisi ia malu berada di tempat pelacuran, dan di sisi lain perbuatan tidak menjawab panggilan sang guru adalah sesuatu yang tidak pernah ia lakukan seumur hidup.

Biksuni Dingyi kembali berteriak, “Tian Boguang, keluar kau! Bebaskan Yilin!”

Maka terdengarlah suara Tian Boguang tertawa terbahak-bahak dari arah kamar sebelah barat. Penjahat itu kemudian berkata, “Hei, mungkinkah yang datang ini Biksuni Dingyi dari Biara Awan Putih?” Setelah melanjutkan gelak tawa, ia kembali berkata, “Seharusnya aku keluar untuk memberi hormat. Tapi, di sampingku sedang ada teman-teman cantik. Mohon maaf aku tidak bisa keluar untuk menemuimu. Hahaha!”

Menyusul kemudian terdengar suara tawa para perempuan yang menemani Tian Boguang di kamar itu. Sudah pasti mereka adalah para pelacur penghuni Wisma Kumala tersebut. Salah seorang dari mereka berkata, “Sayangku, jangan pedulikan nenek itu. Beri aku ciuman lagi....”

Dingyi semakin gusar mendengar suara-suara genit dari dalam kamar tersebut yang semakin keras dan keras. Ia pun berteriak, “Tian Boguang, kalau tidak segera keluar, aku akan mencincang tubuhmu hingga hancur lebur!”

“Kalau aku keluar, kau akan mencincang tubuhku; kalau aku tetap di sini, kau juga akan mencincang tubuhku,” sahut Tian Boguang. “Ah, kalau begitu lebih baik aku tetap di sini saja, bersama teman-teman manis ini... Ayo, sayang!”

Tian Boguang kembali bergelak tawa bersama para pelacur tersebut. Ia kemudian berseru, “Biksuni Dingyi, tempat seperti ini tidak pantas didatangi oleh biarawati sepertimu. Lebih baik kau lekas pulang saja. Muridmu tidak ada di sini. Dia seorang biksuni muda yang alim dan taat agama. Kalau dia sampai main ke sini tentu ini suatu kejadian yang aneh bin ajaib. Mengapa kau tidak merasa risih mencarinya di tempat seperti ini?”

Dingyi sudah hilang kesabaran. Ia berteriak kepada murid-muridnya, “Bakar saja! Bakar saja sarang anjing ini! Kita lihat sampai kapan binatang itu bisa bertahan!”

“Hei, Biksuni Dingyi,” seru Tian Boguang sambil tetap bergelak tawa. “Tempat ini bernama Wisma Kumala, salah satu tempat terkenal di Kota Hengshan. Jika kau sampai membakarnya, maka dalam sekejap akan tersiar kabar di seluruh dunia persilatan bahwa seorang alim bernama Biksuni Dingyi dari Biara Awan Putih telah mendatangi sebuah rumah pelacuran. Orang-orang akan bertanya, ‘Mengapa seorang biksuni sepuh mendatangi tempat mesum?’ – Jawabnya, ‘Untuk mencari muridnya.’ – Selanjutnya mereka akan bertanya, ‘Kenapa seorang murid Perguruan Henshan sampai datang ke rumah pelacuran?’ – Nah, bukankah ini akan menjatuhkan nama baik perguruanmu?”

Tian Boguang tertawa semakin keras lalu melanjutkan, “Biksuni Dingyi, aku terpaksa mengatakan sesuatu kepadamu. Seumur hidup, Tian Boguang tidak pernah takut terhadap langit, tidak pernah gentar terhadap bumi. Tapi sekarang aku sangat takut bila bertemu muridmu yang satu itu. Kalau sampai bertemu dengannya lebih baik aku menyingkir jauh-jauh. Jadi, mana mungkin aku berani kurang ajar kepadanya?”

Dingyi menjadi bimbang mendengar perkataan Tian Boguang. Namun menurut laporan muridnya yang bertugas membuntuti, jelas-jelas Yilin masuk ke dalam Wisma Kumala bersama Qu Feiyan. Bahkan kemudian Tian Boguang muncul dan menyerang murid pengintai tersebut. Untung saja murid Henshan tersebut berhasil meloloskan diri karena si penjahat cabul tidak tega membunuhnya.

Karena merasa bingung tidak tahu harus berbuat apa, Biksuni Dingyi hanya bisa menendang tiang bendera di depan rumah pelacuran itu dengan persaan gusar.

Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki dari arah genting Wisma Kumala yang bertanya dengan nada dingin, “Tian Boguang, apa benar kau yang telah membunuh Peng Renqi, muridku?” Suara ini tidak lain adalah suara Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng.

“Wah, wah, ketua Perguruan Qingcheng juga datang ke sini. Hari ini Wisma Kumala benar-benar laris. Pasti sebentar lagi namanya akan terkenal di seluruh dunia. Tentu majikan tempat ini akan sangat bergembira. Hahaha!” seru Tian Boguang tertawa. “Aku memang telah membunuh seorang bocah berseragam ungu. Ilmu pedangnya sangat rendah, mirip ilmu pedang Perguruan Qingcheng. Tapi aku sendiri tidak tahu apakah namanya Peng Renqi atau bukan. Maklum saja, kami belum sempat berkenalan, tahu-tahu dia sudah mati.”

Tanpa banyak bicara Yu Canghai langsung merusak atap di atas kamar Tian Boguang dan meloncat turun ke bawah. Sekejap kemudian terdengar suara senjata beradu, pertanda telah terjadi pertarungan seru antara ketua Perguruan Qingcheng tersebut melawan si penjahat cabul.

Sambil berdiri di dekat atap yang berlubang tadi, Biksuni Dingyi menyaksikan pertarungan antara mereka berdua. Diam-diam ia memuji kehebatan ilmu golok Tian Boguang. “Ilmu silat bajingan ini hebat juga. Serangan goloknya yang cepat mampu mengimbangi pedang seorang ketua Perguruan Qingcheng.”

Tiba-tiba terdengar suara keras berdentum. Karena cemas, Yilin segera memegangi lengan Qu Feiyan. Ia bertanya-tanya, siapakah yang kalah, Yu Canghai atau Tian Boguang? Meskipun dirinya pernah hampir saja diperkosa oleh Tian Boguang, namun dalam pertarungan tersebut ia justru mengharapkan kekalahan Yu Canghai. Ia ingin Yu Canghai segera pergi dari tempat itu supaya tidak mengganggu ketenangan Linghu Chong. Apalagi kalau Yu Canghai menang dan menemukan ruang rahasia tersebut, tentu ia akan menyakiti Linghu Chong dan membunuhnya pula.

Ternyata suara dentuman keras tadi adalah hancurnya dinding kamar akibat dijebol oleh Tian Boguang. Penjahat cabul itu sengaja mencari jalan keluar supaya bisa bertarung di tempat yang lebih leluasa, karena di dalam kamar terdapat beberapa orang pelacur yang terjebak ketakutan.

“Pendeta Yu, mari kita lanjutkan pertarungan di tempat yang lebih luas. Kalau aku kalah kau boleh memiliki Si Giok Kecil. Tapi kalau aku yang menang, maka kau tidak boleh mengincar dia lagi! Hahaha!” demikian ujar Tian Boguang sambil berlari menjauhi Wisma Kumala.

Hampir saja kemarahan Yu Canghai meledak mendengar ejekan itu. Si Giok Kecil adalah primadona Wisma Kumala, yaitu salah satu dari para pelacur yang tadi berada di kamar bersama Tian Boguang. Diam-diam ketua Perguruan Qingcheng itu berpikir, “Pertarungan di dalam kamar tadi telah membuktikan kalau ilmu golok penjahat itu benar-benar lihai. Lebih dari lima puluh jurus berlalu namun aku tidak dapat menjatuhkannya. Goloknya dapat bertahan dan menyerang dalam waktu bersamaan. Ilmu silatnya tidak lebih rendah dariku. Jika pertarungan ini dilanjutkan di tempat terbuka, aku tidak yakin apakah bisa menang melawan dia.”

Untuk sementara waktu suasana berubah sunyi senyap. Yilin seolah-olah bisa mendengar bunyi detak jantungnya sendiri yang berdebar kencang. Ia mendekati wajah Qu Feiyan dan berbisik, “Apakah... apakah mereka akan masuk kemari?”

Meskipun usia Qu Feiyan lebih muda, namun dalam keadaan gawat seperti ini ia tetap berusaha tenang. Gadis kecil itu tidak menjawab dan segera membungkam mulut Yilin.

Kemudian terdengar suara Liu Zhengfeng berkata, “Pendeta Yu, meskipun kejahatan Tian Boguang sudah setinggi gunung, kita tidak perlu repot-repot membereskannya sekarang. Kita bisa membuat perhitungan dengannya lain waktu. Rumah mesum ini merupakan tempat hina di dalam Kota Hengshan. Sudah lama aku ingin membersihkannya. Biarlah aku yang menggeledah tempat ini. Seorang pun tidak akan kubiarkan lolos.”

Liu Zhengfeng kemudian menyuruh Xiang Danian dan Mi Weiyi untuk menggeledah seluruh penjuru Wisma Kumala. Tidak ketinggalan, Yu Canghai segera memerintahkan murid-murid Qingcheng ikut menyerbu ke dalam. Biksuni Dingyi yang semula ragu-ragu lantas memerintahkan pula murid-murid Henshan untuk membantu.

Mendengar itu Yilin semakin cemas. Murid-murid Hengshan, Henshan, dan Qingcheng menyebar ke segala arah. Terdengar jerit tangis para pelacur dan germo wisma tersebut karena diberi pelajaran oleh Xiang Danian dan yang lain. Murid-murid Qingcheng bertindak lebih kasar lagi. Mereka mengobrak-abrik Wisma Kumala sebagai upaya balas dendam atas kematian Peng Renqi. Terdengar suara mereka membentak-bentak sambil membanting perabotan wisma.

Sadar bahwa orang-orang itu cepat atau lambat akan menemukan tempatnya, Yilin semakin takut dan hampir jatuh pingsan. Dalam hati ia meratap, “Bagaimana ini? Tadi sewaktu Guru memanggil, aku diam tidak menjawab. Sebentar lagi mereka akan menemukan diriku berada di dalam kamar bersama seorang pria. Apalagi ini adalah rumah pelacuran. Meskipun Kakak Linghu dalam keadaan terluka parah, tetap saja mereka menuduhku berbuat yang tidak baik. Sekalipun aku memiliki seribu mulut, tetap saja aku tidak bisa membela diri. Nama baik Perguruan Henshan akan tercemar olehku. Aku... aku tidak akan mempunyai muka lagi untuk bertemu Guru dan para kakak sekalian.”

Diam-diam Yilin melolos pedangnya untuk bunuh diri. Namun begitu pedang itu hampir menggorok lehernya, tahu-tahu lengannya sudah dipegang erat oleh Qu Feiyan. Gadis kecil itu berbisik, “Jangan gila!”

Ternyata begitu mendengar suara pedang dicabut dari sarungnya, Qu Feiyan langsung bisa menebak apa yang hendak dilakukan Yilin. Dalam kegelapan, tangannya bergerak cepat mencegah lengan Yilin berbuat lebih lanjut. “Lebih baik kita menerjang keluar saja,” demikian ia berkata.

Tiba-tiba terdengar suara perlahan dari arah ranjang. Rupanya Linghu Chong sudah bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Ia berkata perlahan, “Nyalakan lilin!”

“Untuk apa?” tanya Qu Feiyan.

“Aku bilang nyalakan lilin!” sahut Linghu Chong lirih tapi dengan nada tegas. Qu Feiyan tidak berani membantah lagi. Ia pun memenuhi permintaan murid Huashan tersebut.

Di bawah cahaya lilin Yilin melihat wajah Linghu Chong pucat pasi seperti mayat. Ia sangat terkejut dan hampir saja menjerit karenanya.

“Ambilkan... itu,” ujar Linghu Chong sambil menunjuk bajunya yang tertaruh di atas ranjang. “Pakaikan di bahuku.”

Dengan tangan gemetar, Yilin mengambil baju seragam Huashan tersebut dan memakaikannya di pundak Linghu Chong. Dengan demikian luka dan darah di dada pemuda itu tidak terlihat lagi.

“Kalian berdua, tidurlah di ranjang ini,” perintahnya kemudian.

“Aha, ini pasti menyenangkan,” ujar Qu Feiyan sambil tersenyum. Ia pun menarik Yilin yang masih kebingungan dan membawa biksuni lugu itu naik ke atas ranjang. Keduanya lalu berlindung di balik selimut.

Rupanya para penggeledah sudah mulai menemukan cahaya lilin yang terpancar samar-samar dari dalam kamar rahasia tersebut. “Hei, di sini ada kamar. Mari kita periksa!” seru seseorang. Dalam waktu singkat, terdengar suara langkah kaki beberapa orang menuju ke kamar rahasia tersebut.

Linghu Chong menghirup napas dalam-dalam. Ia membuka jendela untuk mendapatkan udara segar, kemudian mengunci pintu dengan palang kayu. Setelah itu, ia kembali ke tempat tidur dan menutup kelambu. “Kalian berdua bersembunyilah di dalam selimut!” ujarnya memberi perintah.

Yilin menyahut, “Jangan banyak bergerak. Hati-hati... hati-hati dengan lukamu.”

Linghu Chong segara menata Yilin dan Qu Feiyan supaya berpelukan menjadi satu. Tubuh mereka ditutup dengan selimut, namun rambut Qu Feiyan yang panjang dibiarkan terurai di atas bantal. Hanya karena bergerak demikian, luka di dada pemuda itu pecah kembali dan mengucurkan darah. Seketika kakinya terasa lemas dan ia pun jatuh terduduk di tepi ranjang.

Sementara itu, murid-murid tiga perguruan sudah berteriak-teriak dan menggedor pintu. “Buka pintu! Lekas buka pintu!” Tidak lama kemudian, pintu kamar tersebut hancur karena ditendang dari luar.

Di antara orang-orang yang datang itu terdapat Hong Renxiong dari Qingcheng. Tanpa sadar, ia pun melompat mundur karena terkejut melihat Linghu Chong duduk di tepi ranjang.

“Kau... kau Linghu Chong!” ujarnya gugup.

Xiang Danian, Mi Weiyi, dan yang lain belum pernah bertemu dengan Linghu Chong. Namun mendengar sepak terjang pemuda itu yang pernah menantang Tian Boguang dan membunuh Luo Renjie, mau tidak mau mereka merasa gentar dan melangkah mundur. Kini semua mata hanya memandang tajam ke arah murid Huashan nomor satu itu tanpa berbicara sedikit pun.

Linghu Chong bangkit perlahan-lahan dan berkata, “Kalian.... semua, ada perlu apa?”

Hong Renxiong berkata gemetar, “Linghu... Linghu Chong, kau... kau belum mati?”

“Mana mungkin aku mati semudah itu?” jawab Linghu Chong datar.

Tiba-tiba Yu Canghai muncul di belakang mereka dan melangkah maju ke depan. “Jadi, kau ini yang bernama Linghu Chong? Bagus sekali, bagus sekali!” ujarnya sambil tersenyum menyeringai.

Linghu Chong memandang tajam ke arah ketua Perguruan Qingcheng tersebut tanpa menjawab sepatah kata pun.

“Untuk apa kau berada di tempat ini?” tanya Yu Canghai.

Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Apa kau pura-pura tidak tahu? Menurutmu, apa yang dilakukan seorang laki-laki di dalam rumah pelacuran?”

“Hm, konon kabarnya tata tertib Perguruan Huashan terkenal ketat,” ujar Yu Canghai dengan nada dingin. “Kau adalah murid Huashan nomor satu, murid terbaik Tuan Yue, si Pedang Budiman. Tapi, kau malah tidur di sini bersama pelacur. Sungguh menggelikan, sungguh memalukan!”

“Tata tertib Perguruan Huashan adalah urusan kami,” sahut Linghu Chong. “Orang luar seperti dirimu tidak perlu ikut campur.”

Yu Canghai berpengalaman luas di dunia persilatan. Melihat keadaan Linghu Chong yang pucat pasi dan gemetaran, jelas kalau pemuda ini sedang terluka parah. Diam-diam ketua Qingcheng itu berpikir, “Bocah ini ternyata masih hidup. Padahal, si biksuni cilik dari Henshan bercerita kalau dia dan Renjie saling bunuh dan mati bersama. Mungkin saja biksuni cilik itu sengaja mengarang cerita palsu. Selama bercerita, dia menyebut bocah ini dengan panggilan ‘Kakak Linghu’ begitu mesra. Mungkin saja di antara mereka berdua sudah terjalin hubungan gelap. Hm, jelas-jelas tadi ada laporan kalau biksuni cilik itu masuk ke tempat ini. Namun sampai kini belum ada yang bisa menemukannya. Aku yakin, dia pasti disembunyikan oleh si bocah Linghu Chong entah di mana. Hehe, Serikat Pedang Lima Gunung selalu menyebut diri sendiri sebagai kaum lurus bersih di dunia persilatan, dan memandang rendah terhadap Perguruan Qingcheng. Jika malam ini aku berhasil menyeret biksuni cilik itu keluar dari persembunyiannya, maka bukan hanya nama baik Perguruan Huashan dan Henshan yang tercemar, tapi seluruh Serikat Pedang Lima Gunung juga akan kehilangan muka di dunia persilatan. Mereka tidak akan berani sombong lagi.”

Usai berpikir demikian, Yu Canghai memandang ke segenap penjuru kamar dengan pandangan tajam. Ia tidak menemukan siapa pun di tempat itu selain Linghu Chong, kecuali di atas ranjang terdapat pemandangan mencurigakan. “Jangan-jangan biksuni cilik itu bersembunyi di bawah selimut,” demikian ia menyimpulkan.

“Renxiong, coba kau singkap kelambu itu! Perlihatkan kepada kami apakah di atas ranjang ada tontonan menarik!” seru Yu Canghai kemudian.

Hong Renxiong segera melaksanakan perintah sang guru. Teringat dirinya pernah dihajar oleh Linghu Chong beberapa waktu yang lalu, mau tidak mau hatinya gelisah juga saat melangkah maju sedikit demi sedikit.

“Kau mau mati?” tegur Linghu Chong dengan mata tajam.

Hong Renxiong menelan ludah. Begitu teringat sang guru ada di belakangnya, ia pun mendapat tambahan keberanian. Perlahan-lahan tangannya melolos pedang.

Linghu Chong lantas berkata kepada Yu Canghai, “Kau mau apa?”

Yu Canghai menjawab, “Perguruan Henshan baru saja kehilangan seorang muridnya. Ada laporan bahwa dia masuk ke wisma mesum ini. Maka itu, kami datang kemari untuk mencarinya.”

“Ini urusan Serikat Pedang Lima Gunung, untuk apa orang Qingcheng ikut campur?” ujar Linghu Chong.

“Kami sedang mencari kebenaran. Terserah kau suka atau tidak, yang jelas urusan ini harus diusut sampai tuntas,” jawab Yu Canghai. “Renxiong, lanjutkan!”

“Baik, Guru!” jawab Hong Renxiong yang sudah sampai di depan ranjang. Ia lantas menyingkap kelambu menggunakan pedang. Sementara itu, Yilin dan Qu Feiyan berpelukan erat di bawah selimut. Setiap perkataan Linghu Chong dan Yu Canghai dapat terdengar jelas oleh mereka. Karena sangat ketakutan, tubuh kedua gadis itu pun gemetaran.

Begitu Hong Renxiong menyingkap kelambu, serentak pandangan semua orang tertuju ke atas ranjang. Di balik selimut berwarna merah, mereka melihat sesosok tubuh sedang gemetar ketakutan. Wajah orang itu tertutup selimut, tapi rambutnya yang panjang terurai di atas bantal.

Yu Canghai merasa kecewa karena perempuan di samping Linghu Chong itu ternyata memiliki rambut panjang, bukan biksuni gundul seperti yang ia harapkan.

Linghu Chong berkata, “Pendeta Yu, meskipun kau seorang pendeta agama Tao, tapi kabarnya dalam Perguruan Qingcheng tidak ada larangan untuk menikah. Bahkan aku dengar, kau punya banyak istri dan anak. Tentu kau sangat senang melihat wanita telanjang. Jika demikian, mengapa kau tidak maju kemari dan membuka selimut untuk melihat pemandangan bagus? Kenapa pula kau lebih suka mencari biksuni gundul dari Henshan?”

“Keparat!” bentak Yu Canghai sambil memukul ke arah Linghu Chong.

Linghu Chong bergerak ke samping untuk menghindar. Namun karena tubuhnya masih lemah, mau tidak mau angin yang berhembus dari gerakan tangan sang ketua Qingcheng membuatnya jatuh terduduk di atas ranjang.

Perlahan-lahan Linghu Chong mencoba bangkit kembali. Namun darah segar lantas keluar dari mulutnya. Berkali-kali pemuda itu muntah darah.

Yu Canghai mempersiapkan pukulan kedua. Kali ini nyawa Linghu Chong pasti melayang jika pukulan tersebut mendarat di tubuhnya. Tak disangka, tiba-tiba dari luar jendela terdengar suara seseorang berseru, “Huh, orang tua menganiaya anak muda! Sungguh memalukan!”

Secepat kilat Yu Canghai mengalihkan pukulannya ke arah jendela. Menyusul kemudian ia melompat keluar dari dalam kamar. Di bawah cahaya lilin, terlihat bayangan seorang bungkuk sedang berdiri di sudut rumah.

“Berhenti di situ!” bentaknya kepada si orang bungkuk.

Manusia bungkuk tersebut tidak lain adalah Lin Pingzhi yang sedang menyamar. Setelah berselisih dengan Yu Canghai di rumah Liu Zhengfeng, ia menyelinap keluar pada saat Qu Feiyan muncul dan membuat ulah. Sesampainya di luar, ia termenung-menung memikirkan apa yang baru saja ia alami.

“Setiap orang kini telah mengenaliku sebagai seorang bungkuk yang berani menantang Yu Canghai. Aku tidak bisa leluasa lagi berkeliaran dengan penampilan ini untuk mencari berita di mana Ayah dan Ibu berada. Jika orang-orang Qingcheng melihatku lagi, tentu mereka akan langsung membunuhku tanpa banyak bertanya. Apakah aku harus mengganti penyamaran? Aih, saat Yu Canghai mencengkeram lenganku, aku merasa tenaganya begitu besar. Kenapa di dunia ini ada orang sekuat itu? Lantas, bagaimana aku bisa menolong Ayah dan Ibu?”

Sekian lama ia merenung, tahu-tahu seseorang telah menepuk punggungnya. Begitu menoleh ternyata Mu Gaofeng, si Bungkuk dari Utara sudah berdiri di belakangnya.

“Bungkuk palsu, apa enaknya menyamar menjadi seorang bungkuk, hah?” tanya Mu Gaofeng kepadanya. “Kenapa pula kau sengaja mengaku sebagai cucuku?”

Lin Pingzhi menyadari kalau Mu Gaofeng seorang kejam dan berkepandaian tinggi. Sedikit saja manusia bungkuk itu tersinggung, tentu ia akan langsung bertindak mencabut nyawa. Teringat bahwa di dalam aula tadi si bungkuk tidak marah sewaktu dipuji sebagai seorang pahlawan pembela kebenaran, Lin Pingzhi pun berniat menggunakan cara yang sama.

Maka pemuda itu pun berkata, “Saya sudah lama mendengar bahwa Pendekar Mu, si Bungkuk dari Utara memiliki nama besar di dunia persilatan; suka membantu kaum lemah dan menegakkan keadilan. Saya benar-benar mengagumi Tuan Pendekar, sehingga dengan sengaja menyamar seperti ini. Mohon Pendekar Mu sudi memaafkan.”

“Kau jangan bercanda!” bentak Mu Gaofeng sambil tertawa. “Suka membantu kaum lemah dan menegakkan keadilan, omong kosong semua itu.” Ia sadar kalau Lin Pingzhi sengaja berbohong untuk sekadar memujinya. Pada umumnya manusia suka dipuji; apalagi seorang manusia tercela seperti Mu Gaofeng sudah pasti jarang mendengar pujian untuk dirinya. Tentu saja tutur kata pemuda itu membuatnya senang.

Manusia bungkuk itu lantas bertanya, “Siapa namamu yang sebenarnya?”

Lin Pingzhi menjawab, “Sebenarnya saya bermarga Lin. Secara tidak sengaja saya telah memakai marga yang sama dengan Tuan Pendekar.”

“Tidak sengaja bagaimana? Kau pasti sengaja memakai marga Mu untuk menggertak orang lain,” sahut Mu Gaofeng. “Anak muda, Yu Canghai itu seorang guru besar dalam dunia persilatan. Hanya dengan satu jari dia bisa mencabut nyawamu. Tapi kau malah berani menantangnya. Hm, keberanianmu patut untuk dihargai.”

Mendengar itu, Lin Pingzhi langsung menukas dengan nada marah, “Selama saya masih bisa bernapas, saya bersumpah akan membunuh bajingan itu dengan tangan saya sendiri.”

Mu Gaofeng menjadi heran dan bertanya, “Memangnya ada permusuhan apa antara kau dengan Yu Canghai?”

Lin Pingzhi terdiam sejenak. Ia menyadari bahwa dengan kekuatan seorang diri tidak mungkin bisa membebaskan kedua orang tuanya. Maka itu, ia pun berlutut di hadapan Mu Gaofeng dan berkata, “Ayah dan ibu saya disekap oleh bangsat bermarga Yu itu. Saya memohon bantuan Tuan Pendekar untuk menegakkan keadilan memberi pertolongan.”

Mu Gaofeng menggelengkan kepala dan menjawab, “Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak menghasilkan keuntungan apa-apa. Memangnya, siapa nama ayahmu? Kalau aku bisa menolongnya, apa pula yang akan kudapatkan?”

Belum sempat Lin Pingzhi menjawab tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berbicara dengan nada tegang. “Cepat lapor kepada Guru, bahwa seorang murid Qingcheng terbunuh oleh Tian Boguang di Wisma Kumala. Seorang murid Henshan juga pulang dalam keadaan terluka. Cepatlah!”

Mu Gaofeng tersenyum dan berkata kepada Lin Pingzhi, “Urusanmu ini bisa kita bicarakan nanti. Sepertinya ada pertunjukan menarik. Bila ingin bertambah pengalaman, ikutlah denganku.”

Lin Pingzhi berpikir urusan meminta bantuan memang bisa ditunda nanti. Maka, ia lantas menjawab, “Kemana pun Tuan Pendekar pergi, saya siap menemani.”

“Tapi dalam segala hal si bungkuk ini suka menghitung untung-rugi,” ujar Mu Gaofeng. “Jika kau hanya menyanjungku dan meminta bantuan tanpa ada imbalan yang pantas, jangan harap aku sudi turun tangan.”

Lin Pingzhi mengangguk tanpa berkata apa-apa.

“Nah, mereka sudah berangkat,” sahut Mu Gaofeng sambil menunjuk rombongan Biksuni Dingyi yang berangkat lebih dulu menuju Wisma Kumala. Manusia bungkuk itu lalu memegang lengan Lin Pingzhi dan membawa pemuda itu lari bagaikan terbang.

Setibanya di rumah pelacuran tersebut, Mu Gaofeng dan Lin Pingzhi segera bersembunyi di belakang pohon. Mereka menyaksikan semua yang terjadi. Misalnya pertarungan antara Yu Canghai melawan Tian Boguang, sampai penggeledahan wisma yang dipimpin oleh murid-murid Liu Zhengfeng. Akhirnya, ketika melihat Yu Canghai hendak memukul Linghu Chong melalui lubang jendela kamar rahasia, Lin Pingzhi tidak tahan lagi dan berseru, “Huh, orang tua menganiaya anak muda! Sungguh memalukan!”

Begitu bersuara, Lin Pingzhi menyadari kecerobohannya. Namun Yu Canghai sudah terlanjur melesat keluar dari kamar dan memburunya. Tahu-tahu pendeta pendek itu sudah menghadang di depannya sambil membentak, “Berhenti di situ!”

Jurus Tapak Penghancur Jantung yang semula dipersiapkan Yu Canghai untuk membunuh Linghu Chong kini hendak diarahkan kepada Lin Pingzhi. Namun begitu mengetahui kalau yang bersuara mengganggunya tadi adalah si pemuda bungkuk, ia pun menahan serangan tersebut. Diam-diam ia merasa segan melihat si bungkuk tua yang juga berada di situ.

“Kau lagi rupanya!” tegur Yu Canghai kepada Lin Pingzhi. Ia lantas berpaling kepada Mu Gaofeng dan menyapa, “Saudara Mu, kenapa kau menyuruh bocah ini mencari masalah denganku lagi? Apa sebenarnya yang kau inginkan?”

Mu Gaofeng tertawa dan menjawab, “Bocah ini mengaku sebagai cucuku, padahal aku sama sekali tidak mengenalnya. Dia bermarga Lin, sedangkan aku bermarga Mu. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan bocah ini. Pendeta Yu, bukannya aku takut kepadamu, tapi aku sendiri sudah bosan dijadikan tameng anak muda ini tanpa bayaran yang jelas. Sebenarnya boleh saja dia menjadikan aku sebagai pelindung, asalkan ada bayaran yang pasti, misalnya emas atau perak. Si bungkuk tidak suka turun tangan secara cuma-cuma.”

Yu Canghai gembira mendengar jawaban Mu Gaofeng. “Kalau benar apa yang dikatakan Saudara Mu, rasanya aku tidak perlu segan-segan lagi,” ujarnya. Usai berkata demikian, ia lantas bersiap melayangkan pukulan ke arah Lin Pingzhi.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru, “Huh, orang tua menganiaya anak muda! Sungguh memalukan!”

Yu Canghai serentak menoleh. Ternyata yang bersuara kali ini adalah Linghu Chong yang sudah berdiri di ambang jendela.

Yu Canghai merasa serbasalah. Ilmu silat Linghu Chong dan Lin Pingzhi jelas-jelas jauh di bawahnya. Sudah tentu membunuh mereka berdua adalah pekerjaan mudah. Akan tetapi, jika ia benar-benar melakukannya, maka itu berarti sesuai dengan ejekan kedua pemuda tersebut. Ini berarti predikat “memalukan” dengan sendirinya akan melekat pula pada dirinya. Namun demikian, ia juga tidak mungkin membiarkan kedua pemuda itu mengejeknya terus-menerus. Maka, dengan mulut menyeringai ia pun berkata kepada Linghu Chong, “Urusan denganmu biarlah nanti kuperhitungkan dengan gurumu.”

Kemudian ia berpaling kepada Lin Pingzhi dan berkata, “Bocah sial, kau ini sebenarnya murid siapa, hah?”

“Bangsat tua bangka!” bentak Lin Pingzhi. “Kau telah menghancurkan keluargaku dan membuat hidupku terlunta-lunta; tapi kau masih juga bertanya siapa aku ini?”

Yu Canghai menjadi heran. Ia merasa baru kali ini bertemu pemuda bungkuk itu, namun mengapa dirinya dituduh berbuat seperti itu. Meskipun demikian, di hadapan murid-murid ketiga perguruan ia merasa tidak leluasa untuk bertanya lebih lanjut. Maka, ia pun memberi perintah, “Renxiong, singkirkan bocah bungkuk ini lebih dulu; baru setelah itu tangkap Linghu Chong.”

“Baik, Guru!” sahut Hong Renxiong kemudian melompat maju. Dengan cara demikian, Yu Canghai dapat menghindarkan diri dari ejekan Linghu Chong dan Lin Pingzhi tadi.

Lin Pingzhi sendiri segera meraba pedangnya. Namun belum sempat pedang itu keluar dari sarungnya, pedang Hong Renxiong secepat kilat sudah lebih dulu mengancam di depan dadanya. Dengan perasaan gusar, pemuda yang sedang menyamar bungkuk itu berkata, “Yu Canghai, meskipun aku, Lin Pingzhi....”

Seketika Yu Canghai terkejut mendengarnya. Dengan cepat ia melepaskan pukulan jarak jauh untuk menyapu pedang Hong Renxiong sehingga meleset dari sasaran.

“Apa katamu?” tanya pendeta pendek itu menegas.

“Aku, Lin Pingzhi, meskipun menjadi hantu akan tetap mengincar nyawamu!” teriak Lin Pingzhi murka.

“Jadi... jadi, kau adalah Lin Pingzhi dari Biro Ekspedisi Fuwei, hah?” sahut Yu Canghai semakin mendekat.

Lin Pingzhi sadar bahwa dengan membuka penyamaran, maka kematian akan segera datang menjemputnya. Namun demikian ia sudah bertekad bulat menghadapi Yu Canghai habis-habisan. Maka itu, ia lantas membuang semua koyo yang menempel di wajahnya dan berkata lantang, “Benar, aku adalah Lin Pingzhi dari Biro Ekspedisi Fuwei. Aku yang telah membunuh anakmu, si kurang ajar pengganggu perempuan. Kau sendiri juga telah menghancurkan keluargaku serta menyekap ayah dan ibuku.”

Berita bahwa Perguruan Qingcheng menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei telah menyebar luas di dunia persilatan. Pada umumnya, orang-orang tidak mengetahui dendam lama tentang kekalahan Tang Qingzi di tangan Lin Yuantu, sehingga mereka mengira satu-satunya tujuan Yu Canghai menghancurkan perusahaan tersebut adalah untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis.

Sewaktu di Rumah Minum Dewa Mabuk, Linghu Chong yang pernah mendengar berita itu telah menggunakannya untuk mengalihkan perhatian Luo Renjie dan membunuh murid Qingcheng tersebut. Mu Gaofeng sendiri juga mendengar adanya berita ini. Maka begitu melihat si bungkuk muda telah membuka penyamarannya dan mengaku sebagai Lin Pingzhi dari Biro Ekspedisi Fuwei, seketika ia merasa terkejut. Setelah melihat raut muka Yu Canghai yang terlihat berubah kaget, serta bagaimana pendeta pendek itu menggagalkan tusukan pedang Hong Renxiong demi membiarkan Lin Pingzhi tetap hidup, maka perasaan Mu Gaofeng bertambah yakin.

Maka, begitu melihat Yu Canghai meraih lengan kanan Lin Pingzhi dan bersiap menyeret pemuda itu pergi, Mu Gaofeng pun melompat maju dan menarik lengan yang lain sambil berteriak, “Nanti dulu!”

Dalam sekejap, tubuh Lin Pingzhi ditarik oleh dua kekuatan besar dari arah yang berlawanan. Keduanya sama-sama mengerahkan tenaga dalam sehingga pemuda itu merasa sakit bukan main dan hampir saja jatuh pingsan.

Melihat Mu Gaofeng ikut campur, Yu Canghai merasa urusan menjadi rumit. Jika ia menarik lebih keras, maka tubuh Lin Pingzhi akan terbelah menjadi dua. Maka, ia pun menggerakkan tangannya yang lain untuk menusukkan pedang ke arah Mu Gaofeng sambil membentak, “Lepaskan tanganmu, Saudara Mu!”

Akan tetapi, pada saat itu juga Mu Gaofeng mengeluarkan senjatanya yang berwujud golok bengkok untuk menangkis pedang Yu Canghai. Merasa penasaran, Yu Canghai melancarkan sembilan serangan sekaligus ke arah Mu Gaofeng, namun kesemuanya dapat ditangkis oleh manusia bungkuk tersebut.

“Saudara Mu, selama ini kita tidak pernah bermusuhan. Untuk apa kau membela bocah ini dan berselisih denganku?” sahut Yu Canghai.

Sambil memutar golok bengkoknya untuk menangkis setiap serangan pedang lawan, Mu Gaofeng menjawab, “Pendeta Yu, di hadapan banyak orang bocah ini telah menyembah dan memanggil kakek kepadaku. Meskipun kita tidak pernah bermusuhan, tapi aku tidak rela kalau ada orang yang menangkap bocah ini; karena itu sama artinya dengan menghinaku. Dunia sudah terlanjur mengenal bocah ini sebagai cucu si bungkuk. Maka itu, aku tidak boleh berpeluk tangan begitu saja. Kalau aku tidak bisa melindungi cucuku ini, tentu tidak akan ada lagi orang yang mau memanggilku kakek.”

Begitulah, Yu Canghai dan Mu Gaofeng sama-sama membagi kekuatan mereka. Sebelah tangan menarik tubuh Lin Pingzhi, sementara tangan yang lain saling menyerang, sambil mulut mereka bertanya jawab. Lama-lama pertarungan mereka semakin cepat. Tentu saja Lin Pingzhi yang paling menderita dibuatnya.

Yu Canghai bertambah gusar. Ia pun berseru, “Saudara Mu, bocah ini telah membunuh putra bungsuku. Mana mungkin aku bisa melupakan sakit hati ini dan tidak membalas dendam?”

Mu Gaofeng tertawa dan berkata, “Baik kalau begitu. Demi menjaga kehormatan Pendeta Yu, silakan kalau ingin membalas dendam. Mari kita bersama-sama menarik bocah ini sampai mampus! Satu... dua... tiga....” Usai berkata demikian, ia pun memperkuat tarikannya sehingga Lin Pingzhi semakin kesakitan. Beberapa tulang sendinya terasa hampir lepas.

Yu Canghai menjadi khawatir kalau pemuda itu sampai mati. Sebelum Kitab Pedang Penakluk Iblis ditemukan, ia tidak ingin membunuh Lin Pingzhi ataupun kedua orang tuanya; sedangkan urusan membalas dendam dapat ditunda lain waktu. Seketika ia pun mengendurkan pegangannya sehingga tubuh Lin Pingzhi sepenuhnya jatuh ke tangan si bungkuk.

“Terima kasih banyak,” ujar Mu Gaofeng sambil tertawa. “Pendeta Yu memang sahabat sejati. Demi si bungkuk sampai-sampai kau rela dendam kematian putramu tidak terbalas. Pendeta Yu benar-benar mengutamakan kesetiakawanan daripada urusan pribadi.”

Yu Canghai menjawab, “Terima kasih atas pujian Saudara Mu. Hanya kali ini saja aku bersedia mengalah. Lain kali, tidak ada kesempatan kedua bagimu.”

“Belum tentu,” sahut Mu Gaofeng. “Pendeta Yu seorang yang berbudi luhur dan murah hati. Tentu lain kali kau tetap mengalah kepadaku.”

Yu Canghai terlihat sangat kesal. Ia lantas memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk pergi meninggalkan Wisma Kumala.

Sementara itu, Biksuni Dingyi dan Liu Zhengfeng bersama murid-murid mereka sudah lebih dulu meninggalkan rumah pelacuran tersebut untuk mencari Yilin di tempat lain. Seketika suasana Wisma Kumala berubah sepi, seolah-olah hanya tinggal Mu Gaofeng dan Lin Pingzhi berdua yang tertinggal di sana.

“Bungkuk palsu, kau ini sebenarnya berwajah tampan,” ujar Mu Gaofeng memulai pembicaraan. “Nak, kau tidak perlu memanggil kakek lagi kepadaku. Mulai saat ini kau panggil saja si bungkuk ini sebagai gurumu.”

Lin Pingzhi terlihat masih kesakitan akibat ditarik kedua orang sakti tadi. Diam-diam ia berpikir, “Ilmu silat si bungkuk ini sepuluh kali lipat di atas Ayah. Bahkan, Yu Canghai pun segan kepadanya. Jika aku ingin membalas dendam, maka jalan yang paling baik memang harus berguru kepadanya. Akan tetapi, sewaktu murid Qingcheng tadi menyerangku, ia sama sekali tidak berusaha untuk menolong. Baru setelah mendengar siapa diriku yang sebenarnya, ia pun turun tangan untuk membantu. Jelas orang ini punya maksud yang kurang baik.”

Melihat pemuda itu tampak ragu-ragu, Mu Gaofeng kembali membujuknya, “Kau sendiri telah mengetahui kehebatan ilmu silat dan nama besar Si Bungkuk dari Utara. Sampai saat ini aku belum pernah memiliki murid seorang pun. Jika kau bersedia menjadi muridku, maka semua kepandaianku akan kuturunkan kepadamu. Jangankan melawan murid-murid Qingcheng, bahkan Yu Canghai sendiri kelak dapat kau kalahkan dengan mudah. Nak, kenapa kau tidak segera berlutut dan menyembahku sebagai gurumu?”

Semakin orang itu membujuk, perasaan Lin Pingzhi semakin bertambah ragu. Diam-diam ia berpikir, “Jika orang bungkuk ini benar-benar peduli kepadaku dan ingin menjadikanku sebagai murid, mengapa tadi dia mencengkeram bahuku dan menarik keras-keras? Bahkan, ia juga mengajak Yu Canghai menarik tubuhku sampai mati. Setelah mengetahui siapa diriku yang sebenarnya, Yu Canghai menginginkan diriku hidup-hidup. Jelas dia ingin mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis dariku. Hm, dalam Serikat Pedang Lima Gunung banyak terdapat orang-orang sakti dan bijaksana. Bila ingin mendapatkan guru yang baik, seharusnya aku berguru kepada salah satu di antara mereka. Si bungkuk ini sangat kejam. Tidak peduli setinggi apapun ilmunya, aku tidak boleh berguru kepada orang jahat ini.”

Melihat Lin Pingzhi masih tetap ragu-ragu, Mu Gaofeng menjadi gusar. Namun demikian, bibirnya tetap menunjukkan senyum. “Bagaimana? Apakah kau menganggap kepandaian si bungkuk ini belum memenuhi syarat? Apa kau merasa diriku ini belum pantas menjadi gurumu?” seru Mu Gaofeng sambil tertawa.

Sekilas Lin Pingzhi sempat melihat wajah Mu Gaofeng yang bengis dan keji sebelum tersenyum. Seketika ia pun bergidik ngeri. Ia merasa sangat terdesak oleh manusia bungkuk tersebut. Kalau sampai menolak, bisa jadi Mu Gaofeng marah dan mebunuhnya. Maka, dengan terpaksa pemuda itu menjawab, “Kesediaan Pendekar Mu menerima saya sebagai murid merupakan keberuntungan yang sangat besar bagi saya. Akan tetapi, sejak kecil saya hanya belajar ilmu silat Keluarga Lin kami saja. Jika saya harus belajar ilmu perguruan lainnya, maka saya harus meminta izin kepada Ayah terlebih dulu. Cara seperti itu adalah suatu hal yang wajar dalam dunia persilatan.”

Mu Gaofeng manggut-manggut dan berkata, “Aturan seperti itu aku pun sudah tahu. Akan tetapi, permainanmu yang payah tadi belum bisa digolongkan sebagai ilmu silat. Pasti kepandaian ayahmu juga sangat terbatas. Kau sungguh beruntung hari ini tiba-tiba saja aku ingin menerima murid. Sebentar lagi mungkin aku sudah berubah pikiran. Jadi, sebelum terlambat segeralah menyembah dan memanggilku guru. Kelak aku sendiri yang akan minta izin kepada ayahmu. Sudah pasti ia tidak akan berani menolak.”

Lin Pingzhi yang semakin terdesak akhirnya berkata, “Pendekar Mu, saat ini ayah dan ibuku berada dalam cengkeraman orang-orang Qingcheng. Aku sungguh berharap Pendekar Mu sudi menolong mereka. Asalkan kedua orang tuaku selamat, apa pun yang Tuan Pendekar minta pasti akan kupenuhi.”

“Apa? Kurang ajar!” bentak Mu Gaofeng kehilangan kesabaran. “Kau berani main tawar-menawar denganku, hah? Dasar bocah ingusan! Berani sekali kau mengajukan syarat kepadaku. Memangnya kau anggap dirimu siapa?”

Sambil membentak demikian, Mu Gaofeng teringat bagaimana Yu Canghai tadi mengalah di depan murid-muridnya dan menunda balas dendam atas kematian putranya. Jelas ketua Perguruan Qingcheng tersebut menginginkan sesuatu yang sangat berharga dari tangan Lin Pingzhi. Tentu saja Mu Gaofeng pernah mendengar desas-desus di dunia persilatan bahwa Yu Canghai telah menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei demi untuk mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis. Jika kitab itu benar-benar ada, Mu Gaofeng berpikir tentu dirinya yang akan mendapatkan benda pusaka tersebut apabila Lin Pingzhi bersedia menjadi muridnya.

Berpikir demikian, Mu Gaofeng mengulangi kembali perintahnya, “Segeralah kau berlutut menyembahku. Dengan tiga kali menyembah, kau akan langsung menjadi muridku. Tentu saja seorang guru akan ikut bertanggung jawab atas keselamatan orang tua muridnya. Apalagi yang kau risaukan?”

Lin Pingzhi kembali terkenang kepada penderitaan ayah dan ibunya. Ia pun berpikir, “Ayah dan Ibu masih berada di tangan bajingan Yu Canghai. Aku harus berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan mereka. Asalkan dia bisa membebaskan Ayah dan Ibu, aku akan memberikan apapun yang ia minta. Meskipun orang bungkuk ini bukan manusia baik-baik, tapi kali ini aku terpaksa harus mengakuinya sebagai guru.”

Perlahan-lahan Lin Pingzhi pun berlutut untuk menyembah Mu Gaofeng. Khawatir jangan-jangan ia berubah pikiran, Mu Gaofeng pun menekan kepala pemuda itu ke bawah. Tidak tahunya, Lin Pingzhi seorang pemuda berhati keras. Semula ia berniat untuk menyembah dan memanggil guru kepada Mu Gaofeng. Akan tetapi, begitu tangan si bungkuk menekan tengkuknya, seketika ia berusaha menolak.

“Hei, lekas berlutut?” seru Mu Gaofeng gusar. Ia pun menambah tenaga untuk menekan lebih kuat.

Lin Pingzhi seorang pemuda angkuh. Bagaimanapun juga ia pernah menjadi seorang tuan muda yang setiap hari disanjung puji oleh orang-orang di sekitarnya. Kini, demi untuk menyelamatkan kedua orang tuanya, ia terpaksa merendahkan diri dengan berlutut dan menyembah seorang bungkuk berhati kejam. Akan tetapi, begitu Mu Gaofeng main paksa, seketika pemuda itu memberontak. Dengan suara keras ia berkata, “Jika kau berjanji akan menolong ayah dan ibuku, maka aku pun berjanji akan berguru kepadamu. Tapi untuk saat ini aku tidak mungkin menyembah kepadamu.”

“Apa katamu?” bentak Mu Gaofeng. “Baik, kita lihat saja. Aku ingin tahu apakah kau benar-benar tidak mungkin menyembah kepadaku?”

Setelah berkata demikian, si bungkuk menekan kepala Lin Pingzhi semakin keras. Lin Pingzhi berusaha bangkit berdiri namun kekuatan Mu Gaofeng sungguh luar biasa. Ia merasakan seolah ada batu besar seberat ribuan kilo menindih kepalanya.

Dengan kedua tangan mendorong tanah, Lin Pingzhi berusaha melawan tekanan Mu Gaofeng. Sebaliknya, Mu Gaofeng menambah kekuatan tangannya. Sambil tertawa ia berkata, “Menyembah atau tidak? Jika tenagaku kutambah lagi, tentu lehermu akan segera patah.”

Kepala Lin Pingzhi semakin mendekati tanah. Namun mulutnya tetap berteriak dengan susah payah, “Aku tidak mau... aku tidak mau....” Ia bahkan bisa mendengar suara tulang lehernya yang hampir patah.

“Coba lihat sampai di mana penolakanmu,” sahut Mu Gaofeng sambil menambah sedikit tenaga. Kepala Lin Pingzhi semakin terdorong ke bawah. Dahi pemuda itu kini hanya berjarak lima senti dari permukaan tanah.

Pada saat itulah tiba-tiba Lin Pingzhi merasa ada semacam hawa panas menjalar di punggungnya. Hawa tersebut merasuk ke dalam tubuhnya dengan lembut dan memberinya kekuatan baru. Entah mengapa, beban berat yang menindih kepalanya tidak terasa lagi. Dengan mudah ia mampu berdiri dan mendesak tekanan Mu Gaofeng.

Kejadian ini sangat membingungkan perasaan Lin Pingzhi. Sebaliknya, Mu Gaofeng sangat terkejut karena menyadari bahwa pemuda itu telah mendapat bantuan tenaga dalam yang mirip sekali dengan ilmu Kabut Lembayung Senja, milik Perguruan Huashan. Konon kabarnya, ilmu tenaga dalam tersebut terlihat samar-samar seperti kabut di angkasa, namun kekuatannya sangat dahsyat bagaikan badai yang menghancurkan.

Mu Gaofeng kembali berusaha menekan kepala Lin Pingzhi dengan tenaga yang lebih besar. Namun baru saja tangannya menyentuh kepala pemuda itu, dahi Lin Pingzhi serentak memancarkan tenaga yang menggetarkan. Seketika tangan Mu Gaofeng terasa kaku dan kesemutan, serta dadanya terasa sesak.

Dengan cepat Mu Gaofeng melangkah mundur dan berkata, “Rupanya Saudara Yue sedang bermain-main dengan si bungkuk ini. Untuk apa pula kau bersembunyi di pojok sana?”

Dari arah sudut bangunan Wisma Kumala, muncul seorang pria berpakaian sarjana dengan bibir tersenyum. Tangan kanannya tampak menggoyang-goyangkan kipas dengan gerakan anggun. Ia lantas menyapa, “Saudara Mu, sudah lama kita tidak bertemu tapi kau terlihat masih muda belia. Sungguh mengagumkan!”

Rupanya tebakan Mu Gaofeng tidak salah. Pria berpakaian sarjana itu memang benar bernama Yue Buqun, ketua Perguruan Huashan yang terkenal dengan julukan Si Pedang Budiman. Selamanya Mu Gaofeng sangat segan terhadap orang ini. Apalagi kini ia tertangkap basah sedang mendesak seorang anak muda yang berkepandaian rendah, jelas ini membuatnya serbasalah.

Namun demikian, si bungkuk berusaha menyembunyikan perasaannya dan membalas dengan ramah, “Saudara Yue, kau jangan bercanda. Justru kau ini yang terlihat semakin muda. Aku selalu berharap kau sudi menjadi guruku dan mengajarkan ilmu Santapan Yin Yang kepadaku.”

Yue Buqun menyahut, “Kau bungkuk gila! Sebagai kawan lama yang baru bertemu kembali, apa tidak ada bahan pembicaraan lain? Untuk apa aku mempelajari ilmu cabul seperti itu?”

Santapan Yin Yang adalah ilmu yang terdapat dalam kitab pengobatan kuna. Ilmu ini bertujuan untuk mendapatkan kesehatan dan awet muda dengan cara bersetubuh dengan banyak perempuan. Konon, energi yang dilepaskan oleh para perempuan dalam kegiatan tersebut diserap untuk memperkaya kesehatan si pelaku. Karena cara-cara demikian bertentangan dengan norma kesusilaan, ilmu ini dianggap masyarakat sebagai ilmu cabul.

Mu Gaofeng menjawab, “Tidak seorang pun yang percaya kalau kau tidak menguasai ilmu tersebut. Jika tidak, bagaimana mungkin kau terlihat seperti cucuku, padahal usiamu sudah lebih dari enam puluh tahun?”

Lin Pingzhi sendiri sudah melompat mundur sewaktu Mu Gaofeng melepaskan cengkeramannya. Begitu menoleh ke arah Yue Buqun, ia langsung terpesona melihat wibawa ketua Perguruan Huashan tersebut. Wajahnya terlihat bersih tanpa kerutan sedikit pun, dengan janggut tertata rapi di dagunya. Diam-diam pemuda itu berpikir, “Bangsat bungkuk itu memanggilnya dengan sebutan ‘Saudara Yue’. Mungkinkah laki-laki yang berwibawa seperti dewa itu bernama Tuan Yue, ketua Perguruan Huashan yang terkenal? Aih, apa benar usianya sudah lebih dari enam puluh tahun? Padahal, sepertinya ia baru berusia empat puluh. Lao Denuo adalah murid orang ini, tapi dia terlihat jauh lebih tua.” Namun kemudian ia teringat ibunya pernah bercerita bahwa kaum persilatan yang memiliki tenaga dalam tingkat tinggi konon tidak hanya berumur panjang, tapi juga awet muda. Dalam hati Lin Pingzhi semakin bertambah kagum.

Yue Buqun tersenyum sopan dan berkata, “Saudara Mu, pemuda ini seorang anak yang berbakti. Ia juga pemberani dan berjiwa kesatria. Bakat seperti ini sulit dicari, sehingga tidak heran kalau Saudara Mu suka kepadanya. Perlu diketahui, semua kemalangan yang menimpa dirinya disebabkan oleh keberaniannya menolong Lingshan, putriku. Melihat dia menemui kesulitan, mau tidak mau aku harus segera turun tangan. Dengan memandang diriku, aku harap Saudara Mu sudi menaruh belas kasihan kepadanya.”

“Apa katamu?” sahut Mu Gaofeng terheran-heran. “Bocah ini berilmu rendah, mana mungkin ia menjadi pahlawan penolong putrimu? Ah, mungkin ceritanya harus dibalik. Mungkin yang benar, melihat bocah tampan ini, maka Keponakan Lingshan telah....”

Menyadari si bungkuk suka berkata kotor, Yue Buqun buru-buru menukas, “Sesama kaum persilatan wajar jika saling memberikan pertolongan. Menolong tidak harus dengan tenaga ataupun kekuatan. Membantu dengan ucapan juga termasuk pertolongan. Tentu saja untuk menolong orang lain tidak perlu harus berilmu tinggi. Saudara Mu, kalau kau bersikeras ingin mengambil pemuda ini sebagai murid, memang yang paling baik adalah kau harus membiarkan dia meminta persetujuan lebih dulu dari orang tuanya. Dengan demikian kedua pihak sama-sama tidak merasa dirugikan.”

Mu Gaofeng merasa bimbang melihat Yue Buqun sudah mulai mencampuri urusannya. Ia pun menjawab, “Tadinya aku memang sangat tertarik untuk menjadikan bocah ini sebagai murid. Namun kini, aku sudah tidak berhasrat lagi. Walaupun bocah ini menyembah kepadaku seribu kali, aku tetap tidak sudi menerimanya.”

Setelah berkata demikian tiba-tiba orang bungkuk itu menendang tubuh Lin Pingzhi hingga terpental sejauh beberapa meter. Tendangan ini begitu cepat dan kuat, bahkan Yue Buqun tidak sempat menghalanginya. Untungnya, Lin Pingzhi mampu bangkit kembali setelah menerima tendangan itu. Penderitaan yang bertubi-tubi telah membuat fisik dan mental pemuda ini bertambah kuat.

Yue Buqun berkata, “Saudara Mu, sebenarnya bukan aku yang bertambah muda, tetapi dirimu sendiri. Sesuatu yang tidak dapat kau miliki lantas kau buang begitu saja. Sifatmu ini benar-benar seperti anak kecil.”

Mu Gaofeng tertawa dan menjawab, “Jangan khawatir, Saudara Yue. Bagaimanapun besarnya nyaliku tetap saja tidak mungkin berani menentangmu. Sudahlah, aku pergi saja. Tidak kusangka, Perguruan Huashan yang mulia juga menaruh perhatian terhadap Kitab Pedang Penakluk Iblis.”

“Apa maksudmu?” sahut Yue Buqun sambil melompat maju. Wajahnya tampak memancarkan sinar berwarna keunguan.

Melihat itu Mu Gaofeng berpikir, “Tidak salah lagi, ini adalah ilmu Kabut Lembayung Senja. Hm, si tua Yue telah berhasil menguasainya. Kini ia tidak hanya mahir dalam ilmu pedang, tapi juga memiliki tenaga dalam tingkat tinggi. Sungguh bijaksana kalau aku tidak bermain-main dengannya.”

Meskipun hatinya gentar namun Mu Gaofeng tetap terlihat tenang. Sambil menyeringai ia menjawab, “Entahlah, aku sendiri tidak tahu benda seperti apa Kitab Pedang penakluk Iblis itu. Yang aku tahu, Yu Canghai tampak sangat menginginkannya. Harap Saudara Yue jangan tersinggung atas ucapanku yang lancang tadi. Selamat tinggal!”

Usai berkata demikian, Mu Gaofeng melesat pergi ditelan kegelapan malam.

Yue Buqun menghela napas dan berkata lirih, “Sayang sekali, tokoh berbakat seperti dia malah berkelakuan....” Sambil menelan kata “tidak baik” ketua Huashan ini tampak menggelengkan kepala.

Tiba-tiba Lin Pingzhi berlari maju untuk kemudian berlutut di hadapan Yue Buqun. Berkali-kali ia menyembah sambil berkata, “Mohon Guru sudi menerima saya sebagai murid. Saya siap untuk mematuhi dan melaksanakan semua tata tertib perguruan. Sedikit pun saya tidak akan berani membantah perintah Guru.”

Yue Buqun tertawa dan menjawab, “Jika aku menerima dirimu, tentu kelak aku akan diolok-olok si bungkuk, bahwa aku telah berebut murid dengannya.”

Lin Pingzhi menyahut, “Begitu melihat Guru, saya langsung merasa kagum. Keinginan ini lahir dari lubuk hati saya yang paling dalam. Sama sekali tidak ada unsur keterpaksaan.”

Yue Buqun menukas, “Menerima dirimu sebagai murid bukan masalah sulit. Hanya saja, kau belum memberi tahu ayah dan ibumu. Jangan-jangan mereka tidak mengizinkanmu.”

“Asalkan Guru menerima saya, tentu Ayah dan Ibu ikut merasa senang. Saya berani menjamin mereka berdua pasti mengizinkan. Kedua orang tua saya ada di tangan para penjahat Qingcheng. Hanya Guru yang dapat membebaskan mereka,” ujar Lin Pingzhi sambil terus memohon.

“Baiklah, lekas bangun!” jawab Yue Buqun. “Kalian semua, lekas keluar dari persembunyian!”

Beberapa orang pun bermunculan dari balik tembok. Mereka tidak lain adalah murid-murid Huashan, yaitu Lao Denuo, Liang Fa, dan sebagainya. Kesemuanya sejak tadi diperintahkan untuk bersembunyi dan hanya boleh keluar jika Mu Gaofeng sudah pergi. Bagaimanapun juga, Yue Buqun tidak ingin mempermalukan Si Bungkuk dari Utara di hadapan banyak orang.

Lao Denuo dan adik-adik seperguruannya berkata dengan nada gembira, “Kami mengucapkan selamat, Guru baru saja menerima seorang murid yang gagah berani. Sudah pasti dia akan memiliki masa depan yang cerah.”

Yue Buqun tersenyum dan berkata, “Pingzhi, mereka ini adalah kakak-kakak seperguruanmu. Tentu sebelum ini kau pernah melihat mereka. Nah, sekarang kalian bisa berkenalan secara resmi.”

Lin Pingzhi pun memberi hormat kepada murid-murid Huashan itu satu per satu. Mereka adalah Lao Denuo, murid nomor dua yang berambut putih; Liang Fa, murid nomor tiga yang bertubuh tinggi besar; Shi Daizi, murid nomor empat yang berdandan seperti kuli; Gao Genming, murid nomor lima yang suka membawa sempoa; serta Lu Dayou, murid nomor enam yang membawa seekor kera kecil. Selain itu ada pula murid ketujuh bernama Tao Jun dan murid kedelapan bernama Ying Bailuo.

Tiba-tiba Lin Pingzhi mendengar suara merdu seorang perempuan yang tidak asing baginya. Perempuan itu berdiri di belakang Yue Buqun dan berkata, “Ayah, kalau aku ini termasuk kakak atau adik?”

Sejenak Lin Pingzhi terperanjat. Ia sama sekali tidak pernah lupa kalau itu adalah suara Lingshan, si gadis burik yang dulu menyamar sebagai penjual arak bernama Wan’er. Dengan malu-malu gadis itu memandang ke arah Lin Pingzhi namun sekejap kemudian langsung berlindung kembali di balik punggung sang ayah.

Melihat wajah gadis itu, Lin Pingzhi terkejut dan berpikir, “Tadinya dia berwajah burik penuh benjolan seperti bekas penyakit cacar. Tapi kenapa sekarang dia terlihat begitu cantik?”

Di bawah cahaya rembulan, Lin Pingzhi memang tidak bisa melihat dengan jelas wajah Yue Lingshan, namun ia yakin gadis ini sangat cantik tidak seperti pertemuan sebelumnya. Pemuda itu kembali berpikir, “Aku ingat sekarang, bahwa Biksuni Dingyi pernah bertanya mengapa gadis ini menyamar dengan wajah burik. Ternyata seperti ini wajahnya yang asli.”

Terdengar Yue Buqun menjawab pertanyaan putrinya, “Meskipun ketujuh kakak seperguruanmu ini bergabung dengan Huashan sesudah dirimu, namun mereka memanggilmu ‘Adik Kecil’. Khusus untuk dirimu memang tidak dipanggil sesuai urutan masuk perguruan, melainkan berdasarkan usia. Sepertinya sudah nasibmu dipanggil ‘Adik Kecil’ sekali lagi, karena usia Pingzhi sedikit di atasmu.”

“Tidak bisa, tidak bisa!” sahut Yue Lingshan. “Dia harus memanggilku ‘kakak’. Mulai sekarang kalau Ayah menerima murid baru, entah seratus orang, entah dua ratus orang, semua harus memanggil ‘kakak’ kepadaku.”

Sambil tertawa kecil, Yue Lingshan muncul dari balik punggung sang ayah. Kini Lin Pingzhi dapat melihat dengan jelas betapa putri Yue Buqun itu memang sangat cantik dengan wajah bulat telur serta sepasang mata yang indah cemerlang.

Perlahan-lahan Lin Pingzhi membungkuk dan berkata, “Kakak Yue, atas belas kasihan Guru, aku dapat diterima sebagai murid Perguruan Huashan. Siapa yang masuk perguruan lebih dulu berhak dipanggil kakak. Tentu saja dalam hal ini aku terhitung adik seperguruanmu.”

Yue Lingshan terlihat senang dan berkata kepada ayahnya, “Ayah dengar sendiri, bukan? Dia memanggilku sebagai kakak secara sukarela. Aku sama sekali tidak memaksanya.”

Yue Buqun menjawab, “Dia baru masuk perguruan sudah kau takut-takuti dengan kata ‘paksa’. Jangan-jangan dia berpikir kalau semua muridku suka main paksa. Mengerikan!”

Maka tertawalah murid-murid Huashan lainnya.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar