Yauw Ban merupakan pembantu
utama atau orang nomor satu di antara semua pembantu Hek-sim Lo-mo. Kini dia
sudah berada di depan Cin Hay dan mengamati pemuda ini dengan penuh perhatian,
dan memandang kepada Song Tek Hin, hanya sepintas saja lalu kembali menghadapi
Cin Hay.
Dia melihat seorang laki-laki
muda yang tampan, bertubuh sedang saja dan sama sekali tidak kelihatan
mengesankan atau menakutkan, kecuali bahwa sepasang mata itu nampak penuh
ketenangan, penuh keberanian dan mencorong seperti mata seekor naga atau
harimau. Akan tetapi karena Yauw Ban percaya akan kepandaiannya sendiri, apa
lagi di situ terdapat kawan-kawannya yang merupakan orang-orang lihai, sedikit
banyak dia memandang rendah kepada Cin Hay.
“Orang muda, siapakah engkau
berani membikin ribut di tempat ini?”
Cin Hay memang hendak
menyelidiki keadaan Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya di tempat itu, dan
menyelidiki pula tentang Kim-san Liong-cu yang terjatuh ke tangan Hek-sim
Lo-mo, maka diapun bersikap tenang dan sabar.
“Namaku Tan Cin Hay dan
sahabatku ini bernama Song Tek Hin. Kami hendak mengunjungi paman Thio Wi Han,
akan tetapi kami dihalang-halangi oleh mereka yang mengaku bernama Cap-sha-kwi
ini.”
Mendengar pemuda itu menyebut
“paman” kepada Thio Wi Han, Yauw Ban mengerutkan alisnya. Kalau pemuda ini
masih keponakan Thio Wi Han, tentu saja sama sekali tidak boleh diganggu
sebelum pedang pusaka itu jadi.
“Apakah kalian keponakan dari
Thio Wi Han?” tanyanya sambil memandang wajah Cin Hay penuh perhatian.
Cun Hay mengangguk. “Benar,
kami adalah keponakan beliau.”
“Yauw-toako, jangan parcaya!
Dia tadi disebut Pek-liong-eng. dan jelas dia datang bukan dengan maksud baik!”
teriak Kwa Ti.
Mendengar julukan itu, Yauw
Ban memandang kepada Cin Hay dengan sikap berubah dan tidak senang, Dia selalu
merasa tidak senang bertemu dengan golongan pendekar yang dianggap musuhnya.
Betapapun juga, dia masih takut kepada Hek-sim Lo-mo dan tidak mau sembarangan
mengganggu keponakan dari Thio Wi Han.
“Keponakan atau bukan, kalian
harus menyerah kepada kami untuk kami bawa menghadap pimpinan kami dan kami
tanyakan kepada Thio Wi Han apakah benar kalian adalah keponakannya.”
Tentu saja Cin Hay tidak mau
menyerah. Thio Wi Han takkan mau mengakui mereka sebagai keponakan. Kenalpun
belum!
“Tidak, kami tidak mau
menyerah. Kami tidak bersalah apa-apa terhadap kalian, mengapa kami harus
menyerah? Biarkan kami pergi dan mengunjungi paman Thio Wi Han, karena kamipun
tidak mempunyai urusan dengan kalian,” katanya.
“Orang muda, beranikah engkau
menentang kami?” Yauw Ban menghardik, marah dan mengancam.
“Aku tidak bersalah apapun dan
tidak menentang siapapun!” Cin Hay balas menghardik.
“Lui-te, kau hajar dia!”
teriak Yauw Ban, memberi perintah kepada kawannya.
Jai-hwa Kongcu Lui Teng
tersenyum, memandang rendah kepada Cin Hay dan sekali menggerakkan kaki,
tubuhnya sudah meloncat dengan gerakan indah ke depan Cin Hay, langsung saja
dia menampar dengan tangan kirinya, dilanjutkan dengan pukulan telapak tangan
pada dada Cin Hay.
“Wuuutt...... plakkk!” Cin Hay
mengelak dari tamparan pertama dan menangkis pukulan kedua. Tamparan dan
pukulan itu mengandung tenaga yang kuat sehingga mendatangkan angin. Akan
tetapi tangkisan Cin Hay membuat tubuh penjahat cabul itu hampir terpelanting!
Lui Teng terkejut bukan main dan diapun sudah melepas sabuk kain putihnya, lalu
menyerang Cin Hay dengan totokan ujung sabuk, tamparan tangan kiri dan diseling
tendangan bertubi-tubi yang kesemuanya merupakan serangan maut.
Namun, yang diserang
bertubi-tubi menghadapi semua serangan itu dengan tenang sekali. Hanya dengan
gerakan kedua kaki bergeser ke belakang, kanan atau kiri, dan dengan kedua
tangan menangkis, semua serangan Lui Teng dapat dipatahkan dan ketika dari
samping lengan Cin Hay membalas dengan pukulan melengkung, pundak Lui Teng kena
disentuh dan tubuhnya terjengkang keras!
Untung si penjahat cabul ini
memiliki gin-kang yang baik sekali sehingga dia mampu membuat salto tiga kali
ke belakang untuk mematahkan kekuatan yang mendorongnya dan dia tidak sampai
terbanting dan terjengkang. Akan tetapi mukanya berubah pucat dan berkeringat.
“Siang-mo, bantu dia!” bentak
Yauw Ban kepada He-nan Siang-mo.
Dua orang kembar ini sudah
menggerakkan golok di tangan mereka dan bagaikan dua orang satu otak mereka
bergerak maju menyerang Cin Hay. Jai-hwa Kongcu Lui Teng juga sudah maju lagi
memutar sabuk putihnya dengan penuh semangat terdorong oleh rasa marah dan
penasaran.
Cin Hay dikeroyok oleh tiga
orang lawan yang tangguh. Namun, tidak sia-sia mendiang Pek I Lojin, kakek
sakti itu, menggembleng Cin Hay selama tujuh tahun dan mewariskan semua ilmu
simpanan dan andalannya.
Dengan gerakan yang mantap,
penuh tenaga sakti, dan dengan keringanan tubuhnya, pemuda berpakaian putih itu
berkelebatan dan bentuk tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan putih yang
menyelinap di antara gulungan sinar golok dan sabuk putih, selalu dapat
menghindarkan diri dari sambaran senjata tiga orang pengeroyoknya, bahkan
setiap kali dia membalas, tiga orang pengeroyok itu terdesak dan terancam
hebat. Beberapa kali He-nan Siang-mo terhuyung, dan Lui Teng telah terkena
tendang pahanya sehingga gerakan kakinya agak terpincang dan tidak leluasa
lagi.
Yauw Ban dan Kiu-bwe Mo-li
diam-diam terkejut, terutama sekali Kiu-bwe Mo-li. Baru saja ia bertemu dengan
Liong-li yang terhitung sumoinya sendiri, yang memiliki ilmu kepandaian hebat
sehingga ia sendiri kewalahan menghadapi Liong-li, dan kini muncul Pendekar
Naga Putih yang demikian lihainya sehingga dikeroyok tiga oleh Lui Teng dan
He-nan Siang-mo sama sekali tidak kewalahan bahkan membuat tiga orang lihai itu
selalu terdesak!
Tanpa dikomando lagi, Kiu-bwe
Mo-li menggerakkan cambuk ekor sembilan di tangannya, cambuk itu meledak-ledak
dan berubah menjadi gulungan sinar hitam yang amat berbahaya. Juga Yauw Ban
sudah mencabut pedangnya dan ikut pula mengeroyok.
Melihat gerakan kedua orang
ini, diam-diam Cin Hay terkejut. Dua orang ini sama sekali tidak boleh
disamakan dengan tiga orang pengeroyok pertama, pikirnya. Mereka ini sudah
memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Maka diapun mengeluarkan suara
melengking dan gerakannya menjadi semakin cepat, kaki tangannya mengeluarkan
angin pukulan yang semakin kuat.
Timbul kekhawatiran di hati
Cin Hay ketika dia melihat betapa Song Tek Hin juga sudah dikeroyok oleh tiga
orang dari Cap-sha-kwi. Pemuda itu melawan sekuatnya dan mengamuk, namun
setelah lewat belasan jurus, dia menjadi bulan-bulan pukulan dan akhirnya
ditangkap dan dibelenggu!
Hal ini menimbulkan
kekhawatiran di dalam hati Cin Hay dan dia mengamuk. Sebuah tendangan keras
mengenai dada Can Siong, orang kedua dari He-nan Siang-mo. Can Siong terjungkal
dan terengah-engah, tidak dapat melanjutkan serangan. Sementara itu,
Cap-sha-kwi juga mulai mengepung dan mengeroyok.
Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring, “Mundur semua! Mundur dan jangan lanjutkan pengeroyokan ini!”
Melihat bahwa yang membentak
itu adalah Thio Wi Han, Yauw Ban lalu berteriak menyuruh kawan-kawannya mundur.
Sementara itu, Cin Hay memandang dan dia tidak tahu siapa adanya kakek gagah
yang menghentikan pengeroyokan itu. Dia seorang yang cukup cerdik. Dia tidak
percaya bahwa datuk sesat yang disebut Hek-sim Lo-mo begini gagah dan lembut,
dan karena dia tidak yakin siapa adanya kakek itu, dia lalu menghadapi kakek
itu, memberi hormat dan berkata,
“Saya Tan Cin Hay ingin sekali
berkunjung ke rumah Paman Thio Wi Han, akan tetapi, mereka ini menghalangiku.”
“Thio locianpwe, benarkah
pemuda ini adalah keponakanmu?” Yauw Ban bertanya dan pertanyaannya ini
menunjukkan bahwa Yauw Ban lebih pandai menggunakan pedangnya dari pada
otaknya. Tentu saja Cin Hay menjadi girang karena dia kini yakin bahwa dia
berhadapan dengan Thio Wi Han, pembuat pedang pusaka itu.
“Paman Thio, lihat, mereka
bahkan telah menawan Song Tek Hin, seorang keponakanmu yang lain,” katanya
menunjuk ke arah Song Tek Hin yang sudah dibelenggu kedua tangannya dan dikawal
oleh Cap-sha-kwi.
Kakek itu sejenak memandang
kepada Cin Hay, lalu kepada Tek Hin dan dia mengangguk. “Benar, mereka adalah
keponakan-keponakanku, dan aku minta agar dia dibebaskan dari belenggu.”
Yauw Ban dan kawan-kawannya
ragu-ragu, akan tetapi kakek itu membentak lagi walaupun suaranya tetap halus,
“Cepat bebaskan dia! Kalian ini tamu-tamu yang sama sekali tidak tahu aturan,
keluarga tuan rumah bahkan diganggu dan ditawan!”
Yauw Ban menjadi serba salah
dan terpaksa dia memberi isyarat kepada Kwa Ti, orang pertama Cap-sha-kwi,
untuk membebaskan Tek Hin. Akan tetapi pada saat itu ada angin menyambar dan
muncullah seorang kakek lain yang membuat Cin Hay terkejut sekali.
Kakek tinggi besar, bermuka
hitam menyeramkan, matanya lebar, kumis, cambang dan jenggotnya lebat sekali,
pakaiannya seperti pakaian hartawan dengan jubah pendeta berwarna merah,
usianya lebih dari enampuluh tahun. Seorang yang menyeramkan dan tanpa
diperkenalkan diapun dapat menduga bahwa tentu inilah yang disebut Hek-sim
Lo-mo, seorang di antara Sembilan Datuk Iblis! Dari kemunculannya saja yang
demikian tiba-tiba mendatangkan angin keras, dapat diketahui bahwa kakek ini
berilmu tinggi!
“Jangan bebaskan dia dulu!”
katanya dan dia menghadapi Thio Wi Han.
Thio Wi Han menghadapi Hek-sim
Lo-mo dengan sikap dingin. “Hemmm, kiranya engkau yang datang. Hek-sim Lo-mo.
Lihat, orang-orangmu mengganggu dua orang keponakanku yang datang untuk
berkunjung kepada paman dan bibinya.”
Hek-sim Lo-mo tidak kelihatan
membuka mulutnya, namun terdengar suara ketawa dari dalam dadanya.
“Ha-ha-ha-ha! Thio Wi Han, saat ini engkau sedang mengerjakan sesuatu yang amat
penting dan sebelum pekerjaan itu selesai, tidak boleh ada orang lain mengganggumu.
Biarlah kedua orang keponakanmu ini menjadi tamu-tamuku lebih dulu. Setelah
pekerjaanmu selesai, barulah mereka akan kulepaskan dan beramah-tamah
denganmu.”
Cin Hay mendapatkan kesempatan
untuk mencoba sampai di mana kelihaian pimpinan dari gerombolan jahat yang kini
menguasai Kim-san Liong-cu itu, maka sebelum Thio Wi Han menjawab, dia sudah
mendahului dan melangkah maju menghadapi kakek raksasa hitam itu dalam jarak
dua meter.
“Hek-sim Lo-mo!” katanya
dengan lantang. “Paman Thio adalah seorang tua yang terhormat dan kini menjadi
tuan rumah di tempat tinggal sendiri. Engkau dan anak buahmu hanya tamu-tamu,
bagaimana kalian yang kini hendak menetapkan peraturan? Sungguh tidak tahu
diri. Aku berani bertaruh bahwa kedatanganmu inipun tentu hanya untuk minta
tolong kepada paman Thio untuk membuatkan sesuatu. Kalau kalian sebagai tamu
tidak setuju dengan peraturan paman Thio yang menjadi tuan rumah, silakan
kalian angkat kaki dan pergi dari sini sekarang juga!”
Semua orang, termasuk Thio Wi
Han sendiri, terbelalak mendengar ucapan pemuda pakaian putih itu. Betapa
lancangnya! Betapa beraninya! Juga Hek-sim Lo-mo sendiri melotot, bukan karena
marah melainkan lebih karena heran ada orang berani bersikap dan berkata
seperti itu kepadanya, dan yang bicara itu seorang muda lagi!
Kemudian dia tertawa, sekali
ini dia membuka mulut sehingga suara ketawanya mendatangkan getaran dahsyat
sekali. Beberapa orang anak buah Cap-sha-kwi sampai terjungkal karena lutut
mereka seperti lumpuh mendengar suara ketawa yang getarannya amat kuat itu!
Tentu saja Cin Hay maklum bahwa datuk ini mengerahkan tenaga khi-kang dalam
suara ketawa itu, akan tetapi dia mengerahkan tenaga dan tidak berpengaruh
sedikitpun juga.
“Hoa-ha-ha-ha! Engkau orang
muda, anak kecil yang masih ingusan, tentu engkau belum mengenal siapa aku maka
berani bersikap seperti ini!”
Dengan sengaja Cin Hay
mengeluarkan kata-kata keras yang dimaksudkan untuk memancing kemarahan datuk
itu.
“Engkau keliru, Hek-sim Lo-mo.
Aku mengenal siapa engkau. Aku sudah mendengar bahwa Kiu Lo-mo, Sembilan Iblis
Tua, telah turun ke dunia untuk membikin kacau dan engkau adalah seorang di
antara mereka. Tadinya kusangka bahwa Kiu Lo-mo adalah iblis-iblis tua yang
melakukan hal-hal besar, tidak tahunya engkau seorang di antara mereka,
hanyalah seorang penjahat kecil saja yang mengandalkan banyak anak buah untuk
menekan seorang bijaksana seperti paman Thio ini dan bertindak sewenang-wenang.
Hemm, kalau begitu, nama besarmu hanya akan menjadi buah tertawaan orang
sedunia kang-ouw, Hek-sim Lo-mo!”
Wajah Thio Wi Han menjadi
pucat. Celaka, pikirnya. Pemuda ini sudah gila rupanya, terlalu berani dan
tentu dia akan mati setelah berani mengeluarkan ucapan menghina seperti itu
kepada Hek-sim Lo-mo yang sakti!
Wajah yang hitam dari Hek-sim Lo-mo
menjadi semakin hitam ketika darah naik ke kepalanya. Ada uap mengepul dari
kepala itu, tanda bahwa kepalanya panas dan dia marah bukan main.
“Anjing kecil, engkau layak
mampus!” katanya dan tiba-tiba dia mendorongkan kedua tangannya ke depan, telapak
tangannya menghadap ke arah Cin Hay.
Pemuda ini sudah menduga bahwa
kakek datuk itu sakti, maka dia tidak berani memandang rendah. Cepat diapun
menekuk kedua kakinya, mengerahkan sinkang sekuatnya dan diapun mendorongkan
kedua telapak tangan ke depan.
Dua tenaga raksasa bertemu di
udara dan akibatnya, tubuh Cin Hay terdorong mundur sampai beberapa meter
sedangkan tubuh Hek-sim Lo-mo bergoyang-goyang! Akan tetapi, Cin Hay tidak
terluka dan tidak terjengkang. Dia tadi mengerahkan sinkang dan menggunakan tenaga
lemas untuk menahan dorongan yang amat kuat itu, maka dia terdorong mundur
namun tidak terluka.
Hek-sim Lo-mo yang tadinya
sudah tersenyum kemenangan, kini terbelalak dan mulutnya ternganga melihat
betapa pemuda yang terdorong mundur itu masih dalam keadaan memasang kuda-kuda
dan bahkan tersenyum, sedikitpun tidak terluka atau roboh! Dia menurunkan kedua
tangannya dan memandang, matanya mencorong penuh rasa marah dan penasaran. Cin
Hay meloncat lagi ke depan, kini dalam jarak kurang dari dua meter di depan
kakek itu.
“Tenagamu memang kuat Hek-sim
Lo-mo, akan tetapi belum cukup kuat untuk merobohkan aku. Apakah engkau masih
memiliki ilmu lain yang lebih hebat?” Cin Hay memang sengaja menantang, dan
tadipun dia sengaja menyebut tentang penggunaan anak buah agar datuk itu
tersinggung dan menyerangnya tanpa mengandalkan pengeroyokan anak buahnya.
Dan bakarannya ini berhasil
baik sekali. Hek-sim Lo-mo menjadi marah dan dari kedua matanya seperti keluar
api, hidungnya mendengus tiga kali seperti seekor kuda yang marah.
“Bocah sombong, makin lama
semakin kurang ajar engkau! Kalau belum dihajar, takkan tahu siapa sesungguhnya
Hek-sim Lo-mo!” katanya dan tubuhnya menerjang ke depan.
Biarpun usianya sudah
enampuluh tiga tahun lebih, dan tubuhnya tinggi besar, namun serangan ini
sungguh mengejutkan karena gerakannya cepat bukan main, seperti seekor biruang
yang marah. Tahu-tahu dia telah menyerang dari kanan kiri dengan kedua tangan
yang berlengan panjang.
Melihat gerakan kedua lengan
itu, sungguh mirip dua ekor ular besar yang menyambar mangsanya dengan moncong
dibuka lebar. Dan memang kakek ini seorang yang memiliki ilmu silat ular yang
amat berbahaya. Lengannya dapat bergerak cepat sekali seperti ular, meliak-liuk
dan tangannya membentuk kepala ular dengan moncong dibuka, kuku-kuku kedua
tangan itu seperti gigi-gigi ular yang beracun.
Cin Hay tidak berani memandang
rendah. Pernah mendiang gurunya bercerita tentang nama besar Kiu Lo-mo yang
merupakan sembilan orang datuk sesat yang amat tinggi ilmunya. Diapun cepat
mengerahkan tenaga sin-kang dan mempergunakan kelincahan tubuhnya dan
langkah-langkah kaki untuk menghindarkan semua serangan lawan dan membalas
secepatnya dengan totokan-totokan dan pukulan-pukulan maut.
Terjadilah perkelahian yang
amat hebat. Angin pukulan menyambar-nyambar, bahkan kadang-kadang mengeluarkan
suara angin bercuitan, orang-orang mundur teratur, tidak berani mendekat karena
amat berbahaya kalau kena disambar pukulan sehebat itu.
Tubuh kedua orang itu lenyap
bentuknya, berubah menjadi dua bayangan orang yang saling serang, bayangan
putih dan bayangan merah. Kadang-kadang terdengar dua benda bertemu, yaitu
kedua lengan mereka saling bertemu membawa tenaga sin-kang yang kuat sekali
sehingga benturan kedua tengan itu terasa getarannya oleh semua orang.
Namun, Cin Hay sungguh
merupakan seorang pendekar muda yang hebat dan gigih sekali. Gerakan-gerakannya
mantap, dan sama sekali dia tidak sampai terdesak karena dia membalas setiap
serangan lawan dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Beberapa kali kalau
serangannya nyaris mengenai lawan namun tetap dapat terelakkan, atau kalau
lengan mereka saling bertemu dengan dahsyatnya, Hek-sim Lo- mo mengeluarkan
suara gerengan seperti suara binatang buas.
“Hyaattt!” tiba-tiba Hek-sim
Lo-mo membentak dan tangan kanannya memukul dengan kuatnya ke arah kepala Cin
Hay. Pemuda ini cepat mengelak ke kiri sambil membuat tangkisan melingkar
dengan tangan kanannya. Akan tetapi, tangan kanan Hek-sim Lo-mo membalik ke
bawah dan menangkap pergelangan tangan Cin Hay.
Cin Hay segera mengerahkan
sin-kangnya untuk menjaga lengan yang tertangkap, memutar kaki dan tangan
kirinya mencuat ke arah mata kanan lawan! Serangan ini berbahaya sekali
sehingga Hek-sim Lo-mo terpaksa melepaskan cengkeramannya dan menangkis, tangan
kirinya menyambar dari bawah ke arah ulu hati lawan. Cin Hay memapaki serangan
tangan kiri itu dengan tangan kanannya.
“Plakkkk!” kedua tangan
bertemu saling dorong dan tubuh Cin Hay terdorong mundur sampai setombak. Dia
cepat membalikkan tubuhnya karena pada saat itu dia mendengar angin pukulan
lawan kembali datang.
Dengan melangkah mundur, Cin
Hay merasa yakin bahwa pukulan itu tidak akan dapat mencapai tubuhnya. Akan
tetapi lengan lawan itu terus mulur dan biarpun jarak mereka ada dua meter,
tangan itu masih menyambar ke arah mukanya! Baru tahulah Cin Hay bahwa lawannya
memiliki ilmu yang aneh itu, yaitu lengannya dapat mulur seperti karet!
“Ihhhh!” Dia melempar diri ke
belakang dan berjungkir balik. Nyaris mukanya kena dicengkeram sehingga keringat
dingin membasahi leher Cin Hay yang merasa ngeri. Lawannya sungguh lihai bukan
main!
Ketika dia melompat lagi
menghadapi lawan, Cin Hay lalu melakukan gerakan aneh dan dia mulai mainkan
jurus-jurus aneh dari ilmu silat Pek-liong Sin-kun (Silat Sakti Naga Putih)
ciptaan gurunya yang telah dikuasainya dengan sempurna dan yang jarang dia
mainkan. Kini, bertemu dengan lawan yang demikian saktinya, yang dalam segala
hal bahkan lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengannya, terpaksa dia
mengeluarkan ilmu silat simpanannya itu.
Kembali terjadi saling serang
yang hebat dan dengan ilmu silat Pek-liong Sin-kun ini, Cin Hay bukan saja
dapat membendung semua gerakan lawan, bahkan dapat membalas dan membuat datuk
itu agak kerepotan karena Hek-sim Lo-mo sama sekali tidak mengenal ilmu silat
yang aneh dan berbahaya itu.
“Plakkk!” Dengan desakan
sebuah jurus yang ampuh, tangan kiri Cin Hay berhasil menampar pundak lawan.
Tidak hebat memang, namun
cukup membuat Hek-sim Lo-mo menggereng karena malu dan marah! Dia membalas
dengan dorongan tangan kirinya ke arah leher Cin Hay. Pemuda ini memiringkan
tubuh sehingga dorongan tangan itu lewat di atas pundaknya, akan tetapi
tiba-tiba tangan yang mulur panjang itu membalik dan menyerangnya dari belakang
dengan cengkeraman!
Cin Hay terkejut, namun tidak
gugup karena dia sudah tahu bahwa lengan lawannya dapat mulur. Sambil miringkan
tubuh, dia menangkis tangan yang datang dari belakang tadi, dan tangan yang
lain menusukkan jari ke arah mata lawan.
Hek-sim Lo-mo semakin marah
karena semua akalnya dapat dipunahkan oleh Cin Hay. Dia mencabut pedangnya dan
tanpa banyak cakap lagi dia memutar pedang dan menyerang dengan dahsyatnya! Cin
Hay cepat mengelak dan berloncatan, namun ilmu pedang kakek itu sungguh dahsyat
bukan main, membuat Cin Hay segera terdesak! Cin Hay kini terdesak dan
terkurung oleh sinar pedang yang bergulung-gulung dan dia maklum bahwa kini dia
benar-benar terancam.
Ketika dia meloncat untuk
menghindarkan babatan pedang ke arah kakinya, dia disambut tangan kiri yang
mulur dan pukulan menyerempet bahunya, membuat dia terjatuh! Pedang menyambar
ganas dan Cin Hay masih berhasil menghindarkan diri dengan bergulingan, dikejar
oleh gulungan sinar pedang!
Pada saat itu, Thio Wi Han
meloncat ke depan. “Tahan, Hek-sim Lo-mo!”
Melihat kakek ini menghadang,
hampir saja Hek-sim Lo-mo membabatkan pedangnya. Akan tetapi dia teringat akan
pesanan pedang pusaka, maka dia menahan pedangnya dan memandang kepada pembuat
pedang itu dengan mata melotot.
“Minggirlah, Thio Wi Han. Akan
kubunuh setan cilik itu!” bentaknya.
“Tidak, Hek-sim Lo-mo. Kalau
engkau membunuh kedua orang pemuda itu, aku tidak akan menyelesaikan pesanan
pedangmu, biar kaubunuh pun aku tidak akan mau menyelesaikan!” katanya ketika
melihat betapa Yauw Ban sudah berada di sampingnya dan menempelkan pedang di
lehernya. Sikap kakek ini gagah dan berwibawa, sedikitpun tidak memperlihatkan
kekhawatiran atau ketakutan.
“Tan Cin Hay, menyerah kau,
atau kami akan lebih dulu membunuh kakek Thio Wi Han dan saudaramu itu!” kata
Yauw Ban.
Cin Hay melirik dan melihat
betapa sebatang golok ditempelkan pula di leher Song Tek Hin. Melihat Cin Hay
menoleh kepadanya, Tek Hin yang sudah ditempeli golok di lehernya itu
berteriak, “Taihiap, jangan perdulikan aku. Aku tidak takut mampus! Sebaiknya
engkau basmi srigala-srigala jahat ini sebelum mereka menyebar kejahatan kepada
orang lain!”
“Plakk!” Seorang di antara
Cap-sha-kwi menampar mulutnya dan bibir pemuda itu penuh berdarah. Namun, Tek
Hin tidak menjadi gentar.
“Biar mereka menyiksaku,
membunuhku, aku tidak takut. Jangan mau menyerah, taihiap! Mereka ini curang
dan licik!” kembali dia berteriak.
“Hek-sim Lo-mo! Kalau engkau
tidak membebaskan kedua orang pemuda itu, sungguh mati aku tidak sudi
menyelesaikan pedangmu!” Thio Wi Han berteriak lagi mengancam.
Sejenak saja Hek-sim Lo-mo
bimbang, lalu dia menyimpan pedangnya.
“Aku tidak akan membunuh
mereka, akan tetapi mereka berdua itu harus menjadi tawananku dan baru akan
kubebaskan setelah engkau menyelesaikan pedang-pedangku!”
Thio Wi Han bimbang, akan
tetapi Cin Hay yang mengkhawatirkan keselamatan kakek itu dan Tek Hin, berkata
kepadanya, “Paman Thio, biarlah aku dan Tek Hin menjadi tawanan. Sebagai
seorang datuk besar, tentu Hek-sim Lo-mo tidak akan melanggar janjinya.”
THIO WI HAN mengangguk. Dia
tadipun melihat bahwa betapa lihainya pun Cin Hay, pemuda itu masih belum dapat
mengalahkan Hek-sim Lo-mo yang amat lihai ilmu pedangnya. Untuk sementara ini,
yang penting adalah menghindarkan dua orang pemuda itu dari maut.
“Baiklah, Hek-sim Lo-mo. Akan
tetapi engkau berjanjilah dulu bahwa engkau dan anak buahmu tidak akan membunuh
kedua orang pemuda ini, dan akan membebaskan mereka setelah pedang-pedang itu
kuselesaikan.”
Hek-sim Lo-mo menyeringai.
“Aku berjanji.”
Lalu kepada Yauw Ban dan
kawan-kawannya dia memerintah, “Tangkap mereka, belenggu kaki tangan mereka,
akan tetapi jangan disiksa dan jangan diganggu!”
Cin Hay tidak melihat jalan
lain kecuali menyerah, ketika kaki dan tangannya dipasangi rantai baja. Kalau
dia melawan, tentu Thio Wi Han dan Song Tek Hin mereka bunuh. Juga dia tadi
sudah merasakan kelihaian Hek-sim Lo-mo. Datuk itu saja dia tidak mampu
kalahkan, apa lagi kalau datuk itu dibantu oleh semua anak buahnya yang
rata-rata amat lihai. Akan tetapi Song Tek Hin marah-marah dan kecewa sekali
melihat Cin Hay menyerah.
“Tai-hiap, engkau kena ditipu!
Kalau engkau menyerah, akhirnya mereka ini tentu akan membunuh pula engkau, aku
dan paman Thio! Sia-sia saja pengorbananmu. Kalau engkau melawan, biarlah
mereka memhunuhku, aku tidak penasaran karena engkau tentu akan berhasil
membasmi mereka.”
Cin Hay tersenyum dan
menggeleng kepala. “Tenang dan bersabarlah, saudara Song Tek Hin.” Diam-diam
dia suka sekali kepada pemuda yang biarpun ilmu silatnya tidak begitu tinggi,
namun amat gagah perkasa ini.
Dua orang pemuda itu
dimasukkan ke dalam sebuah pondok darurat di belakang rumah Thio Wi Han, dan
kamar mereka dipasangi jeruji besi yang kokoh kuat. Para pembantu utama Hek-sim
Lo-mo bergiliran melakukan penjagaan di luar kamar tahanan itu.
Thio Wi Han sendiri kembali ke
tempat kerjanya. Dibantu isterinya, dia melanjutkan penyelesaian pembuatan
sepasang pedang. Yang sebatang berwarna keputihan, yang kedua berwarna
kehitaman. Yang putih agak lebih panjang dari pada yang hitam.
Kakek yang ahli ini telah
berhasil memisahkan dua macam baja yang terkandung dalam benda aneh yang
disebut Kim-san Liong-cu itu, mencampurnya dengan baja yang dibawa oleh
Cap-sha-kwi dan membuatnya menjadi sepasang pedang itu. Menurut keterangannya
kepada Hek-sim Lo-mo, pedang yang panjang itu adalah pedang jantan dan diberi
nama Pek-liong-kiam (Pedang Naga Putih) sedangkan yang hitam adalah pedang
betina dan diberi nama Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam).
Kini, kedua pedang itu sudah
terbentuk, sudah hampir jadi, tinggal memperhalusnya lagi saja. Nampak indah
sekali.
Malam itu, di dalam kamar
mereka, Thio Wi Han dan isterinya bicara dalam bisik bisik. Mereka bersikap
waspada sekali dan baru setelah mereka yakin bahwa tidak ada orang lain yang
akan mampu menangkap percakapan mereka, suami isteri ini berbisik-bisik dengan
saling mendekatkan mulut dengan telinga, di atas pembaringan.
“Tidak ada lain jalan, kita
harus melarikan sepasang pedang itu, sekali-kali kedua pusaka itu tidak boleh
jatuh ke tangan mereka.”
“Akan tetapi, itu berbahaya
sekali!” bantah isterinya. “Kalau kita ketahuan, kita takkan mampu melawan
mereka dan kita tentu akan mereka bunuh!”
“Kaukira mereka tidak akan
membunuh kita kalau pedang itu sudah selesai? Aku tahu orang-orang macam apa
mereka itu. Hal ini sudah sejak semula kurencanakan, karena itu, aku membuat
sepasang pedang palsu itu, sedangkan yang aseli diam-diam kuselesaikan. Engkau
masih menyimpan Hek-liong-kiam yang aseli itu, bukan?”
Isterinya mengangguk, “Di
tempat yang aman.”
“Bagus! Sekarang, kebetulan
muncul dua orang pemuda itu. Yang bernama Tan Cin Hay dan berpakaian putih itu
memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. ”Hanya Hek-sim-lo-mo yang mampu
menandinginya, dan kalau dia memegang Pek-liong-kiam, kukira dia akan mampu
menandingi Hek-sim Lo-mo. Kita pergunakan kesempatan baik ini untuk melarikan
diri bersama mereka.”
“Tapi......, mereka sendiri
tidak berdaya, dalam tawanan......”
“Aku akan membebaskan mereka.”
“Ah, itu berbahaya
sekali...... aku khawatir akan keselamatanmu......”
Thio Wi merangkul isterinya.
“Jangan khawatir. Dalam saat terakhir dari usia kita yang sudah tua ini, kita
harus melakukan hal yang tepat dan baik. Menyerahkan sepasang pedang ini ke
tangan mereka berarti kita membuat dosa besar karena di tangan mereka, sepasang
pedang ini hanya akan mendatangkan banjir darah. Kita harus berdaya upaya agar
pedang ini jatuh ke tangan pendekar yang layak menerimanya agar sepasang pedang
ini dapat dipergunakan untuk menentang kejahatan. Setidaknya sebuah di antara
kedua pedang ini, harus jatuh ke tangan orang yang layak.”
Isterinya mengangguk, “Engkau
benar. Kita sudah tua, kematian bukan apa-apa bagi kita, akan tetapi dosa akan
memberatkan batin. Apa yang harus kulakukan sekarang?”
“Begini, mereka tidak
mencurigaimu dan engkau tidak pernah diawasi. Yang diawasi hanya aku. Maka,
besok pagi engkau seperti biasa bawalah keranjang untuk mencari sayur ke ladang
kita, dam sembunyikan Hek-liong-kiam di balik bajumu sampai tidak kentara dari
luar. Larikanlah pedang itu keluar dusun. Sebaiknya engkau mengambil jalan
jurusan timur, memasuki hutan cemara itu. Mengerti?”
Isterinya mengangguk. “Dan
engkau?”
“Aku akan lari ke barat. Kita
harus berpencar agar setidaknya sebatang di antara dua pedang itu dapat diselamatkan.”
“Tapi itu berbahaya sekali.
Mereka mengawasimu dan engkau tentu tidak akan dapat lari jauh......”
“Jangan khawatir. Sudah
kurencanakan semua. Sebelum lari, aku akan membebaskan kedua orang pemuda itu.
Akan kuserahkan Pek-liong-kiam kepada Cin Hay agar dia mampu menahan mereka.
Kalau Thian menghendaki, tentu aku akan selamat dan kita akan dapat saling
berjumpa kembali.”
Suara kaki dan orang-orang
bicara memberitahu mereka bahwa ada anak buah Hek-sim Lo-mo meronda, maka
merekapun tidak bicara lagi. Semalam itu mereka hampir tidak tidur,
merencanakan tekad mereka itu dan membayangkan apa yang akan terjadi.
◄Y►
Pada keesokan harinya, tanpa
menimbulkan kecurigaan, isteri Thio Wi Han meninggalkan pondok. Ia mengenakan
baju rangkap karena hawa udara memang dingin di pagi itu, membawa sebuah
keranjang sayur. Dengan sikap biasa nenek ini berjalan perlahan menuju ke
timur.
Cap-sha-kwi melihat ia
meninggalkan pondok, akan tetapi mereka tidak menaruh perhatian karena tugas
mereka hanya menjaga agar Thio Wi Han tidak pergi dan berhubungan dengan orang
luar. Nenek itu sendiri tidak ada artinya bagi mereka, dan memang satu-dua hari
sekali nenek itu keluar membawa keranjang sayur untuk membeli sayur di pasar
dusun itu.
Sementara itu, kakek Thio Wi
Han sibuk di bengkelnya. Suara palunya sudah berdenting sejak pagi tadi. Dia
sedang menempa pedang yang keputihan, tinggal menghaluskannya saja, sedangkan
pedang yang lebih pendek, yang kehitaman, berada di atas meja bengkelnya, juga
belum halus benar, masih memerlukan penghalusan selama beberapa hari lagi.
“Kakek Thio, masih belum jadi
jugakah sepasang pedang itu?”
Thio Wi Han terkejut.
Munculnya Yauw Ban si mata satu itu sungguh mengejutkan hatinya karena selain
munculnya tanpa suara, juga dia sudah sejak tadi merasa tegang menghadapi
rencananya yang sudah diatur semalam bersama isterinya.
“Tinggal sedikit lagi, dalam
waktu dua-tiga hari lagi pasti selesai,” jawabnya acuh. Tentu saja diapun
mengetahui akan perubahan sikap pembantu utama Hek- sim Lo-mo ini. Biasanya, si
mata satu ini menyebutnya Thio-locianpwe, dan bersikap hormat. Akan tetapi
sekarang sikapnya sudah berbeda, juga sebutannya. Hal ini saja jelas
membuktikan bahwa mereka memang mempunyai niat jahat terhadap dirinya. Hampir
dia berani memastikan bahwa kalau sepasang pedang itu sudah jadi dan sudah
diserahkan kepada mereka, dia dan isterinya, juga dua orang pemuda itu, tentu
akan dibunuh.
Yauw Ban mendekat dan melihat
kedua batang pedang itu dengan penuh perhatian. Kakek Thio Wi Han tidak
khawatir kalau sampai ketahuan bahwa dua batang pedang itu palsu. Hek-sim Lo-mo
sendiri tidak akan mengetahuinya! Dia membuat pedang itu dengan baja murni
pula, dan memberi campuran yang membuat kedua batang pedang itu berwarna hitam
dan putih.
Pedang yang aseli sudah jadi,
yang betina berwarna hitam kini sudah dibawa pergi isterinya, sedangkan yang
jantan berwarna putih disimpannya dengan aman di dalam kamarnya, di tempat
rahasia bawah pembaringan. Betapapun juga, melihat betapa mata yang tinggal
satu dari Yauw Ban mengamati kedua pedang itu dengan sinar mencorong, hati
kakek ini berdebar juga. Untuk meredakan ketegangannya, sambil melanjutkan
tempaannya dia berkata.
“Kuharap saja kalian tidak
melanggar janji dan kedua keponakanku itu diperlakukan dengan baik dan tidak
diganggu. Kalau sampai mereka diganggu, sungguh mati, aku tidak akan
melanjutkan pembuatan pedang-pedang ini.”
Yauw Ban mengeluarkan suara
seperti sapi mendengus. “Huh, siapa yang akan menganggu mereka! Mereka itu
bagaimanapun juga tidak akan mungkin dapat membuat ribut lagi. Mereka dikurung
dalam kamar berjeruji besi, siang malam dijaga secara bergilir dan andaikata
mereka membuat keributanpun, kami semua akan datang dan menundukkannya. Apa
lagi Beng-cu kami tidak jauh dari sini!” Berkata demikian, Yauw Ban
meninggalkan tempat kerja itu karena diapun tidak mau lama-lama mengganggu
kakek itu, hal yang amat dilarang oleh majikan atau pemimpinnya.
Diam-diam kakek Thio Wi Han
merasa senang mendengar keterangan tadi. Dua orang pemuda itu masih selamat, dikurung
dalam kamar yang diberi jeruji besi, dijaga secara bergiliran. Secara
bergiliran ini berarti bahwa penjaganya tidaklah terlalu banyak.
Kalau dia dapat bertindak
cepat, besar kemungkinan dia akan mampu membebaskan dua orang pemuda itu
sebelum melarikan diri membawa pedang pusaka. Kalau terjadi pengeroyokan, dia
dapat mengandalkan pemuda bernama Tan Cin Hay itu dan menyerahkan Pedang Naga
Putih kepadanya.
Setelah Yauw Ban keluar, kakek
Thio Wi Han menyelinap ke balik jendela dan mengintai. Pembantu utama yang
paling lihai dari Hek-sim Lo-mo itu pergi ke arah utara, meninggalkan rumah,
berarti tidak ikut berjaga di tempat tahanan yang berada di belakang rumah.
Berarti pula satu bahaya telah menjauh.
Keadaan pagi itu sunyi dan
kakek yang sudah selama beberapa hari memperhatikan kebiasaan para anak buah
penjahat itu maklum bahwa kebanyakan dari mereka itu suka bangun siang, dan
sepagi itu tentu masih mendengkur. Yang sudah bangunpun masih bermalas-malasan
dan saat inilah mereka lengah.
Dengan hati-hati kakek itu
lalu memasuki kamarnya. Dia mengenakan sebuah baju luar yang panjang dan dengan
menggeser kaki dipan, terbukalah sebuah lubang di lantai bawah pembaringan itu
dan diambilnya sebatang pedang yang bersarung kayu buruk dan kasar. Disimpannya
pedang itu di balik jubah panjangnya dan diapun menyelinap keluar dari pintu
belakang. Karena sudah bersiap siaga sebelumnya, sejak bangun pagi-pagi tadi,
kakek itu sudah mengenakan pakaian yang ringkas dan sepatu yang kuat.
Tepat seperti dugaannya, tidak
nampak seorangpun dari Cap-sha-kwi di situ. Tentu tigabelas orang kasar itu
masih tidur mendengkur. Dia menyelinap masuk ke dalam pondok tempat tahanan.
Barulah dia merasa terkejut sekali melihat dua orang duduk saling berpelukan di
atas bangku panjang di depan kamar tahanan!
Ketika dua orang itu mendengar
langkahnya dan mereka mengangkat muka menengok, dia mengenal bahwa dua orang
yang tadi bermesraan itu bukan lain adalah Kiu-bwe Mo-li si iblis betina genit
dan Lui Teng si penjahat cabul! Sungguh dua orang itu seperti cacing dan
sampah, begitu cocok! Berjaga di depan kamar tahanan, mereka masih sempat
bermesraan, tidak perduli betapa dua orang pemuda tahanan itu dapat melihat
perbuatan mereka melalui jeruji besi. Sungguh orang-orang yang sudah tidak lagi
mengenal kesusilaan, tidak mengenal malu.
Akan tetapi tentu saja kakek
Thio tidak sempat memikirkan hal ini. Dia sudah terlalu kaget mengenal dua
orang lihai itu, apa lagi karena merekapun sudah melihatnya. Untuk mundur lagi.
sudah terlambat karena mereka tentu akan mencurigainya. Benar saja dugaannya,
Kiu-bwe Mo-li sudah meloncat turun dari atas pangkuan Lui Teng dan sekali
meloncat ia sudah berada di depan kakek Thio Wi Han.
“Heii, kakek Thio! Mau apa
engkau pagi-pagi datang ke sini?” bentaknya penuh curiga.
“Dia meninggalkan bengkelnya
dan pergi ke sini, tentu berniat buruk!” kata pula Lui Teng yang juga sudah
meloncat dekat.
Menghadapi dua orang itu,
kakek Thio Wi Han bersikap tenang. “Aku sengaja datang untuk menjenguk dua
orang keponakanku. Hendak kulihat apakah benar kalian memegang janji dan tidak
mengganggu mereka. Kalau kalian mengganggu mereka, aku tidak akan menyelesaikan
pedang-pedang itu dan kalian tentu akan disalahkan oleh Hek-sim Lo-mo.”
Sikapnya yang tenang dan
kata-katanya yang tepat itu mengusir kecurigaan dua orang tokoh sesat itu dan
Kiu-bwe Mo-li tersenyum mengejek dengan sikap genit. Tadi memang ia sengaja
merayu Lui Teng sehingga pria muda yang menjadi hamba nafsu itu melayani di
depan kamar tahanan dan hal ini dilakukan oleh si genit untuk menarik hati Tan
Cin Hay karena diam-diam ia merasa amat tertarik kepada pemuda tampan yang
gagah perkasa itu.
“Hemm, kau lihat saja sendiri!
Dua orang pemuda keponakanmu itu tidur dengan enaknya, sama sekali tidak
terganggu.”
“Boleh lihat sebentar dan
segera pergi lagi ke bengkelmu!” kata Lui Teng yang merasa mendongkol karena
keasyikannya tadi terganggu.
Thio Wi Han lalu menghampiri
jeruji besi dan benar saja. Dua orang pemuda itu dalam keadaan selamat dan
sehat. Bahkan Song Tek Hin tidak lagi terbelenggu. Cin Hay nampak duduk bersila
seperti sedang samadhi sedangkan Tek Hin duduk bersandar dinding.
Cin Hay membuka matanya dan
dia terbelalak memandang kepada kakek itu. Kalau dia menghendaki, kiranya tidak
akan sukar baginya untuk menjebol jeruji besi itu dan membebaskan diri. Akan
tetapi, dia teringat keselamatan Tek Hin, kakek Thio Wi Han dan isterinya. Dia
ingin menyelamatkan mereka bertiga dari tangan orang-orang jahat itu, juga dia
ingin menyelidiki tentang Kim-san Liong-cu yang agaknya oleh Hek-sim Lo-mo
sedang dijadikan pedang, dikerjakan oleh kakek Thio Wi Han. Kalau mungkin, dia
ingin merampas pedang pusaka itu agar jangan terjatuh ke tangan seorang datuk
jahat seperti Hek-sim Lo-mo.
“Cin Hay, ini kubawakan
makanan untukmu,” kata Thio Wi Han.
Biarpun Kiu-bwe Mo-li dan Lui
Teng memperhatikan gerak-gerik kakek itu ketika menghampiri tempat tahanan,
akan tetapi mendengar bahwa kakek itu membawakan makanan, mereka tidak menaruh
curiga. Kakek Thio Wi Han menyingkap jubah luarnya dan mengeluarkan pedang yang
bersarung kayu buruk itu, memasukkan melalui jeruji besi dan melemparkannya
kepada Cin Hay!
“Heiiiii! Apa yang
kaulemparkan itu!” Kiu-bwe Mo-li membentak.
Akan tetapi kakek Thio Wi Han
sudah membalikkan tubuh menghadapi dua orang tokoh sesat itu dengan sepasang
pedang telanjang di tangan! Itulah pedang pendek hitam dan pedang panjang putih
yang selama ini digarapnya dalam bengkel, yang sudah hampir jadi, tinggal
menghaluskannya saja, pedang-pedang yang dibuat dari bahan Kim-san Liong-cu!
Dan tanpa banyak cakap lagi,
Thio Wi Han sudah menggerakkan kedua pedang itu, yang putih panjang di tangan
kanan, yang lebih pendek hitam di tangan kiri, langsung dia menyerang Kiu-bwe
Mo-li! Ketika wanita itu dengan kaget meloncat ke samping sambil mengelak,
kakek Thio Wi Han menyerang Jai-hwa Kongcu Lui Teng dengan pedang hitam pendek
yang mengeluarkan sinar hitam!
Lui Teng terkejut dan agak
gentar menghadapi pedang pusaka itu, maka diapun meloncat ke belakang sambil
melolos sabuk putihnya. Kiu-bwe Mo-li juga sudah menggerakkan cambuk ekor
sembilan di tangannya dan menyerang dengan ganas dan marah. Sementara itu, Lui
Teng juga menyerang dengan sabuk putihnya yang lihai.
Melawan Lui Teng seorang diri
saja kakek Thio Wi Han takkan mampu mengalahkannya, apa lagi melawan Kiu-bwe
Mo-li yang lebih lihai lagi. Dan kini dia dikeroyok dua! Cambuk ekor sembilan
itu meledak-ledak dan mengancam seluruh jalan darah di tubuh kakek itu,
sedangkan sabuk putih di tangan Lui Teng sudah membentuk gulungan sinar putih
yang berbahaya sekali. Tentu saja kakek ini segera terdesak hebat. Akan tetapi
dengan gigihnya dia memutar kedua pedang di tangannya dan melindungi dirinya
sambil berusaha untuk membalas.
Sementara itu, Cin Hay
menyambar benda panjang yang dilemparkan oleh kakek Thio Wi Han dari luar kamar
tahanan itu kepadanya. Sebatang pedang yang sarungnya butut! Heran dia, mengapa
kakek itu melemparkan sebatang pedang padanya? Tanpa pedangpun dia akan mampu,
melawan musuh. Apa lagi pedang butut ini, apa manfaatnya? Dicabutnya pedang itu
dan diapun semakin kecewa. Sebatang pedang yang warnanya kotor kehitaman,
seperti besi biasa yang dicat!
“Tai-hiap, mari kita keluar
dan kita bantu Paman Thio!” kata Tek Hin dengan sikap gagah. Mengingat bahwa
ilmu silat pemuda ini tidak berapa tinggi, Cin Hay lalu menyerahkan pedang
buruk itu kepadanya.
“Jangan banyak bergerak,
saudara Song. Kau pegang pedang ini untuk berjaga diri, dan kalau aku sudah
membuka jeruji tahanan ini, sebaiknya engkau cepat melarikan diri biar aku yang
membantu Paman Thio.”
Akan tetapi Tek Hin sudah
menerima pedang itu dan berkata dengan suara lantang. “Aku? Disuruh lari
sedangkan engkau dan Paman Thio dikepung musuh? Lebih baik aku mati!” Berkata
demikian, pemuda ini dengan marah lalu menggunakan pedang kotor kehitaman itu
untuk membabat jeruji besi tempat tahanan mereka.
Dan pedang itu dapat membabat
putus semua jeruji, seolah-olah jeruji itu bukan dibuat dari besi melainkan
dari bahan yang lunak saja! Cin Hay terkejut melihat ini dan baru dia tahu
bahwa pedang buruk itu oleh kakek Thio diberikan kepadanya agar dia dapat
menghadapi Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya. Sekali melompat dia sudah berada
di dekat Tek Hin dan pedang itupun berpindah tangan.
“Cepat, saudara Song. Engkau
larilah menyelamatkan diri lebih dulu! Dengan pedang ini aku akan menghajar
mereka dan menyelamatkan Paman Thio dan isterinya!”
Akan tetapi, Song Tek Hin
adalah seorang pemuda yang tabah dan berani mati, apa lagi dia merasa sakit
hati sekali kepada Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya atas kematian tunangan dan
calon mertuanya. Mana dia mau melarikan diri begitu saja?
“Aku akan mengadu nyawa dengan
iblis itu!” bentaknya, dan melihat betapa tigabelas orang Cap-sha-kwi telah
bermunculan, dia segera menerjang orang yang terdekat sambil melompat keluar
dari kamar yang jerujinya telah patah-patah itu.
“Tek Hin, jangan......!” Cin
Hay mencegah, akan tetapi pemuda itu tidak memperdulikan cegahannya, bahkan
sudah mengamuk, memukul dan menendang. Akan tetapi, kepandaiannya masih jauh
untuk dapat melawan Cap-sha-kwi yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi itu
sehingga dalam beberapa jurus saja, tubuh Tek Hin telah menjadi bulan- bulan
pukulan sehingga dia terjungkal roboh!
Akan tetapi dasar dia sudah
nekat, dia bangkit kembali ketika seorang di antara Cap-sha-kwi menubruknya dan
dia menyambut orang itu dengan tendangan kuat. Orang itu tidak menyangka dan
perutnya kena ditendang sehingga dia terjengkang dan mengaduh. Tek Hin mendapat
hati dan menyerang terus, dihadang oleh beberapa orang anggauta Cap-sha-kwi.
Ketika Cin Hay melompat
keluar, dia sempat merobohkan dua orang anggauta Cap-sha-kwi yang mengancam Tek
Hin, akan tetapi pada saat itu dia mendengar Kakek Thio mengeluh. Cepat dia
menengok dan melihat betapa kakek itu roboh terluka dan kedua pedang di tangan
kakek itu telah terampas oleh Kiu-bwe Mo-li dan Jai-hwa Kongcu Lui Teng!
Cin Hay meloncat dan pedangnya
menyambar. Kiu-bwe Mo-li dan Jai-hwa Kongcu Lui Teng menggerakkan senjata
mereka, yaitu cambuk ekor sembilan dan sabuk putih untuk menyambut serangan Cin
Hay.
“Bret Brettt!” Cambuk ekor
sembilan dan sabuk putih itu terbabat oleh pedang buruk di tangan Cin Hay dan
kedua senjata itu putus!
Dua orang tokoh sesat itu
terkejut sekali dan mereka meloncat jauh ke belakang dengan muka pucat! Senjata
mereka adalah senjata lemas yang tidak akan mudah dibikin putus begitu saja
oleh sebatang pedang, namun kini sekali bertemu dengan pedang pemuda pakaian
putih itu, senjata mereka telah menjadi buntung!
Cin Hay melihat betapa kakek
Thio telah terluka parah, mukanya kehitaman tanda bahwa dia terkena luka
beracun, maka cepat diangkat dan dipanggulnya tubuh kakek itu. Ketika dia
menengok untuk menolong Tek Hin, pemuda ini telah diringkus dan diikat
tangannya, akan tetapi dia masih meronta dan memaki.
“Tek Hin......!” Cin Hay
berseru kaget.
“Tan Taihiap, pergilah,
bawalah Paman Thio pergi. Selamatkan dia dan jangan perdulikan diriku!” teriak
Song Tek Hin sebelum sebuah pukulan mengenai lehernya dan membuat dia roboh
pingsan dengan mulut berdarah.
Cin Hay merasa khawatir
sekali, akan tetapi diapun maklum bahwa dengan memanggul tubuh Thio Wi Han,
tidak mungkin dia dapat menolong Tek Hin, apa lagi pemuda itu telah diringkus
dan sebelum dia turun tangan, bisa saja pihak penjahat membunuh Tek Hin. Maka,
diapun melompat dan melarikan kakek Thio Wi Han.
Kiu-bwe Mo-li dan Jai-hwa
Kongcu Lui Teng tidak berani mengejar pemuda pakaian putih yang luar biasa
lihainya itu. Apa lagi mereka sudah berhasil merampas dua batang pedang pusaka,
dan itulah yang terpenting.
Kalau sepasang pedang pusaka
itu lenyap dilarikan orang, tentu Hek-sim Lo-mo akan marah sekali. Akan tetapi
sepasang pedang itu telah mereka rampas dari tangan Thio Wi Han, maka larinya
Thio Wi Han, yang sudah terluka parah dan pemuda berpakaian putih itu tidak menjadi
persoalan lagi. Masih ada Song Tek Hin dalam tawanan mereka, dan pemuda ini
tentu dapat dijadikan umpan untuk memancing kembalinya pemuda berpakaian putih,
kalau hal ini dikehendaki oleh Hek-sim Lo-mo. Kalau tidak, pemuda itu akan
dibunuh begitu saja dan mereka akan meninggalkan dusun Gi-ho-cung.
◄Y►
Nyonya Thio Wi Han yang
usianya masih terbilang amat muda dibandingkan dengan suaminya, baru empatpuluh
dua tahun dibandingkan suaminya yang sudah tujuhpuluh tahun lebih. Akan tetapi,
ia amat mencinta suaminya. Biarpun ketika ia menikah dengan Thio Wi Han,
suaminya itu telah menjadi seorang duda berusia setengah abad lebih dan ia
masih seorang gadis, namun suaminya sungguh merupakan seorang suami yang amat
baik, yang memenuhi semua syarat seorang suami yang mencinta isterinya.
Bahkan setelah mereka menjadi
suami isteri lebih dari duapuluh tahun lamanya dan mereka tidak mendapatkan
keturunan, cinta kasih suaminya terhadap dirinya tak pernah berkurang
sedikitpun juga. Mereka selalu berdua, selalu hidup saling mencinta dan
merasakan kebahagian berdua.
Akan tetapi sekarang, ia harus
pergi meninggalkan suaminya! Untuk pertama kali sejak mereka menjadi suami
isteri, mereka saling berpisah dan sekali berpisah, ia harus meninggalkan
suaminya yang terancam bahaya maut! Tak terasa lagi nyonya itu menangis sambil
melanjutkan perjalanannya memasuki hutan setelah ia berhasil meninggalkan dusun
Gi-ho-cung.
Bagaimana kalau suaminya gagal
menyelamatkan diri? Kalau sampai ketahuan mereka, bagaimana mungkin suaminya
akan mampu menyelamatkan diri? Membayangkan suaminya mereka bunuh, nyonya itu
menangis semakin mengguguk. Ingin ia berlari kembali untuk membantu suaminya
atau mati bersama suaminya kalau perlu, dan pikiran ini membuat ia menahan
kedua kakinya.
“Hemm, Nyonya Thio, kenapa
engkau menangis dan mengapa pula engkau meninggalkan kampung?”
Wanita itu terkejut. Ia sama
sekali tidak menyangka bahwa sejak ia meninggalkan dusun tadi, ia telah menarik
kecurigaan Yauw Ban, Naga Mata Satu pembantu utama Hek-sim Lo-mo!
Yauw Ban merasa curiga melihat
wanita itu meninggalkan dusun Gi-ho-cung dan dia lalu mengajak He-nan Siang-mo
untuk membayangi nyonya itu dari jauh. Ketika melihat wanita itu memasuki
hutan, kemudian herjalan sambil menangis, kecurigaan hati Yauw Ban semakin kuat
dan akhirnya dia lalu menegur wanita itu yang menjadi terkejut sekali.
Nyonya Thio Wi Han maklum
bahwa ia tidak akan mampu lari. Ia teringat kembali akan bahaya yang mengancam
suaminya, maka tiba-tiba saja ia menjadi marah sekali. Tangannya merahi ke
balik jubahnya dan ia telah menghunus sebatang pedang yang rupanya kotor dan
hitam.
“Kalian manusia-manusia iblis
yang menyengsarakan suamiku!” bentaknya dan langsung saja ia menggerakkan
pedangnya menyerang tiga orang di depannya itu dengan bacokan-bacokan nekat.
Terdengar bunyi mendesing
nyaring dan angin yang mengandung hawa dingin menyambar. Tiga orang itu
terkejut bukan main, tak mereka sangka bahwa nyonya itu demikian dahsyat
serangannya. Mereka tidak tahu bahwa kedahsyatan serangan itu sebagian besar
karena keampuhan pedang yang berada di tangan nyonya itu. Sebuah pedang yang
kelihatan buruk, akan tetapi sesungguhnya itulah Hek-liong-kiam yang aseli!
Yauw Ban mencabut pedangnya,
dan kedua orang kembar He-nan Siang-mo mencabut golok mereka. Wanita ini
sebaiknya dibunuh saja, pikir mereka. Pedang-pedang itu sudah hampir jadi dan
kalau sudah jadi, kakek Thio Wi Han dan isterinya ini akan dibunuh, juga dua
orang pemuda tawanan, demikian perintah Hek-sim Lo-mo.
Dan sekarang, wanita ini
sikapnya mencurigakan, agaknya hendak melarikan diri, mungkin ingin minta
bantuan dan hal ini amat berbahaya. Apa lagi kini Nyonya Thio Wi Han agaknya
nekat hendak melakukan perlawanan mati-matian.
Begitu Yauw Ban dan He-nan
Siang-mo memainkan pedang dan golok mereka, wanita itu segera terdesak hebat!
Namun, Nyonya Thio memutar pedangnya melindungi diri.
“Trang-tranggg!” Pedangnya
menangkis dua batang golok dari si kembar, dan dapat dibayangkan betapa kaget
hati He-nan Siang-mo melihat betapa ujung golok mereka yang bertemu dengan
pedang itu menjadi buntung!
“Awas, pedangnya kuat sekali,
jangan mengadu senjata!” teriak Yauw Ban. Dia seorang ahli pedang dan dia
segera mengenal pedang ampuh walaupun pedang itu kelihatan demikian buruknya.
Hal ini tidak mengherankan hatinya mengingat bahwa Thio Wi Han adalah seorang
ahli pedang yang amat pandai.
Kini, dua orang kembar He-nan
Siang-mo menggunakan golok yang ujungnya sudah buntung. Mereka bersikap
hati-hati dan tidak mau mengadu senjata, demikian pula Yauw Ban. Karena memang
tingkat kepandaian mereka lebih tinggi, tentu saja kini wanita itu makin
terdesak hebat, ia terpaksa berloncatan ke sana sini dan berusaha membalas
dengan sambaran pedangnya.
Namun, karena dikeroyok tiga,
akhirnya pundak kirinya tergores golok buntung dan paha kanannya tertusuk
pedang Yauw Ban! Ia terhuyung dan sebelum ia mampu mengatur keseimbangan
dirinya, tangan kiri Yauw Ban berhasil memukul dadanya.
“Desss!” Pukulan itu hebat
sekali. Nyonya Thio Wi Han terpental dan terbanting roboh dalam keadaan nanar
dan setengah pingsan. Namun ia tetap memegangi pedang buruk dengan erat.
Pada saat yang amat berbahaya
bagi keselamatan wanita itu, tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat dan
seorang gadis berpakaian hitam telah menghadang ketika Gin Siong, orang kedua
dari He-nan Siang-mo sudah mengangkat golok buntungnya untuk menghabiskan nyawa
Nyonya Thio. Kaki gadis itu mencuat dan menendang ke arah lengan yang
mengayunkan golok.
Gan Siong maklum bahwa ada
orang yang datang menolong wanita yang sudah menggeletak tak berdaya itu. Dia
marah dan mengubah gerakan goloknya, kini membabat ke arah kaki gadis
berpakaian hitam itu. Akan tetapi, gerakan gadis itu cepat bukan main. Kaki
kirinya yang menendang tadi tiba-tiba saja ditarik kembali dan pada saat golok
menyambar tempat kosong, kaki kanannya sudah melayang dari samping.
“Dukkk!” Tubuh Gan Siong
terjengkang ketika perutnya kena ditendang dari samping dan dia terkejut, juga
kesakitan maka diapun bergulingan untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi, gadis
itu tidak mengejarnya melainkan cepat menyambar tubuh Nyonya Thio yang sudah
payah, lalu memanggulnya.
“Kau...... pakai... pedang
pusaka ini......!” Nyonya Thio sempat berkata sambil menyerahkan pedangnya
kepada gadis itu sebelum ia pingsan di atas pundak gadis itu.
Gadis berpakaian hitam itu
bukan lain adalah Lie Kim Cu atau Hek-liong-li! Melihat keadaan wanita setengah
tua itu yang pingsan dan lukanya parah, Kim Cu menerima pedang itu. Sebatang
pedang yang buruk, akan tetapi ketika dipegangnya, ternyata gagangnya enak
sekali digenggam, dan berat pedang itupun seimbang dan enak pula untuk
dimainkan.
Sementara itu, melihat
kehebatan gadis yang dalam segebrakan saja mampu menendang jatuh Gan Siong,
Yauw Ban terkejut dan memandang tajam penuh selidik dengan sebelah matanya. Dia
teringat akan cerita Kiu-bwe Mo-li dan diapun membentak, “Apakah engkau yang
berjuluk Dewi Naga Hitam?”
Kim Cu tersenyum mengejek.
“Benar, dan sekali ini aku datang untuk membasmi orang-orang berwatak iblis
seperti kalian!”
Yauw Ban sudah marah sekali
dan diapun cepat menyerang dengan pedangnya. Si mata satu ini memang seorang
ahli pedang dan serangannya dahsyat bukan main, pedangnya berkelebat seperti
kilat menyambar. Namun, yang diserangnya sekarang adalah seorang gadis yang
amat lihai, yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari Huang-ho Kui-bo,
maka menghadapi serangan itu, Liong-li atau Kim Cu tidak menjadi gugup dan
iapun menggerakkan pedang butut itu untuk menangkis.
“Wuuss......!” Liong-li
terkejut dan heran. Lawannya yang demikian pandai bermain pedang, juga dari
sambaran pedang tadi dapat diketahui bahwa tenaga sin-kangnya juga amat kuat,
ternyata mengelak dan tidak mau mengadukan pedangnya dengan pedang butut yang
dipegangnya.
Pada saat itu, ia melihat
sepasang orang kembar sudah menyerangnya dan iapun melihat betapa ujung kedua
golok mereka itu buntung. Kim Cu yang lihai dan cerdik segera dapat menduga
mengapa lawannya yang bermata satu dan lihai itu tidak mau beradu pedang. Tentu
karena pedang di tangannya itu, yang nampak buruk, adalah sebatang pedang
pusaka ampuh dan bahwa kedua golok dari orang kembar itupun mungkin telah
buntung oleh pedang di tangannya itu! Maka iapun cepat menggerakkan pedangnya
untuk menangkis atau membabat ke arah sepasang golok yang menyerangnya dari kanan
kiri.
Gerakannya cepat dan pedang
itu mengeluarkan suara mencicit nyaring, juga mendatangkan angin yang dingin,
berubah menjadi gulungan sinar yang melebar dari kanan ke kiri. Dan seperti
juga si mata satu, dua orang kembar itu cepat menarik kembali golok mereka,
jelas bahwa mereka gentar dan tidak berani mengadukan golok mereka dengan
pedang di tangan Liong-li.
Hal ini menggembirakan hati
Liong-li. Dari gerakan tiga orang itu, ia tahu bahwa ia berhadapan dengan
orang-orang yang berilmu tinggi, terutama sekali si mata satu itu. Ia tidak
akan gentar menghadapi mereka dan yakin akan mampu mengalahkan mereka bertiga
kalau saja tidak ada wanita pingsan yang berada di atas pundak kirinya.
Dengan adanya beban itu, tentu
saja ia tidak dapat bergerak dengan leluasa, bahkan amat berbahaya baginya
kalau harus menghadapi pengeroyokan tiga orang itu sambil memanggul orang
pingsan. Akan tetapi, dengan pedang pusaka ampuh itu di tangan, ia akan mampu
melindungi dirinya sendiri dan wanita yang dipanggulnya, dan akan dapat
menyelamatkannya.
“Haiiiitttt......!” Wanita
berpakaian hitam itu mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, jeritan yang
mengandung khi-kang ini membuat He-nan Siang-mo dan Yauw Ban terkejut dan
merasa betapa jantung mereka terguncang hebat. Cepat mereka menggerakkan
senjata melindungi tubuh mereka, karena mereka melihat wanita pakaian hitam itu
memutar pedang seperti baling-baling dan tubuhnya meluncur dengan serangan yang
dahsyat. Hawa dingin menyambar-nyambar dan terpaksa tiga orang ini berloncatan
mundur.
Kesempatan itu dipergunakan
oleh Liong-li untuk meloncat jauh ke kiri dan melarikan diri untuk
menyelamatkan wanita yang pingsan di atas pundaknya itu. Melihat ini, Yauw Ban
dan He-nan Siang-mo tidak berani mengejar, hanya mereka menggerakkan tangan
kiri dan beberapa batang senjata rahasia piauw dan paku beterbangan ke arah
tubuh Liong-li yang sedang melarikan diri.
Liong-li mendengar suara angin
sambaran senjata-senjata rahasia kecil itu. Tanpa menoleh, ia meloncat ke atas
sambil memutar pedangnya ke arah belakang. Semua senjata rahasia yang menyambar
bagian bawah lewat di bawah kakinya dan yang menyambar bagian atas runtuh oleh
tangkisan sinar pedang Hek-liong-kiam.
Tiga orang pembantu utama
Hek-sim Lo-mo hanya memandang dengan mata terbelalak, kagum dan juga jerih
melihat wanita baju hitam itu melarikan tubuh Nyonya Thio dengan kecepatan
bagaikan terbang saja. Mereka bertiga lalu bergegas menuju ke rumah Thio Wi
Han, dan Yauw Ban sendiri cepat mengunjungi Hek-sim Lo-mo di tempat peristirahatannya
untuk melaporkan peristiwa yang baru saja terjadi itu.
Hek-liong-li Lie Kim Cu
berlari cepat untuk meninggalkan tempat berbabaya itu. Kalau saja ia tidak
menerima pedang pusaka ampuh dari wanita itu, agaknya tidak akan demikian mudah
ia dapat menyelamatkan wanita itu. Biarpun ia tidak gentar menghadapi tiga
orang lawannya, namun untuk merobohkan mereka, membutuhkan waktu. Apa lagi
kalau ia harus memanggul tubuh orang, mungkin saja ia malah akan mengalami
kekalahan.
Ia lari masuk ke dalam hutan
yang lebat dan merasa yakin bahwa tiga orang lawan itu tidak melakukan
pengejaran. Tiba-tiba ia berhenti dan cepat ia menyelinap ke balik sebatang
pohon besar. Ada langkah kaki orang berlari ke arahnya! Agaknya ada pula yang
melakukan pengejaran! Dengan pedang di tangan kanan dan tubuh Nyonya Thio
dipanggul di atas pundak kiri, Liong-li siap siaga, seluruh urat syaraf di
tubuhnya menegang.
Suara langkah kaki orang
berlari itu semakin dekat dan kini orang itu memperlambat larinya, bahkan
berjalan biasa ketika tiba di dekat tempat Liong-li bersembunyi. Wanita ini
melihat seorang laki-laki yang usianya sekitar duapuluh lima tahun, berpakaian
putih, tangan kanan memegang sebatang pedang yang buruk, tangan kiri memanggul
tubuh seorang kakek yang kelihatannya menderita luka parah.
Tak salah lagi, tentu seorang
anak buah Hek-sim Lo-mo pula yang entah telah menangkap siapa. Tanpa banyak
cakap lagi, Liong-li lalu melompat keluar dan menerjang dengan bacokan
pedangnya ke arah kepala orang berpakaian putih itu.
“Singgg......!” Pedang di
tangannya menyambar dahsyat dan mengeluarkan hawa dingin.
Orang muda itu nampak
terkejut, akan tetapi tidak menjadi gugup dan dengan gerakan yang cepat diapun
mengangkat pedang di tangannya untuk menangkis. Melihat ini, girang rasa hati Liong-li
karena ia merasa yakin bahwa pedang pusakanya tentu akan membabat buntung
pedang lawan itu.
“Trangggg......!!” Nampak
bunga api berpijar dan keduanya merasa betapa lengan tangan mereka tergetar
hebat sampai menembus ke dalam dada dan keduanya terdorong mundur sampai lima
langkah! Liong-li terkejut bukan main! Pedang orang itu sama sekali tidak
buntung, bahkan selain mampu menahan pedang pusaka di tangannya, juga tenaga
yang terkandung di balik pedang itu amat kuatnya!
Di lain pihak, orang berpakaian
putih itu yang bukan lain adalah Tan Cin Hay, juga terkejut bukan main. Tadi
dia sedang melarikan tubuh Thio Wi Han yang pingsan ketika tiba-tiba ada orang
menyerangnya. Tak disangkanya bahwa penyerangnya itu seorang gadis berpakaian
hitam yang selain memiliki pedang pusaka yang kuat pula, juga memiliki sin-kang
yang mampu menandinginya! Keduanya kini saling pandang dengan penuh perhatian
dan keduanya kagum.
Liong-li melihat seorang
pemuda yang berwajah tampan dan lembut, nampaknya seperti seorang sastrawan
lemah saja, sepasang matanya mencorong dan pakaiannya yang serba putih itu
nampak bersih, dengan potongan sederhana. Kakek yang dipanggul pemuda itu
nampaknya terluka berat dan pingsan, dengan muka agak kehitaman seperti
keracunan.
Sebaliknya, Cin Hay juga kagum
melihat seorang wanita muda berpakaian serba hitam yang cantik manis. Wajah itu
bulat telur, dengan dagu meruncing, mulutnya kecil dengan bibir yang merah
basah tanpa gincu. Di bawah mata kiri ada tahi lalat di atas pipi dan wanita
itu memiliki sepasang mata yang tajam, mulutnya yang indah itu menyungging
senyuman sinis sehingga nampak lesung pipit di tepi mulut. Manis sekali, akan
tetapi sepasang mata itu membayangkan ketabahan, keberanian, kegalakan dan juga
kecerdikan, membuat Cin Hay yang terkagum-kagum itu menjadi waspada. Seorang
lawan yang amat berbahaya, pikirnya.
Liong-li mempunyai watak yang
tidak mau kalah. Begitu tadi beradu pedang, iapun tahu bahwa ia berhadapan
dengan seorang lawan tangguh yang memiliki sebatang pedang pusaka ampuh. Ini
bukan lawan seperti tiga orang yang mengeroyoknya tadi, jauh lebih lihai. Akan
tetapi tentu saja ia tidak merasa gentar, apa lagi melihat betapa orang inipun
memanggul tubuh seorang yang pingsan. Jadi keadaan mereka sama benar! Hal ini
membuat ia merasa penasaran kalau belum dapat mengalahkan laki-laki tampan itu.
“Lihat pedang!” bentak
Liong-li dan kembali ia menyerang dengan dahsyatnya. Pedang- nya membuat
lingkaran di atas kepalanya, makin lama semakin lebar dan akhirnya dari dalam
gulungan sinar pedang itu menyambar mata pedang, bagaikan kilat cepatnya
menyambar ke arah leher Cin Hay! Bukan hanya dahsyat sekali serangan ini,
melainkan juga amat indah gerakannya sehingga Cin Hay memandang kagum. Namun
diapun tahu akan bahayanya serangan lawan, maka cepat dia meloncat ke belakang,
menggerakkan pedangnya menangkis dari samping.
“Cringgg......!” Kembali bunga
api berpijar, dan pedang di tangan Cin Hay, begitu bertemu pedang lawan sengaja
dia pentalkan ke samping untuk terus membabat ke arah pergelangan tangan lawan
yang memegang pedang. Akan tetapi, Kim Cu juga sudah tahu akan siasat ini dan
cepat ia menarik kembali pedangnya yang tertangkis, memutar pergelangan
tangannya sehingga pedangnya membentuk lingkaran menutup serangan lawan yang
terpaksa menarik kembali pedangnya karena jalan ke arah lengan gadis itu
tertutup sudah.
Terjadilah perkelahian pedang
yang amat cepat, amat kuat dan juga amat indah dipandang. Tubuh keduanya
seperti digulung sinar hitam dan putih! Tanpa mereka sadari, pertemuan pedang
yang berkali-kali itu, disertai tenaga sin-kang yang amat kuat, membuat kedua
pedang itu tergetar hebat dan cat yang menutupi kedua pedang itu terlepas dan
kini nampaklah bentuk aseli kedua pedang itu.
Pedang di tangan Cin Hay
berubah menjadi sebatang pedang berwarna putih gelap dan sinar pedangnya
menjadi putih, sedangkan pedang di tangan Kim Cu menjadi sebatang pedang hitam
yang sinarnya hitam sekali. Juga pedang-pedang itu amat indahnya, buatannya
halus dan ada ukiran naga di batang pedang-pedang itu.
Pedang Naga Putih dan Pedang
Naga Hitam! Pedang jantan dan pedang betina yang terbuat dari Kim-san Liong-cu
dicampur baja biru. Inilah sepasang pedang pusaka yang asli, buatan kakek Thio
Wi Han yang dipesan oleh Hek-sim Lo-mo. Adapun sepasang pedang yang hampir
serupa bentuknya, yang palsu, terjatuh ke tangan Kiu-bwe Mo-li dan Lui Teng.
Setelah bertanding selama
belasan jurus, baik Cin Hay maupun Kim Cu merasa betapa lihainya lawan. Cin Hay
merasa khawatir sekali kalau-kalau pedang hitam gadis itu akan melukai tubuh
Thio Wi Han yang dipanggulnya. Maka dia lalu meloncat agak jauh ke belakang
sambil berseru.
“Berhenti!”
Kim Cu yang merasa penasaran,
mukanya sudah menjadi merah. Ia mendongkol sekali tidak mampu mengalahkan
pemuda ini dan ia pun menahan gerakan pedangnya sambil memandang dengan mata
mendelik. Ketika mereka saling berpandangan itulah, di dalam hati masing-masing
timbul kekaguman.
Liong-li melihat seorang pria
muda yang sudah cukup dewasa, berwajah tampan, berbentuk sedang dan sederhana
dan bersikap gagah sekali. Bukan ketampanan pemuda ini yang menarik hati
Liong-li, melainkan sinar mata mencorong dan sikap yang penuh kegagahan tanpa
ada bayangan kesombongan itu.
Di lain pihak, Cin Hay juga
kagum sekali melihat lawannya. Seorang wanita muda yang usianya kurang lebih
duapuluh tiga tahun, wajahnya amat manis dengan mulut yang kecil akan tetapi
bibirnya penuh dan merah basah menggairahkan. Di bawah mata kirinya ada tahi
lalat di atas pipi. Ketika wanita muda itu tersenyum mengejek, nampak lesung
pipit di pinggir mulut. Seorang wanita yang cantik jelita dan manis, dengan
bentuk tubuh yang padat berisi, kulit muka dan leher yang putih mulus, akan
tetapi yang lebih dari segalanya adalah matanya yang bersinar-sinar tajam dan
sikapnya yang gagah perkasa penuh keberanian itu.
Mereka bukan hanya mengamati
diri masing-masing lawan penuh perhatian, akan tetapi juga memandang ke arah
pedang lawan dan merekapun kagum. Cin Hay melihat betapa wanita yang pakaiannya
serba hitam itu memegang sebatang pedang yang juga berwarna hitam! Dan pedang
itu tadi ternyata sudah membuktikan keampuhannya, mampu menandingi pedang di
tangannya Sebaliknya Liong-li juga mengamati pedang di tangan pemuda berpakaian
putih itu, sebatang pedang yang berwarna putih dan yang ampuh sekali.
“Hemm, keparat, mengapa
berhenti? Takutkah engkau?” bentaknya dengan senyum mengejek.
Cin Hay adalah orang yang
pendiam dan sabar, akan tetapi entah bagaimana, senyum mengejek dan pandang
mata wanita muda itu, apa lagi kata-katanya membuat perutnya terasa panas juga.
Selain itu, juga ada perasaan penasaran di dalam hatinya karena tadi dia sudah
merasakan betapa lihainya wanita ini sehingga baik tenaga maupun pedangnya
dapat ditandingi oleh wanita galak itu. Dia merasa tidak percaya kalau dia
tidak mampu mengalahkannya dan timbul keinginannya untuk menguji sampai di mana
kepandaian wanita itu dan kalau mungkin mengalahkannya untuk memberi hajaran
atas kesombongannya.
“Aku tidak takut sama sekali!
Aku minta berhenti karena pertandingan antara kita dapat melukai kakek yang
kupanggul dan hal ini tidak kukehendaki sama sekali.”
“Bagus! Akupun tidak ingin
nenek ini terluka. Nah, mari kita turunkan mereka lebih dulu, baru kita
lanjutkan pertandingan kita kalau memang engkau berani!”
“Huh, siapa takut padamu?” Cin
Hay semakin panas ditantang oleh wanita itu.
Mereka menurunkan tubuh kakek
dan nenek itu dari panggulan mereka, kemudian tanpa banyak cakap lagi keduanya
sudah saling terjang seperti dua ekor singa kelaparan yang berebut mangsa, atau
lebih tepat lagi, seperti sepasang naga memperebutkan mustika! Seekor naga
putih dan seekor naga hitam saja layaknya mereka itu.
Cin Hay berpakaian putih dan
memegang pedang putih, sedangkan Liong-li berpakaian hitam dan memegang pedang
hitam. Mereka tidak tahu bahwa nama pedang di tangan mereka itupun
Pek-liong-kiam (Pedang Naga Putih) dan Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam)!
Permainan pedang mereka amat hebatnya. Karena maklum bahwa lawan amat tangguh,
keduanya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan kepandaian simpanan
sehingga kini tubuh mereka lenyap menjadi bayangan putih dan bayangan hitam,
dan pedang merekapun menciptakan gulungan sinar putih dan hitam yang saling
belit dan saling tekan.
Makin lama serangan mereka
semakin dahsyat dan keduanya juga menjadi semakin kagum di samping rasa
penasaran karena sama sekali mereka tidak mampu mendesak lawan. Cin Hay dapat
melihat bahwa ilmu pedang wanita itu amat ganas dan penuh tipu daya, ciri khas
ilmu silat dari golongan sesat, namun sungguh telah menduduki tingkat tinggi
sehingga ilmunya sendiri yang sudah mantap dan bersih itu tidak mampu
mendesaknya.
Sebaliknya, Liong-li, hampir
menangis saking penasaran karena ilmu pedangnya seolah-olah membentur tembok
baja yang membuat semua serangannya gagal dan membalik! Saking penasaran, ia
lupa bahwa yang bertanding dengannya bukanlah musuh, bahkan sama sekali tidak
dikenalnya dan mereka bertandingpun tanpa alasan tertentu!
Ia lupa akan hal ini dan
tiba-tiba Lie Kim Cu mengeluarkan bentakan-bentakan dengan suara melengking
nyaring. Ia telah menambah serangannya dengan dorongan-dorongan tangan kirinya
yang berubah merah, karena ia telah mempergunakan ilmu pukulan beracun
Hiat-tok-ciang!
Cin Hay terkejut bukan main.
Dia agak lengah tadi, sama sekali tidak mengira bahwa wanita secantik itu dapat
mengeluarkan ilmu pukulan sekeji itu! Dikiranya bahwa wanita berpakaian hitam
itu hanya mengeluarkan pukulan biasa saja, didorong tenaga sin-kang, maka
melihat tangan kiri itu mendorong ke arah dadanya, diapun menarik kaki kanan ke
belakang dan menyambut tangan kiri lawan itu dengan tangan kirinya pula,
menangkis dari samping dalam.
“Plakkk!” Dua telapak tangan
bertemu dan akibatnya Cin Hay mengeluarkan teriakan kaget dan tubuhnya
terpelanting!
Kesempatan itu dipergunakan
oleh Liong-li Lie Kim Cu untuk mendesak dengan pedangnya, menyambar ke arah
pundak Cin Hay, bukan untuk membunuh melainkan hanya melukai pundak saja. Akan
tetapi, biarpun Cin Hay merasa betapa tadi hawa panas menyusup melalui telapak
tangannya yang menangkis, membuat tubuhnya terpelanting dan dadanya terguncang,
dia masih dapat menggerakkan pedangnya menangkis dari bawah.
“Trang-cring-tranggg......!”
Tiga kali pedang Liong-li menyambar dan tiga kali pula Cin Hay menangkis. Akan
tetapi pemuda itu merasa betapa pandang matanya berkunang-kunang. Dia telah
terkena pukulan beracun! Kalau perkelahian itu dilanjutkan, dia akan celaka.
Dia harus bersila dan menghimpun hawa murni untuk mengusir hawa beracun itu,
akan tetapi lawannya tidak memberi kesempatan.
Tiba tiba terdengar seruan
kakek dan nenek itu hampir berbareng, “Tahan senjata.....! Jangan berkelahi
antara orang sendiri......!
Seruan ini mengejutkan
Liong-li yang segera meloncat ke belakang sambil membalikkan tubuhnya untuk
memandang kepada nenek yang tadi dipanggulnya. Cin Hay merasa bersyukur karena
terbebas dari ancaman maut dan diapun cepat duduk bersila, memandang kepada
kakek Thio Wi Han.
Cin Hay dan Kim Cu memandang
kepada kakek dan nenek itu yang kini sudah saling rangkul dalam keadaan luka
parah dan mereka itu terhuyung menghampiri mereka, akan tetapi lalu menjatuhkan
diri duduk di atas tanah sambil saling memapah.
“Orang muda, kenapa engkau
berkelahi dengan nona ini?” Thio Wi Han bertanya.
Tadi dia siuman dari
pingsannya dan hampir bersamaan, isterinya juga siuman. Mereka saling
menghampiri dengan girang karena bagaimanapun juga, keduanya masih hidup dan
dapat saling berjumpa. Akan tetapi mereka berdua tidak mengerti mengapa dua
orang muda yang sakti itu kini saling serang mati-matian.
Dengan singkat mereka saling
menceritakan pengalaman masing-masing dan tahulah mereka bahwa dua orang yang
saling serang itu adalah penolong mereka dan mungkin terjadi salah paham.
Biarpun keduanya sudah terluka parah, mereka mengumpulkan sisa tenaga untuk
mendekati dua orang yang saling berkelahi itu dan mereka berteriak-teriak
menyuruh mereka berhenti berkelahi.
“Aku tidak tahu, locianpwe.
Aku sedang berjalan melarikan locianpwe dari pengejaran musuh, tiba-tiba saja
ia muncul dan menyerangku. Tentu ia seorang di antara anak buah Hek-sim Lo-mo!”
“Ngaco!” Liong-li membentak,
“Engkaulah anak buah Hek-sim Lo-mo, maka aku menyerangmu.”
“Aku bukan anak buah Hek-sim
Lo-mo!” bantah Cin Hay.
“Akupun bukan!” Liong-li Lie
Kim Cu tidak mau kalah.
“Aih, sudahlah......!” kata kakek
Thio Wi Han terengah. “Ketahuilah, nona yang perkasa, yang kautolong adalah
isteriku, aku adalah Thio Wi Han dan pemuda ini menolongku terlepas dari tangan
anak buah Hek-sim Lo-mo, Akan tetapi aku...... ah, aku terluka parah......”
“Jangan terlalu...... banyak
bicara....!” Isterinya merangkulnya, juga dalam keadaan payah.
“Kami...... berdua terluka
parah..... tubuh kami yang tua tidak sanggup menahan... ketahuilah...... pedang
yang kalian pegang itu... adalah Pek-liong-kiam... dan Hek-liong-kiam.....
jantan dan betina...... berasal dari Kim-san Liong-cu... jangan sampai terjatuh
ke tangan Hek-sim..... Lo-mo. Kuberikan kepada kalian... pergunakanlah
sebaiknya......” Kakek itu terkulai. Isterinya menjerit lalu terkulai pula.
Ketika Cin Hay dan Kim Cu
menubruk dan memeriksa, ternyata keduanya telah tewas!
Dalam keadaan masih berlutut
saling berhadapan, terhalang dua tubuh tak bernyawa lagi itu, Cin Hay dan Kim
Cu saling pandang. Sampai lama mereka saling pandang, lalu Kim Cu tersenyum,
teringat akan perkelahian mereka tadi. Cin Hay juga tersenyum, senyum kecut
karena perkelahian itu tadi membuatnya menderita luka dalam yang ditahannya dan
tidak ingin diperlihatkannya kepada lawan atau bekas lawan itu.
“Kita harus kubur
mereka......” katanya lirih.
Kim Cu mengangguk setuju, “Ya,
dalam satu lubang. Mereka saling mencinta sampai mati.”
Cin Hay mengerutkan alisnya
mendengar ucapan ini, akan tetapi tidak membantah dan tanpa bicara lagi
keduanya lalu saling bantu menggali tanah. Cukup dalam dan lebar untuk mengubur
dua jenazah itu. Biarpun secara amat sederhana, tanpa peti, namun dengan penuh
khidmat Cin Hay dan Kim Cu mengubur jenazah kakek Thio Wi Han dan isterinya
yang tewas secara gagah berani itu.
Setelah memberi penghormatan
terakhir, tiba-tiba Cin Hay roboh terguling. Sejak tadi, dia telah menahan
penderitaannya karena nyeri akibat pukulan beracun Kim Cu tadi. Dia menahannya
saja, dan ketika dia harus menggunakan tenaga untuk menggali lubang dan
mengubur dua mayat, dia telah mengerahkan tenaga yang membuat lukanya semakin
parah. Akhirnya, dia tidak kuat menahan lagi dan ketika memberi penghormatan di
depan makam, dia terguling dan jatuh pingsan.
“Ehhh......??!!” Kim Cu
terkejut dan heran sekali. Cepat ia berlutut di dekat tubuh pemuda itu dan
memeriksanya. Melihat tanda merah di pergelangan tangan pemuda itu, barulah ia
tahu bahwa pemuda itu telah terluka oleh pukulan Hiat-tok-ciang yang
dilakukannya tadi!
“Ah, kiranya dia luka oleh
Hiat-tok-ciang tadi?” bisiknya dengan hati menyesal.
Pemuda ini seorang pendekar
budiman yang telah menyelamatkan kakek Thio Wi Han dan biarpun ia belum
mendengar semua duduknya perkara, ia sudah dapat menduga bahwa pemuda itu
seorang yang lihai sekali dan juga gagah perkasa, menimbulkan rasa kagum dan
suka di dalam hatinya. Kini, pemuda itu terluka beracun oleh pukulannya.
Tanpa ragu-ragu lagi Kim Cu
lalu membuka kancing baju pemuda itu. Sejenak mukanya berubah kemerahan.
Teringat ia akan pengalaman-pengalamannya yang lalu, ketika ia secara terpaksa
sekali harus melayani para pria sebagai seorang pelacur! Betapa ia sudah pandai
dan hafal cara membuka pakaian langganannya dengan cara yang menarik!
Akan tetapi, segera diusirnya
ingatannya ini. Ia kini adalah Liong-li! Ia sekarang adalah seorang wanita
perkasa dan di depannya terdapat seorang pria yang terluka oleh pukulannya,
seorang pria yang sama sekali tidak berdosa! Ia harus menebus kekeliruannya itu
dan harus menyembuhkannya!
Kini wajahnya biasa saja dan
jari-jari tangannya dengan cekatan membukai semua kancing baju pemuda itu dan
menanggalkan baju itu. Nampaklah dada yang bidang, dengan kulit yang putih
sehat, tegap dan kuat. Akan tetapi seperti yang diduganya, di sebagian dada
kiri terdapat tanda merah dan itu menandakan bahwa racun dari Hiat-tok-ciang
yang tadinya mengenai tangan pemuda itu ketika beradu lengan dengannya, telah
menjalar ke atas dan hawa beracun telah memasuki dada sebelah kiri.
Dengan ilmu kepandaiannya yang
demikian tinggi, pasti pemuda itu akan mampu mempergunakan sin-kang dan hawa
murni untuk menekan hawa beracun itu keluar, akan tetapi ia merasa heran sekali
mengapa pemuda itu tidak segera melakukannya, bahkan nekat menggali lubang dan
mengubur dua jenazah itu sehingga racun itu hawanya makin menjalar naik sampai
ke dada. Hemm, agaknya pemuda ini tadi merasa malu kepadanya maka menahan semua
kenyerian itu, dan akan mengobatinya kalau sudah sendirian. Akan tetapi agaknya
dia terlalu memandang rendah kepada akibat Hiat-tok-ciang!
Dengan tenang tanpa ragu-ragu,
Kim Cu lalu meletakkan kedua telapak tangannya ke pundak dan dada kiri pemuda
itu, lalu mengerahkan sin-kangnya dan mendorong keluar hawa beracun dari
Hiat-tok-ciang itu. Ia bersila dekat pemuda itu dan kurang lebih setengah jam
saja, warna merah yang tadi nampak di dada kiri pemuda itu telah lenyap dan
kini turun ke lengan kiri.
Kim Cu memandang wajah pemuda
itu. Wajah yang tampan dan halus, seperti wajah seorang pemuda pelajar, tidak
pantas menjadi wajah seorang yang memiliki ilmu silat demikian tingginya. Ia
kagum. Pemuda ini memang hebat ilmu silatnya. Kalau tadi ia tidak mempergunakan
Hiat-tok-ciang, belum tentu ia menang.
Dan iapun dapat menduga bahwa
pemuda itu agaknya tidak mengira bahwa ia menghadapi pukulan beracun, maka
sampai dapat terpengaruh dan terkena hawa beracun. Wajah itu ketika dalam
keadaan tidak sadar, nampak seperti orang tidur saja, dan nampak muda sekali.
“Hemm, orang muda yang
malang......” katanya lirih.
Cin Hay membuka matanya,
bingung melihat dia rebah telentang dan wanita cantik itu bersila di dekatnya. “Apa......
apa kaubilang?” tanyanya, masih agak nanar.
“Aku bilang, engkau orang muda
yang malang......”
“Hemm, aku tidak muda lagi!
Tentu lebih tua darimu, nona!”
“Kalau begitu......, laki-laki
yang malang!”
Entah mengapa dia sendiripun
tidak tahu, akan tetapi hatinya senang mendengar dia disebut laki-laki, bukan
orang muda! Dan pada saat itu diapun melihat bahwa bajunya telah dilucuti
orang, maka serentak diapun bangkit duduk dan menutupi dadanya dengan kedua
tangan. Melihat ini, Kim Cu tak dapat menahan diri lagi tertawa.
Cin Hay menyambar pakaian atas
itu cepat memakainya sambil memandang kepada wanita itu dengan alis berkerut.
“Kenapa kau tertawa?”
Dia merasa bahwa dia
ditertawai karena wanita itu tertawa sambil terus memandang kepadanya. Dia merasa
mendongkol juga walaupun harus diakuinya bahwa wanita itu sungguh manis sekali
kalau tertawa, tertawa bebas dan tidak malu-malu. Mulutnya terbuka sehingga
kelihatan deretan gigi yang rapi dan putih seperti mutiara, rongga mulut yang
merah dan ujung lidah yang merah muda.
Kini Kim Cu menggunakan
saputangan untuk menahan ketawanya, menutupi mulutnya dengan saputangan dan
gerakan ini demikian penuh gaya kewanitaan yang lembut.
“Engkau...... lucu! Kenapa
dadamu kau tutupi? Hik-hik, engkau ini laki-laki tulen kenapa malu kelihatan
dadanya?”
Cin Hay melompat berdiri,
mukanya menjadi merah. “Kenapa engkau menanggalkan bajuku? Tentu engkau yang
melakukannya! Tak tahu malu! Kenapa engkau menanggalkan bajuku?”
Kim Cu masih duduk di atas
tanah sambil memandang dengan senyum manis sekali. Hatinya makin senang, makin
kagum. Laki-laki ini marah-marah karena bajunya ia tanggalkan! Ohh, pada hal,
semua laki-laki dahulu berebut untuk ditanggalkan pakaiannya olehnya! Jelas
bahwa pria yang satu ini memang lain sama sekali.
“Orang tak mengenal budi!
Engkau roboh pingsan karena terkena hawa pukulan beracun. Aku telah membantumu
menghilangkan hawa beracun dari dadamu, dan engkau malah menuduhku yang
bukan-bukan? Aku tidak tahu malu, ya? Bagus sekali! Apakah engkau menantangku
untuk mengadu kepandaian lagi?”
Kim Cu meloncat bangun dan
kini ia sudah memasang kuda-kuda yang indah, kaki kanan diangkat dan ditekuk
sehingga lututnya hampir menempel dada, lengan kanan diangkat lurus menuding ke
atas, tangan kiri melingkar di depan pinggang.
Kini Cin Hay teringat dan dia
meraba-raba dada kirinya. Rasa nyeri itu sudah hilang dari dadanya, dan tinggal
di bagian lengan kiri saja, dari siku ke bawah. Tahulah ia bahwa apa yang
diucapkan wanita ini memang benar. Wanita itu telah melukainya dengan pukulan
beracun, ketika ia pingsan wanita ini pula yang telah mengobatinya, dan ia
malah memaki-makinya.
Tadinya dia menduga bahwa
wanita ini tidak tahu malu! Diapun merasa lega, mukanya berubah merah dan
diapun tertawa geli melihat betapa wanita itu sudah memasang kuda-kuda siap
untuk bertanding mati-matian.
Kim Cu mengerutkan alisnya,
diam-diam melirik ke arah kaki tangannya. Apakah kuda-kudanya jelek maka pemuda
itu mentertawainya.
“Ehh? Kenapa engkau tertawa?
Mentertawai aku, ya?”
Cin Hay cepat memberi hormat
merangkapkan kedua tangan di depan dada.
“Minta ampun, sama sekali aku
tidak mentertawaimu, nona. Mana aku berani? Aku mentertawai kebodohanku
sendiri. Aku yang tidak tahu malu, nona. Engkau sih...... tahu malu sekali. Aku
yang tolol dan aku berterima kasih, nona. Nah, untuk membuktikan bahwa aku yang
tidak tahu malu, biar kubuka lagi baju ini agar engkau dapat melanjutkan
pengobatanmu, karena aku masih merasa nyeri di lengan kiriku.”
Cin Hay lalu menanggalkan
bajunya dan berdiri dengan tubuh atas telanjang di depan Kim Cu, sama sekali
tidak kelihatan malu-malu seperti tadi lagi karena dia sudah tidak menduga yang
bukan-bukan terhadap Kim Cu.
Anehnya, kini wajah Kim Cu
yang menjadi kemerahan! Ia sendiri merasa heran. Sudah sering ia melihat dada
orang, dada pria yang telanjang. Kenapa kini jantungnya berdebar melihat dada
laki-laki yang tidak dikenalnya ini? Pada hal tadi, meraba dada itu untuk
mengobatinya, ia sama sekali tidak merasa apa-apa! Bodoh kau, Kim Cu, makinya
kepada diri sendiri. Seperti seorang perawan saja kau! Tak tahu malu!
“Ke sinikan lenganmu, biar
kuobati,” katanya sambil duduk dan Cin Hay juga duduk di depannya. Keduanya
duduk bersila, berhadapan dan Cin Hay menjulurkan lengan kirinya.
Sejenak Kim Cu memandang dada
itu, lengan itu, bulu hitam di bawah pangkal lengan itu, akan tetapi ia segera
dapat menguasai perasaannya, membuang jauh-jauh getaran dan gejolak perasaan
mudanya, lalu menangkap lengan itu dan menempelkan telapak tangan kanannya ke
atas lengan kiri Cin Hay, mengerahkan sin-kangnya.
Cin Hay merasakan betapa ada
hawa yang hangat memasuki lengannya, terasa nyaman sekali. Tiba-tiba dia
memejamkan kedua matanya dan dia harus mengerahkan seluruh kekuatan batinnya
untuk melawan gairah berahi yang tiba-tiba timbul. Sentuhan jari tangan wanita
itu pada lengannya, seolah-olah menyusup ke dalam hatinya dan terasa begitu
hangat, begitu lunak dan lembut, mengandung getaran mesra.
Cin Hay segera mengerahkan
kekuatannya untuk mematikan semua rasa dan menutup ingatannya. Pikiran yang
biasanya menuntun rasa dan membangkitkan gairah berahi itu. Diapun berperang
sendiri dengan pikirannya dan akhirnya diapun dapat menguasai dirinya,
menguasai tubuh dan perasaannya dan menjadi tenang kembali biarpun tubuhnya
kini menjadi basah oleh keringat!
Biarpun usianya baru duapuluh
tiga tahun, namun Hek-liong-li atau Lie Kim Cu adalah seorang wanita yang sudah
banyak pengalamannya dengan kaum pria, biarpun pengalaman itu datang kepadanya
secara terpaksa. Maka iapun dapat merasakan dan tahu bahwa tadi pemuda yang
diobatinya itu telah dibakar berahi. Akan tetapi, ia melihat pula perjuangan
Cin Hay melawan gairah itu dan pemuda itu berhasil, walaupun kini tubuhnya
penuh keringat. Diam-diam Kim Cu menjadi semakin kagum.
Pemuda ini memang bukan pria
sembarangan yang mudah hanyut oleh nafsunya sendiri, pikirnya. Sukar mencari
seorang pria seperti ini. Seorang pria pilihan! Iapun melepaskan lengan itu
karena semua hawa beracun akibat pukulan Hiat-tok-ciang telah bersih dari
lengan itu.
Cin Hay membuka mata memandang
lengannya, menggerak-gerakkannya dan memang sama sekali sudah pulih, tidak ada
rasa nyeri lagi.
“Terima kasih, engkau baik
sekali, nona,” katanya sambil mengenakan bajunya yang putih.
Sepasang mata yang tajam
bersinar itu mengamati wajah Cin Hay penuh selidik, agaknya sinar mata itu
ingin menjenguk isi hati pemuda itu, kemudian Liong-li bertanya, “Hemm, engkau
ini memuji ataukah mengejek, heh?”
Cin Hay memandang terbelalak.
“Tentu saja memuji, mengapa mesti mengejek?”
“Akulah yang membuat engkau
keracunan, masa untuk itu engkau memujiku?”
“Ah, itukah? Akan tetapi,
ketika itu engkau menganggap aku sebagai musuh, nona, dan untuk mengalahkan
musuh, engkau mempergunakan ilmu yang paling ampuh untuk itu, engkau tidak
bersalah.”
Kim Cu hanya tersenyum saja,
akan tetapi diam-diam ia masih penasaran. Memang tadi ia mampu mengalahkan
pemuda ini, akan tetapi kalau pemuda itu siap siaga sebelumnya, kiranya akan
mampu menolak pukulan beracun Hiat-tok-ciang itu. Ia menang karena curang dan
ia sebenarnya masih ingin sekali menguji kepandaian mereka berdua, siapa yang
sesungguhnya lebih unggul. Akan tetapi tentu saja ia merasa tidak enak.
Ia lalu melirik ke arah pedang
yang sudah dipasang di pinggang pemuda itu. Sebatang pedang pusaka yang baik
sekali, tidak kalah oleh pedang yang diberikan kepadanya oleh nenek tadi.
Apa nama pedang pemuda itu?
Pek-liong-kiam! Dan pedangnya sendiri Hek-liong-kiam sungguh tepat sekali
menjadi miliknya. Bukankah ia juga mempunyai julukan Hek-liong-li (Dewi Naga
Hitam)? Maka sudah sepatutnya menjadi pemilik pedang pusaka Hek-liong-kiam
(Pedang Naga Hitam)! Akan tetapi pemuda itu, pantaskah menjadi pemilik
Pek-liong-kiam?
“Siapakah namamu?” tiba-tiba
Kim Cu bertanya. “Aku sendiri dikenal orang sebagai Hek-liong-li!”
Cin Hay mengerutkan alisnya.
Wanita ini bagaimanapun juga sungguh tinggi hati. Menanyakan namanya akan
tetapi tidak mau memperkenalkan nama sendiri melainkan memperkenalkan nama
julukannya! Akan tetapi di samping rasa tidak puas ini, diapun terheran.
Julukan wanita ini
Hek-liong-li! Sedangkan dia sendiri dijuluki Pek-liong-eng (Pendekar Naga
Putih). Dia tadi sudah merasa heran akan hal yang amat kebetulan itu. Dia
berjuluk Pendekar Naga Putih dan oleh kakek Thio Wi Han diberi Pedang Naga Putih!
“Aku dikenal orang sebagai
Pek-liong-eng,” jawabnya singkat.
Sepasang mata itu terbelalak
dan muka yang cantik itu menjadi kemerahan. Merah karena marah. Kedua tangan
yang kecil itu dikepal dan sikapnya seperti hendak memukul sehingga diam-diam
Cin Hay juga siap siaga kalau-kalau dirinya diserang.
“Wah, engkau ini kiranya
memang kurang ajar!” bentaknya marah.
Cin Hay yang terbelalak kini.
“Aku? Kurang ajar? Eh-eh, bagaimana sih engkau ini, nona? Apa maksudmu
mengatakan aku kurang ajar?”
“Engkau hanya ikut-ikutan aku
saja! Apakah engkau bermaksud menghinaku? Katakan saja kalau engkau hendak
menantang untuk bertanding sampai sejuta jurus! Aku tidak takut!”
“Sejuta jurus! Wah, mana kuat,
nona. Sungguh mati, bersumpah disaksikan bumi dan langit aku tidak bermaksud
menghinamu, nona, dan akupun sama sekali tidak ikut-ikutan. Karena tadi nona
hanya memperkenalkan julukan, maka kukira nona tidak ingin berkenalan,
maksudku, tidak ingin saling memperkenalkan nama, maka akupun tadi hanya
memperkenalkan nama julukan yang kuterima dari orang-orang. Aku memang disebut
Pek-liong-eng, mungkin karena aku selalu mengenakan pakaian putih, dan namaku
sendiri adalah Tan Cin Hay.”
Kim Cu menelan kemarahannya,
bahkan kini ia merasa sungkan dan malu. Kembali ia telah salah sangka. Mengapa
ia selalu berprasangka buruk terhadap orang ini? Mungkin karena ia memang mulai
membenci pria sejak ia dipaksa melayani bermacam-macam pria itu, yang dilakukan
penuh kejijikan dan kedukaan.
“Betapa anehnya kebetulan
ini,” katanya tanpa meminta maaf, “Engkau berjuluk Pek-liong-eng dan engkau
memperoleh warisan Pek-liong-kiam, sedangkan aku berjuluk Hek-liong-li dan aku
memperoleh warisan Hek-liong-kiam pula!”
“Agaknya inilah yang dinamakan
jodoh, nona.”
Kembali mata itu berkilat.
“Siapa yang berjodoh?” tanyanya dengan suara kering, agaknya kembali ia
berprasangka buruk, mengira bahwa Cin Hay hendak menggodanya.
“Siapa lagi kalau bukan
kita...... dengan pedang-pedang itu, nona. Engkau berjodoh dengan
Hek-liong-kiam dan akupun berjodoh dengan Pek-liong-kiam. Dan kitapun saling
berjodoh untuk bekerja sama, setidaknya untuk menghadapi Hek-sim Lo-mo.”
“Hemm, siapa membutuhkan
bantuanmu? Seorang diri saja aku sanggup membasmi Hek-sim Lo-mo dengan kaki
tangannya. Kau boleh tunggu dan lihat saja!” Berkata demikian, Kim Cu sudah
meloncat jauh dan berlari cepat meninggalkan Cin Hay.
“Heiii! Nona, tunggu
dulu......!!” Cin Hay juga melompat dan mengejar.
Melihat pemuda itu mengejar,
Liong-li lalu “tancap gas” dan ngebut secepatnya. Tubuhnya melesat ke depan
bagaikan anak panah terlepas dari busurnya sehingga sebentar saja Cin Hay
tertinggal jauh. Pemuda itu terkejut dan kagum, akan tetapi diapun tidak mau
kalah begitu saja.
Kesempatan ini agaknya
dipergunakan oleh mereka berdua untuk bertanding ilmu berlari cepat. Liong-li
tidak mau kalah dan ia mengerahkan seluruh gin-kang (ilmu meringankan tubuh)
dan kekuatan larinya, akan tetapi Cin Hay juga mengerahkan seluruh tenaga dan
ternyata dalam hal ilmu berlari cepat inipun tingkat mereka seimbang! Akan
tetapi agaknya Cin Hay lebih menang dalam hal pernapasan karena akhirnya wanita
itupun berhenti karena napasnya terengah-engah.
Dengan marah karena tentu
pernapasannya yang senin kemis itu akan kelihatan orang, yang biarpun sudah
ditahan-tahankannya agar jangan terengah-engah tetap saja megap-megap seperti
ikan dilempar di daratan. Liong-li berhenti dan membalikkan tubuh dengan mata
menyinarkan kilat kemarahan.
Akan tetapi kemarahannya pudar
seketika dan mulut yang cemberut itu berubah menjadi senyuman ketika ia melihat
bahwa keadaan Cin Hay tiada bedanya dengan dirinya, yaitu hermandi peluh dan
terengah-engah! Jadi ia tidak perlu malu-malu lagi.
“Hemm...... men...
jemuhkan...... mau apa kau... mengejar-ngejar aku...?” tanyanya dengan nada
marah akan tetapi kedengarannya lucu karena ia terengah-engah.
Sesungguhnya, Cin Hay tidak
perlu terengah-engah walaupun tubuhnya juga basah oleh keringat. Pernapasannya
lebih kuat dan dia masih mampu bernapas biasa. Akan tetapi dia mulai mengenal
watak wanita cantik manis berjuluk Dewi Naga Hitam itu, yalah watak tidak mau
kalah!
Melihat betapa wanita itu
terengah-engah, dia maklum bahwa wanita itu akan tersinggung dan akan menjadi
marah sekali kalau melihat lawannya tidak terengah¬engah. Oleh karena itu,
sengaja Cin Hay megap-megap untuk mengimbangi keadaan wanita itu.
“Aku... mau..... menagih......
hutangmu padaku......”
Mendengar ini, Liong-li
menjadi sedemikian herannya sampai ia melongo, matanya terbelalak mulutnya
ternganga dan agaknya ia sudah lupa lagi untuk terengah-engah!
“Nagih... nagih...... hutang??
Hai, Tan Cin Hay atau Pek-liong-eng, jangan ngawur kau! Sejak kapan aku
mempunyai hutang padamu? Nenek moyangku pun tidak mempunyai hutang sepeserpun
kepada nenek moyangmu!”
“Wah, ini namanya penyabar dan
mudah lupa, yaitu sabar dan mudah lupa kalau punya hutang! Baru beberapa menit
engkau hutang padaku, nona, dan sekarang sudah lupa, ataukah pura-pura lupa?”
“Wah, engkau memang setan
tukang fitnah keji! Apa memang sudah miring otakmu? Aku hutang apa, hah?”
Cin Hay tersenyum. Sungguh
hebat wanita ini semua gerak-geriknya amat menarik, amat wajar, kecantikan yang
aseli dan tidak dibuat-buat!
“Baiklah kalau engkau sudah
lupa, Hek-liong-li, engkau hutang nama kepadaku!”
“Hutang...... hutang
nama......?” Liong-li mengulang dengan alis berkerut, tidak mengerti.
“Ketika engkau memperkenalkan
nama julukanmu, akupun segera membayarnya dengan memperkenalkan nama julukanku.
Kemudian aku sudah memperkenalkan nama aseliku kepadamu, akan tetapi engkau
belum membayarnya. Bukankah ini berarti engkau masih hutang nama kepadaku?”
Kini mengertilah Liong-li, dan
ia tersenyum mengejek. “Hem, namaku tidak sembarangan kuperkenalkan kepada
setiap orang, apa lagi kepada sembarang laki-laki!” Berkata demikian, iapun
membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ dengan cepat.
Sekali ini, Cin Hay tidak
mengejar. Untuk apa mengejar wanita yang demikian tinggi hati? Dia bermaksud
baik, mengajak wanita itu untuk bekerja sama, yaitu menentang kekuasaan Hek-sim
Lo-mo yang jahat. Dia tahu betapa lihainya Hek-sim Lo-mo, apa lagi masih
dibantu oleh anak buahnya yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Biarpun Si Dewi Naga Hitam itu pun lihai sekali, namun dia meragukan apakah ia
akan mampu menandingi Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya.
Mengingat akan ketinggian hati
wanita itu, Cin Hay merasa segan untuk membantunya. Akan tetapi ada sesuatu
pada diri wanita itu, kepribadiannya yang amat menarik, yang membuat dia
menggerakkan kaki untuk membayanginya. Tidak, dia tidak mungkin membiarkan saja
wanita itu memasuki bencana, memasuki guha yang penuh dengan harimau buas dan
ganas. Dia harus membantunya.
Bukankah wanita itu dan dia
yang telah dipilih oleh mendiang kakek Thio Wi Han untuk mewarisi dua batang
pedang pusaka, dan menggunakan dua batang pedang pusaka itu untuk menentang
Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya? Bagaimanapun juga, sepasang pedang itu adalah
pedang jantan dan pedang betina yang dibuat dari bahan yang sama, yaitu dari
Kim-san Liong-cu.
Pasangan pedang itu harus
bekerja sama, apa lagi kalau menghadapi manusia-manusia sejahat iblis, seperti
Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya itu. Biarpun kini tidak lagi berusaha
menyusul, namun Cin Hay membayangi terus dari jarak yang cukup jauh, namun dia
tidak pernah kehilangan bayangan hitam di sebelah depan itu.
◄Y►
Song Tek Hin didorong ke dalam
ruangan itu oleh Kwa Ti, si muka burik perut gendut orang pertama Wei-ho
Cap-sha-kwi. Badannya yang penuh luka dan memar itu tak bertenaga lagi, akan
tetapi semangat Tek Hin masih tinggi.
“Brukkk!” Tek Hin roboh
tersungkur di atas lantai, di dekat kaki Hek-sim Lo-mo yang duduk di atas
kursi.
Wajah Hek-sim Lo-mo yang hitam
itu nampak lebih hitam dari biasanya, matanya mendelik lebar dan seluruh bulu
kasar di mukanya itu seperti berdiri kaku. Dia marah sekali mendengar berita
bahwa Thio Wi Han dan isterinya telah lolos, demikian pula pemuda berpakaian
putih yang amat lihai itu.
“GOBLOK semua!” bentaknya
dengan suara parau. “Kalian begini banyak orang tidak mampu mencegah mereka
lari? Yauw Ban, engkau yang herjuluk Tok-gan-liong, mana kelihaianmu yang
kaubanggakan itu? Dan kalian He-nan Siang-mo, mana keampuhan golok kalian?
Kiu-bwe Mo-li, Jai-hwa Kongcu, dan ini tigabelas orang Setan Wei-ho, kalian
semua juga hanyalah gentong-gentong nasi yang kosong belaka! Hayo jawab, mana
pertanggungan jawab kalian! Kalau tidak jelas keterangan kalian, jangan
salahkan aku kalau kedua tanganku ini bergerak mencabuti nyawa kalian yang
tidak ada harganya itu!”
Kiu-bwe Mo-li bermain mata
dengan Jai-hwa Kongcu Lui Teng. Mereka tersenyum¬senyum dengan terbuka sehingga
kelihatan oleh Hek-sim Lo-mo yang menjadi semakin marah. “Keparat! Kalian
berdua berani mempermainkan aku dan berani mentertawakan aku?” bentaknya,
tangannya sudah gatal-gatal untuk menyerang dua orang pembantu yang biasanya
menjadi orang-orang kepercayaannya itu.
Melihat ini, Kiu-bwe Mo-li
menjadi pucat wajahnya dan cepat-cepat ia melangkah maju dan memberi hormat
kepada Hek-sim Lo-mo. Biarpun ia sendiri dijuluki Mo-li (Iblis Betina) dan
memiliki watak yang amat kejam, liar dan ganas, namun wanita ini amat takut
kepada Hek-sim Lo-mo. Terhadap datuk yang satu ini ia memang mati kutu.
Menggunakan ilmu kepandaian kalah jauh, mengandalkan kecantikan dan kegenitan
tidak mempan.
“Ampun, Beng-cu. Harap Beng-cu
menenangkan hati karena tidak percuma Beng-cu mempunyai pembantu-pembantu
seperti Kiu-bwe Mo-li dan Jai-hwa Kongcu!” Berkata demikian, dengan lagak
bangga Kiu-bwe Mo-li melirik ke kanan kiri. Yauw Ban dan para pembantu lain
terkejut mendengar ucapan itu dan mereka menduga-duga apa yang dimaksudkan oleh
iblis betina itu, demikian beraninya bicara besar di depan Hek-sim Lo-mo,
Akan tetapi Hek-sim Lo-mo
bukan seorang bodoh. Biarpun tadi dia marah besar mendengar betapa Thio Wi Han
dan isterinya berhasil melarikan diri, bahkan seorang di antara dua tawanan,
yaitu pemuda berpakaian putih yang amat lihai itupun lolos, kini mendengat
ucapan Kiu-bwe Mo-li, dia mengharapkan sesuatu yang menyenangkan.
“Hemm, katakanlah, Mo-li.
Hasil baik apakah yang telah dilakukan olehmu dan Jai-hwa Kongcu?”
Dua orang pembantu utama itu
menggerakkan tangan mengambil pedang mereka dari balik jubah dan melihat dua
batang pedang itu, wajah Hek-sim Lo-mo menjadi cerah berseri. Tentu saja dia
mengenal sepasang pedang naga yang dibuat oleh kakek Thio Wi Han, yang dibuat
dari Kim-san Liong-cu itu! Kalau tadi dia marah besar adalah karena dia merasa
kehilangan sepasang pedang pusaka itu.
“Ahhh! Kiranya kalian dapat
menyelamatkan sepasang pedang itu!” katanya gembira dan dia menerima sepasang pedang
itu dari tangan dua orang pembantunya. Sambil mengamati kedua pedang itu
setelah mencabut dari sarungnya dengan wajah gembira, Hek-sim Lo-mo lalu
berkata kepada mereka semua,
“Sekarang ceritakan apa yang
tetah terjadi dan bagaimana mereka itu sampai dapat lolos.”
Wei-ho Cap-sha-kwi diwakili
oleh Kwa Ti bercerita, “Pagi hari itu, muncul kakek Thio Wi Han di dalam
ruangan tahanan, katanya hendak menengok keadaan dua orang keponakannya yang
menjadi tawanan. Ketika tiba di depan kamar tahanan itu, dia mengamuk
mempergunakan sepasang pedang pusaka itu. Dua orang tawanan itupun keluar dan
mengamuk, dan kami berhasil menangkap kembali yang seorang ini!” Dia menuding
kepada Song Tek Hin yang masih duduk di atas lantai sambil memandang mereka
semua dengan tersenyum mengejek, sebagai seorang penonton yang penuh perhatian,
Kiu-bwe Mo-li melanjutkan,
“Untung bahwa kami berdua segera datang menghadapi Thio Wi Han. Tentu saja kami
berdua akan mampu menangkap kembali kakek itu kalau saja tidak ada pemuda
berpakaian putih yang lihai itu. Dia keluar dari tempat tahanan dan dialah yang
membantu kakek Thio Wi Han, bahkan dia pula yang melarikan kakek itu. Akan
tetapi, kami telah berhasil melukai Thio Wi Han, luka parah, dan kami berdua
berhasil pula merampas sepasang pedang pusaka ini dari tangannya.”
Hek-sim Lo-mo
mengangguk-angguk. “Memang pemuda itu lihai, lawannya hanyalah aku. Tidak aneh
kalau kalian tidak mampu menandinginya. Akan tetapi syukur bahwa pedang-pedang
ini dapat kalian rampas. Dan bagaimana dengan engkau, Tok-gan-liong Yauw Ban?”
Datuk iblis itu menoleh kepada
para pembantunya yang lain. “Bukankah engkau dibantu oleh He-nan Siang-mo?
Engkau sudah mendengar sendiri. Bagaimanapun juga, Cap-sha-kwi telah berhasil
menangkap kembali seorang tawanan, sedangkan Mo-li dan Jai-hwa Kongcu telah
berhasil merampas kembali sepasang pedang pusaka. Bagaimana dengan kalian
bertiga?”
Wajah Yauw Ban berubah agak
kemerahan. Mata tunggalnya mencorong, tanda bahwa dia marah sekali kepada pihak
musuh yang telah membuat dia tersudut dan harus mengecewakan pimpinannya.
“Maafkan kami, Beng-cu. Kami
bertiga bertemu dengan isteri Thio Wi Han. Kami merasa curiga dan menegurnya,
akan tetapi tiba-tiba ia menyerang kami. Tentu kami akan mampu menangkapnya
kembali kalau tidak ada gadis berpakaian hitam itu yang tiba-tiba muncul dan
membantu nenek itu......”
“Gadis berpakaian
hitam......?” Kiu-bwe Mo-li berseru. “Maksudmu Hek-liong-li......?”
“Benar, gadis yang pernah
membuat engkau kewalahan itu, Mo-li,” kata Yauw Ban dengan senyum mengejek.
“Teruskan ceritamu!” kata
Hek-sim Lo-mo tidak sabar melihat dua orang pembantunya ini agaknya saling
mengejek.
“Kami bertiga berhasil melukai
isteri Thio Wi Han, ia menderita luka parah dan tak mungkin dapat hidup lagi.
Akan tetapi kami tidak dapat menawannya karena ia dilarikan oleh gadis
berpakaian hitam itu.”
Hek-sim Lo-mo
mengangguk-angguk. Dia tidak memusingkan lolosnya suami isteri itu. Yang
penting baginya adalah sepasang pedang itu yang kini telah terjatuh ke
tangannya. “Sudahlah, bagaimanapun juga, kita tidak rugi banyak. Sepasang
pusakaku dapat kembali kepadaku, dan suami isteri itu biarpun tidak tertangkap
namun terluka parah.”
“]uga masih ada keuntungan
kita, Beng-cu, yaitu tertawannya kembali pemuda itu!” kata Kwa Ti pemimpin
Wei-ho Cap-sha-kwi untuk menonjolkan jasa mereka. “Apakah kami boleh
menyiksanya sampai mati untuk melampiaskan rasa penasaran Beng-cu dan kita
semua?”
Hek-sim Lo-mo menoleh kepada
Song Tek Hin.
Pemuda ini tersenyum mengejek
kepadanya. “Kalian bunuh membunuh aku seribu kali, aku tidak takut! Kalian
telah menyiksa tunanganku sampai mati, telah membunuh calon mertuaku dan
merampas Kim-san Liong-cu. Kejahatan kalian bertumpuk-tumpuk, tak mungkin dapat
terlepas dari hukuman Tuhan!”
“Beng-cu, biar kusiksa dia!”
kata Kiu-bwe Mo-li.
Hek-sim Lo-mo tersenyum
menyeringai kepada wanita iblis itu. “Heh, akan kauhisap dia dulu sampai habis
seperti seekor laba-laba menghisap korbannya, baru akan kaubunuh?”
“Biar kusiksa dia sekarang
juga di sini Beng-cu!” kata pula Kwa Ti.
Hek-sim Lo-mo mengangkat
tangannya. “Bodoh! Orang-orang yang bijaksana seperti kita tidak melakukan
perbuatan hanya menurutkan perasaan hati saja, akan tetapi harus memakai
perhitungan. Apa untungnya kalau kita menyiksa dan membunuhnya? Seperti
kanak-kanak saja. Tidak, dia masih ada gunanya untuk kita, setidaknya untuk
aku!”
“Eh, masih ada gunanya? Untuk
apa anjing ini, Beng-cu?” tanya Jai-hwa Kongcu yang membenci pemuda itu karena
tadi jelas Kiu-bwe Mo-li membutuhkan pemuda itu untuk melampiaskan nafsunya.
Dia tidak merasa cemburu, karena bagaimanapun juga, seorang jai-hwa-cat seperti
dia tentu saja tidak tergila-gila kepada seorang wanita keriputan seperti
Kiu-bwe Mo-li.
“Kalian ini kurang panjang
akal. Memang sepasang pedang pusaka sudah berada di tanganku, akan tetapi
apakah aku akan membiarkan saja dua ekor anjing cilik itu, Hek-liong-li dan Tan
Cin Hay, menghinaku dengan tindakan mereka yang berani menantangku? Mencari
mereka bukan hal yang mudah, oleh karena itu satu-satunya jalan untuk dapat membalas
hinaan mereka, untuk dapat menumpas mereka, adalah memancing mereka datang! Dan
pemuda ini merupakan umpan yang baik sekali. Kalau mereka tahu bahwa dia ini
masih hidup dan menjadi tawanan kita, pada suatu hari pasti dua orang itu akan
muncul dan tibalah kesempatan bagiku untuk menghantam mereka!”
“Aih, itu akal bagus sekali,
Beng-cu. Biar aku yang menjaganya agar dia jangan sampai lolos!” kata Kiu-bwe
Mo-li yang memandang pemuda itu seperti seekor kucing kelaparan melihat daging
segar.
“Ho-ho, kalau kucing disuruh
menjaga ikan, tentu akan digerogotinya sendiri sampai habis!” tiba-tiba Gan
Siang berseru sambil tertawa. Adik kembarnya ikut pula tertawa dan berkata.
“Kalau engkau yang menjaga,
Mo-li, umpan itu tentu akan menjadi busuk dan rusak sebelum ikan yang dipancing
datang mendekatinya, ha-ha!”
Semua orang tersenyum dan
Kiu-bwe Mo-li memandang kepada si kembar itu dengan sinar mata berkilat marah.
Akan tetapi Hek-sim Lo-mo meredakan mereka dengan suaranya yang parau
berwibawa,
“Sudahlah, tidak perlu
ribut-ribut. Pemuda itu untuk sementara ini tidak boleh diganggu, tidak boleh
mati, bahkan harus kelihatan sehat agar dua orang yang kutunggu-tunggu itu
muncul. Sekarang kita kembali ke Lok-yang dan sebelum dua orang itu datang dan
dibinasakan, kalian para pembantu utamaku yang lima orang, dibantu oleh Wei-ho
Cap-sha-kwi, harus melakukan penjagaan dengan ketat!”
Tiba-tiba Song Tek Hin tertawa
sehingga semua orang menoleh kepadanya.
“Bagus sekali! Orang tidak
menghendaki kematianku, justeru aku yang ingin mati! Kalau mulai saat ini aku
tidak diperlakukan sebagai seorang tamu agung terhormat, tidak mendapat makanan
yang enak, kamar yang bersih, ganti pakaian yang bersih, aku akan mogok makan
minum dan akan membunuh diri saja!”
“Jangan khawatir, Song Tek
Hin. Semua permintaanmu itu akan kami penuhi asal engkau tidak berusaha
meloloskan diri,” kata Hek-sim Lo-mo.
“Mengapa meloloskan diri?
Kawan-kawanku tentu akan datang membebaskan aku!” kata Song Tek Hin menyombong.
Dia meragukan apakah
Pek-liong-eng akan mau datang menolongnya, dan andaikata mau juga, apakah
mungkin pendekar itu seorang diri saja menghadapi Hek-sim Lo-mo dan anak
buahnya?
Sedikit sekali harapan baginya
untuk lobos dari kematian di tangan para penjahat ini. Diapun tidak
mengharapkan dapat lolos, hanya lebih baik mati wajar dari pada mati tersiksa,
dan sebaiknya lagi kalau sebelum mati dia menikmati kehidupan yang
menyenangkan, menjadi tamu agung di rumah seorang datuk iblis seperti Hek-sim
Lo-mo! Dan siapa tahu, dia mendapat kesempatan untuk meloloskan diri.
Hek-sim Lo-mo lalu mengajak
semua anak buahnya pulang ke Lok-yang, di mana dia hidup sebagai seorang
hartawan besar di dalam gedungnya yang luas dan megah. Dia gembira sekali dapat
membawa pulang sepasang pedang pusaka itu dan dia menepati janjinya.
Song Tek Hin hidup di dalam
gedung itu sehagai seorang tamu terhormat, mendapatkan sebuah kamar yang bersih
dan indah, mendapatkan ganti pakaian dan hidangan makanan untuknya juga yang
serba enak. Akan tetapi dia sama sekali tidak boleh bebas dan selalu berada
dalam pengawasan para anak buah Hek-sim Lo-mo.
Song Tek Hin juga seorang yang
cukup cerdik. Dia maklum bahwa dia menjadi tamu terhormat bukan karena dimanja,
bukan karena disuka, melainkan karena dia dijadikan umpan. Dia maklum bahwa
selama Tan Cin Hay belum muncul, dia akan selamat. Kalau pendekar itu sudah
muncul, barulah dia terancam bahaya dan hanya ada dua kemungkinan baginya.
Pertama, dia akan dapat
diselamatkan pendekar itu dan lolos dari rumah penjara mewah ini. Kedua, dia akan
tewas terbunuh sebelum Cin Hay mampu menolongnya. Maka, diapun tidak
tergesa-gesa mencari kesempatan untuk melarikan diri, maklum bahwa hal itu
selain amat sukar, juga amat berbahaya. Sekali saja dia berusaha melarikan diri
dan sampai tertangkap kembali, dia pasti akan dibunuh dengan siksaan!
◄Y►
Malam itu bulan bersinar
terang. Kota Lok-yang bermandikan sinar bulan dan sejak bulan muncul tadi,
orang-orang berjalan-jalan dan keluar dari rumah masing-masing untuk menikmati
malam terang bulan yang indah. Akan tetapi, hawa udara dingin sekali, tanda
bahwa musim dingin sudah di ambang pintu. Saking dinginnya hawa udara, maka
belum tengah malam orang-orang sudah masuk ke rumah masing-masing. Lebih nyaman
di dalam rumah dengan perapian menghangatkan tubuh dan menikmati sinar bulan
sambil memandang keluar jendela kaca saja.
Malam itu memang indah, namun
amat dingin dan karenanya sunyi sekali. Dari pintu gerbang sebelah barat kota
Lok-yang, berkelebat bayangan hitam yang gerakannya seperti seekor burung saja.
Bayangan ini menyusup ke dalam bayangan-bayangan yang redup, agaknya
menghindari pertemuan dengan orang dan ia menghampiri sebuah rumah gedung besar
yang berdiri di pinggir kota.
Rumah gedung itu adalah tempat
tinggal Hek-sim Lo-mo! Sejenak bayangan itu mengelilingi luar tembok dan
setelah bayangan itu merasa yakin bahwa tidak ada orang melihatnya, sekali
tubuhnya bergerak, ia telah melompat ke atas tembok dan melayang ke dalam.
Bayangan hitam itu adalah
Hek-liong-li Lie Kim Cu. Wanita ini merasa penasaran sekali kalau belum dapat
membasmi Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya. Setelah malam tiba, ia memasuki kota
Lok-yang dari pintu barat dan langsung saja ia mengunjungi tempat tinggal datuk
sesat itu.
Liong-li memang seorang wanita
yang amat tabah. Ia tahu siapa adanya Hek-sim Lo-mo, maklum bahwa seorang di
antara Kiu Lo-mo atau Sembilan Ihlis Tua yang turun ke dunia ramai dan membuat
geger dunia persilatan itu, bukanlah seorang lawan yang boleh dipandang ringan.
Dan iapun dapat menduga bahwa di rumah datuk itu tentu terdapat pula, para
pembantunya yang pandai, di antaranya adalah Kiu-bwe Mo-li yang masih terhitung
sucinya atau kakak seperguruannya sendiri karena Kiu-bwe Mo-li adalah murid
keponakan dari gurunya. Akan tetapi, ia tidak takut. Apa lagi sekarang di
pinggangnya tergantung Hek-liong-kiam!
Memang tepat dugaan Liong-li.
Di rumah besar itu, selain Hek-sim Lo-mo sendiri, ting-gal pula belasan orang
pelayan wanita yang rata-rata muda, cantik dan pandai silat dan beberapa orang
di antara mereka juga melayani majikan mereka sebagai selir-selir. Selain
mereka, di situ, seperti pernah diperintahkan Hek-sim Lo-mo, tinggal pula para
pembantu utamanya, yaitu Yauw Ban, Kiu-bwe Mo-li, Jai-hwa Kongcu, dan dua orang
kembar He-nan Siang-mo. Selain mereka berlima, masih ditambah lagi Wei-ho
Cap-sha-kwi yang merupakan pasukan penjaga keamanan di gedung itu. Jelaslah
betapa kuatnya keadaan di rumah besar mewah milik Hek-sim Lo-mo itu.
Karena keadaan yang kuat ini
agaknya yang membuat mereka menjadi lengah. Mereka adalah orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Baru Wei-ho Cap-sha-kwi saja sudah merupakan
tigabelas orang yang sukar dicari lawannya, apa lagi lima orang pembantu utama
Hek-sim Lo-mo. Belum lagi diingat bahwa Hek-sim Lo-mo sendiri adalah seorang sakti
yang agaknya tanpa dikawal atau dijagapun takkan ada orang yang berani
mengganggunya. Hanya orang gila sajalah yang akan berani mati mengganggu
kediaman datuk iblis ini! Pendapat inilah yang membuat para pembantu Hek-sim
Lo-mo menjadi lengah dan hanya melakukan penjagaan setengah hati saja, tidak
bersungguh-sungguh.
Pada malam yang dingin itu apa
lagi! Wei-ho Cap-sha-kwi merasa malas untuk berjaga di luar, apa lagi di dalam
gardu penjagaan yang terbuka sehingga mereka tidak dapat berlindung terhadap serangan
hawa udara yang amat dingin itu. Tentang keindahan sinar bulan di malam itu,
bagi orang-orang seperti mereka, mana ada keindahan kecuali hal-hal yang
menyenangkan mereka dan memuaskan nafsu-nafsu mereka?
Sesungguhnyalah, hanya orang
orang yang wataknya jahat, atau orang-orang tak berperasaan, atau orang-orang
yang condong berpenyakit jiwa sajalah yang tidak mampu lagi menikmati keindahan
alam. Tidak mampu menikmati keindahan bentuk-bentuk dan warna-warna bunga,
hijaunya rumput dan daun-daunan, indahnya burung-burung dan merdunya nyanyian
mereka, nyamannya udara jernih di tempat sunyi, nikmatnya dendang air sungai
dan segala keindahan alam yang luar biasa ini.
Lima orang pembantu utama
Hek-sim Lo-mo sudah sejak tadi memasuki kamar masing-masing. Jai-hwa Kongcu Lui
Teng berhasil menggandeng seorang di antara para pelayan wanita tuan rumah dan
mengajaknya masuk ke dalam kamarnya. Kiu-bwe Mo-li yang merasa kesepian,
meninggalkan kamarnya dan berkunjung ke kamar Song Tek Hin, untuk ke sekian
kalinya membujuk rayu pemuda itu yang tak pernah mau melayaninya. Untuk
mempergunakan kekerasan, Kiu-bwe Mo-li tentu saja tidak berani, takut akan
larangan Hek-sim Lo-mo.
Wei-ho Cap-sha-kwi yang
bertugas jaga dan bahkan bertanggung jawab akan keamanan di sekitar rumah
gedung itu, berkumpul di ruangan belakang, menghadapi meja, daging dan kacang
goreng, juga beberapa guci arak. Mereka berusaha menghangatkan tubuh yang
diserang hawa dingin itu dengan minum arak!
Tigabelas orang kasar ini sama
sekali tidak tahu betapa ada sepasang mata yang jeli dan tajam mengintai dari
balik jendela ke arah mereka. Kalau saja mereka tidak begitu lengah, tentu
sebagai orang-orang yang berilmu tinggi, mereka akan menjadi penjaga- penjaga
yang sukar ditembus penjagaan mereka.
Orang yang mengintai dari
balik jendela itu adalah Liong-li! Ia segera dapat menduga bahwa tigabelas
orang kasar ini adalah anak buah Hek-sim Lo-mo. Biarpun ia tidak gentar
menghadapi keroyokan tigabelas orang itu, akan tetapi Liong-li bersikap
hati-hati. Ia ingin mencari Hek-sim Lo-mo lebih dulu dan ia ingin menyelidiki
siapa saja yang berada di rumah itu dan yang akan menjadi lawannya. Setelah
melihat betapa tigabelas orang itu makan minum dengan lahapnya, ia menyelinap
pergi. Biarkan mereka itu minum sepuasnya sampai mabok, makin mabok makin mudah
dibasminya nanti, pikirnya.
Melihat sebuah kamar masih
terang dan ada suara orang bicara di dalamnya, Liong-li menyelinap ke balik
jendela kamar itu dan melubangi kertas jendela. Ia dapat melihat dengan jelas,
dan dapat menangkap percakapan itu dengan jelas pula. Mula-mula, mukanya
berubah merah karena muak dan marah melihat betapa wanita yang sudah
dikenalnya, yaitu Kiu-bwe Mo-li, sedang duduk berhadapan dengan seorang pemuda
tampan!
Pemuda itu makan minum dan
mereka duduk dihalangi meja makan. Wanita cabul itu nampak genit bukan main,
dengan muka yang tebal oleh bedak, putih seperti tembok, mengingatkan Liong-li
akan pemain wayang yang menghias mukanya seperti kedok. Dan wanita cabul itu
bicara merengek-rengek, penuh bujuk rayu kepada pemuda yang kelihatannya
tenang-tenang saja sambil makan paha ayam yang digerogotinya. Kelihatannya enak
benar pemuda itu makan, sehingga di luar kehendaknya sendiri, Liong-li menelan
ludah karena timbul seleranya.
“Orang she Song yang tampan,
kurang baik apakah kami di sini terhadap dirimu? Kami melayanimu, memberimu
makan enak, pakaian yang baik, kamar yang bersih dan menyenangkan pula. Engkau
dianggap sebagai seorang tamu terhormat. Bukankah aku juga selalu bersikap
ramah kepadamu?”
Pemuda itu tersenyum dan dari
tempat sembunyinya, Liong-li harus mengakui bahwa pemuda itu ganteng dan
sikapnya tenang, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut, akan tetapi jelas
dia tidak tertarik oleh bujuk rayu si cabul Mo-li.
“Mo-li, memang kuakui bahwa
kalian bersikap baik. Akan tetapi itu hanya karena Hek-sim Lo-mo memegang
janjinya kepadaku. Bukankah aku juga bersikap tidak melawan dan tidak pernah
berusaha melarikan diri? Bukankah aku telah menjadi umpan yang amat baik? Hanya
sayang, Mo-li, tidak ada ikan yang tertarik oleh umpan macam aku.”
“Hemm, kami masih merasa yakin
bahwa sekali waktu, Pek-liong-eng Tan Cin Hay pasti akan muncul untuk
menolongmu.”
Tek Hin, pemuda itu, tertawa.
Dia memang sedang berusaha agar penjagaan terhadap dirinya makin lengah lagi
agar dia memperoleh kesempatan untuk melarikan diri, “Ha-ha-ha, mana mungkin?
Untuk apa dia datang menolongku? Dia bukan orang tolol yang tidak tahu bahwa
aku dijadikan umpan untuk memancing kedatangannya! Tidak, aku sudah mengatakan
bahwa aku tidak takut mati, dan tidak perlu dia mengorbankan dirinya untuk
keselamatanku!”
Mendengar semua itu. diam-diam
Liong.li terkejut. Kiranya pemuda ini teman dari pemuda berpakaian putih yang
lihai itu, Pek-liong-eng Tan Cin Hay! Dan pemuda ini ditahan di sini sebagai
umpan agar Cin Hay datang menolongnya, tentu saja untuk ditangkap atau dibunuh!
“Kalau bukan dia, tentu
Hek-liong-li akan datang!” kata pula Mo-li.
Tentu saja Liong-li terkejut
mendengar ini, hampir saja ia lupa dan hampir mengeluarkan seruan kaget
mendengar namanya disebut. Akan tetapi untung bahwa ia masih mampu
mengendalikan dirinya sehingga ia tidak bergerak, hanya jantungnya saja yang
berdetak keras karena tegang.
“Sudah beberapa kali engkau
menyebut Hek-liong-li! Wanita macam apa sih ia itu? Aku mengenalnyapun tidak!
Andaikata ia mau juga menolongku, apa bisa? kuharap ia tidak datang agar tidak
sampai menyerahkan nyawanya kepada orang-orang jahat di sini!”
Liong-li cemberut mendengar
kalimat pertama, akan tetapi tersenyum mendengar kalimat terakhir. Pemuda ini
boleh juga, pikirnya. Begitu tabah dan penuh keberanian, dan tidak ingin orang
lain celaka untuk menolongnya. Semangat seperti ini hanya dimiliki seorang
pendekar. Akan tetapi kalau dia pendekar, mengapa mau menjadi tamu terhormat di
rumah Hek-sim Lo-mo? Siapakah dia?
Kini ia melihat Kiu-bwe Mo-li
bangkit dan mengitari meja, menghampiri pemuda itu, “Song Tek Hin, pemuda yang
ganteng. Betapa rinduku kepadamu selama ini. Kalau-kalau engkau mau
menyenangkan aku, semalam ini saja, besok pagi-pagi engkau sudah akan kubawa
jauh meninggalkan tempat ini dan bebas!”
Wajah Liong-li kembali menjadi
merah. Sungguh tak tahu malu, wanita hampir nenek-nenek itu membujuk rayu
pemuda itu. Akan tetapi janjinya sungguh muluk, memberi kebebasan pada keesokan
harinya! Akan maukah pemuda itu? Akan jatuhkah? Andaikata pemuda itu mau
menerima ajakan Mo-li, ia tidak terlalu menyalahkannya karena imbalannya adalah
kebebasan yang berarti mungkin juga keselamatan nyawanya. Akan tetapi, dengan
penglihatannya yang awas dan berpengalaman, Liong-li dapat menduga bahwa kalau
pemuda itu mau melayani hasrat kotor nenek itu, tentu dia akan tertipu dan
tidak akan mungkin Mo-li berani membebaskannya!
Semua itu hanya tipuan belaka,
rayuan kosong. Hati Liong-li tertarik sekali. Dia seperti melihat sebuah
sandiwara, dimainkan dua orang pemain yang ahli dan pandai. Dia seperti melihat
seorang pemuda diuji ketahanan batinnya. Sembilan dari sepuluh orang pemuda
tentu akan menuruti kemauan Mo-li, mengingat bahwa itu merupakan tebusan nyawa,
tebusan kebebasan!
Liong-li melihat betapa kedua
tangan Mo-li telah merayap ke pundak kanan kiri pemuda itu, kedua lengan itu
siap merangkul dan wanita itu sudah mendekatkan mukanya.
Tiba-tiba pemuda itu
menggerakkan tangan kanannya, menyambar ke arah muka Mo-li. Gerakan pemuda itu
jelas menunjukkan bahwa dia mengerti ilmu silat, walaupun tidak terlalu tinggi.
Mo-li terkejut dan hendak mengelak, akan tetapi mukanya terlampau dekat.
“Plakkk!” Muka nenek itu telah
kena ditampar, cukup keras sampai ujung bibirnya berdarah dan pipi yang kempot
itu kini kelihatan merah bekas tangan si pemuda!
Hampir saja Liong-li bersorak
saking girangnya. Puas rasa hatinya melihat nenek itu ditampar pipinya, ingin
ia bersorak dan bertepuk tangan.
“Nenek tak tahu malu!” Tek Hin
membentak sambil bangkit berdiri. “Kaukira aku ini orang macam kamu yang tidak
malu melakukan perbuatan hina apapun? Aku tidak sudi menuruti kemauanmu yang
busuk dan kotor!”
Muka nenek itu sebentar pucat
sebentar merah, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. Melihat ini,
Liong-li sendiri diam-diam sudah siap-siap untuk menolong kalau-kalau pemuda
itu akan dibunuh, hal yang sangat boleh jadi mengingat akan penghinaan hebat
yang diterima nenek itu.
“Anjing kecil......, keparat
busuk, kau...... kau berani menamparku dan menghinaku?” bentak Kiu-bwe Mo-li,
tangannya gemetar karena sudah gatal-gatal ia hendak menjatuhkan tangan maut
kepada pemuda itu.
Selama hidupnya belum pernah
ia menerima penghinaan seperti itu dari seorang pria. Kebanyakan pria tentu
menuruti keinginannya, kalaupun ada yang menolak, maka penolakan itu dilakukan
dengan takut-takut dan penuh hormat, bukan secara menghina seperti yang
dilakukan Tek Hin, bahkan dengan menamparnya!
“Kubunuh kau...... hemmm,
kusiksa kau......!”
Kiu-bwe Mo-li mendesis-desis,
kedua tangannya sudah gemetar, dari mulut yang mendesis itu keluar busa,
mengerikan sekali sikapnya. Akan tetapi Tek Hin tersenyum saja, bukan senyum
dibuat-buat, melainkan senyum penuh ketenangan dan kemenangan.
“Mo-li, apa gunanya engkau
mengancam? Sejak dulupun aku sudah siap menghadapi mati. Siapa takut mati? Mau
bunuh, silakan, lakukanlah karena akhirnya engkaupun akan mampus di tangan
Hek-sim Lo-mo. Nah, siksalah, hendak kulihat sampai di mana keberanianmu melanggar
perintah dan larangan Lo-mo!”
Wajah itu menjadi pucat,
sampai beberapa lamanya wanita itu berdiri seperti patung, tak tahu apa yang
harus dilakukan, kemudian ia mendengus dan sekali meloncat ia sudah keluar dari
dalam kamar itu melalui pintu dan membanting daun pintunya. Tek Hin
tertawa-tawa senang dan melanjutkan makan daging ayam.
Diam-diam Liong-li kagum bukan
main. Hebat memang pemuda itu! Nyawanya terancam, namun masih mampu main-main,
mempermainkan Kiu-bwe Mo-li dan iblis betina itu sama sekali tidak berkutik
karena takut kepada Hek-sim Lo-mo. Diam-diam Liong-li membayangkan dengan hati
gentar juga. Kalau seorang iblis betina seperti Kiu-bwe Mo-li sampai demikian
takutnya terhadap Hek-sim Lo-mo, dapat dibayangkan betapa hebat dan kejamnya
datuk sesat itu.
Ketika itu, dengan perasaan
mendongkol dan hati yang sakit sekali, Kiu-bwe Mo-li meninggalkan kamar Tek
Hin. Ketika ia melewati ruangan dalam, Wei-ho Cap-sha-kwi masih minum-minum.
Mereka tadi mengetahui bahwa wanita itu mengunjungi Tek Hin.
Sudah berulang kali wanita itu
membujuk rayu namun tak pernah dilayani oleh tawanan terhormat itu. Maka kini
melihat wanita itu lewat dengan muka keruh, diam-diam mereka mentertawainya.
Akan tetapi, mereka juga heran melihat mengapa sekali ini Kiu-bwe Mo-li
kelihatan marah bukan main, bahkan tadi merekapun mendengar suara daun pintu
dibanting oleh Mo-li. Karena sudah menjadi tugas mereka mengamati tawanan yang
seperti tamu agung itu, Kwa Ti merasa tidak enak dan menyuruh tiga orang anak
buahnya untuk melihat keadaan Tek Hin.
“Coba lihat bagaimana dia,
akan tetapi lihat saja dari jendela, tidak perlu masuk,” katanya.
Tiga orang anggauta Wei-ho
Cap-sha-kwi itu berindap-indap menghampiri kamar Tek Hin dan mereka terkejut
melihat bayangan hitam berkelebat meninggalkan jendela kamar itu. Ada orang
luar rupanya yang berada di dalam gedung dan tadi agaknya berdiri diluar
jendela kamar Tek Hin! Mereka segera mencabut senjata masing-masing dan
mengejar bayangan hitam itu.
Bayangan itu agaknya sengaja
mempermainkan mereka bertiga karena ia tidak segera melarikan diri melainkan
berputaran di serambi samping yang menembus ke kebun samping. Tiga orang itu
makin berbesar hati karena agaknya orang itu tidak dapat bergerak dengan sangat
gesit, maka tak lama kemudian mereka berhasil menyusul dan mengepung bayangan
hitam itu.
Mereka tidak dapat
mengenalnya, hanya melihat bayangan hitam yang bentuk tubuhnya ramping,
pakaiannya serba hitam. Dengan garang seorang di antara mereka membentak.
“Siapa engkau? Hayo cepat
menyerah dan berlutut sebelum senjata kami minum darahmu!”
Bayangan itu adalah Liong-li.
Mendengar bentakan ini, tiba-tiba ia membalik dengan kedua tangan kosong dan
senyum mengejek. “Monyet kecil bermulut besar!” katanya.
Begitu wanita itu membalik dan
tiga orang itu dapat melihat wajahnya, mereka terkejut bukan main karena tentu
saja mereka mengenal Liong-li yang pernah mereka dengar sebagai seorang yang
sakti sekali. Mereka tidak mampu menandingi gadis berpakaian hitam ini, apa
lagi kini mereka hanya bertiga!
Orang-orang yang berhati kejam
biasanya memang berwatak pengecut. Mereka hanya berani berlagak dan
sewenang-wenang kalau mengandalkan jumlah banyak, atau kalau merasa yakin bahwa
mereka lebih kuat. Kalau bertemu lawan kuat, segera hati mereka menguncup dan mereka
menjadi ketakutan.
Tanpa banyak cakap lagi,
biarpun golok mereka masih berada di tangan, tiga orang itu membalikkan tubuh,
tanpa dikomando lagi mereka melarikan diri seperti bertemu dengan setan yang
amat menakutkan. Akan tetapi, bayangan hitam itu berkelebat cepat sekali,
bergerak ke arah mereka dan satu demi satu, tiga orang itu roboh terpelanting
dan tidak mampu bangkit kembali karena mereka telah tewas, terkena tamparan
Hiat-tok-ciang pada tengkuk mereka!
Kwa Ti merasa khawatir juga
setelah menunggu beberapa lamanya, tiga orang rekannya belum juga kembali.
Biarpun dalam keadaan agak pening karena terlalu banyak minum arak, dia masih
ada kecurigaan, maka dia lalu memerintahkan lima orang rekannya lagi untuk
keluar melihat dan menyusul tiga orang rekan pertama.
Lima orang yang gerakannya
agak terhuyung karena terlampau banyak minum arak, sambil tertawa-tawa keluar
dari ruangan itu. “Ha-ha-ha, gara-gara Mo-li yang gila laki-laki itu, membikin
repot kita saja!” kata seorang di antara mereka.
“Jangan-jangan tiga orang
kawan kitapun disuruhnya melayani perempuan haus laki-laki itu!” kata orang
kedua.
Sambil tertawa-tawa, mereka
lalu menuju ke kamar Song Tek Hin yang kini sudah kelihatan gelap. Akan tetapi
sesungguhnya, pemuda itu belum tidur. Tadi ketika mendengar bentakan seorang
diantara anggauta-anggauta Wei-ho Cap-sha-kwi, dia terkejut, cepat memadamkan
lampu dan dia mengintai dari balik jendela keluar. Maka diapun melihat apa yang
telah terjadi di luar kamarnya.
Seorang gadis cantik jelita
berpakaian hitam telah merobohkan tiga orang di antara Wei-ho Cap-sha-kwi
dengan demikian mudahnya, dengan tangan kosong saja! Tek Hin juga seorang yang
memiliki kepandaian silat lumayan, akan tetapi baru sekarang ia melihat seorang
gadis muda yang demikian lihainya. Kiu-bwe Mo-li memang lihai, akan tetapi
kiranya nenek itu tidaklah sehebat gadis ini, pikirnya dengan girang akan
tetapi juga heran mengapa gadis itu datang dan membunuh tiga orang dari
Cap-sha-kwi itu. Tentu akan terjadi kegemparan dan semua iblis itu akan keluar,
pikirnya.
Diapun keluar dari kamarnya.
Melihat orang meloncat keluar dari kamar itu, Liong-li sudah siap untuk
mengirim pukulan mautnya. Akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang keluar
adalah pemuda yang dikaguminya tadi, iapun menahan senyumnya.
“Mau apa kau keluar?” tanyanya
sambil tersenyum.
Sejenak Song Tek Hin
terkesima. Gadis itu sedemikian cantik manisnya ketika tersenyum! Bukan main.
Demikian cantik manis, demikian tinggi ilmunya. Dan tiba-tiba dia teringat akan
percakapan antara para pimpinan kaum sesat itu.
“Apakah nona yang disebut
Hek-liong-li?”
Kini Liong-li yang mengerutkan
alisnya. “Bagaimana engkau dapat mengenalku?” ia bertanya balik.
“Nona, harap kau cepat pergi
dari sini. Mereka semua akan keluar, engkau akan dikeroyok dan mereka itu lihai
sekali! Pergilah, nona, sebelum terlambat.”
“Tapi engkau sendiri?”
Liong-li bertanya, semakin heran melihat sikap pemuda itu.
“Aku? Ah, biarlah, jangan
pusingkan aku. Aku akan akui telah membunuh mereka ini. Cepatlah, nona......!”
Makin kagum rasa hati Liong-li
kepada pemuda itu. Begitu saja pemuda itu yang agaknya menjadi tawanan
terhormat di tempat itu, hendak mengorbankan diri untuk keselamatannya dan
menasihatkan agar ia cepat menyelamatkan diri, tanpa memperdulikan dirinya
sendiri.
Tiba-tiba bermunculan lima
orang di antara Cap-sha-kwi. Melihat ini, Tek Hin cepat mengambil sebatang
golok, milik seorang di antara tiga Cap-sha-kwi yang tewas itu.
Sementara itu, melihat betapa
tiga orang kawan mereka telah menjadi mayat, tentu saja lima orang itu terkejut
sekali. Tek Hin sudah meloncat ke depan dan berkata dengan suara lantang.
“Aku yang telah membunuh
mereka!”
Akan tetapi, lima orang .itu
seperti tidak memperdulikannya karena mereka semua kini memandang kepada
Liong-li dan wajah mereka berubah pucat, mata mereka terbelalak seperti melihat
setan di siang hari!
“Hek-liong-li......!” seorang
di antara mereka berteriak ketakutan.
Akan tetapi Liong-li sudah
menerjang ke depan, membagi-bagi pukulan maut Hiat-tok-ciang. Melihat ini, Tek
Hin juga memutar goloknya dan dia sudah bertanding mati- matian melawan seorang
di antara lima anggauta Cap-sha-kwi itu.
Dalam waktu singkat saja,
biarpun hanya dengan tangan kosong, Liong-li telah merobohkan tiga orang lagi,
Tek Hin juga berhasil menusukkan goloknya memasuki perut lawan dan orang itupun
roboh dan tewas. Seorang lagi hendak melarikan diri, akan tetapi Tek Hin
melontarkan goloknya dan senjata itu menancap di punggung lawan yang roboh dan
tewas pula.
Tek Hin sudah mengambil dua batang
golok lawan, menyerahkan sebatang kepada Liong-li. “Kepalang, tinggal lima
orang lagi di antara Cap-sha-kwi, mari kita serbu mereka di dalam!”
Pemuda ini tidak mau
mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri, agaknya dia lupa saking
gembiranya melihat betapa ada orang yaqg mampu membasmi Cap-sha-kwi demikian
mudahnya, bahkan diapun kebagian dua orang lawan. Hal ini sedikit banyak
membuat dia mampu membalas atas kematian keluarga tunangannya, yaitu Pouw
Sianseng dan Pouw Bi Hwa.
Melihat sikap pemuda ini yang
berubah, dan nampaknya demikian gagah, Liong-li hanya mengangguk dan iapun
mengikuti pemuda itu yang menyerbu ke dalam ruangan di mana sisa Cap-sha-kwi
masih minum-minum. Tinggal lima orang anggauta Wei-ho Cap-sha-kwi yang tinggal,
dipimpin oleh Kwa Ti.
“Heii, Kwa Ti babi gendut!
Sekarang tiba saatnya bagi kamu dan gerombolanmu Cap-sha-kwi mampus dan
menghadap Giam-ong untuk menerima hukuman di neraka!” bentak Tek Hin sambil
meloncat masuk melalui pintu, diikuti oleh Liong-li yang juga memegang sebatang
golok rampasan.
Melihat masuknya Tek Hin yang
memegang sebatang golok, lima orang itu terkejut, akan tetapi mereka lebih
kaget lagi, bahkan gentar ketika melihat gadis pakaian hitam yang ikut melompat
masuk di belakang pemuda itu.
“Liong-li.....!” Kwa Ti
berseru kaget dan mereka berlima sudah cepat mencabut golok masing-masing.
Dengan sikap gagah, Tek Hin yang merasa gembira karena melihat betapa delapan
orang Cap-sha-kwi telah tewas, dengan penuh semangat lalu menerjang maju dan
menggerakkan goloknya menyerang Kwa Ti, orang pertama dari Cap-sha-kwi!
“Trang-trang......!” Kwa Ti
yang berperut gendut itu menangkis sambil mengerahkan tenaganya dan akibatnya,
tubuh Tek Hin terdorong ke belakang dan dia merasa tangan yang memegang golok
tergetar hebat. Akan tetapi, Tek Hin tidak menjadi gentar dan diapun cepat
memutar lagi goloknya dan menyerang lagi lebih dahsyat.
Kwa Ti mengelak dan membalas,
dia dibantu oleh seorang rekan dari kiri. Desakan mereka membuat Tek Hin
terhuyung dan tentu golok di tangan Kwa Ti akan mengenai tubuhnya kalau saja
pada saat itu tidak berkelebat bayangan hitam. Tangan Liong-li bergerak, sinar
golok berkelebat dan tubuh Kwa Ti terjengkang, darah mengucur dari lehernya dan
diapun tewas seketika!
Empat orang yang lain menjadi
panik. Mereka ada yang berteriak-teriak minta tolong. Akan tetapi Tek Hin sudah
merobohkan seorang lagi, sedangkan amukan golok di tangan Liong-li membuat tiga
orang yang lain roboh pula. Kini habislah Wei-ho Cap-sha-kwi, semua tewas di
tangan Liong-li yang dibantu Tek Hin.
“Lihiap (pendekar wanita),
engkau sungguh hebat...... aku kagum sekali, engkau sungguh luar biasa sekali!”
Tek Hin menjura dan memuji dengan pandang mata penuh kagum.
Mau tak mau Liong-li tertawa.
Pemuda ini gagah dan lucu, juga pemberani dan tidak begitu mementingkan diri
pribadi, seolah-olah berani menentang maut dengan sikap terbuka.
Akan tetapi pada saat itu,
nampak banyak bayangan orang berkelebat masuk dan di situ telah berdiri Yauw
Ban, Kiu-bwe Mo-li, Jai-hwa Kongcu, dan dua orang kembar He-nan Siang-mo!
Mereka berlima telah memegang senjata masing-masing dan sikap mereka mengancam
sekali. Mereka semua marah melihat mayat-mayat bergelimpangan dan tahulah
mereka bahwa Wei-ho Cap-sha-kwi telah tewas semua di tangan gadis pakaian hitam
yang amat lihai itu.
“Awas, lihiap. Inilah para
pembantu utama Hek-sim Lo-mo!” kata Tek Hin, hatinya gentar karena dia
membayangkan betapa akan beratnya kalau nona itu harus melawan pengeroyokan
lima orang ini.
“Minggirlah, biar kuhadapi
mereka!” kata Liong-li dengan sikap tenang walaupun ia maklum bahwa lima orang
lawannya ini tentu merupakan lawan yang amat berat.
Kiu-bwe Mo-li terkekeh.
“Heh-he-he-be, sumoi, kiranya engkau datang juga untuk menyerahkan nyawamu!”
“Aku tidak mempunyai suci macam
engkau,” bentak Liong-li dengan perasaan sebal.
“Tar-tar-tarrr......!” Cambuk
ekor sembilan di tangan Kiu-bwe Mo-li meledak-ledak ketika ia menggerakkan
cambuk itu di atas kepalanya, “Sumoi atau bukan, engkau akan mampus di tangan
kami!” Dan iapun sudah menerjang dengan cambuk hitamnya, mengirim serangan yang
dabsyat kepada Liong-li yang masih memegang golok.
Liong-li tidak tergesa
mempergunakan pedang pusakanya karena bagaimanapun juga, ia tidak begitu
memandang tinggi para lawannya. Kalau Hek-sim Lo-mo yang keluar, barulah ia
akan mempergunakan pedang pusakanya itu. Maka, menghadapi serangan Kiu-bwe
Mo-li, ia menggerakkan goloknya menangkis.
Sementara itu, melihat betapa
gadis perkasa itu menghadapi banyak lawan, Song Tek Hin tidak mau tinggal diam saja.
“Lihiap, aku akan membantumu sedapat mungkin!” teriaknya dan dengan goloknya,
diapun terjun ke dalam perkelahian itu dan menyerang Kiu-bwe Mo-li dengan
bacokan sekuat tenaga.
“Tranggg!” goloknya tertangkis
di udara dan terpental lepas dari tangannya ketika pedang di tangan Yauw Ban
menangkis golok itu. Dan sebelum Tek Hin dapat mengelak, jari tangan kiri Yauw
Ban meluncur dan sebuah totokan membuat Tek Hin terguling dan tak mampu
berkutik lagi!
Melihat ini, Liong-li terkejut
dan hendak menolong pemuda itu, akan tetapi pada saat itu, bukan hanya Kiu-bwe
Mo-li yang menyerang, melainkan juga Jai-hwa Kong-cu Lui Teng dan sepasang
orang kembar He-nan Siang-mo sudah pula mengeroyoknya. Ia memutar goloknya
menghadapi pengeroyokan empat orang ini dan para pengeroyoknya itu sama sekali
tidak boleh disamakan dengan para anggauta Cap-sha-kwi!
Mereka sudah mendengar akan
kelihaiannya, maka empat orang itu bersikap hati-hati sekali sehingga
pukulan-pukulan Hiat-tok-ciang dari tangan kiri Liong-li belum juga menemui
sasaran karena selalu dielakkan lawan. Bahkan kini Yauw Ban juga turut
mengeroyoknya dengan permainan pedangnya yang amat lihai itu.
Baru kini Liong-li tahu bahwa
para pembantu utama dari Hek-sim Lo-mo memang hebat sekali. Pengeroyokan lima
orang itu membuat ia terdesak, akan tetapi gadis yang amat perkasa ini memutar
goloknya sedemikian rupa sehingga seluruh tubuhnya lenyap terlindung oleh
gulungan sinar golok yang berkilauan tertimpa sinar lampu-lampu yang lebar itu.
Golok itu milik seorang di
antara Wei-ho Cap-sha-kwi. Karena tigabelas orang tokoh sesat ini merupakan
tokoh sesat yang terkenal dan sudah lama malang melintang di dunia kang-ouw,
maka golok mereka tentu saja bukan golok sembarangan, melainkan terbuat dari
baja yang baik. Maka, bertemu dengan senjata lima orang itu, Liong-li dapat
menandingi dan tangkisan-tangkisannya tidak sampai merusakkan goloknya.
Tiba-tiba terdengar bentakan
parau yang suaranya menggetarkan ruangan itu, “Hemm, inikah yang berjuluk Hek-liong-li??”
Dan ada angin menyambar dahsyat ke arah gadis itu.
Liong-li terkejut melihat
sinar terang dan karena sinar itu menyambar ke arah lehernya, ia cepat
menggerakkan goloknya menangkis.
“Trakkk......!” Goloknya patah
menjadi dua potong dan angin yang amat keras menyambar ke arahnya. Ia cepat
mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya sudah meloncat keluar dari ruangan itu!
Kiranya yang menyerangnya adalah seorang kakek raksasa yang tinggi besar
bermuka hitam. Ia dapat menduga bahwa tentu ini yang bernama Hek-sim Lo-mo!
Ketika ia melompat keluar dari
ruangan itu, Hek-sim Lo-mo dan lima orang pembantunya mengejar dan berlompatan
keluar. Liong-li bermaksud untuk melawan mati-matian, akan tetapi tiba-tiba ada
bayangan putih berkelebat di sampingnya dan lengannya disentuh orang.
“Hek-liong-li, cepat lari.
Jangan melawan musuh di dalam sarangnya!” kata orang yang menyentuh lengannya
itu.
“Pek-liong-eng......!”
Liong-li berseru, agak marah melihat pemuda ini berani menghalanginya.
“Ssttt, nanti kita bicara.
Mari kita pergi!” Cin Hay sudah menangkap lengan kanan wanita itu yang tadinya
hendak mencabut pedang, dan sekali meloncat, tubuh Cin Hay melesat jauh dan
tubuh Liong-li terbawa loncat!
Wanita itu mendongkol sekali,
akan tetapi ia dapat melihat kebenaran ajakan untuk lari ini. Memang ia telah
bersikap sembrono sekali. Pihak musuh amat kuat, dan ia tidak tahu siapa lagi
yang berada di situ. Kalau ia dikeroyok banyak orang pandai di dalam sarang
mereka, hal ini amatlah berbahaya. Maka iapun melepaskan lengannya dan lari
sendiri dengan cepatnya. Mereka berdua menghilang ditelan kegelapan
bayang-bayang pohon sehingga Hek-sim Lo-mo dan lima orang pembantunya tidak
dapat melakukan pengejaran.
“Pemuda pakaian putih itupun
muncul......!° kata Jai-hwa Kongcu dengan khawatir dan agak gemetar.
“Cap-sha-kwi telah tewas semua
di tangan Liong-li!” kata Kiu-bwe Mo-li dengan gemas.
“Sebaiknya Song Tek Hin itu
dibunuh saja. Dia yang menjadi gara-gara sampai Cap-sha-kwi tewas!” kata Gan
Siang, seorang dari He-nan Siang-mo.
“Kalian sungguh bodoh!” kata
Hek-sim Lo-mo. “Kalau Cap-sha-kwi mampus, hal itu adalah karena ketololan
mereka sendiri, karena mereka telah lengah dan mabok-mabokan. Akan tetapi
sungguh bodoh sekali kalau Song Tek Hin itu dibunuh. Dia tetap merupakan umpan
yang baik. Bukankah dua ekor ikan itu benar-benar muncul karena ada umpan
pemuda itu? Malam ini mereka hanya dapat membunuh Cap-sha-kwi, akan tetapi
bukan itu tujuan mereka. Mereka pasti akan datang lagi untuk menolongnya,
karena itu tidak boleh dibunuh. Belum waktunya dia dibunuh!”
Demikianlah, Tek Hin masih
terlepas dari maut yang sudah mengancamnya dan kini dia disekap dalam kamar,
diawasi dengan ketat oleh kelima pembantu utama Hek-sim Lo-mo. Walaupun dia
masih diberi makan dan tidak disiksa, akan tetapi kaki tangannya dirantai dan
dia tidak diperkenankan keluar dari kamarnya!
◄Y►
“Engkau lancang sekali! Kenapa
engkau berani menarikku dan membujukku pergi meninggalkan sarang Hek-sim
Lo-mo?” Liong-li mencela Cin Hay sambil mengerutkan alisnya. Mereka sudah tiba
jauh di luar kota Lok-yang, duduk di tepi sungai kecil di sebuah hutan, di mana
terhampar rumput hijau yang tebal dan lunak.
Sinar bulan menimpa air yang
berdendang merdu, air yang tidak begitu dalam, namun amat jernih dan yang
bermain-main dengan batu-batu kali yang berkilauan tertimpa sinar bulan.
Pohon-pohon besar di belakang sana nampak seperti barisan raksasa yang
melindungi mereka, dan hamparan petak rumput itu seperti permadani hijau yang
amat indah. Malam sudah amat larut dan hawa udara amat dinginnya.
Cin Hay membuat api unggun dan
api itu mendatangkan kehangatan dan mengusir nyamuk.
Mendengar ucapan Liong-li yang
mencelanya, celaan yang entah ke berapa kalinya karena sejak tadi wanita itu
mengomel terus, dia lalu menghadapinya. Mereka duduk di atas rumput.
berhadapan, terhalang api unggun. Dari balik api unggun, melihat wajah wanita
muda berpakaian serba hitam itu sungguh merupakan penglihatan mentakjubkan.
Wajah yang ayu itu seperti
terbuat dari pada emas. Emas yang terukir indah. Matanya seperti sepasang
bintang. Dan mulut itu! Agak cemberut, bibirnya agak terbuka. manisnya sukar
diceritakan!
“Maafkan aku, nona......”
“Tidak usah nona-nonaan!
Engkau bukan pelayanku!” Liong-li yang masih mendongkol itu mencela lagi.
Cin Hay membelalakkan matanya.
“Sungguh membingungkan! Disebut nona tidak mau, dan aku belum mengetahui siapa
namamu, habis harus panggil apa?”
“Engkau panggil apa saja, asal
jangan nona. Panggilan itu seperti ejekan saja karena engkau bukan kacungku!”
“Baiklah, Liong-li. Sebaiknya
tanpa Hek (hitam) karena engkau tidak berkulit hitam, Hanya pakaianmu yang
hitam. Maafkan aku tadi, Liong-li. Melihat engkau menandingi Hek-sim Lo-mo dan
para pembantunya di sarang mereka, aku khawatir sekali. Ketahuilah bahwa datuk iblis
itu lihai bukan main......”
“Aku tahu! Golok rampasanku
tadi patah oleh pedangnya, akan tetapi engkau boleh takut kepadanya, aku
tidak!”
“Ah, harap engkau suka
bersikap adil dan suka mempertimbangkan, Liong-li. Ini bukan soal takut atau
tidak, melainkan kita harus berhati-hati menghadapi orang-orang jahat dan licik
seperti mereka. Kalau tadi engkau nekat menghadapi pengeroyokan mereka di
sarang mereka, akhirnya engkau tentu akan celaka.”
“Hemm, perduli amat engkau
apakah aku akan celaka atau tidak? Pula, di sana terdapat pemuda yang gagah
berani itu......”
“Ahhh? Kaumaksudkan Song Tek
Hin?”
“Namanya Song Tek Hin? Dia
seorang yang memiliki ilmu silat sedikit saja, akan tetapi dia sungguh gagah
berani menghadapi maut. Tidak lari-lari ketakutan seperti kita tadi!”
Cin Hay tertawa. “Ha-ha,
memang Tek Hin memiliki keberanian yang hebat! Bahkan kalau tidak kebetulan aku
melihat dan mencegahnya, dia sudah mengambil nyawanya sendiri. Tentu saja
sekarang dia tidak takut mati, karena agaknya memang dia merindukan kematian.”
“Ehh? Apakah yang terjadi
dengan dia?” Liong-li tertarik sekali. Semua kemarahan lenyap dari mukanya dan
kini ia bersikap seolah-olah ia sedang bercakap-cakap dengan seorang sahabat
lama.
Dan Cin Hay juga merasa senang
melihat sikap ini. Entah bagaimana, dia merasa seolah-olah sudah lama sekali
mangenal baik dan menjadi sahabat gadis perkasa ini! Dia merasa cocok sekali
dengan Liong-li, bahkan walaupun wataknya angin-anginan, mudah marah, namun
watak inipun menarik baginya, karena marahnya gadis itu ada dasarnya.
“Dia itu calon mantu mendiang
Pouw Sianseng......”
“Siapa itu Pouw Sianseng dan
apa hubungannya......”
“Semua ada hubungannya. Harap
dengarkan ceritaku dengan tenang dan sabar, Liong-li. Setelah kita berdua
dipilih oleh mendiang kakek Thio Wi Han sebagai ahliwaris-ahliwaris
Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam, kiranya sudah sepatutnya kalau kita bekerja
sama menghadapi Hek-sim Lo-mo, bukan?”
“Lihat saja nanti
perkembangannya. Teruskan ceritamu tentang Song Tek Hin itu.”
“Pouw Sianseng adalah orang
yang beruntung mendapatkan Kim-san Liong-cu, yaitu batu atau logam pusaka yang
diperebutkan......”
“Aku tahu tentang Kim-san
Liong-cu,” Liong-li memotong, “guruku menyuruh aku untuk mencari dan
mendapatkan Kim-san Liong-cu pula. Bagaimana Kim-san Liong-cu dapat terjatuh ke
tangan orang bernama Pouw Sianseng itu?”
“Hal itu aku kurang jelas,
sebaiknya kelak kita tanyakan kepada Tek Hin, kalau kita berhasil
membebaskannya. Akan tetapi, agaknya Hek-sim Lo-mo tahu akan rahasia itu. Dia
menangkap Pouw Sianseng dan puterinya yang menjadi tunangan Song Tek Hin.
Puterinya diperkosa oleh anak buah Hek-sim Lo-mo untuk memaksa Pouw Sianseng
menyerahkan mustika itu, dan akhirnya Pouw Sianseng pun dibunuh setelah
Liong-cu (mustika naga) itu terampas oleh Hek-sim Lo-mo. Puterinya juga tewas.”
“Hemm, memang mereka itu
iblis-iblis kejam!” kata Liong-li gemas.
“Seperti engkau mungkin sudah
dapat menduga, Hek-sim Lo-mo membawa Liong-cu itu kepada kakek Thio Wi Han,
ahli pembuat pedang pusaka dan memaksa kakek itu membuatkan sepasang pedang.
Anak buahnya berjaga-jaga di rumah suami isteri Thio Wi Han itu. Akan tetapi
seperti kita ketahui, agaknya mereka berdua tidak rela menyerahkan
pedang-pedang pusaka kepada Hek-sim Lo-mo. Mereka melarikan diri dan bertemu
dengan kita.”
“Hemm, lalu bagaimana dengan
pemuda itu?”
“Wah, agaknya engkau tertarik
sekali kepadanya!” Cin Hay berseru.
Wanita itu menatap wajahnya
dengan sinar mata tajam, dan polos,
“Memang, aku tertarik
kepadanya dan aku suka kepadanya. Dia pemberani, gagah, tidak mementingkan diri
sendiri......”
“Dan tampan!”
“Ya, dan tampan,” kata pula
Liong-li dengan polos.
Cin Hay tersenyum. Dia tidak
cemburu atau iri hati, seolah-olah dia mendengarkan seorang adik perempuan
memuji-muji seorang kawan pria saja!
“Aku bertemu dengan Song Tek
Hin ketika dia hendak membunuh diri di depan kuburan kuno dari Kiang-sun-ong,
karena dia merasa berduka telah kehilangan tunangannya, yaitu Pouw Bi Hwa yang
tewas bersama ayahnya di tangan Hek-sim Lo- mo dan anak buahnya. Aku sempat
mencegahnya dan menasihatinya, dan dia menurut, bahkan kami lalu pergi
mengunjungi kakek Thio Wi Han. Sayang, kami berdua tertawan oleh para penjahat
itu......”
“Engkau? Tertawan? Aneh,
kukira kepandaianmu cukup untuk dapat membela diri dan tidak sampai tertawan!”
“Mereka menangkap Tek Hin dan
mengancam sehingga terpaksa aku menyerah dan ditawan bersama dia di dalam rumah
mendiang kakek Thio Wi Han. Kemudian, kakek Thio muncul di pagi hari dan
menyerahkan pedang Pek-liong-kiam ini kepadaku setelah dia terluka parah. Aku
membawanya lari, terpaksa meninggalkan Tek Hin yang kembali mereka tawan.”
“Hemm, dan engkau bertemu
dengan aku yang menyelamatkan isteri kakek Thio itu, dan agaknya Tek Hin lalu
dibawa ke sini oleh Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya.”
“Begitulah, Liong-li,” kata
Cin Hay sambil menambahkan kayu pada api unggun. “Tentu saja aku tidak dapat
membiarkan dia menjadi tawanan, maka aku memang sudah mempunyai niat untuk
mencoba membebaskannya sambil menentang Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya. Akan
tetapi, engkau mendahului dan aku membayangimu dari jauh. Aku melihat betapa
engkau telah menewaskan Cap-sha-kwi, sungguh hebat sekali engkau, Liong-li.
Setidaknya, kini kekuatan mereka berkurang.”
Menerima pujian itu, kembali
Liong-li merasa jantungnya berdebar. Ini aneh, pikirnya. Banyak sudah ia
menerima pujian pria, baik untuk kecantikannya maupun untuk kelihaiannya, dan
setiap kali menerima pujian, ia merasa jemu dan bahkan dengan senyum mengejek.
Ia tahu betapa pria memang paling pandai memuji dan suka mengobral pujian,
tentu saja dengan maksud untuk merayu kaum wanita.
Akan tetapi, pujian yang
keluar dari mulut Cin Hay ini tidak dianggapnya sebagai rayuan, bahkan berarti
besar. Hal ini adalah karena ia tahu benar bahwa kepandaian pemuda ini tidak
berada di sebelah bawah tingkatnya! Sejenak mereka saling pandang dari atas api
unggun dan jelas nampak betapa masing-masing saling pandang dengan sinar mata
penuh kekaguman.
“Kalau engkau tahu bahwa
kekuatan mereka berkurang, kenapa engkau mengajak aku lari seperti dua orang
anak kecil takut menghadapi setan-setan? Kenapa kita tidak menyerbu saja dan
membasmi mereka malam tadi?”
“Aku sudah pernah menjadi
tahanan mereka, akan tetapi ketika itu aku ditahan di dalam rumah kakek Thio Wi
Han yang bersahaja. Kini, mereka berada di dalam sarang mereka sendiri.
Orang-orang seperti mereka yang amat kejam dan jahat, tentu juga amat curang
dan licik. Dalam sarang itu tentu dipasangi banyak alat-alat rahasia dan
jebakan-jebakan yang berbahaya. Hal itu amat membahayakan keadaan kita
sendiri.”
“Apakah tidak membahayakan
keselamatan Song Tek Hin?”
Cin Hay tersenyum. “Jangan
khawatirkan dia. Kalau memang para iblis itu menghendaki nyawanya, apa sukarnya
bagi mereka untuk membunuhnya? Memang begitulah keadaannya yang kadang-kadang
amat membingungkan. Orang yang ingin mati, tidak juga menemui kematiannya,
sebaliknya orang yang tidak ingin mati, sekali waktu tiba-tiba saja mati! Kalau
orang macam Hek-sim Lo-mo tidak segera membunuh Tek Hin dan menahannya, maka
hal itu hanya berarti bahwa datuk iblis itu masih membutuhkan Tek Hin
hidup-hidup. Dan agaknya aku mengetahui mengapa mereka belum juga membunuhnya,
dan sekarangpun kita tidak perlu khawatir dia akan dibunuh tidak secepat itu!”
“Hemm, omonganmu masuk di akal.
Akan tetapi apa yang menyebabkan Hek-sim Lo-mo tidak segera membunuhnya?”
“Untuk memancing
kedatanganku!”
“Hemm, belum tentu hanya itu,
juga memancing kedatanganku!” kata Liong-li tidak mau kalah.
“Ehh? Apakah mereka juga
mengenalmu sebagai lawan?”
“Sebelum malam ini, aku pernah
bentrok dengan mereka, juga aku telah membunuh Twa-to Ngo-houw anak buah
mereka, membunuh pula Tiat-pi Hek-wan, Hek-sim Lo-mo tentu amat membenciku.”
“Aihh, dan sekarang engkau
membunuh pula Wei-ho Cap-sha-kwi! Hebat, engkau memang hebat, Liong-li. Aku
kagum padamu, dan tentu Tek Hin akan merasa girang sekali mendengar bahwa
engkau yang membunuh Tiat-pi Hek-wan, karena penjahat itulah yang memperkosa
tunangannya sampai mati.”
Liong-li termenung. Betapa
banyaknya manusia yang baik hidup menderita di dunia ini. Ia teringat akan
keadaan hidupnya sendiri. Ia tidak merasa bahwa ia seorang manusia yang baik,
akan tetapi setidaknya ia tidak pernah melakukan perbuatan jahat, sampai tiba
perubahan hebat pada dirinya semenjak ia secara terpaksa menjadi selir Pengeran
Coan Siu Ong.
Ia memandang kepada Cin Hay,
diam-diam ia ingin sekali mendengar bagaimana riwayat pendekar muda berpakaian
putih ini. Apakah juga pernah menderita sengsara seperti ia dan juga seperti
Tek Hin? Akan tetapi untuk menanyakan hal itu, ia merasa rikuh.
“Sekarang, setelah kita
melarikan diri dari sana, lalu apa yang akan kita lakukan?”
“Kita menghadapi Hek-sim Lo-mo
dan kawan-kawannya di luar sarang mereka, agar tidak ada bahaya perangkap
dengan alat rahasia.”
“Bagaimana kita dapat
memancing mereka keluar?”
“Kita tidak memancing mereka,
melainkan menantang! Terang-terangan kita tantang Hek-sim Lo-mo untuk mengadu
kepandaian di suatu tempat terbuka. Aku yakin seorang datuk iblis seperti dia
memiliki watak yang angkuh dan tentu dia merasa malu kalau tidak menerima
tantangan kita orang-orang muda.”
Liong-li mengangguk-angguk,
“Baik, kaulakukan saja hal itu. Akan tetapi kalau tidak berhasil besok dia
keluar memenuhi tantangan kita, aku akan menyerbu ke sana seorang diri!”
Cin Hay tersenyum. “Harap
jangan tergesa-gesa. Berilah waktu sampai dua hari. Aku mengundang dia dengan
surat tantangan besok agar besok lusa dia suka datang ke tempat ini, lusa jam
sembilan pagi untuk memenuhi tantangan kita. Kalau lusa dia tidak datang,
barulah kita menyerbu ke sana.”
“Kita?”
“Tentu saja, Liong-li. Kita
berdua sudah sama-sama terjun ke dalam urusan ini, sama-sama basah. Apakah
engkau tidak sudi bekerja sama dengan aku?”
Beberapa lamanya mereka saling
pandang. Api unggun sudah padam, akan tetapi mereka tidak memerlukannya lagi
karena sinar matahari pagi sudah mulai mengusir sisa kegelapan malam.
“Mengingat bahwa kita berdua
adalah ahli waris sepasang pedang Naga, baiklah, aku mau bekerja sama. Akan
tetapi aku tidak mau menjadi anak buahmu yang harus mentaati semua perintahmu.”
“Begitukah? Baik, mulai
sekarang engkau yang menjadi pemimpinnya, Liong-li, dan aku akan mentaati semua
petunjukmu!”
Wajah Lie Kim Cu berubah merah
dan mulutnya cemberut. “Bukan begitu maksudku, kita bekerja sama, setiap
tindakan harus dirundingkan dan disetujui bersama. Pendeknya, aku tidak mau
menjadi anak buah.”
“Aku tidak berkeberatan untuk
menjadi anak buah,” jawab Cin Hay, “biar engkau yang menjadi bapak buah......
eh, maksudku ibu buah...eh......”
“Sudahlah, aku setuju dengan
maksudmu mengirim surat tantangan tadi. Bagaimana engkau hendak melakukannya?”
“Akan kutulis sebuah surat
tantangan berbunyi begini :
Hek-liong-li dan Pek-liong-eng
menantang Hek-sim Lo-mo untuk mengadu ilmu. Kalau berani, agar datang di petak
rumput tepi sungai dalam hutan sebelah timur kota, besok pagi jam 9.00 pagi.
Kami tunggu!”
Liong-li mengangguk-angguk.
“Baik, kalau begitu, aku mau pergi dulu dan besok lusa pagi aku datang ke
sini.”
“Nanti dulu, Liong-li, masih ada
siasat lain yang perlu kubicarakan denganmu.”
Liong-li yang tadinya sudah
bangkit berdiri, terpaksa duduk kembali dan memandang wajah pemuda itu dengan
tajam penuh selidik.
“Siasat apa lagi?”
“Liong-li, engkau tentu tahu
bahwa orang semacam Hek-sim Lo-mo adalah lawan yang tangguh sekali, selain
tinggi ilmu silatnya, juga tentu licik dan curang. Dia menawan Tek Hin, tentu
akan mempergunakan pemuda itu, selain untuk memancing kami, juga mungkin sekali
dia hendak mempergunakan dia sebagai sandera untuk memaksa kita menyerah. Oleh
karena itu, akan lebih baik kalau kita setelah mengirim surat tantangan,
berusaha untuk membebaskan Tek Hin lebih dulu.”
“Hemm, caranya?” tanya
Liong-li sambil mengelus-elus dagunya.
Diam-diam Cin Hay amat
tertarik. Wanita cantik ini kadang-kadang lucu, mengelus dagu seperti kebiasaan
banyak pria kalau sedang berpikir. Pada hal dagu itu halus mulus, sama sekali
tidak ada jenggotnya!
“Caranya? Kita bekerja sama,
maka kuserahkan padamu bagaimana baiknya untuk dapat membebaskan Tek Hin
sebelum gerombolan penjahat itu memenuhi undangan kita.”
Liong-li merasa bahwa ia
sedang diuji kecerdikannya oleh Pek-liong-eng, maka iapun berpikir keras dan
mengambil keputusan untuk memaksakan siasat yang sedang dirancangnya itu. Ada
sepuluh menit ia mengerutkan alis dan termenung itu, dan diam-diam Cin Hay
mengerling dan mengamatinya dengan hati tertarik.
“Ah, sudah kudapatkan!”
tiba-tiba wanita itu berseru dan wajahnya berseri.
“Bagus, bentangkan rencanamu,
Liong-li!” kata Cin Hay, ikut gembira.
“Kalau kita malam ini atau
malam besok menyerbu untuk menolong Tek Hin, hal itu tentu tidak ada gunanya
karena kita sudah mengirim tantangan memancing mereka keluar dari sarang. Lalu
bagaimana kita dapat membebaskan Tek Hin sebelum mereka keluar memenuhi
tantangan kita? Hanya ada satu jalan!” Liong-li memandang Cin Hay den keduanya
saling pandang seperti hendak menjenguk isi hati masing-masing.
Cin Hay juga sudah mempunyai
rencana dan memang tepat seperti dikatakan Liong-li tadi. Hanya ada satu jalan,
dan dia ingin sekali tahu apakah jalan pikiran mereka sama.
“Nanti dulu, Liong-li. Tunggu
aku tuliskan dulu rencanaku, kemudian disesuaikan dengan rencanamu dan kita
rundingkan sematangnya.”
Cin Hay cepat mengeluarkan
alat tulis yang berupa daun lebar saja yang dipetiknya dari pohon dan sebatang
kayu kecil runcing untuk menulis. Dicoret-coretnya di atas beberapa helai daun,
kemudian setelah selesai, dia menelungkupkan daun-daun itu dan berkata lagi,
“Nah, sekarang katakanlah bagaimana jalan satu-satunya yang hendak kau tempuh
untuk menolong Tek Hin.”
“Kita tidak mungkin menolong
Tek Hin keluar dari sarang itu selama Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya berada
di sana. Kita lihat saja. Kalau lusa dia bawa Tek Hin keluar untuk menyambut
tantangan kita, seorang di antara kita serbu Hek-sim Lo-mo dan seorang lagi
cepat membebaskan Tek Hin. Kalau mereka meninggalkan Tek Hin di sarang mereka,
begitu mereka keluar untuk menyambut tantangan kita, kita menyelundup dulu ke
dalam dan membebaskannya, baru kita mengejar gerombolan itu.”
Cin Hay tersenyum. Hatinya
gembira sekali, gembira dan juga kagum. Ternyata jalan pikiran mereka sama!
Sungguh senang sekali bekerja sama dengan wanita yang cantik manis dan cerdik
ini.
“Hemm, kenapa kau
senyum-senyum?”
Cin Hay menyerahkan tumpukan
daun yang ditulisnya tadi kepada Liong-li.
“Kau bacalah sendiri.”
Liong-li membaca.
Coretan-coretan itu cukup jelas, dan alisnya berkerut ketika ia membaca,
“Kalau mereka membawa Tek Hin,
kita serbu di perjalanan, kalau mereka meninggalkannya, kita bebaskan Tek Hin
selagi mereka keluar memenuhi tantangan kita.”
“Heiii, kau menjiplak saja
rencanaku, ya?”
“Aih, Liong-li, bagaimana aku
menjiplak kalau aku yang lebih dulu menuliskannya di atas daun-daun ini? Apakah
engkau tadi melihat aku corat-coret dan dapat membaca dari gerakanku?”
“Tan Cin Hay!” Liong-li
meloncat berdiri dan alisnya terangkat, matanya terbelalak marah. “Kau menuduh
aku menjiplakmu? Hei, laki-laki yang lancang mulut!”
Cin Hay terkejut. Sungguh
sukar diduga sebelumnya watak wanita ini, pikirnya. Tiada hujan tiada angin,
seperti kilat dan guntur menyambar-nyambar begitu saja. Cepat dia bangkit
berdiri.
“Maaf, Liong-li. Aku hanya
ingin bergurau. Tentu saja engkau tidak menjiplaknya, seperti akupun tidak
menjiplak darimu. Ternyata jalan pikiran kita sama dan ini berarti bahwa memang
kita cocok untuk saling kerja sama. Selanjutnya, bagaimana baiknya rencana ini
dilaksanakan, terserah kepadamu.”
Rasa panas di dada Liong-li
menjadi dingin kembali. Wataknya memang pemarah semenjak ia menjadi Liong-li,
akan tetapi kesadarannya selalu membuat ia mudah melihat persoalan dan iapun
tahu bahwa pemuda itu tidak sengaja menuduhnya menjiplak.
“Sudahlah, sebaiknya kau
berhati-hati kalau bicara. Ingat, di antara kita belum ada yang kalah atau
menang, maka sekali waktu ingin aku menguji kepandaian kita.”
“Wah, lupa lagi kau, Liong-li?
Aku pernah terkena pukulanmu, tangan kirimu yang membuat aku panas dingin dan
keracunan.”
“Hemm, itu belum berarti aku
menang. Sudah, mari kita rundingkan dari mana kita dapat mengintai sebaiknya.
Tentu mereka akan melalui pintu gerbang sebelah timur, kita mencari tempat
persembunyian yang baik di luar pintu gerbang......”
Mereka lalu duduk lagi. Kini
api unggun telah padam, dan mereka merundingkan siasat mereka untuk mengirim
tantangan dan untuk mengintai rombongan musuh itu kalau mereka keluar esok lusa
pagi.
◄Y►
Bayangan yang tubuhnya ramping
itu bergerak dengan gesitnya, meloncati pagar tembok bangunan rumah Hek-sim
Lo-mo. Di punggungnya tergantung sepasang pedang dan ketika bulan menyinari
mukanya, nampaklah wajah seorang gadis yang manis, dengan pakaian serba hijau
dan matanya bersinar terang ketika ia melompat ke sebelah dalam dan memandang
ke kanan kiri penuh selidik.
Agaknya iapun maklum bahwa ia
berada di sarang harimau ganas, maka ia mencabut siang-kiam (sepasang pedang)
dari punggungnya, lalu melangkah maju berindap-indap menghampiri bangunan
gedung yang besar itu. Ia tidak tahu sama sekali bahwa sejak ia muncul di luar
tembok pagar bangunan itu, semua gerak geriknya telah diikuti oleh pandang mata
beberapa orang yang mengintai dari dalam gedung.
Karena baru saja menderita
kerugian besar dengan terbunuhnya Wei-ho Cap-sha-kwi, dan tahu bahwa di luar
terdapat dua orang musuh yang amat lihai, maka Hek-sim Lo-mo dan para
pembantunya bersikap hati-hati sekali. Mereka tidak pernah lengah melakukan
penjagaan secara bergiliran dan pada malam hari itu, tentu saja mereka yang
rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi itu dapat melihat gerak-gerik
bayangan berpakaian hijau yang melompati pagar tembok.
Malam itu yang melakukan
giliran berjaga malam adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng dan Yauw Ban. Mereka
berdua bersama belasan orang penjaga yang menjadi anak buah mereka, mengintai
dan mengamati gerak gerik bayangan berbaju hijau itu.
Ketika mereka melihat bahwa
bayangan itu adalah seorang gadis, tadinya mereka terkejut dan mengira bahwa
yang muncul adalah Liong-li. Akan tetapi ketika sinar bulan menimpa wajah gadis
itu dan mereka melihat bahwa gadis itu bukan Liong-li, hati kedua orang jagoan
ini menjadi besar. Apa lagi Jai-hwa Kong-cu Lui Teng, ketika melihat gadis
manis itu, dia tersenyum dan berbisik kepada Yauw Ban.
“Yauw toako, serahkan saja
gadis itu kepadaku. Aku akan menangkapnya!”
Yauw Ban mengerutkan alisnya.
Dia sudah mengenal benar watak Jai-hwa Kongcu ini, seorang pemuda yang gila
perempuan dan tidak pernah mau melepaskan seorang gadis cantik begitu saja
tanpa mengganggunya.
“Ingat, kita sedang menghadapi
ancaman musuh yang lihai. Jangan pandang rendah gadis ini, dan setelah berhasil
menangkapnya, jangan sekali-kali mengganggunya sebelum membawanya menghadap
Beng-cu agar ia diperiksa apa maksudnya datang ke sini. Siapa tahu ia adalah
teman dari Liong-li atau pemuda baju putih itu.”
Jai-hwa Kongcu tersenyum. “Aku
mengerti, toako. Akan kutangkap ia dan kubawa ke depan Beng-cu, kemudian kalau
Beng-cu menyerahkan ia kepadaku, hemm......!” Matanya berkejap penuh arti,
kemudian sambil menyeringai, Lui Teng berkelebat lenyap di dalam gelap untuk
mencari gadis yang sudah masuk ke dalam pekarangan tadi.
Yauw Ban tidak tinggal diam.
Bersama anak buah diapun lalu membayangi, setelah berpesan kepada para penjaga
lainnya agar tidak lengah dan tetap melakukan penjagaan ketat. Siapa tahu gadis
itu hanya merupakan siasat dari dua orang musuh yang lihai itu, untuk
memindahkan perhatian mereka, kemudian kalau mereka lengah karena mengejar
gadis baju hijau, lalu pemuda baju putih dan Liong-li akan menyerbu masuk!
Gadis baju hijau itu memang
manis sekali wajahnya, dan kulit muka dan lehernya nampak putih mulus di balik
pakaiannya yang serba hijau. Sepasang pedang yang dicabutnya juga mengeluarkan
sinar berkilauan, tanda bahwa itu adalah sepasang pedang yang baik dan cukup
ampuh.
Gerakannya ringan sekali
ketika dara ini menyelinap di antara pohon-pohon mendekati gedung itu. Ia
memasuki gedung itu dari sebuah pintu belakang yang dengan mudah ia dorong
terbuka dari luar. Sekali menyelinap masuk, sikapnya amat waspada dan iapun
mencari-cari. Yang dicarinya adalah kamar di mana ia akan dapat menemukan
Hek-sim Lo-mo karena kedatangannya ini adalah untuk membunuh datuk sesat itu!
Dengan berindap-indap gadis
baju hijau itu mengintai dari jendela sebuah kamar. Ia melihat seorang pemuda
tampan duduk menghadapi meja dan sedang membaca buku di bawah sinar tiga batang
lilin. Ia dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas dan sepasang mata yang
jeli itu terbelalak penuh kaget dan keheranan!
“Song-toako......” Terdengar
ia berbisik dari luar jendela.
Pemuda itu bukan lain adalah
Song Tek Hin yang menjadi tawanan! Semenjak kegagalan Liong-li untuk
membebaskannya, pemuda ini merasa kecewa sekali. Setelah berjumpa dengan
Liong-li, dia merasa kagum sekali dan merasa heran mengapa kini dia tidak lagi
nekat untuk menghadapi kematian.
Kehidupan yang tadinya terasa
kosong setelah kematian tunangannya, yaitu Pouw Bi Hwa, yang membuat dia tidak
kerasan lagi hidup di dunia, kini berubah. Kehidupan itu berarti kembali! Dia
tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada pendekar wanita yang amat perkasa itu,
pendekar yang dengan beraninya menyerbu dan menentang Hek-sim Lo-mo dan
berusaha untuk membebaskannya.
Sayang sekali bahwa gadis itu
gagal dan terpaksa melarikan diri bersama Cin Hay, sedangkan dia tertawan
kembali. Untungnya, Hek-sim Lo-mo masih mempergunakan dia sebagai umpan dan
tidak membunuhnya. Untuk melenyapkan kekesalan hatinya, dia membaca buku yang
memang disediakan oleh tuan rumah untuk dia melewatkan waktu menganggur,
“Song-toako......!”
Song Tek Hin terkejut. Tadi
dia sudah mendengar bisikan itu akan tetapi karena perhatiannya tercurah kepada
bacaannya, dia tidak memperhatikan dan mengira bahwa dia salah dengar. Akan
tetapi sekali ini dia menoleh ke arah jendela dan wajahnya berseri, matanya
memandang penuh harapan. Liong-li datang lagi! Datang lagi untuk
membebaskannya, pikirnya.
“Liong-li......!” bisiknya
kembali dan cepat dia membuka daun jendela dengan hati-hati sekali. Akan
tetapi, wajah yang dilihatnya di luar jendela sama sekali bukan wajah Liong-li,
walaupun wajah itu juga manis dan menarik sekali.
“Ah, engkau...... Su Hong
Ing......?” dalam suaranya terkandung keheranan, kekagetan juga kekecewaan
karena yang muncul bukan Liong-li yang amat diharapkan dan dirindukan.
Su Hong Ing ini adalah saudara
misan dari mendiang Pouw Bi Hwa, masih keponakan dari ibu tunangannya itu dan
Su Hong Ing menjadi murid dari perguruan silat Bu-tong-pai yang amat terkenal
pula. Ilmu silat gadis baju hijau ini sudah lumayan tingginya, seimbang dengan
tingkat kepandaian Song Tek Hin. Tek Hin mengenal Hong Ing karena pernah gadis
ini datang dan tinggal untuk beberapa bulan lamanya di rumah mendiang Pouw
Sianseng dan sempat diperkenalkan kepadanya oleh mendiang Pouw Bi Hwa,
tunangannya.
Sekali melompat, Hong Ing
telah melompati jendela dan telah berada di dalam. “Song-toako, bagaimana
engkau dapat berada di sini?” bisiknya, dan melihat pemuda itu tidak
terbelenggu, sama sekali bukan sebagai tahanan bahkan kamarnyapun cukup bagus,
ia lalu mengerutkan alisnya.
“Ah, toa-ko, sungguh aku tidak
mengerti! Mereka telah membunuh paman dan membunuh adik Bi Hwa, dan engkau
malah...... agaknya menjadi sahabat para penjahat itu? Sungguh tak
kusangka......!”
“Ssttt, Ing-moi, jangan kau
bicara begitu. Engkau tidak tahu, aku di sini sebagai tawanan, sebagai umpan
agar dua orang pendekar yang menjadi musuh mereka datang untuk mencoba
membebaskan aku, tidak tahunya engkau malah yang muncul! Hong Ing, lekas engkau
pergi dari sini selagi masih ada kesempatan. Cepat, mereka itu lihai sekali!
Engkau dan aku bukanlah lawan mereka. Pergilah, Ing-moi......!”
“TIBA-TIBA terdengar suara
tertawa dari luar jendela. “Ha-ha-ha, nona manis masuk tanpa diundang, tidak
boleh pergi begitu saja sebelum berkenalan dengan aku!”
Tek Hin mengenal suara Jai-hwa
Kongcu Lui Teng dan dia terkejut sekali. Si mata keranjang itu merupakan
seorang pembantu Hek-sim Lo-mo, seorang di antara para pembantu yang paling
lihai!
“Celaka, dia lihai sekali,”
bisiknya kepada Hong Ing, lalu dia menjengguk keluar jendela dan berkata dengan
suara lantang, “Saudara Lui Teng, harap jangan ganggu. Yang datang ini adalah
adikku sendiri yang ingin menjengukku, tidak mempunyai iktikad buruk. Biarkan
ia pergi dan harap jangan diganggu!”
“Ha-ha-ha, bagus! Kalau ia
adikmu sendiri, maka berarti ia adalah tamu kami. Marilah, nona, mari kuantar
engkau menghadap Beng-cu yang menjadi tuan rumah. Silakan keluar!”
Hong Ing mengerutkan alisnya.
Ia menyelundup ke tempat itu hanya dengan satu tujuan, yaitu membunuh Hek-sim
Lo-mo yang telah membunuh pamannya, Pouw Sianseng dan adik misannya Pouw Bi
Hwa. Ia mengandalkan ilmu silatnya sebagai seorang murid Bu-tong-pai yang lihai
dan ia percaya bahwa dengan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu sepasang
pedang, ia akan mampu membunuh datuk sesat itu. Tak disangkanya sama sekali
bahwa Song Tek Hin, calon ipar misannya yang ia tahu juga amat lihai, telah
menjadi seorang tawanan di situ, kelihatannya amat tidak berdaya walaupun tidak
dibelenggu!
Kini, mendengar suara orang di
luar itu, tentu saja ia tidak merasa gentar.
“Aku datang hendak bertemu dan
membuat perhitungan dengan Hek-sim Lo-mo, bukan ingin bertemu dengan Beng-cu
atau siapapun juga!” bentaknya.
Jai-hwa Kongcu Lui Teng
tertawa. “Ha-ha-ha, Song Tek Hin, apakah engkau tidak memberitahu kepada adikmu
bahwa locianpwe Hek-sim Lo-mo itu adalah Beng-cu?”
Mendengar ini, Hong Ing
menoleh kepada Tek Hin dan pemuda itu mengangguk membenarkan. “Ing-moi, engkau
cepat menerobos keluar dan lari!” bisiknya dengan hati khawatir sekali.
“Tidak, aku harus bertemu
dengan Hek-sim Lo-mo!” jawab Hong Ing yang memiliki keberanian luar biasa,
tiada bedanya dengan Tek Hin sendiri.
Hanya bedanya, kalau sekarang
Tek Hin sudah tahu benar akan keadaan pihak lawan yang sungguh amat lihai
sehingga dia sama sekali bukan lawan mereka, sebaliknya Hong Ing yang belum
mengetahui keadaan dan kekuatan Hek-sim Lo-mo, masih memandang rendah mereka
dan mengira bahwa dengan ilmu kepandaiannya, ia akan mampu membunuh datuk itu
untuk membalaskan kematian paman dan adik misannya!
Setelah berkata demikian,
dengan kedua tangan masih memegang sepasang pedangnya, Hong Ing melompat keluar
dari kamar itu melalui jendela. Di luar jendela, dia disambut oleh seorang
laki-laki yang berwajah tampan, memakai pakaian seperti pelajar, sikapnya ramah
dan laki-laki itu telah menjura dengan hormat kepadanya.
“Nona, namaku Lui Teng dan
marilah kuantar nona untuk bertemu dengan Beng-cu Hek-sim Lo-mo yang tentu akan
menyambut nona dengan baik,” katanya dengan halus.
Su Hong Ing hanya mengangguk,
lalu ia mengikuti Lui Teng melalui lorong menuju ke sebuah ruangan di mana
Hek-sim Lo-mo yang sudah dilapori tentang penyusupan seorang gadis baju hijau
itu telah duduk menanti.
Ruangan itu luas dan ketika
Hong Ing yang mengikuti Lui Teng dari belakang tiba di situ, ia melihat seorang
kakek tinggi besar bermuka hitam, matanya lebar, kumis dan jenggotnya lebat,
pakaiannya seperti hartawan dan sikapnya berwibawa. Ia menduga bahwa tentu
itulah yang disebut Hek-sim Lo-mo, maka begitu berdiri di depan kakek itu, ia
lalu bicara dengan suara lantang.
“Apakah engkau yang bernama
Hek-sim Lo-mo dan engkau yang telah membunuh paman Pouw dan puterinya, Pouw Bi
Hwa?”
Mendengar pertanyaan ini,
Hek-sim Lo-mo memandang gadis itu tanpa menjawab, lalu dia berbalik dengan
sebuah pertanyaan dengan suaranya yang besar parau, “Dan engkau siapakah,
nona?”
“Namaku Su Hong Ing, aku
seorang murid Bu-tong-pai dan aku datang untuk membalaskan kematian pamanku dan
adik misanku. Kalau benar engkau Hek-sim Lo-mo, bangkitlah dan mari kita
membuat perhitungan!” Berkata demikian, gadis itu sudah memasang kuda-kuda
dengan sepasang pedangnya. Ilmu pedang Bu-tong-pai memang terkenal indah dan
kuat. Akan tetapi, sikap gadis itu menimbulkan perasaan geli di dalam hati
Hek-sim Lo-mo.
Bagaimanapun juga, dia harus
memuji bahwa gadis ini memiliki keberanian yang hebat, seperti yang
diperlihatkan oleh Song Tek Hin, tawanannya itu. Gadis seperti ini bukan orang
sembarangan dan alangkah baiknya kalau ia dijadikan tawanan pula, sehingga
dengan demikian, dua orang musuh yang amat dibencinya itu. Liong-li dan Tan Cin
Hay, tentu semakin tertarik untuk datang dan berusaha membebaskan Tek Hin dan
gadis bernama Su Hong Ing ini!
“Hemm, engkau ini gadis yang
masih hijau dan tak tahu diri. Engkau menantang aku? Biar orang nomor satu dari
Bu-tong-pai sekalipun, belum tentu akan mampu menandingi aku, apa lagi engkau
seorang murid yang masih rendah tingkatmu. Lui Teng, wakililah aku untuk
menundukkan gadis angkuh ini, akan tetapi jangan lukai karena ia harus menjadi
tawanan kita pula!”
Tentu saja Lui Teng merasa
girang sekali diberi perintah untuk menundukkan gadis yang telah menarik
hatinya ini. Sekali menggerakkan tubuhnya, dia telah berada di depan Hong Ing
sambil tersenyum. Wajahnya memang tampan dan senyumnya menarik, akan tetapi
melihat sinar matanya yang genit itu, Hong Ing mengerutkan alisnya dan menjadi
marah.
“Hek-sim Lo-mo, engkau majulah
sendiri untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang telah membunuh pamanku
dan adik misanku yang tidak berdosa, dan jangan menyuruh segala macam manusia
tidak berguna untuk menghadapiku!”
Lui Teng tidak menjadi marah
dan diapun tertawa. “Aduh-aduh, orangnya cantik manis sekali, akan tetapi
tinggi hati, sombong dan seperti seekor kuda betina liar. Alangkah akan
menyenangkan kalau aku dapat menundukkan kuda liar ini. Majulah, nona dan mari
kita lihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau berani bersikap seangkuh
ini!”
Kini Hong Ing menjadi marah
sekali. Mukanya menjadi merah dan ini menambah kemanisan wajahnya. Dengan
gerakan yang cepat dan kuat, iapun tanpa banyak cakap lagi sudah maju
menyerang, sepasang pedangnya membabat dari kanan kiri untuk menggunting lawan.
Namun, dengan gerakan lincah
sekali Lui Teng sudah meloncat ke belakang sehingga serangan sepasang pedang
itu tidak mengenai sasaran, kemudian dari arah samping, dengan gerakan cepat
dan tidak tersangka-sangka, tangan kanan Lui Teng menjulur ke arah pipinya
dengan gerakan menampar atau mencolek. Hong Ing cepat miringkan tubuhnya ke
kanan dan hendak menggerakkan sepasang pedangnya untuk membalas, akan tetapi
tiba-tiba saja tangan kiri Lui Teng sudah menyelonong ke depan mencengkeram ke
arah dadanya!
“Ihhh......!” Hong Ing
menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu memutar pedangnya di depan
tubuh. Wajahnya menjadi merah sekali karena hampir saja buah dadanya kena
dicengkeram lawan yang kurang ajar itu. Kemarahannya memuncak ketika ia melihat
Lui Teng tertawa-tawa senang, akan tetapi iapun tahu bahwa ternyata .pria yang
tampan dan genit kurang ajar ini lihai sekali! Iapun memutar sepasang pedangnya
dan menyerang lagi dengan bertubi-tubi.
Akan tetapi, tingkat
kepandaian gadis baju hijau ini memang kalah jauh dibandingkan tingkat
kepandaian Jai-hwa Kongcu Lui Teng yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat
dari perguruan Pek-tiauw-pang (Rajawali Putih) di Lu-san. Andaikata ada lima
orang Hong Ing, belum tentu akan mampu mengalahkan penjahat cabul ini.
Betapapun juga, tidak mudah
bagi Lui Teng untuk menundukkan gadis yang bersenjata sepasang pedang dan yang
memiliki keberanian yang nekat itu tanpa melukainya. Setelah dilarang oleh
Beng-cu, dia sendiripun tidak ingin melukai gadis ini yang telah
diperhitungkannya akan menjadi korbannya dan dia ingin mendapatkan gadis ini
dalam keadaan utuh dan tidak terluka.
Sepasang pedang gadis itu
menyambar-nyambar, memang tidak terlalu berbahaya baginya, namun menyukarkan
dia untuk dapat menundukkan tanpa melukainya. Maka, Lui Teng lalu melolos sabuk
putihnya, sabuk sutera putih yang merupakan senjatanya amat ampuh. Begitu sabuk
ini dilolosnya, nampak sinar putih bergulung-gulung dan tiba-tiba saja Hong Ing
mengeluarkan suara menjerit karena sepasang pedangnya telah terlibat-libat oleh
sabuk putih dan tidak dapat ia gerakkan!
Selagi ia menarik-narik
sepasang pedang itu untuk melepaskannya, tiba-tiba tangan kiri Lui Teng menyambar
dan menotok pundaknya. Gadis itu mengeluh dan terguling dengan kaki tangan
lumpuh. Ia tentu akan terbanting jatuh kalau saja Lui Teng tidak dengan cepat
menyambut tubuhnya dan memeluknya dengan mesra!
“Beng-cu, apa yang harus saya
lakukan dengan ia. Apakah Beng-cu menyerahkannya kepada saya?” tanya Lui Teng
sambil mendekatkan mukanya pada wajah yang putih mulus dan berpipi halus itu.
Hong Ing hampir pingsan saking
ngerinya dan iapun memejamkan matanya.
“Hemm, jangan engkau
main-main, Lui Teng!” Hek-sim Lo-mo membentak sehingga mengejutkan Lui Teng dan
dia segera menjauhkan mukanya dari muka gadis yang ditawannya.
“Awas, engkau tidak boleh
mangganggunya! Ia harus diperlakukan baik-baik seperti tawanan pemuda itu. Biar
ia memperkuat umpan yang kita pasang. Akan tetapi masukkan mereka dalam satu
kamar dan jaga baik-baik agar mereka tidak lolos. Akan terlalu merepotkan kalau
mereka dipisahkan. Sekali lagi, perlakukan mereka berdua baik-baik sampai umpan
itu berhasil mendatangkan ikan-ikan yang kita kehendaki. Kalau sudah begitu, ia
akan kuserahkan kepadamu!”
Jai-hwa Kongcu Lui Teng
menjadi girang sekali. “Hemm, nona manis, engkau sungguh beruntung. Beng-cu
akan menganggapmu sebagai seorang tamu agung, dan kelak engkau akan menjadi
milikku, hidup berbahagia bersama aku, manis.”
Hong Ing adalah seorang gadis
yang selain pemberani juga amat cerdik. Ia telah mendengar semua percakapan
mereka dan tahulah ia bahwa pemuda lihai ini amat takut kepada “beng-cu” itu.
Karena jelas bahwa Hek-sim Lo-mo tidak menghendaki ia diganggu, maka iapun
berkata dengan galak, “Bebaskan aku dan jangan pondong aku! Aku mampu berjalan
sendiri!”
Lui Teng memandang dengan
ragu-ragu, akan tetapi terdengar suara Hek-sim Lo-mo. “Lui Teng, lepaskan ia
dan simpan sepasang pedangnya!”
Lui Teng merasa kecewa sekali.
Biarpun dia belum boleh mengganggu gadis itu, setidaknya dia ingin memandang
dan mendekapnya, membawanya ke kamar tahanan, bahkan kalau ada kesempatan dia
dapat mencumbunya. Akan tetapi, Beng-cu telah memerintahkan agar dia
membebaskan gadis itu, maka diapun tidak berani membantah dan dua kali dia
menepuk punggung Hong Ing yang segera dapat menggerakkan kaki tangannya. Ia
cukup cerdik untuk tidak mengamuk lagi, maklum bahwa di tangan orang-orang
pandai ini ia tidak berdaya.
Sekarang tahulah ia mengapa
Tek Hin mau dijadikan tawanan dan sama sekali tidak melawan. Melawanpun tidak
akan ada gunanya. Baru menghadapi seorang pembantu Hek-sim Lo-mo saja, ia sama
sekali tidak berdaya. Apa lagi kalau banyak pembantunya maju. Apa lagi kalau
kakek raksasa itu sendiri yang maju! Oleh karena itu, setelah ia mampu
bergerak, iapun tidak mau mengamuk lagi dan menurut saja ketika disuruh
berjalan dan dikawal oleh Lui Teng menuju ke kamar di mana Tek Hin berada.
Melihat gadis itu dibawa masuk
ke dalam kamarnya, Tek Hin mengerutkan alisnya dan segera dia tahu bahwa Hong
Ing juga sudah ditaklukkan oleh gerombolan penjahat itu.
“Song Tek Hin, engkau
memperoleh seorang teman, gadis cantik manis ini. Akan tetapi awas, jangan
engkau mengganggunya. Ia adalah calonku, tahu?” kata Lui Teng sambil
meninggalkan mereka dan tertawa mengejek.
Hong Ing menjatuhkan dirinya
di atas kursi, tidak menangis melainkan cemberut. Tek Hin juga duduk di atas
pembaringannya, memandang kepada gadis itu. Seorang gadis yang cantik manis
seperti yang dikatakan Lui Teng tadi, pemberani akan tetapi tinggi hati
sehingga memandang rendah lawan.
“Hemm, tentu mereka telah
menundukkanmu, bukan?” tanyanya tanpa nada mengejek, hanya menyesal mengapa
gadis itu demikian bodoh melakukan penyerbuan terhadap gerombolan penjahat yang
amat lihai tanpa perhitungan sama sekali.
Hong Ing menarik napas
panjang. “Tidak kusangka bahwa mereka selihai itu,” dan ia memandang kepada Tek
Hin. “Song-toako, apa artinya bahwa engkau dan aku, kita dijadikan umpan? Siapa
yang hendak dipancing datang ke sini?”
Tek Hin lalu menceritakan
dengan singkat tentang Tan Cin Hay dan Liong-li. “Tanpa adanya engkau menjadi
tawananpun, aku yakin bahwa saudara Tan Cin Hay, terutama sekali nona Liong-li,
pasti akhirnya akan muncul untuk membebaskan aku. Tan-taihiap dan nona Liong-li
adalah dua orang muda yang amat hebat, terutama sekali nona Liong-li! Mereka
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kiranya hanya mereka berdua itulah yang
akan mampu menandingi Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya.”
“Toako. engkau selalu
memuji-muji nona Liong-li! Orang macam apakah ia itu?”
“Wah, selama hidupku baru satu
kali ini aku melihat seorang gadis seperti nona Liong-li! Ia cantik jelita
seperti seorang bidadari, ia pemberani dan cerdik bukan main, dan ia memiliki
ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. Sungguh, aku kagum sekali pada gadis
hebat itu, Ing-moi!”
Diam-diam Hong Ing merasa
mendongkol. Teringat ia betapa ia pernah merasa iri kepada mendiang Pouw Bi Hwa
yang memperoleh seorang calon suami seperti Song Tek Hin yang tampan,
terpelajar dan pandai ilmu silat. Akan tetapi, kiranya pemuda ini tidak
memiliki kesetiaan! Baru saja tunangannya mati, dia sudah tergila-gila kepada
seorang gadis lain!
“Hemmm, lalu apa yang harus
kita lakukan sekarang?” tanyanya dengan suara yang kurang puas.
“Tidak apa-apa, hanya menanti
saja. Mudah-mudahan tidak terlalu lama mereka akan muncul untuk membebaskan
kita.”
“Tinggal sekamar begini? Kita
berdua? Aku tidak mau!”
“Eh, Ing-moi, mengapa engkau
begitu? Kita tidak ada pilihan lain. Kita diperlakukan dengan baik hanya karena
mereka mempergunakan kita sebagai umpan! Kalau tidak karena adanya nona
Liong-li dan Tan Taihiap, belum tentu kita dapat diperlakukan begini baik.
Bagaimanapun juga, kita adalah tawanan.”
“Enak saja bagimu! Engkau
seorang laki-laki, akan tetapi aku seorang wanita! Bagaimana mungkin aku
tinggal sekamar denganmu? Bagaimana mungkin kita tidur sekamar?”
“Mengapa tidak, Ing-moi? Aih,
aku tahu apa yang kaupikirkan! Ing-moi, kita dalam keadaan terpaksa, kita
senasib! Kaukira aku ini orang laki-laki macam apa? Jangan khawatir, engkau
boleh tidur di atas pembaringan ini dan aku akan tidur di kursi, atau di
lantai!”
Mendengar suara pemuda itu
agaknya penasaran dan marah, Hong Ing merasa tidak enak hati juga. Ia sudah
lama mengenal pemuda ini, seorang pemuda yang gagah dan baik, sehingga tidak
mungkin melakukan hal yang tidak pantas terhadap dirinya. Wajahnya berubah
merah.
“Bukan maksudku tidak percaya
kepadamu, Song-toako. Akan tetapi apakah kita berdua harus mandah begini saja,
hanya menunggu dan menerima nasib tanpa berusaha untuk membela diri sama
sekali?”
“Hong Ing, aku yakin benar
bahwa kita berdua bukanlah lawan mereka. Kalau kita nekat memberontak, hal itu
sama saja dengan membunuh diri dan kita tentu akan disiksa sebelum dibunuh.
Dari pada begitu, kita menanti saat yang baik. Kalau mereka berdua muncul, kita
langsung membantu mereka, sehingga mereka berdua menjadi lebih kuat dan kita
memperlihatkan bahwa kita bukanlah orang-orang yang hanya menunggu pertolongan
atau menunggu mati saja.”
Barulah hati Hong Ing tidak
penasaran lagi. Tek Hin lalu turun dari pembaringan, mempersilakan gadis itu
duduk di sana dan dia sendiri lalu duduk di atas kursi.
“Orang yang genit tadi sungguh
lihai sekali,” kata Hong Ing, “dan aku ngeri melihat sikapnya. Apakah masih ada
lagi para pembantu yang lihai seperti itu dari Hek-sim Lo-mo?”
“Ah, dia tadi adalah Jai-hwa
Kongcu Lui Teng dan dia hanya seorang di antara para pembantu Hek-sim Lo-mo.
Masih ada yang lebih lihai dari dia! Ada Tok-gan-liong Yauw Ban, kemudian
Kiu-bwe Mo-li, dan dua orang saudara kembar He-nan Siang-mo dan penjahat cabul
tadi. Mereka berlima adalah para pembantu utama yang amat lihai. Melawan mereka
seorang saja, kita berdua masih tidak mampu menang, dan belum lagi kurang lebih
duapuluh orang penjaga yang rata-rata juga pandai ilmu silat. Dan yang lebih
hebat lagi adalah Hek-sim Lo-mo sendiri. Kepandaiannya seperti iblis!” Lalu
pemuda itu menceritakan tentang gerombolan penjahat itu seorang demi seorang,
mengenai kekejaman dan kelihaian mereka.
Mendengar keterangan ini, Hong
Ing bergidik, dan baru ia tahu betapa sembrono dan bodohnya ia, berani memasuki
guha harimau yang didiami begitu banyaknya penjahat yang lihai sekali. Mulailah
ia merasa khawatir.
“Kalau mereka begitu hebat,
bagaimana mungkin Liong-li mu itu akan dapat mengalahkan mereka?”
Mendengar sebutan “Liong-li
mu” itu, Tek Hin tersenyum dan baru dia menyadari bahwa gadis ini merasa tidak
senang mendengar dia tadi begitu memuji-muji seorang gadis bernama Liong-li!
“Tenangkanlah hatimu, Ing-moi.
Aku bukan hanya memuji secara gegabah saja! Gadis yang berjuluk Liong-li itu
sungguh hebat dan ilmu kepandaiannya amat tinggi. Tahukah engkau? Aku sendiri
menyaksikan betapa ia seorang diri telah membasmi Wei-ho Cap-sha-kwi, yaitu
tigabelas orang yang tadinya juga menjadi pembantu utama Hek-sim Lo-mo. Pada
hal mereka itu cukup lihai, tingkat kepandaian mereka itu masing-masing mungkin
seimbang dengan tingkat kepandaianku. Dan dalam waktu singkat sekali mereka
semua tewas di tangan Liong-li, dan aku hanya membantunya sedikit saja!
Kemudian, Liong-li dikeroyok oleh lima orang pembantu utama Hek-sim Lo-mo itu!
Bayangkan saja! Lima orang yang kepandaiannya rata-rata seperti si penjahat
cabul tadi, bahkan lebih lihai, mengeroyok Liong-li dan ia tidak sampai
terdesak!”
Hong Ing diam-diam terkejut
bukan main dan mulai merasa kagum. Sukar dipercaya ada seorang gadis yang
sedemikian lihainya!
“Lalu bagaimana?” desaknya,
tertarik.
“Kemudian muncul Hek-sim Lo-mo
dan tentu saja Liong-li terdesak. Baiknya muncul Tan-taihiap dan mereka
berhasil meloloskan diri dengan selamat. Aku tidak dapat mereka bebaskan karena
aku sudah terjatuh ke tangan mereka lebih dulu. Dasar aku yang bodoh dan
lemah......”
“Ah, kalau begitu, Liong-li
itu benar-benar hebat. Apakah wanita itu sudah tua, toako?”
“Tua? Takkan lebih dari
duapuluh dua tahun usianya!”
“Bukan main! Masih begitu muda
akan tetapi memiliki kelihaian yang demikian hebat! Dan Tan-taihiap itu? Sudah tuakah
dia?”
“Tan-taihiap juga masih muda,
mungkin sebaya dengan aku. Dia tampan, terpelajar, halus budi pekertinya,
bijaksana, mulia hatinya dan ilmu kepandaiannya amat hebat! Bayangkan saja,
karena aku dijadikan sandera, karena dia tidak ingin melihat aku celaka, maka
dia pernah menyerahkan diri untuk ditawan oleh gerombolan ini, hanya untuk
menyelamatkan aku......”
“Aduh! Kalau begitu dia tentu
hebat bukan main! Tidak kalah hebatnya oleh Liong-li mu itu!” Hong Ing berseru
kagum.
“Ya, mereka berdua memang
sepasang orang muda yang hebat sekali! Entah siapa di antara mereka yang lebih
hebat. Kalau mereka maju bersama, tentu Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya akan
dapat dibasmi, dan kita akan membantu sekuat tenaga kita.”
Terhiburlah rasa hati Hong Ing
dan ternyata mereka berdua mendapatkan perlayanan yang amat baik, mendapatkan
hidangan yang lezat, bahkan disediakan air untuk mandi oleh para penjaga. Dan
seperti telah diduganya, sikap Tek Hin amat baik terhadap dirinya, selalu sopan
dan sama sekali tidak pernah menggodanya.
Hal ini membuat Hong Ing
diam-diam amat bersyukur dan berterima kasih, dan kembalilah perasaan kagumnya
terhadap pemuda itu. Di pihak Tek Hin, diam-diam diapun merasa tertarik dan
kagum kepada gadis yang ternyata amat gagah, pemberani dan sedikitpun tidak
cengeng ini. Mendapatkan seorang kawan senasib seperti gadis ini sungguh
membesarkan hati.
◄Y►
“Keparat jahanam!!” Hek-sim
Lo-mo memaki dan tangannya yang kanan mengepal-ngepal sampai terdengar bunyi
berkerotokan, tangan kirinya memegangi sehelai kertas yang bertuliskan tinta
merah. Sebuah tantangan! Ditulis dengan tinta merah, dengan huruf-huruf yang
menyolok dan nadanya menghina pula!
“Kami, Hek-liong-li dan
Pek-liong-eng menantang Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya, kalau mereka bukan
pengecut-pengecut untuk mengadu ilmu menentukan siapa yang lebih pandai.
Kalau berani, datanglah di
petak rumput tepi sungai dalam hutan sebelah timur kota, besok jam 9.00 pagi.
Kalau takut pergilah kalian ke neraka.
Tertanda:
Hek-liong-li dan Pek-liong-eng.
Hek-sim Lo-mo memandang kepada
lima orang pembantu utamanya yang nampak gentar melihat pimpinan mereka marah
besar. Kiu-bwe Mo-li memberanikan diri bertanya.
“Beng-cu, apakah yang terjadi
dan surat apakah itu yang membuat Beng-cu marah¬marah?”
“Siapa yang tidak marah?
Anjing-anjing cilik itu berani menantangku dengan nada menghina!” Hek-sim Lo-mo
melemparkan surat itu kepada Kiu-bwe Mo-li.
Kalau bukan wanita ini yang
dilempari surat, bisa celaka karena saking marahnya, Hek-sim Lo-mo mengerahkan tenaga
ketika melemparkan surat sehingga kertas yang merupakan benda ringan itu
meluncur bagaikan anak panah cepatnya ke arah Kiu-bwe Mo-li. Namun wanita ini
dapat menangkapnya dari samping, lalu dengan tenang membacanya. Empat orang
rekannya yang tidak sabar dan ingin sekali tahu, mendekatinya dan ikut pula
membaca surat yang membuat pemimpin mereka marah-marah itu.
Dan begitu membaca, merekapun
melotot dengan muka merah karena marah. Yang ditantang bukan hanya Hek-sim
Lo-mo seorang, akan tetapi termasuk mereka!
“Beng-cu, harap berhati-hati
menghadapi tantangan ini dan tidak baik kalau terburu nafsu. Siapa tahu dengan
tantangan ini, mereka menggunakan siasat untuk memancing harimau keluar dari
sarang,” kata Kiu-bwe Mo-li yang cerdik.
“Aih, Mo-li, mengapa takut?
Baru Beng-cu seorang diri saja, mereka berdua tidak akan mampu menandinginya,
apa lagi Beng-cu maju bersama kita yang juga ditantang? Kalau dua orang muda
itu diam-diam mempersiapkan bantuan, berarti merekalah yang pengecut karena
yang menantang hanya mereka berdua! Mari kita bunuh mereka!” kata Gan Siang
dengan nada penasaran, sedangkan Gan Siong, adik kembarnya, mengangguk-angguk.
Hek-sim Lo-mo mengangkat
tangan melarang mereka ribut mulut sendiri, lalu berkata, “Kalian semua benar.
Kita harus berhati-hati menghadapi tantangan ini kalau-kalau menyembunyikan
siasat. Akan tetapi kalaupun mereka bersiasat, maka tentu siasat itu
dipergunakan untuk mencoba membebaskan dua orang tawanan kita. Juga kita harus
memenuhi tantangan itu, dan kita hancurkan mereka, dua budak sombong itu. Kita
harus maju serentak untuk membunuh mereka, akan tetapi dua orang tawanan juga
tidak boleh ditinggalkan sendiri begitu saja sehingga memudahkan orang luar
untuk membebaskan mereka.”
“Sebaiknya kita bunuh saja
dulu dua orang tawanan itu!” kata Yauw Ban Si Naga Mata Satu mengajukan
rencananya.
“Serahkan saja mereka
kepadaku!” kata Kiu-bwe Mo-li penuh gairah.
“Tidak, biar aku yang
menghabisi mereka!” kata Jai-hwa Kongcu tidak kalah gairahnya.
“Ha-ha, kalau diserahkan
Mo-li, tentu hanya yang wanita dibunuh seketika, akan tetapi yang pria akan
dikeramnya dan dihisapnya sampai kering! Kalau diserahkan Jai-hwa Kongcu, yang
pria akan seketika dibunuh, akan tetapi yang wanita tentu akan diperma¬inkan
dulu sepuasnya!”
Kembali Hek-sim Lo-mo
mengangkat tangan melarang mereka ribut sendiri, dan diapun berkata, “Mereka
tidak perlu dibunuh sekarang. Kita bawa saja serta ke tempat tantangan itu!
Kalau mereka itu menyerbu di perjalanan, kita hadapi bersama dan Jai - hwa
Kongcu Lui Teng bersama semua anak buah harus membawa para tawanan kembali ke
gedung selagi kita mengepung dua orang musuh itu. Dua orang tawanan itu masih
berguna bagi kita, merupakan kelemahan dua orang musuh kita yang hendak
membebaskan mereka, maka bodohlah kalau kita bunuh sekarang. Mereka dapat kita
manfaatkan sewaktu-waktu kalau keadaan mendesak.”
Lima orang pembantu itu
mengangguk maklum dan merekapun tahu bahwa diam-diam pemimpin mereka ini mulai
merasa gentar juga menghadapi dua orang muda yang berani menentangnya itu
sehingga perlu membiarkan dua orang tawanan tetap hidup untuk dijadikan
sandera, kalau-kalau usaha mereka membunuh dua orang musuh itu gagal.
Demikianlah, pada keesokan
harinya, pagi-pagi Hek-sim Lo-mo sudah keluar dari gedungnya, ditemani lima
orang pembantu dan duapuluh orang anak buah yang menggiring dua orang tawanan
itu di tengah-tengah mereka. Tentu saja Liong-li dan Cin Hay yang sudah
melakukan pengintaian di dekat tempat itu, menjadi gemas sekali. Kiranya pihak
musuh sedemikian cerdiknya sehingga tidak meninggalkan dua orang tawanan itu!
Bukan hanya membawanya ke tempat tantangan, bahkan juga mengepung dengan sekian
banyaknya penjaga dan pengawal!
Melihat betapa Tek Hin yang
menjadi tawanan itu kini berjalan bersama seorang gadis berpakaian hijau yang
cantik dan gagah yang kelihatan juga sebagai tawanan, Cin Hay dan Liong-li
memandang heran.
“Siapa gadis itu?” bisik
Liong-li.
Cin Hay menggeleng kepala dan
mengerutkan alisnya. “Aku tidak tahu, baru sekarang melihatnya.” Dia
memperhatikan gadis berbaju hijau yang cantik manis itu, akan tetapi tetap saja
dia belum merasa pernah melihat gadis itu. “Akan tetapi, ia agaknya menjadi
tawanan juga. Lihat, ia agaknya akrab dengan Tek Hin.”
Liong-li mengerutkan alisnya,
berpikir dan mengelus dagunya yang putih mulus. “Hemm, lalu apa yang harus kita
lakukan sekarang? Mereka begitu banyak.”
“Tidak ada jalan lain, kita
melanjutkan rencana kita,” kata Cin Hay “Yang terpenting adalah menyelamatkan
Tek Hin dan agaknya gadis itu juga. Seperti telah kita rencanakan, kita membagi
tugas. Aku menyerbu Hek-sim Lo-mo dan teman-temannya, dan engkau menyerbu dari
belakang untuk membebaskan Tek Hin dan gadis baju hijau itu.”
Liong-li mengangguk. “Sudah
pasti aku akan membebaskan Song Tek Hin, akan tetapi gadis itu? Aku belum tahu
siapa dia, kawan atau lawan.”
“Kalau engkau sudah turun
tangan, tentu Tek Hin akan memberitahu siapa gadis itu dan perlu diselamatkan
atau tidak,” kata Cin Hay.
Kini rombongan itu sudah
keluar dari kola Lok-yang, melalui pintu gerbang sebelah timur. Cin Hay dan
Liong-li hanya membayangi saja dan setelah rombongan itu memasuki hutan menuju
ke sungai yang dimaksud dalam surat tantangan, tepat seperti yang telah mereka
rencanakan, tiba-tiba saja Cin Hay meloncat keluar dan menghadang di depan Hek-sim
Lo-mo dan kawan-kawannya.
“Hek-sim Lo-mo, saat ini aku
akan menamatkan riwayat hidupmu yang penuh dosa dan kekotoran!” kata Cin Hay
dengan sikap gagah.
Melihat munculnya musuh besar
ini, Hek-sim Lo-mo menjadi marah sekali.
“Jahanam sombong, engkau menantang
bertanding di tepi sungai akan tetapi menghadang di sini!” bentaknya,
“Beng-cu, biarkan kami
menghajarnya!” kata Yauw Ban yang memang merasa benci sekali kepada pemuda
berpakaian putih itu.
Dia memberi isyarat kepada
teman-temannya dan bersama Kiu-bwe Mo-li, Jai-hwa Kongcu Lui Teng, dan sepasang
saudara kembar He-nan Siang-mo, dia lalu menerjang Cin Hay. Yauw Ban sudah
mencabut pedangnya, Kiu-bwe Mo-li mengeluarkan cambuk hitam ekor sembilan,
Jai-hwa kongcu Lui Teng menggunakan sabuk sutera putih, sedangkan si kembar
He-nan Siang-mo masing-masing mencabut golok besar mereka.
Segera Cin Hay dikepung dan
pemuda ini dengan tenang sekali menghadapi pengepungan mereka dan mencabut
pedang Pek-liong-kiam dari sarung pedang. Nampak sinar putih berkelebat ketika
dia mencabut pedangnya, dan dengan pedang melintang di depan dada.
Cin Hay menanti serangan
mereka karena tadi Yauw Ban ternyata tidak jadi menyerangnya, hanya melakukan
gerakan isyarat dan mereka berlima kini sudah mengepungnya. Agaknya lima orang
itu, maklum betapa lihainya pemuda berpakaian putih, bersikap hati-hati dan
mengepung penuh perhitungan.
Pada saat itu, di bagian
belakang rombongan itu terjadi kegemparan. Seorang gadis berpakaian hitam-hitam
mengamuk dan dalam beberapa kali gebrakan saja, empat orang pengawal telah
roboh!
“Liong-li......” Tek Hin
berseru dengan girang bukan main kepada Hong Ing.
Akan tetapi gadis ini hanya
menengok sebentar kepada gadis berpakaian hitam yang mengamuk di antara para
pengawal karena perhatiannya amat tertarik kepada pemuda berpakaian putih yang
kini dikepung oleh lima orang pembantu Hek-sim Lo-mo!
“Itukah yang bernama Tan Cin
Hay?” Ia bertanya seperti orang mimpi dan matanya tak pernah berkedip memandang
kepada pemuda berpakaian putih yang menghadapi pengepungan lima orang musuh
lihai itu dengan sikap tenang sekali. Betapa tenangnya, betapa gagahnya, betapa
tampannya, demikian Hong Ing berbisik dalam hatinya.
“Mereka telah datang! Mari,
Ing-moi, kita bantu mereka!” kata Tek dan pemuda ini sudah bergerak menghantam
kepada seorang pengawal yang berdiri paling dekat dengannya. Pengawal itu
terpelanting dan melihat ini, Hong Ing juga membalikkan tubuhnya dan sebuah
tendangannya membuat seorang pengawal terjungkal pula.
Melihat betapa gadis
berpakaian hijau itu bersama Tek Hin sudah pula mengamuk, tahulah Liong-li
bahwa gadis baju hijau itu memang seorang kawan yang perlu diselamatkan. Akan
tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan si raksasa Hek-sim Lo-mo telah
berdiri di depannya, tangan kirinya membuat gerakan mendorong dan ada angin
pukulan yang amat hebat menyambar ke arah Liong-li.
Gadis ini cepat mengerahkan
tenaganya dan menghindar ke samping, namun tetap saja ia agak terhuyung oleh
dorongan angin pukulan yang amat dahsyat! Tahulah ia bahwa memang benar,
seperti yang dikatakan Cin Hay, iblis tua ini lihai bukan main.
“Lui Teng, bawa dua tawanan
kembali!” teriak Hek-sim Lo-mo sambil menghadang di depan Liong-li.
Mendengar ini, Jai-hwa Kongcu
Lui Teng yang memang sudah mendapat tugas sebelumnya, lalu meninggalkan
teman-temannya yang mulai mengeroyok Cin Hay, lalu dia melompat ke tengah
kerumunan para pengawal yang mengeroyok Tek Hin dan Hong Ing yang sedang
mengamuk. Dengan mudah saja, Lui Teng merobohkan dua orang muda ini dengan
totokannya yang ampuh dan dengan dikawal oleh sisa pasukan pengawal yang
menjadi anak buahnya, dia lalu bergegas membawa Tek Hin dan Hong Ing yang sudah
tidak mampu bergerak itu kembali ke dalam kota Lok-yang!
Liong-li dan Cin Hay
mendongkol sekali dan tidak mampu mencegah, karena Liong-li sudah harus membela
diri terhadap serangan-serangan Hek-sim Lo-mo, sedangkan Cin Hay juga dikeroyok
oleh empat orang lawan yang amat lihai. Terpaksa kedua orang muda ini
mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada para lawan yang amat berbahaya itu.
Cin Hay yang dikeroyok empat
orang itu harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena empat orang
pengeroyoknya merupakan datuk-datuk sesat yang amat lihai.
Untung bahwa dia memegang
Pek-liong-kiam karena dengan pedang ini dia sempat membuat empat orang
pengeroyoknya terkejut bukan main. Ujung pedang Yauw Ban patah ketika bertemu
dengan Pek-liong-kiam, juga cambuk ekor sembilan dari Kiu-bwe Mo-li rontok
bulunya. Golok di tangan dua orang kembar He-nan Siang-mo juga rusak ujungnya.
Empat orang itupun maklum bahwa pedang pemuda berpakaian putih itu ampuh bukan
main maka merekapun sebagai ahli-ahli silat pandai dan sudah banyak pengalaman,
tidak lagi berani mengadu senjata secara langsung.
Yang membuat mereka heran
sekali adalah ketika melihat pedang di tangan Cin Hay. Mereka semua mengenal
baik pedang itu. Pedang yang pernah mereka lihat ketika sedang dibuat oleh
kakek Thio Wi Han! Bagaimana sekarang pedang itu, sebatang di antara sepasang
pedang, berada di tangan pemuda berpakaian putih ini? Bukankah kedua pedang itu
telah berada di tangan pemimpin mereka, Hek-sim Lo-mo?
Bukan hanya empat orang itu
saja yang merasa heran. Juga Hek-sim Lo-mo yang angkuh dan yang belum
menggunakan sepasang pedang pusakanya, karena diapun memandang rendah kepada
Liong-li, datuk ini terkejut dan heran melihat pedang hitam di tangan gadis
berpakaian hitam itu. Pedang itu amat ampuh, hal ini dapat dia rasakan dari
sambaran pedang, dan pedang itu serupa benar dengan sebatang di antara sepasang
pedangnya!
Melihat betapa gadis itu
berbahaya sekali dengan pedangnya yang ampuh, tiba-tiba Hek-sim Lo-mo
mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan jantung, disusul pandang mata
yang mencorong dan teriakan yang seperti guntur memasuki telinga Liong-li.
“Hek-liong-li, hentikan
seranganmu dan berikan pedang itu kepadaku! Cepat!!!!”
Sungguh aneh sekali. Ada
kekuasaan yang amat kuat mencengkeram batin Liong-li, membuat ia mau tidak mau
menuruti perintah itu dan seketika menahan gerakan tubuhnya dan menghentikan
serangannya! Akan tetapi, ia masih belum menuruti perintah memberikan pedang,
melainkan memandang heran kepada tangan dan pedangnya, seolah-olah ia tidak
mengerti mengapa ia tidak lagi menyerang dan mengapa pula ia ingin menyerahkan
pedang pusaka itu kepada kakek iblis raksasa itu!
Cin Hay juga merasakan getaran
hebat akibat bentakan Hek-sim Lo-mo. Tahulah dia bahwa kakek itu tentu mencoba
untuk menggunakan ilmu hitam atau ilmu sihir untuk menundukkan Liong-li, maka
cepat diapun berteriak, “Liong-li! Hati-hati terhadap ilmu sihirnya!”
Untung sekali Cin Hay
mengeluarkan teriakan ini karena pada saat itu, melihat gadis itu ragu-ragu,
Hek-sim Lo-mo sudah menubruk ke depan untuk merampas pedang dan merobohkan
gadis itu dengan totokan. Serangan ini hebat sekali, apa lagi terhadap Liong-li
yang tadinya kesima seperti patung tak bergerak.
Teriakan Cin Hay menyadarkan
gadis itu, maka pada detik terakhir, ketika tangan Hek-sim Lo-mo tinggal
beberapa sentimeter lagi, ia sudah melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan
menuju ke arah Cin Hay dan begitu ia meloncat, ia lalu memutar pedangnya
membantu Cin Hay menghadapi pengeroyokan empat orang lawan yang tangguh itu!
Liong-li kini menyadari betapa
hebat ilmu datuk sesat yang seperti iblis itu dan lebih aman kalau ia berkelahi
di dekat Cin Hay sehingga mereka berdua dapat saling bantu dan saling
melindungi. Diam-diam Liong-li harus mengakui bahwa tanpa bantuan Cin Hay yang
menyadarkannya tadi, ia tentu sudah roboh menjadi korban sihir Hek-sim Lo-mo!
Ia berhutang budi, bahkan mungkin nyawa kepada pemuda berpakaian putih itu, dan
hal ini diam-diam ia catat di dalam lubuk hatinya.
Empat orang pengeroyok Cin Hay
itu sudah gentar menghadapi kelihaian Cin Hay yang memegang pedang pusaka
ampuh, kini nampak sinar hitam berkelebatan menyerang mereka. Gan Siang, orang
pertama dari He-nan Siang-mo, melihat ada sinar hitam menyambar ke arah
kepalanya dari belakang, segera membalik dan menangkis dengan golok besarnya
sambil mengerahkan tenaga. Maksudnya agar dengan tenaganya yang besar itu dia
akan mampu menangkis pedang Liong-li agar terlepas dari pegangan gadis itu.
“Trakkkk!!” Gan Siang terkejut
setengah mati ketika goloknya yang ujungnya sudah rompal oleh pedang Cin Hay
tadi, begitu bertemu dengan pedang hitam di tangan Liong-li, seketika patah di
tengah-tengah! Saking kagetnya, dia terhuyung ke belakang dan pada saat itu,
sinar putih menyambar seperti kilat.
Sepasang mata di wajah yang
bulat itu terbelalak, mulutnya ternganga, golok yang tinggal sepotong terlepas
dari pegangan, tubuhnya tergetar dan Gan Siang roboh terkulai, kedua tangan
mendekap dada yang relah ditembusi Pek-liong-kiam dan diapun tewas!
Adiknya, Gan Siong, menjadi
pucat seketika dan dalam kemarahan yang berkobar, dia menjadi nekat. Dengan
goloknya, dia menyerang Cin Hay yang telah menewaskan kakak kembarnya itu.
Golok menyambar ganas ke arah leher Cin Hay. Pemuda ini melihat betapa lawan
ini telah dibikin mabok oleh kemarahan dan kedukaan, dengan mudah dia
merendahkan dirinya dan dari bawah, sinar putih berkilat menyambar. Dada Gan
Siong juga dimasuki pedang pusaka itu dan jantungnya tertembus. Dia roboh di
samping kakak kembarnya, tewas seketika.
Liong-li mengamuk dan
pedangnya menyambar-nyambar ganas. Yauw Ban dan Kiu-bwe Mo-li menjadi gentar
sekali melihat robohnya dua orang kembar itu. Dalam gugupnya, Kiu-bwe Mo-li
menangkis dengan cambuk ekor sembilan, lupa bahwa pedang dalam tangan gadis
berpakaian hitam itu adalah sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya.
“Pratttt!” Semua ujung cambuk
yang sembilan ekor itupun terbabat buntung.
Dalam kagetnya, Kiu-bwe Mo-li
menggerakkan kepalanya. Rambutnya terlepas dari ikatan dan menyambar ke arah
muka Liong-li.
Gadis ini kaget bukan main.
Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, maka tangan kanannya cepat menyambar dan
di lain saat, rambut nenek itu telah digenggamnya, pedangnya membabat dan
pinggang Kiu-bwe Mo-li dibabat pedang sampai hampir putus!
Yauw Ban yang melihat robohnya
Kiu-bwe Mo-li, terkejut dan hendak melarikan diri, namun sekali berkelebat,
Liong-li sudah berada di depannya dan menyerang dengan pedang hitamnya. Yauw
Ban melawan mati-matian. Pembantu nomor satu dari Hek-sim Lo-mo ini merupakan
pembantu yang paling lihai dan selain ilmu pedangnya amat kuat, juga dia
memiliki gin-kang yang membuat dia mampu bergerak cepat bukan main.
Namun, sekali ini dia
berhadapan dengan Liong-li, dan hatinya sudah gentar pula. Dia mengharapkan
bantuan dari pemimpinnya, akan tetapi pada waktu itu, Hek-sim Lo-mo juga sibuk
sendiri memanggil bala bantuan karena melihat betapa para pembantunya roboh
seorang demi seorang di tangan dua orang muda yang lihai itu.
Apa yang dilakukan oleh
Hek-sim Lo-mo? Kakek tinggi besar bermuka hitam ini mengeluarkan sebatang
suling yang bentuknya aneh, dengan perut yang besar dan mulai meniup suling
itu. Terdengarlah suara melengking aneh pula, lengking panjang yang tiada
berkeputusan, tinggi rendah dan menggetar.
Melihat ini, Cin Hay menjadi
ragu-ragu dan diapun siap-siap karena menduga bahwa tentu kakek yang lihai itu
hendak mempergunakan ilmu sihir atau ilmu hitam. Diapun melihat betapa Liong-li
telah berhasil menewaskan Kiu-bwe Mo-li dan kini hanya tinggal bertanding
melawan seorang lawan saja, yaitu Yauw Ban. Melihat kesempatan baik ini, selagi
Hek-sim Lo-mo sibuk dengan sulingnya yang aneh dan melihat betapa Liong-li
sudah mendesak Yauw Ban dengan keras, Cin Hay lalu meloncat dan menggerakkan
pedangnya, membantu Liong-li menyerang Yauw Ban!
Tok-gan-liong Yauw Ban sudah
repot sekali menghadapi desakan Liong-li, kini tiba-tiba datang Cin Hay yang
menyerangnya, tentu saja dia menjadi semakin sibuk. Dia sedang mencari-cari
kesempatan untuk melarikan diri, akan tetapi kini, setelah pemuda berpakaian
putih itu masuk ke dalam gelanggang perkelahian, kesempatan untuk itu tertutup
sama sekali. Maka diapun menjadi nekat dan dia memutar pedangnya yang tinggal
sepotong dan menyambut Cin Hay dengan terkaman nekat!
Melihat kenekatan lawan ini,
Cin Hay cepat meloncat ke samping, pedangnya menjadi sinar putih menyambut
pedang buntung itu.
“Krakkk!” Pedang itu patah dan
yang tinggal di tangan Yauw Ban hanyalah gagang pedang saja! Dan pada saat itu,
sinar hitam menyambar dan robohlah tubuh Yauw Ban dengan leher yang hampir
putus terbabat oleh pedang Hek-liong-kiam di tangan Liong-li!
Kini dua orang muda itu
menoleh dan memandang ke arah Hek-sim Lo-mo. Dan ke- duanya terbelalak, bahkan
Liong-li bergidik melihat betapa kakek itu dikelilingi oleh ratusan ekor ular
besar kecil! Bahkan kini dari jauh masih berdatangan ular-ular yang agaknya
terpanggil dan tertarik oleh suara sulingnya yang masih terus berbunyi!
Sekarang baru mengertilah Cin
Hay bahwa kakek itu meniup sulingnya yang aneh untuk memanggil pasukan ular
yaitu semua ular yang tinggal di hutan dan di daerah itu, yang dapat menerima
panggilan suara sulingnya!
Kakek itu sudah melihat pula
betapa pembantunya yang terakhir, Yauw Ban, telah tewas. Dia mulai merasa
gentar dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong penuh kemarahan,
kebencian, dendam akan tetapi juga ketakutan. Tak disangkanya bahwa dua orang
yang demikian mudanya mampu membasmi habis semua pembantunya!
Kini dia hanya mengandalkan
diri sendiri dan juga ular-ularnya yang diharapkannya akan dapat membantu dia
membunuh kedua orang muda itu. Melihat betapa Liong-li menjadi agak pucat dan
bergidik melihat ular-ularnya, Hek-sim Lo-mo menjadi semakin bersemangat dan
kini dia merobah suara sulingnya, penuh dengan nada tinggi yang mendesak dan
memerintah.
Dan sungguh hebat sekali
pengaruh suara suling itu. Ratusan ekor ular itu bergerak dengan cepat dan
ular-ular besar kecil kini mengepung Cin Hay dan Liong-li! Mereka kelihatan
marah sekali, mendesis-desis dan di antara ular-ular itu terdapat banyak yang
berbisa! Ada pula ular-ular sejenis cobra yang mengangkat tubuh depan ke atas,
dengan leher berkembang dan menyekung, lidah keluar masuk dan desisnya
mengeluarkan uap kehitaman!
Melihat ini, Liong-li merasa
jijik dan juga gentar sekali. Biarpun ia seorang wanita yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan tidak takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga,
namun ia tetap seorang wanita dan binatang seperti ular memang mendatangkan
rasa jijik dan takut dalam hati seorang wanita.
“Tenanglah dan mari kita basmi
ular-ular ini. Hati-hati, tahan pernapasanmu kalau ada uap hitam mendekat!”
bisik Cin Hay dan diapun tahu betapa temannya itu gentar menghadapi pengepungan
ular-ular itu, maka dia memberi contoh dengan menggerakkan pedangnya, membabat
ke arah ular-ular itu.
Senjata-senjata tajam dari
baja dan besi saja terbabat buntung eleh Pek-liong-kiam, apa lagi binatang ular
yang lunak. Begitu sinar putih itu menyambar-nyambar, banyak ular terbabat
buntung dan darahpun mengucur keluar. Bau amis yang memuakkan menyerang dua
orang muda itu.
Liong-li juga menjadi lebih
berani dan ia mencontoh perbuatan temannya, menggerakkan Hek-liong-kiam yang
menyambar-nyambar dan membuntungi banyak ular. Akan tetapi, bau amis itu
membuat mereka berdua menjadi terkejut dan mereka meloncat keluar dari kepungan
ular-ular itu.
Namun, ular-ular itu terus
mengejar, agaknya mereka tidak memperdulikan teman-teman yang telah mati dan
ular-ular itu sungguh nekat, dimabokkan suara suling yang terus mendorong dan
menggairahkan binatang-binatang itu dan membuat mereka seperti gila. Ular-ular
itu, ada yang kecil sekali seperti kelingking tangan dengan panjang belasan
sentimeter, akan tetapi ada pula beberapa ekor yang besarnya melebihi paha
manusia dan ular sebesar itu, dengan panjang sampai hampir sepuluh meter, akan
mampu menelan seekor kerbau!
Dua orang muda itu terus
mengamuk, dan selalu mencoba berloncatan agar jangan terkepung karena mereka
berdua maklum betapa besar bahayanya kalau sampai mereka itu keracunan hawa dan
bau amis. Akan tetapi, berapa banyakpun ular yang mereka bunuh, dan ke manapun
mereka pergi, ular-ular itu terus mengejar mereka. Liong-li kembali diserang
perasaan jijik dan ngeri. Ia sudah hampir melarikan diri, ketika tiba-tiba Cin
Hay berseru kepadanya.
“Liong-li, mari kita serang
saja iblis itu!”
Mendengar seruan ini, Liong-li
pun sadar. Sejak tadi, mereka berdua hanya mencurahkan perhatian kepada
ular-ular itu sehingga mereka melupakan musuh utama mereka. Lupa bahwa
ular-ular itu sebenarnya dikendalikan, digerakkan atau dituntun oleh suara
suling itu. Yang penting adalah menghentikan sumber suara itu, dan hal ini
hanya dapat terlaksana kalau mereka mengalihkan perhatian mereka dan menyerang
peniup suling!
Seperti dikomando saja, dua
orang muda itu kini meloncat dan menggunakan pedang mereka untuk menyerang
Hek-sim Lo-mo!
Menghadapi serangan dua orang
muda yang amat lihai itu, Hek-sim Lo-mo terkejut sekali dan tentu saja dia
tidak mungkin dapat melanjutkan tiupan sulingnya. Dan diapun cepat mencabut
sepasang pedangnya dan timbul kembali semangatnya. Dia masih mempunyai andalan,
yaitu sepasang pedang yang terbuat dari Kim-san Liong-cu yang ampuh.
Tiba-tiba, dibesarkan hatinya
oleh sepasang pedang yang amat diandalkan itu, diapun tertawa sehingga dua
orang muda itu terkejut dan menahan senjata mereka karena menduga bahwa tentu
kakek iblis itu akan mempergunakan siasat lain yang keji. Akan tetapi kakek itu
hanya berdiri memegang sebatang pedang putih di tangan kanan dan sebatang
pedang hitam yang lebih pendek di tangan kiri, mengamangkan kedua pedang itu
sambil tertawa.
“Ha-ha-ha, kalian dua orang
muda yang sudah bosan hidup! Lihat, di tanganku ini apa? Sepasang pedang dari
Kim-san Liong-cu dan kini tidak ada lagi yang akan dapat menyelamatkan nyawa
kalian!” Berkata demikian, kakek ini menggerakkan dua batang pedangnya dengan
gerakan yang amat dahsyat sehingga nampak dua gulung sinar hitam putih
bersilangan dan terdengar deru angin menyambar-nyambar amat dahsyatnya.
Memang tepat perhitungan Cin
Hay. Begitu suara suling itu berhenti berbunyi, ular-ular itu menjadi kacau
balau dan bingung tidak tahu apa yang harus mereka lakukan, bahkan mereka itu
kemudian seperti menjadi marah-marah melihat banyak kawan mereka yang tewas,
ada yang masih menggeliat-geliat karena tubuhnya putus dan akhirnya mereka kini
dengan buas saling serang sendiri! Atau mereka seperti berpesta pora setelah
perkelahian tadi, yang besar menelan yang kecil!
Menghadapi sepasang pedang di
tangan Hek-sim Lo-mo, tentu saja Cin Hay dan Liong- li sama sekali tidak merasa
khawatir, bahkan mereka itu tersenyum geli karena mereka tahu bahwa sepasang
pedang di tangan datuk iblis itu hanyalah pedang palsu. Pedang pusaka yang
aseli, yang terbuat dari Kim-san Liong-cu, berada di tangan mereka! Memang
bentuk dan warna pedang mereka itu serupa dengan sepasang pedang yang dipegang
di tangan Hek-sim Lo-mo dan diam-diam mereka memuji keahlian Thio Wi Han
membuat pedang-pedang itu.
Kini dua orang muda itu
menyambut serangan Hek-sim Lo-mo dengan pedang mereka, pedang pusaka
Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam yang aseli!
Melihat ini, Hek-sim Lo-mo
tersenyum menyeringai, dalam hati mentertawakan dua orang muda itu karena
pedang mereka tentu akan patah-patah bertemu dengan pedang pusakanya. Maka
diapun terus melanjutkan serangannya sambil mengerahkan seluruh tenaga
sin-kangnya, bermaksud mengadu pedang di kedua tangannya dengan pedang dua
orang muda itu. Dan agaknya, menurut penglihatannya, dua orang muda itu
sedemikian tololnya untuk berani mengadu senjata mereka dengan sepasang pedang
yang dibuat dari Kim-san Liong-cu
“Sing-singgg......
trang-trak-trakkk!!!”
Wajah yang tadinya menyeringai
itu berubah seketika. Matanya terbelalak, matanya ternganga dan wajah yang
berkulit hitam itu agak pucat, dan cepat sekali membuang tubuhnya ke belakang
lalu bergulingan, dan ketika dia meloncat berdiri, wajah Hek-sim Lo-mo berubah
sama sekali!
Seperti orang melihat setan di
siang hari, Hek-sim Lo-mo memandang kepada dua gagang pedang yang masih
dipegangnya. Sepasang pedang pusakanya itu patah-patah ketika bertemu dengan
pedang kedua orang lawannya! Pedang-pedang yang dibuat oleh Thio Wi Han dari
bahan Kim-san Liong-cu itu patah oleh pedang lawan!
Bagaimana mungkin ini? Dia
kini memandang kepada dua orang lawannya, terutama kepada pedang di tangan
mereka, dua batang pedang yang serupa benar dengan sepasang pedangnya yang
patah-patah tadi.
“Pedang...... pedang.....!”
Dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi saking bingung, penasaran, menyesal
dan saking terkejutnya melihat betapa pedangnya, sepasang pedang yang amat
dibanggakan itu, sekali beradu dengan kedua pedang lawan, menjadi patah.
Cin Hay dan Liong-li melangkah
maju menghampiri kakek itu dan Cin Hay tersenyum.
“Hek-sim Lo-mo, perbuatan
jahat tidak akan dilindungi Tuhan! Engkau telah melakukan terlalu banyak dosa.
Dengan kejam sekali engkau membunuh Pouw Sianseng untuk merampok Kim-san
Liong-cu, bahkan dengan keji engkau membunuh pula puterinya. Kemudian, engkau
memaksa kakek Thio Wi Han untuk membuatkan sepasang pedang dari Kim-san
Liong-cu rampokan itu, dan akhirnya, Thio Wi Han suami isteri juga tidak
terhindar dari kekejamanmu dibantu anak buahmu. Engkau tidak tahu bahwa
sepasang pedang pusaka dari bahan Kim-san Liong-cu itu, yaitu Pek-liong-kiam
dan Hek-liong-kiam, oleh mendiang kakek Thio Wi Han telah diberikan kepada
kami. Yang berada di tanganmu itu hanyalah pedang-pedang palsu. Inilah
Pek-liong-kiam!” kata Cin Hay sambil mengangkat pedangnya ke atas kepala.
“Dan ini Hek-liong-kiam!” kata
pula Liong-li sambil mengangkat pedang hitamnya ke atas.
Sepasang mata Hek-sim Lo-mo
menjadi liar dan kemerahan. Kini mengertilah dia bahwa dia telah dikhianati dan
dipermainkan oleh Thio Wi Han. Kemarahannya membuat dia lupa bahwa dia
berhadapan dengan dua orang lawan yang amat tangguh. Apa lagi dua orang muda
itu memegang sepasang pedang yang luar biasa ampuhnya. Dan barisan ularnya sudah
tidak ada artinya lagi, bahkan kini ular-ular itu sudah saling serang seperti
gila!
Kemarahan yang mendatangkan
kelengahan membuat kakek itu menjadi nekat. Selama puluhan tahun Hek-sim Lo-mo
menjadi datuk hitam yang amat tinggi kedudukannya. Dia adalah seorang di antara
Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis tua) yang di dunia persilatan dianggap sebagai
datuk-datuk sesat yang paling tinggi kedudukannya.
Kurang lebih sepuluh tahun
lamanya, Kiu Lo-mo menghilang dari dunia persilatan karena mereka ditentang
oleh sekelompok pendekar yang sakti, di antara mereka adalah mendiang Pek I
Lo-jin guru Cin Hay. Selama sepuluh tahun menghilang, Kiu Lo-mo menyembunyikan
diri di pegunungan-pegunungan, di dalam guha-guha dan mereka itu bukan
bersembunyi karena takut kepada para pendekar, melainkan diam-diam mereka itu
menggembleng diri, menyusun kembali kekuatan mereka setelah dicerai-beraikan
oleh para pendekar.
Dan kini, Kiu Lo-mo telah
kembali terjun ke dunia ramai. Mereka bukan Kiu Lo-mo sepuluh tahun yang lalu.
Mereka telah menjadi lebih lihai dari pada dahulu. Dan mereka itu terjun ke
dalam dunia kang-ouw secara terpisah, mengusai beberapa daerah masing-masing
dan menyusun kekuatan sendiri dengan menalukkan para tokoh sesat yang
berkepandaian tinggi dan menarik mereka menjadi para pembantu dan anak buah
seperti yang dilakukan Hek-sim Lo-mo.
Karena selama ini selalu
mendapatkan kemenangan, Hek-sim Lo-mo terlalu mengagul- kan diri sendiri dan
memandang rendah orang lain sehingga di luar dugaannya, hari ini dia harus
berhadapan dengan dua orang muda yang ternyata amat lihai, membuat dia
kehilangan sepasang pedang dan semua pembantu utamanya, bahkan yang
menggagalkan dia memperoleh sepasang pedang yang dibuat dari mustika Kim-san
Liong-cu. Maka, dapat dimengerti betapa marah dan sakit hati Hek-sim Lo-mo yang
kini harus menghadapi dua orang lawan itu.
“Keparat, jangan kira aku
takut kepada kalian!” Dan ketika tangan kanannya bergerak ke arah pinggangnya,
dia telah melolos sebatang sabuk rantai baja hitam yang panjangnya ada dua meter,
tebal dan nampak berat sekali. Dia memutar benda itu dan nampaklah sinar hitam
bergulung-gulung, mengeluarkan suara bercuitan dan angin mendesir
menyambar-nyambar ke depan.
Cin Hay dan Liong-li maklum
akan kelihaian kakek ini, maka merekapun tidak berani memandang ringan walaupun
kakek itu telah kehilangan sepasang pedangnya. Mereka lalu meloncat ke kanan
kiri untuk mengeroyok Iblis Tua Berhati Hitam itu, memutar pedang masing-masing
sehingga kini ada gulungan sinar putih dan hitam yang terang menyambar dari
kanan kiri.
Kakek iblis itu memiliki
banyak macam ilmu silat dan kini dia mainkan sabuk rantai bajanya dengan
dahsyat. Tubuhnya kadang-kadang membuat gerakan seperti ular, dan yang amat
berbahaya adalah ketika lengannya kadang-kadang mulur sampai dua meter sehingga
senjatanya menjadi semakin jauh jangkauannya, dan disamping sambaran rantai
baja itu, juga tangan kirinya membantu dengan tamparan atau cengkeraman yang
tidak kalah berbahayanya dibandingkan rantai bajanya.
Cin Hay dan Liong-li bersikap
waspada. Mereka tahu bahwa tanpa pedang pusakapun, kakek ini masih berbahaya
bukan main, lebih berbahaya dari binatang buas apapun. Bahkan mereka harus
mengakui bahwa selamanya belum pernah mereka bertemu lawan selihai Hek-sim
Lo-mo dan andaikata mereka itu harus menghadapi kakek itu seorang diri saja,
akan amat sukar bagi mereka untuk memperoleh kemenangan, bahkan besar
kemungkinan mereka akan roboh di tangan kakek iblis yang amat lihai itu.
Hek-sim Lo-mo memang lihai
bukan main. Tidak mengherankan kalau dia setelah turun gunung, berhasil menjadi
beng-cu, sebutan bagi seorang pemimpin karena dia memang dianggap sebagai
pemimpin oleh semua golongan sesat, menjadi beng-cu yang menguasai seluruh
wilayah He-nan dan Shan-tung.
Sebagai seorang datuk sesat di
dunia persilatan, dia merupakan seorang yang sudah matang. Dia berhasil
menghimpun tenaga khi-kang yang amat kuat sehingga dengan tenaga itu dia mampu
melakukan sihir.
Di samping tenaga sinkang yang
besar, yang membuat tubuhnya kebal, dia juga memiliki ginkang yang tinggi,
yaitu ilmu meringankan tubuh yang dapat membuat dia bergerak seperti seekor
burung saja. Semua ini ditambah lagi ilmu silat yang bermacam-macam dan penuh
daya muslihat, dan ilmunya membuat kedua lengannya mulur juga amat berbahaya
bagi lawan.
Akan tetapi, sekali ini dia
menghadapi dua orang lawan yang biarpun masih muda, namun memiliki kepandaian
yang tinggi. Tan Cin Hay telah mewarisi ilmu kepandaian mendiang Pak I Lojin
yang amat sakti, apa lagi kini dia memegang Pek-liong-kiam. Dari gurunya, di
antara ilmu-ilmu silat lain, dia mempelajari ilmu yang hebat, yaitu Pek-liong
Sin-kun (Silat Sakti Naga Putih) dan kini, dengan pedang di tangan, dia mainkan
ilmu silat itu yang dapat dimainkan dengan pedang.
Dan ternyata, pedang
Pek-liong-kiam itu sungguh cocok sekali untuk dimainkan dengan ilmu silat
Pek-liong Sin-kun dan dalam perkelahian ini, terciptalah ilmu pedang Pek-liong
Kiam-sut yang kelak akan semakin disempurnakan oleh Cin Hay, ilmu silat pedang
berdasarkan ilmu silat tangan kosong Pek-liong Sin-kun.
Adapun lawan kedua dari kakek
iblis itu adalah Hek-liong-li, seorang wanita muda yang telah mewarisi
ilmu-ilmu yang ampuh dari Huang-ho Kui-bo, seorang nenek tua renta yang
dahulunya juga merupakan tokoh besar di dunia persilatan. Huang-ho Kui-bo,
walaupun julukannya Kui-bo (Biang Iblis), namun ia tidak dapat digolongkan
penjahat, juga bukan seorang pendekar yang menentang para penjahat. Ia berdiri
di antara dua golongan itu dan kalau ia dijuluki Kui-bo adalah karena
kesaktiannya dan karena keganasannya tidak pernah mau memberi ampun kepada
orang yang berani menentangnya.
Dari gurunya itu, Liong-li
menerima banyak macam ilmu silat yang hebat, dahsyat dan ada pula yang keji.
Kini, dengan pedang Hek-liong-kiam di tangan, ia seperti seekor harimau yang
memiliki sayap!
Dua kali sudah ujung rantai
baja yang panjang itu buntung ujungnya sehingga panjangnya berkurang banyak,
walaupun ketika ujung rantai bertemu pedang, saking kuatnya tenaga yang berada
pada rantai itu, Cin Hay dan Liong-li terhuyung ke belakang.
“Haiiiiiittt!” Tiba-tiba kakek
itu mengeluarkan teriakan nyaring, matanya mencorong lalu disambungnya dengan
mulut berkemak-kemik dan diapun berteriak lagi, “Lihat, aku telah berubah
menjadi dua orang!”
Cin Hay dan Liong-li terkejut
ketika tiba-tiba mereka melihat kakek itu berubah menjadi dua. Akan tetapi
Liong-li mengeluarkan bentakan melengking dan Cin Hay berkata dengan suara yang
mengandung khi-kang.
“Tak perlu bermain sulap,
Lo-mo. Kami tidak dapat kaupengaruhi!”
Dan dengan pengerahan tenaga
khi-kang, dua orang muda itu dapat membuyarkan ilmu sihir lawan dan mereka
melihat bahwa kakek itu hanya seorang saja, bukan dua seperti tadi.
“Haaaaaahhhh! Berlutut kalian!
Berlutut kataku......!!” kembali kakek itu membentak, di dalam suaranya
terkandung getaran yang amat hebat dan kuat sekali sehingga Liong-li merasa
betapa kedua kakinya lemas!
Akan tetapi Cin Hay yang sudah
siap siaga, dapat menahan serangan gelombang getaran sihir itu dan pada saat
Hek-sim Lo-mo menggerakkan rantai untuk melancarkan serangan maut terhadap
Liong-li yang masih termangu karena kedua kakinya seperti tiba-tiba menjadi
lemas yang memaksanya untuk berlutut akan tetapi ia pertahankan, Cin Hay yang
tidak terpengaruh, cepat meloncat ke depan dan menggunakan pedangnya untuk
menangkis rantai yang menyambar ke arah kepala Liong-li itu.
“Tranggg......!” Kembali ujung
rantai itu putus dan Cin Hay terhuyung ke belakang.
Hek-sim Lo-mo marah sekali.
Dia sudah mulai lelah setelah lebih dari seratus jurus mereka berkelahi dan dia
selalu berada di pihak yang terdesak dan repot. Dan pada saat dia hampir
memperoleh kemenangan, hampir dapat membunuh gadis berpakaian hitam itu, Cin
Hay menggagalkan serangannya, bahkan membuat rantainya kembali putus ujungnya.
Kemarahan yang meluap-luap
membuat dia menjadi mata gelap. Rantai bajanya tinggal pendek dan dengan sekuat
tenaga dia melontarkan sisa rantai baja itu ke arah kepala Cin Hay yang sedang
terhuyung ke belakang.
Cin Hay yang tetap waspada itu
mengangkat pedangnya untuk menangkis dan kembali lengannya terasa gemetar
saking kuatnya lontaran rantai itu, namun dia berhasil menangkis sehingga
rantai itu terlempar ke samping. Akan tetapi pada saat itu, tubuh yang tinggi
besar itu sudah menerkamnya dari depan dengan dahsyatnya! Kiranya, begitu
melontarkan rantainya, Hek-sim Lo-mo yang sudah mata gelap itu langsung
menubruk dan menerkam ke arah Cin Hay.
Terkaman itu dilakukan tanpa
diduga-duga oleh Cin Hay bahwa lawannya akan senekat itu. Dia tidak mungkin
mengelak kecuali meloncat ke belakang dan menusukkan pedangnya ke depan pula,
selain untuk melindungi tubuhnya, juga untuk menyerang. Kalau kakek itu
melanjutkan terkamannya, sebelum terkaman berhasil, tentu dadanya akan
ditembusi Pek-liong-kiam yang ditusukkan ke depan.
Betapa heran dan kagetnya hati
Cin Hay ketika melihat bahwa kakek itu tidak menarik kembali terkamannya!
“Cappp...... Pedang
Pek-liong-kiam memasuki dada Hek-sim Lo-mo, akan tetapi tiba-tiba Cin Hay
merasa betapa dua buah tangan yang berjari panjang dan kuat, bagaikan dua
jepitan baja telah mencekik lehernya! Samar-samar dia teringat bahwa kakek itu
tentu menggunakan ilmunya yang dapat membikin kedua lengan kakek itu mulur
sampai panjang!
Namun, terlambat dia teringat
akan kemungkinan ini karena kedua tangan itu telah mencekiknya dengan kekuatan
yang luar biasa dan biarpun Cin Hay sudah mengerahkan seluruh tenaga sin-kang
untuk melindungi lehernya, tetap saja jari-jari tangan itu menekan sedemikian
kuatnya sehingga dia tidak mampu bernapas lagi!
Matanya terasa panas,
kepalanya berdenyut seperti akan meledak karena agaknya semua jalan darah yang
menuju ke kepala, terhenti di leher, tertahan oleh cekikan yang amat kuat itu.
Dalam keadaan setengah kehilangan kesadaran itu, Cin Hay masih memegang gagang
pedangnya dengan erat karena dia tidak ingin pedangnya itu terampas lawan.
Sementara itu, Liong-li sudah
dapat membebaskan diri dari keadaan termangu karena kedua kakinya merasa lemas
sebagai akibat pengaruh ilmu sihir Hek-sim Lo-mo. Begitu sadar, ia melihat
betapa Cin Hay berada dalam keadaan gawat dan terancam bahaya maut.
Liong-li dapat menduga bahwa
orang sejahat Hek-sim Lo-mo, sampai bagaimanapun jua tidak akan mau melepaskan
cengkeraman kedua tangannya dari leher Cin Hay yang tercekik. Buktinya, jelas
betapa Pek-liong-kiam telah tertanam ke dalam dada kakek itu, namun dengan
wajah beringas dan mata merah, kakek itu tetap mencekik dengan pengerahan
tenaga terakhir. Agaknya dia hendak mengajak Cin Hay mati bersama!
Dan Cin Hay tidak dapat
berbuat sesuatu dengan tangan kirinya karena tubuh kakek itu cukup jauh, jarak
yang hanya dapat dicapai oleh kedua lengan kakek itu yang memanjang. Usaha Cin
Hay untuk melepaskan cekikan itu dengan tangan juga sia-sia dan tenaga pemuda
itu semakin lemah karena dia membutuhkan hawa yang tertutup oleh cekikan.
Liong-li maklum bahwa kalau ia
tidak cepat turun tangan, tentu nyawa Cin Hay terancam bahaya maut. Maka iapun
bergerak maju, pedang Hek-liong-kiam di tangannya menyambar dua kali.
“Crok! Crokk!!” Kedua lengan
Hek-sim Lo-mo terbabat buntung sebatas siku dan ketika kaki Liong-li menendang,
tubuh kakek yang sudah tidak berlengan dan yang dadanya sudah ditembusi
Pek-liong-kiam itu terlempar dan menimpa empat ekor ular besar yang sedang
mengamuk di antara ular-ular kecil.
Begitu tertimpa tubuh yang
mandi darah itu, empat ekor ular besar itu dan belasan ekor ular kecil menjadi
marah dan mereka semua segera menyerang tubuh Hek-sim Lo-mo yang masih
berkelojotan!
Kakek ini memang memiliki
tubuh yang kuat dan nyawa yang ulet sekali. Biarpun dadanya sudah ditembusi
pedang Pek-liong-kiam dan kedua lengannya sudah buntung, akan tetapi dia masih
sadar sepenuhnya. Melihat dirinya yang sudah tidak berdaya itu dikeroyok ular,
dia terbelalak dan ketakutan!
Sungguh aneh sekali. Datuk
iblis yang biasanya suka menyiksa orang, bahkan entah berapa orang korbannya
yang mati dikeroyok oleh ular-ularnya, kini menghadapi serangan ular-ularnya,
dia menjadi ketakutan dan mulailah dia berteriak-teriak!
Dia hendak bangkit dan hendak
melarikan diri, akan tetapi kedua kakinya digigit ular besar dan dia roboh
kembali, meronta-ronta dan memekik-mekik, kemudian, seekor ular besar membuka
moncongnya lebar-lebar dan mencaplok kepala Hek-sim Lo-mo. Barulah pekikan yang
mengerikan itu terhenti dan hanya tubuh itu yang masih bergerak-gerak, akan
tetapi hanya sebentar.
Liong-li membuang muka dan
cepat menghampiri Cin Hay. Pemuda ini duduk memegangi pedang, terengah-engah
dan mengurut lehernya dengan tangan kiri. Leher itu membengkak dan membiru,
akan tetapi ketika Liong-li membantunya mengurut dan memijat, sebentar saja
kesehatannya sudah pulih kembali.
“Liong-li, terima kasih......
engkau telah menyelamatkan nyawaku,” kata Cin Hay.
Liong-li tersenyum. “Sudahlah,
aku hanya membayar hutangku kepadamu. Lebih baik kita memikirkan Tek Hin......”
“Ah, celaka! Mudah-mudahan aku
tidak terlambat!” Cin Hay terkejut ketika teringat akan temannya itu dan dia
lalu meloncat dan berlari cepat menuju ke kota Lok-yang.
Sambil tersenyum Liong-li juga
berlari cepat, akan tetapi sekali ini ia harus mengakui keunggulan Cin Hay.
Kini pemuda itu tidak berpura-pura lagi dan benar-benar mengerahkan seluruh
kepandaiannya berlari cepat dan ternyata Liong-li tidak mampu menandinginya.
Tahulah ia kini bahwa dahulu Cin Hay telah mengalah kepadanya! Ia menjadi
semakin kagum.
◄Y►
Jai-hwa Kongcu Lui Teng
memondong tubuh yang hangat itu dengan senyum cerah di bibirnya. Gadis baju
hijau yang selama ini dirindukannya kini telah berada dalam pondongannya.
Hong Ing tidak berdaya.
Tubuhnya lemas tak mampu bergerak sehingga ketika Lui Teng yang memondongnya
dan membawanya pergi itu beberapa kali menciumnya, iapun hanya dapat memejamkan
mata saja karena tidak mampu mengelak atau meronta. Hanya pandang matanya saja
bernyala penuh kebencian.
Sementara itu, Tek Hin yang
juga tertotok lemas, dibawa oleh anak buah penjahat. Mereka membawa lari Hong
Ing dan Tek Hin, membawa mereka kembali ke Lok-yang seperti yang diperintahkan
Hek-sim Lo-mo.
Jai-hwa Kongcu Lui Teng maklum
bahwa dia dan anak buah penjahat disuruh menyingkirkan dua orang tawanan itu
agar jangan sampai diselamatkan oleh Tan Cin Hay dan Hek-liong-li. Dua orang
tawanan ini masih ada gunanya, setidaknya sebagai sandera dan kalau perlu untuk
memaksa dua orang muda yang lihai itu untuk menyerah. Dan dia melihat
kesempatan baik terbuka baginya. Gadis baju hijau itu sepenuhnya berada di
dalam kekuasaannya.
Ketika dia dan anak buahnya
tiba di gedung besar tempat tinggal Hek-sim Lo-mo, dia menyuruh anak buahnya melemparkan
tubuh Tek Hin yang masih tertotok itu ke atas lantai dalam kamar di mana kedua
orang itu biasanya ditahan. Kemudian dia menyuruh para anak buahnya melakukan
penjagaan ketat di luar gedung dan dia sendiri membawa tubuh Hong Ing yang
masih dipondongnya ke atas pembaringan!
Dan tanpa malu-malu, tanpa
menghiraukan Tek Hin yang rebah di atas lantai dan memandang dengan mata
melotot, Jai-hwa Kong-cu Lui Teng lalu membelai-belai dan menciumi wajah Hong
Ing yang masih tidak berdaya dan tidak mampu bergerak.
“Jahanam keparat! Anjing busuk
hina dina. Awas kau, akan kulaporkan kepada Hek-sim Lo-mo agar engkau dihajar
sampai mampus kalau kau tidak menghentikan perbuatanmu yang kotor ini!” Hong
Ing hanya dapat berkata dan memaki-maki tanpa mampu mengelak ketika Jai-hwa
Kongcu Lui Teng mencium mulutnya sampai lama sekali dan yang membuatnya
terengah-engah.
Melihat itu, Tek Hin marah
bukan main, juga timbul kekhawatiran di dalam hatinya kalau-kalau penjahat
cabul itu akan berbuat lebih jauh lagi dan memperkosa Hong Ing yang tidak
berdaya.
“Anjing kotor! Akupun akan
melapor kepada Hek-sim Lo-mo dan hendak kulihat bagaimana engkau akan melawan
dia nanti!” katanya mengancam.
Akan tetapi yang diancam itu
bahkan tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, boleh saja kalian mengoceh dan mengancam.
Tahukah kalian bahwa kalau dua orang bocah sombong itu sudah berhasil dibunuh,
kalian berdua akan diserahkan kepadaku? Aku akan menyerahkan engkau kepada
Kiu-bwe Mo-li, Tek Hin. Dan engkau, manis, engkau akan kuajak bersenang-senang
sampai sepuasmu, ha-ha-ha! Sekarang akan keselidiki apakah mereka sudah
berhasil membunuh dua orang bocah sombong itu!”
Jai-hwa Kongcu Lui Teng lalu
berteriak memanggil penjaga. Dua orang berlari mendatangi dan dengan suara
lantang Lui Teng berkata kepada mereka.
“Suruh sediakan arak dan
daging ke sini untukku, dan seorang lagi pergilah cepat ke tempat perkelahian
tadi. Lihat apakah dua orang bocah sombong itu telah mampus, dan cepat laporkan
kepadaku!”
Dua orang penjaga itu
mengangguk lalu meninggalkan kamar tawanan. Tak lama kemudian, Jai-hwa Kongcu
Lui Teng sudah menghadapi hidangan yang mengepul panas dan seguci arak yang
wangi.
“Manis, engkau lapar, bukan?
Mari kita makan, kutemani engkau atau engkau menemani aku? Ha-ha-ha, katakan
engkau mau makan dan aku akan membebaskan totokanmu.”
“Tidak sudi! Lebih baik aku
mati kelaparan dari pada harus makan bersamamu!” kata Hong Ing, menahan
turunnya air matanya karena sesungguhnya ia merasa ngeri, takut dan juga malu
terhadap Tek Hin yang tadi melihat betapa ia dibelai dan diciumi penjahat itu,
jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ketakutan yang ditahan-tahan dan
hendak disembunyikan, karena ia tidak ingin penjahat yang dibencinya itu
melihat bahwa ia ketakutan.
Jawaban Hong Ing itu hanya
disambut oleh Lui Teng dengan senyum-senyum saja. Dia membayangkan betapa akan
manisnya kalau gadis yang kini melawan dan marah-marah, membencinya ini, kelak
akan menyerahkan diri kepadanya. Makin besar kebencian dan perlawanannya, kalau
kelak menyerah akan semakin terasa manis! Diapun lalu duduk menghadapi meja dan
makan minum dengan lahapnya, sengaja mengeluarkan suara untuk membikin kedua
orang itu tersiksa.
Akan tetapi, baik Tek Hin
maupun Hong Ing sama sekali tidak mau menengok ke arah dia duduk, Tek Hin
diam-diam membayangkan apa akan jadinya dengan dirinya dan Hong Ing kalau
sampai Cin Hay dan Liong-li benar-benar dapat dikalahkan oleh Hek-sim Lo-mo dan
para pembantunya.
Dia memutar otak bagaimana
agar dapat terbebas dari totokan sehingga dia dapat melakukan perlawanan.
Andaikan sampai dia dan Hong Ing harus mati sekalipun dia tidak akan merasa
penasaran. Akan tetapi kalau harus mati dan mengalami penghinaam tanpa melawan
sedikitpun juga, sungguh matinya akan penasaran sekali.
Tak lama kemudian, tepat
setelah Jai-hwa Kongcu Lui Teng selesai makan minum, sisa makanan disingkirkan
dan yang ditinggalkan hanya seguci arak dan cawan arak, muncullah seorang
penjaga yang tadi bertugas melakukan penyelidikan ke luar kota melihat keadaan
mereka yang berkelahi. Dengan wajah pucat dan napas terengah-engah karena baru
saja berlari cepat-cepat, orang itu melaporkan bahwa dua orang muda itu masih
dikeroyok, akan tetapi dua orang saudara kembar He-nan Siang-mo telah tewas,
dan kini Beng-cu sedang memanggil banyak sekali ular!
“Saya........ takut sekali dan
segera lari untuk memberi kabar ke sini, akan tetapi seorang kawan masih
tinggal di sana dan mengintai untuk nanti memberi laporan susulan,” katanya
mengakhiri laporannya, lalu dia mengundurkan diri keluar dari kamar itu.
Song Tek Hin sengaja tertawa
bergelak dan siasat ini memang sudah sejak tadi dia rencanakan. “Ha-ha-ha, dua
orang dari temanmu sudah mampus dan sebentar lagi yang lain-lain pasti akan
tewas di tangan Tan-taihiap dan Hek-liong-li! Engkau sendiri, kalau saja bukan seorang
pengecut dan penakut besar, kalau saja engkau berani membebaskan aku dari
totokan, sudah sejak tadi tulang-tulangmu kupatah-patahkan dan kepalamu
kuhancurkan, isi perutmu kukeluarkan. Ha-ha-ha!”
Wajah Jai-hwa Kongcu Lui Teng
menjadi merah padam. Dia adalah seorang penjahat besar yang sudah banyak
pengalamannya dan cerdik pula. Dia dapat menduga bahwa Song Tek Hin sengaja
mengeluarkan ucapan menghina itu untuk memancing kemarahannya dan agar dia suka
membebaskan totokan itu. Akan tetapi perasaan malu membuat dia marah besar dan
tidak dapat menahan dirinya. Kalau saja Tek Hin tidak mengeluarkan ucapan itu
di depan Hong Ing, tentu dia akan mentertawakan saja tawanan itu, atau akan
menyiksanya atau membunuhnya tanpa membebaskan totokannya.
Akan tetapi, dia diejek dan
dihina di depan gadis yang membuatnya tergila-gila, maka dia merasa malu kalau
tidak memperlihatkan keberaniannya, agar makian pengecut dan penakut itu dapat
dihapusnya di depan gadis manis itu. Apa lagi dia tahu benar bahwa biarpun Tek
Hin pandai ilmu silat, namun bagi dia masih terlalu rendah sehingga andaikata
ada lima orang dengan tingkat kepandaian seperti Tek Hin mengeroyoknya
sekalipun, dia tidak akan kalah. Maka, diapun dengan sekali loncat sudah
mendekati Tek Hin yang menggeletak tak mampu bergerak di alas lantai.