Pendekar Hina Kelana Jilid 126-130 (Tamat)

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 126-130 (Tamat) Ren Woxing berkata kepada Linghu Chong, “Adik cilik, begitu mendengar panggilanku, kau langsung naik ke sini,
Ren Woxing berkata kepada Linghu Chong, “Adik cilik, begitu mendengar panggilanku, kau langsung naik ke sini, sungguh bagus sekali! Bagus sekali!” Ia lalu berpaling kepada Xiang Wentian dan bertanya, “Mengapa orang-orang keempat perguruan yang lain hingga kini masih belum datang juga?”

“Hamba akan mendesaknya lagi!” jawab Xiang Wentian. Ia lantas mengangkat tangan kiri sebagai isyarat. Segera delapan orang tua berseragam kuning berbaris ke depan puncak tersebut dan berteriak bersama, “Ketua Ren, pemimpin Sekte Matahari dan Bulan yang perkasa dan bijaksana memberikan titah agar semua ketua dan murid Perguruan Taishan, Hengshan, Huashan, dan Songshan segera menghadap ke puncak ini. Para ketua balai diperintahkan untuk mendesak mereka secepatnya, jangan sampai lalai!”

Kedelapan orang tua itu masing-masing memiliki tenaga dalam yang sangat kuat. Suara mereka serentak berkumandang hingga jauh dan terdengar di setiap puncak gunung sekitarnya. Sesaat kemudian terdengarlah suara balasan dari berbagai penjuru, yaitu berpuluh-puluh orang menjawab bersamaan, “Kami menerima titah! Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan sepanjang masa!” Suara jawaban ini jelas berasal dari para ketua balai tersebut.

Ren Woxing lalu berkata dengan tersenyum, “Ketua Linghu, silakan duduk di sebelahku sini.”

Linghu Chong melihat di sebelah barat telapak tangan batu itu berbaris lima buah kursi, dan pada setiap kursi tampak dilapisi kain sutra dengan warna-warna yang berbeda, yaitu hitam, putih, hijau, merah, dan kuning. Masing-masing kain sutra tersebut bersulamkan gambar sebuah puncak gunung. Kursi yang disediakan untuk Linghu Chong dilapisi kain sutra berwarna hitam yang bersulamkan gambar Puncak Jianxing, yaitu puncak utama Gunung Henshan. Ini menunjukkan betapa rapi Sekte Matahari dan Bulan mempersiapkan segala sesuatunya.

Dalam urutan Serikat Pedang Lima Gunung, yang biasanya disebut pertama kali adalah Perguruan Songshan, sedangkan Perguruan Henshan selalu disebut paling akhir. Namun, kini tempat duduk ketua Perguruan Henshan justru diputar balik menjadi yang paling dekat dengan Ren Woxing, kemudian disusul Perguruan Huashan, Hengshan, Taishan, hingga akhirnya Perguruan Songshan diletakkan pada urutan paling belakang. Jelas Ren Woxing sengaja hendak merendahkan Zuo Lengchan.

Mengingat Zuo Lengchan, Yue Buqun, Tuan Besar Mo, dan Pendeta Tianmen sudah meninggal semua, maka Linghu Chong merasa tidak perlu segan-segan lagi. Ia pun membungkukkan badan dan menjawab, “Baik, aku akan duduk di sana.” Usai berkata demikian pemuda itu lantas duduk di kursi berlapis sutra hitam yang disediakan untuknya.

Suasana di Puncak Menyongsong Mentari sunyi senyap. Tidak seorang pun yang datang ke tempat itu. Selang agak lama Xiang Wentian kembali memberi perintah agar kedelapan orang tua tadi berteriak sekali lagi. Namun demikian, tetap saja tiada seorang pun yang datang.

Xiang Wentian berkata, “Orang-orang ini benar-benar tidak tahu diri. Sudah sekian lama mereka masih juga belum datang memberikan sembah pada Ketua. Lekas perintahkan orang-orang kita naik lebih dulu kemari!”

Kedelapan orang tua berseragam kuning tadi lantas berseru serentak, “Saudara-saudara dari pulau-pulau, gua-gua, gunung-gunung, dan berbagai perkumpulan sungai dan laut, dipersilakan naik ke atas Puncak Menyongsong Mentari untuk menghadap Ketua!”

Baru saja kata “Ketua” selesai diucapkan, serentak di sekitar puncak gunung itu bergema suara jawaban, “Kami menerima perintah!” Begitu dahsyat suara ini hingga bergemuruh dan menggetarkan lembah pegunungan tersebut.

Linghu Chong terperanjat mendengar suara yang riuh ramai itu. Dari suara gemuruh tersebut dapat diperkirakan paling tidak diteriakkan oleh dua-tiga puluh ribu orang. Padahal tadinya suasana begitu sunyi senyap, tahu-tahu bergema suara orang sebanyak ini. Jelas sebelumnya mereka sengaja disembunyikan oleh Ren Woxing dengan tujuan muncul secara tiba-tiba untuk membuat gentar pihak Serikat Pedang Lima Gunung supaya tidak berani melakukan perlawanan.

Dalam sekejap saja ribuan orang telah muncul dan membanjir menuju Puncak Menyongsong Mentari dari berbagai penjuru. Meski jumlah orang itu sangat banyak, namun sama sekali tidak mengeluarkan suara berisik. Setiap orang berdiri di tempat masing-masing secara rapi dan teratur. Sepertinya mereka sudah terlatih dengan baik sebelumnya. Yang naik ke atas puncak itu hanya dua-tiga ribu orang saja, dan masing-masing memiliki kedudukan semacam ketua perkumpulan, ketua pulau, ketua gunung, dan sebagainya. Sementara itu, anak buah mereka tetap menunggu di lereng gunung.

Sekilas pandang Linghu Chong melihat dalam barisan itu terdapat Lan Fenghuang, Zu Qianqiu, Lao Touzi, Ji Wushi, Sima Da, dan Huang Boliu. Meskipun tidak tinggal di Tebing Kayu Hitam, namun mereka berada di bawah pengaruh Sekte Matahari dan Bulan. Sewaktu Linghu Chong memimpin para jagoan silat golongan hitam menyerbu Biara Shaolin waktu itu, orang-orang ini ikut mengambil bagian, bahkan menjadi orang-orang penting yang ikut mengatur siasat. Begitu melihat Linghu Chong duduk di kursi kehormatan, orang-orang itu memandang sekilas dengan sedikit tersenyum. Sedikit pun mereka tidak berani bersuara, apalagi menyapa.

Xiang Wentian lantas mengangkat tangan kanan dan menggambar setengah lingkaran di udara. Serentak beribu-ribu orang itu pun berlutut dan berteriak, “Hamba sekalian menyampaikan sembah bakti kepada Ketua Ren, pemimpin Sekte Matahari dan Bulan, sang juruselamat yang mahabijaksana. Semoga Ketua Suci panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya!”

Orang-orang ini masing-masing memiliki kepandaian yang tinggi, sehingga teriakan mereka pun disertai tenaga dalam pula. Teriakan satu orang saja bagaikan teriakan sepuluh manusia biasa. Begitu mereka mengucapkan “semoga Ketua panjang umur dan seterusnya” serentak anak buah masing-masing yang tersebar di segenap penjuru ikut berteriak. Akibatnya tentu luar biasa. Suasana di tempat itu pun bergemuruh seakan-akan menggetarkan langit dan mengguncangkan bumi.

Ren Woxing duduk diam dengan tenang di tempatnya. Setelah sanjung puji yang diteriakkan orang-orang itu benar-benar selesai, barulah ia mengangkat sebelah tangan dan berkata, “Saudara-saudaraku telah bekerja keras, sekarang silakan bangun!”

“Terima kasih, Ketua Suci!” seru beribu-ribu orang itu sambil bangkit bersama-sama.

Melihat ini Linghu Chong berpikir, “Sewaktu datang ke Tebing Kayu Hitam dulu aku benar-benar ingin muntah melihat sanjung puji anggota Sekte Matahari dan Bulan terhadap Dongfang Bubai. Tak kusangka, setelah Ren Woxing menjadi ketua, keadaan benar-benar semakin buruk. Mereka bahkan menambahkan sebutan “ketua suci” segala. Aku seperti melihat para sarjana dan perwira kerajaan datang menghadap dan merendahkan diri demi menyembah kaisar. Aku hanyalah seorang pendekar biasa. Kalau aku sampai melakukan perbuatan menjijikkan seperti ini, apakah aku masih pantas disebut laki-laki sejati?”

Saat berpikir demikian tiba-tiba perutnya merasa kesakitan, pandangan menjadi gelap, kepala terasa pusing pula, dan hampir saja ia jatuh pingsan. Lekas-lekas ia pun memegang tepi kursi dengan kencang sambil menggigit bibir hingga berdarah demi menahan rasa sakit yang luar biasa itu. Sejak mempelajari Jurus Penyedot Bintang, ia telah bersumpah tidak akan menggunakan ilmu kejam tersebut. Namun, ketika terperangkap di dalam jala yang dilemparkan Yue Buqun tadi, terpaksa ia menggunakan ilmu itu untuk menghisap tenaga dalam sang guru. Akibatnya justru menyiksa diri sendiri seperti ini.

Sekuat tenaga ia menahan rasa sakit agar mulut tidak sampai mengeluarkan suara rintihan. Tampak butir-butir keringat berjatuhan di keningnya, sekujur tubuh gemetar, otot wajahnya berkerut-kerut, pertanda betapa berat penderitaan yang ia rasakan. Setiap orang dapat melihat hal ini dengan jelas. Zu Qianqiu dan yang lain tampak memandangnya dengan penuh perhatian dan rasa khawatir.

Ren Yingying berjalan mendekati dan berkata lirih, “Kakak Chong, aku ada di sisimu!”

Andaikan mereka berada di tempat yang sepi tentu ia sudah memegang tangan sang kekasih untuk memberikan semangat. Namun, di bawah tatapan beribu-ribu pasang mata, terpaksa ia hanya dapat mengucapkan kata-kata tersebut, itu pun dengan wajah merah menahan malu.

Linghu Chong lantas menoleh dan memandang Ren Yingying sekejap. Ia merasa agak terhibur dan rasa sakitnya sedikit berkurang. Teringat olehnya apa yang pernah dikatakan Ren Woxing di Hangzhou dahulu, bahwa setelah mempelajari Jurus Penyedot Bintang dan menghisap bermacam-macam tenaga dalam milik orang lain ke dalam tubuh sendiri, maka pada suatu hari kelak himpunan hawa murni tersebut pasti akan bergolak hebat. Setiap kali penyakit ini kambuh tentu akan semakin hebat daripada sebelumnya, dan ini berarti tubuh pun akan semakin tersiksa.

Itulah sebabnya mengapa Ren Woxing menyerahkan urusan agama kepada Dongfang Bubai. Ia merasa penyakitnya itu sering kambuh dan sangat menyiksa. Dengan mengambil cuti dari jabatannya, ia berusaha mencari cara untuk bisa memusnahkan gangguan berbagai macam hawa murni liar tersebut. Akibatnya, kesempatan ini justru dimanfaatkan Dongfang Bubai untuk memberontak dan mengurungnya di bawah Danau Barat.

Selama terpenjara di dasar Danau Barat di daerah Hangzhou itulah, Ren Woxing akhirnya berhasil melatih cara memusnahkan gabungan hawa murni liar yang mengamuk di dalam tubuhnya. Ia lantas menawarkan diri kepada Linghu Chong untuk mengajarkan ilmu tersebut dengan syarat pemuda itu harus masuk ke dalam Sekte Matahari dan Bulan. Namun, Linghu Chong dengan tegas menolak tawaran Ren Woxing tersebut, karena sejak kecil ia telah dididik untuk membenci Sekte Matahari dan Bulan sebagai aliran sesat dan tidak boleh bergaul dengan agama iblis tersebut.

Seiring berjalannya waktu, Linghu Chong menyaksikan sendiri bagaimana Zuo Lengchan dan Yue Buqun yang selama ini menamakan diri sebagai guru besar dari aliran lurus bersih, namun perbuatan mereka ternyata jauh lebih culas dan keji daripada orang-orang aliran sesat. Kini baginya, perbedaan antara golongan hitam dan golongan putih menjadi rancu dan tidak jelas lagi. Terkadang timbul pula pikiran dalam benaknya, andaikan Ren Woxing kembali mengharuskannya masuk agama sebagai syarat untuk menikahi Ren Yingying, tentu ajakan tersebut akan diterimanya tanpa membantah.

Dasar watak Linghu Chong memang suka apa adanya, segala macam persoalan tidak pernah dianggapnya sungguh-sungguh. Baginya apakah harus masuk agama atau tidak sama, sekali bukan persoalan penting. Namun, tempo hari sewaktu ia menyaksikan secara langsung bagaimana para anggota Sekte Iblis menjilat dan memuja Dongfang Bubai dan kemudian Ren Woxing secara berlebihan, seketika timbul rasa muak di dalam hatinya. Sebagai seorang bebas merdeka, ia sama sekali tidak sudi diperbudak dan mengucapkan sanjung puji dengan merendahkan diri seperti pengemis.

Hari ini, ia pun melihat betapa Ren Woxing mengagungkan diri sendiri. Lagaknya jauh lebih hebat dan berkuasa daripada seorang kaisar maharaja. Padahal, dulu ia sangat menderita sewaktu terkurung di dasar Danau Barat. Kini setelah berkuasa, ia memperlakukan segenap kaum kesatria dunia persilatan dengan sedemikian hina, sedemikian rendahnya, seolah-olah mereka bukan manusia.

Ketika Linghu Chong larut dalam lamunannya, tiba-tiba ia mendengar suara seseorang berseru, “Lapor kepada Ketua Suci, murid-murid Perguruan Henshan telah tiba!”

Linghu Chong terkejut seketika. Ia melihat Yihe, Yiqing, Yilin, dan yang lain bahu-membahu naik ke atas puncak tersebut. Biksu Bujie dan istrinya, serta Tian Boguang juga ikut di belakang mereka.

Segera seorang tetua Sekte Matahari dan Bulan berseru, “Kawan-kawan sekalian, silakan memberi hormat kepada Ketua Suci!” Yang bicara ini tidak lain adalah Bao Dachu.

Melihat Linghu Chong juga ada di sana, Yiqing dan yang lain sadar bahwa Ren Woxing adalah calon mertua ketua mereka itu. Meskipun mereka berpikir bahwa golongan hitam dan putih tidak seharusnya berdampingan, namun demi menghargai sang ketua, tiada salahnya sebagai kaum muda memberi hormat kepada angkatan tua.

Maka, Yiqing pun memimpin saudara-saudaranya berjalan mendekati telapak tangan batu raksasa tersebut, lantas membungkukkan tubuh dan berkata, “Kami dari Perguruan Henshan memberi salam hormat kepada Ketua Ren!”

“Berlutut dan menyembah!” bentak Bao Dachu.

“Kaum biarawati seperti kami hanya menyembah kepada Sang Buddha, menyembah kepada Boddhisatwa, dan menyembah kepada guru,” sahut Yiqing lantang. “Kami sama sekali tidak menyembah manusia biasa.”

“Ketua Suci bukan manusia biasa,” seru Bao Dachu. “Beliau seorang nabi, seorang dewa, seorang buddha, seorang boddhisatwa!”

Yiqing lantas berpaling ke arah Linghu Chong. Tampak pemuda itu menggeleng kepala. Maka, Yiqing pun kembali berkata lantang, “Kalau mau bunuh silakan bunuh saja kami semua. Yang pasti murid-murid Perguruan Henshan tidak menyembah manusia biasa!”

“Ucapan bagus, ucapan bagus!” seru Biksu Bujie sambil bergelak tawa.

Xiang Wentian langsung membentak gusar, “Kau berasal dari perguruan mana? Untuk apa kau datang kemari?”

Rupanya Xiang Wentian melihat adanya bibit keributan karena murid-murid Perguruan Henshan tidak mau menyembah kepada Ren Woxing. Apabila orang-orang Henshan ini sampai diperlakukan kasar, tentu rasanya tidak enak kepada Linghu Chong. Oleh karena itu, ia sengaja membentak Biksu Bujie untuk mengalihkan perhatian Ren Woxing sehingga melupakan sikap membantah murid-murid Henshan tadi.

Bujie pun menjawab dengan tertawa, “Aku seorang biksu liar, tidak diterima biara besar, tidak diterima biara kecil. Maka itu, aku tidak memiliki aliran atau perguruan yang jelas. Hanya saja, aku mendengar di Gunung Huashan ini sedang berkumpul banyak orang. Kedatanganku kemari hanya untuk melihat keramaian.”

“Pertemuan ini hanya untuk dihadiri orang-orang Sekte Matahari dan Bulan dan Serikat Pedang Lima Gunung. Orang luar tidak boleh ikut mengacau di sini. Lekas kau segera turun gunung saja!” kata Xiang Wentian. Ucapannya ini boleh dikata sudah cukup sopan demi untuk menjaga perasaan Linghu Chong. Ia sadar kedatangan Biksu Bujie adalah bersama dengan orang-orang Perguruan Henshan, tentu sedikit-banyak memiliki hubungan baik dengan mereka. Maka, ia pun tidak mau mempersulit biksu besar tersebut.

Tak disangka Bujie malah menjawab, “Gunung Huashan ini bukan milik Sekte Iblis kalian. Aku mau datang ke sini, peduli apa dengan kalian? Kecuali orang-orang Perguruan Henshan, tidak seorang pun berhak mengusir aku.”

Istilah “Sekte Iblis” merupakan nama ejekan bagi Sekte Matahari dan Bulan. Kaum persilatan pada umumnya tidak berani mengucapkan istilah ini secara terang-terangan di hadapan anggota sekte, kecuali kalau memang sengaja hendak mencari permusuhan.

Namun, pada dasarnya sifat Biksu Bujie memang tidak memiliki pantangan. Apa yang ia pikirkan, itu pula yang ia ucapkan. Apalagi ketika Xiang Wentian mengusirnya, seketika hatinya menjadi kesal. Tanpa pikir panjang ia langsung membantah tanpa menghiraukan siapa yang sedang dihadapinya. Sedikit pun dirinya tidak merasa gentar.

Dengan menahan gusar Xiang Wentian berpaling kepada Linghu Chong dan bertanya, “Adik Linghu, siapa sebenarnya biksu sinting ini? Ada hubungan apa dengan perguruan kalian?”

Linghu Chong sendiri sedang merasa kesakitan. Perutnya terasa seperti disayat-sayat puluhan pisau. Dengan suara terputus-putus ia menjawab, “Biksu Bujie … biksu besar ini ….”

Sementara itu, Ren Woxing benar-benar murka begitu mendengar Bujie berani menyebut “Sekte Iblis” tadi. Ia khawatir Linghu Chong lebih dulu mengatakan bahwa biksu besar tersebut memiliki hubungan baik dengan Perguruan Henshan. Jika itu sampai terjadi tentu akan sukar untuk membunuhnya. Maka, sebelum Linghu Chong selesai menjawab, segera ia membentak, “Bunuh saja biksu sinting itu!”

Delapan orang tua berseragam kuning segera menjawab, “Kami menerima perintah!” Serentak mereka menerjang maju dan mengerubut Bujie.

“Hei, kalian hendak main keroyok rupanya?” teriak Bujie. Selanjutnya ia tidak sempat bicara lagi karena harus menghadapi serangan kedelapan orang itu.

“Tidak tahu malu!” teriak si nenek, ibu Yilin. Segera ia pun melompat maju menggabungkan diri dengan sang suami. Dengan punggung menempel punggung mereka bertarung melayani serangan musuh.

Kedelapan orang tua berseragam kuning itu adalah delapan tetua agama yang rata-rata berilmu tinggi. Masing-masing ilmu silat mereka setara dengan Bujie. Namun, karena jumlah yang tidak seimbang, yaitu delapan melawan dua, maka dalam waktu singkat saja kedelapan orang itu sudah berada di atas angin. Melihat ini Tian Boguang tidak bisa tinggal diam. Segera ia mengangkat golok dan ikut menerjang ke dalam pertempuran. Disusul kemudian Yilin juga melolos pedang dan membantu ayah-ibunya. Dua di antara kedelapan tetua itu lantas memisahkan diri untuk menghadapi mereka. Tentu saja ilmu silat Tian Boguang dan Yilin kalah jauh menghadapi kedua tetua itu. Dengan ilmu goloknya yang cepat Tian Boguang masih cukup lumayan bisa mempertahankan diri, sementara Yilin dalam waktu singkat sudah terdesak kewalahan menghadapi serangan lawan yang gencar. Andai saja si tetua tidak menghormati Linghu Chong, tentu Yilin sudah tewas sejak tadi.

Linghu Chong semakin merasa kesakitan melihat kejadian itu. Ia menunduk dan mendekap perut dengan tangan kiri, sementara tangan kanan melolos pedang sambil berseru, “Hentikan … hentikan!”

Dengan menahan sakit ia menerjang maju ke dalam pertempuran. Begitu pedangnya berkelebat, sekaligus delapan gerakan dilancarkan. Serentak empat orang tetua terpaksa mundur. Kembali ia melancarkan delapan serangan dan memaksa keempat lainnya mundur pula. Semua gerakan ini berasal dari Ilmu Sembilan Pedang Dugu yang selalu mengarah ke tempat mematikan di tubuh lawan. Bagaimanapun hebatnya kedelapan tetua itu, namun masing-masing sudah mendengar betapa lihai ilmu pedang Linghu Chong sehingga tiada seorang pun yang berani menyerang lebih lanjut.

Sambil setengah berjongkok, Linghu Chong berkata dengan suara terputus-putus, “Ketua … Ketua Ren, harap sudi memandang diriku dan ... membiarkan mereka ….” Karena terlalu sakit pada bagian perutnya, sehingga kata “pergi” pun tidak sanggup ia ucapkan.

Ren Woxing paham saat itu berbagai macam hawa murni dalam tubuh Linghu Chong sedang kambuh dan bergolak lagi. Ia sadar pemuda ini adalah kekasih idaman putrinya, dan ia sendiri juga suka dan sayang kepadanya. Selain itu, dirinya tidak mempunyai anak laki-laki. Kelak, ia bahkan mengharapkan Linghu Chong bisa mewarisi jabatan ketua sekte dari tangannya.

Berpikir demikian Ren Woxing lantas mengangguk dan berkata, “Baiklah, karena Ketua Linghu yang memintakan ampun bagi kalian, maka aku memberi kelonggaran.”

Segera Xiang Wentian melompat maju. Kedua tangannya bekerja cepat. Berturut-turut ia menotok Biksu Bujie dan istrinya, serta Tian Boguang dan Yilin. Betapa cepat gerakan tangannya sungguh luar biasa. Meskipun si nenek terkenal gesit ternyata tidak dapat meloloskan diri dari tangan Xiang Wentian itu.

Linghu Chong terkejut dan berseru, “Kakak … Kakak Xiang ….”

“Jangan khawatir,” segera Xiang Wentian menjawab dengan tertawa. “Ketua sudah menyatakan memberi ampun kepada mereka.” Ia lalu berpaling kepada anak buahnya dan berseru, “Majulah ke sini delapan orang!”

“Kami menerima perintah Pelindung Kiri Xiang!” sahut delapan orang laki-laki berseragam hijau sambil melangkah maju ke depan.

“Empat laki-laki dan empat perempuan!” kata Xiang Wentian.

Empat orang di antaranya segera mengundurkan diri dan empat orang anggota perempuan ganti maju ke depan.

Xiang Wentian lantas berkata, “Keempat orang ini berbicara tidak pantas. Dosa mereka sungguh besar dan sudah seharusnya dihukum mati. Tapi Ketua Suci sangat bijaksana dan bermurah hati. Dengan memandang wajah emas Ketua Linghu, mereka pun tidak diberi hukuman. Maka itu, gotong saja mereka turun gunung. Sesampainya di bawah lepaskan totokan mereka dan bebaskan semua.”

Kedelapan orang itu membungkuk hormat dan berkata, “Kami siap melaksanakan perintah!”

Xiang Wentian lantas melanjutkan dengan suara lirih, “Mereka adalah teman baik Ketua Linghu, jadi kalian jangan berbuat kasar.”

“Baik!” jawab mereka serentak. Kedelapan orang itu lantas bekerja cepat. Setiap dua orang menggotong satu orang meninggalkan puncak tersebut.

Melihat Bujie sekeluarga sudah lolos dari maut, Linghu Chong dan Ren Yingying merasa lega. Masing-masing menghela napas panjang dan bersyukur dalam hati.

Segera Linghu Chong berkata, “Terima ... terima kasih!” Namun setelah itu ia tidak mampu berdiri tegak. Karena sakit di perutnya bertambah parah tanpa kuasa ia pun jatuh terjongkok di atas tanah.

Demi untuk memukul mundur kedelapan tetua tadi, Linghu Chong telah melancarkan enam belas serangan dalam sekejap mata. Tentu saja hal ini membutuhkan tenaga yang tidak sedikit dan membuat penderitaannya semakin bertambah parah. Kini bukan hanya perut yang terasa seperti ditusuk-tusuk pisau, bagian dada juga terasa ikut sakit luar biasa.

Diam-diam Xiang Wentian merasa khawatir, namun wajahnya tampak biasa-biasa saja. Sambil pura-pura tertawa ia bertanya, “Adik Linghu, apakah kau sedang tidak enak badan?”

Hampir setahun yang lalu Linghu Chong pernah membantu Xiang Wentian bertempur menghadapi kepungan para kesatria dari golongan hitam dan putih. Setelah lolos dari maut, keduanya pun saling mengangkat saudara. Meskipun untuk selanjutnya kedua orang ini jarang bertemu, namun hubungan batin di antara mereka tetaplah abadi.

Segera Xiang Wentian memegang tangan Linghu Chong dan memapahnya duduk kembali di atas kursi tadi. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dalam untuk membantu Linghu Chong menolak pergolakan hawa murni liar di dalam tubuh pemuda itu. Padahal Linghu Chong jelas-jelas memiliki Jurus Penyedot Bintang. Ini berarti Xiang Wentian membiarkan tenaga dalamnya terhisap keluar. Jika hal ini diteruskan bisa-bisa Xiang Wentian kehilangan semua ilmu silatnya. Maka itu, Linghu Chong pun mengibaskan tangannya sambil berkata, “Jangan, Kakak Xiang! Aku … aku sudah sembuh!”

Sementara itu, Ren Woxing sedang bertanya kepada anak buahnya, “Di antara Serikat Pedang Lima Gunung hanya Perguruan Henshan saja yang hadir dalam pertemuan ini. Para anggota dari keempat perguruan yang lain ternyata berani membangkang perintah. Oleh sebab itu, kita tak perlu segan lagi kepada mereka!”

Pada saat itulah Shangguan Yun datang dengan langkah cepat ke atas puncak tersebut. Setibanya di depan telapak batu raksasa ia lantas menyembah dan berkata, “Lapor kepada Ketua Suci, di dalam gua Tebing Perenungan, hamba menemukan sekitar dua ratus mayat. Di antaranya terdapat ketua Perguruan Songshan, Zuo Lengchan. Selain itu banyak pula tokoh-tokoh penting Perguruan Songshan, Hengshan, dan Taishan ikut menjadi korban. Sepertinya mereka mati karena saling bunuh satu sama lain.”

“Hah?” sahut Ren Woxing terkejut. “Bagaimana dengan ketua Perguruan Hengshan? Apakah Tuan Besar Mo juga terbunuh?”

“Hamba telah memeriksa semuanya dengan teliti,” jawab Shangguan Yun. “Namun, hamba tidak menemukan Tuan Besar Mo di sana. Hamba juga tidak menemukan jejaknya di segenap penjuru Gunung Huashan.”

Linghu Chong dan Ren Yingying sama-sama terkejut sekaligus gembira. Keduanya saling pandang dan berpikir, “Paman Guru Mo datang bagaikan angin, pergi bagaikan bayangan. Beliau pasti bisa menghindarkan diri dari marabahaya di gua tadi. Kemungkinan besar ketika kekacauan itu terjadi, Beliau membaur bersama mayat dan menahan napas, kemudian keluar dari gua setelah keadaan benar-benar aman.”

Terdengar Shangguan Yun melanjutkan, “Dua orang pejabat sementara ketua Perguruan Taishan, yaitu Yuqingzi dan Yuyinzi juga tewas di dalam gua.”

Ren Woxing merasa kurang senang mendengarnya. Ia bertanya, “Siapa lagi ... siapa lagi?”

“Bahkan di luar gua juga ditemukan sesosok mayat ….” lanjut Shangguan Yun.

“Mayat siapa?” tukas Ren Woxing penasaran.

“Setelah hamba periksa dengan teliti, akhirnya dapat diketahui dengan pasti bahwa mayat itu adalah ketua Perguruan Huashan,” jawab Shangguan Yun. “Dia adalah Yue … Tuan Yue alias Si Pedang Budiman yang baru-baru ini terpilih sebagai ketua Perguruan Lima Gunung.”

Shangguan Yun sadar bahwa kelak Linghu Chong akan menjadi ahli waris sang ketua. Oleh karena itu, ia tidak berani sembarangan menyebut nama Yue Buqun dengan kasar, mengingat pemuda itu pernah menjadi murid Perguruan Huashan.

Begitu Ren Woxing mendengar Yue Buqun juga mati, perasaannya semakin kecewa. Ia lantas bertanya, “Siapa … siapakah yang telah membunuhnya?”

Shangguan Yun menjawab, “Ketika sedang memeriksa keadaan di dalam gua, hamba mendengar ada suara beberapa orang bertempur di luar. Begitu hamba memeriksa, ternyata ada sekelompok murid-murid Huashan sedang bertempur mati-matian melawan sekelompok murid Taishan. Kedua pihak saling mencaci maki menuduh pihak lawan telah membunuh guru mereka. Kedua pihak tersebut bertempur dengan sengit dan sama-sama kehilangan banyak korban. Tidak sedikit yang terluka dan tewas. Hamba berhasil menawan sisa-sisa dari mereka dan membawa orang-orang itu kemari untuk menunggu keputusan Ketua Suci.”

“Jadi, Yue Buqun dibunuh oleh orang Perguruan Taishan?” ujar Ren Woxing setengah bergumam. “Memangnya di dalam Perguruan Taishan ada jago sehebat itu yang mampu membunuh Yue Buqun?”

Dari kalangan murid-murid Henshan tiba-tiba Yiqing berseru lantang, “Tidak benar! Yue Buqun telah dibunuh oleh adik seperguruan kami dari Perguruan Henshan!”

“Siapa adikmu itu?” tanya Ren Woxing.

“Dia adalah Adik Yilin, salah seorang yang baru saja dibawa turun gunung tadi,” jawab Yiqing. “Yue Buqun telah menewaskan Biksuni Ketua dan Bibi Guru Dingyi. Setiap murid dalam perguruan kami membencinya sampai ke tulang sumsum. Hari ini, atas berkah Sang Buddha, arwah kedua biksuni sepuh telah meminjam tangan Adik Yilin yang berilmu silat biasa-biasa saja untuk menghukum penjahat itu.”

“Oh, ternyata begitu!” kata Ren Woxing. “Jaring Langit begitu luas, seorang pun tak akan lolos. Dosa tak berampun, hutang harus dibayar.” Nada ucapannya ini terdengar sangat hambar dan penuh rasa kecewa.

Xiang Wentian dan para tetua agama juga saling pandang dengan perasaan kurang senang.

Kedatangan Sekte Matahari dan Bulan ke Gunung Huashan kali ini memang telah dipersiapkan dengan rencana matang dan pengaturan sangat rapi. Semua jago-jago terkemuka dalam agama beserta anak buah masing-masing, serta segenap perkumpulan dan perguruan yang tersebar di berbagai tempat juga dikerahkan seluruhnya. Tujuannya adalah untuk menaklukkan Serikat Pedang Lima Gunung dalam sekaligus. Apabila kelima perguruan tersebut berani melawan, maka mereka akan ditumpas dan dimusnahkan tanpa ampun. Sasaran selanjutnya tentu saja menyerang Perguruan Shaolin dan Wudang. Baru setelah itu Sekte Matahari dan Bulan akan berjaya dan menguasai dunia persilatan. Tentu tidak ada lagi suatu golongan atau perguruan yang mengaku sebagai aliran lurus berani melawannya lagi. Semboyan “merajai dunia persilatan” akan terbangun kuat melalui pertemuan di Puncak Menyongsong Mentari saat ini.

Tak disangka, tokoh-tokoh terkemuka dari keempat perguruan, yaitu Zuo Lengchan, Yue Buqun, Yuqingzi, dan Yuyinzi telah tewas, sementara Tuan Besar Mo menghilang entah ke mana. Selain itu, murid-murid keempat perguruan tersebut yang tersisa juga tinggal sedikit. Ini berarti rencana mahabesar yang telah diatur rapi oleh Ren Woxing tidak berguna lagi.

Semakin dipikir semakin gusar rasa hati Ren Woxing. Ia pun berseru, “Bawa ke sini kawanan anjing Perguruan Lima Gunung yang masih tersisa itu!”

“Baik!” jawab Shangguan Yun. Ia lantas berbalik dan melangkah cepat ke bawah puncak untuk memanggil mereka.

Sementara itu, pergolakan hawa murni di dalam tubuh Linghu Chong sudah mulai reda. Ketika mendengar Ren Woxing menyebut “kawanan anjing Perguruan Lima Gunung yang masih tersisa”, hatinya merasa kurang senang. Meskipun Ren Woxing tidak bermaksud memaki dirinya, namun bagaimanapun juga Perguruan Henshan adalah bagian dari Perguruan Lima Gunung tersebut.

Tidak lama kemudian, terdengar suara bentakan dan makian. Tampak dua orang tetua agama sedang memimpin anak buahnya menggiring sekitar tiga puluh orang murid Perguruan Songshan, Huashan, Hengshan, dan Taishan naik ke puncak tersebut.

Di antara kelima perguruan, Huashan memiliki jumlah murid yang paling sedikit. Kini jumlah itu semakin banyak berkurang. Sementara itu, sebagian besar para kesatria terkemuka dari Perguruan Songshan, Hengshan, dan Taishan juga sudah mati terbunuh di dalam gua. Dengan demikian ketiga puluh orang yang tersisa ini adalah jago-jago kelas bawah dan sama sekali tidak terkenal, bahkan sebagian tampak sedang terluka. Kalau saja bukan karena dibimbing orang-orang Sekte Matahari dan Bulan, tentu mereka akan sangat kesulitan naik ke puncak tersebut.

Ren Woxing sangat kesal melihat ini semua. Tanpa menunggu rombongan itu mendekati tempatnya, ia pun membentak gusar, “Untuk apa aku menginginkan kawanan anjing ini dibawa kemari? Sudah, bawa saja mereka turun ke sana! Bawa mereka turun!”

“Baik, Ketua Suci!” jawab kedua tetua tadi serentak. Mereka lantas menggiring kembali rombongan tawanan tersebut menuju ke bawah.

Ren Woxing terus saja mencaci maki untuk beberapa saat. Tiba-tiba ia bergelak tawa dan berkata, “Serikat Pedang Lima Gunung telah banyak melakukan kejahatan di dunia persilatan. Langit tidak mengampuni dosa mereka. Lihatlah, kita tidak perlu keluar tenaga, tidak perlu turun tangan, tahu-tahu mereka sudah saling bunuh dan mampus semua. Mulai hari ini nama Serikat Pedang Lima Gunung sudah terhapus di dunia persilatan.”

Serentak para tetua Sekte Matahari dan Bulan membungkuk dan berseru, “Ini semua berkat perbawa Ketua Suci yang bersinar terang, sehingga kawanan tikus celurut itu musnah dengan sendirinya.”

Xiang Wentian berkata pula, “Di antara Serikat Pedang Lima Gunung hanya tinggal Perguruan Henshan saja yang berdiri tegak. Semua ini berkat kepemimpinan Ketua Linghu yang bijaksana. Untuk selanjutnya, Perguruan Henshan dan Sekte Suci kita menjadi sahabat, senapas seirama. Saling merasakan kebahagiaan bersama-sama. Untuk itu, selamat kepada Ketua Suci karena telah mendapatkan seorang kesatria muda yang berbakat tiada bandingannya sebagai pembantu utama.”

Ren Woxing bergelak tawa dan berkata, “Benar sekali, benar sekali. Ucapan Saudara Xiang sama sekali tidak salah. Nah, Adik Linghu, mulai hari ini kau bisa membubarkan Perguruan Henshan. Para biksuni dan murid perempuan dari perguruanmu itu kalau mau ikut ke Tebing Kayu Hitam tentu akan kami sambut dengan tangan terbuka. Namun, kalau mereka ingin tetap tinggal di Gunung Henshan juga tidak menjadi soal. Para jagoan yang pernah tinggal di Lembah Tongyuan di Gunung Henshan juga boleh dijadikan sebagai pasukan pengawal Wakil Ketua. Hahahahaha!” Dengan terbahak-bahak ia menengadah ke langit. Suara gelak tawanya itu terasa menggetarkan lembah pegunungan dan menimbulkan gema yang tidak ada habisnya.

Mendengar istilah “wakil ketua” serentak semua orang tekesiap. Namun, sejenak kemudian mereka lantas bersorak-sorai dengan suara riuh bergemuruh. Dari segenap penjuru, berkumandanglah seruan, “Pendekar Linghu menjadi wakil ketua sekte suci kita, sungguh bagus sekali! Sungguh bagus sekali!”

“Selamat untuk Ketua Suci yang mendapatkan seorang pembantu hebat!”

“Selamat untuk Ketua Suci! Selamat untuk Wakil Ketua!”

“Hidup Ketua Suci! Hidup Wakil Ketua!”

Rupanya para anggota Sekte Matahari dan Bulan yang bersorak gembira itu terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama adalah anggota sekte yang tinggal di Tebing kayu Hitam. Mereka mengetahui bahwa Linghu Chong adalah calon menantu Sang Ketua Suci dan kini ditunjuk pula sebagai wakil ketua. Kelak dapat dipastikan pemuda itu akan menggantikan kedudukan Ren Woxing sebagai pemimpin agama. Mereka kenal watak Linghu Chong sangat ramah dan mudah bergaul. Kelak bila ia naik takhta menjadi ketua tentu semua anak buahnya akan merasa lebih aman. Saat ini setiap saat mereka selalu khawatir jangan-jangan ada yang main fitnah untuk saling menjatuhkan, atau takut membuat marah Ketua Ren dan dihukum mati.

Golongan kedua adalah para jago silat yang dahulu pernah dipimpin Linghu Chong menyerbu Biara Shaolin, dan juga pernah tinggal di Lembah Tongyuan di Gunung Henshan. Bisa dikatakan mereka telah memiliki ikatan batin cukup kuat dengan pemuda itu, sehingga sorak-sorai mereka pun tulus dari lubuk hati yang paling dalam.

Sementara itu, golongan ketiga adalah mereka yang pernah menerima budi baik Ren Yingying. Dengan diangkatnya calon suami Sang Gadis Suci sebagai wakil ketua tentu saja mereka merasa senang dan ikut bersorak. Dengan latar belakang yang berbeda ketiga golongan tersebut sama-sama bergembira merayakan pengangkatan Linghu Chong sebagai wakil ketua dengan setulus hati.

Xiang Wentian juga lantas berkata, “Selamat untuk Wakil Ketua! Marilah kita minum satu cawan dahulu sebagai ucapan selamat atas bergabungnya dirimu ke dalam agama suci kita. Setelah itu kita minum lagi arak bahagia atas perkawinanmu dengan Nona Besar. Ini namanya kebahagiaan berganda! Kebahagiaan berganda!”

Akan tetapi, perasaan Linghu Chong sendiri ternyata sedang bingung. Dalam hati ia memberontak dan berharap urusan ini tidak boleh sampai terjadi. Namun demikian, ia tidak tahu bagaimana cara untuk menolaknya. Apabila ia sampai menolak kehendak Ren Woxing, itu berarti perjodohannya dengan Ren Yingying juga akan gagal dan berantakan. Bukan mustahil Ren Woxing juga akan sangat murka dan membunuhnya pula.

Sebenarnya ia sendiri tidak takut mati. Namun, membayangkan murid-murid Perguruan Henshan ikut menjadi korban membuat hatinya menjadi bimbang. Ia merasa bingung apakah harus menolak dengan tegas ataukah menerima kedudukan itu untuk sementara waktu, sampai murid-murid Henshan terhindar dari bahaya.

Perlahan ia berpaling ke arah murid-murid Henshan tersebut. Tampak sebagian dari mereka ada yang berwajah gusar, ada yang menunduk lesu tak bersemangat, ada pula yang bingung kehilangan akal. Tidak seorang pun dari mereka yang tahu harus berbuat apa.

Tiba-tiba terdengar Shangguan Yun berseru lantang, “Di bawah kepemimpinan Ketua Suci dan dengan bantuan Wakil Ketua yang bijaksana, kita hancurkan Perguruan Shaolin, kita musnahkan Perguruan Wudang, Kunlun, dan Emei, kita basmi pula Partai Pengemis. Semuanya dapat kita lakukan dengan mudah. Hidup Ketua Suci, semoga panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya! Hidup Wakil Ketua, hidup sembilan ribu tahun, bahagia untuk selamanya!”

Sebenarnya perasaan Linghu Chong sedang kusut dan sukar menentukan sikap. Namun, begitu mendengar sanjung puji Shangguan Yun, seketika pikirannya menjadi terbuka. Ia merasa bila dirinya menerima kehendak Ren Woxing sebagai wakil ketua, maka setiap hari tentu akan mendengar sanjung puji muluk-muluk yang memuakkan itu. Meskipun sanjung puji untuknya tidak sebanyak yang diterima Ren Woxing, tetap saja dalam hati ia merasa geli. Tanpa terasa ia pun tertawa sendiri.

Suara gelak tawanya itu terkesan menghina, penuh dengan nada mengolok-olok. Hal ini dapat dirasakan oleh setiap orang yang berpikiran jernih. Seketika suasana di puncak Puncak Menyongsong Mentari menjadi sunyi senyap.

“Ketua Linghu,” sahut Xiang Wentian membuka suara, “Ketua Suci telah mengangkatmu sebagai wakil ketua. Itu berarti kedudukanmu dalam dunia persilatan hanya di bawah seorang saja, dan di atas ratusan ribu orang. Atas kemurahan hati Ketua Suci tersebut, lekaslah berterima kasih kepada Beliau.”

Seketika pikiran Linghu Chong menjadi terang. Tanpa ragu-ragu ia pun bangkit dan berseru lantang menghadap ke atas, “Ketua Ren, ada dua persoalan ingin kusampaikan.”

“Silakan bicara,” sahut Ren Woxing dengan tersenyum.

“Yang pertama, aku telah menerima tugas berat untuk memimpin Perguruan Henshan berdasarkan wasiat ketua terdahulu, yaitu Biksuni Dingxian. Aku merasa tidak dapat membawa kemajuan apa-apa bagi Perguruan Henshan, namun yang pasti juga tidak mungkin membubarkan Perguruan Henshan dan membawanya masuk ke dalam Sekte Matahari dan Bulan. Kalau sampai itu terjadi, tentu aku akan sangat malu bertemu muka dengan Biksuni Dingxian di alam sana. Yang kedua adalah urusan pribadi. Aku mohon Ketua Ren sudi merestui putri kesayanganmu sebagai istriku.”

Sewaktu mendengarkan Linghu Chong menguraikan persoalan pertama, setiap orang merasa khawatir jangan-jangan Ren Woxing murka dan urusan bisa menjadi runyam. Namun, begitu mendengar persoalan kedua ternyata lamaran untuk Ren Yingying, seketika semua orang saling pandang dengan tersenyum.

Ren Woxing sendiri bergelak tawa dan berkata, “Masalah pertama mudah untuk diselesaikan. Kau bisa menyerahkan jabatan ketua Perguruan Henshan kepada salah seorang biksuni, dan setelah itu kau sendiri masuk ke dalam agama suci kami. Mengenai Perguruan Henshan untuk selanjutnya bergabung dengan agama suci kami atau tidak, bisa dirundingkan belakangan. Tentang persoalan kedua, bahwasanya kau dan Yingying sudah cocok satu sama lain, siapa pula yang tidak tahu soal hubungan kalian berdua ini? Baiklah, sudah tentu aku mengizinkan dia menjadi istrimu, kenapa kau masih sangsi? Hahahahaha!”

Serentak orang-orang Sekte Matahari dan Bulan mengikuti sang ketua bergelak tawa sambil bersorak sorai dengan gembira.

Linghu Chong berpaling ke arah Ren Yingying. Dilihatnya kedua pipi si nona bersemu merah. Kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya. Setelah semua orang berhenti tertawa, barulah Linghu Chong melanjutkan perkataan dengan suara lantang, “Terima kasih banyak atas maksud baik Ketua yang telah mengajakku masuk ke dalam agama suci kalian, bahkan memberikan jabatan sedemikian tinggi dan terhormat. Namun, aku sudah terbiasa hidup bebas, tidak taat pada peraturan. Kalau aku masuk ke dalam agama suci kalian tentu akan banyak membuat runyam urusan penting Ketua. Oleh karena itu, setelah kupikirkan masak-masak, kukira lebih baik Ketua menarik kembali keputusan tadi.”

Ren Woxing gusar luar biasa dan berkata bengis, “Jadi, kau menolak masuk ke dalam agama suci kami?”

“Benar sekali!” sahut Linghu Chong. Jawaban ini diucapkannya dengan tegas tanpa ragu-ragu sedikit pun. Seketika semua orang tercengang mendengarnya. Sebagian dari mereka tampak berubah pucat membayangkan apa yang akan terjadi.

Kembali Ren Woxing berkata, “Dalam tubuhmu terhimpun bermacam-macam hawa murni milik orang lain. Baru saja penyakitmu itu kambuh. Kelak, setiap setengah tahun atau tiga bulan sekali tentu akan kambuh lagi, bahkan lebih hebat daripada yang kau rasakan saat ini. Adapun cara untuk memusnahkan pergolakan hawa murni yang menjadi penyakit dalam tubuhmu itu, hanya aku seorang di seluruh dunia yang mengetahuinya.”

Linghu Chong menjawab, “Mengenai hal ini Ketua sudah menyinggungnya ketika berada di Wisma Meizhuang di Kota Hangzhou dulu. Tadi aku memang sudah merasakan betapa sakitnya saat bermacam-macam hawa murni itu bergolak di dalam tubuh. Benar-benar sangat tersiksa dan rasanya lebih baik mati saja daripada menderita seperti tadi. Namun, sebagai seorang pengelana di dunia persilatan, persoalan hidup atau mati, senang atau susah adalah hal biasa. Seharusnya ini tidak perlu dipersoalkan lagi.”

“Hm, lancang benar mulutmu!” sahut Ren Woxing. “Hari ini segenap Perguruan Henshan kalian sudah berada dalam genggamanku. Bisa saja aku memerintahkan tak seorang pun boleh turun gunung dalam keadaan hidup. Bagiku, hal ini semudah membalik telapak tanganku sendiri.”

“Dengan kepandaian Ketua Ren yang mahasakti, aku percaya apapun yang Ketua katakan pasti bisa terlaksana,” sahut Linghu Chong tegas. “Namun demikian, meskipun Perguruan Henshan kami terdiri dari kaum wanita secara keseluruhan, menghadapi segala sesuatu selamanya juga tidak pernah gentar. Jikalau Ketua hendak membunuh kami semua, biarlah kita berhadapan lebih dulu. Sampai napas penghabisan Perguruan Henshan tetap pantang menyerah.”

Segera Yiqing mengangkat tangan sebagai isyarat. Serentak murid-murid Henshan yang lain langsung berbaris di belakang Linghu Chong.

“Kita semua hanya mematuhi perintah Ketua Linghu,” seru Yiqing. “Mati pun kami tidak gentar.”

“Benar, sampai mati tetap pantang menyerah!” sahut para murid lainnya bersama-sama.

Zheng E lantas berteriak, “Meskipun jumlah musuh terlalu banyak dan jumlah kami hanya sedikit, ditambah lagi kami juga sudah masuk perangkap, kami tetap tidak takut. Biarlah dunia persilatan mengetahui bagaimana Perguruan Henshan menghadapi musuh tanpa gentar. Meskipun tertumpas habis, paling tidak kami telah meninggalkan nama yang harum.”

Ren Woxing menjadi gusar mendengar sindiran ini. Ia menengadah ke langit dan tertawa terbahak-bahak, kemudian berseru, “Jika aku membunuh kalian hari ini, tentu aku akan dituduh telah menjebak dan mencelakai kalian secara licik. Baiklah, Linghu Chong, kau boleh memimpin anak buahmu pulang ke Gunung Henshan. Satu bulan lagi aku pasti akan akan mendatangi kalian secara langsung. Apabila saat itu tiba, maka seorang pun tidak akan kuampuni. Kalau sampai di atas Gunung Henshan masih tersisa seekor ayam atau burung, anggap saja aku ini orang yang tidak becus!”

Serentak orang-orang Sekte Matahari dan Bulan bersorak menanggapi, “Hidup Ketua Suci! Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya! Bunuh habis semua orang Perguruan Henshan. Bantai habis semua ayam dan burung tanpa kecuali!”

Dengan kekuatan dan kebesaran Sekte Matahari dan Bulan saat ini, menyerbu Puncak Jianxing hanyalah persoalan mudah. Tidak peduli bagaimanapun persiapan dan pertahanan Perguruan Henshan kelak, semuanya pasti dapat dibasmi habis oleh sekte besar tersebut.

Sejak dahulu kelima perguruan pedang telah bersatu membentuk Serikat Pedang Lima Gunung untuk menghadapi Sekte Matahari dan Bulan yang mereka sebut sebagai Sekte Iblis itu. Kelima perguruan selalu bahu-membahu dan saling membantu. Jika salah satu mendapat kesulitan, maka keempat perguruan yang lain segera datang memberikan bantuan. Dalam seratus tahun terakhir ini permusuhan dengan Sekte Matahari dan Bulan berjalan seimbang, tidak ada yang kalah juga tidak ada yang menang. Kini, dari kelima perguruaan hanya tinggal Perguruan Henshan saja yang masih berdiri tegak, tentu saja sulit melawan kekuatan Sekte Matahari dan Bulan. Mengenai hal ini jelas disadari oleh setiap murid Henshan.

Ancaman Ren Woxing hendak membabat habis orang-orang Henshan, bahkan seekor ayam pun tidak akan diampuni jelas bukan omong kosong belaka. Akan tetapi, di dalam benak Ren Woxing sebenarnya ada maksud dan tujuan lain. Ia berpikir meskipun ilmu pedang Linghu Chong sangat lihai, namun seorang diri mana mungkin sanggup terus bertahan? Yang justru menjadi pertimbangan Ren Woxing sebenarnya adalah Perguruan Shaolin dan Wudang. Menurut perhitungannya, setelah Linghu Chong pulang ke Gunung Henshan, tentu ia akan meminta bantuan kepada dua perguruan besar itu, yang pastinya akan mengirimkan jago-jago pilihan untuk membantu. Dalam keadaan demikian Ren Woxing justru tidak langsung menyerang ke Gunung Henshan, melainkan secara mendadak ia berganti haluan menyerbu Perguruan Wudang. Ia juga akan memasang tiga perangkap di antara jalur Gunung Shaoshi menuju Gunung Wudang.

Jarak antara kedua gunung tersebut hanya beberapa puluh kilo saja. Apabila Perguruan Wudang menderita kesulitan, tentu Biara Shaolin yang akan dimintai bantuan. Padahal, saat itu sebagian jago pilihan dari Shaolin telah dikirim ke Henshan, maka sisanya pasti akan keluar semua untuk membantu Wudang. Dalam keadaan demikian pihak Sekte Matahari dan Bulan akan memutar haluan untuk menyerbu Gunung Shaoshi lebih dulu dan membakar habis Biara Shaolin. Setelah itu, perangkap yang telah dipasang di tengah jalan serentak dijalankan untuk memotong barisan musuh. Dengan digempur dari depan dan belakang, tentu para biarawan Shaolin yang hendak menolong Perguruan Wudang akan binasa seluruhnya.

Setelah semuanya berjalan, barulah Gunung Wudang benar-benar dikepung, namun tidak langsung diserang. Ia sengaja menunggu jago-jago Shaolin dan Wudang yang sedang berkumpul di Henshan menerima berita buruk dan lekas-lekas berangkat ke Gunung Wudang. Perjalanan dari Henshan menuju Wudang menempuh jarak ribuan kilo tentu akan sangat melelahkan mereka. Dalam keadaan letih tersebut, mereka pun disergap oleh orang-orang sekte di tengah jalan dan hasilnya pasti sangat memuaskan. Setelah para jago itu ditumpas, maka menyerang markas Wudang dan Henshan bisa dikatakan hanyalah persoalan mudah.

Betapa tajam otak Ren Woxing yang penuh tipu muslihat ini sungguh jarang terdapat di dunia persilatan. Dalam sekejap saja ia sudah mengatur siasat cemerlang untuk menumpas Perguruan Shaolin dan Wudang, dua perguruan terbesar saat itu. Maka, penolakan Linghu Chong terhadap tawarannya meskipun menimbulkan perasaan malu di hadapan anak buah sendiri ternyata ada manfaaatnya juga. Karena kejadian ini telah membuat Sekte Matahari dan Bulan memiliki alasan untuk menyerang Gunung Henshan sekaligus menghancurkan Perguruan Shaolin dan Wudang dalam waktu yang bersamaan. Dengan demikian semboyan “merajai dunia persilatan untuk selamanya” akan segera terwujud satu bulan yang akan datang.

Sementara itu, Linghu Chong berpaling kepada Ren Yingying dan bertanya, “Apakah kau akan ikut denganku?”

Sejak tadi kedua mata Ren Yingying sudah berkaca-kaca. Tak mampu menahan perasaan lagi, air matanya pun jatuh bercucuran di pipi. Gadis itu menjawab, “Jika aku ikut denganmu ke Gunung Henshan, itu berarti aku tidak berbakti kepada orang tua. Namun, jika aku mengingkari dirimu, itu berarti aku tidak setia. Bakti dan kesetiaan sukar diraih bersama. Kakak Chong, Kakak Chong, mulai hari ini janganlah kau memikirkan diriku lagi, karena ….”

“Karena apa?” tanya Linghu Chong.

“Karena hidupmu tidak akan lama lagi,” jawab Ren Yingying. “Jika kau mati, maka aku pun tidak mau hidup lebih lama sehari saja darimu.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Ayahmu sudah merestui pernikahan kita. Beliau seorang pemimpin sekte besar yang mahabijaksana, yang merajai dunia persilatan, mana mungkin tidak menepati ucapannya sendiri? Bagaimana kalau sekarang juga kita mengadakan upacara menyembah langit dan bumi, sehingga resmi menjadi suami-istri?”

Ren Yingying tercengang. Meskipun ia sudah hafal watak Linghu Chong sebagai pemuda petualang yang berani berkata berani berbuat, namun tidak pernah menyangka bahwa kekasihnya itu akan bicara sedemikian terus terang di hadapan banyak orang. Seketika wajahnya menjadi merah, dan ia pun berkata, “Bagaimana … bagaimana kita bisa melakukannya?”

Linghu Chong bergelak tawa dan berkata, “Kalau begitu biarlah kita berpisah sekarang saja.”

Ia sendiri memahami isi hati Ren Yingying. Pada saat dirinya terbunuh oleh serangan Ren Woxing ke Gunung Henshan kelak, tentu si nona akan ikut bunuh diri mengikuti ke alam sana. Hal ini sudah pasti akan terjadi begitu saja dan sukar untuk dicegah. Namun, kalau Ren Yingying mau meninggalkan adat istiadat dan bersedia menikah dengannya di Puncak Menyongsong Mentari hari ini juga, dengan demikian mereka berdua dapat menikmati kebahagiaan sebagai pengantin baru di Gunung Henshan. Meskipun sebulan kemudian mereka tewas oleh serangan Sekte Matahari dan Bulan, namun rasanya tidak ada penyesalan di dalam hati. Namun demikian, hal ini terlalu luar biasa dan menyimpang dari tradisi umum. Linghu Chong memang tidak peduli dengan nama baiknya, namun Ren Yingying yang sangat pemalu sudah pasti tidak bersedia melaksanakannya. Jika si nona sampai menuruti ajakan tersebut tentu ia akan menanggung nama buruk sebagai seorang putri yang durhaka dan tidak berbakti kepada orang tua.

Karena berpikiran demikian, Linghu Chong pun tertawa. Kemudian ia memberi hormat kepada Ren Woxing, Xiang Wentian, dan para tetua sekte di tempat itu sambil berkata, “Linghu Chong akan menyambut kunjungan kalian di Puncak Jianxing dengan penuh penghormatan.” Usai berkata ia lantas memutar tubuh dan melangkah pergi.

“Tunggu dulu!” tiba-tiba Xiang Wentian berseru. “Ambilkan arak! Adik Linghu, hari ini kita harus minum sepuas-puasnya. Mungkin kelak tidak ada kesempatan lagi.”

“Bagus, bagus!” jawab Linghu Chong sambil tertawa. “Kakak Xiang memang kawan sejati, benar-benar memahami kegemaranku!”

Kedatangan Sekte Matahari dan Bulan ke Gunung Huashan kali ini memang telah diatur dengan rapi, termasuk juga membawa segala macam perbekalan yang dianggap perlu. Maka, begitu Xiang Wentian mengajak Linghu Chong minum, segera anak buahnya mengusung beberapa guci arak ke hadapannya. Begitu tutup guci dibuka, isinya pun lantas dituang ke dalam mangkuk. Tanpa banyak bicara Xiang Wentian dan Linghu Chong saling bersulang dan mengadu mangkuk, lalu sama-sama menghabiskan isinya ke dalam mulut.

Tiba-tiba di antara banyak orang, tampil ke muka seorang tua bertubuh cebol gemuk. Ia tidak lain adalah Lao Touzi, yang segera berseru, “Tuan Muda Linghu, budi kebaikanmu dahulu tidak pernah kulupakan seumur hidup. Izinkan aku bersulang satu mangkuk denganmu.” Usai berkata demikian ia lantas mengisi dua mangkuk dan menyerahkan salah satunya kepada Linghu Chong. Setelah bersulang, keduanya pun menghabiskan isi mangkuk masing-masing.

Padahal, Lao Touzi hanyalah seorang jago silat biasa yang berada di bawah pengaruh Sekte Matahari dan Bulan. Kedudukannya sudah tentu tidak bisa disejajarkan dengan Xiang Wentian. Begitu Linghu Chong dengan tegas menolak masuk ke dalam sekte, maka secara terang-terangan pemuda itu telah memusuhi Ren Woxing pula. Namun kini, seorang Lao Touzi ternyata berani menyuguhkan arak kepada Linghu Chong, pertanda ia juga berani melawan kehendak Ren Woxing. Bukan mustahil sebentar lagi ia akan dihukum mati dan jiwanya pun melayang. Namun demikian, ia ternyata lebih mengutamakan rasa setia kawan daripada nyawa sendiri, jelas tidak lagi memikirkan bahaya yang sebentar lagi bisa datang menimpa.

Melihat keberanian Lao Touzi itu, diam-diam para jago lainnya merasa kagum. Maka, Zu Qianqiu, Ji Wushi, Lan Fenghuang, Huang Boliu, dan yang lain satu per satu maju pula ke depan untuk bersulang dengan Linghu Chong.

Sama sekali Linghu Chong tidak menolak setiap suguhan mereka. Setiap mangkuk yang datang selalu ia minum isinya sampai habis sehingga lama-lama berjumlah puluhan mangkuk. Namun, para jago yang ingin bersulang dengannya itu masih saja berbaris tiada putus-putusnya. Sungguh terharu perasaan Linghu Chong melihat betapa mereka sangat menghargai dirinya. Ia berpikir, “Begini banyak kawan-kawan yang menghormatiku, sungguh tidak sia-sia aku hidup di dunia ini. Namun, kenapa aku harus membunuh mereka di medan perang kelak?”

Segera ia pun mengangkat tinggi-tinggi mangkuknya dan berseru lantang, “Terima kasih atas maksud baik kawan-kawan sekalian! Sayang sekali kekuatanku terbatas. Hari ini aku tidak sanggup minum lebih banyak lagi. Biarlah lain hari jika kawan-kawan ikut menyerbu ke Puncak Jianxing, aku akan menunggu kalian di kaki gunung dengan arak-arak enak. Di sanalah kita bisa minum sepuas-puasnya, dan setelah itu baru kita bertempur mati-matian!” Usai berkata, ia lantas meneguk habis isi mangkuk terakhirnya itu.

“Ketua Linghu sungguh seorang terbuka yang suka berterus terang!” seru para jago itu bersamaan.

“Benar,” sahut seseorang menambahkan. “Kalau kita sudah kenyang minum sampai mabuk, barulah kita bertempur secara serabutan. Ini pasti menarik!”

Linghu Chong lantas membuang mangkuknya. Dengan berjalan sempoyongan ia pun turun ke bawah gunung diikuti Yihe, Yiqing, dan murid-murid Perguruan Henshan lainnya.

Pada saat para jago silat itu sedang minum arak bersama Linghu Chong, ternyata Ren Woxing hanya tersenyum-senyum tanpa bicara. Meskipun ia agak tersinggung, namun otaknya sedang berputar menyusun rencana matang untuk menggempur Perguruan Shaolin dan Wudang satu bulan lagi. Terutama pula ia memikirkan bagaimana caranya harus pura-pura menyerang Gunung Henshan untuk memancing pihak Shaolin dan Wudang mengerahkan bala bantuan. Ia berpikir rencananya itu harus diatur sedemikian rapih sehingga tidak menimbulkan rasa curiga pihak lawan yang juga tidak kalah cerdiknya itu. Maka, ketika Linghu Chong turun ke bawah dalam keadaan mabuk, rencana dalam benaknya juga sudah selesai disusun, hanya tinggal menunggu pelaksanaannya saja.

Selain itu, ia juga berpikir, “Kawanan bangsat ini berani bersulang dengan Linghu Chong di hadapanku. Perbuatan mereka harus diganjar hukuman yang setimpal. Biarlah ini kucatat sebagai hutang, karena aku masih membutuhkan tenaga mereka. Kelak jika Perguruan Shaolin, Wudang, dan Henshan sudah kutumpas habis, maka orang-orang yang bersulang dengan Linghu Chong itu tinggal menunggu nasib saja.”

Tiba-tiba terdengar Xiang Wentian berseru, “Kawan-kawan sekalian, dengarkanlah aku! Bahwasanya Ketua Suci sebenarnya sudah mengetahui betapa bodohnya Linghu Chong yang tidak mengetahui maksud baik Beliau. Namun, Ketua Suci masih mencoba untuk membujuknya dengan ramah. Meskipun Ketua Suci berjiwa besar dan menyukai pemuda berbakat, namun sesungguhnya Beliau masih menyimpan suatu maksud yang mendalam, yang tidak bisa dipahami oleh orang kasar semacam Linghu Chong. Hari ini, kita telah menumpas Perguruan Songshan, Taishan, Huashan, dan Hengshan tanpa susah payah. Untuk selanjutnya, Sekte Matahari dan Bulan pasti akan lebih termasyhur, lebih berjaya, dan lebih ditakuti.”

“Benar! Hidup Ketua Suci! Semoga panjang umur dan merajai dunia persilatan selamanya!” teriak banyak orang dengan suara bergemuruh.

Setelah suara ramai orang-orang itu reda, Xiang Wentian melanjutkan, “Di dunia persilatan sekarang ini tinggal Perguruan Shaolin dan Wudang saja yang masih menjadi ancaman bagi agama suci kita. Untuk ini, Ketua Suci sengaja mengatur siasat bagus, dan pilihannya itu jatuh kepada Linghu Chong. Melalui bocah itu, kita akan menyapu bersih Biara Shaolin dan menumpas Perguruan Wudang. Perhitungan Ketua sungguh mahajitu, rencananya diatur sangat rapih. Beliau sudah menduga Linghu Chong pasti menolak masuk ke dalam agama suci kita dan ternyata itu benar-benar terjadi. Bocah itu telah menolak bujukan Ketua Suci. Mengenai kita bersulang dengan Linghu Chong tadi, sebenarnya itu juga merupakan salah satu siasat Ketua Suci.”

“Oh, ternyata begitu!” seru banyak orang. Mereka lalu beramai-ramai berteriak lagi, “Hidup Ketua Suci! Semoga Ketua Suci panjang umur seribu tahun, merajai dunia persilatan selamanya!”

Xiang Wentian sudah hidup puluhan tahun bersama Ren Woxing, sehingga cukup mengenal kepribadian sang ketua tersebut. Karena terdorong oleh rasa persaudaraan, tanpa pikir panjang ia telah bersulang arak perpisahan dengan Linghu Chong, dan hal ini tentu tidak disukai oleh Ren Woxing. Mengingat hubungan baiknya dengan sang ketua, maka hukuman tidak mungkin jatuh kepadanya. Tak disangka, orang-orang seperti Lao Touzi, Zu Qianqiu, Ji Wushi, dan sebagainya juga ikut-ikutan bersulang dengan Linghu Chong. Jelas perbuatan mereka itu akan mendatangkan bencana bagi jiwa mereka sendiri. Maka itu, ia lantas mengarang suatu rangkaian kata sanjung puji untuk menutupi kejadian tadi. Ia berharap dengan ucapannya itu bisa membuat Ren Woxing tidak sampai kehilangan muka, sementara Lao Touzi dan yang lain juga tidak sampai kehilangan nyawa. Dengan ucapan Xiang Wentian tadi, perbuatan mereka bersulang dengan Linghu Chong justru terkesan mengangkat derajat kepemimpinan Ren Woxing.

Mendengar itu, Ren Woxing sangat senang hatinya. Diam-diam ia berpikir, “Saudara Xiang sudah hidup bersamaku selama puluhan tahun. Tidak sia-sia aku mengangkatnya sebagai pelindung kiri agama, karena ia memang sangat mengerti isi hatiku. Ah, meskipun ia tahu aku hendak menyapu bersih Biara Shaolin dan menumpas habis Perguruan Wudang, namun rincian siasat yang akan kulaksanakan sama sekali tidak ia ketahui. Siasatku ini akan kujalankan selangkah demi selangkah, dan tidak seorang pun yang akan kuberi tahu secara terperinci.”

Sejenak kemudian terdengar Shangguan Yun berkata, “Ketua Suci mahabijaksana. Segala urusan besar di dunia ini sudah lama berada dalam perhitungan Beliau. Apa pun yang Beliau katakan pasti tidak salah. Apa pun yang Beliau perintahkan pasti segera kita laksanakan.”

Bao Dachu menambahkan, “Benar sekali! Asalkan Ketua Suci mengacungkan salah satu jari kepada kita, pasti kita akan segera bertindak. Apa pun perintah Beliau pasti kita laksanakan dengan penuh tanggung jawab. Sekalipun harus menyeberangi lautan api, atau terjun ke dalam minyak mendidih juga kita tak akan menolak.”

Qin Weibang menyahut, “Demi Ketua Suci, mati seribu kali jauh lebih baik daripada hidup tanpa tujuan.”

Seorang lagi berkata, “Saudara-saudara sama-sama mengetahui, beberapa hari terakhir ini telah menjadi hari yang paling indah dalam hidup kita, karena dapat menyaksikan secara langsung wajah emas Ketua Suci. Dengan melihat wajah Ketua Suci yang bercahaya membuat kita bertambah pintar dan bertambah kuat, jauh lebih baik daripada berlatih selama sepuluh tahun.”

“Ketua Suci menerangi seluruh jagad, membuat agama suci kita semakin dekat di hati rakyat jelata. Kebaikan hati Ketua Suci bagaikan hujan yang membasahi bumi, menumbuhkan bahan makanan untuk umat manusia. Semua orang berbahagia dan bersyukur untuk Ketua Suci.”

“Para kesatria dari zaman dulu hingga sekarang, para nabi dan orang suci sekalipun tidak ada yang mampu menandingi kebesaran Ketua Suci. Kong Fuzi memang bijaksana, tapi mana mampu ia menghadapi ilmu silat Ketua Suci yang perkasa. Guan Yu memang memiliki tenaga malaikat, namun Ketua Suci jauh lebih cerdas darinya. Zhuge Liang ahli dalam siasat perang, namun tidak mungkin ia mampu menghadapi pedang Ketua Suci yang mahasakti.”

Serentak segenap anggota sekte berteriak, “Kong Fuzi, Guan Yu, Zhuge Liang, tidak seorang pun dapat dibandingkan dengan Ketua Suci.”

Bao Dachu berkata, “Setelah agama suci kita merajai dunia persilatan, maka kita bersihkan semua patung Kong Fuzi dan Guan Yu dari setiap kuil. Kita dirikan patung Ketua Suci menggantikan tempat mereka.”

Shangguan Yun berseru lantang, “Semoga Ketua Suci panjang umur, berjaya selalu. Anak-anak kita, cucu-cucu kita sampai delapan belas turunan, semuanya akan mengabdi dengan setia kepada Ketua Suci.”

Serentak segenap anggota sekte bersorak gemuruh, “Hidup Ketua Suci, semoga Ketua Suci panjang umur, merajai dunia persilatan selamanya!”

Ren Woxing mendengar sanjung puji anak buahnya itu dengan perasaan puas dan senang. Meskipun ucapan mereka terlalu berlebihan dan tidak masuk akal, namun Ren Woxing berusaha mencari pembenaran untuknya. Diam-diam ia berpikir, “Apa yang mereka katakan tidak salah. Ilmu silat Zhuge Liang jauh di bawahku. Apalagi kampanye penaklukannya juga tidak semuanya membawa hasil, mana mungkin ia bisa dibandingkan denganku? Guan Yu pernah membunuh enam jenderal musuh. Ia memang perkasa, namun mana mungkin bisa menghindari Jurus Penyedot Bintang andalanku? Kong Fuzi selama hidupnya hanya memiliki murid tidak sampai tiga ribu orang, sementara aku memiliki anak buah sebanyak tiga puluh ribu lebih. Ia memimpin muridnya berlari ke segala arah menghindari banjir dan kekurangan pangan tanpa bisa berbuat apa-apa, sedangkan aku memimpin puluhan ribu anak buahku menjelajahi jagad raya ke mana aku suka tanpa ada masalah sedikit pun. Kepandaian dan kebijaksanaan Kong Fuzi tidak bisa menandingi aku.”

Sorak sorai para anggota sekte masih terus bergemuruh, menggema di lembah pegunungan itu. Langit terasa ikut bergetar, bumi terasa ikut berguncang. Tidak hanya yang berada di Puncak Menyongsong Mentari saja yang berteriak-teriak, bahkan para anggota yang berjaga di pos-pos penjagaan di segenap penjuru pegunungan juga ikut bersorak ramai.

Dengan wajah berseri-seri Ren Woxing lantas bangkit dari tempat duduknya. Melihat sang ketua telah berdiri, semua orang serentak berlutut dan memberikan sembah. Dalam sekejap saja suasana di atas Puncak Menyongsong Mentari itu berubah menjadi hening dan sunyi senyap. Sinar matahari pagi menerpa wajah dan sekujur badan Ren Woxing. Ia tampak sangat berwibawa bagaikan seorang dewa turun dari kahyangan.

Ren Woxing lantas tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Jika aku bisa hidup selamanya seperti hari ….” sampai di sini tiba-tiba suaranya berubah serak. Ia mencoba mengerahkan tenaga dan mengatur napas untuk mengucapkan kata “hari ini”, namun otot dada terasa kejang dan mulut pun sukar beruara. Dengan tangan kanan menahan dada, ia berusaha menekan darah panas yang telah naik ke dalam kerongkongan. Akan tetapi, kepalanya lantas pusing dan mata pun berkunang-kunang. Cahaya matahari pagi itu membuat pandangannya terasa sangat silau.

Sementara itu, Linghu Chong turun ke bawah gunung dalam keadaan mabuk. Sampai lewat tengah malam barulah ia sadar kembali. Begitu bangun ternyata dirinya sudah berada di tengah ladang luas, sementara para murid Perguruan Henshan tampak duduk di kejauhan untuk menjaganya. Kepalanya terasa sangat pusing. Begitu teringat untuk selanjutnya mungkin tiada harapan lagi berjumpa dengan Ren Yingying, seketika hatinya merasa sangat berduka.

Sesampainya di kaki gunung, rombongan Linghu Chong bertemu Biksu Bujie dan istrinya, serta Yilin dan Tian Boguang. Bersama-sama mereka pun berjalan menuju ke Gunung Henshan. Akhirnya, rombongan tersebut sampai juga di Puncak Jianxing dengan selamat. Hal pertama yang mereka lakukan adalah bersembahyang di depan altar ketiga biksuni sepuh karena kematian mereka telah terbayar lunas. Biksuni Dingjing tewas dikeroyok anak buah Zuo Lengchan, sementara Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi dibunuh secara licik oleh Yue Buqun.

Dalam waktu singkat entah siang entah malam, Sekte Matahari dan Bulan pasti akan datang menyerbu Gunung Henshan. Setelah pertempuran berakhir, tentu Perguruan Henshan akan musnah selamanya. Karena kekalahan sudah jelas di depan mata, hal ini membuat murid-murid Henshan menjadi tidak khawatir lagi. Mereka menganggap tidak ada gunanya berlatih lebih keras karena masing-masing merasa tetap tidak mungkin bisa memenangkan pertempuran. Maka, murid-murid Henshan itu pun menjadi malas berlatih ilmu pedang tidak seperti biasanya. Sebagian dari mereka yang taat kepada agama tetap menjalankan sembahyang dengan baik. Sementara itu, mereka yang putus asa dan beriman tipis lebih suka bertamasya menikmati keindahan alam pegunungan tersebut. Biasanya tata tertib di Henshan sangat ketat, namun kali ini mereka benar-benar merasa santai dan mendapat kelonggaran.

Beberapa hari kemudian, di Puncak Jianxing tiba-tiba datang sepuluh orang biksu yang dipimpin langsung oleh ketua Biara Shaolin, Mahabiksu Fangzheng. Saat itu Linghu Chong sedang asyik minum arak seorang diri sambil bernyanyi-nyanyi di biara induk. Begitu menerima laporan kedatangan Mahabiksu Fangzheng, seketika ia merasa terkejut bercampur senang. Lekas-lekas ia pun berlari menyambut keluar.

Mahabiksu Fangzheng tersenyum melihat penampilan Linghu Chong dan berkata, “Pada umumnya seseorang yang tergopoh-gopoh menyambut tamu masih tetap mempunyai waktu untuk memakai sepatu. Namun, begitu mendengar kedatangan kami, Ketua Linghu sampai lupa memakai sepatu. Penghormatan Ketua Linghu kepada kami terlalu berlebihan.”

Linghu Chong membungkuk dan berkata, “Begitu mendengar Kepala Biara datang, Linghu Chong selalu terlambat dalam memberi penyambutan. Sungguh, saya merasa sangat tidak enak hati.” Ia kemudian memberi hormat pula kepada seorang biksu tua di belakang Fangzheng, dan berkata, “Rupanya Biksu Fangsheng juga ikut serta.”

Fangsheng hanya tersenyum dan membalas hormat.

Linghu Chong lantas memberi hormat kepada delapan biksu lainnya yang rata-rata sudah berusia tua dan berjanggut putih. Begitu memperkenalkan diri, ternyata mereka juga berasal dari angkatan “Fang”, jelas satu golongan dengan Fangzheng dan Fangsheng.

Linghu Chong lantas mempersilakan kesepuluh biksu itu masuk ke dalam biara induk dan duduk di atas kasur samadi. Biara ini dulunya merupakan tempat sembahyang Biksuni Dingxian yang selalu terawat dengan baik tanpa debu sedikit pun. Namun, sejak Linghu Chong tinggal di situ, keadaannya menjadi kotor dan berantakan. Tempat ibadah itu kini penuh dengan guci dan cawan arak berserakan.

Dengan wajah merah padam Linghu Chong berkata, “Saya sungguh ceroboh telah membuat tempat suci ini menjadi sedemikian kotor. Mohon para Biksu yang mulia jangan marah.”

“Kedatangan kami kali ini adalah untuk membahas urusan penting, maka itu Ketua Linghu tidak perlu segan-segan,” jawab Fangzheng sambil tersenyum. “Konon kabarnya Ketua Linghu telah menolak kedudukan sebagai wakil ketua Sekte Matahari dan Bulan demi membela Perguruan Henshan. Bahkan, Ketua Linghu juga tidak memikirkan diri sendiri dan rela berpisah dengan Nona Ren. Padahal, semua orang telah mengetahui betapa kalian adalah pasangan serasi. Dalam hal ini, segenap kawan dari golongan putih sangat kagum terhadap sikap Ketua Linghu.”

Seketika Linghu Chong tercengang dan berpikir, “Padahal persoalan ini sudah kurahasiakan, bahkan aku juga melarang segenap murid Henshan untuk menceritakan peristiwa ini dengan maksud untuk mencegah datangnya bala bantuan dari Perguruan Shaolin dan Wudang. Tapi Mahabiksu Fangzheng ternyata telah mengetahui semuanya.”

Segera ia pun menjawab, “Kepala Biara terlalu memuji, saya menjadi malu. Tentang hubungan saya dengan Ketua Ren memang banyak hal-hal yang sukar dijelaskan. Selain itu, saya juga terpaksa harus mengingkari kebaikan Nona Ren. Perbuatanku yang tidak tahu diri ini malah mendapat pujian dari Kepala Biara, dan bukannya dicela. Sungguh-sungguh saya tidak berani menerimanya.”

Fangzheng berkata, “Menurut kabar yang tersiar, dalam waktu dekat Ketua Ren akan memimpin langsung segenap anak buahnya datang menyerbu ke Gunung Henshan ini. Kini Perguruan Lima Gunung telah runtuh, dan yang tersisa dari Songshan, Taishan, Hengshan, dan Huashan hanyalah nama belaka. Tinggal Perguruan Henshan saja yang masih tegak berdiri, namun tidak mendatangkan bantuan dari mana pun. Ketua Linghu juga tidak mengirim orang untuk menyampaikan berita kepada kami. Jangan-jangan Perguruan Shaolin kami hanya dianggap sebagai kumpulan orang-orang yang takut mati dan tidak punya rasa setia kawan terhadap sesama kaum persilatan, bukan begitu?”

“Sama sekali kami tidak berani berpikiran demikian,” ujar Linghu Chong cepat. “Masalahnya segala urusan yang timbul saat ini adalah gara-gara perbuatanku sendiri yang telah salah bergaul dengan gembong-gembong Sekte Iblis. Menurut pendapatku, barangsiapa berbuat maka biarlah ia sendiri yang bertanggung jawab. Membuat susah segenap anggota Perguruan Henshan saja sudah membuatku tidak enak, apalagi sampai menyusahkan Kepala Biara dan Pendeta Chongxu. Jika Perguruan Shaolin dan Wudang mengirimkan bala bantuan dan sampai jatuh banyak korban di dalamnya, tentu dosaku akan semakin besar. Dosa ini tidak akan terbalas meskipun harus mati sepuluh ribu kali.”

“Ucapan Ketua Linghu ini kurang tepat,” ujar Fangzheng dengan tersenyum. “Sudah sejak ratusan tahun yang lalu pihak Sekte Iblis ingin menumpas Perguruan Shaolin, Wudang, dan Serikat Pedang Lima Gunung. Saat itu bahkan kami sendiri belum lahir. Jadi, ini sama sekali bukan kesalahan pribadi Ketua Linghu saja.”

Linghu Chong mengangguk dan menjawab, “Benar. Mendiang guruku juga sering mengatakan bahwa selamanya golongan putih dan golongan hitam tidak mungkin hidup bersama. Aliran sesat dan aliran lurus kita sudah terlibat pertempuran sekian lamanya, sehingga permusuhan di antara kedua pihak sangat mendalam. Menurut pendapatku yang bodoh ini, kalau salah satu pihak mau mengalah selangkah tentu permusuhan dapat dihentikan. Ternyata meskipun hubunganku dengan Ketua Ren sedemikian baiknya, tetap saja pada akhirnya kami harus bertemu di medan perang.”

“Ucapanmu tentang saling mengalah selangkah dan permusuhan dapat dihentikan, hal ini sebenarnya tidak salah,” ujar Fangzheng. “Pertarungan antara anggota aliran lurus kita melawan para anggota Sekte Matahari dan Bulan sebenarnya juga tidak memiliki alasan yang kuat. Masalahnya hanyalah pemimpin kedua pihak sama-sama ingin merajai dunia persilatan, sehingga masing-masing pun ingin saling menumpas pihak lawan. Tempo hari Pendeta Chongxu dan saya, beserta Ketua Linghu telah berbicara di Kuil Gantung untuk membahas niat Ketua Zuo dari Songshan yang hendak melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Kita sama-sama mengkhawatirkan ambisinya yang besar itu, ingin merajai dunia persilatan.”

Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, Fangzheng melanjutkan, “Konon Sekte Matahari dan Bulan memiliki semboyan yang menyatakan, ‘Panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan selamanya’. Kalau Ketua Ren sudah punya niat seperti itu, tentu tidak akan pernah ada kedamaian lagi di dunia persilatan. Dalam dunia persilatan terdapat berbagai macam perguruan, aliran, partai, ataupun perkumpulan, yang masing-masing memiliki keanekaragaman. Menyatukan itu semua di bawah satu bendera jelas bertentangan dengan hukum alam.”

Linghu Chong menjawab, “Ucapan Kepala Biara sangat benar.”

“Ketua Ren menyatakan dalam bulan ini ia akan menyapu bersih seluruh penghuni Gunung Henshan, bahkan ayam dan burung juga tidak diberi ampun. Sekali ia berkata demikian, sudah pasti ia laksanakan pula. Oleh karena itu, sekarang ini para jago terbaik dari Perguruan Shaolin, Wudang, Kunlun, Emei, dan Kongtong telah berkumpul di kaki gunung Henshan ini.”

“Hah, benarkah demikian?” seru Linghu Chong terkejut sampai melonjak dari duduknya. “Para tokoh terkemuka dari berbagai perguruan telah datang membantu, namun sedikit pun saya tidak tahu? Aih, sudah sepantasnya saya yang tidak becus ini mendapat hukuman.”

Rupanya ancaman serangan dari Ren Woxing itu bukannya membuat Perguruan Henshan bersiaga, tetapi justru menyerahkan diri pada nasib. Linghu Chong telah menarik orang-orangnya yang berjaga dan meronda di segenap penjuru pegunungan, untuk kemudian memberi mereka kebebasan menikmati sisa waktu. Akibatnya, ia sama sekali tidak mengetahui kalau bala bantuan dari berbagai perguruan golongan putih telah datang dan berkumpul di kaki gunung.

Terdengar Linghu Chong melanjutkan, “Para biksu yang mulia, silakan beristirahat lebih dulu, saya akan memimpin para murid untuk menyambut para tamu agung tersebut.”

Fangzheng mengangguk dan menjawab, “Segenap perguruan aliran lurus ibarat berada dalam satu kapal yang sama. Bersama-sama kita bahu membahu menghadapi ombak dan badai yang datang menerjang. Tidak perlu terlalu banyak adat, kami sudah membawa perbekalan secukupnya.”

“Baik,” jawab Linghu Chong sambil mengangguk. Ia lantas bertanya, “Kalau boleh tahu, kapan dan dari mana Kepala Biara mendengar kabar bahwa Sekte Matahari dan Bulan hendak menyerbu Gunung Henshan?”

“Seorang sesepuh telah mengirimkan surat kepada kami yang berisi kabar mengenai hal ini,” jawab Fangzheng.

“Sesepuh?” sahut Linghu Chong menegas. Jelas-jelas ia tahu kedudukan Mahabiksu Fangzheng di dunia persilatan sudah sangat tinggi. Lantas, siapa pula yang lebih tua tingkatannya daripada dia?

Dengan tersenyum Fangzheng menjawab, “Sesepuh ini adalah tokoh terkenal dari Perguruan Huashan. Beliau pernah mengajarkan ilmu pedang mahasakti kepada Ketua Linghu.”

“Ah, ternyata Kakek Guru Feng!” seru Linghu Chong senang.

“Benar sekali, memang Sesepuh Feng Qingyang orangnya,” kata Fangzheng. “Sesepuh Feng telah mengirim enam orang sobat ke Biara Shaolin untuk memberitahukan tentang apa yang dialami Ketua Linghu di Puncak Menyongsong Mentari tempo hari. Cara bicara keenam sobat itu agak bertele-tele dan tidak jelas. Namun, setelah mendengarkan dengan sabar selama dua jam, akhirnya saya dapat memahaminya dengan jelas.”

“Enam Dewa Lembah Persik, benarkah mereka?” tanya Linghu Chong.

“Mereka memang Enam Dewa Lembah Persik,” sahut Fangzheng tersenyum.

Linghu Chong berkata, “Ketika berada di Gunung Huashan, sebenarnya saya ingin menyampaikan salam hormat kepada Kakek Guru Feng. Namun, mendadak muncul berbagai macam urusan. Sampai meninggalkan gunung pun saya tetap tidak sempat berkunjung kepada Beliau. Tak disangka, ternyata Beliau mengetahui segala hal yang terjadi di sana.”

“Sesepuh Feng memang tidak suka menonjolkan diri. Beliau bagaikan naga sakti dari kahyangan yang terihat kepalanya tapi tak terlihat ekornya. Beliau bisa melihat kita sementara kita tidak mengetahuinya,” ujar Mahabiksu Fangzheng. “Meskipun Beliau mengasingkan diri di lembah pegunungan, namun begitu Perguruan Huashan tertimpa musibah, mana mungkin Beliau tinggal diam begitu saja? Pada saat itu sebenarnya Enam Dewa Lembah Persik juga menyusul ke Gunung Huashan dan bermain-main di sana. Mereka lantas ditangkap dan disekap selama beberpa hari oleh Sesepuh Feng. Setelah jera, mereka akhirnya dapat disuruh pergi ke Biara Shaolin menyampaikan surat dari Beliau.”

Linghu Chong pun merenung, “Rupanya Enam Dewa Lembah Persik ditawan beberapa hari oleh Kakek Guru Feng. Mereka suka menjaga gengsi, tidak mungkin mau menceritakan kejadian memalukan ini kepadaku. Bisa-bisa mereka justru membual telah menangkap Kakek Guru Feng segala. Biarlah nanti aku bicara melantur untuk memancing mereka sehingga menceritakan semuanya dengan lengkap.”

Ia lantas bertanya, “Menurut isi surat tersebut, apakah ada perintah Kakek Guru Feng kepada saya?”

“Sesepuh Feng dengan sangat rendah hati mengaku telah mendengar ancaman Sekte Matahari dan Bulan terhadap Perguruan Henshan. Oleh karena itu, Beliau sengaja mengirim kabar kepada saya. Sesepuh Feng mengatakan bahwa Ketua Linghu adalah murid kesayangan Beliau. Tindakan Ketua Linghu yang dengan tegas menolak ajakan Sekte Iblis itu sangat membuat hati Sesepuh Feng berkenan. Maka itu, Beliau pun menyuruh saya untuk menjaga Ketua Linghu dengan baik. Padahal ilmu silat Ketua Linghu sepuluh kali lebih hebat daripada saya. Beliau mengatakan ‘menjaga’ segala, sungguh terlalu berlebihan.”

“Tapi Kepala Biara telah menjaga diri saya bukan hanya sekali dua kali saja,” ujar Linghu Chong dengan membungkuk dan berterima kasih.

“Ah, Ketua Linghu jangan mengolok-olok,” sahut Fangzheng. “Setelah mengetahui berita ini, meskipun Sesepuh Feng tidak memerintah juga saya tetap berangkat ke Gunung Henshan demi mengingat hubungan baik kedua perguruan dan persahabatan kita pula. Apalagi persoalan ini menyangkut hidup dan mati segenap kaum persilatan golongan putih. Apabila Perguruan Henshan benar-benar dimusnahkan oleh Sekte Matahari dan Bulan, mana mungkin Shaolin dan Wudang tidak mengalami nasib yang serupa? Sebab itulah kami lantas menyebarkan kabar ini kepada berbagai aliran dan perguruan agar berkumpul di kaki Gunung Henshan. Kita bertempur mati-matian menghadapi Sekte Matahari dan Bulan di sini.”

Sebenarnya Linghu Chong sudah putus asa sejak turun meninggalkan Puncak Menyongsong Mentari. Melihat betapa hebat kekuatan Sekte Matahari dan Bulan itu, jelas Perguruan Henshan tidak akan mampu melawan. Maka itu, ia hanya dapat menunggu hari kedatangan Ren Woxing untuk kemudian bersama segenap murid Perguruan Henshan melawan mati-matian sampai titik darah penghabisan. Murid-murid Henshan juga ada yang mengusulkan agar meminta bantuan kepada Perguruan Shaolin dan Wudang. Akan tetapi, Linghu Chong menganggap itu semua tidak ada gunanya, sebab kekuatan Shaolin dan Wudang juga terbatas. Karena hasil akhirnya sudah dapat ditebak, ia pun berpikir untuk apa ikut mengorbankan Perguruan Shaolin dan Wudang segala?

Sebenarnya dalam lubuk hati Linghu Chong ada perasaan enggan bertempur melawan Ren Woxing dan Xiang Wentian. Namun, setelah harapan menikah dengan Ren Yingying telah musnah, tanpa terasa timbul pikirannya yang putus asa. Ia merasa hidup ini tiada gunanya lagi, bahkan lebih baik mati secepat-cepatnya. Kini begitu mengetahui kedatangan Mahabiksu Fangzheng adalah atas permintaan Feng Qingyang, seketika semangatnya bangkit kembali, meskipun dalam hati masih enggan untuk benar-benar bertempur melawan pihak Sekte Matahari dan Bulan.

Mahabiksu Fangzheng melanjutkan, “Ketua Linghu, sebagai pengikut Sang Buddha kami wajib memiliki watak welas asih. Sesungguhnya kami juga bukan orang yang suka main kekerasan, dan kami pun berharap urusan ini dapat diselesaikan dengan damai. Namun, kalau kita mengalah selangkah, maka Ketua Ren akan maju satu langkah, sehingga persoalan ini tidak akan menemukan titik terang. Ketua Ren sudah berniat membasmi kita secara habis-habisan, dan itu pasti akan dilakukannya, kecuali kalau kita mau menyembah kepadanya dengan menyanjung puji, ‘Hidup Ketua Suci, semoga panjang umur, merajai dunia persilatan, Amitabha!’”

Linghu Chong merasa geli mendengar ucapan Fangzheng yang bercampur aduk antara semboyan kaum Sekte Iblis dengan pujian Agama Buddha itu. Ia lantas menjawab dengan tertawa, “Benar sekali. Hanya mendengar sebutan ‘Ketua Suci merajai dunia persilatan’ saja sudah membuat sekujur tubuh ini merinding. Saya kuat minum arak tiga puluh mangkuk tanpa berhenti. Tapi, begitu mendengar sanjung puji tersebut seketika saya menjadi mabuk kepayang dan mata berkunang-kunang.”

“Sanjung puji anggota Sekte Iblis memang berlebihan dan sangat muluk-muluk,” ujar Fangzheng. Setelah terdiam sejenak ia lantas melanjutkan, “Diam-diam Sesepuh Feng telah melihat bagaimana Ketua Linghu menahan sakit luar biasa di bagian perut saat di Puncak Menyongsong Matahari kala itu. Beliau lantas menyuruh Enam Dewa Lembah Persik menyampaikan semacam rumus ilmu tenaga dalam mahatinggi kepada saya, untuk kemudian disampaikan kepada Ketua Linghu. Sungguh aneh, Enam Dewa Lembah Persik yang biasanya bertele-tele, ternyata bisa menyampaikan rumus tenaga dalam tersebut dengan sangat baik. Saya tidak bisa membayangkan entah bagaimana caranya Sesepuh Feng memaksa mereka menghafalkan itu semua. Maka itu, mohon Ketua Linghu masuk ke dalam agar saya dapat menyampaikan rumus ilmu tenaga dalam tersebut.”

Dengan penuh rasa hormat Linghu Chong lantas membawa Mahabiksu Fangzheng ke dalam sebuah kamar yang sunyi. Kini hanya mereka berdua yang berada dalam ruangan tersebut. Linghu Chong sendiri merasa seperti sedang berhadapan dengan Feng Qingyang secara langsung. Maka, dengan berlutut ia pun menyembah sambil berkata, “Budi baik Kakek Guru Feng kepada saya sungguh tak terukur besarnya.”

Fangzheng tidak menolak penghormatan itu. Ia menjawab, “Sesepuh Feng menaruh harapan besar terhadap Ketua Linghu. Maka, hendaknya kau dapat melatih ilmu tenaga dalam ini dengan baik sesuai rumus yang saya sampaikan ini.”

“Baik,” jawab Linghu Chong. “Saya berjanji akan mempelajari ilmu ini dengan sungguh-sungguh.”

Fangzheng pun mulai menguraikan kalimat-kalimat rumus ilmu tenaga dalam tersebut kepada Linghu Chong. Ternyata rumusan ini tidak terlalu panjang, yaitu tidak sampai melewati seribu kata. Setelah selesai menguraikannya, Fangzheng meminta Linghu Chong menghafalkannya. Ia pun mengulangi uraiannya itu sampai lima kali, sehingga Linghu Chong benar-benar hafal di luar kepala.

Mahabiksu Fangzheng lantas berkata, “Ketua Linghu telah menghafal semuanya dengan baik. Meskipun rumus ini tidak panjang, namun memiliki makna yang teramat luas dan mendalam, lain daripada yang lain. Kita adalah sahabat, maka itu jangan tersinggung jika saya berkata bahwa ilmu pedang Ketua Linghu memang sangat tinggi, tapi dalam hal ilmu tenaga dalam sepertinya kurang sempurna.”

“Saya hanya paham sedikit saja mengenai ilmu tenaga dalam,” jawab Linghu Chong. “Saya tidak tersinggung, justru ingin meminta penjelasan lebih lanjut dari Kepala Biara.”

Fangzheng berkata. “Meskipun intisari ilmu tenaga dalam ajaran Sesepuh Feng ini agak berbeda dengan ilmu tenaga dalam Perguruan Shaolin, namun semua ilmu silat di dunia ini pada dasarnya berbeda-beda tapi tetap satu juga. Maka itu, apabila Ketua Linghu memang tidak keberatan, saya akan memberikan penjelasan seperlunya mengenai intisari ajaran Sesepuh Feng ini sesuai dengan pemahaman saya.”

Linghu Chong menyadari kalau Mahabiksu Fangzheng adalah tokoh papan atas di dunia persilatan. Mendapat petunjuk darinya sama saja seperti mendapatkan pelajaran langsung dari Feng Qingyang. Dalam hal ini Linghu Chong pun berpikir, “Kakek Guru Feng meminta Mahabiksu Fangzheng mewakilinya, tentu karena biksu agung ini memang memiliki tenaga dalam yang mahatinggi.” Berpikir demikian membuat dirinya tanpa ragu-ragu lantas menerima dengan baik tawaran Fangzheng itu seraya berkata, “Saya akan mendengarkan dengan penuh khidmat segala petunjuk dari Kepala Biara.”

“Ah, jangan terlalu mengolok-olok seperti itu,” ujar Fangzheng. Ia lantas menyampaikan penjelasan terhadap rumus ilmu tenaga dalam itu secara terperinci, kalimat demi kalimat. Ia juga memberikan tambahan pelajaran mengenai ilmu pernapasan dan ilmu memindahkan tenaga, serta tata cara samadi yang baik.

Semula Linghu Chong hanya menghafalkan rumus ilmu tenaga dalam tadi di luar kepala secara mati tanpa memahami maksudnya. Namun, setelah mendapat penjelasan secara terperinci dari Fangzheng barulah ia menyadari bahwa setiap kalimat dalam rumus tersebut mengandung bermacam-macam filsafat yang sangat luas. Ia sendiri seorang pemuda cerdas dan berbakat. Namun, intisari ilmu tenaga dalam itu ternyata cukup membuatnya memeras otak selama setengah hari. Untunglah Mahabiksu Fangzheng dengan sabar senantiasa mendampingi dan memberikan penjelasan secara terperinci sehingga membuat pemuda itu mendapatkan suatu tingkatan ilmu silat yang belum pernah ia capai sebelumnya.

Sambil menghela napas panjang Linghu Chong berkata, “Kepala Biara, selama bertahun-tahun saya malang melintang di dunia persilatan dengan gegabah, karena tidak menyadari kebodohan diri sendiri. Saya merasa sungguh malu saat memikirkan hal itu. Meskipun hidup saya tidak akan lama lagi karena serangan Ketua Ren, namun saya tetap bersyukur karena mendapatkan pelajaran berharga dari Kakek Guru Feng melalui Kepala Biara ini. Pepatah mengatakan: lebih baik menemukan kebenaran di pagi hari dan mati di sore hari daripada hidup selamanya dalam kegelapan.”

“Menemukan kebenaran di pagi hari dan mati di sore hari tentu tidak akan menyesal,” sahut Fangzheng membetulkan.

“Benar sekali, maksud saya adalah seperti itu,” ujar Linghu Chong. “Saya meniru pepatah tadi dari mendiang Guru. Mendengarkan penjelasan dari Kepala Biara hari ini benar-benar membuat saya bagaikan seorang buta melihat cahaya. Meskipun tidak ada waktu lagi untuk melatihnya, saya tetap bersyukur.”

Fangzheng berkata, “Bermacam-macam perguruan aliran lurus telah berkumpul di kaki Gunung Henshan ini. Apabila Sekte Matahari dan Bulan benar-benar menyerbu kemari, maka kita beramai-ramai menghadapinya dengan segenap tenaga. Rasanya belum tentu kita akan kalah. Maka dari itu, janganlah Ketua Linghu patah semangat. Ilmu tenaga dalam ini akan sempurna dalam beberapa tahun. Namun, Ketua Linghu harap melatihnya dengan tekun secara teratur sehari demi sehari. Sedikit demi sedikit tentu membawa kemajuan bagi Ketua Linghu. Dalam waktu singkat ini kita tidak mengalami suatu urusan, maka itu silakan Ketua Linghu mulai berlatih saja. Selagi saya datang mengusik tempatmu yang terhormat ini, marilah kita saling bertukar pikiran.”

“Saya sungguh berterima kasih atas budi kebaikan Kepala Biara,” kata Linghu Chong.

“Saat ini mungkin Saudara Chongxu juga sudah datang,” ujar Fangzheng. “Marilah kita keluar untuk melihatnya!”

“Hah, ternyata Pendeta Chongxu juga datang secara pribadi?” sahut Linghu Chong sambil lekas-lekas berdiri. Keduanya lantas keluar kembali ke ruang utama tadi. Ternyata di ruang tersebut sudah menyala beberapa api lilin, jelas hari sudah mulai gelap. Tak disangka, sudah enam jam lamanya mereka berdua berada di dalam kamar samadi untuk mempelajari ilmu tenaga dalam tersebut.

Tampak di ruangan utama itu duduk tiga orang pendeta Agama Tao sedang berbicara dengan Biksu Fangsheng. Salah seorang di antaranya tidak lain adalah Pendeta Chongxu sendiri.

Melihat Fangzheng dan Linghu Chong keluar dari kamar samadi, dengan cepat Chongxu dan kedua rekannya bangkit memberi hormat.

Linghu Chong langsung berlutut membalas hormat sambil berkata, “Jauh-jauh Pendeta Chongxu sudi datang membantu kesulitan yang dihadapi Perguruan Henshan. Saya dan segenap murid-murid Henshan sungguh sangat berterima kasih dan entah bagaimana bisa membalas budi baik Pendeta ini?”

Lekas-lekas Chongxu membangunkan Linghu Chong dan berkata sambil tertawa, “Sudah cukup lama kami berada di sini. Begitu mengetahui Kepala Biara sedang mengajarkan ilmu tenaga dalam kepada Adik Linghu di kamar samadi, maka kami tidak berani mengganggu sama sekali. Ilmu tenaga dalam mahasakti yang Adik Linghu pelajari itu tentu bisa untuk membuat Ren Woxing terkejut setengah mati.”

“Ilmu tenaga dalam ini terlalu luas dan mendalam. Dalam waktu singkat mana mungkin saya mampu memahaminya dengan baik?” jawab Linghu Chong. “Saya dengar para tokoh terkemuka dari Perguruan Emei, Kunlun, dan Kongtong juga hadir. Saya hendak turun gunung untuk menyambut mereka. Para sesepuh itu perlu diundang kemari untuk berunding bagaimana cara untuk menghadapi musuh. Bagaimana pendapat Pendeta atas hal ini?”

Chongxu menjawab, “Mereka memang sudah datang, tapi sengaja bersembunyi di tempat rahasia agar tidak diketahui oleh mata-mata si iblis tua bermarga Ren itu. Kalau mereka beramai-ramai diundang kemari, mungkin keberadaan mereka akan diketahui musuh. Sewaktu datang ke sini pun kami bertiga juga dalam penyamaran. Bahkan, murid-murid Wudang juga tidak tahu tentang keberangkatan kami ini.”

Linghu Chong langsung teringat pada pertemuan pertamanya dengan Pendeta Chongxu. Waktu itu sang pendeta menyamar sebagai kakek tua penunggang keledai, yang didampingi dua orang petani membawa sayur dan kayu bakar. Padahal, ketiganya adalah ahli pedang papan atas dalam Perguruan Wudang namun menyamar sebagai rakyat jelata. Kali ini Linghu Chong mengamati dengan seksama kedua pendeta yang mengiringi Chongxu. Ternyata mereka berdua adalah orang-orang yang dulu menyamar sebagai pendamping ketua Perguruan Wudang itu pula.

Segera Linghu Chong memberi hormat dan menyapa, “Pendeta berdua sungguh mahir dalam menyamar. Kalau saja Pendeta Chongxu tidak menyinggungnya, tentu saya tetap tidak mengenali Pendeta berdua.”

Dahulu kedua pendeta itu menyamar sebagai petani gunung. Yang lebih tua membawa kayu bakar, sedangkan yang lebih muda membawa sayur-mayur. Saat itu mereka terlihat kumal dan sakit-sakitan, namun kini tampak sehat dan bersih. Hanya sinar mata mereka saja yang masih dikenali oleh Linghu Chong.

Chongxu lantas memperkenalkan kedua pendeta pendampingnya itu, “Yang lebih tua ini adalah adik seperguruanku, namanya Adik Qingxu, sedangkan yang lebih muda ini adalah muridnya, bernama Keponakan Chenggao.”

Linghu Chong dan ketiga pendeta Wudang tersebut lantas bergelak tawa teringat kejadian di jalanan Hubei waktu itu. “Ilmu pedang Ketua Linghu sungguh mahasakti!” ujar Qingxu dan Chenggao memuji.

Chongxu berkata, “Ilmu pedang adik dan keponakanku ini biasa-biasa saja, tapi mereka pernah merantau selama belasan tahun di benua barat. Di sana mereka berhasil memperoleh kepandaian istimewa. Yang satu mahir memasang pesawat rahasia, dan yang satunya ahli dalam membuat bahan peledak.”

“Wah, ini benar-benar kepandaian yang jarang ada di dunia,” ujar Linghu Chong.

“Adik Linghu,” kata Chongxu kemudian. “Aku sengaja membawa mereka kemari sebenarnya untuk maksud dan tujuan tertentu. Aku berharap mereka berdua bisa membantu kita mengerjakan suatu tugas penting.”

Linghu Chong tidak paham dan menegas, “Mengerjakan suatu urusan penting?”

“Benar. Secara lancang aku telah membawa sesuatu kemari. Silakan Adik Linghu memeriksanya,” ujar Chongxu sambil tangannya merogoh ke dalam saku baju.

Dengan penuh tanda tanya Linghu Chong berdebar-debar ingin mengetahui barang apa sebenarnya yang akan dikeluarkan dari saku baju pendeta tua itu. Namun, Chongxu lantas berkata dengan tertawa, “Barang yang aku bawa sebenarnya bukan benda kecil sehingga tidak muat di dalam saku bajuku. Nah, Adik Qingxu, silakan kau suruh mereka membawanya masuk kemari.”

Berbeda dengan Mahabiksu Fangzheng yang tunduk pada adat dan menjaga tata krama, Pendeta Chongxu ini lebih terbuka dan sesekali bercanda. Begitu menerima perintah, Qingxu segera berjalan keluar. Tidak lama kemudia ia masuk kembali dengan membawa empat orang yang berdandan sebagai petani desa. Keempatnya berkaki telanjang dan masing-masing membawa satu pikulan sayur.

Qingxu lantas memperkenalkan Linghu Chong dan Mahabiksu Fangzheng pada keempat orang itu. Mereka pun membungkuk menyampaikan salam hormat. Sebaliknya, Linghu Chong dan Fangzheng juga membalas hormat. Linghu Chong sadar keempat orang ini pasti jago-jago pilihan dari Perguruan Wudang, sehingga dengan rendah hati ia membungkuk pula di hadapan mereka.

“Keluarkan dan rakitlah!” ujar Qingxu memberi perintah.

Keempat orang itu segera membongkar sayuran dalam pikulan mereka. Di bawah tumpukan sayu-mayur tersebut rupanya ada beberapa bungkusan. Setelah bungkusan itu dibuka, ternyata berisi benda-benda kecil sebangsa paku, mur, baut, pegas, dan potongan-potongan kayu. Mereka berempat lantas bekerja dengan sangat cekatan. Benda-benda kecil tersebut lantas dirakit dan dihubungkan satu sama lain. Dalam waktu singkat terciptalah sebuah kursi megah dari benda-benda kecil itu.

Linghu Chong terheran-heran dan berpikir, “Untuk apa kursi megah ini dirakit di sini? Di dalamnya terpasang bermacam-macam pesawat pegas, apakah mungkin digunakan untuk berlatih tenaga dalam?”

Selesai kursi selesai dirakit, keempat orang itu lantas mengeluarkan dari dalam bungkusan yang lain sebuah bantal dan sarung kursi, untuk kemudian dipasang pada sandaran kursi megah tersebut. Seketika suasana ruang biara itu menjadi gilang-gemilang oleh cahaya yang menyilaukan mata. Ternyata sarung kursi ini terbuat dari sutra kuning yang halus dan bersulamkan gambar sembilan ekor naga emas. Gambar sembilan naga yang melingkar-lingkar itu tampak sedang menyongsong terbitnya bola matahari berwarna merah membara di garis samudera. Di kedua tepi sarung kursi tersulam pula tulisan kaligrafi yang bernada sanjung puji semboyan Sekte Matahari dan Bulan, antara lain: “Kejayaan untuk Ketua Suci, sang pelindung rakyat jelata” juga “Hidup Ketua Suci, semoga panjang umur, merajai dunia persilatan”.

Gambar sembilan naga emas itu tersulam dengan bagus sekali seolah benar-benar hidup. Tulisan-tulisan di tepinya juga sangat indah, bahkan dihiasi pula dengan bermacam-macam mutiara dan batu permata berwarna-warni. Ruangan biara yang biasanya sunyi senyap dan sangat sederhana itu, kini tiba-tiba cemerlang oleh kilauan cahaya benda-benda berharga tersebut.

Linghu Chong bersorak memuji. Teringat olehnya bahwa Qingxu pernah mempelajari ilmu tentang pesawat rahasia di benua barat, seketika ia pun paham maksud dan kegunaan dari kursi indah tersebut. “Ini adalah kursi perangkap,” ujarnya mencoba menebak. “Begitu melihat kursi kebesaran ini, Ketua Ren pasti langsung tertarik dan segera mendudukinya. Maka, sekali pesawat pegas dalam kursi ini bekerja, tentu jiwanya akan melayang seketika.”

Perlahan Chongxu menjawab, “Tapi Ren Woxing sangat pintar dan cerdik. Tindakannya juga sangat cepat. Sedikit saja dia merasa tempat duduknya kurang enak pasti akan curiga dan segera melompat bangun. Maka itu, sukar juga untuk membinasakannya. Yang penting di kaki kursi ini terpasang pula sumbu obat yang terhubung dengan bahan peledak berkekuatan besar di suatu tempat rahasia.”

Mendengar itu, serentak raut muka Linghu Chong dan para biksu Shaolin berubah. Fangzheng lantas menyebut, “Amitabha!”

Chongxu berkata, “Keistimewaan pesawat rahasia di dalam kursi ini adalah tidak seketika langsung bekerja. Apabila diduduki begitu saja juga tidak akan terjadi apa-apa. Namun, setelah diduduki kira-kira seminuman teh barulah pesawat itu bekerja dan menyulut sumbu bahan peledak. Ren Woxing seorang yang sangat cerdik dan mudah curiga. Jika mendadak ia melihat ada sebuah kursi bagus di sini tentu tidak akan langsung duduk di atasnya. Pasti dia menyuruh anak buahnya untuk mencoba lebih dahulu. Jika memang tidak terjadi apa-apa, barulah ia berani duduk. Di atas kursi ini tersulam gambar sembilan naga menyongsong matahari, serta tertulis semboyan-semboyan yang memuja ketua, tentu anak buahnya itu tidak berani duduk lama-lama. Sementara itu, Ren Woxing begitu duduk tentu akan merasa nyaman dan enggan pula meninggalkan kursi kebesaran ini.”

“Pemikiran Pendeta sungguh sangat rapih,” puji Linghu Chong.

“Selain itu Adik Qingxu juga telah mengatur perangkap lain,” kata Chongxu. “Kalau Ren Woxing ternyata curiga dan tidak mau duduk di atas kursi ini, tentu ia akan menyuruh anak buahnya untuk membongkar paksa. Nah, begitu salah satu baut pada kursi ini dilepas, seketika sebuah pesawat rahasia lain akan langsung bekerja dan menyulut sumbu bahan peledak. Kali ini Keponakan Chenggao membawa sepuluh ribu kilo bahan peledak. Jika benar-benar diledakkan, jangan-jangan pemandangan indah di pegunungan kalian yang permai ini terpaksa ikut hancur pula.”

Linghu Chong menjadi ngeri membayangkan hal itu. Ia berpikir, “Bahan peledak sebanyak sepuluh ribu kilo, sekali meledak tentu segalanya akan hancur lebur. Yang jelas Ketua Ren pasti akan binasa. Akan tetapi, Yingying dan Kakak Xiang juga sulit terhindar dari maut.”

Melihat raut muka Linghu Chong agak pucat, Chongxu paham dan berkata, “Sekte Iblis telah menyatakan dengan tegas hendak membasmi Perguruan Henshan habis-habisan. Setelah itu mereka tentu akan menyerang Perguruan Shaolin dan Wudang kami. Korban yang lebih besar pasti akan jatuh dan bencana tentu sukar dihindari. Kalau sekarang kita menggunakan siasat ini untuk menghadapi Ren Woxing, meskipun agak keji, namun tujuan kita adalah untuk membinasakan iblis sesat itu demi menyelamatkan jiwa puluhan ribu kaum persilatan pada umumnya.”

“Amitabha!” ujar Mahabiksu Fangzheng bersabda. “Memang begitulah jalan hidup welas asih. Terpaksa mengorbankan satu orang demi menolong ratusan ribu lainnya.” Kesembilan biksu pengiringnya ikut menguncupkan tangan dan berkata, “Amitabha, Kepala Biara benar.”

Linghu Chong merasa ucapan Fangzheng cukup masuk akal. Sekte Matahari dan Bulan sudah menyatakan hendak membunuh habis segenap penghuni Gunung Henshan, termasuk ayam dan burung sekalipun. Jika sekarang pihak golongan putih menggunakan perangkap keji meledakkan musuh, hal ini rasanya masih pantas dan tidak seorang pun dapat menyangkalnya. Hanya saja, kalau Ren Woxing harus dibunuh, dalam hati Linghu Chong merasa enggan. Apalagi mengingat Xiang Wentian harus tewas pula, baginya lebih baik ia yang mati lebih dulu. Justru hidup-mati Ren Yingying yang tidak menjadi beban pikirannya, karena mereka berdua telah bertekad untuk sehidup semati selamanya.

Begitu melihat sorot mata semua orang memandang kepadanya, ia pun berpikir sejenak, kemudian berkata, “Urusan sudah seperti ini. Sekte Matahari dan Bulan telah mendesak kita hingga menghadapi jalan buntu. Saya merasa siasat yang diatur Pendeta Chongxu ini adalah cara yang paling sedikit menjatuhkan korban.”

“Ucapan Adik Linghu memang tidak salah,” kata Chongxu. “Jatuh korban sedikit adalah hal yang paling kita harapkan.”

“Saya masih muda dan berpengalaman dangkal. Urusan ini biarlah dipimpin langsung oleh Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu,” ujar Linghu Chong kemudian. “Yang pasti saya akan memimpin murid-murid Perguruan Henshan untuk bersama-sama menghadapi musuh.”

“Ah, mana boleh seperti itu?” sahut Chongxu tertawa. “Adik Linghu adalah tuan rumah, sementara Kepala Biara dan aku hanyalah tamu. Mana boleh tamu menggeser tempat tuan rumah?”

“Dalam hal ini saya bukan sengaja merendahkan diri, namun benar-benar memohon kedua sesepuh agar sudi memimpin semuanya,” kata Linghu Chong dengan wajah sungguh-sungguh.

“Jika tekad Ketua Linghu sudah bulat, maka Saudara Pendeta juga tidak perlu segan dan menolak lagi,” ujar Fangzheng. “Biarlah urusan besar ini diputuskan oleh kita bertiga bersama-sama, namun Saudara Pendeta yang akan memimpin perintah pelaksanaannya.”

Setelah mengucapkan kata-kata rendah hati, Chongxu akhirnya menerima usul tersebut. Ia kemudian berkata, “Jalan menuju ke Puncak Henshan ini sudah kita beri penjagaan. Kapan pun pihak Sekte Iblis datang menyerbu, tentu sebelumnya kita akan mendapat kabar. Dulu sewaktu Adik Linghu memimpin banyak orang menyerbu Biara Shaolin, saat itu kami tunduk di bawah perintah Zuo Lengchan yang menggunakan ‘Siasat Kota Kosong’….”

“Waktu itu saya benar-benar ceroboh, mohon dimaafkan,” sela Linghu Chong menukas.

Siasat Kota Kosong adalah taktik perang melegenda ciptaan Zhuge Liang pada zaman tiga negara, lebih dari seribu tahun yang lalu. Siasat ini lantas ditiru oleh Zuo Lengchan untuk menjebak Linghu Chong dan kawan-kawan saat menyerbu Biara Shaolin demi membebaskan Ren Yingying kala itu.

“Sungguh tidak disangka, yang dulu musuh kini menjadi kawan,” kata Chongxu dengan tertawa. “Kalau saat ini kita memakai Siasat Kota Kosong lagi tentu tidak akan berhasil. Apabila Gunung Henshan tiba-tiba sepi sudah pasti menimbulkan kecurigaan Ren Woxing. Maka menurut pendapatku, biarlah segenap anggota Perguruan Henshan bertahan di atas gunung ini. Pihak Shaolin dan Wudang masing-masing akan mengirim beberapa orang untuk ikut membantu. Masalahnya kalau Shaolin dan Wudang tidak memberi bantuan, hal ini pasti akan menimbulkan kecurigaan Ren Woxing pula.”

“Benar sekali,” ujar Fangzheng dan Linghu Chong bersama-sama.

Chongxu melanjutkan, “Kawan-kawan dari Perguruan Kunlun, Emei, dan Kongtong bisa bersembunyi di dalam gua, tidak perlu memperlihatkan diri. Begitu pasukan Sekte Iblis datang menyerbu, orang-orang Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang akan melawannya dengan sekuat tenaga. Cara bertempur kita juga harus sungguh-sungguh, serta melibatkan jago-jago papan atas dari perguruan masing-masing. Semakin banyak kita membunuh musuh akan semakin baik, sementara dalam pihak kita sedapat mungkin jangan sampai jatuh korban.”

Fangzheng menghela napas dan berkata, “Jago-jago di pihak Sekte Matahari dan Bulan tidak terhitung banyaknya. Kedatangan mereka kali ini tentu telah direncanakan dengan sangat matang. Dalam pertempuran nanti tentu tidak bisa dihindari akan banyak jatuh korban di kedua pihak.”

Chongxu menjelaskan, “Kita bisa mencari jurang yang terjal dan memasang tali panjang di sana. Apabila dalam pertempuran nanti pihak kita mulai terdesak, maka satu per satu dari kita segera turun ke bawah menggunakan tali tersebut sehingga musuh tidak dapat mengejar. Setelah mendapat kemenangan besar tentu Ren Woxing akan bergembira dan lupa daratan. Begitu melihat kursi kebesaran ini, dia akan langsung duduk di atasnya dan beberapa saat kemudian pesawat rahasia bekerja menyulut sumbu bahan peledak. Sekalipun iblis bermarga Ren itu memiliki kepandaian setinggi langit, tidak mungkin ia dapat meloloskan diri dari ledakan tersebut. Menyusul kemudian kita ledakkan pula tiga puluh dua titik pada delapan jalur yang menuju ke puncak Henshan ini sehingga orang-orang Sekte Iblis itu terkurung semua di atas gunung.”

“Semua jalan menuju ke atas sini juga diledakkan?” sahut Linghu Chong menegas.

“Benar,” jawab Chongxu. “Mulai besok pagi Keponakan Chenggao akan menanam sejumlah bahan peledak pada ketiga puluh dua titik tersebut. Begitu semua meledak, seketika jalan-jalan menuju puncak akan terputus. Berapa pun banyaknya anggota Sekte Iblis yang menyerbu kemari tentu semua akan mati kelaparan di sini. Yang kita tiru adalah siasat Zuo Lengchan dahulu. Hanya saja, kali ini musuh pasti tidak berkesempatan meloloskan diri melalui lorong bawah tanah.”

“Waktu itu saya sangat beruntung karena secara kebetulan menemukan lorong rahasia sehingga bisa lolos dari Biara Shaolin,” ujar Linghu Chong. “Akan tetapi ….” tiba-tiba ia teringat sesuatu.

“Apakah Adik Linghu merasa siasat yang kita atur ini masih kurang sempurna?” tanya Chongxu.

Linghu Chong menjawab, “Saya berpikir jika nanti Ketua Ren datang kemari dan melihat kursi kebesaran ini, tentu ia akan merasa senang. Namun, di sisi lain ia juga akan terheran-heran mengapa Perguruan Henshan tiba-tiba membuat kursi yang penuh dengan sanjung puji seperti itu? Bila hal ini tidak dijelaskan, rasanya Ketua Ren juga tidak mau tertipu dan duduk di sini.”

“Persoalan ini memang sudah kupikirkan pula,” jawab Chongxu. “Sebenarnya iblis tua itu mau duduk di atas kursi ini atau tidak juga bukan masalah penting bagi kita. Sebab, kita sudah mempersiapkan rencana kedua yaitu memasang sumbu lainnya di tempat rahasia. Begitu ia merayakan kemenangan sambil menikmati sanjung puji dari anak buahnya, maka saat itulah kita ledakkan gunung ini melalui sumbu rahasia tersebut. Tentu keesokan harinya hal ini akan menjadi berita hangat yang dibicarakan semua penghuni dunia persilatan.”

“Paman Guru,” tiba-tiba Chenggao menyela. “Saya memiliki suatu usulan, entah dapat dijalankan atau tidak?”

“Coba katakan, biar kita bisa meminta pertimbangan Kepala Biara dan Ketua Linghu,” sahut Chongxu sambil tersenyum.

“Saya mendengar Ketua Linghu mempunyai ikatan perjodohan dengan putri tunggal Ketua Ren. Berhubung golongan putih dan golongan hitam tidak bisa bersatu, maka lantas timbul suatu halangan,” kata Chenggao. “Ketua Linghu dapat mengutus dua murid Henshan untuk menemui Ketua Ren dan menyampaikan berita bahwa demi mengingat diri Nona Ren, maka Ketua Linghu sengaja mengundang seorang ahli untuk membuatkan sebuah kursi kebesaran. Kursi ini khusus dipersembahkan kepada Ketua Ren dengan harapan kedua pihak dapat terhindar dari pertempuran menuju perdamaian. Dengan demikian, apakah Ketua Ren mau menerima persembahan Ketua Linghu ini atau tidak bukan masalah lagi. Yang pasti, begitu datang kemari dan melihat kursi ini tentu ia tidak akan curiga lagi.”

“Sungguh akal yang bagus,” seru Chongxu bertepuk tangan. “Dengan demikian ….”

“Tidak bisa!” sahut Linghu Chong menukas sambil menggeleng kepala.

Chongxu tercengang kemudian bertanya, “Apakah Adik Linghu ada pendapat yang lebih baik?”

Linghu Chong menjawab, “Bahwasanya Ketua Ren ingin membunuh segenap anggota Perguruan Henshan, maka saya akan menghadapinya dengan sepenuh tenaga, entah menggunakan siasat ataupun kekuatan. Kalau dia benar-benar datang hendak membunuh kita semua, maka kita pun harus meledakkan dia. Akan tetapi, sama sekali saya tidak mau membohonginya.”

“Bagus sekali!” ujar Chongxu memuji. “Adik Linghu benar-benar seorang laki-laki sejati. Selalu mengutamakan kejujuran, sungguh mengagumkan. Biarlah kita tetap melaksanakan rencana semula. Terserah apakah iblis bermarga Ren itu akan curiga atau tidak, yang pasti bila dia datang kemari untuk mencelakai kita, maka dia pun akan kita buat menderita.”

Begitulah, mereka lantas berunding membahas tentang bagaimana harus menghadapi musuh, bagaimana harus melakukan perlawanan, bagaimana melindungi anak-buah masing-masing supaya tidak jatuh banyak korban, termasuk bagaimana cara mengundurkan diri ke belakang gunung nanti, serta bagaimana cara menyulut sumbu bahan peledak.

Chongxu benar-benar seorang yang sangat cermat. Ia khawatir siasatnya yang rapih itu justru membuat mereka lengah dan memandang remeh pihak lawan. Maka itu, ia pun mengirim pasukan cadangan untuk menyalakan sumbu peledak karena jangan-jangan para petugas yang ditunjuk justru terbunuh oleh musuh.

Keesokan paginya Linghu Chong mengajak mereka semua untuk melihat keadaan lembah pegunungan guna menjalankan siasat. Qingxu dan Chenggao segera memilih tempat-tempat penting untuk menanam bahan peledak serta memasang sumbunya pula. Para penjaga bahan peledak itu pun ditempatkan secara tersembunyi. Chongxu dan Linghu Chong juga memilih empat jurang yang curam sebagai jalan meloloskan diri jika musuh datang menyerbu secara besar-besaran. Keempat jurang itu masing-masing akan dijaga langsung oleh Fangzheng, Chongxu, Fangsheng, dan Linghu Chong sendiri. Bagaimanapun juga mereka harus menahan musuh supaya tidak dapat mendekati jurang itu, sampai semua orang di pihak mereka sudah turun ke bawah. Setelah semuanya habis, barulah mereka berempat turun ke bawah dan memotong tali panjang tersebut supaya musuh tidak dapat mengejar lebih lanjut.

Sore harinya sebanyak sepuluh orang Perguruan Wudang naik ke atas gunung dengan menyamar sebagai petani dan pengusung kayu bakar. Di bawah pimpinan Qingxu dan Chenggao, mereka pun menanam bahan peledak di tempat-tempat yang sudah ditentukan. Murid-murid Henshan telah menjaga semua jalur masuk menuju puncak. Siapa pun orangnya yang tidak berkepentingan dilarang lewat di jalanan pegunungan. Satu sama lain juga tidak boleh sembarangan bicara untuk menjaga diri dari mata-mata Sekte Matahari dan Bulan yang ingin mengetahui rahasia siasat mereka.

Setelah tiga hari berturut-turut kesibukan mereka pun berakhir. Segala persiapan telah diatur dengan rapih, tinggal menunggu datangnya serbuan Sekte Matahari dan Bulan saja. Sementara itu, pertemuan dengan Ren Woxing di Gunung Huashan juga telah berlalu hampir sebulan yang silam. Ini berarti kedatangan pihak Sekte Matahari dan Bulan akan terjadi dalam waktu dekat saja.

Dalam beberapa hari itu Chongxu dan kawan-kawannya semakin sibuk, semenatara Linghu Chong justru lebih banyak menganggur. Setiap hari ia menggunakan kesempatan untuk menghafal rumus ilmu tenaga dalam yang diajarkan Mahabiksu Fangzheng, serta melatihnya dengan tekun. Apabila terdapat bagian-bagian yang tidak dipahaminya segera ia meminta petunjuk kepada Fangzheng.

Sore harinya, Linghu Chong mengawasi Yihe, Yiqing, Yilin, Zheng E, Qin Juan, dan yang lainnya berlatih ilmu pedang. Meskipun berusia paling muda, namun daya tangkap Qin Juan terhadap intisari ilmu pedang yang diajarkan Linghu Chong ternyata paling bagus dan cepat tangkap pula.

“Adik Qin sungguh pintar,” ujar Linghu Chong memuji. “Kau sudah mendapat banyak kemajuan dalam jurus ini. Untuk selanjutnya ….” Sampai di sini ia langsung berhenti. Tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit. Seketika langit terasa runtuh dan bumi berputar cepat. Tanpa ampun ia pun jatuh terduduk di atas tanah.

Yihe dan yang lain sangat terkejut. Beramai-ramai mereka memburu maju dan membangunkan sang ketua. Serentak mereka bertanya, “Ada apa sebenarnya?”

Linghu Chong sadar penyakitnya sedang kambuh kembali. Bermacam-macam hawa murni di dalam tubuhnya kembali bergolak. Mulut terasa sukar dibuka, sehingga sulit pula menjawab pertanyaan tersebut.

Selagi murid-murid Henshan itu gelisah, tiba-tiba terasa hembusan angin menerpa mereka. Rupanya dua ekor merpati pos telah masuk ke dalam ruang latihan melalui jendela.

“Ah!” seru Yihe dan yang lain bersamaan.

Perguruan Henshan memang memelihara banyak merpati pos. Dulu sewaktu Biksuni Dingjing berada di Fujian, sementara Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi terkurung di Lembah Tempa Pedang, mereka saling berhubungan menggunakan merpati-merpati tersebut.

Kedua merpati yang baru datang ini telah dikirim oleh murid-murid Henshan yang berjaga di kaki gunung. Punggung merpati-merpati itu sengaja dicat warna merah, sebagai pertanda bahwa pihak musuh telah datang menyerbu.

Sejak kedatangan orang-orang Shaolin dan Wudang, para murid Henshan masing-masing merasa lega karena mendapatkan bala bantuan yang kuat. Tak disangka pada saat genting seperti ini penyakit sang ketua mendadak kambuh. Segera Yiqing mengambil tindakan. Ia berseru, “Adik Yiwen, Adik Yizhi, serta yang lainnya segeralah melapor kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu.”

Yiwen dan yang lain pun berangkat dengan cepat. Yiqing lantas berkata lagi, “Kakak Yihe, tolong kau bunyikan genta.”

Yihe mengangguk beberapa kali dan langsung berlari keluar menuju ke menara genta. Tidak lama kemudian terdengarlah suara genta bertalu-talu menggema di angkasa. Menyusul kemudian genta-genta besar di berbagai tempat yang terpisah-pisah, antara lain Lembah Tongyuan, Kuil Gantung, Celah Naga Hitam, dan Celah Tungku Porselen berbunyi pula.

Rupanya Mahabiksu Fangzheng telah berpesan bahwa bunyi genta yang bertalu-talu ditetapkan sebagai tanda bahaya datangnya musuh. Perintah yang sebenarnya ialah membunyikan genta secara panjang tiga kali, dan pendek dua kali secara berturut-tutut dan perlahan-lahan. Akan tetapi, karena sedang ketakutan Yihe malah membunyikannya secara kasar dan tidak berirama. Meskipun kata “he” bermakna “damai”, namun Yihe bersifat sangat berangasan dan mudah marah.

Orang-orang Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang dengan cepat bergerak sesuai rencana yang ditetapkan. Masing-masing meninggalkan pos-pos penjagaan untuk menuju ke atas puncak. Memang demi mengurangi jatuhnya korban, maka jalan-jalan penting mulai kaki gunung sampai Puncak Jianxing sengaja dikosongkan, sama sekali tidak diberi penjagaan. Dengan demikian pasukan Sekte Matahari dan Bulan sengaja diberi kelonggaran agar dapat menyerbu ke atas dengan lancar. Begitu pihak musuh tiba di puncak barulah mereka muncul untuk melabrak.

Setelah bunyi genta berhenti, suasana Gunung Henshan serentak berubah sunyi senyap. Bahkan burung-burung ikut berhenti berkicau, sehingga menambah tegangnya suasana.

Para jago silat yang dikirim Perguruan Kunlun, Emei, dan Kongtong juga sudah bersiaga di tempat persembunyian masing-masing. Dengan hati berdebar-debar mereka menunggu orang-orang Sekte Matahari dan Bulan menyerbu ke atas. Begitu mendapatkan perintah, serentak mereka pun menyerbu keluar untuk memotong jalan sehingga pihak musuh tidak dapat bergerak mundur. Demi keberhasilan rencana, Chongxu sengaja tidak memberitahu orang-orang ketiga perguruan itu tentang sejumlah bahan peledak yang telah ditanam oleh pihak Wudang. Rupanya ia memperkirakan kemungkinan di antara murid-murid Kunlun dan yang lain terdapat mata-mata Sekte Iblis.

Begitu mendengar bunyi genta yang bertalu-talu tadi, Linghu Chong sadar bahwa pasukan Sekte Matahari dan Bulan telah datang menyerbu. Namun, perutnya terasa sangat sakit seperti disayat-sayat oleh ribuan pisau tajam. Karena terlalu sakit sampai-sampai ia mendekap perutnya itu dan berguling-guling di atas tanah.

Yilin dan Qin Juan khawatir sehingga muka mereka menjadi pucat. Keduanya kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa. Yiqing lantas berkata, “Sebaiknya kita bawa Kakak Ketua ke dalam Biara Wuse, kemudian kita meminta nasihat Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu bagaimana harus bertindak.”

Yu Sao dan seorang biksuni setengah baya segera membantu Linghu Chong berdiri. Dengan setengah memapah dan setengah menyeret mereka membawa sang ketua ke dalam Biara Wuse, biara induk di Gunung Henshan. Baru saja sampai di pintu biara, mereka mendengar suara petasan disusul dengan bunyi terompet dan tambur. Jelas secara terang-terangan pihak Sekte Matahari dan Bulan sudah menyerbu ke atas gunung.

Fangzheng dan Chongxu telah menerima laporan tentang kambuhnya penyakit Linghu Chong. Mereka pun secepatnya berlari keluar dari biara itu.

“Adik Linghu jangan khawatir,” kata Chongxu. “Adik Qingxu telah kusuruh mewakili diriku untuk memimpin orang-orang Wudang, sedangkan aku mewakili dirimu memimpin pihak Henshan.”

Linghu Chong hanya bisa mengangguk terima kasih sambil menyeringai menahan sakit.

Fangzheng berkata, “Ketua Linghu, segeralah meloloskan diri lebih dulu.”

“Tidak … tidak, sama ... sekali tidak boleh!” sahut Linghu Chong terputus-putus. “Ambilkan … ambilkan pedangku!”

Chongxu juga menasihatinya agar mengikuti saran Fangzheng, namun Linghu Chong tetap menolak. Sementara itu, suara terompet dan tambur tiba-tiba berhenti, kemudian terdengar sorak-sorai orang-orang Sekte Matahari dan Bulan, “Hidup Ketua Suci! Semoga panjang umur, merajai dunia persilatan selamanya!” Dari gemuruh suara itu dapat diperkirakan paling tidak ada empat atau lima ribu orang jumlah mereka.

Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong saling pandang dengan tersenyum. Mereka yakin rencana dan perangkap yang mereka atur sebentar lagi pasti akan berhasil menghancurkan musuh.

Qin Juan telah menyodorkan pedang yang diminta Linghu Chong. Begitu Linghu Chong hendak menerima pedang itu, ternyata tangannya gemetar hebat dan sulit memegang dengan erat. Maka, Qin Juan pun menggantungkan pedang tersebut di pinggang Linghu Chong.

Tiba-tiba terdengar kembali suara tetabuhan bergema. Kali ini lagu yang dimainkan terasa sangat menarik, dan sama sekali bukan lagu perang. Tidak lama kemudian beberapa orang berseru serentak, “Ketua Suci Sekte Matahari dan Bulan hendak naik ke Puncak Jianxing guna bertemu dengan Ketua Linghu dari Perguruan Henshan!”

Mendengar ini Fangzheng berkata, “Rupanya Sekte Matahari dan Bulan memakai cara halus sebelum menggunakan kekerasan. Kita sendiri jangan sampai dipandang rendah. Ketua Linghu, bagaimana kalau kita biarkan mereka naik ke sini?”

Linghu Chong mengangguk setuju. Pada saat itu perutnya kembali terasa sakit seperti disayat-sayat. Melihat wajah pemuda itu pucat pasi dan mengucurkan keringat dingin, Fangzheng berkata, “Ketua Linghu, penyakitmu kambuh lagi. Segeralah kau terapkan ilmu tenaga dalam ajaran Sesepuh Feng. Kau bisa melihat bagaimana hasilnya nanti.”

Rumus ilmu tenaga dalam ajaran Feng Qingyang kemarin adalah mengantar hawa murni di dalam tubuh agar masuk ke perut. Padahal, waktu itu di dalam perutnya sedang bergolak bermacam-macam hawa murni yang saling desak dan saling terjang tak beraturan. Maka, dengan mengerahkan tenaga dalam sendiri untuk manyalurkan hawa murninya itu, ini sama artinya dengan bunuh diri. Sudah pasti rasa sakitnya makin bertambah parah.

Namun, pada dasarnya Linghu Chong sudah nekad. Ia merasa sakitnya sudah mencapai titik puncak. Jika ditambah lagi paling-paling ia akan mati kesakitan saja. Maka, tanpa pikir lagi ia pun mengerahkan tenaga dalam yang baru dipelajarinya itu secara teratur agar tersalurkan di jalan yang tepat.

Ternyata dugaannya benar. Pergolakan dan pertarungan bermacam-macam hawa murni di dalam perutnya bertambah hebat dan menyakitkan. Namun, setelah berputar-putar lagi, berbagai hawa murni itu kemudian dapat diantar ke jalan yang benar, samar-samar seperti memasuki jalurnya sendiri dan mulai berputar dengan lancar. Meski rasanya masih tetap sakit, namun sudah tidak saling terjang lagi.

Sementara itu, Mahabiksu Fangzheng menjawab seruan orang-orang Sekte Iblis tadi, “Ketua Perguruan Henshan Linghu Chong, ketua Perguruan Wudang Pendeta Chongxu, dan ketua Perguruan Shaolin Fangzheng, bersama-sama menantikan kunjungan Ketua Ren yang terhormat dari Sekte Matahari dan Bulan!”

Meskipun Fangzheng berkata dengan perlahan, namun suaranya berkumandang jauh hingga mencapai kaki gunung. Padahal, belasan gembong Sekte Iblis tadi berteriak sekeras-kerasnya untuk dapat mengumandangkan suara mereka ke puncak gunung. Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa luar biasa tenaga dalam biksu kepala dari Biara Shaolin ini.

Linghu Chong sendiri sedang duduk bersila sambil mengerahkan tenaga dalamnya dengan lebih tekun. Matanya memandang hidung, napasnya seirama dengan detak jantung, tangan kiri memegang dada, dan tangan kanan menekan perut, sesuai petunjuk Mahabiksu Fangzheng sebelumnya.

Ilmu tenaga dalam ajaran Feng Qingyang itu baru dilatihnya beberapa hari saja. Meskipun setiap hari Mahabiksu Fangzheng mendampingi dan memberikan petunjuk secara jelas, namun latihannya masih juga belum sempurna. Untunglah kini berbagai hawa murni yang bergolak di dalam tubuhnya itu lambat-laun dapat diredam dan disalurkan ke jalur yang benar.

Linghu Chong tidak berani gegabah. Ia menyalurkan tenaga dalamnya dengan lebih tekun dan teratur. Semula telinganya masih mendengar suara tetabuhan, namun pada akhirnya tidak mendengar apa-apa lagi. Rupanya ia telah memusatkan segenap pancaindranya ke dalam latihan tersebut.

Melihat ketekunan Linghu Chong ini, Mahabiksu Fangzheng tersenyum senang. Ia mendengar suara tetabuhan semakin bertambah ramai. Orang-orang Sekte Matahari dan Bulan kembali berteriak, “Ketua Sekte Matahari dan Bulan, kesatria gagah berani, pelindung rakyat jelata, Yang Mulia Ketua Suci naik ke puncak Henshan!”

Teriakan itu diikuti dengan suara tetabuhan yang semakin terdengar keras, pertanda mereka sedang berjalan menuju ke atas. Jalan menuju Puncak Jianxing memang cukup panjang. Meskipun suara para anggota Sekte Matahari dan Bulan itu terdengar keras, namun sampai cukup lama mereka belum juga mencapai puncak. Diam-diam para jagoan dari Perguruan Kunlun dan lainnya menggerutu di tempat persembunyian mereka, “Ketua Sekte Iblis tengik, kenapa tidak mati sekarang saja? Sorak-sorai anak buahnya berlebihan, masih ditambah tetabuhan musik segala. Memangnya kau mau main sandiwara, hah?”

Sejak tadi mereka sudah bersiaga untuk menghadapi musuh dengan jantung berdebar-debar. Menurut perkiraan, begitu pihak Sekte Iblis menyerbu ke atas gunung, serentak mereka akan melompat keluar dari tempat persembunyian untuk menghadapi. Apabila jumlah musuh semakin membanjir dan sukar ditahan, maka mereka pun mengundurkan diri dengan cara turun ke bawah jurang di belakang gunung menggunakan tali panjang. Tak disangka, kedatangan Ren Woxing kali ini ternyata berlagak seperti kaisar maharaja, dengan mengagungkan segala kebesarannya pula. Hal ini membuat orang-orang yang bersiaga itu malah semakin bertambah tegang.

Setelah memakan waktu cukup lama, Linghu Chong merasa hawa murni di dalam tubuhnya lambat laun dapat diatasi. Rasa sakitnya kini mulai berkurang. Tiba-tiba ia teringat bahwa musuh sudah semakin dekat. Maka, dengan seketika pemuda itu pun melonjak bangun.

“Sudah lebih baik?” tanya Fangzheng dengan tersenyum.

“Apakah pertempuran sudah dimulai?” Linghu Chong balik bertanya.

“Belum,” sahut Fangzheng.

“Bagus kalau begitu!” seru Linghu Chong, “Adik Qin, ambilkan pedang!”

Qin Juan segera meletakkan gagang pedang ke dalam genggaman Linghu Chong. Pada saat itulah Linghu Chong melihat Fangzheng, Chongxu dan yang lain ternyata tidak memegang senjata. Di sisi lain tampak Yihe, Yiqing, dan murid-murid Henshan lainnya sedang berbaris di depan Biara Wuse dalam kelompok-kelompok formasi tujuh orang, namun senjata mereka juga belum dicabut keluar. Linghu Chong pun sadar bahwa musuh belum datang. Menyadari dirinya terlalu gugup, ia menjadi geli sendiri dan buru-buru menyarungkan pedangnya sambil bergelak tawa.

Sementara itu, suara tetabuhan tadi mendadak berhenti. Sebagai gantinya terdengar suara seruling dan kecapi berkumandang dengan merdu. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Ketua Ren terlalu banyak tingkah. Setelah suara tetabuhan yang menderu-deru, kini berganti suara musik halus merdu. Tentu sebentar lagi dia akan muncul.”

Benar juga, di tengah alunan suara seruling dan kecapi yang merdu itu, tampak dua barisan anggota Sekte Matahari dan Bulan muncul di Puncak Jianxing. Pandangan semua orang seketika terbelalak, karena setiap anggota sekte ternyata memakai jubah sulaman berwarna hijau gelap yang masih baru, serta ikat pinggang berwarna putih. Empat puluh orang dari barisan itu tampak membawa nampan dengan berlapiskan kain sutra. Entah barang apa yang berada di atas nampan mereka itu?

Keempat puluh orang ini ternyata tidak membawa senjata. Bahkan setelah naik ke puncak, masing-masing lantas berdiri tegak di kejauhan. Menyusul kemudian muncul pula di belakang mereka suatu barisan yang terdiri dari dua ratus orang peniup seruling dan pemetik kecapi. Semuanya juga berseragam jubah sulaman. Sambil berjalan mereka terus memainkan alat musik masing-masing.

Setelah itu, muncul pula para penabuh tambur, peniup terompet, penabuh simbal, dan alat-alat musik lainnya. Linghu Chong menjadi tertarik melihat bermacam-macam alat musik ini. Ia berpikir, “Sungguh menggelikan. Nanti kalau pertempuran dimulai, tentu mereka bertugas memainkan alat musik masing-masing sebagai pengiring. Bukankah ini mirip dengan pertempuran di atas panggung sandiwara?”

Di tengah suara alunan musik itu, tampak kemudian barisan-barisan anggota Sekte Matahari dan Bulan semakin berdatangan. Barisan-barisan itu sepertinya diatur menurut warna seragam mereka. Ada sekelompok yang berseragam hijau, ada pula yang berseragam kuning, biru, hitam, putih, dan semuanya serbabaru. Apa pun warna seragam yang mereka pakai, semuanya tampak mengenakan ikat pinggang berwarna putih. Jumlah yang naik ke Puncak Jianxing kali ini paling tidak mencapai tiga sampai empat ribu orang.

Dalam hati Pendeta Chongxu berpikir, “Mereka baru saja mencapai puncak dan belum teratur dengan baik. Kalau sekarang juga aku memberi perintah untuk menyerang dengan serentak, tentu pihak Sekte Iblis ini akan kocar-kacir. Rupanya mereka menggunakan siasat memancing kelengahan kami. Mula-mula bersikap halus untuk kemudian menyerang dengan kekerasan. Tapi kalau kami yang menyerang lebih dulu pada saat musuh belum bersiaga, maka ini namanya bukan perbuatan kesatria.”

Ia kemudian menoleh ke arah Linghu Chong yang tampak tersenyum geli menertawakan tingkah laku pihak Sekte Iblis itu. Mahabiksu Fangzheng sendiri terlihat tenang-tenang saja seolah menganggap perbuatan pihak musuh itu sebagai hal yang biasa. Dalam hati Chongxu kembali berpikir, “Aku terlalu khawatir. Kalau hatiku masih saja ketakutan seperti ini, pertanda ilmu kebatinanku memang belum matang.”

Para anggota Sekte Matahari dan Bulan itu telah berbaris secara teratur sesuai kelompok masing-masing. Menyusul kemudian muncul sepuluh tetua sekte. Mereka lantas membagi diri ke dalam dua kelompok yang berdiri di kanan dan kiri, masing-masing berisikan lima orang. Begitu bunyi tetabuhan mendadak berhenti, serentak kesepuluh tetua itu berteriak bersama-sama, “Pemimpin Sekte Matahari dan Bulan yang mahabijaksana, pelindung rakyat jelata, juru selamat umat manusia, Ketua Ren yang suci telah tiba!”

Sejenak kemudian muncul sebuah tandu besar yang dilapisi kain beludru berwarna biru dengan digotong oleh enam belas orang. Keenam belas orang pemikul tandu tersebut melangkah dengan cepat dan ringan, pertanda bahwa mereka semua adalah para jago pilihan.

Sewaktu Linghu Chong mengamati dengan seksama, ternyata di antara keenam belas pemikul tandu itu terdapat Zu Qianqiu, Huang Boliu, dan Ji Wushi. Andai saja badan Lao Touzi tidak terlalu pendek, tentu ia juga akan menjadi tukang pikul tandu pula. Melihat ini Linghu Chong berpikir dengan perasaan kesal, “Bagaimanapun juga Zu Qianqiu dan kawan-kawan adalah kaum kesatria semuanya, namun Ketua Ren memperlakukan mereka dengan sangat hina. Apakah hanya karena bersulang denganku, lantas mereka diperbudak seperti ini?”

Di kedua sisi tandu besar itu masing-masing tampak berjalan seseorang mengiringi. Yang mendampingi di sebelah kiri adalah Xiang Wentian, sementara di sebelah kanan adalah seorang tua yang tampaknya tidak asing lagi. Sejenak Linghu Chong tercengang. Tiba-tiba ia teringat bahwa orang tua itu adalah Luzhuweng, si Kakek Bambu Hijau yang dulu tinggal di luar Kota Luoyang. Orang tua inilah yang pertama kali mengajarkan dasar-dasar memainkan alat musik kecapi kepada Linghu Chong. Ia adalah cucu murid dari saudara seperguruan Ren Woxing, sehingga memanggil Ren Yingying dengan sebutan “bibi”. Hal inilah yang menyebabkan Linghu Chong salah paham dan mengira gadis itu sebagai seorang nenek tua. Setelah berpisah di dermaga Luoyang waktu itu, Linghu Chong tidak pernah bertemu Luzhuweng sama sekali. Kini tahu-tahu orang tua itu sudah bergabung dengan Ren Woxing untuk menyerbu Gunung Henshan.

Sesaat kemudian jantung Linghu Chong terasa berdebar-debar. Ia berpikir, “Mengapa Yingying tidak kelihatan?”

Tiba-tiba terlintas suatu pikiran dalam benaknya. Melihat setiap anggota Sekte Matahari dan Bulan memakai ikat pinggang berwarna putih seperti orang yang sedang berkabung, ia pun merenung, “Apakah Yingying telah bunuh diri karena tidak berhasil mencegah kehendak ayahnya yang ingin menyerbu dan membasmi Perguruan Henshan?”

Seketika Linghu Chong merasa darahnya mendidih. Jantungnya pun berdebar semakin kencang. Hampir saja ia melangkah maju untuk bertanya kepada Xiang Wentian mengenai keadaan Ren Yingying. Namun, begitu teringat Ren Woxing sedang duduk di dalam tandu, ia pun batal melangkah.

Meskipun ada ribuan orang berkumpul di Puncak Jianxing, suasana ternyata sunyi senyap, bahkan tidak terdengar suara kicauan burung sama sekali. Ketika tandu besar itu berhenti dan ditaruh di atas tanah, seketika semua mata memandang ke arahnya dan menantikan Ren Woxing keluar dengan jantung berdebar-debar.

Pada saat itulah tiba-tiba dari dalam Biara Wuse terdengar suara gelak tawa beberapa orang. Salah satu dari mereka berseru dengan suara keras, “Lekas menyingkir, lekas menyingkir! Sekarang giliranku yang harus duduk di situ!”

“Sabar dulu, sabar dulu!” sahut seorang lagi menanggapi. “Kita harus bergiliran satu per satu, jangan berebut! Setiap orang pasti akan mencicipi betapa nyaman duduk di atas kursi sembilan naga ini!”

Seketika raut muka Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong berubah pucat. Dengan jelas mereka mendengar itu adalah suara Enam Dewa Lembah Persik yang sedang berebut duduk di atas kursi kebesaran untuk menjebak Ren Woxing tersebut. Entah sejak kapan keenam orang sinting ini berhasil menyusup masuk ke dalam Biara Wuse dan menemukan kursi berhias indah yang sangat memesona itu? Kalau mereka duduk terlalu lama, maka pesawat rahasia akan segera bekerja menyulut sumbu bahan peledak. Jika ini sampai terjadi, tentu urusan akan menjadi unyam.

Maka, dengan cepat Pendeta Chongxu berlari masuk ke dalam biara dan membentak, “Hei, lekas bangun, lekas bangun! Kursi pusaka ini khusus disediakan untuk Ketua Ren dari Sekte Matahari dan Bulan! Kalian tidak boleh duduk di situ!”

“Mengapa tidak boleh duduk? Kami justru ingin duduk di sini!” sahut Enam Dewa Lembah Persik beramai-ramai.

Kembali mereka ribut sendiri tanpa memedulikan Chongxu. “Hei, kau sudah merasakannya, sekarang giliranku!”

“Wah, kursi ini sangat empuk dan mentul-mentul. Rasanya seperti duduk di atas perut seorang gendut!”

“Hei, memangnya kau pernah duduk di atas perut orang gendut?”

Linghu Chong khawatir kursi yang diperebutkan Enam Dewa Lembah Persik itu benar-benar meledak sebelum waktunya. Jika ini sampai terjadi maka semua anggota Sekte Matahari dan Bulan, serta orang-orang Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang akan ikut terbunuh. Gunung Henshan sendiri akan hancur lebur pula.

Semula Linghu Chong bermaksud masuk ke dalam biara untuk mengatasi keributan tersebut. Namun entah mengapa, dalam lubuk hatinya ia berbalik seakan-akan mengharapkan bahan peledak itu benar-benar meledak secepatnya. Ia merasa Ren Yingying sudah mati, maka untuk apa dirinya hidup lebih lama lagi?

Sekilas ia menoleh dan melihat sepasang mata indah Yilin sedang menatap ke arahnya. Begitu mereka berdua beradu pandang, lekas-lekas Yilin pun berpaling ke arah lain.

Dalam hati Linghu Chong merenung, “Adik Yilin masih berusia sangat muda, tapi dia harus ikut hancur pula oleh ledakan dahsyat nanti, bukankah ini sangat kasihan? Akan tetapi, setiap manusia di dunia ini akhirnya pasti mati juga. Seandainya hari ini tidak terjadi pertempuran dan tercipta perdamaian, bukankah semua orang yang ada di sini setelah seratus tahun menjelang juga akan tinggal tulang belulang saja?”

Kembali ia mendengar suara ribut Enam Dewa Lembah Persik masih belum mereda. Bahkan kini bertambah ramai. Seseorang berseru, “Hei, kau sudah duduk dua kali, sementara aku belum duduk sama sekali!”

“Yang pertama tadi aku belum duduk dengan baik sudah ditarik turun. Maka, tidak boleh dihitung dan sekarang aku harus diberi kesempatan lagi …. Hei, apa-apaan ini?”

Rupanya sebelum duduk dengan baik ia kembali diseret turun dari atas kursi oleh saudara-saudaranya.

“Hei, aku ada akal. Begini saja, kita enam bersaudara bisa sekaligus duduk berjejal di atas kursi ini. Coba lihat, bisa muat atau tidak?”

“Bagus sekali! Akal yang sangat bagus! Marilah kita duduk bersama-sama, hahaha!”

“Kau duduk duluan, lalu aku duduk bagian atas saja!”

“Tidak, tidak! Kau saja yang duduk di bawah dan aku di atas!”

“Yang paling tua duduk di atas, yang paling muda duduk di bawah.”

“Tidak bisa, tidak bisa! Yang paling tua duduk duluan, yang paling muda duduk terakhir di atas.”

Mahabiksu Fangzheng merasa detik-detik berbahaya bisa terjadi setiap saat oleh perbuatan Enam Dewa Lembah Persik yang gila-gilaan itu. Sebaliknya, ia tidak mungkin berseru mencegah karena khawatir rahasia dalam kursi akan diketahui musuh. Terpaksa ia pun berlari ke dalam biara dan membentak, “Di luar ada tamu agung, kalian jangan bertengkar dan jangan ribut!”

Kata-kata “jangan ribut” sengaja diucapkan dengan disertai ilmu Auman Singa, salah satu ilmu tenaga dalam Perguruan Shaolin yang dahsyat. Enam Dewa Lembah Persik tidak tahan, lantas berjatuhan tak sadarkan diri. Bahkan Pendeta Chongxu yang berada di situ juga ikut pusing dan hampir roboh.

Dengan gembira Chongxu segera menyingkirkan keenam orang dungu itu dari kursi sembilan naga dan kemudian menotok semua titik gerak dan titik bisu mereka. Keenamnya lalu didorong masuk ke bawah kolong meja persembahan Dewi Guanyin yang cukup besar di dalam biara tersebut. Setelah itu, Chongxu memasang telinga di tepi kursi, dan ternyata tidak terdengar suara apa-apa. Ini berarti sumbu bahan peledak belum menyala. Seketika Chongxu merasa lega dan bersyukur, meskipun kepalanya terasa pusing dan tubuhnya masih lemas. Andai saja Fangzheng tidak segera datang, tentu sumbu akan menyala dan hancurlah segalanya.

Fangzheng dan Chongxu lantas berjalan berdampingan keluar dari Biara Wuse. Sesampainya di tempat semula, mereka pun berseru, “Silakan Ketua Ren masuk ke dalam menikmati hidangan teh!”

Akan tetapi, tirai tandu itu tetap tertutup dan tidak terbuka sedikit pun. Ren Woxing juga tidak memberikan jawaban sama sekali.

Chongxu menjadi gusar. Ia berpikir, “Iblis tua ini sungguh tinggi hati. Padahal aku dan Mahabiksu Fangzheng, serta Adik Linghu masih terhitung sebagai tiga tokoh terkemuka di dunia persilatan zaman ini. Kami berdiri menyambut padamu, tapi kau tidak menggubris sama sekali.”

Andai saja tidak teringat pada perangkap yang telah diaturnya di dalam kursi sembilan naga, mungkin Chongxu sudah menerjang maju dengan pedangnya untuk melabrak Ren Woxing. Maka dengan menahan perasaan, pendeta tua itu kembali menyampaikan undangannya. Namun demikian, dari dalam tandu tetap saja tidak terdengar suatu jawaban.

Xiang Wentian tampak membungkuk dan menempelkan telinganya ke dinding tandu, kemudian mengangguk beberapa kali, pertanda sedang menerima perintah dari sang ketua. Setelah cukup, ia kembali berdiri tegak dan berseru, “Ketua Ren menyatakan terima kasih atas penyambutan Mahabiksu Fangzheng dari Perguruan Shaolin dan Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang. Ketua kami sangat menghormati Beliau berdua. Kelak Ketua Ren akan berkunjung secara pribadi ke Gunung Shaoshi dan Gunung Wudang untuk meminta maaf.”

“Kami tidak berani,” jawab Fangzheng dan Chongxu bersama-sama. Dalam hati mereka berpikir bahwa “berkunjung secara pribadi” adalah istilah kiasan untuk menyerbu perguruan mereka masing-masing.

Xiang Wentian kembali berkata, “Ketua Ren menyampaikan bahwa kedatangan Beliau ke Gunung Henshan kali ini adalah untuk bertemu dengan Ketua Linghu secara khusus. Maka itu, Ketua Linghu diharap menemui Beliau sendirian di dalam biara.”

Usai berkata demikian, Xiang Wentian langsung memberi isyarat. Keenam belas tukang pikul lantas menggotong tandu besar itu ke dalam Biara Wuse dan meletakkannya di dekat meja persembahan Dewi Guanyin. Xiang Wentian dan Luzhuweng juga ikut masuk mendampingi. Sejenak kemudian mereka lantas keluar kembali bersama keenam belas tukang pikul tersebut. Kini di dalam biara hanya tinggal tandu besar itu saja.

Diam-diam Chongxu merasa sangsi, jangan-jangan tandu besar itu juga berisi perangkap pula. Maka itu, ia pun berpaling dan memandang Fangzheng serta Linghu Chong. Pada dasarnya Fangzheng seorang jujur dan polos. Ia tidak biasa menghadapi bermacam-macam sifat licik manusia, sehingga dengan wajah bingung ia tidak tahu harus berbuat apa.

Sementara itu, Linghu Chong menjawab, “Kalau Ketua Ren hanya ingin bicara berdua saja denganku, tolong kedua Sesepuh menunggu sebentar di sini.”

“Kau harus tetap waspada,” pesan Chongxu dengan suara lirih.

Linghu Chong mengangguk, lalu masuk ke dalam biara dengan langkah lebar.

Meskipun menjadi biara utama, namun ukuran Biara Wuse sebenarnya tidak terlalu besar. Kalau di dalam ruang sembahyang itu ada yang berbicara keras pasti akan langsung terdengar dari luar dengan jelas. Maka itu, Fangzheng dan yang lain pun mendengar Linghu Chong sedang berkata, “Linghu Chong menyampaikan salam hormat kepada Ketua Ren.”

Akan tetapi, tidak juga terdengar suara jawaban dari Ren Woxing. Justru sebaliknya, sejenak kemudian terdengar Linghu Chong berseru kaget, “Hah!”

Chongxu dan Fangzheng terkejut dan mengkhawatirkan keselamatan Linghu Chong. Hampir saja Chongxu menerjang ke dalam biara untuk membantu, namun lantas terpikir olehnya, “Ilmu pedang Adik Linghu boleh dikata tiada bandingannya di dunia ini, rasanya tidak mungkin ia ditundukkan iblis tua aliran sesat itu hanya dalam sekali gebrak. Andaikan betul Adik Linghu mengalami nasib malang, maka aku akan segera berlari masuk ke sana untuk menolongnya dan ini juga belum terlambat. Semoga iblis tua bermarga Ren itu tidak mencelakai Adik Linghu, lalu dia melihat kursi mewah itu dan duduk di atasnya dengan gembira. Kalau aku menerjang ke dalam jangan-jangan malah membuat urusan menjadi runyam.”

Tapi perasaannya kemudian menjadi tidak tenteram. Ia kembali berpikir, “Kalau Ren Woxing benar-benar telah duduk di atas kursi itu, sebentar kemudian sumbu bahan peledak tentu akan mulai bekerja dan Puncak Jianxing ini pasti akan hancur lebur. Semua orang yang berada di sini sudah pasti akan menjadi korban. Kalau aku melarikan diri sekarang juga tentu akan terlihat seperti pengecut, serta menimbulkan kecurigaan Xiang Wentian. Kemudian ia pasti memberi peringatan kepada para begundalnya untuk mengundurkan diri, sehingga semua rencana yang telah kuatur menjadi gagal total. Sebaliknya, kalau gunung ini sampai meledak, sehebat apa pun ilmuku juga tidak bisa lolos dari maut. Apa yang harus kulakukan?”

Sebenarnya Chongxu sudah merencanakan segala sesuatunya dengan matang. Dalam perhitungannya mula-mula pasukan Sekte Matahari dan Bulan akan menyerbu ke puncak gunung habis-habisan. Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama, pihaknya pun meloloskan diri melalui tali panjang yang sudah dipasang di tepi jurang. Setelah mendapat kemenangan, tentu Ren Woxing akan duduk di atas kursi kebesaran dan ledakan dahsyat pun terjadi. Tak disangka, kedatangan pihak Sekte Iblis itu ternyata tidak langsung menyerang dengan kekerasan, tetapi diawali dengan cara sopan terlebih dulu. Bahkan Ren Woxing juga meminta bertemu muka secara khusus dengan Linghu Chong di dalam biara segala. Semua yang terjadi kali ini benar-benar di luar perhitungan Chongxu. Meskipun sangat cerdas, namun dalam keadaan seperti ini ia merasa kehilangan akal dan tidak tahu harus berbuat apa.

Mahabiksu Fangzheng juga menyadari keadaan sangat gawat, dan ia pun mengkhawatirkan keselamatan Linghu Chong. Namun, karena ilmu kebatinannya sangat dalam, perasaannya pun lebih sabar. Baginya, hidup atau mati, kalah atau menang, semua bukan hal yang luar biasa. Bagaimanapun manusia berusaha, tetap saja takdir yang menentukan hasilnya. Jika takdir sudah berbicara, siapa pun tidak bisa memaksakan kehendaknya. Oleh karena itu, meskipun dalam hati Fangzheng juga merasa khawatir, namun sikapnya tetap terlihat tenang. Apabila perangkap tersebut benar-benar meledak sehingga tubuhnya ikut hancur lebur, maka ini adalah jalan baginya untuk menuju kesempurnaan. Kenapa pula harus ditakuti?

Adanya perangkap bahan peledak pada kursi sembilan naga memang sangat dirahasiakan. Selain Chongxu, Fangzheng, dan Linghu Chong, beberapa orang lainnya yang mengetahui siasat ini, yaitu Qingxu dan Chenggao serta pembantu-pembantu mereka sedang menunggu di pinggang gunung. Begitu terdengar adanya ledakan di puncak, segera mereka pun menyulut sumbu bahan peledak yang sudah ditanam di semua jalur turun gunung.

Kini tidak seorang pun mengetahui apa yang akan terjadi. Orang-orang Perguruan Shaolin, Wudang, dan Henshan masing-masing sedang menunggu hasil pembicaraan antara Linghu Chong dan Ren Woxing. Apabila tidak terjadi kesepakatan dalam pembicaraan itu, serentak mereka lantas mengangkat senjata menghadapi orang-orang Sekte Matahari dan Bulan.

Namun, setelah ditunggu sekian lama ternyata tidak terdengar suara apa pun dari dalam biara tersebut. Hanya pada awal-awal saja terdengar suara Linghu Chong menyapa dengan lantang, namun kemudian tidak terdengar suara lagi. Chongxu merasa khawatir. Ia pun mengerahkan tenaga dalam untuk mendengarkan dengan cermat. Sayup-sayup terdengar olehnya suara Linghu Chong yang sangat lirih seperti sedang berbicara sesuatu. Seketika hati Chongxu merasa lega karena Linghu Chong ternyata tidak menderita apa-apa di dalam biara tersebut.

Karena pemusatan pikirannya sedikit terpencar, suara yang lirih itu sukar ditangkap lagi. Hal ini membuat Chongxu menjadi ragu-ragu apakah suara tadi benar-benar suara Linghu Chong atau bukan. Jangan-jangan ia salah dengar atau mungkin hanya khayalannya sendiri saja.

Untungnya tidak lama kemudian terdengar Linghu Chong berseru lantang dari dalam biara, “Kakak Xiang, silakan masuk untuk mengiringi Ketua Ren keluar dari biara!”

“Baik!” sahut Xiang Wentian. Bersama Luzhuweng, mereka pun memimpin keenam belas tukang pikul tandu tadi bergegas masuk ke dalam biara. Sejenak kemudian tandu besar itu kembali digotong keluar. Serentak semua anggota Sekte Matahari dan Bulan yang berada di luar biara membungkuk dan menyampaikan salam hormat, “Kami menyambut kembalinya Ketua Suci yang mahabijaksana.”

Sesampainya di tempat semula, para tukang pikul itu lantas berhenti melangkah dan menaruh tandu besar itu ke bawah.

Tiba-tiba Xiang Wentian berseru, “Bawa kemari hadiah untuk Mahabiksu Fangzheng, kepala Biara Shaolin!”

Segera terlihat dua orang anggota sekte masing-masing membawa sebuah nampan berjalan ke hadapan Fangzheng dengan sikap sangat sopan. Keduanya lantas membungkuk dan mempersembahkan nampan masing-masing kepada biksu sepuh tersebut.

Fangzheng melihat di atas salah satu nampan terdapat seuntai tasbih berusia tua, sedangkan pada nampan yang lain terdapat sebuah kitab kuno. Pada sampul kitab itu tertulis huruf Sanskerta yang berbunyi: “Kitab Jinkang”.

Sungguh tidak terlukiskan betapa gembira perasaan hati Mahabiksu Fangzheng. Selama hidup ia banyak mempelajari kitab agama Buddha, dan salah satunya adalah Kitab Jinkang tersebut. Akan tetapi, yang biasa ia baca adalah kitab terjemahan dalam bahasa Cina peninggalan Kerajaan Jin Timur. Pernah suatu ketika ia menemukan beberapa bagian dari kitab itu yang tidak jelas dan sulit untuk dipecahkan. Tentu saja sudah lama ia berusaha mencari Kitab Jinkang dalam bahasa Sanskerta sebagai perbandingan namun belum juga menemukannya. Kini begitu melihat kitab yang menjadi idamannya itu berada di depan mata, sudah pasti ia merasa sangat bahagia.

Segera Fangzheng memberi hormat dan berkata, “Amitabha. Saya sungguh bersyukur dapat menemukan kitab suci ini. Keberuntungan saya sungguh besar dan tidak terlukiskan.”

Biksu sepuh itu menjulurkan kedua tangan untuk mengambil kitab suci tersebut, lalu mengambil tasbih kuno di atas nampan kedua dan seketika tercium bau harum semerbak. Setelah menerima kedua benda tersebut, ia kembali berkata dengan hormat, “Terima kasih banyak atas hadiah besar dari Ketua Ren ini. Entah bagaimana saya harus membalasnya?”

Xiang Wentian menjawab, “Tasbih kuno ini didapatkan leluhur agama kami dari sebuah gunung di India. Sekarang, ketua kami mempersembahkan tasbih kuno itu kepada Kepala Biara yang terhormat. Ketua kami juga mengatakan bahwa Sekte Matahari dan Bulan telah banyak berbuat kasar terhadap para kesatria. Dalam hal ini kami sungguh merasa malu. Asalkan Kepala Biara tidak marah atau menyalahkan kami, maka Sekte Matahari dan Bulan merasa sangat bersyukur dan berterima kasih.” Usai berkata demikian ia kembali berseru, “Bawa kemari hadiah untuk Pendeta Chongxu, ketua Perguruan Wudang!”

Kembali dua anggota sekte maju ke muka sambil mengangkat nampan masing-masing dan menghadapkannya kepada Pendeta Chongxu dengan sikap hormat.

Dari jauh Chongxu sudah melihat di atas salah satu nampan itu terdapat sebatang pedang. Sesudah kedua orang itu mendekat, dilihatnya sarung pedang itu terbuat dari tembaga berwarna hijau loreng, dan bertuliskan nama “Zhenwu”.

Tanpa sadar Chongxu berseru kaget melihat pedang pusaka tersebut. Konon cikal bakal pendiri Perguruan Wudang, yaitu Pendeta Zhang Sanfeng, memiliki sebatang pedang pusaka yang diberi nama Pedang Zhenwu, yang selalu dipandang sebagai pusaka perguruan. Sekitar delapan puluh tahun yang lalu, pada suatu malam Gunung Wudang pernah didatangi beberapa tetua Sekte Matahari dan Bulan yang berkepandaian tinggi. Mereka berhasil mencuri Pedang Zhenwu serta sejilid kitab pusaka berjudul Kitab Taiji Quan, tulisan tangan Zhang Sanfeng sendiri.

Pencurian tersebut memang dapat diketahui dan segera terjadi pertarungan sengit saat itu juga. Dalam pihak Wudang telah tewas tiga orang tokoh papan atas, sementara pihak Sekte Matahari dan Bulan terbunuh empat orang tetua menjadi korban. Meskipun demikian, pedang dan kitab pusaka Perguruan Wudang itu tidak berhasil direbut kembali. Peristiwa ini benar-benar menjadi aib yang memalukan bagi Perguruan Wudang. Sejak kejadian itu, para ketua dari setiap angkatan selalu meninggalkan pesan agar pedang dan kitab pusaka tersebut dapat dicari dan ditemukan kembali.

Akan tetapi, Tebing Kayu Hitam selalu dijaga ketat dan sulit untuk ditembus. Beberapa kali pihak Wudang berusaha secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi untuk merebut kembali kedua benda pusaka tersebut, tapi selalu gagal dengan meninggalkan korban di atas Tebing Kayu Hitam. Sungguh tidak disangka, pedang pusaka itu kini tiba-tiba muncul di Puncak Jianxing.

Ternyata tidak hanya Pedang Zhenwu yang muncul kembali. Sewaktu Chongxu melirik nampan yang satunya, tampak sejilid kitab kuno yang warnanya sudah agak luntur tertaruh di atasnya. Pada sampul kitab itu tertulis nama “Taiji Quan”. Selain kitab ini, Zhang Sanfeng masih meninggalkan beberapa kitab hasil tulisan tangannya sendiri. Maka, begitu melihat bentuk tulisan pada sampul kitab di atas nampan tersebut, Chongxu segera dapat mengenali bahwa kitab ini memang benar-benar Kitab Taiji Quan yang asli.

Dengan kedua tangan gemetar Chongxu memegang pedang pusaka itu. Begitu sebagian dilolos keluar secara perlahan-lahan, seketika terasa hawa dingin yang menusuk. Ia paham Zhang Sanfeng sewaktu lanjut usia telah mencapai tingkatan ilmu pedang yang sangat tinggi, sehingga jarang sekali memakai senjata. Andaikan terpaksa harus menggunakan pedang, maka yang ia gunakan tentu hanyalah pedang biasa atau pedang kayu saja. Pedang Zhenwu ini adalah senjata yang dipakai Zhang Sanfeng semasa muda untuk menumpas kejahatan di muka bumi. Pedang pusaka ini sangat tajam luar biasa dan pernah menggetarkan dunia persilatan.

Chongxu masih khawatir tertipu oleh Ren Woxing, maka ia pun membalik-balik lembaran Kitab Taiji Quan itu. Dilihatnya tulisan-tulisan pada halaman kitab tersebut memang benar-benar tulisan tangan Zhang Sanfeng. Ia lantas mengembalikan kitab tersebut ke atas nampan untuk kemudian berlutut dan menyembah di hadapan kedua pusaka itu. Setelah berdiri kembali ia berkata, “Terima kasih banyak atas kemurahan hati Ketua Ren sehingga benda pusaka peninggalan leluhur kami dapat kembali. Sekalipun tubuhku hancur lebur juga sukar membalas budi baik Ketua Ren.”

Usai berkata demikian barulah ia dapat menerima pedang dan kitab pusaka itu dengan perasaan senang. Begitu terharu perasaannya sampai-sampai kedua tangannya masih saja gemetar tanpa henti.

Xiang Wentian menjawab, “Ketua kami berkata, sejak dulu Sekte Matahari dan Bulan kami telah banyak mengganggu Perguruan Wudang, sungguh kami merasa malu. Maka itu, benda-benda pusaka ini biarlah kembali ke asalnya. Harap Perguruan Wudang sudi memberi maaf.”

“Ketua Ren terlalu merendah,” sahut Chongxu.

Xiang Wentian kembali berseru, “Sekarang, bawa kemari hadiah untuk Ketua Linghu dari Perguruan Henshan!”

Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu sama-sama berpikir entah hadiah macam apa yang akan dihadiahkan Ren Woxing kepada Linghu Chong, mengingat hadiah untuk mereka saja adalah benda-benda pusaka yang tak ternilai harganya.

Sejenak kemudian tampak dua puluh orang laki-laki muncul sambil membawa nampan menuju ke arah Linghu Chong. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, namun benda yang mereka bawa ternyata bukan sesuatu yang istimewa. Dengan jelas dapat terlihat isi nampan itu tidak lebih hanya berupa pakaian, kopiah, sepatu, poci teh, cawan teh, serta alat-alat kebutuhan sehari-hari lainnya. Walaupun benda-benda itu serbabaru dan juga sangat indah, namun terkesan biasa saja jika dibandingkan dengan benda pusaka yang diterima Fangzheng dan Chongxu. Hanya saja, ada dua buah nampan yang sedikit aneh. Yang satu berisi sebatang seruling dan yang satunya lagi berisi sebuah kecapi kuno. Kedua benda ini tampaknya jauh lebih berharga daripada yang lain.

Linghu Chong lantas memberi hormat dan berkata, “Terima kasih banyak.” Ia kemudian memerintahkan Yu Sao dan yang lain menerima hadiah-hadiah itu.

Xiang Wentian kembali berbicara, “Ketua kami berkata, kedatangan kami ke Gunung Henshan kali ini telah banyak menimbulkan gangguan. Maka itu, sekte kami membawakan hadiah untuk para murid Henshan dari kalangan biksuni berupa jubah dan kopiah baru, serta sebilah pedang. Sementara untuk para murid Henshan dari kalangan awam, kami bawakan hadiah berupa perhiasan dan sebilah pedang pula. Hadiah ini semoga dapat diterima. Selain itu, Sekte Matahari dan Bulan juga telah membeli sawah seluas lima hektare di kaki gunung ini untuk diberikan kepada Biara Wuse. Baiklah, sekarang juga kami mohon diri.”

Usai berkata demikian ia lantas memberi hormat kepada Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong, lalu berbalik dan melangkah pergi.

“Tuan Xiang!” sahut Chongxu memanggil.

Xiang Wentian berpaling kembali dan bertanya dengan tersenyum, “Apakah Pendeta ada pesan untukku?”

Chongxu menjawab, “Tanpa berjasa apa-apa, tiba-tiba kami menerima hadiah besar dari Ketua Ren. Sungguh kami merasa tidak enak hati. Entah … entah ….” sampai di sini ia tidak dapat meneruskan kembali. Sebenarnya ia ingin bertanya, “entah ada maksud apa di balik pemberian ini?”, namun ternyata tidak sanggup mengucapkannya.

Xiang Wentian hanya tertawa dan kembali memberi hormat sambil berkata, “Benda pusaka telah kembali ke asalnya. Hal ini sudah semestinya, kenapa Pendeta merasa tidak enak hati?”

Ia lantas memutar tubuh kembali dan berseru, “Ketua memerintahkan berangkat!”

Serentak suara tetabuhan kembali berbunyi. Kesepuluh tetua berjalan di depan sebagai pembuka jalan, sedangkan keenam belas tukang pikul lantas mengangkat tandu besar dan melangkah turun ke bawah gunung. Para penabuh tambur dan peniup terompet mengikuti di belakang. Barisan paling akhir adalah para anggota sekte yang berjalan secara rapi dan teratur sesuai warna seragam masing-masing.

Sepeninggal orang-orang Sekte Matahari dan Bulan tersebut, Fangzheng dan Chongxu sama-sama menatap Linghu Chong tanpa berkata apa pun. Dalam hati mereka timbul pertanyaan yang sama, “Mengapa Ketua Ren tidak jadi menghancurkan Perguruan Henshan? Seluk-beluk masalah ini hanya kau saja yang tahu.”

Namun, dari raut muka Linghu Chong sedikit pun tidak tampak suatu perubahan yang dapat memberikan jawaban bagi pertanyaan mereka ini. Yang terlihat adalah wajah pemuda itu sesekali senang dan sesekali agak berduka.

Orang-orang Sekte Matahari dan Bulan sepertinya sudah pergi jauh. Suara tetabuhan yang bergemuruh tadi sudah tidak terdengar lagi. Teriakan semboyan-semboyan mereka pun lenyap pula. Mereka datang dengan lagak gagah penuh wibawa, tapi kini pergi begitu saja tanpa terjadi apa-apa. Keadaan di Gunung Henshan telah sunyi kembali.

Chongxu tidak tahan lagi. Segera ia bertanya, “Adik Linghu, tiba-tiba saja Ketua Ren sedemikian murah hati, tentu karena dia menghargai dirimu. Entah tadi … tadi ….” Sebenarnya ia ingin bertanya “entah tadi apa yang kalian bicarakan”. Namun, teringat olehnya bahwa pembicaraan itu kalau memang boleh diceritakan tentu sudah diceritakan oleh Linghu Chong. Sebaliknya kalau memang sesuatu yang rahasia, maka pertanyaannya justru terkesan tidak pantas. Oleh karena itu, ia pun mengurungkan niat melanjutkan pertanyaan tersebut.

Tentu saja Linghu Chong dapat memahami pikiran Chongxu, sehingga ia pun menjawab, “Harap kedua Sesepuh sudi memaafkan. Masalahnya saya telah berjanji kepada Ketua Ren, sehingga seluk-beluk permasalahan ini untuk sementara tidak dapat kukatakan. Namun, dalam masalah ini sesungguhnya juga tidak ada suatu rahasia penting. Tidak lama lagi tentu kedua Sesepuh juga akan mengetahuinya.”

Fangzheng bergelak tawa lalu berkata, “Suatu bencana besar dalam sekejap telah lenyap. Ini benar-benar keuntungan untuk segenap dunia persilatan. Melihat gerak-gerik Ketua Ren tadi, tampaknya memang tidak ada tanda-tanda permusuhan dengan golongan kita. Maka itu, kita benar-benar harus bersyukur dan berbahagia karena malapetaka yang hampir menimbulkan banjir darah ini tidak sampai terjadi.”

Perasaan Chongxu seperti digelitik karena tetap tidak mengetahui teka-teki apa yang tersembunyi di balik kejadian tadi. Namun, di sisi lain ia juga membenarkan apa yang dikatakan Fangzheng. Maka, pendeta tua itu lantas berkata, “Bukan maksudku mengkhawatirkan sesuatu secara berlebihan, namun biasanya Sekte Matahari dan Bulan terkenal licik dan banyak tipu muslihat. Bagaimanapun juga kita harus waspada. Kemungkinan besar Ketua Ren telah mengetahui perangkap yang kita pasang. Bisa jadi dia takut akan bahan peledak itu, sehingga hari ini sengaja bersikap sopan kepada kita. Kelak, lain waktu jika kita lengah, mungkin dia akan menyergap kita secara mendadak. Bagaimana menurut pendapat kalian berdua?”

“Memang … dalamnya hati manusia sulit diukur,” ujar Fangzheng. “Untuk segala sesuatunya lebih baik kita bersikap waspada.”

Linghu Chong menggeleng dan berkata tegas, “Tidak mungkin. Itu tidak mungkin terjadi.”

“Kalau Adik Linghu yakin tidak akan terjadi demikian, maka itu sangat bagus,” kata Chongxu. Akan tetapi, hatinya masih saja ragu dan membayangkan sebaliknya.

Beberapa saat kemudian, dari kaki gunung dilaporkan bahwa pasukan Sekte Matahari dan Bulan telah melewati jalur menuju ke bawah tanpa ada tanda-tanda berbuat kerusakan. Sebaliknya, para penjaga di sekitar jalur tersebut juga tidak melakukan perlawanan atau menyulut bahan peledak karena tidak mendapatkan perintah dari atas.

Chongxu segera mengirim orang untuk memberi tahu Qingxu dan Chenggao agar sumbu-sumbu bahan peledak yang telah dipasang pada kursi sembilan naga segera dibersihkan.

Linghu Chong lantas mengundang Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu masuk ke Biara Wuse untuk beristirahat di dalam Aula Guanyin. Ketiganya pun duduk di atas kasur samadi dengan kesibukan masing-masing. Mahabiksu Fangzheng tampak membalik-balik halaman Kitab Jinkang yang berbahasa Sanskerta itu, sementara Pendeta Chongxu membaca Kitab Taiji Quan sambil sesekali meraba Pedang Zhenwu. Betapa besar kebahagiaan di hatinya sungguh tak terlukiskan, sehingga rasa curiganya pun memudar pula.

Tiba-tiba dari bawah kolong meja persembahan terdengar suara seseorang berkata, “Ahhh, ternyata kau Yingying!”

Seseorang lainnya menjawab, “Benar, Kakak Chong, kau … kau ….”

Suara ribut-ribut ini tidak lain adalah suara Enam Dewa Lembah Persik.

Seketika Linghu Chong berseru kaget dan melonjak bangun dari tempat duduknya, “Hei!”

Suara percakapan di bawah kolong meja itu terus saja berlanjut, “Kakak Chong, ayahku, ayahku … sudah meninggal dunia.”

“Bagaimana Beliau meninggal dunia? Apa yang terjadi?”

“Hari itu setelah kau meninggalkan Puncak Huashan, tiba-tiba Ayah jatuh dari Batu Tapak Dewa dan meluncur ke bawah. Paman Xiang dan aku berhasil menangkap tubuhnya. Namun, hanya sebentar saja Ayah kemudian berhenti bernapas.”

“Apakah … apakah ada musuh yang mencelakai Beliau?”

“Tidak. Paman Xiang berkata usia Ayah sudah lanjut, juga pernah menderita belasan tahun di bawah Danau Barat. Beberapa tahun terakhir ini dalam penjara Ayah berlatih keras menggunakan tenaga dalam yang paling dahsyat untuk memusnahkan bermacam-macam hawa murni liar di tubuhnya secara paksa. Tentu saja hal ini sangat mengganggu kesehatannya. Setelah mendapatkan kembali kedudukannya, Ayah berencana untuk menghancurkan Serikat Pedang Lima Gunung sehingga membuatnya berpikir siang malam dan kesehatannya pun makin menurun. Jadi, Ayah meninggal dunia karena kesehatannya memang sangat buruk.”

“Sungguh tak kusangka akan terjadi demikian.”

“Kakak Chong, di Puncak Huashan waktu itu Paman Xiang langsung berunding dengan kesepuluh tetua agama kami. Dengan suara bulat mereka mengangkat diriku sebagai ketua Sekte Matahari dan Bulan menggantikan Ayah.”

“Oh, ternyata yang dimaksud dengan Ketua Ren sebenarnya adalah Nona Ren, bukan Tuan Ren.”

Begitulah, Enam Dewa Lembah Persik beberapa saat yang lalu telah berebut duduk di atas kursi sembilan naga, sehingga Mahabiksu Fangzheng terpaksa melumpuhkan mereka dengan ilmu Auman Singa. Pendeta Chongxu juga menotok semua titik gerak dan titik bisu mereka, kemudian mendorong keenam orang sinting itu ke dalam kolong meja persembahan. Akan tetapi, karena tenaga dalam enam bersaudara ini cukup hebat, maka tidak lama kemudian mereka pun sadar dari pingsan. Hanya saja, mereka masih dalam keadaan tertotok, sehingga tidak bisa bergerak dan tetap meringkuk di bawah meja. Meskipun demikian, hal ini justru mereka manfaatkan untuk mendengarkan percakapan Linghu Cong dengan “Ketua Ren” yang berada di dalam tandu tadi. Kini totokan mereka telah terbuka oleh waktu sehingga keenamnya langsung saja bersuara menirukan semua yang telah mereka dengar. Padahal, itu semua adalah percakapan rahasia.

Begitu mendengar Ren Woxing telah meninggal dunia dan kini Ren Yingying menjadi ketua Sekte Matahari dan Bulan yang baru, seketika Fangzheng dan Chongxu merasa terkejut bercampur senang. Mereka juga langsung paham mengapa Ren Yingying memberikan hadiah kepada Linghu Chong berupa barang-barang keperluan sehari-hari saja, karena ini merupakan tanda pertunangan mereka berdua.

Sementara itu, Enam Dewa Lembah Persik masih terus bersahut-sahutan di bawah meja tanpa henti. Daya ingat mereka sangat bagus sehingga mampu menirukan semua perkataan dan gaya bicara Linghu Chong ataupun Ren Yingying. Terdengar seseorang berkata, “Kakak Chong, hari ini aku sengaja datang kemari untuk melihatmu. Kalau sampai diketahui orang-orang di luar, tentu kita akan ditertawai.”

“Ah, peduli apa dengan mereka? Kau ini memang sangat pemalu.”

“Tidak, aku memang tidak ingin diketahui orang luar.”

“Baiklah, aku berjanji tidak akan bercerita kepada siapa pun.”

“Aku sengaja memerintahkan semua anggota sekte untuk meneriakkan sanjung puji seperti biasanya, agar tidak menimbulkan kecurigaan pihak luar. Sama sekali bukan maksudku untuk menyombongkan diri di hadapanmu, atau kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu.”

“Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu tidak akan tahu.”

“Selain itu, mulai hari ini hubungan Sekte Matahari dan Bulan dengan Perguruan Henshan, Shaolin, dan Wudang telah berubah dari lawan menjadi kawan. Aku tidak ingin orang luar sampai tahu bahwa hal ini adalah hasil keputusanku. Jika itu sampai terjadi, maka kaum persilatan tentu akan menganggap permusuhan ini berakhir secara damai adalah dikarenakan kau dan … aku … karena hubungan kita berdua. Kalau hal ini sampai tersiar tentu akan membuat kita merasa rikuh.”

“Hahaha, aku tidak takut menjadi bahan cerita.”

“Mukamu tebal, tentu saja kau tidak takut. Tentang meninggalnya Ayah juga sengaja sangat dirahasiakan oleh Sekte Matahari dan Bulan. Orang luar harus mengira ayahku benar-benar datang berkunjung ke Gunung Henshan ini serta berunding denganmu, kemudian tercipta perdamaian. Dengan demikian nama baik Ayah di dunia persilatan menjadi lebih dihormati. Setelah pulang ke Tebing Kayu Hitam nanti, barulah berita meninggalnya Ayah akan kusiarkan secara luas.”

“Sebagai menantu kesayangan, tentu aku akan datang ke sana memberikan penghormatan terakhir.”

“Sungguh bagus kalau kau datang ke sana. Ketika di Puncak Huashan tempo hari, Ayah sudah merestui pernikahan kita, hanya saja ... hanya saja … setelah aku berkabung ….”

Mendengar Enam Dewa Lembah Persik mulai membeberkan kisah cintanya dengan Ren Yingying, seketika Linghu Chong pun membentak, “Enam Dewa Lembah Persik, lekas keluar! Jika tidak segera keluar dan masih mengoceh, akan kubeset kulit kalian!”

Akan tetapi, masih saja terdengar salah satu dari mereka berbicara dengan menirukan nada suara Ren Yingying, “Tapi, tapi yang kukhawatirkan adalah kesehatanmu. Ayah tidak sempat mengajarkan bagaimana cara memusnahkan bermacam-macam hawa murni liar yang mendekam dalam tubuhmu. Namun sebenarnya, ilmu itu juga tidak ada gunanya. Seandainya Ayah mengajarkan kepadamu juga sia-sia, karena Ayah sendiri juga … ehhh!”

Dewa Dahan Persik menirukan suara Ren Yingying menghela napas dengan penuh rasa sedih, sehingga membuat Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong ikut terharu pula. Bagaimanapun juga Ren Woxing adalah kesatria hebat di zaman itu. Meskipun selama hidup ia sering berbuat keburukan, namun tetap saja kematiannya terasa menyedihkan.

Linghu Chong sendiri tidak sepenuhnya membenci Ren Woxing. Bagaimanapun kejamnya orang tua itu, tetap saja ia menaruh penghormatan yang sangat besar terhadap kehebatan dan kecerdasannya dalam hal ilmu silat dan siasat perang. Terutama juga kepada sifatnya yang suka hidup merdeka dan tidak peduli dengan tata aturan masyarakat yang kaku, dalam hal ini Linghu Chong merasa memiliki banyak kemiripan sifat dengannya. Perbedaan yang paling mencolok adalah, Linghu Chong tidak bernafsu merajai dunia persilatan, itu saja.

Pada saat itu Fangzheng, Congxu, dan Linghu Chong sama-sama merenung, “Sejak zaman dulu hingga sekarang, bagaimanapun besarnya kekuasaan dan keharuman nama seseorang, baik itu kaisar, maharaja, kesatria, nabi, orang suci, atau penjahat besar sekalipun pada akhirnya semua akan mati.”

Terdengar Dewa Buah Persik berkata, “Kakak Chong, aku ....”

Chongxu berpikir kalau ocehan Enam Dewa Lembah Persik diterus-teruskan, tentu akan membuat Linghu Chong semakin bertambah rikuh. Segera ia pun menyeret keenam bersaudara itu keluar. Sambil tertawa ia lalu berkata, “Keenam Dewa Persik bersaudara, maaf aku tadi harus menotok kalian semua. Ocehan kalian rasanya sudah cukup sampai di sini. Jika Ketua Linghu sampai marah, maka ia akan menotok titik bisu abadi kalian semua. Akibatnya sungguh sangat mengerikan.”

“Titik bisu abadi itu apa?” tanya Enam Dewa Lembah Persik bersamaan dengan nada terkejut dan khawatir.

“Jika titik bisu abadi kalian tertotok, maka seumur hidup kalian akan menjadi bisu,” kata Chongxu dengan tertawa. “Tapi kalau untuk makan dan minum masih bisa.”

Enam Dewa Lembah Persik langsung berseru serentak, “Bicara nomor satu, makan-minum nomor dua.”

“Kalau begitu, apa yang kalian bicarakan tadi jangan sekali-kali diucapkan kepada siapa pun juga,” ujar Chongxu. “Nah, Ketua Linghu, biarlah aku memintakan ampun bagi mereka. Janganlah kau menotok titik bisu abadi mereka. Mahabiksu Fangzheng dan aku berani menjamin bahwa untuk selanjutnya mereka berenam pasti tidak akan membocorkan sepatah kata pun dari percakapanmu dengan Nona Ren yang telah mereka curi dengar tadi.”

“Tidak benar, tidak benar! Kami tidak mencuri dengar sama sekali. Percakapan mereka masuk dengan sendirinya ke telinga kami, kami bisa apa?” seru Dewa Bunga Persik.

“Sudahlah,” ujar Chongxu. “Boleh jadi kalian memang tidak sengaja mendengarkan percakapan tadi. Tapi menirukan percakapan orang lain adalah perbuatan tidak benar.”

“Baik, baik! Kami berjanji tidak akan mengoceh lagi!” seru Enam Dewa Lembah Persik serentak.

Dewa Akar Persik lantas menyambung, “Tapi semboyan Sekte Matahari dan Bulan untuk ketua mereka yang baru telah berubah dua kalimat. Kami boleh mengatakannya atau tidak?”

“Tidak boleh, tetap tidak boleh!” bentak Linghu Chong.

“Kalau tidak boleh ya sudah!” sahut Dewa Ranting Persik. “Hanya kau dan Nona Ren yang boleh mengatakan semboyan itu, sementara kami tidak boleh.”

Chongxu menjadi penasaran dan berpikir, “Dua kalimat apa yang telah berubah? Mungkinkah kalimat ‘Ketua panjang umur, merajai dunia persilatan’ yang berubah? Kini Nona Ren menjadi ketua sekte, sepertinya ia tidak tertarik menjadi penguasa dunia persilatan. Kalau benar demikian, lantas seperti apa semboyan Sekte Matahari dan Bulan yang baru itu?”

Tiga tahun kemudian di Wisma Meizhuang, dekat Gunung Gu dan Danau Barat, di dalam Kota Hangzhou, suasana tampak semarak dengan nyala lampion di mana-mana. Tampak orang-orang berdatangan dengan berpakaian rapih. Rupanya hari itu adalah hari bahagia pernikahan Linghu Chong dan Ren Yingying.

Pada saat itu Linghu Chong telah menyerahkan jabatan ketua Perguruan Henshan kepada Yiqing. Sebenarnya Yiqing tidak bersedia dan mendesak Yilin untuk menggantikannya sebagai ketua, mengingat Yilin telah membalaskan kematian guru mereka, yaitu dengan membunuh Yue Buqun. Namun, Yilin bersikeras menolak, bahkan sampai menangis di depan umum. Maka, diadakanlah musyawarah di antara para anggota dan mereka pun sepakat menerima usul Linghu Chong, yaitu mengangkat Yiqing menjadi ketua Perguruan Henshan yang baru.

Sementara itu, Perguruan Songshan, Huashan, Hengshan, dan Taishan juga telah memiliki ketua baru masing-masing. Para murid yang tidak ikut terjebak dalam malapetaka di Puncak Huashan kala itu telah merintis perguruan masing-masing sehingga kembali mendapatkan nama di dunia persilatan.

Ren Yingying sendiri juga telah melepaskan jabatan ketua Sekte Matahari dan Bulan, serta menyerahkan kedudukan itu kepada Xiang Wentian. Meskipun Xiang Wentian juga seorang tokoh persilatan yang keras kepala dan sukar dikendalikan, tapi dia tidak mempunyai ambisi mencaplok perguruan atau aliran lainnya. Maka itu, selama tiga tahun ini keadaan dunia persilatan menjadi aman dan tenteram.

Pada hari itu banyak sekali kaum persilatan yang hadir di Kota Hangzhou untuk mengucapkan selamat atas pernikahan Linghu Chong dan Ren Yingying. Wisma Meizhuang penuh sesak karena yang hadir berasal dari berbagai aliran persilatan, baik itu golongan putih ataupun hitam. Hari itu semuanya berkumpul dengan suka cita, tanpa ada rasa permusuhan di antara mereka.

Selesai upacara pernikahan, para hadirin meminta sepasang mempelai sudi memainkan ilmu pedang di depan umum. Setiap orang mengetahui bahwa ilmu pedang Linghu Chong tiada bandingannya di dunia ini, namun tidak semuanya pernah menyaksikan kehebatannya itu.

Linghu Chong tersenyum menanggapi permintaan para tamu, lalu berkata, “Hari ini adalah hari yang bahagia. Rasanya kurang pantas jika kami harus main senjata segala. Biarlah kami berdua, pengantin baru ini memainkan sebuah lagu bersama-sama. Apakah para hadirin setuju?”

Para tamu pun bersorak menyatakan setuju.

Linghu Chong segera menyiapkan kecapi dan memberikan seruling kumala kepada Ren Yingying. Tanpa membuka kerudung pengantin, Ren Yingying meniup seruling itu dengan merdu, beriringan dengan petikan kecapi Linghu Chong. Lagu yang mereka bawakan tidak lain adalah lagu “Menertawakan Dunia Persilatan”. Rupanya selama tiga tahun ini permainan kecapi Linghu Chong telah berkembang sangat pesat berkat bimbingan langsung Ren Yingying setiap saat.

Linghu Chong teringat dirinya pertama kali mendengar lagu itu ketika berada di hutan pegunungan di luar Kota Hengshan dahulu. Waktu itu Liu Zhengfeng dari Perguruan Hengshan meniup seruling, sedangkan Qu Yang dari Sekte Matahari dan Bulan memetik kecapi. Keduanya bersahabat karib meskipun berasal dari dua aliran yang bermusuhan. Setelah memainkan lagu tersebut, mereka akhirnya tewas bersama.

Hari ini Linghu Chong dan Ren Yingying telah menikah dan tiada lagi perbedaan di antara mereka. Dibandingkan dengan Qu Yang dan Liu Zhengfeng, nasib mereka jauh lebih bagus. Linghu Chong membayangkan pada saat menciptakan lagu tersebut, pasti Liu Zhengfeng dan Qu Yang dalam keadaan tertekan oleh pertentangan golongan mereka, serta berharap semua permusuhan bisa berakhir. Kini harapan mereka telah menjadi kenyataan. Linghu Chong dan Ren Yingying memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan dengan perasaan bebas merdeka, sehingga perpaduan irama seruling dan kecapi yang dihasilkan boleh dikata sangat sempurna.

Kebanyakan para tamu tidak memahami seni musik. Akan tetapi, setiap orang merasa sangat nyaman dan terbuai oleh alunan irama tersebut. Di bawah permainan pengantin baru ini, lagu Menertawakan Dunia Persilatan berhasil menggetarkan sukma dan mengharukan hati setiap tamu yang hadir.

Begitu lagu selesai dimainkan, serentak para hadirin bertepuk tangan dan bersorak sorai memuji keduanya. Beramai-ramai mereka lalu mempersilakan kedua mempelai masuk ke dalam kamar pengantin yang telah disediakan mak comblang dan tertata rapi.

Baru saja pintu kamar ditutup, tiba-tiba Linghu Chong dan Ren Yingying mendengar alunan suara rebab yang sangat merdu dari luar pagar. Seketika Linghu Chong berteriak senang, “Paman Guru Mo ....”

“Ssst, jangan berisik,” sahut Ren Yingying mendesis.

Lagu yang dimainkan melalui rebab itu berjudul “Sepasang Burung Feng Bertemu”. Kedua mempelai yakin bahwa lagu ini dimainkan langsung oleh Tuan Besar Mo di luar rumah mereka. Meskipun permainannya sangat lembut dan lirih, namun benar-benar mengharukan perasaan Linghu Chong dan Ren Yingying dari awal hingga akhir. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Paman Guru Mo benar-benar lolos dari malapetaka di Puncak Huashan. Beliau datang kemari secara diam-diam untuk menyampaikan selamat atas pernikahan kami.”

Selama tiga tahun ini, Linghu Chong selalu memikirkan keberadaan Tuan Besar Mo. Berulang kali ia mengirim orang ke Gunung Hengshan namun tidak juga mendapatkan kabar. Perguruan Hengshan sendiri juga telah memiliki ketua yang baru, dan mereka pun tidak mengetahui keberadaan sang ketua lama.

Beberapa saat kemudian suara rebab terdengar semakin menjauh dan menjauh, hingga akhirnya menghilang tak terdengar lagi.

Perlahan-perlahan Linghu Chong mendekati Ren Yingying dan membuka kerudung sutra tipis berwarna merah yang menutup wajah cantiknya. Di bawah cahaya lilin tampak wajah mempelai perempuan yang sedang tersenyum itu semakin menawan bagaikan intan permata.

Tiba-tiba Ren Yingying berseru, “Keluar sekarang!”

Linghu Chong tersentak kaget. Dalam hati ia berpikir, “Aku sudah jadi suaminya, kenapa disuruh keluar?”

“Lekas keluar, atau kusiram dengan air?” bentak Ren Yingying sambil tertawa.

Selagi Linghu Chong kebingungan, tiba-tiba dari kolong ranjang tampak enam orang menerobos keluar. Siapa lagi mereka kalau bukan Enam Dewa Lembah Persik?

Rupanya keenam orang dungu bersaudara ini sengaja bersembunyi di bawah ranjang dengan tujuan ingin mendengarkan percakapan antara sepasang pengantin baru. Setelah itu, mereka akan mempergunakannya sebagai bahan pamer di hadapan para tamu. Saat itu Linghu Chong sedang mabuk kepayang mengagumi kecantikan sang istri sehingga kurang waspada. Sebaliknya, Ren Yingying tetap bersikap cermat dan ia pun mendengar suara orang bernapas sangat halus di bawah tempat tidur.

Dengan bergelak tawa Linghu Chong berkata, “Hahaha, keenam Dewa Persik bersaudara, hampir saja aku dapat kalian kerjai.”

Dengan tertawa pula Enam Dewa Lembah Persik lantas meninggalkan kamar pengantin itu. Begitu sampai di luar mereka langsung berteriak-teriak, “Semoga kedua mempelai panjang umur, menjadi suami-istri selamanya!”

Saat itu Pendeta Chongxu sedang bercakap-cakap dengan Mahabiksu Fangzheng di Balai Bunga yang menjadi ruang perjamuan tamu. Ketika mendengar teriakan Enam Dewa Lembah Persik tersebut, ia pun tersenyum. Teka-teki yang terpendam selama tiga tahun di hatinya baru sekarang terjawab sudah. Saat di Biara Wuse waktu itu ia sangat penasaran mendengar Enam Dewa Lembah Persik mengatakan semboyan Sekte Matahari dan Bulan telah berganti dua kalimat. Rupanya inilah semboyan yang mereka maksudkan itu

Empat bulan kemudian, pada saat musim semi berlangsung, tampak rumput liar memanjang dan bunga-bunga harum semerbak di mana-mana. Kedua pengantin baru Linghu Chong dan Ren Yingying sedang bersama-sama berangkat ke Gunung Huashan. Linghu Chong bermaksud membawa istrinya itu menyampaikan salam hormat kepada Feng Qingyang, sang kakek guru tercinta.

Akan tetapi, meskipun mereka berdua sudah menjelajahi semua lembah pegunungan Huashan, semua puncak, dan menelusuri dengan seksama, namun sedikit pun mereka tidak menemukan jejak orang tua itu. Tentu saja Linghu Chong merasa sangat kesal dan kecewa.

Ren Yingying berusaha menghibur sang suami dengan berkata, “Kakek Guru Feng seorang sakti yang suka hidup menyendiri. Beliau bagaikan naga keramat dari kahyangan, bisa melihat kita tapi tidak bisa kita melihatnya. Kemungkinan besar Beliau telah mengembara ke tempat lain.”

Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Kakek Guru Feng tidak hanya mahasakti dalam ilmu pedang, bahkan tenaga dalam Beliau juga tiada bandingannya di dunia ini. Selama tiga setengah tahun aku berlatih ilmu tenaga dalam sesuai ajaran Beliau. Aku merasa hampir semua hawa murni liar yang bergolak di dalam tubuhku dapat dimusnahkan.”

“Untuk ini kita harus berterima kasih kepada Mahabiksu Fangzheng,” kata Ren Yingying. “Karena kita tidak berhasil menemui Kakek Guru Feng, maka besok juga kita pergi ke Biara Shaolin saja untuk mengucapkan terima kasih kepada Mahabiksu Fangzheng.”

“Benar,” jawab Linghu Chong. “Mahabiksu Fangzheng telah menyampaikan rumus ilmu tenaga dalam Kakek Guru Feng itu serta membimbing diriku pula. Kita memang harus berterima kasih kepadanya.”

Ren Yingying tersenyum dan berkata, “Kakak Chong, kenapa kau belum sadar juga? Sebenarnya yang telah kau pelajari itu bukan rumus tenaga dalam milik Kakek Guru Feng, melainkan ilmu sakti dalam Kitab Yijinjing milik Perguruan Shaolin.”

“Apa?” sahut Linghu Chong melonjak kaget. “Jadi, ini ... ini ... ilmu dalam Kitab Yijinjing? Dari mana kau tahu?”

Ren Yingying menjawab, “Dulu sewaktu kau bercerita padaku bahwa rumus ilmu tenaga dalam ini adalah milik Kakek Guru Feng yang disampaikan kepada Mahabiksu Fangzheng melalui Enam Dewa Lembah Persik, aku langsung curiga. Bagaimana tidak, untuk melatih ilmu ini, sedikit kesalahan saja dapat mengakibatkan kelumpuhan atau bahkan jiwa bisa melayang. Mana boleh rumus ilmu tenaga dalam sehebat ini disampaikan begitu saja melalui orang lain seperti Enam Dewa Lembah Persik yang dungu itu, bahkan secara lisan? Meskipun Mahabiksu Fangzheng mengaku mereka berenam dipaksa Kakek Guru Feng menghafal rumus itu dengan sekuat tenaga, tetap saja ini sangat berbahaya. Maka, pada suatu kesempatan aku sengaja menanyai keenam bersaudara itu. Mula-mula mereka mengaku bahwa cerita Mahabiksu Fangzheng adalah benar. Namun, begitu aku menyuruh mereka menyebut beberapa kalimat pada rumus tersebut, mereka menjawab secara simpang-siur. Ada yang mengaku sudah lupa, ada lagi yang mengaku tidak mau mengatakannya kecuali kepada Mahabiksu Fangzheng saja. Setelah kudesak lagi, akhirnya mereka pun menceritakan yang sebenarnya. Bahwa demi untuk menyelamatkan jiwamu, Mahabiksu Fangzheng sengaja mengarang cerita bahwa Beliau mendapatkan rumus ilmu ini dari Kakek Guru Feng. Jika tidak begitu, maka kau tidak akan mau mempelajarinya. Enam Dewa Lembah Persik juga dipesan agar merahasiakan hal ini kepadamu.”

Linghu Chong tercengang mendengar uraian itu. Sama sekali ia tidak menyangka akan maksud dan tujuan Mahabiksu Fangzheng tersebut. Untuk beberapa lama ia tidak bisa bersuara sedikit pun.

Ren Yingying melanjutkan, “Namun, Kakek Guru Feng memang benar-benar bertemu dengan Enam Dewa Lembah Persik. Beliau menyuruh keenam bersaudara itu menyampaikan berita kepada Mahabiksu Fangzheng bahwa sebulan lagi Sekte Matahari dan Bulan hendak menyerbu Perguruan Henshan. Maka itu, Perguruan Shaolin lantas menghubungi pihak Wudang dan bersama-sama menghimpun kekuatan dari berbagai golongan lainnya demi membantu pihak Henshan. Sementara itu, mengenai rumus ilmu tenaga dalam tersebut adalah benar-benar ilmu Perguruan Shaolin sendiri.”

“Kau sungguh keterlaluan,” gerutu Linghu Chong. “Sudah tahu sejak dulu kenapa baru sekarang kau sampaikan padaku?”

Ren Yingying tersenyum menjawab, “Kau sendiri yang keras kepala. Dulu kau terang-terangan menolak tawaran Mahabiksu Fangzheng agar dirimu masuk menjadi murid Perguruan Shaolin dan mempelajari Kitab Yijinjing untuk menyembuhkan penyakitmu. Kau menolak begitu saja dan meninggalkan biara, sampai akhirnya tanpa sengaja menemukan Jurus Penyedot Bintang. Penyakitmu memang sembuh tapi kemudian muncul penyakit baru akibat ilmu ayahku ini. Mahabiksu Fangzheng kembali berusaha menyembuhkan penyakitmu namun tidak berani secara terang-terangan menyebut nama Kitab Yijinjing lagi. Mungkin bagimu lebih baik mati daripada mempelajarinya, bukankah ini konyol? Maka itu, Mahabiksu Fangzheng lantas meminjam nama Kakek Guru Feng untuk menyampaikan rumus ilmu tersebut. Mengingat Kakek Guru Feng juga orang Huashan, maka dapat dipastikan kau tidak akan menolak lagi.”

“Oh,” ujar Linghu Chong sambil manggut-manggut. “Kau sengaja merahasiakan hal ini tentu karena kau takut sifat keras kepalaku kembali kambuh sehingga aku menghentikan latihan. Kini setelah tahu penyakitku hampir sembuh, barulah kau mau menceritakan yang sebenarnya.”

Ren Yingying kembali tertawa dan berkata, “Benar. Kebandelanmu cukup terkenal. Untuk sifat seperti ini memang perlu sedikit tipuan.”

Linghu Chong menghela napas terharu, kemudian ia menggenggam erat tangan Ren Yingying, dan berkata, “Yingying, dulu kau rela mengorbankan jiwamu di Biara Shaolin demi untuk meyakinkan Mahabiksu Fangzheng agar mau mengajarkan Kitab Yijinjing padaku. Meskipun jiwamu diampuni, namun Mahabiksu Fangzheng tetap menganggap Beliau telah berhutang kepadamu. Beliau seorang tokoh angkatan tua dunia persilatan yang paling terhormat dan harus pegang janji. Maka itu, Beliau tetap mengajarkan ilmu sakti ini kepadaku, meskipun aku bukan murid Biara Shaolin. Ilmu ini kudapatkan melalui pengorbananmu. Seandainya aku tidak memikirkan keselamatanku, tetap saja aku memikirkan jerih payah dan maksud baikmu. Mana mungkin ... mana mungkin aku kemudian menghentikan latihan ini?”

Ren Yingying berkata lirih, “Sebenarnya aku juga berpikir demikian. Hanya saja ... hanya saja aku tetap merasa khawatir.”

“Baiklah, besok juga kita segera berangkat ke Biara Shaolin. Karena aku sudah mendalami ilmu sakti dalam Kitab Yijinjing, maka aku terpaksa harus bergabung dengan Perguruan Shaolin dan menjadi biksu,” ujar Linghu Chong.

Ren Yingying paham suaminya itu hanya bercanda. Maka, ia pun menjawab, “Biksu liar macam dirimu, biara besar tidak sudi menerima, biara kecil tidak sudi menyambut. Mana mungkin Perguruan Shaolin yang memiliki peraturan ketat mau menerima biksu yang gemar minum arak dan makan daging? Dalam setengah hari saja kau akan langsung didepak keluar.”

Kedua pengantin baru itu melangkah bergandeng tangan sambil bercakap-cakap mesra. Tampak Ren Yingying berkali-kali menoleh ke sana dan ke sini, seperti hendak mencari sesuatu.

“Apa yang kau cari?” tanya Linghu Chong.

“Takkan kukatakan kepadamu. Kalau sudah bertemu tentu kau akan tahu sendiri,” sahut Ren Yingying. “Hari ini kita datang ke Gunung Huashan dan tidak berhasil menemukan Kakek Guru Feng. Sebenarnya ini mengecewakan. Tapi, kalau tidak menemukan orang yang satu ini, rasanya lebih kecewa lagi.”

Linghu Chong semakin bingung dan bertanya, “Memangnya siapa lagi yang akan kita temui? Siapakah dia?”

Ren Yingying hanya tersenyum dan tidak menjawab. Sejenak kemudian ia berkata, “Yang pasti dia bukan Lin Pingzhi. Kau telah mengurung bocah bermarga Lin itu dalam penjara di bawah Danau Barat sana. Kau ini memang pintar. Kau pernah menyanggupi wasiat adik kecilmu untuk selalu menjaga Lin Pingzhi seumur hidupnya. Maka itu, kau lantas mengurungnya di sana, kau beri makan dan pakaian. Dengan begini jiwanya pun terjamin. Kau benar-benar telah menjaga kehidupannya sesuai janjimu. Akan tetapi, untuk teman lamamu yang satu ini aku telah mengatur suatu cara demi menjamin kehidupannya.”

Linghu Chong bertambah heran dan merenung, “Teman lamaku? Memangnya siapa yang dimaksudkannya itu?” Namun mengingat sifat Ren Yingying yang cenderung aneh dan lain dari orang-orang pada umumnya, maka ia merasa tidak ada gunanya untuk bertanya lebih lanjut.”

Malam itu mereka berdua beristirahat di bilik Linghu Chong yang lama. Meskipun berhadapan dengan seorang istri cantik, namun karena terkenang pada kehidupan masa lalu, hati Linghu Chong merasa berduka. Setelah meneguk arak sampai belasan cawan barulah pikirannya agak tenang.

Tiba-tiba Ren Yingying berkata lirih, “Itu dia sudah datang. Marilah kita pergi melihatnya.”

Linghu Chong mendengar suara monyet dari arah lembah pegunungan di depan biliknya. Merasa penasaran tentang siapakah orang yang dimaksudkan Ren Yingying itu, tanpa banyak bertanya ia pun mengikuti sang istri berjalan keluar.

Ren Yingying bergegas menuju ke arah suara monyet tadi. Dengan cepat ia berlari ke lereng bukit di depan sana. Linghu Chong mengikuti ke mana istrinya melangkah. Di bawah sinar bulan yang cukup terang tampak tujuh atau delapan ekor monyet bertengger di atas bebatuan. Kawanan monyet di Gunung Huashan memang cukup banyak dan hal ini tidak mengherankan bagi Linghu Chong. Namun, tiba-tiba dilihatnya di tengah gerombolan monyet itu ada seorang manusia. Begitu diperhatikan dengan cermat, ternyata orang itu adalah Lao Denuo.

Dengan perasaan gusar bercampur senang Linghu Chong segera berbalik hendak mengambil pedang di dalam biliknya. Namun, Ren Yingying buru-buru menarik lengannya dan berkata, “Sabar dulu. Mari kita melihatnya lebih dekat.”

Setelah keduanya maju beberapa puluh meter, tampak Lao Denuo sedang diapit dua ekor monyet besar dan diseret ke kanan dan ke kiri begitu saja. Meskipun ilmu silat Lao Denuo cukup tinggi, ternyata ia tidak berdaya melawan dua ekor monyet itu.

“Kenapa bisa begitu?” tanya Linghu Chong heran.

“Lihatlah dengan lebih jelas. Sebentar lagi tentu kau akan tahu sendiri,” kata Ren Yingying.

Sifat monyet pada umumnya adalah suka bergerak ke mana-mana, sehingga Lao Denuo tampak ditarik ke sana dan diseret kemari oleh dua ekor monyet besar itu. Terkadang ia mengeluarkan suara caci maki, namun monyet-monyet itu lantas mencakar wajahnya.

Kini Linghu Chong dapat melihat dengan jelas bahwa tangan kanan Lao Denuo bergandengan dengan tangan kiri monyet sebelah kanan, sementara tangan kirinya juga bergandengan dengan tangan kanan monyet satunya lagi. Sepertinya antara tangannya dengan tangan monyet-monyet itu terikat oleh semacam borgol besi.

Linghu Chong mulai paham permasalahannya. Ia pun bertanya, “Tentu ini perbuatanmu, bukan?”

“Bagaimana menurutmu?” sahut Ren Yingying balas bertanya.

“Apakah kau telah memusnahkan ilmu silatnya?” tanya Linghu Chong.

“Tidak, tapi dia telah menerima buah perbuatannya sendiri,” sahut Ren Yingying.

Mendengar suara percakapan manusia, gerombolan monyet itu lantas berteriak-teriak melarikan diri ke balik bukit. Tentu saja tubuh Lao Denuo ikut terseret pula.

Pada mulanya Linghu Chong ingin membunuh Lao Denuo untuk membalaskan kematian Lu Dayou. Namun, melihat penderitaan Lao Denuo saat ini dalam hati ia merasa puas. Menurutnya, orang tua berambut putih itu telah merasakan hukuman yang lebih berat daripada dipenggal pedang. Ia kemudian berkata kepada sang istri, “Jadi, selama beberapa hari ini orang yang kau cari itu adalah Lao Denuo?”

“Benar,” sahut Ren Yingying. “Sewaktu Ayah tiba di Puncak Menyongsong Mentari tempo hari, Lao Denuo lebih dulu datang menghadap sebelum kita. Dia mengaku telah mendapatkan Kitab Pedang Penakluk Iblis untuk dipersembahkan kepada Ayah dengan harapan mendapatkan perlindungan dan kedudukan yang pantas di dalam Sekte Matahari dan Bulan. Ayah tidak ada kesempatan bicara dengannya dan segera memerintahkan orang untuk menahan dia. Namun kemudian Ayah meninggal dunia, sehingga semua orang menjadi sibuk dan tidak sempat mengurusinya. Akhirnya dia pun ikut terbawa pulang ke Tebing kayu Hitam sebagai tawanan. Setelah lewat belasan hari barulah aku ingat masalah ini. Segera dia kupanggil untuk ditanyai. Ternyata di dalam tahanan ia berusaha melatih Jurus Pedang Penakluk Iblis namun salah jalan sehingga kehilangan semua ilmu silatnya. Orang ini adalah pembunuh adik keenammu, sementara adik keenammu sangat suka memelihara monyet. Oleh sebab itu, aku lantas menyuruh orang mencarikan dua ekor monyet besar, dan memborgol kedua tangannya bersama kedua monyet itu. Kemudian dia kulepaskan di Gunung Huashan ini.”

Usai berkata demikian, ia lantas memegangi pergelangan tangan Linghu Chong. “Aih, sungguh tak disangka bahwa selama hidupku juga harus terikat bersama seekor monyet besar seperti ini dan tidak akan terpisah lagi,” ujarnya sambil tersenyum manis, senyuman yang lembut dan menawan.

Linghu Chong membalas senyum. Ia sendiri senang dengan kehidupan yang merdeka dan tidak terkekang. Namun, setelah menikah dengan Ren Yingying, maka keinginannya untuk selalu bebas dan tidak terikat dengan sendirinya tidak dapat terpenuhi. Tiba-tiba hatinya bersenandung mengalunkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Terlintas suatu pikiran dalam benaknya, “Dalam memainkan lagu ini, entah kumainkan dengan nada tinggi, entah dengan nada rendah, dapat kulakukan sesuka hati. Namun, ini hanya bisa kulakukan jika bermain musik seorang diri. Apabila bermain musik bersama Yingying, tentu harus menyelaraskan diri agar tercipta perpaduan yang serasi. Tentu keselarasan tidak bisa kulakukan hanya berdasarkan keinginanku sendiri. Kalau dia memainkan nada tinggi, harus kuimbangi, nada rendah juga harus kuimbangi. Ini baru namanya selaras dan serasi.”

Sesaat kemudian Linghu Chong teringat kepada Biara Shaolin dan ia merenung, “Kaum Buddha mementingkan Nirwana, yaitu keadaan kosong, hampa, tanpa keinginan, tanpa pengharapan, dan inilah yang dinamakan bebas tanpa keterikatan. Akan tetapi, hidup di dunia perlu makan, perlu pakaian, juga harus mempertimbangkan orang lain. Bagaimana bisa hidup lepas dari keinginan? Nirwana adalah kehidupan tanpa keterikatan, sementara hidup di dunia selalu penuh dengan keterikatan. Ah, asalkan hidup di dunia tidak memiliki keinginan yang tidak pantas, tentu tidak akan terikat oleh sesuatu yang tidak pantas pula. Inilah yang dimaksud dengan bebas tanpa keterikatan menurutku.”

(Tamat)

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar