Begitu membuka mata dan tidak
melihat adanya biksu besi lagi, Dewa Akar Persik segera membual, “Sungguh lihai
biksu besi tadi. Tapi semuanya dapat dihancurkan oleh Enam Dewa Lembah Persik.”
Dewa Bunga Persik lebih tahu
diri dan berkata, “Tuan Muda Linghu juga berjasa, tapi jasa kami enam
bersaudara lebih besar.”
Dengan menahan rasa sakit di
bahunya Linghu Chong berkata sambil tertawa, “Tentu saja. Siapa yang mampu
menandingi Enam Dewa Lembah Persik?”
“Sebenarnya apa yang terjadi,
Tuan Muda Linghu?” tanya Zu Qianqiu.
Dengan ringkas Linghu Chong
menuturkan pengalamannya tadi, kemudian berpendapat, “Kemungkinan besar Gadis
Suci terkurung di dalam situ. Kita harus mencari akal untuk memusnahkan kawanan
patung biksu besi penjaga lorong ini.”
Zu Qianqiu melirik sekejap ke
arah Enam Dewa Lembah Persik, lalu berkata, “Ternyata biksu-biksu besi itu
belum dihancurkan.”
“Apa sulitnya untuk
menghancurkan biksu-biksu mati itu? Hanya saja, sementara ini kami sedang tidak
ingin,” sahut Dewa Dahan Persik.
“Benar, kemana pun kami
berenam pergi, sehebat apa pun musuh bisa kami kalahkan,” tukas Dewa Buah
Persik mendukung saudaranya.
“Entah bagaimana cara bekerja
biksu-biksu besi itu, harap Enam Dewa Lembah Persik maju lagi untuk memancing
serangannya, biar kami bisa menyaksikan,” kata Ji Wushi.
Tapi Enam Dewa Lembah Persik
rupanya sudah jera, tentu tidak mau disuruh merasakan pukulan tongkat baja
lagi. Dewa Dahan Persik lantas berkata kepada Ji Wushi dan yang lain, “Hei,
melihat kucing makan tikus adalah biasa. Tapi kalau tikus makan kucing apa ada
yang pernah melihat?”
“Baru saja kami bertujuh
menyaksikan tikus makan kucing, sungguh luar biasa!” sambung Dewa Daun Persik.
Ternyata Enam Dewa Lembah
Persik masih mempunyai suatu kepandaian simpanan, yaitu apabila terdesak dan
tidak bisa menjawab pertanyaan, mereka lantas membelokkan pokok pembicaraan ke
hal-hal lain.
Linghu Chong berkata, “Adakah
yang bersedia mengambilkan beberapa bongkah batu besar?”
Segera tiga orang berlari
keluar dan kemudian kembali dengan masing-masing membawa sepotong batu besar,
masing-masing paling tidak seberat seratus kati. Batu-batu besar yang mereka
ambil itu berasal dari bebatuan karang penghias taman dalam biara.
Linghu Chong lantas mengangkat
sepotong batu besar itu lalu menggelindingkannya ke dalam lorong. Terdengarlah
suara bergemuruh yang diikuti suara berderit-derit. Batu besar itu telah
menyentuh alat rahasia di lantai, sehingga biksu-biksu besi yang bersembunyi di
lekukan dinding lantas bergerak kembali. Di bawah sinar obor, bayangan tongkat
baja yang bersambaran dengan kencang pun terlihat oleh mereka. Selang agak lama
kemudian barulah biksu-biksu besi itu menyelinap kembali ke dalam dinding.
Semua orang tercengang
menyaksikan peristiwa ajaib tersebut.
Ji Wushi lalu berkata, “Ketua
Linghu, biksu-biksu besi itu digerakkan oleh semacam mesin. Tenaganya sangat
kuat, tentu mereka digerakkan oleh semacam roda berpegas yang dililit rantai
besi dan diputar kencang. Bagaimana kalau kita gelindingkan batu lebih banyak
sampai tenaga pegasnya habis, sehingga biksu-biksu besi itu tidak akan bergerak
lagi.”
Linghu Chong yang ingin
lekas-lekas menolong Ren Yingying segera berkata, “Gerakan tongkat
patung-patung besi itu sedikit pun tidak menjadi kendur. Entah berapa lama
mereka bisa bergerak sampai habis tenaga pegasnya. Kalau kita menggelindingkan
batu tujuh atau delapan kali, bisa-bisa kita harus menunggu sampai besok pagi.
Begini saja, kalau ada di antara kawan-kawan yang membawa senjata pusaka, mohon
pinjamkan sebentar kepadaku.”
Seseorang pun maju ke depan
dan menyodorkan goloknya, “Ketua, senjataku ini cukup tajam.”
Linghu Chong melihat orang itu
memiliki hidung mancung dan janggut berwarna agak pirang. Sepertinya ia berasal
dari Daerah Barat. Benar juga, begitu menerima golok tersebut, Linghu Chong
merasakan hawa dingin yang cukup kuat. Sungguh luar biasa.
“Terima kasih banyak. Golok
pusaka milik Saudara ini akan kugunakan untuk memotong tongkat-tongkat baja
milik biksu-biksu besi itu. Tolong jangan salahkan aku kalau sampai golok ini
rusak,” kata Linghu Chong.
Si pemilik golok menjawab,
“Demi Gadis Suci aku tidak keberatan jika harus berkorban nyawa. Golok ini
hanya benda biasa. Tidak terlalu berharga.”
Linghu Chong mengangguk dan
kembali melangkah memasuki lorong. Enam Dewa Lembah Persik serentak berseru,
“Hati-hati!”
Ketika Linghu Chong berjalan,
mendadak sebuah tongkat menghantam dari atas. Jurus serangan ini sudah tiga
kali dilihatnya, sehingga tanpa pikir panjang ia pun mengayunkan golok pusaka
tadi. Kontan pergelangan tangan patung biksu itu tertebas kutung bersama
tongkatnya jatuh ke lantai.
“Golok bagus!” puji Linghu
Chong. Semula ia khawatir golok pinjaman itu kurang tajam. Namun setelah
melihat kekuatan dan ketajaman golok itu yang bisa memotong tongkat baja
seperti lumpur membuat semangatnya bangkit kembali. Dengan dua kali mengayunkan
golok, kembali ia membuntungi pergelangan tangan dua biksu besi yang menyerang.
Dengan memainkan Ilmu Sembilan
Pedang Dugu, Linghu Chong terus-menerus mengayunkan golok di tangannya. Dari
kedua sisi dinding biksu-biksu besi kembali bermunculan dan menyerang
berturut-turut. Tapi semua pergelangan mereka langsung putus dibabat golok.
Meskipun patung-patung itu tetap bergerak-gerak karena dikendalikan mesin
rahasia, namun tanpa tongkat di tangan jelas kini tidak membahayakan lagi.
Semakin maju ke depan, jurus
serangan biksu-biksu besi yang bermunculan pun semakin lihai. Dalam hati Linghu
Chong sangat kagum. Namun bagaimanapun juga mereka hanyalah patung mati yang
dikendalikan mesin. Begitu bergerak, celah kelemahan jurus serangan mereka pun
dapat terbaca oleh Linghu Chong dan sekejap kemudian satu per satu tongkat
pemukul kembali berjatuhan di lantai.
Kawan-kawan yang lain mengikuti
Linghu Chong sambil mengangkat obor sebagai penerangan. Setelah ratusan tangan
biksu besi terpotong, pada dinding-dinding batu itu tidak lagi muncul patung
yang lain. Ada seorang yang coba menghitung, ternyata biksu-biksu besi itu
seluruhnya berjumlah seratus delapan buah. Maka para pendekar di lorong itu pun
bersorak-sorai sampai suara mereka membuat telinga berdengung.
Karena ingin lekas-lekas
menemukan Ren Yingying, Linghu Chong pun meminta sebuah obor dan mendahului
berjalan di depan. Jalanan itu terus menurun ke bawah dan makin lama makin
rendah, namun tidak terdapat perangkap-perangkap lagi. Setelah tiga kilo lebih
menyusuri lorong bawah tanah itu mereka pun menembus beberapa gua alam.
Tiba-tiba di depan tampak cahaya remang-remang. Linghu Chong mempercepat
langkahnya. Ketika sebelah kakinya menginjak tanah yang lunak, ia baru sadar
ternyata sudah berada di atas lapisan salju. Bersamaan itu hawa dingin terasa
merasuk menyegarkan dada. Rupanya sekarang ia sudah berada di tempat yang
terbuka.
Ia memandang ke sekeliling.
Suasana sunyi hening di tengah gelapnya malam. Bunga salju masih berhamburan
dan terdengar pula suara gemercik air. Rupanya tempat itu terletak di tepi
sebuah sungai. Sejenak Linghu Chong merasa sangat kecewa karena lorong bawah
tanah tersebut tidak menembus ke tempat Ren Yingying ditahan.
Tiba-tiba terdengar Ji Wushi
berkata lirih di belakangnya, “Teruskan pesan ini kepada kawan-kawan agar
jangan bersuara. Kemungkinan besar kita sudah berada di kaki gunung.”
“Apakah kita sudah lolos dari
kepungan musuh?” tanya Linghu Chong.
Ji Wushi menjawab, “Ketua
Linghu, pada musim dingin seperti ini, mata air di atas gunung sudah membeku,
tidak mungkin terdapat aliran air. Tampaknya dengan menelusuri lorong bawah
tanah tadi kita sekarang sudah berada di kaki gunung.”
“Benar,” tukas Zu Qianqiu.
“Secara tidak sengaja kita telah menemukan lorong rahasia Biara Shaolin yang
menembus ke sini.”
Linghu Chong terkejut
bercampur gembira. Setelah mengembalikan golok pusaka kepada pemiliknya, ia
berkata, “Jika demikian, lekas suruh semua kawan keluar kemari melalui lorong
rahasia ini.”
Ji Wushi segera meneruskan
perintah itu. Ia mengirim beberapa orang untuk menyelidiki jalan sekitar, dan
menugasi beberapa puluh orang untuk menjaga ujung lorong rahasia agar tidak
diserang musuh. Jika pihak musuh sampai menyumbat ujung lorong tersebut, maka
kawan-kawan lain yang belum keluar bisa-bisa terjebak di dalam.
Tidak lama kemudian mereka
yang bertugas menyelidiki pun kembali dengan menyampaikan laporan bahwa tempat
itu memang benar-benar kaki Gunung Shaoshi bagian belakang. Ketika mendongak
mereka dapat melihat bangunan Biara Shaolin di atas gunung. Karena banyak kawan
yang belum keluar, maka semua orang tidak berani bersuara keras.
Sementara itu, orang-orang
yang keluar dari lorong rahasia itu semakin banyak. Menyusul kemudian para
pendekar yang terluka dan yang sudah mati juga digotong keluar. Kawanan itu
telah lolos dari ancaman maut, namun tetap tidak berani bersorak-sorak. Mereka
hanya berbisik-bisik senang dengan wajah berseri-seri.
Si Beruang Hitam berkata,
“Ketua Linghu, kawanan domba itu mengira kita masih terkurung di atas sana.
Bagaimana kalau sekarang kita gempur mereka dari belakang? Kita potong saja
ekor kaum keparat itu untuk melampiaskan rasa benci kita!”
Dewa Dahan Persik menyela,
“Domba memang punya ekor. Tapi apakah kaum keparat itu juga punya ekor?”
Akan tetapi, Linghu Chong
terlihat tidak setuju dan menjawab, “Tujuan kita ke sini adalah untuk menolong
Gadis Suci. Karena kita belum menemukan Beliau, maka kita harus terus mencari
dan tidak perlu ada korban lebih banyak lagi.”
“Hm, baiklah,” ujar Beruang
Putih. “Tapi aku tetap ingin menangkap beberapa domba itu. Tak peduli mereka
punya ekor atau tidak, aku ingin memakannya. Kalau tidak, mereka akan
terus-menerus menggertak kita.”
Linghu Chong melanjutkan,
“Harap Saudara-Saudara meneruskan perintah agar kita segera berpencar. Bila
bertemu orang-orang aliran lurus sebaiknya menghindari pertarungan. Apabila ada
yang mendapat kabar tentang Gadis Suci harus segera menyebarluaskannya dengan
cepat. Selama Linghu Chong masih bernapas, bagaimanapun sukar dan bahaya akan
tetap berusaha menyelamatkan Gadis Suci. Apakah semua kawan kita sudah keluar
dari biara?”
Ji Wushi mendekati ujung
lorong rahasia dan berteriak-teriak beberapa kali ke dalam, namun tidak
terdengar jawaban seorang pun. Ia lantas melapor bahwa semua anggota kawanan
sudah keluar.
Tiba-tiba timbul pikiran usil
Linghu Chong yang kekanak-kanakan. Ia pun berkata, “Ayo kita berteriak tiga kali
agar orang-orang di atas itu terkejut dan ketakutan!”
“Haha, bagus!” seru Zu Qianqiu
tertawa. “Mari kita beramai-ramai mengikuti Ketua berteriak!”
Linghu Chong pun mengerahkan
tenaga dalam dan berteriak, “Hei, kami sudah berada di bawah gunung!”
Ribuan pengikutnya serentak
ikut berteriak, “Hei, kami sudah berada di bawah gunung!”
Lalu Linghu Chong berteriak
lagi, “Silakan kalian makan salju di atas gunung!”
Ribuan pengikutnya ikut
berteriak, “Silakan kalian makan salju di atas gunung!
Terakhir ia berteriak, “Gunung
yang hijau takkan berubah, sungai akan selalu mengalir jauh. Selamat tinggal,
sampai jumpa!”
“Gunung yang hijau takkan
berubah, sungai akan selalu mengalir jauh. Selamat tinggal, sampai jumpa!” kata
para pengikutnya lagi.
“Mari kita pergi!” kata Linghu
Chong dengan tertawa.
Tiba-tiba beberapa orang masih
saja berteriak, “Kalian kawanan anjing, anak bulus, pulang sana ke nenekmu!”
Serentak ribuan yang lain
menirukan teriakan itu, “Kalian kawanan anjing, anak bulus, pulang sana ke
nenekmu!” Makian kasar tersebut diucapkan oleh ribuan orang dengan suara
sekeras-kerasnya, membuat gunung dan lembah serasa berguncang. Sungguh
peristiwa yang jarang terjadi sebelumnya.
“Sudahlah, tidak perlu
berteriak lagi, mari kita pergi!” seru Linghu Chong.
Namun orang-orang itu terlalu
bergembira dan berteriak, “Sudahlah, tidak perlu berteriak lagi, mari kita
pergi!”
Setelah teriakan-teriakan itu
berakhir, ternyata tidak terjadi reaksi apa pun dari atas gunung. Sementara itu
fajar telah tiba. Langit mulai terang sedikit demi sedikit. Salju masih turun
dengan lebatnya. Saat itu beberapa kelompok sudah mulai berpencar pergi.
Linghu Chong berpikir sekarang
ini urusan yang paling penting adalah menemukan Ren Yingying, serta menyelidiki
siapa yang telah membunuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi. Ia sendiri tidak
tahu ke mana harus pergi melaksanakan kedua tugas tersebut.
Tiba-tiba suatu pikiran
terlintas dalam benaknya, “Bila biksu-biksu Shaolin dan orang-orang aliran
lurus itu mengetahui bahwa kami sudah lolos, tentu mereka akan kembali ke
biara. Bisa jadi Yingying pun berada di tengah mereka. Untuk menyelesaikan dua
masalah tadi rasanya aku harus kembali ke sana. Untuk menyelinap, semakin
sedikit orang akan semakin lebih baik. Sebaiknya aku lakukan sendiri saja.”
Begitulah, ia lantas berkata
kepada Ji Wushi, Lao Touzi, Zu Qianqiu, Lan Fenghuang, Huang Boliu, dan yang
lain, “Semuanya telah bekerja keras. Kita akan bertemu lagi dan berpesta arak
setelah menemukan Gadis Suci.”
“Tuan Muda Linghu hendak pergi
ke mana?” tanya Ji Wushi.
“Aku ingin mempertaruhkan
nyawa demi menolong Gadis Suci. Untuk saat ini aku belum bisa mengatakannya.
Kelak tentu kalian akan kuberi tahu,” jawab Linghu Chong.
Semua orang tidak berani
banyak bicara lagi. Terpaksa mereka hanya memberi hormat dan mohon diri.
Linghu Chong pun masuk ke
dalam hutan lebat, lalu melompat ke atas sebuah pohon agar tidak meninggalkan
jejak di tanah bersalju. Ia bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan untuk
sekian lama, sampai suara kawanan orang-orang tadi semakin berkurang dan
akhirnya sunyi senyap. Setelah yakin kalau semua orang telah jauh pergi,
perlahan-lahan ia pun berjalan kembali menuju mulut lorong rahasia tadi. Mulut
lorong itu terhalang oleh dua bongkah batu besar dan tertutup semak belukar yang
cukup tinggi pula. Meskipun ada orang lewat dekat situ juga tidak akan
mengetahui kalau terdapat sebuah lorong rahasia menuju Biara Shaolin.
Linghu Chong bergegas
menyusuri lorong rahasia tersebut dengan langkah cepat dan ia pun kembali ke
ruangan patung Boddhidharma tadi. Sayup-sayup ia mendengar suara orang
bercakap-cakap di ruang depan. Perlahan-lahan ia pun menggeser patung itu
kembali ke tempat semula menutupi mulut lorong rahasia. Dalam hati ia
bertanya-tanya, “Aku harus bersembunyi di mana agar dapat mendengarkan
percakapan para pemimpin aliran lurus itu? Aih, di dalam Biara Shaolin ini
banyak terdapat ruangan, entah di mana mereka akan berkumpul?”
Tiba-tiba teringat olehnya
pernah diajak Biksu Fangsheng memasuki kamar samadi Mahabiksu Fangzheng.
Samar-samar ia masih ingat di mana letak kamar tersebut. Segera ia pun berlari
menuju ke sana. Akan tetapi, ruangan dan kamar di Biara Shaolin terlalu banyak
jumlahnya. Kamar samadi Sang Kepala Biara tentu saja sangat sulit ditemukan
meskipun ia berlari-lari mencarinya untuk sekian lama.
Tiba-tiba terdengar suara
langkah kaki beberapa orang sedang menuju ke arahnya. Waktu itu Linghu Chong
berada di suatu ruangan di samping aula. Ia bingung mencari tempat yang cocok
untuk bersembunyi. Terlihat olehnya sebuah papan nama besar bertuliskan kata
“Alam Pencerahan” yang terpasang di atas ruangan. Maka, ia pun melompat dan
hinggap di balik papan nama tersebut untuk kemudian mendekam di sana.
Suara langkah orang-orang itu
terdengar semakin dekat. Tidak lama kemudian masuklah tujuh atau delapan orang
ke dalam gedung. Seseorang di antaranya berkata, “Kawanan iblis itu benar-benar
lihai. Kita telah mengepung pegunungan ini dengan rapat bagaikan pagar betis,
tapi tetap saja mereka bisa lolos.”
Seseorang menanggapi, “Agaknya
di sini terdapat jalan rahasia yang menembus ke kaki gunung. Kalau tidak,
bagaimana mereka bisa kabur?”
“Kurasa tidak ada jalan
rahasia apa pun di biara ini,” ujar seorang lagi. “Sudah puluhan tahun aku
tinggal di sini, tapi belum pernah kudengar adanya jalan rahasia segala yang
menembus ke kaki gunung.”
“Namanya juga jalan rahasia,
sudah pasti tidak dapat diketahui setiap orang,” kata orang pertama.
Dari percakapan itu Linghu
Chong dapat menduga kalau yang datang adalah biksu Shaolin dan para pendekar
perguruan lain yang diundang membantu.
Terdengar biksu tadi berkata,
“Bisa jadi aku memang tidak tahu. Tapi mana mungkin kepala biara kami juga
tidak tahu? Kalau jalan rahasia itu memang benar-benar ada, mengapa kepala
biara kami tidak menempatkan orang untuk menjaganya?”
Pada saat itulah tiba-tiba
seseorang di antara mereka berteriak, “Hei, siapa di situ? Keluar kau!”
Linghu Chong sangat terkejut
mendengarnya. Ia pun berpikir, “Apakah mereka mengetahui keberadaanku?” Baru
saja ia hendak melompat turun, tiba-tiba dari balik papan nama di sebelah timur
berkumandang suara gelak tawa seseorang, “Hahahaha, aku si tua ini sungguh
ceroboh telah menjatuhkan beberapa butir debu sehingga kalian lantas mengetahui
persembunyianku. Hm, tajam juga penglihatan kalian!”
Linghu Chong sangat terkejut
begitu mengetahui ada orang lain yang juga bersembunyi di tempat itu. Mendengar
suara orang tua yang lantang dan jelas tadi, ia merasa sangat gembira karena
itu adalah suara Xiang Wentian.
“Ternyata Kakak Xiang sudah lebih
dulu bersembunyi di sini. Sungguh hebat caranya menahan napas. Sejak tadi aku
mendekam di sini sama sekali tidak mengetahui keberadaannya. Kalau saja bukan
karena debu yang jatuh tadi tentu orang-orang di bawah itu juga tidak akan
tahu,” pikir Linghu Chong.
Tiba-tiba terdengar suara
berdetak dari arah kanan dan kiri papan nama sisi timur tersebut. Menyusul
kemudian terdengar suara dua orang melompat turun. Mereka disambut suara
teriakan tiga orang di bawah tadi, “Kau …”, “Siapa itu …”, Apa …”. Hanya kata-kata
itu yang sempat mereka ucapkan sebelum kemudian diam untuk selamanya. Tanpa
terasa Linghu Chong melongok ke bawah. Terlihat olehnya dua sosok bayangan
berkelebat ke sana kemari. Salah satunya jelas Xiang Wentian, sementara seorang
lagi bertubuh tinggi besar. Linghu Chong mengenali orang itu yang tidak lain
adalah Ren Woxing, ketua Sekte Iblis terdahulu.
Gerak serangan kedua orang itu
nyaris tidak bersuara, tapi setiap pukulan mereka selalu diikuti dengan
robohnya seorang lawan. Hanya sekejap saja delapan orang di ruangan itu sudah
berjatuhan. Lima di antaranya tengkurap, sementara tiga lainnya telentang
dengan mata melotot menyeramkan. Masing-masing telah mati dalam sekali pukul di
tangan Xiang Wentian dan Ren Woxing.
Ren Woxing kemudian melambaikan
tangannya sambil berkata, “Ying’er, turunlah!”
Dari papan nama sebelah timur
tadi lantas melayang turun sosok seorang perempuan dengan gerakan lemah
gemulai. Perempuan tersebut tidak lain adalah Ren Yingying, yang selama
beberapa hari ini dicari Linghu Chong dengan susah payah.
Linghu Chong merasa kepalanya
pusing dan jantungnya berdebar melihat Ren Yingying memakai baju kusut, dengan
wajah terlihat agak pucat. Baru saja ia bermaksud melompat turun untuk menemui
mereka bertiga, tiba-tiba Ren Woxing berpaling ke arahnya dan menggoyangkan
tangan. Melihat itu, Linghu Chong pun berkata dalam hati, “Mereka lebih dulu
bersembunyi di sini, sudah tentu mengetahui keberadaanku. Tapi, mengapa Tuan
Ren melarang aku turun?”
Sekejap kemudian ia langsung
paham apa maksud Ren Woxing tersebut. Terlihat olehnya beberapa orang berlari
masuk ruangan tersebut melalui pintu depan. Sekilas ia melihat guru dan
ibu-gurunya dalam rombongan tersebut beserta Kepala Biara Shaolin, yaitu
Mahabiksu Fangzheng, serta tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Kedatangan mereka
membuatnya tidak berani mengintip lagi. Segera ia kembali bersembunyi di balik
papan kayu dengan hati berdebar-debar. “Yingying dan yang lain berada dalam
kepungan musuh. Meskipun … badanku hancur lebur, aku harus bisa menyelamatkan
Yingying,” demikian ia berpikir.
“Amitabha,” terdengar
Mahabiksu Fangzheng bersuara. “Tuan dan Nona bertiga yang mulia ini sungguh
memiliki pukulan luar biasa. Eh, Nona yang budiman sudah pergi dari Biara
Shaolin, mengapa sekarang kembali lagi? Hm, Tuan-tuan yang mulia ini pasti dua
sesepuh dari Tebing Kayu Hitam. Mohon maaf kalau saya tidak mengenal nama Tuan
berdua.”
Xiang Wentian menjawab,
“Beliau ini adalah Ketua Ren dari Sekte Matahari dan Bulan. Sedangkan aku
bernama Xiang Wentian.”
“Oh!” seru orang-orang yang
baru datang itu. Maklum saja, Ren Woxing dan Xiang Wentian meskipun memiliki
nama besar, namun mereka sudah lama menghilang dari dunia persilatan sehingga
wajah mereka kurang dikenal oleh Mahabiksu Fangzheng dan yang lainnya.
“Ternyata Ketua Ren dan
Pelindung Kanan Xiang sudi berkunjung kemari,” ujar Fangzheng ramah. “Saya
sudah lama mendengar nama besar Tuan berdua. Sekarang saya sungguh merasa
sangat beruntung atas kunjungan ini. Entah petunjuk apa yang hendak Tuan berdua
ajarkan kepada kami?”
Ren Woxing menjawab dengan
lagak tua, “Sudah lama aku tidak berkecimpung di dunia ramai, sehingga banyak
tokoh-tokoh angkatan baru yang tidak kukenal. Entah siapa saja nama sobat-sobat
cilik ini?”
“Jika demikian izinkan saya
memperkenalkan mereka kepada Tuan berdua,” ujar Mahabiksu Fangzheng. “Yang ini
adakah Ketua Perguruan Wudang, bernama Pendeta Chongxu.”
Sejenak kemudian terdengar
suara serak seorang tua berkata, “Bicara tentang umur bisa jadi aku beberapa
tahun lebih tua daripada Tuan Ren. Tapi sewaktu menjabat sebagai Ketua
Perguruan Wudang, saat itu Tuan Ren sudah mengasingkan diri. Sebutan ‘angkatan
baru’ memang pantas bagiku. Tapi istilah ‘tokoh’ sama sekali aku tidak berani
menerimanya. Hahaha!”
Linghu Chong merasa mengenali
suara Ketua Perguruan Wudang tersebut. Tiba-tiba pikirannya tergerak, “Aih,
ternyata dia adalah si kakek penunggang keledai yang diiringi dua petani itu!
Orang tua yang menghadang kami di kaki Gunung Wudang itu ternyata Pendeta
Chongxu.”
Seketika timbul rasa bangga di
dalam hatinya. Keringat pun mengalir di tangan. Maklum saja, nama besar
Perguruan Wudang sejajar dengan Perguruan Shaolin. Keduanya adalah perguruan
nomor satu di dunia persilatan. Yang satu memiliki ilmu silat lembut, yang satu
lagi memiliki ilmu silat keras, dan masing-masing memiliki keistimewaan
tersendiri. Pendeta Chongxu juga terkenal memiliki ilmu pedang luar biasa yang
tiada bandingannya. Begitu mengetahui kalau kakek tua yang telah dikalahkannya
secara tak terduga di kaki Gunung Wudang beberapa hari lalu adalah Pendeta
Chongxu, seketika Linghu Chong pun merasa sangat senang tak terbayangkan.
Terdengar Ren Woxing berkata,
“Yang ini pasti Ketua Zuo. Dulu kami pernah bertemu. Bagaimana kabar ilmu
andalanmu, Tapak Sakti Songyang? Pasti semakin hebat, bukan?”
Linghu Chong kembali
terkesiap, “Ternyata Paman Guru Zuo, Ketua Perguruan Songshan juga hadir di
sini.”
Kemudian terdengar seorang
pria menjawab dengan suara halus tapi tegas, “Kabarnya Tuan Ren terkurung oleh
anak buah sendiri dan menghilang selama beberapa tahun. Sekarang sudah muncul
kembali di dunia persilatan, sungguh sangat menggembirakan dan harus diberi
selamat. Tentang jurus Tapak Songyang sudah belasan tahun tidak kupakai.
Jangan-jangan aku sudah banyak yang lupa.”
“Wah, jika begitu dunia
persilatan pasti sangat sepi,” kata Ren Woxing dengan tertawa. “Begitu aku
menghilang lantas tidak ada orang yang dapat mengadu tenaga dengan Saudara Zuo.
Sungguh sayang, sungguh sayang.”
Zuo Lengchan menjawab, “Di
dunia persilatan ini orang-orang yang berkepandaian seperti Tuan Ren
sesungguhnya tidak sedikit, misalnya Mahabiksu Fangzheng atau Pendeta Chongxu.
Tapi tokoh-tokoh berbudi luhur seperti Beliau berdua tentu tidak bisa
sembarangan memberikan pelajaran kepadaku.”
Ren Woxing berkata, “Bagus,
bagus! Kapan-kapan kalau ada waktu tentu aku ingin mencoba-coba kepandaian
barumu.”
“Setiap saat aku siap
melayani,” sahut Zuo Lengchan.
Dari percakapan mereka itu
terlihat kalau keduanya pernah terlibat pertarungan di masa lalu. Hanya saja,
siapa yang menang dan siapa yang kalah tidak bisa diketahui dari pembicaraan
tersebut.
Mahabiksu Fangzheng
melanjutkan, “Yang ini adalah Pendeta Tianmen, Ketua Perguruan Taishan. Yang
itu adalah Tuan Yue, Ketua Perguruan Huashan, dan di sebelahnya adalah Nyonya
Yue, atau sebelumnya terkenal dengan sebutan Pendekar Wanita Ning. Tuan Ren
tentu pernah mendengar nama besar mereka.”
“Nama besar Pendekar Wanita
Ning dari Perguruan Huashan memang aku pernah mendengarnya,” sahut Ren Woxing
tertawa, “tapi kalau Tuan Yue atau siapa, aku tidak pernah mendengarnya.”
Linghu Chong menjadi kurang
senang mendengarnya. Ia berpikir, “Nama Guru lebih terkenal daripada Ibu-Guru.
Jika dia sama sekali tidak mengenal keduanya rasanya dapat dimengerti. Tapi dia
mengatakan cuma mengetahui nama besar Pendekar Wanita Ning, tapi tidak mengenal
Tuan Yue, hal ini jelas tidak masuk akal. Tuan Ren dikurung di Danau Barat
selama sepuluh tahun. Padahal waktu itu Guru sudah cukup terkenal. Dia pasti
sengaja hendak mengolok-olok Guru.”
Yue Buqun menanggapi ucapan
Ren Woxing dengan nada dingin, “Namaku yang rendah memang hanya mengotori
telinga Tuan Ren.”
Ren Woxing tiba-tiba
mengalihkan pembicaraan, “Eh, Tuan Yue, aku ingin mencari tahu kabar seseorang,
entah kau mengetahuinya atau tidak? Yang aku tahu dia pernah menjadi murid
Perguruan Huashan kalian.”
“Siapakah orang yang dimaksud
Tuan Ren itu?” ujar Yue Buqun.
“Orang ini sangat berbudi,
cerdik, dan pandai. Wajahnya juga tampan dan ilmu silatnya tinggi,” kata Ren
Woxing. “Tapi ada manusia-manusia picik yang iri hati kepadanya, serta berusaha
untuk menyingkirkannya. Tidak heran, banyak fitnah keji dilontarkan kepadanya.
Aku si tua bermarga Ren ini justru sangat cocok dengannya sejak pertama kali
bertemu. Oleh karena itu sudah kuputuskan untuk menjodohkan putriku tercinta
ini dengan dia ….”
Mendengar sampai di sini,
seketika jantung Linghu Chong berdebar kencang. Samar-samar ia merasa sebentar
lagi akan berada dalam suatu masalah besar.
Ren Woxing melanjutkan,
“Pemuda itu baik hati dan berbudi luhur. Ketika mendengar putri tercintaku
dikurung dalam Biara Shaolin ini, ia lantas memimpin beribu-ribu kesatria
datang kemari untuk menjemput pulang calon istrinya. Tapi dalam sekejap ia
sudah menghilang entah ke mana. Sebagai calon mertua, sudah tentu aku sangat
gelisah dan kelabakan mencarinya. Maka itu, aku ingin mencari tahu tentang
keberadaannya kepadamu.”
Yue Buqun menengadah dan
tertawa, “Hahaha, Tuan Ren sangat sakti, kenapa calon menantu sendiri sampai
lenyap? Pemuda yang dimaksud Tuan Ren tentu si bajingan cilik Linghu Chong. Dia
adalah murid murtad yang sudah lama dikeluarkan dari perguruan kami secara
tidak hormat.”
Ren Woxing tertawa, “Hahaha,
jelas-jelas aku melihat permata tapi kau melihat batu kerikil. Pandanganmu
sungguh picik. Pemuda yang kumaksud memang Linghu Chong. Hehe, kau memaki dia
sebagai bajingan cilik, bukankah itu berarti kau memaki aku sebagai bajingan
tua?”
Yue Buqun menjawab, “Bajingan
cilik itu suka main perempuan. Demi seorang gadis, ia mengerahkan sedemikian
banyak kawanan anjing dan serigala dari dunia persilatan untuk mengobrak-abrik
Biara Shaolin yang mulia ini. Coba kalau Kakak Zuo tidak mengatur siasat yang
jitu, biara agung yang bersejarah ribuan tahun ini pasti sudah hangus menjadi
puing-puing di tangan mereka. Bukankah dosa besar seperti itu tidak bisa
ditebus dengan ribuan kali hukuman mati? Dia memang pernah menjadi bagian dari
Perguruan Huashan kami. Tapi sayang, aku tidak berhasil mendidiknya dengan
baik, dan kini dia sudah mempermalukan banyak orang.”
Xiang Wentian menyela, “Ucapan
Tuan Yue sungguh kurang tepat. Tujuan Adik Linghu ke sini hanya untuk menjemput
Nona Besar Ren, bukan hendak berbuat kerusakan. Bukankah mereka mengibarkan
panji-panji bertuliskan: ‘Para Pendekar Dunia Persilatan Pergi ke Biara
Shaolin, Memuja Sang Buddha, Menghormati Para Biksu, Menjemput Gadis Suci.’
Bukankah tujuan mereka mulia? Sekarang kau boleh memeriksa, selama sehari
semalam mereka tinggal di sini apakah ada sebatang ranting yang patah atau
sehelai rumput yang tercabut? Bahkan satu butir beras dan setetes air pun tidak
mereka sentuh.”
Tiba-tiba terdengar suara
seseorang ikut bicara, “Kau benar. Biara Shaolin tidak kehilangan apa-apa, tapi
justru bertambah banyak dengan harta kekayaan berkat kedatangan mereka.”
Dari suaranya yang melengking
tajam itu Linghu Chong segera mengenali bahwa si pembicara tersebut adalah Yu
Canghai, Ketua Perguruan Qingcheng. “Ternyata orang ini juga datang,” pikirnya.
“Bolehkah aku bertanya kepada
Pendeta Yu, harta kekayaan apa yang bertambah itu?” tanya Xiang Wentian.
“Itu, tahi kerbau dan kencing
kuda! Di mana-mana di penjuru Biara Shaolin terdapat emas kuning dan air raksa
berserakan,” kata Yu Canghai disusul dengan gelak tawa beberapa orang.
Diam-diam Linghu Chong
menyesal mendengarnya, “Hm, aku memang melarang mereka merusak setiap benda di
biara ini, tapi lupa melarang mereka untuk tidak membuang hajat besar atau
kecil di sembarang tempat. Dasar mereka itu orang-orang kasar, di setiap tempat
bisa buka celana dan langsung buang kotoran.”
Mahabiksu Fangzheng
menanggapi, “Ketika mendengar Tuan Muda Linghu memimpin banyak orang datang ke
sini dengan tujuan mulia, sungguh saya merasa sangat berterima kasih. ‘Memuja
Sang Buddha’ memang sudah sepantasnya dilakukan, tapi ‘Menghormati Para Biksu’
kami tidak berani menerimanya. Saya sendiri sempat khawatir mereka akan
membakar biara. Tapi ternyata tidak ada satu benda pun yang berkurang, hal ini
benar-benar berkat kepemimpinan Tuan Muda Linghu yang bijaksana. Seluruh
biarawan Shaolin sangat menaruh hormat kepadanya. Kelak bila bertemu dengan
Tuan Muda Linghu, tentu saya akan menyampakan terima kasih yang
sebesar-besarnya. Pendeta Yu tadi hanya bercanda, harap Tuan Xiang jangan
anggap sungguh-sungguh.”
Xiang Wentian tersenyum
menjawab, “Bagaimanapun juga seorang biksu agung yang berbudi luhur memang
berpikiran terbuka. Sungguh jauh berbeda dengan manusia-manusia palsu berjiwa
kerdil.”
Fangzheng melanjutkan, “Namun
ada juga yang membuat saya merasa tidak paham. Bagaimana kedua biksuni sepuh
dari Perguruan Henshan bisa wafat di dalam biara kami ini?”
Ren Yingying menanggapi dengan
nada sedih, “Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi berbudi luhur dan sangat baik
hati. Sungguh mengejutkan Beliau berdua tiba-tiba meninggal dunia.”
Mahabiksu Fangzheng berkata,
“Jenazah mereka ditemukan di dalam biara ini. Diperkirakan waktu kematian
mereka bersamaan dengan masuknya kawanan persilatan itu ke sini. Apa barangkali
Tuan Muda Linghu tidak sempat mencegah bawahannya sehingga kedua biksuni tewas
dikeroyok mereka?”
Ren Yingying berkata, “Tempo
hari aku bertemu kedua biksuni sepuh di ruang belakang biara ini. Berkat
kemurahan hati Kepala Biara, serta berkat permohonan kedua biksuni sepuh, maka
aku mendapatkan kebebasan ….”
Mendengar itu Linghu Chong
merasa bersyukur sekaligus prihatin. Ia merenung, “Ternyata berkat permohonan
kedua biksuni sepuh, Kepala Biara bersedia membebaskan Yingying. Sebaliknya
mereka justru tewas di sini sebagai korban kepentinganku. Sebenarnya, siapakah
yang telah membunuh mereka berdua? Aku … aku harus menuntut balas bagi mereka.”
Ren Yingying melanjutkan,
“Selama aku dikurung di Biara Shaolin ini, beberapa kali kawan-kawan persilatan
mencoba membebaskan diriku dan berbuat kerusakan. Namun sebanyak ratusan dari
mereka tertangkap oleh para biksu Shaolin dan ikut dikurung di sini. Kepala
Biara yang bijaksana telah mengajarkan kepada mereka Sepuluh Jalan Kebaikan
dengan harapan mereka bisa bertobat sebelum dikembalikan ke dunia persilatan.
Tapi karena aku sudah lama tinggal di sini, maka aku yang dibebaskan lebih
dulu.”
Linghu Chong merenung
mendengar kisah itu, “Mahabiksu Fangzheng memang seorang yang bijaksana tapi
sayangnya terlalu polos dan lugu. Mana mungkin para bawahan Yingying bersedia
begitu saja meninggalkan sifat kekerasan dan bertobat hanya karena mendengar
ceramahnya mengenai Sepuluh Jalan Kebaikan?”
Terdengar Ren Yingying
melanjutkan, “Setelah berpamitan kepada Kepala Biara, kedua biksuni sepuh
kemudian membawaku meninggalkan Gunung Shaoshi ini. Pada hari ketiga di tengah
jalan kami mendapat berita bahwa Tuan … Tuan Linghu memimpin para kawan
persilatan untuk menjemputku ke biara ini. Biksuni Dingxian mengajak untuk
mempercepat perjalanan agar bisa mencegah Tuan Linghu dan rombongannya. Tapi
malamnya kami bertemu seorang teman yang mengatakan bahwa para kawan persilatan
dari beberapa penjuru telah menetapkan tanggal lima belas bulan dua belas
sebagai waktu untuk berkumpul di Biara Shaolin. Kedua biksuni khawatir Biara
Shaolin telanjur diserang, karena ternyata tidak semua kelompok berangkat
bersama rombongan Tuan Linghu. Hal ini berarti mengingkari budi baik Kepala
Biara yang telah membebaskan diriku tanpa syarat. Maka Biksuni Dingxian lantas
menyuruhku berangkat sendiri untuk menemui … menemui Tuan Linghu dan
membubarkan kawan-kawan persilatan itu, sedangkan Beliau berdua kembali ke
Biara Shaolin ini untuk membantu Kepala Biara menjaga segala kemungkinan
terjadinya kekacauan di tempat suci ini.”
Gadis itu bicara tanpa kenal
lelah, tutur katanya terdengar jernih dan merdu. Perasaan Linghu Chong kembali
tergetar begitu mendengar suaranya yang terharu ketika menyebut tentang kedua
biksuni sepuh, dan agak malu-malu bila menyebut tentang dirinya.
“Amitabha,” ujar Biksu
Fangzheng, “Saya sangat berterima kasih atas niat baik kedua biksuni. Begitu
tersiar kabar bahwa Biara Shaolin akan menghadapi kesulitan, banyak kawan-kawan
dari berbagai perguruan dan aliran, baik kenal ataupun tidak,
berbondong-bondong datang kemari untuk membantu. Sungguh saya tidak tahu
bagaimana caranya bisa membalas budi mereka itu. Untung berkat lindungan Sang
Buddha, kedua pihak tidak sampai bertempur sungguh-sungguh sehingga malapetaka
banjir darah dapat dihindari. Aih, dengan wafatnya kedua biksuni, Agama Buddha
telah kehilangan dua tokoh saleh yang bijaksana. Sungguh sayang, sungguh
sayang.”
Ren Yingying melanjutkan
kisahnya, “Setelah berpisah dengan kedua biksuni, malamnya aku bertemu para
pendekar dari Perguruan Songshan. Aku tidak berdaya menghadapi keroyokan sekian
banyak pendekar sehingga tertangkap oleh mereka. Selama beberapa hari aku
menjadi tawanan anak buah Ketua Zuo sampai akhirnya diselamatkan oleh Ayah dan
Paman Xiang. Sementara itu para kawan persilatan yang dipimpin Tuan Linghu
sudah terlanjur masuk ke dalam Biara Shaolin. Kami bertiga kemudian masuk ke
sini sejak satu jam yang lalu namun kawan-kawan persilatan itu sudah menghilang
entah ke mana. Kami juga menemukan jasad kedua biksuni namun tidak mengetahui
bagaimana mereka bisa meninggal.”
“Jika demikian, kedua biksuni
bukan dicelakai oleh Tuan Ren dan Tuan Xiang?” sahut Mahabiksu Fangzheng.
Ren Yingying menjawab, “Aku
berhutang budi pada kedua biksuni sepuh. Apabila Ayah dan Paman Xiang terlibat
perselisihan dengan mereka, pasti aku akan menjadi penengah dan mencegah agar
mereka tidak saling melukai. Aku tidak mungkin berpangku tangan begitu saja.”
“Benar juga,” kata Fangzheng.
Tiba-tiba Yu Canghai menyahut,
“Tapi kelakuan kaum Sekte Iblis seringkali berkebalikan dengan orang biasa.
Jika umumnya kebaikan dibalas dengan kebaikan, sebaliknya manusia sesat justru
membalas air susu dengan air tuba!”
Xiang Wentian menanggapi,
“Hei, aneh, sungguh aneh! Sejak kapan Pendeta Yu menjadi anggota Sekte Matahari
dan Bulan?”
“Apa? Siapa yang bilang aku
masuk Sekte Iblis?” sahut Yu Canghai gusar.
“Kau sendiri yang bilang bahwa
orang-orang sekte kami suka membalas air susu dengan air tuba. Coba ingat,
Ketua Lin dari Biro Ekspedisi Fuwei sering membantu rumah tanggamu. Setiap
tahun ia mengirim sepuluh ribu tahil perak sebagai hadiah untukmu. Tapi
Perguruan Qingcheng yang kau pimpin malah membantai Ketua Lin sekeluarga.
Pendeta Yu benar-benar memiliki nama besar dalam hal membalas kebaikan dengan
kejahatan. Semua orang mengetahui berita ini. Dengan melihat kelakuanmu itu,
sungguh tidak mengherankan kalau dirimu menjadi anggota sekte kami. Bagus
sekali, bagus sekali! Selamat bergabung, Pendeta Yu!”
“Huh, omong kosong! Kentut
busuk!” teriak Yu Canghai semakin gusar.
Xiang Wentian berkata, “Nah!
Betul, bukan? Aku menyambut dengan ucapan selamat, tapi Pendeta Yu balas
memaki. Benar kata orang. Gunung dan sungai bisa diubah, tapi watak manusia
sulit diubah. Jika sudah bersifat suka membalas kebaikan dengan kejahatan, maka
jangankan perbuatan, bahkan perkataan pun sudah menunjukkan wataknya itu.”
Demi mencegah agar perdebatan
kedua orang itu tidak melebar, Mahabiksu Fangzheng segera menyela, “Mengenai
siapa yang membunuh kedua biksuni, kita bisa bertanya kepada Pendekar Linghu.
Tentu segalanya bisa terungkap jelas. Tapi kalian bertiga datang ke Biara
Shaolin, tahu-tahu mencelakai delapan orang kami. Tolong katakan apa sebab dari
semua ini?”
Ren Woxing menjawab, “Aku
sudah biasa datang dan pergi di dunia persilatan sesuka hatiku. Tidak ada
seorang pun yang berani mengaturku. Tapi kedelapan orang ini berani membentak-bentak
dan menyuruhku keluar dari tempat persembunyian. Bukankah dosa mereka ini cukup
pantas dibayar dengan kematian?”
“Amitabha!” ujar Fangzheng.
“Hanya karena membentak beberapa kali, Tuan Ren lantas mengambil tindakan
sekeji ini. Apakah caramu ini tidak keterlaluan?”
“Hahaha! Jika Kepala Biara
menganggap ini keterlaluan, tidak masalah,” sahut Ren Woxing. “Karena kau tidak
membuat susah putri tercintaku, maka aku berhutang budi kepadamu. Kedatanganku
kemari sebenarnya untuk berterima kasih kepadamu. Maka, kali ini aku tidak
ingin banyak berdebat denganmu. Namun sekarang rasanya aku tidak perlu
berterima kasih lagi. Masalah ini kuanggap beres dan selesai sampai di sini.”
Mahabiksu Fangzheng menjawab,
“Jika Tuan Ren menganggap sudah beres, maka aku pun akan menganggap beres.
Namun kalian telah membunuh delapan orang di biara kami. Lantas bagaimana kami
harus menyelesaikan masalah ini?”
“Penyelesaian apa lagi?” sahut
Ren Woxing. “Anggota Sekte Matahari dan Bulan sangat banyak. Jika kalian mampu
silakan saja bunuh delapan orang di antara mereka supaya impas.”
“Amitabha! Sembarangan
membunuh orang adalah dosa besar, hanya menambah karma buruk saja,” kata
Fangzheng. “Hm, Ketua Zuo, dua di antara delapan orang yang terbunuh ini adalah
murid-murid Perguruan Songshan kalian. Menurutmu, bagaimana cara penyelesaian
masalah ini?”
Belum sempat Zuo Lengchan
menanggapi, Ren Woxing segera mendahului, “Aku yang telah membunuh mereka,
kenapa kau tanya cara penyelesaiannya kepada orang lain? Kenapa tidak tanya
kepadaku saja? Dari nadamu ini rupanya kalian hendak mengandalkan jumlah yang
banyak untuk main kerubut terhadap kami bertiga, begitu?”
“Bukan begitu maksudku,” kata
Fangzheng. “Hanya saja, Tuan Ren sekarang telah muncul kembali di dunia
persilatan. Aku takut banyak orang akan binasa di tangan Tuan Ren. Maka itu,
aku bermaksud meminta kalian agar sudi tinggal di biara ini untuk bersembahyang
dan membaca kitab. Dengan demikian barulah dunia persilatan menjadi aman dan
tenteram. Entah bagaimana pendapat kalian?”
Ren Woxing menengadah dan
tertawa, “Hahaha, bagus sekali, bagus sekali! Usul yang sangat menarik.”
Fangzheng berkata lagi,
“Ketika putrimu tinggal di belakang biara ini, setiap murid Shaolin menaruh
hormat kepadanya. Segala pelayanan kami tidak pernah kurang suatu apa. Aku
menahan putrimu di sini bukan untuk membalas dendam atas murid-murid kami yang
menjadi korban keganasannya. Aih, dendam dibalas dendam tidak akan pernah ada
ujungnya. Mungkin kematian murid-murid kami itu adalah karma atas perbuatan
mereka sendiri di kehidupan sebelumnya. Hanya saja … Nona Ren sendiri begitu
mudah mencabut nyawa orang. Bila dia berdiam di sini untuk mendamaikan pikiran
dan menenangkan jiwanya, tentu hal ini sangat baik untuk orang banyak.”
Ren Woxing kembali tertawa,
“Hahaha, dalam hal ini Kepala Biara memiliki maksud yang sangat baik.”
Fangzheng melanjutkan, “Namun
di luar dugaan, karena maksudku itu, dunia persilatan menjadi kacau. Padahal,
aku sama sekali tidak bermaksud menyekap Nona Ren. Putrimu datang sendiri ke
biara ini dengan menggendong Pendekar Linghu untuk meminta pertolongan. Apabila
kami bersedia mengobati penyakit Pendekar Linghu, ia bersedia dihukum mati demi
menebus nyawa murid-murid kami. Namun aku tidak setuju menukar nyawa dengan
nyawa. Aku hanya meminta Nona Ren tinggal di belakang biara untuk menemukan
kedamaian batin, serta tidak boleh meninggalkan Gunung Shaoshi ini tanpa seizin
dariku. Putrimu langsung setuju. Bukankah begitu, Nona Ren?”
Ren Yingying menjawab lirih,
“Benar.”
Linghu Chong sangat bersyukur
setelah mendengar perkataan tersebut. Sejak awal ia yakin Mahabiksu Fangzheng
tidak mungkin menyusahkan Ren Yingying, dan kini ia semakin yakin atas hal itu.
Memang ia sudah mendengar cerita tentang bagaimana Ren Yingying menggendong
dirinya untuk meminta pertolongan ke Biara Shaolin, namun berbeda rasanya jika
mendengar langsung dari penuturan Mahabiksu Fangzheng. Membayangkan betapa
besar pengorbanan Ren Yingying untuknya, tanpa terasa air mata pun meleleh di
pipi.
Tiba-tiba Yu Canghai tertawa,
“Hehe, gadis ini sungguh setia dan penuh cinta. Tapi sayang, Linghu Chong itu
punya kelakuan yang tidak senonoh. Dulu aku pernah memergokinya bermalam di
rumah pelacuran di Kota Hengshan. Sungguh tidak sepadan dengan cinta tulus Nona
Ren.”
Xiang Wentian menanggapi,
“Jadi, Pendeta Yu memergoki dia di rumah pelacuran? Apakah kau melihatnya
dengan mata kepala sendiri? Apa tidak keliru?”
“Tentu saja aku melihatnya
sendiri. Mana mungkin aku salah lihat?” sahut Yu Canghai.
Xiang Wentian berkata dengan
suara perlahan, “Apakah Pendeta Yu juga berada di rumah pelacuran itu?”
“Tentu saja,” jawab Yu Canghai
mantap.
“Hahahaha,” Xiang Wentian
bergelak tawa. “Ternyata Pendeta Yu suka jajan, ya? Kalau begitu sama dengan
aku. Eh, siapa nama perempuan kegemaranmu di rumah pelacuran itu? Wajahnya
cantik, tidak? Bagaimana kalau kapan-kapan aku yang bayar?”
“Omong kosong! Omong kosong!”
gerutu Yu Canghai dengan muka merah.
“Hahahaha, sungguh
menggelikan! Aku ingin menraktirmu, tapi kau justru memaki-maki. Benar-benar
air susu dibalas air tuba, hahaha!” sahut Xiang Wentian dengan gelak tawa
semakin menjadi-jadi.
Mahabiksu Fangzheng kembali
berkata, “Tuan Ren bertiga, silakan kalian berdiam di Gunung Shaoshi ini saja.
Kita ubah hubungan dari lawan menjadi kawan. Asalkan kalian bertiga tidak
meninggalkan pegunungan ini, saya berani menjamin takkan ada orang yang berani
mencari perkara kepada dengan bertiga. Selanjutnya kita akan sama-sama hidup
tenteram sejahtera. Bukankah hidup damai dan bahagia adalah dambaan setiap orang?”
Mendengar itu, Linghu Chong
merenung, “Mahabiksu Fangzheng sungguh polos. Maksud baiknya jelas tidak masuk
akal. Ketiga orang ini mudah menurunkan tangan keji, mencabut nyawa tanpa
berkedip. Tapi Kepala Biara meminta mereka tinggal di Gunung Shaoshi dengan
sukarela. Sungguh tidak masuk akal.”
Sambil tersenyum Ren Woxing
menjawab, “Maksud baik Mahabiksu Fangzheng benar-benar pantas dipuji.
Sebenarnya aku bisa menuruti keinginanmu.”
“Jadi, Tuan Ren bersedia
tinggal di Gunung Shaoshi ini?” sahut Fangzheng dengan nada senang.
“Benar,” jawab Ren Woxing.
“Kalau demikian, saya akan
segera mempersiapkan ruang kamar. Mulai sekarang kalian bertiga menjadi warga
kehormatan di Biara Shaolin ini,” ujar Fangzheng dengan gembira.
“Tapi,” sahut Ren Woxing
menyela, “aku hanya bisa tinggal di sini selama tidak lebih dari enam jam saja.
Lebih lama dari itu aku tidak sanggup.”
Fangzheng tampak sangat kecewa
dan berkata, “Hanya enam jam? Apa gunanya waktu sesingkat itu?”
Ren Woxing tertawa dan
menjawab, “Sebenarnya aku ingin tinggal beberapa hari lebih lama agar bisa
bercengkerama dengan para sahabat di sini. Namun sayang, namaku ini sudah
telanjur kurang baik. Jadi, apa boleh buat?”
“Saya tidak paham,” kata
Fangzheng bingung. “Apa hubungannya dengan nama Tuan yang terhormat?”
“Hm, margaku kurang baik,
namaku juga kurang baik,” sahut Ren Woxing. “Aku bermarga Ren, dan bernama
Woxing. Andai aku tahu, sejak awal aku akan mencari nama yang lebih bagus,
misalnya Ren Nixing. Sekarang sudah telanjur punya nama seperti ini, apa boleh
buat? Terpaksa aku berbuat sesuka hatiku.”
Ren-wo-xing bermakna “berbuat
sesuai kemauanku” sedangkan ren-ni-xing bermakna “berbuat sesuai kemauanmu”.
Fangzheng pun menanggapi, “Oh,
rupanya Tuan Ren hanya ingin mempermainkan saya.”
“Mana aku berani?” sahut Ren
Woxing. “Di antara tokoh-tokoh terkemuka pada zaman ini sebenarnya hanya
sedikit yang kukagumi. Kalau kuhitung-hitung ternyata hanya tiga setengah orang
saja. Kepala Biara termasuk satu di antaranya. Selain itu masih ada tiga
setengah orang lagi yang tidak kusukai.” Ucapannya ini terdengar
sungguh-sungguh, sama sekali tidak ada maksud bercanda.
Dengan merangkap kedua tangan
Fangzheng berkata, “Amitabha! Saya tidak berani menerima sanjungan Tuan Ren.”
Semua orang, termasuk Linghu
Chong yang bersembunyi di balik papan nama, merasa heran dan ingin tahu siapa
saja tiga setengah orang pada zaman ini yang dikagumi oleh gembong Sekte Iblis
ini, dan siapa pula tiga setengah orang yang tak disukainya itu.
Tiba-tiba terdengar suara
seseorang berteriak nyaring, “Tuan Ren, siapa saja orang yang kau kagumi itu?”
Dengan merasakan jumlah
hembusan napas di tempat itu, Linghu Chong memperkirakan ada sepuluh orang
dalam kelompok aliran lurus. Namun sayang, ia hanya mengenali tujuh di antara
mereka sesuai dengan yang disebutkan oleh Kepala Biara tadi, yaitu Mahabiksu
Fangzheng sendiri, Pendeta Chongxu, Zuo Lengchan, Pendeta Tianmen, guru dan
ibu-gurunya, serta Yu Canghai. Sisanya yang tiga orang belum sempat
diperkenalkan, termasuk orang yang berteriak lantang itu.
“Maaf, Tuan yang mulia tidak
termasuk di antaranya,” sahut Ren Woxing dengan tertawa.
“Mana aku berani disejajarkan
dengan Mahabiksu Fangzheng?” kata orang itu. “Sudah tentu aku termasuk orang
yang tidak disukai Tuan Ren.”
“Kau pun tidak termasuk di
antara tiga setengah orang yang tidak kusukai,” kata Ren Woxing. “Jika kau
berlatih selama tiga puluh tahun lagi, mungkin kelak bisa membuatku tidak suka
kepadamu.”
Orang itu langsung terdiam tak
bersuara. Di persembunyiannya, Linghu Chong berpikir, “Ternyata menjadi orang
yang tidak disukai Tuan Ren juga tidak mudah.”
“Apa yang dikatakan Tuan Ren
benar-benar sangat menarik,” kata Fangzheng.
“Kepala Biara, apakah kau
ingin tahu siapa-siapa lagi yang kukagumi dan siapa-siapa pula yang tidak
kusukai?” tanya Ren Woxing.
“Memang saya ingin mendengar
penjelasan Tuan,” jawab Fangzheng.
“Kepala Biara, kau berhasil
mempelajari Kitab Mengubah Urat dengan sempurna. Tenaga dalammu juga
mahatinggi. Tapi kau tetap rendah hati dan sederhana, sangat berbeda dengan
diriku yang angkuh ini. Aku benar-benar mengagumi biarawan berbudi luhur
seperti dirimu.”
“Saya tidak pantas menerima
sanjungan Tuan Ren,” ujar Fangzheng.
Ren Woxing melanjutkan, “Namun
Mahabiksu Fangzheng bukanlah orang yang paling kukagumi. Di dunia ini, orang
yang paling kukagumi adalah dia yang telah merebut jabatanku dalam Sekte
Matahari dan Bulan. Dia adalah Dongfang Bubai.”
“Hah!” seru semua orang
terkejut heran karena hal ini sungguh di luar dugaan. Untungnya Linghu Chong
masih bisa menahan diri untuk tidak bersuara. Ia hanya tidak habis mengerti,
mengapa Dongfang Bubai yang telah berhasil menangkap dan memenjarakan Ren
Woxing sekian lamanya, justru masuk ke dalam daftar orang yang dikagumi,
bukannya dibenci sampai tulang sumsum?
Terdengar Ren Woxing
melanjutkan, “Ilmu silatku cukup tinggi. Aku juga terkenal cerdik dan banyak
akal, bahkan merasa tidak punya tandingan di muka bumi. Tak kusangka, aku bisa
dipecundangi oleh tutur kata Dongfang Bubai dan hampir terkubur seumur hidup di
dasar danau. Dongfang Bubai adalah tokoh hebat. Orang seperti dia apa tidak
pantas untuk dikagumi?”
“Betul juga alasan Tuan Ren,”
ujar Fangzheng sambil mengangguk.
Ren Woxing melanjutkan, “Dan
orang ketiga yang kukagumi adalah jago paling hebat dari Perguruan Huashan saat
ini.”
Kembali semua orang merasa
heran bukan kepalang. Linghu Chong sendiri bingung mendengarnya karena tadi Ren
Woxing sengaja mengolok-olok Yue Buqun, tapi siapa tahu di dalam hati justru
mengagumi gurunya itu.
Merasa suaminya dipermainkan,
Ning Zhongze membuka suara, “Kau tidak perlu menyindir dan mempermalukan
orang.”
Ren Woxing tertawa sinis dan
berkata, “Nyonya Yue, apakah kau mengira suamimu termasuk orang yang kukagumi?
Hahaha, masih terlalu jauh. Jago terhebat Perguruan Huashan yang kukagumi
adalah Feng Qingyang. Ilmu pedang Tuan Feng mahasakti dan jauh lebih hebat
dariku. Aku merasa tidak mampu mencapai tingkatan seperti itu. Aku
sungguh-sungguh mengagumi kehebatan Tuan Feng setulus hati.”
“Apakah Tuan Feng saat ini
masih hidup?” tanya Fangzheng sambil memandang Ren Woxing, lalu berpaling ke
arah Yue Buqun.
“Paman Guru Feng sudah
mengasingkan diri beberapa puluh tahun yang lalu. Selama ini tidak pernah
terdengar kabar beritanya,” jawab Yue Buqun. “Apabila Beliau masih hidup, tentu
sungguh suatu keberuntungan bagi Perguruan Huashan kami.”
Ren Woxing menanggapi, “Hm,
Tuan Feng adalah anggota Kelompok Pedang, sementara dirimu dari Kelompok Tenaga
Dalam. Kedua cabang Perguruan Huashan ini biasanya saling bermusuhan, tidak
bisa untuk bersatu. Apa untungnya bagimu jika Tuan Feng ternyata benar-benar
masih hidup?”
Mendengar teguran itu, Yue
Buqun terdiam tanpa menjawab.
Sejak awal Linghu Chong hanya
menduga-duga kalau Feng Qingyang berasal dari Kelompok Pedang cabang
perguruannya. Kini setelah mendengar ucapan Ren Woxing tersebut dan Sang Guru
sama sekali tidak menyangkal, hatinya pun menjadi semakin yakin.
Terdengar Ren Woxing tertawa
dan berkata, “Kau tidak perlu khawatir. Tuan Feng sudah melepaskan urusan dunia
persilatan. Apa kau takut ia akan muncul kembali dan merebut kedudukanmu
sebagai ketua?”
Dengan tegas Yue Buqun
menjawab, “Aku tidak punya kepandaian apa-apa. Bila Paman Guru Feng muncul
kembali dan memberikan nasihat kepadaku, sungguh aku merasa sangat gembira.
Apakah Tuan Ren dapat memberi tahu tempat kediaman Paman Guru Feng agar aku
dapat mengunjungi Beliau? Jika demikian, kami semua dari Perguruan Huashan akan
sangat berterima kasih kepadamu.”
Ren Woxing menggelengkan
kepala, kemudian berkata, “Pertama, aku tidak tahu di mana keberadaan Tuan
Feng. Kedua, seandainya aku tahu juga tidak akan kukatakan kepadamu. Tombak
yang ditusukkan dari depan mudah dielakkan, tapi senjata rahasia yang dilempar
dari belakang sukar dihindari. Sangat mudah untuk menghadapi musuh yang
benar-benar jahat, tapi menghadapi seorang munafik sungguh membuat kepala
pusing.”
Yue Buqun kembali terdiam tak
menanggapi.
Linghu Chong berpikir, “Guru
seorang kesatria yang ramah dan santun. Beliau tidak mungkin bertukar kata-kata
kasar dengan Tuan Ren.”
Ren Woxing kemudian berpaling
ke arah Pendeta Chongxu dan berkata, “Orang keempat yang kukagumi adalah si
hidung kerbau tua ini. Ilmu Pedang Taiji andalan Perguruan Wudang yang kau
pimpin sungguh luar biasa. Kau sendiri pandai menjaga diri dan tidak suka
banyak ikut campur urusan dunia persilatan. Hanya saja, kau tidak mahir
mendidik murid. Di antara sekian banyak murid-murid Perguruan Wudang tidak ada
satu pun bibit unggul yang menonjol. Lihat saja, kalau kau si tua bangka sudah
berpulang ke dunia atas, mungkin ilmu Pedang Taiji kalian juga ikut lenyap.
Lagipula meski kau memiliki ilmu pedang cukup tinggi, namun belum tentu mampu
mengalahkan diriku. Maka itu, aku hanya kagum setengah saja kepadamu.”
“Hahaha, bisa mendapat
setengah kekaguman dari Tuan Ren sudah cukup menaikkan harga diriku. Terima
kasih banyak,” seru Pendeta Chongxu sambil tertawa.
“Tidak perlu segan,” sahut Ren
Woxing. Ia kemudian berpaling kepada Zuo Lengchan dan berkata, “Ketua Zuo, kau
tidak perlu tersenyum-senyum, tapi di dalam hati memendam amarah. Kau memang
tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang kukagumi, namun dalam daftar tiga
setengah orang yang tidak kusukai, kau yang mulia menduduki peringkat pertama.”
“Hehe, aku merasa sangat
tersanjung,” sahut Zuo Lengchan.
“Ilmu silatmu hebat, pikiranmu
juga cerdas. Sangat cocok dengan seleraku,” ujar Ren Woxing. “Kau bermaksud
melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu perguruan besar untuk
mengimbangi Shaolin dan Wudang. Cita-citamu setinggi langit, sungguh patut
dipuji. Hanya sayang, kau suka menggunakan berbagai macam tipu muslihat keji
dan cara-cara licik. Ini jelas bukan perbuatan seorang kesatria sejati dan
tidak pantas dikagumi.”
Zuo Lengchan menanggapi, “Hm,
di antara tiga setengah tokoh-tokoh yang tidak kusukai di zaman ini, kau justru
hanya termasuk yang setengah saja.”
“Huh, kau hanya bisa meniru
saja, sama sekali tidak punya pemikiran sendiri. Maka itu, kau memang tidak
pantas dikagumi, bahkan sangat tidak kusukai,” kata Ren Woxing sambil
menggeleng. “Meskipun kau sudah mempelajari semua ilmu perguruanmu dengan
mendalam, namun semuanya hanyalah ilmu warisan. Apabila semua orang seperti
dirimu yang hanya bisa meniru tanpa memiliki pemikiran sendiri, tentu dalam
sepuluh tahun kemudian dunia persilatan ini akan sepi dari jurus-jurus baru.”
Zuo Lengchan berkata, “Hm, kau
sengaja mengobrol ke barat dan ke timur. Apakah kau ingin mengulur waktu untuk
menunggu datangnya bala bantuan?”
Ren Woxing tertawa lirih,
“Hehe, apakah kau bermaksud mengandalkan jumlah yang banyak untuk mengerubut
kami bertiga?”
Zuo Lengchan menjawab, “Kalian
datang ke Biara Shaolin ini dan membunuh sesuka hati, lalu hendak pergi begitu
saja, memangnya kau anggap kami ini patung semua? Kalau kau menuduh kami main
kerubut atau menyebut kami tidak mengindahkan tata tertib dunia persilatan, apa
boleh buat? Yang pasti kau telah membunuh murid-murid Perguruan Songshan kami,
dan sekarang aku, Zuo Lengchan, sudah ada di sini. Bagaimanapun juga aku ingin
minta petunjuk beberapa jurus dari Tuan Ren yang mulia.”
Ren Woxing berpaling kepada
Mahabiksu Fangzheng dan berkata, “Kepala Biara, di sini ini wilayah Biara
Shaolin ataukah Perguruan Songshan?”
“Aih, Tuan Ren sudah tahu tapi
sengaja bertanya. Sudah tentu di sini Biara Shaolin,” jawab Fangzheng.
“Jika demikian, terhadap
segala urusan di sini siapa yang berhak mengambil keputusan? Apakah Kepala
Biara Shaolin, ataukah Ketua Perguruan Songshan?” tanya Ren Woxing.
“Meski saya yang mengambil
keputusan, tapi kalau kawan-kawan memiliki saran juga akan saya dengarkan,”
kata Fangzheng.
“Hahahaha, memang benar-benar
saran yang bagus,” seru Ren Woxing sambil tertawa. “Karena sadar kalau
bertempur satu lawan satu pasti kalah, maka sekarang kalian ingin main kerubut.
Hei, orang bermarga Zuo, jika hari ini kau mampu merintangi kepergianku, maka
selanjutnya kau tidak perlu turun tangan lagi. Aku akan menggorok leher sendiri
di depan matamu.”
Zuo Lengchan berkata, “Kami
berjumlah sepuluh orang. Merintangi dirimu mungkin suatu pekerjaan yang sulit.
Tapi untuk membunuh anak perempuanmu kurasa bukan masalah yang berat.”
“Amitabha! Janganlah kita main
bunuh-membunuh,” sela Fangzheng.
Jantung Linghu Chong berdebar
kencang. Ia tahu apa yang dikatakan Zuo Lengchan itu sungguh bukan gertakan
belaka. Meskipun ia tidak tahu siapa tiga di antara kesepuluh orang tersebut,
tapi ia yakin mereka juga berilmu tinggi. Kalau bukan ketua perguruan ternama
tentu pendekar silat papan atas. Bagaimanapun tingginya ilmu Ren Woxing
paling-paling hanya bisa menyelamatkan diri sendiri saja. Apakah Xiang Wentian
juga bisa menyelamatkan nyawa sukar untuk dipastikan. Apalagi Ren Yingying,
jelas tiada harapan baginya.
Namun Ren Woxing dengan tenang
menjawab, “Bagus sekali. Aku dengar Ketua Zuo punya seorang anak laki-laki
bernama Zuo Ting yang berjuluk Si Cemara Dingin di Angkasa. Konon ilmu silatnya
tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu cerdas, tentu tidak sulit untuk
membunuhnya. Tuan Yue juga punya seorang anak perempuan. Pendeta Yu kabarnya
punya beberapa gundik cantik dan tiga anak laki-laki yang masih muda. Pendeta
Tianmen tidak punya anak, tapi punya banyak murid kesayangan. Tuan Besar Mo
masih punya ayah dan ibu yang sudah tua di rumah. Zhenshan Zi, si Pedang
Tunggal Qiankun dari Perguruan Kunlun punya seorang cucu laki-laki. Ada lagi
Ketua Xie dari Partai Pengemis, eh, Saudara Xiang, apakah dia punya orang yang
disayangi?”
Mendengar itu Linghu Chong
merenung, “Jadi Paman Guru Mo juga ada di sini. Meskipun Mahabiksu Fangzheng
belum tuntas memperkenalkan rombongannya, tapi Tuan Ren ternyata sudah
mengenali mereka semua, bahkan mengetahui pula dengan rinci seluk-beluk
keluarga masing-masing kesepuluh tokoh tersebut.”
Terdengar Xiang Wentian
menjawab, “Kudengar dua petinggi Partai Pengemis yang menjabat sebagai Utusan
Teratai Putih dan Utusan Teratai Hijau sebenarnya adalah anak haram Ketua Xie,
meskipun berbeda marga.”
“Apakah kau tidak keliru?
Jangan sampai kita salah membunuh orang baik-baik,” ujar Ren Woxing.
“Tidak mungkin salah,” jawab
Xiang Wentian, “hamba sudah menyelidikinya dengan jelas.”
“Apa hendak dikata? Andaikan
salah membunuh juga tidak bisa dihindari,” kata Ren Woxing sambil mengangguk.
“Terpaksa kita bunuh saja tiga atau empat puluh orang Partai Pengemis. Paling
tidak, dua di antaranya adalah sasaran yang kita cari.”
“Pendapat Ketua sungguh
tepat,” ujar Xiang Wentian memuji.
Setiap kali Ren Woxing
menyebut sanak keluarga kesepuluh lawannya, baik Zuo Lengchan maupun yang lain
merasa ngeri. Mereka tahu setiap perkataan gembong Sekte Iblis itu bukanlah
omong kosong. Jika anak perempuannya benar-benar dibunuh, maka dia pasti akan
membalas dengan cara yang lebih keji terhadap sanak keluarga mereka.
Membayangkan hal ini sungguh membuat setiap orang merinding ketakutan. Maka,
suasana ruangan itu langsung menjadi sunyi. Wajah semua orang tampak berubah
pucat.
Selang sejenak barulah
Fangzheng berkata, “Mata dibalas mata tentu tiada akhirnya. Tuan Ren, kami
tidak akan mengganggu putrimu. Kami hanya meminta kalian bertiga sudi menjadi
tamu kehormatan di sini selama sepuluh tahun saja.”
“Tidak bisa,” sahut Ren
Woxing. “Nafsu membunuhku sudah tergerak. Aku sudah tidak sabar ingin mulai
membunuh putra Ketua Zuo dan keempat gundik cantik Pendeta Yu itu. Begitu pula
dengan anak perempuan Tuan Yue juga takkan kubiarkan hidup.”
Linghu Chong terperanjat di tempat
persembunyinya. Ren Woxing memiliki sifat yang sulit dipahami. Apakah ucapannya
itu hanya untuk menakut-nakuti saja atau sungguh-sungguh akan mengadakan
pembantaian secara besar-besaran juga tidak dapat dipastikan.
“Tuan Ren, bagaimana kalau
kita mengadakan taruhan?” tiba-tiba Pendeta Chongxu bertanya.
“Tidak. Dalam hal taruhan aku
sering sial, tidak punya keahlian,” jawab Ren Woxing. “Tapi kalau membunuh
orang aku yakin pasti berhasil. Membunuh jago-jago papan atas mungkin bisa
gagal. Tapi kalau membunuh anak-istri atau ayah-ibu mereka, aku yakin bisa
terlaksana.”
“Membunuh orang-orang yang
tidak paham ilmu silat bukan perbuatan kesatria,” kata Chongxu.
“Meskipun tidak kesatria, tapi
kalau bisa membuat musuh-musuhku menyesal seumur hidup, sudah bisa membuatku
gembira,” kata Ren Woxing.
Pendeta Chongxu menukas, “Kau
sendiri akan kehilangan anak perempuan, apakah itu menyenangkan? Kehilangan
anak perempuan berarti takkan punya menantu pula. Dan menantumu tentu akan
menjadi menantu orang lain. Untuk ini rasanya kau pun akan kehilangan nama
baik.”
“Apa boleh buat?” kata Ren
Woxing. “Terpaksa aku harus membunuh mereka semuanya. Siapa suruh calon
menantuku tidak setia kepada anak perempuanku?”
“Begini saja, kami tidak akan
main kerubut dan kau juga jangan sembarangan membunuh,” kata Chongxu. “Kita
bisa bertanding secara adil. Kalian bertiga bertanding tiga babak melawan tiga
orang di antara kami. Bisa menang dua babak saja sudah cukup.”
Mahabiksu Fangzheng mengangguk
setuju, “Usulan Saudara Chongxu memang lain daripada yang lain. Kita bisa
bertanding secara bersahabat, tidak perlu sampai binasa.”
“Jika kami bertiga kalah,
apakah harus tinggal selama sepuluh tahun di sini?” tanya Ren Woxing.
“Benar,” jawab Chongxu. “Tapi
bila pihak kalian menang dua babak saja, maka kami mengaku kalah dan kalian
bebas untuk pergi. Mengenai nasib kedelapan murid kami ini anggap saja mereka
mati sia-sia.”
“Aku hanya setengah kagum
kepadamu. Maka, aku pun merasa kata-katamu setengah masuk akal,” kata Ren
Woxing. “Siapa di antara kalian yang akan maju? Bolehkah aku yang memilih?”
Zuo Lengchan langsung
menanggapi, “Mahabiksu Fangzheng adalah tuan rumah, sudah pasti dia akan turun
gelanggang. Kepandaianku sudah terlena selama belasan tahun. Ini adalah saat
yang tepat untuk mencoba-coba tenagaku lagi. Bagaimana dengan babak ketiga?
Karena pertandingan ini adalah usulan Pendeta Chongxu, rasanya aneh jika dia
hanya berpeluk tangan menjadi penonton saja. Mau tidak mau ia harus
memperlihatkan pula kehebatan ilmu Pedang Taiji andalan Perguruan Wudang.”
Zuo Lengchan sungguh cerdik
dalam menunjuk orang. Kesepuluh orang dalam kelompoknya adalah para pesilat
papan atas, sedangkan Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan dirinya sendiri
boleh dibilang merupakan tiga jago yang paling sakti di antara mereka. Begitu
menyebutkan tiga nama yang akan maju, Zuo Lengchan seolah menunjukkan kalau
pihaknya pasti keluar sebagai pemenang. Di lain pihak, Ren Yingying hanya
seorang gadis yang belum genap sembilan belas tahun. Meskipun memiliki ilmu
silat tinggi, tapi pengalaman bertandingnya cenderung masih kurang. Maka,
dengan siapa pun ia nanti akan berhadapan sudah dapat dipastikan kekalahannya.
Sementara itu, Yue Buqun dan yang lain tersenyum setuju memahami siasat Zuo
Lengchan tersebut.
Mahabiksu Fangzheng, Pendeta
Chongxu, dan Zuo Lengchan memang tiga tokoh terhebat dalam aliran lurus. Ilmu
silat mereka tidak berada di bawah Ren Woxing. Bahkan dibandingkan dengan Xiang
Wentian, mereka bisa jadi lebih unggul. Jadi, secara perhitungan, pihak Ren
Woxing sangat sulit bisa menang dua babak saja. Yang dikhawatirkan orang-orang
itu adalah apabila Ren Woxing melanggar perjanjian dan berhasil meloloskan
diri, tentu ia akan membantai sanak keluarga mereka sesuai dengan yang
disebutkan di awal tadi.
Ren Woxing yang menyadari hal
itu pun menggeleng dan berkata, “Pertandingan tiga babak kurasa tidak bagus.
Lebih baik kita bertanding hanya satu babak saja. Kalian boleh pilih seorang
jago, demikian juga pihak kami. Dengan demikian urusan menjadi sederhana.”
Zuo Lengchan berkata, “Saudara
Ren, hari ini kalian bertiga berada dalam wilayah kami. Kami bersepuluh ini
sudah tiga kali lebih kuat daripada pihakmu. Bahkan, seandainya Kepala Biara
mengeluarkan perintah, puluhan jago-jago Biara Shaolin seketika akan muncul.
Belum lagi ditambah jago-jago dari perguruan lainnya,” kata Zuo Lengchan.
“Itu sebabnya kalian ingin
menang dengan cara mengerubut kami, begitu?” ejek Ren Woxing.
“Memang,” sahut Zuo Lengchan.
“Kami akan mengerubut kalian.”
“Huh, tidak tahu malu!” ujar
Ren Woxing mengolok-olok lagi.
“Membunuh orang tanpa alasan
adalah perbuatan yang lebih memalukan,” balas Zuo Lengchan.
“Apakah membunuh orang harus
memakai alasan? Ketua Zuo, kau ini pemakan daging atau pemakan sayuran?” Ren
Woxing bertanya.
“Jika aku ingin membunuh
seseorang, maka akan kubunuh dia. Apa hubungannya dengan jenis makanan?” sahut
Zuo Lengchan geram.
“Apakah setiap orang yang kau
bunuh memang pantas dibunuh?” desak Ren Woxing.
“Tentu saja,” jawab Zuo
Lengchan.
Ren Woxing tersenyum, “Kau
memakan daging sapi dan kambing. Memangnya dosa apa yang telah mereka lakukan
kepadamu?”
Mahabiksu Fangzheng menyela,
“Amitabha, ucapan Tuan Ren sungguh welas asih.”
“Mahabiksu Fangzheng jangan
tertipu ucapannya,” sahut Zuo Lengchan. “Dia menyamakan kedelapan murid kita
dengan sapi dan kambing.”
“Serangga, semut, sapi,
kambing, Sang Buddha, manusia biasa, semuanya adalah makhluk bernyawa,” kata
Ren Woxing.
Fangzheng mengangguk, “Benar
sekali, benar sekali, Amitabha!”
“Saudara Ren, kau terus-menerus
mengulur waktu. Apakah kau takut bertanding hari ini?” seru Zuo Lengchan
mengalihkan pembicaraan.
Tiba-tiba Ren Woxing bersuit
panjang, sampai menggetarkan dinding ruangan. Beberapa lilin besar yang
menerangi ruangan itu sampai buram nyala apinya. Setelah suara suitannya reda
barulah cahaya lilin itu kembali terang. Jantung semua orang pun berdebar-debar
karena suaranya itu. Wajah mereka tampak berubah agak pucat.
“Baiklah,” kata Ren Woxing
kemudian, “marilah kita mulai pertandingan ini, wahai orang bermarga Zuo!”
“Seorang laki-laki sejati
sekali bicara harus memegang janji,” sahut Zuo Lengchan. “Jika dua di antara
kalian kalah, maka kalian harus tinggal selama sepuluh tahun di Gunung Shaoshi
ini.”
“Baiklah. Kalau kami kalah
dalam dua babak, maka kami akan tinggal di sini selama sepuluh tahun,” sahut
Ren Woxing.
Pihak lawan terlihat
berseri-seri lega melihat Zuo Lengchan telah berhasil menggiringnya untuk
menyetujui pertaruhan tersebut.
Ren Woxing melanjutkan, “Mari
kita mulai. Aku melawan dirimu. Saudara Xiang nanti akan melawan si pendek Yu.
Anak perempuanku biar melawan sesama perempuan. Biarlah dia meminta petunjuk
kepada Pendekar Ning.”
“Tidak bisa,” sahut Zuo
Lengchan. “Siapa saja di pihak kami yang harus maju adalah pilihan kami sendiri.
Mana boleh kau main tunjuk sesukanya?”
“Jago masing-masing pihak
harus dipilih sendiri, pihak lawan tidak boleh ikut campur, begitu?” tanya Ren
Woxing.
“Benar,” jawab Zuo Lengchan.
“Dari pihak kami yang akan maju adalah kedua ketua dari Perguruan Shaolin dan
Wudang, ditambah dengan aku sendiri.”
Ren Woxing mengejek, “Dengan
kedudukan dan ilmu silatmu itu, mana mungkin dapat disejajarkan dengan
ketua-ketua dari Perguruan Shaolin dan Wudang?”
Dengan muka merah Zuo Lengchan
menjawab, “Hm, sudah tentu aku tidak berani disejajarkan dengan Mahabiksu
Fangzheng dan Pendeta Chongxu. Tapi paling tidak, rasanya aku sudah cukup untuk
melayani dirimu.”
“Hahaha!” Ren Woxing bergelak
tawa kemudian berpaling kepada Fangzheng. “Kepala Biara, apa aku boleh berkenalan
dengan ilmu pukulan Perguruan Shaolin kalian yang hebat itu?”
“Amitabha! Sudah lama saya
tidak berlatih. Jelas bukan tandingan Tuan Ren,” jawab Fangzheng. “Namun karena
saya berharap dapat menahan Tuan Ren di sini, terpaksa beberapa kerat tulangku
yang sudah lapuk ini harus rela menerima pukulanmu.”
Zuo Lengchan tidak menduga
kalau Ren Woxing justru menantang Fangzheng bertanding. Hal ini jelas memandang
remeh terhadap dirinya. Namun dalam hati ia bukannya marah, tapi justru merasa
senang. Diam-diam ia berpikir, “Tadinya aku khawatir kau menantangku bertarung,
kemudian Xiang Wentian melawan Pendeta Chongxu, dan anak perempuanmu melawan
Mahabiksu Fangzheng. Aku sendiri tidak yakin bisa mengalahkanmu, dan
jangan-jangan Pendeta Chongxu juga lengah dan dapat dikalahkan Xiang Wentian
yang banyak muslihat itu. Tentunya ini bisa menjadi bencana.”
Selangkah demi selangkah Zuo
Lengchan berjalan mundur untuk memberikan tempat bagi Fangzheng dan Ren Woxing.
Kedelapan mayat juga sudah dipindahkan dari tengah ruangan.
“Silakan, Kepala Biara,” kata
Ren Woxing sambil memberi hormat. Sepasang lengan bajunya tampak
berkibar-kibar.
“Tuan Ren silakan buka
serangan lebih dulu,” sahut Fangzheng sambil merangkap tangan membalas hormat.
Ren Woxing berkata, “Yang akan
kumainkan adalah ilmu silat murni Sekte Matahari dan Bulan. Sebaliknya, yang
akan Mahabiksu mainkan adalah ilmu silat murni Perguruan Shaolin. Babak pertama
ini merupakan pertandingan antara murni melawan murni.”
Tiba-tiba Yu Canghai mengejek,
“Huh, dalam Sekte Iblis mana ada ajaran murni? Dasar tidak tahu malu!”
Ren Woxing berkata, “Kepala
Biara, izinkan aku membunuh si pendek ini dulu, baru kemudian kita mulai
pertandingan.”
“Jangan!” seru Fangzheng
berseru sambil melancarkan serangan pertama. “Terimalah seranganku ini!”
Ia paham watak Ren Woxing yang
berani berkata dan berani berbuat. Serangan gembong Sekte Iblis itu bagaikan
kilat bisa-bisa membuat Yu Canghai kehilangan nyawa dalam waktu sekejap. Maka,
ia pun memutuskan untuk membuka serangan lebih dulu.
Pukulan Fangzheng tersebut
terlihat sangat enteng dan biasa saja. Namun begitu sampai di tengah jalan
mendadak pukulannya bergerak-gerak. Satu telapak tangannya berubah menjadi dua,
kemudian menjadi empat, kemudian berubah lagi menjadi delapan, dan seterusnya.
“Seribu Tapak Buddha!” teriak
Ren Woxing mengenali jurus itu. Maka, ia pun segera membalas memukul bahu kanan
Fangzheng. Segera Fangzheng menarik kembali pukulannya, dan kemudian tangan
yang lain berganti menyerang dengan cara yang sama. Tangan kiri itu tampak
bergoyang-goyang, satu berubah dua, dua berubah empat, dan seterusnya. Tapi Ren
Woxing lantas melompat ke atas. Berturut-turut ia membalas dengan dua kali
pukulan.
Linghu Chong mengintip
pertarungan itu dari atas. Dilihatnya pukulan Fangzheng sukar diduga
perubahannya. Belum lanjut pukulannya segera berubah beberapa kali. Sungguh
ilmu pukulan mahaaneh yang belum pernah ia lihat seumur hidup. Sebaliknya,
pukulan Ren Woxing terlihat sangat sederhana. Tangannya hanya menjulur dan
ditarik kembali secara biasa, seperti agak kaku. Tapi meskipun Mahabiksu
Fangzheng melancarkan pukulan-pukulan yang sukar dijajaki, Ren Woxing selalu
menyambut serangannya dengan tenang. Pada saat itu pula Fangzheng cepat ganti
serangan yang lain. Tampaknya mereka berdua memang lawan yang seimbang.
Dalam hal ilmu pukulan tangan
kosong, Linghu Chong tidak begitu mahir. Salah satu bagian dalam Ilmu Sembilan
Pedang Dugu yaitu Jurus Mematahkan Pukulan juga belum dikuasainya dengan baik.
Lagipula ia merasa kesulitan menemukan titik kelemahan dalam setiap jurus
pukulan kedua orang yang sedang bertarung itu.
Kedua tokoh sakti tersebut
sama-sama ahli dalam ilmu pukulan. Kehebatan mereka boleh dibilang nomor satu
di dunia persilatan. Linghu Chong kebingungan menyaksikan jurus-jurus mereka
dan tetap saja kesulitan menemukan intisari gerak serangan keduanya. “Dalam
ilmu pedang aku berhasil mengalahkan Pendeta Chongxu dan juga tidak kalah
menghadapi Tuan Ren di dalam penjara dulu. Namun kalau menghadapi jurus pukulan
yang dilancarkan kedua tokoh ini, bisa-bisa aku hanya menyerang mereka dengan
tusukan pedang terus-menerus. Kakek Guru Feng pernah berkata, bahwa aku harus
berlatih dulu selama dua puluh tahun baru bisa menandingi tokoh-tokoh papan
atas dunia persilatan, terutama menghadapi mereka-mereka yang sudah tidak
memerlukan senjata untuk bertarung,” demikian ia berpikir.
Sejenak kemudian, Ren Woxing
menyodokkan kedua tangannya ke depan secara mendadak. Kontan Mahabiksu
Fangzheng terdesak mundur dua sampai tiga langkah berturut-turut. Linghu Chong
terkesiap, hatinya menjerit, “Wah, celaka! Mahabiksu Fangzheng bisa kalah.”
Tapi ia kemudian melihat biksu
tua itu memukulkan tangan kirinya melingkar saat lengan kanannya diserang
musuh. Kedua tangannya bergerak ke kanan dan ke kiri, ke atas dan ke bawah,
menyusul Ren Woxing berbalik mundur selangkah dan mundur lagi. Setelah beberapa
jurus, Ren Woxing kembali terdesak mundur beberapa langkah.
Linghu Chong menanggapi dalam
hati, “Bagus, bagus!” Tapi sejenak kemudian ia merenung, “Aneh, kenapa aku
khawatir ketika melihat Mahabiksu Fangzheng terancam kalah, dan merasa senang
jika ia berada di atas angin? Ya, bagaimanapun juga Mahabiksu Fangzheng adalah
biarawan saleh, sementara Ketua Ren seorang gembong Sekte Iblis. Hati nuraniku
tetap bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk.” Tapi lantas terpikir
pula olehnya, “Namun bila Ketua Ren kalah, maka Yingying akan terkurung lagi
selama sepuluh tahun di Gunung Shaoshi. Hal ini jelas tidak kuinginkan.”
Kontan ia menjadi bingung.
Hati kecilnya merasa serbasalah. Dalam beberapa saat ia tidak tahu harus
memihak siapa. Ia yakin jika Ren Woxing dan Xiang Wentian kembali ke dunia
persilatan, maka akan terjadi kekacauan besar. Namun ia sendiri tidak rela
kalau Ren Yingying harus mengalami penderitaan di Gunung Shaoshi. Akhirnya ia
pun berkata dalam hati, “Ah, kalau memang terjadi kekacauan, biar saja kacau.
Justru bagus kalau suasana menjadi ramai.”
Diam-diam ia mengalihkan
pandangannya ke arah gadis itu. Tampak Ren Yingying bersandar di sebuah tiang besar.
Gadis itu terlihat begitu lemah dan rapuh, seperti tidak mampu menahan tiupan
angin. Alisnya yang lentik agak berkerut seperti sedang memendam kesedihan.
Seketika rasa kasihan Linghu Chong pun berkobar, “Bagaimana aku bisa membiarkan
Yingying dikurung selama sepuluh tahun di sini? Bagaimana ia bisa melewati
hari-hari yang penuh dengan perasaan tersiksa?” Ia kemudian teringat betapa
gadis itu telah mengorbankan diri demi untuk menyelamatkan jiwanya. Dalam dunia
persilatan ia memiliki banyak kawan yang gagah, juga tidak sedikit diperlakukan
dengan baik oleh guru, ibu-guru, dan saudara-saudara seperguruan. Namun, hanya
Ren Yingying seorang yang rela berkorban sejauh itu.
Darah panas pun bergelora
memenuhi rongga dada Linghu Chong. Ia tidak peduli apakah Ren Yingying putri
seorang gembong Sekte Iblis, atau penjahat wanita sekalipun. Yang jelas gadis
itu pernah berkorban untuk menyelamatkan jiwanya, maka ia tidak akan pernah
melupakan budi baik tersebut. Ia siap untuk melindungi Ren Yingying meskipun
seluruh dunia akan berbalik memusuhinya.
Sebelas pasang mata terpusat
menyaksikan pertandingan kedua tokoh sakti itu. Dalam hati masing-masing mereka
memuji kehebatan pukulan Ren Woxing dan Mahabiksu Fangzheng. Tampak Zuo
Lengchan tersenyum sendiri dan diam-diam bersyukur, “Untung si tua Ren memilih
Mahabiksu Fangzheng sebagai lawannya pada babak pertama ini. Jika ia memilih
diriku tentu akan membuatku sulit. Dibandingkan dengan Jurus Tapak Songyang
andalan perguruan kami, ilmu pukulannya lebih rumit den memiliki lebih banyak
perubahan. Meskipun terlihat kaku, tapi ilmu pukulannya lebih bagus dariku. Ia
hanya mengincar satu titik penting saja, tidak lebih dari itu.”
Di sisi lain, Xiang Wentian
juga sedang berpikir, “Ilmu silat Perguruan Shaolin yang tersohor selama
ratusan tahun ternyata memang bukan omong kosong belaka. Bila aku yang harus
menghadapi Mahabiksu Fangzheng, terpaksa harus mengadu tenaga dalam. Untuk
bertanding jurus pukulan jelas aku tidak akan bisa menang melawannya.”
Sementara itu Yue Buqun, Pendeta
Tianmen, Yu Canghai, dan yang lain juga sedang membandingkan ilmu pukulan kedua
jago itu dengan kepandaian mereka masing-masing.
Setelah sekian lama bertempur,
lambat laun Ren Woxing merasa ilmu pukulan Mahabiksu Fangzheng mulai kendur.
Dalam hati ia berpikir, “Hm, meskipun jurus pukulanmu sangat hebat, namun
usiamu jelas sudah tua renta. Daya tahanmu tentu semakin berkurang.”
Segera ia mempercepat
serangan. Setelah beberapa kali memukul, tiba-tiba sewaktu menarik tangan kanan
terasa pergelangannya agak kaku dan kesemutan. Tenaga dalam juga terasa macet,
sungguh membuatnya terkejut bukan main. Ia tahu hal itu disebabkan oleh
pengaruh tenaga dalam lawan. Ia kembali berpikir, “Ilmu Mengubah Urat biksu tua
ini sungguh sempurna. Aku tidak bisa mengerahkan pukulan karena ia mampu
menahan dan mengendalikan tenaga dalamku tanpa harus bersentuhan.” Ia yakin
jika pertarungan ini berlangsung lebih lama lagi, dan jika tenaga dalam lawan
sudah dikerahkan besar-besaran, tentu ia berada dalam keadaan yang sangat tidak
menguntungkan.
Saat itu Fangzheng menghantam
dengan pukulan telapak kiri. Ren Woxing berseru sambil menyambut dengan telapak
kiri pula. Kedua tangan pun beradu. Mereka kemudian sama-sama mundur selangkah.
Terasa tenaga dalam biksu tua itu sangat lembut, tapi mengandung kekuatan yang
sungguh luar biasa. Meski Ren Woxing sudah mengerahkan Jurus Penyedot Bintang,
namun sedikit pun tidak bisa menghisap tenaga lawan. Dalam hati ia merasa
sangat heran.
“Shanti, shanti!” ujar
Fangzheng sambil kemudian tangan kanannya menghantam ke depan. Lagi-lagi Ren
Woxing menyambut dengan tangan kanan pula. Kedua tangan kembali beradu, sampai
tubuh masing-masing tergeliat bersamaan. Ren Woxing merasa darah di seluruh
badan seakan-akan mendidih. Segera ia mundur dua langkah, dan tiba-tiba memutar
tubuh. Tahu-tahu dada Yu Canghai sudah dicengkeramnya menggunakan tangan kanan,
sementara tangan kiri mengayun siap menghantam batok kepala Ketua Perguruan
Qingcheng tersebut.
Kejadian ini sungguh cepat
bagaikan seekor kelinci yang tiba-tiba disambar elang. Semua mata sedang
tertuju kepada Ren Woxing yang sedang kewalahan menghadapi pukulan-pukulan
Mahabiksu Fangzheng tadi. Siapa sangka ia tidak menggunakan tenaganya untuk melindungi
diri tetapi justru digunakan untuk menyerang orang lain. Yu Canghai sendiri
seorang tokoh silat papan atas. Andai saja ia bertarung terang-terangan melawan
Ren Woxing, sekalipun pada akhirnya kalah, namun tidak mungkin hanya dalam satu
jurus langsung tertangkap seperti itu.
“Oh!” seru banyak orang yang
sama-sama terkejut melihatnya.
Mahabiksu Fangzheng segera
melompat bagaikan burung menyambar mangsa. Dengan dua telapak tangan
berkecepatan tinggi ia memukul ke arah belakang kepala Ren Woxing. Dalam dunia
persilatan ini disebut siasat “menyerang Wei, menolong Zhao”, yang memaksa
lawan harus menyelamatkan diri lebih dulu dan melepaskan tawanannya. Dalam hal
ini Ren Woxing harus membatalkan pukulannya terhadap Yu Canghai demi menangkis
serangan Fangzheng.
Semua orang terkejut kagum
melihat kecepatan gerakan Mahabiksu Fangzheng yang secepat kilat itu. Meskipun
tidak sempat bersorak memuji, namun mereka tahu bahwa jiwa Yu Canghai dapat
diselamatkan. Sesuai dugaan, Ren Woxing terpaksa menarik tangannya yang hendak
menghantam kepala Yu Canghai tadi. Akan tetapi, tangan tersebut tidak digunakan
untuk menangkis serangan Fangzheng, melainkan untuk mencengkeram titik Tanzhong
di bagian dada Kepala Biara tersebut. Menyusul kemudian tangan kanannya ikut
bekerja pula. Secepat kilat ulu hati Fangzheng ditotoknya dengan tepat. Tanpa
ampun lagi, tubuh Kepala Biara Shaolin itu langsung lemas dan roboh terkulai di
lantai.
Kontan semua orang terperanjat
kaget. Beramai-ramai mereka bergerak maju mengerumuni sang biksu sepuh. Hanya
Zuo Lengchan yang menerjang ke depan dan menghantam punggung Ren Woxing. Tapi
Ren Woxing sempat menangkis pukulan itu sambil membentak, “Bagus! Anggap saja
ini babak kedua!”
Zuo Lengchan melancarkan
serangan kilat dengan gaya berubah-ubah. Kadang tangannya memukul, kadang
menelapak, lalu berubah menotok, kemudian mencengkeram pula. Dalam sekejap saja
ia sudah menggunakan belasan macam bentuk dan gaya serangan tangan.
Meskipun diserang
berkali-kali, Ren Woxing masih mampu untuk bertahan dengan mengerahkan segenap
tenaga dalam. Beberapa jurus serangannya yang terakhir untuk merobohkan
Mahabiksu Fangzheng tadi jelas menggunakan segenap kemampuannya. Jika tidak,
bagaimana mungkin seorang Ketua Perguruan Shaolin yang memiliki tenaga dalam
setinggi itu bisa dicengkeram pada titik Tanzhong dengan sangat tepat?
Bagaimana mungkin satu jari bisa dengan tepat melumpuhkan pula Kepala Biara
tersebut? Dalam serangan-serangan tadi bisa dikatakan kalau Ren Woxing telah
mempertaruhkan segalanya.
Kemenangan Ren Woxing atas
Mahabiksu Fangzheng itu semata-mata juga karena siasat licik belaka. Ia
memanfatkan sifat Fangzheng yang welas asih, dengan cara seolah hendak
membinasakan Yu Canghai. Perhitungan Ren Woxing sungguh cermat. Pertama, para
hadirin yang lain tidak mungkin sempat menolong karena jarak mereka agak jauh.
Kedua, Yu Canghai sendiri juga kurang akrab dengan para hadirin itu, sehingga
mereka tidak mungkin sudi mengambil risiko demi menolong pendeta pendek
tersebut. Dalam keadaan demikian, Ren Woxing yakin hanya Mahabiksu Fangzheng
seorang yang akan berusaha menolong Yu Canghai.
Ketika Kepala Biara menolong
Yu Canghai dengan cara melancarkan serangan, ternyata Ren Woxing sama sekali
tidak menangkis, tapi berbalik mencengkeram dan menotok titik penting di tubuh
biksu tua itu. Cara yang dilakukan Ren Woxing ini sesungguhnya sangat
berbahaya. Sebab, jangankan kedua tangan Fangzheng yang menghantam ke arah
kepalanya, bahkan angin yang ditimbulkan saja sudah bisa membuat otaknya
meledak.
Sewaktu menangkap Yu Canghai
tadi, Ren Woxing memang sudah mempertaruhkan jiwanya pula. Ia berusaha
memanfaatkan hati welas asih biksu agung berbudi luhur itu. Ketika Fangzheng
melihat pihak lawan ternyata tidak menangkis pukulannya yang bisa menghancurkan
kepala, maka ia pun buru-buru menarik kembali tangannya itu secara mendadak.
Untuk hal ini, ia harus mengerahkan tenaga sangat besar sehingga daerah dada
dan perut menjadi kosong dan terbuka.
Maka, begitu Ren Woxing
mencengkeram dan menotok dadanya, Fangzheng sekuat tenaga mengumpulkan tenaga
di tangannya untuk balas memukul kepala Ren Woxing. Namun keadaannya sudah
sangat lemah. Tenaga dalam di titik Dantian pun sama sekali tidak bisa
berkembang, sehingga tubuhnya terpaksa jatuh begitu saja ke lantai.
Pendeta Chongxu segera memapah
Mahabiksu Fangzheng dan membuka totokan pada tubuhnya, sambil berkata, “Saudara
Kepala Biara terlalu welas asih, sehingga bisa diperdaya oleh lawan secara
licik.”
“Amitabha!” ujar Fangzheng.
“Pikiran Tuan Ren memang cerdik. Tuan Ren bisa menang karena adu akal, bukan
adu tenaga. Aku sungguh sangat kagum dan mengaku kalah.”
Terdengar Yue Buqun berseru,
“Ketua Ren memakai akal licik, kemenangannya tidak gemilang. Cara yang ia
gunakan sama sekali bukan perbuatan seorang laki-laki budiman.”
“Memangnya dalam Sekte
Matahari dan Bulan kami ada laki-laki budiman?” sahut Xiang Wentian dengan
tertawa. “Jika Ketua Ren seorang laki-laki budiman tentu sejak dahulu sudah
berkubang lumpur dengan kalian. Jika demikian, pertandingan seperti sekarang
ini tidak mungkin akan pernah ada.”
Yue Buqun langsung terdiam
oleh perkataan Xiang Wentian itu.
Ren Woxing sendiri sedang
bersandar pada sebatang tiang kayu sambil melancarkan pukulan untuk menangkis
setiap serangan Zuo Lengchan. Sebagai Ketua Perguruan Songshan sekaligus Ketua
Serikat Pedang Lima Gunung, sikap Zuo Lengchan biasanya sangat angkuh. Pada
kesempatan lain tentu ia tidak sudi bertempur melawan Ren Woxing di saat
lawannya itu baru saja bertanding melawan tokoh nomor satu Perguruan Shaolin.
Ia paham bahwa cara demikian tentu akan membuatnya disebut sebagai pengecut
yang mengambil keuntungan dari lawan. Namun, Ren Woxing baru saja merobohkan
Mahabiksu Fangzheng dengan cara licik dan membuat gusar tokoh-tokoh aliran
lurus yang menyaksikan. Sekarang Zuo Lengchan tiba-tiba maju melabrak Ren
Woxing tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, membuatnya justru mendapatkan
pujian karena rasa setia kawan yang ia tunjukkan itu. Para hadirin mengira Zuo
Lengchan maju karena didorong perasaan gusar melihat ketidakadilan, padahal ia
telah memanfaatkan kesempatan emas untuk menyerang Ren Woxing yang sedang
kelelahan.
Xiang Wentian melihat
gerak-gerik Ren Woxing agak lamban dan sukar bernapas di bawah serangan gencar
Zuo Lengchan. Ia pun mendekati tiang dan berseru, “Ketua Zuo, apa kau tidak
tahu malu, melawan orang yang baru saja bertempur? Biarlah aku saja yang
melayanimu!”
“Setelah kurobohkan orang
bermarga Ren ini baru kuhadapi dirimu. Memangnya aku takut bertempur secara
bergiliran melawan kalian?” sahut Zuo Lengchan sambil sebelah tangannya terus
menghantam ke arah Ren Woxing.
Ren Woxing menanggapi dengan
nada dingin, “Adik Xiang, kau minggir saja!”
Xiang Wentian kenal baik watak
Sang Ketua yang tidak mau kalah itu. Ia pun tidak berani membantah, dan
terpaksa berkata, “Baiklah, aku mundur dulu. Tapi orang bermarga Zuo ini
terlalu pengecut dan tidak tahu malu. Akan kutendang pantatnya!” Bersama itu ia
mengangkat sebelah kakinya, siap menendang pantat Zuo Lengchan.
“Apa kalian hendak main
kerubut?” teriak Zuo Lengchan dengan gusar sambil mengelak ke samping.
Ternyata gerakan kaki Xiang
Wentian itu hanyalah pura-pura saja. Melihat Zuo Lengchan tertipu, Xiang
Wentian terbahak-bahak geli dan menjawab, “Hahaha, hanya anak haram yang suka
main kerubut!” Ia lalu melompat mundur dan berdiri di samping Ren Yingying.
Karena ejekan Xiang Wentian
itu, serangan Zuo Lengchan menjadi sempat tertunda. Kesempatan ini segera
digunakan oleh Ren Woxing untuk menarik napas panjang-panjang. Seketika
semangatnya pun bangkit kembali dan segera membalas serangan dengan menghantam
tiga kali berturut-turut.
Sekuat tenaga Zuo Lengchan
berusaha mematahkan serangan Ren Woxing itu. Diam-diam ia terkesiap menyadari
sesuatu dan berpikir. “Sudah belasan tahun aku tidak bertarung melawan tua
bangka ini. Ternyata ilmu silatnya meningkat dengan pesat. Hm, untuk bisa
memenangkan babak ini, aku harus mengerahkan segenap kemampuanku.”
Pertarungan antara Zuo
Lengchan melawan Ren Woxing kali ini adalah pertempuran mereka untuk yang kedua
kalinya. Pertarungan di hadapan tokoh-tokoh tertinggi dunia persilatan sekarang
ini benar-benar pertarungan yang menentukan. Karena itu mereka sangat
mementingkan soal kemenangan, sama sekali berbeda dengan pertandingan babak
pertama antara Ren Woxing melawan Mahabiksu Fangzheng tadi, yang dilangsungkan
dalam suasana ramah tamah.
Begitu Ren Woxing mendapatkan
napas baru, seketika semua gerakannya menjadi gerakan membunuh. Tangannya
berganti gaya serangan dari memukul menjadi memotong. Tangan Zuo Lengchan pun
berubah-ubah, dari memukul, menapak, sampai mencengkeram. Semakin lama semakin
cepat pertarungan kedua orang itu. Linghu Chong sampai sulit membedakan siapa
di antara mereka. Sewaktu melihat pertandingan babak pertama tadi ia tidak
paham akan intisari gerakan Ren Woxing dan Fangzheng, dan kini ia sangat
kesulitan mengikuti kecepatan gerak kedua tokoh sakti tersebut.
Ia lalu melirik ke arah Ren
Yingying. Muka gadis itu tampak putih bersih bagaikan salju, sama sekali tidak
menunjukkan suatu perasaan cemas ataupun khawatir. Seolah-olah ia sangat yakin
bahwa ayahnya akan meraih kemenangan lagi di babak kedua ini. Sementara itu
wajah Xiang Wentian kadang terlihat senang, kadang terlihat cemas. Kadang ia
terlihat heran, kadang terlihat kecewa. Kadang matanya melotot, kadang
menggertakkan gigi seolah ia sendiri yang sedang bertempur. Melihat itu Linghu
Chong berpikir, “Pengalaman Kakak Xiang jauh lebih luas daripada Yingying.
Melihat ketegangan di wajahnya, mungkin sekali dalam babak ini Tuan Ren sukar
mendapat kemenangan.”
Perlahan-lahan pandangannya
beralih ke arah lain. Tampak guru dan ibu-gurunya berdiri berjajar di samping
Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu. Di belakang mereka berdiri Pendeta
Tianmen, Ketua Perguruan Taishan. Di sampingnya lagi terdapat Tuan Besar Mo,
Ketua Perguruan Hengshan. Sejak datang tadi Tuan Besar Mo sama sekali tidak
membuka suara sehingga Linghu Chong tidak tahu bahwa ia juga datang ke Biara
Shaolin. Melihat sosok kurus kering itu, Linghu Chong berpikir, “Adik Yilin dan
yang lain sekarang sudah tidak mempunyai guru. Entah bagaimana keadaan mereka
sekarang?”
Di sisi lain tampak Yu
Canghai, Ketua Perguruan Qingcheng berdiri sendiri di sudut ruangan dengan
menggenggam erat gagang pedangnya. Wajahnya terlihat sangat gusar. Di sisi
barat tampak seorang laki-laki berambut putih dengan pakaian compang-camping.
Ia tentu Ketua Partai Pengemis yang bernama Xie Feng. Di sebelahnya tampak
seorang berperawakan gagah dengan pakaian serbahitam. Ia tentu Ketua Perguruan
Kunlun yang bernama Zhenshan Zi, si Pedang Langit dan Bumi.
Kesembilan tokoh tersebut
adalah orang-orang sakti di dunia persilatan saat ini. Masing-masing merupakan
pemimpin aliran ternama. Andai saja mereka tidak memusatkan perhatian ke arah
pertandingan, tentu sejak tadi keberadaan Linghu Chong sudah mereka ketahui
melalui tarikan atau hembusan napasnya.
Dalam hati Linghu Chong
merenung, “Para guru besar dunia persilatan berkumpul di sini. Guru dan
Ibu-Guru juga hadir, serta Mahabiksu Fangzheng, Pendeta Chongxu, dan Paman Guru
Mo, tiga orang sesepuh yang sangat kuhormati. Rasanya tidak sopan jika aku
bersembunyi di sini mendengarkan pembicaraan mereka dari tadi. Meskipun aku
tiba lebih awal dan mereka belakangan, tetap saja aku merasa tidak nyaman telah
menguping pembicaraan mereka. Kalau sampai ketahuan sungguh diriku akan malu
setengah mati.”
Maka ia pun berharap Ren
Woxing bisa memenangkan babak ini, sehingga mereka bertiga dapat pergi dengan
bebas. Dan kalau nanti Mahabiksu Fangzheng dan yang lain sudah pindah ke
ruangan lain, ia berniat lekas-lekas menyusul dan menemui Ren Yingying.
Terpikir akan berbicara dengan gadis itu, seketika dadanya terasa hangat. Ia
merenung, “Apakah untuk seterusnya aku dan Yingying benar-benar akan menjadi
suami-istri? Tidak perlu disangsikan lagi, ia memperlakukanku dengan penuh
perhatian. Tapi aku … tapi aku ….”
Memang selama ini jika ia
teringat kepada Ren Yingying, maka yang terpikir olehnya adalah perasaan ingin
membalas budi. Ia bertekad membebaskan gadis itu lolos dari Biara Shaolin,
adalah untuk menunjukkan kepada dunia persilatan bahwa dirinya yang telah jatuh
hati kepada si nona dan bukan sebaliknya. Dengan demikian orang-orang
persilatan tidak lagi mencemooh Ren Yingying bahwa cintanya bertepuk sebelah
tangan. Anehnya, setiap bayangan Ren Yingying yang cantik itu timbul dalam
benaknya, hatinya tidak merasakan kebahagiaan atau kemesraan. Hal ini sungguh
berbeda dibanding jika ia terkenang kepada Yue Lingshan yang sangat dicintainya
itu. Terhadap Ren Yingying yang ada adalah perasaan agak-agak takut di dalam
hati.
Ketika pertama kali bertemu
dengan Ren Yingying dulu, ia senantiasa menyangka gadis itu sebagai seorang
nenek tua. Maka yang timbul dalam hatinya adalah tujuh puluh persen perasaan
hormat dan tiga puluh persen perasaan terima kasih. Kemudian setelah mengetahui
sifat si nona yang ringan tangan, membunuh orang dengan gampang, membuat rasa
hormatnya itu telah bercampur pula dengan tiga bagian rasa muak dan tiga bagian
rasa takut. Rasa muak itu perlahan-lahan menjadi tawar setelah mengetahui ternyata
Ren Yingying telah jatuh hati kepadanya.
Mendengar si nona mengorbankan
diri dan terkurung di Biara Shaolin, seketika timbul rasa terima kasih Linghu
Chong yang tak terkira kepadanya. Namun rasa terima kasih yang dalam itu tidak
menimbulkan pikiran ingin untuk berhubungan lebih akrab. Yang ia harapkan hanya
bagaimana bisa membalas budi kebaikan si nona saja. Maka ketika mendengar Ren
Woxing menyebut dirinya sebagai calon menantu, entah mengapa perasaannya
menjadi serbasalah, sedikit pun tidak merasa senang. Padahal bicara soal
kecantikan, Ren Yingying sangat jauh melebihi Yue Lingshan. Namun semakin
melihat kecantikan gadis itu, semakin dirasa pula adanya jarak yang jauh di
antara mereka.
Hanya beberapa kali saja
Linghu Chong memandang Ren Yingying dan setelah itu tidak berani melihat lagi.
Ia kemudian menyaksikan kedua tangan Xiang Wentian mengepal, dengan kedua mata
melotot lebar ke arah pertandingan. Ternyata saat itu Zuo Lengchan sudah
terdesak sampai ke sudut ruangan, sementara Ren Woxing masih terus
menghujaninya dengan pukulan-pukulan dahsyat. Tampaknya Zuo Lengchan sudah
kewalahan, tangkisannya lemah, dan serangannya selalu gagal. Ketua Perguruan
Songshan itu lebih banyak bertahan daripada menyerang.
Tiba-tiba Ren Woxing membentak
dan kedua tangannya mendorong ke arah dada lawan. Lekas-lekas Zuo Lengchan
menyambut dengan kedua tangan pula. Maka, empat telapak tangan pun beradu. Zuo
Lengchan terdesak mundur dengan punggung menumbuk tembok. Debu pasir pun jatuh
bertebaran dari atap.
Linghu Chong merasa badannya
ikut terguncang. Papan nama besar yang digunakannya bersembunyi itu seakan-akan
ikut rontok ke bawah. Ia terkejut dan berpikir, “Paman Guru Zuo dalam masalah
besar. Kalau mereka mengadu tenaga dalam, Tuan Ren tentu menggunakan Jurus
Penyedot Bintang untuk menghisap tenaga Paman Guru Zuo. Dalam sekejap, tentu
Paman Guru Zuo akan kalah telak.”
Tapi lantas dilihatnya Zuo
Lengchan menarik tangan kanannya, sehingga tinggal tangan kiri saja yang
menahan kekuatan musuh. Menyusul kemudian dengan dua jari tangan kanan ia
menotok ke arah Ren Woxing. Mendadak Ren Woxing berseru kaget dan lekas-lekas
melompat mundur untuk menghindar. Segera Zuo Lengchan menotok lagi dengan jari
tangan kiri. Berturut-turut ia menotok tiga kali dan Ren Woxing pun terdesak
mundur tiga langkah.
Mahabiksu Fangzheng, Pendeta
Chongxu, dan yang lain merasa terkejut. Masing-masing berpikir, “Jurus Penyedot
Bintang milik Ren Woxing dapat menghisap tenaga dalam lawan tanpa ampun. Tapi
mengapa ketika keempat tangan itu beradu, Zuo Lengchan sama sekali tidak
celaka? Apakah ilmu tenaga dalam Perguruan Songshan sedemikian kebal terhadap
Jurus Penyedot Bintang?” Mereka merasa heran menyaksikan hal itu, sementara Ren
Woxing tentu jauh lebih heran lagi.
Belasan tahun silam, Ren
Woxing tidak perlu menggunakan Jurus Penyedot Bintang sudah mampu membuat Zuo
Lengchan terdesak. Tapi ketika Zuo Lengchan sudah hampir bisa dirobohkan,
tiba-tiba jantung Ren Woxing terasa sakit dan tenaga dalamnya sukar dikerahkan.
Ia terkejut dan menyadari bahwa hal itu merupakan akibat sampingan dari Jurus
Penyedot Bintang yang belum dikuasainya secara sempurna. Jika di waktu biasa
tentu ia bisa segera duduk bersamadi untuk memusnahkan rasa sakit tersebut.
Namun saat itu ia sedang menghadapi lawan tangguh, mana ada kesempatan untuk
mengobati penyakit? Dalam keadaan yang genting itu tiba-tiba muncul dua orang
adik seperguruan Zuo Lengchan, yaitu Ding Mian dan Fei Bin. Dengan cerdik Ren
Woxing pun berseru, “Hahaha, kita sudah sepakat bertarung satu lawan satu, tapi
secara licik kau menyembunyikan pembantu. Seorang laki-laki sejati tidak sudi
dicurangi, biarlah kita bertemu lagi lain waktu. Sekarang tuan besarmu ini
tidak sudi meladeni kalian. Selamat tinggal!”
Sebaliknya, Zuo Lengchan
sendiri juga sadar dirinya pasti kalah. Melihat pihak lawan tiba-tiba hendak
mengakhiri pertandingan, tentu hal ini sangat kebetulan baginya. Maka, ia tidak
berani mengejek dengan kata-kata yang bisa memancing amarah lawan, namun dalam
hati juga tidak mengizinkan Ding Mian dan Fei Bin ikut campur karena akan
menghancurkan nama besarnya. Berpikir demikian, ia pun menjawab, “Salahmu
sendiri, kenapa kau tidak membawa para begundalmu dari Sekte Iblis?”
Ren Woxing tertawa, lalu
memutar tubuh dan melangkah pergi. Begitulah, pertarungan di masa lalu itu
telah diakhiri tanpa kejelasan siapa yang kalah atau menang. Hanya saja, mereka
saling menyadari kelemahan ilmu silat masing-masing. Sejak itulah keduanya
sama-sama berlatih dengan lebih tekun supaya tidak mengalami kekalahan pada
pertemuan selanjutnya.
Lebih-lebih Ren Woxing
mengetahui akibat sampingan dari Jurus Penyedot Bintang yang dilatihnya itu.
Ilmu tersebut memang membuatnya bisa menghisap tenaga lawan, tapi tenaga yang
dihisap itu berbeda-beda asal-muasal golongannya, juga beraneka ragam tingkat
kekuatannya. Campuran bermacam-macam tenaga tersebut kalau tidak segera
diselaraskan tentu akan berakibat buruk. Rasa sakit bisa saja timbul pada
saat-saat yang tidak terduga dan berbalik menyerang diri sendiri. Ren Woxing
yang memiliki tenaga dalam tinggi tentu dengan mudah dapat mengatasi kekacauan
yang ditimbulkan oleh tenaga dalam hasil menghisap orang lain. Tapi sungguh
sangat berbahaya bila tenaga liar itu mendadak mengacau pada saat bertarung
menghadapi lawan tangguh seperti Zuo Lengchan tersebut. Menghadapi lawan
tangguh tentu membuat tenaga banyak terkuras sehingga sulit untuk menekan
serangan tenaga liar yang tiba-tiba muncul di dalam tubuh.
Siang dan malam Ren Woxing
sibuk mencari cara untuk mengatasi pengaruh buruk yang ditimbulkan Jurus
Penyedot Bintang tersebut. Pada saat sibuk memusatkan pikiran demi mengatasi
tenaga-tenaga liar yang bergolak di dalam tubuh itulah, seorang tokoh
mahacerdik semacam dirinya sampai lengah terhadap perangkap yang diatur oleh
Dongfang Bubai, orang kepercayaannya sendiri. Akibatnya, ia harus mendekam
selama belasan tahun di dasar Danau Barat. Tapi justru di tempat itulah ia
dapat memusatkan pikiran tanpa gangguan dari luar sehingga berhasil menemukan
cara untuk mengatasi tenaga-tenaga liar yang bergolak di dalam tubuh tersebut.
Kini, Jurus Penyedot Bintang tidak lagi menimbulkan penyakit “senjata makan
tuan” bagi dirinya.
Dalam pertarungan kali ini Ren
Woxing mengerahkan Jurus Penyedot Bintang ketika kedua telapak tangannya beradu
dengan tangan Zuo Lengchan. Tapi anehnya, tenaga dalam Zuo Lengchan ternyata
kosong melompong entah ke mana. Ren Woxing terkejut karena lawan menggunakan
ilmu yang sangat aneh seperti itu. Ia sama sekali tidak bisa menghisap tenaga
dalam Zuo Lengchan. Tadi ia juga tidak mampu menghisap tenaga Mahabiksu
Fangzheng karena Kepala Biara Shaolin itu secara tiba-tiba mampu menyembunyikan
tenaga yang ia miliki. Kejadian seperti itu ternyata terulang kembali di babak
kedua dan sama sekali tidak pernah terlintas dalam pikiran Ren Woxing.
Setelah tiga kali menggunakan
Jurus Penyedot Bintang dan tetap tak bisa menyedot tenaga lawan, tiba-tiba Ren
Woxing melihat Zuo Lengchan menusuknya dengan dua buah jari tangan kanan.
Melihat gerak tusukan lawan tersebut sangat ganas, Ren Woxing mundur tiga langkah
lalu mengubah jurusnya dan memukul dengan sembarangan. Kedua orang itu kembali
bertarung lebih dari tiga puluh jurus. Ketika tangan kiri Ren Woxing menebas,
Zuo Lengchan menyentilnya dengan jari tengah, lalu jari telunjuknya bergerak
menotok ke arah iga lawan.
Melihat itu Ren Woxing
berpikir, “Coba lihat, totokan jarimu ini mengandung tenaga atau tidak?” Maka,
ia hanya sedikit memiringkan tubuh, seolah menghindar, padahal sengaja memberi
peluang agar totokan lawan itu mengenai sasaran. Tujuan Ren Woxing adalah
memberi peluang agar kedua jari Zuo Lengchan itu menusuk dadanya, sehingga
Jurus Penyedot Bintang yang sudah dipersiapkan bisa langsung bekerja.
“Bila totokan jarimu ini tidak
bertenaga, paling-paling aku hanya merasa geli saja. Tapi sebaliknya, kalau
jarimu ini bertenaga, tentu tenagamu akan langsung kusedot habis dalam
sekaligus,” demikian Ren Woxing berpikir.
Pada saat itulah kedua jari
tangan kanan Zuo Lengchan sudah mencapai sasaran, tepat menusuk titik Tianchi
pada bagian dada Ren Woxing. Jurus Penyedot Bintang pun langsung bekerja pula.
Benar juga, dalam waktu singkat tenaga dalam Zuo Lengchan langsung bocor dan
membanjir keluar bagaikan tanggul yang bobol, tersedot oleh Ren Woxing melalui
titik tersebut. Anehnya, Zuo Lengchan ternyata tidak khawatir, sebaliknya malah
tersenyum gembira, bahkan semakin mengerahkan tenaganya supaya tersedot jurus
lawan.
Sebaliknya, badan Ren Woxing
tiba-tiba mengejang. Dari pusarnya muncul suatu arus hawa dingin yang menjalar
ke atas. Seketika kaki dan tangannya tidak bisa berkutik, seluruh urat nadi
terasa macet pula dan tidak dapat mengalirkan darah.
Perlahan-lahan Zuo Lengchan
menarik kembali tangannya dan bergeser mundur ke pinggir selangkah demi
selangkah sambil menatap Ren Woxing tanpa bicara sedikit pun. Ren Woxing
sendiri terlihat gemetar. Tangan dan kakinya kaku tidak bergerak. Keadaannya
mirip seperti orang yang sedang tertotok jalan darahnya.
“Ayah!” teriak Ren Yingying
sambil menubruk maju dan memegang badan Ren Woxing. Terasa lengan ayahnya itu dingin
luar biasa. Dengan cepat ia menoleh dan memanggil, “Paman Xiang!”
Xiang Wentian pun memburu maju
dan segera mengurut-urut beberapa kali bagian dada Ren Woxing. Setelah itu
barulah Ren Woxing bisa bersuara dan pernapasannya kembali lancar.
“Hm, bagus, bagus!” kata Ren
Woxing dengan muka pucat pasi. “Langkahmu ini sama sekali tak terpikir olehku.
Mari kita ulangi lagi!”
Zuo Lengchan tidak menjawab,
hanya menggeleng perlahan saja.
Yue Buqun menyahut, “Kalah dan
menang sudah jelas terlihat. Untuk apa harus diulangi lagi? Bukankah titik
Tianchi Tuan Ren sudah tertotok oleh Ketua Zuo?”
Ren Woxing mendengus dengan
gusar, “Huh, benar juga! Aku telah tertipu. Baiklah, babak ini anggap saja aku
yang kalah.”
Siasat yang digunakan Zuo
Lengchan tadi benar-benar sangat berbahaya, bahkan bagi dirinya sendiri. Ia
baru saja mengerahkan Tenaga Dalam Mahadingin yang dilatihnya selama belasan
tahun dan sengaja membiarkannya dihisap oleh Ren Woxing. Ilmu tenaga dalam yang
dilatih Zuo Lengchan ini serupa dengan Jurus Jari Langit Hitam milik Heibaizi
dari Wisma Meizhuang , namun jauh lebih kuat. Setelah hawa murni dingin
sebanyak itu merasuk ke dalam tubuh Ren Woxing melalui tusukan kedua jarinya,
dalam sekejap sekujur tubuh Ren Woxing pun kaku membeku. Pada detik selanjutnya
Zuo Lengchan lantas mengerahkan tenaga dalamnya lagi untuk menutup titik nadi
lawan. Pada umumnya pertarungan menggunakan totokan semacam ini hanya digunakan
oleh para pesilat kelas dua atau tiga. Namun tak disangka-sangka cara ini
justru digunakan Zuo Lengchan untuk meraih kemenangannya. Meskipun menggunakan
cara yang tidak jujur, namun hanya orang yang memiliki tenaga dalam mahatinggi
seperti dirinya yang mampu menyempurnakan siasat tersebut.
Xiang Wentian mengetahui kalau
tenaga dalam Zuo Lengchan sudah terkuras habis dan untuk memulihkan diri paling
tidak membutuhkan waktu sedikitnya dua sampai tiga bulan. Maka, ia pun berkata,
“Tadi Ketua Zuo menyatakan hendak melayani aku bila sudah mengalahkan Ketua
Ren. Sekarang mari kita mulai.”
Mahabiksu Fangzheng, Pendeta
Chongxu, dan yang lain mengetahui maksud ucapan Xiang Wentian tersebut. Setelah
membekukan aliran darah lawannya, Zuo Lengchan tampak begitu pucat, bahkan
tidak mampu bersuara sepatah kata pun. Apabila kedua orang itu benar-benar
bertarung, maka Zuo Lengchan tidak hanya akan mengalami kekalahan, namun
bisa-bisa terbunuh di tangan Xiang Wentian. Akan tetapi, Zuo Lengchan sendiri
tadi memang telah berkata demikian, sehingga ia bisa dikatakan pengecut bila
tidak menerima tantangan Xiang Wentian.
Tiba-tiba Yue Buqun menyela,
“Sejak awal kita sudah sepakat mengadakan pertandingan tiga babak. Siapa saja
jago yang akan maju tergantung kepada pilihan pihak masing-masing dan tidak
boleh pihak lawan ikut menentukan. Bukankah Ketua Ren sendiri sudah menyetujuinya?
Ketua Ren seorang kesatria sejati, mana mungkin mengingkari persetujuan ini?”
“Tuan Yue memang pintar
bicara, pandai bersilat lidah,” kata Xiang Wentian sambil tersenyum. “Tapi kau
sendiri masih terlalu jauh untuk bisa disebut sebagai ‘kesatria sejati’. Caramu
berdebat mirip seorang pengecut yang tidak memegang janji.”
“Kesatria sejati atau pengecut
tergantung kepada orangnya,” sahut Yue Buqun. “Cara penilaian kaum kesatria
tentunya berbeda dibanding pandangan kaum pengecut. Bagi kaum kesatria, semua
orang di dunia adalah baik. Bagi kaum pengecut, semua orang di dunia adalah
buruk.”
Zuo Lengchan terlihat sedang
menyeret kakinya kemudian bersandar pada salah satu tiang kayu. Keadaannya
begitu lemah. Untuk berdiri saja susah, apalagi harus bertempur kembali.
Pendeta Chongxu lantas maju
dua langkah dan berkata, “Sudah lama kudengar Tuan Xiang dijuluki sebagai Datuk
Maharaja Langit, yang kemahirannya telah mengguncangkan dunia persilatan. Aku,
si pendeta tua selaku Ketua Perguruan Wudang merasa malu dalam pertemuan ini
belum melakukan apa-apa. Rasanya sungguh beruntung jika sebelum mengasingkan
diri pada waktu yang tidak lama lagi aku bisa meminta petunjuk kepada Datuk
Maharaja Langit. Sungguh hal ini merupakan kehormatan terbesar bagiku.”
Sebagai seorang ketua
perguruan termasyhur, ucapannya itu sangat menghargai lawan, sehingga membuat
Xiang Wentian sukar untuk menolak tantangan halus tersebut. Maka, Xiang Wentian
pun menjawab, “Aku sangat menghormati permintaanmu. Sudah lama aku mengagumi Jurus
Pedang Taiji dari Perguruan Wudang. Aku terpaksa harus memperlihatkan kebodohan
diri sendiri demi melayani Pendeta Chongxu beberapa jurus.”
Xiang Wentian memberi hormat
kemudian mundur dua langkah. Pendeta Chongxu membalas penghormatan. Kedua orang
itu berdiri berhadapan dengan mata saling menatap tajam. Meskipun demikian,
keduanya tidak langsung melolos senjata.
Baik Xiang Wentian maupun
Pendeta Chongxu sama-sama memiliki nama besar di dunia persilatan. Namun
demikian, sulit sekali untuk menebak siapa di antara mereka yang lebih unggul.
Babak ketiga ini benar-benar merupakan babak penentuan, apakah Ren Woxing
bertiga akan dikurung di Biara Shaolin ataukah bisa turun gunung dengan
leluasa. Membayangkan hasil akhir pertandingan ini, jantung para hadirin berdebar-debar,
begitu pula mereka berdua yang sedang berhadapan.
Tiba-tiba Ren Woxing berseru,
“Tunggu dulu! Tolong kau mundur, Adik Xiang!” Usai berkata demikian ia lantas
mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.
Kontan semua orang terperanjat
melihat Ren Woxing menghunus senjata. Mereka sangsi apakah benar Ren Woxing
berani bertarung melawan Pendeta Chongxu, padahal ia baru saja bertanding dua
babak berturut-turut melawan dua orang ahli silat papan atas.
Tentu saja Zuo Lengchan
menjadi orang yang paling terkejut. Ia merenung, “Hasil latihanku selama
belasan tahun telah berhasil membekukan titik Tianchi di dadanya. Seorang
pesilat yang sepuluh kali lebih hebat darinya pun membutuhkan waktu enam sampai
tujuh jam untuk bisa pulih kembali dari totokanku. Bagaimana ia bisa begitu
yakin hendak bertarung lagi?”
Saat itu tak seorang pun yang
tahu bahwa Ren Woxing merasa perutnya sakit luar biasa seperti ditusuk-tusuk
puluhan pisau. Untuk bicara saja terlihat sangat dipaksakan, apalagi bertempur
kembali.
Pendeta Chongxu tersenyum dan
berkata, “Apakah Ketua Ren bermaksud memberi petunjuk kepadaku? Tapi kurasa ini
tidak adil dan sangat menguntungkan diriku jika Ketua Ren lagi yang maju lagi
pada babak ketiga ini.”
Ren Woxing menjawab, “Aku baru
saja mempertaruhkan jiwa dengan bertempur melawan dua tokoh silat papan atas.
Jika aku bertanding lagi melawan Pendeta Chongxu, itu artinya terlalu memandang
rendah kepada ilmu pedang Perguruan Wudang yang termasyhur selama ratusan
tahun. Meskipun aku menjadi orang gila juga takkan melakukan itu.”
Pendeta Chongxu mengangguk
gembira, “Terima kasih banyak, Ketua Ren.” Ketika melihat Ren Woxing mencabut
pedang tadi, ia merasa serbasalah. Ia mengira Ren Woxing akan menantangnya
bertarung di babak ketiga. Jika ia melayani tantangan itu dan mendapat
kemenangan, tentu kemenangannya sangat tidak terhormat. Namun jika ia sampai
kalah, tentu Perguruan Wudang akan kehilangan muka di dunia persilatan.
Ren Woxing melanjutkan,
“Pendeta Chongxu adalah tenaga baru di pihak kalian. Maka, di pihak kami juga
harus tampil seorang tenaga baru. Nah, adik cilik Linghu Chong, silakan turun
kemari!”
Kata-kata ini benar-benar
membuat semua orang terkejut. Serentak mereka ikut memandang ke arah papan nama
yang dituju tatapan mata Ren Woxing.
Linghu Chong terkejut dan
untuk sesaat merasa serbasalah. Karena tidak ada gunanya lagi bersembunyi,
terpaksa ia meloncat ke bawah dan langsung berlutut menyembah di hadapan
Mahabiksu Fangzheng. “Secara lancang aku telah menyusup ke dalam biara agung
ini. Mohon Kepala Biara sudi menjatuhkan hukuman,” demikian ia berkata.
“Hahahaha, ternyata Pendekar
Muda Linghu yang datang,” kata Fangzheng sambil tertawa terkekeh-kekeh. “Sejak
tadi aku mendengar pernapasan Pendekar Muda sangat halus dan teratur, pertanda
tenaga dalammu benar-benar melimpah. Aku sempat heran tokoh sakti mana lagi
yang sudi berkunjung ke sini. Silakan bangun, silakan bangun, aku tidak berani
menerima penghormatan setinggi ini.” Sambil berkata demikian ia membalas hormat
dengan merangkap kedua tangan.
Linghu Chong terdiam dan
berpikir, “Ternyata Mahabiksu Fangzheng sudah mengetahui kalau aku bersembunyi
di balik papan nama itu.”
Xie Feng, Ketua Partai
Pengemis tiba-tiba berseru, “Linghu Chong, coba kau lihat tulisan ini!”
Linghu Chong bangkit dan
memandang ke arah tiang yang ditunjuk olehnya. Ternyata pada tiang kayu
tersebut telah terukir tiga baris kalimat. Kalimat pertama berbunyi: “Di balik
papan nama ada orang”. Lalu kalimat kedua berbunyi: “Akan kuseret dia turun”.
Dan kalimat ketiga berbunyi: “Nanti dulu, hawa murni orang ini seperti dari
golongan lurus, juga seperti dari golongan sesat. Belum jelas dia kawan atau
lawan”.
Setiap huruf yang menyusun
tulisan-tulisan tersebut masih baru dan terukir dalam. Kalimat pertama dan
ketiga sepertinya hasil ukiran jari tangan Mahabiksu Fangzheng, sedangkan
kalimat kedua berasal dari jari tangan Xie Feng. Menyadari hal itu Linghu Chong
merenung kagum, “Mahabiksu Fangzheng mengetahui keberadaanku dan bisa menebak
asal-usul tenaga dalamku hanya dengan merasakan pernapasanku yang sangat halus.
Benar-benar seorang tokoh persilatan papan atas.”
Segera ia kembali berkata,
“Mohon para Sesepuh sekalian sudi memberi maaf. Karena kedatangan para Sesepuh
sekalian, aku merasa sangat ketakutan dan terpaksa bersembunyi di atas sana.
Maafkan aku yang tidak berani turun untuk memberi hormat.”
Xie Feng menanggapi dengan
tertawa, kemudian berkata, “Kenapa kau ketakutan seperti seorang pencuri?
Memangnya kau hendak mencuri apa di Biara Shaolin ini?”
“Aku mendengar Nona Ren
ditahan di sini. Maksud kedatanganku adalah hendak menjemputnya pulang,” jawab
Linghu Chong.
“Haha, ternyata kedatanganmu
ini hendak mencuri istri?” kata Xie Feng dengan tertawa. “Ini sebenarnya bukan
hal yang menakutkan, tapi sangat memalukan.”
Linghu Chong menjawab dengan
nada sungguh-sungguh, “Aku berhutang budi kepada Nona Ren. Sekalipun badanku
hancur lebur demi dia, aku rela.”
“Sungguh sayang, sungguh
sayang,” ujar Xie Feng sambil menghela napas. “Seorang pemuda baik-baik dan
punya masa depan gemilang ternyata menjadi korban seorang wanita. Andai saja
kau tidak terjerumus, maka jabatan Ketua Perguruan Huashan tidak mungkin bisa
lari dari tanganmu.”
Ren Woxing menyela, “Hanya
jabatan Ketua Perguruan Huashan, apa yang harus dibanggakan? Kelak kalau aku
yang tua ini sudah mati, jabatan Ketua Sekte Matahari dan Bulan juga akan jatuh
ke tangan menantu kesayanganku ini.”
Linghu Chong terkejut dan
berkata dengan suara gemetar, “Oh, tidak … tidak ….”
“Sudahlah, tidak perlu banyak
bicara lagi,” kata Ren Woxing dengan tertawa. “Nah, Chong’er, kenapa kau tidak
segera meminta petunjuk kepada Ketua Perguruan Wudang itu? Pendeta Chongxu
memiliki jurus pedang berupa perpaduan tenaga lembut dan kasar. Permainan
pedangnya adalah menciptakan lingkaran-lingkaran sinar pedang yang mematikan,
sungguh jarang ada tandingannya di dunia persilatan. Hendaknya kau
berhati-hati.”
Ia memanggil Linghu Chong
dengan sebutan “Chong’er”, seolah sudah menganggap pemuda itu sebagai anggota
keluarga sendiri. Tentu saja Linghu Chong semakin merasa serbasulit.
Saat itu masing-masing pihak
sudah menang satu babak, sehingga babak ketiga adalah babak yang sangat
menentukan. Dulu Linghu Chong pernah bertanding pedang melawan Pendeta Chongxu
dan dapat mengalahkannya. Maka, demi untuk menolong Ren Yingying mau tidak mau
ia harus bertarung lagi menghadapi pendeta itu.
Segera ia memutar tubuh ke
arah Pendeta Chongxu dan bersujud beberapa kali kepadanya. Chongxu terkejut dan
buru-buru membangunkannya, sambil berkata, “Kenapa Pendekar Muda memakai adat
setinggi ini? Aku tidak berani menerima penghormatan darimu.”
Linghu Chong menjawab,
“Pendeta adalah kesatria agung yang memiliki perhatian besar kepadaku. Aku
sangat menghormati Pendeta dan sekarang terpaksa harus meminta pelajaran dari
Pendeta. Sungguh hatiku merasa sangat tidak enak.”
“Ah, kau ini terlalu banyak
adat,” ujar Chongxu sambil tertawa.
Begitu Linghu Chong bangkit,
Ren Woxing langsung menyodorkan pedang kepadanya. Ia menerima pedang itu lantas
berdiri di sudut kiri dengan ujung pedang mengarah ke bawah. Pendeta Chongxu
memandangnya sekejap, lalu berpaling dan memandang jauh ke angkasa. Ia
termenung-menung sambil memikirkan pertarungan tempo hari.
Para hadirin terheran-heran
melihatnya terdiam tak bergerak sama sekali seperti sedang bersamadi. Agak lama
kemudian, tiba-tiba pendeta itu menghela napas panjang dan berkata, “Kita tidak
perlu bertanding lagi. Kalian berempat boleh pergi.”
Kontan semua orang terperanjat
mendengar ucapannya itu. Linghu Chong merasa sangat senang dan segera berlutut
hendak memberi hormat, namun Chongxu buru-buru menjulurkan tangan untuk
mencegahnya.
Xie Feng bertanya, “Apa maksud
ucapanmu ini, Pendeta?”
Chongxu menjawab, “Aku tidak
bisa menemukan cara untuk mematahkan ilmu pedangnya. Maka dalam babak ini aku
mengaku kalah saja.”
“Tapi kalian belum bertanding,
bukan?” tanya Xie Feng terheran-heran.
“Beberapa hari yang lalu di
kaki Gunung Wudang aku pernah bertarung melawannya sampai lebih dari tiga ratus
jurus, dan saat itu aku kalah,” jawab Chongxu. “Jika kami bertanding lagi hari
ini, rasanya tetap saja aku tidak bisa menang.”
Fangzheng dan yang lain
menegas, “Benarkah demikian?”
“Adik Linghu ini pernah
mendapat pendidikan ilmu pedang dari Tuan Feng Qingyang. Aku sama sekali bukan
tandingannya,” sahut Chongxu sambil tersenyum dan melangkah mundur.
Ren Woxing tertawa dan
berkata, “Jiwa kesatria Pendeta Chongxu sungguh membuatku sangat kagum. Tadinya
aku hanya kagum setengah saja. Tapi sekarang, aku kagum tiga perempat
kepadamu.” Ia kemudian memberi hormat kepada Mahabiksu Fangzheng dan
menyambung, “Kepala Biara, sampai berjumpa di lain waktu.”
Linghu Chong berjalan ke arah
Yue Buqun dan Ning Zhongze, lalu berlutut menyembah pasangan tersebut.
Yue Buqun bergeser ke samping
lalu berkata dengan nada dingin, “Aku tidak berani menerima.” Sementara Ning
Zhongze merasa pilu, air matanya tampak berlinang-linang di pipi.
Linghu Chong kemudian memberi
hormat kepada Tuan Besar Mo. Ia paham kalau Ketua Perguruan Hengshan tersebut
tidak ingin perjumpaan mereka tempo hari sampai diketahui orang lain, maka ia
pun hanya berlutut menyembah tiga kali tanpa berkata apa-apa. Tuan Besar Mo
membalas penghormatannya tanpa bersuara pula sambil menyilangkan kedua tangan
di depan dada.
“Mari kita pergi!” kata Ren
Woxing sambil melangkah lebar dengan kedua tangan masing-masing menggandeng Ren
Yingying dan Linghu Chong.
Xie Feng, Pendeta Tianmen, Yu
Canghai, dan Zhenzan Zi menyadari kepandaian mereka tidak lebih tinggi daripada
Pendeta Chongxu. Kalau Chongxu saja mengaku bukan tandingan Linghu Chong, sudah
tentu mereka pun tidak berani mempermalukan diri sendiri walaupun dalam hati
merasa tidak percaya.
Saat Ren Woxing sudah hampir
saja melangkah keluar ruangan, tiba-tiba Yue Buqun membentak, “Tunggu dulu!”
“Ada apa?” sahut Ren Woxing
sambil menoleh.
“Pendeta Chongxu tidak sudi
berurusan dengan manusia rendah macam kalian, maka babak ketiga dianggap belum
pernah terjadi,” kata Yue Buqun. “Linghu Chong, majulah! Biar aku yang melayani
dirimu!”
Linghu Chong terkejut luar
biasa sampai badannya gemetar. Dengan tergagap-gagap ia menjawab, “Guru, aku …
aku ….”
Yue Buqun berkata dengan suara
datar, “Kabarnya kau telah mendapatkan pengajaran dari Paman Guru Feng. Ilmu
pedangmu sudah mencapai intisari ilmu Perguruan Huashan yang tiada taranya.
Sepertinya aku memang bukan lagi tandinganmu. Meskipun kau sudah dikeluarkan,
tapi sepak terjangmu di dunia persilatan masih tetap menggunakan ilmu pedang
Perguruan Huashan. Aku memang tidak becus mengajar murid sehingga para sesepuh
dari aliran lurus ikut pusing menghadapi murid murtad seperti kau ini. Kalau
sekarang aku tidak turun tangan, siapa lagi yang harus memikul tanggung jawab
ini? Pendek kata, bila hari ini aku tidak membunuhmu, maka kau saja yang
membunuhku.”
Ucapan Yue Buqun itu makin
lama makin bengis, akhirnya ia melolos pedang dan membentak, “Antara aku dan
kau sudah tidak ada lagi hubungan guru dan murid. Lekas keluarkan pedangmu!”
“Saya tidak berani!” sahut
Linghu Chong sambil mundur selangkah.
Yue Buqun mendahului menusuk
lurus ke depan, menggunakan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Dengan cepat
Linghu Chong mengelak ke samping. Namun ia masih belum juga melolos pedang.
Berturut-turut Yue Buqun menusuk lagi dua kali dan tetap saja Linghu Chong
menghindar tanpa melawan.
Yue Buqun berkata, “Kau sudah
mengalah tiga jurus. Anggap saja itu sebagai rasa hormatmu kepadaku. Sekarang
cepat kau lolos pedangmu!”
Ren Woxing berseru pula,
“Chong’er, jika kau tidak balas menyerang, apakah nyawamu sengaja kau biarkan
melayang di sini?”
“Baik,” sahut Linghu Chong
sambil melolos pedangnya dan melintangkannya di depan dada.
Meskipun senjata sudah di
tangan, namun pikiran Linghu Chong masih melayang-layang. Ia merasa bingung
dalam pertandingan ini apakah harus mengalah atau mengusahakan kemenangan? Ilmu
pedangnya memang lebih hebat daripada Yue Buqun. Tapi jika ia sampai mengalah,
maka Ren Woxing, Xiang Wentian, dan Ren Yingying harus terkurung selama sepuluh
tahun di Gunung Shaoshi. Mahabiksu Fangzheng memang berhati mulia, tapi bagaimana
dengan Zuo Lengchan dan para biksu lainnya? Sepuluh tahun adalah rentang waktu
yang tidak sebentar, dan setiap saat nyawa mereka bisa saja melayang karena
dicelakai orang. Sebaliknya, jika ia harus mengalahkan Yue Buqun, itu sama
artinya dengan mempermalukan Sang Guru di depan umum. Padahal, Yue Buqun dan
istri sudah merawatnya sejak kecil bagaikan orang tua kandung sendiri. Mana
mungkin ia membiarkan gurunya kehilangan muka di hadapan para sesepuh dunia
persilatan?
Saat hatinya dilanda
kebingungan, Yue Buqun telah melancarkan serangan dengan gencar, sebanyak lebih
dari dua puluh jurus. Linghu Chong hanya menangkis dengan menggunakan
jurus-jurus pedang Huashan. Sama sekali ia tidak berani mengerahkan Ilmu
Sembilan Pedang Dugu, karena setiap gerakan dalam ilmu tersebut selalu
mengincar titik mematikan pada tubuh lawan.
Sejak menguasai ilmu sakti
tersebut, kehebatan Linghu Chong dapat dikatakan maju pesat. Ditambah lagi
dengan tenaga dalam yang melimpah ruah, sehingga meskipun memainkan jurus-jurus
pedang Perguruan Huashan, namun kekuatannya sangat jauh berbeda dibanding dulu.
Meskipun berulang-ulang Yue Buqun melancarkan serangan, namun tetap tidak bisa
menyentuh kulit Linghu Chong.
Para hadirin yang menyaksikan
pertandingan ini adalah para jago papan atas di dunia persilatan, sehingga
mereka dapat melihat bahwa Linghu Chong sengaja mengalah dan tidak menghadapi
Yue Buqun dengan sepenuh hati. Ren Woxing dan Xiang Wentian berkali-kali saling
pandang dengan sorot mata penuh rasa khawatir. Mereka sama-sama teringat pada
kejadian di Wisma Meizhuang tempo hari. Saat itu Ren Woxing berusaha mengajak
Linghu Chong bergabung dengan Sekte Matahari dan Bulan dan menawarkan kedudukan
Pelindung Kanan kepadanya. Kedudukan tersebut juga sekaligus sebagai ahli waris
ketua sekte di kemudian hari. Selain itu ia juga berjanji untuk mengajarikan
ilmu pemusnah pengaruh buruk Jurus Penyedot Bintang. Namun semua tawaran
tersebut tidak menggoyahkan pendirian Linghu Chong. Ini menunjukkan betapa
pemuda itu sangat setia kepada Perguruan Huashan.
Kali ini terlihat jelas betapa
Linghu Chong sangat menghormati Yue Buqun. Bahkan, dalam pertandingan ini andai
saja jantungnya tertusuk oleh pedang Sang Guru juga akan diterimanya dengan
senang hati. Sejak tadi yang ia mainkan hanyalah jurus bertahan, mana mungkin
ada harapan menang? Ren Woxing dan Xiang Wentian tidak berdaya menyaksikan
keadaan ini. Sifat dasar Linghu Chong sudah pasti tidak mau mengalahkan Sang
Guru, lebih-lebih mempermalukannya di hadapan para pemuka dunia persilatan. Andai
saja bukan karena Ren Yingying yang akan kembali terkurung di Gunung Shaoshi,
mungkin sejak tadi ia sudah membuang pedang dan mengaku kalah. Ren Woxing dan
Xiang Wentian tampak mondar-mandir dengan perasaan bingung. Sorot mata mereka
seolah saling bertanya, “Apa yang harus kita lakukan?”
Tiba-tiba Ren Woxing berpaling
kepada Ren Yingying dan berbisik, “Berdirilah di depan sana!”
Ren Yingying mengerti maksud
sang ayah memberi perintah agar berdiri di depan sana supaya Linghu Chong dapat
melihatnya, sehingga teringat kembali pada pengorbanan dan kebaikannya. Dengan
demikian Linghu Chong tentu akan bertempur dengan sungguh-sungguh demi mencapai
kemenangan.
Ren Yingying pun mengangguk
perlahan, tapi kakinya tetap diam tidak melangkah.
Sebentar kemudian Ren Woxing
melihat Linghu Chong masih terdesak mundur tanpa mau membalas sedikit pun.
Dengan perasaan semakin gelisah ia kembali berbisik kepada putrinya, “Lekas kau
ke depan sana!”
Akan tetapi Ren Yingying tidak
juga melangkah, bahkan menjawab pun tidak. Gadis itu tampak merenung seolah
berkata kepada Linghu Chong, “Bagaimana perasaanku kepadamu tentunya kau sudah
tahu. Bila hatimu berat kepadaku dan bertekad menyelamatkan diriku, tentu kau
akan mengalahkan gurumu. Tapi sebaliknya, jika kau lebih berat kepada gurumu,
sekalipun aku menarik-narik lengan bajumu dan memohon-mohon belas kasihanmu
juga tidak ada gunanya. Jadi, buat apa aku harus berdiri di depanmu untuk
mengingatkan dirimu tentang perbuatanku dulu?”
Ren Yingying seorang gadis
yang penuh harga diri. Ia merasa jika dua orang saling mencintai, maka biarlah
itu terjadi secara alami. Jika ia harus memberi isyarat supaya Linghu Chong
menaruh perhatian lebih dulu, baginya itu sudah keterlaluan. Ia merasa tidak
berharga sama sekali bila harus meminta-minta dan mengingatkan Linghu Chong
akan kebaikannya demi untuk memperoleh keselamatan.
Sementara itu, Linghu Chong
masih saja menangkis setiap serangan gurunya tanpa melawan sedikit pun. Kalau
saja ia mau membalas mungkin sejak tadi Yue Buqun sudah jatuh tersungkur.
Sebenarnya ia banyak menemukan celah kelemahan di dalam setiap jurus serangan
Sang Guru namun sama sekali tidak mau menyerang titik-titik tersebut.
Sebaliknya, Yue Buqun sendiri tahu kalau Linghu Chong sengaja tidak mau
membalas dirinya. Maka, ia merasa tidak perlu memikirkan cara untuk menjaga
diri, dan terus saja melancarkan serangan-serangan maut. Jurus-jurusnya
disertai ilmu Awan Lembayung membuat kekuatan serangannya menjadi berlipat
ganda.
Meskipun demikian
serangan-serangan Yue Buqun itu tetap tidak bisa mengenai sasaran, padahal
Linghu Chong hanya menangkis dengan sekenanya saja. Setiap serangan yang datang
selalu ia patahkan dengan mudah. Kadang ia menggunakan jurus pedang Perguruan
Huashan, kadang menggunakan tangkisan tanpa jurus. Meskipun gerakannya
sembarangan namun tetap dilakukan secara terampil dan halus, membuat kagum para
hadirin yang melihatnya. Dalam hati mereka berkata, “Pantas saja Pendeta
Chongxu mengaku ilmu pedangnya berada di bawah pemuda ini. Ternyata ucapannya
bukanlah omong kosong belaka.”
Lama-lama Yue Buqun merasa
serbasalah. Dalam hati ia berkata, “Huh, bila pertempuran yang bertele-tele ini
diteruskan, maka yang mendapat pujian justru si bangsat cilik ini. Walaupun ia
tidak menyerangku, tapi ia juga tidak membiarkan aku menang. Para hadirin
merupakan tokoh papan atas dunia persilatan, tentu mengetahui kalau bangsat
cilik ini sengaja mengalah kepadaku. Sebaliknya, aku masih bersikeras
menyerangnya, guru macam apa aku ini? Ke mana lagi aku harus menyembunyikan
wajahku sebagai ketua perguruan? Jelas bangsat cilik ini sengaja hendak membuat
diriku kelelahan dan akhirnya menyerah kalah dengan sendirinya.” Berpikir
sampai di sini Yue Buqun menjadi nekat. Ia mengumpulkan segenap tenaga, lalu
mengerahkan ilmu Awan Lembayung melalui pedangnya. Dengan sepenuh hati ia
lantas menebas kepala Linghu Chong.
Linghu Chong mengelak ke
samping sehingga tebasan Yue Buqun meleset. Namun Yue Buqun segera memutar
balik pedangnya dan menebas ke arah pinggang. Sekali loncat Linghu Chong dapat
melangkahi pedang Sang Guru yang menyambar itu. Mendadak Yue Buqun memutar lagi
pedangnya, dan secepat kilat ia menusuk ke arah punggung Linghu Chong.
Perubahan serangan yang cepat luar biasa ini tampaknya sukar dielakkan oleh
pemuda itu, apalagi tubuhnya masih terapung di udara.
“Aih!” seru para hadirin
khawatir.
Untuk menghindari atau
menangkis serangan Yue Buqun tersebut rasanya sudah tidak sempat lagi. Namun
tiba-tiba Linghu Chong menjulurkan pedangnya ke depan sehingga ujungnya
menancap pada sebuah batang tiang kayu. Dengan tenaga loncatan tadi ia melayang
ke balik tiang tersebut. Detik selanjutnya, tusukan Yue Buqun mengenai tiang
kayu tersebut sampai tembus. Ujung pedangnya cuma selisih beberapa senti saja
dengan badan Linghu Chong.
“Oh!” teriak semua orang
bersyukur dan kagum melihat kepandaian Linghu Chong meloloskan diri dari maut.
Mereka juga kagum pemuda itu mampu menghindari serangan mematikan yang
dilancarkan Yue Buqun tadi.
Sebaliknya, Yue Buqun merasa
kesal karena tidak mampu melukai Linghu Chong. Padahal tiga serangan tersebut
adalah kepandaian yang telah dilatihnya seumur hidup. Lebih-lebih mendengar
para hadirin bersorak karena Linghu Chong lolos dari maut, membuat hatinya
semakin bertambah gusar.
Jurus tersebut bernama Tiga
Jurus Pedang Dewa Pencabut Nyawa yang merupakan ciptaan Kelompok Pedang cabang
Perguruan Huashan. Dahulu, ketika kedua kelompok saling menghancurkan,
murid-murid dari Kelompok Pedang banyak menggunakan jurus ini untuk menumpas
murid-murid Kelompok Tenaga Dalam. Ketika pada akhirnya murid-murid Kelompok
Tenaga Dalam berhasil mengalahkan pihak Kelompok Pedang dan menguasai
perguruan, mereka pun mempelajari kehebatan Tiga Jurus Pedang Dewa Pencabut
Nyawa tersebut. Setelah mengetahui rahasia kehebatan jurus ini, mereka merasa
sangat takut di dalam hati. Selama mempelajari jurus tersebut, mereka semakin
terkesima. Mereka akhirnya lupa kepada prinsip utama ilmu silat kelompok
mereka, yaitu “tenaga dalam mendorong pedang”. Mulut mereka memuji keindahan
jurus pedang tersebut, sementara dalam hati memuji kekuatannya.
Melihat pertandingan antara
Yue Buqun dan Linghu Chong, diam-diam yang paling merasa sedih adalah Ning
Zhongze. Ketika melihat sang suami mengerahkan Tiga Jurus Pedang Dewa Pencabut
Nyawa, ia merenung, “Dahulu, kedua kelompok berusaha saling menghancurkan
karena perselisihan mana yang lebih penting, apakah tenaga dalam, ataukah jurus
pedang? Kakak berasal dari Kelompok Tenaga Dalam, tapi mengapa sekarang
menggunakan ilmu silat Kelompok Pedang? Kalau hal ini sampai diketahui orang
luar tentu kita akan menjadi bahan ejekan. Aih, Kakak menggunakan tiga jurus
itu tentu juga karena terpaksa. Padahal sudah jelas ia bukan tandingan
Chong’er, kenapa masih juga nekat?” Ia berniat melerai kedua orang yang sedang
bertanding itu, namun urusan sudah terlanjur melebar, bukan melulu menyangkut
kepentingan Perguruan Huashan saja. Tangannya menggenggam erat gagang pedang,
sedangkan hatinya merasa sangat sedih.
Sementara itu, Yue Buqun telah
mencabut kembali pedangnya dari tiang, sedangkan Linghu Chong tetap berdiri di
tempat semula dan tidak berputar keluar. Yue Buqun berharap pemuda itu tetap
bersembunyi di balik tiang dan tidak melawannya lagi sebagai tanda takut,
dengan demikian kehormatannya dapat ditegakkan kembali.
Kedua orang itu kemudian
saling berhadapan. Dengan kepala menunduk, Linghu Chong berkata, “Guru, aku
bukan tandinganmu. Kita tak perlu meneruskan pertandingan ini.”
Yue Buqun hanya mendengus,
tidak menjawab sedikit pun.
Ren Woxing lantas ikut bicara,
“Pertarungan mereka berdua sukar ditentukan siapa yang menang dan siapa yang
kalah. Kepala Biara, bagaimana kalau pertandingan tiga babak ini kita anggap
seri saja? Aku bersedia meminta maaf kepadamu, lalu angkat kaki dari sini.”
Mendengar ini, dalam hati Ning
Zhongze merasa sangat lega. Ia merenung, “Padahal sudah jelas Chong’er
memenangkan babak ini, tapi Ketua Ren sengaja memberi muka kepada kami. Cara
menyudahi pertarungan ini benar-benar paling baik.”
“Amitabha!” kata Biksu
Fangzheng. “Ketua Ren mengutamakan setia kawan, usulannya sangat bijaksana.
Sudah tentu aku sependa….”
Belum selesai kata-kata itu
diucapkan, tiba-tiba Zuo Lengchan menyela, “Lalu keempat orang ini apa harus
kita biarkan pergi begitu saja dan membantai banyak orang lagi? Apakah kita
biarkan tangan-tangan mereka berlumuran darah ribuan orang yang tidak berdosa?
Lalu, untuk selanjutnya apakah Saudara Yue masih bisa disebut Ketua Perguruan
Huashan?”
“Mengenai ini ….” kata
Fangzheng ragu-ragu. Tiba-tiba Yue Buqun sudah memutar ke belakang tiang dan
mulai menyerang lagi. Dengan gesit Linghu Chong mengelak. Maka dalam beberapa
jurus mereka sudah kembali bertarung di tengah kalangan. Yue Buqun kembali
melancarkan serangan-serangan ganas, tapi selalu dapat dihindari atau ditangkis
oleh Linghu Chong dengan mudah. Pertarungan bertele-tele pun berlangsung
kembali.
Tiba-tiba Ren Woxing tertawa,
“Hahaha, untuk mengetahui siapa yang menang dan kalah dalam pertandingan ini,
maka kita harus menunggu selama tujuh atau delapan hari. Kita lihat saja siapa
yang mati kelaparan lebih dulu.”
Para hadirin merasa ucapan
tersebut terlalu berlebihan. Namun mereka juga tidak membantah, karena jika
keduanya terus bertarung seperti ini, maka akan sulit mendapatkan hasilnya
selama beberapa jam ke depan.
Ren Woxing kemudian berpikir,
“Si tua Yue ini benar-benar tebal muka. Sudah jelas-jelas ilmu silatnya di
bawah Chong’er, tapi masih tetap nekat saja. Sebaliknya, Chong’er sama sekali
tidak mau membalas. Meskipun ia lebih unggul, tapi kalau lengah sedikit saja
tentu akan sangat berbahaya. Hm, aku harus mengacaukan perhatian si tua itu.”
Maka, ia pun mencoba
mengolok-olok Yue Buqun, “Adik Xiang, kedatangan kita ke Biara Shaolin ini
benar-benar menambah banyak pengalaman.”
“Benar,” jawab Xiang Wentian.
“Di sini berkumpul tokoh-tokoh persilatan dari papan atas ….”
“Satu di antaranya benar-benar
tokoh mahasakti,” sambung Ren Woxing.
“Siapakah dia itu?” tanya
Xiang Wentian.
“Orang ini telah berhasil
menguasai sejenis ilmu sakti yang luar biasa,” kata Ren Woxing.
“Ilmu sakti macam apakah itu?”
sambung Xiang Wentian.
“Ilmu sakti orang ini disebut
Jurus Topeng Emas dan Muka Besi,” jawab Ren Woxing.
“Wah, sungguh hebat!” ujar
Xiang Wentian. “Selama ini saya hanya mendengar adanya ilmu sakti Jurus Genta
Emas dan Jubah Besi, tapi tidak pernah tahu tentang Jurus Topeng Emas dan Muka
Besi segala. Entah ilmu sakti demikian berasal dari aliran mana?”
“Jurus Genta Emas dan Jubah
Besi adalah ilmu kebal yang membuat sekujur tubuh tidak mempan senjata. Tapi
Jurus Topeng Emas dan Muka Besi ini hanya khusus membuat kulit muka saja yang
menjadi setebal badak,” kata Ren Woxing. “Tentang asal usul ilmu sakti ini
sungguh luar biasa, tidak lain ciptaan Tuan Yue Buqun, Ketua Perguruan Huashan
yang termasyhur di dunia persilatan dengan julukan Si Pedang Budiman pada masa
ini.”
“Ilmu pedang Tuan Yue sangat
hebat, tenaga dalamnya juga sangat tinggi. Nama besarnya bukan julukan kosong.
Lantas, Jurus Topeng Emas dan Muka Besi ini apa lagi kegunaannya?” ujar Xiang
Wentian.
“Ilmu ini sudah pasti sangat besar
kegunaannya. Sayangnya, kita bukan murid Perguruan Huashan sehingga sulit
menemukan rahasia ilmu ini,” jawab Ren Woxing.
“Wah, jika demikian, sejak
kini Tuan Yue pasti akan lebih terkenal dan lebih termasyhur di seluruh jagat.
Namanya akan selalu berkumandang abadi sepanjang masa,” kata Xiang Wentian.
“Itu sudah pasti,” sambung Ren
Woxing. “Kita harus berhati-hati terhadap ilmu sakti ini.”
“Saya akan menyimpan petuah
Ketua di lubuk hati yang paling dalam,” ujar Xiang Wentian sambil membungkuk.
Begitulah, seperti pelawak
saja mereka bertanya-jawab untuk mengolok-olok Yue Buqun. Mendengar itu Yu
Canghai ikut tertawa terpingkal-pingkal karena antara dirinya dan Yue Buqun
sama-sama saling tidak menyukai. Sebaliknya, muka Ning Zhongze terlihat merah padam
menahan gusar.
Yue Buqun sendiri berlagak
tidak tahu dan tidak mendengar olok-olok tersebut. Ia masih saja sibuk
melancarkan serangan terhadap Linghu Chong. Tiba-tiba ia menusuk keras. Ketika
Linghu Chong mengelak ke kiri, mendadak Yue Buqun menoleh sambil memutar balik
ujung pedangnya dan kembali menusuk pula. Ini merupakan jurus pedang Perguruan
Huashan yang terkenal dengan nama Kembalinya Si Anak Hilang. Sewaktu Linghu
Chong menangkis, dengan cepat Yue Buqun memutar pedangnya lagi dan menebas dari
atas ke bawah. Ini merupakan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu. Linghu Chong
kembali menangkis jurus ini.
Tiba-tiba Yue Buqun menyerang
dengan dua tusukan yang membuat Linghu Chong terkesiap dan terpaksa mundur dua
langkah dengan wajah bersemu merah. Ia hanya berseru, “Guru!”
Yue Buqun mendengus dan
menusuk lagi. Kembali Linghu Chong mundur satu langkah. Melihat itu para
hadirin menjadi heran. Mereka berpikir, “Jurus-jurus ini biasa saja, tapi
kenapa dia merasa takut dan tidak mampu menangkis?” Mereka tidak tahu bahwa
ketiga jurus serangan Yue Buqun yang terakhir ini adalah bagian dari Jurus
Pedang Chong Ling, yakni ilmu pedang ciptaan Linghu Chong dan Yue Lingshan
sewaktu berlatih bersama dulu.
Seketika Linghu Chong pun
teringat kenangan masa lalu, saat hubungannya dengan Yue Lingshan masih hangat
dan akrab. Dalam pikiran mereka yang masih kekanak-kanakan, mereka menciptakan
ilmu pedang yang hanya mereka berdua saja yang mampu memainkannya. Maka
terciptalah Jurus Pedang Chong Ling tersebut.
Linghu Chong sama sekali tidak
menduga kalau Yue Buqun ternyata mampu memainkan tiga jurus pedang ciptaannya
itu. Kontan ia merasa serbasalah, malu, dan sedih pula. Dalam hati ia berkata,
“Hubunganku dengan Adik Kecil sudah kandas. Sekarang Guru sengaja memainkan
tiga jurus ilmu pedang ini agar aku tersinggung dan berduka sehingga pikiranku
menjadi kacau. Ya, kalau mau bunuh aku silakan bunuh saja!” Saat itu Linghu
Chong merasa daripada hidup merana di dunia lebih baik mati saja, habis
perkara.
Menyusul kemudian Yue Buqun
menusuk lagi dengan suatu jurus Perguruan Huashan yang disebut Nong Yu Meniup
Seruling. Jurus tersebut sangat dihafal oleh Linghu Chong sehingga tanpa sadar
ia menangkis begitu saja. Disusul kemudian Yue Buqun mengerahkan jurus Xiao Shi
Menunggang Naga. Kedua jurus tersebut saling berkaitan membentuk suatu gerakan
indah dan gemulai. Terutama saat memainkan jurus kedua, pedang Yue Buqun
bergerak bagaikan naga yang meliuk-liuk di angkasa, bebas merdeka, anggun
berwibawa bagaikan dewa.
Kedua jurus pedang Perguruan
Huashan itu tercipta berdasarkan sebuah dongeng kuno tentang seorang bernama
Qin Mukong, yang memiliki putri bernama Nong Yu. Putrinya itu sangat gemar
meniup seruling. Pada suatu hari datang seorang perjaka yang juga pandai meniup
seruling bernama Xiao Shi, yang menunggang seekor naga. Perjaka itu lalu
mengajarkan seni musik kepada si gadis. Qin Mukong berkenan mengambil Xiao Shi
sebagai menantu untuk dinikahkan dengan Nong Yu. Konon, pasangan suami-istri
tersebut kemudian menjadi dewa dan bersemayam di puncak tengah Gunung Huashan.
Di Puncak Gadis Kumala di
Gunung Huashan terdapat Paviliun Memanggil Burung Feng, Kuil Gadis Kumala, Gua
Gadis Kumala, Baskom Mencuci Rambut Gadis Kumala, semuanya diberi nama
berdasarkan kisah Nong Yu dan Xiao Shi ini. Di tempat itu entah sudah berapa
kali Linghu Chong dan Yue Lingshan bermain bersama. Kisah cinta Nong Yu dan
Xiao Shi entah sudah berapa kali bergema di lubuk hati mereka.
Kini jurus Xiao Shi Menunggang
Naga digunakan Yue Buqun untuk menyerang Linghu Chong. Perasaan Linghu Chong
menjadi bingung sementara tangannya menangkis sebisa-bisanya. “Kenapa Guru
menggunakan jurus ini? Apakah ia sengaja hendak membuat pikiranku kacau,
kemudian membunuhku?”
Dilihatnya Yue Buqun kembali
memainkan jurus Kembalinya Si Anak Hilang, kemudian Cemara Tua Menyambut Tamu,
kemudian tiga jurus Pedang Chong Ling, lalu jurus Nong Yu Meniup Seruling, dan
Xiao Shi Menunggang Naga. Biasanya, jika seorang jago silat bertarung tidak
mungkin ia menggunakan rangkaian jurus yang sama lebih dari sekali. Hal itu
tentu akan memudahkan musuh untuk mematahkan serangannya. Akan tetapi, Yue
Buqun benar-benar aneh. Ia sengaja mengulangi rangkaian jurusnya sehingga
membuat para penonton terheran-heran.
Tiba-tiba seberkas pikiran
terlintas dalam benak Linghu Chong, “Ternyata Guru menggunakan jurus-jurus ini
untuk mengingatkan diriku. Aku dimintanya untuk meninggalkan kaum iblis dan
kembali ke jalan yang benar. Hm, jadi jurus Kembalinya Si Anak Hilang merupakan
isyarat bahwa aku akan diterima kembali di Perguruan Huashan.”
Di Gunung Huashan terdapat
banyak pohon cemara tua yang penuh dengan daun-daun menggantung pada
rantingnya. Pohon-pohon tersebut berdaun lebat dan cabangnya melengkung seperti
menyambut para pendatang yang berkunjung ke puncak gunung. Jurus Cemara Tua
Menyambut Tamu merupakan perwujudan dari pepohonan cemara tersebut. Ketika Yue
Buqun kembali menggunakan jurus itu, Linghu Chong berpikir, “Melalui jurus ini
Guru seolah memberi tahu bahwa jika aku pulang ke Huashan, bukan hanya keluarga
yang menyambutku, tapi pepohonan di puncak gunung juga menyambut kedatanganku.”
Sejenak kemudian hatinya
kembali bicara, “Guru seolah berkata, aku tidak hanya diterima kembali di
perguruan, tapi juga akan dinikahkan dengan Adik Kecil. Guru memainkan tiga
jurus Pedang Chong Ling supaya aku paham akan maksudnya. Karena aku masih
bingung, maka Guru kembali menggunakan jurus Nong Yu Meniup Seruling dan Xiao
Shi Menunggang Naga.”
Kembali diterima di Perguruan
Huashan dan dinikahkan dengan Yue Lingshan merupakan dua keinginan Linghu Chong
yang paling besar. Melalui rangkaian jurus-jurus tersebut, Sang Guru telah
berjanji di hadapan para jago persilatan mengenai kedua hal tersebut kepadanya.
Meskipun tidak diucapkan, namun melalui jurus-jurus pedang semuanya sudah
disampaikan dengan jelas. Linghu Chong paham sifat gurunya yang tidak pernah
ingkar janji. Perkataan yang telah diucapkannya tidak pernah ditarik kembali.
Kini melalui jurus-jurus pedang, Yue Buqun telah berjanji untuk menerima Linghu
Chong kembali dan menikahkannya dengan sang adik kecil. Membayangkan itu semua,
seketika hati Linghu Chong terasa berbunga-bunga.
Linghu Chong juga sadar kalau
Yue Lingshan telah berpaling kepada pemuda lain, yaitu Lin Pingzhi. Gadis itu
sudah tidak memperhatikannya lagi, bahkan sangat benci kepadanya. Namun sesuai
adat yang berlaku ribuan tahun, perjodohan ditentukan oleh orang tua, sementara
si anak gadis tidak memiliki hak untuk menolak. Di hadapan para tokoh
persilatan, Yue Buqun telah berjanji melalui jurus-jurusnya untuk mengambil
Linghu Chong sebagai menantu, dan Yue Lingshan tidak mungkin bisa membantah.
Dengan hati gembira Linghu Chong pun berpikir, “Jika aku bisa kembali diterima
di Perguruan Huashan, aku pasti sangat bersyukur. Apalagi jika bisa menikah
dengan Adik Kecil, tentu hal ini merupakan karunia besar dari Langit. Adik
Kecil mungkin tidak bahagia pada awalnya, tapi aku akan berusaha menyesuaikan
diri. Aku akan selalu mengalah kepadanya dan menuruti semua keinginannya.
Sedikit demi sedikit ia akan melihat ketulusanku sehingga perasaannya yang
semula benci akan berubah menjadi sayang kepadaku.”
Ia ingat dulu setiap kali Yue
Lingshan merajuk, tentu ia akan membujuknya dan perasaan sang adik kecil akan
berubah dari kesal menjadi senang. Entah sudah berapa ratus kali hal itu
terjadi, membuat Linghu Chong hafal watak Yue Lingshan dan sangat yakin kelak
akan dapat merebut perhatiannya kembali.
Wajah Linghu Chong tampak
berseri-seri membayangkan kedua janji Sang Guru menjadi kenyataan. Dilihatnya
Yue Buqun kembali melancarkan jurus Kembalinya Si Anak Hilang, disusul Cemara
Tua Menyambut Tamu. Namun kali ini gerak pedangnya lebih cepat dan mendesak.
Linghu Chong memahami maksudnya, “Guru semakin mendesakku. Beliau ingin aku
segera meletakkan senjata dan menyerah kalah untuk bisa diterima kembali di
Perguruan. Jika aku menurut, maka aku pasti segera diterima kembali. Hidupku
akan kembali seperti dulu, berbahagia bersama keluargaku di Gunung Huashan.
Apalagi yang harus kutunggu?” Sejenak kemudian ia kembali berpikir, “Tapi,
bagaimana dengan Yingying, Ketua Ren, dan Kakak Xiang? Jika aku menyerah kalah,
tentu mereka akan dikurung di belakang Biara Shaolin ini. Bisa jadi mereka akan
dihukum mati pula. Aku sungguh kejam, memikirkan kesenangan diri sendiri tanpa
peduli dengan penderitaan orang lain. Manusia macam apa aku ini?”
Berpikir demikian tubuh Linghu
Chong basah oleh keringat dingin dan pandangannya menjadi kabur. Ia sempat
melihat Yue Buqun melintangkan pedang dan mengayunkannya di dekat mulut, lalu
menusukkannya ke depan. Ini adalah jurus Nong Yu Meniup Seruling. Linghu Chong
pun terkesiap dan berpikir, “Yingying sangat pandai meniup seruling. Ia rela
berkorban jiwa dan raga demi keselamatanku. Namun, aku sama sekali tidak peduli
kepadanya. Apakah di dunia ini ada manusia tak tahu berterima kasih yang lebih
rendah dibanding Linghu Chong? Aku tidak pantas disebut sebagai manusia jika
tidak membalas kebaikan Yingying.”
Begitu hatinya bersemangat,
tiba-tiba terdengar suara benturan dua buah pedang yang sangat keras, disusul
kemudian sebatang pedang jatuh terbanting di atas lantai. Semua orang menjerit
terkejut.
Tubuh Linghu Chong
terhuyung-huyung ke belakang. Ketika membuka mata, dilihatnya Yue Buqun juga
melompat mundur dengan wajah sangat gusar penuh amarah. Tampak pergelangan
lengan kanan Sang Guru mengucurkan darah. Sewaktu Linghu Chong memeriksa ujung
pedangnya sendiri, ternyata juga meneteskan darah.
Kontan ia terkejut. Ternyata
ketika pikirannya sedang kacau tadi, tangannya sempat menangkis serangan Yue
Buqun sekenanya. Entah bagaimana, tanpa sadar yang ia mainkan adalah Ilmu
Sembilan Pedang Dugu sehingga melukai pergelangan tangan Yue Buqun tersebut.
Seketika pedang sang guru pun terbanting di lantai.
Dengan cepat Linghu Chong
membuang senjatanya, lalu berjalan mendekat dan berlutut di hadapan Yue Buqun,
sambil berkata, “Guru, saya berdosa besar. Saya pantas dihukum mati.”
Yue Buqun diam saja. Tiba-tiba
ia mengangkat sebelah kakinya, lalu menendang dada Linghu Chong dengan tepat.
Keras sekali tendangan itu, sehingga tubuh Linghu Chong sampai terlempar ke
atas dengan darah segar menyembur dari mulutnya. Seketika pandangan pemuda itu
menjadi gelap gulita. Tubuhnya terbanting sekeras-kerasnya di lantai, namun ia
tidak merasakan apa-apa lagi karena telah pingsan tak sadarkan diri.
Entah sudah berapa lama waktu
berlalu, perlahan-lahan Linghu Chong membuka mata dan merasa keadaan begitu
dingin seperti membeku. Terasa olehnya ada sinar api menyilaukan, membuat ia
buru-buru memejamkan mata kembali.
Terdengar suara Ren Yingying
berseru gembira, “Kau … kau sudah siuman.”
Linghu Chong pun kembali
membuka mata. Dilihatnya sepasang mata indah Ren Yingying sedang menatap
kepadanya. Wajah gadis itu tampak berseri-seri sangat gembira. Segera Linghu
Chong bermaksud bangun, tapi Ren Yingying mencegahnya dan berkata, “Jangan
bangun dulu. Istirahat saja sebentar lagi.”
Linghu Chong memandang
sekitarnya. Ternyata ia berada di dalam sebuah gua. Di luar tampak menyala
suatu gundukan api unggun. Baru sekarang ia ingat kalau dirinya telah jatuh
pingsan akibat tendangan Sang Guru di akhir pertandingan tadi. Segera ia
bertanya, “Di manakah Guru dan Ibu Guru?”
“Kenapa kau masih memanggil
guru kepadanya?” ujar Ren Yingying. “Di dunia ini mungkin cuma ada satu orang
guru yang tidak tahu malu seperti dia. Kau banyak mengalah padanya, tapi dia
tetap tidak tahu diri, malah tega menendang dadamu dengan sangat keras. Bagus
juga tulang kakinya ikut patah.”
“Hah, tulang kaki guruku
patah?” seru Linghu Chong terkejut.
“Masih untung dia tidak terguncang
mati,” sahut Ren Yingying tertawa. “Kata Ayah, kau belum bisa menggunakan Jurus
Penyedot Bintang dengan sempurna. Bila tidak, tentu kau takkan terluka.”
“Aku telah melukai pergelangan
tangan Guru, lalu mematahkan kakinya … ah, aku ini ….” ujar Linghu Chong
menggumam.
“Apakah kau menyesal?” tanya
Ren Yingying.
“Perbuatanku benar-benar tidak
pantas,” jawab Linghu Chong. “Kalau Guru dan Ibu Guru tidak merawat dan
membesarkan diriku sejak kecil, bisa jadi aku sudah mati sejak lama. Aku telah
membalas kebaikan dengan kejahatan, sungguh lebih rendah daripada binatang.”
“Berulang kali dia bermaksud
membunuhmu, apa kau tidak sadar?” sahut Ren Yingying. “Kau telah mengalah
padanya sedemikian rupa dan boleh dikata sudah membalas budi kebaikannya. Orang
macam dirimu ke mana pun takkan mati. Seandainya suami-istri Yue tidak
memungutmu, biarpun jadi pengemis juga kau takkan mati kelaparan. Dia sudah
mengusirmu dari Perguruan Huashan, maka hubungan kalian sebagai guru dan murid
ikut putus pula. Untuk apa lagi kau memikirkan dia?”
Sampai di sini Ren Yingying
menahan suaranya dan menyambung lagi dengan nada lirih, “Kakak Chong, demi
diriku kau terpaksa berseberangan dengan guru dan ibu gurumu, sungguh hatiku
merasa ….” tiba-tiba ia menunduk dengan kedua pipi merona merah.
Linghu Chong melihat wajah
gadis itu tersorot sinar api unggun membuatnya bertambah cantik luar biasa.
Seketika perasaannya terguncang. Perlahan ia memegang tangan kiri Ren Yingying,
tapi sampai sekian lama kemudian tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Yang
terdengar hanyalah napas panjang keluar dari mulutnya.
“Kenapa kau menghela napas?”
tanya Ren Yingying dengan suara halus. “Apakah kau menyesal karena berkenalan
denganku?”
“Tidak, tidak!” sahut Linghu
Chong cepat. “Mana mungkin aku menyesal? Demi diriku kau rela mengorbankan jiwa
ragamu di Biara Shaolin. Biarpun kelak badanku hancur … hancur lebur juga tidak
cukup untuk membalas kebaikanmu.”
“Kenapa kau bicara soal budi
seperti itu?” tanya Ren Yingying sambil menatap tajam. “Jadi sampai detik ini
kau masih menganggapku sebagai orang luar.”
Linghu Chong merasa malu dalam
hati. Memang selama ini ia merasa masih terpisah oleh sesuatu dengan Ren
Yingying. Segera ia pun berkata, “Aku yang salah bicara. Sejak kini aku akan
baik kepadamu dengan sepenuh hati.” Bicara demikian, dalam hati ia berpikir,
“Lalu bagaimana dengan Adik Kecil? Apakah aku bisa melupakan Adik Kecil?”
Sorot mata Ren Yingying
memancarkan rasa bahagia. “Kakak Chong, apakah ucapanmu ini sungguh-sungguh
atau hanya untuk menyenangkan aku saja?” ujarnya.
Linghu Chong tersentak dari
lamunannya, lalu menjawab segera, “Jika aku membohongi dirimu, biarlah aku mati
disambar petir.”
Perlahan-lahan Ren Yingying
menggenggam tangan Linghu Chong dengan erat. Sejak lahir sampai sekarang ia
merasa detik inilah saat yang paling berharga. Sekujur badan gadis itu terasa
hangat. Ia berharap keadaan demikian akan kekal abadi sepanjang masa. Selang
agak lama barulah ia berkata lirih, “Orang persilatan seperti kita mungkin
ditakdirkan mati dengan cara kurang baik. Kelak jika kau ingkar janji, aku
tidak ingin kau mati disambar petir. Aku lebih suka … lebih suka menusukmu
dengan pedangku sendiri sampai mati.”
Linghu Chong tersentak, sama
sekali tidak menduga bahwa Ren Yingying akan berkata demikian. Setelah
termangu-mangu sejenak, barulah ia berkata sambil tertawa, “Selembar nyawaku
ini telah diselamatkan olehmu dan sejak itu sudah menjadi milikmu. Maka, setiap
saat kau boleh ambil nyawaku ini kapan saja.”
Ren Yingying tersenyum dan
berkata, “Semua orang menyebutmu sebagai berandal nakal. Nyatanya, kau memang
pandai bersilat lidah. Entah takdir apa, aku justru me… menyukai berandal nakal
seperti dirimu?”
Linghu Chong tertawa, “Hahaha,
Kapan aku pernah berbuat nakal padamu? Karena kau berkata demikian, maka aku
akan menjadi berandal nakal untukmu.”
Tiba-tiba Ren Yingying
meloncat mundur sampai beberapa meter jauhnya. Dengan muka cemberut ia berkata,
“Aku memang menyukai dirimu, tapi kita harus pakai aturan. Jika kau anggap aku
ini perempuan murahan, maka kau telah salah sangka.”
“Mana berani aku menganggapmu
sebagai perempuan murahan?” sahut Linghu Chong. “Kau adalah nenek agung berbudi
luhur yang melarangku berpaling memandang kepadamu.”
Ren Yingying tertawa
cekikikan. Lesung pipit di pipinya terlihat jelas, membuatnya tampak bertambah
jelita. Ia pun teringat pertama kali berkenalan dengan Linghu Chong memang
pemuda itu selalu memanggilnya “nenek” dengan penuh hormat. Dengan tertawa geli
ia lantas duduk kembali namun dalam jarak yang agak jauh.
Linghu Chong ikut tertawa dan
berkata, “Kalau kau melarangku berbuat nakal kepadamu, biarlah untuk
selanjutnya aku tetap memanggilmu ‘nenek’ saja.”
“Baik, cucuku yang baik,”
sahut Ren Yingying tertawa geli.
“Nenek, aku ….” kata Linghu
Chong.
“Sudahlah, jangan panggil
nenek lagi! Nanti saja enam puluh tahun lagi baru kau boleh panggil demikian,”
ujar Ren Yingying.
“Jika kupanggil ‘nenek’ mulai
sekarang sampai enam puluh tahun lagi, maka hidupku ini tidak sia-sia,” kata
Linghu Chong.
Terguncang perasaan Ren
Yingying mendengarnya. Ia merenung andai saja benar bisa hidup bersanding
dengan Linghu Chong selama enam puluh tahun, maka hidupnya tentu bahagia
mengalahkan para dewa di surga.
Dari samping Linghu Chong
melihat hidung gadis itu mancung, alisnya panjang, bulu matanya lentik, raut
wajahnya pun sangat halus dan lembut. Ia berpikir, “Nona secantik ini mengapa
begitu ditakuti dan dihormati oleh tokoh-tokoh persilatan yang kasar dan liar
itu? Kenapa juga mereka rela berbuat apa saja untuknya?” Sebenarnya ia hendak
menanyakan hal itu namun karena takut merusak suasana, maka ia pun mengurungkan
niat tersebut.
Ternyata Ren Yingying berkata,
“Kalau ingin mengatakan sesuatu, katakan saja.”
Linghu Chong menjawab, “Selama
ini aku tidak habis pikir, mengapa Lao Touzi, Zu Qianqiu, Ji Wushi, dan yang
lain begitu takut kepadamu?”
Ren Yingying menanggapi, “Aku
tahu bila persoalan ini tidak kujelaskan padamu, tentu hatimu tidak akan bisa
tenteram. Jangan-jangan dalam hatimu mengira aku ini siluman.”
“Tidak, tidak, aku
menganggapmu sebagai dewi kahyangan yang memiliki ilmu mahasakti,” ujar Linghu
Chong.
“Baru mengucapkan tiga kalimat
saja, kau sudah bicara omong kosong. Sebenarnya kau ini belum tentu seorang
berandalan, tapi mulutmu licin begitu, sehingga pantas kalau orang menyebutmu
pemuda iseng,” balas Ren Yingying.
“Saat aku memanggilmu ‘nenek’
apakah aku pernah bicara omong kosong?” tanya Linghu Chong.
“Kalau begitu kau panggil
‘nenek’ saja kepadaku seumur hidup,” kata Ren Yingying.
“Baik, aku akan selalu
memanggilmu seumur hidup, tapi bukan memanggil ‘nenek’,” jawab Linghu Chong.
Wajah Ren Yingying seketika
merona. Dadanya terasa hangat, dan ia pun berkata lirih, “Kuharap kau tidak
hanya bicara manis.”
Linghu Chong berkata, “Kalau
kau tidak suka dengan mulut yang licin, jika nanti masak untukku jangan kau
beri minyak.”
Ren Yingying menjawab dengan
tersenyum, “Aku tidak bisa memasak. Memanggang kodok saja hangus.”
Seketika Linghu Chong pun
terkenang saat memanggang kodok bersama Ren Yingying di tepi sungai kecil
beberapa bulan yang lalu. Ia merasa saat ini seakan-akan kembali pada suasana
masa silam tersebut.
Terdengar Ren Yingying
menyambung, “Jika kau tidak takut dengan masakan hangusku, maka setiap hari aku
akan memasak untukmu seumur hidup.”
“Kenapa tidak?” sahut Linghu
Chong. “Jika kau memasak untukku setiap hari, aku akan menghabiskan tiga
mangkuk besar setiap hari pula.”
Ren Yingying berkata, “Kau
suka bercanda sesuka hatimu. Kau bicara seenaknya untuk menyenangkan hatiku.
Tapi kenyataannya, aku memang merasa senang mendengarnya.”
Keduanya pun beradu pandang.
Cukup lama mereka saling terdiam, sampai akhirnya Ren Yingying berkata lirih,
“Kau sudah tahu, ayahku sebenarnya Ketua Sekte Matahari dan Bulan. Kemudian
Paman Dongfang … maksudku, Dongfang Bubai mengkhianati Ayah dengan perangkapnya
yang licik itu. Ia menyekap Ayah di suatu tempat rahasia. Dongfang Bubai
berdusta kepada semua orang, dengan berkata bahwa Ayah meninggal di tempat yang
jauh dan berpesan agar dirinya menggantikan sebagai ketua baru. Waktu itu aku
masih kecil, sementara Dongfang Bubai teramat cerdik dan licin, siasatnya
sangat rapi tanpa celah, sehingga apa yang ia perbuat sama sekali tidak
membuatku curiga. Untuk mengelabui orang lain, Dongfang Bubai sengaja
memperlakukan aku dengan sangat baik. Setiap saat aku dimanjakan olehnya. Apa
yang kukatakan selalu ia laksanakan. Apa yang kuminta selalu ia turuti. Sebab
itulah di dalam aliran kami kedudukanku sangat dihormati.”
“Apakah orang-orang persilatan
itu adalah anggota Sekte Matahari dan Bulan kalian?” tanya Linghu Chong.
“Tidak semuanya,” jawab Ren
Yingying. “Hanya saja mereka memiliki hubungan dengan kami, juga ada di bawah
pengaruh kami selamanya, karena sebagian besar pimpinan mereka sudah menelan
Pil Penghancur Otak.”
Linghu Chong mendengus. Ia
telah menyaksikan sendiri kejadian beberapa waktu yang lalu di Wisma Meizhuang.
Ketika para pemuka Sekte Iblis seperti Bao Dachu, San Sanniang, dan yang lain
melihat Pil Penghancur Otak di tangan Ren Woxing, mereka begitu ketakutan
setengah mati. Teringat pada peristiwa tersebut membuat Linghu Chong hanya bisa
mengernyitkan dahi.
“Sesudah menelan obat itu,”
sambung Ren Yingying, “setiap satu tahun sekali mereka harus menelan obat
penawarnya. Jika tidak, mereka tentu akan mati konyol bila racun yang
terkandung dalam obat itu mulai bekerja. Dongfang Bubai memperlakukan
orang-orang persilatan itu dengan sangat bengis. Sedikit saja tidak
menyenangkan hatinya langsung tidak diberi obat penawar. Selalu saja aku yang
harus memintakan ampun serta memintakan obat penawar untuk mereka.”
“O, ternyata demikian. Jadi
kau adalah dewi penyelamat bagi mereka,” ujar Linghu Chong.
“Sebenarnya aku bukan dewi
penyelamat apa-apa. Mereka yang menyembah-nyembah dan memohon-mohon kepadaku.
Aku jadi tidak tega dan tidak bisa tinggal diam. Ternyata ini juga bagian dari
rencana Dongfang Bubai untuk menipu para anggota Sekte. Ia ingin menunjukkan
betapa dirinya sangat menaruh hormat kepadaku. Dengan demikian tidak ada yang
akan curiga kalau ia telah merebut kedudukan Ayah dengan cara licik,” jawab Ren
Yingying.
Linghu Chong manggut-manggut
dan berkata, “Orang ini benar-benar ahli siasat yang cerdik.”
“Lama-lama aku merasa susah
juga karena selalu memintakan pengampunan untuk mereka kepada Dongfang Bubai,”
lanjut Ren Yingying. “Selain itu keadaan di dalam Sekte juga jauh berbeda
dengan sebelumnya. Dongfang Bubai menghendaki dirinya disanjung puji tiap hari,
dan itu terdengar sangat menjijikkan. Maka, musim semi tahun lalu aku mengajak
keponakanku, Luzhuweng untuk menemaniku bertamasya. Akhirnya aku tertarik
melihat Hutan Bambu Hijau di pinggiran Kota Luoyang yang tampak asri dan
sepertinya nyaman untuk ditinggali. Maka aku pun menetap di sana dan tidak
perlu lagi mengurusi masalah yang bukan tugasku, juga tidak perlu lagi
mengucapkan sanjungan-sanjungan yang memalukan untuk Dongfang Bubai … Tak
kusangka aku malah bertemu dirimu di sana.”
Gadis itu kemudian melirik ke
arah Linghu Chong, terkenang saat-saat pertama kali mereka bertemu. Ia menghela
napas dan dadanya terasa hangat. Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Ribuan orang
yang datang ke Biara Shaolin itu tidak semuanya pernah mendapat obat penawar
dariku. Tapi bila salah seorang pemimpin mereka, atau keluarga mereka pernah
menerima bantuanku, maka mereka merasa ikut berhutang budi. Lagipula kedatangan
mereka ke Gunung Shaoshi juga belum tentu demi diriku. Bisa jadi mereka datang
atas panggilan Pendekar Besar Linghu, dan mereka tidak berani mangkir.”
“Wah, baru setengah hari
bergaul denganku kau sudah mahir memutar lidah,” kata Linghu Chong.
Ren Yingying mendengus, tapi
kemudian tertawa riang. Selama ini di dalam Sekte Matahari dan Bulan, ia selalu
diperlakukan bagaikan tuan putri. Setiap orang tidak berani membantah
perintahnya dan hari-harinya pun penuh dengan sanjung puji. Namun sekarang bisa
bersenda gurau dengan Linghu Chong, ini benar-benar pengalaman paling
menggembirakan seumur hidup.
Selang sejenak Ren Yingying
menunduk dan berkata, “Aku sangat senang mendengarmu memimpin orang sebanyak
itu ke Biara Shaolin untuk menjemputku pulang. Tadinya orang-orang persilatan
suka membicarakan diriku, bahwa aku jatuh hati padamu. Sementara kau adalah
pemuda berandalan yang suka bermain cinta di sembarang tempat, sama sekali
tidak menaruh perhatian padaku .…” sampai di sini suaranya menjadi lirih, “tapi
setelah keributan di biara itu, paling tidak kau telah mengembalikan
kehormatanku dalam pandangan mereka. Andai aku mati juga takkan … takkan
menanggung tuduhan jelek lagi.”
Linghu Chong menjawab, “Ketika
kau membawaku ke Biara Shaolin dan meminta pengobatan untukku, aku benar-benar
tidak tahu sama sekali. Kemudian aku terkurung lama di penjara Wisma Meizhuang,
di bawah Danau Barat. Setelah bebas, aku langsung terlibat urusan Perguruan
Henshan. Begitu aku mengetahui permasalahanmu, aku pun langsung datang
menjemputmu. Tapi kau sendiri sudah cukup banyak menderita.”
“Sebenarnya aku tidak
menderita kesulitan apa-apa selama dikurung di gunung belakang Biara Shaolin.
Aku disekap sendirian di sebuah rumah batu, dan setiap sepuluh hari datang
seorang biksu tua mengantarkan kayu bakar dan beras untukku. Selain itu ada
pula seorang pelayan wanita yang membantu memasak dan mencuci pakaianku. Tapi
mereka berdua tidak tahu apa-apa dan juga tidak pernah bercerita apa-apa,” ujar
Ren Yingying. “Sampai akhirnya Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi datang ke
Biara Shaolin. Kepala Biara mengundangku untuk menemui mereka berdua. Saat itu
aku baru tahu kalau Kepala Biara ternyata tidak pernah mengajarkan Ilmu
Pengubah Urat kepadamu. Aku pun marah karena merasa telah tertipu, dan
memaki-maki biksu tua itu. Biksuni Dingxian lantas menenangkan amarahku dengan
mengatakan bahwa kau dalam keadaan sehat dan selamat. Ia juga berkata bahwa
dirimulah yang telah meminta mereka datang ke Biara Shaolin untuk memohon
pembebasanku.”
“Sesudah mendengar demikian
barulah kau tidak mencaci maki Kepala Biara lagi, begitu?” tanya Linghu Chong.
Ren Yingying menjawab, “Kepala
Biara Shaolin itu hanya tersenyum saja meski aku telah mencaci maki dirinya. Ia
berkata, ‘Nona, waktu itu biksu tua ini berjanji akan mengajarkan Ilmu Pengubah
Urat kepada Pendekar Linghu untuk memusnahkan bermacam-macam hawa murni kacau
di dalam tubuhnya, dengan syarat dia bersedia memasuki Perguruan Shaolin
sehingga dapat menjadi muridku. Namun Pendekar Linghu menolak anjuranku,
sehingga aku pun tidak dapat memaksanya. Lagipula sewaktu kau menggendong …
sewaktu dia pertama kali datang ke sini, saat itu keadaannya sangat payah
bagaikan di ujung tanduk. Namun ketika ia meninggalkan pegunungan ini, meskipun
penyakitnya belum sembuh, tapi ia sudah bisa berjalan seperti biasa. Dalam hal
ini Biara Shaolin juga sedikit berjasa kepadanya.’ Kupikir ucapannya benar
juga. Aku lantas berkata, ‘Lalu, kenapa kau tetap menahanku di sini? Kau ini
seorang biarawan, seorang biksu, kenapa seorang masih saja berbohong?’”
“Ya, dia memang tidak
seharusnya menyembunyikan itu darimu,” ujar Linghu Chong.
“Tapi ia kemudian menyampaikan
alasannya,” jawab Ren Yingying. “Biksu tua itu mengatakan bahwa aku ditahan di
Biara Shaolin supaya dapat melenyapkan sifat kejiku. Huh, omong kosong!”
“Benar. Mana mungkin kau punya
sifat keji?” ujar Linghu Chong menanggapi.
“Kau tidak perlu berkata-kata
manis untuk menyenangkan diriku. Tentu saja aku memiliki sifat keji. Bahkan,
sifatku ini sangat keji,” kata Ren Yingying. “Tapi kau tidak perlu khawatir.
Aku tidak akan menggunakan sifat kejiku ini padamu.”
“Terima kasih banyak atas
keistimewaan ini,” jawab Linghu Chong tersenyum.
Ren Yingying melanjutkan, “Aku
berkata pada biksu tua itu, ‘Kau sudah begini tua, tapi suka membohongi kaum
muda. Sungguh memalukan!’ Biksu tua itu menjawab, ‘Waktu itu kau sendiri yang
rela berkorban jiwa raga demi keselamatan Pendekar Linghu. Meskipun kami urung
menyembuhkan Pendekar Linghu, tapi kami juga tidak mengambil jiwamu. Dari kedua
biksuni kami mendengar keadaan Pendekar Linghu kini baik-baik saja, bahkan ia
telah melakukan banyak perbuatan kesatria di dunia persilatan. Sungguh aku ikut
bahagia mendengarnya. Sekarang demi memandang muka emas Biksuni Dingxian dan
Biksuni Dingyi, kau boleh pergi dari sini.’ Begitulah, aku lantas dibebaskan
dan turun gunung bersama kedua tokoh Perguruan Henshan tersebut. Kemudian di
bawah gunung kami mendengar kabar bahwa kau sedang dalam perjalanan memimpin ribuan
orang menuju Biara Shaolin untuk menjemputku. Kedua biksuni merasa khawatir dan
segera kembali ke atas gunung untuk mencegah terjadinya pertumpahan darah di
kedua pihak. Tak disangka, kedua biksuni berbudi luhur itu justru meninggal di
dalam Biara Shaolin.” Usai berkata demikian Ren Yingying menghela napas panjang
penuh penyesalan. Tak terasa air matanya meleleh di pipi.
Linghu Chong ikut menghela
napas dan berkata, “Benar, entah siapa orangnya yang telah menurunkan tangan
keji kepada Beliau berdua itu? Pada tubuh kedua biksuni sama sekali tidak
ditemukan tanda-tanda luka. Bagaimana cara mereka tewas juga tidak diketahui.”
“Siapa bilang tidak ada tanda
luka?” sahut Ren Yingying. “Saat tiba di Biara Shaolin, Ayah, Paman Xiang, dan
aku menemukan jasad kedua biksuni dan memeriksa mereka. Aku membuka pakaian
mereka dan menemukan pada bagian ulu hati masing-masing terdapat suatu titik
merah bekas tusukan jarum. Jelas mereka tewas karena tertusuk jarum.”
“Hah!” seru Linghu Chong
melonjak kaget. “Jarum beracun? Di dunia persilatan saat ini, siapa yang
memakai senjata jarum beracun?”
“Ayah dan Paman Xiang yang
berwawasan luas juga tidak tahu. Menurut Ayah, itu bukan jarum beracun, tapi
sejenis jarum baja yang ditusukkan ke titik penting sehingga korbannya mati seketika.
Hanya saja tusukan ke ulu hati Biksuni Dingxian agak sedikit melenceng,” ujar
Ren Yingying.
“Benar. Sewaktu aku menemukan
Biksuni Dingxian, Beliau belum meninggal. Jika tusukan jarum itu mengarah ke
ulu hati, maka jelas ini bukan serangan dari tempat gelap, tetapi pertarungan
berhadap-hadapan. Tentu pembunuh kedua biksuni itu seorang ahli silat yang
sakti luar biasa,” kata Linghu Chong.
“Ya, ayahku pun berkata
demikian. Dengan beberapa petunjuk yang kita temukan itu, rasanya tidak sulit
kalau kita ingin mencari pembunuh kedua biksuni,” ujar Ren Yingying.
Tiba-tiba Linghu Chong memukul
dinding gua dan berkata, “Yingying, selama kita masih bernapas, kita harus
membalas dendam bagi kedua biksuni yang baik hati itu.”
“Tentu saja,” sahut Ren
Yingying mantap.
Sambil bertumpu pada dinding
gua, Linghu Chong merasa kaki dan tangannya dapat bergerak leluasa. Dadanya
juga tidak terasa sakit, membuatnya menjadi heran, “Aneh, dadaku telah
ditendang begitu keras oleh Guru, kenapa sepertinya tidak terluka sama sekali?”
Ren Yingying menjawab, “Kata
ayahku, kau telah mempelajari Jurus Penyedot Bintang dan menghisap banyak
tenaga dalam orang lain. Maka, kekuatanmu kini sudah jauh melebihi gurumu.
Namun karena kau tidak mau mengerahkan tenaga untuk melawan tendangan gurumu,
akibatnya kau pun muntah darah. Meski begitu, tanpa kau sadari tenaga dalammu
yang melimpah itu telah melindungi tubuhmu sehingga lukamu hanyalah luka
ringan. Setelah Paman Xiang mengurut-urut tubuhmu, hawa murni dalam tubuhmu
bangkit dengan sendirinya sehingga kau bisa sembuh dalam waktu singkat. Hanya
saja, kenapa tulang kaki gurumu itu sampai patah benar-benar sangat aneh.
Selama setengah hari Ayah memikirkan hal ini namun tetap tidak menemukan duduk
perkaranya.”
“Tenaga dalamku sangat kuat,
sehingga menggetarkan kembali tendangan Guru dan mematahkan tulang kaki Beliau.
Kenapa hal ini kau bilang aneh?” ujar Linghu Chong.
“Bukan begitu,” sahut Ren
Yingying, “kata Ayah, tenaga dalam yang berasal dari hasil menghisap orang lain
memang bisa untuk melindungi dirimu, namun tidak bisa untuk menyerang lawan
kecuali kalau kau sengaja mengerahkannya. Dibandingkan dengan tenaga dalam yang
asli hasil latihan sendiri juga masih kalah setingkat.”
“Ternyata demikian,” kata
Linghu Chong. Karena tidak paham permasalahannya, ia pun tidak mau berpikir
lebih dalam lagi. Ia hanya merasa bersalah karena telah mematahkan tulang kaki
Sang Guru, juga telah membuatnya kehilangan muka di hadapan para jago papan
atas dunia persilatan.
Untuk sekian lama mereka
saling pandang tanpa bersuara. Suasana sunyi senyap, hanya kadang-kadang
terdengar suara letupan kayu bakar yang berkobar di luar gua. Tampak
bunga-bunga salju bertaburan dengan lebatnya, jauh lebih lebat daripada hujan
salju di atas Gunung Shaoshi kemarin.
Tiba-tiba Linghu Chong
mendengar suara orang bernapas dengan berat dari arah sebelah barat mulut gua.
Segera ia memasang telinga untuk mendengarkan lebih cermat. Tenaga dalam Ren
Yingying tidak setinggi Linghu Chong, sehingga tidak dapat mendengar suara itu.
Namun begitu melihat perubahan wajah pemuda itu ia lantas bertanya, “Kau
mendengar suara apa?”
“Seperti suara orang bernapas,
entah napas siapa ini? Tapi suara napas ini agak terengah-engah. Sepertinya
bukan orang berilmu tinggi,” sahut Linghu Chong. “Di mana ayahmu?”
“Ayah dan Paman Xiang berkata
mereka ingin jalan-jalan keluar,” kata Ren Yingying dengan wajah merah. Ia tahu
maksud ayahnya pergi adalah sengaja memberi kesempatan padanya agar bisa
leluasa mengobrol dengan Linghu Chong setelah siuman, untuk melepas rindu
setelah lama tidak bertemu.
Sementara itu Linghu Chong
kembali mendengar suara orang bernapas berat, “Mari kita keluar untuk
melihatnya!”
Keduanya pun keluar gua.
Terlihat bekas telapak kaki Ren Woxing dan Xiang Wentian sudah hampir lenyap
tertutup salju.
“Dari arah sana datangnya
suara napas itu,” kata Linghu Chong sambil menunjuk ke arah jejak-jejak
tersebut. Segera mereka mengikuti jejak kaki itu, kira-kira satu-dua li
jauhnya. Setelah berbelok di suatu lembah, tiba-tiba di atas terlihat Ren
Woxing dan Xiang Wentian berdiri sejajar bergandeng tangan tanpa bergerak di
atas tanah berlapis salju.
Ren Yingying berseru, “Ayah!”
Ia pun menjulurkan tangan untuk memegang sebelah tangan Ren Woxing. Tak
disangka, begitu menyentuh tangan sang ayah, seluruh tubuh Ren Yingying
langsung tergetar. Terasa olehnya suatu arus hawa mahadingin mengalir keluar
dari tangan sang ayah.
“Ayah, kau … kau kenapa ….”
belum habis ia berkata, badannya sudah menggigil kedinginan. Tapi ia segera
paham duduk permasalahannnya. Sewaktu turun gunung tadi ayahnya telah bercerita
bahwa tenaga dalam mahadingin Zuo Lengchan pada pertandingan tadi masih
bersarang di tubuhnya. Ren Woxing sejak tadi berusaha menahan diri, namun kini
akhirnya tidak tahan juga, dan hawa dingin pun menyeruak keluar dari tubuhnya.
Xiang Wentian saat ini pasti sedang membantunya melawan serangan hawa dingin
tersebut dengan segenap tenaga.
Mula-mula Linghu Chong juga
tidak paham. Dari cahaya yang terpantul melalui kepingan bunga-bunga salju, ia
bisa melihat wajah Ren Woxing dan Xiang Wentian sangat serius. Menyusul
kemudian Ren Woxing bernapas lagi beberapa kali dengan terengah-engah. Baru
sekarang ia paham suara napas berat yang didengarnya tadi ternyata berasal dari
orang tua itu.
Ketika melihat tubuh Ren
Yingying menggigil kedinginan, tanpa pikir panjang ia lantas memegang tangan
gadis itu. Sekejap saja hawa dingin pun mengalir masuk ke dalam tubuhnya.
Seketika ia langsung paham bahwa Ren Woxing telah terserang oleh hawa dingin
Zuo Lengchan dan sekarang sedang mengerahkan tenaga untuk memusnahkan hawa
dingin tersebut. Pikirannya segera melayang mengingat cara yang pernah
dipelajarinya dari ukiran rumus pada lempengan dipan besi di penjara Danau
Barat tempo hari. Perlahan-lahan ia pun menggunakan cara tersebut untuk
membuyarkan hawa dingin yang mengalir masuk ke dalam tubuhnya.
Begitu mendapat bantuan Linghu
Chong, hati Ren Woxing merasa lega. Maklum, tenaga dalam Xiang Wentian dan Ren
Yingying hanya bisa membantu melawan hawa dingin itu, namun mereka berdua tidak
mengetahui cara untuk membuyarkannya. Sejak tadi Ren Woxing berusaha keras
menaikkan suhu tubuhnya agar tidak membeku, sehingga pada akhirnya ia sudah
tidak mempunyai tenaga lagi untuk membuyarkan hawa dingin tersebut. Semakin
bertahan semain ia merasa kelelahan. Dengan bantuan Linghu Chong yang datang
tepat waktu, sedikit demi sedikit hawa murni mahadingin Zuo Lengchan yang
menyusup ke dalam tubuh Ren Woxing dapat dihisap keluar dan dibuyarkan olehnya.
Keempat orang itu pun berdiri
kaku dan bergandeng tangan di tanah bersalju seperti patung. Hujan salju masih
terus turun dengan lebatnya sehingga lambat laun kepala, tangan, pakaian,
sampai kaki mereka tertutup semua oleh lapisan es.
Sambil mengerahkan tenaga
Linghu Chong merasa heran kenapa bunga salju yang menimpa tubuhnya itu tidak
meleleh, sebaliknya justru menempel dan membeku serta semakin lama semakin
tebal. Ia tidak tahu kalau tenaga dalam mahadingin yang dikuasai Zuo Lengchan
itu sangat ampuh. Hawa dingin tersebut jauh lebih dingin daripada salju. Kini
kulit dan daging mereka berempat sudah sedingin es, dan hanya organ tubuh
bagian dalam saja yang masih hangat. Sebab itulah bunga salju yang menimpa
mereka tidak meleleh, bahkan makin berlapis dan semakin keras. Bisa dikatakan,
bunga salju yang jatuh dari langit lebih cepat menyelimuti mereka berempat
daripada menimbun tanah.
Selang agak lama, hari sudah
berangsur-angsur terang, tapi hujan salju masih turun dengan lebatnya. Linghu
Chong khawatir tubuh wanita Ren Yingying tidak tahan terhadap serangan hawa
dingin terus-menerus dalam waktu lama. Namun ia merasa racun dingin di tubuh
Ren Woxing juga belum terkuras habis. Meskipun suara napas orang tua itu tidak
lagi terengah-engah, namun ia tidak berani menghentikan pertolongan karena khawatir
akan terjadi hal yang membahayakan. Untungnya ia dapat merasakan tangan Ren
Yingying meskipun masih sangat dingin namun sudah tidak menggigil lagi.
Samar-samar ia dapat pula merasakan denyut nadi pada telapak tangan gadis itu.
Mereka berempat terbungkus
oleh salju yang tebal seperti boneka salju. Pada bagian mata masing-masing juga
tertutup salju beberapa senti. Samar-samar Linghu Chong hanya bisa merasakan
hari sudah pagi, namun tetap tidak bisa melihat apa-apa. Tanpa menghiraukan
urusan lain ia terus mengerahkan tenaganya, berharap racun dingin di tubuh Ren
Woxing bisa lekas-lekas dikeluarkan seluruhnya dari delapan pembuluh Qijing,
kemudian dipaksanya keluar melalui titik-titik Shaoshang, Shangyang, dan
titik-titik lain pada jari tangan.
Tiba-tiba dari arah timur laut
terdengar suara derap kaki kuda yang makin lama makin mendekat. Kemudian
terdengar jelas bahwa yang datang ada dua ekor kuda sedang berlari, yang satu
di depan dan yang satu lagi di belakang. Selanjutnya terdengar suara salah seorang
penunggangnya berteriak, “Adik, Adik, tunggu dulu! Dengarkan aku dulu!”
Meskipun kedua telinganya
tertutup salju tebal, Linghu Chong dapat mendengar dengan jelas bahwa suara itu
tidak lain adalah suara Yue Buqun, gurunya sendiri. Terdengar Yue Buqun kembali
berseru, “Kau tidak paham seluk-beluk permasalahannya langsung marah-marah.
Hendaknya kau dengarkan dulu penjelasanku.”
Lalu terdengar Ning Zhongze
berkata, “Aku sedang kesal sendiri, untuk apa kau mengurusiku? Memangnya apa
lagi yang perlu dijelaskan?”
Suara seruan mereka serta
derap kaki kedua ekor kuda itu semakin mendekat. Tampaknya Ning Zhongze berada
di depan dan Yue Buqun menyusul di belakang. Linghu Chong menjadi heran dan
berpikir, “Perangai Ibu Guru biasanya sangat halus dan jarang bertengkar dengan
Guru. Entah mengapa Guru kali ini bisa membuatnya sangat tersinggung?”
Terdengar kuda sang ibu-guru
semakin mendekat. Tiba-tiba terdengar Ning Zhongze berseru heran, “Hah?”
Menyusul kemudian kudanya meringkik panjang, mungkin karena mendadak ia menahan
tali kendali sehingga kudanya itu berhenti dengan kedua kaki depan terangkat.
Selang sejenak Yue Buqun telah
menyusul tiba dan berkata, “Di tanah pegunungan yang sepi ini ternyata ada yang
membuat empat boneka salju. Adik, boneka-boneka salju ini bagus sekali dan
mirip manusia asli”
“Hm,” Ning Zhongze hanya
mendengus tanpa menjawab. Mungkin rasa marahnya belum reda. Tapi yang jelas,
dalam hati ia sangat tertarik kepada empat boneka salju tersebut dan tadi
secara mendadak ia menghentikan kudanya juga karena terkejut melihat
pemandangan itu.
Linghu Chong merasa heran,
“Bagaimana ada empat boneka salju di tanah pegunungan sepi ini?” Tapi ia segera
paham, “Benar juga, tubuh kami berempat tertutup lapisan salju sedemikian
tebalnya sehingga Guru dan Ibu Guru menyangka kami adalah empat boneka salju.
Ini gawat. Kalau Guru mengetahui yang sesungguhnya, tentu ia akan langsung
menusuk kami sampai mati.”
Terdengar Yue Buqun berkata,
“Di sini tidak terdapat jejak kaki. Sepertinya keempat boneka salju ini sudah
dibuat beberapa hari yang lalu. Adik, coba kau lihat, bukankah tiga di
antaranya seperti laki-laki dan yang satu seperti perempuan?”
“Bagiku keempatnya sama saja.
Bagaimana kau tahu itu laki-laki dan perempuan?” ujar Ning Zhongze. Ia lalu
membentak kudanya hendak kembali melaju.
Namun Yue Buqun segera menahan
tali kekang kuda istrinya dan berkata, “Adik, kenapa kau terburu-buru? Di sini
tidak ada orang lain. Mari kita bicara panjang lebar.”
“Terburu-buru apa? Aku hanya
ingin pulang ke Gunung Huashan. Kalau kau lebih suka menjilat kepada Zuo
Lengchan, silakan kau pergi sendiri saja ke Gunung Songshan,” sahut Ning
Zhongze.
“Siapa bilang aku menjilat Zuo
Lengchan? Sebagai Ketua Perguruan Huashan yang terhormat, untuk apa aku harus
tunduk kepada Perguruan Songshan?” ujar Yue Buqun.
Ning Zhongze berkata, “Maka
itu, aku justru tidak paham mengapa sebagai Ketua Perguruan Huashan kau justru
menunduk-nunduk begitu saja di hadapan Zuo Lengchan dan mematuhi setiap
perintahnya? Sekalipun dia adalah pimpinan dari Serikat Pedang Lima Gunung,
tapi seharusnya tidak boleh mencampuri urusan rumah tangga Perguruan Huashan
kita. Bila kelima perguruan dilebur menjadi satu, lantas apakah nama Perguruan
Huashan masih tetap ada di dunia persilatan? Dulu sewaktu Guru menyerahkan
jabatan ketua padamu, wasiat apa yang Beliau katakan?”
“Guru menghendaki agar aku
mengembangkan kejayaan Perguruan Huashan,” sahut Yue Buqun.
“Nah, itu dia. Sekarang bila
kau menggabungkan Perguruan Huashan ke dalam Perguruan Songshan, lalu bagaimana
kau akan bertanggung jawab kepada mendiang guru kita di alam sana? Pepatah
mengatakan, lebih baik menjadi paruh ayam daripada menjadi pantat kerbau.
Biarpun perguruan kita kecil tapi lebih baik mandiri daripada bersandar kepada
orang lain,” desak Ning Zhongze.
Yue Buqun menghela napas,
“Adik, menurut pendapatmu, bagaimana kepandaian Biksuni Dingxian dan Biksuni
Dingyi dari Perguruan Henshan jika dibandingkan dengan kita?”
“Kita tidak pernah bertanding
melawan mereka. Tapi kurasa hampir sama. Untuk apa kau tanya soal itu?” sahut
Ning Zhongze.
“Aku pun berpendapat demikian.
Kedua biksuni itu tewas di Biara Shaolin. Jelas Zuo Lengchan yang telah
membunuh mereka,” kata Yue Buqun.
Linghu Chong tergetar
mendengarnya. Ia memang mencurigai Zuo Lengchan telah membunuh kedua pimpinan
Perguruan Henshan tersebut, karena orang lain rasanya tidak mungkin memiliki
kepandaian setinggi itu. Meskipun ilmu silat Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta
Chongxu juga tinggi, namun watak mereka yang berbudi luhur tidak mungkin membunuh
kedua biksuni secara diam-diam. Sebaliknya, Zuo Lengchan sudah terkenal
kelicikannya. Apalagi Perguruan Songshan sebelumnya sudah berselisih dengan
pihak Perguruan Henshan, dan menyebabkan kematian Biksuni Dingjing. Mereka
tidak berhasil memaksa Bikusni Dingxian dan Biksuni Dingyi menyerah kalah di
Lembah Tempa Pedang, sehingga kini Zuo Lengchan sendiri yang turun tangan. Ren
Woxing yang cerdik dan berilmu tinggi saja bisa dipecundangi olehnya, apalagi
kedua biksuni yang polos dan welas asih itu, tentu saja bukan tandingannya.
“Lantas bagaimana jika itu
memang perbuatan Zuo Lengchan?” ujar Ning Zhongze. “Bila kau punya bukti nyata,
seharusnya kau undang seluruh kesatria aliran lurus untuk bersama-sama
mendatangi Zuo Lengchan dan membalaskan sakit hati kedua biksuni.”
Kembali Yue Buqun menghela
napas, “Pertama, kita tidak punya bukti. Kedua, kekuatan kita tidak cukup untuk
melawannya.”
“Mengapa tidak cukup untuk
melawannya?” sahut Yue Buqun. “Kita dapat meminta bantuan Mahabiksu Fangzheng
dari Biara Shaolin dan Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang. Apakah Zuo
Lengchan masih berani?”
“Tapi sebelum Beliau berdua
itu dapat kita undang, aku khawatir kita suami istri sudah mengalami nasib
seperti kedua biksuni itu,” ujar Yue Buqun.
“Maksudmu kita akan dibunuh
juga oleh Zuo Lengchan, begitu?” sahut Ning Zhongze. “Hm, sebagai orang
persilatan kenapa harus takut menghadapi kematian? Kalau takut harimau di
depan, takut serigala di belakang, bagaimana kau bisa malang melintang di dunia
persilatan?”
Diam-diam Linghu Chong merasa
kagum luar biasa mendengar ucapan sang ibu-guru. Ia berpikir, “Meskipun kaum
wanita, tapi jiwa kesatria Ibu Guru melebihi para laki-laki.”
Terdengar Yue Buqun menjawab,
“Kau dan aku tidak takut mati, tapi bagaimana kalau Zuo Lengchan membunuh kita
secara licik? Tiba-tiba saja kita berdua mati dengan seluk-beluk tidak jelas.
Akhirnya, dia tetap saja melebur Serikat Pedang Lima Gunung. Bahkan, tidak
mustahil dia justru menjatuhkan fitnah keji kepada kita.”
Ning Zhongze hanya terdiam mendengarnya.
Yue Buqun melanjutkan, “Bila
kita mati, maka murid-murid Perguruan Huashan tentu akan menjadi sasaran empuk
Zuo Lengchan. Mana mungkin mereka sanggup melawannya? Pendek kata, bagaimanapun
juga kita harus memikirkan nasib Shan’er.”
Ning Zhongze berdehem
perlahan. Sepertinya ia mulai terpengaruh oleh kata-kata sang suami. Selang
sejenak baru berkata, “Baiklah, sementara ini kita tidak perlu membongkar tipu
muslihat Zuo Lengchan. Kita tetap berpura-pura menurut padanya, sambil menunggu
kesempatan yang baik untuk bertindak.”
“Kau setuju dengan
kata-kataku, itu bagus sekali,” ujar Yue Buqun. “Sayang sekali Kitab Pedang
Penakluk Iblis telah dicuri oleh bangsat cilik Linghu Chong. Andai saja ia mau
mengembalikannya kepada Pingzhi, tentu semua murid Huashan dapat bersama-sama
memelajarinya. Dengan demikian kita tidak perlu takut lagi kepada Zuo Lengchan.
Perguruan Huashan kita sekarang dalam keadaan lemah. Bagaimana kita bisa
bertahan?”
“Kenapa kau masih saja menuduh
Chong’er sebagai pencuri hanya karena ilmu pedangnya maju pesat?” sahut Ning
Zhongze ketus. “Bukankah di Biara Shaolin kita mendengar sendiri Pendeta
Chongxu berkata bahwa ilmu pedang Chong’er yang luar biasa itu adalah hasil
didikan Paman Guru Feng? Meskipun Paman Guru Feng berasal dari Kelompok Pedang,
namun Beliau tetaplah orang Perguruan Huashan. Soal Chong’er bergaul dengan
aliran sesat memang patut kita salahkan. Tapi bagaimanapun juga kita juga salah
telah menuduhnya mencuri Kitab Pedang Penakluk Iblis. Jika kau tidak percaya
kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, lantas siapa lagi di dunia ini
yang bisa kau percaya?”
Linghu Chong sangat bersyukur
mendengar ucapan sang ibu-guru yang terus-menerus membelanya. Rasanya ingin
sekali ia keluar dan menyembah wanita itu. Namun tiba-tiba ia merasa kepalanya
ditepuk oleh seseorang beberapa kali. “Celaka, mungkin persembunyian kami sudah
ketahuan oleh mereka. Selagi racun dingin pada tubuh Ketua Ren belum musnah
sama sekali, apa yang harus kulakukan jika Guru dan Ibu Guru menyerangku?”
pikirnya. Ia merasa tenaga dalam yang tersalur dari tangan Ren Yingying juga
tergetar beberapa kali. Sepertinya perasaan Ren Woxing juga tidak tenteram.
Tapi sesudah kepalanya ditepuk orang, ternyata tidak ada kejadian lain lagi.
Terdengar Ning Zhongze
berkata, “Kemarin sewaktu kau bertanding dengan Chong’er, berulang-ulang kau
memainkan jurus-jurus Kembalinya Si Anak Hilang, Cemara Tua Menyambut Tamu,
Nong Yu Meniup Seruling, dan Xiao Shi Menunggang Naga. Apa maksud semua itu?”
“Hehe, meskipun kelakuan
bangsat cilik itu tidak senonoh, tapi bagaimanapun juga dia adalah anak yang
kita pungut sejak kecil, rasanya sayang juga jika melihat dia sampai tersesat,”
jawab Yue Buqun. “Bila dia mau kembali ke jalan yang benar, maka aku bersedia
menerimanya kembali di Perguruan Huashan.”
“Lalu bagaimana dengan tiga
jurus yang lainnya?” tanya Ning Zhongze.
“Kau sudah tahu, mengapa masih
bertanya?” balas Yue Buqun.
“Jika Chong’er kembali ke
Huashan, kau akan menjodohkannya dengan Shan’er, begitu?” tanya Ning Zhongze.
“Ya, memang,” sahut Yue Buqun.
“Isyarat yang kau mainkan
melalui jurus waktu itu hanya sebagai siasat supaya menang, ataukah memang
benar-benar tulus dari hati?” Ning Zhongze kembali bertanya.
Yue Buqun tidak menjawab.
Lagi-lagi Linghu Chong merasa kepalanya diketuk-ketuk perlahan oleh seseorang.
Maka ia pun paham pasti itu tangan Sang Guru yang tadi menepuk-nepuk kepalanya,
dan sekarang mengetuk-ketuk lagi sambil berpikir. Jadi sama sekali bukan karena
keberadaan mereka berempat telah ditemukan.
Sejenak kemudian baru
terdengar Yue Buqun berkata, “Perkataan seorang laki-laki teguh bagaikan
gunung. Sekali aku menyanggupi tentu tidak akan kuingkari.”
“Dia jatuh hati kepada
perempuan siluman dari Sekte Iblis itu. Apa kau tidak tahu?” tanya Ning Zhongze.
“Tidak, terhadap perempuan
siluman itu ia hanya berterima kasih dan membalas budi,” ujar Yue Buqun. “Apa
kau tidak dapat membandingkan bagaimana sikapnya terhadap Shan’er dan terhadap
perempuan siluman itu?”
“Sudah tentu aku dapat
melihatnya. Jadi kau yakin dia masih belum bisa melupakan Shan’er?” lanjut Ning
Zhongze.
“Bukan hanya tidak bisa lupa,
bahkan boleh dikata ia sangat merindukan Shan’er siang malam,” jawab Yue Buqun.
“Begitu dia memahami makna dari jurus-jurusku, seketika wajahnya langsung berubah.
Apa kau tidak menyaksikan betapa gembira raut mukanya, bagaikan mendapat durian
runtuh?”
“Justru karena itu, maka kau
menggunakan Shan’er sebagai umpan untuk memancingnya agar sengaja mengalah
kepadamu, bukan?” balas Ning Zhongze.
Meskipun telinganya tertutup
salju, namun Linghu Chong dapat mendengar kata-kata ibu-gurunya yang terdengar
ketus dan marah. Padahal nada demikian itu selamanya tidak pernah diucapkan
oleh Ning Zhongze terhadap suaminya. Sejak kecil Linghu Chong selalu
diperlakukan seperti anak kandung oleh Yue Buqun suami-istri, sehingga tidak
ada rahasia apa pun yang disembunyikan darinya. Dalam urusan rumah tangga,
tidak jarang Linghu Chong menyaksikan ibu-gurunya bertengkar dengan sang guru.
Namun dalam urusan perguruan, bagaimanapun juga wanita itu selalu menghormati
kedudukan suaminya sebagai Ketua Perguruan Huashan dan tidak pernah membantah.
Tapi sekarang ia sampai mengucapkan kata-kata bernada menyindir seperti tadi,
pertanda rasa tidak senangnya terhadap perbuatan sang suami sudah terlalu
besar.
Terdengar Yue Buqun menghela
napas panjang, lalu berkata, “Ternyata kau tidak paham maksud dan tujuanku,
apalagi orang luar? Padahal itu semua bukan untuk kepentingan diriku pribadi,
tetapi demi kehormatan Perguruan Huashan kita. Jika aku dapat menyadarkan
Linghu Chong sehingga dia meninggalkan jalan sesat dan kembali ke dalam
Perguruan Huashan, maka ini berarti kita akan mendapat empat keuntungan. Suatu
hal yang sangat bagus.”
“Mendapat empat keuntungan
bagaimana?” tanya Ning Zhongze.
Yue Buqun menjawab, “Ilmu
pedang Linghu Chong sangat bagus melebihi diriku. Entah ia mendapatkannya dari
Kitab Pedang Penakluk Iblis, entah ia mendapatkannya dari Paman Guru Feng,
bagiku tidak masalah. Jika dia kembali ke Perguruan Huashan, itu berarti wibawa
perguruan kita akan bertambah cemerlang, ini adalah keuntungan pertama.
Selanjutnya, tipu muslihat Zuo Lengchan untuk mencaplok Perguruan Huashan tentu
sukar terlaksana. Bahkan Perguruan Taishan, Hengshan, dan Henshan juga bisa
diselamatkan, ini adalah keuntungan kedua. Jika dia kembali ke Perguruan
Huashan, itu berarti golongan lurus akan bertambah satu jago kelas satu,
sedangkan pihak aliran sesat akan kehilangan seorang pembantu yang berilmu
tinggi, ini adalah keuntungan ketiga. Betul, tidak?”
Ning Zhongze seperti tertarik
oleh uraian sang suami. Ia lalu bertanya, “Lalu, apa keuntungan yang keempat?”
“Keuntungan keempat ini lebih
meyakinkan lagi. Kita tidak memiliki anak laki-laki, dan kita telah mengasuh
Chong’er sejak kecil bagaikan anak kandung sendiri. Melihatnya tersesat ke
jalan yang salah sesungguhnya aku merasa sangat sedih. Usiaku sudah lanjut, apa
artinya nama besar bagiku di dunia fana ini? Asalkan dia bisa kembali ke jalan
yang benar, maka kita sekeluarga dapat berkumpul lagi dengan bahagia. Bukankah
ini suatu peristiwa yang menggembirakan?” ujar Yue Buqun.
Mendengar sampai di sini,
Linghu Chong sangat terharu sehingga air matanya berlinang-linang. Hampir saja
ia berteriak, “Guru, Ibu Guru!” Namun untungnya tangan Ren Yingying yang
digenggamnya itu agak bergetar sehingga suaranya pun tertahan tidak sampai
keluar.
“Shan’er dan Pingzhi sangat
cocok satu sama lain. Apa kau tega memisahkan mereka dan membuat Shan’er
bersedih seumur hidup?” tanya Ning Zhongze.
“Apa yang kulakukan ini adalah
demi kebaikan Shan’er juga,” sahut Yue Buqun.
“Demi kebaikan Shan’er?
Padahal Pingzhi selalu bersikap sopan, juga rajin dan telaten. Kurang baik
bagaimana?” balas Ning Zhongze.
“Meskipun Pingzhi sangat giat
belajar, tapi kalau dibandingkan Linghu Chong sungguh bagaikan langit dan bumi.
Biarpun naik kuda seumur hidup juga tidak mampu menyusulnya,” jawab Yue Buqun.
“Apakah memiliki ilmu silat
yang tinggi pasti menjadi suami yang baik?” tanya Ning Zhongze. “Aku memang
mengharapkan Chong’er bisa meninggalkan jalan yang sesat dan kembali ke dalam
perguruan kita. Tapi dia suka angin-anginan dan berbuat onar. Dia juga gemar
mabuk-mabukan dan ugal-ugalan. Bagaimanapun juga kebahagiaan Shan’er tidak
boleh dikorbankan.”
Mendengar ucapan sang
ibu-guru, seketika Linghu Chong berkeringat dingin. Ia berpikir, “Penilaian Ibu
Guru atas diriku memang tepat. Tapi … tapi bila aku dapat menikahi Adik Kecil,
mana mungkin aku akan membuatnya kecewa? Tidak mungkin! Sama sekali tidak.
Kalau aku harus menaati peraturan, maka akan kutaati. Kalau aku harus berhenti
minum arak, maka akan kupenuhi.”
Yue Buqun kembali menghela
napas dan berkata, “Tapi usahaku percuma saja. Bangsat cilik itu sudah
terjerumus terlalu dalam. Apa yang kita bicarakan ini sia-sia belaka. Adik,
apakah kau masih marah padaku?”
Ning Zhongze tidak menjawab.
Selang sejenak baru ia berkata, “Apakah kakimu masih sakit?”
“Hanya luka luar saja, tidak
terlalu parah,” jawab Yue Buqun. “Adik, mari kita pulang ke Huashan!” Menyusul
kemudian terdengar suara kaki kuda mereka mulai berjalan di atas tanah
bersalju, yang makin lama semakin menjauh.