Pendekar Laknat Jilid 31-40

Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Laknat Jilid 31-40
Pendekar Laknat Jilid 31-40

31. Kebodohan Lam-hay Sin-ni

”Untuk apakah itu?” Randa Bu-san heran.

Randa Bu-san membentak, “Aku tak mencari pusaka, tetapi pun tak mengijinkan orang untuk mencarinya!”

“Mengapa?” tanya Lam-hay Sin-ni heran.

Bentak Randa Bu-san pula, “Kukatakan sebabnya pun engkau takkan mengerti! Hanya saja ....”

Tiba-tiba ia alihkan pertanyaan, “Mengapa engkau bersama mereka!”

Lam-hay Sin-ni merenung sejenak lalu menyahut, “Engkau tak perlu mengurus!”
Tiba-tiba Randa Bu-san tertawa panjang. Nadanya dingin sinis. Beberapa saat kemudian baru ia berhenti lalu berkata, “Sebenarnya aku memang tak perlu mengurus. Tetapi aku tak tega melihat engkau kesana mengantar kematian. Janganlah engkau hanya mengandalkan ilmu saktimu Cek-ci-sin-kang tak ada yang menandingi. Tanggung engkau bisa pergi kesana tetapi jangan harap bisa kembali....”

Randa dari Bu-san itu menghela napas rawan lalu berkata pula, “Jong Leng lojin itu salah satu contoh!”

Mata Lam-hay Sin-ni terbeliak, ”Siapakah Jong Leng lojin itu?”

Sahut Randa Bu-san dingin-dingin, “Pewaris dari ilmu sakti Jit-hua-sin-kang!”

Terdiam sejenak Lam-hay Sin-ni tertawa, “Memang lama sekali aku menyembunyikan diri. Beberapa peristiwa memang tak kuketahui”.

“Tetapi mengapa mencari pusaka engkau bisa mengetahui?” tegur Randa Bu-san.

Wajah rahib dari Lam-hay mengerut gelap. Tampaknya hendak marah. Dipandangnya randa dari Bu-san itu lalu diam lagi.

Suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka yang sejak tadi hanya mendengar saja. Merasa saat itu mendapat kesempatan baik. Buru-buru Iblis Penakluk-dunia menjurah memberi hormat kepada Randa Bu-san.

“Ucapan nyonya tadi ada beberapa bagian yang tak kumengerti. Tetapi kami suami isteri berdua sungguh merasa beruntung sekali karena hari ini dapat melihat wajah nyonya, salah seorang pewaris dari ilmu Panca Sakti!”

Habis berkata, bersama isterinya ia memberi hormat lagi kepada Randa dari Bu-san itu.

Muak tampaknya Lam-hay Sin-ni melihat tingkah laku kedua suami isteri itu. Ia mendengus dingin.

Iblis Penakluk-dunia segera berputar diri menghadap Lam-hay Sin-ni, “Kitab pusaka peninggalan Tio Sam-hong, merupakan benda yang sangat diincar oleh ribuan kaum persilatan. Untuk menghormat kepada Sin-ni, kami berdua rela menyerahkan peta Giok-pwe itu kepada Sin-ni, tetapi .....”

Ia berhenti lalu berpaling ke arah Randa Bu-san, dengan muka cemas, katanya, ”Tetapi kami pun amat menghormat juga kepada wanita pewaris Ya-li-sin-kang ini. Oleh karena itu kami merasa bingung, hendak kami serahkan kepada siapakah peta Giok-pwe itu .....”

Randa Bu-san menatap tajam pada Iblis Penakluk-dunia lalu membentaknya, “Huh, licik sekali siasatmu!”

Tiba-tiba Lam-hay Sin-ni maju selangkah kemuka Randa Bu-san lalu membentaknya geram, “Engkau kira dengan ilmu Ya-li-sin-kangmu itu dapat menggertak aku? Kitab pusaka itu setiap hidung tentu menginginkan. Jika tidak karena kitab pusaka itu, perlu apa engkau datang kemari?.... huh, engkau anggap aku orang tolol!”

Rahib itu serentak bersiap seperti hendak menyerang.

Randa Bu-san tertawa dingin lalu berkata kepada Iblis Penakluk-dunia, “Jika saat ini aku benar-benar melayani dia berkelahi, bukankah sesuai dengan tujuan hatimu .....”

Wanita dan Bu-san itu gentakkan kakinya ke tanah dan menghela napas lalu berkata seorang diri, “Untung atau celaka itu, memang sudah suratan takdir.... perlu apa aku bersitegang hendak melanggar Kodrat alam untuk mempertahankan nasib orang?”

Dara baju hijau yang sejak tadi selalu berada disisi ibunya, saat itu segera mengajak ibunya pergi.

Randa Bu-san mengangguk, “Baiklah, biar mereka ramai-ramai sendiri!” ia terus berputar diri lalu melangkah pergi.

Setelah bayangan ibu dan anak itu lenyap Lam-hay Sin-ni tiba-tiba tertawa keras. Apa yang telah terjadi tadi, Siau-liong dapat melihat jelas. Diam-diam ia mencemaskan keselamatan rahib dari Lam-hay itu.

Walaupun rahib itu memiliki ilmu sakti Cek-ci-sin-kang tetapi ia tentu tak dapat menghadap kelicikan kedua suami isteri iblis. Apalagi Siau-iong mendapat kesan bahwa rahib itu tampaknya seperti seorang yang ketolol-tololan.

Teringatlah saat itu Siau-liong akan Jong Leng lojin yang dipenjara dibawah tanah oleh Iblis penakluk dunia dan Dewi Neraka. Kedua kaki orang tua sakti itu diikat dengin rantai besi .....

Jika Lam-hay Sin-ni masuk ke dalam Lembah Semi, kemungkinan besar nasibnya tentu akan serupa dengan Jong Leng lojin!

Ngeri seketika Siau-liong membayangkan hal itu. Ia bingung apakah saat itu ia harus bertindak mencegah perbuatan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka yang hendak mencelakai rahib Lam-hay. Ataukah ia tinggal diam saja?.

Belum sempat ia mendapat keputusan, tiba-tiba dari ujung tikungan gunung jauh disebelah muka tampak tiga sosok benda warna biru meluncur ke udara.

Dan cepat laksana anak panah meluncur, beberapa sosok tubuh manusia berhamburan tiba terus menyerbu Iblis Penakluk-dunia dan isterinya.

Y

Pada saat Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka sedang mengimpikan rencananya untuk menjebak Lam-hay Sin-ni akan berhasil, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh munculnya beberapa sosok bayangan itu.

Cepat sekali beberapa orang itu sudah tiba dihadapan Iblis Penakluk-dunia. Ternyata mereka berjumlah empat orang, mengenakan pakaian ringkas, menyanggul senjata di punggung.

Keempat orang itu memberi hormat kepada Iblis Penakluk-dunia. Salah seorang segera berkata, “Memberi laporan kepada bapak pemimpin, pada beberapa tempat di luar gunung, diketemukan jejak musuh!"

“Apakah sudah diselidiki orang-orang dari mana?" tanya Iblis Penakluk-dunia.

"Kebanyakan kami dan para anak buah tak kenal mereka. Tetapi diantaranya terdapat ketua Siau-lim-pay paderi Ti Gong, ketua Kong-tong-pay Toh Hun-ki, ketua Kay-pang To Kiu-kong dan lain-lain. Dan lagi .....”

Anak buah Lembah Semi itu berhenti sejenak, lalu melanjutkan keterangannya, “Menurut penyelidikan yang kami peroleh, kali ini rombongan musuh dipimpin oleh imam tua Ceng Hi, ketua Kun-lun-pay yang lama!"

Iblis Penakluk-dunia berpaling dan tersenyum kepada isterinya, “Sungguh tak meleset dugaanku. Hidung kerbau tua Ceng Hi itu dengan mengandalkan dirinya pada duapuluh tahun jang lalu pernah menghalau kita berdua dari Tiong-goan, sekarang keluar lagi dari pertapaannya .....”

Iblis itu menengadah ke atas dan tertawa gelak-gelak lalu berkata pula. “Tetapi sekarang tidak sama dengan duapuluh tahun jang lalu. Aku mempunyai rencana untuk menghancur leburkan barisan mereka .... asal pemimpin sudah remuk, pastilah yang lain-lain runtuh nyalinya dan partai-partai persilatan itu tentu tak berarti lagi bertingkah hendak menentang aku!"

Anak buah Lembah Semi itu menunggu sampai Iblis Penakluk-dunia selesai berkata. Setelah itu barulah ia berkata lagi dengan nada gentar, “Saat itu disekeliling gunung Tay-liang-san telah dikepung musuh. Walaupun kami telah mengadakan hubungan dengan pos-pos penjagaan yang tersebar dalam jarak sepuluh li dari gunung. Tetapi tetap tak dapat mengetahui berapakah jumlah musuh yang datang itu!"

Iblis Penakluk-dunia tertegun. Pada lain saat ia tertawa nyaring, “Apa guna mengandalkan jumlah banyak?"

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara teriakan menggemuruh. Teriakan dari suatu penyerbuan.

Iblis Penakluk-dunia kerutkan alis lalu memberi perintah, “Kasih tahu pada orang dimuka, jangan melawan ......”

Orang itu mengiakan lalu bersama ketiga kawannya segera melesat pergi.

Iblis Penakluk-dunia membisiki beberapa patah kata kedekat telinga isterinya. Kemudian ia berpaling ke belakang dan memanggil kepada seorang pengawalnya, “Kasih tahu pada semua penjaga diluar gunung dan pos-pos penjagaan di lembah, supaya masuk semua ke dalam lembah!"

Dengan memimpin belasan anak buah, orang itu pun segera berangkat melakukan perintah.

Saat itu Siau-liong hanya terpisah sepuluhan tombak dari Iblis Penakluk-dunia. Apa yang dilakukan iblis itu, diketahui semua.

Ia merasa girang tetapi pun cemas. Girang karena dunia persilatan masih timbul gerakan lagi untuk menumpas Iblis Penakluk-dunia. Bahkan imam Ceng Hi yang sudah mengasingkan diri bertapa selama duapuluh tahun, juga ikut serta dalam gerakan itu. Dengan begitu kekuatan mereka tentu lebih besar.

Tetapi ia cemas karena Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka itu licin sekali dan banyak tipu muslihat. Keadaan Lembah Semi sangat berbahaya, penuh dengan alat-alat jebakan. Dan Iblis Penakluk-dunia pun sudah sumbar bahwa kali ini Ceng Hi totiang tentu akan dihancurkan. Jika hal itu terjadi, memang dunia persilatan takkan terdapat pengganti tokoh yang sesuai untuk memimpin gerakan pembasmian itu!

Saat itu gemuruh teriakan serbuan tadi sudah berhenti. Memandang jauh kemuka, ia melihat sekelompok bayangan hitam berhamburan menyerbu ke dalam lembah.

Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia memberi hormat kepada Lam-hay Sin-ni, ujarnya, “Aku masih mempunyai lain urusan. Apakah Sin-ni suka masuk sendiri ke dalam lembah?"

Lam-hay Sin-ni tertawa mengekeh, “Ah lebih baik kutunggu disini sambil melihat-lihat saja!"

Dengan ucapan itu jelas Lam-hay Sin-ni tak mempunyai selera untuk mencampuri urusan yang terjadi di Lembah Semi.

Iblis Penakluk-dunia tertawa kecewa lalu lari menuju ke arah tempat yang diserbu musuh itu. Kawanan pengawalnya pun segera mengikuti dengan ketat.

Rombongan pendatang itu terdiri dari belasan orang. Mereka hentikan jalannya ketika melihat Iblis Penakluk-dunia, lalu berjalan menghampiri pelahan-lahan.

Dari atas pohon Siau-liong dapat melihat bahwa pemimpin rombongan tetamu itu seorang imam kurus. Jenggotnya yang putih perak, memanjang sampai ke dada. Punggung menyanggul sebatang hudtim atau kebut pertapaan. Sikapnya berwibawa seperti seorang dewa.

Rombongan pengikutnya yang mengawal disebelah kanan kiri dan belakang. kebanyakan Siau-liong tak kenal kecuali Toh Hun-ki, keempat Su-lo dari Kong-tong-pay, Ti Gong taysu dari Siau-limpay.

"Imam tua itu tentulah Ceng Hi totiang, ketua lama dari partai Kun-lun-pay!" diam-diam Siau-liong membatin.

Saat itu Iblis Penakluk-dunia pun berhenti setombak jauhnya dan rombongan pendatang itu. Lam-hay Sin-ni masih tetap berdiri ditempat semula, ditemani Dewi Neraka.

Iblis Penakluk-dunia tertawa menyeringai seraya memberi salam kepada imam tua itu, “Totiang sudah lama tak berjumpa .....” ia berhenti keliarkan mata sejenak, lalu berkata pula, "kudengar sudah lama sekali totiang mensucikan diri dari debu kotoran dunia. Entah mengapa hari ini totiang berkenan datang ke lembah gunung belantara sini?"

Imam tua itu memang Ceng Hi totiang, ketua Kun-lun-pay yang lama. Ia tersenyum menjawab, “Memang sudah hampir duapuluh tahun aku mengasingkan diri dari keramaian dunia dan sebenarnya tak mau campur tangan dengan urusan dunia persilatan lagi. Tetapi kudengar kalian berdua suami isteri telah mengirim undangan kepada seluruh kaum persilatan supaya menghadiri pertemuan Adu Kesaktian .....”

Belum selesai imam tua itu bicara, Iblis Penakluk-dunia sudah cepat menukas, “Kami suami isteri melihat kenyataan dunia persilatan yang selalu tak aman dari pergolakan, yang kuat makan yang lemah. Maka terpaksa kami mengambil tindakan, mengundang seluruh kaum persilatan datang ke lembah sini.

Pertama, untuk mempererat hubungan. Kedua, menggunakan kesempatan adu kesaktian itu, memilih seorang tokoh yang cerdas bijaksana dan pandai dalam ilmu sastera serta silat, menjadi pemimpin dunia persilatan.

Dengan demikian dunia persilatan akan mempunyai suatu wadah dan pimpinan. Segala pergolakan maupun pertikaian dan pertumpahan darah, tentu akan dapat dihentikan. Jika hal itu terlaksana, jerih payah kami berdua, tentu takkan sia-sia!"
Dengan ucapan itu seolah-olah Iblis Penakluk dunia menempatkan dirinya sebagai seorang pahlawan penyelamat dunia persilatan.

Ceng Hi totiang mendengar dengan sabar keterangan Iblis Penakluk-dunia itu. Setelah selesai barulah ia tersenyum.

"Peristiwa berdarah pada duapuluh tahun yang lalu rupanya masih membekas dalam hati sekalian kaum persilatan. Sekali pun dalam mulut mereka terpaksa mengiakan tetapi dalam hati mereka tetap masih tak puas. Jika menurut pendapatku kuanjurkan kalian berdua supaya menghapus saja cita-cita ke-Angkaraan itu. Lebih baik hiduplah menyepi dipegunungan yang tenang untuk melewati sisa penghidupan, agar .....”

Iblis Penakluk-dunia tertawa meloroh.

"Adakah karena tak menerima undangan maka totiang marah? Jika totiang memang masih mempunyai keinginan untuk menguasai dunia persilatan, kami dengan segala senang hati segera akan menghaturkan surat undangan ....”

Iblis Penakluk-dunia menutup katanya dengan melirik rombongan pengikut Ceng-hi totiang.

Lalu melanjutkan pula, “Adu kepandaian akan diselenggarakan besok malam. Karena saudara-saudara datang lebih pagi sehari, maaf, aku tak siap menyambut. Jika saudara hendak memberi pelajaran, harap datang besok malam saja!"

Ketua Siau-lim-si, Ti Gong taysu, tak dapat menahan diri lagi. Setelah menyerukan kata 'omitohud', ia menggembor dengan nyaring, “Jangan dengarkan ocehannya! Lembah Semi penuh dipasangi alat-alat jebakan rahasia. Jika tidak .... ditunjukkan orang, aku dan beberapa saudara mungkin sudah binasa dalam lembah itu. Apa yang disebut sebagai Pertemuan besar Adu Kesaktian itu, tak lain hanyalah suatu perangkap untuk menjerat seluruh kaum persilatan!"

Iblis Penakluk-dunia tertawa nyaring, “Lembah Semi adalah tempat kediaman anakku perempuan. Jika benar terdapat alat-alat rahasia itu tentulah atas perintah dari anakku yang masih gemar bermain-main. Masakan alat-alat semacam itu dapat mengurung para orang gigih. Apakah ucapan losiansu itu tak terlalu berlebih-lebihan?"

Ti Gong taysu menggerung marah, “Kalau begitu. dimanakah beradanya ketua Tiam-jong-pay Shin Bu-seng, ketua Bu-tong-pay It Hang totiang, ketua Ji-tok-kau Tan In-hong, ketua Tong-thing-pang Cu Kong-leng serta Kun-lun Sam-cu itu?"

Dengan tenang Ibls Penakluk-dunia menjawab, “Kami suami isteri dengan hati yang sungguh hendak mengatur dunia persilatan. Tetapi losiansu dan It Hang totiang menggunakan pikiran siau-jin (orang rendah) mengukur hati orang. Diam-diam losiansu dan It Hang totiang memimpin rombongan menyelundup ke dalam lembah untuk mencelakai kami. Sudah suatu kesungkanan kalau kami tak menarik panjang urusan itu. Tetapi sayang losiansu masih ada muka untuk mengungkat lagi hal itu .....”

Ti Gong taysu menggerung hendak turun tangan tetapi buru-buru dicegah Ceng Hi totiang. Dengan ilmu Menyusup suara, ketua lama dari partai Kun-lun-pay itu berseru kepada Ti Gong taysu, “Menghadapi urusan kecil tak dapat menahan diri. tentu dapat membikin kapiran urusan besar. Harap losiansu suka sabarkan diri."

Habis berkata ketua Kun-lun-pay itu memandang ke arah Lam-hay Sin-ni dengan heran.

Iblis Penakluk-dunia tertawa dingin, “It Hang totiang dan rombongannya tak kurang suatu apa. Besok pagi kalau datang ke lembah, saudara-saudara tentu mengetahuinya!"

Sambil mengurut jenggotnya yang menutup dada, Ceng Hi totiang berkata, “Atas nama wakil dari seluruh partai persilatan, kami menolak undangan saudara. Selain itu, akupun hendak mohon bertanya dua buah hal ....”

Sejenak menatap pada Iblis Penakluk-dunia jago tua itu berkata pula dengan nada mantap, “Kesatu, sebelum matahari terbit, besok pagi It Hang totiang dan ke tujuh kawan-kawannya harus sudah dibebaskan. Kedua, lebih baik kalian berdua kembali ke daerah luar perbatasan lagi, jangan mencampuri urusan dunia persilatan di Tiong-goan!"

Wajah Iblis Penakluk-dunia berobah dingin, serunya, “Adakah totiang hendak mengulang cerita pada duapuluh tahun jang lalu untuk mengusir kami dari Tiong-goan?"

“Sesungguhnya aku menjunjung perdamaian, harap saudara suka mempertimbangkan semasak-masaknya!" kata Ceng Hi totiang, lalu berpaling ke belakang dan berseru, “Kasih tahu pada keempat kelompok kita. Besok pagi sebelum mendapat perintahku, jangan sembarangan bertindak sendiri!"

Iblis Penakluk-dunia tertawa mengekeh, "Perintah itu tak perlu disiarkan. Aku sudah memikir masak, besok sore kami akan menyambut kedatangan para tetamu. Kami berdua suami isteri akan bertindak sebagai tuan rumah yang layak. Tetapi kalau hal itu tak mendapat perhatian, jangan salahkan kami akan bertindak ganas!"

Ceng Hi totiang menghela napas panjang, “Segala apa memang sudah kehendak Takdir. Aku tak dapat menentang takdir. Tetapi sayang, entah berapa banyak korban yang akan berjatuhan dalam pertempuran itu nanti!"

Iblis Penakluk-dunia tertawa seram, “Sekarang bukanlah sama dengan duapuluh tahun jang lalu. Jika totiang memang menjunjung kedamaian dan ketenteraman, silahkan totiang masuk ke dalam lembah untuk berunding empat mata dengan kami. Mungkin dapat diperoleh jalan keluar....”

Ceng Hi totiang merenung diam. Hanya matanya memandang ke arah rombongannya, dengan pandang meragu.

Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay berseru nyaring, “Berunding dengan kedua iblis itu, tak ubah seperti berunding dengan harimau mengenai kulit. Totiang memikul tanggung jawab keselamatan dunia persilatan, mana boleh sembarangan menempuh bahaya?"

Ceng Hi totiang mengangguk lalu memandang Iblis Penakluk-dunia, serunya, “Kata-kataku hanya sampai di sini. Tak perlu untuk berunding apa-apa lagi. Jika besok sampai matahari menyingsing kami tak melihat It Hang totiang dan kawan-kawan, terpaksa akan kupimpin serangan ke Lembah Semi .....”

“Kebajikan yang utama ialah mengusahakan perdamaian pada umat manusia, katanya pula, "harap kalian suka pikir sekali lagi. Ketahuilah, seluruh kaum persilatan sudah berkumpul disini. Betapa berbahayanya Lembah Semi, namun tetap tak mungkin mampu menghadapi serbuan seluruh kaum persilatan!"

Habis berkata imam tua itu terus hendak mengajak rombongannya pergi. Tetapi tiba-tiba terdengar Iblis Penakluk-dunia tertawa gelak-gelak dan menyusul terdengarlah sebuah lengkingan tajam membentak, “Hm, macam apakah ini!"

Pada saat Ceng Hi totiang memandang kemuka, entah kapan datangnya tahu-tahu Lam-hay Sin-ni sudah berada dimuka dan memandang tajam kepada rombongan orang gagah.

Rahib sakti dari Lam-hay itu memang jarang berkelana di dunia persilatan. Sebagian besar kaum persilatan tak kenal padanya. Tetapi tokoh-tokoh semacam Ceng Hi totiang, Toh Hun-ki, Ti Gong taysu dan beberapa jago tua, semua sudah pernah melihat rahib itu. Kebanyakan kaum persilatan selalu bersikap menghormat dan menjauhi rahib sakti yang aneh wataknya itu.

Segera Ceng Hi totiang memberi hormat, ujarnya, “Konon kabarnya Sin-ni mengasingkan diri digunung Bu-ih-san. Tak kira kalau hari ini dapat bertemu disini. Entah apakah maksud kunjungan Sin-ni kemari .....”

Lam-hay Sin-ni mendengus lalu balas bertanya, “Ho, engkau kenal aku juga?"

Ceng Hi totiang tertawa, “Pada pertemuan di telaga Leng-ti dahulu, aku beruntung dapat berjumpa sekali dengan Sin-ni. Pada masa itu Sin-ni masih agak muda dan akupun masih seorang pemuda .....”

Ketua Kun-lun-pay itu berhenti sejenak untuk bersenyum lalu, “Menurut perhitungan, peristiwa itu sudah berlangsung duapuluh tahun yang lalu!"

Wajah Lam-hay Sin-ni agak tenang, ujarnya, “Benar, ingatanmu masih bagus sekali!" - tiba-tiba wajah rahib itu mengerut tegang lag!, “Perlu apa kalian datang kemari? Apakah juga akan mencari pusaka?"

Ceng Hi totiang terkesiap, sahutnya, “Sudah hampir duapuluh tahun aku menutup diri dari keramaian dunia. Kali ini terpaksa muncul kedunia persilatan lagi adalah karena hendak mencegah pertumpahan di dunia persilatan. Sama sekali tiada keinginan hendak mencari pusaka. Dan lagi kitab pusaka itu hanya suatu kabar cerita yang sudah berlangsung beberapa ratus tahun. Adakah kabar itu dapat dipercaya, aku tak berani memastikan!"

Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia menggunakan ilmu Menyusup suara kepada Lam-hay Sin-ni, “Imam tua itu telah membawa ribuan pengikut untuk mengepung Lembah Semi sini. Jika tindakan itu bukan untuk mencari kitab pusaka, apakah ada lain alasan lagi yang dapat membohongi seorang anak kecil?"

Lam-hay Sin-ni mengangguk. "Benar, masakan aku dapat dikelabuhinya ....” - rahib itu diam sebentar lalu bertanya, “Tetapi apakah tujuan Adu Kepandaian di Lembah Semi yang hendak kalian selenggarakan itu?"

Iblis Penakluk-dunia tetap gunakan ilmu Menyusup suara untuk menyahut, “Dewasa ini setiap orang persilatan tentu mengiler akan kitab pusaka itu. Dengan menggunakan keadaan Lembah Semi yang berbahaya ini, aku hendak mencegah tindakan mereka, dan lagi ....”

Iblis itu tersenyum lalu berkata pula, “Yang separoh bagian dari peta Giok-pwe itu memang berada padaku, tetapi yang separoh lagi kemungkinan berada pada mereka. Aku hendak merebut yang separoh itu dari tangan mereka untuk kupersembahkan kepada Sin-ni."

Berseri-seri gembiralah wajah Lam-hay Sin-ni. Tetapi pada lain saat, tiba-tiba wajahnya mengerut lagi, “Kitab pusaka dari Tio Sam-hong, setiap hidung tentu menginginkan. Masakan kalian suami isteri tak menghendakinya? Apalagi sama sekali aku tak pernah melepas budi kepadamu, mengapa kalian begitu ikhlas hendak menyerahkan peta itu kepadaku?"

Mata rahib itu berkilat-kilat memandang Iblis Penakluk-dunia dengan penuh kecurigaan.

Iblis Penakluk-dunia tercengang, Tetapi cepat ia dapat menguasai keadaan. Iapun tertawa sinis, “Memang tak salah kalau Sin-ni menaruh kecurigaan. Aku memang masih mempunyai alasan yang belum kuberitahukan ....”
32. Perebutan Giok-pwe

Ia merenung sejenak lalu berkata dengan tenang, “Pertama, kami berdua suami isteri amat mengagumi sekali akan ilmu sakti Cek-ci-sin-kang dari Sin-ni. Kedua, kami mempunyai sebuah persoalan yang ingin memohon bantuan Sin-ni ......”

“Soal apa? Lekas katakanlah!"

“Kami suami isteri selalu bersikap baik kepada orang tetapi entah bagaimana kami selalu dimusuhi orang saja. Duapuluh tahun yang lalu, kami telah dikepung dan hendak dibunuh oleh Ceng Hi totiang dan kawan-kawannya sehingga kami terpaksa melarikan diri keluar perbatasan ....”

Iblis Penakluk-dunia menghias tutur ceritanya dengan sebuah helaan napas.

"Seperti kali ini, baru beberapa hari kami pulang ke lembah, tokoh-tokoh partai persilatan itu terus berbondong-bondong datang kemari hendak membikin perhitungan kepada kami. Bahkan pada tengah malam begini, mereka tetap masuk ke dalam lembah hendak mencelakai diri kami.

Saat ini Ceng Hi totiang kembali membawa rombongannya hendak menghancurkan lembah kami. Rupanya jika kami berdua suami isteri belum mati, mereka tetap tak puas Oleh karena itu, dengan menggunakan kesempatan Adu Kepandaian itu, kami hendak mohon bantuan Sin-ni untuk menundukkan mereka.

Bukan karena kami ingin menguasai dunia persilatan, melainkan agar kami dapat hidup disini dengan tenteram. Sudah tentu budi pertolongan Sin-ni itu kami takkan lupa selama-lamanya!"

Rupanya Lam-hay Sin-ni mudah sekali percaya omongan manis. Seketika timbullah rasa simpatinya kepada Iblis Penakluk-dunia. Berulang kali ia mengangguk-angguk kepala.

"Itu mudah saja, aku akan membantumulah."

“Lebih dulu terimalah persembahan terima kasih kami atas budi pertolongan Sin-ni!" serta merta Iblis Penakluk-dunia menjurah memberi hormat.

Dengan wajah berseri, rahib itu berpaling ke arah Ceng Hi totiang. bentaknya, “Adu Kepandaian itu akan dilangsungkan besok malam. Mengapa kalian sekarang sudah datang?"

Ceng Hi totiang memang tak tahu apa hubungan antara suami isteri iblis itu dengan Lam-hay Sin-ni. Apalagi pembicaraan mereka dilakukan dengan menggunakan ilmu Menyusup-suara. Yang dilihatnya hanya bibir kedua orang itu tak henti-hentinya bergerak.

Ia duga mereka tentu sedang bercakap-cakap. Dan menilik nada serta sikapnya, tahulah Ceng Hi totiang bahwa rahib itu datang karena hendak mencari pusaka peninggalan Tio Sam-hong.

Menilik betapa licik manusia Iblis Penakluk-dunia itu dan mengingat betapa picik pengalaman Lam-hay Sin-ni yang jarang keluar kedunia persilatan itu, diam-diam Ceng Hi Totiang gelisah. "Ah, kalau kitab pusaka itu sampai jatuh ketangan orang yang tak bertanggung jawab semacam Iblis Penakluk-dunia, alangkah ngerinya nasib dunia persilatan nanti ....”

Toh Hun-ki, Ti Gong taysu dan lain-lain tokoh, cukup mengetahui kelihayan ilmu sakti Cek-ci-sin-kang dari rahib itu. Mereka gelisah. Kalau rahib itu sampai dipergunakan Iblis Penakluk-dunia, tentu hebatlah akibatnya bagi rombongan Ceng Hi totiang.

Ceng Hi totiang gelagapan mendengar bentakan rahib itu. Buru-buru ia memberi hormat, sahutnya, “Selama ini Sin-ni selalu menjauhkan diri dari pergolakan dunia persilatan yang kotor. Dan kaum persilatan menaruh perindahan tinggi kepada Sin-ni. Maka heranlah kami mengapa saat ini Sin-ni muncul dan membantu kedua suami isteri durjana itu?"

Lam-hay Sin-ni deliki mata, membentak, “Apakah engkau hendak memberi nasehat kepadaku?"

Pun Iblis Penakluk-dunia cepat menambahi kata, “Totiang amat termasyhur di dunia persilatan dan sangat diindahkan sekali oleh dunia persilatan. Sekali pun kata-kata totiang itu menyinggung perasaanku, tetapi aku rela menerimanya. Tetapi kalau totiang menghina pada Sin-ni, ah, sungguh keterlaluan sekali!"

Lam-hay Sin-ni yang polos dan jujur tetapi agak tolol, seketika terbakarlah kemarahannya mendengar ucapan Iblis Penakluk-dunia itu. Segera ia ayunkan tangan, melontar pukulan.

“Bum....’ sebuah batu besar hancur bertebaran keempat penjuru!

Ternyata pukulan rahib itu ditujukan pada sebuah batu besar yang terpisah beberapa meter dari tempat Ceng Hi totiang.

Tetapi tak kecewalah Ceng Hi sebagai seorang datuk persilatan. Ia memiliki toleransi yang besar sekali. Setitikpun ia tak terpengaruh oleh pameran ilmu kesaktian dari rahib itu. Ia tetap tegak dengan tenangnya.

“Dengan Kekuatan menaklukan orang, tidaklah seindah menaklukkan orang dengan Keluhuran budi. Apalagi dunia persilatan selalu mengutamakan Keadilan dan Kebenaran!" kata imam tua itu dengan tertawa hambar, lalu menghela napas. Seolah-olah menyesalkan tindakan Lam-hay Sin-ni yang karena hendak mencari kitab pusaka telah rela bekerja sama dengan suami isteri durjana.

Lam-hay Sin-ni tertawa mengekeh, “Selama mengasingkan diri digunung sepi, aku tak pernah melepaskan diri dari persoalan manusia. Kemungkinan nanti aku pun akan menjajal kepandaian dengan kalian!"

Ceng Hi totiang terbeliak. Benar-benar ia tak mengira bahwa seorang rahib tua yang memiliki salah satu dari ilmu Panca Sakti dan sudah berpuluh tahun mengasingkan diri ternyata masih belum mencapai kesadaran.

Masih tak dapat membedakan antara Putih dengan Hitam. Masih dikuasai nafsu untuk mengejar nama dan keuntungan. Adakah rahib itu benar-benar kurang waras pikirannya .......?

Toh Hun-ki dan rombongan serta Ti Gong taysu yang lebih banyak dipengaruhi rasa jerih terhadap kesaktian rahib itu, tak berani ikut bicara.

Dengan wajah berseri riang, Lam-hay Sin-ni memandang sekalian orang itu kemudian berpaling kepada Iblis Penakluk-dunia, “Sekarang mari kita masuk ke dalam lembah untuk mengambil Giok-pwe yang separoh bagian itu?"

Iblis Penakluk-dunia mengangguk, “Baiklah, mari kuantar Sin-ni!" - ia terus berputar diri dan ayunkan langkah.

Dewi Neraka cepat melesat kesamping Lam-hay Sin-ni. Tangan kiri mencekal tongkat kepala naga, tangan kanan memapah lambung Lam-hay Sin-ni.

Ceng Hi totiang memandang bayangan rahib itu dengan tak berkata suatu apa. Tetapi ketika Lam-hay Sin-ni baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba dari udara terdengar suara gemboran menggeledek, “Sin-ni, berhentilah!"

Sesosok tubuh melayang dari atas gerumbul pohon. Gerakannya mirip dengan seekor burung rajawali. Dan tepat orang itu melayang turun beberapa langkah dimuka Sin-ni.

Baik rombongan Ceng Hi totiang maupun suami isteri Iblis Penakluk-dunia, terperanjat sekali dan buru-buru hentikan langkah.

Kiranya yang muncul itu adalah Siau-liong dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat.

Ceng Hi totiang dan rombongannya pun tak jadi tinggalkan tempat itu.

Sejenak terkejut, Iblis Penakluk-dunia segera tenang kembali. Ia tertawa dingin, “Tua bangka Laknat, umurmu benar-benar masih panjang!"

Pun Dewi Neraka dengan heran-heran kejut, berseru, “Bagaimana engkau dapat menemukan jalan rahasia dalam lembah? Asal engkau mau mengatakan, kami takkan menyusahkan engkau lagi!"

Siau-liong tertawa, "Sudan kukatakan semula, tempat sebagai Lembah Semi itu, aku senang datang terus datang, senang pergi pun pergi. Segala macam alat perangkap dan tempat yang berbahaya dalam lembah, masakan mampu merintangi kebebasanku?"

Pada saat kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia hendak menyahut, Lam-hay Sin-ni cepat mencegahnya. Kemudian rahib itu tersenyum pada Siau-liong, serunya, “Uh, hampir saja kulupakan engkau? Apakah engkau tetap bersembunyi di atas pohon itu?"

“Benar, apa yang Sin-ni dan kedua iblis bicarakan tadi, telah kudengar semua!"

Lam-hay Sin-ni memandang wajah Siau-liong, serunya, “Ya, omonganmu itu benar sekali ....” ia menunjuk pada suami isteri Iblis Penakluk-dunia, berkata pula, "memang Giok-pwe yang separoh bagian itu berada ditangan mereka dan sekarang hendak ku ambil ke dalam lembah!"

Siau-liong berkata dingin, “Kukuatir separoh Giok-pwe itu Sin-ni tak dapat memperolehnya dan lagi, jangan masuk ke dalam lembah!"

“Mengapa?" bentak rahib itu dengan marah.

“Selama ini Sin-ni hanya tinggal menyepi di gunung dan tak menghiraukan urusan dunia. Kali ini kedatangan Sin-ni untuk mencari kitab pusaka Tio Sam-hong, kurasa bukanlah dikarenakan hendak memburu harta permata yang tak ternilai jumlahnya itu!"

"Sudah tentu," sahut Lam-hay Sin-ni, "aku tak butuh dengan segala harta kekayaan dunia!"

“Karena tak menginginkan harta permata, jelas tentulah hanya untuk Kitab pusaka itu saja .....”

Siau-liong berhenti sejenak memandang sekalian orang yang tegak berdiri diam, lalu berseru nyaring,

“Walaupun ilmu Thian-kong-sin-kang itu tergolong salah satu dari Panca Sakti, tetapi hanya ilmu itulah yang mendasarkan pada Sin (semangat). Jadi jauh di atas ilmu sakti Thian-jim-sin-kang, Jit-hua-sin-kang, Ya-li-sin-kang dan ilmu Cek-ci-sin-kang yang Sin-ni miliki.

Maka apabila ilmu Thian-kong-sin-kang yang tertera pada kitab pusaka itu sampai jatuh ketangan lain orang, Sin-ni pasti akan tergeser dalam kedudukan sebagai tokoh kelas dua. Jika Sin-ni dapat memperoleh ilmu Thian-kong sin-kang itu, Sin-ni akan memiliki dua buah ilmu sakti yang tiada taranya dan dengan sendirinya Sin-nilah satu-satunya tokoh nomor satu dalam dunia persilatan ......”

Ceng Hi totiang dan sekalian orang mendengarkan dengan penuh perhatian. Sekalipun ilmu Panca Sakti itu sudah tersiar dalam dunia persilatan sejak berpuluh-puluh tahun tetapi karena sudah lama sekali tak pernah muncul tokoh yang menggunakan ilmu sakti itu, maka orang menganggapnya hanya sebagai khayalan saja. Maka pada saat Pendekar Laknat Siau-liong mengungkapkan lagi tentang kelima ilmu sakti itu dengan jelas, sekalian tokoh-tokoh yang hadir disitu sama tercergang-cengang ......

Lam-hay Sin-ni tertawa mengekeh, “Meskipun kata-katamu itu tak sedap, tetapi memang kenyataannya begitulah ....., aku Lam-hay Sin-ni memang tak mau campur tangan urusan dunia persilatan tetapi aku pun tak rela kalau ada orang yang lebih unggul kepandaiannya dari diriku!"

Siau-liong memandang kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia lalu tertawa hambar, "Selama ini Sin-ni hanya mengabdikan diri pada ajaran suci dan tak mau mengotorkan diri pada kejahatan dunia. Jika kitab pusaka yang berisi Thian-kong-sin-kang itu akan menjadikan seseorang melonjak dalam kedudukan sebagai tokoh persilatan nomor satu, masakan kedua Suami isteri itu mau begitu rela menyerahkan pada Sin-ni? Dalam hal itu tentulah .....”

Iblis Penakluk-dunia cepat menukas dengan tertawa melengking nyaring, “Betapapun engkau hendak menggunakan lidahmu yang tajam tetapi tak mungkin dapat memecah belah Sin-ni dengan aku ......”

“Jangan mengerat omongan orang! Biarkan dia bicara sampai habis dulu!" bentak Lam-hay Sin-ni.

Siau-liong mendengus ejek lalu melanjutkan kata-katanya, “Jelas kedua suami isteri iblis itu mengandung hati durjana. Jika Sin-ni sampai terjebak masuk ke dalam lembah, berarti Sin-ni akan terjerumus ke dalam liang naga. Bukan saja separoh Giok-pwe itu takkan Sin-ni peroleh, bahkan Sin-ni sendiri tentu sukar akan keluar dari situ ....”

Sia-liong berhenti sejenak untuk mengatur kata-kata. Setelah itu berserulah ia dengan keras,

“Jong Leng lojin adalah contohnya!"

"Siapakah Jong Leng lojin itu?" tanya Lam-hay Sin-ni.

“Jong Leng lojin adalah salah seorang tokoh yang memiliki ilmu sakti Jit-hua-sin-kang!" teriak Siau-liong, "dia sekarang berada dalam penjara dibawah tanah dengan kedua kakinya dirantai!"'

Lam-hay Sin-ni maju selangkah dengan mata berkilat-kilat tajam, serunja, "Benarkah itu?"

"Aku menyaksikan sendiri!" sahut Siau-liong.

Wajah Lam-hay Sin-ni tampak membeku lalu berpaling ke arah Iblis Penakluk-dunia.

Juga Ceng Hi toting dan sekalian orang terperanjat mendengar keterangan Pendekar Laknat Siau-liong itu. Jika hal itu benar, sungguh suatu peristiwa yang tiada tara ngerinya.

Jong leng lojin sudah berpuluh-puluh tahun tak muncul di dunia persilatan. Orang mengira dia tentu sudah mati atau sudah lenyap. Tetapi mengapa ternyata dipenjarakan Iblis Penakluk-dunia dalam Lembah Semi?

Sekalian orang setengah meragukan keterangan Siau-liong itu.

Diantara sekian banyak orang, hanya Ceng Hi totianglah yang paling rapat hubungannya dengan Pendekar Laknat. Sudah beberapa kali ia bertemu dengan momok itu maka tahulah ia bagaimana watak dan pribadi momok itu.

Sejauh ingatan Ceng Hi totiang, dahulu Pendekar Laknat itu seorang manusia yang sukar diraba pendiriannya. Malang melintang di dunia persilatan menurut sekehendak hatinya yang angkuh dan ganas.

Tetapi mengapa sekarang, dua puluh tahun kemudian, momok itu tiba-tiba berobah begitu sadar, dapat membedakan mana yang lurus dan mana yang jahat?

Dan yang paling tak dimengertinya ialah dua puluh tahun yang lalu Pendekar Laknat itu bertubuh pendek tetapi mengapa sekarang berobah begitu tinggi besar? Masakan makin tua makin bertambah tinggi!

Saat itu suasana makin bertambah tegang. Sekalian orang memandang ke arah Lam-hay Sin-ni. Rupanya rahib yang memiliki salah satu dari ilmu Panca Sakti, hendak berbalik memusuhi Iblis Penakluk-dunia.

Tetapi Iblis Penakluk-dunia tetap mengulum senyum dan memberi homat kepada rahib itu, “Adakah Sin-ni percaya akan omongan itu?"

"Kalau melihat dengan mata kepala sendiri, tentulah tak bohong!" sahut Sin-ni.

Iblis Penakluk-dunia tertawa nyaring, “Jong Leng lojin memiliki ilmu sakti Jit-hua-sin-kang. Dalam dunia persilatan kedudukannya sama dengan Sin-ni. Masakan kami berdua mampu menjebloskannya dalam penjara dibawah tanah? Apalagi ......”

Ia memandang Siau-liong dan rombongan Ceng Hi totiang.

"Si tua Laknat, Toh Hun-ki ketua Kong-tong pay, Ti Gong taysu dari Siau-lim-si, To Kiu-kong ketua Kay-pang dan lain-lain pernah masuk ke dalam lembah dan dapat keluar dengan tak kurang suatu apa. Jika lembah itu penuh dengan alat jebakan dan kami mempunyai kemampuan untuk memenjarakan Jong Leng lojin, masakan rombongan mereka dapat lolos dari tangan kami? Masakan mereka dapat berdiri disini dan menyerang kami dengan fitnah yang tajam?"

Lam-hay Sin-ni mengangguk angguk, “Omonganmu benar juga. Hampir saja aku dapat dikelabuhi!"

Dengan mata berkilat-kilat rahib itu menatap Siau-liong. Melihat itu Iblis Penakluk-dunia cepat menambah minyak ke dalam api. Serunya, “Masih ada sebuah hal penting yang hendak kuberitahukan kepada Sin-ni. Giok-pwe yang separoh bagian itu berada pada si tua Laknat!"

Seketika berobahlah wajah Sin-ni terkejut girang. Cepat ia menegur Siau-liong, “Benarkah itu?"

"Benar!" Siau-liong tertawa hambar.

"Lekas serahkan padaku!"

Siau-liong tertawa dingin, “Sekali pun aku ingin menyerahkan Giok-pwe itu, tetapi sekarang sudah tak dapat ....."

Berhenti sejenak, Siau-liong mengangkat muka memandang kelangit dan berseru pula dengan nada tawar, “Kitab pusaka tulisan Tio Sam-hong dan harta karun yang nilainya dapat dibelikan sebuah kota, sejak saat ini bakal lenyap dan tinggal merupakan sebuah teka-teki saja. Andaikata benar adapun harta pusaka itu tak mungkin diketemukan orang lagi dan akan terpendam dalam tanah untuk selama-lamanya."

“Perlu apa engkau mengoceh belo tak keruan itu," bentak Lam-hay Sin-ni.

Siau-liong tertawa lepas. Dengan tandas ia berkata, ”Separoh Giok-pwe itu telah kuremas hancur berkeping-keping .....”

Seketika berobahlah wajah lblis Penakluk-dunia. Tetapi beberapa saat kemudian ia tertawa gelak-gelak, "Omongan semacam itu, anak kecil umur tiga tahun pun tak mungkin percaya!"

Lm-hay Sin-ni tertegun lalu melengking, “Aku pun juga tak percaya!"

Siau-liong menertawakan Iblis Penakluk-dunia, serunya, “Aku tak butuh engkau percaya atau tidak! Tetapi jelas kalau separoh bagian Giok-pwe itu sudah kuhancurkan. Dengan begitu yang separoh bagian lagi sudah tak berguna."

Dengan murka sekali Lam-hay Sin-ni membentaknya, “lekas serahkan separoh bagian Giok-pwe itu. Kalau tidak terpaksa aku turun tangan!"

Bentakan itu dilambari dengan tenaga dalam yang hebat sehingga sekalian orang yang hadir disitu seperti mendengar halilintar meletus. Mereka terkejut dan memandang ke arah rahib itu.

Dibawah sinar rembulan, tampak dengan mata berapi-api rahib itu memandang Siau-liong seraya pelahan-lahan maju menghampiri .....

Tampak jubahnya yang gerombyong itu berkibar-kibar keras. Tanah yang dilaluinya meninggalkan bekas telapak sedalam tiga inci. Dahinya memancar sinar pembunuhan yang buas.

Siau-liong memandang gerak-gerik Sin-ni itu dengan penuh perhatian. Diam-diam ia kerahkan seluruh tenaga dalam Bu-kek-sin-kang. Walaupun belum yakin akan menang, namun ia bertekad untuk menghadapi Sin-ni itu.

Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka berdiri disamping sambil tertawa sinis. Seri wajahnya amat riang karena siasatnya mengadu domba akan berhasil.

Tidak demikian dengan ketua Kong-tong-pay, Toh Hun-ki. Diam-diam ia keluarkan keringat dingin karena mencemaskan Pendekar Laknat Siau-liong. Buru-buru ia gunakan ilmu Menyusup Suara untuk berseru kepada Ceng Hi totiang.

"Pendekar Laknat yang sekarang jauh sekali bedanya dengan dahulu. Kami dan kawan-kawan ketika dikurung dalam lembah, jika tak ada dia yang menolongi, tentulah sudah binasa. Dapatkah totiang membantu sedikit tenaga kepadanya dalam menghadapi keganasan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka dan untuk menyelamatkan dunia persilatan, jika bisa mendapatkan tenaganya, tentu sangat berguna sekali"

Ceng Hi totiang kerutkan dahi. Mengangguk tetapi tak menyahut apa-apa.

Beberapa langkah dimuka Siau-liong, Lam-hay Si-ni berhenti, bentaknya pula, “Apakah engkau masih tak mau menyerahkan Giok-pwe itu?"

Siau-liong deliki mata, “Sudah kukatakan, Giok-pwe itu sudah kuhancurkan. Tetapi engkau berkeras tak percaya, apa boleh buat!"

Bentak rahib itu, “Telah menjadi keputusanku untuk mencari pusaka itu. Dengan menyimpan separoh Giok-pwe itu, bagimu pun tak berguna. Bahkan malah akan menghilangkan nyawamu yang sudah tua itu!"

Siau-liong tertawa angkuh, “Harap Sin-ni jangan mengagulkan ilmu Cek-ci-sin-kang untuk memandang rendah orang, Jika Sin-ni tak mau makan nasehatku, tentulah Sin-ni akan mengalami nasib serupa Jong Leng lojin yang dipenjarakan dibawah tanah oleh kedua suami isteri iblis itu!"

Wajah Sin-ni berobah pucat dan membentaklah ia dengan kalap, “Apakah engkau benar-benar tak takut mati!"

Tiba-tiba ia mengangkat tangan kanan hendak memukul.

Diam-diam Siau-liong menimang, “Mati hidup sudah takdir! Jika aku memang harus mati ditangan rahib ini, mau lari kemana lagi? Hm ....?"

Siau-liong telah mengambil keputusan. Andaikata sekarang tidak, pun setahun lagi ia pasti akan mati juga. Baginya tiada yang diharap lagi. Pikiran kacau, hatinya pun gundah. Maka tetap tegaklah ia ditempat. Kedua tangan telah disiapkan dengan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang dan ia benar-benar hendak mengadu jiwa dengan Lam-hay Sin-ni.

Mata Lam-hay Sin-ni memang tajam sekali. Cepat ia melihat bahwa kedua tangan Siau-liong menjadi merah membara. Seketika tertawalah ia mengekeh.

“Heh, heh, dengan mengandalkan ilmu liar itu, engkau hendak melawan aku?" serunya mengejek.

Ucapan itu diserempaki dengan gerakan tangan kanannya yang sudah diangkat tadi. Seketika terdengar deru angin yang tajam melanda kepala Siau-liong ....

Siau-liong memang sudah siap. Ia sudah kerahkan seluruh tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Kedua tangan diangkat kedada lalu pelahan-lahan disongsongkan kemuka.

“Bam ....” terdengar ledakan keras. Tubuh Siau-liong bergoyang-goyang beberapa kali. Wajahnya tetap tak berobah dan tetap tegak ditempatnya.

Dan ketika kedua pukulan itu berbentur, berhamburanlah hawa panas kesekeliling. Sekalian orang yang hadir merasakan hawa itu.

Ternyata ilmu sakti Cek-ci-sin-kang itu berdasar pada hawa panas dalam tubuh. Sedang tenaga sakti Bu-kek-sin-kang itu pun juga berdasar pada api dalam tubuh. Kedua tenaga sakti itu sama-sama tergolong tenaga keras yang panas.

“Hai, Laknat tua, kepandaianmu hebat juga!" seru Lam-hay Sin-ni tertawa.

Siau-liong pun tertawa hambar, “Ah, Sin-ni keliwat memuji....”

Diam-diam Siau-liong heran. Ketika berhadapan dengan Jong Leng lojin di penjara bawah tanah, ia tak mampu berbuat apa-apa menghadapi tenaga sakti Jit-hua-sin-kang tokoh tua itu. Pun dengan Randa gunung Bu-san yang memiliki tenaga sakti Ya-li-sin-kang. Walaupun ia belum pernah bertempur, tetapi dari kesaktian anak perempuannya yang adu tenaga dengan dia itu, jelas kalau ilmu Ya-li-sin-kang itu jauh lebih unggul dari Bu-kek-sin-kang.

Adalah karena terpaksa, maka ia nekad menghadapi serangan Lam-hay Sin-ni. Tadi dalam adu pukulan ia telah menggunakan sepuluh bagian tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Sekalipun tak dapat menghalau Lam-hay Sin-ni, tetapi ia juga tak menderita apa-apa.

Seketika timbullah nyalinya.

Tiba-tiba Lam-hay Sin-ni tertawa mengekeh, “Pukulanku dengan dua bagian Cek-ci-sin-kang tadi dapat membunuh tiga ekor harimau. Tetapi engkau mampu menerimanya, sungguh hebat juga!"

Siau-liong terbeliak kaget. Kiranya Sin-ni hanya menggunakan dua bagian dari ilmu sakti Cek-ci-sin-kang. Ah, maka perbawanya tak begitu hebat.

Pada saat rasa ngerinya mulai membayangkan bagaimana akibatnya apabila rahib itu memukul dengan tenaga penuh, tiba-tiba terdengar Lam-hay Sin-ni membentak keras.

“Setan tua, nih cobalah terima pukulan dari empat bagian Cek-ci-sin-kang ....!"

Anginpun menderu-deru dahsyat sekali ....
33. Singa Ketemu Macan

Dalam keadaan seperti saat itu, Siau-liong bagaikan seorang yang naik di punggung harimau. Terus naik celaka, turunpun tentu dimakan.

Tetapi dari pada turun, lebih baik ia lanjutkan naik terus. Siapa tahu nanti akan terjadi sesuatu yang diluar dugaan.

Darah muda Sian-liong meluap. Dan bulatlah sudah tekadnya. Lebih baik pecah sebagai ratna dari pada mati bertekuk lutut .....

Tanpa banyak pikir lagi, ia gerakkan kedua tangannya dengan jurus Thay-siang-bu-kek yang dilambari dengan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang!

“Bum....!”

Regukan angin yang panas ditaburi pecahan batu dan pasir yang berhamburan ke sekeliling penjuru!

Tubuh Siau-liong bergoyang gontai maju mundur beberapa kali. Tetapi masih tetap dapat tegak berdiri di tempatnya.

Ternyata dia telah mengkombinasikan ilmu pukulan Thay-siang-ciang dan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Oleh karena dia telah makan buah Im-yang-som dan minum darah binyawak purba, maka tenaganya pun lebih unggul dari Pendekar Laknat yang asli. Dengan demikian dapatlah ia bertahan dari pukulan Lam-hay Sin-ni.

Di antara sekalian tokoh yang hadir, adalah To Kiu-kong ketua Kay-pang yang paling terkejut sendiri. Dia benar-benar tak mengerti mengapa Pendekar Laknat dapat menggunakan pukulan Thay-siang ciang. Pada hal ilmu pukulan itu adalah milik Pengemis Tengkorak Song Tay-kun yang jelas menjadi musuh dari Pendekar Laknat!

Juga Ceng Hi totiang yang luas pengalaman dan pengetahuannya segera dapat mengetahui keanehan pada diri Pendekar Laknat Siau-liong itu. Tokoh tua dari Kun-lun-pay itu memandang Siau-liong dengan saksama.

"Aneh!" juga Lam-hay Sin-ni sendiri tertegun memandang Siau-liong seraya mengingau. Rahib itu juga tak habis herannya.

Pada waktu ia gunakan dua bagian dari tenaga sakti Cek-ci-sin-kang tadi, jelas diketahuinya bahwa Pendekar Laknat Siau-liong itu sudah kepayahan.

Dan pada pukulan yang kedua itu ia telah menambahkan empat bagian tenaga sakti Cek-ci-sin-kang. Hal itu pasti akan menghancurkan Siau-liong. Kalau tak mati tentu terluka parah. Tetapi mengapa orang itu masih tetap kuat bertahan seperti yang pertama tadi?

Siau-liong yang paling tahu jelas keadaan dirinya. Adalah karena menggunakan ilmu pukulan Thay-siang-ciang yang dikombinasi dengan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang maka ia mampu menerima pukulan Lam-hay Sin-ni. Tetapi apabila rahib itu menambahi lagi tenaga saktinya, ia pasti tak kuat!

Toh Hun-ki yang menyaksikan adegan pertempuran maut itu, bingung tak karuan. Buruan ia gunakan ilmu Menyusup suara kepada Ceng Hi totiang.

“Saat ini sudah jelas bagaimana kekuatan kedua tokoh yang adu pukulan itu. Jelas kedua suami isteri iblis hendak menggunakan tangan Lam-hay Sin-ni untuk membinasakan Pendekar Laknat. Jika kita berpeluk tangan membiarkan Pendekar Laknat mati dipukul Lam-hay Sin-ni, sungguh tidak bijaksana!"

Ceng Hi totiang menyahut dengan ilmu Menyusup suara juga, “Lam-hay Sin-ni itu orang linglung tetapi memiliki ilmu sakti Cek-ci-sin-kang. Harus dilawan dengan kepintaran tak boleh dengan kekerasan. Aku telah menyanggupkan diri untuk menerima beban kewajiban dari kawan-kawan persilatan. Saat ini kita menghadapi bermacam-macam bahaya. Sekali tak waspada, besar bahayanya. Bukankah hal itu akan memberi keuntungan pada kedua suami isteri iblis untuk menguasai dunia persilatan....”

Sejenak berhenti ketua Kun-lun-pay itu melanjutkan pula, “Pendekar Laknat pada duapuluh tahun yang lalu dengan sekarang, sungguh berbeda sekali. Begitu pula ucapannya sekarang ini tiadalah sesombong dan seliar dahulu, tetapi penuh dengan nalar yang tepat. Tetapi dia tetap berhati keras karena walaupun jelas tak bisa melawan Lam-hay Sin-ni namun dia tetap berani menghadapinya. Apakah itu bukan berarti dia mencari mati sendiri? Sekalipun aku ingin menolongnya tetapi tenagaku tak mampu!"

Toh Hun-ki tahu jelas bahwa tujuan dari Lam-hay Sin-ni itu adalah untuk memperoleh Giok-pwe dan bukan hendak bermusuhan dengan partai-partai persilatan. Jika karena hendak membantu Pendekar Laknat sampai menimbulkan kemarahan rahib itu, tentu celakalah sekalian rombongan orang gagah.

Diam-diam ketua Kong-tong-pay itu mengakui kebenaran ucapan Ceng Hi totiang. Ia makin gugup tetapi tak dapat menemukan suatu akal.

Kebalikannya, Siau-long saat itu malah makin tenang. Hatinya bulat, pikiran mantap. Menggunakan kesempatan lawan sedang tertegun, diam-diam ia kerahkan lagi tenaga sakti Bu-kek-sin-kang, siap menunggu serangan yang ketiga ....

Setelah beberapa saat memandang Siau-liong dengan heran. tiba-tiba mata Sin-ni itu menyala lagi. Tangan kanannya pelahan-lahan diangkat dan berserulah ia nyaring.

"Kali ini akan kugunakan delapan bagian tenaga sakti Cek-ci-sin-kang untuk menghancurkan dirimu!"

Siau-liong diam saja. Hatinya sudah bulat untuk mati. Sepasang tangannya segera bergerak menyongsong kemuka. Tangan kanan gunakan jurus Ki-lok-po-ti dan tangan kiri dengan jurus Siu-lo-pan-cha. Dua jurus dahsyat dari ilmu pukulan Thay-siang-ciang!

Gerakan tangan Lam-hay Sin-ni itu tampaknya lebih pelahan dari yang tadi. Tetapi melihat wajahnya yang begitu membesi, tahulah sekalian orang bahwa pukulan rahib itu dahsyatnya bukan alang kepalang.

Sedang kedua tangan Siau-liong tadi bergerak dengan keras. Tetapi begitu berbentur dengan tenaga sakti Cek-ci-sin-kang, sirnalah tenaga Bu-kek-sin-kang itu seperti tenggelam ke dalam laut.

Lam-hay Sin-ni tertawa mengekeh, bentaknya, “Tua bangka Laknat, serahkan jiwamu!"

Dan serempak dengan itu tangannya pun bergerak cepat. Angin mendesis tajam, melanda ke arah kepala Siau-liong.

Siau-liong terkejut tetapi tak berdaya. Ia meramkan mata menunggu kematian ....

Tetapi pukulan maut Sin-ni itu tak kunjung datang. Bahkan saat itu ia mendengar jeritan kaget dari sekalian orang termasuk Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

Buru-buru ia membuka mata. Ketika memandang kemuka, dilihatnya wajah Lam-hay Sin-ni pucat seperti kertas dan tubuhnya terhuyung-huyung mau jatuh. Jelas rahib itu telah menderita luka ....

Siau-liong cepat dapat menyadari bahwa tentu ada seorang sakti yang menolong jiwanya. Buru-buru ia berpaling. Ah, beberapa langkah disampingnya, tampak seorang wanita berpakaian hitam tegak berdiri dengan tenang.

Randa gunung Bu-san!

Di belakang wanita itu tampak si dara baju bijau yang pernah adu pukulan dengan dia (Siau-liong). Dara itu memandangnya dengan mata penuh dendam kebencian ....

Juga tubuh janda dari Bu-san itu agak gemetar, wajahnya pun pucat.

Kiranya pada saat pukulan maut Lam-hay Sin-ni akan mencabut nyawa Siau-liong, tiba-tiba muncullah Randa Bu-san yang segera ayunkan tangan menangkis pukulan Sin-ni.

Ya-li-sin-kang dari Randa Bu-san yang semula keras itu tiba-tiba berubah menjadi lunak. Dan hapuslah tenaga sakti Cek-ci-sin-kang dari Lam-hay Sin-ni. Adalah karena kedua wanita itu berimbang kesaktiannya maka kedua-duanya pun menderita luka kecil.

Setelah mengetahui siapa penolongnya, buru-buru Siau-liong memberi hormat, “Terima kasih atas pertolonganmu, aku ......”

Randa Bu-san mendengus. Tanpa menunggu orang selesai bicara, ia terus berpaling ke arah Lam-hay Sin-ni.

Siau-liong tersipu-sipu malu. Untunglah saat itu perhatian orang tertumpah pada Randa Bu-san sehingga kekikukan Siau-liong itu tak ada yang memperhatikan.

Menatap tajam kepada wanita Bu-san, melengkinglah Lam-hay Sin-ni ”Mengapa engkau membantunya?"

"Hanya kebetulan jalan disini dan melihat hal yang ganjil!" sahut Randa Bu-san dengan dingin.

Lam-hay Sin-ni membentak tajam, “Apakah bukan karena hendak mencari pusaka....?"

Mata rahib itu berkeliaran beberapa kali. Tiba-tiba ia kerahkan tenaga dalam lalu berteriak, “Hari ini terpaksa aku harus adu jiwa dengan engkau!"

Randa Bu-san hanya tertawa dingin. "Dalam adu jiwa, dua-dua tentu sama terluka, Ketahuilah, Ya-li-sin-kang tidak dibawah Cek-ci-sin-kang!"

Sepasang tangan Lam-hay Sin-ni yang sudah diangkat ke atas itu kembali diturunkan. Ia deliki mata kepada wanita itu, “Baik dalam mencari Giok-pwe, engkau dan aku masing-masing mendapat separoh. Besok pagi pada saat ini, akan kutunggumu disini. Kita tentukan siapa yang berhak memiliki kitab Thian-kong-sin-kang itu!"

Randa Bu-san tertawa dingin, “Tamak menginginkan barang yang bukan miliknya, menjadi penyebab kematian. Rupanya engkau memang takkan lama hidup di dunia ini!"

“Siapa yang mati dan hidup, besok pagi pada saat ini. baru diketahui!" sahut Lam-hay Sin-ni.

Randa Bu-san menghela napas, “Apakah engkau tetap hendak ke dalam lembah?"

“Kalau aku tak pergi masakan kubiarkan engkau yang pergi!" bentak Lam-hay Sin-ni.

Randa Bu-san gelengkan kepala dan berkata dengan nada kecewa, “Silahkan pergi ....” - ia terus berputar tubuh dan melangkah pergi.

Kesempatan itu cepat digunakan Iblis Penakluk-dunia untuk melangkah kesamping Lam-hay Sin-ni dan membisiki beberapa patah kata.

Wajah rahib itu berseri girang. Dipandangnya Randa Bu-san, Siau-liong dan rombongan Ceng Hi totiang. Tiba-tiba ia berputar tubuh terus ayunkan langkah diikuti oleh suami isteri iblis dan rombongan anak buah Lembah Semi.

Siau-liong melangkah maju dan berkata kepada Randa Bu-san, “Lam-hay Sin-ni seperti orang linglung ia pasti celaka ditangan Iblis Penakluk-dunia. Mungkin nasibnya seperti Jong Leng lojin ....”

“Seretlah ia supaya jangan kesana!"

Randa Bu-san deliki mata.

Siau-liong tercengang.

Setelah deliki mata, Randa Bu-san segera melangkah pergi sambil menggandeng puterinya. Tetapi dua langkah kemudian. ia berhenti pula dan menghela napas, “Segala hal memang sudah suratan takdir yang tak dapat dilawan ......!"

Ucapan itu bernada rawan dan tanpa berpaling ke arah Siau-liong. Sesaat kemudian ia menghela napas lagi.

Sementara si dara baju hijau tetap memandang Siau-liong dengan sinar mata penuh kebencian, seolah-olah hendak menelannya.

Saat itu rembulan purnama. Adalah karena kata-kata Randa Bu-san tentang takdir itu, perasaan Siau-liong tersinggung. Beberapa tetes air mata menitik keluar .....

Tetapi ketika ia menyadari pandang mata si dara baju hijau yang penuh dendam itu, ia tersentak kaget dan buru-buru membungkukkan tubuh memberi hormat kepada Randa Bu-san,

“Atas pertolongan tadi, aku merasa menyesal karena tak dapat membalas .....”

Ia tak dapat melanjutkan kata-kata karena tersekat oleh rasa haru yang hampir menitikkan air mata.

Randa Bu-san hanya mendengus, “Bermula aku hendak membunuhmu! Tak kira kalau menolongmu .... ah "

Nadanya juga penuh dengan kedukaan.

Siau-liong teringat memang si dara baju hijau itu begitu melihat dirinya sebagai Pendekar Laknat, terus menyerangnya mati-matian. Dan ketika ia pingsan, lapat-lapat ia mendengar wanita itu mengatakan hendak membunuhnya. Tetapi mengapa tadi wanita itu menolongnya?

Beberapa saat kemudian, Randa Bu-san berpaling pelahan-lahan. Sepasang matanya berapi-api menatap wajah Siau-liong yang berlinang-linang, serunya, “Apakah saat ini engkau juga mempunyai perasaan menyesal?"

Siau-liong tak mengerti apa maksud pertanyaan wanita itu. Pikirnya: “Aku tak kenal pada kalian ibu dan anak. Tak pula terikat dendam permusuhan. Mengapa engkau berkata begitu?"

Tetapi segera ia menyadari bahwa dirinya saat itu sedang dalam penyamaran sebagai Pendekar Laknat. Sudah tentu Randa Bu-san itu tak tahu siapa dirinya yang asli.

Siau-liong terlongong-longong. Peristiwa apakah yang terjadi dahulu antara Randa dengan Pendekar Laknat, mempunyai hubungan bagaimana sehingga wanita itu membenci setengah mati. Tetapi anehnya, dalam saat Pendekar Laknat Siau-liong dalam bahaya, wanita itu cepat menolongnya!

Randa Bu-san itu menganggap Siau-liong atau Pendekar Laknat telah menyesal. Dengan begitu kemungkinan dahulu Pendekar Laknat asli itu tentu telah melakukan sesuatu yang menyalahi ibu dan puterinya itu.

Siau-liong teringat. Bahwa pada dinding batu tempat Pendekar Laknat dahulu, hanya terdapat tulisan yang manyatakan supaya ia (Siau-liong) suka mewakili Pendekar Laknat datang ke puncak Sin-li-hong untuk memenuhi sebuah janji. Begitupun pernyataan yang diucapkan Randa Bu-san ketika Siau-liong pingsan dan dibawa oleh Mawar Putih ke pondok kediaman wanita itu.

Rangkaian kejadian itu, memberi kesimpulan kepada Siau-liong bahwa dahulu semasa hidupnya, Pendekar Laknat asli itu tentu pernah mengikat dendam dengan Randa Bu-san. Tetapi ia tak tahu, dendam pertikaian apa yang telah terjadi di antara mereka.

Menilik umurnya, Randa Bu-san itu seorang wanita setengah tua. Sedang Pendekar Laknat paling tidak tentu sudah berumur tujuhpuluh tahun. Dan menilik pula pada wajah Pendekar Laknat yang begitu menyeramkan, tak mungkin dendam dengan Randa Bu-san itu mengenai soal Asmara.

Tetapi kalau mengingat betapa gemas sikap Randa Bu-san yang hendak membunuh Pendekar Laknat tetapi pun mau menolongnya dan kerut wajahnya yang menampilkan kemesraan walaupun mulutnya selalu mengucap kata-kata yang tajam dan membenci, kemungkinan pertikaian antara kedua orang itu tentulah akibat dari hubungan asmara .....

Siau-liong teringat pula bahwa selama hidupnya, Pendekar Laknat itu hanya seorang diri. Tiada sanak kadang, tiada handai taulan. Ia malang melintang di dunia seorang diri. Tetapi mengapa kini tahu-tahu terdapat seorang janda yang mempunyai dendam kesumat kepadanya?

Sampai beberapa lama, belum juga Siau-liong dapat memecahkan teka teki itu. Akhirnya ia berkata kepada Randa Bu-san,

“Dahulu....”

Randa Bu-san menghela napas rawan, ujarnya, “Peristiwa yang lampau, ternyata engkau masih mempunyai muka untuk mengatakan lagi, engkau .....”

Ia hentikan kata-katanya. Sejenak keliarkan mata, ia melanjutkan pula, “Hal itu juga termasuk Karma. Kalau tidak begitu, aku pun takkan menjadi pewaris dari ilmu sakti Ya-li-sin-kang. Tetapi aku tetap tak dapat mengampuni Engkau hanya karena hal itu ....”

Ketika Siau-liong menatap kemuka, dilihatnya Wajah Randa Bu-san berlinang-linang air mata.

Sambil menepuk bahu puterinya, wanita dari Bu-san itu berkata pula, “Andaikata aku dapat mengampunimu, anak kita ini tentu tak mau melepaskan engkau!"

Siau-liong terkejut. Tetapi ia tak mau banyak bicara karena kuatir akan ketahuan penyamarannya. Untung Randa Bu-san pun tak menaruh kecurigaan kepadanya.

Kembali Randa Bu-san gentakkan kakinya ke tanah, serunya: “Ingatlah, besok pertengahan musim Rontok tahun muka, datanglah ke puncak Sin-li-hong untuk menerima kematian. Dalam waktu setahun ini, engkau boleh mengatur pesanan-pesanan yang perlu engkau tinggalkan!"

Siau-liong tertawa hambar dan berkata seorang diri: “Benar, tak peduli bagaimanapun juga, aku toh takkan hidup lebih dan waktu pertengahan musim rontok itu ....”

Randa Bu-san memandangnya dengan heran. Ia hendak membuka mulut tetapi tak jadi. Menarik tangan puterinya, tanpa berpaling ke belakang lagi, ia terus ayunkan langkah.

Siau-liong memandang terlongong-longong akan bayangan kedua ibu dan anak itu lenyap dalam gerumbul pohon.

Tiba-tiba ia teringat sebuah hal yang penting. Ia harus menyelidiki jejak Mawar Putih. Maka ia hendak menyusul Randa Bu-san. Tetapi baru kaki hendak diangkat, tiba-tiba terdengar orang berteriak gugup, “Pendekar Laknat ......!"

Siau-liong terpaksa batalkan langkahnya dan berpaling. Ternyata Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay sedang berdiri sambil memberi hormat dengan tersenyum simpul.

“Apakah hendak menegur aku mengapa tak mendatangi perjanjian?"

Toh Hun-ki terkesiap. Buru-buru ia berkata, “Ah, bukan. Pendekar Laknat tentu mempunyai lain urusan yang penting sehingga tak dapat hadir!"

Siau-liong menghela napas rawan, “Memang aku mempunyai urusan penting. Tetapi aku bukan orang yang tak pegang janji. Dalam penyerangan ke sarang suami isteri iblis nanti, aku akan membantu sedikit tenaga!"

Sikapnya yang dingin kepada ketua Kong-tong-pay itu disebabkan: Kesatu, ia harus membawa sikap seperti Pendekar Laknat yang angkuh dan dingin. Agar jangan diketahui Toh Hun-ki, Ceng Hi totiang dan lain-lain orang. Kedua, Toh Hun-ki itu adalah pembunuh ayahnya. Kelak pada suatu saat ia harus membunuhnya. Ketiga, hatinya sedang resah gelisah. Penuh dendam dan kemarahan. Maka nada ucapannya pun ketus dan angkuh seperti Pendekar Laknat yang asli.

Tetapi betapa pun, dia bukanlah Pendekar Laknat, melainkan Siau-liong yang menjunjung Keadilan dan Kebenaran. Demi membalas budi Pendekar Laknat maka ia menyaru menjadi tokoh itu tetapi dengan sepak terjang yang berlainan agar dapat mengembalikan nama baiknya.

Terhadap Toh Hun-ki, musuh yang telah membunuh ayahnya, diam-diam ia mempunyai kesan lain. Ia tertarik akan pribadi ketua Kong-tong-pay yang tak gentar menghadapi ancaman dan tekanan. Ketua itu tetap berani membela Kebenaran. Adakah dia sampai hati untuk membunuh seorang tokoh yang begitu lurus pribadinya?

Dan pula Toh Hun-ki itu bersikap mengindahkan dan melindungi Pendekar Laknat. Baik dengan ucapan mau pun dengan tindakan yang nyata. Dan yang paling hebat, ketua Kong-tong-pay itu dengan serta-merta telah rela menyerahkan sebagian Giok-pwe itu kepada Pendekar Laknat!

Merenung kesemua itu, timbullah rasa sesal dalam hati Siau-liong. Tertawalah ia dengan rawan,

“Separoh Giok-pwe yang engkau berikan kepadaku tempo hari, memang benar-benar sudah kuhancurkan!"

Tetapi Toh Hun-ki tak terkejut. Dengan tenang ia menyahut, “Begitupun juga baik! Jika kitab pusaka itu jatuh ketangan orang baik, tentu merupakan suatu berkah bagi dunia persilatan. Tetapi jika sampai ketangan manusia jahat, dunia persilatan tentu celaka!"

Sejenak memandang ke arah Ceng Hi totiang, To Kiu-kong dan beberapa orang, berkatalah Siau-liong kepada ketua Kong-tong-pay itu, “Aku masih mempunyai lain urusan, untuk sementara terpaksa akan pergi!" - habis berkata ia segera ayunkan langkah menyusul Randa Bu-san dan puterinya tadi.

“Pendekar Laknat!" tiba-tiba Toh Hun-ki berseru memanggil.

Siau-liong terpaksa berhenti, bentaknya, “Mengapa?"

"Saat ini disekitar gunung Tay-liang-san penuh dengan tokoh-tokoh dari partai-partai persilatan. Dengan pergi begitu saja, kemungkinan Pendekar Laknat .... akan bersua dengan beberapa hal yang tak leluasa ....” - kata Toh Hun-ki lalu menyerahkan sehelai sutera kuning kepada Siau-liong, “sutera ini merupakan pertandaan bagi kawan-kawan kita. Baiklah engkau membawanya agar jangan terjadi salah paham."

Siau-liong menyambuti dan menghaturkan terima kasih. Tetapi ketika ia hendak berjalan, tiba-tiba Ceng Hi totiang, Ti Gong taysu dan beberapa orang menghampiri kemukanya.

Siau-liong kerutkan alis. Ia terpaksa memberi hormat, serunya, “Saudara-saudara....”

Ti Gong taysu menyerukan Omitohud lalu melangkah maju dan memberi hormat, “Aku hendak menghaturkan terima kasih atas pertolongan saudara!"

Siau-liong tertawa, “Ah, hanya soal kecil, usah taysu ingat lagi!"

Juga To Kiu-kong dan Pengemis-tertawa Tio Tay-tong dan kedua pengemis pincang, maju menghampiri kehadapan Siau -liong. Memberi hormat lalu mundur lagi tanpa berkata suatu apa.

Kiranya To Kiu-kong masih meragu. Jelas ketika bertempur dengan Lam-hay Sin-ni tadi, Pendekar Laknat telah gunakan pukulan Thay-siang-ciang.

Ceng Hi totiang memandang beberapa saat kepada Siau-liong lalu berkata, “Bahwa Pendekar Laknat telah kembali kejalan yang terang, sungguh merupakan suatu berkah bagi dunia persilatan. Ijinkan kuwakili seluruh kaum persilatan untuk menghaturkan terima kasih kepada saudara. Kali ini aku menyanggupkan diri turun gunung untuk memimpin rombongan kawan-kawan, sesungguhnya aku merasa malu dalam hati karena kepandaianku masih belum cukup ....”

Ia berhenti sejenak, menghela napas lalu melanjutkan pula, “Pula suasana saat ini tak sama dengan duapuluh tahun yang lalu. Adakah kami dapat menumpas gerakan kedua suami isteri iblis itu atau tidak, masih belum dapat dipastikan!"

Siau-liong tahu bahwa pada duapuluh tahun yang lalu imam tua itulah yang paling sering berhubungan dengan Pendekar Laknat. Maka jika ia tak berhati-hati, tentulah mudah diketahui oleh imam itu. Maka ia hanya mendehem pelahan dan tak menjawab.

Berkata pula Toh Hun-ki, “Sekembalinya ke Siok-ciu, ternyata banyak tokoh-tokoh persilatan dari segala penjuru berbondong-bondong datang. Mereka hendak menggabungkan diri pada gerakan kami untuk menumpas suami isteri iblis itu. Dalam waktu sepuluh hari saja, telah berkumpul ribuan tokoh-tokoh. Apalagi kami beruntung dapat mengundang Ceng Hi totiang untuk memimpin gerakan itu. Saat ini Lembah Semi telah dikurung ketat oleh rombongan orang gagah ....”

Berhenti sejenak memandang ke arah sekalian orang, ketua Kong-tong-pay itu berkata pula,

"Hanya saja kalau kali ini sampai menemui kegagalan akibatnya sukar dibayangkan bagi dunia persilatan!"
34. Terpojok Ke Gua Buntu

Siau-liong ikut prihatin, ujarnya, "Lembah Semi mengandalkan kehebatan keadaan alamnya dan kehebatan perlengkapan alat-alat rahasia, barisan pedang. Sekalipun rombongan orang gagah itu terdiri dari jumlah yang besar, tetapi dikuatirkan ....”

"Akupun mencemaskan hal itu, oleh karena itulah ....” Ceng Hi totiang hentikan kata-katanya.

Siau-liong tertegun. Tanyanya sesaat kemudian, “Apakah totiang hendak menggunakan api untuk menggempur sarang mereka ....”

Wajah Ceng Hi totiang berobah seketika. Diam-diam ia terkejut. Katanya dengan nada berat,

“Benar, memang aku mempunyai rencana begitu. Dengan mengandalkan jumlah orang yang begitu banyak kalau kita gunakan api untuk membakar lembah ini, tentulah dapat membasmi kedua suami isteri iblis ....”

Sejenak berhenti ia melanjutkan pula, “Kumohon Pendekar Laknat jangan membocorkan rencanaku ini, agar ....”

Siau-liong tertawa, “Harap totiang jangan kuatir, aku tentu akan menyimpan rahasia itu!"

Tiba-tiba pikiran Siau-liong melayang. Memang dengan cara penyerangan api itu, tentulah kemungkinan besar rombongan Ceng Hi totiang akan berhasil membasmi Lembah Semi. Tetapi dengan pembasmian itu, pemilik lembah ialah Poh Ceng-in tentu akan ikut binasa.

Bukankah ia telah diberi minum racun Jong-tok oleh wanita itu. Dengan racun itu, apabila salah seorang mati, yang lainpun akan mati juga. Maka jika Poh Ceng-in mati, iapun tentu akan ikut mati!

Begitu pula dengan Jong Leng lojin yang dipenjara dibawah tanah dengan kaki dirantai. Kalau Ceng Hi totiang melakukan serangan pembakaran itu, bukankah Jong Leng lojin akan mati terbakar hidup-hidup?

Sesaat Siau-liong tertegun gelisah.

Melihat itu, agak curiga juga Ceng Hi totiang, segera ia batuk-batuk lalu menegurnya “Apakah saudara tak setuju dengan rencana seranganku itu?"

Siau-liong terkejut dan buru-buru berseru, “Tidak, tidak! rencana totiang itu memang yang paling sempurna, tentu akan berhasil .... ia menghela napas pelahan, "bilakah totiang hendak melaksanakannya?"

Setengah meragu, menyahutlah Ceng Hi totiang: “Telah kuberi waktu kepada Iblis Penakluk-dunia agar membebaskan It Hang totiang dan rombongan sampai besok pagi. Apabila dia tak melaksanakan permintaanku itu, segera akan kulakukan serangan itu!"

Memandang kelangit, Siau-liong memperkirakan saat itu sudah menjelang magrib .... Jadi tinggal lebih kurang dua jam dari batas waktu yang diberikan Ceng Hi totiang kepada Iblis Penakluk-dunia.

Berkata Ceng Hi totiang pula, “Dalam waktu satu hari untuk menghancurkan anak buah dan semua alat perangkap dalam lembah. Tiga hari untuk meratakan seluruh isi lembah. Dalam waktu empat hari itu tentulah dapat diketahui berhasil tidaknya rencanaku itu!"

Sejenak merenung, Siau-liong lalu mengambil resep obat dari bajunya, diberikan kepada To Kiu-kong, katanya, “Aku hendak minta tolong supaya suka menyuruh anak buah saudara ke Siok-ciu membelikan resep ini!"

Buru-buru To kiu-kong menyambut, tanyanya “Bilakah Pendekar Laknat hendak memerlukan obat ini?"

Diam-diam ketua Kay-pang itu heran mengapa Pendekar Laknat tak minta tolong pada Ceng Hi totiang melainkan kepadanya.

"Secepat mungkin, paling lambat jangan sampai besok malam," sahut Siau-liong.

To Kiu-kong mengiakan dan menyatakan besok sebelum tengah hari tentu obat itu sudah datang.

Kemudian Siau-liong menyatakan kepada Ceng Hi totiang dan Toh Hun-ki bahwa ia masih ada lain urusan penting. Tetapi besok sebelum tengah hari ia pasti akan kembali kesitu lagi.

Demikianlah Siau-liong segera melangkah pergi. Ia lari secepat-cepat mengejar Randa Bu-san dan puterinya tadi.

Cepat sekali ia sudah melintasi hutan dan tiba dimulut jalan keluar. Tetapi karena cukup lama tadi ia bercakap-cakap dengan Ceng Hi totiang dan Toh Hun-ki, maka ia tak berhasil menemukan jejak ibu dan anak itu.

Siau-liong bingung dan gelisah sekali. Ia harus menemukan Randa Bu-san untuk meminta keterangan tentang diri Mawar Putih. Dan setelah itu ia harus kembali menggabungkan diri dengan rombongan Ceng Hi totiang untuk melakukan serangan pada Lembah Semi.

Untuk menggempur Lembah Semi, bukanlah sukar. Tetapi yang menyulitkan dirinya ialah ia harus secara diam-diam melindungi keselamatan Poh Ceng-in. Karena jika pemilik lembah itu sampai mati, ia sendiri pun tentu ikut mati juga!

Dalam pada itu ia sudah keluar dari mulut tikungan gunung. Tampak beberapa puluh sosok bayangan sedang bersembunyi ditempat gelap. Tergeraklah hatinya, ia kembali balik tak jadi melanjutkan perjalanan lagi.

Pikirnya: Kedua ibu dan anak itu tentu tak mengambil jalan besar karena tak mempunyai tanda jalan. Tentu mereka tak mau bentrok dengan tokoh-tokoh persilatan yang sedang siap mengepung lembah itu.

Siau-liong gunakan gerak Naga melingkar-18 kali. Ia melambung dan berjumpalitan beberapa kali di udara. Dengan gunakan ilmu itu dapatlah dalam waktu singkat ia mencapai sebuah puncak. Dari atas puncak itu ia dapat memandang lepas keseluruh penjuru.

Kiranya jalanan yang dilaluinya tadi terletak disamping kanan mulut lembah. Pada ujung jalanan itu penuh dijaga ketat oleh tokoh-tokoh persilatan.

Siau-liong menduga kedua ibu dan anak itu tentu sudah pulang ke pondoknya. Asal ia kesana, tentu dapat menjumpai mereka.

Setelah menentukan arah, ia turun dan lari menyusur tepi lembah, menuju kepondok Randa Bu-san.

Disepanjang jalan ia harus berjalan hati-hati agar jangan sampai kepergok dengan patroli rombongan orang gagah. Dan disamping, iapun harus cermat menentukan arah agar jangan sampai tersesat.

Seluruh semangat dan perhatian ditumpahkan dalam gerak Naga-melingkar-18 kali untuk berloncatan melintasi hutan dan mendaki puncak.

Seperti telah diterangkan, Lembah Semi itu dikelilingi oleh puncak gunung yang curam dan landai sehingga merupakan sebuah tempat yang amat strategis sekali.

Sewaktu Siau-liong mencapai satu li, rembulan makin terang benderang sehingga ia dapat melihat bebas keempat penjuru.

Ia kendorkan langkah lalu berhenti. Dilihatnya dari barisan pohon bunga Lembah Semi itu jaraknya teraling sebuah puncak. Asal ia berputar arah mengambil jalan dari belakang lembah, tentulah ia dapat mencapai tempat kediaman wanita janda itu.

Tetapi ia mendapat kesukaran. Karena seluas berpuluh tombak, tempat itu dijaga ketat oleh rombongan orang gagah. Sekalipun membawa Tanda pengenal pemberian Toh Hun-ki, tetapi ia tak mau menggunakannya. Ia tetap hendak mecari akal untuk menghindari kelompok orang gagah itu.

Tengah ia termenung mencari pikiran, tiba-tiba dari arah belakang terdengar desir lambaian pakaian orang mendesis.

Semula ia kira tentulah rombongan orang gagah yang dipimpin Ceng Hi totiang. Tetapi telinganya yang tajam segera mengetahui bahwa orang itu pelahan-lahan menghampiri ke tempatnya.

Sekalipun suara itu pelahan sekali namun telinganya yang tajam dapat menangkap bahwa orang itu tengah pelahan-lahan menghampiri ketempatnya.

Semula ia kira tentu salah seorang anggauta rombongan Ceng Hi totiang maka ia tak begitu menaruh perhatian. Tetapi pada lain saat ia cepat menyadari sesuatu yang tak wajar.

Ia teringat bahwa Ceng Hi totiang sudah mengeluarkan perintah bahwa anggauta rombongannya tak boleh gegabah bertindak sendiri. Kecuali memang ada orang yang hendak menerjang kepungan itu barulah mereka dapat bertindak.

Siau-liong jelas mengetahui bahwa pendatang itu mengandung maksud hendak menyerangnya secara gelap. Siau-liong pasang jebakan. Sengaja ia pura-pura tak tahu dan berjalan pelahan. tetapi diam-diam ia sudah siapkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.

Tetapi dugaannya itu ternyata tak benar. Pendatang itu bukan bermaksud menyerangnya. Dia berhenti di belakang Siau-liong lalu membentak garang “Tua bangka Laknat!”

Siau-liong terkejut. Cepat ia berputar. Ah! ternyata yang muncul itu adalah suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

Iblis Penakluk-dunia tertawa mengekeh, “Laknat tua, sekarang rasanya tiada si janda Bu-san yang akan menolongmu lagi?"

Siau-liong tak gentar kepada suami isteri iblis itu tetapi hanya terhadap Lam-hay Sin-ni ia agak takut. Dan lagi saat itu ia memang tak mempunyai selera untuk bertempur dengan suami isteri iblis itu. Maka sejenak memandang mereka, ia terus hendak melangkah pergi.

Tetapi baru kaki hendak dilangkahkan, dari belakang terdengar orang tertawa, “Ho, engkau tak mungkin lolos lagi!"

Ternyata entah kapan dan bagaimana caranya, tahu-tahu Lam-hay Sin-ni sudah berdiri dibelakangnya.

Siau-liong paksakan tertawa dan hentikan langkahnya.

Melangkah kehadapan Siau-liong, rahib itu ulurkan tangan, “Berikan kepadaku! Jika engkau sudah serahkan Giok-pwe itu kepadaku, kujamin jiwamu pasti selamat!"'

Siau-liong kerutkan alis lalu tertawa dingin, “Dengan meminta secara paksa itu apakah Sin-ni tak takut kehilangan nama harum? Apakah tak kuatir Sin-ni akan ditertawai dunia persilatan?"

Lam-hay Sin-ni membentak bengis, “Siapakah tokoh persilatan yang berani menertawakan aku?"

“Sekalipun tak berani terang-terangan, tetapi diam-diam mereka tentu menghina Sin-ni!" sahut Siau-liong dengan tertawa hina. Dimana ia mengatur rencana untuk melolos diri dari tekanan rahib itu.

Tetapi Iblis Penakluk-dunia yang licin segera dapat mencium siasat Siau-liong. Buru-buru ia maju selangkah dan berkata kepada Lam-hay Sin-ni.

"Si tua Laknat itu banyak akal muslihatnya. Dia licin seperti belut. Harap Sin-ni jangan kena diselomoti. Biar dia bicara apa saja, yang penting ringkus dulu agar kita dapat merampas Giok-pwenya!"

“Benar!" Lam-hay Sin-ni tertawa.

Tiba-tiba ia ayunkan tangan kanannya dalam jurus Bunuh-naga-memotong-cenderawasih. Kelima jarinya mengeluarkan bunyi mendesis-desis tajam, mencengkeram dada Siau-liong. Jurus itu dahsyatnya bukan main, cepatnya bukan kepalang.

Siau-liong terkejut. Buru-buru ia menyurut mundur seraya berseru, “Tunggu dulu....!"

Lam-hay Sin-ni hentikan serangannya dan berseru, “Lebih baik engkau serahkan sajalah!"

Siau-liong sengaja menghela napas dengan sikap kecewa, katanya, “Baiklah!"

Ia merogoh baju dan mengeluarkan sebuah bungkus kecil dari kain sutera.

Melihat itu girang Lam-hay Sin-ni bukan kepalang. Segera ia ulurkan tangan hendak menyambuti. Tetapi Siau-liong cepat menyurut mundur.

“Jika engkau berani maju selangkah lagi, Giok-pwe ini tentu akan kuremas hancur!"

Lam-hay Sin-ni tertegun. Dia tak berani maju lagi. Demikianpun kedua suami isteri iblis itu. Mereka percaya, seorang momok seperti Pendekar Laknat tentu akan melakukan ancamannya itu kalau keliwat didesak.

Lam-hay Sin-ni bingung dan beberapa kali lambaikan tangannya, “Jangan dihancurkan, jangan dihancurkan, mari kita berunding dengan baik!"

Siau-liong tertawa dingin, “Tak ada yang perlu dirundingkan lagi. Kecuali ...... engkau mau meluluskan dua buah syaratku!"

"Katakanlah!" buru-buru Lam-hay Sin-ni berseru.

Sejenak merenung, berkatalah Siau-liong, “Pertama, Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka harus tinggal disini. Kedua, harap Sin-ni suka mengantar aku keluar dari sini satu li jauhnya. Giok-pwe segera akan kuhaturkan kepada Sin-ni."

“Boleh, boleh, aku setuju!" seru Lam-hay Sin-ni lalu berpaling membentak suami isteri iblis, “Kalian harus tinggal disini, jangan mengikuti aku!"

Iblis Penakluk-dunia agak bersangsi, tetapi, terpaksa ia mengiakan juga, “Baik harap Sin-ni hati-hati saja."

Demikian Siau-liong dan Lam-hay Sin-ni segera tinggalkan tempat itu. Kiranya dalam saat itu Siau-liong memang tak punya akal untuk meloloskan diri. Terpaksa ia memutuskan, menghindari dulu kedua suami isteri iblis itu, baru nanti pelahan-lahan cari daya untuk menghadapi tekanan Lam-hay Sin-ni yang tolol.

Sesungguhnya sudah bulat dalam hatinya. Andaikata Giok-pwe itu belum dihancurkannya, iapun tetap tak mau menyerahkan kepada Sin-ni. Sekalipun karena menolak itu ia harus kehilangan jiwanya. Karena ia tahu jelas akan tipu muslihat Iblis Penakluk-dunia yang lihay.

Menyerahkan Giok-pwe itu kepada Lam-hay Sin-ni berarti menyerahkan kepada suami isteri iblis itu. Dan sekali kedua suami isteri itu mendapatkan Giok-pwe yang lengkap dan berhasil memperoleh kitab pusaka Thian-kong-sin-kang, maka hancurlah seluruh dunia persilatan!

Tetapi iapun tahu bahwa si tolol Lam-hay Sin-ni itu tentu berkeras hendak meminta separoh Giok-pwe. Jika tahu kalau ditipu, rahib itu tentu akan membunuhnya.

Sambil berjalan pelahan-lahan, pikiran Siau-liong bekerja keras untuk mencari akal.

Sekonyong-konyong tak berapa jauh disebelah muka, tampak berkelebat sesosok bayangan dari pada lain saat itu orang itu berseru menegurnya: "Siau.... Laknat tua!"

Siau-liong terkejut. Ternyata yang muncul itu adalah si dara Mawar Putih menyaru sebagai Wanita-ular Ki Ih. Pada lain saat Mawar Putih pun lari menghampiri.

"Siapa orang itu!" tanya Lam-hay Sin-ni.

Belum ditanya, diam-diam Siau-Liong sudah menimang dalam hati. Dengan kedatangan Mawar Putih itu, berarti akan tambah sebuah jiwa yang akan mati ditangan Lam-hay Sin-ni. Ia gelisah sekali. Tetapi ia tak punya banyak waktu untuk berpikir lagi. Akhirnya ia nekad.

Pada saat perhatian Lam-hay Sin-ni sedang tertuju pada Mawar Pulih, cepat ia kerahkan seluruh tenaga dalam lalu dengan sekuat-kuatnya ia mendorong lambung rahib itu!

Setitikpun Lam-hay Sin-ni tak menduga kalau ia bakal diserang. Karena tak bersiap, ia terpental dan terhuyung-huyung sampai delapan langkah jauhnya.

Sedangkan Siau-liong, habis mendorong terus loncat menyongsong Mawar Putih seraya berseru gugup, “Lekas lari!"

Mawar Putih tak sempat bertanya apa-apa. Ia terpaksa mengikuti Siau-liong melarikan diri.

“Hai, masakan engkau mampu melarikan diri?" teriak Lam-hay Sin-ni seraya mengejar.

Siau-liong dan Mawar Putih lari sekencang angin tetapi ilmu lari cepat dari rahib itu jauh lebih sempurna. Baru Siau-liong dan Mawar Putih lari dua tombak, rahib itu sudah melayang di atas kepala mereka dan meluncur menghadang disebelah muka.

Lam-hay Sin-ni marah sekali sehingga wajahnya pucat. "Lekas serahkan Giok-pwe itu atau kuhancur-leburkan kalian!"

Mawar Putih tak kenal Lam-hay Sin-ni dan tak tahu kalau Sin-ni itu memiliki ilmu sakti Cek-ci-sin-kang. Tetapi ia benar-benar ketakutan dan tak dapat membuka mulut melihat wajah dan sinar mata Lam-hay Sin-ni yang begitu bengis dan seram.

Siau-liong mengeluarkan lagi bungkusan kain kuning dan berseru, “Sebelum engkau turun tangan, ini tentu kuhancurkan dulu!" ia menarik Mawar Putih, berputar diri dan lari lagi.

Ancaman Siau-liong itu berhasil Lam-hay Sin-ni tak berani turun tangan. Ia hanya mengikuti kedua orang itu saja. Sekalipun begitu, sudah cukup membuat Siau-liong kelabakan setengah mati.

Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka pun ikut menyusul. Tetapi mereka pun kuatir kalau Siau-liong sampai menghancurkan Giok-pwe itu. Maka mereka hanya mengikuti dari kejauhan di belakang Lam-hay Sin-ni saja.

Siau-liong hanya lari asal lari saja. Ia tak sempat lagi untuk memeriksa tempat yang ditujunya. Ia tak tahu lagi dimana saat itu ia berada.

Tiba-tiba dilihatnya disebelah depan tampak sebuah puncak gunung. Dikaki gunung itu terdapat sebuah lorong jalan yang memanjang ke dalam.

Tanpa banyak berpikir lagi, Siau-liong terus menarik Mawar Putih masuk kejalan itu.

Lam-hay Sin-ni menggembor lalu hendak mengejar. Tetapi dicegah Iblis Penakluk-dunia, “Biarkan mereka kesana, Sin-ni tak usah mengejar!"

Rahib itu hentikan langkah dan bertanya, “Apa? Tidak mengejar? Apakah membiarkan Giok-pwe itu hilang?"

Iblis Penakluk-dunia buru-buru memberi keterangan, “Jalanan itu akan tiba disebuah gua yang tak sampai dua tombak dalamnya dan hanya dua meter tingginya. Bukan saja sebuah jalan buntu pun di dalam situ terdapat beratus ekor ular beracun. Merupakan salah satu dari sepuluh buah gua yang memang kujadikan tempat memelihara ular ....”

Ia tersenyum, katanya pula, “Andaikata mereka tidak digigit ular, pun mereka pasti akan pingsan karena ketahan hawa yang luar biasa anyirnya!"

Habis berkata ia bersama isterinya lalu duduk di tepi sebuah gua. Setelah merenung sejenak, Lam-hay Sin-ni pun mengiakan. Ia ikut duduk disitu menunggu keluarnya Siau-liong dan Mawar Putih.

Oleh karena kedua suami isteri iblis duduk dikedua samping mulut gua sedang Lam-hay Sin-ni ditengah. Maka gua itu praktis telah dijaga ketat oleh mereka bertiga.

Semula Siau-liong mengira kalau terowongan itu akan tembus kesamping gunung sebelah sana. Maka dalam keadaan gugup, ia tak banyak berpikir lagi terus menyelundup masuk. Adalah setelah masuk ke dalam barulah ia menyadari kalau terowongan itu buntu.

Dan iapun mendengar juga pembicaraan Iblis Penakluk-dunia dengan Lam-hay Sin-ni. Dan setelah memeriksa keadaan terowongan, memang apa yang dikatakan iblis itu benar.

Bukan saja dalamnya hanya kira-kira dua tombak pun hawanya lembab dan anyir. Untunglah tidak seseram yang dikatakan Iblis Penakluk. Dan lagi juga tak terdapat kawanan ular berbisa.

Siau-liong menghela napas, ujarnya, “Mengapa engkau seorang diri datang kemari?"

“Mencarimu!" kata Mawar Putih, “tahukah engkau, ketika engkau lenyap dalam keadaan terluka parah itu, betapa aku merasa .... ah, syukurlah, engkau tak kurang suatu. Malam itu ....”

Siau-liong menunjuk keluar gua, tukasnya: "Saat ini kita seperti ikan dalam jaring. Kedatangan nona kemari ini hanya berarti tambah mengorban sebuah jiwa saja .... Hanya kasihan ibuku yang sedang mengidap sakit diluar lautan itu. Bukan saja tak dapat mengharapkan kedatangan puteranya, pun mungkin seumur hidup takkan dapat berjumpa lagi!"

Rasa haru akan ibunya, menyebabkan mata Siau-liong berlinang-linang ......

Mawar Putihpun ikut terharu dan menangis tertedu-sedu. Sampai lama baru ia berhenti menangis lalu mendekati Siau-liong, katanya, “Ada sebuah hal yang harus kuberitahukan kepadamu .... Ah, aku sungguh menyesal sekali ....”

Ia menghela napas panjang lalu melanjutkan, “Sudah kupertimbangkan, untuk sementara waktu ini baik dapat atau tidak menuntut balas, kita harus segera menuju ke seberang laut mencari guruku. Mungkin begitu melihat engkau, beliau tentu sembuh penyakitnya!"

Siau-liong hanya diam saja karena tak tahu bagaimana harus bicara. Ia menyadari keadaan saat itu bagaikan telur diujung tanduk. Sukar bagi kedua pemuda itu untuk lolos dari genggaman Lam-hay Sin-ni.

Kembali Mawar Putih menghela napas lagi, katanya, “Tempo hari memang akulah yang jahat. Kalau aku tak menekan engkau supaya membunuh Toh Hun-ki dan keempat Su-lo, tentulah saat ini kita sudah berada disisi suhu!"

Mawar Putih menyudahi kata-katanya dengan menangis beriba-iba lagi. Hati Siau-liong seperti disayat sembilu ....

Tiba-tiba terdengar suara Iblis Penakluk-dunia berkata, “Lekas keluar! Asal engkau mau menyerahkan Giok-pwe itu kepada Sin-ni kujamin keselamatanmu untuk meninggalkan Lembah ini!"

Lam-hay Sin-ni pun ikut berteriak, “Kalau kalian tak mau keluar, tentu akan kuhancurkan gua ini agar kalian mati terkubur hidup-hidup!"

Geram sekali Siau-liong mendengar ancaman itu. Ia menghantam dinding, tetapi hantaman itu hanya merupakan penumpahan dari kemarahannya saja dan sama sekali tidak disaluri tenaga sakti Bu-kek-sin-kang.

“Bung ......!!!” terdengar kumandang yang dahsyat.

Siau-liong mengulang lagi dengan beberapa pukulan seraya membisiki Mawar Putih,

“Dengarkanlah!”

“Benar dinding gua ini seperti kosong!" sahut Mawar Putih riang.

Siau-liong juga terkejut girang Kalau dinding gua itu kosong tentulah berisi suatu alat perangkap atau sebuah terowongan rahasia. Dia tak takut terperangkap dalam perkakas rahasia karena dengan memiliki peta pemberian Jong Leng lojin, ia tentu dapat keluar dari lembah.

Memang dinding gua disitu terbuat daripada campuran pasir dan pecahan batu. Begitu di hantam, dinding itu berguguran rontok. Siau-liong tak mau membuang waktu. Tak berapa lama ia berhasil membuat sebuah lubang sedalam setengah meter.
35. Siapa .... Ahliwaris Thian-Kong

Terdengar bunyi menggemuruh dan terbukalah sebuah lubang gua lagi. Setelah membersihkan lubang pintu itu. ia melongok kesebelah dalam. Ah, ternyata gua disamping itu merupakan sebuah terowongan yang terbuat dari pada batu marmar putih, Siau-liong cepat menarik Mawar putih diajak masuk.

Ternyata ia berada dalam sebuah terowongan, dinding batu marmar putih dan terang benderang, Siau-liong cepat mengeluarkan peta lalu memeriksa dengan teliti.

Tetapi sampai sekian lama, masih juga ia belum mengerti Menilik bentuk dan letak terowongan tentu merupakan sebuah tempat yang amat penting. Tetapi anehnya dalam peta tak terdapat tanda-tanda tentang tempat itu.

Terpaksa ia simpan lagi peta itu lalu pelahan-lahan mulai menyelidiki. Terowongan itu condong turun ke bawah. Kira-kira tiga tombak jauhnya baru tiba diujung terakhir yang ternyata merupakan sebuah pintu.

Sampai beberapa lama Siau-liong berdiri dimuka pintu batu itu. Setelah berpaling kepada Mawar Putih yang berada dibelakangnya, tiba-tiba ia mendorong pintu itu. Pintu terbuka seketika.

Dan legalah perasaan Siau-liong karena ternyata dibalik pintu itu tiada terdapat suatu perkakas rahasia. Ia segera melangkah masuk.

Apa yang disaksikan dalam ruang itu benar-benar membuatnya terkejut sekali. Pada empat sudut ruang terdapat sebutir mutiara sebesar telur itik sehingga ruang terang benderang.

Ruangpun lengkap dengan meja kursi. Dibawah kaki dinding sebelah kanan, tertumpuk tiga buah peti besi yang besar. Sedang ditengah meja, terdapat sebuah kotak kecil yang terbuat dari pada baja. Besarnya hanya setengah meter.

Ketika Siau-liong dan Mawar Putih maju menghampiri kemeja, mata kedua pemuda itu terbeliak seketika.

Pada tutup kotak baja itu tertulis delapan huruf besar dengan tinta emas:

KITAB PUSAKA THIAN KONG SIN KANG.

Siau-liong tertegun. Ia saling tukar pandang mata dengan Mawar Putih tanpa dapat berkata apa-apa.

Tulisan emas pada tutup kotak itu makin berkilauan gemilang tertimpa cahaya mutiara dari empat jurusan.

Kini sadarlah Siau-liong bahwa saat itu ia benar-benar berada dalam ruang penyimpan harta pusaka peninggalan Tio Sam-hong, cikal bakal pendiri partai Bu-tong-pay!

“Apakah kita sedang bermimpi ....?" Mawar Putih mengingau tersendat-sendat. Sikapnya amat tegang sekali. Wajahnya menampil rasa kejut-kejut girang.

Siau-liong pun merasa seperti dalam impian sahutnya tersedu, “Mungkin tidak ......!"

Y

Siau-liong tercengkam dalam keraguan. Bermula ia anggap kitab pusaka Thian-kong-sin-kang itu hanyalah suatu khajalan belaka. Ia memang tak percaya.

Tetapi apa yang dilihat saat itu, benar-benar diluar dugaannya. Ketiga peti besar yang berisi permata ratna mutu-manikam yang tak ternilai harganya. Keempat butir mutiara sebesar telur itik yang gilang gemilang dan kotak berisi kitab pusaka ilmu sakti Thian-kong-sin-kang. Kesemuanya saat itu terbentang dihadapannya.

Siau-liong benar-benar seperti bermimpi.

Entah berapa ribu jago-jago persilatan yang membuang waktu dan tenaga berjerih payah mencari harta pusaka itu tanpa berhasil. Tetapi tanpa sengaja, ia karena ketakutan dikejar Lam-hay Sin-ni, malah tersesat masuk ke dalam tempat harta pusaka itu.

Adakah itu memang sudah takdir?

Ruang itu tampaknya tiada diberi lubang hawa sedikit pun juga. Tetapi anehnya, Siau-liong dan Mawar Putih tak merasa pengap. Dan karena terowongan terbuat daripada batu marmar putih, walaupun sudah ratusan tahun tetap bersih seperti baru. Dengah begitu peti kitab itu sedikitpun tiada karatan.

Dengan gemetar, Siau-liong membuka peti kitab itu. Dalam pada itu otaknya tetap bekerja. Timbul pertanyaan dalam hatinya.

Ruang penyimpan harta pusaka hanya terpisah sebuah dinding dari campuran batu, dengan gua. Tetapi mengapa sampai sekian ratus tahun, tiada seorangpun yang mampu menemukan tempat itu?

Tiba-tiba Siau-liong teringat. Tadi sewaktu masih berada dalam gua, ia dengar Iblis Penakluk-dunia mengatakan kepada Lam-hay Sin-ni bahwa gua itu penuh dengan kawanan ular berbisa.

Aneh, mengapa sampai saat itu ia tak melihat barang seekor ular pun juga?

Pikirannya melayang lebih lanjut .....

Sebagai seorang tokoh luar biasa pada jamannya, sudah tentu Tio Sam-hong membangun tempat penyimpan harta pusakanya sedemikian rupa pelik dan amannya. Kalau tidak, masakan. sampai beratus ratus tahun orang tak mampu menemukannya.

Ketika peti dibuka, hatinya mendebur tegang sekali. Di dalam peti itu terdapat sebuah kitab bersampul sutera kuning. Isinya tipis, hanya beberapa lembar. Pada sampul kitab tertulis empat huruf,

'Thian Kong Sin Kang'.

Siau-liong membuka lembaran pertama dan membaca bersama Mawar Putih:

Kitab pusaka ilmu sakti,
Tersimpan beribu tahun.
Dua orang masuk ke ruang,
Hanya seorang yang berjodoh.
Sejak ini dan kemudian hari,
Hanya seorang pewaris tunggal.
Basmi Kejahatan dan Kelaliman
Jangan congkak jangan serakah.

Dibawahnya terdapat sebaris tulisan huruf-huruf kecil berbunyi:

Yang melanggar pasti dikutuk 'Sin-beng' (malaikat sakti).

Siau-liong kucurkan keringat dingin. Karena ia terkejut dan ngeri. Adakah Tio Sam-hong itu dahulu seorang yang pandai meramal sehingga kejadian yang belum berlangsung ratusan tahun ia dapat mengetahui? Kalau tidak, mengapa ia dapat menulis secara begitu gamblang?

Menilik kenyataan itu, tindakan Tio Sam-hong untuk membagi peta Giok-pwe menjadi dua bagian, maksudnya adalah untuk menyulitkan orang agar kitab pusaka itu tak mudah diketemukan orang!

Lebih jauh ia merenungkan tentang kata-kata yang berbunyi 'jika dua orang masuk, hanya seorang yang berjodoh'.... Ia meneliti dirinya.

Bermula ia mendapat pelajaran dari Tabib-sakti Kongsun Sin-tho. Lalu bertemu dengan Pendekar Laknat, Pengemis Tengkorak sakti. Walaupun tidak langsung, tetapi kedua tokoh itu juga mempunyai hubungan sebagai guru dan murid dengannya. Karena dari kedua tokoh itulah maka ia dapat memiliki ilmu tenaga sakti Bu-kek-sin-kang dan ilmu pukulan sakti Thay-siang-ciang.

Agaknya Tio Sam-hong memang mempuyai perhitungan yang jitu. Jelas tokoh Bu-tong-pay itu tak menghendaki ia (Siau-liong) menjadi pewaris ilmu sakti Thian-kong-sin-kang. Dan pula, ia toh hanya tinggal satu tahun umurnya karena minum racun Jong-tok dari Poh Ceng-in. Masakan Tio Sam-hong akan memilih seorang yang sependek itu umurnya?

Kalau begitu yang tepat menjadi pewaris Thian-kong-sin-kang itu hanyalah Mawar Putih!

Dengan kesimpulan itu cepat ia serahkan kitab pusaka kepada si dara, “Nona, kitab pusaka ini seharusnya engkau yang memiliki!"

Mawar Putih menyurut mundur selangkah seraya goyang-goyangkan tangannya: “Tidak! Tidak! Aku tak dapat ....”

Dara itu gugup dan tegang, serunya “Kutahu rejekiku tipis dan lagi aku tak sanggup memikul beban seberat itu!"

Dengan wajah serius berkatalah Siau-liong, “Dalam lembar pertama dari kitab itu jelas dicantumkan. Hanya seorang yang mempunyai jodoh. Rasanya yang berjodoh itu hanyalah nona!"

Tiba-tiba Mawar Putih menghambur tawa, “Bagaimana engkau tahu?"

Siau-liong menghela napas, “Aku sudah terlanjur mempelajari ilmu aliran Hitam, mungkin tak sesuai lagi untuk mempelajari ilmu sakti dari aliran Putih. Pula ..... paling lama aku pun hanya hidup sampai satu tahun lagi. Tio Sam-hong Cousu benar-benar dapat meramalkan peristiwa saat ini. Tak mungkin beliau akan memilih diriku untuk menjadi pewaris Thian-kong-sin-kang itu!"

Mawar Putih terkejut memandangnya, “Engkau mengoceh apa itu? Bagaimana engkau tahu kalau umurmu hanya tinggal setahun saja!"

Siau-liong hendak berkata tetapi tak jadi. Sukar baginya untuk menuturkan pengalamannya dengan Poh Ceng-in itu. Setelah merenung beberapa saat, barulah ia berkata, “Jika engkau tetap berkeras menolak, aku mempunyai cara untuk menentukan!"

Mawar Putih tertawa, “Katakanlah, apa caramu itu!"

"Tio Sam-hong mendirikan ruang rahasia untuk menyimpan harta pusaka dan meninggalkan tulisan pada kitab pusaka itu, seolah-olah sudah mengetahui bahwa kitalah yang akan masuk kemari. Hal itu disebabkan mungkin karena Tio Sam-hong Cousu mengerti akan ramalan perbintangan. Oleh karena itu marilah kita gunakan cara ramalan itu untuk meminta kepada arwah Tio Sam-hong Cousu supaya memberi petunjuk kepada siapakah kitab itu harus diserahkan ....”

Siau-liong terus mengeluarkan sebuah uang tembaga lalu diberikan kepada Mawar Putih, “Harap engkau berdoa. Katakanlah pilihannya, mau yang bagian muka atau belakang dan lemparkanlah sampai tiga kali."

Mawar Putih tak mau berbantah .... Segera ia menyambuti uang itu lalu bersoja memberi hormat ke langit seraya berdoa dengan suara lantang, “Mohon arwah Tio Sam-hong Cousu suka memberi petunjuk mengenai kitab pusaka Thian-kong-sin-kang itu. Jika harus .... diberikan engkoh Siau-liong, mohon supaya uang ini mengunjukkan bagian muka sampai tiga kali."

Habis berdoa, Mawar Putih lalu lemparkan mata uang itu ke atas. Dan ah .... ketika jatuh dilantai ternyata memang bagian mukanya yang tampak diatas. Diulangnya lagi lemparan itu sampai dua kali, tetap dua kali berturut-turut uang itu mengunjuk bagian muka.

Mawar Putih tertawa memandang Siau-liong, “Tuh lihatlah! Tio Sam-hong Cousu benar-benar seperti malaikat. Tiga kali lemparan tiga kali tetap menunjuk engkau!"

Siau-liong tak dapat menjawab apa-apa, Ia memungut mata uang itu lalu berdua dengan suara nyaring, “Murid Tong Siau-liong, dengan khidmat memohon kepada arwah Tio Sam-hong Cousu. Jika benar Cousu memilih murid menjadi pewaris Thian-kong-sin-kang, mohon memberi petunjuk agar uang itu tiga kali berturut-turut jatuh dengan terbalik!"

Setelah memberi hormat kelangit, Siau-liong lalu lemparkan uang itu ke atas.

”Tring", jatuhlah uang itu dengan permukaan terbalik ke bawah. Sampai tiga kali ia melemparkan uang, tetap uang itu mengunjuk permukaan bagian belakang.

“Hola!" Mawar Putih bertepuk tangan, “kali ini engkau tentu tak dapat berkutik lagi ....”

Wajah Siau-liong mengerut gelap. Setitik pun ia tak merasa gembira bahkan malah menghela napas ....

Sudah tentu Mawar Putih heran dan menegurnya, “Kabarnya Thian-kong-sin-kang itu merupakan ilmu sakti yang nomor satu di dunia. Sudah ratusan tahun ilmu itu merajai dunia persilatan. Maka engkau tentu bakal menjadi jago nomor satu di dunia!"

Siau-liong tak mengerti apa maksud dara itu. Tetapi ia menyadari bahwa dirinya memang dalam keadaan gelisah. Dalam kitab pusaka itu ditulis pesanan supaya menggunakan dari kitab Thian-kong-sin-kang dicantumkan amanat 'membasmi Kelaliman dan Kejahatan'. Jika ia menerima kitab pusaka itu dan menjadi pewaris dari ilmu Thian-kong-sin-kang, dia harus melaksanakan tugas untuk membasmi kejahatan dan kelaliman termasuk kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

Bukan karena ia tak mau melakukan beban kewajiban itu tetapi adalah karena hidupnya hanya terbatas satu tahun saja, selain melakukan beberapa hal untuk kepentingannya. ia sudah tak mempunyai waktu lagi. Kalau ia sampai terlibat dalam pergolakan dunia persilatan dewasa itu, bukankah berarti ia tak sempat mencari ibunya keseberang lautan lagi?.

Dan masih ada lain keberatan lagi. Sebagai sebuah ilmu yang sakti, tentulah tidak mudah untuk mempelajari Thian-kong-sin-kang. Mungkin sebelum berhasil ia sudah mati.

Karena dicengkam oleh berbagai keresahan itu, maka menyahutlah ia agak segan, “Manusia yang sakti masih ada yang lebih sakti. Di atas langit masih terdapat angkasa raya. Maka Tio Sam-hong Cousu dahulu pun tak berani mengatakan dirinya sebagai tokoh yang tiada tandingnya di dunia. Di dalam rimba belantara dan pegunungan raya, mungkin bersembunyi banyak tokoh-tokoh berilmu yang tak mau muncul dimasyarakat ramai. Apa yang disebut tokoh nomor satu itu tak lain hanya tokoh yang paling hebat kepandaiannya dalam dunia persilatan, bukan yang tersakti diseluruh dunia! Dan lagi .... terus terang, aku tak ingin menjadi pewaris ilmu Thian-kong-sin-kang, karena ....”

Karena Siau-liong tak mau melanjutkan perkataannya, maka Mawar Putih segera menukas,

“Kalau begitu, baiklah kita lekas menuju keseberang laut saja! Tak perlu kita hiraukan dunia persilatan dan kedua suami isteri iblis itu lagi!"

Sekali pun mulut mengatakan begitu namun dalam hati, Mawar Putih timbul pertentangan batin sendiri. Mengingat suhunya berulang kali mengharap akan berjumpa dengan puteranya yang hilang (Siau-liong), mungkin suhunya itu bermaksud memberi bisikan halus bahwa ia (Mawar Putih) akan dijodohkan dengan puteranya yang hilang itu. Tetapi kalau teringat akan ramalan Randa Bu-san yang mengatakan bahwa ia tak mempunyai rejeki terangkap suami isteri dengan Siau-liong, maka hati Mawar Putih merasa gundah sekali.

Maka jika ia cepat membawa Siau-liong keseberang lautan. tentulah kemungkinan besar suhunya segera akan menikahkan mereka. Dan ramalan Randa Bu-san yang menjadi ibu angkatnya itupun tentu gugur.

Mawar Putih kerutkan alis dan berkata, “Hayo, kita segera berangkat keseberang lautan. Soal Toh Hun-ki dan keempat Su-lo kelak kita urus lagi. Apakah engkau tak ingin lekas-lekas menjenguk ibumu yang sedang menderita sakit itu Sekarang ....?”

Siau-liong gelengkan kepala: "Tak mungkin kita berangkat sekarang. Paling tidak harus tunggu sampai empat lima hari setelah penyerangan rombongan Ceng Hi totiang itu berhasil. Saat itu barulah aku akan mengambil keputusan!"

Dia sudah memberikan janjinya kepada Toh Hun-ki. Tak dapat ia mengingkarinya. Setelah melaksanakan hal itu dan membangun kembali nama baik Pendekar Laknat, barulah ia akan pergi menemui ibunya.

Jangankan sekarang ia sudah memiliki amanat dari kitab Thian-kong-sin-kang untuk membasmi Kelaliman dan Kejahatan. Sekalipun tidak begitu, ia tetap tak dapat melihat sambil berpeluk tangan saja akan kejahatan-kejahatan yang tengah berkecamuk dalam dunia persilatan dewasa itu.

Mawar Putih hanya dapat deliki mata. Tetapi pada saat dara itu hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara teriakan orang dari luar gua.

“Kalau gua ini gua buntu, masakan mereka mampu meloloskan diri?" seru Lam-hay Sin-ni.

Iblis Penakluk-dunia menjawab agak pelahan, “Harap Sin-ni jangan resah ....”

Karena kelanjutan Iblis Penakluk-dunia berkata dengan suara amat pelahan maka tak dapat ditangkap lagi pembicaraannya.

Siau-liong terkejut. Ia teringat bahwa dinding gua yang dibobolnya tadi masih terbuka. Jika Lam-hay Sin-ni dan Iblis Penakluk-dunia masuk ke dalam terowongan gua, mereka tentu akan menemukan bobolan dinding itu dan dapat masuk ke dalam ruang disitu.

Sekalipun sudah mendapatkan kitab pusaka Thian-kong-sin-kang tetapi ia belum sempat mempelajarinya. Apabila Lam-hay Sin-ni sampai tahu, tentu kitab itu akan direbutnya.

Cepat Siau-liong menyimpan kitab itu ke dalam bajunya lalu kerahkan tenaga dalam bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi ternyata sampai sekian lama Lam-hay Sin-ni dan Iblis Penakluk-dunia tak tampak masuk ke dalam gua. Dan beberapa saat kemudian terdengar suara pekik bentakan yang riuh disusul dengan suara yang amat hiruk pikuk.

Suara hiruk pikuk itu seperti suara orang berbaku hantam. Sepintas mirip Lam-hay Sin-ni sedang menumpahkan kemarahan untuk menghancurkan gua itu. Tetapi sepintas juga mirip seperti rombongan Ceng Hi Totiang yang mengadakan serbuan kepada mereka.

Sampai sekian lama, belum juga Siau-liong maupun Mawar Putih dapat menduga apakah suara hiruk pikuk diluar gua itu.

Beberapa lama kemudian, suara hiruk pikuk itupun reda dan suasana sunyi senyap lagi.

Kata Siau-liong: “Lam-hay Sin-ni dan Iblis Penakluk dunia tak mungkin begitu mudah melepaskan kita berdua. Paling tidak sebelum hari terang tanah, kita tak dapat lolos keluar. Dalam kesempatan ini, harap engkau suka beristirahat tidur dulu ....”

Sejak hilangnya Siau-liong dari pondok Randa Bu-san pada sepuluhan hari yang lalu, memang tiap malam Mawar Putih tak dapat tidur nyenyak. Tiga hari kemudian dengan membohongi Randa Bu-san dan si dara baju hijau, diam-diam ia tinggalkan pondok untuk mencari Siau-liong. Selama itu ia kurang tidur kurang makan dan tak kenal letih.

Begitu Siau-liong mengingatkan supaya ia tidur, ia segera mengangguk dan minta pemuda itu tidur juga. Selekas membaringkan diri maka tidurlah Mawar Putih dengan nyenyak sekali.

Melihat dara itu sudah tidur, Siau-liong menghela napas. Iapun segera duduk menghadap ke lubang dinding bobol tadi dan pejamkan mata bersemadhi.

Tetapi ternyata pikirannya penuh dengan berbagai persoalan. Lama sekali belum juga ia mampu menenteramkan pikirannya.

Sampai saat itu keadaan diluar gua masih sunyi senyap. Tampaknya Lam-hay Sin-ni dan Iblis Penakluk-dunia benar-benar sudah tinggalkan tempat itu.

Timbul dugaannya. Adakah hiruk pikuk tadi benar-benar disebabkan terjadinya penyerangan kepada Lam-hay Sin-ni dan Iblis Penakluk-dunia sehingga kedua tokoh itu dapat dipikat untuk pergi dari situ?

Jika benar demikian, terang orang yang melakukan serangan itu tentu seorang yang berilmu sakti!

Tiba-tiba ia mengambil keluar kitab pusaka Thian-kong-sin-kang. Tetapi ia bimbang dan tak dapat segera memutuskan apakah ia perlu membuka halaman kitab itu.

Siau-liong menyadari bahwa dirinya takkan berumur panjang. Jika tak membuka kitab itu, ia masih dapat memberikannya kepada tokoh yang dianggapnya pantas menjadi pewaris ilmu sakti itu. Tetapi kalau sekali membukanya, dengan sendirinya dialah yang akan menjadi pewaris Thian-kong-sin-kang.

Jika ia sampai tak dapat menunaikan tugas seperti yang diamanatkan dalam kitab pusaka itu, bukankah berarti ia telah mensia-siakan harapan Tio Sam-hong?

Ketika matanya tertumbuk pada sampul sutera kuning, entah bagaimana kitab itu seolah-olah mempunyai daya tarik yang hebat. Diluar kehendaknya timbullah keinginannya yang keras untuk membuka kitab itu.

"Ah, paling banyak hanya sepenanak nasi, kitab ini tentu sudah dapat kubaca habis. Mungkin Thian-kong-sin-kang itu memang mudah untuk dipelajari!" pikirnya.

Diapun ingat akan hasil lemparan mata uang tadi. Diam-diam ia merasa Tio Sam-hong itu benar-benar seorang pujangga yang dapat meramal dengan jitu. Dan arwah Tio Sam-hong pun tentu tahu bahwa umurnya hanya tinggal satu tahun. Namun kalau Tio Sam hong tetap menghendaki dia yang menjadi pewaris Thian-kong-sin-kang, tentulah hal itu sudah menjadi garis hidupnya.

Merenungkan hal itu tanpa ragu-ragu lagi ia segera membuka lembaran kitab itu dan membacanya.

Siau-liong memang berotak cerdas. Kitab Thian-kong-sin-kang yang hanya terdiri dari belasan lembar itu, dalam waktu sepenanak nasi saja telah dapat dihafal semua.

Habis membaca, ia termenung agak meragu. Semula ia mengira Thian-kong-sin-kang sebagai ilmu nomor satu di dunia, tentu sukar dan dalam sekali pelajarannya. Tetapi setelah membaca isi kitab itu. ia merasa hambar karena tiada sesuatu yang luar biasa pada isinya.

Separoh yang dimuka, berisi pelajaran tentang ilmu Pernapasan yang hampir sama dengan pelajaran dari ilmu lain, yang berbeda hanya pada bagian memusatkan, “Semangat, Hati, Tujuan, Pikiran, Ketenangan, Gerakan, Kekosongan dan Kenyataan."

Memang ada beberapa bab yang belum dapat ia mengerti antara lain tentang pelajaran yang menyebut, “Dalam Tenang timbul Gerak, dalam Gerak lahir Tenang ....” dan lain baris yang berbunyi: 'Kehendak lahir dari Pikiran. Pikiran berhubungan dengan Hati. Semangat dan Kehendak bersatu, Hati dan Semangat berjalin ....” - dan lain-lain kalimat yang tak dimengertinya.

Separoh bagian yang dibagian belakang, memuat ilmu Pukulan Thian-kong. Terdiri dari sebuah Pukulan, tiga buah Tamparan dan empat buah Tutukan jari. Diterangkan dengan jelas sekali. Setiap jurus disertai dengan gerak langkahnya. Tetapi semua pelajaran itu tampaknya sederhana sekali.

Ilmu pukulan Thay-siang-ciang dari Pengemis Tengkorak dan ilmu pukulan Membalik-langit serta ilmu pukulan Gun-go-ciang ajaran tabib sakti Kongsun Sin-tho lebih indah dan sukar dari ilmu pukulan Thian-kong-ciang itu.

Dalam kekecewaan, diam-diam Siau-liong bersangsi, “Apakah ada orang yang sengaja memalsu dan kitab ini bukan tulisan dari Tio Sam-hong Cousu?"

Kalau tidak, mengapa kitab pusaka Thian-kong-sin-kang yang begitu dimashyurkan kesaktiannya, ternyata begitu biasa sekali?

Tetapi pada lain saat ia harus membantah kesangsiannya itu. Kalau memang benar sebelumnya ada orang yang sudah masuk kemari, tentulah empat butir mutiara yang tak ternilai harganya itu akan diambilnya. Nyatanya mutiara itu masih berada ditempatnya!

Lenyapnya kesangsian, membuat Siau-liong mencurahkan perhatiannya pada isi kitab itu lagi. Dalam waktu tak lama, ia dapat membaca habis isi kitab itu.

Namun ia masih belum dapat menyelami inti daripada kitab Thian-kong-pit-kip yang sudah termashyur ratusan tahun itu.

Kemudian ia coba untuk melakukan pernapasan sesuai dengan petunjuk dalam kitab itu. Tetapi karena banyak kata-kata yang tak dapat dimengerti, iapun tak dapat mempraktekkan dengan tepat.

Suatu hal yang mengejutkan hatinya telah terjadi, setelah satu kali melakukan pelajaran Bernapas, ia dapatkan cara Pernapasan yang tampaknya sederhana itu ternyata mengandung sesuatu yang luar biasa. Ia rasakan dirinya seperti terbenam dalam samudera dan terhanyut dibawa alunan ombak.

Setelah itu ia coba untuk melakukan gerak dari pelajaran Pukulan-tamparan-tutukan. Walaupun keterangannya amat jelas sekali tetapi dikala mempratekkan, ternyata sukarnya bukan kepalang. Ada beberapa gerak yang ia anggap tak mungkin dipraktekkan.

Ternyata setiap jurus itu mengandung beberapa gerak langkah dan perobahan. Dan dalam keterangan tersebut, perobahan itu sekaligus dilakukan dengan serempak dalam dua atau tiga cara. Sudah tentu hal itu dianggap tak mungkin oleh Siau-liong.

Tiba-tiba ia teringat akan kata-kata dalam pelajaran ilmu Bernafas. Disitu jelas disebut bahwa 'Dalam tenang timbul Gerak. Dalam Gerak lahir Ketenangan'. Ah, apakah Thian-kong itu benar-benar begitu islimewa saktinya? tanpa menggerakkan tangan, sudah dapat bunuh lawan?
36. Ah, Pantaskah .....??

Dengan kecerdasan otaknya, dapatlah Siau-liong menyadari bahwa ilmu pukulan yang terdiri dari sebuah Tinju, tiga Tamparan, empat tutukan jari itu, tentu harus dilembari dengan pelajaran yang pertama yakni ilmu bernafas.

Dan setelah melakukan pernapasan beberapa kali, walaupun masih belum dapat keseluruhannya, tetapi makin menambah kepercayaannya ....

Untuk yang ketiga kalinya, ia mengulang baca sekali lagi kitab itu .... Saat itu ia merasa telah dapat menghafal isinya diluar kepala.

“Ah, Thian-kong sin-kang yang tampaknya sederhana itu, ternyata mengandung inti pelajaran yang dalam sekali. Tak mungkin dapat kupelajari dalam waktu sehari semalam saja. Saat ini aku aku masih terancam bahaya.

Walaupun aku masih dapat menghadapi Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka, ia masih sanggup menghadapi. Tetapi kalau dengan Lam-hay Sin-ni, ia merasa masih kalah. Jika kitab pusaka itu sampai dapat direbut lawan bukankah ia berdosa terhadap pencipta kitab itu?

Siau-liong merenung diam. Sekonyong-konyong ia genggam kitab itu lalu meremasnya.

Thian-kong-pit-kip, kitab pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang yang sudah berumur ratusan tahun saat itu hancur lebur berhamburan menjadi abu. Ia menghela napas lalu mencoba lagi untuk mempraktekkan ilmu Bernapas dalam kitab itu.

Saat itu ketegangan hatinya sudah banyak reda. Dengan tenang ia melakukan ilmu pernapasan dan tak lama dapatlah pikirannya tenggelam dalam alam kehampaan.

Entah berlangsung berapa lama, ia terkejut mendengar desir ujung baju. Ketika membuka mata, tampak Mawar Putih sedang terlongo-longo memandang hancuran kitab yang bertebaran di tanah.

“Engkau sudah bangun?" Siau-liong tersenyum.

Sambil menuding pada abu kertas yang berserakan dilantai, dara itu bertanya, “Apakah itu?"

Siau-liong menghela napas kecil, “Yah, itulah kitab pusaka Thian-kong-pit-kip ....”

“Engkau menghancurkannya ....?"

Mawar Putih menjerit kaget tetapi pada lain saat ia tertawa, “Jadi engkau sudah memutuskan takkan mencampuri pergolakan dunia persilatan lagi dan bersama aku ke seberang lautan menghadap ibumu ....”

Rupanya perasaan dara itu tegang sekali. Belum Siau-liong menyahut, ia sudah melanjutkan kata-katanya, “Jika engkau suka, kita tinggal saja di pulau itu dan tak menginjak kedunia persilatan selama-lamanya!"

Siau-liong menghela napas rawan, “Aku bukanlah orang yang bekerja kepalang tanggung. Selama urusan disini belum selesai, tak dapat kutinggal pergi. Sekalipun kitab pusaka itu sudah hancur tetapi seluruh isinya sudah dapat kuhafal semua. Dengan begitu aku telah tambah sebuah beban yang berat!"

Berkata Mawar Putih dengan serak, “Semua terserah padamu sajalah! Mungkin ibu angkatku itu benar .....”

“Siapa ibu angkatmu?" Siau-liong terkesiap.

Menatap Siau-liong, dara itu memberi jawaban kepada yang bukan ditanyakan, “Lebih baik kita lekas tinggalkan tempat ini. Mungkin Lam-hay Sin-ni dan kedua suami isteri iblis itu sudah pergi!"

Habis berkata dara itu terus menghampiri ke lubang, bobolan. Sesaat Siau-liong kehilangan paham. Ia tak dapat menghadapi rasa kasih yang dicurahkan dara itu. Tiba-tiba ia tersadar dan cepat loncat mendahului.

“Kedua suami isteri iblis itu banyak tipu muslihatnya, biarlah aku yang mempelopori jalan!" serunya terus merangkak ke dalam terowongan.

Mawar Putih mengikuti dibelakangnya.

Tak lama kemudian mereka tiba di dalam gua yang berdinding tanah. Searus hawa busuk dan anyir segera menampar hidung. Gua itu tak berapa dalamnya.

Setelah memeriksa, Siau-liong yakin tiada terdapat bekas seseorang lain yang balik kesitu. Pun keadaan diluar gua sunyi senyap. Lam-hay Sin-ni dan kedua suami isteri iblis itu benar-benar sudah pergi.

Ketika berpaling. diam-diam Siau-liong terkejut. Ternyata dari dalam gua itu tampak jelas sekali bobolan dinding dan ruang tempat penyimpanan harta pusaka. Sekali Lam-hay Sin-ni dan kedua suami isteri iblis masuk, tentu dengan cepat mereka mengetahui tempat penyimpanan harta pusaka itu.

Diam-diam Siau-liong merasa aneh juga. Mengapa setelah menunggu diluar sampai sekian lama rombongan Lam-hay Sin-ni tak mau memasuki gua dan malah pergi?

Melihat Siau-liong terlongong, Mawar Putih mendengus lagi terus melesat keluar.

Siau-liong kaget dan cepat-cepat berseru, “Nona"

Mawar Putih hentikan langkah, berpaling, “Mengapa?" — Nadanya sedingin es. Agaknya dara itu masih penasaran.

Siau-liong menatap sejenak, tertawa, “Jika engkau dalam penyamaran begitu, tentu....”

Kiranya saat itu Mawar Putih masih menyaru sebagai Dewi Ular Ki Ih, Tetapi ketika masuk ke dalam gua, terpaksa ia lepaskan kerudung mukanya.

Setelah mengawasi dirinya sendiri, dara itupun tertawa lalu mengenakan kerudung muka lagi.

Siau-liong kerutkan alis, ujarnya, “Saat ini Ceng Hi totiang sedang memimpin penyerbuan ke Lembah Semi. Banyak tokoh-tokoh persilatan yang sudah tiba. Dahulu ibuku banyak sekali mengikat permusuhan dengan partai-partai persilatan, sebaiknya nona ....”

"Baiklah, kalau begitu aku tak mengenakan pakaian ini!" Mawar Putih tertawa dingin.

Karena masih mengkal Siau-liong tak mau diajak ke seberang lautan, dara itu marah. Dua tiga kali gerakan tangan, ia merobek kain kerudung dan pakaian penyamarannya.

Siau-liong hanya dapat menghela napas, ujarnya, “Adakah sedikit pun nona tak mengerti diriku? Ah....” — kembali ia menghela napas dengan penuh kerawanan.

Mawar Putih cebirkan bibir. Sikapnya tetap dingin. Ternyata dara itu sedang berjuang keras untuk menahan turunnya air mata.

Setelah menguatkan perasaannya lalu sejenak memandang ke arah terowongan, Siau-liong berkata, “Harta benda peninggalan Tio Sam-hong masih ada 3 peti besar ....”

"Isinya tentulah harta karun yang berlimpah-limpah menyamai gudang negara. Bawalah pulang sendiri ....” tukas Mawar Putih.

Siau-liong menghela napas: “Aku bukan orang yang tamak harta. Hanya saja, kalau harta karun ini sampai jatuh ke tangan manusia jahat tentu lebih menambah kejahatannya. Lebih baik diberikan kepada badan amal dan menolong kaum fakir miskin!"

Mawar Putih tertawa ewah, “0h, kiranya engkau seorang yang berhati mulia!”

Siau-liong tahu bahwa dara itu masih penasaran kepadanya. Sejenak merenung, sekonyong-konyong ia dorongkan kedua tangannya kemuka.

"Bruk".... terdengar bunyi menggemuruh disusul dengan hamburan debu dan pasir. Langit gua hancur dan rubuh menutup terowongan dengan bobolan dinding ruang penyimpan harta pusaka. Sepintas pandang menyerupai sebuah gua yang rusak tertimbun tanah. Jika tak digali, tak mungkin diketemukan.

Mawar Putih membersihkan tanah pada bajunya lalu melangkah keluar.

"Nona ....” cepat Siau-liong menghadang lagi.

“Mengapa lagi?" tanya Mawar Putih.

“Diluar penuh dengan alat jebakan. Mungkin kedua suami isteri iblis itu belum pergi ....”

Mawar Putih menukas dengan tertawa keras, “Kiranya nyalimu besar sekali! Nah, silahkan engkau tinggal disini selamanya ....” tiba-tiba ia berganti nada: "sekarang engkau sudah menjadi pewaris ilmu Thian-kong-sin-kang. Pendekar besar dalam dunia persilatan! Silahkan engkau disini mengunjuk kesaktianmu itu! Aku akan pergi ....”

Dara itu cepat-cepat berpaling agar dua titik air mata yang menetes dari sudut pelupuknya, tak terlihat Siau-liong. Kemudian sambil menghunjam-hunjamkan kaki ke tanah, ia menggeram. "Aku segera akan kembali keseberang laut dan takkan datang ke Tionggoan lagi!"

Sekali melesat, dara itu sudah loncat keluar gua. Saat itu Siau-liong masih termakan oleh kata-kata tajam dari Mawar Putih. Ia terkejut karena dara itu melesat keluar. Cepat ia mengejar.

Saat itu ternyata fajar sudah mulai menyingsing. Angin meniup segar, Mawar Putih lari menuju ke dalam hutan. Tetapi pada lain saat terdengar suara bentakan bercampur bergemerincing senjata beradu!

Walaupun teraling pohon yang lebat dan tak dapat melihat jelas, tetapi Siau-liong cepat dapat menduga bahwa Mawar Pulih tentu bentrok dengan rombongan orang gagah anak buah Ceng Hi totiang yang tengah menyerang Lembah Semi.

Ketika Siau-liong menerobos masuk ke dalam hutan, tampak Mawar Putih sedang berhantam dengan empat lelaki berpakaian ringkas. Keempat pengeroyok itu menggunakan golok, pedang dan golok pendek. Sedang di tepi tempat pertempuran itu berjajar beberapa belas orang yang menyaksikan pertempuran itu.

Rupanya Mawar Putih hendak tumpahkan kemarahannya pada keempat orang itu, pedang Kilat dimainkan laksana hujan mencurah. Ganasnya bukan kepalang.

Tetapi keempat orang itupun memiliki kepandaian tinggi. Apalagi mereka maju serempak. Maka buyarlah maksud Mawar Putih hendak mencincang mereka, kebalikannya ia masih terdesak pontang panting.

Sejenak tertegun, Siau-liong lalu berseru menghentikan mereka dan secepat kilat ia loncat menghampiri.

Tetapi iapun cepat disambut oleh belasan orang bersenjata yang mengepungnya. Selain permainan senjata yang cepat dan gencar, pun mereka dapat menempat diri dalam posisi yang sesuai.

Seolah-olah seperti sudah terlatih dalam suatu formasi barisan. Sudah tentu hal itu mengejutkan Siau-liong.

Sedang keempat orang yang mengeroyok Mawar Putih itu tak mengacuhkan dan tetap menyerang dengan gencar.

Tiba-tiba beberapa tombak jauhnya, muncul seorang lelaki bermuka brewok. Bergegas-gegas ia menghampiri, memandang Siau-liong, lalu mencabut panji putih segi tiga yang terpancang di bahunya, melambaikan seraya berseru, “Mundur....!"

Belasan orang yang mengepung Siau-liong segera menyingkir kesamping. Demikianpun keempat orang yang menyerang Mawar Putih itu, juga loncat mundur.

Pendatang yang bermuka brewok itu tertawa gelak-gelak. Ia melangkah maju kehadapan Siau-liong, memberi hormat, “Pendekar Laknat!"

Seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar, alis tebal mata bundar. Sekujur mukanya hampir tertutup oleh brewok. Seorang lelaki yang benar-benar gagah perkasa, mirip dengan Tio Hwi, seorang pahlawan termashyur pada jaman Sam Kok.

Siau-liong balas memberi hormat, “Saudara ini....?"

Dengan suara menggeledek, orang itu menukas, “Aku Lu Bu-ki, dunia persilatan menggelari dengan julukan Ruyung-besi-pelor-sakti. Pemimpin dunia Rimba Hijau daerah selatan ......”

Kemudian sambil menunjuk kepada berpuluh orang yang mengepung Siau-liong tadi, Lu Bu-ki menerangkan, “Mereka adalah jago-jago pilihan dari Rimba Hijau!"

Dalam membawakan kata-kata itu, disertai juga dengan gerakan tangan dan kaki.

"Hm, kiranya orang ini seorang benggolan penyamun!" diam-diam Siau-liong membatin.

“Bagaimana saudara kenal padaku?" tanyanya.

Jawab sitinggi besar. "Aku datang memenuhi undangan Ceng Hi totiang dan tahu kalau Pendekar Laknat juga ikut serta dalam gerakan membasmi Lembah Semi. Dengan begitu kita ini sekarang menjadi orang sendiri ....”

Dia berhenti sejenak, menatap wajah Siau-liong lalu tertawa, “Dahulu aku tak sempat ikut dalam gerakan Ceng Hi totiang untuk menindas Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Sekalipun belum pernah bertemu dengan saudara, tetapi sudah mendengar cerita orang. Maka sekali lihat aku sudah dapat mengenal saudara ....”

Ucapannya gamblang, nadanya nyaring dan tertawanya lepas bebas. Ia maju menghampiri lalu menepuk bahu Siau-liong, “Aku paling kagum pada saudara. Membunuh manusia yang harus dibunuh, sebagai suatu kesenangan. Selama hidup, aku memang berpendirian begitu juga!"

Siau-liong diam-diam membatin, orang itu benar-benar amat kasar tingkahnya.

Setelah keempat penyerangnya mundur, Mawar Putih memandang dengan isyarat mata kepada Siau-liong. Maksudnya suruh pemuda itu menyusulnya. Habis memberi isyarat, ia terus loncat lari.

Tetapi karena terhalang oleh si tinggi besar Lu Bu-ki, disamping ia memang masih suka membawa kemauan sendiri, Siau-liong tak mau. Ia masih mengkal kepada dara itu.

Andaikata saat itu, Mawar Putih mau membawanya keseberang laut menemui ibunya, tentulah ia tak usah mengalami penderitaan di Lembah Semi. Tak usah ia harus meminum racun jong-tok dari Poh Ceng-in.

Sekarang dirinya sudah menjadi sedemikian rupa, nyawanya tinggal setahun lagi, lalu dara itu bersedia mengajaknya keseberang laut. Huh, apa perlunya?

Dengan mendendam perasaan mendongkol itu, Siau-liong tak mempedulikan dara itu dan malah melanjutkan percakapannya dengan Lu Bu-ki.

Karena ternyata Siau-liong tak menyusul, tak berapa jauhnya, Mawar Putih pun berhenti dan beristirahat di bawah sebatang pohon.

Dalam pada itu teringatlah Siau-liong akan Lam-hay Sin-ni dan rombongan Iblis Penakluk-dunia yang tiba-tiba meninggalkan gua. Maka bertanyalah ia kepada kepala begal itu, “Apakah saudara sejak tadi terus tetap menjaga di tempat ini?"

“Benar, dilingkungan limapuluh tombak dari tempat ini semua dijaga oleh anak buahku ....” kata Lu Bu-ki.

Kemudian ia menunjuk ke arah kiri, katanya, “Yang sebelah kiri itu adalah rombongan Ang-cek-pang, sebelah kanan Siau-lim-pay. Sekeliling Lembah Semi sudah dikepung rapat sekali. Sekalipun seekor burung, tak mungkin dapat terbang keluar dari lembah ....."

Kepala penyamun daerah selatan itu memang seorang yang suka bicara secara blak-blakan. Dan sekali bicara tentu tak kena disetop.

Maka ia terus melanjutkan saja kata-katanya, “Ceng Hi totiang telah mengeluarkan perintah rahasia. Akan menggunakan api untuk membumi-hanguskan Lembah Semi. Rasanya saat ini tentu sudah akan segera bergerak ....”

Memandang jauh kemuka, memang Siau-liong melihat dibalik semak dan tempat-tenmpat jang pelik, terdapat persiapan-persiapan bahan pembakar serta berkarung-karung obat api.

Melihat Lu Bu ki itu seorang kasar yang agak ketolol-tololan, Siau-liong tak mau mendesak pertanyaannya tentang Lam-hay Sin-ni dan rombongan Iblis Penakluk-dunia lagi. Ia anggap tak berguna.

Lalu ia alihkan pertanyaan, “Apakah saudara tahu dimana tempat rombongan Kay-pang?"

Lu Bu-ki segera menuding, “Dari sini kekiri kira-kira satu li, melalui tempat rombongan Ang-cek-pang, Go-bi-pay, Tiam-jong-pay, Ji-tok-kau, disitulah pos penjagaan rombongan Kay-pang!"

Karena anggap tak perlu lebih lama berada disitu, Siau-liong segera pamit.

Lu Bu-ki benar-benar amat menghormat kepada Siau-liong. Dengan tersipu-sipu ia memberi hormat dan mempersilahkan Siau-liong tinggalkan tempat itu.

Baru beberapa langkah Siau-liong berjalan, tiba-tiba dari sebelah kanan hutan muncul seorang baju hitam dengan memegang panji warna merah.

Lu Bu-ki cepat maju menyongsong. Orang baju hitam membisiki kedekat telinga Lu Bu-ki lalu bergegas-gegas melanjutkan berjalan kemuka lagi.

Si tinggi besar Lu Bu-ki tertawa nyaring. Wajahnya gembira, semangatnya menyala. Sambil gerakkan kedua tangan ke atas, ia berseru nyaring, “Anak-anak, kita segera akan bergerak!"

Dari dalam hutan, berhamburan keluar berpuluh-puluh lelaki berpakaian ringkas. Kebanyakan mereka berumur antara tigapuluhan tahun.

Dipimpin Lu Bu-ki, kawanan anak buah penyamun itu segera membawa kayu bakar, obat pasang dan bahan-bahan pembakar, menuju kepuncak gunung dari Lembah Semi.

Siau-liong memandang cuaca. Saat itu diperkirakan sudah jam tujuh pagi. Ia duga Iblis Penakluk-dunia tentu tak mau melepaskan It Hang totiang dan rombongannya. Maka Ceng Hi totiang segera mengeluarkan perintah untuk menyerang Lembah Semi.

Tetapi pada saat memandang kepuncak gunung yang mengelilingi Lembah Semi, diam-diam Siau-liong kerutkan alis. Lembah itu luasnya tak kurang dari sepuluh li.

Dengan api, dikuatirkan tak dapat memberi hasil seperti yang diharapkan. Dengan bahan peledak, mungkin dapat menghancurkan alat-alat jebakan dalam lembah itu. Tetapi kalau hendak meratakan lembah itu menjadi karang api, benar-benar tak mungkin.

Tengah ia merenung, tampak ratusan batang kepala manusia tengah bergerak masuk ke mulut lembah. Dan sepanjang kaki puncak gunung pun telah terbakar. Merupakan sebuah gunung yang bersalur jalur api.

Apalagi kala itu sedang dalam pertengahan musim rontok. Pohon dan tumbuh-tumbuhan kering semua. Api cepat sekali meranggas besar.

Siau-liong memperhatikan dengan seksama. Kecuali melepas api, pun segenap pelosok hutan penuh bersembunyi ratusan tokoh-tokoh anggauta rombongan Ceng Hi totiang yang siap untuk bergerak.

Mulut lembah itu merupakan satu-satunya jalanan masuk-keluar lembah. Dan mulut lembah itu telah dijaga ketat sekali sehingga tak mungkin orang Lembah Semi dapat terhindar dari sergapan mereka.

Diam-diam Siau-liong memuji kelihayan Ceng Hi totiang mengatur barisan. Rasanya Lembah Semi pasti dapat dihancurkan.

Dalam pada itu pikiran Siau-liong masih melekat pada peristiwa di gua tadi. Mengapa Iblis Penakluk-dunia tak berani memasuki gua itu dan hanya menunggu diluar saja.

Lalu apakah Lam-hay Sin-ni sudah dapat dipikat kedua suami isteri iblis itu masuk ke dalam lembah?

Sambil berpikir, kaki Siau-liong tetap berjalan dan saat itu hampir tiba ditempat Mawar Putih menunggu. Dara itu berdiri menghadap ke sebelah belakang, tak mau berpaling menyambut Siau-liong.

Diam-diam Siau-liong tak puas melihat perangai Mawar Putih yang mau menang sendiri. Maka sengaja ia tertawa dingin dan menegur, “Ah, apakah nona masih belum berangkat?"

Mawar Putih diam saja. Tetapi kedua bahunya bergetaran seperti orang yang tengah menangis.

Melihat itu timbullah rasa penyesalan Siau-liong. Betapa buruk perangai dara itu, namun dia sudah melayani ibu Siau-liong bertahun-tahun.

Atas dasar kenyataan itu, dapatlah sudah dara itu dianggap sebagai adiknya sendiri. Apalagi sekarang Mawar Putih seorang diri mengembara di dunia persilatan Tiong-goan, demi melaksanakan pesan ibu Siau-liong untuk menuntut balas dan mencari jejak Siau-liong.

Ah, seharusnya ia membalas budi kepada Mawar Putih. Mengapa dikarenakan sedikit percekcokan mulut saja. ia harus memperlakukan dara itu dengan sikap yang dingin?

Makin merenungkan, Siau-liong makin berkabut sesal. Dan terbayanglah sikap dan kebaikan, dara itu selama ini. Tanpa disadari Siau-liong air mata berlinang-linang terharu.

“Adik Mawar....!" serunya pelahan.

Serentak dara itu berpaling diri. Tampak mukanya masih membekas air mata.

"Adik Mawar, tak seharusnya kuperlakukan engkau begini, aku .....” Siau-liong menghela napas, "aku pantas dicincang!"

Sepasang mata dara itu berkilat-kilat menatap Siau-liong. Sekonyong-konyong ia lari dan menubruk ke dada Siau-liong.

“Akulah yang salah. Tak seharusnya kubikin panas hatimu. Maafkanlah....”

Mawar Putih mengangkat muka memandang muka Siau-liong, “belasan tahun aku melayani suhu. Tiap kali suhu tentu membicarakan dirimu. Dan tiap kali itu pula ia selalu mengatakan bahwa beliau mengharapkan, kelak kita berdua ......”

Mawar Putih menghela napas, lalu melanjutkan, “Memang aku sendiri yang salah. Jika tempo hari lekas-lekas kubawa engkau pulang keseberang lautan, segala apa tentu beres! Ho .... aku memang celaka!"

Sesaat Siau-liong pun tak dapat berkata apa-apa. Bayangan maut tetap menghantui dirinya. Paling lama ia dapat hidup setahun lagi.

Dan pada saat itu ia masih memikul beban tugas yang banyak dan berat. Sekalipun dapat berjumpa dengan ibunya, tetapi hanya berapa lamakah ia dapat berkumpul dengan ibunya itu?

“Segala sesuatu memang sudah diatur menurut garis hidup. Ada beberapa hal yang kita manusia tak mampu merobah garis perjalanan hidup itu. Karenanya terpaksa kita pasrah saja," kata Siau-liong dengan rawan.

“Apakah kita tak dapat pergi sekarang?"

Siau-liong gelengkan kepala, “Sekarang aku masih mempunyai beberapa kewajiban yang harus kuselesaikan lebih dulu. Tetapi semua itu pun paling lama dalam empat hari tentu sudah rampung ....”

Berhenti sejenak. Siau-liong berkata pula, “Apakah nona mau menunggu aku di Siok-ciu?"

Mawar Putih deliki mata, “Ih, mengapa memanggil 'nona' lagi? Apakah hubungan kita....”

“Adik Mawar” buru-buru Siau-liong menukas.

“Aku tak mau membiarkan engkau seorang diri menghadapi bahaya disini. Jika engkau tak mau berangkat keseberang laut, aku pun tetap akan menemani engkau disini!"

Siau-liong kerutkan alis, “Dalam waktu singkat lembah ini akan menjadi gelanggang pertumpahan darah .... maaf, terus terang kukatakan, jika engkau berada disini, bukan saja tak dapat membantu bahkan kebalikannya malah menambah bebanku!"

Tetapi Mawar Putih tetap menolak....
37. Penyerahan Obat .....

"Apapun juga dan tak peduli engkau hendak pergi kemana, aku tetap ikut. Sampai kita nanti ke seberang laut menjumpai suhu!" kata Mawar Putih.

Siau-liong terpaksa mengiakan. Dilihatnya orang-orang yang berada dalam hutan itu menumpahkan perhatian ke arah api yang sedang berkobar di atas gunung. Mereka tak mempedulikan gerak gerik Siau-liong dan Mawar Putih.

Berkata pula Mawar Putih, “Mulai saat ini aku menurut saja apa perintahmu. Apakah kita akan berangkat sekarang?"

Siau-liong tertawa hambar, menarik Mawar Putih terus diajak lari ke arah kiri.

Saat itu api makin berkobar besar. Lembah Semi seolah-olah terbungkus oleh gumpalan asap tebal.

Tak dapat disangsikan lagi, gunung itu pasti akan gundul. Adakah pembakaran itu akan dapat menjalar ke dalam Lembah Semi atau tidak, tapi sekurang-kurangnya Iblis Penakluk-dunia tentu akan getar nyalinya.

Dan Lembah Semipun akan terpencil menjadi semacam pulau tersendiri. Dengan begitu mudahlah dikurung dari segenap penjuru oleh barisan orang gagah yang dipimpin Ceng Hi totiang.

Apa yang dikatakan Lu Bu-ki tadi memang benar. Sepanjang jalan, Siau-liong melihat rombongan orang-orang Ang-cek-pang, Go-bi-pay, Tiam-jong-pay dan Ji-tok-kau mengatur barisan dengan ketat. Seolah-olah merupakan tembok manusia.

Mereka bergerak dengan rapi. Baik melepas api, melakukan penyelidikan, penjagaan dan pekerjaan koordinasi satu sama lain.

Agaknya Ceng Hi totiang memang sudah memberitahukan kepada sekalian rombongannya tentang ikut sertanya Pendekar Laknat membantu gerakan mereka. Maka walaupun tanpa membawa pertandaan apa-apa, hanya dengan melihat wajahnya saja, orang-orang itu sudah mengetahui Pendekar Laknat dan membiarkan dia berjalan.

Tak berapa lama, tibalah Siau-liong dan Mawar Putih ke tempat penjagaan yang dijaga oleh anak buah Kay-pang. Ternyata tempat itu terletak disamping kanan barisan pohon Bunga, di belakang Lembah.

To Kiu-kong tampak bersemangat sekali memimpin orang-orangnya, menebang pohon dan mengangkuti batu, melepas api membakar gunung. Mereka terkejut serta melihat Siau-liong dan Mawar Putih muncul.

Menurut anggapan To Kiu-kiong, dara itu mempunyai hubungan istimewa dengan Cousu-ya Kay-pang yakni Kongsun Liong. Sudah tentu mereka heran melihat Mawar Putih muncul, pada hal jelas Kongsun Liong masih belum ketahuan hasilnya dalam lembah.

Dan masih ada sebuah hal yang membuat To Kiu-kong tak habis mengerti. Ketika kemarin malam Pendekar Laknat berbaku hantam dengan Lam-hay Sin-ni, jelas dilihatnya Pendekar Laknat telah menggunakan ilmu pukulan Thay-siang-ciang. Pada hal ilmu pukulan itu adalah ajaran dari ajaran Pengemis Tengkorak Song Thay kun.

Pengemis-tertawa Tio Tay-tong dan kedua pengemis pincang segera menghampiri ke belakang To Kiu-kong. Mereka memandang Siau-liong dan Mawar Putih dengan penuh keheranan.

"Pendekar Laknat," tegur To Kiu-kiong dengan menekan keheranan.

Siau-liong cepat membalas hormat, “Semalam aku minta tolong padamu untuk membelikan obat, entah apakah .....”

To Kiu-kiong cepat menyambuti, “Malam itu juga telah kusuruh orang untuk membelikan ke Siok-ciu .....," ia kerutkan dahi, katanya pula, “mungkin segera datang!"

Siau-liong mendesah lalu melanjutkan langkah kemuka. Disebelah muka situ merupakan daerah barisan Pohon Bunga yakni satu-satunya jalan keluar masuk Lembah Semi.

Disebelah muka barisan pohon Bunga itu, dijaga oleh para imam tua yang mengenakan jubah warna kuning, menyanggul pedang dipunggung. Ternyata mereka adalah rombongan murid Kun-lun-pay yang dipimpin sendiri oleh Ceng Hi totiang.

Ceng Hi totiang yang berperawakan tinggi kurus itu sedang berdiri dimuka barisan pohon bunga. Dibelakangnya dikawal oleh lima imam kecil menyanggul pedang.

Siau-liong dan Mawar Putih segera menghampiri.

“Ah, Pendekar Laknat benar-benar menepati janji .....” seru Ceng Hi totiang seraya memberi salam.

Kemudian ia memandang mawar Putih, bertanya, “Dan ini....”

“Nona Putih, Mawar Putih, kenalan lama," buru-buru Siau-liong menyambutinya. Lalu tertawa.

Sambil mengurut jenggotnya, Ceng Hi totiang pun tertawa, “Sungguh mengharukan sekali bahwa nona Mawar Putih yang masih muda belia, bersedia ikut juga dalam gerakan membasmi kaum durjana!”

“Ah, totiang keliwat memuji," Mawar Putih merendah lalu tersenyum kepada Siau-liong. Tetapi pemuda itu batuk-batuk dan cepat palingkan muka agar jangan sampai ketahuan Ceng Hi totiang.

Saat itu hutan disekeliling lembah sudah terbakar hanya barisan pohon Bunga dimuka lembah itu yang masih utuh.

Sejenak merenung, berkatalah Ceng Hi totiang, “Mulut lembah, amat sempit sekali. Hanya dapat untuk seorang berjalan. Rasanya lebih baik mengambil jalan dari belakang lembah!"

Siau-liong membenarkan.

Ceng Hi totiang segera suruh seorang imam kecil untuk memberitahukan kepada bagian penghubung. Semua pemimpin rombongan supaya datang kesitu untuk berunding.

Tak berapa lama dari kepergian imam kecil itu, para pemimpin dari rombongan partai-partai datang bersama jago-jagonya yang tangguh. Tak kurang dari seratus orang jumlahnya.

Kebanyakan mereka memang tak kenal dengan Pendekar Laknat. Tetapi menilik dandanan Siau-liong yang aneh itu, mereka dapat menduga tentulah Pendekar Laknat.

Menolong To Hun-ki, Ti Gong taysu dan beberapa tokoh sehingga bentrok dengan Iblis Penakluk-dunia serta Lam-hay Sin-ni, cepat sekali membuat Pendekar Laknat dipuja oleh seluruh orang gagah yang ikut dalam gerakan menyerbu Lembah Semi itu.

Setelah para tokoh-tokoh mengambil tempat duduk, maka berkatalah Ceng Hi totiang dengan nada serius, “Setelah api padam, rintangan disekeliling Lembah Semi menjadi lenyap. Kedua durjana itu hendak menyerang dari sebelah mana, kita tetap dapat mengetahui .....”

Ceng Hi memandang ke arah hadirin, lalu melanjutkan pula, “Kedua suami isteri itu licin sekali. Entah siasat apa yang hendak mereka gunakan nanti tetapi yang jelas kita tentu akan menghadapi suatu pertempuran yang menentukan mati atau hidup!"

Kembali ketua dari Kun-lun-pay itu berhenti mengurut-urut jenggotnya. Kemudian menyambung, “Menurut hematku, betapapun tinggi ilmu hitam dari kedua suami isteri itu, tetapi rasanya mereka tentu takkan menyerang keluar. Mereka tentu hanya mengandalkan pada keadaan berbahaya dari lembah untuk menghadapi serbuan kita.

Menilik keadaan itu, kuputuskan untuk mengambil jalan dari belakang lembah saja. Tetapi kita gunakan api untuk menyerang masuk. Hancurkan setiap rintangan dan alat-alat jebakan dalam lembah itu!"

Sekalian hadirin berdiam diri. Beberapa saat kemudian, Toh Hun-ki melangkah maju ke muka Ceng Hi totiang, memberi hormat berkata, “Usaha terakhir untuk menghancurkan sarang durjana, terletak di tangan totiang. Silahkan saja totiang memberi perintah. Para hadirin disini tentu akan menurut!"

Ketua Kong-tong-pay itu sejenak memandang sekalian hadirin. Tampak sekalian pemimpin partai persilatan mengangguk.

Ti Gong taysu dan Lu Bu-ki hampir serempak berseru, “Karena kami telah mengangkat totiang sebagai pemimpin, sudah tentu kami akan mentaati perintah totiang!"

Ceng Hi totiang terhibur mendapat dukungan luas itu. Dengan tersenyum ia segera mengatur persiapan untuk menyerbu Lembah Semi.

Diam-diam Siau-liong memperhatikan cara imam tua itu mengatur barisan.

Ternyata Ceng Hi merupakan seorang pucuk pimpinan yang cemerlang dan pandai. Selain dibentuknya barisan pelopor, barisan bala bantuan, induk barisan, barisan sayap kanan kiri serta barisan untuk menjebak musuh. Barisan pelepas api kemudian regu penghubung. Pendek kata, barisan itu telah diatur lengkap dan rapi.

Setelah menerima pembagian tugas, maka barisan-barisan itupun segera mulai bergerak.

Ceng Hi totiang menghampiri Siau-liong katanya dengan pelahan, “Barisan pohon Bunga itu merupakan satu-satunya jalan di belakang lembah. Telah kuperintahkan orang untuk melepaskan api. Setelah terbakar, dapat dipastikan tentu akan terbuka jalan ke dalam lembah. Kukira Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka tentu akan memimpin rombongannya keluar. Tetapi jika tidak keluar, tentulah mereka mempunyai persiapan lain dalam barisan pohon bunga itu ......”

Ia berhenti sejenak lalu berkata pula, “Saudara telah menolong Ti Gong taysu dan rombongannya dari lembah itu. Tentulah saudara kenal baik keadaan lembah itu. Mengenai barisan pohon Bunga ......”

Berkat peta pemberian Jong Leng lojin maka Siau-liong dapat mengetahui alat-alat perlengkapan Lembah Semi dengan baik. Maka iapun anggukan kepala, “Selain tertanam puluhan ribu batang pohon bunga yang dapat menyesatkan pikiran orang, dalam barisan pohon Bunga itupun masih terdapat pula Pagar Harimau, Pagar Singa dan Sarang Ular, Liang Serangga beracun dan lain-lain. Tetapi....”

Siau-liong merenung sebentar lalu berkata pula: "Segala perlengkapan itu hanya dapat digunakan terhadap musuh yang berjumlah kecil. Kalau barisan besar seperti kali ini sama melepas api, tentulah pohon-pohon bunga itu akan musnah semua. Juga kalau dibakar dengan bahan peledak, kiranya kawanan binatang buas itu tentu akan mampus juga. Maka menurut hematku ......”

Sejenak Siau-liong memandang pada Ceng Hi, lalu: "Jika tak mengundurkan diri ke dalam barisan Tujuh Maut dan Lembah Maut, setelah barisan bunga itu dimusnahkan, kedua durjana itu tentu keluar bertempur!"

Ceng Hi totiang mengangguk, “Pandangan anda sungguh tepat. Yang kukuatirkan adalah kekuatan kedua durjana itu. Kita belum tahu jelas sampai dimana kekuatan mereka. Jika kali ini kita kalah, dunia persilatan pasti akan menderita kehancuran!"

Pada saat itu api sudah mulai berkobar ditengah barisan pohon Bunga. Beberapa saat kemudian Ceng Hi berkata, “Barisan bunga itu dalam beberapa waktu baru dapat musnah. Selama itu kedua durjana tentu takkan menerobos keluar. Silahkan saudara bersama nona mawar Putih beristirahat dihutan belakang ....."

Memandang wajah Siau-liong, ketua Kun-lun-pay itu menambah pula, “Dalam pertempuran untuk menentukan mati hidupnya dunia persilatan ini, harap saudara suka membantu sekuat tenaga!"

Habis berkata Ceng Hi totiang hendak mengantar Siau-liong berdua ke belakang hutan, tetapi Siau-liong minta imam itu tinggal disitu saja karena masih mempunyai tugas penting.

Siau-liong bersama Mawar Putih menuju ke arah hutan.

Di dalam hutan terdapat sebuah kemah. Beberapa imam kecil yang menjaga kemah itu, segera mempersilahkan Siau-liong dan Mawar Putih duduk di atas dua lembar permadani dan menghidangkan dua cawan teh wangi.

Kedua muda mudi itu duduk beristirahat. Dalam pada itu diam-diam Siau-liong merenung.

Setelah barisan pohon bunga itu terbakar habis, tentu akan timbul pertempuran dahsyat. Sekalipun Ceng Hi totiang sendiri yang memimpin dan hampir dikata seluruh tokoh-tokoh persilatan ikut serta dalam barisan, tetapi mengingat kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia itu sangat licik dan banyak tipu muslihat, ia masih belum dapat memastikan apakah gerakan orang gagah itu akan berhasil.

Tokoh-tokoh Harimau Iblis, Naga Laknat, Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni. Jika mereka dapat digunakan oleh Iblis Penakluk-dunia, tentulah barisan orang gagah akan menemui kesulitan besar.

Saat itu Siau-liong sudah memperoleh kitab pusaka Thian Kong pit-kip. Jika dalam saat-saat yang genting dan penting seperti kala itu ia tak dapat memberi bantuan, bukankah ia merasa malu terhadap pencipta kitab pusaka Thian-Kong-Sin-kang?

Seketika ia kosongkan seluruh pikirannya dan mulai melakukan pernafasan sesuai dengan petunjuk dari kitab pusaka itu.

Kemah ini kosong. Setelah Siau-liong dan Mawar Putih beristirahat, kawanan imam kecil itu pun segera mengundurkan diri keluar. Mereka hendak melihat jalannya peperangan ke Lembah Semi saat itu.

Pada saat Siau-liong sedang asyik melakukan penyaluran tenaga dalam, tiba-tiba ia mendengar suara mendesis tajam melayang ke arahnya. Ia terkejut. Dengan gunakan ilmu Mendengar-suara-membedakan-arah, ia menyambar benda itu.

Ah, kiranya bukan senjata rahasia melainkan secarik kertas. Cepat ia loncat melesat keluar. Tetapi kecuali beberapa imam kecil yang tengah menjaga kemah itu, ia tak melihat seorang lain lagi.

Terpaksa ia kembali masuk ke dalam kemah. Mawar Putih menyambutnya dengan pandang penuh pertanyaan .... Tetapi Siau-liong tak sempat memberi keterangan. Cepat ia membuka kertas itu. Ah, ternyata tulisan dari gurunya, Tabib-sakti-jenggot-naga Kangsun Sin-tho. Bunyinya ringkas:

“Lekas mundur, jangan menyerang. Rencanakan lagi baru bergerak."

Siau-liong tertegun. Ia yakin gurunya itu tak mungkin akan bergurau menggertak dengan ancaman kosong. Jika gurunya menyuruh ia mundur dan jangan lanjutkan penyerbuan, tentulah keadaan tak menguntungkan. Kemungkinan besar suami isteri Iblis Penakluk-dunia itu tentu sudah siapkan rencana untuk menghancurkan rombongan Ceng Hi totiang.

Ia merasa sulit. Barisan sudah mulai akan menyerang. Bagaimana mungkin diperintahkan mundur dengan seketika. Dan lagi, perintah penarikan mundur itu akan mengakibatkan turunnya semangat para orang gagah. Kemungkinan pula, akan menimbulkan pertikaian diantara sesama kawan sendiri.

Pemimpin barisan orang gagah itu adalah Ceng Hi totiang. Dapatkah ia menasehatkan imam tua itu untuk menarik barisannya? Ah ......

Lama Siau-liong termangu memandang surat dari gurunya itu. Demikian pun Mawar Putih.

Sekonyong-konyong diluar terdengar suara langkah orang berlari menghampiri. Dan pada lain saat terdengar suara itu bertanya kepada imam kecil penjaga kemah: "Adakah Pendekar Laknat berada di dalam kemah ini?"

Cepat Siau-liong melongok keluar. Ah, kiranya yang datang itu adalah Pengemis tertawa Tio-Tay-tong. Dia membawa sebuah bungkusan kecil.

Melihat Siau-liong buru-buru pengemis itu berkata, “Karena mendapat tugas untuk menyerang Lembah Semi maka pemimpin kami tak dapat datang kemari sendiri dan suruh aku menyerahkan obat ini ....” - ia terus menyerahkan bungkusan kecil itu kepada Siau-liong.

Ia minta maaf kepada Siau-liong karena agak terlambat membawa pulang obat. Hal itu disebabkan karena ada beberapa macam ramuan sukar didapat.

Siau-liong menyambuti obat itu seraya mengucap terima kasih. Tiba-tiba terlintaslah dalam benaknya apa yang harus dikerjakan saat itu. Ah, kemungkinan hal itu akan dapat merobah kekalahan menjadi kemenangan.

"Paling sedikit memakan waktu tiga empat jam lagi barulah barisan pohon Bunga itu terbakar habis. Jika dalam waktu yang singkat itu, aku dapat menyelundup ke dalam Lembah Semi untuk membebaskan Jong Leng lojin. Kemungkinan sebelum rombongan orang gagah menyerang ke dalam lembah, aku tentu sudah berhasil meringkus kedua suami isteri durjana itu!" pikirnya.

Ya, hanya dengan siasat itulah kiranya ia dapat menyumbangkan tenaga kepada rombongan orang gagah.

Karena sedang terbenam dalam renungan, Siau-liong tak mendengar ucapan minta diri dari Pengemis tertawa Tio Tay-tong.

Setelah memasukkan bungkusan surat itu ke dalam pinggangnya, ia berpaling ke arah Mawar Putih, “Harap adik suka menunggu disini, aku hendak mengantarkan obat ini .... Setelah itu barulah kita pulang keseberang laut!"

Selesai memberi pesan, Siau-liong terus berputar diri dan pergi.

Sudah tentu Mawar Putih terkejut dan buru-buru menghadangnya: “Hendak kemana engkau?"

"Menyerahkan obat kepada Ti Gong taysu!"

Karena tak biasa bohong, maka wajah Siau-liong tersipu-sipu merah. Untung ia mengenakan kedok muka sehingga tak dapat dilihat Mawar Putih.

“Bukankah hal itu dapat menyuruh orang lain yang mengantarkan?" Mawar Putih deliki mata kepadanya.

“Obat ini amat berharga dan sukar dicari. Jika sampai hilang ....”

Mawar Putih mendengus dingin, “Jangan harap engkau dapat mengelabuhi aku. Kalau mau pergi, aku tetap ikut!"

Siau-liong terpaksa tak dapat berbuat lain kecuali menghela napas panjang. Terpaksa mengajak dara itu keluar dari kemah dan membeluk kesamping kanan. Oleh karena sudah paham keadaan lembah itu, maka Siau-liong tak ragu-ragu lagi.

Saat itu rombongan orang gagah sudah berpusat diluar barisan pohon Bunga yang terletak di belakang Lembah. Penjagaan disepanjang tempat yang dilaluinya, dijaga ketat oleh anak buah partai-partai persilatan.

Karena lari pesat, tak berapa saat tibalah Siau-liong dimuka jalanan rahasia ke dalam Lembah Semi.

Semak pohon yang menutup mulut jalan, saat itu sudah terbakar habis. Tetapi karena terowongan gua itu rendah sekali, Siau-liong sukar mencari jalan.

Siau-liong berputar tubuh tertawa masam, ujarnya, “Memang kepergianku ini amat berbahaya sekali tetapi pun amat penting sekali. Bagaimanapun, aku harus menempuh bahaya itu!"

Mawar Putih kerutkan dahi. Tetapi ia menyadari bahwa percuma saja ia akan mencegah pemuda yang keras kepala itu.

Maka sengaja ia tertawa, “Bukan maksudku hendak mencampuri urusanmu. Tetapi, janganlah engkau meninggalkan aku seorang diri!"

Habis berkata dara itu terus menerobos ke dalam terowongan rahasia itu.

Karena terowongan itu melalui tempat yang sedang dilanda kebakaran besar, maka terowongan itu pun amat panas sekali. Ditambah pula dengan hawa lembab bercampur bau busuk. Setelah berjalan beberapa langkah saja, Mawar Putih rasakan kepalanya pesing, perut mau tumpah.

Siau-long tak tahan melihat kelambatan langkah Mawar Putih. Cepat ia mendahului dimuka. Sambil menutup hidung, ia berjalan bersama dara itu.

Terowongan lembab basah dengan air sumber gunung. Tanahnya makin berlumpur sehingga sukar dilalui.

Beberapa kali Mawar Putih hampir tergelincir jatuh. Pakaiannya kotor berlumpuran lumpur.

Tetapi sedikitpun ia tak mengomel. Dengan tubuh terhuyung-huyung, ia kuatkan diri berjalan disamping Siau-liong.

Kurang lebih setengah jam, mereka tiba dimulut Lembah Maut. Tetapi keadaan pintu lembah itu gelap karena ditutup oleh batu besar.

Diam-diam Siau-liong menimang. Tempo hari ia menolong Toh Hun-ki dan kawan-kawannya dengan mengambil jalan dari mulut terowongan, tentulah hal itu sudah diketahui oleh Soh-beng Ki-su, Iblis Penakluk-dunia dan anak buah Lembah Maut.

Oleh karena itu maka pintu terowongan ditutup dengan batu. Dan kalau saat itu gerak geriknya diketahui orang Lembah Semi tentu celakalah. Tak mungkin ia dapat melintasi barisan Tujuh Maut untuk menolong Jong Leng lojin.

Setelah merenung beberapa saat, ia membisiki beberapa patah kata ke telinga Mawar Putih. Setelah itu ia kerahkan tenaga dalam lalu mulai mendorong batu penutup pintu terowongan itu.

Batu besar berderak-derak bergerak keluar. Selekas batu itu menggelinding keluar, Siau-liong cepat loncat keluar.

Ah.... ternyata dugaannya benar. Dua samping pintu terowongan telah dijaga oleh empat orang berpakaian hitam. Mereka terkejut ketika melihat Pendekar Laknat muncul.

Siau-liong tak mau membuang waktu. Dengan kedua tangannya ia gunakan jurus, Angin-meniup-daun-berhamburan, menyerang keempat penjaga.

Tiga orang baju hitam remuk tulangnya. Tanpa dapat menjerit, mereka rubuh binasa.

Yang seorang rupanya agak cerdik. Pada saat Siau-liong menghantam ketiga kawannya, ia loncat melarikan diri sembari siapkan panah api untuk memberi tanda kepada markas.

Siau-liong terkejut. Jika orang itu sampai dapat melepaskan panah api, tentulah Iblis Penakluk-dunia dan rombongan anak buahnya akan menyerbu kesitu.

Dengan gerak Harimau-lapar-menerkam-mangsa, ia loncat membayangi orang itu. Sebelum orang itu berhasil meluncurkan panah api, bahunya sudah dapat dicengkeram Siau-liong. Orang itu menjerit ngeri lalu terkulai ke tanah bersama anak panahnya.

Siau-liong masih belum puas. Ia tutuk tiga buah jalan darah maut pada tubuh orang itu. Sesaat kemudian ia merasa menyesal juga karena telah membunuh empat jiwa.

Saat itu Mawar Putih pun sudah keluar terowongan. Pakaiannya berlumuran lumpur, tubuhnya mandi keringat.

Untunglah karena terlindung oleh jajaran gunung, maka Lembah Maut itu tak menderita kebakaran. Hanya saja asap api itu mengerumun penuh dalam lembah, ditambah pula dengan tebaran kabut, lembah itu seolah-olah tertutup oleh lautan asap tebal.

Hal itu malah menguntungkan Siau-liong karena jejaknya tentu sukar diketahui orang Lembah Semi.

Siau-liong tak mau membuang waktu lagi. Sebelum kebakaran pada barisan pohon bunga itu padam, ia harus sudah dapat membebaskan Jong Leng lojin.

Segera ia menggandeng tangan Mawar Putih lalu melintasi lembah yang penuh dengan hutan pohon dan lautan batu-batu aneh. Berkat peta dari Jong Leng lojin dan pula tempo hari ia pernah memasuki lembah itu untuk mencari jejak Mawar Putih, maka saat itu ia sudah paham akan keadaan lembah.

Tak berapa lama dapat ia mencapai titik jalan yang menghubungkan Lembah Maut dengan barisan Tujuh Maut. Tanpa membuang waktu lagi, Siau-liong terus ajak Mawar Putih menyusup ke dalam terowongan dibawah tanah yang panjang dan dalam itu.

Saat itu agaknya Mawar Putih kumat lagi tabiatnya yang manja. Sambil menarik lengan baju Siau-liong ia berseru dengan nada beriba, “Engkoh Liong, apakah yang hendak engkau lakukan? Terowongan ini penuh dengan alat jebakan rahasia. Apakah engkau hendak mengantar jiwa?"
38. Jong Leng Lojin Lenyap .....??

Siau-liong berhenti, menghela napas menatap wajah dara itu: “Memang kita sedang menempuh bahaya. Tetapi mudah-mudahan langkah kita ini dapat menghentikan pertumpahan darah di dunia persilatan, menyelamatkan beribu jiwa. Tentang alat-alat rahasia yang memenuhi terowongan ini ....”

Ia berhenti dan tertawa, “Kini bagiku, tempat itu tak ubah seperti jalan besar Yang-kwan saja!"

Mawar Putih memandangnya dengan heran tetapi tak mau bertanya apa-apa lagi. Dara itu sudah percaya penuh kepada Siau-liong. Walaupun tahu bahwa pemuda itu sedang menempuh jalan maut, namun Mawar Putih tetap mengikutinya tanpa ragu-ragu.

Siau-liong merabah bungkusan obat yang disimpan dalam pinggang bajunya ia hendak berjalan tetapi berhenti lagi. Teringat ia ketika bertemu dengan Jong Leng lojin, ia tidak menyamar sebagai Pendekar Laknat. Jika saat itu ia masih menyamar sebagai Pendekar Laknat, bukankah akan menimbulkan kecurigaan orang tua itu?

Segera ia melepas kedok muka dan pakaian penyamarannya. Setelah itu baru ia ajak Mawar Putih lanjutkan perjalanan.

Saat itu ia tiba didinding batu yang cekung ke dalam. Tetapi apa yang dilihatnya dalam ruang itu, membuatnya terkejut sekali!

Ruang itu kosong melompong. Jong Leng lojin lenyap ......

Rantai besi yang mengikat kaki orang tua itu kutung menjadi dua dan berhamburan di tanah. Rupanya telah dipapas dengan pedang pusaka yang amat tajam. Disekeliling ruang, tak terdapat jejak yang mencurigakan.

Siau-liong menimang. Menilik rantai besi yang putus itu, kemungkinan besar Jong Leng lojin tentu ditolong orang. Tetapi orang tua yang begitu sakti kepandaiannya, pun tak mampu memutuskan rantai borgolannya, lalu siapakah tokoh yang begitu sakti dan memiliki senjata begitu tajam hingga dapat memutuskan rantai borgolan itu?

Pikiran Siau-liong melayang lebih jauh. Menurut anggapannya, hanya dua orang yang ada kemungkinan telah menolong Jong Leng lojin. Kesatu, gurunya sendiri ialah Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsun Sin-tho. Dan yang lain adalah Randa Bu-san.

Tetapi Siau-liong tetap bersangsi. Karena ditilik dari sudut manapun, kedua tokoh itu tak mungkin dapat mengetahui tempat rahasia itu dan menolong Jong Leng lojin!

Ah, lalu siapakah orang itu?

Tiba-tiba bulu kuduk Siau-liong meremang tegang. Ia mencemaskan kemungkinan yang ketiga. Jika kedua suami isteri durjana itu dapat memenjarakan Jong Leng lojin disitu, tentulah mereka mampu juga untuk melepaskan orang tua itu.

Dan kemungkinan itu memang bukan mustahil.

Untuk menghadapi serangan besar-besaran dari rombongan Ceng Hi totiang kemungkinan Iblis Penakluk-dunia hendak menggunakan orang tua itu untuk menghadapi mereka.

Menurut perhitungannya saat itu Sudah hampir sejam lamanya barisan pohon Bunga dilanda api. Dua jam lagi, setelah api padam, rombongm Ceng Hi totiang tentu akan menyerbu dan tentulah akan terjadi pertempuran yang dahsyat dan mengerikan!

Siau-liong makin gelisah tetapi tak dapat menemukan suatu akal. Akhirnya ia memutuskan, karena sudah memasuki tempat itu, lebih baik ia mengadakan penyelidikan seluas-luasnya. Maka ia segera ajak Mawar Putih lanjutkan perjalanan menyusup terowongan di bawah tanah itu.

Pintu keluar dari terowongan itu, sebagian dibuat orang, sebagian memang berasal dari gua alam. Letaknya persis dimuka Barisan Tujuh Maut.

Disebelah muka gua yang menjadi pintu keluar dari terowongan dibawah tanah itu, terbentang sebuah dataran yang ditengahnya terdapat sebuah hutan pohon siong.

Pada saat Siau-liong hendak lanjutkan langkah, tiba-tiba dari arah hutan iiu terdengar suara orang tertawa nyaring. Dia tersentak kaget.

Tak salah lagi, suara tertawa itu adalah tertawa si Iblis Penakluk-dunia.

Cepat Siau-liong mundur kembali. Tetapi gerumbul pohon dan semak belukar yang mengaling mulut gua itu sedemikian lebatnya hingga ia tak dapat melihat jelas siapa-apa yang keluar dari hutan itu.

Siau-liong mencari akal. Disebelah kiri gua itu terdapat sebuah batu karang yang menjulang tinggi. Jika bersembunyi disitu tentulah ia dapat melihat keadaan disekeliling penjuru.

“Adik Mawar, jagalah mulut terowongan ini. Jika musuh muncul, lekas hubungi aku. Aku hendak meninjau keadaan musuh dari atas karang itu!" ia memberi pesan kepada Mawar Putih lalu merayap ke atas.

Setelah mencapai puncak dan memandang ke arah hutan, kejutnya bukan kepalang.

Dalam hutan itu tampak berpuluh sosok tubuh manusia, bergerak kian kemari. Ada lelaki ada pula wanitanya. Jumlahnya tak kurang dari seratus orang.

Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka duduk disebuah tempat yang tinggi. Dibelakangnya dijaga oleh sepuluh gadis baju merah. Iblis itu tengah mencekal sebatang pedang yang berkilau-kilauan cahayanya.

Dihadapan iblis Itu tegak berjajar duapuluh barisan lelaki perempuan yang mengenakan pakaian serba ringkas dan menghunus senjata. Disebelah kanan rombongan orang itu, tampak sebuah kereta tetapi belum dirakit dengan kuda.

Dimuka kereta, dua orang baju hitam berdiri disebelah kanan dan kiri. Mereka memegang poros kereta seperti orang yang menarik kereta itu.

Selain mengenakan baju hitam, pun kedua orang itu juga membungkus kepalanya dengan kain sampai pada lehernya. Hanya pada kedua matanya yang diberi lubang. Jika pada malam hari, orang tentu mengira mereka adalah setan-setan kuburan yang keluyuran keluar.

Di belakang kereta dikawal oleh dua buah barisan orang baju hitam. Tetapi kepalanya tidak dibungkus rapat dengan kain hitam melainkan dengan sutera tipis. Setiap barisan terdiri dari lima orang.

Kereta itu kosong tiada isinya. Tetapi menurut dugaan, tentulah disediakan untuk Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

Sesungguhnya yang hendak dicari Siau-liong hanyalah Jong Leng lojin. Diawasinya dengan penuh perhatian setiap orang dan gerak-gerik mereka. Tetapi ia tak melihat kehadiran Jong Leng lojin.

Tiba-tiba Siau-liong melihat seorang lelaki baju kelabu berlari-larian dari mulut gunung menuju ketempat Iblis Penakluk-dunia. Begitu tiba di tepi hutan, orang itu hentikan larinya lalu menghampiri kehadapan Iblis Penakluk-dunia dan memberi hormat.

“Melaporkan pada bapak pemimpin, barisan pohon Bunga sudah terbakar separoh bagian. Pagar Singa dan Pagar Harimau, telah diledakkan oleh rombongan Ceng Hi totiang. Kawanan binatang disitu mati hangus semua!" seru orang itu.

Iblis Penakluk-dunia bukannya terkejut, kebalikannya malah tertawa mengekeh, “Ah, hal itu memang sudah kuperhitungkan .....” - ia melirik ke arah isterinya lalu membentak orang itu, “Bagaimana dengan tempat!"

“Empat penjuru lembah, api sudah padam. Sebagian besar dari anak buah Ceng Hi totiang berkumpul diluar barisan pohon Bunga. Rupanya begitu api padam, mereka tentu akan menyerbu!" jawab orang itu.

Iblis Penakluk-dunia mendengus, “Hm, aku sudah tahu, pergilah!"

Orang itu menjurah lalu angkat kaki. Sambil mengurut jenggotnya yang menjulai sampai kelutut, Iblis Penakluk-dunia gelengkan kepala dan merenung. Beberapa saat kemudian berkatalah ia kepada isterinya, “Setelah pertempuran hari ini, lihat saja siapakah tokoh persilatan yang berani menentang aku lagi!"

“Tolol! Mereka telah kerahkan sejumlah besar tokoh-tokoh persilatan dan mengumumkan hendak meratakan Lembah Semi ini. Adakah engkau mempunyai keyakinan untuk memenangkan mereka?" sahut Dewi Neraka.

Iblis Penakluk-dunia tertawa, “Sekalipun mereka benar berjumlah puluhan ribu orang, aku tetap dapat membereskan mereka .....”

Kemudian menunjuk pada ke duabelas orang baju hitam yang berada dimuka dan belakang Iblis Penakluk-dunia berkata pula dengan beberapa orang itu saja kiranya dapat melayani sepuluh ribu musuh!"

Siau-liong terkesikap. Dipandangnya kepada orang baju hitam itu tak bergerak seperti patung.

Dewi Neraka mendengus lagi: "Sekalipun nanti akan menang, tetapi bukan berarti tak ada yang perlu dicemaskan lagi ....” - ia menatap wajah suaminya lalu melanjutkan, “Paderi Kurus dari gunung Thian-san, Manusia Aneh dan Pak-I-ciang, Sepasang imam dari gunung Bu-san, Empat Seram dari gunung Im-san, kelana dari gunung Hong-san, Randa gunung Bu-san dan masih ada pula Pendekar Laknat ....”

Iblis perempuan itu tak melanjutkan kata-katanya melainkan hanya menghela napas.

Semula Iblis Penakluk-dunia tertegun juga tetapi pada lain saat ia tertawa lepas: “Jangan kuatir, isteriku. Berkat kepandaian dan kecerdasan kita berdua, adalah semudah orang membalikkan telapak tangannya jika hendak menguasai dunia persilatan!"

Ia lambaikan tangan dan dua orang tua yang masing-masing berumur limapuluhan tahun segera maju kehadapannya dan menjurah.

“Beritahukan kepada anak buah kita di belakang lembah. Begitu api yang membakar barisan pohon bunga itu padam, mereka suruh lepaskan anak panah api!" seru Iblis Penakluk-dunia.

Kedua orang itu cepat melakukan perintah.

Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia berbangkit lalu jalan menghampiri kereta.

Siau-liong sedang menumpahkan seluruh perhatian untuk mengawasi gerak gerik Iblis Penakluk-dunia dengan anak buahnya. Sedemikian asyiknya ia mengikuti mereka sehingga tak ingat akan keadaannya sendiri. Tiba-tiba ia mendengar Mawar Putih menjerit kaget.

Siau-liong terkejut dan berpaling. Hai.... Mawar Putih yang menjaga dimulut gua tadi, ternyata sudah tak tampak disitu.

“Adik Mawar! Adik Mawar....!" serunya berbisik. Tetapi tiada penyahutan sama sekali.

Cepat Siau-liong meluncur turun dan menghampiri gua. Ternyata apa yang dikuatirkan memang benar. Ketika tiba dimulut gua, sayup-sayup ia mendengar suara orang tertawa dingin dan pada lain saat muncullah seorang baju merah menyala. Ah.... Poh Ceng-in, nona pemilik Lembah Semi.

Mata Siau-liong berkunang-kunang dan hampir jatuh. Tetapi wanita itu malah tertawa mengejek, “Merdu sekali engkau memanggilnya. Sayang ia sekarang sudah tak dapat menyahut lagi!"

Dada Siau-liong seraya meledak. ingin ia menghancurkannya tetapi dia tahu bahwa hal itu akan membawa akibat pada dirinya sendiri. Terpaksa ia menahan kemarahan dan berseru agak ketus,

“Engkau apakan dia!"

Poh Ceng-in tertawa dingin, “Lihatlah sendiri kesini....!" - ia berputar diri dan berseru ke arah terowongan, “Suheng, bawalah ia keluar!"

Siau-liong buru-buru menghampiri dan memandang ke dalam mulut gua. Dilihatnya Mawar Putih berdiri beberapa langkah dalam mulut gua tetapi punggung dan mulutnya didekap oleh seorang aneh yang bertubuh amat kurus sekali.

Sekurus manusia yang tinggal tulang berbungkus kulit. Dan orang itu bukan lain adalah Soh-beng Ki-su!

Marah Siau-liong bukan kepalang. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam dan maju hendak menerjang. Tetapi Soh-beng Ki-su tertawa sinis.

“Budak, jika engkau berani maju, budak perempuan ini akan kujadikan mayat hidup dengan ilmu tenaga sakti Pek-kut-kang!" serunya mengancam.

Sekalipun Siau-liong mampu menghadapi sepuluh Soh-beng Ki-su, tetapi karena Mawar Putih berada ditangan pertapa itu, terpaksa ia tak berani lanjutkan tindakannya.

"Hm, kiranya engkau seorang pemuda hidung belang," seru Poh Ceng-in, “siapakah dia?"

Karena marahnya, gigi Siau-liong sampai berceretukan, sahutnya getus, “Tak perlu engkau tanya!"

“jangan lupa, engkau dan aku sehidup semati....”

Siau-liong marah dan mengkal. Melirik ke arah rombongan Iblis Penakluk-dunia yang berada dalam hutan, ia membentak wanita itu,

“Sekali telah kululuskan janji untuk mati bersama setahun nanti, tentu akan kulaksanakan!"

“Tetapi engkau sudah berjanji dalam setahun ini takkan bergaul dengan perempuan lain!" tukas Poh Ceng-in.

Sekali tak dapat berkutik karena ditutuk jalan darahnya oleh Soh-beng Ki-su, tetapi Mawar Putih dapat mendengar pembicaraan Siau-liong dengan wanita baju merah itu dengan jelas. Ia deliki mata kepada Siau-liong lalu meronta sekuat tenaganya untuk melepaskan mulutnya dari dekapan tangan Soh-beng Ki-Su, lalu berteriak,

“Siau-liong, engkau ......”

Tetapi belum sempat dara itu berteriak, punggungnya telah ditutuk oleh Soh-beng Ki-su.

Hati Siau-liong seperti disayat. Untuk kedua kali ia nekad hendak menerjang lagi.

Tetapi dibentak Poh Ceng-in, “Diam!"

Dengan mata berkilat buas, Soh-beng Ki-su lekatkan tangan kiri kepunggung Mawar Putih, sedang tangan kanan ditebarkan mencengkeram dada dara itu. Rupanya ia hendak melaksanakan rencana ganas.

Siau-liong menghela napas dan palingkan muka.

Terdengar Poh Ceng-in tertawa dingin, berkata kepada Soh-beng Ki-su, “Suheng, bawalah pergi budak perempuan itu....!" -kemudian menuding Siau-liong ia berseru, “ Dia mempunyai peta terperinci dari keadaan Lembah Semi. Engkau harus mencari tempat lain yang sukar dicari."

Soh-beng Ki-su kerutkan dahi, ujarnya, “Budak itu hebat sekali, sumoay engkau ......”

Poh Ceng-in tertawa mengekeh, “Tak peduli dia bagaimana saktinya tetapi tak mungkin dia berani membunuh diriku ..... dan tak mungkin akan membunuhku."

Soh-beng Ki-su tertawa menyeringai. Memanggul Mawar Putih, ia terus menyusup ke dalam terowongan.

Dapat dibayangkan betapa perih dan pedih hati Siau-liong melihat Mawar Putih dibawa Soh-beng Ki-su tanpa ia mampu memberi pertolongan. Darahnya bergolak keras, hingga hampir saja ia pingsan.

Setelah Soh-beng Ki-su pergi, barulah Poh Ceng-in menghampiri kemuka Siau-liong, katanya, “Yang salah adalah engkau sendiri, jangan sesalkan aku berhati kejam.... kini hanya tinggal dua pilihan ....”

Siau-liong memandang lekat ke wajah wanita pemilik lembah itu tetapi tak berkata apa-apa.

Dipandang begitu rupa oleh Siau-liong, bingung juga wanita itu. Ia tak tahu apa yang sedang dipikirkan pemuda itu.

“Jika engkau mau segera menjadi suami isteri dengan aku, akan kubiarkan engkau sendiri yang melepaskan budak perempuan iiu. Kalau tidak, kita bertiga akan segera mati bersama!"

Siau-liong tak mengacuhkan kata-kata wanita itu. Ia tetap tegak termangu-mangu memandangnya. Tiba-tiba wajahnya berobah.

“Apakah benar racun Jong-tok yang engkau berikan kepadaku itu tiada obatnya lagi?" tanyanya.

“Tidak ada!" sahut Poh Ceng-in," sekalipun engkau makan obat dewa, juga tak berguna!"

Dengan wajah beku, Siau-liong maju selangkah, serunya dengan nada sarat, “Jika aku tak tahan lagi dan memukulmu mati, lalu kuminum darahmu atau menggunakan darah anjing hitam mulus untuk pengantar, mengorek hatimu lalu kumakan, entah bagaimanakah akibatnya?"

Seketika pucatlah wajah Poh Ceng-in sehingga ia terhuyung-huyung mundur dan berseru dengan nada gemetar, “Engkau dengar dari siapa cara itu .... oh, engkau kejam sekali.... engkau hendak membunuh aku agar dapat menolong budak perempuan itu lalu engkau menikah dengannya, engkau ......”

Siau-liong menghela napas.

“Sayang, aku tak berhati buas seperti engkau. Mungkin sukar melakukan hal semacam itu. Hanya ....” Siau-liong berhenti sejenak, sekali gerak cepat ia menutuk jalan darah dibahu kanan Poh Ceng-in.

Tepat pada saat itu, dari kejauhan tampak tiga larik sinar api yang cepat sekali mendekati. Dan dari arah hutan terdengarlah Iblis Penakluk-dunia berteriak keras dan serempak terdengarlah suara kereta berjalan berderak-derak.

Kereta yang dikawal oleh barisan orang hitam itu segera berjalan menuju keluar mulut gunung.

Siau-liong terkejut. Diperhitungkannya saat itu api yang membakar barisan pohon Bunga masih sejam lamanya. Tetapi mengapa anak buah Lembah Semi sudah memberi pertandaan lebih dulu.

Tetapi dia tak sempat berpikir lagi. Sambil mencengkeram bahu Poh Ceng-in, ia segera menyusup ke dalam terowongan.

Sekalipun ia paham akan jalan terowongan dan berjalan secepat lari, tetapi ia harus menggunakan waktu setengah jam juga baru dapat menyusur keluar dari terowongan.

Selekas keluar, cepat ia lari ke arah barisan pohon Bunga.

Sayup-sayup ia mendengar suara jeritan ngeri dari suatu pertempuran dahsyat.

Y

Memandang kemuka, tampak barisan pohon Bunga yang penuh asap tebal itu diserbu oleh berpuluh-puluh sosok tubuh manusia.

Siau-liong arahkan larinya kesana. Tiba-tiba beberapa belas orang bersenjata, menghadang jalan. Mereka terdiri dari kaum imam dan orang biasa Kepalanya seorang imam mencekal sebatang golok kwat-to, tanpa berkata apa-apa terus menyerang Siau-liong.

Siau-liong terkejut dan cepat loncat kesamping seraya membentak, “Hai, apakah tak kenal padaku!"

Tebasannya luput, imam itu maju membabat pinggang Siau-liong seraya menghardik, “Budak keparat, aku tak kenal padamu!"

Melihat pemimpinnya menyerang, anak buahnya pun segera ikut menyerang Siau-liong.

Siau-liong terkejut. Saat itu baru ia teringat kalau tak menyamar sebagai Pendekar Laknat. Apa boleh buat, terpaksa ia harus menghadapi mereka.

Sambil menyekap Poh Ceng-in dibawah ketiak, Siau-liong tak mau balas menyerang, melainkan berloncatan menghindar serangan mereka.

Sambil menghindar, berulang kali ia berteriak, “Berhenti dulu! Aku membawa Surat Jalan dari Ceng Hi totiang!"

Mendengar itu, imam yang menjadi pemimpin rombongan penghadang itu segera membentaknya, “Kalau membawa surat jalan, mengapa dari tadi tak lekas mengeluarkan!"

Rombongan penyerang itupun hentikan serangannya. Namun masih mengepung Siau-liong. Pemuda itu buru-buru merogoh bajunya. Tetapi yang diketemukan hanya peta pemberian Jong Leng lojin. Buru-buru ia masukan lagi. Lalu merogoh saku. Tetapi yang diketemukan hanyalah beberapa butir pil pemberian Poh Ceng-in.

Sudah tentu Siau-liong gugup tak keruan. Kemanakah gerangan perginya Surat Jalan itu?

Merenung sejenak, barulah ia teringat kalau Surat Jalan itu disimpannya dalam baju Pendekar Laknat. Tetapi baju Pendekar Laknat itu sudah dilipat dan dililitkan pada pinggang. Jika mengambil dan membuka pakaian itu tentulah diketahui orang. Berarti juga, rahasianya tentu bocor. Ah....

Siau-liong benar-benar bingung. Apalagi saat itu di dalam barisan pohon Bunga sudah berlangsung pertempuran dahsyat. Jika rombongan Ceng Hi totiang sampai menderita kekalahan, bukankah ia ikut bertanggung jawab karena tak dapat membantu mereka?

“Dari partai manakah suhu ini?" segera ia bertanya kepada imam itu.

Imam bersenjata golok kwat-to mendengus dingin, “Akulah yang seharusnya bertanya begitu kepadamu!"

Siau-liong paksakan tertawa, “Aku bernama Kongsun Liong, juga hendak membantu gerakan Ceng Hi totiang untuk membasmi kedua suami isteri durjana itu. Tentang Surat Jalan.... mungkin karena terburu-buru, telah hilang dijalan!"

Ternyata imam itu tak pernah mendengar nama Kongsun Liong. Dengan mata berkilat-kilat ia membentak, “Jangan coba mengelabuhi orang! Ceng Hi totiang sudah mengeluarkan perintah. Barang siapa yang tak membawa Surat Jalan, harus diperlakukan sama seperti anak buah Lembah Semi ......”

Kemudian mata imam itu memandang ke arah Poh Ceng-in Ialu berkata, “Jika engkau masih ingin hidup, beritahukan siapa dirimu sebenarnya!"

Pada saat Siau-liong mencari Surat Jalan tadi, terpaksa ia letakkan tubuh Poh Ceng-in di tanah. Belasan orang yang mengepungnya itu segera lekatkan ujung pedang ke seluruh jalan darah disekujur tubuh kedua anak muda itu.

Semula hal itu tak diacuhkan Siau-liong. Pikirnya, begitu mengambil keluar Surat Jalan, segalanya tentu beres. Tak kira kalau Surat Jalan itu disimpan dalam baju Pendekar Laknat.

Dalam gugup terpaksa ia berseru nyaring, “Aku adalah murid pewaris dari Pengemis Tengkorak Song Thai-kun dan kini diangkat menjadi ketua Kay-pang. Jika taysu tak percaya silahkan suruh memanggil murid Kay-pang untuk dipadu!"

Imam itu tertawa memanjang. Kemudian bertanya kepada rombongan, “Adakah salah seorang dan saudara yang kenal akan Cousu-ya bayi ini.”

Sekalian orang tertawa gelak-gelak: "Jangan dengarkan ocehannya! Anak umur tiga tahun pun takkan percaya!"

“Tuh dengarlah! Jangan lagi tiada seorang pun yang percaya omonganmu. Sekalipun ada yang percaya, pun sukar untuk mencari anak murid Kay-pang yang saat ini sedang ikut Ceng Hi totiang menyerbu ke dalam Lembah Semi ....”

Imam itu berhenti sejenak lalu berkata pula, “Terpaksa engkau harus kita tahan. Nanti setelah Lembah Semi beres, dan ternyata engkau memang bukan anak buah Iblis Penakluk-dunia, barulah dapat kami lepaskan."

“Ikat dia dan perempuan baju merah lalu bawa ke markas depan!" imam itu memberi perintah.

Selagi imam itu bicara, diam-diam Siau-liong mencari lirik kesekeliling penjuru. Dilihatnya pada setiap puncak pohon dan belakang batu terdapat orang yang siap dengan senjata panah. Diam-diam ia memuji akan kelihayan Ceng Hi totiang mengatur barisan untuk mengepung musuh.

39. Imam Kurus Dari Thian-san

Bukannya ia takut akan balasan orang yang mengepungnya itu tetapi ia menyadari bahwa dalam pertempuran, tentu ada korban yang jatuh. Disamping itu sukar dicegah kemungkinan Poh Ceng-in akan terluka bahkan bisa mati. Kalau wanita itu mati, bukankah ia juga akan ikut mati ......

Siau-liong termenung gelisah. Tiba-tiba seorang paderi berkepala dan telinga besar, menutuk dada Siau-liong. Ia yakin karena Siau-liong sudah tak berdaya, tentu mudah untuk ditutuk jalan darahnya.

Tetapi alangkah kejutnya ketika belum lagi jarinya menyentuh dada Siau-liong, paderi itu sudah menjerit ngeri dan terhuyung-huyung mundur lima enam langkah. la rasakan jarinya seperti terbakar api panas.

Kawan-kawannya tersentak kaget. Tetapi karena peristiwa itu berlangsung cepat dan mendadak sekali, mereka tak tahu apa sebab paderi itu sampai pontang panting begitu macam!

Imam yang menjadi kepala rombongan pun tak tahu peristiwa itu. Tetapi ia seorang yang banyak pengalaman. Ia duga Siau-liong tentu memiliki kepandaian tinggi. Maka cepat ia memberi perintah untuk menyerang pemuda itu. Bahkan dia sudah mendahului untuk menebas dengan goloknya.

Melihat sikap keras kepala dari rombongan itu, terpaksa Siau-liong melayani juga. Sebelumnya ia memang sudah menjaga setiap kemungkinan. Setelah mengundurkan paderi tadi, diam-diam ia salurkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang ketangannya. Begitu belasan orang itu menyerbu, ia pun cepat tamparkan kedua tangannya.

Pemimpin dan anggauta rombongan itu memang tak memandang mata kepada Siau-liong.

Tetapi alangkah kejut mereka ketika tamparan tangan pemuda itu menghamburkan tenaga dahsyat yang panas. Beberapa jeritan ngeri terdengar dan empat orang telah terlempar menyusur tanah .....

Untunglah rombongan pengeroyok itu tak punya akal untuk menyerang Poh Ceng-in yang menggeletak di tanah. Andaikata mereka bertindak begitu, tentu Siau-liong sudah mati kutu.

Setelah berhasil mengacau-balaukan musuh, dengan menggembor keras, Siau-liong menyambar tubuh Poh Ceng-in. Rencananya hendak dibawa lari menerjang mereka.

Tetapi pada saat itu, serangkum angin tajam menyambar punggungnya. Terpaksa ia lepaskan tubuh Poh Ceng-in dan terus berputar diri untuk menghalau penyerangnya.

Imam kepala rombongan itu ternyata memang hebat. Walaupun sudah dipukul mundur oleh Siau-liong, tetapi ia tetap maju menyerang lagi.

Siau-liong mendongkol sekali. Setelah mendorong golok ke sisih, dengan kerahkan tenaga sakti Bu-kek-sin-kang ia hendak menghantamnya.

Imam itu ternyata murid dari Go-bi-pay. Walaupun kepandaiannya tak lemah tetapi tak mungkin ia dapat menerima pukulan Bu-kek-sin-kang. Dia pasti hancur binasa apabila Siau-liong gerakkan tangannya.

Pada saat Siau-liong sudah hendak ayunkan tangannya, tiba-tiba terdengar suara orang membentak, “Berhenti."

Nada orang itu amat berwibawa. Apalagi Siau-liong memang tak bermaksud hendak melukai orang. Maka cepat-cepat ia menarik kembali pukulannya.

Ketika sekalian orang mencari siapa yang berseru itu tiba-tiba dari puncak sebatang pohon, melayang turun sesosok tubuh yang kurus. Begitu kurus sehingga seperti daun yang melayang ke tanah.

Pada saat tiba di tanah barulah dapat diketahui bahwa orang itu ternyata seorang paderi bertubuh kurus kering. Boleh dikata hanya sesosok kerangka tulang terbungkus kulit. Tetapi sepasang matanya memancarkan sinar berapi-api, mengandung perbawa yang memaksa orang menaruh keseganan.

“Ah....” imam pemimpin rombongan tadi mendesus pelahan dan buru-buru merangkap kedua tangan, menyebut "Omitohud" lalu memberi hormat kepada paderi kurus itu dengan khidmat,

“Murid Li Hun menghaturkan hormat atas kehadiran Seng-ceng!"

Paderi kurus itu tersenyum: “Telah kupesatkan jalanku tetapi tetap terlambat sedikit ......”

Sambil memandang ke arah barisan pohon Bunga, ia bertanya pula, “Apakah pertempuran sudah berjalan lama?"

Imam kepala rombongan yang menyebut namanya Li Hun itu buru-buru menyahut, “Baru beberapa saat saja."

Paderi tua kurus itu mengangguk lalu memandang Siau-liong dan Poh Ceng-in yang menggeletak di tanah. Tampak wajahnya mengerut cemas.

Buru-buru Li Hun melangkah kehadapan paderi tua kurus itu, katanya, “Budak ini telah keluar dari Lembah Semi sambil membawa wanita baju merah itu. Entah apa maksudnya. Tetapi jelas tentu anak buah Iblis Penakluk-dunia. Murid telah mendapat perintah dari Ceng Hi totiang supaya mengatakan tempat ini, karena itu....”

"Biarlah kutanyainya," tukas paderi kurus itu.

Li Hun mengiakan, lalu memberi isyarat supaya rombongan yang mengepung itu mundur.

Siau-liong tertegun memandang paderi kurus itu. Diam-diam ia heran mengapa imam tadi begitu menghormat sekali kepada paderi itu. Pula cara paderi itu muncul memang menunjukan seorang yang sakti. Dan mendengar pembicaraan mereka tadi, rupanya paderi kurus itu datang dari jauh.

Siau-liong tak tahu siapa paderi kurus itu. Pikirnya, lebih baik ia tinggalkan tempat itu saja agar jangan terlambat waktunya. Maka ia mundur dua langkah dan hendak mengangkat tubuh Poh Ceng-in.

"Ah, jangan begitu tegang," tiba-tiba paderi kurus itu berseru dengan tersenyum: "sekalipun engkau berada satu tombak jauhnya dari tempatku, tetapi rasanya sukar kalau engkau hendak meloloskan diri ......”

Nadanya angkuh, jelas tak memandang mata pada Siau-liong. Siau-liong tertegun dan terpaksa batalkan rencananya.

“Kenalkah engkau padaku?" tegur paderi kurus itu pula.

Siau-liong tak kenal siapa paderi itu. Tetapi menilik dia datang hendak membantu rombongan Ceng Hi totiang, ia duga paderi itu tentu seorang cianpwe dari sebuah partai persilatan.

Maka cepat ia memberi hormat, menjawab, “Justeru aku hendak mohon tanya gelaran mulia dari losiansu."

"Aku Liau Hoan, selama ini mengasingkan diri digunung Thian-san....” kata paderi itu dengan nada yang penuh welas asih, "memang tak dapat dipersalahkan kalau engkau tak kenal padaku. Menurut perhitungan, aku sudah empatpuluh tahun tak pernah menginjak dunia persilatan lagi. Dan umurmu itu tentu belum seberapa ......”

Siau-liong terkesiap. Sudah berulang kali ia mendengar orang mengatakan tentang paderi Liau Hoan dari gunung Thian-san itu. Setitik pun ia tak kira bahwa paderi yang termasyhur itu ternyata paderi bertubuh kurus yang berdiri dihadapannya saat itu. Ah, gelar Paderi Kurus yang diberikan kepadanya, ternyata memang tak salah.

Beberapa saat Siau-liong tertegun gelisah. Suara teriak jeritan dari barisan pohon Bunga, makin lama makin keras dan gencar. Walaupun belum mengetahui siapa yang menang, tetapi ia tetap teringat akan surat peringatan yang diberikan Kongsun Sin-tho itu. Jika berlangsung makin lama, akibatnya tentu makin runyam.

Ia pikir, paderi kurus Liau Hoan itu tentu akan percaya akan keterangan imam Li Hun, yang mengatakan dirinya (Siau-liong) seorang-anak buah Iblis Penakluk-dunia. Ah, jika ia menempur paderi kurus itu, tentu akan memakan waktu dan tenaga. Dan kemungkinan bahkan akan menderita luka.

“Usiamu masih muda dan wajahmu juga tak sembarangan tetapi mengapa rela menjadi kaki tangan kedua suami isteri durjana itu?" tegur paderi Liau Hoan.

Buru-buru Siau-liong membantah, “Hal itu sama sekali tidak benar, aku....”

“Bukankah engkau habis keluar dari Lembah Semi?" cepat paderi itu menukas.

Terpaksa Siau-liong menyahut, “Benar, tetapi....”

Sambil kebutkan lengan jubahnya. Liau Hoan berkata, “Sudahlah, tak perlu membantah....”

Kemudian menunjuk pada Poh Ceng-in yang menggeletak di tanah, paderi itu berkata pula, “Apakah wanita itu engkau bawa dari Lembah Semi?"

"Benar, tetapi....”

Wajah Liau Hoan mengerut gelap, bentaknya, “Apakah hidupku begini tua hanya hidup percuma saja! Apakah perlu engkau jelaskan baru aku dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya ....?"

Mau tak mau Siau-liong mendidih juga darahnya karena dibentak-bentak itu. ia pun menyahut dengan suara lantang, “Jika tak kuterangkan, bagaimana losiansu dapat mengetahui persoalannya yang berliku-liku itu ....?”

“Tutup mulutmu!" bentak Liau Hoan marah. Lengan jubah paderi itu diangkat ke atas, seperti hendak menyerang.

Sudah tentu Siau-liong terkejut dan buru-buru bersiap-siap.

Tiba-tiba Liau Hoau tertawa.

“Anak muda, engkau murid Iblis Penakluk-dunia atau bukan, tetapi aku akan memberimu kesempatan untuk menyerang aku sampai tigapuluh jurus. Jika dalam tigapuluh jurus itu engkau sanggup mengundurkan aku satu langkah saja, aku segera tinggalkan tempat ini!" seru paderi kurus itu.

Siau-liong tertawa dingin, “Kaki dan tangan tak bermata. Jika berkelahi tentu takkan terhindari dari hal-hal yang menimbulkan derita luka!"

“Dalam tigapuluh jurus aku takkan balas menyerang! Silahkan engkau menyerang sesukamu saja!" bentak paderi itu.

Siau-liong anggap paderi kurus itu juga manusia yang membawa kemauan sendiri dan angkuh sekali.

Diam-diam ia menimang, “Jangan lagi tigapuluh jurus, dalam tiga jurus saja jika tak mampu mengundurkan engkau, aku pun takkan muncul dalam dunia persilatan lagi!"

Maka menyahutlah ia dengan lantang, “Karena locianpwe yang memerintah, akupun terpaksa menurut saja. Silahkan locianpwe bersiap!"

Habis berkata ia terus mengangkat tangan kanan lalu ditamparkan dengan jurus. Menurut aliran-air-mendorong-sampan, kedada Liau Hoan.

Paderi itu tegak diam. Sepasang tangan dirangkapkan kemuka dada. Tiba-tiba serangkum suara lembut seperti kapas memancar dari tangannya, menghapus tenaga pukulan Siau-liong, seraya tertawa hambar.

“Pukulan semacam itu, banyak terdapat dipasar persilatan!"

Siau-liong tak mau menyahut melainkan lepaskan lagi sebuah pukulan Tay-lo-kim-kang ke arah kepala paderi itu.

Liau Hoan agak terkejut. Cepat ia dorongkan kedua tangannya kesamping untuk 'menarik' tenaga pukulan Siau-liong kesamping. Kedua bahunya pun ikut condong kesamping tetapi secepat itu berayun kemuka lagi. Sepasang kakinya tetap tak berkisar sedikitpun jua.

Tetapi mau tak mau wajah paderi itu berobah, kaget, serunya, “Pukulan Thay-siang-ciang! Adakah engkau benar-benar....”

Tetapi tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan berganti dengan sebuah bentakan yang bengis “Masih ada duapuluh delapan jurus, lekas teruskan seranganmu!"

Diam-diam Siau-liong terkesiap dalam hati. Apa yang disohorkan orang ternyata benar. Kepandaian Liau Hoan memang hebat sekali. Sekali lawan bergerak, segera ia dapat mengetahui nama jurus dan alirannya.

Semula Siau-liong mengira dalam tiga jurus, ia tentu dapat mengalahkan paderi itu dengan pukulan Thay-siang-ciang yang dilambari tenaga sakti Bu-kek-sin-kang. Tetapi apa yang disaksikan, benar-benar membuatnya termangu-mangu.

Rupanya Liau Hoan tak sabar, ia membentak dengan nyaring: “Lekas serang!"

Sejenak merenung, Siau-liong tiba-tiba lempangkan tangan kanan mendorong lurus kemuka. Gerakan itu memang aneh. Meninju bukan, tamparan pun bukan. Dan lagi gerakannya amat pelahan sekali.

Liau Hoan kerutkan alis. Sesaat ia tak tahu jurus apakah yang sedang dimainkan anak muda itu.

Ternyata jurus yang digunakan Siau-liong itu disebut Sebatang-tonggak-menyanggah-langit. Salah sebuah jurus dari apa yang disebut Satu pukulan - Tiga tamparan - Empat tutukan, ialah pelajaran yang termasuk dalam kitab pusaka Thian-kong-sin-kang.

Jurus itu mengandung perobahan yang rumit sekali. Oleh karena Siau-liong baru saja satu kali melatih pelajaran itu dan tak memiliki latihan dasar dari tenaga dalam Thian-kong-sin-kang, maka ia tak dapat menggunakannya dengan tepat.

Namun karena Liau Hoan sudah berjanji tak balas menyerang, maka timbullah keinginan Siau-liong untuk mencoba pelajaran itu. Maka tanpa menghiraukan adakah latihannya sudah sesuai atau belum, ia segera menggunakan jurus itu.

Sambil lepaskan pukulan, diam-diam Siau-liong menumpahkan pikirannya untuk menghafalkan gerak perobahan selanjutnya. Oleh karena itu maka gerakannyapun dilakukan dengan pelahan.

Liau Hoan kaget dan meragu. Pukulan Siau-liong dengan ilmu Thay-siang-ciang tadi, sudah membuatnya tak berani memandang rendah pada anak muda itu lagi.

Sepintas pandang pukulan anak itu memang tak berharga dan lambat sekali. Tetapi anehnya, Liau Hoan benar-benar tak tahu ilmu apakah pukulan Siau-liong itu. Maka ia terpaksa diam-diam kerahkan semangat dan tenaga dalam untuk bersiap-siap.

Pada saat tangan Siau-liong mendorong lurus sekonyong-konyong ia menggembor keras dan tiba-tiba tangan anak itu bergerak cepat sekali. Tahu-tahu dada Liau Hoan termakan tinju ....

“Hai....!" mulut paderi kurus itu menjerit aneh dan tubuhnya menyurut mundur selangkah.

Imam Li Hun dan anak buahnya terkejut menyaksikan peritiwa itu. Mereka terkesiap memandang Siau-liong.

Liau Hoan tak menderita luka berat. Ia menatap Siau-liong sambil mengusap keningnya lalu tundukkan kepala merenung.

Siau-liong sendiri juga termangu-mangu. Ia tak menyangka bahwa pelajaran yang masih setengah matang itu ternyata mempunyai perbawa yang sedemikian hebatnya.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras. Siau-liong terkejut. Memandang ke arah barisan pohon Bunga. ternyata tempat itu penuh dengan gulung asap tebal yang membubung ke udara. Suara itu tentulah berasal dari gerakan rombongan Ceng Hi totiang yang tengah meledakkan semua alat rahasia dan rintangan dalam lembah.

Tetapi alangkah kejutnya ketika berpaling, ternyata Poh Ceng-in yang menggeletak di tanah tadi sudah lenyap.

Dilihatnya imam Li Hun dan anak buahnya sedang memandang dirinya seraya pelahan-lahan menyurut mundur. Segera ia menduga, tentulah mereka yang melarikan Poh Ceng-in.

Kemudian mata Siau-liong beralih memandang ke arah barisan pohon Bunga. Tanpa banyak pikir lagi, ia terus gunakan gerak loncat Naga-berputar-18-kali, melesat ke arah barisan pohon Bunga.

Setelah merenung beberapa saat, tiba-tiba Liau Hoan tersadar dan berseru pelahan, “Thian-kong-sin-kang! Tentulah ilmu sakti Thian-kong-sin-kang....!"

Memandang ke muka, ternyata Siau-liong sudah lari. Paderi itu menggembor keras lalu loncat mengejar.

Gerak Naga-berputar-18-lingkaran dari Siau-liong telah mencapai tataran yang tinggi. Dalam dua gerak loncatan saja, ia sudah mencapai belasan tombak jauhnya.

Ketika masih melayang di udara, tiba-tiba ia memperoleh akal. Cepat ia meluncur ke arah sebuah semak yang tinggi, terus berganti pakaian sebagai Pendekar Laknat.

Tepat pada saat ia selesai menyamar sebagai Pendekar Laknat, paderi Liau Hoan pun tiba. Bagaikan seorang gila, paderi itu memandang ke sekeliling penjuru seraya tak henti-hentinya mengingau seorang diri, “Thian-kong sin-kang! Tentulah ilmu sakti Thian-kong-sin-kang....!"

Paderi itu melihat juga pada Siau-liong. Tetapi karena saat itu Siau-liong sudah berganti dandanan sebagai Pendekar Laknat maka Liau Hoan hanya memandangnya dengan tawar terus menyusup ke dalam gerumbul untuk mencari pemuda tadi.

Siau-liong tertawa dingin. Dia tak mau menghiraukan paderi kurus itu melainkan terus melesat ke arah barisan pohon Bunga. Dalam sekejap mata ia sudah berada di tengah puing barisan pohon Bunga.

Saat itu suara teriakan, tidaklah sengeri tadi. Dan yang tampak hanya berpuluh-puluh jago silat tengah lari kian kemari. Entah apa yang terjadi dengan pertempuran di sebelah muka. Juga kereta yang dinaiki Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka tak tampak bayangannya.

Siau-liong menerjang di antara orang-orang itu, melintas ke muka. Karena sudah menerima penerangan dari Ceng Hi totiang, maka rombongan jago-jago silat itu sama menyisih untuk memberi jalan kepada Pendekar Laknat.

Tampak ketua Siau-lim-si Ti Gong taysu dengan duapuluhan paderi lari menghampiri. Ketua Siau-limsi itu agak tertegun ketika melihat Pendekar Laknat Siau-liong. Buru-buru ia memberi hormat dan berseru nyaring, “Pendekar Laknat ....”

"Di mana Ceng Hi totiang dan rombongannya?" seru Siau-liong tegang.

Sambil menunjuk ke arah lembah, ketua Siau-lim-si itu berseru, “Masih memimpin rombongan orang gagah bertempur dengan kedua durjana. Tetapi gelagatnya tidak menguntungkan pihak kita, kedatangan saudara sungguh kebetulan sekali....”

Berhenti sejenak ketua Siau-lim-si itu berkata pula, “Tadi menerima laporan bahwa ada kaki tangan musuh yang keluar dari terowongan rahasia. Maka aku mendapat perintah untuk menangkapnya!"
Habis berkata, ia memberi salam terus lanjutkan perjalanan lagi.

"Ti Gong taysu....!" cepat Siau-liong maju selangkah meneriakinya.

Ketua Siau-lim-si itu berhenti dan berpaling, “Saudara mempunyai keperluan apa?"

Sejak ditolong dari Lembah Maut, ketua Siau-lim-si itu bersikap baik kepada Pendekar Laknat.

"Cousu-ya dari Kay-pang yakni Kongsun Liong seorang diri menyelundup ke dalam Lembah Semi dan berhasil menangkap seorang wanita siluman baju merah, tetapi....” — ditatapnya wajah paderi itu lalu berkata pula, “Kabarnya pada waktu dia ke luar dari Lembah, telah salah paham dengan beberapa rombongan paderi yang bertugas disitu. Wanita baju merah itu disembunyikan oleh rombongan paderi.... ah, wanita baju merah itu penting sekali. Dapatkah aku minta tolong pada taysu untuk memintakan wanita baju merah itu dan serahkan padaku?"

Ti Gong menatap wajah Siau-liong, tanyanya, “Entah rombongan paderi dari pihak manakah yang menawan wanita itu? Dan lalu kemana saja perginya ketua Kay-pang itu?"

"Yang kuketahui nama dari kepala rombongan itu adalah paderi Li Hun!"

Tay Gong merenung sejenak lalu berkata, “Li Hun adalah paderi Go-bi-pay! Baiklah, permintaan saudara pasti akan kulaksanakan ......” habis berkata ketua Siau-lim-si itu terus bergegas melangkah pergi dengan rombongannya.

Siau-liongpun lanjutkan langkahnya ke arah lembah. Barisan pohon Bunga yang lebat, kini hanya tinggal tumpukan puing yang asapnya masih bergulung-gulung tebal.

Di sana sini bertebaran mayat manusia dengan tubuh yang mengerikan dan terbakar. Dan mayat berhamburan kemana-mana. Menilik keadaannya, pertempuran itu belum berselang berapa lama.

Pekik jeritan tak terdengar lagi. Binatang-binatang buas dan ular beracun serta alat-alat perangkap rahasia dari Lembah Semi, boleh dikata sudah hancur berantakan. Tetapi Ceng Hi totiang pun harus membayar mahal dengan korban-korban rombongan orang gagah yang banyak berjatuhan untuk penghancuran itu.

Saat itu menjelang petang hari. Rombongan Ceng Hi totiang tengah menggempur pertahanan di belakang lembah yang dijaga oleh suami isteri Iblis Penakluk-dunia.

Masuk dari jalan yang dipertahankan Iblis Penakluk-dunia itu, akan mencapai pusat lembah. Bangunan bertingkat dari lembah itu, tampak menjulang jauh dimuka.

Siau-liong maju lagi. Dilihatnya Ceng Hi to-tiang sedang memimpin rombongan untuk menyerbu pos jalanan itu. Jalan itu berbentuk seperti sebuah pintu dari sebuah kota. Tetapi terbuat dari pada batu alam. Hanya cukup dilewati beberapa orang.

Dari tempatnya, Siau-liong dapat melihat bahwa di dalam jalan mulut jalan itu, Iblis Penakluk-dunia dan rombongannya tak kelihatan. Rupanya mereka sudah mengundurkan diri.

Keadaan didepan mata sudah jelas. Ceng Hi totiang dan rombongannya sudah bertekad untuk membobolkan setiap rintangan. Jika dapat, membasmi kedua suami isteri durjana. Jika gagal, sekurang-kurangnya dapat menghancurkan sarang Lembah Semi.

Teringat akan surat peringatan dari gurunya (tabib sakti Kongsun Sin-tho), makin gelisah. Tetapi jika menasehati Ceng Hi totiang supaya menarik mundur rombongannya, jelas tak mungkin.

Ceng Hi totiang segera mendapat laporan tentang kedatangan Pendekar Laknat. Cepat tokoh tua itu menyambutnya: “Ah, kedatangan saudara sungguh kebetulan sekali ....”

Memandang kemuka, Siau-liong dapatkan Ceng Hi totiang dikawal oleh berpuluh orang, paderi, imam dan beberapa tokoh-tokoh persilatan segala aliran. Antara lain Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tong-pay, ketua Kay-pang To Kiu-kong serta kepala Rimba Hijau daerah selatan yakni setinggi besar Lu Bu-ki. Dan masih ada lain-lainnya yang Siau-liong tak kenal.

Atas penyambutan Ceng Hi totiang. buru-buru Siau-liong balas memberi hormat: "Karena ada sedikit urusan maka sampai terlambat datang, maaf, maaf ....”

Diam-diam Siau-liong heran. Kalau Ceng Hi totiang dan rombongannya sudah memutuskan untuk menyerbu lembah, mengapa mereka masih berada dimulut jalanan yang tiada dijaga musuh situ?

Menurut peta dari Jong Leng lojin, pada mulut jalanan itu tak terdapat alat-alat rahasia yang berbahaya. Karena alat-alat dan perkakas-perkakas rahasia itu kebanyakan dipasang dalam barisan Tujuh Maut.

Jika Iblis Penakluk-dunia tak mau bertempur mati-matian dengan rombongan Ceng Hi, terang mereka tentu akan mengundurkan diri ke barisan Tujuh Maut. Rupanya mereka hendak menggunakan alat-alat jebakan dan perkakas-perkakas maut untuk menghancurkan rombongan orang gagah.

Toh Hun-ki maju menghampiri untuk memperkenalkan tokoh-tokoh yang hadir disitu kepada Pendekar Laknat. Ternyata mereka kebanyakan pada duapuluh tahun yang lalu pernah melihat Pendekar Laknat.

Diam-diam mereka heran dan kagum atas perobahan tingkah laku Pendekar Laknat sekarang. Sungguh seperti langit dengan bumi beda Pendekar Laknat sekarang dengan duapuluh tahun yang lalu!

40. Jago Simpanan Lembah Maut

Agar penyamarannya tak diketahui, terpaksa Siau-liong bersikap sedapat mungkin untuk melayani mereka. Setelah itu cepat-cepat ia alihkan perhatian kesekeliling penjuru dan bertanya kepada Toh Hun-ki, “Iblis itu sudah mundur, mengapa kalian tak menyerbu ke dalam lembah?"

Toh Hun-ki menghela napas pelahan, sahutnya, “Jika hanya Iblis Penakluk-dunia dan anak buahnya, tentu mudah dihancurkan. Paling tidak tentu terulang seperti peristiwa duapuluh tahun yang lalu, yang mengusirnya dari wilayah Tiong-goan, tetapi tak kira ......”

Belum habis ia berkata, tiba-tiba dari dalam mulut jalanan, terdengar sebuah suitan panjang yang nyaring. Wajah Toh Hun-ki berobah seketika.

Ceng Hi totiang memberi isyarat dan berseru keras, “Iblis Penakluk-dunia menyerbu lagi, lekas mundur!”

Kemudian berpaling ke arah Pendekar Laknat, ujarnya: “Dalam pertempuran tadi, telah jatuh beberapa korban sahabat kita, menilik keadaan sekarang ini ....” tiba-tiba ia menarik Siau-liong terus diajak loncat ke ujung sebuah batu karang, katanya pula, “Menilik gelagatnya sekarang ini, Iblis Penakluk-dunia dapat menggunakan kedua durjana Harimau Iblis dan Naga Terkutuk serta Lam-hay Sin-ni....”

Gelombang teriak jeritan melengking disusul dengan bunyi kereta berderak-derak. Beberapa barisan wanita dan pria dan tiap barisan terdiri dari lima orang, muncul dari dalam mulut jalanan itu seraya berteriak-teriak. Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka duduk dalam kereta sambil tersenyum-senyum.

Kereta ditarik oleh kedua orang yang mukanya bertutupan kain hitam dan dikanan kiri kereta dikawal oleh barisan baju hitam. Tepat seperti yang dilihat Siau-liong ketika mereka mengadakan persiapan dalam hutan itu.

Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah segera membentuk diri dalam formasi seperti sebuah jaring. Bersiap kira-kira duapuluhan tombak jauhnya dari mulut jalanan itu.

Oleh karena pelengkapan alat-alat rahasia telah diledakkan hancur maka tanah disitu tinggi rendah tak menentu. Kereta Iblis Penakluk-dunia berhenti pada sebuah lekukan tanah.

Iblis Penakluk-dunia tertawa sinis lain berteriak nyaring, “Hai, Ceng Hi totiang! Apakah engkau sudah mempertimbangkan omonganku tadi?"

Ceng Hi totiang melangkah maju dan membentak, “Aku telah menerima permintaan dari para sahabat persilatan untuk memimpin gerakan ini. Selama engkau berdua durjana belum lenyap, dunia persilatan tentu takkan aman. Dalam keadaan seperti saat ini tiada lain pilihan lagi kecuali melanjutkan gerakan ini. Atau kalian mau menyadari kesalahan dan menyingkir jauh keluar perbatasan, gerakan ini akan segera kuhentikan! "

Iblis Penakluk-dunia tertawa mengejek, “Imam hidung kerbau, maut sudah di depan mata, mengapa engkau masih jual lagak bermulut besar!"

Iblis itu menutup kata-katanya dengan gerakkan tangan kiri memberi komando, “Serang!"

Kedua barisan baju hitam yang di belakang kereta segera maju. Salah seorang yang berada paling depan tanpa bicara apa-apa, terus menyerang Ceng Hi totiang. Gerakan orang itu luar biasa cepatnya. Pukulannya menghamburkan deru angin yang tajam sekali. Dan pukulan itu adalah ilmu pukulan sakti Merampas-jiwa-mengejar-nyawa.

Ceng Hi totiang tak berani ayal. Cepat ia menangkisnya. "Plak". terdengar letupan keras. Penyerang itu dan Ceng Hi totiang masing-masing menyurut mundur selangkah.

Kiranya baju hitam yang menyerang itu bukan lain adalah salah seorang dari Lima Durjana yang termasyhur, yakni si Harimau Iblis. Entah mengapa tokoh itu mau menjadi kaki tangan Iblis Penakluk-dunia!

Tanpa menunggu komando Ceng Hi totiang lagi, belasan orang gagah itu cepat loncat maju menghadang Harimau Iblis.

Serangan pertama tertahan. Harimau Iblis maju menyerang lagi. Kain penutup mukanya dari sutera tipis. Tertiup angin, dapatlah diketahui wajahnya yang agak aneh. Terutama sepasang matanya yang ketolol-tololan tetapi sepasang alisnya menampilkan nafsu pembunuhan yang menyala-nyala.

Memang Ceng Hi totiang sudah mengetahui perobahan wajah Harimau Iblis yang tidak wajar itu. Ia berputar diri menghindari pukulan Harimau Iblis.

Tetapi yang benar-benar mengejutkan orang adalah rombongan barisan baju hitam itu. Diantaranya terdapat juga It Hang totiang dan ketiga tokoh Kun-lun-sam-cu. Mereka mengikuti di belakang Harimau Iblis untuk menyerang Ceng Hi totiang.

Iblis Penakluk-dunia barbangkit dan tertawa nyaring. Tiba-tiba ia gerakkan tangan kanan memberi komando lagi, “Serang!"

Kembali barisan baju hitam yang lain, menyerbu ke luar, menerjang rombongan orang gagah.

Siau-liong diam-diam memperhatikan barisan baju hitam itu. Yang menjadi pemimpin ternyata si Naga Terkutuk dan anggautanya terdiri dari si Penebang-kayu dari Tiam-jong-san Shin Bu-seng, ketua Ji-tok-kau Tan It-hong, ketua Tong-thing-pang Cu Kong-leng bergelar Kipas-banci dan seorang yang tak diketahui.

Tokoh-tokoh yang hilang dalam Lembah Semi tempo hari ternyata kini menjadi kaki tangan Iblis-penakluk-dunia!

Karena pihak Iblis Penakluk-dunia mengeluarkan barisan baju hitam yang kedua, maka rombongan orang gagah yang mengepung diluar barisan pohon Bunga pun segera berhamburan keluar, menyongsong mereka. Seketika pecahlah pertempuran yang dahsyat.

Naga Terkutuk dan Harimau Iblis memang tak usah dilukiskan kesaktiannya. It Hang totiang, Kun-lun-sam-cu pun tergolong jago kelas satu dalam dunia persilatan. Karena pikiran mereka sudah tak normal lagi, mereka pun menyerang dengan sekehendak hati, mengeluarkan jurus-jurus kepandaiannya yang hebat. Maka dalam beberapa saat saja, dipihak rombongan orang gagah telah jatuh duapuluhan korban yang binasa.

Ceng Hi totiang menyadari keadaan itu. Cepat ia mengatur barisannya lagi. Dia bergerak kian kemari dalam pertempuran yang kacau balau itu. Dengan demikian dapatlah keadaan barisan orang gagah itu berkurang bahayanya.

Ceng Hi totiang memerintahkan belasan jago-jago silat untuk mengepung kedua durjana Harimau Iblis dan Naga Terkutuk. Dengan demikian walaupun kedua durjana itu berkaok-kaok seperti singa kelaparan tetapi untuk sementara ruang gerak mereka dapat dibatasi.

Yang meresahkan pikiran Ceng Hi totiang adalah tentang diri It Hang totiang dan beberapa tokoh lainnya. Jelas mereka sudah hilang kesadaran pikirannya. Rombongan orang gagah diperintahkan supaya hati-hati menghadapi mereka. Jangan sampai dibunuh, cukup kalau dikepung dan dapat ditawan hidup-hidup.

Tetapi sulitnya, mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Tinju dan tutukan jari mereka, hebatnya bukan alang kepalang. Untuk menangkap mereka, sukarnya melebihi menangkap seekor harimau buas.

Oleh karena terpancang oleh perintah itu, rombongan orang gagah menemui kesulitan juga. Bahkan ada beberapa yang terkena pukulan dan tutukan jari mereka.

Selama itu Siau-liong masih tetap berdiri di pinggir belum mau turun tangan. Ia sedang mencari akal untuk mengatasi kekacauan itu.

Setelah kekacauan pihak orang gagah dapat diredakan, longgarlah pikiran Ceng Hi totiang.

Tetapi ketika melihat It Hang lotiang dan Kun-lun Sam-cu masih belum dapat diatasi, mau tak mau Ceng Hi totiang gelisah juga hatinya. Ceng Hi totiang sudah kerahkan barisan ko-jiu (tokoh sakti) untuk mengepung kedua durjana Harimau Iblis dan Naga Terkutuk, tetapi ternyata kekuatannya pun hanya berimbang saja.

Demikian pun dengan barisan dari tokoh-tokoh kelas satu yang diperintahkan untuk menawan It Hang totiang dan Kun-lun Sam-cu, juga masih belum berhasil. Jika kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia itu menceburkan diri atau menyuruh kedua penarik kereta yang misterius itu turun tangan, bukankah akibatnya akan lebih menderita bagi pihak rombongan orang gagah?

Ceng Hi totiang kerutkan alis berpikir keras. Tiba-tiba ia memberi perintah secara rahasia agar rombongan yang mengepung diluar barisan pohon Bunga siapkan obat pasang dan bahan peledak. Setiap waktu, apabila perlu, akan diberi perintah lagi.

Setelah ketegangan mereda, barulah Siau-liong loncat turun kesamping Ceng Hi totiang, serunya: “Adakah totiang sudah mempunyai rencana yang lengkap untuk menghadapi keadaan saat ini?"

Ceng Hi totiang terkesiap, sahutnya, “Aku telah berusaha sekuat tenaga, berhasil atau gagal, tak dapat kupastikan. Terserah kepada Allah!"

Dari nada penyahutannya, jelas kalau Ceng Hi totiang bersikap dingin kepada Siau-liong. Kiranya memang sejak duapuluh tahun yang lalu, walau pun tak dipandang sejahat Iblis Penakluk-dunia dan isterinya, tetapi Ceng Hi totiang memang tak mempunyai kesan baik terhadap Pendekar Laknat.

Adalah karena keterangan Toh Hun-ki yang memuji-muji Pendekar Laknat sekarang ini, ditambah pula dengan kenyataan bahwa Pendekar Laknat yang sekarang ini memang telah menolong Ti Gong laysu, Toh Hun-ki dan rombongan To Kin-kong dari Lembah Maut.

Kemudian sikap Pendekar Laknat yang terang-terangan memusuhi kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia sehingga sampai bertempur dengan Lam-hay Sin-ni, makin menguatkan kepercayaan Ceng Hi totiang bahwa Pendekar Laknat yang sekarang ini benar sudah kembali ke jalan yang terang.

Tetapi kepercayaan itu goyah pula ketika Ceng Hi totiang sedang menyusun barisan, Siau-liong tiba-tiba lenyap dan kemunculannya pada saat itu pun tak ubah hanya sebagai penonton saja. Sama sekali tak mau ikut membantu.

Siau-liong menatap Ceng Hi totiang dan berkata dengan suara tandas: “Aku hendak menghaturkan sepatah kata, entah apakah totiang sudi mendengarkannya atau tidak?"

Sambil mengawasi jalannya pertempuran, tanpa berpaling menyahutlah Ceng Hi totiang: “Jika anda mempunyai saran. silahkan mengutarakan. Sudah tentu aku senang mendengarkannya!"

Melihat sikap orang yang acuh tak acuh, Siau-liong menghela napas, “Suami isteri Iblis Penakluk-dunia itu belum mengerahkan seluruh kekuatannya namun berpuluh-puluh orang gagah telah mengorbankan jiwanya. Andaikata kedua durjana itu benar-benar mengeluarkan seluruh kekuatannya untuk menempur, mungkin nasib dari beratus-ratus tokoh persilatan tentu akan ludas ditangan totiang!"

Mendengar itu serentak berpalinglah Ceng Hi totiang kepada Siau-liong. Ia menghela napas.

“Keadaan memang begitu, lalu bagaimana kita harus berdaya?"

Berkata Siau-liong “Menangkap maling harus membekuk benggolannya dulu! Jika tak dapat merencanakan siasat untuk meringkus suami isteri durjana itu tetapi hanya mengadu kekuatan secara begini saja, kita tentu akan menderita kekalahan!"

”Lalu apakah anda mempunyai saran yang baik?" tanya Ceng Hi totiang.

“Tak ada lain jalan kecuali menarik pulang barisan dulu dan mengatur rencana yang lebih sempurna lagi!" sahut Siau-liong.

Ceng Hi totiang terbeliak, “Adakah anda maksudkan supaya aku memimpin rombongan orang gagah meloloskan diri dari sini?"

Dengan nada serius Siau-liong menyahut, “Seorang kesatria harus mahir menggunakan kekuasaan dan pandai dalam menghadapi perobahan. Sekalipun menderita sedikit hinaan tetapi asal dapat membentuk dasar dari kemenangan. Kemenangan akhir tak mungkin orang akan mencela tindakan totiang karena hari ini telah menarik mundur barisan!"

Ceng Hi totiang kerutkan alis. Setelah beberapa kali mengeliarkan mata, ia menghela napas,

“Saat ini sudah ibarat orang naik dipunggung harimau. Beribu tokoh persilatan sedang menyala semangatnya. Setiap orang tak menghiraukan soal kehilangan jiwa. Sekalipun aku mempunyai kekuasaan untuk menarik mundur barisan tetapi dikuatirkan mereka tak mau tunduk pada perintah itu!"

Diam-diam Siau-liong mengakui kebenaran ucapan totiang itu. Maka terpaksa ia tak mau buka mulut lagi.

Saat itu kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka tetap duduk di atas kereta dan mengatasi kedua barisan baju hitam serta berpuluh-puluh anak buahnya pria dan wanita menempur barisan orang gagah. Iblis itu tak henti-hentinya tertawa.

Tetapi ketika menyaksikan Ceng Hi totiang dapat mengatasi kekalutan barisannya dengan memerintahkan belasan tokoh-tokoh sakti untuk mengepung kedua durjana Harimau Iblis, Naga Terkutuk, Iblis Penakluk-dunia mulai gelisah.

Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia itu tertawa dan bicara beberapa patah kata kepada Dewi Neraka lalu lontarkan segulung api.

Siau-liong terkejut dan cepat-cepat meneriaki Ceng Hi totiang, “Totiang, hati-hatilah, dengan tipu muslihat mereka! "

Memang Ceng Hi totiang sudah dapat menduga bahwa api pertandaan yang dilepas Iblis Penakluk-dunia itu tentu ada tujuannya. Maka ia tumpahkan perhatian untuk mengawasi perobahan yang akan terjadi dalam mulut jalanan.

Tetapi sampai beberapa lama belum juga tampak tanda-tanda timbulnya suatu perobahan apa-apa.

Selang sepeminum teh lamanya, tiba-tiba angin berhembus membawa bau yang harum. Bau harum itu bertebaran kemana-mana.

Siau-liong yang cepat dapat mencium bau harum itu, banting-banting kaki seraya menghela napas,

“Celaka! Angin ini mengandung bau harum. Tentulah anak buah Iblis Penakluk-dunia telah menghamburkan Racun penyesat pikiran! "

Buru-buru ia merogoh botol pil pemberian Poh Ceng-in yang tinggal separoh isinya. Hanya tinggal 8 butir saja. Setelah ia sendiri minum sebutir, sisanya lalu diberikan kepada Ceng Hi totiang, “Tolong, pil ini berkhasiat menawarkan hawa beracun. Sayang hanya tinggal sedikit!"

Setelah menerima, bermula Ceng Hi agak ragu-ragu tetapi akhirnya ia minum juga sebutir. Sisanya ia bagikan kepada beberapa tokoh yang sedang bertempur dengan Harimau Iblis dan Naga Terkutuk.

Bau harum makin lama makin keras dan seketika terjadilah perobahan dalam gelanggang pertempuran.

Barisan orang gagah itu mulai lemas. Kebalikannya Harimau Iblis, Naga Terkutuk dan rombongan It Hang totiang makin bersemangat. Serangan mereka makin dahsyat.

Kekuatan yang semula berimbang, saat itu berobah. Seketika terdengar jerit pekikan ngeri ketika Harimau Iblis, Naga Terkutuk dan rombongan It Hang totiang mengamuk. Mereka tak ubah seperti gerombolan harimau yang sedang mengganas kawanan anak kambing, Ketika di pihak barisan orang gagah makin bertambah menumpuk.

Untunglah karena barisan pohon Bunga itu sudah berobah menjadi sebuah lapangan yang luas maka angin pun meniup agak keras. Bau harum itu tak dapat berkerumun lama dan terus hanyut dibawa tiupan angin.

Melihat barisannya banyak yang berguguran, marah dan sedihlah Ceng Hi totiang. Dengan bersuit nyaring ia mencabut kebut pertapaan yang diselipkan di punggungnya lalu loncat melayang ke gelanggang pertempuran. Rupanya jago tua itu tak tahan lagi melihat banyak jago-jago persilatan yang menjadi korban.

Sampai saat itu Siau-liong tetap tak mau turun tangan. Ia hanya memandang lekat-lekat ke arah kedua orang berkerudung hitam yang menarik kereta Iblis Penakluk-dunia itu.

Iblis Penakluk-dunia tetap tertawa-tawa dengan congkaknya. Dalam suasana pertempuran yang berhias pekik jelitan ngeri dan gemerincing senjata beradu, suara ketawa iblis itu makin menusuk telinga orang.

Pada lain saat Dewi Neraka yang berdiri sambil mencekal tongkat Kepala naga itu, tiba-tiba membentak suaminya, “Tolol! Mengapa engkau hanya tertawa saja!"

Iblis Penakluk dunia hentikan tertawanya. Tiba-tiba ia menarik sebatang kendali lalu memukul punggung salah satu dari kedua orang yang menarik kereta itu.

Orang itu mengeluh pelahan lalu berpaling ke belakang dan bertanya kepada Iblis Penakluk-dunia,

“Apakah perintah Thian cun!"

Iblis Penakluk-dunia menunjuk dengan tangkai kendali ke arah Ceng Hi totiang, serunya, “Apakah engkau melihat imam tua yang memakai kebut pertapaan itu? Lekas tawan dia hidup-hidup!"

Orang berkerudung kain hitam itu mengiakan, lalu enjot tubuhnya melambung ke udara. Setelah mencapai ketinggian sepuluh-an tombak, ia segera menukik ke bawah. Dalam jurus Menyelam ke dalam laut-menangkap-naga, ia meluncur ke arah Ceng Hi totiang!

Semula Ceng Hi memang mencurahkan perhatian untuk mengawasi gerak gerik kedua orang kerudung hitam yang menarik kereta Iblis Penakluk-dunia itu. Tetapi karena suasana saat itu makin genting, terpaksa ia tak dapat bersabar lebih lama lalu terjun kegelanggang pertempuran.

Memang tak kecewalah Ceng Hi totiang diangkat sebagai pemimpin dari barisan orang gagah. Hanya dalam beberapa gebrak saja, ia sudah dapat menolong keadaan dari belasan orang gagah yang sedang terdesak oleh kedua durjana Harimau Iblis dan Naga Terkutuk. Gerakan kebut pertapaan totiang itu hampir saja berhasil merobohkan kedua durjana itu.

Ceng Hi totiang terkejut ketika melihat orang berkerudung muka itu menukik hendak menyerang dirinya. Cepat ia tinggalkan kedua durjana. Sebelum orang berkerudung itu meluncur ke tanah, ia mendahului menyerangnya.

Orang berkerudung itu menggembor keras. Sepasang tangannya yang bersikap hendak mencengkeram tadi tiba-tiba diganti menjadi gerak tamparan.

"Plak".... terdengar letupan keras. Ceng Hi totiang terpental sampai lima enam langkah ke belakang. Darahnya bergolak-golak dan dengan susah payah barulah ia dapat menjaga keseimbangan tubuhnya jangan sampai rubuh.

Kebalikannya orang berkerudung muka itu enak-enak saja meneruskan peluncurannya ke tanah. Secepat kilat ia gerakkan kedua tangannya untuk menampar. Seketika terdengarlah jeritan ngeri dan tiga imam dari Kun-lun pay yang berada didekatnya pecah tulangnya dan mati seketika!

Gerakan menukik dari udara yang luar biasa dan sekali pukul dapat melemparkan Ceng Hi totiang serta membinasakan tiga tokoh Kun-lun-pay, benar-benar membuat sekalian orang menjerit kaget.

Setelah mengambil napas beberapa saat, Ceng Hi totiang maju menyerang lagi.

Dia seorang jago tua yang banyak pengalaman dan luas pengetahuan, sekali pun orang itu seluruh mukanya ditutup kain hitam, tetapi ia dapat mengetahui dari pukulannya tadi bahwa orang itu bukan lain adalah tokoh yang sudah menghilang selama berpuluh tahun yakni Jong Leng lojin, pemilik ilmu tenaga sakti Jit-hoa-sin-kang.

Sekalipun menyadari bahwa ia bukan lawan orang tua itu, tetapi ia tahu bahwa kecuali dirinya, tiada seorang pun yang mampu menghadapi orang tua itu. Sekalipun dengan keroyokan, juga sia-sia saja.

Mulut Jong Leng lojin mendesis-desis mengeluarkan suara aneh. Sepasang matanya yang tampak dari dua buah lubang, berkeliaran kian kemari. lalu memandang lekat ke arah Ceng Hi totiang.

Tiba-tiba ia tebarkan kedua tangannya dalam sikap hendak mencengkeram lalu selangkah demi selangkah maju menghampiri ......

Gulungan asap harum sebentar menguap sebentar hilang. Barisan orang gagah makin lemas.

Kebalikannya Harimau lblis dan Naga Terkutuk makin mengganas. Segera terdengar jerit pekikan ngeri dan korban pun makin lama makin banyak.

Jong Leng lojin walaupun ditahan oleh Ceng Hi totiang. Tetapi jelas takkan dapat bertahan lama. Paling banyak dalam tiga jurus Ceng Hi totiang tentu akan kalah.

Saat itu keadaan sudah jelas. Ceng Hi totiang terang tak kuat berhadapan dengan Jong Leng lojin. Dan Iblis Penakluk-dunia masih mempunyai seorang jago lagi yang belum diajukan, yakni orang baju hitam dan berkerudung muka yang menarik kereta itu.

Menyaksikan keadaan rombongan orang gagah yang sudah makin payah dan korban-korban yang berjatuhan tak terhitung banyaknya, Ceng hi totiang mengalirkan air mata ......

Jong Leng lojin makin maju mendekati. Kedua tangannya lurus dilempangkan ke muka. Sekali pun tiada seorangpun yang tahu ilmu apa yang akan dilakukan orang tua itu, tetapi diam-diam mereka mengucurkan keringat dingin karena mencemaskan nasib Ceng Hi totiang.

Ceng Hi totiang pun segera bersiap. Sepasang tinju digenggamnya erat-erat dan disaluri dengan sembilan bagian tenaga-dalam.

Diam-diam teringatlah Ceng Hi totiang akan kata-kata Pendekar Laknat Siau-liong tadi ......

“Hidup matinya dunia persilatan terletak di tangan totiang....”

Ceng Hi totiang berpaling. Dilihatnya Pendekar Laknat Siau-liong masih tegak berdiri di tempatnya. Rupanya tengah merenung sehingga tak mengacuhkan keadaan di sekelilingnya .....

Ceng Hi totiang menghela napas lalu kerahkan seluruh semangat dan pikiran untuk menyambut serangan Jong Leng lojin.

Rupanya Jong Leng lojin kuatir kalau Ceng Hi totiang akan meloloskan diri. Maka sengaja ia berjalan lambat-lambat sambil mengawasi gerak gerik imam itu. Setelah kira-kira dua langkah di muka Ceng Hi totiang, dengan tiba-tiba Jong Leng lojin menguak keras dan secepat kilat kedua tangannya mencengkeram bahu Ceng Hi.

Dalam kalangan partai-partai persilatan dewasa itu, Ceng Hi totiang merupakan satu-satunya tokoh angkatan tua yang masih tertinggal. Saat itu ia susupkan kebut pertapaan kebahunya lagi lalu gerakkan kedua tangannya untuk menghantam dada dan perut Jong Leng lojin.

Gerakan Ceng Hi itu benar-benar suatu gerakan yang amat berbahaya. Karena ia menyadari bahwa cengkeraman Jong Leng itu merupakan salah sebuah jurus istimewa dari ilmu sakti Jit-hoa-sin-kang. Kecuali tokoh yang kepandaiannya setingkat dengan dia, jangan harap lain orang mampu menghindari.

Ceng Hi menyadari hal itu. Ia merasa jauh kalah sakti dengan orang tua itu. Maka ia memutuskan untuk melakukan serangan yang nekad. Biarlah dua-duanya sama terluka!

Tetapi ternyata Jong Leng tak mau lanjutkan cengkeramannya. Cepat ia robah sasarannya, menyambar lengan Ceng Hi. Cepat dan tak terduga sama sekali gerakan itu sehingga Ceng Hi tak mampu menghindar lagi.

Seketika ia rasakan kedua lengannya tercengkeram oleh dua buah jepitan besi. Ceng Hi kerahkan seluruh tenaga dalam untuk meronta. Tetapi tetap tak berhasil. Bahkan tenaga dalamnya itu berbalik mendampar ke dalam tubuhnya.

"Huak".... Ceng Hi totiang muntah darah.

Sepasang lengannya terasa kesemutan dan seketika hilanglah daya perlawanannya.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar