“TIKUS busuk, masih berani
engkau bermulut besar? Engkau hendak membunuhku? Kau? Hemm, hendak kulihat apa
yang dapat kaulakukan kepadaku!” Berkata demikian, cepat sekali tangan Jai-hwa
Kongcu Lui Teng bergerak menepuk tengkuk dan punggung Tek Hin yang seketika
mampu bergerak kembali. Akan tetapi tubuhnya masih terasa kaku-kaku dan nyeri,
maka dia bangkit duduk sambil menggeliat untuk melemaskan tubuhnya.
“Bukk!” Lui Teng menendangnya
sehingga dia terguling-guling, “Ha, ha, hayo kau bangkit dan lawan aku, tikus
sombong!” Lui Teng tertawa dan maju mendekat.
Inilah yang dikehendaki oleh
Tek Hin dan sejak tadi memang dia sudah mencari akal bagaimana agar dia dapat
dibebaskan dari totokan, Dia tahu bahwa dia bukanlah lawan Jai-hwa Kongcu Lui
Teng yang lihai, akan tetapi dia tidak ingin mati konyol. Kalau dia dapat
bergerak dan melawan mati-matian biarpun akhirnya dia akan kalah dan tewas, dia
tidak penasaran karena mati dalam perlawanan dan perkelahian. Mati sebagai
seekor harimau jauh lebih berharga dari pada mati sebagai seekor babi yang
tidak mampu melawan.
Kalau tendangan yang dilakukan
Lui Teng tadi dimaksudkan untuk membunuh tentu kini Tek Hin sudah tidak mampu
bangun kembali. Akan tetapi, agaknya Lui Teng tidak tergesa-gesa hendak
membunuh Tek Hin, melainkan hendak memamerkan dulu keunggulannya di depan Hong
Ing dan menghajar Tek Hin sepuas hatinya.
Tek Hin meloncat bangun dan
kini tubuhnya sudah terasa ringan dan tidak kaku lagi. Maka diapun menerjang ke
depan dan menyerang dengan pukulan yang didukung oleh seluruh tenaganya,
menghantam ke arah dada Lui Teng. Akan tetapi, yang dipukul itu tenang-tenang
saja, setelah pukulan Tek Hin menyambar dekat, barulah dia menangkis sambil
mengerahkan tenaga.
“Dukkk!” Ketika kedua lengan
bertemu, Tek Hin yang kalah tenaga merasa lengannya nyeri dan tubuhnya
terdorong miring. Lui Teng menggerakkan tangan amat cepatnya dan dia sudah
memukul pundak Tek Hin dengan tangan terbuka.
“Plakk!” Tubuh Tek Hin
terpelanting dan sebelum dia dapat bangkit berdiri lagi, Lui Teng sudah
menyusulkan tendangan ke arah punggungnya.
“Desss!” Kembali tubuh Tek Hin
terguling-guling dan menabrak dinding ruangan itu. Ketika dia bangkit lagi,
darah mengalir dari ujung bibirnya yang pecah. Akan tetapi sedikitpun Tek Hin
tidak kelihatan takut dan dia sudah meloncat dan menyerang lagi, kini dengan
kedua tangan bertubi-tubi melakukan serangan pukulan. Akan tetapi, kembali Lui
Teng meloncat ke samping dan kakinya mencuat dengan kecepatan kilat.
“Bukk!” Perut Tek Hin
tertendang dan dia terjengkang, lalu roboh terbanting keras. Dia meringis
kesakitan dan kepalanya terasa pening karena kepalanya terbanting ke atas
lantai, akan tetapi dia sudah merangkak dan bangkit lagi.
“Ha-ha-ha, macam engkau ini
mau membunuh aku? Hayo cepat bunuh, hayo patahkan tulang-tulangku, hancurkan
kepalaku dan keluarkan isi perutku, ha-ha-ha!”
Tek Hin menubruk, akan tetapi
disambut dengan tendangan lagi yang membuat dia untuk kesekian kalinya
terpelanting keras. Melihat betapa Tek Hin dihajar, Hong Ing berteriak dari atas
pembaringan, “Pengecut besar, hayo bebaskan totokanku kalau engkau berani! Aku
akan membunuhmu!”
Akan tetapi, Lui Teng menoleh
dan tersenyum, “Manis, tenanglah. Engkau akan mendapat giliranmu nanti,
heh-heh!”
Selagi dia menoleh, Tek Hin
mempergunakan kesempatan itu untuk menerjangnya dengan serangan yang nekat. Dia
berhasil menerkam dan mencengkeram dada dan leher Lui Teng yang tadi lengah
karena menoleh dan bicara dengan Hong Ing.
“Ehh.......!!” Dia terkejut
juga ketika tahu-tahu Tek Hin sudah mencekik leher dan mencengkeram dadanya.
Namun dengan kecepatan luar biasa dan dengan pengerahan tenaga, Lui Teng
mengangkat lututnya yang memasuki perut Tek Hin dan kedua tangannya bergerak
merenggut jari-jari kedua tangan Tek Hin, lalu mendorong.
“Bressss......!” Kembali Tek
Hin terjengkang dan terbanting, dan hanya secuil baju Lui Teng saja yang
terobek dan tertinggal dalam tangan Tek Hin.
Kini Lui Teng menjadi marah
sekali. Biarpun terkaman tadi tidak mendatangkan luka, hanya sedikit kenyerian
pada kulit leher dan dada, namun cukup membuat dia mendongkol sekali dan
sebelum Tek Hin dapat bangkit kembali, diapun mulai menghajar pemuda itu dengan
tendangan-tendangan!
Tubuh Tek Hin terguling-guling
dan darah bercucuran keluar dari hidung yang terkena tendangan, dan dia sudah
tidak dapat melawan sama sekali. Tek Hin menanti datangnya tendangan atau
pukulan maut yang akan merenggut nyawanya. Akan tetapi dia merasa puas karena
dia sudah sempat melawan dan akan tewas sebagai seorang gagah yang kalah dalam
perkelahian.
Pada saat itu, seorang penjaga
berlari masuk dan munculnya orang ini menghentikan Lui Teng dari amukannya
terhadap tubuh Tek Hin yang sudah tidak berdaya itu.
“Kongcu......” kata orang itu
terengah-engah. Dia adalah orang yang mengintai apa yang terjadi di tempat
pertempuran di luar kota. “Semua teman kongcu telah tewas! Semua tewas oleh
Liong-li dan pemuda pakaian putih itu! Dan sekarang mereka berdua sedang
dikepung oleh barisan ular yang dikerahkan Beng-cu. Aku takut sekali dan ngeri,
lalu cepat pulang untuk memberi laporan.”
Terkejut juga hati Lui Teng
mendengar berita ini. Semua temannya mati? Tok-gan-liong Yauw Ban, Kiu-bwe
Mo-li dan si kembar He-nan Siang-mo telah tewas oleh Tan Cin Hay dan
Hek-liong-li! Akan tetapi, mereka kini dikepung ular-ular yang dikerahkan oleh
Hek-sim Lo-mo! Tentu mereka akan mampus, dan bukankah di sana masih ada Hek-sim
Lo-mo?
“Bawa dia keluar! Boleh kalian
siksa dan bunuh dia!” katanya.
Orang itu mengangguk, lalu
bangkit dan menyeret Tek Hin keluar dari dalam kamar itu. Lui Teng menutupkan
pintu kamar itu dan menghampiri pembaringan di mana Hong Ing masih rebah miring
dan belum dapat menggerakkan kaki tangannya, dan matanya terbelalak penuh
kengerian memandang kepada pemuda cabul itu.
Lui Teng tersenyum, menggunakan
jari tangannya mencolek dagu yang manis itu. “Nah, sekarang tiba giliranmu,
manis. Engkau ingin bebas? Boleh, kubebaskan karena akupun tidak senang
dilayani seorang wanita yang tidak mampu bergerak seperti mayat. Nah, engkau
boleh mencoba melawanku, atau engkau menyerahkan diri dengan suka rela melayani
aku. Boleh kaupilih!”
Tiba-tiba jari-jari tangannya
menotok punggung dan seketika Hong Ing dapat menggerakkan kembali kaki
tangannya. Akan tetapi pada saat itu, Lui Teng sudah menubruknya, mendekap dan
mencoba untuk menciumi muka dan bibirnya.
Ketika tiba-tiba dapat
bergerak, Hong Ing segera meronta dan memukul, mendorong Lui Teng yang
menciuminya penuh nafsu. Lui Teng melepaskan pelukannya sambil tertawa,
melompat turun dari atas pembaringan. Timbul kegembiraannya untuk mempermainkan
gadis ini, seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum diterkam
dan diganyangnya.
Hong Ing juga melompat turun
dan iapun mulai menyerang dengan nekat! Untuk beberapa belas jurus lamanya, Lui
Teng melayaninya, mengelak dan menangkis, kemudian tiba-tiba tangannya menampar
dari samping. Cepat sekali tamparannya itu dan tentu akan mengenai kepala Hong
Ing kalau saja tangan itu tidak merubah arahnya, turun dan tahu-tahu
mencengkeram baju di pundak Hong Ing.
“Bretttt.......!” Dengan
tenaganya yang kuat sekali, sekali renggut saja baju itu terobek dan terlepas
dari tubuh atas Hong Ing sehingga nampak baju dalam warna merah muda di baik
baju hijau yang direnggut lepas tadi.
“Aduh, manisnya!” Lui Teng
menggoda dan mencium baju itu lalu dilemparkannya baju itu ke atas meja.
Hong Ing marah bukan main,
marah dan malu, akan tetapi ia tidak mempunyai sesuatu untuk menutupi tubuh
atas yang hanya ditutup baju dalam yang amat tipis itu, dan dengan nekat untuk
mengadu nyawa, iapun menyerang lagi. Kakinya menendang- nendang dengan cepat
dan kuat.
Kembali Lui Teng melayaninya
sambil mentertawakan dan menggoda sehingga Hong Ing menjadi semakin marah.
Tiba-tiba, ketika kaki kanannya menendang, dari samping Lui Teng menggerakkan
tangannya dan berhasil menangkap pergelangan kaki gadis itu dengan tangan kiri,
lalu tangan kanannya mencengkeram dan merenggut dengan kuat.
“Bretttt......!” Kini celana
bijau itulah yang robek-robek dan terlepas. Tali pinggang dan kancing-kancingnya
putus dan di lain saat, celana hijau itu telah berada di tangannya.
Hong Ing terbelalak! Kini
seluruh tubuhnya hanya tertutup oleh pakaian dalam yang tipis sekali. Akan
tetapi apa yang dapat ia lakukan kecuali mengamuk semakin nekat? Ia tidak lagi
memperdulikan keadaan pakaiannya, hanya menyerang semakin hebat seperti seekor
harimau yang tersudut. Ia ingin mati dalam perkelahian itu!
Akan tetapi, kepandaiannya
jauh di bawah tingkat Lui Teng yang dengan mudah mempermainkannya. Sambil
tertawa-tawa Lui Teng mengelak dan menangkis dan pada suatu saat, dia berhasil,
menangkap kedua pergelangan tangan gadis itu, diringkusnya ke belakang dan
sekali renggut, terdengar bunyi kain robek dan kini Hong Ing sudah berada dalam
rangkulannya! Akan tetapi, ketika pemuda itu mencoba untuk menciumnya, Hong Ing
membuka mulut dan mencoba untuk menggigitnya! Lui Teng mengelak dan mengangkat
tubuh Hong Ing, Ialu melemparkannya ke atas pembaringan!
Sekarang barulah Hong Ing
ketakutan setengah mati! Ia tahu bahwa segala usahanya untuk meronta akan
gagal. Orang itu terlampau kuat dan terlampau pandai. Biarpun demikian, ia
mengambil keputusan untuk mempertahankan kehormatannya sampai mati, dan kalau
sampai ia tidak berhasil dan diperkosa, ia akan membunuh diri!
Sambil menyeringai menyeramkan,
Lui Teng menghampiri pembaringan, kedua tangannya mulai meraba-raba kancing
bajunya dan gerakan ini membuat Hong Ing semakin ketakutan, memandang dengan
mata terbelalak. Semua akalnya sudah hilang dan ia tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Ia hanya duduk meringkuk di sudut pembaringan paling jauh dan
berusaha sedapat mungkin untuk menutupi tubuhnya dengan kedua tangan.
Pada saat Lui Teng melempar
bajunya yang sudah terbuka dan menjulurkan tangan ke arah Hong Ing, tiba-tiba
terdengar suara keras.
“Braakkkkk......!! Daun pintu
kamar itu jebol dan sesosok bayangan putih berkelebat masuk ke dalam kamar itu.
Lui Teng terkejut dan menengok
untuk lebih kaget lagi sampai mukanya berubah pucat ketika dia mengenal siapa
yang memasuki kamar dengan paksa itu.
Tan Cin Hay atau
Pek-liong-eng!
Jai-hwa Kongcu Lui Teng
menjadi ketakutan! Munculnya pemuda berpakaian putih itu hanya berarti bahwa
Hek-sim Lo-mo gagal membunuh dua orang muda itu, dan mungkin malah Beng-cu itu
telah tewas.
Dia menoleh ke arah jendela
karena dia ingin melarikan diri, maklum bahwa dia tidak akan menang melawan
pemuda berpakaian putih itu. Dan menuruti hatinya yang penuh rasa takut,
tiba-tiba Jai-hwa Kongcu Lui Teng meloncat ke arah jendela kamar itu untuk
melarikan diri!
Akan tetapi, bayangan putih
berkelebat didahului gulungan sinar putih dan tubuh Lui Teng terkulai di bawah
jendela, mandi darah dan tewas karena jantungnya telah ditembusi pedang
Pek-liong-kiam di tangan Tan Cin Hay!
Cin Hay menoleh ke arah
pembaringan, Gadis itu sudah rebah telentang dalam keadaan pingsan! Saking
merasa ngeri menghadapi ancaman perkosaan atas dirinya, gadis yang tabah itu
akhirnya tidak tahan dan jatuh pingsan pada saat pintu kamar itu pecah
berantakan. Rasa ngeri yang sudah sampai di puncaknya, porak poranda karena
harapan baru yang muncul ketika daun pintu jebol, membuat Hong Ing tak sadarkan
diri.
Cin Hay berdiri di tepi
pembaringan. Melihat wajah yang manis itu, diam-diam Cin Hay mengerti mengapa
Lui Teng tadi mati-matian hendak memperkosa gadis ini, tidak takut lagi kepada
pemimpinnya.
Siapapun akan tergila-gila
oleh gadis seperti ini, pikirnya. Diambilnya sehelai selimut yang masih
terlipat di sudut pembaringan, lalu ditutupinya tubuh itu dengan selimut,
digulungnya dan diapun memanggul tubuh Hong Ing yang sudah terbungkus selimut
dan sebelum dia keluar dari kamar, dia menyambar pakaian gadis itu yang robek
dan berserakan di atas lantai, lalu pakaian itu dia susupkan ke dalam gulungan
selimut pula. Dan keluarlah Cin Hay dari dalam kamar itu, menuju ke ruangan
dalam di mana terjadi hal lain yang hebat!
Ketika Song Tek Hin dalam
keadaan seluruh tubuh nyeri-nyeri karena hajaran Lui Teng diseret oleh penjaga
itu keluar kamar, dia menurut saja, akan tetapi diam-diam Tek Hin mengumpulkan
kekuatannya. Untung bahwa tidak ada tulang di tubuhnya yang patah-patah, dan
luka-lukanya hanya luka luar saja, tubuhnya matang biru dan bengkak-bengkak,
dari hidung dan mulutnya mengalir darah karena tamparan Lui Teng yang
memecahkan bibirnya dan membuat hidungnya berdarah.
Dia diseret ke tengah ruangan
di mana masih ada duabelas orang penjaga yang berkumpul. Wajah para penjaga itu
tegang sekali karena merekapun bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka
lakukan, dan mereka khawatir kalau-kalau pimpinan mereka akan kalah oleh dua
orang muda yang lihai itu. Bahkan dua orang di antara mereka tadi sudah lari
untuk melapor dan minta bantuan kepada Kwa-ciangkun, komandan pasukan keamanan
di benteng kota Lok-yang yang sudah menjadi sahabat baik dari Hek-sim Lo-mo!
Begitu melihat Tek Hin diseret
masuk dan penjaga yang menyeretnya itu berkata, “Kong-cu telah menyerahkan
orang ini kepada kita, boleh kita siksa dia sampai mampus!” Semua penjaga yang
sudah ketakutan dan marah kepada musuh ini, segera mengepung dan berlumba untuk
memukuli Tek Hin. Akan tetapi pemuda ini sudah sejak tadi mengumpulkan tenaga.
Kini dia tahu bahwa dia
terancam bahaya maut di tangan tigabelas orang penjaga ini. Mereka tidaklah
selihai Jai-hwa Kongcu Lui Teng, pikirnya, maka bangkitlah semangatnya dan
diapun mengamuk, menghantam sana, menerjang sini dan tidak memperdulikan hujan
pukulan yang jatuh kepada tubuhnya. Semangatnya makin berkobar ketika dia
mendapatkan hasil dengan robohnya beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi, dia
sendiri sudah semakin lemah, dihujani pukulan dan dia terhuyung ke sana-sini
seperti seekor jangkerik sekarat dikeroyok sekumpulan semut.
Ketika keadaan Tek Hin gawat
sekali karena kini para penjaga itu saking marahnya sudah mencabut golok
masing-masing, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam didahului sinar hitam
bergulung-gulung dan para penjaga itu roboh dan tewas seketika kena disambar
oleh Hek-liong-kiam di tangan Liong-li!
Tek Hin masih berdiri dengan
tubuh bergoyang-goyang, dan dia tersenyum melihat Liong-li yang berdiri dengan
pedang di tangan dan semua pengeroyok telah roboh.
“Hebat...... kau wanita
hebat...... aku yakin engkau pasti datang menolongku...... kau..... Liong-li
yang cantik jelita dan hebat......” dan diapun terguling dan tentu akan
terbanting jatuh karena pingsan kalau saja tidak cepat disambut oleh Liong-li.
Wanita ini merasa kagum sekali
melihat keberanian Song Tek Hin, juga terharu mendengar pujian menjelang
pingsannya tadi. Dipanggulnya tubuh itu dan dibawanya meloncat keluar.
Tiba-tiba terdengar derap
banyak kaki kuda dari orang di luar gedung itu. Agaknya serombongan besar orang
berkuda dan berjalan kaki menyerbu ke pekarangan gedung itu dan segera Liong-li
melihat di bawah sinar bulan betapa puluhan orang menyerbu masuk pekarangan dan
melihat pakaian mereka yang seragam, tahulah ia bahwa penyerbu itu adalah
pasukan keamanan kota!
Selagi ia termangu-mangu,
tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan ia melihat Cin Hay telah berdiri di
dekatnya dan di pundak pemuda itu terpanggul tubuh seorang gadis cantik yang
dibungkus selimut! Liong-li merasa geli dan iapun mengenal gadis yang tadi
menjadi tawanan bersama Tek Hin. Akan tetapi Cin Hay berkata dengan suara
serius.
“Liong-li, mari kita cepat
pergi. Mereka itu adalah pasukan keamanan yang telah bersekutu dengan Hek-sim
Lo-mo. Mari, lewat belakang saja!”
Tubuhnya berkelebat cepat dan
Liong-li juga tidak membuang waktu, cepat mengikuti Cin Hay. Dengan
mempergunakan ilmu mereka berlari cepat, biarpun masing-masing memanggul tubuh
orang, mereka dapat cepat keluar dari kota Lok-yang.
“Kita pergi ke petak rumput
tepi sungai!” kata pula Cin Hay yang setelah tiba di luar tembok kota
mempercepat larinya.
Liong-li maklum tempat mana
yang dimaksudkan, tentu tempat di mana mereka tadinya menantang kepada Hek-sim Lo-mo
untuk bertanding. Iapun mempercepat larinya, akan tetapi tetap saja ia tidak
mampu menandingi Cin Hay dalam hal berlari cepat.
Bulan bersinar terang sehingga
Liong-li dapat mencari tempat itu di tepi sungai kecil yang jernih airnya, dan
ketika ia tiba di situ, ia berhenti melihat dari jauh betapa gadis itu
merangkul leher Cin Hay sambil menangis! Liong-li menahan ketawanya dan iapun
mengambil jalan lain, menuju ke tepi sungai yang agak jauh dari tempat Cin Hay,
terhalang banyak semak belukar sehingga mereka tidak dapat saling lihat.
Ketika Cin Hay menurunkan
“buntalan selimut” itu, Hong Ing siuman dari pingsannya. Begitu siuman, dan
melihat dirinya dibungkus selimut, tanpa disadarinya ia bangkit duduk dan
bungkusan selimut itupun terlepas dan ia bergidik. Lalu ia teringat dan
memandang ke kiri. Ia melihat Cin Hay duduk bersila di atas rumput dan pemuda
ini berkata halus.
“Pakaianmu berada di dalam
selimut itu, nona.”
Hong Ing terkejut, lalu
teringat bahwa tadi pintu kamar itu jebol ketika ia hampir putus asa menahan
Lui Teng yang hendak memperkosanya dan biarpun batinnya terguncang hebat dan
pandang matanya sudah kurang terang, namun ia masih dapat melihat berkelebatnya
bayangan putih dan melihat munculnya seorang pemuda berpakaian putih yang memegang
sebatang pedang yang berkilauan sebelum ia jatuh pingsan!
Kini, melihat pemuda yang
duduk bersila di dekatnya, pemuda yang berwajah tampan dan halus, yang
berpakaian serba putih sederhana, ia teringat kesemuanya. Pemuda inilah yang
telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya yang lebih hebat dari pada maut!
Pemuda ini telah menyelamatkan nyawanya, menyelamatkan kehormatannya! Keharuan
menggenangi perasaannya.
“Apakah..... apakah engkau...
Tan-taihiap?” Ia teringat akan cerita Song Tek Hin kepadanya.
Cin Hay memandang kepadanya
dan tersenyum. “Namaku Tan Cin Hay, nona......”
“Ahhh..., terima kasih,
taihiap...... terima kasih...” dengan hati diliputi penuh keharuan, Su Hong Ing
lalu maju dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan pemuda yang bersila itu.
Tentu saja Cin Hay menjadi
repot sekali! Dia memegang kedua pundak wanita itu, mengangkatnya bangkit agar
tidak berlutut. Dilepasnya lagi pundak itu dan dia memandang penuh kagum.
Cin Hay adalah seorang
laki-laki yang baru berusia duapuluh lima tahun, tentu saja penglihatan di
depannya itu, wajah yang cantik manis, merasa betapa tubuh itu mengeluarkan
hawa yang hangat, ditambah sinar bulan yang romantis, tak dapat dicegah lagi
diapun terpesona. Sampai lama dia mengamati gadis itu, dan Hong Ing yang berterima
kasih, kagum dan maklum akan pandang mata yang penuh kagum itu, menundukkan
mukanya.
“Nona... kau...... kau sungguh
cantik sekali...!” kata Cin Hay lirih dan suaranya tersendat-sendat.
Hong Ing mengangkat mukanya,
muka yang kini berubah merah dan matanya bersinar-sinar. Ia merasa bahwa ia
berhutang nyawa, berhutang budi kepada pemuda perkasa yang seketika menarik
hatinya ini, dan seperti ditarik oleh besi semberani, gadis itupun merangkulkan
kedua lengannya ke leher Cin Hay, menyandarkan mukanya di dada itu dan
menangis!
Cin Hay tidak dapat berbuat
lain kecuali merangkul dan memeluknya, mengelus rambutnya dan hatinya diliputi
rasa kasihan dan sayang. Pada saat gadis itu merangkul dan menangis di dadanya
itulah Liong-li melihat dari jauh dan gadis itupun tersenyum geli, kemudian
pergi mencari tempat lain.
Ketika Liong-li menurunkan
tubuh Tek Hin dari pondongan atau panggulannya ke atas rumput tebal, pemuda itu
mengeluh, tanda bahwa dia telah siuman dari pingsan. Begitu siuman, dia segera
teringat dan cepat dia bangkit duduk.
“Li-hiap (pendekar wanita),
aku......” katanya dengan sinar mata penuh kagum dan terima kasih yang mudah
dilihat oleh Liong-li di bawah sinar bulan. Liong-li cepat meletakkan jari
tangannya di atas bibir pemuda itu dan berkata lirih.
“Sshhhh, jangan banyak bicara
dulu. Rebahlah, aku harus memeriksamu, kalau-kalau engkau menderita luka dalam
atau patah tulang.”
Tek Hin merebahkan diri lagi
telentang. Ah, jangankan hanya luka dalam atau patah tulang, biar mati
sekalipun dia tidak penasaran kalau akhirnya dia dapat berduaan dengan pendekar
wanita yang amat dikaguminya ini! Berduaan di tempat sunyi, di malam hari
terang bulan, dan wanita ini sekarang meraba-raba seluruh tubuhnya dengan
jari-jari tangan yang lembut dan hangat! Amboii! Sama sekali dia tidak pernah
mimpi akan dapat merasakan kemesraan seperti ini dengan Liong-li!
Liong-li memeriksa seluruh
tubuh Tek Hin, memijat tulang-tulangnya, meraba dengan telapak tangan untuk
memeriksa kalau-kalau ada tulang patah atau luka dalam yang berbahaya. Dan ia
semakin kagum. Pemuda ini bukan saja hebat semangatnya, gagah berani dan tidak
takut menghadapi kematian, akan tetapi selain tampan dan gagah juga memiliki
bentuk tubuh yang hebat! Seorang pria yang akan mudah menundukkan hati wanita
yang manapun juga, termasuk ia sendiri!
Hatinya tergerak dan ia
tertarik sekali, apa lagi ia adalah seorang wanita yang masih muda, baru
berusia duapuluh tiga tahun, bagaikan bunga sedang mekarnya. Pengalamannya
dengan para pria dahulu hanya merendahkan dan menghina dirinya. Ia hanya
dijadikan korban, menjadi alat pemuas nafsu para pria itu tanpa ia merasakan
sedikitpun kemesraan kasih sayang, sedikitpun tidak pernah merasakan cinta di
dalam hatinya, melainkan benci yang terselubung karena terpaksa.
Kini, melihat Song Tek Hin,
hatinya mekar seperti kelopak bunga menyambut embun pagi dan tanpa disadarinya,
jari-jari tangannya memancarkan gelora yang timbul dari hati yang menyayang.
“Bukan main!” katanya. “Engkau
tidak apa-apa! Engkau dikeroyok, dihajar oleh banyak orang, mengalami siksaan
dan penahanan selama berhari-hari, sampai mukamu bengkak-bengkak, kulitmu
lembam dan matang biru, akan tetapi sedikitpun engkau tidak menderita luka
dalam atau patah tulang! Song-toako, engkau sungguh gagah bukan main!”
Bagaikan mimpi rasanya Tek Hin
mendengar betapa dari mulut pendekar wanita yang dikaguminya itu meluncur
sebutan “Song-toako” sedemikian merdunya! Merdu dan mesra.
Diapun bangkit dan segera
menjatuhkan diri berlutut di depan gadis pendekar itu, “Li-hiap, jangan
menumpuk budi terlampau banyak sampai aku merasa tidak kuat untuk menerimanya!
Berkat pertolonganmu yang dua kali, aku kini masih hidup, dan engkau malah
memuji-mujiku. Li-hiap, aku bersyukur dan berterima kasih sekali kepadamu, dan
kalau dalam kehidupan yang sekarang aku tidak mampu membalas budi, biarlah di
lain kehidupan mendatang aku akan menjadi kuda tungganganmu!”
Wajah Liong-li berubah merah
membayangkan betapa pemuda ini menjadi kuda tunggangannya! “Ihh, jangan begitu,
toako. Bangkitlah, engkau lebih tua dariku, dan engkau begini gagah perkasa,
tidak layak kalau berlutut kepadaku!”
Liong-li memegang kedua pundak
Tek Hin dan menariknya pemuda itu bangkit duduk. Tek Hin memegang kedua lengan
yang begitu halus mulus kulitnya akan tetapi yang dia tahu menyembunyikan
tenaga dahsyat di dalamnya. Mereka masih saling pegang, dan duduk berhadapan.
Liong-li memegang kedua pundak
pemuda itu dan Tek Hin memegang kedua lengannya. Dua mata saling berpadu, penuh
sinar aneh dan agaknya cahaya bulan mendorongkan pengaruhnya kepada dua hati
itu sehingga tanpa diketahui lagi siapa yang mendahului, tahu-tahu mereka sudah
saling rangkul!
Perasaan kagum dan iba
merupakan dua di antara perasaan-perasaan yang berpengaruh kuat sekali terhadap
pertumbuhan kasih sayang. Dan kasih sayang antara dua jenis yang berlawanan
selalu menjadi makanan lunak bagi nafsu yang selalu mengintai untuk menerkam
hati yang dilemahkan oleh perasaan kasih sayang.
Kalau dua buah hati yang haus
akan kemesraan belaian kasih sayang, kalau dua buah hati yang mendambahkan
curahan cinta bagaikan bunga kekeringan mengharapkan tetesan embun, kalau dua
buah hati yang dirundung rindu dendam sudah saling bertemu dan bersatu padu,
maka dunia ini rasanya bagaikan sorga. Waktu tidak ada lagi, ruang tidak ada
lagi, aku dan engkau tidak ada lagi, yang ada hanyalah kebahagiaan yang tak
dapat diukur dan digambarkan lagi.
Tahu-tahu pagipun sudah
menjelang, sinar matahari pagi mulai memudarkan sinar bulan dan bintang-bintang
di angkasa. Bersama lenyapnya cahaya bulan yang mempesona dan menyihir hati,
maka kesadaranpun mulai kembali menguasai batin.
“Li-hiap......, benarkah
engkau tidak mau hidup selamanya di sampingku? Begitu tegakah engkau untuk
meninggalkan aku lagi pagi ini, setelah engkau merampas cintaku, merampas
hatiku, merampas segalanya yang ada padaku?”
Liong-li yang menyandarkan
kepalanya di dada pemuda itu, menarik napas panjang. Sepasang matanya masih
sayu seperti orang mengantuk, akan tetapi bibirnya tersenyum. “Alangkah
indahnya hidup ini! Alangkah akan bahagianya kalau aku dapat terus
begini......!”
“Mengapa tidak, Li-hiap?
Engkau dapat menjadi isteriku yang terkasih! Aku akan mencintamu selama
hidupku, sebagai suamimu, dan kita akan hidup bersama selamanya......”
Liong-li menggeleng kepala.
“Itu tidak mungkin, Song-toako. Sama sekali tidak mung- kin, dan karena itu,
maka pagi ini aku terpaksa harus berpisah darimu. Kita harus berpisah dan
biarlah semua yang terjadi menjadi kenangan manis dalam kehidupan kita.”
Tek Hin mendekap kepala itu ke
dadanya erat-erat, seolah-olah kepala itu sebuah mustika dan dia tidak mau
kehilangan mustika itu, hendak membenamkan di dalam dadanya agar selamanya
tidak keluar lagi.
“Akan tetapi kenapa, Li-hiap?
Kenapa tidak mungkin? Bukankah engkau juga mencintaku seperti aku cinta padamu,
Li-hiap?”
Liong-li mengangkat mukanya,
merangkul leher di atas itu dan menarik kepala Tek Hin turun, lalu bibirnya
mengecup dagu pemuda itu, “Aku sayang padamu, Song-toako, hal ini tentu engkau
ketahui dan boleh yakin. Akan tetapi, tidak semua cinta dan sayang harus
berakhir dengan pernikahan.”
Ia lalu bangkit duduk dan
menghadapi. pemuda itu, pandang matanya penuh kesungguhan. “Dengar baik-baik,
toako. Aku tidak mungkin dapat hidup sebagai seorang isteri dan rumah tangga. Aku
seorang petualang dan hidupku penuh bahaya maut. Aku tidak mau membawa engkau
masuk ke dalam ancaman bahaya setiap waktu! Aku harus hidup sendirian!”
Dengan pandang mata sayu Tek
Hin memandang wanita itu. Betapa cantik jelitanya, dengan rambut yang agak
awut-awutan seperti itu, mata yang demikian tajam bersinar akan tetapi masih
nampak kesayuannya penuh kemesraan. “Li-hiap, aku bersedia untuk hidup
menghadapi tantangan bahaya maut di sampingmu!”
Kembali Liong-li menggeleng
kepalanya. “Tidak mungkin, toako. Pernikahan bukan hanya membutuhkan cinta
kasih, lebih dari pada itu! Selain cinta kasih, juga harus dilandasi saling
pengertian, selera yang sama, cara hidup yang sama. Kalau tidak, maka cinta itu
akan mudah goyah. Sudahlah, engkau percayalah bahwa aku, Lie Kim Cu, selamanya
tidak akan melupakan Song Tek Hin. Selamat tinggal!”
Tek Hin hendak bicara, akan
tetapi tiba-tiba gadis di depannya itu telah berkelebat menjadi sesosok
bayangan hitam dan lenyap dengan kecepatan seperti menghilang saja!
Tek Hin bangkit berdiri,
memandang ke empat penjuru, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu, tidak
mendengar sesuatu dan dengan kedua kaki lemas dia menjatuhkan diri lagi di atas
rumput, menelungkup dan hidungnya masih dapat mencium bau sedap yang
ditinggalkan tubuh Liong-li, masih dapat merasakan kehangatan yang ditinggalkan
tubuh wanita itu pada rumput. Kalau saja dia seorang wanita lemah, bukan
seorang laki-laki jantan, tentu dia sudah menangis mengguguk!
Sementara itu di tepi sungai
agak jauh dari situ, Hong Ing menangis sambil merangkul pundak Cin Hay,
menyembunyikan mukanya di dada pendekar itu sehingga baju Cin Hay menjadi basah
oleh air mata. Cin Hay mengelus rambut yang halus itu dan menghibur.
“Sudahlah, Ing-moi, tenangkan
hatimu.”
“Tapi, tai-hiap...... begitu
tegakah hatimu untuk meninggalkan aku? Aku... aku ingin ikut denganmu
selamanya, tai-hiap...... tidak ingin berpisah lagi darimu..... biar aku
menjadi bujangmu, menjadi pelayanmu, aku.... aku...... bukankah kita saling
mencinta, tai-hiap......?” kata Hong Ing di antara isak tangisnya.
Cin Hay mengangkat muka itu
dengan memegang dagunya, lalu mengecup bibir yang gemetar itu, mengecup pipi
yang dibasahi air mata. “Tentu saja aku cinta padamu, Hong Ing. Engkau seorang
gadis yang amat baik, gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi, sekali lagi
kujelaskan bahwa aku bukan seorang yang pantas menjadi suami dan ayah. Hidupku
mengharuskan aku menjadi seorang petualang, pembasmi kejahatan dan hidupku
bergelimang kekerasan dan selalu terancam bahaya maut.”
“Aku tidak takut........ !”
“Aku percaya, akan tetapi aku
yang tidak ingin melihat engkau selalu terancam bahaya. Tidak, engkau harus
memperoleh jodoh yang cocok bagimu. Engkau seorang gadis yang baik, aku hanya
akan berdoa untukmu, Ing-moi. Percayalah, aku selamanya takkan melupakanmu.
Selamat tinggal, Ing-moi, selamat tinggal dan semoga engkau berbahagia!”
“Tai-hiap......!” Hong Ing
menjerit ketika tiba-tiba Cin Hay melepaskan dirinya dan sekali berkelebat,
hanya nampak bayangan putih dan pemuda itu telah lenyap.
“Tai-hiap...... aahhh,
tai-hiap......!” Dan gadis itupun menangis, mengguguk sambil menelungkup di
atas rumput.
Setelah tangisnya mereda, Hong
Ing bangkit duduk, masih terisak dan ia berkata seorang diri, “Tai-hiap...
engkau meninggalkan aku...... apa artinya lagi hidup bagiku? Tai-hiap, lebih
baik aku mati saja...” Ia bangkit berdiri dan pada saat itu terdengar suara
halus di belakangnya.
“Hong Ing, jangan engkau
berkata seperti itu!”
Hong Ing terkejut, penuh harap
ia membalikkan tubuhnya. Kiranya yang berdiri di depannya adalah Song Tek Hin.
“Ing-moi, tenangkanlah hatimu,
sabarkanlah hatimu, aku... aku tahu apa yang kausedihkan, Ing-moi. Aku sendiri
juga amat kehilangan ia... ia telah meninggalkan aku pula, seperti Tan-taihiap
meninggalkanmu......”
Hong Ing merasa hatinya
seperti ditusuk karena diingatkan dengan nada penuh iba itu. Ia lalu lari
menubruk Tek Hin dan menangis di dada pemuda itu, seperti seorang anak kecil.
Tek Hin merangkul dan menarik
napas panjang, mengelus rambut gadis itu dengan hati penuh iba. Dia tahu
bagaimana rasanya hati yang ditinggal pergi kekasih, bukan hanya ditinggal
pergi, melainkan juga direnggut putus tali cinta kasihnya. Dia merasakan hal
yang sama seperti yang kini diderita Hong Ing.
“Ing-moi, engkau tentu
mencinta Tan-taihiap, bukan?” tanyanya halus, seperti kepada seorang adik.
Tanpa menjawab, dengan muka
masih disembunyikan di dada itu, dengan pundak masih terguncang oleh isak, Hong
Ing mengangguk.
“Dan Tan-taihiap terpaksa
meninggalkan engkau karena dia tidak ingin engkau menjadi teman hidupnya?”
Kembali Hong Ing mengangguk,
sesenggukan.
“Aku juga mengalami hal yang
sama, Ing-moi. Aku mencinta Li-hiap, dan iapun sayang padaku, akan tetapi, ia
terpaksa meninggalkan aku karena ia tidak ingin aku hidup selamanya di
sampingnya.”
Hong Ing terheran mendengar
ini dan ia lalu melepaskan diri, mundur dua langkah dan memandang kepada pemuda
itu dengan muka basah air mata, kini matanya terbelalak memandang pemuda itu.
“Kau...... kau juga?” hanya demikian ia bertanya.
Tek Hin tersenyum, senyum yang
pahit sekali dan mengangguk. Hong Ing menghentikan tangisnya, kini hatinya
diliputi rasa iba terhadap pemuda itu. Keduanya menunduk sampai lama.
Tek Hin menarik napas panjang.
“Mereka itu benar, Ing-moi. Kita yang tidak tahu diri. Bagaimana mungkin dua
orang pendekar sakti seperti mereka itu mau berjodoh dengan orang-orang bodoh
seperti kita? Kehidupan mereka akan menjadi pincang dan kita hanya akan menjadi
beban mereka. Seekor naga tak mungkin berjodoh dengan seekor ular.
Burung-burung Hong seperti mereka tidak mungkin berjodoh dengan burung-burung
gagak seperti kita. Burung gagak jodohnya juga burung gagak, seperti engkau
dengan aku.”
Hong Ing mengangkat mukanya
dan matanya terbelalak, “Apa... apa maksudmu, toako?”
Tek Hin tersenyum, “Engkau
mengalami patah hati dan kekecewaan cinta, akupun demikian, Ing-moi. Engkau
tahu, aku telah kehilangan tunanganku Pouw Bi Hwa, dan sekarang aku kehilangan
Hek-liong-li. Sekarang barulah aku menyadari bahwa orang yang jauh lebih pantas
dan cocok untuk menjadi jodohku adalah engkau! Kita sama-sama menderita
kekecewaan, bagaimana kalau kita sama-sama berusaha saling menghibur?
Bersediakah engkau menjadi isteriku, Ing-moi?”
Wajah itu berubah kemerahan
dan matanya semakin terhelalak. Dahulu, sudah lama sekali, ketika untuk pertama
kalinya diperkenalkan kepada tunangan saudara misannya, Pouw Bi Hwa, pernah
diam-diam ia mengagumi pemuda ini dan merasa iri kepada Bi Hwa. Dan kini,
pemuda itu secara tiba-tiba melamar dirinya untuk menjadi isterinya! Setelah
apa yang dialaminya bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay!
Hong Ing termenung, sukar
sekali untuk menjawab. Akan tetapi kemudian ia mengangkat mukanya lagi menatap
wajah pemuda itu. Mereka saling pandang dengan sinar mata penuh selidik dan
mendapat kenyataan betapa mereka memang saling menaruh rasa iba.
“Toako, kita berdua baru saja
mengalami hal-hal yang hebat, baru saja lolos dari maut yang mengerikan.
Agaknya kita memang senasib sependeritaan, juga dalam cinta. Karena itu......
kalau memang engkau sungguh-sungguh tulus dan jujur, aku..... aku akan merasa
berbahagia sekali, mendapatkan kembali harapanku untuk hidup berbahagia di
sampingmu, toako.”
Tek Hin tersenyum, melangkah
maju dan merangkul pundak gadis itu, diajaknya melangkah menuju ke timur di
mana matahari mulai muncul dengan cerahnya. Mereka berjalan melangkah
perlahan-lahan menyongsong Sang Surya, menyongsong kehangatan dan cahaya terang
penuh kedamaian. Lengan kiri Tek Hin merangkul pundak dan leher Hong Ing dan
perlahan-lahan, lengan kanan gadis itupun melingkar di pinggang Tek Hin
◄Y►
“Liong-li, perlahan
dulu......!”
Liong-li yang sedang berlari
cepat itu, menahan langkahnya dan menoleh, ia tersenyum melihat Tan Cin Hay
berlari mengejarnya,
“Hemm, engkau, Liong-eng (Pendekar
Naga)?” tegurnya dan Cin Hay tersenyum mendengar sebutan itu. Liong-li
menyebutnya Liong-eng, dan memang sebutan ini cocok sekali dengan sebutan
Liong-li! Biarlah mulai sekarang, setidaknya untuk Liong-li, dia berjuluk
Liong-eng, singkatan dari Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih).
Mereka, tanpa berunding, duduk
di atas rumput di tepi sungai kecil yang airnya jernih itu. Mereka telah
meninggalkan Tek Hin dan Hong Ing jauh sekali, akan tetapi masih terus
mengikuti sungai dan tadi mereka berlari menyusuri tepi sungai.
“Jadi engkau juga meninggalkan
dia?” tanya Cin Hay.
Liong-li menatap tajam.
“Engkau juga meninggalkan gadismu baju hijau atau baju selimut itu?” ia
tersenyum mengejek.
Cin Hay mengangguk serius,
“Aku bukan seorang calon suami yang baik.”
“Aku juga bukan seorang calon
isteri yang baik,” kata pula Liong-li. Kemudian disam- bungnya, “Liong-eng,
mengapa engkau berkata bahwa engkau bukan seorang calon suami yang baik?”
“Aku pernah menjadi suami
orang, akan tetapi aku seorang suami yang tidak mampu menjaga keselamatan
isterinya sehingga isteri itu tewas dalam tangan manusia-manusia iblis.”
Cin Hay lalu menceritakan
pengalaman hidupnya, betapa dia dan isterinya di Telaga See-ouw diganggu oleh
Koan Taijin dan tukang-tukang pukulnya, yaitu See-ouw Sam-houw. Betapa dia
hampir tewas dan isterinya dirampas, kemudian isterinya diperkosa sampai mati,
pada hal isterinya sedang mengandung tiga bulan.
Diceritakannya pula betapa dia
kemudian ditolong oleh mendiang Pek I Lojin yang menjadi gurunya. Dia digembleng
oleh kakek itu, kemudian dia, tujuh tahun kemudian, membalas dendam kematian
isterinya, membunuh See-ouw Sam-houw dan membuat Koan Taijin menjadi seorang
manusia yang tidak berguna lagi.
“Kemudian aku memenuhi pesan
mendiang suhu untuk mencari Kim-san Liong-cu yang membawaku bertentangan dengan
Hek-sim Lo-mo dan bertemu denganmu, Liong-li. Nah, entah mengapa aku
menceritakan semua ini kepadamu, Liong-li, pada hal aku sudah berjanji pada
diri sendiri untuk merahasiakan riwayat hidupku yang buruk ini. Entah mengapa
aku menaruh kepercayaan yang mutlak kepadamu. Engkau merupakan orang pertama
dan orang terakhir yang mendengar riwayatku, maka kupercaya engkau akan
merahasiakannya pula.”
Liong-li mendengarkan dengan
terharu. Kiranya pemuda ini memiliki riwayat hidup yang cukup menyedihkan.
“Percayalah, aku akan menyimpannya seperti rahasia pribadiku sendiri.”
“Akan tetapi, kuharap
engkaupun cukup percaya kepadaku untuk menceritakan riwayatmu, Liong-li. Dengan
demikian, kita berdua saling mengenal secara mendalam. Aku mendapat firasat
bahwa bukan hanya sekali ini saja kita akan bekerja sama menentang kejahatan.
Maukah engkau bercerita kepadaku, Liong-li!”
Liong-li menundukkan mukanya
dan menyembunyikan warna merah yang naik ke wajahnya yang manis itu. Beberapa
kali ia menarik napas panjang, kemudian berkata, “Akupun menaruh kepercayaan
besar kepadamu, Liong-eng. Maka biarlah engkau mendengar riwayatku dan
engkaupun orang pertama dan orang terakhir yang akan mendengarnya.”
Liong-li lalu bercerita secara
singkat namun padat. Betapa untuk menyelamatkan ayahnya yang korup, ia dipaksa
menjadi selir Pangeran Coan Siu Ong dan karena ia melawan ketika hendak
digauli, ia disiksa, diperkosa secara kejam oleh pangeran itu, kemudian karena
masih terus melawan, ia dijual ke rumah bordil dan oleh pemilik rumah bordil
yang mempunyai tukang-tukang pukul, iapun disiksa dan dipaksa untuk menjadi
pelacur!
Tanpa malu-malu lagi ia
menceritakan betapa ia dipaksa melayani banyak orang, dan betapa ia diam-diam
ia mengusahakan pelariannya. Betapa ia berhasil melarikan diri, dikejar-kejar
dan ditolong oleh nenek Huang-ho Kui-bo yang kemudian menjadi gurunya selama
tujuh tahun. Setelah selesai belajar silat, ia lalu membalas dendam dan membuat
semua orang yang pernah menghinanya menjadi penderita cacat seumur hidup dengan
membuntungi kaki tangannya, dan para hidung belang itu ia buntungi hidung
mereka. Pangeran Coan Sui Ong ia buntungi kaki tangannya.
“Akupun dipesan oleh subo
untuk mencari Kim-san Liong-cu dan dalam usaha mencari mutiara itu, aku bertemu
dengan Hek-sim Lo-mo dan bertemu denganmu. Nah, demikianlah riwayat hidupku dan
kuharap engkau sebagai satu-satunya orang yang pernah mendengarnya, akan
merahasiakannya.”
Cin Hay atau yang kini
berjuluk Liong-eng menghela napas panjang, memandang kepada kawannya itu dengan
penuh perasaan iba. “Aduh, riwayat hidupmu sungguh menyedihkan sekali,
Liong-li. Tentu saja aku akan merahasiakannya seperti rahasia pribadiku
sendiri.”
“Tidak, Liong-eng. Engkau yang
lebih menderita, karena engkau kehilangan isteri yang tercinta, bahkan
kehilangan calon anak. Engkau menderita kehilangan, sedangkan aku hanya
menderita penghinaan.”
“Betapapun juga, Liong-li,
Kita berdua adalah dua orang yang menjadi korban kejahatan manusia yang berhati
iblis. Oleh karena itu, kita harus selalu menentang kejahatan dalam bentuk
apapun juga! Maukah engkau bekerja sama dengan aku dalam hal ini? Dengan
bekerja sama, tentu kita menjadi lebih kuat.”
“Aku setuju, Liong-eng. Akan
tetapi, tidak semua lawan perlu kita hadapi bersama. Kalau seorang di antara
kita menghadapi kesulitan, bertemu dengan lawan yang amat tangguh seperti
Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya, barulah kita saling mengabari dan saling bantu.
Setujukah engkau?”
Liong-eng atau Tan Cin Hay
mengangguk. Diapun tahu bahwa kalau mereka selalu berkumpul, banyak sekali
bahayanya. Mereka itu saling kagum, dan kalau terlalu sering berkumpul, bukan
tidak mungkin akan terjalin hubungan yang lebih akrab dan mesra di antara
mereka dan hal itu akan merupakan kelemahan mereka.
“Baik, Liong-li. Akan tetapi,
bagaimana kita akan dapat saling menghubungi atau mencari?”
“Aku berasal dari Lok-yang,
maka akupun tidak akan meninggalkan Lok-yang jauh-jauh. Aku akan berada di
sekitar Lok-yang, dan kalau engkau ingin bertemu atau menghubungi aku,
datanglah engkau ke tepi sungai ini. Aku akan mendirikan sebuah pondok di sini
untuk tempat peristirahatan, dan di tempat inilah engkau akan menemui aku. Dan
bagaimana dengan kau? Kalau aku perlu denganmu, ke mana aku harus mencarimu?”
“Aku? Aku akan berada di
sekitar Telaga See-ouw! Aku tidak dapat melupakan telaga yang indah itu.
Kampung halamanku tidak jauh dari telaga itu di mana orang tuaku hidup bertani,
dan kuburan isteriku juga berada di sana.”
“Bagus, kalau begitu semua
telah disepakati. Aku girang sekali dapat menjadi sahabatmu, Liong-eng dan
mudah-mudahan tidak lama lagi kita akan dapat saling bertemu kembali.” Iapun
bangkit berdiri.
Liong-eng juga bangkit
berdiri. “Kita berpisah sekarang, Liong-li?”
Wanita itu tersenyum, manis
sekali.
“Ada pertemuan harus ada
perpisahan, dan hanya perpisahan yang membuat pertemuan berikutnya menjadi
teramat indahnya! Bukankah begitu?”
Liong-li tersenyum,
mengangguk.
Sungguh menyenangkan sekali
mempunyai seorang sahabat sejati seperti Liong-li ini, wataknya aneh akan
tetapi amat gagah dan baik, pandangan luas, dan hatinya bebas. Dan yang lebih
dari itu, wanita ini pernah menyelamatkan nyawanya, dan dia sendiripun pernah
menyelamatkan nyawanya.
“Selamat jalan dan selamat
berpisah, Liong-li,” katanya sambil membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke
depan dada, bersoja.
Liong-li membalas penghormatan
itu, lalu tiba-tiba mengulurkan tangan kanannya, mendekati Liong-eng. Sambil
tersenyum orang muda itu menyambut uluran tangan itu, menyambut dalam jabatan
tangan yang hangat di mana kedua tangan itu saling genggam penuh getaran
persahabatan.
Begitu keduanya melepaskan
jabatan tangan, keduanya saling pandang, tersenyum dan keduanya lalu berkelebat
lenyap, yang seorang ke utara, seorang ke selatan menurut arah sungai yang
membelok ke selatan itu. Sebentar saja yang nampak hanyalah dua titik, satu
hitam satu putih yang makin lama makin saling menjauhi sampai akhirnya lenyap.
◄Y►
Rumah besar di lereng bukit
luar kota itu memang menyeramkan. Bentuknya seperti sebuah benteng yang
dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan tebal. Di sebelah dalam pagar tembok
terdapat beberapa bangunan mengelilingi bangunan induk yang besar dan kuno,
seperti kuil-kuil saja. Bukit itu merupakan sebuah di antara bukit-bukit yang
mengelilingi Telaga Po-yang di Propinsi Kiang-si.
Di bukit-bukit itu memang
terdapat banyak bangunan kuno, peninggalan jaman dahulu, kuil-kuil tua yang
sudah tidak dipergunakan sebagai kuil lagi, hanya menjadi peninggalan kuno yang
kadang-kadang dikunjungi orang untuk dikagumi. Akan tetapi, bangunan yang satu
ini, yang terletak di lereng Bukit Merak, tidak pernah dikunjungi orang!
Semua orang di sekitar daerah
itu tidak ada yang berani, apa lagi berkunjung, mendekatipun mereka tidak
berani. Kecuali mereka yang mempunyai keperluan seperti pedagang beras dan
kebutuhan lain untuk dikirimkan kepada penghuni bangunan besar itu.
Kalau para penduduk di sekitar
tempat itu takut mendekatinya karena telah mendengar betapa para penghuni rumah
besar itu bengis dan galak, juga lihai dan suka main pukul, para tokoh kang-ouw
lebih takut lagi untuk mendekati tempat itu. Dunia kang-ouw sudah mengetahui
bahwa rumah besar di lereng bukit yang disebut Bukit Merak itu adalah tempat
tinggal dari Siauw-bin Ciu-kwi (Iblis Arak Muka Tertawa), seorang di antara
datuk sesat yang dikenal dengan sebutan Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang
kini merajalela di dunia persilatan setelah puluhan tahun mereka tidak pernah
mencampuri urusan dunia.
Baru beberapa tahun ini Kiu
Lo-mo terjun ke dunia ramai dan dunia kang-ouw menjadi gempar karena sepak
terjang mereka yang menggegerkan dunia persilatan, menaklukkan seluruh golongan
hitam untuk menjadi anak buah mereka di daerah kekuasaan masing-masing.
Siauw-bin Ciu-kwi yang
menguasai seluruh daerah Propinsi Kiang-si, dalam waktu beberapa tahun saja
sudah menalukkan sebagian besar kaum sesat dan diapun diangkat menjadi Beng-cu
(pemimpin) oleh para tokoh sesat yang tidak mampu menandingi ilmu kepandaiannya
yang konon amat tinggi sehingga dia dinamakan seorang yang sakti.
Malam itu amat sunyi di
sekitar lereng Bukit Merak. Lampu-lampu gantung di atas pagar tembok dan di
luar rumah-rumah besar tua itu nampak berkelap-kelip di antara kegelapan malam,
menambah seramnya suasana yang amat sunyi itu. Tidak ada seorangpun penduduk di
sekitar Telaga Po-yang berani mendekati Bukit Merak, apalagi sampai ke
lerengnya, baru di kaki bukit itu saja mereka tidak berani. Lebih baik
mengambil jalan memutar yang lebih jauh dari pada harus melalui kaki Bukit Merak.
Akan tetapi, dalam keremangan
cuaca malam yang hanya disinari oleh laksaan bintang di langit, nampak empat
orang laki-laki mendorong-dorong seorang hwesio, mendaki kaki bukit terus ke
lereng. Beberapa kali, kalau hwesio itu berjalan kurang cepat, dia didorong
oleh empat orang yang berjalan di belakangnya sambil dibentak sehingga hwesio
itu terhuyung-huyung ke depan.
Hwesio itu usianya sudah
enampuluhan tahun, bertubuh kurus dan bermuka pucat. Ke- palanya gundul dan
jubahnya yang kuning itu agak kumal. Dia melangkah sambil merangkap kedua
tangan di depan dada, agaknya dia sudah menyerahkan segalanya kepada Yang Maha
Kuasa, maklum bahwa dia tidak berdaya dan terjatuh ke dalam tangan orang-orang
yang jiwanya dikuasai nafsu iblis.
Hwesio ini bernama Loan Khi
Hwesio, ketua dari sebuah kuil kecil di sebuah bukit yang berada di sebelah
barat Telaga Po-yang. Sore tadi, dia kedatangan empat orang laki-laki yang
tidak pernah dikenalnya ini, dan dengan suara kasar mereka memaksa dia harus
ikut bersama mereka untuk menghadap Beng-cu di lereng Bukit Merak!
Lima orang hwesio yang menjadi
pembantunya, hwesio-hwesio muda, tentu saja tidak merelakan dia yang menjadi
ketua kuil diculik begitu saja. Mereka melawan, akan tetapi apa daya lima orang
hwesio yang hanya menguasai sedikit ilmu silat menghadapi empat orang yang
lihai itu? Dengan mudah lima orang hwesio itu dihajar sampai pingsan semua dan
dia pun dipaksa untuk ikut mereka ke Bukit Merak.
Loan Khi Hwesio maklum siapa
yang disebut Beng-cu itu. Dia sudah mendengar tentang Siauw-bin Ciu-kwi,
seorang datuk besar kaum sesat yang amat sakti dan kejam. Maka, diapun pasrah
dan hanya mempergunakan kekuatan batinnya untuk menghadapi ancaman bahaya maut
ini.
Empat orang itu yang rata-rata
berusia empatpuluh tahun, memiliki tubuh yang kokoh kuat dan wajah yang bengis,
orang-orang yang sudah biasa melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendak
mereka. Mereka adalah sebagian dari para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi, hanya
merupakan pembantu rendahan saja, bukan pembantu utama yang berilmu tinggi.
Kini mereka tiba di depan
pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal. Seorang di antara empat tukang
pukul itu membunyikan genta dan dari dalam pintu, seorang penjaga mengintai
melalui lubang daun pintu, kemudian membuka pintu gerbang itu, dibantu oleh
seorang teman karena pintu gerbang itu amat berat saking tebal dan besarnya.
Loan Khi Hwesio didorong masuk dan hampir saja jatuh karena kakinya tersandung
batu.
“Hayo cepat!” bentak seorang
di antara empat jagoan itu sambil menangkap lengan hwesio itu dan menyeretnya
menuju ke sebuah bangunan induk di dalam tembok yang seperti benteng.
Setelah mereka tiba di sebuah
ruangan yang cukup terang, hwesio itu didorong masuk sampai jatuh menelungkup.
Akan tetapi, dia bangkit lagi tanpa mengeluh, kedua tangan masih dirangkap
depan dada dan mulutnya berkemak-kemik membaca doa untuk mohon kekuatan kepada
Yang Maha Kuasa. Dia lalu mengangkat muka memandang.
Kiranya di dalam ruangan itu
duduk beberapa orang yang kesemuanya memandang kepadanya, bagaikan segerombolan
anjing srigala kelaparan. Loan Khi Hwesio merasa betapa dia seperti seekor
kelinci yang dikepung srigala-srigala itu sehingga diam-diam diapun bergidik
walaupun penyerahan dirinya kepada Tuhan telah membuat dia tidak merasa takut.
Dia merasa ngeri menghadapi manusia-manusia yang pada lahirnya saja sudah
nampak sedemikian mengerikan dan penuh dengan kepalsuan dan kekejaman.
Siauw-bin Ciu-kwi mudah
dikenal oleh orang yang baru mendengar namanya dan belum pernah melihat
mukanya. Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih limapuluh tahun, tubuhnya
pendek dengan perut gendut, nampak semakin pendek karena duduk di atas kursi
yang besar dan dalam.
Dia nampak seperti seekor
katak bersembunyi di dalam lubangnya. Kepalanya botak, sedemikian botaknya sehingga
kelihatan gundul. Mukanya sungguh aneh. Muka yang seperti muka kanak-kanak,
gemuk dengan kedua pipi tebal, akan tetapi mulutnya terus menyeringai,
tersenyum lebar!
Seluruh wajahnya tersenyum
kecuali matanya. Sepasang mata itu sama sekali tidak tersenyum, sama sekali
tidak membayangkan keramahan atau kegembiraan, melainkan sepasang mata yang
mencorong dengan sinar yang tajam menusuk dan mengandung kekejaman dan
kecerdikan luar biasa. Agaknya karena mulutnya yang selalu menyeringai itulah
maka dia dijuluki Siauw-bin (Muka Tertawa).
Di atas meja di depannya
nampak sebuah guci arak besar dan di tangannya nampak cawan arak yang tak
pernah kosong karena setiap kali dia meneguk isi cawan, selalu ada tangan halus
yang mengisi cawan itu kembali dari guci arak. Tangan halus itu milik seorang
wanita muda yang selalu duduk di samping Beng-cu itu, seorang wanita berusia
kurang lebih tigapuluh tahun yang berwajah cantik manis, pesolek, dengan mulut
penuh gairah dan sepasang mata yang indah.
Melihat seorang wanita yang
memiliki bentuk tubuh demikian indah, wajah manis dan sikap yang genit memikat,
orang tidak akan mengira bahwa wanita ini sungguh bukan seorang wanita yang
lemah! Biarpun ia dapat menjadi hangat dan penuh kemesraan, namun di balik
semua keindahan itu tersembunyi kekuatan yang amat dahsyat, kekejaman yang
membuat seorang penjahat sekalipun menjadi ngeri, dan kepandaian silat yang
membuat namanya terkenal di seluruh Propinsi Kiang-si.
Wanita yang kini seolah-olah
menjadi pelayan terkasih dari Beng-cu itu terkenal dengan julukan Tok-sim
Nio-cu (Nona Berhati Racun). Nama kecilnya adalah Lui Cin Si, akan tetapi di
dunia kang-ouw, nama ini tidak dikenal orang, akan tetapi kalau sekali orang
menyebut Tok-sim Nio-cu, penjahat yang paling kejam sekalipun akan merasa serem
dan takut!
Ketika Siauw-bin Ciu-kwi
muncul di dunia persilatan dan bermukim di Propinsi Kiang-si, tentu saja
seperti banyak tokoh kang-ouw, Tok-sim Nio-cu juga tidak sudi untuk menyerah
dan takluk kepada datuk besar yang baru muncul ini. Apa lagi melihat orangnya
yang tidak mengesankan, hanya seorang laki-laki setengah tua yang pendek
berperut gendut dan selalu senyum-senyum seperti orang sinting.
Tok-sim Nio-cu bahkan
memandang rendah dan ia menantang datuk ini. Sungguh di luar perkiraannya, menghadapi
si pendek gendut itu, dalam beberapa jurus saja, kurang dari sepuluh jurus, ia
sudah terjungkal roboh! Akan tetapi, Tok-sim Nio-cu bukan orang yang mudah
menyerah.
Tidak mudah bagi Siauw-bin
Ciu-kwi untuk menalukkan wanita liar ini, yang masih merasa penasaran dan ia
mengumpulkan kawan-kawannya untuk mengeroyok. Baru setelah berkali-kali semua
usahanya menentang Siauw-bin Ciu-kwi gagal dan berkali-kali ia dirobohkan tanpa
dibunuh, akhirnya Tok-sim Nio-cu menyatakan takluk dan menyerah!
Setelah Tok-sim Nio-cu
menyerah, kini ia malah menjadi seorang pembantu yang paling dipercaya oleh
Siauw-bin Ciu-kwi, bahkan tidak hanya itu, ia juga menjadi kekasih Beng-cu itu
dan karena ini, kekuasaannya amat besar dan hanya di sebelah bawah kekuasaan
sang Beng-cu! Yang lebih menggirangkan hatinya lagi, ternyata si pendek gendut
yang tidak dapat dibilang ganteng dan tidak memiliki banyak daya tarik sebagai
seorang pria terhadap wanita itu, ternyata adalah seorang pria yang jantan bagi
seorang wanita haus laki-laki seperti Tok-sim Nio-cu! Seorang pria yang dapat
memuaskan hatinya!
Di samping ini, juga Beng-cu
itu berkenan mengajarkan beberapa jurus ilmu silat yang tinggi kepadanya,
menguruknya pula dengan kemuliaan, kemewahan dan kedudukan sehingga membuat
wanita genit itu benar-benar takluk dan setia! Demikianlah, wanita ini bahkan
tidak malu-malu dan tidak merasa rendah untuk menuangkan arak dan melayani
Beng-cu seperti seorang pelayan biasa saja, biarpun di depan banyak orang!
Tentu saja tidak ada seorangpun berani memandang rendah kepadanya, yang
kekuasaannya hanya di bawah kekuasaan Beng-cu!
Hanya Tok-sim Nio-cu seorang
yang duduk di samping Beng-cu menghadapi meja, seperti seorang pelayan, juga
seperti seorang kekasih atau isteri, karena Beng-cu tidak mempunyai isteri. Ada
pula enam orang wanita muda yang menjadi semacam selir, atau dayang atau juga
pelayan, menjadi penghibur Beng-cu. Mereka duduk bersimpuh di atas lantai, siap
untuk melaksanakan perintah Beng-cu, baik perintah untuk bermain musik, menari,
bernyanyi, atau juga beramai “mengeroyok” Beng-cu melayani segala kehendak pria
pendek gendut yang amat sakti itu! Mereka adalah gadis-gadis pilihan yang mau
tidak mau kini menjadi pelayan dan penghibur datuk besar itu.
Di belakang datuk itu, nampak
tiga orang laki-laki yang nampak aneh dan tidak seperti manusia biasa. Memang
mereka bukan manusia biasa, melainkan manusia berwatak iblis yang sejak lama
menjadi tokoh-tokoh sesat di Propinsi Kiang-si. Seperti juga Tok-sim Nio-cu,
mereka ditundukkan oleh Siauw-bin Ciu-kwi dengan kekerasan dan mereka baru mau
sungguh-sungguh takluk setelah kalah mutlak menghadapi Beng-cu yang sakti itu.
Kini mereka menjadi
pembantu-pembantu setia dari Beng-cu yang pandai mengambil hati mereka dengan
melimpahkan kemuliaan dan kemewahan. Juga, menjadi pembantu Beng-cu mengangkat
nama mereka lebih tinggi di dunia kang-ouw membuat mereka semakin disegani dan
ditakuti orang.
Yang pertama hanya dikenal
julukannya saja, yaitu Lim-kwi Sai-kong (Si Muka Singa Setan Hutan), dan memang
sebelum menjadi pembantu utama Beng-cu, dia menjadi seorang penunggu hutan yang
ditakuti. Usianya sudah enampuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan mukanya
seperti muka singa, penuh dengan cambang bauk dan persegi menyeramkan, wajah
yang penuh kegarangan dengan mata yang lebar dan sinarnya aneh.
Pakaiannya selalu hitam dari
kain tebal dan tidak pernah bersih, tubuhnya juga berbau binatang hutan.
Sebatang golok besar tak pernah meninggalkan pinggangnya dan sehelai rantai
baja besar melilit pula pinggang itu. Biarpun dia seperti seorang hutan tulen,
namun jangan dikira bahwa dia hanya buas dan mengandalkan tenaga raksasa saja,
seperti seekor singa. Tidak, di samping tenaga besar dan kebuasannya, juga dia
memiliki ilmu silat yang dahsyat, bahkan pandai pula mempergunakan khi-kang
untuk mengeluarkan auman yang menggetarkan jantung dan melumpuhkan kaki seorang
lawan!
Orang kedua kurang mengesankan
sebagai seorang jagoan, apa lagi sebagai seorang pembantu utama dari Siauw-bin
Ciu-kwi. Dia seorang pria berusia tigapuluh lima tahun bernama Ciong Koan dan
berjuluk Pek-i Kongcu (Tuan Muda Baju Putih). Pria muda ini selalu mengenakan
pakaian putih, akan tetapi bukan putih sederhana, melainkan putih pesolek,
rambutnya disisir licin dan diminyaki. Seorang pria yang berwajah tampan,
mulutnya memiliki senyum memikat akan tetapi matanya jelas membayangkan
kecabulan.
Pria berbaju putih ini
dahulunya adalah seorang murid Kun-lun-pai yang memiliki keahlian bermain
pedang. Dari remaja dididik untuk menjadi seorang pendekar. Akan tetapi setelah
dewasa, dia runtuh oleh nafsunya sendiri, melakukan penyelewengan-penyelewengan
karena diperbudak oleh berahi yang tidak wajar.
Akhirnya, dia terseret oleh
lingkungan dan menjadi seorang tokoh sesat yang suka mempermainkan wanita, baik
melalui rayuan dan ketampanannya, maupun melalui paksaan mengandalkan
kelihaiannya. Entah berapa banyak gadis diperkosanya, isteri orang dirayunya
sehingga melakukan penyelewengan. Setelah ditaklukkan oleh Siauw-bin Ciu-kwi,
dia menjadi seorang pembantu setia dan kekejamannya bertambah karena selalu
berdekatan dengan para datuk dan tokoh sesat.
Orang ketiga bernama Lok Hun
berjuluk Hek-giam-ong, berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan
sesuai dengan julukannya, yaitu Hek-giam-ong (Raja Maut Hitam), maka seluruh
kulit tubuhnya, dari muka sampai kaki, berwarna hitam gelap. Mukanya yang hitam
itu amat menyeramkan, apa lagi karena wajahnya itu amat dingin, matanya seperti
tanpa sinar, mulutnya tidak pernah tersenyum dan muka itu seperti topeng saja,
tidak pernah membayangkan apa yang dirasakannya. Senjata istimewanya adalah
sebuah ruyung yang berat.
Demikianlah keadaan Siauw-bin
Ciu-kwi dan empat orang pembantu utamanya. Dengan hati yang penuh penyerahan
karena maklum bahwa dia terjatuh ke dalam tangan orang-orang berhati iblis,
Loan Khi Hwesio memandang kepada mereka semua sambil berdiri dan merangkap
kedua tangan depan dada.
“Hwesio sialan! Berlutut kau!”
bentak Lim-kwi Sai-kong dengan suaranya yang mengguntur ketika dia melihat
betapa tawanan itu berdiri saja di depan Beng-cu.
“Omitohud......!” Loan Khi
Hwesio menjura sambil tetap merangkap kedua tangan depan dada. “Pinceng tidak
pernah berlutut, kecuali kepada Sang Buddha......”
Para anak buah rendahan yang
tadi menangkap dan mengantar hwesio itu menghadap Beng-cu, sudah disuruh keluar
dan tidak boleh ikut mendengarkan dan melihat apa yang terjadi di dalam ruangan
itu. Kini yang menyaksikan hanyalah Beng-cu dan para pembantunya, termasuk enam
orang dayang yang menjadi pembantu dan juga selir-selirnya.
Mendengar jawaban pendeta itu,
Hek-giam-ong Lok Hun yang sudah biasa menjadi algojo dari Beng-cu, berseru,
“Beng-cu, haruskah kupatah-patahkan kakinya agar dia mau berlutut?”
Siauw-bin Ciu-kwi yang sejak
tadi menyeringai, kini tertawa dan menenggak secawan arak, lalu memberikan
cawan kosong kepada Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si untuk diisi kembali.
“Biarkanlah, nanti saja kalau
dia tidak mau mengaku, baru kau boleh siksa dia sampai setengah mati!” kata
Siauw-bin Ciu-kwi, sengaja mengancam untuk mengecilkan hati hwesio itu.
Kemudian dia bertanya kepada tawanan itu. “Apakah engkau yang bernama Loan Khi
Hwesio?”
Loan Khi Hwesio menjura dengan
sikap hormat. “Benar sekali, pinceng bernama Loan Khi Hwesio. Tidak tahu ada
urusan apa maka pinceng dipaksa datang ke tempat ini?”
“Ha-ha-ha, Loan Khi Hwesio,
apakah engkau benar tidak tahu atau tidak dapat menduganya? Ataukah hanya
berpura-pura saja?”
“Pinceng sungguh tidak tahu
dan tidak dapat menduga......”
Tiba-tiba Beng-cu itu
menggebrak meja dengan marah walaupun mulutnya masih menyeringai. “Serahkan
peta itu kepadaku!”
Wajah yang sudah pucat itu
semakin pucat dan mata pendeta itu terbelalak memandang kepada wajah yang
kekanak-kanakan itu. “Peta? Peta apakah yang kaumaksudkan?”
“Hwesio tolol!” kembali Lim-kwi
Sai-kong membentak marah. “Jaga sikap dan bicaramu! Engkau menghadap Beng-cu
yang berkuasa di seluruh Kiang-si! Salah sedikit saja bicaramu, kaki tanganmu
akan dibuntungi dan lidahmu akan dipotong!”
Tentu saja hwesio itu menjadi
semakin ngeri. “Maaf, Beng-cu. Sungguh, pinceng tidak mengerti peta apa yang
dimaksudkan itu......”
Siauw-bin Ciu-kwi mendengus
dan mulutnya menyeringai semakin lebar.
“Huh, peta apa lagi kalau
bukan peta Patung Emas!”
“Peta Patung Emas?
Pinceng...... tidak...... tidak tahu......”
“Brakkk!” kembali Beng-cu
menggebrak meja. “Tak perlu bohong! Kami sudah tahu bahwa engkau telah
mendapatkan sebagian dari peta itu. Peta yang ada gambarnya patung emas, peta
harta terpendam di Telaga Po-yang! Sudahlah, tidak perlu pura-pura tidak tahu
lagi. Serahkan peta itu kepadaku dan engkau akan kami bebaskan dan boleh
melanjutkan pekerjaanmu di kuil tua itu! Akan tetapi kalau engkau tidak mau
menyerahkan, tidak mau mengaku di mana adanya peta itu, engkau akan disiksa
sampai mati!”
Seluruh tubuh pendeta itu
gemetar, mulutnya terasa kering dan suaranya lirih dan gemetar ketika ia
berkata, “Sungguh, pinceng tidak menyimpannya...... pinceng tidak tahu peta itu
di mana......”
“Hek-giam-ong, paksa dia
mengaku di mana peta itu!” kata Siauw-bin Ciu-kwi.
Pembantunya yang menerima
perintah ini bangkit dari kursinya. Tubuhnya yang tinggi kurus itu menjulang
tinggi dan mukanya yang seperti topeng hitam itu nampak dingin dan tidak
membayangkan sesuatu. Akan tetapi ketika dia melangkah dan mendekati Loan Khi
Hwesio, sinar matanya mencorong penuh ancaman.
Hwesio itu memandang dengan
mata terbelalak dan mulutnya kemak-kemik membaca doa karena dia maklum bahwa
bahaya maut mengancamnya. Dia tidak takut mati, akan tetapi menghadapi ancaman
siksaan, tentu saja hatinya merasa ngeri.
“Hwesio, sekali lagi kuulangi
permintaan Beng-cu. Serahkan peta itu atau katakan di mana adanya peta itu
sekarang!” kata Hek-giam-ong Lok Hun dengan muka tidak membayangkan sesuatu,
tetap dingin dan suaranya juga terdengar datar saja sehingga terdengar
menyeramkan, lebih menyeramkan dari pada kalau suara itu mengandung bentakan
marah.
“Tidak.... tidak tahu......
pinceng tidak tahu!”
Tiba-tiba tangan Hek-giam-ong
meluncur dan menangkap lengan kiri hwesio itu. “Katakan, atau akan kupatahkan
jari tanganmu satu demi satu!”
Loan Khi Hwesio menggeleng
kepala. “Omitohud...... maafkan... pinceng sungguh tidak tahu......!”
Hek-giam-ong yang memegang
lengan kiri hwesio itu dengan tangan kanan, lalu menangkap ibu jari tangan itu
dengan tangan kirinya dan menekuk ibu jari itu ke belakang punggung tangan.
“Kreekkk!” tulang ibu jari itu
patah dan Loan Khi Hwesio mengeluarkan suara rintihan. mukanya yang semakin
pucat itu basah dengan keringat yang keluar dari tubuhnya saking nyerinya. Kini
telujuknya ditekuk ke belakang sampai patah tulangnya, dan satu demi satu,
perlahan-lahan, kelima jari tangan kirinya ditekuk ke belakang sampai patah
tulangnya. Loan Khi Hwesio merintih, mengerang, bahkan menjerit. Ketika
kelingkingnya ditekuk patah, dia meraung dan pingsan!
Ketika dia siuman kembali,
tangan kanannya sudah dipegang tangan kiri algojo itu. “Nah, sekarang katakan
terus terang, di mana peta itu? Kalau engkau tidak mau mengaku, jari-jari
tangan kananmu akan kupatah-patahkan seperti tangan kirimu tadi!” Hek-giam-ong
mengancam
Tubuh Hwsio itu menggigil. Dia
kini bangkit duduk. Tangan kirinya tak dapat dia gerakkan, nyeri bukan main,
rasa nyeri yang datang dari jari-jari tangan itu dan terus menerus sampai ke
jantungnya. Akan tetapi, dia tetap berusaha melindungi dirinya dengan doa,
walaupun kini dia mulai meragukan apakah doanya akan berguna dalam keadaan
seperti itu.
Dia menggeleng kepala.
“Pinceng...... tidak...... tidak tahu......” Dan diapun memejamkan kedua
matanya dan mulutnya berkemak-kemik, menanti datangnya saat penyiksaan yang
lebih hebat.
Dan siksaan itupun datang!
Seperti tadi, ibu jari tangan kanannya ditekuk ke belakang sampai mengeluarkan
bunyi “krekkk!” dan tulang ibu jari itu patah sambungannya, disusul jari-jari
yang lain. Baru tiga batang jari yang dipatahkan, kembali hwesio itu sudah
jatuh pingsan, karena tidak dapat menahan lagi perasaan nyeri yang menusuk
jantung.
Ketika untuk kedua kalinya dia
siuman, seluruh tubuhnya terasa nyeri. Rasa nyeri dari kedua tangannya itu
menjalar ke seluruh tubuh. Dua buah tangannya sudah tidak dapat dia gerakkan
lagi. Dia bangkit duduk lalu menunduk dan memejamkan kedua matanya, mohon
kekuatan dari Yang Maha Kuasa, dan menyerahkan seluruh jiwa raganya.
Ketika dia tenggelam ke dalam
penyerahan ini, terjadilah keanehan pada dirinya. Tadinya, dari kedua tangannya
keluar denyut-denyut yang amat nyeri, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk jantung.
Sukar digambarkan bagaimana perasaan nyeri itu. Ada rasa panas, perih,
menusuk-nusuk dan mencabut-cabut. Akan tetapi, rasa berdenyut-denyut itu kini
berubah sama sekali!
Tidak lagi mendatangkan nyeri,
bahkan mendatangkan nikmat! Sungguh! Tidak perlu lagi dia merintih.
Denyut-denyut nyeri tadi kini bertukar denyut nikmat. Ataukah penerimaannya,
alat penerimaannya yang berubah? Bukankah nyeri dan nikmat hanyalah permainan
dari perasaan belaka? Penyerahannya yang sebulatnya kepada Tuhan melenyapkan
perbedaan antara nyeri dan nikmat, antara enak dan tidak enak, sehingga diapun
tidak tahu lagi apakah kedua tangannya itu terasa nyeri ataukah nikmat!
Loan Khi Hwesio yang
memejamkan matanya itu kini tersenyum. Senyum wajar karena bebas dari rasa
nyeri, bahkan merasakan kenikmatan pada kedua tangannya.
Melihat hwesio itu tersenyum,
Beng-cu berpandangan dengan para pembantunya. Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang
datuk besar. Dia menduga bahwa tentu hwesio yang tentu saja memiliki ilmu
kebatinan yang mendalam itu agaknya sudah mampu menguasai perasaan nyeri, maka
dalam keadaan semua jari tangannya patah-patah itu masih mampu tersenyum,
senyum sama sekali bebas dari rasa nyeri!
“Loan Khi Hwesio, apakah
engkau masih juga belum mau menyerahkan peta itu?” terdengar Siauw-bin Ciu-kwi
bertanya. “Kesempatanmu untuk bebas dari maut hanya tinggal yang terakhir!”
Tanpa membuka matanya, Loan
Khi Hwesio berkata, “Omitohud biar dibunuh sekali- pun, pinceng tidak dapat
memenuhi permintaan itu. Pinceng tidak tahu di mana peta yang dimaksudkan
itu......”
“Jahanam! Engkau tidak akan
mati begitu saja! Giam-ong, pergunakan siksaan Selaksa Tetes Air!”
Sepasang mata dari muka yang
hitam itu mengeluarkan sinar berkilat, agaknya perintah ini mendatangkan
perasaan gembira di hatinya yang penuh dengan sifat yang sadis dan kejam bukan
main. Dia lalu mengambil seember besar air dan menggantung ember itu. Kemudian,
setelah menotok tubuh Loan Khi Hwesio sehingga pendeta ini tidak mampu
bergerak, dia memaksa hwesio itu duduk di bawah ember, mengikat tubuh hwesio
itu dengan sebuah bangku. Ember itu telah dilubangi kecil dan kini dari bawah
ember, air menetes-netes satu-satu!
Loan Khi Hwesio sendiri tidak
mengerti apa artinya hukuman seperti ini. Dia hanya merasa ada air menetes dan
menimpa kepalanya yang gundul. Akan tetapi tentu saja hal itu tidak merupakan
siksaan. Hanya tertimpa setetes air dan membuat kepalanya basah. Tetes demi
tetes air menimpa kepalanya dan mulailah air mengalir turun dari kepala,
membasahi leher. Akan tetapi hal itu tidaklah menyiksa benar. Yang lebih
menyiksa adalah bahwa dia sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhnya, bukan
hanya karena diikat pada bangku, melainkan karena tertotok. Menggerakkan
kepalapun tidak mampu!
Agaknya, Beng-cu dan para
pembantunya tidak lagi memperhatikan dia. Kini ada pelayan datang membawa
hidangan dan mereka mulai makan minum sambil tertawa-tawa. Itukah yang
dimaksudkan mereka untuk menyiksanya? Memaksa dia melihat, atau lebih tepat
mendengarkan orang-orang berpesta?
Hwesio yang masih memejamkan
matanya itu tersenyum di dalam hati. Agaknya para penjahat ini tidak tahu bahwa
dia, sebagai seorang hwesio, sudah lama sekali menalukkan nafsu makan enak.
Mendengar atau bahkan melihat sekalipun orang-orang makan enak, seujung rambut
dia tidak kepingin!
“Tukk......! Tukk.....!
Tukkk......!!”
Terdengar keluhan keluar dari
mulut Loan Khi Hwesio! Air yang menimpa kepalanya itu, setetes demi setetes,
kini tidak lagi terasa seperti tetesan air biasa! Melainkan terasa amat
menyakitkan. Air setetes itu seperti berubah menjadi sebutir baja yang keras
dan berat!
Dia tidak tahu bahwa air yang
menetes-netes satu-satu dan yang menimpa di suatu titik tertentu, memiliki
kekuatan yang amat dahsyat. Batu dan besi saja lama-lama akan dapat berlubang
tertimpa air setetes demi setetes di tempat yang sama, apa lagi kepala orang!
Kini setiap tetes air yang
menimpa kepala terasa seperti palu godam dan mendatangkan suara berdengung di
telinganya, rasa nyeri yang sukar dapat dipertahankannya lagi! Dia masih
menyerah, akan tetapi karena tadinya dia tidak mengira akan mengalami siksaan
seperti ini, maka penyerahannya berbeda dengan tadi ketika tulang jari-jari
tangannya dipatahkan. Kini dia mengaduh, mengeluh, menjerit dan meraung!
Beng-cu dan para pembantunya
masih makan minum dengan lahap. Akan tetapi, diam- diam Beng-cu dan para
pembantunya memperhatikan keadaan pendeta yang sedang mengalami penyiksaan
hebat itu dan senyum Siauw-bin Ciu-kwi melebar. Bagus, pikirnya, hwesio itu
mulai merasakan hebatnya penyiksaan itu dan tidak mungkin dia mampu bertahan
sampai detik terakhir!
Kini keadaan Loan Khi Hwesio
semakin payah. Setiap kali air menetes dan menimpa kepalanya, tubuhnya
tergoncang hebat lalu menggigil.
Hek-giam-ong Lok Hun yang
sudah biasa menjadi algojo penyiksa dan pembunuh, tahu saatnya yang tepat, maka
dia sudah menghampiri hwesio itu lalu membebaskan totokannya. Begitu
dibebaskan, keadaan hwesio itu semakin tersiksa. Dia berusaha mengelak dari
serangan air yang menetes, akan tetapi tenaganya sudah habis dan dia hanya
mampu menggerakkan sedikit saja kepalanya. Kembali air menimpa dan dia meraung!
“Bodoh, membiarkan diri
tersiksa seperti ini hanya karena sepotong peta yang tidak ada harganya!” Kini
Siauw-bin Ciu-kwi menghampiri dan mengejek. “Peta itu hanya merupakan barang
duniawi, mengapa engkau sebagai seorang pendeta masih begitu kukuh
mempertahankannya? Katakanlah di mana peta itu dan engkau akan kubebaskan!”
Dalam keadaan setengah sadar
dan hampir gila oleh rasa nyeri, mulut pendeta itu berkata lemah,
“......pinceng..... berikan... kepada dermawan Thio...... dermawan Thio.....”
Diapun terkulai dan nyawanya melayang.
Serangan air yang
menetes-netes itu telah mencabut nyawanya. Lebih baik begitu kiranya bagi
hwesio yang bernasib malang ini. Banyak korban siksaan seperti itu bernasib
lebih buruk lagi, yaitu tidak mati akan tetapi hidup sebagai seorang yang
sinting,
PENGAKUAN terakhir dari hwesio
itu membuat Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, sungguh manjur
sekali cara memaksa orang mengaku dengan air menetes itu, ha-ha-ha!”
Kemudian suara ketawanya
berhenti dan dia mengerutkan alisnya, memandang kepada para pembantunya,
“Dermawan Thio? Siapakah itu? Cin Si, kuserahkan tugas ini kepadamu! Carilah
orang yang disebut dermawan Thio itu sampai dapat!”
Tok-sim Nio-cu tersenyum
manis. “Jangan khawatir, Beng-cu. Kau serahkan urusan ini kepadaku dan tentu
beres! Kalau memang benar ada orang yang dimaksudkan itu, tentu akan segera
dapat kutemukan!”
Pertemuan itu berakhir dengan
masuknya Siauw-bin Ciu-kwi ke dalam kamarnya sendiri, ditemani oleh enam orang
dayangnya dan malam itu Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si meninggalkan sarang itu untuk
melaksanakan tugas vang diberikan kepadanya.
Mayat hwesio itu dikubur tanpa
upacara oleh anak buah Siauw-bin Ciu-kwi dan tak seorangpun di antara penduduk
di sekitar daerah itu yang mengetahui apa yang terjadi dengan kepala kuil yang
biasanya hidup tenteram dan damai itu dan ke mana dia menghilang. Para hwesio
lainnya dalam kuil itupun hanya dapat bercerita bahwa kepala kuil itu diculik
empat orang yang tidak mereka kenal!
◄Y►
Bintangnya memang sedang
terang cemarlang! Dengan lenggang yang ringan dan hati penuh kegembiraan, Thio
Kee San meninggalkan rumah judi itu dan pergi menuju ke Rumah Merah, yaitu
sebuah rumah pelesir di sudut kota Nan-cang.
Senja telah mendatang dan dia
tidak mau terlambat. Dia harus tiba di rumah pelesir itu sebelum Bi Hwa, bunga
Rumah Merah itu dipesan laki-laki lain! Baru saja dia meninggalkan rumah judi
dengan kemenangan yang cukup banyak di dalam saku bajunya. Bi Hwa tentu akan
girang bukan main!
Thio Kee San adalah seorang
laki-laki berusia empatpuluh tahun. Hidupnya membujang dan dia memiliki sebuah
perahu pelesir di Telaga Po-yang di mana dia menyewakan perahu dan memperoleh
nafkahnya dari pekerjaan itu. Hasil pekerjaannya itu cukup memadai, bahkan
lebih dari cukup untuk keperluan hidupnya yang hanya membujang. Bahkan
kelebihannya dapat dia pakai untuk memuaskan kesenangannya, yaitu berjudi dan
bersenang-senang dengan wanita pelacur di Rumah Merah!
Baru beberapa bulan ini, dia
akrab sekali dengan Bi Hwa, bunga Rumah Merah. Hubungan mereka bukan sekedar
hubungan seorang pelacur dan langganannya. Sama sekali bukan. Lebih mendalam
dari pada sekedar pelesir. Agaknya ada perasaan kasih sayang di antara mereka
dan bagi Bi Hwa.
Thio Kee San adalah seorang
pria yang amat mencintanya, yang memberikan apa saja kepadanya! Dan memang Kee
San seorang bujangan yang tak pernah menyimpan uang. Kalau ada kelebihan
uangnya, dia hamburkan dan berikan kepada siapa saja yang disukanya.
Bahkan sering sekali dia
mendermakan uangnya kepada kuil yang dipimpin oleh Loan Khi Hwesio, kuil di
dekat Telaga Po-yang di mana dia pernah memperoleh pertolongan. Ketika dia
menderita penyakit payah dan semua temannya sudah mengira bahwa dia tentu akan
mati karena segala macam obat tidak ada yang dapat menyembuhkannya, kuil itulah
yang menolongnya. Dia minta obat ke kuil itu dan menerima semacam obat
sederhana yang kemudian ternyata mampu menyembuhkannya!
Karena itu, setiap kali dia
mempunyai kelebihan uang, kalau tidak dipakai untuk bersenang-senang, tentu
akan didermakan kepada Loan Khi Hwesio. Karena perbuatan inilah, maka Loan Ki
Hwesio dan para hwesio di kuil itu menganggapnya sebagai orang yang amat
budiman, dan menyebut dia “Dermawan Thio”!
Tentu saja hati Kee San pada
sore hari itu gembira bukan main. Sudah beberapa hari dia tidak mengunjungi Bi
Hwa yang menjadi kekasihnya. Bukan karena Bi Hwa enggan menerimanya kalau dia
tidak membawa uang, sama sekali tidak. Akan tetapi dia sendiri yang merasa
malu.
Beberapa hari ini dia memang
tidak memiliki uang dan nasibnya baru sial, kalah melulu dalam perjudian. Dia
malu kalau harus berkunjung ke Rumah Merah tanpa uang yang cukup di sakunya.
Malu karena tidak akan dapat mengajak Bi Hwa berpesta, malu pula kepada Bibi
Ciang yang mengurus Rumah Merah itu, biarpun Bi Hwa tidak akan segan-segan dan
tidak akan merasa sayang untuk mengeluarkan uangnya sendiri untuk mereka
berdua.
Dan hari ini dia menang cukup
banyak! Dapat dia pergunakan untuk bersenang-senang dengan Bi Hwa yang sudah
amat dirindukannya. Bukan uang kemenangan yang cukup banyak itu saja yang akan
dihamburkan bersama Bi Hwa dan sisanya akan diberikan kepada Bi Hwa semua, akan
tetapi di samping itu ada sebuah benda lain yang akan dia berikan kepada
kekasihnya itu.
Seperti yang sudah
dibayangkannya, Bi Hwa menyambut kedatangannya dengan gembira sekali. Biarpun
dia belum memberitahu akan kemenangannya, wanita itu sudah menyambutnya dengan
wajah cerah, dengan senyum manis, pandang mata penuh kasih, dan dengan
rangkulan dan cumbuan yang menyatakan betapa rindunya wanita itu kepadanya. Sikap
ini saja sudah mengayun perasaan Kee San ke sorgaloka, karena baginya sikap ini
menunjukkan bahwa wanita pelacur itu sungguh-sungguh mencinta dirinya, bukan
sekedar mengharapkan uangnya!
Kegembiraan Bi Hwa bertambah
ketika kekasihnya itu menceritakan tentang kemenangannya yang cukup banyak di
meja judi. Mereka lalu berpesta, menghadapi hidangan yang lezat dan anggur yang
sedap. Dan malam itu mereka saling melepas rindu, dan Bi Hwa berhasil membuat
Kee San berjanji bahwa pria itu akan mengumpulkan uang agar dapat menebus diri
kekasihnya dari Bibi Ciang sehingga mereka dapat menjadi suami isteri yang sah.
“Koko, percayalah bahwa hatiku
selalu tersiksa setiap kali ada pria meniduriku dan aku teringat kepadamu. Aku
benci pekerjaan ini setelah aku bertemu denganmu, koko. Aku ingin menjadi
isterimu, ingin menjadi..... ibu anak-anakmu......”
Kee San merasa terharu. Sampai
berusia empatpuluh tahun, dia sendiri tidak pernah memikirkan berumah tangga,
akan tetapi kini wanita ini, biar hanya seorang pelacur, namun sungguh amat
menarik hatinya dan dia akan merasa berbahagia kalau dapat hidup bersama Bi Hwa
selamanya.
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi mereka sudah bangun dari tidur dan mereka bercakap-cakap. Agaknya
berat bagi Bi Hwa untuk melepas kekasihnya pergi, dan berat pula bagi Kee San
untuk meninggalkan kekasihnya. Akan tetapi, dia harus pergi, harus ke telaga
untuk mencari nafkah karena hari itu kabarnya banyak pengunjung datang
berpesiar ke telaga. Dia mengeluarkan seluruh isi kantungnya dan diberikannya semua
sisa uangnya kepada Bi Hwa. Wanita ini menjadi terharu.
“Koko, semua uang pemberianmu
kusimpan dan kutabung agar kelak dapat kita pergunakan untuk menebus diriku.
Harap engkau jangan lagi bermain judi, koko. Hari ini engkau menang akan tetapi
hari esok berturut-turut engkau akan kalah. Demikianlah perjudian, sekali
menang lima kali kalah. Engkau kumpulkan uang agar cepat dapat membebaskan
diriku, koko.”
Kee San mengangguk-angguk,
membenarkan ucapan kekasihnya. “Baik, Bi Hwa, mulai hari ini aku akan rajin
mencari uang dan menyerahkannya kepadamu agar cepat terkumpul jumlah untuk
menebus dirimu. Ah, benar, aku masih mempunyai sebuah benda yang amat berharga.
Biar engkau saja yang menyimpan benda itu.”
“Benda berharga apakah itu,
koko?” tanya Bi Hwa sambil memandang penuh perhatian ketika kekasihnya
mengeluarkan sebuah gulungan kain kuning dari saku bajunya.
“Isi gulungan kain ini adalah
sebuah potongan peta kuno yang kuterima dari Loan Khi Hwesio, kepala kuil di
dekat telaga sana. Karena terima kasihnya kepadaku yang sudah banyak memberi
derma kepada kuil, maka dia menyerahkan peta ini kepadaku.”
“Peta kuno? Untuk apa, koko?
Mengapa pula amat berharga?”
“Aku sendiri tidak tahu peta
apa, akan tetapi menurut Loan Khi Hwesio, banyak sekali orang memperebutkan
peta ini. Kalau mereka tahu bahwa peta ini ada padaku, mereka akan berebut
untuk membelinya dariku dan harganya cukup untuk menebus kebebasan dirimu!”
Mata yang indah itu
terbelalak. “Sepuluh tail emas?”
“Ya, bahkan lebih dari itu!
Peta ini merupakan rahasia tempat persembunyian harta karun dan ini merupakan
setengah dari peta yang lengkap. Yang setengah lagi entah berada di tangan
siapa. Demikian kata Loan Khi Hwesio, aku sendiri belum pernah membukanya.”
“Kenapa dia memberikan
kepadamu dan tidak menjualnya saja sendiri?”
Kee San tersenyum dan
merangkul kekasihnya. “Loan Khi Hwesio adalah seorang pendeta, bukan seorang
pedagang. Dia menyerahkannya kepadaku, tentu merasa yakin bahwa aku akan
menyerahkan sebagian hasil penjualannya untuk kuil.”
“Lalu bagaimana engkau akan
menjualnya?”
“Kalau ada yang mencarinya,
akan kutemui orangnya dan kutawarkan......, dan kita akan memiliki modal untuk
berdagang, setelah kau kutebus dari Bibi Ciang. Nah, kausimpan ini baik-baik,
Bi Hwa dan jangan beritahukan kepada siapapun juga tentang peta kuno ini.”
Bi Hwa menerima gulungan kain
itu dan menyimpannya di tempat yang aman. Dengan penuh harapan Bi Hwa
menyongsong hari baik itu, yaitu hari di mana ia dibebaskan sebagai pelacur,
menjadi isteri Kee San dan mereka memulai hidup baru, dengan memiliki uang
modal hasil penjualan peta kuno dan hidup berbahagia!
Sementara itu, dengan hati
penuh kegembiraan karena kenangan yang amat manis dari Bi Hwa masih melekat di
hati dan masih terasa di badan, Kee San menuju ke Telaga Po-yang untuk bekerja
menyewakan perahunya kepada para pelancong. Seperti juga Bi Hwa, harinya penuh
harapan masa depan yang amat cerah, memiliki modal berdagang, dan wanita yang
dicintanya setiap hari siang malam menemaninya!
Bi Hwa akan menjadi miliknya
sendiri, tidak perlu lagi dia harus membagi kekasihnya itu dengan pria-pria
lain yang berani membeli, atau menyewa diri Bi Hwa seperti sekarang ini.
Ingatan ini selalu menghantuinya, selalu mengganggu perasaannya. Setiap kali
perahunya disewa orang, dia pasti teringat kepada Bi Hwa, yang seperti juga
perahunya, dapat dipakai siapa saja yang sanggup membayar dan menyewanya!
Benar seperti telah
didengarnya, hari itu telaga yang indah, Telaga Po-yang didatangi banyak tamu.
Kee San tidak perlu menanti lama. Perahunya adalah sebuah di antara
perahu-perahu terindah di telaga itu, dengan bentuk yang kokoh, tempat duduk
yang bersih dan dicat baru, dengan layar yang belum ada tambalannya lagi.
Di antara para tamu yang
memenuhi bandar di tepi telaga, terdapat pula seorang wanita cantik yang
pakaiannya indah. Wajahnya yang manis itu dirias sehingga nampak semakin cerah,
senyumnya memikat dan sepasang matanya memiliki kerling yang tajam sehingga
tidak ada pria yang bertemu dengan wanita ini yang tidak memandang dengan penuh
pesona dan beberapa kali menengok. Wanita berusia tigapuluh tahun dan yang
memiliki daya tarik kuat ini bukan lain adalah Lui Cin Si atau Tok-sim Nio-cu
(Nona Berhati Racun)!
Tidak sukar bagi wanita yang
berpengalaman ini untuk mencari dermawan Thio! Ia menerima tugas dari Siauw-bin
Ciu-kwi dan langsung saja ia pergi ke kuil di mana mendiang Loan Khi Hwesio
menjadi ketuanya. Untung bahwa ketika anak buah Beng-cu menculik Loa Khi Hwesio
dari kuil ini dan melukai lima orang hwesio di situ, ia tidak ikut sehingga
para hwesio itu tidak mengenalnya.
Ia beraksi sebagai seorang ibu
rumah tangga yang bersembahyang mohon berkah di kuil itu, dan dengan royal ia
memberi uang sumbangan kepada hwesio penjaga yang masih kelihatan pucat karena
luka pukulan yang dideritanya belum sembuh benar. Tentu saja hwesio itu merasa
girang dan mendoakan kepada Lui Cin Si agar semua permintaannya dalam
sembahyangan itu akan terkabul.
Kesempatan inilah yang
dipergunakan oleh Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si untuk bertanya di mana tempat
tinggal dermawan Thio yang pernah didengarnya sebagai seorang yang berbudi dan
suka menderma kepada kuil. Hwesio yang sama sekali tidak menduga buruk itu
menerangkan bahwa dermawan Thio bernama Thio Kee San, pemilik perahu yang suka
menyewakan perahu di Telaga Po-yang.
Begitu mendengar keterangan
ini, Tok.sim Nio-cu bergegas pergi meninggalkan kuil dan langsung saja ia pergi
ke Telaga Po-yang dan pada pagi hari itu iapun berada di antara banyak pelacong
yang memenuhi bandar Telaga Po-yang.
Di tempat ini, tidak sukar
pula baginya untuk memperoleh keterangan tentang Thio Kee San. Akan tetapi
karena perahu milik Kee San telah disewa orang, terpaksa ia menyewa sebuah
perahu lain, sebuah perahu kecil yang didayung sendiri ke tengah telaga. Karena
sudah memperoleh keterangan yang cukup jelas tentang bentuk, warna cat dan
warna layar dari perahu milik Kee San, maka iapun mulai mencari perahu yang
dimaksudkan itu.
Akhirnya, setelah bersusah
payah mendayung perahu menyusup di antara banyak perahu di telaga, ia melihat
warna perahu dan layar milik Kee San itu berada di ujung telaga yang sunyi.
Tidak ada perahu lain di sana, hanya sebuah perahu itu, maka dengan cepat
didayungnya perahu kecilnya itu mengejar ke sana.
Kebetulan, pikirnya, di tempat
yang sepi itu ia segera dapat bertindak, tanpa diketahui orang lain, kecuali
tentu saja mereka yang menyewa perahu Kee San itu. Akan tetapi itu merupakan
persoalan yang mudah saja. Apa artinya beberapa orang melihat ia menculik Kee
San? Kalau perlu, bunuh saja mereka dan habis perkara! Soal bunuh membunuh ini
merupakan makanan sehari-hari bagi seorang tokoh, sesat seperti Tok-sim Nio-cu!
Akan tetapi, alangkah terkejut
rasa hati tokoh sesat ini ketika perahunya sudah mendekati perahu besar milik
Kee San, ia melihat seorang laki-laki dihajar oleh tiga orang laki-laki yang
tinggi besar seperti raksasa! Laki-laki itu dijadikan bulan-bulan pukulan dan
tendangan mereka dan dari jauh Tok-sim Nio-cu melihat betapa laki-laki yang
dipukuli itu sama sekali bukan lawan mereka, dan agaknya tiga orang tinggi
besar itu memaki-maki sedangkan yang dipukuli menjerit-jerit kesakitan!
Tok-sim Nio-cu tidak tahu
siapa mereka, akan tetapi melihat sikap tiga orang laki-laki tinggi besar itu,
dengan mudah ia mengetahui bahwa mereka adalah ahli-ahli silat yang pandai.
Oleh karena itu, tidak sukar baginya untuk menduga bahwa yang dipukuli itu
tentulah orang yang dicarinya, yaitu Thio Kee San!
Wanita perkasa itu mengerahkan
tenaganya dan perahu kecilnya meluncur dengan amat cepatnya. Ketika tiba di
dekat perahu besar, sekali menggerakkan tubuhnya, ia telah meloncat ke atas
perahu besar. Akan tetapi, bukan main marahnya hati Tok-sim Nio-cu ketika
melihat bahwa laki-laki yang dipukuli itu telah tewas.
Ia memandang kepada tiga orang
laki-laki tinggi besar seperti raksasa itu yang juga memandang kepadanya dengan
terkejut dan heran. Siapa yang tidak heran melihat betapa tiba-tiba saja muncul
seorang wanita cantik di perahu itu, muncul seperti setan saja?
Melihat tiga orang laki-laki
yang berwajah bengis dan bertubuh raksasa ini, Tok-sim Nio-cu mengerutkan
alisnya. Ia sudah pernah mendengar tentang mereka ini walaupun belum pernah
saling jumpa.
“Hemm, kiranya Po-yang
Sam-liong (Tiga Naga dari Po-yang) yang berada di sini!” katanya dengan nada
suara mengejek, senyumnya manis namun mengandung pandang mata merendahkan.
Tiga orang tinggi besar itu
memang menyeramkan. Tubuh mereka hampir satu setengah, kali tubuh laki-laki
normal dan tubuh itu kokoh kekar penuh otot-otot menggelembung. Mereka kini
saling pandang, merasa heran betapa wanita cantik ini telah mengenal mereka.
“Heh-heh, Leng-te (adik Leng),
apakah diam-diam engkau mempunyai simpanan wanita begini cantiknya dan kini ia
menyusul ke sini?” berkata seorang di antara mereka yang berewok. Dia adalah
Poa Seng, orang tertua di antara tiga bersaudara yang dijuluki Po-yang
Sam-liong itu.
Poa Leng yang berkepala botak
itu menggaruk botaknya sambil menyeringai, “Uwah, sayang aku tidak kenal
dengannya. Mungkin Teng-te yang diam-diam mempunyai peliharaan yang cantik
ini?”
Poa Teng yang mulutnya ompong
tertawa, akan tetapi segera menutupi mulutnya yang ompong agar tidak kelihatan
oleh wanita cantik itu. “Tidak, akupun tidak kenal dengannya. Sayang sekali!
Akan tetapi sekarang kita berkesempatan untuk mengenalnya, bukan?” Dua orang
kakaknya tertawa dan si berewok Poa Seng yang menjadi orang tertua, memandang
kepada wanita itu dengan penuh selidik.
“Nona cantik, siapakah engkau
yang telah mengenal kami? Dan mau apa engkau datang ke sini?”
Tiga orang ini tidak begitu
heran bahwa wanita ini mengenal mereka. Mereka adalah tiga orang tokoh yang
seolah-olah menguasai Telaga Po-yang. Semua pedagang dan pemilik perahu setiap
bulan membayar “pajak” kepada mereka melalui kaki tangan mereka. Walaupun mereka
sendiri jarang turun tangan ke lapangan, hanya mengutus anak buah, namun nama
mereka dikenal semua orang di daerah telaga itu.
Yang membuat mereka heran
adalah bahwa wanita cantik itu seorang diri berani menemui mereka dengan cara
yang cukup mengejutkan, yaitu meloncat dari perahu kecil ke atas perahu besar,
membuktikan bahwa wanita ini memiliki kepandaian. Anehnya, mereka bertiga belum
pernah mengenalnya!
“Aku datang untuk mencari Thio
Kee San!” jawab Tok-sim Nio-cu sambil lalu dan memandang kepada tubuh laki-laki
yang menggeletak tak bernyawa lagi di atas papan perahu. Ia tidak
memperkenalkan diri, seolah merasa terlalu tinggi untuk memperkenalkan nama
besarnya kepada orang-orang rendahan!
Kembali tiga orang raksasa itu
saling pandang dan si berewok tertawa bergelak.
“Mencari Thio Kee San? Nah,
itu dia orangnya!”
Biarpun tadinya sudah menduga
bahwa tentu orang yang disiksa itu Thio Kee San yang dicarinya, ketika
mendengar hal ini Tok-sim Nio-cu terkejut dan marah sekali. Celaka, tugasnya
menjadi kacau karena ulah tiga orang ini. Akan tetapi, tiga orang ini adalah
tokoh-tokoh besar Telaga Po-yang, tentu mereka membunuh Thio Kee San bukan
tanpa alasan!
Jangan-jangan merekapun
menghendaki peta kuno itu dari tangan Thio Kee San, dan siapa tahu mereka telah
merampas peta itu! Dengan sinar mata mencorong, ia menghadapi tiga orang
raksasa itu.
“Kalian berani membunuh orang
yang sedang kubutuhkan?”
Mendengar ucapan itu, si botak
tertawa.
“Ha-ha-ha, dia sudah mati,
nona! Akan tetapi jangan khawatir, masih ada kami bertiga yang kiranya lebih
dari cukup untuk menemanimu sepuasmu. Betul tidak, Seng-ko dan Teng-te?”
Dua orang itu tertawa
membenarkan.
Tok-sim Nio-cu sudah marah
sekali. Ingin rasanya sekali serang ia membunuh mereka itu. Akan tetapi ia
adalah seorang wanita yang amat cerdik. Tidak, ia harus menahan kemarahannya.
Tidak boleh ia membunuh mereka. Pertama, mereka itu masih amat berguna baginya
apalagi setelah Thio Kee San tewas.
Tentu rahasia itu telah
berpindah tangan, ke tangan mereka! Ia harus dapat menyelidiki hal ini dan
kalau benar peta itu telah berada di tangan mereka, ia harus merampasnya dari
mereka. Dan menyerang mereka di perahu ini, sungguh tidak baik. Mereka terkenal
sebagai tiga orang tokoh telaga, sedikit banyak mereka tentu pandai berenang,
jauh lebih pandai dari ia sendiri yang hampir tidak pandai renang.
Kalau berkelahi di situ dan
mereka itu menggulingkan perahu, ia akan celaka! Ia harus memancing mereka
mendarat, baru ia merasa aman untuk bertanding melawan mereka. Pula ia tidak
boleh membunuh mereka, setidaknya seorang di antara mereka harus dibiarkan
hidup sebelum peta itu dapat ia temukan.
Dengan menekan kemarahannya,
Tok-sim Nio-cu kini tersenyum. Manis sekali.
“Hemm, aku tertarik kepada
orang she Thio ini karena dia menjanjikan banyak uang kepadaku. Dia sudah
berjanji akan menanti di bandar, akan tetapi meninggalkan aku, maka aku
menyusulnya. Sekarang, dia sudah mampus, kalau kalian bertiga sejantan dia dan
juga seroyal dia, tentu saja akupun lebih menyukai yang hidup dari pada yang
mati.” Ia memainkan bibirnya dengan pandai sekali sehingga ketika bicara,
mulutnya seperti menantang penuh gairah.
Tiga orang raksasa itu tentu
saja menjadi gembira sekali. Si berewok langsung saja menggunakan lengannya
yang besar dan panjang untuk merangkul pinggaug Tok-sim Nio-cu dan
mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu mencium bibir itu dengan kasar!
Tok-sim Nio-cu membalas ciuman
itu penuh gairah dan memang ia adalah seorang wanita yang sudah berpengalaman.
Walaupun hatinya merasa mendongkol sekali, namun ia dapat memperlihatkan sikap
yang memikat. Ia meronta manja.
“Lepaskan......! Lepaskan aku,
aku tidak mau kalau di sini......, lepaskan......!”
Sambil tertawa, si berewok
yang sudah mulai panas itu melepaskan wanita yang meronta manja. “Kenapa,
manis? Bukankah engkau juga suka?”
“Tentu saja aku suka, akan
tetapi tidak di sini. Aku...... aku ngeri dan suka mabuk air. Pula, dengan
adanya mayat itu, bagaimana mungkin hatiku bisa tenteram? Marilah kita ke darat
dan di sana baru kita benar-benar dapat menikmati kesenangan. Asalkan kalian
benar jantan dan royal seperti orang she Thio itu!” Berkata demikian, Tok-sim
Nio-cu mengerling dengan sikap menantang.
Tiga orang bersaudara itu
girang sekali. “Mari kita ke darat,” kata si berewok kepada dua orang adiknya.
“Kita tinggalkan saja mayat itu di sini. Takkan ada yang menyangka kita yang
melakukan.”
“Andaikata ada yang
menyangkapun, perduli apa?” kata si botak.
“Benar,” kata yang ompong.
“Kita katakan saja bahwa dia tidak membayar pajak dan melawan kita, lalu
terpaksa kita membunuhnya!”
“Mari kita cepat pergi, kita
pergunakan perahuku!” kata Tok-sim Nio-cu kepada mereka.
Mereka berempat lalu
berloncatan ke atas perahu kecil itu dan melihat cara mereka meloncat dan tiba
di perahu tanpa menimbulkan banyak guncangan mengertilah Tok-sim Nio-cu bahwa
tiga orang ini memang lihai dan tidak boleh dipandang rendah.
Nio-cu mendayung perahunya
dengan cepat, menuju ke pantai yang sepi, pantai yang merupakan sebuah hutan
kecil. Setelah tiba di darat, iapun meloncat ke atas daratan dengan gerakan
yang demikian cekatan sehingga mengejutkan tiga orang raksasa itu.
Mereka bertigapun berloncatan
ke darat dan kini sikap Tok-sim Nio-cu berubah. Ia berdiri sambil bertolak
pinggang menanti mereka bertiga mendarat dan kini ia menghadapi mereka dengan
sikap angkuh.
“Po-yang Sam-liong, sekarang
dengarlah baik-baik. Kalian telah berlancang tangan membunuh Thio Kee San! Oleh
karena itu kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan itu dan katakan
kepadaku, mengapa kalian membunuhnya? Dengan alasan apa kalian membunuh orang
she Thio itu?”
Melihat perubahan sikap ini,
dan jelas kelihatan betapa wanita itu tidak menghormati mereka bahkan memandang
rendah, si berewok Poa Seng marah sekali.
“Haiii, nona! Ketahuilah bahwa
kami sudah biasa memberi hadiah besar kepada orang yang menyenangkan hati kami,
akan tetapi akan kami bunuh orang yang membikin kami marah! Kenapa sikapmu
berubah-ubah dan engkau ternyata palsu? Awas, jangan membikin aku marah karena
engkau tentu akan mengalami siksaan hebat!”
Tok-sim Nio-cu yang berniat
untuk menundukkan tiga orang ini agar ia dapat merampas peta yang dikehendaki,
menjebikan bibirnya yang merah dan yang tadi membalas ciuman si berewok dengan
panas penuh gairah. “Huh, apa artinya srigala-srigala membentak seekor singa
betina? Kalian yang mencari mampus kalau kalian berani berlagak di depanku!”
Tiga orang itu terkejut dan
marah bukan main. “Seng-ko, serahkan saja perempuan ini padaku. Aku akan
membekuknya dan kita perkosa dia lalu serahkan kepada anak buah agar ia
dipermainkan sampai mati!” Poa Teng yang ompong membentak, dan biarpun gigi
ompongnya membuat kata-katanya tidak begitu jelas, namun cukup dimengerti oleh
Nio-cu yang menghadapinya dengan mata bernyala.
Tanpa menanti persetujuan
kakaknya, Poa Teng sudah menubruk dengan mengembangkan kedua lengannya yang
panjang dan kokoh kuat itu untuk memeluk Nio-cu, gerakannya seperti seekor
biruang menyerang seekor kijang muda. Akan tetapi, tubrukan itu mengenai tempat
kosong dan hampir tidak nampak olehnya ketika tubuh Nio-cu berkelebat amat
cepat, meloloskan diri melalui, bawah lengan kanannya.
Poa Teng cepat membalik dan
untung dia tidak terlambat karena saat itu, Nio-cu sudah membalas dengan
tendangan kakinya yang cepat dan kuat. Poa Teng miringkan tu-buhnya dan
lengannya yang panjang bergerak cepat ketika tangannya berusaha menangkap kaki
yang menendangnya itu. Namun, kaki itu sudah ditarik kembali dan sebelum Poa
Teng sempat menyerang lagi, tangan kiri Nio-cu sudah menyambar. Demikian
cepatnya sambaran tangan itu sehingga tahu-tahu pipi kanan Poa Teng terkena
tamparan keras.
“Plakkk!” Poa Teng
terbatuk-batuk dan melangkah mundur, mukanya menjadi merah sekali. Giginya yang
tinggal beberapa buah itu, kini copot lagi dua buah yang di kanan oleh tamparan
tadi, dan sialnya, dua buah gigi itu copot dan meloncat ke dalam memasuki
perutnya!
“Perempuan keparat, kubunuh
kau!” bentaknya marah dan diapun menyerang kalang kabut, kedua lengannya yang
panjang itu menyambar-nyambar dan jari-jari tangannya mencengkeram, kakinya
yang panjang dan besar menendang-nendang.
Namun semua itu dapat
dielakkan oleh Nio-cu dengan amat mudahnya karena memang ia memiliki tingkat
kepandaian yang jauh lebih tinggi. Apa lagi wanita ini memang memiliki gin-kang
(ilmu meringankan tubuh) yang sudah matang, membuat ia mampu bergerak seperti
seekor burung walet saja.
Kalau Tok-sim Nio-cu
menghendaki, agaknya tidak sukar baginya untuk merobohkan lawannya, bahkan
membunuhnya. Akan tetapi ia tidak bermaksud membunuh mereka sebelum peta itu
berada di tangannya. Tiga orang ini merupakan jejak terakhir untuk menemukan
peta setelah orang she Thio itu tewas.
“Plak-plakk!” Kini tubuh Poa
Teng terpelanting dan terbanting keras oleh tamparan yang disusul tendangan
itu. Sambil bergulingan, Poa Teng sudah mencabut senjatanya, yaitu seutas
rantai baja yang tadi melibat pinggangnya. Dari mulutnya mengalir darah, yaitu
dari bekas dua buah gigi yang copot tadi.
“Teng-te, tahan dulu!” Si
berewok Poa Seng membentak dan dia melangkah maju menghadapi Tok-sim Nio-cu,
mengamati wanita itu dengan penuh selidik. “Nona, bukankah engkau ini yang
berjuluk Tok-sim Nio-cu?”
Wanita itu mengangguk dan
bertolak pinggang. “Benar, akulah Tok-sim Nio-cu!”
Tiga orang laki-laki raksasa
itu terkejut bukan main mendengar nama ini. Sudah lama mereka mendengar akan
nama Tok-sim Nio-cu, seorang di antara para tokoh sesat yang terkenal lihai di
Propinsi Kiang-si.
“Ah, kiranya Tok-sim Nio-cu
yang sudah lama kami dengar nama besarnya! Akan tetapi, sepanjang ingatan kami,
kami Po-yang Sam-liong selamanya belum pernah bermusuhan denganmu! Kenapa hari
ini engkau sengaja hendak menentang kami, Nio-cu?” kembali si berewok berkata,
sikapnya jauh berbeda dari tadi, kini jelas agak jerih. Bukan hanya nama besar
wanita itu yang membuatnya jerih, akan tetapi kenyataan betapa adiknya tadi
sama sekali tidak berdaya menghadapi kelihaian Nio-cu.
“Po-yang Sam-liong, dengarlah
baik-baik. Aku diutus oleh Beng-cu untuk menangkap Thio Kee San. Akan tetapi
ternyata kalian telah lancang membunuhnya!”
“Beng-cu......?
Kaumaksudkan...... yang terhormat Siauw-bin Ciu-kwi?” Si berewok berkata dan
jelas bahwa dia dan adik-adiknya kini merasa gentar sekali. Tentu saja mereka
sudah mendengar akan nama besar datuk yang menguasai hampir seluruh dunia
kang-ouw di Propinsi Kiang-si!
“Benar sekali!”
“Tapi...... tapi... kami
bertiga tidak pernah mengganggu beliau......., kami tahu diri dan kami hanya
melakukan pekerjaan kecil di Po-yang......”
“Hemm, kamipun tidak perduli
akan pekerjaan kalian di sini. Akan tetapi kalian sudah lancang membunuh orang
yang dikehendaki Beng-cu, itu berarti menentangnya! Untuk itu kalian harus
bertanggung jawab. Nah, katakan terus terang, mengapa kalian membunuh Thio Kee
San?”
Tiga orang raksasa itu saling
pandang, dan si berewok Poa Seng berkata lantang, “Itu urusan kami, tidak ada
sangkut-pautnya denganmu, Nio-cu. Kami tidak bermaksud menentangmu atau Beng-cu
yang mulia. Dia kami bunuh karena urusan kami sendiri!”
Nio-cu mengerutkan alisnya.
“Hemm, tidak perlu kausembunyikan lagi. Kalian membunuhnya dan merampas sebuah
peta kuno, bukan?”
Tiga orang itu kelihatan
terkejut sekali. “Tidak, kami tidak merampas peta darinya!” kata Poa Seng.
Nio-cu kecewa sekali mendengar
ini dan dia memandang wajah penuh berewok itu dengan tajam menyelidik. “Kalau
bukan untuk merampas selembar peta, lalu mengapa kalian membunuhnya? Hayo
jawab!”
“Nio-cu, bagaimanapun juga,
kami bukanlah anak buahmu, bukan anak buah Beng-cu. Kami berhak hidup dan
bekerja sendiri tanpa mengganggumu. Urusan kami dengan Thio Kee San adalah
urusan kami sendiri dan tidak dapat kami ceritakan kepadamu.”
“Bagus! Kalau begitu, jelas
kalian menantangku!”
“Apa yang akan kaulakukan?”
tanya pula si berewok yang memang sudah merasa jerih.
“Kalau kalian tidak mau
berterus terang, terpaksa aku akan membunuh dua orang di antara kalian, dan
menyeret yang seorang lagi ke depan Beng-cu!”
Tiga orang itu nampak jerih,
akan tetapi Poa Seng merasa betapa kehormatan dia dan adik-adiknya
diinjak-injak. Bagaimanapun juga, mereka bertiga merupakan kelompok yang paling
berkuasa di Po-yang, ditakuti lawan disegani lawan. Karena merasa betapa mereka
kuat dan berkuasa, maka biarpun mendengar akan munculnya Siauw-bin Ciu-kwi yang
mengangkat diri menjadi Beng-cu, mereka tidak mau tunduk dan tidak merasa
menjadi bawahan datuk itu walaupun tentu saja mereka tidak berani menentang
dengan berterang.
Kini, muncul seorang pembantu
Beng-cu itu, seorang wanita lagi dan mereka dipandang rendah sekali. Namun, dia
juga bukan orang bodoh. Dia sudah mendengar banyak sekali tentang Beng-cu,
seorang yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa, dengan banyak
pembantunya yang lihai. Menentang dengan berterang sama saja dengan mencari
penyakit, bahkan dapat mati konyol.
“Nio-cu, engkau tahu bahwa
selama ini kami sama sekali tidak berani dan tidak pernah menentang kekuasaan
Beng-cu. Hanya kami menjauhkan diri dan bekerja sendiri di telaga ini.
Sekarang, karena engkau memaksa kami untuk membuka rahasia kami sendiri yang
tidak ada hubungannya denganmu, marilah kita berjanji begini saja. Kalau engkau
seorang diri dapat memenangkan kami bertiga, maka kami akan menceritakan
segalanya kepadamu, tanpa ada yang kami rahasiakan lagi tentang Thio Kee San
itu. Akan tetapi kalau sebaliknya engkau tidak mampu menangkan kami bertiga,
harap engkau tidak lagi mengganggu kami. Bagaimana?”
Nio-cu tahu bahwa sebetulnya
tiga orang raksasa itu takut kepada Beng-cu. Akan tetapi karena ia hanya
seorang diri, mereka melihat kesempatan untuk lolos, atau melakukan penentangan
dengan aman.
Kalau mereka kalah, mereka
akan mengaku dan tidak akan terancam nyawa mereka. Dan kalau mereka menang,
tentu mereka dapat berbuat apa saja, mungkin membunuhnya dan menghilangkan
jejaknya. Beng-cu tidak akan mengetahuinya! Nio-cu tersenyum mendengar usul itu.
“Kalian masih berhuntung
bertemu dengan aku. Kalau kalian berhadapan dengan Beng-cu sendiri atau
pembantunya yang lain, tentu kalian akan mati konyol! Baiklah, aku menerima
tantanganmu!” berkata demikian, Nio-cu yang maklum akan kelihaian tiga orang
itu, meloncat ke belakang sambil mengeluarkan senjatanya, yaitu sebatang pedang
di tangan kanan dan sebuah kipas di tangan kiri!
Melihat wanita cantik itu
telah siap siaga dengan sepasang senjata di tangan, Po-yang Sam-liong juga
tidak sungkan-sungkan lagi. Poa Seng yang berewok mengeluarkan senjatanya yang
menyeramkan, yaitu sebatang golok besar yang lebar dan mengkilap tajam, dengan
punggung golok berbentuk gigi gergaji. Poa Leng yang berkepala botak memegang
sebatang tombak pendek, sedangkan si ompong Poa Teng memegang rantai bajanya.
Mereka bertiga segera menggerakkan kaki mengepung wanita itu dari tiga jurusan,
membentuk Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga), satu di depan, seorang di kanan dan
seorang lagi di kiri.
Tok-sim Nio-cu yang cerdik
maklum akan ketangguhan tiga orang lawannya, maka iapun tidak mau keduluan.
“Lihat senjata!” bentaknya dan tubuhnya sudah berkelebat cepat sekali, pedang
di tangan kanannya menyerang Poa Seng yang berada di depannya, kemudian
kipasnya juga menyambar dengan tertutup dan gagangnya menotok ke arah dada Poa
Leng di sebelah kirinya.
Dua orang itu cepat mengelak
sambil menangkis dan pada saat itu, Poa Teng yang tadi berada di sebelah kanan
Nio-cu sudah memutar rantai bajanya dan senjata itu menyambar ke arah kepala
wanita itu. Akan tetapi Nio-cu sudah memperhitungkan bahwa kalau ia menyerang
dua orang lawannya, tentu seorang pengeroyok yang tidak diserangnya akan
menyerang.
Cepat ia membalik ke kanan dan
pedangnya meluncur ke arah perut Poa Teng sambil merendahkan tubuh menekuk lutut.
Poa Teng terkejut bukan main. Rantainya menyambar lewat di atas kepala lawan
dan tahu-tahu pedang wanita itu sudah menyelonong ke arah perutnya!
“Uhhh......!” Dia berseru
kaget dan melempar tubuh ke belakang.
Untung ada dua orang
saudaranya yang cepat menyerang Nio-cu sehingga wanita ini tidak dapat mendesak
Poa Teng yang terhuyung ke belakang ketika melempar tubuh ke belakang itu.
Nio-cu sudah memutar pedangnya, menangkis dua senjata lawan yang menyerangnya,
kemudian begitu tangan kirinya mengebut, sinar-sinar lembut menyambar ke arah
Poa Seng dan Poa Leng!
Dua orang itu terkejut dan
cepat sekali mereka melempar tubuh ke kanan kiri sambil memutar senjata.
Sinar-sinar hitam lembut itu adalah jarum-jarum hitam halus yang menyambar
keluar dari ujung gagang kipas ketika kipas itu dikebutkan!
Karena ketiga orang lawannya
terhuyung, Nio-cu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Pedangnya diputar cepat,
juga kipasnya menotok dan akibatnya Poa Leng yang kurang cepat mempergunakan
tombak pendeknya untuk melindungi diri, telah kena di¬cium pundaknya oleh ujung
pedang. Baju bagian pundaknya robek berikut kulit dan sedikit daging. Darah
mengalir dan Poa Leng terhuyung ke belakang!
Melihat betapa adiknya
terluka, Poa Seng terkejut. Dia memutar goloknya dengan maksud mendesak dan
memberi kesempatan kepada kedua adiknya untuk melakukan serangan balasan.
Namun, pedang di tangan Nio-cu juga diputar cepat dan membentuk sinar
bergulung-gulung yang lebih cepat sehingga gulungan sinar pedang itu dapat
memasuki gulungan sinar golok dan tahu-tahu ujung pedang itu sudah menggurat
pergelangan tangan yang memegang golok!
“Auhhh......!” Poa Seng
terkejut, menarik kembali goloknya, akan tetapi kaki Nio-cu yang dapat bergerak
cepat sudah mengirim tendangan.
“Dukk!!” Lutut kanan Poa Seng
tercium ujung sepatu dan tanpa dapat dipertahankannya pula, dia jatuh bertekuk
lutut!
Dua orang adiknya menyerang
membabi buta, namun gerakan mereka itu terlalu kasar dan lamban bagi Nio-cu
yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi sehingga semua serangan
mereka dapat dielakkan atau ditangkis. Belum lewat tigapuluh jurus, kembali
pedang di tangan kanan Nio-cu menemui sasaran, sekali ini paha kiri Poa Teng
yang terpelanting roboh. Darah bercucuran dari pahanya yang terobek.
Melibat kenyataan pahit ini,
Poa Seng segera berseru, “Tahan senjata!” Dia maklum bahwa kalau dilanjutkan,
pihaknya akan kalah dan tentu akan menderita lebih hebat lagi. Lawan ini
terlampau tangguh. Pada hal, ia hanya seorang wanita dan seorang pembantu dari
Beng-cu. Apa lagi kalau Beng-cu itu maju sendiri. Mengerikan! Pula, dia
teringat akan kemesraan dan kehangatan yang diperlihatkan Nio-cu tadi. Kalau
mereka berteman, ada harapan sekali waktu dia akan dapat menikmati kemesraan
cumbuan wanita cantik itu.
Nio-cu menahan kedua
senjatanya dan bagaikan bermain sulap saja, pedang dan kipasnya sudah
disimpannya kembali dan ia berdiri sambil bertolak pinggang memandangi tiga
orang bekas lawannya sambil tersenyum.
“Bagaimana pendapat kalian?”
Poa Seng mewakili kedua orang
adiknya yang sudah terluka itu, menjura kepada Nio- cu, menarik napas panjang
dan berkata, “Sungguh tidak kosong belaka nama besar Tok-sim Nio-cu, Kami
mengaku kalah!” katanya dengan jujur.
“Bagus! Karena aku sendiri
adalah utusan dan pembantu Beng-cu, maka kekalahan kalian itu berarti bahwa
mulai saat ini kalian harus pula membantu Beng-cu dan melaksanakan semua
perintahnya. Setujukah kalian?”
Tiga orang itu maklum bahwa
baru melawan seorang pembantu Beng-cu saja mereka kalah, maka kalau mereka
menentang Beng-cu sama dengan bunuh diri!
“Kami setuju!” kata mereka
serempak.
“Ketahuilah bahwa aku diutus
Beng-cu untuk menangkap orang she Thio, karena kami mendengar bahwa orang itu
yang menyimpan peta rahasia Patung Emas! Akan tetapi ketika aku tiba di sini,
ternyata kalian sudah membunuh dia! Nah, apakan kalian telah merampas peta itu?
Kalau sudah, berikan kepadaku dan kalian berarti sudah berjasa besar terhadap
Beng-cu.”
Tiga orang raksasa itu saling
pandang dan kembali Poa Seng menghela napas panjang.
“Kami akan bercerita terus
terang kepadamu, Nio-cu. Sesungguhnya sudah lama kami mendengar tentang peta
rahasia harta karun bergambar patung emas itu. Namun kami menganggap berita itu
hanya semacam dongeng saja. Akan tetapi, pada suatu hari kami mendengar dari
seorang anak buah kami yang bertugas sebagai tukang perahu, bahwa dia melihat
tanpa sengaja ketika Thio Kee San membuka sebuah gulungan ketika berada di
dalam perahunya. Dari belakang, dia melihat bahwa gulungan itu berupa peta dan
ada gambarnya patung emas. Thio Kee San segera menyimpan gulungan itu ketika
anak buah kami mendekat. Laporan inilah yang membuat kami hari ini memaksa Kee
San untuk mengaku. Akan tetapi dia berkeras tidak mau mengaku, mengatakan bahwa
dia tidak memiliki peta itu. Saking kecewa dan marah, kami memukulinya dan
diapun tewas. Kami tidak berhasil mengetahui di mana adanya peta itu, apa lagi
merampasnya!”
Sampai beberapa saat lamanya
Nio-cu mengamati wajah tiga orang itu dengan penuh selidik. Akhirnya iapun
menarik napas panjang. “Kalian sungguh bodoh dan kasar, tidak mampu membujuk
dia agar mengaku. Banyak cara penyiksaan yang akan membuat dia mengaku sebelum
dia mampus. Akan tetapi, aku percaya kepada kalian dengan keyakinan bahwa
kalian pasti tidak berani berbohong. Membohongi aku berarti membohongi Beng-cu
dan kalian tahu apa hukumannya!”
“Nio-cu, untuk apa kami
berbohong? Selain kami tidak berani menentang Beng-cu, juga kami tadi sudah
berjanji dan kami telah kalah. Kami memukuli Thio Kee San sampai mati karena
kami merasa kecewa dan marah sekali. Kami mengira bahwa dia memang benar-benar
tidak mempunyai peta itu.”
“Kalian bodoh! Dia memiliki
peta itu!”
“Ahhh.....??” Tiga orang itu
terbelalak dan jelas nampak betapa mereka menyesal sekali telah membunuh orang
she Thio itu.
Sikap mereka itu menambah
keyakinan hati Nio-cu bahwa mereka tidak berbohong. Tiga orang raksasa tolol
itu memang tidak berhasil merampas peta. Mereka bertiga itu hanya memiliki
kelebihan otot, akan tetapi kekurangan otak.
“Kini kalian mengerti bahwa perbuatan
kalian membunuhnya itu berarti merugikan Beng-cu! Maka, kalian harus
bertanggung jawab dan kalian kuserahi tugas untuk mencari peta itu sampai
dapat!”
Tiga orang itu terbelalak.
“Tapi...... tapi, Nio-cu? Bagaimana mungkin? Dia sudah mati..... dan peta itu
tidak ada padanya. Sudah kami geledah seluruh badannya. Juga sebelum kami
menemuinya di telaga, kami sudah menggeledah rumahnya dan tidak berhasil
menemukan peta itu!”
Nio-cu tersenyum. ”Kalian
memang bodoh, karena itu aku tidak akan meninggalkan kalian. Kalian menjadi
pembantu-pembantuku, anak buahku. Aku yang akan mengatur rencananya, kalian
tinggal melaksanakannya saja. Aku yakin kita akan dapat menemukan peta itu.”
Tiga orang itu kelihatan lega.
Kalau Nio-cu yang menjadi pemimpin, mereka banya pembantu atau anak buah, maka
segala kegagalan tentu ditanggung oleh Nio-cu. Akan tetapi Poa Seng masih
merasa penasaran.
“Nio-cu, kalau Thio Kee San
itu sudah mati tanpa memberi keterangan tentang peta, bagaimana kita akan dapat
menemukan benda itu? Kepada siapa lagi kita bertanya kalau dia sudah mati?
Harap memberi penjelasan agar kami tidak bingung dan tahu apa yang harus kami
lakukan.”
“Sam-liong, coba kalian pikir.
Andaikata Kee San menyimpan peta itu, setelah kalian menyiksa dan memukuli dia,
sudah pasti dia akan mengaku! Untuk apa dia memberatkan peta itu kalau dia akan
dibunuh? Tidak ada gunanya bagi dia, dan tidak ada benda yang cukup berharga di
dunia ini yang lebih dihargai dari pada nyawa. Tidak, kalau Kee San sampai
nekat menutup mulut dan lebih baik mati dari pada membuka rahasia peta itu, hal
ini berarti bahwa dia tidak menyimpannya!”
Tiga orang raksasa itu saling
pandang, dan pandang mata mereka bodoh, tanda bahwa mereka tidak mengerti.
“Nio-cu, kalau tidak
disimpannya, lalu di kemanakan? Sungguh aku menjadi bingung,” kata Poa Seng,
“Aku juga!” sambung Poa Leng.
“Akupun tidak mengerti!” kata
Poa Teng.
Nio-cu menjebikan bibirnya
yang menggairahkan, bukan sekedar gaya melainkan memang ia mendongkol sekali.
“Kalian ini orang-orang she
Poa memang bodoh sekali. Sepatutnya kalian semua bernama Poa Gong (sinting atau
tolol)! Tentu saja peta itu dia serahkan kepada orang lain!”
“Diserahkan kepada orang
lain?” seru Poa Seng. “Akan tetapi kalau diserahkannya kepada orang lain,
kenapa dia tidak mau mengaku kami gebuki sampai mampus? Kalau dia mengaku,
setidaknya dia tidak akan mati, mungkin hanya tiga perempat atau setengah mati
saja.”
Nio-cu menarik napas panjang.
Ia amat cerdik, maka menghadapi orang-orang yang tidak secerdik dirinya, ia menjadi
kurang sabar.
“Apakah kalian tidak dapat
menggunakan sedikit saja otak dalam kepala kalian? Kalau Kee San memilih mati
dari pada membuka rahasia itu, hal ini jelas menunjukkan bahwa dia amat sayang
kepada orang yang diserahi peta itu. Untuk melindungi orang itulah maka dia
rela kalian gebuki sampai mampus. Nah, sudah jelas, bukan? Kalian kini tinggal
cari saja siapa orangnya yang paling dikasihi oleh Kee San, dan tentu kalian
akan menemukan peta itu ada padanya!”
Kini Poa Seng dan kedua orang
adiknya mengangguk-angguk. Barulah sadar mereka bahwa mereka berhadapan dengan
seorang wanita yang selain cantik jelita dan lihai ilmu silatnya, juga amat
cerdik! Dan orang sehebat ini hanya menjadi pembantu Beng-cu, maka dapat
dibayangkan betapa hebatnya sang Beng-cu itu!
“Hebat, Nio-cu. Engkau memang
hebat bukan main!” kata Poa Seng mengangguk-angguk dan terang-terangan dia
mengacungkan kedua ibu jarinya ke atas tanda kagum. Aih, kalau saja aku dapat
memiliki seorang wanita seperti engkau ini, beberapa malam saja, puaslah
hidupku di dunia ini!”
Biarpun ucapan itu kasar bukan
main, akan tetapi wajah Nio-cu menjadi kemerahan saking bangga dan girangnya.
Justeru kekasaran Poa Seng itu amat menarik hatinya, dan pujian yang keluar
dari mulut kasar itu adalah pujian yang tulus tanpa maksud merayu sedikitpun.
“Bekerjalah dengan baik. Kalau
engkau berhasil, siapa tahu aku begitu berterima kasih kepadamu sehingga
kuanggap engkau cukup berharga untuk menjadi teman baikku.”
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Bukan
hanya janjimu yang manis itu yang membesarkan semangatku, Nio-cu. Akan tetapi
mulai saat ini memang kami sudah takluk kepada Beng-cu melalui engkau, dan kami
akan bekerja keras untuk membuktikan bahwa kami bukan pembantu-pembantu yang
tidak ada gunanya.”
“Ingat, di sini tempat
pertemuan kita menyelidiki peta. Selama kita menyelidiki peta itu, setiap senja
menjelang malam aku berada di sini dan kalian dapat menemui aku di sini.”
“Kenapa begini rahasia,
Nio-cu? Kalau kita bertemu di bandar umpamanya, siapa yang akan berani
mengganggu kita?” Poa Seng membantah.
“Bukan begitu, bodoh. Engkau
tentu sudah mendengar betapa peta itu dijadikan perebutan oleh orang-orang
kang-ouw. Biarpun kami tidak takut, akan tetapi lebih enak bekerja tanpa banyak
gangguan yang hanya akan menambah pekerjaan saja. Contohnya, lihat. Bukankah
tadinya aku akan dapat menangkap Thio Kee San dengan mudah, akan tetapi karena
kalian juga memperebutkan peta maka pekerjaanku menjadi semakin repot?”
“Kau benar...... kau
benar......!” Poa Seng mengangguk-angguk dan merekapun berpisah.
◄Y►
Setelah mendapatkan keterangan
yang amat jelas dari Nio-cu yang cerdik sekali itu, dengan amat mudah Po-yang
Sam-liong yang menyebar anak buahnya untuk melakukan penyelidikan siapa orang
yang paling disayang oleh mendiang Thio Kee San, dapat menemukan kenyataan
bahwa mendiang Thio Kee San sering kali berkunjung ke Rumah Merah, yaitu rumah
pelesir milik Bibi Ciang!
Kee San sudah tidak mempunyai
keluarga sama sekali, tiada ayah tiada ibu atau saudara, maka tidak ada lagi orang
yang disayangnya kecuali teman-temannya. Dan dalam penyelidikan Po-yang
Sam-liong, Kee San tidak mempunyai sahabat yang terlalu dekat.
Sahabat-sahahat dalam
perjudian bukanlah sahabat dekat dan tidak mungkin ada perasaan sayang di
antara para penjudi yang selalu memperebutkan kemenangan uang itu. Satu-satunya
tempat hanyalah rumah pelesir itu! Demikian perhitungan Tok-sim Nio-cu ketika
mendapat keterangan dari Po-yang Sam-liong.
“Tidak salah lagi!” demikian
katanya kepada tiga orang pembantu baru itu. “Rumah Merah itulah tempatnya! Dia
pasti mempunyai seorang kekasih atau seorang sahabat yang disayangnya, dan
melihat bahwa dia rela mengorbankan nyawa dari pada mencelakai orang yang
disayangnya, kiranya orang itu tentu seorang wanita. Carilah sampai dapat siapa
orang yang amat disayangnya di rumah pelesir itu. Kalau perlu tangkap semua
penghuninya dan paksa mereka mengaku!”
Gegerlah rumah pelesir itu
ketika pada suatu malam, Po-yang Sam-liong datang berkunjung. Para tukang pukul
di rumah pelesir itu tentu saja kehilangan keberanian dan kegalakan mereka
ketika mengenal tiga orang datuk sesat yang menguasai daerah Telaga Po-yang
itu, bahkan menyambut mereka seperti kalau menyambut orang-orang berpangkat
tinggi saja.
Apa lagi ketika tiga orang
raksasa itu mulai menyatakan maksud kedatangan mereka, yaitu untuk mencari tahu
siapa kekasih atau sahabat baik Thio Kee San, semua orang menjadi pucat
ketakutan. Mereka sudah mendengar bahwa Kee San ditemukan orang mati di atas
perahunya di telaga, dan sekarang tiga orang ini bertanya siapa sahabat terbaik
dari korban itu! Semua orang mengatakan tidak tahu.
“Kalian tidak tahu? Baik, kami
akan memaksa kalian mengaku!” bentak Poa Seng dan semua penghuni rumah pelesir
itu, Bibi Ciang, enam orang pelacur, dan lima orang tukang pukul, mereka
kumpulkan dalam ruangan belakang. Mereka semua disuruh duduk di atas lantai
sedangkan tiga orang raksasa itu duduk di atas kursi.
“Kalian berani menyembunyikan
orang itu dari kami, ya? Nah, sekarang akan kami tanya seorang demi seorang!”
kata pula Poa Seng. Dia menyuruh lima orang anak buahnya menjaga para tawanan
itu dan bersama dua orang adiknya dia lalu memasuki sebuah kamar.
Pertama-tama, Bibi Ciang
sendiri yang dipanggil memasuki kamar. Dengan tubuh gemetar ketakutan wanita setengah
tua memasuki kamar yang segera ditutup pintunya dari dalam. Semua orang yang
menanti di luar merasa tegang sekali dan mereka menjadi semakin ketakutan
ketika terdengar jerit kesakitan dan tangis nenek pemilik Rumah Merah itu.
“Aduuuhhh...... ampun...
ampunkan saya..... sungguh mati saya tidak tahu...” nenek itu meratap ketika ia
ditanya tentang peta sambil dijambak rambutnya sampai sebagian rambutnya jebol.
“Katakan, siapa kekasih dan
teman terbaik dari Thio Kee San dalam rumah pelesir ini!” bentak Poa Seng
sambil mengendurkan jambakannya agar wanita itu dapat menjawab.
Poa Teng sudah melibatkan
rantai bajanya di leher wanita tua itu, siap untuk mencekiknya! Tentu saja
semangat wanita itu sudah terbang dan hampir ia jatuh pingsan saking takutnya.
“Kekasihnya? Ah, kekasihnya
yang amat disayangnya adalah Bi Hwa....., ya Bi Hwa...... bunga rumah pelesir
kami......”
Rantai itu dilepaskan. Tiga
orang raksasa saling pandang, lalu dengan suara agak halus Poa Seng berkata,
“Ceritakan tentang hubungan mereka dan yang mana Bi Hwa ini. Cerita sebenarnya,
kalau kau tidak ingin kami siksa lebih mengerikan lagi!”
Sambil berlutut dengan muka
pucat, rambut awut-awutan dan tubuh gemetar ketakutan, Bibi Ciang lalu
bercerita. “Bi Hwa adalah seorang di antara para pelacur, menjadi bunganya
karena ia paling cantik dan paling laris. Dan Kee San amat mencintanya, bahkan
dia ingin mengumpulkan uang untuk menebus Bi Hwa yang akan diambil sebagai
isterinya......”
Bukan main girangnya hati tiga
orang tokoh sesat itu mendengar ini. Tak disangkanya akan semudah itu mereka
mendapatkan orang yang dimaksudkan oleh Tok-sim Nio-cu dan kembali mereka
merasa amat kagum kepada Nio-cu yang memiliki perkiraan dan perhitungan
sedemikian tepatnya.
Poa Seng berkedip kepada dua
orang adiknya, lalu mendorong Bibi Ciang bangkit. “Hayo tunjukkan kepada kami
yang mana pelacur yang bernama Bi Hwa!”
Mereka bertiga lalu mendorong
Bibi Ciang keluar dari dalam kamar. Semua orang yang berada di ruangan itu,
dengan muka pucat ketakutan melihat betapa Bibi Ciang keluar terhuyung-huyung,
dengan rambut awut-awutan, muka pucat dan basah air mata.
Bibi Ciang dengan tangan
gemetar lalu menunjuk ke arah Bi Hwa yang berada di situ bersama para pelacur
lainnya. Po-yang Sam-liong memandang dan mereka melihat seorang wanita muda
yang memang cantik manis, dengan riasan muka tidak setebal para wanita muda
yang lain. Bahkan wanita ini menundukkan muka, diam seperti patung, tidak
seperti orang-orang lain yang nampak ketakutan. Pelacur ini memang lain dari
pada yang lain. Poa Seng lalu memberi isyarat kepada dua orang adiknya dan
mereka bertiga lalu mengamuk!
Semua orang, kecuali Bibi
Ciang dan Bi Hwa, mereka pukuli dan tendangi sampai mereka itu jatuh bangun dan
mengeluh kesakitan. Bahkan lima orang tukang pukul itupun menerima tamparan dan
tendangan tanpa berani melawan sama sekali. Setelah puas menyiksa mereka, Poa
Seng menghampiri mereka satu demi satu dan bertanya dengan suara lantang.
“Hayo katakan, siapa kekasih
Thio Kee San di sini?”
Semua orang yang ditanya
menuding ke arah Bi Hwa yang masih berlutut dan menundukkan muka tanpa
bergerak. Poa Seng lalu menjambak rambut Bi Hwa dan memaksa waanita muda itu
mengangkat muka. Bi Hwa mengangkat mukanya yang pucat, akan tetapi matanya itu
memandang penuh sinar kebencian, sama sekali tidak membayangkan rasa takut!
“Engkau yang bernama Bi Hwa
dan engkau kekasih Thio Kee San!” bentak Poa Seng, kini melepaskan rambut itu
dan tangan yang tadi menjambak, kini mengelus pipi yang halus.
Bi Hwa menjawab dan suaranya mengejutkan
semua orang karena gadis ini menjawab dengan suara yang kaku dan penuh
kebencian. “Dan kalian bertiga tentu pembunuh-pembunuh koko Thio Kee San!
Kalian orang-orang terkutuk, kejam dan jahat! Apa kesalahan San-koko maka
kalian membunuhnya?”
Melihat sikap ini, Po-yang
Sam-liong saling pandang dan tertawa bergelak. Mereka merasa girang sekali
karena sikap itu saja menunjukkan bahwa memang antara wanita ini dan Kee San
terdapat hubungan yang erat.
“Ha-ha-ha!” Poa Seng tertawa.
“Dan engkaupun akan mampus kalau engkau tidak mau berterus terang kepada kami!”
Berkata demikian, dia mengangkat tubuh wanita itu, dipondongnya ke dalam kamar,
diikuti oleh dua orang adiknya, dipandang dengan muka pucat oleh semua orang
yang masih merintih dan mengerang kesakitan karena dihajar oleh tiga orang
raksasa itu. Lima orang pelacur yang tadi ikut pula dihajar, menangis
terisak-isak.
Sementara itu, setelah tiba di
dalam kamar, Poa Seng melempar tubuh Si Hwa ke atas pembaringan. Gadis itu
pucat sekali, akan tetapi matanya tetap memandang penuh kebencian. Kee San,
satu-satunya orang di dunia ini yang mencintanya dengan tulus dan juga
dicintanya, yang menjadi gantungan harapan hidupnya, telah dibunuh oleh tiga
orang ini! Apa lagi yang perlu ditakuti?
Baginya, bahkan mati menyusul
kekasihnya jauh lebih baik dari pada hidup, melanjutkan hidup sebagai seorang:
pelacur hina! Karena sakit hati, duka dan kebencian itu membuat Bi Hwa, seorang
wanita yang lemah, saat itu tidak mengenal rasa takut sama sekali walaupun ia
tahu bahwa ia berada di tangan tiga orang yang amat kejam dan jahat!
“Nah, nona manis. Sekarang
katakanlah terus terang, di mana engkau menyimpan peta yang kauterima dari Thio
Kee San itu? Berikan kepada kami dan kami tidak akan menyiksamu, tidak akan
membunuhmu,” kata Poa Seng, suaranya tidak sekasar tadi dan mengandung bujukan.
Kini mengertilah Bi Hwa
mengapa kekasihnya dibunuh. Karena peta itu! Tiga orang manusia iblis ini
menghendaki peta bergambar patung emas itu! Dan Kee San menjadi korban karena
pernah memiliki peta itu. Dan sekarang, peta itu berada di tangannya, dan iapun
terancam maut. Akan tetapi, untuk apa menyerahkan peta itu kepada tiga orang
manusia ini? Ia memang sudah mendengar akan peristiwa yang amat menyedihkan
itu. Bukan hanya karena kematian kekasihnya, akan tetapi juga ia sudah
mendengar akan terculiknya Loan Khi Hwesio, ketua kuil.
Kekasihnya pernah mengatakan
bahwa dia menerima peta itu dari Loan Khi Hwesio. Kemudian, Loan Khi Hwesio
sebagai pemegang peta pertama diculik orang dan mungkin sekali dibunuh, sesudah
itu, Kee San sebagai pemegang peta kedua juga dibunuh! Dan peta itu kini berada
di tangannya, maka tidak aneh kalau nyawanya pun terancam.
Oleh karena itu, ia sudah
lebih dulu menyingkirkan peta itu, bukan untuk menyelamatkan diri yang sudah
putus harapan setelah kematian kekasihnya, melainkan untuk menyelamatkan peta
agar jangan terjatuh ke tangan para pembunuh kekasihnya! Tidak! Ia tidak akan
mengaku. Biar mereka membunuhnya. Ia tidak rela kalau sampai peta itu terjatuh
ke tangan mereka yang membunuh kekasihnya, iapun sudah tidak mengharapkan hidup
lebih lama lagi.
“Aku tidak tahu!” jawabnya
ketus, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar seolah-olah ia merasa gembira
dapat melihat kekecewaan pada pandang mata tiga orang itu.
“Hemm, jangan memaksa kami
untuk menggunakan siksaan, nona manis. Sayang kecantikanmu. Lebih baik engkau
mengaku terus terang dan kami akan menebusmu bebas dari Bibi Ciang, bahkan kami
akan memberi banyak uang kepadamu. Engkau dapat membeli seorang suami yang baik
dan......”
“Sudahlah, tidak perlu
membujuk dan kalau mau siksa, mau bunuh aku, silakan. Aku tidak tahu!” Bi Hwa
berseru dengan nekat.
Poa Seng memandang kedua orang
adiknya. “Geledah kamarnya!”
Dua orang raksasa itu keluar
dan menyeret Bibi Ciang untuk menunjukkan di mana kamar Bi Hwa. Mereka
mengobrak-abrik seluruh isi kamar, bahkan merobek kasur dan bantal untuk
mencari peta itu. Namun sia-sia belaka. Mereka tidak dapat menemukan peta itu.
Sementara itu, di dalam kamar,
Poa Seng juga merobek-robek semua pakaian yang menutupi tubuh Bi Hwa, untuk
mencari kalau-kalau peta itu disembunyikan di dalam baju. Namun diapun tidak
berhasil.
Ketika Poa Leng dan Poa Teng
kembali ke dalam kamar dan melaporkan kepada Poa Seng bahwa mereka tidak
berhasil, tiga orang itu menjadi marah dan penasaran. Mulailah mereka menyiksa
Bi Hwa. Namun, Bi Hwa tetap membisu dan kalau mengeluarkan suara, ia hanya
berkata, “Aku tidak tahu!” atau kadang-kadang malah ia memaki, “Kalian ini
iblis-iblis terkutuk, membunuh kekasihku yang tidak berdosa!”
Po-yang Sam-liong sampai
kehabisan kesabaran. Mereka itu menyiksa sejadi-jadinya, memperkosa Bi Hwa
secara bergantian, menyayat kulitnya dan sampai keadaannya lebih banyak mati
dari pada hidup, Bi Hwa tetap tidak mau mengaku dan mengatakan tidak tahu!
Setelah ia tidak mampu bersuara lagi, ia hanya menggeleng kepala dan pandang
matanya penuh kebencian kepada tiga orang penyiksanya itu.
Po-yang Sam-liong menjadi
semakin penasaran. Akan tetapi mereka khawatir kalau sampai terjadi wanita ini
tewas di tangannya sebelum mereka berhasil menemukan peta, maka mereka lalu
menggulung tubuh yang sudah sekarat itu dengan selimut, lalu meninggalkan rumah
pelesir itu.
Tentu saja Bibi Ciang dan para
pelacur, juga para tukang pukul, menjadi geger dan dengan berita tentang
diculiknya Bi Hwa oleh orang-orang jahat segera tersiar dengan luas. Akan
tetapi, tak seorangpun di antara para penghuni rumah pelesir itu berani
mengatakan bahwa pelakunya adalah Po-yang Sam-liong!
Ketika Tok-sim Nio-cu menerima
Po-yang Sam-liong yang membawa Bi Hwa yang sudah mendekati mati itu tanpa
memperoleh hasil, Nio-cu mengerutkan alisnya dan menjadi marah sekali.
“Kalian ini benar-benar
poa-gong (tolol)! Sudah kukatakan, jangan melakukan kekerasan sebelum berhasil!
Lihat perempuan ini. Di tangannyalah rahasia peta itu, dan kalian membuatnya
hampir mati sebelum ia mengaku di mana adanya peta itu! Hayo cepat rawat ia
baik-baik sampai ia sembuh benar! Kalau sudah sembuh, nanti aku yang
membujuknya.”
Po-yang Sam-liong menggunakan
segala daya untuk menyembuhkan kembali Bi Hwa. Mereka tidak mengganggunya,
memberi obat dan makan, melayaninya dengan sebaiknya. Akan tetapi tiga hari
kemudian, setelah kesehatan wanita itu agak membaik dan kekuatannya pulih,
pagi-pagi mereka mendapatkan bahwa wanita itu telah membunuh diri di dalam
pondok darurat yang mereka buat di hutan tepi telaga itu! Bi Hwa menggantung
diri dengan sabuknya sendiri setelah ia diberi pakaian lengkap oleh Po-yang
Sam-liong!
Tentu saja Po-yang Sam-liong
menjadi bingung dan ketika Nio-cu datang, iblis betina inipun marah bukan main.
“Dasar kalian yang kasar dan tolol! Aih, sungguh menyesal aku menyuruh kalian
yang menyelidiki urusan ini. Kalian hanya menggagalkan urusan saja, bukan
membantu!”
“Nio-cu, maafkan kami. Maksud
kami hendak memaksa Bi Hwa mengaku, akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa ia
begitu keras kepala, tidak mau mengaku dan menantang segala siksaan!” Poa Seng
mengepal tinju penuh penasaran dan penyesalan.
“Hemm, kalian hanya
orang-orang kasar! Sudahlah, kalian boleh pulang. Akan tetapi ingat, bahwa
kalian telah menjadi anak buah Beng-cu dan setiap waktu apa bila Beng-cu
membutuhkan tenaga kalian, maka kalian harus siap untuk membantu.”
“Baik, Nio-cu dan terima
kasih.”
Tok-sim Nio-cu meninggalkan
tempat itu untuk memberi laporan kepada Siauw-bin Ciu-kwi.
Tentu saja datuk ini merasa
kecewa. “Hemm, kenapa tidak kaubasmi saja Po-yang Sam-liong yang tolol itu,
menggagalkan urusan saja!”
“Kedudukan dan kekuasaan
mereka cukup kuat di daerah telaga, Beng-cu. Sayang kalau mereka dibasmi begitu
saja. Mereka sekali waktu dapat berguna bagi kita, apa lagi mereka sudah
kutaklukkan dan mengaku kekuasaan Beng-cu dan sudah berjanji untuk membantu,”
bantah Tok-sim Nio-cu.
Kalau saja bukan Nio-cu yang
telah dianggap gagal dalam tugasnya itu, tentu Siauw-bin Ciu-kwi akan marah
besar dan menghukum pembantu yang gagal itu. Akan tetapi, di samping sebagai
pembantu, Tok-sim Nio-cu juga menjadi kekasihnya, seorang wanita yang amat
pandai menyenangkan hatinya.
Sementara itu, para pembantu
yang mendengar semua cerita Nio-cu, juga merasa penasaran.
“Beng-cu, biarkan aku yang
pergi mencari peta itu. Mendengar cerita Nio-cu, aku yakin bahwa peta itu masih
berada di sekitar Nan-cang dan Telaga Po-yang. Agaknya pelacur itu telah menyerahkannya
kepada orang lain!” kata Pek I Kongcu Ciong Koan.
Siauw-bin Ciu-kwi
mengangguk-angguk. “Baik, cari dan temukanlah, Kongcu!”
Julukan Pek I Kongcu ini telah
demikian terkenal sehingga Beng-cu sendiri juga lebih suka menyebutnya Kongcu
seperti juga para pembantunya.
Dengan penuh keyakinan akan
kemampuan sendiri, Pek I Kongcu lalu berangkat untuk melaksanakan tugasnya.
Jejak itu masih jelas nampak, pikirnya. Yang terakhir peta itu berada di tangan
Bi Hwa, bagaimana mungkin dapat lenyap tanpa bekas? Sudah jelas bahwa agaknya
Bi Hwa telah menduga akan datangnya bahaya, maka ia segera menyingkirkan peta
itu, dan ke mana lagi wanita itu menyembunyikannya kalau tidak menyerahkannya
kepada orang lain? Tentu seseorang yang amat dipercayanya, dan hal inilah yang
harus dia selidiki.
◄Y►
Perahu itu meluncur sunyi di
Telaga Po-yang. Menjelang senja itu, telaga telah ditinggalkan orang dan hanya
ada satu-dua buah perahu saja yang nampak di atas telaga, yaitu perahu para
nelayan yang masih mencoba-coba mengadu untung dengan mengail ikan.
Setelah meluncur ke bagian
tepi dekat hutan yang rimbun, perahu itu berhenti dan penumpang tunggalnya,
seorang pria muda, segera melakukan persiapan memancing ikan. Dia bukan seorang
nelayan, juga beberapa buah perahu nelayan itu ditumpangi nelayan yang mengail
dengan harapan tipis. Kalau pria berpakaian putih di atas perahu itu seorang
nelayan, tentu tidak sebesar itu semangatnya untuk mengail.
Semua nelayan di Telaga
Po-yang tahu bahwa sekarang bukan musim mengail ikan, melainkan musim mencari
uang melalui penyewaan perahu kepada para pelancong. Di waktu hari cerah musim
panas itu, telaga dibanjiri pelancong, bukan ikan.
Ikan-ikan. itu sudah kenyang
karena setiap hari, dari pagi sampai sore, para pelancong membuang banyak sisa
makanan ke dalam telaga dan ikan-ikan itu berpesta pora pula sehingga setelah
telaga itu ditinggalkan para pelancong, ikan-ikan yang kekenyangan itu sudah
terlalu malas untuk mencari makanan di dekat permukaan air. Beberapa orang
nelayan yang mengadu untung itu agaknya memang amat kekurangan, atau mungkin
hanya iseng, dari pada tidak ada yang dikerjakan sore itu.
Pria muda itu berusia kurang
lebih duapuluh enam tahun. Pakaiannya serba putih, sederhana namun bersih.
Wajahnya bersih dan tampan, juga amat sederhana dan dia lebih mirip seorang
terpelajar yang miskin.
Tubuhnya sedang dan ketika dia
bergerak melempar umpan di ujung mata kailnya, tubuh itu mengandung kelenturan.
Akan tetapi kalau orang menentang pandang matanya, ada sesuatu pada pandang mata
yang berlawanan dengan kelembutan yang nampak pada mukanya, sesuatu yang amat
kuat dan berwibawa, sinar mata yang kadang-kadang mencorong, akan tetapi selalu
ingin bersembunyi di balik mata yang redup.
Bagaimanapun juga, lekukan di
ujung dagunya membayangkan kekuatan hatinya, dan ada tahi lalat hitam kecil di
lehernya sebelah kiri. Sebuah buntalan kain berada di atas perahu kecil itu,
buntalan yang agak panjang, terbuat dari kain hijau yang tebal dan kuat. Hal
ini menunjukkan bahwa dia seorang yang biasa melakukan perjalanan jauh dan
buntalan itu adalah bekal dalam perjalanan, pakaian dan lain-lain.
Karena dia bukan nelayan,
bukan pula penggemar kesenangan mengail yang biasa memancing di telaga itu,
maka diapun tidak tahu bahwa sore hari seperti itu, ikan-ikan lebih senang
bermalas-malasan di dasar telaga karena perut mereka sudah kenyang. Dengan
sabar dia memegangi joran pancingnya. Akan tetapi setelah lewat setengah jam
belum juga ada ikan yang menyambar umpannya, bahkan dia melihat ada bayangan ikan
yang lumayan besarnya berenang tak jauh dari tali pancingnya tanpa
memperdulikan bahwa ada orang yang memberi umpan enak, kesabarannya mulai
menipis.
“Hemm, apakah umpannya yang
tidak cocok dengan selera ikan-ikan di sini?” gerutu- nya.
Kembali ada bayangan ikan
berenang di bawah permukaan air, ikan sebesar betisnya. Cepat dia menarik
jorannya dan menghadang ikan itu dengan umpannya. Ikan itu hampir menabrak
umpan, akan tetapi jangankan mencaplok umpan, bahkan menciumpun tidak, lewat
begitu saja tanpa menoleh!
“Wah, ini namanya orang
kelaparan diejek dan dipandang rendah oleh ikan!” Dia mengomel lalu mengangkat
pancingnya, membuang umpan di mata kail dan diapun bangkit berdiri di dalam
perahunya, dengan joran di tangan tanpa tali dan pancing lagi.
Joran itu terbuat dari bambu
dan ujungnya runcing, semacam bambu sebesar jari tangan yang kuat. Matanya
dengan tajam memandang ke permukaan air yang masih diterangi matahari senja
yang kemerahan.
Apa yang dinanti-nantikanpun
tiba. Tidak perlu dia menanti terlalu lama seperti ketika mencoba menangkap
ikan dengan pancing tadi.
Seekor ikan yang sebetis
besarnya meluncur lewat, perlahan-lahan dalam jarak dua meter dari perahunya.
Seekor ikan yang kepalanya hitam dan ekornya kemerah-merahan, ketika berenang
dan membelok, perutnya kelihatan keputihan. Tangan yang memegang joran itu
menegang, bergerak dan joran itupun meluncur seperti anak panah ke arah ikan.
“Ceppp......!” Joran itu
meluncur masuk ke dalam air. Tentu tidak mengenai sasaran karena ikan dapat
bergerak amat cepatnya di dalam air dan menangkap ikan secara demikian tentu
saja jauh lebih sukar dari pada mengail seperti tadi! Akan tetapi, joran itu
muncul kembali dan diujungnya nampak ikan menggelepar, perutnya ditembusi ujung
joran yang runcing!
“Ha-ha, terisi juga perutku
yang lapar ini!” Pria itu bicara seorang diri, mendayung perahunya mendekati
jorannya dan meraih joran itu. Ikan yang sebesar betis dan cukup gemuk. Dia
lalu menaruh ikan dan jorannya ke dalam perahu, mendayung perahu ke arah hutan.
Dari peristiwa itu saja mudah
diduga bahwa pria muda itu bukanlah orang sembarangan. Cara dia melempar joran
dan tepat mengenai ikan yang sedang berenang di bawah permukaan air,
membuktikan bahwa dia seorang yang amat pandai.
Dan memang hal ini benar
adanya. Pria itu bernama Tan Cin Hay dan di dunia persilatan, dia terkenal
dengan julukan Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih). Apa lagi ketika beberapa
bulan yang lalu dia berhasil membasmi gerombolan penjahat di bawah pimpinan
Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang terkenal jahat!
Hek-sim Lo-mo adalah seorang
datuk besar dunia hitam yang amat lihai, dan dia dibantu oleh banyak
tokoh-tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi pula. Namun, Pek-liong-eng
Tan Cin Hay berhasil membasmi dan membunuh datuk itu dan semua pembantunya,
bersama seorang pendekar wanita yang juga menjadi amat terkenal namanya.
Pendekar wanita itu adalah Hek-liong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam) dan
bernama Lie Kim Cu.
Pendekar Naga Putih ini
tinggal di sebuah dusun yang sunyi di dekat kota Hang-kouw, di dekat Telaga
See-ouw. Kalau sekarang dia berada di Telaga Po-yang adalah karena dia sedang
melakukan perantauan dan lewat dekat telaga itu. Dia memang suka melancong di
telaga, maka dia tidak melewatkan kesempatan itu untuk berpesiar di telaga ini
dan sorenya, dia memancing ikan karena merasa perutnya lapar dan malas untuk
makan di rumah makan. Telaga Po-yang terkenal dengan ikan-ikan ekor merah yang
kabarnya amat lezat dagingnya.
Pendekar ini adalah seorang
laki-laki yang bernasib malang, menjadi korban kejahatan. Dahulunya dia seorang
putera guru yang hidup di dusun dan dia telah mempunyai seorang isteri yang
amat dicintanya. Ketika dia dan isterinya yang baru mengandung muda itu
berpesiar naik perahu di Telaga See-ouw, muncullah orang-orang jahat yang
hendak mengganggu isterinya.
Dia melakukan perlawanan, akan
tetapi tidak ada gunanya. Dia bahkan dipukul dan dilempar keluar perahu, hampir
saja mati tenggelam. Adapun isterinya ditangkap dan diperkosa sampai mati oleh
para penjahat! Dengan hati penuh dendam dan duka, Tan Cin Hay menjadi murid
mendiang Pek I Lojin, seorang kakek sakti.
Setelah tamat belajar ilmu
silat, dia menjadi seorang pemuda gemblengan yang tinggi ilmunya. Dia menuntut
balas, menghajar dan membunuh mereka yang pernah menghina, memperkosa dan
membunuh isterinya, dan sejak itu dia menjadi seorang pendekar yang setiap saat
siap untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan, membela rakyat
kecil miskin yang menjadi korban penindasan, pemerasan dan kejahatan.
Pengalaman pertamanya sebagai
pendekar yang paling hebat adalah ketika dia menentang gerombolan yang dipimpin
Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Dia berhasil
membasmi gerombolan itu bersama Hek-liong-li, dan sejak itu, biarpun terpisah
jauh, dia menjadi sahabat pendekar wanita itu dan saling berjanji bahwa kalau
masing-masing menghadapi bahaya dan membutuhkan bantuan, mereka akan saling
mengabari.
Demikianlah sedikit riwayat
hidup Pek-liong-eng Tan Cin Hay yang pada senja hari itu seorang diri berada di
Telaga Po-yang dan kini dia sudah mendarat sambil membawa seekor ikan gemuk
sebesar betis. Perahu kecil itu dia ikat dengan sebatang pohon dan dia sendiri
lalu memasuki hutan, berhenti di tempat terbuka di mana rumputnya gemuk dan
tempatnya bersih, dilindungi pohon besar dan terdapat banyak batu-batu yang
enak dijadikan tempat duduk atau tidur karena batu-batu itu besar, rata dan
bersih.
Tak lama kemudian, Liong-eng
(Naga Putih) sudah duduk menghadapi api unggun yang terlindung antara dua batu
besar, dan memanggang daging ikan segar! Dari dalam buntalannya dia
mengeluarkan garam dan sekedar bumbu, sehingga kini daging ikan yang sudah
dibumbui itu mengeluarkan bau yang sedap, membuat perutnya yang sudah lapar itu
terasa semakin lapar. Dia masih mempunyai bekal roti kering yang cukup banyak.
Roti kering dan panggang ikan saja sudah lebih dari mencukupi untuk menenangkan
perut lapar.
Ketika ikan itu hampir matang
dan tinggal beberapa kali balikan lagi, tiba-tiba pendengaran Liong-eng yang
terlatih dan amat tajam itu menangkap gerakan dan langkah orang menghampiri
tempat itu. Dia bersikap waspada, akan tetapi melanjutkan pekerjaannya
seolah-olah tidak tahu bahwa ada orang menghampiri tempat itu.
“Siancai (damai)......!
Sungguh dosamu besar sekali, orang muda! Engkau menjadi seorang penggoda yang
amat kejam......!”
Liong-eng menengok dan dia
melihat seorang kakek berusia enampuluh tahunan, berpakaian seperti seorang
pendeta dengan rambut digelung ke atas. Biarpun kakek itu mengeluarkan suara
teguran, namun wajahnya lembut dan mulutnya tersenyum ramah, dan sepasang
matanya itu ditujukan ke arah ikan yang masih dipegang dan dipanggangnya. Tentu
saja dia merasa heran mendengar teguran itu.
“Totiang, mengapa begitu? Apa
dosaku, dan kenapa totiang mengatakan aku seorang penggoda kejam?”
KAKEK itu menghela napas,
hidungnya kembang kempis dan diapun duduk di atas batu dekat Liong-eng,
menikmati kehangatan api unggun yang mengusir nyamuk dan hawa dingin.
“Sejak pagi tadi pinto (aku)
belum makan apapun. Perut ini terasa lapar dan tiba-tiba saja hidung ini
mencium bau sedap ikan dipanggang sehingga perutku terasa semakin lapar dan
tersiksa. Karena engkau yang membakar ikan, bukankah berarti engkau telah
menggoda pinto dan menyiksa perut pinto? Alangkah besar dosamu, orang muda,
kalau engkau tidak menebusnya dengan mengajak pinto makan malam.”
Hampir Liong-eng tertawa
bergelak mendengar ucapan itu, akan tetapi dia tidak mau bersikap tidak sopan
mentertawakan seorang tosu (pendeta Agama To). Dengan hormat dia lalu berkata,
“Kalau memang totiang merasa lapar seperti juga aku, mari silakan makan malam
bersamaku, totiang.”
“Siancai......! Kalau begitu,
tadi engkau bukannya menggoda, orang muda, melainkan sengaja memancing dan
mengundang pinto makan malam. Terima kasih, terima kasih!”
Dengan segala senang hati
Liong-eng lalu mempersilakan kakek itu duduk di dekat api unggun. Panggang ikan
itu sudah matang dan diapun mengeluarkan buntalan roti kering. “Silakan,
totiang, mari kita makan seadanya!”
“Siancai...... terima kasih.
Roti kering dan ikan panggang, diantar anggur dari He-nan. Sedaaap!”
“Sayang anggurnya tidak ada,
totiang.”
“Jangan khawatir, pinto masih
menyimpan anggurnya, cukup untuk kita berdua. Anggur aseli He-nan, manis dan
harum!” Tosu itupun mengeluarkan sebuah guci anggur dari dalam buntalannya dan
memang benar anggur itu mengeluarkan bau harum ketika dibuka tutupnya. Isinya
masih hampir penuh, lebih dari cukup untuk mereka berdua.
Begitu menggigit roti kering
lalu disusul secuwil daging ikan yang masih panas, mengunyahnya, tosu itu
berseru, “Terima kasih kepada Tuhan! Sungguh Tuhan Maha Pengasih dan Pemurah!
Belum pernah pinto makan selezat ini.......!”
Kembali Liong-eng tertawa,
akan tetapi diapun melirik ke kanan karena kembali pendengarannya menangkap
gerakan orang dari sana. Cuaca sudah mulai gelap dan sinar api unggun itu
terbatas sekali, tidak cukup menembus kegelapan malam yang tebal.
“Omitohud! Dua orang makan
minum seenaknya tanpa memperdulikan seorang lain yang kelaparan. Apakah itu
bukan suatu dosa besar? Semoga dosa besar itu diampuni, omitohud.......”
Liong-eng menengok dan diapun
tersenyum. Kiranya yang bicara itu seorang hwesio yang usianya sebaya dengan
pendeta tosu yang sedang duduk di dekatnya. Hanya bedanya, kalau tosu itu
menggelung rambutnya ke atas, hwesio ini mencukur gundul rambutnya. Kalau tosu
itu tinggi kurus, hwesio ini agak pendek dan gendut perutnya. Keduanya
sama-sama memakai pakaian pendeta yang sederhana. Liong-eng cepat bangkit
berdiri dan memberi hormat.
“Selamat malam, lo-suhu. Kalau
lo-suhu lapar, silakan duduk dan makan malam bersama kami, makan malam
seadanya, hanya roti kering, ikan panggang dan...... anggur manis milik totiang
ini.”
“Silakan, hwesio kelaparan!
Ikan panggangnya lezat bukan main dan anggur pinto inipun manis dan enak.
Silakan makan dan minum bersama!
“Omitohud, terima kasih......
terima kasih, semoga Sang Buddha memberkahi anda berdua!” Hwesio gendut itupun
duduk di dekat api unggun, dan perut gendutnya itu agaknya tidak menjadi
penghalang ketika dia duduk, bahkan dia lalu bersila dengan bentuk teratai,
yaita kedua kaki di atas kedua paha.
Tanpa rikuh lagi, hwesio itu
lalu mengambil roti kering dan memasukkannya ke mulutnya, dikunyah
perlahan-lahan.
“Ini ikan panggangnya,
lo-suhu. Silakan!”
Hwesio itu menggeleng
kepalanya. “Omitohud...... pinceng berpantang melakukan kekejaman dan
kekerasan, apa lagi membunuh. Lebih-lebih makan daging! Tidak, pinceng cukup
dengan ini saja!” Dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang ternyata adalah sayur
asin! Dia makan roti kering dan sayur asin itu, nampak nikmat sekali.
“Hwesio, mari kauminum anggur
pinto. Ini anggur He-nan aseli, enak segar dan manis!” tosu itu menawarkan
anggurnya.
Akan tetapi hwesio itu menolak
sambil tersenyum ramah. “Omitohud......! Pinceng berpantang minuman keras yang
akan mengeruhkan pikiran. Pinceng minum ini saja, heh-heh!” Dia mengeluarkan
sebuah guci terisi air jernih dan minum air itu.
Mereka makan minum tanpa
berkata-kata lagi dan akhirnya mereka merasa kenyang. Hwesio itu mengelus
perutnya yang gendut. “Omitohud, pinceng mengucap syukur kepada Sang Buddha
yang telah memberkahi kita semua!”
Tosu itupun menengadah,
memandang langit yang dipenuhi bintang cemerlang. “Pinto berterima kasih kepada
Tuhan yang telah memberkahi kita semua dengan segala keindahan dan kenikmatan
dalam hidup ini! Sian-cai...... sungguh jarang ada manusia yang dapat menikmati
hidup yang begini indah!”
Liong-eng diam-diam tertarik
sekali. Tanpa disangkanya, dalam perantauannya yang santai ini, dia bertemu
dengan dua orang pendeta yang nampaknya sama-sama bijaksana, akan tetapi
memiliki cara hidup yang berlainan sama sekali. Karena itu, timbul suatu akal
di dalam hatinya untuk mempertemukan keduanya ini dalam suatu percakapan atau
perdebatan yang tentu akan menarik sekali.
Dia seorang yang cerdik dan
dia tadi melihat bagaimana dua orang pendeta itu memiliki kebiasaan yang amat
berbeda, bahkan berlawanan ketika mereka makan dan minum. Tosu itu makan daging
ikan dan minum anggur sebaliknya, hwesio itu tidak makan daging dan tidak minum
minuman keras. Akan tetapi keduanya sama-sama menikmati makanan dan minuman
mereka, dan keduanya tetap bijaksana dan tidak saling mencela.
“Tempat inipun indah sekali
untuk melewatkan malam,” kata Liong-eng. “Enak sekali melepaskan lelah di atas
batu-batu yang rata ini, terlindung oleh pohon-pohon besar. Membuat api unggun
juga amat mudah karena banyak terdapat kayu kering.”
“Omitohud, engkau betul, orang
muda. Pinceng ingin beristirahat di sini untuk semalam ini.”
“Pinto juga ingin menikmati
malam ini di sini. Bertilamkan rumput, berdinding pohon¬pohon, beratap langit
dan berlampu sejuta bintang. Siancai...... adakah yang lebih nikmat dari pada
ini?”
Liong-eng tertawa, “Dan aku
ingin sekali menambah pengetahuan tentang hidup ini dari totiang dan losuhu
berdua, yakni kalau ji-wi (anda berdua) berkenan memberi wejangan kepadaku.”
“Omitohud......, sudah
sepatutnya yang kuat membantu yang lemah, yang pandai menuntun yang bodoh, yang
tua menasihati yang muda.”
“Siancai......, kalau pinto
dapat memberikan sesuatu kepadamu, orang muda yang baik, pinto akan senang
sekali. Daging ikan panggangmu tadi jauh lebih bermanfaat dari pada seratus
wejangan kosong hampa, ha-ha!”
Mereka bertiga duduk di atas
batu yang jaraknya ada dua meter satu sama lain sehingga mereka dapat
bercakap-cakap dengan santai. Liong-eng lalu memulai dengan pancingannya.
“Ji-wi suhu adalah dua orang
pendeta yang telah mengenakan jubah pendeta dan karena itu tentu telah memiliki
kebijaksanaan dan keadaan hidupnya lain dari pada manusia biasa.”
“Siancai......, apa bedanya
pinto dengan orang lain? Pinto juga manusia biasa!”
“Omitohud......, benar apa
yang dikatakan to-yu (sahabat) ini. Pinceng juga hanya manusia biasa.”
“Akan tetapi, ji-wi (anda berdua)
adalah seorang tosu dan seorang hwesio. Biarpun manusia biasa, telah memiliki
pengetahuan luas tentang kehidupan dan kebatinan. Yang kuherankan adalah
melihat perbedaan yang saling bertolak belakang antara ji-wi ketika kita
bersama-sama makan dan minum tadi. Kulihat bahwa totiang makan daging ikan dan
minum anggur, akan tetapi kulihat bahwa losuhu tidak makan daging dan tidak
minum-minuman keras. Nah, yang ingin saya ketahui, mengapa ada perbedaan ini?”
Dua orang pendeta itu saling
pandang. Api anggun masih bernyala besar sehingga hawa menjadi hangat dan sinar
api cukup menerangi tempat itu sehingga mereka dapat saling melihat.
“Omitohud......! Hidup penuh
penderitaan karena ulah manusia sendiri. Kami tidak makan daging karena melihat
kenyataan bahwa daging mengandung rangsangan kepada tubuh, memperbesar nafsu
hewani. Selain itu, kami pantang menyiksa, pantang menyakiti dan pantang
kekerasan. Dengan demikian, mana mungkin kami harus membunuh binatang hanya
untuk memuaskan selera dan nafsu hewani?
“Adapun minum-minuman keras
amat tidak baik untuk ketenangan batin, karena minuman keras merangsang otak,
membuat orang menjadi mabok dan juga terikat. Kalau sudah melihat bahwa daging
dan arak itu buruk untuk badan dan batin, mengapa kita harus memakannya dan
meminumnya?”
Sambil berkata demikian,
hwesio itu memandang kepada tosu di depannya, akan tetapi dengan senyum yang
lebar dan ikhlas, sama sekali tidak mengejek atau menyalahkan walaupun
mengandung tantangan untuk berdebat.
Liong-eng mendengarkan dengan
gembira. Pancingannya mengena dan dia menanti jawaban tosu itu.
“Siancai......, memang benar
bahwa hidup penuh penderitaan karena ulah manusia sendiri! Alam sudah mempunyai
aturan sendiri, sehingga aturan yang diadakan manusia kadang-kadang malah
berlawanan dengan aturan alam dan ini menimbulkan kekacauan pada alam yang
hanya merugikan manusia sendiri!
“Pinto makan daging karena
memang daging itu sudah diatur alam untuk menjadi makanan manusia. Alam juga
mengatur bahwa ada beberapa macam daging yang tidak boleh dimakan, yang beracun
dan yang berbahaya bagi kesehatan badan manusia. Kekerasan dan kebencian berada
di dalam hati. Makan daging belum tentu berarti menyiksa atau berkeras hati!
“Apakah makan sayur juga tidak
berarti membunuh? Siapa berani mengatakan bahwa pada sayur-sayuran itu tidak
terdapat benda-benda hidup dan bernyawa? Makan sayur berarti juga membunuh dan
makan banyak sekali mahluk hidup dan bernyawa! Jadi sama saja! Yang penting
adalah di dalam hati! Yang penting adalah kebijaksanaan dalam memilih daging
apa yang patut dimakan untuk mengenyangkan perut dan mempertahankan hidup.
“Adapun tentang anggur......
ha-ha, alangkah bodohnya kalau tidak mau meminumnya! Anggur merupakan minuman
yang amat menyehatkan. Tentu saja kalau terlalu banyak menjadi racun dan amat
tidak baik. Segala sesuatu yang kita, makan atau minum, betapapun baiknya,
kalau terlalu banyak tentu menjadi tidak baik! Minuman keras, kalau sedikit,
menjadi obat, kalau terlalu banyak menjadi racun. Tergantung kepada
kebijaksanaan kita sendiri, bukan? Bukan salah minumannya atau makanannya!
Pinto sudah puluhan tahun minum arak atau anggur akan tetapi tidak pernah mabok
dan tidak pernah kecanduan!”
“Omitohud...... apa yang
dikatakan to-yu memang benar!” kata hwesio itu menyambut sehingga Liong-eng
makin gembira, mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Tak dapat disangkal bahwa di
dalam sayur, di dalam air, bahkan di dalam hawa udara ini terdapat banyak
mahluk hidup dan bernyawa dan kalau kita makan sayur dan minum air, bahkan menghirup
udara, kita sudah membunuh dan makan mahluk-mahluk hidup bernyawa yang amat
kecil sehingga tidak nampak oleh mata. Akan tetapi, setidaknya kita membunuh
mahluk kecil tak nampak, yang berarti kita melakukan pembunuhan tanpa
disengaja. Tidak seperti kalau menyembelih sapi, babi atau ayam, sengaja kita
sembelih dan kita makan dagingnya.
“Biarpun demikian, pinceng
membenarkan pendapat to-yu bahwa segalanya yang menentukan adalah kebijaksanaan
batin. Akan tetapi, bagaimana batin dapat menjadi bijaksana kalau batin
dibiarkan menjadi hamba nafsu hewani? Nafsu akan menyeret batin sehingga batin
selalu menjadi haus akan kesenangan badani!
“Tepat sekali ucapan itu,
to-yu! Ada dua macam dasar ketika kita makan daging, yang pertama dasarnya
adalah kebutuhan hidup, dan yang kedua dasarnya adalah mencari kenikmatan atau
keenakan. Orang yang mengejar kenikmatan, baik melalui makan daging atau
melalui pertapaan sekalipun, keduanya menyimpang dari jalan kebenaran!”
Liong-eng mendengarkan dengan
wajah berseri. Biarpun dua orang pendeta ini bicara ramah dan agaknya seperti
saling membenarkan, namun pada dasarnya, terdapat perbedaan cara atau pandangan
dalam mengatur langkah hidup menuju kebenaran. Dia ingin menyelidiki lebih
mendalam lagi dan melihat betapa mereka seperti hendak menghentikan perdebatan
itu, diapun melempar umpan lagi.
“Maafkan saya, ji-wi suhu.
Saya adalah seorang yang masih bodoh dan tidak mengerti tentang kehidupan.
Kalau mendengar uraian ji-wi tadi, saya dapat menarik kesimpulan bahwa yang
menyeret manusia ke dalam kesengsaraan adalah perbuatan yang ditunggangi nafsu
rendah. Begitukah?”
“Siancai, benar sekali, orang
muda.”
“Omitohud, memang demikianlah
adanya,” sambung hwesio itu.
Liong-eng mengangguk-angguk.
“Kalau begitu, biang keladi kesengsaraan manusia adalah nafsu-nafsu itu! Dari
manakah datangnya nafsu-nafsu ini, ji-wi suhu?”
“Nafsu? Ha-ha, nafsu terlahir
bersama kita, orang muda. Bukankah demikian, to-yu?”
“Omitohud, benar sekali. Nafsu
terlahir bersama kita!”
Liong- eng mengerutkan alisnya.
“Totiang dan suhu, bukankah kita dilahirkan di dunia, sebagai manusia ini atas
kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa?”
“Benar sekali!” kata dua orang
pendeta itu hampir berbareng.
“Dan bukankah Tuhan Maha Kasih
dan Maha Adil?”
“Benar sekali!” kembali keduanya
mengangguk.
“Kalau begitu, mengapa Tuhan
melahirkan kita disertai nafsu yang hanya akan menyeret kita ke dalam perbuatan
jahat dan yang akibatnya membuat kehidupan penuh kesengsaraan?”
“Omitohud......, orang muda,
buanglah jauh-jauh pikiran menyalahkan Tuhan itu!”
“Siancai......, Tuhan Maha
Kasih. Tuhan telah mengatur segalanya dengan tertib, dengan sempurna. Segala
sesuatu datang dari Dia dan kembali kepada Dia! Tuhan Maha Sempurna, tidak ada
kesalahan setitik debupun, orang muda! Segala yang diciptakannya adalah
sempurna, seperti Sang Penciptanya sendiri!”
“Tapi...... tapi... mengapa
Dia menyertakan pula nafsu kepada kita? Bukankah nafsu hanya akan menyeret kita
ke dalam kesengsaraan?” Liong-eng membantah untuk memancing,
“Nafsu adalah nafsu, seperti
juga benda dan mahluk lain. Tidak jahat dan tidak baik! Kalau bisa disebut
buruk, sudah pasti ada kebaikannya. Di sinilah letaknya rahasia Im-yang. Mana
bisa ada sebutan buruk kalau tidak ada sebutan baik? Kalau kita sudah
mengatakan bahwa nafsu itu buruk, maka sudah pasti di lain pihak nafsu itu juga
baik!” kata tosu itu.
“Akan tetapi, di mana letak
kebaikannya, totiang?” Liong-eng mengejar.
“Lihat, orang muda. Tanpa
adanya nafsu, bagaimana mungkin kita dapat hidup di dunia ini? Ketika manusia
terlahir sebagai bayi, dia belum mampu mempergunakan alat pikiran yang sudah
ada padanya, karena itu, hanya nafsu yang membimbingnya agar dapat hidup. Dia
sudah dapat membedakan mana enak mana tidak enak tanpa menggunakan pikirannya.
“Setelah dia mulai memiliki
kemampuan menggunakan alat berupa akal pikirannya, maka nafsu menyusup dan
bersatu dengan pikiran, membentuk si aku yang selalu ingin enak menurut apa
yang pernah dialaminya. Dan kalau orang sudah diperhamba nafsu, maka dia akan
selalu mengejar keenakan tanpa memusingkan hal-hal lain, dan pengejaran
terhadap keenakan atau kesenangan inilah yang membuahkan perbuatan-perbuatan
jahat, penyelewengan dan kejahatan!”
“Kalau begitu, nafsu itu jahat
sekali!” seru Liong-eng. “Dan tidak ada gunanya!”
“Siancai......! Jangan bilang
begitu, orang muda. Tanpa ada nafsu, bagaimana mungkin kita hidup? Ingat, apa
yang menyebabkan kita dapat merasakan enak kalau makan? Kalau mendengarkan
sesuatu, melihat sesuatu, mencium sesuatu, apa yang membuat kita memperoleh kenikmatan
dari pancaindera kita kalau bukan nafsu? Yang mendorong kita untuk hidup adalah
nafsu. Tanpa nafsu, mana mungkin kita dapat hidup?
“Omitohud......, ucapan itu
benar sekali. Nafsu banya menjadi buruk kalau menjadi majikan dan memperhamba
kita, akan tetapi menjadi suatu rahmat dan nikmat kalau kita yang
memperhambanya. Nafsu seperti air dan api dan angin, menjadi hamba yang baik
sekali akan tetapi menjadi raja yang amat bengis! Nafsu bagaikan kuda-kuda
penarik kereta, kalau terkendali dapat membawa kereta kepada kemajuan,
sebaliknya kalau tak terkendali dan kabur, dapat membawa kereta terjun ke dalam
jurang!” kata hwesio itu.
Pek-liong-eng (Pendekar Naga
Putih) itu tersenyum dan hatinya merasa girang bukan main. Tidak percuma dia
menjamu dua orang pendeta ini dengan hidangan yang amat bersahaja, akan tetapi
sebagai imbalannya dia telah mendengarkan percakapan yang amat mendalam dan
amat penting bagi pengertian hidupnya.
Dia memandang kedua orang
pendeta itu dan tiba-tiba saja dia tertawa geli, tak tertahankan sehingga dua
orang pendeta itu memandang kepadanya dengan mata bertanya-tanya.
“Eh, orang muda, apanya yang
lucu?” tanya si tosu.
“Omitohud, engkaulah yang
lucu, orang muda. Kami bicara serius tentang soal-soal kehidupan yang mendalam,
engkau malah tertawa seperti melihat dan mendengarkan celoteh dua orang badut
di panggung!” sambung si hwesio dengan senyum polos, sama sekali tidak merasa
tersinggung.
Pendekar Naga Putih adalah
seorang yang bukan saja gagah perkasa, memiliki ilmu silat yang tinggi, akan
tetapi dia juga pandai dalam ilmu sastra dan sudah banyak mempelajari buku-buku
suci dan tahu tentang tata susila dan kebudayaan. Maka diapun menginsyapi
sikapnya yang kurang patut itu maka cepat dia berdiri dan memberi hormat dengan
bersoja kepada mereka berdua.
“Harap ji-wi (kalian berdua)
suka memaafkan sikap saya yang lancang dan kurang patut. Akan tetapi entah
mengapa, tiba-tiba saja saya ingin tertawa dan merasa geli, yaitu setelah
melihat keadaan tubuh ji-wi.”
“Siancai......! Ada apakah
dengan tubuhku yang tinggi kurus ini?”
“Omitohud, agaknya tubuh
pinceng yang pendek gendut ini yang nampak lucu?” sambung si hwesio.
“Sekali lagi maaf, ji-wi
losuhu dan totiang, karena entah bagaimana, melihat bentuk tubuh ji-wi,
mendadak saya menjadi geli dan ingin sekali tertawa. Totiang suka makan daging
akan tetapi bertubuh kurus sebaliknya losuhu yang tidak makan daging, hanya
makan sayur, mengapa malah gemuk? Sungguh keadaan yang amat terbalik dan lucu!”
Akan tetapi sekali ini Pek-liong-eng Tan Cin Hay tidak tertawa lagi karena dia
sudah mampu menguasai perasaan hatinya.
Tosu itu tertawa. “Ha-ha-ha,
apanya yang aneh, orang muda? Memang sudah semestinya begitu. Lihat saja,
harimau yang suka makan daging itu tubuhnya kuat dan perutnya kecil, termasuk
kurus. Sebaliknya kerbau yang hanya makan rumput dan daun-daunan, perutnya
gendut! Ha-ha-ha!”
Hwesio itupun tertawa
bergelak. “Ha-ha-ha, omitohud! Engkau hendak memaki pinceng seperti kerbau,
to-yu? Kalau ingin memaki, langsung saja, kenapa harus berbelok-belok? He,
orang muda, mengapa engkau tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Lihat saja. Semua binatang yang makan sayur dan rumput saja merupakan
binatang yang memenuhi segala segi kebaikan.
“Yang paling kuat di antara
binatang? Gajah dan gajah pemakan rumput dan sayur, tak pernah makan daging!
Yang paling tangkas dan cepat? Kuda, juga pemakan sayur dan rumput, tidak makan
daging. Yang paling berguna bagi manusia? Kerbau, lembu, kambing, kesemuanya
tidak makan daging, hanya rumput dan daun-daunan. Burung apa yang paling indah
dan paling suaranya? Burung-burung yang tidak pernah makan daging, melainkan
makan biji-bijian.
“Semua binatang yang tidak
makan daging pada umumnya lembut dan baik, jinak dan tidak pernah buas.
Sekarang lihat binatang yang makan daging! Paling buas dan liar? Harimau,
pemakan daging. Paling licik dan menjijikkan? Ular, pemakan daging. Dan
burung-burung pemakan daging amat buruk dan suaranya mengerikan, seperti burung
gagak, burung pemakan bangkai, dan lain-lain!”
Tosu itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, memang engkau ini pandai sekali to-yu. Tapi bagaimanapun juga, pinto
lebih suka menjadi seekor harimau yang perkasa dari pada seekor babi gemuk!”
Melihat suasana menjadi panas
dan tidak enak. Pek-liong-eng cepat melerai dan memberi hormat. “Sudahlah,
harap ji-wi suka menghentikan percakapan mengenai makan daging dan makan sayur
ini. Saya yang tadi bersalah menyinggung soal itu. Akan tetapi, kita bertiga
sudah makan minum bersama, bercakap-cakap dengan akrab, akan tetapi belum
saling mengenal nama......”
“Siancai......! Apa sih
artinya nama, kedudukan dan penggolongan perorangan? Semua itu hanya
mendatangkan garis pemisah di antara manusia!”
“Omitohud, tepat sekali ucapan
itu! Begitu ada nama, maka si anu bermusuhan dengan si anu, golongan dengan
golongan, bangsa dengan bangsa. Penggunaan nama adalah suatu kebodohan!”
sambung si hwesio sambil tersenyum lebar.
Pek-liong-eng juga tersenyum.
“Biarlah saya masuk ke dalam golongan yang bodoh saja karena saya ingin sekali mengenal
nama ji-wi agar saya tahu dengan siapa saya berhadapan. Saya sendiri bernama
Tan Cin Hay, tinggal di dusun luar kota Hang-kouw dekat Telaga See-ouw......”
“Omitohud, kiranya engkau
adalah Pek-liong-eng, pendekar besar itu?” seru si hwesio.
“Tak salah lagi,” sambung si
tosu. “Pinto (aku) pun sudah mendengar akan nama besar pendekar muda yang telah
menghancurkan gerombolan Hek-sim Lo-mo!”
Pek-liong-eng tersenyum. Tak
disangkanya bahwa namanya yang sebenarnya belum begitu dikenal itu telah
menjadi terkenal karena sepak terjangnya membasmi Hek-sim Lo-mo bersama
Hek-liong-li! Diapun memberi hormat dengan sikap merendah.
“Saya yang muda dan belum
banyak pengalaman masih mengharapkan banyak petunjuk dari ji-wi. Kalau boleh
saya mengetahui, siapakah nama dan julukan totiang?” tanyanya kepada si tosu.
“Omitohud, siapa lagi tosu
rakus ini kalau bukan Tiong Tosu?” seru si hwesio gendut.
Tosu itu tertawa. “Memang
benar pinto di-sebut Tiong Tosu tanpa julukan apapun, dan hwesio gendut pemakan
rumput ini tentulah Yong Hwesio!”
Hwesio itupun tertawa dan
diam-diam Pek-liong-eng Tan Cin Hay terkejut. Biarpun dua nama itu sederhana
saja, namun pernah dia mendengar akan nama mereka sebagai orang-orang yang amat
pandai, sambil beribadah mereka berkelakar, sambil berkelakar mereka menentang
kejahatan dan membikin gentar nama para penjahat di sepanjang pantai utara
sampai ke selatan! Cepat dia memberi hormat kepada kedua orang pendeta itu.
“Ah, kiranya saya berhadapan
dengan dua orang locianpwe yang nama besarnya menggetarkan kolong langit!”
katanya dengan kagum.
Dua orang pendeta itu saling
pandang dan tertawa geli. Tiong Tosu yang tinggi kurus itu memandang kepada
Pek-liong-eng dengan penuh perhatian, mengamati dari kepala sampai ke kaki,
agaknya terheran dan sukar dapat percaya bahwa pemuda ini mampu membasmi
seorang datuk besar seperti Hek-sim Lo-mo yang merupakan seorang di antara Kiu
Lo-mo atau Sembilan Iblis Tua yang merupakan datuk-datuk besar sakti.
“Tidak ada gunanya kita saling
puji dan saling merendah. Taihiap adalah seorang yang gagah perkasa dan
berhasil menumbangkan kekuasaan Hek-sim Lo-mo yang amat jahat dan sakti. Pinto
kagum dan tunduk. Kalau boleh kami ketahui, urusan apakah yang membawa taihiap
dari Telaga See-ouw datang ke Telaga Po-yang ini?”
“Pinceng (aku) juga ingin
sekali tahu, karena kalau muncul seorang pendekar seperti Tan Taihiap, tentu
akan terjadi urusan besar!” sambung Yong Hwesio yang gendut.
Pek-liong-eng (Pendekar Naga
Putih) atau disingkat Pek-liong (Si Naga Putih) terse-nyum. “Terus terang saja,
ji-wi lo-cianpwe. Saya tidak mempunyai urusan tertentu di Telaga Po-yang ini.
Saya sedang menganggur di rumah dan merasa kesal, maka saya melakukan
perjalanan merantau dan setiba saya di tempat ini, hati saya tertarik dan saya
berperahu mencari ikan. Tiada kepentingan khusus dan kalau tidak terjadi
sesuatu, besok pagi saya akan melanjutkan perjalanan meninggalkan telaga ini.
Nah, saya sudah berterus terang. Tidak tahu apakah ji-wi juga mau berterus
terang? Tentu kalau dua orang tokoh besar seperti ji-wi datang ke telaga ini,
dapat dipastikan ada sesuatu yang menarik.”
Tiong Tosu menghela napas
panjang dan dia memandang ke arah tengah telaga. Bulan telah menerangi
permukaan telaga. Air telaga itu tenang dan sama sekali tidak bergerak, memantulkan
bulan dan sinarnya, nampak indah bukan main, sunyi dan juga penuh rahasia.
“Telaga ini menyembunyikan
rahasia besar,” kata Tiong Tosu, suaranya dalam dan penuh kesungguhan, matanya
tak pernah berkedip memandang ke tengah telaga, seolah dia mengharapkan
munculnya mahluk aneh dari sana dengan tiba-tiba. “Pinto mendengar dongeng
menarik sekali tentang telaga ini dan untuk itulah maka pinto kini datang ke
sini.”
“Nanti dulu, Tiong Tosu!
Apakah dongengmu itu ada hubungannya dengan Patung Emas?”
Tosu itu terbelalak memandang
kepada hwesio gendut. “Yong Hwesio, jadi engkau sudah tahu?”
“Omitohud, tentu saja. Justeru
untuk itulah pinceng datang ke sini. Akan tetapi lanjutkan ceritamu, nanti
giliran pinceng bercerita.”
Tosu itu mulai bercerita, didengarkan
penuh perhatian oleh Pek Liong dan Yong Hwesio. Dongeng itu menceritakan
tentang Kerajaan Cin pada kurang lebih delapanratus tahun yang lalu.
Raja besar Cin Si Huang-ti
adalah seorang raja yang keras dan aneh, yang suka dan percaya akan ilmu-ilmu
gaib dan kesaktian-kesaktian. Bahkan dia berguru kepada banyak pertapa sakti
dengan maksud untuk mencari ilmu menentang maut, yaitu ingin hidup abadi di
dunia ini! Menurut dongeng itu, pada suatu hari dia mendaki Gunung Thai-san di
Shan-tung, dan di situ dia bertemu dengan seorang pertapa yang memberikan
beberapa butir pel panjang usia kepadanya!
Menurut dongeng, siapa yang
minum pel itu, setiap butir, usianya akan bertambah empatpuluh tahun! Cin Si
Huang-ti menerima duapuluh butir, berarti dia akan dapat menambah umurnya
selama delapanratus tahun! Akan tetapi, menurut pertapa itu, pel itu baru ada
khasiatnya dan manjur kalau dibiarkan menghisap sari air Telaga Po-yang selama
sepuluh tahun!
Cin Si Huang-ti lalu kabarnya
menyembunyikan obat-obat penentang maut itu dalam sebuah patung emas dan
kabarnya patung emas itu disembunyikan di sekitar telaga, atau mungkin di dalam
telaga! Dan ada berita angin pula bahwa selain obat itu, disimpan pula harta
karun yang amat besar jumlahnya. Akan tetapi seperti diketahui dari sejarah,
Cin Si Huang-ti meninggal dunia sebelum minum obat itu, bahkan dia meninggal
dalam usia yang masih belum tua benar, di bawah limapuluh tahun!
“Dongeng itulah yang membawa
pinto datang ke sini,” Tiong Tosu mengakhiri cerita- nya. “Dan ada berita lagi
bahwa setelah raja itu mati, muncul sebuah peta yang katanya menunjukkan di
mana adanya patung emas yang disembunyikan itu.”
Pek-liong mendengarkan dengan
hati tertarik. Dongeng yang nampak menarik dan bagus karena diceritakan di tepi
Telaga Po-yang, pada hal dalam dongeng itu disebutkan bahwa harta dan obat
sakti itu disembunyikan di sekitar Telaga Po-yang!
“Omitohud...... sungguh
kebetulan sekali! Kedatangan pinceng ke sini justeru ada hubungannya pula
dengan peta rahasia penyembunyian patung emas itu!”
“Eh, bagaimana bisa serba
kebetulan itu. Ceritakan, Yong Hwesio!” kata Tiong Tosu dan Pek-liong
mendengarkan semakin tertarik.
“Tak jauh dari telaga ini
terdapat sebuah kuil kecil. Pinceng mengenal baik ketuanya. yaitu Loan Khi
Hwesio. Baru-baru ini pinceng kedatangan seorang hwesio dari kuil itu yang
minta pertolongan pinceng untuk mencari Loan Khi Hwesio yang katanya diculik
orang jahat!”
“Wah? Untuk apa orang jahat
menculik seorang hwesio tua?” Tiong Tosu berseru kaget dan heran, hampir tidak
percaya.
“Menurut keterangan para
hwesio, pada suatu hari datang empat orang penjahat ke kuil mereka dan dengan
paksa membawa Loan Khi Hwesio. Para hwesio di kuil itu, sebanyak lima orang,
melawan akan tetapi mereka semua roboh terluka. Loan Khi Hwesio mereka culik
dan tidak pernah kembali ke kuil.”
“Eh, Yong Hwesio, apa
hubungannya ceritamu tentang penculikan Loan Khi Hwesio itu dengan urusan peta
patung emas?” tanya Tiong Tosu, mengerutkan alisnya.
“Hubungannya dekat sekali
karena Loan Khi Hwesio itulah yang tadinya menjadi pemilik peta patung emas.”
“Siancai......!”
“Ahhh......!” Pek-liong
menjadi semakin tertarik sedangkan Tiong Tosu terbelalak memandang kepada Yong
Hwesio. “Sungguh suatu kebetulan yang menarik sekali!”
“Siapakah orang-orang jahat
yang menculik Loan Khi Hwesio itu?” tanya Tiong Tosu.
“Tidak ada yang mengetahuinya,
hanya para hwesio itu menceritakan bahwa mereka itu orang-orang kasar yang amat
lihai dan mereka mengatakan bahwa mereka membawa Loan Khi Hwesio untuk
dihadapkan kepada Beng-cu mereka.
“Dan...... peta itu......?”
Pek-liong bertanya.
“Sabarlah, Tan Taihiap. Akan
pinceng ceritakan semua. Menurut keterangan para hwesio kuil itu, Loan Khi
Hwesio yang memiliki peta itu tidak lagi membawa peta itu dengannya, karena peta
itu telah dia berikan kepada orang lain, seorang dermawan yang suka menderma
kepada kuil. Dan sekarang berita yang paling aneh dan amat mengguncang perasaan
pinceng. Yaitu, selagi Loan Khi Hwesio sendiri belum diketahui bagaimana
nasibnya, dermawan itu telah kedapatan mati terbunuh di atas perahu sewaannya
di Telaga Po-yang!”
“Siancai......!” Tiong Tosu
berseru dan Pek-liong juga terkejut. Sungguh amat menarik dan penuh rahasia.
“Dermawan itu bernama Thio Kee
San, seorang pemilik perahu sewaan di Telaga Po-yang. Pada suatu pagi dia
kedapatan tewas terbunuh di atas perahunya. Tidak ada yang tahu siapa yang
membunuhnya, hanya ada kabar bisik-bisik bahwa malam itu perahunya dipakai oleh
Po-yang Sam-liong, yaitu tiga orang jagoan yang menguasai Po-yang.”
“Dan peta patung emas itu
tadinya berada pada Thio Kee San?” tanya Pek-liong.
“Hal itu siapa yang
mengetahuinya, taihiap? Mungkin dia bawa, mungkin pula tidak. Akan tetapi, para
hwesio itu menceritakan hal lain yang lebih aneh, yaitu bahwa di kota Nan-cang,
tak jauh dari sini, terjadi keributan di rumah pelacuran yang bernama Rumah
Merah. Po-yang Sam-liong di rumah pelesir itu, mengamuk dan menangkap seorang
pelacur bernama Bi Hwa, menyiksanya kemudian membawa pergi entah ke mana.
Menurut keterangan para penghuni rumah pelesir itu, Po-yang Sam-liong bertanya
apakah Bi Hwa itu kekasih dari mendiang Thio Kee San.”
“Siancai, tentu ada
hubungannya dengan peta rahasia itu! Agaknya mereka tidak dapat menemukan peta
itu pada Thio Kee San, lalu mereka mencari orang yang paling disayang oleh Thio
Kee San, maka mereka menyangka bahwa peta itu disimpan oleh pelacur Bi Hwa.
Aih, lalu apa yang terjadi dengan Bi Hwa?”
“Sampai kini tidak ada yang
tahu. Bi Hwa lenyap seperti juga Loan Khi Hwesio,” kata Yong Hwesio. “Ini menurut
penuturan para hwesio di kuil itu.”
Tiba-tiba Pek-liong memberi
isyarat kepada dua orang pendeta itu untuk menghentikan percakapan. Sebuah
perahu besar meluncur di tepi telaga itu, dan di atas perahu itu kelihatan ada
lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya mengamati mereka bertiga yang
duduk di daratan tepi telaga.
Tiba-tiba terdengar derap kaki
kuda dan seekor kuda tinggi besar yang ditunggangi seorang laki-laki muda lewat
pula dekat mereka. Penunggang kuda ini tentu mahir sekali menunggang kuda. Di
malam hari begini dia berani menunggang kuda dengan cepat dan cara dia duduk
tegak di atas pelana kuda juga membuktikan kemahirannya.
Di bawah sinar bulan yang
cukup terang, Pek-liong melihat bahwa penunggang kuda itu seorang laki-laki
muda yang tampan dan gagah, berpakaian serba putih seperti dia, hanya bedanya,
kalau dia berpakaian secara sederhana saja, pria itu mengenakan pakaian putih
dari sutera tersulam dan sepatunya mengkilat. Juga sebatang pedang tergantung
di punggungnya, seperti juga lima orang laki-laki tinggi besar yang naik perahu
itu, si penunggang kuda juga menoleh ke arah mereka dan mengamati mereka penuh
perhatian dengan pandang matanya yang bersinar tajam.
Tiong Tosu dan Yong Hwesio
saling pandang. “Agaknya kebetulan saja mereka itu lewat,” kata Tiong Tosu dan
Yong Hwesio mengangguk.
“Bagaimanapun juga, pinceng
tidak dapat mendiamkan saja Loan Khi Hwesio lenyap diculik orang. Pinceng
mendapat perasaan buruk bahwa dia sudah tewas.”
“Siancai......, agaknya engkau
benar, Yong Hwesio. Pinto juga mempunyai perasaan bahwa pelacur bernama Bi Hwa
yang lenyap dibawa orang itupun agaknya telah tewas. Lalu, apa yang akan
kaulakukan?”
“Omitohud, pinceng harus
menyelidiki. Bukan hanya untuk merebut peta itu, karena pinceng tidak membutuhkan
semua harta benda itu, melainkan terutama sekali untuk menyelidiki bagaimana
nasib Loan Khi Hwesio. Biarpun para hwesio tidak mengenal empat orang penyerbu
itu dan mereka itu bukan Po-yang Sam-liong, namun jelas bahwa Po-yang
Sam-liong, mempunyai kaitan dengan peristiwa itu. Maka, pinceng hendak mencari
Po-yang Sam-liong dan minta keterangan dari mereka!”
“Siancai......! Itu bagus
sekali dan pinto akan membantumu, Yong Hwesio. Kita berdua adalah orang-orang
tua yang tidak membutuhkan harta benda, akan tetapi demi menentang kejahatan
dan kekejaman, kita harus bertindak.”
“Bagus, Tiong Tosu. Pinceng
sudah lama mendengar akan sepak terjangmu, dan senang sekali bekerja sama
denganmu sekali ini!” kata Yong Hwesio dengan gembira sekali.
Melihat kegembiraan dua orang
tua itu, diam-diam Pek-liong merasa kagum, akan tetapi juga khawatir. “Saya
harap ji-wi locianpwe (kedua orang tua perkasa) suka berhati-hati. Menurut
pendapat saya, lima orang dalam perahu dan si penunggang kuda bukan kebetulan
saja lewat di sini. Cara mereka memandang ke arah kita sungguh tidak
sewajarnya. Saya juga mempunyai perasaan bahwa ada kekuatan besar tersembunyi
di balik semua peristiwa itu dan mungkin saja mereka yang disebut Po-yang
Sam-liong itu hanyalah anak buah belaka.”
“Hemm, bagaimana taihiap bisa
memperoleh pendapat seperti itu?” tanya Yong Hwesio.
“Seperti yang locianpwe
ceritakan tadi, Loan Khi Hwesio diculik dan tidak nampak kembali„ demikian pula
Bi Hwa diculik oleh Po-yang Sam-liong dan tidak pernah kembali, sedangkan orang
she Thio itu dibunuh di atas perahunya. Andaikata yang mengejar peta itu empat
orang penyerbu kuil atau juga Po-yang Sam-liong, tentu mereka tidak akan
menculik orang. Kalau mereka menculik, itu hanya berarti bahwa mereka tidak
dapat mengambil keputusan sendiri dan membawa para korban ttu kepada atasan
mereka!”
“Siancai......! Ada benarnya
juga keterangan Tan Taihiap ini!” kata Tiong Tosu.
“Ini hanya perkiraan saya
saja, belum tentu benar. Betapapun juga, saya hanya mengharap agar ji-wi suka berhati-hati.”
“Bagaimana dengan engkau
sendiri, Taihiap? Bagaimana kalau engkau suka pula bergabung dengan kami dan
melakukan penyelidikan bersama?”
Pek-liong memang sudah
tertarik sekali. Akan tetapi dia tidak pernah bekerja sama dengan orang lain,
kecuali tentu saja dengan Hek-liong-li.
“Terima kasih, saya kira ji-wi
berdua sudah lebih dari cukup untuk membongkar rahasia itu. Saya...... ah,
mungkin saya akan memperpanjang tinggal saya di daerah ini. Telaga ini memang
menarik sekali, banyak rahasianya,” katanya.
Tiba-tiba ketiganya
berloncatan bangun dari tempat duduk di atas batu dan rumput. Sambil melompat
mereka sudah mengelak dan ternyata ada tiga batang piauw, yaitu senjata rahasia
runcing menyambar ke arah mereka. Untung bahwa mereka bertiga adalah ahli-ahli
silat yang sudah lihai, maka dengan mudah mereka mampu menghindari dari
serangan gelap itu.
Pek-liong sudah berkelebat ke
kiri untuk menangkap orang yang telah menyerang mereka. Tiga batang piauw itu
tadi menyambar dari kiri, dari balik sebatang pohon besar. Akan tetapi, dia
hanya melibat berkelebatnya bayangan putih disusul derap kaki kuda yang lari
menjauh. Dia kagum bukan main.
Si penunggang kuda baju putih
itu ternyata mampu bergerak luar biasa cepatnya. Mengejar di dalam hutan itu
tidak ada gunanya, apa lagi di malam hari. Dia tidak mengenal daerah itu. Maka
diapun kembali dan menghampiri dua orang pendeta yang masih berdiri di situ.
“Dia adalah si penunggang kuda
tadi. Dapat berlari cepat dan melarikan diri dengan kudanya,” kata Pek-liong.
“Nah, sekarang terbukti kekhawatiranku tadi. Harap ji-wi berhati-hati sekali.
Baru si penunggang kuda putih itu tadi saja sudah lihai bukan main! Pertama,
dia mampu melepaskan tiga batang piauw sekaligus ke arah kita dan lemparannya
tadi cukup bertenaga. Lihat, ini yang sebatang menancap di sini!”
Dia mencabut sebatang piauw
yang menancap hampir masuk semua ke dalam sebatang pohon. Piauw itu tercabut
dan di bawah sinar bulan, Pek-eng mengamati. “Ahh, piauw ini bukan saja
dilempar dengan kecepatan tinggi tanda bahwa pelemparnya bertenaga besar, akan
tetapi juga ujungnya mengandung racun berbahaya dan mematikan. Serangan tadi
dimaksudkan untuk membunuh kita! Dan kedua, orang itu memiliki gin-kang yang
amat tinggi sehingga ketika saya tadi mengejar, dia sudah lari jauh.”
Dua orang pendeta itu saling
pandang lalu mengangguk-angguk, kemudian mereka berpamit. “Terima kasih atas
peringatan Taihiap. Setelah terjadi serangan tadi, kami berpikir untuk memulai
dengan penyelidikan kami sekarang juga!” kata Yong Hwesio.
“Benar sekali, Taihiap. Kami
akan pergi ke bandar dan di sana mencari keterangan tentang Po-yang Sam-liong,
di mana mereka tinggal dan sebagainya.”
Pek-eng membalas penghormatan
mereka. “Selamat jalan dan selamat bekerja, ji-wi lo¬cianpwe. Akan tetapi
sekali lagi, harap ji-wi berhati-hati.”
Dua orang pendeta itu membawa
buntalan mereka dan meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Pek-eng yang
diam-diam mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua. Akan tetapi, tentu saja
tidak mungkin dia harus menjaga keselamatan semua orang, apa lagi dua orang
pendeta itu bukan orang sembarangan dan sudah memiliki tingkat kepandaian yang
tinggi.
Hal ini sudah dibuktikan
melihat cara mereka tadi menghindarkan diri dari sambaran piauw, demikian
cekatan dan mudah sekali. Tidak sembarang penjahat saja akan mampu mengalahkan
mereka, apa lagi kalau mereka maju bersama.
◄Y►
Pagi itu indah sekali. Sinar
matahari sudah membakar langit di timur, mula-mula sinarnya kemerahan, makin
lama semakin pucat dan akhirnya putih seperti perak dan menyilaukan mata.
Tadinya cahaya kemerahan ikut membakar permukaan telaga yang tenang, kemudian
permukaan itupun menjadi putih menyilaukan dan setelah matahari muncul di ufuk
timur, bayangan matahari kemerahan terpantul di situ. Karena air demikian diam,
matahari itu seperti sebutir bola kemerahan besar yang tenggelam ke dasar
telaga.
Makin terang, makin
terbentuklah suatu garis putih kemilau di permukaan air. Bukit-bukit di
sekeliling telaga muncul dari kegelapan, pohon-pohon nampak segar menghijau,
bagaikan puteri-puteri yang baru saja mandi. Butir-butir embun di ujung daun
bagaikan mutiara berkilauan di ujung telinga puteri jelita.
Burung-burung sudah sibuk
sekali. Mahluk yang paling sibuk ini menyambut datangnya hari dengan kicau yang
hiruk pikuk, bagaikan sekelompok wanita genit yang siap-siap pergi ke pasar.
Sambil berkicau mereka beterbangan dan berloncatan dari dahan ke dahan,
seolah-olah hendak meninggalkan pesan yang cerewet sebelum berangkat bekerja.
Akhirnya, berkelompok-kelompok mereka itu berangkat bekerja! Mencari makan!
Pek-liong-eng Tan Cin Hay
menikmati keindahan alam ini. Pagi-pagi sekali dia sudah terbangun dari
tidurnya yang nyenyak di tepi telaga, lalu menuju ke tengah telaga dengan
perahu kecilnya, mendayung seenaknya dan setelah tiba di tengah telaga, dia
membiarkan perahunya bergerak sendiri menurut aliran air yang lemah. Angin
bersilir lembut sehingga permukaan telaga tidak terlalu terpengaruh.
Tiba-tiba Pek-liong-eng sadar
dari lamunannya. Lorong perak yang dibuat matahari di permukaan telaga itu
terguncang dan terputus. Sebuah perahu meluncur dengan cepatnya. Dia mengangkat
muka memandang dan diapun terpesona. Pandang matanya bertemu dengan wajah yang
amat manis, bentuk tubuh yang amat menggairahkan, dari seorang gadis yang
usianya paling banyak sembilanbelas tahun!
Gadis itu mengenakan baju luar
semacam mantel atau jubah yang lebar, diselimutkan menutupi tubuhnya. Namun
karena di bagian pinggangnya diikat dengan tali sutera, maka masih nampak
bentuk tubuhnya yang menggairahkan. Rambutnya digelung ke atas dan diikat
kuat-kuat, wajahnya tanpa bedak dan gincu, nampak segar dan wajar. Ia berdiri
di tengah perahu sambil bertolak pinggang, tak bergerak bagaikan sebuah patung
yang indah.
Jelas bahwa gadis ini sudah
biasa berperahu, karena cara ia berdiri tegak dan dapat mengimbangi gerakan
perahu itu saja sudah membuktikan bahwa ia pandai menguasai diri di atas
perahu. Perahu itu didayung oleh seorang pemuda yang usianya duapuluh dua tahun
kurang lebih, seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan pula.
Dan pemuda itu dapat dikata
telanjang, karena hanya sebuah celana pendek seperti cawat saja yang menutupi
tubuhnya. Nampak betapa otot-otot tubuhnya yang kekar itu menonjol ketika dia
mendayung perahu, dan kulitnya yang agak kecoklatan itu menunjukkan bahwa dia
banyak membiarkan kulit tubuhnya ditimpa sinar matahari. Tubuh yang amat sehat,
penuh dengan gairah hidup, segar dan kokoh kuat.
“Hemm, pasangan yang serasi
sekali,” pikir Pek-liong sambil mengelus dagunya mengikuti perahu itu dengan
pandang matanya. Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, akan tetapi kedua
tangannya seperti otomatis menggerakkan dayungnya dan perlahan-lahan diapun
mengikuti perahu yang meluncur cepat ke arah utara itu.
Dia melihat perahu di depan
itu berhenti tak jauh dari pantai di ujung utara yang amat sunyi. Memang telaga
itu amat sunyi pagi itu. Masih terlalu pagi bagi para pelancong, dan terlalu
siang bagi nelayan penangkap ikan. Hanya jauh di bandar terdapat banyak perahu
yang belum dijalankan, akan tetapi bandar yang berada di ujung selatan itu
terlalu jauh sehingga tidak nampak dari situ.
Perahu di depan itu membuang
jangkar. Hal ini saja menunjukkan bahwa perahu itu akan lama berhenti di situ.
Apakah mereka hendak mengail ikan? Ataukah...... dua orang muda yang sedang
berpacaran dan mencari tempat sunyi?
Berpikir demikian, berdebar
rasa jantung Pek-liong dan mukanya berubah merah. Ih, celanya kepada diri
sendiri, mengapa engkau mendadak menjadi iri hati? Tak tahu malu! Dia lalu memutar
perahunya, karena dia tidak ingin mengganggu orang yang hendak berpacaran.
Bagaimanapun juga, tak dapat dia menahan diri untuk tidak melirik ke arah
perahu mereka.
Wah! Dia terbelalak dan
mulutnya ternganga. Gadis itu telah menanggalkan jubahnya dan apa yang dia
lihat?
Sesosok tubuh yang bukan main
indahnya, yang dari jauh nampak seperti bertelanjang saja. Akan tetapi tidak,
gadis itu tidak telanjang, melainkan mengenakan pakaian yang amat ketat,
pakaian berwarna hitam yang menutupi dari leher sampai ke kaki, akan tetapi
pakaian itu demikian tipis dan ketat sehingga semua bentuk tubuhnya tidak ada
yang tersembunyi!
Melihat keanehan ini,
Pek-liong tidak jadi pergi, melainkan mendayung perahunya di sekitar tempat itu
saja. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, dia tadi sudah mengeluarkan alat
pancingnya sehingga seolah-olah dia sedang mencari tempat yang enak untuk
memancing ikan.
Andaikata gadis itu tadi
benar-benar telanjang, tentu dia akan melarikan diri secepat mungkin, tidak
sudi mengintai orang berpacaran. Akan tetapi karena gadis itu sama sekali tidak
telanjang, melainkan menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian yang amat ketat,
timbul keheranannya dan dia ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan dua orang
muda di tempat sunyi itu.
Untung dia membawa sebuah
caping untuk menahan panas di atas perahu yang tidak terlindung itu. Dia
mengenakan caping itu dan dengan mudah dia mengintai ke arah perahu di depan
itu dari bawah capingnya sambil berpura-pura memancing ikan.
Pemuda dan gadis itu tentu melihatnya
pula, akan tetapi agaknya mereka tidak perduli sama sekali. Kemudian, gadis itu
bangkit berdiri, berdiri di kepala perahu. Ia mengeluarkan sebuah pisau belati
yang tajam mengkilat, dan Pek-liong melihat betapa pinggang yang ramping itu
diikat ujung segulung tali hitam yang kuat.
Gadis itu kini menggigit
pisaunya dan iapun terjun ke dalam air. Cara ia terjun saja menunjukkan bahwa
ia memang ahli renang. Terjunnya seperti seekor katak saja dan tidak banyak air
yang muncrat ketika ia terjun, juga tidak mengeluarkan bunyi nyaring
seolah-olah sebatang tombak dilemparkan ke air. Dan pemuda itu duduk di perahu
sambil memegangi gulungan tali, mengulur tali itu perlahan-lahan.
Ah, kini mengertilah
Pek-liong. Kiranya gadis itu adalah seorang penyelam! Pinggangnya diikat tali
yang ujungnya berada di perahu, dan membawa sebatang pisau tajam! Akan tetapi
penyelam apakah? Apakah yang diselaminya dan dicarinya? Dia semakin tertarik
karena selama hidupnya belum pernah dia melihat penyelam bekerja.
Lama benar gadis itu menyelam
sehingga diam-diam Pek-liong menjadi khawatir juga. Bagaimana mungkin orang
menahan napas di dalam air sampai demikian lamanya? Dia sendiri, dengan
sin-kang dan khi-kangnya, akan mampu menahan napas sampai selama itu, akan
tetapi di udara terbuka, bukan di dalam air yang amat dalam dan dingin! Akan
tetapi, tiba-tiba pemuda itu menarik tali perlahan-lahan dan tak lama kemudian,
sebelum tali itu habis ditarik, kepala gadis itu telah tersembul di permukaan
air.
Ia membuka mulut seperti
seekor ikan, mengambil pernapasan, baru ia naik ke perahu dibantu oleh pemuda
itu. Ternyata gadis itu kini membawa sebuah kantung yang tadi agaknya dilipat
dan diselipkan pinggangnya, dan pisau itupun kini terselip di pinggang.
Ketika gadis itu berdiri di
perahu, kembali Pek-liong terpesona. Kini pakaian yang ketat dan tipis itu
basah lagi! Makin jelaslah bentuk tubuh yang amat indah itu tercetak! Kedua
orang itu kini sibuk berjongkok di atas perahu dan membuka kantung.
Ternyata terisi batu-batuan!
Dan mereka memilih dan memeriksa batu-batuan itu. Akhirnya, mereka menarik
napas kecewa dan batu-batuan itu, setelah diteliti, satu demi satu dilempar
keluar perahu.
Pek-liong tadinya merasa
heran. Akan tetapi lalu dia teringat. Bukankah banyak orang menyukai batu-batu
yang indah dan bahkan ada batu-batu indah, setelah digosok, berharga mahal?
Tentu mereka itu penyelam batu-batu indah yang mereka dapatkan di dasar telaga!
Kini pemuda itu yang menyelam,
si gadis manis menjaga di atas perahu. Pek-liong sudah tidak ragu-ragu lagi.
Mereka penyelam batu-batu indah. Dan agaknya tidak mudah bagi mereka karena
setelah beberapa kali menyelam, mereka agaknya baru memilih beberapa buah batu
yang belum digosok. Sebagian besar dilempar kembali ke dalam telaga.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay
mulai merasa jemu karena kini tidak ada lagi yang perlu diselidiki. Memang,
gadis itu merupakan pemandangan yang amat menarik dan menyenangkan, akan tetapi
gadis itu sama sekali tidak memperdulikannya dan juga lebih sering berada di
dalam air. Kalau timbul di atas, lalu asyik meneliti batu-batuan di atas
perahu. Dia mulai menggulung tali pancingnya dan mengambil keputusan untuk
pergi saja ke bandar karena matahari mulai menyengat kulit.
Akan tetapi tiba-tiba
perhatiannya tertarik kepada sebuah perahu agak besar yang datang dengan
kecepatan tinggi. Lima orang laki-laki tinggi besar berada di dalam perahu itu
dan jantung dalam dada Pek-liong berdebar tegang. Dia mengenal lima orang
laki-laki tinggi besar itu! Bukankah mereka yang semalam lewat dekat pantai dan
memandang ke arah dia dan dua orang pendeta dengan penuh perhatian?
Kembali perhatian Pek-liong
dibangkitkan dan kini melihat lima orang itu mendayung perahu mereka menuju ke
arah perahu dua orang penyelam itu. Dia menjadi semakin tertarik. Kiranya lima
orang itu bukan sedang mencarinya, melainkan langsung saja menghampiri pemuda
dan gadis itu. Dia segera menyembunyikan mukanya di balik capingnya dan
mengintai.
Gadis itu kini sedang mendapat
giliran menyelam. Baru saja ia meloncat ke dalam air ketika lima orang itu
dengan perahu besar mereka menghampiri dan ketika pemuda yang hanya mengenakan
celana dalam itu melihat mereka, dia nampak terbelalak dan kaget. Pek-liong
melihat betapa lima orang itu menghentikan perahu mereka dan mengait perahu
kecil itu dengan kaitan besi yang bergagang panjang.
“Hayo bawa ke sini semua hasil
selamanmu untuk kami pilih yang baik untuk dipersembahkan kepada Beng-cu!”
terdengar seorang di antara lima laki-laki tinggi besar itu menghardik.
Pemuda itu mengerutkan alisnya.
Agaknya dia bukan seorang penakut, walaupun wajahnya membayangkan kegelisahan
karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang jahat.
“Kami baru saja menyelam dan
baru mendapatkan sedikit batu-batu yang belum tentu berharga karena belum jelas
benar sebelum digosok. Mengapa kalian mengganggu kami yang mencari nafkah
dengan susah payah?” terdengar pemuda itu membantah dengan suara lantang.
Sikap pemuda ini saja sudah
mendatangkan perasaan suka di hati Pek-liong. Namun dia juga mengkhawatirkan keselamatannya,
mengingat bahwa lima orang itu kelihatan begitu bengis dan jahat.
“Apa? Kalian berani membantah?
Kami diutus oleh Po-yang Sam-liong!” bentak seorang di antara mereka yang
hidungnya besar, seolah-olah baru saja hidung itu disengat lebah.
Mendengar disebutnya nama ini,
wajah pemuda itu berubah pucat, “Akan tetapi...... biasanya mereka tidak pernah
mengganggu kami kakak beradik mencari batu-batu di dasar telaga!” bantahnya dan
entah mengapa, hati Pek-liong merasa lebih suka kepada pemuda itu setelah
mendengar bahwa pemuda itu dan gadis tadi adalah kakak beradik, bukan pacar!
Kini perahunya sudah mendekat tanpa diketahui mereka yang sedang ribut mulut.
“Sudahlah jangan banyak
cerewet! Serahkan hasil selamanmu kepada kami, setelah kami pilih yang terbaik
untuk Beng-cu, sisanya kami kembalikan padamu!” bentak pula si hidung besar.
Ketika pemuda itu nampak
ragu-ragu, si hidung besar memberi aba-aba kepada dua orang temannya, “Tangkap
dia dan bawa ke sini bersama hasil selamannya!”
Perahu kecil itu sudah terkait
merapat pada perahu besar dan kini dua orang tinggi besar meloncat ke perahu
kecil, tangan mereka memegang sebatang golok besar. Melihat ini, pemuda itu
menjadi semakin gelisah. Terpaksa dia menyerahkan buntalan kecil berisi
batu-batu yang sudah dia pilih bersama adiknya tadi. Seorang di antara mereka
yang meloncat ke perahunya, menyambar buntalan itu.
“Wah hanya sedikit dan
batu-batu ini seperti tidak ada harganya!” katanya.
Si hidung besar menghardik.
“Kalau begitu tendang saja dia ke dalam air, biarkan dia menyelam lagi agar
mendapatkan lebih banyak. Kita tunggu di situ!”
Seorang penjahat menendang,
akan tetapi pemuda itu sudah menghindarkan tendangan dengan meloncat ke dalam
air! Pada saat itu, adiknya, gadis manis tadi muncul di permukaan air,
mengambil pernapasan dan tanpa menyangka sesuatu, ia memegangi tepi perahu
kecil untuk naik. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia sudah dapat melihat
dengan jelas.
Yang menarik tangannya ke atas
bukanlah kakaknya, melainkan dua orang laki-laki tinggi besar yang sudah berada
di perahunya, sedangkan kakaknya entah berada di mana! Dan sebuah perahu besar
merapat dengan perahunya, tiga orang laki-laki tinggi besar lainnya berada di
perahu besar itu. Kini, lima pasang mata itu terbelalak seperti hendak menelan
bulat-bulat gadis yang berpakaian ketat basah itu.
“Ha-ha-ha, ikan ini sungguh
mulus dan segar!” kata laki-laki yang masih memegang lengan gadis itu.
“Bawa ia naik ke sini!” kata
si hidung besar, air liurnya membasahi mulut.
Gadis itu meronta, akan tetapi
orang yang memegang lengannya amat kuat sehingga lengannya tidak dapat
terlepas. Akan tetapi tiba-tiba kakinya bergerak menendang.
“Bukk!” Perut gendut itu
terkena tendangan, cengkeramannya melonggar akan tetapi sebelum gadis itu mampu
meronta melepaskan diri, orang kedua sudah merangkul dan memeluknya dari
belakang. Dua lengan besar panjang yang kuat itu memeluk dan gadis itu tidak
mampu bergerak lagi.
“Lepaskan aku! Ah, lepaskan
aku!” bentaknya, meronta-ronta dengan sia-sia.
Laki.laki yang merangkulnya
dari belakang itu terbahak senang karena makin keras gadis itu meronta, makin
terasa kehangatan dan kelunakan tubuh yang kenyal itu.
Perahu kecil itu bergerak
sedikit ketika bayangan putih berkelebat dan Pek-liong sudah berada di situ.
“Lepaskan gadis itu!”
bentaknya, tangannya menampar pundak laki-laki yang merangkul gadis itu.
“Plakk! Aughhh......!”
Laki-laki itu berteriak kesakitan dan rangkulannya terlepas.
Pek-liong menendang dan tubuh
orang itupun terlempar keluar dari perahunya, menimpa air telaga. Orang tinggi
besar kedua, melihat temannya terlempar ke air, menjadi marah. Dia memang sudah
marah karena perutnya ditendang gadis itu. Kini kemarahannya memuncak melihat
munculnya seorang laki-laki muda berpakaian putih. Dia menggerakkan goloknya
menyerang sambil memaki.
“Jahanam cilik, berani engkau
mencampuri urusan kami?” Goloknya menyambar dari kanan ke kiri, akan tetapi
hanya mengenai tempat kosong saja dan tiba-tiba tubuhnya juga terlempar oleh
tendangan Pek-liong.
“Byurrr......!” untuk kedua
kalinya air muncrat tinggi ketika tubuh yang tinggi besar itu menimpa air.
Gadis itu lalu meloncat pula,
terjun dan berenang ke arah orang tinggi besar yang agaknya hendak
menyelamatkan diri berenang ke arah perahunya. Ia tadi melihat bahwa orang
tinggi besar pertama telah disambar oleh kakaknya yang ternyata sudah berada di
dalam air dan yang itu diseret oleh kakaknya, dibawa menyelam!
Iapun kini berenang dengan
kecepatan seperti ikan, memutari tubuh penjahat kedua dan berhasil menangkap
rambutnya, lalu iapun menyelam! Orang itu terbelalak, gelagapan dan berusaha
untuk meronta, namun dia kalah biasa dan kepalanya berulang kali masuk ke dalam
air dan mulut dan hidungnya kemasukan air yang mengalir ke dalam perut.
Sementara itu, Pek-liong sudah
meloncat ke atas perahu besar. Tiga orang penjahat itu menghadapinya dengan
golok di tangan.
“Kau....?” bentak si hidung
besar yang agaknya mengenal Pek-liong yang semalam telah dilihatnya di daratan
bersama dua orang pendeta “Siapa kau berani ntencampuri urusan kami?
“Kenapa tidak berani? Kalian
orang-orang jahat, terjunlah ke air!” kata Pek-liong dan ketika tiga orang itu
menggerakkan golok mereka, diapun menyambut dengan tendangan dan tamparan yang
amat cepat sehingga sebelum tiga orang itu tahu apa yang telah terjadi, tubuh
mereka sudah terlempar dari atas perahu besar dan terbanting ke air telaga!
Dan di situ sudah menunggu dua
orang kakak beradik yang menyambutnya dengan cengkeraman dan tariknya sehingga
mereka dibawa menyelam! Tiga orang ini, seperti yang dua tadi, meronta-ronta,
namun karena mereka itu kalah jauh dalam hal ilmu bermain di dalam air,
ketiganya sudah tidak berdaya dan sebentar saja perut mereka sudah membengkak
penuh air dan merekapun sudah pingsan!
Melihat betapa dua orang
pertama sudah pingsan, dan yang tiga orang lagi dibenam-benamkan ke air dan
juga sudah tidak mampu melawan, Pek-liong khawatir kalau-kalau mereka itu
tewas. Maka diapun cepat meloncat ke dalam perahu kecilnya sendiri, mendayung
perahu dan menyambar pundak dua orang penjahat yang sudah pingsan, lalu
melontarkan tubuh mereka ke atas perahu.
“Heiii, saudara-saudara yang
baik, jangan bunuh mereka! Jangan bunuh mereka, kata- ku!” dia berteriak kepada
kakak beradik yang masih membenam-benamkan kepala tiga orang itu dengan gemas.
Kakak beradik itu mengangkat
muka, memandang kepada Pek-liong. Mereka tahu bah-wa pemuda berpakaian putih
itu lihai bukan main, pemuda itulah yang telah melempar-lemparkan lima orang
jahat itu ke dalam air. Biarpun wajah mereka masih membayangkan perasaan marah,
mereka mentaati permintaan Pek-liong dan sambil menjambak rambut tiga orang
penjahat yang sudah pingsan itu, mereka menyeret tiga orang penjahat itu ke
dekat perahu Pek-liong.
Pendekar ini kembali
mencengkeram pundak mereka satu demi satu dan melempar-lemparkan mereka ke atas
perahu besar. Melihat ini, dua orang kakak beradik itu terbelalak kagum.
Dibutuhkan tenaga yang luar biasa besarnya untuk melempar-lemparkan tubuh para
penjahat yang tinggi besar seperti itu, dan pemuda pakaian putih itu
melemparkan mereka seolah-olah melemparkan bangkai ayam saja!
Keduanya kini naik ke perahu
mereka. Kembali Pek-liong terpesona. Melihat gadis itu dari dekat, melihat
betapa tubuh yang indah itu, nampak lembut namun kuat, naik ke perahu dan sinar
matahari membuat lekuk lengkung tubuh itu semakin jelas, dia terpesona. Namun
dia cepat menundukkan muka karena tidak mau memandangi tubuh orang seperti
orang kelaparan. Gadis itupun cepat mengenakan baju luarnya dan menutupi
pakaian ketat tipis yang basah itu.
“Biarkan saja mereka di perahu
mereka. Nanti tentu ada orang-orang melihat dan menolong mereka. Dan mari kita
cepat menyingkir dari tempat ini, jangan sampai teman-teman mereka datang dan
mengganggu kita,” kata pula Pek-liong sambil mendayung perahunya.
Kakak beradik itu mengangguk
dan merekapun mendayung perahu mereka mengikuti Pek-liong yang membawa
perahunya mendarat di pantai yang sunyi, di ujung utara.
Setelah mereka berloncatan ke
daratan dan menarik perahu ke tepi, kakak beradik itu lalu memberi hormat
kepada Pek-liong dan si kakak mengucapkan terima kasih. “Tai-hiap telah
menyelamatkan kami dari gangguan mereka. Terima kasih atas budi pertolongan
tai-hiap.”
Pek-liong tersenyum dan
membalas penghormatan mereka, “Sudahlah, tidak perlu hal itu dibicarakan lagi.
Aku hanya merasa heran mengapa kalian tadi agaknya berusaha keras untuk
membunuh mereka!” Memang di dalam hatinya, Pek-liong merasa penasaran mengapa
kakak beradik yang pandai dengan ilmu bermain di air itu tadi bermaksud membunuh
para penjahat itu.
Kakak beradik itu saling
pandang dan si kakak kembali mewakili mereka menjawab, “Tai-hiap, kami bukanlah
pembunuh-pembunuh kejam, bahkan selama hidup kami belum pernah kami membunuh
orang. Akan tetapi, lima orang penjahat itu...... kalau mereka tidak dibunuh,
tentu mereka akan mendedam dan melapor kepada Po-yang Sam-liong dan kami......
kami tentu akan dicari dan akhirnya kamilah yang akan mereka bunuh! Itulah
sebabnya mengapa tadi kami berusaha membunuh mereka, tai-hiap.”
Lega rasa hati Pek-liong dan
pandang matanya tidak penasaran lagi. Bahkan dia kini tersenyum dan pada saat
dia tersenyum, pandang matanya bertemu dengan pandang mata gadis itu. Alangkah
manisnya! Dan gadis itupun agaknya terkejut ketika pandang matanya bertaut
dengan sinar mata pemuda yang gagah perkasa dan tampan itu, dan dengan tersipu
ia menundukkan mukanya.
“Ah, kalau begitu kalian tidak
merupakan orang-orang yang kejam. Aku melarang kalian membunuh mereka. Pertama
karena tidak baik membunuh orang, apa lagi orang-orang yang sudah tidak berdaya
seperti mereka tadi. Kedua, karena aku memang ingin menyelidiki mereka yang
berjuluk Po-yang Sam-liong itu. Kalian jangan khawatir, tentu lima orang itu
akan melaporkan bahwa mereka itu roboh oleh aku, bukan oleh kalian berdua.
Siapakah kalian berdua dan mengapa pula lima orang penjahat itu mengganggu
kalian? Apakah benar mereka itu pun pembantu Po-yang Sam-liong dan si apakah
mereka? Siapa pula yang mereka sebut Beng-cu tadi?”
“Ting-ko, kau berilah
keterangan kepada tai-hiap, aku akan mengganti pakaianku yang basah,” kata
gadis itu kepada kakaknya yang mengangguk.
Gadis itu lalu membawa
buntalan pakaian dan pergi mencari tempat yang dapat melindungi dan
menyembunyikan dirinya untuk berganti pakaian karena pakaian ketat yang basah
di balik mantel itu sungguh tidak enak. Kakaknya lalu memperkenalkan diri
mereka berdua.
“Kami adalah kakak beradik
yang sudah yatim piatu. Namaku Kam Sun Ting dan adikku itu bernama Kam Cian Li.
Kami tinggal di sebuah dusun luar kota Nan-cang dan pekerjaan kami adalah
mencari batu-batu indah di dasar telaga, melanjutkan pekerjaan mendiang ayah
kami dan kami mempelajari ilmu menyelam dari mendiang ayah kami. Hasil kami
tidak terlalu banyak, namun cukup untuk biaya hidup kami berdua dengan pantas.
Kamipun tidak pernah berurusan dengan Po-yang Sam-liong walaupun kami pernah
mendengar nama mereka yang tersohor, sampai dengan pagi hari ini kami secara
langsung mendapat gangguan dari lima orang yang mengaku sebagai utusan mereka.
Untung ada tai-hiap yang dapat menyelamatkan kami.”
Pada saat itu, gadis yang
bernama Kam Cian Li itu muncul dan kembali Pek-liong-eng Tan Cin Hay harus
mengakui bahwa gadis itu memang manis sekali, manis dan segar, tanpa riasan
menyolok dan dengan pakaian yang sederhana saja namun bersih.
Melihat adiknya sudah berganti
pakaian, Kam Sun Ting lalu berpamit kepada Pek-liong untuk berganti pakaian
pula. Diapun menghilang ke balik semak belukar dan kini gadis itu yang berdiri
berhadapan dengan Pek-liong dan gadis itu kelihatan malu-malu.
Ketika ia mengangkat muka dan
bertemu pandang dengan pemuda berpakaian putih itu, mukanya kembali merah dan
warna merah itu menjalar sampai ke leher dan telinganya, ia tersenyum simpul
dan menunduk kembali. Gerakan kewanitaan yang sederhana ini menggerakkan hati
Pek-liong dan diapun tersenyum, hatinya penuh gairah.
“Nona Cian Li, engkau
duduklah,” katanya mempersilakan melihat gadis itu berdiri saja dengan sungkan
dan malu.
Cian Li memandang dan
senyumnya melebar, memperlihatkan kilatan deretan gigi yang putih. “Terima
kasih tai-hiap,” katanya lirih dan iapun memilih tempat duduk di atas sebuah
batu datar yang bersih, empat-lima meter di depan Pek-liong.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay
sendiri sebenarnya seorang pria yang tidak pandai banyak bicara, apa lagi kalau
berhadapan dengan seorang wanita. Akan tetapi melihat sikap Cian Li, dia merasa
kasihan dan dia maklum bahwa kalau tidak diperlihatkan sikap ramah, tentu gadis
itu akan merasa semakin salah tingkah dan canggung.
“Nona, engkau dan kakakmu Kam
Sun Ting memiliki ilmu kepandaian renang dan menyelam yang mengagumkan sekali.
Apakah kalian juga pernah mempelajari ilmu silat?”
Benar saja. Setelah Pek-liong
bersikap ramah, gadis itu lebih terbuka dan berani menentang pandang matanya
tanpa canggung lagi.
“Ah, kami berdua hanya
menerima pendidikan dari mendiang ayah kami, tai-hiap. Karena mata pencaharian
kami adalah menyelam ke dalam telaga mencari batu indah, maka kami lebih banyak
diajari ilmu renang dan menyelam dan menahan napas di dalam air, dan hanya
sedikit saja ilmu silat, sekedar untuk membela diri.”
“Akan tetapi, kalau berada di
air, engkau merupakan seorang yang tangguh sekali, nona. Penjahat yang kuat itu
sama sekali tidak berdaya, bagaikan anak kecil saja kaubenam-benamkan ke dalam
air. Engkau sungguh hebat, dan aku sendiri tidak akan berani melawanmu kalau di
dalam air.”
Gadis itu tersenyum cerah dan
menutupi mulutnya. “Tai-hiap terlampau merendahkan diri. Melawan tai-hiap, satu
juruspun aku tidak akan mampu bertahan!”
Pada saat itu, Kam Sun Ting
keluar dari balik semak-semak, sudah mengenakan pakaian kering, dan seperti
adiknya, dia berpakaian sederhana walaupun hal itu tidak mengurangi ketampanan
dan kegagahannya. Kam Sun Ting adalah seorang pemuda yang ganteng. Kulitnya
yang agak kecoklatan karena banyak terbakar matahari itu bahkan membuat dia
semakin menarik.
“Li-moi, apakah engkau sudah
mengetahui nama penolong kita?” begitu keluar, pemuda itu bertanya kepada
adiknya. Yang ditanya menggeleng kepala sambil memandang kepada Pek-liong.
“Aih, benar. Aku belum
memperkenalkan diri. Namaku Tan Cin Hay, dan aku tinggal di dusun dekat
Hang-kouw, dekat Telaga See-ouw.”
“Ah, Telaga See-ouw?” seru Kam
Cian Li kagum. “Kami sudah sering mendengar tentang telaga itu, katanya jauh
lebih indah dari pada Telaga Po-yang ini, dan bahkan mungkin sekali di sana
terdapat batu-batu yang indah dan mahal.”
Pek-liong-eng Tan Cin Hay
mengangguk dan memandang gadis itu dengan sinar mata ramah sekali. “Kenapa
tidak sekali-kali kalian berdua ke sana dan mengadu untung? Siapa tahu di sana
kalian sekali menyelam akan menemukan harta terpendam!”
Tiba-tiba mereka tersentak
kaget mendengar suara teriakan yang memanjang dan menyeramkan. Kakak beradik
itu semakin terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat bayangan putih berkelebat
ke arah dalam hutan dari mana jeritan itu tadi terdengar dan pemuda berpakaian
putih di depan mereka, yang tadi duduk di atas batu, kini telah lenyap!
Mereka saling pandang, dengan
mata terbelalak dan penuh kagum. Pemuda berpakaian putih itu seperti setan saja
yang pandai menghilang begitu saja dari depan mereka! Akan tetapi, mereka tadi
sudah berkenalan dengan Pek-liong dan mereka tahu bahwa pemuda itu bukan setan,
dan mereka semakin yakin bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang sakti!
“Ting-koko, mari kita susul
dia......” kata Cian Li dan iapun sudah cepat lari menuju ke arah suara tadi.
Andaikata tidak ada
Pek-liong-eng yang tadi lari ke arah suara teriakan, tentu gadis itu tidak akan
mengajak kakaknya menyusul. Ternyata gadis yang sampai berusia sembilanbelas
tahun tidak pernah tertarik kepada pria ini, begitu bertemu dengan Pek-liong
seketika telah jatuh cinta! Ia merasa kagum dan tertarik sekali, bukan hanya
oleh ketampanan dan kegagahan Tan Cin Hay, melainkan terutama sekali oleh kesaktiannya
dan sikapnya yang ramah.
Sementara itu, dengan
mempergunakan ilmunya berlari cepat, Pek-liong Si Naga Putih telah tiba di
tengah hutan. Teriakan tadi memberitahu kepadanya bahwa tentu terjadi hal yang
hebat, setidaknya tentu pembunuhan atau siksaan yang mengerikan. Dan tiba-tiba
dia menghentikan larinya, berdiri dan memandang dengan mata terbelalak.
Di depannya, di atas rumput,
dia melihat dua sosok tubuh menggeletak mandi darah dan dapat dibayangkan
betapa kaget rasa hatinya ketika dia mengenal bahwa mereka itu bukan lain
adalah Tiong Tosu dan Yong Hwesio! Dua orang pendeta itu baru semalam bersama
dia makan bersama dan mengobrol di tepi pantai telaga, dan kini mereka telah
menggeletak mandi darah. Tidak salah lagi, tentu mereka atau seorang di antara
mereka yang tadi mengeluarkan teriakan melengking itu.
Dia cepat berlutut dekat tubuh
Tiong Tosu yang paling dekat. Ternyata tosu itu telah tewas dengan leher hampir
putus, agaknya terbabat senjata yang amat tajam. Dia lalu menghampiri tubuh
Yong Hwesio. Pendeta ini terluka tusukan pada dadanya dan darah masih mengucur
dari situ. Dan ketika dia berlutut, hwesio itu mengeluh dan membuka matanya.
“Locianpwe, apa yang
terjadi......?” Pek-liong-eng bertanya.
“Syukur...... engkau
mendengar...... teriakan pinceng..... Po-yang Sam-liong..... anak buah
Beng-cu...... banyak orang pandai......” Hwesio itu tersengal-sengal.
“Locianpwe, siapa itu
Beng-cu?” Pek-liong-eng bertanya sambil mengguncang pundak hwesio gendut itu.
“Dia...... Siauw-bin
Ciu-kwi..... sakti banyak yang sakti...... oughhh...!”
Leher itu terkulai dan tahulah
Pek-liong-eng bahwa hwesio itupun tewas. Dia merebahkannya dan pada saat itu,
dia mendengar suara kaki berlari-lari ke arahnya. Dua orang datang berlarian.
Dia bangkit berdiri.
“Saudara Sun Ting dan nona
Cian Li, ke sini!” teriaknya memberi arah dan tak lama kemudian, mereka muncul.
Jelas nampak kelegaan membayang pada wajah manis gadis itu, akan tetapi ia dan
kakaknya terbelalak melihat dua sosok tubuh yang sudah tak bernyawa lagi dan
yang mandi darah itu.
“Mereka terbunuh oleh
teman-teman Po-yang Sam-liong,” katanya singkat.
Dia kini menjadi serius
sekali. Kiranya urusan yang dihadapinya ini menjadi semakin hebat. Perebutan
peta Patung Emas itu ternyata telah mendatangkan banyak korban nyawa. Dan yang
berdiri di belakangnya, yang disebut Beng-cu (Pemimpin) kiranya adalah seorang
sakti bernama atau berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Tertawa),
seorang di antara Kiu Lo-mo! Keadaan menjadi gawat sekali kalau begini,
pikirnya.
Dan menurut keterangan Yong
Hwesio tadi, gerombolan penjahat itu mempunyai banyak orang sakti! Hal itu
sudah terbukti dengan tewasnya tosu dan hwesio yang berilmu ini secara demikian
mengerikan. Mungkin oleh pedang yang sama, oleh seorang di antara mereka. Dan
teringatlah dia akan penunggang kuda yang membawa pedang di punggungnya itu!
“Aih, Po-yang Sam-liong
demikian jahat......” bisik Kam Cian Li, “Kami berdua yang tidak berdosapun
tadi akan mereka bunuh......” Dalam suara ini terkandung rasa ngeri dan takut.
Mengertilah Pek-liong-eng Tan
Cin Hay apa yang harus dilakukannya. Dia harus melindungi kakak beradik ini.
Dia harus membongkar rahasia peta Patung Emas itu yang agaknya dengan cara
bagaimanapun akan dicari oleh gerombolan yang dipimpin oleh Beng-cu, dan sudah
terlalu banyak jatuh korban. Kakak beradik inipun mungkin menjadi korban
berikutnya walaupun mereka tidak tahu menahu tentang Patung Emas.
Dia harus membongkar rahasia
itu, harus menentang gerombolan yang jahat itu. Dan dia tahu bahwa pihak lawan
amatlah berbahaya, selain memiliki banyak kaki tangan, juga di antara mereka
terdapat banyak orang sakti seperti yang dipesankan oleh mendiang Yong Hwesio.
“Saudara Sun Ting, bantulah
aku mengubur dua jenazah ini,” katanya.
Kam Sun Ting mengangguk, bahkan
Kam Cian Li juga cepat membantu menggali lubang. “Apakah engkau mengenal
mereka, tai-hiap?” tanya Cian Li ketika mereka menggali lubang bersama.
Pek-liong-eng mengangguk. “Aku
mengenal mereka, karena itu, aku harus mencari Po-yang Sam-liong dan anak buah
mereka.”
Tiba-tiba gadis itu melepaskan
pisau yang tadi dipergunakannya untuk menggali tanah dan tanpa disadarinya,
tangannya yang kotor berlumpur memegang tangan Pek-liong-eng yang telanjang
karena pemuda ini menggulung lengan bajunya.
“Tai-hiap....., mereka......
mereka itu jahat dan berbahaya sekali! Engkau...... akan terancam
bencana......”
Pek-liong tersenyum dan gadis
itupun menyadari bahwa tangannya telah mengotori lengan itu, maka iapun
melepaskan pegangannya dan menggali lagi dengan muka merah.
“Bukan aku yang terancam
bahaya, Cian Li, melainkan engkau. Karena itu, aku harus melindungimu
pula......” Gadis itu senang sekali disebut namanya tanpa nona.
“Terima kasih, tai-hiap......”
“Hushh, sudahlah, jangan
menyebut tai-hiap kepadaku. Kita sudah saling berkenalan, bukan? Namaku Tan Cin
Hay, tanpa tai-hiap (pendekar besar).”
“Baik, Hay-twako...... dan
terima kasih......”
Kam Sun Ting diam saja
mendengarkan percakapan mereka. Setelah mereka tidak bicara lagi, dia bertanya,
“Tai-hiap......”
“Wah, Ting-ko, kenapa menyebut
tai-hiap? Hay-ko tidak suka disebut tai-hiap walaupun dia seorang pendekar yang
hebat!” tegur adiknya yang kini mulai berani dan tidak begitu malu-malu lagi.
Mau tidak mau Kam Sun Ting
tersenyum dan diapun dapat menduga bahwa hati adiknya sudah jatuh oleh pendekar
yang tampan dan gagah ini. “Twako, siapakah mereka ini dan mengapa mereka
terbunuh?”
“AKUPUN baru bertemu dengan
mereka malam tadi. Akan tetapi terlalu panjang untuk diceritakan. Saudara Sun
Ting, kita menghadapi komplotan penjahat yang amat kejam dan juga amat lihai.
Bahkan aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa kita bertiga berada
dalam ancaman bahaya maut! Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita bekerja sama.”
“Dengan adanya engkau, aku
tidak takut ancaman bahaya, Hay-koko!” kata gadis itu sambil tersenyum manis,
seolah untuk membuktikan bahwa ia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri
mendengar ucapan pendekar itu.
“Kami akan merasa beruntung
dapat bekerja sama denganmu, toako,” kata pula Sun Ting dengan sungguh hati.
Diapun mengerti bahwa setelah
peristiwa dengan lima orang penjahat tadi, tentu keselamatan dia dan adiknya
terancam bahaya karena mereka telah berani menentang Po-yang Sam-liong! Dan
seperti juga adiknya, setelah dia menyaksikan kelihaian Pek-liong-eng, hatinya
menjadi besar dan dia siap untuk membantu pendekar itu menentang gerombolan
penjahat.
“Kalau begitu kita harus
membagi tugas,” kata Pek-liong-eng. “Ketahuilah bahwa gerombolan penjahat ini
memiliki banyak orang sakti, dan dipimpin oleh seorang di antara Kiu Lo-mo,
para datuk sesat yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Oleh karena itu,
untuk menghadapi mereka, aku harus mendapat bantuan seorang sahabat baikku dan
aku minta agar engkau yang menyampaikan suratku kepadanya untuk mengundangnya,
saudara Sun Ting.”
Sun Ting mengangguk-angguk
mengerti. “Siapakah dia dan di mana tempat tinggalnya?”
“Ia seorang pendekar wanita
perkasa, bernama Lie Kim Cu dengan julukan Hek-liong-li, bertempat tinggal di
kota Lok-yang. Rumahnya di sudut barat kota, di tepi jalan raya. Rumah itu
mudah dicari karena di depannya terdapat sebuah kolam ikan dengan arca besar
seorang puteri menunggang angsa, di tengah kolam yang penuh dengan bunga
teratai.”
“Baik, toako. Akan kucari dan
kuserahkan suratmu kepadanya,” kata Sun Ting yang diam-diam merasa heran sekali
mendengar bahwa sahabat baik pendekar itu yang hendak diajak menentang para
penjahat lihai adalah seorang wanita.
Pek-liong lalu membuat surat
singkat dan menyerahkannya kepada Sun Ting sambil berkata, “Engkau berangkatlah
sekarang juga. Biarkan nona Cian Li di sini bersamaku. Kalau pergi berdua, akan
menyolok dan menarik perhatian. Pula, aku ingin nona...... eh, adik Cian Li
bersikap biasa saja, pulang ke rumah untuk memancing mereka. Jangan khawatir,
aku akan melindunginya.”
Kakak beradik itu mengangguk,
kemudian Kam Sun Ting lalu pergi meninggalkan mereka. Setelah kakaknya pergi,
Cian Li memandang kepada pendekar itu. “Hay-ko, lalu apa yang menjadi tugasku?
Berilah aku tugas karena akupun ingin sekali membantumu.”
Pek-liong-eng tersenyum
memandang gadis itu. “Engkau pulanglah, Li-moi. Engkau bersikaplah biasa agar
tidak meacurigakan, dan bawalah hasil selamanmu tadi pulang, kemudian lakukan
pekerjaanmu sehari-hari seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi
sesuatu.”
Gadis itu mengerutkan alisnya
dan pandang matanya yang jeli itu nampak kecewa. “Akan tetapi aku aku ingin
sekali membantumu, Hay-ko!”
Pemuda itu tersenyum ramah.
“Justeru sikapmu yang wajar dan biasa itulah yang akan banyak membantu padaku.”
“Akan tetapi engkau......
engkau sendiri hendak ke mana?”
“Aku akan melakukan
penyelidikan.”
“Aku ikut......!”
“Jangan, Li-moi. Pekerjaan ini
berbahaya bukan main, dan kalau engkau pulang dan bersikap biasa, hal itu amat
menolongku, Li-moi. Engkau percayalah saja padaku!”
Biarpun hatinya diliputi
kekecewaan karena ia ingin sekali selalu berdekatan dengan pemuda itu, dan
iapun siap untuk menempuh bahaya yang bagaimana besarpun asal berada di samping
Pek-liong-eng, namun Kam Cian Li tidak berani membantah lagi.
“Baiklah, Hay-ko. Nah, aku
akan pulang sekarang......” iapun memandang tajam dan sejenak pandang matanya
melekat pada mata Pek-liong-eng, kemudian gadis itu membalikkan tubuh dan
melangkah pergi ke arah telaga. Langkahnya gontai dan Pek-liong-eng memandang
kagum. Gadis itu memang memiliki bentuk tubuh yang hebat, pikirnya, akan tetapi
dia lalu membayangkan bahaya yang mungkin sekali mengancam Cian Li, maka dengan
sigap diapun meloncat pergi.
◄Y►
Rumah gedung itu tidak terlalu
besar dan megah, akan tetapi mungil sekali. Temboknya bersih dan semua tanaman
di halaman rumah yang luas itu terawat rapi. Bermacam bunga sedang mekar dan di
tengah halaman itu nampak sebuah kolam ikan yang berbentuk bulat dengan garis
tengah kurang lebih empat meter. Banyak bunga teratai tumbuh di kolam ikan dan
di tengah-tengahnya terdapat arca batu, seorang puteri menunggang angsa putih
yang besar.
Dengan jantung berdebar karena
girang, Kam Sun Ting memasuki halaman itu. Sunyi saja di situ, tidak nampak
seorangpun. Dia masih terheran-heran dan juga sangsi, mengapa jagoan yang
diundang oleh Pek-liong-eng Tan Cin Hay hanyalah seorang wanita! Betapapun
pandainya seorang wanita, apa artinya kalau menghadapi gerombolan penjahat
seperti Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya?
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh
munculnya seorang wanita berbaju hijau. Wanita ini masih muda, usianya kurang
lebih tigapuluh tahun, cantik dan segar, tanpa hanyak riasan, pakaiannya
sederhana dan ringkas. Entah dari mana munculnya wanita itu, seperti setan
saja! Inikah orang yang dicarinya? Dia cepat memberi hormat, sedangkan wanita
itu dengan sinar mata tajam mengamatinya penuh selidik.
“Maafkan saya. Akan tetapi,
benarkah saya berada di halaman rumah tempat tinggal Hek-liong-li Lie Kim Cu?”
Wanita baju hijau itu
mengerutkan alisnya mendengar disebutnya Hek-liong-li Lie Kim Cu. “Siapakah
engkau dan ada keperluan apakah mencari Hek-liong-li?”
Melihat sikap angkuh itu, Sun
Ting menjadi agak bingung. “Maaf, saya hanyalah seorang suruhan. Saya datang
membawa surat dari Pek-liong-eng Tan Cin Hay untuk disampaikan kepada
Hek-liong-li Lie Kim Cu.”
“Ahhh.......!” Sepasang mata
yang jeli itu terbelalak dan wajahnya segera berubah. Lenyaplah kecurigaan dan
keangkuhannya, lalu ia menoleh dan berseru dengan suara melengking nyaring,
“Sam-moi......! Kesinilah, ada tamu!”
Sun Ting ikut menengok dan ia
terkejut ketika tiba-tiba berbelebat bayangan merah dan tahu-tahu di situ sudah
muncul seorang gadis lain yang berpakaian merah. Gadis ini usianya beberapa
tahun lebih muda dari pada gadis baju hijau, nampak cantik dan segar, dengan
senyum yang manis.
“Tamu dari mana, toa-ci (kakak
tertua)?” tanya gadis baju merah sambil menatap wajah tampan Sun Ting dengan
penuh selidik.
“Dia adalah utusan
Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), membawa surat beliau untuk
Hek-liong-li-hiap (Pendekar Wanita Naga Hitam)! Cepat hadapkan dia, kalau
berlambat-lambat kau akan kena marah nanti! Ingat, setiap berita yang datang
dari Pek-liong-enghiong harus disampaikan secepat mungkin!”
“Baik, toa-ci. Marilah, kongcu
(tuan muda), mari kuantarkan menghadap Li-hiap,” kata si baju merah sambil
melepas senyum manisnya.
“Terima kasih,” kata Sun Ting
dengan jantung semakin berdebar.
Kiranya dua orang gadis cantik
itu hanya semacam pembantu saja dari orang yang berjuluk Pendekar Wanita Naga
Hitam itu! Kalau pembantu-pembantunya saja seperti ini, lalu seperti apakah
pendekar wanita itu? Seorang nenek-nenek tua yang menyeramkan? Seorang wanita
setengah tua yang genit? Atau mungkinkah seorang gadis pula?
Dia melangkah mengikuti gadis
baju merah itu memasuki lorong dalam rumah yang ternyata dalamnya juga bersih
dan terawat rapi, hawanya segar karena banyak jendelanya dan di setiap sudut
terdapat sebuah pot bunga atau jambangan terisi tanaman. Akan tetapi gadis baju
merah itu mengajaknya terus menuju ke sebuah bangunan samping dan setiba mereka
di pintu bangunan itu, gadis baju merah menaruh telunjuknya di depan mulutnya
sambil menoleh kepada Sun Ting. Mereka kini berdiri di ambang pintu dan Sun
Ting menjadi penonton dari adegan yang amat menarik dan mengagumkan hatinya.
Bangunan itu ternyata
merupakan sebuah ruangan berlatih silat yang luas dan terbuka. Di sudut nampak
berbagai macam alat olah raga dan senjata untuk berlatih silat dan dia melihat
di ruangan itu terdapat seorang wanita yang dikepung oleh tujuh orang wanita
lain.
Wanita itu berdiri tegak,
sedang tujuh orang yang mengepungnya memasang kuda-kuda, dan mereka itu
memegang senjata, ada pedang, golok, tombak dan cambuk. Adapun wanita yang
dikepung itu bertangan kosong, sikapnya tenang sekali,.
Kam Sun Ting memandang dengan
penuh perhatian. Tujuh orang wanita pengepung itu rata-rata cantik dan usia
mereka antara duapuluh tiga sampai tigapuluh tahun, tubuh mereka ramping dan
gesit, seperti gadis baju hijau dan baju merah yang mengantarnya itu. Akan
tetapi, ketika dia melihat wanita yang berada di tengah, yang dikepung, dia
melongo!
Wanita itu berusia kurang
lebih duapuluh tiga tahun. Pakaiannya dari sutera serba hitam yang ketat dan ringkas,
dan warna hitam ini membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak semakin
putih mulus. Wajahnya bulat telur kecil dengan dagu meruncing. Mulutnya kecil
dengan bibir yang agaknya selalu tersenyum, bibir yang merah membasah.
Senyum yang tersungging itu
dihias lesung pipit yang tidak terlalu dalam, dan tahi lalat kecil di atas
pipi, di bawah mata kirinya, menambah kemanisannya. Seorang gadis yang luar
biasa cantik jelita dan manisnya. Rambutnya yang hitam tebal itu disanggul
tinggi ke atas, dihias tusuk sanggul perak berukir seekor naga kecil di atas
bunga teratai. Seorang wanita yang luar biasa!
“Kalian mulailah!” tiba-tiba
bibir yang tersenyum dan merah basah itu berseru lirih dan mulailah tujuh orang
wanita pengepung itu menerjang dan menyerang gadis pakaian hitam dengan senjata
mereka.
Sun Ting terkejut bukan main.
Celaka, pikirnya. Tujuh orang gadis itu menyerang. Sungguh-sungguh dan gerakan
mereka rata-rata gesit dan kuat! Bagaimana mungkin gadis jelita berpakaian
hitam itu akan mampu bertahan? Setidaknya ia tentu akan menderita luka!
“Heiii, tahan......! Sungguh
tidak adil, tujuh orang bersenjata mengeroyok seorang yang tidak memegang
senjata!” teriak Sun Ting tanpa dapat dicegah lagi dan diapun melompat ke dalam
ruangan itu.
Si baju merah terkejut, namun
sudah terlambat karena pemuda itu sudah meloncat masuk.
“Tahan.......!” Si dara
berpakaian serba hitam itu berseru dan tujuh orang pengeroyoknya menahan
senjata. Kini wanita itu memandang kepada Sun Ting, kemudian kepada gadis baju
merah yang kini sudah menjatuhkan diri berlutut.
“Hemm, Sam-hwa, apa artinya
ini?” wanita itu membentak, suaranya merdu akan tetapi penuh wibawa.
“Maaf, Lihiap...... dia....
dia adalah utusan dari Pek-liong-enghiong yang membawa surat untuk Lihiap.
Saya...... saya melihat lihiap sedang siap berlatih, maka tidak berani
mengganggu dan hendak menunggu sebentar. Tak saya sangka dia... dia......”
Berubahlah sikap gadis
berpakaian hitam itu. Wajahnya menjadi cerah dan dipandangnya wajah Sun Ting
dan seketika ia sudah memaafkan sikap pemuda itu tadi. Diam-diam hatinya merasa
geli melihat betapa sahabat baiknya, Pek-liong-eng Tan Cin Hay telah menyuruh
seorang pemuda yang begitu bodoh sehingga mengganggu latihannya.
Bagaimanapun juga, ia
memandang kagum. Pemuda itu tampan dan bertubuh tegap sekali, dan melihat
betapa dia tadi mencela para pembantunya yang dianggapnya hendak mengeroyoknya,
menunjukkan bahwa betapapun bodohnya, pemuda ini memiliki watak yang gagah!
Ia lalu maju menghampiri,
sedangkan Sun Ting sudah menjadi merah mukanya mendengar ucapan gadis baju
merah tadi. Kiranya gadis berpakaian hitam inilah orang yang dicarinya, dan
ternyata bahwa tujuh orang gadis pengepung yang mengeroyok tadi hanyalah
merupakan latihan saja!
Cepat dia memberi hormat.
“Maafkan kalau saya tadi mengganggu latihan Lihiap. Akan tetapi saya tidak
tahu...... ah, apakah Lihiap, yang bernama Hek-liong-li Lie Kim Cu?”
Wanita itu memang benar
Hek-liong-li Lie Kim Cu. “Benar, akulah orangnya.”
“Sekali lagi maaf! Karena
Hay-toako, eh...... maksud saya Pek-liong-eng tidak menceritakan keadaan
Lihiap, karena tergesa-gesa, maka saya tidak mengenal Lihiap dan telah bersikap
lancang. Saya datang untuk menyerahkan surat ini kepada Lihiap.” Dia cepat
mengeluarkan surat itu dari saku bajunya.
Hek-liong-li mengangguk dan
tersenyum. Ternyata tidak bodoh, pikirnya dan ia merasa semakin suka kepada
utusan sahabatnya itu. Ia lalu membuka surat itu dan membacanya dengan tenang.
“Harap engkau suka datang
untuk bersamaku menghadapi Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo
dengan kaki tangannya, dan membongkar rahasia Patung Emas.
Menarik sekali, sudah banyak
jatuh korban.”
Sampai jumpa,
Pek-liong-eng.
Sementara wanita itu membaca
surat, Kam Sun Ting mengamatinya penuh perhatian dan dia menjadi semakin kagum
saja. Segala-galanya pada wanita itu nampak kematangan yang mengagumkan.
Memang, usianya tentu tidak akan lebih dari duapuluh tiga tahun, akan tetapi
sikapnya, gerak-geriknya, bentuk tubuhnya, pandang mata dan senyumnya, sungguh
membayangkan kematangan seorang wanita, bagaikan setangkai bunga yang mekar
sepenuhnya dan sedang harum-harumnya!
Memang penilaian Sun Ting ini
tidak jauh meleset dari kenyataannya. Wanita itu adalah seorang wanita yang
sudah matang, baik ilmu silatnya, maupun kewanitaannya dan pengalamannya
segudang! Ia bernama Lie Kim Cu, berusia duapuluh empat tahun dan ia dikenal
sebagai Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam).
Sejak remaja puteri berusia
enambelas tahun, ia telah menderita dengan hebat. Ayahnya seorang pembesar di Lok-yang,
akan tetapi ayahnya tergila-gila perjudian, melakukan korupsi dan akhirnya dia
dihukum buang dan membunuh diri di tengah jalan.
Adapun Lie Kim Cu sendiri,
oleh ayahnya telah dijual atau untuk pembayaran hutang kepada Pangeran Coan Siu
Ong di Lok-yang. Lie Kim Cu diperkosa, ia mengamuk dan akhirnya dijual oleh
pangeran yang marah itu ke rumah pelacuran.
Di rumah pelacuran ini Kim Cu
disiksa dan dipaksa untuk menjadi pelacur, melayani belasan orang laki-laki!
Akhirnya, ia berhasil melarikan diri dan ia ditolong oleh seorang datuk sesat
yang amat sakti, yaitu yang bernama Huang-ho Kui-bo dan dari nenek sakti ini ia
mewarisi banyak ilmu silat yang tinggi sehingga membuatnya menjadi seorang
wanita yang sakti!
Lie Kim Cu telah menjadi
seorang wanita yang hebat setelah mempelajari ilmu selama enam-tujuh tahun. Ia
menghajar para pria yang pernah mempermainkan dirinya. Bahkan ia kemudian
menentang Hek-sim Lo-mo, seorang datuk sesat, seorang di antara Kiu Lo-mo
bekerja sama dengan Pek-liong-eng Tan Cin Hay. Dan sejak mereka berdua berhasil
membasmi dan membinasakan Hek-sim Lo-mo nama kedua orang pendekar muda ini
menjadi amat terkenal!
Ada hubungan istimewa antara
Lie Kim Cu dan Tan Cin Hay, atau antara Si Naga Hitam dan Si Naga Putih ini.
Selain mereka berdua telah mewarisi sepasang pedang yang ampuh, yaitu Pedang
Naga Hitam yang jatuh ke tangan Kim Cu dan Pedang Naga Putih yang jatuh ke
tangan Cin Hay, juga keduanya mempunyai perasaan kasih sayang luar biasa
terhadap satu sama lain.
Perasaan senasib sependeritaan,
sepaham dan segolongan, menumbuhkan suatu pertalian batin, suatu rasa kasih
sayang yang luar biasa, lebih mendalam dari pada kasih sayang antara saudara,
bahkan antara kekasih. Namun, keduanya tidak pernah membiarkan diri melangkah
lebih dekat, tidak membiarkan nafsu berahi memasuki perasaan kasih di antara
mereka, karena mereka khawatir bahwa sekali nafsu berahi masuk dan mereka
menjadi kekasih, maka pertalian batin yang penuh kesetia-kawanan dan senasib
itu akan menjadi berubah atau luntur! Mereka berhasil, membasmi gerombolan
Hek-sim Lo-mo dan saling berpisah, akan tetapi mereka saling berjanji akan
memberi kabar kalau yang satu membutuhkan bantuan yang lain.
Hek-liong-li Lie Kim Cu
tinggal di Lok-yang, bersama sembilan orang gadis yang menjadi
pembantu-pembantunya, juga anak buahnya. Mereka dilatihnya dengan ilmu silat,
dan rata-rata mereka memiliki kecerdikan sehingga menjadi serba guna. Di Lok-
yang dan sekitarnya, ia terkenal sebagai Hek-liong-li dan biarpun ia tidak
mengangkat diri menjadi seorang pendekar, namun nama besarnya membuat para
tokoh jahat menjadi gentar dan Lok-yang dan sekitarnya menjadi aman karena
tidak ada penjahat berani bermain gila di wilayah yang dipengaruhi nama
Hek-liong-li!
Demikianlah, maka Hek-liong-li
tidak jadi marah dan perhatiannya segera tertarik ketika mendengar bahwa pemuda
tampan ganteng itu adalah utusan Pek-liong-eng dan ketika membaca surat
Pek-liong-eng, wajahnya segera berubah berseri-seri.
Bekerja sama lagi dengan
Pek-liong-eng menghadapi musuh-musuh tangguh! Apa lagi musuh itu seorang di
antara Kiu Lo-mo! Tidak ada kesenangan yang lebih mengasyikkan dari pada
bekerja sama antara mereka berdua menghadapi musuh-musuh yang jahat dan
tangguh!
“Bagus! Terima kasih,
saudara...... eh, siapakah namamu?” kata Hek-liong-li kepada Kam Sun Ting.
“Nama saya Kam Sun Ting,
lihiap, tinggal di dekat Telaga Po-yang.”
“Surat dari Pek-liong-eng
telah kuterima dan kubaca dan kita segera berangkat sekarang juga ke sana
setelah aku menyelesaikan latihanku. Kau duduklah sebentar di bangku sana.
Sam-hwa, sediakan minuman untuk tamu!”
Sun Ting mengangguk dan segera
duduk di atas sebuah bangku di dekat dinding, sedangkan Hek-liong-li sudah
berdiri lagi di tengah ruangan, dikepung tujuh orang pembantunya. Sam-hwa, si
baju merah, pergi mengambilkan minuman untuknya. Ketika Sam-hwa datang, lagi
membawa minuman, latihan silat itu telah dimulai dan Sun Ting hampir tidak
menyentuh minuman yang disuguhkan karena dia tidak pernah berkedip menonton
latihan silat itu.
Bukan main! Tujuh orang wanita
itu melakukan serangan yang sungguh-sungguh. Bermacam senjata tajam dan runcing
berkelebatan dan menyambar-nyambar ke arah tubuh Hek-liong-li. Akan tetapi
wanita berpakaian hitam ini menggerakkan tubuhnya secara aneh, kedua kakinya
melangkah ke sana-sini, bergeser ke depan belakang, kanan kiri, dan semua
serangan itu tidak mengenai sasaran sedikitpun juga!
Kemudian, Hek-liong-li
mengeluarkan suara melengking nyaring. Tujuh orang pembantunya maklum bahwa
majikan dan juga guru mereka akan membalas serangan. Mereka bersiap siaga dan
memutar senjata, berjaga diri baik-baik.
Namun, tiba-tiba tubuh
Hek-liong-li berkelebatan dan lenyap, hanya nampak bayangan hitam berkelebatan
ke sana sini dan nampak seorang demi seorang para pengeroyok itu terhuyung,
senjata mereka terpental dan dalam waktu sebentar saja, mereka semua telah
terhuyung atau terlempar dan semua senjata terlepas dari tangan!
Hek-liong-li menghentikan
gerakannya. Ada sedikit keringat di dahinya yang putih mulus, akan tetapi
pernapasannya biasa saja, hanya dada yang membusung itu agak naik turun
bergelombang.
Sun Ting masih bengong.
Alangkah indahnya gerakan tubuh Hek-liong-li tadi, pikirnya. Seolah-olah dia
dapat melihat otot-otot halus bergerak-gerak hidup di bawah pakaian hitam ketat
itu, dan dari gerakan halus itu, dari ke dua tangan yang lembut itu, agaknya
memancar kekuatan yang luar biasa. Akhirnya, ketika wanita itu tersenyum
kepadanya, mukanya berubah merah sekali. Dan dia tadi bersikap gagah-gagahan
mencegah tujuh orang itu mengeroyok Hek-liong-li!
Betapa lucunya, betapa
memalukan. Untuk menutupi rasa malunya, diapun lalu bertepuk tangan memuji.
Karena lupa bahwa dia masih memegang cawan arak, maka ada arak tertumpah
menimpa celananya sehingga dia memakin tersipu.
Tujuh orang pembantu itu
keluar setelah memungut senjata masing-masing. Kini Hek-liong-li berdua saja
dengan Sun Ting. Wanita itu masih tersenyum geli.
“Saudara Kam Sun Ting,
minumlah araknya!”
“Ah, terima kasih, lihiap.
Latihan tadi sungguh...... sungguh hebat sekali.”
“Ah, engkau terlalu memuji!
Bukankah engkau seringkali melihat Pek-liong-eng berlatih silat dan tentu
latihannya lebih hebat lagi?”
Sun Ting menggeleng kepalanya.
“Sayang sekali tidak begitu, lihiap. Terus terang saja, saya dan adik saya baru
saja berkenalan dengan Pek-liong-eng dan saya tidak sempat menyaksikan
kelihaian ilmu silatnya. Saya dan adik saya adalah penyelam di Telaga Po-yang,
mencari batu-batu berharga yang menjadi mata pencaharian kami, ketika kami
diserang orang jahat dan ditolong oleh Pek-liong-eng.” Dengan singkat Sun Ting
menceritakan peristiwa itu.
Hek-liong-li mendengarkan
penuh perhatian. Mendengar akan tewasnya seorang hwesio dan seorang tosu di
hutan, serangan terhadap kakak beradik itu, iapun menjadi tertarik sekali. Ia mengamati
pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Ganteng dan bertubuh kokoh kuat.
“Hemm, bagaimanapun juga,
tentu engkau jauh lebih pandai dari pada aku kalau berada di air!”
Sun Ting tersenyum dan nampak
deretan giginya yang bagus dan bersih, juga kuat. “Ah, menyelam dan renang
adalah pekerjaan kami sejak kami masih kecil, li-hiap. Akan tetapi mengenai
ilmu silat, kami kakak beradik hanya diajar sedikit saja oleh mendiang ayah
kami.”
“Hal itu masih harus
dibuktikan kelak. Mari kita berangkat, saudara Kam Sun Ting. Kita berkuda saja
agar dapat cepat tiba di sana.”
Iapun bertepuk tangan dan dua
orang pelayan atau pembantunya muncul. Mereka diutus untuk menyediakan dua ekor
kuda yang baik sementara Hek-liong-li mengajak tamunya untuk makan bersama.
Sun Ting menjadi semakin
kagum. Makin dikenal, makin banyak hal-hal mengagumkan pada diri wanita itu.
Begitu ramah, dan juga tidak banyak peraturan sehingga mereka berdua makan
minum di dalam ruangan makan dengan bebas, bagaikan dua orang sahabat lama
saja.
Wanita itu sama sekali tidak
merasa canggung, bahkan dia sendirilah yang agak salah tingkah, karena
selamanya belum pernah dia berdekatan dengan seorang wanita, apa lagi wanita
secantik itu, bahkan makan bersama! Hal inipun diketahui Hek-liong-li yang
menjadi semakin tertarik. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda
yang gagah, jujur dan masih hijau, agaknya belum pernah berdekatan dengan
seorang wanita.
Kemudian berangkatlah mereka
menunggang kuda dan di sepanjang perjalanan. Hek- liong-li minta penjelasan
lebih lanjut tentang semua peristiwa yang terjadi dan yang diketahui oleh
pemuda itu. Sikapnya demikian ramah dan manis sehingga tak lama kemudian mereka
telah menjadi akrab, bahkan kadang-kadang Kam Sun Ting lupa bahwa dia melakukan
perjalanan dengan seorang gadis yang selain cantik jelita juga amat perkasa,
diharapkan oleh pendekar Pek-liong-eng untuk membantunya menghadapi gerombolan
penjahat yang kejam dan lihai sekali!