Yue Lingshan kembali berkata,
“Ayah, Kakak Pertama bersembunyi di sini untuk menyembuhkan lukanya. Tadi dia
terkena pukulan Pendeta Yu satu kali. Keadaannya tentu bertambah parah. Mari
kita lekas menjenguknya.”
Yue Buqun menggelengkan kepala
dan berkata, “Sebaiknya Genming dan Daizi saja yang masuk.”
Gao Genming dan Shi Daizi
mengiakan dan segera melompat ke dalam kamar melalui jendela. Namun tidak lama
kemudian terdengar mereka berseru, “Guru, Kakak Pertama tidak ada di sini. Di
kamar itu tidak ada siapa-siapa.” Cahaya api terlihat memancar keluar melalui
jendela, pertanda kedua murid Huashan itu telah menyalakan lilin.
Yue Buqun mengerutkan dahinya.
Sebagai seorang yang selalu menjaga kehormatan, pantang baginya masuk ke dalam
rumah pelacuran yang kotor dan hina tersebut. Ia pun memerintahkan Lao Denuo
untuk membantu mencari.
Setelah Lao Denuo masuk ke
dalam kamar melalui jendela, Yue Lingshan berkata, “Ayah, aku juga ingin masuk
untuk mencari.”
Namun Yue Buqun segera
memegangi lengan putrinya itu dan berkata, “Hus! Kau tidak boleh sembarangan
masuk ke tempat seperti ini!”
Yue Lingshan yang pernah
menyaksikan kehebatan pukulan Yu Canghai merasa sangat cemas. Ia pun menukas
dengan suara serak hampir menangis, “Tapi... tapi Kakak Pertama terluka parah. Aku
takut... aku takut dia mati karena lukanya itu.”
“Jangan khawatir,” bisik Yue
Buqun. “Dia telah diobati dengan Salep Penyambung Langit milik Perguruan
Henshan. Jiwanya masih bisa diselamatkan.”
Yue Lingshan terlihat lega. Ia
pun bertanya, “Dari mana... dari mana Ayah tahu?”
“Diam, jangan cerewet!” sahut
Yue Buqun.
Linghu Chong yang belum pulih
memang kembali terluka oleh sambaran angin pukulan Yu Canghai tadi. Lukanya
kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah. Meskipun demikian, telinganya
masih bisa mendengar dengan jelas suasana di luar kamar saat Yu Canghai dan Mu
Gaofeng memperebutkan Lin Pingzhi. Namun begitu mendengar kedatangan Yue Buqun,
seketika pemuda itu sangat ketakutan. Ia memang tidak takut kepada siapapun,
kecuali kepada gurunya itu. Khawatir sang guru akan menghukumnya karena berada
di dalam rumah pelacuran, ia pun berkata kepada Yilin dan Qu Feiyan, “Celaka,
guruku ada di sini. Kita harus segera pergi.”
Sambil berjalan sempoyongan
dan memegangi dinding, Linghu Chong menyusuri lorong Wisma Kumala. Qu Feiyan
segera menarik lengan Yilin untuk berjalan di belakang pemuda itu. Khawatir
Linghu Chong terjatuh dan kehilangan kesadaran, mereka berdua serentak
memegangi lengan kanan dan kirinya untuk membantu ia berjalan.
Linghu Chong menyusuri sebuah
serambi panjang sambil menggertakkan gigi menahan sakit. Ia sadar pendengaran
dan penglihatan gurunya sangat tajam. Jika ia meninggalkan Wisma Kumala saat
ini, tentu akan segera ketahuan. Maka, begitu melihat sebuah kamar besar di
sisi kanan, buru-buru ia memasuki ruangan tersebut.
“Lekas tutup pintu dan
jendela,” ujarnya dengan suara lirih. Qu Feiyan segera melaksanakan permintaan
itu. Dalam keadaannya yang lemah lunglai, Linghu Chong segera merebahkan diri
di atas ranjang. Napasnya pun terdengar sangat payah dan tersengal-sengal.
Ketiganya bersembunyi di dalam
kamar besar itu tanpa bersuara sedikit pun. Selang beberapa lama akhirnya
terdengar suara Yue Buqun berkata, “Sepertinya dia sudah pergi dari sini.
Sudahlah, mari kita juga pergi.”
Linghu Chong merasa lega dan
menghembuskan napas panjang. Namun beberapa lama kemudian kembali terdengar
suara memanggil-manggil, “Kakak Pertama! Kakak Pertama!” Suara tersebut tidak
lain adalah suara Lu Dayou si Monyet Keenam. Ternyata ia diam-diam berputar
balik sementara guru dan saudara-saudaranya yang lain berangkat pergi.
Dalam hati Linghu Chong
mengakui kalau Lu Dayou adalah saudara seperguruannya yang paling akrab dan
setiakawan. Baru saja ia hendak menjawab tiba-tiba dilihatnya kain kelambu
tampak bergetar. Rupanya Yilin yang duduk di tepi ranjang sedang gemetar
ketakutan.
Menyadari hal itu Linghu Chong
berpikir, “Jika aku menjawab panggilan Monyet Keenam, nama baik biksuni cilik
ini bisa tercemar. Lebih baik aku diam saja.”
Lu Dayou memanggil berkali-kali
namun Linghu Chong berusaha menahan diri untuk tidak menjawab. Akhirnya suara
itu semakin menjauh dan tidak terdengar lagi, pertanda Si Monyet Keenam sudah
pergi menyusul yang lainnya.
Setelah keadaan aman, Qu
Feiyan berkata, “Linghu Chong, kau masih hidup atau sudah mati?”
“Mana mungkin aku mati? Kalau
aku mati tentu akan merusak nama baik Perguruan Henshan,” jawab Linghu Chong.
“Apa maksudmu?” tanya Qu
Feiyan.
Linghu Chong menjawab, “Aku
telah diobati menggunakan salep dan pil buatan Perguruan Henshan. Kalau sampai
tidak sembuh tentu aku akan merasa sangat bersalah kepada... kepada biksuni
cilik ini.”
“Benar sekali,” ujar Qu
Feiyan. “Kalau kau mati, tentu Kakak Yilin akan sangat menyesal.”
Mendengar Linghu Chong terluka
parah tapi masih bisa bercanda, perasaan Yilin menjadi sedikit lega. Ia lantas
berkata, “Kakak Linghu, kau telah mendapat pukulan Pendeta Yu. Biarkan aku
memeriksa lukamu lagi.”
Linghu Chong mencoba bangun
namun Qu Feiyan berkata, “Jangan memaksakan diri. Kau berbaring saja.”
Karena merasa tenaganya memang
sangat lemah, Linghu Chong pun menurut untuk tetap berbaring di atas ranjang.
Setelah Qu Feiyan menyalakan
lilin, Yilin dapat melihat betapa darah telah membasahi baju Linghu Chong.
Tanpa memedulikan pantangan lagi, Yilin pun membuka baju pemuda itu dan
membersihkan luka di dadanya menggunakan handuk yang tersedia di lemari kamar.
Setelah itu, ia kembali mengoleskan Salep Penyambung Langit pada luka Linghu
Chong.
“Wah, obat bagus seperti ini
sayang sekali kalau dibuang-buang hanya untuk mengobatiku,” ujar Linghu Chong
sambil tertawa.
“Kakak Linghu jangan bicara
seperti itu,” sahut Yilin malu-malu. “Kau terluka parah demi untuk menolong
diriku. Hanya obat ini yang bisa kuberikan kepadamu. Aku tidak tahu bagaimana
lagi harus membalas kebaikanmu. Bahkan... bahkan....” Yilin merasa tidak tahu
harus berkata apa lagi. Ia akhirnya menyambung, “Bahkan guruku memuji
perbuatanmu yang berani menantang penjahat berilmu tinggi demi menegakkan
kebenaran. Karena hal itu, sampai-sampai Guru bertengkar dengan Pendeta Yu.”
“Jangan terlalu memuji,” jawab
Linghu Chong. “Asalkan Bibi Dingyi yang terhormat tidak mendampratku, bagiku
itu sudah cukup.”
“Mana mungkin Beliau
mendampratmu?” sahut Yilin cepat. “Kakak Linghu harus beristirahat sehari
semalam, supaya lukamu tidak pecah dan berdarah lagi.” Usai berkata demikian ia
lantas memasukkan tiga butir Pil Empedu Beruang Putih ke dalam mulut pemuda
itu.
Qu Feiyan berkata, “Kakak
Yilin, kau di sini saja untuk menjaganya. Aku harus lekas-lekas pulang, karena
Kakek mungkin sudah menungguku.”
“Tidak, jangan pergi! Mana
boleh aku ditinggal sendirian di sini?” sahut Yilin mencegah.
“Sendirian bagaimana?” balas
Qu Feiyan sambil tertawa cekikikan. “Bukankah di sini ada Linghu Chong?” Gadis
kecil itu lantas berpaling menuju pintu keluar.
“Pokoknya jangan pergi!” seru
Yilin sambil melompat dan mencengkeram lengan Qu Feiyan.
“Hei, apa kau hendak bertarung
denganku?” sahut Qu Feiyan sambil tersenyum menyeringai.
Wajah Yilin bersemu merah dan
ia pun melepaskan cengkeramannya. “Adikku yang manis, tolong jangan pergi.
Temani aku untuk menjaganya,” ujarnya memohon.
Qu Feiyan menjawab, “Baiklah,
baiklah! Aku akan tetap di sini. Linghu Chong bukan orang jahat; kenapa kau
takut kepadanya?”
“Apakah lenganmu terluka
olehku?” sahut Yilin mengalihkan pembicaraan.
“Aku tidak apa-apa. Hanya
keadaan Linghu Chong yang terlihat parah,” jawab Qu Feiyan.
Yilin terkesiap dan buru-buru
mendekati ranjang. Begitu membuka kelambu, ia melihat Linghu Chong kehilangan
kesadaran dengan mata tertutup rapat. Ia lantas meletakkan tangan di depan
hidung pemuda itu untuk merasakan pernapasannya. Seketika hatinya lega karena
napas Linghu Chong sudah mulai teratur.
Tiba-tiba terdengar jendela
dibuka dan Qu Feiyan tertawa kecil. Serentak Yilin menoleh dan melihat gadis
kecil itu sudah pergi melompati jendela.
Yilin merasa kebingungan namun
juga tidak mampu mengejar gadis kecil yang lincah itu. Dengan perasaan cemas ia
berkata kepada Linghu Chong, “Dia... dia sudah pergi.”
Namun waktu itu efek samping
Pil Empedu Beruang Putih sedang bekerja, membuat Linghu Chong kehilangan
kesadaran. Tentu saja semua perkataan Yilin tidak terdengar olehnya. Dalam
kesendirian Yilin gemetar karena bingung. Agak lama kemudian barulah ia berani
melangkah untuk menutup jendela.
Diam-diam biksuni muda itu
lantas berpikir, “Aku harus segera pergi dari sini. Bagaimana kalau sampai ada
orang yang melihat kami di sini? Bisa-bisa nama baik Perguruan Huashan dan
Henshan akan tercemar.” Melihat Linghu Chong terbaring lemah ia kembali
berpikir, “Kakak Linghu masih sangat lemah. Seorang anak kecil sudah cukup
untuk membunuhnya. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan dia seorang diri di
sini?”
Dalam kegelapan malam hanya
terdengar suara kawanan anjing menggonggong di jalanan. Selain itu tidak
terdengar suara apa-apa lagi. Wisma Kumala yang tadinya ramai kini berubah
sunyi senyap. Di dalam rumah besar itu hanya ada Yilin dan Linghu Chong berdua.
Meskipun sangat ketakutan, namun sedikit pun Yilin tidak berani bergerak
sembarangan. Ia hanya duduk diam di atas kursi menunggu Linghu Chong yang masih
tertidur akibat pengaruh obat.
Beberapa lama kemudian
terdengar suara ayam jantan berkokok, pertanda fajar mulai menyingsing. Yilin
terkesiap dan berpikir, “Hari sudah mulai terang. Kalau ada orang lain yang
datang bisa berbahaya. Bagaimana ini? Bagaimana ini?”
Usia Yilin masih sangat muda
dan ia juga seorang biksuni yang setiap hari tinggal di Biara Awan Putih, di
bawah bimbingan Biksuni Dingyi. Dengan demikian, pengalaman hidupnya sangat
terbatas. Dalam keadaan serbasulit seperti saat ini ia merasa sangat cemas dan
gelisah, tidak tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba terdengar suara
beberapa orang berjalan mendekati Wisma Kumala. Sesampainya di depan rumah
mereka berhenti dan berbicara dengan suara perlahan, “Kalian berdua periksalah
ke sebelah barat. Jika bertemu Linghu Chong, kalian harus menangkap dia
hidup-hidup. Dia sedang terluka parah, maka tidak mungkin bisa melawan kita.”
Yilin terkejut mendengar
suara-suara dari luar itu. Ia pun berpikir, “Bagaimanapun juga, aku harus
melindungi Kakak Linghu, jangan sampai ia jatuh ke tangan orang jahat.”
Perlahan-lahan Yilin
membungkus tubuh Linghu Chong menggunakan selimut lalu menggendongnya dengan
kedua tangan. Setelah memadamkan lilin, ia membuka pintu perlahan-lahan dan
menyelinap keluar. Ia tidak tahu harus pergi ke mana, kecuali menjauhi arah
suara orang-orang tadi. Begitu membuka pintu belakang gedung ia menyusup ke
dalam kebun sayur. Setelah melewati kebun tersebut ia menemukan pintu
pekarangan belakang dalam keadaan terbuka karena para penghuni wisma tadi malam
berlarian keluar tanpa sempat menutupnya kembali. Merasa beruntung, Yilin pun
membawa tubuh Linghu Chong melewati pintu tersebut dan berlari sekencang-kencangnya
melalui jalanan kota.
“Aku harus membawa Kakak
Linghu meninggalkan Kota Hengshan,” demikian pikirnya sambil terus berlari.
Sesampainya di gerbang kota, ia melihat serombongan tukang sayur dari desa
masuk ke dalam kota. Yilin pun menunduk saat berpapasan dengan rombongan
tersebut sehingga berhasil mengelabui para petugas penjaga gerbang.
Biksuni muda itu terus berlari
tanpa henti membawa tubuh Linghu Chong sampai beberapa kilo jauhnya. Di luar
Kota Hengshan ia mengambil jalanan kecil yang menuju arah pegunungan. Ketika
perasaannya sudah mulai tenang, Yilin melihat ke bawah dan menyaksikan bibir
Linghu Chong tampak tersenyum. Melihat pemuda itu sudah sadar, ia menjadi gugup
dan tanpa sadar tangannya melepaskan tubuh Linghu Chong.
“Amitabha,” seru Yilin sambil
menangkap kembali tubuh pemuda itu yang hampir saja jatuh ke tanah.
“Maaf,” katanya. “Apakah
lukamu kambuh lagi?”
“Aku baik-baik saja,” jawab
Linghu Chong. “Kau sudah letih. Lembah ini sangat sepi. Sebaiknya kita
beristirahat di dalam sana.”
Rupanya yang datang untuk
menggeledah rumah pelacuran tadi adalah murid-murid Perguruan Qingcheng. Yilin
tidak peduli lagi dengan keadaannya dan ia pun berlari sekuat tenaga membawa
pergi tubuh Linghu Chong. Yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana ia harus
menjauhkan pahlawan penolongnya itu dari ancaman bahaya. Kini keduanya telah
selamat. Yilin baru merasakan betapa tubuhnya sangat letih setelah berlari
sekian lama. Perlahan-lahan ia menurunkan Linghu Chong ke tanah, kemudian duduk
lemas dengan napas tersengal-sengal.
Linghu Chong tersenyum dan
berkata, “Kau lupa mengatur napasmu saat berlari tadi. Ini seharusnya tidak
dilakukan oleh... oleh seorang murid persilatan. Lain kali kau harus tetap...
tetap tenang agar tidak mudah terluka dalam.”
Yilin terlihat malu dan
menjawab, “Terima kasih atas nasihatmu, Kakak Linghu. Guruku juga pernah
mengajarkan demikian. Hanya saja, aku sendiri yang terlalu bodoh sehingga
melupakan pelajaran tersebut.” Setelah berhenti sejenak, ia kembali bertanya
dengan napas masih terengah-engah, “Bagaimana dengan lukamu?”
“Sekarang sudah tidak terasa
sakit lagi,” jawab Linghu Chong. “Hanya saja, kali ini terasa gatal dan mati
rasa.”
“Bagus sekali,” jawab Yilin.
“Itu pertanda Salep Penyambung Langit sudah bekerja dengan baik. Kau akan
segera sembuh.”
“Ini semua berkat obat mujarab
milik perguruanmu,” ujar Linghu Chong sambil menghela napas. “Sayang sekali aku
dalam keadaan terluka, sehingga harus melarikan diri menghindari bangsat rendah
Perguruan Qingcheng tadi. Tapi, kalau kita sampai tertangkap oleh mereka, tentu
rasanya jauh lebih mengerikan daripada mati. Nama baik perguruan kita bisa
tercemar.”
“Jadi, kau mengikuti semua
kejadian tadi?” sahut Yilin tak percaya. Begitu teringat dirinya telah
menggendong tubuh Linghu Chong dalam waktu yang cukup lama dan ternyata pemuda
itu mengetahui semuanya, seketika wajahnya pun bersemu merah; apalagi sewaktu
pemuda itu kini sedang menatapnya.
Linghu Chong tidak menyadari
perasaan Yilin. Ia hanya mengira kalau biksuni muda itu terlalu letih. Maka, ia
pun berkata, “Adik, sebaiknya kau duduk tenang dan menjalankan pernapasan
secara teratur sesuai pelajaran yang pernah kau peroleh. Dengan mengendalikan
tenagamu, maka kau tidak akan jatuh sakit.”
“Baiklah,” jawab Yilin
mengiakan. Ia kemudian duduk bersila dan mengatur pernapasan sambil memejamkan
mata. Akan tetapi perasaannya sangat gelisah dan sukar mencapai keheningan.
Sebentar-sebentar ia membuka mata untuk melihat luka Linghu Chong atau
memandang pemuda itu apakah sedang melihat ke arahnya. Sewaktu membuka mata
untuk yang keempat kalinya, ternyata Linghu Chong juga sedang memandang
dirinya. Seketika ia pun tersipu malu dan memejamkan mata rapat-rapat.
Melihat tingkah laku Yilin
tersebut, Linghu Chong tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa tertawa?” tanya Yilin
dengan nada canggung. Wajahnya terlihat semakin merah.
Linghu Chong menjawab, “Kau
masih terlalu muda. Latihan meditasimu belum sempurna sehingga masih belum bisa
mengheningkan cipta dengan baik. Jika kau tidak bisa mencapai keheningan, tidak
ada gunanya kau memaksakan diri seperti itu. Biksuni Dingyi pasti pernah
mengajarimu cara meditasi yang baik, yaitu bagaimana mencapai keheningan tanpa
harus memaksakan diri. Terutama dalam ilmu pernapasan, kau harus melakukannya
dengan tenang dan teratur,” jawab Linghu Chong sambil terus tertawa. “Sudahlah,
tidak perlu khawatir. Tenagaku sudah berangsur pulih. Andaikata orang-orang
Qingcheng itu bisa menemukan tempat ini, tentu aku akan menyuruh mereka
memperagakan jurus... jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat.”
Yilin menukas, “Belibis
Mendarat di Pasir.”
“Benar sekali,” sahut Linghu
Chong. “Rasanya nama Belibis Mendarat di Pasir memang jauh lebih bagus.” Usai
berkata demikian napasnya kembali tersengal-sengal.
“Jangan banyak bicara dulu!”
seru Yilin. “Istirahat saja lagi.”
Linghu Chong berkata, “Guruku
ternyata datang juga ke Kota Hengshan ini. Tadinya kukira cukup diwakili para
murid seperti kami. Aku ingin segera pulih dan kembali ke sana untuk
menyaksikan upacara Paman Liu, pasti akan sangat meriah.”
Melihat bibir Linghu Chong
yang kering dan wajahnya yang pucat, Yilin pun sadar kalau pemuda itu sudah
kehilangan banyak darah sehingga perlu diberi minum sebanyak-banyaknya. “Aku
harus mencari air. Tentu kau sangat haus, bukan?” katanya sambil bangkit
perlahan-lahan.
Linghu Chong menjawab,
“Sewaktu menuju kemari tadi aku sempat melihat ada banyak semangka tumbuh di
ladang sebelah timur sana. Coba kau petik beberapa buah yang sudah masak.”
“Baiklah,” sahut Yilin sambil
merogoh kantongnya yang ternyata kosong melompong. “Kakak Linghu, apakah kau
punya uang?” tanyanya kemudian.
“Untuk apa?” tanya Linghu
Chong heran.
“Untuk membeli semangka,”
jawab Yilin.
“Kenapa harus beli? Petik saja
beberapa buah, kemudian bawa kemari,” ujar Linghu Chong. “Di sekitar ladang
tidak terdapat rumah penduduk. Petani pemilik semangka itu tentu berada jauh
dari sini. Kepada siapa pula kau akan membayarnya?”
“Tapi, mengambil tanpa permisi
sama saja... sama saja dengan mencuri, bukan?” sahut Yilin. “Guru bilang, kita tidak
boleh mencuri meskipun hanya sekali. Kalau tidak punya uang lebih baik meminta
sedekah. Hanya minta sebuah saja kemungkinan besar pasti diberi.”
“Ah, dasar kau biksuni...”
tukas Linghu Chong hendak menyebut “biksuni bodoh”. Namun begitu teringat perjuangan
Yilin yang mati-matian menolong dirinya, ia pun menelan kata-kata makian
tersebut.
Sebaliknya, melihat Linghu
Chong tampak kurang senang, Yilin terdiam tidak berani membantah lagi. Ia
kemudian bergegas menuju ke jalan pedesaan tadi.
Setelah berjalan lebih dari
satu kilometer, Yilin akhirnya menemukan sebidang tanah ladang yang dimaksudkan
Linghu Chong tadi. Ladang itu terlihat penuh dengan semangka yang berukuran
besar. Suasana sunyi senyap, dan hanya terdengar suara jengkerik
bersahut-sahutan. Yilin tidak melihat seorang pun berada di sana kecuali
dirinya sendiri.
“Kakak Linghu sangat haus dan
menginginkan buah semangka ini. Tapi, aku tidak mungkin mengambil tanpa minta
izin terlebih dulu,” ujarnya kepada diri sendiri.
Yilin lantas berjalan beberapa
ratus meter namun tidak menemukan seseorang, ataupun gubuk, rumah, dan
semacamnya. Akhirnya, ia pun kembali ke ladang tadi dan mendekati salah satu
semangka yang sudah masak. Hatinya bimbang dan ragu-ragu. Tangannya menjulur
mencoba untuk memetik buah itu namun segera ditariknya kembali begitu terbayang
wajah gurunya sedang memberi nasihat. Dengan langkah berat, ia pun berniat
pergi meninggalkan ladang tersebut.
Akan tetapi, begitu terbayang
wajah Linghu Chong yang pucat pasi dan bibirnya kering ia menjadi gelisah.
Dengan menggigit bibir biksuni muda itu merangkap kedua tangan lalu berdoa,
“Wahai, Sang Buddha... saya tidak ingin mencuri. Ini semua demi Kakak Linghu.
Kakak Linghu ingin... ingin memakan semangka ini.” Namun begitu menyimpulkan
kalau “Kakak Linghu ingin memakan semangka” bukan alasan yang bagus untuk
mencuri, seketika mata Yilin pun berkaca-kaca.
Dengan memejamkan mata dan
menggertakkan gigi, Yilin lantas menarik buah semangka itu hingga putus dari
akarnya. Dalam hati ia berpikir, “Kakak Linghu telah menyelamatkan jiwaku.
Asalkan bisa membalas kebaikannya, aku rela masuk neraka yang paling dasar dan
tidak terlahir kembali. Yang mencuri semangka ini adalah aku; tidak ada sangkut
pautnya dengan Kakak Linghu.”
Dengan menggunakan kedua tangannya,
Yilin menggendong semangka tersebut dan berjalan kembali ke tempat Linghu Chong
berada.
Linghu Chong seorang pemuda
yang berjiwa bebas. Ia tidak terlalu peduli dengan peraturan atau tata krama
bermasyarakat. Ketika Yilin mengaku lebih baik mengemis daripada mencuri, ia
hanya menilai biksuni muda itu sebagai seorang gadis kecil yang belum
berpengalaman. Sama sekali ia tidak menyadari bahwa di dalam hati si biksuni
muda telah terjadi perang batin karena memetik satu buah semangka tanpa izin
tersebut. Maka, begitu melihat Yilin datang membawa sebuah semangka untuknya,
ia terlihat sangat senang.
“Adik pintar, adik manis!”
ujarnya memuji
Seketika perasaan Yilin
tergetar begitu mendengar pujian tersebut. Hampir saja semangka itu terlepas
dan jatuh ke tanah. Untungnya, ia sempat menangkap semangka itu kembali.
“Hei, kenapa kau jadi gugup?”
tanya Linghu Chong sambil tertawa. “Apa kau baru saja dikejar orang dan dituduh
mencuri?”
“Tidak. Aku tidak dikejar
siapa-siapa,” jawab Yilin. “Tidak seorang pun yang melihatku.” Usai berkata
demikian, biksuni muda itu duduk dengan wajah bersemu merah.
Saat itu matahari sudah mulai
naik di ufuk timur. Sinarnya yang cemerlang membuat pagi itu terasa hangat dan
nyaman. Linghu Chong dan Yilin kini berada di suatu tempat teduh di lembah
Pegunungan Hengshan. Cuaca tampak begitu cerah setelah beberapa hari sebelumnya
sering turun hujan. Daun-daun pepohonan berwarna hijau bersih seolah baru saja
dicuci oleh air hujan tersebut.
Perlahan-lahan Yilin mencabut
pedangnya untuk membelah semangka. Begitu memandangi ujung pedangnya yang sudah
patah, ia pun berpikir, “Ilmu silat Tian Boguang sangat hebat. Andai saja Kakak
Linghu tidak menolongku, mungkin aku tidak akan bisa merasakan pagi yang
seindah ini lagi.”
Sekilas ia melirik ke arah
Linghu Chong yang masih pucat pasi. “Demi bisa menolong Kakak Linghu, aku rela
bergelimang dosa. Meskipun harus melanggar peraturan lebih banyak lagi aku
tidak menyesal,” demikian pikirnya.
Yilin lantas mengayunkan
pedangnya untuk membelah semangka. Ternyata semangka tersebut berasal dari
jenis yang bagus sehingga bau harumnya langsung tercium begitu dibuka.
“Semangka bagus!” puji Linghu
Chong. “Adik Yilin, aku jadi teringat perayaan tahun baru yang telah lalu. Saat
itu, aku dan murid-murid Huashan lainnya sedang minum arak bersama. Tiba-tiba
saja Adik Kecil berkata, ‘Anjing kecil di sebelah kiri, semangka bodoh di
sebelah kanan; menurut kalian apa, coba?’ Waktu itu Lu Dayou – yaitu adik
keenamku yang tadi malam mencari-cari diriku – sedang duduk di sebelah kiri
Adik Kecil, sedangkan aku duduk di sebelah kanannya.”
Yilin tersenyum menanggapi,
“Adik kecilmu sedang mengolok-olok dirimu dan Kakak Lu.”
“Tepat sekali! Tapi aku tidak
tersinggung. Aku disebutnya semangka, sedangkan Adik Lu disebut anjing kecil,”
jawab Linghu Chong. “Nah, saat ini pun kejadiannya mirip dengan waktu itu. Di
sebelah kananku ada semangka, dan di sebelah kiriku ada anjing kecil.” Sambil
berkata demikian ia menunjuk semangka, kemudian menunjuk wajah Yilin.
“Ah, kau mengolok-olok aku
sebagai anjing kecil,” ujar Yilin.
Biksuni muda itu kemudian
mengiris salah satu belahan dan memberikannya kepada Linghu Chong setelah
membersihkan bijinya. Linghu Chong segera memakan irisan itu dengan lahap.
Yilin merasa sangat senang
melihat Linghu Chong menikmati semangka irisannya. Dilihatnya air buah tersebut
menetes membasahi dagu pemuda itu yang makan sambil berbaring. Maka, Yilin pun
mengiris lebih kecil lagi dan memberikannya ke tangan Linghu Chong satu demi
satu.
Setiap kali Linghu Chong
mengulurkan tangan untuk menerima irisan baru, ia tampak meringis menahan
sakit. Tanpa banyak pikir, Yilin pun menyuapkan irisan di tangannya ke dalam
mulut pemuda itu.
Setelah menghabiskan hampir
dari setengah buah tersebut, Linghu Chong baru sadar kalau Yilin belum makan
sama sekali. Ia pun berkata, “Kau juga silakan makan.”
“Nanti saja,” jawab Yilin.
“Kau makan saja dulu sampai puas.”
“Sudah, aku sudah cukup,” kata
Linghu Chong. “Sekarang giliranmu yang makan.”
Yilin sendiri juga merasa
sangat haus. Ia lantas mengambil sepotong dan segera memakannya. Melihat Linghu
Chong memandanginya tanpa berkedip, biksuni itu merasa malu dan berputar
membelakangi.
“Wah, betapa cantiknya!” puji
Linghu Chong tiba-tiba. Ucapannya itu terdengar penuh dengan perasaan.
Yilin terperanjat. Wajahnya
semakin merah bertambah malu. Diam-diam ia berpikir, “Mengapa tiba-tiba dia
menyebutku cantik? Apa maksudnya?”
Mendengar pujian itu, perasaan
Yilin bagaikan melayang-layang di angkasa. Dadanya terasa hangat dan lehernya
sampai berwarna merah. Sedikit pun ia tidak berani menoleh ke arah Linghu
Chong.
“Coba kau lihat itu, alangkah
cantiknya!” seru Linghu Chong kembali terdengar.
Perlahan-lahan Yilin
memberanikan diri untuk menoleh. Ternyata jari Linghu Chong menunjuk ke arah langit
sebelah barat, tepatnya ke sebuah pelangi yang tampak melengkung di sana.
Baru sekarang Yilin sadar
kalau yang dipuji ‘cantik’ oleh Linghu Chong bukanlah dirinya, melainkan
pelangi tersebut. Dalam hati ia merasa sangat malu menghadapi pemuda itu. Namun
rasa malu yang sekarang ini bercampur kekecewaan; benar-benar berbeda dengan
yang sebelumnya.
“Hei, coba kau dengar
baik-baik,” kembali Linghu Chong berkata.
Yilin pun menajamkan
pendengarannya. Sayup-sayup terdengar suara gemercik air dari arah munculnya
pelangi. “Seperti suara air terjun,” katanya.
“Benar. Setelah hujan beberapa
hari biasanya di daerah pegunungan banyak tercipta air terjun,” ujar Linghu
Chong. “Mari kita ke sana untuk melihatnya.”
“Kau... kau sebaiknya
beristirahat dulu,” ujar Yilin memberi saran.
“Ah, di sini hanya ada
batu-batuan, apa bagusnya?” jawab Linghu Chong. “Lebih baik kita pergi melihat
air terjun.”
Yilin tidak membantah lagi. Ia
pun membantu pemuda itu bangkit berdiri. Tiba-tiba wajahnya kembali merah saat
berpikir, “Sudah dua kali aku menggendong Kakak Linghu. Yang pertama sewaktu
meninggalkan Rumah Minum Dewa Mabuk; dan yang kedua sewaktu kabur dari Wisma
Kumala tadi pagi. Meskipun belum pulih benar, namun saat ini dia sedang
terjaga, tidak pingsan lagi. Tidak mungkin aku menggendong tubuhnya. Aih, dia
ingin mengajakku ke dekat air terjun; mungkinkah itu hanya alasan supaya aku...
supaya aku memapah dirinya?”
Saat perasaan Yilin diliputi
tanda tanya, Linghu Chong sudah memungut sebatang ranting pohon untuk digunakannya
sebagai tongkat. Lagi-lagi Yilin salah menduga. Segera ia berjalan mendahului
pemuda itu sambil memaki diri sendiri di dalam hati, “Huh, bodohnya aku! Kenapa
aku masih suka berpikiran yang tidak-tidak? Kakak Linghu seorang kesatria
sejati. Kenapa aku berpikir bahwa dia akan berbuat macam-macam? Mungkin semua
ini karena aku sedang sendiri bersama seorang laki-laki. Aih, Kakak Linghu dan
Tian Boguang memang sama-sama laki-laki. Tapi sifat mereka sangat berbeda.
Kenapa aku menganggapnya sama dengan Tian Boguang yang cabul itu?”
Linghu Chong berjalan
sempoyongan namun masih dapat menguasai diri. Dengan langkah perlahan-lahan ia
menyusuri jalan setapak menuju ke arah suara air terjun tersebut. Sampai
akhirnya, perjalanannya terhenti karena berjumpa sebongkah batu besar. Yilin
buru-buru membantunya duduk di atas batu tersebut.
“Dari sini sudah bisa melihat
air terjun itu. Apakah kau harus melihatnya dari tempat yang lebih dekat?” ujar
biksuni itu bertanya.
“Kalau kau berkata demikian,
maka aku akan berhenti di sini,” sahut Linghu Chong tersenyum.
“Baiklah, baiklah,” jawab
Yilin mengalah. “Mungkin pemandangan di sana bisa membantu mempercepat
penyembuhanmu.”
Linghu Chong tertawa dan
bangkit perlahan-lahan. Keduanya pun melanjutkan perjalanan. Suara gemuruh air
terdengar semakin deras. Setelah melewati tanjakan dan sekelompok pepohonan,
akhirnya mereka melihat sebuah air terjun yang airnya jernih laksana dituang
dari langit.
Linghu Chong berkata, “Di
Puncak Gadis Kumala, di atas Gunung Huashan, juga terdapat air terjun seindah
ini, bahkan lebih besar lagi. Di waktu senggang, Adik Kecil suka mengajakku
berlatih pedang di depan air terjun tersebut.”
Yilin terkesiap mendengar itu.
Dadanya terasa sakit seperti dicubit karena terlintas dalam benaknya, bahwa
tujuan Linghu Chong mengajaknya ke air terjun tersebut hanya karena terkenang
kepada si adik kecil.
Terdengar Linghu Chong
melanjutkan, “Beberapa kali ia mengajakku berlatih di bawah guyuran air terjun.
Katanya, tenaga air yang jatuh akan memperkuat daya permainan pedang kami. Kami
sering basah kuyup tersiram air. Bahkan, ia pernah nyaris terperosok ke dalam
kolam di bawah air terjun tersebut. Untungnya, aku sempat menangkap tubuhnya.
Wah, kejadian itu hampir saja membuatnya celaka.”
Yilin terdiam sejenak, lalu
bertanya dengan suara datar, “Berapa jumlah adik seperguruanmu yang perempuan?”
“Di Huashan, aku memiliki
tujuh orang adik seperguruan perempuan,” jawab Linghu Chong. “Enam di antaranya
adalah murid-murid ibu guru kami, sedangkan Adik Kecil yang aku maksud adalah
putri guruku. Ia bernama Yue Lingshan. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan
‘adik kecil’.”
“Oh, jadi dia adalah putri
Paman Yue,” sahut Yilin. “Tentu dia... dia sangat baik kepadamu, bukan?”
“Linghu Chong duduk
perlahan-lahan sambil menjawab, “Aku ini seorang yatim piatu. Lima belas tahun
yang lalu, Guru dan Ibu Guru memungut diriku dan menerimaku sebagai murid.
Waktu itu Adik Kecil masih berusia tiga tahun. Usia kami berbeda cukup jauh,
dan aku sering menggendongnya untuk bersama-sama mencari buah atau menangkap
kelinci. Boleh dikata, kami berdua dibesarkan bersama-sama. Guru tidak memiliki
anak laki-laki, sehingga diriku diperlakukan seperti anak kandung. Adik Kecil
sendiri sudah seperti adik kandungku.”
“Oh, rupanya begitu,” sahut
Yilin. Ia diam sejenak kemudian kembali berkata, “Aku juga seorang yatim piatu.
Orang tuaku entah ada di mana. Sejak kecil aku sudah menjadi biksuni di bawah
asuhan Guru.”
“Sayang sekali, sayang
sekali!” gumam Linghu Chong. Yilin langsung menoleh dan memandanginya dengan
penuh tanda tanya.
“Kalau saja kau tidak menjadi
murid Bibi Dingyi, tentu aku bisa memohon kepada Ibu Guru supaya menerimamu
sebagai murid,” lanjut Linghu Chong. “Perguruan kami memiliki lebih dari dua
puluh orang murid. Setelah berlatih, kami biasa bermain sama-sama. Guru dan Ibu
Guru tidak terlalu membatasi kami dengan peraturan ketat. Jika kau bertemu Adik
Kecil, tentu kalian akan cocok dan bisa menjadi teman akrab.”
“Sayang sekali aku tidak
seberuntung itu,” jawab Yilin. “Namun di Biara Awan Putih, Guru dan para kakak
juga sangat baik kepadaku. Di sana... aku sangat bahagia.”
“Ya, aku yang salah bicara,”
ujar Linghu Chong. “Ilmu pedang Bibi Dingyi sangat hebat. Jika Guru dan Ibu
Guru sedang membicarakan ilmu pedang, Beliau berdua selalu memuji Bibi Dingyi.
Perguruan Henshan sama bagusnya dengan Perguruan Huashan kami.”
Mendengar pujian itu Yilin
menjadi bersemangat. Ia pun berkata, “Kakak Linghu, dulu kau pernah berkata
bahwa Tian Boguang dalam pertarungan sambil berdiri ada di urutan keempat belas,
sedangkan Paman Yue urutan kedelapan. Lalu, guruku masuk urutan ke berapa?”
“Ah, aku hanya menipu Tian
Boguang saja,” jawab Linghu Chong. “Tinggi atau rendahnya ilmu silat seseorang
selalu mengalami perubahan; tidak bisa ditentukan begitu saja melalui penilaian
sepihak. Ada yang mengalami kemajuan pesat, ada pula yang mengalami kemunduran,
misalnya akibat bertambahnya usia. Ilmu silat Tian Boguang memang tinggi, tapi
belum tentu ia adalah pendekar terhebat nomor empat belas di dunia persilatan.
Aku hanya menyanjungnya supaya dia senang dan menjadi lengah.”
“Oh, jadi kau hanya
membohonginya saja,” ujar Yilin. Biksuni cantik itu lalu terdiam memandangi
derasnya air terjun. Pikirannya melayang-layang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba
ia bertanya, “Kakak Linghu, apakah kau selalu membohongi orang?”
“Tergantung keadaan,” jawab
Linghu Chong sambil tertawa. “Yang perlu dibohongi harus dibohongi; yang tidak
perlu dibohongi, maka tidak perlu dibohongi. Misalnya, kepada Guru dan Ibu Guru
tidak mungkin aku berani membohongi mereka.”
“Lalu, bagaimana dengan
adik-adik seperguruanmu?” Yilin kembali bertanya. Sebenarnya ia ingin bertanya,
“Apakah kau juga sering membohongi adik kecilmu?” Namun entah mengapa ia
mengalihkan pertanyaan tersebut.
“Tergantung keadaan juga,”
jawab Linghu Chong. “Dengan sesama saudara kami sering bercanda dan bergurau.
Kalau bergurau tanpa tipu-menipu dan saling bohong rasanya kurang menarik.”
“Kepada adik kecilmu juga?”
sahut Yilin yang akhirnya bertanya demikian.
Linghu Chong mengerutkan dahi
lalu menjawab, “Untuk urusan penting aku tidak pernah berbohong kepadanya. Tapi
kalau untuk bercanda dan bermain-main, dia juga sering kubohongi.”
Diam-diam Yilin merasa iri
pada kehidupan di Huashan yang riang gembira. Selama ini ia hidup di dalam
Biara Awan Putih yang sederhana dan kaku. Biksuni Dingyi juga tidak pernah
terlihat tertawa atau bercanda. Meskipun akrab dengan saudara-saudara
seperguruan, namun pada dasarnya mereka tidak pernah bergurau satu sama lain.
Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingxian memang memiliki beberapa murid dari
kalangan bukan biksuni. Murid-murid Henshan golongan ini memang periang, namun
mereka agak segan jika bercanda dengan murid-murid golongan biksuni. Dengan
kata lain, Yilin hidup di Gunung Henshan dalam suasana kesunyian. Setiap hari
yang ia lakukan hanya membaca kitab suci, berlatih silat, atau memasak sayuran.
Begitu mendengar penuturan
Linghu Chong, seketika angan-angan Yilin melayang-layang. Ia pun berpikir,
“Alangkah bahagia andaikan aku bisa berkunjung ke Gunung Huashan dan bermain
dengan Kakak Linghu dan saudara-saudaranya. Tapi... setelah semua kejadian yang
kualami, tentu Guru akan semakin membatasi diriku. Keinginan untuk berkunjung
ke Huashan pasti hanya impian belaka. Sekalipun aku bisa datang ke sana, pasti
Kakak Linghu hanya sibuk menemani adik kecilnya; sedikit pun tidak peduli
kepadaku. Entah siapa yang sudi menemani diriku ini?” Berpikir demikian membuat
mata Yilin berkaca-kaca.
Linghu Chong yang tidak
mengetahui isi hati Yilin tetap saja bercerita sambil memandangi air terjun.
“Adik Kecil dan aku sedang menyempurnakan sebuah ilmu pedang yang kami ciptakan
dengan bantuan derasnya air terjun. Adik Yilin, apakah kau mengetahui
maksudnya?”
“Aku tidak tahu,” jawab Yilin
sambil menggelengkan kepala. Suaranya agak parau namun tidak terdengar jelas
oleh Linghu Chong.
“Saat bertemu musuh
berkepandaian tinggi, tentu tusukan atau sabetan pedangnya disertai tenaga
dalam yang mematikan. Nah, kami menganggap air terjun itu bagaikan tenaga yang
menyertai serangan musuh. Dengan berlatih di bawah air terjun, kami
membayangkan sedang menangkis serangan lawan sekaligus berusaha mengembalikan
tenaga dalamnya supaya menghantam musuh itu sendiri.”
Melihat Linghu Chong bercerita
dengan penuh semangat, Yilin berusaha tersenyum untuk tidak membuatnya kecewa.
Ia pun bertanya, “Apakah kalian sudah berhasil menguasai ilmu pedang tersebut?”
“Belum, belum!” jawab Linghu
Chong. “Menciptakan sebuah ilmu silat baru adalah pekerjaan yang sangat sulit.
Lagipula, kami tidak menciptakan jurus-jurus baru, hanya mengubah dan merangkai
beberapa jurus pedang Huashan yang sudah ada. Meskipun berlatih di air terjun
adalah sesuatu yang baru dan sangat bermanfaat, namun kami melakukannya hanya
untuk bersenang-senang. Kau dapat melihat sendiri, ilmu pedang tersebut tidak
berguna untuk menghadapi Tian Boguang.”
“Apa nama ilmu pedang yang
kalian ciptakan itu?” tanya Yilin dengan suara lirih.
“Ah, sebenarnya aku tidak
bermaksud memberinya nama,” jawab Linghu Chong. “Tapi Adik Kecil bersikeras memberinya
nama jurus Pedang Chongling, gabungan dari nama kami berdua, Linghu Chong dan
Yue Lingshan.”
“Jurus Pedang Chongling, jurus
Pedang Chongling,” demikian Yilin bergumam. “Nama ini mengandung unsur namamu
dan namanya. Kelak di kemudian hari orang akan mengetahui kalau ilmu tersebut
adalah hasil... hasil ciptaan kalian berdua.”
“Ah, itu hanya usulan Adik
Kecil saja. Dia masih sangat kekanak-kanakan,” ujar Linghu Chong sambil
tertawa. “Kepandaian kami berdua masih terlalu rendah, mana mungkin kami dapat
menciptakan ilmu pedang yang hebat? Jangan... jangan kau katakan kepada orang
lain. Aku takut jadi bahan tertawaan di dunia persilatan.”
“Baiklah, aku tidak akan
mengatakannya kepada siapa pun juga,” sahut Yilin. Sejenak ia terdiam kemudian
berkata lagi sambil tersenyum, “Tapi, ilmu pedang ciptaanmu yang lain sudah
terlanjur diketahui banyak orang.”
“Apa benar?” sahut Linghu
Chong terperanjat. “Apa Adik Lingshan yang telah menyebarluaskannya?”
Yilin tertawa dan menjawab,
“Bukan, tapi kau sendiri yang mengatakannya kepada Tian Boguang. Bukankah kau
telah menciptakan Jurus Pedang Kakus untuk menusuk lalat?”
Linghu Chong tertawa
terbahak-bahak. Ia lantas menanggapi, “Aku sengaja membual kepadanya, tapi kau
malah terus-menerus mengingatnya. Aduh....”
“Aih, semua ini salahku!” seru
Yilin gugup melihat Linghu Chong meringis kesakitan. “Lukamu sakit lagi
gara-gara aku. Sudahlah, jangan bicara lagi. Kau istirahat saja dulu.”
Linghu Chong lantas memejamkan
mata. Namun, sejenak kemudian matanya kembali terbuka dan ia pun berkata, “Aku
bersikeras datang kemari untuk melihat pemandangan indah. Namun, gara-gara
ingin mendekati air terjun membuat kita tidak bisa lagi melihat pelangi.”
Yilin berkata, “Pelangi
memiliki keindahan sebagai pelangi; air terjun memiliki keindahan sebagai air
terjun.”
“Benar sekali!” ujar Linghu
Chong. “Di dunia ini mana ada yang sempurna? Sesuatu yang dicari dengan susah
payah ternyata setelah didapatkan rasanya hanya begitu saja. Sebaliknya, barang
yang sudah dimiliki malah dibuang dengan cuma-cuma.”
“Ucapan Kakak Linghu
sepertinya mengandung pelajaran filsafat yang mendalam,” kata Yilin. “Sayang
sekali, pemahamanku masih sangat dangkal sehingga tidak mengetahui apa makna
yang terkandung di dalamnya. Andai saja Guru mendengar ucapanmu tadi, pasti
Beliau bisa memberikan penjelasan.”
“Filsafat apanya? Mana aku
tahu tentang filsafat?” ujar Linghu Chong. “Uh, aku lelah sekali.”
Perlahan-lahan pemuda itu
merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata. Sejenak kemudian ia sudah tertidur
pulas.
Yilin yang duduk di sampingnya
berusaha menghalau lalat atau nyamuk yang datang mengganggu. Lama-lama ia juga
merasa letih dan mengantuk. Namun belum sampai tertidur, biksuni muda itu
berkata dalam hati, “Kalau Kakak Linghu terbangun nanti, pasti dia merasa
lapar. Di sini tidak ada makanan. Aku terpaksa harus memetik dua semangka
lagi.”
Maka Yilin pun berangkat ke
ladang tadi dan memetik dua buah semangka. Khawatir Linghu Chong diganggu
binataang buas, ia pun bergegas kembali ke dalam lembah. Sesampainya di sana,
ternyata Linghu Chong masih terbaring di atas batu. Ia pun duduk perlahan di
samping pemuda itu.
Tiba-tiba Linghu Chong membuka
mata dan bertanya, “Aku kira kau sudah pulang,”
“Kenapa kau berpikir
demikian?” sahut Yilin heran.
“Bukankah tadi malam guru dan
kakak-kakakmu mencarimu ke mana-mana?” jawab si pemuda. “Mereka tentu sangat
khawatir atas keselamatanmu.”
Sebenarnya Yilin sudah
melupakan hal itu. Gara-gara pertanyaan Linghu Chong tersebut, ia jadi teringat
kembali dan berpikir, “Bila bertemu Guru nanti, entah Beliau akan memarahi aku
atau tidak?”
Linghu Chong kembali berkata,
“Adik Biksuni, aku benar-benar berterima kasih kau telah menemani diriku begitu
lama. Kau juga telah menyelamatkan jiwaku dari kematian. Sekarang aku sudah
cukup kuat. Lebih baik kau lekas pulang saja.”
“Tidak bisa! Mana mungkin aku
meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini?” sahut Yilin terkejut.
“Bukan begitu,” Linghu Chong
menukas. “Nanti kalau sudah sampai di rumah Paman Liu, kau bisa memberitahukan
keberadaanku ini kepada adik-adikku. Tentu mereka akan segera kemari untuk
menjaga diriku.”
Yilin terkesiap mendengarnya.
Ia pun berpikir, “Rupanya Kakak Linghu ingin aku lekas-lekas pergi dari sini
supaya bisa segera bertemu adik kecilnya. Makin cepat adik kecilnya datang, dia
merasa makin baik,” Karena berpikir demikian, hati biksuni muda ini terasa
pedih dan tanpa terasa ia pun meneteskan air mata.
Linghu Chong menjadi heran dan
bertanya, “Hei, kenapa... kenapa kau menangis? Apa kau takut dimarahi gurumu?”
Yilin menggelengkan kepala.
“Atau kau takut bertemu Tian
Boguang?” tanya Linghu Chong kemudian. “Tenang saja, dia tidak akan berani
mengganggumu lagi. Justru bila melihatmu maka dia sendiri yang akan lari
terbirit-birit.”
Tapi Yilin kembali
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Linghu Chong bertambah
bingung. Ia menoleh ke arah semangka dan berkata lagi, “Aku tahu sekarang. Kau
pasti merasa bersalah karena kembali melanggar pantangan agama, bukan?
Sudahlah, jangan dipikirkan. Aku yang akan menanggung semua dosa-dosamu.”
Namun Yilin tetap saja
menggelengkan kepala. Bahkan, air matanya mengalir semakin deras.
Linghu Chong benar-benar
bingung. Ia pun berkata, “Baiklah, mungkin ada kata-kataku yang menyinggung
perasaanmu. Adik Biksuni, kau jangan menangis lagi. Aku minta maaf.”
Perasaan Yilin sedikit lega
mendengarnya. Namun ia kembali sedih karena membayangkan Linghu Chong suka
merendahkan diri di hadapan Yue Lingshan, adik kecilnya. Mungkin mereka sering
bertengkar, dan kemudian Linghu Chong selalu yang pertama kali meminta maaf.
Maka, sekarang pemuda itu menerapkan cara tersebut kepada dirinya.
Menyadari itu semua Yilin
kembali menangis, kali ini bahkan sambil membanting-banting kakinya di atas
batu. “Aku bukan... aku bukan adikmu....” katanya kepada si pemuda. Namun
begitu teringat bahwa dirinya seorang biksuni yang tidak sepantasnya bersikap
seperti itu, dengan cepat ia pun berpaling ke arah lain.
Sekilas Linghu Chong memandang
wajah Yilin yang bersemu merah itu, dengan air mata membasahi pipi. Dalam hati
ia memuji kecantikan biksuni tersebut yang ternyata tidak kalah jika
dibandingkan dengan Yue Lingshan. Ia kemudian berkata, “Adik Biksuni, kita ini
sama-sama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Usiaku lebih tua, sehingga kau
terhitung sebagai adikku. Tolong katakan, apa kesalahanku? Apa yang membuat kau
begitu marah kepadaku?”
“Kau tidak salah apa-apa,”
sahut Yilin. “Aku tahu kau ingin agar aku cepat-cepat pergi dari sini supaya
tidak membuatmu sial seperti yang kau katakan kepada Tian Boguang dulu. Bertemu
satu biksuni, sama dengan bertemu satu... kesi... kesial....” Sampai di sini ia
tidak sanggup melanjutkan perkataan.
Linghu Chong menjadi geli
mendengarnya. Ternyata Yilin masih ingat kalau dirinya pernah berkata bahwa
biksuni adalah pembawa sial yang sangat mematikan. Maka, ia pun berkata, “Ya,
mulutku ini memang kotor dan suka bicara yang aneh-aneh. Aku telah merendahkan
kehormatan Perguruan Henshan yang mulia. Aku pantas dihajar, pantas dihukum!”
Selesai berkata demikian,
Linghu Chong pun mengangkat tangan dan segera menampar pipinya sendiri beberapa
kali. Melihat itu Yilin buru-buru mencegah, “Jangan, jangan kau teruskan!
Aku... aku tidak marah kepadamu. Aku hanya... aku hanya tidak ingin menjadi...
pembawa sial untukmu.”
“Aku pantas dihukum!” sahut
Linghu Chong sambil menampar pipinya satu kali.
“Aku tidak marah kepadamu,”
sahut Yilin sambil menggeleng. “Kakak Linghu, kau jangan... jangan memukul
dirimu sendiri.”
“Kau tidak marah kepadaku?”
tanya Linghu Chong .
Yilin hanya menganggukkan
kepalanya.
“Tapi kau belum tertawa,” ujar
si pemuda, “itu pertanda kalau kau sebenarnya masih marah kepadaku.”
Terpaksa Yilin pun tertawa.
Tapi begitu teringat nasib buruk yang menimpa dirinya, ia pun menangis kembali
dan berpaling ke arah lain. Melihat itu Linghu Chong menghela napas panjang.
Perlahan-lahan Yilin berhenti
menangis dan bertanya, “Mengapa... mengapa kau menghela napas?”
Dalam hati Linghu Chong
tertawa geli. Diam-diam ia berpikir, “Bagaimanapun juga biksuni ini hanya
seorang gadis kecil yang masih polos.”
Linghu Chong sudah
berpengalaman menghadapi Yue Lingshan. Jika sedang bertengkar dengannya, Yue
Lingshan biasanya diam tidak mau bicara. Bagaimanapun caranya Linghu Chong
membujuk tetap saja gadis itu tidak peduli kepadanya. Namun Linghu Chong
memiliki siasat istimewa, yaitu dengan cara membangkitkan rasa ingin tahu adik
kecilnya itu. Dengan demikian, Yue Lingshan pun berbalik mendesaknya.
Menghadapi Yilin yang polos
dan lugu, Linghu Chong merasa lebih mudah untuk membangkitkan rasa ingin tahunya.
Maka, ia pun menghela napas sambil memandang ke arah lain, membuat Yilin merasa
penasaran dan gugup.
“Kakak Linghu, apakah kau
marah kepadaku?” tanya biksuni muda itu.
“Ah, tidak,” jawab Linghu
Chong. “Tidak apa-apa.”
Melihat sikap pemuda itu, Yilin
semakin gugup. Ia tidak tahu kalau Linghu Chong hanya berpura-pura untuk
menghentikan tangisnya. Meskipun wajahnya terlihat kebingungan, namun dalam
hati pemuda itu sedang tertawa terpingkal-pingkal.
Yilin berkata, “Aku yang
salah. Aku telah membiarkanmu menampar wajah sendiri. Sebagai gantinya...
sebagai gantinya biar kutampar wajahku ini.”
Dengan cepat Yilin menampar
wajahnya sendiri. Ketika melayangkan tamparan kedua, Linghu Chong segera
memegang tangannya. Namun akibatnya, pemuda itu pun merintih kesakitan.
“Aih, hati-hati! Jangan sampai
lukamu pecah lagi,” seru Yilin sambil membantu Linghu Chong merebahkan diri.
“Aku ini benar-benar bodoh. Apapun yang kulakukan selalu saja salah. Apa kau
masih sakit, Kakak Linghu?”
Linghu Chong bukan seorang yang
mudah merintih kesakitan. Namun dalam kesempatan itu ia sengaja merintih
beberapa kali untuk memancing Yilin supaya berhenti menangis.
Tentu saja Yilin menjadi
khawatir. “Apakah sangat sakit?” tanya biksuni itu sambil meraba dahi Linghu
Chong.
“Ya, sakit sekali!” jawab
Linghu Chong sambil pura-pura meringis. “Tapi sayang, Adik Keenam tidak ada...
tidak ada di sini.”
“Kenapa? Apakah dia memiliki
obat mujarab?” Yilin bertanya dengan heran.
“Benar, tapi obatnya terletak
dimulut, “Jawab Linghu Chong. “Dulu bila aku terluka dan kesakitan, dia selalu
menghiburku dengan berbagai macam lelucon yang menggelikan. Dengan demikian
rasa sakitku jadi berkurang. Tapi sayang, dia tidak berada di sini. Aduh...
sakit sekali!”
Yilin menjadi serbasalah.
Selama hidup di dalam bimbingan Biksuni Dingyi, setiap hari kegiatannya
hanyalah berdoa, membaca kitab, atau berlatih pedang. Sama sekali ia jarang
bergurau apalagi bercerita lucu. Tentu saja menggantikan peran Lu Dayou akan
menjadi masalah yang mahasulit baginya.
“Kakak Lu tidak ada di sini,
sedangkan Kakak Linghu ingin mendengar lelucon. Entah bagaimana aku harus...
aku harus menceritakan sebuah cerita lucu kepadanya?” demikian pikirnya.
Tiba-tiba Yilin teringat
sesuatu. Ia pun berkata, “Kakak Linghu, aku tidak bisa melucu. Hanya saja, aku
pernah membaca sebuah kitab yang isinya sangat menarik. Namanya ‘Kitab Seratus
Dongeng’. Apakah kau pernah mendengarnya?”
Linghu Chong menggeleng dan
menjawab, “Tidak pernah. Aku tidak pernah membaca kitab agama Buddha.”
Yilin terlihat malu dan
berkata, “Aku yang bodoh. Sudah jelas kau ini bukan penganut agama Buddha,
kenapa aku mengajukan pertanyaan bodoh demikian?” Ia diam sejenak lalu
melanjutkan, “Kitab Seratus Dongeng ditulis oleh biksu agung dari India bernama
Gazena. Di dalamnya banyak terdapat cerita menarik.”
“Baiklah,” sahut Linghu Chong.
“Maukah kau menceritakan beberapa bagian yang lucu kepadaku?” pinta pemuda itu
supaya Yilin melupakan kesedihannya.
Yilin pun mengingat-ingat
sejenak, kemudian bercerita, “Baiklah, aku akan bercerita. Pada zaman dahulu
tersebutlah seorang gundul dan seorang petani yang hidup di sebuah desa. Si
gundul itu bukan seorang pendeta Buddha seperti kami, melainkan sudah bawaan
sejak lahir. Kepalanya memang tidak bisa ditumbuhi rambut. Entah karena
kesalahan apa, pada suatu hari si gundul dan si petani bertengkar. Si petani
yang sangat marah memukul kepala si gundul sampai berdarah. Anehnya, si gundul
sama sekali tidak melawan atau menghindar. Ia justru tertawa terbahak-bahak.
Ketika ada orang bertanya, si gundul pun menjawab, ‘Petani itu sangat bodoh.
Kepalaku ini disangkanya sebongkah batu sehingga dia pun memukulku menggunakan
cangkul. Jika tadi aku menghindar, tentu akan membuat dia berubah menjadi
pintar.’”
Linghu Chong tertawa
mendengarnya. Ia berkata, “Cerita bagus! Si gundul benar-benar sangat pintar.
Meskipun dipukul sampai mati juga dia tidak akan menghindar. Hahaha, lucu
sekali!”
Melihat Linghu Chong tertawa,
Yilin merasa senang. Ia pun melanjutkan dengan cerita lain, “Kali ini aku akan
bercerita tentang seorang raja dan tabib. Sang raja memiliki watak yang tidak
sabaran. Ia mempunyai seorang putri yang masih kecil, tapi ingin menjadikannya
besar dalam waktu singkat. Sang tabib pun dipanggil menghadap untuk
melaksanakan keinginannya itu. Tabib itu mengaku memiliki resepnya, namun untuk
mengumpulkan bahan obatnya dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Untuk itu,
tabib pun meminta kepada raja supaya mengizinkan sang putri agar tinggal
bersamanya. Sang raja juga dilarang mendesak supaya obat ajaib tersebut bisa
cepat selesai. Raja setuju. Tabib pun membawa sang putri tinggal di rumahnya.
Setiap beberapa hari sekali ia melapor kepada raja tentang perkembangannya
mengumpulkan bahan-bahan resep obat ajaib untuk membesarkan sang putri.
Kejadian tersebut berlangsung sampai dua belas tahun lamanya. Akhirnya, tabib
pun melapor kepada raja bahwa resepnya telah sempurna dan sang putri telah
berubah menjadi gadis remaja. Raja sangat senang melihat perubahan putrinya. Ia
pun memuji kepandaian sang tabib dan memberikan hadiah besar kepadanya.”
Linghu Chong kembali tertawa.
Ia berkata, “Kau bilang raja itu sifatnya tidak sabaran? Padahal, dia sudah
bersabar menunggu resep si tabib selama dua belas tahun. Hahaha, kalau aku yang
menjadi tabib itu, cukup hanya satu hari saja aku bisa menjadikan bayi putri
tersebut menjadi gadis remaja yang cantik jelita.”
“Bagaimana caranya?” tanya
Yilin keheranan. “Apakah kau bisa bermain sulap?”
“Mudah sekali, asalkan kau mau
membantuku,” jawab Linghu Chong.
“Membantu bagaimana?” sahut
Yilin.
“Ya, aku akan segera membawa
pulang bayi putri tersebut dan kemudian memanggil empat orang tukang jahit.”
Yilin menukas, “Tukang jahit?
Untuk apa?”
“Untuk menjahit pakaian secara
kilat. Akan kusuruh mereka membuatkan pakaian bagus untukmu,” jawab Linghu
Chong. “Esok harinya, aku akan membawamu lengkap dengan pakaian bagus dan
perhiasan indah menghadap raja. Tentu sang raja akan terkesima dan gembira
melihat putrinya telah berubah dewasa dalam waktu semalam saja, berkat obat ajaib
ciptaan tabib sakti Linghu Chong. Karena gembiranya, sang raja pasti tidak
sempat memeriksa apakah dirimu putrinya yang asli atau bukan. Dan yang pasti,
Tabib Linghu Chong akan memperoleh hadiah yang sangat besar.”
Yilin ikut tertawa mendengar
akal Linghu Chong. Bahkan, biksuni muda itu sampai terpingkal-pingkal dan
memegangi perutnya menahan geli. “Kakak Linghu memang cerdik. Bahkan, kau lebih
pintar daripada tabib istana itu,” katanya. “Hanya sayang, wajahku jelek. Sama
sekali tidak mirip seorang putri raja.”
Linghu Chong menyahut, “Kalau
wajahmu disebut jelek, maka di dunia ini tidak ada lagi yang bisa disebut
cantik. Pada zaman ini paling tidak ada sepuluh ribu orang putri kerajaan,
namun tidak seorang pun yang bisa menandingi kecantikanmu.”
Yilin terkesiap mendengar
pujian itu. Ia pun menegas, “Memangnya kau pernah bertemu sepuluh ribu orang
putri-putri itu? Jika tidak, bagaimana kau bisa membandingkannya denganku?”
Linghu Chong menjawab, “Tentu
saja! Aku pernah mengamati mereka satu per satu di dalam mimpiku.”
“Hei, berarti kau selalu mimpi
bertemu putri raja?” sahut Yilin tersenyum.
Linghu Chong tertawa dan
menjawab, “Begitulah, aku....” Tiba-tiba ia merasa tidak pantas membual seperti
itu kepada seorang biksuni muda yang polos dan lugu. Mengajaknya bercanda saja
sudah merupakan pelanggaran bagi mereka. Maka, ia pun berpura-pura menguap
untuk mengalihkan pembicaraan.
“Ah, Kakak Linghu sudah mulai
mengantuk,” kata Yilin. “Silakan Kakak beristirahat saja.”
“Baiklah,” ujar Linghu Chong.
“Ceritamu tadi sangat manjur. Sekarang lukaku tidak terasa sakit lagi.”
Linghu Chong pun memejamkan
mata. Dalam hati ia tertawa karena berhasil membuat Yilin melupakan
kesedihannya, bahkan kini tersenyum gembira.
Setelah Linghu Chong tertidur,
Yilin mengibas-ngibaskan sebatang ranting untuk mengusir nyamuk dan lalat.
Suara katak dan jengkerik bersahut-sahutan terdengar begitu merdu. Yilin yang
sebenarnya sangat letih merasa mengantuk pula. Pelupuk matanya terasa semakin
berat dan berat. Akhirnya, ia pun terkulai dan sekejap kemudian sudah melayang
di alam mimpi.
Dalam mimpinya itu, Yilin
merasa dirinya sedang memakai pakaian seorang putri raja yang indah dan
gemerlapan. Seorang pemuda tampan yang tidak lain adalah Linghu Chong tampak
menggandeng tangannya. Mereka pun berjalan bersama memasuki sebuah istana yang
besar dan megah. Dari dalam istana itu mereka lantas melayang terbang ke
angkasa dan mennyusup di balik awan dengan tetap bergandeng tangan. Tiba-tiba
muncul seorang biksuni tua dengan pedang terhunus dan mata melotot berwarna
merah. Biksuni tersebut tidak lain adalah Dingyi, sang guru sendiri. Yilin
sangat terkejut. Terdengar Dingyi berkata, “Kau babi hina! Kau tidak hanya
melanggar peraturan biara, tapi juga berhenti menjadi biksuni dan memilih
sebagai putri raja, serta bergaul dengan bajingan rendah ini. Dosamu besar
tidak terampuni.” Karena takut, Yilin pun cepat-cepat menarik lengan Linghu
Chong untuk mengajaknya melarikan diri. Tapi pegangan tangannya hanya meraih
tempat kosong. Suasana seketika berubah gelap. Tidak terlihat apa-apa lagi.
Linghu Chong menghilang, Biksuni Dingyi juga menghilang. Karena terkejut, Yilin
pun berteriak, “Kakak Linghu, Kakak Linghu!”
Seketika biksuni muda itu
terbangun dari tidurnya. Ia baru sadar kalau semua hanyalah impian belaka.
Dilihatnya ke samping ternyata Linghu Chong sudah bangun dan memandanginya
dengan mata terbuka lebar.
“Aku... aku....” ujarnya
dengan penuh rasa malu.
“Kau baru saja bermimpi?”
tanya Linghu Chong.
Yilin merasa serbasalah untuk
menjawab. Sekilas ia melihat wajah Linghu Chong terkesan aneh, seperti sedang
menahan rasa sakit. Dengan cepat ia pun bertanya, “Apakah lukamu sakit lagi?”
“Tidak masalah!” jawab Linghu
Chong dengan suara gemetar. Keringat pun membasahi dahi pemuda itu, pertanda ia
sedang menahan rasa sakit yang luar biasa.
“Apa yang harus aku lakukan?
Apa yang harus aku lakukan?” ujar Yilin agak bergumam dengan perasaan sangat
khawatir. Ia pun mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap keringat Linghu Chong.
Dahi pemuda itu terasa panas seperti terbakar.
Yilin pernah mendengar dari
gurunya, bahwa jika seseorang menderita demam akibat luka senjata tajam, maka
keadaannya sungguh berbahaya. Karena didorong rasa cemas dan khawatir, seketika
ia pun duduk dan berdoa. Mula-mula suaranya terdengar gugup dan gemetar. Namun
lama-kelamaan setelah perasaannya agak tenang, ia pun berdoa dengan suara yang
lantang dan penuh keyakinan.
“Bagi semua makhluk hidup,
barangsiapa bertemu suatu masalah; seberat apapun masalah itu, jika ia berdoa
kepada Dewi Guanyin dengan penuh penyerahan diri, maka Dewi Guanyin akan
mendengar permohonannya dan memberikan pertolongan. Barangsiapa terjebak dalam
kobaran api, maka api tidak akan membakarnya. Itu semua berkat keagungan Dewi
Guanyin yang welas asih. Barangsiapa yang diterjang ombak dan badai, sedangkan
dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka dia akan mengapung dan tidak akan
tenggelam....” demikian doa biksuni muda tersebut. Doa tersebut diambilnya dari
Kitab Kekuatan Suci Dewi Guanyin. Dari suaranya yang sungguh-sungguh, tampak
jelas betapa Yilin merupakan seorang penganut ajaran Buddha yang sangat taat.
Terdengar Yilin melanjutkan,
“Barangsiapa yang hendak dibunuh orang dan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka
senjata si pembunuh akan hancur berkeping-keping. Jika setan dan iblis datang
mengganggu, namun dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka setan dan iblis terebut
tidak dapat melihat dirinya. Barangsiapa sedang terbelenggu, apabila dia berdoa
kepada Dewi Guanyin, maka belenggu itu akan terbuka dan pecah. Dengan demikian ia
bisa lolos dan menyelamatkan diri....”
Linghu Chong merasa geli
melihat perbuatan Yilin yang polos itu. Tanpa sadar ia pun tertawa cekikikan.
“Apanya yang lucu?” sahut
Yilin terkejut.
“Jika doamu itu benar, maka
aku tidak perlu susah payah berlatih silat. Jika ada musuh hendak menyerangku
maka aku cukup berdoa saja kepada Dewi Guanyin dan mereka akan pergi sendiri,”
jawab Linghu Chong.
“Kakak Linghu, kau jangan
bersikap kurang hormat kepada Dewi Guanyin,” sahut Yilin tidak terima. “Jika
aku tidak bersungguh-sungguh, maka doa ini tidak akan dapat menyembuhkanmu.”
Usai berkata demikian ia
lantas melanjutkan, “Barangsiapa dikepung kawanan binatang buas, dan dia berdoa
kepada Dewi Guanyin, maka binatang-binatang itu akan pergi meninggalkannya.
Barangsiapa bertemu ular dan kalajengking beracun, dan dia berdoa kepada Dewi
Guanyin, maka binatang-binatang itu akan kembali masuk ke dalam liang.
Barangsiapa bertemu hujan lebat disertai halilintar menyambar-nyambar, dan dia
berdoa kepada Dewi Guanyin, maka segala cuaca buruk akan menyingkir. Bagi semua
makhluk hidup terdapat berbagai macam kesulitan dan marabahaya, namun kekuatan
suci Dewi Guanyin akan menolong kita semua....”
Linghu Chong dapat mendengar
dengan jelas betapa tulus doa yang disampaikan Yilin terhadap Dewi Guanyin.
Meskipun suaranya sangat lirih, namun biksuni muda itu berdoa dengan
kesungguhan hati dan penuh perasaan kepada Sang Boddhisattva. Terlihat betapa
dia membuka segenap perasaannya dan berdoa dari lubuk hati yang paling dalam
untuk mendapatkan berkah kekuatan dari Dewi Guanyin. Sampai akhirnya, ia berdoa,
“Dewi Guanyin, aku mohon kepadamu untuk melenyapkan semua penderitaan Kakak
Linghu, dan memindahkannya kepada diriku. Aku rela diubah menjadi babi, atau
masuk ke dalam neraka, asalkan Dewi Guanyin menyembuhkan luka Kakak Linghu....”
Linghu Chong tidak bisa
berkata-kata lagi. Hatinya merasa sangat terharu dan matanya berkaca-kaca.
Sejak kecil ia hidup sebatang kara sampai akhirnya diambil sebagai murid Yue
Buqun dan istrinya. Namun karena terlalu nakal, maka yang lebih sering ia
dapatkan bukan belaian kasih sayang, melainkan hukuman dan pukulan dari sang
guru. Murid-murid Huashan memang mematuhinya, namun itu hanya sekadar suatu
kewajaran saja dalam tata krama perguruan. Sementara itu, Yue Lingshan memang
sangat dekat dengannya, namun tetap saja tidak sebaik Yilin yang rela berkorban
apa saja asalkan bisa melihat dirinya selamat. Linghu Chong merasa tidak tahu
bagaimana harus berterima kasih kepada biksuni cantik itu.
Doa Yilin semakin lama semakin
terdengar lembut. Dalam penglihatannya ia merasa benar-benar bertemu bayangan
Dewi Guanyin di hadapannya. Daun pohon willow yang melambai-lambai ditiup angin
membuat Linghu Chong merasa sangat nyaman. Ia juga merasa demamnya sudah banyak
berkurang. Pemuda itu pun terbuai dan akhirnya jatuh tertidur pulas.
Keadaan di lembah pegunungan
yang sunyi senyap tempat Linghu Chong memulihkan diri sungguh berbeda jauh
dengan kediaman Liu Zhengfeng yang semakin ramai didatangi tamu. Kali ini Liu
Zhengfeng menerima laporan dari para muridnya bahwa Yue Buqun ketua Perguruan Huashan
telah datang pula. Buru-buru ia keluar ke halaman untuk menyambut kedatangan Si
Pedang Budiman yang sangat terkenal itu. Sama sekali Liu Zhengfeng tidak
menyangka kalau Yue Buqun akan datang secara langsung menyaksikan upacara
pengunduran dirinya.
Yue Buqun sendiri menerima
sambutan sang tuan rumah dengan tutur kata sopan santun dan penuh penghormatan.
Berdampingan dengan Liu Zhengfeng, ia pun berjalan menuju pintu utama, di mana
Pendeta Tianmen, Biksuni Dingyi, Yu Canghai, Tuan Wen, dan He Sanqi sudah
menunggu di sana. Satu per satu mereka menyambut Yue Buqun dengan ramah tamah;
dan sebaliknya, Yue Buqun pun membalas sambutan mereka dengan penuh tata krama.
Di antara para tokoh
persilatan papan atas itu, hanya Yu Canghai seorang yang menyembunyikan
kecurigaan. Diam-diam ia berpikir, “Liu Zhengfeng hanya seorang tokoh nomor dua
di Perguruan Hengshan. Sudah pasti Yue Buqun datang kemari bukan untuk
memberikan penghormatan kepadanya, melainkan untuk membuat perhitungan
denganku. Huh, Serikat Pedang Lima Gunung bersatu padu melawan diriku. Tapi,
Perguruan Qingcheng pantang untuk direndahkan. Jika dia mulai mendesakku, maka
aku akan lebih dulu mengungkit perihal Linghu Chong yang telah tidur dengan
pelacur. Dengan demikian, si tua Yue akan kehilangan muka di depan umum. Tapi,
kalau dia nekad menyerangku, mau tidak mau aku harus menghadapinya dengan
sekuat tenaga.”
Akan tetapi, begitu tiba
giliran Yue Buqun menyapa Yu Canghai, ketua Huashan itu tetap menampilkan wajah
ramah dengan sedikit membungkukkan badan. Ia berkata, “Pendeta Yu, sudah lama
kita tidak bertemu. Kau terlihat jauh lebih hebat.”
Yu Canghai segera balas
membungkuk dan menjawab, “Sepertinya kau juga semakin matang, Tuan Yue.”
Liu Zhengfeng lalu mendampingi
tamu kehormatannya itu beserta para tokoh papan atas lainnya masuk ke dalam
ruangan utama. Terlihat para tamu bercakap-cakap satu sama lain, dan sebagian
dari mereka berbondong-bondong menyambut kedatangan Yue Buqun. Hari itu adalah
hari pelaksanaan upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Dengan menjalani upacara
tersebut, Liu Zhengfeng resmi mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sekitar
satu jam menjelang tengah hari, Liu Zhengfeng masuk ke dalam untuk
mempersiapkan diri, sementara urusan melayani tamu diserahkan kepada
murid-muridnya yang dipimpin Xiang Danian dan Mi Weiyi.
Siang itu para tamu yang hadir
bertambah lima ratus orang lagi. Di antara mereka terlihat Zhang Jin’ao, wakil
ketua Partai Pengemis; Pendeta Xia dari Sanggar Zhengzhou, beserta ketiga
menantunya; Nenek Tie dari Puncak Perawan Suci di daerah Szechwan; Pang Gong,
pemimpin Partai Pasir Laut dari lautan timur; serta Bai Ke si Golok Sakti dan
Lu Xisi si Pena Sakti, dua sekawan dari Sungai Qu. Para tamu yang memenuhi
rumah Liu Zhengfeng itu ternyata hanya sedikit yang saling mengenal dan
kebanyakan dari mereka hanya pernah mendengar nama saja. Maka itu, suasana pun
semakin ramai karena orang-orang itu saling bercakap-cakap sambil bergelak
tawa.
Pendeta Tianmen dan Biksuni
Dingyi merasa risih melihat kedatangan para pendekar yang tidak jelas tersebut.
Keduanya memilih berdiam diri di kursi masing-masing. Dalam hati mereka
berpikir, “Tamu yang hadir di sini memang sangat banyak. Akan tetapi, tidak
semuanya di antara mereka yang memiliki nama baik di dunia persilatan. Sebagian
lagi adalah orang-orang yang tidak jelas. Liu Zhengfeng seorang tokoh terkemuka
di Perguruan Hengshan, tapi mengapa dia suka bergaul melebihi batas? Bukankah
ini bisa merendahkan Serikat Pedang Lima Gunung?”
Di lain pihak, Yue Buqun
terlihat sangat ramah kepada para tamu tersebut. Tanpa pandang bulu, ketua
Perguruan Huashan tersebut bercakap-cakap dengan siapa saja yang datang untuk
menyapanya. Sama sekali ia tidak menunjukkan sikap angkuh sebagai seorang
pemimpin perguruan ternama.
Sementara itu, murid-murid Liu
Zhengfeng sudah mempersiapkan lebih dari dua ratus meja perjamuan, baik di
dalam maupun di luar ruangan utama. Mereka terlihat sibuk mempersilakan para
tamu untuk duduk di tempat yang sudah disediakan.
Dalam ruangan tersebut
terdapat sebuah kursi kehormatan. Menurut peraturan, yang seharusnya duduk di
situ adalah Pendeta Tianmen yang merupakan ketua sebuah perguruan ternama dan
berusia paling tua. Namun, ia merasa segan kepada Yue Buqun dan Biksuni Dingyi
yang juga memiliki kedudukan penting dalam Serikat Pedang Lima Gunung.
Akibatnya, ketiga tokoh tersebut saling mengalah dan saling mempersilakan untuk
menduduki kursi kehormatan tersebut.
Tiba-tiba terdengar suara
ribut-ribut di luar. Selain terdengar suara genderang dan simbal ditabuh, juga
terdengar suara teriakan-teriakan meminta para hadirin agar memberi jalan.
Jelas ini merupakan pertanda bahwa ada seorang pembesar kerajaan yang datang.
Liu Zhengfeng buru-buru keluar
dari ruangan dalam dengan mengenakan jubah barunya. Para hadirin serentak berdiri
untuk mengucapkan selamat, namun Liu Zhengfeng hanya tersenyum dan merangkap
tangan sambil terus melangkah keluar. Sejenak kemudian ia masuk kembali dengan
berjalan berdampingan bersama seorang pria yang berdandan seperti seorang
pejabat pemerintahan. Melihat wajahnya yang pucat dan cara berjalannya yang
lemah, jelas pembesar tersebut tidak menguasai ilmu silat.
Diam-diam para hadirin
berpikir, “Liu Zhengfeng seorang kaya raya dan sangat terpandang di Kota
Hengshan. Sudah tentu ia banyak mengenal para pejabat pemerintahan. Maka itu,
tidak mengherankan kalau dalam upacaranya kali ini ada seorang pejabat yang
hadir untuk memberikan selamat kepadanya.”
Pembesar kerajaan itu berjalan
dengan angkuh dan kemudian berhenti tepat di tengah-tengah ruangan. Seorang
pengawal lantas berlutut di hadapannya menyerahkan sebuah nampan berlapiskan
sutra kuning. Segulung kertas tampak tertaruh di atas nampan tersebut. Sang
pembesar segera meraih gulungan kertas itu dan berteriak dengan suara keras,
“Titah Yang Mulia Kaisar, hendaklah Liu Zhengfeng menyambut dengan segera!”
Para hadirin terperanjat
mendengarnya. Menurut mereka, upacara Cuci Tangan Baskom Emas hanya berkaitan
dengan pengunduran diri Liu Zhengfeng dari dunia persilatan. Lantas, kenapa
kini pihak pemerintah datang untuk menyampaikan titah kaisar? Mungkinkah niat
Liu Zhengfeng mengundurkan diri adalah untuk mempersiapkan pemberontakan?
Mungkinkah rencana itu telah terbongkar sehingga pihak pemerintah pun mengirim
utusan untuk menumpas Liu Zhengfeng?
Para hadirin yang rata-rata
berpikiran sama segera meraba senjata masing-masing. Mereka yakin begitu surat
kaisar dibacakan, serentak para prajurit kerajaan akan mengepung kediaman
Keluarga Liu. Oleh sebab itu, mereka pun bersiap-siap menghadapi pihak tersebut
daripada harus mati konyol. Asalkan Liu Zhengfeng memberi aba-aba, tentu mereka
segera bergerak menghabisi nyawa sang pembesar beserta para prajurit
pengawalnya.
Ternyata Liu Zhengfeng
terlihat tenang-tenang saja menghadapi utusan kaisar tersebut. Bahkan, ia
kemudian berlutut di hadapan sang pejabat sambil berseru, “Hamba, Liu
Zhengfeng, siap menerima titah Yang Mulia Kaisar!”
Para hadirin terperanjat
melihat pemandangan ini.
Sang pejabat pun membuka
gulungan surat di tangannya kemudian membaca dengan suara lantang, “Titah
Kaisar: Berdasarkan laporan gubernur Hunan, bahwa penduduk Kota Hengshan
bernama Liu Zhengfeng banyak berjasa bagi kesejahteraan rakyat, serta mahir
dalam ilmu silat. Maka dengan ini, ia dianugerahi pangkat sebagai sersan. Mulai
sekarang, Liu Zhengfeng dapat bertugas membaktikan diri kepada pemerintahan
untuk membalas budi baik Yang Mulia Kaisar.”
Segera Liu Zhengfeng bersujud
beberapa kali sambil berkata, “Terima kasih atas kemurahan hati Yang Mulia!” Ia
kemudian bangun kembali dan tidak lupa memberi hormat kepada pejabat tersebut.
“Terima kasih banyak atas kebaikan Pembesar Zhang,” lanjutnya.
“Selamat! Selamat!” sahut sang
pembesar yang bermarga Zhang itu sambil tertawa. “Mulai sekarang Sersan Liu dan
aku sama-sama pejabat pemerintahan. Kita sama-sama mengabdi kepada Yang Mulia
Kaisar. Untuk itu, kau tidak perlu segan-segan lagi.”
“Hamba hanya seorang bodoh
yang tidak berpengalaman. Untuk selanjutnya, hamba memohon bimbingan dan arahan
dari Pembesar Zhang,” ujar Liu Zhengfeng. “Hari ini hamba menerima jabatan dari
Yang Mulia Kaisar. Tentu saja ini tidak lepas dari kebaikan hati Tuan Gubernur
dan Pembesar Zhang.”
“Ah, tidak juga, tidak juga,”
sahut Pembesar Zhang sambil tersenyum.
Liu Zhengfeng membalas senyum,
kemudian berkata kepada adik iparnya, “Adik Fang, tolong ambilkan sedikit
hadiah untuk Pembesar Zhang.”
Fang Qianju menjawab, “Semua
hadiah telah siap, Kakak Ipar.” Usai berkata demikian ia pun masuk ke dalam dan
sejenak kemudian muncul kembali dengan membawa sebuah nampan bundar yang di
atasnya terdapat bungkusan kain beludru.
Liu Zhengfeng mengambil alih
nampan tersebut dan menyodorkannya kepada Pembesar Zhang sambil berkata, “Ini
ada sedikit oleh-oleh, tentu tidak sebanding dengan kebaikan Pembesar Zhang
kepada hamba. Mohon Pembesar Zhang sudi menerimanya.”
“Ah, kita ini sudah seperti
saudara. Tidak perlu seperti ini,” jawab Pembesar Zhang sambil tertawa. Ia
lantas berkedip ke arah pengawalnya. Si pengawal tanggap dan segera mengambil
alih nampan tersebut dari tangan Liu Zhengfeng.
Dengan wajah berseri-seri,
Pembesar Zhang berkata, “Untuk urusan dinas saya tidak boleh terlalu lama di
sini. Marilah kita minum barang tiga cawan, dengan harapan semoga Sersan Liu
lekas-lekas naik pangkat ke tingkatan selanjutnya.”
Para pelayan rupanya sudah
mempersiapkan diri sedemikian rupa. Mereka pun menyodorkan nampan berisi sepoci
arak dengan dua cawan untuk sang pembesar dan tuan rumah. Setelah masing-masing
minum tiga cawan, Pembesar Zhang pun mohon diri dengan diantarkan Liu Zhengfeng
sampai ke depan pintu utama rumahnya. Suara genderang dan simbal kembali
berbunyi mengiringi kepergian mereka.
Peristiwa ini benar-benar di
luar dugaan para hadirin yang hampir semuanya berasal dari kalangan persilatan.
Tampak wajah mereka menampilkan perasaan kaget bercampur malu. Meskipun bukan
pemberontak, rata-rata mereka hidup bebas dan tidak sudi mematuhi aturan
kerajaan. Oleh karena itu, ketika menyaksikan Liu Zhengfeng bersujud dan
merendahkan diri di hadapan seorang pejabat istana untuk menerima sebuah
pangkat, mereka merasa sayang dan sangat kecewa. Sebagian dari mereka tampak
memandang Liu Zhengfeng dengan penuh penghinaan. Diam-diam mereka berpikir,
“Entah berapa jumlah uang yang dikeluarkan Liu Zhengfeng untuk membeli pangkat
sersan tersebut? Dilihat dari bobot bungkusan di atas nampan tadi, sepertinya
berisi emas murni, bukan perak. Huh, padahal dia seorang tokoh nomor dua di
Perguruan Hengshan yang terkenal jujur dan murah hati. Tak disangka, ketika
memasuki hari tua justru terpikat pada kedudukan sebagai pejabat kerajaan.”
Liu Zhengfeng sendiri telah
kembali ke dalam ruangan utama dan mempersilakan para hadirin duduk di kursi
masing-masing. Meja dan kursi di dalam ruangan tersebut tampak tersusun ke
dalam tiga deretan. Deretan tengah merupakan tempat duduk golongan Serikat
Pedang Lima Gunung dan beberapa perguruan ternama lainnya. Kursi utama di
deretan tengah ini tetap kosong karena Pendeta Tianmen yang seharusnya duduk di
sana merasa segan. Kursi utama di deretan kiri diduduki oleh Pendeta Xia dari
Sanggar Zhengzhou, sementara kursi utama di deretan kanan diduduki oleh Zhang
Jin’ao dari Partai Pengemis. Meskipun Zhang Jin’ao bukan seorang tokoh ternama,
namun Partai Pengemis sendiri memiliki jumlah anggota yang begitu besar dan
tersebar di mana-mana. Selain itu, sang ketua partai yang bernama Xie Feng juga
seorang tokoh terkemuka di dunia persilatan dan memiliki kepandaian sangat
tinggi. Berdasarkan itu, para hadirin merasa maklum jika Liu Zhengfeng menaruh
penghormatan besar kepada partai tersebut yang kini diwakili Zhang Jin’ao.
Setelah semua hadirin duduk
kembali, para pelayan muncul dengan membawa berbagai macam hidangan. Mi Weiyi
tampak mengusung sebuah meja kecil dan meletakkannya di tengah ruangan, disusul
kemudian Xiang Danian muncul dengan membawa sebuah baskom terbuat dari emas
gemerlapan. Baskom tersebut sudah berisi air dan segera diletakkan di atas meja
tersebut. Di luar rumah terdengar tiga kali bunyi petasan turut meramaikan
suasana.
Liu Zhengfeng maju ke tengah
ruangan sambil merangkap tangan memberi hormat kepada semua tamunya. Para
hadirin segera bangkit untuk membalas hormat. Sejenak kemudian, Liu Zhengfeng
pun menyampaikan pidato sambutannya. “Para hadirin sekalian, saudara-saudaraku
dari berbagai perguruan. Sungguh aku merasa sangat berterima kasih atas
kesediaan kalian mengunjungi kediamanku ini. Hari ini aku mengadakan upacara
Cuci Tangan Baskom Emas dan untuk selanjutnya tidak lagi berurusan dengan dunia
persilatan. Dalam hal ini Saudara-Saudara tentu sudah tahu apa alasanku. Aku
baru saja diangkat sebagai pejabat kerajaan sebagaimana yang kalian saksikan
tadi. Sebagai seorang pejabat, aku wajib taat dan patuh terhadap peraturan
pemerintah. Sebaliknya, orang-orang dunia persilatan pada umumnya lebih
mementingkan persaudaraan dan setiakawan. Apabila terjadi suatu perselisihan
tentu aku akan sulit untuk menegakkan keadilan. Maka dari itu, aku memutuskan
untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan mulai saat ini. Apabila
murid-muridku ingin masuk ke perguruan lain, aku persilakan dengan tulus. Kelak
jika Saudara-Saudara berkunjung ke kota Hengshan ini, akan tetap kusambut
sebagai seorang sahabat. Tapi mengenai urusan dunia persilatan, sama sekali aku
tidak mau ikut campur lagi.” Usai berkata demikian, ia kembali memberi hormat kepada
tamu-tamunya.
Para hadirin bertanya-tanya di
dalam hati mengenai keputusan Liu Zhengfeng tersebut. Ada sebagian yang
berpikir, “Jika dia ingin menjadi pejabat istana, apa hendak dikata? Setiap
orang punya cita-cita sendiri. Biarlah dunia persilatan kehilangan manusia
serakah seperti dia. Masa bodoh dengan urusannya.”
Ada pula yang berpikir, “Huh,
Liu Zhengfeng benar-benar membuat malu perguruannya. Pantas saja Tuan Besar Mo
selaku ketua Perguruan Hengshan tidak sudi menghadiri acara ini. Rasanya tidak
hanya Perguruan Hengshan saja yang dirugikan, bahkan seluruh anggota Serikat
Pedang Lima Gunung juga merasa direndahkan martabatnya.”
“Serikat Pedang Lima Gunung
sangat menjaga kehormatan dan tata krama. Aku yakin, mereka tidak setuju dan
merasa sangat diredahkan oleh perbuatan Liu Zhengfeng ini. Namun demi menjaga
hubungan baik, mereka memilih diam tidak bersuara.”
Namun ada pula yang berpikir
demikian, “Siapa bilang Serikat Pedang Lima Gunung selalu menjaga kehormatan?
Liu Zhengfeng telah berlutut dan bersujud demi untuk menerima pangkat kerajaan.
Apakah ini yang disebut dengan kehormatan?”
Begitulah, karena setiap orang
tenggelam dalam pikiran masing-masing, maka suasana di ruangan tersebut menjadi
sunyi senyap. Menanggapi pengangkatan Liu Zhengfeng tadi seharusnya mereka
mengucapkan pujian dan selamat. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya;
sama sekali tidak ada yang terlihat membuka suara.
Liu Zhengfeng sendiri tidak
begitu peduli terhadap sikap tamu-tamunya. Ia lalu menghadap keluar seolah-olah
hendak berbicara kepada para leluhur yang telah tiada. Sesaat kemudian ia pun
berseru lantang, “Saya, Liu Zhengfeng, berterima kasih terhadap semua budi baik
Guru. Selama ini saya tidak pernah berjasa dalam mengembangkan nama besar
Perguruan Hengshan. Syukurlah, saat ini perguruan berada di bawah pimpinan
Kakak Mo yang bijaksana dan berilmu tinggi. Sehingga, Liu Zhengfeng ada atau
tiada juga tidak akan berpengaruh apa-apa. Mulai saat ini Liu Zhengfeng
menyatakan cuci tangan dan melepaskan diri dari pergaulan dunia persilatan.
Selanjutnya, saya hanya mencurahkan tenaga dan pikiran untuk jabatan yang baru
saja saya terima. Apabila suatu hari nanti saya berani melanggar sumpah,
biarlah nasib saya serupa dengan pedang ini.”
Berkata sampai di sini, Liu
Zhengfeng melolos pedang pusakanya dan dengan sekali tekan, pedang itu patah
menjadi dua. Kedua potongan tersebut dibuangnya dan langsung menancap di
lantai.
Melihat pemandangan ini, para
hadirin kembali terkejut. Untuk para tamu yang berilmu tinggi jelas menancapkan
potongan pedang di lantai bukan pekerjaan sulit. Namun, mematahkan pedang
pusaka yang terbuat dari baja pilihan jelas membutuhkan tenaga dalam yang
sangat tinggi. Ini menunjukkan betapa Liu Zhengfeng telah mencapai tingkatan
tinggi dalam pelajaran ilmu silatnya.
“Sungguh sayang!” ujar Tuan
Wen sambil menghela napas panjang. Para hadirin lainnya memahami, bahwa Tuan
Wen bukan menyayangkan pedang pusaka yang telah patah menjadi dua tersebut,
namun menyayangkan betapa seorang tokoh terkemuka berilmu tinggi harus
mengundurkan diri dan menjadi abdi kaisar.
Sambil tersenyum kepada para
hadirin, Liu Zhengfeng menyingsingkan lengan bajunya dan bersiap mencelupkan
kedua tangannya ke dalam air dalam baskom emas. Namun tiba-tiba dari luar
terdengar suara teriakan keras, “Tunggu dulu!”
Liu Zhengfeng dan segenap
hadirin terkejut seketika. Mereka menoleh ke arah pintu dan melihat empat orang
berseragam kuning masuk dan langsung berdiri di samping kiri dan kanan ruangan.
Menyusul kemudian masuk lagi seorang bertubuh tegap yang mengangkat
tinggi-tinggi sebuah bendera kecil berwarna lima macam. Bendera itu tampak
indah gemerlapan karena dihiasi mutiara dan untaian batu permata.
Sebagian para hadirin
terperanjat kaget melihat bendera itu. Terdengar mereka berbisik-bisik satu
sama lain, “Bendera kecil itu adalah Panji Pancawarna, lambang ketua Serikat
Pedang Lima Gunung.”
Si pembawa panji berjalan
angkuh ke tengah ruangan dan kemudian berhenti tepat di hadapan Liu Zhengfeng.
Ia lantas mengangkat kembali panji itu tinggi-tinggi dan berkata dengan suara
lantang, “Kami membawa perintah Ketua Zuo, pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung,
supaya Paman Liu menunda pelaksanaan upacara Cuci Tangan Baskom Emas untuk
sementara waktu.”
Liu Zhengfeng terkejut. Dengan
berusaha tetap tenang ia membungkuk di hadapan Panji Pancawarna sambil
menjawab, “Jika itu yang menjadi perintah Ketua Serikat, aku siap menuruti.
Tapi kalau boleh tahu, ada maksud apa hingga Ketua Serikat menyampaikan
perintah seperti ini?”
Si pembawa panji menyahut, “Kami
hanya menyampaikan perintah Ketua Serikat. Kedudukan kami rendah sehingga tidak
berhak mengetahui maksud dan tujuan Ketua Serikat. Mohon Paman Liu sudi
memaafkan.”
“Ah, kau terlalu merendahkan
diri,” ujar Liu Zhengfeng. “Kalau tidak salah, kau ini Keponakan Shi alias Si
Pohon Cemara Seribu Depa, bukan?”
Meskipun bibirnya tetap
tersenyum, namun suara Liu Zhengfeng terdengar agak gemetar. Bagaimanapun juga
ia sangat terkejut karena perubahan keadaan yang sangat tiba-tiba ini.
Si pembawa panji diam-diam
merasa bangga karena sang tuan rumah ternyata mengenali julukannya. Ia pun
menjawab, “Paman Liu benar. Saya Shi Dengda, murid Perguruan Songshan,
menyampaikan sembah hormat kepada Paman Liu.”
Setelah itu, Shi Dengda lantas
memberi salam kepada Pendeta Tianmen, Yue Buqun, Biksuni Dingyi, serta
tokoh-tokoh papan atas lainnya. Serentak keempat rekannya yang berdiri di
kanan-kiri pintu juga melakukan hal yang sama.
Biksuni Dingyi membalas salam
kemudian berkata, “Kalian dikirim oleh Ketua Zuo untuk merintangi upacara Cuci
Tangan Adik Liu, kurasa hal itu memang sangat tepat.” Ia merasa telah datang
kesempatan untuk mengutarakan isi hatinya. “Aku berpendapat kaum persilatan
seperti kita lebih suka hidup bebas dengan mengutamakan persaudaraan dan
kesetiakawanan, bukannya tunduk di hadapan pembesar kerajaan. Namun Adik Liu
tentu tidak sudi mendengarkan saran dari biksuni tua seperti diriku, sehingga
sejak tadi aku memilih diam tidak bersuara.”
Liu Zhengfeng menanggapi
dengan wajah serius, “Sejak dulu kelima perguruan telah mengikat persaudaraan
di dalam Serikat Pedang Lima Gunung. Kita bersama-sama telah sepakat untuk
saling bahu-membahu menegakkan kebenaran dan keadilan. Bila terjadi sesuatu
yang menyangkut kelima perguruan, kita semua wajib tunduk kepada perintah Ketua
Serikat. Panji Pancawarna adalah lambang kelima perguruan kita. Melihat panji
pusaka ini sama seperti melihat Ketua Serikat.”
Setelah diam sejenak, ia
melanjutkan, “Upacara Cuci Tangan Baskom Emas hari ini adalah urusan pribadiku,
sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan perserikatan kita. Para sahabat
yang hadir di sini bisa menjadi saksi. Oleh karena itu, Panji Pancawarna tidak
berlaku untuk membatasi kehendakku. Harap Keponakan Shi menyampaikan permintaan
maafku kepada gurumu yang terhormat. Semoga Ketua Zuo dapat memakluminya.”
Usai berkata demikian Liu
Zhengfeng melangkah maju mendekati baskom emas di atas meja dan berniat
mencelupkan kedua tangannya. Namun, Shi Dengda segera melompat untuk
merintangi.
“Paman Liu, guruku telah
memberi perintah supaya Paman menunda upacara Cuci Tangan Baskom Emas ini,”
ujar Shi Dengda. “Guru berkata bahwa Serikat Pedang Lima Gunung senapas
seirama. Maksud Guru mengirimkan Panji Pancawarna semata-mata untuk menjaga
persatuan serikat kita, serta menegakkan kebenaran dan keadilan di dunia
persilatan. Ini semua juga demi kebaikan Paman Liu sendiri.” Usai berkata
demikian ia kembali mengangkat tinggi-tinggi Panji Pancawarna di udara.
Liu Zhengfeng terlihat heran.
Ia pun berkata, “Aku benar-benar tidak mengerti. Rencana pengunduran diriku
sudah kusampaikan jauh-jauh sebelumnya. Kalau Kakak Zuo memang bermaksud baik,
mengapa tidak dari kemarin-kemarin dia menasihati aku? Mengapa baru sekarang ia
mengirim Panji Pancawarna pada saat aku menjamu para tamuku? Bukankah ini sama
saja dengan membuatku malu di depan banyak pendekar dan kesatria? Jika hari ini
aku harus menarik ucapanku, tentu aku akan menjadi bahan tertawaan di dunia
persilatan.”
Shi Dengda menjawab, “Guru
kami sering memuji Paman Liu sebagai seorang tokoh persilatan yang sangat
dihormati banyak orang. Nama besar Paman Liu terkenal di mana-mana, sehingga
kami dipesan untuk selalu bersikap sopan kepada Paman. Jika sampai melanggar
hal ini, tentu kami akan mendapat hukuman setimpal dari Guru. Mengingat nama
besar Paman Liu di dunia persilatan, kami yakin tidak seorang pun berani
memandang rendah terhadap Paman jika menuruti perintah ini.”
“Ah, itu hanya pujian Kakak
Zuo belaka,” ujar Liu Zhengfeng sambil tertawa. “Mana mungkin aku memiliki
kehormatan sebesar itu?”
Melihat perdebatan yang
bertele-tele itu Biksuni Dingyi tidak sabar dan ikut bicara, “Adik Liu,
mengenai upacaramu ini bagaimana kalau ditunda dulu untuk sementara waktu?
Semua yang hadir di sini adalah kawan-kawan kita sendiri. Jadi, siapa orangnya
yang berani menertawakanmu? Andaikan ada satu-dua orang yang berani
mengolok-olok dirimu, biar aku yang akan membereskannya.” Dengan tatapan galak
ia lantas menyapu para hadirin dari ujung kiri sampai ke ujung kanan ruangan.
“Baiklah kalau Kakak Dingyi
berpendapat demikian,” jawab Liu Zhengfeng. “Upacara ini aku tunda sampai esok
hari. Saudara-saudara sekalian bisa menginap di sini. Biar kami berunding
dahulu dengan para keponakan dari Perguruan Songshan ini.”
Tiba-tiba dari arah belakang
rumah terdengar suara seorang gadis kecil berseru, “Hei, jangan mengganggu!
Terserah diriku ingin bermain dengan siapa. Kenapa kau harus ikut campur?”
Para hadirin sangat terkejut
karena mereka sama sekali belum lupa bahwa itu adalah suara Qu Feiyan, gadis
kecil yang kemarin telah mempermainkan Yu Canghai di depan umum.
Sejenak kemudian terdengar
suara seorang laki-laki berseru, “Kau duduk di sini saja dulu! Tidak boleh
sembarangan bergerak atau berteriak! Setelah semuanya beres, baru kau kubiarkan
pergi.”
“Aneh sekali! Memangnya ini
rumahmu?” sahut Qu Feiyan. “Aku mau pergi mencari kupu-kupu bersama Kakak Liu,
mengapa kau berani menghalangi?”
Laki-laki itu menjawab, “Kalau
kau mau pergi silakan pergi sendiri! Tapi Nona Liu harus tetap menunggu di
sini, tidak boleh ke mana-mana!”
Qu Feiyan menyahut, “Huh, kau
sudah membuat Kakak Liu muak. Lebih baik kalian saja yang pergi dari sini!”
Rupanya yang dimaksud dengan
“Kakak Liu” atau “Nona Liu” adalah anak perempuan Liu Zhengfeng. Terdengar
suara gadis itu berkata, “Adik Qu, kau jangan pedulikan dia. Lebih baik kita
pergi sekarang saja.”
Tapi mendadak terdengar si
laki-laki membentak, “Nona Liu, kau lebih baik menunggu di sini saja! Jangan
sembarangan bergerak!”
Liu Zhengfeng menjadi gusar
mendengar percakapan tersebut. Dalam hati ia berpikir, “Siapa bangsat itu?
Kenapa dia berani kurang ajar di rumahku sendiri? Berani sekali dia mengancam
Jing’er.”
Murid nomor dua Liu Zhengfeng,
yaitu Mi Weiyi bergegas menuju ke ruang belakang. Di sana ia melihat Liu Jing,
putri gurunya, bergandengan tangan dengan Qu Feiyan. Di hadapan kedua gadis
kecil itu berdiri seorang laki-laki berbaju kuning sedang merentangkan kedua
lengannya seolah mencegah mereka pergi menuju pintu keluar.
Melihat seragam yang dipakai
orang itu, Mi Weiyi segera berdehem dan menyapa, “Saudara tentu berasal dari
Perguruan Songshan, bukan? Mengapa tidak duduk di ruang utama saja bersama para
tamu lainnya?”
Orang itu menoleh dan
menjawab, “Terima kasih atas undanganmu. Tapi Ketua Serikat telah memberi
perintah supaya kami mengawasi semua anggota Keluarga Liu jangan sampai ada
seorang pun yang lolos.”
Suara murid Songshan tersebut
tidak terlalu keras namun terdengar dengan jelas sampai ke ruang utama.
Seketika para hadirin terkejut dibuatnya.
Liu Zhengfeng menjadi gusar
dan bertanya, “Keponakan Shi, ada apa ini sebenarnya?”
Shi Dengda segera berseru
kepada saudaranya yang berada di ruang belakang itu, “Adik Wan, kau boleh
kemari. Paman Liu sudah sepakat menunda upacara.”
“Ya, memang seharusnya
begitu,” sahut si marga Wan sambil kemudian berjalan menuju ruang utama.
Sesampainya di hadapan Liu Zhengfeng, ia segera membungkuk memberi hormat, “Wan
Daping dari Perguruan Songshan menyampaikan salam hormat kepada Paman Liu.”
Liu Zhengfeng gemetar menahan
gusar. Ia pun berteriak keras, “Ada berapa banyak murid Perguruan Songshan yang
datang kemari? Lebih baik kalian keluar semua!”
Menanggapi seruan sang tuan
rumah, puluhan orang pun muncul dari berbagai penjuru. Ada yang muncul di atap
rumah, ada yang muncul di pintu masuk, ada yang muncul di pintu belakang, ada
pula yang muncul dari samping rumah. Dari tempat masing-masing mereka serentak
mengucapkan salam kepada Liu Zhengfeng, “Murid-murid Songshan menyampaikan
salam kepada Paman Liu!”
Suara salam yang mereka ucapkan
membuat rumah Liu Zhengfeng yang megah terasa bergetar. Puluhan murid Songshan
itu ada yang memakai seragam kuning, ada pula yang sejak tadi menyamar dan
menyusup di antara para tamu.
Biksuni Dingyi ikut merasa
gusar. Dengan suara keras ia pun berseru, “Apa-apaan ini semua? Ini
keterlaluan! Sungguh penghinaan... sungguh penghinaan!”
“Maafkan kami, Bibi Biksuni!”
ujar Shi Dengda. “Tapi bagaimanapun juga guru kami telah memerintahkan supaya
kami mencegah Paman Liu melangsungkan upacara Cuci Tangan ini. Kami khawatir
Paman Liu tidak mau menuruti perintah guru kami. Oleh sebab itu, kami terpaksa
melakukan tindakan-tindakan yang kurang pantas.”
Pada saat itu pula dari ruang
belakang muncul sejumlah orang yang tidak lain adalah istri, anak-anak, dan
tujuh orang murid Liu Zhengfeng. Disusul kemudian terlihat murid-murid
Perguruan Songshan menodongkan pedang di punggung mereka.
Liu Zhengfeng terperanjat
melihat perbuatan murid-murid Songshan tersebut. Namun ia tetap berusaha tegar
dan berteriak dengan suara lantang, “Para hadirin sekalian, bukannya aku ini
keras kepala dan menentang Ketua Serikat. Namun Kakak Zuo telah mengirim
murid-muridnya untuk mengancam diriku sedemikian rupa. Jika Liu Zhengfeng
tunduk di bawah kekerasan, akan ditaruh ke mana lagi mukaku ini? Kakak Zuo
melarangku melangsungkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, huh, kepalaku boleh
dipenggal, tapi cita-citaku tidak boleh dipatahkan!”
Usai berkata demikian, Liu
Zhengfeng bersiap mencelupkan kedua tangannya ke dalam baskom emas di atas
meja. Melihat itu Shi Dengda berseru, “Tunggu dulu!”
Murid Songshan tersebut
mengibaskan Panji Pancawarna untuk menghalangi Liu Zhengfeng. Namun Liu
Zhengfeng dengan sigap mencolokkan kedua jarinya ke arah mata Shi Dengda.
Buru-buru Shi Dengda menangkis serangan tersebut. Namun secepat kilat tangan
Liu Zhengfeng yang lain ikut menyerang, sehingga lawannya itu terpaksa
melangkah mundur.
Kesempatan tersebut segera
dimanfaatkan Liu Zhengfeng untuk melanjutkan niatnya. Namun belum sampai kedua
tangannya mencapai air di dalam baskom, tiba-tiba dua orang murid Songshan
lainnya menerjang maju. Tanpa menoleh, Liu Zhengfeng berhasil mendepak dada
salah seorang dengan kaki kiri dan menangkap lengan seorang lainnya dengan
tangan kanan. Dengan cepat ia mengangkat tubuh murid Songshan tersebut dan
melemparkannya ke arah Shi Dengda. Gerakan Liu Zhengfeng tersebut berlangsung
sangat cepat dan juga mengenai sasaran dengan tepat. Seorang ahli silat yang
biasanya bersikap lembut dan berdandan mewah itu kini telah memperlihatkan kepandaiannya
di depan umum.
Melihat ketangkasan Liu
Zhengfeng, murid-murid Songshan yang berjumlah puluhan tersebut mau tidak mau
merasa gentar juga. Salah seorang yang menodong putra Liu Zhengfeng berteriak,
“Paman Liu, jika kau tidak mengurungkan niatmu, maka aku terpaksa membunuh
putramu ini.”
Liu Zhengfeng menoleh. Tampak
pedang murid Songshan tersebut sudah menempel di leher putra sulungnya. Ia pun
berseru, “Para hadirin yang terhormat, kalian semua menjadi saksi. Jika ada
yang berani menyentuh seujung rambut putraku, maka semua murid Perguruan
Songshan yang ada di sini akan aku cincang habis mayat-mayatnya.”
Murid-murid Songshan semakin
gentar karena para hadirin mulai memandang mereka dengan tatapan curiga. Jika
mereka benar-benar membunuh putra Liu Zhengfeng, tentu para hadirin dan
murid-murid Hengshan akan langsung bertindak menyerbu.
Tanpa banyak bicara lagi, Liu
Zhengfeng pun melangkah maju mendekati baskom emas untuk melanjutkan niatnya.
Akan tetapi di luar dugaan, tiba-tiba melesat sebuah senjata rahasia yang
memancarkan sinar perak menyilaukan. Liu Zhengfeng dengan gesit melompat
mundur. Senjata rahasia tersebut menghantam tepi baskom emas hingga menimbulkan
suara nyaring.
Si pelempar senjata rahasia
jelas memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Baskom emas tersebut sampai
jatuh ke bawah. Air bersih di dalamnya tumpah menggenangi lantai. Menyusul
kemudian orang itu muncul dan langsung menginjak baskom tersebut sampai
tergencet pipih.
Si pelempar senjata rahasia
ternyata seorang pria berseragam kuning dan berusia empat puluhan. Tubuhnya
kurus dengan kumis tipis menghiasi kedua ujung bibirnya, kiri dan kanan. Dengan
merangkap kedua tangan ia mengucapkan salam kepada Liu Zhengfeng, “Kakak Liu,
atas perintah Kakak Zuo, kau dilarang melanjutkan upacara Cuci Tangan Baskom
Emas ini.”
Liu Zhengfeng mengenal
laki-laki kurus itu bernama Fei Bin. Ia merupakan adik seperguruan nomor empat
dari Zuo Lengchan yang dijuluki Si Tapak Songyang Besar. Adapun Zuo Lengchan
merupakan ketua Perguruan Songshan sekaligus pemimpin Serikat Pedang Lima
Gunung.
Liu Zhengfeng mengeluh dalam
hati. Rupanya Zuo Lengchan benar-benar ingin menggagalkan upacara Cuci Tangan
yang hendak dilangsungkannya. Bahkan, yang dikirim kali ini bukan hanya
murid-muridnya, tapi juga adik seperguruannya yang memiliki kepandaian tinggi.
Melihat baskom emas sudah rusak, maka pilihan pun tinggal dua; bertempur
habis-habisan atau menyerah kalah dan menerima segala penghinaan.
Diam-diam Liu Zhengfeng
berpikir, “Perguruan Songshan telah terpilih menjadi pimpinan Serikat Pedang
Lima Gunung, namun cara mereka menekan orang sungguh keterlaluan. Para hadirin
yang ada di sini apakah tidak ada yang berani untuk maju menentang
ketidakadilan ini?”
Dengan menahan gusar, Liu
Zhengfeng membalas hormat dan berkata, “Jauh-jauh Adik Fei datang kemari
bukannya ikut minum bersama kami barang secawan, tapi malah berdiri di luar
merasakan teriknya matahari. Mungkin selain Adik Fei juga ada tokoh-tokoh hebat
Perguruan Songshan lainnya yang juga berada di sini. Kalau hanya menghadapi si
marga Liu ini, rasanya Adik Fei saja sudah cukup. Tapi untuk menghadapi semua
hadirin di tempat ini, mungkin kawan-kawan dari Perguruan Songshan yang datang
masih kurang jumlahnya.”
Fei Bin tersenyum dan berkata,
“Kakak Liu, kau tidak perlu mencoba mengadu domba kami dengan para kesatria
yang hadir di sini. Untuk menghadapi Kakak Liu seorang diri, ilmuku masih
terlalu rendah. Tidak mungkin aku sanggup bertahan menghadapi Jurus Pedang
Menjatuhkan Belibis yang sangat ampuh darimu. Perguruan Songshan sama sekali
tidak berani membuat masalah dengan Perguruan Hengshan, apalagi melawan para
hadirin sekalian. Kedatangan kami kemari semata-mata untuk membatalkan upacara
Cuci Tangan Baskom Emas yang hendak kau langsungkan, karena itu menyangkut
keselamatan ribuan nyawa orang-orang dunia persilatan.”
Para hadirin terkejut
mendengar ucapan Fei Bin. Mereka heran mengapa upacara tersebut jika diteruskan
bisa membahayakan keselamatan banyak orang.
“Benar sekali,” sahut Biksuni
Dingyi ikut berbicara. “Soal Adik Liu ingin menjadi pembesar kerajaan itu
urusan pribadinya. Sebenarnya aku malu ikut bicara. Tapi, perlu kukatakan kalau
setiap orang punya cita-cita. Adik Liu ingin menjadi pejabat dan menumpuk
kekayaan, ya silakan saja. Yang penting, dia tidak merugikan rakyat kecil dan
merusak kesetiakawanan kaum persilatan. Aku rasa keputusannya ini tidak terlalu
membahayakan keselamatan banyak orang.”
“Biksuni Dingyi,” ujar Fei Bin
menukas, “kau ini seorang pemuka agama, sudah tentu kurang memahami tipu
muslihat seperti ini. Asal kau tahu, jika intrik besar seperti ini sampai
berkelanjutan, bukan hanya kawan-kawan persilatan saja yang menjadi korban,
tapi juga rakyat jelata yang tidak berdosa akan ikut mengalami bencana besar.
Coba pikir, seorang tokoh ternama dari Perguruan Hengshan sudi merendahkan diri
di hadapan para pembesar kerajaan yang serakah dan korup. Hm, Kakak Liu sudah
kaya raya, tapi mengapa masih menginginkan jabatan di kerajaan? Apalagi pangkat
yang diperolehnya sangat rendah, tentu hal ini membuat kami curiga.
Jangan-jangan ada rencana lain di balik itu semua.”
Para hadirin terkesiap
mendengar penuturan Fei Bin. Sejak awal masing-masing juga merasa curiga
mengapa seorang terpandang dan kaya raya seperti Liu Zhengfeng bersedia
menerima pangkat rendah di pemerintahan? Namun demikian, tidak seorang pun
sejak tadi yang berani membuka suara.
“Adik Fei, kalau kau ingin
memfitnahku, tolong cari alasan yang lebih masuk akal,” ujar Liu Zhengfeng
sambil tertawa. Ia benar-benar seorang yang pandai mengendalikan amarah. “Nah,
saudara-saudara dari Songshan lainnya silakan keluar untuk ikut bergabung di
sini.”
“Baik!” sahut dua orang
bersamaan, masing-masing dari arah atap rumah sebelah barat dan timur. Sekejap
kemudian kedua orang itu sudah melompat turun dan berdiri di samping Fei Bin.
Ilmu meringankan tubuh mereka sama persis dengan yang diperlihatkan Fei Bin
beberapa saat sebelumnya. Jelas keduanya merupakan tokoh-tokoh terkemuka dari
Perguruan Songshan pula.
Sebagian dari para hadirin
rupanya mengenali kedua orang yang baru muncul tersebut. Yang berdiri di
sebelah timur Fei Bin seorang laki-laki berbadan gemuk dan tinggi besar. Ia
adalah adik seperguruan nomor dua Zuo Lengchan yang bernama Ding Mian, alias Si
Tapak Penahan Menara. Sementara itu, yang berdiri di sebelah barat adalah
laki-laki bertubuh kurus kering. Ia merupakan adik seperguruan nomor tiga yang
bernama Lu Bai, alias Si Tapak Bangau. Keduanya langsung merangkap tangan dan
memberi hormat kepada Liu Zhengfeng.
Melihat kembali muncul dua
tokoh papan atas Perguruan Songshan, para hadirin serentak berdiri untuk
memberi hormat. Sebaliknya, Liu Zhengfeng merasa semakin terdesak.
“Adik Liu, kau jangan
khawatir,” sahut Biksuni Dingyi. “Semua urusan di dunia ini tidak dapat
mengalahkan yang namanya ‘Kebenaran’. Janganlah kau takut pada ketidakadilan
dan penindasan. Meskipun mereka mengepungmu dengan jumlah besar, namun kami
dari Perguruan Taishan, Huashan, dan Henshan tentu tidak akan tinggal diam
begitu saja. Apa kau pikir kami datang kemari hanya untuk makan tanpa peduli
atas kesulitanmu?”
Liu Zhengfeng tersenyum getir
dan berkata, “Terima kasih, Kakak Biksuni. Sungguh sangat memalukan kalau
urusan ini sampai kuceritakan pada banyak orang. Sebenarnya ini hanyalah urusan
rumah tangga perguruan kami sendiri. Para hadirin terpaksa ikut mendengarkan
cerita yang seharusnya kami sembunyikan rapat-rapat.” Setelah terdiam sejenak
dan memandangi para tamunya, ia pun melanjutkan, “Sebenarnya hubunganku dengan
Kakak Mo kurang baik. Jangan-jangan, Kakak Mo telah mengadu kepada Ketua Zuo
tentang keburukan-keburukanku, sehingga saudara-saudara dari Perguruan Songshan
terpaksa datang kemari untuk menggagalkan upacara Cuci Tangan ini. Ini memang
kesalahanku yang kurang menghargai kakak seperguruan. Baiklah, aku mengaku
salah dan bersedia meminta maaf kepada Kakak Mo.”
Fei Bin memandang tajam kepada
para hadirin. Sorot matanya yang berkilat-kilat menunjukkan betapa pria
bertubuh kurus ini memiliki tenaga dalam yang begitu hebat. Sejenak kemudian,
pandangannya kembali kepada sang tuan rumah dan ia pun berkata, “Kau bilang
urusan ini ada sangkut-pautnya dengan Tuan Besar Mo? Jika benar demikian,
silakan Tuan Besar Mo menunjukkan diri supaya kita bisa bicara baik-baik.”
Suasana di ruang utama itu
mendadak sunyi senyap. Para hadirin berdebar-debar menunggu kemunculan Tuan
Besar Mo alias Si Malam Hujan di Xiaoxiang. Akan tetapi, ketua Perguruan
Hengshan itu tidak juga terlihat datang.
Dengan tersenyum getir Liu
Zhengfeng berkata, “Pertengkaran kami ini sebenarnya sudah diketahui banyak
orang di dunia persilatan. Maka itu, rasanya tidak perlu kurahasiakan lagi.
Para hadirin tentu mengetahui kalau aku cukup beruntung karena terlahir di
keluarga yang kaya raya. Warisan yang kudapatkan dari leluhurku juga melimpah
ruah. Sebaliknya, Kakak Mo berasal dari keluarga miskin. Sebagai seorang
saudara, sudah tentu aku siap membantu keuangan Kakak Mo kapan saja. Namun
Kakak Mo sudah terlanjur iri kepadaku. Kami tidak pernah bertemu dan berbicara
dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, sudah beberapa tahun ini Kakak Mo tidak
sudi menginjakkan kaki di rumahku. Jadi, jangan diharapkan kalau dia juga hadir
dalam upacara Cuci Tangan Baskom Emas kali ini. Namun yang membuatku sangat
heran mengapa Ketua Zuo hanya percaya pada pengaduan sepihak saja,
sampai-sampai mengirimkan saudara-saudara dari Perguruan Songshan untuk menawan
anak dan istriku di hadapan para tamu? Bukankah... bukankah ini sudah
keterlaluan?”
Fei Bin menoleh ke arah Shi
Dengda dan berseru, “Angkat panjimu!”
“Baik!” jawab si keponakan
sambil mengangkat Panji Pancawarna di samping Fei Bin.
“Kakak Liu,” sahut Fei Bin
dengan penuh wibawa, “urusan ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan
Tuan Besar Mo. Jadi, kau tidak perlu mencemarkan nama baiknya. Kami hanya
diperintah Ketua Zuo untuk menyelidiki persekongkolanmu dengan Dongfang Bubai,
pemimpin aliran sesat. Sebenarnya ada intrik apa di antara kalian berdua?
Apakah kalian merencanakan kehancuran Serikat Pedang Lima Gunung atau
saudara-saudara aliran lurus lainnya?”
Ucapan Fei Bin ini sangat
mengejutkan semua hadirin yang mendengarnya. Bahkan, ada beberapa di antara
mereka yang berseru kaget. Maklum saja, aliran sesat yang konon menyebarkan
agama pemuja iblis itu adalah musuh besar para kesatria dan pendekar dari golongan
lurus. Permusuhan tersebut sudah berlangsung selama ratusan tahun. Banyak
sekali jatuh korban di antara kedua pihak. Tidak sedikit dari para tamu yang
datang di rumah Liu Zhengfeng tersebut yang telah kehilangan orang tua,
saudara, guru, atau sahabat mereka akibat keganasan kaum aliran sesat. Setiap
kali istilah aliran sesat diucapkan, selalu saja mengundang kebencian dan
kutukan dari siapa saja yang mendengarnya.
Sebenarnya tujuan Perguruan
Songshan, Taishan, Hengshan, Huashan, dan Henshan membentuk Serikat Pedang Lima
Gunung semata-mata adalah untuk menghadapi kekuatan aliran sesat tersebut.
Meskipun demikian, jumlah pengikut aliran sesat terlalu banyak dan ilmu silat
mereka juga sangat tinggi serta beraneka ragam. Lebih-lebih sang pemimpin yang
bernama Dongfang Bubai bahkan dijuluki sebagai orang nomor satu di dunia
persilatan abad ini. Sejak menjadi ketua aliran sesat, orang ini belum pernah
kalah bertanding melawan siapa pun juga, dan ini sesuai dengan namanya, yaitu
‘Bubai’ yang berarti ‘tak terkalahkan’.
Maka, begitu Fei Bin menyebut
adanya persekongkolan antara Liu Zhengfeng dengan Dongfang Bubai, para hadirin
menjadi ikut curiga. Meskipun tuduhan itu belum tentu benar, namun rasa simpati
mereka terhadap Liu Zhengfeng langsung berkurang seketika.
Menanggapi tuduhan tersebut
Liu Zhengfeng menjawab, “Seumur hidup aku belum pernah bertemu Dongfang Bubai,
apalagi mengenal dirinya. Atas dasar apa Adik Fei melemparkan tuduhan keji
seperti itu?”
Fei Bin tidak menjawab. Ia
hanya melirik kepada Lu Bai. Kakak seperguruannya itu pun maju dan berkata,
“Saudara Liu, apa yang kau katakan itu sungguh jauh dari kenyataan. Di dalam
aliran sesat ada seorang Tetua Pelindung Agama yang bernama Qu Yang. Aku yakin
Saudara Liu pasti mengenalnya, benar demikian?”
Sejak tadi Liu Zhengfeng
selalu bersikap tenang. Tapi begitu mendengar nama ‘Qu Yang’ disebut, seketika
wajahnya langsung berubah menampilkan perasaan heran dan terkejut. Mulutnya
tampak tertutup rapat dan diam seribu bahasa.
Si gemuk Ding Mian ikut
berseru, “Apa kau mengenal Qu Yang?” Sejak tadi ia hanya diam menyaksikan tanya
jawab antara Fei Bin dan Liu Zhengfeng. Namun begitu berbicara langsung
membentak dengan kasar dan suaranya terdengar menggelegar laksana halilintar.
Beberapa di antara para hadirin tidak bisa menyembunyikan perasaan gentar
mereka. Dengan membentak seperti itu, tubuh Ding Mian terlihat semakin besar
seperti raksasa.
Liu Zhengfeng sendiri tetap
diam tanpa bersuara sepatah kata pun. Pandangan para hadirin serentak tertuju
kepadanya. Sikapnya yang bungkam itu membuat para tamu merasa curiga,
jangan-jangan apa yang dituduhkan pihak Perguruan Songshan adalah benar.
Selang agak lama akhirnya Liu
Zhengfeng mengangguk-angguk dan berkata, “Benar sekali, Kakak Qu Yang memang
kenalanku. Bahkan, kami bukan hanya sekadar kenal, tetapi sudah menjadi sahabat
baik. Kakak Qu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki di dunia ini.”
Seketika suasana menjadi
gempar. Tadinya Para hadirin menduga Liu Zhengfeng berusaha memikirkan cara
untuk membantah tuduhan tersebut. Mereka juga mengira kalau dirinya dan Qu Yang
hanya sekadar kenal atau pernah bertemu sekali-dua kali. Tidak disangka, dengan
penuh keberanian Liu Zhengfeng mengakui gembong aliran sesat itu sebagai
sahabat karibnya.
Fei Bin tersenyum dan berkata,
“Bagus sekali, bagus sekali! Laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung
jawab. Nah, Liu Zhengfeng, Ketua Zuo telah memberimu dua pilihan. Terserah
dirimu untuk memilih jalan yang mana.”
Liu Zhengfeng sendiri tetap
terlihat tenang. Perlahan-lahan ia duduk di kursi seolah tidak peduli dengan
tawaran Fei Bin sedikit pun. Tangannya kemudian bergerak menuang secawan arak
dan pelan-pelan meminumnya dalam sekali teguk. Para hadirn mengamati tangan dan
lengan baju Liu Zhengfeng yang sama sekali tidak bergetar, pertanda ia memang
seorang yang sangat ahli dalam menahan amarah. Menyaksikan itu semua diam-diam
para hadirin merasa kagum dan memuji ketenangan tokoh nomor dua Perguruan
Hengshan tersebut dalam mengendalikan diri.
Fei Bin kembali berseru lantang,
“Ketua Zuo berkata bahwa Liu Zhengfeng seorang tokoh istimewa yang memiliki
kepandaian luar biasa di dalam Perguruan Hengshan. Hanya karena sedikit khilaf
ia bergaul dengan orang jahat. Sebagai sesama anggota golongan putih dalam
dunia persilatan, sudah tentu Ketua Zuo memberi Liu Zhengfeng kesempatan untuk
memperbaiki diri. Jika Liu Zhengfeng setuju dengan jalan ini, maka dalam waktu
sebulan yang akan datang ia harus bisa membawakan kepala gembong aliran sesat
bernama Qu Yang. Dengan demikian, semua kesalahan Liu Zhengfeng tidak akan
diungkit-ungkit lagi, dan kita masih tetap bersaudara dalam Serikat Pedang Lima
Gunung.”
Para hadirin merasa
persyaratan tersebut tidak terlalu berlebihan. Aliran lurus dan aliran sesat
adalah musuh bebuyutan. Sangat wajar apabila Zuo Lengchan selaku ketua Serikat
Pedang Lima Gunung menghendaki kematian seorang gembong aliran sesat.
Sebaliknya, Liu Zhengfeng
justru terlihat sedih. Dengan tersenyum hambar ia menjawab, “Antara Kakak Qu
dan diriku sudah merasa cocok satu sama lain sejak pertama kali berkenalan.
Kami pun menjalin persahabatan yang sangat akrab. Sampai saat ini, kami sudah
belasan kali bertemu. Kami sering tidur di atas ranjang yang sama, atau
bercakap-cakap semalaman. Terkadang kami juga menyinggung perselisihan di dunia
persilatan. Kakak Qu sangat prihatin atas pertengkaran di antara kedua golongan
yang seharusnya tidak perlu terjadi. Persahabatan kami hanya mengutamakan
seputar kegemaran kami dalam bermain musik. Kakak Qu pandai memetik kecapi,
sedangkan aku suka meniup seruling. Pada saat bertemu, sebagian besar waktu
kami habis untuk bermain musik bersama-sama. Mengenai ilmu silat, kami sama
sekali tidak pernah membicarakannya.” Setelah berhenti sejenak dan tersenyum
gembira, ia melanjutkan, “Para hadirin boleh tidak percaya, bahwa aku berani
menjamin dalam abad ini tidak ada seorang pun yang bisa bermain kecapi melebihi
Kakak Qu. Meskipun Kakak Qu seorang anggota aliran sesat, namun dari alunan
musiknya aku bisa merasakan kalau ia berhati baik dan berbudi luhur.
Perasaannya sangat halus. Oleh sebab itu aku, Liu Zhengfeng, sangat mengagumi
laki-laki sejati seperti dirinya. Bagaimanapun juga aku tidak bersedia
mencelakai seorang hebat bernama Qu Yang.”
Para hadirin sama sekali tidak
menduga kalau persahabatan di antara Liu Zhengfeng dan Qu Yang berawal dari
musik. Namun mereka segera memaklumi karena tokoh-tokoh Perguruan Hengshan pada
umumnya memang suka bermain musik. Misalnya, sang ketua yaitu Tuan Besar Mo
terkenal pandai memainkan rebab, dan ke mana-mana tidak pernah berpisah dengan
alat musik gesek tersebut. Bahkan ia sampai mendapat julukan “dalam rebab
tersimpan pedang, pedang mengeluarkan suara rebab”.
Fei Bin kembali berkata,
“Ketua Zuo sudah menyelidiki tentang persahabatanmu dengan si iblis Qu Yang
memang berawal dari musik. Beliau berpesan kepada kita supaya berhati-hati
terhadap tipu muslihat aliran sesat yang licik. Mereka suka melakukan berbagai
macam cara untuk memecah belah kekuatan kita. Misalnya, kaum muda dipancing
dengan harta kekayaan atau wanita-wanita cantik; sedangkan golongan tua yang
berkecukupan seperti Saudara Liu ini dipancing menggunakan kegemarannya, yaitu
bermain musik. Kami harap Saudara Liu sudi berpikir jernih. Coba diingat,
berapa banyak saudara-saudara kita yang menjadi korban keganasan aliran sesat?
Sungguh sayang, mengapa kau bisa sampai jatuh ke dalam tipu daya mereka?”
Biksuni Dingyi yang semula
tidak suka kepada sikap orang-orang Songshan kini ikut bicara, “Apa yang
dikatakan Adik Fei sangat benar. Kita semua tidak takut terhadap ilmu silat
aliran sesat. Yang harus kita khawatirkan justru tipu muslihat mereka. Mengenai
Adik Liu yang sudah terlanjur jatuh ke dalam perangkap aliran sesat rasanya
tidak menjadi persoalan. Yang penting marilah kita bersama-sama membunuh penjahat
bernama Qu Yang tersebut. Serikat Pedang Lima Gunung sudah sejak lama senapas
seirama. Sungguh tidak baik kalau kita harus bertengkar sendiri karena adu
domba pihak lawan.”
“Benar, Adik Liu,” sahut
Pendeta Tianmen ikut bicara. “Seorang laki-laki sejati apabila menyadari
kesalahannya maka ia akan segera memperbaiki diri. Hal seperti ini tidak perlu
diributkan. Asalkan dalam sekali tebas kau bisa membinasakan gembong aliran
sesat bermarga Qu itu, maka kawan-kawan golongan putih di dunia persilatan akan
tetap menghormatimu sebagai seorang yang tegas dan bijaksana. Sudah pasti kami
ikut merasa bangga.”
Liu Zhengfeng tidak menjawab.
Ia lantas berpaling ke arah Yue Buqun dan bertanya, “Kakak Yue, kau seorang
laki-laki budiman yang bijaksana. Para hadirin yang terhormat di sini banyak
yang mendesak diriku supaya menjual kawan untuk menyelamatkan diri sendiri.
Kalau menurut Kakak Yue, bagaimana aku harus bertindak?”
“Adik Liu,” sahut Yue Buqun,
“dalam dunia persilatan mati membela sahabat adalah suatu hal yang biasa. Namun
gembong aliran sesat bermarga Qu itu sangat licik. Mulutnya palsu dan hatinya
berbisa. Di balik senyumnya yang manis, dia menyembunyikan tangan jahat untuk
menghancurkan keluargamu. Dia sengaja mendekati Adik Liu dengan memanfaatkan
kegemaranmu dalam bermain musik. Setelah itu, barulah dia melancarkan tipu
muslihatnya yang keji. Bila manusia licik seperti itu kau anggap sebagai
sahabat, maka istilah ‘sahabat’ dengan sendirinya akan tercemar. Manusia iblis
seperti dia sungguh tidak pantas kau sebut sebagai sahabat karib. Adik Liu, di
dunia ini sudah sering kita dengar bagaimana para kesatria rela mengorbankan
keluarganya demi menegakkan kebenaran. Jika keluarga sendiri saja bisa
dikorbankan, mangapa kau tidak dapat mengorbankan seorang penjahat yang
berpura-pura baik seperti dia?”
“Benar! Benar!” sahut beberapa
hadirin. “Apa yang dikatakan Tuan Yue sangat benar. Kita harus bisa membedakan
mana kawan, mana lawan. Terhadap kawan kita harus setia, tapi terhadap lawan
kita tidak boleh mengenal ampun.”
Liu Zhengfeng menghela napas
panjang. Setelah para hadirin agak tenang, ia pun kembali bicara, “Sejak awal
aku sudah menduga akan terjadi hal seperti ini. Aku yakin cepat atau lambat
antara Serikat Pedang Lima Gunung dan aliran sesat akan terjadi pertempuran
habis-habisan. Jika itu sampai terjadi, maka aku akan berada di posisi
serbasulit. Di satu pihak terdapat para saudara seperguruan, sementara di pihak
lain terdapat seorang sahabat karib. Tidak mungkin bagiku untuk berada di kedua
pihak. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk melangsungkan upacara Cuci Tangan
Baskom Emas. Aku sengaja mengundang para hadirin sekalian sebagai saksi bahwa
mulai hari ini Liu Zhengfeng mengundurkan diri dari dunia persilatan dan segala
perselisihan di dalamnya. Aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia, tidak lagi
tersangkut permusuhan atau bunuh-membunuh.” Ia lalu menoleh ke arah Fei Bin dan
melanjutkan, “Tujuanku membeli pangkat sersan hanya sebagai alasan palsu untuk
menutupi ini semua. Tak disangka, Ketua Zuo sungguh cerdik, berhasil membongkar
semuanya.”
Para hadirin akhirnya
mengetahui alasan sebenarnya mengapa Liu Zhengfeng mengundurkan diri dari dunia
persilatan. Sejak tadi sebagian dari mereka mencemooh tokoh nomor dua Perguruan
Hengshan tersebut sebagai seorang yang serakah dan gila jabatan. Sebagian lagi
bertanya-tanya dan merasa curiga, mengapa seorang kaya raya seperti Liu
Zhengfeng mengundurkan diri hanya demi sebuah pangkat rendahan saja. Tentu ada
maksud tersembunyi di balik hal ini.
Fei Bin, Ding Mian, dan Lu Bai
saling pandang. Masing-masing berpikiran sama bahwa terbongkarnya maksud
pengunduran diri Liu Zhengfeng semata-mata karena kecerdikan Zuo Lengchan,
kakak seperguruan mereka.
Terdengar Liu Zhengfeng
kembali berkata, “Permusuhan golongan kita dengan aliran sesat sudah
berlangsung lama dan berlarut-larut. Siapa yang benar dan siapa yang salah juga
tidak mudah untuk ditentukan. Aku hanya berharap bisa membebaskan diri dari
perselisihan yang berdarah-darah ini, untuk selanjutnya hidup sebagai rakyat biasa
yang patuh terhadap peraturan negara. Untuk menghibur diri cukup dengan meniup
seruling. Kurasa cita-citaku ini tidak melanggar peraturan Perguruan Hengshan,
atau juga Serikat Pedang Lima Gunung.”
“Huh, enak saja kau bicara!”
sahut Fei Bin. “Jika setiap orang meniru perbuatanmu – melarikan diri saat
menghadapi musuh – maka dunia ini pasti akan celaka dan dikuasai kaum iblis.
Kau ingin mengundurkan diri dari dunia persilatan, lalu apakah penjahat
bermarga Qu itu juga mau melakukan hal serupa?”
Liu Zhengfeng tersenyum, lalu
menjawab, “Di hadapanku Kakak Qu telah bersumpah atas nama para leluhur
agamanya bahwa ia tidak akan melibatkan diri dalam perselisihan antara kedua
golongan yang bertikai. Asalkan orang lain tidak mengusiknya, maka dia pun
tidak akan mengganggu orang lain.”
“Hahaha! Sungguh bagus istilah
‘asalkan orang lain tidak mengusiknya, maka dia pun tidak akan mengganggu orang
lain’. Lalu bagaimana kalau golongan kita yang mengusiknya?” tanya Fei Bin
sambil tertawa.
“Kakak Qu sudah menyatakan bahwa
dia akan berusaha mengalah,” sahut Liu Zhengfeng. “Kakak Qu bertekad akan
selalu menghindarkan diri dari perselisihan dan kesalahpahaman.” Sambil
memandang tajam ke arah para hadirin, ia melanjutkan, “Pagi ini Kakak Qu
mengirim berita bahwa dirinya telah menolong seorang murid Huashan bernama
Linghu Chong yang terluka parah. Kakak Qu telah memberikan pertolongan
seperlunya sehingga nyawa Keponakan Linghu bisa diselamatkan.”
Ucapan Liu Zhengfeng kali ini
sangat mengejutkan para hadirin, terutama rombongan Perguruan Huashan, Henshan,
dan Qingcheng. Si gadis Yue Lingshan tidak dapat menahan diri untuk bertanya,
“Paman Liu, sekarang kakak pertama kami ada di mana? Apa benar iblis...
maksudku, apa benar sesepuh bermarga Qu itu telah menolongnya?”
“Kakak Qu tidak pernah berkata
dusta,” jawab Liu Zhengfeng. “Jika ingin tahu lebih jelas, silakan kau tanyakan
langsung kepada Linghu Chong.”
“Huh, aku rasa itu bukan hal
yang istimewa,” sahut Fei Bin mencibir. “Aliran sesat terkenal suka memecah
belah dan mengadu domba. Segala macam akal licik dan tipu muslihat dapat mereka
lakukan. Pertolongan Qu Yang kepada Linghu Chong menurutku hanya sandiwara
belaka. Mungkin saat ini Linghu Chong sudah masuk pula ke dalam perangkap
mereka. Bisa dikatakan, saat ini di dalam Serikat Pedang Lima Gunung sudah
bertambah seorang pengkhianat lagi.” Usai berkata demikian buru-buru ia
berpaling ke arah Yue Buqun dan berkata, “Kakak Yue, aku hanya menduga-duga
saja. Tolong kau jangan tersinggung.”
“Tidak masalah,” jawab Yue
Buqun tenang.
Liu Zhengfeng terlihat sangat
gusar mendengar kalimat Fei Bin yang terakhir itu. Ia pun bertanya dengan nada
keras, “Saudara Fei, apa maksudmu dengan mengatakan ‘bertambah seorang lagi’?
Apa kau bisa menjelaskan?”
“Kau yang berbuat, harusnya
kau sendiri yang bisa menjawabnya,” ujar Fei Bin.
“Oh, jadi kau menuduh si marga
Liu ini sebagai pengkhianat?” bentak Liu Zhengfeng dengan suara lantang. “Aku
ingin berteman dengan siapa itu urusan pribadiku. Orang lain tidak perlu ikut
campur. Selama ini Liu Zhengfeng merasa tidak pernah mengkhianati kawan dan
mendurhakai Perguruan Hengshan. Sebaiknya istilah ‘pengkhianat’ aku kembalikan
kepadamu.”
Pada mulanya Liu Zhengfeng
masih berusaha bersikap ramah. Namun kini sorot matanya berubah tajam dan
berkilat-kilat. Meskipun dalam keadaan terdesak ia justru terlihat semakin
gagah berani, membuat sebagian hadirin kembali menaruh simpati kepadanya.
Fei Bin sendiri tidak kalah
angkuh dibanding sang tuan rumah. Ia pun bertanya, “Kalau begitu, Saudara Liu
sudah jelas menolak pilihan pertama, yaitu membunuh gembong aliran sesat
bernama Qu Yang, begitu?”
“Bila memang itu sudah menjadi
ketetapan Ketua Zuo,” jawab Liu Zhengfeng, “tidak ada lagi halangan untuk
Saudara Fei membunuh Liu Zhengfeng sekeluarga.”
“Huh, jangan mentang-mentang
di rumahmu sedang berkumpul banyak pendekar, kemudian kau pikir kami merasa
gentar untuk melakukan pembersihan. Sama sekali tidak ada ampun untuk seorang
pengkhianat,” ujar Fei Bin dengan mata melotot. Ia kemudian berseru kepada Shi
Dengda, “Lekas kemari!”
Shi Dengda pun maju
menghampiri sang paman. Panji Pancawarna di tangannya segera diambil alih oleh
Fei Bin dan setelah itu diangkat tinggi-tinggi. Pendekar nomor empat dari
Songshan itu langsung berseru lantang, “Dengarlah ini, Liu Zhengfeng! Atas
perintah Ketua Serikat kalau kau tidak bersedia membunuh Qu Yang dalam waktu
satu bulan, terpaksa Serikat Pedang Lima Gunung harus mengadakan pembersihan
supaya tidak menimbulkan bencana di kemudian hari. Mencabut rumput harus sampai
ke akar-akarnya. Untuk itu, hendaknya kau pertimbangkan lagi masak-masak
keputusanmu ini!”
Liu Zhengfeng tersenyum pedih
dan menjawab, “Aku yang bermarga Liu hidup di dunia hanya untuk mencari
sahabat. Mana boleh aku mengorbankan sahabatku hanya demi keselamatan pribadi?
Jika Ketua Serikat sudah tidak dapat memaafkan aku lagi, untuk apa aku harus
melawan? Semua terserah kepadanya. Aku hanya orang kecil yang tidak mempunyai
pengaruh apa-apa. Memang, semuanya sudah diatur oleh Ketua Serikat. Bahkan,
mungkin saat ini peti mati untukku juga sudah kalian siapkan. Kalau mau
menghabisi nyawa Liu Zhengfeng, silakan sekarang saja!”
Menanggapi itu Fei Bin
mengibaskan panji di tangannya dan berteriak, “Pendeta Tianmen dari Taishan,
Kakak Yue dari Huashan, Biksuni Dingyi dari Henshan, serta segenap murid-murid
Hengshan, menurut Ketua Serikat antara kebaikan dan keburukan tidak akan pernah
dapat hidup bersama. Aliran sesat dan Serikat Pedang Lima Gunung telah mengikat
permusuhan yang dalam bagai lautan. Sekarang Liu Zhengfeng dari Hengshan telah
menjalin persahabatan dengan pihak musuh. Setiap anggota perserikatan berhak
membunuhnya bersama-sama. Siapa yang tunduk kepada perintah Ketua Serikat,
silakan berdiri di sebelah kiri!”
Tampak yang pertama bangkit
dan berjalan menuju ke sebelah kiri Fei Bin dengan langkah lebar adalah Pendeta
Tianmen, diikuti murid-murid Perguruan Taishan. Hal ini dapat dimaklumi karena
guru Tianmen dahulu telah tewas di tangan seorang wanita gembong aliran sesat.
Tentu hal ini membuat kebenciannya bagaikan merasuk sampai ke dalam sumsum.
Orang kedua yang bangkit
adalah Yue Buqun. Dengan tegas ia berkata, “Adik Liu, asal kau menganggukkan
kepala sekali saja, maka si marga Yue ini akan langsung berangkat mewakili
dirimu membunuh Qu Yang. Kau telah berkata bahwa seorang kesatria sejati
pantang mengkhianati sahabat. Tapi, apakah di dunia ini hanya Qu Yang saja yang
kau anggap sebagai sahabat? Apakah kami yang hadir di sini bukan sahabatmu?
Jauh-jauh kami semua datang kemari hanya untuk mengucapkan selamat kepadamu,
apakah tindakan seperti ini masih kurang untuk disebut sebagai sahabat?
Meskipun Qu Yang pandai memetik kecapi, lantas apa karena itu kau harus
mengorbankan nyawamu dan keluargamu, serta persaudaraanmu dengan Serikat Pedang
Lima Gunung? Apa hanya karena itu persahabatanmu dengan kami semua jauh kurang
berharga dibandingkan dengan Qu Yang seorang?”
Perlahan-lahan Liu Zhengfeng
menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, “Kakak Yue, kau seorang terpelajar,
tentu mengetahui mana yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan seorang
laki-laki sejati. Nasihatmu sangat baik. Untuk itu aku mengucapkan banyak
terima kasih. Akan tetapi, untuk membunuh Kakak Qu sama sekali aku tidak
sanggup melakukannya. Biarpun seluruh keluargaku tertimpa musibah, perbuatan
seperti itu tidak akan pernah kulakukan. Baik dirimu ataupun Kakak Qu adalah
sama-sama sahabat bagiku. Apabila Kakak Qu menyuruhku membunuh Kakak Yue tentu
aku juga akan menolaknya mentah-mentah. Apabila dia sampai memintaku melakukan
itu, maka aku tak akan sudi lagi bersahabat dengannya.”
Diam-diam sebagian hadirin
terkesan mendengar ucapan Liu Zhengfeng yang tulus dan sungguh-sungguh itu.
Begitu tegas ia membela persahabatannya dengan Qu Yang di atas keselamatan
nyawa sendiri.
Yue Buqun mengangguk namun
tetap berusaha membujuk, “Adik Liu, ucapanmu itu jelas kurang benar. Adik Liu
mengutamakan setiakawan, hal itu sesuai dengan sifat kalangan persilatan. Akan
tetapi, bersahabat dengan seorang gembong penjahat jelas perbuatan keliru.
Kebaikan dan keburukan tidak akan pernah dapat bersatu. Selama ini sudah banyak
saudara-saudara kita, bahkan rakyat jelata yang tidak berdosa menjadi korban
keganasan aliran sesat. Adik Liu sendiri hanya karena merasa cocok sama-sama
gemar bermain musik lantas mempertaruhkan nyawa seluruh keluargamu demi
dirinya. Aku rasa kau telah salah mengartikan ‘setiakawan’ yang selama ini kau
junjung tinggi itu.”
Liu Zhengfeng tersenyum dan
menjawab, “Kakak Yue, kau tidak suka terhadap seni musik, sehingga kurang
memahami maksudku secara mendalam. Suara mulut masih bisa menipu, tapi suara
musik tidak dapat berdusta. Musik merupakan ungkapan suara hati yang tidak
dapat dipalsukan atau dibuat-buat. Jiwa kami telah terikat satu sama lain. Aku
berani menjamin dengan segenap jiwa ragaku bahwa meskipun Kakak Qu seorang
anggota aliran sesat, namun sedikit pun ia tidak bersifat jahat seperti yang
kalian tuduhkan.”
Yue Buqun menghela napas
panjang, kemudian bergabung di sebelah Pendeta Tianmen diikuti seluruh
murid-murid Huashan yang hadir di tempat itu.
Sekarang giliran Biksuni
Dingyi yang berbicara kepada Liu Zhengfeng. Dengan tatapan tajam ia hanya
berkata singkat, “Mulai hari ini bagaimana aku harus memanggilmu, Adik Liu atau
cukup Liu Zhengfeng saja?”
Liu Zhengfeng menjawab sambil
tersenyum getir, “Nyawa orang bermarga Liu ini sudah di ujung tanduk. Nasibnya
akan segera berakhir. Kelak Biksuni Dingyi tidak perlu repot-repot memanggil
aku lagi.”
Biksuni Dingyi menguncupkan
kedua tangannya sambil berkata, “Buddha Welas Asih!” Ia kemudian bergabung di sebelah
Yue Buqun diikuti segenap murid-murid Henshan.
Melihat ketiga perguruan sudah
berkumpul, Fei Bin kembali berbicara, “Urusan ini hanya menyangkut Liu
Zhengfeng seorang. Jadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan Perguruan Hengshan.
Kalian murid-murid Hengshan yang mau sadar tidak ikut membela kejahatan,
silakan bergabung ke sebelah kiri.”
Suasana ruang utama tersebut
mendadak sunyi senyap. Sejenak kemudian seorang pemuda berseru, “Paman Liu,
maafkan kami!”
Pemuda itu lantas melangkah ke
arah yang ditunjuk Fei Bin, diikuti sekitar tiga puluh murid-murid Hengshan
lainnya. Dalam pertemuan tersebut memang tidak seorang pun saudara seperguruan
Liu Zhengfeng yang hadir untuk memberi selamat, kecuali murid-murid mereka.
Fei Bin kembali berseru,
“Murid-murid Liu Zhengfeng, silakan bergabung di sini pula.”
Xiang Danian menjawab dengan
suara lantang, “Kami telah menerima budi baik dari guru kami. Guru kami sedang
dilanda kesulitan, sudah seharusnya kami berada di sisinya. Kami siap sehidup
semati dengan Guru.”
“Bagus sekali, bagus sekali!”
ucap Liu Zhengfeng terharu. Baru kali ini ia meneteskan air mata meskipun sejak
tadi didesak kelompok Fei Bin dengan gencar. “Danian, muridku. Ucapanmu tadi
sudah cukup membuktikan kalau kau seorang murid yang berbakti. Sungguh, aku
mengizinkan kalian menyeberang ke sana. Aku yang berbuat, biar aku sendiri yang
menanggung akibatnya; sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kalian.”
Tiba-tiba Mi Weiyi si murid
kedua melolos pedangnya dan berseru, “Kami memang bukan tandingan Serikat
Pedang Lima Gunung. Tapi, barangsiapa berani menyakiti guru kami terlebih
dahulu harus melangkahi mayat Mi Weiyi!” Usai berkata demikian, ia pun berdiri
di hadapan Liu Zhengfeng dengan gagah berani.
“Mutiara sebesar beras mau
coba-coba bersinar, hah?” sahut Ding Mian mengejek. Segera tangan kirinya
bergerak melemparkan sesuatu yang memancarkan kilatan cahaya perak menyilaukan.
Liu Zhengfeng menyadari kalau
Ding Mian telah melemparkan sebuah senjata rahasia. Dengan cepat ia mendorong
bahu Mi Weiyi sehingga pemuda itu terlempar ke kanan. Namun hal ini justru
membuat keselamatan dirinya terancam. Senjata rahasia itu bergerak cepat menuju
ke arah dadanya. Tanpa banyak bicara, Xiang Danian melompat melindungi sang
guru. Maka sekejap kemudian terdengarlah suara jeritan pemuda itu. Senjata
rahasia Ding Mian telah menancap tepat di jantungnya.
Liu Zhengfeng merangkul tubuh
Xiang Danian yang terkulai tak berdaya dengan tangan kirinya. Setelah diperiksa
dengan seksama ternyata murid pertamanya itu sudah binasa. Ia pun menoleh ke
arah Ding Mian dan berkata, “Kalian... kalian orang-orang Songshan yang lebih
dulu membunuh muridku!”
“Benar,” sahut Ding Mian.
“Memang kami yang menyerang lebih dulu. Lantas kau mau apa?”
Tiba-tiba Liu Zhengfeng
mengangkat mayat Xiang Danian dan bersiap melemparkannya ke arah Ding Mian.
Menyadari kehebatan tokoh nomor dua Perguruan Hengshan tersebut, Ding Mian
tidak berani menganggap remeh. Ia pun menghimpun tenaga dalam bersiap-siap
menyambut datangnya lemparan.
Tak disangka, ternyata itu
semua hanya tipuan Liu Zhengfeng belaka. Seolah-olah ia bermaksud menyerang
Ding Mian, padahal mayat tersebut justru dilemparkannya ke arah Fei Bin.
Terpaksa Fei Bin pun menahan mayat Xiang Danian dengan kedua tangannya dalam
keadaan mendadak. Akibatnya, ia menjadi lengah dan tidak sempat menghindar
ketika Liu Zhengfeng tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya dan menotok titik
nadi di bawah iga pendekar dari Songshan tersebut.
Tidak hanya itu, Liu Zhengfeng
lantas merebut Panji Pancawarna dengan tangan kiri, dan juga pedang milik Fei
Bin dengan tangan kanan. Pedang tersebut segera digunakannya untuk mengancam
leher si pemilik. Sekejap kemudian, beberapa titik nadi Fei Bin juga ikut
tertotok. Begitu cepat gerakan Liu Zhengfeng ini, bahkan semuanya terjadi
sebelum mayat Xiang Danian jatuh ke lantai.
Para hadirin terkesima
melihatnya. Sudah lama mereka mendengar kehebatan ilmu Tiga Belas Jurus Hantu
Kabut Hengshan, namun baru kali ini bisa melihat secara langsung. Yue Buqun
pernah mendapat cerita dari gurunya bahwa ilmu tersebut diciptakan oleh seorang
tokoh Perguruan Hengshan dari generasi sebelumnya yang mahir bermain sulap.
Ketika sudah lanjut usia, tokoh tersebut lantas memadukan kehebatan ilmu silat
dengan ilmu sulapnya. Maka itu, terciptalah sebuah jurus yang sangat cepat dan
mengejutkan. Padahal, dulu ia menciptakan ilmu tersebut hanya sekadar iseng
saja, tapi ternyata kini menjadi salah satu ilmu paling unik dalam Perguruan
Hengshan.
Meskipun demikian, ilmu yang
aneh dan penuh kejutan ini tidak sembarangan untuk diajarkan. Dalam pertarungan
yang sebenarnya, ilmu ini tidak banyak berarti karena pihak lawan tentu akan
lebih waspada dan melindungi semua bagian penting pada tubuhnya. Oleh sebab
itu, para guru mengancam murid-muridnya akan berhenti mengajarkan ilmu
Perguruan Hengshan sepenuhnya apabila ada murid yang mendalami ilmu ini. Mereka
tidak ingin para murid hanya mengandalkan kehebatan berkelebat ke sana dan
kemari sehingga melupakan ilmu silat yang sebenarnya. Namun, Liu Zhengfeng memakai
cara lain. Ia lebih dulu menuntaskan semua pelajaran ilmu silat dari gurunya,
baru kemudian mempelajari Tiga Belas Jurus Hantu Kabut Hengshan tersebut. Ilmu
unik ini berhasil dipergunakannya untuk menyergap Fei Bin si Tapak Songyang
Besar dengan gerakan tiba-tiba. Andai saja bertarung secara terang-terangan,
belum tentu Fei Bin dapat tertangkap secepat itu.
Sambil mengancam leher Fei Bin
dengan pedang dan mengangkat Panji Pancawarna di udara, Liu Zhengfeng berseru,
“Saudara Ding dan Saudara Lu, maafkan aku yang lancang berani menawan Saudara
Fei dan merebut Panji Pancawarna. Sebenarnya aku tidak berani melakukan ini
semua. Tapi sungguh, aku hanya ingin meminta pengertian kalian.”
Melihat leher sang adik
diancam pedang, mau tidak mau Ding Mian pun berkata, “Apa sebenarnya yang ingin
kau katakan?”
“Mohon Saudara berdua sudi
menyampaikan permintaanku ini kepada Ketua Zuo. Aku mohon diperbolehkan
mengasingkan diri bersama seluruh anggota keluargaku, dan mulai saat ini tidak
akan lagi mencampuri urusan dunia persilatan,” jawab Liu Zhengfeng.
“Persahabatanku dengan Kakak Qu juga akan kuakhiri sampai di sini; begitu pula
persahabatanku dengan para hadirin sekalian. Selama hidup... aku tidak akan
menginjak Daratan Tengah ini lagi.”
Ding Mian terlihat ragu-ragu. Sejenak
kemudian baru ia berkata, “Mengenai permintaanmu ini kami berdua tidak berani
mengambil keputusan. Tentu ini semua harus dilaporkan lebih dulu kepada Ketua
Zuo untuk meminta petunjuknya.”
Liu Zhengfeng menjawab, “Di
sini sudah hadir ketua Perguruan Taishan dan Huashan. Biksuni Dingyi juga bisa
bertindak mewakili ketua Perguruan Henshan. Selain itu, segenap para kesatria
dan pendekar lainnya yang hadir di sini bisa menjadi saksi.” Setelah terdiam
sejenak dan memandangi para hadirin, ia melanjutkan, “Aku hanya memohon
kebaikan hati para sahabat sekalian untuk mengizinkan diriku untuk membawa
pergi segenap keluargaku, juga murid-muridku.”
Biksuni Dingyi meskipun suka
bersikap galak dan kasar, namun sesungguhnya berhati lembut dan welas asih.
Mendengar permohonan itu ia menjadi orang pertama yang angkat bicara, “Cara
seperti itu sungguh bijaksana dan tidak memberatkan kedua pihak. Sebaiknya
Saudara Ding dan Saudara Lu mengabulkan permintaan Adik Liu ini. Dia sudah
berjanji tidak akan bergaul lagi dengan gembong aliran sesat itu. Dia juga
berjanji akan meninggalkan Daratan Tengah ini untuk selamanya. Itu berarti di
dunia persilatan tidak akan ada lagi orang bernama Liu Zhengfeng. Jadi, untuk
apa lagi pembunuhan terhadapnya kita lakukan?”
Pendeta Tianmen mengangguk
setuju dan berkata, “Aku rasa cara seperti itu memang cukup baik. Bagaimana
menurutmu, Adik Yue?”
Yue Buqun menjawab, “Adik Liu
sudah menyatakan kesediaannya, jadi aku rasa kita boleh percaya kepadanya. Mari
kita ubah pertengkaran ini menjadi pertemuan yang menggembirakan. Adik Liu bisa
melepaskan Adik Fei dan kita minum bersama secawan arak sebagai tanda
perdamaian. Besok pagi-pagi sekali, Adik Liu bisa membawa keluarganya
meninggalkan Hengshan ini untuk selamanya.”
Menanggapi itu Lu Bai menjawab
dengan suara dingin, “Jika ketua Taishan dan ketua Huashan sudah bicara
demikian, ditambah lagi Biksuni Dingyi yang mewakili pihak Henshan, mana
mungkin kami berani menentang? Akan tetapi, saat ini Adik Fei kami sedang
berada di tangan Liu Zhengfeng. Jika kami menerima permintaan itu, kami
khawatir kelak di kemudian hari dunia persilatan akan menuduh Perguruan
Songshan terpaksa tunduk di bawah ancaman pedang Liu Zhengfeng. Jika hal itu
sampai tersebar luas, ke mana lagi kami harus menyembunyikan muka?”
Biksuni Dingyi menyahut, “Adik
Liu hanya meminta kemurahan hati kepada Perguruan Songshan, bukan mengancam.
Justru yang berada di bawah ancaman adalah Adik Liu, bukan Perguruan Songshan
kalian. Bukankah kalian yang lebih dulu menawan dan membunuh seorang murid Adik
Liu? Jadi, mana ada alasan untuk mengatakan pihak Songshan tunduk karena
ancaman?”
Lu Bai tidak menanggapi, tapi
berkata kepada salah seorang murid Songshan, “Bersiaplah, Di Xiu!”
“Baik!” jawab Di Xiu sambil
menempelkan ujung pedangnya ke punggung putra sulung Liu Zhengfeng.
Kembali Lu Bai berkata, “Liu
Zhengfeng, jika itu yang menjadi permintaanmu maka kau boleh ikut kami untuk
menghadap Ketua Zuo di Gunung Songshan. Kami hanya sekadar menjalankan perintah
dan sama sekali tidak berani mengambil keputusan apa-apa. Yang penting sekarang
segera bebaskan Adik Fei dan kembalikan Panji Pancawarna kepada kami!”
Liu Zhengfeng tersenyum pedih,
kemudian berkata lirih kepada putranya, “Nak, apakah kau takut mati?”
Putranya itu menjawab, “Saya
hanya patuh kepada Ayah. Saya sama sekali tidak takut mati.”
“Anak baik,” ujar Liu
Zhengfeng.
Mendengar itu Lu Bai tiba-tiba
berseru, “Bunuh dia!”
Segera Di Xiu mendorong
pedangnya menembus punggung putra sulung Liu Zhengfeng tersebut. Begitu pedang
dicabut kembali, darah segar pun mengucur deras. Pemuda pemberani itu jatuh
tersungkur kehilangan nyawa.
Nyonya Liu menjerit dan
kemudian menubruk mayat putra sulungnya. Tanpa ampun, Lu Bai kembali berseru,
“Bunuh dia juga!”
Sekali tusuk, pedang Di Xiu
melenyapkan nyawa istri Liu Zhengfeng pula.
“Dasar binatang!” bentak
Dingyi dengan nada sangat marah. Biksuni tua itu pun menerjang ke arah Di Xiu,
namun Ding Mian secepat kilat menghadang di depannya. Maka, kedua telapak
tangan mereka pun beradu dengan sangat keras. Akibatnya, Biksuni Dingyi
terhuyung mundur beberapa langkah. Dadanya terasa sesak dan darah segar naik ke
dalam kerongkongan. Sebagai seorang yang beradat tinggi, pantang baginya
memperlihatkan kelemahan di hadapan orang lain. Diam-diam ia pun menelan kembali
darah tersebut ke dalam perutnya.
“Terima kasih, Kakak Biksuni
sudi mengalah,” kata Ding Mian sambil tersenyum.
Biksuni Dingyi melangkah
mundur dengan menahan sakit di dada. Pertarungan tangan kosong memang bukan
keahliannya. Di samping itu, ia tadi juga berniat memukul Di Xiu hanya dengan
setengah tenaga. Tak disangka, Ding Mian justru mengerahkan tenaga penuh untuk
menghadang pukulan tersebut. Setelah terpukul mundur dan nyaris muntah darah,
Dingyi berniat menghimpun tenaga untuk menghadapi Ding Mian. Namun tiba-tiba
perutnya terasa sangat sakit pertanda ia telah menderita luka dalam.
Sambil berkata dengan nada
marah, biksuni tua itu lantas berkata kepada rombongannya, “Mari kita pulang
saja!”
Dengan langkah lebar Dingyi
pun bergegas meninggalkan rumah Liu Zhengfeng. Para murid Henshan beramai-ramai
mengikuti di belakangnya.
“Bunuh mereka!” seru Lu Bai
tanpa memedulikan kepergian rombongan Dingyi. Dengan segera dua orang murid
Songshan menusuk punggung dua murid Liu Zhengfeng sampai mati.
“Dengarkanlah, wahai
murid-murid Liu Zhengfeng!” seru Lu Bai. “Jika kalian masih ingin hidup, lekas
berlutut memohon ampun kepada kami! Barangsiapa mengutuk perbuatan salah guru
kalian, maka nyawanya akan diampuni!”
“Dasar keparat! Kalian
orang-orang Songshan benar-benar lebih kejam daripada aliran sesat,” bentak Liu
Jing, putri Liu Zhengfeng.
“Bunuh dia!” seru Lu Bai.
Tanpa ampun, Wan Daping
mengayunkan pedangnya ke bawah. Tubuh Liu Jing pun terbelah menjadi dua,
memanjang dari bahu kanan sampai ke pinggang kiri.
Shi Dengda dan murid-murid
Songshan lainnya juga ikut bertindak. Dengan ganas mereka membantai satu per
satu murid-murid Liu Zhengfeng yang tidak bisa melawan karena telah ditotok
sebelumnya.
Meskipun para hadirin sudah
terbiasa melihat pertumpahan darah, namun pembantaian kejam tersebut mau tidak
mau membuat mereka merasa ngeri juga. Beberapa tokoh sepuh ada yang berniat
melerai namun pedang murid-murid Songshan berkelebat sangat cepat sehingga
belum sempat mereka bersuara, tahu-tahu sudah banyak mayat yang bergelimpangan.
Akhirnya, mereka pun berusaha memaklumi peristiwa itu dengan berpikir,
“Kebaikan dan kejahatan tidak akan pernah bersatu. Perbuatan orang-orang
Songshan ini sesungguhnya ditujukan untuk memerangi aliran sesat, bukan untuk
menghancurkan Keluarga Liu. Meskipun perbuatan mereka sangat keji dan tidak
berperasaan, namun pada kenyataannya tidak seorang pun berusaha melerai. Pihak
Songshan telah menguasai keadaan, dan berhasil memukul mundur Biksuni Dingyi.
Sementara itu, Pendeta Tianmen dan Tuan Yue hanya diam tak bersuara. Ini
hanyalah urusan internal Serikat Pedang Lima Gunung. Orang luar seperti kami
jika berani ikut campur hanyalah mengundang bencana dan bisa-bisa ikut
kehilangan nyawa.”
Akhirnya, semua anggota
keluarga dan murid-murid Liu Zhengfeng sudah habis dibantai pihak Perguruan
Songshan, kecuali si putra bungsu yang bernama Liu Qin. Anak itu berusia lima
belas tahun dan merupakan putra kesayangan Liu Zhengfeng.
Lu Bai lantas berkata kepada
Shi Dengda, “Coba kau tanya bocah itu apa dia masih ingin hidup atau tidak.
Jika tidak, potong saja hidungnya, kemudian telinganya, lalu congkel biji
matanya!”
“Baik!” jawab Shi Dengda. Ia
lantas berjalan mendekati Liu Qin dan bertanya, “Kau mau minta ampun atau
tidak?”
Wajah Liu Qin terlihat pucat
pasi dan tubuhnya gemetar. Namun Liu Zhengfeng justru berkata, “Anakku yang
baik, kakak-kakakmu telah mati dengan gagah berani. Semua orang juga akan mati,
kenapa harus takut?”
“Tapi... tapi... mereka hendak
memotong hidungku dan mencongkel mataku, Ayah,” sahut Liu Qin gugup.
Liu Zhengfeng tertawa dan
menjawab, “Dalam keadaan seperti ini apa kau masih berharap mereka
mengampunimu?”
“Ayah... sebaiknya kau...
sebaiknya kau menyanggupi saja... membunuh Paman Qu,” kata Liu Qin.
“Keparat!” bentak Liu Zhengfeng
sebelum putra bungsunya itu berbicara lebih lanjut. “Dasar binatang! Kau bilang
apa?”
Shi Dengda mengayun-ayunkan
pedangnya di depan hidung Liu Qin sambil berkata, “Lekas berlutut dan minta
ampun! Kalau tidak, hidungmu akan segera lenyap. Satu... dua....”
Belum sampai Shi Dengda
menghitung sampai tiga, Liu Qin dengan cepat menekuk lutut memohon ampun.
“Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku!” ujarnya meratap.
Lu Bai tertawa dan berkata,
“Kami akan mengampuni asalkan kau mengutuk kesalahan ayahmu di hadapan para
kesatria ini.”
Meskipun keluarga dan
murid-muridnya dibantai, Liu Zhengfeng sejak tadi terlihat tenang-tenang saja.
Namun kini begitu menyaksikan sepasang mata putra bungsunya berkaca-kaca
memohon belas kasihan, ia menjadi sangat gusar. “Dasar binatang! Apa kau tidak
melihat bagaimana ibu dan kedua kakakmu mati di tangan mereka? Apa kau tidak
malu?” bentaknya kemudian.
Mendengar itu Liu Qin justru
semakin takut. Ia tidak berani memandang mayat ibu dan kedua kakaknya yang
berlumuran darah. Apalagi pedang Shi Dengda masih terus berkelebatan mengancam
dirinya. Ia pun memohon kepada Lu Bai, “Aku mohon... aku mohon ampunilah
ayahku!”
“Ayahmu telah bersekongkol
dengan penjahat dari aliran sesat,” ujar Lu Bai. “Menurutmu, perbuatannya itu
salah atau benar?”
“Sa... salah,” jawab Liu Qin
dengan suara lemah.
“Kalau begitu, ayahmu pantas
dibunuh atau tidak?” tanya Lu Bai lagi.
Liu Qin tidak berani menjawab,
hanya menunduk ke bawah.
“Bocah ini tidak mau bicara,”
kata Lu Bai. “Kau boleh membunuhnya.”
“Baik!” jawab Shi Dengda
mengiakan. Ia lantas berpura-pura mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah
karena tahu Lu Bai sebenarnya hanya menggertak saja.
Liu Qin semakin ketakutan dan
buru-buru menjawab, “Ya... ya, ayahku pantas dibunuh!”
“Bagus!” ujar Lu Bai dengan
tertawa. “Mulai sekarang kau bukan lagi anggota Perguruan Hengshan, juga bukan
anak Liu Zhengfeng. Aku mengampuni nyawamu.”
Karena perasaan takutnya sudah
memuncak, kaki Liu Qin sampai-sampai lemas tidak bisa dipakai untuk berdiri.
Melihat itu para hadirin merasa kesal dan memandang hina terhadap putra bungsu
Liu Zhengfeng tersebut. Bahkan, ada yang memalingkan muka tidak sudi memandang
wajah Liu Qin pula.
Liu Zhengfeng sendiri hanya
menghela napas panjang dan berkata, “Orang bermarga Lu, kau sudah menang.” Usai
berkata demikian ia lantas melemparkan Panji Pancawarna ke arah Lu Bai dan
dengan cepat mendepak Fei Bin hingga jatuh terguling di lantai. Kemudian ia
berseru lantang, “Aku yang bermarga Liu telah mengaku kalah. Urusan ini akan
kuakhiri dengan caraku sendiri. Kalian tidak perlu membunuh lebih banyak lagi.”
Segera Liu Zhengfeng
menempelkan pedang di lehernya bersiap melakukan bunuh diri. Pada saat itulah
tiba-tiba dari atap teras rumah melayang turun seseorang berpakaian hitam.
Tangannya bergerak secepat kilat memegang lengan Liu Zhengfeng. “Seorang
laki-laki harus membalas dendam. Meskipun tertunda sepuluh tahun juga belum
terlambat. Ayo, kita pergi!” ujarnya dengan suara lantang.
Liu Zhengfeng terkejut dan
menyapa, “Kakak Qu, kau... kau....”
Begitu mendengar marga orang
berbaju hitam tersebut, para hadirin seketika langsung menyimpulkan bahwa dia
tidak lain adalah si gembong aliran sesat bernama Qu Yang. Beberapa di antara
mereka langsung gemetar; entah karena takut atau gusar.
“Benar, ini aku!” sahut Qu
Yang sambil menarik lengan Liu Zhengfeng. “Tidak ada waktu lagi untuk menyapa.
Ayo kita pergi!”
Namun baru beberapa langkah
keduanya sudah diserang Ding Mian dan Lu Bai dengan sekuat tenaga. Kedua pasang
telapak tangan mereka serentak menghantam punggung Qu Yang dan Liu Zhengfeng.
“Lekas lari!” bentak Qu Yang
sambil mendorong tubuh Liu Zhengfeng sampai keluar rumah. Pada saat yang sama,
ia mengerahkan tenaga pula untuk menahan pukulan kedua jagoan Songshan
tersebut. Suara benturan keras terdengar menggelegar. Disusul kemudian terlihat
tubuh Qu Yang terlempar ke atas.
Para hadirin melihat gembong
aliran sesat tersebut memuntahkan darah segar. Namun secepat kilat ia
mengibaskan tangan, melemparkan sesuatu berjumlah banyak saat tubuhnya masih
melayang di udara.
“Awas, itu Jarum Darah Hitam!”
seru Ding Mian sambil berkelit ke samping untuk menghindar.
Para hadirin terkejut
mendengar nama senjata rahasia yang disebarkan Qu Yang tersebut. Seketika
suasana menjadi kacau karena Jarum Darah Hitam adalah senjata rahasia aliran
sesat yang terkenal sangat beracun. Mereka berusaha menghindar namun karena
ruangan sudah terlanjur penuh sesak, mau tidak mau beberapa di antaranya
menjerit menjadi korban.
Di tengah keributan itu, para
hadirin tidak menyadari kalau Qu Yang dan Liu Zhengfeng sudah menghilang entah
ke mana.
Sementara itu, suasana yang
berbeda tengah dirasakan oleh Linghu Chong dan Yilin. Di tengah lembah
pegunungan, di dekat derasnya air terjun, keduanya merasakan kedamaian luar
biasa. Saat itu luka Linghu Chong bisa dikatakan sudah jauh lebih baik. Berkat
obat mujarab Salep Penyambung Langit dan Pil Empedu Beruang Putih buatan
Perguruan Henshan, ditambah dengan tenaga dalam Linghu Chong yang terhitung
paling tinggi di antara murid-murid Huashan lainnya, serta suasana di sekitar
air tejun yang sejuk dan menyenangkan membuat pemuda itu berangsur-angsur pulih
kembali seperti sediakala.
Selama sehari dua malam itu
Linghu Chong hanya memakan semangka untuk mengisi perutnya. Pernah ia meminta
Yilin menangkap ikan atau kelinci sebagai lauk, namun biksuni muda itu
menolaknya. Meskipun berkali-kali mencuri semangka, namun Yilin tidak berani
melanggar pantangan lainnya yaitu membunuh sesama makhluk hidup. Lagipula
Linghu Chong baru saja lolos dari kematian, sehingga tidak ada salahnya kalau
berhenti memakan daging untuk beberapa hari sebagai ungkapan puji syukur
terhadap Sang Buddha, demikian menurut pendapatnya.
Menanggapi itu Linghu Chong
hanya tertawa dan menerima saran Yilin.
Malam itu, mereka berdua duduk
termenung sambil menyandarkan diri pada tebing batu. Di udara terlihat banyak
kunang-kunang terbang kian-kemari dengan memancarkan cahaya berkelap-kelip.
Melihat itu Linghu Chong membuka suara, “Musim panas tahun lalu aku pernah
menangkap ribuan kunang-kunang dan kumasukkan ke dalam puluhan kantong tipis.
Kemudian kantong-kantong itu kugantung di dalam kamar. Indah sekali. Sinarnya
berkelap-kelip sungguh menarik.”
Yilin menanggapi, “Pasti adik
kecilmu yang menyuruhmu menangkap kunang-kunang itu.”
“Kau ini sungguh pintar.
Sekali tebak langsung benar,” ujar Linghu Chong tertawa. “Dari mana kau tahu
kalau Adik Kecil yang menyuruhku menangkap kunang-kunang itu?”
“Sifatmu tidak sabaran. Jadi,
mana mungkin kau bisa sedemikian tekun menangkap ribuan kunang-kunang dan
memasukkannya ke dalam puluhan kantong?” sahut Yilin sambil tersenyum pula.
Biksuni muda itu terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Kantong-kantong itu
dipajang di dalam kamar untuk apa?”
“Adik Kecil menggantung
kantong-kantong itu di dalam kelambu tempat tidurnya,” jawab Linghu Chong.
“Menurutnya, sinar kunang-kunang itu bagaikan ribuan bintang di langit sewaktu
pelita dalam kamar dipadamkan. Ia merasa seperti tidur di awang-awang. Setiap
kali membuka mata, ia bagaikan melihat ribuan bintang mengelilingi dirinya.”
Yilin berkata, “Adik kecilmu
memang pandai mencari kesenangan. Untungnya, dia memiliki kakak seperguruan
yang sangat baik seperti dirimu. Begitu dia meminta bintang di langit, tentu
kau akan segera mengambilkannya.”
“Ya, pada awalnya dia memang
meminta demikian,” jawab Linghu Chong. “Malam itu kami berdua menikmati
indahnya bintang-bintang di langit. Adik Kecil berkata, ‘Sayang sekali sebentar
lagi aku harus tidur. Ingin rasanya aku tidur di luar rumah biar sewaktu-waktu
aku bangun, aku bisa melihat bintang-bintang itu. Tapi, Ibu tidak akan pernah
mengizinkanku.’ – Saat itu aku mendapat akal. Aku menawarkan diri untuk
menangkap ribuan kunang-kunang dan memasukkannya ke dalam kelambu tempat
tidurnya sebagai pengganti bintang-bintang tersebut.”
“Oh, jadi itu hasil
gagasanmu?” tanya Yilin dengan suara lirih.
“Benar. Tapi Adik Kecil
berkata bahwa kunang-kunang itu akan terbang kian-kemari dan mengganggu
tidurnya,” lanjut Linghu Chong. “Ia lantas mendapat akal untuk mengurung ribuan
kunang-kunang itu dalam kantong-kantong tipis. Maka, aku pun menangkap
kunang-kunang sementara dia membuat kantong-kantong dari kain saringan. Kami
mulai bekerja keesokan paginya sampai malam. Malam harinya, Adik Kecil sangat
gembira menikmati pemandangan di dalam kelambu tempat tidurnya. Namun pada
malam berikutnya, kunang-kunang itu mati semua.”
“Hah? Mati semua?” sahut Yilin
dengan badan gemetar. “Mengapa kalian bisa sedemikian... sedemikian....”
“Sedemikian kejam maksudmu?”
tukas Linghu Chong dengan tertawa. “Kau ini sungguh bersifat welas asih.
Meskipun tidak kutangkap, udara dingin akan membuat kunang-kunang itu mati
dengan sendirinya dua atau tiga hari kemudian.”
“Sebenarnya hewan tidak
berbeda dengan manusia,” sahut Yilin. Setelah terdiam agak lama, barulah ia
menyambung, “Sebagian manusia mati muda, sebagian lagi mati tua. Namun pada
dasarnya semua manusia akan mati. Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak seorang
pun bisa lolos dari kematian, baik itu akibat penyakit atau karena usia tua.
Namun, hanya beberapa saja yang mampu mengetahui rahasia kebenaran sejati di
balik lingkaran hidup dan mati.”
Linghu Chong menanggapi dengan
santai, “Maka itu kau jangan terlalu sibuk mematuhi peraturan dan larangan.
Jika Sang Buddha selalu mengawasi dirimu saat berbuat apa saja, tentu dia akan
sangat letih.”
Yilin terdiam, tidak tahu
harus bicara apa lagi. Beberapa menit kemudian ia melihat sebuah bintang jatuh
di angkasa. “Kakak seperguruanku – Yiqing – pernah berkata, jika ada orang
melihat bintang jatuh dan segera membuat simpul pada tali bajunya sendiri
sambil memikirkan suatu permintaan, maka permintaan itu pasti akan terkabul.
Apa kau pernah mendengar hal itu? Apa benar demikian?”
“Entahlah, aku tidak tahu,”
jawab Linghu Chong sambil tertawa. “Tapi tidak ada jeleknya kalau kita
mencoba-coba. Lebih baik kita bersiap-siap, siapa tahu ada bintang jatuh lagi.
Sedikit saja terlambat, kita tidak akan mendapat apa-apa.”
Yilin segera memegangi tali
pinggangnya sambil memandang ke angkasa. Saat itu langit sedang cerah dan
bintang jatuh cukup sering terlihat. Sesuai dugaan, sebuah bintang jatuh
kembali terlihat. Yilin buru-buru membuat simpul namun tidak berhasil. Sesaat
kemudian, kembali sebuah bintang jatuh terlihat di angkasa. Kali ini gerakan
tangan Yilin lebih cepat sehingga ia berhasil menyelesaikan simpulnya.
“Bagus sekali! Sempurna!” seru
Linghu Chong memuji. “Dewi Guanyin memberkatimu, dan permohonanmu pasti menjadi
kenyataan.”
“Tapi aku tidak tahu harus
meminta apa,” jawab Yilin. “Aku hanya sibuk memikirkan bagaimana membuat simpul
dengan cepat sehingga lupa harus meminta apa.”
Linghu Chong tertawa dan
berkata, “Sebaiknya kau pikirkan lebih dulu apa keinginanmu. Sebutkan
berkali-kali dalam hatimu supaya tidak lupa.”
“Apa yang kuinginkan? Apa yang
kuinginkan?” ujar Yilin bergumam sendiri. Begitu menoleh ke arah Linghu Chong
seketika wajahnya bersemu merah dan ia pun tertunduk malu. Beberapa menit
kemudian kembali terlihat sebuah bintang jatuh.
“Hei, itu ada lagi! Wah, kali
ini panjang sekali! Lekas kau pikirkan keinginanmu! Kau punya banyak waktu
untuk melakukannya,” seru Linghu Chong gembira.
Akan tetapi, Yilin sendiri
sedang kebingungan. Di lubuk hatinya terdapat suatu keinginan namun ia sendiri
takut mengungkapkan keinginan tersebut. Jangankan mengatakannya, bahkan berdoa
kepada Sang Buddha untuk mewujudkan keinginan ini pun ia tidak berani. Melihat
bintang jatuh tersebut jantungnya seketika berdebar kencang. Perasaan senang
dan takut bercampur aduk menjadi satu di dalam hatinya.
“Apa yang kau inginkan?” terdengar
suara Linghu Chong bertanya.
Yilin diam tidak menjawab.
Dalam hati ia balik bertanya, “Apa yang kuinginkan? Apa yang kuinginkan?” Pada
saat itu kembali terlihat sebuah bintang jatuh di langit, namun ia hanya
termangu-mangu memandangnya.
“Hei, mengapa kau melamun?”
tanya Linghu Chong. “Ah, kalau begitu biar aku yang mencoba menebaknya.”
“Tidak, tidak, jangan kau
katakan!” cegah si biksuni dengan muka merah.
“Memangnya kenapa?” sahut
Linghu Chong. “Biar kutebak tiga kali saja. Coba lihat, apa tebakanku benar
atau salah?”
“Tidak, jangan kau katakan!
Jika kau terus memaksa, maka aku akan segera pergi,” ujar Yilin sambil bangkit
berdiri.
Linghu Chong bergelak tawa dan
berkata, “Baiklah, aku tidak akan mengatakannya. Jika dalam hatimu memang ada
keinginan untuk menjadi ketua Perguruan Henshan, mengapa harus malu?”
Yilin terkejut dan berpikir,
“Hah? Mengapa dia berpikiran kalau aku ingin menjadi ketua Henshan? Mana
mungkin aku bisa memikul tanggung jawab sebesar itu? Selamanya juga aku tidak
akan pernah punya keinginan seperti itu.”
Tiba-tiba terdengar alunan
suara kecapi dari kejauhan. Linghu Chong dan Yilin saling pandang dan
masing-masing berpikiran sama, “Mengapa di tengah hutan sunyi ini ada orang
bermain kecapi?”
Suara kecapi tersebut sangat merdu,
lembut, dan enak didengar. Tiba-tiba di tengah alunan kecapi itu terdengar pula
suara seruling mengiringi. Perpaduan kedua jenis musik tersebut sangat serasi,
bagaikan bercakap-cakap satu sama lain. Yang satu bertanya, yang lain menjawab.
Tidak hanya itu, suara kedua alat musik tersebut juga terdengar semakin
mendekat.
Linghu Chong sangat tertarik
mendengarnya. Ia pun berbisik kepada Yilin, “Mereka bermain musik di tempat
sunyi seperti ini, sungguh aneh. Siapapun mereka, entah kawan atau lawan, sebaiknya
kita jangan bersuara sedikit pun.”
Yilin mengangguk. Keduanya pun
merunduk dan berlindung di balik semak-semak.
Saat itu nada suara kecapi
terdengar semakin keras dan tinggi. Sebaliknya, suara seruling justru semakin
rendah. Meskipun demikian, suara seruling itu tidak putus, hanya terdengar
lirih dan sayup-sayup tertiup angin. Bahkan, makin menyentuh jiwa bagi siapa
yang mendengarnya.
Dari balik batuan gunung
Linghu Chong dan Yilin menyaksikan kemunculan tiga sosok bayangan. Di bawah
sinar rembulan samar-samar mereka dapat melihat dua sosok bertubuh tinggi dan
seorang lainnya lebih pendek. Kedua sosok bertubuh tinggi itu adalah dua orang
laki-laki dewasa yang berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan setapak, kemudian
duduk di atas batu. Rupanya alunan suara musik tersebut berasal dari mereka.
Laki-laki yang satu memainkan seruling, sedangkan yang lainnya memainkan
kecapi. Sementara itu, sosok ketiga yang bertubuh lebih pendek adalah seorang
gadis kecil yang diam tanpa bersuara dan berdiri di dekat si pemetik kecapi.
Perlahan-lahan Linghu Chong
membenamkan kepalanya, tidak berani mengintai lagi. Ia takut ketiga orang itu
mengetahui keberadaannya. Meskipun demikian, telinganya tetap menikmati
merdunya alunan kedua jenis alat musik tersebut. Perpaduan iramanya sangat
serasi dan cocok, serta menentramkan jiwa.
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Padahal di dekat sini terdapat air terjun yang suaranya bergemuruh.
Tapi entah mengapa derasnya air tidak mampu meredam alunan suara kecapi dan
seruling itu? Ah, ternyata mereka berdua memiliki tenaga dalam yang luar biasa.
Sungguh hebat kekuatan mereka! Mungkin adanya air terjun ini justru menjadi
alasan mengapa mereka memilih bermain musik di sini.”
Tiba-tiba suara kecapi berubah
menjadi cepat dan keras seperti lagu peperangan, dan terkadang diselingi suara
melengking tinggi membuat hati yang mendengar ikut berguncang. Sebaliknya,
irama seruling tetap halus dan lembut penuh keanggunan.
Beberapa saat kemudian, irama
kecapi berubah menjadi halus, sedangkan suara seruling berubah tinggi namun
juga rendah secara bergantian. Tiba-tiba suara kedua alat musik itu
berubah-ubah dalam waktu serentak; seolah ada beberapa orang sedang meniup
seruling dan memetik kecapi bersama-sama. Meskipun demikian, irama lagu yang
dimainkan tetap terdengar dengan jelas dan menyengangkan, tidak bercampur aduk
menjadi satu.
Linghu Chong merasa penasaran
dan memberanikan diri untuk kembali mengintai. Ternyata jumlah pemain musik
tersebut tetap dua orang. Diam-diam ia semakin kagum terhadap kepandaian kedua
orang itu yang bisa memainkan satu jenis alat musik namun seperti mengeluarkan
nada yang berbeda-beda.
Suara kecapi dan seruling itu
sungguh mempunyai daya pengaruh luar biasa. Linghu Chong merasa pikirannya
sulit untuk dikendalikan. Darahnya terasa mendidih, jantungnya pun berdebar
kencang. Hampir saja ia bangkit berdiri karena pikirannya tidak bisa diajak
tenang.
Sejenak kemudian irama
seruling dan kecapi itu kembali berubah. Kali ini bunyi seruling berperan
sebagai nada dasar, sementara suara kecapi sebagai pengiringnya. Hanya saja
irama kecapi makin lama semakin meninggi.
Entah mengapa, alunan irama
seruling tersebut membuat siapa yang mendengar menjadi pilu. Linghu Chong
merasa hatinya seperti disayat-sayat. Ketika menoleh ke arah Yilin, ternyata
biksuni muda itu juga tampak meneteskan air mata.
Tiba-tiba terdengar suara
denting keras mengejutkan, dan seketika bunyi kecapi dan seruling itu berhenti
serentak. Suasana lembah pegunungan tersebut kembali sunyi senyap. Hanya sang
rembulan tampak menghiasi angkasa raya nan biru kelam.
Sejenak kemudian terdengar
salah seorang dari pemain musik itu berkata, “Adik Liu, mungkin sudah suratan
takdir kalau hari ini kita harus tewas di sini. Andai saja tadi aku segera
turun tangan, tentu keluarga dan murid-muridmu tidak menjadi korban. Sungguh,
aku merasa sangat tidak enak kepadamu.”
“Kita ini sudah lama
bersahabat, untuk apa harus membahas masalah ini?” sahut rekannya.
Mendengar suara yang kedua
tersebut, seketika Yilin pun mengenalinya. Perlahan ia berbisik kepada Linghu
Chong, “Yang membawa seruling itu Paman Liu Zhengfeng.”
Baik Yilin ataupun Linghu
Chong sama-sama bingung mengapa Liu Zhengfeng yang seharusnya melangsungkan
upacara Cuci Tangan Baskom Emas justru berada di tempat seperti ini? Mereka
juga heran mengapa kedua orang itu membicarakan suratan takdir serta jatuhnya
korban yang terdiri dari keluarga dan murid-murid Liu Zhengfeng?
Terdengar Liu Zhengfeng
berkata, “Tidak seorang pun di dunia ini yang bisa lolos dari kematian. Asalkan
bisa bertemu sahabat sejati, seseorang dapat mati tanpa menyesal.”
Si pemetik kecapi berkata,
“Adik Liu, dari suara serulingmu tadi aku bisa merasakan betapa besar rasa
penyesalan di hatimu. Apakah kau sedang menyesali putramu si Liu Qin yang takut
mati dan membuat malu dirimu di depan umum tadi?”
“Dugaan Kakak Qu tidak salah,”
sahut Liu Zhengfeng kepada si pemetik kecapi yang tidak lain adalah Qu Yang.
“Ini semua kesalahanku karena terlalu memanjakan anak itu. Sungguh tak
kusangka, ternyata dia tidak punya nyali dan berjiwa pengecut. Benar-benar
tidak bisa menjaga kehormatan.”
“Menjaga kehormatan atau
tidak, pada akhirnya masuk liang kubur semua – apa bedanya? Ratusan tahun
kemudian jasad kita juga akan bercampur menjadi debu, tidak bisa dibedakan
lagi,” ujar Qu Yang. “Sebenarnya sudah sejak awal aku mengawasi dari atas
genting rumahmu. Aku memang tidak segera turun tangan karena mengira dirimu
tidak akan membelaku, mengingat risiko bermusuhan dengan Serikat Pedang Lima
Gunung sangat berbahaya. Aku juga teringat tentang sumpahku yang tidak akan
menyerang pihak golongan putih terlebih dulu. Maka itu, aku hanya menunggu dan
menunggu. Tidak kusangka, ternyata Perguruan Songshan yang merupakan pemimpin
Serikat Pedang Lima Gunung bisa berbuat sekejam itu.”
Liu Zhengfeng diam termenung
tanpa menjawab. Selang agak lama barulah ia menghela napas panjang dan berkata,
“Mana mungkin orang-orang kasar seperti mereka bisa memahami betapa mulia
persahabatan musik kita. Mereka hanya memperhitungkan untung dan rugi saja.
Jika persahabatan kita dihitung tidak menguntungkan Serikat Pedang Lima Gunung,
mereka pun berusaha merusaknya. Aih, mereka hanya tidak paham sehingga kita
tidak sepantasnya menyalahkan mereka. Kakak Qu, kalau boleh tahu apakah titik
Dazhui di dadamu terkena pukulan mereka?”
“Benar,” jawab Qu Yang sambil
menahan sakit. “Tenaga dalam kedua tokoh Songshan tadi benar-benar hebat.
Sungguh tak kusangka, begitu pukulan mereka yang dahsyat itu mendarat di
punggungku ternyata langsung menembus badanku dan melukai pembuluh darahmu
pula. Sekarang kita sama-sama terluka. Andai saja aku tahu kalau dirimu juga
tidak bisa lolos dari tangan mereka, tentu aku tadi tidak perlu menebarkan
Jarum Darah Hitam. Untungnya, jarum-jarum tersebut tidak beracun.”
Mendengar itu Linghu Chong
terperanjat. Dalam hati ia berkata, “Orang itu memiliki Jarum Darah Hitam?
Apakah dia yang telah menyelamatkan nyawaku? Guru pernah bilang bahwa Jarum
Darah Hitam adalah senjata rahasia aliran sesat yang terkenal. Mengapa Paman
Liu bisa bersahabat dengannya?”
Terdengar Liu Zhengfeng
menjawab sambil tertawa, “Memang tidak seharusnya orang-orang yang tidak
berdosa ikut menjadi korban. Namun, jika tidak begitu kita berdua tidak akan
sampai di sini untuk memainkan lagu indah kita bersama-sama. Untuk selanjutnya,
di dunia ini tidak akan ada lagi paduan suara kecapi dan seruling seindah yang
kita mainkan.”
Qu Yang menghela napas dan
berkata, “Pada zaman dahulu, sebelum dihukum mati Ji Kang sempat memainkan lagu
Guanglingsan menggunakan kecapinya. Ia menyesal bahwa setelah kematiannya, maka
lagu tersebut akan ikut punah selamanya. Lagu Guanglingsan memang sangat indah,
namun mana bisa menandingi keindahan lagu Menertawakan Dunia Persilatan yang
baru saja kita mainkan ini? Tapi bagaimanapun juga, perasaan Ji Kang waktu itu
mungkin sama persis dengan yang kita rasakan saat ini.”
Liu Zhengfeng tersenyum dan
berkata, “Kakak Qu, tadi dirimu sangat bersemangat, tapi mengapa sekarang
kembali bersedih? Lagu Menertawakan Dunia Persilatan baru saja kita mainkan dengan
sempurna. Kita telah mengerahkan segenap kemampuan kita untuk memainkan lagu
paling indah ini. Lagu kita akan tetap abadi sepanjang masa. Jadi, untuk apa
lagi harus disesali?”
“Kau benar,” jawab Qu Yang. Ia
lalu terdiam agak lama dan kemudian menghela napas panjang.
“Ada apa lagi?” tanya Liu
Zhengfeng. “Apakah kau mengkhawatirkan keselamatan Feifei?”
Yilin terperanjat. Dalam hati
ia bertanya, “Feifei? Apakah Feifei si gadis kecil kemarin itu?”
Dugaan Yilin tidak salah.
Ternyata gadis kecil yang mendampingi Qu Yang memetik kecapi tadi tidak lain
adalah Feifei, alias Qu Feiyan. Terdengar gadis itu berkata, “Kakek, lebih baik
kau bersama Kakek Liu merawat luka dengan tenang di sini. Kelak kita akan pergi
menuntut balas. Setiap jahanam Perguruan Songshan akan kita bunuh
habis-habisan, demi membalas sakit hati Nenek Liu dan para kakak yang terbunuh
tadi.”
Pada saat itulah tiba-tiba
dari balik batu besar muncul seorang pria tertawa terbahak-bahak. Secepat kilat
laki-laki itu sudah berdiri di hadapan Qu Yang, Liu Zhengfeng, dan Qu Feiyan
sambil menghunus sebilah pedang. Ternyata ia tidak lain adalah Fei Bin si Tapak
Songyang Besar dari Perguruan Songshan.
“Hei, anak ingusan bermulut
besar!” bentak Fei Bin sambil menyeringai, “jago-jago Songshan akan kau bunuh
habis-habisan, memangnya kau bisa?”
Liu Zhengfeng bangkit dan
berteriak marah, “Fei Bin, kau dan saudara-saudaramu telah membantai segenap
keluargaku. Kini, Kakak Qu dan aku juga sudah terkena pukulan kedua saudaramu.
Ajalku sudah dekat, apa lagi yang kau inginkan, hah?”
Fei Bin tertawa dan kembali
menoleh ke arah Qu Feiyan. Ia berkata, “Anak ini berkata hendak membunuh
segenap anggota Perguruan Songshan kami habis-habisan. Maka itu, kedatanganku
kemari adalah untuk mendahuluinya. Gadis kecil, bagaimana kalau kuambil nyawamu
terlebih dulu?”
Mendengar itu Yilin pun
berbisik di telinga Linghu Chong, “Feifei dan kakeknya telah menyelamatkan
nyawamu. Kita harus mencari cara untuk bisa menolong mereka.”
Linghu Chong hanya terdiam
tanpa menjawab. Saat itu hatinya sedang bimbang. Sejak tadi ia memang berpikir
bagaimana bisa menyelamatkan Qu Yang dan Qu Feiyan untuk membalas budi. Namun,
dengan demikian ia harus berhadapan dengan Perguruan Songshan yang merupakan
sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Di samping itu, Qu Yang adalah
anggota aliran sesat yang merupakan musuh bebuyutan Perguruan Huashan. Jika ia
sampai turun tangan menolong kakek dan cucu tersebut, ini berarti melanggar
peraturan perguruan sendiri. Alasan-alasan inilah yang membuatnya tidak tahu
harus bagaimana mengambil keputusan.
Kembali terdengar suara Liu
Zhengfeng membuyarkan pikiran Linghu Chong, “Fei Bin, kau ini seorang tokoh
terhormat dari golongan putih. Sekarang ini Qu Yang dan Liu Zhengfeng sedang
menanti ajal dan jatuh pula ke tanganmu. Kami tidak takut harus mati di
tanganmu atau kau siksa pelan-pelan terlebih dulu. Tapi, kalau kau sampai
menganiaya seorang anak kecil, apakah ini termasuk perbuatan kesatria? Feifei,
pergilah dari sini! Lekas!”
“Tidak mau!” jawab Qu Feiyan.
“Aku lebih baik tetap di sini dan mati bersama Kakek berdua.”
“Lekas pergi dari sini! Urusan
orang tua tidak ada sangkut pautnya dengan anak kecil seperti dirimu,” desak
Liu Zhengfeng.
“Tidak mau! Aku tidak mau
pergi!” sahut Qu Feiyan tegas. Ia kemudian mengeluarkan kedua pedang pendek
yang tergantung di pinggangnya. Kepada Fei Bin ia berkata, “Fei Bin, Kakek Liu
telah mengampuni nyawamu di pertemuan tadi, tapi sekarang kau tetap mengejarnya
dengan penuh kebencian. Apa kau tidak tahu malu, hah?”
Fei Bin tertawa dan berkata
dengan wajah menghina, “Kau hendak menumpas habis Perguruan Songshan? Memangnya
si marga Fei ini rela disembelih begitu saja oleh seorang anak kecil?”
Liu Zhengfeng buru-buru
menarik lengan Qu Feiyan sambil berkata, “Lekas pergi dari sini dan jangan
hiraukan dia!” Namun, keadaannya sudah sangat payah dan ia sama sekali tidak
punya tenaga untuk menarik gadis kecil itu pergi. Bagaimanapun juga, Liu
Zhengfeng dan Qu Yang sama-sama terluka parah akibat pukulan Ding Mian dan Lu
Bai siang tadi. Di samping itu, mereka baru saja mengerahkan tenaga dalam
masing-masing untuk memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan di dekat air
terjun deras.
Maka, Qu Feiyan dapat dengan
mudah melepaskan dirinya dari tangan Liu Zhengfeng dan maju selangkah. Akan tetapi,
pada saat yang bersamaan pedang Fei Bin sudah berkelebat mengancam muka gadis
kecil itu.
Dengan cepat Qu Feiyan
menangkis menggunakan pedang di tangan kiri, sementara pedang di tangan kanan
digunakannya untuk membalas tusukan. Fei Bin tertawa mengejek. Ia hanya memutar
pedangnya ke bawah, untuk selanjutnya memukul pedang Qu Feiyan hingga jatuh ke
tanah. Gadis kecil itu merasa tangannya sampai tergetar kesakitan.
Fei Bin lantas memutar kembali
pedangnya dari atas ke bawah untuk menghantam pedang Qu Feiyan yang satunya
lagi hingga terlempar ke udara. Menyusul kemudian ia pun menodong tenggorokan
si gadis kecil itu dengan pedangnya.
“Tetua Qu,” kata Fei Bin
kepada Qu Yang sambil tertawa. “Aku lebih dulu akan mencongkel kedua mata cucu
perempuanmu ini, baru kemudian memotong hidungnya, mengiris telinganya....”
Mendadak Qu Feiyan menerjang
maju untuk menyodorkan lehernya sendiri ke ujung pedang Fei Bin. Gadis kecil
ini benar-benar nekad lebih baik mati daripada disiksa oleh jagoan Songshan
tersebut. Namun Fei Bin dengan cepat menarik mundur pedangnya dan berkelit ke
samping. Disusul kemudian tangan kirinya menotok titik nadi pada bahu kanan Qu
Feiyan sehingga gadis kecil itu jatuh tersungkur tak bisa bergerak lagi.
“Kejahatan aliran sesat sudah
melebihi batas. Kalau ingin mati tidak boleh semudah itu,” ujar Fei Bin sambil
bergelak tawa. “Pertama-tama biar kucongkel dulu mata kirimu, anak kecil!”
Usai berkata demikian, Fei Bin
mengacungkan pedangnya siap menusuk mata kiri Qu Feiyan. Tiba-tiba dari arah
belakang terdengar suara berseru, “Tunggu dulu!”
Fei Bin terkejut dan segera
berpaling ke arah suara dengan posisi siap bertempur. Dalam hati ia berkata,
“Celaka! Kenapa aku tidak menyadari ada orang bersembunyi di belakangku?”
Pandangan Fei Bin memang hanya
tertuju kepada ketiga lawannya. Ia sama sekali tidak menyadari kalau Linghu
Chong dan Yilin sejak awal sudah bersembunyi menyaksikan segalanya.
Di bawah temaram sinar
rembulan, Fei Bin dapat melihat seorang pemuda berdiri sambil berkacak
pinggang, tapi wajahnya pucat pasi seperti mayat.
“Siapa kau?” bentak Fei Bin.
“Linghu Chong dari Perguruan
Huashan menyampaikan salam hormat kepada Paman Fei,” jawab si pemuda sambil
membungkukkan badan. Tapi karena tubuhnya masih lemah, ia terlihat agak sempoyongan.
“Ternyata kau,” sahut Fei Bin
senang. “Kau ini murid pertama Kakak Yue, bukan? Apa yang sedang kau kerjakan
di sini?”
“Saya telah dilukai murid
Perguruan Qingcheng dan terpaksa merawat luka di sini, sehingga terlambat
memberi hormat kepada Paman Fei. Mohon dimaafkan,” jawab Linghu Chong.
“Bagus sekali, kedatanganmu
sungguh tepat waktu,” ujar Fei Bin. “Anak perempuan ini adalah iblis kecil dari
aliran sesat Jika aku yang turun tangan rasanya kurang pantas seorang angkatan
tua melawan anak kecil. Lebih baik kau saja yang membunuhnya,” lanjutnya sambil
menunjuk hidung Qu Feiyan.
Namun Linghu Chong
menggelengkan kepala dan berkata, “Kakek gadis kecil ini adalah saudara angkat
Paman Liu. Kalau dihitung-hitung, maka saya ini juga satu angkatan di atasnya.
Jika saya membunuhnya, orang persilatan akan menuduh hal yang sama kepada saya;
yaitu angkatan tua menganiaya yang lebih muda. Lagipula, Paman Liu dan Sesepuh
Qu sudah terluka parah. Membunuh seorang anak kecil di hadapan mereka yang
tidak mungkin bisa melawan jelas bukan perbuatan kaum kesatria. Kami dari
Perguruan Huashan pantang berbuat seperti itu. Mohon Paman Fei sudi memberi
maaf.”
Ucapan Linghu Chong dengan
sendirinya telah menyindir Perguruan Songshan. Seolah-olah ia mengatakan bahwa
Perguruaan Huashan lebih mulia daripada Perguruan Songshan apabila Fei Bin
melanjutkan niatnya.
Seketika Fei Bin memandang
pemuda itu dengan sorot mata tajam. Ia lalu berkata, “Ah, rupanya diam-diam kau
juga bersekongkol dengan aliran sesat. Aku ingat sekarang, Liu Zhengfeng pernah
bercerita bahwa dirimu pernah ditolong oleh iblis bermarga Qu ini. Sungguh tak
disangka, Perguruan Huashan yang terhormat memiliki murid pengkhianat seperti
dirimu.”
Usai berkata demikian, Fei Bin
mengibaskan pedangnya siap menyerang Linghu Chong. Melihat itu, Liu Zhengfeng
berteriak, “Keponakan Linghu, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan
dirimu. Pergilah sekarang juga. Jangan membuat sulit gurumu.”
Linghu Chong tertawa dan
menjawab, “Paman Liu, sebagai kaum golongan putih, kita pantang hidup
berdampingan dengan golongan hitam. Akan tetapi, kalau seorang pendekar
golongan putih hanya berani menggertak lawan yang sudah payah, apakah
perbuatannya itu tidak sama dengan golongan hitam? Apa membunuh seorang anak
kecil pantas disebut sebagai perbuatan kesatria?”
“Golongan kami yang kalian
sebut sesat juga pantang melakukan perbuatan rendah seperti itu,” sahut Qu
Yang. “Saudara Linghu, silakan kau pergi saja dari sini. Kalau Perguruan
Songshan suka melakukan perbuatan hina, itu urusan mereka. Biarlah mereka
mengumbar kesenangan itu di sini.”
“Aku tidak akan pergi,” jawab
Linghu Chong sambil menggigit bibir menahan sakit. “Paman Fei Bin alias Si
Tapak Songyang Besar sudah pasti bukan termasuk kaum seperti itu. Beliau adalah
salah satu kesatria hebat dalam Perguruan Songshan. Aku yakin Beliau tidak akan
melakukan perbuatan memalukan.” Usai berkata demikian ia lantas melipat tangan
di depan dada sambil bersandar pada sebatang pohon kelapa.
Ucapan tersebut justru membuat
Fei Bin semakin murka. Ia berkata, “Huh, kau kira ucapanmu itu bisa membuatku
mengampuni ketiga iblis jahanam ini? Jangan mimpi, Linghu Chong. Jika kau
melibatkan diri dalam urusan ini, maka jangan salahkan aku kalau kau sampai
mati di sini. Bagiku, tidak ada bedanya membunuh empat orang sekaligus atau
satu per satu.” Usai berkata demikian, ia lantas melangkah maju.
Linghu Chong sendiri tetap
berusaha tenang meskipun hatinya sangat gelisah. Ia berkata, “Paman Fei, apakah
kau berniat membunuhku untuk melenyapkan saksi mata atas perbuatanmu yang kotor
ini?”
“Pintar sekali! Tebakanmu
benar,” sahut Fei Bin sambil terus melangkah maju.
Pada saat itulah tiba-tiba
dari balik sebongkah batu besar muncul seorang biksuni muda yang berkata,
“Paman Fei, lautan derita tiada ujungnya, berpaling kembali adalah jalan menuju
ke tepi. Paman Fei berniat melakukan perbuatan dosa, namun belum menjadi
kenyataan. Hendaknya kau mengekang diri sebelum jatuh ke dalam jurang
kenistaan.”
Biksuni tersebut tidak lain
adalah Yilin. Sebenarnya ia diminta Linghu Chong untuk tetap bersembunyi di
balik batu. Namun, begitu melihat pemuda itu terancam bahaya, ia pun
memberanikan diri keluar demi untuk mencegah Fei Bin berbuat lebih lanjut.
Melihat kemunculannya itu, Fei
Bin pun terkejut dan bertanya, “Hei, apa kau ini biksuni dari Perguruan
Henshan? Mengapa kau bermain sembunyi-sembunyi di situ, hah?”
Yilin sangat gugup dan hanya
bisa menjawab, “Aku... aku....”
Qu Feiyan yang tergeletak di
tanah karena tertotok titik nadinya ikut berkata, “Kakak Yilin, aku sudah
menduga kalau kau pasti sedang bersama Kakak Linghu. Ternyata kau sudah
menyembuhkan lukanya. Tapi sayang, kita semua akan mati di sini.”
“Tidak mungkin,” ujar Yilin
menggelengkan kepala. “Paman Fei seorang kesatria ternama di dunia persilatan.
Mana mungkin Beliau menyakiti gadis kecil seperti dirimu dan orang-orang
terluka seperti Paman Liu dan kakekmu?”
“Apa benar begitu? Apa benar
dia itu seorang kesatria?” sahut Qu Feiyan sambil mencibir.
“Perguruan Songshan adalah
pimpinan Serikat Pedang Lima Gunung, juga pemimpin para pendekar golongan
putih,” jawab Yilin. “Apa saja yang mereka lakukan pasti berdasar atas
kebenaran dan keadilan.”
Perkataan Yilin ini
benar-benar muncul dari lubuk hatinya yang polos dan lugu. Sama sekali tidak
ada maksud menyindir seperti yang dilakukan Linghu Chong tadi. Hal ini dapat
dimaklumi, karena sejak kecil ia hidup di dalam biara sehingga semua orang di
luar dianggapnya baik dan taat agama.
Sebaliknya, Fei Bin menganggap
ucapan Yilin sebagai sindiran belaka. Dalam hati ia berpikir, “Aku tidak boleh
membiarkan seorang pun dari mereka yang tetap hidup. Jika sampai ada yang lolos
dan bercerita kepada banyak orang, tentu nama baikku di dunia persilatan akan
hancur. Orang lain akan mengolok-olok perbuatanku yang membunuh mereka dengan
cara tidak kesatria ini.”
Setelah memutuskan demikian,
Fei Bin segera mengacungkan pedangnya ke arah Yilin sambil berkata, “Kau ini
satu-satunya yang tidak terluka. Bagaimana kalau aku membunuhmu terlebih dulu?”
Bukan main terkejutnya Yilin
sehingga ia pun berseru, “Hah? Aku... aku? Mengapa Paman Fei hendak membunuh...
membunuhku?”
“Kau juga terlibat
persekongkolan dengan aliran sesat!” bentak Fei Bin. “Buktinya, kau dipanggil
‘kakak’ oleh iblis kecil ini. Dengan demikian kau pun tidak boleh lolos dari
sini.” Sambil berkata demikian pria itu maju dan menusukkan pedangnya ke arah
Yilin.
Dengan cepat Linghu Chong
melompat dan berdiri membelakangi Yilin untuk melindungi biksuni muda itu.
“Adik, pergilah dari sini! Cari gurumu supaya lekas datang kemari menolong
kita!” ujarnya kemudian. Tentu saja itu hanya alasan Linghu Chong supaya Yilin
segera pergi menyelamatkan diri. Lagipula, mana mungkin Yilin bisa mencari dan
mengajak Biksuni Dingyi ke tempat itu dalam waktu sekejap?
Namun Fei Bin tampaknya tidak
mau memberi kesempatan sedikit pun. Ia mengayunkan pedangnya ke arah bahu kanan
Linghu Chong namun pemuda itu sempat menghindar. Berkali-kali ia lantas
menusukkan pedangnya membuat Linghu Chong terdesak kewalahan.
Melihat itu Yilin segera
mencabut pedang patahnya untuk menghadapi serangan Fei Bin sambil berseru,
“Kakak Linghu, kau belum sembuh benar. Lekas mundur saja, biar aku yang
menghadapinya!”
“Hahahaha! Rupanya biksuni ini
sudah jatuh cinta kepada si pemuda ganteng sehingga tidak lagi memedulikan
keselamatan diri sendiri,” seru Fei Bin sambil tertawa menggoda. Dengan cepat
pedangnya menebas ke depan. Yilin pun menangkis. Namun begitu pedang mereka
beradu, pedang patah Yilin langsung terlepas dari pegangan dan terlempar jauh.
Tanpa berhenti di situ, Fei Bin terus memburu ke depan dan mengancam dada Yilin
dengan pedangnya. Bagaimanapun juga ia bertekad untuk melenyapkan kelima orang
di tempat itu.
Yilin menjerit kaget dan
mencoba untuk menghindar. Namun ujung pedang Fei Bin sudah menempel di ulu
hatinya. Untungnya pada saat yang gawat itu Linghu Chong melompat maju dengan
maksud mencolok mata Fei Bin menggunakan kedua jarinya. Mau tidak mau Fei Bin
terpaksa melompat mundur daripada kehilangan mata. Meskipun pedangnya tidak
sampai menewaskan Yilin, namun sempat menggores lengan Linghu Chong cukup
panjang.
Yilin melihat Linghu Chong
berdiri sempoyongan setelah berhasil menyelamatkan jiwanya. Dengan cepat ia pun
memapah pemuda itu dan berkata dengan nada cemas, “Kakak Linghu, biarlah kita
mati bersama di ujung pedangnya.”
“Kau... kau cepatlah pergi
dari sini!” seru Linghu Chong dengan napas terengah-engah.
“Dasar bodoh!” sahut Qu Feiyan
tiba-tiba. “Sampai sekarang kau belum tahu isi hatinya? Dia ingin... dia ingin
mati bersamamu....”
Belum habis ucapan gadis kecil
itu tiba-tiba pedang Fei Bin sudah bergerak menusuk dadanya. Qu Feiyan pun
tewas seketika.
Qu Yang, Liu Zhengfeng, Linghu
Chong, dan Yilin menjerit bersamaan. Namun Fei Bin tidak peduli. Dengan mulut
menyeringai, ia menghampiri Linghu Chong dan Yilin selangkah demi selangkah.
Butir-butir darah tampak menetes dari ujung pedangnya.
Linghu Chong termangu-mangu
melihat perbuatan Fei Bin yang tidak kenal ampun itu. Dalam hati ia berpikir,
“Dia... dia tega membunuh seorang anak kecil. Betapa kejam! Sebentar lagi
giliranku yang akan mati. Tapi, mengapa Adik Yilin ingin mati bersamaku? Memang
aku pernah menyelamatkan kehormatannya. Tapi, dia sendiri telah mengobati
lukaku sampai sembuh. Antara kami sudah tidak ada hutang budi lagi. Sesama anggota
Serikat Pedang Lima Gunung memang terjalin hubungan saudara, namun baru kali
ini aku dan dia saling kenal. Memang sesama kaum persilatan biasa menjunjung
tinggi sikap setiakawan, tapi rasanya tidak perlu sampai seperti ini. Aku tidak
menyangka murid-murid Henshan sedemikian gigih dalam membela persaudaraan. Aih,
Bibi Dingyi sungguh berhasil dalam mendidik murid-muridnya. Dalam keadaan gawat
seperti sekarang, Adik Yilin akan mati bersama denganku, kenapa bukan... kenapa
bukan Adik Kecil yang berada di sini? Hm, sedang apa pula dia sekarang?”
Sambil menghela napas panjang,
Linghu Chong tersenyum getir. Perlahan ia menutup mata menunggu Fei Bin yang
mendekatinya selangkah demi selangkah dengan wajah menyeramkan. Pada saat
itulah tiba-tiba terdengar suara alunan rebab mendayu-dayu menuju ke arah
mereka. Didorong rasa terkejut, Linghu Chong pun membuka mata.
Mendengar suara rebab yang
bernada sedih itu, Fei Bin langsung menoleh dan berpikir, “Tuan Besar Mo si
Malam Hujan di Xiaoxiang ada di sini.”
Suara rebab itu terdengar
semakin memilukan dan menyayat hati. Namun Tuan Besar Mo tidak juga terlihat
datang. Fei Bin pun berseru, “Tuan Besar Mo, mengapa kau tidak ikut bergabung
di sini?”
Seketika suara rebab pun
berhenti. Dari balik sebatang pohon cemara muncul seorang laki-laki kurus
memegang sebuah rebab di tangan kiri.
Sudah lama Linghu Chong
mendengar nama besar Tuan Besar Mo si Malam Hujan di Xiaoxiang, namun sama
sekali belum pernah bertemu dengannya. Di bawah sinar rembulan ia melihat
seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering berdiri di hadapan Fei Bin. Memang
Fei Bin sendiri sudah cukup kurus, namun Tuan Besar Mo jauh lebih kurus lagi,
seolah tinggal tulang terbungkus kulit. Diam-diam Linghu Chong merasa heran
mengapa seorang tokoh sakti dalam dunia persilatan memiliki potongan tubuh yang
sangat buruk seperti penderita penyakit paru-paru? Andai saja Fei Bin tidak
menyapa, mungkin ia tidak akan percaya kalau orang itu adalah ketua Perguruan
Hengshan yang terkenal.
Sambil tetap memegang rebab,
Tuan Besar Mo merangkap tangan memberi hormat kepada Fei Bin. “Adik Fei, apakah
Ketua Zuo sehat-sehat saja?”
Fei Bin teringat bahwa
hubungan antara Tuan Besar Mo dengan Liu Zhengfeng kurang akrab. Maka, ia pun
menjawab pertanyaan tersebut dengan ramah, “Terima kasih atas perhatian Tuan
Besar Mo. Kakak Ketua baik-baik saja. Tapi, Liu Zhengfeng dari perguruan kalian
ini bergaul dengan aliran sesat untuk menghancurkan Serikat Pedang Lima Gunung.
Bagaimana sebaiknya menurut Tuan Besar Mo?”
Tuan Besar Mo maju dua langkah
mendekati Liu Zhengfeng sambil tersenyum dingin. Ia lantas berkata, “Orang
seperti ini harus dibunuh.”
Usai berkata demikian ia
langsung mencabut pedang tipisnya yang tersimpan di dalam rebab. Namun
demikian, pedang itu bukan dipakai untuk menusuk Liu Zhengfeng, tetapi
diayunkannya ke arah dada Fei Bin. Serangan Tuan Besar Mo ini sangat cepat dan
tidak terduga. Yang ia gunakan adalah salah satu dari Tiga Belas Jurus Hantu
Kabut Hengshan.
Fei Bin sangat terkejut.
Sebelumnya ia telah dipecundangi Liu Zhengfeng menggunakan jurus ini, dan
sekarang harus jatuh lagi untuk yang kedua kalinya di tangan Tuan Besar Mo.
Dengan perasaan tidak percaya, jagoan Songshan ini melompat mundur namun ujung
pedang lawan sempat menggores dadanya. Meskipun luka tersebut tidak terlalu
dalam, namun cukup membuat Fei Bin marah sehingga kurang waspada.
Fei Bin berusaha menyerang
balik, namun pihak lawan sudah terlanjur menguasai keadaan. Setelah serangan
pertamanya berhasil, Tuan Besar Mo melancarkan serangan-serangan selanjutnya susul-menyusul
dengan sangat cepat. Pedangnya yang tipis dan lentur berkelebat dan meliuk-liuk
seperti seekor ular menyergap mangsa. Dalam waktu singkat, Fei Bin pun terdesak
sambil sesekali menjerit ngeri.
Sementara itu, Qu Yang, Liu
Zhengfeng, dan Linghu Chong terperanjat kagum menyaksikan kecepatan tangan Tuan
Besar Mo yang menyerang musuhnya tanpa ampun. Liu Zhengfeng sendiri puluhan
tahun belajar bersama dengan Tuan Besar Mo di dalam perguruan yang sama, namun
baru kali ini menyaksikan secara langsung kepandaian tersembunyi dari kakak
seperguruannya itu. Ia merasa Jurus Hantu Kabut Hengshan yang dimainkan sang
kakak jauh lebih hebat daripada yang bisa ia lakukan.