Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 36-40

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 36-40 Namun Toan Cing-sun tahu urusan hari ini sangatlah berbahaya, di antara jago-jago Tayli yang ada di situ sekarang ia sendirilah yang paling kuat,
Jilid 36
Namun Toan Cing-sun tahu urusan hari ini sangatlah berbahaya, di antara jago-jago Tayli yang ada di situ sekarang ia sendirilah yang paling kuat, jika ia meninggalkan kawan-kawan lain untuk menyelamatkan diri sendiri, lalu kemanakah mukanya akan ditaruh kelak? Apa lagi dihadapan kekasih dan putrinya, mana bole dia merendahkan pamor sendiri? Maka dengan tersenyum ia menjawab kedatangan Su-ok itu, "Ha-ha ha ha, urusan keluarga Toan kami ternyata mesti diselsaikan di wilayah Song, sungguh aneh urusan ini."

"He, Toan Cing-sun, setiap kali aku bertemu denganmu, selalu kamu lagi berkumpul dengan beberapa perempuan cantik. Wah, rejekimu dalam hal perempuan sungguh luar biasa baiknya.: demikian Yap Ji-ni menyapa dengan tertawa.

Sebaliknya Lam-hai-gok-sin terus memaki, "Anak kura-kura ini tentu sudah kelewat puas main perempuan, biarlah sekarang Locu mengacipnya menjadi dua potong!"

Habis berkata, segera ia keluarkan "Gok-cuipcian" atau kacip congor buaya, dan menerjang maju ke arah Toan Cing-Sun.

Dengan jelas Siau Hong dengar Yap Ji-nio menyebut orang setengah umur itu sebagai Toan Cing-sun, sedang yang ditegurpun tidak menyangkal, hal ini ternyata cocok seperti dugaan Siau Hong, maka dengan perasaan terguncang ia berpaling dan berkata kepada A Cu,"Ternyata benar dia adanya."

"Apakah ... apakah engkau akan mengerubnya dan menyerangnya tatkala dia terancam bahaya lain?" tanya A Cu dengan suara gemetar.

Namun perasaan Siau Hong saat it sangat kusut, ia murka dan girang pula, sahutnya dengan dingin, "Sakit hati ayah-bunda, dendam Suhu dan ayah-ibu angkatku, serta rasa penasaranku yang difitnah, hm, semua itu masakah boleh kutinggal diam, masakah aku masih perlu bicara tentang kejujuran dan keadilan serta peraturan kangou apa segala dengan dia?"

Ucapan itu sangat perlhan, tapi penuh rasa dendam kesumat dan kebulatan tekad yang tak terpatahkan.

Dalam pada itu demi nampak Lam-hai-gok sin sudah mulai menerjang maju,. segera Hoan Hoa mengatur siasat, bisiknya perlahan kepada kawan-kawannya, "Hoa toako, Cu-hiante, silahkan kalian keroyok orang dogol ini! Harus menyerang serentak dan menggempur sekuatnya, lekas, membereskan dia lebih baik, kaki

tangan musuh dipreteli dulu, habis itu mush utamanya akan mudah dilawan."

Hoa Hik-Kin dan Cu Tan-sin mengiakan bersama, cepat mereka memapak maju. Meski kepandaian mereka masing-masing cukup kuat untuk menandingi Lam-hui-gok-sin, pula agak kurang terhormat main keroyok, tapi demi mendengar penjelasan Hoan Hoa tadi, mereka merasa siasat itu cukup beralasan. Toan Yan khing terlalu tangghu untuk dilawan, jika mesti satu lawan satu, tiada seorangpun di antara mnreka yang mampu melawannya, jika nanti serentak mreka mengerbutnya, boleh jadi keadaan masih bisa dikuasai.

Maka dengan senjata cangkul baja segera

Hoa Hik-kin mendahului menyerang disusul oleh Cu Tan-sin dengan Pit bajanya terus mengerubuti Lam-haigok-sin.

Lalu Hoan Hoa berkata pula, "Sekarang Pa-hiante boleh membereskan kenalanmu yang lama itu, aku dan Leng-hiante akan melawan perempuan itu."

Sekali Pa Thian-sik mengiakan, terus saja ia menuburuk ke arah in Tiong ho. Sedangkan Hoan Hoa dan Leng Jian-li juga serentak melompat maju.

Senjata andalah Leng Jian-li sebenarnya adalah gagang pancing yang telah dilempar ke danau oleh ACi. Kini ia sambar pacul Tang Su-koi sebagai gantinya.

Melihat manunya mush-mush itu Yap Jipnio tersenyum, sekali lihat gerakan lawan, segera ia tahu Hoan Hoa adalah lawan tangguh. Ia tidak berani ayal, ia lemparkan bayi yang digendungnya iut ke tanah, ketika tangannya menjulur ke depat lagi, tahu-tahu ia sudah memegang sebatang bolok yang lebar dan tipis, tadinya golok itu entah disimpan di mana, tahu-tahu sudah diloloskan keluar.

Di luar dugaan, mendadak Leng Jian-li menggertak keras, tapi bukannya menerjang, di mana Yap Jinio sebaliknya menyerbu Toan Yang Khing.

Keruan Hoan Hoa kaget, cepat seru..

"Leng hiante bukan ke sana tapi ke sini, kemarilah!"

Namun Leng Jian-li seperti tidak mendengar lagi, bahkan paculnya diangkat terus menyerepang pinggang Toan Yan-khing.

Toan Yang-khing cuma tersenyum dingin saja, sama sekali ia tidak berkelit, sebaliknya tongkat bambu sebelah kiri terus menutuk kemuka lawan malah.

Tampaknya tutukan tongkat itu seperti dilakukan seenaknya saja, tapi waktnunya da jitunya ternyata diperhitungkan dengan tepat, yaitu sedetik lebih dulu sebelum pacul Leng Jian-li mengenai sasarannya. jadimenyerang belakangan tapi tiba lebih dulu, lihainya sungguh tak terkatakan.

Serangan yang berbahaya itu sebenarnya mua tak mau Leng Jian-li harus menghindarkannya. Siapa dugu serangan Toan Yan-khing itu sedikitpun tidak digubris oleh Leng Jian-li sebaliknya ia ayunkan paculnya semakin kuat dan tetap menghantam ke pinggang lawan.

Keruan Toan Yan-khing terkejut, pikirnya

”Jangan-jangan ini orang gila?" Sudah tentu ia tidak mau terluka bersama Leng Jian-li, bila tongkatnya dapat mampuskan dia, pinggan sendiri juga pasti akan terluka parah. Maka cepat ia tutuk tongkat akanan ke tanah, tubuh terus menapung ke atas.

Melihat lawan meloncat ke atas, segera pacul Leng Jian-li itu menyodok ke perut Toan Yan-khing. Sebenarnya kepandaian Leng Jian-ji adalah kegesitan dan kelincahan, sudah tentu pacul itu bukan senjata yang cocok baginya. malahan sekarang ia bertemput dengan nekat dan ngawur, setiap serangan selalu mengincar tempat mematikan di tubuh Toan Yan-kihing, sedangkan keselamatan diri sendiri sama sekali tak terpiki olehnya.

Menghadapi orang nekat dan kalap demikian biarpun ilmu silat Toan Yangkhing sangat tinggi terpaksa terdesak mundur juga berulang-ulang. Namun demikian tetap Leng Jian-li tak bisa mengenai sasaranya, sebaliknya dalam sekeja saja di tanah rumput di tepi danau ini sudah penuh tetesan darah.

Kiranya waktu Toan Yang-khing menghindar atau melompat mundur, setiap kali tongkatnya pasti kena menjotoh tubuh Leng Jian-li, di mana tongkatnya sampai, di bagian tubuh Leng Jian-li lantas berlubang. Tapi Leng Jian0li sudah tak merasakan sakit lagi, ia mainkan paculnya semakin kencang dan menyerang semakin kalap.

Akhirnya Toan Cing-sun menjadi kuatir, cepat ia berseru, "Leng-hiante, lekas mundur, biar kutempur pengganas ini!"

Segera ia sambar sebatang pedang dari tangan kekasihnya dan menerjang maju untuk mengeroyok Toan Yankhing.

"Mundurlah Cukung!" seru Leng Jian-li

Sudah tentu Cing-sun tak mau menurut, kontan pedangnya menusuk ke dada Toan Yan khing.

Mendadak Yan-khing Taicu menahan tubuh dengan tongkat kanan, tongkat kiri leibh dulu dipakai menangkis pacul Leng jian-li menyusul pada kesempatan ia terus menutuk muka Toan Cing-sun.

Tapi Cing-sun cuku tenang, ia tidak kalap seperti Leng Jian li, sedikit menggeser ke samping tehrindarlah serangan Yan-khing Taicu itu.

Mendadak Leng Jian-li mengerung bagai harimau ketaton, sekonyong-konyong pacul membalik dan menyerang Toan Cing-sun malah. Keruan Cing-sun kaget, hampir jidatnya kena genjot pacul, sama sekali tak tersangka olehnya bahwa kawan yang sangat setia itu mendadak bisa menyerangnya.

Melihat kekalapan Leng Jian-li, Hoan Hoa, Cu Tan-sia dan lain lain menjadi kuatir, mereka berteriak-teriak, "Leng-hiante, lekas mundur untuk mengaso dulu!"

Tapi Leng Jian-li masih terus menggerung-gerung seperti orang gila dan merangsang ke arah Toan Yang-khing. Sementara itu Hoan Hoa dan kawan-kawannya di satu pihak dan Yap Ji-nio, Lam-hai-sok-sia dilain pihak sudah sama berhenti bertempur untuk menyaksikan pertarungan Toan Yan-khing dan Leng Jian-li demi nampak yang tesebut belakangan ini seperti orang kurang waras pikirannya.

"Leng-toako, silakan mundur dulu" demikian Cu Tan-sin memburu maju untuk menarik Leng Jian li, tapi malah kena dijotos sekali oleh saudara angkat itu hingga hidung dan mata matang biru.

Menghadapi lawan kalap begitu sesungguhnya juga buka keinginan Toan Yan-khing. Sementara itu mereka sudah begebrak hampir 30 jurus, sudah belasan luka tongkat Toan Yan-khing menikam bada Long Jian-li.Tapi Leng Jian-li masih terus berteriak-teriak dan menpurnya dengan nekat.

Cu Tan-sin tahu bila diteruskan akhirnya Leng Jian-li pasti tak terluput dari binasa, dengan air mata berlinanglinang segera ia bermaksud menerjang maju untuk membantu.

Tapi belum lagi ia bertindak, sekonyong-konyong termapak Leng Jian-li menimpukan paculnya ke arah mush dengan sekuatnya. Tapi sekali Toan Yan-khing mencungkil dengan tongkatnya batang pacul itu, dengan enteng sekali pacul itu melayng jauh ke sana. Itulah ilmu "Si nio-poat-jian-king" atau empat tahil menyampuk seribu kati, ilmu sakti yang mengagumkan.

Dan belum lagi pacul itu jatuh ke tanah, mendadak Leng Jian-li ikut menubruk ke arah Toan Yan-khing. Tapi Tan-khing Taicu menyambutnya dengan tersenyum, tongkat terus menikam ke dada lawan itu.

"Celaka!" seru Toan Cing-sun, Hoan Hoa dan lain-lain, berbareng mereka memburu maju buat membantu.

Tapi tusukan tongkat Yan-khing Taicu itu cepat luar biasa, "bles", dada Leng Jian-li tertikam dengan tepat, bahkan terus tembus ke punggung. Dan begitu tongkat berhasil menusuk kesasaranya, tongkat Yan-khing yang lain lantas menutul tanah hingga tubuhnya melayang mundur beberapa meter jauhnya.

Seketika dada dan punggung Leng Jian-li menyemburkan darah segar, ia masih hendak memburu musuh, tapi baru selangkah ia tahu maksud ada tenanga sudah habis. Segera ia berpaling dan berkata kepada Toan Cingsun, "Cukong, Leng Jian-li lebih suka mati daripada dihina, selama hidupku ini dapatlah kupertanggung jawabkan kepada keluarga Toan dari Tayli."

"Leng-hiante," sahut Cing-sun dengan air mata melelh, "akulah yang tak bisa mengajar anak sehingga membikin susah padamu, sungguh aku merasa malu tak terhingga."

Lalu Leng Jian-li berkata kepada Cu Tan-sin dengan tersenyum, "Cu-hiante, biarlah kakakmu ini mangkat dulu. Engkau...kau..."

Sampai di sini mendadak ia tidak dapat meneruskan lagi, napasnya lantas putus dan meninggal, tapi tubuhnya tetap tegak tak mau roboh.

Mendengar ucapan "lebih suka mati daripada dihina" itu, tahulah semua orang sebabnya dia menempur Toan Yan Khing dengan kalap adalah karena merasa terhina oleh perbuatan A Ci yang telah meringkusnya dengan jaring ikan, maka ia menjadi nekat, lebih suka gugur di medan pertempuran daripada menananggung malu yang tidak mungkin dibalasnya mengingat anak dara itu adalah putri junjungannya walaupun tidak resmi.

Cu Tan-sin, Tang Su kui dan Siau Tiok-sing menangis sedih, meski luak mereka belum sembuh, dengan nekat mereka pun ingin mengadu jiwa dengan Toan Yan khing.

"Huh, ilmu silatnya tidak tinggi, tapi main hantam begitu hingga jiwanya melayang, sunggun seorang maha tolol.: demiian tiba-tiba suara seorang wanita berolok-olok.

Ternyata yang bicara adalah A Ci. Memangnya Toan Cing-sun dan lain-lain lagi berduka, keruan mereka menjadi gusar oleh ucapan anak dara itu. Hoan Hoa dan lain-lain melototi A Ci dengan gusar, cuma mengingat anak dara itu adalah putri majikan, maka mereka tidak berani umbar kemurkaan padanya. Sebaliknya Toan Cing-sun menjadi gemas juga, terus saja ia ayun tangan menggampar muka anak dara yang binar itu.

Syukur Wi Sing-tiok keburu menagkiskan tamparan itu sambil mengomel. "Sudah belasan tahun tidak urus orang, baru bertemu sekarang lantas tega menghajarnya?"

Selama ini Toan Cing-sun memang merasa berdosa terhadap Wi Sing-tiok, makanya segala apa ia suka menurut pada apa yang dikatakan kekasih itu, dengan sendirinya lebih0lebih tidak mau cecok dihadapan orang luar, maka tangan yang sudah hampir beradu dengan tangan Wi Sing-tiok itu cepat ditarik kembali, lalu dampratnya kepada A Ci, "Kamu telah bikin mati orang, kau tahu tidak?"

Tapi A Ci menjawab dengan mendengus, "Huh, semua orang menyebutmu sebagai 'Cu kong', itu berati pula aku adalah majikan kecil mereka, kalau cuma membunuh seorang dua orang budak apa artinya?"

Pada jaman itu memang ikatan peraturan feodal sangat menyolok. Kaum budak atau bawahan tidak mungkin membangkang kepada majikan atau atasan, biarpun disuruh mati juga harus mati.

Leng Jian-li dan kawan-kawannya adalah petugas kerajaan Tayli, dengan sendirinya mereka sangat menghormat kepada keluarga Toan. Tapi keluarga Toan berasal dari kalangan Bu-lim di Tionggoan, selamanya mereka taat pada peraturan kangouw yang belaku. Biarpun Hoan Hoa, Leng Jian li dan kawan-kawannya menghamba kepada keluarga Toan, tapi selamanya Toan Cing-beng dan Cing sun memandangnya sebagai saudara sendiri, apalagi A Ci cuma putri Cing-sunyang tidak resmi alias anak haram.

Sungguh duka dan pedih sekali Toan Cing-sun oleh kematian Long Jian-li dan kenakalan putrinya itu, ia merasa malu terhadap saudara-saudara angkatnya itu.. Tanpa pikir lagi ia jinjing pedangnya terus melompat maju, katanya sambil menuding Toan Yan-khing, "Jika kauingin membunuh aku, marilah silahkan. Keluarga Toan kita mengutamakan kebajikan dan keadilan, kalau membunuh secara sewenang-wenang, biarpun dapat merebut negara juga takkan tahan lama."

Diam-diam Siau Hong tertawa dingin, "Hm, manis betul ucapanmu, dalam saat demikian masih pura-pura menjadi jantan?"

Dalam pada itu Toan Yan-khing sudah melompat maju ke depat. Cing-sun dan menyambut, "Kauingin menempur aku denga satu lawan satu dan tidak perlu mengikut campurkan orang lain, bukan?"

"Betul," sahut Cing-sun. "boleh kaubunuh aku, lalu kembali ke Tayli untuk membunuh kakak baginda. Tapi apakah cita-citamu ini bisa terlaksana atau tidak bergantung pada peruntunganmu. Adapun anggota keluargaku dan para bawahnku tiada sangkut-paut apa-apa dengan percecokan kita ini."

"Tidak, anggota keluargamu harus kubasmi habis dan bawahanmu boleh kuampuni." sahut Yan0khing taicu dengan menjengek. "Dahulu kalian berdua tidak dibunuh oleh ayah baginda, makanya terjadi perrebutan tahta seperti sekarang."

Habis bicara, tongkatnya terus menunuk ke muka Toan Cing-sun Cing-sun pernah mendengar cerita tentang ilmu silat Yan-khing Taicu sangat lihat, ilmu silatnya dari aliran baik berasal dari keluarga Toan sendiri, sedangkan kepandaian dari Sia-pai yang aneh dan hebat itu tak diketahui dari mana asalnya.

Maka Cing-sun tidak berani gegabah, ia melompat ke kiri, ia memberi hormat kepada Leng Jian-li yang sudah tidak bernyawa lagi tapi masih berdiri tegak itu dan berkata, "Leng hiante,Hari ini kita bahu membahu untuk menghalau musuh,"

Lalu ia berpaling dan berkata kepada Hoan Hoa, "Hoan suma, jika aku mati, harap kuburkan aku sejajar dengan Leng-hiante tanpa membedakan antara majikan dan hamba."

"Hehehe, masih berlagak sbagai ksatria, apa kah ingin orang lain kagum padamu lalu jual nyawa padamu?" demikian Yan-khing Taicu menjengetk.

Tanpa bicara lagi pedang Cing sun menusuk ke depat dengan gerakan "ki-li-toan-kim" atau tajamnya sanggup memotong emas, yaitu satu jurus pembukaan dari "Toan keh kiam" (ilmu pedang keluarga Toan).

Sudah tentu Yan-khing Taicu kenal tipu serangan itu, segera ia pun balas menyerang dengan tongkatnya dalam gaya permainan pedang. Sekali gebrak, yang dikeluarkan kedua orang itu sama-sama ilmu silat ajaran leluhur mereka.

Memang Toan Yan-khing tertekad akan membunuh Toan Cing sun dengan "Toan keh kiam" saja, sebab citacitanya adalah ingin merebut tahta kerajaan Tayli, jika di hadapan Sam kong dan Su-un yang ikut hadir sekarang ia gunakan ilmu silat dari Sia pai untuk membunuh Toan Cing-sun, pasti para pembesar dan ksatria

Tayli takkan takluk padanya, tapi kalau dapat mengalahkan dia dengan "Toan-keh kiam" dari leluhur sendiri, maka sejumlah kepandainnya dengan kedudukannya nanti dan tiada seorangpun yang punya alasan untuk menolaknya sebagai ahliwariskkerjaan Tayli yang tepat.

"Cing-sun merasa lega demi nampak lawan cuma memainkan ilmu silat keluarga sendiri, dengan tenang dan penuh perhatian ia mainkan pedangnya dengan rapat. Para penonton yang hadir di situ adalah tokoh-tokoh pilihan semua, mereka sama kagum melihat kepandaian Toan Cing-sun yang hebat itu.

Sebaliknya kedua tongkat bambu hitam yang dipakai Yan-khing Taicu itu juga sangat aneh keras bagai baja, sedikitpun tidak rusak jika kebentur dengan pedang Toan Cing-sun. Kedua orang sama-sama menggunakan "Toan-keh-kiam hoat" dari leluhur mereka, dengan sendirinya sukar untuk menentukan kalah menang dalam waktu singkat.

Diam-diam Siau Hong pikir, "Inilahsuatu kesempatan yang paling bagus, selama ini akau kuatirkan kelihaian itpyang-ci dan Lak-meh-sin-kiam keluarga Toan, kini kebetulan keparat Toan Cing-sun ini menghadapi musuh tangguh, bukan mustahil sebentar lagi Lak-meh-sin-kiam itu akan dikeluarkannya, ingin kulihat sampai di mana kehebatan ilmu pedang itu."

Sesudah belasan jurus, Siau Hong melihat pertarungan kedua orang itu bertambah sengit. Tongkat bambu Yankhing Taicu kelihatannya enteng sekali, tapi lambat laun berubah menjadi antap sekali gerakannya sehingga pedang Toan Cing-sun setiap kali kebentur, jarak pentalnya menjaditambah jauh pula.

Sebagai seorang ahli permainan Pak-kau-pang, diam-diam Siau Hong kagun. "Ini dia, kepandaian asli telah dikeluarkan, tongkat bambu yang enteng begini dapat dimainkan sebagai toya baja yang antap, nyata memang bukan sembarangan jago silat"

Sebaliknya Toan Cing-sun sudah mulain kewalahan, setiap kali ia menangkis serangan lawan, slalu terasa ditindih tenaga sehebat bukit hingga napas menjadi tak lancar. Padahal ilmu silat keluarga Toan paling mengutamakan lwekang, sekali pernapasan kurang lancar, itulah tanda bakal keok.

Tapi Cingpsun tidak menjadi gugup, ia sudah tidak pikirkan mati hidupnya lagi, ia merasa selama hidup ini sudah kenyang merasakan hidup bahagia, kalau kini tewas di tepi Siau-keng-oh juga tidak penasaran. Apalagi seorang kekasih seperti Wi Sing-tiok sedang mengikuti pertempurannya dengan penuh perhatian, biarpun mati juga rela pikirnya.

Kiranya memang begitulah jiwa "hidung belang" Toan Cing-sun, di mana mana dia mempunyai gendak, di mana-mana ia main cinta, dan setiap kali berada bersama dengan kekasinya selalu ia unjuk cinta sehidup semati, biarpun korban jiwa seketika itu bagi sang kekasih juga dia rela, tapi kalau sudah berpisah, semua itu

lantas dibuatnya ke awang-awang dan tak terpikir lagi olehnya.

Begitulah Toan Yan-khing masih terus perhebat daya tekannya, sampai lebih 60 jurus, tatkala Toan-keh-kiamhoat hampir selesai dimainkan. ia lihat ujung hidung Toan Cing-sun sedikit berkeringat, tapi tenaga masih cukup dan napas masih panjang teratur.

Padahal diketahuinya Toan Cing-sun itu suka main perempuan, tenaga dalamnya ternyata sangat kuat, dengan sendirinya ia tidak berani gegabah. Ia kerahkan tenaga lebih hebat hingga setiap kali tongkat menyerang selalu membawa suara mencicit perlahan, dan setiap kali Cing-sun menangkis, selalu ia tergetar dan menggeliat.

Melihat itu, Hoan Hoa dan lain lain tahu majikan mereka sudah mulai tak tahan, sekali mereka saling memberi isyarat, serentak mereka siap untuk mengerubut maju.

"hihihi, sungguh menggelikan!" demikian tiba-tiba suara seorang gadis cilik mengikik tawa. "Keluarga Toan dari Tayli terkenal sebagai kaum pahlawan dan ksatria sejati, kalau main kerubut, apakah hal ini takkan dibuat tertawaan orang?"

Hoan Hoa dan lain-lain melengak, mereka tahu itulah suara A Ci. Karuan mereka melongo. Sudah terang orang yang lagi terancam bahaya adalah ayah si gadis, hal ini sudah diketahuinya, mengapa ia malah berolok-olok dan menyindir ayah sendiri?

Wi Sing-tiok menjadi gusar juga, omelnya "A Ci, kamu anak kecil tahu apa" Ayahmu adalah Tin-lam ong dari negri Tayli, orang yang bergebrak dengan dia itu adalah penghianat dari keluarganya, jika kawan-kawan yang merupakan pengabdi negeri Tayli ini ikut turun tangan membasmi orang durhaka itu, masakan hal ini dapat main kerubut segala?"

Lalu ia berseru kepada Hoan Hoa dan lain-lain. "Ayolah kawan-kawan, terhadap durjana penghkhianat itu masakan perlu bicara tentang peraturan kangouw?"

Tapi A Ci berkata pula dengan tertawa, "Ucapanmu agak aneh juga, ibu. Jika ayahku adalah seorang ksatria sejati segera juga aku akan mengakui dia. Tapi bila dia seorang manusia rendah dan pengecut, buat apa aku mempunyai ayah begitu?"

Suara A Ci itu cukup keras dan nyaring hingga dapat didengar oleh siapapun juga. Karuan Hoan Hoa dan lainlain merasa serba salah dan ragu apakah mesti maju membatu atau tidak?

Meski Toan Cing-sun itu seorang bangor tapi dia sangat sayang juga kepadasebutan "Eng-hiong-ho-han" atau pahlawan dan kesatria. Dia sering kali membela diri dengan alasan "kaum pahlawan juga tidak terhindar dari godaan wanita". Sebagai contoh ia kemukakan seperti Han-ko-co Lau Pang yang tegoda oleh Jik-hujin dan Li Si-bin dengan Bu-cek-thian yang terkenal dalam serjarah itu. Tetapi dalam hal perbuatan rendah secara pengecut sekali-kali tidak nanti dilakukannya.

Maka ketika mendengar ucapan A Ci tadi, ia segera berseru, "Mati atau hidup, menang atau kalah, kenapa mesti dipkirkan? Jangan kalian ikut maju, siapa saja yang maju membantu aku berarti memusih aku Toan Cingsun."

Ia bicara sambil bertempur, sudah tentu tenaga dalamnya agak berkurang. Tapi Toan Yan-khing tidak mau mengambil keuntungan itu, ia tidak mendesak, sebaliknya mundur dulu membiarkan lawannya bicara.

Tentu saja Hoan Hoa dan lain-lain bertambah kuatir, melihat sikap Toan Yan-khing yang tenang itu, jelas musuh itu sudah yakin pasti akan menang, maka tidak perlu menyerang waktu perhatian lawan terpencar.

"Silahkan mulai lagi?" kata Cing-sun kemudian dengan tersenyum, lengan bajunya terus mengebas dan menyusul pedang menusuk.

"A Ci, lihatlah betapa lihainya ilmu pedang ayahmu itu, kalau dia mau membinasakan mayat hidup itu, apa susahnya?" demikian kata Wi Sing-tiok.

"Kalau ayah dapat mengalahkan dia, itulah paling baik," sahut Aci. "Tapi aku justru kuatir ibu hanya keras di mulut dan lemas di hati. Lahirnya gagah perwira, tapi dalam batin ketakutan setengah mati."

Ucapan itu tepat kena dilubuk hati Wi Sing-Tiok. Keruan ia melotot kepada putrinya yang nakal itu, pikirnya, "Budak ini benar-benar keterlaluan cara bicaranya."

Dalam pada itu tertampak pedang Cing-sun beruntu menyerang tiga kali, tapi tenaga tolakan Yan-khing Taicu juga tambah kuat, setiap serangan lawan selalu didesak kembali.

Ketika serangan keempat dilontarkan Toan Cin-sun dengan tipu "Kim-ma-thing-kong" (kuda emas melayang di udara_, pedangnya menyabet dari samping. Tapi tongkat kiri Yan Khing Taicu lantas menutuk ke depan dengan tipu "Pik-khe po-hian" (ayam jago berkeluruk di pagi hari) Begitu pedang dan tongkat beradu, seketika melengket menjadi satu hingga sukar dipisahkan.

Dengan cepat Yan-khing Taicu mengerahkan tenaga dengan maksud mementalkan pedang lawa, tapi gagal selalu, mendadak tenggorokannya mengeluarkan suara "krak-krok" seperti orang sakit genget, tiba-tiba tongkat kanan menahan tanah dan tubuh lantas terapung ke atas, sedang ujung tongkat kiri masih tetap melengket di ujung pedang Toan Cing-sun.

Keadaan sekarang mejadi yang satu berdiri tegak di tanah dan yang lain terapung diudara sambil bergerakgerak kian kemari. Semua orang bersuara kuatir sebab tahu pertarungan ke dua orang itu sudah meningkat hingga mengadu tenaga dalam yang menentukan.

Cing-sun berdiri di tanah, sebenarnya lebih menguntungankan karena dapat bertahan lebih kuat. Akan tetapi Toan Yan khing terapung di atas hingga seluruh berat badannya menekan kebatang pedang lawan.

Selang sejenak, maka tertampak pedang yang panjang itu muai melengkung, makin lama main melengkung hingga mirip gendewa. Seblaiknya tongkat bambu yang mestinya lebih lemas daripada pedang itu masih tetap lempeng, tetap lurus seperti tombak. Kini jelas kelihatan unggul atau asor tenaga dalam kedua orang itu.

Melihat pedang Toan Cing-sun semakin melengkung, asal melengkung lagi sedikit mungkin akan patah, diamdiam Siau Hong membatin, "Sampai saat ini mengapa kedua orang masih belum mengeluarkan "Lak-meh-sinkiam" yang paling hebat itu, apa barangkali Toan Cing-sun tahu Lak-meh-sin-kiam sendiri tak lebih kuat dari lawan, maka tidak berani mengeluarkannya? Kalau melihat gelagatnya, tenaganya sendiri hampir habis agaknya dia tiada mempunyai kepandaian lain yang lebih lihai lagi."

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa di antara tokoh keluarga Toan dari Tayli, Toan Cing-sun hanya tegolong jago kelas dua saja. Putranya yaitu Toan Ki, mahir Lak-meh-sin-kiam sebaliknya Cing-sun sendiri It-meh (satu nadi) saja tak bisa, apa lagi Lak meh. (enam nadi).

Melihat pedang sendiri yang melengkut itu hampir menjadi bulat dan setiap saat dapat patah terpaksa Cing-sun harus mencari jalan lain, ia tarik napas panjang-panjang, mendadak jari telunjuk kanan menutuk ke depat dengan ilmu it yang ci.

Tapi dalam hal It yang ci ia jauh dibandingkan kakak bagindanya, yaitu Toan Cing-beng. tenaga tutukannya itu tak dapat mencapai lebih dari dua meter. Padahal sekarang jaraknya dengan Toan Yan-khing itu karena disambung oleh senjata maka jarak mereka kini lebih tiga meter jauhnya dengan sendirinya tutukan it yang ci itu tak dapat melukai lawan. Sebab itulah tutukan Cing-sun tidak diarahkan kepada Yan-khing Taicu, tapi ditujukan kepada tongkatnya.

Mau tak mau siau Hong berkerut kening juga, pikirnya, "Agaknya orang ini tidak paham Lak meh sin kiam, kalau dibandingkan adik angkat she Toan itu masih kalah jauh. Tutukannya ini hanya ilmu tiam hiat yang

sangat hebat, tapi apa gunanya menghadapi musuh dari jarak jaun?"

Tertampak sesudah tutukan Toan Cing-sun itu tongkat bambu Toan Yan-khing lantas tergegar sedikit, lalu pedang Cing-sun melurus sedikit juga. Dan begitu beruntuk Cing-sun menutuk tiga kali hingga pedangnnya juga melurs tiga kali, lambat laun pedangnya sudah hampir pulih lagi seperti semula.

Saat itulah A Ci mengoceh pula, "Lihatlah, ibu, ayah memakai pedang, sekarang menggunakan jari pula, tapi tetap tak dapat mengalahkan lawa, bila tongkat lawan yang laind ipkai menyerang pula, masakah ayah punya tangan ketiga untuk menangkisnya?"

Memangnya Wi Sing tiok lagi kuatir, anak dara itu tambah mengoceh tak keruan. Tentu saja ia sangat mendongkol dan ingin menjewernya. Tapi belum lagi ia menahut, tiba-tiba dilihatnya tongkat kanan Toan Yanking benar-benar telah bergerak, "crit", tahu-tahu tongkat itu menutuk ke arah jari telunjuk kiri Cing-sun.

Tutukan tongkat Toan Yankhing itu, baik caranya maupun tenaganya diakukan dengan tepat seperti tutukan ityang-ci, bedanya cuma tongkat dipakai sebagai pengganti jari.

Sudah tentu serangan itu kontan disambut Toan Cing-sun, tapi begitu tenaga jari kebentrok dengan tenaga tongkat lawan, seketika lengan terasa linu, cepat ia tarik tangan dengan maksud mengerahkan tenaga untuk menutuk lebih keras lagi.

Di luar dugaan mendadak bayangan tongkat lawan yang hitam sudah berkelebat lebih dulu, tutukan kedua Toan Yan-khing sudah tiba pula. Keruan Cing-sun terkejut, sungguh tak tersangka olehnya begini cepat pihak lawan mengumpulkan tenaga dalamnya bagaikan dapat dilakukan sesuka hati, nyata dalam hal it-yang-ci lawan jauh lebih kuat. Tanpa pikir cepat ia balas menutuk, cuma sudah terlambat sedetik hingga tubuhnya tergeliat sedikit.

Sesudah sekian lama mengadu tenaga dalam rupanya Toan Yan-khing tidak mau membuang waktu lagi sebab kuatir kawan-kawan Cing-sun akan ikut mengerubut maju, maka serangannya kini berubah gencar, hanya sekejap saja ia sudah menutuk sembilan kali dengan tongkatnya.

Dengan sendirinya Cing-sun bertahan sekuat tenaga. tapi sampai tutukan kesembilan, tenaganya sudah mulai paya. "Cus", tongkat hitam lawan kena menikam pundak kirinya. Sekali tubuhnya sempoyongan, "pletak", tahu-tahu pedangan tangan kanan ikut patah.

Kesempatanitu tidak disia-siakan Toan Yan khing, sambil mengeluarkan suara "krakkrok" yang aneh dari kerongkongannya tongkat sebelah kanan secepat kilat menutuk batok kepala Toan Cing-sun.

Dengan tekad harus mematikan Cing-sun maka tutukan terakhir ini menggunakan antero tenaga Toan Yankhing yang ada, maka di mana tongkatnya menyambar lantas terdengar suara mendesing keras.

Tampaknya jiwa Toan Cing-sun segera akan melayang oleh tutukan itu segera Hoan Hoa, P Thian-sik dan Hoa Hik-kin bertiga menerjang maju sekaligus.

Tayli Sam-kong ini adalah tokoh-tokoh persilatan pilihan, melihat Toan Cing-sun terancam bahaya, untuk menolongnya terang tidak keburu lagi, maka mereka pakai siasat "Wi-gui-hiu-tio" (mengepung negeri Gui untuk menolong negri Tio).

Yang mereka serang adalah tiga tempat berbahaya ditubuh Toan Yan khing, dengan deikian kepala Su-ok itu akan terpaksa membatalkan serangannya kepada Toan Cing sun jika ia sendiri tidak ingin disikat oleh Tayli Sam kong itu.

Tak tersangka sebellumnya Toan Yan khing sudah memperhitungka akan kemungkinan itu. Ia menduga pada saat genting pasti kamberat negri Taiili itu akan mengerubut maju, maka dengan tongkat kiri yang diputar dengan penuh tenaga dalam itu ia jaga rapt tempat=tempat berbaha di seluruh tubuhnya. Maka pada waktu Hoan Hoa bertiga menerjang maju, sedikit pun Toan Yankhing tidak menghindar, hanya tongkat kirinya menangkis untuk menahan serangan ketiga lawan itu, sedang tongkat kanan tetap menutuk batok kepala Toan Cing-sun

Keruan yang paling kuatir adalah Wi Sing-tiok, sampai ia menjerit ketika menyaksikan sang kekasih sudah pasti akan terbinasa di bawah tongkat musuh. Jika kekasih itu mati, sungguh iapun tidak ingin hidup lagi. Maka tanpa pikir ia pun menerjang maju.

Ketika ujung tongkat Toan-Yan-khing tinggal satu dua senti dari "Pek-hwe hiat" di batok kepala Cing-sun yang diarah itu, sekonyong-konyong tubuh Toan Cing-sun mencelat ke samping dengan demikian tutukan itu mengenai tempat kosong.

Sementara Hoan Hoa bertiga juga telah dipaksa mundur oleh tongkat Toan Yan-khing Pa Thian sih yang gerakgeriknya lebih cepat dan gesit, sekalian ia tarik mundur Wi Sing tiok agar tidak mati konyol di bawah tongkat musuh.

Sudah tentu kaget Toan Yan-khing tak terkatakan ketika tutukannya tadi luput mengenai sasarannya. Ketika diperhatika, terlihatlah seornag laki-laki tinggi besar memegang tengkuk Toan Cing-sun tadi, sekonyongkonyong orang itu tarik Cing-sun ke samping secara paksa.

Ilmu sakti ini benar-benar sukar dibayangkan betapapun lihat kepandaian Toan Yan khing juga merasa tidak sanggup berbuat seperti laki-laki itu. Tapi dasar mukanya memang kaku, biarpun sangat tekejut toh kelihatnnya tenang-tenang saja, hanya dari hidungnya terdengar suara mendengus sekali.

Dan siapa lagi laki-laki yang menolong Toan Cing sun itu kalau bukan Siau Hong.

Sejak tadi ia mengikuti pertarungan kedua orang she Toan itu dengan penuh perhatian. Ketika dilihatnya Toan Cing-sun akan binasa oleh tongkat Toan Yan-khing, itu berarti dendam kesumat sendiri akan kandas dan tak terbalas.

Padahal untuk mana ia sudah bersumpah akan menuntut balas sakit hati itu, selama ini pun tidak sedikit jerih payahnya dalam usaha mencari musuh itu, kini orangnya sudah diketemukan, sudah tentu ia tidak dapat membiarkan musuh itu dibunuh oleh orang lain. Sebab itulah ia turun tangan untuk menarik Toan Cing-sun ke samping.

Tapi Toan Yan-khing sangat cerdik, sebelum Siau Hong melepaskan Toan Cing=sun, segera kedua tongkat menyerang pula secara membadai yang diarah selalu tempat mematikan di tubuh Toan Cing-sun.

Namun sambil mengangkat Toan Cing-sun, Siau Hong dapat mengelak ke sana dan menghindari ke sini dengan lincah, beruntun Toan Yan-khing menyerang 27 kali, tapi selalu dapat dihindarkan Siau Hong dengan tepat, bahkan ujung baju Cing sun saja tidak tersenggol.

Sungguh kejut Yan-khing tak terkatakan, ia tahu bukan tandingan Siau Hong, sekali bersuit aneh, mendadak ia melayang sejauh beberapa meter, tanpa terlihat mulutnya bergerak, taip terdengar ia bersuara, "Siapakah saudar? Mengapa sengaja mengacau urusanku?"

Dan sebelum Siau Hong menjawab, tiba-tiba In Tiong-ho berseru, "Lotoa, dia ini bekas Pangcu Kai-pang, Kiau Hong namanya. Murid kesayanganmu Tam Jing itu juga terbunuh oleh keparat ini."

Ucapan In Tiong-ho ini tidak saja menggetarkan perasaan Toan Yan-khing, bahkan para jago Tayli itu juga ikut terpengaruh. Nama Kiau Hong selama ini boleh dikatakan terkenal di seluruh jagat, siapa yang tidak kenal istilah "Pak Kiau Hong dan Lam Buyung?"

Cuma tadi ia memperkenalkan diri kepada Tong Cing-sun dengan nama Siau Hong, maka iada seorangpun yang mengetahui bahwa dia inilah Kiau Hong yang termasyur itu.

Toan Yan Khing memang sudah dilapori In Tiong lo tentang kejadian murid kesayanganya dibunuh oleh Kiau Hong di Cip-hian-ceng, kini mendengar bahwa laki-laki tegap di hadapannya inilah musuh pembunuh muridnya itu, sudah tentu ia sangat gusar dan jeri pula. Tiba-tiba ia ulur tongkat dan mulai menulis di atas balok batu di situ, "Ada permusuhan apa antara sauara dengan aku? Sudah membunuh muridku, mengapa sekarang menggalkan urusanku pula?"

Tulisan itu berjumlah 18 huruf dan setia huruf itu seolah-olah terukir di atas batu hingga mendekuk cukup dalam, ketika tongkatnya menggores dan mengeluarkan suara gemersak bagaikan orang menulis di tanah pasir saja.

Kiranya Toan Yan-khing tidak berani bicara lagi dengan Siau Hong dengan menggunakan Hok-lew-gi atau bicara dengan perut, karena dia sudah tahu kematian muridnya tempo hari adalah disebabkan gempuran lwekang Siau Hong yang hebat. Ia kuatir jangan-jangan kepandaiannya bicara dengan perut yang dikerahkan dengan lwekang tinggi itu takkan sanggup melawan kekuatan lwekang Siau Hong hingga beraikbat membikin celaka-dirinya sendiri. Sebab itulah ia mengajak bicara dengan mengukir batu.

Siau Hong diam saja, ia biarkan lawan selesai menulis, lalu ia melangkah maju, kakinya menggosok-gosok beberapa kali di atas huru-huruf itu, hanya beberapa kali kakinya membusak, seketika tulisan itu tersapu bersih.

untuk mengukir tulisan di atas batu saja maha sulit, tapi yang lain sanggup membusak bersih ukiran itu dengan kaki, padahal cara mengerahkan tenaga dalam di bagian kaki lebih sulit daripada memusatkan tenaga dalam pada sebatang tongkat.

Begitulah yang satu menulis dan yang lain membusak hingga jalan yang terdiri dari balok batu di tepi danau itu dianggap sebagai pesisir saja oleh kedu orang itu.

Toan Yan-khing tahu bahwa maksud Siau Hong membusak tulisannya di atas batu itu pertama ingin menunjukkankepandaiannya, kedua untuk menandarkan tiada permusuhan apa-apa dengan dirinya, apa yang pernah terjadi tempo hari dianggap selesai, maka kedua pihak tidak perlu bermusuhan lagi.

Dasar Toan Yan-khing memang licik, ia tahu bukan tandingan Siau Hong, supaya tidak kecundang lebih jauh, jalan paling selamat adalah kabur saja.

Maka tanpa bicara lagi tongkat kanan terus menggores dari atas ke bawah, kemudian menjungkit miring ke atas

pula, artinya menyatakan segala urusan telah dicoret dan habis perkara. Dan sekali tongkat yang lain menutuk tanah, secepat terbang tubuhnya melayng pergi sejauh belasan meter.

Diantara Su-ok hanya Lam-hai-gok-sin yang masih penasaran, dengan matanya yang kecil bundar itu ia mendelik dan mengamati-amati Siau Hong dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas, dari muka ke belakang, dan dari belakang putar ke epan lagi, sikapnya penuh pensaran dan tidak rela mengaku kalah. Mendadak ia memaki "Keparat,apanya sih yang hebat pada anak haram ini..."

Belum habis ucapannya, mendadak tubuhnya mencelat ke udara dan melayang ke tengah danau. "Plung" disertai muncratnya air, tanpa ampun lagi Lam-hai-gok-sin tercebur ke dalam danau.

Kiranya Siau Hong paling benci jika ada orang memaki dia sebagai anak haram, maka sambil menjinjing Cingsun, terus saja ia melompat maju dan sekali hantam, kontan Lam-hai gok sin mencelat ke tengah danau.

Serangan mendadak dan cepat luar biasa ini membikin Lam-hai-gok sin sama sekali tidak berdaya untuk menghindar atau menangkis. Tapi ia berasal dari Lam-hai atau laut selata, da bergelar Gok-sin atau malaikat buaya, dengan sendirinya ia mahir berenang, maka begitu kedua kaki menyentuh dasar danau, sekali pancul segera ia melempar ke luar permukaan air dan berteriak, "Apa-apaan ini?"

Habis berucap kembali tubuhnya tenggelam lagi, ketika ia mengapung lagi ke atas, kembali lagi berteriak pula, "Kamu membokong Locu ya?"

Selesai ucapan itu, lagi-lagi ia kecemplung ke dalam danau. Ketika untuk ketiga kalinya ia melompat ke atas, ia berteriak, "Locu akan mengadu jiwa denganmu"

Begitulah dasar wataknya memang berangasan dan tidak sabaran, ia tidak mau berenang dulu ke daratan untuk kemudian memaki Siau Hong, tapi sambil meloncat naik turun di tengah danau ia lantas memaki kalang kabut.

Keruan yang paling geli adalah A Ci, si Ungu. Dengan tertqwa mengikik ia berseru sambil bertepuk tangan, "Hihihihi! Lihatlah orang itu naik turun di dalam air mirip benar seekor kura-kura besar."

Kebetulan saat itu Lam-hai-gok-sin lagi meloncat ke atas air, mendengar olok-olok itu, kontan ia balas memaki, "Kau sendiri adalah kuran-kura kecil"

A Ci menyambitkan sebuah hui-cui (gurdi terbang) kecil, "crit", senjata rahasia itu masuk ke air, sebab Lam-

hai-gok-sin keburu selulup ke bawah, lalu berenang ke tepi danau dan mendarat dengan basah kuyup.

Bahkan sedikitpun Lam-hai-gok-sin tidak merasa jeri atau kapok, dengan ketolol-tololan ia malah mendekati Siao Hong, dengan kepala miring ke sini dan meleng ke sana ia mengamat-amati Siau Hong dengan mata melotot, katanya kemudian, "Dengan gerakan apa kamu melemparkan aku ke danau? Kepandaian ini Locu mengaku belum Mahir."

"Losam, lekas pergi saja, jangan membikin malu lagi di sini!" seru Yap Ji-nio.

Lam-hai-gok-sin menjadi gusar, sahutnya "Aku dilempar orang ke danau, bahkan cara bagaimana orang melemparkanku pun tak diketahui, bukankah ini suatu penghinaan maha besar? Sudah tentu aku harus tanya dulu sejelas-jelasnya!"

"Baiklah, biar kukatakan padamu," demikian tiba-tiba A Ci menyela, "Gerak serangannya tadi disebut "Liakku-kang' (ilmu menangkap kura-kura)."

Dasar otak Lam-hai Gok sin memang agak bebal. maka ia tidak sadar bahwa anak dara itu sengaja mengolokoloknya, sebaliknya ia mengulangi nama itu, "Liak-ku-kang? Ah, kiranya kepandaian itu bernama "Liak-kukang. Baiklah sesudah kutahu namanya, akan kucari orang agar suka mengajarkan padaku dengan demikian kelak aku takkan kecundang lagi seperti tadi.

Habis berkata , segera ia melangkah pergi dengan cepat untuk menyusul Yap Ji nio dan In Tiong ho yang sudah pergih jauh itu.

Kemudian Siau Hong melepaskan Toan Cing sun, dengan hormat Wi Sin0tiok berkata, "Kiau pangcu, atas pertolonganmu sungguh aku tidak tahu cara bagaimana harus berterima-kasih padamu".

Begitu pula Hoan Hoa dan lain-lain ikut maju menyatakan terima-kasih mereka.

Tapi Siau Hong menjawab dengan dingin saja, "Sebabnya aku menolong di atasdasar kepentingan pribadiku sendiri, maka kalian tidak perlu berteria kasih padaku. Toan siansing, aku ingin tanya sesuatu padamu, harap engkau suka menjawab secara terus terang. Dahulu di luar Gan bu-koan engkau pernah melakukan sesuatu kesalahan maha besar yang menyalkan, betul atau tidak?"

Mendengar pertanyaan itu, seketika wajah Toan Cing=san merah jengah, menyusul lantas berubah pucat lesu,

dengan kepala menunduk ia menjawa, "Ya, benar, atas kejadin itu selama ini aku memang senantiasa merasa tidak tentram. Kesalahan sudah terjadi dan tak dapat ditarik kembali lagi."

Sejak Siau Hong mendengar pengakuan Be hujin di Sin-yang yang menyatakan biangkeladi pembunuhan orang tua Siau Hong itu adalah Toan Cing0sun, maka siang malam selalu terpikir olehnya jikananti musuh besar itu tertawan, sebelum membinasakannya lebih dulu akan disiksanya pula agar merasakan akibat perbuatannya yang kejam itu.

Tapi sesudah menyaksikan caranya Toa Cing sun berlaku terhadap kawan-kawannya di Siau Keng-oh sekarang dan betapa gagahnya menghadapi musuh tadi, tindak tanduknya sekali sekali tidak mirip sebagai seorang rendah dan pengecut yang suka berbuat kejahatan, mau-tak-mau timbul juga rasa ragunya terhadap Siau Hong, Pikirnya, "Sebabknya dia membunuh orang tuaku di Gan bu koan dulu adalah karena kesalah-pahaman, kesalahan begitu dapat diperbuat oleh setiap orang. Tapi dia juga telah membunuh ayah bunda angkatku serta guruku yang tercinta itu, betapun perbuatan itu adalah dosa yang tak berampun, dan mengap dilakukannya? Jangan-jangan dibalik kejadin itu masih ada sebab musabab lain lagi?"

Dasar Siau Hong memang seorang cermat dan bisa berpikir panjang, ia tidak ceroboh dalam setiap tindak=tanduk, maka ia sengaja mengungkat kejadian Gan-bun-koan pula untuk tanya sekali lagi kepada Toan Cing-sun agar dia sendiri mengaku sejujurnya, habis itu baru akan diambil keputusan.

Kini demi melihat wajah Toan Cing-sun menampilkan rasa malu dan menyesal serta menyatakan kesalahan itu sudah terlajur diperbuat dan sukar ditarik kembali lagi, maka Siau Hong tidak ragu-ragu lagi, ia yakin seyakinyakinya apa yang terjadi memang betul Toan Cing-sun biangkeladi-nya. Seketika air muka Siau Hong berubah membesi sambil mendengus sekali.

"Dan... dari mana kaupun tahu kejadian itu?" tanya Wi Sing tiok tiba-tiba.

Waktu Siau Hong memandang ke arah wanita cantik itu, ia lihat wajah orang juga merah jengah sikapnya kikuk. Maka jawabnya singkat, "Jika ingin orang lain tidak tahu, kecuali diri sendiri tidak berbuat."

Lalu ia berpaling dan berkata kepada Tan Cing-sun, "Tengah malam nanti kutunggu di jembatan batu itu, ada sesuatu urusan ingin kubicarakan denganmu."

"Aku pasti akan datang tepat pada waktunya." sahut Cing-sun. "Budi besar tidak berani bicara tentang terima kasih, cuma Kiau-pangcu datang dari jauh, apakah tidak mampir duluminum sekadarnya ke ruma bambu sana?"

"Bagaimana dengan lukamu barusan? apakah perlu merawat diri buat beberapa hari lagi?" tanya Siau Hong. Sama sekali ia anggap sepi undangan minum orang.

Cing-sun agak heran, sahutnya, "Terima kasih atas perhatian Kiau-heng, sedikit luka ini rasanya tidak beralangan."

"Baiklah jika begitu." kata Siau Hong sambil mengangguk, "A Cu, marilah kita pergi saja..

Dan setelah beberapa tindak tiba-tiba ia menoleh dan berpesan pula, "Dan sobat-sobat baik bawahanmu itu hendaknya jangan dibawa serta nanti."

Cing-sun merasa tingkah-laku bekas Pangcu ini agak aneh, tapi orang telah menolong jiwanya tadi, segala permintaan orang sepantasnya dituruti, maka sahutnya, "Segala pesan Kiau-heng pasti akan kupenuhi."

Segera Siau Hong gandeng tangan A Cu, tanpa berpaling lagi terus tinggal pergi. Kiranya ia lihat Hoan Hoa dan kawan-kawannya itu adalah ksatria yang berjiwa luhur, jika mereka ikut Toan Cing-sun menghadiri pertemuan di jembatan batu itu rasanya merekapun pasti akan menjadi korban di tangannya, hal ini tentu sangat disayangkannya.

Begitulah Siau Hong dan A Cu lalu mendatangi rumah seorang petani, mereka minta mondok semalam di situ, mereka membeli beras seperlunya untuk menanak nasi, lalu membeli dua ekor ayam pula dan dibuat kaldu. mereka makan sekenyang-kenyangnnya. Cuma tanpa arak, hal ini agak kurang memenuhi selera Siau Hong.

Melihat A Cu seperti menyembunykan sesuatu perasaan dan sejak tadi enggan bicara, segera Siau Hong tanya, "A Cu, s ebab apa kau tampak murung? Padahal aku sudah menemukan musuhku, seharusnya kamu bergirang bagiku."

A Cu tersenyum, sahutnya, "Ya, benar, memang seharusnya aku bergembira."

Melihat senyum gadis itu sangat dipaksakan, segera Siau Hong berkata pula, "Malam ini juga sesudah kubunuh musuhku itu, segera kita berangkat ke utara, keluar Gan-bun-koan untuk angon sapi dan menggembala domba, selamanya takkan melangkah kembali ke tanah Tionggoan ini. Ai, Acu, pada waktu belum kutemukan Toan Cing-sun sebenarnya aku telah bersumpah akan membunuh segenap anggota keluarganya, akan membunuh bersih seisi rumahnya, seekor anjing dan ayampun takkan kuberi hidup. Tapi demi nampak orang ini sangat gagah perkasa, tidak mirip manusia rendah dan pengecut sebagaimana kubayangkan, maka aku lantas berubah pikiran, kupikir seorang yang berbuat biarlah seorang yang bertanggung jawab, tidak perlu lagi kubikin susah paa sanak-keluarganya!"

"Pikiranmu yang luhur dan bajik itu kelak pasti akan mendapat ganjaran rejeki yang setimpal." ujar A Cu.

Mendadak Siau Hong terbahak-bahak keras, katanya. "Kedua tanganku ini entah sudah berlumuran darah berapa banyak orang yang kubunuh, masakan bicara tentang kebajikan apa segala."

Dan demi melihat. A Cu tetap muram durja, segera ia tanya lagi. "A Cu, sebab apakah kamu merasa kurang senang? Apakah kamu tidak suka aku membunuh orang lagi?"

"Bukan tidak gembira, tapi entah mengapa mendadak perutku terasa sakit." sahut A Cu.

Kiau Hong coba pegng nadi si gadis, benar juga ia merasakan denyut nadi A Cu itu tidak teratur, terkadang cepat dan terkadang lambat, suatu tanda pikirannya kurang tentram. Maka katanya dengan suara lembut, " A Cu, mungkin kamu terlalu lelah, boleh jadi kamu masuk angin. Biarlah kusuruh ibu tani disini buatkan semangku wedang jahe untukmu."

Tapi belum lagi wedang jahe itu selesai dibuatkan, mendadak A Cu menggigil sambil berseru, "O, aku sangat dingin!"

Dengan penuh kasih sayang Siau Hong menanggalkan baju luar sendiri untuk selimut si gadis.

"Toako, malam ini akan terkabul cita-citamu selama ini dengan membunuh musuhmu, mestinya aku ingin menganimu ke sana tapi rasanya aku tidak sanggup ikut kesana, sungguh aku ingin selalu berada bersamamu, sedetikpun tidak ingin berpisah denganmu, tentu engkau akan kesepian berada sendirian," demikian kata A Cu dengan menyesal.

"Tidak, kita hanya berpisah sebentar saja. tiada alangan apa-apa," sahut Siau Hong. "A Cu sedemikian baik kamu padaku, sungguh aku tidak tahu cara bagaimana membalas budimu ini."

"Tidak hanya berpisah sebentar saja, tapi kurasakan akan sangat lama, ya lama sekali." kata A Cu, "Toako, sesudah kutinggalkan engkau, tentu kita akan kesepian dan sebatang kara. Paling baik kalau sekarang juga kita berangkat keluar Gan-bun-koan, tentang sakit hati terhadap Toan Cing-sun, biarlah kita balas setahun lagi. Biarlah aku hidup mendampingimu barang setahun dulu."

Perlahan Siau Hong membelai rambut A Cu, katanya. "Secara kebetulan baru aku ketemukan dia di sini, jika lewat setahun lagi tentu aku harus mencarinya ke Tayli, di sana banyak sekali begundalnya, sedangkan Toakomu seorang diri dan belum tentu dapat menangkan dia. Dalam hal ini bukanlah aku tidak mau menurut keinginan mu, tapi sesungguhnya banyak kesulitannya bagiku."

"Ya, memang tidak seharusnya kau minta engkau menunda setahun lagi untuk membalas dendam, seorang engkau ke Tayli tentu besar bahayanya,:" kata A Cu dengan perlahan.

Siau Hong terbahak sambil menenggak semangkuk, ia sudah biasa mengenggak arak secar begitu, meski sekarang mangkut itu tiada isinya, tapi ia berbuat seperti kebiasaannya itu. Lalu katanya, "Jika aku sendirian sudah tentu takkan kuatir apakah keluarga Toan di Tayli itu sarang harimau atau kubangan naga, soal matihidup tentu takkupikirkan lagi. Tapi kini aku sudah mempunyai seorang A Cu cilik, aku harus mendampingimu selama hidup, untuk itu jiwa Siau Hong menjadi besar artinya."

A Cu mendekap di pangkuan Siau Hong dengan penuh ras terharu. Siau Hong juga merasakan bahagia yang tak terkatakan. mempunyai istri seperti A Cu, apalagi yang diharapkan dalam hidupnya ini? Sesaat itu terbayang olehnya suasana padang rumput utara sana, sebulan kemudian ia akan menunggang kuda dan menggembala bersama A Cu, selanjutnya tidak perlu kuatir lagi akan disatroni musuh, sejak itu hidupnya akan bebas merdeka tanpa kekuatiran lagi.

Sesuatu hal yang masih membuatnya merasa tidak tentram adalah belum dibalasnya budi pertolongan kesatria berbaju hitam yang telah menyelamatkan jiwanya di Ci-hian-ceng tempo hari itu...

Sementara itu hari sudah gelap, lambat laun A Cu terpulas dalam pelukan Siau Hong. Perlahan Siau Hong rebahkan gadis itu di atas dipan dalam kamar yang disediakan si petani, lalu ia keluar dan duduk bersemadi di ruangan tengah.

Kira-kira satu dua jam kemudia, ketika ia keluar pondokan itu, ia lihat bulan sabit hampir menghilang tertutup oleh awan mendung yang tebal, tampaknya malam ini pasti akan hujan lebat.

Segera ia menuju jembat batu itu kira-kira lima li jauhnya, keadaan tambah gelap gulita, terkadang bunyi guntur diseling berkelebatnya kilat menembuts awan mendung yang memenuhi cakrawala hingga makin menambah seramnya suasana.

Siau Hong mempercepat jalannya, tidak lama kemudian, tibalah dia di jembata batu yang dijajnjikan itu. Ia coba memperhatikan bintang-bintang di langi, ia lihat masih lama daripada waktu yang ditentukan, palingpalling waktu itu baru jam sebelas malam.

Diam-diam ia merasa geli sendiri mengapa begitu tak sabaran hingga hadir di situ satu-dua jam lebih cepat. Dalam keadaan sunyi senyap itu barulah ia teringat kepada A Cu, "Alangkah baiknya jika saat ini A Cu berada disampingku."

Ia tahu ilmu silat Toan Cing-sun selsih terlalu jauh dengan dirinya, pertarungan nanti boleh dikatakan tidak perlu kuatir, sebab kemenangan sudah pasti berada di tangannya. Karena waktu yang dijajnjikan belum tiba, segera ia duduk di bawah pohon di tepi jembatan untuk menghimpun tenaga. Sekonyong-konyong angkasa dipecahkan oleh bunyi guntur yang gemuruh sekali ketika ia membuka mata, ia lihat hujan sudah hampir turun, waktu itu mungkin sudah tengah malam sebagaimana yang dijanjikan.

Pada saat itulah terlihat dari jalan Siau keng .. sana seorang sedang mendatang dengan langkah pelahan, orang itu berjubah longgar dan pakai ikat pinggang yang kendur, siapa lagi dia kalau bukan Toan Cing-sun.

Setiba di depan Siau Hong, segera Cing-sun membungkuk tubuh kepada Siau Hong dan berkata, "Kiau pangcu mengundang Caihe ke sini, entah ada petunjuk apa yang hendak diberikan padaku?"

Dengan kepala melengos dan melirik hina, seketika api amarah Siau Hong berkobar hebat sehutnya, "Toansiansing, maksudku mengundangmu ke sini, masakan sama sekali engkau tidak tahu?"

Toan Cing-sun menghela napas, katanya "Apakah maksud Kiau-pangcu tentang kejadian di Gan bun koan tempo dulu? Waktu itu aku keliru dihasut olrang hingga tidak sengaja membinasakan ayah bundamu, sungguh itu suatu kesalahan maha besar."

"Dan mengapa engkau membunuh pula ayah ibu angkat dan guruku ula?" tanya Siau Hong.

Cing-sun menggoyang kepala perlahan, sahutnya. "Yang kuharapkan supaya dapat menutupi kesalahnku itu, siapa duga makin ditutup makin terbuka sehingga akhirnya tak tertolong lagi."

"Hm, jujur juga kau," jengek Siau Hong.

"Nah apakah kamu akan menghabiskan riwayatmu sendiri atau perlu aku turun tangan?"

"Jika Kiau pangcu tidak menolong jiwaku, mungkin saat ini aku pun sudah almarhum," sahut Cing-sun. "Maka

kalau sekarang Kiau pangcu ingin mencabut nyawaku, silakan mulai saja."

Saat itu kembali terdengar suara gemuruh bunyi guntur, menyusul air hujan mulai menetes dengan derasnya. Hati Siau Hong tegerak juga oleh jawaban yang terus terang dan gagah berani itu.

Biasanya Siau Hong paling suka bersahabat dengan kaum pahlawan dan ksatria, sejak dia bertemu dengan Toan Cing-sun lantas timbul rasa suka dan cocok dengan jiwa ksatrianya, coba kalau permusuhan biasa saja tentu akan dianggap selesai dan akan mengajaknya pergi minum arak. Tapi kini soalnya menyangkut sakit hati orang tua, masakan boleh disudahi begitu saja?

Segera sebelah tangannya terangkat, katanya, "Sebagai anak murid orang, sakit hati ayah bunda dan guru tak bisa tidak harus kubalas. Kamu telah membunuh ayah bundaku dan aya ibu angkat serta guruku berlima, maka aku akan menghantamu lima kali, sesudah terima lima kali seranganan ku, apakah engkau mati atau masih hidup, biarlah segala dendam kesumatku akan kuanggap selesai."

"Satu jiwa cuma diganti dengan sekali pukul, pembalasa ini sungguh terlalu murah,: demikian sahut Cing-sun dengan tersenyum getir.

Diam-diam Siau Hong membatin masakan kamu takkan mampus kena hantaman Hang-liong-sip-pat ciangku ini. Maka segera ia berkata. "Baiklah, terima pukulanku ini!"

Sekali tangan kiri berputar, segera telapak tangan kanan menghantam ke depan.. Itulah jurus 'Hang liong yu hwe', salah satu jurus Hang liong sip pat ciang yang maha lihai.

Saat itu kembali sinar kilat berkeleat, petir menggelegar pula, pukulan dhsyat ditambah dengan bunyi geledek, keruan pukulan Siau Hong sehebat gugugr gunung dahsyatnya. "Bluk", badannya lemas lunglai semampir di lankan jembatandan tak berkutik lagi.

Sekilas Siau Hong terkesiap juga mengapa musuh tidak menagkis dan begitu tak becus pula, masakan tidak tahaun oleh sekali hantam. Cepat ia melompat maju, ia pegang tengkuk orang dan diangkat, tapi ia bertambah kaget.

Sementara itu bunyi guntur semakin menggelegar dan hujan makin lebat namun Siau Hong seakan-akan tidak merasakan semua itu, yang tepikir olehnya cuma, "mengapa dia berubah begitu ringan?"

Padahal siang tadi waktu ia menolong Toan Cing-sun, ia telah mengangkat pula badan pangeran Tayli itu dengan cukup lama. Sebagai seorang tokoh persilatan perbedaan bobot sedikit saja segera dapat diketahuinya.

Kini mendadak terasa bobot badan Toan Cing-sun susut beberapa puluh kati beratnya, seketika timbul semacam rasa takut yang sukar dilukiskan, seketika pula keringat dingin mengucur diseluruh badannya.

Pada saat itulah kembali sinar kilat berkelebat lagi, ketika Siau Hong pegang muka Toan Cing-sun ia merasa apa yang terpegang itu lunak empuk sebagai tanah liat. Waktu diremasnya kontan benda lunak itu mengelotok dari muka "Toan Cing-sun" yang sebenarnya itu, tanpa terasa lagi ia menjeri, "Ho? A Cu, A Cu Kiranya kau A Cu?"

Sesaat itu Siau Hong merasa lemas benar-benar, sedikitpun tak punya tenaga hingga berlutut sambil merangkul kedua kaki A Cu. Pukulan Hang liong yu hwe tadi telah menggunakan segenap tenaganya, sekalipun ditangkis oleh jago kelas satu juga tidak tahaun, apalagi sekarang cuma seorang A Cu yang lemah itu, sudah tentu tulang gadis itu akan remuk dan hancur isi perutnya, biarpun Sih-sin-ih berada di situ juga sukar menolong jiwanya.

Begitulah tubuh A Cu yang semapai di lankan jembatan itu lambat laut merosok ke bawah dan akhirnya jatuh bersandar di badan Siau Hong. Ia masih dapat bersuara dengan lirih dan lemah, "Toako, maafkan perbuatanku ini, apa engkau marah padaku?"

"Tidak, tidak, aku tidak marah padamu, tapi akulah yang bersalah! sahut Siau Hong terus memukuli kepala sendiri berulang-ulang.

Tangan A Cu tampak bergerak sedikit, mungkin bermaksud mencegah perbuatan Siau Hong yang menghajar diri sendiri itu, tapi saking lemasnya gadis itu tidak kuat mengangkat tangan sendiri lagi, katanya lirih, "Toako, berjanjilah padaku, untuk selanjutnya engkau takkan menyiksa diri sendiri."

"Sebab apa kau? Sebab apa?" demikian Siau Hong berteriak.

"Toako," sahut A Cu dengan sura lemah, "cobalah membuka bajuku, periksalah pundak kiriku!"

Dalam perjalan selama ini. biarpun mereka selalu berdampingan, tapi selalu Siau Hong berlaku sopan. Maka ia agak terkesiap oleh permintaan A Cu yang menyuruh membuka bajunya itu.

Tapi A Cu memohon lagi, "Sudah lama aku adalah milikmu, tubuhku ini pun punya mu.. Asala engkau periksa pundak kiriku, tentu engkau akan paham duduk perkaranya."

Dengan mengembang air mata, Siau Hong gunakan tangan kiri untuk menahan punggung si gadis dan mengerahkan hawa murni ke tubuh gadis itu, ia berharap dapat menyelamatkan jiwanya berbareng itu tangan kana membuka baju A Cu hingga menonjol keluar pundak kirinya, pada saat itu kebetulan sinar kilat berkelebat di angkasa, sekilas Siau Hong dapat melihat pundak si gadis yang putih bersih itu tercacah satu huruf "Toan" warna merah.

Siau Hong terheran-heran dan berduka pula, ia tidak berani terlalu lama melihat pundak si gadis, cepat ia rapatkan pula bajunya dan perlahan memeluknya sambil bertanya, "Di pundakmu terdapat satu huruf 'Toan', apakah artinya itu?"

"Ayah bundaku yang mencacahnya ketika mereka memberikan diriku kepada orang lain, yaitu untuk tanda pengenal bila kelak saling bertemu."

"Huruf 'Toan' ini...??" demikian Siau Hong belum lagi paham.

"Hari ini kalia tentu melihat juga tanda pengenal yang sama di pundak nona A Ci dan segera diketahui dia adalah putri mereka, apakah engkau melihat tanda... tanda pengenal itu?" tanya A Cu.

" Tidak, aku rikuh untuk melihatnya." sahut Siau Hong.

"Tanda pengenal yang tecacah di pundak A Ci itu adalah sama seperti huruf 'Toan' dipundakku ini." kata A Cu.

Seketika Siau Hong pun paham duduknya perkara, serunya, "Hah, jadi kamu... kamu juga putri mereka?"

"Semula akupun tidak tahu," sahut A Cu. "Sesudah melihat huruf di pundak A Ci baru kutahu, Dia mempunyai sebuah mainan kalung pula yang serupa seperti milikku, pada mainan kalung itu juga tertulis " A Si genap sepuluh tahun, makin besar makin tambah nakal'. Semula kukira A Si adalah namaku, tak tahunya adalah nama Ibuku. Ibuku buka lain iala Wi..Wi Sing-tiok yang tinggal di rumah bambu itu. Dan mainan kalung ini adalah pemberian Gwakong (kakek luar) waktu ibu masih kecil. Sesudah mempunyai anak kami taci-beradik. kami masing-masing diberinya sebuah mainan kalung ini."

"A Cu sekarang kupaham duduk perkaranya." kata Siau Hong. "Lukamu ini tidak ringan marilah kita berteduh dari hujan dahulu, kemudian kita berdaya untuk menyembuhkan lukamu, tentang urusan urusanmu biarlah kita bicarakan nanti."

"Tidak, tidak bisa! Aku harus ceritakan dengan jelas padamu, jika tertunda sebenar lagi mungkin sudah terlambat. : kata A Cu, "Toako engkau harus mendengarkan ceritaku ini hingga selesai."

Siau Hong tidak tega menolak keinginan si gadis, terpaksa menyahut, "Baiklah aku akan mendengarkan, tapi jangan terlalu banyak membuang tenagamu."

A Cu tersenyum, katanya, "Toako sangat baik, segala apa selalu pikirkan diriku, sedemikian engkau memanjakan aku, mana boleh jadi?"

"Selanjutnya aku akan lebih memanjakan dikau ya seratus kali bahkan seribu kali lebih memanjakanmu,: sahut Siau Hong.

"Sudahlah cukup, aku tidak suka engkau terlalu baik padaku, sebab kalau aku sudah nakal, maka tiada seorangpun lagi yang dapat mengatasi aku. " kata A Cu. " Toako, tadi aku... aku sembunyi dibelakang rumah bambu merah untuk mendengarkan percakapan ayah-ibu dan A Ci. Baru kutahu bahwa ayahku ternyata mempunyai istri lain, dia dan ibuku bukan suami istri yang resmi, sesudah kami taci beradik dilahirkan, kemudian ayah mau pulang ke Tayli tapi ibu tidak mengizinkan hingga kedua orang tuaku bertengkar, bahkan ibu telah menghajar dia namun ayah sama sekali tidak membalas. Kemudian ya tiada jalan lain, terpaksa mereka berpisah."

"Padahal Gwakong sangat keras wataknya bila beliau tahu perbuatan ibu, pasti ibu akan dibunuhnya. Maka ibu tidak berani membawa kami pulang ke ruma, terpaksa kami diberikan kepada orang lain dengan harapan kelak dapat bertemu pula, maka di pundak kami taci beradik masing-masing dicacah sebuah huruf 'Toan' Orang yang memelihar diriku itu cuma tahu ibu she Wi pula mainan kalung yang kupakai ini ada nama ' A SI', maka aku disangkanya bernama Wi Si, padahal aku sebenarnya she Toan..."

"Kamu benar-benar anak yang harus dikasihani.: kata Siau Hong dengan penuh kasih sayang.

"Ketika aku diberikan kepada orang lain, waktu itu usiaku cuma setahun lebih, dengan sendirinya aku tidak kenal ayah, bahkan wajah ibu juga tidak kenal lagi." demikian A Cu melanjutkan. "Toako, nasibmu serupa diriku. Malam itu ketika aku mendengar orang bercerita tentang asal-usulmu di hutan sana, sungguh aku ikut berduka sebab kurasakan kita berdua sama-sama anak yang bernasib malang."

Saat itu kilat berkelebat dan guntur mengelegar pula, mendadak sebatang pohon di tepi sungai sana tersambar petir hingga roboh. Tapi Siau Hong dan A Cu tidak menghiraukan lagi keadaan di sekitar mereka, biarpun langin akan ambruk juga tak terpikir lagi.

Maka A Cu berkata pula, " Kini diketahui bahwa orang yang membunuh ayah-ibumu itu adalah ayahku sendiri. Ah mengapa kita mesti ditakdirkan mepunyai nasib begini? Malahan... malahan orang yang dapat memancing pengakuan Be-hujin tentang ayahku itu tak lain tak bukan adalah diriku sendiri. Coba kalau aku tidak menyaru sebagai Pek Si-kia untuk menipunya takakan dia menyebut nama ayahku"

Dengan lesu Siau Hong menunduk, hati serasa benang kusut, akhirnya ia tanya, "Apakah kamu yakin ToanCing-sun adalah ayahmu? Tidak salah lagi?"

"Tidak salah," sahut A Cu tegas. "Kudengar sendiri ayah-ibu menangis sedih sambil memeluk A Ci dan menguraikan kisah waktu kami berdua diberikan kepada orang lain dahulu. Auah-ibu menyatakan bahwa apapun juga aku akan ditemukannya kembali. Sudah tentu mereka tidak menduga bahwa putri kandung yang hendak mereka cari saat itu justru sedang mengintip di luar jendela.

"Toako tadi aku pura-pura bilang sakit, sebenarnya aku lantas menyamar sebagai dirimu untuk menemui ayahku, kukatakan padanya bahwa pertemuan di jembatan malam ini dibatalkan, segala permusuhan kuhapus seluruhnya. Habis itu aku menyaru pula sebagai ayah untuk menemuimu di jembatan ini agar di ... agar di..."

Bertutur sampai di sini denyut nadinya sudah teramat lemah.

Lekas Siau Hong kerahkan tenaga murni lebih kuat agar A Cu tidak sampai putus napasnya, lalu katanya dengan air mata berlinang-linang, "Mengapa kamu tidak mengatakannya padaku? Bila kutahu dia adalah ayahmu...?

Ia tidak sanggup meneruskan lagi, sebab ia pun tidak tahu bila sebelumnya mengetahui Toan Cing sun adalah ayah kekasihnya lantas bagaimana ia akan bertindak?

Maka A Cu berkata pula, "Sesudah kupikir hingga lama, tetap aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Toako, selalu kuharapkan dapat hidup didampingmu selamanya, tapi apakah harapan itu dapat terkabul? Apakah aku dapat memohon agar engkau jangan menuntut balas kepada musuh yang telah membunuh kelima orang tuamu yang kau cintai itu? Dan umpama aku memohon, apakah sekiranya engkau dapat meluluskan!"

Suara A Cu itu sangat lemah dan lirih, diangkas guntur masih terus menggelegar, tapi bagi pendengaran Siau Hong suara A Cu itu jauh lebih mengguncangkan sukma dari pada suara gemuruh guntur itu.

Sambil menjambak rambut sendiri Siau Hong berkata, "Tapi kaudapat minta ayahmu melarikan diri saja. Atau karena ayahmu adalah seorang sejati dan tidak mungkin ingkar janji, kamu dapat menyamar sebagai diriku untuk mengadakan perjanjian baru dengan ayahmu, boleh berjanji pada suatu hari lain utnuk bertemu di suatu tempat yang jauh di sana. Ya, mengapa... mengapa kamu tidak berbuat demikian, tapi malah mengorbankan dirimu sendiri?"

"Aku ingin menunjukkan padamu bahwa seorang secara tidak sengaja membunuh orang lain dapat terjadi bukan disebabkan maksud sesungguhnya," kata A Cu. "Seperti dirimu, sudah tentu engkau tidak ingin membunuh diriku, tapi engkau telah hantam sekali padaku. Sebaliknya ayahku membunuh ayah-bundamu itu pun suatu kesalahan yang tidak disengaja."

Dengan mesra Siau Hong memandangi mata si gadis yang berkedip kedip bagai bintang di langit, sorot mata A Cu itu penuh kasih sayang yang tak terbatas.

Hati Siau Hong tegerak, tiba tiba terasa olehnya cinta A Cu padanya yang tak terbatas itu sesungguhnya diluar segala apa yang pernah dibayangkannya. Cepat katanya dengan suara gemetar, " A Cu, tentunya kamu masih mempunyai alasan lain, tidak cuma ingin menyelamatkan ayahmu juga tidak cuma ingin menunjukkan padaku tentang kesalahan yang tak disengaja itu, tapi kamu berbuat demi diriku, demi kebaikanku!"

Segera Siau Hong pondong A Cu dan berbangkit, air hujan membasahi kepala dan mukanya..

Muka A Cu menampilkan senyum puas, rupanya karena akhirnya Siau Hong dapat memahami perasaannya, maka ia merasa senang. Ia tahu jiwa sendiri sudah hampir tamat, walaupun ia tidak mengharapkan sang kekasih tahu maksudnya yang tersembunyi dalam lubuk hatinya itu, tapi akhirnya sang kekasih tahu sendiri.

"Ya A Cu, engkau berbuat demi aku, bukan? Jawablah, betul tidak?' desak Siau Hong.

"Ya benar," sahut A Cu dengan lirih.

Sebab apa? sebab apa?" deru Siau Hong keras, Keluarga Toan dari Tayli memeliki Lak-meh-sin-kiam yang maha sakti, bila engkau membunuh Tin lam ong mereka, masakan mereka mau sudahi urusan ini? Toako..."

Seketia Siau Hong sadar, tanpa terasa air mata bercucuran bagai hujan.

Lalu A Cu melanjutkan, "Toako, ingin kumohon sesuatu padamu, dapatkah engkau memenuhinya?"

"Jangankan cuma satu, biarpun seratus, seribu permintaanmu juga akan kupenuhi," sahut Siau Hong.

"Aku hanya mempunyai seorang adik perempuan dari ayah dan ibu yang sama, " ucap A Cu. "Tapi sejak kecil kami berpisah, maka ingin komohon padamu agar suka menjaga dia, kuatir dia akan tersesat."

"Nanti kalau engkau sudah sembuh kita akan mencari dia agar dapat kumpul bersamamu," sahut Siau Hong dengan senyum paksa. "Wataknya yang aneh dan cerdik itu mungkin masih kalah daripadamu, maka engkau boleh mengajarnya nanti."

(Apakah A Cu benar akan meninggal akibat pukulan Siau Hong yang tidak sengaja itu?

Mengapa A Cu mengambil jalan nekat begitu dan siapakah sesungguhnya A Ci dan Wi Sing tiok?)

Jilid 37
"Nanti kalau aku sudah .. sudah baik, Toako, kita akan pergi keluar Gan-bun-koan untuk menggembala domba, tai apakah … apakah adik perempuanku itu pun mau ikut?” tanya A Cu dengan suara lemah. "Sudah tentu dia akan ikut, kalau Cici dan Cihu mengajaknya, masakah dia tidak mau?” sahut Siau Hong.

Pada saat itu tiba-tiba mendeburnya air, tahu-tahu dari dalam sungai di kolong jembatan batu itu menongol keluar seorang terus berseru, "Huh tidak malu? Cici dan Cihu apa segala? Aku justru tidak mau ikut!” Orang itu bertubuh kecil mungil, berpakaian ringkas peranti renang, siapa lagi kalau bukan A Ci? Setelah salah menghantam A Cu, maka seluruh perhatian Siau Hong terpusat atas keselamatan kekasih itu hingga apa yang terjadi disekitarnya sama sekali tak diperhatikannya. Padahal dengan kepandaiannya yang tinggi itu sebenarnya dengan mudah akan dapat diketahuinya jika ada orang bersembunyi di bawah jembatan, Maka ia rada kaget demi nampak munculnya A CI, segera ia berseru,

"He, A Ci, lekas kemari untuk melilhat tacimu!” Mulut A Ci yang mu;ngil itu mencebir, katanya, "Aku sembunyi di bawah jembatan, sebenarnya ingin kulihat perkelahianmu dengan ayahku, siapa tahu yang kena hantam adalah Ciciku. Sejak tadi kalian terus kasak kusuk tidak habis-habis dengan berbagai kata cinta, sungguh aku tidak suka mendengarkan. Dalam cumbu rayu kalian mengapa diriku ikut disinggu-singgung?” Sambil berkata iapun mendekati mereka. Segera A Cu berkata. "Adikku yang baik, selanjutnya Siau toako akan menjaga dirimu dan kamu … kamu juga mesti menjaga dia…”

Tiba-tiba A Ci mengikik tawa, katanya, "Hihihi, lelaki kasar lagi jelek seperti dia, mana aku harus dia?” Ketika Siau Hong bermaksud membawa A Cu ke suatu tempat untuk berteduh, sekonyong konyong ia merasa badan gadis itu mengigil lalu kepa terjulai lemas ke bawah kemudian tak bergerak lagi. Keruan Siau Hong terkejut, ia berteriak teriak A Cu! A Cu!” Tapi biarpun ia berteriak seratus kali atau seribu kali juga A Cu tak dapat menjawab dan hidup kembali. Melihat A Cu telah meninggal, A Ci juga terkejut, ia tidak nakal lagi seperti tadi, tapi berkata dengan gusar, "Engkau menghantam mati Taciku…engkau membunuh Taciku?”

"Ya, memang betul aku yang membunuh encimu. Maka kamu harus membalas dendam, lekas, lekas bunuh aku!” seru Siau Hong. Ia turunkan tangannya yang mengendong A Cu dan membusungkan dada, lalu sambungnya pula, "Nah, lekas kaubunuh aku!” I benar-benar berharap A Ci mencabut belati dan menikam dadanya, dengan demikian segala apa akan selesailah untuk membebaskan dirinya dari siksaan batin yang tiada habis-habis itu. Tapi demi nampak muka Siau Hong yang berkerut-kerut menyeramkan itu, A Ci menjadi sangat ketakutan malah ia mundur beberapa tindak sambil berseru, "Jangan…jangan kau bunuh diriku!” Siau Hong melangkah maju, ia jambret baju dada sendiri,'bret', tertampaklah dadanya yang lebar, katanya, "Nah, lekaslah bunuh aku! Kamu punya jarum berbisa, punya pisau beracun, lekas tikam mati aku!”

Di bawah sinar kilat sekilas A Ci melihat gambar kepala serigala yang tercacah di dada Siau Hong sedang pentang mulut dengan kedua taringnya yang buas, ia tambah takut, mendadak ia menjerit terus putar tubuh dan lari pergi. Siau Hong termangu-mangu di atas jembatan batu itu, dukanya tak terkatakan, sesalnya tak

terhingga. Mendadak ia menghantam dengan tangannya, 'prak', segumpal batu lankan jembatan pecah dan tercebur ke sungai.

Siau Hong merasa hatinya juga seakan-akan melompat keluar dari rongga dadanya dan ikut kecemplung ke sungai. Ia ingin menagis, menagis sekeras-kerasnya, tapi tak dapat menangis. Ketika sinar kilat berkelebat lagi, sekilas dilihatnya air muka A Cu yang penuh kasih sayang penuh perhatian atas dirinya itu masih terbayang di ujung mulut dan alis gadis itu.

"A Cu!” teriak Siau Hong, mendadak ia pondong badan kekasih itu dan dibawa lari menuju hutan-belukar yangsunyi. Guntur masih menggelegar di angkas, hujan mencurah bagai di tuang, Siau Hong terus berlari-lari, sebentar mendaki bukit, sebentar turun ke lembah, ia tidak tahu lagi dirinya berada dimana, pikirannya kacau seakan-akan orang linglung. Perlahan gemuruh guntur mulai berhenti, tapi hujan masih belum reda.

Ufuk timur mulai remang-remang fajar telah menyingsing. Sudah beberapa jam Siau Hong berlari kian kemari seperti orang gila sedikitpun ia tidak merasa letih, ia hanya ingin menyksa diri sendiri, ia ingin lekas mati saja untuk mengiringi A Cu selama-lamanya. Di sawah sudah ada petani yang bermantel ijuk memanggul cangkul dan bar keluar dari rumah, Ketika melihatkelakukan Siau Hong itu, semuanya terheran-heran.

Begitulah tanpa tujuan Siau Hong terus berlari kian kemari dan akhirnya tanpa terasa kembali lagi d atas jembatan batu tadi ia berguman sendiri, : Aku akan mencari Toan Cingpsun, akan kuminta dia membunuh diriku saja untuk membalas sakit hati putrinya.” … Segera ia melangkah lebar menuju ke Sian keng oh. Tidak lama kemudian, sampailah dia ditepi danau itu. Segera ia berteriak-teriak "Toan Cing-sun, aku telah membunuh putrimu, ini aku berada di sini, lekas kau bunuh aku, sekali kali aku takkan balas menyerang. Lekas kemari, lekaslah!”

Sambil memondong A Cu yang sudah tak bernyawa itu, Siau Hong berdiri tegak di depan hutan bambu itu. Ia menunggu hingga lama, tapi di tengah hutan bambu itu tetap sunyi senyap dan tida ada seorangpun yang muncul. Segera Siau Hong menyusur hutan dan mendekati rumah bambu, sekali depak ia bikin daun pintu terpentang, lalu melangkah masuk sambil berseru, "Toan Cing-sun, marilah bunuh diriku saja” Tapi ia lihat rumah itu sudah kosong. Tiada seorangpun penghuninya.

Ia coba periksa kamar samping dan ruang belakang bukan saja Toan Cing-sun dan kawan kawannya itu sudah menghilang bahkan pemilik rumah bambu itu Wi Sing tiok, juga tidak kelihatan lagi. Namun segala alat perabot di dalam rumah masih tetap di tempatnya, agaknya penghuninya baru saja pergi dengan tergesa-gesa hingga tidak sempat membawa apapun. Pikir Siau Hong, "Ya, tentu A Ci telah memberi kabar kepada mereka karena menyangka aku akan membunuh ayahnya untuk membalas dendam. Andaikan Toan Cing-sun tidak mau melarikan diri, namun wanita she Wi dan bawahannya yang setia itu tentu juga akan memaksanya agar mnyelamatkan diri. Hehehe aku toh tidak akan membunuhmu, tapi kudatang ke sini untuk minta kaubunuh diriku.”

Segera ia berteriak-teriak pula memanggil Toan Cing-sun, suaranya keras berkumandang jauh namun tetap tiada suara sahutan seorang pun. Di tepi Siau keng oh, di engah hutan bambu itu sunyi senyap tiada seorangpun. Tapi bagi Saiu Hong rasanya dunia ini seperti tinggal dia seorang yang hidup. Sejak A Cu menghembuskan napas penghabis, selama itu juga ia terus pondong tubuh kekasih itu. entah sudah berapa kai ia kerahkan tenaga murni ke dalam tubuh A Cu dengan harapan seperti tempo hari waktu gadis itu dihantam oleh ketua Siau lim si dan akhirnya dapat disembuhkan kembali.

Tapi tempo hari Siau Hong yang langsung kena pukulan jago Siau lim si itu, Acu hanya keseremper saja oleh serangan itu. Sedangkan pukulan "Hang ling yu hwe” yang dilontarkan Siau Hong sekarang dengan tepat menghantam dada si gadis, tentu saja jiwanya melayang. Dengan termangu-mangu Siau Hong duduk di ruangan depan rumah bambu itu sambil memondong A Cu. Dari pagi sampai siang dan dari siang sampai petang, tetap ia duduk di situ.

Sementara itu hujan sudah berhenti, hari sudah terang, sinar surya waktu senja menyorot di atas tubuhnya dan jenazah A Cu yang masih berada dalam pangkuannya itu. Biar bagaimana dan dalam keadaan apapun juga Siau Hong tidak pernah lesu dan putus asa tapi kini karena ia sendiri telah berbuat sesuatu kesalahan besar yang tidak mungkin ditarik kembali lagi, ia merasakan kekosongan orang hidup. Ia merasa tiada artinya lagi hidup lebih lama di dunia ini. Ia pikir, "A Cu telah berkorban bagi ayahnya, akupun tak dapat menuntut balas lagi kepada Toan Cing-sun. Sedangkan perkembangan Kai-pang dan cita-citaku yang muluk-muluk pada waktu muda, semuanya itu tiada harganya lagi untuk kupikirkan.”

Segera ia menuju ke pekarangan belakang ia lihat di pojok sana ada sebuat cangkul bunga. Pikirnya, "Biarlah aku mendampingi A Cu disini untuk selama-lamanya.” Sambil sebelah tangan merangkul A Cu,dengan tangan kanan ia jinjing cangkul itu dan menuju ke tengah hutan bambu sana, ia menggali sebulah liang, lalu menggali liang yang lain lagi. Kedua liang itu berjajar. Pikirnya pula, "Jika sebentar ayah-bundanya pulang, karena tidak tahu apa yang terjadi bukan mustahil mereka akan menggali kuburan-kuburan ini untuk diperiksa maka aku harus mendirikan batu nisan di atas kuburan-kuburan ini.” Ia lantas memotong sebatang bambu persegi itu, ia belah mejadi dua, lalu ke dapur dan meratakan bambu itu dengan pisau sayur.

Kemudian ia mendatangi kamar sebelah lain , di atas meja di dalam kamar itu lengkap tesedia kertas dan alat tulis. Di dekat dinding ada sebuh rak buku, mungkin inilah kamar baca Wi Sing tiok. Setelah menggosok tinta, lalu ia angkat pensil dan menulis di atas salah satu belahan bambu tadi, "Kuburan Siau Hong, suami yang kasar dari Cida.”

Ketika ia siapkan belahan bambu yang lain dan ingin menulis lagi, diam-diam ia mejadi ragu, pikirnya, "Cara bagaimana harus kutulis nisan ini? Apakah kutulis, 'Kuburan nyonya Toan dari keluarga Siau? Tapi meski dia sudah mengikat janji denganku, kamikan belum menikah, sampai meninggal ia tetap seorang nona yang suci murni, kalau kusebut dia segagai nyonya apakah hal itu takkan menodai kesuciannya?”

Seketika ia menjadi bingung apa yang harus ditulisnya, ketika ia mendongak untuk berpikir, dimana mata menandang, tiba-tiba dilihatnya di dinding bambu sana tergantu sehelai tirai sutera yang bertuliskan beberapa baris sajak. Waktu ia membacanya, kiranya itu adalah sajak percintaan. Meski Siau Hong terbatas sekolahnya,

bahkan beberapa huruf dalam sajak itu tak dikenalnya tapi dapat juga ia menangkap artinya, ia tahu itu adalah sajak percintaan yang memuji sanjung sang kekasih.

Bagian depan sajak itu mengenangkan masa cumbu rayu mereka yang mesra, dan bagian lain mengisahkan rasa berat ketika harus beapisah. Akhirnya sajak itutertulis "Dipersembahkan kepada kekasih nan tercinta, dari Tayli Toan-ji sesudauh mabuk”. "Hm, Tail Toaj-ji (Si Toan kedua dari Tayli) Siapa lagi dia kalau bukan Toan Cing-sun yang sengaja menuliskan sajak ini untuk kekasihnya, Wi Sing tiok, ini mengenai kisah roman ayahbunda A Cu, mengapa secara blak-blakan sajak ini digantung di ruangan ini tanpa malu? Ah, tahulah aku, tentu disebabkan hutan bambu ini jarang didatangi orang, biasanya cuma ibu A Cu yang tinggal sendirian di sini. Tapi bisa jadi karena Toan Cing sun berkunjung pula ke tempat lama ini lalu hiasan sajak ini dikeluarkan lagi. Kalau melihat bekas tulisannya terang ditulis pada belasan tahun yang lampau.”

Dasar sifat Siau Hong memang cermat, biarpun bertekad akan mati bersama A Cu, tapi demi melihat sesuatu keganjila, betapapun ia menaruh perhatian. Segera ia pikir pula cara bagaimana harus menulis nisan kuburan A Cu? Krena tiada menemuka sesuatu sebutan yang cocok, akhirnya ia tulis saja secara singkat, "Kuburan si A Cu”. Selesai menulis, ia bebangkit hendak menanam nisan bambu itu di depan liang kubur a Cu, setelah mengubur A Cu, lalu ia akan bunuh diri. Ketika ia pondong tubuh a Cu, tanpa sengaja ia berpaling dan memandang sekejap pula tabir bersajak yang tergantung di dinding itu.

Tapi mendadak ia melonjak dan besru, "Hai, salah, salah! Dalam urusan ini ada sesuatu yang tidak betul!” Ia mendekatitabir itu lagi, ia lihat gaya tulisan sajak itu sangat indah penuh wibawa.Tiba-tiba benaknya seakanakan mendengar suara bisikan, "Surat itu!surat yang ditulis Toako pemimpin dan ditujukan kepada Ong-pangcu itu, tulisan dalam surat itu tidak sama gayanya dengan tulisan sanjak ini. Ya, sama sekali berbeda.” Meski Siau Hong tidak banyak bersekolah, ia sebenarnya tidak pandai membedakan gaya tulisan yang baik dan jelek, tpai tulisan sajak ini sangat lancar dan indah, sebaliknya tulisan surat "Toako pemimpin” itu kaku dan jelek, sekali baca segera diketahu berasal dari tulisan tanganj ago silat kangouw, perbedaan kedua gaya tulisan ini sungguh terlalu jauh, biarpun siap juga dapat membedakannya dengan mudah.

Begitulah mata Siau Hong terbelak lebar menatap tulisan di atas tabir itu seakan-akan ingin mencari sesuatu rahasia dan muslihat yang tersembunyi di balik tulisan itu. Benar Siau Hong terus berputar, yang terbayang saat itu adalah surat yang dilihatnya malam itu ditengah hutan di luar kota Bu-sik yaitu surat berasal dari Toako Pemimpin yang ditujukan kepada Ong-pangcu. Waktu itu Ti-kong Tam mendadak menyobek bagian yang ada tanda tangan si pengirim surat dan ditelan ke dalam perut hingga Siau Hong tidak tahu lagi siapa gerangan penulis surat itu. Tapi gaya tulisan surat itu sudah tercetak benar dalam benaknya dan teringat jelas olehnya, biarpun dunia kiamat juga takkan terlupakan ia yakin penulis surat itu dan "Tayli Toan-ji” yang menulis sajak itu pasti bukan terdiri dari orang yang sama, tapi apakah mungkin surat itu ditulis oleh orang lain atau suruhan "Toako pemimpin”?

Setelah berpikir sejenak segera Siau Hong menarik kesimpulan hal itu pun tidak bisa jadi. Kalau Toan Cingsun mampu menulis sajak sebagus ini, hal ini menandakan dia adalah seorang yang sudah biasa menulis surat, biasa mengarang, dan kalau mesti meulis surat kepada Ong pangcu untuk merundingkan urusan penting, masakan mungkin malah menyuruh orang lain menuliskannya.

Begitulah makin dipikir makir sangsi, beulang- ulang Siau Hong bertanya jawab sendiri di dalam batin. "Jangan-jangan Taoko pemimpin itu bukan Toan Cing-sun. Jangan-jangan tabir bersajak ini bukan ditulis oleh Toan Cing-sun. Tapi, tidak bisa selain Toan Cing-sun, dari mana ada Tayli Toan-ji lagi. Masakan apa yang dikatakan Be hujin ia boHong. Itu pun tidak bisa. Dia tidak pernah kenal Toan Cing sun yang satu tinggal di utara yang lain jauh di Selatan, ada permusuhan apa hingga dia perlu mengarang hal-hal yang tidak benar untuk menipu aku, dibalik ini yang pasti ada suatu tipu muslihat keji. Aku membinasakan A Cu karena kesalahan yang tidak disengaja, sebaliknya pengorbanan A Cu demi kebaikanku dan demi keselamatan ayahnya tapi sekarang ternyata bukan begitu halnya, matinya yang tak berdosa itu kini bertambah penasaran lagi. Ya, mengapa sebelumnya aku tidak melihat tabir bersajak ini lebih dulu?” Begitulah ia termangu-mangu di situ dengan penuh rasa duka dan sesal. Sementara itu matahari senja sudah menghilang di ufuk barat.

Tiba-tiba terdengar di tepi Siau-kong-oh sana ada suara tindakan dua orang sedang menuju hutan bambu ini. Jarak kedua orang itu masih jauh, tapi pendengaran Siau Hong sangat tajam, sedikit suara saja sudah diketahuinya. Ketika ia dengarkan lebih cermat, segera dapat diketahui pula pendatang itu adalah wanita semua.. Pikirnya, "Tentu A Ci dan ibunya telah pulang. Ya, biar kutanya nyonya Toan apakah tabir bersajak ini tulisan Toan Cing-sun atau bukan? dan bila dia dendam lantaran aku telah membunuh A Cu, pasti dia juga akan membunuh.. membunuh aku…”

Sebenarnya ia bertekad tak mau membeli serangan, ia ingin mati bersama A Cu. Tapi ia berubah pikirannya,”Jika benar A Cu mati penasaran dan pembunuh ayah-bundaku itu sebenarnya adalah orang lain dan bukan Toan Cing-sun maka utang darah Tai-0k jin itumenjadi bertambah pula atas kematian A Cu, istriku yangtercinta. Kalau aku tidak membalas dendam, bagaimana aku akan bertemu dengan ayah-ibu, suhu, dengan kedua orang tua angkat dan A Cu di alam baka?” Dalam pada itu kedua wanita itu sudah makin dekat dan sudah masuk ke dalam hutan bambu itu.

Selang sebentar pula, suara percakapan kedua wanita itupun dapat terdengar. Seorang diantaranya lagi berkata. "Awas, ilmu silat perempuan hina ini tidak rendah, bahkan banyak tipu akalnya.” Lalu suara wanita lain yang lebih muda menjawab, "Dia hanya sendirian, kita ibu dan anak pasti dapat membereskan dia.” "Sudahlah, jangan bicara lagi. Begitu kita terjang maju, segera kita turun tangan tanpa kenal ampun, tidak perlu raguragu,” demikian kata wanita pertama yang lebih tua. Yang muda berkata pula, "Dan bila ayah tahu…” "Hm, masih kau pikirkan ayahmu?” jengek ibunya.

Habis itu lantas tiada suara percakapan lagi, hanya terdengar mereka mendekati rumah bambu itu dengan berjinjit jinjit, yang satu menuju ke pintu depan dan yang lain berputar ke belakang rumah, nyata mereka bermaksud menyergap dari muka dan belakang. Siau Hong agar heran, pikirnya, "Dari suara mereka ini terang bukan A Ci dan Wi Sing tiok, tapi mrekapun terdiri dari ibu dan anak serta bermaksud membunuh seorang wanita yang sendirian. Ah, benar kemungkinan Wi Sing-tiok yang mereka incar dan agaknya ayah si gadis tidak menyetujui perbuatan mereka ini.” Tapi ia tidak ambil pusing kepada urusan lain, ia tetap duduk dan termangu di tempatnya.

Selang sejenak, terdengar suara pintu berkeriut didorong orang, lalu masuklah seorang. Sama sekali Siau Hong tidak berpaling atau menoleh tapi dapat dilihatnya sepasang kaki yang kecil dan bersepatu hitam berjalan samapi di depannya, jaraknya kira-kira dua meter, lalu berhenti di situ. Menyusul daun jendela pun didorong

orang hingga terpentang, lalu melompat masuk seorang lagi lalu berdiri disamping Siau Hong. Dari suara dan gerak lompatan orang dapat diketahui oleh Siau Hong bahwa ilmu silat pendadang itu tidak seberapa tinggi.

Karena hatinya sedang risau dan putus asa, maka Siau Hong diam saja, tetap menunduk sambil memeras otak, "sebenarnya 'Toako pemimpin' yang dimaksudkan itu Toan Cing-sun atau bukan? Ada sesuatu yang aneh pada ucapan Ti-kong Taisu tempo hari itu. Adakah sesuatu tipu muslihat Ci-tianglo? Apa yang dikatakan Be-hujin adalah sesuatu yang mencurigakan?” Begitulah perasaannya bergolak, pikirannya kacau. Tiba-tiba terdengar wanita muda tadi sedang menegur padanya, "Hei, siapakah kau? Di mana perempuan hina-dina she Wi itu?” Suaranya dingin mengejek, nadanya juga kasar. Tapi Siau Hong tidak menggubrisknya, ia asyik memikirkan urusannya sendiri.

"Apakah tuan ada hubungan apa-apa dengan perempuan hina Wi Sing tiok itu? Siapakah perempuan yang meninggal ini? Lekas katakan!” demikian wanita yang tua juga bertanya. Namun Siau Hong tetap tak gubris mereka. Rupanya wanita yang muda menjadi gusar, segera ia mendamprat, ” Hei, apakah kamu tuli atau bisu? Mengapa tidak menyahut sepatah pun pertanyaan kami?” Tetap Siau Hong tidak perduli mreka, mirip patung saja ia duduk di tempatnya.

Rupanya si wanita muda menjadi taksabar, sekali pedang bergerak hingga mengeluarkan suara mendengung, segera ujung pedang menusuk ke depan jaraknya tinggal beberap senti di pelipis Siau Hong asal dia mendorong maju sedikit lagi tentu jiwa Siau Hong terancam. "Coba kalau kamu masih berlagak dungu, biar segera kau tahu rasa!” demikian wanita muda itu membatin. Tak terduga Siau Hong sama sekali tak menghiraukan ancaman bahaya lagi, dia tetap asyik merenungkan berbagai tanda tanya dalam benaknya yang belum terjawab itu.

Mendadak pedang wanita muda itu menusuk miring ke depan hingga menyambar lewat samping leher Siau Hong, tujuannya hanya ingin tanya kemana perginya Wi Sing-tiok, maka tiada niat hendak melukai orang, sebab itulah ia cuma menggertak saja dengan miringkan pedang dan menusuk ke samping leher. Namun Siah Hong dapat mendengar jelas arah mana yang henda dituju senjata orang, maka sama sekali ia tidak menghidar, tetap diam seperti tidak tahu apa-apa.

Karuan kedua wanita itu saling pandang dengan heran. kata yang muda, ” Mak, jangan-jangan orang ini ling lung?” "Besar kemungkinan ia cu ma pura-pura dingin saja,” ujar yang tua.” Di rumah perempuan hina ini mana ada manusia baik-baik? Biar kubacok dia sekali, nanti kita paksa dia mengaku.” Dan baru habis omong, segera golok ditangan kiri membacok pundak Siau Hong. Sudah tentu Siau Hong tidak gampang diserang. Ketika senjata orang tinggal belasan senti dari pundaknya, mendadak tangan kanan membalik ke atas, sekali bergerak, tepat punggung bolong orang kena di jepit oleh dua jarinya, seketika golok wanita itu seperti terkatung-katung di udara dan tak bisa bergerak lagi.

Ketika Siau Hong kerahkan tenaga jari dan mendorong ke depan, gagang golok itu tepat menumbuk hiat-to penting di pinggang wanita itu, kontan dia tak bisa berkutik. Waktu Siau Hong menyandal sekuatnya "pletak”, golok itu patah menjadi dua, lalu dilemparkannya ke lantai, dari mula sampai akhir sama sekali ia tidak mengangkat kepala untuk memandang wanita itu. Keruan wanita yang muda sangat kaget ketika melihat sekali

gebrak saja ibunya sudah dibikin tak berkutik, cepat ia melompat mundur, berbareng terdengar suara mendesis, tujuh panah kecil sekaligus berhamburan ke arah Siau Hong.

Tapi dengan menjemput kembali golok patah tadi, semua panah kecil itu disampuk jatuh, menyusul tangan Siau Hong bergerak sedikit, golok patah itu menyambar ke depan dengan garda di muka, 'bluk', tepat pingga wanita muda itu kena tertimpuk. Wanita muda itu menjerit sekali lalau ia pun tak bisa berkutik lagi. "Apa kamu terluka?” tanya wanita yang tua dengan kuatir. "Tidak, hanya pinggangku kesakitan, aku tertutuk bagian "kingbun-hiat' sahut yang muda. "Dan aku tertutuk bagian 'tiong-hu-hiat' kata yang tua. "Wah, ilmu silat orang ini sangat…sangat lihai.” "Mak, sebenarnya siapakah orang ini? Mengapa tanpa berdiri dan kita lantas dibuat tak berkutik olehnya, kukira dia pakai ilmu sihir ujar yang muda.

Rupanya mereka tak bisa berkutik, maki wanita yang tua tak berani garang pula, dengan nada memohon ia berkata kepada Siau Hong, "Selamanya kami tiada permusuhan apa-apa dengan tuan, tadi secara sembrono kami menggangu tuan itu kesalahan kami, untu itu kami minta maaf dan sudilah membebaskan kami.”

"Tidak, tidak!” mendadak yang muda menyela, ” Kalau memang kalah biarlah kita mengaku kalah, buat apa mesti minta ampun segala? Biarlah kalau dia berani, boleh bunuh saja nonamu ini,siapa sudi minta maaf padanya.” Sayup-sayup Siau Hong mendengar suara ibu dan anak itu, yang diketahuinya cuma sang ibu telah minta ampun dan si anak kepala batu, tapi apa yang mereka katakan sebenarnya tidak masuk telinga siau Hong.

Sementara itu hari sudah malam, di dalam rumah itu gelap gulita. Tapi Siau Hong masih tetap duduk di tempat semula, sedikitpun tidak menggeser tempat. Biasanya otak bekas pangcu itu sangat cerdas, segala urusan yang sulit dapat diputusnya dengan cepat, andaikan seketika masih ragu paling-paling cuma dikesampingkannya. Tapi hari ini ia telah salah membinasakan A Cu, rasa dukanya tiada taranya, maka ia termangu-mangu dan melongo seperti orang linglung.

Maka terdengar si wanita yang tua lagi berkata dengan suara perlahan, "Coba kau kerahkan tenaga untuk menggempur 'Koan-tiau-hiat' dan Hong-ji-hiat'. mungkin jalan darahmu akan lancar kembali” "Sudah kucoba sejak tadi, tapi tidak berguna sama sekali…” 'Sssst, ada orang datang!” tiba-tiba wanita yang tua memotong ucapan anaknya.

Benar juga diluar sana ada suara orang berjalan, lalu pintu didorong dan masuklah seorang wanita juga. Terdengar wanita itu mengetik batu api untuk menyalahkan sumbu, lalu dipakai menyulut lentera minyak. Ketika wanita itu berpaling dan mendadak melihat Siau Hong. A Cu dan kedua perempuan tadi tanpa terasa ia menjerit kaget. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa di dalam rumah ada empat orang, ada yang duduk dan ada yang berdiri, semuanya diam saja, tiada yang bergerak sedikitpun.

Sebaliknya demi melihat wanita yang masuk rumah ini, mendadak wanita yang lebih tua tadi membentak dengan suara bengis, "Kau, Sing tiok!” Wanita yang baru tiba itu memang benar Wi Sing-tiok adanya. Mendengar orang menegurnya, cepat ia berpaling, ia lihat pembicara itu adalah seorang perempuan setengah

umur, di sampingnya berdiri seorang gadis berbaju hitam halus, keduanya berwajah sangat cantik, tapi selamanya belum pernah dikenalnya. Segera ia menjawab, "Benar, memang aku inilah she Wi, dan siapakah kalian?”

Karena tubuhnya tak bisa berkutik, wanita setengah umur itu tak mau memberitahukan namanya, ia hanya mengamat-amati Wi Sing-tiok yang cantik menggiurkan itu,api amarhnya semakin membakar. Tiba-tiba Wi Sing tiok berpaling kepada Siau Hong dan bertanya, "Kiau pangcu, engkau sudah membinasakan putriku, untuk apa engkau masih tinggal di sini? Oh, kasihan anak..anakku!” Dan menangislah dia mengerung gerung sambil menubruk ke atas jenazah A Cu.

Siau Hong tetap duduk terpekur di tempatnya, selang agak lama barulah ia berkata, "Toan-hujin, dosaku teramat dalam, silakan kau keluarkan senjata dan sekali bacok bunuhlah diriku.” "Biarpun sekali bacok kubunuhmu juga anakku yang malang ini tak tertolong lagi,” sahut Wi Sing tiok. ” Oh A Cu, anakku yang bernasib malang, di luar Gan-bun-koan telah kuserahkan diriku kepada orang lain dengan harapan semoga kita diberkahi agar kelak…”

Saat itu benak Siau Hong masih kacau, selang sejenak baru ia terkesiap, cepat tanyanya, "Apa katamu? Di luar Gan-bun-koan?” "Sudah tahu mengapa malah tanya?” sahut Wi Sing tiok. "Acu … A Cu adalah anakku hasil hubungan gelap diriku dengan Toan Cing-sun, aku tidak berani membawanya pulang, maka kuserahkan dia kepada orang di luar Ban Bun-koan.” "Jadi kemarin ketika aku tanya Toan Cing-sun apakah merasa berbuat dosa di luar Gan bun koan dan dia mengaku terus terang, sebaliknya air mukamu merah jengah dan tanya padaku dari mana kudapat tahu, jadi…jadi perbuatan dosa di luar Gan-bun-koak yang kau maksudkan itu adalah mengenai diri A Cu ini?” tanya Siau Hong dengan suara gemetar.

"Habis apa tidak cukup perbuatan dosa itu? Apa kau kira aku ini wanita jahat yang selalu beerbuat kejahatan?” sahut Sing-tiok dengan gusar. Sebenarnya ia sangat benci kepada Siau Hong, tapi jeri pula pada ilmu silatnya yang hebat, maka ia cuma mencaci maki dengan kata-kata pedas. Untuk sejenak Siau Hong termangu-mangu sekonyong-konyong ia gunakan ke dua tangan ini untuk menampar muka sendiri.

Perbuatan Siau Hong itu membikin Wi Sing tiok terkejut malah, cepat ia melompat mundur, ia lihat Siau Hong masih terus menempeleng diri sendiri dengan keras hingga dalam sekeja saja kedua pipinya merah bengap. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar pint berkeriut, ada orang masuk lagi sambil berseru, "Mak, apakah tabir itu sudah diambil…” Belum habis ucapannya, tiba-tiba dilihatnya di dalam ruamah ada beberapa orang lain, malahan Siau Hong lagi hanar dirinya dendiri, seketika orang yang baru masuk itu melongo heran. Ia bukan lain adalah A Ci.

Sementara itu pipi Siau Hong yang masih terus digampar sendiri itu sudah mulai babak belur, lalu muka dan kedua tangannya lantas berlumuran darah, darah berceceran dan menciprat ke dinding, meja-kursi,… dimanamana penuh titik darah, bahkan tabir bersajak yang tergantung di didinding pun terciprat beberapa tetes darah segar. Karena tidak tega menyaksikan keadaan yang mengerikan itu, Wi Sing-tiok menutup muka dengan tangan, tapi telinganya masih mendengar suara "plak-plok” yang tiada hentinya itu, akhirnya ia berseru.

"Sudahlah, janganpukul lagi, jangan pukul lagi!” A Ci lantas berteriak juga, "Hei , engkau telah bikin kotor tulisan ayahku itu, aku akan minta ganti rugi padamu”

Sambil bicara terus ia melompat ke atas meja untuk menanggalkan tabir sajak yang tergantu di dinding itu. Kiranya kembalinya itu dan anak itu adalah ingin mengambil tabir ini. Siau Hong melengak juga dan berhenti memukul diri sendiri, ia tanya, "Apa 'Tayli Toan-ji' yang dimaksudkan itu memang benar adalah Toan Cingsun?” "Selain dia, masakah ada orang lain?” sahut Wi Sing tiok, bicara tentang Toan Cing sun, tanpa terasa wajahnya menampilkan perasaan bangga dan mesra.

Jawaban tegas itu telah menjawab pula tanda tanya di dalam benak Siau Hong. Jika sajak ini betul ditulis oleh Toan Cing-sun, maka surat yang ditujukan kepada Ong-pangcu itu berati bukan tulisan Toan Cing-sun dan Toako pemimpin yang dimaksudkan itu pun buka pangeran mahkota Tayli itu. Segera timbul pikiran dalam benak Siau Hong, "Sebabnya Be-hujin sengaja memfitnah Toan Cing-sun, tentu di dalam hal ini terdapat sesuatu rahasi. Aku harus bikin terang dulu teka-teki ini, akhirnya pasti akan tiba saatnya segala tanda tanya ini kubikin terang.” Karena pikiran itu, segera maksudnya hendak bunuh diri itu diurungkan.

Meski baru saja ia menghajar diri sendiri hingga mukanya babak belur tapi rasa duka dan sesalnya itu menjadi terlampias pula. Segera ia pondong jenazah A Cu dan berbangkit, tapi belum lagi ia membuka suara, tiba-tiba A Ci melihat ke dua belah bambu yang terdapat tulisan itu, dengan tertawa gadis cilik itu berolok olok, "Hehehe, pantas kulihat di luar sana ada dua liang, kiranya engkau bermaksud mati dan terkubur bersama Ciciku. Ck ck ck, engkau benar-benar seorang kekasih yang sehidup semati.”

"Aku telah tertipu oleh muslihat keji musuh hingga salah membunuh A Cu, maka sekarang aku hendak pergi mencari jahanam itu, aku akan membalas sakit hati A Cu, lalu menyusulnya di alam baka.” kata Siau Hong. "Siapakah jahanam yang kau maksudkan itu?” tanya A Ci. "Saat ini belum kuketahui, maka akan kupergi menyelidikinya, ” sahut Siau Hong. Lalu ia melangkah pergi sambil memondong jenazah A Cu. "Engkau akan pergi mencari musuh dengan membawa Ciciku cara begitu?” tiba-tiba A Ci berseru.

Siau Hong tertegun, seketika ia menjadi bingung. Memang tidak mungkin ia menempuh perjalanan jauh sambil memondong jenazah A Cu. Tapi kalau mesti ditinggalkan, ia berasa berat pula. Ia termangu-mangu memandangi A Cu yang sudah tak bernyawa itu, air matanya bercucuran melalui mukanya yang babak-belur itu, air mata bercampur dengan darah, titik air yang bening ke merah-merahan itu menetes di muka A Cu yang pucat.

Melihat sedemikian duka Siau Hong, rasa benci Wi Sing-tiok lantas lenyap, katanya kemudian, "Kiau pangcu, kesalahan yang sudah terlanjur diperbuat toh tak dapat ditarik kembali lagi. Hendaklah kau… kau…” Sebenarnya ia ingin menghibur Siau Hong agar jangan terlalu berduka, tapi ia sendiri yang lantas menangis tergerung-gerung malah. Katanya dengan terputus-putus sambil menangis, "Semuanya gara-gara … garagaraku, akulah yang salah … mengapa kuserahkan putri sendiri kepada orang lain.”

"Sudah tentu engkau yang salah!” tiba-tiba si gadis yang dibikin tak berkutik oleh Siau Hong tadi menyela.

"Habis, suami-istri orang yang bahagia mengapa kau cerai-beraikan?” Sing-tiok menoleh kepada gadis itu dan bertanya, "Mengapa nona berka demikian? Siapakah kau?” "Kamu siluman rase ini telah membikin ibuku menderita selama hidup, membikin susah diriku…” Mendengar gadis itu menghina sang ibu, tanpa menunggu selesai ucapan orang, terus saja A Ci menampar muka gadis itu.

Dalam keadaan tak bisa berkutik, tampaknya hajaran itu sudah pasti akan mengenai mukanya sukurlah tiba-tiba Wi Sing-tiok menarik tangan A Ci dan berkata, "A Ci, jangan main kasar.” Lalau ia mengamati-amati si wanita setengah umur, sejenak kemudian iapun sadar persoalannya. Serunya, "ya engkau memakai sepasang golok, engkau tentu Siu-lo-to Cin… Cin Ang-bian, Cin-cici.”

Kiranya wanita setengah umur ini memang betul Siu-lo0t Cia Ang-bian yang telah ditinggal Toan Cing-sun itu, dan si gadis baju hitam adalah putrinya, Bok Wan-jing. Cara berpikir Ci Ang-bian itu agak istimewa, Ia tidak menyalahkan Toan Cing sun yang suka main perempuan dimana mana punya gendak, sebaliknya ia benci kepada wanita lain yang dianggapnya suka main mata dan pintar merayu lelaki serta merebut kekasihnya. Sebab itulah maka waktu Bok Wan jing tamat belajar silat, ia lalu suruh putrinya itu untuk membunuh istri dari Toan Cing sun, yaitu Si Pek Hong.

Ketika kemudian diketahui pula Toan Cing sun mempunyai seorang kekasih lain bernama Sing siok dan tinggal di tengah hutan bambu di tepi Siau keng oh, jauh-jauh ia lantas datang ke mari hendak membunuhnya. Bok Wan-jing sendiri sejak mengetahui Toan Ki yang dicintainya itu ternyata adalah kakak sendiri, dengan menahan derita batin ia terus mengembara di kangouw dan banyak membunuh rang serta macam-macam perbuatan lain. Mendengar berita iut, Cin Ang-bian lantas mencari dan menggabungkan diri dengan putrinya itu serta bersama-sama datang ke Siau keng oh tidak terduga mereka kebentur dulu pada Siau Hong hingga dibikin tak berkutik sedikitpun.

Begitulah ketika mendengar nama sendiri dikenali orang. Cin Ang-bian menjadi gusar, dampratnya.”Betul, memang akulah ini Cing Ang-bian siapa sudi dipanggi Cici oleh perempuan hina macammu ini?” Watak Wi Sing tiok ternyata tidak sama seperti Cin Ang-bian, Sing-tiok lebih licin, seketika ia belm tahu apa maksud tujuan kedatangan Ci Ang bian, pula kuatir lawan asmara ini akan rujuk kembali bila bertemu dengan Toan Cing-sun, maka ia sengaja menjawab dengan tertawa, "Ya, akulah yang salah omong. Usiamu jauh lebih muda daripadaku, wajauhmu juga begini cantik, pantas saja Toan long kesengsem padamu. Engkau adalah adikku dan bukan Cici. Eh , Cin Moimoi, setiap hari Toan long selalu terkenang padamu, senantiasa memikirkan dirimu, sungguh aku sangat kagum sekali kepada kebahagianmu”.” Manusia mana yang tidak suka disanjung puji dan diumpak.

Cia Ang-bian merasa senang juga mendengar dirinya dipunyi sangat cantik dan masih muda, apalagi didengarnya pula Toan Cing-sun senantiasa terkenang padanya, karena rasa gusarnya sektika lenyap lebih separoh. Sahutnya kemudian, "Huh, siapa dapat meniru dirimu yang pintar dan bermulut manis, pandai memuji orang.” "Dan nona ini tentunya putri kesayanganmu, bukan?” tanya Sing siok pula. "Wah,ck ck ck alangkah cantiknya, sungguh beruntung sekali ci moimoi mempunyai anak secantik ini.”

Mendengar kedua wanita itu asyik berbicara tentang keasih dan cinta melulu, sejak tadi Siau Hong sudah tidak betah untuk mendengarkan Sebagai seorang ksatria bijaksana, sesudah mengalami pukulan batin dan remuk redam hatinya, tapi segera ia dapat berpikir panjang pula tentang tugas apa yang harus dilakukannya di kemudian hari. Segera ia pondong jenazah A Cu menuju ke tepi liang yang telah digalinya itu, ia masukkan gumpalan tanah dan perlahan ditaburkan ke atas tubuh A Cu, hanya mukanya tetap tidak ditabur dengan tahan. Pandangannya tidak pernah meninggalkan muka A Cu barang sekejappun. Ia tahu bila beberapa kali tanah di taburkan lagi untuk selama-lamanya ia takkan dapat melihat sang kekasih pula. Ia termangu-mang sejenak, sayup-sayup telingannya seakan-akan mendengar suara a Cu yang mengajak pergi mengangun sapi dan menggembala domba di luar Gan-bun-koan, di sanalah mereka akan hidup berdampingan untuk selamanya.

Kemarin ia masih mendengar suara A Cu yang nyaring merdu, terkadang lucu, terkadang nakal, terkadang mesra dan terkadang sungguh-sungguh, tapi untuk selanjutnya. suara itu takkan terdengar lagi. Sudah lebih setengah jam Siau Hong berjongkok di tepi liang kubur itu dan tetap tidak tega menaburkan tanah ke muka A Cu. Mendadak ia berbangkit, sekali bersuit panjang, ia tidak mau memandang A Cu lagi, tapi ke dua tangannya terus bekerja, dengan gerak cepat ia uruk tanah galian di tepi liang itu ke muka A Cu. Lalu ia putar tubuh dan masuk ke dalam rumah.

Sampai di dalam rumah , ia lihat Wi Sing-tiok masih asyik masyuk bicara dengan Cin Ang bian. Rupanya Wi Sing tiok memang pintar putar lidah. Ang-bian dibikin senang sekali, rasa permusuhan ke dua orang itu sejak tadi sudah lenyap. Melihat masuknya Siau Hong, segera Wi Sing tiok berkata, "Kiau pangcu, adik ini tadi berlaku kasar padamu, hal ini pun tidak disengaja, harap engkau suka membebaskan mereka.” Wi Sing tiok adalah ibu A Cu, dengan sendirinya Siau Hong mesti menurut, apalagi memang ada maksudnya buat membebaskan ke dua orang itu.

Segera ia mendekati mereka dan menepuk pundak Ci Ang-bian dan Bok Wan jing hingga mereka merasa suatu hawa hangat menerjang hiato yang tertutuk itu, lalu anggota badan mereka dapat bergerak bebas lagi. Ibu dan anak itu saling pandang sekejap, terhadap ilmu silat Siau Hong yang maha tinggi itu sungguh mereka kagum tak terhingga. "Adik A Ci, tulisan ayahmu itu bolehkan dipinjamkan padaku sebentar,” kata Siau Hong ke pada A Ci. "Aku tidak ingin dipanggil adik apa segala olehmu,” sahut A Ci. "Walaupun demikian”, katanya, "tapi tabir bersajak yang sudah digulungnya tadi diserahkan juga kepada Siau Hong”.

Segera Siau Hong membentang tabir itu dan membaca kembali tulisan Toang Cing-sun itu dengan jelas dan teliti. Air muka Wi Sing-tiok menjadi merah jengah katanya, "Barang seperti itu, apanya yang menarik?” "Di manakah sekarang Toan-ong ya berada?” tanya Siau Hong tiba-tiba. Wajah Sing tiok berubah hebat, sahutnya dengan kuatir, ” Ti…, tidak, jang … jangan kau cari dia lagi.” "Aku takkan bikin susah padanya. Tapi aku cuma ingin tanya beberapa soal padanya,” kata Siau Hong. Sudah tentu Sing-tiok tidak percaya, katanya: "Engkau sudah salah membunuh A Cu tak boleh kau cari ayahnya lagi.”

Siau Hong tahu tiada gunanya tanya lagi, ia lantas gulung tabir hiasan itu dan kembalikan kepada A Ci. Katanya, "A Cu meninggalkan pesan padaku agar menjaga baik-baik adik perempuannya. Toan-hujin, bila kelak A Ci mengalami kesulitan apa-apa, asal Siau Hong dapat membantu, silakan saja memberitahu, pasti takkan kutolak.” Sungguh girang Sing tiok tak terkatakan pikirnya, "A Ci mempunyai sandaran tokoh selihai ini, selama hidupnya takkan kuatir menemukan bahaya lagi.” Maka sahutnya, "Banyak terima kasih atas

kebaikanmy. Nah. A Ci lekas menghaturkan terima kasih kepada Kiau toako.” Ia ganti sebutan 'Kiau-pangcu' menjadi Kiau toako', maksudnya agar hubungan A Ci dengan tokoh sakti itu menjadi lebih akrab.

Siapa duga A Ci justru mencebir, katanya "Aku ada kesulitan apa hingga mesti minta bantuannya? Aku mempupnyai Suhu yang tiada tandingannya di kolong langit inim punya Suko sebanyak itu, masakah aku takut dihina siapapun? Huh, dia sendiri serupa boneka limpung menyebrang sungai, diri sendiri saja sukar diselamatkan masakah masih mau membantu aku segala?”

Dasar A Ci itu memang pintar sekali bicara, sekali ia sudah mencerocos, maka mirip mitraliur saja cepatnya. Berulang Wi Sing-tiok mengedipi putrinya aga jangan sembarangan omong, tapi A Ci pura-pura tidak tahu. "Ai, anak kecil tidak tahu aturan, harap Kiau pangcu jangan marah.” demikianlah kata Sing tiok kemudia. "Caihe Siau Hong adanya, tidak she Kiau lagi,” ucap Siau Hong.

"Dengarlah, mak, orang ini namanya sendiri saja tidak tahu jelas, bukankah maha dogol…” "A Ci…” bentak Sing tiok sebelum si nona mencerocos lagi. Segera Siau Hong memberi hormat, dan berkata, "Selamat berpisah , sampai bertemu lagi kelak.” Lalu ia berpaling kepada Bok Wan jing, nona Toan, senjata rahasiamu yang berbisa itu tidak ada gunanya banyak dipakai, kalau ketemu lawan yang lebih kuat tentu kamu sendiri yang akan celaka.”

Belum lagi Bok Wanjing menjawab, tahu-tahu A Ci sudah menanggapi, "Cici, jangan kau percaya pada ocehannya.. Am-gi demikian paling-paling dapat mengenai sasarannya, masakan ada ruginya pula?” Siau Hong tak gubris lagi padanya, ia putar tubuh dan hendak keluar, ketika sebelah kaki melangkahi lubang pintu, mendadak baju kanannya mengebas ke belakang, seketika berjangkitlah angin hingga tujuh batang panah kecil yang dilemparkan Bok Wan jing tadi tergulung olehnya itu terus menyambar ke arah A Ci.

Sambaran panah kecil itu secepat kilat, A Ci hanya sempat menjerit sekali dan tak keburu berkelit. Tujuh batang panah kecil itu menyambar lewat di atas kepala, tepi leher dan samping tubuhnya, lalu menancap di dinding belakangnya hingga menghilang sampai pangkal panah itu. Dengan kuatir Sing tiok memburu maju, ia angkat A Ci sambil berseru, ” Ai, Cin moicu, lekas berikan obat penawar!” "Terluka di mana? Terluka di mana?” Ang bian juga berteriak teriak. Dan Bok Wan jing lantas mengeluarkan obat penawar yang dibawanya dan lekas memeriksa keadaan luka A Ci.

Selang sejenak, sesudah hilang rasa kagetnya barulah A Ci berkata, "Aku tidak… tidak terluka apa apa” Kiranya Siau Hong teringat pada pesan A Cu yang minta dia menjaga keselamatan A Ci, karena didengarnya gadis cilik itu membanggakan suhunya tiada tandingan dijagat, banyak pula Sukonya yang lihat, maka ia tidak tahuit kepada siapapun juga.

Siau Hong tahu am-gi berbisa aliran Sia siok hai itu beraneka macam, ia kuatir nona terlalu nakal dan tidak tahu luasnya jagat maka ia sengaja mengebas panah-panah kecil itu untuk membuatnya takut, dengan begitu maka gadis cilik itu tahu di dunia ini tidak sedikit tokoh-tokoh lihai selain gurunya. Begitulah sesudah Siau Hong keluar dari hutan bantu, sampai di tepi Siau keng oh ia menuju suatu pohon besar yang rindang, ia

lompas ke atas pohon dan bersembunyi di situ..

Kiranya ia masih penasaran karena Wi Sing tiok tak mau mengaku di mana beradanya Toan Cing sun, terpaksa ia akan menguntitnya secara diam-diam. Benar juga, tidak lama kemudian tertampak ia Ang bian dan Bok Wan jing muncul dulu dari hutan bambu itu, menyusul Wi Sing tiok dan A Ci mengantar di belakang.

Sampai di tepi danau, Ang-bian berkata, "Wi cici, sekali kenal kita lantas cocok satu sama lain, maka segala selisih paham kita yang lampau dihapuskan sama sekali. Kini lawan yang masih akan kucari tinggal budak hina she Kheng itu.. Apakah engkau tahu dimana tempat tinggalnya?” Sing tiok tampak melengak, sahutnya, "Untuk apakah kau cari dia, Cin moaimoai?”

Ang bian tersenyum, katanya. "Habis hidupku dengan Toan-long mestinya tentram bahagia, tapi budak hina siluman rase itulah yang pelet dia..” "Yang perempuan hina Kheng …. Kheng Bin.. entah…entah tinggal di mana,” kata Wi Sing tiok sesudah berpikir sejenak. ” Jika nanti Moaicu dapat menemukan dia harap wakilkan siaumoy menusuk beberapa kali pada tubuhnya.”

"Masakah perlu disuruh lagi?” sahut Ang bian, "Cuma tidak mudah untuk mencari jejaknya. Baiklah sampai berjumpa pula. Dan bila engkau bertemu dengan Toan-long…”

"Ada apa?” tanya Sing tiok terkesiap.

"Harap wakilkan aku menempeleng dia dua kali dengan keras.” kata Ang gian. "Tempeleng ke satu adalah titipanku dan tempelengan ke dua masuk hitungan nona kami ini.” Sing tiok tertawa, katanya, "Masakah aku suruh menemui manusia yang tak punya liangsim (perasaan) itu? Sebaliknya bila Moaicu bertemu dengan dia, harap juga wakilkan aku menampar dia dua kali, sekali mewakilkan aku dan satu kali lagi untuk nonaku A Ci ini. Coba pikir, sampai anaknya sendiri tak diurus, bukankah pantas dihajar?”

Sudah tentu semua percakapan itu dapat didengar oleh Siau Hong yang sembunyi di atas pohon itu. Ia pikir ilmu silat Toan Cing-sun tidaklah lemah, terhadap kawan juga setiap, tapi justru suka main perempuan, maka betapun tidak terhitung seorang kesatria. Betitulah ia dengar Cin Ang bian dan Bok Wanjing mohon diri kepada Wi Sing tiok dan A Ci, lalu berangkat perbi. Kemudia Wi Sing tiok menggandeng tangan A Ci dan masuk kembali ke dalam hutan bambu.

Pikir Siau Hong, "Pasti dia akan pergi mencari Toan Cing-sun, soalnya ia tidak sudi pergi bersama Cin Angbian yang merupakan saingannya itu. Tadi ia kembali untuk mengambil tabir bersajak, tentulah Toan Cing sun sedang menunggu tidak jauh di depat sana biarlah aku menantinya di sini.” Sejenak kemudian, tiba-tiba terdengar suara, kresekan di semak semak pohon sana, dua bayangan orang lagi merunduk kemari. Ternyata mereka adalah Cin Ang bian dan Bok Wanjing, sudah pergi kini datang kembali.

Terdengar Cia Ang bian sedang bicara dengan suara perlahan, "Wan ji mengapa kamu mudah ditipu orang? Tadi kulihat dikolong ranjang Wi cici ada sepasang sepatu laki-laki, terang itulah sepatu ayahmu. Sepatu itu masih baru dan bersih pula, maka dapat diduga ayahmu pasti mengumpet di situ.” "Ha, hadi kita telah diboHongi perempuan she Wi itu” kaa Wan jing. "Ya, ia tentu keberatan membiarkan kita bertemu dengan lakilaki berhati palsu itu,” ujar Ang bian. "Ma, ayahkahn tidak punya liangsim, buat apa engkau menemuinya lagi?” tanya Bok Wan jing. Ang-bian terdiam sejenak, sahutnya kemudian, "Aku cuma ingin melihatnya, tapi tidak ingin dia melihat aku. Selang sekian lama, tentu dia sudah tua, dan ibumu juga sudah tua.”

Ucapan ini kedengaran dingin-dingin saja, tapi penuh rasa rindu dendam. "Baiklah!” kata Wan jing dengan suara terharu. Sejak dia berpisah dengan Toan Ki, rasa rindunya tidak pernah berkurang. Meski dia tahu cintanya itu toh tak mungkin terkabul, tapi derita batinnya boleh dikatakan jauh melebihi sang ibu. Asal kita menunggu saja di sini, tidak lama lagi mungkin ayahmu akan muncul.” demikian Cin Ang-bian lagi berkata. Lalu ia mengajak putrinya sembunyi di tengah semak-semak rumput di balik pohon sana.

Di bawah sinar bintang yang remang-remang Siau Hong dapat melihat wajah Cia Ang-bian yang putih pucat itu bersemu merah, tampaknya perasaan wanita itu sangat terguncang. Maklum, demikianlah kalau orang sedang digoda asmara. Dan bila Siau Hong sendiri teringat kepada A Cu, mau tak mau ia merasa sedih juga.

Tidak lama kemudian, dari jalan sana terdengar suara orang datang dengan berlari. Pikir Siau Hong. ” Ini bukan Toan Cing sun, besar kemungkinan adalah anak buahnya.” Benar juga setelah dekat orang itu memang si sastrawan Cu Tan-sin adanya. Rupanya Wi Sing tiok juga sudah mendengar suara tindakan Cu Tan sin itu, tapi ia tak bisa membedakan apakah pendatang itu Toan Cing sun atau bukan, maka dari dalam hutan bambu ia terus memapak keluar sambil berseru girang, "Toan long! Toan long!”

Tapi ia menjadi kecewa ketika yang terlihat bukan sang kekasih melainkan Cu Tan sin. Segera Cu Tan sin memberi hormat dan berkata, "Hambar disuruh Cukong agar memberitahukan bahwa beliau ada urusan penting, maka beliau tidak sempat kembali ke sini lagi.” Sing tiok terkejut, tanyanya, "Urusan penting apa? Bilakah akan kembali?”

"Urusan ini ada sangkut-pautnya dengan keluarga Buyung di Koh soh, agaknya Cukong telah menemukan jejak Buyung koncu,” tutur Tan sia. "Jauh-jauh Cukong datang ke utara sini tujuannya adalah ingin mencari orang itu. Cukong mengatakan bila urusan sudah beres, segera beliau akan kembali ke sini. diharap Hujin jangan banyak berpikir.” Air mata Wi Sing tiok berlinang-linang, katanya dengan terguguk-guguk,”Setiap kali iapun mengatakan akan … akan kembali ke sini, tapi setiap kali lantas… lantass beberapa tahun lamanya. Kini baru berjumpa dan dia sudah … sudah…” Karena masih dendam atas kematian Leng Jian li gara-gara perbuatan si A Ci maka Cu Tan sia, tidak mau lama-lama tinggal di situ, ia merasa sudah selesai menunaikan tugasnya maka segera ia mohon diri dan tinggal pergi. Sesudah Cu Tian sin pergi agak jauh, segera Wi Sing tiok berkata kepada A ci, "ginkangmu lebih hebat daripadaku, lekas kuntit dia, sepanjang jalan kautinggalkan tanda, segera aku menyusul.”

"Kau suruh aku menyusul ayah, apa hadiahnya nanti?” sahut A Ci dengan nakal. "Segala milik ibumu adalah punyamu, mengapa kami minta hadiah apa segala?: sahut Sing tiok. "Baiklah,” kata A Ci. "Aku akan meninggalkan tanda huruf 'Toan' di dinding. kutambahi lukisan panah, dan ibu tentu akan tahu arahnya.” "Ya, anak baik?” ucap Sing tiok sambil memeluk dara cilik itu. Dan sekali berlari, segera A Ci menyusul ke jurusan Cu Tan sin tadi. Sing tiok berdiri termenung sejenak di tepi danauh, kemudian ia pun menyusul ke arah sana. Dan sesudah Wi Sing tiok pergi agak jauh barulah Cing Ang bian dan Bok Wanjing keluar dari tempat sembunyi mereka, keduanya saling memberi tanda dan segera menguntit dari belakang dengan hati-hati.

Diam diam Siau Hong membatin, "Sepanjang jalan A Ci akan meninggalkan tanda arah, maka tidak sulit untuk mencari jejak Toan Cing-sun.: Segera iapunmelompat turun dari atas pohon dan berangkat menyusur tepi danau. Di bawah sinar bintang yang remang-remang ia lihat bayangan sendiri di tengah danauh yang sendirian dan kesepian, ia menjadi pilu dan bermaksud kembali ke hutan bambu sana untuk termenung di depan kuburan si A Cu. Tapi sesudah berpikir sejenak, mendadak jiwa ksatrianya berkobar kobar , ia hantam sekali kedepan dimana angin pukulannya tiba, kontan air danau muncrat bertebaran dan bayangnya pun buyar. Ia menarik napas panjang sekali, lalu melangkah pergi dengan cepat.

Dalam perjalanan itu Siau Hong lebih banyak minum arak daripada makan asal, setiap kedai yang didatangi selalu ditemukan tanda yang ditinggalkan A Ci di pengkolan setiap jalan. Terkadang tanda itu dibusak Wi Sing tiok tapi bekasnya masih kelihatan. Begitulah ia terus menuju ke utara hawa juga makin dingin. Hari itu tibalah di wilayah Holam bunga salju sudah mulai bertebaran dari langit. Waktu lohor Siau Hong mampir disuatu kedai kecil untuk minum arak. Beruntun-runtun belasan mangkuk arak sudah ditenggaknya, tapi belum mencukupi seleranya akan pencandu arak. Ia minta tambah lagi, tapi persedian arak kedai itu sudah habis.

Dengan rasa kurang puas Siau Hong melanjutkan perjalannya, akhirnya sampailah ia disuatu kota besar. SEtelah ia perhatikan, ia menjadi terkesiap sendiri. Kiranya kota itu adalah Sin yang, yaitu tempat tinggal Be hujin. Oleh karena sepanjang jalan ia cuma memperhatikan tanda-tanda yang ditinggalkan A Ci, pikirannya melayang-layang mengengkan urusannya sendiri, maka terhadap keadaan disekitarnya tidak diperhatikan olehnya. Dan tahu-tahu kini ia telah berada kembali di kota Sin yang.

Setelah masuk kota, ia tidak sempat minum arak lagi tapi terus mencari tanda yang ditinggalkan A Ci. Ia lihat pada pojok tembok ujung jalan sana tertulis suatu huruf "Toan” dengan kapur disamping huruf itu terlkuks pula sebuah panah yang mengarah ke barat. Kembali Siau Hong merasa pedih bila teringat belum lama berselang ia bersama A Cu telah datang ke rumah Be hujin untuk mencari tahu siapakah "Toako pemimpin” itu. Tapi kini sang kekasih sudah mendahului mangkat untuk selama-lamanya. Setelah beberapa li kemudian, angin meniup sangat kencang, salju turun lebih deras lagi. Siau Hong menuju ke barat menurut arah yang ditunjuk panah. Tanda-tanda yang ditinggalkan A Ci itu tampak masih baru, ada yang dikukir di batang pohon yang lebih dulu kulit pohon di kupas. hingga getah pohon masih kelihatan belum kering.

Makin lama Siau Hong makin heran, sebab arah yang ditunjuk itu justru adalah rumah tinggal Be Tai goan. Pikirnya, "Jangan-jangan Toan Cing sun mengetahui Be hujin yang memfitnah dia, maka mencarinya buat bikin perhitungan. Ya, tentu apa yang dikatakan A Cu kepadaku sebelum meninggal itu telah didengar juga oleh A Ci, dan dara cilik itu memberitahukan ayahnya tentang Be hujin. tai kami cuma sebut Be hujin, dari mana ia tahu yang kumaksudkan adalah nyonya Be Tai goan ini?”

Sepanjang jalan sebenarnya Siau Hong selalu lesu dan agak linglung, tapi kini demi ketemu sesuatu yang ganjil, seketika semangatnya terbangkit lagi dan pulih pula daya indranya yang tajam. Ia lihat di tepi jalan ada sebuah kelenteng rusak, ia masuk ke situ, pintu kelenteng itu ditutupnya, lalu tidur di situ untuk beberapa jam lamanya kira-kira dekat tengah malam barulah ia mendusin. Segera ia tinggalkan kelenteng itu dan menuu ke rumah Be hujin.

Sesudah dekat, ia sembunyi di belakang pohon untuk memeriksa keadaan sekitarnya. Setelah memandang sejenak tersenyumlah dia . Kiranya dilihatnya di pojok timur rumah sana mendekam dua sosok tubuh manusia, dari perawakan mereka tampaknya adalah Wi Sing tiok dan A Ci, waktu diperhatikan pula arah lain, kembali tertampak Ci Ang Bian dan Bok Wan jing juga sembunyi di utara rumah.

Saat itu, salju belum lagi reda, tubuh Wi Sing tiok dan Ci Ang bian berempat itu penuh bertebar salju. Dari jendela sebelah timur itu kelihatan sinar pelita yang redum, tapi keadaan di dalam rumah sunyi senyap. Ia ambil sepotong ranting pohon dan ditimpukan ke barat sana, ketika Wi Sing tiok berempat berpaling karena tertarik oleh suara itu, segera Siau Hong melompat ke bawah jendela sebelah timur dengan gesit. Oleh karena hawa sudah dingin, maka jendela rumah nyonya Be itu dilapis dengan papan kayu untuk menolak hawa dingin. Siau Hong menunggu di luar jendela, sebentar kemudian terdengar tiupan angin dari arah utara yang keras.

Pada saat angin menyambar ke arah jendela segera Siau Hong barengi dengan mendorong tangannya ke depan. tenaga dorongan itu menghantam papan jendela hingga pecah, seketika kertas yang melapisi jendela bagian dalam pun pecah satu lubang. Meski Cin Ang-bian dan Wi Sing tiok berada di dekat situ, tapi karena tenaga pukulan Siau Hong itu dibarengi dengan tiupan angin kencang, maka sama sekali mereka tidak tahu semua itu adalah perbuatan orang. Andaikan ada orang di dalam rumah juga takkan tahu. Dan waktu Siau Hong mengintin ke dalam rumah melalui lubang keras itu seketika ia tercengan, hampir-hampir ia tidak percaya padamatanya sendiri. Apakah yang dilihatnya?

Kiranya ia lihat Toan Cing sun dengan baju dalam lagi enak-enak duduk bersila di atas balai-bali, tangannya memegang cawan arak kecil, dengan tersenyum senyum sedang memandangi seorang wanita yang duduk ditepi balai-bali. Wanita itu memakai baju putih berkabung, mukanya berbedak tipis dan sedikit bergincu, kedua matanya sayu-sayu, dengan sikap tertawa tak tertawa dan marah tak marah sedang melirik Toan Cing sun. Itulah nyonya janda Be Taigoan adanya.

Coba kalau Siau Hong tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimanapun juga ia takkan percaya jika ada orang menceritakan padanya tentang adegan seperti sekarang ini. Apa lagi sejak di luar kota Bu sik, di tengah hutan sana untuk pertama kalinya ia lihat Be hujin untuk selanjutnya setiap kali bila bertemu lagi selalu dilihatnya sikap nyonya janda itu suci bersih, bahkan bagaimana air mukanya bila tersenyum juga belum pernah dilihat Siau Hong. Siapa tahu ini dapat dilihatnya adegan yang luar biasa ini. Yang paling tidak bisa dimengerti oleh Siau Hong adalah nyonya janda itu telah sengaja menfitnah Toan Cing sun, sepantasnya dia mempunyai permusuhan dan sakit hati sedalam lautan dengan pangeran Tayli itu. Tapi kini bila melihat suasana di dalam kamar yang mesra merayu memabukan itu, terang diantara mera itu tiada permusuhan apa pun juga.

Begitulah maka terdengar Toan Cing sun sedang berkata, "Mari, mari, iringi aku minum secawan pula, marilah kita minum dua sejoli.” "Huh, sejoli apa?” tiba tiba Be hujin mendengus. "Seorang diri aku ditinggal hidup kesepian di sini, siang malam selalu terkenang dan setiap saat merindukanmu yang tak punya perasaan ini sebaliknya engkau tidak ingat lagi padaku, bahkan menjenguk kemari pun tidak pernah.” Habis berkata, matanya tampak merah basah.

Diam-diam Siau Hong membatin, "Ditilik dari ucapannya ini, agaknya dia serupa dengan Cin Ang bian dan Wi Sing tiok, jangan-jangan iapun bekas kekasih Toan Cng sun?” Mana terdengar Toan Cing sun menjawab dengan tertawa, "Sesudah kamu menikah dengan Be-hupangcu bila ku datang lagi ke sini, tentu akan menimbulkan omong iseng orang luar.. Apa lagi Be hupangcu adalah seorang kesatria Kai pang yang terhormat, kalau aku tetap main Pat pat gulipat lagi denganmu, bukankah aku akan dipandang sebagai manusia rendah? Ha hahaha!” "Cis, siapa ingin dipuji olehmu? Akukan kuatirkan dirimu, aku ingin tahu apa hidupmu bahagia dan senang atau tidak? Asal engkau baik baik saja, maka legalah hatiku. Tapi engkau justru jauh berada di Tayli, untuk mencari kabar dirimu juga sangat sulit,” demikian kata Be hujin dengan suara lemah lembut, halus menggiurkan, merdu menyenangkan, hingga membuat siapapun yang mendengar pasti akan kesemsem.

Siau Hong sudah kenal kedua gendak Toan Cing sun yaitu Cin Ang bian yang tegas dan suka terus terang, Wi Sing tiok yang cantik licin, sebaliknya Be hujin ini mempunyai gayanya sendiri, lemah lembut tapi berbisa. Begitulah maka waktu Toan Cing sun mendengar rayuan Be hujin tadi hatinya terguncang. terus saja ia tarik sang kekasih dan diperluknya. Be hujin bersuara perlahan sekali, pura-pura menolak , tapi sebenarnya bergiriang.

Siau Hong berkerut kening, ia tidak sudah menyaksikan kelakuan meraka yang menjijikan itu. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar disebelanya ada orang menginjak salju dengan keras hingga menerbitkan suara. Segera Siau Hong tahu apa yang terjadi, ia membatin, "Celaka, jangan jangan kedua wanita ini 'minum cuka' cemburu dan bikin runyam urusanku.” Begitu berpikir segera pula ia bertindak.

Cepat ia melompat bali ke belakang Cin Ang Bian berempat dan menutuk hiat to pada punggung mrereka, yaitu hiat to bisu hingga keempat wanita itu tak bisa bersuara dan tak tahu siapa yang menyerang mereka. Meski badan mereka tertutuk hingga tak berkutik dan mulut tak bisa besuara, tapi telinga Cin Ang bian dan Wi Sing tiok masih dapat mendenga cumbu rayu kekasihnya dengan wanita ini keruan api amarah mereka semakin berkobar-kobar rasa cemburu mereka bagai dibakar, tapi apa daya mereka tak bisa berkutik, batin mereka benar-benar tersiksa sambil menggeletak di tanah salju situ.

Ketika Siau Hong mengintip ke dalam kamar ia lihat Be hujin sedang duduk di saming Toa Cing sun, epalanya bersandar di bahu sang kekasih tubuh lemas bagai tak bertulang lagi, terdengar wanita itu sedang berkata, "Tentang suamiku dibunuh orang, tentunya engkau sudah mendengar dan mengapa engkau tidak datang menjenguk aku. Sesudah suamiku meninggal, mestinya kaupun tidak perlu kuatir dicurigai orang lagi?” "Sekarang bukankah aku sudah datang ke mari?” sahut Cing sun dengan tertawa. "Sepanjang jalan dari Tayli aku memburu kemari siang dan malam, justru kukuatir datang terlambat.” "Kuatir terlambat apa?” tanya Be-

hujin kurang paham. "Kuatir si dia tak tahan hidup kesepian dan menikah pula dengan orang.” sahut Cing sun. "Kalau begitu, bukankah aku Toan ji dari Tayli ini akan sia-sia memburu kemari dari jauh. Apakah rindu dendam selama belasan tahun ini kembali dibikin kecewa?”

"Huh mengoceh seenaknya, tidak tahan kesepian dan menikah pula dengan orang?” semprot Be-hujin. "Memangnya kapan pernah kau pikirkan diriku, tapi mengaku rindu dendam belasan tahun segala?” Tiba tiba Cing sun merangkulnya dengan erat, katanya dengan tertawa, "Jika aku tidak merindukan dikau, guna apa jauh-jauh kudatang kemari?” "Baiklah, aku percaya engkau benar benar rindu padaku. Nah, Toan long untuk selanjutnya bagaimana akan kautempatkan diriku?” tanya Be Hujin dengan tersenyum. Segera ia pun reangkul leher Cing sun dengan sorot mata genit, pipi ditempelkan ke muka sang kekasih. "Ada arak biarlah kita minum sekarang, urusan yang belum datang buat apa dibicarakan?” ujar Cing sun.

"Ayolah mari kupondong. setelah berpisah selama sepuluh tahun, entah kau tambah berat atau menjadi lebih ringan?” Sambil berkata terus saja ia pondong badan Be hujin. "Jadi engkau tidak sudi membawaku ke Tayli?” tanya Be hujin."Apanya sih yang menari negeri Tayli itu?”sahut Cing sun sambil berkerut kening. "Tanahnya lembab, hawa panas, tentu kamu takkan cocok dengan iklim di sana, jangan-jangan akan jatuh sakit malah di sana.”

"Ehm, kembali engkau cuma membuatku gembira percuma saja.” kata Be hujin sambil menghela napas perlahan. "Mengapa gembira percuma? Segera juga akan kubikin kaugembira sungguhan.” ujar Cing sun dengan cengar cengir sambil memeluk lebih erat. Tapi Be hujin meronta pelahan dan turun dari pelukan Toan Cing sun, ia menuang satu cawan arak dan berkata, "Toan long silahkan minum lagi secawan” "Aku tidak minum lagi, sudah cukup!” sahut Cing sun.

"Ehmm, aku emoh, engkau harus minum sampai mabuk,” kata Be hujin dengan aleman dan genit. "Ai, kalau mabuk, bagaimana nanti?” ujar Cing sun. Tapi toh diterimanya juga dua cawan arak dandiminum hingga habis. Sungguh Siau Hong tidak sabar mendengarkan cumbu rayu mereka itu. Melihat Toan Cing sun minum arak secawan demi secarwan, tanpa terasa ia pun ketagihan, biji lehernya naik turun, tanpa terasa ia menelan ludah. Kemudian dilihatnya Toan Cing sun menguap dan ada tanda letih dan mengantuk. "Toan long maukah kuceritakan suatu kisah padamu?” tiba-tiba Be hujin bertanya.

Semangat Siau Hong terbangkit lagi, pikirnya, "Dia mau bercerita, bisa jadi akan kudapat sedikit keterangan dari ceritanya nanti?” Sebaliknya Toan Cing sun menjawab, "Boleh kamu bercerita dengan lirih di atas bantal nanti.” "Huh, engkau sih senang saja!” jengek Be hujin, "Nah Toan long, dengarkanlah. Pada waktu kecil, keluarga kami sangat miskin, bahkan membuatkan baju baru bagiku juga orang tuaku tidak mampu. Dan setiap hari aku selalu berpikir bilakah aku dapat meniru enci keluarga Thio tetangga kami yang saban tahun baru tentu mendapat baju baru dan sepatu baru itu? Alangkah senangnya hatiku bila cita-citaku itu terkabul.” "Pada waktu kecil tentu kaupun sangat cantik, nona cilik yang demikian menyenangkan, biarpun memakai baju rombeng juga tetap cantik,” ujar Cing sun.

Be hujin tersenyum genit, katanya pula merayu, "Waktu kecil aku selalu rindu, yaitu mreindukan baju citra kembang.” "Dan sesudah dewasa?” tanya Cing sun. "Sesudah dewasa aku rindu padamu.” Kembali hati Cing sun terguncang oleh rayuan itu, ia bermaksud merangkul pula. Tapi rupanya terlalu banyak minum arak, kaki

tangannya terasa lemas, hanya setengah jalan tangannya sudah turun kembali. Katanya dengan tertawa, "Ai semakin banyak arak telah kaulolohi aku, kalau sebentar aku mabuk, haha….Eh siau Kheng, lalu sampai umur berapa baru terkabul kaupakai baju citra kembang?” "Kau sendiri dilahirkan dalam keluarga bangsawan, sudah tentu tidak kenal penderitaan anak keluarga miskin,” sahut Be hujin.

"Tatkala itu biarpun rambutku cuma berhias seutas pita merah sudah kegirangan setengah mati. WAktu aku berumur tujuh, ketika dekat tahun baru, ayah menggiring babi yang kami piara dengan susah payah itu ke pasar untuk dijual, ayah berjanji akan membelikan cita kembang untuk membuatku baju baru bagiku. Coba bayangkan, betapa rasa girangku. "Maka baru satu jam ayah pergi, dengan tak sabar aku menantinya di depan rumah, tapi ayah belum juga pulang meski aku sudah masuk keluar rumah beberapa kali. Akhirnya setelah dekat magrib dari jauh kelihata ayah mendatangin dengan pelahan. secepat terbang aku memapaknya. "Tapi aku menjadi kaget sesudah dekat. Kuihat sebelah lengan baju ayah robek, mukanya merah bengkak, pundaknya berdarah pula, terang ayah habis dihajar orang. Cepat aku tanya, "Dimanakah cita kembang yang kau janjikan ayah?…”

Mendengar sampai di sini perasaan Siau Hong ikut tertekan, pikirnya, "Dasar wanita ini memang tipis pribudinya, Ayahnya dihajar ornag hingga babak belur dan dia tidak menghiburnya sebaliknya yang dipikir cuma cita kembang melulu. Walaupun waktu itu ia masih kecil, tapi juga tidak pantas.” Maka terdengar Be hujin melanjutkan, "Tapi ayahku tidak menjawab, beliau cuma geleng kepala sambil meneteskan air mata. Segera kutanya pula, 'Ayah, cita kembang yang kupesan sudah dibelikan belu?”

"Dengan menyesal ayah pegang tanganku, katanya, 'Uang hasil penjualan babi itu telah dirampas oleh juragan Ciok. Aku utang padanya. Katanya masih harus ditambah rente sekian dan aku dipaksa membayar'…” "Sungguh tak terkatakan rasa kecewaku waktu itu, aku duduk lemas di tanah dan menangis sedih. Setiap hari aku piara babi, dari kecil babi itu kubesarkan dan cita-citaku cuma ingin memakai baju kembang, siapa duga hasilnya kosong belaka…”

Pada waktu kecilnya Siau Hong juga pernah hidup menderita bersama ayah-ibu angkatnya, yaitu Kiau Sam hoai, setiap hari hdiup mereka selalu menderita di bawah hisapan tuan tanah dan kaum rentenir, segala siksaan dan aniaya kaum penghisap itu sudah kenyang dilihat olehnya. Maka kini ia pun ikut pedih demi terkenang pada ayah ibu angkat yang malang itu. …

Apakah benar Be-hujin juga merupakan pacar Toan Cing sun?

Lalu ada sangkut paut apa antara terbunuhnya Be Tai goan dan hubungan gelap Toan Cing sun dan be hujin itu?

Tindakan apa yang akan dilakukan Cin Ang bian dan Wi Sing tiok setelah menyaksikan adegan mesra Be hujin dan Toan Cing sun?

Jilid 38
Dalam pada itu Be-hujin sedang melanjutkan ceritanya, "Ayah berkata kepadaku, 'Nak, biarlah besok ayah piara babi lagi, pasti akan kubelikan cita kembang untukmu.' "Tapi aku masih terus menangis, namun apa gunanya? Tiada sebulan kemudian tibalah tahun baru. Enci keluarga Thio tetangga sebelah itu memakai baju baju berkembang merah jambon latar kuning, pakai celana hijau pupus bersulam, sungguh indah sekali. Dan sungguh pula aku sangat iri, sampai kue ranjang yang dibuatkan itu juga tak kumakan lagi. Ai, coba kalau waktu itu kutahu, tentu akan kuhadiahkan sepuluh, bahkan seratus potong cita kembang padamu,” ujar Cingsun dengan tertawa.

"Huh, siapa pingin?” sahut Be-hujin. "Dan pada malaman tahun baru itu aku menjadi tak bisa tidur memikirkan baju kembang itu. Sampai tengah malam, diam-diam aku bangun dan menggeremet ke rumah Thio-pepek, Pada umumnya orang tua suka menunggu saat pergantian tahun maka belum tidur, cahaya lilin masih terang benderang, kulihat Cici keluarga Thio itu sudah tidur di balai-balai, baju barunya itu menyelimuti di atas tubuhnya. Aku terkesima memandangi baju kembang yang mempesona itu, sampai akhirnya diam-diam aku masuk ke kamar Cici Thio dan kuambil baju kembang itu.”

"Hah, jadi kau mencuri baju baru?” Toan Cing-sun dengan tertawa. "Ai, kukira Kheng cilik kita ini cuma pintar mencuri lelaki, kiranya juga pandai mencuri baju.”

Be-hujin melirik genit dan tenenyum, katanya, "Aku justru tidak mencuri baju baru orang tapi aku lantas mengambil gunting, kupotong baju baru itu hingga hancur, lalu kuambil celana barunya dan kugusting pula menjadi lajur-lajur itu. Selesai kuhancurkan baju dan celana baru itu, baru hatiku senang tak terkatakan. Ya, jauh lebih menyenangkan daripada aku memakai baju baru.'

Air muka Toan Cing-sun yang tersenyum simpul sejak tadi itu kini mendadak lenyap dan mendengar sampai di sini, dengan kurang senang berkata, "Sudahlah, Siau Kheng, jangan cerita kejadian lama lagi. marilah kita tidur saja.”

"Tidak, aku belum mau tidur,” Sahut Be-hujin, "Toan-long, apakah kau untuk apa aku menceritakan kisah itu padamu? Ketahuilah bahwa aku ingin kautahu watakku sejak kecil itu. bila ada suatu yang kurindukan siang dan malam dan tak terkabul, dan orang lain justru beruntung bisa memperolehnya, maka apa pun juga, aku akan berusaha untuk menghancurkan barang itu.”

"Sudahlah, jangan omong lagi, aku tidak suka mendengar cerita yang mengesalkan itu,” kata Cing-sun.

Be-hujin tersenyum, ia berbangkit pelahan ia lepaskan sanggulnya hingga rambutnya yang panjang itu

menjulai sampai di pinggang. Ia ambil sebuah sisir kayu dan pelahan menyisir rambutnya yang panjang itu. Tiba-tiba ia melirik dengan tersenyum genit, katanya, "Toan-long, marilah pondong aku!”

Suaranya yang merdu merayu itu membikin setiap lelaki mana pun pasti akan luluh.. Keruan Cin Ang-bian dan Wi Sing-tiok yang menggeletak di luar jendela itu meski tak bisa berkutik, tapi demi mendengar rayuan Behujin itu, seketika api cemburu mereka membakar dan dada mereka serasa akan meledak saking gusarnya.

Dalam pada itu terdengar Toan Cing-sun mengakak tawa sekali, ia beringsut bangun dengan maksud akan merangkul sang kekasih.

Tapi rupanya terlalu banyak minum arak, ternyata untuk berdiri saja ia tidak kuat lagi. Katanya dengan tertawa, "Hahaha, aku hanya minum empat-lima cawan kecil saja lantas mabuk sedemikian rupa, Siau Kheng, wajahmu yang cantik molek ini sekali lihat lantas memabukkan orang, sungguh dapat menandingi tiga kati arak yang paling keras, hehe!”

Diam-diam Siau Hong terkesiap, pikirnya dengan heran, "Aneh, cuma minum empat lima cawan saja mengapa bisa mabuk? Padahal lwekang Toan Cing-sun sangat tinggi, biarpun tidak biasa minum arak juga tidak mungkin mabuk seperti ini. Ah, tentu ada sesuatu yang tidak beres di dalam hal ini.”

Dalam pada itu terdengar Be-hujin sedang tertawa ngikik. lalu katanya, "Toan-long, turunlah kemari, sedikit pun aku tak bertenaga, le … lekas pondong aku.”

Toan Cing-sun coba bergerak lagi, tapi makin tidak kuat berdiri, maka sahutnya dengan tertawa, "Aneh, aku pun tidak bertenaga sedikitpun. Benar-benar aneh, asal melihatmu, aku lantas lemah lunglai seperti tikus, ketemu kucing.”

"Ehm, aku emoh, engkau hanya minum sedikit saja lantas pura-pura mabuk,” sahut Be-hujin dengan senyum aleman. "Cobalah kerahkan tenaga dalam, tentu dapat.”

Cing-sun lantas mengatur pernapasan dan bermaksud mengerahkan tenaga. Tak tahunya perutnya terasa kosong melompong, sedikit pun tak dapat bekerja. Berulang kali ia menarik napas, siapa duga lwekang yang terlatih berpuluh tahun kini ternyata hilang tanpa bekas, entah sejak kapan meninggalkan tubuhnya.

Keruan Cing-sun menjadi gugup. ia sadar urusan agak gawat. Tapi apa pun juga ia adalah seorang kawanan kangouw yang luas pengalamannya. menghadapi sesuatu bahaya lahirnya selalu tenang-tenang saja. Ia berkata dengan tersenyum, Ai, cuma tinggal tenaga It Yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam saja, aku benar-benar dibuat mabuk hingga cuma sanggup membunuh orang dan tak sangup memondong orang.”

Mendengar ucapan itu. diam-diam Siau Hong membatin, "Meski Toan Cing-sun suka paras licin tapi ternyata juga bukan seorang goblok, ia sadar sedang terancam bahaya, maka sengaja omong cuma sanggup membunuh orang dan tidak kuat memondong orang'. Padahal ia hanya mahir It Yang-ci, tapi tidak bisa Lak-meh-sin-kiam; terang ia sengaja main gertak.”

Sementara itu dengan lemah lunglai Be-hujin berseru, "Ai, kepalaku pening sekali. Toan-long jangan … jangan-jangan di dalam arak itu telah ditaruh sesuatu oleh orang?”

Sebenarnya Cing-sun sudah mencurigai Be-hujin yang menaruh obat di dalam arak, tapi demi mendengar si dia mengemukakan lebih dulu hal itu, rasa curiga Cing-sun lantas lenyap, bahkan ia memanggilnya, "Siau Kheng, marilah sini, aku ingin bicara padamu.”

Be-hujin tampak seperti ingin melangkah ke samping Cing-sun. tapi seperti tidak kuat bergerak lagi, ia menggabruk di atas meja, mukanya kemerah-merahan dan napasnya memburu. katanya, "Toan-long … selangkah pun aku tidak sanggup bergerak, mengapa engkau …. meracuni aku?”

Cing-sun menggeleng kepala dan memberi isyarat tangan dengan pelahan, ia celup jarinya ke cawan arak dan menulis di atas meja, "Kita, terjebak akal keji musuh, hendaklah berlaku tenang.”

Sedang di mulut ia berkata, "Kini tenaga dalamku sudah mulai bekerja, kalau cuma beberapa cawan arak racun masakah dapat menjatuhkan aku?”

Segera Be-hujin menulis juga di atas meja, "Sungguh-sungguh atau palsu!”

Dan Cing-sun menulis pula, "Jangan unjuk kelemahan, ”

Di mulut ia berderu, "Siau Kheng!, siapakah musuhmu hingga menggunakan tipu keji ini untuk menjebak diriku.”

Melihat tulisan Toan Cing-sun tentang 'jangan unjuk kelemahan” itu, diam-diam Siau Hong mengeluh baginya, pikirnya, "Biarpun kau Toan Cing-sun biasanya pintar dan cerdik, akhirnya terjungkal juga di tangan kaum wanita. Sudah terang gamblang racun itu adalah perbuatan. Be-hujin, karena dia masih jeri mendengar ucapanmu 'masih sanggup membunuh orang dan tidak kuat memondong orang', maka ia pun pura-pura keracunan untuk memancing reaksimu, mengapa sedemikian, mudah engkau tertipu olehnya?”

Sementara itu Be-hujin mengunjuk rasa sedih dan sedang menulis pula di atas meja, "Apa tenaga dalammu benar-benar hilang semua, dan tidak kuat melawan musuh?”

Dan di mulut senaliknya berseru, "Toan-long, jika benar ada bangsa keroco berani main gila ke sini, nah, rupanya dia sudah bosan hidup, boleh kaududuk saja di sini dan jangan gubris padanya, lihat saja apakah dia berani turun tangan?”

"Diharap bekerjanya obat lekas lenyap dan musuh jangan terburu datang,” demikian Cing-sun menulis di atas meja. Tapi di mulut berkata, "Ya, benar, aku justru sedang kesepian, kalau ada orang suka main-main dengan kita, itulah yang kita harapkan. Eh, Kheng cilik, apakah kaumau melihat kelihaian ilmu tiam-hiat jarak jauh?”

Maksud Cing-sun hanya untuk menggertak saja, di luar dugaan Be-hujin menjawab sungguh-sugguh dengan tertawa, "Ya, selamanya aku, tidak pernah melihat kepandaianmu itu, boleh coba kaututuk sekali ke arah jendela dengan It Yang-ci, tentu sangat hebat!”

Cing-sun berkerut kening dan diam-diam menggerutu, berulang-ulang ia main mata dengan maksud agar sang kekasih memahami alasannya yang cuma main gertak saja itu.

Sebaliknya Be-hujin malah mendesak terus, katanya, "Hayolah, lekas coba, asal kau tusuk satu lubang kecil pada kertas jendela, tentu musuh akan lari ketakutan. Kalau tidak, wah, pasti celaka, musuh akan tahu kelemahanmu sekarang.”

Kembali Cing-sun terkesiap, pikirnya, "Biasanya dia sangat cerdik, mengapa sekarang pura-pura dungu?”

Tentah berpikir, terdengar Be-hujin berkata pula dengan suara lembut, "Toan-long, engkau telah minum racun 'Sip-hiang-bi-hun-san' (obat bius dari sepuluh jenis wewangian), biarpun ilmu silatmu setinggi langit juga tenaga dalammu akan lenyap seluruhnya. Toan-long, jika engkau masih dapat menutuk dari jauh, cukup menjojoh suatu lobang kecil saja di kertas jendela dan hal itu akan merupakan suatu keajaiban alam.”

"Hah, jadi aku terkena … terkena 'Sip-hiang-bi-hun-san, yang keji itu?” seru Cing-sun terkjut, "Dari … dari mana kau tahu?”

"Tadi waktu aku menuangkan arak bagimu, araknya aku kurang hati-hati hingga sebungkus racun itu jatuh, ke dalam poci arak,” sahut Be-hujin dengan tertawa.

"O, kiranya begitu, tak apa-apalah.” ujar Cing-sun dengan senyum ewa. Jelas sekarang duduknya perkara dan tahu telah masuk perangkap nyonya janda itu. Kalau dia marah-marah dia mendamprat pasti akan membikin urusan runyam malah. Maka lahirnya ia pura-pura seperti tiada terjadi apa-apa, sedapat mungkin ia berlaku tenang untuk menghadapi perkembangan selanjutnya.

"Ia sangat cinta padaku, rasanya tidak nanti membunuhku,” pikirnya, "Bisa jadi ia cuma minta aku berjanji untuk hidup berdampingan dengan dia selamanya atau minta aku membawanya pulang ke Tayli untuk dijadikan istri sah. Jika demikian halnya, ini pun timbul dari cintanya padaku yang sangat mendalam, meski perbuatannya ini agak keterlaluan, tapi juga tiada maksud jahat.”

Dalam pada itu didengarnya Be-hujin lagi berkata, "Toan-long, maukah kau jadi suami-istri dengan aku sampai hari tua?”

"Ai, engkau ini benar-benar kelewat lihai,” sahut Cing-sun dengan tertawa. "Baiklah, aku takluk. Besok juga boleh kau ikut aku pulang ke Tayli, akan kuambil dirimu sebagai selir Tin-lam-ong.”

Mendengar itu kembali api cemburu Cin Ang-bian dan Wi Sing-tiok membakar, pikir mereka, "Apanya yang kau pilih dari perempuan hina-dina itu? Engkau tidak terima permintaanku, tapi meluluskan permintaannya?”

Lalu terdengar Be-hujin menghela napas, katanya, "Tean-long, sebelum ini aku pernah tanya padamu cara bagaimana akan kauatur diriku, kau bilang negeri Tayli tanahnya lembab, hawanya panas, ketika tinggal di sana aku bisa jatuh sakit. Dan sekarang engkau terpaksa menerima permintaanku, jadi bukan timbul dari hatimu yang murni.”

Cing-sun menghela napas, katanya, "Siau Kheng, biarlah kukatakan terus terang. Aku adalah Tin-lam-ong, Pokok-taiciangkun, pangeran negeri Tayli, kakak baginda tidak punya keturunan. kalau beliau wafat, tentu tahta akan diturunkan kepadaku. Kini aku cuma seorang persilatan biasa di Tionggoan sini, kalau pulang Tayli aku tidak boleh berbuat sembrono lagi, betul tidak?"

"Betul, lantas bagaimana,” sahut Be-hujin.

"Dan kalau aku membawamu pulang ke Tayli itu berarti aku karus menepati janji, tidak mungkin seorang pangeran mahkota mengingkari janjinya. Betul tidak?”

"O, beralasan juga ucapanmu,” sahut Be-hujin pelahan. "Dan kelak kalau engkau naik tahta, dapatkah kau angkat aku sebagai Hong-hou-nio-nio (permaisuri).”

Cing-sun menjadi ragu, sahutnya kemudian. "Aku sudah punya istri kawin, untuk mengangkatmu sebagai permaisuri tentu tidak bisa ….” "Memangnya aku adalah seorang janda sial, mana dapat menjadi permaisuri apa segala, bukankah akan dibuat buah tertawaan orang?” kata Be-hujin. Lalu ia menyisir rambut dengan pelahan, sambungnya kemudian dengan tertawa, "Toan-long, kisah yang kuceritakan tadi apakah kau paham maksudnya?” Seketika keringat dingin berketes-ketes di jidat Toan Cing-sun, tapi sedapat mungkin ia coba bersikap tenang, namun lwekang yang dilatihnya selama berpuluh tahun kini telah lenyap entah ke mana, keruan ia kerupukan mirip seorang yang kelelep dalam air.

"Toan-long. engkau kegerahan bukan? Biarkan aku mengusap keringatmu,” kata Be hujin. Lalu ia mengeluarkan sepotong saputangan dan mendekati Toan Cing-sun untuk membersihkan keringat dingin di jidatnya sambil berkata pula dengan lembut, "Toan-long, engkau harus menjaga kesehatanmu habis minum arak bisa masuk angin, bila engkau jatuh sakit, ai, betapa rasa cemasku nanti?”

Mendengar rayuan berbisa itu, seketika Toan Cing-sun yang berada di dalam kamar dan Siau Hong yang mengintip di luar itu diam-diam timbul semacam rasa takut yang sukar dilukiskan. Tapi Cing-sun masih tersenyum sedapatnya, sahutnya, "Ya, malam itu kaupun basah kuyup keringat dan aku pun pernah mengusap keringatmu, malahan saputangan yang kupakai itu kubawa sekarang.”

Sekilas air muka Be-hujin tampak malu-malu kucing, katanya dengan lirikan genit, "Kejadian belasan tahun yang lalu masakah masih suka kau bicarakan? Coba kulihat saputanganku itu.” Dalam baju Toan Cing-sun ternyata memang benar-benar terdapat saputangan yang dikatakan itu. Inilah merupakan salah satu modalnya mengapa dia mahir memikat hati kaum wanita. Ia cukup kenal sifat dan jiwa orang perempuan, dengan demikian ia membikin setiap perempuan yang main asmara dengan dia akan percaya penuh bahwa sesungguhnya sang kekasih itu cinta padanya.

Begitulah ia bermaksud mengeluarkan saputangan itu, tapi sedikit jarinya bergerak, rasa lengannya lantas kaku linu, racun 'Sip-hiang-hi-hun-san' itu ternyata sangat lihai, bahkan untuk mengambil saputaugan saja tidak sanggup lagi.

"Mana, tunjukkanlah padaku!” demikian seru Be-hujin. "Hm, kembali kaudusta belaka.”

"Haha, sekali mabuk hingga tangan juga tidak bisa bergerak lagi,” kata Cing-sun dengan tersenyum getir "Boleh kauambil sendiri dalam bajuku ini.”

"Huh, apakah kau kira aku dapat ditipu?” sahut Be-hujin. "Kauingin memancing aku mendekat, lalu dengan It Yang-ci akan kaumatikan aku.”

"Wanita cantik ayu tiada bandingannya seperti dirimu, sekalipun aku adalah manusia yang paling kejam juga tidak tega menggoda dengan kuku di mukamu,” ujar Cung-sun dengan tersenyum.

"Betulkah begitu, Toan-long?” Be-hujin menegas dengan tertawa. "Tapi aku tetap kuatir, aku harus mengikat dulu kedua tanganmu, kemudian … kemudian mengikat sukmamu pula dengan sebundel benang halus.”

"Sudah sedari dulu kauikat sukmaku, kalau tidak masakah aku bisa datang kemari?” ujar Cing-sun.

Be-hujin tertawa, katanya, "Engkau memang seorang baik, pantas aku jatuh hati padamu.”

Sembari berkata ia buka laci meja dan mengeluarkan seutas tali kulit.

Diam-diam Cing-sun terkesiap, pikirnya, 'Kiranya lebih dulu ia sudah siapkan segala sesuatunya, tapi aku sama sekali tidak sadar. Ai, Toan Cing-sun, kalau hari ini jiwamu malayang di sini juga tak bisa menyalahkan orang lain.”

Dalam pada itu terdengar Be-hujin lagi berkata, "Toan-long, sesungguhnya cintaku padamu tiada taranya, tapi lebih dulu aku harus mengikat tanganmu, apa engkau akan marah padaku?”

Dalam keadaan begitu, kalau orang lain mungkin akan terus mencaci maki, bila tidak tentu akan mohon ampun dan menyinggung cinta masa lalu.

Namun Cing-sun cukup kenal watak Be-hujin, yang culas dan keji, biarpun wanita, pendiriannya lebih teguh daripida kaum pria, mencaci maki padanya takkan membuatnya marah, minta ampun juga takkan membikin dia menaruh belas kasihan.

Jalan satu-satunya sekarang ialah mengulur waktu untuk mencari kesempatan kalau-kalau ada kemungkinan menyelamatkan diri. Maka ia coba tenangkan diri dan berkata dengan terawa, "Siau Kheng, asal kulihat matamu yang basah-basah sayu itu, betapapun rasa marahku juga seketika akan hilang sirna. Marilah biar kucium bunga melati yang tersunting di rambut mu itu harum atau tidak?”

Kiranya pada waktu belasan tahun yang lampau, dengan kata-kata demikian itulah Toan Cing-sun memperoleh cinta Be-hujin. Kini ucapannya diulangi kembali, seketika Be-hujin menjatuhkan tubuhnya ke pangkuan Toan Cing-sun dengan penuh kasih mesra. Ia mengelus-elus pipi Toan Cing-sun dan berkata dengan suara lembut,

"Toan-long malam itu telah kuserahkan badanku ini padamu tatkala itu kutanya padamu bila kemudian hari hatimu berubah, lantas bagaimana tindakanku?'

Cing-sun tak bisa menjawab, sebaliknya keringat di jidatnya berbutir-butir bagai kedelai besarnya. "Kekasih yang tidak punya liangsim, apakah sumpah yang pernah kau ucapkan sekarang kaulupakan sendiri?” kata Behujin. "Aku tidak lupa,” sahut Cing-sun dengan tersenyum getir. "Aku menyatakan akan membiarkan digigit daging tubuhku ini secomot demi secomot.” Sebenarnya sumpah begitu adalah jamak tatkala kedua kekasih sedang bercumbu-cumbuan.

Tapi kini tanpa terasa membuat orang yang mendengarnya mengkirik. Dan dengan senyum genit Be-hujin berkata, "Masakah aku tega menggigitmu. Aku hanya ingin mengikat kedua tanganmu, kaululuskan tidak, coba katakan selamanya aku menurut kepada apa yang kaukatakan.” Cing-sun tahu dirinya takkan terhindar dari pada siksaan kekasih itu, maka sahutnya dengan tawa,

"Jika kau mau ikat, boleh ikatlah. Biarpun mati, asal mati di tangamu juga aku puas.” Diam-diam Siau Hong kagum juga kepada ketenangan Toan Cing-sun, menghadapi detik bahaya itu ternyata pangeran Tayli itu masih sanggup mengucapkan kata-kata merayu.

Segera Be-hujin menelikung kedua tangan Cing-sun ke belakang, lalu diringkusnya dengan tali kulit hingga kencang, bahkan ia ikat dengan tali pati bebarapa kali. Dengan demikian, sekali pun Toan Cing-sun dalam keadaan biasa juga sukar melepaskan diri, apalagi sekarang dalam keadaan lemas tak berkutik.

Kemudian Be-hujin berkata pula dengan tertawa menggiurkan, "Aku pun benci kepada kedua kakimu ini, asal sudah melangkah pergi, maka tak mau kembali lagi.” "Tapi waktu aku berkenalan denganmu, justru kedua kaki inilah yang membawaku kemari, maka jasanya boleh dikatakan besar daripada dosanya,” sahut Cing-sun. "Baiklah, biar aku mengikatnya juga,” kata Be-hujin. Lalu ia mengunakan tali kulit yang lain untuk mengikat kedua kakinya. Habia itu, ia ambil gunting dun pelahan memotong baju di bahu kanan Cing-sun hingga tertampak kulit dagingnya yang putih bersih.

Meski usia Toan Cing-sun sudah lebih 4l tahun tapi ia dilahirkan sebagai pengeran, hidupnya senang bahagia, maka badannya terawat dengan baik, kulit dagingnya juga halus. Pelahan Be-hujin meraba bahu Toan Cing-sun itu, kemudian ia tempelkan mulutnya yang mungil itu untuk mencium pipi sang kekasih, lalu menurun ke leher dan mencium bahu kanan itu. Dan "Auuuhhg!” mendadak Toan Cing-sun menjerit kesakitan, suaranya keras memecah angkasa malam yang sunyi. Ketika Be-hujin mengangkat kepalanya, tertampaklah mulutnya penuh berlepotan darah, ternyata sepotong daging di bahu Toan Cing-sun itu benar-benar telah digigitnya. Keruan darah mengucur dari tempat luka itu.

Be-hujin meludahkan sepotong daging kecil yang digigitnya itu, lalu berkata dengan suara genit, "Toan-long engkau sendirilah yang bilang bahwa bila hatimu berubah, maka akan membiarkan aku menggigit dagingmu secomot demi secomot.”

"Haha, memang begitulah kataku dahulu, masakah aku mungkir sekarang?” sahut Cing-sun dengan tertawa. "Ya, terkadang aku pun berpikir entah cara bagaimana baiknya aku akan mati? Kalau mati sakit di atas ranjang, itulah terlalu jamak. Mati di medan bakti, sudah tentu cara ini sangat baik, tapi melulu gagah perwira saja tanpa romantis. kurasa masih kurang sempurna dan tidak sesuai dengan perbuatanku selami hidup. Tapi kini, Siau Khong, apa yang kaupakai ini benar-benar suatu cara yang paling tepat, rupanya sudah ditakdirkan aku Toan Cing-sun harus mati di mulut mungil wanita paling cantik di jaman ini, biar mati pun aku akan merata puas.”

Mendengar sampai di sini, Ciu Ang-bian dan Wi Sing-tiok menjadi kuatir sekali, mereka jiwa kekasih mereka itu benar-benar terancam bahaya, sebaliknya Siau Hong terlihat masih enak-enak menonton di luar jendela dan tiadi tanda-tanda akan turun tangan untuk menolong. Keruan mereka sangat gelisah dan diam-diam mencaci maki bekas Pangcu itu, coba kalau tak tertutuk olehnya, tentu sejak tadi mereka menerjang ke dalam rumah untuk menolong sang kekasih.

Sebaliknya waktu itu Siau Hong masih belum dapat meraba apa sebenarnya tujuan Be-hujin itu, ia tidak tahu apakah nyonya janda itu benar-benar akan membunuh Toan Cing-sun atau cuma untuk menggertak saja. Dan karena kuatir salah tindak, maka Siau Hong tetap sabarkan diri untuk mengikuti perkembangan selanjutnya. Begitulah maka didengarnya Be-hujin sedang berkata dengan tertawa, "Toan-long, sebenarnya aku ingin menggigitmu dengan perlahan-lahan, akan kugigitmu seratus kali atau seribu kali, tapi kukuatir pula bawahanmu keburu datang menolongmu. Maka boleh begini saja, aku akan menancapkan sebilah belati pada hulu hatimu, lalu cuma menusuk setengah senti saja ke dadamu hingga jiwamu takkan melayang, tapi bila ada orang ingin menolongmu, segera kutikam belati itu dan kontan kaupun akan terbebas daripada segala penderitaan.”

Sembari berkata ia terus mengeluarkan sebilah belati yang kecil mengkilap, ia potong baju dada Toan Cingsun, ia acungkan ujung belati ke hulu hati sang kekasih, sedikit ia tekan, ujung belati lantas menusuk ke dalam dadaa, dan menang benar hanya ambles masuk setengah senti saja. Pada saat Be-hujin menusuk dada Toan Cing-sun dengan belati, dengan mata tak berkedip Siau Hong mengawasi tangan wanita itu, asal dilihatnya nyonya itu menikam dengan kuat dan membahayakan jiwa Toan Cing-sun, maka seketika ia akan turun tangan untuk menolong.

Syukurlah ia lihat Be-hujin cuma menusuk dengan pelahan saja, maka Siau Hong tidak perlu kuatir pula. Kemudian terdengar Toan Cing-sun berkata, "Siau Kheng, sesudah mati digigit olehmu, maka selamanya aku pun takkan meninggalkanmu.”

"Sebab apa?” tanya Be-hujin.

"Sebab umumnya kalau sang istri membunuh suami sendiri, maka arwah sang suami yang sudah mati itu pasti takkan melayang pergi, tapi akan menjaga di samping sang istri untuk mengalang-alangi kalau ada lelaki lain akan main gila dengan dia ” Apa yang dikatakan Toan Cing-sun ini tentunya cuma untuk menakut-nakuti saja agar Be-hujin tidak terlalu keji perbuatanya.

Tak terduga wajah nyonya janda itu lantas berubah hebat demi mendengar ucapan itu dan tanpa terasa melirik sekejap ke belakang. Dasar Toan Cing-sun memang cerdik, segera ia tambahi pula, "Lihatlah, siapakah orang yang berada di belakangmu itu?”

Be-hujin terkejut, capat sahutnya, "Siapa sih yang berada di belakangku? Huh ngaco belo belaka!”

"Itu dia, seorang lelaki sedang tertawa padamu sambil meraba-raba tengorokan sendiri seakan-akan kerongkongannya sedang kesakitan,” demikian kata Cing-sun pula. "He, siapakah dia. Perawakannya tinggi, dan menangis malah…”

Tanpa terasa Be-hujin membalik tubuh dengan cepat, dan sudah tentu tiada seorang pun tang dilihatnya. Dengan suara gemetar ia mengomel, "Kau … kau bohong!” Semula Toan Cing-sun sebenarnya cuma omong asal omong saja, tapi kini demi melihat perempuan itu ketakutan sekali, seketika timbul rasa curiganya. Sebagai seorang cerdik, sedikit pikir saja segera ia tahu di balik kematian Be Taigoan itu pasti ada sesuatu yang tidak beres. Ia tahu Be Taigoan terbinasa oleh serangan 'Soh-au-kim-na-lu' (ilmu mencengkeram leher), sebab itulah ia sengaja bilang orang itu seperti sakit kerongkongan dan meneteskan air mata.

Dan benar juga ucapannya itu membuat Be-hujin sangat gelisah dan ketakutan. Sedikit kelakuan Be-hujin yang tidak wajar itu segera dapat diduga oleh Toan Cing-sun. Ia pikir kalau dirinya ingin selamat, agaknya harus mencari jalan melalui kelemahan wanita itu dalam urusan kemtian suaminya itu. Maka ia lantas berkata pula, Eh, aneh, mengapa hanya sekejap saja lelaki itu sudah menghilang, dia pernah apakah denganmu?”

Keruan Be-hujin semakin gugup, tapi segera kemudian ia dapat tenangkan diri, sahutnya, "Toan-long, urusan sudah begini, tentunya harus kautepati sumpahmu itu, mengingat hubungan, kita yang baik, biarlah kubereskan dirimu secara cepat dan enak saja.” Sambil berkata ia terus melangkah maju untuk menolak belati yang menancap di dada Toan Cing-sun itu.

Cing-sun sadar keadan sangat gawat, mati-hidupnya tinggal sekejap saja, tiba-tiba ia mendelik ke belakang Behujin sambil berteriak, "Eh Taigoan, lekas cekik mati dia!” Memangnya Be-hujin terkejut ketika melihat sikap Toan Cing-sun yang menyeramkan itu, ketika mendengar teriakannya menyebut 'Be Tai-goan’, keruan ia tambah kaget dan tanpa terasa ia menoleh. Kesempatan yang sudah dicari itu tidak disia-siakan Cing-sun lagi, sekuatnya ia menunduk terus menyeruduk ke arah Be-hujin, "bluk”, kontan bawah dagu nyonya janda itu tertumbuk dan jatuh kelengar.

Tapi serudukan Toan Cing-sun ini tak mempunyai tenaga dalam sedikitpun, Be-hujin cuma pingsan sebentar saja lantas siuman kembali, berbangkit sambil meraba-raba dagu sendiri, katanya dengan tertawa. "Toan-long, engkau suka kasar begini, daguku sampai kesakitan kautumbuk. Engkau sengaja omong yang tidak-tidak untuk menakuti aku. sekarang aku takmau tertipu lagi.” Diam-diam Cing-sun mengeluh dan menghela napas, jika

nasibnya sudah ditakdirkan demikian, apa mau dikata lagi? Tiba-tiba datang suatu pikiran padanya, katanya segera, Siau Kheng, apakah aku akan kaubunuh secara begini saja? Kalau nanti orang Kai-pang datang kemari untuk menghukummu atas dosamu membunuh suami sendiri, lantas siapa yang akan memembela dirimu?” Behujin tertawa, sahutnya, "Siapa yang bilang aku membunuh suami sendiri? Hah, setelah engkau kubunuh, akan kupergi dan menghilang jauh-jauh, masakah aku masih mau tinggal disini!” Ia menghela napas penuh menyesal, lalu berkata pula,

"Toan-long, sesungguhnya aku sangat rindu padamu. Sangat cinta padamu, tapi karena aku tak bisa mendapatkanmu, terpaksa aku menghancurkan dirimu, ini adalah tabiatku, apa mau dikatakan lagi?”

"Ah, tahulah aku sekarang,” kata Cing-sun tibi-tiba. "Tempo hari kamu sengaja menipu nona cilik itu supaya Kiau Hong membunuhku, tujuanmu adalah sama seperti sekarang ini, bukan?”

"Ya, benar,” sahut Be-hujin. "Keparat Kiau Hong itu benar-benar tak berguna, masakah membunuhmu pun tidak mampu hingga kamu berhasil melarikan diri kemari.”

Sungguh heran Siau Hong tak terkatakan, kepandaian menyamar si A Cu boleh dikata tiada bandingannya, apalagi Be-hujin ini jarang bertemu dengan Pek Si-kia, mengapa ia dapat mengetahui rahasia penyamaran A Cu itu?

Semetara itu terdengar Be-hujin berkata pula, "Toan-long, aku akan menggigit sekali lagi!”

"Silakan, aku sangat senang malah,” sahut Cing-sun dengan tersenyum.

Siau Hong tahu sudah tiba waktunya, segera ia jojohkan telapak tangannya ke dinding yang berada di belakang Toan Cing-sun ita, ia kerahkan tenaga dalam dan pelahan tangannya dapat menembus dinding itu, akhirnya tanpa diketahui siapa pun telapak tangannya dapat menempel punggung Toan Cing-sun.

Pada saat itulah Be-hujin menggigit pula daging di bahunya hingga Cing-sun berteriak kesakitan sambil kelojotan, dan pada saat yang sama tiba-tiba ia merasa kedua lengan sendiri dapat bergerak, tali kulit yang mengikat tangannya dijepit putus oleh Siau Hong. Berbareng suatu arus tenaga dalam membanjir ke tubuh Toan Cing-sun.

Sesudah tertegun sekejap, Cing-sun sadar di luar telah datang bala bantuan yang kuat, segera ia bertindak, tenaga dalam yang mengalir ke tubuhnya itu dikerahkan ke tangan dan jari, "crit”, kontan ia mengeluarkan It Yang-ci yang sakti.

Keruan Be-hujin menjerit, iganya tertutuk sekali, orangnya pun roboh di balai-balai.

Melihat Toan Cing-sun sudah berhasil mengatasi Be-hujin, cepat Siau Hong menarik kembali tangannya. Dan selagi Cing-sun hendak bersuara menyatakan terima kasih kepada penolong yang tak kelihatan itu, tiba-tiba kerai pintu tersingkap dan masuklah seorang.. "Siau Kheng, apa kamu masih sayang padanya? Mengapa sudah sekian lama belum kaubereskan dia?” demikian orang itu menegur.

Melihat orang itu, seketika Siau Hong terkesima. Tapi hanya sekejap saja, maka segala tanda tanya yang selama ini bersarang dalam benaknya itu seketika terjawab semuanya. Terbayang oleh Siau Hong kejadiankejadian yang lalu, yaitu waktu Be-hujin datang di tengah hutan di luar kota Bu-sik, di sana nyonya janda itu mengeluarkan kipas lempit miliknya sebagai bukti untuk memfitnah dia malam-malam menggerayangi rumah Be Tai-goan untuk mencuri surat penting itu. Ia heran dari manakah nyonya ini mendapatkan kipas itu? Jika kipas pribadinya itu dicuri orang, tentu si pencuri adalah orang kepercayaannya. Dan siapakah orang itu? Rahasia tentang dirinya keturunan Cidan sudah terpendam selama lebih-30 tahun, mengapa mendadak orang membongkarnya?

Penyamaran A Cu sebagal Pek Si-kia sebenarnya mirip sekali, dari mana Be-hujin dapat mengetahui rahasia penyamarannya? Jawabannya ternyata mudah saja dengan munculnya orang ini. Siapakah dia? Kiranya ia taklain-tak-bukan adalah Pek Si-kia sendiri itu Cit-hoat Tianglo Kai-pang yang disegani. Begitulah maka terdengar Be-hujin sedang berseru dengan kuatir, "Dia … dia masih tangkas aku … aku tertutuk olehnya.”

Mendengar itu, segera Pek Si-kia melompat maju, ia pegang kedua tangan Toan Cing-sun, "krak-krak”, kontan ia puntir patah tulang pergelangan lawan itu. Hendaklah diketahui bahwa tenaga murni yang disalurkan Siau Hong ke dalam tubuh Toan Cing-sun itu hanya dapat bertahan sebentar saja, ketika Siau Hong menarik kembali tangannya, kembali Toan Cing-sun menjadi lumpuh pula, Siau Hong sendiri sedang bergolak perasaannya oleh munculnya Pek Si-kia, seketika ia tidak berpikir untuk membantu Toan Cing-sun lagi, pula ia tidak menduga bahwa mendadak Pek Si-kia akan turun tangan keji, maka selagi ia terkejut oleh kejadian itu tahu-tahu tulang pergelangan tangan Toan Cing-tun sudah patah.

Pikirnya, "Ya, orang ini suka menggoda banyak wanita, hari ini biar dia tahu rasa sedikit. Mengingat A Cu pada detik terakhir tentu akan ku tolong jiwanya.” Dalam pada itu terdengar Pek Si-kia sedang berkata, "Orang she Toan, tidak nyana kepandaianmu sangat hebat juga, sudah minum Sip hiang-hi-hun-san toh tenagamu tidak lenyap sama sekali.”

Meski Toan Cing-sun tidak tahu siapakah gerangan orang yang membantunya dengan hawa murni dari luar rumah itu, tapi ia menduga pasti seorang tokoh yang berkepandaian tinggi, di hadapannya kini bertambah seorang musuh tanguh, namun di belakang sendiri juga ada penolong yang kuat, maka ia tidak menjadi gugup, apalagi dari ucapan Pek Si-kia itu terang orang tidak tahu bahwa dirinya barusan telah ditolong orang, maka ia lantas bertanya, "Apakah tuan ini Tianglo dari Kai-pang? Selamanya aku tidak kenal padamu, mengapa datangdatang lantas turun tangan keji?”

Pek Si-kia tidak menjawab, ia mendekati Be-hujin dan memijat-mijat beberapa kali pada pinggangnya. Namun It Yang-ci keluarga Toan dari Tayli adalah ilmu tiam-hiat yang sakti, biarpun ilmu silat Pek Si-kia tidak lemah, tapi tidak mampu membuka hiat-to yang tertutuk itu.

Maka dengan berkerut kening tokoh Kai-pang itu bartanya. "Bagaimana keadaanmu?” Nadanya ternyata penuh perhatian mirip seorang suami lagi tanya istrinya.

"Aku merasa lemas, sedikit pun tak bisa berkutik,” sahut Be-hujin. "Si-kia, lekas turun tangan membereskan dia saja, dan segera kita pun angkat kaki dari sini. Rumah … rumah ini lebih baik kita tinggalkan saja.”

"Hahahaha!” mendadak Toan Cing-sun terbahak-bahak, "Siau Kheng, mengapa kau ketakutan? Hahahaha!”

"Toan-long, ajalmu sudah di depan mata, tapi engkau masih senang-senang dan tertawa segembira ini?” ujar Be-hujin dengan tersenyum.

"Plok”, mendadak Pek Si-kia tempeleng nyonya janda itu dengan keras sambil memaki, "Masih kaupanggil dia Toan-long? Kau perempuan hina-dina! Long atau "kok” adalah panggilan kaum istri kepada sang suami.

Dan selagi Be-hujin meringis kesakitan, di sana Toan Cing-sun telah membentak dengan gusar, "Tahan, mengapa kaupukul dia?”

"Huh, berdasar apa kauikut campur?” jengek Pek Si-kia. "Dia adalah orangku, aku suka hajar atau maki dia, peduli apa dengan kau?”

"Wanita cantik molek begini, masakah kau-tega memukulnya?” demikian kata Cing-sun. "Seumpama betul dia adalah orangmu, sepantasnya engkau membujuk rayu untuk menyenangkan dia.”

"Dengarlah itu!” kata Be-hujin sambil mendeliki Pek Si-kia sekali. "Coba, orang lain begitu baik padaku, dan bagaimana pula sikapmu kepadaku? Apa engkau tidak malu?”

"Kau perempuan jalang ini, sebentar lagi tentu akan ku hajarmu?” demikian Si-kia mendamprat. "Orang she Toan, aku justru tidak suka mendengarkan ocehanmu itu. Kamu pandai mengambil hatinya, tapi mengapa sekarang kamu akan dibunuh olehnya? Nah, silakan saja, pada hari yang sama tahun depan adalah ulang tahun

ajalmu ini.” Habis berkata, ia terus melangkah maju dan hendak menusukkan belati yang menancap di dada Toan Cing-sun itu.

Melihat keadaan sudah berbahaya, segera tangan Siau Hong dimasukkan pula melalui lubang dinding tadi, asal Pek Si-kia melangkah maju lagi sedikit, segara tenaga pukulannya akan dilontarkan! Tapi pada saat itu juga mendadak kerai tersingkap oleh tiupan angin yang kencang, dimana angin keras menyambar, seketita api lentera padam dan kamar itu menjadi gelap gulita.

Be-hujin menjerit ketakutan, Pek Si-kia tahi kedatangan musuh, ia tidak sempat membunuh Toan Cing-sun lagi terpaksa ia harus menghadaphi musuh lebih dulu. Segera ia membentak, "Siapa?” Berbareng kedua tangan siap didepan dada sambil membalik tubuh.

Angin kencang yang memadamkan api lentera tadi terang dilakukan oleh seorang yang ilmu silatnya sangat tinggi. Tapi sesudah kamar itu menjadi gelap gulita, keadaan tetap sunyi senyap saja. Tapi ketika Pek Si-kia, Toan Cing-sun, Be-hujin, dan Siau Hong memperhatikan, maka tertampakah lamat-lamat di dalam kamar itu sudah bertambah dengan satu orang.

Be-hujin yang pertama-tama tidak tahan perasaannya, ia menjerit tajam, "Ada orang! Ada orang!”

Orang itu tampak berdiri tegak di tengah pintu, kedua tangan lurus ke bawah, mukanya tidak kelihatan.

"Siapa kau?” bentak Pek Si-kia pula sambil melangkah maju setindak. Tapi orang iua tetap diam saja seakanakan tidak mendengar. Kembali Pek Si-kia membentak lagi, "Siapa kau? Jika tidak manjawab, terpaksa aku tidak sungkan-sungkan lagi.” Oleh karena tidak tahu pendatang itu kawan, atau lawan, cuma dari angin pukulannya yang dapat memadamkan api lentera tadi jelas ilmu silat pendatang ini sangat tinggi, maka Pek Sikia tidak ingin bergebrak dengan dia. Tapi orang itu tetap berdiri tegak tanpa bersuara, dalam keadaan gelap, suasana menjadi seram rasanya,

Dalam pada itu Toan Cing-tun dan Siau Hong yang berada di dalam dan di luar rumah itu juga merasa sangsi melihat bentuk pendatang itu, pikir mereka, "Ilmu silat orang ini tidak lemah, tapi di kalangan Bu-lim mengapa tidak pernah terdengar ada tokoh seperti dia ini?'

Sementara itu Be-hujin berteriak pula, "Lekas menyalakan lentera, aku takut, aku takut!”

Diam-diam Si-kia mendongkol, pikirnya, "Perempuan jalang ini sembarangan omong saja, kalau aku menyalakan api, bukankah akan memberi kesempatan kepada musuh untuk menyerang?” Begitulah maka ia tetap siapkan kedua tangan di depan dada. ia ingin tahu bagaimana musuh akan bertindak lebih dulu, dengan

demikian ia akan dapat mengetahui musuh benar-benar lihai atau tidak.

Tak tersangka orang itu tetap diam-diam saja hingga mereka berdiri berhadapan sampai cukup lama. Keruan saja makin lama Pek Si-kia makin kuatir, pikirnya, 'Tentu orang ini adalah lawan dan bukan kawan, tapi dia tidak mau menyerang, apakah sebabnya? Ah, tentu dia lagi menunggu kawannya, mungkin kuatir seorang diri tak mampu melawan aku, maka perlu menunggu bala bantuan dulu untuk menolong Toan Cing-sun.”

Berpikir demikian, maka ia tidak mau buang waktu lagi, segera ia berseru, "Jika saudara tidak mau bersaudara, terpaksa aku yang akan bertindak.” Dan ketika melihat lawan masih tetap diam saja, segera ia mengeluarkan sebatang pusut beaja, sekali melompat maju, di mana pusut baja bekerja, terus saja menusuk orang itu. Tipu serangan yang disebut "Kong-sia-tau-gu” atau sinar kilat menembus langit ini adalah salah satu tipu serangan yang paling diandalkannya.

Namun hanya sedikit mengegos saja orang itu sudah dapat menghindarkan serangan, bahkan Pek Si-kia lantas merasa serangkum angin keras menyambar ke arahnya, jari tengah lawan telah mencengkeram lehernya. Serangan balasan ini datangnya cepat luar biasa, belum lagi Si-kia sempat menarik kembali pusutnya, tahutahu kelima jari musuh sudah menempel tenggorokannya.

Keruan kejutnya tidak kepalang, sukma serasa terbang ke awang-awang. Lekas ia melompat mundur untuk manghindarkan cengkeraman orang sambil berseru dengan suara keder, "Kau … kau” Kiranya apa yang membuatnya takut setengah mati itu bukanlah disebabkan ilmu lawan yang sangat tinggi itu, tapi lantaran tipu serangan yang digunakan orang itu ternyata adalah "Soh-su-kim-na-jiu”. "Soh-au-kim-na-jiu” atau ilmu mencekik leher adalah kepandaian tunggal warisan keluarga Be Tai-goan, selain anak murid keluarga Be, di dunia persilatan tiada orang lain lagi yang bisa memainkannya. Dan sejak Be-Tai-goan meninggal, ilmu silat itu sesungguhnya lantas ikut putus dan tak terwariskan lagi. Pek Si-kia adalah kawan karib Be Taigoan, dengan sendirinya ia cukup kenal kepandaian tunggal sang kawan. Dan sekali gebrak saja, seketika keringat dingin membasahi tubuh Pek Si-kia.

Waktu ia perhatikan lawan itu, ia lihat perawakannya sangat memper Be Taigoan, cuma keadaan gelap gulita, maka mukanya tidak jelas kelihatan. Sesudah gebrak, orang itu tetap diam saja sikapnya itu benar-benar sangat menyeramkan. Si-kia merasa.lehernya, rada kesakitan, mungkin terluka oleh kuku orang. Sesudah tenangkan diri, segera ia bertanya, pula, ”Siapakah saudara? Apa kau she Be?” Tapi orang itu seperti orang tuli atau gagu, sama sekali ia tidak ambil pusing atas pertanyaan Pek Si-kia. "Siau Kheng, coba engkau menyalakan lampu.” kata Si-kia.

"Aku tak bisa bergerak, engkau saja yang menyulutnya,” sahut Be-hujin.

Sudah tentu Pek Si-kia tidak berani sembarangan bergerak sebab kuatir memberi kesempatan kepada musuh untuk menyerang, pikirnya. "Ilmu silat orang ini terang jauh lebih tinggi dari padaku, bila Toan Cing-sun akan ditolong?, tidak perlu menunggu bala bantuan juga dia dapat bertindak sendirian. mengapa sesudah bergebrak tadi lalu ia tidak menyerang pula?” Keadaan kembali hening hingga sekian lamanya, mendadak Pek Si-kia

merasakan sesuatu yang aneh. Meski tiada seorang pun yang bicara dan bergerak di dalam kamar, tapi pernapasan setiap orang tentu ada, ia dengar suara napas sendiri

suara napas Be-hujin dan Toan Cing-sun, tapi aneh, orang yang berdiri berhadapan dengan dia itu justru tidak terdengar bernapas meski ia coba mendengarkan dengan cermat. Masakah ada manusia hidup tak bernapas. Sungguh tidak masuk akal. Sampai akhirnya Pek Si-kia jadi tak sabar lagi, mendadak ia membentak terus menubruk maju, pusutnya menikam muka orang itu.

Tapi sekali tangkis dengan tangan kiri, orang itu dapat menyampuk tikaman pusut lawan, berbareng tangan kanan itu meraih leher Pek Si-kia. Si-kia sudah menduga kemungkinan itu, mak sedikit ia mendak, cepat ia menyelinap ke samping di bawah ketiak orang. Tapi orang itu tidak memburu, kembali ia berdiri mematung di tengah pintu. Waktu Si-kia menikam kaki orang itu dengan pusutnya, dengan tegak kuku orang itu melompat ke atas untuk menghindar. Melihat tubuh orang yang kaku tegak itu pada waktu melompat sedikit pun tidak menekuk lutut, tanpa terasa Be-hujin berteriak-teriak, "Mayat hidup! Mayat hidup!”' Maka terdengarlah suara "bluk”, dengan antap orang itu turun ke lantai.

Keruan Pek Si-kia mengkirik, pikirnya, "Jika orang ini seorang tokoh persilatan, mengapa gerak-geriknya begini kaku? Apakah betul di dunia ini ada mayat hidup?” Tapi jelek-jelek dia adalah tokoh terkemuka Kaipang, betapapun ia tidak boleh unjuk kelemahan di depan musuh yang aneh itu.

Sesudah ragu sejenak, kembali ia menubruk maju pula dan beruntun pusutnya menikam tiga tali ke bagian bawah lawan dan memang benar dengkul orang itu seperti tidak bisa menekuk, selalu ia menghindar dengan lompatan kaku, tampaknya bukan mustahil melangkah pun orang itu tak bisa. Kalau Pek Si-kia menikam ke kiri, ia lantas melompat ke kanan, bila Si-kia menusuk ke kanan, orang itu lantas menghindar ke kiri. Melihat kelemahan lawan itu, rasa jeri Pek Si-kia agak berkurang, tapi makin lama makin dirasakan lawan itu bukanlah manusia hidup. Kembali Pek Si kia menyerang beberapa kali lagi, walau lawan itu kelihatannya kaku cara menghindarnya, namun Ilmu permainan pusutnya yang lihai itu sebegitu jauh ternyata tak bisa menyenggol tubuh orang.

Sekonyong-konyong terasa "nyes” dingin tahu-tahu Si-kia merasa sebelah tangan orang yang lebar dan dingin itu meraba kuduknya. Dalam kagetnya .Si-kia terus menikam ke belakang, namun luput, sebaliknya tangan orang itu makin berat menindih ke bawah. Cepat Si-kia bertahan dengan mengerahkan seluruh tenaganya, tapi semakin ia tahan, semakin berat pula daya tekanan musuh. Sejenak kemudian ia mulai kewalahan, kepalanya mulai menduduk tertindih, menyusul terpaksa ia membungkuk, di atas tengkuk seakan-akan ditaruhi sepotong batu raksasa beribu kati beratnya hingga tulang punggung pun terasa akan patah.

Karena itu napas Pek Si-kia semakin memburu, semakin tersengal-sengal. Keruan Siau Hong dan Toan Cingsun juga heran oleh kejadian itu,

"Si-kia, Si-kia Kenapa kau?” tanya Be-hujin dengan kuatir.

Sudah tentu Pek Si-kia tiada kelebihan tenaga untuk menjawabnya, ia merasa tenaga dalamnya sedang terkuras oleh daya tekan, di atas punggung sedikit demi sedikit.. Sekonyong-konyong sebelah tangan lawan yang lebar dan dingin itu kembali meraba mukanya. Tangan itu benar-benar bukan tangan manusia, sebab sedikit pun tidak terasa hangatnya tangan manusia umumnya.

Saking ketakutan tanpa terasa Pek Si-kia berteriak-teriak dengan suara ngeri, "Mayat hidup! Mayat hidup!'

Gerak tangan terakhir itu ternyata sangat pelahan, mula-mula muka Pek Si-kia yang diraba, kemudian meraba matanya, jari tangan menggosok-gosok pelahan biji matanya. Keruan Si-kia ketakutan setengah mati. Bayangkan saja. asal jari musuh sedikit menekuk, seketika biji matanya akan terkorek keluar. Untung tangan yang dingin bagai es itu menggeser ke bawah pula dan meraba-raba hidungnya, lalu meraba mulutnya dan menurun terus ke bawah, akhirnya sampai di lehernya.

Orang itu menggunakan dua jari telunjuk dan tengah untuk menjepit tenggorokan Pek Si-kia, makin lama makin keras jepitannya.

Sungguh tidak kepalang rasa takut Pek Si-kia, mendadak ia berteriak, "Ampun, Tai-goan! Ampun!”

"Ap … apa katamu?” seru Be-hujin dengan suara melengking tajam.

Tapi Pek Si-kia masih berteriak-teriak, "Tai- goan Hengte, segalanya dia yang mengatur, tiada sangkut-pautnya dengan aku.”

"Kalau aku yang mengatur, lantas mau apa?” kata Be-hujin dengan gusar.

"Be Tai-goan, hidupmu adalah orang yang tak berguna, sesudah mati kau mampu berbuat apa? Hm, aku justru tidak gentar padamu!” Pek Si-kia marasakan waktu menyangkal tadi cekikan orang itu lantas dikendurkan sedikit. Dan kini sesudah tutup mulut, cekikan orang itu kembali diperkeras.

Dalam gugupnya didengarnya Be-hujin menyebut "Be Tai-goan”, keruan ia makin yakin makhluk aneh itu pasti mayat hidup Be Tai-goan, maka kembali ia berteriak-teriak, "Ampun, Tai-goan! Istrimu yang berulangulang minta engkau membongkar rahasia asal-usul Kiau Hong tapi engkau berkeras tidak mau. maka timbul maksud jahatnya untuk membunuhmu …. "

Siau Hong terkesiap, ia tidak percaya bahwa di dunia ini ada setan segala, tapi ia yakin pendatang itu pasti seorang tokoh persilatan yang sengaja bersikap sebagai makhluk halus untuk membikin takut Be-hujin dan Pek Si-kia, dengan demikian dapat memaksa mereka mengaku dosa yang telah diperbuatnya. Dan benar juga, dalam keadaan bingung dan takut Pek Si-kia mulai mengaku, dari ucapannya itu terang Be-Tai-goan telah dibunuh oleh mereka berdua dan nyonya Be sendiri adalah biang keladinya pembunuhan itu. Sebabnya Behujin membunuh suami sendiri adalah karena sang suami tidak mau membongkar rahasia asal-usul Siau Hong. "Sebab apakah dia begitu dendam padaku? Mengapa ia bertekad menggulingkan kedudukanku sebagai Pangcu?” demikian Siau Hong tidak habis mengerti. Dalam pada itu terdengar Be-hujin masih menjerit-jerit pula, "Ayolah, boleh kau cekik mati diriku. Huh, aku justru memandang hina kepada manusia tak berguna macammu itu! Huh, pengecut!”

Maka terdengarlah "krak” sekali, tulang tenggorokan Pek Si-kia telah dijepit remuk oleh jari orang itu. Matimatian Pek Si-kia masih meronta-ronta. tapi betapapun juga dia tak bisa melepaskan diri dari tangan orang itu. Menyusul terdengar pula "krok”' sekali, tenggorokan Pek Si-kia pecah, ia menarik napas beberapa kali, tapi hawa tak bisa tersedot lagi ke dalam dalam dada, badannya tampak berkelejatan sejenak, lalu putuslah napasnya.

Sehabis mencekik mati pek Si-kia, sekali putar tubuh, segera orang itu menghilang di luar rumah. Cepat pikiran Siau Hong tergerak, "Siapakah orang itu? Aku harus menyusulnya!” Segera ia melesat keluar rumah sana, di tanah salju yang putih terang itu terlihat sesosok bayangan orang sedang menghilang ke arah timur-laut sana. Begitu gesit gerakan orang itu hingga kalau bukan Siau Hong, tentu sukar melihatnya. "Cepat amat gerakan orang itu!” demikian Siau Hong membatin. Segera ia pun menyusul ke sana.

Sesudah mempercepat langkahnya, maka jaraknya tinggal belasan meter saja jauhnya. Kini Siau Hong dapat melihat jelas bahwa orang itu terang adalah tokoh kosen dunia persilatan, kini orang itu tidak ia lompat-lompat dengan kaku, tapi langkahnya enteng dan gesit mirip orang meluncur salju cepatnya. Ginkang yang dimiliki Siau Hong berasal dari Siau-lim-pai, ditambah lagi didikan Ong-pangcu almarhum, maka ia pun dapat berlari dengan sama cepatnya, sekali langkah lantas lebih satu meter jauhnya, dan selagi tubuh terapung di udara, kembali kakinya melangkah pula dengan lebar.

Kalau bicara tentang gaya memang Siau Hong kalah indah daripada orang di depan itu, namun untuk berlari jarak jauh terang ia lebih kuat. Maka sesudah berlari-lari sekian lama, jaraknya dengan orang di depan itu dapat diperpendek legi satu-dua meter. Tidak lama kemudian, rupanya orang itu pun merasa sedang dikuntit dan tahu pula penguntit itu sangat tinggi ilmu silatnya, maka mendadak ia meluncur lebih cepat, tidak kelihaian dia menggunakan tenaga, tapi gerak-geriknya gesit luar biasa dan pesat melesat kedepan, jaraknya dengan Siau Hong kembali ditarik panjang lagi beberapa meter.

Diam-diam Siau Hong terkesiap oleh kepandaian orang yang hebat itu, pantas jago seperti Pek Si-kia hanya dalam satu-dua gebrak saja lantas terbunuh olehnya. Bakat pembawaan Siau Hong memang lain daripada yang lain, yaitu bakat jago silat jempolan. Meski guru-gurunya seperti Hian-koh Taisu dan Ong-pangcu juga tinggi ilmu silatnya, tepi belum terhitung tokoh-tokoh yang luar biasa.

Sebaliknya Siau Hong ternyata jauh melebihi guru-guru yang mengajarnya itu, setiap jurus silat yang biasa dan umum bagi orang lain, kalau dia yang memainkan, otomatis lantas mengeluarkan daya serang yang hebat luar biasa. Orang yang kenal dia mengatakan bakat pembawaannya dalam-ilmu silat itu itu memang pemberian ilahi dan tidak mungkin dicapai dengan hanya latihan belaka. Dan oleh karena dia memiliki bakat yang sukar disamai orang lain, maka selama hidupnya jarang ketemu tandingan. Tapi kini ia menemukan seorang lawan yang ginkangnya tidak di bawahnya, seketika timbul jiwa jagoannya, segera ia percepat pula langkahnya dan menyusul lebih dekat lagi.

Begitulah susul-menyusul kedua orang itu masih terus berlari cepat ke utara, selama itu tetap Siau Hong tak mampu menyusul hingga berjajar dengan orang itu, sebaliknya orang itu pun tidak dapat meninggalkan kejaran Siau Hong. Sejam dua jam telah lalu, mereka sudah berlari ratusan li jauhnya, tapi jarak mereka masih tetap sama. Selang tak lama lagi, cuaca mulai terang, fajar telah menyingsing, salju juga sudah berhenti. Dari jauh Siau Hong lihat di bawah lereng gunung sana ada sebuah kota, perumahan berderet-deret, agaknya tidak sedikit penduduknya..

Mendengar suara ayam berkokok di sana-sini sahut menyahut. Tiba-tiba Siau Hoang ketagihan arak, segera ia berseru, "'Wahai kawan yang berada di depan itu, marilah aku mengundang engkau minum 20 mangkuk arak, habis itu nanti kita berlomba lari lagi?” Tapi orang itu tidak menjawabnya, larinya masih tetap cepat luar biasa. Dengan tertawa Siau Hong berkata pula, "Engkau telah membunuh jahanam Pek Si-kia itu, dengan sendirinya engkau adalah seorang ksatria sejati. Siau Hong mengaku kalah. Ginkangku tak bisa memadaimu, marilah kita pergi minum arak saja, tak perlu berlomba lagi!” sembari berkata terus lari sama cepatnya, sedikit pun tidak menjadi kendur..

Mendadak orang di depan itu berhenti lari dan berseru, "Pak Kiau Hong, Lam Buyung, nyata memang bukan omong kosong. Engkau lari sambil bicara, tapi tenaga murni dalam tubuhmu masih dapat kaukerahkan sesukanya, sungguh seorang Enghiong, sungguh seorang Hokiat (Enghiong = pahlawan, ksatria; Hokiat = gagah, perwira).” Siau Hong dengar suara orang itu serak-serak tua, agaknya berusia jauh lebih tua dari dirinya maka sahutnya, "Ah, Ciaupwe terlalu meimuji. Maafkan Wanpwe beranikan diri ingin berkenalan dengan Cianpwe, entah Cianpwe sudi atau tidak.?” "Ai, aku sudah tua, tiada, gunanya lagi!” demikian sahut orang itu dengan menyesal.

"Sudahlah, engkau jangan menyusul pula. Kalau terus sejam lagi pasti aku akan kalah, ” Habis itu, pelahan ia meneruskan perjalanannya ke depan. Sebenarnya Siau Hong ingin menyusulnya untuk mengajak bicara, tapi cuma selangkah ia lantas ingat ucapan orang itu yang minta dia jangan menyusulnya lagi. Siau Hong ingat pula dirinya dimusuhi tokoh-tokoh persilatan Tionggoan, mungkin orang ini pun seorang yang membenci bangsa Cidan, maka ia batalkan niatnya buat menyusul lebih jauh, ia manyaksikan bayangan orang itu akhirnya menghilang di kejauhan hatinya menyesal tak terhingga karena tak dapat melihat muka orang itu. Ia tertegun sejenak, lalu masuk ke kota di kaki gunung itu. ia datangi suatu kedai arak untuk minum, setiap habis menenggak selalu ia menggebrak meja sambil berseru sendiri, "Laki-laki hebat, ksatria sejati! Ah, sayang, sayang!” Dengan ucapan "laki-laki hebat dan ksatria sejati” itu ia hendak memuji kelihaian ilmu silat orang itu serta caranya membunuh Pek Si-kia. Sedang "sayang” yang dikatakan itu adalah karena ia gegetun tidak dapat bersahabat dengan tokoh aneh itu.

Sebagai seorang yang suka bersahabat. sejak Siau Hong dipecat dari Kai-pang, lebih-lebih sesudah bermusuhan dengan jago-jago persilatan Tionggoan. maka kawan-kawan baik masa lalu boleh dikata sudah putus hubungan semua, dengan sendirinya hatinya sangat kesal. Kebetulan hari ini ia dapat bertemu dengan seorang tokoh yang Ilmu silatnya setingkat dengan dirinya, tapi justru tiada jodoh untuk berkenalan maka terpaksa ia menghibur hati nan masgul dengan arak.

Begitulah setelah menenggak lebih 20 mangkuk, ia bayar harganya lalu keluar dari kedai itu. Pikirnya, "Toan Cing-sun masih belum bebas dari ancaman bahaya. Wi Sing-tiok, Cin Ang-bian dan kedua putri mereka telah kutotok semua, aku harus lekas kembali ke sana untuk menolong mereka!”

Dengan langkah lebar segera Ia menuju kembali ke rumah Be hujin. Karena sekarang ia tidak lagi berlomba lari dengan orang, maka jalanya menjadi lebih lambat daripada perginya tadi. Setiba di rumah Bbe-hujin. waktu itu sudah lewat lohor. Ia lihat di tanah salju di luar rumah itu sunyi senyap, Wi Sing-tiok dan Cin Angbian berrimpat yang mestinya tak bisa berkutik karena tertotok itu, kini sudah tidak kelihatan seorang pun.

"Siapakah yang dapat membuka hiat-to yaag kutotok dan menolong mereka? demikian Siau Hong agak terkejut. Ketika ia mendorong pintu dan masuk ke rumah itu, ia lihat Pek Si-kia menggeletak tak bernyawa di samping pintu, Toan Cing-sun juga tak kelihatan lagi, di atas balai-balai terdapat seorang wanita yang berlumuran darah. itulah Be-hujin adanya. Mendengar ada orang masuk ke dalam rumah, nyonya Janda itu berpaling dan berseru pelahan, "To … tolonglah, lekas … lekas bunuh aku saja!”

Siau Hong melihat wanita yang tadinya cantik molek itu hanya dalam semalam saja sudah berubah menjadi pucat dan layu seperti sudah lebih tua 20 tahun. jelek dan tua tampaknya. "Di manakah Toan Cing-sun?” tanya Siau Hong kemudian.

"Sudah ditolong orang? O, ja … jahat amat mereka itu!” demikian sahut Be-hujin. Dan mendadak ia menjerit kaget, "Haahhh!” Suaranya tajam melengking hingga Siau Hong pun dibuatnya terkejut, cepat ia bertanya,

"Ada apa?”

"Kau … kau Kiau-pangcu?” tanya Be-bujiu dengan tersengal-sengal.

"Sudah lama aku bukan lagi Pangcu Kai-pang, masakah kamu pura-pura tidak tahu?” jengek Siau Hong.

"O, engkau benar-benar Kiau-pangcu. Ai, Kiau-perrgcu, tolong, tolonglah, lekas … lekas kaubunuh aku saja,” ratap Be-hujin.

"Aku tidak ingin membunuhmu,” sahut Siau Hong dengan berkerut kening. "Kaubunuh suami sendiri, tentu orang Kai-pang akan membersihkan dosamu itu, ”

"Aku … aku tidak tahan,” ratap Be-hujin pula. "Perempuan hina-dina cilik itu benar-benar sangat keji, biar … biar menjadi setan juga aku akan menuntut balas padanya. Co … coba kaulihat tu … tubuhku.” Tapi karena nyonya janda itu meringkuk di tempat agak gelap, Siau Hong tak dapat melihat dengan jelas.

Segera ia membuka jendela hingga kamar itu pun menjadi terang. Sekali pandang, mau-tak-mau Siau Hong merasa ngeri. Ia lihat di pundak, lengan, dada, kaki, di mana-mana penuh luka goresan pisau, bahkan di tempat luka-luka itu penuh dirubung semut. Dari luka-luka itu Siau Hong tahu otot tulang anggota badan nyonya janda itu telah terpotong putus, makanya tak bisa bergerak lagi dan selanjutnya pasti akan menjadi orang cacat untuk selamanya. Yang aneh, mengapa di tempat luka itu penuh semut? Masakah semut juga doyan darah? Ia dengar Be-hujin berkata pula, "Perempuai hina cilik itu sangat kejam, sesudah putuskan otot tulang kaki tanganku dan menyayat badanku hingga penuh luka, lalu … lalu ia menuang luka-ku ini dengan … dengan air madu, katanya supaya aku gatal-pegal untuk beberapa hari lamanya dengan segala penderitaan, katanya biar aku minta hidup tak bisa. ingin mati juga tidak dapat.”

Sekali-kali Siau Hong bukan orang yang berhati lemah, tapi kalau dia membunuh orang, selalu ia lakukan dengan tegas dan terang, untuk menyiksa musuh dengan cara-cara keji bukanlah menjadi kegemarannya! Maka ia pun tidak tega menyaksikan keadaan Be-hujin itu, ia pergi ke dapur dan mengambil satu baskom air, ia siram, tubuh nyonya janda itu supaya bebas dari penderitaan gigitan semut.

"Terima kasih atas kebaikanmu,” kata Be-hujin kemudian, "Aku sudah terang tak bisa hidup lagi, maka sudilah engkau bermurah hati, lekaslah bunuh aku saja.”

"Sia… siapakah yang menyayatmu sedemikian rupa? tanya Siau Hong.

"Siapa lagi kalau bukan perempuan hina-dina cilik itu,” sahut Be-hujin dengan mengertak gigi penuh dendam.. "Melihat usianya cuma l5-l6 tahun saja, tapi perbuatannya ternyata begini keji dan kejam.”

"Hah, A Ci maksudmu?” seru Siau Hong terkejut.

"Ya, kudengar wanita hina itu memanggilnya begitu, dan menyuruh bocah keparat itu lekas membunuh aku, tapi … tapi A Ci itu justru tidak mau, ia siksa aku dengan pelahan-pelahan, katanya untuk membalas sakit hati ayahnya, sengaja membikin aku tersiksa seperti ini …. ”

"Mengingat hubungan dulu denganmu, masakah Toan Cing-sun sama sekali tidak merintangi perbuatan putrinya yang hendak menyiksamu sekeji ini?” tanya Siau Hong.

"Dia dalam keadaan tak sadarkan diri, yaitu karena pengaruh Si-hiang-hi-hun-san,” sahut Be-hujin.

"Pantas,” ujar Siau Hong. "Kalau tidak, sebagai seorang laki-laki yang bijaksana masakah dia biarkan putrinya berbuat sekeji itu; Eh bukankah mereka itu dalam keadaan tertotok, siapakah, yang menolong mereka?”

"Jang … jangan tanya macam-macam lagi lek …. lekas kaubunuh aku saja,” pinta Be-hujin dengan merintih.

"Hmm, bila kamu tidak menjawab dengan baik, biar kusiram lukamu dengan air madu pula. Lalu kutinggal pergi dan masa bodoh kamu akan mati, atau sekarat,” kata Siau Hong dengan menjengek.

"Ka … kalian orang laki laki memang manusia kejam semua …. ”

"Dan caramu membunuh saudara Tai-goan apakah tidak kejam?”

"Da … dari mana kau tahu? Sia …. siapakah yang bilang padamu?”

"Akulah yang sedang tanya padamu dan bukan kamu yang tanya padaku, tahu?” sahut Siau Hong dengan mendongkol. "Kaulah yang mesti memohon padaku dan bukan aku yang mohon padamu. Nah, katakan lekas!”

"Baiklah, akan kukatakan segalanya,” kata Be-hujin. "Yang datang tadi adalah seorang laki-laki berkepala besar dan berbaju kasar. Lebih dulu ia membuka hiat-to si A Ci, kudengar dara itu memanggilnya sebagai samsuko (kakak guru ketiga); kemudan A Ci minta dia membuka hiat-to ibunya dan perempuan hina Wi Singtiok itu. Lalu minta kedua wanita bejat yang lain ditolong pula.”

Hati Siau Hong terkesiap, ia tahu A Ci adalah anak murid iblis tua Sing-siok-hai, ilmu silat yang dipelajarinya dari golongan sangat keji dan jahat. Setiap orang persilatan Tionggoan kalau mendengar "Sing-siok-hai Lomo” (iblis tua dari Sing-siok-hai), kalau tidak lekas-lekas menyingkir tentu juga akan berkerut kening. Untung iblis tua itu pun tahu bahwa ilmu silat golongan mereka dibenci oleh umum, maka jarang meninggalkan sarang mereka di Siok-sing-hai itu.

Seperti Siau Hong sendiri, selamanya ia tidak tahu apakah iblis tua itu pernah datang ke Tionggoan atau tidak.

Tapi kini demi mendengar bahwa orang yang menolong A Ci itu adalah Samsukonya, jika begitu, maka terang anak murid iblis tua dari Sing-siok-hai itu berramai-ramai telah datang ke Tionggoan, bukan mustahil dunia persilatan bakal terjadi huru-hara dan banjir darah. Lalu Siau Hong bertanya pula, "Dan berapa kira-kira usia orang itu? Membawa senjata apa?”

"Usianya antara 30 an, lebih muda daridirimu dan tidak tampak membawa senjata apa-apa,” tutur Be-hujin.

"O, dan ke manakah mereka telah pergi?” tanya Siau Hong.

"Entah, aku tidak tahu. Ayolah, lekas …. lekas kaubunuh aku saja,” pinta Be-hujin pula.

"Sesudah tanya dengan jelas baru kubunuhmu. Ingin mati, kan sangat gampang? Kalau ingin hidup, itulah yang susah,” demikian jengek Siau Hong,

"Nah, coba katakan, sebab apa kaubunuh Be-Taigoan, membunuh suamimu sendiri?”

"Jadi engkau harus tahu?” sahut Be-hujin dengan sorot mata yang beringas.

"Ya, aku harus tahu,” sahut Siau Hong. "Aku adalah lelaki yag berhati keras, tidak nanti menaruh belas kasihan padamu.”

"Huh, biarpun engkau tidak bilang, apa kau sangka aku tidak tahu?” tiba-tiba Be-hujin memaki. ”Sebabnya aku menjadi rusak seperti sekarang ini, semuanya gara-gara perbuatanmu, kamu binatang yang sombong dan congkak, tidak pandang sebelah mata kepada orang lain! Kaum orang Cidan yang lebih kotor daripada babi dan anjing, kalau kamu mati tentu masuk neraka dengan setan iblis. Ayolah, boleh kausiram lukaku dengan air madu, mengapa tidak kaulakukan? Ah, kamu anak jadah, anak anjing, jahanam keparat.” Begitulah makin memaki makin keji, seakan-akan segala rasa dendam dalam hati nyonya janda itu harus dilampiaskan seketika itu, sampai akhirnya segala kata-kata kotor dan rendah yang mestinya tidak pantas diucapkan oleh seorang perempuan juga dihamburkan oleh Be-hujin.

Tapi Siau Hong diam saja, ia biarkan Be-hujin mencaci maki sepuas-puasnya, wajah wanita celaka itu tadinya pucat lesi, setelah puas memaki, mukanya merah padam malah dan sorot matanya mengunjuk rasa senang.

Dan sesudah memaki kalang kabut sejenak pula, akhirnya suaranya mereda, sebagai penutup ia mendamprat, "Kiau Hong, kamu anjing keparat ini, kaubikin aku celaka seperti sekarang ini. aku ingin lihat apakah kelak

kausendiri takkan ketular.”

Namun Siau Hoag mendengarkan dengan tenang saja, kemudian ia tanya, "Selesai belum memaki?”

"Sementara boleh puas dulu, nanti kulanjutkan memaki lagi,” sahut Be-hujin dengan gemas. "Hm, kamu anak anjing yang tak punya biang, asal nyonya besarmu ini masih bernapas, pasti aku akan memakimu sampai napas terakhir.”

"Bagus, boleh kaumaki terus,” ujar Siau Hong. "Kalau tidak salah, waktu pertama kalinya aku bertemu denganmu adalah di tengah hutan di luar kota Bu sik itu, tatkala itu Tai-goan Hengte sudah dibunuh olehmu, sedangkan sebelumnya aku tidak pernah kenal dirimu, mengapa kamu menuduh aku yang mengakibatkan dirimu terjerumus seperti sekarang ini?”

"Hah, kaukira pertemuan kita yang pertama kali adalah di tengah hutan di luar kota Bu-sik itu? Huh, justru ucapanmu yang demikian inilah penyakitnya!” demikian jengek Be-hujin dengan benci. "Kamu ini manusia keparat yang tinggi hati, binatang yang sombong, kauanggap ilmu silatmu tiada tandingan di kolong langit ini, lantas kau pandang rendah orang lain.”

Begitulah kembali ia menghembuskan serentetan makian pula. Tapi Siau Hong tidak meladeninya, ia biarkan orang memaki sepuas-puasnya, sesudah suaranya serak dan tenaganya lelah, kemudian baru ia tanya, "Sudah cukup kaumaki?”

"Belum, tak pernah cukup, untuk selamanya,” sahut Be-hujin dengan gemas. "Kamu … jahanam yang sombong dan congkak, biarpun kamu adalah raja juga cuma begini saja.”

"Memang betul, biarpun raja, apanya sih yang hebat?” sahut Siau Hong. "Selamanya aku juga tidak pernah anggap ilmu diriku tiada tandingan di kolong langit ini, umpamanya orang … orang tadi, ilmu silatnya, jelas di atasku.”

Be-hujin tidak ambil pusing apakah orang yang dimaksudkan itu, ia masih terus mengomel dengan makianmakian keji lagi. Selang sebentar, tiba-tiba ia berkata, "Hm, kaukira pertama kali kamu bertemu dengan aku adalah di luar kota Bu-sik? Em, apakah ketika hadir di Pek-hoa-hwe (pameran bunga) di kota Lokyang dulu, tidak pernah kaulihat aku?”

Siau Hong melengak. Pek-hoa-hwe di kota Lokyang itu terjadi dua tahun yang lampau, tatkala mana ia bersama pura Tianglo dari Kai-pang memang hadir juga, tapi ia tidak ingat pernah bertemu dengan Be-hujin di pameran bunga itu. Maka katanya, "Ya, waktu itu Tai-goan Hengte juga ikut pergi ke sana, tapi ia tidak

memperkenalkan dirimu padaku?”

"Hm, kamu ini kutu busuk macam apa?” damprat pula Be-hujin. "Paling-paling kamu cuma kepala kaum pengemis, apa yang kautonjolkan? Huh, dasar lagakmu memang sok! Waktu itu, begitu aku berdiri di samping pot bunga anggrek kuning, seketika para ksatria terkesima memandang padaku, semuanya kesemsem dan terpesona pada diriku. Tapi justru keparat macammu ini anggap dirimu sebagai seorang jantan tulen, seorang ksatra yang tidak doyan paras elok, bahkan memandang sekejap padaku juga enggan. Huh, laki-laki palsu, munafik, manusia rendah yang tak kenal malu.”

Kiai Siau Hong mulai paham duduknya perkara, tahutnya, "Ya, aku pun ingat sekarang. Pad hari itu memang betul di samping pot bunga anggrek itu berdiri beberapa orang perempuan, tatkala itu aku asyik minum arak, maka tidakdapat memandang bunga dan wanita apa segala. Bila kaum wanita dari angkatan tua tentu aku akan maju dan memberi hormat padanya, tetapi kamu adalah iparku, istri saudara angkatku, sekalipun aku tidak memperhatikanmu juga bukan sesuatu yang melanggar kesopanan? Mengapa kamu dendam begitu mendalam padaku?”

"Memangnya apakah matamu tidak punya biji mata?” semprot Be-hujin, "Biarpun laki-laki mana atau ksatria siapa pun, bila ketemu aku, kalau tidak memandangku dari kepala sampai ke kaki, tentu akan memandang dari kaki sampai ke kepalaku. Andaikan ada yang merasa dirinya terhormat dan tidak berani jelalatan, pasti juga ingin cari kesempatan untuk melirik padaku. Hanya kau … ya, hanya kau, hm, dari beratus lelaki yang hadir dalam pameran itu, hanya kau seorang dari mula sampai akhir melirik sekejap padaku pun tak pernah.”

"Ai, memang itulah sifatku,” ujar Siau Hong dengan menghela napas. "Memang sejak kecil aku tidak suka bergaul dengan kaum wanita, sesudah dewasa, lebih-lebih aku tiada tempo untuk memperhatikan wanita. Toh tidak melulu engkau seorang, bahkan wanita yang lebih cantik daripadamu juga mula-mula tidak menarik perhatianku, dan baru kemudian … kemudian …. Ai, aku pun sudah terlambat kini … ”

"Apa katamu?” teriak Be-hujin dengan suara tajam melengking. "Kau maksudkan ada wanita yang lebih cantik dariku? Siapa dia? Lekas katakan, siapa dia?”

"Dia adalah putri Toan Cing-sun, encinya A Ci,” sahut Siau Hong.

Apakah benar Be-hujin yang membunuh suami sendiri akibat sakit hatinya terhadap Siau Hong?

Apa yang akan dilakukan Siau Hong terhadap Be-hujin dan rahasia apa pula yang akan tersingkap?

Jilid 39
"Cis," Be-hujin meludah, "perempuan hina seperti itu juga kau penujui....."

Belum habis ucapannya mendadak Siau Hong jambak rambutnya terus dibanting keras-keras kelantai sambil mendamprat, "Berani kau olok-olok sepatah kata yang kurang hormat lagi padanya, hm, segera boleh kau rasakan siksaanku yang lebih keji."

Karena bantingan itu, hampir-hampir Be-hujin kelenger, seluruh ruas tulangnya sampai terasa akan rontok. Mendadak ia terbahak-bahak, katanya, "Hahahaha, kiranya... kiranya Kiau-tai enghiong, Kiau-taipangcu kita telah terpikat oleh anak dara itu, Hahahaha, sungguh menggelikan! Jadi Pangcu Kai-pang ingin menjadi Huma-ya (menantu raja) dari putri kerajaan Tayli, Ai, Kiau-pangcu, kusangka segala wanita takkan kau pandang sama sekali, tak tahunya, hahaha....."

Dengan lemas Siau Hong duduk diatas kursi disampingnya, katanya kemudian dengan suara rendah, "Aku memang berharap dapat memandangnya sekejap lagi, akan tetapi....akan tetapi kini tidak dapat lagi."

"Hm, sebab apa?" jengek Be-hujin, "Jika memang betul engkau mengincar dia, dengan kepandaianmu ini masakah tak mampu merebutnya?"

Tapi Siau Hong menggeleng kepala dan tidak menjawabnya, Selang agak lama barulah ia berkata.

"Biarpun mempunyai kepandaian setinggi langit juga takkan mampu merenggutnya kembali lagi."

"Sebab apa? hahaha!"

"Sebab dia sudah mati!"

Suara tawa Be-hujin seketika berhenti, ia agak menyesal mendengar itu, Ia merasa Kiau-pangcu yang congkak dan tinggi hati itu rada-rada kasihan juga.

Untuk sejenak kedua orang tiada yang membuka suara, keadaan hening sebentar, kemudian Siau Hong

berbangkit dan berkata lagi, "Lukamu sudah terang tak bisa disembuhkan lagi, kamu telah membunuh suami sendiri, dosamu kelewat takaran, biarpun dapat kucarkan Sih-sin-ih juga aku tidak mau mengundangnya untukmu, Hah, apa yang hendak kau katakan lagi?"

Mendengar orang bermaksud membunuhnya, Be-hujin yang tadinya garang itu mendadak ketakutan, katanya, "Amp... ampunilah diriku, jang... jangan membunuhku."

"Baik, memang tidak perlu kuturun tangan sendiri, ujar Siau Hong, lalu hendak tinggal pergi.

Melihat orang tanpa berpaling terus hendak melangkah pergi, kembali rasa gusar nyonya janda durhaka itu memuncak, ia berteriak lagi, "Kiau Hong, kau anjing keparat! Dahulu aku dendam karena kamu tidak sudi memandang barang sekejap padaku, maka aku minta Tai-goan membunuhmu, tapi Tai-goan tidak mau, kemudian aku menghasut Pek Si-kia membunuh Tai-goan, Dan kini... kini kamu masih tetap tidak tertarik sedikitpun kepadaku!"

"Hm, kaubunuh suamimu sendiri, katanya aku yang salah lantaran tidak sudi memandang sekejappun padamu." jengek Siau Hong sambil membalik tubuh kembali, "Huh, dusta sebesar itu siapakah yang mau percaya?"

"Sebantar lagi aku akan mati, buat apa kudustaimu?" sahut Be-hujin, "Hm, kau pandang rendah padaku, maka aku ingin membikin kamu bangkrut habis-habisan, biar namamu rusak dan badanmu hancur, Telah kutemukan surat wasiat Ong-pangcu dalam peti besi Tai-goan hingga mengetahui seluk beluk mengenai dirimu, aku minta Tai-goan supaya membongkar rahasiamu itu didepan umam agar setiap ksatria didunia ini mengetahui dirimu ini keturunan Cidan yang biadab itu, dengan begitu jangan lagi kamu akan tetap menjadi Pangcu Kai-pang, bahkan untuk menancap kaki di Tionggoan juga susah, malahan jiwamu juga akan sulit diselamatkan."

Walaupun Siau Hong tahu wanita itu sudah tak bisa berkutik lagi, tapi demi mendengar ucapannya yang begitu keji, tanpa terasa ia mengkirik juga, Tapi ia lantas menjengek, "Hm, hanya disebabkan Tai-goan Hengte tidak mau menuruti permintaanmu untuk membeberkan rahasiaku, lantas kaubunuh dia?"

"Ya, bukan saja ia tidak mau menuruti permintaanku, sebaliknya ia damprat aku habis-habisan." sahut Behujin, "Padahal biasanya ia sangat menurut kepada apa yang kukatakan, selamanya tidak pernah mendamprat aku seperti itu, Sekali dia bikin dendam hatiku, celakalah dia, Kebetulan esok paginya Pek Si-kia bertamu kerumahku sini dan memandang padaku dengan kesemsem, Hm, laki-laki mata keranjang demikian, apa yang kukatakan tentu dilakukannya, masakah dia berani menolak?"

"Ai, seorang laki-laki perkasa sebagai Pek Si-kia akhirnya menjadi korbanmu," kata Siau Hong dengan gegetun. "Jadi kau... kau minumkan Sip-yang-bi-hun-san kepada Tai-goan, lalu suruh Pek Si-kia meremas tulang kerongkongannya agar orang menyangka dia dibunuh dengan 'Soh-au-kim-na-jiu' oleh orang she Buyung dari Koh-soh, demikian bukan?"

"Ya, memang! Hahaha, mengapa bukan begitu? Dan kejadian selanjutnya kaupun sudah tahu semua, tidak perlu kujelaskan lagi." sahut Be-hujin dengan terbahak-bahak.

"Dan kipasku itu Pek Si-kia yang mencurinya, bukan?" tanya Siau Hong lagi.

"Hahaha, memang benar," sahut Be-hujin.

"Dan tentang penyamaran A Cu yang begitu persis itu, mengapa dapat kau ketahui pula?" tanya Siau Hong.

"Ya, mula-mula aku juga terkesiap oleh penyamaran anak dara itu, kemudian sesudah aku berbisik beberapa kata rayuan yang dijawab oleh dia secara ngawur, maka aku lantas curiga dan mengetahui rahasianya, memangnya aku lagi ingin membunuh Toan Cing-sun, kebetulan aku dapat meminjam tenagamu." demikian tutur Be-hujin. "Haha, Kiau Hong keparat, ilmu penyamaranmu sesungguhnya terlalu rendah, sekali kutahu kepalsuan anak dara celaka itu, segera aku pun dapat mengenalimu, Hehehe, memangnya kau kira dapat mengelabui mataku?"

"Kematian nona Toan itu adalah gara-gara perbuatanmu, maka akan kuperhitungkan atas utangmu." ujar Siau Hong dengan mengertak gigi.

"Dia yang datang menipu padaku, dan bukan aku yang menipu dia!" sahut Be-hujin, "Aku hanya mengikuti siasatnya hingga dia termakan senjatanya sendiri, Coba kalau dia tidak mencari padaku, bila kemudian Pek Sikia menjadi Pangcu, dengan sendirinya orang-orang Kai-pang akan bermusuhan dengan Toan Cing-sun, dan keparat she Toan itu, hehe, lambat atau cepat juga dia takkan lolos dari tanganku."

"Hm, kamu sungguh kejam, lelaki yang disukai olehmu akan kaubunuh, sedang lelaki yang tidak mau memandang dirimu juga akan kau bunuh." kata Siau Hong.

"Habis, masakah didunia ini ada lelaki yang tidak suka kepada wanita cantik? Huh, omong kosong belaka! Masakah didunia ini ada laki-laki munafik seperti dirimu," jengek Be-hujin.

Tatkala mengucapkan kejadian yang membanggakan itu, air muka Be-hujin tampak kemerah-merahan dan bersemangat, tapi akhirnya tenaganya tak tahan, suaranya mulai lemah dan napasnya mulai tersengal-sengal.

"Untuk yang terakhir cuma ingin kutanya satu soal padamu." kata Siau Hong kemudian. "Coba jawablah,

siapakah gerangan 'Toako pemimpin' yang menulis surat kepada Ong-pangcu itu? Pernah kau baca surat wasiat itu, tentu kau tahu namanya."

"Hehehe, Kiau Hong, Kiau Hong! Akhirnya kamu memohon padaku atau aku yang memohon padamu?" sahut Be-hujin dengan tertawa dingin. "Kini Tai-goan sudah mati, Ci-tianglo juga sudah mampus, Tio-ci-sun telah mati pula, Tiat-bin-poan-koan Tan Cing juga sudah mati, Tam Kong dan Tam-poh pun mati semua, Ti-kong Taisudari Thian-tai-san juga binasa, ya, semuanya sudah mati, didunia ini kini hanya tinggal aku seorang yang tahu siapa 'Toako pemimpin' penanda tangan surat wasiat itu."

Hati Siau Hong berdebar-debar hebat, sahutnya, "Ya, memang betul, akhirnya akulah yang mesti memohon padamu, harap engkau sudi memberitahukan nama orang itu padaku."

"Jiwaku sudah hampir tamat, kebaikan apa yang akan kau berikan padaku?" sahut Be-hujin.

"Asal dapat dicapai oleh tenagaku, segala permintaanmu pasti akan kuturuti," sahut Siau Hong.

"Apasih yang kuinginkan lagi?" ujar Be-hujin dengan tersenyum, "Kiau Hong, aku dendam padamu karena kamu tidak sudi memandang untuk sekejap saja padaku hingga berakibat malapetaka seperti sekarang ini, Maka bila engkau ingin aku beritahukan nama 'Toako pemimpin' itu, hal ini tidak sulit, asal saja kau pondong aku dan pandanglah padaku untuk beberapa jam lamanya."

Karuan Siau Hong berkerut kening, sudah tentu hatinya seribu kali tidak sudi, tetapi didunia ini hanya dia seorang yang tahu rahasia besar itu.

Dendam kesumat sendiri dapat dibalas atau tidak hanya tergantung pada keterangan nyonya janda ini nanti, padahal syarat yang dia minta itu bukanlah sesuatu yang sulit, sekalipun syarat yang diminta itu adalah urusan maha sukar juga terpaksa akan diturutinya, Sedangkan jiwa nyonya janda itu hanya tinggal sebentar lagi dan setiap saat bisa putus napasnya, untuk memaksa atau memancingnya dengan cara lain terang tiada gunanya, Jika nanti jiwanya terlanjur melayang dulu, maka itu berarti lenyaplah satu-satunya harapan untuk mencari tahu nama musuhnya itu.

Karena itu, terpaksa ia berkata, "Baiklah, akan kupenuhi keinginanmu."

Lalu ia pondong Be-hujin dan memandang mukanya dengan sorot mata yang tajam, Tapi karena waktu itu muka Be-hujin penuh darah dan kotor pula, ditambah penderitaan selama semalam suntuk, air mukanya menjadi pucat dan jelek sekali, untuk memondong saja Siau Hong pun terpaksa, kini melihat wajah orang yang begitu rupa, mau tak mau ia berkerut kening.

Be-hujin menjadi gusar, dampratnya, "Kenapa? kau merasa muak memandang padaku, ya?"

Terpaksa Siau Hong menjawab, "Tidak!"

Selama hidup Siau Hong tidak pernah berdusta, kini terpaksa ia mesti mengucapkan apa yang bertentangan dengan perasaannya.

"Bila benar kamu tidak merasa muak padaku, cobalah mencium pipiku," pinta Be-hujin tiba-tiba.

"Mana boleh jadi," sahut Siau Hong tegas, "Engkau adalah isteri saudaraku Tai-goan, sebagai seorang ksatria mana boleh kugoda janda saudara angkat sendiri?"

"Hehe, kamu ksatria? Kau orang sopan? Seorang alim?" demikian Be-hujin menjengek. "Tapi mengapa kau pondong diriku seperti ini....."

Pada saat itulah, mendadak diluar jendela terdengar orang mengikik tawa dan berkata, "Hihi, Kiau Hong, kamu benar-benar manusia yang tidak tahu malu, Sudah membinasakan Enciku, sekarang kau pondong dan hendak main gila dengan gundik ayahku, kaupunya muka atau tidak?"Jelas itulah suara A Ci.

Tapi Siau Hong merasa perbuatannya cukup dapat dipertanggung-jawabkan, maka olok-olok anak kecil itu tak dihiraukannya, bahkan ia mendesak pula kepada Be-hujin, "Lekas katakan, siapakah gerangan 'Toako pemimpin' itu?"

"Kuminta kau pandang mukaku, mengapa kamu berpaling kearah lain?" kata nyonya janda itu dengan suara merdu merayu.

Sementara itu A Ci sudah masuk kedalam, katanya dengan tertawa, "Hah, kiranya kamu belum mampus? Mukamu jelek seperti siluman begini, lelaki mana yang sudi memandang lagi padamu?"

"Apa katamu?" seru Be-hujin dengan suara terputus-putus. "Kau... kau bilang mukaku sejelek siluman? Cermin, mana cermin?"

"Lekas katakan, siapakah 'Toako pemimpin' itu? Habis kaukatakan segera kuberi cermin." sahut Siau Hong.

Tapi A Ci sudah lantas mengambilkan sebuah cermin diatas meja dan dihadapkan kemuka Be-hujin dan berkata, "Nah, lihatlah sendiri, lihatlah apa kamu cantik?"

Ketika melihat bayangan sendiri ditengah cermin itu berwujud wajah yang kotor dan berlepotan darah, gemas, takut, beringas dan penuh dendam, semua perasaan jahat dan buruk tertampak pada air muka sendiri yang tadinya cantik molek menggiurkan, seketika mata Be-hujin mendelik lebar-lebar untuk tidak pernah terpejam lagi.

"A Ci, lekas singkirkan cermin, jangan membuat dia murka." ujar Siau Hong.

"Aku ingin dia lihat betapa cantik mukanya sendiri!" sahut A Ci.

"Jangan, kalau dia sampai mati murka, tentu urusan bisa runyam." seru Siau Hong.

Namun segera ia merasa badan Be-hujin sudah tak berkutik lagi, napasnya juga sudah berhenti, waktu ia periksa nadinya, nyata orangnya memang sudah mati.

Karuan Siau Hong terkejut, serunya, "Wah! celaka, ia benar-benar sudah mati!"

Mendengar seruan yang mirip orang tertimpa malang itu, A Ci menjadi kurang senang, ia mencibir dan berkata, "Huh, engkau tentu sangat suka padanya, ya? Kematian perempuan bejat seperti ini masakah ada harganya untuk diributkan?"

"Ai, anak kecil tahu apa?" ujar Siau Hong sambil mengentak kaki, "Aku justru lagi tanya sesuatu padanya, didunia ini hanya tinggal dia seorang yang tahu, Bila tidak kau ganggu urusan ini, tentu sekarang dia sudah mengaku."

"Ai, ai, jadi aku lagi yang bersalah?" seru A Ci dengan penasaran.

Siau Hong menghela napas, ia pikir orang mati sudah tak bisa dihidupkan kembali, Bocah nakal seperti A Ci memang terlalu dimanjakan sejak kecil, sedangkan ayah-bundanya juga kewalahan, apalagi orang lain, Mengingat ACu, biarlah aku tidak perlu mempersoalkan kejadian ini padanya.

Segera ia taruh Be-hujin diatas balai-balai dan berkata. "Mari kita pergi!"

Ia lihat rumah itu sudah tiada penghuni lain lagi, kaum pelayan entah sudah lari kemana, segera ia mengeluarkan ketikan api, ia bakar rumah tinggal Be-hujin itu hingga habis.

Kemudian kata Siau Hong kepada A Ci, "Kenapa kamu belum pulang ketempat orang tuamu?"

"Tidak, aku tidak mau pulang kesana," sahut A Ci, "Setiap orang bawahan ayah asal melihat aku lantas mendelik, bila aku mengadukan mereka, ayah justru membela mereka malah."

"Sungguh ngaco-belo anak kecil ini, kamu yang mengakibatkan matinya Leng Jian-li, saudara-angkat ayahmu yang setia itu, sudah tentu ayahmu sangat menyesal, tapi kamu malah menyalahkan ayahmu tidak mau menghukum orang-orang bawahannya," demikian pikir Siau Hong.

Segera ia berkata, "Baiklah, jika begitu aku akan pergi sekarang!" Habis berkata, terus saja ia tinggal pergi kearah Utara.

"Hai, nanti dulu, tunggu padaku!" seru A Ci.

Siau Hong berhenti dan berpaling, sahutnya, "Kamu hendak kemana? Apa pulang ketempat gurumu?"

"Tidak, sekarang aku belum mau pulang ketempat Suhu, aku tidak berani," sahut A Ci.

"Kenapa tidak berani?" tanya Siau Hong dengan heran, "Tentu kau bikin gara-gara lagi, ya?"

"Bukan gara-gara, tapi aku telah mengambil sejilid kitab milik Suhu, jika aku pulang kesana tentu kitab ini akan dirampasnya kembali, Maka harus tunggu nanti sesudah aku berhasil menyakinkan ilmu dalam kitab pusaka Suhu ini baru akan pulang kesana."

"Jika kitab ilmu silat milik Suhumu, asal kau mohon beliau mengajarkan padamu, tentu juga beliau akan meluluskan permintaanmu, dengan demikian bukankah akan lebih cepat jadi daripada berlatih sendiri tanpa petunjuk?"

"Tidak, sekali Suhu bilang tidak mau, tetap dia tidak mau, biarpun kumohon juga tiada gunanya," sahut A Ci.

Sesungguhnya Siau Hong tidak suka kepada nona cilik yang terlalu dimanja ini, maka akhirnya ia berkata, "Ya sudahlah, terserah padamu, aku tak mau urus lagi."

"Engkau hendak kemana?" tiba-tiba A Ci bertanya.

Siau Hong menghela napas sambil memandang api yang berkobar menghabiskan rumah Be-hujin itu, sahutnya kemudian, "Seharusnya aku akan menuntut balas sakit hatiku, tapi aku tidak tahu siapakah gerangan musuhku, Selama hidupku ini terang sakit hatiku tak bisa terbalas lagi."

"Ah, tahulah aku." seru A Ci. "Sebenarnya Be-hujin itu tahu siapa musuhmu itu, tapi terlanjur kubikin mati dan sejak kini engkau tidak tahu lagi siapakah musuhmu, Hihihi, sungguh lucu, sungguh menarik, Kiau-pangcu yang namanya tersohor diseluruh jagat kini benar-benar telah kubikin kelabakan hingga mati kutu."

Sungguh Siau Hong ingin persen sekali tamparan pada wajah anak dara itu, tapi segera ia teringat kepada pesan tinggalan A Cu yang minta dia menjaga baik-baik saudara sekandung satu-satunya itu, maka hati Siau Hong seketika lemas lagi, Pikirnya;

"Betapapun aku harus melaksanakan pesan A Cu, Sekalipun nona cilik ini sangat nakal dan kejam pula, aku harus berusaha memperbaiki dia, apalagi dia masih terlalu muda masih kekanak-kanakan."

Dalam pada itu demi melihat sikap Siau Hong yang semula beringas itu, A Ci lantas bersitegang leher malah, tantangnya, "Mau apa kau? Apa hendak membunuhku sekalian? Kenapa tidak turun tangan? Enciku sudah kau hantam mati, apa halangannya jika kau bunuh aku pula?" Ucapan itu mirip sebilah belati menikam ulu-hati Siau Hong, dengan rasa duka ia tak dapat bicara lagi, segera ia membalik tubuh dan tinggal pergi dengan langkah lebar.

"He, nanti dulu, engkau hendak kemana? seru A Ci pula dengan tertawa sambil menyusul.

"Daerah Tionggoan sudah bukan tempat tinggalku lagi, aku akan pergi jauh ke Utara sana selamanya takkan kembali lagi." sahut Siau hong.

"Dan melalui mana?" tanya A Ci sambil miringkan kepalanya dari samping.

"Lebih dulu aku akan pergi ke Gan-bun-koan!" sahut Siau Hong.

"Wah, kebetulan, aku akan pergi ke Cinyang, kebetulan kita satu jurusan."

"Untuk apa kau pergi ke Cinyang? Tempat sejauh itu, seorang nona cilik seperti dirimu buat apa kesana sendirian?"

"Hah, jauh apa segala? Aku datang dari Sing-tok-hai, bukankah lebih jauh lagi? Aku kan punya teman perjalanan seperti dirimu, mengapa bilang aku sendirian?"

"Tidak, aku tak mau mengawasi kau."

"Sebab apa?"

"Aku seorang laki-laki, sebaliknya kamu seorang nona muda, kurang bebas untuk menempuh perjalanan bersama, terutama pada waktu bermalam."

"Sungguh lucu ucapanmu ini, aku sendiri tidak menyatakan keberatan, mengapa malah engkau yang bilang kurang bebas? Dulu bukankah kaupun menempuh perjalanan jauh dengan enciku, siang dan malam selalu bersama?"

"Aku dan encimu sudah mempunyai ikatan perjodohan, tak dapat disamakan dengan orang lain."

"Ai, siapa tahu jika kaupun meniru seperti ayahku dan enci seperti ibuku, belum menikah sudah menjadi suami isteri lebih dulu."

"Tutup mulutmu!" bentak Siau Hong dengan gusar. "Sampai matinya encimu tetap masih seorang nona yang suci bersih, akupun selamanya sopan santun dan menghormati dia."

"Apa gunanya engkau membentak-bentak padaku? Pendek kata enciku toh sudah kau pukul mati, apa mau dikatakan lagi? Marilah kita berangkat!"

Mendengar ucapan 'pendek kata enciku itu sudah kau pukul mati', seketika hati Siau Hong lemas lagi, Katanya kemudian, "Lebih baik kau pulang ke Siau-keng-oh untuk ikut ibumu saja, kalau tidak carilah suatu tempat untuk meyakinkan ilmu yang tertera dalam kitab pusaka gurumu itu, sesudah berhasil, lalu pulang ketempat gurumu, Apa gunanya kau pergi ke Cinyang?"

"Kepergianku kesana bukan untuk pesiar, tapi ada urusan penting," sahut A Ci dengan sungguh-sungguh.

Tapi Siau Hong goyang kepala, katanya, "Tidak, aku tak mau membawamu kesana."

Habis berkata, terus saja ia melangkah dan berlari cepat kedepan. Tapi dengan ginkangnya segera A Ci menyusul sambil berteriak-teriak;

"Tunggu, tunggulah aku!"

Namun Siau Hong tak gubris lagi padanya, tetap melanjutkan jalannya dengan cepat. Tidak lama kemudian, angin utara meniup makin kencang, malahan hujan salju pula, Tapi Siau Hong masih terus lari dibawah angin dan salju hingga akhirnya A Ci ketinggalan jauh.

Kira-kira lebih tigapuluh li jauhnya, sampailah ia disuatu kota, itulah Tiang Pok Koan, suatu tempat penting diutara Sinyang, Dan tujuan pertama yang dicari Siau Hong adalah kedai arak. Begitu masuk kesuatu restoran, segera ia minta disediakan sepuluh kati arak putih, lima kati daging dan seekor ekor ayam, ia makan minum sendiri, Habis sepuluh kati arak segera ia minta tambah lima kati lagi.

Tengah Siau Hong asyik minum sendiri, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang dan tahu-tahu masuklah A Ci.

Melihat anak dara itu, kembali Siau Hong berkerut kening, pikirnya, "Nona cilik ini akan mengacaukan napsu makanku lagi." Maka ia sengaja menoleh kearah lain dan pura-pura tidak melihatnya.

A Ci hanya tersenyum saja, ia duduk menyanding meja lain didepan Siau Hong dan berseru, "Hai, pelayan, ambilkan arak!"

Cepat pelayan mendekatinya dan menyapa dengan tertawa, "Nona cilik, apa engkau juga ingin minum arak?"

Kalau panggil nona ya nona saja, mengapa pakai 'cilik' apa segala?" semprot A Ci mendadak. "Sudah tentu aku pun minum arak, Lekas sediakan sepuluh kati arak, potongkan lima kati daging rebus dan seekor ayam gemuk, Lekas, Lekas!"

"Haee!" seru sipelayan sambil melelet lidah sampai lama, "Nona ini sungguh-sungguh atau bergurau, masakah makan-minum sebanyak itu?" Sembari berkata iapun melirik kearah Siau Hong dan membatin, "Itu dia, orang sengaja hendak menandingimu, apa yang kau makan dan apa yang kau minum, orang juga minta disediakan serupa."

Dalam pada itu A Ci telah menjawab. "Kenapa kau rewel? Kau khawatir aku habis makan tidak bayar ya?" Segera ia mengeluarkan sepotong uang perak dan dibanting keatas meja sambil berseru." "Ini cukup tidak? Kalau aku tak bisa menghabiskan makananku nanti, apa tidak dapat kuberikan pada anjing? Perlu apa kamu ikut khawatir?"

Dengan tersipu-sipu sipelayan mengiyakan, kembali ia melirik lagi kearah Siau Hong sambil berkata dalam hati. "Nah, kau dengar orang sengaja memusuhimu, omongnya secara tak langsung sengaja memaki kau."

Sebentar kemudian daharan yang dipesan A Ci telah dihidangkan, sipelayan membawakan sebuah mangkok besar dan ditaruh didepan sigadis, katanya dengan tertawa, "Nona, biarlah kutuangkan arak untukmu."

"Baik." sahut A Ci sambil mengangguk.

Segera sipelayan menuang semangkok penuh arak putih, katanya didalam hati. "Jika kau mampu menghabiskan semangkok ini, mustahil kamu tidak menggeletak."

Maka terlihat A Ci mengangkat mangkok arak itu dan ditempelkan kebibir, tapi baru dia menjilatnya setitik, segera ia berkerut kening dan berseru. "Ai, pedas sekali arak ini! Kenapa arak ini begini rasanya, hanya manusia goblok didunia yang sudi minum arak semacam ini!"

Si pelayan coba melirik Siau Hong sekejap, dilihat tamunya itu tetap tidak gubris ocehan sigadis, diam-diam ia heran dan geli pula.

Lalu A Ci comot sepotong paha ayam terus digerogoti, Tapi baru masuk mulut segera ia semburkan dan berseru, "Fruihh, busuk, busuk!"

"Ai, ai! Ayam gemuk ini baru saja disembelih, masakah nona bilang busuk, tidak mungkin!" sahut sipelayan dengan penasaran.

"Habis kalau bukan bau busuk dari daging ayam ini, tentu badanmu yang bau busuk, jika bukan lagi, tentu badan tetamu lain yang berbau busuk." seru A Ci.

Tatkala itu hujan salju masih turun dengan derasnya, didalam restoran itu hanya Siau Hong dan A Ci saja, Maka cepat sipelayan menjawab dengan tertawa, "Ya, ya, badanku barangkali yang berbau busuk, Ai, nona, hati-hatilah bicara, janganlah engkau menyinggung kehormatan tamu yang lain."

"Mau apa? Kalau orang lain tersinggung apakah aku akan dipukul mampus?" jengek A Ci, Sambil berkata ia terus menyumpit sepotong daging sapi dan dimasukkan kemulut.

Tapi belum lagi daging itu dikunyah mendadak ia semburkan pula dan berteriak-teriak. "Hai, pelayan, mengapa daging ini rasanya kecut? Ini bukan daging sapi, tapi daging manusia, Tentu restoranmu ini adalah rumah jagal manusia!"

Karuan sipelayan menjadi gugup oleh teriakan A Ci itu, cepat ia menjawab, "Ai, nona, hendaklah kau bermurah hati, janganlah membikin susah kami, Daging itu adalah daging sapi yang segar, mengapa dikatakan daging manusia? Daging manusia masakah pnya serat sekasar itu, warnanya juga tidak kemerah-merahan segar begini?"

"Bagus, bagus! Kaubilang ini adalah serat dan warna daging manusia, Nah, katakan, restoranmu ini sudah menjagal berapa banyak manusia? seru A Ci.

"Ai, nona memang suka berkelakar." sahut sipelayan dengan tertawa. "Restoran kami ini sudah bersejarah lebih empat puluh tahun lamanya dikota ini, masakah mungkin menjagal dan menjual daging manusia?"

"Baiklah anggaplah ini bukan daging manusia tapi baunya juga busuk, hanya orang tolol yang mau makan daging begini." kata A Ci. "Wah, sepatuku kotor kena debu."

Habis berkata, ia comot sepotong Ang-sio-bak (daging sapi saus tomat) yang berbau lezat dan dipakai menggosok sepatu kulitnya, Memangnya sepatunya agak kotor terkena tanah salju, karena digosok oleh masakan daging yang berminyak itu, seketika kulit sepatu itu bersih mengkilap.

Melihat cara si nona yang begitu royal, masakah Ang-sio-bak yang dimasak oleh kokinya yang terkenal itu hanya digunakan untuk lap sepatu, karuan sipelayan merasa sangat sayang, berulang-ulang ia menghela napas gegetun disamping.

"Kamu gegetun apa?" tanya A Ci tiba-tiba.

"Habis, Ang-sio-bak buatan restoran kami ini adalah salah satu hidangan yang tiada bandingannya dikota ini, tapi kini nona menggunakannya untuk lap sepatu, bukankah ini agak....agak..."

"Agak apa?" desak A Ci dengan mendelik.

"Agak tidak menghargai masakan itu," sahut sipelayan.

"O, kau maksudkan kurang menghargai sepatuku?" kata A Ci. "Padahal daging sapi berasal dari sapi, kulit sepatu juga berasal dari sapi, rasanya juga tak bisa dikatakan kurang menghargai, Eh, pelayan, masakan lezat apa lagi yang tersedia di restoranmu ini? Coba terangkan."

"Masakan enak sudah tentu masih banyak, cuma harganya agak mahal," sahut si pelayan.

Kembali A Ci mengeluarkan sepotong uang perak dan dilemparkan keatas meja, "Ini cukup tidak untuk membayar."

"Cukup, cukup, lebih dari cukup!" cepat sipelayan menjawab dengan menyengir. "Tentang masakan enak spesial restoran kami ini masih ada 'Theng-jo-le-hi' (ikan gurame masak asem), 'Pek-jiat-yo-ko' (daging kambing rebus),'Cah-kee' (ayam goreng),'Cio-ti-bak' (babi kecap) dan..."

"Bagus, nah, setiap macam sediakanlah tiga porsi," kata A Ci.

"Hah, setiap macam tiga porsi?" si pelayan menegas. "Jika nona ingin mencicipi saja kurasa masing-masing satu porsi kau sudah lebih dari cukup."

"Sekali kukatakan tiga porsi, peduli apa denganmu?" damprat A Ci.

"Ya, ya!" cepat sipelayan menyahut, Dan segera ia menggembor kearah dapur, "Tiga porsi 'Theng-jo-le-hi'! Tiga porsi....."

Sejak tadi diam-diam Siau Hong mengikuti tingkah laku A Ci itu, Ia tahu dara cilik itu sengaja main gila dengan sipelayan, tapi tujuan yang sebenarnya adalah ingin memancing dirinya ikut bicara, Tapi ia justru sengaja tidak gubris padanya, ia masih tetap minum araknya sendiri.

Selang tak lama, daging kambing masak yang dipesan A Ci itu telah dihidangkan lebih dulu, jumlah tiga porsi.

"Satu porsi taruh dimejaku, satu porsi taruh dimeja tuan itu dan satu porsi taruh dimeja sebelah sana." demikian A Ci memberi perintah. "Dan sediakan pula sendok dan sumpit dimeja sana dengan arak pula."

"Apakah masih ada tamu lain yang akan datang." si pelayan bertanya.

A Ci mendelik lagi, dampratnya, "Sejak tadi kamu suka cerewet saja, awas bila kupotong lidahmu!"

"Ai, galaknya!" omel sipelayan sambil menjulur lidah. "Untuk memotong lidahku ini mungkin nona tidak punya kemampuan itu."

Hati Siau Hong tergerak, ia melototi pelayan itu sekejap dan membatin, "Ini namanya cari mampus sendiri, masakah kau berani omong cara begitu terhadap iblis cilik ini?"

Sementara itu sipelayan telah membagi-bagikan porsi daging kambing di tiga meja yang ditunjuk, Siau Hong juga tidak ambil pusing, porsi yang dihaturkan kepadanya itu segera disikatnya tanpa sungkan lagi.

Sejenak kemudian, daharan yang lain berturut-turut dihidangkan pula, tiap-tiap macam tiga porsi, satu porsi buat Siau Hong, satu porsi ditaruh dimeja A Ci sendiri dan porsi lain ditaruh dimeja yang masih kosong.Siau Hong juga tidak menolak, setiap hidangan yang dihaturkan padanya, semuanya dilahap habis.

Sebaliknya A Ci masih seperti tadi, setiap hidangan hanya dicicipi satu sumpit dua sumpit, lalu mencela, "Huh, busuk, bau! Hanya cocok untuk makanan anjing dan babi!"

Habis itu, terus saja ia comot daging kambing, ikan gurame dan lain-lain untuk menggosok sepatunya, Meski

sipelayan menyesal setengah mati, tapi juga tak bisa berbuat apa-apa.

Siau Hong sendiri sedang memandang keluar jendela sambil berpikir, "Dara cilik ini benar-benar sangat menjemukan, kalau sampai tergoda, wah tentu akan runyam, Tapi A Cu minta padaku agar menjaganya, padahal anak dara ini adalah setan cerdik, untuk menjaga diri sendiri jauh lebih dari cukup, hakikatnya tidak perlu kupikirkan dia, maka lebih baik aku menghindari dia saja."

Tengah termenung, tiba-tiba dilihatnya dari kejauhan ditanah salju sana ada seorang sedang mendatang, Cara berjalan orang sangat aneh, kakinya kaku bagaikan kayu, dengkulnya tidak menekuk, jadi tampaknya seperti meluncur saja diatas salju.

Pakaian orang itu pun sangat aneh, meski musim dingin, yang dipakainya hanya sehelai baju tipis dari kain belacu yang kasar. Hanya sebentar saja orang itu sudah mendekat, maka dapatlah Siau Hong melihat jelas usia orang kurang lebih empat puluh tahun, kedua daun telinga memakai anting-anting emas dalam bentuk ring bundar dan besar, berhidung lebar dan besar mirip hidung singa serta bermulut tebal, mukanya sangat bengis dan aneh, terang bukan bangsa Han umumnya.

Sesampai didepan restoran, orang itu lantas melangkah masuk, Ketika melihat A Ci juga berada disitu, orang itu agak melengak, tapi lantas bergirang, tampaknya ingin bicara tapi urung, Lalu mengambil tempat duduk dimeja dekat pintu.

"Disitu sudah tersedia daging dan arak, mengapa tidak dimakan?" tiba-tiba A Ci berkata.

Melihat meja yang tersedia daharan dan belum ada tamunya, segera orang aneh itu menjawab, "O, untuk aku? Terima kasih, Sumoay."

Habis berkata, tanpa sungkan-sungkan lagi ia ambil tempat duduk menghadapi meja yang siap dengan hidangan itu, ia mengeluarkan sebilah pisau emas kecil, segera ia potong daging kambing dan dimakan.

Yang paling aneh adalah pada waktu makan ikan gurame itu, sekali potong terus dimasukkan kedalam mulut, ia kunyah-kunyah dan ditelan seluruhnya, jadi tulang ikan juga ikut amblas kedalam perutnya, Kemudian ia tenggak pula arak yang tersedia, tampaknya kekuatan minumnya boleh juga.

"Kiranya orang ini adalah suheng A Ci, jika begitu ia juga murid si iblis tua Sing-siok-hoi," demikian pikir Siau Hong, Sebenarnya ia tidak suka kepada muka dan potongan orang aneh itu, tapi demi melihat takaran minumnya masih boleh juga, ia merasa orang toh tidak begitu menjemukan.

Sementara itu satu porsi arak yang disediakan sudah habis ditengguk oleh laki-laki aneh itu, Segera A Ci berkata kepada pelayan, "Bawalah arak ini kepada tuan yang baru datang itu."

Sembari berkata ia terus masukkan kedua tangannya kedalam mangkuk araknya, ia cuci bersih minyak dan kuah yang mengotori tangannya itu, lalu menyodorkan mangkuk arak itu kepada sipelayan. Karuan sipelayan menjadi ragu, masakah arak yang telah dipakai cuci tangan disuruh minum orang?

Melihat sikap sipelayan itu, A Ci mendesak lagi. "Ayo, lekas bawa kesana, orang sedang menunggu."

"Ai, kembali nona bergurau lagi," ujar sipelayan dengan tertawa, "Masakah arak ini dapat diminum?"

"Kenapa?" tiba-tiba A Ci menarik muka, "Apa kaukira tanganku kotor? Baiklah, begini saja, asalkau minum seceguk arak ini, segera kupersen satu tahil perak padamu." Bersama itu ia taruh sepotong uang perak diatas meja.

Dasar mata duitan, sipelayan menjadi girang, katanya, "Minum seceguk arak dengan persen satu tahil perak, Wah, bagus sekali! Jangankan cuma air cuci tangan, biarpun air cucian kaki nona juga akan kuminum."

Habis berkata, terus saja ia angkat mangkuk arak itu dan diminum seceguk. Diluar dugaan, baru arak itu masuk mulut, seketika ia merasa lidahnya bagai dibakar, panasnya, sakitnya tidak kepalang, Kontan saja pelayan itu terbatuk-batuk dan semburkan kembali arak itu, Saking kesakitan sampai ia berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak, "Aduh! Tolong! Aduh mak! Tolong!"

Siau Hong kaget juga melihat kejadian itu, Ia dengar suara teriakan sipelayan makin lama makin parau dan tambah samar-samar, terang lidahnya menjadi bengkak.

Mendengar ribut-ribut itu, seketika pengurus restoran, koki, tukang api dan lain-lain sama lari keluar dan bertanya, "Ada apa? Ada apa?"

Tapi pelayan itu sudah tidak sanggup bicara lagi, kedua tangannya mencakar-cakar muka sendiri, akhirnya ia menjulurkan lidah dan ternyata lidah itu sudah abuh dua tiga kali lebih besar daripada biasanya, warnanya matang biru.

Kembali Siau Hong terkejut, itulah tanda keracunan yang hebat, sungguh tidak nyana arak yang hanya dibuat cuci tangan A Ci bisa begitu lihai racun yang ditaruhnya.

Kambrat si pelayan restoran menjadi khawatir melihat lidah kawannya itu, mereka sibuk bertanya.

"Wah, kena racun apakah lidahmu itu?"

"He, apakah lidahmu tersengat oleh ketup kalajengking?"

"Ai, celaka! Lekas, lekas mengundang Sinshe!"

Dalam pada itu sipelayan sudah berubah menjadi bisu, Mendadak ia mendekati A Ci, Dan berlutut terus menjura berulang-ulang.

A Ci tertawa, tanyanya, "Ai, mengapa kamu begini menghormati diriku?Ada apakah?"

Pelayan itu menengadah dan menuding lidah sendiri, lalu menjura pula tiada berhentinya.

"O, apa kamu minta disembuhkan?" tanya A Ci dengan tertawa.

Namun saking kesakitan pelayan itu sudah mandi keringat, kedua tangannya menjambak-jambak rambut sendiri, sebentar menjura, sebentar soya, sebentar bangun, sebentar berlutut lagi, lalu kerupukan bagai orang sekarat.

Akhirnya A Ci mengeluarkan sebilah pisau kuning emas yang kecil, bentuk pisau itu mirip benar dengan pisau yang dipegang siorang aneh tadi, Mendadak A Ci pegang kuduk sipelayan dan ditarik kebelakang hingga pelayan itu menengadah, sekali pisaunya bekerja, "sret" kontan ujung lidah pelayan itu dipotongnya sebagian.

Karuan para penonton sama menjerit kaget, Seketika darah pun mancur dari lidah yang putus itu.

Semula sipelayan juga kaget, siapa duga sesudah darah mengucur keluar, segera racun pun hilang, rasa sakitnya juga lenyap seketika, Hanya sebentar saja lidah yang abuh itu pun pulih kembali seperti semula.

Kemudian A Ci mengeluarkan sebuah botol kecil, ia buka sumbat botol dan cungkil sedikit obat bubuk warna kuning dengan kuku jari dan dibubuhkan diatas luka lidah sipelayan, Aneh juga, begitu dibubuhi obat, kontan darahnya lantas mampet.

Karuan sipelayan menjadi serba runyam dan bingung, apakah ia mesti gusar atau mesti berterima kasih kepada anak dara itu? Ia hanya dapat berkata, "Kau....kau...." Tapi karena lidahnya terpotong sebagian, ucapannya menjadi pelat, tidak jelas.

A Ci pegang-pegang uang perak yang ditaruh diatas meja tadi dan berkata pula, "Tadi kukatakan asal minum seceguk arak lantas kupersen satu tahil perak, tapi belum lagi arak tadi masuk perutmu sudah kau tumpahkan kembali, maka tadi itu tidak bisa dianggap, jika mau coba boleh kau minum lagi."

"Ti...tidak, aku... aku tak mau minum lagi..." demikian jawab sipelayan dengan samar-samar sambil goyanggoyang kedua tangannya.

A Ci tertawa, Ia simpan kembali uang perak itu dan katanya, "Apakah kamu masih ingat ucapanmu tadi? Kalau tidak salah kau bilang 'untuk memotong lidahku mungkin nona belum mampu' betul tidak?

Dan sekarang kau sendiri yang menjura dan minta kupotong lidahmu, apakah nonamu mempunyai kemampuan itu atau tidak?"

Baru sekarang sipelayan sadar gara-gara ucapannya tadi itulah telah mendatangkan bencana bagi diri sendiri. Karuan ia sangat murka dan sakit hati, kalau bisa ia ingin melabrak sepuas-puasnya anak dara itu, tapi ia menjadi takut ketika ingat dimeja lain masih ada dua orang lelaki yang sudah terang adalah begundal anak dara ini.

"Eh, kau minum lagi atau tidak?" demikian A Ci tanya pula padanya.

Dengan gusar si pelayan menjawab, "Lo... Locu tidak...."

Tapi baru sekian ucapannya ia jadi ketakutan kalau-kalau diselomoti orang lagi karena makiannya itu, dengan gusar dan jeri cepat ia lari keruangan belakang untuk seterusnya tidak berani keluar lagi.

Suasana kembali tenang, pengurus restoran telah memberi ganti seorang pelayan lain, Tapi karena menyaksikan kejadian tadi, pelayan baru ini pun kapok dan tidak berani sembarangan omong.

Siau Hong merasa gusar sekali oleh kekejaman A Ci itu, masakah sipelayan itu hanya berkelakar begitu saja mesti dibikin cacat untuk selamanya, sungguh keterlaluan.

Dalam pada itu, terdengar A Ci telah berkata pula sambil menunjuk lelaki aneh tadi, "Pelayan, bawalah arak ini untuk tuan itu."

Si pelayan baru memang lagi kebat-kebit waktu A Ci menunjuk mangkuk araknya, kini mendengar bahwa arak itu supaya diberikan kepada lelaki berhidung singa itu, Ia bertambah takut.

"He, kenapa kamu diam saja?" tegur A Ci dengan tertawa ketika melihat sipelayan ragu-ragu. "Eh, barangkali kau sendiri ingin minum, ya? Ah, boleh juga, ayolah minum."

Karuan pelayan itu ketakutan setengah mati, cepat ia menjawab. "Ti...tidak... tidak, hamba ti... tidak mau."

"Jika begitu lekas bawa untuk tuan itu," kata A Ci.

"Ya, ya!" cepat sipelayan menurut, Dengan tersipu-sipu ia angkat mangkuk arak itu dengan kedua tangan dan dipindah kemeja si lelaki berhidung singa, Saking gugupnya hingga kedua tangan pelayan bergemetaran, untung araknya tidak muncrat keluar.

Lelaki hidung singa itu pun tidak menolak, ia angkat mangkuk arak itu, tapi tidak lantas diminum, ia pandang lekat-lekat arak didalam mangkuk.

"Kenapa, Jisuko?" tanya A Ci dengan tertawa, "Aku menyuguh arak padamu, apakah engkau tidak sudi minum?"

Diam-diam Siau Hong membatin, "Arakmu itu beracun jahat luar biasa, sudah tentu orang itu tidak mau menjadi korbanmu, Biarpun lwekangnya sangat tinggi juga belum tentu mampu menolak racun didalam arak itu."

Diluar dugaan, sesudah sekian lamanya orang berhidung singa itu tertegun, mendadak ia tempelkan mangkuk arak itu kebibirnya dan segera ditenggaknya hingga habis isinya.

Karuan Siau Hong terkejut, pikirnya, "Apa betul lwekang orang ini sedemikian hebatnya hingga mampu menghapuskan racun dalam arak itu?"

Tengah ia sangsi, ia lihat orang berhidung singa itu telah menaruh kembali mangkuk arak diatas meja, dua jari jempolnya kelihatan basah dan diusap-usapkan pada bajunya.

Melihat itu, sedikit pikir saja Siau Hong lantas tahu duduknya perkara, "Ya, besar kemungkinan ia telah berhasil meyakinkan 'Hoa-tok-hai-hoat' (ilmu menghapus racun) ajaran iblis tua Sing-siok-hai, maka sebelum dia minum arak itu, lebih dulu ia rendam kedua jari jempol didalam arak sambil memandang sekian lamanya, tentu waktu itulah ia telah hapuskan racun jahat didalam arak, dengan demikian ia tidak takut lagi untuk menengguknya hingga habis."

Rupanya hal itu juga diluar dugaan A Ci, gadis itu agak gugup juga dan lekas-lekas berkata dengan tersenyum ewa, "Wah, rupanya kepandaian Jisuko telah maju pesat sekali, Terimalah pemberian selamat dariku ini."

Orang itu tidak gubris padanya lagi, segera ia melanjutkan makan minum, ia sapu bersih daharan yang disediakan itu, habis itu ia berbangkit sambil tepuk-tepuk perutnya yang sudah penuh terisi itu, lalu katanya. "Nah, marilah berangkat!"

"O, ya, silakan! Sampai berjumpa pula!" kata A Ci.

Karuan orang itu melengak, kedua matanya yang besar sebelah itu mendelik, katanya, "Sampai berjumpa apa? Maksudku kaupun ikut berangkat bersamaku!"

"Aku tidak mau." sahut A Ci sambil goyang-goyang kepala, Lalu ia mendekati Siau Hong dan berkata pula, "Aku sudah berjanji lebih dulu dengan Toako ini untuk pesiar ke Kanglam."

"Bedebah siapa dia?" tanya orang berhidung singa itu sambil melotot sekejap kepada Siau Hong.

"Bedebah apa? Dia adalah Cihuku (suami kakakku), tahu? Kami adalah sanak famili terdekat," kata A Ci.

"Kamu sudah memberi persoalannya dan aku sudah memberi jawabannya, maka sekarang kamu harus menurut

perintahku, kau berani melanggar peraturan perguruan kita?" teriak orang itu.

"Kiranya A Ci menyuruh dia minum arak beracun tadi merupakan suatu soal ujian sulit baginya, diluar dugaan soal itu telah dijawabnya hingga lulus," demikian Siau Hong membatin.

Maka terdengar A Ci menjawab. "Siapa bilang itu memberikan soal ujian bagimu? Apa kau maksudkan minum arak tadi? Hahahaha, sungguh menggelikan! Bukankah kau lihat sendiri, arak itu kusuruh minum sipelayan tadi, Siapa duga sebagai ahli waris Sing-siok-hai kaupun sudi minum, arak sisa bekas pelayan itu, Hahaha, sedangkan seorang pelayan saja tidak mampus minum arak itu, kemudian engkau menghabiskannya, apanya sih yang hebat? Coba jawab, sedangkan pelayan itu saja tidak mati minum arak itu, apakah mungkin aku menguji dirimu dengan arak begituan?"

Sebenarnya ucapan A Ci itu terlalu ingin menang sendiri, untuk mendebatnya juga tidak susah, tapi orang berhidung singa itu rupanya tidak mau membantah, dengan menahan gusar ia berkata. "Suhu memberi perintah agar aku membawamu pulang, kau berani membangkang pada perintah ini?"

"Suhu paling sayang padaku, asal nanti Jisuko menyampaikan pada beliau bahwa aku telah bertemu dengan Cihuku ditengah jalan serta pergi pesiar bersamanya ke Kanglam, nanti kalau kami pulang akan kubawakan oleh-oleh yang bagus buat beliau," demikian sahut A Ci dengan tertawa.

"Tidak, kamu harus ikut pulang, kamu telah mengambil...." bicara sampai disini orang itu tidak melanjutkan lagi, ia melirik kearah Siau Hong seperti khawatir rahasianya didengar orang luar, dan sesudah merandek sejenak, lalu ia melanjutkan, "Suhu sangat marah dan kamu diharuskan segera pulang."

"Jisuko," demikian A Ci memohon, "Sudah tahu Suhu lagi marah, mengapa engkau tega memaksa aku pulang, bukankah aku akan dihajar oleh beliau? Awas, jika Jisuko memaksa, kelak kalu Jisuko dihukum Suhu, tentu aku pun tidak mau memintakan ampun lagi bagimu."

Rupanya ucapan A Ci yang terakhir ini agak mempengaruhi pikiran si lelaki hidung singa ini, mungkin anak dara itu memang sangat disukai dan dimanjakan oleh gurunya, si iblis tua Sing-siok-hai, segala apa yang dia minta selalu diluluskannya.

Maka sesudah pikir sejenak, segera orang aneh itu berkata, "Jika engkau berkeras tidak mau pulang, boleh juga kau serahkan kedua macam barang itu padaku, dengan begitu dapatlah aku mempertanggung-jawabkan tugasku kepada Suhu dan mungkin amarah beliau dapat diredakan."

"Apa katamu? Dua macam barang apa? Sungguh aku tidak paham." ujar A Ci.

Mendadak orang berhidung singa itu menarik muka, sahutnya, "Sumoay, jika aku tidak mau main kasar padamu adalah karena mengingat sesama saudara perguruan, tapi kamu sendiri harus bisa membedakan antara yang baik dan jelek."

"Sudah tentu aku bisa membedakan," sahut A Ci, "Engkau menemani aku makan minum adalah baik, tapi engkau memaksa aku pulang ketempat Suhu itulah yang jelek."

"Pendek kata kau mau serahkan kedua macam barang itu atau tidak?Atau mau ikut pulang saja?" desak pula orang itu.

"Aku tidak mau pulang juga tidak tahu barang apa yang kau inginkan," sahut A Ci. "O, barangkali kau ingin membawa sesuatu barangku ini? Baiklah! Nah, boleh kau bawa tanda pengenalku, ini tusuk kondaiku." Sembari berkata ia terus ambil sebentuk tusuk-kondai dari sanggulnya.

"Jangan berlagak pilon, Sumoay! Apa kau paksa aku harus turun tangan?" desak pula orang itu sambil melangkah maju.

A Ci kenal betapa lihai kepandaian sang Suheng, ia tahu bukan tandingannya, apalagi ilmu silat golongan Singsiok-hai mereka itu sangat ganas, sekali turun tangan tanpa kenal ampun lagi, kalau tidak mati tentu terluka parah, kalau terluka parah tentu akan tersiksa oleh racun jahat dan akhirnya juga akan mati lebih mengerikan.

Sebab itulah diantara sesama saudara seperguruan mereka tidak pernah saling latih, begitu pula diantara guru dan murid juga tidak pernah menjajal kepandaian masing-masing.

Pada waktu iblis tua Sing-siok-hai mengajari muridnya juga dipisah-pisahkan ditempat yang berlainan, setiap murid juga berlatih tersendiri dan saling tidak tahu sampai dimana kepandaian masing-masing, Hanya kalau bertemu musuh dan disitulah baru diketahui tinggi atau rendah kepandaiannya.

A Ci sendiri pernah menyaksikan Jisukonya itu membinasakan tujuh bandit besar di perbatasan Sujwan dan Tibet, betapa ganas cara turun tangannya benar-benar sangat keji, maka betapa pun ia merasa jeri juga bila sang Suheng benar-benar turun tangan dan main paksa padanya.

Menurut peraturan perguruan mereka, sekali A Ci sudah menjajal sang Suheng dengan arak berbisa, itu berarti suatu tantangan yang luar biasa, sebab kalau Suheng yang berhidung singa itu mengaku kalah, maka selama

hidupnya akan selalu berada dibawah perintah A Ci.

Tapi kini ia telah lulus dari ujian, ia telah minum habis arak berbisa si A Ci tadi, menurut aturan itu berarti A Ci sudah kalah dan tidak boleh melawan perintahnya lagi.

Tahu gelagat jelek, segera A Ci menarik-narik lengan baju Siau Hong sambil berseru, "Cihu, tolong, Cihu! Dia akan menyerang aku, Cihu, tolong Cihu!"

Berulang-ulang dipanggil 'Cihu', hati Siau Hong menjadi lemas, teringat pula pesan tinggalan A Cu tempo hari, segera ia bermaksud menghalaukan lelaki berhidung singa itu.

Tapi sekilas dilihatnya darah yang berceceran dilantai, yaitu darah lidah sipelayan yang terpotong tadi, kembali Siau Hong merasa anak dara itu terlalu gabah tangan, kalau sekarang dibiarkan ketakutan dulu, agar dia agak kapok dan kelak takkan berani terlalu nakal, Maka ia sengaja tinggal diam saja dengan memandang jauh keluar jendela.

Melihat si A Ci minta bantuan kepada Siau Hong, lelaki hidung singa itu pikir dara cilik itu harus dibikin takut, untuk mana jago yang diandalkan ini harus dibikin keok dulu, dengan demikian tentu dara cilik itu akan ikut pulang dengan menurut, Maka tanpa bicara lagi segera ia pegang pergelangan tangan kiri Siau Hong terus dipencet.

Dalam pada itu sebenarnya Siau Hong sudah siap, begitu melihat pundak kanan orang sedikit bergerak, segera ia tahu orang hendak menyerang, Tapi ia sengaja tinggal diam dan membiarkan tangannya dipegang orang itu, Dan begitu tangan orang menyentuh kulitnya, segera ia merasakan panas bagai dibakar, ia tahu orang itupun berbisa jahat.

Selama hidup Siau Hong justru paling benci kepada kepandaian yang berbisa jahat seperti itu, Tapi ia tetap diam saja, hanya tenaga murni ia kerahkan ke pergelangan tangan, lalu katanya dengan tertawa, "Ada apa? O, barangkali saudara ingin ajak minum arak padaku?Baiklah, mari, mari silahkan!"

Sambil berkata ia terus menggunakan tangan kanan untuk menuang dua mangkuk arak. Dalam pada itu si lelaki hidung singa telah mengerahkan tenaga sekuatnya, tapi ia lihat Siau Hong masih tetap seenaknya saja bagai tidak merasakan sesuatu apa, diam-diam ia membatin; "Huh, jangan senang-senang dulu, sebentar baru kau tahu rasa."

Segera iapun menjawab. "Mau minum arak ayolah minum, kenapa aku tidak berani?"

Habis berkata terus saja ia angkat mangkuk arak itu dan ditenggak, Diluar dugaan baru arak itu mengalir masuk kerongkongan, mendadak dari dalam rongga dada serasa ada arus tenaga yang entah timbul dari mana, langsung tenaga dalam itu menyerang keatas.

Ia tidak tahan lagi, ia terbatuk-batuk hingga arak yang sudah ditenggak itu tersembur keluar kembali, habis itu ia masih terus batuk hingga sekian lama.

Kejadian itu membuatnya terkejut tak terperikan, Arus tenaga yang membalik keluar itu terang berasal dari tenaga dalam orang yang disalurkan melalui tangannya yang terpegang itu.

Coba kalau orang mau incar jiwanya, sungguh gampangnya seperti merogoh saku sendiri, Dalam kagetnya cepat ia hendak melepaskan pergelangan tangan Siau Hong.

Tak tersangka sekarang hendak lepar tangan pun tidak bisa lagi, Tangan Siau Hong itu seperti mengeluarkan tenaga melengket hingga tangan lelaki hidung singa itu sukar ditarik kembali.

Dalam kagetnya orang itu masih menarik-narik sekuatnya, Tapi Siau Hong tetap diam saja, biar bagaimana pun orang itu menarik dan meronta, sedikitpun Siau Hong tak tergerak.

Dalam pada itu Siau Hong menuang arak pula dan berkata, "Tapi kamu belum sempat minum arak ini, sekarang silahkan minum semangkuk saja dan barulah kita berpisah ya?"

Orang itu masih meronta-ronta sekuatnya dan tetap susah melepaskan diri, Tanpa pikir lagi ia terus menempeleng muka Siau Hong dengan tangan lain, Belum kena dihantam Siau Hong lantas mengendus bau amis busuk, bau mirip ikan mati.

Segera ia angkat tangan kanan dan mengibas pelahan keatas hingga pukulan orang itu menceng kearah lain, "plak" tanpa kuasa lagi orang itu menghantam bahu sendiri, saking kerasnya hingga ruas tulang pundak sampai keseleo.

"Ai, ai, Jisuko, mengapa engkau begini sungkan hingga menghajar dirinya sendiri, kan aku yang merasa tidak enak?" demikian A Ci malah menggodanya.

Sungguh dongkol dan gemas lelaki hidung singa itu tidak kepalang, tapi apa daya, tangan yang lengket dipergelangan tangan Siau Hong itu tak bisa ditarik kembali, untuk menyerang lagi pun tidak berani, segera ia mengerahkan tenaga dalam, Ia hendak salurkan racun yang terdapat pada tangannya itu kedalam badan musuh.

Tak terduga, begitu tenaganya kebentur dengan tangan Siau Hong, kontan tenaga itu terdesak balik, bahkan terdesak terus kelengan,

Karuan lelaki hidung singa itu terkejut, cepat bertahan mati-matian, namun celaka, selisih lwekangnya dengan Siau Hong terlalu jauh, ia tidak kuat melawan, arus tenaga dalam yang mengandung racun itu bagaikan gelombang samudra yang membanjir kedalam sungai, setelah membanjir ke lengan, terus kebahu dan lambatlaun sampai didada.

Lelaki hidung singa kenal racun di tangan sendiri itu luar biasa lihainya, asal menyerang jantung seketika orangnya akan binasa, Kini racun itu benar-benar 'senjata makan tuan', dibawah desakan lwekang musuh arus racun itu tak bisa ditahan lagi, Saking kelabakan sampai keringatnya berbutir-butir memenuhi jidatnya.

"Wah, Jisuko, lwekangmu sungguh tinggi sekali," demikian A Ci berolok-olok lagi, "Hawa sedingin ini, tapi engkau malah berkeringat, Sungguh aku kagum sekali padamu!"

Sudah tentu si lelaki hidung singa tidak pikirkan lagi sindiran A Ci itu, yang paling penting baginya sekarang ialah menyelamatkan jiwa lebih dulu, Maka ia coba bertahan sekuat mungkin, sebelum ajal ia pantang mati.

Diam-diam Siau Hong berpikir, "Selamanya aku tiada permusuhan dengan orang ini, meski dia hendak menyerang aku secara keji, buat apa aku membunuh dia?"

Maka mendadak ia tarik kembali tenaga dalamnya, Seketika lelaki hidung singa itu merasa tangannya terlepas, arus racun yang hampir mendekat jantung itu seketika menyurut kembali, Dalam girang dan kejutnya cepat ia melangkah mundur beberapa tindak dan tidak berani mendekat Siau Hong lagi.

Meski barusan ia hampir mendaftarkan diri kepada raja akhirat, tapi sipelayan tidak tahu apa-apa, khawatir orang marah, pelayan itu mendekatinya untuk menuangkan arak, Diluar dugaan mendadak lelaki hidung singa itu menggaplok muka sipelayan, Sekali pelayan itu menjerit, kontan orangnya roboh telentang.

Habis hantam sipelayan, lalaki hidung singa itu lantas lari cepat keluar restoran dan menuju kearah barat daya, dari jauh terdengar suara suitannya yang tajam melengking, makin lama makin jauh.

Waktu Siau Hong periksa sipelayan, ia lihat selebar mukanya matang biru, terang sudah binasa, Ia menjadi gusar dan berseru. "Orang itu benar-benar kejam, telah kuampuni jiwanya, tapi dia malah membunuh orang."

Segera ia pun berbangkit dan bermaksud akan mengejar.

Tapi A Ci lantas mencegahnya, "Cihu, duduklah, biar kujelaskan padamu."

Jika A Ci memanggil Kiau-pangcu atau Siau-toako, tentu Siau Hong takkan gubris padanya, Tapi panggilan "Cihu" itu telah membuatnya teringat kepada A Cu, Dengan rasa terharu ia tanya, "Ada apa?"

"Bukan Jisuko kejam, soalnya tadi dia tak berhasil mencelakai engkau, racunnya tidak terlampias, maka ia perlu membunuh seorang sebagai gantimu," tutur A Ci.

Siau Hong tahu diantara ilmu silat kaum Sia-pai memang ada cara begitu, bila racun yang mestinya dikeluarakan itu tidak dikeluarkan, paling tidak harus dihantamkan pada seekor kuda atau kerbau, kalau tidak, racun itu akan membalik dan mencelakai diri sendiri, Maka katanya, "Jika dia ingin mengimpaskan racun, kenapa dia tidak hantam seekor hewan saja, tapi membunuh manusia?"

"Orang goblok seperti dia apa bedanya dengan hewan?" sahut A Ci. "Membunuh orang seperti dia itu tidakkah sama seperti membunuh seekor babi?"

Sungguh ngeri Siau Hong mendengar cara omong A Ci yang sewajarnya, sedikit pun tidak merasa menyesal, seakan-akan jiwa manusia itu seperti jiwa semut saja.

Ia pikir watak nona cilik ini sudah sejahat ini, buat apa diurus lagi? Apalagi saat itu orang-orang restoran telah merubung keluar lagi, ia tidak ingin tersangkut perkara pula, segera ia berbangkit dan tinggal pergi menuju ke utara.

Ia dengar A Ci sedang menyusulnya, segera ia percepat langkahnya hingga dalam sekejap saja dara cilik itu telah tertinggal jauh.

Tapi segera ia dengar seruan A Ci, "Cihu, Cihu! Tunggu, Cihu! Aku...aku akan ketinggalan, lho!"

Kalau bicara berhadapan dan melihat kelakuan anak dara itu, seketika Siau Hong akan merasa jemu padanya, Tapi kini mendengar suara seruannya dari belakang, suara itu nyaring merdu dan mirip benar dengan suara A Cu, Seketika perasaan Siau Hong terguncang hebat, tanpa terasa ia membalik tubuh, dengan mengembang air mata ia lihat seorang anak dara berlari-lari mendatangi dan sungguh mirip sekali seakan-akan A Cu telah hidup kembali.

Sambil pentang kedua tangan menyambut kedepan, tanpa terasa Siau Hong berseru pelahan, "A Cu, A Cu! O, A Cu!"

Saat itu samar-samar ia merasa seperti berhadapan dengan A Cu, Ia menjadi terkejut dan sadar kembali ketika mendadak sesosok tubuh yang lunak menubruk kepelukannya dan mendengar suara sigadis. "Cihu, kenapa engkau tidak menunggu padaku?"

Pelahan Siau Hong melepaskan A Ci dari pelukannya, katanya. "Buat apa kau ikut padaku?"

"Engkau telah menghalaukan Jisukoku, dengan sendirinya aku mesti menghaturkan terima kasih padamu." sahut A Ci.

"Itu tidak perlu, toh aku tidak sengaja hendak membantumu, soalnya dia hendak menyerang aku, kalau aku tidak membela diri tentu akan mati ditangannya," sahut Siau Hong dengan sikap dingin, Lalu putar tubuh hendak tinggal pergi lagi.

Segera A Ci memburu maju dan hendak menarik tangan Siau Hong, Tapi sedikit Siau Hong mengengos, tangan A Ci memegang tempat kosong, dengan sempoyongan ia terjerembab kedepan.

Dengan ilmu silatnya sebenarnya A Ci dapat menegakkan tubuhnya, tapi ia justru gunakan kesempatan itu untuk menggoda, ia sengaja jatuh ketanah salju sambil berseru, "Aduh! Sakit!"

Sudah terang Siau Hong tahu bocah itu cuma pura-pura saja, tapi demi mendengar suaranya yang merdu itu, seketika benaknya terbayang akan diri A Cu, Tanpa terasa ia putar balik, sekali tarik ia angkat bangun A Ci.

Ia lihat anak dara itu lagi tertawa genit, katanya, "Cihu, Ciciku minta engkau menjaga diriku, mengapa engkau tidak menurut pesannya? Aku seorang nona cilik, hidupku sebatang-kara, banyak orang jahat akan bikin susah padaku, mengapa engkau tidak urus dan tidak gubris padaku?"

Ucapan itu kedengarannya sangat mengesankan dan penuh kasihan, biarpun Siau Hong tahu anak dara itu cuma omong kosong belaka, tapi hatinya menjadi lemas juga, Tanyanya, "Untuk apa kau ikut padaku? Perasaanku sendiri lagi masgul, tidak nanti aku mau bicara denganmu, apalagi kalau kamu berbuat sembarangan, tentu aku akan menghajarmu."

"Engkau masgul, aku akan menghibur padamu, dengan begitu bukankah hatimu lambat-laun akan gembira lagi?" ujar A Ci. "Jika aku boleh ikut, pada waktu engkau minum arak, aku akan menuangkan arak bagimu, Jika engkau ganti pakaian, akan kucuci dan tambal bajumu bila perlu, Bila aku berbuat salah, dan engkau suka mengajar, itulah paling baik malah, Sejak kecil aku sudah ditinggalkan orang tua, tiada orang yang mengajar padaku, segala apa aku memang tidak paham....." Berkata sampai disini, matanya menjadi merah basah.

Tapi Siau Hong pikir. "Mereka, kakak dan adik memang berbakat main sandiwara, bicara tentang menipu orang boleh dikata kepandaian mereka tiada bandingannya, Untung aku sudah kenal nona ini sangat keji, tidak nanti aku tertipu, Sebab apakah dia tetap ingin ikut padaku? Tipu muslihat apakah yang terkandung dalam hatinya, Jangan-jangan gurunya sengaja mengirim dia untuk memancing aku dan akan bikin celaka padaku? Ya, jangan-jangan musuh yang kucari itu ada sangkut-pautnya dengan iblis tua Sing-siok-hai itu? Bahkan bisa jadi dia sendiri yang menjadi biang keladinya?"

Berpikir demikian, seketika timbul suatu keputusannya, "Masakah seorang laki-laki sebagai Siau Hong mesti takut kepada kemungkinan ditipu oleh anak dara seperti dia itu? Kenapa aku tidak turuti saja permintaannya, akan kulihat tipu muslihat apa yang akan dikeluarkannya, Boleh jadi pada diri anak dara inilah akan dapat kubalas sakit hatiku, Ya, siapa tahu?"

Karena pikiran itu, segera ia berkata, "Jika begitu, baiklah, boleh kau ikut padaku, Tetapi aku janji lebih dulu, jika kamu sembarangan membikin susah orang atau membunuh orang lagi, tentu aku takkan mengampunimu."

A Ci menjulurkan lidah, kemudian menyahut, "Habis bila orang lain yang ingin membikin susah padaku, lantas bagaimana? Dan jika orang jahat yang kubunuh lantas bagaimana lagi?"

Siau Hong pikir anak dara ini sungguh terlalu licin dan nakal, bukan mustahil dia akan mencari macam-macam alasan untuk membela diri, jika dia menimbulkan gara-gara lagi, Maka katanya, "Apakah orang lain itu orang jahat atau bukan, tidak perlu dipeduli, Pendek kata, sekali kamu berada bersamaku, selama itu kamu tidak boleh bertengkar dengan orang, Kamu berada denganku, tidak nanti orang lain berani mengganggumu."

"Ai, engkau hanya Cihuku, tapi engkau lebih keras mengajarku daripada orang tuaku." kata A Ci.

"Coba kalau Ciciku tidak meninggal dan sempat menikah denganmu, bukankah dia juga akan mati dikekang oleh perintahmu?"

Siau Hong menjadi gusar, sungguh ia ingin damprat anak dara itu, tapi segera hatinya lemas lagi, Ketika dilihatnya sorot mata A Ci menyinarkan sifat-sifat yang nakal dan licin, kembali ia pikir, "Aneh, mengapa ia merasa senang oleh apa yang kukatakan itu?"

Karena tak bisa menerka sikap anak dara itu, ia lantas melanjutkan perjalanan lagi. Kira-kira dua tiga li jauhnya, mendadak teringat olehnya, "Ai, celaka! Mungkin dara cilik ini sedang menghadapi suatu musuh besar atau lawan tangguh, makanya aku ditipu untuk membela dia, Tadi aku telah menyatakan, 'Kamu berada denganku, tidak nanti orang berani mengganggumu' Dan itu berarti aku telah berjanji untuk melindungi dia, Padahal dia dipihak yang benar atau salah, meski aku tidak menyatakan sesuatu, asal dia berada disampingku dengan sendirinya aku tidak membiarkan dia diganggu siapapun juga."

Dan setelah beberapa li lagi, tiba-tiba A Ci membuka suara pula, "Cihu, ketimbang kesepian akan kunyanyikan suatu lagu, mau tidak?"

"Tidak!" sahut Siau Hong ketus.

Ia sudah ambil keputusan, pendek kata apa saja yang dikehendaki anak dara itu, seluruhnya akan dijawabnya tidak, Terhadap anak dara yang nakal itu harus pakai sikap keras dan ketus, supaya dia kapok.

Sudah tentu A Ci kurang senang oleh jawaban Siau Hong itu, dengan memoncongkan mulut yang mungil ia berkata, "Engkau ini memang terlalu, Eh, jika begitu aku akan mendongeng saja, mau tidak?"

"Tidak!" jawab Siau Hong tetap.

"Kalau begitu, marilah kita main teka-teki saja, mau?"

"Tidak!" kembali Siau Hong menolak.

"Ya, sudahlah, Eh, engkau saja yang mendongeng, setuju?"

"Tidak!"

"Atau engkau saja yang menyanyi, mau?"

"Tidak!"

"Engkau saja yang melucu, juga tidak?"

"Tidak!"

Begitulah segala permintaan A Ci selalu dijawab dengan 'tidak' oleh Siau Hong tanpa pikir.

Mendadak A Ci berkata pula, "Jika begitu, aku takkan meniup seruling untukmu, mau tidak?"

"Tidak!" tetap Siau Hong menjawab begitu, Dan begitu jawaban itu diucapkan, segera ia sadar telah terjebak oleh akal anak dara itu.

Yang ditanya A Ci adalah 'aku takkan meniup seruling untukmu' dan dia menjawab 'tidak' maka itu berarti dia minta anak dara meniupkan seruling, Tapi karena sudah kadung diucapkan, ia pikir masa bodohlah, kau mau meniup seruling boleh, silahkan sesukamu.

Begitulah lalu A Ci berkata dengan gegetun, "Ai, Cihu ini memang susah diladeni, Ini tidak, itu juga tidak, ini tidak mau, itu pun emoh, Tak tahunya minta ditiupkan seruling, Baiklah, akan kupenuhi keinginanmu."Habis berkata, lalu ia mengeluarkan sebatang seruling kemala.

Seruling kemala itu bentuknya luar biasa, seluruhnya putih mulus, panjangnya cuma belasan senti saja, kecil mungil.Segera A Ci taruh seruling itu di bibirnya dan mulai meniupnya, seketika tersiarlah bunyi seruling yang tajam melengking berkumandang jauh.

Tergerak hati Siau Hong, Tadi waktu lelaki hidung singa itu berlari pergi jauh pernah mengeluarkan suara suitan tajam seperti itu, Sebenarnya suara seruling itu nyaring dan merdu, tapi suara seruling kemala putih ini tajam mengerikan terang bukan suara irama musik.

Segera tahulah Siau Hong, katanya didalam hati, "Hm, kiranya telah kau sembunyikan begundalmu disini untuk menyergap diriku, Hah, masakah aku jeri pada kaum keroco seperti kalian ini?"

Tapi ia pun tahu ilmu silat anak murid iblis tua Sin-siok-hai itu tentu sangat lihai, jika bertempur secara terangterangan tentu saja ia tidak takut, tapi kalau mereka menggunakan muslihat keji, sedikit lengah saja pasti akan masuk perangkap mereka.

Sementara itu ia dengar suara seruling A Ci masih terus mendenging-denging, sebentar tinggi sebentar rendah nada suaranya, terkadang seperti babi disembelih, tempo-tempo bagaikan setan menjerit, Sungguh aneh dan ganjil sekali bahwa seorang gadis cantik sebagai A Ci dengan seruling kemala yang bagus itu, ternyata suara yang keluar dari alat musik itu justru melengking jelek.

Namun Siau Hong tak mau ambil pusing lagi, ia meneruskan perjalanannya, Tidak lama kemudian sampailah disuatu jalan pegunungan yang sempit dan panjang, Lereng gunung itu curam dan sukar ditempuh, Diam-diam Siau Hong membatin, "Jika musuh bermaksud menyergap aku, tentu disinilah tempatnya,"

Benar juga, sesudah membelok suatu lintasan dan naik keatas bukit lagi, segera tertampak didepan menghadang empat orang, Pakaian keempat orang itu terdiri dari kain belacu kuning kasar, dandanan mereka tiada ubahnya seperti lelaki hidung singa yang ngacir di restoran itu.

Keempat orang itu tidak berdiri sejajr, tapi berbaris muka dan belakang, setiap orang membawa tongkat baja panjang.

Melihat keempat orang itu, seketika A Ci berhenti meniup serulingnya, Segera ia menyapa. "He, Samsuko, Sisuko, Jitsuko, Patsuko, baik-baikkah kalian? Mengapa begini kebetulan kalian berkumpul disini?"

Siau Hong lantas berhenti juga, ia sengaja bersandar didinding tebing ditepi jalan sambil mengulet kemalasmalasan, ia pura-pura tidak ambil pusing dan ingin tahu permainan apa yang hendak dilakukan mereka.

Orang yang berdiri paling depan diantara barisan empat orang itu adalah laki-laki setengah umur dan berbadan gemuk, lebih dulu ia mengamat-amati Siau Hong, habis itu barulah berkata,

"Siausumoay, baik-baikkah kau?Mengapa kamu melukai Jisuko?"

"Hah, Jisuko terluka?" demikian A Ci pura-pura kaget, "Siapakah yang melukai dia? Parah tidak lukanya?"

"Huh, masih berlagak pilon? Jisuko bilang kamu yang menyuruh orang melukainya," demikian seru orang

yang berdiri paling belakang pada barisan itu, Orang itu bertubuh cebol, tempatnya paling belakang pula, maka badannya menjadi teraling-aling oleh tubuh ketiga orang yang berada didepannya.

Dengan sendirinya Siau Hong juga tak dapat melihat potongan tubuhnya, tapi dari suaranya yang cepat itu, terang seorang yang berwatak keras beranggasan, Malahan tongkat yang dipegang si cebol itu sangat panjang dan besar, suatu tanda tenaganya pasti sangat kuat, Mungkin karena tubuhnya pendek, maka dalam hal senjata ia sengaja hendak lebih menonjol daripada orang lain.

Begitulah maka A Ci telah menjawab, "Patsuko, apa yang kau katakan barusan?"

"Jisuko bilang kamu telah menyuruh orang lain untuk melukainya!" demikian teriak si cebol dengan gusar.

"Hah, Jisuko bilang kamu menyuruh orang untuk melukai dia?" demikian A Ci menirukan. "Ai, ai, mengapa kamu begitu kejam, kalau Suhu tahu, pasti kamu akan dihajar setengah mati, apa kamu tidak takut?"

Karuan si cebol berjingkrak gusar karena ucapannya diputar-balik oleh A Ci, ia ketuk-ketuk tongkat bajanya ketanah hingga mengeluarkan suara gemerantang keras, lalu teriaknya pula, "Kamu yang melukainya, bukan aku!"

"O, kamu yang melukainya, dan bukan aku! Bagus jika begitu, kau sendiri telah mengaku, Nah, Samsuko, Sisuko dan Jitsuko, kalian sendiri mendengar bukan, Patsuko bilang dia yang membinasakan Jisuko." demikian A Ci, "Ya, tahulah aku, tentu kau binasakan Jisuko dengan'Sam-im-gia-kang-jiau' (cakar kelabang beracun dingin) betul tidak?"

Sungguh gemas si cebol bukan butlan, kembali ia berteriak, "Siapa bilang Jisuko mati? Dia tidak mati, lukanya juga bukan terkena 'Sam-im-gia-kang-jiau'......"

"Hah, bukan "Sam-im-gia-kang-jiau'?" demikian A Ci memotong. "Nah, kalau begitu tentu 'Tau-jweciang'(pukulan penghisap sumsum), itulah kepandaianmu yang tiada bandingannya, sedikit Jisuko kurang hatihati, maka celakalah dia, Ai, engkau....engkau benar-benar sangat lihai!"

Jilid 40
Si cebol menjadi tidak sabar lagi, ia berteriak, "Samsuko, ayolah lekas turun tangan, tangkaplah budak cilik itu biar Suhu menghukumnya nanti, dia... dia entah mengoceh apa, sungguh kurang ajar!"

Tapi karena ia sendiri sedang gusar, suaranya gemeresek pula dan terlalu bernapsu, maka apa yang ia katakan menjadi kurang terang.

"Rupanya kita juga tidak perlu pakai kekerasan," demkian kata si gendut, "Biasanya Siausumoai sangat penurut, maka marilah ikut pulang saja, Siausumoai!"

"Baiklah, Samsuko, apa yang kau katakan memang selalu kuturut," sahut A Ci dengan tertawa.

Si gendut terbahak-bahak, katanya. "Itulah bagus, memang kamu ini sangat penurut, Marilah kita berangkat!"

"O, ya, silahkan!" sahut A Ci.

Kembali si cebol yang berada paling belakang itu berkaok-kaok, "He,silakan apa kau bilang! Kamu harus ikut pulang bersama kami, tahu?"

"Silakan kalian berangkat dulu, sebentar tentu akan kususul." kata A Ci.

"Tidak, tidak bisa!" seru si cebol. "Kamu harus ikut bersama kami!"

"Aku sih menurut saja, tapi sayang Cihuku itu tidak boleh," kata A Ci sambil menuding Siau Hong.

"Ini dia, sandiwaranya sudah mulai main," demikian Siau Hong membatin. Tapi ia masih tetap bersandar didinding batu sambil bersedekap seakan-akan tidak peduli apa yang terjadi didepannya itu.

Maka si cebol bertanya, "Siapakah Cihumu? Mengapa aku tidak melihatnya?"

"Tubuhmu terlalu jangkung, maka Cihuku tidak dapat melihatmu." sahut A Ci dengan tertawa.

Dasar watak si cebol itu memang sangat beranggasan, apalagi kalau ada orang mengolok-olok tentang tubuhnya yang cebol, tentu akan dilabraknya mati-matian, Maka mendadak terdengar suara "trang" sekali, tongkatnya mengetuk sekali ketanah dan badan lantas melayang kedepan melampaui ketiga orang Suhengnya, lalu turun didepan A Ci.

"Ayo, lekas ikut pulang bersama kami!" demikian ia membentak terus hendak mencengkeram pundak si A Ci.

Kini dapatlah Siau Hong melihat potongan si cebol itu, meski badannya pendek, tapi pinggangnya besar dan pundaknya lebar hingga sekilas dipandang jelas cukup tangkas orangnya, bahkan gerak-geriknya juga gesit.

A Ci ternyata tidak menghindar akan cengkeraman si cebol tadi, ia diam saja, Diluar dugaan tangan si cebol lantas berhenti, ketika hampir menyentuh pundak A ci, mendadak ia ragu dan tertegun, akhirnya ia tanya;

"Apakah sudah kau gunakan, ya?"

"Gunakan apa?" sahut A Ci.

"Sudah tentu Pek-giok-giok-ting....." baru si cebol mengucap istilah itu, mendadak ketiga kawannya membentak bersama, "Patsuko, apa yang kau katakan?"

Bentakan yang bengis dan berwibawa itu membuat si cebol bungkam, sikapnya menjadi jeri dan gugup.

Meski Siau Hong acuh tak acuh sejak tadi, tapi setiap gerak-gerik A Ci dan keempat Suhengnya itu selalu tak terhindar dari pengawasannya, Diam-diam ia membatin, "Benda apakah Pek-giok-giok-ting itu? Dari sikap keempat orang ini agaknya adalah semacam benda yang sangat penting, mereka bersembunyi disini untuk menyergap aku, kenapa mereka tidak lantas turun tangan, tapi malah bertengkar sendiri, jangan-jangan mereka khawatir tak mampu melawan aku, maka ingin menunggu bala bantuan lain lagi?"

Dalam pada itu dilihatnya si cebol sedang menjulurkan tangan dan berkata pula, "Mana, serahkan!"

"Apa yang kau inginkan?" tanya A Ci.

"Sudah tentu Pek...pek...ya, kau tahu sendiri." sahut si cebol dengan tergagap.

"Sudah kuberikan pada Cihuku," jawab A Ci tiba-tiba sambil menuding Siau Hong.

Diam-diam Siau Hong merasa jemu kepada mereka, ia pikir buat apa meladeni? Pelahan ia menegak, mendadak kaki mengentak, tahu-tahu badan mengapung keatas dan secepat terbang ia melayang lewat diatas kepala orang-orang itu.

Gerakan Siau Hong itu sangat aneh dan cepat, sama sekali keempat orang itu tidak melihat Siau Hong bergerak atau tahu-tahu mereka merasa angin menyambar lewat diatas kepala, lalu tertampak Siau Hong sudah jauh berada dibelakang mereka.

Segera keempat orang itu berteriak-teriak sambil memburu, Tapi ginkang Siau Hong sangat tinggi, Biarpun mereka memeras sepenuh tenaga tetap tak sanggup menyusul.

Maka hanya sekejap saja Siau Hong sudah berada belasan meter jauhnya, sekonyong-konyong didengarnya dari belakang ada angin menyambar, semacam senjata yang antep ditimpukkan kepunggungnya. Tanpa menoleh juga Siau Hong tahu itulah pasti tongkat baja, Maka sekali tangan kirinya membalik kebelakang, tepat tongkat itu kena ditangkapnya.

Dengan gusar keempat orang itu membentak-bentak pula dan kembali dua batang tongkat ditimpukkan lagi, Tapi dapat ditangkap pula oleh Siau Hong.

Setiap batang tongkat baja itu bobotnya masing-masing ada 50 kati, dengan memegang tiga batang tongkat itu berarti membawa barang seberat 150 kati, Tapi langkah Siau Hong sedikit pun tidak menjadi kendor, ia tetap lari dengan cepat.

Sekonyong-konyong Siau Hong mendengar angin keras menyambar lagi dari belakang, sekali ini lebih hebat dari pada ketiga tongkat yang duluan, ia menduga pasti si cebol yang menimpuknya.

Watak Siau Hong memang penggemar silat, tapi bukan seorang yang suka berkelahi, Selama beberapa bulan ini ia telah mengalami banyak kejadian yang kurang menyenangkan, tapi juga jarang bertempur dengan orang, memangnya hatinya sedang masgul, maka ia menjadi sebal juga dikejar oleh empat orang, pikirnya;

"Orang-orang ini tidak kenal gelagat, biar kuberi rasa sedikit kepada mereka."

Dalam pada itu didengarnya tongkat si cebol sudah dekat dibelakang kepalanya, cepat ia meraih kebelakang dan tongkat itu kena ditangkapnya sekalian.

Melihat senjata mereka dirampas oleh musuh, keempat orang itu menjadi gusar dan jeri pula, mereka tahu biarpun nanti dapat menyusul orang toh belum tentu mampu menempurnya, Tapi mereka masih penasaran, sambil berteriak-teriak dan membentak-bentak mereka masih terus mengejar sekencangnya.

Siau Hong membiarkan mereka mengejar terus, suatu saat, mendadak "srek", ia berhenti.

Sebaliknya keempat orang tadi sedang mengejar dengan mati-matian, saking napsunya ingin menyusul Siau Hong hingga mereka hampir-hampir menyeruduk orang yang diubernya itu, Untung mereka sempat mengerem, dan rupanya 'rem angin', dengan cepat dapatlah mereka berhenti juga, Coba kalau remnya blong, tentu mereka akan manabrak Siau Hong. Begitulah mereka jadi kaget dan gusar pula, dengan napas tersengal-sengal mereka melototi Siau Hong.

Sementara itu dari tenaga timpukan tongkat dan cara berlari mereka itu Siau Hong sudah dapat mengukur kepandaian keempat oran itu, selain tenaga si cebol memang luar biasa, bicara tentang ilmu silat terang mereka kalah jauh daripada si lelaki hidung singa yang dijumpai direstoran itu.

Maka dengan tersenyum kemudian Siau Hong bertanya, "Kalian menguber-uber diriku, sebenarnya ada keperluan apakah?"

"Sia... siapakah kau? Ilmu...ilmu silatmu sangat lihai, ya?" demikian si cebol berkata dengan megap-megap.

"Ah, tidak, hanya lumayan saja!" sahut Siau Hong dengan tertawa, Sembari berkata ia terus mengerahkan tenaga dalam pada tangannya, ia tahan sebatang tongkat baja yang dirampasnya itu kedalam tanah.

Tanah pegunungan itu sebenarnya sangat keras, lebih banyak campuran batu daripada pasirnya, tapi tongkat baja itu toh pelahan-lahan amblas kedalam hingga tinggal setengah meter yang tertampak dimuka tanah, waktu Siau Hong tambahi lagi sekali injak dengan kaki, seketika tongkat itu menghilang kedalam tanah.

Melihat betapa hebat tenaga sakti Siau Hong, saking kesima hingga keempat orang itu ternganga mulutnya dan

terbelalak matanya.

Begitulah satu persatu Siau Hong tancapkan tongkat baja rampasannya itu ketanah, Ketika tongkat keempat akan dimasukkan juga ketanah, mendadak si cebol melompat maju sambil membentak.

"Jangan merusak senjataku!"

"Baiklah, ini. kukembalikan!" sahut Siau Hong dengan tertawa.

Habis berkata, mendadak ia angkat tongkat milik si cebol dan mengincar kedinding batu, sekali timpuk sekuatnya, tahu-tahu tongkat itu menancap didinding karang, hingga tongkat yang panjangnya lebih dua meter itu hanya setengah meter saja yang kelihatan dari luar.

Karuan keempat orang itu sama menjerit kaget oleh tenaga sakti Siau Hong yang luar biasa itu, mereka menjadi jeri dan kagum pula.

Sementara itu A Ci juga telah menyusul tiba, serunya, "Cihu, wah, sungguh hebat sekali kepandaianmu itu, ayolah ajarkan padaku!"

"Apa katamu?" bentak si cebol dengan gusar, "Kamu adalah anak murid Sing-siok-pai, kenapa ingin belajar kepandaian orang luar?"

"Dia adalah Cihuku, mengapa kau katakan orang luar?" sahut A Ci dengan mencibir.

Karena buru-buru ingin mengambil kembali senjatanya, si cebol tak urus padanya lagi, sekali lompat, segera ia hendak menarik tongkatnya yang menancap di dinding karang itu.

Tak terduga bahwa sebelumnya Siau Hong sudah mengukur tinggi-rendah ginkangnya, maka tongkat yang ditimpukkan kedinding karang itu tingginya kira-kira tiga meter dari permukaan tanah, lompatan si cebol menjadi kurang tinggi dan tak dapat mencapai tongkatnya.

Maka A Ci sengaja mentertawakan sambil bertepuk tangan. "Bagus, Patsuko, bila engkau dapat mencabut keluar senjatamu itu, segera aku akan ikut pulang untuk menemui Suhu, kalau tidak, lebih baik kau pulang sendiri saja."

Padahal loncatan si cebol tadi sudah memakai seluruh tenaganya, dalam hal ginkang dia memang terbatas untuk melompat lebih tinggi lagi sesungguhnya tidak gampang baginya, Tapi demi mendengar olok-olok A Ci itu, ia menjadi penasaran, kembali ia melompat sekuat-kuatnya, dan sekali ini hanya jari tengahnya yang menyentuh tongkat baja itu.

"Hanya menyentuh saja tidak dapat dianggap, tapi harus mampu mencabutnya keluar," seru A Ci dengan tertawa.

Dalam murkanya mendadak kepandaian si cebol menjadi bertambah hebat daripada biasanya, Mendadak ia meloncat pula untuk ketiga kalinya, dan sekali ini dapatlah ia mencapai tongkat, segera ia pegang erat-erat tongkat itu sambil digoyang-goyangkan.

Namun panjang tongkat itu lebih dua meter, yang amblas didalam dinding ada satu setengah meter lebih, jika cuma digoyang-goyangkan begitu biarpun tiga hari tiga malam juga takkan dapat mencabutnya keluar, sebaliknya kelakuan si cebol itu menjadi sangat lucu kelihatannya, ia kontal-kantil tergantung diudara dan tak bisa berbuat apa-apa.

"Maaf, aku tak bisa tinggal lebih lama lagi." kata Siau Hong kemudian, segera ia hendak tinggal pergi.

Sungguh si cebol menjadi serba susah, Ia cukup tahu kepandaian sendiri, sekali loncat ia beruntung dapat mencapai tongkat itu, kalau disuruh mengulangi lagi loncatannya pasti tak mampu mencapai setinggi itu, Sedangkan tongkat itu sedemikian kukuhnya menancap dalam dinding, untuk mencabut keluar terang tidak mampu, padahal tongkat itu merupakan senjata andalannya, kalau mesti membuat tongkat yang baru juga susah mendapat barang yang serupa.

Maka ia menjadi sibuk ketika melihat Siau Hong hendak melangkah pergi, segera ia berteriak-teriak, "Hai, nanti dulu, jika mau pergi, tinggalkan dulu Pek-giok-giok-ting itu, kalau tidak, tentu celakalah kamu!"

"Pek-giok-giok-ting apa? Macam apakah benda itu?" sahut Siau Hong.

Segera ketiga orang Sing-siok-hai yang lain memburu maju, kata mereka, "Ilmu silat anda sangat tinggi, kami merasa kagum tak terhingga, Adapun 'ting' yang kecil itu sangat berarti bagi golongan kami, sebaliknya tiada berguna bagi orang luar, maka mohon sudilah tuan mengembalikan kepada kami, untuk mana tentu kami akan memberi balas jasa sepantasnya."

Melihat berulang-ulang mereka menanyakan Pek-giok-giok-ting (tripod kecil buatan kemala hijau) secara sungguh-sungguh, dan agaknya mereka bukan sengaja bersembunyi disitu untuk menyergapnya seperti dugaannya semula, maka Siau Hong lantas menjawab;

"Coba unjukkan Giok-ting itu, A Ci, ingin kulihat benda macam apakah itu?"

"Ai, bukankah sudah kuberikan padamu, kenapa engkau malah tanya padaku?" tiba-tiba A Ci menyangkal, "Ya, sudahlah, apakah engkau mau menyerahkan kepada mereka atau tidak, masa bodoh, aku tidak mau ikut campur, Tetapi Cihu, kukira lebih baik engkau simpan saja barang itu."

Mendengar itu, segera Siau Hong dapat menduga Pek-giok-giok-ting yang dimaksudkan itu pasti semacam benda pusaka perguruannya yang telah dicurinya, tapi anak dara itu sengaja mengatakan telah diserahkan padanya, dengan demikian ia ingin membebaskan dirinya dari resiko.

Maka Siau Hong juga tidak mau menyangkal dengan tertawa iapun berkata, "Hahaha, barang yang pernah kau serahkan padaku sangat banyak darimana kutahu yang manakah yang disebut 'Pek-giok-giok-ting' itu?"

Mendengar demikian, cepat si cebol yang masih terkatung-katung di udara itu menyela, "Yaitu sebuah Giokting yang panjangnya kurang lebih lima dim, warnanya hijau mulus."

"Ehm, barang demikian agaknya aku pun pernah melihatnya, Ya, memang sebuah mainan yang kecil mungil, tapi apa sih gunanya?" sahut Siau Hong.

"Jangan sembarangan omong kalau memang tidak tahu, masakah benda itu kau anggap mainan saja?" demikian kata si cebol. "Giok-ting itu....."

"Tutup mulutmu, Sute!" bentak si gendut tadi sebelum si cebol melanjutkan ucapannya, Lalu ia berpaling kepada Siau hong dan berkata. "Ya, memang Giok-ting itu hanya semacam mainan yang tiada berarti, tapi barang itu adalah warisan leluhur, Suhu kami memperolehnya dari....dari ayahnya, maka tidak boleh dihilangkan, Tolonglah suka dikembalikan pada kami."

"Wah, cialat, tempo hari entah kutaruh dimana benda itu, apakah masih dapat ditemukan atau tidak, entahlah, aku tak berani menjamin." sahut Siau Hong. "Tapi kalau betul-betul semacam benda penting, biarlah segera kukembali ke Sinyang untuk mencarinya, Cuma sayang jaraknya agak jauh, kalau mesti kembali lagi kesana agak berabe juga."

"Sudah tentu barang penting, marilah lekas kita...kita kembali kesana untuk mencarinya," segera si cebol menyela lagi.

Habis berkata, terus saja ia melompat turun, agaknya ia tidak menginginkan senjatanya lagi, suatu tanda betapa pentingnya Pek-giok-giok-ting yang dicarinya itu.

Namun Siau Hong sengaja ketuk-ketuk jidatnya sendiri sambil berkata, "Ai, selama beberapa hari ini aku kurang minum arak hingga daya ingatanku agak terganggu, adapun Giok-ting yang mungil itu entah....entah tertinggal di Sinyang atau di....di Tayli, Ah, bisa jadi ketinggalan di Cinyang....."

Dasar watak si cebol memang tidak sabaran, segera ia berkaok-kaok lagi. "He, he! Sebenarnya ketinggalan di Sinyang atau di Tayli, atau di Cinyang, jarak letak tempat itu sangat jauh, jangan kau main gila, ya?"

Tapi si gendut bukan orang dungu, ia dapat melihat bahwa Siau hong sengaja hendak mempermainkan mereka, segera ia berkata, "Hendaklah tuan jangan menggoda kami lagi, asal Giok-ting itu dapat kembali dalam keadaan baik-baik pasti kami akan memberi balas jasa yang setimpal, tidak nanti kami ingkar janji."

"Aduh celaka, sekarang ingatlah aku." demikian mendadak Siau Hong berseru.

"Kenapa?" berbareng keempat orang itu bertanya dengan khawatir.

"Ya, ingatlah aku sekarang Giok-ting itu ketinggalan dirumah Be-hujin, dan baru saja kubakar rumah nyonya itu hingga ludes, tentu Giok-ting itupun ikut terbakar, entah benda itu bisa rusak atau tidak?"

"Sudah tentu akan rusak!" seru si cebol. "Wah, celaka....Samsuko, Sisuko, Jitsuko, bagaimana baiknya ini? Ah, sudahlah, aku tak mau ikut campur lagi, kalau nanti didamprat Suhu, masa bodoh, Nah, Siausumoai, boleh kau bicara sendiri saja kepada Suhu, aku tidak mau tahu."

"Tapi aku... aku ingat seperti tidak tertaruh dirumah Be-hujin." ujar A Ci dengan tertawa,

"Sudahlah, para Suko, aku tak bisa tinggal lebih lama disini, boleh kalian urukan dengan Cihuku saja."

Habis berkata, sekali menyelinap, segera ia menyerobot kedepan Siau Hong sana. Cepat Siau Hong membalik tubuh dan pentang kedua tangan untuk merintangai keempat orang yang akan mengejar, katanya, "Jika kalian

mau menerangkan asal-usul dan kegunaan Pek-giok-giok-ting itu, boleh jadi aku akan membantu kalian untuk menemukannya kembali, Kalau tidak, ya maaf, aku pun tak bisatinggal lebih lama disini."

"Samsuko," kata si cebol, "Tiada jalan lain, terpaksa terangkan padanya."

"Baiklah," sahut si gendut, "biarlah kuterangkan pada tuan...."

Tapi belum lagi orang melanjutkan ceritanya, mendadak Siau Hong melompat maju kedepan si cebol, ia sanggah bahu orang dan berkata. "Marilah kita naik keatas sana, aku hanya ingin mendengar penuturanmu dan tak mau mendengar ceritanya."

Siau Hong tahu si gendut lahirnya kelihatan jujur, tapi sebenarnya sangat licin, tidak nanti ia mau bicara sesungguhnya, Sebaliknya si cebol meski beranggasan, tapi apa yang dikatakan suka terus terang, maka sekali ia angkat tubuh si cebol mendadak ia lari keatas dinding karang.

Meski dinding karang itu sangat tinggi dan curam, boleh dikata melihat, betapapun orang sukar akan mendakinya, namun Siau Hong terus naik begitu saja dan sekaligus dapat mencapai belasan meter tingginya, ketika dilihatnya ada sepotong batu karang yang menonjol, segera ia taruh si cebol diatas batu karang itu, ia sendiri sebelah kaki menginjak batu itu dan kaki lain menggelantung di udara, lalu katanya;

"Nah, boleh kau katakan padaku disini dan takkan didengar oleh siapa pun juga!"

Waktu si cebol melongok kebawah, seketika ia merasa pusing, cepat serunya, "Ba..bawa aku turun!"

"Silakan melompat turun sendiri," sahut Siau Hong tertawa.

"Busyet, apa minta hancur lebur badanku?" kata si cebol dengan ngeri.

Melihat sifat si cebol masih tetap tulus dan jujur meski menghadapi bahaya, mau tak mau timbul juga rasa suka Siau Hong, segera tanyanya,

"Siapa namamu?"

"Cut-tim-cu!" sahut si cebol.

"Indah juga namamu, cuma sayang tidak sesuai dengan potonganmu yang istimewa ini," demikian Siau Hong membatin dengan tersenyum, Lalu ia berkata pula, "Ya, sudahlah, selamat tinggal, sampai berjumpa pula!"

Karuan si cebol alias Cut-tim-cu menjadi kelabakan, cepat ia menggembor, "He, he! jangan, jangan! Wah, mati aku!"

Sambil menjerit-jerit, ia pegang erat-erat batu karang itu, tapi batu itu gundul dan licin, dalam keadaan terapung di udara, bukan mustahil setiap saat ia bisa tergelincir kebawah, Dengan sendirinya ia sangat ketakutan, ketiga kawannya yang berada dibawah juga menjerit khawatir.

"Nah, lekas katakan, apa gunanya Pek-giok-giok-ting itu?" tanya Siau Hong pula. "Jika tidak kau katakan, segera aku turun kebawah."

"Apa harus....harus kukatakan?" sahut Cut-tim-cu dengan khawatir.

"Tidak katakan juga boleh, nah, selamat tinggal!" kata Siau Hong.

Dengan cepat si cebol memegang lengan baju Siau Hong sambil berseru, "Baik, akan kukatakan, akan kukatakan, Pek-giok-giok-ting itu adalah satu diantara Sam po (tiga pusaka) perguruan kami, gunanya untuk melatih 'Hoa-kang-tai-hoat', Menurut Suhu kami, katanya orang-orang persilatan Tionggoan asal mendengar 'Hoa-kang-tai-hoat' kami tentu ketakutan setengah mati, maka kalau Giok-ting itu diketemukan mereka tentu akan dihancurkannya, Giok-ting itu adalah semacam benda mestika yang sukar dicari, tak boleh hilang......"

Sudah lama Siau Hong juga kenal 'Hoa-kang-tai-hoat' dari Sing-siok-pai yang keji dan lihai itu, demi mengetahui bahwa kegunaan Pek-giok-giok-ting itu, maka iapun malas untuk tanya lebih jauh, Segera ia sanggah pula ketiak si cebol dan dibawanya merosot kebawah.

Cara merosot kebawah melalui dinding karang itu sudah tentu jauh lebih cepat daripada mendaki keatas, karuan Cut-tim-cu menjerit-jerit ketakutan, dan belum lagi berhenti teriakannya, tahu-tahu kakinya sudah menginjak tanah, saking ketakutan hingga mukanya tampak pucat dan dengkul pun gemetar, untung tidak sampai terkulai lemas.

"Patsute, apa yang telah kau katakan?" segera si gendut menegur.

Belum lagi si cebol menjawab, mendadak Siau Hong berkata kepada A Ci, "Mana, serahkan!"

"Serahkan apa?" sahut A Ci.

"Pek-giok-giok-ting!" kata Siau Hong.

"Eh, aneh, bukankah tadi kau bilang tertinggal dirumah Be-hujin, mengapa sekarang malah minta padaku?" sahut A Ci.

Siau Hong coba mengamat-amati anak dara itu, ia lihat perawakannya langsing, pakaiannya juga tipis, terang akan kelihatan jika pada badannya terdapat Giok-ting yang besarnya lima dim itu, pikirnya,

"Bocah ini sangat licin, urusan perguruannya sebenarnya aku tidak perlu urus, tapi orang dari golongan Sia-pai seperti mereka ini pun susah dilayani, sekali kena perkara dengan mereka tentu akan terganggu tiada habishabis, walaupun aku tidak takut, tapi rasanya menjemukan dan lebih baik tidak."

Maka katanya segera, "Terus terang kukatakan bahwa barang itu tiada gunanya bagiku, tidak nanti aku mengambil milik kalian, Terserah kalian mau percaya atau tidak, Maaf, aku tak dapat tinggal lagi disini."

Habis berkata, tentu saja ia melangkah pergi dengan cepat hingga dalam sekejap saja kelima orang itu sudah jauh ketinggalan.

Sekaligus Siau Hong telah mencapai sejauh lebih lima puluh li jauhnya, kemudian barulah ia mencari rumah makan untuk tangsal perut dan minum arak, Malam itu ia menginap dikota Ciu-ong-tiam, Sampai tengah malam, tiba-tiba ia terjaga bangun oleh beberapa kali suara suitan tajam melengking.

Sebagai seorang tokoh kelas wahid, meski suara suitan itu berjarak sangat jauh, tapi dengan lwekangnya yang tinggi dapat didengarnya dengan jelas, ia merasa suara itu agak aneh, Ia coba mendengarkan lagi dengan lebih cermat, selang tak lama, terdengarlah diarah barat-laut sana ada suara suitan lagi, menyusul dari arah tenggara juga ada sahutan suitan beberapa kali, suitan yang tajam mengerikan itu terang suara seruling yang ditiup oleh anak murid Sing-siok-pai.

Diam-diam Siau Hong tersenyum sendiri, ia pikir buat apa ikut campur urusan mereka, Segera ia rebah dan

tidur lagi.

Tapi mendadak terdengar suara seruling mendenging dua kali, jaraknya sangat dekat, terang dibunyikan didalam rumah penginapan itu, Menyusul terdengar pula ada suara orang berkata;

"Lekas bangun, Toasuko sudah datang, besar kemungkinan Siausumoai sudah ditangkapnya."

"Kalau tertangkap, sekali ini kau kira dia akan diberi ampun atau tidak?" tanya seorang lain.

"Siapa tahu?" sahut orang pertama. "Ayolah, lekas berangkat!"

Meski percakapan kedua orang itu sangat lirih, tapi dapat didengar Siau Hong dengan jelas, lalu ia dengar suara daun jendela dibuka dan suara lompatan orang, Pikirnya, "Kembali dua orang murid Sing-siok-pai lagi, sungguh tidak nyana didalam hotel kecil ini juga tersembunyi orang mereka, Ya, mungkin mereka datang lebih dulu dari padaku, sebab itulah aku tidak melihat mereka."

Sebenarnya ia tidak ingin mencampuri urusan orang lain, tapi teringat pada percakapan kedua orang itu tentang kemungkinan A Ci akan diampuni atau tidak, mau tak mau ia harus berpikir dua kali, "A Cu telah meninggalkan pesan agar aku menjaga adik perempuannya, Meski nona cilik itu sangat nakal dan keji pula, tapi tidak boleh kubiarkan dia dibunuh orang, jika terjadi apa-apa atas diri nona cilik itu, cara bagaimana aku harus bertanggung jawab kepada A Cu?"

Segera ia pun melompat keluar dari kamarnya, Ia dengar suara melengking seruling tadi masih sahut menyahut disana-sini, semuanya menuju kearah barat-laut, Segera ia pun berlari kesana mengikuti arah suara itu.

Tidak lama kemudian, dapatlah ia menyusul kedua orang yang keluara dari hotel tadi, Ia lihat dandanan kedua orang itu serupa dengan orang-orang yang dilihatnya siang tadi, Hanya langkah mereka agak loyo, mungkin usia mereka agak lanjut daripada anak murid Sing-siok-pai yang lain.

Dari jarak tertentu Siau Hong terus menguntit dibelakang kedua orang itu, Setelah melintasi dua lereng bukit, tiba-tiba tertampak ditengah lembah didepan sana ada segunduk api unggun yang menganga tinggi, warna api unggun itu ke-hijau2an, sangat berbeda dengan api umumnya, Tampaknya menjadi seram sekali. Sesudah dekat, segera kedua orang tadi menyembah kearah api unggun itu.

Siau Hong sembunyi dibelakang sebuah batu karang, Waktu ia mengintip, ia lihat disekitar api unggun itu sudah berkumpul belasan orang, pakaian mereka seragam, yaitu kain belacu kuning, perawakan mereka tidak

sama, ada yang tinggi ada yang pendek, ada yang gemuk dan ada yang kurus,

Dibawah sinar api unggun yang hijau itu, wajah mereka kelihatan kepucat-pucatan dan sedih bagai orang kematian istri.

Disebelah kiri api unggun itu berdiri seorang yang pakaiannya warna ungu mulus, siapa lagi dia kalau bukan A Ci alias si Ungu.

Kedua tangan anak dara itu diborgol, dimuka A Ci yang putih bersih itupun sangat aneh kelihatannya demi tersorot oleh sinar api yang hijau itu, Tapi gadis itu tampak mengulum senyum, tetap sangat bandel sikapnya.

Orang-orang yang mengelilingi api unggun itu semuanya bungkam, pandangan mereka terpusat kearah api unggun sambil telapak tangan kiri menahan dada dan mulut mereka berkomat-kamit.

Siau Hong tahu itu adalah upacara ritual dari golongan Sia-pai, maka ia pun tidak ambil pusing,

Tadi ia dengar kedua anak murid Sing-siok-pai membicarakan Toasuku mereka, maka dapat diduga

Toasuko yang dimaksudkan itu tentu pemimpin mereka yang berkumpul disitu.

Ia coba memperhatikan orang-orang itu, ia lihat ada yang tua dan ada yang muda, dandanan mereka seragam, sikap mereka pun tiada satu pun yang menandakan seorang pemimpin.

Tengah Siau Hong heran, tiba-tiba terdengar suara seruling pula, segera semua orang berpaling kearah timurlaut sana, mereka sama membungkuk dengan hormat, A Ci hanya mencibir dan sama sekali tidak berpaling.

Ketika Siau Hong memandang kearah suara tadi, ia lihat seorang berpakaian putih sedang melayang tiba, cepatnya luar biasa, menyusul orang itu menggunakan sebatang seruling putih terus meniup kearah api unggun, kontan api unggun itu padam hingga keadaan gelap gulita, Tapi hanya sebentar saja api unggun menyala lagi, bahkan mendadak menganga dan menjulang tinggi keudara, lalu menurun lagi pelahan.

Maka bersoraklah semua orang itu, "Sungguh kungfu Toasuheng maha sakti, kami benar-benar kagum sekali!"

Waktu Siau Hong memperhatikan Toasuheng mereka itu, mau tak mau ia rada terkesiap, Menurut dugaannya, sebagai 'Toasuheng'(Kakak seperguruan pertama) tentunya orang itu sudah lanjut usianya, Siapa tahu orang yang berdiri disebelah api unggun ini justru seorang pemuda berusia antara 22-23 tahun, Pemuda itu berperawakan jangkung, berpakaian putih mulus, air mukanya kuning kepucat-pucatan, tapi wajahnya cukup tampan, Alisnya tebal menjengkat hinggga menambah angker wibawanya, Tangan kirinya membawa seruling sepanjang satu meter lebih.

Tadi Siau Hong sudah menyaksikan kepandaiannya meniup seruling untuk memadamkan api serta ginkangnya yang hebat, ia tahu tenaga dalam orang ini memang lihai, tapi caranya memadamkan api lalu menyala lagi, Itu bukan disebabkan lwekangnya, tapi didalam seruling mungkin terdapat sesuatu obat bakar yang aneh.

Pikirnya, "Meski muda usia orang ini, tapi jelas seorang lawan tangguh, pastas Sing-siok-pai sangat ditakuti orang, nyatanya memang ada jago yang disegani, anak muridnya saja selihai ini, maka iblis tua itu sendiri tentu jauh lebih hebat, Dengan datangnya orang ini, untuk menolong A Ci menjadi tidak gampang lagi."

Begitulah ia agak menyesal tadi tidak turun tangan menolong A Ci, kini jumlah musuh bertambah banyak, bahkan ada jago yang tangguh, biarpun tidak takut, tapi susah diramalkan apakah sebentar A Ci dapat diselamatkan atau tidak?

Maka terdengar si pemuda baju putih itu berkata kepada A Ci, "Siausumoai, sungguh besar sekali kehormatanmu hingga memerlukan pengerahan tenaga sebanyak ini untuk mencari dirimu." Suaranya nyaring dan ramah hingga sangat enak didengar.

Dan dengan tertawa A Ci menjawab, "Ya, sampai Toasuko sendiri juga keluar, sudah tentu kehormatan Sumoaimu ini harus dibanggakan, Tapi bila hal ini ditujukan kepada jago andalanku, terang masih jauh daripada cukup."

"He, jadi Sumoai masih mempunyai jago andalan? Siapakah dia?" tanya pemuda itu.

"Jago kepercayaanku sudah tentu adalah ayah bundaku, pamanku, Ciciku dan lain-lain lagi," kata A Ci.

"Hm, Sumoai sejak kecil dipelihara ayahku, selama ini kamu sebatang kara, dari mana mendadak bisa muncul sanak famili sebanyak itu?" jengek pemuda itu.

"Ai, masakah manusia tidak berayah-ibu, lalu dari mana munculnya, apakah lahir dari dalam batu?" demikian sahut A Ci. "Soalnya nama ayah-ibuku adalah suatu rahasia besar dan tidak boleh sembarang diketahui orang."

"Jika begitu, dapatkah kau beritahu siapakah ayah-ibumu?" tanya si pemuda.

"Kalau kukatakan tentu engkau akan berjingkat kaget." ujar A Ci. "Untuk memberitahu padamu, hendaklah kau lepaskan dulu belenggu ditanganku ini."

Tapi pemuda baju putih itu tak mau tertipu, katanya, "Tidak sukar untuk membuka belenggumu, tapi kamu harus menyerahkan dulu Pek-giok-giok-ting itu."

"Giok-ting itu berada ditangan Cihuku," sahut A Ci. "Salah Samsuko, Sisuko, Jitsuko dan Patsuko, mereka tidak mau minta pada Cihuku, apa yang aku bisa berbuat?"

Segera pemuda baju putih itu memandang keempat orang yang menghadang Siau Hong siang tadi, walaupun sorot matanya sangat ramah, tapi keempat orang itu kelihatan sangat takut.

"Toa... Toasuko," kata Cut-tim-cu dengan tergagap-gagap, "Itu tak bisa menyalahkan aku, sebab kepandaian.... kepandaian Cihunya sangat tinggi, kami tak dapat menyusulnya."

"Samsute, coba kamu yang bicara," kata pemuda baju putih.

"Ya, ya!" sahut si gendut. Lalu ia pun menceritakan tentang pertemuannya dengan Siau Hong, cara bagaimana tongkat mereka dirampas serta kejadian Cut-tim-cu digondol keatas dinding karang untuk ditanyai keterangan, semuanya ia ceritakan dengan jelas, sedikitpun tidak bohong.

Biasanya si gendut pandai bicara, tapi dihadapan pemuda baju putih itu ia kelihatan sangat ketakutan, bicaranya menjadi agak gemetar.

Selesai mendengarkan penuturan itu, si pemuda baju putih manggut-manggut, katanya kepada Cut-tim-cu,"Dan apa yang telah kau katakan padanya?"

"Aku... aku...." sahut Cut-tim-cu dengan terputus-putus.

"Aku apa? Katakan terus terang padaku, apa yang telah kau katakan padanya?" bentak pemuda itu.

"Aku... aku bilang Pek... Pek-giok-giok-ting itu adalah....adalah satu diantara ketiga pusaka perguruan kita yang berguna untuk melatih.... melatih Tai-hoat....kukatakan pula bahwa menurut Suhu, setiap orang persilatan Tionggoan tentu ketakutan bila mendengar Hoa.... Hoa-kang-tai-hoat kita, maka kalau Giok-ting itu diketemukan mereka pasti akan dihancurkannya, Kukatakan itu adalah....adalah semacam benda mestika yang tidak boleh dihilangkan, maka... maka kuminta dia harus mengembalikannya pada kita," demikian tutur si cebol alias Cut-tim-cu.

"Bagus, dan apa dia katakan?" tanya pula si pemuda.

"Dia... dia tidak mengatakan apa-apa, lalu aku di... diturunkannya," sahut si cebol.

"Ehm, kamu sangat pintar, kau katakan kegunaan Giok-ting kita itu untuk melatih Hoa-kang-tai-hoat dan kau khawatir dia tidak tahu apakah Hoa-kang-tai-hoat itu, maka sengaja kau tegaskan ilmu itu sangat ditakuti oleh jago silat Tionggoan, Ehm, bagus, sungguh bagus! Apakah dia itu orang persilatan dari Tionggoan?"

"En....entahlah, aku... aku tidak tahu," sebut Cut-tim-cu.

"Tidak tahu? Benar-benar tidak tahu?" bentak si pemuda baju putih.

Biarpun suaranya tetap ramah, tetapi orang kasar seperti Cut-tim-cu itu ternyata ketakutan setengah mati hingga giginya berkerutukan, sahutnya dengan tidak jelas, "Aku...aku...kruk.. kruk...tak tahu kruk-krukkruk...tak tahu...."

Kiranya suara 'Kruk-kruk-kruk' itu adalah suara gigi yang gemertuk saking ketakutan.

"Jika begitu, kemudian ia ketakutan setengah mati atau tidak takut?" tanya pula si pemuda baju putih.

"Agaknya dia...dia..kruk-kruk...tidak begitu takut," sahut Cut-tim-cu sambil menggigil pula.

"Menurut pendapatmu, mengapa dia tidak takut?" tanya si pemuda.

"En...entah, aku...aku tidak tahu...mohon Toasuko men...menjelaskan." kata Cut-tim-cu.

"Orang persilatan paling jeri kepada Hoa-kang-tai-hoat kita, dan untuk meyakinkan ilmu itu tidak boleh tidak harus mempunyai Pek-giok-giok-ting itu," kata si pemuda,

"Dan sekali Giok-ting itu jatuh ditangannya, terang Hoa-kang-tai-hoat tak bisa kita latih pula dan sebab itulah dia tidak takut lagi terhadap kita."

"Ya, ya, pendapat Toasuko memang tepat dan pandai menaksir pihak musuh," demikian Cut-tim-cu memuji.

Waktu Siau Hong bertemu dengan anak murid Sing-siok-pai siang tadi, Ia merasa diantara orang-orang itu hanya si cebol inilah yang agak jujur dan polos, maka mempunyai kesan agak baik padanya, ia bermaksud akan menolongnya ketika melihat si cebol itu sangat takut pada Suhengnya,

Tak terduga akhirnya Cut-tim-cu itu juga tidak tahan uji, makin omong makin merendah dan mengumpak serta memuji sebisa-bisanya kepada Suhengnya itu.

Maka seketika berubah pikiran Siau Hong, "Huh, manusia pengecut seperti ini buat apa dibela, biar mati atau hidup masa bodohlah."

Kemudian si pemuda baju putih menoleh kepada A Ci dan berkata, "Siausumoai, siapakah sebenarnya Cihumu itu?"

"Tentang dia? Wah, kalau kukatakan tentu engkau akan berjingkat kaget," sahut A Ci.

"Tak apa, katakanlah, asal dia memang seorang tokoh ksatria ternama, tentu aku Ti-sing-cu akan menaruh perhatian penuh padanya," ujar pemuda itu.

Mendengar orang menyebut namanya sendiri, diam-diam Siau Hong membatin, "O, namanya Ti-sing-cu (si pemetik bintang)! Hebat benar namanya! Kalau melihat ginkangnya tadi memang sangat hebat, tapi juga belum tentu mampu menandingi Pah Thian-sik dari Tayli dan In Tiong-ho dari Su-ok, hanya saja tampaknya dia memiliki kepandaian istimewa yang lain,"

Maka A Ci telah menjawab, "Tentang Cihuku itu?" Toasuko, setahumu, siapakah tokoh utama dalam dunia persilatan Tionggoan?"

"Setiap orang suka berkata 'Pak Kiau Hong, Lam Buyung', apakah barangkali kedua orang itu adalah Cihumu?"

Sungguh gusar Siau Hong tak kepalang oleh ucapan itu, A Ci hanya mempunyai seorang kakak perempuan, dari mana bisa mempunyai dua orang Cihu? Diam-diam ia menggurutu, "Kamu boleh kurang ajar ini berani sembarang omong, tunggulah rasakan kelihaianku nanti."

Dalam pada itu A Ci telah tertawa, katanya, "Toasuko, caramu bicara sungguh lucu, aku hanya mempunyai seorang Cici, dari mana bisa punya dua orang Cihu?"

"Aku tidak tahu bahwa kamu hanya mempunyai seorang cici," sahut Ti-sing-cu. "Tapi, ah, andaikan cuma seorang Cici, tidak mengherankan juga kalau mempunyai dua orang Cihu,"

"Awas Toasuko, kelak kalau ketemu Cihuku tentu akan kuadukan ucapanmu ini padanya," kata A Ci.

"Nah, Toasuko, jika kau ingin tahu siapa Cihuku, biarlah kukatakan padamu, tapi berdirilah yang kuat, janganjangan kamu akan roboh kejengar sesudah mendengar namanya, Cihuku tak lain tak bukan adalah Pangcu dari Kai-pang, yaitu Pak Kiau Hong yang namanya mengguncangkan dunia persilatan."

Mendengar keterangan A Ci ini, seketika menjerit kaget anak murid Sing-siok-pai yang pernah melhat Siau Hong itu, Bahkan si lelaki hidung singa lantas berseru, "Pantas, pantas! Jika betul dia, maka aku pun rela terjungkal ditangannya."

"Jika betul Pek-giok-giok-ting kita itu jatuh ditangan orang Kai-pang, wah, urusan menjadi agak repot juga," ujar Ti-sing-cu dengan berkerut kening.

Meski si cebol alias Cut-tim-cu sangat takut kepada sang Suheng tapi sifatnya yang suka ngoceh sukar berubah, segera ia menimbrung, "Toasuko, tentang Kiau Hong itu sekarang dia bukan lagi Pangcu Kai-pang, Engkau baru datang dari barat, mungkin belum mendengar peristiwa yang menggemparkan dunia persilatan Tionggoan baru-baru ini, yaitu Kiau Hong telah dipecat oleh kawanan pengemis Kai-pang!"

"O, ya? Kiau Hong telah dipecat dari Kai-pang? Apa betul kejadian ini?" kata Ti-sing-cu dengan menghela napas lega, pelahan wajahnya yang merengut tadi agak tenang kembali.

Segera Samsutenya yang gendut itu menjawabnya, "Ya, orang-orang kangouw sama mengatakan begitu, katanya dia bukan bangsa Han, tapi orang Cidan, kini ia telah dimusuhi tokh-tokoh persilatan Tionggoan, semua orang bertekad akan membunuhnya, Konon orang Cidan itu telah membunuh ayah bundanya sendiri, membunuh Suhu dan membinasakan kawan pula, kejam dan rendah perbuatannya, segala kejahatan tidak segan-segan dilakukannya."

"Siausumoai," kata Ti-sing-cu kepada A Ci, "Mengapa Cicimu bisa menikah dengan manusia seperti itu? Apakah barangkali kaum lelaki didunia ini sudah mati semua dan karena khawatir tidak laku, maka cepat-cepat menikah padanya? Atau disebabkan Cicimu diperkosa lebih dulu dan terpaksa menjadi istrinya?"

"Cara bagaimana Ciciku menjadi istrinya, aku tidak tahu," sahut A Ci dengan tertawa. "Yang terang Ciciku telah dipukul mati oleh Cihuku sendiri."

Semua orang bersuara kaget oleh pernyataan A Ci itu, Sekalipun orang-orang itu adalah golongan Sia-pai yang biasa berbuat jahat, tapi demi mendengar bahwa Siau Hong membunuh orang tua sendiri, membinasakan guru dan menewaskan kawan, akhirnya membunuh istri sendiri pula, mau tak mau mereka sama tersentak kaget oleh kekejaman itu.

"Jumlah orang Kai-pang terlalu banyak, untuk melawan mereka sebenarnya agak sulit, jika sekarang Kiau Hong sudah dipecat oleh Kai-pang, dengan sendirinya kita tidak jeri lagi padanya, Hehe!" kata Ti-sing-cu dengan tertawa dingin. "Hah, katanya 'Pak Kiau Hong dan Lam Buyung' apa segala, Itukan cuma pujian yang diberikan diantara orang persilatan Tionggoan sendiri, aku justru tidak percaya kedua orang itu mampu menandingi ilmu mujizat Sing-siok-pai kita."

"Benar, benar!" sambut si gendut. "Memangnya para sute juga berpikir begitu, Ilmu silat Toasuko sendiri sudah luar biasa, sekali ini mengunjungi Tionggoan kebetulan dapat membunuh Pak Kiau Hong dan Lam Buyung, biar mereka kenal betapa lihainya Sing-siok-pai kita."

"Dan dimanakah Kiau Hong itu? Kemana kita harus mencarinya?" tanya Ti-sing-cu.

"Dia menyatakan akan pergi ke Gan-bun-koan." tutur A Ci. "Marilah kita menyusulnya kesana, betapa pun kita harus mendapatkan dia."

"Baiklah," kata Ti-sing-cu. "Jisute dan Samsute, kalian berlima telah melewatkan kesempatan baik tatkala ketemu musuh, hukuman apa yang harus kalian terima?"

"Kami bersedia menerima hukuman Toasuko." demikian sahut kelima orang itu dengan hormat.

"Kedatangan kita ke Tionggoan ini perlu banyak menyelesaiakn urusan kita, kalau dihukum terlalu berat, tentu akan melemahkan kekuatan kita sendiri, baik begini sajalah...." baru berkata sampai disini, mendadak lengan kirinya mengebas dan berbareng lima titik api ke-biru2an bagaikan lima ekor kunang-kunang menyambar kearah kelima sutenya itu. Bunga api itu masing-masing hinggap diatas pundak kelima orang itu, lalu mengeluarkan suara mencicit dan bau sangit.

Pikir Siau Hong. "Wah, bukankah ini membakar manusia mentah-mentah?"

Ia lihat bunga api itu tidak lama kemudian lantas padam, tapi air muka kelima orang itu makin lama makin menderita kelihatannya, Pikir Siau Hong, "Apa yang dilemparkan pemuda baju putih itu tentu obat bakar sebangsa belerang yang berbisa pula, sebab itulah sehabis apinya sirap, racun lantas meresap kedalam daging hingga orang tambah kesakitan,"

Dalam pada itu Ti-sing-cu sedang berkata, "Ini hanya 'Lam-sim-tan' (peluru melatih hati) yang kecil saja, cuma tahan untuk menggembleng kalian selama 7x7 = 49 hari, Lewat temponya, rasa sakit akan hilang dengan sendirinya, Dan sesudah mengalami gemblengan itu, daya tahan kalian akan bertambah, lain kali kalau ketemu musuh lagi juga takkan mudah menyerah dan memalukan Sing-siok-pai kita."

"Ya, ya, terima kasih atas pengajaran Toasuko," kata si lelaki hidung singa.

Selang agak lama, rasa sakit kelima orang itu rupanya mulai lenyap, tapi selama itu mereka tampak menggigit bibir dengan menahan rasa sakit, hal mana membuat perasaan A Ci menjadi takut, tapi urusan sudah kepepet, terpaksa terserah kepada nasib.

Sorot mata Ti-sing-cu kemudian diarahkan pada Cut-tim-cu, tiba-tiba ia membuka suara pula, "Patsute, kamu telah membocorkan rahasia penting perguruan kita hingga pusaka kita mungkin akan hilang untuk selamanya, Apa hukumannya bagi kesalahanmu itu?"

Untuk sejenak si cebol alias Cut-tim-cu termangu-mangu, mendadak ia berlutut dan meratap, "Toa....Toasuko, secara tak sadar waktu itu aku telah sembarangan omong, harap engkau suka... suka mengampuni jiwaku, kelak....kelak biar aku menjadi budakmu juga rela, sedikitpun tidak berani membangkang....." Sembari berkata, berulang-ulang ia pun menjura.

Ti-sing-cu menghela napas, katanya, "Patsute, sebagai saudara seperguruan, asalkan mampu dengan sendirinya ingin kutolong dirimu, Tetapi, ai, jika sekali ini kamu diampuni, lalu kelak siapa lagi yang mau taat kepada peraturan yang ditetapkan Suhu? Sudahlah, boleh mulai saja, Peraturan perguruan kita kau sendiri sudah tahu,

asal mampu menangkan Cit-hoat-cuncia (petugas pelaksana hukum) yang kujabat sekarang ini, maka segala dosamu dapat diampuni, Ayolah berdiri saja dan mulailah."

Tapi Cut-tim-cu tidak berani, ia tetap berlutut dan menjura terus.

"Kamu tidak mau mulai lebih dulu, jika begitu terimalah seranganku," kata Ting-sing-cu.

Air muka Cut-tim-cu berubah pucat seketika, Mendadak ia melompat bangun. Jangan dikira dia buntek gerak tubuhnya ternyata amat gesit, Insaf tak bisa terhindar dari hukuman sang Suheng, terus saja ia melompat bangun dan segera menjemput dua potong batu. Senjata andalannya yaitu tongkat baja, kini sudah hilang, terpaksa ia menggunakan senjata seadanya, maka begitu pungut dua potong batu sebesar kepalan, tanpa bicara lagi terus ditimpukkan kearah Ti-sing-cu sambil berseru;

"Maaf, Toasuko!"

Dan begitu kedua potong batu itu terlepas dari tangan, cepat ia memungut dua potong batu yang lain dan secara berantai ditimpukkan lagi.Ia menimpuk kedepan, sebaliknya tubuhnya melompat mundur malah, lalu dua potong batu lagi-lagi dihamburkan sambil melompat mundur pula hingga jauh.

Rupanya ia tahu ilmu silatnya selisih terlalu jauh dibandingkan Ti-sing-cu, maka ia harap batu yang ditimpukkan itu dapat menghalangi kejaran sang Suheng dan ia sendiri sempat melarikan diri.

Tak terduga bahwa batu seperti itu saja sama sekali tiada artinya bagi Ti-sing-cu, sekali lengan bajunya mengebas, seketika suatu arus tenaga maha hebat berjangkit dan kontan batu-batu itu mencelat balik kearah si cebol malah.

Diam-diam Siau Hong kagum juga menyaksikan tenaga dalam Ti-sing-cu itu, kepandaian demikian adalah ilmu sejati dan bukan ilmu sihir atau kepandaian dengan bantuan obat-obatan segala.

Batu yang menyambar balik itu dapat didengar juga oleh Cut-tim-cu, ia tahu bila berlari kedepan tentu punggung akan termakan batu itu, bila membalik tangan untuk menyampuk, ia merasa tidak memiliki tenaga sekuat itu, Terpaksa ia mengengos kekiri.Tapi aneh bin heran, baru dia mengengos kekiri, tahu-tahu batu yang lain menyusul pula kearahnya hingga tidak memberi kesempatan bernapas padanya, Dan baru Cut-tim-cu berkelit lagi kesebelah lain, lagi-lagi batu ketiga telah memburunya pula.

Siau Hong tahu agaknya Ti-sing-cu sengaja hendak mempermainkan sang sute dan tidak ingin lekas2 membunuhnya, maka setiap timpukan batu itu selalu merandek sejenak, bila sasarannya sudah berpindah tempat, lalu batu yang lain menyambar lagi, Coba kalau dia benar-benar ingin mencabut nyawa Cut-tim-cu tentu sudah sejak tadi batu-batu itu dihamburkan.

Begitulah dengan enam potong batu itu selalu Cut-tim-cu dipaksa melompat kekiri untuk menghindar, dan sampai pada batu ke enam, tahu-tahu si cebol sudah mengisar kembali kesamping api unggun tadi. Dibawah sinar api wajah Cut-tim-cu tampak pucat bagai mayat, mendadak ia mengeluarkan sebilah belati terus menikam dada sendiri.

Tapi Ti-sing-cu tidak membiarkan sang Sute mati begitu mudah, sekali lengan bajunya mengebas, kembali setitik bunga api menyambar kepergelangan tangan si cebol, terdengar suara mencicitnya api membakar, tahutahu urat nadi Cut-tim-cu sudah hangus dan terpaksa belati dilemparkan ketanah sambil menjerit-jerit; "Ampun, Toasuko! Kasihanilah Toasuko!"

Mendadak Ti-sing-cu mengebutkan lengan baju pula, serangkum angin keras menyambar kearah api unggun berwarna hijau itu, Sekonyong-konyong api yang menganga itu bercabang, lalu sejalur api yang panjang kecil memencar kearah Cut-tim-cu, dan begitu kena sasarannya, tanpa ampun lagi api itu berkobar dan menjilat rambut dan pakaian yang mudah terbakar itu.

Seketika Cut-tim-cu terguling-guling diatas tanah sambil menjerit ngeri, tapi tidak lantas mati, hanya bau busuk hangus lantas terendus, keadaannya sangat mengenaskan.

Meski Siau Hong sendiri sudah sering juga menyaksikan perbuatan-perbuatan kejam, tapi melihat nasib Cuttim-cu yang terbakar hidup-hidup itu, mau tak mau ia terkesiap juga, Apalagi anak murid Sing-siok-pai yang lain, tiada seorang pun diantara mereka yang berani bersuara, bahkan bernapas pun tidak berani keras-keras.

"He, mengapa kalian diam-diam saja? Apakah kalian anggap caraku ini terlalu ganas, Cut-tim-cu mati penasaran, begitu bukan?" tanya Ti-sing-cu.

Kalau tadi anak murid Sing-siok-pai diam saja tak berani buka suara, demi mendengar pertanyaan itu, seketika mereka berebut bicara lebih dulu, maka beramai-ramai terdengar seruan mereka,

"Wah, Toasuko terlalu bermurah hati hingga kematian Cut-tim-cu jauh lebih enak daripada ganjaran yang sebenarnya atas dosanya!"

"Ya, Toasuko cukup bijaksana, kami benar-benar sangat kagum! Cut-tim-cu telah membocorkan rahasia perguruan kita, sudah sepantasnya Toasuko memberi hukuman setimpal, menjadi setan pun seharusnya dia berterima kasih kepada Toasuko!"

Siau Hong merasa muak oleh ocehan manusia-manusia pengecut itu, sungguh ia tidak ingin mendengar terus, maka segera ia bermaksud tinggal pergi saja, Tapi baru mulai bergerak, tiba-tiba terdengar Ti-sing-cu sedang tanya dengan lemah-lembut, "Nah, Siausumoai, kamu telah mencuri pusaka Suhu dan diberikan kepada orang luar, hukuman apa yang seharusnya kau terima?"

Kata-kata itu diucapkan dengan ramah, tapi cukup membuat hati Siau Hong terkesiap, pikirnya, "Wah, aku dipesan oleh A Cu agar menjaga saudara perempuan satu-satunya ini, biarpun anak dara ini sangat nakal dan jahat, sekali dia dihukum tentu akan jauh lebih ngeri daripada Cut-tim-cu tadi, kalau aku tinggal diam tak menolongnya, bagaimana hatiku bisa tenteram mengingat pesan A Cu itu?"

Karena itu, diam-diam ia mengisar kembali dan mendekam ditempat semula. Maka terdengar A Ci sedang menjawab;"Aku telah melanggar peraturan Suhu, itu memang benar, dan tentang Giok-ting itu, apakah Toasuko ingin menemukannya kembali atau tidak?"

"Giok-ting itu adalah satu diantara ketiga pusaka perguruan kita, sudah tentu harus dicari, mana boleh barang pusaka kita jatuh ditangan orang luar?" sahut Ti-sing-cu.

"Tapi Cihuku sangat keras wataknya," ujar A Ci, "Giok-ting itu aku yang memberinya, jika kuminta kembali padanya, dengan sendirinya dia akan memulangkan benda itu padaku, Tapi kalau orang lain yang minta padanya, kau pikir apakah dia mau menyerahkan begitu saja?"

"Ehm," Ti-sing-cu mendengus, Tapi dalam hati ia pun tahu bahwa Kiau Hong adalah bekas Pangcu Kai-pang, namanya sangat disegani orang kangouw, mungkin tidak gampang untuk minta kembali barang yang sudah berada ditangannya itu, Maka katanya kemudian, "Ya, urusan ini memang sulit untuk diselesaikan, Dan kalau terjadi apa-apa atas Giok-ting itu, maka dosamu tentu juga akan bertumpuk-tumpuk."

"Jika kau minta kembali Giok-ting itu padanya, terang apapun juga dia tak akan menyerahkan padamu," kata A Ci, "Sekalipun kepandaian Toasuko sangat tinggi, paling-paling juga cuma dapat membunuhnya, apakah Giokting itu dapat diketemukan kembali, itulah seribu kali sulit untuk diramalkan."

Ti-sing-cu berpikir sejenak, lalu bertanya, "Habis bagaimana kalau menurut pikiranmu?"

"Hendaklah kalian bebaskan aku, biar aku pergi sendiri keluar Gan-bun-koan untuk minta kembali Giok-ting itu kepada Cihu," sahut A Ci, 'Itu namanya menebus dosa dengan jasa, dan kamu harus berjanji takkan melaksanakan hukuman apa pun atas diriku."

"Cukup beralasan juga uraianmu itu," kata Ti-sing-cu, "Tetapi, wah, Siausumoai, dengan demikian mukaku ini lalu hendak ditaruh kemana lagi? Sejak kini akupun tiada harganya menjadi ahli-waris Sing-siok-pai lagi, Apalagi kalau sekali aku sudah membebaskanmu, lalu kau kabur sejauhnya, dan menghilang, kemana harus kucari dirimu? Tentang Giok-ting pusaka itu harus kita temukan kembali, asal kabar ini tidak tersiar, belum tentu orang she Jiau itu berani sembarangan merusaknya, Hah, Siausumoai, boleh mulai kau serang, asal kamu dapat mengalahkan aku, segera kamu akan menjadi ahli-waris Sing-siok-pai, dan akupun akan tunduk pada perintahmu, Engkau akan menjadi Toasuci dan aku menjadi Sutemu,"

Mendengar itu, baru sekarang Siau Hong paham duduknya perkara, Kiranya menurut peraturan Sing-siok-pai mereka, tinggi rendahnya kedudukan ditentukan oleh kuat dan lemahnya ilmu silat masing-masing dan tidak ditentukan oleh tua mudanya usia atau lebih dulu dan lebih belakang masuk perguruan, Sebab itulah meski usia Ti-sing-cu masih muda belia, tapi ia adalah Toasuheng daripada para Sute yang usianya banyak yang jauh lebih tua, jika begitu maka diantara sesama saudara seperguruan mereka tentu akan saling bunuh membunuh, terang tiada perasaan baik antara sesama Suheng dan Sute.

Siau Hong tidak tahu bahwa justru dengan cara itulah kunci untuk meningkatkan ilmu silat Sing-siok-pai dari satu angkatan kepada angkatan yang lain, Sang Toasuheng memegang kekuatan penuh, jika diantara Sute ada yang tidak terima, setiap saat dia boleh melawan dengan kekuatan.Kedudukan mereka itupun ditentukan oleh kepandaian masing-masing, bila Toasuheng menang, dengan sendirinya yang menjadi Sute akan menyerah untuk dibunuh atau dihajar, sedikitpun tidak boleh melawan, Sebaliknya kalau sang Sute yang menang, seketika dia akan melanjak keatas untuk menggantikan kedudukan sebagai Toasuheng, dan sebaliknya boleh menghukum mati bekas Toasuheng itu, Dalam hal demikian sang Suhu hanya menonoton dengan berpeluk tangan saja, sekali-kali tidak ikut campur.

Di bawah peraturan yang aneh itu, terpaksa setiap anak murid harus berlatih diri dengan giat, jika mereka ingin selamat, tapi lahirnya mereka terpaksa berlagak bodoh pula supaya tidak menimbulkan rasa sirik sang Toasuheng.

Si cebol alias Cut-tim-cu itu biasanya suka pamer tenaga yang besar, senjata tongkat yang dipakainya juga jauh lebih berat dari pada tongkat orang lain, hal ini sudah lama menimbulkan rasa sirik Ti-sing-cu, kali ini kebetulan ada kesempatan, maka sengaja hendak membunuhnya.

Begitulah A Ci semula mengira Ti-sing-cu takkan bikin susah padanya mengingat Giok-ting yang belum ditemukan itu, siapa tahu sang Suheng ternyata tak bisa tertipu dan segera ingin turun tangan.

Karuan A Ci ketakutan, apalagi suara jerit ngeri Cut-tim-cu yang mendekati ajalnya itu masih terdengar dan mala-petaka begitu agaknya sebentar lagi juga akan menimpa dirinya.

Terpaksa ia menjawab dengan suara gemetar, "Tapi aku diringkus begini cara bagaimana aku bisa bergebrak denganmu?"

"Baiklah akan kulepaskan dirimu," kata Ti-sing-cu, Dan sekali lengan bajunya mengebut, serangkum hawa lantas menyambar kearah gundukan api, Kembali api unggun itu memancarkan sejalur api mirip air mancur terus menyambar kearah borgol tangan A Ci.

Siau Hong dapat mengikuti kejadian itu dengan baik, ia lihat lidah api hijau itu memang betul mengincar borgol tangan A Ci dan bukan hendak membakar badannya.

Agaknya Ti-sing-cu itu sangat tinggi hati, ia tidak mau kehilangan wibawa didepan saudara seperguruannya, dengan ilmu silatnya yang jauh lebih tinggi daripada A Ci, dengan sendirinya ia tidak perlu menyerang secara menggelap, Cuma entah sampai dimana kepandaiannya, apakah dia sanggup membakar putus borgol tangan itu tanpa melukai A Ci? Demikian Siau Hong agak sangsi.

Maka terdengarlah suara mencicit pelahan, selang sebentar saja kedua tangan A Ci telah dapat dipisahkan, borgol besi itu telah putus bagian tengah, hanya tinggal dua gelang besi masih melingkar dipergelangan tangan anak dara itu.

Mendadak jalur api itu mengkeret kembali, menyusul lantas memancar pula kedepan, kali ini mengarah borgol dikaki A Ci, Dan hanya sebentar saja kembali borgol itu sudah terbakar putus.

Semula Siau Hong agak heran oleh lwekang orang yang luar biasa itu, waktu ia perhatikan ketika api hijau itu membakar borgol kaki, kini dapat dilihatnya dengan jelas dimana api itu membakar segera besi borgol berubah warna, tampaknya didalam api ada sesuatu yang aneh, jadi tidak melulu mengandalkan lwekangnya yang murni.

Begitulah demi kaki tangan sudah bebas bergerak, A Ci tiada alasan lagi buat menghindar, Dalam keadaan demikian, biarpun dia secerdik kancil juga tak bisa berbuat apa-apa.

Maka terdengarlah para saudara seperguruan yang lain sama memuji dan mengumpak Ti-sing-cu, "Wah, lwekang Toasuku benar-benar sudah mencapai puncaknya, sungguh baru sekali ini kami melihatnya, agaknya kecuali Suhu seorang, Toasuko pasti tiada tandingannya lagi dijagat ini, Ya, katanya 'Pak Kiau Hong dan Lam Buyung' apa segala, kukira mereka disuruh menjadi kacung Toasuko juga tidak sesuai, Nah, Siausumoai, sekarang kau tahu lihai belum? Cuma sayang sudah terlambat!"

Begitulah mereka ramai mengumpak dan memuji setinggi langit, dan rupanya Ti-sing-cu itu juga senang dijilat, dengan wajah tersenyum ia lirik A Ci.

Sebaliknya A Ci malah berharap ocehan orang-orang itu diteruskan, dengan demikian akan memperlambat tindakan Ti-sing-cu padanya, Tapi sesudah bolak-balik orang-orang itu menjilat, paling-paling juga itu-itu saja yang diucapkan, dan akhirnya suara mereka pun reda sendiri.

Maka berkatalah Ti-sing-cu dengan pelahan. "Siausumoai, silahkan mulai!"

Teringat kematian Cut-tim-cu yang mengerikan itu, A Ci jadi mengkirik, sahutnya dengan gemetar, "Ti... tidak aku tak mau mulai."

"Kenapa kamu tidak mau? Kukira lebih baik menyeranglah!" kata Ti-sing-cu.

"Aku tidak mau, sudah tahu takkan mampu melawan, buat apa aku banyak membuang tenaga?" kata A Ci,

"Nah, jika ingin membunuh aku, silakan saja."

"Ai, sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu," ujar Ti-sing-cu dengan menyesal. "Nona cilik cantik molek seperti dirimu sungguh sayang untuk dibinasakan, cuma terpaksa, Nah, Siausumoai, seranglah, asal dapat kau bunuh aku, tentu kamu akan menjadi Toasuci! dalam Sing-siok-pai kita, kecuali Suhu, semua orang harus tunduk pada perintahmu."

"Andaikan aku mampu membunuhmu juga aku tak mau melakukannya," kata A Ci tiba-tiba.

"Sebab apa?" tanya Ti-sing-cu.

"Sebab...sebab aku suka padamu," sahut A Ci.

Jawaban ini membuat hati Ti-sing-cu terkesiap, begitu pula hati Siau Hong tergetar, Siapa pun tak menduga akan ucapan A Ci itu, Karuan seketika semua orang pandang dengan bingung.

Selang sejenak, berkatalah Ti-sing-cu, "Nona kecil seperti kamu ini masakah sudah paham tentang suka apa segala? Apalagi aku sudah punya istri, masakah kamu tidak tahu?"

"Engkau... engkau sangat tampan, ilmu silatmu tinggi pula, biarpun punya... punya istri, apa sih jeleknya? Aku... aku justru suka padamu." demikian A Ci berkata pula.

"Ai, bila kamu tidak melanggar kesalahan sebesar ini, jika perlu aku pun tidak keberatan mengambilmu sebagai selir," kata Ti-sing-cu dengan menghela napas. "Tetapi kini, ya, terpaksa aku tak bisa membantu apaapa, Nah, Siausumoai, terimalah seranganku ini!"

Habis berkata, terus saja lengan bajunya mengebas, serangkum angin keras lantas menyambar kearah api unggun, sejalur api hijau lantas memancar pelahan kejurusan A Ci, Tapi agaknya tidak ingin membunuh gadis itu dengan segera, maka jalannya jalur api itu sangat lambat.

Sambil menjerit A Ci terus melompat minggir kekanan, tapi jalur api itu lantas menyusul kearahnya, waktu A Ci mundur kebelakang, tahu-tahu punggung kepepet oleh batu karang yang dibuat sembunyi Siau Hong itu.

Sementara itu, Ti-sing-cu sedang mengerahkan tenaga dalam untuk mendesak lebih kuat lidah api itu, Sedangkan punggung A Ci sudah kepepet batu karang, untuk mundur lagi sudah tak bisa.

Selagi ia hendak melompat kesamping, namun lengan baju Ti-sing-cu telah mengebut pula, dua rangkum angin menyambar dari kanan dan kiri hinga A Ci tak mampu melompat kesamping, sedangkan lidah api hijau itu sudah makin mendekat.

Siau Hong tahu sekali api hijau itu mengenai badan, seketika kulit akan hangus dan daging melocot, Tampaknya api hijau itu tinggal puluhan senti saja didepan muka A Ci, dan satu senti demi satu senti makin mendekat pula.Segera ia membisiki A Ci, "Jangan takut, akan kubantu!" Sembari berkata, Siau Hong lantas mengulurkan sebelah tangannya dan menahan dipunggung A Ci, Lalu katanya pula, "Lekas mengerahkan tenaga dan menghantam kearah api hijau itu,"

Saat itu A Ci sebenarnya sudah ketakutan setengah mati, semangatnya hampir terbang keawang-awang, ketika mendadak terdengar suara Siau Hong, karuan ia seperti mendapat sejeki nomplok, tanpa pikir lagi ia menghantam kedepan dengan telapak tangan.

Tatkala mana tenaga dalam Siau Hong sudah menyalur kedalam tubuhnya, maka pukulan A Ci itu membawa

tenaga yang maha kuat, Kontan lidah api hijau itu mengkeret kembali satu meter panjangnya.

Tentu saja Ti-sing-cu kaget, Sudah jelas dilihatnya A Ci tak berdaya lagi, ibarat daging tinggal dicaplok saja, ia hendak mengerahkan tenaga lebih keras agar api hijau itu menyambar kian kemari didepan muka anak dara itu agar ketakutan dan menjerit-jerit serta minta ampun, habis itu baru akan mencabut nyawanya.

Siapa tahu dara cilik itu memiliki lwekang sehebat itu, sekali hantam dapat mendesak lidah api tersurut hingga satu meter lebih.

Oleh karena ilmu silat golongan Sing-siok-pai itu oleh guru mereka diajarkan secara tersendiri-sendiri kepada setiap muridnya, maka sampai dimana kepandaian sesama saudara seperguruan sukar dijajaki.

Semula mereka mengira A Ci pasti akan dimakan mentah-mentah oleh kepandaian Toasuko mereka, tak tersangka sekali pukul A Ci dapat mendesak mundur lidah api hijau yang sudah dekat mukanya itu, karuan anak murid Sing-siok-pai yang lain semua bersuara heran.

Tapi juga tiada seorang pun yang menaruh curiga bahwa diam-diam ada orang membantu anak dara itu, mereka menyangka mungkin bakat A Ci memang lain daripada yang lain, diam-diam ilmu silatnya sudah terlatih sedemikian tingginya.

Begitulah Ti-sing-cu jadi penasaran, kembali ia kerahkan tenaga hingga api hijau itu memancar lagi kemuka A Ci, sekali ia kerahkan tenaga sepenuhnya, maka api juga menyambar cepat luar biasa.

A Ci menjerit tertahan, ia bingung entah cara bagaimana harus menahan serangan itu, lekas ia menghindar kekiri, Untung tenaga cegatan Ti-sing-cu dari kanan-kiri tadi sudah dihapuskan hingga dia dapat berkelit tanpa rintangan, dan api hijau itu lantas membakar diatas batu dan mengeluarkan suara gemercik.

"Pukulkan tangan kirimu untuk memotong jalur apinya!" seru Siau Hong kepada A Ci dengan suara tertahan.

"Ehm, bagus akal ini!" ujar A Ci, Segera ia ayun tangan kiri kedepan, kontan suatu arus tenaga menyambar ketengah jalur api hijau itu, dimana angin pukulan itu tiba, seketika jalur api terputus jadi dua bagian, bagian depan karena kehilangan saluran dari belakang, sesudah terbakar sebentar diatas batu karang, pelahan lantas guram dan akhirnya padam.

Diam-diam Ti-sing-cu pikir, "Jika apiku padam, itu berarti aku akan kehilangan muka didepan para Sute, mana boleh perbawaku dipatahkan begini saja?"Segera ia mengerahkan tenaga lebih kuat, kembali ia pancarkan jalur

api diatas batu yang kehilangan saluran itu.

A Ci sendiri merasa tangan yang menahan dipunggung itu masih terus menyalurkan tenaga dalam yang tak terputus-putus bagaikan sumber air terjun yang membanjir, bila tenaga itu tidak lekas dikeluarkan pula, rasanya tubuh sendiri yang kecil itu seakan-akan meledak, Sebab itulah tanpa pikir lagi tangan kanan lantas menghantam pula kedepan dengan sekuatnya.

Dengan tenaga dalam Siau Hong yang hebat itu, sebenarnya kalau A Ci dapat menggunakannya dengan baik, bukan mustahil Ti-sing-cu akan dapat dikalahkannya dengan gampang, Tapi karena rasa takutnya tadi, maka pukulan itu agak gugup hingga arahnya melenceng, "Fung" lidah api hijau itu seketika dapat dipadamkan olehnya, Tapi Ti-sing-cu tidak terganggu seujung rambutpun.

Namun demikian sudah cukup membuat anak murid Sing-siok-pai saling pandang dengan jeri, Hanya Jitsute itu yang tidak tahu gelagat, ia masih coba mengumpak sang Toasuko, katanya;

"Toasuko, sungguh hebat benar tenagamu, pukulan Siausumoai itu paling-paling cuma dapat memadamkan sebagian apimu yang sakti itu, masakah bisa berbuat sesuatu padamu?"

Maksudnya sebenarnya ingin menjilat pantat sang Toasuko, diluar dugaan ia keliru menjilat, bagi pendengaran Ti-sing-cu pujian itu lebih mirip sindiran tajam padanya. Mendadak lengan bajunya mengebut, api hijau tadi menyambar kesamping, 'crit-crit', secepat kilat api menyambar kemuka Jitsute itu, Dan sekali api itu menjilat sasarannya, seketika mengkeret balik lagi, Namun begitu Jitsute itu sudah kesakitan sekali, ia mendekap muka sendiri sambil menungging dan menjerit-jerit bagai babi hendak disembelih.

Diam-diam Siau Hong memperingatkan A Ci, "Awas, lawanmu sudah murka, kamu harus hati-hati!" Ia menggunakan ilmu mengirim gelombang suara hingga yang mendengar hanya A Ci saja, meski lwekang Tising-cu itu sangat tinggi juga tak mampu mendengarnya, apalagi yang lain....

Dan benar juga, sesudah Ti-sing-cu menghajar Jitsutenya, segera ia pun ayun tangannya, kembali sejalur api hijau menyambar kearah A Ci, Sekali ini lidah itu sangat besar hingga menimbulkan suara dahsyat, api yang menganga itu membuat A Ci merasa silau.

Khawatir kalau bayangan Siau Hong akan kelihatan dibawah cahaya api itu, cepat A Ci mengaling-aling kedepan batu lagi sambil balas memukul sekali kedepan untuk menahan desakan api hijau itu.

Karena terhalang oleh tenaga pukulan A Ci, api hijau itu tidak dapat maju lagi dan berhenti diudara, ujung api

itu menyembur maju sedikit, lalu terdesak surut lagi sambil berkedip-kedip tiada hentinya.

Berulang tiga kali Ti-sing-cu mendesak sekuat tenaga, tapi selalu kena ditolak kembali oleh A Ci, karuan ia menjadi gopoh dan gusar, ia coba mengerahkan tenaga dalamnya dua kali pula dan masih tetap tidak berhasil mendesak maju, sekonyong-konyong ia merasa seram sendiri, pikirnya, "Dia...dia masih mempunyai tenaga simpanan yang cukup, kiranya sejak tadi dia sengaja mempermainkan aku, Jangan-jangan Suhu pilih kasih dan diam-diam menurunkan lwekang paling tinggi dari perguruan sendiri kepadanya, Wah, aku telah... telah tertipu olehnya!"Begitulah sekali ia sudah ketakutan, seketika tenaganya lantas berkurang dan jalur api hijau itu pun menyurut kembali.

"Masakah aku takut padamu?" mendadak Ti-sing-cu membentak, saking napsunya hingga suaranya sampai serak, ia kerahkan tenaga sekuatnya hingga jalur api hijau tadi berubah menjadi segulung bola api terus menerjang kearah A Ci.

Melihat gelagat jelek, cepat A Ci hantamkan sebelah tangannya, dan ketika melihat tak dapat menahan desakan bola api itu, segera ia susulkan pukulan tangan lain, dengan tenaga pukulan kedua tangan barulah bola api itu dapat ditahan.

Maka tertampaklah sebuah bola api hijau berputar-putar di udara, segera para Sutenya bersorak pula, ada yang berseru,"Ilmu sakti Toasuko sungguh hebat, sekali ini budak itu pasti akan celaka!"

"Nah, Siausumoai, kamu masih berani main garang lagi? Ayolah lekas menyerah saja, boleh jadi Toasuko akan memberi jalan hidup bagimu."

A Ci menjadi gelisah, berulang-ulang ia coba kerahkan tenaga, Tapi tenaga dalam yang disalurkan Siau Hong itu meski sangat kuat, namun adalah tenaga orang lain, untuk mengerahkannya menjadi tidak bisa sesuka hatinya.

Setelah saling bertahan sejenak, segera Ti-sing-cu tahu dimana letak kelemahan anak dara itu, Pikirnya, "Karena Suhu pilih kasih, maka dara cilik ini sangat hebat lwekangnya, Tapi caranya mengerahkan tenaga masih kurang sempurna, dikanan-kiri masih terdapat lubang kelemahan, Untung dia menjajal aku sekarang juga, coba kalau tunggu tiga-empat tahun lagi, jika ilmu pukulannya sudah sempurna, tentu aku bisa celaka."

Berpikir sampai disini, kembali semangatnya tergugah, tiba-tiba jari telunjuk kanan menuding dua kali dan terdengar suara letikan api dua kali, Tampak pancaran api unggun itu meletik beberapa titik bunga api terus menyambar kearah A Ci dari kanan-kiri dengan cepat luar biasa.

A Ci menjerit kaget dengan bingung, Tenaga pukulannya waktu itu sedang dipakai menahan bola api, ia tidak sempat menahan serangan bunga api itu, Dalam keadaan kepepet ia coba mengengos untuk menghindar.



DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar