Pendekar Hina Kelana Jilid 71-75

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 71-75 Xiang Wentian menanggapi, “Mungkin dia memiliki alasan lain. Pertama, dia tidak sabar menunggu, tidak tahu kapan Ketua secara resmi menyerahkan kedudukan padanya;
Xiang Wentian menanggapi, “Mungkin dia memiliki alasan lain. Pertama, dia tidak sabar menunggu, tidak tahu kapan Ketua secara resmi menyerahkan kedudukan padanya; kedua, dia merasa tidak tenang, khawatir jangan-jangan ada perubahan secara mendadak.”

“Padahal segala sesuatu sudah diaturnya dengan baik. Perubahan mendadak apa lagi yang ia takuti? Sungguh sukar dimengerti,” kata Ren Woxing. “Ketika berada di dalam penjara, aku banyak memikirkan tentang ini. Semua tipu muslihatnya dapat kupahami, namun tetap saja aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba dia memberontak? Memang, dia agak iri kepadamu. Dia khawatir jangan-jangan aku akan mengangkatmu sebagai penggantiku. Tapi setelah kau pergi tanpa pamit, dia sudah kehilangan saingan utama. Seharusnya dia dapat menunggu dengan sabar.”

Xiang Wentian berkata, “Pada tahun ketika Dongfang Bubai memberontak, apakah Ketua masih ingat satu kalimat yang diucapkan Nona pada malam Hari Raya Perahu Naga?”

“Hari Raya Perahu Naga?” sahut Ren Woxing sambil menggaruk-garuk kepala. “Apa yang telah diucapkan putri kecilku? Ada hubungan apa dengan ulah Dongfang Bubai? Ah, aku sama sekali tidak ingat.”

Xiang Wentian berkata, “Ketua janganlah menganggap Nona masih anak kecil. Sebenarnya dia sangat pintar dan cerdik. Betapa teliti pikirannya tidak kalah dibanding orang dewasa. Waktu itu kalau tidak salah usia Nona baru tujuh tahun. Di tengah perjamuan pesta ia telah menghitung jumlah orang yang hadir, lalu secara mendadak bertanya kepada Ketua, ‘Ayah, mengapa pada perjamuan Hari Raya Perahu Naga dalam setiap tahun selalu berkurang satu orang?’ Waktu itu Ketua tercengang dan menjawab, ‘Setiap tahun berkurang satu orang bagaimana?’ Lalu Nona berkata, ‘Aku masih ingat tahun lalu yang hadir dalam perjamuan seperti ini ada sebelas orang. Dua tahun yang lalu adalah dua belas orang. Kalau tahun ini, satu, dua, tiga, empat, lima … cuma tinggal sepuluh orang saja.’ ”

Ren Woxing menghela napas lalu berkata, “Benar, saat itu aku pun merasa masygul setelah mendengar ucapan putri kecilku. Setahun sebelumnya Dongfang Bubai memang telah menghukum mati Adik Hao. Tahun sebelumnya lagi, Tetua Qiu telah mati secara misterius di Gansu. Sekarang aku yakin itu disebabkan tipu muslihat keji Dongfang Bubai. Dan lagi, setahun sebelumnya Tetua Wen telah dipecat, kemudian ia binasa dikeroyok jago-jago Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan. Sebab musababnya tentu juga perbuatan licik Dongfang Bubai. Aih, kata-kata yang diucapkan oleh putriku yang masih kecil ternyata mengandung kebenaran, tapi aku masih terlena dan tidak menyadarinya.”

Setelah diam sejenak dan minum seteguk, ia lalu melanjutkan, “Adik Xiang, terus terang Jurus Penyedot Bintang masih memiliki banyak kekurangan. Ilmu ini berasal dari zaman Dinasti Song Utara, namun sastrawan yang mencatat tidak memahaminya dengan baik. Aku sendiri sudah berlatih selama belasan tahun dan ilmu ini sangat terkenal di dunia persilatan. Orang-orang dari aliran lurus banyak yang ketakutan setengah mati begitu mendengar ilmuku ini disebut. Akan tetapi, aku sendiri mengetahui dalam ilmu saktiku ini masih terdapat kelemahan besar. Pada mulanya aku tidak menyadari itu namun masalah yang parah sedikit demi sedikit muncul. Kalau aku tidak lekas-lekas memperbaikinya, tentu akan membawa malapetaka bagiku. Tenaga-tenaga yang telah kuhisap dari orang lain akan berbalik menyerang diriku.”

Mendengar sampai di sini membuat Linghu Chong samar-samar dalam hati merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Ren Woxing terus bercerita, “Saat itu di dalam tubuhku sudah tersimpan hawa murni yang berasal dari belasan jago silat papan atas dari golongan putih maupun hitam. Agar tidak membahayakan diriku sendiri, aku berusaha melebur belasan macam tenaga dalam itu menjadi satu sehingga dapat kupergunakan. Jika tidak, aku akan selalu merasa cemas. Siang malam aku selalu memikirkannya, sehingga yang ada dalam benakku hanya masalah ini. Dalam perjamuan Hari Raya Perahu Naga waktu itu pun aku terlihat bersenda gurau dan minum-minum, padahal dalam hati sibuk memikirkan cara untuk mengalirkan tenaga dalam melalui lima puluh empat titik, yaitu dua puluh dua titik pada Pembuluh Yangqiao, dan tiga puluh dua titik pada Pembuluh Yangwei. Oleh sebab itu, apa yang diucapkan putri kecilku di tengah perjamuan segera aku lupakan begitu saja.”

Xiang Wentian berkata, “Hamba sendiri merasa sangat heran. Biasanya Ketua sangat gesit dalam menghadapi persoalan, juga selalu waspada. Begitu seseorang mengucapkan beberapa kalimat saja, Ketua akan segera mengetahui maksudnya, dan selalu benar. Namun entah mengapa Ketua waktu itu tidak menyadari tipu muslihat Dongfang Bubai, juga terlihat agak … agak ….”

“Agak linglung?” sahut Ren Woxing sambil terssenyum. “Sehari-hari aku kelihatan linglung dan bodoh, seperti tidak punya pikiran, benar tidak?”

Xiang Wentian menjawab, “Benar. Setelah mendengar ucapan Nona waktu itu, saya melihat sorot mata Dongfang Bubai menunjukkan perasaan gelisah meski dia pura-pura tersenyum riang dan berkata, ‘Rupanya Nona suka keramaian. Jika demikian tahun depan kita undang lebih banyak orang untuk minum-minum, bagaimana?’ Mungkin waktu itu ia mengira Ketua telah menyiapkan rencana untuk membereskannya, namun pura-pura tidak tahu untuk mencoba reaksinya. Maklum, ia sangat hafal kecerdasan Ketua, dan dalam masalah yang jelas-jelas gamblang seperti ini mustahil Ketua tidak curiga.”

Ren Woxing mengerutkan dahi sambil kemudian berkata, “Apa yang diucapkan putri kecilku dua belas tahun yang lalu itu sama sekali tidak pernah kuingat. Sekarang kau telah menceritakannya, membuat aku samar-samar teringat putri kecilku memang pernah berkata demikian. Mendengar dia bicara seperti itu, mana mungkin Dongfang Bubai tidak gelisah?”

Xiang Wentian menambahkan, “Lagipula usia Nona semakin hari tentu semakin bertambah dewasa, dan bertambah pula kecerdasannya. Setahun atau dua tahun lagi jangan-jangan Nona akan membongkar rencana Dongfang Bubai. Atau kalau menunggu lagi, jangan-jangan Ketua berubah pikiran dan menyerahkan kekuasaan kepada Nona setelah dewasa. Maka, Dongfang Bubai tidak sabar menunggu lebih lama lagi dan lebih suka mengambil risiko dengan mengadakan pemberontakan. Mungkin inilah yang menjadi alasannya.”

Ren Woxing manggut-manggut dan menghela napas. Ia kemudian berkata, “Andai saja saat ini putri kecilku berada di sampingku, tentu kekuatan kita akan bertambah seorang kawan dan tidak akan selemah ini.”

Xiang Wentian berpaling kepada Linghu Chong dan berkata, “Adikku, kau dengar sendiri Ketua telah mengatakan bahwa di dalam Jurus Penyedot Bintang ternyata mengandung beberapa kelemahan. Tapi aku yakin selama dua belas tahun terkurung di dalam penjara – meski cukup menderita – Ketua tentu terbebas dari segala macam beban pekerjaan sehingga memiliki banyak waktu luang untuk memikirkan hal itu. Aku yakin Ketua telah berhasil mengatasi kelemahan ilmu sakti ini. Ketua, apakah ucapan hamba benar?”

Sambil membelai janggutnya yang hitam lebat, Ren Woxing tertawa senang, lalu berkata, “Benar sekali. Untuk selanjutnya, tenaga dalam siapa pun yang kuhisap akan dapat kupergunakan dengan baik, tanpa perlu khawatir akan diserang balik oleh tenaga-tenaga itu. Hahaha, Adik Linghu, coba kau tarik napas dalam-dalam, apakah titik Yuzhen dan titik Shanzong di tubuhmu bergolak keras?”

Linghu Chong menarik napas panjang seperti apa yang dikatakan Ren Woxing. Benar juga, ia merasakan pada titik-titik tersebut ada semacam hawa murni yang melonjak-lonjak. Seketika raut mukanya pun berubah.

Ren Woxing kembali berkata, “Kau baru saja belajar sehingga belum begitu merasakan bergolaknya hawa murni itu. Dulu ketika aku belum menemukan cara untuk mengatasinya, setiap kali hawa murni pada kedua titik tersebut bergolak keras, langit dan bumi rasanya seperti terbalik, benar-benar sukar ditahan. Meskipun keadaan sunyi senyap, tapi telingaku seperti mendengar derap kaki ribuan kuda, atau suara petir yang menggelegar. Huh, kalau saja tubuhku tidak kacau balau seperti itu, mana mungkin Dongfang Bubai dan komplotannya berhasil menjalankan pemberontakan?”

Linghu Chong percaya apa yang dikatakan Ren Woxing itu bukan omong kosong belaka. Ia juga paham mengapa Ren Woxing dan Xiang Wentian membahas soal itu, adalah supaya ia memohon petunjuk kepada Ren Woxing. Namun kalau ia tetap menolak bergabung dengan Sekte Matahari dan Bulan, maka dengan sendirinya permohonan demikian sukar untuk diucapkan. Ia pun berpikir, “Inti dari Jurus Penyedot Bintang adalah bagaimana menghisap tenaga orang lain untuk dipergunakan sendiri. Sifat ilmu seperti ini sungguh keji dan mementingkan diri sendiri, sama sekali aku tidak ingin menguasainya. Untuk selanjutnya, aku juga tidak akan menggunakannya, kecuali terpaksa harus membela diri apabila diserang musuh. Tentang hawa murni liar dalam tubuhku yang sukar dilenyapkan memang sebelumnya juga begitu. Jiwaku ini rasanya seperti ditemukan kembali secara kebetulan. Aku, Linghu Chong, mana boleh hanya karena takut mati lantas mengingkari kata-kataku sendiri yang selama ini kupegang?”

Karena berpikir demikian, segera ia mengalihkan pembicaraan dengan berkata, “Ketua, ada satu hal yang ingin kumintakan penjelasan. Guruku pernah bercerita bahwa, Kitab Bunga Mentari adalah kitab pusaka yang tiada taranya di dunia persilatan. Jika berhasil menguasai ilmu silat dalam kitab tersebut, selain tiada tandingannya di muka bumi, juga bisa memiliki umur panjang sampai seratus tahun dan awet muda. Mengapa … mengapa Ketua tidak mempelajari kitab pusaka itu, dan sebaliknya justru … justru berlatih Jurus Penyedot Bintang yang ganas dan berbahaya?”

Ren Woxing tersenyum hambar dan menjawab, “Sebab musabab permasalahan ini tentunya tidak boleh diceritakan kepada orang luar.”

“Oh, mohon maaf aku terlalu lancang,” ujar Linghu Chong dengan muka merah, karena merasa dirinya adalah orang luar yang tidak pantas bertanya lebih lanjut.

Mendadak Xiang Wentian berdiri dan berseru dengan suara lantang, “Adik, usia Ketua sudah lanjut. Umur kakakmu ini pun hanya selisih sedikit dari Beliau. Jika kau bersedia masuk agama kami, kelak Ketua tentu akan mewariskan jabatannya kepadamu. Andaikan kau menganggap Sekte Matahari dan Bulan tidak memiliki nama baik, bukankah kelak jika kau sudah memegang tampuk pimpinan, maka kau bisa memperbaikinya, sehingga bisa membawa manfaat untuk umat manusia di dunia?”

Ren Woxing meletakkan cawan arak di atas meja dengan keras, kemudian menuangkan arak sampai penuh dan berkata, “Lebih dari seratus tahun Sekte Matahari dan Bulan bermusuhan dengan golongan yang menamakan dirinya aliran lurus. Jika kau tetap berkeras kepala tidak sudi masuk agama kami, maka penyakitmu tidak akan bisa sembuhkan, jiwamu setiap saat bisa melayang. Andaikan kau dapat hidup lebih lama lagi mungkin gurumu, ibu-gurumu, dan orang-orang Perguruan Huashan … hehe, dengan ilmu sakti yang aku miliki sekarang, terlalu mudah untuk menumpas segenap orang Huashan dan menghapus namanya dari dunia persilatan. Kita bisa bertemu di sini adalah suratan Langit. Sekarang, silakan kau minum secawan arak ini!”

Tadinya hati Linghu Chong sempat tergerak mendengar ucapan Xiang Wentian yang tulus dan masuk akal. Namun begitu mendengar perkataan Ren Woxing yang bernada ancaman membuat darah di dada pemuda itu terasa bergolak. Ia pun berseru lantang, “Ketua, Kakak, tubuhku memang pernah terluka parah dan tiada harapan untuk sembuh. Umurku juga tinggal menghitung hari saja. Namun tanpa sengaja aku telah memelajari ilmu silat Ketua sehingga nyawaku bisa diselamatkan. Tapi jika kemudian aku tidak mampu mengatasi serangan balik hawa murni liar di dalam tubuhku juga tidak masalah. Sudah lama aku tidak terlalu menganggap penting selembar nyawaku ini. Hidup dan mati sudah suratan takdir. Perguruan Huashan juga sudah berdiri selama ratusan tahun dan tentu mempunyai jalan hidupnya sendiri. Orang lain belum tentu mampu menumpasnya begitu saja ... Hari ini kita sudahi saja pembicaraan sampai di sini. Sampai jumpa di kemudian hari.”

Usai berkata demikian ia lalu memberi hormat kepada Ren Woxing dan Xiang Wentian, kemudian berbalik dan melangkah pergi. Xiang Wentian bermaksud membuka suara, namun Linghu Chong sudah pergi jauh dengan gerakan secepat kilat.

Begitu keluar dari Wisma Meizhuang, Linghu Chong menarik napas dalam-dalam. Tertiup oleh angin malam yang berhembus, membuat badannya terasa segar menyenangkan. Dilihatnya bulan sabit menghias angkasa di balik ranting-ranting pepohonan liu, serta terpantul bayangannya pada permukaan air danau di kejauhan.

Linghu Chong berjalan menuju ke tepi danau. Ia kemudian berdiri termenung untuk sesaat di sana sambil berpikir, “Urusan penting yang dihadapi Ketua Ren sekarang tentunya membuat perhitungan dengan Dongfang Bubai untuk merebut kembali kedudukannya. Dengan demikian, ia belum akan mencari perkara dengan Perguruan Huashan. Namun kalau Guru, Ibu Guru, dan para adik seperguruan yang tidak tahu-menahu soal ini sampai kepergok olehnya, mereka bisa celaka. Aku harus berusaha memberi tahu mereka agar segera berjaga-jaga dan selalu bersikap waspada. Tapi, entah di mana mereka saat ini berada? Apakah mereka belum kembali dari Fuzhou? Baiklah, aku juga tidak ada urusan lain dan Fuzhou juga tidak jauh dari sini. Sebaiknya aku segera menuju ke sana. Meskipun seandainya mereka sudah pulang, paling tidak aku bisa bertemu mereka di tengah jalan.”

Teringat bahwa gurunya telah menyebarkan surat ke seluruh penjuru dunia persilatan tentang pemecatannya dari Perguruan Huashan, mau tidak mau hatinya menjadi sedih. Ia kembali berpikir, “Kalau nanti aku memberi tahu Guru dan Ibu Guru bahwa aku dipaksa Ketua Ren masuk agamanya, tentu Guru dapat memahami keadaanku yang tidak sengaja bergaul dengan orang-orang Sekte Iblis. Semoga dengan begitu Guru akan menarik kembali keputusannya dan menerimaku kembali. Paling-paling aku hanya dihukum kurung di Tebing Perenungan selama tiga tahun saja. Kalau benar demikian tentunya bagus sekali.”

Karena tumbuhnya harapan akan diterima kembali oleh gurunya, semangat Linghu Chong kembali berkobar. Ia lalu mencari penginapan karena malam semakin larut. Ketika hendak tidur, ternyata saat itu sudah ramai ayam jantan berkokok, pertanda fajar sudah hampir menyingsing.

Linghu Chong bangun dari tidur setelah lewat tengah hari. Ia berpikir sebelum bertemu dengan sang guru dan ibu-guru, lebih baik jangan memperlihatkan wajah aslinya. Apalagi Yingying pernah memerintahkan Zu Qianqiu dan kawan-kawan yang lain supaya menyiarkan berita ke dunia persilatan untuk menghabisi nyawanya. Maka, ia pun memutuskan lebih baik menyamar saja demi menghindari kesulitan. Tapi sebaiknya menyamar sebagai apa?

Sambil melamun ia berjalan keluar kamar. Baru saja langkahnya sampai di pekarangan tengah, mendadak ada orang mengguyurkan sebaskom air ke arahnya. Namun dengam gerakan gesit ia berhasil menghindar sehingga siraman air tersebut mengenai tempat kosong.

Waktu berpaling, dilihatnya seorang perwira tentara memegang sebuah baskom air bekas cuci muka sedang melotot kepadanya, bahkan mengomel dengan kasar, “Kau jalan tidak pakai mata, ya? Apa kau tidak lihat tuan besarmu sedang membuang air kotor?”

Sungguh gusar hati Linghu Chong melihat ada orang yang sedemikian kasar. Sudah hampir mengguyur orang lain dengan air kotor masih mendahului memaki pula. Dilihatnya usia perwira itu sekitar empat puluhan. Wajahnya penuh cambang di kedua pipi namun sikapnya gagah. Dari pakaian seragamnya dapat diperkirakan ia seorang perwira menengah berpangkat “weiguan”. Pada pinggangnya tergantung sebilah golok. Dadanya terlihat membusung dengan perut buncit, pertanda sering menyalahgunakan kekuasaan.

“Lihat apa? Apa kau tidak mengenali tuan besarmu ini?” bentak perwira itu lagi.

Mendadak Linghu Chong mendapat akal. Ia pikir menarik juga jika menyamar sebagai perwira ini. Dengan demikian ia dapat berkeliaran ke sana kemari dengan bebas, tanpa khawatir diperhatikan kaum persilatan. Mulutnya pun tersenyum simpul membayangkan hal itu.

“Tertawa apa? Nenekmu, apanya yang lucu?” demikian perwira itu lagi-lagi membentak.

Linghu Chong tidak menggubris lebih jauh. Ia pergi menemui pengurus penginapan untuk membayar tagihannya. Dengan suara perlahan ia pun bertanya pula, “Dari mana perwira garang itu berasal?”

Pengurus penginapan menjawab, “Siapa yang tahu dia dari mana? Dia mengaku datang dari Kota Beijing. Baru menginap satu malam di sini, pelayan yang meladeni sudah kena tampar tiga kali. Sudah banyak pula makanan dan arak bagus yang dia habiskan, entah nanti mau bayar atau tidak.”

Linghu Chong mengangguk-angguk, kemudian keluar dari penginapan dan masuk ke dalam sebuah kedai minum. Ia memesan sepoci teh dan minum dengan perlahan. Setelah menunggu satu jam, terdengar suara derap kaki kuda. Rupanya perwira itu telah keluar dari penginapan dengan menunggang seekor kuda merah. Ia melecutkan cambuknya berkali-kali sambil membentak-bentak, “Minggir, minggir! Nenekmu, hayo lekas minggir!”

Beberapa pejalan kaki yang terlambat menyingkir pun terkena lecutan cambuknya hingga berteriak-teriak kesakitan.

Sejak awal Linghu Chong telah membayar teh yang dipesannya. Begitu melihat sang perwira memacu kudanya, ia segera bangkit mengikuti di belakang. Perwira itu terus melarikan kudanya ke jalan raya melewati pintu gerbang barat. Setelah cukup jauh meninggalkan kota, Linghu Chong pun mempercepat langkah kakinya. Sesampainya di jalan sepi, ia pun melompat dan menghadang ke depan kuda sambil mengibaskan tangan kanannya.

Kontan saja kuda yang ditunggangi perwira itu terkejut dan meringkik sambil berjingkrak ke atas. Hampir saja perwira itu jatuh terbanting. Untung kepandaian menunggang kudanya cukup mahir sehingga badannya ikut menegak dengan masih tetap duduk di atas pelana.

Linghu Chong membentak keras, “Nenekmu, kau jalan tidak pakai mata, ya? Hampir saja binatang tungganganmu ini menubruk mati bapakmu.”

Perwira itu sangat gusar karena tiba-tiba saja dihadang perjalanannya, apalagi dimaki seperti itu. Ketika kudanya sudah berdiri tegak, ia segera melecutkan cambuknya ke atas kepala Linghu Chong.

Linghu Chong merasa kurang leluasa bertindak di tengah jalan raya. Ia pun berpura-pura menjerit ketakutan lalu berlari menuju sebuah jalan kecil di dekat situ. Sudah tentu si perwira tidak mau menyudahi begitu saja. Ia melompat turun dari kuda dan menambatkan tunggangannya itu sekadarnya di batang pohon, lalu mengejar ke arah Linghu Chong pergi.

“Aduh!” teriak Linghu Chong sambil terus berlari ke dalam hutan.

Dengan membentak-bentak dan memaki kalang kabut perwira itu terus mengejar. Tapi baru saja ia memasuki hutan itu, tiba-tiba iganya terasa kesemutan. Tanpa ampun ia pun jatuh tersungkur.

Dengan kaki kiri menginjak dada perwira yang sudah roboh tak berkutik itu, Linghu Chong tertawa dan berkata, “Nenekmu, kepandaian cuma begini saja tapi berani memimpin pasukan perang segala?”

Ia kemudian menggeledah baju perwira itu dan mengeluarkan sebuah amplop besar. Pada sampul tertulis “Surat Pengangkatan” dengan stempel merah Kementerian Angkatan Perang. Setelah sampul dibuka, di dalam amplop terdapat selembar kertas tebal, yang isinya berupa surat pengangkatan yang ditujukan kepada Wu Tiande, dari jabatannya sebagai perwira distrik Cangzhou di Hubei, menjadi komandan militer Kota Quanzhou di Fujian. Ia ditetapkan pula supaya segera berangkat ke tempat tugas yang baru tersebut.

“Ternyata tuan besar komandan tentara. Jadi, kau ini yang bernama Wu Tiande, ya?” tanya Linghu Chong dengan tertawa.

Lantaran dadanya terinjak dan tak bisa berkutik, muka perwira itu menjadi merah padam. Ia masih mencoba membentak, “Lekas lepaskan aku, kau … kau berani menghina pejabat negara? Apa kau ti … tidak takut pada hukum?” Walaupun mulutnya masih membentak, tapi lagaknya sudah tidak angkuh seperti tadi.

Linghu Chong kembali tertawa dan berkata, “Bapakmu ini kehabisan bekal, ingin pinjam pakaianmu untuk digadaikan.” Tangannya lalu menepuk perlahan ubun-ubun perwira itu sehingga pingsan. Dengan cepat ia lantas melucuti pakaian seragam orang bernama Wu Tiande itu. Ia berpikir perwira ini tentu sudah biasa menindas rakyat kecil, maka harus diberi pelajaran yang setimpal. Segera ia melucuti pula pakaian dalam orang itu hingga telanjang bulat.

Ia kemudian mengambil bungkusan perwira itu yang terasa agak berat. Begitu dibuka, ternyata berisi perak beberapa ratus tahil, serta tiga buah emas lantakan yuanbao. Pikirnya, “Ini tentu hasil pemerasan terhadap rakyat kecil. Sukar bagiku untuk mengembalikan ke asalnya, terpaksa untuk beli arak saja. Hahaha, hahaha!”

Sambil bergelak tawa ia lantas menanggalkan pakaian sendiri, lalu mengenakan seragam perwira itu lengkap dengan sepatu bot kulit, golok kebesaran, serta menyandang bungkusan berisi uang perak dan emas tadi. Pakaiannya sendiri kemudian dirobek-robek untuk dipakai mengikat Wu Tiande yang sudah tidak bisa berkutik itu pada sebatang pohon. Mulut si perwira dijejali pula dengan tanah liat sampai penuh. Tidak berhenti sampai di sini, Linghu Chong pun mencukur habis kumis, janggut, dan cambang Wu Tiande dan memasukkannya ke dalam saku baju.

“Hahaha, sekarang aku menjadi penjahat. Bagus sekali!” ujarnya kemudian bergegas kembali ke jalan raya.

Begitu menemukan kuda si perwira, Linghu Chong langsung melompat ke punggungnya dan melecutkan cambuk ke udara. Mulutnya lantas membentak-bentak, “Minggir, minggir! Nenekmu, kau jalan tidak pakai mata, ya? Hahahaha!” Di tengah suara tertawanya itu ia melarikan kuda rampasan tersebut ke arah selatan.

Malamnya ia menginap di Kota Yuhang. Pengurus dan pelayan penginapan meladeni dengan sangat hormat dan penuh perhatian. Esok paginya, Linghu Chong menanyakan arah ke Fujian, lalu memberi persenan lima tahil perak. Kontan pengurus dan pelayan penginapan sangat berterima kasih dan mengantar keberangkatannya dengan hormat sampai ke luar gerbang.

“Untung kalian bertemu perwira gadungan. Jika bertemu Wu Tiande yang asli, tentu kalian bisa celaka,” pikir Linghu Chong.

Ia kemudian pergi ke sebuah toko membeli sebuah cermin dan sebotol lem, setelah itu memacu kudanya meninggalkan kota kecil tersebut. Setelah sampai di tempat sepi, dikeluarkannya cermin tadi dan ia mulai menempelkan potongan kumis, janggut, dan cambang milik Wu Tiande ke wajahnya. Perlu waktu dua jam untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Sambil memandangi cermin, Linghu Chong tak kuasa menahan tawa melihat perubahan penampilannya kali ini.

Setelah perjalanan melewati Chuzhou dan sampai di Jinhua, logat bicara daerah selatan mulai terasa. Tentu saja Linghu Chong kesulitan mendengarnya karena logat bicara penduduk di sini berbeda dengan daerah utara dan tengah. Untungnya orang-orang mengira ia adalah perwira asli sehingga mereka pun berusaha berbicara dalam bahasa Mandarin kepadanya. Selain itu, Linghu Chong juga sangat gembira karena seumur hidup baru kali ini memiliki uang begitu banyak. Ia pun tidak menyia-nyiakannya dengan membeli arak dan minum sepuas-puasnya.

Namun demikian, terkadang berbagai jenis hawa murni yang tersimpan dalam tubuhnya mendadak bergolak lagi dan memaksa masuk ke dalam semua pembuluh. Terkadang ia merasa begitu sakit sampai kepalanya pusing, pandangan kabur, perut mual dan ingin muntah. Maka, setiap kali hal itu terjadi ia pun mendorong berbagai arus tenaga tersebut dan membuyarkannya melalui berbagai pembuluh sesuai rumus ilmu yang diukir Ren Woxing di atas dipan besi. Begitu berbagai hawa murni tersebut meninggalkan Dantian di bawah perutnya, seketika perasaannya menjadi lega dan badan terasa segar pula.

Memang dengan cara demikian, ia merasa tenaga dalamnya menjadi semakin kuat, namun sekaligus ia semakin dalam terjerumus pula. Namun untungnya ia memiliki pikiran, “Selembar nyawaku ini seperti ditemukan kembali. Bisa hidup lebih lama sehari saja, bagiku adalah satu anugerah besar.” Karena berpikir demikian membuat hatinya merasa tenang.

Setelah tengah hari ia pun melewati daerah Quzhou dan memasuki Pegunungan Xianxia. Jalan di pegunungan ini terjal dan berliku-liku, makin lama makin tinggi, serta jarang dilewati orang. Untung saja kuda yang ia tunggangi adalah kuda bermutu baik dan cukup tangguh berlari melewati jalan pegunungan.

Setelah berkuda lebih dari dua puluh li menyusuri lereng pegunungan tersebut, Linghu Chong merasa keadaan bertambah sunyi dan tidak lagi terlihat orang lewat. Kini ia merasa perjalanannya terlalu terburu-buru sehingga melewatkan penginapan atau rumah terakhir di daerah situ, padahal hari sudah hampir gelap. Terpaksa ia pun memetik buah-buahan liar yang ditemukannya sekadar untuk mengganjal perut.

Ketika melihat ke bawah tebing, tampak sebuah gua kecil yang agak kering dan sepertinya cukup aman dari gangguan serangga dan binatang lainnya. Segera ia pun menambatkan kudanya pada sebatang pohon dan membiarkan hewan itu merumput. Lalu, ia sendiri mencari rumput kering untuk digunakan sebagai alas tidur di gua tersebut.

Tiba-tiba Linghu Chong merasa hawa murni pada titik Dantian bergolak. Segera ia duduk bersamadi untuk mengatasinya. Ilmu sakti milik Ren Woxing semakin sering digunakan justru semakin sukar dikendalikan, serta terasa tidak nyaman. Namun ia tidak menyerah dan terus-menerus mengerahkannya, sampai akhirnya badan terasa nyaman tak terlukiskan, seperti dewa yang melayang-layang ringan di kahyangan.

Ia kemudian menarik napas panjang, lalu bangkit dari duduk. Bibirnya tersenyum getir sambil berpikir, “Tempo hari aku bertanya kepada Ketua Ren mengapa dia mempelajari Jurus Penyedot Bintang, padahal di tangannya sudah ada Kitab Bunga Mentari yang tiada bandingannya. Namun aku tidak mendapatkan jawaban darinya. Sekarang aku telah paham sebab-musababnya. Ternyata Jurus Penyedot Bintang ini kalau sudah dipelajari, sulit untuk dihentikan begitu saja. Benar-benar membuat ketagihan.”

Berpikir demikian mau tidak mau membuat hatinya cemas. “Ibu Guru pernah bercerita kepadaku tentang orang-orang suku Miao yang suka memelihara serangga beracun. Meskipun mereka sadar hal itu sangat berbahaya, tapi mereka sukar juga untuk melepaskannya. Padahal kalau serangga-serangga itu tidak digunakan untuk menyerang orang lain, maka mereka akan berbalik menyerang majikan sendiri. Jangan-jangan di masa depan nasibku seperti orang Miao yang memelihara seraangga beracun itu?”

Ia lalu keluar gua dan melihat bintang-bintang memenuhi angkasa. Saat itu di sekeliling gua yang terdengar hanya suara serangga belaka. Tiba-tiba kemudian terdengar suara langkah kaki orang di jalan pegunungan. Jaraknya memang masih jauh, namun saat ini tenaga dalam Linghu Chong teramat kuat, sehingga pendengarannya menjadi lebih tajam pula. Sebuah pikiran terlintas di benaknya. Segera ia pun melepaskan tali kudanya, lalau menepuk pantat kuda itu perlahan agar berjalan ke arah lembah. Ia sendiri lantas bersembunyi di belakang pohon.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki orang-orang itu semakin mendekat. Jumlahnya ternyata tidak sedikit. Di bawah sinar bintang yang remang-remang terlihat orang-orang itu memakai seragam berwarna hitam. Seorang di antaranya terlihat memakai ikat pinggang kuning. Sepertinya mereka adalah rombongan anggota Sekte Iblis sebanyak tiga puluh orang lebih, yang semuanya berjalan tanpa berbicara sedikit pun.

“Mereka menuju ke arah Fujian. Apakah ada hubungannya dengan Perguruan Huashan? Apakah mereka mendapat perintah Ketua Ren untuk membuat susah Guru dan Ibu Guru?” pikir Linghu Chong. Ditunggunya rombongan itu pergi agak jauh, baru kemudian ia membuntuti dari belakang dengan hati-hati.

Setelah melewati beberapa li kemudian, jalan pegunungan itu mendadak berubah curam. Pada kedua tepi tampak berdiri tebing yang menjulang tinggi. Pada tengah-tengah kedua tebing terdapat jalanan sempit yang hanya cukup dilewati dua orang berdampingan. Ketiga puluh orang itu berjalan berurutan membentuk barisan panjang seperti ular. Mereka tampak mendaki jalanan sempit yang curam tersebut.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Mereka ada di tempat tinggi, sedangkan aku di tempat rendah. Jika ada satu dari mereka yang kebetulan menoleh ke belakang, maka aku akan langsung ketahuan.” Maka, ia pun lantas menyusup ke dalam semak-semak rumput di tepi jalan. Kalau rombongan itu sudah melewati puncak tebing dan turun melalui lereng di sebelah selatan sana, barulah ia kembali mengejar.

Di luar dugaan, ketika orang-orang itu sampai di atas bukit, secara tiba-tiba mereka berpencar dan bersembunyi di balik bebatuan padas. Hanya dalam waktu sekejap mereka semua sudah menghilang, bahkan bayangan pun tidak terlihat.

Linghu Chong terkejut dan mengira kehadirannya telah diketahui oleh orang-orang itu. Namun ia segera menemukan jawaban dan berpikir, “Mereka bersembunyi di sana adalah untuk menyergap musuh yang hendak naik ke atas bukit. Benar, tempat ini memang sangat berbahaya. Kalau mereka tiba-tiba menyerang tentu pihak lawan akan sulit menghindar. Siapa kira-kira yang hendak mereka sergap? Apakah Guru dan Ibu Guru telah pulang ke utara, namun ada hal penting yang membuat mereka harus kembali ke selatan lagi? Kalau tidak, mengapa harus berjalan malam-malam melewati tempat seperti ini? Apakah malam ini aku bisa berjumpa dengan Adik Kecil?”

Berpikir tentang Yue Lingshan seketika sekujur tubuhnya terasa merinding panas. Pemuda itu lantas merangkak keluar dari balik semak rumput, lalu mendaki hingga menjauhi jalan setapak tadi. Sesudah cukup jauh barulah ia berlari turun ke bawah sekencang-kencangnya. Sesudah tidak tampak lagi tanjakan bukit tadi ia baru berani kembali ke jalan pegunungan dan melangkah menuju ke arah utara.

Sambil terus berlari ia memasang telinga dengan seksama, memperhatikan apakah ada suara langkah orang yang datang. Sepuluh li kemudian, tiba-tiba dari tempat yang lebih tinggi di sebelah kiri lereng terdengar suara ketus seseorang sedang berkata, “Kau masih saja membela Linghu Chong keparat itu?”

Di tengah kegelapan malam pada sebuah pegunungan sunyi mendadak namanya disebut secara jelas membuat Linghu Chong terkejut. Ia pun langsung berpikir, “Itu pasti rombongan Guru!”

Suara ketus tersebut jelas suara seorang wanita, namun bukan suara Ning Zhongze, juga bukan suara Yue Lingshan. Menyusul kemudian terdengar pula suara seorang perempuan lain, namun jaraknya agak jauh dan terdengar lirih, sehingga tidak jelas apa yang ia katakan.

Linghu Chong memandang ke arah lereng. Tampak di sana berdiri lebih dari tiga puluh orang. Ia pun bertanya-tanya dalam hati, “Rombongan dari mana mereka itu? Siapa yang telah memaki aku? Kalau itu romongan Perguruan Huashan dan ada yang memaki diriku seperti itu, entah bagaimana sikap Adik Kecil?” Berpikir demikian membuat hatinya terasa pedih.

Segera ia menyusup ke dalam semak rumput dan berjalan memutari bukit hingga tiba di sisi satunya. Sambil berjalan membungkuk sampailah ia di balik sebatang pohon besar. Saat itu terdengar suara seorang perempuan muda sedang berkata, “Bibi Guru, Kakak Linghu berjiwa kesatria dan berbudi luhur ….”

Hanya mendengar kalimat ini saja dalam benak Linghu Chong langsung terbayang seraut wajah bulat telur yang cantik manis, karena ia tahu bahwa itu adalah suara biksuni muda dari Perguruan Henshan, bernama Yilin. Mendengar suara tersebut dadanya terasa hangat, namun kemudian perasaan kecewa merasuki pikirannya karena yang datang ternyata bukan rombongan Sang Guru. Perasaannya yang terguncang membuat ucapan Yilin untuk selanjutnya tidak terdengar jelas olehnya.

Suara wanita pertama yang ketus tadi kembali berkata, “Usiamu masih sangat muda tetapi mengapa kau sangat keras kepala? Memangnya surat edaran Ketua Perguruan Huashan itu palsu? Tuan Yue telah memberi tahu semua orang bahwa Linghu Chong telah dikeluarkan dari Perguruan karena bersekongkol dengan orang-orang Sekte Iblis. Memangnya tuduhan ini hanya fitnah belaka? Dulu kau memang pernah ditolong Linghu Chong, tapi besar kemungkinan itu hanyalah pancingan sedikit hutang budi untuk menjebak kita.”

“Bibi Guru, kejadian itu bukan hanya sedikit hutang budi,” tukas Yilin. “Tanpa menghiraukan keselamatannya sendiri Kakak Linghu telah ….”

“Masih kau juga menyebutnya ‘kakak’?” bentak wanita yang pertama tadi. “Linghu Chong itu penjahat yang banyak akal dan penuh tipu daya. Dia sengaja berpura-pura baik untuk menipu anak ingusan seperti kalian. Hati kaum persilatan sulit ditebak. Segala macam muslihat keji ada di sana. Kalian yang maih hijau belum berpengalaman, mudah diperdaya orang.”

“Perintah Bibi Guru tentu saja kami patuhi,” sahut Yilin. “Hanya saja … hanya saja Ka….” Hampir saja kata “kakak” terucapkan olehnya namun segera ditelannya kembali mentah-mentah.

“Hanya saja kenapa?” tanya suara wanita tua tadi.

Yilin sangat ketakutan dan tidak berani bicara lagi.

Wanita tua itu lantas berkata, “Kali ini Ketua Zuo dari Perguruan Songshan telah mengabarkan berita bahwa Sekte Iblis telah bergerak secara besar-besaran menuju Fujian untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin di Kota Fuzhou. Ketua Zuo memberikan perintah supaya Serikat Pedang Lima Gunung bersatu entah bagaimana caranya menghalangi rencana para siluman sesat itu. Kalau kitab tersebut sampai jatuh ke tangan mereka, tentu ilmu silat Sekte Iblis bertambah maju pesat, sehingga perserikatan kita bisa-bisa mati tanpa kubur. Putra tunggal Keluarga Lin sudah menjadi murid Tuan Yue, dan jika kitab pedang itu juga berada di tangan Perguruan Huashan, maka kita ikut bersyukur. Yang perlu kita khawatirkan adalah seribu satu macam tipu muslihat Sekte Iblis untuk merebut kitab pedang itu, apalagi sekarang mereka mendapat bantuan murid murtad Linghu Chong yang mengetahui seluk beluk permasalahan ini. Keadaan sudah genting menjadi bertambah runyam. Ketua Zuo telah membebankan tugas berat ini di pundakku untuk memimpin kalian ke Fujian. Masalah ini menyangkut hidup mati aliran lurus dan aliran sesat, maka kita janganlah menganggap enteng. Aku pun akan melaksanakan tugas ini dengan penuh waspada. Kira-kira tiga puluh li lagi, kita akan sampai di tapal batas Zhejiang dan Fujian. Maka malam ini biarlah kita menahan letih demi meneruskan perjalanan ke Nianbapu dan kita akan bermalam di sana. Kita harus mendahului mereka sampai di Fuzhou dan menunggui musuh menjalankan rencana sampai mereka letih sendiri. Namun demikian, kita harus tetap berhati-hati.”

“Baik!” jawab puluhan perempuan mengiakan.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Wanita tua ini bukan Biksuni Dingxian Ketua Perguruan Henshan, juga bukan Biksuni Dingyi guru Adik Yilin. Di antara Tiga Biksuni Sepuh tentunya dia adalah Biksuni Dingjing. Dia telah menerima surat edaran dari Guru sehingga menganggapku sebagai orang jahat. Mengenai hal ini aku tidak bisa menyalahkan dia. Hm, dia mengira rombongannya sudah mendahului berjalan di depan, padahal orang-orang Sekte Iblis sudah bersembunyi di atas bukit sana. Untung saja aku melihat semuanya. Tapi bagaimana sebaiknya caraku memberi tahu mereka?”

Biksuni tua bernama Dingjing itu kembali berkata, “Begitu kita memasuki wilayah Fujian, maka kita harus selalu waspada. Di segala penjuru kita harus senantiasa merasa diintai musuh. Bukan mustahil pelayan rumah makan atau pesuruh penginapan adalah mata-mata Sekte Iblis. Jangankan di kamar sebelah, bahkan di dalam semak-semak rumput ini bisa jadi ada musuh yang bersembunyi. Oleh karena itu, selanjutnya tidak seorang pun boleh menyebut-nyebut Kitab Pedang Penakluk Iblis, bahkan nama Tuan Yue, Linghu Chong, juga Dongfang Bibai tidak boleh disebut-sebut.”

“Baik!” jawab para murid perempuan bersama-sama.

Linghu Chong tahu bahwa Dongfang Bibai adalah nama ejekan untuk menyebut Dongfang Bubai. Nama “Bubai” yang bermakna “tak terkalahkan”, membuat kaum aliran lurus menggantinya dengan sebutan “Bibai” yang bermakna “pasti kalah”. Mendengar namanya disejajarkan dengan Sang Guru dan Dongfang Bubai, membuat Linghu Chong hanya tersenyum getir. Ia berpikir, “Aku hanya seorang keroco yang tidak punya nama, mengapa sedemikian dihargai oleh Sesepuh dari Perguruan Henshan ini? Aku sama sekali tidak berani menerima.”

Biksuni Dingjing berkata lagi, “Mari kita lanjutkan perjalanan!”

Kembali para murid mengiakan. Sedetik kemudian tujuh orang dari mereka tampak berlari cepat mendahului turun ke bawah. Selang sejenak kembali tujuh orang berlari menyusul pula.

Ilmu meringankan tubuh Perguruan Henshan cukup terkenal dan memiliki ciri khas tersendiri. Tujuh orang pertama dan tujuh orang kedua bergerak rapi dan selalu menjaga jarak tetap. Jubah mereka melambai-lambai ketika melangkah bersama sehingga menjadi pemandangan yang indah jika dilihat dari kejauhan. Tidak lama kemudian kembali tujuh orang berlari menyusul ke bawah. Secara keseluruhan ada enam kelompok yang masing-masing berisi tujuh orang, kecuali kelompok terakhir yang berisi delapan orang karena ditambah Biksuni Dingjing. Murid-murid Perguruan Henshan yang sedang bergerak menuju selatan itu tidak hanya terdiri dari kaum biksuni saja, tetapi juga ada dari golongan awam.

Dalam kegelapan itu Linghu Chong tidak bisa mengetahui Yilin berada di kelompok mana. Ia juga berpikir, “Para saudari dari Perguruan Henshan memiliki kepandaian tersendiri. Namun begitu mendaki lereng bukit sana, dan menyusuri jalan kecil yang diapit oleh kedua tebing yang curam itu, kemudian tiba-tiba disergap oleh kawanan Sekte Iblis, tentu akan jatuh banyak korban.”

Segera ia mencabut segenggam rumput hijau dan memerasnya hingga mengeluarkan cairan. Cairan rumput itu kemudian dioleskannya ke muka sendiri, kemudian ditambah pula dengan lumpur dan debu tanah. Setelah merasa penampilannya tidak lagi dapat dikenali, ia pun berlari memutar ke sebelah kiri jalanan untuk menyusul rombongan tadi.

Ilmu meringankan tubuh Linghu Chong sebenarnya tidak terlalu tinggi. Namun karena sekarang ia memiliki tenaga dalam melimpah yang berasal dari para jago seperti Enam Dewa Lembah Persik, Biksu Bujie, Biksu Fangsheng, dan Heibaizi sehingga langkah kakinya pun menjadi jauh lebih cepat daripada jago silat papan atas sekalipun. Dengan sekali mengerahkan tenaga ia langsung dapat mengejar rombongan dari Perguruan Henshan tadi. Khawatir keberadaannya didengar oleh Biksuni Dingjing yang pasti berkepandaian tinggi itu, ia pun berlari memutar untuk kemudian mendahului di depan rombongan. Sesudah kembali di jalanan pegunungan, larinya menjadi semakin cepat.

Setelah berlari agak lama ia pun sampai di bawah tanah tanjakan dekat jalanan sempit tadi. Saat itu keadaan sunyi senyap, tidak terdengar suara apa pun. Ia kembali berpikir, “Jika aku tidak menyaksikan sendiri kawanan Sekte Iblis itu bersembunyi di atas tebing sana, siapa yang dapat mengira bahwa di tempat ini sedang menunggu bahaya maut yang setiap saat bisa meletus? Sungguh celaka.”

Perlahan-lahan Linghu Chong mendaki tanjakan sempit yang diapit dua dinding tebing curam itu. Ia menghentikan langkah ketika jaraknya dengan tempat persembunyian orang-orang Sekte Iblis hanya tinggal satu li saja. Segera ia duduk di situ sambil termenung, “Kemungkinan besar kaum Sekte Iblis itu sudah melihat diriku. Namun mereka pasti khawatir jika mereka bergerak tentu persembunyian mereka akan diketahui pihak Perguruan Henshan. Hm, rasanya mereka tidak akan berani menggangguku.”

Sesudah menunggu sebentar, akhirnya ia merebahkan diri di tengah jalan. Selang sejenak, sayup-sayup terdengar suara langkah orang di bawah sana, pertanda rombongan yang hendak disergap sudah mendekat. Tiba-tiba timbul pikirannya ingin memancing orang-orang Sekte Iblis itu supaya keluar dan bertempur dengannya sehingga rombongan Perguruan Henshan dapat mengetahui keberadaan mereka.

Segera ia pun menggumam sendiri, “Huh, selama hidup aku paling benci kepada pengecut-pengecut yang hanya pintar menyerang dalam gelap. Kalau berani kenapa tidak bertempur secara terang-terangan? Huh, main sembunyi-sembunyi untuk membuat celaka orang lain, benar-benar perbuatan manusia rendah yang tidak tahu malu.”

Ia berbicara demikian sambil menghadap ke atas bukit. Meskipun suaranya tidak begitu lantang, tapi disertai tenaga dalam sehingga dapat berkumandang sampai jauh. Tak disangka orang-orang Sekte Iblis itu ternyata cukup sabar dalam menahan amarah sehingga mereka tidak peduli pada sindiran Linghu Chong.

Tidak lama kemudian, tujuh orang murid Henshan kelompok pertama sudah sampai di depan Linghu Chong. Di bawah sinar bulan mereka dapat melihat seorang perwira tidur telentang di atas tanah. Padahal, jalan pegunungan itu sangat sempit dan hanya cukup dilalui seorang saja. Tentu untuk mendaki ke atas mereka harus melompati tubuh sang perwira. Namun demikian, mereka paham laki-laki dan perempuan tidak boleh berdekatan, apalagi melompati kepala orang lain, jelas ini sangat melanggar aturan tata krama.

Maka, seorang biksuni setengah baya dalam kelompok itu lantas berkata, “Maaf, Tuan Perwira, sudilah memberi jalan kepada kami!”

Linghu Chong berdehem dua kali, lalu mendengkur keras-keras.

Biksuni itu bergelar Yihe, yang bermakna “lembut”, padahal wataknya agak berangasan. Ketika melihat seorang perwira tidur malam-malam di tengah jalan, dengan suara dengkuran yang jelas dibuat-buat, membuat hatinya sangat kesal. Namun ia berusaha keras menahan rasa gusar dengan berkata, “Jika kau tidak mau menyingkir, terpaksa kami harus melompati badanmu.”

Sambil terus mendengkur, Linghu Chong menggumam sendiri seperti orang mengantuk, “Di jalanan ini banyak setan dan iblis, janganlah kalian ke sana! Oooahm, lautan derita tiada berbatas, berpalinglah … maka kau masih bisa menepi.”

Yihe tercengang karena merasa ucapan perwira itu seakan-akan bermakna ganda. Seperti omongan orang sinting, tapi seolah-olah bermaksud memperingatkan tentang adanya bahaya di depan sana.

Seorang biksuni yang lebih muda lantas menarik-narik lengan baju Yihe. Ketujuh perempuan itu pun mundur beberapa langkah. Seorang dari mereka berbicara dengan suara lirih, “Kakak, orang ini benar-benar aneh.”

Yang lain menyahut, “Benar, mungkin dia siluman Sekte Iblis yang hendak menyergap kita di sini.”

Seorang lagi menanggapi, “Tidak mungkin. Penjahat Sekte Iblis tidak mungkin menjadi perwira kerajaan. Kalaupun menyamar juga akan memilih pakaian lain.”

“Tidak usah pedulikan dia,” kata Yihe kemudian. “Jika dia tetap tidak mau menyingkir, maka kita lompati saja.” Ia kemudian melangkah maju dan berkata dengan lantang, “Kalau kau benar-benar tidak mau menyingkir, terpaksa kami berlaku kurang sopan.”

Linghu Chong menggeliat, kemudian merangkak dan duduk dengan bersikap malas-malasan. Khawatir jangan-jangan Yilin ada di kelompok ini dan mengenalinya, ia pun memutar tubuh dan duduk menghadap ke atas bukit, sehingga membelakangi murid-murid Perguruan Henshan tersebut. Dengan tangan kanan menahan bebatuan tebing, tubuhnya pura-pura sempoyongan seperti orang mabuk, sambil berkata, “Arak enak, arak enak!”

Pada saat itulah tujuh orang murid Henshan dari kelompok kedua tiba. Seorang murid dari golongan awam lantas bertanya, “Kakak Yihe, apa yang dilakukan orang itu di sini?”

“Entahlah, aku juga tidak tahu sedang apa dia di sini!” jawab Yihe sambil mengerutkan dahi.

Tiba-tiba Linghu Chong berseru lantang, “Aku baru saja menyembelih anjing. Perutku sekarang kembung kekenyangan. Aku juga terlalu banyak minum arak, wah, wah, sepertinya aku ingin muntah. Aih, celaka, aku benar-benar ingin muntah!” Lalu ia sengaja bersuara, “Hoeek! Hoeek!”

Murid-murid Perguruan Henshan itu pada dasarnya tidak minum arak atau makan daging, apalagi daging anjing. Kontan saja mereka buru-buru menutup hidung dan melangkah mundur begitu mendengar ocehan Linghu Chong tadi.

Linghu Chong sendiri kembali bersuara, “Hoeek! Hoeek!” Namun dari mulutnya tidak keluar apa-apa.

Selagi keempat belas murid Henshan itu berbisik-bisik sendiri, kelompok ketiga pun tiba pula. Segera terdengar seseorang di antaranya berkata dengan suara lemah lembut, “Orang ini sedang mabuk, sungguh kasihan. Biarlah kita tunggu dia istirahat dulu. Kita juga tidak akan terlambat.”

Mendengar suara yang sangat dikenalinya itu, hati Linghu Chong agak tergetar. Ia pun berpikir, “Adik Yilin benar-benar welas asih.”

Namun kemudian terdengar Yihe berkata ketus, “Orang ini sengaja mengacau di sini. Agaknya bermaksud tidak baik.” Habis itu ia lantas melangkah maju dan membentak, “Lekas menyingkir!” Bersama dengan itu tangannya menjulur hendak mendorong bahu kanan Linghu Chong.

Linghu Chong pura-pura menggeliat sambil berseru, “Aih, celaka!” Tubuhnya lantas terhuyung-huyung ke depan sehingga jalan pegunungan yang sempit itu semakin tersumbat. Untuk melanjutkan perjalanan, rombongan perempuan itu harus melompati kepalanya. Tidak ada jalan lain.

Yihe menyusul maju dan membentak lagi, “Minggir!”

“Baik, baik!” jawab Linghu Chong sambil terus melangkah ke atas. Semakin menanjak, jalan setapak itu semakin tertutup tubuhnya. Mendadak ia berteriak, “Hei, kawan-kawan yang bersembunyi di atas sana! Awas, orang-orang yang kalian tunggu-tunggu sekarang sudah datang! Begitu kalian keluar sekarang dan membunuh mereka, tentu tiada seorang pun yang bisa lolos!”

Mendengar teriakan Linghu Chong itu, Yihe dan teman-temannya buru-buru melangkah mundur. Seorang di antara mereka berkata, “Tempat ini memang sangat berbahaya. Kalau benar ada musuh bersembunyi di sini dan menyergap kita secara mendadak, jelas kita sukar bertahan.”

“Jika benar ada orang bersembunyi di sini mana mungkin dia berteriak-teriak seperti itu?” sahut Yihe. “Kukira dia hanya menggertak belaka. Tidak mungkin di atas ada orang. Bila kita kelihatan takut justru akan ditertawai musuh.”

“Benar,” tukas dua biksuni setengah umur yang lain. “Mari kita bertiga membuka jalan di depan, biar para adik menyusul di belakang.”

Mereka bertiga lantas menghunus pedang, kemudian bergerak mendekati Linghu Chong.

Linghu Chong pura-pura terengah-engah dan berkata, “Wah, terjal benar bukit ini. Aku sudah tua, tidak kuat lagi.”

Seorang biksuni yang mendesaknya berkata, “Kau minggir saja agar kami bisa lewat.”

Linghu Chong menjawab, “Aih, orang beragama jangan suka marah-marah begitu. Berjalan cepat kalian akan sampai di tempat tujuan, berjalan lambat juga akan sampai di tempat tujuan. Aih, aih, kalau ingin pergi ke gerbang akhirat, lebih baik berjalan agak lambat.”

“Apa kau hendak memaki kami?” kata biksuni tadi sambil menusukkan pedangnya ke punggung Linghu Chong dari samping Yihe. Tujuannya hanya untuk menakut-nakuti Linghu Chong agar menyingkir. Maka ketika pedangnya hampir mencapai sasaran, segera ia menahan diri menghentikan serangan.

Kebetulan pada saat yang sama Linghu Chong telah memutar tubuh. Begitu melihat sebilah pedang mengancam tepat di depan dadanya, segera ia membentak, “Aih, kau … kau mau apa? Aku adalah pembesar kerajaan. Kau berani berbuat kurang ajar padaku? Hayo prajurit, tangkap biksuni ini!”

Tentu saja di pegunungan sunyi itu tiada seorang pun prajurit yang menggubrisnya. Justru beberapa biksuni muda tertawa cekikikan. Mereka merasa geli melihat sikap Linghu Chong yang masih saja berlagak seperti tuan besar itu.

“Tuan Perwira, kami ada urusan penting dan harus buru-buru. Sudilah kau minggir dulu untuk memberi jalan kepada kami,” ujar seorang biksuni membujuk dengan tertawa.

“Perwira apa? Aku adalah panglima. Kau harus memanggil ‘jenderal’ kepadaku, tahu?” bentak Linghu Chong.

Beberapa biksuni lainnya semakin tertawa dan serentak berkata, “Yang Mulia Jenderal, mohon sudi memberi jalan.”

Linghu Chong bergelak tawa sambil membusungkan dada, lagaknya angkuh seperti penguasa dunia. Namun mendadak kakinya terpeleset, lalu tubuhnya jatuh tersungkur ke tanah.

Para murid Perguruan Henshan menjerit khawatir bersama-sama, “Awas!” Dua di antaranya lantas memburu maju untuk memegangi lengan Linghu Chong.

Linghu Chong pura-pura terpeleset sekali lagi, setelah itu baru berdiri tegak sambil memaki, “Nenekmu, licin sekali tanah ini. Pembesar setempat benar-benar tak becus bekerja. Jalanan pegunungan seburuk ini tidak pernah diperbaiki.”

Setelah terjatuh dua kali, waktu berdiri lagi badannya pun bersandar pada dinding tebing yang lekuk, sehingga kesempatan ini segera digunakan oleh murid-murid Perguruan Henshan untuk lewat di samping tubuhnya, dan terus berlari ke atas satu per satu.

Seorang murid yang lewat berkata, “Pejabat setempat harusnya mengirim sebuah joli yang diusung delapan orang untuk menandu Yang Mulia Jenderal melewati pegunungan ini. Itu baru benar.”

Seorang yang lain menanggapi, “Benar. Jenderal ini memang lain daripada yang lain. Kalau menunggang kuda bisa-bisa nanti terjatuh dia.”

Linghu Chong pura-pura marah dan berkata, “Omong kosong! Siapa bilang aku tidak bisa naik kuda? Bulan lalu binatang sialan itu kabur gara-gara melihat harimau sehingga aku terjatuh dan lenganku terluka. Tapi itu bukan masalah bagiku.” Ucapannya ini disambut gelak tawa para murid perempuan tersebut.

Ketika melihat sesosok tubuh yang langsing melayang lewat, segera Linghu Chong mengikuti di belakang, karena sosok tersebut tidak lain adalah Yilin. Dengan demikian, para murid yang berbaris di belakang Yilin menjadi terhalang langkah mereka. Apalagi Linghu Chong berpura-pura melangkah kaku dengan napas terengah-engah pula. Setiap berjalan tiga langkah ia terjatuh dua kali. Ia pun berjalan agak merangkak, tapi cukup cepat juga gerakannya.

Melihat itu para murid perempuan yang berjalan di belakangnya bergelak tawa sambil menggerutu, “Aih, jenderal kok begini? Aduh … dalam setiap hari kau jatuh berapa kali?”

Yilin menoleh ke belakang dan berkata, “Kakak Yiqing, kau jangan mendesak-desak Jenderal. Jika terburu-buru nanti ia bisa benar-benar tergelincir ke bawah. Lereng ini sangat terjal, kalau sampai terjatuh bisa berbahaya.”

Linghu Chong memandang sepasang mata Yilin yang besar dan bening bagai mata air itu. Wajahnya yang ayu nampak begitu cantik jelita di bawah temaram sinar rembulan, Seketika Linghu Chong pun terkenang kejadian dahulu ketika mereka berdua menghindari kejaran orang-orang Perguruan Qingcheng. Waktu itu Yilin menggendongnya keluar meninggalkan Kota Hengshan, dan ia pun memandangi sepasang mata biksuni muda itu tanpa berkedip. Teringat peristiwa itu membuat di hatinya kini timbul rasa kasih. “Di lereng gunung yang terjal ini banyak musuh sedang mengintai. Apa pun yang terjadi aku harus melindungi keselamatan Adik Yilin, walaupun harus bertaruh nyawa.”

Yilin sendiri memandang “Sang Jenderal” sedang menatapnya dengan pandangan kosong. Ia pun balas mengangguk dengan disertai senyuman kecil. Bibirnya yang mungil kembali berkata, “Kakak Yiqing, kalau Jenderal sampai tergelincir jatuh, tolong kau segera menariknya berdiri.”

Yiqing menjawab, “Tubuh Jenderal lebih besar. Mana aku kuat menariknya berdiri?”

Sebenarnya peraturan di Perguruan Henshan sangat ketat. Para murid perempuan biasanya tidak sembarangan bicara dengan orang luar. Tetapi Linghu Chong sendiri bertingkah seperti badut dan tidak henti-hentinya menggoda mereka. Apalagi penampilannya yang seperti bapak-bapak, sedangkan para murid tersebut kebanyakan adalah perempuan muda, membuat suasana canggung hilang dengan sendirinya. Beberapa gurauan konyol dari Linghu Chong membuat mereka menjadi senang dan lebih bersemangat melewati jalanan terjal tersebut.

Kembali Linghu Chong berkata dengan nada gusar, “Kalian bocah-bocah perempuan banyak omong kosong! Aku seorang jenderal hebat. Belasan tahun silam aku berjaya di medan pertempuran, membunuh banyak penjahat. Kalau saja waktu itu kalian melihat kegagahan dan keganasanku, pasti kalian akan terkagum-kagum dan bersujud di depanku. Jalanan gunung ini cuma hal kecil, mana bisa membuatku jatuh tergelincir? Huh, kalian hanya bicara sembarangan …. Aih, celaka!” Lagi-lagi ia terpeleset gara-gara menginjak kerikil kecil. Tangannya pun melambai-lambai mencari pegangan. Para murid perempuan di belakangnya seketika menjerit-jerit dengan suara melengking.

Yilin segera berbalik dan mengulurkan tangannya untuk membantu “Sang Jenderal” berdiri. Linghu Chong meraih tangan biksuni muda itu dan tangannya yang lain mendorong tanah untuk bangkit berdiri. Wajahnya terlihat malu kemerah-merahan.

Mendengar para murid tertawa cekikikan di belakangnya, Linghu Chong pun berkata, “Sepatu bot kulit ini terlalu berat untuk dipakai mendaki gunung. Kalau aku memakai sepatu rami seperti kalian, tidak mungkin aku terjatuh. Lagipula aku hanya terpeleset, bukan terjatuh; apa yang kalian tertawakan?”

Yilin menanggapi, “Jenderal memakai sepatu bot untuk menunggang kuda, memang tidak nyaman untuk mendaki gunung.”

Linghu Chong menyahut, “Memang tidak enak dipakai, tapi tetap kelihatan gagah. Kalau aku rakyat jelata seperti kalian, maka aku tidak peduli harus memakai sepatu rami atau sepatu rumput.”

Lagi-lagi para murid perempuan itu bergelak tawa mendengar tingkah konyol Linghu Chong menutupi malu.

Tiba-tiba Linghu Chong berbicara dengan suara keras, “Di sekitar tempat ini banyak maling ayam dan pencuri anjing. Mereka bisa saja tiba-tiba muncul dan merampas harta benda orang lewat. Walaupun kalian kaum biarawati, tapi harus tetap berhati-hati. Jangan sampai derma yang kalian peroleh dengan susah payah direbut mereka.”

Yiqing tertawa dan berkata, “Kalau ada Jenderal bersama kami, mana mungkin ada maling ayam berani menunjukkan batang hidung di sini?”

Linghu Chong kembali berteriak-teriak, “Hei, hei, awas! Di atas sana sepertinya banyak orang mengintai!”

Seorang murid menanggapi, “Jenderal ini memang bawel. Mana mungkin kami takut kepada maling ayam?”

Belum selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar jeritan dua murid perempuan yang lain, “Aduh!” dan tubuh mereka terguling-guling jatuh ke bawah. Dengan cekatan dua temannya bergegas menangkap mereka.

Beberapa murid di depan pun berseru, “Awas, ada musuh melepaskan senjata rahasia!” Belum habis ucapannya kembali terlihat seorang murid terguling ke bawah.

Yihe berseru, “Semua tiarap! Awas senjata rahasia musuh!”

Serentak mereka bersama-sama merendahkan tubuh.

Linghu Chong pun memaki-maki, “Maling ayam kurang ajar! Apa kalian tidak tahu ada jenderal di sini?”

Yilin menarik-narik lengan bajunya sambil berkata cemas, “Lekas tiarap, lekas!”

Beberapa murid Perguruan Henshan yang berada di depan balas melepaskan senjata rahasia berupa panah kecil dan manik-manik besi. Tapi musuh bersembunyi di balik batu-batuan padas, seorang pun tidak terlihat. Sudah tentu serangan mereka hanya mengenai tempat kosong.

Begitu mendengar adanya serangan musuh, Biksuni Dingjing bergegas maju dengan melompati kepala para murid. Sampai di belakang Linghu Chong, secepat kilat ia lantas melayang pula melewati kepalanya.

Kontan Linghu Chong berteriak-teriak, “Wah, sial, sial!” Lalu ia meludah beberapa kali karena sudah menjadi tradisi bahwa dilompati kepala akan mendatangkan kesialan.

Terlihat Biksuni Dingjing terus menyerbu ke atas melewati hamburan senjata rahasia musuh sambil mengibaskan lengan bajunya berkali-kali. Senjata-senjata berukuran kecil itu ada yang menancap di kain lengan bajunya yang longgar, ada pula yang ditangkisnya jatuh. Hanya beberapa kali meloncat, tubuhnya sudah sampai di atas bukit.

Akan tetapi, baru saja sebelah kakinya mendarat di tanah, tiba-tiba terasa kesiuran angin menyambar. Rupanya sebatang toya tembaga telah menghantam ke atas kepalanya. Dari suara angin yang menderu itu dapatlah diketahui bahwa toya tersebut pasti sangat berat.

Biksuni Dingjing tidak berani menangkis begitu saja. Ia hanya berkelit dan bergeser ke samping. Tapi tahu-tahu dua tombak berantai lantas menusuknya pula dari atas dan bawah. Ternyata di puncak bukit itu telah muncul tiga orang jago mengeroyok dirinya.

“Dasar pengecut!” bentak Dingjing sambil mencabut pedangnya. Sekali tangkis serangan kedua tombak lawan dapat dibelokkannya ke samping. Tapi toya tembaga tadi lagi-lagi menyapu ke arah pinggangnya. Dengan tetap bersikap tabah, ia pun mengayunkan pedangnya untuk menangkis toya musuh, disusul dengan tebasan ke bawah. Tapi tombak lawan tahu-tahu menusuk pula ke bahunya.

Sementara itu, di bawah terdengar ramai suara jeritan murid-murid Perguruan Henshan, disertai suara gemuruh. Ternyata musuh yang bersembunyi di atas tebing telah menjatuhkan batu-batu besar ke arah mereka.

Terjebak di jalan pegunungan yang sempit, terpaksa para perempuan itu berlompatan ke sana kemari untuk menghindari serangan. Namun demikian, dalam sekejap beberapa orang terluka karena terkena tumbukan batu-batu tersebut.

Mendengar jeritan para murid, Biksuni Dingjing lantas mundur dua langkah dan berseru, “Putar balik! Kita turun dulu ke bawah!” Segera ia memainkan pedang di belakang untuk menahan kejaran musuh.

Akan tetapi, suara gemuruh masih tetap terdengar. Batu-batu besar terus berjatuhan dari atas tebing. Menyusul terdengar suara benturan senjata yang ramai, ternyata di kaki bukit juga ada musuh menghadang. Rupanya mereka menunggu rombongan Perguruan Henshan sudah memasuki jalanan sempit dan mendaki ke atas bukit. Begitu teman di atas bertindak, mereka pun keluar dari tempat persembunyian untuk menyumbat jalan mundur rombongan tersebut.

“Bibi Guru, musuh yang menghadang di bawah berilmu tinggi. Kita tidak bisa turun,” kata seorang murid melapor.

“Dua orang kakak seperguruan telah terluka,” sahut murid yang lain menyambung.

Dingjing menjadi gusar bukan kepalang. Secepat kilat ia berlari ke bawah bagaikan terbang. Dilihatnya dua laki-laki bersenjata golok sedang mendesak mundur dua murid perempuan. Sambil membentak, Dingjing lantas menerjang dengan menusukkan pedang. Tapi mendadak dari bawah melayang sebuah gandin segi delapan berantai menghantam mukanya. Terpaksa Dingjing menangkis dengan pedang. Sebuah gandin yang lain mendadak melayang ke atas untuk kemudian menghantam ke bawah.

“Kuat sekali tenaga mereka!” seru Dingjing dalam hati. Gandin-gandin itu masing-masing berukuran berat, tapi mereka dapat memainkannya melalui rantai yang lemas, sehingga dapat dibayangkan betapa kuat tenaga musuh yang menghadang tersebut.

Jika di tanah datar Biksuni Dingjing tentu tidak sukar untuk melayani serangan-serangan demikian. Ia tinggal melancarkan ilmu pedangnya yang lincah dari arah samping. Namun di tengah jalan setapak yang sedemikian sempit, mau tidak mau harus berhadapan dari satu jurusan dan tiada lagi jalan lain. Padahal sepasang gandin lawan itu diputar sedemikian rapatnya dan menari-nari di udara dengan ganas, berkali-kali menghantam ke arah wajah Sang Biksuni. Rasanya percuma Dingjing memiliki ilmu pedang yang tinggi namun tidak dapat dipergunakan, terpaksa ia pun mundur kembali ke atas bukit selangkah demi selangkah.

Tiba-tiba terdengar suara mengaduh susul-menyusul di atas. Kembali beberapa murid perempuan jatuh terguling-guling ke bawah karena terkena senjata rahasia musuh. Dingjing berusaha menenangkan diri. Ia menduga musuh yang berjaga di atas tentu ilmu silatnya lebih lemah dibanding yang menghadang di bawah tadi. Maka dengan cepat ia pun menerjang ke atas dengan melompati kepala beberapa murid.

Ketika Linghu Chong kembali dilompati kepalanya, ia pun berteriak-teriak, “Hei, macam apa kau ini? Melompat-lompat seperti katak? Sudah tua masih suka main-main segala! Kepalaku kau lompati ke sana kemari. Kalau judi aku tentu kalah! Sungguh sial!”

Karena ingin buru-buru menerjang musuh, Dingjing tidak peduli pada apa yang diucapkannya itu. Sebaliknya, Yilin yang lantas berbicara kepadanya, “Maaf, bibi guru kami tidak sengaja melompatimu.”

Tapi Linghu Chong masih pura-pura mengomel, “Sudah sejak tadi aku bilang di sini banyak maling ayam, tapi kalian tidak mau percaya.” Dalam hati ia sendiri tidak menduga kalau di bawah bukit ternyata juga bersembunyi beberapa orang Sekte Iblis. Terkepung di tengah jalan sedemikian sempit, biarpun berjumlah banyak tetap saja orang-orang Perguruaan Henshan tidak mampu berkutik. Untuk membantu mereka juga serbasusah.

Saat Biksuni Dingjing hampir tiba di atas bukit, tiba-tiba terasa ada bayangan toya berkelebat. Rupanya sebatang pentungan biksu telah diayunkan musuh di atas kepalanya. Kali ini seorang musuh berkepandaian tinggi sudah dipersiapkan untuk menghadang dirinya. Dengan cepat Dingjing pun berkelit, sambil pedangnya menusuk dari samping. Pada jarak beberapa senti yang genting itu ia berhasil menghindarkan diri dari serangan musuh. Bersamaan itu ia sudah menubruk maju bersama pedangnya untuk terus menusuk musuh, yang ternyata seorang biksu berambut bertubuh besar gemuk.

Serangan Dingjing ini boleh dikata sangat berbahaya, yaitu cara berkelahi yang tidak menghiraukan keselamatan sendiri, dan bisa membuat dirinya gugur bersama musuh. Karena tidak terduga-duga akan mendapat serangan nekat tersebut, si biksu berambut tidak sempat menarik kembali tongkatnya untuk menangkis. Maka, pedang Sang Biksuni pun tepat menancap di bawah iganya.

Namun demikian, Biksu berambut itu benar-benar tangkas dan pemberani. Meski terluka ia masih berteriak sambil menghantam keras sehingga pedang Dingjing patah menjadi dua. Disusul kemudian tangan biksuni sepuh itu terluka pula.

“Lekas, berikan pedangmu!” seru Dingjing.

Secepat kilat Yihe melompat ke atas sambil menyodorkan pedangnya dan berseru, “Bibi Guru, terimalah!”

Baru saja Dingjing memutar tubuh hendak menerima pedang itu, tiba-tiba sebuah tombak berantai menyerang ke arah Yihe, dan tombak berantai yang lain menusuk pula ke arah pinggangnya. Terpaksa Yihe menarik kembali pedangnya untuk menangkis. Tapi musuh bersenjata tombak berantai itu menyerang lebih gencar sehingga Yihe terdesak mundur kembali ke bawah, dan usahanya untuk menyerahkan pedang kepada Dingjing gagal pula.

Menyusul kemudian dari atas menerjang maju tiga orang musuh. Dua orang bersenjata golok, dan seorang lagi memakai sepasang pena penotok. Dingjing seorang diri terkepung di tengah. Tanpa senjata ia mengerahkan Jurus Pukulan Tianchang milik Perguruan Henshan untuk menghadapi mereka. Usianya sudah enam puluhan tetapi tenaga dan kegesitannya tidak kalah dibanding dengan orang yang lebih muda. Meskipun ketiga jago Sekte Iblis mengeroyoknya, namun tak disangka mereka tidak mampu mengatasi seorang biksuni sepuh bertangan kosong.

Melihat pemandangan itu Yilin berseru cemas dengan suara tertahan, “Aih, bagaimana ini?”

Segera Linghu Chong pun berteriak, “Hei, kawanan berandal kurang ajar! Minggir, minggir, biar Jenderal naik ke sana untuk membekuk berandal-berandal itu.”

Yilin buru-buru mencegah, “Eh, jangan! Mereka bukan berandal biasa, tapi jago silat semua. Begitu maju tentu Jenderal akan dibunuh mereka.”

Tapi Linghu Chong lantas membusungkan dada dan berkata, “Sungguh terlalu kawanan bandit ini! Di siang bolong ….” Ia lantas mendongak dan melihat langit masih gelap menjelang fajar, mana bisa disebut siang bolong? Namun ia tidak peduli dan terus berkata, “Berani sekali bandit-bandit kecil itu menghadang dan merampok kaum perempuan? Apa mereka tidak takut pada hukum kerajaan?”

Yilin menyahut, “Mereka bukan bandit kecil yang merampok, dan kami juga bukan perempuan biasa ….”

Linghu Chong tetap melangkah maju dan mendesak melewati murid-murid Perguruan Henshan itu dengan susah payah. Para murid terpaksa menempel rapat ke dinding tebing untuk memberi jalan kepadanya. Sesampainya di atas bukit, Linghu Chong bermaksud menghunus goloknya. Ketika sudah tercabut sebagian, ia pura-pura tidak bisa menarik lagi. Mulutnya pun lantas memaki, “Sial, golok karatan ini juga main gila! Keadaan gawat seperti ini mengapa dia tidak mau keluar!”

Yihe yang sedang bertempur sengit melawan dua orang musuh dapat mendengar omelan Linghu Chong di belakangnya itu. Ia menjadi kesal bercampur geli. “Lekas kau menyingkir saja, di sini terlalu bahaya bagimu!” teriaknya.

Karena berbicara, ia sedikit lengah sehingga tombak musuh telah menusuk ke arah pundaknya dan hampir saja ia terluka. Untungnya biksuni itu lekas melompat mundur, namun lawannya tetap memburu maju.

Linghu Chong lantas berteriak-teriak, “Wah, wah! Macam apa ini? Berandal kurang ajar, apa kalian tidak melihat jenderalmu berada di sini?” Sekali menyelinap, tahu-tahu ia telah menghadang musuh di depan Yihe.

Musuh yang bersenjata tombak itu menjadi tercengang karena mendadak muncul seorang perwira tentara di hadapannya. Saat itu keadaan sudah mulai remang-remang sehingga penampilan “sang jenderal” dapat terlihat jelas. Maka orang itu tidak jadi menusukkan tombaknya, hanya diacungkan saja ke dada Linghu Chong sambil membentak, “Siapa kau? Apakah orang yang berkaok-kaok di bawah tadi adalah kau si pembesar anjing?”

“Nenekmu, kau sebut aku pembesar anjing? Kau sendiri berandal anjing!” balas Linghu Chong dengan lagak angkuh. “Kalian berani merampok di sini, aku sudah datang masih juga kalian tidak lekas kabur. Sungguh besar nyali kalian! Tunggu saja jenderalmu ini akan membekuk batang leher kalian dan memasukkan kalian ke penjara kabupaten. Nanti setiap orang akan mendapat hadiah lima puluh cambukan sampai pantat kalian berdarah-darah, baru tahu rasa!”

Laki-laki bertombak itu tidak ingin membunuh pejabat kerajaan karena bisa mendatangkan masalah. Maka, ia pun menjawab, “Kau pejabat anjing, pergi jauh sana! Kalau kau tidak segera enyah dari sini, maka aku si tua akan membuat tiga lubang besar di tubuh anjingmu!”

Sekilas Linghu Chong melihat Biksuni Dingjing belum menunjukkan tanda-tanda kekalahan. Kawanan Sekte Iblis juga tidak lagi melepaskan senjata rahasia atau batu-batuan ke bawah, maka ia pun membentak, “Bandit kurang ajar, mengapa kalian tidak lekas berlutut dan menyembah minta ampun kepada jenderalmu? Kalau di rumah kalian tinggal seorang nenek berusia delapan puluh tahun, mungkin aku masih bisa bermurah hati kepada kalian. Tapi kalau tidak, maka kepala anjing kalian akan kupenggal satu per satu ….”

Mendengar ucapan itu, murid-murid Perguruan Henshan mengerutkan dahi dan berkata dalam hati, “Orang ini sinting.”

Yihe lantas melangkah maju dengan pedang terhunus, siap melindungi Linghu Chong jika musuh mulai menusukkan tombaknya.

Linghu Chong pura-pura menarik-narik goloknya sekuat tenaga sambil memaki, “Nenekmu, di saat maju ke medan perang seperti ini golok warisan leluhur justru berkarat. Hm, coba kalau golok ini tidak berkarat, biarpun sepuluh kepala kawanan anjing macam kalian juga sudah kupenggal semua.”

Musuh bersenjata tombak itu terbahak-bahak geli, lalu membentak, “Persetan kau!” Bersama itu ia menyabetkan batang tombaknya ke pinggang Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri menghentakkan tangan sekuat tenaga sambil menjerit kaget, sehingga golok itu ikut tertarik beserta sarungnya. Kemudian tubuhnya terhuyung-huyung ke depan hendak tersungkur jatuh.

“Hati-hati!” seru Yihe.

Tapi sewaktu tubuhnya terhuyung-huyung, Linghu Chong dengan cekatan menotok titik-titik pada pinggang lawan menggunakan ujung sarung goloknya. Laki-laki itu mengerang kesakitan, lalu tubuhnya jatuh terkulai dan roboh di tanah.

Linghu Chong sendiri ikut jatuh ke tanah. Seperti orang kelabakan, lekas-lekas ia merangkak bangun, sambil berseru heran, “Hei, kau juga terguling jatuh! Kalau begitu kita seri. Aku si tua belum mau mengaku kalah. Mari kita coba-coba lagi!”

Yihe cukup cerdik dan cekatan. Segera ia mencengkeram bahu laki-laki itu dan melemparkannya ke belakang. Ia berpikir dengan seorang tawanan tentu urusan akan lebih mudah diselesaikan.

Sementara itu dari pihak Sekte Iblis telah menerjang maju tiga orang dengan maksud hendak menolong kawan mereka itu.

Linghu Chong berteriak, “Aha, kawanan anjing benar-benar kurang ajar!” Segera goloknya memukul ke kanan dan menyabet ke kiri, caranya sama sekali tidak teratur.

Ilmu Sembilan Pedang Dugu memang tidak memiliki gaya serangan tertentu. Apakah dimainkan secara indah dan anggun, atau dimainkan secara aneh dan konyol juga tidak ada bedanya. Semuanya sama-sama ampuh dan bisa mengalahkan musuh. Ini disebabkan karena intisari ilmu pedang ini terletak pada tujuan, bukan gayanya.

Sebenarnya Linghu Chong tidak terlalu mahir dalam menotok. Apalagi dalam pertarungan gencar seperti itu sangat sulit mengincar titik-titik penting pada tubuh lawan yang bergerak cepat. Namun serangan Linghu Chong selalu disertai tenaga dalam yang melimpah ruah sehingga membuat kekuatannya sungguh dahsyat. Meskipun serangannya tidak secara tepat menotok titik lawan, namun tetap saja membuat pihak musuh tidak dapat bertahan dan roboh oleh tenaga dalamnya.

Langkah Linghu Chong tampak sempoyongan tidak menentu. Goloknya yang masih terselubung sarung itu diputarnya serabutan dan semakin kacau. Tiba-tiba ia seperti tersandung dan menubruk seorang musuh. “Bluk!”, ujung sarung goloknya secara kebetulan mengenai pula titik pada lengan atas orang itu. Orang yang ditubruknya hanya sempat menarik napas panjang-panjang, lalu jatuh terkapar di tanah.

Sambil menjerit kaget, “Aih!” Linghu Chong melompat mundur dan gagang goloknya tahu-tahu membentur pula punggung seorang lawan yang lain. Kontan orang itu pun terguling-guling di tanah.

Selanjutnya kedua kaki Linghu Chong tersandung tubuh musuh yang terguling itu. Ia memaki, “Nenekmu!” kemudian terhuyung-huyung lagi ke depan dan kembali sarung goloknya tepat mengarah menuju tubuh seorang musuh bersenjata golok. Musuh ini adalah satu di antara jago Sekte Iblis yang mengeroyok Biksuni Dingjing. Karena punggungnya tertumbuk, golok yang dipegangnya pun terlempar ke udara. Dingjing segera memanfaatkan kesempatan ini untuk melancarkan pukulannya ke dada orang itu. Tanpa ampun, orang itu pun muntah darah dan kehilangan nyawa.

“Eh, awas, awas!” Linghu Chong berteriak-teriak sambil mundur beberapa langkah ke arah musuh yang memakai senjata pena penotok.

Tanpa pikir panjang orang itu lantas menotok punggung Linghu Chong dengan senjatanya. Namun Linghu Chong sempat menggeliat dan kembali terhuyung-huyung ke depan sambil menyabet-nyabetkan sarung goloknya membentur musuh yang lain. Lagi-lagi dua anggota Sekte Iblis roboh ke tanah.

Musuh bersenjata pena penotok itu secepat kilat menubruk maju. Linghu Chong pura-pura menjerit ketakutan, “Tolooong!” sambil terus berlari ke depan. Orang itu semakin kesal dan mengejar. Di luar dugaan, tiba-tiba saja Linghu Chong menghentikan langkah dan berdiri tegak. Gagang goloknya sedikit menongol ke belakang melalui bawah ketiak. Karena tidak pernah menduga Linghu Chong akan berhenti mendadak, kontan musuh yang mengejar itu menjadi kelabakan. Betapa pun tinggi ilmu silatnya juga tidak sempat untuk berganti haluan. Akibatnya, dada dan perutnya pun menubruk keras pada gagang golok tersebut. Orang itu memperlihatkan raut muka yang sangat aneh, seakan-akan tidak percaya terhadap apa yang sedang terjadi padanya. Akhirnya, perlahan-lahan badannya pun terkulai lemas dan jatuh di tanah.

Kemudian Linghu Chong memutar tubuh. Dilihatnya pertempuran di atas bukit sudah berakhir. Hampir separuh murid-murid Perguruan Henshan sudah naik ke situ dan berdiri berhadapan dengan kawanan Sekte Iblis. Murid-murid yang lain juga berturut-turut menyusul ke atas bukit dengan langkah cepat.

Linghu Chong lantas berteriak-teriak, “Hei, kawanan anjing kurang ajar! Melihat jenderalmu ada di sini mengapa kalian tidak segera tunduk dan menyembah minta ampun kepadaku? Apa kalian minta mampus semua?” Habis itu ia pun mengayun-ayunkan golok bersarungnya dan menyerbu masuk ke tengah-tengah gerombolan Sekte Iblis.

Kali ini pihak musuh tidak berani gegabah. Beramai-ramai mereka mengacungkan senjata masing-masing untuk menjemput serangan Linghu Chong. Murid-murid Perguruan Henshan bermaksud maju untuk membantu. Tapi Linghu Chong sudah berlari ke luar dari kepungan musuh itu sambil berteriak-teriak, “Wah, wah, lihai sekali kawanan anjing kurang ajar ini!”

Linghu Chong berlari dengan langkah yang berat dan agak diseret. Mendadak ia pura-pura jatuh terbanting, dan goloknya yang bersarung itu terpental balik dan tepat mengenai dahinya sendiri. Seketika ia pun jatuh terkapar di tanah. Namun tak disangka, dalam serbuannya yang singkat ke dalam kepungan Sekte Iblis itu, ia telah merobohkan lima orang musuh.

Kedua pihak sama-sama tertegun menyaksikan apa yang telah terjadi.

Yihe dan Yiqing bergegas maju sambil berseru, “Jenderal, kau tidak apa-apa?”

Tapi Linghu Chong memejamkan mata dengan rapat dan pura-pura pingsan.

Si kakek yang memimpin gerombolan Sekte Iblis itu termenung untuk memutuskan bagaimana langkah selanjutnya. Dalam pihaknya sudah mati satu orang terkena pukulan Biksuni Dingjing, serta sebelas orang lainnya roboh terkena totokan si perwira sinting. Ia sendiri baru saja mengerahkan segala jurus untuk merobohkan perwira sinting itu ketika masuk ke dalam kepungannya. Namun si perwira sinting justru berhasil menotoknya dengan ujung sarung golok. Meskipun totokan itu tidak mengenai titik tertentu pada tubuhnya, namun ia merasakan betapa kuat tenaga dalam yang dimiliki si perwira sinting. Gerakan orang itu juga gencar dan aneh, sama sekali tidak pernah dijumpai semur hidup olehnya. Seberapa tinggi ilmu silat si perwira sinting benar-benar sukar diukur. Apalagi lima orang anggotanya yang tertotok telah ditawan pula oleh pihak Perguruan Henshan, jelas urusan hari ini tidaklah menguntungkan.

Maka dengan suara lantang kakek itu lantas berkata, “Biksuni Dingjing, murid-muridmu yang terkena senjata rahasia perlu obat penawar racun atau tidak?”

Dingjing melihat murid-murid yang terkena senjata rahasia masih terbaring tak sadarkan diri, dan luka mereka mengalirkan darah hitam, jelas bahwa senjata rahasia musuh telah dicelupkan ke dalam racun sebelum digunakan. Maka, begitu pihak lawan menawarkan obat penawar, Dingjing langsung paham maksudnya. Ia pun menjawab, “Berikan obat penawar untuk ditukar dengan tawanan!”

Si kakek manggut-manggut, lalu berbisik kepada seorang anak buahnya. Tak lama kemudian majulah anak buahnya itu dengan membawa sebuah botol porselen kecil ke hadapan Biksuni Dingjing, dan menyerahkannya dengan sikap hormat.

Dingjing menerima botol obat itu, lalu berkata dengan suara tegas, “Jika obat penawar ini benar-benar manjur, tentu akan kubebaskan orang-orangmu.”

Si kakek menjawab, “Baik! Biksuni Dingjing dari Perguruan Henshan tentunya bukan orang yang suka ingkar janji.”

Orang tua itu lalu melambaikan tangan. Beberapa anak buahnya segera berlari maju untuk menggotong kawan-kawan mereka yang mati dan terluka. Orang-orang Sekte Iblis itu kemudian berjalan menuruni bukit. Dalam sekejap mereka semua sudah menghilang tanpa bekas.

Linghu Chong pura-pura siuman dari pingsan, lalu bangkit perlahan-lahan sambil merintih, “Aduh, sakit sekali!” Diraba-rabanya benjolan pada dahi sendiri, lalu menyambung, “Hei, ke mana perginya kawanan bandit anjing itu?”

Yihe tertawa cekikikan, lalu berkata, “Jenderal, kau ini benar-benar aneh dan lucu. Kau tadi menyerbu masuk ke dalam kepungan musuh dan menyerang mereka serabutan. Ternyata kawanan berandal itu dapat kau takut-takuti sehingga lari tunggang langgang.”

Linghu Chong tertawa terbahak-bahak. Ia lalu berkata sambil menepuk dada, “Bagus sekali, bagus sekali! Begitu jenderalmu datang menunggang kuda, wibawanya memancar ke segala penjuru, tidak seperti orang biasa. Kawanan berandal anjing itu langsung kabur seperti debu tertiup angin.” Tiba-tiba ia memegang dahi sambil menyeringai, “Aduh ….”

Yiqing bertanya, “Jenderal, apakah kau terluka? Kami ada obat luka.”

“O, tidak apa-apa, hanya masalah kecil,” sahut Linghu Chong dengan menyengir. “Seorang laki-laki sejati dalam pertempuran seperti mayat dalam kulit kuda, itu sudah biasa.”

Yihe mencibir kemudian bertanya, “Bukankah istilah yang benar ‘mayat yang dibungkus kulit kuda’?”

Yiqing melotot dan berkata, “Kakak, kau ini paling suka mencari-cari kesalahan orang. Mengapa di saat-saat begini kau bicara demikian?”

Linghu Chong berkata, “Kami orang utara menyebut ‘mayat dalam kulit kuda’. Mengapa kalian orang selatan agak berbeda menyebutnya?”

Yiqing menjawab dengan tersenyum, “Kami juga orang utara.”

Sementara itu Biksuni Dingjing telah menyerahkan obat penawar kepada seorang muridnya dan menyuruhnya mengobati kawan-kawan yang terluka. Lalu ia mendekati Linghu Chong dan memberi hormat, “Dingjing, biksuni tua dari Perguruan Henshan tidak berani bertanya marga dan nama pendekar muda yang mulia.”

Linghu Chong terkesiap mendengarnya. Diam-diam ia berpikir, “Biksuni Dingjing benar-benar bermata tajam. Meskipun aku berdandan seperti ini, ia masih dapat mengetahui usiaku yang masih muda, bahkan tahu kalau aku ini seorang jenderal gadungan.” Maka dengan cepat ia pun membalas hormat dan menjawab, “Hormatku, Biksuni. Aku bermarga Wu, bernama Tiande. Aku baru saja diangkat menjadi komandan militer di Kota Quanzhou. Sekarang juga aku akan ke sana untuk menduduki jabatanku.”

Dingjing merasa orang ini sengaja menyembunyikan jati diri. Namun karena Linghu Chong menjawab dengan sikap sopan dan penuh hormat, ia pun tidak ingin bertanya lebih lanjut. Maka, biksuni tua itu lantas berkata, “Hari ini Perguruan Henshan telah dihadang masalah besar, namun semua dapat diselesaikan berkat pertolongan Jenderal. Entah bagaimana cara kami kelak bisa membalas budi Jenderal yang sedemikian besar ini? Ilmu silat Jenderal sangat tinggi sukar diukur. Meskipun biksuni tua ini tidak dapat menerka asal-usul perguruanmu, tapi aku benar-benar sangat kagum.”

Linghu Chong bergelak tawa dan berkata, “Biksuni yang baik terlalu memuji. Tapi sesungguhnya ilmu silatku memang sangat lihai. Di atas memakai Bunga Es Menutupi Kepala, di bawah memakai Akar Pohon Tua, dan di tengah memakai Harimau Hitam Mencuri Hati … aih, ya! Sambil berbicara demikian, tangan dan kakinya memukul dan menendang, kemudian mulutnya meringis kesakitan seolah-olah terkilir gara-gara gerakan pamer itu. Sekilas ia memandang ke arah Yilin, dan biksuni muda belia itu nampak terkejut. Ia pun berpikir, “Adik Yilin sungguh berhati lembut. Kalau saja ia tahu ini aku, entah bagaimana perasaannya?”

Biksuni Dingjing jelas mengetahui kalau itu semua hanya berpura-pura. Ia pun tersenyum dan berkata, “Jenderal seorang terhormat yang tidak mau mengungkapkan jati diri, maka biksuni tua ini hanya bisa membakar dupa siang malam dan berdoa supaya Jenderal selalu sehat dan mendapat peruntungan, serta semoga semua cita-cita Jenderal dapat terkabul.”

Linghu Chong menjawab, “Terima kasih banyak, terima kasih banyak. Tolong kau berdoa kepada Dewi Guanyin supaya memberkati aku lekas naik pangkat dan kaya raya, setiap judi pasti menang, istri muda bertambah sepuluh lagi. Hahahaha! Aku juga berharap semoga Biksuni dan para murid lekas sampai di tempat tujuan, nasib buruk menjadi baik, dan semua urusan berjalan lancar. Hahahaha! Hahahaha!” Sambil bergelak tawa ia lantas melangkah pergi dengan sikap angkuh. Meskipun demikian, ia sudah terbiasa menjadi anggota Serikat Pedang Lima Gunung sehingga tidak berani bersikap kurang sopan kepada seorang sesepuh Perguruan Henshan.

Melihat Linghu Chong berjalan terhuyung-huyung menuju selatan, makin lama makin jauh, murid-murid Perguruan Henshan lantas mengelilingi Biksuni Dingjing. Mereka pun bertanya-tanya dengan ribut, “Bibi Guru, dari mana asal orang itu?”

“Guru, dia itu benar-benar sinting atau pura-pura saja?”

“Dia itu benar-benar berilmu tinggi ataukah hanya beruntung secara kebetulan bisa mengalahkan musuh?”

“Dia itu apakah benar-benar jenderal? Usianya kelihatan belum tua?”

Dingjing hanya menghela napas tanpa menjawab. Ia berpaling memandangi murid-murid yang terluka oleh senjata rahasia musuh. Ternyata keadaan mereka sudah lebih baik setelah dibubuhi obat penawar dari Sekte Iblis tadi. Darah mereka tidak lagi kehitam-hitaman, denyut nadi mereka juga terasa lebih kuat. Untuk penyembuhan selanjutnya, pihak Perguruan Henshan sendiri juga memiliki obat luka yang sangat manjur. Maka, ia lantas membuka totokan kelima anggota Sekte Iblis yang tertangkap, kemudian menyuruh mereka pergi.

“Mari kita beristirahat di bawah pohon itu!” kata Dingjing kepada para murid setelah kelima tawanan sudah pergi cukup jauh. Mereka lalu beristirahat di bawah pohon tersebut, sedangkan Dingjing sendiri duduk di atas batu besar dan merenungkan kejadian tadi. “Saat orang itu menerobos masuk ke dalam kepungan musuh, si tua pemimpin Sekte Iblis berusaha menyerangnya, tapi dalam sekejap ia justru menotok roboh lima orang anggota musuh. Jurus yang digunakannya jelas bukan ilmu menotok, serta gerakannya sama sekali tidak memperlihatkan dari perguruan mana ia berasal. Di dunia persilatan zaman ini ternyata ada jago muda selihai itu. Entah ia murid orang sakti dari mana? Sungguh Perguruan Henshan sangat bersyukur, karena jago sehebat ini ternyata bukan lawan, tetapi kawan.”

Untuk beberapa saat Biksuni Dingjing menggumam sendiri, kemudian ia menyuruh seorang murid menyiapkan kuas dan tinta, serta sehelai kain sutra tipis. Setelah menulis surat pada kain tersebut, Dingjing pun berkata, “Yizhi, ambilkan merpati!”

“Baik, Guru,” jawab Yizhi yang merupakan murid Dingjing sendiri. Ia kemudian mengeluarkan seekor merpati putih dari sangkar bambu yang digendongnya.

Dingjing melipat kain sutra tipis itu menjadi satu gulungan kecil, lalu memasukkannya ke dalam sebuah tabung bambu yang amat kecil pula. Tabung kecil itu lalu ditutup dan disegel, kemudian diikat pada kaki kiri merpati menggunakan kawat tipis. Dalam hati ia berdoa semoga merpati itu sampai di tempat tujuan dengan selamat, lalu melepaskan burung itu ke udara. Merpati tersebut mengepakkan sayapnya dan terbang tinggi, makin lama makin jauh, hingga akhirnya hanya terlihat seperti titik kecil di angkasa.

Dari menulis surat sampai melepaskan merpati, setiap gerakan Biksuni Dingjing terlihat sangat lamban, sungguh berbeda dengan ketangkasannya yang lincah dan ganas saat melabrak musuh tadi. Setelah melepaskan merpati, ia pun menengadah mengikuti terbangnya burung tersebut sampai menghilang di balik awan. Selama itu pula para murid tiada seorang pun yang berani bersuara. Mereka sadar dalam pertempuran tadi, meskipun mendapat bantuan “Sang Jenderal” yang sinting dan lucu sehingga suasana menjadi menyenangkan, tetap saja peristiwa tadi sungguh berbahaya, bagaikan lolos dari lubang jarum.

Setelah agak lama termenung menatap langit, Dingjing kemudian berpaling dan melambaikan tangan ke arah seorang gadis cilik berusia sekitar lima belas atau enam belas tahun. Gadis cilik itu bangkit dan mendekat kepadanya sambil menyapa, “Guru!”

Perlahan-lahan Dingjing membelai rambut anak gadis itu dan bertanya, “Juan’er, tadi kau takut atau tidak?”

Gadis cilik itu mengangguk-angguk dan menjawab, “Takut. Untung jenderal itu sangat gagah berani sehingga kawanan penjahat tadi dapat dipukul mundur.”

Dingjing tersenyum dan berkata, “Jenderal itu bukannya gagah berani, tapi ilmu silatnya memang sangat tinggi.”

Gadis cilik itu menegas, “Guru, apa benar ilmu silatnya sangat tinggi? Tadi kulihat serangannya kacau balau, tingkahnya juga ceroboh. Bahkan, dahinya sampai terkena gagang golok sendiri. Goloknya juga berkarat sehingga tidak bisa dilolos keluar dari sarung.”

Gadis cilik itu bernama Qin Juan, murid Biksuni Dingjing yang paling kecil. Sifatnya cerdik dan banyak akal, sehingga sangat disayang oleh Sang Guru. Murid-murid Perguruan Henshan yang enam puluh persen adalah kaum biksuni, sedangkan empat puluh persen adalah kaum awam. Dari usia mereka ada yang wanita setengah baya, bahkan ada pula nenek-nenek lanjut usia. Qin Juan sendiri adalah murid yang paling muda di dalam Perguruan Henshan.

Yihe menukas, “Kau bilang serangannya kacau balau? Menurutku, ia hanya berpura-pura untuk mengelabui orang dan menyembunyikan asal-usul perguruannya. Itu baru namanya orang pintar. Guru, apakah kau dapat menerka jenderal itu berasal dari aliran atau perguruan mana?”

Perlahan-lahan Dingjing menggeleng, lalu menjawab, “Ilmu silat orang itu hanya bisa dilukiskan dengan kata-kata ‘sukar diukur’. Selebihnya aku sama sekali tidak tahu.”

Qin Juan bertanya, “Guru tadi menulis surat kepada Bibi Ketua, benar tidak? Apakah bisa segera sampai?”

Dingjing menjawab, “Burung merpati itu akan terbang menuju Biara Baiyi di Suzhou untuk diganti merpati yang lain. Dari Biara Baiyi, burung merpati selanjutnya akan terbang menuju Biara Miaoxiang di Jinan untuk diganti lagi. Kemudian, merpati penggantinya akan terbang menuju Biara Qingjing di Laohekou untuk ditukar lagi. Jadi, berturut-turut sambung-menyambung sebanyak empat merpati, akhirnya tentu akan sampai di Gunung Henshan.”

Yihe berkata, “Syukurlah kita tidak kehilangan seorang pun. Beberapa kakak dan adik yang terluka oleh senjata rahasia dalam satu-dua hari lagi juga akan sembuh. Sedangkan yang terkena lemparan batu dan terluka oleh senjata juga tidak terlalu parah.”

Biksuni Dingjing hanya menengadah dan termangu-mangu, seolah tidak mendengar ucapan itu. Ia berpikir, “Perjalanan kami menuju selatan kali ini sebenarnya sangat dirahasiakan. Siang tidur, malam berjalan, bagaimana mungkin orang-orang Sekte Iblis itu bisa mengetahui rencana kami dan melakukan penyergapan di tempat berbahaya ini?” Ia kemudian berkata kepada para murid, “Musuh sudah pergi jauh, kurasa untuk sementara mereka tidak akan kembali lagi. Kita semua sudah sangat letih, sehingga lebih baik kita makan bekal saja di sini, kemudian tidur di bawah pohon itu.”

Para murid serentak mengiakan. Beberapa di antaranya segera menyalakan api untuk merebus air dan menyeduh teh.

Semua orang tertidur dan beristirahat selama beberapa jam, lalu bangun untuk makan siang. Melihat raut muka para murid yang terluka tampak sangat letih, Biksuni Dingjing pun berkata, “Jejak kita sudah diketahui musuh. Setelah ini, kita tidak perlu lagi berjalan sembunyi-sembunyi di malam hari. Kawan-kawan yang terluka juga butuh istirahat. Nanti malam kita menginap di Nianbapu.”

Begitulah, mereka lantas melanjutkan perjalanan menuruni bukit. Beberapa jam kemudian sampailah rombongan itu di Nianbapu, sebuah kota perbatasan antara daerah Zhejiang dan Fujian. Setiap orang yang berjalan dari Pegunungan Xianxia pasti melewati kota ini. Setibanya di sana hari belumlah gelap, namun anehnya tiada seoraang pun yang terlihat.

Yihe bertanya dengan heran, “Adat kebiasaan di Fujian sungguh aneh. Mengapa masih sore penduduk di sini sudah tidur?”

Biksuni Dingjing berkata, “Coba kita cari suatu penginapan untuk bermalam.”

Perguruan Henshan mempunyai hubungan baik dengan berbagai biara kaum wanita Buddha di sejumlah daerah. Namun di Nianbapu tidak terdapat biara semacam itu sehingga mereka terpaksa harus mencari penginapan untuk bermalam. Di sisi lain, masyarakat awam banyak yang menghindari kaum biksuni karena menganggap mereka sebagai pembawa sial, juga karena mereka suka mencari perkara demi hal-hal sepele. Untungnya kaum biksuni Henshan sudah terbiasa dan tidak mempermasalahkannya.

Nianbapu bukanlah kota besar, namun juga tidak bisa disebut kecil. Di dalamnya terdapat dua sampai tiga ratus rumah dan toko, namun suasananya sunyi senyap seperti kota mati. Selayang pandang mereka melihat semua pintu rumah dan toko telah tertutup rapat. Meski hari belum gelap, tapi suasana sudah seperti tengah malam.

Setelah rombongan berbelok di tikungan jalan, terlihat sehelai spanduk yang bertuliskan “Penginapan Xianju” dengan huruf-huruf besar. Namun demikian, pintu penginapan itu juga terkunci rapat, dan keadaan di dalamnya sunyi senyap tiada suara seorang pun.

Seorang murid perempuan bernama Zheng E segera maju mengetuk pintu penginapan itu. Zheng E adalah murid dari kalangan awam, dengan raut muka bulat telur yang selalu tersenyum manis. Ia pintar bicara dan pandai menjawab, sehingga sangat disukai kawan-kawannya. Di sepanjang perjalanan, ia selalu menjadi juru bicara rombongan jika harus berurusan dengan orang luar, karena jika yang maju dari kaum biksuni dikhawatirkan bisa terjadi penolakan.

Zheng E mengetuk pintu beberapa kali, berhenti sejenak, lalu kembali mengetuk beberapa kali, tapi sampai lama sekali masih belum juga ada orang menjawab atau membukakan pintu. Ia lantas berseru, “Paman pengurus, mohon bukakan pintu!” Suaranya terdengar nyaring dan jelas. Sebagai seorang pesilat, suaranya terdengar sampai jauh, meski melewati beberapa ruangan juga tetap bisa didengar orang. Namun anehnya, tetap saja tiada seorang pun dalam penginapan itu yang menjawab. Keadaan ini benar-benar di luar dugaan.

Yihe melangkah maju dan menempelkan telinga pada daun pintu, tapi tiada suara apa pun yang terdengar dari dalam. Papan pintu juga terlihat bersih dan rapi, jelas tidak seperti usaha yang sudah lama tutup. Ia pun berpaling kepada Dingjing dan berkata, “Guru, di dalam memang tidak ada orang. Bagaimana kalau kita lihat-lihat lagi di tempat lain? Penginapan di kota ini tentunya ada lagi yang lainnya.”

Setelah melewati puluhan rumah, mereka kembali menemukan sebuah penginapan bernama Penginapan Nan’an. Kembali Zheng E maju dan mengetuk pintu seperti tadi, namun keadaan tetap sama tiada jawaban seorang pun.

“Kakak Yihe, marilah kita periksa ke dalam,” ajak Zheng E.

“Baik!” jawab Yihe mengiakan.

Bersama mereka lantas melompati pagar tembok dan masuk ke dalam. Zheng E berseru, “Adakah orang di dalam?”

Karena tetap tiada jawaban apa-apa, mereka lantas menghunus pedang dan masuk ke aula penginapan, lalu memeriksa ke ruangan dalam, dapur, istal, dan sekelilingnya. Ternyata memang benar-benar tiada seorang pun di sana. Anehnya, di atas meja kursi tidak terdapat lapisan debu, bahkan poci teh di atas meja kamar juga terasa masih hangat.

Zheng E membuka pintu sehingga Biksuni Dingjing dan rombongan bisa masuk ke dalam, lalu melaporkan apa yang dilihatnya. Semua orang hanya bisa berdecak keheranan.

Dingjing lalu memberi perintah, “Kalian buatlah kelompok-kelompok tujuh orang untuk berpencar ke seluruh penjuru kota, memeriksa keadaan dan mencari tahu apa yang terjadi. Tujuh orang tidak boleh terpisah. Begitu menemukan jejak musuh segera tiuplah peluit untuk memberi tahu yang lain.”

Para murid mengiakan, kemudian berjalan ke luar dengan cepat bersama kelompok masing-masing. Dalam sekejap saja di aula penginapan itu hanya tinggal Dingjing seorang diri. Semula masih terdengar suara langkah kaki para murid, sampai akhirnya suasana menjadi sunyi senyap dan membuat bulu roma berdiri. Di dalam kota yang berisi ratusan rumah ternyata tiada suara manusia, bahkan kokok ayam atau lolongan anjing juga tidak terdengar. Benar-benar aneh.

Selang sejenak, Dingjing tiba-tiba merasa khawatir, “Jangan-jangan pihak Sekte Iblis memasang jebakan mematikan? Para murid sebagian besar belum berpengalaman di dunia persilatan. Aku khawatir mereka bisa masuk perangkap musuh.”

Ia kemudian berjalan keluar. Terlihat olehnya bayangan orang berkelebatan di sebelah timur laut. Di sebelah barat juga ada beberapa bayangan melompat masuk ke dalam toko dan rumah. Namun mereka semua adalah murid-murid Perguruan Henshan, sehingga membuat hati Dingjing agak tenang. Tidak lama kemudian para murid telah kembali susul-menyusul dan melaporkan tidak menemukan seorang pun di seluruh penjuru kota.

Yihe berkata, “Jangankan manusia, hewan juga tidak ada seekor pun.”

Yiqing menyambung, “Sepertinya penduduk kota ini belum lama meninggalkan rumah. Banyak tanda-tanda yang menunjukkan mereka baru saja berangkat dengan tergesa-gesa. Di beberapa rumah kami temukan peti yang masih terbuka, sedangkan barang-barang berharga di dalamnya sudah dibawa pergi.”

Dingjing manggut-manggut, kemudian bertanya, “Bagaimana pendapat kalian?”

Yihe menjawab, “Sepertinya ini perbuatan Sekte Iblis. Mereka telah mengusir penduduk supaya kota menjadi kosong, sehingga mereka bisa melakukan penyerangan besar-besaran terhadap kita dalam waktu dekat.”

“Benar!” sahut Dingjing. “Kali ini kaum iblis ternyata ingin bertempur dengan kita secara terang-terangan. Bagus sekali. Kalian takut atau tidak?”

“Menumpas kaum iblis adalah tugas suci pengikut Sang Buddha,” jawab para murid serentak.

Dingjing berkata pula, “Baiklah, kita bermalam di penginapan ini. Lebih dulu kita perlu menanak nasi dan makan kenyang. Tapi sebelumnya periksa dulu apakah air dan bahan makanan mengandung racun atau tidak.”

Begitulah, murid-murid Perguruan Henshan lantas sibuk menyiapkan makanan. Biasanya di waktu makan para murid memang dilarang bicara, lebih-lebih dalam keadaan mencekam seperti ini. Mereka saling memasang telinga untuk mendengarkan kalau-kalau ada sesuatu hal yang mencurigakan di luar sana. Setelah kelompok pertama selesai makan, mereka segera keluar untuk berjaga menggantikan kelompok yang lain untuk mendapat giliran makan, dan begitulah seterusnya.

Tiba-tiba Yiqing mendapat akal. Ia berkata, “Guru, bagaimana kalau kita pergi menyalakan pelita di rumah-rumah penduduk agar musuh tidak tahu di mana kita berada?”

“Siasat membingungkan musuh ini sangat bagus,” jawab Dingjing. “Baiklah, kalian bertujuh bisa pergi sekarang untuk menyalakan pelita.”

Yiqing dan kelompoknya segera berangkat. Sewaktu Dingjing memandang keluar, dilihatnya pada rumah-rumah penduduk di sebelah barat jalan satu per satu mulai memancarkan cahaya pelita. Tidak lama kemudian rumah-rumah di sebelah timur jalan juga mulai memancarkan cahaya pelita. Hanya saja, keadaan masih tetap sunyi senyap.

Dingjing menengadah ke langit. Tampak bulan sabit memancarkan sinarnya yang remang redup. Dalam hati ia pun berdoa, “Dewi Guanyin, lindungilah perjalanan kami supaya bisa kembali ke Gunung Henshan dengan selamat. Apabila kami dapat pulang, sejak itu Dingjing akan menyalakan pelita dan berdoa kepada Sang Buddha saja dan tidak akan menghunus pedang lagi.”

Bertahun-tahun silam Biksuni Dingjing pernah malang melintang di dunia persilatan. Namun menurutnya, pertempuran di Pegunungan Xianxia kemarin malam benar-benar sangat berbahaya. Bila membayangkan kejadian itu membuat hatinya langsung merasa ngeri. Jika pergi seorang diri, biarpun keadaan lebih buruk sepuluh kali juga tidak akan membuat Dingjing gentar. Namun sekarang ia memimpin puluhan murid Perguruan Henshan, mau tidak mau harus memikirkan keselamatan mereka. Diam-diam ia berdoa, “Dewi Guanyin yang welas asih, tolonglah kami dalam menghadapi kesulitan ini. Jika Perguruan Henshan harus tertimpa musibah, biarlah Dingjing sendiri yang menanggungnya, asalkan yang lain bisa selamat pulang ke Gunung Henshan.”

Pada saat itulah tiba-tiba dari arah timur laut berkumandang suara jeritan seorang perempuan, “Tolong, tolooong!”

Di tengah malam sunyi senyap, tiba-tiba terdengar suara jeritan melengking yang makin lama makin keras membuat suasana bertambah mengerikan. Dingjing terkesiap. Suara itu jelas bukan suara murid Perguruan Henshan. Ia berusaha menajamkan penglihatan untuk mengawasi arah datangnya suara itu, tapi tidak tampak terjadi sesuatu. Sejenak kemudian terlihat Yiqing dan keenam kawannya berlari ke sana, tentunya untuk menyelidiki apa yang sedang terjadi. Namun sampai lama kelompok itu tidak juga muncul kembali.

Yihe berkata, “Guru, izinkan kami pergi melihat ke sana.”

Dingjing mengangguk. Segera Yihe memimpin keenam kawannya berlari ke arah timur laut. Di tengah malam sunyi pedang yang mereka bawa tampak berkilauan kemudian menghilang dalam kegelapan.

Selang sejenak tiba-tiba terdengar lagi suara jeritan melengking wanita tadi berkumandang, “Tolong, ada orang terbunuh, toloong!”

Murid-murid Perguruan Henshan saling pandang dengan perasaan bingung karena tidak tahu apa yang terjadi di sana. Mereka heran mengapa kelompok-kelompok yang dipimpin Yiqing dan Yihe itu sampai sekian lama masih juga belum tampak kembali. Jika mereka bertemu musuh mengapa tidak terdengar suara pertempuran? Mendengar suara wanita yang minta tolong itu mereka serentak memandang ke arah Biksuni Dingjing untuk menunggu perintah supaya memberi pertolongan.

Dingjing kemudian berkata, “Yu Sao, kau pimpinlah enam adikmu ke sana. Apa pun yang kau lihat segera laporkan kepadaku.”

Yu Sao adalah wanita setengah baya yang semula menjadi pelayan Biksuni Dingxian di Biara Awan Putih Gunung Henshan. Karena sikapnya rajin dan juga memiliki keluhuran budi, akhirnya Dingxian pun menerimanya sebagai murid. Kali ini perjalanannya mengikuti Biksuni Dingjing menuju Fujian adalah pengalaman pertama berkelana di dunia persilatan.

Setelah mengiakan sambil memberi hormat, Yu Sao pun berangkat bersama enam adik seperguruannnya berlari ke arah timur laut tersebut. Akan tetapi, lagi-lagi kepergian ketujuh perempuan ini seperti batu dilemparkan ke laut, ditunggu sekian lamanya tetap tidak kembali.

Biksuni Dingjing bertambah gelisah. Ia berpikir mungkin musuh telah memasang perangkap sehingga ketiga kelompok murid itu terpancing ke sana dan akhirnya tertangkap satu per satu. Ia berusaha mendengarkan dengan seksama, ternyata tidak ada suara apa pun, dan suara jeritan wanita meminta tolong tadi juga tidak terdengar lagi.

Dingjing kemudian berkata, “Yizhi, Yizhen, kalian tinggal saja di sini. Rawatlah kakak-adik kalian yang terluka. Apa pun yang terjadi jangan sekali-kali meninggalkan penginapan agar tidak terjebak tipu muslihat ‘memancing harimau turun gunung’.”

Yizhi dan Yizhen mengiakan sambil memberi hormat.

Dingjing kemudian berkata kepada tiga murid yang berusia muda, “Zheng E, Yilin, Qin Juan, kalian bertiga ikut aku.” Habis berkata ia langsung berlari ke arah timur laut sambil menghunus pedang, diikuti ketiga murid tersebut.

Semakin dekat semakin terlihat oleh mereka sederetan rumah yang gelap gulita tanpa cahaya pelita, juga tidak terdengar suara apa-apa. Dengan suara bengis Dingjing membentak, “Kalian para siluman Sekte Iblis, kalau berani cepat keluar untuk bertempur! Orang gagah macam apa yang main sembunyi-sembunyi seperti tikus?”

Sampai sekian lama tidak juga terdengar jawaban dari dalam rumah. Tanpa pikir lagi Dingjing pun mendepak pintu rumah di depannya hingga terbuka lebar. Namun keadaan di dalam rumah sama sekali gelap gulita, entah ada penghuninya atau tidak. Dingjing tidak berani menerobos masuk begitu saja, hanya berseru, “Yihe, Yiqing, Yu Sao, apakah kalian mendengar suaraku?”

Namun di tengah malam sunyi itu hanya suaranya saja yang terdengar berkumandang.

“Kalian bertiga tetap di belakangku, jangan sampai terpisah,” kata Dingjing sambil menoleh kepada ketiga murid muda.

Segera ia berjalan mengitari rumah-rumah itu, tapi tidak tampak adanya sesuatu yang mencurigakan. Ia lalu melompat ke atas genting sebuah rumah dan memandang ke segala penjuru. Yang terasa olehnya hanyalah suasana sunyi senyap, tiada angin bertiup, tiada dedaunan yang bergerak, hanya cahaya rembulan yang jernih terpantul pada genting rumah. Keadaan seperti ini mirip sekali dengan pengalamannya saat keluar dari biara di Gunung Henshan pada malam hari. Hanya saja, suasana di Gunung Henshan aman tenteram penuh kedamaian, sedangkan saat ini sunyi senyap dalam bayang-bayang kematian. Percuma saja Dingjing memiliki ilmu silat tinggi namun dibuat mati kutu, karena musuh sama sekali tidak terlihat.

Diam-diam ia menjadi gelisah dan menyesal di dalam hati. “Sejak dulu aku tahu kalau Sekte Iblis memiliki banyak tipu muslihat. Seharusnya aku tidak mengirim para murid dalam kelompok-kelompok terpisah ….”

Mendadak hatinya tergetar. Dengan cepat ia pun melompat turun, kemudian berlari sekuat tenaga kembali ke Penginapan Nan’an tadi. Sebelum mencapai pintu depan ia sudah berseru, “Yizhi, Yizhen, apakah kalian melihat sesuatu?”

Akan tetapi, tidak terdengar jawaban seorang pun dari dalam penginapan. Dengan cepat ia menerjang ke dalam, namun penginapan itu sudah kosong. Beberapa muridnya yang terluka dan terbaring di situ juga sudah menghilang entah ke mana. Dalam keadaan demikian, betapa pun tenang dan sabarnya Dingjing juga tidak bisa lagi menguasai perasaan. Bayangan pedangnya yang terpantul oleh cahaya lilin tampak bergoyang-goyang, pertanda tangannya yang memegang pedang itu sedang gemetaran. Puluhan murid telah hilang, ke mana mereka? Mengapa itu bisa terjadi? Bagaimana sebaiknya? Dalam sekejap Dingjing merasa bibirnya kering, lidahnya kelu, dan sekujur tubuh tidak dapat digerakkan.

Namun perasaan lemas dan gemetar itu hanya terjadi sekejap saja. Segera ia menarik napas dalam-dalam, menghimpun tenaga di dalam Dantian, membuat semangatnya bangkit kembali. Dengan langkah gesit ia pun memeriksa seluruh ruang di penginapan itu, tapi tidak juga menemukan petunjuk apa-apa. Setelah berusaha menenangkan diri, ia berseru memanggil, “Zheng E, Qin Juan, Yilin, lekas kemari!”

Namun di tengah malam gelap itu lagi-lagi yang terdengar hanyalah suaranya sendiri, sedikit pun tidak ada jawaban dari ketiga murid muda tersebut.

“Celaka!” seru Dingjing setelah menyadari apa yang terjadi. Buru-buru ia menerjang keluar dan berteriak, “Zheng E, Qin Juan, Yilin, kalian di mana?”

Sesampainya di depan penginapan yang terlihat hanyalah cahaya rembulan yang dingin. Ketiga murid muda yang menyertainya ikut lenyap pula. Menghadapi peristiwa ini, perasaan cemas Dingjing berubah menjadi murka. Ia lalu melompat ke atap rumah dan berteriak sekerasnya, “Kalian para siluman Sekte Iblis, kalau berani keluarlah bertempur mati-matian! Orang gagah macam apa hanya bisa membuat bingung?”

Ia mengulangi teriakannya berkali-kali, tapi yang terdengar selalu suaranya sendiri. Terus-menerus ia mencaci maki, namun di dalam kota yang memiliki ratusan rumah itu seolah hanya tinggal ia seorang diri.

Tiba-tiba terlintas akal di benaknya. Segera ia berseru lantang, “Wahai para siluman Sekte Iblis, dengarkanlah! Jika kalian tetap tidak keluar, itu berarti membuktikan Dongfang Bubai adalah pengecut yang tak tahu malu, tidak berani menyuruh anak buahnya bertarung terang-terangan. Huh, Dongfang Bubai apa pula? Yang benar adalah Dongfang Bibai. Hayo, Dongfang Bibai, apa kau berani menghadapi biksuni tua ini? Huh, karena kau adalah Bibai, sudah pasti tidak berani. Pasti kalah!”

Ia paham segenap anggota Sekte Iblis sangat menghormati ketua mereka. Dongfang Bubai konon dipuja bagaikan malaikat dewata. Jika ada yang berani menghinanya, maka para anggota pasti akan turun tangan. Jika ada anggota yang tidak mati-matian membela nama baik Sang Ketua, tentu bisa dianggap melakukan dosa besar tanpa ampun.

Benar juga, begitu Dingjing menyebut nama “Dongfang Bibai” beberapa kali, mendadak dari sebuah rumah telah membanjir keluar tujuh orang. Tanpa bersuara, mereka serentak melompat ke atap rumah sehingga Dingjing terkepung di tengah-tengah.

Munculnya musuh-musuh itu membuat Dingjing merasa senang. Ia berpikir, “Akhirnya kaum siluman Sekte Iblis akhirnya keluar juga. Meskipun kalian bersatu mengepung diriku dan ingin mencincangku, tetap saja aku lebih senang daripada dipermainkan seperti tadi.”

Ketujuh orang itu tetap diam tanpa bersuara sedikit pun. Dingjing pun membentak dengan gusar, “Di mana murid-muridku? Kalian sembunyikan di mana mereka?”

Namun ketujuh orang itu tetap bungkam. Kedua orang yang berdiri di sebelah barat berusia lima puluhan. Wajah mereka tampak kaku tanpa perasaan seperti mayat. Dingjing pun berseru, “Baiklah, terima seranganku!”

Pedang Dingjing pun menusuk ke arah dada salah satu orang tua di sisi barat itu. Sang Biksuni paham di tengah kepungan musuh, sudah tentu serangannya sukar mencapai sasaran. Maka tusukannya itu hanyalah serangan tipuan. Sampai di tengah jalan ia berusaha menarik kembali pedangnya.

Tapi orang yang berada di depannya sungguh lihai. Rupanya ia pun mengetahui serangan tersebut hanyalah tipuan belaka. Maka, terhadap tusukan Dingjing itu sama sekali ia tidak berusaha mengelak.

Melihat sasarannya tidak bergerak, Dingjing membatalkan niatnya untuk menarik kembali serangannya. Sebaliknya, ia pun mengerahkan tenaga dan menusuk ke depan dengan lebih cepat.

Pada saat itulah dua orang lawan dari kedua sisi berkelebat pula. Tangan mereka masing-masing berusaha memukul bahu kanan-kiri Dingjing. Dengan cepat Dingjing bergeser ke samping. Seperti baling-baling pedangnya berputar balik untuk menebas tubuh lawan berperawakan tinggi besar yang berdiri di sisi timur.

Dengan gesit orang itu melangkah mundur, kemudian mengeluarkan senjata untuk menangkis pedang Dingjing. Senjata yang ia gunakan berupa perisai bundar yang sangat berat.

Namun pedang Dingjing sudah lebih dulu berputar ke arah lain. Seorang kakek di sebelah kiri menjadi sasarannya. Ternyata kakek itu tidak gentar terhadap senjata tajam. Dengan tangan kiri ia berusaha mencengkeram pedang Dingjing. Di bawah sinar rembulan yang remang-remang, Dingjing dapat melihat orang tua itu memakai sarung tangan hitam. Dapat diduga sarung tangan tersebut tentunya tidak mempan senjata tajam.

Dalam sekejap saja Dingjing sudah bergebrak beberapa jurus melawan lima di antara tujuh musuh. Ia sadar lawan-lawan yang mengepungnya ini semua adalah para pesilat tangguh. Jika satu lawan satu atau satu lawan dua tentu Dingjing tidak gentar, bahkan yakin masih bisa menang. Namun sekarang pihak lawan adalah tujuh orang yang maju sekaligus dan bekerja sama dengan rapat. Setiap ada celah kelemahan pada salah seorang musuh, tentu kawannya akan berusaha menutupi, sehingga Dingjing sukar melakukan serangan dan hanya bisa melakukan gerakan bertahan.

Makin lama bertempur, perasaan Dingjing semakin gelisah. Sambil bertarung ia pun berpikir, “Tokoh-tokoh Sekte Iblis yang ternama hampir semua sudah aku dengar sepak terjangnya. Senjata dan ilmu silat mereka juga telah diketahui Serikat Pedang Lima Gunung kami. Tapi terhadap ketujuh orang ini ternyata aku sama sekali tidak bisa menebak permainan mereka. Tak disangka, dalam beberapa tahun ini kekuatan Sekte Iblis semakin maju pesat dan semakin banyak jago sakti papan atas yang bergabung di dalamnya, serta merahasiakan asal-usul mereka.”

Setelah melewati enam atau tujuh puluh jurus berikutnya, keadaan Dingjing bertambah payah. Napasnya pun sudah mulai terengah-engah. Sekilas pandang ia melihat di atas genting sebuah rumah telah muncul belasan sosok manusia. Jelas orang-orang itu sejak tadi sudah bersembunyi di sana dan baru sekarang menampakkan diri.

Diam-diam Dingjing mengeluh dalam hati, “Celaka, melawan tujuh orang saja aku sudah kewalahan, apalagi sekarang bertambah musuh sebanyak itu. Kali ini nasib Dingjing si biksuni tua benar-benar di ujung tanduk. Daripada nanti aku tertangkap dan menerima penghinaan, lebih baik aku akhiri saja hidupku ini. Meski Sang Buddha melarang bunuh diri, tapi ini adalah bunuh diri di medan perang demi membela kehormatan. Tubuhku hanyalah kantong kulit yang tidak perlu disesalkan. Hanya saja, puluhan murid yang kubawa akan ikut menjadi korban. Di alam baka nanti bagaimana aku punya muka untuk bertemu para leluhur Perguruan Henshan?”

Sesudah mengambil keputusan, ia pun menyerang dengan ganas sebanyak tiga kali untuk mendesak musuh mundur dua langkah, kemudian secara cepat ia membalikkan pedang untuk menikam jantung sendiri.

Ketika ujung pedang sudah hampir menempel di dada, tiba-tiba terdengar benturan logam yang sangat keras. Tangan Dingjing tergetar keras, sampai pedangnya pun jatuh ke samping. Terlihat seorang laki-laki dengan pedang terhunus sudah berdiri di sebelahnya sambil berseru, “Biksuni Dingjing jangan berpikiran pendek. Kawan-kawan dari Perguruan Songshan berada di sini!”

Rupanya benturan tadi terjadi akibat orang itu secara tiba-tiba memukul jatuh pedang Dingjing menggunakan pedangnya.

Maka kemudian terdengarlah suara senjata beradu dengan sengit. Belasan orang yang muncul di atas genting tadi telah melompat serentak dan melabrak ketujuh jago Sekte Iblis tersebut. Setelah lolos dari kematian, semangat Dingjing menjadi berkobar. Ia segera memungut pedangnya dan kembali bertempur. Kali ini pihak Sekte Iblis yang berada dalam keadaan terdesak, karena harus berhadapan satu melawan dua. Tidak lama kemudian, ketujuh orang itu serentak bersuit dan mundur ke arah selatan.

Sambil mengacungkan pedangnya, Dingjing melompat ke atap untuk mengejar mereka. Namun dari tempat gelap di bawah teras sebuah rumah seketika muncul senjata rahasia berhamburan ke arahnya. Teringat akan kejadian di Pegunungan Xianxia kemarin, ia pun memusatkan perhatian dan dengan cepat memutar kencang pedangnya untuk menangkis senjata-senjata rahasia itu. Di bawah sinar rembulan pedangnya tampak menari-nari diikuti suara logam berdentingan, sampai akhirnya tidak terdengar lagi. Dingjing telah memukul jatuh semua senjata rahasia satu per satu, tetapi ketujuh musuh yang dikejarnya sudah menghilang dalam kegelapan.

Sesaat kemudian terdengar suara seseorang memuji di belakangnya, “Jurus Pedang Selaksa Bunga milik Perguruan Henshan benar-benar hebat. Hari ini mata kami benar-benar terbuka.”

Dingjing memasukkan pedang ke sarungnya, sambil perlahan-lahan membalik tubuh. Dalam sekejap raut wajahnya berubah dari seorang pesilat ganas kembali menjadi seorang biksuni sepuh yang memancarkan rasa welas asih. Dengan menguncupkan tangan ia memberi hormat sambil berkata, “Terima kasih banyak atas pertolongan Saudara Zhong.”

Ia mengenali laki-laki setengah baya yang berdiri di depannya itu yang tadi telah menggagalkan niatnya untuk bunuh diri. Orang itu bernama Zhong Zhen yang tidak lain adalah adik seperguruan Ketua Zuo dari Perguruan Songshan. Julukannya adalah Si Pedang Berlekuk Sembilan, bukan karena memiliki senjata yang yang berlekuk-lekuk, tetapi karena permainan pedangnya berubah-ubah sulit ditebak orang. Tempo hari Dingjing pernah berjumpa dengannya dalam acara pertemuan besar di Puncak Riguan, Pegunungan Songshan. Di antara tokoh-tokoh Perguruan Songshan lainnya, hanya beberapa saja yang dikenali oleh Sang Biksuni.

Zhong Zhen lantas membalas penghormatan, lalu menjawab sambil tersenyum kecil, “Seorang diri Biksuni Dingjing bertempur melawan ‘Tujuh Duta Bintang’ dari Sekte Iblis dengan ilmu pedangmu yang sangat hebat. Sungguh kami merasa kagum.”

Baru sekarang Dingjing mengetahui bahwa ketujuh lawannya tadi dikenal sebagai “Tujuh Duta Bintang” segala. Agar tidak terlihat kurang wawasan, ia pun tidak bertanya lebih jauh. Yang penting baginya sekarang sudah mengetahui julukan oraang-orang itu sehingga di kemudian hari urusan bisa menjadi lebih mudah.

Satu per satu orang-orang Perguruan Songshan lainnya memberi hormat. Dua di antara belasan orang itu adalah adik seperguruan Zhong Zhen, sedangkan sisanya adalah murid-murid dari angkatan yang lebih muda.

Biksuni Dingjing membalas penghormatan mereka, kemudian berkata, “Sungguh memalukan! Perjalanan Perguruan Henshan kami ke Fujian kali ini bersama puluhan murid, tapi secara mendadak mereka lenyap semua di kota ini. Saudara Zhong, kapan kalian sampai di Nianbapu sini? Apakah kalian menemukan tanda-tanda yang dapat kugunakan sebagai petunjuk?”

Diam-diam ia merasa kesal karena yakin orang-orang Perguruan Songshan ini sejak tadi sudah bersembunyi di situ, tapi sengaja menunggu dirinya terdesak. Baru setelah ia mencoba bunuh diri, mereka pun muncul membantu untuk memperlihatkan kebesaran perguruan mereka. Hal ini sebenarnya sangat menyebalkan. Hanya saja, puluhan muridnya mendadak lenyap entah ke mana. Persoalan ini sungguh gawat dan terpaksa ia mencari tahu kepada orang-orang Perguruan Songshan tersebut. Kalau saja urusan ini hanya menyangkut dirinya sendiri, meskipun mati juga ia tidak sudi memohon kepada mereka. Bertanya seperti tadi kepada Zhong Zhen saja sudah membuatnya merasa tidak nyaman.

Zhong Zhen pun menjawab dengan tersenyum, “Kawanan siluman Sekte Iblis memang memiliki banyak tipu muslihat. Kedatangan mereka kali ini jelas sudah direncanakan dengan matang. Mereka tahu betapa lihai ilmu silat Biksuni. Maka, mereka pun sengaja memasang perangkap untuk menjebak para murid. Tapi Biksuni tidak perlu khawatir. Betapa pun kurang ajarnya Sekte Iblis rasanya tidak berani mencelakai jiwa para murid Perguruan Henshan yang mulia. Sekarang, marilah kita turun ke bawah untuk merundingkan cara-cara yang baik demi menolong mereka.” Sambil berbicara ia menjulurkan tangan kanannya untuk mempersilakan turun ke tanah.

Dingjing mengangguk-angguk, lantas mendahului melompat ke bawah. Menyusul kemudian Zhong Zhen dan rombongannya juga melompat turun.

Zhong Zhen mendahului berjalan ke arah barat, sambil berkata, “Marilah ikut denganku, Biksuni.”

Setelah berjalan ratusan meter, mereka pun sampai di Penginapan Xianju. Setibanya di sana, Zhong Zhen lantas mendorong pintu dan masuk ke dalam, lalu berkata, “Biksuni, marilah kita berunding di sini saja.”

Kedua adik seperguruan Zhong Zhen masing-masing bernama Teng Bagong yang berjuluk Si Cambuk Sakti, dan Gao Gexin yang berjuluk Si Singa Berbulu Terang. Mereka bertiga termasuk dalam “Tiga Belas Pelindung Songhan”. Ketiganya mengajak Dingjing masuk ke dalam sebuah ruangan yang cukup luas. Beberapa murid ikut masuk untuk menghidangkan teh, setelah itu mengundurkan diri. Gao Gexin lantas menutup rapat pintu ruangan.

Zhong Zhen berkata, “Kami bertiga sudah lama mengagumi ilmu pedang Biksuni Dingjing, paling hebat di Perguruan Henshan ….”

“Tidak benar,” tukas Dingjing sambil menggeleng. “Ilmu pedang Adik Ketua jauh lebih hebat. Bahkan ilmu pedangku tidak lebih tinggi daripada Adik Dingyi.”

“Ah, Biksuni terlalu rendah hati,” ujar Zhong Zhen tersenyum. “Masalahnya tadi aku dan kedua adikku ingin melihat kehebatan ilmu pedang Biksuni sehingga terlambat memberi bantuan. Sama sekali kami tidak punya maksud jelek. Untuk ini kami minta maaf, mohon supaya Biksuni tidak menyalahkan kami.”

Melihat ketiga orang itu bangkit dan memberi hormat, Dingjing pun bangkit pula untuk membalas hormat, sambil berkata, “Ah, tidak apa-apa.” Sampai di sini rasa kesalnya tadi seketika berkurang banyak.

Zhong Zhen menunggunya duduk lebih dulu, kemudian melanjutkan berkata, “Sejak kelima perguruan membentuk Serikat Pedang Lima Gunung, kita bagaikan pancatunggal dan tidak membeda-bedakan ini dan itu. Bagaikan pohon yang memiliki lima cabang, susah dan senang ditanggung bersama. Hanya saja, akhir-akhir ini kita semakin jarang berjumpa. Banyak urusan penting yang tidak kita kerjakan bersama sehingga membuat Sekte Iblis semakin ganas dan luas pengaruhnya.”

“Hmm,” jawab Dingjing. Diam-diam ia berpikir mengapa dalam keadaan seperti ini Zhong Zhen masih saja bicara basa-basi.

Zhong Zhen melanjutkan perkataannya, “Ketua Zuo sering mengatakan, ‘Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.’ Seandainya Serikat Pedang Lima Gunung kita senantiasa bersatu padu, betapa pun kuatnya Sekte Iblis tidak akan mampu melawan kita. Bahkan, kebesaran Perguruan Shaolin dan Wudang yang termasyhur di dunia persilatan pun tidak akan mampu menandingi kita. Maka, Ketua Zuo memiliki cita-cita ingin mempersatukan Serikat Pedang Lima Gunung yang berserakan seperti pasir untuk digabung menjadi sebuah Perguruan Lima Gunung. Jika itu bisa diwujudkan, maka dengan anggota yang begitu banyak dan bergabung menjadi satu, maka kita akan merajai dunia persilatan. Bagaimana pendapat Biksuni?”

Dingjing mengerutkan dahi, kemudian menjawab, “Biksuni tua seperti aku bukanlah siapa-siapa dalam Perguruan Henshan. Aku selamanya tidak pernah mengurusi hal-hal seperti itu. Kalau ingin membicarakan urusan penting, sebaiknya Saudara Zhong menemui Adik Ketua-ku saja. Yang paling penting bagiku sekarang adalah berusaha menyelamatkan murid-murid perguruan kami yang hilang itu. Urusan lainnya boleh dibicarakan lain hari.”

“Biksuni jangan khawatir,” ujar Zhong Zhen. “Karena Perguruan Songshan sudah memergoki masalah ini, maka urusan Perguruan Henshan menjadi urusan perguruan kami pula. Bagaimana pun kami pasti tidak akan membiarkan adik-adik dari Perguruan Henshan kalian yang mulia menderita. Semuanya akan baik-baik saja.”

“Terima kasih banyak,” kata Dingjing. “Tapi kalau boleh tahu, bagaimana Saudara Zhong begitu yakin semuanya akan baik-baik saja? Atas dasar apa Saudara Zhong bisa berkata demikian?”

Zhong Zhen menjawab, “Biksuni sendiri berada di sini. Seorang jago terkemuka dari Perguruan Henshan mengapa harus takut kepada beberapa siluman Sekte Iblis? Lagi pula adik-adik seperguruanku dan beberapa murid kami juga akan membantu mencari mereka dengan sekuat tenaga. Jika masih tidak bisa mengalahkan beberapa siluman renddahan Sekte Iblis, hehe, benar-benar keterlaluan, bukan?”

Mendengar pembicaraan yang berbelit-belit itu Dingjing semakin kesal dan bertambah gelisah. Segera ia pun bangkit dan berseru, “Karena Saudara Zhong sudah berkata demikian, bagus sekali! Kalau begitu mari kita berangkat sekarang!”

“Biksuni hendak berangkat ke mana?” tanya Zhong Zhen.

“Pergi menolong mereka!” sahut Dingjing.

“Menolong mereka? Menolong ke mana?” tanya Zhong Zhen pula.

Pertanyaan ini membuat Dingjing tak bisa menjawab. Setelah tertegun sejenak barulah ia berkata, “Murid-murid kami belum lama hilang, tentu mereka masih berada di sekitar sini. Semakin lama ditunda tentu akan semakin sulit menemukan mereka.”

Zhong Zhen berkata, “Setahu adik, tidak jauh dari Nianbapu sini terdapat sarang persembunyian Sekte Iblis. Kemungkinan besar adik-adik dari Perguruan Henshan dibawa ke sana. Menurut pendapat adik ….”

“Di mana letak sarang mereka itu? Marilah sekarang juga kita berangkat ke sana!” tukas Dingjing cepat.

Zhong Zhen menjawab, “Pihak Sekte Iblis jelas sudah mempersiapkan diri. Mereka bertindak dengan rencana yang sudah teratur. Jika kita pergi begitu saja, kemungkinan besar kita langsung masuk perangkap sebelum sempat menolong keluar orang-orang kita. Maka menurut pendapat adik, sebaiknya kita berunding dulu baru kemudian mulai bertindak.”

Terpaksa Dingjing duduk kembali dan berkata, “Baiklah, bagaimana pendapat Saudara Zhong?”

“Kedatangan adik ke Fujian ini adalah atas perintah Ketua Zuo untuk merundingkan suatu urusan penting dengan Biksuni,” kata Zhong Zhen perlahan-lahan. “Urusan ini menyangkut masa depan dunia persilatan Daratan Tengah dan menyangkut jaya atau runtuhnya Serikat Pedang Lima Gunung kita. Maka, urusan ini bukanlah perkara remeh. Jika urusan penting ini sudah ditetapkan, maka soal menolong orang segala boleh dikata semudah membalikkan telapak tangan.”

“Urusan penting apa yang kau maksudkan?” sahut Dingjing menegas.

“Yaitu seperti apa yang adik katakan tadi, tentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu itu,” jawab Zhong Zhen. Ia terus-menerus menyebut diri sendiri “adik” seolah-olah kelima perguruan sudah dilebur dan ia menjadi adik seperguruan Dingjing.

Serentak Dingjing bangkit dari tempat duduknya dengan muka merah padam, dan berkata, “Kau ini … kau ini ….”

Zhong Zhen tersenyum dan menjawab, “Harap Biksuni jangan salah paham dan menganggap adik mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk memaksa Biksuni menyetujui urusan ini.”

“Kau sendiri yang mengatakan, bukan aku,” sahut Dingjing dengan gusar. “Kalau sekarang kau tidak sedang mengambil kesempatan dalam kesempitan, lantas apa namanya?”

Zhong Zhen berkata, “Perguruan Henshan kalian yang mulia bukanlah Perguruan Songshan kami, begitu pula sebaliknya. Urusan perguruan kalian yang mulia sudah tentu menjadi perhatian kami, tapi bagaimanapun juga tetap saja kami harus adu senjata dan mempertaruhkan nyawa. Sekalipun adik bersedia membantu Biksuni, tapi entah bagaimana dengan para adik dan keponakan perguruan kami? Apakah mereka juga sudi berkorban demi perguruanmu? Namun kalau kedua perguruan sudah dilebur menjadi satu, maka urusan ini menjadi urusan perguruan kita bersama. Dengan demikian kami tidak bisa mengelak dan harus ikut memikul tanggung jawab ini sepenuh tenaga.”

Dingjing menyahut, “Jelasnya, kalau Perguruan Henshan kami tidak mau bergabung dengan perguruanmu yang mulia, maka Perguruan Songshan kalian akan berpangku tangan terhadap hilangnya murid-murid kami yang diculik Sekte Iblis, begitu?”

“Tidak bisa dikatakan demikian,” kata Zhong Zhen. “Adik hanya menjalankan perintah Ketua Zuo untuk berunding dengan Biksuni. Mengenai urusan lain, terpaksa adik tidak berani sembarangan bertindak. Untuk ini harap Biksuni jangan marah.”

Dingjing sangat gusar sehingga wajahnya terlihat pucat pasi. Dengan nada dingin ia berkata, “Huh, biksuni tua ini tidak berhak mengambil keputusan mengenai peleburaan perguruan. Sekalipun aku menyanggupi, percuma juga kalau nanti Adik Ketua kami menolak.”

Zhong Zhen menggeser kursinya lebih dekat, lalu bicara agak berbisik, “Asalkan Biksuni sudah menyanggupi, kelak Biksuni Dingxian pasti akan menerima juga. Biasanya, jabatan ketua dari suatu perguruan dipegang oleh murid tertua. Bicara tentang keluhuran budi, ilmu silat, juga tentang siapa yang lebih dulu masuk perguruan, seharusnya Biksuni Dingjing yang menjadi ketua Perguruan Henshan ….”

“Brak”, mendadak Dingjing menggebrak meja sampai rompal salah satu sudutnya. Ia kemudian menukas dengan nada bengis, “Apa kau berniat hendak memecah belah kami? Aku sendiri yang memohon setulus hati kepada mendiang guru kami supaya adikku yang diangkat menjadi ketua. Jika aku mau menjadi ketua tentu sudah sejak dulu kulakukan. Tidak perlu menunggu orang luar menghasut seperti ini!”

Zhong Zhen menghela napas lalu berkata, “Aih, apa yang dikatakan Ketua Zuo memang tidak salah.”

“Apa yang Beliau katakan?” hardik Dingjing.

Zhong Zhen menjawab, “Sebelum berangkat ke selatan sini, Ketua Zuo sudah berkata kepadaku bahwa perangai Biksuni Dingjing dari Perguruan Henshan sangat baik, berbudi luhur, ilmu silatnya juga sangat tinggi, namun sayang kurang luas pandangannya. Aku lalu bertanya mengapa demikian? Beliau menjawab cukup mengenal pribadi Biksuni yang suka kepada ketenteraman, tidak memedulikan urusan duniawi, tidak suka mencari nama, juga tidak suka ikut campur urusan sehari-hari. Jika berbicara soal peleburan kelima perguruan dengan Biksuni tentu usahaku akan sia-sia belaka. Namun karena masalah ini sangat penting, walaupun tahu tidak akan berhasil, tetap akan kusampaikan juga kepada Biksuni. Jika Biksuni hanya memikirkan keselamatan diri sendiri dan tetap tidak menghiraukan hidup-mati ribuan orang aliran lurus kita, maka apabila dunia persilatan tertimpa bencana besar, terpaksa kita anggap saja ini sudah suratan takdir. Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”

Dingjing kembali bangkit dan berkata sinis, “Percuma saja kau memutar lidah dengan bermacam-macam kata-kata manis. Perbuatan Perguruan Songshan kalian bukan hanya mengambil kesempatan di dalam kesempitan, tapi juga menimpakan batu kepada orang yang tercebur ke dalam sumur.”

“Perkataan Biksuni tidak benar,” bantah Zhong Zhen. “Kalau Biksuni bersedia menerima ajakan kami, kemudian ikut mengemban tugas berat ini menyampaikan kepada Perguruan Taishan, Hengshan, dan Huashan sehingga bergabung menjadi satu, maka Perguruan Songshan kami akan sangat berterima kasih, dan mendukung Biksuni menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Dengan demikian Biksuni dapat melihat betapa tulus maksud baik Ketua Zuo yang tidak memiliki ambisi pribadi ….”

“Sudahlah, tidak perlu kau teruskan, hanya membuat kotor telingaku saja!” seru Dingjing sambil menggoyang-goyang kedua tangan. Ia kemudian memberi hormat, lalu memukul daun pintu hingga terlepas dari bingkainya dan melayang seketika. Secepat kilat ia melesat keluar meninggalkan Penginapan Xianju tersebut.

Setibanya di luar, Dingjing merasa mukanya yang panas menjadi segar tertiup angin malam yang semilir. Ia pun berpikir, “Orang bermarga Zhong itu mengatakan Sekte Iblis mempunyai sarang persembunyian tidak jauh dari Nianbapu sini. Entah ucapannya itu benar atau tidak?”

Di tengah malam sunyi ia berjalan sendiri tanpa tujuan yang jelas sambil termenung-menung. Saat itu rembulan hampir terbenam sehingga bayang-bayangnya terlihat panjang pada bebatuan pelapis jalan. Setelah berjalan beberapa puluh meter tiba-tiba ia menghentikan langkah. “Hanya mengandalkan tenagaku seorang diri bagaimana aku mampu menolong puluhan murid yang tertawan? Seorang kesatria harus dapat bertindak sesuai keadaan. Rasanya untuk sementara tidak ada jeleknya aku menyanggupi permintaan orang bermarga Zhong itu. Nanti kalau para murid sudah diselamatkan maka aku akan segera bunuh diri untuk menebus kesalahanku. Dengan demikian Perguruan Songshan tidak memiliki saksi hidup serta bukti persetujuanku lagi. Seandainya ia menuduhku ingkar janji dan menghancurkan nama baikku di hadapan semua orang, maka biarlah semua kejelekan ini aku pikul sendiri.”

Setelah berpikir demikian ia pun menghela napas panjang, lalu berputar balik dan berjalan perlahan-lahan menuju ke Penginapan Xianju lagi. Pada saat itulah mendadak di ujung jalan besar terdengar suara seorang laki-laki sedang berteriaak-teriak, “Nenekmu, ada jenderal sudah kecapekan ingin bermalam dan minum arak, kenapa kalian tidak cepat-cepat membuka pintu?”

Apa yang didengarnya itu jelas suara Wu Tiande, komandan militer yang kemarin muncul di Pegunungan Xianxia. Seketika Dingjing merasa bagaikan seorang yang hampir mati tenggelam mendadak menemukan sebilah papan kayu yang terapung-apung sebagai pegangan. Sungguh senang perasaannya tidak terkatakan.

Orang yang baru datang itu memang betul Wu Tiande, alias Linghu Chong yang sedang menyamar sebagai perwira. Di Pegunungan Xianxia kemarin ia telah membantu rombongan Perguruan Henshan membebaskan diri dari perangkap musuh, membuat hatinya merasa puas. Ia kemudian berjalan dengan langkah cepat dan mendahului sampai di Nianbapu.

Ketika sampai di kota tersebut, keadaan masih pagi dan beberapa toko serta rumah makan baru saja buka. Segera ia memasuki sebuah kedai nasi dan berteriak, “Sediakan arak!”

Melihat tamu yang datang seorang perwira, sudah tentu si pelayan tidak berani membantah. Segera ia menuangkan arak, menghidangkan nasi, memotong lauk, dan memberikan pelayanan dengan penuh hormat dan agak gemetar.

Linghu Chong sendiri minum sepuas-puasnya sampai agak mabuk. Ia berpikir, “Kali ini Sekte Iblis mengalami kegagalan, tentu mereka merasa tidak senang dan akan mencari perkara lagi dengan Perguruan Henshan. Biksuni Dingjing memang pemberani dan berilmu tinggi, tapi kurang pandai bersiasat. Sudah tentu ia bukan lawan Sekte Iblis. Mungkin sebaiknya aku tetap melindungi mereka secara diam-diam.” Usai makan dan minum, ia membayar tagihan, lalu menyewa sebuah kamar di Penginapan Xianju untuk tidur.

Ketika hari sudah siang, ia bangun tidur dan mencuci muka. Tiba-tiba terdengar suara ramai-ramai di luar, seperti ada orang berteriak-teriak, “Malam ini kawanan bandit Huang Fengzhai dari Bukit Batu Kacau akan datang merampok Nianbapu! Kita semua akan dibunuh dan harta benda kita akan dirampas! Kita harus lekas-lekas menyelamatkan diri!”

Sekejap kemudian datanglah si pelayan menggedor pintu kamar penginapan sambil berteriak-teriak, “Tuan Perwira! Tuan Perwira! Celaka ini, celaka ini!”

Linghu Chong membuka pintu kamar dan memaki, “Nenekmu, apanya yang celaka?” tanya Linghu Chong

Si pelayan menjawab, “Kawanan bandit Huang Fengzhai dari Bukit Batu Kacau nanti malam akan menjarah kota ini. Sekarang semua orang berusaha kabur menyelamatkan diri.”

Linghu Chong memaki lagi, “Nenekmu, siang bolong begini mana ada bandit? Ada jenderalmu di sini, apa mereka masih berani main gila?”

Si pelayan berkata dengan wajah ketakutan, “Tapi … tapi gerombolan bandit itu sangat kejam. Mereka juga … juga tidak tahu Jenderal ada di sini.”

“Kau pergi saja ke sana, beri tahu mereka,” ujar Linghu Chong.

“Wah, mana hamba … berani? Bisa-bisa kepala hamba dipenggal mereka,” jawab si pelayan terbata-bata.

“Bukit Batu Kacau tempat Huang Fengzhai itu di mana?” tanya Linghu Chong.

“Hamba belum pernah tahu bukit itu ada di mana,” kata si pelayan. “Tapi kabarnya, Huang Fengzhai itu bandit yang sangat keji dan lihai. Dua hari yang lalu ia baru saja merampok Darongtou yang jaraknya belasan kilo di sebelah timur Nianbapu ini. Ia dan gerombolannya membunuh tujuh puluhan orang dan membakar lebih dari seratus rumah. Meskipun Jenderal memiliki kepandaian tinggi, tapi hanya dengan dua tangan sulit menghadapi banyak tangan. Kabarnya orang itu punya anak buah lebih dari tiga ratus orang.”

Linghu Chong membentak, “Nenekmu, kalau lebih dari tiga ratus orang lantas mau apa? Jenderalmu ini sudah biasa menghadapi pasukan musuh yang jumlahnya ribuan orang, menerjang ke sana kemari. Cuma bandit beberapa orang saja, apa artinya bagiku?”

“Iya, iya,” jawab si pelayan kemudian berbalik dan keluar kamar dengan langkah cepat.

Terdengar suara kacau-balau di luar. Seruan-seruan memanggil ibu terdengar di segala penjuru. Linghu Chong sama sekali tidak paham bahasa daerah selatan, sehingga hanya bisa menduga-duga mereka berkata, “Ibunya Ah Mao, apa kau sudah ambil selimut?” juga “Da Bao, Xiao Bao, cepat lari! Bandit datang!” atau sebagainya.

Linghu Chong menengok keluar penginapan. Dilihatnya berpuluh-puluh orang ramai-ramai menuju ke selatan dengan harta benda masing-masing yang bisa dibawa. Ada yang membawa bungkusan, ada pula yang menenteng kopor kayu. Melihat pemandangan tersebut ia pun berpikir, “Tempat ini adalah perbatasan antara Zhejiang dan Fujian. Agaknya para pembesar di Hangzhou dan Fuzhou tidak mengurus kota ini dengan baik, sehingga kaum bandit merajalela dan rakyat kecil yang menjadi korban. Sebagai komandan militer Quanzhou, mana boleh Wu Tiande tinggal diam berpangku tangan? Aku harus menumpas kawanan bandit itu untuk mendapat jasa. Makan gaji dari Kaisar, harus setia kepada Kaisar. Nenekmu, mana boleh aku tinggal diam? Hahaha!” Memikirkan hal itu membuatnya tertawa sendiri. Lalu ia pun berteriak-teriak, “Hei, pelayan! Bawakan arak dan makanan! Setelah kenyang jenderalmu akan menumpas para bandit.”

Namun waktu itu segenap penghuni penginapan sudah kabur. Majikan pemilik penginapan, istri pertama, istri kedua, istri ketiga, para pelayan dan juru masak, serta semua tamu sudah lari tunggang langgang. Maka biarpun Linghu Chong berteriak-teriak sampai suaranya serak juga tidak ada orang yang menggubrisnya.

Linghu Chong tidak mempunyai pilihan lain, terpaksa pergi ke dapur sendiri untuk mengambil arak, lalu duduk di ruangan depan untuk minum-minum sendirian. Suara hiruk-pikuk di kota itu bercampur baur antara manusia dan binatang seperti ayam, anjing, kuda, dan babi, pertanda penduduk mengungsi sambil membawa hewan peliharaan pula. Setelah agak lama suara ramai berangsur-angsur reda. Setelah Linghu Chong minum tiga cawan, segala suara akhirnya menghilang sama sekali. Keadaan kini benar-benar sunyi senyap.

“Aneh sekali. Kawanan bandit Huang Fengzhai itu benar-benar sial. Rencana mereka entah bagaimana bisa bocor. Nanti begitu mereka sampai di kota ini ternyata tidak ada barang yang bisa mereka jarah,” demikian ia berpikir.

Di kota yang sedemikian besar hanya tinggal ia seorang diri, sungguh peristiwa aneh yang sulit dipercaya. Dalam keadaan sunyi hening itu, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda sedang mendekat. Tak lama kemudian terlihat empat orang penunggang kuda sedang berpacu dari arah selatan. Linghu Chong pun berpikir, “Tentu ini adalah pemimpin kawanan bandit. Mengapa jumlahnya cuma sedikit? Mana anak buah yang lain?”

Setelah para penunggang kuda itu sampai di tengah kota, seorang di antaranya lantas berteriak, “Wahai kambing-kambing Nianbapu! Yang Mulia Huang Fengzhai sudah datang dan memerintahkan kalian semua, laki-laki-perempuan, tua-muda, besar-kecil, supaya berdiri di luar gerbang kota. Yang berdiri di luar sana tidak akan dibunuh. Yang tetap di dalam kota akan dipenggal kepalanya.” Sambil berteriak-teriak, ia dan ketiga rekannya lantas memacu kuda ke sana kemari di jalanan kota.

Linghu Chong mengintip melalui sela-sela pintu. Namun yang terlihat olehnya hanyalah punggung keempat orang itu yang sudah makin menjauh. Ia pun terkesiap dan berpikir, “Aneh, dari sikap dan tindak-tanduk mereka sepertinya keempat orang itu berilmu tinggi. Kalau cuma anak buah kaum bandit mana mungkin sehebat ini?”

Perlahan-lahan ia membuka pintu, lalu berjalan merunduk melalui teras rumah penduduk. Belasan meter kemudian, dilihatnya kelenteng leluhur yang di sebelahnya terdapat pohon beringin rindang. Segera ia pun meloncat ke atas. Hanya dengan sekali menjejakkan kaki ia sudah mencapai cabang tertinggi.

Suasana di kota itu tetap sunyi senyap. Semakin lama menunggu Linghu Chong semakin merasa ada yang tidak beres. “Aneh sekali. Mengapa pasukan induk kaum bandit itu masih belum juga muncul? Untuk apa si Huang Fengzhai susah-susah mengirim empat anak buahnya memberi peringatan kepada kaum penduduk agar mereka bisa melarikan diri?”

Setelah menunggu lebih dari satu jam, sayup-sayup terdengar suara kaum perempuan yang sedang bicara berbisik-bisik. Linghu Chong menajamkan pendengaran dan lantas mengenali para perempuan yang sedang bercakap-cakap itu adalah murid-murid Perguruan Henshan. Diam-diam ia berpikir, “Mengapa mereka baru sampai di sini? Ah, aku tahu. Tentunya siang tadi mereka beristirahat di hutan.”

Dari percakapan rombongan Perguruan Henshan itu dapat diketahui kalau mereka tidak jadi masuk ke Penginapan Xianju dan menuju ke penginapan lain, yaitu Penginapan Nan’an. Begitu masuk ke dalam penginapan yang jaraknya cukup jauh dari kelenteng leluhur tersebut, pembicaraan mereka tidak lagi terdengar oleh Linghu Chong. Samar-samar dalam hati ia merasa orang-orang Sekte Iblis telah memasang perangkap itu untuk menjebak rombongan Perguruan Henshan. Maka, ia pun memutuskan tetap bersembunyi di atas pohon untuk melihat perkembangan selanjutnya.

Agak lama kemudian, tampak Yiqing bersama keenam rekannya keluar dari penginapan untuk menyalakan lampu. Dalam waktu singkat banyak rumah penduduk dan toko memancarkan sinar pelita melalui jendela.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba dari arah timur laut terdengar suara wanita menjerit minta tolong. Linghu Chong terkejut dan berpikir, “Celaka! Murid-murid Perguruan Henshan masuk perangkap Sekte Iblis.”

Segera ia melompat turun dari pucuk pohon dan mendarat di tanah. Dengan ilmu meringankan tubuh ia berlari ke arah datangnya suara, dan dalam sekejap sudah sampai di depan rumah tempat suara jeritan wanita tadi berasal. Perlahan-lahan ia mengintip melalui celah-celah jendela, ternyata keadaan di dalam gelap gulita, tiada sinar lampu. Untung saja ada sinar rembulan masuk sehingga sekilas terlihat olehnya ada tujuh orang laki-laki berdiri merapat pada dinding. Seorang wanita tampak berdiri di tengah ruangan lantas berteriak-teriak lagi, “Tolong, ada pembunuhan, toloong!”

Linghu Chong hanya melihat wajah wanita itu dari samping. Meskipun berteriak-teriak minta tolong, tapi bibirnya tampak tersenyum menyeringai. Melihat gelagatnya jelas wanita itu sedang menunggu para mangsa berdatangan masuk ke dalam perangkapnya.

Benar juga, belum habis ia menjerit, di luar sudah ada seorang perempuan berseru, “Siapa yang melakukan pembunuhan di sini?”

Rupanya pintu rumah memang sengaja tidak dikunci. Maka dengan sekali dorong saja daun pintu lantas terbuka. Serentak ada tujuh orang perempuan menerjang dengan langkah gesit ke dalam sambil menghunus pedang. Orang yang menyerbu paling depan tidak lain adalah Yiqing.

Tiba-tiba wanita yang menjerit minta tolong tadi mengayunkan tangan kanannya. Selembar kain hijau selebar kira-kira satu meter persegi lantas terbentang ke depan. Entah mengapa Yiqing dan keenam kawannya langsung gemetar. Kepala mereka terasa pusing dan mata berkunang-kunang. Sesudah terhuyung-huyung sejenak, mereka pun roboh dan terguling di lantai.

Melihat itu Linghu Chong terkejut. Sekilas terpikir olehnya, “Kain yang dibentangkan wanita itu pasti mengandung obat bius yang sangat ampuh. Jika aku menyerbu ke dalam untuk menolong Yiqing bertujuh, tentu aku akan mengalami nasib yang sama. Lebih baik aku bersabar dulu menunggu di sini untuk melihat perkembangan selanjutnya.”

Ketujuh laki-laki yang berdiri rapat di dinding beramai-ramai maju ke dapan. Mereka mengeluarkan tali untuk mengikat erat kaki dan tangan Yiqing bertujuh.

Tidak lama kemudian di luar kembali terdengar suara. Seorang perempuan telah berteriak, “Siapa yang berada di dalam?”

Linghu Chong mengenali suara itu karena kemarin sempat berbicara dengannya beberapa kali di Pegunungan Xianxia. Sesuai dugaan, kali ini yang datang adalah kelompok yang dipimpin Yihe yang berwatak berangasan. Linghu Chong pun berpikir, “Kau ini berwatak kasar dan ceroboh. Kali ini kau akan menjadi bacang di Fujian sini.”

Terdengar Yihe kembali berseru di luar, “Adik Yiqing, apakah kalian berada di dalam?”

Menyusul kemudian kakinya menendang pintu hingga terpentang lebar. Ketujuh perempuan itu berturut-turut menerobos masuk dengan menyusun diri dalam dua barisan. Begitu melewati pintu mereka segera memutar pedang masing-masing untuk melindungi diri dari sergapan musuh di kiri maupun kanan. Betapa rapat pertahanan mereka sehingga tidak memungkinkan musuh untuk menyerang.

Musuh-musuh di dalam rumah itu ternyata diam menahan napas. Mereka menunggu Yihe bertujuh masuk ke dalam rumah barulah si wanita membentangkan kainnya. Tanpa ampun, Yihe dan keenam kawannya pun roboh tak sadarkan diri.

Menyusul kemudian Yu Sao dengan keenam kawannya juga mengalami nasib yang sama. Mereka masuk ke dalam rumah tersebut dan langsung dibuat pingsan. Jadi, saat itu sudah ada dua puluh satu murid Perguruan Henshan yang dirobohkan dalam keadaan tidak sadar, dan diikat di sudut-sudut rumah.

Sejenak kemudian, seorang tua yang berdiri di sudut rumah memberi isyarat. Beramai-ramai orang-orang itu lantas keluar melalui pintu belakang.

Dengan cepat Linghu Chong melompat ke atap rumah, lalu berjalan merunduk mengikuti mereka. Tiba-tiba terasa olehnya suara angin berkelebat, ia pun segera mendekam di sisi bubungan atap. Tampak belasan laki-laki sedang saling memberi isyarat, lalu berpencar dan bersembunyi di sisi bubungan atap sebuah rumah besar yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempat Linghu Chong berada.

Linghu Chong pun menyelinap turun ke bawah tanpa bersuara. Pada saat itulah ia melihat Biksuni Dingjing dan tiga orang muridnya sedang menuju ke tempat itu. “Aih, ini pasti siasat ‘memancing harimau turun gunung’. Murid-murid yang ditinggalkan di penginapan pasti akan celaka,” demikian ia berpikir. Dan sesuai dugaan, dari jauh tampak beberapa sosok manusia sedang berlari cepat menuju ke Penginapan Nan’an.

Baru saja Linghu Chong bermaksud mengejar untuk mencari tahu, tiba-tiba di atas rumah terdengar orang berkata dengan suara lirih, “Kalian bertujuh tunggulah di sini. Sebentar lagi kalau biksuni tua itu datang, kalian bereskan dia.” Suara orang itu tepat berada di atasnya. Asalkan sedikit saja bergerak tentu keberadaannya akan langsung ketahuan. Terpaksa ia pun merapatkan diri ke tembok rumah.

Sementara itu terdengar Biksuni Dingjing telah mendepak pintu rumah hingga terpentang sambil berseru, “Yihe, Yiqing, Yu Sao, apakah kalian mendengar suaraku?” Menyusul kemudian biksuni tua itu mengelilingi rumah, lalu melompat ke atap, tapi tidak memeriksa ke dalam.

Melihat itu, Linghu Chong bertanya dalam hati, “Mengapa Biksuni Dingjing tidak masuk ke dalam rumah? Begitu ia masuk ke dalam, tentu akan langsung menemukan kedua puluh satu muridnya meringkuk di sana.” Namun lantas terpikir olehnya, “Ah, sebaiknya ia tidak masuk ke dalam rumah. Pihak Sekte Iblis sudah siap menunggu di atap. Begitu ia masuk ke dalam, tentu pihak musuh akan langsung mengepungnya dari segala arah dan menjadikannya sasaran empuk.”

Dilihatnya Biksuni Dingjing berlari ke sana kemari, seperti orang bingung kehabisan akal. Mendadak biksuni tua itu berlari kembali ke Penginapan Nan’an dengan cepat sekali sehingga tak tersusul oleh ketiga murid yang mengikuti di belakang. Secara tiba-tiba di tepi jalan muncul beberapa orang yang membentangkan kain bius. Seketika ketiga murid itu pun roboh terkapar dan diseret masuk ke dalam rumah.

Di bawah sinar rembulan Linghu Chong dapat mengenali salah satu murid yang baru saja dibius itu adalah Yilin. “Apakah aku harus segera menolong Adik Yilin?” Tapi segera terpikir lagi olehnya, “Jika aku langsung menyerbu tentu akan terjadi pertempuran sengit. Murid-murid Perguruan Henshan banyak sekali yang ditawan Sekte Iblis. Bisa jadi pihak musuh akan membunuh mereka bila terdesak. Sebaiknya aku tidak menyerang terang-terangan, tetapi bertindak secara diam-diam saja.”

Tidak lama kemudian dilihatnya Dingjing keluar lagi dari Penginapan Nan’an, kemudian berteriak mencaci-maki di tengah jalanan. Kemudian ia melompat ke atap rumah dan memaki-maki Dongfang Bubai segala. Pihak Sekte Iblis tidak dapat menahan diri. Tujuh orang yang sudah bersiap tadi segera menampakkan diri dan bertempur dengannya.

Sesudah menyaksikan beberapa jurus, Linghu Chong berpikir, “Ilmu pedang Biksuni Dingjing sangat hebat. Untuk sementara tentu ia tidak akan kalah melawan tujuh orang itu. Sekarang lebih baik aku pergi dulu untuk menolong Adik Yilin.”

Segera ia menyelinap masuk ke dalam rumah tadi. Dilihatnya di tengah ruangan terdapat seorang penjaga dengan golok terhunus. Ketiga murid tampak tergeletak di samping kakinya dalam keadaan teringkus. Tanpa bicara lagi Linghu Chong lantas melompat maju. Sekali goloknya bergerak keluar dari sarung langsung menusuk tenggorokan penjaga itu. Belum lagi orang itu menyadari apa yang terjadi, jiwanya sudah lebih dulu melayang.

Linghu Chong tertegun keheranan. Ia pun berpikir, “Mengapa sabetan golokku bisa begitu cepat? Hanya sekali bergerak mengapa bisa langsung menusuk titik penting pada tenggorokannya?” Ia tidak menyadari bahwa sejak berhasil menguasai Jurus Penyedot Bintang, maka hawa murni Enam Dewa Lembah Persik, Biksu Bujie, Biksu Fangsheng, dan Heibaizi yang terhimpun di dalam tubuhnya dapat ia pergunakan sebagai milik sendiri. Ditambah lagi dengan Ilmu Sembilan Pedang Dugu membuatnya menjadi pendekar papan atas tanpa tanding. Padahal tadi ia hanya berniat melancarkan serangan pancingan menggunakan goloknya. Ketika si penjaga menangkis, maka ia akan memukul kaki orang itu menggunakan sarung golok untuk merobohkannya. Tak disangka, penjaga itu tidak mampu menahan kekuatan serangannya sehingga terpaksa harus kehilangan nyawa seketika.

Linghu Chong merasa agak menyesal. Ia pun menyingkirkan mayat itu, kemudian memeriksa ketiga murid Perguruan Henshan yang tertawan. Benar juga, ternyata salah satunya memang Yilin. Linghu Chong lalu menjulurkan tangannya untuk memeriksa hembusan napas Yilin. Terasa pernapasan biksuni muda itu teratur dengan baik, pertanda ia tidak terluka apa-apa selain pingsan karena pengaruh obat bius saja. Segera ia pergi ke dapur untuk mengambil segayung air dingin kemudian mencipratkannya sedikit di atas muka Yilin.

Selang sejenak Yilin mulai bersuara dan menggeliat seperti orang baru bangun tidur. Semula ia tidak tahu dirinya berada di mana. Waktu matanya perlahan-lahan terbuka barulah mendadak ia teringat sesuatu. Segera ia pun melompat bangun dan bermaksud melolos pedang, tapi segera menyadari kalau kaki dan tangannya dalam keadaan terikat, sehingga hampir saja ia terjatuh lagi.

Linghu Chong segera menotong tali pengikat tangan dan kaki Yilin menggunakan golok, sambil berkata, “Jangan takut, Biksuni cilik. Jenderalmu sudah membunuh orang jahat itu.”

Dalam keadaan gelap gulita, samar-samar Yilin seperti mendengar suara “Kakak Linghu” yang senantiasa ia rindukan, membuat hatinya terkejut bercampur senang. Segera ia berseru, “kau … kau Kakak Ling….” tapi belum selesai ia memanggil, segera disadarinya kalau yang ada di depannya adalah orang lain. Mendadak mukanya menjadi merah padam dan dengan terbata-bata ia bertanya, “Kau … kau siapa?”

Linghu Chong paham Yilin hampir mengenalinya dan mendadak berganti ucapan. Dengan suara perlahan ia pun menjawab, “Jenderal ada di sini. Kawanan bandit kecil itu tidak akan berani mengganggu kalian lagi.”

“Ah, ternyata Jenderal Wu,” seru Yilin. “Di mana … di mana Bibi Guru?”

“Dia sedang bertempur dengan musuh di luar sana. Marilah kita pergi melihatnya,” ajak Linghu Chong.

Yilin berkata, “Kakak Zheng, Adik Qin .…” ia lantas mengeluarkan pemantik api dari balik bajunya. Setelah api menyala, terlihat kedua saudaranya itu masih tergeletak di lantai. Segera ia berkata, “Oh, mereka berdua ada di sini semua.” Lalu ia dengan cepat memotong tali pengikat mereka dan mencipratkan air dingin ke wajah keduanya sehingga terbangun dari pingsan.

Linghu Chong berkata, “Sekarang yang paling penting adalah kita harus cepat-cepat membantu Biksuni Dingjing.”

“Benar!” jawab Yilin, Zheng E, dan Qin Juan serentak. Mereka kemudian melangkah keluar rumah mengikuti Linghu Chong yang sudah berjalan lebih dulu.

Sesampainya di luar, terlihat tujuh sosok bayangan orang secepat kilat melayang, menyusul kemudian terdengar suara nyaring jatuhnya senjata, lalu ada suara orang memuji ilmu pedang Biksuni Dingjing yang tinggi, sebaliknya Dingjing juga lantas mengenali orang yang baru datang itu adalah tokoh Perguruan Songshan. Tidak lama kemudian Biksuni Dingjing tampak mengikuti belasan laki-laki itu menuju ke Penginapan Xianju. Linghu Chong lantas melambaikan tangan mengajak Yilin bertiga menyelinap masuk ke dalam penginapan itu untuk menguping pembicaraan mereka dari balik jendela.

Linghu Chong kemudian mendengar Dingjing sedang berbicara dengan orang bernama Zhong Zhen di dalam ruangan. Orang bermarga Zhong itu mendesak agar Dingjing atas nama Perguruan Henshan menyetujui peleburan kelima perguruan, baru setelah itu ia mau membantu menolong murid-murid yang tertawan musuh. Diam-diam Linghu Chong merasa kesal mendengar sikap orang Perguruan Songshan itu yang sengaja mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Ia juga mendengar Dingjing marah-marah dan akhirnya meninggalkan penginapan.

Linghu Chong menunggu Dingjing pergi agak jauh, barulah ia ikut menyelinap keluar dan pura-pura berteriak-teriak meminta arak dan menggedor pintu Penginapan Xianju seperti apa yang diceritakan di depan tadi. “Nenekmu, Jenderal ingin minum arak dan tidur! Pelayan sial, mengapa kalian tidak lekas-lekas mebuka pintu?”

Saat itu Dingjing merasa sudah kehabisan akal. Begitu mendengar suara “jenderal gadungan” itu, ia langsung bersemangat dan segera memutar balik untuk menghampirinya. Terlihat pula Yilin, Zheng E, dan Qin Juan berlari-lari menyambutnya. Air mata tampak berlinangan di pipi Qin Juan saat gadis itu menyapa, “Guru!”

Dingjing bertambah gembira dan segera bertanya, “Dari mana saja kalian tadi?”

Zheng E menjawab, “Kami baru saja ditawan kawanan siluman Sekte Iblis. Untungnya ada Jenderal yang telah menolong kami ….”

Sementara itu Linghu Chong sudah mendorong pintu Penginapan Xianju dan masuk ke dalam. Biksuni Dingjing dan ketiga murid segera ikut masuk pula.

Sesampainya di ruangan tengah tampak menyala dua batang lilin besar dengan sinarnya yang cukup terang. Zhong Zhen duduk di kursi tengah dengan wajah murung, lalu membentak, “Siapa kau berani gembar-gembor di sini?”

Linghu Chong balas memaki, “Nenekmu, kau berani kurang ajar terhadap seorang jenderal, hah? Apa kau minta digantung? Juragan penginapan, nyonya juragan, pelayan, lekas keluar semua!”

Orang-orang Perguruan Songshan menjadi kesal bercampur geli. Mereka menduga perwira ini hanya berlagak saja, padahal sebenarnya dalam hati merasa takut karena dia memaki-maki sebentar lalu memanggil-manggil pengurus penginapan dan nyonya majikan segala.

Zhong Zhen berpikir bahwa dirinya sedang menjalankan tugas penting, untuk apa melayani seorang perwira tolol seperti itu? Maka dengan suara perlahan ia memberi perintah, “Totok orang itu sampai roboh, tapi tidak perlu membunuhnya.”

Gao Gexin mengangguk. Ia lantas menghampiri Linghu Chong sambil menyapa dengan tersenyum, “Eh, ternyata Tuan Pejabat yang datang. Mohon maaf jika kami kurang sopan.”

Linghu Chong menjawab, “Kalian rakyat jelata memang tidak tahu aturan ….”

“Baik-baik!” jawab Gao Gexin sambil tersenyum. Mendadak ia menubruk maju, lalu jari telunjuknya menotok “titik tertawa” pada pinggang Linghu Chong. Barangsiapa terkena totokan tersebut tentu akan bergelak tawa terbahak-bahak sampai pingsan.

Akan tetapi, Linghu Chong lebih dulu mengerahkan tenaga dalam dan memusatkannya pada bagian pinggang, sehingga totokan Gao Gexin itu hanya membuatnya tertawa geli saja. Ia pun berkata, “Hei, kau ini benar-benar tidak tahu aturan. Mengapa main kitik-kitik segala? Memangnya kau ingin bercanda dengan jenderalmu?”

Gao Gexin tercengang. Ia pun melancarkan totokan kedua dengan mencurahkan segenap tenaga pada ujung jarinya. Linghu Chong lantas terbahak-bahak sambil melonjak dan mengejek, “Nenekmu, mengapa kau meraba-raba pinggang tuanmu segala? Memangnya kau ingin mencuri dompetku, ya? Penampilanmu gagah, tapi ternyata begitu, hahaha ….”

Tanpa pikir lagi, Gao Gexin menjulurkan tangan kirinya kemudian menyambar pergelangan kanan Linghu Chong. Dengan cepat ia bergeser ke kanan, hendak menarik Linghu Chong hingga roboh ke lantai dengan sekali telikung. Tak disangka, begitu tangannya menempel pergelangan lawan, seketika tenaga dalamnya terasa mencurah keluar dengan sangat deras dan tidak bisa dihentikan. Teringat pada sesuatu, hatinya menjadi sangat ketakutan. Ingin sekali ia berteriak namun mulutnya hanya terbuka lebar tanpa bisa mengeluarkan suara.

Linghu Chong sendiri juga terkejut ketika merasakan tenaga dalam lawan mengalir masuk ke dalam tubuhnya, seperti apa yang terjadi saat ia mencengkeram lengan Heibaizi tempo hari. Ia pun berpikir, “Aku tidak boleh menggunakan ilmu sesat ini.” Maka dengan sekuat tenaga ia pun mengelak sehingga tangan Gao Gexin terlepas dari lengannya.

Gao Gexin terbengong-bengong sejenak, seperti seorang narapidana hukuman mati yang tiba-tiba mendapat pengampunan dari Kaisar. Dengan cepat ia lalu melompat mundur. Seluruh badannya terasa lemas lunglai seperti baru sembuh dari sakit berat.

“Jurus … Jurus Penyedot Bintang!” teriaknya dengan suara parau, penuh rasa ngeri.

Zhong Zhen, Teng Bagong, dan murid-murid Perguruan Songshan yang lain serentak melonjak kaget dan bertanya, “Apa katamu?”

“Orang ini … orang ini mahir Jurus Penyedot Bintang,” jawab Gao Gexin.

Serentak sinar pedang berkelebat dengan suara nyaring mendesing. Rupanya semua orang telah melolos pedang, kecuali Teng Bagong yang memakai senjata cambuk panjang lemas. Ilmu pedang Zhong Zhen paling lihai dan cepat. Sekali sinar pedangnya berkelebat, secepat kilat ia sudah menusuk ke arah leher Linghu Chong.

Sewaktu Gao Gexin berteriak-teriak tadi Linghu Chong sudah menduga orang-orang Perguruan Songshan pasti akan mengerubut maju. Maka begitu melihat mereka melolos senjata, ia pun segera menyiapkan goloknya yang masih terselubung sarung. Sebelum tusukan Zhong Zhen mencapai sasaran, ujung golok bersarungnya sudah lebih dulu mengetuk punggung tangan setiap lawan yang mengepung.

Maka terdengarlah suara gemerantang nyaring memekakkan telinga. Pedang lawan berjatuhan di lantai. Hanya Zhong Zhen yang berilmu paling tinggi tidak mengalami hal itu. Meskipun punggung tangannya tidak terketuk, dan pedangnya tidak sampai terlepas dari pegangan, namun ia sangat terkejut dan melompat mundur. Sementara itu, Teng Bagong terlihat konyol. Gagang cambuknya terlepas dari genggaman, dan senjatanya yang lemas itu berbalik membelit leher sendiri sehingga ia pun tercekik dan tidak bisa bernapas.

Zhong Zhen bersandar pada dinding dengan wajah pucat pasi. Ia pun berkata, “Di dunia persilatan tersiar kabar bahwa Ketua Ren dari Sekte Iblis terdahulu, telah … telah muncul kembali. Apakah kau … kau adalah Ketua Ren … Ren Woxing?”

“Nenekmu, siapa itu Ren Woxing? Jenderalmu ini tidak pernah mengganti marga, tidak pernah mengganti nama. Sejak dulu namaku Wu Tiande, tahu?” maki Linghu Chong dengan tertawa. “Nah, kalian ini maling ayam dari mana? Di hadapan jenderalmu kenapa tidak lekas lari pulang ke tempat nenekmu, hah?”

Zhong Zhen merangkap kedua tangannya, lalu berkata, “Ketua Ren yang mulia sudah kembali ke dunia persilatan. Si marga Zhong ini tahu diri bukan tandinganmu. Untuk itu, kami mohon diri.” Usai berkata, mendadak ia meloncat ke luar dengan membobol jendela, disusul Gao Gexin, Teng Bagong, dan yang lain juga ikut meloncat pergi. Tidak ada seorang pun yang berani memungut pedang yang berserakan di lantai.

Sambil tangan kirinya memegangi golok yang masih lengket dengan sarung, Linghu Chong pura-pura menarik gagangnya, tapi tetap tidak tercabut keluar. Ia lalu menggumam sendiri, “Golok pusaka ini benar-benar sudah karatan. Kapan-kapan aku perlu mencari tukang asah untuk membersihkan karatnya.”

Biksuni Dingjing datang menyapanya sambil menguncupkan kedua tangan, “Jenderal Wu, bagaimana kalau kita pergi menolong beberapa murid-murid perempuan kami?”

Linghu Chong menduga dengan kepergian rombongan Zhong Zhen itu maka sudah tidak ada lagi orang yang mampu melawan kepandaian Biksuni Dingjing. Maka, ia pun menjawab, “Jenderal masih ingin minum arak di sini. Apakah Biksuni yang mulia juga mau minum beberapa cawan bersamaku?”

Mendengar “perwira” ini berulang kali bicara tentang arak, diam-diam Yilin berpikir, “Kalau dia bertemu Kakak Linghu, tentu mereka akan menjadi teman minum yang akrab.” Tanpa sengaja ia pun mencuri pandang, dan tak disangka Sang Jenderal juga sedang memandang ke arahnya. Seketika wajah Yilin menjadi merah dan dengan cepat ia pun menunduk.

Dingjjing menjawab sambil menguncupkan tangan, “Biksuni tua tidak minum arak. Jenderal, aku mohon pamit.” Ia kemudian memberi hormat dan mengundurkan diri.

Zheng E bertiga ikut keluar. Sampai di ambang pintu Yilin berpaling dan memandang lagi ke arah Linghu Chong. Terlihat “perwira” itu sedang bangkit mencari arak sambil mengomel, “Nenekmu, apakah semua orang di penginapan ini sudah mampus? Mengapa sampai sekarang tak ada seorang pun yang keluar?”

Yilin pun berpikir, “Suaranya mirip Kakak Linghu, tapi jenderal ini suka memaki dengan kata-kata kotor. Setiap berbicara selalu menyebut-nyebut nenek segala, sungguh berbeda dengan Kakak Linghu. Ilmu silatnya juga jauh lebih tinggi daripada Kakak Linghu. Aih, kenapa aku jadi berpikir yang tidak-tidak, ah, dasar ….”

Sementara itu Linghu Chong telah mendapatkan seguci arak dan langsung menghabiskan setengah isinya tanpa menggunakan cawan. Sambil minum benaknya tetap berpikir, “Para biksuni dan perempuan tua muda itu akan kembali lagi ke sini dengan mulut ceriwis dan bawel. Jika aku kurang hati-hati bisa dikenali mereka dan keadaan tentu menjadi runyam. Lebih baik aku menyelinap pergi saja. Tapi untuk menolong kawan-kawan mereka yang banyak itu tentu juga makan waktu lama. Mungkin bisa lebih dari satu jam. Sementara ini lebih baik aku mengisi perutku yang lapar dulu.”

Setelah menghabiskan isi guci arak tersebut ia lantas bergegas ke dapur untuk mencari makanan. Tiba-tiba dari jauh terdengar suara Qin Juan berseru melengking dengan nada khawatir, “Guru, Guru, kau di mana?”

Linghu Chong segera menerjang keluar mencari sumber suara. Tak lama kemudian ia melihat Zheng E, Yilin, dan Qin Juan berdiri di jalan raya sambil berteriak-teriak memanggil-manggil Dingjing.

“Ada apa?” tanya Linghu Chong sesudah dekat.

Zheng E menjawab, “Kami bertiga mencari kakak-kakak yang tertawan musuh. Tapi kami kehilangan jejak Guru. Sekarang entah … entah ke mana Beliau pergi.”

Linghu Chong melihat usia Zheng E paling-paling baru dua puluh satuan, sementara Qin Juan paling tidak masih enam belas tahun. Ia pun berikir, “Gadis-gadis muda ini belum berpengalaman, mengapa Perguruan Henshan mengirim mereka ke dunia ramai?” Segera ia berkata dengan tertawa, “Jangan khawatir, aku tahu mereka di mana. Kalian ikutlah denganku.”

Segera ia mendahului berjalan menuju ke gedung besar di sebelah timur laut tadi. Sampai di sana, ia pun menendang pintu rumah hingga terpentang lebar. Khawatir kalau-kalau wanita anggota Sekte Iblis masih bersembunyi di dalam dan mungkin akan membiusnya dengan racun, maka ia pun berkata, “Tutup rapat-rapat mulut dan hidung kalian dengan saputangan. Hati-hati di dalam ada nyonya keparat suka menebarkan racun.”

Usai berkata ia pun memencet hidung sendiri dan mengatupkan mulut rapat-rapat kemudian menerjang masuk ke dalam rumah. Namun sesampainya di ruang aula, mau tidak mau ia menjadi tercengang. Di dalam ruangan yang tadinya penuh bergelimpangan murid-murid Perguruan Henshan dalam keadaan pingsan dan terikat, kini ternyata sudah kosong melompong, tanpa penghuni sama sekali.

“Hah!” serunya heran. Dilihatnya di atas meja terdapat sebuah tatakan lilin dengan api yang masih menyala, tapi ruangan itu benar-benar sudah kosong. Dengan cepat ia memeriksa sekeliling rumah itu, namun tiada menemukan suatu petunjuk apa pun. “Ada yang tidak beres di sini,” katanya.

Zheng E, Yilin, dan Qin Juan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Wajah mereka bertiga tampak memancarkan rasa bimbang.

Linghu Chong berkata, “Nenekmu, kakak-kakak seperguruan kalian jelas-jelas dibius oleh nyonya keparat, kemudian diikat dan digeletakkan di sini. Mereka semua jadi bacang di Fujian. Mana mungkin hanya sekejap saja mereka semua sudah lenyap?”

Zheng E menegas, “Jenderal Wu, apa kau benar-benar melihat kakak-kakak kami dibius dan diringkus di sini?”

Linghu Chong menjawab, “Tadi malam aku bermimpi melihat banyak kawanan biksuni dan para perempuan bergelimpangan tergeletak di ruangan ini. Mana mungkin aku salah?”

“Kau … kau ….” kata Zheng E hendak membantah bahwa mimpi mana bisa dijadikan acuan? Tapi lantas teringat olehnya bahwa perwira ini memang suka mengoceh tidak jelas. Ia bilang bermimpi, padahal sebenarnya menyaksikan sendiri kejadian yang sesungguhnya. Maka dengan cepat gadis itu pun mengganti kalimat, “Jenderal Wu, menurut dugaanmu mereka pergi ke mana?”

“Hm, bisa jadi mereka sudah lapar dan pergi mencari daging babi dan minum arak. Mungkin juga mereka pergi menonton pertunjukan sandiwara,” kata Linghu Chong seenaknya. Lalu ia melambaikan tangan dan melanjutkan, “Kalian bertiga anak dara sebaiknya ikut di belakangku, jangan sampai meninggalkan aku. Kalau mau makan daging dan minum arak atau menonton pertunjukan tidak perlu buru-buru.”

Meskipun umur Qin Juan masih belia, tapi ia menyadari keadaan sangat gawat dan para kakak seperguruan pun sudah jatuh ke dalam perangkap musuh. Ocehan jenderal sinting ini memang tidak bisa dianggap benar, tetapi karena puluhan murid Perguruan Henshan yang tersisa kini hanya tinggal mereka bertiga, maka selain menuruti segala perintah sang jenderal boleh dikata tiada jalan lain yang lebih baik. Terpaksa ia pun mengikuti Zheng E dan Yilin berjalan keluar di belakang Linghu Chong.

Terdengar Linghu Chong menggumam sendiri, “Aneh, apa impianku semalam tidak betul, ya? Apa mataku kabur dan yang kulihat hanya khayalan belaka? Ah, nanti malam aku harus mimpi lagi yang benar.” Sementara dalam hati ia berpikir, “Ke mana menghilangnya murid-murid Perguruan Henshan itu? Mengapa Biksuni Dingjing juga tiba-tiba menghilang? Apa barangkali biksuni tua itu juga masuk perangkap musuh? Jika demikian aku harus lekas-lekas mencarinya. Tapi ketiga gadis muda ini tentu kurang aman jika ditinggalkan di Nianbapu begitu saja. Terpaksa mereka harus kubawa serta untuk pergi mencari Biksuni Dingjing dan yang lain.”

Ia kemudian berkata, “Kalau kalian tidak ada kerjaan, marilah kita pergi mencari guru dan teman-teman kalian. Mungkin mereka sedang main-main di suatu tempat.”

“Baik,” seru Zheng E cepat. “Ilmu silat Jenderal sangat tinggi, pengalaman juga sangat luas. Jika Jenderal tidak memimpin kami pergi mencari mereka, tentu bisa-bisa kami tersesat di jalan.”

“Ilmu silat sangat tinggi dan pengalaman luas, ucapanmu ini memang tidak salah,” ujar Linghu Chong tertawa. “Kelak kalau jenderalmu naik pangkat dan berkuasa lebih besar, tentu aku akan mengirim seratus tahil perak kepada kalian untuk membeli pakaian baru dan jajan sepuas-puasnya.”

Sambil terus membual, Linghu Chong dan ketiga perempuan muda itu pun sampai di pinggir kota. Ia melompat ke atap rumah dan memandang ke segala penjuru. Sementara itu matahari sudah mulai terbit, pepohonan masih diselimuti kabut tebal. Sejauh mata memandang tidak seorang pun terlihat berjalan di kedua sisi jalan raya.

Tiba-tiba Linghu Chong melihat di tepi selatan jalan terdapat suatu benda berwarna hijau. Benda itu tidak telihat dengan jelas karena jaraknya lumayan jauh, namun cukup menarik perhatian karena di jalanan yang sepi tersebut tidak terdapat benda lain. Dengan cepat ia pun melompat turun dari atap kemudian berlari ke sana untuk memungutnya. Ternyata benda itu adalah sebuah sepatu wanita yang terbuat dari kain. Bentuknya pun sama persis dengan sepatu yang dipakai Yilin.

Ia menunggu sejenak sampai Zheng E bertiga datang menyusul. Diserahkannya sepatu wanita itu kepada Yilin lalu bertanya, “Apakah ini sepatumu? Mengapa jatuh di sini?”

Walaupun sadar dirinya masih bersepatu lengkap, tapi Yilin masih memandang sekejap ke arah kaki dan melihat sepasang sepatunya masih terpakai dengan baik.

Zheng E menjawab, “Ah, ini adalah … adalah sepatu yang dipakai kakak kami. Mengapa bisa jatuh di sini?”

Qin Juan menyahut, “Pasti salah seorang kakak yang diculik musuh itu meronta-ronta di sini sehingga sepatunya terlepas.”

Zheng E berkata, “Mungkin juga sepatu ini sengaja dilepaskan agar kita dapat menemukan jejaknya.”

“Benar, pengetahuanmu memang luas, ilmu silatmu juga tinggi,” kata Linghu Chong. “Sekarang kita harus mengejar ke selatan atau ke utara?”

“Sudah tentu ke selatan saja,” sahut Zheng E.

Segera Linghu Chong mendahului berlari cepat ke selatan. Dalam sekejap ia sudah berlari ratusan meter. Semula Zheng E bertiga tidak terlalu jauh darinya, tapi lama-lama mereka semakin tertinggal di belakang.

Sambil berlari Linghu Chong mengamati keadaan sekeliling jalan yang dilaluinya. Sering pula ia menoleh ke belakang mengawasi Zheng E bertiga, khawatir jangan-jangan mereka tertinggal terlalu jauh dan mungkin tidak sempat ditolong lagi jika mendadak diculik musuh. Maka sesudah beberapa kilo ia lantas berhenti untuk menunggu ketiga murid Perguruan Henshan itu.

Sesudah mereka bertiga tiba, Linghu Chong lalu berlari ke depan lagi dan begitu seterusnya sampai beberapa kali, hingga akhirnya terlampaui jarak belasan kilo. Jalanan di depan terlihat mulai berliku dan tidak rata, juga terdapat banyak pepohonan di kedua tepi. Jika musuh bersembunyi di suatu tikungan dan menyergap secara mendadak, tentu tidak sempat lagi untuk menolong Yilin bertiga. Apalagi wajah Qin Juan sudah merah padam, dengan keringat memenuhi dahi dan terlihat sangat letih. Linghu Chong sadar bahwa gadis belia itu terlalu muda dan tidak kuat berlari jauh. Segera ia memperlambat langkahnya sambil sengaja berteriak, “Nenekmu, jenderalmu ini berlari terlalu cepat. Sayang sekali kalau sepatu kulitku ini nanti akan tergesek tipis. Kukira sepatuku ini perlu dihemat. Kalau begitu kita berjalan pelan-pelan saja.”

Setelah berjalan belasan kilo berikutnya, tiba-tiba Qin Juan berseru, “Hei!” Ia lalu berlari ke pinggir semak-semak dan memungut sebuah kopiah kain berwarna hijau, yang tidak lain adalah kopiah yang biasa dipakai para biksuni Perguruan Henshan.

Melihat itu, Zheng E pun berkata, “Jenderal, kakak-kakak kami benar-benar dibawa musuh melalui jalanan ini.”

Karena jalan yang mereka tempuh ternyata benar, mereka pun mempercepat langkah sehingga Linghu Chong ganti yang tertinggal di belakang.

Menjelang tengah hari mereka berempat singgah di sebuah kedai nasi untuk mengisi perut. Melihat seorang perwira membawa seorang biksuni cantik dan dua orang nona muda, si pemilik kedai nasi terheran-heran dan berulang kali memandangi mereka.

“Nenekmu!” Linghu Chong memaki sambil menggebrak meja. “Apa yang kau lihat? Memangnya tidak pernah melihat biksuni, hah?”

“Hamba, hamba tidak berani!” sahut pemilik kedai ketakutan.

Zheng E segera bertanya, “Paman, apakah kau melihat beberapa orang biksuni lewat sini?” Ia berkata sambil menunjuk ke arah Yilin.

Si pemilik kedai menjawab, “Kalau beberapa orang tidak. Tapi kalau cuma seorang saja memang ada. Tadi ada seorang buksuni tua, usianya jauh lebih tua daripada biksuni muda ini ….”

“Dasar ngawur,” damprat Linghu Chong. “Sudah tentu seorang biksuni tua usianya jauh lebih tua daripada biksuni muda! Memangnya kau anggap kami ini orang tolol semua?”

“Tidak, tidak,” sahut laki-laki itu ketakutan.

“Lalu bagaimana dengan biksuni tua itu?” Zheng E bertanya dengan cepat.

“Biksuni tua itu bertanya kepadaku dengan buru-buru, apakah aku melihat beberapa orang biarawati lewat di jalanan sini. Aku jawab tidak ada, lantas Beliau berlari ke sana. Wah, sudah begitu tua, tapi larinya sungguh cepat. Bahkan tangannya memegang pedang yang mengkilap, seperti sandiwara saja.”

“Orang itu pasti Guru. Mari kita segera menyusul ke sana,” seru Qin Juan sambil bertepuk tangan.

“Jangan terburu-buru. Kita makan dulu, urusan lain belakangan,” ujar Linghu Chong.

Mereka berempat pun makan dengan tergesa-gesa. Sebelum melanjutkan perjalanan, Qin Juan sempat membeli empat buah kue mangkuk yang katanya untuk diberikan kepada sang guru nanti. Dalam hati Linghu Chong merasa sedih. “Betapa ia berbakti kepada gurunya. Walaupun aku ingin berbakti kepada guruku tapi sudah tidak bisa lagi,” pikirnya.

Akan tetapi, sampai hari gelap lagi mereka tetap belum menemukan jejak Biksuni Dingjing. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya pepohonan dan alang-alang belaka. Jalanan pun makin lama makin sempit. Tidak lama kemudian, alang-alang dan rerumputan semakin tinggi sampai menutupi pandangan. Tiba-tiba dari arah barat laut sayup-sayup terdengar suara nyaring senjata beradu.

“Di sana ada orang berkelahi. Bagaimana kalau kita menonton keramaian?” seru Linghu Chong.

“Aih, jangan-jangan itu guruku,” ujar Qin Juan.

Linghu Chong lantas berlari ke arah datangnya suara dengan menyusuri rumput alang-alang yang lebat. Setelah beberapa puluh meter kemudian mendadak matanya terbelalak karena melihat suasana terang benderang oleh sinar api puluhan obor. Suara benturan senjata juga terdengar bertambah nyaring.

Ia mempercepat langkahnya. Setelah dekat dengan sumber cahaya, terlihat puluhan orang membawa obor melingkari suatu kalangan pertempuran. Di tengah kalangan tampak seorang bersenjata pedang dengan jubah berkibar-kibar sedang bertempur melawan tujuh orang musuh. Orang itu bergerak lincah bagaikan menari dan suara pedangnya terdengar menderu-deru. Ia tidak lain adalah Biksuni Dingjing.

Di luar kalangan tampak pula menggeletak beberapa puluh orang. Dari pakaian mereka segera diketahui bahwa itu adalah murid-murid Perguruan Henshan.

Orang-orang yang mengelilingi itu semuanya memakai kedok. Perlahan-lahan Linghu Chong berjalan mendekat. Karena semua orang sedang mencurahkan perhatian kepada pertempuran sengit itu, maka tak seorang pun yang mengetahui kedatangannya.

Mendadak Linghu Chong bergelak tawa dan berkata, “Hahahaha, tujuh melawan satu, sungguh hebat!”

Orang-orang berkedok yang berkerumun itu terkejut dan serentak berpaling ke arahnya, sedangkan tujuh orang yang sedang bertempur dalam kalangan seperti tak peduli. Mereka tetap mengeroyok Biksuni Dingjing dan menyerang dengan gencar menggunakan senjata masing-masing.

Linghu Chong melihat jubah Dingjing berlumuran darah. Tidak sedikit pula tetesan darah yang terciprat pada mukanya. Bahkan pedang pun dimainkannya menggunakan tangan kiri, pertanda tangan kanannya sudah terluka.

Sementara itu di antara kerumunan orang berkedok terdengar seseorang membentak, “Siapa kau?” Bersamaan kemudian dua orang bersenjata golok melompat maju ke depan Linghu Chong.

“Kawanan bangsat, jenderalmu ini pernah bertempur dari timur sampai barat. Kudaku melaju tanpa henti, tiap hari membasmi bandit-bandit kecil. Ayo, perkenalkan siapa diri kalian! Golok jenderalmu ini tidak pernah menyabet orang tanpa nama!” bentak Linghu Chong.

“Haha, ternyata seorang sinting!” kata seorang di antaranya sambil tertawa geli. Ia kemudian mengayunkan goloknya untuk menebas kaki Linghu Chong.

“Aih, kau sungguh-sungguh memakai senjata?” teriak Linghu Chong sambil menggeliat ke samping. Secepat kilat tubuhnya berkelebat masuk ke tengah kalangan. Goloknya yang masih bersarung itu bergerak memukul tujuh kali di mana pergelangan tangan ketujuh pengeroyok sebagai sasaran. Tujuh macam senjata mereka pun berjatuhan ke tanah diikuti suara berisik. Menyusul kemudian Biksuni Dingjing menusukkan pedangnya tepat menancap pada tenggorokan seorang musuh. Rupanya orang itu sedang terperanjat karena tahu-tahu senjatanya jatuh oleh pukulan Linghu Chong. Akibatnya, ia pun tidak sempat menghindari serangan kilat Biksuni Dingjing yang lihai itu dan terpaksa kehilangan nyawa.

Setelah menewaskan seorang musuhnya, Dingjing tampak terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terduduk di tanah. Melihat itu Qin Juan pun berseru khawatir, “Guru! Guru!” Gadis belia itu kemudian berlari maju dan memeluk tubuh Sang Guru.

Seorang berkedok kemudian mengacungkan goloknya untuk mengancam tengkuk seorang murid Henshan sambil berteriak, “Mundur tiga langkah! Kalau tidak, akan kubunuh perempuan ini!”

“Baik, baik! Mundur ya mundur, kenapa begini galak? Jangankan cuma tiga langkah, tiga puluh langkah juga boleh,” ujar Linghu Chong dengan tertawa. Tapi mendadak ia menyodokkan golok bersarungnya ke depan, dan ujungnya tepat mengenai dada orang itu. Seketika orang itu menjerit dan terlempar ke belakang hingga beberapa meter jauhnya.

Linghu Chong tercengang keheranan mengetahui kekuatannya ternyata sedemikian hebat. Ia kemudian mengayunkan kembali goloknya tiga kali, dan berhasil merobohkan tiga orang laki-laki berkedok.

“Nah, kalian mau enyah atau tidak? Jika tidak, akan kubekuk batang leher kalian satu per satu dan kukirim ke penjara. Nenekmu, tiap orang akan mendapat tiga puluh cambukan di pantat!” bentak Linghu Chong.

Pemimpin orang-orang berkedok itu melihat kepandaian Linghu Chong begitu tinggi dan sukar diukur, maka ia pun memberi hormat dan berkata, “Kami telah bertemu dengan Ketua Ren yang mulia, biarlah kami mundur saja.” Lalu ia memberi isyarat kepada kawan-kawannya sambil berseru, “Ketua Ren dari Sekte Iblis telah tiba di sini. Kita harus tahu diri dan lekas pergi segera!”

Beramai-ramai mereka lantas mengusung mayat seorang kawan dan empat kawan lainnya yang roboh tadi. Obor-obor pun dilemparkan, lalu mereka bergegas menuju ke arah barat daya. Dalam sekejap saja gerombolan orang berkedok itu sudah menghilang di balik semak-semak rumput ilalang yang lebat.

Qin Juan telah mengambil obat luka untuk diberikan kepada gurunya, sementara Yilin dan Zheng E membebaskan kakak-kakak mereka. Empat murid perempuan yang sudah bebas dari ikatan lantas memungut obor dan mengelilingi Dingjing. Melihat luka Dingjing cukup parah, semuanya diam tak berkata apa-apa dengan wajah tampak cemas dan khawatir.

Dada Dingjing terlihat naik turun, napasnya terengah-engah. Perlahan-lahan ia membuka mata dan bertanya kepada Linghu Chong, “Jadi kau … kau ini mantan Ketua Sekte Iblis Ren … Ren Woxing itu?”

“Bukan,” jawab Linghu Chong sambil menggeleng.

Pandangan mata Dingjing tampak nanar, napasnya bertambah lemah. Udara yang ia keluarkan lebih banyak daripada yang dihirup. Keadaannya semakin payah. Beberapa kali ia tersengal-sengal, lalu mendadak berkata dengan nada bengis, “Jika kau adalah Ren Woxing, maka biarpun Perguruan Henshan kami … kalah ha… habis-habisan dan bi… binasa semua juga … juga tidak sudi … tidak sudi ….” sampai di sini napasnya kembali tersengal-sengal.

Melihat ajal biksuni tua itu sudah di depan mata, Linghu Chong tidak berani sembarangan bicara lagi. Ia pun menyahut, “Usiaku masih muda, mana mungkin aku ini Ren Woxing?”

Dingjing memandang sejenak, lalu kembali berkata, “Jika demikian mengapa kau … kau mahir menggunakan Jurus … Jurus Penyedot Bintang? Apakah kau murid … Ren Woxing?”

Linghu Chong teringat cerita guru dan ibu-gurunya mengenai bermacam-macam perbuatan jahat kaum Sekte Iblis. Juga dalam dua hari terakhir ini ia menyaksikan langsung cara-cara licik Sekte Iblis menyergap murid-murid Perguruan Henshan. Maka dengan tegas ia menjawab, “Sekte Iblis berbuat banyak kejahatan dan tak terampuni, mana mungkin aku sudi berkomplot dengan mereka? Ren Woxing itu bukan guruku, harap Biksuni jangan khawatir. Guruku seorang kesatria sejati penegak keadilan, seorang tokoh persilatan dari kalangan suci yang berwatak mulia dan dihormati budi pekertinya. Biksuni juga sering berjumpa dengan Beliau.”

Samar-samar Dingjing tampak tersenyum lega. Dengan suara terputus-putus ia berkata, “Keadaanku sudah … sudah lemah dan tak tertolong lagi. Mohon … mohon bantuanmu agar sudi mem… membawa murid-murid ini ke …” sampai di sini ia kembali tersengal-sengal. Selang agak lama barulah ia menyambung, “Mohon bawa mereka ke Biara Wuxiang di … di Fuzhou. Adik Ketua-ku be… beberapa hari lagi akan menyusul ….”

Linghu Chong berkata, “Harap Biksuni jangan khawatir. Rawatlah diri baik-baik. Setelah istirahat beberapa hari, tentu Biksuni akan sembuh kembali seperti sediakala.”

“Apakah kau menyanggupi per… permintaanku?” tanya Dingjing.

Melihat biksuni tua itu menatapnya dengan penuh harap dan khawatir kalau-kalau dirinya menolak, Linghu Chong lantas menjawab, “Jika demikian kehendak Biksuni sudah tentu akan kulaksanakan dengan baik.”

Dingjing tersenyum tipis, lalu berkata, “Amitabha, tugas ini sebenarnya … terlalu berat bagiku. Pendekar Muda, siapa … siapakah kau ini sesungguhnya?”

Melihat sinar mata biksuni tua itu sudah suram, suaranya lemah dan napasnya sangat pendek, jelas jiwanya sukar dipertahankan lagi. Linghu Chong tidak tega untuk merahasiakan jati diri kepadanya. Perlahan ia berbisik di telinga biksuni tua itu, “Bibi Dingjing, saya adalah murid Perguruan Huashan yang telah dipecat, Linghu Chong.”

“Aaah, kau … kau ….” kata Dingjing terbata-bata. “Terima … terima kasih banyak, Pendekar Muda.” Dengan tubuh gemetar ia mencengkeram tangan Linghu Chong. Sorot matanya penuh rasa syukur. Setelah itu, ia tidak mampu menarik napas lagi untuk selamanya.

Linghu Chong pun berseru, “Biksuni! Biksuni!” Tangannya memeriksa pernapasan Dingjing dan mengetahui kalau biksuni tua itu sudah meninggal dunia. Seketika hatinya merasa berduka dan kehilangan.

Serentak meledaklah jerit tangis murid-murid Perguruan Henshan. Hutan belukar yang sunyi itu kini diliputi suasana sedih, obor-obor pun terbuang di atas tanah. Berturut-turut api obor itu padam, keadaan menjadi gelap gulita menambah suramnya suasana.

Linghu Chong merenung sendiri, “Biksuni Dingjing seorang tokoh terkemuka di zaman ini, tapi ia telah terkena tipu muslihat licik dan harus tewas di belantara sunyi ini. Sebenarnya ia seorang biksuni sepuh yang tidak punya ambisi apa-apa, tidak pula suka mencari perkaara dengan pihak lain, tapi mengapa Sekte Iblis tidak memberi ampun kepadanya?” Mendadak hatinya terkesiap, “Hei, sebelum pergi tadi pemimpin orang-orang berkedok itu menyebut ‘Ketua Ren dari Sekte Iblis telah datang di sini’. Padahal orang-orang Sekte Iblis menyebut kelompok mereka sebagai Sekte Matahari dan Bulan. Istilah Sekte Iblis dianggap sebagai suatu penghinaan dan membuat mereka tidak segan-segan menumpahkan darah orang. Tapi mengapa orang itu justru menyebut ‘Sekte Iblis’, bukankah itu menghina diri sendiri? Jika dia berani mengucapkan kata-kata ‘Sekte Iblis’, maka jelas dia pasti bukan anggota Sekte Iblis. Lagipula mengapa dia mengira diriku ini Ketua Ren? Mengapa seorang pemuka Sekte Iblis tidak mengenali Ketua Ren yang sebenarnya? Lalu, dari manakah asal usul rombongan orang-orang berkedok itu?”

Dilihatnya murid-murid Perguruan Henshan masih terus menangis dengan sedihnya. Ia pun tidak mau mengganggu mereka dan memilih duduk bersandar pada batang pohon. Sebentar kemudian matanya sudah terlelap dan ia pun tertidur pulas.

Esok paginya waktu terbangun, dilihatnya beberapa murid berjaga di samping jenazah Biksuni Dingjing. Beberapa murid lainnya yang lebih muda kebanyakan masih tidur di sekeliling biksuni tua yang sudah tak bernyawa itu. Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Jika seorang perwira seperti aku diharuskan membawa rombongan perempuan seperti ini ke Fuzhou, maka akan terlihat sangat lucu dan aneh. Untungnya aku memang hendak pergi ke Fuzhou, sehingga tidak perlu memimpin mereka secara langsung. Yang penting aku tetap bisa melindungi mereka sepanjang jalan sudah cukup.”

Ia kemudian berdehem lalu mendekati murid-murid Henshan yang sedang berjaga itu. Yu Sao, Yihe, Yiqing, Yizhen, Yizhi, dan beberapa murid lainnya menguncupkan tangan memberi hormat kepadanya dan menyapa, “Kami telah mendapat pertolongan Pendekar Besar. Budi baik ini sukar kami balas. Sungguh malang guru kami mengalami bencana. Sebelum wafat Beliau telah meminta pertolongan kepada Pendekar Besar, maka untuk selanjutnya segala perintah Pendekar Besar tentu akan kami patuhi.” Mereka tidak lagi memanggil “jenderal” karena mengetahui kalau ia hanyalah perwira gadungan.

Linghu Chong menjawab, “Ah, kalian menyebut ‘pendekar besar’ segala, aku jadi risih. Jika kalian menganggap aku baik, maka tetap panggil ‘jenderal’ saja kepadaku.”

Yihe dan yang lain saling pandang kemudian manggut-manggut tanda setuju.

Linghu Chong melanjutkan, “Kemarin malam aku bermimpi kalian telah dirobohkan dengan obat bius oleh seorang perempuan keparat dan dikumpulkan di suatu rumah besar. Mengapa sekarang kalian bisa berada di sini?”

“Kami juga tidak tahu apa yang telah terjadi sesudah dibius oleh musuh,” jawab Yihe. “Kawanan bangsat itu kemudian membangunkan kami dengan guyuran air dingin dan mengendurkan tali pengikat kami. Kami digiring melalui jalan kecil di belakang kota. Kami diseret supaya berjalan secepat mungkin. Jika kami berjalan lamban sedikit saja, mereka langsung mencambuk kami. Sampai hari gelap pun kami masih terus digiring seperti hewan. Akhirnya Bibi Guru tiba. Mereka lantas mengepung Bibi Guru dan memaksa Beliau menyerah ….” bicara sampai di sini tenggorokannya seakan-akan tersumbat, lalu menangis kembali.

Linghu Chong menanggapi, “Ternyata ada jalan kecil menuju luar kota. Pantas saja kalian menghilang begitu saja.”

Yiqing berkata, “Jenderal, kami rasa yang terpenting saat ini adalah memperabukan jenazah guru kami. Setelah itu, kami mohon petunjuk Jenderal.”

Linghu Chong menggeleng dan berkata, “Urusan kaum biksu dan biksuni sedikit pun jenderalmu ini tidak paham. Jadi, aku hanya bisa garuk-garuk kepala jika dimintai petunjuk segala. Yang paling penting bagi jenderalmu ini adalah lekas naik pangkat dan cepat kaya, yang lain tidak perlu. Maka, biarlah sekarang juga aku pergi saja.” Habis berkata demikian, ia lantas pergi menuju ke selatan dengan langkah lebar.

“Jenderal! Jenderal!” para murid Henshan itu berteriak-teriak.

Linghu Chong terus berjalan sampai melewati bukit, barulah ia berhenti dan bersembunyi di atas pohon. Setelah menunggu dua jam lamanya, terlihat murid-murid Henshan berjalan dengan wajah sedih. Sesudah rombongan itu lewat, Linghu Chong pun membuntuti mereka untuk memberikan perlindungan.

Setelah sampai di kota selanjutnya, Linghu Chong beristirahat di sebuah penginapan. Ia berpikir, “Aku telah bertempur melawan orang-orang Sekte Iblis dan Perguruan Songshan. Wajah berewok komandan Quanzhou Wu Tiande ini tentu sudah lumayan terkenal di dunia persilatan. Nenekmu, aku sudah tidak bisa menyamar sebagai jenderal lagi.”

Ia kemudian memanggil pelayan penginapan dan memberinya dua tahil perak untuk ditukar dengan pakaian yang dikenakan orang itu. Linghu Chong mengaku sebagai jenderal yang sedang memburu penjahat dan terpaksa harus menyamar menjadi orang biasa. Ia berpesan supaya si pelayan tidak membocorkan hal ini, karena penjahat yang dikejar itu sangat berbahaya. Jika si penjahat sampai lolos, maka Linghu Chong mengancam akan datang kembali ke penginapan untuk membereskan si pelayan. Tentu saja pelayan itu ketakutan dan menuruti semua perkataan Linghu Chong.

Keesokan harinya Linghu Chong pergi ke tempat sepi untuk menukar pakaiannya. Ia mengenakan pakaian pelayan, mencabut kumis dan cambang yang menempel di wajahnya, kemudian mengubur semua pakaian dan berkas-berkas milik Wu Tiande di dalam tanah. Berpikir bahwa sejak hari itu ia tidak lagi menyamar sebagai “jenderal” ternyata muncul perasaan kehilangan di dalam hatinya.

Dua hari kemudian ia membeli sebilah pedang di daerah Jianning, lalu menyimpannya di dalam bungkusan perbekalan.

Selama perjalanan ini ternyata keadaan baik-baik saja membuat Linghu Chong merasa gembira. Sampai akhirnya ia melihat murid-murid Perguruan Henshan memasuki sebuah biara di timur Kota Fuzhou. Biara itu memiliki papan nama bertuliskan “Biara Wuxiang” membuatnya menghembuskan napas lega. Ia pun berpikir, “Sekarang beban berat ini sudah lepas dari bahuku. Aku telah berjanji kepada Biksuni Dingjing untuk mengantar mereka sampai ke Biara Wuxiang. Meskipun aku tidak mengantar mereka secara langsung, tapi aku selalu mengawasi dari jauh dan mereka pun memasuki Biara Wuxiang dengan selamat.”

Ia kemudian berputar haluan menuju ke jalan raya, lalu bertanya kepada seorang pejalan kaki di mana letak Biro Ekspedisi Fuwei berada. Setelah mendapat jawaban, ternyata keinginan untuk pergi ke sana mendadak lenyap dan ia hanya berjalan-jalan tak tentu arah di jalanan kecil sekitar situ. Dalam hati ia tidak berani menemui Sang Guru dan Ibu Guru, juga tidak berani menyaksikan secara langsung hubungan antara Adik Kecil dan Lin Pingzhi. Sambil berjalan ia terus-menerus mencari alasan untuk menunda keberangkatannya. Namun tiba-tiba terdengar suara seseorang yang sudah sangat dikenalnya berkumandang di dalam telinga, “Lin Kecil, sebenarnya kau ini mau menemaniku pergi minum atau tidak?”

Begitu mendengar suara itu, seketika dada Linghu Chong terasa panas, pikirannya menjadi kacau dan kepala terasa pusing. Jauh-jauh ia datang ke Fujian menempuh jarak ratusan kilo tujuannya justru ingin mendengar suara ini, dan ingin melihat wajah si pemilik suara pula. Namun sekarang ketika telah benar-benar mendengar suara itu, ia justru tidak berani menoleh untuk memandangnya. Seketika ia pun tertegun dan berdiri bagai patung, air mata pun berlinangan sehingga pandangannya menjadi kabur.

Dari nada panggilan itu serta bagaimana kalimat yang diucapkan, jelas menunjukkan kalau hubungan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi semakin akrab.

Terdengar Lin Pingzhi menjawab, “Aku tidak punya waktu. Guru memberiku pelajaran tambahan, sampai sekarang belum bisa kulatih dengan baik.”

“Tiga jurus ilmu pedang itu sebenarnya sangat mudah,” ujar Yue Lingshan. “Temanilah aku minum, nanti akan kuajarkan kepadamu di mana letak rahasia ketiga jurus ilmu pedang itu. Bagaimana?”

Lin Pingzhi menjawab, “Tapi Guru dan Ibu Guru sudah berpesan agar dalam beberapa hari ini kita jangan sembarangan berkeliaran di jalanan kota supaya tidak menimbulkan masalah. Maka menurut pendapatku, lebih baik kita pulang saja. Bagaimana?”

Yue Lingzhan menanggapi, “Kenapa jalan-jalan saja tidak boleh? Kita sudah sekian lama tidak melihat ada seorang pun tokoh persilatan di sini. Seandainya ada jago-jago persilatan yang berdatangan ke kota ini, asalkan kita tidak saling mengganggu, peduli apa?”

Begitulah, sambil bercakap-cakap kedua orang itu lambat laun berjalan menjauh.

Perlahan-lahan Linghu Chong membalikkan badan. Dilihatnya sosok Yue Lingshan yang ramping itu berada di sebelah kiri, sedangkan Lin Pingzhi yang jangkung berada di sebelah kanan. Kedua muda-mudi itu berjalan berdampingan. Si nona memakai baju hijau tua dengan kain rok berwarna hijau pupus, sedangkan si pemuda memakai jubah panjang warna kuning muda. Pakaian mereka terlihat bersih dan rapi. Jika dipandang dari belakang, mereka benar-benar merupakan pasangan yang serasi.

Seketika dada Linghu Chong bagai tersumbat sesuatu sehingga bernapas pun sukar. Ia sudah berpisah beberapa bulan dengan Yue Lingshan. Walaupun selama ini senantiasa terkenang, namun baru sekarang ia merasakan cintanya kepada sang adik kecil begitu mendalam. Tanpa terasa tangannya menggenggam gagang pedang, dan ingin sekali ia menggorok leher sendiri untuk menghabisi hidupnya yang merana ini. Tiba-tiba matanya menjadi gelap, langit seperti berputar dan bumi terbalik. Seketika ia pun jatuh terduduk.

Setelah agak lama ia bisa menenangkan diri, kemudian bangkit kembali. Dengan kepala agak pusing ia berpikir, “Selamanya aku tidak sanggup bertemu mereka lagi, untuk apa menyusahkan diri sendiri? Malam ini aku akan meninggalkan sepucuk surat untuk memperingatkan Guru dan Ibu Guru, bahwa Ren Woxing telah kembali ke dunia persilatan dan hendak mencari perkara dengan Perguruan Huashan. Ilmu silat orang ini luar biasa tingginya, dan Beliau berdua harus berhati-hati. Aku juga tidak boleh meninggalkan namaku pada surat, kemudian aku akan pergi ke negeri asing yang jauh. Untuk selamanya aku tidak akan menginjakkan kaki kembali ke Daratan Tengah lagi.”

Usai berpikir demikian ia lantas kembali ke penginapan dan memesan arak untuk kemudian minum sepuas-puasnya. Kekuatan minumnya hebat, tapi karena pikiran sedang sedih membuatnya lekas mabuk. Baru minum tiga kati saja ia sudah tertidur pulas tanpa mengganti pakaian.

Tepat tengah malam ia terbangun, kemudian menulis surat dan keluar melompati pagar tembok penginapan menuju gedung Biro Ekspedisi Fuwei.

Gedung perusahaan ekspedisi itu sangat megah, sehingga mudah untuk dikenali, juga tidak jauh dari penginapan. Hanya berlari sebentar saja Linghu Chong sudah melihat dua tiang bendera menjulang tinggi di depan gedung. Pada tiang bendera itu sudah tidak terpasang panji apa-apa lagi. Semua lampu di dalam gedung tersebut juga sudah dipadamkan, sama sekali tidak terdengar suara sedikit pun.

Linghu Chong memutar ke belakang gedung dan berpikir, “Guru dan Ibu Guru entah tinggal di mana? Mungkin saat ini Beliau berdua sudah tidur.”

Tepat pada saat itulah tiba-tiba di pojok kiri gedung berkelebat sesosok bayangan manusia yang melayang keluar dengan melompati pagar tembok. Dari perawakannya dapat diketahui kalau itu sosok seorang perempuan.

Linghu Chong segera berlari mengejar bayangan tersebut. Terlihat perempuan itu berlari ke arah barat daya. Ilmu meringankan tubuh yang digunakannya jelas berasal dari Perguruan Huashan. Linghu Chong pun mengerahkan tenaga dalam untuk mengejar lebih kencang. Ternyata perempuan itu tidak lain adalah Yue Lingshan sendiri. Ia menjadi heran, hendak ke mana adik kecilnya itu berlari di tengah malam buta begini?

Dilihatnya Yue Lingshan berlari dengan merapat pada dinding rumah. Linghu Chong semakin heran dan membuntuti di belakang pada jarak belasan meter. Langkahnya enteng dan gesit, sedikit pun tidak terdengar oleh Yue Lingshan.

Jalanan Kota Fuzhou berbelit-belit cukup rumit dengan rumah penduduk yang tak terhitung banyaknya. Namun Yue Lingshan terlihat terus berlari dengan yakin, kadang membelok ke kanan, kemudian ke kiri, jelas ia sudah terbiasa melewatinya. Ketika melalui perempatan pun ia terlihat mengambil jalur tanpa ragu sedikit pun. Setelah berlari lebih dari tiga kilo, akhirnya ia membelok ke suatu gang kecil di samping sebuah jembatan batu.

Linghu Chong melompat ke atap sebuah rumah dan mengawasinya melangkah menyusuri gang tersebut. Sesampainya di ujung gang, Yue Lingshan lantas melompat masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah besar.

Rumah itu memiliki pintu gerbang berwarna hitam dengan dinding tembok bercat putih. Pada bagian atas tembok tampak ditumbuhi tanaman merambat pertanda rumah tersebut sudah tua sekali. Cahaya lampu memancar dari balik jendela di beberapa sudut rumah.

Dengan hati-hati dan berjingkat-jingkat Yue Lingshan melangkah menuju ke bawah jendela di kamar sebelah timur, lalu mengintip ke dalam melalui celah-celah jendela tersebut. Tiba-tiba gadis itu menjerit melengking seperti bunyi setan menyeramkan.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar