Pendekar Hina Kelana Jilid 16-20

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 16-20 Yue Lingshan kembali berkata, “Ayah, Kakak Pertama bersembunyi di sini untuk menyembuhkan lukanya. Tadi dia terkena pukulan Pendeta Yu satu kali. Keadaannya tentu bertambah parah.
Yue Lingshan kembali berkata, “Ayah, Kakak Pertama bersembunyi di sini untuk menyembuhkan lukanya. Tadi dia terkena pukulan Pendeta Yu satu kali. Keadaannya tentu bertambah parah. Mari kita lekas menjenguknya.”

Yue Buqun menggelengkan kepala dan berkata, “Sebaiknya Genming dan Daizi saja yang masuk.”

Gao Genming dan Shi Daizi mengiakan dan segera melompat ke dalam kamar melalui jendela. Namun tidak lama kemudian terdengar mereka berseru, “Guru, Kakak Pertama tidak ada di sini. Di kamar itu tidak ada siapa-siapa.” Cahaya api terlihat memancar keluar melalui jendela, pertanda kedua murid Huashan itu telah menyalakan lilin.

Yue Buqun mengerutkan dahinya. Sebagai seorang yang selalu menjaga kehormatan, pantang baginya masuk ke dalam rumah pelacuran yang kotor dan hina tersebut. Ia pun memerintahkan Lao Denuo untuk membantu mencari.

Setelah Lao Denuo masuk ke dalam kamar melalui jendela, Yue Lingshan berkata, “Ayah, aku juga ingin masuk untuk mencari.”

Namun Yue Buqun segera memegangi lengan putrinya itu dan berkata, “Hus! Kau tidak boleh sembarangan masuk ke tempat seperti ini!”

Yue Lingshan yang pernah menyaksikan kehebatan pukulan Yu Canghai merasa sangat cemas. Ia pun menukas dengan suara serak hampir menangis, “Tapi... tapi Kakak Pertama terluka parah. Aku takut... aku takut dia mati karena lukanya itu.”

“Jangan khawatir,” bisik Yue Buqun. “Dia telah diobati dengan Salep Penyambung Langit milik Perguruan Henshan. Jiwanya masih bisa diselamatkan.”

Yue Lingshan terlihat lega. Ia pun bertanya, “Dari mana... dari mana Ayah tahu?”

“Diam, jangan cerewet!” sahut Yue Buqun.

Linghu Chong yang belum pulih memang kembali terluka oleh sambaran angin pukulan Yu Canghai tadi. Lukanya kembali terbuka dan mengeluarkan banyak darah. Meskipun demikian, telinganya masih bisa mendengar dengan jelas suasana di luar kamar saat Yu Canghai dan Mu Gaofeng memperebutkan Lin Pingzhi. Namun begitu mendengar kedatangan Yue Buqun, seketika pemuda itu sangat ketakutan. Ia memang tidak takut kepada siapapun, kecuali kepada gurunya itu. Khawatir sang guru akan menghukumnya karena berada di dalam rumah pelacuran, ia pun berkata kepada Yilin dan Qu Feiyan, “Celaka, guruku ada di sini. Kita harus segera pergi.”

Sambil berjalan sempoyongan dan memegangi dinding, Linghu Chong menyusuri lorong Wisma Kumala. Qu Feiyan segera menarik lengan Yilin untuk berjalan di belakang pemuda itu. Khawatir Linghu Chong terjatuh dan kehilangan kesadaran, mereka berdua serentak memegangi lengan kanan dan kirinya untuk membantu ia berjalan.

Linghu Chong menyusuri sebuah serambi panjang sambil menggertakkan gigi menahan sakit. Ia sadar pendengaran dan penglihatan gurunya sangat tajam. Jika ia meninggalkan Wisma Kumala saat ini, tentu akan segera ketahuan. Maka, begitu melihat sebuah kamar besar di sisi kanan, buru-buru ia memasuki ruangan tersebut.

“Lekas tutup pintu dan jendela,” ujarnya dengan suara lirih. Qu Feiyan segera melaksanakan permintaan itu. Dalam keadaannya yang lemah lunglai, Linghu Chong segera merebahkan diri di atas ranjang. Napasnya pun terdengar sangat payah dan tersengal-sengal.

Ketiganya bersembunyi di dalam kamar besar itu tanpa bersuara sedikit pun. Selang beberapa lama akhirnya terdengar suara Yue Buqun berkata, “Sepertinya dia sudah pergi dari sini. Sudahlah, mari kita juga pergi.”

Linghu Chong merasa lega dan menghembuskan napas panjang. Namun beberapa lama kemudian kembali terdengar suara memanggil-manggil, “Kakak Pertama! Kakak Pertama!” Suara tersebut tidak lain adalah suara Lu Dayou si Monyet Keenam. Ternyata ia diam-diam berputar balik sementara guru dan saudara-saudaranya yang lain berangkat pergi.

Dalam hati Linghu Chong mengakui kalau Lu Dayou adalah saudara seperguruannya yang paling akrab dan setiakawan. Baru saja ia hendak menjawab tiba-tiba dilihatnya kain kelambu tampak bergetar. Rupanya Yilin yang duduk di tepi ranjang sedang gemetar ketakutan.

Menyadari hal itu Linghu Chong berpikir, “Jika aku menjawab panggilan Monyet Keenam, nama baik biksuni cilik ini bisa tercemar. Lebih baik aku diam saja.”

Lu Dayou memanggil berkali-kali namun Linghu Chong berusaha menahan diri untuk tidak menjawab. Akhirnya suara itu semakin menjauh dan tidak terdengar lagi, pertanda Si Monyet Keenam sudah pergi menyusul yang lainnya.

Setelah keadaan aman, Qu Feiyan berkata, “Linghu Chong, kau masih hidup atau sudah mati?”

“Mana mungkin aku mati? Kalau aku mati tentu akan merusak nama baik Perguruan Henshan,” jawab Linghu Chong.

“Apa maksudmu?” tanya Qu Feiyan.

Linghu Chong menjawab, “Aku telah diobati menggunakan salep dan pil buatan Perguruan Henshan. Kalau sampai tidak sembuh tentu aku akan merasa sangat bersalah kepada... kepada biksuni cilik ini.”

“Benar sekali,” ujar Qu Feiyan. “Kalau kau mati, tentu Kakak Yilin akan sangat menyesal.”

Mendengar Linghu Chong terluka parah tapi masih bisa bercanda, perasaan Yilin menjadi sedikit lega. Ia lantas berkata, “Kakak Linghu, kau telah mendapat pukulan Pendeta Yu. Biarkan aku memeriksa lukamu lagi.”

Linghu Chong mencoba bangun namun Qu Feiyan berkata, “Jangan memaksakan diri. Kau berbaring saja.”

Karena merasa tenaganya memang sangat lemah, Linghu Chong pun menurut untuk tetap berbaring di atas ranjang.

Setelah Qu Feiyan menyalakan lilin, Yilin dapat melihat betapa darah telah membasahi baju Linghu Chong. Tanpa memedulikan pantangan lagi, Yilin pun membuka baju pemuda itu dan membersihkan luka di dadanya menggunakan handuk yang tersedia di lemari kamar. Setelah itu, ia kembali mengoleskan Salep Penyambung Langit pada luka Linghu Chong.

“Wah, obat bagus seperti ini sayang sekali kalau dibuang-buang hanya untuk mengobatiku,” ujar Linghu Chong sambil tertawa.

“Kakak Linghu jangan bicara seperti itu,” sahut Yilin malu-malu. “Kau terluka parah demi untuk menolong diriku. Hanya obat ini yang bisa kuberikan kepadamu. Aku tidak tahu bagaimana lagi harus membalas kebaikanmu. Bahkan... bahkan....” Yilin merasa tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia akhirnya menyambung, “Bahkan guruku memuji perbuatanmu yang berani menantang penjahat berilmu tinggi demi menegakkan kebenaran. Karena hal itu, sampai-sampai Guru bertengkar dengan Pendeta Yu.”

“Jangan terlalu memuji,” jawab Linghu Chong. “Asalkan Bibi Dingyi yang terhormat tidak mendampratku, bagiku itu sudah cukup.”

“Mana mungkin Beliau mendampratmu?” sahut Yilin cepat. “Kakak Linghu harus beristirahat sehari semalam, supaya lukamu tidak pecah dan berdarah lagi.” Usai berkata demikian ia lantas memasukkan tiga butir Pil Empedu Beruang Putih ke dalam mulut pemuda itu.

Qu Feiyan berkata, “Kakak Yilin, kau di sini saja untuk menjaganya. Aku harus lekas-lekas pulang, karena Kakek mungkin sudah menungguku.”

“Tidak, jangan pergi! Mana boleh aku ditinggal sendirian di sini?” sahut Yilin mencegah.

“Sendirian bagaimana?” balas Qu Feiyan sambil tertawa cekikikan. “Bukankah di sini ada Linghu Chong?” Gadis kecil itu lantas berpaling menuju pintu keluar.

“Pokoknya jangan pergi!” seru Yilin sambil melompat dan mencengkeram lengan Qu Feiyan.

“Hei, apa kau hendak bertarung denganku?” sahut Qu Feiyan sambil tersenyum menyeringai.

Wajah Yilin bersemu merah dan ia pun melepaskan cengkeramannya. “Adikku yang manis, tolong jangan pergi. Temani aku untuk menjaganya,” ujarnya memohon.

Qu Feiyan menjawab, “Baiklah, baiklah! Aku akan tetap di sini. Linghu Chong bukan orang jahat; kenapa kau takut kepadanya?”

“Apakah lenganmu terluka olehku?” sahut Yilin mengalihkan pembicaraan.

“Aku tidak apa-apa. Hanya keadaan Linghu Chong yang terlihat parah,” jawab Qu Feiyan.

Yilin terkesiap dan buru-buru mendekati ranjang. Begitu membuka kelambu, ia melihat Linghu Chong kehilangan kesadaran dengan mata tertutup rapat. Ia lantas meletakkan tangan di depan hidung pemuda itu untuk merasakan pernapasannya. Seketika hatinya lega karena napas Linghu Chong sudah mulai teratur.

Tiba-tiba terdengar jendela dibuka dan Qu Feiyan tertawa kecil. Serentak Yilin menoleh dan melihat gadis kecil itu sudah pergi melompati jendela.

Yilin merasa kebingungan namun juga tidak mampu mengejar gadis kecil yang lincah itu. Dengan perasaan cemas ia berkata kepada Linghu Chong, “Dia... dia sudah pergi.”

Namun waktu itu efek samping Pil Empedu Beruang Putih sedang bekerja, membuat Linghu Chong kehilangan kesadaran. Tentu saja semua perkataan Yilin tidak terdengar olehnya. Dalam kesendirian Yilin gemetar karena bingung. Agak lama kemudian barulah ia berani melangkah untuk menutup jendela.

Diam-diam biksuni muda itu lantas berpikir, “Aku harus segera pergi dari sini. Bagaimana kalau sampai ada orang yang melihat kami di sini? Bisa-bisa nama baik Perguruan Huashan dan Henshan akan tercemar.” Melihat Linghu Chong terbaring lemah ia kembali berpikir, “Kakak Linghu masih sangat lemah. Seorang anak kecil sudah cukup untuk membunuhnya. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan dia seorang diri di sini?”

Dalam kegelapan malam hanya terdengar suara kawanan anjing menggonggong di jalanan. Selain itu tidak terdengar suara apa-apa lagi. Wisma Kumala yang tadinya ramai kini berubah sunyi senyap. Di dalam rumah besar itu hanya ada Yilin dan Linghu Chong berdua. Meskipun sangat ketakutan, namun sedikit pun Yilin tidak berani bergerak sembarangan. Ia hanya duduk diam di atas kursi menunggu Linghu Chong yang masih tertidur akibat pengaruh obat.

Beberapa lama kemudian terdengar suara ayam jantan berkokok, pertanda fajar mulai menyingsing. Yilin terkesiap dan berpikir, “Hari sudah mulai terang. Kalau ada orang lain yang datang bisa berbahaya. Bagaimana ini? Bagaimana ini?”

Usia Yilin masih sangat muda dan ia juga seorang biksuni yang setiap hari tinggal di Biara Awan Putih, di bawah bimbingan Biksuni Dingyi. Dengan demikian, pengalaman hidupnya sangat terbatas. Dalam keadaan serbasulit seperti saat ini ia merasa sangat cemas dan gelisah, tidak tahu harus berbuat apa.

Tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berjalan mendekati Wisma Kumala. Sesampainya di depan rumah mereka berhenti dan berbicara dengan suara perlahan, “Kalian berdua periksalah ke sebelah barat. Jika bertemu Linghu Chong, kalian harus menangkap dia hidup-hidup. Dia sedang terluka parah, maka tidak mungkin bisa melawan kita.”

Yilin terkejut mendengar suara-suara dari luar itu. Ia pun berpikir, “Bagaimanapun juga, aku harus melindungi Kakak Linghu, jangan sampai ia jatuh ke tangan orang jahat.”

Perlahan-lahan Yilin membungkus tubuh Linghu Chong menggunakan selimut lalu menggendongnya dengan kedua tangan. Setelah memadamkan lilin, ia membuka pintu perlahan-lahan dan menyelinap keluar. Ia tidak tahu harus pergi ke mana, kecuali menjauhi arah suara orang-orang tadi. Begitu membuka pintu belakang gedung ia menyusup ke dalam kebun sayur. Setelah melewati kebun tersebut ia menemukan pintu pekarangan belakang dalam keadaan terbuka karena para penghuni wisma tadi malam berlarian keluar tanpa sempat menutupnya kembali. Merasa beruntung, Yilin pun membawa tubuh Linghu Chong melewati pintu tersebut dan berlari sekencang-kencangnya melalui jalanan kota.

“Aku harus membawa Kakak Linghu meninggalkan Kota Hengshan,” demikian pikirnya sambil terus berlari. Sesampainya di gerbang kota, ia melihat serombongan tukang sayur dari desa masuk ke dalam kota. Yilin pun menunduk saat berpapasan dengan rombongan tersebut sehingga berhasil mengelabui para petugas penjaga gerbang.

Biksuni muda itu terus berlari tanpa henti membawa tubuh Linghu Chong sampai beberapa kilo jauhnya. Di luar Kota Hengshan ia mengambil jalanan kecil yang menuju arah pegunungan. Ketika perasaannya sudah mulai tenang, Yilin melihat ke bawah dan menyaksikan bibir Linghu Chong tampak tersenyum. Melihat pemuda itu sudah sadar, ia menjadi gugup dan tanpa sadar tangannya melepaskan tubuh Linghu Chong.

“Amitabha,” seru Yilin sambil menangkap kembali tubuh pemuda itu yang hampir saja jatuh ke tanah.

“Maaf,” katanya. “Apakah lukamu kambuh lagi?”

“Aku baik-baik saja,” jawab Linghu Chong. “Kau sudah letih. Lembah ini sangat sepi. Sebaiknya kita beristirahat di dalam sana.”

Rupanya yang datang untuk menggeledah rumah pelacuran tadi adalah murid-murid Perguruan Qingcheng. Yilin tidak peduli lagi dengan keadaannya dan ia pun berlari sekuat tenaga membawa pergi tubuh Linghu Chong. Yang ada dalam pikirannya hanyalah bagaimana ia harus menjauhkan pahlawan penolongnya itu dari ancaman bahaya. Kini keduanya telah selamat. Yilin baru merasakan betapa tubuhnya sangat letih setelah berlari sekian lama. Perlahan-lahan ia menurunkan Linghu Chong ke tanah, kemudian duduk lemas dengan napas tersengal-sengal.

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Kau lupa mengatur napasmu saat berlari tadi. Ini seharusnya tidak dilakukan oleh... oleh seorang murid persilatan. Lain kali kau harus tetap... tetap tenang agar tidak mudah terluka dalam.”

Yilin terlihat malu dan menjawab, “Terima kasih atas nasihatmu, Kakak Linghu. Guruku juga pernah mengajarkan demikian. Hanya saja, aku sendiri yang terlalu bodoh sehingga melupakan pelajaran tersebut.” Setelah berhenti sejenak, ia kembali bertanya dengan napas masih terengah-engah, “Bagaimana dengan lukamu?”

“Sekarang sudah tidak terasa sakit lagi,” jawab Linghu Chong. “Hanya saja, kali ini terasa gatal dan mati rasa.”

“Bagus sekali,” jawab Yilin. “Itu pertanda Salep Penyambung Langit sudah bekerja dengan baik. Kau akan segera sembuh.”

“Ini semua berkat obat mujarab milik perguruanmu,” ujar Linghu Chong sambil menghela napas. “Sayang sekali aku dalam keadaan terluka, sehingga harus melarikan diri menghindari bangsat rendah Perguruan Qingcheng tadi. Tapi, kalau kita sampai tertangkap oleh mereka, tentu rasanya jauh lebih mengerikan daripada mati. Nama baik perguruan kita bisa tercemar.”

“Jadi, kau mengikuti semua kejadian tadi?” sahut Yilin tak percaya. Begitu teringat dirinya telah menggendong tubuh Linghu Chong dalam waktu yang cukup lama dan ternyata pemuda itu mengetahui semuanya, seketika wajahnya pun bersemu merah; apalagi sewaktu pemuda itu kini sedang menatapnya.

Linghu Chong tidak menyadari perasaan Yilin. Ia hanya mengira kalau biksuni muda itu terlalu letih. Maka, ia pun berkata, “Adik, sebaiknya kau duduk tenang dan menjalankan pernapasan secara teratur sesuai pelajaran yang pernah kau peroleh. Dengan mengendalikan tenagamu, maka kau tidak akan jatuh sakit.”

“Baiklah,” jawab Yilin mengiakan. Ia kemudian duduk bersila dan mengatur pernapasan sambil memejamkan mata. Akan tetapi perasaannya sangat gelisah dan sukar mencapai keheningan. Sebentar-sebentar ia membuka mata untuk melihat luka Linghu Chong atau memandang pemuda itu apakah sedang melihat ke arahnya. Sewaktu membuka mata untuk yang keempat kalinya, ternyata Linghu Chong juga sedang memandang dirinya. Seketika ia pun tersipu malu dan memejamkan mata rapat-rapat.

Melihat tingkah laku Yilin tersebut, Linghu Chong tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa tertawa?” tanya Yilin dengan nada canggung. Wajahnya terlihat semakin merah.

Linghu Chong menjawab, “Kau masih terlalu muda. Latihan meditasimu belum sempurna sehingga masih belum bisa mengheningkan cipta dengan baik. Jika kau tidak bisa mencapai keheningan, tidak ada gunanya kau memaksakan diri seperti itu. Biksuni Dingyi pasti pernah mengajarimu cara meditasi yang baik, yaitu bagaimana mencapai keheningan tanpa harus memaksakan diri. Terutama dalam ilmu pernapasan, kau harus melakukannya dengan tenang dan teratur,” jawab Linghu Chong sambil terus tertawa. “Sudahlah, tidak perlu khawatir. Tenagaku sudah berangsur pulih. Andaikata orang-orang Qingcheng itu bisa menemukan tempat ini, tentu aku akan menyuruh mereka memperagakan jurus... jurus Belibis Mendarat Tampak Pantat.”

Yilin menukas, “Belibis Mendarat di Pasir.”

“Benar sekali,” sahut Linghu Chong. “Rasanya nama Belibis Mendarat di Pasir memang jauh lebih bagus.” Usai berkata demikian napasnya kembali tersengal-sengal.

“Jangan banyak bicara dulu!” seru Yilin. “Istirahat saja lagi.”

Linghu Chong berkata, “Guruku ternyata datang juga ke Kota Hengshan ini. Tadinya kukira cukup diwakili para murid seperti kami. Aku ingin segera pulih dan kembali ke sana untuk menyaksikan upacara Paman Liu, pasti akan sangat meriah.”

Melihat bibir Linghu Chong yang kering dan wajahnya yang pucat, Yilin pun sadar kalau pemuda itu sudah kehilangan banyak darah sehingga perlu diberi minum sebanyak-banyaknya. “Aku harus mencari air. Tentu kau sangat haus, bukan?” katanya sambil bangkit perlahan-lahan.

Linghu Chong menjawab, “Sewaktu menuju kemari tadi aku sempat melihat ada banyak semangka tumbuh di ladang sebelah timur sana. Coba kau petik beberapa buah yang sudah masak.”

“Baiklah,” sahut Yilin sambil merogoh kantongnya yang ternyata kosong melompong. “Kakak Linghu, apakah kau punya uang?” tanyanya kemudian.

“Untuk apa?” tanya Linghu Chong heran.

“Untuk membeli semangka,” jawab Yilin.

“Kenapa harus beli? Petik saja beberapa buah, kemudian bawa kemari,” ujar Linghu Chong. “Di sekitar ladang tidak terdapat rumah penduduk. Petani pemilik semangka itu tentu berada jauh dari sini. Kepada siapa pula kau akan membayarnya?”

“Tapi, mengambil tanpa permisi sama saja... sama saja dengan mencuri, bukan?” sahut Yilin. “Guru bilang, kita tidak boleh mencuri meskipun hanya sekali. Kalau tidak punya uang lebih baik meminta sedekah. Hanya minta sebuah saja kemungkinan besar pasti diberi.”

“Ah, dasar kau biksuni...” tukas Linghu Chong hendak menyebut “biksuni bodoh”. Namun begitu teringat perjuangan Yilin yang mati-matian menolong dirinya, ia pun menelan kata-kata makian tersebut.

Sebaliknya, melihat Linghu Chong tampak kurang senang, Yilin terdiam tidak berani membantah lagi. Ia kemudian bergegas menuju ke jalan pedesaan tadi.

Setelah berjalan lebih dari satu kilometer, Yilin akhirnya menemukan sebidang tanah ladang yang dimaksudkan Linghu Chong tadi. Ladang itu terlihat penuh dengan semangka yang berukuran besar. Suasana sunyi senyap, dan hanya terdengar suara jengkerik bersahut-sahutan. Yilin tidak melihat seorang pun berada di sana kecuali dirinya sendiri.

“Kakak Linghu sangat haus dan menginginkan buah semangka ini. Tapi, aku tidak mungkin mengambil tanpa minta izin terlebih dulu,” ujarnya kepada diri sendiri.

Yilin lantas berjalan beberapa ratus meter namun tidak menemukan seseorang, ataupun gubuk, rumah, dan semacamnya. Akhirnya, ia pun kembali ke ladang tadi dan mendekati salah satu semangka yang sudah masak. Hatinya bimbang dan ragu-ragu. Tangannya menjulur mencoba untuk memetik buah itu namun segera ditariknya kembali begitu terbayang wajah gurunya sedang memberi nasihat. Dengan langkah berat, ia pun berniat pergi meninggalkan ladang tersebut.

Akan tetapi, begitu terbayang wajah Linghu Chong yang pucat pasi dan bibirnya kering ia menjadi gelisah. Dengan menggigit bibir biksuni muda itu merangkap kedua tangan lalu berdoa, “Wahai, Sang Buddha... saya tidak ingin mencuri. Ini semua demi Kakak Linghu. Kakak Linghu ingin... ingin memakan semangka ini.” Namun begitu menyimpulkan kalau “Kakak Linghu ingin memakan semangka” bukan alasan yang bagus untuk mencuri, seketika mata Yilin pun berkaca-kaca.

Dengan memejamkan mata dan menggertakkan gigi, Yilin lantas menarik buah semangka itu hingga putus dari akarnya. Dalam hati ia berpikir, “Kakak Linghu telah menyelamatkan jiwaku. Asalkan bisa membalas kebaikannya, aku rela masuk neraka yang paling dasar dan tidak terlahir kembali. Yang mencuri semangka ini adalah aku; tidak ada sangkut pautnya dengan Kakak Linghu.”

Dengan menggunakan kedua tangannya, Yilin menggendong semangka tersebut dan berjalan kembali ke tempat Linghu Chong berada.

Linghu Chong seorang pemuda yang berjiwa bebas. Ia tidak terlalu peduli dengan peraturan atau tata krama bermasyarakat. Ketika Yilin mengaku lebih baik mengemis daripada mencuri, ia hanya menilai biksuni muda itu sebagai seorang gadis kecil yang belum berpengalaman. Sama sekali ia tidak menyadari bahwa di dalam hati si biksuni muda telah terjadi perang batin karena memetik satu buah semangka tanpa izin tersebut. Maka, begitu melihat Yilin datang membawa sebuah semangka untuknya, ia terlihat sangat senang.

“Adik pintar, adik manis!” ujarnya memuji

Seketika perasaan Yilin tergetar begitu mendengar pujian tersebut. Hampir saja semangka itu terlepas dan jatuh ke tanah. Untungnya, ia sempat menangkap semangka itu kembali.

“Hei, kenapa kau jadi gugup?” tanya Linghu Chong sambil tertawa. “Apa kau baru saja dikejar orang dan dituduh mencuri?”

“Tidak. Aku tidak dikejar siapa-siapa,” jawab Yilin. “Tidak seorang pun yang melihatku.” Usai berkata demikian, biksuni muda itu duduk dengan wajah bersemu merah.

Saat itu matahari sudah mulai naik di ufuk timur. Sinarnya yang cemerlang membuat pagi itu terasa hangat dan nyaman. Linghu Chong dan Yilin kini berada di suatu tempat teduh di lembah Pegunungan Hengshan. Cuaca tampak begitu cerah setelah beberapa hari sebelumnya sering turun hujan. Daun-daun pepohonan berwarna hijau bersih seolah baru saja dicuci oleh air hujan tersebut.

Perlahan-lahan Yilin mencabut pedangnya untuk membelah semangka. Begitu memandangi ujung pedangnya yang sudah patah, ia pun berpikir, “Ilmu silat Tian Boguang sangat hebat. Andai saja Kakak Linghu tidak menolongku, mungkin aku tidak akan bisa merasakan pagi yang seindah ini lagi.”

Sekilas ia melirik ke arah Linghu Chong yang masih pucat pasi. “Demi bisa menolong Kakak Linghu, aku rela bergelimang dosa. Meskipun harus melanggar peraturan lebih banyak lagi aku tidak menyesal,” demikian pikirnya.

Yilin lantas mengayunkan pedangnya untuk membelah semangka. Ternyata semangka tersebut berasal dari jenis yang bagus sehingga bau harumnya langsung tercium begitu dibuka.

“Semangka bagus!” puji Linghu Chong. “Adik Yilin, aku jadi teringat perayaan tahun baru yang telah lalu. Saat itu, aku dan murid-murid Huashan lainnya sedang minum arak bersama. Tiba-tiba saja Adik Kecil berkata, ‘Anjing kecil di sebelah kiri, semangka bodoh di sebelah kanan; menurut kalian apa, coba?’ Waktu itu Lu Dayou – yaitu adik keenamku yang tadi malam mencari-cari diriku – sedang duduk di sebelah kiri Adik Kecil, sedangkan aku duduk di sebelah kanannya.”

Yilin tersenyum menanggapi, “Adik kecilmu sedang mengolok-olok dirimu dan Kakak Lu.”

“Tepat sekali! Tapi aku tidak tersinggung. Aku disebutnya semangka, sedangkan Adik Lu disebut anjing kecil,” jawab Linghu Chong. “Nah, saat ini pun kejadiannya mirip dengan waktu itu. Di sebelah kananku ada semangka, dan di sebelah kiriku ada anjing kecil.” Sambil berkata demikian ia menunjuk semangka, kemudian menunjuk wajah Yilin.

“Ah, kau mengolok-olok aku sebagai anjing kecil,” ujar Yilin.

Biksuni muda itu kemudian mengiris salah satu belahan dan memberikannya kepada Linghu Chong setelah membersihkan bijinya. Linghu Chong segera memakan irisan itu dengan lahap.

Yilin merasa sangat senang melihat Linghu Chong menikmati semangka irisannya. Dilihatnya air buah tersebut menetes membasahi dagu pemuda itu yang makan sambil berbaring. Maka, Yilin pun mengiris lebih kecil lagi dan memberikannya ke tangan Linghu Chong satu demi satu.

Setiap kali Linghu Chong mengulurkan tangan untuk menerima irisan baru, ia tampak meringis menahan sakit. Tanpa banyak pikir, Yilin pun menyuapkan irisan di tangannya ke dalam mulut pemuda itu.

Setelah menghabiskan hampir dari setengah buah tersebut, Linghu Chong baru sadar kalau Yilin belum makan sama sekali. Ia pun berkata, “Kau juga silakan makan.”

“Nanti saja,” jawab Yilin. “Kau makan saja dulu sampai puas.”

“Sudah, aku sudah cukup,” kata Linghu Chong. “Sekarang giliranmu yang makan.”

Yilin sendiri juga merasa sangat haus. Ia lantas mengambil sepotong dan segera memakannya. Melihat Linghu Chong memandanginya tanpa berkedip, biksuni itu merasa malu dan berputar membelakangi.

“Wah, betapa cantiknya!” puji Linghu Chong tiba-tiba. Ucapannya itu terdengar penuh dengan perasaan.

Yilin terperanjat. Wajahnya semakin merah bertambah malu. Diam-diam ia berpikir, “Mengapa tiba-tiba dia menyebutku cantik? Apa maksudnya?”

Mendengar pujian itu, perasaan Yilin bagaikan melayang-layang di angkasa. Dadanya terasa hangat dan lehernya sampai berwarna merah. Sedikit pun ia tidak berani menoleh ke arah Linghu Chong.

“Coba kau lihat itu, alangkah cantiknya!” seru Linghu Chong kembali terdengar.

Perlahan-lahan Yilin memberanikan diri untuk menoleh. Ternyata jari Linghu Chong menunjuk ke arah langit sebelah barat, tepatnya ke sebuah pelangi yang tampak melengkung di sana.

Baru sekarang Yilin sadar kalau yang dipuji ‘cantik’ oleh Linghu Chong bukanlah dirinya, melainkan pelangi tersebut. Dalam hati ia merasa sangat malu menghadapi pemuda itu. Namun rasa malu yang sekarang ini bercampur kekecewaan; benar-benar berbeda dengan yang sebelumnya.

“Hei, coba kau dengar baik-baik,” kembali Linghu Chong berkata.

Yilin pun menajamkan pendengarannya. Sayup-sayup terdengar suara gemercik air dari arah munculnya pelangi. “Seperti suara air terjun,” katanya.

“Benar. Setelah hujan beberapa hari biasanya di daerah pegunungan banyak tercipta air terjun,” ujar Linghu Chong. “Mari kita ke sana untuk melihatnya.”

“Kau... kau sebaiknya beristirahat dulu,” ujar Yilin memberi saran.

“Ah, di sini hanya ada batu-batuan, apa bagusnya?” jawab Linghu Chong. “Lebih baik kita pergi melihat air terjun.”

Yilin tidak membantah lagi. Ia pun membantu pemuda itu bangkit berdiri. Tiba-tiba wajahnya kembali merah saat berpikir, “Sudah dua kali aku menggendong Kakak Linghu. Yang pertama sewaktu meninggalkan Rumah Minum Dewa Mabuk; dan yang kedua sewaktu kabur dari Wisma Kumala tadi pagi. Meskipun belum pulih benar, namun saat ini dia sedang terjaga, tidak pingsan lagi. Tidak mungkin aku menggendong tubuhnya. Aih, dia ingin mengajakku ke dekat air terjun; mungkinkah itu hanya alasan supaya aku... supaya aku memapah dirinya?”

Saat perasaan Yilin diliputi tanda tanya, Linghu Chong sudah memungut sebatang ranting pohon untuk digunakannya sebagai tongkat. Lagi-lagi Yilin salah menduga. Segera ia berjalan mendahului pemuda itu sambil memaki diri sendiri di dalam hati, “Huh, bodohnya aku! Kenapa aku masih suka berpikiran yang tidak-tidak? Kakak Linghu seorang kesatria sejati. Kenapa aku berpikir bahwa dia akan berbuat macam-macam? Mungkin semua ini karena aku sedang sendiri bersama seorang laki-laki. Aih, Kakak Linghu dan Tian Boguang memang sama-sama laki-laki. Tapi sifat mereka sangat berbeda. Kenapa aku menganggapnya sama dengan Tian Boguang yang cabul itu?”

Linghu Chong berjalan sempoyongan namun masih dapat menguasai diri. Dengan langkah perlahan-lahan ia menyusuri jalan setapak menuju ke arah suara air terjun tersebut. Sampai akhirnya, perjalanannya terhenti karena berjumpa sebongkah batu besar. Yilin buru-buru membantunya duduk di atas batu tersebut.

“Dari sini sudah bisa melihat air terjun itu. Apakah kau harus melihatnya dari tempat yang lebih dekat?” ujar biksuni itu bertanya.

“Kalau kau berkata demikian, maka aku akan berhenti di sini,” sahut Linghu Chong tersenyum.

“Baiklah, baiklah,” jawab Yilin mengalah. “Mungkin pemandangan di sana bisa membantu mempercepat penyembuhanmu.”

Linghu Chong tertawa dan bangkit perlahan-lahan. Keduanya pun melanjutkan perjalanan. Suara gemuruh air terdengar semakin deras. Setelah melewati tanjakan dan sekelompok pepohonan, akhirnya mereka melihat sebuah air terjun yang airnya jernih laksana dituang dari langit.

Linghu Chong berkata, “Di Puncak Gadis Kumala, di atas Gunung Huashan, juga terdapat air terjun seindah ini, bahkan lebih besar lagi. Di waktu senggang, Adik Kecil suka mengajakku berlatih pedang di depan air terjun tersebut.”

Yilin terkesiap mendengar itu. Dadanya terasa sakit seperti dicubit karena terlintas dalam benaknya, bahwa tujuan Linghu Chong mengajaknya ke air terjun tersebut hanya karena terkenang kepada si adik kecil.

Terdengar Linghu Chong melanjutkan, “Beberapa kali ia mengajakku berlatih di bawah guyuran air terjun. Katanya, tenaga air yang jatuh akan memperkuat daya permainan pedang kami. Kami sering basah kuyup tersiram air. Bahkan, ia pernah nyaris terperosok ke dalam kolam di bawah air terjun tersebut. Untungnya, aku sempat menangkap tubuhnya. Wah, kejadian itu hampir saja membuatnya celaka.”

Yilin terdiam sejenak, lalu bertanya dengan suara datar, “Berapa jumlah adik seperguruanmu yang perempuan?”

“Di Huashan, aku memiliki tujuh orang adik seperguruan perempuan,” jawab Linghu Chong. “Enam di antaranya adalah murid-murid ibu guru kami, sedangkan Adik Kecil yang aku maksud adalah putri guruku. Ia bernama Yue Lingshan. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan ‘adik kecil’.”

“Oh, jadi dia adalah putri Paman Yue,” sahut Yilin. “Tentu dia... dia sangat baik kepadamu, bukan?”

“Linghu Chong duduk perlahan-lahan sambil menjawab, “Aku ini seorang yatim piatu. Lima belas tahun yang lalu, Guru dan Ibu Guru memungut diriku dan menerimaku sebagai murid. Waktu itu Adik Kecil masih berusia tiga tahun. Usia kami berbeda cukup jauh, dan aku sering menggendongnya untuk bersama-sama mencari buah atau menangkap kelinci. Boleh dikata, kami berdua dibesarkan bersama-sama. Guru tidak memiliki anak laki-laki, sehingga diriku diperlakukan seperti anak kandung. Adik Kecil sendiri sudah seperti adik kandungku.”

“Oh, rupanya begitu,” sahut Yilin. Ia diam sejenak kemudian kembali berkata, “Aku juga seorang yatim piatu. Orang tuaku entah ada di mana. Sejak kecil aku sudah menjadi biksuni di bawah asuhan Guru.”

“Sayang sekali, sayang sekali!” gumam Linghu Chong. Yilin langsung menoleh dan memandanginya dengan penuh tanda tanya.

“Kalau saja kau tidak menjadi murid Bibi Dingyi, tentu aku bisa memohon kepada Ibu Guru supaya menerimamu sebagai murid,” lanjut Linghu Chong. “Perguruan kami memiliki lebih dari dua puluh orang murid. Setelah berlatih, kami biasa bermain sama-sama. Guru dan Ibu Guru tidak terlalu membatasi kami dengan peraturan ketat. Jika kau bertemu Adik Kecil, tentu kalian akan cocok dan bisa menjadi teman akrab.”

“Sayang sekali aku tidak seberuntung itu,” jawab Yilin. “Namun di Biara Awan Putih, Guru dan para kakak juga sangat baik kepadaku. Di sana... aku sangat bahagia.”

“Ya, aku yang salah bicara,” ujar Linghu Chong. “Ilmu pedang Bibi Dingyi sangat hebat. Jika Guru dan Ibu Guru sedang membicarakan ilmu pedang, Beliau berdua selalu memuji Bibi Dingyi. Perguruan Henshan sama bagusnya dengan Perguruan Huashan kami.”

Mendengar pujian itu Yilin menjadi bersemangat. Ia pun berkata, “Kakak Linghu, dulu kau pernah berkata bahwa Tian Boguang dalam pertarungan sambil berdiri ada di urutan keempat belas, sedangkan Paman Yue urutan kedelapan. Lalu, guruku masuk urutan ke berapa?”

“Ah, aku hanya menipu Tian Boguang saja,” jawab Linghu Chong. “Tinggi atau rendahnya ilmu silat seseorang selalu mengalami perubahan; tidak bisa ditentukan begitu saja melalui penilaian sepihak. Ada yang mengalami kemajuan pesat, ada pula yang mengalami kemunduran, misalnya akibat bertambahnya usia. Ilmu silat Tian Boguang memang tinggi, tapi belum tentu ia adalah pendekar terhebat nomor empat belas di dunia persilatan. Aku hanya menyanjungnya supaya dia senang dan menjadi lengah.”

“Oh, jadi kau hanya membohonginya saja,” ujar Yilin. Biksuni cantik itu lalu terdiam memandangi derasnya air terjun. Pikirannya melayang-layang memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia bertanya, “Kakak Linghu, apakah kau selalu membohongi orang?”

“Tergantung keadaan,” jawab Linghu Chong sambil tertawa. “Yang perlu dibohongi harus dibohongi; yang tidak perlu dibohongi, maka tidak perlu dibohongi. Misalnya, kepada Guru dan Ibu Guru tidak mungkin aku berani membohongi mereka.”

“Lalu, bagaimana dengan adik-adik seperguruanmu?” Yilin kembali bertanya. Sebenarnya ia ingin bertanya, “Apakah kau juga sering membohongi adik kecilmu?” Namun entah mengapa ia mengalihkan pertanyaan tersebut.

“Tergantung keadaan juga,” jawab Linghu Chong. “Dengan sesama saudara kami sering bercanda dan bergurau. Kalau bergurau tanpa tipu-menipu dan saling bohong rasanya kurang menarik.”

“Kepada adik kecilmu juga?” sahut Yilin yang akhirnya bertanya demikian.

Linghu Chong mengerutkan dahi lalu menjawab, “Untuk urusan penting aku tidak pernah berbohong kepadanya. Tapi kalau untuk bercanda dan bermain-main, dia juga sering kubohongi.”

Diam-diam Yilin merasa iri pada kehidupan di Huashan yang riang gembira. Selama ini ia hidup di dalam Biara Awan Putih yang sederhana dan kaku. Biksuni Dingyi juga tidak pernah terlihat tertawa atau bercanda. Meskipun akrab dengan saudara-saudara seperguruan, namun pada dasarnya mereka tidak pernah bergurau satu sama lain. Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingxian memang memiliki beberapa murid dari kalangan bukan biksuni. Murid-murid Henshan golongan ini memang periang, namun mereka agak segan jika bercanda dengan murid-murid golongan biksuni. Dengan kata lain, Yilin hidup di Gunung Henshan dalam suasana kesunyian. Setiap hari yang ia lakukan hanya membaca kitab suci, berlatih silat, atau memasak sayuran.

Begitu mendengar penuturan Linghu Chong, seketika angan-angan Yilin melayang-layang. Ia pun berpikir, “Alangkah bahagia andaikan aku bisa berkunjung ke Gunung Huashan dan bermain dengan Kakak Linghu dan saudara-saudaranya. Tapi... setelah semua kejadian yang kualami, tentu Guru akan semakin membatasi diriku. Keinginan untuk berkunjung ke Huashan pasti hanya impian belaka. Sekalipun aku bisa datang ke sana, pasti Kakak Linghu hanya sibuk menemani adik kecilnya; sedikit pun tidak peduli kepadaku. Entah siapa yang sudi menemani diriku ini?” Berpikir demikian membuat mata Yilin berkaca-kaca.

Linghu Chong yang tidak mengetahui isi hati Yilin tetap saja bercerita sambil memandangi air terjun. “Adik Kecil dan aku sedang menyempurnakan sebuah ilmu pedang yang kami ciptakan dengan bantuan derasnya air terjun. Adik Yilin, apakah kau mengetahui maksudnya?”

“Aku tidak tahu,” jawab Yilin sambil menggelengkan kepala. Suaranya agak parau namun tidak terdengar jelas oleh Linghu Chong.

“Saat bertemu musuh berkepandaian tinggi, tentu tusukan atau sabetan pedangnya disertai tenaga dalam yang mematikan. Nah, kami menganggap air terjun itu bagaikan tenaga yang menyertai serangan musuh. Dengan berlatih di bawah air terjun, kami membayangkan sedang menangkis serangan lawan sekaligus berusaha mengembalikan tenaga dalamnya supaya menghantam musuh itu sendiri.”

Melihat Linghu Chong bercerita dengan penuh semangat, Yilin berusaha tersenyum untuk tidak membuatnya kecewa. Ia pun bertanya, “Apakah kalian sudah berhasil menguasai ilmu pedang tersebut?”

“Belum, belum!” jawab Linghu Chong. “Menciptakan sebuah ilmu silat baru adalah pekerjaan yang sangat sulit. Lagipula, kami tidak menciptakan jurus-jurus baru, hanya mengubah dan merangkai beberapa jurus pedang Huashan yang sudah ada. Meskipun berlatih di air terjun adalah sesuatu yang baru dan sangat bermanfaat, namun kami melakukannya hanya untuk bersenang-senang. Kau dapat melihat sendiri, ilmu pedang tersebut tidak berguna untuk menghadapi Tian Boguang.”

“Apa nama ilmu pedang yang kalian ciptakan itu?” tanya Yilin dengan suara lirih.

“Ah, sebenarnya aku tidak bermaksud memberinya nama,” jawab Linghu Chong. “Tapi Adik Kecil bersikeras memberinya nama jurus Pedang Chongling, gabungan dari nama kami berdua, Linghu Chong dan Yue Lingshan.”

“Jurus Pedang Chongling, jurus Pedang Chongling,” demikian Yilin bergumam. “Nama ini mengandung unsur namamu dan namanya. Kelak di kemudian hari orang akan mengetahui kalau ilmu tersebut adalah hasil... hasil ciptaan kalian berdua.”

“Ah, itu hanya usulan Adik Kecil saja. Dia masih sangat kekanak-kanakan,” ujar Linghu Chong sambil tertawa. “Kepandaian kami berdua masih terlalu rendah, mana mungkin kami dapat menciptakan ilmu pedang yang hebat? Jangan... jangan kau katakan kepada orang lain. Aku takut jadi bahan tertawaan di dunia persilatan.”

“Baiklah, aku tidak akan mengatakannya kepada siapa pun juga,” sahut Yilin. Sejenak ia terdiam kemudian berkata lagi sambil tersenyum, “Tapi, ilmu pedang ciptaanmu yang lain sudah terlanjur diketahui banyak orang.”

“Apa benar?” sahut Linghu Chong terperanjat. “Apa Adik Lingshan yang telah menyebarluaskannya?”

Yilin tertawa dan menjawab, “Bukan, tapi kau sendiri yang mengatakannya kepada Tian Boguang. Bukankah kau telah menciptakan Jurus Pedang Kakus untuk menusuk lalat?”

Linghu Chong tertawa terbahak-bahak. Ia lantas menanggapi, “Aku sengaja membual kepadanya, tapi kau malah terus-menerus mengingatnya. Aduh....”

“Aih, semua ini salahku!” seru Yilin gugup melihat Linghu Chong meringis kesakitan. “Lukamu sakit lagi gara-gara aku. Sudahlah, jangan bicara lagi. Kau istirahat saja dulu.”

Linghu Chong lantas memejamkan mata. Namun, sejenak kemudian matanya kembali terbuka dan ia pun berkata, “Aku bersikeras datang kemari untuk melihat pemandangan indah. Namun, gara-gara ingin mendekati air terjun membuat kita tidak bisa lagi melihat pelangi.”

Yilin berkata, “Pelangi memiliki keindahan sebagai pelangi; air terjun memiliki keindahan sebagai air terjun.”

“Benar sekali!” ujar Linghu Chong. “Di dunia ini mana ada yang sempurna? Sesuatu yang dicari dengan susah payah ternyata setelah didapatkan rasanya hanya begitu saja. Sebaliknya, barang yang sudah dimiliki malah dibuang dengan cuma-cuma.”

“Ucapan Kakak Linghu sepertinya mengandung pelajaran filsafat yang mendalam,” kata Yilin. “Sayang sekali, pemahamanku masih sangat dangkal sehingga tidak mengetahui apa makna yang terkandung di dalamnya. Andai saja Guru mendengar ucapanmu tadi, pasti Beliau bisa memberikan penjelasan.”

“Filsafat apanya? Mana aku tahu tentang filsafat?” ujar Linghu Chong. “Uh, aku lelah sekali.”

Perlahan-lahan pemuda itu merebahkan tubuhnya dan memejamkan mata. Sejenak kemudian ia sudah tertidur pulas.

Yilin yang duduk di sampingnya berusaha menghalau lalat atau nyamuk yang datang mengganggu. Lama-lama ia juga merasa letih dan mengantuk. Namun belum sampai tertidur, biksuni muda itu berkata dalam hati, “Kalau Kakak Linghu terbangun nanti, pasti dia merasa lapar. Di sini tidak ada makanan. Aku terpaksa harus memetik dua semangka lagi.”

Maka Yilin pun berangkat ke ladang tadi dan memetik dua buah semangka. Khawatir Linghu Chong diganggu binataang buas, ia pun bergegas kembali ke dalam lembah. Sesampainya di sana, ternyata Linghu Chong masih terbaring di atas batu. Ia pun duduk perlahan di samping pemuda itu.

Tiba-tiba Linghu Chong membuka mata dan bertanya, “Aku kira kau sudah pulang,”

“Kenapa kau berpikir demikian?” sahut Yilin heran.

“Bukankah tadi malam guru dan kakak-kakakmu mencarimu ke mana-mana?” jawab si pemuda. “Mereka tentu sangat khawatir atas keselamatanmu.”

Sebenarnya Yilin sudah melupakan hal itu. Gara-gara pertanyaan Linghu Chong tersebut, ia jadi teringat kembali dan berpikir, “Bila bertemu Guru nanti, entah Beliau akan memarahi aku atau tidak?”

Linghu Chong kembali berkata, “Adik Biksuni, aku benar-benar berterima kasih kau telah menemani diriku begitu lama. Kau juga telah menyelamatkan jiwaku dari kematian. Sekarang aku sudah cukup kuat. Lebih baik kau lekas pulang saja.”

“Tidak bisa! Mana mungkin aku meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini?” sahut Yilin terkejut.

“Bukan begitu,” Linghu Chong menukas. “Nanti kalau sudah sampai di rumah Paman Liu, kau bisa memberitahukan keberadaanku ini kepada adik-adikku. Tentu mereka akan segera kemari untuk menjaga diriku.”

Yilin terkesiap mendengarnya. Ia pun berpikir, “Rupanya Kakak Linghu ingin aku lekas-lekas pergi dari sini supaya bisa segera bertemu adik kecilnya. Makin cepat adik kecilnya datang, dia merasa makin baik,” Karena berpikir demikian, hati biksuni muda ini terasa pedih dan tanpa terasa ia pun meneteskan air mata.

Linghu Chong menjadi heran dan bertanya, “Hei, kenapa... kenapa kau menangis? Apa kau takut dimarahi gurumu?”

Yilin menggelengkan kepala.

“Atau kau takut bertemu Tian Boguang?” tanya Linghu Chong kemudian. “Tenang saja, dia tidak akan berani mengganggumu lagi. Justru bila melihatmu maka dia sendiri yang akan lari terbirit-birit.”

Tapi Yilin kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.

Linghu Chong bertambah bingung. Ia menoleh ke arah semangka dan berkata lagi, “Aku tahu sekarang. Kau pasti merasa bersalah karena kembali melanggar pantangan agama, bukan? Sudahlah, jangan dipikirkan. Aku yang akan menanggung semua dosa-dosamu.”

Namun Yilin tetap saja menggelengkan kepala. Bahkan, air matanya mengalir semakin deras.

Linghu Chong benar-benar bingung. Ia pun berkata, “Baiklah, mungkin ada kata-kataku yang menyinggung perasaanmu. Adik Biksuni, kau jangan menangis lagi. Aku minta maaf.”

Perasaan Yilin sedikit lega mendengarnya. Namun ia kembali sedih karena membayangkan Linghu Chong suka merendahkan diri di hadapan Yue Lingshan, adik kecilnya. Mungkin mereka sering bertengkar, dan kemudian Linghu Chong selalu yang pertama kali meminta maaf. Maka, sekarang pemuda itu menerapkan cara tersebut kepada dirinya.

Menyadari itu semua Yilin kembali menangis, kali ini bahkan sambil membanting-banting kakinya di atas batu. “Aku bukan... aku bukan adikmu....” katanya kepada si pemuda. Namun begitu teringat bahwa dirinya seorang biksuni yang tidak sepantasnya bersikap seperti itu, dengan cepat ia pun berpaling ke arah lain.

Sekilas Linghu Chong memandang wajah Yilin yang bersemu merah itu, dengan air mata membasahi pipi. Dalam hati ia memuji kecantikan biksuni tersebut yang ternyata tidak kalah jika dibandingkan dengan Yue Lingshan. Ia kemudian berkata, “Adik Biksuni, kita ini sama-sama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Usiaku lebih tua, sehingga kau terhitung sebagai adikku. Tolong katakan, apa kesalahanku? Apa yang membuat kau begitu marah kepadaku?”

“Kau tidak salah apa-apa,” sahut Yilin. “Aku tahu kau ingin agar aku cepat-cepat pergi dari sini supaya tidak membuatmu sial seperti yang kau katakan kepada Tian Boguang dulu. Bertemu satu biksuni, sama dengan bertemu satu... kesi... kesial....” Sampai di sini ia tidak sanggup melanjutkan perkataan.

Linghu Chong menjadi geli mendengarnya. Ternyata Yilin masih ingat kalau dirinya pernah berkata bahwa biksuni adalah pembawa sial yang sangat mematikan. Maka, ia pun berkata, “Ya, mulutku ini memang kotor dan suka bicara yang aneh-aneh. Aku telah merendahkan kehormatan Perguruan Henshan yang mulia. Aku pantas dihajar, pantas dihukum!”

Selesai berkata demikian, Linghu Chong pun mengangkat tangan dan segera menampar pipinya sendiri beberapa kali. Melihat itu Yilin buru-buru mencegah, “Jangan, jangan kau teruskan! Aku... aku tidak marah kepadamu. Aku hanya... aku hanya tidak ingin menjadi... pembawa sial untukmu.”

“Aku pantas dihukum!” sahut Linghu Chong sambil menampar pipinya satu kali.

“Aku tidak marah kepadamu,” sahut Yilin sambil menggeleng. “Kakak Linghu, kau jangan... jangan memukul dirimu sendiri.”

“Kau tidak marah kepadaku?” tanya Linghu Chong .

Yilin hanya menganggukkan kepalanya.

“Tapi kau belum tertawa,” ujar si pemuda, “itu pertanda kalau kau sebenarnya masih marah kepadaku.”

Terpaksa Yilin pun tertawa. Tapi begitu teringat nasib buruk yang menimpa dirinya, ia pun menangis kembali dan berpaling ke arah lain. Melihat itu Linghu Chong menghela napas panjang.

Perlahan-lahan Yilin berhenti menangis dan bertanya, “Mengapa... mengapa kau menghela napas?”

Dalam hati Linghu Chong tertawa geli. Diam-diam ia berpikir, “Bagaimanapun juga biksuni ini hanya seorang gadis kecil yang masih polos.”

Linghu Chong sudah berpengalaman menghadapi Yue Lingshan. Jika sedang bertengkar dengannya, Yue Lingshan biasanya diam tidak mau bicara. Bagaimanapun caranya Linghu Chong membujuk tetap saja gadis itu tidak peduli kepadanya. Namun Linghu Chong memiliki siasat istimewa, yaitu dengan cara membangkitkan rasa ingin tahu adik kecilnya itu. Dengan demikian, Yue Lingshan pun berbalik mendesaknya.

Menghadapi Yilin yang polos dan lugu, Linghu Chong merasa lebih mudah untuk membangkitkan rasa ingin tahunya. Maka, ia pun menghela napas sambil memandang ke arah lain, membuat Yilin merasa penasaran dan gugup.

“Kakak Linghu, apakah kau marah kepadaku?” tanya biksuni muda itu.

“Ah, tidak,” jawab Linghu Chong. “Tidak apa-apa.”

Melihat sikap pemuda itu, Yilin semakin gugup. Ia tidak tahu kalau Linghu Chong hanya berpura-pura untuk menghentikan tangisnya. Meskipun wajahnya terlihat kebingungan, namun dalam hati pemuda itu sedang tertawa terpingkal-pingkal.

Yilin berkata, “Aku yang salah. Aku telah membiarkanmu menampar wajah sendiri. Sebagai gantinya... sebagai gantinya biar kutampar wajahku ini.”

Dengan cepat Yilin menampar wajahnya sendiri. Ketika melayangkan tamparan kedua, Linghu Chong segera memegang tangannya. Namun akibatnya, pemuda itu pun merintih kesakitan.

“Aih, hati-hati! Jangan sampai lukamu pecah lagi,” seru Yilin sambil membantu Linghu Chong merebahkan diri. “Aku ini benar-benar bodoh. Apapun yang kulakukan selalu saja salah. Apa kau masih sakit, Kakak Linghu?”

Linghu Chong bukan seorang yang mudah merintih kesakitan. Namun dalam kesempatan itu ia sengaja merintih beberapa kali untuk memancing Yilin supaya berhenti menangis.

Tentu saja Yilin menjadi khawatir. “Apakah sangat sakit?” tanya biksuni itu sambil meraba dahi Linghu Chong.

“Ya, sakit sekali!” jawab Linghu Chong sambil pura-pura meringis. “Tapi sayang, Adik Keenam tidak ada... tidak ada di sini.”

“Kenapa? Apakah dia memiliki obat mujarab?” Yilin bertanya dengan heran.

“Benar, tapi obatnya terletak dimulut, “Jawab Linghu Chong. “Dulu bila aku terluka dan kesakitan, dia selalu menghiburku dengan berbagai macam lelucon yang menggelikan. Dengan demikian rasa sakitku jadi berkurang. Tapi sayang, dia tidak berada di sini. Aduh... sakit sekali!”

Yilin menjadi serbasalah. Selama hidup di dalam bimbingan Biksuni Dingyi, setiap hari kegiatannya hanyalah berdoa, membaca kitab, atau berlatih pedang. Sama sekali ia jarang bergurau apalagi bercerita lucu. Tentu saja menggantikan peran Lu Dayou akan menjadi masalah yang mahasulit baginya.

“Kakak Lu tidak ada di sini, sedangkan Kakak Linghu ingin mendengar lelucon. Entah bagaimana aku harus... aku harus menceritakan sebuah cerita lucu kepadanya?” demikian pikirnya.

Tiba-tiba Yilin teringat sesuatu. Ia pun berkata, “Kakak Linghu, aku tidak bisa melucu. Hanya saja, aku pernah membaca sebuah kitab yang isinya sangat menarik. Namanya ‘Kitab Seratus Dongeng’. Apakah kau pernah mendengarnya?”

Linghu Chong menggeleng dan menjawab, “Tidak pernah. Aku tidak pernah membaca kitab agama Buddha.”

Yilin terlihat malu dan berkata, “Aku yang bodoh. Sudah jelas kau ini bukan penganut agama Buddha, kenapa aku mengajukan pertanyaan bodoh demikian?” Ia diam sejenak lalu melanjutkan, “Kitab Seratus Dongeng ditulis oleh biksu agung dari India bernama Gazena. Di dalamnya banyak terdapat cerita menarik.”

“Baiklah,” sahut Linghu Chong. “Maukah kau menceritakan beberapa bagian yang lucu kepadaku?” pinta pemuda itu supaya Yilin melupakan kesedihannya.

Yilin pun mengingat-ingat sejenak, kemudian bercerita, “Baiklah, aku akan bercerita. Pada zaman dahulu tersebutlah seorang gundul dan seorang petani yang hidup di sebuah desa. Si gundul itu bukan seorang pendeta Buddha seperti kami, melainkan sudah bawaan sejak lahir. Kepalanya memang tidak bisa ditumbuhi rambut. Entah karena kesalahan apa, pada suatu hari si gundul dan si petani bertengkar. Si petani yang sangat marah memukul kepala si gundul sampai berdarah. Anehnya, si gundul sama sekali tidak melawan atau menghindar. Ia justru tertawa terbahak-bahak. Ketika ada orang bertanya, si gundul pun menjawab, ‘Petani itu sangat bodoh. Kepalaku ini disangkanya sebongkah batu sehingga dia pun memukulku menggunakan cangkul. Jika tadi aku menghindar, tentu akan membuat dia berubah menjadi pintar.’”

Linghu Chong tertawa mendengarnya. Ia berkata, “Cerita bagus! Si gundul benar-benar sangat pintar. Meskipun dipukul sampai mati juga dia tidak akan menghindar. Hahaha, lucu sekali!”

Melihat Linghu Chong tertawa, Yilin merasa senang. Ia pun melanjutkan dengan cerita lain, “Kali ini aku akan bercerita tentang seorang raja dan tabib. Sang raja memiliki watak yang tidak sabaran. Ia mempunyai seorang putri yang masih kecil, tapi ingin menjadikannya besar dalam waktu singkat. Sang tabib pun dipanggil menghadap untuk melaksanakan keinginannya itu. Tabib itu mengaku memiliki resepnya, namun untuk mengumpulkan bahan obatnya dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Untuk itu, tabib pun meminta kepada raja supaya mengizinkan sang putri agar tinggal bersamanya. Sang raja juga dilarang mendesak supaya obat ajaib tersebut bisa cepat selesai. Raja setuju. Tabib pun membawa sang putri tinggal di rumahnya. Setiap beberapa hari sekali ia melapor kepada raja tentang perkembangannya mengumpulkan bahan-bahan resep obat ajaib untuk membesarkan sang putri. Kejadian tersebut berlangsung sampai dua belas tahun lamanya. Akhirnya, tabib pun melapor kepada raja bahwa resepnya telah sempurna dan sang putri telah berubah menjadi gadis remaja. Raja sangat senang melihat perubahan putrinya. Ia pun memuji kepandaian sang tabib dan memberikan hadiah besar kepadanya.”

Linghu Chong kembali tertawa. Ia berkata, “Kau bilang raja itu sifatnya tidak sabaran? Padahal, dia sudah bersabar menunggu resep si tabib selama dua belas tahun. Hahaha, kalau aku yang menjadi tabib itu, cukup hanya satu hari saja aku bisa menjadikan bayi putri tersebut menjadi gadis remaja yang cantik jelita.”

“Bagaimana caranya?” tanya Yilin keheranan. “Apakah kau bisa bermain sulap?”

“Mudah sekali, asalkan kau mau membantuku,” jawab Linghu Chong.

“Membantu bagaimana?” sahut Yilin.

“Ya, aku akan segera membawa pulang bayi putri tersebut dan kemudian memanggil empat orang tukang jahit.”

Yilin menukas, “Tukang jahit? Untuk apa?”

“Untuk menjahit pakaian secara kilat. Akan kusuruh mereka membuatkan pakaian bagus untukmu,” jawab Linghu Chong. “Esok harinya, aku akan membawamu lengkap dengan pakaian bagus dan perhiasan indah menghadap raja. Tentu sang raja akan terkesima dan gembira melihat putrinya telah berubah dewasa dalam waktu semalam saja, berkat obat ajaib ciptaan tabib sakti Linghu Chong. Karena gembiranya, sang raja pasti tidak sempat memeriksa apakah dirimu putrinya yang asli atau bukan. Dan yang pasti, Tabib Linghu Chong akan memperoleh hadiah yang sangat besar.”

Yilin ikut tertawa mendengar akal Linghu Chong. Bahkan, biksuni muda itu sampai terpingkal-pingkal dan memegangi perutnya menahan geli. “Kakak Linghu memang cerdik. Bahkan, kau lebih pintar daripada tabib istana itu,” katanya. “Hanya sayang, wajahku jelek. Sama sekali tidak mirip seorang putri raja.”

Linghu Chong menyahut, “Kalau wajahmu disebut jelek, maka di dunia ini tidak ada lagi yang bisa disebut cantik. Pada zaman ini paling tidak ada sepuluh ribu orang putri kerajaan, namun tidak seorang pun yang bisa menandingi kecantikanmu.”

Yilin terkesiap mendengar pujian itu. Ia pun menegas, “Memangnya kau pernah bertemu sepuluh ribu orang putri-putri itu? Jika tidak, bagaimana kau bisa membandingkannya denganku?”

Linghu Chong menjawab, “Tentu saja! Aku pernah mengamati mereka satu per satu di dalam mimpiku.”

“Hei, berarti kau selalu mimpi bertemu putri raja?” sahut Yilin tersenyum.

Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Begitulah, aku....” Tiba-tiba ia merasa tidak pantas membual seperti itu kepada seorang biksuni muda yang polos dan lugu. Mengajaknya bercanda saja sudah merupakan pelanggaran bagi mereka. Maka, ia pun berpura-pura menguap untuk mengalihkan pembicaraan.

“Ah, Kakak Linghu sudah mulai mengantuk,” kata Yilin. “Silakan Kakak beristirahat saja.”

“Baiklah,” ujar Linghu Chong. “Ceritamu tadi sangat manjur. Sekarang lukaku tidak terasa sakit lagi.”

Linghu Chong pun memejamkan mata. Dalam hati ia tertawa karena berhasil membuat Yilin melupakan kesedihannya, bahkan kini tersenyum gembira.

Setelah Linghu Chong tertidur, Yilin mengibas-ngibaskan sebatang ranting untuk mengusir nyamuk dan lalat. Suara katak dan jengkerik bersahut-sahutan terdengar begitu merdu. Yilin yang sebenarnya sangat letih merasa mengantuk pula. Pelupuk matanya terasa semakin berat dan berat. Akhirnya, ia pun terkulai dan sekejap kemudian sudah melayang di alam mimpi.

Dalam mimpinya itu, Yilin merasa dirinya sedang memakai pakaian seorang putri raja yang indah dan gemerlapan. Seorang pemuda tampan yang tidak lain adalah Linghu Chong tampak menggandeng tangannya. Mereka pun berjalan bersama memasuki sebuah istana yang besar dan megah. Dari dalam istana itu mereka lantas melayang terbang ke angkasa dan mennyusup di balik awan dengan tetap bergandeng tangan. Tiba-tiba muncul seorang biksuni tua dengan pedang terhunus dan mata melotot berwarna merah. Biksuni tersebut tidak lain adalah Dingyi, sang guru sendiri. Yilin sangat terkejut. Terdengar Dingyi berkata, “Kau babi hina! Kau tidak hanya melanggar peraturan biara, tapi juga berhenti menjadi biksuni dan memilih sebagai putri raja, serta bergaul dengan bajingan rendah ini. Dosamu besar tidak terampuni.” Karena takut, Yilin pun cepat-cepat menarik lengan Linghu Chong untuk mengajaknya melarikan diri. Tapi pegangan tangannya hanya meraih tempat kosong. Suasana seketika berubah gelap. Tidak terlihat apa-apa lagi. Linghu Chong menghilang, Biksuni Dingyi juga menghilang. Karena terkejut, Yilin pun berteriak, “Kakak Linghu, Kakak Linghu!”

Seketika biksuni muda itu terbangun dari tidurnya. Ia baru sadar kalau semua hanyalah impian belaka. Dilihatnya ke samping ternyata Linghu Chong sudah bangun dan memandanginya dengan mata terbuka lebar.

“Aku... aku....” ujarnya dengan penuh rasa malu.

“Kau baru saja bermimpi?” tanya Linghu Chong.

Yilin merasa serbasalah untuk menjawab. Sekilas ia melihat wajah Linghu Chong terkesan aneh, seperti sedang menahan rasa sakit. Dengan cepat ia pun bertanya, “Apakah lukamu sakit lagi?”

“Tidak masalah!” jawab Linghu Chong dengan suara gemetar. Keringat pun membasahi dahi pemuda itu, pertanda ia sedang menahan rasa sakit yang luar biasa.

“Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan?” ujar Yilin agak bergumam dengan perasaan sangat khawatir. Ia pun mengeluarkan sapu tangan untuk mengusap keringat Linghu Chong. Dahi pemuda itu terasa panas seperti terbakar.

Yilin pernah mendengar dari gurunya, bahwa jika seseorang menderita demam akibat luka senjata tajam, maka keadaannya sungguh berbahaya. Karena didorong rasa cemas dan khawatir, seketika ia pun duduk dan berdoa. Mula-mula suaranya terdengar gugup dan gemetar. Namun lama-kelamaan setelah perasaannya agak tenang, ia pun berdoa dengan suara yang lantang dan penuh keyakinan.

“Bagi semua makhluk hidup, barangsiapa bertemu suatu masalah; seberat apapun masalah itu, jika ia berdoa kepada Dewi Guanyin dengan penuh penyerahan diri, maka Dewi Guanyin akan mendengar permohonannya dan memberikan pertolongan. Barangsiapa terjebak dalam kobaran api, maka api tidak akan membakarnya. Itu semua berkat keagungan Dewi Guanyin yang welas asih. Barangsiapa yang diterjang ombak dan badai, sedangkan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka dia akan mengapung dan tidak akan tenggelam....” demikian doa biksuni muda tersebut. Doa tersebut diambilnya dari Kitab Kekuatan Suci Dewi Guanyin. Dari suaranya yang sungguh-sungguh, tampak jelas betapa Yilin merupakan seorang penganut ajaran Buddha yang sangat taat.

Terdengar Yilin melanjutkan, “Barangsiapa yang hendak dibunuh orang dan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka senjata si pembunuh akan hancur berkeping-keping. Jika setan dan iblis datang mengganggu, namun dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka setan dan iblis terebut tidak dapat melihat dirinya. Barangsiapa sedang terbelenggu, apabila dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka belenggu itu akan terbuka dan pecah. Dengan demikian ia bisa lolos dan menyelamatkan diri....”

Linghu Chong merasa geli melihat perbuatan Yilin yang polos itu. Tanpa sadar ia pun tertawa cekikikan.

“Apanya yang lucu?” sahut Yilin terkejut.

“Jika doamu itu benar, maka aku tidak perlu susah payah berlatih silat. Jika ada musuh hendak menyerangku maka aku cukup berdoa saja kepada Dewi Guanyin dan mereka akan pergi sendiri,” jawab Linghu Chong.

“Kakak Linghu, kau jangan bersikap kurang hormat kepada Dewi Guanyin,” sahut Yilin tidak terima. “Jika aku tidak bersungguh-sungguh, maka doa ini tidak akan dapat menyembuhkanmu.”

Usai berkata demikian ia lantas melanjutkan, “Barangsiapa dikepung kawanan binatang buas, dan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka binatang-binatang itu akan pergi meninggalkannya. Barangsiapa bertemu ular dan kalajengking beracun, dan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka binatang-binatang itu akan kembali masuk ke dalam liang. Barangsiapa bertemu hujan lebat disertai halilintar menyambar-nyambar, dan dia berdoa kepada Dewi Guanyin, maka segala cuaca buruk akan menyingkir. Bagi semua makhluk hidup terdapat berbagai macam kesulitan dan marabahaya, namun kekuatan suci Dewi Guanyin akan menolong kita semua....”

Linghu Chong dapat mendengar dengan jelas betapa tulus doa yang disampaikan Yilin terhadap Dewi Guanyin. Meskipun suaranya sangat lirih, namun biksuni muda itu berdoa dengan kesungguhan hati dan penuh perasaan kepada Sang Boddhisattva. Terlihat betapa dia membuka segenap perasaannya dan berdoa dari lubuk hati yang paling dalam untuk mendapatkan berkah kekuatan dari Dewi Guanyin. Sampai akhirnya, ia berdoa, “Dewi Guanyin, aku mohon kepadamu untuk melenyapkan semua penderitaan Kakak Linghu, dan memindahkannya kepada diriku. Aku rela diubah menjadi babi, atau masuk ke dalam neraka, asalkan Dewi Guanyin menyembuhkan luka Kakak Linghu....”

Linghu Chong tidak bisa berkata-kata lagi. Hatinya merasa sangat terharu dan matanya berkaca-kaca. Sejak kecil ia hidup sebatang kara sampai akhirnya diambil sebagai murid Yue Buqun dan istrinya. Namun karena terlalu nakal, maka yang lebih sering ia dapatkan bukan belaian kasih sayang, melainkan hukuman dan pukulan dari sang guru. Murid-murid Huashan memang mematuhinya, namun itu hanya sekadar suatu kewajaran saja dalam tata krama perguruan. Sementara itu, Yue Lingshan memang sangat dekat dengannya, namun tetap saja tidak sebaik Yilin yang rela berkorban apa saja asalkan bisa melihat dirinya selamat. Linghu Chong merasa tidak tahu bagaimana harus berterima kasih kepada biksuni cantik itu.

Doa Yilin semakin lama semakin terdengar lembut. Dalam penglihatannya ia merasa benar-benar bertemu bayangan Dewi Guanyin di hadapannya. Daun pohon willow yang melambai-lambai ditiup angin membuat Linghu Chong merasa sangat nyaman. Ia juga merasa demamnya sudah banyak berkurang. Pemuda itu pun terbuai dan akhirnya jatuh tertidur pulas.

Keadaan di lembah pegunungan yang sunyi senyap tempat Linghu Chong memulihkan diri sungguh berbeda jauh dengan kediaman Liu Zhengfeng yang semakin ramai didatangi tamu. Kali ini Liu Zhengfeng menerima laporan dari para muridnya bahwa Yue Buqun ketua Perguruan Huashan telah datang pula. Buru-buru ia keluar ke halaman untuk menyambut kedatangan Si Pedang Budiman yang sangat terkenal itu. Sama sekali Liu Zhengfeng tidak menyangka kalau Yue Buqun akan datang secara langsung menyaksikan upacara pengunduran dirinya.

Yue Buqun sendiri menerima sambutan sang tuan rumah dengan tutur kata sopan santun dan penuh penghormatan. Berdampingan dengan Liu Zhengfeng, ia pun berjalan menuju pintu utama, di mana Pendeta Tianmen, Biksuni Dingyi, Yu Canghai, Tuan Wen, dan He Sanqi sudah menunggu di sana. Satu per satu mereka menyambut Yue Buqun dengan ramah tamah; dan sebaliknya, Yue Buqun pun membalas sambutan mereka dengan penuh tata krama.

Di antara para tokoh persilatan papan atas itu, hanya Yu Canghai seorang yang menyembunyikan kecurigaan. Diam-diam ia berpikir, “Liu Zhengfeng hanya seorang tokoh nomor dua di Perguruan Hengshan. Sudah pasti Yue Buqun datang kemari bukan untuk memberikan penghormatan kepadanya, melainkan untuk membuat perhitungan denganku. Huh, Serikat Pedang Lima Gunung bersatu padu melawan diriku. Tapi, Perguruan Qingcheng pantang untuk direndahkan. Jika dia mulai mendesakku, maka aku akan lebih dulu mengungkit perihal Linghu Chong yang telah tidur dengan pelacur. Dengan demikian, si tua Yue akan kehilangan muka di depan umum. Tapi, kalau dia nekad menyerangku, mau tidak mau aku harus menghadapinya dengan sekuat tenaga.”

Akan tetapi, begitu tiba giliran Yue Buqun menyapa Yu Canghai, ketua Huashan itu tetap menampilkan wajah ramah dengan sedikit membungkukkan badan. Ia berkata, “Pendeta Yu, sudah lama kita tidak bertemu. Kau terlihat jauh lebih hebat.”

Yu Canghai segera balas membungkuk dan menjawab, “Sepertinya kau juga semakin matang, Tuan Yue.”

Liu Zhengfeng lalu mendampingi tamu kehormatannya itu beserta para tokoh papan atas lainnya masuk ke dalam ruangan utama. Terlihat para tamu bercakap-cakap satu sama lain, dan sebagian dari mereka berbondong-bondong menyambut kedatangan Yue Buqun. Hari itu adalah hari pelaksanaan upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Dengan menjalani upacara tersebut, Liu Zhengfeng resmi mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sekitar satu jam menjelang tengah hari, Liu Zhengfeng masuk ke dalam untuk mempersiapkan diri, sementara urusan melayani tamu diserahkan kepada murid-muridnya yang dipimpin Xiang Danian dan Mi Weiyi.

Siang itu para tamu yang hadir bertambah lima ratus orang lagi. Di antara mereka terlihat Zhang Jin’ao, wakil ketua Partai Pengemis; Pendeta Xia dari Sanggar Zhengzhou, beserta ketiga menantunya; Nenek Tie dari Puncak Perawan Suci di daerah Szechwan; Pang Gong, pemimpin Partai Pasir Laut dari lautan timur; serta Bai Ke si Golok Sakti dan Lu Xisi si Pena Sakti, dua sekawan dari Sungai Qu. Para tamu yang memenuhi rumah Liu Zhengfeng itu ternyata hanya sedikit yang saling mengenal dan kebanyakan dari mereka hanya pernah mendengar nama saja. Maka itu, suasana pun semakin ramai karena orang-orang itu saling bercakap-cakap sambil bergelak tawa.

Pendeta Tianmen dan Biksuni Dingyi merasa risih melihat kedatangan para pendekar yang tidak jelas tersebut. Keduanya memilih berdiam diri di kursi masing-masing. Dalam hati mereka berpikir, “Tamu yang hadir di sini memang sangat banyak. Akan tetapi, tidak semuanya di antara mereka yang memiliki nama baik di dunia persilatan. Sebagian lagi adalah orang-orang yang tidak jelas. Liu Zhengfeng seorang tokoh terkemuka di Perguruan Hengshan, tapi mengapa dia suka bergaul melebihi batas? Bukankah ini bisa merendahkan Serikat Pedang Lima Gunung?”

Di lain pihak, Yue Buqun terlihat sangat ramah kepada para tamu tersebut. Tanpa pandang bulu, ketua Perguruan Huashan tersebut bercakap-cakap dengan siapa saja yang datang untuk menyapanya. Sama sekali ia tidak menunjukkan sikap angkuh sebagai seorang pemimpin perguruan ternama.

Sementara itu, murid-murid Liu Zhengfeng sudah mempersiapkan lebih dari dua ratus meja perjamuan, baik di dalam maupun di luar ruangan utama. Mereka terlihat sibuk mempersilakan para tamu untuk duduk di tempat yang sudah disediakan.

Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah kursi kehormatan. Menurut peraturan, yang seharusnya duduk di situ adalah Pendeta Tianmen yang merupakan ketua sebuah perguruan ternama dan berusia paling tua. Namun, ia merasa segan kepada Yue Buqun dan Biksuni Dingyi yang juga memiliki kedudukan penting dalam Serikat Pedang Lima Gunung. Akibatnya, ketiga tokoh tersebut saling mengalah dan saling mempersilakan untuk menduduki kursi kehormatan tersebut.

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar. Selain terdengar suara genderang dan simbal ditabuh, juga terdengar suara teriakan-teriakan meminta para hadirin agar memberi jalan. Jelas ini merupakan pertanda bahwa ada seorang pembesar kerajaan yang datang.

Liu Zhengfeng buru-buru keluar dari ruangan dalam dengan mengenakan jubah barunya. Para hadirin serentak berdiri untuk mengucapkan selamat, namun Liu Zhengfeng hanya tersenyum dan merangkap tangan sambil terus melangkah keluar. Sejenak kemudian ia masuk kembali dengan berjalan berdampingan bersama seorang pria yang berdandan seperti seorang pejabat pemerintahan. Melihat wajahnya yang pucat dan cara berjalannya yang lemah, jelas pembesar tersebut tidak menguasai ilmu silat.

Diam-diam para hadirin berpikir, “Liu Zhengfeng seorang kaya raya dan sangat terpandang di Kota Hengshan. Sudah tentu ia banyak mengenal para pejabat pemerintahan. Maka itu, tidak mengherankan kalau dalam upacaranya kali ini ada seorang pejabat yang hadir untuk memberikan selamat kepadanya.”

Pembesar kerajaan itu berjalan dengan angkuh dan kemudian berhenti tepat di tengah-tengah ruangan. Seorang pengawal lantas berlutut di hadapannya menyerahkan sebuah nampan berlapiskan sutra kuning. Segulung kertas tampak tertaruh di atas nampan tersebut. Sang pembesar segera meraih gulungan kertas itu dan berteriak dengan suara keras, “Titah Yang Mulia Kaisar, hendaklah Liu Zhengfeng menyambut dengan segera!”

Para hadirin terperanjat mendengarnya. Menurut mereka, upacara Cuci Tangan Baskom Emas hanya berkaitan dengan pengunduran diri Liu Zhengfeng dari dunia persilatan. Lantas, kenapa kini pihak pemerintah datang untuk menyampaikan titah kaisar? Mungkinkah niat Liu Zhengfeng mengundurkan diri adalah untuk mempersiapkan pemberontakan? Mungkinkah rencana itu telah terbongkar sehingga pihak pemerintah pun mengirim utusan untuk menumpas Liu Zhengfeng?

Para hadirin yang rata-rata berpikiran sama segera meraba senjata masing-masing. Mereka yakin begitu surat kaisar dibacakan, serentak para prajurit kerajaan akan mengepung kediaman Keluarga Liu. Oleh sebab itu, mereka pun bersiap-siap menghadapi pihak tersebut daripada harus mati konyol. Asalkan Liu Zhengfeng memberi aba-aba, tentu mereka segera bergerak menghabisi nyawa sang pembesar beserta para prajurit pengawalnya.

Ternyata Liu Zhengfeng terlihat tenang-tenang saja menghadapi utusan kaisar tersebut. Bahkan, ia kemudian berlutut di hadapan sang pejabat sambil berseru, “Hamba, Liu Zhengfeng, siap menerima titah Yang Mulia Kaisar!”

Para hadirin terperanjat melihat pemandangan ini.

Sang pejabat pun membuka gulungan surat di tangannya kemudian membaca dengan suara lantang, “Titah Kaisar: Berdasarkan laporan gubernur Hunan, bahwa penduduk Kota Hengshan bernama Liu Zhengfeng banyak berjasa bagi kesejahteraan rakyat, serta mahir dalam ilmu silat. Maka dengan ini, ia dianugerahi pangkat sebagai sersan. Mulai sekarang, Liu Zhengfeng dapat bertugas membaktikan diri kepada pemerintahan untuk membalas budi baik Yang Mulia Kaisar.”

Segera Liu Zhengfeng bersujud beberapa kali sambil berkata, “Terima kasih atas kemurahan hati Yang Mulia!” Ia kemudian bangun kembali dan tidak lupa memberi hormat kepada pejabat tersebut. “Terima kasih banyak atas kebaikan Pembesar Zhang,” lanjutnya.

“Selamat! Selamat!” sahut sang pembesar yang bermarga Zhang itu sambil tertawa. “Mulai sekarang Sersan Liu dan aku sama-sama pejabat pemerintahan. Kita sama-sama mengabdi kepada Yang Mulia Kaisar. Untuk itu, kau tidak perlu segan-segan lagi.”

“Hamba hanya seorang bodoh yang tidak berpengalaman. Untuk selanjutnya, hamba memohon bimbingan dan arahan dari Pembesar Zhang,” ujar Liu Zhengfeng. “Hari ini hamba menerima jabatan dari Yang Mulia Kaisar. Tentu saja ini tidak lepas dari kebaikan hati Tuan Gubernur dan Pembesar Zhang.”

“Ah, tidak juga, tidak juga,” sahut Pembesar Zhang sambil tersenyum.

Liu Zhengfeng membalas senyum, kemudian berkata kepada adik iparnya, “Adik Fang, tolong ambilkan sedikit hadiah untuk Pembesar Zhang.”

Fang Qianju menjawab, “Semua hadiah telah siap, Kakak Ipar.” Usai berkata demikian ia pun masuk ke dalam dan sejenak kemudian muncul kembali dengan membawa sebuah nampan bundar yang di atasnya terdapat bungkusan kain beludru.

Liu Zhengfeng mengambil alih nampan tersebut dan menyodorkannya kepada Pembesar Zhang sambil berkata, “Ini ada sedikit oleh-oleh, tentu tidak sebanding dengan kebaikan Pembesar Zhang kepada hamba. Mohon Pembesar Zhang sudi menerimanya.”

“Ah, kita ini sudah seperti saudara. Tidak perlu seperti ini,” jawab Pembesar Zhang sambil tertawa. Ia lantas berkedip ke arah pengawalnya. Si pengawal tanggap dan segera mengambil alih nampan tersebut dari tangan Liu Zhengfeng.

Dengan wajah berseri-seri, Pembesar Zhang berkata, “Untuk urusan dinas saya tidak boleh terlalu lama di sini. Marilah kita minum barang tiga cawan, dengan harapan semoga Sersan Liu lekas-lekas naik pangkat ke tingkatan selanjutnya.”

Para pelayan rupanya sudah mempersiapkan diri sedemikian rupa. Mereka pun menyodorkan nampan berisi sepoci arak dengan dua cawan untuk sang pembesar dan tuan rumah. Setelah masing-masing minum tiga cawan, Pembesar Zhang pun mohon diri dengan diantarkan Liu Zhengfeng sampai ke depan pintu utama rumahnya. Suara genderang dan simbal kembali berbunyi mengiringi kepergian mereka.

Peristiwa ini benar-benar di luar dugaan para hadirin yang hampir semuanya berasal dari kalangan persilatan. Tampak wajah mereka menampilkan perasaan kaget bercampur malu. Meskipun bukan pemberontak, rata-rata mereka hidup bebas dan tidak sudi mematuhi aturan kerajaan. Oleh karena itu, ketika menyaksikan Liu Zhengfeng bersujud dan merendahkan diri di hadapan seorang pejabat istana untuk menerima sebuah pangkat, mereka merasa sayang dan sangat kecewa. Sebagian dari mereka tampak memandang Liu Zhengfeng dengan penuh penghinaan. Diam-diam mereka berpikir, “Entah berapa jumlah uang yang dikeluarkan Liu Zhengfeng untuk membeli pangkat sersan tersebut? Dilihat dari bobot bungkusan di atas nampan tadi, sepertinya berisi emas murni, bukan perak. Huh, padahal dia seorang tokoh nomor dua di Perguruan Hengshan yang terkenal jujur dan murah hati. Tak disangka, ketika memasuki hari tua justru terpikat pada kedudukan sebagai pejabat kerajaan.”

Liu Zhengfeng sendiri telah kembali ke dalam ruangan utama dan mempersilakan para hadirin duduk di kursi masing-masing. Meja dan kursi di dalam ruangan tersebut tampak tersusun ke dalam tiga deretan. Deretan tengah merupakan tempat duduk golongan Serikat Pedang Lima Gunung dan beberapa perguruan ternama lainnya. Kursi utama di deretan tengah ini tetap kosong karena Pendeta Tianmen yang seharusnya duduk di sana merasa segan. Kursi utama di deretan kiri diduduki oleh Pendeta Xia dari Sanggar Zhengzhou, sementara kursi utama di deretan kanan diduduki oleh Zhang Jin’ao dari Partai Pengemis. Meskipun Zhang Jin’ao bukan seorang tokoh ternama, namun Partai Pengemis sendiri memiliki jumlah anggota yang begitu besar dan tersebar di mana-mana. Selain itu, sang ketua partai yang bernama Xie Feng juga seorang tokoh terkemuka di dunia persilatan dan memiliki kepandaian sangat tinggi. Berdasarkan itu, para hadirin merasa maklum jika Liu Zhengfeng menaruh penghormatan besar kepada partai tersebut yang kini diwakili Zhang Jin’ao.

Setelah semua hadirin duduk kembali, para pelayan muncul dengan membawa berbagai macam hidangan. Mi Weiyi tampak mengusung sebuah meja kecil dan meletakkannya di tengah ruangan, disusul kemudian Xiang Danian muncul dengan membawa sebuah baskom terbuat dari emas gemerlapan. Baskom tersebut sudah berisi air dan segera diletakkan di atas meja tersebut. Di luar rumah terdengar tiga kali bunyi petasan turut meramaikan suasana.

Liu Zhengfeng maju ke tengah ruangan sambil merangkap tangan memberi hormat kepada semua tamunya. Para hadirin segera bangkit untuk membalas hormat. Sejenak kemudian, Liu Zhengfeng pun menyampaikan pidato sambutannya. “Para hadirin sekalian, saudara-saudaraku dari berbagai perguruan. Sungguh aku merasa sangat berterima kasih atas kesediaan kalian mengunjungi kediamanku ini. Hari ini aku mengadakan upacara Cuci Tangan Baskom Emas dan untuk selanjutnya tidak lagi berurusan dengan dunia persilatan. Dalam hal ini Saudara-Saudara tentu sudah tahu apa alasanku. Aku baru saja diangkat sebagai pejabat kerajaan sebagaimana yang kalian saksikan tadi. Sebagai seorang pejabat, aku wajib taat dan patuh terhadap peraturan pemerintah. Sebaliknya, orang-orang dunia persilatan pada umumnya lebih mementingkan persaudaraan dan setiakawan. Apabila terjadi suatu perselisihan tentu aku akan sulit untuk menegakkan keadilan. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan mulai saat ini. Apabila murid-muridku ingin masuk ke perguruan lain, aku persilakan dengan tulus. Kelak jika Saudara-Saudara berkunjung ke kota Hengshan ini, akan tetap kusambut sebagai seorang sahabat. Tapi mengenai urusan dunia persilatan, sama sekali aku tidak mau ikut campur lagi.” Usai berkata demikian, ia kembali memberi hormat kepada tamu-tamunya.

Para hadirin bertanya-tanya di dalam hati mengenai keputusan Liu Zhengfeng tersebut. Ada sebagian yang berpikir, “Jika dia ingin menjadi pejabat istana, apa hendak dikata? Setiap orang punya cita-cita sendiri. Biarlah dunia persilatan kehilangan manusia serakah seperti dia. Masa bodoh dengan urusannya.”

Ada pula yang berpikir, “Huh, Liu Zhengfeng benar-benar membuat malu perguruannya. Pantas saja Tuan Besar Mo selaku ketua Perguruan Hengshan tidak sudi menghadiri acara ini. Rasanya tidak hanya Perguruan Hengshan saja yang dirugikan, bahkan seluruh anggota Serikat Pedang Lima Gunung juga merasa direndahkan martabatnya.”

“Serikat Pedang Lima Gunung sangat menjaga kehormatan dan tata krama. Aku yakin, mereka tidak setuju dan merasa sangat diredahkan oleh perbuatan Liu Zhengfeng ini. Namun demi menjaga hubungan baik, mereka memilih diam tidak bersuara.”

Namun ada pula yang berpikir demikian, “Siapa bilang Serikat Pedang Lima Gunung selalu menjaga kehormatan? Liu Zhengfeng telah berlutut dan bersujud demi untuk menerima pangkat kerajaan. Apakah ini yang disebut dengan kehormatan?”

Begitulah, karena setiap orang tenggelam dalam pikiran masing-masing, maka suasana di ruangan tersebut menjadi sunyi senyap. Menanggapi pengangkatan Liu Zhengfeng tadi seharusnya mereka mengucapkan pujian dan selamat. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya; sama sekali tidak ada yang terlihat membuka suara.

Liu Zhengfeng sendiri tidak begitu peduli terhadap sikap tamu-tamunya. Ia lalu menghadap keluar seolah-olah hendak berbicara kepada para leluhur yang telah tiada. Sesaat kemudian ia pun berseru lantang, “Saya, Liu Zhengfeng, berterima kasih terhadap semua budi baik Guru. Selama ini saya tidak pernah berjasa dalam mengembangkan nama besar Perguruan Hengshan. Syukurlah, saat ini perguruan berada di bawah pimpinan Kakak Mo yang bijaksana dan berilmu tinggi. Sehingga, Liu Zhengfeng ada atau tiada juga tidak akan berpengaruh apa-apa. Mulai saat ini Liu Zhengfeng menyatakan cuci tangan dan melepaskan diri dari pergaulan dunia persilatan. Selanjutnya, saya hanya mencurahkan tenaga dan pikiran untuk jabatan yang baru saja saya terima. Apabila suatu hari nanti saya berani melanggar sumpah, biarlah nasib saya serupa dengan pedang ini.”

Berkata sampai di sini, Liu Zhengfeng melolos pedang pusakanya dan dengan sekali tekan, pedang itu patah menjadi dua. Kedua potongan tersebut dibuangnya dan langsung menancap di lantai.

Melihat pemandangan ini, para hadirin kembali terkejut. Untuk para tamu yang berilmu tinggi jelas menancapkan potongan pedang di lantai bukan pekerjaan sulit. Namun, mematahkan pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan jelas membutuhkan tenaga dalam yang sangat tinggi. Ini menunjukkan betapa Liu Zhengfeng telah mencapai tingkatan tinggi dalam pelajaran ilmu silatnya.

“Sungguh sayang!” ujar Tuan Wen sambil menghela napas panjang. Para hadirin lainnya memahami, bahwa Tuan Wen bukan menyayangkan pedang pusaka yang telah patah menjadi dua tersebut, namun menyayangkan betapa seorang tokoh terkemuka berilmu tinggi harus mengundurkan diri dan menjadi abdi kaisar.

Sambil tersenyum kepada para hadirin, Liu Zhengfeng menyingsingkan lengan bajunya dan bersiap mencelupkan kedua tangannya ke dalam air dalam baskom emas. Namun tiba-tiba dari luar terdengar suara teriakan keras, “Tunggu dulu!”

Liu Zhengfeng dan segenap hadirin terkejut seketika. Mereka menoleh ke arah pintu dan melihat empat orang berseragam kuning masuk dan langsung berdiri di samping kiri dan kanan ruangan. Menyusul kemudian masuk lagi seorang bertubuh tegap yang mengangkat tinggi-tinggi sebuah bendera kecil berwarna lima macam. Bendera itu tampak indah gemerlapan karena dihiasi mutiara dan untaian batu permata.

Sebagian para hadirin terperanjat kaget melihat bendera itu. Terdengar mereka berbisik-bisik satu sama lain, “Bendera kecil itu adalah Panji Pancawarna, lambang ketua Serikat Pedang Lima Gunung.”

Si pembawa panji berjalan angkuh ke tengah ruangan dan kemudian berhenti tepat di hadapan Liu Zhengfeng. Ia lantas mengangkat kembali panji itu tinggi-tinggi dan berkata dengan suara lantang, “Kami membawa perintah Ketua Zuo, pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung, supaya Paman Liu menunda pelaksanaan upacara Cuci Tangan Baskom Emas untuk sementara waktu.”

Liu Zhengfeng terkejut. Dengan berusaha tetap tenang ia membungkuk di hadapan Panji Pancawarna sambil menjawab, “Jika itu yang menjadi perintah Ketua Serikat, aku siap menuruti. Tapi kalau boleh tahu, ada maksud apa hingga Ketua Serikat menyampaikan perintah seperti ini?”

Si pembawa panji menyahut, “Kami hanya menyampaikan perintah Ketua Serikat. Kedudukan kami rendah sehingga tidak berhak mengetahui maksud dan tujuan Ketua Serikat. Mohon Paman Liu sudi memaafkan.”

“Ah, kau terlalu merendahkan diri,” ujar Liu Zhengfeng. “Kalau tidak salah, kau ini Keponakan Shi alias Si Pohon Cemara Seribu Depa, bukan?”

Meskipun bibirnya tetap tersenyum, namun suara Liu Zhengfeng terdengar agak gemetar. Bagaimanapun juga ia sangat terkejut karena perubahan keadaan yang sangat tiba-tiba ini.

Si pembawa panji diam-diam merasa bangga karena sang tuan rumah ternyata mengenali julukannya. Ia pun menjawab, “Paman Liu benar. Saya Shi Dengda, murid Perguruan Songshan, menyampaikan sembah hormat kepada Paman Liu.”

Setelah itu, Shi Dengda lantas memberi salam kepada Pendeta Tianmen, Yue Buqun, Biksuni Dingyi, serta tokoh-tokoh papan atas lainnya. Serentak keempat rekannya yang berdiri di kanan-kiri pintu juga melakukan hal yang sama.

Biksuni Dingyi membalas salam kemudian berkata, “Kalian dikirim oleh Ketua Zuo untuk merintangi upacara Cuci Tangan Adik Liu, kurasa hal itu memang sangat tepat.” Ia merasa telah datang kesempatan untuk mengutarakan isi hatinya. “Aku berpendapat kaum persilatan seperti kita lebih suka hidup bebas dengan mengutamakan persaudaraan dan kesetiakawanan, bukannya tunduk di hadapan pembesar kerajaan. Namun Adik Liu tentu tidak sudi mendengarkan saran dari biksuni tua seperti diriku, sehingga sejak tadi aku memilih diam tidak bersuara.”

Liu Zhengfeng menanggapi dengan wajah serius, “Sejak dulu kelima perguruan telah mengikat persaudaraan di dalam Serikat Pedang Lima Gunung. Kita bersama-sama telah sepakat untuk saling bahu-membahu menegakkan kebenaran dan keadilan. Bila terjadi sesuatu yang menyangkut kelima perguruan, kita semua wajib tunduk kepada perintah Ketua Serikat. Panji Pancawarna adalah lambang kelima perguruan kita. Melihat panji pusaka ini sama seperti melihat Ketua Serikat.”

Setelah diam sejenak, ia melanjutkan, “Upacara Cuci Tangan Baskom Emas hari ini adalah urusan pribadiku, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan perserikatan kita. Para sahabat yang hadir di sini bisa menjadi saksi. Oleh karena itu, Panji Pancawarna tidak berlaku untuk membatasi kehendakku. Harap Keponakan Shi menyampaikan permintaan maafku kepada gurumu yang terhormat. Semoga Ketua Zuo dapat memakluminya.”

Usai berkata demikian Liu Zhengfeng melangkah maju mendekati baskom emas di atas meja dan berniat mencelupkan kedua tangannya. Namun, Shi Dengda segera melompat untuk merintangi.

“Paman Liu, guruku telah memberi perintah supaya Paman menunda upacara Cuci Tangan Baskom Emas ini,” ujar Shi Dengda. “Guru berkata bahwa Serikat Pedang Lima Gunung senapas seirama. Maksud Guru mengirimkan Panji Pancawarna semata-mata untuk menjaga persatuan serikat kita, serta menegakkan kebenaran dan keadilan di dunia persilatan. Ini semua juga demi kebaikan Paman Liu sendiri.” Usai berkata demikian ia kembali mengangkat tinggi-tinggi Panji Pancawarna di udara.

Liu Zhengfeng terlihat heran. Ia pun berkata, “Aku benar-benar tidak mengerti. Rencana pengunduran diriku sudah kusampaikan jauh-jauh sebelumnya. Kalau Kakak Zuo memang bermaksud baik, mengapa tidak dari kemarin-kemarin dia menasihati aku? Mengapa baru sekarang ia mengirim Panji Pancawarna pada saat aku menjamu para tamuku? Bukankah ini sama saja dengan membuatku malu di depan banyak pendekar dan kesatria? Jika hari ini aku harus menarik ucapanku, tentu aku akan menjadi bahan tertawaan di dunia persilatan.”

Shi Dengda menjawab, “Guru kami sering memuji Paman Liu sebagai seorang tokoh persilatan yang sangat dihormati banyak orang. Nama besar Paman Liu terkenal di mana-mana, sehingga kami dipesan untuk selalu bersikap sopan kepada Paman. Jika sampai melanggar hal ini, tentu kami akan mendapat hukuman setimpal dari Guru. Mengingat nama besar Paman Liu di dunia persilatan, kami yakin tidak seorang pun berani memandang rendah terhadap Paman jika menuruti perintah ini.”

“Ah, itu hanya pujian Kakak Zuo belaka,” ujar Liu Zhengfeng sambil tertawa. “Mana mungkin aku memiliki kehormatan sebesar itu?”

Melihat perdebatan yang bertele-tele itu Biksuni Dingyi tidak sabar dan ikut bicara, “Adik Liu, mengenai upacaramu ini bagaimana kalau ditunda dulu untuk sementara waktu? Semua yang hadir di sini adalah kawan-kawan kita sendiri. Jadi, siapa orangnya yang berani menertawakanmu? Andaikan ada satu-dua orang yang berani mengolok-olok dirimu, biar aku yang akan membereskannya.” Dengan tatapan galak ia lantas menyapu para hadirin dari ujung kiri sampai ke ujung kanan ruangan.

“Baiklah kalau Kakak Dingyi berpendapat demikian,” jawab Liu Zhengfeng. “Upacara ini aku tunda sampai esok hari. Saudara-saudara sekalian bisa menginap di sini. Biar kami berunding dahulu dengan para keponakan dari Perguruan Songshan ini.”

Tiba-tiba dari arah belakang rumah terdengar suara seorang gadis kecil berseru, “Hei, jangan mengganggu! Terserah diriku ingin bermain dengan siapa. Kenapa kau harus ikut campur?”

Para hadirin sangat terkejut karena mereka sama sekali belum lupa bahwa itu adalah suara Qu Feiyan, gadis kecil yang kemarin telah mempermainkan Yu Canghai di depan umum.

Sejenak kemudian terdengar suara seorang laki-laki berseru, “Kau duduk di sini saja dulu! Tidak boleh sembarangan bergerak atau berteriak! Setelah semuanya beres, baru kau kubiarkan pergi.”

“Aneh sekali! Memangnya ini rumahmu?” sahut Qu Feiyan. “Aku mau pergi mencari kupu-kupu bersama Kakak Liu, mengapa kau berani menghalangi?”

Laki-laki itu menjawab, “Kalau kau mau pergi silakan pergi sendiri! Tapi Nona Liu harus tetap menunggu di sini, tidak boleh ke mana-mana!”

Qu Feiyan menyahut, “Huh, kau sudah membuat Kakak Liu muak. Lebih baik kalian saja yang pergi dari sini!”

Rupanya yang dimaksud dengan “Kakak Liu” atau “Nona Liu” adalah anak perempuan Liu Zhengfeng. Terdengar suara gadis itu berkata, “Adik Qu, kau jangan pedulikan dia. Lebih baik kita pergi sekarang saja.”

Tapi mendadak terdengar si laki-laki membentak, “Nona Liu, kau lebih baik menunggu di sini saja! Jangan sembarangan bergerak!”

Liu Zhengfeng menjadi gusar mendengar percakapan tersebut. Dalam hati ia berpikir, “Siapa bangsat itu? Kenapa dia berani kurang ajar di rumahku sendiri? Berani sekali dia mengancam Jing’er.”

Murid nomor dua Liu Zhengfeng, yaitu Mi Weiyi bergegas menuju ke ruang belakang. Di sana ia melihat Liu Jing, putri gurunya, bergandengan tangan dengan Qu Feiyan. Di hadapan kedua gadis kecil itu berdiri seorang laki-laki berbaju kuning sedang merentangkan kedua lengannya seolah mencegah mereka pergi menuju pintu keluar.

Melihat seragam yang dipakai orang itu, Mi Weiyi segera berdehem dan menyapa, “Saudara tentu berasal dari Perguruan Songshan, bukan? Mengapa tidak duduk di ruang utama saja bersama para tamu lainnya?”

Orang itu menoleh dan menjawab, “Terima kasih atas undanganmu. Tapi Ketua Serikat telah memberi perintah supaya kami mengawasi semua anggota Keluarga Liu jangan sampai ada seorang pun yang lolos.”

Suara murid Songshan tersebut tidak terlalu keras namun terdengar dengan jelas sampai ke ruang utama. Seketika para hadirin terkejut dibuatnya.

Liu Zhengfeng menjadi gusar dan bertanya, “Keponakan Shi, ada apa ini sebenarnya?”

Shi Dengda segera berseru kepada saudaranya yang berada di ruang belakang itu, “Adik Wan, kau boleh kemari. Paman Liu sudah sepakat menunda upacara.”

“Ya, memang seharusnya begitu,” sahut si marga Wan sambil kemudian berjalan menuju ruang utama. Sesampainya di hadapan Liu Zhengfeng, ia segera membungkuk memberi hormat, “Wan Daping dari Perguruan Songshan menyampaikan salam hormat kepada Paman Liu.”

Liu Zhengfeng gemetar menahan gusar. Ia pun berteriak keras, “Ada berapa banyak murid Perguruan Songshan yang datang kemari? Lebih baik kalian keluar semua!”

Menanggapi seruan sang tuan rumah, puluhan orang pun muncul dari berbagai penjuru. Ada yang muncul di atap rumah, ada yang muncul di pintu masuk, ada yang muncul di pintu belakang, ada pula yang muncul dari samping rumah. Dari tempat masing-masing mereka serentak mengucapkan salam kepada Liu Zhengfeng, “Murid-murid Songshan menyampaikan salam kepada Paman Liu!”

Suara salam yang mereka ucapkan membuat rumah Liu Zhengfeng yang megah terasa bergetar. Puluhan murid Songshan itu ada yang memakai seragam kuning, ada pula yang sejak tadi menyamar dan menyusup di antara para tamu.

Biksuni Dingyi ikut merasa gusar. Dengan suara keras ia pun berseru, “Apa-apaan ini semua? Ini keterlaluan! Sungguh penghinaan... sungguh penghinaan!”

“Maafkan kami, Bibi Biksuni!” ujar Shi Dengda. “Tapi bagaimanapun juga guru kami telah memerintahkan supaya kami mencegah Paman Liu melangsungkan upacara Cuci Tangan ini. Kami khawatir Paman Liu tidak mau menuruti perintah guru kami. Oleh sebab itu, kami terpaksa melakukan tindakan-tindakan yang kurang pantas.”

Pada saat itu pula dari ruang belakang muncul sejumlah orang yang tidak lain adalah istri, anak-anak, dan tujuh orang murid Liu Zhengfeng. Disusul kemudian terlihat murid-murid Perguruan Songshan menodongkan pedang di punggung mereka.

Liu Zhengfeng terperanjat melihat perbuatan murid-murid Songshan tersebut. Namun ia tetap berusaha tegar dan berteriak dengan suara lantang, “Para hadirin sekalian, bukannya aku ini keras kepala dan menentang Ketua Serikat. Namun Kakak Zuo telah mengirim murid-muridnya untuk mengancam diriku sedemikian rupa. Jika Liu Zhengfeng tunduk di bawah kekerasan, akan ditaruh ke mana lagi mukaku ini? Kakak Zuo melarangku melangsungkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas, huh, kepalaku boleh dipenggal, tapi cita-citaku tidak boleh dipatahkan!”

Usai berkata demikian, Liu Zhengfeng bersiap mencelupkan kedua tangannya ke dalam baskom emas di atas meja. Melihat itu Shi Dengda berseru, “Tunggu dulu!”

Murid Songshan tersebut mengibaskan Panji Pancawarna untuk menghalangi Liu Zhengfeng. Namun Liu Zhengfeng dengan sigap mencolokkan kedua jarinya ke arah mata Shi Dengda. Buru-buru Shi Dengda menangkis serangan tersebut. Namun secepat kilat tangan Liu Zhengfeng yang lain ikut menyerang, sehingga lawannya itu terpaksa melangkah mundur.

Kesempatan tersebut segera dimanfaatkan Liu Zhengfeng untuk melanjutkan niatnya. Namun belum sampai kedua tangannya mencapai air di dalam baskom, tiba-tiba dua orang murid Songshan lainnya menerjang maju. Tanpa menoleh, Liu Zhengfeng berhasil mendepak dada salah seorang dengan kaki kiri dan menangkap lengan seorang lainnya dengan tangan kanan. Dengan cepat ia mengangkat tubuh murid Songshan tersebut dan melemparkannya ke arah Shi Dengda. Gerakan Liu Zhengfeng tersebut berlangsung sangat cepat dan juga mengenai sasaran dengan tepat. Seorang ahli silat yang biasanya bersikap lembut dan berdandan mewah itu kini telah memperlihatkan kepandaiannya di depan umum.

Melihat ketangkasan Liu Zhengfeng, murid-murid Songshan yang berjumlah puluhan tersebut mau tidak mau merasa gentar juga. Salah seorang yang menodong putra Liu Zhengfeng berteriak, “Paman Liu, jika kau tidak mengurungkan niatmu, maka aku terpaksa membunuh putramu ini.”

Liu Zhengfeng menoleh. Tampak pedang murid Songshan tersebut sudah menempel di leher putra sulungnya. Ia pun berseru, “Para hadirin yang terhormat, kalian semua menjadi saksi. Jika ada yang berani menyentuh seujung rambut putraku, maka semua murid Perguruan Songshan yang ada di sini akan aku cincang habis mayat-mayatnya.”

Murid-murid Songshan semakin gentar karena para hadirin mulai memandang mereka dengan tatapan curiga. Jika mereka benar-benar membunuh putra Liu Zhengfeng, tentu para hadirin dan murid-murid Hengshan akan langsung bertindak menyerbu.

Tanpa banyak bicara lagi, Liu Zhengfeng pun melangkah maju mendekati baskom emas untuk melanjutkan niatnya. Akan tetapi di luar dugaan, tiba-tiba melesat sebuah senjata rahasia yang memancarkan sinar perak menyilaukan. Liu Zhengfeng dengan gesit melompat mundur. Senjata rahasia tersebut menghantam tepi baskom emas hingga menimbulkan suara nyaring.

Si pelempar senjata rahasia jelas memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Baskom emas tersebut sampai jatuh ke bawah. Air bersih di dalamnya tumpah menggenangi lantai. Menyusul kemudian orang itu muncul dan langsung menginjak baskom tersebut sampai tergencet pipih.

Si pelempar senjata rahasia ternyata seorang pria berseragam kuning dan berusia empat puluhan. Tubuhnya kurus dengan kumis tipis menghiasi kedua ujung bibirnya, kiri dan kanan. Dengan merangkap kedua tangan ia mengucapkan salam kepada Liu Zhengfeng, “Kakak Liu, atas perintah Kakak Zuo, kau dilarang melanjutkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas ini.”

Liu Zhengfeng mengenal laki-laki kurus itu bernama Fei Bin. Ia merupakan adik seperguruan nomor empat dari Zuo Lengchan yang dijuluki Si Tapak Songyang Besar. Adapun Zuo Lengchan merupakan ketua Perguruan Songshan sekaligus pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung.

Liu Zhengfeng mengeluh dalam hati. Rupanya Zuo Lengchan benar-benar ingin menggagalkan upacara Cuci Tangan yang hendak dilangsungkannya. Bahkan, yang dikirim kali ini bukan hanya murid-muridnya, tapi juga adik seperguruannya yang memiliki kepandaian tinggi. Melihat baskom emas sudah rusak, maka pilihan pun tinggal dua; bertempur habis-habisan atau menyerah kalah dan menerima segala penghinaan.

Diam-diam Liu Zhengfeng berpikir, “Perguruan Songshan telah terpilih menjadi pimpinan Serikat Pedang Lima Gunung, namun cara mereka menekan orang sungguh keterlaluan. Para hadirin yang ada di sini apakah tidak ada yang berani untuk maju menentang ketidakadilan ini?”

Dengan menahan gusar, Liu Zhengfeng membalas hormat dan berkata, “Jauh-jauh Adik Fei datang kemari bukannya ikut minum bersama kami barang secawan, tapi malah berdiri di luar merasakan teriknya matahari. Mungkin selain Adik Fei juga ada tokoh-tokoh hebat Perguruan Songshan lainnya yang juga berada di sini. Kalau hanya menghadapi si marga Liu ini, rasanya Adik Fei saja sudah cukup. Tapi untuk menghadapi semua hadirin di tempat ini, mungkin kawan-kawan dari Perguruan Songshan yang datang masih kurang jumlahnya.”

Fei Bin tersenyum dan berkata, “Kakak Liu, kau tidak perlu mencoba mengadu domba kami dengan para kesatria yang hadir di sini. Untuk menghadapi Kakak Liu seorang diri, ilmuku masih terlalu rendah. Tidak mungkin aku sanggup bertahan menghadapi Jurus Pedang Menjatuhkan Belibis yang sangat ampuh darimu. Perguruan Songshan sama sekali tidak berani membuat masalah dengan Perguruan Hengshan, apalagi melawan para hadirin sekalian. Kedatangan kami kemari semata-mata untuk membatalkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas yang hendak kau langsungkan, karena itu menyangkut keselamatan ribuan nyawa orang-orang dunia persilatan.”

Para hadirin terkejut mendengar ucapan Fei Bin. Mereka heran mengapa upacara tersebut jika diteruskan bisa membahayakan keselamatan banyak orang.

“Benar sekali,” sahut Biksuni Dingyi ikut berbicara. “Soal Adik Liu ingin menjadi pembesar kerajaan itu urusan pribadinya. Sebenarnya aku malu ikut bicara. Tapi, perlu kukatakan kalau setiap orang punya cita-cita. Adik Liu ingin menjadi pejabat dan menumpuk kekayaan, ya silakan saja. Yang penting, dia tidak merugikan rakyat kecil dan merusak kesetiakawanan kaum persilatan. Aku rasa keputusannya ini tidak terlalu membahayakan keselamatan banyak orang.”

“Biksuni Dingyi,” ujar Fei Bin menukas, “kau ini seorang pemuka agama, sudah tentu kurang memahami tipu muslihat seperti ini. Asal kau tahu, jika intrik besar seperti ini sampai berkelanjutan, bukan hanya kawan-kawan persilatan saja yang menjadi korban, tapi juga rakyat jelata yang tidak berdosa akan ikut mengalami bencana besar. Coba pikir, seorang tokoh ternama dari Perguruan Hengshan sudi merendahkan diri di hadapan para pembesar kerajaan yang serakah dan korup. Hm, Kakak Liu sudah kaya raya, tapi mengapa masih menginginkan jabatan di kerajaan? Apalagi pangkat yang diperolehnya sangat rendah, tentu hal ini membuat kami curiga. Jangan-jangan ada rencana lain di balik itu semua.”

Para hadirin terkesiap mendengar penuturan Fei Bin. Sejak awal masing-masing juga merasa curiga mengapa seorang terpandang dan kaya raya seperti Liu Zhengfeng bersedia menerima pangkat rendah di pemerintahan? Namun demikian, tidak seorang pun sejak tadi yang berani membuka suara.

“Adik Fei, kalau kau ingin memfitnahku, tolong cari alasan yang lebih masuk akal,” ujar Liu Zhengfeng sambil tertawa. Ia benar-benar seorang yang pandai mengendalikan amarah. “Nah, saudara-saudara dari Songshan lainnya silakan keluar untuk ikut bergabung di sini.”

“Baik!” sahut dua orang bersamaan, masing-masing dari arah atap rumah sebelah barat dan timur. Sekejap kemudian kedua orang itu sudah melompat turun dan berdiri di samping Fei Bin. Ilmu meringankan tubuh mereka sama persis dengan yang diperlihatkan Fei Bin beberapa saat sebelumnya. Jelas keduanya merupakan tokoh-tokoh terkemuka dari Perguruan Songshan pula.

Sebagian dari para hadirin rupanya mengenali kedua orang yang baru muncul tersebut. Yang berdiri di sebelah timur Fei Bin seorang laki-laki berbadan gemuk dan tinggi besar. Ia adalah adik seperguruan nomor dua Zuo Lengchan yang bernama Ding Mian, alias Si Tapak Penahan Menara. Sementara itu, yang berdiri di sebelah barat adalah laki-laki bertubuh kurus kering. Ia merupakan adik seperguruan nomor tiga yang bernama Lu Bai, alias Si Tapak Bangau. Keduanya langsung merangkap tangan dan memberi hormat kepada Liu Zhengfeng.

Melihat kembali muncul dua tokoh papan atas Perguruan Songshan, para hadirin serentak berdiri untuk memberi hormat. Sebaliknya, Liu Zhengfeng merasa semakin terdesak.

“Adik Liu, kau jangan khawatir,” sahut Biksuni Dingyi. “Semua urusan di dunia ini tidak dapat mengalahkan yang namanya ‘Kebenaran’. Janganlah kau takut pada ketidakadilan dan penindasan. Meskipun mereka mengepungmu dengan jumlah besar, namun kami dari Perguruan Taishan, Huashan, dan Henshan tentu tidak akan tinggal diam begitu saja. Apa kau pikir kami datang kemari hanya untuk makan tanpa peduli atas kesulitanmu?”

Liu Zhengfeng tersenyum getir dan berkata, “Terima kasih, Kakak Biksuni. Sungguh sangat memalukan kalau urusan ini sampai kuceritakan pada banyak orang. Sebenarnya ini hanyalah urusan rumah tangga perguruan kami sendiri. Para hadirin terpaksa ikut mendengarkan cerita yang seharusnya kami sembunyikan rapat-rapat.” Setelah terdiam sejenak dan memandangi para tamunya, ia pun melanjutkan, “Sebenarnya hubunganku dengan Kakak Mo kurang baik. Jangan-jangan, Kakak Mo telah mengadu kepada Ketua Zuo tentang keburukan-keburukanku, sehingga saudara-saudara dari Perguruan Songshan terpaksa datang kemari untuk menggagalkan upacara Cuci Tangan ini. Ini memang kesalahanku yang kurang menghargai kakak seperguruan. Baiklah, aku mengaku salah dan bersedia meminta maaf kepada Kakak Mo.”

Fei Bin memandang tajam kepada para hadirin. Sorot matanya yang berkilat-kilat menunjukkan betapa pria bertubuh kurus ini memiliki tenaga dalam yang begitu hebat. Sejenak kemudian, pandangannya kembali kepada sang tuan rumah dan ia pun berkata, “Kau bilang urusan ini ada sangkut-pautnya dengan Tuan Besar Mo? Jika benar demikian, silakan Tuan Besar Mo menunjukkan diri supaya kita bisa bicara baik-baik.”

Suasana di ruang utama itu mendadak sunyi senyap. Para hadirin berdebar-debar menunggu kemunculan Tuan Besar Mo alias Si Malam Hujan di Xiaoxiang. Akan tetapi, ketua Perguruan Hengshan itu tidak juga terlihat datang.

Dengan tersenyum getir Liu Zhengfeng berkata, “Pertengkaran kami ini sebenarnya sudah diketahui banyak orang di dunia persilatan. Maka itu, rasanya tidak perlu kurahasiakan lagi. Para hadirin tentu mengetahui kalau aku cukup beruntung karena terlahir di keluarga yang kaya raya. Warisan yang kudapatkan dari leluhurku juga melimpah ruah. Sebaliknya, Kakak Mo berasal dari keluarga miskin. Sebagai seorang saudara, sudah tentu aku siap membantu keuangan Kakak Mo kapan saja. Namun Kakak Mo sudah terlanjur iri kepadaku. Kami tidak pernah bertemu dan berbicara dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, sudah beberapa tahun ini Kakak Mo tidak sudi menginjakkan kaki di rumahku. Jadi, jangan diharapkan kalau dia juga hadir dalam upacara Cuci Tangan Baskom Emas kali ini. Namun yang membuatku sangat heran mengapa Ketua Zuo hanya percaya pada pengaduan sepihak saja, sampai-sampai mengirimkan saudara-saudara dari Perguruan Songshan untuk menawan anak dan istriku di hadapan para tamu? Bukankah... bukankah ini sudah keterlaluan?”

Fei Bin menoleh ke arah Shi Dengda dan berseru, “Angkat panjimu!”

“Baik!” jawab si keponakan sambil mengangkat Panji Pancawarna di samping Fei Bin.

“Kakak Liu,” sahut Fei Bin dengan penuh wibawa, “urusan ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Tuan Besar Mo. Jadi, kau tidak perlu mencemarkan nama baiknya. Kami hanya diperintah Ketua Zuo untuk menyelidiki persekongkolanmu dengan Dongfang Bubai, pemimpin aliran sesat. Sebenarnya ada intrik apa di antara kalian berdua? Apakah kalian merencanakan kehancuran Serikat Pedang Lima Gunung atau saudara-saudara aliran lurus lainnya?”

Ucapan Fei Bin ini sangat mengejutkan semua hadirin yang mendengarnya. Bahkan, ada beberapa di antara mereka yang berseru kaget. Maklum saja, aliran sesat yang konon menyebarkan agama pemuja iblis itu adalah musuh besar para kesatria dan pendekar dari golongan lurus. Permusuhan tersebut sudah berlangsung selama ratusan tahun. Banyak sekali jatuh korban di antara kedua pihak. Tidak sedikit dari para tamu yang datang di rumah Liu Zhengfeng tersebut yang telah kehilangan orang tua, saudara, guru, atau sahabat mereka akibat keganasan kaum aliran sesat. Setiap kali istilah aliran sesat diucapkan, selalu saja mengundang kebencian dan kutukan dari siapa saja yang mendengarnya.

Sebenarnya tujuan Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, Huashan, dan Henshan membentuk Serikat Pedang Lima Gunung semata-mata adalah untuk menghadapi kekuatan aliran sesat tersebut. Meskipun demikian, jumlah pengikut aliran sesat terlalu banyak dan ilmu silat mereka juga sangat tinggi serta beraneka ragam. Lebih-lebih sang pemimpin yang bernama Dongfang Bubai bahkan dijuluki sebagai orang nomor satu di dunia persilatan abad ini. Sejak menjadi ketua aliran sesat, orang ini belum pernah kalah bertanding melawan siapa pun juga, dan ini sesuai dengan namanya, yaitu ‘Bubai’ yang berarti ‘tak terkalahkan’.

Maka, begitu Fei Bin menyebut adanya persekongkolan antara Liu Zhengfeng dengan Dongfang Bubai, para hadirin menjadi ikut curiga. Meskipun tuduhan itu belum tentu benar, namun rasa simpati mereka terhadap Liu Zhengfeng langsung berkurang seketika.

Menanggapi tuduhan tersebut Liu Zhengfeng menjawab, “Seumur hidup aku belum pernah bertemu Dongfang Bubai, apalagi mengenal dirinya. Atas dasar apa Adik Fei melemparkan tuduhan keji seperti itu?”

Fei Bin tidak menjawab. Ia hanya melirik kepada Lu Bai. Kakak seperguruannya itu pun maju dan berkata, “Saudara Liu, apa yang kau katakan itu sungguh jauh dari kenyataan. Di dalam aliran sesat ada seorang Tetua Pelindung Agama yang bernama Qu Yang. Aku yakin Saudara Liu pasti mengenalnya, benar demikian?”

Sejak tadi Liu Zhengfeng selalu bersikap tenang. Tapi begitu mendengar nama ‘Qu Yang’ disebut, seketika wajahnya langsung berubah menampilkan perasaan heran dan terkejut. Mulutnya tampak tertutup rapat dan diam seribu bahasa.

Si gemuk Ding Mian ikut berseru, “Apa kau mengenal Qu Yang?” Sejak tadi ia hanya diam menyaksikan tanya jawab antara Fei Bin dan Liu Zhengfeng. Namun begitu berbicara langsung membentak dengan kasar dan suaranya terdengar menggelegar laksana halilintar. Beberapa di antara para hadirin tidak bisa menyembunyikan perasaan gentar mereka. Dengan membentak seperti itu, tubuh Ding Mian terlihat semakin besar seperti raksasa.

Liu Zhengfeng sendiri tetap diam tanpa bersuara sepatah kata pun. Pandangan para hadirin serentak tertuju kepadanya. Sikapnya yang bungkam itu membuat para tamu merasa curiga, jangan-jangan apa yang dituduhkan pihak Perguruan Songshan adalah benar.

Selang agak lama akhirnya Liu Zhengfeng mengangguk-angguk dan berkata, “Benar sekali, Kakak Qu Yang memang kenalanku. Bahkan, kami bukan hanya sekadar kenal, tetapi sudah menjadi sahabat baik. Kakak Qu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki di dunia ini.”

Seketika suasana menjadi gempar. Tadinya Para hadirin menduga Liu Zhengfeng berusaha memikirkan cara untuk membantah tuduhan tersebut. Mereka juga mengira kalau dirinya dan Qu Yang hanya sekadar kenal atau pernah bertemu sekali-dua kali. Tidak disangka, dengan penuh keberanian Liu Zhengfeng mengakui gembong aliran sesat itu sebagai sahabat karibnya.

Fei Bin tersenyum dan berkata, “Bagus sekali, bagus sekali! Laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Nah, Liu Zhengfeng, Ketua Zuo telah memberimu dua pilihan. Terserah dirimu untuk memilih jalan yang mana.”

Liu Zhengfeng sendiri tetap terlihat tenang. Perlahan-lahan ia duduk di kursi seolah tidak peduli dengan tawaran Fei Bin sedikit pun. Tangannya kemudian bergerak menuang secawan arak dan pelan-pelan meminumnya dalam sekali teguk. Para hadirn mengamati tangan dan lengan baju Liu Zhengfeng yang sama sekali tidak bergetar, pertanda ia memang seorang yang sangat ahli dalam menahan amarah. Menyaksikan itu semua diam-diam para hadirin merasa kagum dan memuji ketenangan tokoh nomor dua Perguruan Hengshan tersebut dalam mengendalikan diri.

Fei Bin kembali berseru lantang, “Ketua Zuo berkata bahwa Liu Zhengfeng seorang tokoh istimewa yang memiliki kepandaian luar biasa di dalam Perguruan Hengshan. Hanya karena sedikit khilaf ia bergaul dengan orang jahat. Sebagai sesama anggota golongan putih dalam dunia persilatan, sudah tentu Ketua Zuo memberi Liu Zhengfeng kesempatan untuk memperbaiki diri. Jika Liu Zhengfeng setuju dengan jalan ini, maka dalam waktu sebulan yang akan datang ia harus bisa membawakan kepala gembong aliran sesat bernama Qu Yang. Dengan demikian, semua kesalahan Liu Zhengfeng tidak akan diungkit-ungkit lagi, dan kita masih tetap bersaudara dalam Serikat Pedang Lima Gunung.”

Para hadirin merasa persyaratan tersebut tidak terlalu berlebihan. Aliran lurus dan aliran sesat adalah musuh bebuyutan. Sangat wajar apabila Zuo Lengchan selaku ketua Serikat Pedang Lima Gunung menghendaki kematian seorang gembong aliran sesat.

Sebaliknya, Liu Zhengfeng justru terlihat sedih. Dengan tersenyum hambar ia menjawab, “Antara Kakak Qu dan diriku sudah merasa cocok satu sama lain sejak pertama kali berkenalan. Kami pun menjalin persahabatan yang sangat akrab. Sampai saat ini, kami sudah belasan kali bertemu. Kami sering tidur di atas ranjang yang sama, atau bercakap-cakap semalaman. Terkadang kami juga menyinggung perselisihan di dunia persilatan. Kakak Qu sangat prihatin atas pertengkaran di antara kedua golongan yang seharusnya tidak perlu terjadi. Persahabatan kami hanya mengutamakan seputar kegemaran kami dalam bermain musik. Kakak Qu pandai memetik kecapi, sedangkan aku suka meniup seruling. Pada saat bertemu, sebagian besar waktu kami habis untuk bermain musik bersama-sama. Mengenai ilmu silat, kami sama sekali tidak pernah membicarakannya.” Setelah berhenti sejenak dan tersenyum gembira, ia melanjutkan, “Para hadirin boleh tidak percaya, bahwa aku berani menjamin dalam abad ini tidak ada seorang pun yang bisa bermain kecapi melebihi Kakak Qu. Meskipun Kakak Qu seorang anggota aliran sesat, namun dari alunan musiknya aku bisa merasakan kalau ia berhati baik dan berbudi luhur. Perasaannya sangat halus. Oleh sebab itu aku, Liu Zhengfeng, sangat mengagumi laki-laki sejati seperti dirinya. Bagaimanapun juga aku tidak bersedia mencelakai seorang hebat bernama Qu Yang.”

Para hadirin sama sekali tidak menduga kalau persahabatan di antara Liu Zhengfeng dan Qu Yang berawal dari musik. Namun mereka segera memaklumi karena tokoh-tokoh Perguruan Hengshan pada umumnya memang suka bermain musik. Misalnya, sang ketua yaitu Tuan Besar Mo terkenal pandai memainkan rebab, dan ke mana-mana tidak pernah berpisah dengan alat musik gesek tersebut. Bahkan ia sampai mendapat julukan “dalam rebab tersimpan pedang, pedang mengeluarkan suara rebab”.

Fei Bin kembali berkata, “Ketua Zuo sudah menyelidiki tentang persahabatanmu dengan si iblis Qu Yang memang berawal dari musik. Beliau berpesan kepada kita supaya berhati-hati terhadap tipu muslihat aliran sesat yang licik. Mereka suka melakukan berbagai macam cara untuk memecah belah kekuatan kita. Misalnya, kaum muda dipancing dengan harta kekayaan atau wanita-wanita cantik; sedangkan golongan tua yang berkecukupan seperti Saudara Liu ini dipancing menggunakan kegemarannya, yaitu bermain musik. Kami harap Saudara Liu sudi berpikir jernih. Coba diingat, berapa banyak saudara-saudara kita yang menjadi korban keganasan aliran sesat? Sungguh sayang, mengapa kau bisa sampai jatuh ke dalam tipu daya mereka?”

Biksuni Dingyi yang semula tidak suka kepada sikap orang-orang Songshan kini ikut bicara, “Apa yang dikatakan Adik Fei sangat benar. Kita semua tidak takut terhadap ilmu silat aliran sesat. Yang harus kita khawatirkan justru tipu muslihat mereka. Mengenai Adik Liu yang sudah terlanjur jatuh ke dalam perangkap aliran sesat rasanya tidak menjadi persoalan. Yang penting marilah kita bersama-sama membunuh penjahat bernama Qu Yang tersebut. Serikat Pedang Lima Gunung sudah sejak lama senapas seirama. Sungguh tidak baik kalau kita harus bertengkar sendiri karena adu domba pihak lawan.”

“Benar, Adik Liu,” sahut Pendeta Tianmen ikut bicara. “Seorang laki-laki sejati apabila menyadari kesalahannya maka ia akan segera memperbaiki diri. Hal seperti ini tidak perlu diributkan. Asalkan dalam sekali tebas kau bisa membinasakan gembong aliran sesat bermarga Qu itu, maka kawan-kawan golongan putih di dunia persilatan akan tetap menghormatimu sebagai seorang yang tegas dan bijaksana. Sudah pasti kami ikut merasa bangga.”

Liu Zhengfeng tidak menjawab. Ia lantas berpaling ke arah Yue Buqun dan bertanya, “Kakak Yue, kau seorang laki-laki budiman yang bijaksana. Para hadirin yang terhormat di sini banyak yang mendesak diriku supaya menjual kawan untuk menyelamatkan diri sendiri. Kalau menurut Kakak Yue, bagaimana aku harus bertindak?”

“Adik Liu,” sahut Yue Buqun, “dalam dunia persilatan mati membela sahabat adalah suatu hal yang biasa. Namun gembong aliran sesat bermarga Qu itu sangat licik. Mulutnya palsu dan hatinya berbisa. Di balik senyumnya yang manis, dia menyembunyikan tangan jahat untuk menghancurkan keluargamu. Dia sengaja mendekati Adik Liu dengan memanfaatkan kegemaranmu dalam bermain musik. Setelah itu, barulah dia melancarkan tipu muslihatnya yang keji. Bila manusia licik seperti itu kau anggap sebagai sahabat, maka istilah ‘sahabat’ dengan sendirinya akan tercemar. Manusia iblis seperti dia sungguh tidak pantas kau sebut sebagai sahabat karib. Adik Liu, di dunia ini sudah sering kita dengar bagaimana para kesatria rela mengorbankan keluarganya demi menegakkan kebenaran. Jika keluarga sendiri saja bisa dikorbankan, mangapa kau tidak dapat mengorbankan seorang penjahat yang berpura-pura baik seperti dia?”

“Benar! Benar!” sahut beberapa hadirin. “Apa yang dikatakan Tuan Yue sangat benar. Kita harus bisa membedakan mana kawan, mana lawan. Terhadap kawan kita harus setia, tapi terhadap lawan kita tidak boleh mengenal ampun.”

Liu Zhengfeng menghela napas panjang. Setelah para hadirin agak tenang, ia pun kembali bicara, “Sejak awal aku sudah menduga akan terjadi hal seperti ini. Aku yakin cepat atau lambat antara Serikat Pedang Lima Gunung dan aliran sesat akan terjadi pertempuran habis-habisan. Jika itu sampai terjadi, maka aku akan berada di posisi serbasulit. Di satu pihak terdapat para saudara seperguruan, sementara di pihak lain terdapat seorang sahabat karib. Tidak mungkin bagiku untuk berada di kedua pihak. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk melangsungkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas. Aku sengaja mengundang para hadirin sekalian sebagai saksi bahwa mulai hari ini Liu Zhengfeng mengundurkan diri dari dunia persilatan dan segala perselisihan di dalamnya. Aku hanya ingin hidup tenang dan bahagia, tidak lagi tersangkut permusuhan atau bunuh-membunuh.” Ia lalu menoleh ke arah Fei Bin dan melanjutkan, “Tujuanku membeli pangkat sersan hanya sebagai alasan palsu untuk menutupi ini semua. Tak disangka, Ketua Zuo sungguh cerdik, berhasil membongkar semuanya.”

Para hadirin akhirnya mengetahui alasan sebenarnya mengapa Liu Zhengfeng mengundurkan diri dari dunia persilatan. Sejak tadi sebagian dari mereka mencemooh tokoh nomor dua Perguruan Hengshan tersebut sebagai seorang yang serakah dan gila jabatan. Sebagian lagi bertanya-tanya dan merasa curiga, mengapa seorang kaya raya seperti Liu Zhengfeng mengundurkan diri hanya demi sebuah pangkat rendahan saja. Tentu ada maksud tersembunyi di balik hal ini.

Fei Bin, Ding Mian, dan Lu Bai saling pandang. Masing-masing berpikiran sama bahwa terbongkarnya maksud pengunduran diri Liu Zhengfeng semata-mata karena kecerdikan Zuo Lengchan, kakak seperguruan mereka.

Terdengar Liu Zhengfeng kembali berkata, “Permusuhan golongan kita dengan aliran sesat sudah berlangsung lama dan berlarut-larut. Siapa yang benar dan siapa yang salah juga tidak mudah untuk ditentukan. Aku hanya berharap bisa membebaskan diri dari perselisihan yang berdarah-darah ini, untuk selanjutnya hidup sebagai rakyat biasa yang patuh terhadap peraturan negara. Untuk menghibur diri cukup dengan meniup seruling. Kurasa cita-citaku ini tidak melanggar peraturan Perguruan Hengshan, atau juga Serikat Pedang Lima Gunung.”

“Huh, enak saja kau bicara!” sahut Fei Bin. “Jika setiap orang meniru perbuatanmu – melarikan diri saat menghadapi musuh – maka dunia ini pasti akan celaka dan dikuasai kaum iblis. Kau ingin mengundurkan diri dari dunia persilatan, lalu apakah penjahat bermarga Qu itu juga mau melakukan hal serupa?”

Liu Zhengfeng tersenyum, lalu menjawab, “Di hadapanku Kakak Qu telah bersumpah atas nama para leluhur agamanya bahwa ia tidak akan melibatkan diri dalam perselisihan antara kedua golongan yang bertikai. Asalkan orang lain tidak mengusiknya, maka dia pun tidak akan mengganggu orang lain.”

“Hahaha! Sungguh bagus istilah ‘asalkan orang lain tidak mengusiknya, maka dia pun tidak akan mengganggu orang lain’. Lalu bagaimana kalau golongan kita yang mengusiknya?” tanya Fei Bin sambil tertawa.

“Kakak Qu sudah menyatakan bahwa dia akan berusaha mengalah,” sahut Liu Zhengfeng. “Kakak Qu bertekad akan selalu menghindarkan diri dari perselisihan dan kesalahpahaman.” Sambil memandang tajam ke arah para hadirin, ia melanjutkan, “Pagi ini Kakak Qu mengirim berita bahwa dirinya telah menolong seorang murid Huashan bernama Linghu Chong yang terluka parah. Kakak Qu telah memberikan pertolongan seperlunya sehingga nyawa Keponakan Linghu bisa diselamatkan.”

Ucapan Liu Zhengfeng kali ini sangat mengejutkan para hadirin, terutama rombongan Perguruan Huashan, Henshan, dan Qingcheng. Si gadis Yue Lingshan tidak dapat menahan diri untuk bertanya, “Paman Liu, sekarang kakak pertama kami ada di mana? Apa benar iblis... maksudku, apa benar sesepuh bermarga Qu itu telah menolongnya?”

“Kakak Qu tidak pernah berkata dusta,” jawab Liu Zhengfeng. “Jika ingin tahu lebih jelas, silakan kau tanyakan langsung kepada Linghu Chong.”

“Huh, aku rasa itu bukan hal yang istimewa,” sahut Fei Bin mencibir. “Aliran sesat terkenal suka memecah belah dan mengadu domba. Segala macam akal licik dan tipu muslihat dapat mereka lakukan. Pertolongan Qu Yang kepada Linghu Chong menurutku hanya sandiwara belaka. Mungkin saat ini Linghu Chong sudah masuk pula ke dalam perangkap mereka. Bisa dikatakan, saat ini di dalam Serikat Pedang Lima Gunung sudah bertambah seorang pengkhianat lagi.” Usai berkata demikian buru-buru ia berpaling ke arah Yue Buqun dan berkata, “Kakak Yue, aku hanya menduga-duga saja. Tolong kau jangan tersinggung.”

“Tidak masalah,” jawab Yue Buqun tenang.

Liu Zhengfeng terlihat sangat gusar mendengar kalimat Fei Bin yang terakhir itu. Ia pun bertanya dengan nada keras, “Saudara Fei, apa maksudmu dengan mengatakan ‘bertambah seorang lagi’? Apa kau bisa menjelaskan?”

“Kau yang berbuat, harusnya kau sendiri yang bisa menjawabnya,” ujar Fei Bin.

“Oh, jadi kau menuduh si marga Liu ini sebagai pengkhianat?” bentak Liu Zhengfeng dengan suara lantang. “Aku ingin berteman dengan siapa itu urusan pribadiku. Orang lain tidak perlu ikut campur. Selama ini Liu Zhengfeng merasa tidak pernah mengkhianati kawan dan mendurhakai Perguruan Hengshan. Sebaiknya istilah ‘pengkhianat’ aku kembalikan kepadamu.”

Pada mulanya Liu Zhengfeng masih berusaha bersikap ramah. Namun kini sorot matanya berubah tajam dan berkilat-kilat. Meskipun dalam keadaan terdesak ia justru terlihat semakin gagah berani, membuat sebagian hadirin kembali menaruh simpati kepadanya.

Fei Bin sendiri tidak kalah angkuh dibanding sang tuan rumah. Ia pun bertanya, “Kalau begitu, Saudara Liu sudah jelas menolak pilihan pertama, yaitu membunuh gembong aliran sesat bernama Qu Yang, begitu?”

“Bila memang itu sudah menjadi ketetapan Ketua Zuo,” jawab Liu Zhengfeng, “tidak ada lagi halangan untuk Saudara Fei membunuh Liu Zhengfeng sekeluarga.”

“Huh, jangan mentang-mentang di rumahmu sedang berkumpul banyak pendekar, kemudian kau pikir kami merasa gentar untuk melakukan pembersihan. Sama sekali tidak ada ampun untuk seorang pengkhianat,” ujar Fei Bin dengan mata melotot. Ia kemudian berseru kepada Shi Dengda, “Lekas kemari!”

Shi Dengda pun maju menghampiri sang paman. Panji Pancawarna di tangannya segera diambil alih oleh Fei Bin dan setelah itu diangkat tinggi-tinggi. Pendekar nomor empat dari Songshan itu langsung berseru lantang, “Dengarlah ini, Liu Zhengfeng! Atas perintah Ketua Serikat kalau kau tidak bersedia membunuh Qu Yang dalam waktu satu bulan, terpaksa Serikat Pedang Lima Gunung harus mengadakan pembersihan supaya tidak menimbulkan bencana di kemudian hari. Mencabut rumput harus sampai ke akar-akarnya. Untuk itu, hendaknya kau pertimbangkan lagi masak-masak keputusanmu ini!”

Liu Zhengfeng tersenyum pedih dan menjawab, “Aku yang bermarga Liu hidup di dunia hanya untuk mencari sahabat. Mana boleh aku mengorbankan sahabatku hanya demi keselamatan pribadi? Jika Ketua Serikat sudah tidak dapat memaafkan aku lagi, untuk apa aku harus melawan? Semua terserah kepadanya. Aku hanya orang kecil yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Memang, semuanya sudah diatur oleh Ketua Serikat. Bahkan, mungkin saat ini peti mati untukku juga sudah kalian siapkan. Kalau mau menghabisi nyawa Liu Zhengfeng, silakan sekarang saja!”

Menanggapi itu Fei Bin mengibaskan panji di tangannya dan berteriak, “Pendeta Tianmen dari Taishan, Kakak Yue dari Huashan, Biksuni Dingyi dari Henshan, serta segenap murid-murid Hengshan, menurut Ketua Serikat antara kebaikan dan keburukan tidak akan pernah dapat hidup bersama. Aliran sesat dan Serikat Pedang Lima Gunung telah mengikat permusuhan yang dalam bagai lautan. Sekarang Liu Zhengfeng dari Hengshan telah menjalin persahabatan dengan pihak musuh. Setiap anggota perserikatan berhak membunuhnya bersama-sama. Siapa yang tunduk kepada perintah Ketua Serikat, silakan berdiri di sebelah kiri!”

Tampak yang pertama bangkit dan berjalan menuju ke sebelah kiri Fei Bin dengan langkah lebar adalah Pendeta Tianmen, diikuti murid-murid Perguruan Taishan. Hal ini dapat dimaklumi karena guru Tianmen dahulu telah tewas di tangan seorang wanita gembong aliran sesat. Tentu hal ini membuat kebenciannya bagaikan merasuk sampai ke dalam sumsum.

Orang kedua yang bangkit adalah Yue Buqun. Dengan tegas ia berkata, “Adik Liu, asal kau menganggukkan kepala sekali saja, maka si marga Yue ini akan langsung berangkat mewakili dirimu membunuh Qu Yang. Kau telah berkata bahwa seorang kesatria sejati pantang mengkhianati sahabat. Tapi, apakah di dunia ini hanya Qu Yang saja yang kau anggap sebagai sahabat? Apakah kami yang hadir di sini bukan sahabatmu? Jauh-jauh kami semua datang kemari hanya untuk mengucapkan selamat kepadamu, apakah tindakan seperti ini masih kurang untuk disebut sebagai sahabat? Meskipun Qu Yang pandai memetik kecapi, lantas apa karena itu kau harus mengorbankan nyawamu dan keluargamu, serta persaudaraanmu dengan Serikat Pedang Lima Gunung? Apa hanya karena itu persahabatanmu dengan kami semua jauh kurang berharga dibandingkan dengan Qu Yang seorang?”

Perlahan-lahan Liu Zhengfeng menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, “Kakak Yue, kau seorang terpelajar, tentu mengetahui mana yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan seorang laki-laki sejati. Nasihatmu sangat baik. Untuk itu aku mengucapkan banyak terima kasih. Akan tetapi, untuk membunuh Kakak Qu sama sekali aku tidak sanggup melakukannya. Biarpun seluruh keluargaku tertimpa musibah, perbuatan seperti itu tidak akan pernah kulakukan. Baik dirimu ataupun Kakak Qu adalah sama-sama sahabat bagiku. Apabila Kakak Qu menyuruhku membunuh Kakak Yue tentu aku juga akan menolaknya mentah-mentah. Apabila dia sampai memintaku melakukan itu, maka aku tak akan sudi lagi bersahabat dengannya.”

Diam-diam sebagian hadirin terkesan mendengar ucapan Liu Zhengfeng yang tulus dan sungguh-sungguh itu. Begitu tegas ia membela persahabatannya dengan Qu Yang di atas keselamatan nyawa sendiri.

Yue Buqun mengangguk namun tetap berusaha membujuk, “Adik Liu, ucapanmu itu jelas kurang benar. Adik Liu mengutamakan setiakawan, hal itu sesuai dengan sifat kalangan persilatan. Akan tetapi, bersahabat dengan seorang gembong penjahat jelas perbuatan keliru. Kebaikan dan keburukan tidak akan pernah dapat bersatu. Selama ini sudah banyak saudara-saudara kita, bahkan rakyat jelata yang tidak berdosa menjadi korban keganasan aliran sesat. Adik Liu sendiri hanya karena merasa cocok sama-sama gemar bermain musik lantas mempertaruhkan nyawa seluruh keluargamu demi dirinya. Aku rasa kau telah salah mengartikan ‘setiakawan’ yang selama ini kau junjung tinggi itu.”

Liu Zhengfeng tersenyum dan menjawab, “Kakak Yue, kau tidak suka terhadap seni musik, sehingga kurang memahami maksudku secara mendalam. Suara mulut masih bisa menipu, tapi suara musik tidak dapat berdusta. Musik merupakan ungkapan suara hati yang tidak dapat dipalsukan atau dibuat-buat. Jiwa kami telah terikat satu sama lain. Aku berani menjamin dengan segenap jiwa ragaku bahwa meskipun Kakak Qu seorang anggota aliran sesat, namun sedikit pun ia tidak bersifat jahat seperti yang kalian tuduhkan.”

Yue Buqun menghela napas panjang, kemudian bergabung di sebelah Pendeta Tianmen diikuti seluruh murid-murid Huashan yang hadir di tempat itu.

Sekarang giliran Biksuni Dingyi yang berbicara kepada Liu Zhengfeng. Dengan tatapan tajam ia hanya berkata singkat, “Mulai hari ini bagaimana aku harus memanggilmu, Adik Liu atau cukup Liu Zhengfeng saja?”

Liu Zhengfeng menjawab sambil tersenyum getir, “Nyawa orang bermarga Liu ini sudah di ujung tanduk. Nasibnya akan segera berakhir. Kelak Biksuni Dingyi tidak perlu repot-repot memanggil aku lagi.”

Biksuni Dingyi menguncupkan kedua tangannya sambil berkata, “Buddha Welas Asih!” Ia kemudian bergabung di sebelah Yue Buqun diikuti segenap murid-murid Henshan.

Melihat ketiga perguruan sudah berkumpul, Fei Bin kembali berbicara, “Urusan ini hanya menyangkut Liu Zhengfeng seorang. Jadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan Perguruan Hengshan. Kalian murid-murid Hengshan yang mau sadar tidak ikut membela kejahatan, silakan bergabung ke sebelah kiri.”

Suasana ruang utama tersebut mendadak sunyi senyap. Sejenak kemudian seorang pemuda berseru, “Paman Liu, maafkan kami!”

Pemuda itu lantas melangkah ke arah yang ditunjuk Fei Bin, diikuti sekitar tiga puluh murid-murid Hengshan lainnya. Dalam pertemuan tersebut memang tidak seorang pun saudara seperguruan Liu Zhengfeng yang hadir untuk memberi selamat, kecuali murid-murid mereka.

Fei Bin kembali berseru, “Murid-murid Liu Zhengfeng, silakan bergabung di sini pula.”

Xiang Danian menjawab dengan suara lantang, “Kami telah menerima budi baik dari guru kami. Guru kami sedang dilanda kesulitan, sudah seharusnya kami berada di sisinya. Kami siap sehidup semati dengan Guru.”

“Bagus sekali, bagus sekali!” ucap Liu Zhengfeng terharu. Baru kali ini ia meneteskan air mata meskipun sejak tadi didesak kelompok Fei Bin dengan gencar. “Danian, muridku. Ucapanmu tadi sudah cukup membuktikan kalau kau seorang murid yang berbakti. Sungguh, aku mengizinkan kalian menyeberang ke sana. Aku yang berbuat, biar aku sendiri yang menanggung akibatnya; sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kalian.”

Tiba-tiba Mi Weiyi si murid kedua melolos pedangnya dan berseru, “Kami memang bukan tandingan Serikat Pedang Lima Gunung. Tapi, barangsiapa berani menyakiti guru kami terlebih dahulu harus melangkahi mayat Mi Weiyi!” Usai berkata demikian, ia pun berdiri di hadapan Liu Zhengfeng dengan gagah berani.

“Mutiara sebesar beras mau coba-coba bersinar, hah?” sahut Ding Mian mengejek. Segera tangan kirinya bergerak melemparkan sesuatu yang memancarkan kilatan cahaya perak menyilaukan.

Liu Zhengfeng menyadari kalau Ding Mian telah melemparkan sebuah senjata rahasia. Dengan cepat ia mendorong bahu Mi Weiyi sehingga pemuda itu terlempar ke kanan. Namun hal ini justru membuat keselamatan dirinya terancam. Senjata rahasia itu bergerak cepat menuju ke arah dadanya. Tanpa banyak bicara, Xiang Danian melompat melindungi sang guru. Maka sekejap kemudian terdengarlah suara jeritan pemuda itu. Senjata rahasia Ding Mian telah menancap tepat di jantungnya.

Liu Zhengfeng merangkul tubuh Xiang Danian yang terkulai tak berdaya dengan tangan kirinya. Setelah diperiksa dengan seksama ternyata murid pertamanya itu sudah binasa. Ia pun menoleh ke arah Ding Mian dan berkata, “Kalian... kalian orang-orang Songshan yang lebih dulu membunuh muridku!”

“Benar,” sahut Ding Mian. “Memang kami yang menyerang lebih dulu. Lantas kau mau apa?”

Tiba-tiba Liu Zhengfeng mengangkat mayat Xiang Danian dan bersiap melemparkannya ke arah Ding Mian. Menyadari kehebatan tokoh nomor dua Perguruan Hengshan tersebut, Ding Mian tidak berani menganggap remeh. Ia pun menghimpun tenaga dalam bersiap-siap menyambut datangnya lemparan.

Tak disangka, ternyata itu semua hanya tipuan Liu Zhengfeng belaka. Seolah-olah ia bermaksud menyerang Ding Mian, padahal mayat tersebut justru dilemparkannya ke arah Fei Bin. Terpaksa Fei Bin pun menahan mayat Xiang Danian dengan kedua tangannya dalam keadaan mendadak. Akibatnya, ia menjadi lengah dan tidak sempat menghindar ketika Liu Zhengfeng tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya dan menotok titik nadi di bawah iga pendekar dari Songshan tersebut.

Tidak hanya itu, Liu Zhengfeng lantas merebut Panji Pancawarna dengan tangan kiri, dan juga pedang milik Fei Bin dengan tangan kanan. Pedang tersebut segera digunakannya untuk mengancam leher si pemilik. Sekejap kemudian, beberapa titik nadi Fei Bin juga ikut tertotok. Begitu cepat gerakan Liu Zhengfeng ini, bahkan semuanya terjadi sebelum mayat Xiang Danian jatuh ke lantai.

Para hadirin terkesima melihatnya. Sudah lama mereka mendengar kehebatan ilmu Tiga Belas Jurus Hantu Kabut Hengshan, namun baru kali ini bisa melihat secara langsung. Yue Buqun pernah mendapat cerita dari gurunya bahwa ilmu tersebut diciptakan oleh seorang tokoh Perguruan Hengshan dari generasi sebelumnya yang mahir bermain sulap. Ketika sudah lanjut usia, tokoh tersebut lantas memadukan kehebatan ilmu silat dengan ilmu sulapnya. Maka itu, terciptalah sebuah jurus yang sangat cepat dan mengejutkan. Padahal, dulu ia menciptakan ilmu tersebut hanya sekadar iseng saja, tapi ternyata kini menjadi salah satu ilmu paling unik dalam Perguruan Hengshan.

Meskipun demikian, ilmu yang aneh dan penuh kejutan ini tidak sembarangan untuk diajarkan. Dalam pertarungan yang sebenarnya, ilmu ini tidak banyak berarti karena pihak lawan tentu akan lebih waspada dan melindungi semua bagian penting pada tubuhnya. Oleh sebab itu, para guru mengancam murid-muridnya akan berhenti mengajarkan ilmu Perguruan Hengshan sepenuhnya apabila ada murid yang mendalami ilmu ini. Mereka tidak ingin para murid hanya mengandalkan kehebatan berkelebat ke sana dan kemari sehingga melupakan ilmu silat yang sebenarnya. Namun, Liu Zhengfeng memakai cara lain. Ia lebih dulu menuntaskan semua pelajaran ilmu silat dari gurunya, baru kemudian mempelajari Tiga Belas Jurus Hantu Kabut Hengshan tersebut. Ilmu unik ini berhasil dipergunakannya untuk menyergap Fei Bin si Tapak Songyang Besar dengan gerakan tiba-tiba. Andai saja bertarung secara terang-terangan, belum tentu Fei Bin dapat tertangkap secepat itu.

Sambil mengancam leher Fei Bin dengan pedang dan mengangkat Panji Pancawarna di udara, Liu Zhengfeng berseru, “Saudara Ding dan Saudara Lu, maafkan aku yang lancang berani menawan Saudara Fei dan merebut Panji Pancawarna. Sebenarnya aku tidak berani melakukan ini semua. Tapi sungguh, aku hanya ingin meminta pengertian kalian.”

Melihat leher sang adik diancam pedang, mau tidak mau Ding Mian pun berkata, “Apa sebenarnya yang ingin kau katakan?”

“Mohon Saudara berdua sudi menyampaikan permintaanku ini kepada Ketua Zuo. Aku mohon diperbolehkan mengasingkan diri bersama seluruh anggota keluargaku, dan mulai saat ini tidak akan lagi mencampuri urusan dunia persilatan,” jawab Liu Zhengfeng. “Persahabatanku dengan Kakak Qu juga akan kuakhiri sampai di sini; begitu pula persahabatanku dengan para hadirin sekalian. Selama hidup... aku tidak akan menginjak Daratan Tengah ini lagi.”

Ding Mian terlihat ragu-ragu. Sejenak kemudian baru ia berkata, “Mengenai permintaanmu ini kami berdua tidak berani mengambil keputusan. Tentu ini semua harus dilaporkan lebih dulu kepada Ketua Zuo untuk meminta petunjuknya.”

Liu Zhengfeng menjawab, “Di sini sudah hadir ketua Perguruan Taishan dan Huashan. Biksuni Dingyi juga bisa bertindak mewakili ketua Perguruan Henshan. Selain itu, segenap para kesatria dan pendekar lainnya yang hadir di sini bisa menjadi saksi.” Setelah terdiam sejenak dan memandangi para hadirin, ia melanjutkan, “Aku hanya memohon kebaikan hati para sahabat sekalian untuk mengizinkan diriku untuk membawa pergi segenap keluargaku, juga murid-muridku.”

Biksuni Dingyi meskipun suka bersikap galak dan kasar, namun sesungguhnya berhati lembut dan welas asih. Mendengar permohonan itu ia menjadi orang pertama yang angkat bicara, “Cara seperti itu sungguh bijaksana dan tidak memberatkan kedua pihak. Sebaiknya Saudara Ding dan Saudara Lu mengabulkan permintaan Adik Liu ini. Dia sudah berjanji tidak akan bergaul lagi dengan gembong aliran sesat itu. Dia juga berjanji akan meninggalkan Daratan Tengah ini untuk selamanya. Itu berarti di dunia persilatan tidak akan ada lagi orang bernama Liu Zhengfeng. Jadi, untuk apa lagi pembunuhan terhadapnya kita lakukan?”

Pendeta Tianmen mengangguk setuju dan berkata, “Aku rasa cara seperti itu memang cukup baik. Bagaimana menurutmu, Adik Yue?”

Yue Buqun menjawab, “Adik Liu sudah menyatakan kesediaannya, jadi aku rasa kita boleh percaya kepadanya. Mari kita ubah pertengkaran ini menjadi pertemuan yang menggembirakan. Adik Liu bisa melepaskan Adik Fei dan kita minum bersama secawan arak sebagai tanda perdamaian. Besok pagi-pagi sekali, Adik Liu bisa membawa keluarganya meninggalkan Hengshan ini untuk selamanya.”

Menanggapi itu Lu Bai menjawab dengan suara dingin, “Jika ketua Taishan dan ketua Huashan sudah bicara demikian, ditambah lagi Biksuni Dingyi yang mewakili pihak Henshan, mana mungkin kami berani menentang? Akan tetapi, saat ini Adik Fei kami sedang berada di tangan Liu Zhengfeng. Jika kami menerima permintaan itu, kami khawatir kelak di kemudian hari dunia persilatan akan menuduh Perguruan Songshan terpaksa tunduk di bawah ancaman pedang Liu Zhengfeng. Jika hal itu sampai tersebar luas, ke mana lagi kami harus menyembunyikan muka?”

Biksuni Dingyi menyahut, “Adik Liu hanya meminta kemurahan hati kepada Perguruan Songshan, bukan mengancam. Justru yang berada di bawah ancaman adalah Adik Liu, bukan Perguruan Songshan kalian. Bukankah kalian yang lebih dulu menawan dan membunuh seorang murid Adik Liu? Jadi, mana ada alasan untuk mengatakan pihak Songshan tunduk karena ancaman?”

Lu Bai tidak menanggapi, tapi berkata kepada salah seorang murid Songshan, “Bersiaplah, Di Xiu!”

“Baik!” jawab Di Xiu sambil menempelkan ujung pedangnya ke punggung putra sulung Liu Zhengfeng.

Kembali Lu Bai berkata, “Liu Zhengfeng, jika itu yang menjadi permintaanmu maka kau boleh ikut kami untuk menghadap Ketua Zuo di Gunung Songshan. Kami hanya sekadar menjalankan perintah dan sama sekali tidak berani mengambil keputusan apa-apa. Yang penting sekarang segera bebaskan Adik Fei dan kembalikan Panji Pancawarna kepada kami!”

Liu Zhengfeng tersenyum pedih, kemudian berkata lirih kepada putranya, “Nak, apakah kau takut mati?”

Putranya itu menjawab, “Saya hanya patuh kepada Ayah. Saya sama sekali tidak takut mati.”

“Anak baik,” ujar Liu Zhengfeng.

Mendengar itu Lu Bai tiba-tiba berseru, “Bunuh dia!”

Segera Di Xiu mendorong pedangnya menembus punggung putra sulung Liu Zhengfeng tersebut. Begitu pedang dicabut kembali, darah segar pun mengucur deras. Pemuda pemberani itu jatuh tersungkur kehilangan nyawa.

Nyonya Liu menjerit dan kemudian menubruk mayat putra sulungnya. Tanpa ampun, Lu Bai kembali berseru, “Bunuh dia juga!”

Sekali tusuk, pedang Di Xiu melenyapkan nyawa istri Liu Zhengfeng pula.

“Dasar binatang!” bentak Dingyi dengan nada sangat marah. Biksuni tua itu pun menerjang ke arah Di Xiu, namun Ding Mian secepat kilat menghadang di depannya. Maka, kedua telapak tangan mereka pun beradu dengan sangat keras. Akibatnya, Biksuni Dingyi terhuyung mundur beberapa langkah. Dadanya terasa sesak dan darah segar naik ke dalam kerongkongan. Sebagai seorang yang beradat tinggi, pantang baginya memperlihatkan kelemahan di hadapan orang lain. Diam-diam ia pun menelan kembali darah tersebut ke dalam perutnya.

“Terima kasih, Kakak Biksuni sudi mengalah,” kata Ding Mian sambil tersenyum.

Biksuni Dingyi melangkah mundur dengan menahan sakit di dada. Pertarungan tangan kosong memang bukan keahliannya. Di samping itu, ia tadi juga berniat memukul Di Xiu hanya dengan setengah tenaga. Tak disangka, Ding Mian justru mengerahkan tenaga penuh untuk menghadang pukulan tersebut. Setelah terpukul mundur dan nyaris muntah darah, Dingyi berniat menghimpun tenaga untuk menghadapi Ding Mian. Namun tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit pertanda ia telah menderita luka dalam.

Sambil berkata dengan nada marah, biksuni tua itu lantas berkata kepada rombongannya, “Mari kita pulang saja!”

Dengan langkah lebar Dingyi pun bergegas meninggalkan rumah Liu Zhengfeng. Para murid Henshan beramai-ramai mengikuti di belakangnya.

“Bunuh mereka!” seru Lu Bai tanpa memedulikan kepergian rombongan Dingyi. Dengan segera dua orang murid Songshan menusuk punggung dua murid Liu Zhengfeng sampai mati.

“Dengarkanlah, wahai murid-murid Liu Zhengfeng!” seru Lu Bai. “Jika kalian masih ingin hidup, lekas berlutut memohon ampun kepada kami! Barangsiapa mengutuk perbuatan salah guru kalian, maka nyawanya akan diampuni!”

“Dasar keparat! Kalian orang-orang Songshan benar-benar lebih kejam daripada aliran sesat,” bentak Liu Jing, putri Liu Zhengfeng.

“Bunuh dia!” seru Lu Bai.

Tanpa ampun, Wan Daping mengayunkan pedangnya ke bawah. Tubuh Liu Jing pun terbelah menjadi dua, memanjang dari bahu kanan sampai ke pinggang kiri.

Shi Dengda dan murid-murid Songshan lainnya juga ikut bertindak. Dengan ganas mereka membantai satu per satu murid-murid Liu Zhengfeng yang tidak bisa melawan karena telah ditotok sebelumnya.

Meskipun para hadirin sudah terbiasa melihat pertumpahan darah, namun pembantaian kejam tersebut mau tidak mau membuat mereka merasa ngeri juga. Beberapa tokoh sepuh ada yang berniat melerai namun pedang murid-murid Songshan berkelebat sangat cepat sehingga belum sempat mereka bersuara, tahu-tahu sudah banyak mayat yang bergelimpangan. Akhirnya, mereka pun berusaha memaklumi peristiwa itu dengan berpikir, “Kebaikan dan kejahatan tidak akan pernah bersatu. Perbuatan orang-orang Songshan ini sesungguhnya ditujukan untuk memerangi aliran sesat, bukan untuk menghancurkan Keluarga Liu. Meskipun perbuatan mereka sangat keji dan tidak berperasaan, namun pada kenyataannya tidak seorang pun berusaha melerai. Pihak Songshan telah menguasai keadaan, dan berhasil memukul mundur Biksuni Dingyi. Sementara itu, Pendeta Tianmen dan Tuan Yue hanya diam tak bersuara. Ini hanyalah urusan internal Serikat Pedang Lima Gunung. Orang luar seperti kami jika berani ikut campur hanyalah mengundang bencana dan bisa-bisa ikut kehilangan nyawa.”

Akhirnya, semua anggota keluarga dan murid-murid Liu Zhengfeng sudah habis dibantai pihak Perguruan Songshan, kecuali si putra bungsu yang bernama Liu Qin. Anak itu berusia lima belas tahun dan merupakan putra kesayangan Liu Zhengfeng.

Lu Bai lantas berkata kepada Shi Dengda, “Coba kau tanya bocah itu apa dia masih ingin hidup atau tidak. Jika tidak, potong saja hidungnya, kemudian telinganya, lalu congkel biji matanya!”

“Baik!” jawab Shi Dengda. Ia lantas berjalan mendekati Liu Qin dan bertanya, “Kau mau minta ampun atau tidak?”

Wajah Liu Qin terlihat pucat pasi dan tubuhnya gemetar. Namun Liu Zhengfeng justru berkata, “Anakku yang baik, kakak-kakakmu telah mati dengan gagah berani. Semua orang juga akan mati, kenapa harus takut?”

“Tapi... tapi... mereka hendak memotong hidungku dan mencongkel mataku, Ayah,” sahut Liu Qin gugup.

Liu Zhengfeng tertawa dan menjawab, “Dalam keadaan seperti ini apa kau masih berharap mereka mengampunimu?”

“Ayah... sebaiknya kau... sebaiknya kau menyanggupi saja... membunuh Paman Qu,” kata Liu Qin.

“Keparat!” bentak Liu Zhengfeng sebelum putra bungsunya itu berbicara lebih lanjut. “Dasar binatang! Kau bilang apa?”

Shi Dengda mengayun-ayunkan pedangnya di depan hidung Liu Qin sambil berkata, “Lekas berlutut dan minta ampun! Kalau tidak, hidungmu akan segera lenyap. Satu... dua....”

Belum sampai Shi Dengda menghitung sampai tiga, Liu Qin dengan cepat menekuk lutut memohon ampun. “Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku!” ujarnya meratap.

Lu Bai tertawa dan berkata, “Kami akan mengampuni asalkan kau mengutuk kesalahan ayahmu di hadapan para kesatria ini.”

Meskipun keluarga dan murid-muridnya dibantai, Liu Zhengfeng sejak tadi terlihat tenang-tenang saja. Namun kini begitu menyaksikan sepasang mata putra bungsunya berkaca-kaca memohon belas kasihan, ia menjadi sangat gusar. “Dasar binatang! Apa kau tidak melihat bagaimana ibu dan kedua kakakmu mati di tangan mereka? Apa kau tidak malu?” bentaknya kemudian.

Mendengar itu Liu Qin justru semakin takut. Ia tidak berani memandang mayat ibu dan kedua kakaknya yang berlumuran darah. Apalagi pedang Shi Dengda masih terus berkelebatan mengancam dirinya. Ia pun memohon kepada Lu Bai, “Aku mohon... aku mohon ampunilah ayahku!”

“Ayahmu telah bersekongkol dengan penjahat dari aliran sesat,” ujar Lu Bai. “Menurutmu, perbuatannya itu salah atau benar?”

“Sa... salah,” jawab Liu Qin dengan suara lemah.

“Kalau begitu, ayahmu pantas dibunuh atau tidak?” tanya Lu Bai lagi.

Liu Qin tidak berani menjawab, hanya menunduk ke bawah.

“Bocah ini tidak mau bicara,” kata Lu Bai. “Kau boleh membunuhnya.”

“Baik!” jawab Shi Dengda mengiakan. Ia lantas berpura-pura mengayunkan pedangnya dari atas ke bawah karena tahu Lu Bai sebenarnya hanya menggertak saja.

Liu Qin semakin ketakutan dan buru-buru menjawab, “Ya... ya, ayahku pantas dibunuh!”

“Bagus!” ujar Lu Bai dengan tertawa. “Mulai sekarang kau bukan lagi anggota Perguruan Hengshan, juga bukan anak Liu Zhengfeng. Aku mengampuni nyawamu.”

Karena perasaan takutnya sudah memuncak, kaki Liu Qin sampai-sampai lemas tidak bisa dipakai untuk berdiri. Melihat itu para hadirin merasa kesal dan memandang hina terhadap putra bungsu Liu Zhengfeng tersebut. Bahkan, ada yang memalingkan muka tidak sudi memandang wajah Liu Qin pula.

Liu Zhengfeng sendiri hanya menghela napas panjang dan berkata, “Orang bermarga Lu, kau sudah menang.” Usai berkata demikian ia lantas melemparkan Panji Pancawarna ke arah Lu Bai dan dengan cepat mendepak Fei Bin hingga jatuh terguling di lantai. Kemudian ia berseru lantang, “Aku yang bermarga Liu telah mengaku kalah. Urusan ini akan kuakhiri dengan caraku sendiri. Kalian tidak perlu membunuh lebih banyak lagi.”

Segera Liu Zhengfeng menempelkan pedang di lehernya bersiap melakukan bunuh diri. Pada saat itulah tiba-tiba dari atap teras rumah melayang turun seseorang berpakaian hitam. Tangannya bergerak secepat kilat memegang lengan Liu Zhengfeng. “Seorang laki-laki harus membalas dendam. Meskipun tertunda sepuluh tahun juga belum terlambat. Ayo, kita pergi!” ujarnya dengan suara lantang.

Liu Zhengfeng terkejut dan menyapa, “Kakak Qu, kau... kau....”

Begitu mendengar marga orang berbaju hitam tersebut, para hadirin seketika langsung menyimpulkan bahwa dia tidak lain adalah si gembong aliran sesat bernama Qu Yang. Beberapa di antara mereka langsung gemetar; entah karena takut atau gusar.

“Benar, ini aku!” sahut Qu Yang sambil menarik lengan Liu Zhengfeng. “Tidak ada waktu lagi untuk menyapa. Ayo kita pergi!”

Namun baru beberapa langkah keduanya sudah diserang Ding Mian dan Lu Bai dengan sekuat tenaga. Kedua pasang telapak tangan mereka serentak menghantam punggung Qu Yang dan Liu Zhengfeng.

“Lekas lari!” bentak Qu Yang sambil mendorong tubuh Liu Zhengfeng sampai keluar rumah. Pada saat yang sama, ia mengerahkan tenaga pula untuk menahan pukulan kedua jagoan Songshan tersebut. Suara benturan keras terdengar menggelegar. Disusul kemudian terlihat tubuh Qu Yang terlempar ke atas.

Para hadirin melihat gembong aliran sesat tersebut memuntahkan darah segar. Namun secepat kilat ia mengibaskan tangan, melemparkan sesuatu berjumlah banyak saat tubuhnya masih melayang di udara.

“Awas, itu Jarum Darah Hitam!” seru Ding Mian sambil berkelit ke samping untuk menghindar.

Para hadirin terkejut mendengar nama senjata rahasia yang disebarkan Qu Yang tersebut. Seketika suasana menjadi kacau karena Jarum Darah Hitam adalah senjata rahasia aliran sesat yang terkenal sangat beracun. Mereka berusaha menghindar namun karena ruangan sudah terlanjur penuh sesak, mau tidak mau beberapa di antaranya menjerit menjadi korban.

Di tengah keributan itu, para hadirin tidak menyadari kalau Qu Yang dan Liu Zhengfeng sudah menghilang entah ke mana.

Sementara itu, suasana yang berbeda tengah dirasakan oleh Linghu Chong dan Yilin. Di tengah lembah pegunungan, di dekat derasnya air terjun, keduanya merasakan kedamaian luar biasa. Saat itu luka Linghu Chong bisa dikatakan sudah jauh lebih baik. Berkat obat mujarab Salep Penyambung Langit dan Pil Empedu Beruang Putih buatan Perguruan Henshan, ditambah dengan tenaga dalam Linghu Chong yang terhitung paling tinggi di antara murid-murid Huashan lainnya, serta suasana di sekitar air tejun yang sejuk dan menyenangkan membuat pemuda itu berangsur-angsur pulih kembali seperti sediakala.

Selama sehari dua malam itu Linghu Chong hanya memakan semangka untuk mengisi perutnya. Pernah ia meminta Yilin menangkap ikan atau kelinci sebagai lauk, namun biksuni muda itu menolaknya. Meskipun berkali-kali mencuri semangka, namun Yilin tidak berani melanggar pantangan lainnya yaitu membunuh sesama makhluk hidup. Lagipula Linghu Chong baru saja lolos dari kematian, sehingga tidak ada salahnya kalau berhenti memakan daging untuk beberapa hari sebagai ungkapan puji syukur terhadap Sang Buddha, demikian menurut pendapatnya.

Menanggapi itu Linghu Chong hanya tertawa dan menerima saran Yilin.

Malam itu, mereka berdua duduk termenung sambil menyandarkan diri pada tebing batu. Di udara terlihat banyak kunang-kunang terbang kian-kemari dengan memancarkan cahaya berkelap-kelip. Melihat itu Linghu Chong membuka suara, “Musim panas tahun lalu aku pernah menangkap ribuan kunang-kunang dan kumasukkan ke dalam puluhan kantong tipis. Kemudian kantong-kantong itu kugantung di dalam kamar. Indah sekali. Sinarnya berkelap-kelip sungguh menarik.”

Yilin menanggapi, “Pasti adik kecilmu yang menyuruhmu menangkap kunang-kunang itu.”

“Kau ini sungguh pintar. Sekali tebak langsung benar,” ujar Linghu Chong tertawa. “Dari mana kau tahu kalau Adik Kecil yang menyuruhku menangkap kunang-kunang itu?”

“Sifatmu tidak sabaran. Jadi, mana mungkin kau bisa sedemikian tekun menangkap ribuan kunang-kunang dan memasukkannya ke dalam puluhan kantong?” sahut Yilin sambil tersenyum pula. Biksuni muda itu terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Kantong-kantong itu dipajang di dalam kamar untuk apa?”

“Adik Kecil menggantung kantong-kantong itu di dalam kelambu tempat tidurnya,” jawab Linghu Chong. “Menurutnya, sinar kunang-kunang itu bagaikan ribuan bintang di langit sewaktu pelita dalam kamar dipadamkan. Ia merasa seperti tidur di awang-awang. Setiap kali membuka mata, ia bagaikan melihat ribuan bintang mengelilingi dirinya.”

Yilin berkata, “Adik kecilmu memang pandai mencari kesenangan. Untungnya, dia memiliki kakak seperguruan yang sangat baik seperti dirimu. Begitu dia meminta bintang di langit, tentu kau akan segera mengambilkannya.”

“Ya, pada awalnya dia memang meminta demikian,” jawab Linghu Chong. “Malam itu kami berdua menikmati indahnya bintang-bintang di langit. Adik Kecil berkata, ‘Sayang sekali sebentar lagi aku harus tidur. Ingin rasanya aku tidur di luar rumah biar sewaktu-waktu aku bangun, aku bisa melihat bintang-bintang itu. Tapi, Ibu tidak akan pernah mengizinkanku.’ – Saat itu aku mendapat akal. Aku menawarkan diri untuk menangkap ribuan kunang-kunang dan memasukkannya ke dalam kelambu tempat tidurnya sebagai pengganti bintang-bintang tersebut.”

“Oh, jadi itu hasil gagasanmu?” tanya Yilin dengan suara lirih.

“Benar. Tapi Adik Kecil berkata bahwa kunang-kunang itu akan terbang kian-kemari dan mengganggu tidurnya,” lanjut Linghu Chong. “Ia lantas mendapat akal untuk mengurung ribuan kunang-kunang itu dalam kantong-kantong tipis. Maka, aku pun menangkap kunang-kunang sementara dia membuat kantong-kantong dari kain saringan. Kami mulai bekerja keesokan paginya sampai malam. Malam harinya, Adik Kecil sangat gembira menikmati pemandangan di dalam kelambu tempat tidurnya. Namun pada malam berikutnya, kunang-kunang itu mati semua.”

“Hah? Mati semua?” sahut Yilin dengan badan gemetar. “Mengapa kalian bisa sedemikian... sedemikian....”

“Sedemikian kejam maksudmu?” tukas Linghu Chong dengan tertawa. “Kau ini sungguh bersifat welas asih. Meskipun tidak kutangkap, udara dingin akan membuat kunang-kunang itu mati dengan sendirinya dua atau tiga hari kemudian.”

“Sebenarnya hewan tidak berbeda dengan manusia,” sahut Yilin. Setelah terdiam agak lama, barulah ia menyambung, “Sebagian manusia mati muda, sebagian lagi mati tua. Namun pada dasarnya semua manusia akan mati. Sang Buddha mengajarkan bahwa tidak seorang pun bisa lolos dari kematian, baik itu akibat penyakit atau karena usia tua. Namun, hanya beberapa saja yang mampu mengetahui rahasia kebenaran sejati di balik lingkaran hidup dan mati.”

Linghu Chong menanggapi dengan santai, “Maka itu kau jangan terlalu sibuk mematuhi peraturan dan larangan. Jika Sang Buddha selalu mengawasi dirimu saat berbuat apa saja, tentu dia akan sangat letih.”

Yilin terdiam, tidak tahu harus bicara apa lagi. Beberapa menit kemudian ia melihat sebuah bintang jatuh di angkasa. “Kakak seperguruanku – Yiqing – pernah berkata, jika ada orang melihat bintang jatuh dan segera membuat simpul pada tali bajunya sendiri sambil memikirkan suatu permintaan, maka permintaan itu pasti akan terkabul. Apa kau pernah mendengar hal itu? Apa benar demikian?”

“Entahlah, aku tidak tahu,” jawab Linghu Chong sambil tertawa. “Tapi tidak ada jeleknya kalau kita mencoba-coba. Lebih baik kita bersiap-siap, siapa tahu ada bintang jatuh lagi. Sedikit saja terlambat, kita tidak akan mendapat apa-apa.”

Yilin segera memegangi tali pinggangnya sambil memandang ke angkasa. Saat itu langit sedang cerah dan bintang jatuh cukup sering terlihat. Sesuai dugaan, sebuah bintang jatuh kembali terlihat. Yilin buru-buru membuat simpul namun tidak berhasil. Sesaat kemudian, kembali sebuah bintang jatuh terlihat di angkasa. Kali ini gerakan tangan Yilin lebih cepat sehingga ia berhasil menyelesaikan simpulnya.

“Bagus sekali! Sempurna!” seru Linghu Chong memuji. “Dewi Guanyin memberkatimu, dan permohonanmu pasti menjadi kenyataan.”

“Tapi aku tidak tahu harus meminta apa,” jawab Yilin. “Aku hanya sibuk memikirkan bagaimana membuat simpul dengan cepat sehingga lupa harus meminta apa.”

Linghu Chong tertawa dan berkata, “Sebaiknya kau pikirkan lebih dulu apa keinginanmu. Sebutkan berkali-kali dalam hatimu supaya tidak lupa.”

“Apa yang kuinginkan? Apa yang kuinginkan?” ujar Yilin bergumam sendiri. Begitu menoleh ke arah Linghu Chong seketika wajahnya bersemu merah dan ia pun tertunduk malu. Beberapa menit kemudian kembali terlihat sebuah bintang jatuh.

“Hei, itu ada lagi! Wah, kali ini panjang sekali! Lekas kau pikirkan keinginanmu! Kau punya banyak waktu untuk melakukannya,” seru Linghu Chong gembira.

Akan tetapi, Yilin sendiri sedang kebingungan. Di lubuk hatinya terdapat suatu keinginan namun ia sendiri takut mengungkapkan keinginan tersebut. Jangankan mengatakannya, bahkan berdoa kepada Sang Buddha untuk mewujudkan keinginan ini pun ia tidak berani. Melihat bintang jatuh tersebut jantungnya seketika berdebar kencang. Perasaan senang dan takut bercampur aduk menjadi satu di dalam hatinya.

“Apa yang kau inginkan?” terdengar suara Linghu Chong bertanya.

Yilin diam tidak menjawab. Dalam hati ia balik bertanya, “Apa yang kuinginkan? Apa yang kuinginkan?” Pada saat itu kembali terlihat sebuah bintang jatuh di langit, namun ia hanya termangu-mangu memandangnya.

“Hei, mengapa kau melamun?” tanya Linghu Chong. “Ah, kalau begitu biar aku yang mencoba menebaknya.”

“Tidak, tidak, jangan kau katakan!” cegah si biksuni dengan muka merah.

“Memangnya kenapa?” sahut Linghu Chong. “Biar kutebak tiga kali saja. Coba lihat, apa tebakanku benar atau salah?”

“Tidak, jangan kau katakan! Jika kau terus memaksa, maka aku akan segera pergi,” ujar Yilin sambil bangkit berdiri.

Linghu Chong bergelak tawa dan berkata, “Baiklah, aku tidak akan mengatakannya. Jika dalam hatimu memang ada keinginan untuk menjadi ketua Perguruan Henshan, mengapa harus malu?”

Yilin terkejut dan berpikir, “Hah? Mengapa dia berpikiran kalau aku ingin menjadi ketua Henshan? Mana mungkin aku bisa memikul tanggung jawab sebesar itu? Selamanya juga aku tidak akan pernah punya keinginan seperti itu.”

Tiba-tiba terdengar alunan suara kecapi dari kejauhan. Linghu Chong dan Yilin saling pandang dan masing-masing berpikiran sama, “Mengapa di tengah hutan sunyi ini ada orang bermain kecapi?”

Suara kecapi tersebut sangat merdu, lembut, dan enak didengar. Tiba-tiba di tengah alunan kecapi itu terdengar pula suara seruling mengiringi. Perpaduan kedua jenis musik tersebut sangat serasi, bagaikan bercakap-cakap satu sama lain. Yang satu bertanya, yang lain menjawab. Tidak hanya itu, suara kedua alat musik tersebut juga terdengar semakin mendekat.

Linghu Chong sangat tertarik mendengarnya. Ia pun berbisik kepada Yilin, “Mereka bermain musik di tempat sunyi seperti ini, sungguh aneh. Siapapun mereka, entah kawan atau lawan, sebaiknya kita jangan bersuara sedikit pun.”

Yilin mengangguk. Keduanya pun merunduk dan berlindung di balik semak-semak.

Saat itu nada suara kecapi terdengar semakin keras dan tinggi. Sebaliknya, suara seruling justru semakin rendah. Meskipun demikian, suara seruling itu tidak putus, hanya terdengar lirih dan sayup-sayup tertiup angin. Bahkan, makin menyentuh jiwa bagi siapa yang mendengarnya.

Dari balik batuan gunung Linghu Chong dan Yilin menyaksikan kemunculan tiga sosok bayangan. Di bawah sinar rembulan samar-samar mereka dapat melihat dua sosok bertubuh tinggi dan seorang lainnya lebih pendek. Kedua sosok bertubuh tinggi itu adalah dua orang laki-laki dewasa yang berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan setapak, kemudian duduk di atas batu. Rupanya alunan suara musik tersebut berasal dari mereka. Laki-laki yang satu memainkan seruling, sedangkan yang lainnya memainkan kecapi. Sementara itu, sosok ketiga yang bertubuh lebih pendek adalah seorang gadis kecil yang diam tanpa bersuara dan berdiri di dekat si pemetik kecapi.

Perlahan-lahan Linghu Chong membenamkan kepalanya, tidak berani mengintai lagi. Ia takut ketiga orang itu mengetahui keberadaannya. Meskipun demikian, telinganya tetap menikmati merdunya alunan kedua jenis alat musik tersebut. Perpaduan iramanya sangat serasi dan cocok, serta menentramkan jiwa.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Padahal di dekat sini terdapat air terjun yang suaranya bergemuruh. Tapi entah mengapa derasnya air tidak mampu meredam alunan suara kecapi dan seruling itu? Ah, ternyata mereka berdua memiliki tenaga dalam yang luar biasa. Sungguh hebat kekuatan mereka! Mungkin adanya air terjun ini justru menjadi alasan mengapa mereka memilih bermain musik di sini.”

Tiba-tiba suara kecapi berubah menjadi cepat dan keras seperti lagu peperangan, dan terkadang diselingi suara melengking tinggi membuat hati yang mendengar ikut berguncang. Sebaliknya, irama seruling tetap halus dan lembut penuh keanggunan.

Beberapa saat kemudian, irama kecapi berubah menjadi halus, sedangkan suara seruling berubah tinggi namun juga rendah secara bergantian. Tiba-tiba suara kedua alat musik itu berubah-ubah dalam waktu serentak; seolah ada beberapa orang sedang meniup seruling dan memetik kecapi bersama-sama. Meskipun demikian, irama lagu yang dimainkan tetap terdengar dengan jelas dan menyengangkan, tidak bercampur aduk menjadi satu.

Linghu Chong merasa penasaran dan memberanikan diri untuk kembali mengintai. Ternyata jumlah pemain musik tersebut tetap dua orang. Diam-diam ia semakin kagum terhadap kepandaian kedua orang itu yang bisa memainkan satu jenis alat musik namun seperti mengeluarkan nada yang berbeda-beda.

Suara kecapi dan seruling itu sungguh mempunyai daya pengaruh luar biasa. Linghu Chong merasa pikirannya sulit untuk dikendalikan. Darahnya terasa mendidih, jantungnya pun berdebar kencang. Hampir saja ia bangkit berdiri karena pikirannya tidak bisa diajak tenang.

Sejenak kemudian irama seruling dan kecapi itu kembali berubah. Kali ini bunyi seruling berperan sebagai nada dasar, sementara suara kecapi sebagai pengiringnya. Hanya saja irama kecapi makin lama semakin meninggi.

Entah mengapa, alunan irama seruling tersebut membuat siapa yang mendengar menjadi pilu. Linghu Chong merasa hatinya seperti disayat-sayat. Ketika menoleh ke arah Yilin, ternyata biksuni muda itu juga tampak meneteskan air mata.

Tiba-tiba terdengar suara denting keras mengejutkan, dan seketika bunyi kecapi dan seruling itu berhenti serentak. Suasana lembah pegunungan tersebut kembali sunyi senyap. Hanya sang rembulan tampak menghiasi angkasa raya nan biru kelam.

Sejenak kemudian terdengar salah seorang dari pemain musik itu berkata, “Adik Liu, mungkin sudah suratan takdir kalau hari ini kita harus tewas di sini. Andai saja tadi aku segera turun tangan, tentu keluarga dan murid-muridmu tidak menjadi korban. Sungguh, aku merasa sangat tidak enak kepadamu.”

“Kita ini sudah lama bersahabat, untuk apa harus membahas masalah ini?” sahut rekannya.

Mendengar suara yang kedua tersebut, seketika Yilin pun mengenalinya. Perlahan ia berbisik kepada Linghu Chong, “Yang membawa seruling itu Paman Liu Zhengfeng.”

Baik Yilin ataupun Linghu Chong sama-sama bingung mengapa Liu Zhengfeng yang seharusnya melangsungkan upacara Cuci Tangan Baskom Emas justru berada di tempat seperti ini? Mereka juga heran mengapa kedua orang itu membicarakan suratan takdir serta jatuhnya korban yang terdiri dari keluarga dan murid-murid Liu Zhengfeng?

Terdengar Liu Zhengfeng berkata, “Tidak seorang pun di dunia ini yang bisa lolos dari kematian. Asalkan bisa bertemu sahabat sejati, seseorang dapat mati tanpa menyesal.”

Si pemetik kecapi berkata, “Adik Liu, dari suara serulingmu tadi aku bisa merasakan betapa besar rasa penyesalan di hatimu. Apakah kau sedang menyesali putramu si Liu Qin yang takut mati dan membuat malu dirimu di depan umum tadi?”

“Dugaan Kakak Qu tidak salah,” sahut Liu Zhengfeng kepada si pemetik kecapi yang tidak lain adalah Qu Yang. “Ini semua kesalahanku karena terlalu memanjakan anak itu. Sungguh tak kusangka, ternyata dia tidak punya nyali dan berjiwa pengecut. Benar-benar tidak bisa menjaga kehormatan.”

“Menjaga kehormatan atau tidak, pada akhirnya masuk liang kubur semua – apa bedanya? Ratusan tahun kemudian jasad kita juga akan bercampur menjadi debu, tidak bisa dibedakan lagi,” ujar Qu Yang. “Sebenarnya sudah sejak awal aku mengawasi dari atas genting rumahmu. Aku memang tidak segera turun tangan karena mengira dirimu tidak akan membelaku, mengingat risiko bermusuhan dengan Serikat Pedang Lima Gunung sangat berbahaya. Aku juga teringat tentang sumpahku yang tidak akan menyerang pihak golongan putih terlebih dulu. Maka itu, aku hanya menunggu dan menunggu. Tidak kusangka, ternyata Perguruan Songshan yang merupakan pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung bisa berbuat sekejam itu.”

Liu Zhengfeng diam termenung tanpa menjawab. Selang agak lama barulah ia menghela napas panjang dan berkata, “Mana mungkin orang-orang kasar seperti mereka bisa memahami betapa mulia persahabatan musik kita. Mereka hanya memperhitungkan untung dan rugi saja. Jika persahabatan kita dihitung tidak menguntungkan Serikat Pedang Lima Gunung, mereka pun berusaha merusaknya. Aih, mereka hanya tidak paham sehingga kita tidak sepantasnya menyalahkan mereka. Kakak Qu, kalau boleh tahu apakah titik Dazhui di dadamu terkena pukulan mereka?”

“Benar,” jawab Qu Yang sambil menahan sakit. “Tenaga dalam kedua tokoh Songshan tadi benar-benar hebat. Sungguh tak kusangka, begitu pukulan mereka yang dahsyat itu mendarat di punggungku ternyata langsung menembus badanku dan melukai pembuluh darahmu pula. Sekarang kita sama-sama terluka. Andai saja aku tahu kalau dirimu juga tidak bisa lolos dari tangan mereka, tentu aku tadi tidak perlu menebarkan Jarum Darah Hitam. Untungnya, jarum-jarum tersebut tidak beracun.”

Mendengar itu Linghu Chong terperanjat. Dalam hati ia berkata, “Orang itu memiliki Jarum Darah Hitam? Apakah dia yang telah menyelamatkan nyawaku? Guru pernah bilang bahwa Jarum Darah Hitam adalah senjata rahasia aliran sesat yang terkenal. Mengapa Paman Liu bisa bersahabat dengannya?”

Terdengar Liu Zhengfeng menjawab sambil tertawa, “Memang tidak seharusnya orang-orang yang tidak berdosa ikut menjadi korban. Namun, jika tidak begitu kita berdua tidak akan sampai di sini untuk memainkan lagu indah kita bersama-sama. Untuk selanjutnya, di dunia ini tidak akan ada lagi paduan suara kecapi dan seruling seindah yang kita mainkan.”

Qu Yang menghela napas dan berkata, “Pada zaman dahulu, sebelum dihukum mati Ji Kang sempat memainkan lagu Guanglingsan menggunakan kecapinya. Ia menyesal bahwa setelah kematiannya, maka lagu tersebut akan ikut punah selamanya. Lagu Guanglingsan memang sangat indah, namun mana bisa menandingi keindahan lagu Menertawakan Dunia Persilatan yang baru saja kita mainkan ini? Tapi bagaimanapun juga, perasaan Ji Kang waktu itu mungkin sama persis dengan yang kita rasakan saat ini.”

Liu Zhengfeng tersenyum dan berkata, “Kakak Qu, tadi dirimu sangat bersemangat, tapi mengapa sekarang kembali bersedih? Lagu Menertawakan Dunia Persilatan baru saja kita mainkan dengan sempurna. Kita telah mengerahkan segenap kemampuan kita untuk memainkan lagu paling indah ini. Lagu kita akan tetap abadi sepanjang masa. Jadi, untuk apa lagi harus disesali?”

“Kau benar,” jawab Qu Yang. Ia lalu terdiam agak lama dan kemudian menghela napas panjang.

“Ada apa lagi?” tanya Liu Zhengfeng. “Apakah kau mengkhawatirkan keselamatan Feifei?”

Yilin terperanjat. Dalam hati ia bertanya, “Feifei? Apakah Feifei si gadis kecil kemarin itu?”

Dugaan Yilin tidak salah. Ternyata gadis kecil yang mendampingi Qu Yang memetik kecapi tadi tidak lain adalah Feifei, alias Qu Feiyan. Terdengar gadis itu berkata, “Kakek, lebih baik kau bersama Kakek Liu merawat luka dengan tenang di sini. Kelak kita akan pergi menuntut balas. Setiap jahanam Perguruan Songshan akan kita bunuh habis-habisan, demi membalas sakit hati Nenek Liu dan para kakak yang terbunuh tadi.”

Pada saat itulah tiba-tiba dari balik batu besar muncul seorang pria tertawa terbahak-bahak. Secepat kilat laki-laki itu sudah berdiri di hadapan Qu Yang, Liu Zhengfeng, dan Qu Feiyan sambil menghunus sebilah pedang. Ternyata ia tidak lain adalah Fei Bin si Tapak Songyang Besar dari Perguruan Songshan.

“Hei, anak ingusan bermulut besar!” bentak Fei Bin sambil menyeringai, “jago-jago Songshan akan kau bunuh habis-habisan, memangnya kau bisa?”

Liu Zhengfeng bangkit dan berteriak marah, “Fei Bin, kau dan saudara-saudaramu telah membantai segenap keluargaku. Kini, Kakak Qu dan aku juga sudah terkena pukulan kedua saudaramu. Ajalku sudah dekat, apa lagi yang kau inginkan, hah?”

Fei Bin tertawa dan kembali menoleh ke arah Qu Feiyan. Ia berkata, “Anak ini berkata hendak membunuh segenap anggota Perguruan Songshan kami habis-habisan. Maka itu, kedatanganku kemari adalah untuk mendahuluinya. Gadis kecil, bagaimana kalau kuambil nyawamu terlebih dulu?”

Mendengar itu Yilin pun berbisik di telinga Linghu Chong, “Feifei dan kakeknya telah menyelamatkan nyawamu. Kita harus mencari cara untuk bisa menolong mereka.”

Linghu Chong hanya terdiam tanpa menjawab. Saat itu hatinya sedang bimbang. Sejak tadi ia memang berpikir bagaimana bisa menyelamatkan Qu Yang dan Qu Feiyan untuk membalas budi. Namun, dengan demikian ia harus berhadapan dengan Perguruan Songshan yang merupakan sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Di samping itu, Qu Yang adalah anggota aliran sesat yang merupakan musuh bebuyutan Perguruan Huashan. Jika ia sampai turun tangan menolong kakek dan cucu tersebut, ini berarti melanggar peraturan perguruan sendiri. Alasan-alasan inilah yang membuatnya tidak tahu harus bagaimana mengambil keputusan.

Kembali terdengar suara Liu Zhengfeng membuyarkan pikiran Linghu Chong, “Fei Bin, kau ini seorang tokoh terhormat dari golongan putih. Sekarang ini Qu Yang dan Liu Zhengfeng sedang menanti ajal dan jatuh pula ke tanganmu. Kami tidak takut harus mati di tanganmu atau kau siksa pelan-pelan terlebih dulu. Tapi, kalau kau sampai menganiaya seorang anak kecil, apakah ini termasuk perbuatan kesatria? Feifei, pergilah dari sini! Lekas!”

“Tidak mau!” jawab Qu Feiyan. “Aku lebih baik tetap di sini dan mati bersama Kakek berdua.”

“Lekas pergi dari sini! Urusan orang tua tidak ada sangkut pautnya dengan anak kecil seperti dirimu,” desak Liu Zhengfeng.

“Tidak mau! Aku tidak mau pergi!” sahut Qu Feiyan tegas. Ia kemudian mengeluarkan kedua pedang pendek yang tergantung di pinggangnya. Kepada Fei Bin ia berkata, “Fei Bin, Kakek Liu telah mengampuni nyawamu di pertemuan tadi, tapi sekarang kau tetap mengejarnya dengan penuh kebencian. Apa kau tidak tahu malu, hah?”

Fei Bin tertawa dan berkata dengan wajah menghina, “Kau hendak menumpas habis Perguruan Songshan? Memangnya si marga Fei ini rela disembelih begitu saja oleh seorang anak kecil?”

Liu Zhengfeng buru-buru menarik lengan Qu Feiyan sambil berkata, “Lekas pergi dari sini dan jangan hiraukan dia!” Namun, keadaannya sudah sangat payah dan ia sama sekali tidak punya tenaga untuk menarik gadis kecil itu pergi. Bagaimanapun juga, Liu Zhengfeng dan Qu Yang sama-sama terluka parah akibat pukulan Ding Mian dan Lu Bai siang tadi. Di samping itu, mereka baru saja mengerahkan tenaga dalam masing-masing untuk memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan di dekat air terjun deras.

Maka, Qu Feiyan dapat dengan mudah melepaskan dirinya dari tangan Liu Zhengfeng dan maju selangkah. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan pedang Fei Bin sudah berkelebat mengancam muka gadis kecil itu.

Dengan cepat Qu Feiyan menangkis menggunakan pedang di tangan kiri, sementara pedang di tangan kanan digunakannya untuk membalas tusukan. Fei Bin tertawa mengejek. Ia hanya memutar pedangnya ke bawah, untuk selanjutnya memukul pedang Qu Feiyan hingga jatuh ke tanah. Gadis kecil itu merasa tangannya sampai tergetar kesakitan.

Fei Bin lantas memutar kembali pedangnya dari atas ke bawah untuk menghantam pedang Qu Feiyan yang satunya lagi hingga terlempar ke udara. Menyusul kemudian ia pun menodong tenggorokan si gadis kecil itu dengan pedangnya.

“Tetua Qu,” kata Fei Bin kepada Qu Yang sambil tertawa. “Aku lebih dulu akan mencongkel kedua mata cucu perempuanmu ini, baru kemudian memotong hidungnya, mengiris telinganya....”

Mendadak Qu Feiyan menerjang maju untuk menyodorkan lehernya sendiri ke ujung pedang Fei Bin. Gadis kecil ini benar-benar nekad lebih baik mati daripada disiksa oleh jagoan Songshan tersebut. Namun Fei Bin dengan cepat menarik mundur pedangnya dan berkelit ke samping. Disusul kemudian tangan kirinya menotok titik nadi pada bahu kanan Qu Feiyan sehingga gadis kecil itu jatuh tersungkur tak bisa bergerak lagi.

“Kejahatan aliran sesat sudah melebihi batas. Kalau ingin mati tidak boleh semudah itu,” ujar Fei Bin sambil bergelak tawa. “Pertama-tama biar kucongkel dulu mata kirimu, anak kecil!”

Usai berkata demikian, Fei Bin mengacungkan pedangnya siap menusuk mata kiri Qu Feiyan. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara berseru, “Tunggu dulu!”

Fei Bin terkejut dan segera berpaling ke arah suara dengan posisi siap bertempur. Dalam hati ia berkata, “Celaka! Kenapa aku tidak menyadari ada orang bersembunyi di belakangku?”

Pandangan Fei Bin memang hanya tertuju kepada ketiga lawannya. Ia sama sekali tidak menyadari kalau Linghu Chong dan Yilin sejak awal sudah bersembunyi menyaksikan segalanya.

Di bawah temaram sinar rembulan, Fei Bin dapat melihat seorang pemuda berdiri sambil berkacak pinggang, tapi wajahnya pucat pasi seperti mayat.

“Siapa kau?” bentak Fei Bin.

“Linghu Chong dari Perguruan Huashan menyampaikan salam hormat kepada Paman Fei,” jawab si pemuda sambil membungkukkan badan. Tapi karena tubuhnya masih lemah, ia terlihat agak sempoyongan.

“Ternyata kau,” sahut Fei Bin senang. “Kau ini murid pertama Kakak Yue, bukan? Apa yang sedang kau kerjakan di sini?”

“Saya telah dilukai murid Perguruan Qingcheng dan terpaksa merawat luka di sini, sehingga terlambat memberi hormat kepada Paman Fei. Mohon dimaafkan,” jawab Linghu Chong.

“Bagus sekali, kedatanganmu sungguh tepat waktu,” ujar Fei Bin. “Anak perempuan ini adalah iblis kecil dari aliran sesat Jika aku yang turun tangan rasanya kurang pantas seorang angkatan tua melawan anak kecil. Lebih baik kau saja yang membunuhnya,” lanjutnya sambil menunjuk hidung Qu Feiyan.

Namun Linghu Chong menggelengkan kepala dan berkata, “Kakek gadis kecil ini adalah saudara angkat Paman Liu. Kalau dihitung-hitung, maka saya ini juga satu angkatan di atasnya. Jika saya membunuhnya, orang persilatan akan menuduh hal yang sama kepada saya; yaitu angkatan tua menganiaya yang lebih muda. Lagipula, Paman Liu dan Sesepuh Qu sudah terluka parah. Membunuh seorang anak kecil di hadapan mereka yang tidak mungkin bisa melawan jelas bukan perbuatan kaum kesatria. Kami dari Perguruan Huashan pantang berbuat seperti itu. Mohon Paman Fei sudi memberi maaf.”

Ucapan Linghu Chong dengan sendirinya telah menyindir Perguruan Songshan. Seolah-olah ia mengatakan bahwa Perguruaan Huashan lebih mulia daripada Perguruan Songshan apabila Fei Bin melanjutkan niatnya.

Seketika Fei Bin memandang pemuda itu dengan sorot mata tajam. Ia lalu berkata, “Ah, rupanya diam-diam kau juga bersekongkol dengan aliran sesat. Aku ingat sekarang, Liu Zhengfeng pernah bercerita bahwa dirimu pernah ditolong oleh iblis bermarga Qu ini. Sungguh tak disangka, Perguruan Huashan yang terhormat memiliki murid pengkhianat seperti dirimu.”

Usai berkata demikian, Fei Bin mengibaskan pedangnya siap menyerang Linghu Chong. Melihat itu, Liu Zhengfeng berteriak, “Keponakan Linghu, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan dirimu. Pergilah sekarang juga. Jangan membuat sulit gurumu.”

Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Paman Liu, sebagai kaum golongan putih, kita pantang hidup berdampingan dengan golongan hitam. Akan tetapi, kalau seorang pendekar golongan putih hanya berani menggertak lawan yang sudah payah, apakah perbuatannya itu tidak sama dengan golongan hitam? Apa membunuh seorang anak kecil pantas disebut sebagai perbuatan kesatria?”

“Golongan kami yang kalian sebut sesat juga pantang melakukan perbuatan rendah seperti itu,” sahut Qu Yang. “Saudara Linghu, silakan kau pergi saja dari sini. Kalau Perguruan Songshan suka melakukan perbuatan hina, itu urusan mereka. Biarlah mereka mengumbar kesenangan itu di sini.”

“Aku tidak akan pergi,” jawab Linghu Chong sambil menggigit bibir menahan sakit. “Paman Fei Bin alias Si Tapak Songyang Besar sudah pasti bukan termasuk kaum seperti itu. Beliau adalah salah satu kesatria hebat dalam Perguruan Songshan. Aku yakin Beliau tidak akan melakukan perbuatan memalukan.” Usai berkata demikian ia lantas melipat tangan di depan dada sambil bersandar pada sebatang pohon kelapa.

Ucapan tersebut justru membuat Fei Bin semakin murka. Ia berkata, “Huh, kau kira ucapanmu itu bisa membuatku mengampuni ketiga iblis jahanam ini? Jangan mimpi, Linghu Chong. Jika kau melibatkan diri dalam urusan ini, maka jangan salahkan aku kalau kau sampai mati di sini. Bagiku, tidak ada bedanya membunuh empat orang sekaligus atau satu per satu.” Usai berkata demikian, ia lantas melangkah maju.

Linghu Chong sendiri tetap berusaha tenang meskipun hatinya sangat gelisah. Ia berkata, “Paman Fei, apakah kau berniat membunuhku untuk melenyapkan saksi mata atas perbuatanmu yang kotor ini?”

“Pintar sekali! Tebakanmu benar,” sahut Fei Bin sambil terus melangkah maju.

Pada saat itulah tiba-tiba dari balik sebongkah batu besar muncul seorang biksuni muda yang berkata, “Paman Fei, lautan derita tiada ujungnya, berpaling kembali adalah jalan menuju ke tepi. Paman Fei berniat melakukan perbuatan dosa, namun belum menjadi kenyataan. Hendaknya kau mengekang diri sebelum jatuh ke dalam jurang kenistaan.”

Biksuni tersebut tidak lain adalah Yilin. Sebenarnya ia diminta Linghu Chong untuk tetap bersembunyi di balik batu. Namun, begitu melihat pemuda itu terancam bahaya, ia pun memberanikan diri keluar demi untuk mencegah Fei Bin berbuat lebih lanjut.

Melihat kemunculannya itu, Fei Bin pun terkejut dan bertanya, “Hei, apa kau ini biksuni dari Perguruan Henshan? Mengapa kau bermain sembunyi-sembunyi di situ, hah?”

Yilin sangat gugup dan hanya bisa menjawab, “Aku... aku....”

Qu Feiyan yang tergeletak di tanah karena tertotok titik nadinya ikut berkata, “Kakak Yilin, aku sudah menduga kalau kau pasti sedang bersama Kakak Linghu. Ternyata kau sudah menyembuhkan lukanya. Tapi sayang, kita semua akan mati di sini.”

“Tidak mungkin,” ujar Yilin menggelengkan kepala. “Paman Fei seorang kesatria ternama di dunia persilatan. Mana mungkin Beliau menyakiti gadis kecil seperti dirimu dan orang-orang terluka seperti Paman Liu dan kakekmu?”

“Apa benar begitu? Apa benar dia itu seorang kesatria?” sahut Qu Feiyan sambil mencibir.

“Perguruan Songshan adalah pimpinan Serikat Pedang Lima Gunung, juga pemimpin para pendekar golongan putih,” jawab Yilin. “Apa saja yang mereka lakukan pasti berdasar atas kebenaran dan keadilan.”

Perkataan Yilin ini benar-benar muncul dari lubuk hatinya yang polos dan lugu. Sama sekali tidak ada maksud menyindir seperti yang dilakukan Linghu Chong tadi. Hal ini dapat dimaklumi, karena sejak kecil ia hidup di dalam biara sehingga semua orang di luar dianggapnya baik dan taat agama.

Sebaliknya, Fei Bin menganggap ucapan Yilin sebagai sindiran belaka. Dalam hati ia berpikir, “Aku tidak boleh membiarkan seorang pun dari mereka yang tetap hidup. Jika sampai ada yang lolos dan bercerita kepada banyak orang, tentu nama baikku di dunia persilatan akan hancur. Orang lain akan mengolok-olok perbuatanku yang membunuh mereka dengan cara tidak kesatria ini.”

Setelah memutuskan demikian, Fei Bin segera mengacungkan pedangnya ke arah Yilin sambil berkata, “Kau ini satu-satunya yang tidak terluka. Bagaimana kalau aku membunuhmu terlebih dulu?”

Bukan main terkejutnya Yilin sehingga ia pun berseru, “Hah? Aku... aku? Mengapa Paman Fei hendak membunuh... membunuhku?”

“Kau juga terlibat persekongkolan dengan aliran sesat!” bentak Fei Bin. “Buktinya, kau dipanggil ‘kakak’ oleh iblis kecil ini. Dengan demikian kau pun tidak boleh lolos dari sini.” Sambil berkata demikian pria itu maju dan menusukkan pedangnya ke arah Yilin.

Dengan cepat Linghu Chong melompat dan berdiri membelakangi Yilin untuk melindungi biksuni muda itu. “Adik, pergilah dari sini! Cari gurumu supaya lekas datang kemari menolong kita!” ujarnya kemudian. Tentu saja itu hanya alasan Linghu Chong supaya Yilin segera pergi menyelamatkan diri. Lagipula, mana mungkin Yilin bisa mencari dan mengajak Biksuni Dingyi ke tempat itu dalam waktu sekejap?

Namun Fei Bin tampaknya tidak mau memberi kesempatan sedikit pun. Ia mengayunkan pedangnya ke arah bahu kanan Linghu Chong namun pemuda itu sempat menghindar. Berkali-kali ia lantas menusukkan pedangnya membuat Linghu Chong terdesak kewalahan.

Melihat itu Yilin segera mencabut pedang patahnya untuk menghadapi serangan Fei Bin sambil berseru, “Kakak Linghu, kau belum sembuh benar. Lekas mundur saja, biar aku yang menghadapinya!”

“Hahahaha! Rupanya biksuni ini sudah jatuh cinta kepada si pemuda ganteng sehingga tidak lagi memedulikan keselamatan diri sendiri,” seru Fei Bin sambil tertawa menggoda. Dengan cepat pedangnya menebas ke depan. Yilin pun menangkis. Namun begitu pedang mereka beradu, pedang patah Yilin langsung terlepas dari pegangan dan terlempar jauh. Tanpa berhenti di situ, Fei Bin terus memburu ke depan dan mengancam dada Yilin dengan pedangnya. Bagaimanapun juga ia bertekad untuk melenyapkan kelima orang di tempat itu.

Yilin menjerit kaget dan mencoba untuk menghindar. Namun ujung pedang Fei Bin sudah menempel di ulu hatinya. Untungnya pada saat yang gawat itu Linghu Chong melompat maju dengan maksud mencolok mata Fei Bin menggunakan kedua jarinya. Mau tidak mau Fei Bin terpaksa melompat mundur daripada kehilangan mata. Meskipun pedangnya tidak sampai menewaskan Yilin, namun sempat menggores lengan Linghu Chong cukup panjang.

Yilin melihat Linghu Chong berdiri sempoyongan setelah berhasil menyelamatkan jiwanya. Dengan cepat ia pun memapah pemuda itu dan berkata dengan nada cemas, “Kakak Linghu, biarlah kita mati bersama di ujung pedangnya.”

“Kau... kau cepatlah pergi dari sini!” seru Linghu Chong dengan napas terengah-engah.

“Dasar bodoh!” sahut Qu Feiyan tiba-tiba. “Sampai sekarang kau belum tahu isi hatinya? Dia ingin... dia ingin mati bersamamu....”

Belum habis ucapan gadis kecil itu tiba-tiba pedang Fei Bin sudah bergerak menusuk dadanya. Qu Feiyan pun tewas seketika.

Qu Yang, Liu Zhengfeng, Linghu Chong, dan Yilin menjerit bersamaan. Namun Fei Bin tidak peduli. Dengan mulut menyeringai, ia menghampiri Linghu Chong dan Yilin selangkah demi selangkah. Butir-butir darah tampak menetes dari ujung pedangnya.

Linghu Chong termangu-mangu melihat perbuatan Fei Bin yang tidak kenal ampun itu. Dalam hati ia berpikir, “Dia... dia tega membunuh seorang anak kecil. Betapa kejam! Sebentar lagi giliranku yang akan mati. Tapi, mengapa Adik Yilin ingin mati bersamaku? Memang aku pernah menyelamatkan kehormatannya. Tapi, dia sendiri telah mengobati lukaku sampai sembuh. Antara kami sudah tidak ada hutang budi lagi. Sesama anggota Serikat Pedang Lima Gunung memang terjalin hubungan saudara, namun baru kali ini aku dan dia saling kenal. Memang sesama kaum persilatan biasa menjunjung tinggi sikap setiakawan, tapi rasanya tidak perlu sampai seperti ini. Aku tidak menyangka murid-murid Henshan sedemikian gigih dalam membela persaudaraan. Aih, Bibi Dingyi sungguh berhasil dalam mendidik murid-muridnya. Dalam keadaan gawat seperti sekarang, Adik Yilin akan mati bersama denganku, kenapa bukan... kenapa bukan Adik Kecil yang berada di sini? Hm, sedang apa pula dia sekarang?”

Sambil menghela napas panjang, Linghu Chong tersenyum getir. Perlahan ia menutup mata menunggu Fei Bin yang mendekatinya selangkah demi selangkah dengan wajah menyeramkan. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara alunan rebab mendayu-dayu menuju ke arah mereka. Didorong rasa terkejut, Linghu Chong pun membuka mata.

Mendengar suara rebab yang bernada sedih itu, Fei Bin langsung menoleh dan berpikir, “Tuan Besar Mo si Malam Hujan di Xiaoxiang ada di sini.”

Suara rebab itu terdengar semakin memilukan dan menyayat hati. Namun Tuan Besar Mo tidak juga terlihat datang. Fei Bin pun berseru, “Tuan Besar Mo, mengapa kau tidak ikut bergabung di sini?”

Seketika suara rebab pun berhenti. Dari balik sebatang pohon cemara muncul seorang laki-laki kurus memegang sebuah rebab di tangan kiri.

Sudah lama Linghu Chong mendengar nama besar Tuan Besar Mo si Malam Hujan di Xiaoxiang, namun sama sekali belum pernah bertemu dengannya. Di bawah sinar rembulan ia melihat seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering berdiri di hadapan Fei Bin. Memang Fei Bin sendiri sudah cukup kurus, namun Tuan Besar Mo jauh lebih kurus lagi, seolah tinggal tulang terbungkus kulit. Diam-diam Linghu Chong merasa heran mengapa seorang tokoh sakti dalam dunia persilatan memiliki potongan tubuh yang sangat buruk seperti penderita penyakit paru-paru? Andai saja Fei Bin tidak menyapa, mungkin ia tidak akan percaya kalau orang itu adalah ketua Perguruan Hengshan yang terkenal.

Sambil tetap memegang rebab, Tuan Besar Mo merangkap tangan memberi hormat kepada Fei Bin. “Adik Fei, apakah Ketua Zuo sehat-sehat saja?”

Fei Bin teringat bahwa hubungan antara Tuan Besar Mo dengan Liu Zhengfeng kurang akrab. Maka, ia pun menjawab pertanyaan tersebut dengan ramah, “Terima kasih atas perhatian Tuan Besar Mo. Kakak Ketua baik-baik saja. Tapi, Liu Zhengfeng dari perguruan kalian ini bergaul dengan aliran sesat untuk menghancurkan Serikat Pedang Lima Gunung. Bagaimana sebaiknya menurut Tuan Besar Mo?”

Tuan Besar Mo maju dua langkah mendekati Liu Zhengfeng sambil tersenyum dingin. Ia lantas berkata, “Orang seperti ini harus dibunuh.”

Usai berkata demikian ia langsung mencabut pedang tipisnya yang tersimpan di dalam rebab. Namun demikian, pedang itu bukan dipakai untuk menusuk Liu Zhengfeng, tetapi diayunkannya ke arah dada Fei Bin. Serangan Tuan Besar Mo ini sangat cepat dan tidak terduga. Yang ia gunakan adalah salah satu dari Tiga Belas Jurus Hantu Kabut Hengshan.

Fei Bin sangat terkejut. Sebelumnya ia telah dipecundangi Liu Zhengfeng menggunakan jurus ini, dan sekarang harus jatuh lagi untuk yang kedua kalinya di tangan Tuan Besar Mo. Dengan perasaan tidak percaya, jagoan Songshan ini melompat mundur namun ujung pedang lawan sempat menggores dadanya. Meskipun luka tersebut tidak terlalu dalam, namun cukup membuat Fei Bin marah sehingga kurang waspada.

Fei Bin berusaha menyerang balik, namun pihak lawan sudah terlanjur menguasai keadaan. Setelah serangan pertamanya berhasil, Tuan Besar Mo melancarkan serangan-serangan selanjutnya susul-menyusul dengan sangat cepat. Pedangnya yang tipis dan lentur berkelebat dan meliuk-liuk seperti seekor ular menyergap mangsa. Dalam waktu singkat, Fei Bin pun terdesak sambil sesekali menjerit ngeri.

Sementara itu, Qu Yang, Liu Zhengfeng, dan Linghu Chong terperanjat kagum menyaksikan kecepatan tangan Tuan Besar Mo yang menyerang musuhnya tanpa ampun. Liu Zhengfeng sendiri puluhan tahun belajar bersama dengan Tuan Besar Mo di dalam perguruan yang sama, namun baru kali ini menyaksikan secara langsung kepandaian tersembunyi dari kakak seperguruannya itu. Ia merasa Jurus Hantu Kabut Hengshan yang dimainkan sang kakak jauh lebih hebat daripada yang bisa ia lakukan.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar