Pendekar Hina Kelana Jilid 86-90

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 86-90 Begitu membuka mata dan tidak melihat adanya biksu besi lagi, Dewa Akar Persik segera membual, “Sungguh lihai biksu besi tadi. Tapi semuanya dapat dihancurkan oleh Enam Dewa Lembah Persik.”
Begitu membuka mata dan tidak melihat adanya biksu besi lagi, Dewa Akar Persik segera membual, “Sungguh lihai biksu besi tadi. Tapi semuanya dapat dihancurkan oleh Enam Dewa Lembah Persik.”

Dewa Bunga Persik lebih tahu diri dan berkata, “Tuan Muda Linghu juga berjasa, tapi jasa kami enam bersaudara lebih besar.”

Dengan menahan rasa sakit di bahunya Linghu Chong berkata sambil tertawa, “Tentu saja. Siapa yang mampu menandingi Enam Dewa Lembah Persik?”

“Sebenarnya apa yang terjadi, Tuan Muda Linghu?” tanya Zu Qianqiu.

Dengan ringkas Linghu Chong menuturkan pengalamannya tadi, kemudian berpendapat, “Kemungkinan besar Gadis Suci terkurung di dalam situ. Kita harus mencari akal untuk memusnahkan kawanan patung biksu besi penjaga lorong ini.”

Zu Qianqiu melirik sekejap ke arah Enam Dewa Lembah Persik, lalu berkata, “Ternyata biksu-biksu besi itu belum dihancurkan.”

“Apa sulitnya untuk menghancurkan biksu-biksu mati itu? Hanya saja, sementara ini kami sedang tidak ingin,” sahut Dewa Dahan Persik.

“Benar, kemana pun kami berenam pergi, sehebat apa pun musuh bisa kami kalahkan,” tukas Dewa Buah Persik mendukung saudaranya.

“Entah bagaimana cara bekerja biksu-biksu besi itu, harap Enam Dewa Lembah Persik maju lagi untuk memancing serangannya, biar kami bisa menyaksikan,” kata Ji Wushi.

Tapi Enam Dewa Lembah Persik rupanya sudah jera, tentu tidak mau disuruh merasakan pukulan tongkat baja lagi. Dewa Dahan Persik lantas berkata kepada Ji Wushi dan yang lain, “Hei, melihat kucing makan tikus adalah biasa. Tapi kalau tikus makan kucing apa ada yang pernah melihat?”

“Baru saja kami bertujuh menyaksikan tikus makan kucing, sungguh luar biasa!” sambung Dewa Daun Persik.

Ternyata Enam Dewa Lembah Persik masih mempunyai suatu kepandaian simpanan, yaitu apabila terdesak dan tidak bisa menjawab pertanyaan, mereka lantas membelokkan pokok pembicaraan ke hal-hal lain.

Linghu Chong berkata, “Adakah yang bersedia mengambilkan beberapa bongkah batu besar?”

Segera tiga orang berlari keluar dan kemudian kembali dengan masing-masing membawa sepotong batu besar, masing-masing paling tidak seberat seratus kati. Batu-batu besar yang mereka ambil itu berasal dari bebatuan karang penghias taman dalam biara.

Linghu Chong lantas mengangkat sepotong batu besar itu lalu menggelindingkannya ke dalam lorong. Terdengarlah suara bergemuruh yang diikuti suara berderit-derit. Batu besar itu telah menyentuh alat rahasia di lantai, sehingga biksu-biksu besi yang bersembunyi di lekukan dinding lantas bergerak kembali. Di bawah sinar obor, bayangan tongkat baja yang bersambaran dengan kencang pun terlihat oleh mereka. Selang agak lama kemudian barulah biksu-biksu besi itu menyelinap kembali ke dalam dinding.

Semua orang tercengang menyaksikan peristiwa ajaib tersebut.

Ji Wushi lalu berkata, “Ketua Linghu, biksu-biksu besi itu digerakkan oleh semacam mesin. Tenaganya sangat kuat, tentu mereka digerakkan oleh semacam roda berpegas yang dililit rantai besi dan diputar kencang. Bagaimana kalau kita gelindingkan batu lebih banyak sampai tenaga pegasnya habis, sehingga biksu-biksu besi itu tidak akan bergerak lagi.”

Linghu Chong yang ingin lekas-lekas menolong Ren Yingying segera berkata, “Gerakan tongkat patung-patung besi itu sedikit pun tidak menjadi kendur. Entah berapa lama mereka bisa bergerak sampai habis tenaga pegasnya. Kalau kita menggelindingkan batu tujuh atau delapan kali, bisa-bisa kita harus menunggu sampai besok pagi. Begini saja, kalau ada di antara kawan-kawan yang membawa senjata pusaka, mohon pinjamkan sebentar kepadaku.”

Seseorang pun maju ke depan dan menyodorkan goloknya, “Ketua, senjataku ini cukup tajam.”

Linghu Chong melihat orang itu memiliki hidung mancung dan janggut berwarna agak pirang. Sepertinya ia berasal dari Daerah Barat. Benar juga, begitu menerima golok tersebut, Linghu Chong merasakan hawa dingin yang cukup kuat. Sungguh luar biasa.

“Terima kasih banyak. Golok pusaka milik Saudara ini akan kugunakan untuk memotong tongkat-tongkat baja milik biksu-biksu besi itu. Tolong jangan salahkan aku kalau sampai golok ini rusak,” kata Linghu Chong.

Si pemilik golok menjawab, “Demi Gadis Suci aku tidak keberatan jika harus berkorban nyawa. Golok ini hanya benda biasa. Tidak terlalu berharga.”

Linghu Chong mengangguk dan kembali melangkah memasuki lorong. Enam Dewa Lembah Persik serentak berseru, “Hati-hati!”

Ketika Linghu Chong berjalan, mendadak sebuah tongkat menghantam dari atas. Jurus serangan ini sudah tiga kali dilihatnya, sehingga tanpa pikir panjang ia pun mengayunkan golok pusaka tadi. Kontan pergelangan tangan patung biksu itu tertebas kutung bersama tongkatnya jatuh ke lantai.

“Golok bagus!” puji Linghu Chong. Semula ia khawatir golok pinjaman itu kurang tajam. Namun setelah melihat kekuatan dan ketajaman golok itu yang bisa memotong tongkat baja seperti lumpur membuat semangatnya bangkit kembali. Dengan dua kali mengayunkan golok, kembali ia membuntungi pergelangan tangan dua biksu besi yang menyerang.

Dengan memainkan Ilmu Sembilan Pedang Dugu, Linghu Chong terus-menerus mengayunkan golok di tangannya. Dari kedua sisi dinding biksu-biksu besi kembali bermunculan dan menyerang berturut-turut. Tapi semua pergelangan mereka langsung putus dibabat golok. Meskipun patung-patung itu tetap bergerak-gerak karena dikendalikan mesin rahasia, namun tanpa tongkat di tangan jelas kini tidak membahayakan lagi.

Semakin maju ke depan, jurus serangan biksu-biksu besi yang bermunculan pun semakin lihai. Dalam hati Linghu Chong sangat kagum. Namun bagaimanapun juga mereka hanyalah patung mati yang dikendalikan mesin. Begitu bergerak, celah kelemahan jurus serangan mereka pun dapat terbaca oleh Linghu Chong dan sekejap kemudian satu per satu tongkat pemukul kembali berjatuhan di lantai.

Kawan-kawan yang lain mengikuti Linghu Chong sambil mengangkat obor sebagai penerangan. Setelah ratusan tangan biksu besi terpotong, pada dinding-dinding batu itu tidak lagi muncul patung yang lain. Ada seorang yang coba menghitung, ternyata biksu-biksu besi itu seluruhnya berjumlah seratus delapan buah. Maka para pendekar di lorong itu pun bersorak-sorai sampai suara mereka membuat telinga berdengung.

Karena ingin lekas-lekas menemukan Ren Yingying, Linghu Chong pun meminta sebuah obor dan mendahului berjalan di depan. Jalanan itu terus menurun ke bawah dan makin lama makin rendah, namun tidak terdapat perangkap-perangkap lagi. Setelah tiga kilo lebih menyusuri lorong bawah tanah itu mereka pun menembus beberapa gua alam. Tiba-tiba di depan tampak cahaya remang-remang. Linghu Chong mempercepat langkahnya. Ketika sebelah kakinya menginjak tanah yang lunak, ia baru sadar ternyata sudah berada di atas lapisan salju. Bersamaan itu hawa dingin terasa merasuk menyegarkan dada. Rupanya sekarang ia sudah berada di tempat yang terbuka.

Ia memandang ke sekeliling. Suasana sunyi hening di tengah gelapnya malam. Bunga salju masih berhamburan dan terdengar pula suara gemercik air. Rupanya tempat itu terletak di tepi sebuah sungai. Sejenak Linghu Chong merasa sangat kecewa karena lorong bawah tanah tersebut tidak menembus ke tempat Ren Yingying ditahan.

Tiba-tiba terdengar Ji Wushi berkata lirih di belakangnya, “Teruskan pesan ini kepada kawan-kawan agar jangan bersuara. Kemungkinan besar kita sudah berada di kaki gunung.”

“Apakah kita sudah lolos dari kepungan musuh?” tanya Linghu Chong.

Ji Wushi menjawab, “Ketua Linghu, pada musim dingin seperti ini, mata air di atas gunung sudah membeku, tidak mungkin terdapat aliran air. Tampaknya dengan menelusuri lorong bawah tanah tadi kita sekarang sudah berada di kaki gunung.”

“Benar,” tukas Zu Qianqiu. “Secara tidak sengaja kita telah menemukan lorong rahasia Biara Shaolin yang menembus ke sini.”

Linghu Chong terkejut bercampur gembira. Setelah mengembalikan golok pusaka kepada pemiliknya, ia berkata, “Jika demikian, lekas suruh semua kawan keluar kemari melalui lorong rahasia ini.”

Ji Wushi segera meneruskan perintah itu. Ia mengirim beberapa orang untuk menyelidiki jalan sekitar, dan menugasi beberapa puluh orang untuk menjaga ujung lorong rahasia agar tidak diserang musuh. Jika pihak musuh sampai menyumbat ujung lorong tersebut, maka kawan-kawan lain yang belum keluar bisa-bisa terjebak di dalam.

Tidak lama kemudian mereka yang bertugas menyelidiki pun kembali dengan menyampaikan laporan bahwa tempat itu memang benar-benar kaki Gunung Shaoshi bagian belakang. Ketika mendongak mereka dapat melihat bangunan Biara Shaolin di atas gunung. Karena banyak kawan yang belum keluar, maka semua orang tidak berani bersuara keras.

Sementara itu, orang-orang yang keluar dari lorong rahasia itu semakin banyak. Menyusul kemudian para pendekar yang terluka dan yang sudah mati juga digotong keluar. Kawanan itu telah lolos dari ancaman maut, namun tetap tidak berani bersorak-sorak. Mereka hanya berbisik-bisik senang dengan wajah berseri-seri.

Si Beruang Hitam berkata, “Ketua Linghu, kawanan domba itu mengira kita masih terkurung di atas sana. Bagaimana kalau sekarang kita gempur mereka dari belakang? Kita potong saja ekor kaum keparat itu untuk melampiaskan rasa benci kita!”

Dewa Dahan Persik menyela, “Domba memang punya ekor. Tapi apakah kaum keparat itu juga punya ekor?”

Akan tetapi, Linghu Chong terlihat tidak setuju dan menjawab, “Tujuan kita ke sini adalah untuk menolong Gadis Suci. Karena kita belum menemukan Beliau, maka kita harus terus mencari dan tidak perlu ada korban lebih banyak lagi.”

“Hm, baiklah,” ujar Beruang Putih. “Tapi aku tetap ingin menangkap beberapa domba itu. Tak peduli mereka punya ekor atau tidak, aku ingin memakannya. Kalau tidak, mereka akan terus-menerus menggertak kita.”

Linghu Chong melanjutkan, “Harap Saudara-Saudara meneruskan perintah agar kita segera berpencar. Bila bertemu orang-orang aliran lurus sebaiknya menghindari pertarungan. Apabila ada yang mendapat kabar tentang Gadis Suci harus segera menyebarluaskannya dengan cepat. Selama Linghu Chong masih bernapas, bagaimanapun sukar dan bahaya akan tetap berusaha menyelamatkan Gadis Suci. Apakah semua kawan kita sudah keluar dari biara?”

Ji Wushi mendekati ujung lorong rahasia dan berteriak-teriak beberapa kali ke dalam, namun tidak terdengar jawaban seorang pun. Ia lantas melapor bahwa semua anggota kawanan sudah keluar.

Tiba-tiba timbul pikiran usil Linghu Chong yang kekanak-kanakan. Ia pun berkata, “Ayo kita berteriak tiga kali agar orang-orang di atas itu terkejut dan ketakutan!”

“Haha, bagus!” seru Zu Qianqiu tertawa. “Mari kita beramai-ramai mengikuti Ketua berteriak!”

Linghu Chong pun mengerahkan tenaga dalam dan berteriak, “Hei, kami sudah berada di bawah gunung!”

Ribuan pengikutnya serentak ikut berteriak, “Hei, kami sudah berada di bawah gunung!”

Lalu Linghu Chong berteriak lagi, “Silakan kalian makan salju di atas gunung!”

Ribuan pengikutnya ikut berteriak, “Silakan kalian makan salju di atas gunung!

Terakhir ia berteriak, “Gunung yang hijau takkan berubah, sungai akan selalu mengalir jauh. Selamat tinggal, sampai jumpa!”

“Gunung yang hijau takkan berubah, sungai akan selalu mengalir jauh. Selamat tinggal, sampai jumpa!” kata para pengikutnya lagi.

“Mari kita pergi!” kata Linghu Chong dengan tertawa.

Tiba-tiba beberapa orang masih saja berteriak, “Kalian kawanan anjing, anak bulus, pulang sana ke nenekmu!”

Serentak ribuan yang lain menirukan teriakan itu, “Kalian kawanan anjing, anak bulus, pulang sana ke nenekmu!” Makian kasar tersebut diucapkan oleh ribuan orang dengan suara sekeras-kerasnya, membuat gunung dan lembah serasa berguncang. Sungguh peristiwa yang jarang terjadi sebelumnya.

“Sudahlah, tidak perlu berteriak lagi, mari kita pergi!” seru Linghu Chong.

Namun orang-orang itu terlalu bergembira dan berteriak, “Sudahlah, tidak perlu berteriak lagi, mari kita pergi!”

Setelah teriakan-teriakan itu berakhir, ternyata tidak terjadi reaksi apa pun dari atas gunung. Sementara itu fajar telah tiba. Langit mulai terang sedikit demi sedikit. Salju masih turun dengan lebatnya. Saat itu beberapa kelompok sudah mulai berpencar pergi.

Linghu Chong berpikir sekarang ini urusan yang paling penting adalah menemukan Ren Yingying, serta menyelidiki siapa yang telah membunuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi. Ia sendiri tidak tahu ke mana harus pergi melaksanakan kedua tugas tersebut.

Tiba-tiba suatu pikiran terlintas dalam benaknya, “Bila biksu-biksu Shaolin dan orang-orang aliran lurus itu mengetahui bahwa kami sudah lolos, tentu mereka akan kembali ke biara. Bisa jadi Yingying pun berada di tengah mereka. Untuk menyelesaikan dua masalah tadi rasanya aku harus kembali ke sana. Untuk menyelinap, semakin sedikit orang akan semakin lebih baik. Sebaiknya aku lakukan sendiri saja.”

Begitulah, ia lantas berkata kepada Ji Wushi, Lao Touzi, Zu Qianqiu, Lan Fenghuang, Huang Boliu, dan yang lain, “Semuanya telah bekerja keras. Kita akan bertemu lagi dan berpesta arak setelah menemukan Gadis Suci.”

“Tuan Muda Linghu hendak pergi ke mana?” tanya Ji Wushi.

“Aku ingin mempertaruhkan nyawa demi menolong Gadis Suci. Untuk saat ini aku belum bisa mengatakannya. Kelak tentu kalian akan kuberi tahu,” jawab Linghu Chong.

Semua orang tidak berani banyak bicara lagi. Terpaksa mereka hanya memberi hormat dan mohon diri.

Linghu Chong pun masuk ke dalam hutan lebat, lalu melompat ke atas sebuah pohon agar tidak meninggalkan jejak di tanah bersalju. Ia bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan untuk sekian lama, sampai suara kawanan orang-orang tadi semakin berkurang dan akhirnya sunyi senyap. Setelah yakin kalau semua orang telah jauh pergi, perlahan-lahan ia pun berjalan kembali menuju mulut lorong rahasia tadi. Mulut lorong itu terhalang oleh dua bongkah batu besar dan tertutup semak belukar yang cukup tinggi pula. Meskipun ada orang lewat dekat situ juga tidak akan mengetahui kalau terdapat sebuah lorong rahasia menuju Biara Shaolin.

Linghu Chong bergegas menyusuri lorong rahasia tersebut dengan langkah cepat dan ia pun kembali ke ruangan patung Boddhidharma tadi. Sayup-sayup ia mendengar suara orang bercakap-cakap di ruang depan. Perlahan-lahan ia pun menggeser patung itu kembali ke tempat semula menutupi mulut lorong rahasia. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Aku harus bersembunyi di mana agar dapat mendengarkan percakapan para pemimpin aliran lurus itu? Aih, di dalam Biara Shaolin ini banyak terdapat ruangan, entah di mana mereka akan berkumpul?”

Tiba-tiba teringat olehnya pernah diajak Biksu Fangsheng memasuki kamar samadi Mahabiksu Fangzheng. Samar-samar ia masih ingat di mana letak kamar tersebut. Segera ia pun berlari menuju ke sana. Akan tetapi, ruangan dan kamar di Biara Shaolin terlalu banyak jumlahnya. Kamar samadi Sang Kepala Biara tentu saja sangat sulit ditemukan meskipun ia berlari-lari mencarinya untuk sekian lama.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki beberapa orang sedang menuju ke arahnya. Waktu itu Linghu Chong berada di suatu ruangan di samping aula. Ia bingung mencari tempat yang cocok untuk bersembunyi. Terlihat olehnya sebuah papan nama besar bertuliskan kata “Alam Pencerahan” yang terpasang di atas ruangan. Maka, ia pun melompat dan hinggap di balik papan nama tersebut untuk kemudian mendekam di sana.

Suara langkah orang-orang itu terdengar semakin dekat. Tidak lama kemudian masuklah tujuh atau delapan orang ke dalam gedung. Seseorang di antaranya berkata, “Kawanan iblis itu benar-benar lihai. Kita telah mengepung pegunungan ini dengan rapat bagaikan pagar betis, tapi tetap saja mereka bisa lolos.”

Seseorang menanggapi, “Agaknya di sini terdapat jalan rahasia yang menembus ke kaki gunung. Kalau tidak, bagaimana mereka bisa kabur?”

“Kurasa tidak ada jalan rahasia apa pun di biara ini,” ujar seorang lagi. “Sudah puluhan tahun aku tinggal di sini, tapi belum pernah kudengar adanya jalan rahasia segala yang menembus ke kaki gunung.”

“Namanya juga jalan rahasia, sudah pasti tidak dapat diketahui setiap orang,” kata orang pertama.

Dari percakapan itu Linghu Chong dapat menduga kalau yang datang adalah biksu Shaolin dan para pendekar perguruan lain yang diundang membantu.

Terdengar biksu tadi berkata, “Bisa jadi aku memang tidak tahu. Tapi mana mungkin kepala biara kami juga tidak tahu? Kalau jalan rahasia itu memang benar-benar ada, mengapa kepala biara kami tidak menempatkan orang untuk menjaganya?”

Pada saat itulah tiba-tiba seseorang di antara mereka berteriak, “Hei, siapa di situ? Keluar kau!”

Linghu Chong sangat terkejut mendengarnya. Ia pun berpikir, “Apakah mereka mengetahui keberadaanku?” Baru saja ia hendak melompat turun, tiba-tiba dari balik papan nama di sebelah timur berkumandang suara gelak tawa seseorang, “Hahahaha, aku si tua ini sungguh ceroboh telah menjatuhkan beberapa butir debu sehingga kalian lantas mengetahui persembunyianku. Hm, tajam juga penglihatan kalian!”

Linghu Chong sangat terkejut begitu mengetahui ada orang lain yang juga bersembunyi di tempat itu. Mendengar suara orang tua yang lantang dan jelas tadi, ia merasa sangat gembira karena itu adalah suara Xiang Wentian.

“Ternyata Kakak Xiang sudah lebih dulu bersembunyi di sini. Sungguh hebat caranya menahan napas. Sejak tadi aku mendekam di sini sama sekali tidak mengetahui keberadaannya. Kalau saja bukan karena debu yang jatuh tadi tentu orang-orang di bawah itu juga tidak akan tahu,” pikir Linghu Chong.

Tiba-tiba terdengar suara berdetak dari arah kanan dan kiri papan nama sisi timur tersebut. Menyusul kemudian terdengar suara dua orang melompat turun. Mereka disambut suara teriakan tiga orang di bawah tadi, “Kau …”, “Siapa itu …”, Apa …”. Hanya kata-kata itu yang sempat mereka ucapkan sebelum kemudian diam untuk selamanya. Tanpa terasa Linghu Chong melongok ke bawah. Terlihat olehnya dua sosok bayangan berkelebat ke sana kemari. Salah satunya jelas Xiang Wentian, sementara seorang lagi bertubuh tinggi besar. Linghu Chong mengenali orang itu yang tidak lain adalah Ren Woxing, ketua Sekte Iblis terdahulu.

Gerak serangan kedua orang itu nyaris tidak bersuara, tapi setiap pukulan mereka selalu diikuti dengan robohnya seorang lawan. Hanya sekejap saja delapan orang di ruangan itu sudah berjatuhan. Lima di antaranya tengkurap, sementara tiga lainnya telentang dengan mata melotot menyeramkan. Masing-masing telah mati dalam sekali pukul di tangan Xiang Wentian dan Ren Woxing.

Ren Woxing kemudian melambaikan tangannya sambil berkata, “Ying’er, turunlah!”

Dari papan nama sebelah timur tadi lantas melayang turun sosok seorang perempuan dengan gerakan lemah gemulai. Perempuan tersebut tidak lain adalah Ren Yingying, yang selama beberapa hari ini dicari Linghu Chong dengan susah payah.

Linghu Chong merasa kepalanya pusing dan jantungnya berdebar melihat Ren Yingying memakai baju kusut, dengan wajah terlihat agak pucat. Baru saja ia bermaksud melompat turun untuk menemui mereka bertiga, tiba-tiba Ren Woxing berpaling ke arahnya dan menggoyangkan tangan. Melihat itu, Linghu Chong pun berkata dalam hati, “Mereka lebih dulu bersembunyi di sini, sudah tentu mengetahui keberadaanku. Tapi, mengapa Tuan Ren melarang aku turun?”

Sekejap kemudian ia langsung paham apa maksud Ren Woxing tersebut. Terlihat olehnya beberapa orang berlari masuk ruangan tersebut melalui pintu depan. Sekilas ia melihat guru dan ibu-gurunya dalam rombongan tersebut beserta Kepala Biara Shaolin, yaitu Mahabiksu Fangzheng, serta tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Kedatangan mereka membuatnya tidak berani mengintip lagi. Segera ia kembali bersembunyi di balik papan kayu dengan hati berdebar-debar. “Yingying dan yang lain berada dalam kepungan musuh. Meskipun … badanku hancur lebur, aku harus bisa menyelamatkan Yingying,” demikian ia berpikir.

“Amitabha,” terdengar Mahabiksu Fangzheng bersuara. “Tuan dan Nona bertiga yang mulia ini sungguh memiliki pukulan luar biasa. Eh, Nona yang budiman sudah pergi dari Biara Shaolin, mengapa sekarang kembali lagi? Hm, Tuan-tuan yang mulia ini pasti dua sesepuh dari Tebing Kayu Hitam. Mohon maaf kalau saya tidak mengenal nama Tuan berdua.”

Xiang Wentian menjawab, “Beliau ini adalah Ketua Ren dari Sekte Matahari dan Bulan. Sedangkan aku bernama Xiang Wentian.”

“Oh!” seru orang-orang yang baru datang itu. Maklum saja, Ren Woxing dan Xiang Wentian meskipun memiliki nama besar, namun mereka sudah lama menghilang dari dunia persilatan sehingga wajah mereka kurang dikenal oleh Mahabiksu Fangzheng dan yang lainnya.

“Ternyata Ketua Ren dan Pelindung Kanan Xiang sudi berkunjung kemari,” ujar Fangzheng ramah. “Saya sudah lama mendengar nama besar Tuan berdua. Sekarang saya sungguh merasa sangat beruntung atas kunjungan ini. Entah petunjuk apa yang hendak Tuan berdua ajarkan kepada kami?”

Ren Woxing menjawab dengan lagak tua, “Sudah lama aku tidak berkecimpung di dunia ramai, sehingga banyak tokoh-tokoh angkatan baru yang tidak kukenal. Entah siapa saja nama sobat-sobat cilik ini?”

“Jika demikian izinkan saya memperkenalkan mereka kepada Tuan berdua,” ujar Mahabiksu Fangzheng. “Yang ini adakah Ketua Perguruan Wudang, bernama Pendeta Chongxu.”

Sejenak kemudian terdengar suara serak seorang tua berkata, “Bicara tentang umur bisa jadi aku beberapa tahun lebih tua daripada Tuan Ren. Tapi sewaktu menjabat sebagai Ketua Perguruan Wudang, saat itu Tuan Ren sudah mengasingkan diri. Sebutan ‘angkatan baru’ memang pantas bagiku. Tapi istilah ‘tokoh’ sama sekali aku tidak berani menerimanya. Hahaha!”

Linghu Chong merasa mengenali suara Ketua Perguruan Wudang tersebut. Tiba-tiba pikirannya tergerak, “Aih, ternyata dia adalah si kakek penunggang keledai yang diiringi dua petani itu! Orang tua yang menghadang kami di kaki Gunung Wudang itu ternyata Pendeta Chongxu.”

Seketika timbul rasa bangga di dalam hatinya. Keringat pun mengalir di tangan. Maklum saja, nama besar Perguruan Wudang sejajar dengan Perguruan Shaolin. Keduanya adalah perguruan nomor satu di dunia persilatan. Yang satu memiliki ilmu silat lembut, yang satu lagi memiliki ilmu silat keras, dan masing-masing memiliki keistimewaan tersendiri. Pendeta Chongxu juga terkenal memiliki ilmu pedang luar biasa yang tiada bandingannya. Begitu mengetahui kalau kakek tua yang telah dikalahkannya secara tak terduga di kaki Gunung Wudang beberapa hari lalu adalah Pendeta Chongxu, seketika Linghu Chong pun merasa sangat senang tak terbayangkan.

Terdengar Ren Woxing berkata, “Yang ini pasti Ketua Zuo. Dulu kami pernah bertemu. Bagaimana kabar ilmu andalanmu, Tapak Sakti Songyang? Pasti semakin hebat, bukan?”

Linghu Chong kembali terkesiap, “Ternyata Paman Guru Zuo, Ketua Perguruan Songshan juga hadir di sini.”

Kemudian terdengar seorang pria menjawab dengan suara halus tapi tegas, “Kabarnya Tuan Ren terkurung oleh anak buah sendiri dan menghilang selama beberapa tahun. Sekarang sudah muncul kembali di dunia persilatan, sungguh sangat menggembirakan dan harus diberi selamat. Tentang jurus Tapak Songyang sudah belasan tahun tidak kupakai. Jangan-jangan aku sudah banyak yang lupa.”

“Wah, jika begitu dunia persilatan pasti sangat sepi,” kata Ren Woxing dengan tertawa. “Begitu aku menghilang lantas tidak ada orang yang dapat mengadu tenaga dengan Saudara Zuo. Sungguh sayang, sungguh sayang.”

Zuo Lengchan menjawab, “Di dunia persilatan ini orang-orang yang berkepandaian seperti Tuan Ren sesungguhnya tidak sedikit, misalnya Mahabiksu Fangzheng atau Pendeta Chongxu. Tapi tokoh-tokoh berbudi luhur seperti Beliau berdua tentu tidak bisa sembarangan memberikan pelajaran kepadaku.”

Ren Woxing berkata, “Bagus, bagus! Kapan-kapan kalau ada waktu tentu aku ingin mencoba-coba kepandaian barumu.”

“Setiap saat aku siap melayani,” sahut Zuo Lengchan.

Dari percakapan mereka itu terlihat kalau keduanya pernah terlibat pertarungan di masa lalu. Hanya saja, siapa yang menang dan siapa yang kalah tidak bisa diketahui dari pembicaraan tersebut.

Mahabiksu Fangzheng melanjutkan, “Yang ini adalah Pendeta Tianmen, Ketua Perguruan Taishan. Yang itu adalah Tuan Yue, Ketua Perguruan Huashan, dan di sebelahnya adalah Nyonya Yue, atau sebelumnya terkenal dengan sebutan Pendekar Wanita Ning. Tuan Ren tentu pernah mendengar nama besar mereka.”

“Nama besar Pendekar Wanita Ning dari Perguruan Huashan memang aku pernah mendengarnya,” sahut Ren Woxing tertawa, “tapi kalau Tuan Yue atau siapa, aku tidak pernah mendengarnya.”

Linghu Chong menjadi kurang senang mendengarnya. Ia berpikir, “Nama Guru lebih terkenal daripada Ibu-Guru. Jika dia sama sekali tidak mengenal keduanya rasanya dapat dimengerti. Tapi dia mengatakan cuma mengetahui nama besar Pendekar Wanita Ning, tapi tidak mengenal Tuan Yue, hal ini jelas tidak masuk akal. Tuan Ren dikurung di Danau Barat selama sepuluh tahun. Padahal waktu itu Guru sudah cukup terkenal. Dia pasti sengaja hendak mengolok-olok Guru.”

Yue Buqun menanggapi ucapan Ren Woxing dengan nada dingin, “Namaku yang rendah memang hanya mengotori telinga Tuan Ren.”

Ren Woxing tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, “Eh, Tuan Yue, aku ingin mencari tahu kabar seseorang, entah kau mengetahuinya atau tidak? Yang aku tahu dia pernah menjadi murid Perguruan Huashan kalian.”

“Siapakah orang yang dimaksud Tuan Ren itu?” ujar Yue Buqun.

“Orang ini sangat berbudi, cerdik, dan pandai. Wajahnya juga tampan dan ilmu silatnya tinggi,” kata Ren Woxing. “Tapi ada manusia-manusia picik yang iri hati kepadanya, serta berusaha untuk menyingkirkannya. Tidak heran, banyak fitnah keji dilontarkan kepadanya. Aku si tua bermarga Ren ini justru sangat cocok dengannya sejak pertama kali bertemu. Oleh karena itu sudah kuputuskan untuk menjodohkan putriku tercinta ini dengan dia ….”

Mendengar sampai di sini, seketika jantung Linghu Chong berdebar kencang. Samar-samar ia merasa sebentar lagi akan berada dalam suatu masalah besar.

Ren Woxing melanjutkan, “Pemuda itu baik hati dan berbudi luhur. Ketika mendengar putri tercintaku dikurung dalam Biara Shaolin ini, ia lantas memimpin beribu-ribu kesatria datang kemari untuk menjemput pulang calon istrinya. Tapi dalam sekejap ia sudah menghilang entah ke mana. Sebagai calon mertua, sudah tentu aku sangat gelisah dan kelabakan mencarinya. Maka itu, aku ingin mencari tahu tentang keberadaannya kepadamu.”

Yue Buqun menengadah dan tertawa, “Hahaha, Tuan Ren sangat sakti, kenapa calon menantu sendiri sampai lenyap? Pemuda yang dimaksud Tuan Ren tentu si bajingan cilik Linghu Chong. Dia adalah murid murtad yang sudah lama dikeluarkan dari perguruan kami secara tidak hormat.”

Ren Woxing tertawa, “Hahaha, jelas-jelas aku melihat permata tapi kau melihat batu kerikil. Pandanganmu sungguh picik. Pemuda yang kumaksud memang Linghu Chong. Hehe, kau memaki dia sebagai bajingan cilik, bukankah itu berarti kau memaki aku sebagai bajingan tua?”

Yue Buqun menjawab, “Bajingan cilik itu suka main perempuan. Demi seorang gadis, ia mengerahkan sedemikian banyak kawanan anjing dan serigala dari dunia persilatan untuk mengobrak-abrik Biara Shaolin yang mulia ini. Coba kalau Kakak Zuo tidak mengatur siasat yang jitu, biara agung yang bersejarah ribuan tahun ini pasti sudah hangus menjadi puing-puing di tangan mereka. Bukankah dosa besar seperti itu tidak bisa ditebus dengan ribuan kali hukuman mati? Dia memang pernah menjadi bagian dari Perguruan Huashan kami. Tapi sayang, aku tidak berhasil mendidiknya dengan baik, dan kini dia sudah mempermalukan banyak orang.”

Xiang Wentian menyela, “Ucapan Tuan Yue sungguh kurang tepat. Tujuan Adik Linghu ke sini hanya untuk menjemput Nona Besar Ren, bukan hendak berbuat kerusakan. Bukankah mereka mengibarkan panji-panji bertuliskan: ‘Para Pendekar Dunia Persilatan Pergi ke Biara Shaolin, Memuja Sang Buddha, Menghormati Para Biksu, Menjemput Gadis Suci.’ Bukankah tujuan mereka mulia? Sekarang kau boleh memeriksa, selama sehari semalam mereka tinggal di sini apakah ada sebatang ranting yang patah atau sehelai rumput yang tercabut? Bahkan satu butir beras dan setetes air pun tidak mereka sentuh.”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang ikut bicara, “Kau benar. Biara Shaolin tidak kehilangan apa-apa, tapi justru bertambah banyak dengan harta kekayaan berkat kedatangan mereka.”

Dari suaranya yang melengking tajam itu Linghu Chong segera mengenali bahwa si pembicara tersebut adalah Yu Canghai, Ketua Perguruan Qingcheng. “Ternyata orang ini juga datang,” pikirnya.

“Bolehkah aku bertanya kepada Pendeta Yu, harta kekayaan apa yang bertambah itu?” tanya Xiang Wentian.

“Itu, tahi kerbau dan kencing kuda! Di mana-mana di penjuru Biara Shaolin terdapat emas kuning dan air raksa berserakan,” kata Yu Canghai disusul dengan gelak tawa beberapa orang.

Diam-diam Linghu Chong menyesal mendengarnya, “Hm, aku memang melarang mereka merusak setiap benda di biara ini, tapi lupa melarang mereka untuk tidak membuang hajat besar atau kecil di sembarang tempat. Dasar mereka itu orang-orang kasar, di setiap tempat bisa buka celana dan langsung buang kotoran.”

Mahabiksu Fangzheng menanggapi, “Ketika mendengar Tuan Muda Linghu memimpin banyak orang datang ke sini dengan tujuan mulia, sungguh saya merasa sangat berterima kasih. ‘Memuja Sang Buddha’ memang sudah sepantasnya dilakukan, tapi ‘Menghormati Para Biksu’ kami tidak berani menerimanya. Saya sendiri sempat khawatir mereka akan membakar biara. Tapi ternyata tidak ada satu benda pun yang berkurang, hal ini benar-benar berkat kepemimpinan Tuan Muda Linghu yang bijaksana. Seluruh biarawan Shaolin sangat menaruh hormat kepadanya. Kelak bila bertemu dengan Tuan Muda Linghu, tentu saya akan menyampakan terima kasih yang sebesar-besarnya. Pendeta Yu tadi hanya bercanda, harap Tuan Xiang jangan anggap sungguh-sungguh.”

Xiang Wentian tersenyum menjawab, “Bagaimanapun juga seorang biksu agung yang berbudi luhur memang berpikiran terbuka. Sungguh jauh berbeda dengan manusia-manusia palsu berjiwa kerdil.”

Fangzheng melanjutkan, “Namun ada juga yang membuat saya merasa tidak paham. Bagaimana kedua biksuni sepuh dari Perguruan Henshan bisa wafat di dalam biara kami ini?”

Ren Yingying menanggapi dengan nada sedih, “Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi berbudi luhur dan sangat baik hati. Sungguh mengejutkan Beliau berdua tiba-tiba meninggal dunia.”

Mahabiksu Fangzheng berkata, “Jenazah mereka ditemukan di dalam biara ini. Diperkirakan waktu kematian mereka bersamaan dengan masuknya kawanan persilatan itu ke sini. Apa barangkali Tuan Muda Linghu tidak sempat mencegah bawahannya sehingga kedua biksuni tewas dikeroyok mereka?”

Ren Yingying berkata, “Tempo hari aku bertemu kedua biksuni sepuh di ruang belakang biara ini. Berkat kemurahan hati Kepala Biara, serta berkat permohonan kedua biksuni sepuh, maka aku mendapatkan kebebasan ….”

Mendengar itu Linghu Chong merasa bersyukur sekaligus prihatin. Ia merenung, “Ternyata berkat permohonan kedua biksuni sepuh, Kepala Biara bersedia membebaskan Yingying. Sebaliknya mereka justru tewas di sini sebagai korban kepentinganku. Sebenarnya, siapakah yang telah membunuh mereka berdua? Aku … aku harus menuntut balas bagi mereka.”

Ren Yingying melanjutkan, “Selama aku dikurung di Biara Shaolin ini, beberapa kali kawan-kawan persilatan mencoba membebaskan diriku dan berbuat kerusakan. Namun sebanyak ratusan dari mereka tertangkap oleh para biksu Shaolin dan ikut dikurung di sini. Kepala Biara yang bijaksana telah mengajarkan kepada mereka Sepuluh Jalan Kebaikan dengan harapan mereka bisa bertobat sebelum dikembalikan ke dunia persilatan. Tapi karena aku sudah lama tinggal di sini, maka aku yang dibebaskan lebih dulu.”

Linghu Chong merenung mendengar kisah itu, “Mahabiksu Fangzheng memang seorang yang bijaksana tapi sayangnya terlalu polos dan lugu. Mana mungkin para bawahan Yingying bersedia begitu saja meninggalkan sifat kekerasan dan bertobat hanya karena mendengar ceramahnya mengenai Sepuluh Jalan Kebaikan?”

Terdengar Ren Yingying melanjutkan, “Setelah berpamitan kepada Kepala Biara, kedua biksuni sepuh kemudian membawaku meninggalkan Gunung Shaoshi ini. Pada hari ketiga di tengah jalan kami mendapat berita bahwa Tuan … Tuan Linghu memimpin para kawan persilatan untuk menjemputku ke biara ini. Biksuni Dingxian mengajak untuk mempercepat perjalanan agar bisa mencegah Tuan Linghu dan rombongannya. Tapi malamnya kami bertemu seorang teman yang mengatakan bahwa para kawan persilatan dari beberapa penjuru telah menetapkan tanggal lima belas bulan dua belas sebagai waktu untuk berkumpul di Biara Shaolin. Kedua biksuni khawatir Biara Shaolin telanjur diserang, karena ternyata tidak semua kelompok berangkat bersama rombongan Tuan Linghu. Hal ini berarti mengingkari budi baik Kepala Biara yang telah membebaskan diriku tanpa syarat. Maka Biksuni Dingxian lantas menyuruhku berangkat sendiri untuk menemui … menemui Tuan Linghu dan membubarkan kawan-kawan persilatan itu, sedangkan Beliau berdua kembali ke Biara Shaolin ini untuk membantu Kepala Biara menjaga segala kemungkinan terjadinya kekacauan di tempat suci ini.”

Gadis itu bicara tanpa kenal lelah, tutur katanya terdengar jernih dan merdu. Perasaan Linghu Chong kembali tergetar begitu mendengar suaranya yang terharu ketika menyebut tentang kedua biksuni sepuh, dan agak malu-malu bila menyebut tentang dirinya.

“Amitabha,” ujar Biksu Fangzheng, “Saya sangat berterima kasih atas niat baik kedua biksuni. Begitu tersiar kabar bahwa Biara Shaolin akan menghadapi kesulitan, banyak kawan-kawan dari berbagai perguruan dan aliran, baik kenal ataupun tidak, berbondong-bondong datang kemari untuk membantu. Sungguh saya tidak tahu bagaimana caranya bisa membalas budi mereka itu. Untung berkat lindungan Sang Buddha, kedua pihak tidak sampai bertempur sungguh-sungguh sehingga malapetaka banjir darah dapat dihindari. Aih, dengan wafatnya kedua biksuni, Agama Buddha telah kehilangan dua tokoh saleh yang bijaksana. Sungguh sayang, sungguh sayang.”

Ren Yingying melanjutkan kisahnya, “Setelah berpisah dengan kedua biksuni, malamnya aku bertemu para pendekar dari Perguruan Songshan. Aku tidak berdaya menghadapi keroyokan sekian banyak pendekar sehingga tertangkap oleh mereka. Selama beberapa hari aku menjadi tawanan anak buah Ketua Zuo sampai akhirnya diselamatkan oleh Ayah dan Paman Xiang. Sementara itu para kawan persilatan yang dipimpin Tuan Linghu sudah terlanjur masuk ke dalam Biara Shaolin. Kami bertiga kemudian masuk ke sini sejak satu jam yang lalu namun kawan-kawan persilatan itu sudah menghilang entah ke mana. Kami juga menemukan jasad kedua biksuni namun tidak mengetahui bagaimana mereka bisa meninggal.”

“Jika demikian, kedua biksuni bukan dicelakai oleh Tuan Ren dan Tuan Xiang?” sahut Mahabiksu Fangzheng.

Ren Yingying menjawab, “Aku berhutang budi pada kedua biksuni sepuh. Apabila Ayah dan Paman Xiang terlibat perselisihan dengan mereka, pasti aku akan menjadi penengah dan mencegah agar mereka tidak saling melukai. Aku tidak mungkin berpangku tangan begitu saja.”

“Benar juga,” kata Fangzheng.

Tiba-tiba Yu Canghai menyahut, “Tapi kelakuan kaum Sekte Iblis seringkali berkebalikan dengan orang biasa. Jika umumnya kebaikan dibalas dengan kebaikan, sebaliknya manusia sesat justru membalas air susu dengan air tuba!”

Xiang Wentian menanggapi, “Hei, aneh, sungguh aneh! Sejak kapan Pendeta Yu menjadi anggota Sekte Matahari dan Bulan?”

“Apa? Siapa yang bilang aku masuk Sekte Iblis?” sahut Yu Canghai gusar.

“Kau sendiri yang bilang bahwa orang-orang sekte kami suka membalas air susu dengan air tuba. Coba ingat, Ketua Lin dari Biro Ekspedisi Fuwei sering membantu rumah tanggamu. Setiap tahun ia mengirim sepuluh ribu tahil perak sebagai hadiah untukmu. Tapi Perguruan Qingcheng yang kau pimpin malah membantai Ketua Lin sekeluarga. Pendeta Yu benar-benar memiliki nama besar dalam hal membalas kebaikan dengan kejahatan. Semua orang mengetahui berita ini. Dengan melihat kelakuanmu itu, sungguh tidak mengherankan kalau dirimu menjadi anggota sekte kami. Bagus sekali, bagus sekali! Selamat bergabung, Pendeta Yu!”

“Huh, omong kosong! Kentut busuk!” teriak Yu Canghai semakin gusar.

Xiang Wentian berkata, “Nah! Betul, bukan? Aku menyambut dengan ucapan selamat, tapi Pendeta Yu balas memaki. Benar kata orang. Gunung dan sungai bisa diubah, tapi watak manusia sulit diubah. Jika sudah bersifat suka membalas kebaikan dengan kejahatan, maka jangankan perbuatan, bahkan perkataan pun sudah menunjukkan wataknya itu.”

Demi mencegah agar perdebatan kedua orang itu tidak melebar, Mahabiksu Fangzheng segera menyela, “Mengenai siapa yang membunuh kedua biksuni, kita bisa bertanya kepada Pendekar Linghu. Tentu segalanya bisa terungkap jelas. Tapi kalian bertiga datang ke Biara Shaolin, tahu-tahu mencelakai delapan orang kami. Tolong katakan apa sebab dari semua ini?”

Ren Woxing menjawab, “Aku sudah biasa datang dan pergi di dunia persilatan sesuka hatiku. Tidak ada seorang pun yang berani mengaturku. Tapi kedelapan orang ini berani membentak-bentak dan menyuruhku keluar dari tempat persembunyian. Bukankah dosa mereka ini cukup pantas dibayar dengan kematian?”

“Amitabha!” ujar Fangzheng. “Hanya karena membentak beberapa kali, Tuan Ren lantas mengambil tindakan sekeji ini. Apakah caramu ini tidak keterlaluan?”

“Hahaha! Jika Kepala Biara menganggap ini keterlaluan, tidak masalah,” sahut Ren Woxing. “Karena kau tidak membuat susah putri tercintaku, maka aku berhutang budi kepadamu. Kedatanganku kemari sebenarnya untuk berterima kasih kepadamu. Maka, kali ini aku tidak ingin banyak berdebat denganmu. Namun sekarang rasanya aku tidak perlu berterima kasih lagi. Masalah ini kuanggap beres dan selesai sampai di sini.”

Mahabiksu Fangzheng menjawab, “Jika Tuan Ren menganggap sudah beres, maka aku pun akan menganggap beres. Namun kalian telah membunuh delapan orang di biara kami. Lantas bagaimana kami harus menyelesaikan masalah ini?”

“Penyelesaian apa lagi?” sahut Ren Woxing. “Anggota Sekte Matahari dan Bulan sangat banyak. Jika kalian mampu silakan saja bunuh delapan orang di antara mereka supaya impas.”

“Amitabha! Sembarangan membunuh orang adalah dosa besar, hanya menambah karma buruk saja,” kata Fangzheng. “Hm, Ketua Zuo, dua di antara delapan orang yang terbunuh ini adalah murid-murid Perguruan Songshan kalian. Menurutmu, bagaimana cara penyelesaian masalah ini?”

Belum sempat Zuo Lengchan menanggapi, Ren Woxing segera mendahului, “Aku yang telah membunuh mereka, kenapa kau tanya cara penyelesaiannya kepada orang lain? Kenapa tidak tanya kepadaku saja? Dari nadamu ini rupanya kalian hendak mengandalkan jumlah yang banyak untuk main kerubut terhadap kami bertiga, begitu?”

“Bukan begitu maksudku,” kata Fangzheng. “Hanya saja, Tuan Ren sekarang telah muncul kembali di dunia persilatan. Aku takut banyak orang akan binasa di tangan Tuan Ren. Maka itu, aku bermaksud meminta kalian agar sudi tinggal di biara ini untuk bersembahyang dan membaca kitab. Dengan demikian barulah dunia persilatan menjadi aman dan tenteram. Entah bagaimana pendapat kalian?”

Ren Woxing menengadah dan tertawa, “Hahaha, bagus sekali, bagus sekali! Usul yang sangat menarik.”

Fangzheng berkata lagi, “Ketika putrimu tinggal di belakang biara ini, setiap murid Shaolin menaruh hormat kepadanya. Segala pelayanan kami tidak pernah kurang suatu apa. Aku menahan putrimu di sini bukan untuk membalas dendam atas murid-murid kami yang menjadi korban keganasannya. Aih, dendam dibalas dendam tidak akan pernah ada ujungnya. Mungkin kematian murid-murid kami itu adalah karma atas perbuatan mereka sendiri di kehidupan sebelumnya. Hanya saja … Nona Ren sendiri begitu mudah mencabut nyawa orang. Bila dia berdiam di sini untuk mendamaikan pikiran dan menenangkan jiwanya, tentu hal ini sangat baik untuk orang banyak.”

Ren Woxing kembali tertawa, “Hahaha, dalam hal ini Kepala Biara memiliki maksud yang sangat baik.”

Fangzheng melanjutkan, “Namun di luar dugaan, karena maksudku itu, dunia persilatan menjadi kacau. Padahal, aku sama sekali tidak bermaksud menyekap Nona Ren. Putrimu datang sendiri ke biara ini dengan menggendong Pendekar Linghu untuk meminta pertolongan. Apabila kami bersedia mengobati penyakit Pendekar Linghu, ia bersedia dihukum mati demi menebus nyawa murid-murid kami. Namun aku tidak setuju menukar nyawa dengan nyawa. Aku hanya meminta Nona Ren tinggal di belakang biara untuk menemukan kedamaian batin, serta tidak boleh meninggalkan Gunung Shaoshi ini tanpa seizin dariku. Putrimu langsung setuju. Bukankah begitu, Nona Ren?”

Ren Yingying menjawab lirih, “Benar.”

Linghu Chong sangat bersyukur setelah mendengar perkataan tersebut. Sejak awal ia yakin Mahabiksu Fangzheng tidak mungkin menyusahkan Ren Yingying, dan kini ia semakin yakin atas hal itu. Memang ia sudah mendengar cerita tentang bagaimana Ren Yingying menggendong dirinya untuk meminta pertolongan ke Biara Shaolin, namun berbeda rasanya jika mendengar langsung dari penuturan Mahabiksu Fangzheng. Membayangkan betapa besar pengorbanan Ren Yingying untuknya, tanpa terasa air mata pun meleleh di pipi.

Tiba-tiba Yu Canghai tertawa, “Hehe, gadis ini sungguh setia dan penuh cinta. Tapi sayang, Linghu Chong itu punya kelakuan yang tidak senonoh. Dulu aku pernah memergokinya bermalam di rumah pelacuran di Kota Hengshan. Sungguh tidak sepadan dengan cinta tulus Nona Ren.”

Xiang Wentian menanggapi, “Jadi, Pendeta Yu memergoki dia di rumah pelacuran? Apakah kau melihatnya dengan mata kepala sendiri? Apa tidak keliru?”

“Tentu saja aku melihatnya sendiri. Mana mungkin aku salah lihat?” sahut Yu Canghai.

Xiang Wentian berkata dengan suara perlahan, “Apakah Pendeta Yu juga berada di rumah pelacuran itu?”

“Tentu saja,” jawab Yu Canghai mantap.

“Hahahaha,” Xiang Wentian bergelak tawa. “Ternyata Pendeta Yu suka jajan, ya? Kalau begitu sama dengan aku. Eh, siapa nama perempuan kegemaranmu di rumah pelacuran itu? Wajahnya cantik, tidak? Bagaimana kalau kapan-kapan aku yang bayar?”

“Omong kosong! Omong kosong!” gerutu Yu Canghai dengan muka merah.

“Hahahaha, sungguh menggelikan! Aku ingin menraktirmu, tapi kau justru memaki-maki. Benar-benar air susu dibalas air tuba, hahaha!” sahut Xiang Wentian dengan gelak tawa semakin menjadi-jadi.

Mahabiksu Fangzheng kembali berkata, “Tuan Ren bertiga, silakan kalian berdiam di Gunung Shaoshi ini saja. Kita ubah hubungan dari lawan menjadi kawan. Asalkan kalian bertiga tidak meninggalkan pegunungan ini, saya berani menjamin takkan ada orang yang berani mencari perkara kepada dengan bertiga. Selanjutnya kita akan sama-sama hidup tenteram sejahtera. Bukankah hidup damai dan bahagia adalah dambaan setiap orang?”

Mendengar itu, Linghu Chong merenung, “Mahabiksu Fangzheng sungguh polos. Maksud baiknya jelas tidak masuk akal. Ketiga orang ini mudah menurunkan tangan keji, mencabut nyawa tanpa berkedip. Tapi Kepala Biara meminta mereka tinggal di Gunung Shaoshi dengan sukarela. Sungguh tidak masuk akal.”

Sambil tersenyum Ren Woxing menjawab, “Maksud baik Mahabiksu Fangzheng benar-benar pantas dipuji. Sebenarnya aku bisa menuruti keinginanmu.”

“Jadi, Tuan Ren bersedia tinggal di Gunung Shaoshi ini?” sahut Fangzheng dengan nada senang.

“Benar,” jawab Ren Woxing.

“Kalau demikian, saya akan segera mempersiapkan ruang kamar. Mulai sekarang kalian bertiga menjadi warga kehormatan di Biara Shaolin ini,” ujar Fangzheng dengan gembira.

“Tapi,” sahut Ren Woxing menyela, “aku hanya bisa tinggal di sini selama tidak lebih dari enam jam saja. Lebih lama dari itu aku tidak sanggup.”

Fangzheng tampak sangat kecewa dan berkata, “Hanya enam jam? Apa gunanya waktu sesingkat itu?”

Ren Woxing tertawa dan menjawab, “Sebenarnya aku ingin tinggal beberapa hari lebih lama agar bisa bercengkerama dengan para sahabat di sini. Namun sayang, namaku ini sudah telanjur kurang baik. Jadi, apa boleh buat?”

“Saya tidak paham,” kata Fangzheng bingung. “Apa hubungannya dengan nama Tuan yang terhormat?”

“Hm, margaku kurang baik, namaku juga kurang baik,” sahut Ren Woxing. “Aku bermarga Ren, dan bernama Woxing. Andai aku tahu, sejak awal aku akan mencari nama yang lebih bagus, misalnya Ren Nixing. Sekarang sudah telanjur punya nama seperti ini, apa boleh buat? Terpaksa aku berbuat sesuka hatiku.”

Ren-wo-xing bermakna “berbuat sesuai kemauanku” sedangkan ren-ni-xing bermakna “berbuat sesuai kemauanmu”.

Fangzheng pun menanggapi, “Oh, rupanya Tuan Ren hanya ingin mempermainkan saya.”

“Mana aku berani?” sahut Ren Woxing. “Di antara tokoh-tokoh terkemuka pada zaman ini sebenarnya hanya sedikit yang kukagumi. Kalau kuhitung-hitung ternyata hanya tiga setengah orang saja. Kepala Biara termasuk satu di antaranya. Selain itu masih ada tiga setengah orang lagi yang tidak kusukai.” Ucapannya ini terdengar sungguh-sungguh, sama sekali tidak ada maksud bercanda.

Dengan merangkap kedua tangan Fangzheng berkata, “Amitabha! Saya tidak berani menerima sanjungan Tuan Ren.”

Semua orang, termasuk Linghu Chong yang bersembunyi di balik papan nama, merasa heran dan ingin tahu siapa saja tiga setengah orang pada zaman ini yang dikagumi oleh gembong Sekte Iblis ini, dan siapa pula tiga setengah orang yang tak disukainya itu.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak nyaring, “Tuan Ren, siapa saja orang yang kau kagumi itu?”

Dengan merasakan jumlah hembusan napas di tempat itu, Linghu Chong memperkirakan ada sepuluh orang dalam kelompok aliran lurus. Namun sayang, ia hanya mengenali tujuh di antara mereka sesuai dengan yang disebutkan oleh Kepala Biara tadi, yaitu Mahabiksu Fangzheng sendiri, Pendeta Chongxu, Zuo Lengchan, Pendeta Tianmen, guru dan ibu-gurunya, serta Yu Canghai. Sisanya yang tiga orang belum sempat diperkenalkan, termasuk orang yang berteriak lantang itu.

“Maaf, Tuan yang mulia tidak termasuk di antaranya,” sahut Ren Woxing dengan tertawa.

“Mana aku berani disejajarkan dengan Mahabiksu Fangzheng?” kata orang itu. “Sudah tentu aku termasuk orang yang tidak disukai Tuan Ren.”

“Kau pun tidak termasuk di antara tiga setengah orang yang tidak kusukai,” kata Ren Woxing. “Jika kau berlatih selama tiga puluh tahun lagi, mungkin kelak bisa membuatku tidak suka kepadamu.”

Orang itu langsung terdiam tak bersuara. Di persembunyiannya, Linghu Chong berpikir, “Ternyata menjadi orang yang tidak disukai Tuan Ren juga tidak mudah.”

“Apa yang dikatakan Tuan Ren benar-benar sangat menarik,” kata Fangzheng.

“Kepala Biara, apakah kau ingin tahu siapa-siapa lagi yang kukagumi dan siapa-siapa pula yang tidak kusukai?” tanya Ren Woxing.

“Memang saya ingin mendengar penjelasan Tuan,” jawab Fangzheng.

“Kepala Biara, kau berhasil mempelajari Kitab Mengubah Urat dengan sempurna. Tenaga dalammu juga mahatinggi. Tapi kau tetap rendah hati dan sederhana, sangat berbeda dengan diriku yang angkuh ini. Aku benar-benar mengagumi biarawan berbudi luhur seperti dirimu.”

“Saya tidak pantas menerima sanjungan Tuan Ren,” ujar Fangzheng.

Ren Woxing melanjutkan, “Namun Mahabiksu Fangzheng bukanlah orang yang paling kukagumi. Di dunia ini, orang yang paling kukagumi adalah dia yang telah merebut jabatanku dalam Sekte Matahari dan Bulan. Dia adalah Dongfang Bubai.”

“Hah!” seru semua orang terkejut heran karena hal ini sungguh di luar dugaan. Untungnya Linghu Chong masih bisa menahan diri untuk tidak bersuara. Ia hanya tidak habis mengerti, mengapa Dongfang Bubai yang telah berhasil menangkap dan memenjarakan Ren Woxing sekian lamanya, justru masuk ke dalam daftar orang yang dikagumi, bukannya dibenci sampai tulang sumsum?

Terdengar Ren Woxing melanjutkan, “Ilmu silatku cukup tinggi. Aku juga terkenal cerdik dan banyak akal, bahkan merasa tidak punya tandingan di muka bumi. Tak kusangka, aku bisa dipecundangi oleh tutur kata Dongfang Bubai dan hampir terkubur seumur hidup di dasar danau. Dongfang Bubai adalah tokoh hebat. Orang seperti dia apa tidak pantas untuk dikagumi?”

“Betul juga alasan Tuan Ren,” ujar Fangzheng sambil mengangguk.

Ren Woxing melanjutkan, “Dan orang ketiga yang kukagumi adalah jago paling hebat dari Perguruan Huashan saat ini.”

Kembali semua orang merasa heran bukan kepalang. Linghu Chong sendiri bingung mendengarnya karena tadi Ren Woxing sengaja mengolok-olok Yue Buqun, tapi siapa tahu di dalam hati justru mengagumi gurunya itu.

Merasa suaminya dipermainkan, Ning Zhongze membuka suara, “Kau tidak perlu menyindir dan mempermalukan orang.”

Ren Woxing tertawa sinis dan berkata, “Nyonya Yue, apakah kau mengira suamimu termasuk orang yang kukagumi? Hahaha, masih terlalu jauh. Jago terhebat Perguruan Huashan yang kukagumi adalah Feng Qingyang. Ilmu pedang Tuan Feng mahasakti dan jauh lebih hebat dariku. Aku merasa tidak mampu mencapai tingkatan seperti itu. Aku sungguh-sungguh mengagumi kehebatan Tuan Feng setulus hati.”

“Apakah Tuan Feng saat ini masih hidup?” tanya Fangzheng sambil memandang Ren Woxing, lalu berpaling ke arah Yue Buqun.

“Paman Guru Feng sudah mengasingkan diri beberapa puluh tahun yang lalu. Selama ini tidak pernah terdengar kabar beritanya,” jawab Yue Buqun. “Apabila Beliau masih hidup, tentu sungguh suatu keberuntungan bagi Perguruan Huashan kami.”

Ren Woxing menanggapi, “Hm, Tuan Feng adalah anggota Kelompok Pedang, sementara dirimu dari Kelompok Tenaga Dalam. Kedua cabang Perguruan Huashan ini biasanya saling bermusuhan, tidak bisa untuk bersatu. Apa untungnya bagimu jika Tuan Feng ternyata benar-benar masih hidup?”

Mendengar teguran itu, Yue Buqun terdiam tanpa menjawab.

Sejak awal Linghu Chong hanya menduga-duga kalau Feng Qingyang berasal dari Kelompok Pedang cabang perguruannya. Kini setelah mendengar ucapan Ren Woxing tersebut dan Sang Guru sama sekali tidak menyangkal, hatinya pun menjadi semakin yakin.

Terdengar Ren Woxing tertawa dan berkata, “Kau tidak perlu khawatir. Tuan Feng sudah melepaskan urusan dunia persilatan. Apa kau takut ia akan muncul kembali dan merebut kedudukanmu sebagai ketua?”

Dengan tegas Yue Buqun menjawab, “Aku tidak punya kepandaian apa-apa. Bila Paman Guru Feng muncul kembali dan memberikan nasihat kepadaku, sungguh aku merasa sangat gembira. Apakah Tuan Ren dapat memberi tahu tempat kediaman Paman Guru Feng agar aku dapat mengunjungi Beliau? Jika demikian, kami semua dari Perguruan Huashan akan sangat berterima kasih kepadamu.”

Ren Woxing menggelengkan kepala, kemudian berkata, “Pertama, aku tidak tahu di mana keberadaan Tuan Feng. Kedua, seandainya aku tahu juga tidak akan kukatakan kepadamu. Tombak yang ditusukkan dari depan mudah dielakkan, tapi senjata rahasia yang dilempar dari belakang sukar dihindari. Sangat mudah untuk menghadapi musuh yang benar-benar jahat, tapi menghadapi seorang munafik sungguh membuat kepala pusing.”

Yue Buqun kembali terdiam tak menanggapi.

Linghu Chong berpikir, “Guru seorang kesatria yang ramah dan santun. Beliau tidak mungkin bertukar kata-kata kasar dengan Tuan Ren.”

Ren Woxing kemudian berpaling ke arah Pendeta Chongxu dan berkata, “Orang keempat yang kukagumi adalah si hidung kerbau tua ini. Ilmu Pedang Taiji andalan Perguruan Wudang yang kau pimpin sungguh luar biasa. Kau sendiri pandai menjaga diri dan tidak suka banyak ikut campur urusan dunia persilatan. Hanya saja, kau tidak mahir mendidik murid. Di antara sekian banyak murid-murid Perguruan Wudang tidak ada satu pun bibit unggul yang menonjol. Lihat saja, kalau kau si tua bangka sudah berpulang ke dunia atas, mungkin ilmu Pedang Taiji kalian juga ikut lenyap. Lagipula meski kau memiliki ilmu pedang cukup tinggi, namun belum tentu mampu mengalahkan diriku. Maka itu, aku hanya kagum setengah saja kepadamu.”

“Hahaha, bisa mendapat setengah kekaguman dari Tuan Ren sudah cukup menaikkan harga diriku. Terima kasih banyak,” seru Pendeta Chongxu sambil tertawa.

“Tidak perlu segan,” sahut Ren Woxing. Ia kemudian berpaling kepada Zuo Lengchan dan berkata, “Ketua Zuo, kau tidak perlu tersenyum-senyum, tapi di dalam hati memendam amarah. Kau memang tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang kukagumi, namun dalam daftar tiga setengah orang yang tidak kusukai, kau yang mulia menduduki peringkat pertama.”

“Hehe, aku merasa sangat tersanjung,” sahut Zuo Lengchan.

“Ilmu silatmu hebat, pikiranmu juga cerdas. Sangat cocok dengan seleraku,” ujar Ren Woxing. “Kau bermaksud melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu perguruan besar untuk mengimbangi Shaolin dan Wudang. Cita-citamu setinggi langit, sungguh patut dipuji. Hanya sayang, kau suka menggunakan berbagai macam tipu muslihat keji dan cara-cara licik. Ini jelas bukan perbuatan seorang kesatria sejati dan tidak pantas dikagumi.”

Zuo Lengchan menanggapi, “Hm, di antara tiga setengah tokoh-tokoh yang tidak kusukai di zaman ini, kau justru hanya termasuk yang setengah saja.”

“Huh, kau hanya bisa meniru saja, sama sekali tidak punya pemikiran sendiri. Maka itu, kau memang tidak pantas dikagumi, bahkan sangat tidak kusukai,” kata Ren Woxing sambil menggeleng. “Meskipun kau sudah mempelajari semua ilmu perguruanmu dengan mendalam, namun semuanya hanyalah ilmu warisan. Apabila semua orang seperti dirimu yang hanya bisa meniru tanpa memiliki pemikiran sendiri, tentu dalam sepuluh tahun kemudian dunia persilatan ini akan sepi dari jurus-jurus baru.”

Zuo Lengchan berkata, “Hm, kau sengaja mengobrol ke barat dan ke timur. Apakah kau ingin mengulur waktu untuk menunggu datangnya bala bantuan?”

Ren Woxing tertawa lirih, “Hehe, apakah kau bermaksud mengandalkan jumlah yang banyak untuk mengerubut kami bertiga?”

Zuo Lengchan menjawab, “Kalian datang ke Biara Shaolin ini dan membunuh sesuka hati, lalu hendak pergi begitu saja, memangnya kau anggap kami ini patung semua? Kalau kau menuduh kami main kerubut atau menyebut kami tidak mengindahkan tata tertib dunia persilatan, apa boleh buat? Yang pasti kau telah membunuh murid-murid Perguruan Songshan kami, dan sekarang aku, Zuo Lengchan, sudah ada di sini. Bagaimanapun juga aku ingin minta petunjuk beberapa jurus dari Tuan Ren yang mulia.”

Ren Woxing berpaling kepada Mahabiksu Fangzheng dan berkata, “Kepala Biara, di sini ini wilayah Biara Shaolin ataukah Perguruan Songshan?”

“Aih, Tuan Ren sudah tahu tapi sengaja bertanya. Sudah tentu di sini Biara Shaolin,” jawab Fangzheng.

“Jika demikian, terhadap segala urusan di sini siapa yang berhak mengambil keputusan? Apakah Kepala Biara Shaolin, ataukah Ketua Perguruan Songshan?” tanya Ren Woxing.

“Meski saya yang mengambil keputusan, tapi kalau kawan-kawan memiliki saran juga akan saya dengarkan,” kata Fangzheng.

“Hahahaha, memang benar-benar saran yang bagus,” seru Ren Woxing sambil tertawa. “Karena sadar kalau bertempur satu lawan satu pasti kalah, maka sekarang kalian ingin main kerubut. Hei, orang bermarga Zuo, jika hari ini kau mampu merintangi kepergianku, maka selanjutnya kau tidak perlu turun tangan lagi. Aku akan menggorok leher sendiri di depan matamu.”

Zuo Lengchan berkata, “Kami berjumlah sepuluh orang. Merintangi dirimu mungkin suatu pekerjaan yang sulit. Tapi untuk membunuh anak perempuanmu kurasa bukan masalah yang berat.”

“Amitabha! Janganlah kita main bunuh-membunuh,” sela Fangzheng.

Jantung Linghu Chong berdebar kencang. Ia tahu apa yang dikatakan Zuo Lengchan itu sungguh bukan gertakan belaka. Meskipun ia tidak tahu siapa tiga di antara kesepuluh orang tersebut, tapi ia yakin mereka juga berilmu tinggi. Kalau bukan ketua perguruan ternama tentu pendekar silat papan atas. Bagaimanapun tingginya ilmu Ren Woxing paling-paling hanya bisa menyelamatkan diri sendiri saja. Apakah Xiang Wentian juga bisa menyelamatkan nyawa sukar untuk dipastikan. Apalagi Ren Yingying, jelas tiada harapan baginya.

Namun Ren Woxing dengan tenang menjawab, “Bagus sekali. Aku dengar Ketua Zuo punya seorang anak laki-laki bernama Zuo Ting yang berjuluk Si Cemara Dingin di Angkasa. Konon ilmu silatnya tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu cerdas, tentu tidak sulit untuk membunuhnya. Tuan Yue juga punya seorang anak perempuan. Pendeta Yu kabarnya punya beberapa gundik cantik dan tiga anak laki-laki yang masih muda. Pendeta Tianmen tidak punya anak, tapi punya banyak murid kesayangan. Tuan Besar Mo masih punya ayah dan ibu yang sudah tua di rumah. Zhenshan Zi, si Pedang Tunggal Qiankun dari Perguruan Kunlun punya seorang cucu laki-laki. Ada lagi Ketua Xie dari Partai Pengemis, eh, Saudara Xiang, apakah dia punya orang yang disayangi?”

Mendengar itu Linghu Chong merenung, “Jadi Paman Guru Mo juga ada di sini. Meskipun Mahabiksu Fangzheng belum tuntas memperkenalkan rombongannya, tapi Tuan Ren ternyata sudah mengenali mereka semua, bahkan mengetahui pula dengan rinci seluk-beluk keluarga masing-masing kesepuluh tokoh tersebut.”

Terdengar Xiang Wentian menjawab, “Kudengar dua petinggi Partai Pengemis yang menjabat sebagai Utusan Teratai Putih dan Utusan Teratai Hijau sebenarnya adalah anak haram Ketua Xie, meskipun berbeda marga.”

“Apakah kau tidak keliru? Jangan sampai kita salah membunuh orang baik-baik,” ujar Ren Woxing.

“Tidak mungkin salah,” jawab Xiang Wentian, “hamba sudah menyelidikinya dengan jelas.”

“Apa hendak dikata? Andaikan salah membunuh juga tidak bisa dihindari,” kata Ren Woxing sambil mengangguk. “Terpaksa kita bunuh saja tiga atau empat puluh orang Partai Pengemis. Paling tidak, dua di antaranya adalah sasaran yang kita cari.”

“Pendapat Ketua sungguh tepat,” ujar Xiang Wentian memuji.

Setiap kali Ren Woxing menyebut sanak keluarga kesepuluh lawannya, baik Zuo Lengchan maupun yang lain merasa ngeri. Mereka tahu setiap perkataan gembong Sekte Iblis itu bukanlah omong kosong. Jika anak perempuannya benar-benar dibunuh, maka dia pasti akan membalas dengan cara yang lebih keji terhadap sanak keluarga mereka. Membayangkan hal ini sungguh membuat setiap orang merinding ketakutan. Maka, suasana ruangan itu langsung menjadi sunyi. Wajah semua orang tampak berubah pucat.

Selang sejenak barulah Fangzheng berkata, “Mata dibalas mata tentu tiada akhirnya. Tuan Ren, kami tidak akan mengganggu putrimu. Kami hanya meminta kalian bertiga sudi menjadi tamu kehormatan di sini selama sepuluh tahun saja.”

“Tidak bisa,” sahut Ren Woxing. “Nafsu membunuhku sudah tergerak. Aku sudah tidak sabar ingin mulai membunuh putra Ketua Zuo dan keempat gundik cantik Pendeta Yu itu. Begitu pula dengan anak perempuan Tuan Yue juga takkan kubiarkan hidup.”

Linghu Chong terperanjat di tempat persembunyinya. Ren Woxing memiliki sifat yang sulit dipahami. Apakah ucapannya itu hanya untuk menakut-nakuti saja atau sungguh-sungguh akan mengadakan pembantaian secara besar-besaran juga tidak dapat dipastikan.

“Tuan Ren, bagaimana kalau kita mengadakan taruhan?” tiba-tiba Pendeta Chongxu bertanya.

“Tidak. Dalam hal taruhan aku sering sial, tidak punya keahlian,” jawab Ren Woxing. “Tapi kalau membunuh orang aku yakin pasti berhasil. Membunuh jago-jago papan atas mungkin bisa gagal. Tapi kalau membunuh anak-istri atau ayah-ibu mereka, aku yakin bisa terlaksana.”

“Membunuh orang-orang yang tidak paham ilmu silat bukan perbuatan kesatria,” kata Chongxu.

“Meskipun tidak kesatria, tapi kalau bisa membuat musuh-musuhku menyesal seumur hidup, sudah bisa membuatku gembira,” kata Ren Woxing.

Pendeta Chongxu menukas, “Kau sendiri akan kehilangan anak perempuan, apakah itu menyenangkan? Kehilangan anak perempuan berarti takkan punya menantu pula. Dan menantumu tentu akan menjadi menantu orang lain. Untuk ini rasanya kau pun akan kehilangan nama baik.”

“Apa boleh buat?” kata Ren Woxing. “Terpaksa aku harus membunuh mereka semuanya. Siapa suruh calon menantuku tidak setia kepada anak perempuanku?”

“Begini saja, kami tidak akan main kerubut dan kau juga jangan sembarangan membunuh,” kata Chongxu. “Kita bisa bertanding secara adil. Kalian bertiga bertanding tiga babak melawan tiga orang di antara kami. Bisa menang dua babak saja sudah cukup.”

Mahabiksu Fangzheng mengangguk setuju, “Usulan Saudara Chongxu memang lain daripada yang lain. Kita bisa bertanding secara bersahabat, tidak perlu sampai binasa.”

“Jika kami bertiga kalah, apakah harus tinggal selama sepuluh tahun di sini?” tanya Ren Woxing.

“Benar,” jawab Chongxu. “Tapi bila pihak kalian menang dua babak saja, maka kami mengaku kalah dan kalian bebas untuk pergi. Mengenai nasib kedelapan murid kami ini anggap saja mereka mati sia-sia.”

“Aku hanya setengah kagum kepadamu. Maka, aku pun merasa kata-katamu setengah masuk akal,” kata Ren Woxing. “Siapa di antara kalian yang akan maju? Bolehkah aku yang memilih?”

Zuo Lengchan langsung menanggapi, “Mahabiksu Fangzheng adalah tuan rumah, sudah pasti dia akan turun gelanggang. Kepandaianku sudah terlena selama belasan tahun. Ini adalah saat yang tepat untuk mencoba-coba tenagaku lagi. Bagaimana dengan babak ketiga? Karena pertandingan ini adalah usulan Pendeta Chongxu, rasanya aneh jika dia hanya berpeluk tangan menjadi penonton saja. Mau tidak mau ia harus memperlihatkan pula kehebatan ilmu Pedang Taiji andalan Perguruan Wudang.”

Zuo Lengchan sungguh cerdik dalam menunjuk orang. Kesepuluh orang dalam kelompoknya adalah para pesilat papan atas, sedangkan Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan dirinya sendiri boleh dibilang merupakan tiga jago yang paling sakti di antara mereka. Begitu menyebutkan tiga nama yang akan maju, Zuo Lengchan seolah menunjukkan kalau pihaknya pasti keluar sebagai pemenang. Di lain pihak, Ren Yingying hanya seorang gadis yang belum genap sembilan belas tahun. Meskipun memiliki ilmu silat tinggi, tapi pengalaman bertandingnya cenderung masih kurang. Maka, dengan siapa pun ia nanti akan berhadapan sudah dapat dipastikan kekalahannya. Sementara itu, Yue Buqun dan yang lain tersenyum setuju memahami siasat Zuo Lengchan tersebut.

Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan Zuo Lengchan memang tiga tokoh terhebat dalam aliran lurus. Ilmu silat mereka tidak berada di bawah Ren Woxing. Bahkan dibandingkan dengan Xiang Wentian, mereka bisa jadi lebih unggul. Jadi, secara perhitungan, pihak Ren Woxing sangat sulit bisa menang dua babak saja. Yang dikhawatirkan orang-orang itu adalah apabila Ren Woxing melanggar perjanjian dan berhasil meloloskan diri, tentu ia akan membantai sanak keluarga mereka sesuai dengan yang disebutkan di awal tadi.

Ren Woxing yang menyadari hal itu pun menggeleng dan berkata, “Pertandingan tiga babak kurasa tidak bagus. Lebih baik kita bertanding hanya satu babak saja. Kalian boleh pilih seorang jago, demikian juga pihak kami. Dengan demikian urusan menjadi sederhana.”

Zuo Lengchan berkata, “Saudara Ren, hari ini kalian bertiga berada dalam wilayah kami. Kami bersepuluh ini sudah tiga kali lebih kuat daripada pihakmu. Bahkan, seandainya Kepala Biara mengeluarkan perintah, puluhan jago-jago Biara Shaolin seketika akan muncul. Belum lagi ditambah jago-jago dari perguruan lainnya,” kata Zuo Lengchan.

“Itu sebabnya kalian ingin menang dengan cara mengerubut kami, begitu?” ejek Ren Woxing.

“Memang,” sahut Zuo Lengchan. “Kami akan mengerubut kalian.”

“Huh, tidak tahu malu!” ujar Ren Woxing mengolok-olok lagi.

“Membunuh orang tanpa alasan adalah perbuatan yang lebih memalukan,” balas Zuo Lengchan.

“Apakah membunuh orang harus memakai alasan? Ketua Zuo, kau ini pemakan daging atau pemakan sayuran?” Ren Woxing bertanya.

“Jika aku ingin membunuh seseorang, maka akan kubunuh dia. Apa hubungannya dengan jenis makanan?” sahut Zuo Lengchan geram.

“Apakah setiap orang yang kau bunuh memang pantas dibunuh?” desak Ren Woxing.

“Tentu saja,” jawab Zuo Lengchan.

Ren Woxing tersenyum, “Kau memakan daging sapi dan kambing. Memangnya dosa apa yang telah mereka lakukan kepadamu?”

Mahabiksu Fangzheng menyela, “Amitabha, ucapan Tuan Ren sungguh welas asih.”

“Mahabiksu Fangzheng jangan tertipu ucapannya,” sahut Zuo Lengchan. “Dia menyamakan kedelapan murid kita dengan sapi dan kambing.”

“Serangga, semut, sapi, kambing, Sang Buddha, manusia biasa, semuanya adalah makhluk bernyawa,” kata Ren Woxing.

Fangzheng mengangguk, “Benar sekali, benar sekali, Amitabha!”

“Saudara Ren, kau terus-menerus mengulur waktu. Apakah kau takut bertanding hari ini?” seru Zuo Lengchan mengalihkan pembicaraan.

Tiba-tiba Ren Woxing bersuit panjang, sampai menggetarkan dinding ruangan. Beberapa lilin besar yang menerangi ruangan itu sampai buram nyala apinya. Setelah suara suitannya reda barulah cahaya lilin itu kembali terang. Jantung semua orang pun berdebar-debar karena suaranya itu. Wajah mereka tampak berubah agak pucat.

“Baiklah,” kata Ren Woxing kemudian, “marilah kita mulai pertandingan ini, wahai orang bermarga Zuo!”

“Seorang laki-laki sejati sekali bicara harus memegang janji,” sahut Zuo Lengchan. “Jika dua di antara kalian kalah, maka kalian harus tinggal selama sepuluh tahun di Gunung Shaoshi ini.”

“Baiklah. Kalau kami kalah dalam dua babak, maka kami akan tinggal di sini selama sepuluh tahun,” sahut Ren Woxing.

Pihak lawan terlihat berseri-seri lega melihat Zuo Lengchan telah berhasil menggiringnya untuk menyetujui pertaruhan tersebut.

Ren Woxing melanjutkan, “Mari kita mulai. Aku melawan dirimu. Saudara Xiang nanti akan melawan si pendek Yu. Anak perempuanku biar melawan sesama perempuan. Biarlah dia meminta petunjuk kepada Pendekar Ning.”

“Tidak bisa,” sahut Zuo Lengchan. “Siapa saja di pihak kami yang harus maju adalah pilihan kami sendiri. Mana boleh kau main tunjuk sesukanya?”

“Jago masing-masing pihak harus dipilih sendiri, pihak lawan tidak boleh ikut campur, begitu?” tanya Ren Woxing.

“Benar,” jawab Zuo Lengchan. “Dari pihak kami yang akan maju adalah kedua ketua dari Perguruan Shaolin dan Wudang, ditambah dengan aku sendiri.”

Ren Woxing mengejek, “Dengan kedudukan dan ilmu silatmu itu, mana mungkin dapat disejajarkan dengan ketua-ketua dari Perguruan Shaolin dan Wudang?”

Dengan muka merah Zuo Lengchan menjawab, “Hm, sudah tentu aku tidak berani disejajarkan dengan Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu. Tapi paling tidak, rasanya aku sudah cukup untuk melayani dirimu.”

“Hahaha!” Ren Woxing bergelak tawa kemudian berpaling kepada Fangzheng. “Kepala Biara, apa aku boleh berkenalan dengan ilmu pukulan Perguruan Shaolin kalian yang hebat itu?”

“Amitabha! Sudah lama saya tidak berlatih. Jelas bukan tandingan Tuan Ren,” jawab Fangzheng. “Namun karena saya berharap dapat menahan Tuan Ren di sini, terpaksa beberapa kerat tulangku yang sudah lapuk ini harus rela menerima pukulanmu.”

Zuo Lengchan tidak menduga kalau Ren Woxing justru menantang Fangzheng bertanding. Hal ini jelas memandang remeh terhadap dirinya. Namun dalam hati ia bukannya marah, tapi justru merasa senang. Diam-diam ia berpikir, “Tadinya aku khawatir kau menantangku bertarung, kemudian Xiang Wentian melawan Pendeta Chongxu, dan anak perempuanmu melawan Mahabiksu Fangzheng. Aku sendiri tidak yakin bisa mengalahkanmu, dan jangan-jangan Pendeta Chongxu juga lengah dan dapat dikalahkan Xiang Wentian yang banyak muslihat itu. Tentunya ini bisa menjadi bencana.”

Selangkah demi selangkah Zuo Lengchan berjalan mundur untuk memberikan tempat bagi Fangzheng dan Ren Woxing. Kedelapan mayat juga sudah dipindahkan dari tengah ruangan.

“Silakan, Kepala Biara,” kata Ren Woxing sambil memberi hormat. Sepasang lengan bajunya tampak berkibar-kibar.

“Tuan Ren silakan buka serangan lebih dulu,” sahut Fangzheng sambil merangkap tangan membalas hormat.

Ren Woxing berkata, “Yang akan kumainkan adalah ilmu silat murni Sekte Matahari dan Bulan. Sebaliknya, yang akan Mahabiksu mainkan adalah ilmu silat murni Perguruan Shaolin. Babak pertama ini merupakan pertandingan antara murni melawan murni.”

Tiba-tiba Yu Canghai mengejek, “Huh, dalam Sekte Iblis mana ada ajaran murni? Dasar tidak tahu malu!”

Ren Woxing berkata, “Kepala Biara, izinkan aku membunuh si pendek ini dulu, baru kemudian kita mulai pertandingan.”

“Jangan!” seru Fangzheng berseru sambil melancarkan serangan pertama. “Terimalah seranganku ini!”

Ia paham watak Ren Woxing yang berani berkata dan berani berbuat. Serangan gembong Sekte Iblis itu bagaikan kilat bisa-bisa membuat Yu Canghai kehilangan nyawa dalam waktu sekejap. Maka, ia pun memutuskan untuk membuka serangan lebih dulu.

Pukulan Fangzheng tersebut terlihat sangat enteng dan biasa saja. Namun begitu sampai di tengah jalan mendadak pukulannya bergerak-gerak. Satu telapak tangannya berubah menjadi dua, kemudian menjadi empat, kemudian berubah lagi menjadi delapan, dan seterusnya.

“Seribu Tapak Buddha!” teriak Ren Woxing mengenali jurus itu. Maka, ia pun segera membalas memukul bahu kanan Fangzheng. Segera Fangzheng menarik kembali pukulannya, dan kemudian tangan yang lain berganti menyerang dengan cara yang sama. Tangan kiri itu tampak bergoyang-goyang, satu berubah dua, dua berubah empat, dan seterusnya. Tapi Ren Woxing lantas melompat ke atas. Berturut-turut ia membalas dengan dua kali pukulan.

Linghu Chong mengintip pertarungan itu dari atas. Dilihatnya pukulan Fangzheng sukar diduga perubahannya. Belum lanjut pukulannya segera berubah beberapa kali. Sungguh ilmu pukulan mahaaneh yang belum pernah ia lihat seumur hidup. Sebaliknya, pukulan Ren Woxing terlihat sangat sederhana. Tangannya hanya menjulur dan ditarik kembali secara biasa, seperti agak kaku. Tapi meskipun Mahabiksu Fangzheng melancarkan pukulan-pukulan yang sukar dijajaki, Ren Woxing selalu menyambut serangannya dengan tenang. Pada saat itu pula Fangzheng cepat ganti serangan yang lain. Tampaknya mereka berdua memang lawan yang seimbang.

Dalam hal ilmu pukulan tangan kosong, Linghu Chong tidak begitu mahir. Salah satu bagian dalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu yaitu Jurus Mematahkan Pukulan juga belum dikuasainya dengan baik. Lagipula ia merasa kesulitan menemukan titik kelemahan dalam setiap jurus pukulan kedua orang yang sedang bertarung itu.

Kedua tokoh sakti tersebut sama-sama ahli dalam ilmu pukulan. Kehebatan mereka boleh dibilang nomor satu di dunia persilatan. Linghu Chong kebingungan menyaksikan jurus-jurus mereka dan tetap saja kesulitan menemukan intisari gerak serangan keduanya. “Dalam ilmu pedang aku berhasil mengalahkan Pendeta Chongxu dan juga tidak kalah menghadapi Tuan Ren di dalam penjara dulu. Namun kalau menghadapi jurus pukulan yang dilancarkan kedua tokoh ini, bisa-bisa aku hanya menyerang mereka dengan tusukan pedang terus-menerus. Kakek Guru Feng pernah berkata, bahwa aku harus berlatih dulu selama dua puluh tahun baru bisa menandingi tokoh-tokoh papan atas dunia persilatan, terutama menghadapi mereka-mereka yang sudah tidak memerlukan senjata untuk bertarung,” demikian ia berpikir.

Sejenak kemudian, Ren Woxing menyodokkan kedua tangannya ke depan secara mendadak. Kontan Mahabiksu Fangzheng terdesak mundur dua sampai tiga langkah berturut-turut. Linghu Chong terkesiap, hatinya menjerit, “Wah, celaka! Mahabiksu Fangzheng bisa kalah.”

Tapi ia kemudian melihat biksu tua itu memukulkan tangan kirinya melingkar saat lengan kanannya diserang musuh. Kedua tangannya bergerak ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah, menyusul Ren Woxing berbalik mundur selangkah dan mundur lagi. Setelah beberapa jurus, Ren Woxing kembali terdesak mundur beberapa langkah.

Linghu Chong menanggapi dalam hati, “Bagus, bagus!” Tapi sejenak kemudian ia merenung, “Aneh, kenapa aku khawatir ketika melihat Mahabiksu Fangzheng terancam kalah, dan merasa senang jika ia berada di atas angin? Ya, bagaimanapun juga Mahabiksu Fangzheng adalah biarawan saleh, sementara Ketua Ren seorang gembong Sekte Iblis. Hati nuraniku tetap bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk.” Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Namun bila Ketua Ren kalah, maka Yingying akan terkurung lagi selama sepuluh tahun di Gunung Shaoshi. Hal ini jelas tidak kuinginkan.”

Kontan ia menjadi bingung. Hati kecilnya merasa serbasalah. Dalam beberapa saat ia tidak tahu harus memihak siapa. Ia yakin jika Ren Woxing dan Xiang Wentian kembali ke dunia persilatan, maka akan terjadi kekacauan besar. Namun ia sendiri tidak rela kalau Ren Yingying harus mengalami penderitaan di Gunung Shaoshi. Akhirnya ia pun berkata dalam hati, “Ah, kalau memang terjadi kekacauan, biar saja kacau. Justru bagus kalau suasana menjadi ramai.”

Diam-diam ia mengalihkan pandangannya ke arah gadis itu. Tampak Ren Yingying bersandar di sebuah tiang besar. Gadis itu terlihat begitu lemah dan rapuh, seperti tidak mampu menahan tiupan angin. Alisnya yang lentik agak berkerut seperti sedang memendam kesedihan. Seketika rasa kasihan Linghu Chong pun berkobar, “Bagaimana aku bisa membiarkan Yingying dikurung selama sepuluh tahun di sini? Bagaimana ia bisa melewati hari-hari yang penuh dengan perasaan tersiksa?” Ia kemudian teringat betapa gadis itu telah mengorbankan diri demi untuk menyelamatkan jiwanya. Dalam dunia persilatan ia memiliki banyak kawan yang gagah, juga tidak sedikit diperlakukan dengan baik oleh guru, ibu-guru, dan saudara-saudara seperguruan. Namun, hanya Ren Yingying seorang yang rela berkorban sejauh itu.

Darah panas pun bergelora memenuhi rongga dada Linghu Chong. Ia tidak peduli apakah Ren Yingying putri seorang gembong Sekte Iblis, atau penjahat wanita sekalipun. Yang jelas gadis itu pernah berkorban untuk menyelamatkan jiwanya, maka ia tidak akan pernah melupakan budi baik tersebut. Ia siap untuk melindungi Ren Yingying meskipun seluruh dunia akan berbalik memusuhinya.

Sebelas pasang mata terpusat menyaksikan pertandingan kedua tokoh sakti itu. Dalam hati masing-masing mereka memuji kehebatan pukulan Ren Woxing dan Mahabiksu Fangzheng. Tampak Zuo Lengchan tersenyum sendiri dan diam-diam bersyukur, “Untung si tua Ren memilih Mahabiksu Fangzheng sebagai lawannya pada babak pertama ini. Jika ia memilih diriku tentu akan membuatku sulit. Dibandingkan dengan Jurus Tapak Songyang andalan perguruan kami, ilmu pukulannya lebih rumit den memiliki lebih banyak perubahan. Meskipun terlihat kaku, tapi ilmu pukulannya lebih bagus dariku. Ia hanya mengincar satu titik penting saja, tidak lebih dari itu.”

Di sisi lain, Xiang Wentian juga sedang berpikir, “Ilmu silat Perguruan Shaolin yang tersohor selama ratusan tahun ternyata memang bukan omong kosong belaka. Bila aku yang harus menghadapi Mahabiksu Fangzheng, terpaksa harus mengadu tenaga dalam. Untuk bertanding jurus pukulan jelas aku tidak akan bisa menang melawannya.”

Sementara itu Yue Buqun, Pendeta Tianmen, Yu Canghai, dan yang lain juga sedang membandingkan ilmu pukulan kedua jago itu dengan kepandaian mereka masing-masing.

Setelah sekian lama bertempur, lambat laun Ren Woxing merasa ilmu pukulan Mahabiksu Fangzheng mulai kendur. Dalam hati ia berpikir, “Hm, meskipun jurus pukulanmu sangat hebat, namun usiamu jelas sudah tua renta. Daya tahanmu tentu semakin berkurang.”

Segera ia mempercepat serangan. Setelah beberapa kali memukul, tiba-tiba sewaktu menarik tangan kanan terasa pergelangannya agak kaku dan kesemutan. Tenaga dalam juga terasa macet, sungguh membuatnya terkejut bukan main. Ia tahu hal itu disebabkan oleh pengaruh tenaga dalam lawan. Ia kembali berpikir, “Ilmu Mengubah Urat biksu tua ini sungguh sempurna. Aku tidak bisa mengerahkan pukulan karena ia mampu menahan dan mengendalikan tenaga dalamku tanpa harus bersentuhan.” Ia yakin jika pertarungan ini berlangsung lebih lama lagi, dan jika tenaga dalam lawan sudah dikerahkan besar-besaran, tentu ia berada dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan.

Saat itu Fangzheng menghantam dengan pukulan telapak kiri. Ren Woxing berseru sambil menyambut dengan telapak kiri pula. Kedua tangan pun beradu. Mereka kemudian sama-sama mundur selangkah. Terasa tenaga dalam biksu tua itu sangat lembut, tapi mengandung kekuatan yang sungguh luar biasa. Meski Ren Woxing sudah mengerahkan Jurus Penyedot Bintang, namun sedikit pun tidak bisa menghisap tenaga lawan. Dalam hati ia merasa sangat heran.

“Shanti, shanti!” ujar Fangzheng sambil kemudian tangan kanannya menghantam ke depan. Lagi-lagi Ren Woxing menyambut dengan tangan kanan pula. Kedua tangan kembali beradu, sampai tubuh masing-masing tergeliat bersamaan. Ren Woxing merasa darah di seluruh badan seakan-akan mendidih. Segera ia mundur dua langkah, dan tiba-tiba memutar tubuh. Tahu-tahu dada Yu Canghai sudah dicengkeramnya menggunakan tangan kanan, sementara tangan kiri mengayun siap menghantam batok kepala Ketua Perguruan Qingcheng tersebut.

Kejadian ini sungguh cepat bagaikan seekor kelinci yang tiba-tiba disambar elang. Semua mata sedang tertuju kepada Ren Woxing yang sedang kewalahan menghadapi pukulan-pukulan Mahabiksu Fangzheng tadi. Siapa sangka ia tidak menggunakan tenaganya untuk melindungi diri tetapi justru digunakan untuk menyerang orang lain. Yu Canghai sendiri seorang tokoh silat papan atas. Andai saja ia bertarung terang-terangan melawan Ren Woxing, sekalipun pada akhirnya kalah, namun tidak mungkin hanya dalam satu jurus langsung tertangkap seperti itu.

“Oh!” seru banyak orang yang sama-sama terkejut melihatnya.

Mahabiksu Fangzheng segera melompat bagaikan burung menyambar mangsa. Dengan dua telapak tangan berkecepatan tinggi ia memukul ke arah belakang kepala Ren Woxing. Dalam dunia persilatan ini disebut siasat “menyerang Wei, menolong Zhao”, yang memaksa lawan harus menyelamatkan diri lebih dulu dan melepaskan tawanannya. Dalam hal ini Ren Woxing harus membatalkan pukulannya terhadap Yu Canghai demi menangkis serangan Fangzheng.

Semua orang terkejut kagum melihat kecepatan gerakan Mahabiksu Fangzheng yang secepat kilat itu. Meskipun tidak sempat bersorak memuji, namun mereka tahu bahwa jiwa Yu Canghai dapat diselamatkan. Sesuai dugaan, Ren Woxing terpaksa menarik tangannya yang hendak menghantam kepala Yu Canghai tadi. Akan tetapi, tangan tersebut tidak digunakan untuk menangkis serangan Fangzheng, melainkan untuk mencengkeram titik Tanzhong di bagian dada Kepala Biara tersebut. Menyusul kemudian tangan kanannya ikut bekerja pula. Secepat kilat ulu hati Fangzheng ditotoknya dengan tepat. Tanpa ampun lagi, tubuh Kepala Biara Shaolin itu langsung lemas dan roboh terkulai di lantai.

Kontan semua orang terperanjat kaget. Beramai-ramai mereka bergerak maju mengerumuni sang biksu sepuh. Hanya Zuo Lengchan yang menerjang ke depan dan menghantam punggung Ren Woxing. Tapi Ren Woxing sempat menangkis pukulan itu sambil membentak, “Bagus! Anggap saja ini babak kedua!”

Zuo Lengchan melancarkan serangan kilat dengan gaya berubah-ubah. Kadang tangannya memukul, kadang menelapak, lalu berubah menotok, kemudian mencengkeram pula. Dalam sekejap saja ia sudah menggunakan belasan macam bentuk dan gaya serangan tangan.

Meskipun diserang berkali-kali, Ren Woxing masih mampu untuk bertahan dengan mengerahkan segenap tenaga dalam. Beberapa jurus serangannya yang terakhir untuk merobohkan Mahabiksu Fangzheng tadi jelas menggunakan segenap kemampuannya. Jika tidak, bagaimana mungkin seorang Ketua Perguruan Shaolin yang memiliki tenaga dalam setinggi itu bisa dicengkeram pada titik Tanzhong dengan sangat tepat? Bagaimana mungkin satu jari bisa dengan tepat melumpuhkan pula Kepala Biara tersebut? Dalam serangan-serangan tadi bisa dikatakan kalau Ren Woxing telah mempertaruhkan segalanya.

Kemenangan Ren Woxing atas Mahabiksu Fangzheng itu semata-mata juga karena siasat licik belaka. Ia memanfatkan sifat Fangzheng yang welas asih, dengan cara seolah hendak membinasakan Yu Canghai. Perhitungan Ren Woxing sungguh cermat. Pertama, para hadirin yang lain tidak mungkin sempat menolong karena jarak mereka agak jauh. Kedua, Yu Canghai sendiri juga kurang akrab dengan para hadirin itu, sehingga mereka tidak mungkin sudi mengambil risiko demi menolong pendeta pendek tersebut. Dalam keadaan demikian, Ren Woxing yakin hanya Mahabiksu Fangzheng seorang yang akan berusaha menolong Yu Canghai.

Ketika Kepala Biara menolong Yu Canghai dengan cara melancarkan serangan, ternyata Ren Woxing sama sekali tidak menangkis, tapi berbalik mencengkeram dan menotok titik penting di tubuh biksu tua itu. Cara yang dilakukan Ren Woxing ini sesungguhnya sangat berbahaya. Sebab, jangankan kedua tangan Fangzheng yang menghantam ke arah kepalanya, bahkan angin yang ditimbulkan saja sudah bisa membuat otaknya meledak.

Sewaktu menangkap Yu Canghai tadi, Ren Woxing memang sudah mempertaruhkan jiwanya pula. Ia berusaha memanfaatkan hati welas asih biksu agung berbudi luhur itu. Ketika Fangzheng melihat pihak lawan ternyata tidak menangkis pukulannya yang bisa menghancurkan kepala, maka ia pun buru-buru menarik kembali tangannya itu secara mendadak. Untuk hal ini, ia harus mengerahkan tenaga sangat besar sehingga daerah dada dan perut menjadi kosong dan terbuka.

Maka, begitu Ren Woxing mencengkeram dan menotok dadanya, Fangzheng sekuat tenaga mengumpulkan tenaga di tangannya untuk balas memukul kepala Ren Woxing. Namun keadaannya sudah sangat lemah. Tenaga dalam di titik Dantian pun sama sekali tidak bisa berkembang, sehingga tubuhnya terpaksa jatuh begitu saja ke lantai.

Pendeta Chongxu segera memapah Mahabiksu Fangzheng dan membuka totokan pada tubuhnya, sambil berkata, “Saudara Kepala Biara terlalu welas asih, sehingga bisa diperdaya oleh lawan secara licik.”

“Amitabha!” ujar Fangzheng. “Pikiran Tuan Ren memang cerdik. Tuan Ren bisa menang karena adu akal, bukan adu tenaga. Aku sungguh sangat kagum dan mengaku kalah.”

Terdengar Yue Buqun berseru, “Ketua Ren memakai akal licik, kemenangannya tidak gemilang. Cara yang ia gunakan sama sekali bukan perbuatan seorang laki-laki budiman.”

“Memangnya dalam Sekte Matahari dan Bulan kami ada laki-laki budiman?” sahut Xiang Wentian dengan tertawa. “Jika Ketua Ren seorang laki-laki budiman tentu sejak dahulu sudah berkubang lumpur dengan kalian. Jika demikian, pertandingan seperti sekarang ini tidak mungkin akan pernah ada.”

Yue Buqun langsung terdiam oleh perkataan Xiang Wentian itu.

Ren Woxing sendiri sedang bersandar pada sebatang tiang kayu sambil melancarkan pukulan untuk menangkis setiap serangan Zuo Lengchan. Sebagai Ketua Perguruan Songshan sekaligus Ketua Serikat Pedang Lima Gunung, sikap Zuo Lengchan biasanya sangat angkuh. Pada kesempatan lain tentu ia tidak sudi bertempur melawan Ren Woxing di saat lawannya itu baru saja bertanding melawan tokoh nomor satu Perguruan Shaolin. Ia paham bahwa cara demikian tentu akan membuatnya disebut sebagai pengecut yang mengambil keuntungan dari lawan. Namun, Ren Woxing baru saja merobohkan Mahabiksu Fangzheng dengan cara licik dan membuat gusar tokoh-tokoh aliran lurus yang menyaksikan. Sekarang Zuo Lengchan tiba-tiba maju melabrak Ren Woxing tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, membuatnya justru mendapatkan pujian karena rasa setia kawan yang ia tunjukkan itu. Para hadirin mengira Zuo Lengchan maju karena didorong perasaan gusar melihat ketidakadilan, padahal ia telah memanfaatkan kesempatan emas untuk menyerang Ren Woxing yang sedang kelelahan.

Xiang Wentian melihat gerak-gerik Ren Woxing agak lamban dan sukar bernapas di bawah serangan gencar Zuo Lengchan. Ia pun mendekati tiang dan berseru, “Ketua Zuo, apa kau tidak tahu malu, melawan orang yang baru saja bertempur? Biarlah aku saja yang melayanimu!”

“Setelah kurobohkan orang bermarga Ren ini baru kuhadapi dirimu. Memangnya aku takut bertempur secara bergiliran melawan kalian?” sahut Zuo Lengchan sambil sebelah tangannya terus menghantam ke arah Ren Woxing.

Ren Woxing menanggapi dengan nada dingin, “Adik Xiang, kau minggir saja!”

Xiang Wentian kenal baik watak Sang Ketua yang tidak mau kalah itu. Ia pun tidak berani membantah, dan terpaksa berkata, “Baiklah, aku mundur dulu. Tapi orang bermarga Zuo ini terlalu pengecut dan tidak tahu malu. Akan kutendang pantatnya!” Bersama itu ia mengangkat sebelah kakinya, siap menendang pantat Zuo Lengchan.

“Apa kalian hendak main kerubut?” teriak Zuo Lengchan dengan gusar sambil mengelak ke samping.

Ternyata gerakan kaki Xiang Wentian itu hanyalah pura-pura saja. Melihat Zuo Lengchan tertipu, Xiang Wentian terbahak-bahak geli dan menjawab, “Hahaha, hanya anak haram yang suka main kerubut!” Ia lalu melompat mundur dan berdiri di samping Ren Yingying.

Karena ejekan Xiang Wentian itu, serangan Zuo Lengchan menjadi sempat tertunda. Kesempatan ini segera digunakan oleh Ren Woxing untuk menarik napas panjang-panjang. Seketika semangatnya pun bangkit kembali dan segera membalas serangan dengan menghantam tiga kali berturut-turut.

Sekuat tenaga Zuo Lengchan berusaha mematahkan serangan Ren Woxing itu. Diam-diam ia terkesiap menyadari sesuatu dan berpikir. “Sudah belasan tahun aku tidak bertarung melawan tua bangka ini. Ternyata ilmu silatnya meningkat dengan pesat. Hm, untuk bisa memenangkan babak ini, aku harus mengerahkan segenap kemampuanku.”

Pertarungan antara Zuo Lengchan melawan Ren Woxing kali ini adalah pertempuran mereka untuk yang kedua kalinya. Pertarungan di hadapan tokoh-tokoh tertinggi dunia persilatan sekarang ini benar-benar pertarungan yang menentukan. Karena itu mereka sangat mementingkan soal kemenangan, sama sekali berbeda dengan pertandingan babak pertama antara Ren Woxing melawan Mahabiksu Fangzheng tadi, yang dilangsungkan dalam suasana ramah tamah.

Begitu Ren Woxing mendapatkan napas baru, seketika semua gerakannya menjadi gerakan membunuh. Tangannya berganti gaya serangan dari memukul menjadi memotong. Tangan Zuo Lengchan pun berubah-ubah, dari memukul, menapak, sampai mencengkeram. Semakin lama semakin cepat pertarungan kedua orang itu. Linghu Chong sampai sulit membedakan siapa di antara mereka. Sewaktu melihat pertandingan babak pertama tadi ia tidak paham akan intisari gerakan Ren Woxing dan Fangzheng, dan kini ia sangat kesulitan mengikuti kecepatan gerak kedua tokoh sakti tersebut.

Ia lalu melirik ke arah Ren Yingying. Muka gadis itu tampak putih bersih bagaikan salju, sama sekali tidak menunjukkan suatu perasaan cemas ataupun khawatir. Seolah-olah ia sangat yakin bahwa ayahnya akan meraih kemenangan lagi di babak kedua ini. Sementara itu wajah Xiang Wentian kadang terlihat senang, kadang terlihat cemas. Kadang ia terlihat heran, kadang terlihat kecewa. Kadang matanya melotot, kadang menggertakkan gigi seolah ia sendiri yang sedang bertempur. Melihat itu Linghu Chong berpikir, “Pengalaman Kakak Xiang jauh lebih luas daripada Yingying. Melihat ketegangan di wajahnya, mungkin sekali dalam babak ini Tuan Ren sukar mendapat kemenangan.”

Perlahan-lahan pandangannya beralih ke arah lain. Tampak guru dan ibu-gurunya berdiri berjajar di samping Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu. Di belakang mereka berdiri Pendeta Tianmen, Ketua Perguruan Taishan. Di sampingnya lagi terdapat Tuan Besar Mo, Ketua Perguruan Hengshan. Sejak datang tadi Tuan Besar Mo sama sekali tidak membuka suara sehingga Linghu Chong tidak tahu bahwa ia juga datang ke Biara Shaolin. Melihat sosok kurus kering itu, Linghu Chong berpikir, “Adik Yilin dan yang lain sekarang sudah tidak mempunyai guru. Entah bagaimana keadaan mereka sekarang?”

Di sisi lain tampak Yu Canghai, Ketua Perguruan Qingcheng berdiri sendiri di sudut ruangan dengan menggenggam erat gagang pedangnya. Wajahnya terlihat sangat gusar. Di sisi barat tampak seorang laki-laki berambut putih dengan pakaian compang-camping. Ia tentu Ketua Partai Pengemis yang bernama Xie Feng. Di sebelahnya tampak seorang berperawakan gagah dengan pakaian serbahitam. Ia tentu Ketua Perguruan Kunlun yang bernama Zhenshan Zi, si Pedang Langit dan Bumi.

Kesembilan tokoh tersebut adalah orang-orang sakti di dunia persilatan saat ini. Masing-masing merupakan pemimpin aliran ternama. Andai saja mereka tidak memusatkan perhatian ke arah pertandingan, tentu sejak tadi keberadaan Linghu Chong sudah mereka ketahui melalui tarikan atau hembusan napasnya.

Dalam hati Linghu Chong merenung, “Para guru besar dunia persilatan berkumpul di sini. Guru dan Ibu-Guru juga hadir, serta Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan Paman Guru Mo, tiga orang sesepuh yang sangat kuhormati. Rasanya tidak sopan jika aku bersembunyi di sini mendengarkan pembicaraan mereka dari tadi. Meskipun aku tiba lebih awal dan mereka belakangan, tetap saja aku merasa tidak nyaman telah menguping pembicaraan mereka. Kalau sampai ketahuan sungguh diriku akan malu setengah mati.”

Maka ia pun berharap Ren Woxing bisa memenangkan babak ini, sehingga mereka bertiga dapat pergi dengan bebas. Dan kalau nanti Mahabiksu Fangzheng dan yang lain sudah pindah ke ruangan lain, ia berniat lekas-lekas menyusul dan menemui Ren Yingying. Terpikir akan berbicara dengan gadis itu, seketika dadanya terasa hangat. Ia merenung, “Apakah untuk seterusnya aku dan Yingying benar-benar akan menjadi suami-istri? Tidak perlu disangsikan lagi, ia memperlakukanku dengan penuh perhatian. Tapi aku … tapi aku ….”

Memang selama ini jika ia teringat kepada Ren Yingying, maka yang terpikir olehnya adalah perasaan ingin membalas budi. Ia bertekad membebaskan gadis itu lolos dari Biara Shaolin, adalah untuk menunjukkan kepada dunia persilatan bahwa dirinya yang telah jatuh hati kepada si nona dan bukan sebaliknya. Dengan demikian orang-orang persilatan tidak lagi mencemooh Ren Yingying bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. Anehnya, setiap bayangan Ren Yingying yang cantik itu timbul dalam benaknya, hatinya tidak merasakan kebahagiaan atau kemesraan. Hal ini sungguh berbeda dibanding jika ia terkenang kepada Yue Lingshan yang sangat dicintainya itu. Terhadap Ren Yingying yang ada adalah perasaan agak-agak takut di dalam hati.

Ketika pertama kali bertemu dengan Ren Yingying dulu, ia senantiasa menyangka gadis itu sebagai seorang nenek tua. Maka yang timbul dalam hatinya adalah tujuh puluh persen perasaan hormat dan tiga puluh persen perasaan terima kasih. Kemudian setelah mengetahui sifat si nona yang ringan tangan, membunuh orang dengan gampang, membuat rasa hormatnya itu telah bercampur pula dengan tiga bagian rasa muak dan tiga bagian rasa takut. Rasa muak itu perlahan-lahan menjadi tawar setelah mengetahui ternyata Ren Yingying telah jatuh hati kepadanya.

Mendengar si nona mengorbankan diri dan terkurung di Biara Shaolin, seketika timbul rasa terima kasih Linghu Chong yang tak terkira kepadanya. Namun rasa terima kasih yang dalam itu tidak menimbulkan pikiran ingin untuk berhubungan lebih akrab. Yang ia harapkan hanya bagaimana bisa membalas budi kebaikan si nona saja. Maka ketika mendengar Ren Woxing menyebut dirinya sebagai calon menantu, entah mengapa perasaannya menjadi serbasalah, sedikit pun tidak merasa senang. Padahal bicara soal kecantikan, Ren Yingying sangat jauh melebihi Yue Lingshan. Namun semakin melihat kecantikan gadis itu, semakin dirasa pula adanya jarak yang jauh di antara mereka.

Hanya beberapa kali saja Linghu Chong memandang Ren Yingying dan setelah itu tidak berani melihat lagi. Ia kemudian menyaksikan kedua tangan Xiang Wentian mengepal, dengan kedua mata melotot lebar ke arah pertandingan. Ternyata saat itu Zuo Lengchan sudah terdesak sampai ke sudut ruangan, sementara Ren Woxing masih terus menghujaninya dengan pukulan-pukulan dahsyat. Tampaknya Zuo Lengchan sudah kewalahan, tangkisannya lemah, dan serangannya selalu gagal. Ketua Perguruan Songshan itu lebih banyak bertahan daripada menyerang.

Tiba-tiba Ren Woxing membentak dan kedua tangannya mendorong ke arah dada lawan. Lekas-lekas Zuo Lengchan menyambut dengan kedua tangan pula. Maka, empat telapak tangan pun beradu. Zuo Lengchan terdesak mundur dengan punggung menumbuk tembok. Debu pasir pun jatuh bertebaran dari atap.

Linghu Chong merasa badannya ikut terguncang. Papan nama besar yang digunakannya bersembunyi itu seakan-akan ikut rontok ke bawah. Ia terkejut dan berpikir, “Paman Guru Zuo dalam masalah besar. Kalau mereka mengadu tenaga dalam, Tuan Ren tentu menggunakan Jurus Penyedot Bintang untuk menghisap tenaga Paman Guru Zuo. Dalam sekejap, tentu Paman Guru Zuo akan kalah telak.”

Tapi lantas dilihatnya Zuo Lengchan menarik tangan kanannya, sehingga tinggal tangan kiri saja yang menahan kekuatan musuh. Menyusul kemudian dengan dua jari tangan kanan ia menotok ke arah Ren Woxing. Mendadak Ren Woxing berseru kaget dan lekas-lekas melompat mundur untuk menghindar. Segera Zuo Lengchan menotok lagi dengan jari tangan kiri. Berturut-turut ia menotok tiga kali dan Ren Woxing pun terdesak mundur tiga langkah.

Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan yang lain merasa terkejut. Masing-masing berpikir, “Jurus Penyedot Bintang milik Ren Woxing dapat menghisap tenaga dalam lawan tanpa ampun. Tapi mengapa ketika keempat tangan itu beradu, Zuo Lengchan sama sekali tidak celaka? Apakah ilmu tenaga dalam Perguruan Songshan sedemikian kebal terhadap Jurus Penyedot Bintang?” Mereka merasa heran menyaksikan hal itu, sementara Ren Woxing tentu jauh lebih heran lagi.

Belasan tahun silam, Ren Woxing tidak perlu menggunakan Jurus Penyedot Bintang sudah mampu membuat Zuo Lengchan terdesak. Tapi ketika Zuo Lengchan sudah hampir bisa dirobohkan, tiba-tiba jantung Ren Woxing terasa sakit dan tenaga dalamnya sukar dikerahkan. Ia terkejut dan menyadari bahwa hal itu merupakan akibat sampingan dari Jurus Penyedot Bintang yang belum dikuasainya secara sempurna. Jika di waktu biasa tentu ia bisa segera duduk bersamadi untuk memusnahkan rasa sakit tersebut. Namun saat itu ia sedang menghadapi lawan tangguh, mana ada kesempatan untuk mengobati penyakit? Dalam keadaan yang genting itu tiba-tiba muncul dua orang adik seperguruan Zuo Lengchan, yaitu Ding Mian dan Fei Bin. Dengan cerdik Ren Woxing pun berseru, “Hahaha, kita sudah sepakat bertarung satu lawan satu, tapi secara licik kau menyembunyikan pembantu. Seorang laki-laki sejati tidak sudi dicurangi, biarlah kita bertemu lagi lain waktu. Sekarang tuan besarmu ini tidak sudi meladeni kalian. Selamat tinggal!”

Sebaliknya, Zuo Lengchan sendiri juga sadar dirinya pasti kalah. Melihat pihak lawan tiba-tiba hendak mengakhiri pertandingan, tentu hal ini sangat kebetulan baginya. Maka, ia tidak berani mengejek dengan kata-kata yang bisa memancing amarah lawan, namun dalam hati juga tidak mengizinkan Ding Mian dan Fei Bin ikut campur karena akan menghancurkan nama besarnya. Berpikir demikian, ia pun menjawab, “Salahmu sendiri, kenapa kau tidak membawa para begundalmu dari Sekte Iblis?”

Ren Woxing tertawa, lalu memutar tubuh dan melangkah pergi. Begitulah, pertarungan di masa lalu itu telah diakhiri tanpa kejelasan siapa yang kalah atau menang. Hanya saja, mereka saling menyadari kelemahan ilmu silat masing-masing. Sejak itulah keduanya sama-sama berlatih dengan lebih tekun supaya tidak mengalami kekalahan pada pertemuan selanjutnya.

Lebih-lebih Ren Woxing mengetahui akibat sampingan dari Jurus Penyedot Bintang yang dilatihnya itu. Ilmu tersebut memang membuatnya bisa menghisap tenaga lawan, tapi tenaga yang dihisap itu berbeda-beda asal-muasal golongannya, juga beraneka ragam tingkat kekuatannya. Campuran bermacam-macam tenaga tersebut kalau tidak segera diselaraskan tentu akan berakibat buruk. Rasa sakit bisa saja timbul pada saat-saat yang tidak terduga dan berbalik menyerang diri sendiri. Ren Woxing yang memiliki tenaga dalam tinggi tentu dengan mudah dapat mengatasi kekacauan yang ditimbulkan oleh tenaga dalam hasil menghisap orang lain. Tapi sungguh sangat berbahaya bila tenaga liar itu mendadak mengacau pada saat bertarung menghadapi lawan tangguh seperti Zuo Lengchan tersebut. Menghadapi lawan tangguh tentu membuat tenaga banyak terkuras sehingga sulit untuk menekan serangan tenaga liar yang tiba-tiba muncul di dalam tubuh.

Siang dan malam Ren Woxing sibuk mencari cara untuk mengatasi pengaruh buruk yang ditimbulkan Jurus Penyedot Bintang tersebut. Pada saat sibuk memusatkan pikiran demi mengatasi tenaga-tenaga liar yang bergolak di dalam tubuh itulah, seorang tokoh mahacerdik semacam dirinya sampai lengah terhadap perangkap yang diatur oleh Dongfang Bubai, orang kepercayaannya sendiri. Akibatnya, ia harus mendekam selama belasan tahun di dasar Danau Barat. Tapi justru di tempat itulah ia dapat memusatkan pikiran tanpa gangguan dari luar sehingga berhasil menemukan cara untuk mengatasi tenaga-tenaga liar yang bergolak di dalam tubuh tersebut. Kini, Jurus Penyedot Bintang tidak lagi menimbulkan penyakit “senjata makan tuan” bagi dirinya.

Dalam pertarungan kali ini Ren Woxing mengerahkan Jurus Penyedot Bintang ketika kedua telapak tangannya beradu dengan tangan Zuo Lengchan. Tapi anehnya, tenaga dalam Zuo Lengchan ternyata kosong melompong entah ke mana. Ren Woxing terkejut karena lawan menggunakan ilmu yang sangat aneh seperti itu. Ia sama sekali tidak bisa menghisap tenaga dalam Zuo Lengchan. Tadi ia juga tidak mampu menghisap tenaga Mahabiksu Fangzheng karena Kepala Biara Shaolin itu secara tiba-tiba mampu menyembunyikan tenaga yang ia miliki. Kejadian seperti itu ternyata terulang kembali di babak kedua dan sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran Ren Woxing.

Setelah tiga kali menggunakan Jurus Penyedot Bintang dan tetap tak bisa menyedot tenaga lawan, tiba-tiba Ren Woxing melihat Zuo Lengchan menusuknya dengan dua buah jari tangan kanan. Melihat gerak tusukan lawan tersebut sangat ganas, Ren Woxing mundur tiga langkah lalu mengubah jurusnya dan memukul dengan sembarangan. Kedua orang itu kembali bertarung lebih dari tiga puluh jurus. Ketika tangan kiri Ren Woxing menebas, Zuo Lengchan menyentilnya dengan jari tengah, lalu jari telunjuknya bergerak menotok ke arah iga lawan.

Melihat itu Ren Woxing berpikir, “Coba lihat, totokan jarimu ini mengandung tenaga atau tidak?” Maka, ia hanya sedikit memiringkan tubuh, seolah menghindar, padahal sengaja memberi peluang agar totokan lawan itu mengenai sasaran. Tujuan Ren Woxing adalah memberi peluang agar kedua jari Zuo Lengchan itu menusuk dadanya, sehingga Jurus Penyedot Bintang yang sudah dipersiapkan bisa langsung bekerja.

“Bila totokan jarimu ini tidak bertenaga, paling-paling aku hanya merasa geli saja. Tapi sebaliknya, kalau jarimu ini bertenaga, tentu tenagamu akan langsung kusedot habis dalam sekaligus,” demikian Ren Woxing berpikir.

Pada saat itulah kedua jari tangan kanan Zuo Lengchan sudah mencapai sasaran, tepat menusuk titik Tianchi pada bagian dada Ren Woxing. Jurus Penyedot Bintang pun langsung bekerja pula. Benar juga, dalam waktu singkat tenaga dalam Zuo Lengchan langsung bocor dan membanjir keluar bagaikan tanggul yang bobol, tersedot oleh Ren Woxing melalui titik tersebut. Anehnya, Zuo Lengchan ternyata tidak khawatir, sebaliknya malah tersenyum gembira, bahkan semakin mengerahkan tenaganya supaya tersedot jurus lawan.

Sebaliknya, badan Ren Woxing tiba-tiba mengejang. Dari pusarnya muncul suatu arus hawa dingin yang menjalar ke atas. Seketika kaki dan tangannya tidak bisa berkutik, seluruh urat nadi terasa macet pula dan tidak dapat mengalirkan darah.

Perlahan-lahan Zuo Lengchan menarik kembali tangannya dan bergeser mundur ke pinggir selangkah demi selangkah sambil menatap Ren Woxing tanpa bicara sedikit pun. Ren Woxing sendiri terlihat gemetar. Tangan dan kakinya kaku tidak bergerak. Keadaannya mirip seperti orang yang sedang tertotok jalan darahnya.

“Ayah!” teriak Ren Yingying sambil menubruk maju dan memegang badan Ren Woxing. Terasa lengan ayahnya itu dingin luar biasa. Dengan cepat ia menoleh dan memanggil, “Paman Xiang!”

Xiang Wentian pun memburu maju dan segera mengurut-urut beberapa kali bagian dada Ren Woxing. Setelah itu barulah Ren Woxing bisa bersuara dan pernapasannya kembali lancar.

“Hm, bagus, bagus!” kata Ren Woxing dengan muka pucat pasi. “Langkahmu ini sama sekali tak terpikir olehku. Mari kita ulangi lagi!”

Zuo Lengchan tidak menjawab, hanya menggeleng perlahan saja.

Yue Buqun menyahut, “Kalah dan menang sudah jelas terlihat. Untuk apa harus diulangi lagi? Bukankah titik Tianchi Tuan Ren sudah tertotok oleh Ketua Zuo?”

Ren Woxing mendengus dengan gusar, “Huh, benar juga! Aku telah tertipu. Baiklah, babak ini anggap saja aku yang kalah.”

Siasat yang digunakan Zuo Lengchan tadi benar-benar sangat berbahaya, bahkan bagi dirinya sendiri. Ia baru saja mengerahkan Tenaga Dalam Mahadingin yang dilatihnya selama belasan tahun dan sengaja membiarkannya dihisap oleh Ren Woxing. Ilmu tenaga dalam yang dilatih Zuo Lengchan ini serupa dengan Jurus Jari Langit Hitam milik Heibaizi dari Wisma Meizhuang , namun jauh lebih kuat. Setelah hawa murni dingin sebanyak itu merasuk ke dalam tubuh Ren Woxing melalui tusukan kedua jarinya, dalam sekejap sekujur tubuh Ren Woxing pun kaku membeku. Pada detik selanjutnya Zuo Lengchan lantas mengerahkan tenaga dalamnya lagi untuk menutup titik nadi lawan. Pada umumnya pertarungan menggunakan totokan semacam ini hanya digunakan oleh para pesilat kelas dua atau tiga. Namun tak disangka-sangka cara ini justru digunakan Zuo Lengchan untuk meraih kemenangannya. Meskipun menggunakan cara yang tidak jujur, namun hanya orang yang memiliki tenaga dalam mahatinggi seperti dirinya yang mampu menyempurnakan siasat tersebut.

Xiang Wentian mengetahui kalau tenaga dalam Zuo Lengchan sudah terkuras habis dan untuk memulihkan diri paling tidak membutuhkan waktu sedikitnya dua sampai tiga bulan. Maka, ia pun berkata, “Tadi Ketua Zuo menyatakan hendak melayani aku bila sudah mengalahkan Ketua Ren. Sekarang mari kita mulai.”

Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan yang lain mengetahui maksud ucapan Xiang Wentian tersebut. Setelah membekukan aliran darah lawannya, Zuo Lengchan tampak begitu pucat, bahkan tidak mampu bersuara sepatah kata pun. Apabila kedua orang itu benar-benar bertarung, maka Zuo Lengchan tidak hanya akan mengalami kekalahan, namun bisa-bisa terbunuh di tangan Xiang Wentian. Akan tetapi, Zuo Lengchan sendiri tadi memang telah berkata demikian, sehingga ia bisa dikatakan pengecut bila tidak menerima tantangan Xiang Wentian.

Tiba-tiba Yue Buqun menyela, “Sejak awal kita sudah sepakat mengadakan pertandingan tiga babak. Siapa saja jago yang akan maju tergantung kepada pilihan pihak masing-masing dan tidak boleh pihak lawan ikut menentukan. Bukankah Ketua Ren sendiri sudah menyetujuinya? Ketua Ren seorang kesatria sejati, mana mungkin mengingkari persetujuan ini?”

“Tuan Yue memang pintar bicara, pandai bersilat lidah,” kata Xiang Wentian sambil tersenyum. “Tapi kau sendiri masih terlalu jauh untuk bisa disebut sebagai ‘kesatria sejati’. Caramu berdebat mirip seorang pengecut yang tidak memegang janji.”

“Kesatria sejati atau pengecut tergantung kepada orangnya,” sahut Yue Buqun. “Cara penilaian kaum kesatria tentunya berbeda dibanding pandangan kaum pengecut. Bagi kaum kesatria, semua orang di dunia adalah baik. Bagi kaum pengecut, semua orang di dunia adalah buruk.”

Zuo Lengchan terlihat sedang menyeret kakinya kemudian bersandar pada salah satu tiang kayu. Keadaannya begitu lemah. Untuk berdiri saja susah, apalagi harus bertempur kembali.

Pendeta Chongxu lantas maju dua langkah dan berkata, “Sudah lama kudengar Tuan Xiang dijuluki sebagai Datuk Maharaja Langit, yang kemahirannya telah mengguncangkan dunia persilatan. Aku, si pendeta tua selaku Ketua Perguruan Wudang merasa malu dalam pertemuan ini belum melakukan apa-apa. Rasanya sungguh beruntung jika sebelum mengasingkan diri pada waktu yang tidak lama lagi aku bisa meminta petunjuk kepada Datuk Maharaja Langit. Sungguh hal ini merupakan kehormatan terbesar bagiku.”

Sebagai seorang ketua perguruan termasyhur, ucapannya itu sangat menghargai lawan, sehingga membuat Xiang Wentian sukar untuk menolak tantangan halus tersebut. Maka, Xiang Wentian pun menjawab, “Aku sangat menghormati permintaanmu. Sudah lama aku mengagumi Jurus Pedang Taiji dari Perguruan Wudang. Aku terpaksa harus memperlihatkan kebodohan diri sendiri demi melayani Pendeta Chongxu beberapa jurus.”

Xiang Wentian memberi hormat kemudian mundur dua langkah. Pendeta Chongxu membalas penghormatan. Kedua orang itu berdiri berhadapan dengan mata saling menatap tajam. Meskipun demikian, keduanya tidak langsung melolos senjata.

Baik Xiang Wentian maupun Pendeta Chongxu sama-sama memiliki nama besar di dunia persilatan. Namun demikian, sulit sekali untuk menebak siapa di antara mereka yang lebih unggul. Babak ketiga ini benar-benar merupakan babak penentuan, apakah Ren Woxing bertiga akan dikurung di Biara Shaolin ataukah bisa turun gunung dengan leluasa. Membayangkan hasil akhir pertandingan ini, jantung para hadirin berdebar-debar, begitu pula mereka berdua yang sedang berhadapan.

Tiba-tiba Ren Woxing berseru, “Tunggu dulu! Tolong kau mundur, Adik Xiang!” Usai berkata demikian ia lantas mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.

Kontan semua orang terperanjat melihat Ren Woxing menghunus senjata. Mereka sangsi apakah benar Ren Woxing berani bertarung melawan Pendeta Chongxu, padahal ia baru saja bertanding dua babak berturut-turut melawan dua orang ahli silat papan atas.

Tentu saja Zuo Lengchan menjadi orang yang paling terkejut. Ia merenung, “Hasil latihanku selama belasan tahun telah berhasil membekukan titik Tianchi di dadanya. Seorang pesilat yang sepuluh kali lebih hebat darinya pun membutuhkan waktu enam sampai tujuh jam untuk bisa pulih kembali dari totokanku. Bagaimana ia bisa begitu yakin hendak bertarung lagi?”

Saat itu tak seorang pun yang tahu bahwa Ren Woxing merasa perutnya sakit luar biasa seperti ditusuk-tusuk puluhan pisau. Untuk bicara saja terlihat sangat dipaksakan, apalagi bertempur kembali.

Pendeta Chongxu tersenyum dan berkata, “Apakah Ketua Ren bermaksud memberi petunjuk kepadaku? Tapi kurasa ini tidak adil dan sangat menguntungkan diriku jika Ketua Ren lagi yang maju lagi pada babak ketiga ini.”

Ren Woxing menjawab, “Aku baru saja mempertaruhkan jiwa dengan bertempur melawan dua tokoh silat papan atas. Jika aku bertanding lagi melawan Pendeta Chongxu, itu artinya terlalu memandang rendah kepada ilmu pedang Perguruan Wudang yang termasyhur selama ratusan tahun. Meskipun aku menjadi orang gila juga takkan melakukan itu.”

Pendeta Chongxu mengangguk gembira, “Terima kasih banyak, Ketua Ren.” Ketika melihat Ren Woxing mencabut pedang tadi, ia merasa serbasalah. Ia mengira Ren Woxing akan menantangnya bertarung di babak ketiga. Jika ia melayani tantangan itu dan mendapat kemenangan, tentu kemenangannya sangat tidak terhormat. Namun jika ia sampai kalah, tentu Perguruan Wudang akan kehilangan muka di dunia persilatan.

Ren Woxing melanjutkan, “Pendeta Chongxu adalah tenaga baru di pihak kalian. Maka, di pihak kami juga harus tampil seorang tenaga baru. Nah, adik cilik Linghu Chong, silakan turun kemari!”

Kata-kata ini benar-benar membuat semua orang terkejut. Serentak mereka ikut memandang ke arah papan nama yang dituju tatapan mata Ren Woxing.

Linghu Chong terkejut dan untuk sesaat merasa serbasalah. Karena tidak ada gunanya lagi bersembunyi, terpaksa ia meloncat ke bawah dan langsung berlutut menyembah di hadapan Mahabiksu Fangzheng. “Secara lancang aku telah menyusup ke dalam biara agung ini. Mohon Kepala Biara sudi menjatuhkan hukuman,” demikian ia berkata.

“Hahahaha, ternyata Pendekar Muda Linghu yang datang,” kata Fangzheng sambil tertawa terkekeh-kekeh. “Sejak tadi aku mendengar pernapasan Pendekar Muda sangat halus dan teratur, pertanda tenaga dalammu benar-benar melimpah. Aku sempat heran tokoh sakti mana lagi yang sudi berkunjung ke sini. Silakan bangun, silakan bangun, aku tidak berani menerima penghormatan setinggi ini.” Sambil berkata demikian ia membalas hormat dengan merangkap kedua tangan.

Linghu Chong terdiam dan berpikir, “Ternyata Mahabiksu Fangzheng sudah mengetahui kalau aku bersembunyi di balik papan nama itu.”

Xie Feng, Ketua Partai Pengemis tiba-tiba berseru, “Linghu Chong, coba kau lihat tulisan ini!”

Linghu Chong bangkit dan memandang ke arah tiang yang ditunjuk olehnya. Ternyata pada tiang kayu tersebut telah terukir tiga baris kalimat. Kalimat pertama berbunyi: “Di balik papan nama ada orang”. Lalu kalimat kedua berbunyi: “Akan kuseret dia turun”. Dan kalimat ketiga berbunyi: “Nanti dulu, hawa murni orang ini seperti dari golongan lurus, juga seperti dari golongan sesat. Belum jelas dia kawan atau lawan”.

Setiap huruf yang menyusun tulisan-tulisan tersebut masih baru dan terukir dalam. Kalimat pertama dan ketiga sepertinya hasil ukiran jari tangan Mahabiksu Fangzheng, sedangkan kalimat kedua berasal dari jari tangan Xie Feng. Menyadari hal itu Linghu Chong merenung kagum, “Mahabiksu Fangzheng mengetahui keberadaanku dan bisa menebak asal-usul tenaga dalamku hanya dengan merasakan pernapasanku yang sangat halus. Benar-benar seorang tokoh persilatan papan atas.”

Segera ia kembali berkata, “Mohon para Sesepuh sekalian sudi memberi maaf. Karena kedatangan para Sesepuh sekalian, aku merasa sangat ketakutan dan terpaksa bersembunyi di atas sana. Maafkan aku yang tidak berani turun untuk memberi hormat.”

Xie Feng menanggapi dengan tertawa, kemudian berkata, “Kenapa kau ketakutan seperti seorang pencuri? Memangnya kau hendak mencuri apa di Biara Shaolin ini?”

“Aku mendengar Nona Ren ditahan di sini. Maksud kedatanganku adalah hendak menjemputnya pulang,” jawab Linghu Chong.

“Haha, ternyata kedatanganmu ini hendak mencuri istri?” kata Xie Feng dengan tertawa. “Ini sebenarnya bukan hal yang menakutkan, tapi sangat memalukan.”

Linghu Chong menjawab dengan nada sungguh-sungguh, “Aku berhutang budi kepada Nona Ren. Sekalipun badanku hancur lebur demi dia, aku rela.”

“Sungguh sayang, sungguh sayang,” ujar Xie Feng sambil menghela napas. “Seorang pemuda baik-baik dan punya masa depan gemilang ternyata menjadi korban seorang wanita. Andai saja kau tidak terjerumus, maka jabatan Ketua Perguruan Huashan tidak mungkin bisa lari dari tanganmu.”

Ren Woxing menyela, “Hanya jabatan Ketua Perguruan Huashan, apa yang harus dibanggakan? Kelak kalau aku yang tua ini sudah mati, jabatan Ketua Sekte Matahari dan Bulan juga akan jatuh ke tangan menantu kesayanganku ini.”

Linghu Chong terkejut dan berkata dengan suara gemetar, “Oh, tidak … tidak ….”

“Sudahlah, tidak perlu banyak bicara lagi,” kata Ren Woxing dengan tertawa. “Nah, Chong’er, kenapa kau tidak segera meminta petunjuk kepada Ketua Perguruan Wudang itu? Pendeta Chongxu memiliki jurus pedang berupa perpaduan tenaga lembut dan kasar. Permainan pedangnya adalah menciptakan lingkaran-lingkaran sinar pedang yang mematikan, sungguh jarang ada tandingannya di dunia persilatan. Hendaknya kau berhati-hati.”

Ia memanggil Linghu Chong dengan sebutan “Chong’er”, seolah sudah menganggap pemuda itu sebagai anggota keluarga sendiri. Tentu saja Linghu Chong semakin merasa serbasulit.

Saat itu masing-masing pihak sudah menang satu babak, sehingga babak ketiga adalah babak yang sangat menentukan. Dulu Linghu Chong pernah bertanding pedang melawan Pendeta Chongxu dan dapat mengalahkannya. Maka, demi untuk menolong Ren Yingying mau tidak mau ia harus bertarung lagi menghadapi pendeta itu.

Segera ia memutar tubuh ke arah Pendeta Chongxu dan bersujud beberapa kali kepadanya. Chongxu terkejut dan buru-buru membangunkannya, sambil berkata, “Kenapa Pendekar Muda memakai adat setinggi ini? Aku tidak berani menerima penghormatan darimu.”

Linghu Chong menjawab, “Pendeta adalah kesatria agung yang memiliki perhatian besar kepadaku. Aku sangat menghormati Pendeta dan sekarang terpaksa harus meminta pelajaran dari Pendeta. Sungguh hatiku merasa sangat tidak enak.”

“Ah, kau ini terlalu banyak adat,” ujar Chongxu sambil tertawa.

Begitu Linghu Chong bangkit, Ren Woxing langsung menyodorkan pedang kepadanya. Ia menerima pedang itu lantas berdiri di sudut kiri dengan ujung pedang mengarah ke bawah. Pendeta Chongxu memandangnya sekejap, lalu berpaling dan memandang jauh ke angkasa. Ia termenung-menung sambil memikirkan pertarungan tempo hari.

Para hadirin terheran-heran melihatnya terdiam tak bergerak sama sekali seperti sedang bersamadi. Agak lama kemudian, tiba-tiba pendeta itu menghela napas panjang dan berkata, “Kita tidak perlu bertanding lagi. Kalian berempat boleh pergi.”

Kontan semua orang terperanjat mendengar ucapannya itu. Linghu Chong merasa sangat senang dan segera berlutut hendak memberi hormat, namun Chongxu buru-buru menjulurkan tangan untuk mencegahnya.

Xie Feng bertanya, “Apa maksud ucapanmu ini, Pendeta?”

Chongxu menjawab, “Aku tidak bisa menemukan cara untuk mematahkan ilmu pedangnya. Maka dalam babak ini aku mengaku kalah saja.”

“Tapi kalian belum bertanding, bukan?” tanya Xie Feng terheran-heran.

“Beberapa hari yang lalu di kaki Gunung Wudang aku pernah bertarung melawannya sampai lebih dari tiga ratus jurus, dan saat itu aku kalah,” jawab Chongxu. “Jika kami bertanding lagi hari ini, rasanya tetap saja aku tidak bisa menang.”

Fangzheng dan yang lain menegas, “Benarkah demikian?”

“Adik Linghu ini pernah mendapat pendidikan ilmu pedang dari Tuan Feng Qingyang. Aku sama sekali bukan tandingannya,” sahut Chongxu sambil tersenyum dan melangkah mundur.

Ren Woxing tertawa dan berkata, “Jiwa kesatria Pendeta Chongxu sungguh membuatku sangat kagum. Tadinya aku hanya kagum setengah saja. Tapi sekarang, aku kagum tiga perempat kepadamu.” Ia kemudian memberi hormat kepada Mahabiksu Fangzheng dan menyambung, “Kepala Biara, sampai berjumpa di lain waktu.”

Linghu Chong berjalan ke arah Yue Buqun dan Ning Zhongze, lalu berlutut menyembah pasangan tersebut.

Yue Buqun bergeser ke samping lalu berkata dengan nada dingin, “Aku tidak berani menerima.” Sementara Ning Zhongze merasa pilu, air matanya tampak berlinang-linang di pipi.

Linghu Chong kemudian memberi hormat kepada Tuan Besar Mo. Ia paham kalau Ketua Perguruan Hengshan tersebut tidak ingin perjumpaan mereka tempo hari sampai diketahui orang lain, maka ia pun hanya berlutut menyembah tiga kali tanpa berkata apa-apa. Tuan Besar Mo membalas penghormatannya tanpa bersuara pula sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.

“Mari kita pergi!” kata Ren Woxing sambil melangkah lebar dengan kedua tangan masing-masing menggandeng Ren Yingying dan Linghu Chong.

Xie Feng, Pendeta Tianmen, Yu Canghai, dan Zhenzan Zi menyadari kepandaian mereka tidak lebih tinggi daripada Pendeta Chongxu. Kalau Chongxu saja mengaku bukan tandingan Linghu Chong, sudah tentu mereka pun tidak berani mempermalukan diri sendiri walaupun dalam hati merasa tidak percaya.

Saat Ren Woxing sudah hampir saja melangkah keluar ruangan, tiba-tiba Yue Buqun membentak, “Tunggu dulu!”

“Ada apa?” sahut Ren Woxing sambil menoleh.

“Pendeta Chongxu tidak sudi berurusan dengan manusia rendah macam kalian, maka babak ketiga dianggap belum pernah terjadi,” kata Yue Buqun. “Linghu Chong, majulah! Biar aku yang melayani dirimu!”

Linghu Chong terkejut luar biasa sampai badannya gemetar. Dengan tergagap-gagap ia menjawab, “Guru, aku … aku ….”

Yue Buqun berkata dengan suara datar, “Kabarnya kau telah mendapatkan pengajaran dari Paman Guru Feng. Ilmu pedangmu sudah mencapai intisari ilmu Perguruan Huashan yang tiada taranya. Sepertinya aku memang bukan lagi tandinganmu. Meskipun kau sudah dikeluarkan, tapi sepak terjangmu di dunia persilatan masih tetap menggunakan ilmu pedang Perguruan Huashan. Aku memang tidak becus mengajar murid sehingga para sesepuh dari aliran lurus ikut pusing menghadapi murid murtad seperti kau ini. Kalau sekarang aku tidak turun tangan, siapa lagi yang harus memikul tanggung jawab ini? Pendek kata, bila hari ini aku tidak membunuhmu, maka kau saja yang membunuhku.”

Ucapan Yue Buqun itu makin lama makin bengis, akhirnya ia melolos pedang dan membentak, “Antara aku dan kau sudah tidak ada lagi hubungan guru dan murid. Lekas keluarkan pedangmu!”

“Saya tidak berani!” sahut Linghu Chong sambil mundur selangkah.

Yue Buqun mendahului menusuk lurus ke depan, menggunakan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Dengan cepat Linghu Chong mengelak ke samping. Namun ia masih belum juga melolos pedang. Berturut-turut Yue Buqun menusuk lagi dua kali dan tetap saja Linghu Chong menghindar tanpa melawan.

Yue Buqun berkata, “Kau sudah mengalah tiga jurus. Anggap saja itu sebagai rasa hormatmu kepadaku. Sekarang cepat kau lolos pedangmu!”

Ren Woxing berseru pula, “Chong’er, jika kau tidak balas menyerang, apakah nyawamu sengaja kau biarkan melayang di sini?”

“Baik,” sahut Linghu Chong sambil melolos pedangnya dan melintangkannya di depan dada.

Meskipun senjata sudah di tangan, namun pikiran Linghu Chong masih melayang-layang. Ia merasa bingung dalam pertandingan ini apakah harus mengalah atau mengusahakan kemenangan? Ilmu pedangnya memang lebih hebat daripada Yue Buqun. Tapi jika ia sampai mengalah, maka Ren Woxing, Xiang Wentian, dan Ren Yingying harus terkurung selama sepuluh tahun di Gunung Shaoshi. Mahabiksu Fangzheng memang berhati mulia, tapi bagaimana dengan Zuo Lengchan dan para biksu lainnya? Sepuluh tahun adalah rentang waktu yang tidak sebentar, dan setiap saat nyawa mereka bisa saja melayang karena dicelakai orang. Sebaliknya, jika ia harus mengalahkan Yue Buqun, itu sama artinya dengan mempermalukan Sang Guru di depan umum. Padahal, Yue Buqun dan istri sudah merawatnya sejak kecil bagaikan orang tua kandung sendiri. Mana mungkin ia membiarkan gurunya kehilangan muka di hadapan para sesepuh dunia persilatan?

Saat hatinya dilanda kebingungan, Yue Buqun telah melancarkan serangan dengan gencar, sebanyak lebih dari dua puluh jurus. Linghu Chong hanya menangkis dengan menggunakan jurus-jurus pedang Huashan. Sama sekali ia tidak berani mengerahkan Ilmu Sembilan Pedang Dugu, karena setiap gerakan dalam ilmu tersebut selalu mengincar titik mematikan pada tubuh lawan.

Sejak menguasai ilmu sakti tersebut, kehebatan Linghu Chong dapat dikatakan maju pesat. Ditambah lagi dengan tenaga dalam yang melimpah ruah, sehingga meskipun memainkan jurus-jurus pedang Perguruan Huashan, namun kekuatannya sangat jauh berbeda dibanding dulu. Meskipun berulang-ulang Yue Buqun melancarkan serangan, namun tetap tidak bisa menyentuh kulit Linghu Chong.

Para hadirin yang menyaksikan pertandingan ini adalah para jago papan atas di dunia persilatan, sehingga mereka dapat melihat bahwa Linghu Chong sengaja mengalah dan tidak menghadapi Yue Buqun dengan sepenuh hati. Ren Woxing dan Xiang Wentian berkali-kali saling pandang dengan sorot mata penuh rasa khawatir. Mereka sama-sama teringat pada kejadian di Wisma Meizhuang tempo hari. Saat itu Ren Woxing berusaha mengajak Linghu Chong bergabung dengan Sekte Matahari dan Bulan dan menawarkan kedudukan Pelindung Kanan kepadanya. Kedudukan tersebut juga sekaligus sebagai ahli waris ketua sekte di kemudian hari. Selain itu ia juga berjanji untuk mengajarikan ilmu pemusnah pengaruh buruk Jurus Penyedot Bintang. Namun semua tawaran tersebut tidak menggoyahkan pendirian Linghu Chong. Ini menunjukkan betapa pemuda itu sangat setia kepada Perguruan Huashan.

Kali ini terlihat jelas betapa Linghu Chong sangat menghormati Yue Buqun. Bahkan, dalam pertandingan ini andai saja jantungnya tertusuk oleh pedang Sang Guru juga akan diterimanya dengan senang hati. Sejak tadi yang ia mainkan hanyalah jurus bertahan, mana mungkin ada harapan menang? Ren Woxing dan Xiang Wentian tidak berdaya menyaksikan keadaan ini. Sifat dasar Linghu Chong sudah pasti tidak mau mengalahkan Sang Guru, lebih-lebih mempermalukannya di hadapan para pemuka dunia persilatan. Andai saja bukan karena Ren Yingying yang akan kembali terkurung di Gunung Shaoshi, mungkin sejak tadi ia sudah membuang pedang dan mengaku kalah. Ren Woxing dan Xiang Wentian tampak mondar-mandir dengan perasaan bingung. Sorot mata mereka seolah saling bertanya, “Apa yang harus kita lakukan?”

Tiba-tiba Ren Woxing berpaling kepada Ren Yingying dan berbisik, “Berdirilah di depan sana!”

Ren Yingying mengerti maksud sang ayah memberi perintah agar berdiri di depan sana supaya Linghu Chong dapat melihatnya, sehingga teringat kembali pada pengorbanan dan kebaikannya. Dengan demikian Linghu Chong tentu akan bertempur dengan sungguh-sungguh demi mencapai kemenangan.

Ren Yingying pun mengangguk perlahan, tapi kakinya tetap diam tidak melangkah.

Sebentar kemudian Ren Woxing melihat Linghu Chong masih terdesak mundur tanpa mau membalas sedikit pun. Dengan perasaan semakin gelisah ia kembali berbisik kepada putrinya, “Lekas kau ke depan sana!”

Akan tetapi Ren Yingying tidak juga melangkah, bahkan menjawab pun tidak. Gadis itu tampak merenung seolah berkata kepada Linghu Chong, “Bagaimana perasaanku kepadamu tentunya kau sudah tahu. Bila hatimu berat kepadaku dan bertekad menyelamatkan diriku, tentu kau akan mengalahkan gurumu. Tapi sebaliknya, jika kau lebih berat kepada gurumu, sekalipun aku menarik-narik lengan bajumu dan memohon-mohon belas kasihanmu juga tidak ada gunanya. Jadi, buat apa aku harus berdiri di depanmu untuk mengingatkan dirimu tentang perbuatanku dulu?”

Ren Yingying seorang gadis yang penuh harga diri. Ia merasa jika dua orang saling mencintai, maka biarlah itu terjadi secara alami. Jika ia harus memberi isyarat supaya Linghu Chong menaruh perhatian lebih dulu, baginya itu sudah keterlaluan. Ia merasa tidak berharga sama sekali bila harus meminta-minta dan mengingatkan Linghu Chong akan kebaikannya demi untuk memperoleh keselamatan.

Sementara itu, Linghu Chong masih saja menangkis setiap serangan gurunya tanpa melawan sedikit pun. Kalau saja ia mau membalas mungkin sejak tadi Yue Buqun sudah jatuh tersungkur. Sebenarnya ia banyak menemukan celah kelemahan di dalam setiap jurus serangan Sang Guru namun sama sekali tidak mau menyerang titik-titik tersebut. Sebaliknya, Yue Buqun sendiri tahu kalau Linghu Chong sengaja tidak mau membalas dirinya. Maka, ia merasa tidak perlu memikirkan cara untuk menjaga diri, dan terus saja melancarkan serangan-serangan maut. Jurus-jurusnya disertai ilmu Awan Lembayung membuat kekuatan serangannya menjadi berlipat ganda.

Meskipun demikian serangan-serangan Yue Buqun itu tetap tidak bisa mengenai sasaran, padahal Linghu Chong hanya menangkis dengan sekenanya saja. Setiap serangan yang datang selalu ia patahkan dengan mudah. Kadang ia menggunakan jurus pedang Perguruan Huashan, kadang menggunakan tangkisan tanpa jurus. Meskipun gerakannya sembarangan namun tetap dilakukan secara terampil dan halus, membuat kagum para hadirin yang melihatnya. Dalam hati mereka berkata, “Pantas saja Pendeta Chongxu mengaku ilmu pedangnya berada di bawah pemuda ini. Ternyata ucapannya bukanlah omong kosong belaka.”

Lama-lama Yue Buqun merasa serbasalah. Dalam hati ia berkata, “Huh, bila pertempuran yang bertele-tele ini diteruskan, maka yang mendapat pujian justru si bangsat cilik ini. Walaupun ia tidak menyerangku, tapi ia juga tidak membiarkan aku menang. Para hadirin merupakan tokoh papan atas dunia persilatan, tentu mengetahui kalau bangsat cilik ini sengaja mengalah kepadaku. Sebaliknya, aku masih bersikeras menyerangnya, guru macam apa aku ini? Ke mana lagi aku harus menyembunyikan wajahku sebagai ketua perguruan? Jelas bangsat cilik ini sengaja hendak membuat diriku kelelahan dan akhirnya menyerah kalah dengan sendirinya.” Berpikir sampai di sini Yue Buqun menjadi nekat. Ia mengumpulkan segenap tenaga, lalu mengerahkan ilmu Awan Lembayung melalui pedangnya. Dengan sepenuh hati ia lantas menebas kepala Linghu Chong.

Linghu Chong mengelak ke samping sehingga tebasan Yue Buqun meleset. Namun Yue Buqun segera memutar balik pedangnya dan menebas ke arah pinggang. Sekali loncat Linghu Chong dapat melangkahi pedang Sang Guru yang menyambar itu. Mendadak Yue Buqun memutar lagi pedangnya, dan secepat kilat ia menusuk ke arah punggung Linghu Chong. Perubahan serangan yang cepat luar biasa ini tampaknya sukar dielakkan oleh pemuda itu, apalagi tubuhnya masih terapung di udara.

“Aih!” seru para hadirin khawatir.

Untuk menghindari atau menangkis serangan Yue Buqun tersebut rasanya sudah tidak sempat lagi. Namun tiba-tiba Linghu Chong menjulurkan pedangnya ke depan sehingga ujungnya menancap pada sebuah batang tiang kayu. Dengan tenaga loncatan tadi ia melayang ke balik tiang tersebut. Detik selanjutnya, tusukan Yue Buqun mengenai tiang kayu tersebut sampai tembus. Ujung pedangnya cuma selisih beberapa senti saja dengan badan Linghu Chong.

“Oh!” teriak semua orang bersyukur dan kagum melihat kepandaian Linghu Chong meloloskan diri dari maut. Mereka juga kagum pemuda itu mampu menghindari serangan mematikan yang dilancarkan Yue Buqun tadi.

Sebaliknya, Yue Buqun merasa kesal karena tidak mampu melukai Linghu Chong. Padahal tiga serangan tersebut adalah kepandaian yang telah dilatihnya seumur hidup. Lebih-lebih mendengar para hadirin bersorak karena Linghu Chong lolos dari maut, membuat hatinya semakin bertambah gusar.

Jurus tersebut bernama Tiga Jurus Pedang Dewa Pencabut Nyawa yang merupakan ciptaan Kelompok Pedang cabang Perguruan Huashan. Dahulu, ketika kedua kelompok saling menghancurkan, murid-murid dari Kelompok Pedang banyak menggunakan jurus ini untuk menumpas murid-murid Kelompok Tenaga Dalam. Ketika pada akhirnya murid-murid Kelompok Tenaga Dalam berhasil mengalahkan pihak Kelompok Pedang dan menguasai perguruan, mereka pun mempelajari kehebatan Tiga Jurus Pedang Dewa Pencabut Nyawa tersebut. Setelah mengetahui rahasia kehebatan jurus ini, mereka merasa sangat takut di dalam hati. Selama mempelajari jurus tersebut, mereka semakin terkesima. Mereka akhirnya lupa kepada prinsip utama ilmu silat kelompok mereka, yaitu “tenaga dalam mendorong pedang”. Mulut mereka memuji keindahan jurus pedang tersebut, sementara dalam hati memuji kekuatannya.

Melihat pertandingan antara Yue Buqun dan Linghu Chong, diam-diam yang paling merasa sedih adalah Ning Zhongze. Ketika melihat sang suami mengerahkan Tiga Jurus Pedang Dewa Pencabut Nyawa, ia merenung, “Dahulu, kedua kelompok berusaha saling menghancurkan karena perselisihan mana yang lebih penting, apakah tenaga dalam, ataukah jurus pedang? Kakak berasal dari Kelompok Tenaga Dalam, tapi mengapa sekarang menggunakan ilmu silat Kelompok Pedang? Kalau hal ini sampai diketahui orang luar tentu kita akan menjadi bahan ejekan. Aih, Kakak menggunakan tiga jurus itu tentu juga karena terpaksa. Padahal sudah jelas ia bukan tandingan Chong’er, kenapa masih juga nekat?” Ia berniat melerai kedua orang yang sedang bertanding itu, namun urusan sudah terlanjur melebar, bukan melulu menyangkut kepentingan Perguruan Huashan saja. Tangannya menggenggam erat gagang pedang, sedangkan hatinya merasa sangat sedih.

Sementara itu, Yue Buqun telah mencabut kembali pedangnya dari tiang, sedangkan Linghu Chong tetap berdiri di tempat semula dan tidak berputar keluar. Yue Buqun berharap pemuda itu tetap bersembunyi di balik tiang dan tidak melawannya lagi sebagai tanda takut, dengan demikian kehormatannya dapat ditegakkan kembali.

Kedua orang itu kemudian saling berhadapan. Dengan kepala menunduk, Linghu Chong berkata, “Guru, aku bukan tandinganmu. Kita tak perlu meneruskan pertandingan ini.”

Yue Buqun hanya mendengus, tidak menjawab sedikit pun.

Ren Woxing lantas ikut bicara, “Pertarungan mereka berdua sukar ditentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kepala Biara, bagaimana kalau pertandingan tiga babak ini kita anggap seri saja? Aku bersedia meminta maaf kepadamu, lalu angkat kaki dari sini.”

Mendengar ini, dalam hati Ning Zhongze merasa sangat lega. Ia merenung, “Padahal sudah jelas Chong’er memenangkan babak ini, tapi Ketua Ren sengaja memberi muka kepada kami. Cara menyudahi pertarungan ini benar-benar paling baik.”

“Amitabha!” kata Biksu Fangzheng. “Ketua Ren mengutamakan setia kawan, usulannya sangat bijaksana. Sudah tentu aku sependa….”

Belum selesai kata-kata itu diucapkan, tiba-tiba Zuo Lengchan menyela, “Lalu keempat orang ini apa harus kita biarkan pergi begitu saja dan membantai banyak orang lagi? Apakah kita biarkan tangan-tangan mereka berlumuran darah ribuan orang yang tidak berdosa? Lalu, untuk selanjutnya apakah Saudara Yue masih bisa disebut Ketua Perguruan Huashan?”

“Mengenai ini ….” kata Fangzheng ragu-ragu. Tiba-tiba Yue Buqun sudah memutar ke belakang tiang dan mulai menyerang lagi. Dengan gesit Linghu Chong mengelak. Maka dalam beberapa jurus mereka sudah kembali bertarung di tengah kalangan. Yue Buqun kembali melancarkan serangan-serangan ganas, tapi selalu dapat dihindari atau ditangkis oleh Linghu Chong dengan mudah. Pertarungan bertele-tele pun berlangsung kembali.

Tiba-tiba Ren Woxing tertawa, “Hahaha, untuk mengetahui siapa yang menang dan kalah dalam pertandingan ini, maka kita harus menunggu selama tujuh atau delapan hari. Kita lihat saja siapa yang mati kelaparan lebih dulu.”

Para hadirin merasa ucapan tersebut terlalu berlebihan. Namun mereka juga tidak membantah, karena jika keduanya terus bertarung seperti ini, maka akan sulit mendapatkan hasilnya selama beberapa jam ke depan.

Ren Woxing kemudian berpikir, “Si tua Yue ini benar-benar tebal muka. Sudah jelas-jelas ilmu silatnya di bawah Chong’er, tapi masih tetap nekat saja. Sebaliknya, Chong’er sama sekali tidak mau membalas. Meskipun ia lebih unggul, tapi kalau lengah sedikit saja tentu akan sangat berbahaya. Hm, aku harus mengacaukan perhatian si tua itu.”

Maka, ia pun mencoba mengolok-olok Yue Buqun, “Adik Xiang, kedatangan kita ke Biara Shaolin ini benar-benar menambah banyak pengalaman.”

“Benar,” jawab Xiang Wentian. “Di sini berkumpul tokoh-tokoh persilatan dari papan atas ….”

“Satu di antaranya benar-benar tokoh mahasakti,” sambung Ren Woxing.

“Siapakah dia itu?” tanya Xiang Wentian.

“Orang ini telah berhasil menguasai sejenis ilmu sakti yang luar biasa,” kata Ren Woxing.

“Ilmu sakti macam apakah itu?” sambung Xiang Wentian.

“Ilmu sakti orang ini disebut Jurus Topeng Emas dan Muka Besi,” jawab Ren Woxing.

“Wah, sungguh hebat!” ujar Xiang Wentian. “Selama ini saya hanya mendengar adanya ilmu sakti Jurus Genta Emas dan Jubah Besi, tapi tidak pernah tahu tentang Jurus Topeng Emas dan Muka Besi segala. Entah ilmu sakti demikian berasal dari aliran mana?”

“Jurus Genta Emas dan Jubah Besi adalah ilmu kebal yang membuat sekujur tubuh tidak mempan senjata. Tapi Jurus Topeng Emas dan Muka Besi ini hanya khusus membuat kulit muka saja yang menjadi setebal badak,” kata Ren Woxing. “Tentang asal usul ilmu sakti ini sungguh luar biasa, tidak lain ciptaan Tuan Yue Buqun, Ketua Perguruan Huashan yang termasyhur di dunia persilatan dengan julukan Si Pedang Budiman pada masa ini.”

“Ilmu pedang Tuan Yue sangat hebat, tenaga dalamnya juga sangat tinggi. Nama besarnya bukan julukan kosong. Lantas, Jurus Topeng Emas dan Muka Besi ini apa lagi kegunaannya?” ujar Xiang Wentian.

“Ilmu ini sudah pasti sangat besar kegunaannya. Sayangnya, kita bukan murid Perguruan Huashan sehingga sulit menemukan rahasia ilmu ini,” jawab Ren Woxing.

“Wah, jika demikian, sejak kini Tuan Yue pasti akan lebih terkenal dan lebih termasyhur di seluruh jagat. Namanya akan selalu berkumandang abadi sepanjang masa,” kata Xiang Wentian.

“Itu sudah pasti,” sambung Ren Woxing. “Kita harus berhati-hati terhadap ilmu sakti ini.”

“Saya akan menyimpan petuah Ketua di lubuk hati yang paling dalam,” ujar Xiang Wentian sambil membungkuk.

Begitulah, seperti pelawak saja mereka bertanya-jawab untuk mengolok-olok Yue Buqun. Mendengar itu Yu Canghai ikut tertawa terpingkal-pingkal karena antara dirinya dan Yue Buqun sama-sama saling tidak menyukai. Sebaliknya, muka Ning Zhongze terlihat merah padam menahan gusar.

Yue Buqun sendiri berlagak tidak tahu dan tidak mendengar olok-olok tersebut. Ia masih saja sibuk melancarkan serangan terhadap Linghu Chong. Tiba-tiba ia menusuk keras. Ketika Linghu Chong mengelak ke kiri, mendadak Yue Buqun menoleh sambil memutar balik ujung pedangnya dan kembali menusuk pula. Ini merupakan jurus pedang Perguruan Huashan yang terkenal dengan nama Kembalinya Si Anak Hilang. Sewaktu Linghu Chong menangkis, dengan cepat Yue Buqun memutar pedangnya lagi dan menebas dari atas ke bawah. Ini merupakan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Linghu Chong kembali menangkis jurus ini.

Tiba-tiba Yue Buqun menyerang dengan dua tusukan yang membuat Linghu Chong terkesiap dan terpaksa mundur dua langkah dengan wajah bersemu merah. Ia hanya berseru, “Guru!”

Yue Buqun mendengus dan menusuk lagi. Kembali Linghu Chong mundur satu langkah. Melihat itu para hadirin menjadi heran. Mereka berpikir, “Jurus-jurus ini biasa saja, tapi kenapa dia merasa takut dan tidak mampu menangkis?” Mereka tidak tahu bahwa ketiga jurus serangan Yue Buqun yang terakhir ini adalah bagian dari Jurus Pedang Chong Ling, yakni ilmu pedang ciptaan Linghu Chong dan Yue Lingshan sewaktu berlatih bersama dulu.

Seketika Linghu Chong pun teringat kenangan masa lalu, saat hubungannya dengan Yue Lingshan masih hangat dan akrab. Dalam pikiran mereka yang masih kekanak-kanakan, mereka menciptakan ilmu pedang yang hanya mereka berdua saja yang mampu memainkannya. Maka terciptalah Jurus Pedang Chong Ling tersebut.

Linghu Chong sama sekali tidak menduga kalau Yue Buqun ternyata mampu memainkan tiga jurus pedang ciptaannya itu. Kontan ia merasa serbasalah, malu, dan sedih pula. Dalam hati ia berkata, “Hubunganku dengan Adik Kecil sudah kandas. Sekarang Guru sengaja memainkan tiga jurus ilmu pedang ini agar aku tersinggung dan berduka sehingga pikiranku menjadi kacau. Ya, kalau mau bunuh aku silakan bunuh saja!” Saat itu Linghu Chong merasa daripada hidup merana di dunia lebih baik mati saja, habis perkara.

Menyusul kemudian Yue Buqun menusuk lagi dengan suatu jurus Perguruan Huashan yang disebut Nong Yu Meniup Seruling. Jurus tersebut sangat dihafal oleh Linghu Chong sehingga tanpa sadar ia menangkis begitu saja. Disusul kemudian Yue Buqun mengerahkan jurus Xiao Shi Menunggang Naga. Kedua jurus tersebut saling berkaitan membentuk suatu gerakan indah dan gemulai. Terutama saat memainkan jurus kedua, pedang Yue Buqun bergerak bagaikan naga yang meliuk-liuk di angkasa, bebas merdeka, anggun berwibawa bagaikan dewa.

Kedua jurus pedang Perguruan Huashan itu tercipta berdasarkan sebuah dongeng kuno tentang seorang bernama Qin Mukong, yang memiliki putri bernama Nong Yu. Putrinya itu sangat gemar meniup seruling. Pada suatu hari datang seorang perjaka yang juga pandai meniup seruling bernama Xiao Shi, yang menunggang seekor naga. Perjaka itu lalu mengajarkan seni musik kepada si gadis. Qin Mukong berkenan mengambil Xiao Shi sebagai menantu untuk dinikahkan dengan Nong Yu. Konon, pasangan suami-istri tersebut kemudian menjadi dewa dan bersemayam di puncak tengah Gunung Huashan.

Di Puncak Gadis Kumala di Gunung Huashan terdapat Paviliun Memanggil Burung Feng, Kuil Gadis Kumala, Gua Gadis Kumala, Baskom Mencuci Rambut Gadis Kumala, semuanya diberi nama berdasarkan kisah Nong Yu dan Xiao Shi ini. Di tempat itu entah sudah berapa kali Linghu Chong dan Yue Lingshan bermain bersama. Kisah cinta Nong Yu dan Xiao Shi entah sudah berapa kali bergema di lubuk hati mereka.

Kini jurus Xiao Shi Menunggang Naga digunakan Yue Buqun untuk menyerang Linghu Chong. Perasaan Linghu Chong menjadi bingung sementara tangannya menangkis sebisa-bisanya. “Kenapa Guru menggunakan jurus ini? Apakah ia sengaja hendak membuat pikiranku kacau, kemudian membunuhku?”

Dilihatnya Yue Buqun kembali memainkan jurus Kembalinya Si Anak Hilang, kemudian Cemara Tua Menyambut Tamu, kemudian tiga jurus Pedang Chong Ling, lalu jurus Nong Yu Meniup Seruling, dan Xiao Shi Menunggang Naga. Biasanya, jika seorang jago silat bertarung tidak mungkin ia menggunakan rangkaian jurus yang sama lebih dari sekali. Hal itu tentu akan memudahkan musuh untuk mematahkan serangannya. Akan tetapi, Yue Buqun benar-benar aneh. Ia sengaja mengulangi rangkaian jurusnya sehingga membuat para penonton terheran-heran.

Tiba-tiba seberkas pikiran terlintas dalam benak Linghu Chong, “Ternyata Guru menggunakan jurus-jurus ini untuk mengingatkan diriku. Aku dimintanya untuk meninggalkan kaum iblis dan kembali ke jalan yang benar. Hm, jadi jurus Kembalinya Si Anak Hilang merupakan isyarat bahwa aku akan diterima kembali di Perguruan Huashan.”

Di Gunung Huashan terdapat banyak pohon cemara tua yang penuh dengan daun-daun menggantung pada rantingnya. Pohon-pohon tersebut berdaun lebat dan cabangnya melengkung seperti menyambut para pendatang yang berkunjung ke puncak gunung. Jurus Cemara Tua Menyambut Tamu merupakan perwujudan dari pepohonan cemara tersebut. Ketika Yue Buqun kembali menggunakan jurus itu, Linghu Chong berpikir, “Melalui jurus ini Guru seolah memberi tahu bahwa jika aku pulang ke Huashan, bukan hanya keluarga yang menyambutku, tapi pepohonan di puncak gunung juga menyambut kedatanganku.”

Sejenak kemudian hatinya kembali bicara, “Guru seolah berkata, aku tidak hanya diterima kembali di perguruan, tapi juga akan dinikahkan dengan Adik Kecil. Guru memainkan tiga jurus Pedang Chong Ling supaya aku paham akan maksudnya. Karena aku masih bingung, maka Guru kembali menggunakan jurus Nong Yu Meniup Seruling dan Xiao Shi Menunggang Naga.”

Kembali diterima di Perguruan Huashan dan dinikahkan dengan Yue Lingshan merupakan dua keinginan Linghu Chong yang paling besar. Melalui rangkaian jurus-jurus tersebut, Sang Guru telah berjanji di hadapan para jago persilatan mengenai kedua hal tersebut kepadanya. Meskipun tidak diucapkan, namun melalui jurus-jurus pedang semuanya sudah disampaikan dengan jelas. Linghu Chong paham sifat gurunya yang tidak pernah ingkar janji. Perkataan yang telah diucapkannya tidak pernah ditarik kembali. Kini melalui jurus-jurus pedang, Yue Buqun telah berjanji untuk menerima Linghu Chong kembali dan menikahkannya dengan sang adik kecil. Membayangkan itu semua, seketika hati Linghu Chong terasa berbunga-bunga.

Linghu Chong juga sadar kalau Yue Lingshan telah berpaling kepada pemuda lain, yaitu Lin Pingzhi. Gadis itu sudah tidak memperhatikannya lagi, bahkan sangat benci kepadanya. Namun sesuai adat yang berlaku ribuan tahun, perjodohan ditentukan oleh orang tua, sementara si anak gadis tidak memiliki hak untuk menolak. Di hadapan para tokoh persilatan, Yue Buqun telah berjanji melalui jurus-jurusnya untuk mengambil Linghu Chong sebagai menantu, dan Yue Lingshan tidak mungkin bisa membantah. Dengan hati gembira Linghu Chong pun berpikir, “Jika aku bisa kembali diterima di Perguruan Huashan, aku pasti sangat bersyukur. Apalagi jika bisa menikah dengan Adik Kecil, tentu hal ini merupakan karunia besar dari Langit. Adik Kecil mungkin tidak bahagia pada awalnya, tapi aku akan berusaha menyesuaikan diri. Aku akan selalu mengalah kepadanya dan menuruti semua keinginannya. Sedikit demi sedikit ia akan melihat ketulusanku sehingga perasaannya yang semula benci akan berubah menjadi sayang kepadaku.”

Ia ingat dulu setiap kali Yue Lingshan merajuk, tentu ia akan membujuknya dan perasaan sang adik kecil akan berubah dari kesal menjadi senang. Entah sudah berapa ratus kali hal itu terjadi, membuat Linghu Chong hafal watak Yue Lingshan dan sangat yakin kelak akan dapat merebut perhatiannya kembali.

Wajah Linghu Chong tampak berseri-seri membayangkan kedua janji Sang Guru menjadi kenyataan. Dilihatnya Yue Buqun kembali melancarkan jurus Kembalinya Si Anak Hilang, disusul Cemara Tua Menyambut Tamu. Namun kali ini gerak pedangnya lebih cepat dan mendesak. Linghu Chong memahami maksudnya, “Guru semakin mendesakku. Beliau ingin aku segera meletakkan senjata dan menyerah kalah untuk bisa diterima kembali di Perguruan. Jika aku menurut, maka aku pasti segera diterima kembali. Hidupku akan kembali seperti dulu, berbahagia bersama keluargaku di Gunung Huashan. Apalagi yang harus kutunggu?” Sejenak kemudian ia kembali berpikir, “Tapi, bagaimana dengan Yingying, Ketua Ren, dan Kakak Xiang? Jika aku menyerah kalah, tentu mereka akan dikurung di belakang Biara Shaolin ini. Bisa jadi mereka akan dihukum mati pula. Aku sungguh kejam, memikirkan kesenangan diri sendiri tanpa peduli dengan penderitaan orang lain. Manusia macam apa aku ini?”

Berpikir demikian tubuh Linghu Chong basah oleh keringat dingin dan pandangannya menjadi kabur. Ia sempat melihat Yue Buqun melintangkan pedang dan mengayunkannya di dekat mulut, lalu menusukkannya ke depan. Ini adalah jurus Nong Yu Meniup Seruling. Linghu Chong pun terkesiap dan berpikir, “Yingying sangat pandai meniup seruling. Ia rela berkorban jiwa dan raga demi keselamatanku. Namun, aku sama sekali tidak peduli kepadanya. Apakah di dunia ini ada manusia tak tahu berterima kasih yang lebih rendah dibanding Linghu Chong? Aku tidak pantas disebut sebagai manusia jika tidak membalas kebaikan Yingying.”

Begitu hatinya bersemangat, tiba-tiba terdengar suara benturan dua buah pedang yang sangat keras, disusul kemudian sebatang pedang jatuh terbanting di atas lantai. Semua orang menjerit terkejut.

Tubuh Linghu Chong terhuyung-huyung ke belakang. Ketika membuka mata, dilihatnya Yue Buqun juga melompat mundur dengan wajah sangat gusar penuh amarah. Tampak pergelangan lengan kanan Sang Guru mengucurkan darah. Sewaktu Linghu Chong memeriksa ujung pedangnya sendiri, ternyata juga meneteskan darah.

Kontan ia terkejut. Ternyata ketika pikirannya sedang kacau tadi, tangannya sempat menangkis serangan Yue Buqun sekenanya. Entah bagaimana, tanpa sadar yang ia mainkan adalah Ilmu Sembilan Pedang Dugu sehingga melukai pergelangan tangan Yue Buqun tersebut. Seketika pedang sang guru pun terbanting di lantai.

Dengan cepat Linghu Chong membuang senjatanya, lalu berjalan mendekat dan berlutut di hadapan Yue Buqun, sambil berkata, “Guru, saya berdosa besar. Saya pantas dihukum mati.”

Yue Buqun diam saja. Tiba-tiba ia mengangkat sebelah kakinya, lalu menendang dada Linghu Chong dengan tepat. Keras sekali tendangan itu, sehingga tubuh Linghu Chong sampai terlempar ke atas dengan darah segar menyembur dari mulutnya. Seketika pandangan pemuda itu menjadi gelap gulita. Tubuhnya terbanting sekeras-kerasnya di lantai, namun ia tidak merasakan apa-apa lagi karena telah pingsan tak sadarkan diri.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu, perlahan-lahan Linghu Chong membuka mata dan merasa keadaan begitu dingin seperti membeku. Terasa olehnya ada sinar api menyilaukan, membuat ia buru-buru memejamkan mata kembali.

Terdengar suara Ren Yingying berseru gembira, “Kau … kau sudah siuman.”

Linghu Chong pun kembali membuka mata. Dilihatnya sepasang mata indah Ren Yingying sedang menatap kepadanya. Wajah gadis itu tampak berseri-seri sangat gembira. Segera Linghu Chong bermaksud bangun, tapi Ren Yingying mencegahnya dan berkata, “Jangan bangun dulu. Istirahat saja sebentar lagi.”

Linghu Chong memandang sekitarnya. Ternyata ia berada di dalam sebuah gua. Di luar tampak menyala suatu gundukan api unggun. Baru sekarang ia ingat kalau dirinya telah jatuh pingsan akibat tendangan Sang Guru di akhir pertandingan tadi. Segera ia bertanya, “Di manakah Guru dan Ibu Guru?”

“Kenapa kau masih memanggil guru kepadanya?” ujar Ren Yingying. “Di dunia ini mungkin cuma ada satu orang guru yang tidak tahu malu seperti dia. Kau banyak mengalah padanya, tapi dia tetap tidak tahu diri, malah tega menendang dadamu dengan sangat keras. Bagus juga tulang kakinya ikut patah.”

“Hah, tulang kaki guruku patah?” seru Linghu Chong terkejut.

“Masih untung dia tidak terguncang mati,” sahut Ren Yingying tertawa. “Kata Ayah, kau belum bisa menggunakan Jurus Penyedot Bintang dengan sempurna. Bila tidak, tentu kau takkan terluka.”

“Aku telah melukai pergelangan tangan Guru, lalu mematahkan kakinya … ah, aku ini ….” ujar Linghu Chong menggumam.

“Apakah kau menyesal?” tanya Ren Yingying.

“Perbuatanku benar-benar tidak pantas,” jawab Linghu Chong. “Kalau Guru dan Ibu Guru tidak merawat dan membesarkan diriku sejak kecil, bisa jadi aku sudah mati sejak lama. Aku telah membalas kebaikan dengan kejahatan, sungguh lebih rendah daripada binatang.”

“Berulang kali dia bermaksud membunuhmu, apa kau tidak sadar?” sahut Ren Yingying. “Kau telah mengalah padanya sedemikian rupa dan boleh dikata sudah membalas budi kebaikannya. Orang macam dirimu ke mana pun takkan mati. Seandainya suami-istri Yue tidak memungutmu, biarpun jadi pengemis juga kau takkan mati kelaparan. Dia sudah mengusirmu dari Perguruan Huashan, maka hubungan kalian sebagai guru dan murid ikut putus pula. Untuk apa lagi kau memikirkan dia?”

Sampai di sini Ren Yingying menahan suaranya dan menyambung lagi dengan nada lirih, “Kakak Chong, demi diriku kau terpaksa berseberangan dengan guru dan ibu gurumu, sungguh hatiku merasa ….” tiba-tiba ia menunduk dengan kedua pipi merona merah.

Linghu Chong melihat wajah gadis itu tersorot sinar api unggun membuatnya bertambah cantik luar biasa. Seketika perasaannya terguncang. Perlahan ia memegang tangan kiri Ren Yingying, tapi sampai sekian lama kemudian tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Yang terdengar hanyalah napas panjang keluar dari mulutnya.

“Kenapa kau menghela napas?” tanya Ren Yingying dengan suara halus. “Apakah kau menyesal karena berkenalan denganku?”

“Tidak, tidak!” sahut Linghu Chong cepat. “Mana mungkin aku menyesal? Demi diriku kau rela mengorbankan jiwa ragamu di Biara Shaolin. Biarpun kelak badanku hancur … hancur lebur juga tidak cukup untuk membalas kebaikanmu.”

“Kenapa kau bicara soal budi seperti itu?” tanya Ren Yingying sambil menatap tajam. “Jadi sampai detik ini kau masih menganggapku sebagai orang luar.”

Linghu Chong merasa malu dalam hati. Memang selama ini ia merasa masih terpisah oleh sesuatu dengan Ren Yingying. Segera ia pun berkata, “Aku yang salah bicara. Sejak kini aku akan baik kepadamu dengan sepenuh hati.” Bicara demikian, dalam hati ia berpikir, “Lalu bagaimana dengan Adik Kecil? Apakah aku bisa melupakan Adik Kecil?”

Sorot mata Ren Yingying memancarkan rasa bahagia. “Kakak Chong, apakah ucapanmu ini sungguh-sungguh atau hanya untuk menyenangkan aku saja?” ujarnya.

Linghu Chong tersentak dari lamunannya, lalu menjawab segera, “Jika aku membohongi dirimu, biarlah aku mati disambar petir.”

Perlahan-lahan Ren Yingying menggenggam tangan Linghu Chong dengan erat. Sejak lahir sampai sekarang ia merasa detik inilah saat yang paling berharga. Sekujur badan gadis itu terasa hangat. Ia berharap keadaan demikian akan kekal abadi sepanjang masa. Selang agak lama barulah ia berkata lirih, “Orang persilatan seperti kita mungkin ditakdirkan mati dengan cara kurang baik. Kelak jika kau ingkar janji, aku tidak ingin kau mati disambar petir. Aku lebih suka … lebih suka menusukmu dengan pedangku sendiri sampai mati.”

Linghu Chong tersentak, sama sekali tidak menduga bahwa Ren Yingying akan berkata demikian. Setelah termangu-mangu sejenak, barulah ia berkata sambil tertawa, “Selembar nyawaku ini telah diselamatkan olehmu dan sejak itu sudah menjadi milikmu. Maka, setiap saat kau boleh ambil nyawaku ini kapan saja.”

Ren Yingying tersenyum dan berkata, “Semua orang menyebutmu sebagai berandal nakal. Nyatanya, kau memang pandai bersilat lidah. Entah takdir apa, aku justru me… menyukai berandal nakal seperti dirimu?”

Linghu Chong tertawa, “Hahaha, Kapan aku pernah berbuat nakal padamu? Karena kau berkata demikian, maka aku akan menjadi berandal nakal untukmu.”

Tiba-tiba Ren Yingying meloncat mundur sampai beberapa meter jauhnya. Dengan muka cemberut ia berkata, “Aku memang menyukai dirimu, tapi kita harus pakai aturan. Jika kau anggap aku ini perempuan murahan, maka kau telah salah sangka.”

“Mana berani aku menganggapmu sebagai perempuan murahan?” sahut Linghu Chong. “Kau adalah nenek agung berbudi luhur yang melarangku berpaling memandang kepadamu.”

Ren Yingying tertawa cekikikan. Lesung pipit di pipinya terlihat jelas, membuatnya tampak bertambah jelita. Ia pun teringat pertama kali berkenalan dengan Linghu Chong memang pemuda itu selalu memanggilnya “nenek” dengan penuh hormat. Dengan tertawa geli ia lantas duduk kembali namun dalam jarak yang agak jauh.

Linghu Chong ikut tertawa dan berkata, “Kalau kau melarangku berbuat nakal kepadamu, biarlah untuk selanjutnya aku tetap memanggilmu ‘nenek’ saja.”

“Baik, cucuku yang baik,” sahut Ren Yingying tertawa geli.

“Nenek, aku ….” kata Linghu Chong.

“Sudahlah, jangan panggil nenek lagi! Nanti saja enam puluh tahun lagi baru kau boleh panggil demikian,” ujar Ren Yingying.

“Jika kupanggil ‘nenek’ mulai sekarang sampai enam puluh tahun lagi, maka hidupku ini tidak sia-sia,” kata Linghu Chong.

Terguncang perasaan Ren Yingying mendengarnya. Ia merenung andai saja benar bisa hidup bersanding dengan Linghu Chong selama enam puluh tahun, maka hidupnya tentu bahagia mengalahkan para dewa di surga.

Dari samping Linghu Chong melihat hidung gadis itu mancung, alisnya panjang, bulu matanya lentik, raut wajahnya pun sangat halus dan lembut. Ia berpikir, “Nona secantik ini mengapa begitu ditakuti dan dihormati oleh tokoh-tokoh persilatan yang kasar dan liar itu? Kenapa juga mereka rela berbuat apa saja untuknya?” Sebenarnya ia hendak menanyakan hal itu namun karena takut merusak suasana, maka ia pun mengurungkan niat tersebut.

Ternyata Ren Yingying berkata, “Kalau ingin mengatakan sesuatu, katakan saja.”

Linghu Chong menjawab, “Selama ini aku tidak habis pikir, mengapa Lao Touzi, Zu Qianqiu, Ji Wushi, dan yang lain begitu takut kepadamu?”

Ren Yingying menanggapi, “Aku tahu bila persoalan ini tidak kujelaskan padamu, tentu hatimu tidak akan bisa tenteram. Jangan-jangan dalam hatimu mengira aku ini siluman.”

“Tidak, tidak, aku menganggapmu sebagai dewi kahyangan yang memiliki ilmu mahasakti,” ujar Linghu Chong.

“Baru mengucapkan tiga kalimat saja, kau sudah bicara omong kosong. Sebenarnya kau ini belum tentu seorang berandalan, tapi mulutmu licin begitu, sehingga pantas kalau orang menyebutmu pemuda iseng,” balas Ren Yingying.

“Saat aku memanggilmu ‘nenek’ apakah aku pernah bicara omong kosong?” tanya Linghu Chong.

“Kalau begitu kau panggil ‘nenek’ saja kepadaku seumur hidup,” kata Ren Yingying.

“Baik, aku akan selalu memanggilmu seumur hidup, tapi bukan memanggil ‘nenek’,” jawab Linghu Chong.

Wajah Ren Yingying seketika merona. Dadanya terasa hangat, dan ia pun berkata lirih, “Kuharap kau tidak hanya bicara manis.”

Linghu Chong berkata, “Kalau kau tidak suka dengan mulut yang licin, jika nanti masak untukku jangan kau beri minyak.”

Ren Yingying menjawab dengan tersenyum, “Aku tidak bisa memasak. Memanggang kodok saja hangus.”

Seketika Linghu Chong pun terkenang saat memanggang kodok bersama Ren Yingying di tepi sungai kecil beberapa bulan yang lalu. Ia merasa saat ini seakan-akan kembali pada suasana masa silam tersebut.

Terdengar Ren Yingying menyambung, “Jika kau tidak takut dengan masakan hangusku, maka setiap hari aku akan memasak untukmu seumur hidup.”

“Kenapa tidak?” sahut Linghu Chong. “Jika kau memasak untukku setiap hari, aku akan menghabiskan tiga mangkuk besar setiap hari pula.”

Ren Yingying berkata, “Kau suka bercanda sesuka hatimu. Kau bicara seenaknya untuk menyenangkan hatiku. Tapi kenyataannya, aku memang merasa senang mendengarnya.”

Keduanya pun beradu pandang. Cukup lama mereka saling terdiam, sampai akhirnya Ren Yingying berkata lirih, “Kau sudah tahu, ayahku sebenarnya Ketua Sekte Matahari dan Bulan. Kemudian Paman Dongfang … maksudku, Dongfang Bubai mengkhianati Ayah dengan perangkapnya yang licik itu. Ia menyekap Ayah di suatu tempat rahasia. Dongfang Bubai berdusta kepada semua orang, dengan berkata bahwa Ayah meninggal di tempat yang jauh dan berpesan agar dirinya menggantikan sebagai ketua baru. Waktu itu aku masih kecil, sementara Dongfang Bubai teramat cerdik dan licin, siasatnya sangat rapi tanpa celah, sehingga apa yang ia perbuat sama sekali tidak membuatku curiga. Untuk mengelabui orang lain, Dongfang Bubai sengaja memperlakukan aku dengan sangat baik. Setiap saat aku dimanjakan olehnya. Apa yang kukatakan selalu ia laksanakan. Apa yang kuminta selalu ia turuti. Sebab itulah di dalam aliran kami kedudukanku sangat dihormati.”

“Apakah orang-orang persilatan itu adalah anggota Sekte Matahari dan Bulan kalian?” tanya Linghu Chong.

“Tidak semuanya,” jawab Ren Yingying. “Hanya saja mereka memiliki hubungan dengan kami, juga ada di bawah pengaruh kami selamanya, karena sebagian besar pimpinan mereka sudah menelan Pil Penghancur Otak.”

Linghu Chong mendengus. Ia telah menyaksikan sendiri kejadian beberapa waktu yang lalu di Wisma Meizhuang. Ketika para pemuka Sekte Iblis seperti Bao Dachu, San Sanniang, dan yang lain melihat Pil Penghancur Otak di tangan Ren Woxing, mereka begitu ketakutan setengah mati. Teringat pada peristiwa tersebut membuat Linghu Chong hanya bisa mengernyitkan dahi.

“Sesudah menelan obat itu,” sambung Ren Yingying, “setiap satu tahun sekali mereka harus menelan obat penawarnya. Jika tidak, mereka tentu akan mati konyol bila racun yang terkandung dalam obat itu mulai bekerja. Dongfang Bubai memperlakukan orang-orang persilatan itu dengan sangat bengis. Sedikit saja tidak menyenangkan hatinya langsung tidak diberi obat penawar. Selalu saja aku yang harus memintakan ampun serta memintakan obat penawar untuk mereka.”

“O, ternyata demikian. Jadi kau adalah dewi penyelamat bagi mereka,” ujar Linghu Chong.

“Sebenarnya aku bukan dewi penyelamat apa-apa. Mereka yang menyembah-nyembah dan memohon-mohon kepadaku. Aku jadi tidak tega dan tidak bisa tinggal diam. Ternyata ini juga bagian dari rencana Dongfang Bubai untuk menipu para anggota Sekte. Ia ingin menunjukkan betapa dirinya sangat menaruh hormat kepadaku. Dengan demikian tidak ada yang akan curiga kalau ia telah merebut kedudukan Ayah dengan cara licik,” jawab Ren Yingying.

Linghu Chong manggut-manggut dan berkata, “Orang ini benar-benar ahli siasat yang cerdik.”

“Lama-lama aku merasa susah juga karena selalu memintakan pengampunan untuk mereka kepada Dongfang Bubai,” lanjut Ren Yingying. “Selain itu keadaan di dalam Sekte juga jauh berbeda dengan sebelumnya. Dongfang Bubai menghendaki dirinya disanjung puji tiap hari, dan itu terdengar sangat menjijikkan. Maka, musim semi tahun lalu aku mengajak keponakanku, Luzhuweng untuk menemaniku bertamasya. Akhirnya aku tertarik melihat Hutan Bambu Hijau di pinggiran Kota Luoyang yang tampak asri dan sepertinya nyaman untuk ditinggali. Maka aku pun menetap di sana dan tidak perlu lagi mengurusi masalah yang bukan tugasku, juga tidak perlu lagi mengucapkan sanjungan-sanjungan yang memalukan untuk Dongfang Bubai … Tak kusangka aku malah bertemu dirimu di sana.”

Gadis itu kemudian melirik ke arah Linghu Chong, terkenang saat-saat pertama kali mereka bertemu. Ia menghela napas dan dadanya terasa hangat. Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Ribuan orang yang datang ke Biara Shaolin itu tidak semuanya pernah mendapat obat penawar dariku. Tapi bila salah seorang pemimpin mereka, atau keluarga mereka pernah menerima bantuanku, maka mereka merasa ikut berhutang budi. Lagipula kedatangan mereka ke Gunung Shaoshi juga belum tentu demi diriku. Bisa jadi mereka datang atas panggilan Pendekar Besar Linghu, dan mereka tidak berani mangkir.”

“Wah, baru setengah hari bergaul denganku kau sudah mahir memutar lidah,” kata Linghu Chong.

Ren Yingying mendengus, tapi kemudian tertawa riang. Selama ini di dalam Sekte Matahari dan Bulan, ia selalu diperlakukan bagaikan tuan putri. Setiap orang tidak berani membantah perintahnya dan hari-harinya pun penuh dengan sanjung puji. Namun sekarang bisa bersenda gurau dengan Linghu Chong, ini benar-benar pengalaman paling menggembirakan seumur hidup.

Selang sejenak Ren Yingying menunduk dan berkata, “Aku sangat senang mendengarmu memimpin orang sebanyak itu ke Biara Shaolin untuk menjemputku pulang. Tadinya orang-orang persilatan suka membicarakan diriku, bahwa aku jatuh hati padamu. Sementara kau adalah pemuda berandalan yang suka bermain cinta di sembarang tempat, sama sekali tidak menaruh perhatian padaku .…” sampai di sini suaranya menjadi lirih, “tapi setelah keributan di biara itu, paling tidak kau telah mengembalikan kehormatanku dalam pandangan mereka. Andai aku mati juga takkan … takkan menanggung tuduhan jelek lagi.”

Linghu Chong menjawab, “Ketika kau membawaku ke Biara Shaolin dan meminta pengobatan untukku, aku benar-benar tidak tahu sama sekali. Kemudian aku terkurung lama di penjara Wisma Meizhuang, di bawah Danau Barat. Setelah bebas, aku langsung terlibat urusan Perguruan Henshan. Begitu aku mengetahui permasalahanmu, aku pun langsung datang menjemputmu. Tapi kau sendiri sudah cukup banyak menderita.”

“Sebenarnya aku tidak menderita kesulitan apa-apa selama dikurung di gunung belakang Biara Shaolin. Aku disekap sendirian di sebuah rumah batu, dan setiap sepuluh hari datang seorang biksu tua mengantarkan kayu bakar dan beras untukku. Selain itu ada pula seorang pelayan wanita yang membantu memasak dan mencuci pakaianku. Tapi mereka berdua tidak tahu apa-apa dan juga tidak pernah bercerita apa-apa,” ujar Ren Yingying. “Sampai akhirnya Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi datang ke Biara Shaolin. Kepala Biara mengundangku untuk menemui mereka berdua. Saat itu aku baru tahu kalau Kepala Biara ternyata tidak pernah mengajarkan Ilmu Pengubah Urat kepadamu. Aku pun marah karena merasa telah tertipu, dan memaki-maki biksu tua itu. Biksuni Dingxian lantas menenangkan amarahku dengan mengatakan bahwa kau dalam keadaan sehat dan selamat. Ia juga berkata bahwa dirimulah yang telah meminta mereka datang ke Biara Shaolin untuk memohon pembebasanku.”

“Sesudah mendengar demikian barulah kau tidak mencaci maki Kepala Biara lagi, begitu?” tanya Linghu Chong.

Ren Yingying menjawab, “Kepala Biara Shaolin itu hanya tersenyum saja meski aku telah mencaci maki dirinya. Ia berkata, ‘Nona, waktu itu biksu tua ini berjanji akan mengajarkan Ilmu Pengubah Urat kepada Pendekar Linghu untuk memusnahkan bermacam-macam hawa murni kacau di dalam tubuhnya, dengan syarat dia bersedia memasuki Perguruan Shaolin sehingga dapat menjadi muridku. Namun Pendekar Linghu menolak anjuranku, sehingga aku pun tidak dapat memaksanya. Lagipula sewaktu kau menggendong … sewaktu dia pertama kali datang ke sini, saat itu keadaannya sangat payah bagaikan di ujung tanduk. Namun ketika ia meninggalkan pegunungan ini, meskipun penyakitnya belum sembuh, tapi ia sudah bisa berjalan seperti biasa. Dalam hal ini Biara Shaolin juga sedikit berjasa kepadanya.’ Kupikir ucapannya benar juga. Aku lantas berkata, ‘Lalu, kenapa kau tetap menahanku di sini? Kau ini seorang biarawan, seorang biksu, kenapa seorang masih saja berbohong?’”

“Ya, dia memang tidak seharusnya menyembunyikan itu darimu,” ujar Linghu Chong.

“Tapi ia kemudian menyampaikan alasannya,” jawab Ren Yingying. “Biksu tua itu mengatakan bahwa aku ditahan di Biara Shaolin supaya dapat melenyapkan sifat kejiku. Huh, omong kosong!”

“Benar. Mana mungkin kau punya sifat keji?” ujar Linghu Chong menanggapi.

“Kau tidak perlu berkata-kata manis untuk menyenangkan diriku. Tentu saja aku memiliki sifat keji. Bahkan, sifatku ini sangat keji,” kata Ren Yingying. “Tapi kau tidak perlu khawatir. Aku tidak akan menggunakan sifat kejiku ini padamu.”

“Terima kasih banyak atas keistimewaan ini,” jawab Linghu Chong tersenyum.

Ren Yingying melanjutkan, “Aku berkata pada biksu tua itu, ‘Kau sudah begini tua, tapi suka membohongi kaum muda. Sungguh memalukan!’ Biksu tua itu menjawab, ‘Waktu itu kau sendiri yang rela berkorban jiwa raga demi keselamatan Pendekar Linghu. Meskipun kami urung menyembuhkan Pendekar Linghu, tapi kami juga tidak mengambil jiwamu. Dari kedua biksuni kami mendengar keadaan Pendekar Linghu kini baik-baik saja, bahkan ia telah melakukan banyak perbuatan kesatria di dunia persilatan. Sungguh aku ikut bahagia mendengarnya. Sekarang demi memandang muka emas Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi, kau boleh pergi dari sini.’ Begitulah, aku lantas dibebaskan dan turun gunung bersama kedua tokoh Perguruan Henshan tersebut. Kemudian di bawah gunung kami mendengar kabar bahwa kau sedang dalam perjalanan memimpin ribuan orang menuju Biara Shaolin untuk menjemputku. Kedua biksuni merasa khawatir dan segera kembali ke atas gunung untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah di kedua pihak. Tak disangka, kedua biksuni berbudi luhur itu justru meninggal di dalam Biara Shaolin.” Usai berkata demikian Ren Yingying menghela napas panjang penuh penyesalan. Tak terasa air matanya meleleh di pipi.

Linghu Chong ikut menghela napas dan berkata, “Benar, entah siapa orangnya yang telah menurunkan tangan keji kepada Beliau berdua itu? Pada tubuh kedua biksuni sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda luka. Bagaimana cara mereka tewas juga tidak diketahui.”

“Siapa bilang tidak ada tanda luka?” sahut Ren Yingying. “Saat tiba di Biara Shaolin, Ayah, Paman Xiang, dan aku menemukan jasad kedua biksuni dan memeriksa mereka. Aku membuka pakaian mereka dan menemukan pada bagian ulu hati masing-masing terdapat suatu titik merah bekas tusukan jarum. Jelas mereka tewas karena tertusuk jarum.”

“Hah!” seru Linghu Chong melonjak kaget. “Jarum beracun? Di dunia persilatan saat ini, siapa yang memakai senjata jarum beracun?”

“Ayah dan Paman Xiang yang berwawasan luas juga tidak tahu. Menurut Ayah, itu bukan jarum beracun, tapi sejenis jarum baja yang ditusukkan ke titik penting sehingga korbannya mati seketika. Hanya saja tusukan ke ulu hati Biksuni Dingxian agak sedikit melenceng,” ujar Ren Yingying.

“Benar. Sewaktu aku menemukan Biksuni Dingxian, Beliau belum meninggal. Jika tusukan jarum itu mengarah ke ulu hati, maka jelas ini bukan serangan dari tempat gelap, tetapi pertarungan berhadap-hadapan. Tentu pembunuh kedua biksuni itu seorang ahli silat yang sakti luar biasa,” kata Linghu Chong.

“Ya, ayahku pun berkata demikian. Dengan beberapa petunjuk yang kita temukan itu, rasanya tidak sulit kalau kita ingin mencari pembunuh kedua biksuni,” ujar Ren Yingying.

Tiba-tiba Linghu Chong memukul dinding gua dan berkata, “Yingying, selama kita masih bernapas, kita harus membalas dendam bagi kedua biksuni yang baik hati itu.”

“Tentu saja,” sahut Ren Yingying mantap.

Sambil bertumpu pada dinding gua, Linghu Chong merasa kaki dan tangannya dapat bergerak leluasa. Dadanya juga tidak terasa sakit, membuatnya menjadi heran, “Aneh, dadaku telah ditendang begitu keras oleh Guru, kenapa sepertinya tidak terluka sama sekali?”

Ren Yingying menjawab, “Kata ayahku, kau telah mempelajari Jurus Penyedot Bintang dan menghisap banyak tenaga dalam orang lain. Maka, kekuatanmu kini sudah jauh melebihi gurumu. Namun karena kau tidak mau mengerahkan tenaga untuk melawan tendangan gurumu, akibatnya kau pun muntah darah. Meski begitu, tanpa kau sadari tenaga dalammu yang melimpah itu telah melindungi tubuhmu sehingga lukamu hanyalah luka ringan. Setelah Paman Xiang mengurut-urut tubuhmu, hawa murni dalam tubuhmu bangkit dengan sendirinya sehingga kau bisa sembuh dalam waktu singkat. Hanya saja, kenapa tulang kaki gurumu itu sampai patah benar-benar sangat aneh. Selama setengah hari Ayah memikirkan hal ini namun tetap tidak menemukan duduk perkaranya.”

“Tenaga dalamku sangat kuat, sehingga menggetarkan kembali tendangan Guru dan mematahkan tulang kaki Beliau. Kenapa hal ini kau bilang aneh?” ujar Linghu Chong.

“Bukan begitu,” sahut Ren Yingying, “kata Ayah, tenaga dalam yang berasal dari hasil menghisap orang lain memang bisa untuk melindungi dirimu, namun tidak bisa untuk menyerang lawan kecuali kalau kau sengaja mengerahkannya. Dibandingkan dengan tenaga dalam yang asli hasil latihan sendiri juga masih kalah setingkat.”

“Ternyata demikian,” kata Linghu Chong. Karena tidak paham permasalahannya, ia pun tidak mau berpikir lebih dalam lagi. Ia hanya merasa bersalah karena telah mematahkan tulang kaki Sang Guru, juga telah membuatnya kehilangan muka di hadapan para jago papan atas dunia persilatan.

Untuk sekian lama mereka saling pandang tanpa bersuara. Suasana sunyi senyap, hanya kadang-kadang terdengar suara letupan kayu bakar yang berkobar di luar gua. Tampak bunga-bunga salju bertaburan dengan lebatnya, jauh lebih lebat daripada hujan salju di atas Gunung Shaoshi kemarin.

Tiba-tiba Linghu Chong mendengar suara orang bernapas dengan berat dari arah sebelah barat mulut gua. Segera ia memasang telinga untuk mendengarkan lebih cermat. Tenaga dalam Ren Yingying tidak setinggi Linghu Chong, sehingga tidak dapat mendengar suara itu. Namun begitu melihat perubahan wajah pemuda itu ia lantas bertanya, “Kau mendengar suara apa?”

“Seperti suara orang bernapas, entah napas siapa ini? Tapi suara napas ini agak terengah-engah. Sepertinya bukan orang berilmu tinggi,” sahut Linghu Chong. “Di mana ayahmu?”

“Ayah dan Paman Xiang berkata mereka ingin jalan-jalan keluar,” kata Ren Yingying dengan wajah merah. Ia tahu maksud ayahnya pergi adalah sengaja memberi kesempatan padanya agar bisa leluasa mengobrol dengan Linghu Chong setelah siuman, untuk melepas rindu setelah lama tidak bertemu.

Sementara itu Linghu Chong kembali mendengar suara orang bernapas berat, “Mari kita keluar untuk melihatnya!”

Keduanya pun keluar gua. Terlihat bekas telapak kaki Ren Woxing dan Xiang Wentian sudah hampir lenyap tertutup salju.

“Dari arah sana datangnya suara napas itu,” kata Linghu Chong sambil menunjuk ke arah jejak-jejak tersebut. Segera mereka mengikuti jejak kaki itu, kira-kira satu-dua li jauhnya. Setelah berbelok di suatu lembah, tiba-tiba di atas terlihat Ren Woxing dan Xiang Wentian berdiri sejajar bergandeng tangan tanpa bergerak di atas tanah berlapis salju.

Ren Yingying berseru, “Ayah!” Ia pun menjulurkan tangan untuk memegang sebelah tangan Ren Woxing. Tak disangka, begitu menyentuh tangan sang ayah, seluruh tubuh Ren Yingying langsung tergetar. Terasa olehnya suatu arus hawa mahadingin mengalir keluar dari tangan sang ayah.

“Ayah, kau … kau kenapa ….” belum habis ia berkata, badannya sudah menggigil kedinginan. Tapi ia segera paham duduk permasalahannnya. Sewaktu turun gunung tadi ayahnya telah bercerita bahwa tenaga dalam mahadingin Zuo Lengchan pada pertandingan tadi masih bersarang di tubuhnya. Ren Woxing sejak tadi berusaha menahan diri, namun kini akhirnya tidak tahan juga, dan hawa dingin pun menyeruak keluar dari tubuhnya. Xiang Wentian saat ini pasti sedang membantunya melawan serangan hawa dingin tersebut dengan segenap tenaga.

Mula-mula Linghu Chong juga tidak paham. Dari cahaya yang terpantul melalui kepingan bunga-bunga salju, ia bisa melihat wajah Ren Woxing dan Xiang Wentian sangat serius. Menyusul kemudian Ren Woxing bernapas lagi beberapa kali dengan terengah-engah. Baru sekarang ia paham suara napas berat yang didengarnya tadi ternyata berasal dari orang tua itu.

Ketika melihat tubuh Ren Yingying menggigil kedinginan, tanpa pikir panjang ia lantas memegang tangan gadis itu. Sekejap saja hawa dingin pun mengalir masuk ke dalam tubuhnya. Seketika ia langsung paham bahwa Ren Woxing telah terserang oleh hawa dingin Zuo Lengchan dan sekarang sedang mengerahkan tenaga untuk memusnahkan hawa dingin tersebut. Pikirannya segera melayang mengingat cara yang pernah dipelajarinya dari ukiran rumus pada lempengan dipan besi di penjara Danau Barat tempo hari. Perlahan-lahan ia pun menggunakan cara tersebut untuk membuyarkan hawa dingin yang mengalir masuk ke dalam tubuhnya.

Begitu mendapat bantuan Linghu Chong, hati Ren Woxing merasa lega. Maklum, tenaga dalam Xiang Wentian dan Ren Yingying hanya bisa membantu melawan hawa dingin itu, namun mereka berdua tidak mengetahui cara untuk membuyarkannya. Sejak tadi Ren Woxing berusaha keras menaikkan suhu tubuhnya agar tidak membeku, sehingga pada akhirnya ia sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk membuyarkan hawa dingin tersebut. Semakin bertahan semain ia merasa kelelahan. Dengan bantuan Linghu Chong yang datang tepat waktu, sedikit demi sedikit hawa murni mahadingin Zuo Lengchan yang menyusup ke dalam tubuh Ren Woxing dapat dihisap keluar dan dibuyarkan olehnya.

Keempat orang itu pun berdiri kaku dan bergandeng tangan di tanah bersalju seperti patung. Hujan salju masih terus turun dengan lebatnya sehingga lambat laun kepala, tangan, pakaian, sampai kaki mereka tertutup semua oleh lapisan es.

Sambil mengerahkan tenaga Linghu Chong merasa heran kenapa bunga salju yang menimpa tubuhnya itu tidak meleleh, sebaliknya justru menempel dan membeku serta semakin lama semakin tebal. Ia tidak tahu kalau tenaga dalam mahadingin yang dikuasai Zuo Lengchan itu sangat ampuh. Hawa dingin tersebut jauh lebih dingin daripada salju. Kini kulit dan daging mereka berempat sudah sedingin es, dan hanya organ tubuh bagian dalam saja yang masih hangat. Sebab itulah bunga salju yang menimpa mereka tidak meleleh, bahkan makin berlapis dan semakin keras. Bisa dikatakan, bunga salju yang jatuh dari langit lebih cepat menyelimuti mereka berempat daripada menimbun tanah.

Selang agak lama, hari sudah berangsur-angsur terang, tapi hujan salju masih turun dengan lebatnya. Linghu Chong khawatir tubuh wanita Ren Yingying tidak tahan terhadap serangan hawa dingin terus-menerus dalam waktu lama. Namun ia merasa racun dingin di tubuh Ren Woxing juga belum terkuras habis. Meskipun suara napas orang tua itu tidak lagi terengah-engah, namun ia tidak berani menghentikan pertolongan karena khawatir akan terjadi hal yang membahayakan. Untungnya ia dapat merasakan tangan Ren Yingying meskipun masih sangat dingin namun sudah tidak menggigil lagi. Samar-samar ia dapat pula merasakan denyut nadi pada telapak tangan gadis itu.

Mereka berempat terbungkus oleh salju yang tebal seperti boneka salju. Pada bagian mata masing-masing juga tertutup salju beberapa senti. Samar-samar Linghu Chong hanya bisa merasakan hari sudah pagi, namun tetap tidak bisa melihat apa-apa. Tanpa menghiraukan urusan lain ia terus mengerahkan tenaganya, berharap racun dingin di tubuh Ren Woxing bisa lekas-lekas dikeluarkan seluruhnya dari delapan pembuluh Qijing, kemudian dipaksanya keluar melalui titik-titik Shaoshang, Shangyang, dan titik-titik lain pada jari tangan.

Tiba-tiba dari arah timur laut terdengar suara derap kaki kuda yang makin lama makin mendekat. Kemudian terdengar jelas bahwa yang datang ada dua ekor kuda sedang berlari, yang satu di depan dan yang satu lagi di belakang. Selanjutnya terdengar suara salah seorang penunggangnya berteriak, “Adik, Adik, tunggu dulu! Dengarkan aku dulu!”

Meskipun kedua telinganya tertutup salju tebal, Linghu Chong dapat mendengar dengan jelas bahwa suara itu tidak lain adalah suara Yue Buqun, gurunya sendiri. Terdengar Yue Buqun kembali berseru, “Kau tidak paham seluk-beluk permasalahannya langsung marah-marah. Hendaknya kau dengarkan dulu penjelasanku.”

Lalu terdengar Ning Zhongze berkata, “Aku sedang kesal sendiri, untuk apa kau mengurusiku? Memangnya apa lagi yang perlu dijelaskan?”

Suara seruan mereka serta derap kaki kedua ekor kuda itu semakin mendekat. Tampaknya Ning Zhongze berada di depan dan Yue Buqun menyusul di belakang. Linghu Chong menjadi heran dan berpikir, “Perangai Ibu Guru biasanya sangat halus dan jarang bertengkar dengan Guru. Entah mengapa Guru kali ini bisa membuatnya sangat tersinggung?”

Terdengar kuda sang ibu-guru semakin mendekat. Tiba-tiba terdengar Ning Zhongze berseru heran, “Hah?” Menyusul kemudian kudanya meringkik panjang, mungkin karena mendadak ia menahan tali kendali sehingga kudanya itu berhenti dengan kedua kaki depan terangkat.

Selang sejenak Yue Buqun telah menyusul tiba dan berkata, “Di tanah pegunungan yang sepi ini ternyata ada yang membuat empat boneka salju. Adik, boneka-boneka salju ini bagus sekali dan mirip manusia asli”

“Hm,” Ning Zhongze hanya mendengus tanpa menjawab. Mungkin rasa marahnya belum reda. Tapi yang jelas, dalam hati ia sangat tertarik kepada empat boneka salju tersebut dan tadi secara mendadak ia menghentikan kudanya juga karena terkejut melihat pemandangan itu.

Linghu Chong merasa heran, “Bagaimana ada empat boneka salju di tanah pegunungan sepi ini?” Tapi ia segera paham, “Benar juga, tubuh kami berempat tertutup lapisan salju sedemikian tebalnya sehingga Guru dan Ibu Guru menyangka kami adalah empat boneka salju. Ini gawat. Kalau Guru mengetahui yang sesungguhnya, tentu ia akan langsung menusuk kami sampai mati.”

Terdengar Yue Buqun berkata, “Di sini tidak terdapat jejak kaki. Sepertinya keempat boneka salju ini sudah dibuat beberapa hari yang lalu. Adik, coba kau lihat, bukankah tiga di antaranya seperti laki-laki dan yang satu seperti perempuan?”

“Bagiku keempatnya sama saja. Bagaimana kau tahu itu laki-laki dan perempuan?” ujar Ning Zhongze. Ia lalu membentak kudanya hendak kembali melaju.

Namun Yue Buqun segera menahan tali kekang kuda istrinya dan berkata, “Adik, kenapa kau terburu-buru? Di sini tidak ada orang lain. Mari kita bicara panjang lebar.”

“Terburu-buru apa? Aku hanya ingin pulang ke Gunung Huashan. Kalau kau lebih suka menjilat kepada Zuo Lengchan, silakan kau pergi sendiri saja ke Gunung Songshan,” sahut Ning Zhongze.

“Siapa bilang aku menjilat Zuo Lengchan? Sebagai Ketua Perguruan Huashan yang terhormat, untuk apa aku harus tunduk kepada Perguruan Songshan?” ujar Yue Buqun.

Ning Zhongze berkata, “Maka itu, aku justru tidak paham mengapa sebagai Ketua Perguruan Huashan kau justru menunduk-nunduk begitu saja di hadapan Zuo Lengchan dan mematuhi setiap perintahnya? Sekalipun dia adalah pimpinan dari Serikat Pedang Lima Gunung, tapi seharusnya tidak boleh mencampuri urusan rumah tangga Perguruan Huashan kita. Bila kelima perguruan dilebur menjadi satu, lantas apakah nama Perguruan Huashan masih tetap ada di dunia persilatan? Dulu sewaktu Guru menyerahkan jabatan ketua padamu, wasiat apa yang Beliau katakan?”

“Guru menghendaki agar aku mengembangkan kejayaan Perguruan Huashan,” sahut Yue Buqun.

“Nah, itu dia. Sekarang bila kau menggabungkan Perguruan Huashan ke dalam Perguruan Songshan, lalu bagaimana kau akan bertanggung jawab kepada mendiang guru kita di alam sana? Pepatah mengatakan, lebih baik menjadi paruh ayam daripada menjadi pantat kerbau. Biarpun perguruan kita kecil tapi lebih baik mandiri daripada bersandar kepada orang lain,” desak Ning Zhongze.

Yue Buqun menghela napas, “Adik, menurut pendapatmu, bagaimana kepandaian Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi dari Perguruan Henshan jika dibandingkan dengan kita?”

“Kita tidak pernah bertanding melawan mereka. Tapi kurasa hampir sama. Untuk apa kau tanya soal itu?” sahut Ning Zhongze.

“Aku pun berpendapat demikian. Kedua biksuni itu tewas di Biara Shaolin. Jelas Zuo Lengchan yang telah membunuh mereka,” kata Yue Buqun.

Linghu Chong tergetar mendengarnya. Ia memang mencurigai Zuo Lengchan telah membunuh kedua pimpinan Perguruan Henshan tersebut, karena orang lain rasanya tidak mungkin memiliki kepandaian setinggi itu. Meskipun ilmu silat Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu juga tinggi, namun watak mereka yang berbudi luhur tidak mungkin membunuh kedua biksuni secara diam-diam. Sebaliknya, Zuo Lengchan sudah terkenal kelicikannya. Apalagi Perguruan Songshan sebelumnya sudah berselisih dengan pihak Perguruan Henshan, dan menyebabkan kematian Biksuni Dingjing. Mereka tidak berhasil memaksa Bikusni Dingxian dan Biksuni Dingyi menyerah kalah di Lembah Tempa Pedang, sehingga kini Zuo Lengchan sendiri yang turun tangan. Ren Woxing yang cerdik dan berilmu tinggi saja bisa dipecundangi olehnya, apalagi kedua biksuni yang polos dan welas asih itu, tentu saja bukan tandingannya.

“Lantas bagaimana jika itu memang perbuatan Zuo Lengchan?” ujar Ning Zhongze. “Bila kau punya bukti nyata, seharusnya kau undang seluruh kesatria aliran lurus untuk bersama-sama mendatangi Zuo Lengchan dan membalaskan sakit hati kedua biksuni.”

Kembali Yue Buqun menghela napas, “Pertama, kita tidak punya bukti. Kedua, kekuatan kita tidak cukup untuk melawannya.”

“Mengapa tidak cukup untuk melawannya?” sahut Yue Buqun. “Kita dapat meminta bantuan Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin dan Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang. Apakah Zuo Lengchan masih berani?”

“Tapi sebelum Beliau berdua itu dapat kita undang, aku khawatir kita suami istri sudah mengalami nasib seperti kedua biksuni itu,” ujar Yue Buqun.

“Maksudmu kita akan dibunuh juga oleh Zuo Lengchan, begitu?” sahut Ning Zhongze. “Hm, sebagai orang persilatan kenapa harus takut menghadapi kematian? Kalau takut harimau di depan, takut serigala di belakang, bagaimana kau bisa malang melintang di dunia persilatan?”

Diam-diam Linghu Chong merasa kagum luar biasa mendengar ucapan sang ibu-guru. Ia berpikir, “Meskipun kaum wanita, tapi jiwa kesatria Ibu Guru melebihi para laki-laki.”

Terdengar Yue Buqun menjawab, “Kau dan aku tidak takut mati, tapi bagaimana kalau Zuo Lengchan membunuh kita secara licik? Tiba-tiba saja kita berdua mati dengan seluk-beluk tidak jelas. Akhirnya, dia tetap saja melebur Serikat Pedang Lima Gunung. Bahkan, tidak mustahil dia justru menjatuhkan fitnah keji kepada kita.”

Ning Zhongze hanya terdiam mendengarnya.

Yue Buqun melanjutkan, “Bila kita mati, maka murid-murid Perguruan Huashan tentu akan menjadi sasaran empuk Zuo Lengchan. Mana mungkin mereka sanggup melawannya? Pendek kata, bagaimanapun juga kita harus memikirkan nasib Shan’er.”

Ning Zhongze berdehem perlahan. Sepertinya ia mulai terpengaruh oleh kata-kata sang suami. Selang sejenak baru berkata, “Baiklah, sementara ini kita tidak perlu membongkar tipu muslihat Zuo Lengchan. Kita tetap berpura-pura menurut padanya, sambil menunggu kesempatan yang baik untuk bertindak.”

“Kau setuju dengan kata-kataku, itu bagus sekali,” ujar Yue Buqun. “Sayang sekali Kitab Pedang Penakluk Iblis telah dicuri oleh bangsat cilik Linghu Chong. Andai saja ia mau mengembalikannya kepada Pingzhi, tentu semua murid Huashan dapat bersama-sama memelajarinya. Dengan demikian kita tidak perlu takut lagi kepada Zuo Lengchan. Perguruan Huashan kita sekarang dalam keadaan lemah. Bagaimana kita bisa bertahan?”

“Kenapa kau masih saja menuduh Chong’er sebagai pencuri hanya karena ilmu pedangnya maju pesat?” sahut Ning Zhongze ketus. “Bukankah di Biara Shaolin kita mendengar sendiri Pendeta Chongxu berkata bahwa ilmu pedang Chong’er yang luar biasa itu adalah hasil didikan Paman Guru Feng? Meskipun Paman Guru Feng berasal dari Kelompok Pedang, namun Beliau tetaplah orang Perguruan Huashan. Soal Chong’er bergaul dengan aliran sesat memang patut kita salahkan. Tapi bagaimanapun juga kita juga salah telah menuduhnya mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis. Jika kau tidak percaya kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, lantas siapa lagi di dunia ini yang bisa kau percaya?”

Linghu Chong sangat bersyukur mendengar ucapan sang ibu-guru yang terus-menerus membelanya. Rasanya ingin sekali ia keluar dan menyembah wanita itu. Namun tiba-tiba ia merasa kepalanya ditepuk oleh seseorang beberapa kali. “Celaka, mungkin persembunyian kami sudah ketahuan oleh mereka. Selagi racun dingin pada tubuh Ketua Ren belum musnah sama sekali, apa yang harus kulakukan jika Guru dan Ibu Guru menyerangku?” pikirnya. Ia merasa tenaga dalam yang tersalur dari tangan Ren Yingying juga tergetar beberapa kali. Sepertinya perasaan Ren Woxing juga tidak tenteram. Tapi sesudah kepalanya ditepuk orang, ternyata tidak ada kejadian lain lagi.

Terdengar Ning Zhongze berkata, “Kemarin sewaktu kau bertanding dengan Chong’er, berulang-ulang kau memainkan jurus-jurus Kembalinya Si Anak Hilang, Cemara Tua Menyambut Tamu, Nong Yu Meniup Seruling, dan Xiao Shi Menunggang Naga. Apa maksud semua itu?”

“Hehe, meskipun kelakuan bangsat cilik itu tidak senonoh, tapi bagaimanapun juga dia adalah anak yang kita pungut sejak kecil, rasanya sayang juga jika melihat dia sampai tersesat,” jawab Yue Buqun. “Bila dia mau kembali ke jalan yang benar, maka aku bersedia menerimanya kembali di Perguruan Huashan.”

“Lalu bagaimana dengan tiga jurus yang lainnya?” tanya Ning Zhongze.

“Kau sudah tahu, mengapa masih bertanya?” balas Yue Buqun.

“Jika Chong’er kembali ke Huashan, kau akan menjodohkannya dengan Shan’er, begitu?” tanya Ning Zhongze.

“Ya, memang,” sahut Yue Buqun.

“Isyarat yang kau mainkan melalui jurus waktu itu hanya sebagai siasat supaya menang, ataukah memang benar-benar tulus dari hati?” Ning Zhongze kembali bertanya.

Yue Buqun tidak menjawab. Lagi-lagi Linghu Chong merasa kepalanya diketuk-ketuk perlahan oleh seseorang. Maka ia pun paham pasti itu tangan Sang Guru yang tadi menepuk-nepuk kepalanya, dan sekarang mengetuk-ketuk lagi sambil berpikir. Jadi sama sekali bukan karena keberadaan mereka berempat telah ditemukan.

Sejenak kemudian baru terdengar Yue Buqun berkata, “Perkataan seorang laki-laki teguh bagaikan gunung. Sekali aku menyanggupi tentu tidak akan kuingkari.”

“Dia jatuh hati kepada perempuan siluman dari Sekte Iblis itu. Apa kau tidak tahu?” tanya Ning Zhongze.

“Tidak, terhadap perempuan siluman itu ia hanya berterima kasih dan membalas budi,” ujar Yue Buqun. “Apa kau tidak dapat membandingkan bagaimana sikapnya terhadap Shan’er dan terhadap perempuan siluman itu?”

“Sudah tentu aku dapat melihatnya. Jadi kau yakin dia masih belum bisa melupakan Shan’er?” lanjut Ning Zhongze.

“Bukan hanya tidak bisa lupa, bahkan boleh dikata ia sangat merindukan Shan’er siang malam,” jawab Yue Buqun. “Begitu dia memahami makna dari jurus-jurusku, seketika wajahnya langsung berubah. Apa kau tidak menyaksikan betapa gembira raut mukanya, bagaikan mendapat durian runtuh?”

“Justru karena itu, maka kau menggunakan Shan’er sebagai umpan untuk memancingnya agar sengaja mengalah kepadamu, bukan?” balas Ning Zhongze.

Meskipun telinganya tertutup salju, namun Linghu Chong dapat mendengar kata-kata ibu-gurunya yang terdengar ketus dan marah. Padahal nada demikian itu selamanya tidak pernah diucapkan oleh Ning Zhongze terhadap suaminya. Sejak kecil Linghu Chong selalu diperlakukan seperti anak kandung oleh Yue Buqun suami-istri, sehingga tidak ada rahasia apa pun yang disembunyikan darinya. Dalam urusan rumah tangga, tidak jarang Linghu Chong menyaksikan ibu-gurunya bertengkar dengan sang guru. Namun dalam urusan perguruan, bagaimanapun juga wanita itu selalu menghormati kedudukan suaminya sebagai Ketua Perguruan Huashan dan tidak pernah membantah. Tapi sekarang ia sampai mengucapkan kata-kata bernada menyindir seperti tadi, pertanda rasa tidak senangnya terhadap perbuatan sang suami sudah terlalu besar.

Terdengar Yue Buqun menghela napas panjang, lalu berkata, “Ternyata kau tidak paham maksud dan tujuanku, apalagi orang luar? Padahal itu semua bukan untuk kepentingan diriku pribadi, tetapi demi kehormatan Perguruan Huashan kita. Jika aku dapat menyadarkan Linghu Chong sehingga dia meninggalkan jalan sesat dan kembali ke dalam Perguruan Huashan, maka ini berarti kita akan mendapat empat keuntungan. Suatu hal yang sangat bagus.”

“Mendapat empat keuntungan bagaimana?” tanya Ning Zhongze.

Yue Buqun menjawab, “Ilmu pedang Linghu Chong sangat bagus melebihi diriku. Entah ia mendapatkannya dari Kitab Pedang Penakluk Iblis, entah ia mendapatkannya dari Paman Guru Feng, bagiku tidak masalah. Jika dia kembali ke Perguruan Huashan, itu berarti wibawa perguruan kita akan bertambah cemerlang, ini adalah keuntungan pertama. Selanjutnya, tipu muslihat Zuo Lengchan untuk mencaplok Perguruan Huashan tentu sukar terlaksana. Bahkan Perguruan Taishan, Hengshan, dan Henshan juga bisa diselamatkan, ini adalah keuntungan kedua. Jika dia kembali ke Perguruan Huashan, itu berarti golongan lurus akan bertambah satu jago kelas satu, sedangkan pihak aliran sesat akan kehilangan seorang pembantu yang berilmu tinggi, ini adalah keuntungan ketiga. Betul, tidak?”

Ning Zhongze seperti tertarik oleh uraian sang suami. Ia lalu bertanya, “Lalu, apa keuntungan yang keempat?”

“Keuntungan keempat ini lebih meyakinkan lagi. Kita tidak memiliki anak laki-laki, dan kita telah mengasuh Chong’er sejak kecil bagaikan anak kandung sendiri. Melihatnya tersesat ke jalan yang salah sesungguhnya aku merasa sangat sedih. Usiaku sudah lanjut, apa artinya nama besar bagiku di dunia fana ini? Asalkan dia bisa kembali ke jalan yang benar, maka kita sekeluarga dapat berkumpul lagi dengan bahagia. Bukankah ini suatu peristiwa yang menggembirakan?” ujar Yue Buqun.

Mendengar sampai di sini, Linghu Chong sangat terharu sehingga air matanya berlinang-linang. Hampir saja ia berteriak, “Guru, Ibu Guru!” Namun untungnya tangan Ren Yingying yang digenggamnya itu agak bergetar sehingga suaranya pun tertahan tidak sampai keluar.

“Shan’er dan Pingzhi sangat cocok satu sama lain. Apa kau tega memisahkan mereka dan membuat Shan’er bersedih seumur hidup?” tanya Ning Zhongze.

“Apa yang kulakukan ini adalah demi kebaikan Shan’er juga,” sahut Yue Buqun.

“Demi kebaikan Shan’er? Padahal Pingzhi selalu bersikap sopan, juga rajin dan telaten. Kurang baik bagaimana?” balas Ning Zhongze.

“Meskipun Pingzhi sangat giat belajar, tapi kalau dibandingkan Linghu Chong sungguh bagaikan langit dan bumi. Biarpun naik kuda seumur hidup juga tidak mampu menyusulnya,” jawab Yue Buqun.

“Apakah memiliki ilmu silat yang tinggi pasti menjadi suami yang baik?” tanya Ning Zhongze. “Aku memang mengharapkan Chong’er bisa meninggalkan jalan yang sesat dan kembali ke dalam perguruan kita. Tapi dia suka angin-anginan dan berbuat onar. Dia juga gemar mabuk-mabukan dan ugal-ugalan. Bagaimanapun juga kebahagiaan Shan’er tidak boleh dikorbankan.”

Mendengar ucapan sang ibu-guru, seketika Linghu Chong berkeringat dingin. Ia berpikir, “Penilaian Ibu Guru atas diriku memang tepat. Tapi … tapi bila aku dapat menikahi Adik Kecil, mana mungkin aku akan membuatnya kecewa? Tidak mungkin! Sama sekali tidak. Kalau aku harus menaati peraturan, maka akan kutaati. Kalau aku harus berhenti minum arak, maka akan kupenuhi.”

Yue Buqun kembali menghela napas dan berkata, “Tapi usahaku percuma saja. Bangsat cilik itu sudah terjerumus terlalu dalam. Apa yang kita bicarakan ini sia-sia belaka. Adik, apakah kau masih marah padaku?”

Ning Zhongze tidak menjawab. Selang sejenak baru ia berkata, “Apakah kakimu masih sakit?”

“Hanya luka luar saja, tidak terlalu parah,” jawab Yue Buqun. “Adik, mari kita pulang ke Huashan!” Menyusul kemudian terdengar suara kaki kuda mereka mulai berjalan di atas tanah bersalju, yang makin lama semakin menjauh.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar