Liu Zhengfeng berkata,
“Meskipun Keponakan Linghu bermaksud baik, namun mulutnya terkesan lancang dan
suka bicara omong kosong melebihi batas. Tapi harus diakui, untuk menghadapi
penjahat sakti seperti Tian Boguang memang harus pandai berdusta seperti yang
dilakukannya. Membohongi seorang penjahat adalah suatu hal yang sangat sulit.”
Yilin menyahut, “Jadi menurut
Paman Liu, Kakak Linghu hanya berdusta saja? Jadi, dia hanya ingin menipu Tian
Boguang?”
“Tentu saja,” jawab Liu
Zhengfeng. “Mana mungkin kaum laki-laki Serikat Pedang Lima Gunung memiliki
keyakinan konyol seperti itu; bahwa biksuni adalah racun paling mematikan? Esok
lusa adalah hari upacara pengunduran diriku. Jika benar kaum biksuni adalah
racun, mana mungkin aku mengundang para kakak dan keponakan dari Perguruan
Henshan yang mulia? Justru aku sangat menghormati Kakak Dingyi dan mengharap
kehadiran kalian semua di rumahku ini.”
Mendengar penjelasan Liu
Zhengfeng, wajah Dingyi terlihat sedikit tenang. Namun ia masih saja memaki,
“Huh, mulut Linghu Chong yang kotor itu entah hasil didikan siapa?”
Perkataannya ini seolah menyindir guru Linghu Chong, atau ketua Perguruan
Huashan.
“Kakak Dingyi jangan marah,”
ujar Liu Zhengfeng. “Tian Boguang adalah penjahat berilmu tinggi. Aku yakin
Keponakan Linghu merasa tidak sanggup mengalahkannya dalam pertarungan,
sehingga menggunakan kata-kata yang kotor dan kasar untuk membebaskan Keponakan
Yilin. Coba pikir, Tian Boguang sudah berkelana ke mana-mana, tentu
pengalamannya sedemikian luas. Untuk membohongi manusia seperti dia diperlukan
kata-kata yang tepat meskipun ada pihak lain yang harus tersinggung. Kita hidup
di dunia persilatan, sekali-kali tentu bertemu dengan masalah sulit seperti
ini. Tentu saja Tuan Yue dan segenap Perguruan Huashan sangat menghormati
Perguruan Henshan yang mulia. Apabila Keponakan Linghu tidak menghormati tiga
biksuni sepuh, mana mungkin dia begitu mati-matian berusaha menyelamatkan
seorang murid Henshan?”
“Terima kasih atas
penjelasanmu, Adik Liu,” sahut Dingyi sambil mengangguk. Ia lantas bertanya
kepada Yilin, “Apakah Tian Boguang kemudian membebaskanmu?”
“Tidak juga,” jawab Yilin.
“Waktu itu Kakak Linghu terus-menerus berusaha meyakinkannya. Ia berkata,
‘Saudara Tian, ilmu ringan tubuhmu nomor satu di dunia. Namun, jika kau terkena
kutukan karena menyentuh biksuni, maka semua kehebatanmu hanya sia-sia belaka.’
Tian Boguang terlihat
ragu-ragu dan memandang sejenak ke arah saya, kemudian berkata, ‘Terima kasih
atas nasihat Saudara Linghu. Aku biasa berkelana seorang diri ke mana-mana.
Hidup atau mati bukan hal yang penting bagiku. Apalagi yang harus aku takutkan?
Kita sudah terlanjur bertemu dengan biksuni ini, bukankah sebaiknya kita
biarkan saja dia tetap di sini untuk menemani kita minum?”
Pada saat itulah tiba-tiba
seorang pemuda yang duduk di meja sebelah menerjang ke arah kami sambil
menghunus pedang. Ia membentak, ‘Apakah kau ini... kau ini bernama Tian
Boguang?’
‘Benar, akulah orangnya,’
jawab Tian Boguang. ‘Memangnya kenapa?’
Pemuda itu berkata, ‘Kau
penjahat cabul, aku akan membunuhmu! Setiap orang persilatan menginginkan
kepalamu, tapi kau malah enak-enakan minum di sini. Benar-benar mencari
mampus.’
Usai berkata ia langsung
mengayunkan pedangnya menggunakan jurus Perguruan Taishan. Pemuda itu... pemuda
itu adalah dia!” kata Yilin sambil menunjuk ke arah mayat yang tergeletak di
atas papan pintu.
“Dia adalah muridku,” sahut
Pendeta Tianmen sambil mengangguk. “Chi Baicheng, Chi Baicheng, kau sungguh
bocah pintar.”
Yilin melanjutkan, “Tian
Boguang bergerak secepat kilat dan tahu-tahu tangannya sudah memegang golok.
Kemudian ia berkata sambil tersenyum, ‘Sudahlah, sudahlah! Mari minum lagi,
mari minum lagi!’ Usai berkata ia lantas menyarungkan kembali goloknya di
pinggang.
Tidak seorang pun di loteng
rumah minum tersebut yang mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya telah
terjadi. Entah bagaimana, tiba-tiba dada kakak dari Taishan itu sudah terluka
dan menyemburkan darah. Ia memandangi Tian Boguang dengan sorot mata tajam,
kemudian roboh di lantai.”
Yilin kemudian menoleh ke arah
Pendeta Tiansong yang terbaring di samping mayat Chi Baicheng, kemudian
melanjutkan, “Paman dari Taishan itu lantas maju menyerang Tian Boguang dengan
pedangnya pula. Tentu saja ilmu silat paman itu lebih hebat daripada
keponakannya tadi. Namun, Tian Boguang mampu menangkis semua serangannya sambil
tetap duduk di atas bangku. Tiga puluh jurus terlewati namun penjahat itu tidak
juga berdiri. Ia mampu mengatasi semua serangan paman itu.”
Pendeta Tianmen tertegun
mendengarnya. Ia kemudian menoleh kepada Tiansong dan bertanya, “Adik, apakah
ilmu silat penjahat itu sedemikian hebat?”
Tiansong tidak menjawab. Ia
hanya menghela napas panjang kemudian memalingkan muka ke arah lain.
Yilin melanjutkan, “Pada saat
itulah Kakak Linghu melolos pedangnya dan segera menyerang Tian Boguang.
Penjahat itu langsung berdiri dan menangkis....”
“Apa kau tidak salah?” sela
Dingyi. “Pendeta Tiansong menyerang dengan tiga puluh jurus namun tidak mampu
membuatnya berdiri, mengapa serangan Linghu Chong yang hanya sekali langsung
membuat keparat itu bangun? Memangnya ilmu silat Linghu Chong lebih hebat
daripada Pendeta Tiansong?”
Yilin menjawab, “Begitulah
yang terjadi. Tian Boguang berkata, ‘Saudara Linghu sudah kuanggap sebagai
kawan yang sederajat. Karena kau menyerangku sambil berdiri, maka aku pun ikut
berdiri. Jika aku tetap saja duduk di sini, itu berarti aku tidak menghormati
dirimu. Meskipun ilmu silatku jauh lebih hebat, namun tidak sepantasnya aku
menghina dirimu. Nah, kalau menghadapi si hidung... hidung kerbau itu, maka
ceritanya tentu lain.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Terima
kasih atas pujianmu. Aku tidak pantas menerima penghormatan setinggi ini.’ Usai
berkata, ia kembali menyerang Tian Boguang sebanyak tiga kali. Guru, tiga
serangan Kakak Linghu ini sungguh cepat dan mengerikan. Sinar pedangnya
terlihat mengepung rapat tubuh Tian Boguang....”
Dingyi menukas, “Itu adalah
jurus Tiga Puncak Gunung Huashan, ciptaan si tua Yue. Konon, serangan kedua
lebih hebat daripada yang pertama, dan yang ketiga lebih hebat daripada yang
kedua. Lantas, bagaimana cara Tian Boguang menangkisnya?”
Yilin menjawab, “Tiap kali
menangkis, Tian Boguang mundur satu langkah. Jadi, ia mundur sebanyak tiga
langkah. Sambil mundur ia memuji, ‘Jurus bagus!’ Kemudian ia berpaling ke arah
Paman Tiansong dan bertanya, ‘Hidung kerbau, kenapa kau tidak bergabung
mengeroyok aku?’ Memang, sejak Kakak Linghu menyerang untuk yang pertama
kalinya, Paman Tiansong langsung melangkah mundur.
Paman Tiansong menjawab, ‘Aku
seorang kesatria dari Perguruan Taishan. Mana mungkin aku merendahkan diriku
dengan bertarung melawan penjahat busuk seperti dirimu?’
Saya pun menyahut, ‘Paman
jangan salah paham! Kakak Linghu orang yang baik.’
Paman Tiansong menjawab,
‘Orang baik apanya? Mungkin yang benar, dia adalah begundal Tian Boguang yang
paling baik.’ Usai berkata demikian tiba-tiba Paman Tiansong menjerit
kesakitan. Beliau mendekap dada sambil memandang heran.
Saya melihat darah mengalir
melalui sela-sela jari tangan Paman Tiansong. Entah ilmu apa yang dipakai Tian
Boguang, tahu-tahu ia sudah melukai dada Paman Tiansong. Padahal, sama sekali
saya tidak melihatnya menggerakkan tangan atau mengayunkan golok. Sudah pasti
serangannya sangat cepat dan tak terlihat. Saya pun menjerit, ‘Jangan bunuh
dia! Jangan bunuh dia!’
Tian Boguang menjawab,
‘Baiklah, karena si cantik yang meminta, maka aku tidak akan membunuhmu.’
Segera Paman Tiansong berlari
menuruni tangga loteng. Kakak Linghu berniat menyusul tapi dicegah Tian
Boguang. “Saudara Linghu tidak perlu menolongnya. Si hidung kerbau itu sangat
sombong; untuk apa kau mempermalukan dirimu sendiri? Lebih baik di sini saja,
kita lanjutkan minum bersama.’
Kakak Linghu mengangguk dan
kembali duduk dengan tersenyum dingin. Ia kemudian menuang arak dan meminumnya
sampai habis dua mangkuk.
Guru, salah satu larangan
utama dalam agama kita adalah tidak boleh minum arak. Meskipun Kakak Linghu
bukan pengikut Buddha, namun tidak sebaiknya ia minum arak tanpa henti seperti
itu. Arak sangat buruk untuk kesehatannya. Namun saya tidak berani
menasihatinya. Saya takut dia kembali memaki, ‘Setiap kali melihat
biksuni....’”
“Sudahlah, sudahlah, dia tidak
akan mengucapkan kalimat gila itu lagi untuk selamanya,” sahut Dingyi.
“Benar, Guru,” jawab Yilin
sedih.
“Apa yang terjadi setelah
itu?” tanya Dingyi.
Yilin menjawab, “Kemudian Tian
Boguang berkata, ‘Hidung kerbau tadi terhitung lumayan juga. Serangan golokku
sangat cepat dan mematikan, namun dia sempat mundur beberapa senti sehingga
lolos dari maut. Hm, ilmu silat Perguruan Taishan ternyata bukan nama kosong.
Saudara Linghu, karena si hidung kerbau tadi dapat meloloskan diri, tentu di
kemudian hari dia akan mendatangkan kesulitan bagimu. Sebenarnya aku ingin
membunuhnya; namun sayang, dia berhasil menghindari seranganku.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Setiap
hari aku selalu bertemu masalah. Lupakan saja semuanya, dan sebaiknya kita
minum lagi. Kalau serangan Saudara Tian tadi ditujukan kepadaku, tentu aku
sudah mati dan tidak sempat menghindarinya. Ilmu silatku jelas tidak sehebat
Paman Tiansong.’
Tian Boguang menjawab,
‘Sebenarnya aku tadi menghadapi dirimu hanya dengan setengah kekuatan saja. Itu
semua sebagai balas budi karena tadi malam kau sudah berbaik hati mengampuni
nyawaku.
Waktu itu saya merasa sangat
bingung. Jangan-jangan dalam pertarungan tadi malam Kakak Linghu berhasil
mengalahkan Tian Boguang dan mengampuni nyawanya.”
Para hadirin terkejut pula
mendengar hal ini. Mereka sama-sama berpikir, tidak seharusnya Linghu Chong
mengampuni seorang penjahat cabul semacam Tian Boguang.
Terdengar Yilin kembali
bercerita, “Kakak Linghu kemudian menjawab, ‘Dalam pertarungan di gua tadi
malam aku sudah mengerahkan segenap kemampuan. Ilmu silatku jauh lebih rendah
darimu, mana mungkin aku berani mengaku telah bermurah hati kepadamu?’
Tian Boguang menjawab,
‘Bukankah tadi malam sewaktu aku memburu kalian di dalam gua, kau telah menusuk
bahuku? Waktu itu aku hanya mendengar suara biksuni cilik ini, sedangkan kau
telah menahan napasmu. Aku sama sekali tidak mengetahui keberadaanmu, tapi kau
bersikap kesatria dengan menusukku secara perlahan saja. Saudara Linghu,
sebenarnya kau bisa saja membunuhku dengan mudah. Bagiku kau bukan pemuda
biasa, tapi seorang laki-laki sejati yang tidak sudi membunuh orang lain secara
licik.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Tadi
malam aku tidak tahan melihatmu mendekati biksuni ini. Meskipun aku tidak suka
terhadap biksuni, namun aku juga tidak suka menyaksikan pemerkosaan. Apalagi
dia ini murid Perguruan Henshan. Sebagai sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung,
mana mungkin aku berpeluk tangan menyaksikan saudaraku disakiti? Maka itu, aku
pun menusukmu sebelum kau mendekatinya.’
Tian Boguang berkata,
‘Meskipun demikian, andai saja kau dorong pedangmu dua atau tiga senti lagi,
tentu nyawaku sudah melayang. Tapi mengapa ketika pedangmu sudah mengenai
sasaran tiba-tiba kau tarik kembali?’
Kakak Linghu menjawab,
‘Sebagai murid Huashan sejak kecil aku dididik guruku untuk selalu bersikap
kesatria. Aku tidak akan membunuh musuh secara diam-diam. Kau lebih dulu menebas
bahuku, sebagai gantinya kutusuk bahumu; bukankah itu adil? Sekarang kita
sama-sama tidak saling berhutang. Kalau bertempur lagi tidak perlu segan!’
Tian Boguang tertawa dan
berkata, ‘Bagus sekali, bagus sekali! Aku senang bisa berteman denganmu. Mari
kita habiskan semua arak di meja ini.’
Kakak Linghu berkata, ‘Ilmu
silatmu lebih hebat. Tapi kalau urusan minum arak, belum tentu aku kalah
darimu, Saudara Tian.’
Tian Boguang menegas, ‘Apa?
Jadi, kau hendak menantangku adu minum? Boleh juga. Mari kita minum sepuluh
mangkuk sekaligus!’
Kakak Linghu menjawab,
‘Saudara Tian, kupikir kau ini seorang laki-laki sejati, tapi kau sengaja
menantangku dalam keadaan seperti ini. Kau sengaja hendak mengambil keuntungan
dalam kelemahanku. Hm, ternyata aku sudah salah sangka terhadapmu. Dalam hal
ini aku sungguh menyesal.’
Tian Boguang melirik Kakak
Linghu dan bertanya, ‘Mengambil keuntungan bagaimana?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Kau
sendiri tahu kalau aku ini paling muak melihat biksuni. Begitu melihat dia,
selera minumku langsung hilang. Bagaimana aku bisa melayanimu adu minum kalau
dia masih ada di sini?’
Tian Boguang tertawa
terbahak-bahak dan berkata, ‘Saudara Linghu, kau ini memang sangat licik. Kau
gunakan segala tipu muslihat untuk membebaskan biksuni cilik ini. Akan tetapi,
aku menyukai wanita cantik melebihi segalanya. Aku telah menangkap biksuni
cilik ini, dan aku tidak akan pernah melepaskannya. Apabila kau ingin aku
melepaskannya, maka kau harus menerima syarat dariku.’
Kakak Linghu bertanya, ‘Syarat
macam apa? Cepat katakan! Sekalipun harus mendaki gunung pedang, atau terjun ke
dalam minyak mendidih juga aku tidak takut. Jika aku tidak berani menerima
syarat darimu, maka aku bukan laki-laki sejati.’
Tian Boguang menuang arak pada
guci ke dalam dua mangkuk, lalu berkata, ‘Mari minum dulu sebelum aku jelaskan
apa persyaratannya.’
Kakak Linghu langsung
mengambil satu mangkuk dan meneguk habis isinya, sedangkan Tian Boguang
mengambil mangkuk yang satunya lagi. Setelah minum, penjahat itu berkata,
‘Saudara Linghu, kau ini sudah kuanggap sebagai teman. Dalam dunia persilatan
ada pantangan mengganggu istri seorang teman. Maka itu, aku memintamu untuk
menikahi... menikahi... menikahi biksuni cilik ini....’” Raut muka Yilin
bersemu merah dan bicaranya terputus-putus ketika menceritakan bagian ini.
Kepalanya pun tertunduk dan suaranya semakin lirih.
“Omong kosong!” bentak Dingyi
sambil kembali menggebrak meja. “Benar-benar manusia cabul yang tidak tahu
adat. Lalu bagaimana setelah itu?”
Yilin menjawab dengan suara
lembut, “Tian Boguang terus saja mengoceh untuk mendesak Kakak Linghu. Ia
berkata, ‘Seorang laki-laki sejati pantang menjilat ludahnya sendiri. Perkataan
yang sudah diucapkan bagaikan kereta kuda yang tidak bisa ditarik mundur.
Apabila kau menikahi... menikahi biksuni cilik ini, maka aku akan
melepaskannya. Tidak hanya itu, aku bahkan membungkuk kepadanya dan menaruh
penghormatan besar kepada biksuni cilik ini. Inilah syarat yang aku ajukan.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Huh,
kau suruh aku menikahinya? Apa kau ingin membuatku sial seumur hidup? Sudahlah,
kau cari syarat yang lain saja!’
Tapi Tian Boguang terus saja
mengoceh. Katanya kalau biksuni memelihara rambut tentu tidak bisa disebut
biksuni lagi. Dia terus berkata macam-macam. Entah apa saja yang diucapkannya
karena saya memejamkan mata dan menutup kedua telinga.
Kakak Linghu akhirnya
membentak, ‘Tutup mulutmu! Persetan dengan syaratmu itu! Kita ini kaum
persilatan. Syarat yang paling baik adalah bertempur sampai salah satu dari
kita mati.’”
Tian Boguang menjawab dengan
wajah mengejek, ‘Kalau bertarung jelas kau ini bukan tandinganku.’
‘Memang benar,’ jawab Kakak
Linghu. ‘Kalau bertempur sambil berdiri, memang aku bukan tandinganmu. Pertama,
karena ilmu ringan tubuhmu sangat sempurna; kedua, karena aku sendiri sudah
terluka dan kehilangan banyak darah. Oleh karena itu, aku menantangmu bertarung
sambil duduk.’”
Mendengar sampai di sini para
hadirin terkejut bukan main. Mereka masih ingat cerita Yilin tentang betapa
hebatnya ilmu silat Tian Boguang. Sambil tetap duduk di atas bangku, penjahat
itu telah membunuh Chi Baicheng dalam sekali serang; juga bagaimana dia
menangkis semua serangan Pendeta Tiansong sebanyak tiga puluh jurus tanpa
bangkit sedikit pun. Akan tetapi, Linghu Chong justru menantangnya bertarung
sambil duduk.
He Sanqi mengangguk dan
berkata, “Apa yang dilakukan Linghu Chong sungguh cerdik. Menghadapi penjahat
seperti Tian Boguang memang harus memancing kemarahannya terlebih dulu.”
Yilin berkata, “Namun Tian
Boguang sama sekali tidak marah mendengar tantangan itu. Dia justru memuji,
‘Saudara Linghu, aku mengagumi keberanianmu, tapi tidak kagum terhadap ilmu
silatmu.’
Kakak Linghu membalas, ‘Aku
mengagumi ilmu golokmu yang dilakukan sambil berdiri, bukan ilmu golok sambil
duduk.’
Tian Boguang bergelak tawa dan
berkata, ‘Ada satu hal yang tidak kau ketahui. Sewaktu masih remaja, aku pernah
menderita sakit lumpuh. Selama dua tahun aku berlatih golok sambil duduk. Boleh
dikata, bertarung sambil duduk adalah keahlianku yang sangat istimewa. Bukankah
tadi kau melihat sendiri bagaimana aku menghadapi si hidung... si hidung... si
pendeta dari Taishan tanpa berdiri sedikit pun? Sebenarnya aku tidak bermaksud
merendahkannya, namun hanya sekadar memperagakan kehalianku yang satu itu.
Dalam hal ini, jelas kau bukan tandinganku, Saudara Linghu.’
Dengan tenang Kakak Linghu
menjawab, ‘Saudara Tian, ada satu hal pula yang tidak kau ketahui. Karena sakit
lumpuh, kau telah berlatih ilmu golok sambil duduk selama dua tahun. Hm, hanya
dua tahun saja. Padahal, hampir setiap hari aku berlatih ilmu pedang sambil
duduk. Ilmu silatku memang lebih rendah darimu. Namun, untuk yang satu ini
jelas kepandaianku lebih tinggi.’”
Mendengar sampai di sini para
hadirin serentak berpaling ke arah Lao Denuo seolah ingin tahu apakah Perguruan
Huashan memang memiliki teknik bertarung sambil duduk. Lao Denuo yang menyadari
isi pikiran mereka buru-buru menggeleng sambil menjawab, “Tidak, tidak benar.
Dalam perguruan kami tidak terdapat ilmu pedang sambil duduk. Kakak Pertama hanya
bercanda.”
Yilin melanjutkan ceritanya,
“Begitulah, Tian Boguang juga merasa heran. Ia pun berkata, ‘Apa benar
demikian, Saudara Linghu? Wah, pengalamanku benar-benar sempit. Aku jadi
penasaran ingin melihat seperti apa ilmu pedang Huashan sambil duduk itu. Kalau
boleh tahu, apa nama jurus tersebut?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Ilmu
pedang sambil duduk ini bukan ajaran guruku, melainkan hasil ciptaanku
sendiri.’
Tian Boguang terkesima dan
memuji, ‘Saudara Linghu, kau ini benar-benar pandai dan berbakat. Sungguh
mengagumkan!’”
Para hadirin memaklumi mengapa
Tian Boguang berkata demikian. Bagi seorang pesilat, menciptakan jurus baru
merupakan suatu hal yang sangat sulit. Hanya seorang tokoh papan atas yang
berilmu tinggi atau berwawasan luas saja yang bisa melakukannya. Sebuah
perguruan ternama seperti Huashan telah berdiri selama ratusan tahun dan setiap
jurus-jurusnya telah diperbaiki dan diuji ribuan kali. Untuk memperbaiki satu
jurus saja bukanlah hal yang mudah; apalagi menciptakan sebuah jurus baru.
Diam-diam Lao Denuo merasa
heran. Ia berpikir, “Apakah Kakak Pertama telah menciptakan sebuah jurus pedang
baru? Mengapa ia tidak pernah cerita kepada Guru?”
Yilin melanjutkan, “Waktu itu
Kakak Linghu tertawa dan berkata, ‘Ilmu pedang ciptaanku ini sangat bau; kau
tidak perlu mengaguminya.’
Tian Boguang heran dan
bertanya, ‘Mengapa demikian? Jurus pedang biasanya disebut bagus atau buruk,
kenapa yang ini kau sebut bau?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Terus
terang saja, jurus pedang ini kuciptakan berdasarkan pengalamanku pribadi.
Setiap pagi aku buang hajat di dalam kakus, dan selalu saja ada lalat yang
terbang kesana-kemari membuatku kesal. Maka itu, setiap kali masuk kakus aku
pun membawa pedang untuk menusuk lalat-lalat yang beterbangan itu. Pada awalnya
memang sangat sulit. Namun, hari-hari berikutnya tusukanku semakin jitu. Setiap
kali menusuk selalu tepat sasaran. Akhirnya, tangan dan perasaanku dapat
bekerja selaras. Kebiasaanku ini menjadi suatu kepandaian baru. Karena ilmu
pedang ini kuciptakan di dalam kakus, maka jangan heran kalau ilmu pedang
ciptaanku ini kusebut bau.’
Saya pun tertawa geli
mendengar penjelasan Kakak Linghu yang jenaka itu. Sebaliknya, Tian Boguang
merasa sangat terhina. Ia berkata, ‘Linghu Chong, aku menganggapmu sebagai
teman yang sederajat, tapi kau justru menyamakan aku dengan lalat kakus. Kalau
begitu aku tidak perlu segan-segan lagi. Biar aku mencoba kehebatan jurus
pedang kakus ciptaanmu yang... yang....’”
Mendengar sampai di sini para
hadirin tersenyum dan mengangguk-angguk memuji kecerdikan Linghu Chong. Memang
dalam pertandingan adu kesaktian, para pendekar selalu berusaha menahan amarah
masing-masing. Barangsiapa yang marah berarti dia sudah kalah setengah
permainan. Dalam hal ini perkataan Linghu Chong telah berhasil menyinggung
perasaan Tian Boguang, sehingga penjahat cabul itu menjadi gusar.
“Bagus sekali!” sahut Dingyi
memuji. “Selanjutnya bagaimana?”
“Kakak Linghu hanya tertawa,”
lanjut Yilin. “Ia berkata, ‘Aku sungguh-sungguh tidak bermaksud membuat Saudara
Tian tersinggung. Ilmu pedang kakus aku ciptakan hanya sebatas iseng saja. Aku
sama sekali tidak berniat menyamakan Saudara Tian dengan lalat-lalat kotor.
Mohon Saudara Tian sudi memberi maaf.’
Saya semakin geli mendengar
perkataan Kakak Linghu sehingga saya pun tertawa dan membuat Tian Boguang
bertambah gusar. Ia lantas melolos goloknya dan berkata, ‘Baiklah, akan
kulayani tantanganmu, Saudara Linghu. Kita bertarung sambil duduk dan lihat
saja, siapa yang lebih unggul!’
Kali ini wajah Tian Boguang
tampak sangat beringas. Saya khawatir jangan-jangan dia berniat membunuh Kakak
Linghu.
Namun, Kakak Linghu tetap
terlihat tenang. Ia berkata sambil tertawa, ‘Sebenarnya aku merasa sayang kalau
harus bertanding melawan seorang teman baru sepertimu. Mengapa persahabatan yang
baru terjalin ini harus rusak hanya karena ilmu pedangku yang bau? Dalam
pertarungan sambil duduk, jelas kau bukan tandinganku. Jika Saudara Tian
melayani tantanganku, aku takut tersiar kabar bahwa Linghu Chong sengaja
mengambil keuntungan dari kelemahan Tian Boguang. Kemenangan seperti ini jelas
bukan kemenangan yang gemilang.’
Tian Boguang menjawab, ‘Tidak
benar! Pertandingan ini terjadi karena sukarela. Tidak seorang pun akan
menyalahkanmu atas masalah ini.’
Kakak Linghu menegas, ‘Jadi,
Saudara Tian secara sukarela bersedia bertanding denganku?’
Tian Boguang menjawab, ‘Tepat
sekali!’
‘Bertarung sambil duduk?’
‘Ya, bertarung sambil duduk!’
‘Kalau begitu kita harus
tentukan aturannya. Siapa yang berdiri lebih dulu sebelum jelas pihak mana yang
menang, maka dia dinyatakan kalah,’ kata Kakak Linghu.
‘Setuju! Siapa yang berdiri
lebih dulu dinyatakan kalah!’ sahut Tian Boguang.”
Kakak Linghu kembali bertanya,
‘Lalu, apa ketentuan bagi yang kalah?’
‘Terserah padamu,’ jawab Tian
Boguang.
‘Begini saja,’ sahut Kakak
Linghu. ‘Aku mempunyai dua hukuman. Pertama, barangsiapa yang kalah tidak boleh
lagi bersikap kurang ajar kepada biksuni cilik ini. Bila bertemu harus memberi
hormat, ‘Guru, saya Tian Boguang menyampaikan salam hormat....’
‘Huh, apa maksudmu? Darimana
kau tahu kalau aku yang akan kalah? Kalau kau yang kalah bagaimana?’ sahut Tian
Boguang.
‘Sama saja,’ jawab Kakak
Linghu. ‘Intinya, barangsiapa yang kalah wajib bergabung dengan Perguruan
Henshan untuk menjadi murid biksuni cilik ini, serta menjadi cucu-murid Biksuni
Dingyi.’”
Yilin kemudian berpaling ke
arah Dingyi dan bertanya, “Guru, ucapan Kakak Linghu ini sangat menggelikan.
Bila salah satu dari mereka kalah, maka wajib menjadi murid Henshan. Padahal,
mana boleh saya menerima seorang murid?” Usai berkata demikian biksuni jelita
ini tersenyum lembut. Raut mukanya bagaikan matahari pagi terbit dari balik
bukit.
“Huh, manusia-manusia kasar
seperti mereka suka bicara apa saja. Kau tidak perlu terlalu memercayainya.
Linghu Chong hanya berusaha membuat Tian Boguang marah,” jawab Dingyi. Usai
berkata demikian ia lantas berpikir bagaimana Linghu Chong bisa menghadapi Tian
Boguang. Diam-diam ia mengakui kalau si bocah Linghu Chong yang disebutnya
bajingan itu ternyata jauh lebih cerdik daripada dirinya. Biksuni tua ini
lantas bertanya, “Bagaimana cerita selanjutnya?”
“Melihat Kakak Linghu
berbicara dengan penuh percaya diri, Tian Boguang tampak mulai ragu-ragu,”
lanjut Yilin. “Sepertinya ia khawatir jangan-jangan Kakak Linghu memang
menyimpan kepandaian istimewa, yaitu mahir bertarung sambil duduk. Kembali
Kakak Linghu memancing amarahnya, ‘Jika kau belum siap menjadi murid Perguruan
Henshan, sebaiknya pertandingan ini dibatalkan saja.’
Tian Boguang bertambah gusar
dan berkata, ‘Omong kosong! Baiklah, aku setuju dengan aturanmu. Barangsiapa
yang kalah wajib menjadi murid biksuni cilik ini.’
Mendengar hal ini saya pun
berseru, ‘Aku tidak bisa menerima kalian sebagai murid. Kepandaianku rendah,
dan guruku juga tidak mungkin mengizinkan. Lagipula anggota Perguruan Henshan
adalah kaum perempuan semua. Mana boleh... mana boleh....’
Tiba-tiba Kakak Linghu
menukas, ‘Diam kau! Aku sedang berunding dengan Saudara Tian. Kau tidak boleh
ikut campur.’ Kemudian ia berpaling kepada Tian Boguang, ‘Nah, hukuman yang
kedua adalah sebagai berikut; barangsiapa yang kalah wajib mengayunkan senjata
kepada diri sendiri dan menjadi kasim.’
Guru, sebenarnya apa maksud
perkataan Kakak Linghu ini? Mohon Guru sudi memberi penjelasan.”
Para hadirin tertawa mendengar
kepolosan Yilin. Rupanya biksuni kecil ini tidak tahu kalau yang dimaksud
dengan kasim adalah pelayan kaisar yang telah dikebiri atau dipotong
kemaluannya.
Dingyi tersenyum geli dan
menjawab, “Itu hanyalah istilah kotor yang biasa diucapkan kaum bajingan. Anak
manis, sebaiknya kau tidak perlu tahu apa artinya.”
“Oh, jadi itu hanyalah
kata-kata buruk?” ujar Yilin mengangguk-angguk. Ia lantas kembali bercerita,
“Tian Boguang kemudian berkata, ‘Saudara Linghu, apa kau yakin pasti menang
jika bertanding denganku?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Tentu
saja! Jika bertarung sambil berdiri aku menempati urutan kedelapan puluh
sembilan dalam dunia persilatan. Tapi jika bertempur sambil duduk, maka
urutanku terhitung nomor dua.’
Tian Boguang terlihat heran
dan bertanya, ‘Kalau begitu, siapa yang menempati urutan pertama?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Tentu
saja pemimpin aliran sesat yang bernama Dongfang Bubai.’”
Mendengar nama Dongfang Bubai
disebut, seketika wajah para hadirin berubah pucat. Menyadari hal itu Yilin
merasa serbasalah. Ia pun bertanya, “Guru, apakah saya salah bicara?”
“Sebaiknya jangan kau sebut
nama itu lagi,” jawab Dingyi. “Selanjutnya bagaimana?”
“Tian Boguang kemudian
berkata, ‘Kalau Ketua Dongfang kau sebut sebagai pesilat nomor satu di dunia,
maka aku sangat setuju. Tapi kalau kau sebut dirimu sebagai yang nomor dua
sudah tentu ini sangat berlebihan. Memangnya kau merasa sudah lebih hebat
daripada Tuan Yue, gurumu sendiri?’
Kakak Linghu menjawab, ‘Aku
tadi berkata kalau bertarung sambil duduk maka diriku ini terhitung nomor dua
paling hebat setelah Ketua Dongfang. Namun kalau bertarung sambil berdiri jelas
guruku lebih hebat. Beliau menempati urutan kedelapan, sedangkan aku hanya
urutan kedelapan puluh sembilan. Jelas aku masih kalah jauh.’
‘Ah, benar juga,’ sahut Tian
Boguang sambil menganggukkan kepala. ‘Nah, kalau bertarung sambil berdiri, aku
ini masuk urutan nomor berapa? Lalu, siapa pula yang menentukan urutannya?’
Kakak Linghu menjawab dengan
berbisik, ‘Sebenarnya ini merupakan rahasia besar. Mengingat aku merasa cocok
mengobrol denganmu, maka rahasia ini akan kuceritakan pula. Tapi tolong, jangan
sampai kau ceritakan hal ini kepada orang lain karena bisa menimbulkan
kekacauan di dunia persilatan. Sekitar tiga bulan yang lalu, kelima guru besar
dari Serikat Pedang Lima Gunung berkumpul di Huashan untuk membicarakan kehebatan
tokoh-tokoh persilatan pada zaman ini. Mereka kemudian menentukan urutan
kehebatan para pesilat ternama. Saudara Tian, meskipun para guru besar kami
tidak suka kepadamu, tapi mereka tetap mengakui kehebatanmu. Dalam bertempur
sambil berdiri, urutanmu adalah nomor empat belas di dunia persilatan.’
“Omong kosong!” sahut Pendeta
Tianmen dan Biksuni Dingyi bersamaan. “Mana ada pertemuan seperti itu?”
“Hah, jadi Kakak Linghu
berbohong lagi kepadanya?” sahut Yilin. “Memang, Tian Boguang sempat ragu-ragu
dan tidak percaya. Namun ia kemudian berkata, ‘Hm, para ketua Serikat Pedang
Lima Gunung adalah tokoh-tokoh terkemuka di dunia persilatan. Apa benar mereka
menempatkan diriku pada urutan keempat belas? Hm, ini sungguh berlebihan.
Saudara Linghu, kau sendiri bagaimana? Apakah waktu itu kau juga memperlihatkan
Jurus Pedang Kakus ciptaanmu itu di hadapan mereka, sehingga mereka pun
menobatkan dirimu sebagai pesilat sambil duduk nomor dua di dunia?’
Kakak Linghu menjawab sambil
tertawa, ‘Jurus Pedang Kakus tidak pantas dipamerkan di depan umum, apalagi di
hadapan kelima guru besar kami. Jurus tersebut hanya kugunakan untuk menusuk
lalat-lalat yang menggangguku di dalam kakus saja. Namun pada suatu kesempatan
aku pernah bertemu dan berdiskusi dengan tokoh-tokoh terkemuka dari aliran
sesat. Waktu itu mereka memuji Jurus Pedang Kakus ciptaanku konon tiada
tandingannya di dunia ini, kecuali untuk menghadapi Ketua Dongfang mereka.
Jurus Pedang Kakus memang luar biasa, namun selama ini belum pernah kugunakan
selain untuk menusuk lalat. Lagipula, siapa orangnya yang mau bertarung
melawanku sambil duduk? Meskipun Saudara Tian bersedia bertanding denganku
sambil duduk, tetap saja aku merasa khawatir; jangan-jangan di tengah babak
nanti kau merasa gusar karena tidak bisa mengalahkan aku, lantas melupakan
perjanjian dan berdiri menyerangku. Kalau bertarung sambil berdiri jelas aku
bukan tandinganmu. Kau urutan keempat belas, sedangkan aku hanya urutan
kedelapan puluh sembilan. Dalam sekali tebas tentu kau bisa langsung memotong
tubuhku. Kehebatanmu bertarung sambil berdiri jelas tidak diragukan lagi,
sedangkan kehebatanku dalam bertarung sambil duduk sama sekali tidak ada
gunanya.’
Tian Boguang menyahut,
‘Saudara Linghu, kau ini memang licin dan pandai bersilat lidah. Darimana kau
tahu kalau aku akan kalah? Darimana kau tahu kalau aku akan marah dan berdiri
melanggar perjanjian? Aku ini selalu memegang janji. Jika aku sudah berjanji
akan menghadapimu sambil duduk, maka aku tidak akan berdiri sampai kau
benar-benar mengaku kalah.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Aku
senang kalau kau punya sifat seperti itu. Baiklah, kalau demikian aku akan
mengganti ketentuan nomor dua. Asalkan jika nanti setelah kalah kau tidak
membunuhku, maka hukuman kedua boleh kita hapuskan. Kau tidak perlu menjadi
ka... kasim, supaya kau jangan sampai putus keturunan.’
Tian Boguang menyahut, ‘Cukup
bicaranya. Mari kita mulai!’
Usai berkata ia lantas
membalik meja sehingga terlempar ke samping beserta semua arak di atasnya.
Keduanya pun berhadapan di atas bangku masing-masing. Kakak Linghu menghunus
pedang, sedangkan Tian Boguang mengangkat goloknya.
‘Kau boleh menyerang lebih
dulu,’ seru Kakak Linghu. ‘Barangsiapa yang meninggalkan bangkunya terlebih
dulu, dinyatakan kalah. Barangsiapa yang mengangkat pantat terlebih dulu,
dinyatakan kalah.’
Tian Boguang menjawab, ‘Baik,
siapa yang mengangkat pantatnya lebih dulu dinyatakan kalah. Mari kita mulai!’
Tiba-tiba Tian Boguang melirik
ke arah saya, dan berkata, ‘Saudara Linghu, sekarang aku tahu rencanamu.
Jangan-jangan kau menantangku bertarung sambil duduk supaya biksuni cilik ini
bisa membantumu menyerangku dari belakang. Atau, bisa saja dia menggangguku
sehingga aku terpaksa bangkit dari bangku.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Aku
tidak perlu dibantu oleh siapa pun. Bila sampai ada yang membantu diriku anggap
saja aku kalah. Hei, Biksuni cilik! Kau ingin aku menang atau kalah?’
Saya pun menjawab, ‘Tentu saja
aku ingin kau menang. Bukankah kau ini ahli silat sambil duduk nomor dua di
dunia? Sudah pasti kau akan menang.’
Kakak Linghu kembali berkata,
‘Kalau begitu, cepat kau pergi! Lebih cepat lebih baik, makin jauh makin bagus.
Kalau di dekatku ada perempuan gundul pembawa sial seperti dirimu, mana mungkin
aku bisa menang?’ Usai bicara ia langsung menusukkan pedangnya ke arah Tian
Boguang.
Sambil menangkis, Tian Boguang
berkata, ‘Hebat sekali! Hebat sekali! Benar-benar siasat yang sangat hebat
untuk menyelamatkan biksuni cilik. Saudara Linghu, aku sungguh kagum dengan
tipu muslihatmu. Segala cara kau tempuh demi menyelamatkan biksuni kesayanganmu
ini; meskipun nyawamu sebagai taruhannya.’
Pada saat itulah saya baru
sadar maksud di balik semua ini. Kakak Linghu sengaja menantang Tian Boguang
bertarung sambil duduk supaya saya mempunyai kesempatan untuk melarikan diri.
Tian Boguang sedikit pun tidak bisa meninggalkan bangku, sehingga tidak mungkin
dia bangkit dan mengejar saya.”
Para hadirin terkagum-kagum
mendengar kecerdikan Linghu Chong. Mereka mengakui ilmu silat Tian Boguang
memang jauh lebih hebat. Akan tetapi, Linghu Chong menemukan siasat luar biasa
untuk dapat meloloskan Yilin.
Biksuni Dingyi menyahut,
“Istilah ‘biksuni kesayangan’ dan sebagainya jangan kau sebut-sebut lagi. Hal
ini juga jangan pernah kau pikirkan sedikit pun di dalam benakmu.”
“Baik, Guru,” jawab Yilin
sambil menunduk. “Saya baru tahu kalau kata-kata ini tidak boleh diucapkan.”
“Jadi dengan cara itu kau bisa
meloloskan diri?” tanya Dingyi. “Jika Tian Boguang membunuh Linghu Chong, maka
kau tidak punya kesempatan lagi.”
“Benar, Guru,” jawab Yilin.
“Kakak Linghu berkali-kali memaksa saya pergi meninggalkan rumah minum
tersebut. Akhirnya, dengan berat hati saya memberi hormat dan berkata, ‘Terima
kasih atas semua pertolonganmu, Kakak Linghu.’
Saya lantas berlari menuruni
tangga loteng tempat mereka bertanding. Namun baru saja sampai di tengah-tengah
terdengar suara Tian Boguang berteriak, ‘Kena!’ Saat saya menoleh, wajah saya
terciprat dua tetes darah. Rupanya bahu Kakak Linghu terluka.
Terdengar suara Tian Boguang
mengejek, ‘Ternyata jago pedang sambil duduk nomor dua di dunia tidak ada
apa-apanya.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Tentu
saja. Biksuni cilik itu belum pergi. Sehebat apapun ilmu pedangku tetap saja
aku harus bernasib sial selama masih ada dia di sini.’
Saya berpikir kalau Kakak
Linghu sangat tidak menyukai kaum biksuni sehingga jika saya terus menerus di
sana, maka bisa-bisa dia akan terbunuh di tangan Tian Boguang. Maka itu, saya
kembali berlari menuruni tangga. Sesampainya di luar rumah minum, saya kembali
mendengar suara pertarungan mereka dan teriakan Tian Boguang, ‘Kena!’
Saya yakin Kakak Linghu pasti
kembali terluka. Namun, saya takut jika kembali ke atas bisa membuat Kakak
Linghu marah. Maka, saya pun mencari jalan lain, yaitu memanjat tiang rumah
minum tersebut. Begitu sampai di atas genting, saya lantas mengintip melalui
lubang jendela. Pemandangan di loteng itu sangat mengerikan. Kakak Linghu
tampak bertempur dengan tangkas meskipun tubuhnya berlumuran darah; sementara
Tian Boguang masih segar bugar, tidak terluka sama sekali.
Beberapa saat kemudian, Tian
Boguang kembali berseru, ‘Kena!’ Rupanya ia telah melukai lengan kiri Kakak
Linghu. Penjahat itu lantas berkata, ‘Saudara Linghu, kali ini aku berbaik hati
kepadamu.’
Kakak Linghu menjawab sambil
tertawa, ‘Aku tahu. Jika kau menambah sedikit tenaga saja, tentu lenganku sudah
buntung.’
Guru, dalam keadaan seperti
itu Kakak Linghu masih bisa tertawa-tawa.
Tian Boguang bertanya
kepadanya, ‘Kau masih ingin bertarung?’
‘Tentu saja!’ jawab Kakak
Linghu. ‘Memangnya aku terlihat berdiri?’
‘Menurutku lebih baik kita
akhiri saja pertandingan ini. Silakan Saudara Linghu berdiri dan mengaku
kalah,’ ujar Tian Boguang. ‘Lupakan saja semua perjanjian. Kau tidak perlu
mengakui biksuni cilik itu sebagai guru.’
Kakak Linghu menjawab, ‘Perkataan
seorang laki-laki sejati bagaikan panah yang terlepas dari busurnya. Mana boleh
ditarik kembali?’
Tian Boguang tetap saja
mendesak, ‘Saudara Linghu, aku sudah banyak bertemu laki-laki gagah berani di
dunia ini. Tapi yang benar-benar jantan dan kesatria hanya dirimu seorang.
Baiklah, pertandingan ini kita anggap seri saja. Impas, tidak ada yang menang
ataupun yang kalah, bagaimana?’
Kakak Linghu hanya tersenyum
tanpa menjawab. Darah bercucuran dari beberapa tempat di tubuhnya dan tampak
membasahi lantai. Tian Boguang kemudian menyimpan goloknya dan berniat bangkit.
Tiba-tiba ia teringat bahwa siapa yang berdiri lebih dulu dinyatakan kalah.
Maka itu, ia segera mengurungkan niat tersebut.
Kakak Linghu tertawa dan
memuji, ‘Saudara Tian, kau sungguh cerdik!’”
Mendengar cerita Yilin sampai
di sini, tanpa sadar para hadirin menghela napas bersama-sama. Ternyata mereka
sangat menyayangkan nasib Linghu Chong.
Yilin melanjutkan, “Kemudian
Tian Boguang mengangkat kembali goloknya dan berkata, ‘Saudara Linghu, aku
tidak perlu segan-segan lagi karena kau telah menolak kebaikan hatiku. Aku
terpaksa harus menyerangmu dengan gencar supaya bisa segera menyusul biksuni
cilik tadi. Jika aku terlalu lama di sini, bisa-bisa biksuni cilik tadi sudah
menghilang entah ke mana.’
Saya sangat gemetar mendengar
ucapan Tian Boguang itu. Saya ingin menghindari Tian Boguang, tapi tidak tega
meninggalkan Kakak Linghu. Saya lantas teringat bahwa Kakak Linghu berjuang
mati-matian menghadapi Tian Boguang semata-mata demi untuk menyelamatkan saya.
Maka, satu-satunya jalan untuk mencegah Tian Boguang membunuh Kakak Linghu
adalah dengan cara bunuh diri di hadapan mereka.”
Berpikir demikian, saya pun
menghunus pedang yang sudah patah ujungnya dan bersiap melompat ke dalam
loteng. Pada saat itulah saya melihat Kakak Linghu kembali terluka. Kali ini
keadaannya sudah sangat parah. Ia akhirnya roboh di lantai beserta bangkunya.
Tangannya mendorong lantai untuk mencoba bangkit kembali, namun sedikit pun ia
tidak bisa bangun.
Tian Boguang sangat senang.
Sambil tersenyum ia berkata, ‘Kalau bertarung sambil duduk, kau ini nomor dua
di dunia. Tapi kalau bertarung sambil merangkak urutanmu nomor berapa?
Sudahlah, kau sudah kalah.’ Usai berkata ia lantas bangkit dari bangku.
Tiba-tiba Kakak Linghu tertawa
keras dan berseru, ‘Kau yang kalah!’
‘Kalah bagaimana?’ sahut Tian
Boguang. ‘Kau yang kalah. Kau sudah jatuh di lantai. Bukankah kita sepakat
barangsiapa meninggalkan bangku terlebih dulu maka dia dinyatakan...
dinyatakan....’ Tian Boguang tidak sanggup melanjutkan kata-katanya, hanya
jarinya menunjuk-nunjuk dengan raut muka tidak percaya. Ia baru sadar kalau
dirinya sudah bangkit berdiri, sementara Kakak Linghu terkapar di lantai dengan
bangku ikut terguling namun tetap menempel di pantatnya.
Begitulah, meskipun keadaan
Kakak Linghu sangat parah, namun berdasarkan perjanjian, maka ia tetap
terhitung sebagai pemenang.”
Mendengar cerita Yilin ini
para hadirin bertepuk tangan dan bersorak memuji kemenangan Linghu Chong. Hanya
Yu Canghai yang mendengus dan terlihat bermuka masam. Ia kemudian berkata,
“Huh, hanya bajingan rendah yang bersedia main akal-akalan menghadapi maling
cabul seperti Tian Boguang. Sungguh membuat malu kaum lurus saja.”
“Akal-akalan bagaimana?” sahut
Dingyi. “Laki-laki sejati bertarung mengandalkan kecerdasan, bukan hanya
kekuatan. Yang aku tahu selama ini belum ada murid Perguruan Qingcheng yang
bisa seperti dia.”
Setelah mendengar bagaimana
perjuangan Linghu Chong membela nama baik Perguruan Henshan tanpa memedulikan
keselamatan diri sendiri, diam-diam Dingyi merasa sangat berterima kasih
terhadap pemuda itu. Semua kebencian dan rasa gusarnya telah hilang sama
sekali.
Yu Canghai kembali berkata
sinis, “Benar-benar laki-laki sejati yang suka merangkak di depan kaki penjahat
cabul.”
Dingyi menyahut, “Huh,
Perguruan Qingcheng sendiri....”
Khawatir jangan-jangan Dingyi
kembali bertengkar dengan Yu Canghai, Liu Zhengfeng buru-buru menyela dengan
cara bertanya kepada Yilin, “Keponakan Yilin, apakah Tian Boguang bersedia
mengaku kalah?”
Yilin menjawab, “Waktu itu
Tian Boguang hanya diam termangu-mangu. Kakak Linghu lantas berseru, ‘Adik dari
Henshan, kau boleh turun kemari. Terimalah ucapan selamat dariku karena
sekarang kau sudah mendapatkan seorang murid baru, seorang murid yang sangat
hebat.’
Rupanya keberadaan saya di
atas genting telah diketahui oleh Kakak Linghu. Meskipun Tian Boguang seorang
penjahat, namun ia bersikap kesatria. Sebenarnya mudah baginya untuk membunuh
Kakak Linghu dan menangkap saya. Akan tetapi ia hanya berseru kepada saya,
‘Biksuni cilik, jika sampai aku melihatmu lagi maka akan kupenggal kepalamu.’
Kebetulan sekali saya sendiri
tidak sudi punya murid seperti dia. Ancamannya itu justru membuat saya lega.
Setelah dia pergi meninggalkan Rumah Minum Pemabuk Dewa, saya pun melompat
masuk ke dalam loteng untuk mengobati luka Kakak Linghu menggunakan Salep
Penyambung Langit. Saya menemukan sebanyak tiga belas tempat luka di
tubuhnya....”
“Selamat untukmu, Biksuni
Dingyi!” ujar Yu Canghai menukas.
“Selamat apa?” sahut Dingyi
dengan sorot mata tajam.
“Selamat karena kau baru saja
memperoleh seorang cucu murid yang berilmu silat tinggi dan memiliki nama besar
di dunia persilatan,” jawab Yu Canghai dengan nada mengejek.
Amarah Dingyi kembali meledak.
Biksuni tua ini menggebrak meja dan bangkit berdiri. Buru-buru Pendeta Tianmen
melerai mereka. “Pendeta Yu, kau memang suka mencari gara-gara. Sebagai pendeta
agama Tao tidak sepantasnya bercanda seperti tadi.”
Yu Canghai diam tak menjawab.
Menyadari dirinya memang salah serta ada perasaan segan terhadap Tianmen, ia
pun berpaling seolah tidak mendengar teguran ketua Perguruan Taishan tersebut.
Dingyi sendiri juga kembali duduk di kursinya.
Yilin melanjutkan, “Setelah
membubuhkan obat luka, saya lalu membantu Kakak Linghu memakaikan bajunya
kembali. Kakak Linghu bernapas dengan terputus-putus, sambil berkata, ‘Tolong
ambilkan arak untukku.’
Saya pun menuangkan arak ke
dalam mangkuk dan membantunya minum. Pada saat itulah terdengar langkah kaki
dua orang sedang menaiki tangga loteng. Mereka adalah murid-murid Perguruan
Qingcheng. Salah satunya adalah dia....” Berkata demikian ia lantas menunjuk
murid Qingcheng yang ikut menggotong masuk mayat Luo Renjie, atau yang telah
disiram air teh oleh Dingyi tadi. “Yang satu lagi adalah si jahat Luo Renjie.
Mereka berdua memandangi Kakak Linghu, kemudian memandangi saya dengan sikap
kurang ajar.”
Diam-diam para hadirin
berpikiran sama. Ketika Luo Renjie dan saudaranya datang ke Rumah Minum Pemabuk
Dewa, tentu mereka heran melihat Linghu Chong yang berlumuran darah sedang
duduk dengan seorang biksuni cantik. Apalagi Yilin tampak menuangkan arak untuk
Linghu Chong, sudah tentu membuat kedua murid Qingcheng memandang rendah
kepadanya.
Yilin terus saja bercerita,
“Kakak Linghu memandang Luo Renjie dengan sorot mata tajam, kemudian bertanya
kepada saya, ‘Adik Biksuni, apa kau tahu nama jurus andalan Perguruan
Qingcheng?’
Saya menjawab, ‘Tidak tahu.
Kabarnya ilmu silat Perguruan Qingcheng banyak jenisnya dan bagus-bagus.’
Kakak Linghu berkata, ‘Memang
bagus-bagus. Tapi ada satu jurus yang paling bagus. Sebenarnya ingin kukatakan
kepadamu tapi takut akan menimbulkan keributan.’ Sambil berkata demikian Kakak
Linghu melirik ke arah Luo Renjie.
Luo Renjie menjadi gusar
mendengar ucapan Kakak Linghu. Dia melangkah maju dan bertanya, ‘Apa maksudmu
dengan jurus yang paling bagus? Cepat katakan!’
Kakak Linghu menjawab,
‘Sebenarnya aku takut mengatakannya, tapi karena kalian memaksa, baiklah! Jurus
terbaik Perguruan Qingcheng bernama Belibis Mendarat Tampak Pantat.’
Luo Renjie semakin marah dan
membentak, ‘Omong kosong! Perguruan Qingcheng tidak mempunyai jurus gila
seperti itu.’
Kakak Linghu tertawa dan
berkata, ‘Aneh, sungguh aneh. Padahal jurus itu adalah ilmu silat andalan
Perguruan Qingcheng yang mulia, tapi mengapa kau belum mempelajarinya? Eh,
begini saja. Coba kau berdiri membelakangi diriku, biar kutunjukkan seperti apa
jurusnya.’
Luo Renjie sadar dirinya
hendak dipermainkan. Ia pun memukul wajah Kakak Linghu. Kakak Linghu mencoba
berdiri untuk melawan namun tubuhnya sangat lemas karena terlalu banyak
mengeluarkan darah. Akibatnya, ia pun jatuh terduduk kembali di atas bangku.
Pukulan itu membuat hidung Kakak Linghu mengeluarkan darah.
Ketika Luo Renjie memukul
lagi, saya pun menangkisnya dan berseru, ‘Jangan! Dia sudah terluka parah, apa
kau tidak melihatnya? Pendekar macam apa kau ini berani menyerang orang yang
sudah terluka?’
Luo Renjie memaki saya, ‘Heh,
Buksuni cilik! Rupanya kau sudah jatuh cinta kepada si keparat ini. Cepat
pergi! Kalau tidak, kau pun akan kuhajar sekalian.’
Saya berkata, ‘Silakan saja
kalau kau berani memukulku. Aku akan mengadu kepada Pendeta Yu biar kalian
dihukum.’
Kedua penjahat itu hanya
tertawa dan tidak takut sedikit pun. Luo Renjie berkata, ‘Kau seorang biksuni
tidak berbudi, berani melanggar peraturan agama. Setiap orang berhak
menghukummu.’
Guru, bukankah dia telah
menuduh orang yang tidak bersalah?
Luo Renjie kemudian
mengulurkan tangan kiri hendak menyentuh saya. Saya pun menangkis namun gerakannya
itu hanya sekadar pancingan; karena tangan yang kanan dengan cepat mencubit
pipi saya sambil ia bergelak tawa. Saya sangat marah dan balas memukul sebanyak
tiga kali, namun semua dapat dihindarinya.
Pada saat itulah Kakak Linghu
berkata, ‘Adik, kau tidak perlu menanggapinya. Biarkan aku memulihkan tenaga
untuk kemudian menghadapi mereka.’ Saya kemudian berpaling ke arahnya. Tampak
wajah Kakak Linghu sangat pucat.
Luo Renjie menerjang dengan
kasar ke arah Kakak Linghu. Namun Kakak Linghu berhasil membelokkan arah
pukulannya dengan tangan kiri. Seketika tubuh Luo Renjie pun berbalik. Dengan
cepat Kakak Linghu melayangkan tendangan dan tepat mendarat di... di pantat Luo
Renjie. Tanpa ampun, Luo Renjie pun terlempar dengan tubuh menggelinding di
tangga loteng.
Kemudian Kakak Linghu berkata
kepada saya, ‘Adik Biksuni, itu tadi yang kusebut sebagai jurus Belibis
Mendarat Tampak Pantat, ilmu kebanggan Perguruan Qingcheng. Bagaimana menurut
pendapatmu?’
Waktu itu saya ingin tertawa
namun tidak jadi karena melihat wajah Kakak Linghu semakin bertambah pucat.
Saya berkata kepadanya, ‘Beristirahatlah, jangan bicara lagi.’
Darah yang mengalir di
tubuhnya semakin banyak. Rupanya tendangan tadi sempat membuat luka yang saya
obati kembali terbuka.
Saat itu Luo Renjie telah
berlari kembali ke loteng tempat kami berada sambil menghunus pedang. Ia
berkata, ‘Apa kau bernama Linghu Chong dari Perguruan Huashan?’
Kakak Linghu menjawab sambil
tertawa, ‘Kau adalah orang ketiga dari Perguruan Qingcheng yang telah menyerangku
dengan jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat. Sudah ada... sudah ada... tiga
orang....’
Melihat Luo Renjie semakin
gusar, saya pun meraih pedang untuk melindungi Kakak Linghu. Luo Renjie lantas
berkata kepada kawannya, ‘Adik Li, coba kau layani biksuni ini!’
Murid Qingcheng bermarga Li
itu lantas menyerang saya dengan pedangnya. Saya terpaksa bertarung
menghadapinya. Sementara itu Luo Renjie sendiri menyerang Kakak Linghu dengan
pedangnya pula. Kakak Linghu berusaha menangkis, sehingga luka di tubuhnya
bertambah parah. Hanya dalam beberapa jurus saja, pedang Kakak Linghu sudah
jatuh di lantai.
Luo Renjie lantas menodongkan
pedangnya ke dada Kakak Linghu sambil berkata, ‘Panggil aku dengan sebutan
‘Kakek dari Qingcheng’ sebanyak tiga kali, maka jiwamu akan kuampuni.’
‘Baik,’ sahut Kakak Linghu.
‘Akan kupanggil kau dengan sebutan kakek, asalkan kau ajari aku jurus Belibis
Mendarat....”
Belum selesai ucapan Kakak
Linghu, tiba-tiba Luo Renjie sudah menusukkan pedangnya di dada Kakak Linghu.
Penjahat itu sungguh keji....” Sampai pada bagian ini Yilin kembali menangis
berlinangan air mata. “Aku... aku... aku melihatnya dengan jelas, namun tidak
sanggup mencegah pedang itu menancap... menancap di dada Kakak Linghu.”
Seketika suasana berubah
hening. Yu Canghai merasa semua pasang mata para hadirin sedang memandang ke
arahnya dengan perasaan benci dan kesal. Ia lantas berkata, “Biksuni, apakah
ceritamu ini benar? Kau bilang Renjie telah menusuk dada Linghu Chong; tapi
kenapa dia juga ikut terbunuh?”
Yilin menjawab, “Kakak Linghu
jatuh di lantai setelah tertusuk pedang Luo Renjie tapi tidak langsung
meninggal. Dia justru tertawa lebar dan berkata kepada saya secara perlahan,
‘Adik Biksuni, ada sebuah rahasia... sebuah rahasia besar yang ingin kusampaikan
kepadamu. Ini tentang... tentang Kitab Pedang Penakluk Iblis milik... milik
Biro Ekspedisi Fuwei... yang disimpan... disimpan di....”
Seketika jantung Yu Canghai
berdebar kencang begitu Yilin menyebut suatu benda yang saat itu sedang diincar
Perguruan Qingcheng. Bahkan, ia sampai berkata, “Di mana....” Namun ia segera
menahan diri karena menyadari bahwa pertanyaan ini bisa menimbulkan masalah.
Sambil jantungnya berdebar-debar ia menunggu kelanjutan cerita Yilin. Jika
sampai Biksuni Dingyi mengetahui masalah ini, tentu urusan akan bertambah
panjang.
Yilin melanjutkan, “Begitu
mendengar ucapan Kakak Linghu, si jahat Luo Renjie merasa penasaran. Ia pun
mendekat dan berusaha memasang telinga untuk ikut mendengarkan di mana Kitab
Pedang Penakluk Iblis disimpan. Di luar dugaan, tiba-tiba Kakak Linghu meraih
pedangnya di lantai dan langsung menusuk perut Luo Renjie sampai tembus ke
tenggorokan. Luo Renjie roboh seketika. Tubuhnya kejang-kejang beberapa kali
sebelum tewas. Rupanya... rupanya Kakak Linghu hanya berbohong untuk
mengalihkan perhatiannya saja. Begitu ia lengah, Kakak Linghu berhasil
membunuhnya.”
Sampai di sini Yilin merasa
sangat sedih. Ia pun jatuh pingsan karena tidak mampu lagi menahan perasaannya.
Dingyi segera memeluk tubuh muridnya itu dan menyandarkannya di bahu, sambil
matanya tetap melotot ke arah Yu Canghai.
Sejenak semua orang terdiam
membayangkan apa yang telah terjadi di Rumah Minum Pemabuk Dewa tersebut. Bagi
tokoh-tokoh papan atas seperti Liu Zhengfeng, Pendeta Tianmen, He Sanqi, dan Tuan
Wen, ilmu silat Linghu Chong dan Luo Renjie terhitung biasa-biasa saja. Akan
tetapi, akhir dari pertarungan mereka yang sama sekali tidak terduga itu
sungguh peristiwa yang jarang terjadi di dunia persilatan.
Liu Zhengfeng lantas bertanya
kepada murid Qingcheng yang membawa masuk jasad Luo Renjie tadi, “Keponakan Li,
kau adalah saksi mata peristiwa ini, benar demikian?”
Si marga Li tidak menjawab,
hanya memandang ke arah Yu Canghai. Para hadirin melihat raut mukanya yang
jelas-jelas menujukkan kalau apa yang diceritakan Yilin memang benar demikian.
Andai saja Yilin berkata bohong, tentu ia sudah membantahnya dari tadi.
Yu Canghai sendiri merasa
gusar dan berpaling ke arah Lao Denuo. Ia berkata, “Keponakan Lao, memangnya
apa kesalahan Perguruan Qingcheng kami di mata perguruanmu yang mulia, sehingga
kakak pertamamu selalu mencari gara-gara terhadap muridku?”
“Saya tidak tahu,” jawab Lao
Denuo. “Sepertinya terjadi masalah pribadi antara Kakak Pertama dengan Saudara
Luo. Sungguh, ini semua tidak ada sangkut pautnya dengan hubungan baik antara
Perguruan Qingcheng dan Huashan.”
Yu Canghai berkata sinis,
“Tidak ada sangkut-pautnya bagaimana? Enak saja kau bicara....”
Belum selesai ia berkata
tiba-tiba jendela sebelah barat didobrak orang dan kemudian dari situ melayang
masuk sesosok tubuh manusia. Para hadirin yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh
persilatan papan atas segera menghindar dan bersiap siaga. Belum sempat mereka
mengetahui siapa orang yang telah melayang masuk tadi, tiba-tiba jendela yang
lain ikut terbuka dan satu lagi tubuh yang terlempar masuk ke dalam. Kedua
orang itu jatuh tengkurap dengan wajah menghadap lantai dan keduanya memakai
seragam warna ungu; seperti seragam murid-murid Qingcheng pada umumnya. Di
pantat mereka tergambar pula telapak kaki yang masih kotor dan basah.
Lebih mengejutkan lagi
tiba-tiba dari luar terdengar suara orang berseru lantang, “Ini adalah jurus
Belibis Mendarat Tampak Pantat.”
Tanpa banyak bicara Yu Canghai
langsung menerjang ke arah suara sambil melayangkan pukulan. Namun ia tidak
menjumpai siapa-siapa. Sambil mendorong bingkai jendela menggunakan tangan
kiri, ia lantas melompat ke luar dan dalam sekejap sudah mendarat di atas
genting. Ternyata di atap rumah Liu Zhengfeng itu juga tidak terdapat
siapa-siapa. Matanya lantas memandang ke segala arah, namun yang terlihat
hanyalah hujan gerimis turun dari langit gelap.
Keadaan malam itu begitu
sunyi. Tidak seorang pun terlihat berkeliaran di sana. Yu Canghai berpikir si
penyerang tidak mungkin menghilang bergitu saja dan pasti masih bersembunyi di
sekitar situ. Ia juga yakin kalau orang yang bisa melumpuhkan kedua muridnya
pasti seorang lawan yang cukup tangguh. Maka itu, ia pun menghunus pedang dan
mulai berlari mengelilingi kediaman Liu Zhengfeng yang besar dan megah.
Liu Zhengfeng, Biksuni Dingyi,
He Sanqi, Tuan Wen, dan Lao Denuo ikut melompat ke atap, sedangkan Pendeta
Tianmen tetap duduk di kursi mengingat kedudukannya yang lebih tinggi. Dari
atas genting mereka melihat pedang di tangan Yu Canghai berkilat-kilat di
tengah kegelapan. Pendeta bertubuh pendek itu memeriksa setiap rumah dan bilik
di lingkungan kediaman Liu Zhengfeng dengan kecepatan luar biasa. Setiap mata
yang melihat diam-diam memuji di dalam hati betapa hebat ilmu ringan tubuh
ketua Perguruan Qingcheng tersebut.
Yu Canghai terus menyisir ke
segala arah; baik itu sudut bangunan, ataupun pohon-pohon di pekarangan, namun
ia tidak menemukan satu pun hal yang mencurigakan. Dengan penasaran ia masuk
kembali ke dalam ruangan untuk memeriksa kedua muridnya yang telah dilemparkan
orang tadi. Baginya tendangan yang dilakukan si penyerang terhadap pantat kedua
muridnya jelas-jelas sangat merendahkan Perguruan Qingcheng.
Sesampainya di dalam, Yu
Canghai langsung membalik tubuh salah satu dari kedua muridnya yang masih
tengkurap di lantai. Ternyata dia adalah Shen Renjun. Yu Canghai merasa tidak
perlu membalik muridnya yang satu lagi karena dari janggutnya yang kasar, dapat
dikenali kalau dia adalah Ji Rentong. Mereka berdua adalah murid-murid
Qingcheng yang dulu dikirim untuk menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei cabang
Hunan.
Yu Canghai lantas menepuk dua
kali titik nadi di bawah iga Shen Renjun sambil bertanya, “Siapa yang telah
menyerangmu?”
Shen Renjun membuka mulut
hendak bicara namun sulit mengeluarkan suara. Tentu saja Yu Canghai terkejut
bukan main. Tepukannya tadi meskipun pelan sebenarnya disertai tenaga dalam
tingkat tinggi, namun totokan pada tubuh Shen Renjun ternyata tetap tidak
terbuka. Jelas si pelaku seorang yang berkepandaian tinggi. Bukannya takut, Yu
Canghai justru semakin penasaran. Ia pun menyalurkan tenaga dalam yang lebih
kuat melalui titik Lingtai di punggung Shen Renjun.
Sejenak kemudian Shen Renjun
dapat berbicara meskipun dengan suara tergagap-gagap, “Guru... saya... saya
tidak tahu... siapa... siapa yang telah menyerang kami.”
“Di mana kalian diserang?”
tanya Yu Canghai.
“Tadi ketika saya dan Adik Ji
keluar untuk buang air tiba-tiba punggung kami merasa kesemutan karena ditotok
orang. Tahu-tahu anak bulus itu sudah melemparkan tubuh kami ke dalam ruangan
ini melalui jendela,” jawab Shen Renjun.
“Dia pasti seorang ahli silat
papan atas,” ujar Yu Canghai.
“Benar, Guru,” sahut Shen
Renjun.
Yu Canghai benar-benar
penasaran entah darimana si penyerang kedua muridnya berasal. Diam-diam ia
mengamati pula raut muka Pendeta Tianmen yang tampak biasa-biasa saja.
Sepertinya ketua Perguruan Taishan itu tidak peduli terhadap apa yang baru saja
terjadi. Yu Canghai pun berpikir, “Hm, Serikat Pedang Lima Gunung bagaikan satu
pohon dengan lima cabang. Tianmen benar-benar tidak peduli terhadap masalah
yang menimpa Perguruan Qingcheng kami. Sepertinya ia juga menyalahkanku karena
Renjie telah membunuh Linghu Chong.”
Tiba-tiba terlintas pikiran
dalam benak Yu Canghai bahwa si penyerang mungkin telah menyusup di aula depan
dan berbaur dengan para tamu Liu Zhengfeng yang berjumlah ratusan orang. Maka,
ia pun mengajak Shen Renjun menuju ke sana. Di tempat itu terlihat orang-orang
masih ramai membicarakan kematian Chi Baicheng dari Taishan dan Luo Renjie dari
Qingcheng.
Melihat Yu Canghai datang,
sebagian para tamu yang mengenalinya sebagai ketua Perguruan Qingcheng langsung
terdiam menghentikan pembicaraan. Sementara itu yang tidak mengenalinya juga
ikut terdiam; karena meskipun bertubuh pendek, namun Yu Canghai terlihat sangat
berwibawa. Seketika suasana aula utama kediaman Liu yang berisikan ratusan
orang itu berubah sunyi, dan semua pandangan pun beralih kepada sang ketua
Qingcheng.
Begitu berada di tengah
ruangan, sinar mata Yu Canghai memandang tajam ke segala arah. Satu per satu
tamu Liu Zhengfeng dipandanginya dengan seksama. Kebanyakan dari mereka adalah
para pesilat kelas dua di dunia persilatan. Meskipun banyak dari mereka yang
tidak terkenal, namun Yu Canghai dapat menebak darimana orang-orang ini berasal
berdasarkan warna seragam yang mereka pakai. Ternyata tidak satu pun dari
mereka yang terlihat mencurigakan. Yu Canghai berpikir ilmu silat mereka pasti
biasa-biasa saja dan tidak mungkin bisa melumpuhkan Shen Renjun dan Ji Rentong,
kemudian menghilang dengan sangat cepat.
Sampai akhirnya, pandangan Yu
Canghai tertuju kepada seseorang yang berwajah jelek dan berbadan bungkuk.
Beberapa titik di mukanya ditempel dengan koyo. Tingkah laku orang ini juga
cukup mencurigakan bagi Yu Canghai.
Diam-diam Yu Canghai
memikirkan asal-usul laki-laki bungkuk yang dicurigainya itu. “Mungkinkah dia?”
ujarnya dalam hati. “Mu Gaofeng si Bungkuk dari Utara jarang sekali
menginjakkan kaki di daratan tengah sini. Dia juga tidak memiliki hubungan baik
dengan Serikat Pedang Lima Gunung. Hm, untuk apa dia muncul dalam acara Cuci
Tangan Baskom Emas Liu Zhengfeng ini? Tapi kalau orang ini bukan dia, lantas
siapa lagi manusia jelek bertubuh bungkuk yang berkecimpung di dunia
persilatan?”
Pandangan semua orang ikut
beralih pula ke arah si orang bungkuk yang sedang diperhatikan Yu Canghai.
Beberapa tokoh persilatan yang sudah berpengalaman ikut terperanjat menyaksikan
kehadiran si bungkuk tersebut. Bahkan, Liu Zhengfeng tampil ke depan memberikan
sambutan dengan penuh hormat, “Saya tidak menyadari kehadiran Saudara yang
terhormat sehingga terlambat dalam memberikan penyambutan. Mohon dimaafkan.”
Sebenarnya si orang bungkuk
ini bukan ahli silat papan atas. Ia tidak lain adalah Lin Pingzhi, tuan muda
Biro Ekspedisi Fuwei. Sejak tadi ia hanya duduk di sudut ruangan dan tidak
berani menonjolkan diri karena takut dikenali oleh orang-orang Perguruan
Qingcheng. Akan tetapi karena Yu Canghai kini memandang tajam ke arahnya, mau
tidak mau ia pun menjadi pusat perhatian semua orang di aula tersebut.
Dengan perasaan serbasalah,
Lin Pingzhi bangkit dari duduk dan balas memberi hormat, “Tidak benar, tidak
benar. Saya tidak pantas menerima penghormatan ini.”
Liu Zhengfeng heran mendengar
si orang bungkuk ini berbicara dengan logat daerah selatan, padahal Mu Gaofeng
terkenal dengan julukan Si Bungkuk dari Utara. Jika diamati dengan seksama,
usia orang bungkuk ini juga terlihat jauh lebih muda dibandingkan Mu Gaofeng.
Apalagi Mu Gaofeng terkenal kasar dan tidak tahu aturan, sedangkan orang ini
bersikap sangat sopan. Untuk lebih meyakinkan, Liu Zhengfeng pun bertanya,
“Saya bernama Liu Zhengfeng, tuan rumah di sini. Kalau boleh saya tahu,
siapakah nama Tuan yang mulia?”
Lin Pingzhi sama sekali tidak
menduga kalau sang tuan rumah akan muncul untuk menanyakan siapa namanya. Ia
membuka mulut namun tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
“Apakah Anda dan Pendekar
Mu....” ujar Liu Zhengfeng kemudian.
Seketika Lin Pingzhi mendapat
akal mendengar perkataan itu. Ia berpikir, “Margaku adalah Lin. Rasanya tidak
masalah kalau aku sekarang mengaku bermarga Mu, mengingat kedua kata ini sangat
mirip jika ditulis.” Maka dengan cepat ia pun menjawab, “Saya... saya memang
bermarga Mu.”
Liu Zhengfeng semakin yakin
kalau si orang bungkuk di hadapannya jelas bukan Mu Gaofeng. Maka ia pun
berkata, “Kedatangan Tuan Mu merupakan suatu kehormatan bagi keluarga Liu. Jika
boleh saya tahu, ada hubungan apa antara Tuan Mu dengan Pendekar Mu Gaofeng, si
Bungkuk dari Utara?”
Seumur hidup baru kali ini Lin
Pingzhi mendengar ada seorang pendekar bungkuk bernama Mu Gaofeng. Dilihat dari
sikap hormat Liu Zhengfeng, sepertinya Mu Gaofeng ini seorang tokoh papan atas
di dunia persilatan. Di samping itu, Yu Canghai terlihat memandanginya dengan
tatapan curiga. Maka, Lin Pingzhi pun terpaksa berkata bohong, “Si Bungkuk dari
Utara, Pendekar Mu adalah... Beliau adalah sesepuh saya.”
Karena tidak melihat adanya
orang lain lagi yang mencurigakan di ruangan itu, Yu Canghai berani
menyimpulkan kalau Lin Pingzhi adalah si penyerang terhadap Shen Renjun dan Ji
Rentong. Kalau yang datang adalah Mu Gaofeng tentu ia merasa segan meskipun
tidak takut kepadanya. Namun karena yang membuat ulah hanya kerabat mudanya,
maka ia merasa tidak perlu khawatir lagi. Karena orang bungkuk ini berani
membuat ulah dengannya, maka ia berniat membuat perhitungan dengan Lin Pingzhi.
Yu Canghai pun berkata,
“Selama ini Perguruan Qingcheng tidak pernah berselisih dengan Pendekar Mu
Gaofeng si Bungkuk dari Utara. Tapi kenapa Tuan Mu mengganggu murid-muridku?”
Baru kali ini Lin Pingzhi
mengetahui, bahkan berhadapan langsung dengan Yu Canghai, pendeta bertubuh
pendek yang telah menghancurkan keluarganya. Dendamnya sudah memuncak sampai ke
ubun-ubun. Ingin rasanya ia mencabut pedang dan menusuk dada Yu Canghai. Akan
tetapi setelah mengalami berbagai pengalaman pahit, kini perasaannya menjadi
lebih terkendali. Dengan menahan gusar, Lin Pingzhi pun berkata, “Perguruan
Qingcheng suka sekali membuat onar. Melihat terjadinya ketidakadilan, Pendekar
Mu terpaksa turun tangan. Beliau sangat suka membantu kaum lemah yang
tertindas, tidak peduli salah ataupun benar.”
Mendengar itu Liu Zhengfeng
merasa geli di dalam hati. Meskipun memiliki kepandaian tinggi, namun Mu
Gaofeng seorang yang berkelakuan buruk. Sebenarnya ia tadi menyebut istilah
“Pendekar Mu” hanya sekadar untuk basa-basi saja. Meskipun demikian, kaum
persilatan umumnya tidak suka mencari gara-gara dengan Mu Gaofeng karena si
bungkuk ini seorang yang berpikiran sempit dan sangat keji. Barangsiapa
mengganggu dirinya, maka ia akan membalas dengan cara-cara yang jauh lebih
berat dan mengerikan.
Melihat jawaban yang bernada
memuji itu, Liu Zhengfeng semakin yakin kalau Lin Pingzhi benar-benar kerabat
Mu Gaofeng. Demi mencegah terjadinya perselisihan antara Lin Pingzhi dan Yu
Canghai yang bisa mengundang kemarahan Mu Gaofeng, maka ia pun berkata,
“Pendeta Yu dan Saudara Mu adalah tamu-tamu kehormatanku. Bagaimanapun juga
kuharap kalian berdua sudi memandang kepadaku. Marilah kita bersama-sama
mengeringkan cawan sebagai tanda damai. Pelayan, bawakan arak kemari.”
Segera seorang pelayan datang
memenuhi panggilan sang majikan.
Meskipun Yu Canghai tidak
takut kepada pemuda bungkuk di hadapannya, namun jika mengingat kekejaman dan
kelicikan Mu Gaofeng yang sangat terkenal, mau tidak mau ketua Perguruan
Qingcheng ini merasa ngeri juga. Meskipun arak telah dituang, ia tidak segera
meminumnya, namun tetap memandang tajam ke arah Lin Pingzhi.
Sebaliknya, dendam Lin Pingzhi
kepada pendeta pendek itu sudah tidak terlukiskan lagi. Rasa dendam itu pula
yang membuat pemuda ini kehilangan rasa takutnya. Dalam hati ia berpikir,
“Mungkin saat ini Ayah dan Ibu telah mengalami nasib yang paling buruk karena
pendeta pendek ini menurunkan tangan jahatnya. Huh, lebih baik aku mati daripada
berdamai dengan bangsat ini.”
Lin Pingzhi pun memandang
wajah Yu Canghai dengan sorot mata berapi-api. Dalam hati ia ingin sekali
mengutuk dan mencaci-maki Yu Canghai. Melihat sikap pemuda itu, amarah Yu
Canghai bergolak pula. Ia lantas mengulurkan tangannya untuk memegang
pergelangan Lin Pingzhi sambil berkata, “Baiklah, baiklah! Ucapan Saudara Liu
memang benar. Kita ini sebagai tamu namun sudah bersikap lancang di sini.
Saudara Mu, mari kita saling mengenal lebih dekat.”
Sepertinya Yu Canghai mengajak
Lin Pingzhi bersalaman, namun sesungguhnya ia mengerahkan tenaga dalam untuk
menyakiti pemuda itu. Lin Pingzhi bermaksud menarik tangannya namun tenaga Yu
Canghai sangat kuat. Meskipun pergelangannya terasa sakit namun mulutnya tetap
diam tak bersuara. Tujuan Yu Canghai sebenarnya bukan untuk meremukkan tangan
Lin Pingzhi, melainkan hanya untuk memaksanya mohon ampun saja. Namun dendam
Lin Pingzhi sudah begitu dalam. Meskipun mati ia sama sekali tidak takut.
Bukannya merintih, ia justru semakin melotot ke arah Yu Canghai.
Liu Zhengfeng yang berdiri di
sebelah mereka dapat melihat butiran keringat mengalir di dahi Lin Pingzhi.
Dalam hati ia memuji keberanian pemuda itu yang telah menantang Yu Canghai.
Dalam hati ia bermaksud melerai, namun baru saja berkata, “Pendeta Yu!”
tiba-tiba terdengar suara seorang lainnya berteriak melengking, “Hai, Pendeta
Yu! Rupanya hari ini hatimu sedang gembira, sampai-sampai cucu Mu Gaofeng juga
kau ajak bercanda.”
Semua orang langsung menoleh
ke arah sumber suara. Mereka melihat seorang bungkuk berbadan bulat pendek
berdiri di pintu masuk ruangan. Wajah orang ini sangat jelek, penuh bercak dan
benjolan di sana-sini. Banyak di antara para hadirin yang belum pernah bertemu
Mu Gaofeng dan kini mereka sangat terkejut setelah mengetahui orangnya seperti
apa. Belum habis rasa heran para hadirin tiba-tiba pria bungkuk itu sudah
melesat ke arah Lin Pingzhi.
Tubuh Mu Gaofeng memang gemuk
dan bulat, namun kecepatannya sungguh luar biasa dan sulit diikuti mata. Dalam
sekejap ia sudah berdiri di samping Lin Pingzhi dan menepuk bahu pemuda itu
sambil memuji, “Cucuku yang baik, cucuku yang tampan, kau telah memuji kakekmu
ini sebagai pendekar budiman yang suka membantu kaum lemah melawan penindasan.
Kakek sungguh senang.” Usai berkata demikian ia menepuk kembali bahu si pemuda.
Meskipun hanya berupa tepukan,
sesungguhnya Mu Gaofeng telah menyalurkan tenaga dalam melalui tubuh Lin
Pingzhi untuk menyerang balik sang ketua Qingcheng. Yu Canghai sendiri merasa
kepanasan dan hampir saja melepas cengekeramannya. Namun ia segera mengerahkan
tenaga lebih banyak lagi untuk memperkuat genggamannya.
Karena tepukan pertamanya
tidak mampu melepaskan tangan Yu Canghai, Mu Gaofeng pun menepuk sekali lagi
sambil mengerahkan delapan puluh persen tenaga yang ia miliki. Lin Pingzhi
merasa tidak tahan lagi atas tepukan yang kedua ini. Tubuhnya telah menjadi
media adu kesaktian antara kedua tokoh keji tersebut. Pandangannya terasa
gelap, tenggorokannya terasa amis karena segumpal darah segar sudah naik ke mulutnya.
Namun demikian, ia nekad menelan kembali darah tersebut ke dalam perut.
Yu Canghai sendiri juga merasa
panas pada bagian tangannya. Terpaksa ia pun melepaskan genggamannya sambil
berpikir, “Si bungkuk ini benar-benar licik dan kejam. Demi untuk mengalahkan
aku, dia tidak segan-segan membuat cucunya terluka.”
Melihat Yu Canghai mundur
selangkah, Lin Pingzhi segera mengumpulkan tenaga untuk berkata, “Pendeta Yu,
ilmu silat Perguruan Qingcheng ternyata begitu saja. Dibandingkan Si Bungkuk
dari Utara jelas kau kalah jauh. Mungkin lebih baik kau pindah perguruan saja,
menjadi murid Pendekar Mu. Dengan demikian... dengan demikian kau akan... kau
akan bertambah kuat....”
Meskipun hatinya senang namun
pemuda ini telah menderita luka dalam cukup gawat sehingga badannya terasa
lemas. Kalimat yang diucapkannya dapat diselesaikan dengan susah payah. Ia
merasa beberapa organ tubuhnya di bagian dalam bagaikan naik ke atas. Kakinya
terasa lemas dan hampir saja ia jatuh dan tidak sanggup berdiri lagi.
“Tentu saja aku senang jika
bisa menjadi murid Pendekar Mu,” jawab Yu Canghai. “Namun kau juga murid
Pendekar Mu. Tidak ada salahnya jika aku belajar lebih dulu darimu.” Maksud
ucapan Yu Canghai ini adalah tantangan untuk Lin Pingzhi, sedangkan Mu Gaofeng
tidak boleh ikut membantu.
Mu Gaofeng pun tertawa dan
berkata, “Hahaha. Cucuku yang baik, dengan kepandaianmu yang rendah ini bukan
tidak mungkin dalam sekali hantam saja kau akan mati di tangan Pendeta Yu.
Sayang sekali jika cucu setampan dirimu harus mati di sini. Bagaimana jika kau
menyembah kepada Kakek lebih dulu, biar Kakek mewakili dirimu untuk
menghadapinya?”
Lin Pingzhi kembali melotot
tajam ke arah Yu Canghai sambil berpikir, “Jika aku melayani tantangan Yu
Canghai, tentu ia akan langsung membunuhku dalam sekali pukul. Jika demikian
yang terjadi, bagaimana mungkin aku bisa membalaskan sakit hati Ayah dan Ibu?
Namun aku, Lin Pingzhi, juga tidak sudi menyembah manusia bungkuk ini dan
memanggilnya sebagai kakek. Aku memang sudah terhina, namun menyembahnya di depan
umum jelas perbuatan yang sangat merendahkan Keluarga Lin kami. Apabila bisa
selamat, tentu Ayah tidak akan sanggup lagi berjalan dengan bangga mengingat
penghinaan ini. Tentu Ayah tidak memiliki muka lagi untuk berkecimpung di dunia
persilatan. Sekali aku menyembah Si Bungkuk dari Utara, maka untuk selamanya
aku akan hidup di bawah nama besarnya dan tidak akan menjadi diriku lagi.”
Berpikir demikian membuat badan Lin Pingzhi gemetar sampai-sampai ia berdiri
sambil memegang tepi meja. Ia tidak dapat memutuskan harus bagaimana.
Melihat itu Yu Canghai pun
berpikir, “Hm, aku yakin bocah ini bukan cucu Mu Gaofeng. Jika tidak, mengapa
ia memanggil dengan sebutan ‘Sesepuh’, bukan ‘Kakek’? Tidak mungkin Mu Gaofeng
menyuruh bocah ini berlutut di saat-saat begini kalau dia memang benar-benar
cucunya.” Berpikir demikian Yu Canghai pun memanas-manasi Lin Pingzhi dengan
berkata, “Kau memang seorang pengecut. Apa susahnya bagimu menyembah dan
memanggilnya kakek? Tentu kau bisa mendapat bantuannya, bukan?”
Lin Pingzhi sendiri sedang
terkenang pada penderitaan kedua orang tuanya, serta kematian para pegawai Biro
Ekspedisi Fuwei akibat kekejaman Perguruan Qingcheng. Ia merasa kepandaiannya
terlalu rendah sehingga untuk membalas dendam saat ini rasanya terlalu sulit. Satu-satunya
jalan adalah dengan meminta bantuan Mu Gaofeng. Diam-diam ia merenung,
“Laki-laki sejati menerima sedikit penghinaan adalah hal yang biasa, asalkan
cita-citaku bisa segera terwujud.” Berpikir demikian, ia pun berpaling ke arah
Mu Gaofeng dan berlutut di hadapan manusia bungkuk itu sambil menyembah,
“Kakek, dosa jahanam Yu Canghai ini sangat besar. Ia merampok dan membunuh
orang-orang yang tidak berdosa. Ia adalah musuh bersama kaum persilatan. Mohon
Kakek menegakkan keadilan dan menumpas penyakit busuk ini!”
Perbuatan Lin Pingzhi ini
benar-benar di luar dugaan Yu Canghai dan Mu Gaofeng. Padahal sebelumnya ia
bersikeras menahan sakit saat dicengkeram Yu Canghai tadi, namun kini menyembah
dan memohon perlindungan Mu Gaofeng. Pada umumnya orang persilatan sangat
menjaga kehormatan. Lebih baik mati mengalami siksaan daripada merendahkan diri
menyembah orang lain, apalagi di depan umum. Namun yang dilakukan Lin Pingzhi
benar-benar kebalikannya.
Sementara itu para hadirin
menganggap perbuatan Lin Pingzhi biasa-biasa saja karena mereka mengira pemuda
ini benar-benar cucu Mu Gaofeng. Jadi, berlutut dan menyembah si bungkuk
merupakan hal yang sewajarnya. Di antara semua orang di situ hanya Mu Gaofeng
saja yang mengetahui kalau Lin Pingzhi tidak memiliki hubungan apapun
dengannya. Sementara itu, Yu Canghai hanya menduga-duga saja karena pemuda itu
memanggil “kakek” kepada Mu Gaofeng dengan suara gemetar.
Mu Gaofeng bergelak tawa dan
berkata, “Anak baik, anak manis, kau ingin kita melanjutkan permainan ini, mengapa?”
Ucapan ini seolah ditujukan kepada Lin Pingzhi padahal matanya memandang ke
arah Yu Canghai.
Tentu saja Yu Canghai
bertambah gusar. Namun demikian ia masih bisa menahan diri. Jika sampai terjadi
pertarungan melawan Si Bungkuk dari Utara tentu bukan hanya nyawa yang
dipertaruhkan, tapi juga nama baik Perguruan Qingcheng. Maka dengan sopan ia
pun berkata, “Jika Pendekar Mu berniat mempertunjukkan ilmu silatnya yang luar
biasa sehingga kami bertambah pengalaman, terpaksa saya harus melayani.”
Berdasarkan pengalaman adu
tenaga tadi, Yu Canghai merasakan kekuatan Mu Gaofeng sungguh luar biasa.
Meskipun berbadan bungkuk, namun Mu Gaofeng memiliki tenaga dalam yang
meledak-ledak; bagaikan halilintar atau ombak yang menggulung dahsyat. Sambil
memandangi lawannya, Yu Canghai berpikir, “Pantas saja si bungkuk ini demikian
sombong. Jika dia mengalahkan aku dalam waktu singkat, tentu dia akan
mendesakku pula dengan serangan bertubi-tubi. Untuk menghadapi manusia seperti
ini aku harus menggunakan jurus bertahan. Tenaga dalamnya yang besar dan
menggebu-gebu akan kehilangan kekuatan setelah melewati ratusan jurus. Dengan
cara seperti ini barulah aku bisa menemukan titik kelemahannya.”
Sebaliknya, Mu Gaofeng juga
tidak berani sembarangan dalam menghadapi Yu Canghai. Meskipun ukuran tubuh
lawannya itu pendek dan kecil namun penampilannya sangat berwibawa, bagaikan
gunung yang tegak dan kokoh. Jelas, tenaga dalam sang ketua Qingcheng tidak
bisa dipandang rendah. “Hm, pendeta pendek ini menyimpan kekuatan yang luar biasa.
Setiap angkatan dalam Perguruan Qingcheng melahirkan tokoh-tokoh hebat. Hidung
kerbau ini bisa menjadi ketua Qingcheng tentu karena ia tidak mudah untuk
dikalahkan. Jika dalam pertarungan ini aku sampai kalah, maka nama besar yang
sudah kubangun selama ini akan hancur begitu saja,” demikian pikirnya.
Ketika semua mata memandang ke
arah dua orang bertubuh pendek yang siap bertarung itu, tiba-tiba dua sosok
tubuh manusia kembali melayang dan jatuh tersungkur di lantai. Ditinjau dari
seragam mereka yang berwarna ungu, jelas keduanya adalah murid-murid Perguruan
Qingcheng. Pada pantat mereka masing-masing terdapat bekas tapak kaki. Pada
saat yang hampir bersamaan terdengar pula suara nyaring dan merdu berseru, “Ini
adalah jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat, ilmu andalan Perguruan Qingcheng!”
Yu Canghai terkejut dan sangat
marah. Tanpa membuang waktu ia langsung melesat ke arah datangnya suara.
Dilihatnya seorang anak perempuan berbaju hijau sedang berdiri di dekat meja.
Tanpa pikir lagi, ia langsung memegang lengan anak itu.
“Aduh, Ibu!” jerit si gadis
kecil kesakitan. Ia kemudian menangis keras-keras.
Yu Canghai merasa serbasalah.
Begitu mendengar suara seseorang mengejek Perguruan Qingcheng ia langsung
menerjang dengan sekuat tenaga tanpa berpikir panjang. Tak disangka, ternyata
yang berteriak demikian hanyalah seorang gadis kecil dan terlanjur ia
cengkeram. Seketika ia merasa telah melakukan kesalahan besar karena gadis
sekecil itu mana mungkin mampu melemparkan tubuh kedua muridnya. Di hadapan banyak
orang, tentu perbuatan ini sangat memalukan, apalagi dirinya seorang ketua
perguruan ternama. Maka dengan segera ia pun melepaskan lengan gadis kecil
tersebut.
Tak disangka anak itu justru
menangis semakin keras. “Aduh, Ibu! Dia telah mematahkan lenganku! Ooo, Ibu,
tanganku sakit sekali! Aduh, aduh! Uh-uh-uh, sakit sekali!” demikian teriaknya.
Yu Canghai memang sudah banyak
berpengalaman di dunia persilatan. Berbagai masalah yang sangat rumit dapat
diatasinya. Akan tetapi baru kali ini ia menemui masalah yang sangat memalukan.
Menghadapi seorang anak kecil seperti itu ternyata ia merasa kesulitan. Di
bawah sorot mata ratusan hadirin, wajahnya terlihat merah padam. Seolah-olah
mereka menuduh dirinya tidak berani menghadapi Mu Gaofeng dan mengalihkan serangan
pada seorang anak kecil.
Dengan suara perlahan Yu
Canghai mencoba membujuk gadis kecil itu, “Sudah, jangan menangis! Tanganmu
tidak apa-apa; tidak patah, juga tidak sakit.”
“Tanganku sudah patah!” jerit
anak itu semakin keras. “Tanganku sudah patah! Aduh, Ibu, sakit sekali.
Uh-uh-uh, orang tua menyakiti anak kecil. Aduh, sakit!”
Para hadirin memandang gadis
kecil itu dengan seksama. Usianya baru sekitar tiga belas tahun; kulitnya putih
bersih dan wajahnya terlihat menyenangkan. Seketika timbul rasa simpati mereka
terhadap anak berbaju hijau tersebut. Bahkan, ada dua orang yang berteriak
kasar, “Hajar saja hidung kerbau itu!”
Yu Canghai merasa terpojok. Ia
sadar telah membangkitkan amarah banyak orang. Merasa serbasalah, ketua
Perguruan Qingcheng itu mencoba membujuk lagi, “Adik kecil, jangan menangis.
Aku minta maaf. Coba kulihat tanganmu apa ada yang terluka.”
Baru saja tangannya bergerak,
gadis kecil itu kembali menjerit keras, “Tidak mau! Jangan sentuh aku! Aduh,
Ibu! Tanganku telah dipatahkan pendeta pendek ini!”
Sementara Yu Canghai
kebingungan, seorang berseragam ungu maju untuk membantu. Ia tidak lain adalah
Fang Renzhi, murid paling cerdik dalam Perguruan Qingcheng. Dengan menggunakan
jurus memutarbalikkan fakta, ia pun menyapa si gadis kecil, “Hei, Nona kecil.
Kau jangan berpura-pura. Tangan guruku sama sekali tidak menyentuh bajumu.
Lantas, bagaimana bisa mematahkan lenganmu?”
Di luar dugaan, anak itu
justru berteriak, “Ibu, ada yang hendak memukulku!”
Biksuni Dingyi yang sejak tadi
menahan kesal akhirnya maju dan langsung melayangkan tangan untuk menampar
wajah Fang Renzhi sambil membentak, “Memalukan! Orang tua beraninya menggertak
anak kecil!”
Fang Renzhi berniat menangkis
serangan itu. Dingyi segera menjulurkan tangannya yang lain untuk menangkap
lengan Fang Renzhi dan mendorongnya ke bawah. Apabila sang biksuni menambah
tenaga, tentu siku murid Qingcheng bertubuh kurus itu sudah patah.
Melihat muridnya dalam bahaya,
Yu Canghai langsung menyerang punggung Dingyi menggunakan totokan. Terpaksa
Dingyi melepaskan tangan Fang Renzhi untuk menangkis serangan tersebut. Melihat
muridnya terbebas, Yu Canghai pun melompat mundur dan membatalkan serangan.
“Maaf!” katanya.
Dingyi kemudian mendekati si
gadis kecil dan memegangi lengannya. Dengan suara lembut biksuni tua itu
bertanya, “Anak manis, mana yang sakit? Biar aku yang mengobati.”
Setelah memeriksa lengan anak
itu dan ternyata tidak patah, Dingyi merasa lega. Namun begitu lengan baju
gadis itu digulung, tampak empat ruas garis merah bekas cengkeraman tangan
orang dewasa melingkar di kulit lengannya yang langsung membuat Dingyi kembali
gusar.
“Lihat ini, keparat!” seru
Dingyi kepada Fang Renzhi sambil menunjukkan lengan si gadis kecil. “Kau bilang
gurumu tidak pernah menyentuhnya. Lalu, ini bekas tangan siapa?”
Si gadis baju hijau berseru,
“Bekas tangan si bulus itu.” Sambil berkata demikian ia menunjuk ke arah Yu
Canghai.
Maka meledaklah tawa para
hadirin seketika. Mereka bergelak tawa begitu keras, sampai-sampai ada salah
seorang yang menyemburkan teh di mulutnya, serta ada pula yang jatuh
terguling-guling di lantai.
Yu Canghai merasa heran
mengapa para hadirin tiada henti-henti menertawakan dirinya. Padahal ejekan
“bulus” merupakan hal yang biasa di daerah asalnya. Ia merasa tidak ada yang
aneh dengan ejekan ini. Namun melihat para hadirin terus-menerus tertawa,
diam-diam hatinya merasa malu juga.
Fang Renzhi segera melompat ke
samping Yu Canghai dan mencabut selembar kertas yang menempel di punggung sang
guru. Kertas itu lantas diremasnya menjadi bola kecil. Yu Canghai memungut dan
membukanya kembali. Betapa terkejut dirinya karena pada kertas itu terdapat
gambar seekor bulus berukuran besar.
Yu Canghai merasa malu bukan
main. Ia yakin gambar bulus itu sudah dipersiapkan untuk mempermainkan dirinya.
Sewaktu gadis kecil itu menangis dan menjerit-jerit untuk mengalihkan
perhatian, seseorang berkepandaian tinggi telah bergerak cepat menempelkan
gambar tersebut di punggung Yu Canghai. Berpikir demikian Yu Canghai pun
mengamati ke segala arah dan akhirnya pandangannya tertuju kepada Liu
Zhengfeng, sang tuan rumah. “Anak sial ini pasti anggota Keluarga Liu.
Jangan-jangan Liu Zhengfeng sendiri yang telah mempermainkan diriku,” demikian
pikirnya.
Menyadari dirinya sedang
dicurigai, Liu Zhengfeng segera maju dan bertanya kepada si gadis kecil, “Adik
kecil, kau ini berasal dari mana? Siapa ayah dan ibumu? Di mana mereka?”
Gadis kecil itu menjawab,
“Ayah dan ibuku pergi jauh. Aku disuruh duduk di sini untuk melihat pertunjukan
menarik. Mereka bilang sebentar lagi akan ada dua sosok manusia yang melayang
melalui jendela dan kemudian jatuh tersungkur di lantai. Konon dua orang itu
sedang memainkan jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat andalan Perguruan
Qingcheng.” Usai berkata demikian gadis itu langsung bertepuk tangan dan
tertawa riang meskipun masih berlinangan air mata.
Melihat itu para hadirin
serentak ikut tertawa. Sebaliknya, orang-orang Qingcheng benar-benar kehilangan
muka. Kedua saudara mereka masih tengkurap di lantai dengan bekas tapak kaki
menghiasi pantat masing-masing. Keadaan mereka sama persis dengan yang dialami
Shen Renjun dan Ji Rentong.
Yu Canghai semakin gelisah.
Untuk membuka totokan mereka diperlukan waktu yang lama, serta menguras banyak
tenaga. Padahal, selain Mu Gaofeng terdapat pula seorang musuh lain yang
berkepandaian tinggi sedang bersembunyi.
Maka itu, Yu Canghai lantas
berkata, “Pindahkan mereka berdua dari sini.”
“Baik, Guru,” jawab Fang
Renzhi. Ia lantas mengajak saudara-saudaranya melaksanakan perintah sang guru.
Melihat itu si gadis kecil
berseru, “Wah, orang-orang Qingcheng banyak sekali. Satu belibis mendarat
digotong dua orang; dua belibis mendarat digotong empat orang.”
Dengan muka merah Yu Canghai
bertanya kepada anak itu, “Kau ini sebenarnya anak siapa? Apakah yang baru kau
katakan ini hasil didikian ayah atau ibumu?”
Sambil berkata demikian ia
berpikir, “Anak sial ini tidak mungkin mengarang kata-kata seperti tadi. Pasti
ada orang lain yang telah mengajarinya. Kata-kata ‘Belibis Mendarat Tampak Pantat’
diciptakan oleh Linghu Chong. Mungkin Perguruan Huashan berniat membalas
kematian Linghu Chong dengan cara seperti ini. Di antara orang-orang Huashan,
yang bisa menotok murid-muridku dengan tenaga dalam sehebat ini sudah pasti
hanyalah... hanyalah Yue Buqun seorang. Mungkinkah dia yang telah bermain di
balik semua ini?”
Membayangkan pelaku
penyerangan terhadap murid-muridnya adalah Yue Buqun, ketua Perguruan Huashan,
seketika Yu Canghai merasa khawatir. Ia sadar ilmu silat Yue Buqun sangat
tinggi. Apabila perguruannya sampai berselisih dengan pihak Huashan, maka
keempat perguruan lainnya dalam Serikat Pedang Lima Gunung akan segera turun
tangan. Tentu saja ini menjadi bencana besar bagi Perguruan Qingcheng.
Sementara itu, si gadis kecil
berbaju hijau seolah tidak memedulikan pertanyaan Yu Canghai. Ia tetap terlihat
asyik berhitung, “Satu dikali dua ada dua; dua dikali dua ada empat; tiga
dikali dua ada enam; empat dikali dua ada delapan....”
“Aku bertanya kepadamu!”
bentak Yu Canghai.
Gadis kecil itu tersentak
kaget dan kembali menangis keras. Ia lantas menyembunyikan wajahnya di balik
lengan Dingyi. Sang biksuni pun menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut sambil
berkata, “Jangan takut, anak manis! Jangan takut, anak manis!”
Kembali Dingyi melotot ke arah
Yu Canghai dan balas membentak, “Kenapa kau menggertak anak ini?”
Yu Canghai hanya mendengus.
Dalam hati ia berpikir Serikat Pedang Lima Gunung telah bersatu untuk
menghadapi Perguruan Qingcheng.
Muka si gadis kecil melongok
dari balik lengan baju Dingyi sambil tertawa. Ia lantas berkata, “Nenek, dua
kali dua ada empat, dua belibis mendarat diangkut empat orang; tiga kali dua
ada enam, tiga belibis mendarat diangkut enam orang; empat kali dua ada
delapan....”
Para hadirin merasa heran
melihat tingkah laku anak ini. Umumnya anak kecil yang suka menangis dan
tertawa dalam waktu singkat adalah mereka yang masih berusia di bawah tujuh
tahun. Akan tetapi, gadis ini paling tidak sudah berusia tiga belas tahun.
Tidak sepatasnya ia bersikap demikian. Mendengar ucapannya selalu mempermalukan
Perguruan Qingcheng, sudah tentu ada orang lain yang bersembunyi dan
mengajarinya.
Yu Canghai semakin penasaran.
Ia pun berseru, “Wahai orang gagah yang bersembunyi di sana! Entah kawan entah
lawan, sebaiknya kau tunjukkan dirimu! Kenapa kau memperalat anak kecil untuk
menyampaikan omong kosong ini? Apakah ini tindakan seorang kesatria?”
Meskipun bertubuh kecil, Yu
Canghai ternyata mampu berteriak dengan keras dan nyaring hingga membuat
telinga para hadirin ikut berdengung. Seketika suasana di aula itu berubah
sunyi senyap, namun tetap saja tidak terdengar suara seorang pun yang menjawab.
Sejenak kemudian si gadis
kecil kembali bertanya kepada Dingyi, “Nenek, dia menyebut-nyebut tentang orang
gagah. Apa kira-kira di dalam Perguruan Qingcheng juga terdapat orang gagah?”
Dingyi adalah tokoh sepuh
dalam Perguruan Henshan, sudah pasti ia pantang merendahkan pihak lain di depan
umum. Meskipun tidak menyukai Perguruan Qingcheng, terpaksa biksuni ini
menjawab, “Di masa lalu dalam Perguruan Qingcheng memang... memang banyak
terdapat orang gagah.”
“Kalau sekarang bagaimana?”
sahut si gadis kecil. “Apa masih ada orang Qingcheng yang bersikap kesatria?”
“Kenapa tidak kau tanyakan
langsung saja kepada pendeta itu? Dia adalah ketua Perguruan Qingcheng,” jawab
Dingyi sambil menggerakkan bibirnya ke arah Yu Canghai.
Ternyata gadis itu benar-benar
bertanya kepada Yu Canghai, “Pendeta, kalau ada orang menganiaya orang lain
yang sedang terluka parah, apakah orang itu pantas disebut kesatria?”
Pertanyaan ini membuat Yu
Canghai tergetar. Ia berpikir, “Gadis ini benar-benar dari Perguruan Huashan.”
Sebagian hadirin yang
mendengar tentang kematian Linghu Chong di tangan Luo Renjie diam-diam berpikir
pula, “Jangan-jangan gadis kecil ini ada sangkut pautnya dengan Perguruan
Huashan.”
Sebaliknya, Lao Denuo bertanya
dalam hati, “Ucapan anak ini jelas-jelas membela Kakak Pertama. Memangnya,
siapa anak ini sebenarnya?”
Yilin yang telah pulih dari
pingsan diam-diam sangat berterima kasih mendengar pertanyaan gadis kecil itu.
Sebenarya sejak tadi ingin sekali ia mengajukan pertanyaan tersebut kepada Yu
Canghai untuk sekadar meminta keadilan. Namun sifatnya yang lembut dan sopan
membuatnya menahan diri untuk bertanya demikian. Kali ini si gadis kecil telah
menyampaikan pertanyaan itu, sehingga dalam hati ia merasa sangat bersyukur.
Tak terasa air matanya pun menetes karena perasaan haru.
Yu Canghai balik bertanya
dengan suara perlahan, “Siapa yang mengajarimu bertanya seperti itu?”
Gadis itu tidak menjawab,
justru kembali bertanya, “Apakah kau punya murid bernama Luo Renjie? Dia
melihat ada orang lain terluka parah; bukannya memberi pertolongan, tapi justru
menusuknya dengan pedang. Apakah perbuatan muridmu itu termasuk perbuatan
kesatria? Apakah yang mengajari Luo Renjie berbuat demikian adalah kau
sendiri?”
Pertanyaan seperti itu sudah
tentu membuat Yu Canghai serbasalah. Terpaksa ia balik mendesak dengan sikap
bengis, “Aku bertanya kepadamu, siapa sebenarnya yang telah menyuruhmu mencari
masalah denganku? Apakah ayahmu berasal dari Huashan?”
Si gadis kecil menoleh ke arah
Dingyi dan bertanya, “Nenek, apakah caranya menggertak anak kecil seperti aku
ini juga termasuk perbuatan kesatria?”
“Entahlah, aku sulit
menjawabnya,” jawab Dingyi.
Para hadirin semakin heran
melihat anak itu. Semula mereka mengira ada orang lain yang mendalangi
ucapannya. Namun ternyata, anak itu berbicara sesuai keadaan yang sedang ia
alami. Jelas apa yang baru saja ia tanyakan bukan hasil karangan sebelumnya.
Dalam hati mereka memuji kecerdasan dan kepandaian anak sekecil itu.
Di sisi lain, dengan pandangan
samar-samar karena genangan air mata, Yilin mengamat-amati wajah gadis kecil
tersebut. Dalam hati ia berpikir, “Sepertinya aku pernah melihat adik kecil
ini, tapi entah di mana.” Sejenak kemudian ia terkesiap. “Aku tahu! Kemarin aku
melihat adik kecil ini di Rumah Makan Dewa Mabuk.”
Yilin kemudian mengingat-ingat
peristiwa kemarin pagi. Selain dirinya yang duduk semeja bersama Linghu Chong
dan Tian Boguang, ia juga melihat sekitar tujuh sampai delapan meja lainnya
terisi penuh oleh tamu. Setelah Tian Boguang melukai Pendeta Tiansong dan
membunuh Chi Baicheng, satu per satu para tamu pergi keluar karena takut.
Sementara itu para pelayan juga tidak berani keluar untuk menyuguhkan arak.
Para tamu lainnya yang tersisa di loteng rumah arak tersebut hanya seorang
biksu bertubuh tinggi besar yang duduk dekat tangga, serta dua orang di meja
lainnya. Setelah Tian Boguang pergi dan Linghu Chong saling bunuh dengan Luo
Renjie, ketiga tamu tersebut tetap saja duduk tenang di meja masing-masing.
Yilin kini teringat bahwa
gadis kecil ini adalah salah satu di antara dua orang tamu yang tersisa, selain
si biksu besar. Waktu itu Yilin hanya melihat punggung gadis itu sehingga tidak
mengenalinya sewaktu muncul di rumah Liu Zhengfeng saat ini. Lagipula si gadis
kecil kemarin memakai baju berwarna kuning, sedangkan sekarang berwarna hijau.
Andai saja kemarin gadis kecil itu berpaling memperlihatkan wajahnya, tentu
Yilin hari ini dapat langsung mengenalinya.
Kembali Yilin berusaha
mengingat-ingat siapakah dua orang tamu lainnya. Salah satunya yang duduk
semeja dengan si gadis kecil di rumah arak tersebut jelas seorang laki-laki.
Akan tetapi, apakah laki-laki itu seorang tua atau muda, serta memakai baju
berwarna apa sama sekali luput dari perhatian Yilin yang saat itu sedang
dirundung ketakutan. Yang mengherankan baginya adalah di meja satunya lagi,
mengapa ada seorang biksu yang gemar minum arak? Siapa sebenarnya biksu
bertubuh besar tersebut? Ketika Tian Boguang mengakui kekalahannya, biksu besar
itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya keras sekali. Begitu pula si gadis kecil
juga ikut tertawa. Suara tertawanya itu mirip sekali dengan suara gadis kecil
yang kini ada di pelukan Biksuni Dingyi. Yilin semakin yakin kalau gadis itu
adalah dia.
Kini pikiran Yilin
melayang-layang membayangkan wajah Linghu Chong yang selalu ceria. Terkenang
olehnya bagaimana pemuda itu membohongi Luo Renjie sehingga murid Qingcheng
tersebut mendekat dan berhasil dibunuhnya. Setelah kejadian itu Linghu Chong
sekarat dan kehilangan kesadarannya. Yilin lantas mengangkat dan menggendong
tubuhnya meninggalkan rumah arak.
Meskipun tubuh Linghu Chong
lebih besar dan gagah, namun Yilin menguasai sedikit ilmu silat sehingga cukup
kuat untuk menggendongnya sambil berjalan. Apalagi setelah perjuangan si pemuda
yang mengorbankan nyawa sendiri membuat Yilin tidak merasa berat sama sekali.
Pada saat itu pikiran sang biksuni muda sedang kosong, tidak tahu harus
berjalan ke mana. Tubuh Linghu Chong terasa semakin dingin dan dingin. Tanpa
sadar Yilin sudah membawanya melewati gerbang pintu masuk Kota Hengyang.
Akhirnya Yilin melihat sebuah
kolam yang sangat indah, dengan sejumlah bunga teratai bermekaran di
permukaannya. Tiba-tiba ia merasa punggungnya seperti tertumbuk oleh sesuatu.
Karena tidak tahan lagi, ia pun roboh bersama tubuh Linghu Chong yang
digendongnya.
Beberapa waktu kemudian,
ketika terbangun dari pingsan, Yilin merasa matanya silau oleh cahaya matahari.
Ia berniat melanjutkan perjalanan namun jasad Linghu Chong sudah menghilang
entah ke mana. Ia sangat terkejut dan cemas menyadari hal ini. Beberapa kali ia
berlari mengelilingi kolam teratai namun hasilnya nihil.
“Apakah aku sedang bermimpi?”
demikian pikirnya. Namun melihat pakaiannya yang berlumuran darah jelas itu
semua bukan mimpi. Memikirkan hal ini hampir saja ia jatuh pingsan kembali.
Setelah berusaha menenangkan
diri, ia pun kembali mencari dengan cara mengelilingi kolam namun hasilnya
tetap sia-sia. Sungguh aneh, jasad Linghu Chong telah menghilang tanpa jejak
bagaikan asap tertiup angin. Air kolam juga terlihat tenang, tidak ada
tanda-tanda jasad Linghu Chong tercebur ke dalamnya.
Akhirnya Yilin memutuskan
untuk menyusul gurunya ke rumah Liu Zhengfeng di Kota Hengshan. Di sepanjang
jalan ia selalu bertanya-tanya dalam hati, ke mana perginya jasad Linghu Chong?
Apakah diambil orang? Ataukah diseret binatang liar? Ia merasa sangat berdosa
karena tidak bisa menjaga jasad pahlawan penolongnya itu dengan baik, padahal
Linghu Chong telah berkorban nyawa demi untuk melindunginya. Seandainya jasad
Linghu Chong benar-benar dimangsa binatang liar, ia tentu akan bunuh diri
menebus dosa.
Tiba-tiba muncul pikiran aneh
di dalam benaknya, yaitu suatu pikiran yang selama ini belum pernah ia
bayangkan. Pikiran ini muncul berkali-kali namun ia selalu berusaha menekannya
dengan alasan: “Mengapa aku selalu terkenang akan hal ini? Mengapa aku selalu
memikirkan hal yang tidak perlu ini? Ini benar-benar tidak bermanfaat. Tidak,
ini tidak boleh terjadi.”
Akan tetapi, untuk kali ini ia
tidak dapat menahan perasaannya lagi. Dalam benaknya kembali muncul suatu
pikiran; pikiran yang menurutnya tidak pantas untuk seorang biksuni. Namun,
pikiran tersebut ternyata sulit dihapus begitu saja. “Ketika aku menggendong
jasad Kakak Linghu, hatiku merasa tenteram dan damai. Rasanya begitu bahagia,
seperti membaca kitab suci Buddha dalam suasana hening. Aku berharap bisa
terus-menerus menggendongnya. Bagaimanapun juga aku harus dapat menemukan jasadnya
kembali. Bukan, bukan karena takut akan dimakan binatang liar, tapi entah
mengapa aku ingin menemukannya kembali. Oh, mengapa aku harus pingsan sewaktu
berada di tepi kolam kemarin? Padahal, aku ingin sekali jasad Kakak Linghu
selamanya ada dalam pangkuanku. Aih, mengapa timbul perasaan seperti ini? Tidak
boleh! Ini tidak boleh terjadi! Guru tidak memperbolehkan, Sang Buddha juga
tidak mengizinkan. Pikiran demikian adalah pikiran setan dan iblis. Tapi...
tapi, ke mana perginya jasad Kakak Linghu?”
Pikiran Yilin terasa kacau.
Sebentar-sebentar ia terbayang senyuman Linghu Chong yang menawan hati. Kadang
ia teringat pula wajah pemuda itu saat memaki, “Dasar biksuni kecil pembawa
sial!” Entah bagaimana, dadanya terasa sakit seperti ditusuk pisau saat memikirkan
hal itu...
Tiba-tiba terdengar suara Yu
Canghai berseru, “Lao Denuo, gadis kecil ini berasal dari Perguruan Huashan,
bukan?”
“Bukan,” jawab Lao Denuo.
“Baru kali ini saya melihatnya. Dia tidak berasal dari perguruan kami.”
“Baik, kalau kau tidak mau
mengakuinya juga tidak masalah,” sahut Yu Canghai. Tiba-tiba tangannya bergerak
melemparkan sebuah senjata rahasia berupa bor kecil yang melayang ke arah
Yilin, disertai teriakan, “Biksuni cilik, lihat ini!”
Yilin yang pikirannya masih
melayang-layang justru merasa senang kalau senjata tersebut mengenai dirinya.
Dalam hati ia berkata, “Bagus, aku memang sudah tidak ingin hidup lagi. Rasanya
lebih baik kalau aku mati saja.”
Beberapa hadirin lantas
berteriak-teriak, “Awas, Biksuni!” Namun tetap saja Yilin tidak berusaha
menghindar sedikit pun. Entah mengapa hatinya merasa sangat kesepian dan ingin
cepat-cepat mati terkena senjata rahasia Yu Canghai tersebut.
Dengan gerakan lembut, Biksuni
Dingyi mendorong tubuh Dingyi ke samping. Gerakan berikutnya dilakukannya
dengan gesit dan cepat, yaitu melompat ke depan menghadang datangnya senjata
rahasia. Meskipun demikian, ia tidak langsung menangkap bor kecil tersebut
melainkan menunggu sampai benar-benar dekat untuk sekadar memamerkan
kepandaiannya.
Akan tetapi, Yu Canghai
sendiri sudah memperhitungkan serangannya. Bor kecil itu diatur sedemikian rupa
sehingga jatuh di lantai sebelum tertangkap oleh Dingyi. Tentu saja para
hadirin kagum melihat kehebatan tenaga dalam ketua Perguruan Qingcheng tersebut
yang bisa membuat senjata yang ia lemparkan tiba-tiba jatuh pada jarak satu
meter di depan sasaran. Sebaliknya, wajah Dingyi terlihat bersemu merah menahan
malu.
Tiba-tiba Yu Canghai kembali
melemparkan sesuatu ke arah lain. Benda tersebut adalah bola kertas bergambar
bulus yang dilemparkannya ke arah gadis kecil berbaju hijau. Jika tadi Yu
Canghai melemparkan bor kecil ke arah Yilin dengan perlahan, maka kali ini
gulungan kertas yang dilemparkannya ke arah si gadis kecil jelas-jelas disertai
tenaga dalam. Bola kertas itu melayang dengan cepat dan apabila menghantam
wajah si gadis kecil tentu akan mengakibatkan luka yang tidak ringan.
Dingyi yang berdiri di depan
Yilin merasa tidak sempat lagi melindungi gadis berbaju hijau tersebut. Ia
hanya bisa berteriak, “Kau....”
Akan tetapi, si gadis kecil
kembali membuat kejutan. Tiba-tiba saja ia jatuh terduduk di lantai tepat
ketika bola kertas itu hampir menyambar wajahnya. Kejadian ini jelas
menunjukkan gadis berbaju hijau itu diam-diam menguasai ilmu silat. Meskipun
demikian tetap saja ia berlagak menangis sambil memanggil-manggil, “Ibu, Ibu,
dia mau membunuhku!”
Yu Canghai merasa penasaran
dan semakin curiga. Meskipun demikian ia tidak menyerang lagi karena tata krama
dalam dunia persilatan yang berlaku seperti itu; tidak sepantasnya seorang yang
berkedudukan lebih tinggi melancarkan serangan jarak jauh untuk yang kedua
kalinya apabila serangan pertama gagal.
Melihat wajah Yu Canghai
bersemu merah menahan malu, Dingyi merasa sangat senang dalam hati. Akan
tetapi, ia merasa tidak sepantasnya mempermalukan Perguruan Qingcheng lebih
lanjut. Maka, ia pun berkata kepada Yilin, “Aku tidak tahu di mana sebenarnya
ayah dan ibu anak ini. Sebaiknya coba kau temani dia menemukan kedua orang
tuanya itu. Kasihan kalau ada orang dewasa yang menggertaknya lagi.”
“Baik, Guru!” jawab Yilin. Ia
lantas menggandeng anak itu dan mengajaknya melangkah pergi. Gadis kecil
berbaju hijau tersebut terlihat sangat riang berjalan bersama sang biksuni
muda. Sementara itu Yu Canghai hanya melirik tanpa berkata sedikit pun.
Sesampainya di luar, Yilin
lantas bertanya kepada anak itu, “Adik kecil, kau ini bermarga apa dan namamu
siapa?”
Si gadis kecil menjawab sambil
tertawa, “Margaku Linghu, namaku Chong.”
Seketika Yilin tergetar
mendengarnya. Ia pun menukas, “Aku bertanya sungguh-sungguh, tapi kenapa kau
malah bercanda?”
“Siapa bilang aku bercanda?”
jawab si gadis kecil. “Memangnya di dunia ini hanya temanmu itu saja yang
bernama Linghu Chong?”
Mendengar perkataan gadis
kecil itu, Yilin langsung menghela napas dan meneteskan air mata. Ia berkata,
“Aku telah berhutang budi kepada Kakak Linghu. Ia telah berkorban nyawa demi
menolong diriku. Aku... aku tidak pantas menjadi temannya.”
Si gadis kecil tidak
menanggapi. Pandangannya saat itu tertuju kepada dua orang bungkuk yang
bergegas meninggalkan rumah Liu Zhengfeng. Mereka tidak lain adalah Mu Gaofeng
dan Lin Pingzhi. Gadis itu pun berkata sambil tertawa, “Kakak, lihat itu!
Ternyata di dunia ada pemandangan yang seaneh ini. Ada orang tua bungkuk,
berjalan bersama seorang muda yang bungkuk pula.”
Mendengar anak itu suka
menghina orang lain, Yilin merasa kesal. Ia pun berkata, “Adik, apa kau tidak
keberatan jika pergi sendiri mencari ayah dan ibumu? Aku merasa kurang enak
badan. Kepalaku terasa agak pusing.”
“Ah, kau hanya berpura-pura
saja,” sahut si gadis kecil tersenyum. “Aku tahu kau tidak senang karena aku
telah menggunakan nama Linghu Chong. Kakak sayang, bukankah gurumu sendiri yang
telah menyuruhmu untuk mengantarkan aku? Kalau terjadi apa-apa atas diriku,
kalau ada orang lain menggangguku, tentu gurumu akan marah dan menyalahkanmu.”
Yilin menjawab, “Kepandaianmu
lebih tinggi dariku. Selain itu kau juga sangat cerdik. Bahkan, Pendeta Yu yang
ternama tidak tahu harus bagaimana menghadapimu. Orang-orang justru sangat
bersyukur apabila tidak kau kerjai. Jadi, bagaimana mungkin ada yang berani
mengganggu dirimu?”
“Kakak yang baik, kau ini
sungguh lucu. Kalau saja tadi gurumu tidak melindungiku, mungkin aku sudah
dihajar oleh pendeta bertubuh pendek itu,” sahut si gadis kecil. “Baiklah, aku
tidak akan memakai nama Linghu Chong lagi. Nama asliku adalah Qu Feiyan. Karena
kakekku lebih suka memanggilku dengan nama ‘Feifei’, maka kau juga boleh
memanggilku seperti itu.”
Begitu Qu Feiyan memperkenalkan
nama aslinya, rasa kesal dalam hati Yilin mendadak lenyap begitu saja. Namun
demikian, ia tetap bertanya-tanya dari mana gadis kecil itu mengetahui bahwa ia
sedang memikirkan Linghu Chong. Ia lantas berkata, “Nona Qu, mari kita pergi
mencari ayah dan ibumu. Menurutmu, kita harus mencari mereka ke mana?”
Qu Feiyan menjawab, “Sudah
tentu aku tahu ke mana mereka pergi. Tapi, jika kau ingin mencari mereka lebih
baik kau pergi saja sendiri. Aku tidak mau ikut.”
Yilin menjadi heran dan
bertanya, “Kenapa kau tidak mau ikut?”
“Tentu saja,” sahut Qu Feiyan.
“Aku masih telalu muda untuk pergi ke sana. Sebaliknya, meskipun usiamu juga
masih muda, namun kau sudah tidak punya gairah hidup lagi. Kau sedang tertekan
dan ingin cepat-cepat mati. Mungkin sebaiknya memang kau sendiri yang pergi ke
sana.”
Yilin terkesiap dan bertanya,
“Jadi maksudmu... maksudmu mereka sudah....”
“Sudah lama ayah dan ibuku
tewas dibunuh orang jahat,” sahut Qu Feiyan. “Jika kau ingin mencari mereka ke
alam sana, silakan kau pergi sendiri saja. Aku tidak mau ikut.”
Yilin kembali merasa kesal. Ia
berkata, “Ayah dan ibumu sudah meninggal, kenapa mereka kau jadikan bahan
bercanda? Sudahlah, lebih baik kita berpisah di sini saja. Aku akan kembali ke
tempat Guru.”
Qu Feiyan lantas memegang lengan
Yilin dan berkata, “Kakak yang baik, aku ini sebatang kara. Aku mohon kau sudi
menemaniku, sebentar saja.”
Yilin pun menjawab, “Baiklah,
akan kutemani kau sebentar. Tapi, kau tidak boleh bicara sembarangan lagi.
Selain itu, aku ini seorang biksuni. Tidak sepantasnya kau panggil aku dengan
sebutan kakak.”
Qu Feiyan tertawa dan
menjawab, “Menurutmu, kata-kataku ini kau anggap buruk; namun bagiku ini adalah
ucapan yang baik. Baik atau buruk tergantung pendapat kita masing-masing. Kau
ini lebih tua dariku, apa salahnya kalau kupanggil ‘kakak’? Kakak Yilin, kenapa
kau tidak berhenti menjadi biksuni saja.”
Yilin terkejut mendengar
pertanyaan itu. Tanpa sadar kakinya melangkah mundur satu kali.
Qu Feiyan melepaskan
pegangannya dan melanjutkan, “Apa enaknya menjadi biksuni? Tidak boleh makan
ikan, udang, ayam, bebek, juga daging sapi atau kambing. Kakak, kau ini sangat
cantik. Sayang sekali kecantikanmu tidak sempurna karena kepalamu dicukur
gundul. Bagaimana kalau Kakak memanjangkan rambut saja? Sudah pasti kau akan
bertambah cantik dan molek.”
Mendengar ucapan Qu Feiyan
yang lugu itu, Yilin tersenyum dan menjawab, “Kami adalah kaum biarawati. Semua
yang ada di dunia ini hampa belaka. Hidup laksana mimpi. Tidak ada bedanya
berwajah cantik ataupun jelek.”
Qu Feiyan tidak menanggapi
ucapan Yilin melainkan hanya memandangi wajahnya. Saat itu hujan telah
berhenti. Di bawah sinar bulan purnama wajah Yilin terlihat semakin cantik
bagaikan batu pualam yang putih bersih.
Melihat itu Qu Feiyan menarik
napas dan berkata, “Kakak, kau ini benar-benar cantik. Pantas saja kalau dia
selalu memikirkanmu.”
Muka Yilin bersemu merah. Ia
pun menukas, “Kau ini bicara apa? Kalau kau bicara sembarangan lagi, aku akan
pulang sekarang juga.”
“Baiklah, aku tidak akan
sembarangan bicara lagi,” sahut Qu Feiyan. “Kakak yang baik, aku harap kau sudi
memberikan sedikit Salep Penyambung Langit untuk mengobati seseorang yang saat
ini sedang terluka parah.”
“Menolong siapa?” tanya Yilin
heran.
“Orang ini sangat penting.
Namun, untuk sementara aku belum bisa mengatakannya kepadamu,” jawab Qu Feiyan
sambil tertawa.
“Sebenarnya aku bisa saja
memberikan obat itu kepadamu,” ujar Yilin. “Tapi guruku memberi peringatan
supaya obat ini tidak boleh sembarangan dipakai untuk menolong orang jahat.”
Qu Feiyan kembali bertanya,
“Kakak, kalau ada orang yang memaki gurumu dengan kata-kata kotor, apakah orang
itu termasuk golongan orang jahat?”
“Tentu saja,” jawab Yilin.
“Sudah pasti dia termasuk orang jahat.”
Qu Feiyan terdiam sejenak
kemudian berkata lagi, “Sungguh aneh. Padahal ada seseorang berteriak-teriak
bahwa biksuni itu pembawa sial. Dia memaki gurumu dengan bahasa yang kasar.
Tapi kau malah mengoleskan salep tersebut untuk mengobati lukanya....”
Tanpa menunggu ucapan Qu
Feiyan selesai, Yilin yang merasa gusar segera memutar badan untuk kembali ke
rumah Liu Zhengfeng. Namun, Qu Feiyan sudah lebih dulu melompat dan menghadang
di depannya.
Tiba-tiba Yilin teringat kalau
kemarin Qu Feiyan menyaksikan pertarungan Linghu Chong melawan Tian Boguang. Ia
pun berpikir, “Kemarin pagi anak ini beserta seorang kawannya menyaksikan
pertarungan antara Kakak Linghu dan Tian Boguang. Sampai Kakak Linghu terbunuh
dan aku membawa jasadnya menuruni tangga, anak ini masih tetap duduk di sana.
Pantas kalau dia mengetahui semua perbuatanku. Jangan-jangan dia dan temannya
juga mengikuti sewaktu aku menggendong jasad Kakak Linghu. Kalau begitu...
kalau begitu dia mungkin tahu ke mana hilangnya jasad Kakak Linghu....” Ia
ingin bertanya tapi tak sanggup bicara. Hanya wajahnya yang terlihat bersemu
merah menahan malu.
“Kakak, aku tahu kau ingin
bertanya apa kepadaku,” sahut Qu Feiyan. “Aku tahu kau ingin bertanya di mana
jasad Kakak Linghu berada, bukan?”
“Ya, ya... benar sekali,”
jawab Yilin tergagap-gagap. “Jika kau tahu, tentu aku akan... aku akan sangat
berterima kasih.”
“Aku sendiri juga tidak tahu,”
jawab Qu Feiyan. “Namun, ada satu orang yang tahu di mana jasad Kakak Linghu
berada. Sayangnya, orang itu saat ini sedang terluka parah. Jiwanya dalam
bahaya. Jika Kakak bersedia menolongnya menggunakan Salep Penyambung Langit,
tentu dia akan memberitahukan di mana jasad Kakak Linghu berada. Jika Kakak
Yilin tidak segera turun tangan, mungkin dia tidak akan tertolong lagi.”
“Jadi, kau sendiri juga tidak
tahu di mana jasad Kakak Linghu berada,” sahut Yilin menegas.
“Sungguh aku tidak tahu,”
jawab Qu Feiyan. “Aku bersumpah, jika aku, Qu Feiyan, mengetahui di mana jasad
Linghu Chong berada, biarlah aku mati tertusuk secara mengenaskan.”
“Sudahlah, aku percaya
kepadamu. Kau tidak perlu bersumpah segala,” sahut Yilin sambil menutup mulut
Qu Feiyan. “Jadi, siapa sebenarnya orang yang terluka itu?”
“Orang itu orang baik,” jawab
Qu Feiyan. “Tapi tempat yang akan kita datangi bukan tempat baik.”
Yilin tidak peduli. Asalkan
bisa menemukan jasad Linghu Chong, menerobos hutan pedang sekalipun ia tidak
merasa takut. Dengan cepat ia pun berkata, “Mari kita berangkat sekarang juga!”
Yilin kemudian melangkah di
belakang Qu Feiyan. Keduanya berjalan menuju ke arah barat laut menyusuri
jalanan Kota Hengshan yang sunyi senyap. Malam semakin larut. Tiada seorang pun
yang terlihat berlalu-lalang. Hanya sayup-sayup terdengar suara lolongan anjing
membuat bulu kuduk merinding.
Meskipun menempuh perjalanan
yang cukup jauh, ditambah lagi dengan suasana yang begitu menyeramkan, Yilin
merasa tidak keberatan sama sekali. Asalkan bisa menemukan di mana jasad Linghu
Chong berada, ia bersedia melakukan apa saja. Tampak Qu Feiyan kemudian
membawanya menyusuri sebuah lorong sempit yang panjang. Akhirnya mereka pun
sampai di sebuah rumah yang pada bagian atas pintunya tergantung sebuah lentera
kecil berwarna merah.
Sebanyak tiga kali Qu Feiyan
mengetuk pintu rumah tersebut. Tidak lama kemudian pintu pun terbuka dan
seorang laki-laki melongok dari dalam dengan wajah curiga, terutama saat
melihat Yilin. Qu Feiyan segera berbisik di telinga orang itu sambil memberikan
sesuatu. Orang itu manggut-manggut lalu berkata, “Silakan, silakan masuk ke
dalam!”
Qu Feiyan dan Yilin segera
masuk ke dalam rumah tersebut. Mereka berjalan mengikuti laki-laki tadi yang
melangkah agak terburu-buru. Sesampainya di sebuah kamar, laki-laki itu
berhenti dan berkata, “Silakan Nona dan Biksuni duduk di dalam kamar ini.”
Begitu masuk ke dalam, Yilin
mencium bau yang sangat harum memenuhi ruangan. Kamar tersebut tertata sangat
indah dan rapi. Di tengah ruangan terdapat sebuah ranjang besar yang sangat
bagus. Kain penutupnya terbuat dari sutra halus yang berhiaskan sulaman gaya
Xiang, bermotif sepasang burung bermain di atas kolam. Jika diperhatikan dengan
seksama, gambar kedua burung tersebut sangat indah dan teliti, bagaikan
benar-benar hidup.
Sejak kecil Yilin tinggal di
dalam Biara Awan Putih. Sehari-hari ia hidup sederhana sehingga seumur hidup
baru kali ini menyaksikan ruangan sebagus itu. Selain ranjang yang terkesan
mewah, ia juga melihat sebatang lilin merah di atas meja dekat ranjang
menerangi ruangan kamar. Di dekat lilin terdapat kotak rias serta sebuah cermin
tergantung di dinding. Yang membuat Yilin terkejut adalah sepasang sepatu
laki-laki dan sepasang sepatu perempuan di dekat ranjang. Karena merasa malu,
ia buru-buru memalingkan muka sehingga bayangan wajahnya yang cantik dan
bersemu merah terpantul di cermin.
Tidak lama kemudian seorang
pelayan cantik terlihat masuk ke dalam kamar. Ia menghidangkan teh untuk Yilin
dan Qu Feiyan. Wanita itu berpakaian rapi dan ketat. Bibirnya selalu tersenyum
dan langkah kakinya terlihat genit seperti dibuat-buat.
Yilin semakin takut
melihatnya. Perlahan ia berbisik kepada Qu Feiyan, “Sebenarnya ini tempat apa?”
Qu Feiyan hanya tertawa tidak
menjawab. Ia justru berbisik kepada si pelayan cantik supaya melakukan sesuatu.
Wanita itu tertawa genit dan segera keluar memenuhi permintaan Yilin. Ia
melangkah perlahan-lahan sambil menggoyang pinggul.
Melihat tingkah laku wanita
itu, Yilin yakin kalau dia bukan orang baik-baik. Ia pun kembali bertanya,
“Kenapa kau membawaku kemari? Memangnya ini tempat apa?”
Qu Feiyan tersenyum dan
menjawab, “Ini adalah salah satu tempat menarik di Kota Hengshan. Namanya Wisma
Kumala.”
“Wisma Kumala?” sahut Yilin
menegas.
“Benar. Wisma Kumala adalah
rumah pelacuran terbaik di kota ini,” jawab Qu Feiyan.
Seketika jantung Yilin
berdebar kencang mendengar jawaban tersebut. Hampir saja ia jatuh pingsan
mendengar istilah “pelacuran”. Sejak awal ia memang sudah menduga kalau rumah
yang dimasukinya ini bukanlah tempat baik-baik, namun baru sekarang ia
mengetahui kalau dirinya sedang berada di dalam sebuah rumah pelacuran.
Meskipun tidak mengetahui
dengan pasti pekerjaan jenis apa yang dilakukan oleh seorang pelacur, namun
Yilin pernah mendengar cerita dari saudara-saudara seperguruannya, yaitu
murid-murid Henshan dari kalangan bukan biksuni, bahwa seorang pelacur adalah
golongan wanita rendah dan hina. Mereka bersedia tidur dengan laki-laki yang
bukan suaminya untuk mendapatkan uang.
“Jangan-jangan Qu Feiyan
hendak menjadikan diriku sebagai pelacur,” demikian pikirnya dengan mata
berkaca-kaca hampir menangis.
Tiba-tiba dari kamar sebelah
terdengar suara gelak tawa seorang laki-laki. Yilin sangat terkejut karena
mengenali suara tersebut, yang tidak lain adalah suara Tian Boguang, si
Pengelana Tunggal Selaksa Li. Seketika kakinya terasa lemas dan tubuhnya
terkulai di atas kursi.
“Ada apa?” Qu Feiyan bertanya.
“Itu... itu suara Tian
Boguang,” jawab Yilin.
“Benar sekali. Aku juga tahu
kalau itu suara Tian Boguang, muridmu yang lucu,” ujar Qu Feiyan sambil
tertawa.
“Hei, siapa yang
menyebut-nyebut namaku?” teriak Tian Boguang dari kamar sebelah.
“Tian Boguang, gurumu ada di
sini!” seru Qu Feiyan balas berteriak. “Lekas kau kemari dan memberi hormat
kepadanya.”
“Guru apa pula?” sahut Tian
Boguang. Sepertinya ia sangat marah. “Perempuan hina, jika kau mengoceh
sembarangan lagi, akan kurobek mulutmu!”
Qu Feiyan berteriak, “Bukankah
kau telah mengangkat Biksuni Yilin dari Perguruan Henshan sebagai gurumu? Dia
ada di sini. Lekaslah kemari dan menyembahnya.”
“Mana mungkin dia bisa berada
di tempat ini?” sahut Tian Boguang menegas. “Hei, bagaimana... bagaimana kau
tahu? Siapa sebenarnya kau ini? Awas, aku akan segera membunuhmu!” Suaranya
yang keras itu terkesan bernada khawatir.
“Cepatlah kau datang ke sini
dan berlutut menyembah Biksuni Yilin!” bentak Qu Feiyan.
Buru-buru Yilin mencegah,
“Jangan, jangan kau suruh dia kemari!”
Tian Boguang berseru kaget
mendengar suara Yilin. Ia pun melompat turun dari ranjangnya diikuti suara
seorang perempuan bertanya, “Tuan hendak ke mana?”
Qu Feiyan kembali berteriak,
“Tian Boguang, kau jangan kabur! Gurumu ada di sini untuk menyelesaikan
perhitungan.”
“Guru apa? Murid apa?” bentak
Tian Boguang dengan nada gusar. “Aku telah ditipu oleh Linghu Chong. Sekali
biksuni cilik itu datang menemuiku, aku akan segera memenggal kepalanya.”
“Bagus, bagus!” sahut Yilin
dengan suara gemetar. “Aku tidak akan ke sana dan... dan kau tidak perlu
kemari.”
Qu Feiyan kembali berteriak,
“Tian Boguang, kau punya nama besar di dunia persilatan. Kenapa kau tidak
bersikap layaknya seorang laki-laki sejati? Apa kau mau mengingkari janji yang
telah kau ucapkan sendiri? Lekas kemari dan berlutut kepada gurumu!”
Tian Boguang terdengar hanya
mendengus, tidak menjawab.
Yilin buru-buru menyahut, “Aku
tidak mau menerima penghormatannya. Aku tidak ingin melihatnya lagi. Dia
bukan... dia bukan muridku.”
Tian Boguang terdengar
melompat senang dan berkata, “Kau dengar sendiri, bukan? Biksuni cilik itu
tidak ingin melihatku.”
Qu Feiyan menyahut, “Boleh
saja. Kau tidak perlu datang kemari untuk menyembah gurumu. Hanya saja, sewaktu
datang ke rumah ini, kami dibuntuti oleh dua orang. Sebaiknya kau segera
membersihkan jalan dan membereskan mereka berdua. Gurumu dan aku hendak
beristirahat di sini, dan kau bisa berjaga di luar. Jika kau bisa bekerja
dengan baik, mungkin aku tidak akan mengumumkan perjanjianmu dengan Linghu
Chong. Sebaliknya, jika kau tidak becus bekerja, maka seluruh dunia akan tahu
bahwa Tian Boguang telah berjanji akan mengangkat Biksuni Yilin dari Perguruan
Henshan sebagai gurunya.”
Tian Boguang diam sejenak
kemudian membentak ke arah lain, “Hei, sedang apa kalian bersembunyi di situ?
Mau mengintip, hah?” Usai berseru demikian lantas terdengar suara jendela
terbuka disusul suara penjahat cabul itu melompat ke atas.
Yilin dan Qu Feiyan mendengar
suara dua buah senjata jatuh di atas genting, disusul suara jeritan seorang
laki-laki dan langkah kaki seorang lainnya melarikan diri. Kemudian kembali
terdengar suara jendela ditutup. Rupanya Tian Boguang sudah masuk kembali ke
dalam kamarnya.
“Aku telah membunuh salah
seorang di antara mereka. Ternyata dia murid Perguruan Qingcheng. Sementara,
yang satunya lagi melarikan diri,” ujar penjahat itu memberi laporan.
“Dasar tidak berguna! Kenapa
kau biarkan dia lolos?” sahut Qu Feiyan.
“Aku tidak bisa membunuhnya,”
jawab Tian Boguang. “Karena... karena dia seorang biksuni dari Henshan.”
“Oh, ternyata dia adalah bibi
perguruanmu,” kata Qu Feiyan sambil tertawa. “Pantas saja kau tidak berani
membunuhnya.”
Yilin sangat gugup
mendengarnya. Ia pun bertanya, “Jadi, yang lolos itu kakakku? Bagaimana ini?
Dia pasti melapor kepada Guru.”
Tian Boguang berseru, “Hei,
gadis kecil, siapa namamu?”
“Sebaiknya kau tidak perlu
menanyakan itu,” sahut Qu Feiyan sambil tertawa. “Jika kau tetap diam, maka
gurumu tidak akan mempersoalkan lagi masalah perjanjian kemarin.”
Merasa tidak ada gunanya
bertanya, Tian Boguang pun diam seketika.
Yilin buru-buru berkata, “Mari
kita tinggalkan tempat ini secepatnya!”
“Tapi kau belum mengobati
orang itu,” sahut Qu Feiyan. “Bukankah ada yang hendak kau tanyakan kepadanya?
Tapi, kalau kau memang takut gurumu tidak senang, maka kau boleh pergi. Tidak
ada ruginya bagiku.”
Yilin terdiam sejenak,
kemudian menjawab, “Aku sudah terlanjur masuk ke sini. Sebaiknya... sebaiknya
kita segera pergi menemui orang itu.”
Qu Feiyan tersenyum dan
melangkah mendekati sisi ranjang. Di situ ia mendorong dinding kamar sebelah
timur. Perlahan-lahan, sebuah pintu rahasia terbuka di salah satu bagian
dinding. Gadis kecil itu kemudian mengajak Yilin masuk ke dalamnya.
Yilin merasa rumah pelacuran tersebut
benar-benar aneh. Untungnya, Tian Boguang berada di dalam kamar sebelah barat.
Yilin merasa semakin jauh dari penjahat cabul itu tentu akan semakin baik.
Maka, ia pun memberanikan diri berjalan mengikuti Qu Feiyan memasuki lorong
gelap di balik pintu rahasia tersebut.
Di ujung lorong rahasia
terdapat sebuah kamar yang lebih sempit dan gelap gulita. Di dalam kamar itu
terdapat sebuah ranjang dengan kelambu tertutup serta sebuah jendela.
Samar-samar Yilin mengetahui kalau ada seseorang tidur di atas ranjang
tersebut. Menyadari hal itu, ia hanya berhenti di pintu sementara Qu Feiyan
sudah masuk ke dalam.
“Kakak, masuklah kemari. Ini
adalah orang yang harus kau obati dengan Salep Penyambung Langit,” ujar Qu
Feiyan memanggil.
“Apakah dia benar-benar tahu
di mana jasad Kakak Linghu berada?” tanya Yilin ragu-ragu.
“Mungkin tahu, mungkin juga
tidak.” sahut Qu Feiyan ringan. “Aku tidak berani menjamin.”
“Tapi... tapi kau tadi berkata
dia mengetahuinya,” ujar Yilin dengan nada kesal.
“Aku ini bukan laki-laki
sejati. Aku tidak punya keharusan untuk menepati ucapanku,” sahut Qu Feiyan
sambil tertawa. “Sekarang begini saja; kau boleh mengobatinya, boleh tidak.
Kalau tidak mau silakan pergi dari sini. Tidak ada seorang pun yang akan
merintangimu.”
Yilin terdiam. Mengingat ini
adalah peluang untuk menemukan jasad Linghu Chong, maka ia pun menjawab,
“Baiklah, aku akan mengobati lukanya.”
Biksuni muda itu lantas
kembali ke kamar pertama untuk mengambil lilin. Setelah itu ia berjalan lagi
menyusuri lorong rahasia dan masuk ke dalam kamar sempit tadi. Perlahan-lahan
ia mendekati tempat tidur dan menyingkap kelambu. Tampak seorang laki-laki
tertidur dengan wajah ditutupi sehelai sapu tangan berwarna hijau. Menyadari
orang itu tidak bisa melihat dirinya, Yilin pun merasa lebih leluasa.
“Bagian mana yang terluka?”
tanya Yilin kepada Qu Feiyan.
“Coba lihat dadanya,” sahut Qu
Feiyan. “Lukanya sangat dalam, hampir saja mengenai jantung.”
Perlahan-lahan Yilin membuka
selimut yang menutupi tubuh orang itu. Tampak sebuah luka cukup lebar menganga
di dadanya. Darah sudah berhenti namun bisa saja kambuh sewaktu-waktu. Keadaan
orang ini begitu parah. Dalam hati Yilin berkata, “Tidak peduli siapa dia, aku
harus segera menolongnya.”
Setelah menyerahkan lilin di
tangannya kepada Qu Feiyan, Yilin lantas mengeluarkan sebuah kotak kecil dari
balik bajunya. Di dalam kotak itu tersimpan Salep Penyambung Langit, obat luka
buatan Perguruan Henshan yang sangat mujarab. Setelah membuka kotak dan
meletakkannya di atas meja dekat ranjang, ia pun mengoleskan salep tersebut di
sekitar luka orang itu.
Terdengar Qu Feiyan berkata
lirih, “Beberapa titik nadi orang ini sudah ditotok untuk menghentikan
pendarahan. Jika tidak, mungkin sekarang dia sudah mati.”
Yilin mengangguk. Orang itu
memang sudah dalam keadaan tertotok sehingga darahnya berhenti mengucur. Ia
lantas mengambil kapas yang menutup luka orang itu. Seketika darah kembali
memancar keluar. Untungnya, Yilin pernah belajar mengobati luka dari kakak
seperguruannya. Dengan tangan kiri ia menekan luka itu, kemudian dengan tangan
kanan ia mengoleskan Salep Penyambung Langit tepat pada luka tersebut.
Kemudian, ia kembali meletakkan sejumlah kapas di atasnya.
Salep Penyambung Langit
merupakan harta pusaka Perguruan Henshan. Obat ini sangat manjur karena dibuat
dari bahan-bahan bermutu tinggi dengan resep yang sangat dirahasiakan. Sekali
obat ini dioleskan, luka akan langsung mengering dan pendarahan berhenti dalam
waktu singkat.
Samar-samar terdengar suara
napas orang itu, pertanda ia sudah mulai terjaga dan keadaannya membaik. Yilin
pun memberanikan diri untuk bertanya, “Tuan, apakah kau sudi memberikan sedikit
keterangan padaku?”
Tiba-tiba Qu Feiyan sedikit
memiringkan badannya sehingga lilin di tangannya bergoyang-goyang dan api pun
padam. Seketika ruangan sempit tersebut kembali kehilangan penerangan.
“Aduh, maaf! Lilinnya padam,”
seru gadis kecil itu dengan sikap polos.
Suasana begitu gelap
sampai-sampai Yilin tidak dapat melihat jari tangannya sendiri. Hatinya merasa
gugup. Diam-diam ia berpikir, “Tempat ini sangat gelap. Tidak sepantasnya
seorang biksuni seperti aku berada di sini bersama seorang pria; apalagi di
dalam sebuah rumah pelacuran. Setelah mengetahui kabar tentang jasad Kakak
Linghu, aku harus segera pergi.”
Maka dengan suara gemetar ia
kembali bertanya, “Tuan, apakah keadaanmu sudah lebih baik?”
Orang itu tidak menjawab,
hanya merintih perlahan.
“Rupanya ia masih demam. Coba
kau pegang dahinya, panasnya bukan main,” kata Qu Feiyan sambil memegang tangan
Yilin dan menyentuhkannya pada dahi pria tersebut. Sebelumnya, Qu Feiyan sudah
menyingkirkan sapu tangan yang menutupi wajah orang itu. Namun, keadaan begitu
gelap sehingga Yilin tetap tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
Yilin merasa dahi orang itu
benar-benar panas seperti terbakar. Rasa kasihan langsung timbul dalam hatinya.
Ia lalu berkata, “Aku masih punya obat yang lain. Tolong nyalakan lilinnya.”
“Baik, aku akan mengambil
pemantik api,” jawab Qu Feiyan sambil melangkah pergi.
Dengan cepat Yilin menarik
lengan baju gadis itu dan berkata, “Jangan tinggalkan aku sendirian di sini.”
Qu Feiyan tertawa dan berkata,
“Kalau begitu keluarkan saja obatmu sekarang.”
Yilin pun mengeluarkan sebuah
botol porselen kecil dari balik bajunya dan menuangkan tiga butir pil, lalu
berkata, “Ini adalah Pil Empedu Beruang Putih. Kau saja yang memberikan
kepadanya.”
“Dalam keadaan gelap begini,
sayang sekali kalau obatmu sampai jatuh ke lantai dan hilang,” jawab Qu Feiyan.
“Ini menyangkut nyawa seseorang. Kakak, jika kau takut berada di dalam kamar
ini, maka sebaiknya kau saja yang pergi mencari pemantik api.”
Di satu sisi Yilin merasa
takut berada di dalam kamar gelap bersama seorang laki-laki tidak dikenal,
namun di sisi lain ia juga takut berkeliaran sendiri di dalam sebuah rumah
pelacuran. Maka, biksuni muda itu pun menjawab, “Tidak, tidak... aku tidak mau
pergi.”
“Jika kau berniat menolong
nyawa seseorang, maka kau tidak boleh melakukannya dengan setengah-setengah,”
ujar Qu Feiyan. “Kakak yang baik, masukkan saja obatmu ke dalam mulutnya, lalu
minumkan teh dalam cangkir ini untuk membantu dia agar mudah menelan. Keadaan
kamar ini gelap gulita; kenapa kau harus takut dia mengenalimu? Terimalah
cangkir teh ini, jangan sampai tumpah.”
Perlahan-lahan Yilin meraba
tangan Qu Feiyan dan menerima cangkir teh tersebut. Dalam hati ia merenung,
“Guru selalu mengajarkan kepadaku bahwa seorang pengikut Buddha harus
mengutamakan sifat welas asih. Menolong satu nyawa jauh lebih mulia daripada
membangun tujuh tempat ibadah. Meskipun orang ini tidak tahu di mana jasad
Kakak Linghu berada, aku harus tetap mengobatinya.”
Perlahan-lahan Yilin menyentuh
wajah pria itu dan merabanya sampai bertemu bagian mulut. Dimasukkannya ketiga
butir Pil Empedu Beruang Putih di tangannya ke dalam mulut orang itu dan
kemudian diminumkannya secangkir teh tadi sampai beberapa teguk. Samar-samar ia
mendengar orang itu berkata lirih, “Terima... kasih.”
Yilin tertegun sejenak,
kemudian kembali bertanya, “Tuan Pendekar, aku tahu lukamu sangat parah. Tidak
sepantasnya aku mengganggu istirahatmu. Tapi, aku terpaksa harus bertanya
sekarang juga. Apakah Tuan mengetahui di mana jasad Kakak Linghu Chong berada?”
“Jasad... jasad siapa?” sahut
orang itu lirih. Suaranya menggumam tidak jelas.
“Jasad Pendekar Linghu Chong. Apakah
kau mengetahuinya?” ujar Yilin sambil mendekatkan telinganya di depan mulut
orang itu.
Orang itu kembali bergumam
dengan suara tidak jelas. Yilin kembali mengulangi pertanyaan dengan lebih
mendekatkan telinganya, namun orang itu bergumam semakin tidak jelas. Hanya
suara napasnya yang terdengar naik turun. Sepertinya ia sudah berusaha keras
menjawab pertanyaan Yilin namun suaranya tidak bisa dikeluarkan lagi.
Seketika Yilin teringat bahwa
Salep Penyambung Langit dan Pil Empedu Beruang Putih memiliki efek samping yang
cukup keras selain khasiatnya yang manjur. Lebih-lebih, Pil Empedu Beruang
Putih yang berguna mengobati luka dari dalam akan membuat si pengguna
kehilangan kesadaran sampai beberapa jam. Menyadari hal ini diam-diam Yilin
merasa malu. Tidak sepantasnya ia memaksakan diri bertanya demikian kepada
orang itu. Perlahan ia menghela napas lalu melangkah mundur dan berkata,
“Biarlah dia beristirahat dulu. Akan kutunggu di sini.”
“Apa nyawa orang ini bisa
diselamatkan?” tanya Qu Feiyan.
“Aku berharap demikian,” jawab
Yilin. “Luka di dadanya terlalu dalam, hampir mengenai jantung. Nona Qu,
sebenarnya.... siapa sebenarnya orang ini?”
Qu Feiyan tidak menjawab. Ia
justru mengalihkan pembicaraan, “Ternyata benar apa yang dikatakan kakekku; kau
ini belum bisa mengesampingkan urusan duniawi. Kau tidak seharusnya menjadi
biksuni.”
Yilin terheran-heran dan
bertanya, “Jadi, kakekmu mengenal aku? Bagaimana... bagaimana dia bisa
mengetahui sifatku?”
Qu Feiyan menjawab, “Kemarin
Kakek dan aku menyaksikan pertandingan antara Linghu Chong dan Tian Boguang di
Rumah Arak Huiyan.”
“Oh, jadi yang duduk semeja
denganmu kemarin adalah kakekmu?” tanya Yilin menegas.
“Benar sekali,” sahut Qu
Feiyan. “Kakak Linghu-mu itu memang pandai bersilat lidah. Saat dia mengaku
sebagai ahli silat sambil duduk nomor dua di dunia, Kakek sempat percaya dan
penasaran ingin melihat sampai tuntas. Kakek ingin tahu bagaimana Jurus Pedang
Kakus bisa mengalahkan Tian Boguang. Tidak tahunya... hahahaha!”
Meskipun keadaan gelap gulita,
sehingga Yilin tidak bisa melihat dengan jelas wajah Qu Feiyan, namun ia dapat
membayangkan gadis kecil itu sedang tertawa terpingkal-pingkal. Tentu saja ini
membuat perasaannya bertambah sedih.
Qu Feiyan melanjutkan,
“Setelah Tian Boguang meninggalkan tempat pertarungan, Kakek menyebutnya
sebagai pengecut yang tidak dapat dipercaya. Jelas-jelas dia sudah kalah, tapi
tidak mau menyembahmu sebagai guru. Bagaimana bisa dia kabur begitu saja dan
mengingkari janjinya?”
“Kakak Linghu hanya main
akal-akalan saja,” jawab Yilin. “Dia tidak menang dalam arti yang sebenarnya.”
Qu Feiyan berkata, “Kakak
Yilin, kau ini benar-benar baik. Meskipun Tian Boguang sudah berbuat jahat tapi
kau masih saja membelanya.”
Yilin hanya terdiam tidak
menjawab.
Qu Feiyan melanjutkan,
“Setelah Kakak Linghu-mu saling bunuh dengan murid Qingcheng, kau segera
menggendong tubuhnya meninggalkan rumah arak tanpa tujuan yang jelas. Waktu itu
Kakek berkata, ‘Biksuni cilik ini mudah jatuh cinta. Aku khawatir kematian
Linghu Chong bisa membuatnya gila. Mari kita ikuti dari belakang.’
Diam-diam kami pun mengikutimu
yang berjalan entah ke mana. Kakek kembali berkata, ‘Feifei, coba kau lihat
biksuni itu. Andai saja Linghu Chong tidak mati, tentu dia akan memelihara
rambut dan menjadi istrinya.’”
Seketika wajah Yilin bersemu
merah. Untungnya keadaan sangat gelap sehingga Qu Feiyan tidak bisa melihatnya.
“Kakak, apakah perkataan
kakekku benar?” sahut Qu Feiyan bertanya.
“Aih, bukan begitu,” jawab
Yilin. “Aku sungguh merasa bersalah karena menyebabkan kematian Kakak Linghu.
Aku berharap bukan dia yang mati, tetapi diriku saja. Andai Sang Buddha
bersedia mencabut nyawaku untuk menggantikan Kakak Linghu, aku rela. Asalkan
Kakak Linghu bisa hidup kembali, meskipun harus masuk neraka paling dasar dan tidak
dilahirkan kembali... aku beredia.”
Yilin mengucapkan sumpahnya
dengan suara agak keras dan bersungguh-sungguh, sehingga orang yang terluka di
atas ranjang itu pun terbangun dan merintih perlahan.
“Nona Qu, dia sudah bangun,”
seru Yilin gembira. “Coba kau tanyakan apakah keadaannya sudah lebih baik?”
“Kenapa harus aku yang
bertanya? Memangnya kau sendiri tidak punya mulut?” ujar Qu Feiyan.
Sejenak Yilin merasa
ragu-ragu. Ia kemudian melangkah maju dan menyingkap kelambu. Perlahan ia
bertanya, “Tuan, apakah...?
Tiba-tiba orang itu kembali
merintih. Yilin merasa belum saatnya untuk mengajukan pertanyaan. Maka itu, ia
pun mundur kembali. Sayup-sayup terdengar napas orang itu mulai teratur,
pertanda keadaannya sudah jauh lebih baik. Sepertinya ia kembali tertidur.
Qu Feiyan melanjutkan
pembicaraan, “Kakak, mengapa kau rela mati demi Linghu Chong? Apakah dirimu
benar-benar menyukainya?”
“Tidak, tidak!” sahut Yilin
cepat. “Aku ini seorang biarawati, tidak boleh memikirkan urusan duniawi. Kakak
Linghu dan aku sama sekali belum pernah bertemu, tapi... tapi dia rela
mengorbankan nyawa demi untuk melindungi kehormatanku. Aku hanya... aku hanya
merasa berhutang budi kepadanya.”
Qu Feiyan bertanya, “Lantas,
apabila dia hidup kembali, apakah kau bersedia melakukan apa saja untuknya?”
“Tentu saja!” sahut Yilin.
“Meskipun harus mati seribu kali aku tidak akan menolak.”
Tiba-tiba Qu Feiyan berseru
dengan suara keras, “Kakak Linghu, kau dengar itu tidak? Kakak Yilin telah
menyatakan perasaannya....”
“Nona Qu, kau jangan
bercanda?” sela Yilin dengan perasaan gusar.
Qu Feiyan tidak peduli. Ia
tetap saja berteriak, “Kakak Linghu, dia telah berkata bahwa jika kau tidak
mati, maka dia akan melakukan segalanya untukmu.”
Dari nada ucapan Qu Feiyan
yang tegas, Yilin dapat merasakan kalau gadis kecil ini tidak sedang bercanda.
Seketika jantung biksuni muda itu berdebar kencang dan perasaannya gelisah. Ia
hanya bisa berkata, “Kau... kau....”
Tiba-tiba Qu Feiyan
mengeluarkan pemantik api yang sejak tadi disembunyikannya di dalam baju.
Setelah menyalakan lilin, ia tersenyum lebar sambil meraih lengan Yilin dan
mengajaknya mendekati ranjang. Pada saat gadis kecil itu menyingkap kelambu,
jantung Yilin berdebar semakin kencang. Matanya berkunang-kunang menyaksikan
wajah pria yang baru saja diobatinya itu. Seketika kakinya terasa lemas dan
hampir saja ia jatuh di lantai.
Qu Feiyan buru-buru meraih
bahu Yilin dan membantunya berdiri tegak. Ia lantas berkata, “Aku tahu ini akan
menjadi kejutan besar untukmu. Sekarang lihatlah dengan jelas, siapa sebenarnya
orang ini!”
Yilin hanya bisa berkata,
“Dia... dia adalah....” Suaranya terdengar sangat lirih. Dilihatnya pria yang
berbaring di atas ranjang tersebut ternyata seorang pemuda berwajah bersih,
beralis lentik, dan berbibir tipis. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah
sang pahlawan penolong yang kemarin berjuang mati-matian di Rumah Arak Huiyan.
Dia adalah Linghu Chong.
Yilin kembali berkata dengan
suara gemetar sambil menarik lengan Qu Feiyan, “Jadi, dia... dia... dia belum
mati?”
Qu Feiyan menjawab, “Dia
memang belum mati. Tapi kalau obatmu tidak manjur, dia pasti akan mati.”
“Tidak, dia tidak akan mati.
Dia tidak akan mati! Dia... dia pasti selamat,” seru Yilin. Karena terlalu
gembira, ia pun menangis pula.
“Hei, dia tidak mati, mengapa
kau malah menangis?” tanya Qu Feiyan terheran-heran.
Kedua kaki Yilin terasa lemas.
Ia lalu duduk di atas ranjang sambil tetap menangis. “Aku sungguh bahagia. Aku
tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepadamu. Nona Qu, ternyata kau
telah... kau telah menyelamatkan nyawa Kakak Linghu.”
Qu Feiyan menjawab, “Bukan
aku, tapi kau sendiri yang telah menolongnya. Aku tidak tahu cara mengobati
orang, dan aku juga tidak memiliki Salep Penyambung Langit.”
Seketika Yilin menyadari sesuatu.
Ia pun bangkit dan memegang lengan Qu Feiyan, lalu berkata, “Pasti kakekmu yang
telah melakukan ini semua. Kakekmu yang telah membawa Kakak Linghu kemari.”
Tiba-tiba terdengar suara
seorang wanita memanggil-manggil di luar, “Yilin! Yilin!”
Yilin sangat terkejut karena
suara tersebut adalah suara Biksuni Dingyi. Ia berniat menjawab namun Qu Feiyan
segera membungkam mulutnya dan mematikan lilin.
“Apa kau lupa ini tempat apa?”
bisik Qu Feiyan. “Jangan menjawab panggilan gurumu!”
Yilin terdiam. Ia merasa
serbasalah. Di satu sisi ia malu berada di tempat pelacuran, dan di sisi lain
perbuatan tidak menjawab panggilan sang guru adalah sesuatu yang tidak pernah
ia lakukan seumur hidup.
Biksuni Dingyi kembali
berteriak, “Tian Boguang, keluar kau! Bebaskan Yilin!”
Maka terdengarlah suara Tian
Boguang tertawa terbahak-bahak dari arah kamar sebelah barat. Penjahat itu
kemudian berkata, “Hei, mungkinkah yang datang ini Biksuni Dingyi dari Biara
Awan Putih?” Setelah melanjutkan gelak tawa, ia kembali berkata, “Seharusnya
aku keluar untuk memberi hormat. Tapi, di sampingku sedang ada teman-teman
cantik. Mohon maaf aku tidak bisa keluar untuk menemuimu. Hahaha!”
Menyusul kemudian terdengar
suara tawa para perempuan yang menemani Tian Boguang di kamar itu. Sudah pasti
mereka adalah para pelacur penghuni Wisma Kumala tersebut. Salah seorang dari
mereka berkata, “Sayangku, jangan pedulikan nenek itu. Beri aku ciuman
lagi....”
Dingyi semakin gusar mendengar
suara-suara genit dari dalam kamar tersebut yang semakin keras dan keras. Ia
pun berteriak, “Tian Boguang, kalau tidak segera keluar, aku akan mencincang
tubuhmu hingga hancur lebur!”
“Kalau aku keluar, kau akan
mencincang tubuhku; kalau aku tetap di sini, kau juga akan mencincang tubuhku,”
sahut Tian Boguang. “Ah, kalau begitu lebih baik aku tetap di sini saja,
bersama teman-teman manis ini... Ayo, sayang!”
Tian Boguang kembali bergelak
tawa bersama para pelacur tersebut. Ia kemudian berseru, “Biksuni Dingyi,
tempat seperti ini tidak pantas didatangi oleh biarawati sepertimu. Lebih baik
kau lekas pulang saja. Muridmu tidak ada di sini. Dia seorang biksuni muda yang
alim dan taat agama. Kalau dia sampai main ke sini tentu ini suatu kejadian
yang aneh bin ajaib. Mengapa kau tidak merasa risih mencarinya di tempat seperti
ini?”
Dingyi sudah hilang kesabaran.
Ia berteriak kepada murid-muridnya, “Bakar saja! Bakar saja sarang anjing ini!
Kita lihat sampai kapan binatang itu bisa bertahan!”
“Hei, Biksuni Dingyi,” seru
Tian Boguang sambil tetap bergelak tawa. “Tempat ini bernama Wisma Kumala,
salah satu tempat terkenal di Kota Hengshan. Jika kau sampai membakarnya, maka
dalam sekejap akan tersiar kabar di seluruh dunia persilatan bahwa seorang alim
bernama Biksuni Dingyi dari Biara Awan Putih telah mendatangi sebuah rumah
pelacuran. Orang-orang akan bertanya, ‘Mengapa seorang biksuni sepuh mendatangi
tempat mesum?’ – Jawabnya, ‘Untuk mencari muridnya.’ – Selanjutnya mereka akan
bertanya, ‘Kenapa seorang murid Perguruan Henshan sampai datang ke rumah
pelacuran?’ – Nah, bukankah ini akan menjatuhkan nama baik perguruanmu?”
Tian Boguang tertawa semakin
keras lalu melanjutkan, “Biksuni Dingyi, aku terpaksa mengatakan sesuatu
kepadamu. Seumur hidup, Tian Boguang tidak pernah takut terhadap langit, tidak
pernah gentar terhadap bumi. Tapi sekarang aku sangat takut bila bertemu
muridmu yang satu itu. Kalau sampai bertemu dengannya lebih baik aku menyingkir
jauh-jauh. Jadi, mana mungkin aku berani kurang ajar kepadanya?”
Dingyi menjadi bimbang
mendengar perkataan Tian Boguang. Namun menurut laporan muridnya yang bertugas
membuntuti, jelas-jelas Yilin masuk ke dalam Wisma Kumala bersama Qu Feiyan.
Bahkan kemudian Tian Boguang muncul dan menyerang murid pengintai tersebut.
Untung saja murid Henshan tersebut berhasil meloloskan diri karena si penjahat
cabul tidak tega membunuhnya.
Karena merasa bingung tidak
tahu harus berbuat apa, Biksuni Dingyi hanya bisa menendang tiang bendera di
depan rumah pelacuran itu dengan persaan gusar.
Tiba-tiba terdengar suara
seorang laki-laki dari arah genting Wisma Kumala yang bertanya dengan nada
dingin, “Tian Boguang, apa benar kau yang telah membunuh Peng Renqi, muridku?”
Suara ini tidak lain adalah suara Yu Canghai, ketua Perguruan Qingcheng.
“Wah, wah, ketua Perguruan
Qingcheng juga datang ke sini. Hari ini Wisma Kumala benar-benar laris. Pasti
sebentar lagi namanya akan terkenal di seluruh dunia. Tentu majikan tempat ini
akan sangat bergembira. Hahaha!” seru Tian Boguang tertawa. “Aku memang telah
membunuh seorang bocah berseragam ungu. Ilmu pedangnya sangat rendah, mirip
ilmu pedang Perguruan Qingcheng. Tapi aku sendiri tidak tahu apakah namanya
Peng Renqi atau bukan. Maklum saja, kami belum sempat berkenalan, tahu-tahu dia
sudah mati.”
Tanpa banyak bicara Yu Canghai
langsung merusak atap di atas kamar Tian Boguang dan meloncat turun ke bawah.
Sekejap kemudian terdengar suara senjata beradu, pertanda telah terjadi
pertarungan seru antara ketua Perguruan Qingcheng tersebut melawan si penjahat
cabul.
Sambil berdiri di dekat atap
yang berlubang tadi, Biksuni Dingyi menyaksikan pertarungan antara mereka
berdua. Diam-diam ia memuji kehebatan ilmu golok Tian Boguang. “Ilmu silat
bajingan ini hebat juga. Serangan goloknya yang cepat mampu mengimbangi pedang
seorang ketua Perguruan Qingcheng.”
Tiba-tiba terdengar suara
keras berdentum. Karena cemas, Yilin segera memegangi lengan Qu Feiyan. Ia
bertanya-tanya, siapakah yang kalah, Yu Canghai atau Tian Boguang? Meskipun
dirinya pernah hampir saja diperkosa oleh Tian Boguang, namun dalam pertarungan
tersebut ia justru mengharapkan kekalahan Yu Canghai. Ia ingin Yu Canghai
segera pergi dari tempat itu supaya tidak mengganggu ketenangan Linghu Chong.
Apalagi kalau Yu Canghai menang dan menemukan ruang rahasia tersebut, tentu ia
akan menyakiti Linghu Chong dan membunuhnya pula.
Ternyata suara dentuman keras
tadi adalah hancurnya dinding kamar akibat dijebol oleh Tian Boguang. Penjahat
cabul itu sengaja mencari jalan keluar supaya bisa bertarung di tempat yang
lebih leluasa, karena di dalam kamar terdapat beberapa orang pelacur yang
terjebak ketakutan.
“Pendeta Yu, mari kita
lanjutkan pertarungan di tempat yang lebih luas. Kalau aku kalah kau boleh
memiliki Si Giok Kecil. Tapi kalau aku yang menang, maka kau tidak boleh
mengincar dia lagi! Hahaha!” demikian ujar Tian Boguang sambil berlari menjauhi
Wisma Kumala.
Hampir saja kemarahan Yu
Canghai meledak mendengar ejekan itu. Si Giok Kecil adalah primadona Wisma
Kumala, yaitu salah satu dari para pelacur yang tadi berada di kamar bersama
Tian Boguang. Diam-diam ketua Perguruan Qingcheng itu berpikir, “Pertarungan di
dalam kamar tadi telah membuktikan kalau ilmu golok penjahat itu benar-benar
lihai. Lebih dari lima puluh jurus berlalu namun aku tidak dapat
menjatuhkannya. Goloknya dapat bertahan dan menyerang dalam waktu bersamaan.
Ilmu silatnya tidak lebih rendah dariku. Jika pertarungan ini dilanjutkan di
tempat terbuka, aku tidak yakin apakah bisa menang melawan dia.”
Untuk sementara waktu suasana
berubah sunyi senyap. Yilin seolah-olah bisa mendengar bunyi detak jantungnya
sendiri yang berdebar kencang. Ia mendekati wajah Qu Feiyan dan berbisik,
“Apakah... apakah mereka akan masuk kemari?”
Meskipun usia Qu Feiyan lebih
muda, namun dalam keadaan gawat seperti ini ia tetap berusaha tenang. Gadis
kecil itu tidak menjawab dan segera membungkam mulut Yilin.
Kemudian terdengar suara Liu
Zhengfeng berkata, “Pendeta Yu, meskipun kejahatan Tian Boguang sudah setinggi
gunung, kita tidak perlu repot-repot membereskannya sekarang. Kita bisa membuat
perhitungan dengannya lain waktu. Rumah mesum ini merupakan tempat hina di
dalam Kota Hengshan. Sudah lama aku ingin membersihkannya. Biarlah aku yang
menggeledah tempat ini. Seorang pun tidak akan kubiarkan lolos.”
Liu Zhengfeng kemudian
menyuruh Xiang Danian dan Mi Weiyi untuk menggeledah seluruh penjuru Wisma
Kumala. Tidak ketinggalan, Yu Canghai segera memerintahkan murid-murid
Qingcheng ikut menyerbu ke dalam. Biksuni Dingyi yang semula ragu-ragu lantas
memerintahkan pula murid-murid Henshan untuk membantu.
Mendengar itu Yilin semakin
cemas. Murid-murid Hengshan, Henshan, dan Qingcheng menyebar ke segala arah.
Terdengar jerit tangis para pelacur dan germo wisma tersebut karena diberi
pelajaran oleh Xiang Danian dan yang lain. Murid-murid Qingcheng bertindak
lebih kasar lagi. Mereka mengobrak-abrik Wisma Kumala sebagai upaya balas
dendam atas kematian Peng Renqi. Terdengar suara mereka membentak-bentak sambil
membanting perabotan wisma.
Sadar bahwa orang-orang itu
cepat atau lambat akan menemukan tempatnya, Yilin semakin takut dan hampir
jatuh pingsan. Dalam hati ia meratap, “Bagaimana ini? Tadi sewaktu Guru
memanggil, aku diam tidak menjawab. Sebentar lagi mereka akan menemukan diriku
berada di dalam kamar bersama seorang pria. Apalagi ini adalah rumah pelacuran.
Meskipun Kakak Linghu dalam keadaan terluka parah, tetap saja mereka menuduhku
berbuat yang tidak baik. Sekalipun aku memiliki seribu mulut, tetap saja aku
tidak bisa membela diri. Nama baik Perguruan Henshan akan tercemar olehku.
Aku... aku tidak akan mempunyai muka lagi untuk bertemu Guru dan para kakak
sekalian.”
Diam-diam Yilin melolos
pedangnya untuk bunuh diri. Namun begitu pedang itu hampir menggorok lehernya,
tahu-tahu lengannya sudah dipegang erat oleh Qu Feiyan. Gadis kecil itu
berbisik, “Jangan gila!”
Ternyata begitu mendengar
suara pedang dicabut dari sarungnya, Qu Feiyan langsung bisa menebak apa yang
hendak dilakukan Yilin. Dalam kegelapan, tangannya bergerak cepat mencegah
lengan Yilin berbuat lebih lanjut. “Lebih baik kita menerjang keluar saja,” demikian
ia berkata.
Tiba-tiba terdengar suara
perlahan dari arah ranjang. Rupanya Linghu Chong sudah bangun dan duduk di tepi
tempat tidur. Ia berkata perlahan, “Nyalakan lilin!”
“Untuk apa?” tanya Qu Feiyan.
“Aku bilang nyalakan lilin!”
sahut Linghu Chong lirih tapi dengan nada tegas. Qu Feiyan tidak berani
membantah lagi. Ia pun memenuhi permintaan murid Huashan tersebut.
Di bawah cahaya lilin Yilin
melihat wajah Linghu Chong pucat pasi seperti mayat. Ia sangat terkejut dan
hampir saja menjerit karenanya.
“Ambilkan... itu,” ujar Linghu
Chong sambil menunjuk bajunya yang tertaruh di atas ranjang. “Pakaikan di
bahuku.”
Dengan tangan gemetar, Yilin
mengambil baju seragam Huashan tersebut dan memakaikannya di pundak Linghu
Chong. Dengan demikian luka dan darah di dada pemuda itu tidak terlihat lagi.
“Kalian berdua, tidurlah di
ranjang ini,” perintahnya kemudian.
“Aha, ini pasti menyenangkan,”
ujar Qu Feiyan sambil tersenyum. Ia pun menarik Yilin yang masih kebingungan
dan membawa biksuni lugu itu naik ke atas ranjang. Keduanya lalu berlindung di
balik selimut.
Rupanya para penggeledah sudah
mulai menemukan cahaya lilin yang terpancar samar-samar dari dalam kamar
rahasia tersebut. “Hei, di sini ada kamar. Mari kita periksa!” seru seseorang.
Dalam waktu singkat, terdengar suara langkah kaki beberapa orang menuju ke
kamar rahasia tersebut.
Linghu Chong menghirup napas
dalam-dalam. Ia membuka jendela untuk mendapatkan udara segar, kemudian
mengunci pintu dengan palang kayu. Setelah itu, ia kembali ke tempat tidur dan
menutup kelambu. “Kalian berdua bersembunyilah di dalam selimut!” ujarnya
memberi perintah.
Yilin menyahut, “Jangan banyak
bergerak. Hati-hati... hati-hati dengan lukamu.”
Linghu Chong segara menata
Yilin dan Qu Feiyan supaya berpelukan menjadi satu. Tubuh mereka ditutup dengan
selimut, namun rambut Qu Feiyan yang panjang dibiarkan terurai di atas bantal.
Hanya karena bergerak demikian, luka di dada pemuda itu pecah kembali dan
mengucurkan darah. Seketika kakinya terasa lemas dan ia pun jatuh terduduk di
tepi ranjang.
Sementara itu, murid-murid
tiga perguruan sudah berteriak-teriak dan menggedor pintu. “Buka pintu! Lekas
buka pintu!” Tidak lama kemudian, pintu kamar tersebut hancur karena ditendang
dari luar.
Di antara orang-orang yang datang
itu terdapat Hong Renxiong dari Qingcheng. Tanpa sadar, ia pun melompat mundur
karena terkejut melihat Linghu Chong duduk di tepi ranjang.
“Kau... kau Linghu Chong!”
ujarnya gugup.
Xiang Danian, Mi Weiyi, dan
yang lain belum pernah bertemu dengan Linghu Chong. Namun mendengar sepak
terjang pemuda itu yang pernah menantang Tian Boguang dan membunuh Luo Renjie,
mau tidak mau mereka merasa gentar dan melangkah mundur. Kini semua mata hanya
memandang tajam ke arah murid Huashan nomor satu itu tanpa berbicara sedikit
pun.
Linghu Chong bangkit
perlahan-lahan dan berkata, “Kalian.... semua, ada perlu apa?”
Hong Renxiong berkata gemetar,
“Linghu... Linghu Chong, kau... kau belum mati?”
“Mana mungkin aku mati semudah
itu?” jawab Linghu Chong datar.
Tiba-tiba Yu Canghai muncul di
belakang mereka dan melangkah maju ke depan. “Jadi, kau ini yang bernama Linghu
Chong? Bagus sekali, bagus sekali!” ujarnya sambil tersenyum menyeringai.
Linghu Chong memandang tajam
ke arah ketua Perguruan Qingcheng tersebut tanpa menjawab sepatah kata pun.
“Untuk apa kau berada di
tempat ini?” tanya Yu Canghai.
Linghu Chong tertawa dan
menjawab, “Apa kau pura-pura tidak tahu? Menurutmu, apa yang dilakukan seorang
laki-laki di dalam rumah pelacuran?”
“Hm, konon kabarnya tata
tertib Perguruan Huashan terkenal ketat,” ujar Yu Canghai dengan nada dingin.
“Kau adalah murid Huashan nomor satu, murid terbaik Tuan Yue, si Pedang
Budiman. Tapi, kau malah tidur di sini bersama pelacur. Sungguh menggelikan,
sungguh memalukan!”
“Tata tertib Perguruan Huashan
adalah urusan kami,” sahut Linghu Chong. “Orang luar seperti dirimu tidak perlu
ikut campur.”
Yu Canghai berpengalaman luas
di dunia persilatan. Melihat keadaan Linghu Chong yang pucat pasi dan
gemetaran, jelas kalau pemuda ini sedang terluka parah. Diam-diam ketua
Qingcheng itu berpikir, “Bocah ini ternyata masih hidup. Padahal, si biksuni
cilik dari Henshan bercerita kalau dia dan Renjie saling bunuh dan mati
bersama. Mungkin saja biksuni cilik itu sengaja mengarang cerita palsu. Selama
bercerita, dia menyebut bocah ini dengan panggilan ‘Kakak Linghu’ begitu mesra.
Mungkin saja di antara mereka berdua sudah terjalin hubungan gelap. Hm,
jelas-jelas tadi ada laporan kalau biksuni cilik itu masuk ke tempat ini. Namun
sampai kini belum ada yang bisa menemukannya. Aku yakin, dia pasti
disembunyikan oleh si bocah Linghu Chong entah di mana. Hehe, Serikat Pedang
Lima Gunung selalu menyebut diri sendiri sebagai kaum lurus bersih di dunia
persilatan, dan memandang rendah terhadap Perguruan Qingcheng. Jika malam ini
aku berhasil menyeret biksuni cilik itu keluar dari persembunyiannya, maka
bukan hanya nama baik Perguruan Huashan dan Henshan yang tercemar, tapi seluruh
Serikat Pedang Lima Gunung juga akan kehilangan muka di dunia persilatan.
Mereka tidak akan berani sombong lagi.”
Usai berpikir demikian, Yu
Canghai memandang ke segenap penjuru kamar dengan pandangan tajam. Ia tidak
menemukan siapa pun di tempat itu selain Linghu Chong, kecuali di atas ranjang
terdapat pemandangan mencurigakan. “Jangan-jangan biksuni cilik itu bersembunyi
di bawah selimut,” demikian ia menyimpulkan.
“Renxiong, coba kau singkap
kelambu itu! Perlihatkan kepada kami apakah di atas ranjang ada tontonan
menarik!” seru Yu Canghai kemudian.
Hong Renxiong segera melaksanakan
perintah sang guru. Teringat dirinya pernah dihajar oleh Linghu Chong beberapa
waktu yang lalu, mau tidak mau hatinya gelisah juga saat melangkah maju sedikit
demi sedikit.
“Kau mau mati?” tegur Linghu
Chong dengan mata tajam.
Hong Renxiong menelan ludah.
Begitu teringat sang guru ada di belakangnya, ia pun mendapat tambahan
keberanian. Perlahan-lahan tangannya melolos pedang.
Linghu Chong lantas berkata
kepada Yu Canghai, “Kau mau apa?”
Yu Canghai menjawab,
“Perguruan Henshan baru saja kehilangan seorang muridnya. Ada laporan bahwa dia
masuk ke wisma mesum ini. Maka itu, kami datang kemari untuk mencarinya.”
“Ini urusan Serikat Pedang
Lima Gunung, untuk apa orang Qingcheng ikut campur?” ujar Linghu Chong.
“Kami sedang mencari kebenaran.
Terserah kau suka atau tidak, yang jelas urusan ini harus diusut sampai
tuntas,” jawab Yu Canghai. “Renxiong, lanjutkan!”
“Baik, Guru!” jawab Hong
Renxiong yang sudah sampai di depan ranjang. Ia lantas menyingkap kelambu
menggunakan pedang. Sementara itu, Yilin dan Qu Feiyan berpelukan erat di bawah
selimut. Setiap perkataan Linghu Chong dan Yu Canghai dapat terdengar jelas
oleh mereka. Karena sangat ketakutan, tubuh kedua gadis itu pun gemetaran.
Begitu Hong Renxiong
menyingkap kelambu, serentak pandangan semua orang tertuju ke atas ranjang. Di
balik selimut berwarna merah, mereka melihat sesosok tubuh sedang gemetar
ketakutan. Wajah orang itu tertutup selimut, tapi rambutnya yang panjang
terurai di atas bantal.
Yu Canghai merasa kecewa
karena perempuan di samping Linghu Chong itu ternyata memiliki rambut panjang,
bukan biksuni gundul seperti yang ia harapkan.
Linghu Chong berkata, “Pendeta
Yu, meskipun kau seorang pendeta agama Tao, tapi kabarnya dalam Perguruan
Qingcheng tidak ada larangan untuk menikah. Bahkan aku dengar, kau punya banyak
istri dan anak. Tentu kau sangat senang melihat wanita telanjang. Jika
demikian, mengapa kau tidak maju kemari dan membuka selimut untuk melihat
pemandangan bagus? Kenapa pula kau lebih suka mencari biksuni gundul dari
Henshan?”
“Keparat!” bentak Yu Canghai
sambil memukul ke arah Linghu Chong.
Linghu Chong bergerak ke
samping untuk menghindar. Namun karena tubuhnya masih lemah, mau tidak mau
angin yang berhembus dari gerakan tangan sang ketua Qingcheng membuatnya jatuh
terduduk di atas ranjang.
Perlahan-lahan Linghu Chong
mencoba bangkit kembali. Namun darah segar lantas keluar dari mulutnya.
Berkali-kali pemuda itu muntah darah.
Yu Canghai mempersiapkan
pukulan kedua. Kali ini nyawa Linghu Chong pasti melayang jika pukulan tersebut
mendarat di tubuhnya. Tak disangka, tiba-tiba dari luar jendela terdengar suara
seseorang berseru, “Huh, orang tua menganiaya anak muda! Sungguh memalukan!”
Secepat kilat Yu Canghai
mengalihkan pukulannya ke arah jendela. Menyusul kemudian ia melompat keluar
dari dalam kamar. Di bawah cahaya lilin, terlihat bayangan seorang bungkuk
sedang berdiri di sudut rumah.
“Berhenti di situ!” bentaknya
kepada si orang bungkuk.
Manusia bungkuk tersebut tidak
lain adalah Lin Pingzhi yang sedang menyamar. Setelah berselisih dengan Yu
Canghai di rumah Liu Zhengfeng, ia menyelinap keluar pada saat Qu Feiyan muncul
dan membuat ulah. Sesampainya di luar, ia termenung-menung memikirkan apa yang
baru saja ia alami.
“Setiap orang kini telah
mengenaliku sebagai seorang bungkuk yang berani menantang Yu Canghai. Aku tidak
bisa leluasa lagi berkeliaran dengan penampilan ini untuk mencari berita di
mana Ayah dan Ibu berada. Jika orang-orang Qingcheng melihatku lagi, tentu
mereka akan langsung membunuhku tanpa banyak bertanya. Apakah aku harus
mengganti penyamaran? Aih, saat Yu Canghai mencengkeram lenganku, aku merasa
tenaganya begitu besar. Kenapa di dunia ini ada orang sekuat itu? Lantas,
bagaimana aku bisa menolong Ayah dan Ibu?”
Sekian lama ia merenung, tahu-tahu
seseorang telah menepuk punggungnya. Begitu menoleh ternyata Mu Gaofeng, si
Bungkuk dari Utara sudah berdiri di belakangnya.
“Bungkuk palsu, apa enaknya
menyamar menjadi seorang bungkuk, hah?” tanya Mu Gaofeng kepadanya. “Kenapa
pula kau sengaja mengaku sebagai cucuku?”
Lin Pingzhi menyadari kalau Mu
Gaofeng seorang kejam dan berkepandaian tinggi. Sedikit saja manusia bungkuk
itu tersinggung, tentu ia akan langsung bertindak mencabut nyawa. Teringat
bahwa di dalam aula tadi si bungkuk tidak marah sewaktu dipuji sebagai seorang
pahlawan pembela kebenaran, Lin Pingzhi pun berniat menggunakan cara yang sama.
Maka pemuda itu pun berkata,
“Saya sudah lama mendengar bahwa Pendekar Mu, si Bungkuk dari Utara memiliki
nama besar di dunia persilatan; suka membantu kaum lemah dan menegakkan
keadilan. Saya benar-benar mengagumi Tuan Pendekar, sehingga dengan sengaja
menyamar seperti ini. Mohon Pendekar Mu sudi memaafkan.”
“Kau jangan bercanda!” bentak
Mu Gaofeng sambil tertawa. “Suka membantu kaum lemah dan menegakkan keadilan,
omong kosong semua itu.” Ia sadar kalau Lin Pingzhi sengaja berbohong untuk
sekadar memujinya. Pada umumnya manusia suka dipuji; apalagi seorang manusia
tercela seperti Mu Gaofeng sudah pasti jarang mendengar pujian untuk dirinya.
Tentu saja tutur kata pemuda itu membuatnya senang.
Manusia bungkuk itu lantas
bertanya, “Siapa namamu yang sebenarnya?”
Lin Pingzhi menjawab,
“Sebenarnya saya bermarga Lin. Secara tidak sengaja saya telah memakai marga
yang sama dengan Tuan Pendekar.”
“Tidak sengaja bagaimana? Kau
pasti sengaja memakai marga Mu untuk menggertak orang lain,” sahut Mu Gaofeng.
“Anak muda, Yu Canghai itu seorang guru besar dalam dunia persilatan. Hanya
dengan satu jari dia bisa mencabut nyawamu. Tapi kau malah berani menantangnya.
Hm, keberanianmu patut untuk dihargai.”
Mendengar itu, Lin Pingzhi
langsung menukas dengan nada marah, “Selama saya masih bisa bernapas, saya
bersumpah akan membunuh bajingan itu dengan tangan saya sendiri.”
Mu Gaofeng menjadi heran dan
bertanya, “Memangnya ada permusuhan apa antara kau dengan Yu Canghai?”
Lin Pingzhi terdiam sejenak.
Ia menyadari bahwa dengan kekuatan seorang diri tidak mungkin bisa membebaskan
kedua orang tuanya. Maka itu, ia pun berlutut di hadapan Mu Gaofeng dan
berkata, “Ayah dan ibu saya disekap oleh bangsat bermarga Yu itu. Saya memohon
bantuan Tuan Pendekar untuk menegakkan keadilan memberi pertolongan.”
Mu Gaofeng menggelengkan
kepala dan menjawab, “Aku tidak pernah melakukan sesuatu yang tidak
menghasilkan keuntungan apa-apa. Memangnya, siapa nama ayahmu? Kalau aku bisa
menolongnya, apa pula yang akan kudapatkan?”
Belum sempat Lin Pingzhi
menjawab tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berbicara dengan nada tegang.
“Cepat lapor kepada Guru, bahwa seorang murid Qingcheng terbunuh oleh Tian
Boguang di Wisma Kumala. Seorang murid Henshan juga pulang dalam keadaan
terluka. Cepatlah!”
Mu Gaofeng tersenyum dan
berkata kepada Lin Pingzhi, “Urusanmu ini bisa kita bicarakan nanti. Sepertinya
ada pertunjukan menarik. Bila ingin bertambah pengalaman, ikutlah denganku.”
Lin Pingzhi berpikir urusan
meminta bantuan memang bisa ditunda nanti. Maka, ia lantas menjawab, “Kemana
pun Tuan Pendekar pergi, saya siap menemani.”
“Tapi dalam segala hal si
bungkuk ini suka menghitung untung-rugi,” ujar Mu Gaofeng. “Jika kau hanya
menyanjungku dan meminta bantuan tanpa ada imbalan yang pantas, jangan harap
aku sudi turun tangan.”
Lin Pingzhi mengangguk tanpa
berkata apa-apa.
“Nah, mereka sudah berangkat,”
sahut Mu Gaofeng sambil menunjuk rombongan Biksuni Dingyi yang berangkat lebih
dulu menuju Wisma Kumala. Manusia bungkuk itu lalu memegang lengan Lin Pingzhi
dan membawa pemuda itu lari bagaikan terbang.
Setibanya di rumah pelacuran
tersebut, Mu Gaofeng dan Lin Pingzhi segera bersembunyi di belakang pohon.
Mereka menyaksikan semua yang terjadi. Misalnya pertarungan antara Yu Canghai
melawan Tian Boguang, sampai penggeledahan wisma yang dipimpin oleh murid-murid
Liu Zhengfeng. Akhirnya, ketika melihat Yu Canghai hendak memukul Linghu Chong
melalui lubang jendela kamar rahasia, Lin Pingzhi tidak tahan lagi dan berseru,
“Huh, orang tua menganiaya anak muda! Sungguh memalukan!”
Begitu bersuara, Lin Pingzhi
menyadari kecerobohannya. Namun Yu Canghai sudah terlanjur melesat keluar dari
kamar dan memburunya. Tahu-tahu pendeta pendek itu sudah menghadang di depannya
sambil membentak, “Berhenti di situ!”
Jurus Tapak Penghancur Jantung
yang semula dipersiapkan Yu Canghai untuk membunuh Linghu Chong kini hendak
diarahkan kepada Lin Pingzhi. Namun begitu mengetahui kalau yang bersuara
mengganggunya tadi adalah si pemuda bungkuk, ia pun menahan serangan tersebut.
Diam-diam ia merasa segan melihat si bungkuk tua yang juga berada di situ.
“Kau lagi rupanya!” tegur Yu
Canghai kepada Lin Pingzhi. Ia lantas berpaling kepada Mu Gaofeng dan menyapa,
“Saudara Mu, kenapa kau menyuruh bocah ini mencari masalah denganku lagi? Apa
sebenarnya yang kau inginkan?”
Mu Gaofeng tertawa dan
menjawab, “Bocah ini mengaku sebagai cucuku, padahal aku sama sekali tidak
mengenalnya. Dia bermarga Lin, sedangkan aku bermarga Mu. Aku tidak ada sangkut
pautnya dengan bocah ini. Pendeta Yu, bukannya aku takut kepadamu, tapi aku
sendiri sudah bosan dijadikan tameng anak muda ini tanpa bayaran yang jelas.
Sebenarnya boleh saja dia menjadikan aku sebagai pelindung, asalkan ada bayaran
yang pasti, misalnya emas atau perak. Si bungkuk tidak suka turun tangan secara
cuma-cuma.”
Yu Canghai gembira mendengar
jawaban Mu Gaofeng. “Kalau benar apa yang dikatakan Saudara Mu, rasanya aku
tidak perlu segan-segan lagi,” ujarnya. Usai berkata demikian, ia lantas
bersiap melayangkan pukulan ke arah Lin Pingzhi.
Tiba-tiba terdengar suara
seseorang berseru, “Huh, orang tua menganiaya anak muda! Sungguh memalukan!”
Yu Canghai serentak menoleh.
Ternyata yang bersuara kali ini adalah Linghu Chong yang sudah berdiri di
ambang jendela.
Yu Canghai merasa serbasalah.
Ilmu silat Linghu Chong dan Lin Pingzhi jelas-jelas jauh di bawahnya. Sudah
tentu membunuh mereka berdua adalah pekerjaan mudah. Akan tetapi, jika ia
benar-benar melakukannya, maka itu berarti sesuai dengan ejekan kedua pemuda
tersebut. Ini berarti predikat “memalukan” dengan sendirinya akan melekat pula
pada dirinya. Namun demikian, ia juga tidak mungkin membiarkan kedua pemuda itu
mengejeknya terus-menerus. Maka, dengan mulut menyeringai ia pun berkata kepada
Linghu Chong, “Urusan denganmu biarlah nanti kuperhitungkan dengan gurumu.”
Kemudian ia berpaling kepada
Lin Pingzhi dan berkata, “Bocah sial, kau ini sebenarnya murid siapa, hah?”
“Bangsat tua bangka!” bentak
Lin Pingzhi. “Kau telah menghancurkan keluargaku dan membuat hidupku
terlunta-lunta; tapi kau masih juga bertanya siapa aku ini?”
Yu Canghai menjadi heran. Ia
merasa baru kali ini bertemu pemuda bungkuk itu, namun mengapa dirinya dituduh
berbuat seperti itu. Meskipun demikian, di hadapan murid-murid ketiga perguruan
ia merasa tidak leluasa untuk bertanya lebih lanjut. Maka, ia pun memberi
perintah, “Renxiong, singkirkan bocah bungkuk ini lebih dulu; baru setelah itu
tangkap Linghu Chong.”
“Baik, Guru!” sahut Hong
Renxiong kemudian melompat maju. Dengan cara demikian, Yu Canghai dapat
menghindarkan diri dari ejekan Linghu Chong dan Lin Pingzhi tadi.
Lin Pingzhi sendiri segera
meraba pedangnya. Namun belum sempat pedang itu keluar dari sarungnya, pedang
Hong Renxiong secepat kilat sudah lebih dulu mengancam di depan dadanya. Dengan
perasaan gusar, pemuda yang sedang menyamar bungkuk itu berkata, “Yu Canghai,
meskipun aku, Lin Pingzhi....”
Seketika Yu Canghai terkejut
mendengarnya. Dengan cepat ia melepaskan pukulan jarak jauh untuk menyapu
pedang Hong Renxiong sehingga meleset dari sasaran.
“Apa katamu?” tanya pendeta
pendek itu menegas.
“Aku, Lin Pingzhi, meskipun
menjadi hantu akan tetap mengincar nyawamu!” teriak Lin Pingzhi murka.
“Jadi... jadi, kau adalah Lin
Pingzhi dari Biro Ekspedisi Fuwei, hah?” sahut Yu Canghai semakin mendekat.
Lin Pingzhi sadar bahwa dengan
membuka penyamaran, maka kematian akan segera datang menjemputnya. Namun
demikian ia sudah bertekad bulat menghadapi Yu Canghai habis-habisan. Maka itu,
ia lantas membuang semua koyo yang menempel di wajahnya dan berkata lantang,
“Benar, aku adalah Lin Pingzhi dari Biro Ekspedisi Fuwei. Aku yang telah
membunuh anakmu, si kurang ajar pengganggu perempuan. Kau sendiri juga telah
menghancurkan keluargaku serta menyekap ayah dan ibuku.”
Berita bahwa Perguruan
Qingcheng menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei telah menyebar luas di dunia
persilatan. Pada umumnya, orang-orang tidak mengetahui dendam lama tentang
kekalahan Tang Qingzi di tangan Lin Yuantu, sehingga mereka mengira
satu-satunya tujuan Yu Canghai menghancurkan perusahaan tersebut adalah untuk
merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis.
Sewaktu di Rumah Minum Dewa
Mabuk, Linghu Chong yang pernah mendengar berita itu telah menggunakannya untuk
mengalihkan perhatian Luo Renjie dan membunuh murid Qingcheng tersebut. Mu
Gaofeng sendiri juga mendengar adanya berita ini. Maka begitu melihat si
bungkuk muda telah membuka penyamarannya dan mengaku sebagai Lin Pingzhi dari
Biro Ekspedisi Fuwei, seketika ia merasa terkejut. Setelah melihat raut muka Yu
Canghai yang terlihat berubah kaget, serta bagaimana pendeta pendek itu
menggagalkan tusukan pedang Hong Renxiong demi membiarkan Lin Pingzhi tetap
hidup, maka perasaan Mu Gaofeng bertambah yakin.
Maka, begitu melihat Yu
Canghai meraih lengan kanan Lin Pingzhi dan bersiap menyeret pemuda itu pergi,
Mu Gaofeng pun melompat maju dan menarik lengan yang lain sambil berteriak,
“Nanti dulu!”
Dalam sekejap, tubuh Lin
Pingzhi ditarik oleh dua kekuatan besar dari arah yang berlawanan. Keduanya
sama-sama mengerahkan tenaga dalam sehingga pemuda itu merasa sakit bukan main
dan hampir saja jatuh pingsan.
Melihat Mu Gaofeng ikut
campur, Yu Canghai merasa urusan menjadi rumit. Jika ia menarik lebih keras,
maka tubuh Lin Pingzhi akan terbelah menjadi dua. Maka, ia pun menggerakkan
tangannya yang lain untuk menusukkan pedang ke arah Mu Gaofeng sambil
membentak, “Lepaskan tanganmu, Saudara Mu!”
Akan tetapi, pada saat itu
juga Mu Gaofeng mengeluarkan senjatanya yang berwujud golok bengkok untuk
menangkis pedang Yu Canghai. Merasa penasaran, Yu Canghai melancarkan sembilan
serangan sekaligus ke arah Mu Gaofeng, namun kesemuanya dapat ditangkis oleh
manusia bungkuk tersebut.
“Saudara Mu, selama ini kita tidak
pernah bermusuhan. Untuk apa kau membela bocah ini dan berselisih denganku?”
sahut Yu Canghai.
Sambil memutar golok
bengkoknya untuk menangkis setiap serangan pedang lawan, Mu Gaofeng menjawab,
“Pendeta Yu, di hadapan banyak orang bocah ini telah menyembah dan memanggil
kakek kepadaku. Meskipun kita tidak pernah bermusuhan, tapi aku tidak rela
kalau ada orang yang menangkap bocah ini; karena itu sama artinya dengan
menghinaku. Dunia sudah terlanjur mengenal bocah ini sebagai cucu si bungkuk.
Maka itu, aku tidak boleh berpeluk tangan begitu saja. Kalau aku tidak bisa
melindungi cucuku ini, tentu tidak akan ada lagi orang yang mau memanggilku
kakek.”
Begitulah, Yu Canghai dan Mu
Gaofeng sama-sama membagi kekuatan mereka. Sebelah tangan menarik tubuh Lin
Pingzhi, sementara tangan yang lain saling menyerang, sambil mulut mereka
bertanya jawab. Lama-lama pertarungan mereka semakin cepat. Tentu saja Lin
Pingzhi yang paling menderita dibuatnya.
Yu Canghai bertambah gusar. Ia
pun berseru, “Saudara Mu, bocah ini telah membunuh putra bungsuku. Mana mungkin
aku bisa melupakan sakit hati ini dan tidak membalas dendam?”
Mu Gaofeng tertawa dan
berkata, “Baik kalau begitu. Demi menjaga kehormatan Pendeta Yu, silakan kalau
ingin membalas dendam. Mari kita bersama-sama menarik bocah ini sampai mampus!
Satu... dua... tiga....” Usai berkata demikian, ia pun memperkuat tarikannya
sehingga Lin Pingzhi semakin kesakitan. Beberapa tulang sendinya terasa hampir
lepas.
Yu Canghai menjadi khawatir
kalau pemuda itu sampai mati. Sebelum Kitab Pedang Penakluk Iblis ditemukan, ia
tidak ingin membunuh Lin Pingzhi ataupun kedua orang tuanya; sedangkan urusan
membalas dendam dapat ditunda lain waktu. Seketika ia pun mengendurkan
pegangannya sehingga tubuh Lin Pingzhi sepenuhnya jatuh ke tangan si bungkuk.
“Terima kasih banyak,” ujar Mu
Gaofeng sambil tertawa. “Pendeta Yu memang sahabat sejati. Demi si bungkuk
sampai-sampai kau rela dendam kematian putramu tidak terbalas. Pendeta Yu
benar-benar mengutamakan kesetiakawanan daripada urusan pribadi.”
Yu Canghai menjawab, “Terima
kasih atas pujian Saudara Mu. Hanya kali ini saja aku bersedia mengalah. Lain
kali, tidak ada kesempatan kedua bagimu.”
“Belum tentu,” sahut Mu
Gaofeng. “Pendeta Yu seorang yang berbudi luhur dan murah hati. Tentu lain kali
kau tetap mengalah kepadaku.”
Yu Canghai terlihat sangat
kesal. Ia lantas memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk pergi meninggalkan
Wisma Kumala.
Sementara itu, Biksuni Dingyi
dan Liu Zhengfeng bersama murid-murid mereka sudah lebih dulu meninggalkan
rumah pelacuran tersebut untuk mencari Yilin di tempat lain. Seketika suasana
Wisma Kumala berubah sepi, seolah-olah hanya tinggal Mu Gaofeng dan Lin Pingzhi
berdua yang tertinggal di sana.
“Bungkuk palsu, kau ini
sebenarnya berwajah tampan,” ujar Mu Gaofeng memulai pembicaraan. “Nak, kau
tidak perlu memanggil kakek lagi kepadaku. Mulai saat ini kau panggil saja si
bungkuk ini sebagai gurumu.”
Lin Pingzhi terlihat masih
kesakitan akibat ditarik kedua orang sakti tadi. Diam-diam ia berpikir, “Ilmu
silat si bungkuk ini sepuluh kali lipat di atas Ayah. Bahkan, Yu Canghai pun
segan kepadanya. Jika aku ingin membalas dendam, maka jalan yang paling baik
memang harus berguru kepadanya. Akan tetapi, sewaktu murid Qingcheng tadi
menyerangku, ia sama sekali tidak berusaha untuk menolong. Baru setelah
mendengar siapa diriku yang sebenarnya, ia pun turun tangan untuk membantu.
Jelas orang ini punya maksud yang kurang baik.”
Melihat pemuda itu tampak
ragu-ragu, Mu Gaofeng kembali membujuknya, “Kau sendiri telah mengetahui
kehebatan ilmu silat dan nama besar Si Bungkuk dari Utara. Sampai saat ini aku
belum pernah memiliki murid seorang pun. Jika kau bersedia menjadi muridku,
maka semua kepandaianku akan kuturunkan kepadamu. Jangankan melawan murid-murid
Qingcheng, bahkan Yu Canghai sendiri kelak dapat kau kalahkan dengan mudah.
Nak, kenapa kau tidak segera berlutut dan menyembahku sebagai gurumu?”
Semakin orang itu membujuk,
perasaan Lin Pingzhi semakin bertambah ragu. Diam-diam ia berpikir, “Jika orang
bungkuk ini benar-benar peduli kepadaku dan ingin menjadikanku sebagai murid,
mengapa tadi dia mencengkeram bahuku dan menarik keras-keras? Bahkan, ia juga
mengajak Yu Canghai menarik tubuhku sampai mati. Setelah mengetahui siapa
diriku yang sebenarnya, Yu Canghai menginginkan diriku hidup-hidup. Jelas dia
ingin mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis dariku. Hm, dalam Serikat Pedang
Lima Gunung banyak terdapat orang-orang sakti dan bijaksana. Bila ingin
mendapatkan guru yang baik, seharusnya aku berguru kepada salah satu di antara
mereka. Si bungkuk ini sangat kejam. Tidak peduli setinggi apapun ilmunya, aku
tidak boleh berguru kepada orang jahat ini.”
Melihat Lin Pingzhi masih
tetap ragu-ragu, Mu Gaofeng menjadi gusar. Namun demikian, bibirnya tetap menunjukkan
senyum. “Bagaimana? Apakah kau menganggap kepandaian si bungkuk ini belum
memenuhi syarat? Apa kau merasa diriku ini belum pantas menjadi gurumu?” seru
Mu Gaofeng sambil tertawa.
Sekilas Lin Pingzhi sempat
melihat wajah Mu Gaofeng yang bengis dan keji sebelum tersenyum. Seketika ia
pun bergidik ngeri. Ia merasa sangat terdesak oleh manusia bungkuk tersebut.
Kalau sampai menolak, bisa jadi Mu Gaofeng marah dan mebunuhnya. Maka, dengan
terpaksa pemuda itu menjawab, “Kesediaan Pendekar Mu menerima saya sebagai
murid merupakan keberuntungan yang sangat besar bagi saya. Akan tetapi, sejak
kecil saya hanya belajar ilmu silat Keluarga Lin kami saja. Jika saya harus
belajar ilmu perguruan lainnya, maka saya harus meminta izin kepada Ayah
terlebih dulu. Cara seperti itu adalah suatu hal yang wajar dalam dunia
persilatan.”
Mu Gaofeng manggut-manggut dan
berkata, “Aturan seperti itu aku pun sudah tahu. Akan tetapi, permainanmu yang
payah tadi belum bisa digolongkan sebagai ilmu silat. Pasti kepandaian ayahmu
juga sangat terbatas. Kau sungguh beruntung hari ini tiba-tiba saja aku ingin
menerima murid. Sebentar lagi mungkin aku sudah berubah pikiran. Jadi, sebelum
terlambat segeralah menyembah dan memanggilku guru. Kelak aku sendiri yang akan
minta izin kepada ayahmu. Sudah pasti ia tidak akan berani menolak.”
Lin Pingzhi yang semakin
terdesak akhirnya berkata, “Pendekar Mu, saat ini ayah dan ibuku berada dalam
cengkeraman orang-orang Qingcheng. Aku sungguh berharap Pendekar Mu sudi
menolong mereka. Asalkan kedua orang tuaku selamat, apa pun yang Tuan Pendekar
minta pasti akan kupenuhi.”
“Apa? Kurang ajar!” bentak Mu
Gaofeng kehilangan kesabaran. “Kau berani main tawar-menawar denganku, hah?
Dasar bocah ingusan! Berani sekali kau mengajukan syarat kepadaku. Memangnya
kau anggap dirimu siapa?”
Sambil membentak demikian, Mu
Gaofeng teringat bagaimana Yu Canghai tadi mengalah di depan murid-muridnya dan
menunda balas dendam atas kematian putranya. Jelas ketua Perguruan Qingcheng
tersebut menginginkan sesuatu yang sangat berharga dari tangan Lin Pingzhi.
Tentu saja Mu Gaofeng pernah mendengar desas-desus di dunia persilatan bahwa Yu
Canghai telah menghancurkan Biro Ekspedisi Fuwei demi untuk mendapatkan Kitab
Pedang Penakluk Iblis. Jika kitab itu benar-benar ada, Mu Gaofeng berpikir
tentu dirinya yang akan mendapatkan benda pusaka tersebut apabila Lin Pingzhi
bersedia menjadi muridnya.
Berpikir demikian, Mu Gaofeng
mengulangi kembali perintahnya, “Segeralah kau berlutut menyembahku. Dengan
tiga kali menyembah, kau akan langsung menjadi muridku. Tentu saja seorang guru
akan ikut bertanggung jawab atas keselamatan orang tua muridnya. Apalagi yang
kau risaukan?”
Lin Pingzhi kembali terkenang
kepada penderitaan ayah dan ibunya. Ia pun berpikir, “Ayah dan Ibu masih berada
di tangan bajingan Yu Canghai. Aku harus berusaha sekuat tenaga untuk
membebaskan mereka. Asalkan dia bisa membebaskan Ayah dan Ibu, aku akan
memberikan apapun yang ia minta. Meskipun orang bungkuk ini bukan manusia
baik-baik, tapi kali ini aku terpaksa harus mengakuinya sebagai guru.”
Perlahan-lahan Lin Pingzhi pun
berlutut untuk menyembah Mu Gaofeng. Khawatir jangan-jangan ia berubah pikiran,
Mu Gaofeng pun menekan kepala pemuda itu ke bawah. Tidak tahunya, Lin Pingzhi
seorang pemuda berhati keras. Semula ia berniat untuk menyembah dan memanggil
guru kepada Mu Gaofeng. Akan tetapi, begitu tangan si bungkuk menekan
tengkuknya, seketika ia berusaha menolak.
“Hei, lekas berlutut?” seru Mu
Gaofeng gusar. Ia pun menambah tenaga untuk menekan lebih kuat.
Lin Pingzhi seorang pemuda
angkuh. Bagaimanapun juga ia pernah menjadi seorang tuan muda yang setiap hari
disanjung puji oleh orang-orang di sekitarnya. Kini, demi untuk menyelamatkan
kedua orang tuanya, ia terpaksa merendahkan diri dengan berlutut dan menyembah
seorang bungkuk berhati kejam. Akan tetapi, begitu Mu Gaofeng main paksa,
seketika pemuda itu memberontak. Dengan suara keras ia berkata, “Jika kau
berjanji akan menolong ayah dan ibuku, maka aku pun berjanji akan berguru
kepadamu. Tapi untuk saat ini aku tidak mungkin menyembah kepadamu.”
“Apa katamu?” bentak Mu
Gaofeng. “Baik, kita lihat saja. Aku ingin tahu apakah kau benar-benar tidak
mungkin menyembah kepadaku?”
Setelah berkata demikian, si
bungkuk menekan kepala Lin Pingzhi semakin keras. Lin Pingzhi berusaha bangkit
berdiri namun kekuatan Mu Gaofeng sungguh luar biasa. Ia merasakan seolah ada
batu besar seberat ribuan kilo menindih kepalanya.
Dengan kedua tangan mendorong
tanah, Lin Pingzhi berusaha melawan tekanan Mu Gaofeng. Sebaliknya, Mu Gaofeng
menambah kekuatan tangannya. Sambil tertawa ia berkata, “Menyembah atau tidak?
Jika tenagaku kutambah lagi, tentu lehermu akan segera patah.”
Kepala Lin Pingzhi semakin
mendekati tanah. Namun mulutnya tetap berteriak dengan susah payah, “Aku tidak
mau... aku tidak mau....” Ia bahkan bisa mendengar suara tulang lehernya yang
hampir patah.
“Coba lihat sampai di mana
penolakanmu,” sahut Mu Gaofeng sambil menambah sedikit tenaga. Kepala Lin
Pingzhi semakin terdorong ke bawah. Dahi pemuda itu kini hanya berjarak lima
senti dari permukaan tanah.
Pada saat itulah tiba-tiba Lin
Pingzhi merasa ada semacam hawa panas menjalar di punggungnya. Hawa tersebut
merasuk ke dalam tubuhnya dengan lembut dan memberinya kekuatan baru. Entah
mengapa, beban berat yang menindih kepalanya tidak terasa lagi. Dengan mudah ia
mampu berdiri dan mendesak tekanan Mu Gaofeng.
Kejadian ini sangat
membingungkan perasaan Lin Pingzhi. Sebaliknya, Mu Gaofeng sangat terkejut
karena menyadari bahwa pemuda itu telah mendapat bantuan tenaga dalam yang
mirip sekali dengan ilmu Kabut Lembayung Senja, milik Perguruan Huashan. Konon
kabarnya, ilmu tenaga dalam tersebut terlihat samar-samar seperti kabut di
angkasa, namun kekuatannya sangat dahsyat bagaikan badai yang menghancurkan.
Mu Gaofeng kembali berusaha
menekan kepala Lin Pingzhi dengan tenaga yang lebih besar. Namun baru saja
tangannya menyentuh kepala pemuda itu, dahi Lin Pingzhi serentak memancarkan
tenaga yang menggetarkan. Seketika tangan Mu Gaofeng terasa kaku dan kesemutan,
serta dadanya terasa sesak.
Dengan cepat Mu Gaofeng
melangkah mundur dan berkata, “Rupanya Saudara Yue sedang bermain-main dengan
si bungkuk ini. Untuk apa pula kau bersembunyi di pojok sana?”
Dari arah sudut bangunan Wisma
Kumala, muncul seorang pria berpakaian sarjana dengan bibir tersenyum. Tangan
kanannya tampak menggoyang-goyangkan kipas dengan gerakan anggun. Ia lantas
menyapa, “Saudara Mu, sudah lama kita tidak bertemu tapi kau terlihat masih
muda belia. Sungguh mengagumkan!”
Rupanya tebakan Mu Gaofeng
tidak salah. Pria berpakaian sarjana itu memang benar bernama Yue Buqun, ketua
Perguruan Huashan yang terkenal dengan julukan Si Pedang Budiman. Selamanya Mu
Gaofeng sangat segan terhadap orang ini. Apalagi kini ia tertangkap basah
sedang mendesak seorang anak muda yang berkepandaian rendah, jelas ini
membuatnya serbasalah.
Namun demikian, si bungkuk
berusaha menyembunyikan perasaannya dan membalas dengan ramah, “Saudara Yue,
kau jangan bercanda. Justru kau ini yang terlihat semakin muda. Aku selalu berharap
kau sudi menjadi guruku dan mengajarkan ilmu Santapan Yin Yang kepadaku.”
Yue Buqun menyahut, “Kau
bungkuk gila! Sebagai kawan lama yang baru bertemu kembali, apa tidak ada bahan
pembicaraan lain? Untuk apa aku mempelajari ilmu cabul seperti itu?”
Santapan Yin Yang adalah ilmu
yang terdapat dalam kitab pengobatan kuna. Ilmu ini bertujuan untuk mendapatkan
kesehatan dan awet muda dengan cara bersetubuh dengan banyak perempuan. Konon,
energi yang dilepaskan oleh para perempuan dalam kegiatan tersebut diserap
untuk memperkaya kesehatan si pelaku. Karena cara-cara demikian bertentangan
dengan norma kesusilaan, ilmu ini dianggap masyarakat sebagai ilmu cabul.
Mu Gaofeng menjawab, “Tidak
seorang pun yang percaya kalau kau tidak menguasai ilmu tersebut. Jika tidak,
bagaimana mungkin kau terlihat seperti cucuku, padahal usiamu sudah lebih dari
enam puluh tahun?”
Lin Pingzhi sendiri sudah
melompat mundur sewaktu Mu Gaofeng melepaskan cengkeramannya. Begitu menoleh ke
arah Yue Buqun, ia langsung terpesona melihat wibawa ketua Perguruan Huashan
tersebut. Wajahnya terlihat bersih tanpa kerutan sedikit pun, dengan janggut
tertata rapi di dagunya. Diam-diam pemuda itu berpikir, “Bangsat bungkuk itu
memanggilnya dengan sebutan ‘Saudara Yue’. Mungkinkah laki-laki yang berwibawa
seperti dewa itu bernama Tuan Yue, ketua Perguruan Huashan yang terkenal? Aih,
apa benar usianya sudah lebih dari enam puluh tahun? Padahal, sepertinya ia
baru berusia empat puluh. Lao Denuo adalah murid orang ini, tapi dia terlihat
jauh lebih tua.” Namun kemudian ia teringat ibunya pernah bercerita bahwa kaum
persilatan yang memiliki tenaga dalam tingkat tinggi konon tidak hanya berumur
panjang, tapi juga awet muda. Dalam hati Lin Pingzhi semakin bertambah kagum.
Yue Buqun tersenyum sopan dan
berkata, “Saudara Mu, pemuda ini seorang anak yang berbakti. Ia juga pemberani
dan berjiwa kesatria. Bakat seperti ini sulit dicari, sehingga tidak heran
kalau Saudara Mu suka kepadanya. Perlu diketahui, semua kemalangan yang menimpa
dirinya disebabkan oleh keberaniannya menolong Lingshan, putriku. Melihat dia
menemui kesulitan, mau tidak mau aku harus segera turun tangan. Dengan
memandang diriku, aku harap Saudara Mu sudi menaruh belas kasihan kepadanya.”
“Apa katamu?” sahut Mu Gaofeng
terheran-heran. “Bocah ini berilmu rendah, mana mungkin ia menjadi pahlawan
penolong putrimu? Ah, mungkin ceritanya harus dibalik. Mungkin yang benar,
melihat bocah tampan ini, maka Keponakan Lingshan telah....”
Menyadari si bungkuk suka
berkata kotor, Yue Buqun buru-buru menukas, “Sesama kaum persilatan wajar jika
saling memberikan pertolongan. Menolong tidak harus dengan tenaga ataupun
kekuatan. Membantu dengan ucapan juga termasuk pertolongan. Tentu saja untuk
menolong orang lain tidak perlu harus berilmu tinggi. Saudara Mu, kalau kau
bersikeras ingin mengambil pemuda ini sebagai murid, memang yang paling baik
adalah kau harus membiarkan dia meminta persetujuan lebih dulu dari orang
tuanya. Dengan demikian kedua pihak sama-sama tidak merasa dirugikan.”
Mu Gaofeng merasa bimbang
melihat Yue Buqun sudah mulai mencampuri urusannya. Ia pun menjawab, “Tadinya
aku memang sangat tertarik untuk menjadikan bocah ini sebagai murid. Namun
kini, aku sudah tidak berhasrat lagi. Walaupun bocah ini menyembah kepadaku
seribu kali, aku tetap tidak sudi menerimanya.”
Setelah berkata demikian
tiba-tiba orang bungkuk itu menendang tubuh Lin Pingzhi hingga terpental sejauh
beberapa meter. Tendangan ini begitu cepat dan kuat, bahkan Yue Buqun tidak
sempat menghalanginya. Untungnya, Lin Pingzhi mampu bangkit kembali setelah
menerima tendangan itu. Penderitaan yang bertubi-tubi telah membuat fisik dan
mental pemuda ini bertambah kuat.
Yue Buqun berkata, “Saudara
Mu, sebenarnya bukan aku yang bertambah muda, tetapi dirimu sendiri. Sesuatu
yang tidak dapat kau miliki lantas kau buang begitu saja. Sifatmu ini
benar-benar seperti anak kecil.”
Mu Gaofeng tertawa dan
menjawab, “Jangan khawatir, Saudara Yue. Bagaimanapun besarnya nyaliku tetap
saja tidak mungkin berani menentangmu. Sudahlah, aku pergi saja. Tidak
kusangka, Perguruan Huashan yang mulia juga menaruh perhatian terhadap Kitab
Pedang Penakluk Iblis.”
“Apa maksudmu?” sahut Yue
Buqun sambil melompat maju. Wajahnya tampak memancarkan sinar berwarna
keunguan.
Melihat itu Mu Gaofeng
berpikir, “Tidak salah lagi, ini adalah ilmu Kabut Lembayung Senja. Hm, si tua
Yue telah berhasil menguasainya. Kini ia tidak hanya mahir dalam ilmu pedang,
tapi juga memiliki tenaga dalam tingkat tinggi. Sungguh bijaksana kalau aku
tidak bermain-main dengannya.”
Meskipun hatinya gentar namun
Mu Gaofeng tetap terlihat tenang. Sambil menyeringai ia menjawab, “Entahlah,
aku sendiri tidak tahu benda seperti apa Kitab Pedang penakluk Iblis itu. Yang
aku tahu, Yu Canghai tampak sangat menginginkannya. Harap Saudara Yue jangan
tersinggung atas ucapanku yang lancang tadi. Selamat tinggal!”
Usai berkata demikian, Mu
Gaofeng melesat pergi ditelan kegelapan malam.
Yue Buqun menghela napas dan
berkata lirih, “Sayang sekali, tokoh berbakat seperti dia malah
berkelakuan....” Sambil menelan kata “tidak baik” ketua Huashan ini tampak
menggelengkan kepala.
Tiba-tiba Lin Pingzhi berlari
maju untuk kemudian berlutut di hadapan Yue Buqun. Berkali-kali ia menyembah
sambil berkata, “Mohon Guru sudi menerima saya sebagai murid. Saya siap untuk
mematuhi dan melaksanakan semua tata tertib perguruan. Sedikit pun saya tidak
akan berani membantah perintah Guru.”
Yue Buqun tertawa dan
menjawab, “Jika aku menerima dirimu, tentu kelak aku akan diolok-olok si
bungkuk, bahwa aku telah berebut murid dengannya.”
Lin Pingzhi menyahut, “Begitu
melihat Guru, saya langsung merasa kagum. Keinginan ini lahir dari lubuk hati
saya yang paling dalam. Sama sekali tidak ada unsur keterpaksaan.”
Yue Buqun menukas, “Menerima
dirimu sebagai murid bukan masalah sulit. Hanya saja, kau belum memberi tahu
ayah dan ibumu. Jangan-jangan mereka tidak mengizinkanmu.”
“Asalkan Guru menerima saya,
tentu Ayah dan Ibu ikut merasa senang. Saya berani menjamin mereka berdua pasti
mengizinkan. Kedua orang tua saya ada di tangan para penjahat Qingcheng. Hanya
Guru yang dapat membebaskan mereka,” ujar Lin Pingzhi sambil terus memohon.
“Baiklah, lekas bangun!” jawab
Yue Buqun. “Kalian semua, lekas keluar dari persembunyian!”
Beberapa orang pun bermunculan
dari balik tembok. Mereka tidak lain adalah murid-murid Huashan, yaitu Lao
Denuo, Liang Fa, dan sebagainya. Kesemuanya sejak tadi diperintahkan untuk
bersembunyi dan hanya boleh keluar jika Mu Gaofeng sudah pergi. Bagaimanapun
juga, Yue Buqun tidak ingin mempermalukan Si Bungkuk dari Utara di hadapan
banyak orang.
Lao Denuo dan adik-adik
seperguruannya berkata dengan nada gembira, “Kami mengucapkan selamat, Guru
baru saja menerima seorang murid yang gagah berani. Sudah pasti dia akan
memiliki masa depan yang cerah.”
Yue Buqun tersenyum dan
berkata, “Pingzhi, mereka ini adalah kakak-kakak seperguruanmu. Tentu sebelum
ini kau pernah melihat mereka. Nah, sekarang kalian bisa berkenalan secara
resmi.”
Lin Pingzhi pun memberi hormat
kepada murid-murid Huashan itu satu per satu. Mereka adalah Lao Denuo, murid
nomor dua yang berambut putih; Liang Fa, murid nomor tiga yang bertubuh tinggi
besar; Shi Daizi, murid nomor empat yang berdandan seperti kuli; Gao Genming,
murid nomor lima yang suka membawa sempoa; serta Lu Dayou, murid nomor enam
yang membawa seekor kera kecil. Selain itu ada pula murid ketujuh bernama Tao
Jun dan murid kedelapan bernama Ying Bailuo.
Tiba-tiba Lin Pingzhi
mendengar suara merdu seorang perempuan yang tidak asing baginya. Perempuan itu
berdiri di belakang Yue Buqun dan berkata, “Ayah, kalau aku ini termasuk kakak
atau adik?”
Sejenak Lin Pingzhi
terperanjat. Ia sama sekali tidak pernah lupa kalau itu adalah suara Lingshan,
si gadis burik yang dulu menyamar sebagai penjual arak bernama Wan’er. Dengan
malu-malu gadis itu memandang ke arah Lin Pingzhi namun sekejap kemudian
langsung berlindung kembali di balik punggung sang ayah.
Melihat wajah gadis itu, Lin
Pingzhi terkejut dan berpikir, “Tadinya dia berwajah burik penuh benjolan
seperti bekas penyakit cacar. Tapi kenapa sekarang dia terlihat begitu cantik?”
Di bawah cahaya rembulan, Lin
Pingzhi memang tidak bisa melihat dengan jelas wajah Yue Lingshan, namun ia
yakin gadis ini sangat cantik tidak seperti pertemuan sebelumnya. Pemuda itu
kembali berpikir, “Aku ingat sekarang, bahwa Biksuni Dingyi pernah bertanya
mengapa gadis ini menyamar dengan wajah burik. Ternyata seperti ini wajahnya
yang asli.”
Terdengar Yue Buqun menjawab
pertanyaan putrinya, “Meskipun ketujuh kakak seperguruanmu ini bergabung dengan
Huashan sesudah dirimu, namun mereka memanggilmu ‘Adik Kecil’. Khusus untuk
dirimu memang tidak dipanggil sesuai urutan masuk perguruan, melainkan
berdasarkan usia. Sepertinya sudah nasibmu dipanggil ‘Adik Kecil’ sekali lagi,
karena usia Pingzhi sedikit di atasmu.”
“Tidak bisa, tidak bisa!”
sahut Yue Lingshan. “Dia harus memanggilku ‘kakak’. Mulai sekarang kalau Ayah
menerima murid baru, entah seratus orang, entah dua ratus orang, semua harus
memanggil ‘kakak’ kepadaku.”
Sambil tertawa kecil, Yue
Lingshan muncul dari balik punggung sang ayah. Kini Lin Pingzhi dapat melihat
dengan jelas betapa putri Yue Buqun itu memang sangat cantik dengan wajah bulat
telur serta sepasang mata yang indah cemerlang.
Perlahan-lahan Lin Pingzhi
membungkuk dan berkata, “Kakak Yue, atas belas kasihan Guru, aku dapat diterima
sebagai murid Perguruan Huashan. Siapa yang masuk perguruan lebih dulu berhak
dipanggil kakak. Tentu saja dalam hal ini aku terhitung adik seperguruanmu.”
Yue Lingshan terlihat senang
dan berkata kepada ayahnya, “Ayah dengar sendiri, bukan? Dia memanggilku
sebagai kakak secara sukarela. Aku sama sekali tidak memaksanya.”
Yue Buqun menjawab, “Dia baru
masuk perguruan sudah kau takut-takuti dengan kata ‘paksa’. Jangan-jangan dia
berpikir kalau semua muridku suka main paksa. Mengerikan!”
Maka tertawalah murid-murid
Huashan lainnya.