Pendekar Laknat Jilid 31-40
31. Kebodohan Lam-hay Sin-ni
”Untuk apakah itu?” Randa
Bu-san heran.
Randa Bu-san membentak, “Aku
tak mencari pusaka, tetapi pun tak mengijinkan orang untuk mencarinya!”
“Mengapa?” tanya Lam-hay
Sin-ni heran.
Bentak Randa Bu-san pula,
“Kukatakan sebabnya pun engkau takkan mengerti! Hanya saja ....”
Tiba-tiba ia alihkan
pertanyaan, “Mengapa engkau bersama mereka!”
Lam-hay Sin-ni merenung
sejenak lalu menyahut, “Engkau tak perlu mengurus!”
Tiba-tiba Randa Bu-san tertawa
panjang. Nadanya dingin sinis. Beberapa saat kemudian baru ia berhenti lalu
berkata, “Sebenarnya aku memang tak perlu mengurus. Tetapi aku tak tega melihat
engkau kesana mengantar kematian. Janganlah engkau hanya mengandalkan ilmu
saktimu Cek-ci-sin-kang tak ada yang menandingi. Tanggung engkau bisa pergi
kesana tetapi jangan harap bisa kembali....”
Randa dari Bu-san itu menghela
napas rawan lalu berkata pula, “Jong Leng lojin itu salah satu contoh!”
Mata Lam-hay Sin-ni terbeliak,
”Siapakah Jong Leng lojin itu?”
Sahut Randa Bu-san
dingin-dingin, “Pewaris dari ilmu sakti Jit-hua-sin-kang!”
Terdiam sejenak Lam-hay Sin-ni
tertawa, “Memang lama sekali aku menyembunyikan diri. Beberapa peristiwa memang
tak kuketahui”.
“Tetapi mengapa mencari pusaka
engkau bisa mengetahui?” tegur Randa Bu-san.
Wajah rahib dari Lam-hay
mengerut gelap. Tampaknya hendak marah. Dipandangnya randa dari Bu-san itu lalu
diam lagi.
Suami isteri Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka yang sejak tadi hanya mendengar saja. Merasa
saat itu mendapat kesempatan baik. Buru-buru Iblis Penakluk-dunia menjurah
memberi hormat kepada Randa Bu-san.
“Ucapan nyonya tadi ada
beberapa bagian yang tak kumengerti. Tetapi kami suami isteri berdua sungguh
merasa beruntung sekali karena hari ini dapat melihat wajah nyonya, salah seorang
pewaris dari ilmu Panca Sakti!”
Habis berkata, bersama
isterinya ia memberi hormat lagi kepada Randa dari Bu-san itu.
Muak tampaknya Lam-hay Sin-ni
melihat tingkah laku kedua suami isteri itu. Ia mendengus dingin.
Iblis Penakluk-dunia segera
berputar diri menghadap Lam-hay Sin-ni, “Kitab pusaka peninggalan Tio Sam-hong,
merupakan benda yang sangat diincar oleh ribuan kaum persilatan. Untuk
menghormat kepada Sin-ni, kami berdua rela menyerahkan peta Giok-pwe itu kepada
Sin-ni, tetapi .....”
Ia berhenti lalu berpaling ke
arah Randa Bu-san, dengan muka cemas, katanya, ”Tetapi kami pun amat menghormat
juga kepada wanita pewaris Ya-li-sin-kang ini. Oleh karena itu kami merasa
bingung, hendak kami serahkan kepada siapakah peta Giok-pwe itu .....”
Randa Bu-san menatap tajam
pada Iblis Penakluk-dunia lalu membentaknya, “Huh, licik sekali siasatmu!”
Tiba-tiba Lam-hay Sin-ni maju
selangkah kemuka Randa Bu-san lalu membentaknya geram, “Engkau kira dengan ilmu
Ya-li-sin-kangmu itu dapat menggertak aku? Kitab pusaka itu setiap hidung tentu
menginginkan. Jika tidak karena kitab pusaka itu, perlu apa engkau datang
kemari?.... huh, engkau anggap aku orang tolol!”
Rahib itu serentak bersiap
seperti hendak menyerang.
Randa Bu-san tertawa dingin
lalu berkata kepada Iblis Penakluk-dunia, “Jika saat ini aku benar-benar
melayani dia berkelahi, bukankah sesuai dengan tujuan hatimu .....”
Wanita dan Bu-san itu
gentakkan kakinya ke tanah dan menghela napas lalu berkata seorang diri,
“Untung atau celaka itu, memang sudah suratan takdir.... perlu apa aku
bersitegang hendak melanggar Kodrat alam untuk mempertahankan nasib orang?”
Dara baju hijau yang sejak
tadi selalu berada disisi ibunya, saat itu segera mengajak ibunya pergi.
Randa Bu-san mengangguk,
“Baiklah, biar mereka ramai-ramai sendiri!” ia terus berputar diri lalu
melangkah pergi.
Setelah bayangan ibu dan anak
itu lenyap Lam-hay Sin-ni tiba-tiba tertawa keras. Apa yang telah terjadi tadi,
Siau-liong dapat melihat jelas. Diam-diam ia mencemaskan keselamatan rahib dari
Lam-hay itu.
Walaupun rahib itu memiliki
ilmu sakti Cek-ci-sin-kang tetapi ia tentu tak dapat menghadap kelicikan kedua
suami isteri iblis. Apalagi Siau-iong mendapat kesan bahwa rahib itu tampaknya
seperti seorang yang ketolol-tololan.
Teringatlah saat itu
Siau-liong akan Jong Leng lojin yang dipenjara dibawah tanah oleh Iblis
penakluk dunia dan Dewi Neraka. Kedua kaki orang tua sakti itu diikat dengin
rantai besi .....
Jika Lam-hay Sin-ni masuk ke
dalam Lembah Semi, kemungkinan besar nasibnya tentu akan serupa dengan Jong
Leng lojin!
Ngeri seketika Siau-liong
membayangkan hal itu. Ia bingung apakah saat itu ia harus bertindak mencegah
perbuatan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka yang hendak mencelakai rahib
Lam-hay. Ataukah ia tinggal diam saja?.
Belum sempat ia mendapat
keputusan, tiba-tiba dari ujung tikungan gunung jauh disebelah muka tampak tiga
sosok benda warna biru meluncur ke udara.
Dan cepat laksana anak panah
meluncur, beberapa sosok tubuh manusia berhamburan tiba terus menyerbu Iblis
Penakluk-dunia dan isterinya.
◄
Y ►
Pada saat Iblis Penakluk-dunia
dan Dewi Neraka sedang mengimpikan rencananya untuk menjebak Lam-hay Sin-ni
akan berhasil, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh munculnya beberapa sosok
bayangan itu.
Cepat sekali beberapa orang
itu sudah tiba dihadapan Iblis Penakluk-dunia. Ternyata mereka berjumlah empat
orang, mengenakan pakaian ringkas, menyanggul senjata di punggung.
Keempat orang itu memberi
hormat kepada Iblis Penakluk-dunia. Salah seorang segera berkata, “Memberi
laporan kepada bapak pemimpin, pada beberapa tempat di luar gunung, diketemukan
jejak musuh!"
“Apakah sudah diselidiki
orang-orang dari mana?" tanya Iblis Penakluk-dunia.
"Kebanyakan kami dan para
anak buah tak kenal mereka. Tetapi diantaranya terdapat ketua Siau-lim-pay
paderi Ti Gong, ketua Kong-tong-pay Toh Hun-ki, ketua Kay-pang To Kiu-kong dan
lain-lain. Dan lagi .....”
Anak buah Lembah Semi itu
berhenti sejenak, lalu melanjutkan keterangannya, “Menurut penyelidikan yang
kami peroleh, kali ini rombongan musuh dipimpin oleh imam tua Ceng Hi, ketua
Kun-lun-pay yang lama!"
Iblis Penakluk-dunia berpaling
dan tersenyum kepada isterinya, “Sungguh tak meleset dugaanku. Hidung kerbau
tua Ceng Hi itu dengan mengandalkan dirinya pada duapuluh tahun jang lalu
pernah menghalau kita berdua dari Tiong-goan, sekarang keluar lagi dari
pertapaannya .....”
Iblis itu menengadah ke atas
dan tertawa gelak-gelak lalu berkata pula. “Tetapi sekarang tidak sama dengan
duapuluh tahun jang lalu. Aku mempunyai rencana untuk menghancur leburkan
barisan mereka .... asal pemimpin sudah remuk, pastilah yang lain-lain runtuh
nyalinya dan partai-partai persilatan itu tentu tak berarti lagi bertingkah
hendak menentang aku!"
Anak buah Lembah Semi itu
menunggu sampai Iblis Penakluk-dunia selesai berkata. Setelah itu barulah ia
berkata lagi dengan nada gentar, “Saat itu disekeliling gunung Tay-liang-san
telah dikepung musuh. Walaupun kami telah mengadakan hubungan dengan pos-pos
penjagaan yang tersebar dalam jarak sepuluh li dari gunung. Tetapi tetap tak
dapat mengetahui berapakah jumlah musuh yang datang itu!"
Iblis Penakluk-dunia tertegun.
Pada lain saat ia tertawa nyaring, “Apa guna mengandalkan jumlah banyak?"
Tiba-tiba dari kejauhan
terdengar suara teriakan menggemuruh. Teriakan dari suatu penyerbuan.
Iblis Penakluk-dunia kerutkan
alis lalu memberi perintah, “Kasih tahu pada orang dimuka, jangan melawan
......”
Orang itu mengiakan lalu
bersama ketiga kawannya segera melesat pergi.
Iblis Penakluk-dunia membisiki
beberapa patah kata kedekat telinga isterinya. Kemudian ia berpaling ke
belakang dan memanggil kepada seorang pengawalnya, “Kasih tahu pada semua
penjaga diluar gunung dan pos-pos penjagaan di lembah, supaya masuk semua ke
dalam lembah!"
Dengan memimpin belasan anak
buah, orang itu pun segera berangkat melakukan perintah.
Saat itu Siau-liong hanya
terpisah sepuluhan tombak dari Iblis Penakluk-dunia. Apa yang dilakukan iblis
itu, diketahui semua.
Ia merasa girang tetapi pun
cemas. Girang karena dunia persilatan masih timbul gerakan lagi untuk menumpas
Iblis Penakluk-dunia. Bahkan imam Ceng Hi yang sudah mengasingkan diri bertapa
selama duapuluh tahun, juga ikut serta dalam gerakan itu. Dengan begitu
kekuatan mereka tentu lebih besar.
Tetapi ia cemas karena Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka itu licin sekali dan banyak tipu muslihat.
Keadaan Lembah Semi sangat berbahaya, penuh dengan alat-alat jebakan. Dan Iblis
Penakluk-dunia pun sudah sumbar bahwa kali ini Ceng Hi totiang tentu akan
dihancurkan. Jika hal itu terjadi, memang dunia persilatan takkan terdapat
pengganti tokoh yang sesuai untuk memimpin gerakan pembasmian itu!
Saat itu gemuruh teriakan
serbuan tadi sudah berhenti. Memandang jauh kemuka, ia melihat sekelompok
bayangan hitam berhamburan menyerbu ke dalam lembah.
Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia
memberi hormat kepada Lam-hay Sin-ni, ujarnya, “Aku masih mempunyai lain
urusan. Apakah Sin-ni suka masuk sendiri ke dalam lembah?"
Lam-hay Sin-ni tertawa
mengekeh, “Ah lebih baik kutunggu disini sambil melihat-lihat saja!"
Dengan ucapan itu jelas
Lam-hay Sin-ni tak mempunyai selera untuk mencampuri urusan yang terjadi di
Lembah Semi.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
kecewa lalu lari menuju ke arah tempat yang diserbu musuh itu. Kawanan
pengawalnya pun segera mengikuti dengan ketat.
Rombongan pendatang itu
terdiri dari belasan orang. Mereka hentikan jalannya ketika melihat Iblis
Penakluk-dunia, lalu berjalan menghampiri pelahan-lahan.
Dari atas pohon Siau-liong
dapat melihat bahwa pemimpin rombongan tetamu itu seorang imam kurus.
Jenggotnya yang putih perak, memanjang sampai ke dada. Punggung menyanggul
sebatang hudtim atau kebut pertapaan. Sikapnya berwibawa seperti seorang dewa.
Rombongan pengikutnya yang
mengawal disebelah kanan kiri dan belakang. kebanyakan Siau-liong tak kenal
kecuali Toh Hun-ki, keempat Su-lo dari Kong-tong-pay, Ti Gong taysu dari
Siau-limpay.
"Imam tua itu tentulah
Ceng Hi totiang, ketua lama dari partai Kun-lun-pay!" diam-diam Siau-liong
membatin.
Saat itu Iblis Penakluk-dunia
pun berhenti setombak jauhnya dan rombongan pendatang itu. Lam-hay Sin-ni masih
tetap berdiri ditempat semula, ditemani Dewi Neraka.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
menyeringai seraya memberi salam kepada imam tua itu, “Totiang sudah lama tak
berjumpa .....” ia berhenti keliarkan mata sejenak, lalu berkata pula,
"kudengar sudah lama sekali totiang mensucikan diri dari debu kotoran
dunia. Entah mengapa hari ini totiang berkenan datang ke lembah gunung
belantara sini?"
Imam tua itu memang Ceng Hi
totiang, ketua Kun-lun-pay yang lama. Ia tersenyum menjawab, “Memang sudah
hampir duapuluh tahun aku mengasingkan diri dari keramaian dunia dan sebenarnya
tak mau campur tangan dengan urusan dunia persilatan lagi. Tetapi kudengar
kalian berdua suami isteri telah mengirim undangan kepada seluruh kaum
persilatan supaya menghadiri pertemuan Adu Kesaktian .....”
Belum selesai imam tua itu
bicara, Iblis Penakluk-dunia sudah cepat menukas, “Kami suami isteri melihat
kenyataan dunia persilatan yang selalu tak aman dari pergolakan, yang kuat
makan yang lemah. Maka terpaksa kami mengambil tindakan, mengundang seluruh
kaum persilatan datang ke lembah sini.
Pertama, untuk mempererat
hubungan. Kedua, menggunakan kesempatan adu kesaktian itu, memilih seorang
tokoh yang cerdas bijaksana dan pandai dalam ilmu sastera serta silat, menjadi
pemimpin dunia persilatan.
Dengan demikian dunia
persilatan akan mempunyai suatu wadah dan pimpinan. Segala pergolakan maupun
pertikaian dan pertumpahan darah, tentu akan dapat dihentikan. Jika hal itu
terlaksana, jerih payah kami berdua, tentu takkan sia-sia!"
Dengan ucapan itu seolah-olah
Iblis Penakluk dunia menempatkan dirinya sebagai seorang pahlawan penyelamat
dunia persilatan.
Ceng Hi totiang mendengar
dengan sabar keterangan Iblis Penakluk-dunia itu. Setelah selesai barulah ia
tersenyum.
"Peristiwa berdarah pada
duapuluh tahun yang lalu rupanya masih membekas dalam hati sekalian kaum
persilatan. Sekali pun dalam mulut mereka terpaksa mengiakan tetapi dalam hati
mereka tetap masih tak puas. Jika menurut pendapatku kuanjurkan kalian berdua
supaya menghapus saja cita-cita ke-Angkaraan itu. Lebih baik hiduplah menyepi
dipegunungan yang tenang untuk melewati sisa penghidupan, agar .....”
Iblis Penakluk-dunia tertawa
meloroh.
"Adakah karena tak menerima
undangan maka totiang marah? Jika totiang memang masih mempunyai keinginan
untuk menguasai dunia persilatan, kami dengan segala senang hati segera akan
menghaturkan surat undangan ....”
Iblis Penakluk-dunia menutup
katanya dengan melirik rombongan pengikut Ceng-hi totiang.
Lalu melanjutkan pula, “Adu
kepandaian akan diselenggarakan besok malam. Karena saudara-saudara datang
lebih pagi sehari, maaf, aku tak siap menyambut. Jika saudara hendak memberi
pelajaran, harap datang besok malam saja!"
Ketua Siau-lim-si, Ti Gong
taysu, tak dapat menahan diri lagi. Setelah menyerukan kata 'omitohud', ia
menggembor dengan nyaring, “Jangan dengarkan ocehannya! Lembah Semi penuh
dipasangi alat-alat jebakan rahasia. Jika tidak .... ditunjukkan orang, aku dan
beberapa saudara mungkin sudah binasa dalam lembah itu. Apa yang disebut
sebagai Pertemuan besar Adu Kesaktian itu, tak lain hanyalah suatu perangkap
untuk menjerat seluruh kaum persilatan!"
Iblis Penakluk-dunia tertawa
nyaring, “Lembah Semi adalah tempat kediaman anakku perempuan. Jika benar
terdapat alat-alat rahasia itu tentulah atas perintah dari anakku yang masih
gemar bermain-main. Masakan alat-alat semacam itu dapat mengurung para orang
gigih. Apakah ucapan losiansu itu tak terlalu berlebih-lebihan?"
Ti Gong taysu menggerung
marah, “Kalau begitu. dimanakah beradanya ketua Tiam-jong-pay Shin Bu-seng,
ketua Bu-tong-pay It Hang totiang, ketua Ji-tok-kau Tan In-hong, ketua
Tong-thing-pang Cu Kong-leng serta Kun-lun Sam-cu itu?"
Dengan tenang Ibls Penakluk-dunia
menjawab, “Kami suami isteri dengan hati yang sungguh hendak mengatur dunia
persilatan. Tetapi losiansu dan It Hang totiang menggunakan pikiran siau-jin
(orang rendah) mengukur hati orang. Diam-diam losiansu dan It Hang totiang
memimpin rombongan menyelundup ke dalam lembah untuk mencelakai kami. Sudah
suatu kesungkanan kalau kami tak menarik panjang urusan itu. Tetapi sayang
losiansu masih ada muka untuk mengungkat lagi hal itu .....”
Ti Gong taysu menggerung
hendak turun tangan tetapi buru-buru dicegah Ceng Hi totiang. Dengan ilmu
Menyusup suara, ketua lama dari partai Kun-lun-pay itu berseru kepada Ti Gong
taysu, “Menghadapi urusan kecil tak dapat menahan diri. tentu dapat membikin
kapiran urusan besar. Harap losiansu suka sabarkan diri."
Habis berkata ketua
Kun-lun-pay itu memandang ke arah Lam-hay Sin-ni dengan heran.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
dingin, “It Hang totiang dan rombongannya tak kurang suatu apa. Besok pagi
kalau datang ke lembah, saudara-saudara tentu mengetahuinya!"
Sambil mengurut jenggotnya
yang menutup dada, Ceng Hi totiang berkata, “Atas nama wakil dari seluruh
partai persilatan, kami menolak undangan saudara. Selain itu, akupun hendak
mohon bertanya dua buah hal ....”
Sejenak menatap pada Iblis
Penakluk-dunia jago tua itu berkata pula dengan nada mantap, “Kesatu, sebelum
matahari terbit, besok pagi It Hang totiang dan ke tujuh kawan-kawannya harus
sudah dibebaskan. Kedua, lebih baik kalian berdua kembali ke daerah luar
perbatasan lagi, jangan mencampuri urusan dunia persilatan di Tiong-goan!"
Wajah Iblis Penakluk-dunia
berobah dingin, serunya, “Adakah totiang hendak mengulang cerita pada duapuluh
tahun jang lalu untuk mengusir kami dari Tiong-goan?"
“Sesungguhnya aku menjunjung
perdamaian, harap saudara suka mempertimbangkan semasak-masaknya!" kata
Ceng Hi totiang, lalu berpaling ke belakang dan berseru, “Kasih tahu pada
keempat kelompok kita. Besok pagi sebelum mendapat perintahku, jangan
sembarangan bertindak sendiri!"
Iblis Penakluk-dunia tertawa
mengekeh, "Perintah itu tak perlu disiarkan. Aku sudah memikir masak,
besok sore kami akan menyambut kedatangan para tetamu. Kami berdua suami isteri
akan bertindak sebagai tuan rumah yang layak. Tetapi kalau hal itu tak mendapat
perhatian, jangan salahkan kami akan bertindak ganas!"
Ceng Hi totiang menghela napas
panjang, “Segala apa memang sudah kehendak Takdir. Aku tak dapat menentang
takdir. Tetapi sayang, entah berapa banyak korban yang akan berjatuhan dalam
pertempuran itu nanti!"
Iblis Penakluk-dunia tertawa
seram, “Sekarang bukanlah sama dengan duapuluh tahun jang lalu. Jika totiang
memang menjunjung kedamaian dan ketenteraman, silahkan totiang masuk ke dalam
lembah untuk berunding empat mata dengan kami. Mungkin dapat diperoleh jalan
keluar....”
Ceng Hi totiang merenung diam.
Hanya matanya memandang ke arah rombongannya, dengan pandang meragu.
Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay
berseru nyaring, “Berunding dengan kedua iblis itu, tak ubah seperti berunding
dengan harimau mengenai kulit. Totiang memikul tanggung jawab keselamatan dunia
persilatan, mana boleh sembarangan menempuh bahaya?"
Ceng Hi totiang mengangguk
lalu memandang Iblis Penakluk-dunia, serunya, “Kata-kataku hanya sampai di
sini. Tak perlu untuk berunding apa-apa lagi. Jika besok sampai matahari menyingsing
kami tak melihat It Hang totiang dan kawan-kawan, terpaksa akan kupimpin
serangan ke Lembah Semi .....”
“Kebajikan yang utama ialah
mengusahakan perdamaian pada umat manusia, katanya pula, "harap kalian
suka pikir sekali lagi. Ketahuilah, seluruh kaum persilatan sudah berkumpul
disini. Betapa berbahayanya Lembah Semi, namun tetap tak mungkin mampu
menghadapi serbuan seluruh kaum persilatan!"
Habis berkata imam tua itu
terus hendak mengajak rombongannya pergi. Tetapi tiba-tiba terdengar Iblis Penakluk-dunia
tertawa gelak-gelak dan menyusul terdengarlah sebuah lengkingan tajam
membentak, “Hm, macam apakah ini!"
Pada saat Ceng Hi totiang
memandang kemuka, entah kapan datangnya tahu-tahu Lam-hay Sin-ni sudah berada
dimuka dan memandang tajam kepada rombongan orang gagah.
Rahib sakti dari Lam-hay itu
memang jarang berkelana di dunia persilatan. Sebagian besar kaum persilatan tak
kenal padanya. Tetapi tokoh-tokoh semacam Ceng Hi totiang, Toh Hun-ki, Ti Gong
taysu dan beberapa jago tua, semua sudah pernah melihat rahib itu. Kebanyakan
kaum persilatan selalu bersikap menghormat dan menjauhi rahib sakti yang aneh
wataknya itu.
Segera Ceng Hi totiang memberi
hormat, ujarnya, “Konon kabarnya Sin-ni mengasingkan diri digunung Bu-ih-san.
Tak kira kalau hari ini dapat bertemu disini. Entah apakah maksud kunjungan
Sin-ni kemari .....”
Lam-hay Sin-ni mendengus lalu
balas bertanya, “Ho, engkau kenal aku juga?"
Ceng Hi totiang tertawa, “Pada
pertemuan di telaga Leng-ti dahulu, aku beruntung dapat berjumpa sekali dengan
Sin-ni. Pada masa itu Sin-ni masih agak muda dan akupun masih seorang pemuda
.....”
Ketua Kun-lun-pay itu berhenti
sejenak untuk bersenyum lalu, “Menurut perhitungan, peristiwa itu sudah
berlangsung duapuluh tahun yang lalu!"
Wajah Lam-hay Sin-ni agak
tenang, ujarnya, “Benar, ingatanmu masih bagus sekali!" - tiba-tiba wajah
rahib itu mengerut tegang lag!, “Perlu apa kalian datang kemari? Apakah juga
akan mencari pusaka?"
Ceng Hi totiang terkesiap,
sahutnya, “Sudah hampir duapuluh tahun aku menutup diri dari keramaian dunia.
Kali ini terpaksa muncul kedunia persilatan lagi adalah karena hendak mencegah
pertumpahan di dunia persilatan. Sama sekali tiada keinginan hendak mencari
pusaka. Dan lagi kitab pusaka itu hanya suatu kabar cerita yang sudah
berlangsung beberapa ratus tahun. Adakah kabar itu dapat dipercaya, aku tak
berani memastikan!"
Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia
menggunakan ilmu Menyusup suara kepada Lam-hay Sin-ni, “Imam tua itu telah
membawa ribuan pengikut untuk mengepung Lembah Semi sini. Jika tindakan itu
bukan untuk mencari kitab pusaka, apakah ada lain alasan lagi yang dapat
membohongi seorang anak kecil?"
Lam-hay Sin-ni mengangguk.
"Benar, masakan aku dapat dikelabuhinya ....” - rahib itu diam sebentar
lalu bertanya, “Tetapi apakah tujuan Adu Kepandaian di Lembah Semi yang hendak
kalian selenggarakan itu?"
Iblis Penakluk-dunia tetap
gunakan ilmu Menyusup suara untuk menyahut, “Dewasa ini setiap orang persilatan
tentu mengiler akan kitab pusaka itu. Dengan menggunakan keadaan Lembah Semi
yang berbahaya ini, aku hendak mencegah tindakan mereka, dan lagi ....”
Iblis itu tersenyum lalu
berkata pula, “Yang separoh bagian dari peta Giok-pwe itu memang berada padaku,
tetapi yang separoh lagi kemungkinan berada pada mereka. Aku hendak merebut
yang separoh itu dari tangan mereka untuk kupersembahkan kepada Sin-ni."
Berseri-seri gembiralah wajah
Lam-hay Sin-ni. Tetapi pada lain saat, tiba-tiba wajahnya mengerut lagi, “Kitab
pusaka dari Tio Sam-hong, setiap hidung tentu menginginkan. Masakan kalian
suami isteri tak menghendakinya? Apalagi sama sekali aku tak pernah melepas
budi kepadamu, mengapa kalian begitu ikhlas hendak menyerahkan peta itu
kepadaku?"
Mata rahib itu berkilat-kilat
memandang Iblis Penakluk-dunia dengan penuh kecurigaan.
Iblis Penakluk-dunia
tercengang, Tetapi cepat ia dapat menguasai keadaan. Iapun tertawa sinis,
“Memang tak salah kalau Sin-ni menaruh kecurigaan. Aku memang masih mempunyai
alasan yang belum kuberitahukan ....”
32. Perebutan Giok-pwe
Ia merenung sejenak lalu
berkata dengan tenang, “Pertama, kami berdua suami isteri amat mengagumi sekali
akan ilmu sakti Cek-ci-sin-kang dari Sin-ni. Kedua, kami mempunyai sebuah
persoalan yang ingin memohon bantuan Sin-ni ......”
“Soal apa? Lekas
katakanlah!"
“Kami suami isteri selalu
bersikap baik kepada orang tetapi entah bagaimana kami selalu dimusuhi orang
saja. Duapuluh tahun yang lalu, kami telah dikepung dan hendak dibunuh oleh
Ceng Hi totiang dan kawan-kawannya sehingga kami terpaksa melarikan diri keluar
perbatasan ....”
Iblis Penakluk-dunia menghias
tutur ceritanya dengan sebuah helaan napas.
"Seperti kali ini, baru
beberapa hari kami pulang ke lembah, tokoh-tokoh partai persilatan itu terus
berbondong-bondong datang kemari hendak membikin perhitungan kepada kami.
Bahkan pada tengah malam begini, mereka tetap masuk ke dalam lembah hendak
mencelakai diri kami.
Saat ini Ceng Hi totiang
kembali membawa rombongannya hendak menghancurkan lembah kami. Rupanya jika
kami berdua suami isteri belum mati, mereka tetap tak puas Oleh karena itu,
dengan menggunakan kesempatan Adu Kepandaian itu, kami hendak mohon bantuan
Sin-ni untuk menundukkan mereka.
Bukan karena kami ingin
menguasai dunia persilatan, melainkan agar kami dapat hidup disini dengan
tenteram. Sudah tentu budi pertolongan Sin-ni itu kami takkan lupa
selama-lamanya!"
Rupanya Lam-hay Sin-ni mudah
sekali percaya omongan manis. Seketika timbullah rasa simpatinya kepada Iblis
Penakluk-dunia. Berulang kali ia mengangguk-angguk kepala.
"Itu mudah saja, aku akan
membantumulah."
“Lebih dulu terimalah
persembahan terima kasih kami atas budi pertolongan Sin-ni!" serta merta
Iblis Penakluk-dunia menjurah memberi hormat.
Dengan wajah berseri, rahib
itu berpaling ke arah Ceng Hi totiang. bentaknya, “Adu Kepandaian itu akan
dilangsungkan besok malam. Mengapa kalian sekarang sudah datang?"
Ceng Hi totiang memang tak
tahu apa hubungan antara suami isteri iblis itu dengan Lam-hay Sin-ni. Apalagi
pembicaraan mereka dilakukan dengan menggunakan ilmu Menyusup-suara. Yang dilihatnya
hanya bibir kedua orang itu tak henti-hentinya bergerak.
Ia duga mereka tentu sedang
bercakap-cakap. Dan menilik nada serta sikapnya, tahulah Ceng Hi totiang bahwa
rahib itu datang karena hendak mencari pusaka peninggalan Tio Sam-hong.
Menilik betapa licik manusia
Iblis Penakluk-dunia itu dan mengingat betapa picik pengalaman Lam-hay Sin-ni
yang jarang keluar kedunia persilatan itu, diam-diam Ceng Hi Totiang gelisah.
"Ah, kalau kitab pusaka itu sampai jatuh ketangan orang yang tak
bertanggung jawab semacam Iblis Penakluk-dunia, alangkah ngerinya nasib dunia
persilatan nanti ....”
Toh Hun-ki, Ti Gong taysu dan
lain-lain tokoh, cukup mengetahui kelihayan ilmu sakti Cek-ci-sin-kang dari
rahib itu. Mereka gelisah. Kalau rahib itu sampai dipergunakan Iblis
Penakluk-dunia, tentu hebatlah akibatnya bagi rombongan Ceng Hi totiang.
Ceng Hi totiang gelagapan
mendengar bentakan rahib itu. Buru-buru ia memberi hormat, sahutnya, “Selama
ini Sin-ni selalu menjauhkan diri dari pergolakan dunia persilatan yang kotor.
Dan kaum persilatan menaruh perindahan tinggi kepada Sin-ni. Maka heranlah kami
mengapa saat ini Sin-ni muncul dan membantu kedua suami isteri durjana
itu?"
Lam-hay Sin-ni deliki mata,
membentak, “Apakah engkau hendak memberi nasehat kepadaku?"
Pun Iblis Penakluk-dunia cepat
menambahi kata, “Totiang amat termasyhur di dunia persilatan dan sangat
diindahkan sekali oleh dunia persilatan. Sekali pun kata-kata totiang itu
menyinggung perasaanku, tetapi aku rela menerimanya. Tetapi kalau totiang
menghina pada Sin-ni, ah, sungguh keterlaluan sekali!"
Lam-hay Sin-ni yang polos dan
jujur tetapi agak tolol, seketika terbakarlah kemarahannya mendengar ucapan
Iblis Penakluk-dunia itu. Segera ia ayunkan tangan, melontar pukulan.
“Bum....’ sebuah batu besar hancur
bertebaran keempat penjuru!
Ternyata pukulan rahib itu
ditujukan pada sebuah batu besar yang terpisah beberapa meter dari tempat Ceng
Hi totiang.
Tetapi tak kecewalah Ceng Hi
sebagai seorang datuk persilatan. Ia memiliki toleransi yang besar sekali.
Setitikpun ia tak terpengaruh oleh pameran ilmu kesaktian dari rahib itu. Ia
tetap tegak dengan tenangnya.
“Dengan Kekuatan menaklukan
orang, tidaklah seindah menaklukkan orang dengan Keluhuran budi. Apalagi dunia
persilatan selalu mengutamakan Keadilan dan Kebenaran!" kata imam tua itu
dengan tertawa hambar, lalu menghela napas. Seolah-olah menyesalkan tindakan
Lam-hay Sin-ni yang karena hendak mencari kitab pusaka telah rela bekerja sama
dengan suami isteri durjana.
Lam-hay Sin-ni tertawa
mengekeh, “Selama mengasingkan diri digunung sepi, aku tak pernah melepaskan
diri dari persoalan manusia. Kemungkinan nanti aku pun akan menjajal kepandaian
dengan kalian!"
Ceng Hi totiang terbeliak.
Benar-benar ia tak mengira bahwa seorang rahib tua yang memiliki salah satu
dari ilmu Panca Sakti dan sudah berpuluh tahun mengasingkan diri ternyata masih
belum mencapai kesadaran.
Masih tak dapat membedakan
antara Putih dengan Hitam. Masih dikuasai nafsu untuk mengejar nama dan
keuntungan. Adakah rahib itu benar-benar kurang waras pikirannya .......?
Toh Hun-ki dan rombongan serta
Ti Gong taysu yang lebih banyak dipengaruhi rasa jerih terhadap kesaktian rahib
itu, tak berani ikut bicara.
Dengan wajah berseri riang,
Lam-hay Sin-ni memandang sekalian orang itu kemudian berpaling kepada Iblis
Penakluk-dunia, “Sekarang mari kita masuk ke dalam lembah untuk mengambil
Giok-pwe yang separoh bagian itu?"
Iblis Penakluk-dunia
mengangguk, “Baiklah, mari kuantar Sin-ni!" - ia terus berputar diri dan
ayunkan langkah.
Dewi Neraka cepat melesat
kesamping Lam-hay Sin-ni. Tangan kiri mencekal tongkat kepala naga, tangan
kanan memapah lambung Lam-hay Sin-ni.
Ceng Hi totiang memandang
bayangan rahib itu dengan tak berkata suatu apa. Tetapi ketika Lam-hay Sin-ni
baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba dari udara terdengar suara gemboran
menggeledek, “Sin-ni, berhentilah!"
Sesosok tubuh melayang dari
atas gerumbul pohon. Gerakannya mirip dengan seekor burung rajawali. Dan tepat
orang itu melayang turun beberapa langkah dimuka Sin-ni.
Baik rombongan Ceng Hi totiang
maupun suami isteri Iblis Penakluk-dunia, terperanjat sekali dan buru-buru
hentikan langkah.
Kiranya yang muncul itu adalah
Siau-liong dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat.
Ceng Hi totiang dan
rombongannya pun tak jadi tinggalkan tempat itu.
Sejenak terkejut, Iblis
Penakluk-dunia segera tenang kembali. Ia tertawa dingin, “Tua bangka Laknat,
umurmu benar-benar masih panjang!"
Pun Dewi Neraka dengan
heran-heran kejut, berseru, “Bagaimana engkau dapat menemukan jalan rahasia
dalam lembah? Asal engkau mau mengatakan, kami takkan menyusahkan engkau
lagi!"
Siau-liong tertawa,
"Sudan kukatakan semula, tempat sebagai Lembah Semi itu, aku senang datang
terus datang, senang pergi pun pergi. Segala macam alat perangkap dan tempat
yang berbahaya dalam lembah, masakan mampu merintangi kebebasanku?"
Pada saat kedua suami isteri
Iblis Penakluk-dunia hendak menyahut, Lam-hay Sin-ni cepat mencegahnya.
Kemudian rahib itu tersenyum pada Siau-liong, serunya, “Uh, hampir saja
kulupakan engkau? Apakah engkau tetap bersembunyi di atas pohon itu?"
“Benar, apa yang Sin-ni dan
kedua iblis bicarakan tadi, telah kudengar semua!"
Lam-hay Sin-ni memandang wajah
Siau-liong, serunya, “Ya, omonganmu itu benar sekali ....” ia menunjuk pada
suami isteri Iblis Penakluk-dunia, berkata pula, "memang Giok-pwe yang
separoh bagian itu berada ditangan mereka dan sekarang hendak ku ambil ke dalam
lembah!"
Siau-liong berkata dingin,
“Kukuatir separoh Giok-pwe itu Sin-ni tak dapat memperolehnya dan lagi, jangan
masuk ke dalam lembah!"
“Mengapa?" bentak rahib
itu dengan marah.
“Selama ini Sin-ni hanya
tinggal menyepi di gunung dan tak menghiraukan urusan dunia. Kali ini
kedatangan Sin-ni untuk mencari kitab pusaka Tio Sam-hong, kurasa bukanlah
dikarenakan hendak memburu harta permata yang tak ternilai jumlahnya itu!"
"Sudah tentu," sahut
Lam-hay Sin-ni, "aku tak butuh dengan segala harta kekayaan dunia!"
“Karena tak menginginkan harta
permata, jelas tentulah hanya untuk Kitab pusaka itu saja .....”
Siau-liong berhenti sejenak
memandang sekalian orang yang tegak berdiri diam, lalu berseru nyaring,
“Walaupun ilmu
Thian-kong-sin-kang itu tergolong salah satu dari Panca Sakti, tetapi hanya
ilmu itulah yang mendasarkan pada Sin (semangat). Jadi jauh di atas ilmu sakti
Thian-jim-sin-kang, Jit-hua-sin-kang, Ya-li-sin-kang dan ilmu Cek-ci-sin-kang
yang Sin-ni miliki.
Maka apabila ilmu
Thian-kong-sin-kang yang tertera pada kitab pusaka itu sampai jatuh ketangan
lain orang, Sin-ni pasti akan tergeser dalam kedudukan sebagai tokoh kelas dua.
Jika Sin-ni dapat memperoleh ilmu Thian-kong sin-kang itu, Sin-ni akan memiliki
dua buah ilmu sakti yang tiada taranya dan dengan sendirinya Sin-nilah
satu-satunya tokoh nomor satu dalam dunia persilatan ......”
Ceng Hi totiang dan sekalian
orang mendengarkan dengan penuh perhatian. Sekalipun ilmu Panca Sakti itu sudah
tersiar dalam dunia persilatan sejak berpuluh-puluh tahun tetapi karena sudah
lama sekali tak pernah muncul tokoh yang menggunakan ilmu sakti itu, maka orang
menganggapnya hanya sebagai khayalan saja. Maka pada saat Pendekar Laknat
Siau-liong mengungkapkan lagi tentang kelima ilmu sakti itu dengan jelas,
sekalian tokoh-tokoh yang hadir disitu sama tercergang-cengang ......
Lam-hay Sin-ni tertawa
mengekeh, “Meskipun kata-katamu itu tak sedap, tetapi memang kenyataannya
begitulah ....., aku Lam-hay Sin-ni memang tak mau campur tangan urusan dunia
persilatan tetapi aku pun tak rela kalau ada orang yang lebih unggul
kepandaiannya dari diriku!"
Siau-liong memandang kedua
suami isteri Iblis Penakluk-dunia lalu tertawa hambar, "Selama ini Sin-ni
hanya mengabdikan diri pada ajaran suci dan tak mau mengotorkan diri pada
kejahatan dunia. Jika kitab pusaka yang berisi Thian-kong-sin-kang itu akan
menjadikan seseorang melonjak dalam kedudukan sebagai tokoh persilatan nomor
satu, masakan kedua Suami isteri itu mau begitu rela menyerahkan pada Sin-ni?
Dalam hal itu tentulah .....”
Iblis Penakluk-dunia cepat
menukas dengan tertawa melengking nyaring, “Betapapun engkau hendak menggunakan
lidahmu yang tajam tetapi tak mungkin dapat memecah belah Sin-ni dengan aku
......”
“Jangan mengerat omongan
orang! Biarkan dia bicara sampai habis dulu!" bentak Lam-hay Sin-ni.
Siau-liong mendengus ejek lalu
melanjutkan kata-katanya, “Jelas kedua suami isteri iblis itu mengandung hati
durjana. Jika Sin-ni sampai terjebak masuk ke dalam lembah, berarti Sin-ni akan
terjerumus ke dalam liang naga. Bukan saja separoh Giok-pwe itu takkan Sin-ni
peroleh, bahkan Sin-ni sendiri tentu sukar akan keluar dari situ ....”
Sia-liong berhenti sejenak
untuk mengatur kata-kata. Setelah itu berserulah ia dengan keras,
“Jong Leng lojin adalah
contohnya!"
"Siapakah Jong Leng lojin
itu?" tanya Lam-hay Sin-ni.
“Jong Leng lojin adalah salah
seorang tokoh yang memiliki ilmu sakti Jit-hua-sin-kang!" teriak
Siau-liong, "dia sekarang berada dalam penjara dibawah tanah dengan kedua
kakinya dirantai!"'
Lam-hay Sin-ni maju selangkah
dengan mata berkilat-kilat tajam, serunja, "Benarkah itu?"
"Aku menyaksikan
sendiri!" sahut Siau-liong.
Wajah Lam-hay Sin-ni tampak
membeku lalu berpaling ke arah Iblis Penakluk-dunia.
Juga Ceng Hi toting dan
sekalian orang terperanjat mendengar keterangan Pendekar Laknat Siau-liong itu.
Jika hal itu benar, sungguh suatu peristiwa yang tiada tara ngerinya.
Jong leng lojin sudah
berpuluh-puluh tahun tak muncul di dunia persilatan. Orang mengira dia tentu
sudah mati atau sudah lenyap. Tetapi mengapa ternyata dipenjarakan Iblis
Penakluk-dunia dalam Lembah Semi?
Sekalian orang setengah meragukan
keterangan Siau-liong itu.
Diantara sekian banyak orang,
hanya Ceng Hi totianglah yang paling rapat hubungannya dengan Pendekar Laknat.
Sudah beberapa kali ia bertemu dengan momok itu maka tahulah ia bagaimana watak
dan pribadi momok itu.
Sejauh ingatan Ceng Hi
totiang, dahulu Pendekar Laknat itu seorang manusia yang sukar diraba
pendiriannya. Malang melintang di dunia persilatan menurut sekehendak hatinya
yang angkuh dan ganas.
Tetapi mengapa sekarang, dua
puluh tahun kemudian, momok itu tiba-tiba berobah begitu sadar, dapat
membedakan mana yang lurus dan mana yang jahat?
Dan yang paling tak
dimengertinya ialah dua puluh tahun yang lalu Pendekar Laknat itu bertubuh
pendek tetapi mengapa sekarang berobah begitu tinggi besar? Masakan makin tua
makin bertambah tinggi!
Saat itu suasana makin
bertambah tegang. Sekalian orang memandang ke arah Lam-hay Sin-ni. Rupanya
rahib yang memiliki salah satu dari ilmu Panca Sakti, hendak berbalik memusuhi
Iblis Penakluk-dunia.
Tetapi Iblis Penakluk-dunia
tetap mengulum senyum dan memberi homat kepada rahib itu, “Adakah Sin-ni
percaya akan omongan itu?"
"Kalau melihat dengan
mata kepala sendiri, tentulah tak bohong!" sahut Sin-ni.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
nyaring, “Jong Leng lojin memiliki ilmu sakti Jit-hua-sin-kang. Dalam dunia
persilatan kedudukannya sama dengan Sin-ni. Masakan kami berdua mampu
menjebloskannya dalam penjara dibawah tanah? Apalagi ......”
Ia memandang Siau-liong dan
rombongan Ceng Hi totiang.
"Si tua Laknat, Toh
Hun-ki ketua Kong-tong pay, Ti Gong taysu dari Siau-lim-si, To Kiu-kong ketua
Kay-pang dan lain-lain pernah masuk ke dalam lembah dan dapat keluar dengan tak
kurang suatu apa. Jika lembah itu penuh dengan alat jebakan dan kami mempunyai
kemampuan untuk memenjarakan Jong Leng lojin, masakan rombongan mereka dapat
lolos dari tangan kami? Masakan mereka dapat berdiri disini dan menyerang kami
dengan fitnah yang tajam?"
Lam-hay Sin-ni mengangguk
angguk, “Omonganmu benar juga. Hampir saja aku dapat dikelabuhi!"
Dengan mata berkilat-kilat
rahib itu menatap Siau-liong. Melihat itu Iblis Penakluk-dunia cepat menambah
minyak ke dalam api. Serunya, “Masih ada sebuah hal penting yang hendak
kuberitahukan kepada Sin-ni. Giok-pwe yang separoh bagian itu berada pada si
tua Laknat!"
Seketika berobahlah wajah
Sin-ni terkejut girang. Cepat ia menegur Siau-liong, “Benarkah itu?"
"Benar!" Siau-liong
tertawa hambar.
"Lekas serahkan
padaku!"
Siau-liong tertawa dingin,
“Sekali pun aku ingin menyerahkan Giok-pwe itu, tetapi sekarang sudah tak dapat
....."
Berhenti sejenak, Siau-liong
mengangkat muka memandang kelangit dan berseru pula dengan nada tawar, “Kitab
pusaka tulisan Tio Sam-hong dan harta karun yang nilainya dapat dibelikan
sebuah kota, sejak saat ini bakal lenyap dan tinggal merupakan sebuah teka-teki
saja. Andaikata benar adapun harta pusaka itu tak mungkin diketemukan orang
lagi dan akan terpendam dalam tanah untuk selama-lamanya."
“Perlu apa engkau mengoceh
belo tak keruan itu," bentak Lam-hay Sin-ni.
Siau-liong tertawa lepas.
Dengan tandas ia berkata, ”Separoh Giok-pwe itu telah kuremas hancur
berkeping-keping .....”
Seketika berobahlah wajah
lblis Penakluk-dunia. Tetapi beberapa saat kemudian ia tertawa gelak-gelak,
"Omongan semacam itu, anak kecil umur tiga tahun pun tak mungkin percaya!"
Lm-hay Sin-ni tertegun lalu
melengking, “Aku pun juga tak percaya!"
Siau-liong menertawakan Iblis
Penakluk-dunia, serunya, “Aku tak butuh engkau percaya atau tidak! Tetapi jelas
kalau separoh bagian Giok-pwe itu sudah kuhancurkan. Dengan begitu yang separoh
bagian lagi sudah tak berguna."
Dengan murka sekali Lam-hay
Sin-ni membentaknya, “lekas serahkan separoh bagian Giok-pwe itu. Kalau tidak
terpaksa aku turun tangan!"
Bentakan itu dilambari dengan
tenaga dalam yang hebat sehingga sekalian orang yang hadir disitu seperti
mendengar halilintar meletus. Mereka terkejut dan memandang ke arah rahib itu.
Dibawah sinar rembulan, tampak
dengan mata berapi-api rahib itu memandang Siau-liong seraya pelahan-lahan maju
menghampiri .....
Tampak jubahnya yang
gerombyong itu berkibar-kibar keras. Tanah yang dilaluinya meninggalkan bekas
telapak sedalam tiga inci. Dahinya memancar sinar pembunuhan yang buas.
Siau-liong memandang
gerak-gerik Sin-ni itu dengan penuh perhatian. Diam-diam ia kerahkan seluruh tenaga
dalam Bu-kek-sin-kang. Walaupun belum yakin akan menang, namun ia bertekad
untuk menghadapi Sin-ni itu.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka berdiri disamping sambil tertawa sinis. Seri wajahnya amat riang karena
siasatnya mengadu domba akan berhasil.
Tidak demikian dengan ketua
Kong-tong-pay, Toh Hun-ki. Diam-diam ia keluarkan keringat dingin karena
mencemaskan Pendekar Laknat Siau-liong. Buru-buru ia gunakan ilmu Menyusup
Suara untuk berseru kepada Ceng Hi totiang.
"Pendekar Laknat yang
sekarang jauh sekali bedanya dengan dahulu. Kami dan kawan-kawan ketika
dikurung dalam lembah, jika tak ada dia yang menolongi, tentulah sudah binasa.
Dapatkah totiang membantu sedikit tenaga kepadanya dalam menghadapi keganasan
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka dan untuk menyelamatkan dunia persilatan,
jika bisa mendapatkan tenaganya, tentu sangat berguna sekali"
Ceng Hi totiang kerutkan dahi.
Mengangguk tetapi tak menyahut apa-apa.
Beberapa langkah dimuka
Siau-liong, Lam-hay Si-ni berhenti, bentaknya pula, “Apakah engkau masih tak
mau menyerahkan Giok-pwe itu?"
Siau-liong deliki mata, “Sudah
kukatakan, Giok-pwe itu sudah kuhancurkan. Tetapi engkau berkeras tak percaya,
apa boleh buat!"
Bentak rahib itu, “Telah
menjadi keputusanku untuk mencari pusaka itu. Dengan menyimpan separoh Giok-pwe
itu, bagimu pun tak berguna. Bahkan malah akan menghilangkan nyawamu yang sudah
tua itu!"
Siau-liong tertawa angkuh,
“Harap Sin-ni jangan mengagulkan ilmu Cek-ci-sin-kang untuk memandang rendah
orang, Jika Sin-ni tak mau makan nasehatku, tentulah Sin-ni akan mengalami
nasib serupa Jong Leng lojin yang dipenjarakan dibawah tanah oleh kedua suami
isteri iblis itu!"
Wajah Sin-ni berobah pucat dan
membentaklah ia dengan kalap, “Apakah engkau benar-benar tak takut mati!"
Tiba-tiba ia mengangkat tangan
kanan hendak memukul.
Diam-diam Siau-liong menimang,
“Mati hidup sudah takdir! Jika aku memang harus mati ditangan rahib ini, mau
lari kemana lagi? Hm ....?"
Siau-liong telah mengambil
keputusan. Andaikata sekarang tidak, pun setahun lagi ia pasti akan mati juga.
Baginya tiada yang diharap lagi. Pikiran kacau, hatinya pun gundah. Maka tetap
tegaklah ia ditempat. Kedua tangan telah disiapkan dengan tenaga sakti
Bu-kek-sin-kang dan ia benar-benar hendak mengadu jiwa dengan Lam-hay Sin-ni.
Mata Lam-hay Sin-ni memang
tajam sekali. Cepat ia melihat bahwa kedua tangan Siau-liong menjadi merah
membara. Seketika tertawalah ia mengekeh.
“Heh, heh, dengan mengandalkan
ilmu liar itu, engkau hendak melawan aku?" serunya mengejek.
Ucapan itu diserempaki dengan
gerakan tangan kanannya yang sudah diangkat tadi. Seketika terdengar deru angin
yang tajam melanda kepala Siau-liong ....
Siau-liong memang sudah siap.
Ia sudah kerahkan seluruh tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Kedua tangan diangkat
kedada lalu pelahan-lahan disongsongkan kemuka.
“Bam ....” terdengar ledakan
keras. Tubuh Siau-liong bergoyang-goyang beberapa kali. Wajahnya tetap tak
berobah dan tetap tegak ditempatnya.
Dan ketika kedua pukulan itu
berbentur, berhamburanlah hawa panas kesekeliling. Sekalian orang yang hadir
merasakan hawa itu.
Ternyata ilmu sakti
Cek-ci-sin-kang itu berdasar pada hawa panas dalam tubuh. Sedang tenaga sakti
Bu-kek-sin-kang itu pun juga berdasar pada api dalam tubuh. Kedua tenaga sakti
itu sama-sama tergolong tenaga keras yang panas.
“Hai, Laknat tua, kepandaianmu
hebat juga!" seru Lam-hay Sin-ni tertawa.
Siau-liong pun tertawa hambar,
“Ah, Sin-ni keliwat memuji....”
Diam-diam Siau-liong heran.
Ketika berhadapan dengan Jong Leng lojin di penjara bawah tanah, ia tak mampu
berbuat apa-apa menghadapi tenaga sakti Jit-hua-sin-kang tokoh tua itu. Pun
dengan Randa gunung Bu-san yang memiliki tenaga sakti Ya-li-sin-kang. Walaupun
ia belum pernah bertempur, tetapi dari kesaktian anak perempuannya yang adu
tenaga dengan dia itu, jelas kalau ilmu Ya-li-sin-kang itu jauh lebih unggul
dari Bu-kek-sin-kang.
Adalah karena terpaksa, maka
ia nekad menghadapi serangan Lam-hay Sin-ni. Tadi dalam adu pukulan ia telah
menggunakan sepuluh bagian tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Sekalipun tak dapat
menghalau Lam-hay Sin-ni, tetapi ia juga tak menderita apa-apa.
Seketika timbullah nyalinya.
Tiba-tiba Lam-hay Sin-ni
tertawa mengekeh, “Pukulanku dengan dua bagian Cek-ci-sin-kang tadi dapat
membunuh tiga ekor harimau. Tetapi engkau mampu menerimanya, sungguh hebat
juga!"
Siau-liong terbeliak kaget.
Kiranya Sin-ni hanya menggunakan dua bagian dari ilmu sakti Cek-ci-sin-kang.
Ah, maka perbawanya tak begitu hebat.
Pada saat rasa ngerinya mulai
membayangkan bagaimana akibatnya apabila rahib itu memukul dengan tenaga penuh,
tiba-tiba terdengar Lam-hay Sin-ni membentak keras.
“Setan tua, nih cobalah terima
pukulan dari empat bagian Cek-ci-sin-kang ....!"
Anginpun menderu-deru dahsyat
sekali ....
33. Singa Ketemu Macan
Dalam keadaan seperti saat
itu, Siau-liong bagaikan seorang yang naik di punggung harimau. Terus naik
celaka, turunpun tentu dimakan.
Tetapi dari pada turun, lebih
baik ia lanjutkan naik terus. Siapa tahu nanti akan terjadi sesuatu yang diluar
dugaan.
Darah muda Sian-liong meluap.
Dan bulatlah sudah tekadnya. Lebih baik pecah sebagai ratna dari pada mati
bertekuk lutut .....
Tanpa banyak pikir lagi, ia
gerakkan kedua tangannya dengan jurus Thay-siang-bu-kek yang dilambari dengan
tenaga sakti Bu-kek-sin-kang!
“Bum....!”
Regukan angin yang panas
ditaburi pecahan batu dan pasir yang berhamburan ke sekeliling penjuru!
Tubuh Siau-liong bergoyang
gontai maju mundur beberapa kali. Tetapi masih tetap dapat tegak berdiri di
tempatnya.
Ternyata dia telah
mengkombinasikan ilmu pukulan Thay-siang-ciang dan tenaga sakti
Bu-kek-sin-kang. Oleh karena dia telah makan buah Im-yang-som dan minum darah
binyawak purba, maka tenaganya pun lebih unggul dari Pendekar Laknat yang asli.
Dengan demikian dapatlah ia bertahan dari pukulan Lam-hay Sin-ni.
Di antara sekalian tokoh yang
hadir, adalah To Kiu-kong ketua Kay-pang yang paling terkejut sendiri. Dia
benar-benar tak mengerti mengapa Pendekar Laknat dapat menggunakan pukulan
Thay-siang ciang. Pada hal ilmu pukulan itu adalah milik Pengemis Tengkorak
Song Tay-kun yang jelas menjadi musuh dari Pendekar Laknat!
Juga Ceng Hi totiang yang luas
pengalaman dan pengetahuannya segera dapat mengetahui keanehan pada diri
Pendekar Laknat Siau-liong itu. Tokoh tua dari Kun-lun-pay itu memandang
Siau-liong dengan saksama.
"Aneh!" juga Lam-hay
Sin-ni sendiri tertegun memandang Siau-liong seraya mengingau. Rahib itu juga
tak habis herannya.
Pada waktu ia gunakan dua
bagian dari tenaga sakti Cek-ci-sin-kang tadi, jelas diketahuinya bahwa
Pendekar Laknat Siau-liong itu sudah kepayahan.
Dan pada pukulan yang kedua
itu ia telah menambahkan empat bagian tenaga sakti Cek-ci-sin-kang. Hal itu
pasti akan menghancurkan Siau-liong. Kalau tak mati tentu terluka parah. Tetapi
mengapa orang itu masih tetap kuat bertahan seperti yang pertama tadi?
Siau-liong yang paling tahu
jelas keadaan dirinya. Adalah karena menggunakan ilmu pukulan Thay-siang-ciang
yang dikombinasi dengan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang maka ia mampu menerima
pukulan Lam-hay Sin-ni. Tetapi apabila rahib itu menambahi lagi tenaga
saktinya, ia pasti tak kuat!
Toh Hun-ki yang menyaksikan
adegan pertempuran maut itu, bingung tak karuan. Buruan ia gunakan ilmu
Menyusup suara kepada Ceng Hi totiang.
“Saat ini sudah jelas
bagaimana kekuatan kedua tokoh yang adu pukulan itu. Jelas kedua suami isteri
iblis hendak menggunakan tangan Lam-hay Sin-ni untuk membinasakan Pendekar
Laknat. Jika kita berpeluk tangan membiarkan Pendekar Laknat mati dipukul
Lam-hay Sin-ni, sungguh tidak bijaksana!"
Ceng Hi totiang menyahut
dengan ilmu Menyusup suara juga, “Lam-hay Sin-ni itu orang linglung tetapi
memiliki ilmu sakti Cek-ci-sin-kang. Harus dilawan dengan kepintaran tak boleh
dengan kekerasan. Aku telah menyanggupkan diri untuk menerima beban kewajiban
dari kawan-kawan persilatan. Saat ini kita menghadapi bermacam-macam bahaya.
Sekali tak waspada, besar bahayanya. Bukankah hal itu akan memberi keuntungan
pada kedua suami isteri iblis untuk menguasai dunia persilatan....”
Sejenak berhenti ketua
Kun-lun-pay itu melanjutkan pula, “Pendekar Laknat pada duapuluh tahun yang
lalu dengan sekarang, sungguh berbeda sekali. Begitu pula ucapannya sekarang
ini tiadalah sesombong dan seliar dahulu, tetapi penuh dengan nalar yang tepat.
Tetapi dia tetap berhati keras karena walaupun jelas tak bisa melawan Lam-hay
Sin-ni namun dia tetap berani menghadapinya. Apakah itu bukan berarti dia
mencari mati sendiri? Sekalipun aku ingin menolongnya tetapi tenagaku tak
mampu!"
Toh Hun-ki tahu jelas bahwa
tujuan dari Lam-hay Sin-ni itu adalah untuk memperoleh Giok-pwe dan bukan
hendak bermusuhan dengan partai-partai persilatan. Jika karena hendak membantu
Pendekar Laknat sampai menimbulkan kemarahan rahib itu, tentu celakalah
sekalian rombongan orang gagah.
Diam-diam ketua Kong-tong-pay
itu mengakui kebenaran ucapan Ceng Hi totiang. Ia makin gugup tetapi tak dapat
menemukan suatu akal.
Kebalikannya, Siau-long saat
itu malah makin tenang. Hatinya bulat, pikiran mantap. Menggunakan kesempatan
lawan sedang tertegun, diam-diam ia kerahkan lagi tenaga sakti Bu-kek-sin-kang,
siap menunggu serangan yang ketiga ....
Setelah beberapa saat
memandang Siau-liong dengan heran. tiba-tiba mata Sin-ni itu menyala lagi.
Tangan kanannya pelahan-lahan diangkat dan berserulah ia nyaring.
"Kali ini akan kugunakan delapan
bagian tenaga sakti Cek-ci-sin-kang untuk menghancurkan dirimu!"
Siau-liong diam saja. Hatinya
sudah bulat untuk mati. Sepasang tangannya segera bergerak menyongsong kemuka.
Tangan kanan gunakan jurus Ki-lok-po-ti dan tangan kiri dengan jurus Siu-lo-pan-cha.
Dua jurus dahsyat dari ilmu pukulan Thay-siang-ciang!
Gerakan tangan Lam-hay Sin-ni
itu tampaknya lebih pelahan dari yang tadi. Tetapi melihat wajahnya yang begitu
membesi, tahulah sekalian orang bahwa pukulan rahib itu dahsyatnya bukan alang kepalang.
Sedang kedua tangan Siau-liong
tadi bergerak dengan keras. Tetapi begitu berbentur dengan tenaga sakti
Cek-ci-sin-kang, sirnalah tenaga Bu-kek-sin-kang itu seperti tenggelam ke dalam
laut.
Lam-hay Sin-ni tertawa
mengekeh, bentaknya, “Tua bangka Laknat, serahkan jiwamu!"
Dan serempak dengan itu
tangannya pun bergerak cepat. Angin mendesis tajam, melanda ke arah kepala
Siau-liong.
Siau-liong terkejut tetapi tak
berdaya. Ia meramkan mata menunggu kematian ....
Tetapi pukulan maut Sin-ni itu
tak kunjung datang. Bahkan saat itu ia mendengar jeritan kaget dari sekalian
orang termasuk Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.
Buru-buru ia membuka mata.
Ketika memandang kemuka, dilihatnya wajah Lam-hay Sin-ni pucat seperti kertas
dan tubuhnya terhuyung-huyung mau jatuh. Jelas rahib itu telah menderita luka
....
Siau-liong cepat dapat
menyadari bahwa tentu ada seorang sakti yang menolong jiwanya. Buru-buru ia
berpaling. Ah, beberapa langkah disampingnya, tampak seorang wanita berpakaian
hitam tegak berdiri dengan tenang.
Randa gunung Bu-san!
Di belakang wanita itu tampak
si dara baju bijau yang pernah adu pukulan dengan dia (Siau-liong). Dara itu
memandangnya dengan mata penuh dendam kebencian ....
Juga tubuh janda dari Bu-san
itu agak gemetar, wajahnya pun pucat.
Kiranya pada saat pukulan maut
Lam-hay Sin-ni akan mencabut nyawa Siau-liong, tiba-tiba muncullah Randa Bu-san
yang segera ayunkan tangan menangkis pukulan Sin-ni.
Ya-li-sin-kang dari Randa
Bu-san yang semula keras itu tiba-tiba berubah menjadi lunak. Dan hapuslah
tenaga sakti Cek-ci-sin-kang dari Lam-hay Sin-ni. Adalah karena kedua wanita
itu berimbang kesaktiannya maka kedua-duanya pun menderita luka kecil.
Setelah mengetahui siapa
penolongnya, buru-buru Siau-liong memberi hormat, “Terima kasih atas
pertolonganmu, aku ......”
Randa Bu-san mendengus. Tanpa
menunggu orang selesai bicara, ia terus berpaling ke arah Lam-hay Sin-ni.
Siau-liong tersipu-sipu malu.
Untunglah saat itu perhatian orang tertumpah pada Randa Bu-san sehingga kekikukan
Siau-liong itu tak ada yang memperhatikan.
Menatap tajam kepada wanita
Bu-san, melengkinglah Lam-hay Sin-ni ”Mengapa engkau membantunya?"
"Hanya kebetulan jalan
disini dan melihat hal yang ganjil!" sahut Randa Bu-san dengan dingin.
Lam-hay Sin-ni membentak
tajam, “Apakah bukan karena hendak mencari pusaka....?"
Mata rahib itu berkeliaran
beberapa kali. Tiba-tiba ia kerahkan tenaga dalam lalu berteriak, “Hari ini
terpaksa aku harus adu jiwa dengan engkau!"
Randa Bu-san hanya tertawa
dingin. "Dalam adu jiwa, dua-dua tentu sama terluka, Ketahuilah,
Ya-li-sin-kang tidak dibawah Cek-ci-sin-kang!"
Sepasang tangan Lam-hay Sin-ni
yang sudah diangkat ke atas itu kembali diturunkan. Ia deliki mata kepada
wanita itu, “Baik dalam mencari Giok-pwe, engkau dan aku masing-masing mendapat
separoh. Besok pagi pada saat ini, akan kutunggumu disini. Kita tentukan siapa
yang berhak memiliki kitab Thian-kong-sin-kang itu!"
Randa Bu-san tertawa dingin,
“Tamak menginginkan barang yang bukan miliknya, menjadi penyebab kematian.
Rupanya engkau memang takkan lama hidup di dunia ini!"
“Siapa yang mati dan hidup,
besok pagi pada saat ini. baru diketahui!" sahut Lam-hay Sin-ni.
Randa Bu-san menghela napas,
“Apakah engkau tetap hendak ke dalam lembah?"
“Kalau aku tak pergi masakan
kubiarkan engkau yang pergi!" bentak Lam-hay Sin-ni.
Randa Bu-san gelengkan kepala
dan berkata dengan nada kecewa, “Silahkan pergi ....” - ia terus berputar tubuh
dan melangkah pergi.
Kesempatan itu cepat digunakan
Iblis Penakluk-dunia untuk melangkah kesamping Lam-hay Sin-ni dan membisiki
beberapa patah kata.
Wajah rahib itu berseri
girang. Dipandangnya Randa Bu-san, Siau-liong dan rombongan Ceng Hi totiang.
Tiba-tiba ia berputar tubuh terus ayunkan langkah diikuti oleh suami isteri
iblis dan rombongan anak buah Lembah Semi.
Siau-liong melangkah maju dan
berkata kepada Randa Bu-san, “Lam-hay Sin-ni seperti orang linglung ia pasti
celaka ditangan Iblis Penakluk-dunia. Mungkin nasibnya seperti Jong Leng lojin
....”
“Seretlah ia supaya jangan kesana!"
Randa Bu-san deliki mata.
Siau-liong tercengang.
Setelah deliki mata, Randa
Bu-san segera melangkah pergi sambil menggandeng puterinya. Tetapi dua langkah
kemudian. ia berhenti pula dan menghela napas, “Segala hal memang sudah suratan
takdir yang tak dapat dilawan ......!"
Ucapan itu bernada rawan dan
tanpa berpaling ke arah Siau-liong. Sesaat kemudian ia menghela napas lagi.
Sementara si dara baju hijau
tetap memandang Siau-liong dengan sinar mata penuh kebencian, seolah-olah
hendak menelannya.
Saat itu rembulan purnama.
Adalah karena kata-kata Randa Bu-san tentang takdir itu, perasaan Siau-liong
tersinggung. Beberapa tetes air mata menitik keluar .....
Tetapi ketika ia menyadari
pandang mata si dara baju hijau yang penuh dendam itu, ia tersentak kaget dan
buru-buru membungkukkan tubuh memberi hormat kepada Randa Bu-san,
“Atas pertolongan tadi, aku
merasa menyesal karena tak dapat membalas .....”
Ia tak dapat melanjutkan
kata-kata karena tersekat oleh rasa haru yang hampir menitikkan air mata.
Randa Bu-san hanya mendengus,
“Bermula aku hendak membunuhmu! Tak kira kalau menolongmu .... ah "
Nadanya juga penuh dengan
kedukaan.
Siau-liong teringat memang si
dara baju hijau itu begitu melihat dirinya sebagai Pendekar Laknat, terus menyerangnya
mati-matian. Dan ketika ia pingsan, lapat-lapat ia mendengar wanita itu
mengatakan hendak membunuhnya. Tetapi mengapa tadi wanita itu menolongnya?
Beberapa saat kemudian, Randa
Bu-san berpaling pelahan-lahan. Sepasang matanya berapi-api menatap wajah
Siau-liong yang berlinang-linang, serunya, “Apakah saat ini engkau juga
mempunyai perasaan menyesal?"
Siau-liong tak mengerti apa
maksud pertanyaan wanita itu. Pikirnya: “Aku tak kenal pada kalian ibu dan
anak. Tak pula terikat dendam permusuhan. Mengapa engkau berkata begitu?"
Tetapi segera ia menyadari
bahwa dirinya saat itu sedang dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat. Sudah
tentu Randa Bu-san itu tak tahu siapa dirinya yang asli.
Siau-liong terlongong-longong.
Peristiwa apakah yang terjadi dahulu antara Randa dengan Pendekar Laknat,
mempunyai hubungan bagaimana sehingga wanita itu membenci setengah mati. Tetapi
anehnya, dalam saat Pendekar Laknat Siau-liong dalam bahaya, wanita itu cepat
menolongnya!
Randa Bu-san itu menganggap
Siau-liong atau Pendekar Laknat telah menyesal. Dengan begitu kemungkinan
dahulu Pendekar Laknat asli itu tentu telah melakukan sesuatu yang menyalahi
ibu dan puterinya itu.
Siau-liong teringat. Bahwa
pada dinding batu tempat Pendekar Laknat dahulu, hanya terdapat tulisan yang
manyatakan supaya ia (Siau-liong) suka mewakili Pendekar Laknat datang ke
puncak Sin-li-hong untuk memenuhi sebuah janji. Begitupun pernyataan yang
diucapkan Randa Bu-san ketika Siau-liong pingsan dan dibawa oleh Mawar Putih ke
pondok kediaman wanita itu.
Rangkaian kejadian itu,
memberi kesimpulan kepada Siau-liong bahwa dahulu semasa hidupnya, Pendekar
Laknat asli itu tentu pernah mengikat dendam dengan Randa Bu-san. Tetapi ia tak
tahu, dendam pertikaian apa yang telah terjadi di antara mereka.
Menilik umurnya, Randa Bu-san
itu seorang wanita setengah tua. Sedang Pendekar Laknat paling tidak tentu
sudah berumur tujuhpuluh tahun. Dan menilik pula pada wajah Pendekar Laknat
yang begitu menyeramkan, tak mungkin dendam dengan Randa Bu-san itu mengenai
soal Asmara.
Tetapi kalau mengingat betapa
gemas sikap Randa Bu-san yang hendak membunuh Pendekar Laknat tetapi pun mau
menolongnya dan kerut wajahnya yang menampilkan kemesraan walaupun mulutnya
selalu mengucap kata-kata yang tajam dan membenci, kemungkinan pertikaian
antara kedua orang itu tentulah akibat dari hubungan asmara .....
Siau-liong teringat pula bahwa
selama hidupnya, Pendekar Laknat itu hanya seorang diri. Tiada sanak kadang,
tiada handai taulan. Ia malang melintang di dunia seorang diri. Tetapi mengapa
kini tahu-tahu terdapat seorang janda yang mempunyai dendam kesumat kepadanya?
Sampai beberapa lama, belum
juga Siau-liong dapat memecahkan teka teki itu. Akhirnya ia berkata kepada
Randa Bu-san,
“Dahulu....”
Randa Bu-san menghela napas
rawan, ujarnya, “Peristiwa yang lampau, ternyata engkau masih mempunyai muka
untuk mengatakan lagi, engkau .....”
Ia hentikan kata-katanya.
Sejenak keliarkan mata, ia melanjutkan pula, “Hal itu juga termasuk Karma.
Kalau tidak begitu, aku pun takkan menjadi pewaris dari ilmu sakti
Ya-li-sin-kang. Tetapi aku tetap tak dapat mengampuni Engkau hanya karena hal
itu ....”
Ketika Siau-liong menatap
kemuka, dilihatnya Wajah Randa Bu-san berlinang-linang air mata.
Sambil menepuk bahu puterinya,
wanita dari Bu-san itu berkata pula, “Andaikata aku dapat mengampunimu, anak
kita ini tentu tak mau melepaskan engkau!"
Siau-liong terkejut. Tetapi ia
tak mau banyak bicara karena kuatir akan ketahuan penyamarannya. Untung Randa
Bu-san pun tak menaruh kecurigaan kepadanya.
Kembali Randa Bu-san gentakkan
kakinya ke tanah, serunya: “Ingatlah, besok pertengahan musim Rontok tahun
muka, datanglah ke puncak Sin-li-hong untuk menerima kematian. Dalam waktu
setahun ini, engkau boleh mengatur pesanan-pesanan yang perlu engkau
tinggalkan!"
Siau-liong tertawa hambar dan
berkata seorang diri: “Benar, tak peduli bagaimanapun juga, aku toh takkan
hidup lebih dan waktu pertengahan musim rontok itu ....”
Randa Bu-san memandangnya
dengan heran. Ia hendak membuka mulut tetapi tak jadi. Menarik tangan
puterinya, tanpa berpaling ke belakang lagi, ia terus ayunkan langkah.
Siau-liong memandang
terlongong-longong akan bayangan kedua ibu dan anak itu lenyap dalam gerumbul
pohon.
Tiba-tiba ia teringat sebuah
hal yang penting. Ia harus menyelidiki jejak Mawar Putih. Maka ia hendak
menyusul Randa Bu-san. Tetapi baru kaki hendak diangkat, tiba-tiba terdengar
orang berteriak gugup, “Pendekar Laknat ......!"
Siau-liong terpaksa batalkan
langkahnya dan berpaling. Ternyata Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay sedang
berdiri sambil memberi hormat dengan tersenyum simpul.
“Apakah hendak menegur aku
mengapa tak mendatangi perjanjian?"
Toh Hun-ki terkesiap.
Buru-buru ia berkata, “Ah, bukan. Pendekar Laknat tentu mempunyai lain urusan
yang penting sehingga tak dapat hadir!"
Siau-liong menghela napas
rawan, “Memang aku mempunyai urusan penting. Tetapi aku bukan orang yang tak
pegang janji. Dalam penyerangan ke sarang suami isteri iblis nanti, aku akan
membantu sedikit tenaga!"
Sikapnya yang dingin kepada
ketua Kong-tong-pay itu disebabkan: Kesatu, ia harus membawa sikap seperti
Pendekar Laknat yang angkuh dan dingin. Agar jangan diketahui Toh Hun-ki, Ceng
Hi totiang dan lain-lain orang. Kedua, Toh Hun-ki itu adalah pembunuh ayahnya.
Kelak pada suatu saat ia harus membunuhnya. Ketiga, hatinya sedang resah
gelisah. Penuh dendam dan kemarahan. Maka nada ucapannya pun ketus dan angkuh
seperti Pendekar Laknat yang asli.
Tetapi betapa pun, dia
bukanlah Pendekar Laknat, melainkan Siau-liong yang menjunjung Keadilan dan
Kebenaran. Demi membalas budi Pendekar Laknat maka ia menyaru menjadi tokoh itu
tetapi dengan sepak terjang yang berlainan agar dapat mengembalikan nama
baiknya.
Terhadap Toh Hun-ki, musuh
yang telah membunuh ayahnya, diam-diam ia mempunyai kesan lain. Ia tertarik
akan pribadi ketua Kong-tong-pay yang tak gentar menghadapi ancaman dan
tekanan. Ketua itu tetap berani membela Kebenaran. Adakah dia sampai hati untuk
membunuh seorang tokoh yang begitu lurus pribadinya?
Dan pula Toh Hun-ki itu bersikap
mengindahkan dan melindungi Pendekar Laknat. Baik dengan ucapan mau pun dengan
tindakan yang nyata. Dan yang paling hebat, ketua Kong-tong-pay itu dengan
serta-merta telah rela menyerahkan sebagian Giok-pwe itu kepada Pendekar
Laknat!
Merenung kesemua itu,
timbullah rasa sesal dalam hati Siau-liong. Tertawalah ia dengan rawan,
“Separoh Giok-pwe yang engkau
berikan kepadaku tempo hari, memang benar-benar sudah kuhancurkan!"
Tetapi Toh Hun-ki tak
terkejut. Dengan tenang ia menyahut, “Begitupun juga baik! Jika kitab pusaka
itu jatuh ketangan orang baik, tentu merupakan suatu berkah bagi dunia
persilatan. Tetapi jika sampai ketangan manusia jahat, dunia persilatan tentu
celaka!"
Sejenak memandang ke arah Ceng
Hi totiang, To Kiu-kong dan beberapa orang, berkatalah Siau-liong kepada ketua
Kong-tong-pay itu, “Aku masih mempunyai lain urusan, untuk sementara terpaksa
akan pergi!" - habis berkata ia segera ayunkan langkah menyusul Randa
Bu-san dan puterinya tadi.
“Pendekar Laknat!"
tiba-tiba Toh Hun-ki berseru memanggil.
Siau-liong terpaksa berhenti,
bentaknya, “Mengapa?"
"Saat ini disekitar
gunung Tay-liang-san penuh dengan tokoh-tokoh dari partai-partai persilatan.
Dengan pergi begitu saja, kemungkinan Pendekar Laknat .... akan bersua dengan
beberapa hal yang tak leluasa ....” - kata Toh Hun-ki lalu menyerahkan sehelai
sutera kuning kepada Siau-liong, “sutera ini merupakan pertandaan bagi
kawan-kawan kita. Baiklah engkau membawanya agar jangan terjadi salah
paham."
Siau-liong menyambuti dan
menghaturkan terima kasih. Tetapi ketika ia hendak berjalan, tiba-tiba Ceng Hi
totiang, Ti Gong taysu dan beberapa orang menghampiri kemukanya.
Siau-liong kerutkan alis. Ia
terpaksa memberi hormat, serunya, “Saudara-saudara....”
Ti Gong taysu menyerukan
Omitohud lalu melangkah maju dan memberi hormat, “Aku hendak menghaturkan
terima kasih atas pertolongan saudara!"
Siau-liong tertawa, “Ah, hanya
soal kecil, usah taysu ingat lagi!"
Juga To Kiu-kong dan
Pengemis-tertawa Tio Tay-tong dan kedua pengemis pincang, maju menghampiri
kehadapan Siau -liong. Memberi hormat lalu mundur lagi tanpa berkata suatu apa.
Kiranya To Kiu-kong masih
meragu. Jelas ketika bertempur dengan Lam-hay Sin-ni tadi, Pendekar Laknat
telah gunakan pukulan Thay-siang-ciang.
Ceng Hi totiang memandang
beberapa saat kepada Siau-liong lalu berkata, “Bahwa Pendekar Laknat telah
kembali kejalan yang terang, sungguh merupakan suatu berkah bagi dunia
persilatan. Ijinkan kuwakili seluruh kaum persilatan untuk menghaturkan terima
kasih kepada saudara. Kali ini aku menyanggupkan diri turun gunung untuk
memimpin rombongan kawan-kawan, sesungguhnya aku merasa malu dalam hati karena
kepandaianku masih belum cukup ....”
Ia berhenti sejenak, menghela
napas lalu melanjutkan pula, “Pula suasana saat ini tak sama dengan duapuluh
tahun yang lalu. Adakah kami dapat menumpas gerakan kedua suami isteri iblis
itu atau tidak, masih belum dapat dipastikan!"
Siau-liong tahu bahwa pada
duapuluh tahun yang lalu imam tua itulah yang paling sering berhubungan dengan
Pendekar Laknat. Maka jika ia tak berhati-hati, tentulah mudah diketahui oleh
imam itu. Maka ia hanya mendehem pelahan dan tak menjawab.
Berkata pula Toh Hun-ki,
“Sekembalinya ke Siok-ciu, ternyata banyak tokoh-tokoh persilatan dari segala
penjuru berbondong-bondong datang. Mereka hendak menggabungkan diri pada
gerakan kami untuk menumpas suami isteri iblis itu. Dalam waktu sepuluh hari
saja, telah berkumpul ribuan tokoh-tokoh. Apalagi kami beruntung dapat
mengundang Ceng Hi totiang untuk memimpin gerakan itu. Saat ini Lembah Semi
telah dikurung ketat oleh rombongan orang gagah ....”
Berhenti sejenak memandang ke
arah sekalian orang, ketua Kong-tong-pay itu berkata pula,
"Hanya saja kalau kali
ini sampai menemui kegagalan akibatnya sukar dibayangkan bagi dunia persilatan!"
34. Terpojok Ke Gua Buntu
Siau-liong ikut prihatin,
ujarnya, "Lembah Semi mengandalkan kehebatan keadaan alamnya dan kehebatan
perlengkapan alat-alat rahasia, barisan pedang. Sekalipun rombongan orang gagah
itu terdiri dari jumlah yang besar, tetapi dikuatirkan ....”
"Akupun mencemaskan hal
itu, oleh karena itulah ....” Ceng Hi totiang hentikan kata-katanya.
Siau-liong tertegun. Tanyanya
sesaat kemudian, “Apakah totiang hendak menggunakan api untuk menggempur sarang
mereka ....”
Wajah Ceng Hi totiang berobah
seketika. Diam-diam ia terkejut. Katanya dengan nada berat,
“Benar, memang aku mempunyai
rencana begitu. Dengan mengandalkan jumlah orang yang begitu banyak kalau kita
gunakan api untuk membakar lembah ini, tentulah dapat membasmi kedua suami
isteri iblis ....”
Sejenak berhenti ia
melanjutkan pula, “Kumohon Pendekar Laknat jangan membocorkan rencanaku ini,
agar ....”
Siau-liong tertawa, “Harap
totiang jangan kuatir, aku tentu akan menyimpan rahasia itu!"
Tiba-tiba pikiran Siau-liong
melayang. Memang dengan cara penyerangan api itu, tentulah kemungkinan besar
rombongan Ceng Hi totiang akan berhasil membasmi Lembah Semi. Tetapi dengan
pembasmian itu, pemilik lembah ialah Poh Ceng-in tentu akan ikut binasa.
Bukankah ia telah diberi minum
racun Jong-tok oleh wanita itu. Dengan racun itu, apabila salah seorang mati,
yang lainpun akan mati juga. Maka jika Poh Ceng-in mati, iapun tentu akan ikut
mati!
Begitu pula dengan Jong Leng
lojin yang dipenjara dibawah tanah dengan kaki dirantai. Kalau Ceng Hi totiang
melakukan serangan pembakaran itu, bukankah Jong Leng lojin akan mati terbakar
hidup-hidup?
Sesaat Siau-liong tertegun
gelisah.
Melihat itu, agak curiga juga
Ceng Hi totiang, segera ia batuk-batuk lalu menegurnya “Apakah saudara tak
setuju dengan rencana seranganku itu?"
Siau-liong terkejut dan
buru-buru berseru, “Tidak, tidak! rencana totiang itu memang yang paling
sempurna, tentu akan berhasil .... ia menghela napas pelahan, "bilakah
totiang hendak melaksanakannya?"
Setengah meragu, menyahutlah
Ceng Hi totiang: “Telah kuberi waktu kepada Iblis Penakluk-dunia agar
membebaskan It Hang totiang dan rombongan sampai besok pagi. Apabila dia tak
melaksanakan permintaanku itu, segera akan kulakukan serangan itu!"
Memandang kelangit, Siau-liong
memperkirakan saat itu sudah menjelang magrib .... Jadi tinggal lebih kurang
dua jam dari batas waktu yang diberikan Ceng Hi totiang kepada Iblis
Penakluk-dunia.
Berkata Ceng Hi totiang pula,
“Dalam waktu satu hari untuk menghancurkan anak buah dan semua alat perangkap
dalam lembah. Tiga hari untuk meratakan seluruh isi lembah. Dalam waktu empat
hari itu tentulah dapat diketahui berhasil tidaknya rencanaku itu!"
Sejenak merenung, Siau-liong
lalu mengambil resep obat dari bajunya, diberikan kepada To Kiu-kong, katanya,
“Aku hendak minta tolong supaya suka menyuruh anak buah saudara ke Siok-ciu
membelikan resep ini!"
Buru-buru To kiu-kong
menyambut, tanyanya “Bilakah Pendekar Laknat hendak memerlukan obat ini?"
Diam-diam ketua Kay-pang itu
heran mengapa Pendekar Laknat tak minta tolong pada Ceng Hi totiang melainkan
kepadanya.
"Secepat mungkin, paling
lambat jangan sampai besok malam," sahut Siau-liong.
To Kiu-kong mengiakan dan
menyatakan besok sebelum tengah hari tentu obat itu sudah datang.
Kemudian Siau-liong menyatakan
kepada Ceng Hi totiang dan Toh Hun-ki bahwa ia masih ada lain urusan penting.
Tetapi besok sebelum tengah hari ia pasti akan kembali kesitu lagi.
Demikianlah Siau-liong segera
melangkah pergi. Ia lari secepat-cepat mengejar Randa Bu-san dan puterinya
tadi.
Cepat sekali ia sudah
melintasi hutan dan tiba dimulut jalan keluar. Tetapi karena cukup lama tadi ia
bercakap-cakap dengan Ceng Hi totiang dan Toh Hun-ki, maka ia tak berhasil
menemukan jejak ibu dan anak itu.
Siau-liong bingung dan gelisah
sekali. Ia harus menemukan Randa Bu-san untuk meminta keterangan tentang diri
Mawar Putih. Dan setelah itu ia harus kembali menggabungkan diri dengan
rombongan Ceng Hi totiang untuk melakukan serangan pada Lembah Semi.
Untuk menggempur Lembah Semi,
bukanlah sukar. Tetapi yang menyulitkan dirinya ialah ia harus secara diam-diam
melindungi keselamatan Poh Ceng-in. Karena jika pemilik lembah itu sampai mati,
ia sendiri pun tentu ikut mati juga!
Dalam pada itu ia sudah keluar
dari mulut tikungan gunung. Tampak beberapa puluh sosok bayangan sedang
bersembunyi ditempat gelap. Tergeraklah hatinya, ia kembali balik tak jadi
melanjutkan perjalanan lagi.
Pikirnya: Kedua ibu dan anak
itu tentu tak mengambil jalan besar karena tak mempunyai tanda jalan. Tentu
mereka tak mau bentrok dengan tokoh-tokoh persilatan yang sedang siap mengepung
lembah itu.
Siau-liong gunakan gerak Naga
melingkar-18 kali. Ia melambung dan berjumpalitan beberapa kali di udara.
Dengan gunakan ilmu itu dapatlah dalam waktu singkat ia mencapai sebuah puncak.
Dari atas puncak itu ia dapat memandang lepas keseluruh penjuru.
Kiranya jalanan yang
dilaluinya tadi terletak disamping kanan mulut lembah. Pada ujung jalanan itu
penuh dijaga ketat oleh tokoh-tokoh persilatan.
Siau-liong menduga kedua ibu
dan anak itu tentu sudah pulang ke pondoknya. Asal ia kesana, tentu dapat
menjumpai mereka.
Setelah menentukan arah, ia
turun dan lari menyusur tepi lembah, menuju kepondok Randa Bu-san.
Disepanjang jalan ia harus
berjalan hati-hati agar jangan sampai kepergok dengan patroli rombongan orang
gagah. Dan disamping, iapun harus cermat menentukan arah agar jangan sampai
tersesat.
Seluruh semangat dan perhatian
ditumpahkan dalam gerak Naga-melingkar-18 kali untuk berloncatan melintasi
hutan dan mendaki puncak.
Seperti telah diterangkan,
Lembah Semi itu dikelilingi oleh puncak gunung yang curam dan landai sehingga
merupakan sebuah tempat yang amat strategis sekali.
Sewaktu Siau-liong mencapai
satu li, rembulan makin terang benderang sehingga ia dapat melihat bebas
keempat penjuru.
Ia kendorkan langkah lalu
berhenti. Dilihatnya dari barisan pohon bunga Lembah Semi itu jaraknya teraling
sebuah puncak. Asal ia berputar arah mengambil jalan dari belakang lembah,
tentulah ia dapat mencapai tempat kediaman wanita janda itu.
Tetapi ia mendapat kesukaran.
Karena seluas berpuluh tombak, tempat itu dijaga ketat oleh rombongan orang
gagah. Sekalipun membawa Tanda pengenal pemberian Toh Hun-ki, tetapi ia tak mau
menggunakannya. Ia tetap hendak mecari akal untuk menghindari kelompok orang
gagah itu.
Tengah ia termenung mencari
pikiran, tiba-tiba dari arah belakang terdengar desir lambaian pakaian orang
mendesis.
Semula ia kira tentulah
rombongan orang gagah yang dipimpin Ceng Hi totiang. Tetapi telinganya yang
tajam segera mengetahui bahwa orang itu pelahan-lahan menghampiri ke tempatnya.
Sekalipun suara itu pelahan
sekali namun telinganya yang tajam dapat menangkap bahwa orang itu tengah
pelahan-lahan menghampiri ketempatnya.
Semula ia kira tentu salah seorang
anggauta rombongan Ceng Hi totiang maka ia tak begitu menaruh perhatian. Tetapi
pada lain saat ia cepat menyadari sesuatu yang tak wajar.
Ia teringat bahwa Ceng Hi
totiang sudah mengeluarkan perintah bahwa anggauta rombongannya tak boleh
gegabah bertindak sendiri. Kecuali memang ada orang yang hendak menerjang
kepungan itu barulah mereka dapat bertindak.
Siau-liong jelas mengetahui
bahwa pendatang itu mengandung maksud hendak menyerangnya secara gelap.
Siau-liong pasang jebakan. Sengaja ia pura-pura tak tahu dan berjalan pelahan.
tetapi diam-diam ia sudah siapkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.
Tetapi dugaannya itu ternyata
tak benar. Pendatang itu bukan bermaksud menyerangnya. Dia berhenti di belakang
Siau-liong lalu membentak garang “Tua bangka Laknat!”
Siau-liong terkejut. Cepat ia
berputar. Ah! ternyata yang muncul itu adalah suami isteri Iblis Penakluk-dunia
dan Dewi Neraka.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
mengekeh, “Laknat tua, sekarang rasanya tiada si janda Bu-san yang akan
menolongmu lagi?"
Siau-liong tak gentar kepada
suami isteri iblis itu tetapi hanya terhadap Lam-hay Sin-ni ia agak takut. Dan
lagi saat itu ia memang tak mempunyai selera untuk bertempur dengan suami
isteri iblis itu. Maka sejenak memandang mereka, ia terus hendak melangkah
pergi.
Tetapi baru kaki hendak
dilangkahkan, dari belakang terdengar orang tertawa, “Ho, engkau tak mungkin
lolos lagi!"
Ternyata entah kapan dan
bagaimana caranya, tahu-tahu Lam-hay Sin-ni sudah berdiri dibelakangnya.
Siau-liong paksakan tertawa
dan hentikan langkahnya.
Melangkah kehadapan
Siau-liong, rahib itu ulurkan tangan, “Berikan kepadaku! Jika engkau sudah
serahkan Giok-pwe itu kepadaku, kujamin jiwamu pasti selamat!"'
Siau-liong kerutkan alis lalu
tertawa dingin, “Dengan meminta secara paksa itu apakah Sin-ni tak takut
kehilangan nama harum? Apakah tak kuatir Sin-ni akan ditertawai dunia
persilatan?"
Lam-hay Sin-ni membentak
bengis, “Siapakah tokoh persilatan yang berani menertawakan aku?"
“Sekalipun tak berani
terang-terangan, tetapi diam-diam mereka tentu menghina Sin-ni!" sahut
Siau-liong dengan tertawa hina. Dimana ia mengatur rencana untuk melolos diri
dari tekanan rahib itu.
Tetapi Iblis Penakluk-dunia
yang licin segera dapat mencium siasat Siau-liong. Buru-buru ia maju selangkah
dan berkata kepada Lam-hay Sin-ni.
"Si tua Laknat itu banyak
akal muslihatnya. Dia licin seperti belut. Harap Sin-ni jangan kena diselomoti.
Biar dia bicara apa saja, yang penting ringkus dulu agar kita dapat merampas
Giok-pwenya!"
“Benar!" Lam-hay Sin-ni
tertawa.
Tiba-tiba ia ayunkan tangan
kanannya dalam jurus Bunuh-naga-memotong-cenderawasih. Kelima jarinya
mengeluarkan bunyi mendesis-desis tajam, mencengkeram dada Siau-liong. Jurus
itu dahsyatnya bukan main, cepatnya bukan kepalang.
Siau-liong terkejut. Buru-buru
ia menyurut mundur seraya berseru, “Tunggu dulu....!"
Lam-hay Sin-ni hentikan
serangannya dan berseru, “Lebih baik engkau serahkan sajalah!"
Siau-liong sengaja menghela
napas dengan sikap kecewa, katanya, “Baiklah!"
Ia merogoh baju dan mengeluarkan
sebuah bungkus kecil dari kain sutera.
Melihat itu girang Lam-hay
Sin-ni bukan kepalang. Segera ia ulurkan tangan hendak menyambuti. Tetapi
Siau-liong cepat menyurut mundur.
“Jika engkau berani maju
selangkah lagi, Giok-pwe ini tentu akan kuremas hancur!"
Lam-hay Sin-ni tertegun. Dia
tak berani maju lagi. Demikianpun kedua suami isteri iblis itu. Mereka percaya,
seorang momok seperti Pendekar Laknat tentu akan melakukan ancamannya itu kalau
keliwat didesak.
Lam-hay Sin-ni bingung dan
beberapa kali lambaikan tangannya, “Jangan dihancurkan, jangan dihancurkan,
mari kita berunding dengan baik!"
Siau-liong tertawa dingin,
“Tak ada yang perlu dirundingkan lagi. Kecuali ...... engkau mau meluluskan dua
buah syaratku!"
"Katakanlah!"
buru-buru Lam-hay Sin-ni berseru.
Sejenak merenung, berkatalah
Siau-liong, “Pertama, Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka harus tinggal
disini. Kedua, harap Sin-ni suka mengantar aku keluar dari sini satu li
jauhnya. Giok-pwe segera akan kuhaturkan kepada Sin-ni."
“Boleh, boleh, aku
setuju!" seru Lam-hay Sin-ni lalu berpaling membentak suami isteri iblis,
“Kalian harus tinggal disini, jangan mengikuti aku!"
Iblis Penakluk-dunia agak
bersangsi, tetapi, terpaksa ia mengiakan juga, “Baik harap Sin-ni hati-hati
saja."
Demikian Siau-liong dan
Lam-hay Sin-ni segera tinggalkan tempat itu. Kiranya dalam saat itu Siau-liong
memang tak punya akal untuk meloloskan diri. Terpaksa ia memutuskan,
menghindari dulu kedua suami isteri iblis itu, baru nanti pelahan-lahan cari
daya untuk menghadapi tekanan Lam-hay Sin-ni yang tolol.
Sesungguhnya sudah bulat dalam
hatinya. Andaikata Giok-pwe itu belum dihancurkannya, iapun tetap tak mau
menyerahkan kepada Sin-ni. Sekalipun karena menolak itu ia harus kehilangan
jiwanya. Karena ia tahu jelas akan tipu muslihat Iblis Penakluk-dunia yang
lihay.
Menyerahkan Giok-pwe itu
kepada Lam-hay Sin-ni berarti menyerahkan kepada suami isteri iblis itu. Dan
sekali kedua suami isteri itu mendapatkan Giok-pwe yang lengkap dan berhasil
memperoleh kitab pusaka Thian-kong-sin-kang, maka hancurlah seluruh dunia
persilatan!
Tetapi iapun tahu bahwa si
tolol Lam-hay Sin-ni itu tentu berkeras hendak meminta separoh Giok-pwe. Jika
tahu kalau ditipu, rahib itu tentu akan membunuhnya.
Sambil berjalan pelahan-lahan,
pikiran Siau-liong bekerja keras untuk mencari akal.
Sekonyong-konyong tak berapa
jauh disebelah muka, tampak berkelebat sesosok bayangan dari pada lain saat itu
orang itu berseru menegurnya: "Siau.... Laknat tua!"
Siau-liong terkejut. Ternyata
yang muncul itu adalah si dara Mawar Putih menyaru sebagai Wanita-ular Ki Ih.
Pada lain saat Mawar Putih pun lari menghampiri.
"Siapa orang itu!"
tanya Lam-hay Sin-ni.
Belum ditanya, diam-diam
Siau-Liong sudah menimang dalam hati. Dengan kedatangan Mawar Putih itu,
berarti akan tambah sebuah jiwa yang akan mati ditangan Lam-hay Sin-ni. Ia
gelisah sekali. Tetapi ia tak punya banyak waktu untuk berpikir lagi. Akhirnya
ia nekad.
Pada saat perhatian Lam-hay
Sin-ni sedang tertuju pada Mawar Pulih, cepat ia kerahkan seluruh tenaga dalam
lalu dengan sekuat-kuatnya ia mendorong lambung rahib itu!
Setitikpun Lam-hay Sin-ni tak
menduga kalau ia bakal diserang. Karena tak bersiap, ia terpental dan
terhuyung-huyung sampai delapan langkah jauhnya.
Sedangkan Siau-liong, habis
mendorong terus loncat menyongsong Mawar Putih seraya berseru gugup, “Lekas
lari!"
Mawar Putih tak sempat
bertanya apa-apa. Ia terpaksa mengikuti Siau-liong melarikan diri.
“Hai, masakan engkau mampu
melarikan diri?" teriak Lam-hay Sin-ni seraya mengejar.
Siau-liong dan Mawar Putih
lari sekencang angin tetapi ilmu lari cepat dari rahib itu jauh lebih sempurna.
Baru Siau-liong dan Mawar Putih lari dua tombak, rahib itu sudah melayang di
atas kepala mereka dan meluncur menghadang disebelah muka.
Lam-hay Sin-ni marah sekali
sehingga wajahnya pucat. "Lekas serahkan Giok-pwe itu atau
kuhancur-leburkan kalian!"
Mawar Putih tak kenal Lam-hay
Sin-ni dan tak tahu kalau Sin-ni itu memiliki ilmu sakti Cek-ci-sin-kang.
Tetapi ia benar-benar ketakutan dan tak dapat membuka mulut melihat wajah dan
sinar mata Lam-hay Sin-ni yang begitu bengis dan seram.
Siau-liong mengeluarkan lagi
bungkusan kain kuning dan berseru, “Sebelum engkau turun tangan, ini tentu
kuhancurkan dulu!" ia menarik Mawar Putih, berputar diri dan lari lagi.
Ancaman Siau-liong itu
berhasil Lam-hay Sin-ni tak berani turun tangan. Ia hanya mengikuti kedua orang
itu saja. Sekalipun begitu, sudah cukup membuat Siau-liong kelabakan setengah
mati.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka pun ikut menyusul. Tetapi mereka pun kuatir kalau Siau-liong sampai
menghancurkan Giok-pwe itu. Maka mereka hanya mengikuti dari kejauhan di
belakang Lam-hay Sin-ni saja.
Siau-liong hanya lari asal
lari saja. Ia tak sempat lagi untuk memeriksa tempat yang ditujunya. Ia tak
tahu lagi dimana saat itu ia berada.
Tiba-tiba dilihatnya disebelah
depan tampak sebuah puncak gunung. Dikaki gunung itu terdapat sebuah lorong
jalan yang memanjang ke dalam.
Tanpa banyak berpikir lagi,
Siau-liong terus menarik Mawar Putih masuk kejalan itu.
Lam-hay Sin-ni menggembor lalu
hendak mengejar. Tetapi dicegah Iblis Penakluk-dunia, “Biarkan mereka kesana,
Sin-ni tak usah mengejar!"
Rahib itu hentikan langkah dan
bertanya, “Apa? Tidak mengejar? Apakah membiarkan Giok-pwe itu hilang?"
Iblis Penakluk-dunia buru-buru
memberi keterangan, “Jalanan itu akan tiba disebuah gua yang tak sampai dua
tombak dalamnya dan hanya dua meter tingginya. Bukan saja sebuah jalan buntu
pun di dalam situ terdapat beratus ekor ular beracun. Merupakan salah satu dari
sepuluh buah gua yang memang kujadikan tempat memelihara ular ....”
Ia tersenyum, katanya pula,
“Andaikata mereka tidak digigit ular, pun mereka pasti akan pingsan karena
ketahan hawa yang luar biasa anyirnya!"
Habis berkata ia bersama
isterinya lalu duduk di tepi sebuah gua. Setelah merenung sejenak, Lam-hay
Sin-ni pun mengiakan. Ia ikut duduk disitu menunggu keluarnya Siau-liong dan
Mawar Putih.
Oleh karena kedua suami isteri
iblis duduk dikedua samping mulut gua sedang Lam-hay Sin-ni ditengah. Maka gua
itu praktis telah dijaga ketat oleh mereka bertiga.
Semula Siau-liong mengira
kalau terowongan itu akan tembus kesamping gunung sebelah sana. Maka dalam
keadaan gugup, ia tak banyak berpikir lagi terus menyelundup masuk. Adalah
setelah masuk ke dalam barulah ia menyadari kalau terowongan itu buntu.
Dan iapun mendengar juga
pembicaraan Iblis Penakluk-dunia dengan Lam-hay Sin-ni. Dan setelah memeriksa
keadaan terowongan, memang apa yang dikatakan iblis itu benar.
Bukan saja dalamnya hanya
kira-kira dua tombak pun hawanya lembab dan anyir. Untunglah tidak seseram yang
dikatakan Iblis Penakluk. Dan lagi juga tak terdapat kawanan ular berbisa.
Siau-liong menghela napas,
ujarnya, “Mengapa engkau seorang diri datang kemari?"
“Mencarimu!" kata Mawar
Putih, “tahukah engkau, ketika engkau lenyap dalam keadaan terluka parah itu,
betapa aku merasa .... ah, syukurlah, engkau tak kurang suatu. Malam itu ....”
Siau-liong menunjuk keluar
gua, tukasnya: "Saat ini kita seperti ikan dalam jaring. Kedatangan nona
kemari ini hanya berarti tambah mengorban sebuah jiwa saja .... Hanya kasihan
ibuku yang sedang mengidap sakit diluar lautan itu. Bukan saja tak dapat
mengharapkan kedatangan puteranya, pun mungkin seumur hidup takkan dapat
berjumpa lagi!"
Rasa haru akan ibunya,
menyebabkan mata Siau-liong berlinang-linang ......
Mawar Putihpun ikut terharu
dan menangis tertedu-sedu. Sampai lama baru ia berhenti menangis lalu mendekati
Siau-liong, katanya, “Ada sebuah hal yang harus kuberitahukan kepadamu .... Ah,
aku sungguh menyesal sekali ....”
Ia menghela napas panjang lalu
melanjutkan, “Sudah kupertimbangkan, untuk sementara waktu ini baik dapat atau
tidak menuntut balas, kita harus segera menuju ke seberang laut mencari guruku.
Mungkin begitu melihat engkau, beliau tentu sembuh penyakitnya!"
Siau-liong hanya diam saja
karena tak tahu bagaimana harus bicara. Ia menyadari keadaan saat itu bagaikan
telur diujung tanduk. Sukar bagi kedua pemuda itu untuk lolos dari genggaman
Lam-hay Sin-ni.
Kembali Mawar Putih menghela napas
lagi, katanya, “Tempo hari memang akulah yang jahat. Kalau aku tak menekan
engkau supaya membunuh Toh Hun-ki dan keempat Su-lo, tentulah saat ini kita
sudah berada disisi suhu!"
Mawar Putih menyudahi
kata-katanya dengan menangis beriba-iba lagi. Hati Siau-liong seperti disayat
sembilu ....
Tiba-tiba terdengar suara
Iblis Penakluk-dunia berkata, “Lekas keluar! Asal engkau mau menyerahkan
Giok-pwe itu kepada Sin-ni kujamin keselamatanmu untuk meninggalkan Lembah
ini!"
Lam-hay Sin-ni pun ikut
berteriak, “Kalau kalian tak mau keluar, tentu akan kuhancurkan gua ini agar
kalian mati terkubur hidup-hidup!"
Geram sekali Siau-liong
mendengar ancaman itu. Ia menghantam dinding, tetapi hantaman itu hanya
merupakan penumpahan dari kemarahannya saja dan sama sekali tidak disaluri
tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.
“Bung ......!!!” terdengar
kumandang yang dahsyat.
Siau-liong mengulang lagi
dengan beberapa pukulan seraya membisiki Mawar Putih,
“Dengarkanlah!”
“Benar dinding gua ini seperti
kosong!" sahut Mawar Putih riang.
Siau-liong juga terkejut
girang Kalau dinding gua itu kosong tentulah berisi suatu alat perangkap atau
sebuah terowongan rahasia. Dia tak takut terperangkap dalam perkakas rahasia
karena dengan memiliki peta pemberian Jong Leng lojin, ia tentu dapat keluar
dari lembah.
Memang dinding gua disitu
terbuat daripada campuran pasir dan pecahan batu. Begitu di hantam, dinding itu
berguguran rontok. Siau-liong tak mau membuang waktu. Tak berapa lama ia
berhasil membuat sebuah lubang sedalam setengah meter.
35. Siapa .... Ahliwaris
Thian-Kong
Terdengar bunyi menggemuruh
dan terbukalah sebuah lubang gua lagi. Setelah membersihkan lubang pintu itu.
ia melongok kesebelah dalam. Ah, ternyata gua disamping itu merupakan sebuah
terowongan yang terbuat dari pada batu marmar putih, Siau-liong cepat menarik
Mawar putih diajak masuk.
Ternyata ia berada dalam
sebuah terowongan, dinding batu marmar putih dan terang benderang, Siau-liong
cepat mengeluarkan peta lalu memeriksa dengan teliti.
Tetapi sampai sekian lama,
masih juga ia belum mengerti Menilik bentuk dan letak terowongan tentu
merupakan sebuah tempat yang amat penting. Tetapi anehnya dalam peta tak
terdapat tanda-tanda tentang tempat itu.
Terpaksa ia simpan lagi peta
itu lalu pelahan-lahan mulai menyelidiki. Terowongan itu condong turun ke
bawah. Kira-kira tiga tombak jauhnya baru tiba diujung terakhir yang ternyata
merupakan sebuah pintu.
Sampai beberapa lama
Siau-liong berdiri dimuka pintu batu itu. Setelah berpaling kepada Mawar Putih
yang berada dibelakangnya, tiba-tiba ia mendorong pintu itu. Pintu terbuka
seketika.
Dan legalah perasaan
Siau-liong karena ternyata dibalik pintu itu tiada terdapat suatu perkakas
rahasia. Ia segera melangkah masuk.
Apa yang disaksikan dalam
ruang itu benar-benar membuatnya terkejut sekali. Pada empat sudut ruang
terdapat sebutir mutiara sebesar telur itik sehingga ruang terang benderang.
Ruangpun lengkap dengan meja
kursi. Dibawah kaki dinding sebelah kanan, tertumpuk tiga buah peti besi yang
besar. Sedang ditengah meja, terdapat sebuah kotak kecil yang terbuat dari pada
baja. Besarnya hanya setengah meter.
Ketika Siau-liong dan Mawar
Putih maju menghampiri kemeja, mata kedua pemuda itu terbeliak seketika.
Pada tutup kotak baja itu
tertulis delapan huruf besar dengan tinta emas:
KITAB PUSAKA THIAN KONG SIN
KANG.
Siau-liong tertegun. Ia saling
tukar pandang mata dengan Mawar Putih tanpa dapat berkata apa-apa.
Tulisan emas pada tutup kotak
itu makin berkilauan gemilang tertimpa cahaya mutiara dari empat jurusan.
Kini sadarlah Siau-liong bahwa
saat itu ia benar-benar berada dalam ruang penyimpan harta pusaka peninggalan
Tio Sam-hong, cikal bakal pendiri partai Bu-tong-pay!
“Apakah kita sedang bermimpi
....?" Mawar Putih mengingau tersendat-sendat. Sikapnya amat tegang
sekali. Wajahnya menampil rasa kejut-kejut girang.
Siau-liong pun merasa seperti
dalam impian sahutnya tersedu, “Mungkin tidak ......!"
◄
Y ►
Siau-liong tercengkam dalam
keraguan. Bermula ia anggap kitab pusaka Thian-kong-sin-kang itu hanyalah suatu
khajalan belaka. Ia memang tak percaya.
Tetapi apa yang dilihat saat
itu, benar-benar diluar dugaannya. Ketiga peti besar yang berisi permata ratna
mutu-manikam yang tak ternilai harganya. Keempat butir mutiara sebesar telur
itik yang gilang gemilang dan kotak berisi kitab pusaka ilmu sakti
Thian-kong-sin-kang. Kesemuanya saat itu terbentang dihadapannya.
Siau-liong benar-benar seperti
bermimpi.
Entah berapa ribu jago-jago
persilatan yang membuang waktu dan tenaga berjerih payah mencari harta pusaka
itu tanpa berhasil. Tetapi tanpa sengaja, ia karena ketakutan dikejar Lam-hay
Sin-ni, malah tersesat masuk ke dalam tempat harta pusaka itu.
Adakah itu memang sudah
takdir?
Ruang itu tampaknya tiada
diberi lubang hawa sedikit pun juga. Tetapi anehnya, Siau-liong dan Mawar Putih
tak merasa pengap. Dan karena terowongan terbuat daripada batu marmar putih,
walaupun sudah ratusan tahun tetap bersih seperti baru. Dengah begitu peti
kitab itu sedikitpun tiada karatan.
Dengan gemetar, Siau-liong
membuka peti kitab itu. Dalam pada itu otaknya tetap bekerja. Timbul pertanyaan
dalam hatinya.
Ruang penyimpan harta pusaka
hanya terpisah sebuah dinding dari campuran batu, dengan gua. Tetapi mengapa
sampai sekian ratus tahun, tiada seorangpun yang mampu menemukan tempat itu?
Tiba-tiba Siau-liong teringat.
Tadi sewaktu masih berada dalam gua, ia dengar Iblis Penakluk-dunia mengatakan
kepada Lam-hay Sin-ni bahwa gua itu penuh dengan kawanan ular berbisa.
Aneh, mengapa sampai saat itu
ia tak melihat barang seekor ular pun juga?
Pikirannya melayang lebih
lanjut .....
Sebagai seorang tokoh luar
biasa pada jamannya, sudah tentu Tio Sam-hong membangun tempat penyimpan harta
pusakanya sedemikian rupa pelik dan amannya. Kalau tidak, masakan. sampai
beratus ratus tahun orang tak mampu menemukannya.
Ketika peti dibuka, hatinya
mendebur tegang sekali. Di dalam peti itu terdapat sebuah kitab bersampul
sutera kuning. Isinya tipis, hanya beberapa lembar. Pada sampul kitab tertulis
empat huruf,
'Thian Kong Sin Kang'.
Siau-liong membuka lembaran
pertama dan membaca bersama Mawar Putih:
Kitab pusaka ilmu sakti,
Tersimpan beribu tahun.
Dua orang masuk ke ruang,
Hanya seorang yang berjodoh.
Sejak ini dan kemudian hari,
Hanya seorang pewaris tunggal.
Basmi Kejahatan dan Kelaliman
Jangan congkak jangan serakah.
Dibawahnya terdapat sebaris
tulisan huruf-huruf kecil berbunyi:
Yang melanggar pasti dikutuk
'Sin-beng' (malaikat sakti).
Siau-liong kucurkan keringat
dingin. Karena ia terkejut dan ngeri. Adakah Tio Sam-hong itu dahulu seorang
yang pandai meramal sehingga kejadian yang belum berlangsung ratusan tahun ia
dapat mengetahui? Kalau tidak, mengapa ia dapat menulis secara begitu gamblang?
Menilik kenyataan itu,
tindakan Tio Sam-hong untuk membagi peta Giok-pwe menjadi dua bagian, maksudnya
adalah untuk menyulitkan orang agar kitab pusaka itu tak mudah diketemukan
orang!
Lebih jauh ia merenungkan
tentang kata-kata yang berbunyi 'jika dua orang masuk, hanya seorang yang
berjodoh'.... Ia meneliti dirinya.
Bermula ia mendapat pelajaran
dari Tabib-sakti Kongsun Sin-tho. Lalu bertemu dengan Pendekar Laknat, Pengemis
Tengkorak sakti. Walaupun tidak langsung, tetapi kedua tokoh itu juga mempunyai
hubungan sebagai guru dan murid dengannya. Karena dari kedua tokoh itulah maka
ia dapat memiliki ilmu tenaga sakti Bu-kek-sin-kang dan ilmu pukulan sakti
Thay-siang-ciang.
Agaknya Tio Sam-hong memang
mempuyai perhitungan yang jitu. Jelas tokoh Bu-tong-pay itu tak menghendaki ia
(Siau-liong) menjadi pewaris ilmu sakti Thian-kong-sin-kang. Dan pula, ia toh
hanya tinggal satu tahun umurnya karena minum racun Jong-tok dari Poh Ceng-in.
Masakan Tio Sam-hong akan memilih seorang yang sependek itu umurnya?
Kalau begitu yang tepat
menjadi pewaris Thian-kong-sin-kang itu hanyalah Mawar Putih!
Dengan kesimpulan itu cepat ia
serahkan kitab pusaka kepada si dara, “Nona, kitab pusaka ini seharusnya engkau
yang memiliki!"
Mawar Putih menyurut mundur
selangkah seraya goyang-goyangkan tangannya: “Tidak! Tidak! Aku tak dapat ....”
Dara itu gugup dan tegang, serunya
“Kutahu rejekiku tipis dan lagi aku tak sanggup memikul beban seberat
itu!"
Dengan wajah serius berkatalah
Siau-liong, “Dalam lembar pertama dari kitab itu jelas dicantumkan. Hanya
seorang yang mempunyai jodoh. Rasanya yang berjodoh itu hanyalah nona!"
Tiba-tiba Mawar Putih
menghambur tawa, “Bagaimana engkau tahu?"
Siau-liong menghela napas,
“Aku sudah terlanjur mempelajari ilmu aliran Hitam, mungkin tak sesuai lagi
untuk mempelajari ilmu sakti dari aliran Putih. Pula ..... paling lama aku pun hanya
hidup sampai satu tahun lagi. Tio Sam-hong Cousu benar-benar dapat meramalkan
peristiwa saat ini. Tak mungkin beliau akan memilih diriku untuk menjadi
pewaris Thian-kong-sin-kang itu!"
Mawar Putih terkejut
memandangnya, “Engkau mengoceh apa itu? Bagaimana engkau tahu kalau umurmu
hanya tinggal setahun saja!"
Siau-liong hendak berkata
tetapi tak jadi. Sukar baginya untuk menuturkan pengalamannya dengan Poh
Ceng-in itu. Setelah merenung beberapa saat, barulah ia berkata, “Jika engkau
tetap berkeras menolak, aku mempunyai cara untuk menentukan!"
Mawar Putih tertawa,
“Katakanlah, apa caramu itu!"
"Tio Sam-hong mendirikan
ruang rahasia untuk menyimpan harta pusaka dan meninggalkan tulisan pada kitab
pusaka itu, seolah-olah sudah mengetahui bahwa kitalah yang akan masuk kemari.
Hal itu disebabkan mungkin karena Tio Sam-hong Cousu mengerti akan ramalan
perbintangan. Oleh karena itu marilah kita gunakan cara ramalan itu untuk
meminta kepada arwah Tio Sam-hong Cousu supaya memberi petunjuk kepada siapakah
kitab itu harus diserahkan ....”
Siau-liong terus mengeluarkan
sebuah uang tembaga lalu diberikan kepada Mawar Putih, “Harap engkau berdoa.
Katakanlah pilihannya, mau yang bagian muka atau belakang dan lemparkanlah
sampai tiga kali."
Mawar Putih tak mau berbantah
.... Segera ia menyambuti uang itu lalu bersoja memberi hormat ke langit seraya
berdoa dengan suara lantang, “Mohon arwah Tio Sam-hong Cousu suka memberi
petunjuk mengenai kitab pusaka Thian-kong-sin-kang itu. Jika harus ....
diberikan engkoh Siau-liong, mohon supaya uang ini mengunjukkan bagian muka
sampai tiga kali."
Habis berdoa, Mawar Putih lalu
lemparkan mata uang itu ke atas. Dan ah .... ketika jatuh dilantai ternyata
memang bagian mukanya yang tampak diatas. Diulangnya lagi lemparan itu sampai
dua kali, tetap dua kali berturut-turut uang itu mengunjuk bagian muka.
Mawar Putih tertawa memandang
Siau-liong, “Tuh lihatlah! Tio Sam-hong Cousu benar-benar seperti malaikat.
Tiga kali lemparan tiga kali tetap menunjuk engkau!"
Siau-liong tak dapat menjawab
apa-apa, Ia memungut mata uang itu lalu berdua dengan suara nyaring, “Murid
Tong Siau-liong, dengan khidmat memohon kepada arwah Tio Sam-hong Cousu. Jika
benar Cousu memilih murid menjadi pewaris Thian-kong-sin-kang, mohon memberi
petunjuk agar uang itu tiga kali berturut-turut jatuh dengan terbalik!"
Setelah memberi hormat
kelangit, Siau-liong lalu lemparkan uang itu ke atas.
”Tring", jatuhlah uang
itu dengan permukaan terbalik ke bawah. Sampai tiga kali ia melemparkan uang,
tetap uang itu mengunjuk permukaan bagian belakang.
“Hola!" Mawar Putih
bertepuk tangan, “kali ini engkau tentu tak dapat berkutik lagi ....”
Wajah Siau-liong mengerut
gelap. Setitik pun ia tak merasa gembira bahkan malah menghela napas ....
Sudah tentu Mawar Putih heran dan
menegurnya, “Kabarnya Thian-kong-sin-kang itu merupakan ilmu sakti yang nomor
satu di dunia. Sudah ratusan tahun ilmu itu merajai dunia persilatan. Maka
engkau tentu bakal menjadi jago nomor satu di dunia!"
Siau-liong tak mengerti apa
maksud dara itu. Tetapi ia menyadari bahwa dirinya memang dalam keadaan
gelisah. Dalam kitab pusaka itu ditulis pesanan supaya menggunakan dari kitab
Thian-kong-sin-kang dicantumkan amanat 'membasmi Kelaliman dan Kejahatan'. Jika
ia menerima kitab pusaka itu dan menjadi pewaris dari ilmu Thian-kong-sin-kang,
dia harus melaksanakan tugas untuk membasmi kejahatan dan kelaliman termasuk
kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.
Bukan karena ia tak mau
melakukan beban kewajiban itu tetapi adalah karena hidupnya hanya terbatas satu
tahun saja, selain melakukan beberapa hal untuk kepentingannya. ia sudah tak
mempunyai waktu lagi. Kalau ia sampai terlibat dalam pergolakan dunia
persilatan dewasa itu, bukankah berarti ia tak sempat mencari ibunya keseberang
lautan lagi?.
Dan masih ada lain keberatan
lagi. Sebagai sebuah ilmu yang sakti, tentulah tidak mudah untuk mempelajari
Thian-kong-sin-kang. Mungkin sebelum berhasil ia sudah mati.
Karena dicengkam oleh berbagai
keresahan itu, maka menyahutlah ia agak segan, “Manusia yang sakti masih ada
yang lebih sakti. Di atas langit masih terdapat angkasa raya. Maka Tio Sam-hong
Cousu dahulu pun tak berani mengatakan dirinya sebagai tokoh yang tiada
tandingnya di dunia. Di dalam rimba belantara dan pegunungan raya, mungkin bersembunyi
banyak tokoh-tokoh berilmu yang tak mau muncul dimasyarakat ramai. Apa yang
disebut tokoh nomor satu itu tak lain hanya tokoh yang paling hebat
kepandaiannya dalam dunia persilatan, bukan yang tersakti diseluruh dunia! Dan
lagi .... terus terang, aku tak ingin menjadi pewaris ilmu Thian-kong-sin-kang,
karena ....”
Karena Siau-liong tak mau
melanjutkan perkataannya, maka Mawar Putih segera menukas,
“Kalau begitu, baiklah kita
lekas menuju keseberang laut saja! Tak perlu kita hiraukan dunia persilatan dan
kedua suami isteri iblis itu lagi!"
Sekali pun mulut mengatakan
begitu namun dalam hati, Mawar Putih timbul pertentangan batin sendiri.
Mengingat suhunya berulang kali mengharap akan berjumpa dengan puteranya yang
hilang (Siau-liong), mungkin suhunya itu bermaksud memberi bisikan halus bahwa
ia (Mawar Putih) akan dijodohkan dengan puteranya yang hilang itu. Tetapi kalau
teringat akan ramalan Randa Bu-san yang mengatakan bahwa ia tak mempunyai
rejeki terangkap suami isteri dengan Siau-liong, maka hati Mawar Putih merasa
gundah sekali.
Maka jika ia cepat membawa
Siau-liong keseberang lautan. tentulah kemungkinan besar suhunya segera akan
menikahkan mereka. Dan ramalan Randa Bu-san yang menjadi ibu angkatnya itupun
tentu gugur.
Mawar Putih kerutkan alis dan
berkata, “Hayo, kita segera berangkat keseberang lautan. Soal Toh Hun-ki dan
keempat Su-lo kelak kita urus lagi. Apakah engkau tak ingin lekas-lekas
menjenguk ibumu yang sedang menderita sakit itu Sekarang ....?”
Siau-liong gelengkan kepala:
"Tak mungkin kita berangkat sekarang. Paling tidak harus tunggu sampai
empat lima hari setelah penyerangan rombongan Ceng Hi totiang itu berhasil.
Saat itu barulah aku akan mengambil keputusan!"
Dia sudah memberikan janjinya
kepada Toh Hun-ki. Tak dapat ia mengingkarinya. Setelah melaksanakan hal itu
dan membangun kembali nama baik Pendekar Laknat, barulah ia akan pergi menemui
ibunya.
Jangankan sekarang ia sudah
memiliki amanat dari kitab Thian-kong-sin-kang untuk membasmi Kelaliman dan
Kejahatan. Sekalipun tidak begitu, ia tetap tak dapat melihat sambil berpeluk
tangan saja akan kejahatan-kejahatan yang tengah berkecamuk dalam dunia
persilatan dewasa itu.
Mawar Putih hanya dapat deliki
mata. Tetapi pada saat dara itu hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara
teriakan orang dari luar gua.
“Kalau gua ini gua buntu,
masakan mereka mampu meloloskan diri?" seru Lam-hay Sin-ni.
Iblis Penakluk-dunia menjawab
agak pelahan, “Harap Sin-ni jangan resah ....”
Karena kelanjutan Iblis
Penakluk-dunia berkata dengan suara amat pelahan maka tak dapat ditangkap lagi
pembicaraannya.
Siau-liong terkejut. Ia
teringat bahwa dinding gua yang dibobolnya tadi masih terbuka. Jika Lam-hay
Sin-ni dan Iblis Penakluk-dunia masuk ke dalam terowongan gua, mereka tentu
akan menemukan bobolan dinding itu dan dapat masuk ke dalam ruang disitu.
Sekalipun sudah mendapatkan
kitab pusaka Thian-kong-sin-kang tetapi ia belum sempat mempelajarinya. Apabila
Lam-hay Sin-ni sampai tahu, tentu kitab itu akan direbutnya.
Cepat Siau-liong menyimpan
kitab itu ke dalam bajunya lalu kerahkan tenaga dalam bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan.
Tetapi ternyata sampai sekian
lama Lam-hay Sin-ni dan Iblis Penakluk-dunia tak tampak masuk ke dalam gua. Dan
beberapa saat kemudian terdengar suara pekik bentakan yang riuh disusul dengan
suara yang amat hiruk pikuk.
Suara hiruk pikuk itu seperti
suara orang berbaku hantam. Sepintas mirip Lam-hay Sin-ni sedang menumpahkan
kemarahan untuk menghancurkan gua itu. Tetapi sepintas juga mirip seperti rombongan
Ceng Hi Totiang yang mengadakan serbuan kepada mereka.
Sampai sekian lama, belum juga
Siau-liong maupun Mawar Putih dapat menduga apakah suara hiruk pikuk diluar gua
itu.
Beberapa lama kemudian, suara
hiruk pikuk itupun reda dan suasana sunyi senyap lagi.
Kata Siau-liong: “Lam-hay
Sin-ni dan Iblis Penakluk dunia tak mungkin begitu mudah melepaskan kita
berdua. Paling tidak sebelum hari terang tanah, kita tak dapat lolos keluar.
Dalam kesempatan ini, harap engkau suka beristirahat tidur dulu ....”
Sejak hilangnya Siau-liong
dari pondok Randa Bu-san pada sepuluhan hari yang lalu, memang tiap malam Mawar
Putih tak dapat tidur nyenyak. Tiga hari kemudian dengan membohongi Randa
Bu-san dan si dara baju hijau, diam-diam ia tinggalkan pondok untuk mencari
Siau-liong. Selama itu ia kurang tidur kurang makan dan tak kenal letih.
Begitu Siau-liong mengingatkan
supaya ia tidur, ia segera mengangguk dan minta pemuda itu tidur juga. Selekas
membaringkan diri maka tidurlah Mawar Putih dengan nyenyak sekali.
Melihat dara itu sudah tidur,
Siau-liong menghela napas. Iapun segera duduk menghadap ke lubang dinding bobol
tadi dan pejamkan mata bersemadhi.
Tetapi ternyata pikirannya
penuh dengan berbagai persoalan. Lama sekali belum juga ia mampu menenteramkan pikirannya.
Sampai saat itu keadaan diluar
gua masih sunyi senyap. Tampaknya Lam-hay Sin-ni dan Iblis Penakluk-dunia
benar-benar sudah tinggalkan tempat itu.
Timbul dugaannya. Adakah hiruk
pikuk tadi benar-benar disebabkan terjadinya penyerangan kepada Lam-hay Sin-ni
dan Iblis Penakluk-dunia sehingga kedua tokoh itu dapat dipikat untuk pergi
dari situ?
Jika benar demikian, terang
orang yang melakukan serangan itu tentu seorang yang berilmu sakti!
Tiba-tiba ia mengambil keluar
kitab pusaka Thian-kong-sin-kang. Tetapi ia bimbang dan tak dapat segera
memutuskan apakah ia perlu membuka halaman kitab itu.
Siau-liong menyadari bahwa
dirinya takkan berumur panjang. Jika tak membuka kitab itu, ia masih dapat
memberikannya kepada tokoh yang dianggapnya pantas menjadi pewaris ilmu sakti
itu. Tetapi kalau sekali membukanya, dengan sendirinya dialah yang akan menjadi
pewaris Thian-kong-sin-kang.
Jika ia sampai tak dapat
menunaikan tugas seperti yang diamanatkan dalam kitab pusaka itu, bukankah
berarti ia telah mensia-siakan harapan Tio Sam-hong?
Ketika matanya tertumbuk pada
sampul sutera kuning, entah bagaimana kitab itu seolah-olah mempunyai daya
tarik yang hebat. Diluar kehendaknya timbullah keinginannya yang keras untuk
membuka kitab itu.
"Ah, paling banyak hanya
sepenanak nasi, kitab ini tentu sudah dapat kubaca habis. Mungkin
Thian-kong-sin-kang itu memang mudah untuk dipelajari!" pikirnya.
Diapun ingat akan hasil
lemparan mata uang tadi. Diam-diam ia merasa Tio Sam-hong itu benar-benar
seorang pujangga yang dapat meramal dengan jitu. Dan arwah Tio Sam-hong pun
tentu tahu bahwa umurnya hanya tinggal satu tahun. Namun kalau Tio Sam hong
tetap menghendaki dia yang menjadi pewaris Thian-kong-sin-kang, tentulah hal
itu sudah menjadi garis hidupnya.
Merenungkan hal itu tanpa
ragu-ragu lagi ia segera membuka lembaran kitab itu dan membacanya.
Siau-liong memang berotak
cerdas. Kitab Thian-kong-sin-kang yang hanya terdiri dari belasan lembar itu,
dalam waktu sepenanak nasi saja telah dapat dihafal semua.
Habis membaca, ia termenung
agak meragu. Semula ia mengira Thian-kong-sin-kang sebagai ilmu nomor satu di
dunia, tentu sukar dan dalam sekali pelajarannya. Tetapi setelah membaca isi
kitab itu. ia merasa hambar karena tiada sesuatu yang luar biasa pada isinya.
Separoh yang dimuka, berisi
pelajaran tentang ilmu Pernapasan yang hampir sama dengan pelajaran dari ilmu
lain, yang berbeda hanya pada bagian memusatkan, “Semangat, Hati, Tujuan,
Pikiran, Ketenangan, Gerakan, Kekosongan dan Kenyataan."
Memang ada beberapa bab yang
belum dapat ia mengerti antara lain tentang pelajaran yang menyebut, “Dalam
Tenang timbul Gerak, dalam Gerak lahir Tenang ....” dan lain baris yang
berbunyi: 'Kehendak lahir dari Pikiran. Pikiran berhubungan dengan Hati.
Semangat dan Kehendak bersatu, Hati dan Semangat berjalin ....” - dan lain-lain
kalimat yang tak dimengertinya.
Separoh bagian yang dibagian
belakang, memuat ilmu Pukulan Thian-kong. Terdiri dari sebuah Pukulan, tiga
buah Tamparan dan empat buah Tutukan jari. Diterangkan dengan jelas sekali.
Setiap jurus disertai dengan gerak langkahnya. Tetapi semua pelajaran itu
tampaknya sederhana sekali.
Ilmu pukulan Thay-siang-ciang
dari Pengemis Tengkorak dan ilmu pukulan Membalik-langit serta ilmu pukulan
Gun-go-ciang ajaran tabib sakti Kongsun Sin-tho lebih indah dan sukar dari ilmu
pukulan Thian-kong-ciang itu.
Dalam kekecewaan, diam-diam
Siau-liong bersangsi, “Apakah ada orang yang sengaja memalsu dan kitab ini
bukan tulisan dari Tio Sam-hong Cousu?"
Kalau tidak, mengapa kitab
pusaka Thian-kong-sin-kang yang begitu dimashyurkan kesaktiannya, ternyata
begitu biasa sekali?
Tetapi pada lain saat ia harus
membantah kesangsiannya itu. Kalau memang benar sebelumnya ada orang yang sudah
masuk kemari, tentulah empat butir mutiara yang tak ternilai harganya itu akan
diambilnya. Nyatanya mutiara itu masih berada ditempatnya!
Lenyapnya kesangsian, membuat
Siau-liong mencurahkan perhatiannya pada isi kitab itu lagi. Dalam waktu tak
lama, ia dapat membaca habis isi kitab itu.
Namun ia masih belum dapat
menyelami inti daripada kitab Thian-kong-pit-kip yang sudah termashyur ratusan
tahun itu.
Kemudian ia coba untuk
melakukan pernapasan sesuai dengan petunjuk dalam kitab itu. Tetapi karena
banyak kata-kata yang tak dapat dimengerti, iapun tak dapat mempraktekkan
dengan tepat.
Suatu hal yang mengejutkan
hatinya telah terjadi, setelah satu kali melakukan pelajaran Bernapas, ia
dapatkan cara Pernapasan yang tampaknya sederhana itu ternyata mengandung
sesuatu yang luar biasa. Ia rasakan dirinya seperti terbenam dalam samudera dan
terhanyut dibawa alunan ombak.
Setelah itu ia coba untuk
melakukan gerak dari pelajaran Pukulan-tamparan-tutukan. Walaupun keterangannya
amat jelas sekali tetapi dikala mempratekkan, ternyata sukarnya bukan kepalang.
Ada beberapa gerak yang ia anggap tak mungkin dipraktekkan.
Ternyata setiap jurus itu
mengandung beberapa gerak langkah dan perobahan. Dan dalam keterangan tersebut,
perobahan itu sekaligus dilakukan dengan serempak dalam dua atau tiga cara.
Sudah tentu hal itu dianggap tak mungkin oleh Siau-liong.
Tiba-tiba ia teringat akan
kata-kata dalam pelajaran ilmu Bernafas. Disitu jelas disebut bahwa 'Dalam
tenang timbul Gerak. Dalam Gerak lahir Ketenangan'. Ah, apakah Thian-kong itu
benar-benar begitu islimewa saktinya? tanpa menggerakkan tangan, sudah dapat
bunuh lawan?
36. Ah, Pantaskah .....??
Dengan kecerdasan otaknya,
dapatlah Siau-liong menyadari bahwa ilmu pukulan yang terdiri dari sebuah
Tinju, tiga Tamparan, empat tutukan jari itu, tentu harus dilembari dengan pelajaran
yang pertama yakni ilmu bernafas.
Dan setelah melakukan
pernapasan beberapa kali, walaupun masih belum dapat keseluruhannya, tetapi
makin menambah kepercayaannya ....
Untuk yang ketiga kalinya, ia
mengulang baca sekali lagi kitab itu .... Saat itu ia merasa telah dapat
menghafal isinya diluar kepala.
“Ah, Thian-kong sin-kang yang
tampaknya sederhana itu, ternyata mengandung inti pelajaran yang dalam sekali.
Tak mungkin dapat kupelajari dalam waktu sehari semalam saja. Saat ini aku aku
masih terancam bahaya.
Walaupun aku masih dapat
menghadapi Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka, ia masih sanggup menghadapi.
Tetapi kalau dengan Lam-hay Sin-ni, ia merasa masih kalah. Jika kitab pusaka
itu sampai dapat direbut lawan bukankah ia berdosa terhadap pencipta kitab itu?
Siau-liong merenung diam.
Sekonyong-konyong ia genggam kitab itu lalu meremasnya.
Thian-kong-pit-kip, kitab
pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang yang sudah berumur ratusan tahun saat itu
hancur lebur berhamburan menjadi abu. Ia menghela napas lalu mencoba lagi untuk
mempraktekkan ilmu Bernapas dalam kitab itu.
Saat itu ketegangan hatinya
sudah banyak reda. Dengan tenang ia melakukan ilmu pernapasan dan tak lama
dapatlah pikirannya tenggelam dalam alam kehampaan.
Entah berlangsung berapa lama,
ia terkejut mendengar desir ujung baju. Ketika membuka mata, tampak Mawar Putih
sedang terlongo-longo memandang hancuran kitab yang bertebaran di tanah.
“Engkau sudah bangun?"
Siau-liong tersenyum.
Sambil menuding pada abu
kertas yang berserakan dilantai, dara itu bertanya, “Apakah itu?"
Siau-liong menghela napas
kecil, “Yah, itulah kitab pusaka Thian-kong-pit-kip ....”
“Engkau menghancurkannya
....?"
Mawar Putih menjerit kaget
tetapi pada lain saat ia tertawa, “Jadi engkau sudah memutuskan takkan
mencampuri pergolakan dunia persilatan lagi dan bersama aku ke seberang lautan
menghadap ibumu ....”
Rupanya perasaan dara itu
tegang sekali. Belum Siau-liong menyahut, ia sudah melanjutkan kata-katanya,
“Jika engkau suka, kita tinggal saja di pulau itu dan tak menginjak kedunia
persilatan selama-lamanya!"
Siau-liong menghela napas
rawan, “Aku bukanlah orang yang bekerja kepalang tanggung. Selama urusan disini
belum selesai, tak dapat kutinggal pergi. Sekalipun kitab pusaka itu sudah
hancur tetapi seluruh isinya sudah dapat kuhafal semua. Dengan begitu aku telah
tambah sebuah beban yang berat!"
Berkata Mawar Putih dengan
serak, “Semua terserah padamu sajalah! Mungkin ibu angkatku itu benar .....”
“Siapa ibu angkatmu?"
Siau-liong terkesiap.
Menatap Siau-liong, dara itu
memberi jawaban kepada yang bukan ditanyakan, “Lebih baik kita lekas tinggalkan
tempat ini. Mungkin Lam-hay Sin-ni dan kedua suami isteri iblis itu sudah
pergi!"
Habis berkata dara itu terus
menghampiri ke lubang, bobolan. Sesaat Siau-liong kehilangan paham. Ia tak
dapat menghadapi rasa kasih yang dicurahkan dara itu. Tiba-tiba ia tersadar dan
cepat loncat mendahului.
“Kedua suami isteri iblis itu
banyak tipu muslihatnya, biarlah aku yang mempelopori jalan!" serunya
terus merangkak ke dalam terowongan.
Mawar Putih mengikuti
dibelakangnya.
Tak lama kemudian mereka tiba
di dalam gua yang berdinding tanah. Searus hawa busuk dan anyir segera menampar
hidung. Gua itu tak berapa dalamnya.
Setelah memeriksa, Siau-liong
yakin tiada terdapat bekas seseorang lain yang balik kesitu. Pun keadaan diluar
gua sunyi senyap. Lam-hay Sin-ni dan kedua suami isteri iblis itu benar-benar
sudah pergi.
Ketika berpaling. diam-diam
Siau-liong terkejut. Ternyata dari dalam gua itu tampak jelas sekali bobolan
dinding dan ruang tempat penyimpanan harta pusaka. Sekali Lam-hay Sin-ni dan
kedua suami isteri iblis masuk, tentu dengan cepat mereka mengetahui tempat
penyimpanan harta pusaka itu.
Diam-diam Siau-liong merasa
aneh juga. Mengapa setelah menunggu diluar sampai sekian lama rombongan Lam-hay
Sin-ni tak mau memasuki gua dan malah pergi?
Melihat Siau-liong terlongong,
Mawar Putih mendengus lagi terus melesat keluar.
Siau-liong kaget dan
cepat-cepat berseru, “Nona"
Mawar Putih hentikan langkah,
berpaling, “Mengapa?" — Nadanya sedingin es. Agaknya dara itu masih
penasaran.
Siau-liong menatap sejenak,
tertawa, “Jika engkau dalam penyamaran begitu, tentu....”
Kiranya saat itu Mawar Putih
masih menyaru sebagai Dewi Ular Ki Ih, Tetapi ketika masuk ke dalam gua,
terpaksa ia lepaskan kerudung mukanya.
Setelah mengawasi dirinya
sendiri, dara itupun tertawa lalu mengenakan kerudung muka lagi.
Siau-liong kerutkan alis,
ujarnya, “Saat ini Ceng Hi totiang sedang memimpin penyerbuan ke Lembah Semi.
Banyak tokoh-tokoh persilatan yang sudah tiba. Dahulu ibuku banyak sekali
mengikat permusuhan dengan partai-partai persilatan, sebaiknya nona ....”
"Baiklah, kalau begitu
aku tak mengenakan pakaian ini!" Mawar Putih tertawa dingin.
Karena masih mengkal
Siau-liong tak mau diajak ke seberang lautan, dara itu marah. Dua tiga kali
gerakan tangan, ia merobek kain kerudung dan pakaian penyamarannya.
Siau-liong hanya dapat
menghela napas, ujarnya, “Adakah sedikit pun nona tak mengerti diriku? Ah....”
— kembali ia menghela napas dengan penuh kerawanan.
Mawar Putih cebirkan bibir.
Sikapnya tetap dingin. Ternyata dara itu sedang berjuang keras untuk menahan
turunnya air mata.
Setelah menguatkan perasaannya
lalu sejenak memandang ke arah terowongan, Siau-liong berkata, “Harta benda
peninggalan Tio Sam-hong masih ada 3 peti besar ....”
"Isinya tentulah harta
karun yang berlimpah-limpah menyamai gudang negara. Bawalah pulang sendiri
....” tukas Mawar Putih.
Siau-liong menghela napas:
“Aku bukan orang yang tamak harta. Hanya saja, kalau harta karun ini sampai
jatuh ke tangan manusia jahat tentu lebih menambah kejahatannya. Lebih baik
diberikan kepada badan amal dan menolong kaum fakir miskin!"
Mawar Putih tertawa ewah, “0h,
kiranya engkau seorang yang berhati mulia!”
Siau-liong tahu bahwa dara itu
masih penasaran kepadanya. Sejenak merenung, sekonyong-konyong ia dorongkan
kedua tangannya kemuka.
"Bruk".... terdengar
bunyi menggemuruh disusul dengan hamburan debu dan pasir. Langit gua hancur dan
rubuh menutup terowongan dengan bobolan dinding ruang penyimpan harta pusaka.
Sepintas pandang menyerupai sebuah gua yang rusak tertimbun tanah. Jika tak
digali, tak mungkin diketemukan.
Mawar Putih membersihkan tanah
pada bajunya lalu melangkah keluar.
"Nona ....” cepat
Siau-liong menghadang lagi.
“Mengapa lagi?" tanya
Mawar Putih.
“Diluar penuh dengan alat
jebakan. Mungkin kedua suami isteri iblis itu belum pergi ....”
Mawar Putih menukas dengan
tertawa keras, “Kiranya nyalimu besar sekali! Nah, silahkan engkau tinggal
disini selamanya ....” tiba-tiba ia berganti nada: "sekarang engkau sudah
menjadi pewaris ilmu Thian-kong-sin-kang. Pendekar besar dalam dunia
persilatan! Silahkan engkau disini mengunjuk kesaktianmu itu! Aku akan pergi
....”
Dara itu cepat-cepat berpaling
agar dua titik air mata yang menetes dari sudut pelupuknya, tak terlihat
Siau-liong. Kemudian sambil menghunjam-hunjamkan kaki ke tanah, ia menggeram.
"Aku segera akan kembali keseberang laut dan takkan datang ke Tionggoan
lagi!"
Sekali melesat, dara itu sudah
loncat keluar gua. Saat itu Siau-liong masih termakan oleh kata-kata tajam dari
Mawar Putih. Ia terkejut karena dara itu melesat keluar. Cepat ia mengejar.
Saat itu ternyata fajar sudah
mulai menyingsing. Angin meniup segar, Mawar Putih lari menuju ke dalam hutan.
Tetapi pada lain saat terdengar suara bentakan bercampur bergemerincing senjata
beradu!
Walaupun teraling pohon yang
lebat dan tak dapat melihat jelas, tetapi Siau-liong cepat dapat menduga bahwa
Mawar Pulih tentu bentrok dengan rombongan orang gagah anak buah Ceng Hi
totiang yang tengah menyerang Lembah Semi.
Ketika Siau-liong menerobos
masuk ke dalam hutan, tampak Mawar Putih sedang berhantam dengan empat lelaki
berpakaian ringkas. Keempat pengeroyok itu menggunakan golok, pedang dan golok
pendek. Sedang di tepi tempat pertempuran itu berjajar beberapa belas orang
yang menyaksikan pertempuran itu.
Rupanya Mawar Putih hendak
tumpahkan kemarahannya pada keempat orang itu, pedang Kilat dimainkan laksana
hujan mencurah. Ganasnya bukan kepalang.
Tetapi keempat orang itupun
memiliki kepandaian tinggi. Apalagi mereka maju serempak. Maka buyarlah maksud
Mawar Putih hendak mencincang mereka, kebalikannya ia masih terdesak pontang
panting.
Sejenak tertegun, Siau-liong
lalu berseru menghentikan mereka dan secepat kilat ia loncat menghampiri.
Tetapi iapun cepat disambut
oleh belasan orang bersenjata yang mengepungnya. Selain permainan senjata yang
cepat dan gencar, pun mereka dapat menempat diri dalam posisi yang sesuai.
Seolah-olah seperti sudah
terlatih dalam suatu formasi barisan. Sudah tentu hal itu mengejutkan
Siau-liong.
Sedang keempat orang yang
mengeroyok Mawar Putih itu tak mengacuhkan dan tetap menyerang dengan gencar.
Tiba-tiba beberapa tombak
jauhnya, muncul seorang lelaki bermuka brewok. Bergegas-gegas ia menghampiri,
memandang Siau-liong, lalu mencabut panji putih segi tiga yang terpancang di
bahunya, melambaikan seraya berseru, “Mundur....!"
Belasan orang yang mengepung
Siau-liong segera menyingkir kesamping. Demikianpun keempat orang yang menyerang
Mawar Putih itu, juga loncat mundur.
Pendatang yang bermuka brewok
itu tertawa gelak-gelak. Ia melangkah maju kehadapan Siau-liong, memberi
hormat, “Pendekar Laknat!"
Seorang lelaki yang bertubuh
tinggi besar, alis tebal mata bundar. Sekujur mukanya hampir tertutup oleh
brewok. Seorang lelaki yang benar-benar gagah perkasa, mirip dengan Tio Hwi,
seorang pahlawan termashyur pada jaman Sam Kok.
Siau-liong balas memberi
hormat, “Saudara ini....?"
Dengan suara menggeledek,
orang itu menukas, “Aku Lu Bu-ki, dunia persilatan menggelari dengan julukan
Ruyung-besi-pelor-sakti. Pemimpin dunia Rimba Hijau daerah selatan ......”
Kemudian sambil menunjuk
kepada berpuluh orang yang mengepung Siau-liong tadi, Lu Bu-ki menerangkan,
“Mereka adalah jago-jago pilihan dari Rimba Hijau!"
Dalam membawakan kata-kata
itu, disertai juga dengan gerakan tangan dan kaki.
"Hm, kiranya orang ini
seorang benggolan penyamun!" diam-diam Siau-liong membatin.
“Bagaimana saudara kenal
padaku?" tanyanya.
Jawab sitinggi besar.
"Aku datang memenuhi undangan Ceng Hi totiang dan tahu kalau Pendekar
Laknat juga ikut serta dalam gerakan membasmi Lembah Semi. Dengan begitu kita
ini sekarang menjadi orang sendiri ....”
Dia berhenti sejenak, menatap
wajah Siau-liong lalu tertawa, “Dahulu aku tak sempat ikut dalam gerakan Ceng
Hi totiang untuk menindas Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Sekalipun belum
pernah bertemu dengan saudara, tetapi sudah mendengar cerita orang. Maka sekali
lihat aku sudah dapat mengenal saudara ....”
Ucapannya gamblang, nadanya
nyaring dan tertawanya lepas bebas. Ia maju menghampiri lalu menepuk bahu
Siau-liong, “Aku paling kagum pada saudara. Membunuh manusia yang harus
dibunuh, sebagai suatu kesenangan. Selama hidup, aku memang berpendirian begitu
juga!"
Siau-liong diam-diam membatin,
orang itu benar-benar amat kasar tingkahnya.
Setelah keempat penyerangnya
mundur, Mawar Putih memandang dengan isyarat mata kepada Siau-liong. Maksudnya
suruh pemuda itu menyusulnya. Habis memberi isyarat, ia terus loncat lari.
Tetapi karena terhalang oleh
si tinggi besar Lu Bu-ki, disamping ia memang masih suka membawa kemauan
sendiri, Siau-liong tak mau. Ia masih mengkal kepada dara itu.
Andaikata saat itu, Mawar
Putih mau membawanya keseberang laut menemui ibunya, tentulah ia tak usah
mengalami penderitaan di Lembah Semi. Tak usah ia harus meminum racun jong-tok
dari Poh Ceng-in.
Sekarang dirinya sudah menjadi
sedemikian rupa, nyawanya tinggal setahun lagi, lalu dara itu bersedia
mengajaknya keseberang laut. Huh, apa perlunya?
Dengan mendendam perasaan
mendongkol itu, Siau-liong tak mempedulikan dara itu dan malah melanjutkan
percakapannya dengan Lu Bu-ki.
Karena ternyata Siau-liong tak
menyusul, tak berapa jauhnya, Mawar Putih pun berhenti dan beristirahat di
bawah sebatang pohon.
Dalam pada itu teringatlah
Siau-liong akan Lam-hay Sin-ni dan rombongan Iblis Penakluk-dunia yang
tiba-tiba meninggalkan gua. Maka bertanyalah ia kepada kepala begal itu,
“Apakah saudara sejak tadi terus tetap menjaga di tempat ini?"
“Benar, dilingkungan limapuluh
tombak dari tempat ini semua dijaga oleh anak buahku ....” kata Lu Bu-ki.
Kemudian ia menunjuk ke arah
kiri, katanya, “Yang sebelah kiri itu adalah rombongan Ang-cek-pang, sebelah
kanan Siau-lim-pay. Sekeliling Lembah Semi sudah dikepung rapat sekali.
Sekalipun seekor burung, tak mungkin dapat terbang keluar dari lembah
....."
Kepala penyamun daerah selatan
itu memang seorang yang suka bicara secara blak-blakan. Dan sekali bicara tentu
tak kena disetop.
Maka ia terus melanjutkan saja
kata-katanya, “Ceng Hi totiang telah mengeluarkan perintah rahasia. Akan
menggunakan api untuk membumi-hanguskan Lembah Semi. Rasanya saat ini tentu
sudah akan segera bergerak ....”
Memandang jauh kemuka, memang
Siau-liong melihat dibalik semak dan tempat-tenmpat jang pelik, terdapat
persiapan-persiapan bahan pembakar serta berkarung-karung obat api.
Melihat Lu Bu ki itu seorang
kasar yang agak ketolol-tololan, Siau-liong tak mau mendesak pertanyaannya
tentang Lam-hay Sin-ni dan rombongan Iblis Penakluk-dunia lagi. Ia anggap tak
berguna.
Lalu ia alihkan pertanyaan,
“Apakah saudara tahu dimana tempat rombongan Kay-pang?"
Lu Bu-ki segera menuding,
“Dari sini kekiri kira-kira satu li, melalui tempat rombongan Ang-cek-pang,
Go-bi-pay, Tiam-jong-pay, Ji-tok-kau, disitulah pos penjagaan rombongan
Kay-pang!"
Karena anggap tak perlu lebih
lama berada disitu, Siau-liong segera pamit.
Lu Bu-ki benar-benar amat
menghormat kepada Siau-liong. Dengan tersipu-sipu ia memberi hormat dan
mempersilahkan Siau-liong tinggalkan tempat itu.
Baru beberapa langkah
Siau-liong berjalan, tiba-tiba dari sebelah kanan hutan muncul seorang baju
hitam dengan memegang panji warna merah.
Lu Bu-ki cepat maju
menyongsong. Orang baju hitam membisiki kedekat telinga Lu Bu-ki lalu bergegas-gegas
melanjutkan berjalan kemuka lagi.
Si tinggi besar Lu Bu-ki
tertawa nyaring. Wajahnya gembira, semangatnya menyala. Sambil gerakkan kedua
tangan ke atas, ia berseru nyaring, “Anak-anak, kita segera akan
bergerak!"
Dari dalam hutan, berhamburan
keluar berpuluh-puluh lelaki berpakaian ringkas. Kebanyakan mereka berumur
antara tigapuluhan tahun.
Dipimpin Lu Bu-ki, kawanan
anak buah penyamun itu segera membawa kayu bakar, obat pasang dan bahan-bahan
pembakar, menuju kepuncak gunung dari Lembah Semi.
Siau-liong memandang cuaca.
Saat itu diperkirakan sudah jam tujuh pagi. Ia duga Iblis Penakluk-dunia tentu
tak mau melepaskan It Hang totiang dan rombongannya. Maka Ceng Hi totiang
segera mengeluarkan perintah untuk menyerang Lembah Semi.
Tetapi pada saat memandang
kepuncak gunung yang mengelilingi Lembah Semi, diam-diam Siau-liong kerutkan
alis. Lembah itu luasnya tak kurang dari sepuluh li.
Dengan api, dikuatirkan tak
dapat memberi hasil seperti yang diharapkan. Dengan bahan peledak, mungkin
dapat menghancurkan alat-alat jebakan dalam lembah itu. Tetapi kalau hendak
meratakan lembah itu menjadi karang api, benar-benar tak mungkin.
Tengah ia merenung, tampak
ratusan batang kepala manusia tengah bergerak masuk ke mulut lembah. Dan
sepanjang kaki puncak gunung pun telah terbakar. Merupakan sebuah gunung yang
bersalur jalur api.
Apalagi kala itu sedang dalam
pertengahan musim rontok. Pohon dan tumbuh-tumbuhan kering semua. Api cepat
sekali meranggas besar.
Siau-liong memperhatikan
dengan seksama. Kecuali melepas api, pun segenap pelosok hutan penuh
bersembunyi ratusan tokoh-tokoh anggauta rombongan Ceng Hi totiang yang siap
untuk bergerak.
Mulut lembah itu merupakan
satu-satunya jalanan masuk-keluar lembah. Dan mulut lembah itu telah dijaga
ketat sekali sehingga tak mungkin orang Lembah Semi dapat terhindar dari
sergapan mereka.
Diam-diam Siau-liong memuji
kelihayan Ceng Hi totiang mengatur barisan. Rasanya Lembah Semi pasti dapat
dihancurkan.
Dalam pada itu pikiran
Siau-liong masih melekat pada peristiwa di gua tadi. Mengapa Iblis
Penakluk-dunia tak berani memasuki gua itu dan hanya menunggu diluar saja.
Lalu apakah Lam-hay Sin-ni
sudah dapat dipikat kedua suami isteri iblis itu masuk ke dalam lembah?
Sambil berpikir, kaki
Siau-liong tetap berjalan dan saat itu hampir tiba ditempat Mawar Putih
menunggu. Dara itu berdiri menghadap ke sebelah belakang, tak mau berpaling
menyambut Siau-liong.
Diam-diam Siau-liong tak puas
melihat perangai Mawar Putih yang mau menang sendiri. Maka sengaja ia tertawa
dingin dan menegur, “Ah, apakah nona masih belum berangkat?"
Mawar Putih diam saja. Tetapi
kedua bahunya bergetaran seperti orang yang tengah menangis.
Melihat itu timbullah rasa
penyesalan Siau-liong. Betapa buruk perangai dara itu, namun dia sudah melayani
ibu Siau-liong bertahun-tahun.
Atas dasar kenyataan itu,
dapatlah sudah dara itu dianggap sebagai adiknya sendiri. Apalagi sekarang
Mawar Putih seorang diri mengembara di dunia persilatan Tiong-goan, demi
melaksanakan pesan ibu Siau-liong untuk menuntut balas dan mencari jejak
Siau-liong.
Ah, seharusnya ia membalas
budi kepada Mawar Putih. Mengapa dikarenakan sedikit percekcokan mulut saja. ia
harus memperlakukan dara itu dengan sikap yang dingin?
Makin merenungkan, Siau-liong
makin berkabut sesal. Dan terbayanglah sikap dan kebaikan, dara itu selama ini.
Tanpa disadari Siau-liong air mata berlinang-linang terharu.
“Adik Mawar....!" serunya
pelahan.
Serentak dara itu berpaling
diri. Tampak mukanya masih membekas air mata.
"Adik Mawar, tak seharusnya
kuperlakukan engkau begini, aku .....” Siau-liong menghela napas, "aku
pantas dicincang!"
Sepasang mata dara itu
berkilat-kilat menatap Siau-liong. Sekonyong-konyong ia lari dan menubruk ke
dada Siau-liong.
“Akulah yang salah. Tak
seharusnya kubikin panas hatimu. Maafkanlah....”
Mawar Putih mengangkat muka
memandang muka Siau-liong, “belasan tahun aku melayani suhu. Tiap kali suhu
tentu membicarakan dirimu. Dan tiap kali itu pula ia selalu mengatakan bahwa
beliau mengharapkan, kelak kita berdua ......”
Mawar Putih menghela napas,
lalu melanjutkan, “Memang aku sendiri yang salah. Jika tempo hari lekas-lekas
kubawa engkau pulang keseberang lautan, segala apa tentu beres! Ho .... aku
memang celaka!"
Sesaat Siau-liong pun tak
dapat berkata apa-apa. Bayangan maut tetap menghantui dirinya. Paling lama ia
dapat hidup setahun lagi.
Dan pada saat itu ia masih
memikul beban tugas yang banyak dan berat. Sekalipun dapat berjumpa dengan
ibunya, tetapi hanya berapa lamakah ia dapat berkumpul dengan ibunya itu?
“Segala sesuatu memang sudah
diatur menurut garis hidup. Ada beberapa hal yang kita manusia tak mampu
merobah garis perjalanan hidup itu. Karenanya terpaksa kita pasrah saja,"
kata Siau-liong dengan rawan.
“Apakah kita tak dapat pergi
sekarang?"
Siau-liong gelengkan kepala,
“Sekarang aku masih mempunyai beberapa kewajiban yang harus kuselesaikan lebih
dulu. Tetapi semua itu pun paling lama dalam empat hari tentu sudah rampung
....”
Berhenti sejenak. Siau-liong
berkata pula, “Apakah nona mau menunggu aku di Siok-ciu?"
Mawar Putih deliki mata, “Ih,
mengapa memanggil 'nona' lagi? Apakah hubungan kita....”
“Adik Mawar” buru-buru
Siau-liong menukas.
“Aku tak mau membiarkan engkau
seorang diri menghadapi bahaya disini. Jika engkau tak mau berangkat keseberang
laut, aku pun tetap akan menemani engkau disini!"
Siau-liong kerutkan alis,
“Dalam waktu singkat lembah ini akan menjadi gelanggang pertumpahan darah ....
maaf, terus terang kukatakan, jika engkau berada disini, bukan saja tak dapat
membantu bahkan kebalikannya malah menambah bebanku!"
Tetapi Mawar Putih tetap
menolak....
37. Penyerahan Obat .....
"Apapun juga dan tak
peduli engkau hendak pergi kemana, aku tetap ikut. Sampai kita nanti ke
seberang laut menjumpai suhu!" kata Mawar Putih.
Siau-liong terpaksa mengiakan.
Dilihatnya orang-orang yang berada dalam hutan itu menumpahkan perhatian ke
arah api yang sedang berkobar di atas gunung. Mereka tak mempedulikan gerak
gerik Siau-liong dan Mawar Putih.
Berkata pula Mawar Putih,
“Mulai saat ini aku menurut saja apa perintahmu. Apakah kita akan berangkat
sekarang?"
Siau-liong tertawa hambar,
menarik Mawar Putih terus diajak lari ke arah kiri.
Saat itu api makin berkobar
besar. Lembah Semi seolah-olah terbungkus oleh gumpalan asap tebal.
Tak dapat disangsikan lagi,
gunung itu pasti akan gundul. Adakah pembakaran itu akan dapat menjalar ke
dalam Lembah Semi atau tidak, tapi sekurang-kurangnya Iblis Penakluk-dunia
tentu akan getar nyalinya.
Dan Lembah Semipun akan
terpencil menjadi semacam pulau tersendiri. Dengan begitu mudahlah dikurung
dari segenap penjuru oleh barisan orang gagah yang dipimpin Ceng Hi totiang.
Apa yang dikatakan Lu Bu-ki
tadi memang benar. Sepanjang jalan, Siau-liong melihat rombongan orang-orang
Ang-cek-pang, Go-bi-pay, Tiam-jong-pay dan Ji-tok-kau mengatur barisan dengan
ketat. Seolah-olah merupakan tembok manusia.
Mereka bergerak dengan rapi.
Baik melepas api, melakukan penyelidikan, penjagaan dan pekerjaan koordinasi
satu sama lain.
Agaknya Ceng Hi totiang memang
sudah memberitahukan kepada sekalian rombongannya tentang ikut sertanya
Pendekar Laknat membantu gerakan mereka. Maka walaupun tanpa membawa pertandaan
apa-apa, hanya dengan melihat wajahnya saja, orang-orang itu sudah mengetahui
Pendekar Laknat dan membiarkan dia berjalan.
Tak berapa lama, tibalah
Siau-liong dan Mawar Putih ke tempat penjagaan yang dijaga oleh anak buah
Kay-pang. Ternyata tempat itu terletak disamping kanan barisan pohon Bunga, di
belakang Lembah.
To Kiu-kong tampak bersemangat
sekali memimpin orang-orangnya, menebang pohon dan mengangkuti batu, melepas
api membakar gunung. Mereka terkejut serta melihat Siau-liong dan Mawar Putih
muncul.
Menurut anggapan To Kiu-kiong,
dara itu mempunyai hubungan istimewa dengan Cousu-ya Kay-pang yakni Kongsun Liong.
Sudah tentu mereka heran melihat Mawar Putih muncul, pada hal jelas Kongsun
Liong masih belum ketahuan hasilnya dalam lembah.
Dan masih ada sebuah hal yang
membuat To Kiu-kong tak habis mengerti. Ketika kemarin malam Pendekar Laknat
berbaku hantam dengan Lam-hay Sin-ni, jelas dilihatnya Pendekar Laknat telah
menggunakan ilmu pukulan Thay-siang-ciang. Pada hal ilmu pukulan itu adalah
ajaran dari ajaran Pengemis Tengkorak Song Thay kun.
Pengemis-tertawa Tio Tay-tong
dan kedua pengemis pincang segera menghampiri ke belakang To Kiu-kong. Mereka
memandang Siau-liong dan Mawar Putih dengan penuh keheranan.
"Pendekar Laknat,"
tegur To Kiu-kiong dengan menekan keheranan.
Siau-liong cepat membalas
hormat, “Semalam aku minta tolong padamu untuk membelikan obat, entah apakah
.....”
To Kiu-kiong cepat menyambuti,
“Malam itu juga telah kusuruh orang untuk membelikan ke Siok-ciu .....,"
ia kerutkan dahi, katanya pula, “mungkin segera datang!"
Siau-liong mendesah lalu
melanjutkan langkah kemuka. Disebelah muka situ merupakan daerah barisan Pohon
Bunga yakni satu-satunya jalan keluar masuk Lembah Semi.
Disebelah muka barisan pohon
Bunga itu, dijaga oleh para imam tua yang mengenakan jubah warna kuning,
menyanggul pedang dipunggung. Ternyata mereka adalah rombongan murid
Kun-lun-pay yang dipimpin sendiri oleh Ceng Hi totiang.
Ceng Hi totiang yang
berperawakan tinggi kurus itu sedang berdiri dimuka barisan pohon bunga.
Dibelakangnya dikawal oleh lima imam kecil menyanggul pedang.
Siau-liong dan Mawar Putih
segera menghampiri.
“Ah, Pendekar Laknat
benar-benar menepati janji .....” seru Ceng Hi totiang seraya memberi salam.
Kemudian ia memandang mawar
Putih, bertanya, “Dan ini....”
“Nona Putih, Mawar Putih,
kenalan lama," buru-buru Siau-liong menyambutinya. Lalu tertawa.
Sambil mengurut jenggotnya,
Ceng Hi totiang pun tertawa, “Sungguh mengharukan sekali bahwa nona Mawar Putih
yang masih muda belia, bersedia ikut juga dalam gerakan membasmi kaum durjana!”
“Ah, totiang keliwat
memuji," Mawar Putih merendah lalu tersenyum kepada Siau-liong. Tetapi
pemuda itu batuk-batuk dan cepat palingkan muka agar jangan sampai ketahuan
Ceng Hi totiang.
Saat itu hutan disekeliling
lembah sudah terbakar hanya barisan pohon Bunga dimuka lembah itu yang masih
utuh.
Sejenak merenung, berkatalah
Ceng Hi totiang, “Mulut lembah, amat sempit sekali. Hanya dapat untuk seorang
berjalan. Rasanya lebih baik mengambil jalan dari belakang lembah!"
Siau-liong membenarkan.
Ceng Hi totiang segera suruh
seorang imam kecil untuk memberitahukan kepada bagian penghubung. Semua
pemimpin rombongan supaya datang kesitu untuk berunding.
Tak berapa lama dari kepergian
imam kecil itu, para pemimpin dari rombongan partai-partai datang bersama
jago-jagonya yang tangguh. Tak kurang dari seratus orang jumlahnya.
Kebanyakan mereka memang tak
kenal dengan Pendekar Laknat. Tetapi menilik dandanan Siau-liong yang aneh itu,
mereka dapat menduga tentulah Pendekar Laknat.
Menolong To Hun-ki, Ti Gong
taysu dan beberapa tokoh sehingga bentrok dengan Iblis Penakluk-dunia serta
Lam-hay Sin-ni, cepat sekali membuat Pendekar Laknat dipuja oleh seluruh orang
gagah yang ikut dalam gerakan menyerbu Lembah Semi itu.
Setelah para tokoh-tokoh
mengambil tempat duduk, maka berkatalah Ceng Hi totiang dengan nada serius,
“Setelah api padam, rintangan disekeliling Lembah Semi menjadi lenyap. Kedua
durjana itu hendak menyerang dari sebelah mana, kita tetap dapat mengetahui
.....”
Ceng Hi memandang ke arah
hadirin, lalu melanjutkan pula, “Kedua suami isteri itu licin sekali. Entah siasat
apa yang hendak mereka gunakan nanti tetapi yang jelas kita tentu akan
menghadapi suatu pertempuran yang menentukan mati atau hidup!"
Kembali ketua dari Kun-lun-pay
itu berhenti mengurut-urut jenggotnya. Kemudian menyambung, “Menurut hematku,
betapapun tinggi ilmu hitam dari kedua suami isteri itu, tetapi rasanya mereka
tentu takkan menyerang keluar. Mereka tentu hanya mengandalkan pada keadaan
berbahaya dari lembah untuk menghadapi serbuan kita.
Menilik keadaan itu,
kuputuskan untuk mengambil jalan dari belakang lembah saja. Tetapi kita gunakan
api untuk menyerang masuk. Hancurkan setiap rintangan dan alat-alat jebakan
dalam lembah itu!"
Sekalian hadirin berdiam diri.
Beberapa saat kemudian, Toh Hun-ki melangkah maju ke muka Ceng Hi totiang, memberi
hormat berkata, “Usaha terakhir untuk menghancurkan sarang durjana, terletak di
tangan totiang. Silahkan saja totiang memberi perintah. Para hadirin disini
tentu akan menurut!"
Ketua Kong-tong-pay itu
sejenak memandang sekalian hadirin. Tampak sekalian pemimpin partai persilatan
mengangguk.
Ti Gong taysu dan Lu Bu-ki
hampir serempak berseru, “Karena kami telah mengangkat totiang sebagai
pemimpin, sudah tentu kami akan mentaati perintah totiang!"
Ceng Hi totiang terhibur
mendapat dukungan luas itu. Dengan tersenyum ia segera mengatur persiapan untuk
menyerbu Lembah Semi.
Diam-diam Siau-liong
memperhatikan cara imam tua itu mengatur barisan.
Ternyata Ceng Hi merupakan
seorang pucuk pimpinan yang cemerlang dan pandai. Selain dibentuknya barisan
pelopor, barisan bala bantuan, induk barisan, barisan sayap kanan kiri serta
barisan untuk menjebak musuh. Barisan pelepas api kemudian regu penghubung.
Pendek kata, barisan itu telah diatur lengkap dan rapi.
Setelah menerima pembagian
tugas, maka barisan-barisan itupun segera mulai bergerak.
Ceng Hi totiang menghampiri
Siau-liong katanya dengan pelahan, “Barisan pohon Bunga itu merupakan
satu-satunya jalan di belakang lembah. Telah kuperintahkan orang untuk
melepaskan api. Setelah terbakar, dapat dipastikan tentu akan terbuka jalan ke
dalam lembah. Kukira Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka tentu akan memimpin
rombongannya keluar. Tetapi jika tidak keluar, tentulah mereka mempunyai
persiapan lain dalam barisan pohon bunga itu ......”
Ia berhenti sejenak lalu
berkata pula, “Saudara telah menolong Ti Gong taysu dan rombongannya dari
lembah itu. Tentulah saudara kenal baik keadaan lembah itu. Mengenai barisan
pohon Bunga ......”
Berkat peta pemberian Jong
Leng lojin maka Siau-liong dapat mengetahui alat-alat perlengkapan Lembah Semi
dengan baik. Maka iapun anggukan kepala, “Selain tertanam puluhan ribu batang
pohon bunga yang dapat menyesatkan pikiran orang, dalam barisan pohon Bunga
itupun masih terdapat pula Pagar Harimau, Pagar Singa dan Sarang Ular, Liang Serangga
beracun dan lain-lain. Tetapi....”
Siau-liong merenung sebentar
lalu berkata pula: "Segala perlengkapan itu hanya dapat digunakan terhadap
musuh yang berjumlah kecil. Kalau barisan besar seperti kali ini sama melepas
api, tentulah pohon-pohon bunga itu akan musnah semua. Juga kalau dibakar
dengan bahan peledak, kiranya kawanan binatang buas itu tentu akan mampus juga.
Maka menurut hematku ......”
Sejenak Siau-liong memandang
pada Ceng Hi, lalu: "Jika tak mengundurkan diri ke dalam barisan Tujuh Maut
dan Lembah Maut, setelah barisan bunga itu dimusnahkan, kedua durjana itu tentu
keluar bertempur!"
Ceng Hi totiang mengangguk,
“Pandangan anda sungguh tepat. Yang kukuatirkan adalah kekuatan kedua durjana
itu. Kita belum tahu jelas sampai dimana kekuatan mereka. Jika kali ini kita
kalah, dunia persilatan pasti akan menderita kehancuran!"
Pada saat itu api sudah mulai
berkobar ditengah barisan pohon Bunga. Beberapa saat kemudian Ceng Hi berkata,
“Barisan bunga itu dalam beberapa waktu baru dapat musnah. Selama itu kedua
durjana tentu takkan menerobos keluar. Silahkan saudara bersama nona mawar
Putih beristirahat dihutan belakang ....."
Memandang wajah Siau-liong,
ketua Kun-lun-pay itu menambah pula, “Dalam pertempuran untuk menentukan mati
hidupnya dunia persilatan ini, harap saudara suka membantu sekuat tenaga!"
Habis berkata Ceng Hi totiang
hendak mengantar Siau-liong berdua ke belakang hutan, tetapi Siau-liong minta
imam itu tinggal disitu saja karena masih mempunyai tugas penting.
Siau-liong bersama Mawar Putih
menuju ke arah hutan.
Di dalam hutan terdapat sebuah
kemah. Beberapa imam kecil yang menjaga kemah itu, segera mempersilahkan
Siau-liong dan Mawar Putih duduk di atas dua lembar permadani dan menghidangkan
dua cawan teh wangi.
Kedua muda mudi itu duduk
beristirahat. Dalam pada itu diam-diam Siau-liong merenung.
Setelah barisan pohon bunga
itu terbakar habis, tentu akan timbul pertempuran dahsyat. Sekalipun Ceng Hi
totiang sendiri yang memimpin dan hampir dikata seluruh tokoh-tokoh persilatan
ikut serta dalam barisan, tetapi mengingat kedua suami isteri Iblis
Penakluk-dunia itu sangat licik dan banyak tipu muslihat, ia masih belum dapat
memastikan apakah gerakan orang gagah itu akan berhasil.
Tokoh-tokoh Harimau Iblis,
Naga Laknat, Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni. Jika mereka dapat digunakan
oleh Iblis Penakluk-dunia, tentulah barisan orang gagah akan menemui kesulitan
besar.
Saat itu Siau-liong sudah
memperoleh kitab pusaka Thian Kong pit-kip. Jika dalam saat-saat yang genting
dan penting seperti kala itu ia tak dapat memberi bantuan, bukankah ia merasa
malu terhadap pencipta kitab pusaka Thian-Kong-Sin-kang?
Seketika ia kosongkan seluruh
pikirannya dan mulai melakukan pernafasan sesuai dengan petunjuk dari kitab
pusaka itu.
Kemah ini kosong. Setelah
Siau-liong dan Mawar Putih beristirahat, kawanan imam kecil itu pun segera
mengundurkan diri keluar. Mereka hendak melihat jalannya peperangan ke Lembah
Semi saat itu.
Pada saat Siau-liong sedang
asyik melakukan penyaluran tenaga dalam, tiba-tiba ia mendengar suara mendesis
tajam melayang ke arahnya. Ia terkejut. Dengan gunakan ilmu
Mendengar-suara-membedakan-arah, ia menyambar benda itu.
Ah, kiranya bukan senjata
rahasia melainkan secarik kertas. Cepat ia loncat melesat keluar. Tetapi kecuali
beberapa imam kecil yang tengah menjaga kemah itu, ia tak melihat seorang lain
lagi.
Terpaksa ia kembali masuk ke
dalam kemah. Mawar Putih menyambutnya dengan pandang penuh pertanyaan ....
Tetapi Siau-liong tak sempat memberi keterangan. Cepat ia membuka kertas itu.
Ah, ternyata tulisan dari gurunya, Tabib-sakti-jenggot-naga Kangsun Sin-tho.
Bunyinya ringkas:
“Lekas mundur, jangan
menyerang. Rencanakan lagi baru bergerak."
Siau-liong tertegun. Ia yakin
gurunya itu tak mungkin akan bergurau menggertak dengan ancaman kosong. Jika
gurunya menyuruh ia mundur dan jangan lanjutkan penyerbuan, tentulah keadaan
tak menguntungkan. Kemungkinan besar suami isteri Iblis Penakluk-dunia itu
tentu sudah siapkan rencana untuk menghancurkan rombongan Ceng Hi totiang.
Ia merasa sulit. Barisan sudah
mulai akan menyerang. Bagaimana mungkin diperintahkan mundur dengan seketika.
Dan lagi, perintah penarikan mundur itu akan mengakibatkan turunnya semangat
para orang gagah. Kemungkinan pula, akan menimbulkan pertikaian diantara sesama
kawan sendiri.
Pemimpin barisan orang gagah
itu adalah Ceng Hi totiang. Dapatkah ia menasehatkan imam tua itu untuk menarik
barisannya? Ah ......
Lama Siau-liong termangu
memandang surat dari gurunya itu. Demikian pun Mawar Putih.
Sekonyong-konyong diluar
terdengar suara langkah orang berlari menghampiri. Dan pada lain saat terdengar
suara itu bertanya kepada imam kecil penjaga kemah: "Adakah Pendekar
Laknat berada di dalam kemah ini?"
Cepat Siau-liong melongok
keluar. Ah, kiranya yang datang itu adalah Pengemis tertawa Tio-Tay-tong. Dia
membawa sebuah bungkusan kecil.
Melihat Siau-liong buru-buru
pengemis itu berkata, “Karena mendapat tugas untuk menyerang Lembah Semi maka
pemimpin kami tak dapat datang kemari sendiri dan suruh aku menyerahkan obat
ini ....” - ia terus menyerahkan bungkusan kecil itu kepada Siau-liong.
Ia minta maaf kepada
Siau-liong karena agak terlambat membawa pulang obat. Hal itu disebabkan karena
ada beberapa macam ramuan sukar didapat.
Siau-liong menyambuti obat itu
seraya mengucap terima kasih. Tiba-tiba terlintaslah dalam benaknya apa yang
harus dikerjakan saat itu. Ah, kemungkinan hal itu akan dapat merobah kekalahan
menjadi kemenangan.
"Paling sedikit memakan
waktu tiga empat jam lagi barulah barisan pohon Bunga itu terbakar habis. Jika
dalam waktu yang singkat itu, aku dapat menyelundup ke dalam Lembah Semi untuk
membebaskan Jong Leng lojin. Kemungkinan sebelum rombongan orang gagah
menyerang ke dalam lembah, aku tentu sudah berhasil meringkus kedua suami
isteri durjana itu!" pikirnya.
Ya, hanya dengan siasat itulah
kiranya ia dapat menyumbangkan tenaga kepada rombongan orang gagah.
Karena sedang terbenam dalam
renungan, Siau-liong tak mendengar ucapan minta diri dari Pengemis tertawa Tio
Tay-tong.
Setelah memasukkan bungkusan
surat itu ke dalam pinggangnya, ia berpaling ke arah Mawar Putih, “Harap adik
suka menunggu disini, aku hendak mengantarkan obat ini .... Setelah itu barulah
kita pulang keseberang laut!"
Selesai memberi pesan,
Siau-liong terus berputar diri dan pergi.
Sudah tentu Mawar Putih
terkejut dan buru-buru menghadangnya: “Hendak kemana engkau?"
"Menyerahkan obat kepada
Ti Gong taysu!"
Karena tak biasa bohong, maka
wajah Siau-liong tersipu-sipu merah. Untung ia mengenakan kedok muka sehingga
tak dapat dilihat Mawar Putih.
“Bukankah hal itu dapat
menyuruh orang lain yang mengantarkan?" Mawar Putih deliki mata kepadanya.
“Obat ini amat berharga dan
sukar dicari. Jika sampai hilang ....”
Mawar Putih mendengus dingin,
“Jangan harap engkau dapat mengelabuhi aku. Kalau mau pergi, aku tetap
ikut!"
Siau-liong terpaksa tak dapat
berbuat lain kecuali menghela napas panjang. Terpaksa mengajak dara itu keluar
dari kemah dan membeluk kesamping kanan. Oleh karena sudah paham keadaan lembah
itu, maka Siau-liong tak ragu-ragu lagi.
Saat itu rombongan orang gagah
sudah berpusat diluar barisan pohon Bunga yang terletak di belakang Lembah.
Penjagaan disepanjang tempat yang dilaluinya, dijaga ketat oleh anak buah
partai-partai persilatan.
Karena lari pesat, tak berapa
saat tibalah Siau-liong dimuka jalanan rahasia ke dalam Lembah Semi.
Semak pohon yang menutup mulut
jalan, saat itu sudah terbakar habis. Tetapi karena terowongan gua itu rendah
sekali, Siau-liong sukar mencari jalan.
Siau-liong berputar tubuh
tertawa masam, ujarnya, “Memang kepergianku ini amat berbahaya sekali tetapi
pun amat penting sekali. Bagaimanapun, aku harus menempuh bahaya itu!"
Mawar Putih kerutkan dahi.
Tetapi ia menyadari bahwa percuma saja ia akan mencegah pemuda yang keras
kepala itu.
Maka sengaja ia tertawa,
“Bukan maksudku hendak mencampuri urusanmu. Tetapi, janganlah engkau
meninggalkan aku seorang diri!"
Habis berkata dara itu terus
menerobos ke dalam terowongan rahasia itu.
Karena terowongan itu melalui
tempat yang sedang dilanda kebakaran besar, maka terowongan itu pun amat panas
sekali. Ditambah pula dengan hawa lembab bercampur bau busuk. Setelah berjalan
beberapa langkah saja, Mawar Putih rasakan kepalanya pesing, perut mau tumpah.
Siau-long tak tahan melihat
kelambatan langkah Mawar Putih. Cepat ia mendahului dimuka. Sambil menutup
hidung, ia berjalan bersama dara itu.
Terowongan lembab basah dengan
air sumber gunung. Tanahnya makin berlumpur sehingga sukar dilalui.
Beberapa kali Mawar Putih
hampir tergelincir jatuh. Pakaiannya kotor berlumpuran lumpur.
Tetapi sedikitpun ia tak
mengomel. Dengan tubuh terhuyung-huyung, ia kuatkan diri berjalan disamping
Siau-liong.
Kurang lebih setengah jam,
mereka tiba dimulut Lembah Maut. Tetapi keadaan pintu lembah itu gelap karena
ditutup oleh batu besar.
Diam-diam Siau-liong menimang.
Tempo hari ia menolong Toh Hun-ki dan kawan-kawannya dengan mengambil jalan
dari mulut terowongan, tentulah hal itu sudah diketahui oleh Soh-beng Ki-su,
Iblis Penakluk-dunia dan anak buah Lembah Maut.
Oleh karena itu maka pintu
terowongan ditutup dengan batu. Dan kalau saat itu gerak geriknya diketahui
orang Lembah Semi tentu celakalah. Tak mungkin ia dapat melintasi barisan Tujuh
Maut untuk menolong Jong Leng lojin.
Setelah merenung beberapa
saat, ia membisiki beberapa patah kata ke telinga Mawar Putih. Setelah itu ia
kerahkan tenaga dalam lalu mulai mendorong batu penutup pintu terowongan itu.
Batu besar berderak-derak
bergerak keluar. Selekas batu itu menggelinding keluar, Siau-liong cepat loncat
keluar.
Ah.... ternyata dugaannya
benar. Dua samping pintu terowongan telah dijaga oleh empat orang berpakaian
hitam. Mereka terkejut ketika melihat Pendekar Laknat muncul.
Siau-liong tak mau membuang
waktu. Dengan kedua tangannya ia gunakan jurus, Angin-meniup-daun-berhamburan,
menyerang keempat penjaga.
Tiga orang baju hitam remuk
tulangnya. Tanpa dapat menjerit, mereka rubuh binasa.
Yang seorang rupanya agak
cerdik. Pada saat Siau-liong menghantam ketiga kawannya, ia loncat melarikan diri
sembari siapkan panah api untuk memberi tanda kepada markas.
Siau-liong terkejut. Jika
orang itu sampai dapat melepaskan panah api, tentulah Iblis Penakluk-dunia dan
rombongan anak buahnya akan menyerbu kesitu.
Dengan gerak Harimau-lapar-menerkam-mangsa,
ia loncat membayangi orang itu. Sebelum orang itu berhasil meluncurkan panah
api, bahunya sudah dapat dicengkeram Siau-liong. Orang itu menjerit ngeri lalu
terkulai ke tanah bersama anak panahnya.
Siau-liong masih belum puas.
Ia tutuk tiga buah jalan darah maut pada tubuh orang itu. Sesaat kemudian ia
merasa menyesal juga karena telah membunuh empat jiwa.
Saat itu Mawar Putih pun sudah
keluar terowongan. Pakaiannya berlumuran lumpur, tubuhnya mandi keringat.
Untunglah karena terlindung
oleh jajaran gunung, maka Lembah Maut itu tak menderita kebakaran. Hanya saja
asap api itu mengerumun penuh dalam lembah, ditambah pula dengan tebaran kabut,
lembah itu seolah-olah tertutup oleh lautan asap tebal.
Hal itu malah menguntungkan Siau-liong
karena jejaknya tentu sukar diketahui orang Lembah Semi.
Siau-liong tak mau membuang
waktu lagi. Sebelum kebakaran pada barisan pohon bunga itu padam, ia harus
sudah dapat membebaskan Jong Leng lojin.
Segera ia menggandeng tangan
Mawar Putih lalu melintasi lembah yang penuh dengan hutan pohon dan lautan
batu-batu aneh. Berkat peta dari Jong Leng lojin dan pula tempo hari ia pernah
memasuki lembah itu untuk mencari jejak Mawar Putih, maka saat itu ia sudah
paham akan keadaan lembah.
Tak berapa lama dapat ia
mencapai titik jalan yang menghubungkan Lembah Maut dengan barisan Tujuh Maut.
Tanpa membuang waktu lagi, Siau-liong terus ajak Mawar Putih menyusup ke dalam
terowongan dibawah tanah yang panjang dan dalam itu.
Saat itu agaknya Mawar Putih kumat
lagi tabiatnya yang manja. Sambil menarik lengan baju Siau-liong ia berseru
dengan nada beriba, “Engkoh Liong, apakah yang hendak engkau lakukan?
Terowongan ini penuh dengan alat jebakan rahasia. Apakah engkau hendak
mengantar jiwa?"
38. Jong Leng Lojin Lenyap
.....??
Siau-liong berhenti, menghela
napas menatap wajah dara itu: “Memang kita sedang menempuh bahaya. Tetapi
mudah-mudahan langkah kita ini dapat menghentikan pertumpahan darah di dunia
persilatan, menyelamatkan beribu jiwa. Tentang alat-alat rahasia yang memenuhi
terowongan ini ....”
Ia berhenti dan tertawa, “Kini
bagiku, tempat itu tak ubah seperti jalan besar Yang-kwan saja!"
Mawar Putih memandangnya
dengan heran tetapi tak mau bertanya apa-apa lagi. Dara itu sudah percaya penuh
kepada Siau-liong. Walaupun tahu bahwa pemuda itu sedang menempuh jalan maut,
namun Mawar Putih tetap mengikutinya tanpa ragu-ragu.
Siau-liong merabah bungkusan
obat yang disimpan dalam pinggang bajunya ia hendak berjalan tetapi berhenti
lagi. Teringat ia ketika bertemu dengan Jong Leng lojin, ia tidak menyamar
sebagai Pendekar Laknat. Jika saat itu ia masih menyamar sebagai Pendekar
Laknat, bukankah akan menimbulkan kecurigaan orang tua itu?
Segera ia melepas kedok muka
dan pakaian penyamarannya. Setelah itu baru ia ajak Mawar Putih lanjutkan
perjalanan.
Saat itu ia tiba didinding
batu yang cekung ke dalam. Tetapi apa yang dilihatnya dalam ruang itu,
membuatnya terkejut sekali!
Ruang itu kosong melompong.
Jong Leng lojin lenyap ......
Rantai besi yang mengikat kaki
orang tua itu kutung menjadi dua dan berhamburan di tanah. Rupanya telah
dipapas dengan pedang pusaka yang amat tajam. Disekeliling ruang, tak terdapat
jejak yang mencurigakan.
Siau-liong menimang. Menilik
rantai besi yang putus itu, kemungkinan besar Jong Leng lojin tentu ditolong
orang. Tetapi orang tua yang begitu sakti kepandaiannya, pun tak mampu
memutuskan rantai borgolannya, lalu siapakah tokoh yang begitu sakti dan
memiliki senjata begitu tajam hingga dapat memutuskan rantai borgolan itu?
Pikiran Siau-liong melayang
lebih jauh. Menurut anggapannya, hanya dua orang yang ada kemungkinan telah
menolong Jong Leng lojin. Kesatu, gurunya sendiri ialah
Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsun Sin-tho. Dan yang lain adalah Randa Bu-san.
Tetapi Siau-liong tetap
bersangsi. Karena ditilik dari sudut manapun, kedua tokoh itu tak mungkin dapat
mengetahui tempat rahasia itu dan menolong Jong Leng lojin!
Ah, lalu siapakah orang itu?
Tiba-tiba bulu kuduk
Siau-liong meremang tegang. Ia mencemaskan kemungkinan yang ketiga. Jika kedua
suami isteri durjana itu dapat memenjarakan Jong Leng lojin disitu, tentulah
mereka mampu juga untuk melepaskan orang tua itu.
Dan kemungkinan itu memang
bukan mustahil.
Untuk menghadapi serangan
besar-besaran dari rombongan Ceng Hi totiang kemungkinan Iblis Penakluk-dunia
hendak menggunakan orang tua itu untuk menghadapi mereka.
Menurut perhitungannya saat
itu Sudah hampir sejam lamanya barisan pohon Bunga dilanda api. Dua jam lagi,
setelah api padam, rombongm Ceng Hi totiang tentu akan menyerbu dan tentulah
akan terjadi pertempuran yang dahsyat dan mengerikan!
Siau-liong makin gelisah
tetapi tak dapat menemukan suatu akal. Akhirnya ia memutuskan, karena sudah
memasuki tempat itu, lebih baik ia mengadakan penyelidikan seluas-luasnya. Maka
ia segera ajak Mawar Putih lanjutkan perjalanan menyusup terowongan di bawah
tanah itu.
Pintu keluar dari terowongan
itu, sebagian dibuat orang, sebagian memang berasal dari gua alam. Letaknya
persis dimuka Barisan Tujuh Maut.
Disebelah muka gua yang
menjadi pintu keluar dari terowongan dibawah tanah itu, terbentang sebuah
dataran yang ditengahnya terdapat sebuah hutan pohon siong.
Pada saat Siau-liong hendak
lanjutkan langkah, tiba-tiba dari arah hutan iiu terdengar suara orang tertawa
nyaring. Dia tersentak kaget.
Tak salah lagi, suara tertawa
itu adalah tertawa si Iblis Penakluk-dunia.
Cepat Siau-liong mundur
kembali. Tetapi gerumbul pohon dan semak belukar yang mengaling mulut gua itu
sedemikian lebatnya hingga ia tak dapat melihat jelas siapa-apa yang keluar
dari hutan itu.
Siau-liong mencari akal.
Disebelah kiri gua itu terdapat sebuah batu karang yang menjulang tinggi. Jika
bersembunyi disitu tentulah ia dapat melihat keadaan disekeliling penjuru.
“Adik Mawar, jagalah mulut
terowongan ini. Jika musuh muncul, lekas hubungi aku. Aku hendak meninjau
keadaan musuh dari atas karang itu!" ia memberi pesan kepada Mawar Putih
lalu merayap ke atas.
Setelah mencapai puncak dan
memandang ke arah hutan, kejutnya bukan kepalang.
Dalam hutan itu tampak
berpuluh sosok tubuh manusia, bergerak kian kemari. Ada lelaki ada pula
wanitanya. Jumlahnya tak kurang dari seratus orang.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka duduk disebuah tempat yang tinggi. Dibelakangnya dijaga oleh sepuluh
gadis baju merah. Iblis itu tengah mencekal sebatang pedang yang
berkilau-kilauan cahayanya.
Dihadapan iblis Itu tegak
berjajar duapuluh barisan lelaki perempuan yang mengenakan pakaian serba
ringkas dan menghunus senjata. Disebelah kanan rombongan orang itu, tampak
sebuah kereta tetapi belum dirakit dengan kuda.
Dimuka kereta, dua orang baju
hitam berdiri disebelah kanan dan kiri. Mereka memegang poros kereta seperti
orang yang menarik kereta itu.
Selain mengenakan baju hitam,
pun kedua orang itu juga membungkus kepalanya dengan kain sampai pada lehernya.
Hanya pada kedua matanya yang diberi lubang. Jika pada malam hari, orang tentu
mengira mereka adalah setan-setan kuburan yang keluyuran keluar.
Di belakang kereta dikawal
oleh dua buah barisan orang baju hitam. Tetapi kepalanya tidak dibungkus rapat
dengan kain hitam melainkan dengan sutera tipis. Setiap barisan terdiri dari
lima orang.
Kereta itu kosong tiada
isinya. Tetapi menurut dugaan, tentulah disediakan untuk Iblis Penakluk-dunia
dan Dewi Neraka.
Sesungguhnya yang hendak
dicari Siau-liong hanyalah Jong Leng lojin. Diawasinya dengan penuh perhatian
setiap orang dan gerak-gerik mereka. Tetapi ia tak melihat kehadiran Jong Leng
lojin.
Tiba-tiba Siau-liong melihat
seorang lelaki baju kelabu berlari-larian dari mulut gunung menuju ketempat
Iblis Penakluk-dunia. Begitu tiba di tepi hutan, orang itu hentikan larinya
lalu menghampiri kehadapan Iblis Penakluk-dunia dan memberi hormat.
“Melaporkan pada bapak
pemimpin, barisan pohon Bunga sudah terbakar separoh bagian. Pagar Singa dan
Pagar Harimau, telah diledakkan oleh rombongan Ceng Hi totiang. Kawanan
binatang disitu mati hangus semua!" seru orang itu.
Iblis Penakluk-dunia bukannya
terkejut, kebalikannya malah tertawa mengekeh, “Ah, hal itu memang sudah
kuperhitungkan .....” - ia melirik ke arah isterinya lalu membentak orang itu,
“Bagaimana dengan tempat!"
“Empat penjuru lembah, api
sudah padam. Sebagian besar dari anak buah Ceng Hi totiang berkumpul diluar
barisan pohon Bunga. Rupanya begitu api padam, mereka tentu akan
menyerbu!" jawab orang itu.
Iblis Penakluk-dunia
mendengus, “Hm, aku sudah tahu, pergilah!"
Orang itu menjurah lalu angkat
kaki. Sambil mengurut jenggotnya yang menjulai sampai kelutut, Iblis
Penakluk-dunia gelengkan kepala dan merenung. Beberapa saat kemudian berkatalah
ia kepada isterinya, “Setelah pertempuran hari ini, lihat saja siapakah tokoh
persilatan yang berani menentang aku lagi!"
“Tolol! Mereka telah kerahkan
sejumlah besar tokoh-tokoh persilatan dan mengumumkan hendak meratakan Lembah
Semi ini. Adakah engkau mempunyai keyakinan untuk memenangkan mereka?"
sahut Dewi Neraka.
Iblis Penakluk-dunia tertawa,
“Sekalipun mereka benar berjumlah puluhan ribu orang, aku tetap dapat
membereskan mereka .....”
Kemudian menunjuk pada ke
duabelas orang baju hitam yang berada dimuka dan belakang Iblis Penakluk-dunia
berkata pula dengan beberapa orang itu saja kiranya dapat melayani sepuluh ribu
musuh!"
Siau-liong terkesikap.
Dipandangnya kepada orang baju hitam itu tak bergerak seperti patung.
Dewi Neraka mendengus lagi:
"Sekalipun nanti akan menang, tetapi bukan berarti tak ada yang perlu
dicemaskan lagi ....” - ia menatap wajah suaminya lalu melanjutkan, “Paderi
Kurus dari gunung Thian-san, Manusia Aneh dan Pak-I-ciang, Sepasang imam dari
gunung Bu-san, Empat Seram dari gunung Im-san, kelana dari gunung Hong-san,
Randa gunung Bu-san dan masih ada pula Pendekar Laknat ....”
Iblis perempuan itu tak
melanjutkan kata-katanya melainkan hanya menghela napas.
Semula Iblis Penakluk-dunia
tertegun juga tetapi pada lain saat ia tertawa lepas: “Jangan kuatir, isteriku.
Berkat kepandaian dan kecerdasan kita berdua, adalah semudah orang membalikkan
telapak tangannya jika hendak menguasai dunia persilatan!"
Ia lambaikan tangan dan dua
orang tua yang masing-masing berumur limapuluhan tahun segera maju kehadapannya
dan menjurah.
“Beritahukan kepada anak buah
kita di belakang lembah. Begitu api yang membakar barisan pohon bunga itu
padam, mereka suruh lepaskan anak panah api!" seru Iblis Penakluk-dunia.
Kedua orang itu cepat
melakukan perintah.
Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia
berbangkit lalu jalan menghampiri kereta.
Siau-liong sedang menumpahkan
seluruh perhatian untuk mengawasi gerak gerik Iblis Penakluk-dunia dengan anak
buahnya. Sedemikian asyiknya ia mengikuti mereka sehingga tak ingat akan
keadaannya sendiri. Tiba-tiba ia mendengar Mawar Putih menjerit kaget.
Siau-liong terkejut dan
berpaling. Hai.... Mawar Putih yang menjaga dimulut gua tadi, ternyata sudah
tak tampak disitu.
“Adik Mawar! Adik
Mawar....!" serunya berbisik. Tetapi tiada penyahutan sama sekali.
Cepat Siau-liong meluncur
turun dan menghampiri gua. Ternyata apa yang dikuatirkan memang benar. Ketika
tiba dimulut gua, sayup-sayup ia mendengar suara orang tertawa dingin dan pada
lain saat muncullah seorang baju merah menyala. Ah.... Poh Ceng-in, nona
pemilik Lembah Semi.
Mata Siau-liong
berkunang-kunang dan hampir jatuh. Tetapi wanita itu malah tertawa mengejek,
“Merdu sekali engkau memanggilnya. Sayang ia sekarang sudah tak dapat menyahut
lagi!"
Dada Siau-liong seraya
meledak. ingin ia menghancurkannya tetapi dia tahu bahwa hal itu akan membawa
akibat pada dirinya sendiri. Terpaksa ia menahan kemarahan dan berseru agak
ketus,
“Engkau apakan dia!"
Poh Ceng-in tertawa dingin,
“Lihatlah sendiri kesini....!" - ia berputar diri dan berseru ke arah
terowongan, “Suheng, bawalah ia keluar!"
Siau-liong buru-buru
menghampiri dan memandang ke dalam mulut gua. Dilihatnya Mawar Putih berdiri
beberapa langkah dalam mulut gua tetapi punggung dan mulutnya didekap oleh
seorang aneh yang bertubuh amat kurus sekali.
Sekurus manusia yang tinggal
tulang berbungkus kulit. Dan orang itu bukan lain adalah Soh-beng Ki-su!
Marah Siau-liong bukan
kepalang. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam dan maju hendak menerjang. Tetapi
Soh-beng Ki-su tertawa sinis.
“Budak, jika engkau berani
maju, budak perempuan ini akan kujadikan mayat hidup dengan ilmu tenaga sakti
Pek-kut-kang!" serunya mengancam.
Sekalipun Siau-liong mampu
menghadapi sepuluh Soh-beng Ki-su, tetapi karena Mawar Putih berada ditangan
pertapa itu, terpaksa ia tak berani lanjutkan tindakannya.
"Hm, kiranya engkau
seorang pemuda hidung belang," seru Poh Ceng-in, “siapakah dia?"
Karena marahnya, gigi
Siau-liong sampai berceretukan, sahutnya getus, “Tak perlu engkau tanya!"
“jangan lupa, engkau dan aku
sehidup semati....”
Siau-liong marah dan mengkal.
Melirik ke arah rombongan Iblis Penakluk-dunia yang berada dalam hutan, ia
membentak wanita itu,
“Sekali telah kululuskan janji
untuk mati bersama setahun nanti, tentu akan kulaksanakan!"
“Tetapi engkau sudah berjanji
dalam setahun ini takkan bergaul dengan perempuan lain!" tukas Poh
Ceng-in.
Sekali tak dapat berkutik
karena ditutuk jalan darahnya oleh Soh-beng Ki-su, tetapi Mawar Putih dapat
mendengar pembicaraan Siau-liong dengan wanita baju merah itu dengan jelas. Ia
deliki mata kepada Siau-liong lalu meronta sekuat tenaganya untuk melepaskan
mulutnya dari dekapan tangan Soh-beng Ki-Su, lalu berteriak,
“Siau-liong, engkau ......”
Tetapi belum sempat dara itu berteriak,
punggungnya telah ditutuk oleh Soh-beng Ki-su.
Hati Siau-liong seperti
disayat. Untuk kedua kali ia nekad hendak menerjang lagi.
Tetapi dibentak Poh Ceng-in,
“Diam!"
Dengan mata berkilat buas,
Soh-beng Ki-su lekatkan tangan kiri kepunggung Mawar Putih, sedang tangan kanan
ditebarkan mencengkeram dada dara itu. Rupanya ia hendak melaksanakan rencana
ganas.
Siau-liong menghela napas dan
palingkan muka.
Terdengar Poh Ceng-in tertawa
dingin, berkata kepada Soh-beng Ki-su, “Suheng, bawalah pergi budak perempuan
itu....!" -kemudian menuding Siau-liong ia berseru, “ Dia mempunyai peta
terperinci dari keadaan Lembah Semi. Engkau harus mencari tempat lain yang
sukar dicari."
Soh-beng Ki-su kerutkan dahi,
ujarnya, “Budak itu hebat sekali, sumoay engkau ......”
Poh Ceng-in tertawa mengekeh,
“Tak peduli dia bagaimana saktinya tetapi tak mungkin dia berani membunuh
diriku ..... dan tak mungkin akan membunuhku."
Soh-beng Ki-su tertawa
menyeringai. Memanggul Mawar Putih, ia terus menyusup ke dalam terowongan.
Dapat dibayangkan betapa perih
dan pedih hati Siau-liong melihat Mawar Putih dibawa Soh-beng Ki-su tanpa ia
mampu memberi pertolongan. Darahnya bergolak keras, hingga hampir saja ia
pingsan.
Setelah Soh-beng Ki-su pergi,
barulah Poh Ceng-in menghampiri kemuka Siau-liong, katanya, “Yang salah adalah
engkau sendiri, jangan sesalkan aku berhati kejam.... kini hanya tinggal dua
pilihan ....”
Siau-liong memandang lekat ke
wajah wanita pemilik lembah itu tetapi tak berkata apa-apa.
Dipandang begitu rupa oleh
Siau-liong, bingung juga wanita itu. Ia tak tahu apa yang sedang dipikirkan
pemuda itu.
“Jika engkau mau segera
menjadi suami isteri dengan aku, akan kubiarkan engkau sendiri yang melepaskan
budak perempuan iiu. Kalau tidak, kita bertiga akan segera mati bersama!"
Siau-liong tak mengacuhkan
kata-kata wanita itu. Ia tetap tegak termangu-mangu memandangnya. Tiba-tiba
wajahnya berobah.
“Apakah benar racun Jong-tok
yang engkau berikan kepadaku itu tiada obatnya lagi?" tanyanya.
“Tidak ada!" sahut Poh
Ceng-in," sekalipun engkau makan obat dewa, juga tak berguna!"
Dengan wajah beku, Siau-liong
maju selangkah, serunya dengan nada sarat, “Jika aku tak tahan lagi dan
memukulmu mati, lalu kuminum darahmu atau menggunakan darah anjing hitam mulus
untuk pengantar, mengorek hatimu lalu kumakan, entah bagaimanakah
akibatnya?"
Seketika pucatlah wajah Poh
Ceng-in sehingga ia terhuyung-huyung mundur dan berseru dengan nada gemetar,
“Engkau dengar dari siapa cara itu .... oh, engkau kejam sekali.... engkau
hendak membunuh aku agar dapat menolong budak perempuan itu lalu engkau menikah
dengannya, engkau ......”
Siau-liong menghela napas.
“Sayang, aku tak berhati buas
seperti engkau. Mungkin sukar melakukan hal semacam itu. Hanya ....” Siau-liong
berhenti sejenak, sekali gerak cepat ia menutuk jalan darah dibahu kanan Poh
Ceng-in.
Tepat pada saat itu, dari
kejauhan tampak tiga larik sinar api yang cepat sekali mendekati. Dan dari arah
hutan terdengarlah Iblis Penakluk-dunia berteriak keras dan serempak
terdengarlah suara kereta berjalan berderak-derak.
Kereta yang dikawal oleh
barisan orang hitam itu segera berjalan menuju keluar mulut gunung.
Siau-liong terkejut.
Diperhitungkannya saat itu api yang membakar barisan pohon Bunga masih sejam
lamanya. Tetapi mengapa anak buah Lembah Semi sudah memberi pertandaan lebih
dulu.
Tetapi dia tak sempat berpikir
lagi. Sambil mencengkeram bahu Poh Ceng-in, ia segera menyusup ke dalam
terowongan.
Sekalipun ia paham akan jalan
terowongan dan berjalan secepat lari, tetapi ia harus menggunakan waktu
setengah jam juga baru dapat menyusur keluar dari terowongan.
Selekas keluar, cepat ia lari
ke arah barisan pohon Bunga.
Sayup-sayup ia mendengar suara
jeritan ngeri dari suatu pertempuran dahsyat.
◄
Y ►
Memandang kemuka, tampak barisan
pohon Bunga yang penuh asap tebal itu diserbu oleh berpuluh-puluh sosok tubuh
manusia.
Siau-liong arahkan larinya
kesana. Tiba-tiba beberapa belas orang bersenjata, menghadang jalan. Mereka
terdiri dari kaum imam dan orang biasa Kepalanya seorang imam mencekal sebatang
golok kwat-to, tanpa berkata apa-apa terus menyerang Siau-liong.
Siau-liong terkejut dan cepat
loncat kesamping seraya membentak, “Hai, apakah tak kenal padaku!"
Tebasannya luput, imam itu
maju membabat pinggang Siau-liong seraya menghardik, “Budak keparat, aku tak
kenal padamu!"
Melihat pemimpinnya menyerang,
anak buahnya pun segera ikut menyerang Siau-liong.
Siau-liong terkejut. Saat itu
baru ia teringat kalau tak menyamar sebagai Pendekar Laknat. Apa boleh buat,
terpaksa ia harus menghadapi mereka.
Sambil menyekap Poh Ceng-in
dibawah ketiak, Siau-liong tak mau balas menyerang, melainkan berloncatan
menghindar serangan mereka.
Sambil menghindar, berulang
kali ia berteriak, “Berhenti dulu! Aku membawa Surat Jalan dari Ceng Hi totiang!"
Mendengar itu, imam yang
menjadi pemimpin rombongan penghadang itu segera membentaknya, “Kalau membawa
surat jalan, mengapa dari tadi tak lekas mengeluarkan!"
Rombongan penyerang itupun
hentikan serangannya. Namun masih mengepung Siau-liong. Pemuda itu buru-buru
merogoh bajunya. Tetapi yang diketemukan hanya peta pemberian Jong Leng lojin.
Buru-buru ia masukan lagi. Lalu merogoh saku. Tetapi yang diketemukan hanyalah
beberapa butir pil pemberian Poh Ceng-in.
Sudah tentu Siau-liong gugup
tak keruan. Kemanakah gerangan perginya Surat Jalan itu?
Merenung sejenak, barulah ia
teringat kalau Surat Jalan itu disimpannya dalam baju Pendekar Laknat. Tetapi
baju Pendekar Laknat itu sudah dilipat dan dililitkan pada pinggang. Jika
mengambil dan membuka pakaian itu tentulah diketahui orang. Berarti juga,
rahasianya tentu bocor. Ah....
Siau-liong benar-benar
bingung. Apalagi saat itu di dalam barisan pohon Bunga sudah berlangsung
pertempuran dahsyat. Jika rombongan Ceng Hi totiang sampai menderita kekalahan,
bukankah ia ikut bertanggung jawab karena tak dapat membantu mereka?
“Dari partai manakah suhu
ini?" segera ia bertanya kepada imam itu.
Imam bersenjata golok kwat-to
mendengus dingin, “Akulah yang seharusnya bertanya begitu kepadamu!"
Siau-liong paksakan tertawa,
“Aku bernama Kongsun Liong, juga hendak membantu gerakan Ceng Hi totiang untuk
membasmi kedua suami isteri durjana itu. Tentang Surat Jalan.... mungkin karena
terburu-buru, telah hilang dijalan!"
Ternyata imam itu tak pernah
mendengar nama Kongsun Liong. Dengan mata berkilat-kilat ia membentak, “Jangan
coba mengelabuhi orang! Ceng Hi totiang sudah mengeluarkan perintah. Barang
siapa yang tak membawa Surat Jalan, harus diperlakukan sama seperti anak buah
Lembah Semi ......”
Kemudian mata imam itu
memandang ke arah Poh Ceng-in Ialu berkata, “Jika engkau masih ingin hidup,
beritahukan siapa dirimu sebenarnya!"
Pada saat Siau-liong mencari
Surat Jalan tadi, terpaksa ia letakkan tubuh Poh Ceng-in di tanah. Belasan
orang yang mengepungnya itu segera lekatkan ujung pedang ke seluruh jalan darah
disekujur tubuh kedua anak muda itu.
Semula hal itu tak diacuhkan
Siau-liong. Pikirnya, begitu mengambil keluar Surat Jalan, segalanya tentu
beres. Tak kira kalau Surat Jalan itu disimpan dalam baju Pendekar Laknat.
Dalam gugup terpaksa ia
berseru nyaring, “Aku adalah murid pewaris dari Pengemis Tengkorak Song
Thai-kun dan kini diangkat menjadi ketua Kay-pang. Jika taysu tak percaya
silahkan suruh memanggil murid Kay-pang untuk dipadu!"
Imam itu tertawa memanjang.
Kemudian bertanya kepada rombongan, “Adakah salah seorang dan saudara yang
kenal akan Cousu-ya bayi ini.”
Sekalian orang tertawa
gelak-gelak: "Jangan dengarkan ocehannya! Anak umur tiga tahun pun takkan
percaya!"
“Tuh dengarlah! Jangan lagi tiada
seorang pun yang percaya omonganmu. Sekalipun ada yang percaya, pun sukar untuk
mencari anak murid Kay-pang yang saat ini sedang ikut Ceng Hi totiang menyerbu
ke dalam Lembah Semi ....”
Imam itu berhenti sejenak lalu
berkata pula, “Terpaksa engkau harus kita tahan. Nanti setelah Lembah Semi
beres, dan ternyata engkau memang bukan anak buah Iblis Penakluk-dunia, barulah
dapat kami lepaskan."
“Ikat dia dan perempuan baju
merah lalu bawa ke markas depan!" imam itu memberi perintah.
Selagi imam itu bicara,
diam-diam Siau-liong mencari lirik kesekeliling penjuru. Dilihatnya pada setiap
puncak pohon dan belakang batu terdapat orang yang siap dengan senjata panah.
Diam-diam ia memuji akan kelihayan Ceng Hi totiang mengatur barisan untuk
mengepung musuh.
39. Imam Kurus Dari Thian-san
Bukannya ia takut akan balasan
orang yang mengepungnya itu tetapi ia menyadari bahwa dalam pertempuran, tentu
ada korban yang jatuh. Disamping itu sukar dicegah kemungkinan Poh Ceng-in akan
terluka bahkan bisa mati. Kalau wanita itu mati, bukankah ia juga akan ikut
mati ......
Siau-liong termenung gelisah.
Tiba-tiba seorang paderi berkepala dan telinga besar, menutuk dada Siau-liong.
Ia yakin karena Siau-liong sudah tak berdaya, tentu mudah untuk ditutuk jalan
darahnya.
Tetapi alangkah kejutnya
ketika belum lagi jarinya menyentuh dada Siau-liong, paderi itu sudah menjerit
ngeri dan terhuyung-huyung mundur lima enam langkah. la rasakan jarinya seperti
terbakar api panas.
Kawan-kawannya tersentak
kaget. Tetapi karena peristiwa itu berlangsung cepat dan mendadak sekali,
mereka tak tahu apa sebab paderi itu sampai pontang panting begitu macam!
Imam yang menjadi kepala
rombongan pun tak tahu peristiwa itu. Tetapi ia seorang yang banyak pengalaman.
Ia duga Siau-liong tentu memiliki kepandaian tinggi. Maka cepat ia memberi
perintah untuk menyerang pemuda itu. Bahkan dia sudah mendahului untuk menebas
dengan goloknya.
Melihat sikap keras kepala
dari rombongan itu, terpaksa Siau-liong melayani juga. Sebelumnya ia memang
sudah menjaga setiap kemungkinan. Setelah mengundurkan paderi tadi, diam-diam
ia salurkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang ketangannya. Begitu belasan orang itu
menyerbu, ia pun cepat tamparkan kedua tangannya.
Pemimpin dan anggauta
rombongan itu memang tak memandang mata kepada Siau-liong.
Tetapi alangkah kejut mereka
ketika tamparan tangan pemuda itu menghamburkan tenaga dahsyat yang panas.
Beberapa jeritan ngeri terdengar dan empat orang telah terlempar menyusur tanah
.....
Untunglah rombongan pengeroyok
itu tak punya akal untuk menyerang Poh Ceng-in yang menggeletak di tanah.
Andaikata mereka bertindak begitu, tentu Siau-liong sudah mati kutu.
Setelah berhasil
mengacau-balaukan musuh, dengan menggembor keras, Siau-liong menyambar tubuh
Poh Ceng-in. Rencananya hendak dibawa lari menerjang mereka.
Tetapi pada saat itu,
serangkum angin tajam menyambar punggungnya. Terpaksa ia lepaskan tubuh Poh
Ceng-in dan terus berputar diri untuk menghalau penyerangnya.
Imam kepala rombongan itu
ternyata memang hebat. Walaupun sudah dipukul mundur oleh Siau-liong, tetapi ia
tetap maju menyerang lagi.
Siau-liong mendongkol sekali.
Setelah mendorong golok ke sisih, dengan kerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang
ia hendak menghantamnya.
Imam itu ternyata murid dari
Go-bi-pay. Walaupun kepandaiannya tak lemah tetapi tak mungkin ia dapat
menerima pukulan Bu-kek-sin-kang. Dia pasti hancur binasa apabila Siau-liong
gerakkan tangannya.
Pada saat Siau-liong sudah
hendak ayunkan tangannya, tiba-tiba terdengar suara orang membentak,
“Berhenti."
Nada orang itu amat berwibawa.
Apalagi Siau-liong memang tak bermaksud hendak melukai orang. Maka cepat-cepat
ia menarik kembali pukulannya.
Ketika sekalian orang mencari
siapa yang berseru itu tiba-tiba dari puncak sebatang pohon, melayang turun
sesosok tubuh yang kurus. Begitu kurus sehingga seperti daun yang melayang ke
tanah.
Pada saat tiba di tanah
barulah dapat diketahui bahwa orang itu ternyata seorang paderi bertubuh kurus
kering. Boleh dikata hanya sesosok kerangka tulang terbungkus kulit. Tetapi
sepasang matanya memancarkan sinar berapi-api, mengandung perbawa yang memaksa
orang menaruh keseganan.
“Ah....” imam pemimpin
rombongan tadi mendesus pelahan dan buru-buru merangkap kedua tangan, menyebut
"Omitohud" lalu memberi hormat kepada paderi kurus itu dengan
khidmat,
“Murid Li Hun menghaturkan
hormat atas kehadiran Seng-ceng!"
Paderi kurus itu tersenyum:
“Telah kupesatkan jalanku tetapi tetap terlambat sedikit ......”
Sambil memandang ke arah
barisan pohon Bunga, ia bertanya pula, “Apakah pertempuran sudah berjalan
lama?"
Imam kepala rombongan yang
menyebut namanya Li Hun itu buru-buru menyahut, “Baru beberapa saat saja."
Paderi tua kurus itu
mengangguk lalu memandang Siau-liong dan Poh Ceng-in yang menggeletak di tanah.
Tampak wajahnya mengerut cemas.
Buru-buru Li Hun melangkah
kehadapan paderi tua kurus itu, katanya, “Budak ini telah keluar dari Lembah
Semi sambil membawa wanita baju merah itu. Entah apa maksudnya. Tetapi jelas
tentu anak buah Iblis Penakluk-dunia. Murid telah mendapat perintah dari Ceng
Hi totiang supaya mengatakan tempat ini, karena itu....”
"Biarlah
kutanyainya," tukas paderi kurus itu.
Li Hun mengiakan, lalu memberi
isyarat supaya rombongan yang mengepung itu mundur.
Siau-liong tertegun memandang
paderi kurus itu. Diam-diam ia heran mengapa imam tadi begitu menghormat sekali
kepada paderi itu. Pula cara paderi itu muncul memang menunjukan seorang yang
sakti. Dan mendengar pembicaraan mereka tadi, rupanya paderi kurus itu datang
dari jauh.
Siau-liong tak tahu siapa paderi
kurus itu. Pikirnya, lebih baik ia tinggalkan tempat itu saja agar jangan
terlambat waktunya. Maka ia mundur dua langkah dan hendak mengangkat tubuh Poh
Ceng-in.
"Ah, jangan begitu
tegang," tiba-tiba paderi kurus itu berseru dengan tersenyum: "sekalipun
engkau berada satu tombak jauhnya dari tempatku, tetapi rasanya sukar kalau
engkau hendak meloloskan diri ......”
Nadanya angkuh, jelas tak
memandang mata pada Siau-liong. Siau-liong tertegun dan terpaksa batalkan
rencananya.
“Kenalkah engkau padaku?"
tegur paderi kurus itu pula.
Siau-liong tak kenal siapa
paderi itu. Tetapi menilik dia datang hendak membantu rombongan Ceng Hi
totiang, ia duga paderi itu tentu seorang cianpwe dari sebuah partai
persilatan.
Maka cepat ia memberi hormat,
menjawab, “Justeru aku hendak mohon tanya gelaran mulia dari losiansu."
"Aku Liau Hoan, selama
ini mengasingkan diri digunung Thian-san....” kata paderi itu dengan nada yang
penuh welas asih, "memang tak dapat dipersalahkan kalau engkau tak kenal
padaku. Menurut perhitungan, aku sudah empatpuluh tahun tak pernah menginjak
dunia persilatan lagi. Dan umurmu itu tentu belum seberapa ......”
Siau-liong terkesiap. Sudah
berulang kali ia mendengar orang mengatakan tentang paderi Liau Hoan dari
gunung Thian-san itu. Setitik pun ia tak kira bahwa paderi yang termasyhur itu
ternyata paderi bertubuh kurus yang berdiri dihadapannya saat itu. Ah, gelar
Paderi Kurus yang diberikan kepadanya, ternyata memang tak salah.
Beberapa saat Siau-liong
tertegun gelisah. Suara teriak jeritan dari barisan pohon Bunga, makin lama
makin keras dan gencar. Walaupun belum mengetahui siapa yang menang, tetapi ia
tetap teringat akan surat peringatan yang diberikan Kongsun Sin-tho itu. Jika
berlangsung makin lama, akibatnya tentu makin runyam.
Ia pikir, paderi kurus Liau
Hoan itu tentu akan percaya akan keterangan imam Li Hun, yang mengatakan
dirinya (Siau-liong) seorang-anak buah Iblis Penakluk-dunia. Ah, jika ia
menempur paderi kurus itu, tentu akan memakan waktu dan tenaga. Dan kemungkinan
bahkan akan menderita luka.
“Usiamu masih muda dan wajahmu
juga tak sembarangan tetapi mengapa rela menjadi kaki tangan kedua suami isteri
durjana itu?" tegur paderi Liau Hoan.
Buru-buru Siau-liong
membantah, “Hal itu sama sekali tidak benar, aku....”
“Bukankah engkau habis keluar
dari Lembah Semi?" cepat paderi itu menukas.
Terpaksa Siau-liong menyahut,
“Benar, tetapi....”
Sambil kebutkan lengan
jubahnya. Liau Hoan berkata, “Sudahlah, tak perlu membantah....”
Kemudian menunjuk pada Poh
Ceng-in yang menggeletak di tanah, paderi itu berkata pula, “Apakah wanita itu
engkau bawa dari Lembah Semi?"
"Benar, tetapi....”
Wajah Liau Hoan mengerut
gelap, bentaknya, “Apakah hidupku begini tua hanya hidup percuma saja! Apakah
perlu engkau jelaskan baru aku dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya
....?"
Mau tak mau Siau-liong
mendidih juga darahnya karena dibentak-bentak itu. ia pun menyahut dengan suara
lantang, “Jika tak kuterangkan, bagaimana losiansu dapat mengetahui
persoalannya yang berliku-liku itu ....?”
“Tutup mulutmu!" bentak
Liau Hoan marah. Lengan jubah paderi itu diangkat ke atas, seperti hendak
menyerang.
Sudah tentu Siau-liong
terkejut dan buru-buru bersiap-siap.
Tiba-tiba Liau Hoau tertawa.
“Anak muda, engkau murid Iblis
Penakluk-dunia atau bukan, tetapi aku akan memberimu kesempatan untuk menyerang
aku sampai tigapuluh jurus. Jika dalam tigapuluh jurus itu engkau sanggup
mengundurkan aku satu langkah saja, aku segera tinggalkan tempat ini!"
seru paderi kurus itu.
Siau-liong tertawa dingin, “Kaki
dan tangan tak bermata. Jika berkelahi tentu takkan terhindari dari hal-hal
yang menimbulkan derita luka!"
“Dalam tigapuluh jurus aku
takkan balas menyerang! Silahkan engkau menyerang sesukamu saja!" bentak
paderi itu.
Siau-liong anggap paderi kurus
itu juga manusia yang membawa kemauan sendiri dan angkuh sekali.
Diam-diam ia menimang, “Jangan
lagi tigapuluh jurus, dalam tiga jurus saja jika tak mampu mengundurkan engkau,
aku pun takkan muncul dalam dunia persilatan lagi!"
Maka menyahutlah ia dengan
lantang, “Karena locianpwe yang memerintah, akupun terpaksa menurut saja.
Silahkan locianpwe bersiap!"
Habis berkata ia terus
mengangkat tangan kanan lalu ditamparkan dengan jurus. Menurut
aliran-air-mendorong-sampan, kedada Liau Hoan.
Paderi itu tegak diam.
Sepasang tangan dirangkapkan kemuka dada. Tiba-tiba serangkum suara lembut
seperti kapas memancar dari tangannya, menghapus tenaga pukulan Siau-liong,
seraya tertawa hambar.
“Pukulan semacam itu, banyak
terdapat dipasar persilatan!"
Siau-liong tak mau menyahut
melainkan lepaskan lagi sebuah pukulan Tay-lo-kim-kang ke arah kepala paderi
itu.
Liau Hoan agak terkejut. Cepat
ia dorongkan kedua tangannya kesamping untuk 'menarik' tenaga pukulan
Siau-liong kesamping. Kedua bahunya pun ikut condong kesamping tetapi secepat
itu berayun kemuka lagi. Sepasang kakinya tetap tak berkisar sedikitpun jua.
Tetapi mau tak mau wajah
paderi itu berobah, kaget, serunya, “Pukulan Thay-siang-ciang! Adakah engkau
benar-benar....”
Tetapi tiba-tiba ia hentikan
kata-katanya dan berganti dengan sebuah bentakan yang bengis “Masih ada
duapuluh delapan jurus, lekas teruskan seranganmu!"
Diam-diam Siau-liong terkesiap
dalam hati. Apa yang disohorkan orang ternyata benar. Kepandaian Liau Hoan
memang hebat sekali. Sekali lawan bergerak, segera ia dapat mengetahui nama
jurus dan alirannya.
Semula Siau-liong mengira
dalam tiga jurus, ia tentu dapat mengalahkan paderi itu dengan pukulan
Thay-siang-ciang yang dilambari tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Tetapi apa yang
disaksikan, benar-benar membuatnya termangu-mangu.
Rupanya Liau Hoan tak sabar,
ia membentak dengan nyaring: “Lekas serang!"
Sejenak merenung, Siau-liong
tiba-tiba lempangkan tangan kanan mendorong lurus kemuka. Gerakan itu memang
aneh. Meninju bukan, tamparan pun bukan. Dan lagi gerakannya amat pelahan
sekali.
Liau Hoan kerutkan alis.
Sesaat ia tak tahu jurus apakah yang sedang dimainkan anak muda itu.
Ternyata jurus yang digunakan
Siau-liong itu disebut Sebatang-tonggak-menyanggah-langit. Salah sebuah jurus
dari apa yang disebut Satu pukulan - Tiga tamparan - Empat tutukan, ialah
pelajaran yang termasuk dalam kitab pusaka Thian-kong-sin-kang.
Jurus itu mengandung perobahan
yang rumit sekali. Oleh karena Siau-liong baru saja satu kali melatih pelajaran
itu dan tak memiliki latihan dasar dari tenaga dalam Thian-kong-sin-kang, maka
ia tak dapat menggunakannya dengan tepat.
Namun karena Liau Hoan sudah
berjanji tak balas menyerang, maka timbullah keinginan Siau-liong untuk mencoba
pelajaran itu. Maka tanpa menghiraukan adakah latihannya sudah sesuai atau
belum, ia segera menggunakan jurus itu.
Sambil lepaskan pukulan,
diam-diam Siau-liong menumpahkan pikirannya untuk menghafalkan gerak perobahan
selanjutnya. Oleh karena itu maka gerakannyapun dilakukan dengan pelahan.
Liau Hoan kaget dan meragu.
Pukulan Siau-liong dengan ilmu Thay-siang-ciang tadi, sudah membuatnya tak
berani memandang rendah pada anak muda itu lagi.
Sepintas pandang pukulan anak
itu memang tak berharga dan lambat sekali. Tetapi anehnya, Liau Hoan
benar-benar tak tahu ilmu apakah pukulan Siau-liong itu. Maka ia terpaksa
diam-diam kerahkan semangat dan tenaga dalam untuk bersiap-siap.
Pada saat tangan Siau-liong
mendorong lurus sekonyong-konyong ia menggembor keras dan tiba-tiba tangan anak
itu bergerak cepat sekali. Tahu-tahu dada Liau Hoan termakan tinju ....
“Hai....!" mulut paderi
kurus itu menjerit aneh dan tubuhnya menyurut mundur selangkah.
Imam Li Hun dan anak buahnya
terkejut menyaksikan peritiwa itu. Mereka terkesiap memandang Siau-liong.
Liau Hoan tak menderita luka
berat. Ia menatap Siau-liong sambil mengusap keningnya lalu tundukkan kepala
merenung.
Siau-liong sendiri juga
termangu-mangu. Ia tak menyangka bahwa pelajaran yang masih setengah matang itu
ternyata mempunyai perbawa yang sedemikian hebatnya.
Tiba-tiba terdengar suara
ledakan keras. Siau-liong terkejut. Memandang ke arah barisan pohon Bunga.
ternyata tempat itu penuh dengan gulung asap tebal yang membubung ke udara.
Suara itu tentulah berasal dari gerakan rombongan Ceng Hi totiang yang tengah
meledakkan semua alat rahasia dan rintangan dalam lembah.
Tetapi alangkah kejutnya
ketika berpaling, ternyata Poh Ceng-in yang menggeletak di tanah tadi sudah
lenyap.
Dilihatnya imam Li Hun dan
anak buahnya sedang memandang dirinya seraya pelahan-lahan menyurut mundur.
Segera ia menduga, tentulah mereka yang melarikan Poh Ceng-in.
Kemudian mata Siau-liong
beralih memandang ke arah barisan pohon Bunga. Tanpa banyak pikir lagi, ia
terus gunakan gerak loncat Naga-berputar-18-kali, melesat ke arah barisan pohon
Bunga.
Setelah merenung beberapa
saat, tiba-tiba Liau Hoan tersadar dan berseru pelahan, “Thian-kong-sin-kang!
Tentulah ilmu sakti Thian-kong-sin-kang....!"
Memandang ke muka, ternyata
Siau-liong sudah lari. Paderi itu menggembor keras lalu loncat mengejar.
Gerak
Naga-berputar-18-lingkaran dari Siau-liong telah mencapai tataran yang tinggi.
Dalam dua gerak loncatan saja, ia sudah mencapai belasan tombak jauhnya.
Ketika masih melayang di
udara, tiba-tiba ia memperoleh akal. Cepat ia meluncur ke arah sebuah semak
yang tinggi, terus berganti pakaian sebagai Pendekar Laknat.
Tepat pada saat ia selesai
menyamar sebagai Pendekar Laknat, paderi Liau Hoan pun tiba. Bagaikan seorang
gila, paderi itu memandang ke sekeliling penjuru seraya tak henti-hentinya
mengingau seorang diri, “Thian-kong sin-kang! Tentulah ilmu sakti
Thian-kong-sin-kang....!"
Paderi itu melihat juga pada
Siau-liong. Tetapi karena saat itu Siau-liong sudah berganti dandanan sebagai
Pendekar Laknat maka Liau Hoan hanya memandangnya dengan tawar terus menyusup
ke dalam gerumbul untuk mencari pemuda tadi.
Siau-liong tertawa dingin. Dia
tak mau menghiraukan paderi kurus itu melainkan terus melesat ke arah barisan
pohon Bunga. Dalam sekejap mata ia sudah berada di tengah puing barisan pohon
Bunga.
Saat itu suara teriakan,
tidaklah sengeri tadi. Dan yang tampak hanya berpuluh-puluh jago silat tengah
lari kian kemari. Entah apa yang terjadi dengan pertempuran di sebelah muka.
Juga kereta yang dinaiki Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka tak tampak
bayangannya.
Siau-liong menerjang di antara
orang-orang itu, melintas ke muka. Karena sudah menerima penerangan dari Ceng
Hi totiang, maka rombongan jago-jago silat itu sama menyisih untuk memberi
jalan kepada Pendekar Laknat.
Tampak ketua Siau-lim-si Ti
Gong taysu dengan duapuluhan paderi lari menghampiri. Ketua Siau-limsi itu agak
tertegun ketika melihat Pendekar Laknat Siau-liong. Buru-buru ia memberi hormat
dan berseru nyaring, “Pendekar Laknat ....”
"Di mana Ceng Hi totiang
dan rombongannya?" seru Siau-liong tegang.
Sambil menunjuk ke arah
lembah, ketua Siau-lim-si itu berseru, “Masih memimpin rombongan orang gagah
bertempur dengan kedua durjana. Tetapi gelagatnya tidak menguntungkan pihak
kita, kedatangan saudara sungguh kebetulan sekali....”
Berhenti sejenak ketua
Siau-lim-si itu berkata pula, “Tadi menerima laporan bahwa ada kaki tangan
musuh yang keluar dari terowongan rahasia. Maka aku mendapat perintah untuk
menangkapnya!"
Habis berkata, ia memberi
salam terus lanjutkan perjalanan lagi.
"Ti Gong taysu....!"
cepat Siau-liong maju selangkah meneriakinya.
Ketua Siau-lim-si itu berhenti
dan berpaling, “Saudara mempunyai keperluan apa?"
Sejak ditolong dari Lembah
Maut, ketua Siau-lim-si itu bersikap baik kepada Pendekar Laknat.
"Cousu-ya dari Kay-pang
yakni Kongsun Liong seorang diri menyelundup ke dalam Lembah Semi dan berhasil
menangkap seorang wanita siluman baju merah, tetapi....” — ditatapnya wajah
paderi itu lalu berkata pula, “Kabarnya pada waktu dia ke luar dari Lembah,
telah salah paham dengan beberapa rombongan paderi yang bertugas disitu. Wanita
baju merah itu disembunyikan oleh rombongan paderi.... ah, wanita baju merah
itu penting sekali. Dapatkah aku minta tolong pada taysu untuk memintakan
wanita baju merah itu dan serahkan padaku?"
Ti Gong menatap wajah
Siau-liong, tanyanya, “Entah rombongan paderi dari pihak manakah yang menawan
wanita itu? Dan lalu kemana saja perginya ketua Kay-pang itu?"
"Yang kuketahui nama dari
kepala rombongan itu adalah paderi Li Hun!"
Tay Gong merenung sejenak lalu
berkata, “Li Hun adalah paderi Go-bi-pay! Baiklah, permintaan saudara pasti
akan kulaksanakan ......” habis berkata ketua Siau-lim-si itu terus bergegas
melangkah pergi dengan rombongannya.
Siau-liongpun lanjutkan
langkahnya ke arah lembah. Barisan pohon Bunga yang lebat, kini hanya tinggal
tumpukan puing yang asapnya masih bergulung-gulung tebal.
Di sana sini bertebaran mayat
manusia dengan tubuh yang mengerikan dan terbakar. Dan mayat berhamburan
kemana-mana. Menilik keadaannya, pertempuran itu belum berselang berapa lama.
Pekik jeritan tak terdengar
lagi. Binatang-binatang buas dan ular beracun serta alat-alat perangkap rahasia
dari Lembah Semi, boleh dikata sudah hancur berantakan. Tetapi Ceng Hi totiang
pun harus membayar mahal dengan korban-korban rombongan orang gagah yang banyak
berjatuhan untuk penghancuran itu.
Saat itu menjelang petang
hari. Rombongan Ceng Hi totiang tengah menggempur pertahanan di belakang lembah
yang dijaga oleh suami isteri Iblis Penakluk-dunia.
Masuk dari jalan yang
dipertahankan Iblis Penakluk-dunia itu, akan mencapai pusat lembah. Bangunan
bertingkat dari lembah itu, tampak menjulang jauh dimuka.
Siau-liong maju lagi.
Dilihatnya Ceng Hi to-tiang sedang memimpin rombongan untuk menyerbu pos
jalanan itu. Jalan itu berbentuk seperti sebuah pintu dari sebuah kota. Tetapi
terbuat dari pada batu alam. Hanya cukup dilewati beberapa orang.
Dari tempatnya, Siau-liong
dapat melihat bahwa di dalam jalan mulut jalan itu, Iblis Penakluk-dunia dan
rombongannya tak kelihatan. Rupanya mereka sudah mengundurkan diri.
Keadaan didepan mata sudah
jelas. Ceng Hi totiang dan rombongannya sudah bertekad untuk membobolkan setiap
rintangan. Jika dapat, membasmi kedua suami isteri durjana. Jika gagal, sekurang-kurangnya
dapat menghancurkan sarang Lembah Semi.
Teringat akan surat peringatan
dari gurunya (tabib sakti Kongsun Sin-tho), makin gelisah. Tetapi jika
menasehati Ceng Hi totiang supaya menarik mundur rombongannya, jelas tak
mungkin.
Ceng Hi totiang segera
mendapat laporan tentang kedatangan Pendekar Laknat. Cepat tokoh tua itu
menyambutnya: “Ah, kedatangan saudara sungguh kebetulan sekali ....”
Memandang kemuka, Siau-liong
dapatkan Ceng Hi totiang dikawal oleh berpuluh orang, paderi, imam dan beberapa
tokoh-tokoh persilatan segala aliran. Antara lain Toh Hun-ki dan keempat Su-lo
dari Kong-tong-pay, ketua Kay-pang To Kiu-kong serta kepala Rimba Hijau daerah
selatan yakni setinggi besar Lu Bu-ki. Dan masih ada lain-lainnya yang
Siau-liong tak kenal.
Atas penyambutan Ceng Hi
totiang. buru-buru Siau-liong balas memberi hormat: "Karena ada sedikit
urusan maka sampai terlambat datang, maaf, maaf ....”
Diam-diam Siau-liong heran.
Kalau Ceng Hi totiang dan rombongannya sudah memutuskan untuk menyerbu lembah,
mengapa mereka masih berada dimulut jalanan yang tiada dijaga musuh situ?
Menurut peta dari Jong Leng
lojin, pada mulut jalanan itu tak terdapat alat-alat rahasia yang berbahaya.
Karena alat-alat dan perkakas-perkakas rahasia itu kebanyakan dipasang dalam
barisan Tujuh Maut.
Jika Iblis Penakluk-dunia tak
mau bertempur mati-matian dengan rombongan Ceng Hi, terang mereka tentu akan
mengundurkan diri ke barisan Tujuh Maut. Rupanya mereka hendak menggunakan
alat-alat jebakan dan perkakas-perkakas maut untuk menghancurkan rombongan
orang gagah.
Toh Hun-ki maju menghampiri
untuk memperkenalkan tokoh-tokoh yang hadir disitu kepada Pendekar Laknat.
Ternyata mereka kebanyakan pada duapuluh tahun yang lalu pernah melihat
Pendekar Laknat.
Diam-diam mereka heran dan
kagum atas perobahan tingkah laku Pendekar Laknat sekarang. Sungguh seperti
langit dengan bumi beda Pendekar Laknat sekarang dengan duapuluh tahun yang
lalu!
40. Jago Simpanan Lembah Maut
Agar penyamarannya tak
diketahui, terpaksa Siau-liong bersikap sedapat mungkin untuk melayani mereka.
Setelah itu cepat-cepat ia alihkan perhatian kesekeliling penjuru dan bertanya
kepada Toh Hun-ki, “Iblis itu sudah mundur, mengapa kalian tak menyerbu ke
dalam lembah?"
Toh Hun-ki menghela napas
pelahan, sahutnya, “Jika hanya Iblis Penakluk-dunia dan anak buahnya, tentu
mudah dihancurkan. Paling tidak tentu terulang seperti peristiwa duapuluh tahun
yang lalu, yang mengusirnya dari wilayah Tiong-goan, tetapi tak kira ......”
Belum habis ia berkata,
tiba-tiba dari dalam mulut jalanan, terdengar sebuah suitan panjang yang
nyaring. Wajah Toh Hun-ki berobah seketika.
Ceng Hi totiang memberi
isyarat dan berseru keras, “Iblis Penakluk-dunia menyerbu lagi, lekas mundur!”
Kemudian berpaling ke arah
Pendekar Laknat, ujarnya: “Dalam pertempuran tadi, telah jatuh beberapa korban
sahabat kita, menilik keadaan sekarang ini ....” tiba-tiba ia menarik
Siau-liong terus diajak loncat ke ujung sebuah batu karang, katanya pula,
“Menilik gelagatnya sekarang ini, Iblis Penakluk-dunia dapat menggunakan kedua
durjana Harimau Iblis dan Naga Terkutuk serta Lam-hay Sin-ni....”
Gelombang teriak jeritan
melengking disusul dengan bunyi kereta berderak-derak. Beberapa barisan wanita
dan pria dan tiap barisan terdiri dari lima orang, muncul dari dalam mulut
jalanan itu seraya berteriak-teriak. Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka duduk
dalam kereta sambil tersenyum-senyum.
Kereta ditarik oleh kedua
orang yang mukanya bertutupan kain hitam dan dikanan kiri kereta dikawal oleh
barisan baju hitam. Tepat seperti yang dilihat Siau-liong ketika mereka
mengadakan persiapan dalam hutan itu.
Ceng Hi totiang dan rombongan
orang gagah segera membentuk diri dalam formasi seperti sebuah jaring. Bersiap
kira-kira duapuluhan tombak jauhnya dari mulut jalanan itu.
Oleh karena pelengkapan
alat-alat rahasia telah diledakkan hancur maka tanah disitu tinggi rendah tak
menentu. Kereta Iblis Penakluk-dunia berhenti pada sebuah lekukan tanah.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
sinis lain berteriak nyaring, “Hai, Ceng Hi totiang! Apakah engkau sudah
mempertimbangkan omonganku tadi?"
Ceng Hi totiang melangkah maju
dan membentak, “Aku telah menerima permintaan dari para sahabat persilatan
untuk memimpin gerakan ini. Selama engkau berdua durjana belum lenyap, dunia
persilatan tentu takkan aman. Dalam keadaan seperti saat ini tiada lain pilihan
lagi kecuali melanjutkan gerakan ini. Atau kalian mau menyadari kesalahan dan
menyingkir jauh keluar perbatasan, gerakan ini akan segera kuhentikan! "
Iblis Penakluk-dunia tertawa
mengejek, “Imam hidung kerbau, maut sudah di depan mata, mengapa engkau masih
jual lagak bermulut besar!"
Iblis itu menutup kata-katanya
dengan gerakkan tangan kiri memberi komando, “Serang!"
Kedua barisan baju hitam yang
di belakang kereta segera maju. Salah seorang yang berada paling depan tanpa
bicara apa-apa, terus menyerang Ceng Hi totiang. Gerakan orang itu luar biasa
cepatnya. Pukulannya menghamburkan deru angin yang tajam sekali. Dan pukulan
itu adalah ilmu pukulan sakti Merampas-jiwa-mengejar-nyawa.
Ceng Hi totiang tak berani
ayal. Cepat ia menangkisnya. "Plak". terdengar letupan keras.
Penyerang itu dan Ceng Hi totiang masing-masing menyurut mundur selangkah.
Kiranya baju hitam yang
menyerang itu bukan lain adalah salah seorang dari Lima Durjana yang
termasyhur, yakni si Harimau Iblis. Entah mengapa tokoh itu mau menjadi kaki
tangan Iblis Penakluk-dunia!
Tanpa menunggu komando Ceng Hi
totiang lagi, belasan orang gagah itu cepat loncat maju menghadang Harimau
Iblis.
Serangan pertama tertahan. Harimau
Iblis maju menyerang lagi. Kain penutup mukanya dari sutera tipis. Tertiup
angin, dapatlah diketahui wajahnya yang agak aneh. Terutama sepasang matanya
yang ketolol-tololan tetapi sepasang alisnya menampilkan nafsu pembunuhan yang
menyala-nyala.
Memang Ceng Hi totiang sudah
mengetahui perobahan wajah Harimau Iblis yang tidak wajar itu. Ia berputar diri
menghindari pukulan Harimau Iblis.
Tetapi yang benar-benar
mengejutkan orang adalah rombongan barisan baju hitam itu. Diantaranya terdapat
juga It Hang totiang dan ketiga tokoh Kun-lun-sam-cu. Mereka mengikuti di
belakang Harimau Iblis untuk menyerang Ceng Hi totiang.
Iblis Penakluk-dunia
barbangkit dan tertawa nyaring. Tiba-tiba ia gerakkan tangan kanan memberi
komando lagi, “Serang!"
Kembali barisan baju hitam
yang lain, menyerbu ke luar, menerjang rombongan orang gagah.
Siau-liong diam-diam
memperhatikan barisan baju hitam itu. Yang menjadi pemimpin ternyata si Naga
Terkutuk dan anggautanya terdiri dari si Penebang-kayu dari Tiam-jong-san Shin
Bu-seng, ketua Ji-tok-kau Tan It-hong, ketua Tong-thing-pang Cu Kong-leng
bergelar Kipas-banci dan seorang yang tak diketahui.
Tokoh-tokoh yang hilang dalam
Lembah Semi tempo hari ternyata kini menjadi kaki tangan Iblis-penakluk-dunia!
Karena pihak Iblis
Penakluk-dunia mengeluarkan barisan baju hitam yang kedua, maka rombongan orang
gagah yang mengepung diluar barisan pohon Bunga pun segera berhamburan keluar,
menyongsong mereka. Seketika pecahlah pertempuran yang dahsyat.
Naga Terkutuk dan Harimau Iblis
memang tak usah dilukiskan kesaktiannya. It Hang totiang, Kun-lun-sam-cu pun
tergolong jago kelas satu dalam dunia persilatan. Karena pikiran mereka sudah
tak normal lagi, mereka pun menyerang dengan sekehendak hati, mengeluarkan
jurus-jurus kepandaiannya yang hebat. Maka dalam beberapa saat saja, dipihak
rombongan orang gagah telah jatuh duapuluhan korban yang binasa.
Ceng Hi totiang menyadari
keadaan itu. Cepat ia mengatur barisannya lagi. Dia bergerak kian kemari dalam
pertempuran yang kacau balau itu. Dengan demikian dapatlah keadaan barisan
orang gagah itu berkurang bahayanya.
Ceng Hi totiang memerintahkan
belasan jago-jago silat untuk mengepung kedua durjana Harimau Iblis dan Naga
Terkutuk. Dengan demikian walaupun kedua durjana itu berkaok-kaok seperti singa
kelaparan tetapi untuk sementara ruang gerak mereka dapat dibatasi.
Yang meresahkan pikiran Ceng
Hi totiang adalah tentang diri It Hang totiang dan beberapa tokoh lainnya.
Jelas mereka sudah hilang kesadaran pikirannya. Rombongan orang gagah
diperintahkan supaya hati-hati menghadapi mereka. Jangan sampai dibunuh, cukup
kalau dikepung dan dapat ditawan hidup-hidup.
Tetapi sulitnya, mereka
memiliki kepandaian yang tinggi. Tinju dan tutukan jari mereka, hebatnya bukan
alang kepalang. Untuk menangkap mereka, sukarnya melebihi menangkap seekor
harimau buas.
Oleh karena terpancang oleh
perintah itu, rombongan orang gagah menemui kesulitan juga. Bahkan ada beberapa
yang terkena pukulan dan tutukan jari mereka.
Selama itu Siau-liong masih
tetap berdiri di pinggir belum mau turun tangan. Ia sedang mencari akal untuk
mengatasi kekacauan itu.
Setelah kekacauan pihak orang
gagah dapat diredakan, longgarlah pikiran Ceng Hi totiang.
Tetapi ketika melihat It Hang
lotiang dan Kun-lun Sam-cu masih belum dapat diatasi, mau tak mau Ceng Hi
totiang gelisah juga hatinya. Ceng Hi totiang sudah kerahkan barisan ko-jiu
(tokoh sakti) untuk mengepung kedua durjana Harimau Iblis dan Naga Terkutuk,
tetapi ternyata kekuatannya pun hanya berimbang saja.
Demikian pun dengan barisan
dari tokoh-tokoh kelas satu yang diperintahkan untuk menawan It Hang totiang
dan Kun-lun Sam-cu, juga masih belum berhasil. Jika kedua suami isteri Iblis
Penakluk-dunia itu menceburkan diri atau menyuruh kedua penarik kereta yang
misterius itu turun tangan, bukankah akibatnya akan lebih menderita bagi pihak
rombongan orang gagah?
Ceng Hi totiang kerutkan alis
berpikir keras. Tiba-tiba ia memberi perintah secara rahasia agar rombongan
yang mengepung diluar barisan pohon Bunga siapkan obat pasang dan bahan
peledak. Setiap waktu, apabila perlu, akan diberi perintah lagi.
Setelah ketegangan mereda,
barulah Siau-liong loncat turun kesamping Ceng Hi totiang, serunya: “Adakah
totiang sudah mempunyai rencana yang lengkap untuk menghadapi keadaan saat
ini?"
Ceng Hi totiang terkesiap,
sahutnya, “Aku telah berusaha sekuat tenaga, berhasil atau gagal, tak dapat
kupastikan. Terserah kepada Allah!"
Dari nada penyahutannya, jelas
kalau Ceng Hi totiang bersikap dingin kepada Siau-liong. Kiranya memang sejak
duapuluh tahun yang lalu, walau pun tak dipandang sejahat Iblis Penakluk-dunia
dan isterinya, tetapi Ceng Hi totiang memang tak mempunyai kesan baik terhadap
Pendekar Laknat.
Adalah karena keterangan Toh
Hun-ki yang memuji-muji Pendekar Laknat sekarang ini, ditambah pula dengan
kenyataan bahwa Pendekar Laknat yang sekarang ini memang telah menolong Ti Gong
laysu, Toh Hun-ki dan rombongan To Kin-kong dari Lembah Maut.
Kemudian sikap Pendekar Laknat
yang terang-terangan memusuhi kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia sehingga
sampai bertempur dengan Lam-hay Sin-ni, makin menguatkan kepercayaan Ceng Hi
totiang bahwa Pendekar Laknat yang sekarang ini benar sudah kembali ke jalan
yang terang.
Tetapi kepercayaan itu goyah
pula ketika Ceng Hi totiang sedang menyusun barisan, Siau-liong tiba-tiba
lenyap dan kemunculannya pada saat itu pun tak ubah hanya sebagai penonton
saja. Sama sekali tak mau ikut membantu.
Siau-liong menatap Ceng Hi
totiang dan berkata dengan suara tandas: “Aku hendak menghaturkan sepatah kata,
entah apakah totiang sudi mendengarkannya atau tidak?"
Sambil mengawasi jalannya
pertempuran, tanpa berpaling menyahutlah Ceng Hi totiang: “Jika anda mempunyai
saran. silahkan mengutarakan. Sudah tentu aku senang mendengarkannya!"
Melihat sikap orang yang acuh
tak acuh, Siau-liong menghela napas, “Suami isteri Iblis Penakluk-dunia itu
belum mengerahkan seluruh kekuatannya namun berpuluh-puluh orang gagah telah
mengorbankan jiwanya. Andaikata kedua durjana itu benar-benar mengeluarkan
seluruh kekuatannya untuk menempur, mungkin nasib dari beratus-ratus tokoh
persilatan tentu akan ludas ditangan totiang!"
Mendengar itu serentak
berpalinglah Ceng Hi totiang kepada Siau-liong. Ia menghela napas.
“Keadaan memang begitu, lalu
bagaimana kita harus berdaya?"
Berkata Siau-liong “Menangkap
maling harus membekuk benggolannya dulu! Jika tak dapat merencanakan siasat
untuk meringkus suami isteri durjana itu tetapi hanya mengadu kekuatan secara
begini saja, kita tentu akan menderita kekalahan!"
”Lalu apakah anda mempunyai
saran yang baik?" tanya Ceng Hi totiang.
“Tak ada lain jalan kecuali
menarik pulang barisan dulu dan mengatur rencana yang lebih sempurna
lagi!" sahut Siau-liong.
Ceng Hi totiang terbeliak,
“Adakah anda maksudkan supaya aku memimpin rombongan orang gagah meloloskan
diri dari sini?"
Dengan nada serius Siau-liong
menyahut, “Seorang kesatria harus mahir menggunakan kekuasaan dan pandai dalam
menghadapi perobahan. Sekalipun menderita sedikit hinaan tetapi asal dapat
membentuk dasar dari kemenangan. Kemenangan akhir tak mungkin orang akan
mencela tindakan totiang karena hari ini telah menarik mundur barisan!"
Ceng Hi totiang kerutkan alis.
Setelah beberapa kali mengeliarkan mata, ia menghela napas,
“Saat ini sudah ibarat orang
naik dipunggung harimau. Beribu tokoh persilatan sedang menyala semangatnya.
Setiap orang tak menghiraukan soal kehilangan jiwa. Sekalipun aku mempunyai
kekuasaan untuk menarik mundur barisan tetapi dikuatirkan mereka tak mau tunduk
pada perintah itu!"
Diam-diam Siau-liong mengakui
kebenaran ucapan totiang itu. Maka terpaksa ia tak mau buka mulut lagi.
Saat itu kedua suami isteri
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka tetap duduk di atas kereta dan mengatasi
kedua barisan baju hitam serta berpuluh-puluh anak buahnya pria dan wanita
menempur barisan orang gagah. Iblis itu tak henti-hentinya tertawa.
Tetapi ketika menyaksikan Ceng
Hi totiang dapat mengatasi kekalutan barisannya dengan memerintahkan belasan
tokoh-tokoh sakti untuk mengepung kedua durjana Harimau Iblis, Naga Terkutuk,
Iblis Penakluk-dunia mulai gelisah.
Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia
itu tertawa dan bicara beberapa patah kata kepada Dewi Neraka lalu lontarkan
segulung api.
Siau-liong terkejut dan
cepat-cepat meneriaki Ceng Hi totiang, “Totiang, hati-hatilah, dengan tipu
muslihat mereka! "
Memang Ceng Hi totiang sudah
dapat menduga bahwa api pertandaan yang dilepas Iblis Penakluk-dunia itu tentu
ada tujuannya. Maka ia tumpahkan perhatian untuk mengawasi perobahan yang akan
terjadi dalam mulut jalanan.
Tetapi sampai beberapa lama
belum juga tampak tanda-tanda timbulnya suatu perobahan apa-apa.
Selang sepeminum teh lamanya,
tiba-tiba angin berhembus membawa bau yang harum. Bau harum itu bertebaran
kemana-mana.
Siau-liong yang cepat dapat
mencium bau harum itu, banting-banting kaki seraya menghela napas,
“Celaka! Angin ini mengandung
bau harum. Tentulah anak buah Iblis Penakluk-dunia telah menghamburkan Racun
penyesat pikiran! "
Buru-buru ia merogoh botol pil
pemberian Poh Ceng-in yang tinggal separoh isinya. Hanya tinggal 8 butir saja.
Setelah ia sendiri minum sebutir, sisanya lalu diberikan kepada Ceng Hi
totiang, “Tolong, pil ini berkhasiat menawarkan hawa beracun. Sayang hanya
tinggal sedikit!"
Setelah menerima, bermula Ceng
Hi agak ragu-ragu tetapi akhirnya ia minum juga sebutir. Sisanya ia bagikan
kepada beberapa tokoh yang sedang bertempur dengan Harimau Iblis dan Naga
Terkutuk.
Bau harum makin lama makin
keras dan seketika terjadilah perobahan dalam gelanggang pertempuran.
Barisan orang gagah itu mulai
lemas. Kebalikannya Harimau Iblis, Naga Terkutuk dan rombongan It Hang totiang
makin bersemangat. Serangan mereka makin dahsyat.
Kekuatan yang semula
berimbang, saat itu berobah. Seketika terdengar jerit pekikan ngeri ketika
Harimau Iblis, Naga Terkutuk dan rombongan It Hang totiang mengamuk. Mereka tak
ubah seperti gerombolan harimau yang sedang mengganas kawanan anak kambing,
Ketika di pihak barisan orang gagah makin bertambah menumpuk.
Untunglah karena barisan pohon
Bunga itu sudah berobah menjadi sebuah lapangan yang luas maka angin pun meniup
agak keras. Bau harum itu tak dapat berkerumun lama dan terus hanyut dibawa
tiupan angin.
Melihat barisannya banyak yang
berguguran, marah dan sedihlah Ceng Hi totiang. Dengan bersuit nyaring ia
mencabut kebut pertapaan yang diselipkan di punggungnya lalu loncat melayang ke
gelanggang pertempuran. Rupanya jago tua itu tak tahan lagi melihat banyak
jago-jago persilatan yang menjadi korban.
Sampai saat itu Siau-liong
tetap tak mau turun tangan. Ia hanya memandang lekat-lekat ke arah kedua orang
berkerudung hitam yang menarik kereta Iblis Penakluk-dunia itu.
Iblis Penakluk-dunia tetap
tertawa-tawa dengan congkaknya. Dalam suasana pertempuran yang berhias pekik
jelitan ngeri dan gemerincing senjata beradu, suara ketawa iblis itu makin
menusuk telinga orang.
Pada lain saat Dewi Neraka
yang berdiri sambil mencekal tongkat Kepala naga itu, tiba-tiba membentak
suaminya, “Tolol! Mengapa engkau hanya tertawa saja!"
Iblis Penakluk dunia hentikan
tertawanya. Tiba-tiba ia menarik sebatang kendali lalu memukul punggung salah
satu dari kedua orang yang menarik kereta itu.
Orang itu mengeluh pelahan
lalu berpaling ke belakang dan bertanya kepada Iblis Penakluk-dunia,
“Apakah perintah Thian
cun!"
Iblis Penakluk-dunia menunjuk
dengan tangkai kendali ke arah Ceng Hi totiang, serunya, “Apakah engkau melihat
imam tua yang memakai kebut pertapaan itu? Lekas tawan dia hidup-hidup!"
Orang berkerudung kain hitam
itu mengiakan, lalu enjot tubuhnya melambung ke udara. Setelah mencapai
ketinggian sepuluh-an tombak, ia segera menukik ke bawah. Dalam jurus Menyelam
ke dalam laut-menangkap-naga, ia meluncur ke arah Ceng Hi totiang!
Semula Ceng Hi memang
mencurahkan perhatian untuk mengawasi gerak gerik kedua orang kerudung hitam yang
menarik kereta Iblis Penakluk-dunia itu. Tetapi karena suasana saat itu makin
genting, terpaksa ia tak dapat bersabar lebih lama lalu terjun kegelanggang
pertempuran.
Memang tak kecewalah Ceng Hi
totiang diangkat sebagai pemimpin dari barisan orang gagah. Hanya dalam
beberapa gebrak saja, ia sudah dapat menolong keadaan dari belasan orang gagah
yang sedang terdesak oleh kedua durjana Harimau Iblis dan Naga Terkutuk.
Gerakan kebut pertapaan totiang itu hampir saja berhasil merobohkan kedua
durjana itu.
Ceng Hi totiang terkejut
ketika melihat orang berkerudung muka itu menukik hendak menyerang dirinya.
Cepat ia tinggalkan kedua durjana. Sebelum orang berkerudung itu meluncur ke
tanah, ia mendahului menyerangnya.
Orang berkerudung itu
menggembor keras. Sepasang tangannya yang bersikap hendak mencengkeram tadi
tiba-tiba diganti menjadi gerak tamparan.
"Plak".... terdengar
letupan keras. Ceng Hi totiang terpental sampai lima enam langkah ke belakang.
Darahnya bergolak-golak dan dengan susah payah barulah ia dapat menjaga
keseimbangan tubuhnya jangan sampai rubuh.
Kebalikannya orang berkerudung
muka itu enak-enak saja meneruskan peluncurannya ke tanah. Secepat kilat ia
gerakkan kedua tangannya untuk menampar. Seketika terdengarlah jeritan ngeri
dan tiga imam dari Kun-lun pay yang berada didekatnya pecah tulangnya dan mati
seketika!
Gerakan menukik dari udara
yang luar biasa dan sekali pukul dapat melemparkan Ceng Hi totiang serta
membinasakan tiga tokoh Kun-lun-pay, benar-benar membuat sekalian orang menjerit
kaget.
Setelah mengambil napas
beberapa saat, Ceng Hi totiang maju menyerang lagi.
Dia seorang jago tua yang
banyak pengalaman dan luas pengetahuan, sekali pun orang itu seluruh mukanya
ditutup kain hitam, tetapi ia dapat mengetahui dari pukulannya tadi bahwa orang
itu bukan lain adalah tokoh yang sudah menghilang selama berpuluh tahun yakni
Jong Leng lojin, pemilik ilmu tenaga sakti Jit-hoa-sin-kang.
Sekalipun menyadari bahwa ia
bukan lawan orang tua itu, tetapi ia tahu bahwa kecuali dirinya, tiada seorang
pun yang mampu menghadapi orang tua itu. Sekalipun dengan keroyokan, juga
sia-sia saja.
Mulut Jong Leng lojin
mendesis-desis mengeluarkan suara aneh. Sepasang matanya yang tampak dari dua
buah lubang, berkeliaran kian kemari. lalu memandang lekat ke arah Ceng Hi
totiang.
Tiba-tiba ia tebarkan kedua
tangannya dalam sikap hendak mencengkeram lalu selangkah demi selangkah maju
menghampiri ......
Gulungan asap harum sebentar
menguap sebentar hilang. Barisan orang gagah makin lemas.
Kebalikannya Harimau lblis dan
Naga Terkutuk makin mengganas. Segera terdengar jerit pekikan ngeri dan korban
pun makin lama makin banyak.
Jong Leng lojin walaupun
ditahan oleh Ceng Hi totiang. Tetapi jelas takkan dapat bertahan lama. Paling
banyak dalam tiga jurus Ceng Hi totiang tentu akan kalah.
Saat itu keadaan sudah jelas.
Ceng Hi totiang terang tak kuat berhadapan dengan Jong Leng lojin. Dan Iblis
Penakluk-dunia masih mempunyai seorang jago lagi yang belum diajukan, yakni
orang baju hitam dan berkerudung muka yang menarik kereta itu.
Menyaksikan keadaan rombongan
orang gagah yang sudah makin payah dan korban-korban yang berjatuhan tak
terhitung banyaknya, Ceng hi totiang mengalirkan air mata ......
Jong Leng lojin makin maju
mendekati. Kedua tangannya lurus dilempangkan ke muka. Sekali pun tiada
seorangpun yang tahu ilmu apa yang akan dilakukan orang tua itu, tetapi
diam-diam mereka mengucurkan keringat dingin karena mencemaskan nasib Ceng Hi
totiang.
Ceng Hi totiang pun segera
bersiap. Sepasang tinju digenggamnya erat-erat dan disaluri dengan sembilan
bagian tenaga-dalam.
Diam-diam teringatlah Ceng Hi
totiang akan kata-kata Pendekar Laknat Siau-liong tadi ......
“Hidup matinya dunia
persilatan terletak di tangan totiang....”
Ceng Hi totiang berpaling.
Dilihatnya Pendekar Laknat Siau-liong masih tegak berdiri di tempatnya. Rupanya
tengah merenung sehingga tak mengacuhkan keadaan di sekelilingnya .....
Ceng Hi totiang menghela napas
lalu kerahkan seluruh semangat dan pikiran untuk menyambut serangan Jong Leng lojin.
Rupanya Jong Leng lojin kuatir
kalau Ceng Hi totiang akan meloloskan diri. Maka sengaja ia berjalan
lambat-lambat sambil mengawasi gerak gerik imam itu. Setelah kira-kira dua
langkah di muka Ceng Hi totiang, dengan tiba-tiba Jong Leng lojin menguak keras
dan secepat kilat kedua tangannya mencengkeram bahu Ceng Hi.
Dalam kalangan partai-partai
persilatan dewasa itu, Ceng Hi totiang merupakan satu-satunya tokoh angkatan
tua yang masih tertinggal. Saat itu ia susupkan kebut pertapaan kebahunya lagi
lalu gerakkan kedua tangannya untuk menghantam dada dan perut Jong Leng lojin.
Gerakan Ceng Hi itu
benar-benar suatu gerakan yang amat berbahaya. Karena ia menyadari bahwa
cengkeraman Jong Leng itu merupakan salah sebuah jurus istimewa dari ilmu sakti
Jit-hoa-sin-kang. Kecuali tokoh yang kepandaiannya setingkat dengan dia, jangan
harap lain orang mampu menghindari.
Ceng Hi menyadari hal itu. Ia
merasa jauh kalah sakti dengan orang tua itu. Maka ia memutuskan untuk
melakukan serangan yang nekad. Biarlah dua-duanya sama terluka!
Tetapi ternyata Jong Leng tak
mau lanjutkan cengkeramannya. Cepat ia robah sasarannya, menyambar lengan Ceng
Hi. Cepat dan tak terduga sama sekali gerakan itu sehingga Ceng Hi tak mampu
menghindar lagi.
Seketika ia rasakan kedua
lengannya tercengkeram oleh dua buah jepitan besi. Ceng Hi kerahkan seluruh
tenaga dalam untuk meronta. Tetapi tetap tak berhasil. Bahkan tenaga dalamnya
itu berbalik mendampar ke dalam tubuhnya.
"Huak".... Ceng Hi
totiang muntah darah.
Sepasang lengannya terasa
kesemutan dan seketika hilanglah daya perlawanannya.