Sepasang Naga Penakluk Iblis Bagian 1

Baca Cersil Mandarin Online: Sepasang Naga Penakluk Iblis Bagian 1
Telaga Se-ouw merupakan telaga yang amat indah. See-ouw atau Telaga Barat ini adalah satu di antara telaga-telaga yang terbesar dan terkenal di seluruh daratan Tiongkok. Hampir setiap hari telaga itu ramai dikunjungi orang dari dekat maupun jauh, untuk berperahu atau hanya menikmati keindahan alam di sekitar telaga. Terutama sekali pada hari besar dan hari pesta. Telaga itu penuh dengan perahu besar kecil yang dihias serba indah, dan terdengarlah musik bersaingan hiruk pikuk dari perahu-perahu besar dan dari tepi telaga.

Banyak seniman mengagumi keindahan See-ouw. Pelukis-pelukis berdatangan untuk mengabadikan keindahan telaga dengan lukisan mereka, di waktu pagi, siang atau senja di mana terjadi perubahan keindahan pada telaga itu. Para penyair juga berdatangan dan mengungkapkan kekaguman mereka terhadap keindahan telaga dalam bentuk sajak-sajak.

Alam memang indah, baik itu di sekitar telaga, di tepi laut, atau di puncak gunung. Keindahan yang hidup, bukan seperti keindahan benda buatan manusia yang mati dan membosankan, karena keindahan alam tidak dibuat-buat, wajar, sedangkan keindahan buatan manusia hanya ciptaan yang berdasarkan selera nafsu sementara saja. Keindahan alam semesta tidak pernah sama, tidak mati, setiap saat berubah, dan mengandung kedalaman yang tidak terukur oleh pikiran manusia.

Menghadapi kebesaran dan keindahan alam, apa lagi ketika berada seorang diri, baru terasalah betapa kecil tiada artinya diri kita ini. Kita hanya sebagian kecil saja dari semua keindahan itu, kita termasuk di dalamnya. Akan tetapi kalau kita sudah menempatkan diri di luar, sebagai penonton dan menikmati keindahan, maka keindahan itupun akan mati seperti keindahan selera nafsu, dan akan menjadi membosankan.

Pada pagi hari itu, tidak begitu banyak tamu mengunjungi telaga. Hanya ada belasan buah perahu saja, itupun perahu-perahu kecil, dan hanya ada sebuah perahu besar dari mana terdengar suara musik dan nyanyian. Namun, kesunyian itu bahkan menambah menonjolnya keindahan See-ouw. Biasanya, kalau terlalu ramai, keadaan menjadi terlalu gaduh dan sibuk sehingga buyarlah keindahan itu, terganti oleh kesenangan manusia yang membisingkan.

Dan banyaklah manusia yang mengeluh dan kecewa kalau keadaan sepi seperti itu. Mereka adalah para pedagang makanan dan minuman, para tukang perahu yang menyewakan perahunya, para gadis penyanyi dan pelacur yang biasa disewa oleh mereka yang beruang dan yang menghibur hati dengan cara mereka sendiri, yaitu ditemani gadis-gadis penghibur yang cantik.

Hanya sebuah perahu besar yang membuat suasana agak meriah karena perahu besar itu milik Koan Tai-jin seorang pembesar yang terkenal dengan keroyalannya. Koan Tai-jin adalah seorang pembesar yang sudah pensiun dan kini tinggal di dusun Tiang-cin, menjadi seorang hartawan besar di dusun tempat asalnya itu. Rumahnya besar dan megah, dan hampir seluruh sawah ladang yang paling baik tanahnya di daerah itu adalah miliknya.

Dia hidup seperti seorang raja muda saja di daerah Tiang-cin. Bahkan lurah dusun sendiri menjadi kaki tangannya, tunduk kepadanya! Hal ini tidaklah mengherankan karena Koan Tai-jin, selain amat kaya raya sehingga mampu membeli kepala orang-orang yang menjadi lawannya, juga mampu membeli bantuan pembesar manapun juga, selain itu, dia mempunyai banyak kenalan baik yang menjadi pembesar di kota raja!

Semua orang mengejar kekuasaan! Demikian penting kekuasaan agaknya bagi semua orang. Dengan kekuasaan, orang akan merasa dirinya besar, penting, menonjol, dan juga aman! Dengan kekuasaan orang akan mampu menuruti segala kehendaknya, melampiaskan segala nafsunya, dan karena itulah maka orang-orang berlumba untuk memperoleh kekuasaan selagi hidup di dunia. Kekuasaan mereka anggap dapat diperoleh melalui kedudukan, melalui harta kekayaan, melalui kekuatan dan kepandaian, dan sebagainya. Pada hal, kekuasaanlah yang menyeret manusia ke dalam lembah kesengsaraan, ke dalam pertentangan, permusuhan, kebencian, bahkan perang!

Koan Tai-jin bernama Koan Ki Sek, seorang laki-laki yang berusia kurang lebih limapuluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus dengan punggung agak bongkok. Sepasang matanya sipit sekali, hidungnya besar dan mulutnya selalu menyeringai, dengan bibir dan gigi menghitam karena racun tembakau yang selalu dibakar dan diisapnya dengan sebatang huncwe (pipa tembakau) dari emas. Di dalam rumahnya yang seperti istana itu, sudah terdapat seorang isteri yang usianya empatpuluhan tahun, masih cantik, juga ada lima orang selir yang muda-muda dan cantik manis.

Namun, Koan Ki Sek yang kini lebih terkenal dengan sebutan Koan Wan-gwe (Hartawan Koan) memang seorang hidung belang yang selain mata keranjang, juga bernafsu besar sekali sehingga belum akan puas rasa hatinya kalau belum berhasil meniduri wanita yang memikat hatinya. Banyak sudah isteri atau gadis orang menjadi korban nafsunya dan dia lebih sering berhasil menyeret wanita yang disukainya, dengan pengaruh uangnya atau kekuasaannya.

Wanita-wanita yang menjadi korbannya hanya mampu menangis, suami dan ayah mereka hanya mampu mengepal tinju. Namun, kepada siapa penghuni dusun Tiang-cin harus mengadu kalau kepala dusun sendiri menjadi kaki tangan hartawan itu?

Seperti biasa, senjata kaum lemah tertindas hanya mengadu kepada Langit dan Bumi, kepada Tuhan dengan tangis mereka, namun nampaknya, seperti juga Langit dan Bumi, Tuhanpun diam saja! Demikian memang kalau kita mengukur kekuasaan Tuhan secara manusiawi, mengukur keadilan Tuhan seperti keadilan yang kita kenal! Tuhan Maha Kuasa dan Maha Adil, namun kekuasaan dan keadilannya itu maha besar, tak terjangkau oleh akal budi kita. Karena itu, apabila timbul penafsiran manusia, akan terjadi salah tafsir. Rahasia Gaib tersembunyi di dalam kekuasaan Tuhan, dan bagaimanapun nampaknya dalam pengertian manusiawi, kekuasaan Tuhan adalah Maha Benar dan Maha Adil!

Dan pada pagi hari itu, selagi keadaan telaga sunyi, Koan Ki Sek sudah pelesir dengan perahunya yang besar dan megah. Dia tidak perduli akan kesepian telaga karena dia sama sekali tidak merasa sepi dengan adanya tiga orang gadis panggilan yang menghiburnya, menemaninya berpesta, makan enak dan minum arak, ada yang menyuapinya, ada yang duduk di pangkuannya, ada pula yang memijatinya, sedangkan serombongan gadis penghibur lain bermain musik, menyanyi dan menari!

Dalam bersenang-senang ini, Koan Wan-gwe ditemani oleh tiga orang jagoannya yang juga menjadi pengawal-pengawal pribadinya. Tiga orang jagoan inilah membuat Koan Wan-gwe ditakuti orang, karena sekali saja hartawan itu memberi isyarat, maka tiga orang jagoan itu tentu akan turun tangan dan akan celakalah lawannya!

Tiga orang jagoan ini amat terkenal di daerah See-ouw karena mereka merupakan tokoh atau datuk golongan hitam yang merajalela di daerah itu. Dikenal dengan juiukan See-ouw Sam-houw (Tiga Harimau See-ouw). Mereka bertiga itu masih saudara seperguruan. Yang pertama bernama Ban Sun usianya empatpuluh tahun, bermuka hitam maka dijuluki Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam), tubuhnya pendek gendut dan sikapnya kasar, selalu tertawa lebar dan amat sombongnya. Dia merupakan saudara tertua dan paling lihai di antara mereka bertiga, terkenal sekali dengan permainan goloknya yang lebar panjang dan berat.

Orang kedua bernama Kim Lok, usianya tigapuluh delapan tahun, mukanya kuning seperti berpenyakitan, tubuhnya tinggi kurus dan matanya yang sipit itu liar dan tajam seperti mata burung elang, sikapnya pendiam namun dalam hal kekejaman, dia paling terkenal. Kim Lok ini pandai sekali bermain sepasang pedang yang selalu tergantung di punggungnya.

Adapun orang ketiga bernama Phang Ek, usianya tigapuluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar dan gagah, nampak kuat sekali, dengan wajah yang menyeramkan, penuh berewok. Phang Ek ini tidak nampak memegang atau menyimpan senjata besar seperti kedua orang suhengnya, akan tetapi di balik jubahnya, kalau disingkap, akan nampak bahwa ikat pinggangnya dari kulit itu penuh dengan pisau-pisau yang belasan batang banyaknya. Pisau-pisau inilah yang membuat dia terkenal dan ditakuti, karena selain dia dapat memainkan pisau-pisau yang panjangnya hanya satu kaki itu sebagai senjata yang ampuh, juga dia dapat menyambitkan pisau-pisau itu menjadi pisau terbang yang dapat mencabut nyawa lawan. Dia dijuluki Hui-to (Pisau Terbang), sedangkan Kim Lok dijuluki Siang-kiam-houw (Harimau Berpedang Dua).

See-ouw Sam-bouw ini tadinya merupakan tokoh-tokoh hitam di telaga besar itu, dengan memungut semacam pajak liar dari para tukang perahu, rumah makan, bahkan ada kalanya berani membajak para tamu yang sedang pesiar di telaga. Akan tetapi, setelah mereka ditarik oleh Koan Wan-gwe menjadi kaki tangannya tiga tahun yang lalu, See-ouw Sam-houw tidak lagi mau mengganggu Telaga See-ouw. Kehidupan mereka sudah lebih dari cukup, mewah dan semua keperluan mereka dipenuhi belaka oleh majikan mereka.

Sesuai dengan keadaan hidup mereka sebagai penjahat dan kini sebagai tukang-tukang pukul, See-ouw Sam-how tidak pernah kawin dan menjadi langganan rumah-rumah pelesir di kota-kota. Juga dalam hal mengganggu wanita baik-baik, mereka hanya kalah oleh majikan mereka saja.

Pagi hari itu Koan Wan-gwe mengajak tiga orang jagoannya untuk menemaninya pelesir, bukan sekedar untuk menjaganya di telaga itu. Untuk tiga orang jagoan itu, dia juga mendatangkan tiga orang perempuan panggilan yang kini masing-masing dipangku oleh para jagoan yang sudah mulai mabok-mabokan itu.

Pagi ini Koan Wan-gwe memang mengadakan pesta untuk menyenangkan hati See-ouw Sam-houw karena mereka bertiga dianggap telah berhasil melaksanakan tugas mereka baru-baru ini. Selama hampir satu bulan tiga orang jagoannya itu melaksanakan tugas dan baru kemarin mereka pulang dengan hasil yang amat memuaskan, karena buktinya ada sepucuk surat pribadi yang ditandatangani oleh Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam) sendiri yang menyatakan bahwa Koan Wan-gwe diterima menjadi “sahabat” dan dilindungi oleh Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang semenjak beberapa bulan ini menguasai atau merajai dunia sesat!

Bukan main girangnya hati hartawan itu, karena tanpa perlindungan para datuk baru itu, tidak ada artinya segala kekayaan dan kekuasaannya. Bahkan dia tidak mungkin dapat mempergunakan kekuasaan para pembesar untuk melindungi dirinya, kekayaan dan keluarganya. Sebaliknya, begitu Kiu Lo-mo menyatakan bahwa dia adalah seorang yang dilindungi, tidak ada seekorpun setan berani mengganggunya! Inilah yang menggirangkan hatinya walaupun dia telah mengeluarkan banyak sekali emas dan perak yang dibawa oleh tiga orang jagoannya untuk tanda hormat kepada para datuk sesat itu.
Dunia kang-ouw memang baru saja sempat dibuat geger oleh berita tentang Kiu Lo-mo itu. Sembilan Iblis Tua itu adalah datuk-datuk sesat yang sudah belasan tahun tidak pernah memperlihatkan diri sehingga banyak orang mengira bahwa mereka telah tiada. Kiranya mereka itu bertapa di tempat masing-masing dan kini mereka keluar dari pertapaan dan bersekutu, membentuk pimpinan di atas semua kelompok sesat, dan kabarnya Sembilan Iblis Tua itu kini menjadi semakin sakti dan galak.

Munculnya Kiu Lo-mo ini disambut dengan gembira oleh dunia hitam, karena dengan adanya para datuk ini, kaum sesat tidak lagi harus tunduk dan takut terhadap para pendekar yang selalu menentang semua perbuatan jahat mereka. Kini ada Kiu Lo-mo yang melindungi mereka dan kemunculan sembilan orang datuk ini disambut dengan pesta pora berupa kejahatan-kejahatan yang dilakukan secara serentak di mana-mana, membuat para pendekar menjadi terkejut bukan main.

Koan Wan-gwe dan tiga orang jagoannya itu kini semakin gembira karena perut mereka kenyang dan kepala mereka penuh hawa arak. Mereka tertawa-tawa dan tangan mereka semakin berani membuat para wanita panggilan itu menggeliat dan tertawa cekikikan dan kecabulanpun terjadilah di depan para gadis penabuh musik dan penyanyi, tanpa ada lagi sopan santun. Kesusilaan tidak berlaku lagi bagi empat orang yang menjadi hamba nafsu kesenangan ini, bahkan mereka tidak perduli akan pandang mata segan dan takut namun ingin tahu dari para penghuni perahu-perahu kecil yang kadang-kadang mendekati perahu besar mereka.

Agak jauh dari perahu besar itu, nampak sebuah perahu lain. Perahu ini kecil hanya dimuati dua orang saja, dengan payon rendah dan di atas perahu kecil inipun terjadi kemesraan antara seorang pria dan seorang wanita. Namun, sungguh sama sekali berbeda dengan kemesraan mesum yang terjadi di atas perahu besar, antara pria-pria pengejar nafsu jalang dan wanita-wanita pengejar uang. Yang terjadi di atas perahu kecil itu adalah kemesraan yang terjadi antara dua orang yang saling mencinta.

Pencurahan kemesraan karena kasih sayang ini nampak halus dan mengharukan. Me- reka duduk berdampingan, saling berpegang tangan, jari-jari tangan mereka saling cengkeram dan saling bergelut, memancarkan getaran-getaran kasih dan setiap kali mereka bertemu pandang, bibir mereka tersenyum dan dari pandang mata itu terpancar cinta kasih yang amat dalam, jauh melebihi air telaga itu dalamnya.

Mereka seakan lupa diri dan lupa keadaan, bukan karena nafsu berahi dan kesenangan, melainkan karena kebahagiaan. Bagi pria dan wanita yang saling mencinta, nafsu berahi menjadi alat pencurahan kasih sayang dan kemesraan, tidak seperti mereka yang di atas perahu, yang menjadikan nafsu berahi sebagai majikan yang menguasai dan membutakan mereka.

Pria dan wanita dalam perahu kecil itu masih amat muda. Pria itu baru berusia delapanbelas tahun, dan wanita itu tujuhbelas tahun. Dari sikap mereka yang tidak canggung dalam pernyataan cinta mereka, walaupun dalam batas-batas yang sopan karena di dalam cinta kasih mereka terdapat pula saling menghargai dan saling menghormati, mudah diduga bahwa mereka itu adalah suami isteri. Dan hal ini memang benar. Mereka itu suami isteri, bahkan masih pengantin baru karena baru lima bulan mereka menikah. Kini, isteri muda itu telah mengandung hampir tiga bulan!

Suami muda itu bernama Tan Cin Hay, putera seorang guru dusun yang miskin, dan isterinya bernama Gu Ci Sian, puteri seorang kepala dusun sederhana pula. Selain mempelajari ilmu surat dari ayahnya sendiri sejak kecil, juga Cin Hay pernah menjadi murid kuil Siauw-lim-si, mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai yang terkenal hebat. Selama lima tahun dia mempelajari ilmu silat dengan tekun dan kini dia telah memiliki ilmu silat yang cukup lumayan, yang membuat dia menjadi seorang pemuda yang bukan saja pandai baca tulis, akan tetapi juga pandai ilmu silat dan bertubuh kuat.

Sejak tadi Cin Hay memandang wajah isterinya. Makin dipandang semakin mempesona wajah itu, cantik manis bagaikan setangkai bunga mawar yang baru saja disiram embun, segar kemerahan tertimpa sinar matahari pagi. Dia menoleh ke kanan kiri. Tidak ada lain perahu dekat situ, maka tanpa dapat menahan rasa cintanya yang mendalam, dia lalu merangkul dan mencium mulut isterinya dengan sepenuh kasih sayangnya.

Ci Sian gelagapan, akan tetapi membalas ciuman suaminya. Ketika mereka saling melepaskan ciuman dengan napas memburu, wajah isteri muda itu menjadi semakin kemerahan dan sambil cemberut manja ia berkata, “Ih, bagaimana kalau kelihatan orang lain?” Ia menoleh ke kanan kiri dan merasa lega bahwa di situ tidak nampak perahu lain dekat.

Cin Hay tersenyum, “Maafkan, aku tadi lupa diri. Habis melihat bibirmu demikian segar kemerahan......”

Isterinya menghela napas penuh kebahagiaan dan menyandarkan kepalanya di pundak suaminya, matanya menatap jauh penuh lamunan.

Cin Hay mendekap erat. “Isteriku sayang, bahagiakah hatimu?” bisiknya.

Sang isteri mengangguk, akan tetapi alisnya berkerut. “Aku...... aku merasa khawatir,

Koko......”

“Khawatir? Mengapa?”

“Aku khawatir kalau keadaan ini akan berobah, tidak akan seterusnya begini, koko......”

“Ihh, kenapa kau berkata demikian, moi-moi? Bukankah aku cinta padamu dan kau cinta padaku? Dan di dalam perutmu ini terdapat calon anak kita! Ingat, calon anak kita pertama, isteriku. Matahari akan selalu cerah, kehidupan kita akan selalu berbahagia, penuh cinta kasih......”

Namun Ci Sian menggeleng kepalanya yang masih bersandar pada pundak suaminya, matanya memandang jauh ke atas dan telunjuk kirinya menuding, “Lihat itu, koko. Matahari tidak selalu cerah......”

Cin Hay cepat mengangkat mukanya dan diapun melihat adanya awan mendung yang cukup tebal datang mengancam matahari. Agaknya gumpalan-gumpalan awan hitam tipis itu berkumpul menjadi mendung yang tebal dan tak lama kemudian, sinar matahari yang tadinya cerah mulai menjadi redup.

Melihat datangnya mendung hitam, bahkan kini mulai turun hujan gerimis, para penghuni perahu-perahu kecil menjadi panik. Bagaikan anak-anak ayam berlari-larian, mereka mendayung perahu-perahu mereka ke tepi telaga. Melihat ini, mereka yang berpesta di perahu besar dan yang mulai bosan dengan gadis-gadis panggilan mereka yang sudah mulai mabok-mabokan pula, mendapatkan kegembiraan baru.

Koan Wan-gwe dan tiga orang jagoannya sudah meninggalkan meja, berdiri di tepi perahu yang terlindung, menyoraki perahu perahu kecil yang kehujanan itu. Mereka sendiri merasa aman di perahu besar, aman dari air hujan, juga aman kalau-kalau air telaga akan bergelombang. Akan tetapi para gadis panggilan itu ikut pula merasa panik, apa lagi mereka sudah terlalu banyak minum dan di antaranya ada yang sudah muntah-muntah. Mereka ingin segera menerima upah untuk kembali ke tempat penampungan mereka.

Tiba-tiba mata Koan Wan-gwe menangkap perahu kecil yang ditumpangi Cin Hay dan Ci Sian. Biarpun dia sudah tigaperempat mabok, namun matanya selalu masih tajam untuk dapat melihat seorang wanita yang amat memikat hatinya. Dan Ci Sian memang seorang wanita muda yang amat menarik hati, cantik jelita dan lembut. Sungguh jauh bedanya dengan para gadis panggilan yang merupakan boneka-boneka hidup dengan bedak dan yan-ci (pemerah) yang terlalu tebal itu. Mata hartawan hidung belang ini terbelalak dan dia mengambil huncwe emas dari mulutnya yang ternganga ketika dia melihat Ci Sian di atas perahu kecil itu.

“Wah, bukan main......! Hayaaa...... betapa manisnya......” berulangkali hartawan itu berseru kagum.

Sikapnya ini menarik perhatian tiga orang jagoannya dan merekapun memandang dan segera mereka tahu apa yang membuat majikan mereka demikian terkagum-kagum. Kiranya seorang wanita muda dalam perahu itu yang seperti perahu-perahu lain, sedang didayung oleh seorang laki-laki muda menyingkir ke pantai.

“Ha-ha-ha, kiranya lo-ya (tuan besar) naksir, ya?” Hek-bin-houw Ban Sun tertawa- tawa.

“Kalau naksir, ambil saja ia ke sini!” kata Kim Lok Si Harimau Berpedang Dua.

“Majukan perahu, kejar perahu kecil itu!” kata Phang Ek, Harimau Pisau Terbang memerintah kepada tukang perahu.

Koan Ki Sek tersenyum menyeringai, mengangguk-angguk sebagai jawaban atas pertanyaan Ban Sun dan kawan-kawannya, mulutnya menggumam, “Bagus sekali, perempuan-perempuan panggilan itu membosankan. Undang saja penghuni perahu itu naik ke sini, biar menjadi tamuku, tamu kehormatan yang manis, heh-heh-heh!”

Sebentar saia perahu kecil yang didayung menuju ke tepi oleh Cin Hay itu dapat disusul dan Cin Hay terkejut dan marah ketika tiba-tiba saja ada perahu besar mendahuluinya dan perahu itu melintang di depannya, membuat dia cepat memutar perahu kalau tidak mau bertabrakan dan terguling.

“Heiii......! Mengapa kalian lakukan ini?” bentaknya marah sambil menuding dengan telunjuknya ke arah beberapa orang yang menjenguk dari atas perahu besar itu sambil tertawa-tawa.

Akan tetapi tidak ada yang menjawabnya, bahkan tiba-tiba perahu kecil itu terkait dari atas! Cin Hay makin kaget, akan tetapi ketika perahunya itu ditarik ke atas, dan melihat isterinya ketakutan dan merangkulnya, diapun hanya dapat melindungi isterinya dan memeluknya sambil menghiburnya.

Perahu kecil terus ditarik ke atas oleh beberapa orang, disambut suara ketawa bergelak. “Aha, sekali ini kita dapat ikan besar!”

“Ikannya cantik dan mulus, tentu lezat sekali!”

“Wah, ini tanda bahwa rezeki lo-ya memang hebat!”

Cin Hay melompat keluar dari perahunya sambil memeluk tubuh isterinya. Dia melihat bahwa di perahu besar itu terdapat seorang laki-laki tinggi kurus agak bongkok yang memegang huncwe emas, dan melihat pakaiannya yang mewah, mudah diduga bahwa dialah majikannya. Dan tiga orang itu tentu tukang pukul karena sikap mereka yang kasar dan sombong. Sedangkan selebihnya adalah anak buah. Ada pula perempuan-perempuan berbedak tebal berkumpul di sudut, nampaknya ketakutan.

“Sebetulnya apakah artinya semua ini? Mengapa kalian melakukan hal ini kepada kami, padahal kami sama sekali tidak mengenal kalian?” Cin Hay kembali bertanya, menahan kemarahannya dan kini memandang kepada laki-laki yang memegang huncwe emas itu.

See-ouw Sam-houw yang tadi menarik perahu kecil ke atas, hanya menyeringai dan menanti majikan mereka untuk mengambil keputusan dan menjawab pertanyaan Cin Hay.

Koan Wan-gwe menghisap huncwe itu, lalu mengepulkan asap tembakau ke atas, lalu matanya melirik ke arah Ci Sian yang masih merangkul suaminya, kemudian berkata, “Tadi aku melihat nona ini kehujanan dalam perahu kecil, maka aku merasa kasihan dan aku yang sedang kesepian ingin mengundang ia minum arak hangat di perahuku ini. Marilah, nona.”

Cin Hay merasa seolah-olah dadanya akan meledak saking marahnya.

“Ia adalah seorang wanita sopan dan baik-baik, tidak sepatutnya menghadapi sikap yang begini kurang ajar dan tidak mengenal kesusilaan! Kalian anggap siapa kalian ini?”

Koan Wan-gwe mengerutkan sepasang alisnya dan dengan sikap congkak, dia memandang pemuda itu dari atas, seperti seorang bangsawan memandang kepada seorang budak belian saja.

“Huh, orang tak tahu diri. Apamukah nona ini?”

“Ia isteriku!” jawab Cin Hay marah.

Pada saat itu, Hek-bin-houw Ban Sun sudah melangkah maju menghadapi Cin Hay seperti hendak melindungi majikannya. “Orang muda! ketahuilah bahwa majikan kami ini adalah Koan Wan-gwe yang dulu pernah menjadi Koan Tai-jin. Siapa tidak mengenal Koan Wan-gwe dari dusun Tiang-cin? Harap engkau suka tahu diri sedikit dan bersikap hormat kepada beliau.”

Cin Hay maklum bahwa dia berada di tempat berbahaya, apa lagi dia harus melindungi isterinya. Akan tetapi, selama lima tahun dia belajar silat di kuil Siauw-lim-si yang selain menggemblengnya dengan ilmu silat pilihan, juga telah menanamkan watak pendekar pada batinnya. Di samping itu, kemarahannya karena isterinya dihina orang membuat dia merasa sukar untuk mengalah.

“Akan tetapi, kami tidak bersalah. Kami tidak mengenal kalian dan kami tidak melakukan kesalahan apapun. Kalian membawa kami ke sini dengan paksa, bahkan kalian menghina isteriku. Bagaimana aku harus bersikap hormat?” bentaknya dan dia sudah mengepal kedua tinjunya, siap untuk melawan.

“Bocah sombong! Majikan kami telah mengundang isterimu untuk menemaninya minum arak, itu suatu kehormatan dan engkau sepatutnya menghaturkan terirna kasih!” bentak Kim Lok sambil mengerutkan alisnya.

“Kalau majikan kami hendak meminjam sebentar isterimu, engkau boleh merasa bangga!” Phang Ek juga berteriak marah.

Cin Hay melotot memandang kepada mereka. “Kenapa kalian tidak meminjamkan saja isteri kalian kepadanya? Kalau aku, jangan harap dapat menyentuh isteriku sebelum melewati mayatku!” Cin Hay mendorong dengan lembut agar isterinya mundur dan menjauh di belakangnya.

Dengan ketakutan Ci Sian lalu mundur sampai menyentuh langkan di tepi perahu besar di mana ia berdiri merangkul papan langkan dengan tubuh gemetar dan muka pucat.

“Heh-heh, agaknya anjing kecil ini baru mulai belajar menggonggong maka dia berani!” kata Hek-bin-houw Ban Sun dan laki-laki muka hitam perut gendut ini sudah menerjang maju, tangan kanannya menyambar ke arah kepala Cin Hay dengan cengkeraman kuat, disusul hantaman ke arah perut pemuda itu. Serangan ini cepat dan kuat sekali dan kalau satu di antara serangan itu mengenai sasaran, agaknya akan celakalah pemuda itu.

Namun, tidak percuma Cin Hay mempelajari ilmu silat selama lima tahun dalam kuil Siauw-lim. Cepat dia sudah mengangkat lengan kirinya menangkis ke atas. Dan tangan kanannya juga menangkis ke bawah, lalu tangan kanan itu begitu bertemu lengan lawan, diteruskan ke bawah dan tangannya yang terbuka menusuk ke arah perut lawan.

“Hukkk!” Otomatis Hek-bin-houw membungkuk ketika perutnya tertusuk tangan yang miring, dan pada saat itu, Cin Hay mengangkat kaki kirinya sehingga lututnya menghajar dagu si gendut pendek.

“Dukkk!” Tubuh gendut pendek itu hampir terjengkang, terhuyung dan matanya terbelalak, mukanya yang hitam menjadi lebih hitam karena darah telah naik ke mukanya.

Sebetulnya, satu di antara See-ouw Sam-houw ini bukan orang lemah dan kalau tadi dengan amat mudahnya dia terkena tusukan tangan dan tendangan lutut adalah karena dia terlalu memandang rendah lawannya. Memandang rendah lawan merupakan pantangan besar bagi seorang ahli silat, karena hal ini mendatangkan kelengahan pada diri sendiri.

“Aha, kiranya bukan hanya menggonggong, akan tetapi sudah belajar menggigit pula anjing cilik ini!” teriaknya untuk menutupi rasa malu, dan dengan marah tangannya sudah mencabut golok besarnya. Nampak sinar berkilauan ketika dia memutar golok besar itu di atas kepalanya.

Melihat ini, Cin Hay maklum bahwa perkelahian mati-matian tak dapat dihindarkan lagi. Dia harus membela keselamatan dirinya, juga membela kehormatan isterinya, maka karena dia tidak membawa senjata, cepat dia menyambar dayung kayu yang tadi dia pakai mendayung perahu kecil. Dia memegang dayung itu seperti sebatang toya, senjata yang pernah dipelajarinya secara tekun di kuil Siauw-lim.

Datanglah serangan golok itu, bertubi-tubi. Sinar golok bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dahsyat, namun Cin Hay dapat mengelak dan menangkis dengan baiknya, bahkan membalas dengan dayungnya. Permainan silat nya mantap dan sukarlah bagi Hek-bin-houw untuk mendesaknya. Bahkan belasan jurus kemudian, sapuan dayung itu menyerempet tulang kering kaki kiri Ban Sun yang berteriak kesakitan sambil terpincang-pincang.

Melihat ini, Kim Lok sudah membantu temannya, menyerang dengan sepasang pedangnya. Gerakannya cepat dan kuat, mengejutkan hati Cin Hay yang maklum bahwa lawan baru ini tidak kalah hebatnya dibandingkan lawan pertama. Apa lagi Phang Ek juga sudah mengeroyoknya pula, kedua tangannya memegang masing-masing sebatang pisau yang panjangnya satu kaki, runcing dan tajam sekali sehingga ketika dimainkan kedua pisau itu mengeluarkan suara berdesing.

Kini Cin Hay dikeroyok tiga! Karena pemuda ini hanya bersenjatakan sebuah dayung, tentu saja dia mulai kewalahan menghadapi pengeroyokan tiga orang jagoan yang tingkat kepandaiannya masing-masing sudah cukup tinggi dan tidak kalah olehnya itu. Sedapat mungkin dia membela diri, namun makin lama dia semakin terdesak. Dia teringat akan isterinya dan hal ini membuat dia menjadi semakin gugup dan semakin kacau pertahanannya.

Ketika dia harus menangkis golok dan sepasang pedang sekaligus, dayungnya tidak kuat bertahan dan patah menjadi dua, tubuhnya terhuyung dan pada saat itu, sinar pedang, golok dan pisau menyambar-nyambar. Cin Hay berusaha mengelak, namun sebuah bacokan golok merobek kulit pahanya dan sebuah tusukan pedang menyerempet pundaknya. Dia terjungkal mandi darah. Saat itu, sambil tertawa Hek-bin-houw Ban Sun menendangnya, keras sekali dan tubuh Cin Hay terlempar keluar perahu dan tercebur ke dalam air telaga.

“Hay-koooo......” Ci Sian yang sejak tadi berpegang pada langkan dan nonton pertandingan dengan muka pucat dan tubuh gemetar, begitu melihat suaminya roboh dan ditendang keluar perahu, menjerit dan berusaha untuk meloncat keluar, menyusul suaminya. Akan tetapi pada saat itu, dengan lagak seorang pendekar menolong orang, kedua tangan Koan Ki Sek sudah merangkul pinggangnya dan menariknya dari langkan.

“Sudahlah, manis, jangan perdulikan dia lagi. Mari bersenang dengan aku, heh-heh.” Dan Koan Wan-gwe terus menariknya.

Ci Sian menjerit dan meronta, bahkan lalu menjatuhkan diri di atas lantai perahu, namun hartawan itu sambil tertawa-tawa lalu menyeretnya, dan memerintahkan dua orang gadis panggilan untuk membantunya. Tubuh Ci Sian yang masih meronta dan menjerit itupun diseret ke dalam bilik perahu.

Sementara itu, biarpun paha dan pundaknya sudah terluka, Cin Hay masih berhasil memegang tali perahu besar dan berusaha memanjat naik lagi. Melihat ini, Hui-to-houw Phang Ek lalu menggerakkan kedua tangannya.

“Sing! Sing!” Dua batang pisau terbang ke bawah dan menancap pada betis kiri dan bahu kanan Cin Hay yang mulai memanjat tali besar itu. Tentu saja pemuda itu harus melepaskan pegangannya dan terjatuh lagi ke dalam air, dengan dua luka tambahan karena kedua pisau itu masih menancap di tubuhnya.

Namun, begitu tubuhnya menimpa air, hanya sebentar Cin Hay tenggelam. Semua orang yang nonton dari langkan perahu melihat betapa pemuda yang tahan derita itu sudah muncul kembali dan masih berusaha untuk menangkap tali perahu! Melihat ini, Hek-bin-houw Ban Sun tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, anjing tolol! Dari pada menerima hadiah besar dari Koan Wan-gwe, engkau memilih mampus. Baru tahu sekarang kelihaian See-ouw Sam-houw!” Dia lalu mengambil perahu kecil yang tadi ditumpangi Cin Hay dan isterinya, mengangkatnya dengan kedua tangannya yang kuat lalu melemparkan perahu itu ke arah Cin Hay! Semua orang melihat betapa perahu itu menimpa tepat di atas kepala pemuda itu dan Cin Hay tidak nampak lagi.

Tiga orang jagoan itu tertawa-tawa ketika mendengar jerit tangis Ci Sian dari bilik perahu makin melemah, sementara hujan turun dengan amat derasnya. Perahu besar bergerak perlahan menjauh dan di bawah hujan deras, keadaan di atas telaga indah itu menjadi menyeramkan sekali. Keindahannya lenyap berganti keadaan yang penuh dengan kekejian manusia. Di atas telaga tidak nampak perahu lain kecuali perahu besar yang masih bergerak perlahan.

Kurang lebih dua jam kemudian, Koan Ki Sek membuka daun pintu bilik perahu dari dalam dan masih terdengar isak lemah dari dalam bilik. Pakaian hartawan ini tidak karuan dan yang lebih hebat lagi, rambutnya awut-awutan dan mukanya berdarah, ada bekas-bekas guratan dan cakaran kuku pada seluruh mukanya. Wajahnya membayangkan kemarahan ketika dia memanggil tiga orang jagoannya yang masih menggeluti para gadis panggilan.

Ketika tiga orang jagoan itu tergesa-gesa datang, dia berkata seram, “Anjing betina itu menyakiti aku, kuberikan kepada kalian!”

Mendengar ini, tiga orang jagoan itu menyeringai dan Hek-bin-houw Ban Sun meloncat ke dalam dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi memondong tubuh Ci Sian yang hanya mampu mengerang dengan tubuh terbungkus pakaiannya yang tadi, pakaian warna kuning yang kini sudah robek-robek. Tiga orang jagoan itu lalu pergi menuju ke bilik kedua dan terjadilah kekejaman yang melampaui segala batas prikemanusiaan.

Biarpun mereka semua itu mengetahui bahwa isteri muda itu dalam keadaan hamil, namun Koan Ki Sek dan tiga orang jagoannya sama sekali tidak ambil pusing, sama sekali tidak menaruh hati kasihan. Mereka itu tiada ubahnya segerombolan srigala yang haus darah, dan Ci Sian bagaikan seekor domba muda yang terjatuh ke dalam cengkeraman gerombolan srigala itu!

Setiap orang manusia harus selalu ingat dan waspada. Ingat selalu kepada Tuhannya, kepada yang menciptakan dirinya, yang menghidupkannya dan yang kelak menentukan kematiannya, ingat bahwa Tuhan tidak pernah membenarkan setiap perbuatan yang jahat dam kejam terhadap sesama hidup. Dan selalu harus waspada terhadap dirinya sendiri, terhadap setiap langkah hidupnya, setiap perbuatannya. Setan berada di dalam diri sendiri, di dalam pikiran. Suara setan selalu membisikkan bujuk rayu mengejar kesenangan. Pikiran selalu mengenang dan membayangkan kesenangan sehingga kita terlena, kita menjadi budak dari nafsu. Dan sekali kita menjadi budak nafsu, maka kita tidak melihat lagi bahwa keadaan ini membuat kita menjadi kejam. Kita seperti buta, tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan itu sungguh sesat.

Seperti juga Koan Ki Sek dan tiga orang jagoannya itu. Mereka tidak lagi menyadari bahwa mereka telah melakukan hal amat jahat. Mereka hanya menganggap bahwa mereka berhak bersenang-senang selagi masih hidup! Mereka adalah budak-budak nafsu mereka sendiri.

Kita tengok kembali keadaan Tan Cin Hay, suami muda yang bernasib malang itu. Benarkah seperti dugaan mereka yang berada di atas perahu besar bahwa pemuda itu tewas dengan kepala remuk tertimpa perahunya sendiri yang dilontarkan oleh Hek-bin-houw Ban Sun dari atas perahu besar? Nampaknya memang demikian, namun mati hidup seseorang sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki bahwa orang itu masih hidup, diusahakan bagaimanapun juga, orang itu akan tetap hidup. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki dia mati, tidak diapa-apakan pun dia akan mati sendiri!

Ketika perahu kecil itu melayang turun dari atas, Cin Hay masih dalam keadaan sadar dan diapun maklum akan datangnya bahaya maut atas dirinya. Maka, hanya beberapa sentimeter selisihnya sebelum perahu itu menimpa kepalanya, diapun menyelam dan perahu itu menimpa air. Cin Hay lalu bersembunyi di bawah perahu yang kebetulan jatuhnya menelungkup dan berpegang kepada tepi perahu yang perlahan-lahan terbawa ombak dan pergi menjauh di bawah siraman air hujan yang semakin deras.

Banyak darah yang keluar dari luka-lukanya, membuat tubuhnya terasa lemas dan rasa nyeri yang amat sangat, membuat kesadarannya hampir hilang. Dalam keadaan setengah pingsan, Cin Hay bergantung dengan sisa tenaganya pada perahu menelungkup itu. Ombak mendorong perahu itu menuju ke sebuah tepian.

Bunyi guntur menggelegar dibarengi kilat menyambar mengejutkan Cin Hay dan membuatnya kembali ke alam sadar. Begitu sadar sepenuhnya, dia terkejut dan berteriak sekuatnya karena dia teringat akan semua yang telah dialaminya, terutama sekali teringat betapa isterinya, Ci Sian, tertinggal di alas perahu besar bersama para penjahat itu! Akan tetapi, teriakannya tidak mengeluarkan suara keras, hanya rintihan.

“Sian-moi...... Sian-moi...... isteriku......!”

Dia mengeluh dan hampir menangis. Dipandangnya ke kanan kiri, cuaca sudah gelap karena kiranya siang telah berganti malam, dan dia tidak melihat sebuahpun perahu, juga perahu besar yang dicarinya tidak nampak. Sebaliknya, remang-remang dia melihat daratan dengan pohon-pohon yang menggelantung dan menjulurkan dahan-dahan dan daun-daunnya ke air.

Timbul semangatnya. Dia harus menyelamatkan diri ke daratan, dia harus berusaha mencari perahu besar itu, mencari isterinya. Kalau dibiarkan terlalu lama dia di air, dia tidak akan kuat dan tentu akan tenggelam.

Teringat akan isterinya, semangat untuk mencari dan berusaha menyelamatkan isterinya, memberi kekuatan baru kepada Cin Hay dan diapun berenang ke tepi. Biarpun tepi tidak jauh lagi, namun dia merasa tenaganya habis dan akhirnya, terengah-engah dia dapat menjangkau dahan pohon itu, menarik tubuhnya ke tepi dan berhasil merangkak naik ke darat. Akan tetapi, napasnya terengah-engah, dadanya nyeri, pandang matanya berkunang dan diapun tidak ingat apa-apa lagi, menggeletak pingsan, terlentang di atas tanah dengan kedua kakinya masih di dalam air.

Dia tertidur atau pingsan sampai pagi. Sinar matahari telah mengusir embun dan halimun di permukaan air telaga ketika sayup-sayup Cin Hay mendengar suara isterinya memanggil-manggil namanya. Anehnya, suara isterinya itu amat merdu, dan memanggil-manggilnya seperti orang bernyanyi, dengan suara naik turun, tinggi rendah.

Cin Hay mendengar dengan jelas, akan tetapi merasa tubuhnya sedemikian lemahnya sehingga tidak mampu bangkit. Jangankan bangkit, menggerakkan kaki atau tangan saja dia tidak kuat, tenaganya habis. Dia lalu mengumpulkan sisa tenaganya, membuka mulutnya dan memanggil, sekali ini berhasil. Terdengar teriakan dari mulutnya, walaupun lemah namun cukup lantang.

“Sian-moi......!” Dan dia terkulai lagi.

Yang disangkanya suara isterinya memanggil-manggil tadi tiba-tiba berhenti. Itu bukanlah suara isterinya memanggil, melainkan suara suling yang ditiup orang. Peniupnya seorang kakek tua renta yang rambut, kumis dan jenggot panjangnya sudah putih semua. Agaknya teriakan Cin Hay terdengar olehnya dan kakek itu yang tadi berjalan perlahan sambil meniup suling, menghentikan tiupan sulingnya dan menghampiri tepi danau.

Ketika dia melihat tubuh Cin Hay yang menggeletak seperti tak bernyawa lagi itu, dia menyelipkan sulingnya di ikat pinggang, lalu berjongkok, mulutnya berkata lirih, “Ya Tuhan, apakah yang telah terjadi denganmu, orang muda?” Dengan lembut dan cepat, kakek itu memeriksa keadaan tubuh Cin Hay, pemuda yang pakaiannya robek-robek, tubuhnya luka-luka dan ada dua batang pisau menancap di betis kaki kiri dan di bahu kanan. Wajah Cin Hay pucat seperti mayat, pernapasannya lemah dan tinggal satu-satu, megap-megap seperti ikan sekarat di daratan.

Setelah memeriksa nadi pemuda itu beberapa lamanya, kakek tadi mengangguk-angguk. “Bagus, hanya kehabisan darah, tidak ada luka di dalam......” katanya dan dia menurunkan ciu-ouw (tempat arak) yang terbuat dari kulit waluh yang dikeringkan, juga mengeluarkan bungkusan kain terisi pel-pel merah. Diambilnya tiga butir pel merah, lalu dia membantu Cin Hay menelan pel-pel itu, dimasukkan ke mulut pemuda itu dan didorong oleh arak yang memancar keluar dari tempat arak dengan kuat ketika tempat arak itu dipencetnya. Tiga butir pel itu tertelan.

Kemudian, dengan hati-hati kakek itu mencabut dua batang pisau, diperiksanya sebentar pisau-pisau itu lalu dilemparkannya ke dalam telaga, lalu diobatinya luka-luka di tubuh Cin Hay dengan semacam obat bubuk putih. Yang terakhir, dia menempelkan telapak tangan kirinya di dada Cin Hay dan dari telapak tangan itupun mengalir keluar hawa yang panas dan yang membuat seluruh tubuh Cin Hay tergetar hebat.

Tak lama kemudian terdengar Cin Hay smengeluh dan dia membuka kedua matanya. Kakek itu kembali mengangguk-angguk dan tersenyum, lalu berkata, “Bagus, engkau memang memiliki tubuh yang kuat. Engkau telah terhindar dari maut, orang muda.”

Cin Hay segera sadar dan dapat menduga bahwa kakek ini tentulah orang yang menolongnya. Dia teringat akan isterinya dan memandang ke kanan kiri. Melihat ini, kakek itu membantu Cin Hay bangkit duduk dan bertanya lembut, “Siapa yang kaucari, orang muda?”

“Isteri saya...... ah, isteri saya dilarikan orang......” Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, “Locianpwe, tolonglah saya, selamatkan isteri saya......”

“Isterimu dilarikan orang? Di mana? Oleh siapa?” kakek itu bertanya.

Sikapnya tenang sekali sehingga Cin Hay yang merasa khawatir akan nasib isterinya, menjadi tidak sabar dan mencoba bangkit berdiri. Akan tetapi dia terhuyung dan tentu roboh kalau tidak cepat dirangkul kakek itu. Cin Hay merasa betapa rangkulan lembut itu mengandung tenaga yang amat kuat.

“Mereka...... orang-orang jahat di perahu besar...... mereka melarikan isteriku....... ohhhh......”

“Tunggu, kuambil perahu itu,” kata kakek itu ketika melihat sebuah perahu kecil mengapung tak jauh dari tepi, hanya dalam jarak belasan meter saja. Dia membantu Cin Hay duduk kembali, lalu meninggalkan pemuda itu.

Cin Hay memandang dengan heran ketika melihat kakek itu mematahkan dua batang dahan pohon, kemudian melepaskan dua batang dahan itu ke atas air dan kakek itupun melompat ke atas dua batang dahan yang besarnya hanya sebetis kaki. Kemudian, kakek itu menggerak-gerakkan kedua lengannya seperti burung yang hendak terbang dan tubuhnya meluncur ke depan, ke arah perahu! Cin Hay bengong. Bagaimana mungkin orang dapat menggunakan dua batang dahan untuk mengambang di atas air dan bahkan meluncur secepat itu?

Kakek yang bertubuh tinggi kurus itu kini sudah memegang perahu, dibalikkannya perahu itu dan diapun meloncat ke dalam perahu, lalu menggunakan sebatang di antara dua dahan itu untuk mendayung perahu ke tepi. Dia meloncat ke darat menarik perahu ke darat pula, kemudian dengan mudah sekali dia memondong tubuh Cin Hay dan membawanya ke perahu, mendudukkan tubuh pemuda itu di dalam perahu. Dan diapun mendorong kembali perahu ke air dan didayungnya ke tengah.

Cin Hay merasa seperti dalam mimpi. Perahu itu meluncur dengan kecepatan yang tak masuk akal rasanya! Perahu itu berkeliling ke seluruh permukaan telaga, dan akhirnya kakek itu meluncurkan perahunya ke arah perahu besar yang berlabuh di pusat pelesiran Telaga See-ouw, di mana terdapat rumah-rumah makan dan pedusunan.

Ketika kakek itu mendaratkan perahunya dan menuntun Cin Hay turun, ternyata perahu besar itu telah kosong. Tubuh Cin Hay telah mulai agak kuat dan ternyata pcngobatan yang diberikan kakek itu sungguh mujarab sekali. Cin Hay melakukan penyelidikan, bertanya-tanya tentang para penghuni perahu besar.

Seorang nelayan tua tergopoh menghampirinya. “Orang muda, siapakah yang kaucari?”

“Para penghuni perahu besar itu. Ke mana mereka?” tanya Cin Hay, sedangkan kakek tua penolongnya hanya berdiri memandang.

“Maksudmu, Koan Wan-gwe dan anak buahnya? Mereka telah pergi, pagi tadi, pagi sekali mereka telah pergi.”

“Dan...... wanita muda itu......?”” tanya Cin Hay, hatinya penuh kegelisahan.

“Huh, perempuan-perempuan panggilan itu? Merekapun sudah pergi semua......!”

“Bukan, bukan mereka maksudku. Wanita muda...... yang menjadi tawanan mereka!”

“Wanita...... wanita muda......? Pakaian...... pakaian kuning?” nelayan tua itu menegaskan, mukanya berubah dan suaranya agak gemetar.

“Benar! Benar ia! Di manakah ia, paman? Apakah mereka itu membawanya pergi?”

Dengan mata terbelalak nelayan tua itu menjawab, suaranya lirih dan gemetar. “Wanita muda berpakaian kuning itu......, bukankah ada tahi lalat kecil di dagunya......?”

“Benar! Benar ia, isteriku!”

“Isterimu orang muda? Ya Tuhan......! Isterimu......?”

Cin Hay tidak sabar lagi. Dia memegang lengan nelayan tua itu dan biarpun dia baru saja sembuh, namun tenaganya memang besar sehingga ketika dia memegang dengan pengerahan tenaga, nelayan itu menyeringai kesakitan dan mengaduh. Cin Hay baru menyadari, make cepat dia mengendurkan pegangannya.

“Maaf, paman, akan tetapi cepat katakanlah, apa yang telah terjadi dengan Ci Sian, isteriku, wanita muda berbaju kuning itu? Di mana ia?”

Dengan tangan gemetar, nelayan tua itu menunjuk ke arah bukit kecil, tak jauh dari situ.

“Ia...... ia di sana......”

Cin Hay menoleh ke arah bukit itu, terbelalak.

“Paman, tunjukkanlah di mana ia berada......” Dan tersaruk-saruk diapun mengikuti nelayan tua itu mendaki bukit kecil. Di belakangnya, bagaikan bayangan saja, kakek penolongnya mengikuti. Cin Hay agaknya sudah melupakan kakek itu, saking tegangnya ingin bertemu dengan isterinya yang menurut nelayan tua itu berada di bukit.

Akan tetapi, nelayan tua itu berhenti di lereng bukit kecil, berhenti di depan sebuah gundukan tanah yang masih baru, dan suaranya seperti berbisik ketika dia berkata sambil menunjuk ke arah gundukan tanah itu,

“Ia...... ia berada di sini, terkubur di sini......”

Wajah yang sudah pucat itu kini semakin pucat seperti mayat, matanya terbelalak, kedua lengannya terpentang dan mulutnya mengeluarkan jerit menyayat hati, “Sian moi......!!!” dan tubuh Cin Hay terkulai dan diapun terjatuh ke dalam rangkulan kakek yang berdiri di belakangnya dalam keadaan pingsan.

Ketika dia siuman kembali, Cin Hay segera teringat dan diapun bangkit duduk. Sebuah tangan dengan lembut menyentuh pundaknya dan suara kakek yang lembut itu berkata, “Orang muda, bersikaplah tenang. Seorang laki-laki bagaimanapun juga tidak boleh terseret oleh duka dan memperlihatkan kelemahan. Tenang dan tegaklah menghadapi kenyataan hidup!”

Cin Hay merasa seolah-olah kepalanya disiram air dingin. Teringat dia akan gemblengan batin yang pernah diterimanya di kuil Siauw-lim, maka diapun menahan perasaannya, memandang ke arah gundukan tanah, lalu menoleh kepada nelayan tua yang masih duduk berjongkok dekat kuburan baru itu.

Kata-kata lembut kakek tua renta itu menyadarkannya dan kini dia dapat menenteramkan hatinya. “Paman,” katanya kepada nelayan tua itu, “yang terkubur di sini adalah isteriku. Tolonglah paman ceritakan, apa yang telah terjadi pagi tadi di sini.”

Nelayan itu memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh rasa iba, lalu dia menarik napas panjang dan bercerita, “Pagi tadi, baru saja terang tanah, perahu besar itu minggir. Pemiliknya, Koan Wan-gwe, tergesa-gesa turun bersama para gadis panggilan dan penyanyi itu, naik dua kereta yang sudah menunggu di sini dan mereka lalu pergi. Tak lama kemudian, muncul See-ouw Sam-houw, tiga orang jagoan yang kami takuti itu. Mereka adalah kaki tangan Koan Wan-gwe, akan tetapi dahulu pernah menjadi jagoan di telaga ini. Mereka lalu memerintahkan kami, yaitu aku sendiri dan tiga orang kawan nelayan untuk membantu mereka. Kami disuruh mengangkat jenazah seorang wanita muda yang cantik, berpakaian kuning. Karena aku mengangkat bagian kaki, aku melihat tahi lalat ke¬cil di dagunya itu......”

“Sudahlah, paman, ia isteriku. Akan tetapi tahukah paman mengapa ia...... ia mati......? Adakah luka-luka ......?”

Nelayan itu menggeleng kepala. “Aku tidak tahu, tidak nampak luka-luka, akan tetapi pakaiannya bagian bawah penuh darah......”

“Ahhh......!” Cin Hay menutupi kedua mukanya, seolah-olah dia tidak ingin melihat pemandangan yang membayang di depan matanya. Isterinya sedang hamil tiga bulan, dan banyak darah itu hanya punya satu arti, yaitu isterinya keguguran!

Sebuah tangan menepuk pundaknya dan Cin Hay kembali dapat mengusai hatinya dan dia mengangkat muka memandang nelayan itu dengan wajah pucat.

“Lalu bagaimana, paman? Teruskanlah ceritamu,” katanya lirih.

“Tiga orang jagoan itu memaksa kami untuk menggotong jenazah itu ke tempat ini, menyuruh kami menggali lubang dan mengubur jenazah itu setelah kami dipaksa untuk mencari sebuah peti mati sederhana. Semua kami terpaksa melakukannya karena kami takut kepada mereka. Setelah penguburan selesai, mereka pergi begitu saja tanpa ucapan terima kasih kepada kami.”

Suara itu bernada marah dan jelaslah bahwa dengan menceritakan semua ini, nelayan tua itu melampiaskan dendam dan kemarahannya kepada See-ouw Sam-houw.

Cin Hay merasa berterima kasih sekali kepada nelayan tua itu dan tiga orang temannya. Dia mengeluarkan semua sisa uang yang disimpannya dalam saku bajunya, menyerahkannya kepada nelayan tua itu sambil berkata, “Paman, tolong belikan bahan sembahyang sederhana, dan sisa uangnya harap paman bagikan dengan tiga orang teman paman yang telah membantu pemakaman jenazan isteriku.”

Nelayan miskin itu tentu saja menjadi girang sekali. Jumlah uang itu, setelah dibelikan alat sembahyang, masih bersisa amat banyak bagi dia dan kawan-kawannya. Maka sambil berterima kasih dan membungkuk-bungkuk, dia cepat pergi untuk mencari dan membeli bahan sembahyang seperti hio, hidangan sederhana, dan lain-lain keperluan sembahyang.

Setelah nelayan itu pergi, Cin Hay berlutut di depan makam isterinya dan tenggelam dalam samadhi, tidak teringat lagi kepada kakek tua renta yang masih duduk dengan tenang tak jauh dari situ, di atas sebuah batu datar sambil mengamati pemuda yang baru tertimpa malapetaka itu.

Ketika nelayan tua itu datang membawa bahan sembahyangan yang sederhana. Cin Hay segera bersembahyang di depan makam isterinya, dan terdengar bisikannya yang penuh duka, “Ampunkan aku, isteriku. Aku suamimu yang tidak berharga telah gagal melindungimu dari tangan para penjahat terkutuk itu.....”

Setelah selesai bersembahyang, Cin Hay bersila di depan makam, memandang ke arah asap hio yang mengepul ke atas dan tenggelam dalam lamunan.

Nelayan tua itu telah pergi, namun kakek tua renta masih duduk bersila di atas batu tadi.

“Orang muda, apakah yang akan kaulakukan sekarang?”

Suara yang lembut itu memecah kesunyian dan seolah-olah mempunyai kekuatan gaib yang menarik semangat Cin Hay kembali ke alam kenyataan yang pahit ini. Cin Hay bangkit berdiri, lalu menghampiri kakek itu dan menjatuhkan diri berlutut. Baru teringat dia bahwa kakek ini yang telah menyelamatkannya, juga telah membawanya ke sini sehingga dia berhasil menemukan isterinya, walaupun hanya tinggal makamnya.

“Locianpwe, saya menghaturkan terima kasih atas segala pertolongan locianpwe kepada saya yang malang ini. Apakah yang dapat saya lakukan sekarang, locianpwe? Saya telah kehilangan segalanya. Satu-satunya keinginan hati saya hanyalah mencari penjahat-penjahat yang menganiaya dan membunuh isteri saya, mengadu nyawa dengan mereka!”

“Hemm, orang muda. Apakah engkau merasa bahwa kepandaianmu sudah cukup untuk menentang mereka?”

Mendengar ini, Cin Hay menarik napas panjang. “Saya tidak akan mampu mengalahkan mereka, locianpwe, dan saya tentu akan mati di tangan mereka pula. Akan tetapi, itulah yang saya kehendaki, agar saya dapat mati dan menyusul isteri saya......”

“Kalau begitu berarti engkau hanya ingin membunuh diri, dan bunuh diri adalah suatu pekerjaan terkutuk dan pengecut.”

Cin Hay terkejut, mengangkat muka memandang dan makin kagetlah dia melihat betapa sepasang mata kakek itu mengeluarkan sinar mencorong yang menakutkan.

“Maaf, locianpwe, bukan niat saya untuk bunuh diri, akan tetapi apa lagi yang dapat saya lakukan untuk membalas dendam kematian isteri saya?“

“Tahu akan kelemahan diri namun nekat menempuh maut merupakan bunuh diri yang konyol, bodoh dan sama sekali bukan sikap seorang gagah. Orang muda, para korban kejahatan seperti isterimu dan orang-orang lain, mengharapkan orang-orang gagah untuk menentang kejahatan di dunia ini, bukan orang-orang lemah yang nekat saja. Dan bukanlah orang gagah dia yang hatinya diracuni dendam. Ada dua hal yang harus kaulakukan kalau engkau ingin menjadi orang gagah, yaitu pertama memperdalam ilmu silatmu, dan kedua melenyapkan dendam dari hatimu. Kalau engkau sanggup, aku suka sekali untuk membimbingmu, orang muda.”

Mendengar ini, sadarlah Cin Hay bahwa kakek yang sakti ini berkenan mengambilnya sebagai murid. Melihat betapa hidupnya kosong dan dia akan merana tanpa isterinya, Cin Hay melihat kemungkinan hidup baru sebagai murid orang sakti ini. Maka dia lalu menjatuhkan diri memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah.

“Teecu berterima kasih sekali dan bersumpah untuk menjadi seorang murid yang baik. Akan tetapi untuk melenyapkan dendam, teecu masih harus banyak belajar dan menerima petunjuk suhu.”

Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya yang putih panjang lalu mengangguk. Engkau jujur, dan memang tidak mudah untuk membebaskan diri dari nafsu sendiri. Engkau masih harus belajar banyak sekali, muridku. Akan tetapi kiranya sudah sepatutnya kalau engkau memperkenalkan namamu kepadaku.”

Cin Hay lalu menceritakan riwayatnya secara singkat. Dia bernama Tan Cin Hay, sudah yatim karena ayah meninggal dunia ketika ada wabah mengamuk di dusun mereka. Ayahnya seorang guru dusun yang miskin sederhana, meninggal beberapa tahun yang lalu. Cin Hay hidup sebatang kara dan dia pernah belajar selama lima tahun di kuil Siauw-lim-si.

Baru setengah tahun dia menikah dengan Gu Ci Sian, puteri seorang lurah dusun. Kemarin, dia bersama isterinya berpesiar ke telaga itu untuk memenuhi keinginan hati isterinya yang sudah lama ingin melihat dan pesiar di Telaga See-ouw yang terkenal indah, dan ternyata terjadi malapetaka yang membuat isterinya tewas dan selamanya terkubur di dekat telaga itu, di sebuah lereng bukit dari mana kuburan itu dapat melihat keindahan telaga setiap hari!

Mendengar cerita Cin Hay, kakek itu mengangguk-angguk. “Engkau memang agaknya ditakdirkan untuk menjadi muridku, Cin Hay. Engkau berbakat, bertulang baik dan memiliki semangat pendekar, mudah menguasai dan merobah diri, sudah yatim pula dan dengan kematian isterimu maka engkau menjadi bebas tanpa ada ikatan apapun. Ketahuilah, aku disebut Pek I Lojin (Kakek Baju Putih) karena aku selalu mengenakan baju putih. Siapa nama aseliku, aku sendiri sudah lupa. Akan tetapi, apa artinya nama? Setelah engkau menjadi muridku, marilah engkau ikut bersamaku, ke tempat tinggal sementara yang kupilih. Lihat di puncak bukit itu, puncak Bukit Bambu Sisik Naga.”

Cin Hay memberi hormat dan ikut berdiri ketika gurunya bangkit berdiri. “Maaf, suhu. Bukankah sepatutnya kalau teccu berkunjung kepada mertua teecu untuk memberi kabar tentang kematian isteri teecu?”

Pek I Lojin mengangguk-angguk, “Memang sepatutnya demikian. Akan tetapi, marilah ikut ke pondokku lebih dulu, baru dari sana engkau pergi berkunjung dan memberi kabar kepada keluarga mertuamu.”

Setelah beberapa kali menoleh, memandang ke makam isterinya, akhirnya Cin Hay melangkah dengan lebar mengejar Pek I Lojin yang sudah berjalan pergi tanpa menengok-nengok lagi. Guru dan murid ini tanpa banyak cakap pergi mendaki bukit yang cukup tinggi dan penuh dengan hutan bambu itu.

Pek I Lojin tinggal di puncak bukit itu, di tengah hutan bambu yang bentuknya aneh. Bambu yang disebut Bambu Sisik Naga ini bentuknya seperti badan ular, ruasnya pendek-pendek dan bentuknya seperti sisik ikan dengan warna hijau kekuningan. Di tengah hutan bambu itu Pek I Lojin mendirikan sebuah pondok bambu yang sederhana, namun tempat itu bersih dan pemandangannya pun indah sekali, hawanya sejuk menyenangkan dan tak jauh dari hutan bambu itu terdapat ladang yang subur di mana kakek tua renta ini menanam sayur-sayuran dan padi-padian yang hasilnya cukup untuk dimakan sekeluarga.

Setelah tiba di pondok gurunya, Cin Hay diperkenankan turun bukit untuk memberi kabar kepada mertuanya tentang malapetaka yang menimpa isterinya.

Ketika dia tiba di rumah mertuanya. tiba-tiba dia merasa kasihan sekali kepada keluarga isterinya itu dan Cin Hay mendapat pikiran untuk tidak bercerita terus terang mengenai kematian isterinya. Ayah dan ibu mertuanya menyambutnya dengan heran mengapa mantu mereka datang sendirian saja dan wajahnya nampak pucat dan lesu.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka ketika Cin Hay menceritakan bahwa isterinya telah meninggal dunia karena korban pembajakan di Telaga See-ouw! Ibu mertuanya langsung pingsan mendengar ini sehingga sekeluarga itu menjadi repot dan dilanda kedukaan.

Setelah ibu mertuanya sadar, barulah Cin Hay disuruh menceritakan apa yang telah terjadi. Cin Hay bercerita bahwa ketika dia dan isterinya sedang berpesiar di telaga, tiba-tiba saja mereka diserang oleh bajak telaga itu. Dia melakukan perlawanan dan dipukul sampai terjatuh ke air dan dia terbawa hanyut dalam keadaan pingsan.

“Untung saya dapat diselamatkan oleh seorang tua yang sakti, akan tetapi Ci Sian......”dia menarik napas panjang. “Isteri saya terkasih itu tewas karena perahu terbalik. Karena kami berpisah, dan jenazah isteri saya ditemukan oleh para nelayan, maka mereka lalu mengubur jenazah isteri saya di sebuah bukit dekat telaga. Baru pada keesokan paginya saya mendapat keterangan tentang ini dan saya telah bersembahyang di kuburan Ci Sian......”

Hujan tangis terjadi di rumah keluarga lurah dusun itu. “Siapakah bajak-bajak itu? Kita harus bertindak! Akan kukerahkan semua penjaga dan pemuda dusun ini!”

Cin Hay sudah menduga bahwa ayah mertuanya yang menjadi kepala dusun tentu marah dan hendak menuntut balas. Dia tahu bahwa para penjaga keamanan dusun dan para pemuda bukanlah lawan orang-orang yang berilmu tinggi seperti See-ouw Sam-houw, apa lagi kemungkinan besar Koan Wan-gwe masih mempunyai lebih banyak lagi kaki tangan yang pandai. Kalau mertuanya melakukan hal itu, tentu akan jatuh lebih banyak korban di pihak keluarga mertuanya. Pula, kedudukan ayah mertuanya pun dapat terancam kalau bermusuhan deagan seorang hartawan berpengaruh seperti Koan Wan-gwe. Maka, dia memang sudah siap untuk berbohong demi keselamatan mertuanya.

“Saya tidak mengenal mereka, dan begitu mereka membalikkan perahu kami, mereka lalu pergi dengan perahu-perahu mereka.”

Cin Hay lalu mendapat tugas untuk mengantar ayah dan ibu mertuanya mengunjungi kuburan isterinya, di mana kedua orang tua itu menangisi kematian puteri mereka. Kemudian, setelah mereka kembali ke dusun, Cin Hay berpamit kepada ayah dan ibu mertuanya untuk memperdalam ilmu silatnya.

“Saya harus belajar sampai pandai agar kelak saya dapat membasmi atau menantang penjahat-penjahat seperti mereka yang telah menyebabkan kematian isteri saya.”

Ayah dan ibu mertuanya tentu saja tidak dapat bersikap lain kecuali menyetujui dan memberi ijin. Maka pergilah Cin Hay ke rumahnya sendiri di dusun lain, berpamit kepada ibunya, kemudian diapun membawa pakaian pergi ke bukit Bambu Sisik Naga untuk mulai berguru kepada Pek I Lojin.

Y

Kita tinggalkan dulu Cin Hay yang mulai berlatih silat dengan penuh semangat, untuk mengikuti peristiwa lain yang melibatkan diri seorang gadis yang kelak akan menjadi tokoh utama pula dalam kisah ini.

Waktu itu yang menjadi kaisar adalah Tang Kao Cung (650-683) dari Dinasti Tang (618-¬907). Kota Lok-yang merupakan kota besar kedua setelah Tiang-an yang menjadi ibu kota atau kota rajanya. Akan tetapi karena kota Lok-yang merupakan kota besar kedua, di sini tinggal pula banyak bangsawan, pangeran dan keluarga mereka, juga bangsawan tinggi yang menjadi pejabat-pejabat penting.

Lie Kim Cu adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan manis. Dalam usia enambelas tahun, ia bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar semerbak mengharum. Nampaknya ia lemah lembut, dengan wajah cantik manis dan tubuh lemah gemulai, namun sesungguhnya, sejak kecil ia suka akan ilmu silat. Ketika masih kecil, diam-diam ia memaksa kepala pengawal ayahnya untuk mengajarkan ilmu silat kepadanya.

Ketika ayahnya mengetahui, melihat bakat puterinya, ayah ini lalu mengundang seorang ahli silat wanita untuk memberi pelajaran kepada Lie Kim Cu. Maka, setelah berusia enambelas tahun, gadis yang nampak cantik jelita dan lemah lembut, pandai membuat sajak dan membuat lukisan atau tulisan halus, pandai bermain yang-kim dan meniup suling, pandai menyulam, sebetulnya juga memiliki kepandaian silat yang lumayan. Dua orang laki-laki biasa saja jangan harap akan mampu menangkapnya, dan seorang laki-laki bertubuh kuat yang memiliki ilmu silat pasaran saja akan mudah dapat ia robohkan!

Ayah Lie Kim Cu seorang pejabat menengah. Sebagai seorang pejabat menengah di dalam jaman yang penuh dengan pejabat korup itu, keadaan keluarga Lie-taijin cukup kaya raya. Penghasilan sampingan karena kekuasaannya jauh berlipat kali lebih besar dari pada gajinya. Dan Lie-taijin seorang pejabat yang cakap sehingga menyenangkan hati Pangeran Coan Siu Ong, yaitu bangsawan tinggi yang menjadi atasannya.

Lie-taijin hanya mempunyai seorang anak, yaitu Lie Kim Cu. Dari beberapa orang selirnyapun dia tidak memperoleh keturunan sehingga tidaklah mengherankan bila Kim Cu disayang oleh seluruh keluarga sebagai anak tunggal, biarpun wanita. Karena dimanja, maka sampai usia enambelas tahun, ia belum juga bertunangan walaupun pinangan sudah datang amat banyaknya, karena gadis itu selalu menolak dan orang tuanya tidak mau memaksanya.

Kecantikan Kim Cu terkenal di Lok-yang dan banyak sekali pemuda tergila-gila padanya walaupun banyak di antara mereka belum sempat melihat sendiri gadis itu, hanya mendengar kecantikannya dipuji-puji setinggi langit oleh mereka yang pernah melihat Kim Cu.

Akan tetapi, keadaan hidup manusia tidaklah abadi, ada pasang surutnya seperti air lautan, ada terang gelapnya seperti cuaca. Demikian pula dengan keadaan keluarga Lie-taijin. Semenjak setahun yang lalu, pejabat yang cakap ini terjerat kesenangan yang amat berbahaya dan merusak, yaitu berjudi!

Judi adalah satu di antara kemaksiatan yang paling berbahaya di antara segala kemaksiatan yang lain. Di dalam perjudian, banyak sifat buruk bermunculan dan bermaharajajela. Kemurkaan, keinginan memperoleh uang sebanyaknya dengan cara yang paling mudah meracuni hati, membuat orang mencandu dan lupa diri, sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya telah dicengkeram iblis yang amat jahat, bahkan sampai habis-habisan pun belum sadar. Kesadaran datang setelah terlambat, dan biasanya, kalau keadaan sudah mending, kesenangan itu akan menggerogoti hatinya lagi dan menyeretnya kepada kebiasaan perjudian lagi.

Dalam perjudian hati kita dipermainkan oleh harapan-harapan yang amat merangsang, digoda oleh kemenangan-kemenangan sementara yang amat memuaskan hati. Kalau kita kalah, timbul harapan besar untuk meraih kembali uang kita yang hilang akibat kekalahan kita. Kalau kita menang, timbul harapan besar untuk meraih kemenangan yang lebih besar lagi. Dengan demikian, kalah menang sama saja akibatnya, menyeret kita lebih dalam lagi terperosok ke dalam lumpur perjudian.

Dalam perjudian kitapun menjadi sadis dan kejam sekali. Dengan hati enak dan senang kita mentertawakan seorang kawan yang ludes dan kalah! Kalau kita kalah, kita terhibur oleh kekalahan seorang sahabat yang lebih banyak lagi. Kalau kita menang, kita merasa iri karena kemenangan teman lebih besar dari pada kemenangan kita. Iri, dengki, tamak, kejam, semua ini bermunculan di dalam perjudian.

Lebih jahat lagi, perjudian membuat pikiran menjadi gelap, lupa segala, dan siap mengorbankan segala yang kita sayangi demi berlangsungnya kesenangan yang disebut perjudian itu. Tercatat di dalam sejarah ataupun dongeng, betapa sejak jaman dahulu sekali manusia telah dipermainkan kesenangan judi ini. Ada raja kehilangan mahkotanya karena dipertaruhkan dalam perjudian. Suami kehilangan isterinya atau bapak kehilangan puterinya yang dipertaruhkan dalam perjudian!

Apa lagi perjudian tingkat tinggi seperti yang dimasuki Lie-taijin. Karena yang berjudi adalah para bangsawan dan hartawan, maka tempatnyapun mewah, serba menyenangkan, dengan hidangan yang lezat, arak yang harum, musik dan nyanyi oleh gadis-gadis cantik, dan dilayani oleh gadis-gadis panggilan kelas tinggi. Suasananya serba mewah, nikmat, dan menyenangkan!

Lie-taijin yang belum berpengalaman itu menjadi korban ular-ular perjudian yang bermain curang. Dia habis-habisan dan karena haus akan uang untuk modal judi, mulailah dia memakai uang pemerintah, mencuri, melakukan kecurangan dan korupsi! Perhiasan para isterinya satu demi satu dimintanya, bahkan perhiasan yang menempel di tubuh Kim Cu juga dikorbankan dalam perjudian. Ini semua masih belum memuaskan iblis perjudian yang melahap kesemuanya tanpa mengenal cukup.

Lie-taijin masih terlibat hutang ke sana-sini. Aneh memang, dalam perjudian, orang mudah sekali mendapatkan hutang, seolah-olah semua teman seperjudian siap untuk memberi pinjaman. Sebaliknya, untuk modal bekerja, jauh lebih sulit untuk memperoleh hutang!

Seperti telah kita ketahui, Kim Cu adalah seorang gadis yang mulai dewasa dengan kecantikan yang mengguncangkan banyak hati pria di kota Lok-yang. Hal inipun akhirnya terdengar oleh Pangeran Coan Siu Ong, atasan Lie-taijin. Pangeran Coan Siu Ong yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam itu sudah berusia limapuluh tahun, akan tetapi dia terkenal sebagai seorang laki-laki bangsawan yang gila perempuan.

Dengan kekayaannya, juga dengan kebangsawanannya dan kedudukannya, banyak sudah wanita cantik terjatuh ke dalam pelukannya, dengan suka rela maupun dengan paksa. Ketika mendengar akan kecantikan Kim Cu, pangeran ini mencari jalan untuk membuktikannya dengan mata sendiri. Sebagai atasan Lie-taijin, tentu saja mudah baginya untuk dapat melihat Kim Cu dan sekali melihat gadis itu, diapun menahan air liurnya dan tergila-gila! Akan tetapi, tentu saja dia tidak dapat berbuat sembarangan saja terhadap puteri bawahannya ini. Dia hanya menahan rindu di dalam hatinya dan beberapa malam sekali tentu bermimpi tentang gadis jelita itu yang berhasil didekapnya.

Kemudian, para penyelidiknya menyampaikan tentang keadaan Lie-taijin kepada Pangeran Coan Siu Ong. Betapa Lie-taijin kini menjadi seorang penjudi kelas berat, betapa pejabat itu habis-habisan, berkorupsi dan mempunyai banyak sekali hutang!

Mendengar ini, Pangeran Coan Siu Ong hampir saja menari kegirangan? Terbukalah jalan yang amat lebar baginya untuk mendapatkan bunga yang sudah lama dirindukannya itu. Dia lalu mengutus kaki tangannya untuk menghubungi para ular judi dan dengan imbalan yang cukup, Pangeran Coan Sin Ong memerintahkan mereka untuk memeras habis-habisan Lie-taijin sehingga semakin dalam pejabat itu akan terperosok ke dalam lumpur!

Pada suatu hari, Pangeran Coan Siu Ong pergi mengunjungi Lie-taijin yang menyambutnya dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan rasa gelisah. Sudah terlalu banyak dia menggunakan uang negara, dan terlalu banyak hutangnya di luar. Dia takut kalau-kalau atasannya ini mengetahuinya atau mengadakan pemeriksaan. Namun, hatinya menjadi lega ketika Pangeran Coan Siu Ong yang berpura-pura tidak tahu akan keadaannya, bahkan menitipkan sekantung uang emas kepadanya.

“Emas seratus tail ini milikku pribadi untuk keperluanku pribadi. Karena aku hendak pergi ke kota raja selama beberapa hari, maka kutitipkan kepadamu. Sepulangku dari kota raja, akan kuambil kembali.” Demikian kata Pangeran Coan Siu Ong dan penitipan uang emas seratus tail itu disaksikan oleh dua orang pengawal pangeran itu, dan oleh seorang pembantu Lie-taijin. Lie-taijin menerima kantung itu, menghitung isinya dan berjanji akan menyimpannya dengan hati-hati.

Setelah Pangeran Coan Siu Ong pergi, maka para ular judi lalu berdatangan membujuk Lie-taijin untuk berjudi. Mula-mula, Lie-taijin tidak berani mengusik emas titipan itu, akan tetapi setan judi yang sudah menghuni kepalanya tiada hentinya berbisik-bisik dan akhirnya karena oleh setan judi itu digambarkan kemenangan besar.

Lie-taijin tidak dapat menahan keinginan hatinya. Karena sudah kehabisan modal, dia lalu mengambil beberapa tail emas untuk modal berjudi. Tentu saja dia kalah. Karena khawatir akan hilangnya beberapa tail yang ludes di meja judi, Lie-taijin ingin menarik kembali kekalahannya dengan melanjutkan perjudian, dengan modal baru yang diambilnya dari kantung terisi emas itu. Kalah lagi dan demikian selanjutnya sehingga seminggu kemudian, kantung itu telah kosong!

Dan tepat setelah kantung kosong, muncullah Pangeran Coan Siu Ong yang tentu saja sudah tahu belaka akan semua yang terjadi menimpa diri Lie-taijin!

Lie-taijin menyambut kedatangan Pangeran Coan Siu Ong dengan muka pucat dan tubuh gemetar. Ketika pangeran itu mengatakan bahwa kedatangannya untuk mengambil emas yang dititipkannya, Lie-taijin segera menjatuhkan berlutut dengan tubuh gemetar. Dia mengaku terus terang bahwa emas titipan itu telah habis dan dikalahkan di medan perjudian, dan dia berjanji dengan sumpah akan mengembalikan uang emas itu.

Pangeran Coan Siu Ong bangkit dari tempat duduknya dan menggebrak meja. “Ah, jadi yang selama ini kudengar sebagai desas desus ternyata benar? Bahwa engkau telah menjadi seorang penjudi sehingga hartamu ludes, bahkan engkau korupsi, menggunakan uang pemerintah dan berhutang di sana-sini? Sungguh celaka! Aku harus mengadakan pemeriksaan sekarang juga di kantormu!”

Dengan muka semakin pucat, terpaksa Lie-taijin mengantar atasannya dan beberapa orang pejabat pemeriksa pembukuan dan keuangan untuk mengadakan perhitungan dan pemeriksaan di kantornya. Tidak sukar bagi para pemeriksa itu untuk menemukan bahwa Lie-taijin memang benar telah korupsi, menggunakan uang negara dalam jumlah yang banyak sekali! Dan Pangeran Coan Siu Ong dengan marah lalu memerintahkan petugas untuk menangkap Lie-taijin dan memasukkan ke dalam tahanan!

Tentu saja keluarga Lie-taijin menjadi geger. Para isterinya menangis. Lie Kim Cu membanting-banting kakinya.

“Sungguh celaka, mengapa ayah menjadi terperosok sedalam ini?” kata Lie Kim Cu sambil memukul-mukulkan tangan kanan terkepal ke atas telapak tangan kirinya sendiri dan beberapa kali membanting kaki kanan saking jengkelnya. “Sudah berkali-kali kuperingatkan ayah, akan tetapi dia malah marah-marah. Sungguh heran sekali, mengapa watak ayah menjadi berubah seperti itu setelah dia gemar berjudi?”

Mereka tak dapat berbuat sesuatu kecuali menangis dan mengeluh. Sementara itu, Pangeran Coan Siu Ong lalu menyuruh seorang kepercayaannya untuk mengunjungi Lie-taijin di dalam kamar tahanannya. Utusan ini adalah seorang laki-laki yang biasa menjadi comblang (perantara perjodohan) dan pandai sekali berbicara dan membujuk.

Setelah mengeluarkan basa-basi seperti merasa iba, ikut prihatin dan sebagainya, comblang itu lalu berkata dengan lirih, “Lie-taijin, keadaan ini sukar untuk dapat ditolong lagi. Taijin akan dijatuhi hukuman berat, semua rumah dan isinya akan disita untuk mengembalikan uang negara dan membayar hutang. Keluarga Taijin akan terpaksa keluar dan tidak membawa barang apapun, dan akan terlantar......”

“Ahhh......!” Lie-taijin menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dari sela-sela jari tangannya menitik air matanya. “Semua karena perbuatanku, semua karena kesalahanku......”

“Lie-taijin, penyesalan saja saya kira tidak ada gunanya. Yang penting haruslah mencari jalan bagaimana baiknya agar keluarga Taijin jangan sampai terlantar, dan kalau mungkin, agar nama baik Taijin pulih kembali dan Taijin dapat menduduki jabatan lama......”

LIE-TAIJIN menurunkan kedua tangannya dan sepasang matanya yang merah memandang wajah comblang itu dengan terbelalak tak percaya.

“Bagaimana...... bagaimana mungkin......?”

Comblang itu tersenyum tenang, “Taijin, saya kira, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan keluarga dan nama baik Taijin adalah kalau Taijin dapat menjadi keluarga Pangeran Coan Siu Ong!”

Sepasang mata merah itu makin terbelalak. “Apa maksudmu?”

“Apakah Taijin lupa bahwa Taijin memiliki seorang puteri yang cantik jelita dan terkenal sebagai kembangnya kota Lok-yang?” Comblang itu memainkan matanya yang sipit. “Bukan rahasia lagi bahwa setiap orang pria, tanpa kecuali, ingin memetik kembang yang tumbuh subur di dalam taman keluarga Taijin itu.”

“Hemm, itukah maksudmu? Berbesan dengan Pangeran Coan? Akan tetapi...... aku tidak melihat adanya seorang putera Pangeran Coan yang sudah dewasa untuk dapat berjodoh dengan puteriku.”

“Aih, Taijin salah sangka. Bukan berjodoh dengan putera beliau......”

“Habis dengan siapa?”

“Dengan Pangeran Coan Siu Ong......”

Melihat Lie-taijin membuat gerakan memprotes, comblang itu cepat mengangkat tangannya ke atas dan berkata. “Sabarlah. Sesungguhnya, Pangeran Coan juga termasuk seorang di antara para pria yang tergila-gila kepada puteri Taijin. Bahkan, beliau sendiri yang mengutus saya untuk menyampaikan pinangannya kepada Taijin, untuk minta persetujuan Taijin agar puteri Taijin itu menjadi...... seorang isterinya.”

“Selirnya, maksudmu?” kata Lie-taijin dengan suara mengandung kemarahan.

“Selirnya atau isterinya sama saja, Taijin. Harap Taijin ingat baik-baik dan dapat membuat perbandingan. Menjadi selir Pangeran Coan merupakan suatu penghormatan besar dan bahkan akan mengangkat derajat Taijin! Kalau puteri Taijin menjadi isteri Pangeran Coan, tentu Taijin akan tertolong, tidak jadi dituntut, bahkan tidak kehilangan kedudukan dan nama baik, dan soal keuangan, tentu Pangeran Coan akan membereskan karena beliau tentu akan merasa malu kalau ayah mertuanya terlibat hutang! Bandingkan keadaan itu dengan keadaan kalau Taijin menolak! Taijin akan dituntut, menjadi orang hukuman, semua harta disita dan keluarga Taijin akan terlantar dan terhina!”

Lie-taijin tak dapat berkata-kata lagi. Alangkah mudahnya membuat perbandingan seperti itu! Agaknya memang tidak ada jalan lain! Bagaimana kalau Kim Cu tidak mau? Gadisnya itu pasti menolak untuk dijadikan selir Pangeran Coan, sedangkan pinangan-pinangan para muda yang tampan dan bangsawan saja ditolaknya mentah-mentah. Akan tetapi ia harus mau kali ini! Demi seluruh keluarga!

Melihat betapa Lie-taijin termenung, comblang yang cerdik itu berkata. “Lie-taijin, untuk membuktikan iktikad baik dari Pangeran Coan Siu Ong, sekarang juga Taijin dapat keluar dari dalam tahanan ini. Saya sudah membawa surat perintah pembebasan Taijin untuk diberikan kepada para penjaga tempat tahanan ini.” Dia mengeluarkan surat perintah itu. “Dan kereta sudah saya persiapkan di luar. Taijin dapat segera pulang untuk membicarakan pinangan itu dengan keluarga Taijin. Besok pagi-pagi saya datang berkunjung ke rumah Taijin untuk minta keputusan.”

Kini Lie-taijin benar-benar mati kutu dan tidak dapat mengeluarkan sepatahpun kata. Dia menurut saja dan pulang dengan kereta yang sudah disediakan di luar tempat tahanan. Tentu saja pulangnya disambut gembira oleh para isterinya dan juga Kim Cu. Juga para pelayan menyambut dengan gembira.

Lie-taijin lalu mengumpulkan isteri-isterinya dan juga Kim Cu ke dalam kamarnya. Semua pelayan dilarang untuk berada di dekat kamar itu. Setelah mereka semua berkumpul, Lie-taijin lalu berkata, suaranya berat dan terpaksa sekali.

“Yang dapat menolong kita hanyalah Pangeran Coan Siu Ong seorang. Dia yang membebaskan aku, bahkan mengembalikan kedudukanku dan akan melunasi semua hutangku, dan hal ini dia lakukan kalau pinangannya diterima.”

“Pinangan.......?” Serentak beberapa suara bertanya, di antaranya suara Kim Cu.

Lie-taijin menghela napas panjang. Tak perlu berpanjang kata, pikirnya, dan dia mengangguk. “Pinangan atas diri Kim Cu untuk menjadi...... seorang isterinya.”

“Selirnya? Tidak! Aku tidak sudi......!!”

Kim Cu berteriak marah, matanya terbelalak dan kedua tangannya dikepal.

Lie-taijin menundukkan mukanya, sedih sekali rasa hatinya. “Terserah kepadamu, Kim Cu. Kalau engkau menolak, ayahmu ini akan dihukum, mungkin dibuang selamanya, seluruh harta milik kita disita dan kalian semua akan diharuskan pergi dari sini tanpa membawa apapun. Ibu-ibumu dan engkau akan terlantar. Kim Cu, keselamatan seluruh keluarga berada di tanganmu, akan tetapi...... aku takkan memaksa, tergantung kepadamu seorang, anakku.”

Mendengar ini, ibu kandung Kim Cu menangis tersedu-sedu sambil merangkul anaknya, dan para selir menjatuhkan diri berlutut di depan kursi yang diduduki Kim Cu. Bagaikan burung-burung berkicau mereka itu menangis dan memohon belas kasihan Kim Cu agar suka menerima pinangan itu demi menyelamatkan semua anggauta keluarga dari malapetaka yang amat mengerikan itu.

Kim Cu merasa terpukul batinnya dan iapun terhenyak duduk seperti patung. Tentu saja ia kurang memperdulikan ratap tangis para ibu tirinya dan melihat ibunya sendiri masih merangkulnya sambil menangis tersedu-sedu, ia lalu balas merangkul dan bertanya, “Ibu, bagaimana pendapatmu, ibu? Haruskah anakmu ini menyerahkan diri kepada pangeran tua itu untuk menjadi selir yang entah ke berapa belas kalinya? Hanya engkau yang boleh menentukan nasibku, ibu, dan aku akan menurut apa yang ibu putuskan.”

Ibu kandungnya menangis sesenggukan dan sampai lama tidak dapat menjawab. Tangisnya berbaur dengan ratap tangis para madunya yang semua tentu saja mengharapkan Kim Cu menerima pinangan itu.

Akhirnya, setelah dapat meredakan tangisnya, ibu kandung Kim Cu berkata, “Anakku, ibu mana yang senang hatinya melihat anak perempuannya menjadi selir? Akan tetapi, anakku, adakah pilihan lain? Seperti juga kata ayahmu tadi, kami tidak dapat memaksamu, akan tetapi engkau tentu dapat melihat, bahwa apabila engkau menolak, ayahmu dihukum selama hidup, dan kita akan terlantar! Apabila engkau menerima, berarti engkau berkorban, engkau mengorbankan dirimu, akan tetapi belum tentu kalau engkau akan sengsara, anakku. Menjadi selir seorang pangeran yang tinggi kedudukannya seperti Pangeran Coan, akan membuat engkau hidup mulia, kecukupan dan terhormat.”

“Kalau begitu, ibu menganjurkan aku untuk menerima pinangan itu?”

“Sudah kukatakan tadi, ibu tidak memaksamu, anakku. Akan tetapi, demi nama baik ayahmu dan seluruh keluarga, demi keselamatan ayahmu dan keselamatan kita semua, kurasa tidak ada lain jalan yang dapat kauambil kecuali menerima pinangan itu. Engkau berkorban, akan tetapi engkau menjadi anak berbakti, engkau penyelamat seluruh keluarga kita, anakku, dan aku...... aku bangga dengan itu......”

Semua ibu tirinya kini berkali-kali memberi hormat sambil berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Kim Cu dan ibunya. Kim Cu mengerutkan alisnya. Ia tidak menangis akan tetapi sepasang matanya basah ketika ia berkata kepada ayahnya.

“Baik, ayah. Aku menerima pinangan itu!”

“Anakku......!” Dan Lie-taijin jatuh pingsan di atas kursinya.

Ketegangan dan kegelisahan yang melanda hatinya, kini secara tiba-tiba dibebaskan oleh jawaban Kim Cu dan diapun tidak kuat menahan guncangan ini sehingga pingsan. Kini semua isterinya sibuk menolongnya, memijat-mijat, menggosok-gosok, memanggil-manggil, sedangkan Kim Cu duduk saja bengong seperti patung di atas kursinya!

Y

Dengan pakaian pengantin, Lie Kim Cu diboyong ke istana Pangeran Coan Siu Ong. Berita tentang dipersuntingnya Lie Kim Cu, kembang kota Lok-yang oleh Pangeran Coan Siu Ong, menggemparkan kota itu dan membuat hati banyak pemuda menjadi patah!

Akhirnya, kembang yang membuat banyak pemuda tergila-gila itu hanya menjadi selir seorang pangeran tua! Tentu saja banyak pemuda merasa kecewa sekali, akan tetapi siapakah yang telah demikian gila untuk berani memperlihatkan kekecewaan ini, siapa yang berani mencela dan menentang Pangeran Coan Siu Ong, seorang di antara mereka yang memiliki kekuasaan besar sebagai keluarga kaisar dan juga sebagai pejabat-pejabat tinggi?

Kim Cu tidak menangis ketika diboyong ke istana itu, dinaikkan sebuah kereta yang indah dan mewah, ditarik oleh empat ekor kuda besar. Akan tetapi wajahnya pucat dan sepasang matanya sayu. Tak pernah ia menjawab pertanyaan atau kata-kata hiburan wanita yang diutus menjemputnya, seorang wanita setengah tua yang pandai bicara dan yang di sepanjang perjalanan memuji-muji kebaikan hati dan kekayaan Pangeran Coan, juga menceritakan tentang keadaan keluarga pangeran itu agar Kim Cu mengenal lingkungan.

Ketika tiba saat yang dinanti-nanti dengan penuh ketegangan hati Kim Cu, setelah tadi ia meninggalkan orang tuanya yang menangisinya tanpa ditanggapinya, gadis itu mengangkat pandang matanya dan sekilas pandang ia melihat pangeran yang menyambutnya dengan tersenyum simpul. Begitu melihat pangeran ini, seketika timbul kebencian di dalam lubuk hatinya. Seorang laki-laki yang usianya limapuluh tahunan, bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam sehingga muka itu nampak kasar dan kotor walaupun tubuhnya mengenakan pakaian serba indah dari sutera-sutera halus.

Bagaikan boneka hidup, Kim Cu meniru saja apa yang dicontohkan wanita penjemputnya itu, ia menurut saja ketika disuruh berlutut memberi hormat kepada Pangeran Coan Siu Ong yang akan menjadi suaminya, juga memberi hormat kepada isteri dan para selir yang lebih tua. Kemudian, sambil tersenyum gembira di bawah godaan para selirnya, Pangeran Coan Siu Ong menggandeng tangan Kim Cu dan diajaknya memasuki sebuah kamar yang sudah dihias indah dan berbau harum, kamar pengantin!

Jantung Kim Cu berdebar penuh ketegangan, kemarahan yang ditahan-tahan dan juga kedukaan. Ketika pangeran itu mengunci daun pintu dari dalam, kemudian dengan tenang menanggalkan pakaian luarnya sambil tersenyum memandang kepada Kim Cu. Gadis ini merasa tubuhnya panas dingin. Ia berdiri dan mundur ke sudut, memandang dengan mata terbelalak, ngeri dan jijik melihat betapa baju pria itu terbuka, nampak dadanya yang lebar, hitam dan ada sedikit rambut di tengah-tengah dada.

Melihat gadis itu berdiri di sudut, pangeran itu tertawa, lalu menghampiri meja di mana telah tersedia arak dan hidangan yang masih mengepul hangat, lalu dia minum secawan arak merah dan menggapai ke arah Kim Cu.

“Heh-heh, manisku, sayangku, mari ke sinilah, jangan malu-malu. Mari kita makan minum dulu agar engkau tidak malu-malu lagi. Mulai saat ini, aku adalah suamimu dan kewajibanmu melayani aku dan menyenangkan hatiku. Aih, betapa cantik jelita engkau, Lie Kim Cu. Sudah lama aku tergila-gila kepadamu, kesinilah, sayang......”

Sama sekali Kim Cu tidak merasa takut kepada pria itu, hanya ia merasa ngeri dan jijik, membayangkan apa yang akan dialaminya di dalam kamar itu. Karena ia sudah mengambil keputusan untuk mengorbankan diri demi keselamatan orang tua dan keluarganya, maka iapun menekan perasaannya dan melangkah maju, lalu duduk di atas kursi di seberang meja, tidak mau duduk di kursi yang berdampingan dengan pangeran itu. Melihat ini, Pangeran Coan Siu Ong tersenyum saja, menganggap bahwa pengantinnya yang masih amat muda itu tentu masih malu-malu dan hal ini akan lebih menyenangkan dan memuaskan hatinya kalau nanti akhirnya pengantinnya itu menyerahkan diri kepadanya.

Ia menuangkan arak secawan dan menyuguhkannya kepada Kim Cu. Gadis ini bukan seorang peminum apalagi pemabok, namun ia bukan asing dengan minuman arak, maka sambil membisikkan terima kasih, ia menerima cawan itu dan minum araknya sedikit demi sedikit. Ketika sang pangeran menawarkan makan, ia menggeleng kepala, mengatakan bahwa ia tidak lapar. Pangeran itu masih tetap tersenyum dan melahap daging dan sayur yang tersedia di situ.

Setelah selesai, dia bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pelayan wanita dari pintu samping yang tertutup tirai sutera biru. Dua orang wanita itu tersenyum-senyum akan tetapi tanpa banyak cakap segera membersihkan meja dan menyingkirkan semua sisa makanan, hanya meninggalkan guci arak dan dua cawan di atas meja yang kini sudah bersih. Tak lama kemudian, “sepasang mempelai” itu ditinggal berdua saja lagi.

“Nah, sekarang kita bersenang-senang!” kata sang pangeran sambil bangkit berdiri dan menghampiri Kim Cu, “Mari kubantu engkau membuka pakaianmu, manisku.” Tangannya sudah menjangkau, akan tetapi tiba-tiba Kim Cu meloncat ke belakang dan menggeleng kepala keras-keras! Ia tidak dapat menahan rasa jijiknya.

Pangeran itu tertawa dan menghampiri sambil mengembangkan kedua lengannya.

“Manis, tidak perlu malu-malu lagi. Di sini tidak ada orang lain kecuali kita berdua. Nah, mari berilah aku beberapa ciuman yang manis dan hangat.” Dia melangkah maju dan merangkul hendak mencium, akan tetapi Kim Cu mengelak dengan cepat sehingga pangeran itu hanya merangkul angin saja.

“Ehh! Engkau mau main-main dulu, ha-ha-ha! Baiklah, aku menjadi kucingnya dan engkau tikusnya, tikus kecil putih yang manja dan nakal!”

Kini sambil tertawa-tawa pangeran itu mengejar dan mencoba untuk menangkap dan merangkul, dengan perkiraan bahwa akhirnya pengantin itu akan menyerah dan pengelakan ini hanya main-main atau malu-malu saja. Akan tetapi, Kim Cu selalu mengelak dengan cepat dan kemahirannya dalam ilmu silat memudahkannya untuk mengelak dan meloncat ke sana-sini. Akhirnya, pangeran itu mulai berkeringat dan alisnya mulai berkerut.

“Cukuplah main-main ini! Mari, mari sini, biarkan aku memelukmu, menciummu dan memondongmu ke pembaringan, sayang!” Dia mengembangkan kedua lengannya dan menggapai. Akan tetapi Kim Cu yang sudah berdiri di sudut lagi, juga mengerutkan alisnya. Ia mulai marah melihat betapa pangeran itu hendak memaksanya, dan ia kini menggeleng kepala dengan keras.

“Hmm, jangan membuat aku kehabisan kesabaran, sayang. Mari, kesinilah!”

Ketika Kim Cu tetap menggeleng kepala, pangeran itu lalu berlari ke depan dan menubruk, bukan main-main lagi melainkan bersungguh-sungguh, mengembangkan kedua lengan yang panjang dan besar itu dari kanan kiri merangkul seperti seekor biruang menubruk mangsanya! Karena ia berada di sudut kamar, dan di sebelah kirinya terdapat pembaringan, sedangkan sebelah kanan sudah dihadang oleh lengan kiri pangeran itu, Kim Cu lalu menerobos di bawah lengan sambil menggunakan tumit kakinya menendang ke arah lutut kaki Pangeran Coan Siu Ong.

“Aduhh......!” Ditendang lututnya, kaki itu kehilangan tenaga dan pangeran itu jatuh berlutut, dahinya terbentur dinding karena tubrukannya luput. Dia marah sekali, bangkit berdiri sambil mengerutkan alis, dan kini memandang kepada Kim Cu dengan marah.

“Gila! Berani engkau menendangku? Hayo, ke sinilah, atau aku harus mempergunakan kekerasan?”

Kim Cu kini juga sudah marah sekali. Ia sudah lupa akan keputusan hatinya untuk mengorbankan diri demi keselamatan orang tua dan keluarganya.

“Tidak, aku tidak sudi!” katanya, dan ia menentang pandang mata pangeran itu dengan berani.

Hampir saja pangeran itu tidak percaya apa yang didengarnya. “Lie Kim Cu, engkau sudah diserahkan kepadaku, sudah menjadi isteriku. Mengapa sikapmu seperti ini? Ke sinilah, sekali lagi, kalau tidak, terpaksa akan kupergunakan kekerasan!”

Pangeran itu dengan langkah lebar menghampiri, dan kini dengan kasar tangannya menjangkau untuk menangkap dan mencengkeram. Kim Cu juga sudah marah. Ia memang memiliki keberanian dan kekerasan hati, dan sekarang, lupa akan segala, ia sudah memutuskan untuk melawan mati-matian dan tidak akan menyerahkan diri begitu saja kepada laki-laki yang dibencinya ini.

Entah mengapa, melihat wajah Pangeran Coan Siu Ong yang walaupun berkulit hitam termasuk pria berwajah tampan dan gagah, ia merasa benci sekali. Ketika Kim Cu melihat tangan yang besar hitam itu mencengkeram, iapun mengangkat tangan kiri menangkis, kembali kakinya bergerak menendang dan tubuh tinggi besar itupun kini terpelanting!

Pangeran Coan Siu Ong berteriak-teriak memanggil pengawal pribadinya.

Dari pintu samping yang tersembunyi itu, muncullah dua orang laki-laki setengah tua yang pakaiannya ringkas. Mereka berloncatan ke dalam dan terheran-heran melihat betapa majikan mereka sedang merangkak bangun dan dahinya benjol, dan pengantin wanita berdiri dengan muka merah dan pandang mata marah.

Pangeran Coan Siu Ong bangkit berdiri, menuding ke arah Kim Cu dan memerintah kepada dua orang pengawalnya. “Tangkap perempuan binal ini! Tangkap dan belenggu kaki tangannya!”

Dua orang pengawal pribadi itu sejenak merasa heran dan terkejut, akan tetapi sebagai dua orang yang banyak pengalamannya, mereka segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya pengantin wanita ini tidak mau menyerah bahkan melawan dan kalau sang pangeran yang tinggi besar dan bertenaga kuat itu sampai minta bantuan mereka dan tadi bahkan nampaknya dihajar jatuh, berarti bahwa pengantin wanita ini bukan orang sembarangan!

Mereka berdua mengangguk, lalu menghampiri Kim Cu dari kanan kiri. Gadis ini sudah siap siaga dan melihat mereka datang dengan wajah mengancam, iapun sudah memasang kuda-kuda, siap untuk melakukan perlawanan mati-matian!

“Nona, menyerahlah, tidak ada gunanya melawan perintah Sang Pangeran!” kata seorang di antara dua pengawal itu yang bertubuh pendek gendut. Akan tetapi, orang kedua yang tinggi kurus sudah bergerak ke depan, tangan kanannya menyambar untuk menangkap pundak Kim Cu.

Kim Cu menangkis dengan memutar lengan kirinya ke atas, kakinya menyambar dengan tendangan yang cepat ke arah perut lawan yang hendak menangkap pundaknya itu. Akan tetapi, orang itu dapat menangkis tendangan dan pada saat itu, si pendek gendut sudah menerjang maju untuk menangkap lengan Kim Cu. Gadis ini menarik lengannya dan iapun nekat melakukan perlawanan, memukul dan menendang dengan sengitnya.

Kalau saja dua orang lawannya itu hanya laki-laki biasa, atau yang memiliki ilmu silat pasaran saja, tentu tidak akan mampu mengatasinya. Akan tetapi, dua orang itu adalah pengawal pribadi seorang pangeran yang tinggi kedudukannya. Tentu saja mereka berdua adalah jagoan-jagoan pilihan yang memiliki kepandaian tinggi dan juga gaji yang banyak. Tingkat ilmu silat mereka jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Kim Cu, maka selama belasan jurus saja, mereka telah berhasil menotok roboh gadis itu sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.

“Bagus, ikat ia di pembaringan!”

Kemudian terjadilah malapetaka itu! Setelah dua orang pengawal pribadinya disuruh pergi, pangeran itu melampiaskan semua kemarahan dan kedongkolan hatinya kepada Kim Cu. Dengan buasnya dia mencabik-cabik pakaian Kim Cu, kemudian dia memperkosa gadis itu dengan kasar, berulang kali sampai Kim Cu tidak merasakan apa-apa lagi karena jatuh pingsan!

Nafsu apa saja, kalau sudah menguasai batin manusia, membuat manusia itu menjadi seperti gila, menjadi buas melebihi binatang yang paling buas dan menjadi kejam, jahat dan kehilangan prikemanusiaan. Gairah berahi merupakan satu di antara nafsu yang ada pada kita sejak kita lahir, dan merupakan suatu kebutuhan yang amat mutlak dan penting. Nafsu berahi yang mendorong manusia untuk dapat berkembang biak, dan berahi merupakan kembangnya cinta kasih antara pria dan wanita.

Pernyataan kasih sayang, permainan cinta antara pria dan wanita, hubungan kelamin, merupakan sesuatu yang indah dan suci, kalau dilakukan oleh dua orang yang saling mencinta, dengan penuh kepasrahan, kerelaan dan sukacita. Akan tetapi, kalau dilakukan dengan kekerasan, dengan paksaan dan perkosaan, maka menjadilah suatu perbuatan yang terkutuk, keji dan kotor! Kita harus menjadi tuan dari nafsu-nafsu kita, bukan menjadi budak! Kita harus menguasai nafsu, bukan dikuasai.

Nafsu ibarat kuda penarik kereta. Tanpa kuda, kereta tidak akan bergerak maju. Akan tetapi, membiarkan kuda menguasai keadaan, amatlah berbahaya mungkin sekali kereta akan dibawa terjun ke dalam jurang dan hancurlah semuanya! Kuda penarik kereta haruslah ditundukkan sehingga dapat menarik kereta ke arah yang benar, karena itu haruslah selalu dikendalikan. Dan kendalinya adalah kewaspadaan dan kesadaran. Mawas diri agar tidak menjadi lengah.

Ketika siuman kembali, Kim Cu merasa betapa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Panas, pedih dan lelah, kepalanya pening dan seluruh tubuhnya seperti remuk rasanya. Ia merintih lirih dan membuka mata, dan teringatlah semuanya itu!

Ia masih terlentang di atas pembaringan, kaki tangannya masih terikat, kuat sekali. Mendengar suara dengkur di sebelahnya, ia melirik dan melihat kepala Pangeran Coan Siu Ong di dekatnya. Pangeran itu tidur mendengkur, kelelahan. Ingin Kim Cu menjerit, menangis, namun ditahannya. Dikeraskan hatinya.

Pikirannya bekerja, ia tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya. Ia telah diperkosa oleh pria di sebelahnya ini. Terkutuk! Dan ia tahu bahwa kalau ia tetap berkeras, ia akan terus diperlakukan seperti ini. Diperkosa, dihina, diperlakukan seperti binatang! Ia mengatur pernapasannya, seperti yang pernah dipelajarinya dari mereka yang melatihnya ilmu silat. Pernapasan yang panjang dapat menenangkan batinnya yang porak poranda. Ia menjadi tenang, ia menjadi diam, penuh perhitungan, mengatur akal untuk membalas!

Ia harus menanti sampai tengah malam, barulah pangeran itu terbangun. Begitu terbangun, pangeran itu batuk-batuk, lalu bangkit duduk, memandang kepada Kim Cu yang nampak tidur memejamkan mata, terkekeh puas, lalu meraih cawan arak, diminumnya arak yang masih setengah lebih. Lalu ia duduk, memandangi Kim Cu, dari atas ke bawah dan agaknya nafsunya bangkit kembali.

“Heh-heh, apakah engkau masih hendak melawan, manis? Engkau sungguh manis dan cantik, sayang sekali engkau liar dan binal. Hemm, mulutmu begini manis, bibirmu begini merah dan hangat lembut, hemmm......” Pangeran itu menundukkan mukanya dan menciumi mulut Kim Cu. Dia terkejut sekali ketika merasa betapa mulut itu terbuka hangat dan membalas ciumannya dengan penuh kemesraan!

Pangeran Coan Siu Ong mengangkat mukanya memandang dan melihat betapa Kim Cu sudah membuka matanya yang jeli, dan mulut yang manis itu tersenyum kepadanya! Tentu saja sang pangeran girang bukan main.

“Aih, sayang, engkau...... engkau tidak melawan lagi sekarang?”

Dengan sikap malu-malu dan kerling tajam disertai senyum simpul manis, Kim Cu berkata lirih manja, “Setelah kini menjadi isterimu, perlu apa aku melawan lagi? Tadi sih aku takut, malu......”

“Ah, manisku! Sayangku! Aku cinta padamu......!” Pangeran itu lalu memeluk menciumi muka Kim Cu yang mandah saja.

“Akan tetapi, kaki dan tanganku rasanya seperti akan patah tulangnya, seluruh tubuhku sakit-sakit. Bagaimana aku dapat enak melayanimu kalau diikat seperti ini, Ong-ya?”

Pangeran Coan Siu Ong tersenyum. “Kasihan engkau! Salahmu sendiri, tadi engkau begitu buas. Kalau seperti sekarang, ahhh...... tentu lebih menyenangkan. Akupun tidak ingin menggunakan kekerasan, aku sayang padamu, Kim Cu......” Dan pangeran itu lalu mengambil sebatang pedang kecil, lalu memotong tali-tali pengikat pada kaki tangan gadis itu.

Kim Cu menahan rasa nyeri ketika darahnya jalan kembali. Bekas ikatan pada pergelangan kaki dan tangan itu terasa nyeri dan berdenyut-denyut. Ia menggosok-gosok keempat pergelangan kaki tangannya, dan sang pangeran ikut pula menggosok-gosok dengan minyak panas, menciumi seluruh tubuh yang mulus itu. Kim Cu mandah saja, bahkan sekali-sekali balas mencium dan merangkul, membuat sang pangeran semakin bergairah.

Akan tetapi, ketika pangeran itu hendak merangkulnya dan merebahkannya, tiba-tiba tangan Kim Cu menampar.

“Plakkk!” Muka pangeran itu kena ditampar, demikian kerasnya sehingga tubuh yang tinggi besar berkulit hitam itu terpelanting ke bawah pembaringan!

Saking kagetnya, pangeran itu sampai tak sempat berteriak, hanya terbelalak memandang kepada Kim Cu, seluruh gairahnya lenyap terganti rasa kaget dan takut melihat betapa wanita cantik jelita bertubuh mulus itu kini meloncat turun, tubuh yang telanjang bulat namun yang kini amat menakutkan.

“Desss......!” Sebuah tendangan kilat menyambar dan mengenai ulu hati Pangeran Coan. Biarpun tendangan itu dilakukan dengan kaki telanjang, namun datangnya cukup keras, membuat tubuh pangeran itu terjengkang dan kepalanya membentur lantai.

“Uakkk......!” Pangeran itu muntahkan darah segar dan kepalanya terasa pening ketika terbanting keras membentur lantai.

“Jahanam busuk! Akan kubunuh kau......, akan kucincang tubuhmu......!” Kim Cu berseru dan kembali kakinya menendang, sekali ini mengarah selangkang pangeran itu. Pangeran itu mencoba untuk menarik tubuhnya, akan tetapi tendangan itu masih menyerempet anggauta badan yang paling berbahaya di selangkangnya.

“Aduuuhhh...... tolongggg...... toloooooggg......!” Pangeran itu menggunakan kedua tangannya mendekap bagian yang tertendang, dan melolong-lolong ketakutan, apa lagi melihat Kim Cu menyambar pedang pendek di atas meja, pedang yang tadi dipergunakan Pangeran Coan Siu Ong untuk memotong putus tali-tali pengikat kaki tangannya. Dengan muka beringas Kim Cu memegang pedang itu, berniat untuk mencincang tubuh orang yang amat dbencinya seperti ancamannya tadi.

Akan tetapi pada saat itu, dua orang pengawal pribadi yang berjaga di luar pintu samping, mendengar suara gaduh disusul teriakan majikan mereka, sudah berloncatan ke dalam kamar. Melihat majikan mereka bergulingan di atas lantai sambil mengaduh-aduh, mulutnya berdarah, kepalanya benjol-benjol, kedua tangan mendekap selangkangan, sedangkan gadis yang tadi diikat di atas pembaringan itu, dengan telanjang bulat kini berdiri memegang pedang dan agaknya hendak menyerang majikan mereka, cepat mereka lalu berloncatan menghadang sambil mencabut golok mereka!

Melihat munculnya dua orang pengawal pribadi ini, Kim Cu menjadi semakin marah. Ia tidak takut, bahkan memaki. “Kalian anjing-anjing penjilat juga harus mampus!”

Dan iapun menyerang dengan pedang pendeknya, menusuk dan membacok kalang kabut. Dua orang pengawal itu menggerakkan golok mereka untuk menangkis dan melindungi diri mereka. Mereka tidak berani menyerang dengan golok mereka untuk melukai apa lagi membunuh Kim Cu tanpa perintah pangeran, maka karena ilmu silat mereka jauh lebih tinggi, dengan mudah akhirnya si tinggi kurus menendang pergelangan tangan Kim Cu sehingga pedang yang dipegangnya terlepas dan terlempar.

Dengan mudah dua orang pengawal itupun lalu merobohkan Kim Cu dan setelah seorang di antara mereka membungkus tubuh telanjang bulat itu dengan selimut. Orang kedua segera mengikat kaki tangannya sehingga gadis itu tidak mampu bergerak lagi.

Mereka berdua lalu menolong Pangeran Coan Siu Ong yang masih mengaduh-aduh, menyumpah-nyumpah dan mendekap selangkangannya. Dadanya juga terasa sakit sekali, juga dua buah giginya rontok akibat tamparan tadi. Dia lalu diangkat ke atas pembaringan dan direbahkan. Pangeran itu mengerang kesakitan, akan tetapi dia masih mampu memperlihatkan kemarahannya kepada Kim Cu.

“Perempuan itu jahat sekali! Ia pura-pura menyerah dan setelah kubebaskan tiba-tiba menyerangku, bahkan nyaris membunuhku! Bawa ia sekarang juga, jual murah saja kepada rumah bordil yang terbesar dan yang mempunyai tukang pukul yang pandai dan kuat. Cepat, bawa ia pergi! Jual ke rumah bordir, tempat paling hina dan kotor bagi seorang perempuan! Itulah hukumannya! Kalau dibunuh begitu saja, terlalu enak baginya!”

Dua orang pengawal itu tidak berani membantah dan malam itu juga, mereka mengangkat Kim Cu yang masih terbelenggu, membawanya dengan kereta menuju ke rumah bordil Bibi Ciok di sudut kota.

Tentu saja Bibi Ciok girang bukan main mendapatkan kembang baru ini, dengan harga murah lagi. Apa lagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis yang dijual kepadanya dengan murah itu bukan lain adalah Lie Kim Cu, kembang kota Lok-yang yang siang tadi diambil selir oleh Pangeran Coan Siu Ong! Wah, tentu ia akan kebanjiran uang!

Tentang peringatan dua pengawal pribadi pangeran itu bahwa Kim Cu pandai silat dan lihai, Bibi Ciok tidak khawatir. Ia mempunyai banyak tukang pukul, ada duabelas orang, yang kesemuanya pandai silat dan tentu dapat membuat gadis itu tidak berdaya.

Kemarahan Pangeran Coan Siu Ong tidak dapat dipadamkan hanya dengan menjual Kim Cu ke rumah pelacuran. Dia merasa ditipu, merasa dirugikan dan malam itu juga dia memerintahkan orang-orangnya untuk menangkap kembali Lie-taijin dan melempar orang ini ke dalam kamar tahanan!

Dan pada keesokan harinya, pengadilan menjatuhkan hukuman buang selama hidup kepada Lie-taijin karena korupsi, menggunakan uang negara, dan karena hutang-hutangnya yang banyak, juga karena dia telah menggelapkan uang emas milik Pangeran Coan Siu Ong yang dititipkan kepadanya! Rumah dan semua isinya disita dan semua isterinya diusir keluar dari rumah itu tanpa membawa apapun kecuali pakaian yang menempel di tubuh mereka! Tidak ada yang boleh membawa keluar sebuahpun perhiasan berharga!

Tentu saja hal ini merupakan pukulan batin yang hebat bagi keluarga Lie, apa lagi ketika Nyonya Lie mendengar bahwa suaminya dihukum buang selama hidup dan puterinya kini dijual ke rumah pelacuran. Ia tidak kuat menahan derita batin ini. Ia jatuh sakit sampai meninggal dunia, diurus secara sederhana sekali oleh para madunya yang kemudian pulang ke tempat asal masing-masing. Hancurlah keluarga Lie, hancur hanya karena akibat perjudian!

Lie-taijin sendiri merasa berduka bukan main. Dia tahu akan nasib yang menimpa keluarganya, bahkan sebelum dia berangkat ke tempat pembuangan, dia mendengar pula akan nasib puterinya yang dijual ke rumah pelacuran. Hal ini membuatnya menjadi nekad dan ketika dia melakukan perjalanan tiba di tepi sebuah jurang yang curam, tiba-tiba saja dia meloncat ke dalam jurang itu dan tentu saja tubuhnya remuk dan diapun tewas seketika!

Yang sudah mati memang sudah tamat riwayatnya dan sudah berakhir pula penderitaannya di dunia. Akan tetapi Kim Cu masih hidup! Gadis yang bernyali besar ini masih harus mengalami penderitaan yang bertubi-tubi dan amat hebatnya ketika ia terjatuh ke tangan rumah pelacuran yang dipimpin Bibi Ciok. Terlepas dari tangan Pangeran Coan Siu Ong terjatuh ke tangan pelacuran, berarti terlepas dari mulut seekor harimau lalu terjatuh ke dalam kepungan segerombolan srigala buas!

Mula-mula ia diperlakukan dengan baik, dimandikan, diberi pakaian yang indah, dirias dan diminyaki rambutnya, kemudian dibujuk untuk menjadi kembang rumah pelesiran itu, untuk dengan suka rela menerima tamu-tamu yang akan membayar mahal untuk dirinya, agar ia suka melayani para tamu dengan ramah tamah dan baik. Akan tetapi, Kim Cu marah-marah ketika mendapat kenyataan bahwa ia berada dirumah pelacuran dan bahwa ia dibujuk untuk menjadi seorang pelacur yang baik! Ia memaki-maki dan mengamuk, memukuli para wanita yang merawat dan membujuknya.

Para tukang pukul datang dan iapun dikeroyok, dirobohkan dan kembali ia mengalami siksaan. Ia diancam bahwa ia akan disuguhkan kepada para pria yang berani membayarnya dalam keadaan terikat, agar ia diperkosa oleh mereka secara bergantian sampai ia mati!

“Anak manis, ingatlah baik-baik!” demikian antara lain Bibi Ciok sendiri datang membujuk ke jendela sel di mana Kim Cu menggeletak kelaparan setelah tiga hari tidak diberi makan atau minum.

“Tidak perlu lagi engkau berlagak dan menjual mahal. Ingat, engkau bukan lagi puteri Lie-taijin, juga engkau bukan lagi selir Pangeran Coan Siu Ong! Engkau seorang budak belian, sudah dijual kepadaku! Aku telah mengeluarkan uang untuk membeli tubuhmu, maka engkaupun harus menjual diri untuk membalas budiku. Engkau seorang pelacur! Kalau engkau berkeras tidak mau tunduk, baik, betapapun aku harus mendapatkan kembali uangku darimu. Engkau akan kujual begitu saja, dalam keadaan telanjang dan dibelenggu kaki tanganmu, kepada siapa yang suka membayar dan memperkosamu sepuas hatinya. Biar dengan harga murah engkau kuserahkan kepada mereka yang akan bergantian memperkosamu sampai engkau mati! Atau, kalau engkau pintar, engkau dapat menurut keinginanku, engkau layani laki-laki terhormat dan kaya raya, dengan suka rela engkau menyenangkan hati mereka. Engkau mendapat perlayanan manis, pakaian indah, bahkan engkau akan memperoleh kesenangan dari para pria yang mengagumimu, dan memperoleh bayaran tinggi! Nah, pilih mana? Mati terhina atau menjadi wanita yang dicinta oleh ribuan pria yang memujamu?”

Kim Cu adalah seorang gadis yang cerdik. Ia maklum bahwa ia terjatuh ke dalam tangan orang yang amat kejam, yang bukan hanya mengancam atau menggertak, melainkan akan membuktikan ancamannya itu. Ngeri juga hatinya membayangkan betapa ia akan diperkosa bergantian, terbayang akan pengalamannya ketika ia diperkosa oleh Pangeran Coan Siu Ong! Ia tentu akan mati, dan kalau ia mati, semua manusia jahat itu tidak akan ada yang menghukumnya.

Tidak, ia tidak boleh mati. Ia harus tetap hidup untuk kelak dapat membalas semua kejahatan itu. Ia harus hidup walaupun ia harus melakukan apa saja. Ia berani berkorban apa saja sekarang, setelah apa yang ia alami di dalam kamar Pangeran Coan Siu Ong! Kalau ia masih hidup, tentu akan terbuka jalan baginya untuk membebaskan dirinya!

“Baiklah, aku menyerah. Aku..... aku tidak ingin diperkosa lagi...... aku ingin hidup.....”

Bibi Ciok tersenyum lega. “Dan engkau akan mau bersolek, melayani para tamu terhormat itu dengan suka rela, dengan senyum dan ramah?”

Kim Cu yang sudah lemah itu mengangguk. “Aku...... akan kulakukan semua itu...... asal aku jangan diperkosa...... jangan diperkosa dan dibiarkan hidup......”

Bibi Ciok tersenyum cerdik. “Lie Kim Cu, jangan dikira bahwa aku bodoh, ya? Kalau kau pura-pura menyerah kemudian memberontak, ada banyak tukang pukulku yang akan merobohkanmu lagi. Dan sekali kau memberontak, engkau takkan kuberi kesempatan lagi, langsung kujual obral biar diperkosa oleh puluhan orang yang suka membelimu dengan murah, sampai kau mampus!”

Kim Cu lalu diberi makan minum, dikeluarkan dari sel, dan tubuhnya yang mulai kurus karena dicambuki, dibuat kelaparan, kini mulai menjadi montok lagi setelah lewat beberapa hari. Setengah bulan kemudian, ia sudah nampak cantik jelita lagi, dengan pakaian indah dan senyum manis selalu menghias wajahnya yang cantik jelita.

Sementara itu, sebelum mengeluarkan “simpanannya”, yaitu kembang baru yang namanya sudah membuat banyak orang laki-laki tergila-gila, Bibi Ciok tentu saja sudah membuat propaganda. Dan memang benar, puluhan orang pria, tua dan muda, membanjiri rumah pelacuran itu. Mereka berebutan mendaftarkan diri sebagai tamu untuk dilayani Kim Cu. Bahkan tarip yang amat mahal yang dipasang oleh Bibi Ciok, mereka berani membayar, bayar di muka lagi!

Hal ini membuat Bibi Ciok kewalahan dan segera tarip dinaikkan, sampai empat kali lipat, namun tetap saja kaum pria itu berebutan!

Akhirnya, Kim Cu harus menerima tamu pertama, yaitu seorang pemuda bangsawan yang merupakan pembayar paling tinggi dan pendaftaran pertama! Biarpun hatinya merasa tersiksa bahwa ia barus melayani seorang pria yang tidak dicintanya dengan penyerahan dirinya, walaupun pria itu muda dan tampan, namun Kim Cu yang sudah bertekad untuk mencari kebebasan itu melayaninya dengan senyum manis, dengan sikap yang ramah. Bahkan ia berusaha memikat hati pria itu sehingga pria itu tidak meninggalkannya sampai semalam suntuk!

Inilah akal Kim Cu agar ia tidak usah melayani lebih dari seorang pria setiap malam! Setiap kali menerima tamu, Kim Cu berhasil menempel tamu itu sehingga tamu itu tidak mau meninggalkannya sebelum keesokan harinya.

Demikianlah, sampai hampir satu bulan Kim Cu menjadi pelacur. Setiap malam harus melayani sedikitnya seorang tamu dan memang jarang ada tamu yang tidak mau memenuhi permintaannya untuk tinggal di kamarnya semalam penuh. Ia merasa muak, jijik dan benci sekali. Akan tetapi semua itu ditelannya dengan senyum, dan Kim Cu sekarang jauh berbeda dengan Kim Cu sebulan yang lalu.

Kini ia telah menjadi seorang wanita yang matang segala-galanya, penuh perhitungan, dan amat cerdik. Sama sekali tidak dipengaruhi oleh perasaan dan kuat sekali menahan derita, diam bukan karena kalah, melainkan mengalah karena dia menyusun perhitungan masak untuk menyerang kembali, bagaikan seekor ular yang melingkar dan diam, nampaknya tak berdaya namun amat berbahaya karena memperhitungkan segalanya dan mengatur tipu muslihat dan merencanakan siasat.

Karena sikapnya yang amat baik sehingga semua tamu memujinya dan para tamu langganannya tidak sayang menghamburkan uang banyak sehingga amat menguntungkan Bibi Ciok, maka Kim Cu kini menjadi kesayangan Bibi Ciok pula. Dipercaya penuh. Mengapa tidak? Kasih sayang orang seperti Bibi Ciok ini selalu berdasarkan untung rugi. Siapa mendatangkan untung baginya, apalagi keuntungan besar seperti yang didatangkan Kim Cu, akan disayangnya, di sanjung dan dipujinya.

Uang yang ia keluarkan untuk membeli Kim Cu dari tangan Pangeran Coan Siu Ong tidak berapa banyak, dan kini, dalam waktu hampir satu bulan saja ia sudah menerima pengembalian yang lebih dari seratus kali banyaknya! Dan ia membayangkan bahwa sumber uang ini masih akan mengalirkan uang selama bertahun-tahun karena, bukankah Kim Cu cantik jelita dan muda belia, juga pandai menjaga diri, semalam hanya melayani seorang tamu, tidak menghamburkan tenaga sehingga tidak akan menjadi cepat tua?

Malam itu Kim Cu menerima tamu yang sudah menjadi langganannya. Putera mantu seorang jaksa tinggi di Lok-yang! Tentu saja putera mantu ini dihormati semua orang. Bayangkan saja Putera mantu jaksa tinggi! Siapa berani menentangnya? Baru nama “jaksa tinggi” itu saja sudah membuat semua orang bergidik dan merasa dirinya kecil. Sekali tuding dengan telunjuknya, dia akan mampu membuat seseorang ditangkap dan dijatuhi hukuman buang atau mati, bersalah atau tidak!

Putera mantu jaksa tinggi ini berusia empatpuluh tahun, sikapnya halus dan sopan seperti biasanya orang terpelajar tinggi dan bangsawan. Dia bukan seorang yang suka melacur, hanya ketika mendengar betapa Kim Cu, kembang kota Lok-yang yang terkenal itu kini menjadi pelacur, dia iseng-iseng mengunjunginya. Dan dialah yang dipilih oleh Kim Cu seperti yang disiasatkannya semenjak ia menyerah kepada Bibi Ciok di dalam sel ketika ia hampir kelaparan itu!

Sudah empat kali Bhok Hin, mantu jaksa itu, datang berkunjung dan setiap kali dilayani Kim Cu, dia semakin terpikat dan semakin jatuh cinta. Hampir seminggu sekali dia datang berkunjung dan setiap kali berkunjung, tentu dia tidak akan meninggalkan Kim Cu dan pembaringannya selama semalam suntuk, bahkan kadang-kadang sampai besok sore baru dia pergi!

Bagaikan seekor laba-laba menjerat mangsanya, Kim Cu mempergunakan segala keahliannya yang diperolehnya selama hampir satu bulan itu, mengeluarkan semua kemanjaan dan kemesraan yang hangat, untuk memikat hati Bhok Hin yang menjadi semakin tergila-gila. Bahkan Bhok Hin membujuk Kim Cu untuk mau menjadi selirnya dan dia bersedia untuk menebusnya dari Bibi Ciok.

Akan tetapi, dengan cerdik Kim Cu masih mengulur waktu, mengatakan bahwa hutangnya kepada Bibi Ciok terlalu besar, bukan hanya hutang uang, melainkan hutang budi sehingga ia belum tega untuk meninggalkannya. Ia minta waktu sebulan lagi dan tentu saja Bhok Hin yang sedang tergila-gila itu berbaik hati untuk menanti dengan sabar.

Malam itu, Kim Cu memperlihatkan kesedihan pada mukanya. Hal ini segera diketahui oleh Bhok Hin. Tergesa-gesa dia bertanya apa yang menyusahkan hati kekasihnya. Dia siap menolong. Uangkah? Atau apa?

“Biarpun saya hidup serba kecukupan di sini, dan menerima budi kecintaan yang berlimpahan dari kongcu, akan tetapi, saya kadang-kadang merasa seperti seekor burung dalam kurungan. Saya sejak kecil mendengar betapa indahnya Lembah Sungai Kuning, dengan taman alamnya yang mempesona, dengan ribuan macam bunga. Ingin sekali saya merasakan betapa nikmatnya naik perahu di tepi sungai itu, dan berjalan-jalan di taman alam di Lembah Huang-ho (Sungai Kuning). Akan tetapi, ahhh...... itu hanya mimpi dan sampai matipun takkan dapat terlaksana......”

Bhok Hin merangkul sambil tertawa. “Ha-ha, apa sukarnya untuk berpesiar ke sana? Besok, kalau engkau menghendaki, aku akan mengajakmu ke sana, naik kereta!”

“Benarkah?” Kim Cu nampak gembira bukan main dan ia segera merangkul dan menciumi kedua pipi itu dengan mesra. “Ah, terima kasih, kongcu! Akan tetapi, jangan...... jangan katakan kepada Bibi Ciok bahwa kita berpesiar ke sana......!”

“Kenapa? Kalau aku yang mengajakmu, apakah dia berani menghalangi?”

“Bukan begitu, kongcu. Tentu saja ia tidak berani, akan tetapi kalau mendengar bahwa kita pergi terlalu jauh, tentu ia akan merasa khawatir dan kelak saya yang akan mendapat marah.”

“Hemm, begitukah? Lalu bagaimana?”

“Sebaiknya kalau kongcu katakan bahwa kongcu mengajak saya jalan-jalan untuk seharian besok, terserah kepada kongcu mau diajak jalan-jalan ke mana.” Kembali Kim Cu merangkul dan menciumi sehingga sambil tertawa dan merangkul kekasihnya itu, Bhok Hin menyetujui.

Malam itu Kim Cu menghadiahi kemesraan yang lebih dari biasanya kepada Bhok Hin sehingga tentu saja orang ini merasa puas dan senang sehingga pagi-pagi sekali dia sudah menemui Bibi Ciok untuk menyampaikan niatnya, yaitu ingin mengajak Kim Cu berjalan-jalan dengan keretanya.

Mendengar ini, Bibi Ciok mengerutkan alisnya. Tentu saja ia tidak setuju mendengar bahwa Kim Cu hendak keluar dari rumahnya, akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani.

“Ke manakah, kongcu?”

“Putar-putar saja, ke taman-taman, mungkin singgah ke rumahku. Sore nanti kami kembali ke sini, harap bibi jangan khawatir.”

“Khawatir tidak. Bhok kongcu, hanya saya perlu memberitahukan kongcu bahwa nona Lie itu pernah memberontak dan kalau sudah begitu, ia bisa berbahaya sekali.”

Mendengar ini, Bhok Hin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, makin hebat ia memberontak di pembaringan, makin hebat pula, bibi! Jangan khawatir, Kim Cu telah menjadi kekasihku, dan iapun cinta padaku. Tidak akan mengherankan kalau pada suatu hari aku akan menebusnya dari tanganmu, berapapun tinggi harganya.”

Bibi Ciok senang sekali mendengar ini. Tentu ia akan minta uang tebusan yang luar biasa tingginya, yang akan dapat membuat ia kaya raya dan uang itu dapat ia pakai untuk modal berusaha. Akan tetapi, wanita yang cerdik tidak mau lengah begitu saja.

Ketika Bhok Hin menggandeng tangan Kim Cu yang sudah berdandan memasuki keretanya, diam-diam Bibi Ciok ini menyuruh lima orang tukang pukulnya yang pilihan dan jagoan, untuk membayangi kereta itu dari jauh, menjaga segala kemungkinan kalau-kalau Kim Cu akan memberontak dan melarikan diri Bagaimanapun juga, ia harus menjaga agar sumber emas berupa gadis cantik itu jangan sampai terlepas dari tangannya!

Lima orang jagoan ini mengikuti dari jauh dengan menunggang kuda, dan mereka mulai khawatir ketika melihat betapa kereta yang ditumpangi Bhok Hin dan Kim Cu bersama seorang kusir itu dilarikan keluar kota sebelah utara. Keluar kota!

Tentu saja lima orang jagoan yang diutus Bibi Ciok menjadi semakin curiga dan mereka terus membayangi dari jauh. Bahkan ketika kereta tiba di Lembah Huang-ho, karena khawatir kehilangan, mereka berlima membayangi dari jarak lebih dekat sehingga mereka dapat terus mengamati kereta.

Girang bukan main rasa hati Kim Cu karena berhasil membujuk Bhok Hin untuk membawanya keluar dari rumah pelacuran milik Bibi Ciok, bahkan membawanya keluar kota yang sunyi, berdua saja, bertiga dengan kusir. Kesempatan yang amat baik dan lebar untuk membebaskan diri, melarikan diri dan orang lelaki tukang pelesir yang lemah seperti Bhok Hin, dan kusirnya yang kerempeng itu tentu tidak akan mampu menghalanginya melarikan diri.

Ia sudah bersiap-siap ketika kereta memasuki daerah lembah yang luas dan banyak hutannya itu. Tentu saja ia berbohong ketika mengatakan kepada Bhok Hin bahwa ia tidak pernah melihat lembah ini. Ia ketika kecil seringkali diajak ayahnya untuk berburu di daerah ini sehingga ia hapal dan mengenal betul daerah ini! Akan tetapi, Kim Cu kini telah menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan, cerdik bukan main dan kecerdikannya ini membuat ia selalu waspada dan hati-hati.

Sebelum ia melaksanakan rencananya melarikan diri, ia pura-pura melongok keluar kereta, melihat ke arah belakang dan terkejutlah ia melihat ada lima orang penunggang kuda membayangi kereta itu! Celaka, pikirnya. Ulah siapakah ini? Apakah diam diam Bhok Hin menyuruh para pengawalnya untuk melindunginya? Kalau benar demikian, lenyaplah harapannya. Ataukah mereka itu utusan Bibi Ciok?

“Ihhh......!” Ia sengaja menjerit kecil dan Bhok Hin cepat memegang lengannya.

“Ada apakah?”

“Bhok-kongcu...... aku takut........ di belakang itu ada lima orang penunggang kuda. Jangan-jangan mereka itu perampok!”

Dan memang ada dugaan ketiga dalam hati Kim Cu, yaitu bahwa lima orang itu mungkin saja perampok yang hendak mengganggu mereka. Dan kalau benar demikian, ia sudah siap melawan untuk membela diri. Kalau ia berhasil mengusir perampok, berarti ia akan memperoleh kepercayaan dan perhatian yang lebih besar dari Bhok Hin.

Mendengar ucapan itu, Bhok Hin melongok keluar dan diapun melihat lima orang itu. Dia lalu bertanya kepada kusirnya yang duduk di depan, di tempat terbuka sehingga mungkin kusirnya lebih tahu akan lima orang itu.

Kusirnya segera menjawab. “Sejak tadi hamba telah melihat mereka, kongcu. Dan melihat betapa seorang di antara mereka yang berkumis itu hamba kenal sehagai jagoan pengawal Bibi Ciok, maka hamba yakin mereka adalah orang-orangnya Bibi Ciok yang sengaja diutus oleh majikan mereka untuk mengawal perjalanan kongcu dan nona.”

Bhok Hin mengangguk-angguk. Hatinya senang mendengar ini karena dia merasa aman dengan adanya pengawalan. Akan tetapi Kim Cu memperlihatkan wajah tak senang, bahkan marah.

“Ini namanya penghinaan bagi kongcu!” katanya setengah berteriak.

“Eh? Apa maksudmu? Mengapa penghinaan?” Bhok Hin bertanya heran.

“Tentu saja! Bibi Ciok sungguh tidak memandang orang! Jelas bahwa ia tidak percaya kepada kongcu, mengira bahwa kongcu tentu akan membawa lari saya, maka karena tidak percaya itulah ia menyuruh lima orang jagoannya untuk selalu membayangi kereta ini. Kalau memang hendak mengawal, kenapa tidak terang-terangan saja?”

Ucapan ini membakar hati Bhok Hin dan dia meneriaki kusir untuk berhenti. Dia menjenguk keluar, memandang ke belakang dan benar saja, begitu kereta berhenti, lima orang penunggang kuda itupun berhenti. Bhok Hin lalu turun dari kereta, memandang ke arah lima orang jagoan itu, lalu memanggil mereka dengan teriakan nyaring sambil melambaikan tangan, menggapai agar mereka datang dekat. Melihat ini, lima orang jagoan itu lalu melarikan kuda mereka menghampiri dan sama sekali mereka tidak mengira bahwa mantu jaksa tinggi itu memanggil mereka untuk marah-marah!

“Heii! Kenapa kalian membayangi dan memata-matai aku? Hayo katakan, mengapa kalian membayangi kereta ini?” bentak Bhok Hin marah.

Lima orang itu saling pandang, meloncat turun dari punggung kuda dan mereka memberi hormat. Si kumis tebal, pemimpin mereka segera berkata dengan suara penuh hormat karena dia mengenal siapa adanya kongcu ini.

“Harap kongcu sudi memaafkan karena kami hanya menerima perintah Bibi Ciok untuk mengawal kereta ini agar selamat di dalam perjalanan.”

“Bohong! Apakah kalian ingin merasakan hukum cambuk sampai kulit punggung kalian terkupas semua? Hayo katakan! Bukankah kalian disuruh Bibi Ciok untuk mengamati kereta ini agar aku tidak melarikan nona Lie Kim Cu?”

“Hamba...... hamba hanya diperintah......”

Lima orang jagoan itu kini saling pandang dengan muka pucat mendengar ancaman hukum cambuk itu. Mereka maklum bahwa ancaman mantu jaksa tinggi bukan hanya gertak kosoog belaka. Melihat betapa siasatnya berhasil, Kim Cu lalu berkata seolah-olah di depan Bhok Hin ia membela lima orang jagoan yang sudah dikenalnya sebagai orang-orang kepercayaan Bibi Ciok dan mereka berlima itu memiliki ilmu silat yang tak mungkin dapat dilawannya.

“Sudahlah, kongcu. Biarkan mereka pulang„ kelak kongcu dapat menegur Bibi Ciok. Mereka ini hanyalah petugas.”

Bhok Hin mengangguk. “Nah, kalian pergilah dan awas, jangan membayangi kami lagi!”

Lima orang itu mengangguk menyanggupi dan Bhok Hin lalu naik lagi ke dalam keretanya. Kereta meluncur perlahan, diikuti pandang mata lima orang jagoan itu.

“Sialan!” dengus seorang di antara mereka. “Bagaimana baiknya sekarang?”

“Bagaimana lagi? Pulang tentu saja!” kata orang kedua.

“Dan kita mendapat marah besar dari Bibi Ciok? Mungkin dipecat?” cela orang ketiga.

“Jangan ribut!” kata si kumis tebal pemimpin mereka. “Aku tetap curiga kepada wanita itu. Ia cerdik dan juga kuat. Kita bukan membayangi Bhok-kongcu, melainkan wanita itu. Kalau-kalau ia melarikan diri. Kalau ia melarikan diri di tempat sunyi ini, siapa yang akan mampu menghalanginya? Siapa tahu ia membujuk Bhok-kongcu membawanya ke sini agar ia dapat melarikan diri.”

“Wah, celaka kalau begitu!”

“Dan Bhok-kongcu melarang kita mengawal, dengan ancaman hukuman cambuk!”

“Jangan bodoh,” kata pula si kumis tebal. ”Kita tinggalkan kuda kita di sini, seorang di antara kita menjaga kuda dan menyembunyikannya dari jalan raya, dan empat dari kita melanjutkan pengamatan dengan jalan kaki dan secara diam-diam.”

Demikianlah, si kumis tebal dan tiga orang temannya melanjutkan tugas mereka membayangi kereta dengan jalan kaki, dan seorang di antara mereka menjaga lima ekor kuda di dalam hutan.

Sementara itu, semenjak meninggalkan lima orang penunggang kuda, beberapa kali Kim Cu menjenguk dan melihat ke belakang, sehingga kelakuannya ini menjadi bahan tertawaan dan godaan Bhok Hin. Kini kereta mereka tiba di hutan cemara yang amat sunyi, sudah termasuk Lembah Huang-ho. Sungai itu tidak berapa jauh lagi dari situ. Tiba-tiba Kim Cu berseru kepada kusir kereta.

“Berhenti dulu! Hentikan kereta!”

Bhok Hin dan kusirnya memandang heran, akan tetapi kusir yang menoleh ke belakang itu segera menghentikan kudanya yang menarik kereta. Kim Cu lalu meloncat keluar dari kereta.

“Bhok-kongcu, aku berhenti di sini. Pergilah engkau dengan keretamu!” kata Kim Cu. Kini suaranya terdengar kaku dingin, lenyap semua kemesraan dan kehangatan dari suaranya.

Tentu saja Bhok Hin terkejut bukan main, juga terheran-heran. Dia juga meloncat keluar dari dalam kereta. Teringat dia akan kata-kata peringatan Bibi Ciok yang mengatakan bahwa Kim Cu pernah berontak! Akan tetapi dia tetap tidak percaya dan mengira bahwa Kim Cu hanya main-main dan menggodanya saja.

“Eh, Kim Cu, nanti kalau engkau hendak berontak, di dalam kamar. Bukan di sini tempatnya......” katanya sambil tertawa

Kim Cu mengerutkan alisnya. Semua kemuakannya selama ia diharuskan melayani pria-pria itu, termasuk Bhok Hin, kini memenuhi dadanya. Ingin rasanya ia membunuh laki-laki yang menyeringai di depannya ini. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan kanannya.

“Plakk......!” Tangan kanannya dengan amat kerasnya menyambar dan menampar pipi Bhok Hin.

“Aduhhh......!” Bhok Hin terhuyung dan tangan kirinya cepat meraba pipi kirinya yang terasa nyeri sekali. Mulutnya berdarah dan tiga buah giginya tanggal, juga pipinya menjadi matang biru!

“Kau...... kau......!”

“Dukkkk!” Kini kaki Kim Cu menyambar, menendang dan mengenai perut yang agak gendut itu, dan tubuh Bhok Hin terjengkang.

Melihat ini, kusir kereta menjadi marah. Tadi dia terkejut dan terheran-heran, memandang dengan mata terbelalak. Kini, melihat majikannya ditampar dan ditendang sampai roboh, diapun meloncat turun.

“Heiii, apa yang kaulakukan ini......?” bentaknya.

Akan tetapi, ia disambut dengan tamparan dua kali yang mengenai leher dan mukanya dan tubuh yang kerempeng itupun terpelanting roboh.

Pada saat itu, muncullah si kumis tebal dengan tiga orang kawannya. Mereka berempat masih membayangi kereta dan ketika kereta itu berhenti, mereka berempat mempercepat lari mereka menghampiri dan mereka dapat melihat betapa Kim Cu merobohkan Bhok Hin dan kusir kereta, tepat seperti yang mereka khawatirkan.

“Ia benar memberontak seperti yang kuduga!” teriak si kumis tebal dan empat orang jagoan itu lalu mengepung dan menyerang. Mereka menyerang untuk menangkap, maka mereka tidak mempergunakan senjata, hanya mempergunakan tangan kosong untuk mencengkeram dan menangkap.

Melihat munculnya empat orang jagoan itu, Kim Cu terkejut bukan main. Ternyata perhitungannya meleset dan para jagoan itu ternyata juga cerdik sekali. Ia tidak memperhitungkan kecerdikan mereka dan kemungkinan mereka akan melanjutkan pengintaian secara diam-diam seperti itu. Melihat dirinya dikepung dan si kumis tebal yang paling lihai di depannya, tiba-tiba Kim Cu membalik dan kakinya menendang dengan cepat dan kuatnya ke arah jagoan yang tadinya berada di belakangnya.

“Plak! Plak! Desss......!”

Dua kali jagoan itu menangkis, akan tetapi tendangan bertubi yang ketiga kalinya mengenai pahanya sehingga jagoan itu terhuyung kehilangan keseimbangannya. Pada saat itu, seorang di antara mereka berhasil menangkap lengan kiri Kim Cu. Wanita ini mencoba menarik lengannya, sia-sia saja. Maka iapun lalu menunduk dan menggigit tangan yang memegang lengannya. Jagoan itu berteriak kesakitan, pegangannya terlepas dan Kim Cu lalu meloncat keluar kepungan dan lari secepatnya!

“Kejar! Tangkap!” teriak si kumis tebal dan empat orang jagoan itupun lalu melakukan pengejaran.

Kim Cu menyumpahi pakaiannya yang mewah dan merasa menyesal mengapa ia tidak siap dengan pakaiannya. Pakaian ini terlalu sempit sehingga ketika ia pakai untuk berlari dengan langkah lebar, gaun sempit itu terkuak dan robek-robek di bagian bawahnya, memperlihatkan kulit pahanya yang putih mulus. Namun ia tidak perduli dan berlari terus secepatnya.

Namun, empat orang pengejarnya itu dapat bertari lebih cepat sehingga kurang lebih satu lie dari kereta tadi, mereka sudah dapat menyusulnya. Ia dikepung lagi dan kini mereka berada di daerah yang berbatu-batu.

“Ha-ha-ha, nona manis. Tidak ada gunanya engkau lari, dan tidak ada gunanya engkau melawan. Lebih baik menyerah dan kami bawa kembali kepada Bibi Ciok untuk mempertanggungjawabkan kelakuanmu ini!” Si kumis tebal mengejek.

Diam-diam Kim Cu bergidik, teringat akan ancaman Bibi Ciok bahwa, kalau memberontak lagi, ia tentu akan dijual obral dan diserahkan kepada siapa saja yang mau membayar murah untuk memperkosanya! Ia akan diperkosa bertubi-tubi oleh banyak orang sampai mati.

“Tidak! Lebih baik aku mati!” teriaknya dan iapun mengamuk, menyerang si kumis tebal itu dengan sekuat tenaganya.

Dengan mudah si kumis tebal mengelak dan tangan kanannya mencengkeram ke arah pundak Kim Cu. Wanita yang sudah nekat ini dapat meloncat ke samping, mengelak dari cengkeraman itu. Akan tetapi dari belakang, tiba-tiba rambutnya dicengkeram orang dan ketika ia meronta, cengkeraman itu terlepas berikut sanggul rambutnya yang terlepas pula. Rambut yang hitam panjang itu terurai sampai ke pinggang.

Sambil berteriak-teriak marah Kim Cu mengamuk lagi dan kini ia menggunakan segala kemampuannya untuk melawan. Menampar, menghantam, menendang, mencakar bahkan menggigit! Empat orang jagoan itu yang tidak berniat merobohkannya atau melukainya, menjadi kerepotan juga melihat kenekatan wanita yang sudah berubah seperti seekor harimau betina buas yang sukar ditangkap itu. Kembali Kim Cu berhasil melompat keluar dari kepungan.

Empat orang lawannya mengejar dan kaki Kim Cu tergelincir pada batu-batu kerikil. Ia roboh bergulingan. Kini bukan hanya rambutnya yang terurai, juga pakaiannya sudah robek di sana-sini.

Sambil bergulingan, wanita yang cerdik ini menggunakan kedua tangannya untuk meraih batu-batu kerikil dan begitu empat orang lawan mendekat hendak menubruknya, iapun melompat bangun sambil melempar-lemparkan batu ke arah kepala empat orang lawannya! Sambitan itu tentu saja ngawur, akan tetapi sebuah batu sebesar telur ayam tepat mengenai dahi seorang jagoan sehingga dahi itu tumbuh telur yang rasanya berdenyut-denyut, membuat orang itu marah bukan main.

Kim Cu berhasil lari lagi dan kini mereka tiba di lembah di mana terdapat banyak batu gunung dan juga guha-guha. Dan empat orang lawannya sudah pula menyusul dan mengepungnya.

“Biar kurobohkan ia dengan totokan!” kata si kumis tebal yang merasa penasaran juga. Empat orang jagoan seperti mereka mengalami kesulitan untuk menangkap seorang wanita saja! Kini, mereka berempat mengepung ketat dan mengambil keputusan untuk tidak memberi kesempatan kepada Kim Cu untuk melarikan diri lagi!

Bahkan ketika Kim Cu hendak mengamuk dan menerobos kepungan, mereka tidak segan-segan untuk mendorong atau menampar sehingga beberapa kali Kim Cu terhuyung, bahkan pernah terjatuh. Akan tetapi wanita ini meloncat bangkit kembali. Rambutnya riap-riapan, mukanya babak belur, pakaiannya robek-robek. Ia kini berteriak dengan suara lantang dan penuh amarah.

“Kalian laki-laki semuanya adalah binatang buas! Iblis bertampang manusia! Akan kubunuh kalian semua, atau aku yang akan mati!” Teriakan ini bergema di sekitar tempat itu, agaknya suaranya dipantulkan kembali oleh guha-guha yang banyak terdapat di situ.

Di antara pantulan suara itu, ada suara lain, suara wanita tertawa terkekeh-kekeh, lalu disambung dengan suaranya yang mencicit seperti suara tikus terjepit.

“Hi-hi-hi-hik, benar sekali! Laki-laki adalah binatang buas dan kita wanita selalu menjadi mangsa dan korbannya, hi-hi-hik!”

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah muncul seorang nenek tua renta yang pakaiannya serba hitam. Nenek ini sudah keriputan, tubuhnya kecil kurus seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja. Tangan kirinya bertopang pada sebuah tongkat hitam yang bentuknya melingkar-lingkar seperti ular kering.

“Jangan khawatir, anakku. Jangan takut! Hajar saja mereka, binatang-binatang buas itu, hi-hi-hik!” katanya sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya, ke arah Kim Cu dan empat orang pengeroyoknya.

Dan terjadilah hal yang luar biasa anehnya! Kim Cu mengamuk dan kini semua tamparannya, semua tendangannya, semua pukulannya, tepat mengenai sasaran! Sedangkan gerakan balasan empat orang itu, setiap kali hendak menangkapnya, mencengkeramnya, atau menotoknya, gerakan itu tiba-tiba tertahan seolah-olah ada dinding tak nampak yang melindungi tubuh Kim Cu!

Tentu saja Kim Cu menjadi girang bukan main. Ia sendiri tidak tahu mengapa empat orang lawannya tiba-tiba saja berubah seperti orang-orang tolol yang memberikan tubuh mereka untuk ia hajar tanpa mereka membalas sedikitpun juga.

“Mampuslah!” bentaknya ketika kakinya menendang ke arah perut si kumis tebal. “Desss......!” tendangan itu tepat mengenai sasaran dan si kumis tebal yang biasanya lihai sekali itu mengaduh dan tubuhnya terjengkang.

Kim Cu membagi-bagi pukulan dan tendangan dan anehnya, semua serangan itu mengenai sasaran dengan tepat sekali. Maka bercucuran darahlah sebuah hidung, sebuah mata menjadi hitam, beberapa buah gigi tanggal dan ada perut yang mulas mendadak karena dimasuki ujung sepatu dengan keras!

Empat orang itu dihajar jatuh bangun dan akhirnya, walaupun dengan penuh rasa penasaran, mereka berempat yakin bahwa mereka menghadapi hal yang tidak wajar, dan bahwa kemunculan nenek seperti iblis itulah yang menjadi sebabnya. Maka, mereka merasa ketakutan dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan tanpa mampu membalas sama sekali, akhirnya mereka mungkin mati di tangan Kim Cu! Mereka lalu merangkak dan melarikan diri, jatuh bangun dengan ketakutan seperti dikejar setan!

Kim Cu sudah kehabisan tenaga, maka iapun tidak mengejar. Ia membalik dan memandang kepada nenek itu. Iapun bukan orang bodoh. Ia maklum bahwa tentu nenek aneh ini telah membantunya secara aneh sehingga ia yang tadinya sudah terancam dan nyaris tertangkap kembali, tiba-tiba saja keadaannya terbalik dan ia yang menghajar empat orang yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi dari padanya itu. Dengan tubuh lemas dan lelah sekali, juga nyeri di sana-sini, Kim Cu terhuyung menghampiri nenek itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek berpakaian hitam, dan roboh pingsan.

Ketika Kim Cu siuman kembali, ia mendapatkan dirinya rebah di lantai sebuah guha yang lebar dan tinggi, di ruangan dalam karena ia tidak melihat mulut guha. Akan tetapi ada sinar matahari masuk dari langit-langit guha yang tinggi itu, melalui celah-celah yang banyak terdapat di antara batu-batu pedang yang bergantungan di langit-langit guha itu. Seluruh tubuhnya masih terasa nyeri dan ketika ia hendak bangkit duduk, suara mencicit seperti tikus itu terdengar.

“Jangan bergerak, aku sedang merawatmu.”

Kim Cu melihat nenek itu duduk bersila di belakangnya karena ia tadi rebah miring, dan ternyata nenek itu menempelkan telapak tangan kirinya pada punggungnya, sedangkan telapak tangan kanan nenek itu menempel pada lantai guha. Ada hawa panas-panas hangat keluar dari telapak tangan kiri nenek itu, menjalar ke dalam tubuhnya!

Aneh sekali, ia merasa seolah-olah ada uap panas masuk ke dalam tubuhnya, menjalar ke seluruh bagian tubuhnya dan semua rasa nyeri yang diterjang uap itu lenyap, terganti oleh rasa nyaman yang makin lama semakin panas. Hampir ia tidak tahan dan akan bergerak kalau saja suara nenek itu tidak melarangnya.

“Pertahankan, aku akan mengisi kekuatan pada pusat-pusat jalan darah di tubuhmu!”

Kim Cu merasa heran sekali dan tidak mengerti. Memang pernah ketika kecil ia belajar silat dengan tekun dan penuh semangat, namun yang dipelajarinya hanyalah ilmu silat luar, dan para gurunya belum pernah menceritakan kepadanya tentang tenaga-tenaga yang dapat dibangkitkan dari dalam tubuh, kecuali tenaga otot dan kelenturan, juga kekuatan yang timbul karena latihan.

Ia diam saja dan merasakan betapa hawa panas itu kini memenuhi seluruh tubuhnya, membuat kepalanya berdenyut-denyut dan semakin panas, seolah-olah kepalanya dimasukkan ke dalam perapian besar! Terdengar bunyi berkeretekan pada tulang-tulangnya, akan tetapi, Kim Cu pasrah. Ia percaya kepada nenek yang jelas telah menolongnya itu, seorang nenek yang entah manusia, dewa ataukah setan karena memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Ia sudah pasrah dan andaikata ia harus matipun, ia akan menerimanya tanpa membantah!

Akhirnya, siksaan itupun berhenti dan hawa panas itu berangsur turun, kembali menjadi hangat dan nyaman sekali. Dan akhirnya nenek itu melepaskan tempelan telapak tangan kirinya, terkekeh dan berkata,

“Sekarang barulah engkau pantas untuk mempelajari ilmu dariku. Bangkit dan duduk- lah.”

Kim Cu bangkit dan merasa heran karena tubuhnya terasa ringan dan segar sekali, seperti ada kekuatan yang luar biasa terkandung di dalam semua anggauta tubuhnya. Maka, tanpa banyak cakap lagi iapun berlutut di depan nenek itu, membenturkan dahinya berkali-kali pada lantai guha.

“Nenek yang baik, saya menghaturkan banyak terima kasih atas semua pertolongan nenek, dan kalau nenek sudi mengambil saya sebagai murid, saya bersumpah, selama hidup saya akan mentaati perintah nenek dan akan berbakti kepada nenek sampai titik darah terakhir!”

Nenek itu terkekeh-kekeh, nampaknya girang sekali. “Hi-hi-hik! Memang kau sudah menjadi muridku sejak aku mendengar engkau memaki-maki kaum pria itu, hi-hik!”

Bukan main girangnya rasa hati Kim Cu. Ia kini telah bebas dari cengkeraman manusia-manusia berhati iblis seperti Bibi Ciok dan kaki tangannya, dari cengkeraman kaum pria yang hanya menganggap wanita sebagai benda permainan saja, bebas dari penghinaan yang dialaminya setiap hari, harus melayani tiap orang pria yang tidak dikenalnya, apa lagi dicintanya, melayani dengan menyerahkan seluruh badannya, kehormatannya! Ia telah bebas!

Kenyataan ini saja selalu bersorak di dalam hatinya. Apa lagi ditambah bahwa ia kini menjadi murid seorang yang sakti. Kalau ia dapat memiliki ilmu seperti ilmu yang dimiliki nenek ini, ia akan mampu menghadapi semua tantangan di dunia ini! Ia akan menghajar semua orang, terutama kaum pria, yang jahat! Akan menumpas mereka, membasmi mereka yang suka berbuat jahat! Saking girangnya, Kim Cu lalu merangkul nenek itu dan dengan air mata berlinangan, ia menciumi pipi yang keriput itu.

Nenek itu menjerit kecil. “Ihhhhhh......! Apa-apaan ini? Jangan berbuat cabul kau! Masa seorang murid berbuat begini kepada subonya?”

Kim Cu cepat berlutut, “Subo (Ibu Guru), harap maafkan teecu (murid). Saking girang dan berterima kasih, maka teecu merangkul dan menciumi subo!”

Nenek itu mengusap kepala Kim Cu. “Murid macam apa kau ini?” nadanya menegur, namun di dalam suara itu terkandung keharuan oleh kelakuan Kim Cu tadi. “Hal pertama yang paling penting belum kaulakukan, yaitu memperkenalkan diri, memperkenalkan nama dan menceritakan riwayat hidupmu kepada gurumu.”

Kim Cu tertawa dan mendengar suara ketawanya, iapun merasa heran bukan main, bahkan terkejut! Belum pernah ia mendengar suara ketawanya seperti itu! Begitu bebas, begitu terlepas, bahkan terdengar binal!

Dan ia teringat betapa sesungguhnya, semenjak ia diboyong oleh Pangeran Coan Siu Ong, ia telah kehilangan semua kegembiraan hidup, sudah kehilangan semua tawa. Kalau ia tersenyum manis dan tertawa merdu selama ini di rumah pelacuran milik Bibi Ciok, suara ketawa itu adalah buatan, hanya menutupi rintih dan tangis sanubarinya. Dan kini, secara tiba-tiba saja, ia telah menemukan kembali kehidupannya, harapannya, kegembiraannya, dan juga tawanya!

“Aih, maafkan teecu, subo. Teecu sampai lupa, saking gembiranya hati ini! Subo, teecu bernama Lie Kim Cu.......”

“Hemmm! Kim Cu (Mustika Emas)? Menjadi mustika emas hanya menjadi rebutan orang, terutama para pria saja. Tidak, namamu terlalu lemah. Setelah menjadi muridku, engkau tidak boleh menjadi wanita lemah, namamu juga harus diganti agar sesuai dengan keadaan dirimu dan watakmu kelak. Namamu mulai sekarang adalah Liong Li (Wanita Naga), seperti seekor naga yang menaklukkan semua iblis di dunia ini!”

Kim Cu girang sekali dan ia cepat memberi hormat. “Teccu menerima dengan gembira, subo. Mulai sekarang, teecu akan dikenal sebagai Liong Li, sedangkan nama Kim Cu tidak akan teecu perkenalkan sebagai nama teecu, kecuali untuk keperluan yang penting.”

“Bagus, teruskan cerita tentang dirimu.”

Kim Cu menceritakan tentang keluarganya, kemudian betapa ayahnya tergila-gila dengan permainan judi sampai habis-habisan. “Akhirnya, karena ayah korupsi, mempergunakan uang negara dan banyak hutang bahkan semua itu diketahui oleh atasannya, Pangeran Coan Siu Ong, maka pangeran itu menekan dan menggertaknya akan menuntutnya. Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan keluarga ayah, yaitu kalau dia menyerahkan teecu sebagai selir Pangeran Coan Siu Ong.”

“Heh-heh-heh, cerita lama itu. Sejak jaman dahulu kala, semua kaum bangsawan seperti itu, haus kedudukan, haus kemuliaan, haus kekayaan dan haus wanita cantik.”

Kim Cu menceritakan segala hal yang terjadi di dalam kamar mewah sang pangeran itu. Betapa setelah melihat pangeran itu, timbul kejijikannya dan ia melawan, memukul pangeran itu. Karena marah, pangeran itu lalu menyuruh para pengawalnya untuk membelenggu kaki tangannya dan iapun diperkosa sampai pingsan.

“Karena sakit badan dan batin, teecu menggunakan akal. Teecu pura-pura menyerah sehingga pangeran jahanam itu melepaskan ikatan kaki tangan teecu. Begitu bebas, teecu menghajarnya dan tentu akan membunuhnya kalau saja tidak muncul para pengawalnya. Pangeran Coan marah. Teecu dihajar, diikat dan dijual murah ke rumah pelacuran milik Bibi Ciok.”

Nenek itu menyeringai, memandang kepada Kim Cu dengan sinar mata kadang-kadang kagum karena dalam menceritakan semua pengalaman pahit ini, Kim Cu sama sekali tidak menangis. Seorang gadis yang amat tabah, pikirnya, makin suka kepada muridnya ini.

“DI SANA, teecu disiksa dan diancam akan dijual murah agar diperkosa mereka yang mau membayar sampai teecu mati. Untuk memberontak, tidak ada gunanya karena Bibi Ciok juga mempunyai tukang-tukang pukul yang kuat. Terpaksa, untuk mencari peluang agar dapat membebaskan diri dan tidak mati konyol, teecu menyerah.

Ah, betapa tersiksanya hati ini, betapa terhinanya badan ini ketika teecu harus melayani para tamu selama hampir satu bulan! Teecu terpaksa menjual senyum dan pelayanan yang mesra, pada hal di dalam hati, teecu menjerit dan menangis, apa lagi ketika dari para langganan itu teecu mendengar akan nasib ayah dan ibu teecu......”

Sampai di sini, kedua mata yang jeli dan bagus itu menjadi basah dan beberapa titik air mata menetes turun ke atas sepasang pipi. Akan tetapi, tetap saja Kim Cu tidak mengeluarkan suara tangisan.

“Apa yang terjadi dengan mereka? Bukankah setelah kau diserahkan kepada pangeran itu, orang tuamu telah bebas?”

“Tidak, subo. Agaknya pangeran itu sakit hati kepada teccu dan bukan saja ia menjual teecu kepada rumah pclacuran, juga ayah ditangkap lagi dan dihukum buang. Di dalam perjalanan, demikian teecu dengar, ayah nekat membunuh diri dengan terjun ke dalam jurang. Adapun ibu teecu, karena diusir keluar dari rumah dan tidak kuat menahan derita, jatuh sakit dan meninggal pula.”

Nenek itu mengangguk-angguk, di dalam hatinya merasa gembira karena dengan kenyataan bahwa gadis ini telah yatim piatu, tidak mempunyai siapapun di dunia ini, berarti ialah yang memilikinya. Sebagai murid, juga sebagai keluarga!

“Lalu, pelarian sekarang ini yang kau rencanakan?”

“Benar, subo. Teecu berhasil memikat hati putera mantu jaksa tinggi, dan membujuknya untuk mengajak teecu pesiar ke tempat di lembah Huang-ho. Dan di sini teecu berhasil melarikan diri. Akan tetapi, tiba-tiba muncul empat orang jagoan kaki tangan Bibi Ciok melakukan pengejaran. Kalau tidak ada subo, tentu sekarang teecu sudah dipaksa kembali ke rumah pelacuran itu dan mengalami siksaan yang lebih hebat dari pada maut. Karena itu, terima kasih, subo.”

Kembali Kim Cu merangkul dan mencium pipi keriput itu dan sekali ini nenek itu tidak menolak, hanya mendorong tubuh Kim Cu untuk duduk kembali ke atas lantai.

“Muridku, engkau sungguh seorang gadis yang beruntung telah dapat bertemu dengan aku di sini. Bukan hanya beruntung karena dapat terhindar dari penangkapan mereka, akan tetapi beruntung karena engkau dapat menjadi muridku karena ribuan orang gagah di dunia ini yang ingin sekali menjadi muridku dan mewarisi ilmu kepandaian dari Huang-ho Kuibo (Nenek Iblis Sungai Kuning)!” Nenek itu terkekeh. “Heh-heh-heh, memang engkau anak yang beruntung sekali, Liong-li!”

Kim Cu atau yang kini bernama atau berjuluk Liong-li (Wanita Naga) mengamati wajah nenek itu penuh perhatian. Wajah itu masih memperlihatkan bekas wanita cantik. Biarpun pakaiannya serba hitam sederhana dan tubuh itu kurus sekali, namun nenek itu agaknya menjaga diri sehingga bersih, bahkan tidak berbau apak.

“Subo, mengapa subo disebut Kuibo (Nenek Iblis)? Subo sama sekali tidak kelihatan seperti nenek iblis! Siapakah nama subo yang sesungguhnya?”

”Hik-hik, aku sudah lupa lagi siapa namaku. Orang-orang menyebutku Huang-ho Kuibo karena aku selalu berkeliaran di sepanjang sungai ini, dan karena aku tidak pernah mau mengampuni orang-orang jahat, maka kaum kang-ouw menjuluki aku Kuibo. Mulai sekarang, engkau harus berlatih dengan tekun, Liong-li. Aku akan membuat engkau menjadi seorang wanita yang ditakuti, dan tidak ada seorangpun laki-laki di dunia ini yang akan mampu menghina dan mempermainkanmu lagi, heh-heh-heh!”

Demikianlah, mulai hari itu, Kim Cu atau Long Li menjadi murid Huang-ho Kuibo, seorang nenek yang sakti dan berilmu tinggi. Dan tepat seperti julukannya, nenek itu mengajak muridnya berkeliaran di sepanjang lembah Huang-ho.

Y

Waktu tujuh tahun bukan merupakan waktu yang cukup panjang bagi seseorang untuk mempelajari ilmu silat tinggi sampai berhasil dengan baik. Akan tetapi, menjadi murid seorang sakti seperti Pek I Lojin lain lagi. Dalam waktu tujuh tahun, Cin Hay digembleng oleh Pek I Lojin dengan ilmu silat yang bermacam-macam dan yang kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat tinggi.

Memang Cin Hay telah memiliki dasar yang kuat dan bakat yang amat baik. Maka, setelah selama setahun penuh siang malam dia digembleng ilmu menghimpun, memperkuat dan mempergunakan tenaga dalam dengan hawa sakti yang dibangkitkan dalam tubuh sehingga dalam waktu setahun itu dia telah mengumpulkan kekuatan yang dahsyat, yang dapat dipergunakan sebagai dasar atau modal mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang serba sukar, maka enam tahun selanjutnya dia dengan amat tekunnya melatih diri dengan ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pek I Lojin kepadanya!

Bukan hanya ilmu silat tingkat tinggi yang diajarkan oleh kakek tua renta itu kepada Cin Hay, akan tetapi juga gemblengan batin sehingga terbentuklah watak penuh kesabaran, tahan derita, tidak terbawa oleh perasaan, dalam diri Cin Hay dan menjadikan dia seorang laki-laki yang jantan, pendiam, tenang, tabah dan matang. Gurunya juga mengajarkan dia ilmu untuk melakukan penyamaran, beralih rupa dengan alat-alat istimewa, mengubah suara dan sebagainya. Pendeknya, dalam waktu tujuh tahun, kakek ita menurunkan semua ilmunya yang paling hebat kepada Cin Hay.

Pada suatu pagi, selagi memberi petunjuk untuk jurus terakhir yang amat sukar dari ilmu silat Naga Terbang, Pek I Lojin memberi contoh kepada Cin Hay bagaimana memainkan jurus terakhir itu dengan baik. Untuk jurus ini, harus dikerahkan tenaga sekuatnya dan kakek itu bersilat dengan penuh semangat. Cin Hay memperhatikan dan mengerti, lalu dia menirukan gerakan gurunya, memainkan jurus itu dengan baiknya.

“Bagaimana, suhu? Apakah sekarang sudah tepat?” tanyanya begitu dia selesai menggerakkan bagian terakhir.

Akan tetapi gurunya tidak menjawab dan ketika dia menengok, dia terkejut sekali melihat gurunya sudah duduk bersila dengan muka pucat dan napas terengah-engah. Ketika dia berlutut mendekati, gurunya masih dapat memberi isyarat dengan tangan agar murid itu memondongnya dan membawanya pulang ke pondok. Cin Hay dengan hati-hati dan cepat melaksanakan permintaan ini dan tak lama kemudian kakek itu sudah rebah di atas pembaringannya di dalam kamar pondok itu.

Cin Hay melakukan pemeriksaan dengan teliti. Dia telah menerima pelajaran dari gurunya untuk memeriksa dan mengobati luka-luka sebelah dalam akibat pukulan atau salah penggunaan hawa sakti. Dan dia mendapat kenyataan betapa gurunya seperti orang yang kehabisan tenaga dan keadaannya lemah sekali. Dia merasa heran dan tidak mengerti.

“Sudahlah......, Cin Hay....... salahku sendiri......”

“Tapi, mengapakah, suhu?” Dia bertanya.

“Tidak semestinya aku...... aku yang tua...... memainkan jurus itu......, tapi ini agaknya sudah kehendak Tuhan...... sudah tiba saatku......”

“Suhu......!”

Tiba-tiba kakek itu mengangkat tangannya dan telunjuknya memperingatkan.

Cin Hay segera teringat bahwa tanpa disadarinya, dia telah menunjukkan kelemahan! Maka, dalam waktu sedetik saja telah dapat melenyapkan perasaan khawatir dan dukanya.

“Maafkan teecu, suhu.”

“Ingatlah, iangan sekali-kali engkau menunjukkan kelemahan dalam keadaan apapun juga,” tiba-tiba saja kakek itu bersemangat. “Nyawa manusia bukan berada di tangannya, melainkan di tangan Tuhan. Agaknya memang latihan tadi yang menjadi jalan ke arah kematianku. Aku sudah.tua sekali, sudah sepatutnya meninggalkan dunia ini, akan tetapi ada pesanku......” kakek itu nampak lemah kembali.

Cin Hay mendekatkan mukanya. “Suhu, tee-cu mendengarkan. Apakah pesan suhu itu?”

“Masukilah dunia sebagai seorang jantan, seorang gagah yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Dan jangan lupa, engkau pergilah ke Kim-san (Gunung Emas) yang berada di lembah Huang-ho di perbatasan Propinsi Honan sebelah utara...... di sana ada sebuah kuburan tua seorang pangeran dari jaman Dinasti Han, ratusan tahun yang lalu. Dalam kuburan itulah terdapat mustika naga yang disebut Kim-san Liong-cu, sebuah pusaka yang amat luar biasa. Dahulu pernah menjadi perebutan para pendekar, dan aku telah gagal. Sekarang, engkau wakili aku pergilah ke sana, carilah sampai dapat...... Kim-san Liong-cu......”

Kakek itu telah terlalu banyak bicara, agaknya dia telah menggunakan seluruh tenaga terakhir dan kini dia terkulai. Ketika Cin Hay memeriksanya, maka ternyata jantungnya tidak berdetak lagi, napasnya putus dan nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.

Cin Hay bersila sambil termenung sampai lama, tetap memegang nadi pergelangan tangan gurunya, memejamkan mata dalam samadhi, seolah-olah dengan semangatnya dia hendak mengantar suhunya yang berangkat pulang ke tempat asalnya itu. Kemudian dia sadar dan dia teringat betapa suhunya pernah berpesan bahwa kalau dia mati, ia ingin jenazahnya diperabukan, dan abu jenazahnya di buang ke sungai manapun juga. Semua sungai menuju ke lautan, demikian kata gurunya, maka membuang abu ke sungai berarti juga membuangnya ke lautan.

Dengan tabah, Cin Hay lalu mengatur pembakaran jenazah gurunya. Diletakkan jenazah gurunya di atas pembaringannya, di tengah pondok. Dikumpulkannya semua milik suhunya yang tidak banyak, hanya beberapa potong pakaian, kemudian mengumpulkan kayu kering, menumpuknya di dalam pondok dan di sekeliling pembaringan, menutupi jenazah gurunya dengan pakaiannya. Dia memilih kayu yang mengandung damar agar pembakaran itu dapat sempurna. Diruntuhkan dan dibuangnya atap pondok agar jangan menimpa dan merusak abu jenazah suhunya. Setelah siap dan melakukan sembahyang terakhir untuk menghormati gurunya, Cin Hay lalu membakar pondok itu.

Sehari penuh pondok itu terbakar. Cin Hay duduk bersila agak jauh, mengenang suhunya. Semua manusia akan mengalami hal yang sama, yaitu kematian. Karena itu, setiap kematian adalah hal yang wajar saja. Siapa terlalu membesarkan akunya, terlalu menghargai akunya, dialah yang takut akan kematian dan akan menderita kalau menghadapi kematian, menderita karena khawatir membayangkan bahwa aku-nya yang amat dijunjung tinggi itu akan hilang begitu saja!

Pada hal, sepandai-pandainya orang, sebaik-baiknya orang, sesakti- saktinya orang, dia hanyalah seorang manusia biasa yang lahir kemudian mati menurut kekuasaan Alam yang mengaturnya. Manusia timbul tenggelam seperti ombak-ombak lautan, nampak kemudian menghilang tanpa bekas, dan terlupakan! Suhunya pernah bicara mengenai ini. Yang penting adalah karya yang baik, demikian kata suhunya. Karya yang baik dapat dinikmati orang lain, baik si karyawan masih hidup ataupun sudah mati.

Jangan mengira bahwa nama atau orangnya yang akan dikenang, melainkan karyanya yang baik. Orangnya akan dilupakan. Mungkin akan dikenang, secara paksa, oleh sekelompok orang, akan tetapi itupun hanya merupakan suatu upacara belaka, yang hanya berlaku beberapa menit. Kemudian terlupa sudah! Maka, siapa mengharapkan nama kekal, siapa mengharapkan agar aku-nya selalu diingat, dia akan kecewa kelak! Karya baikpun bukanlah ciptaan si orang itu. Orang itu hanyalah menyalurkan berkah Tuhan melalui tangannya, melalui pikirannya. Tanpa berkah dan kekuasaan Tuhan, manusia tidak ada artinya sama sekali.

Setelah api padam, Cin Hay mencari abu jenazah gurunya. Dia merasa gembira bahwa pembakaran itu ternyata sempurna, tidak ada sepotong pun tulang yang tidak menjadi arang dan mudah dia hancurkan, kemudian dibungkusnya abu jenazah itu dengan sebuah jubah lebar.

Setelah itu, berangkatlah dia meninggalkan tempat itu, membawa miliknya yang juga tidak berapa banyak, hanya beberapa potong pakaian, dan memanggul bungkusan abu dan pakaiannya, lalu melangkah lebar dengan wajah tenang, tanpa menengok lagi. Masa lalunya di pondok itu sudah lewat dan tidak akan dikenangnya kembali!

Beberapa hari kemudian, nampak Cin Hay duduk bersila di depan sebuah makam, di lereng bukit kecil yang menghadap ke Telaga See-ouw. Makam tunggal yang sunyi, makam Gu Ci Sian, isterinya yang tewas secara menyedihkan di waktu mereka berperahu di telaga itu. Tujuh tahun yang lalu! Ketika hal itu terjadi, dia baru berusia delapanbelas tahun dan kini dia telah berusia duapuluh lima tahun.

Cin Hay tidak bersedih, apa lagi menangis. Dia hanya duduk bersila dengan wajah tetap tenang, termenung untuk mengingat isterinya dengan penghormatan, dengan doa semoga isterinya sekarang, di manapun ia berada, dalam keadaan bahagia dan damai. Tanpa dirasakannya, sudah dua jam dia berada di depan makam isterinya, dan tahu-tahu ada air hujan menitik turun dari atas. Hal ini menyadarkan Cin Hay dan diapun bangkit, di dalam batin berpamit kepada isterinya lalu meninggalkan makam itu dengan cepat menuruni bukit untuk mencari tempat duduk di tepi telaga.

Ketika tiba di bandar di mana perahu-perahu berkumpul untuk menampung para pelancong yang hendak pelesir di telaga dengan perahu, dia melihat ribut-ribut. Bukan keributan karena turunnya hujan gerimis, melainkan keributan terjadi, bahkan dia melihat seorang wanita meronta-ronta ketika ditarik oleh seorang laki-laki menuju ke sebuah kereta.

Wanita itu masih muda sekali, baru belasan tahun usianya dan agaknya ia bukan seorang pelancong, melainkan seorang gadis kampung di sekitar telaga, dan ia meronta sambil menjerit-jerit, namun tidak berdaya karena pria yang menyeretnya itu kuat sekali. Akhirnya gadis itu dilemparkan ke dalam kereta yang tertutup dan agaknya ada yang menerima dan meringkusnya dari dalam. Hanya tangisnya yang terdengar dan kereta itupun lalu bergerak pergi. Tiga orang laki-laki berkuda mengikuti dari belakang sambil tertawa-tawa.

Melihat tiga orang itu, berkerut alis Cin Hay. Tak salah lagi, kini dia mengenal laki-laki muka hitam. gendut pendek yang tadi menyeret gadis itu

Dan si muka kuning pucat yang tinggi kurus, dan seorang lagi yang tinggi besar dan mukanya penuh berewok. Biarpun mereka itu kini lebih tua dari pada dahulu, namun dia masih ingat wajah ketiga orang jagoan yang pernah mengeroyoknya di atas perahu besar milik Koan Ki Sek! Merekalah See-ouw Sam-houw dan mungkin Koan Wan-gwe berada pula di dalam kereta itu. Mereka berempat yang telah menyebabkan kematian isterinya dan yang nyaris membunuhnya pula.

Dan kini, agaknya mereka menculik seorang gadis kampung! Gemblengan batin yang diterimanya dari Pek I Lojin membuat semua bentuk dendam hilang dari dalam hatinya. Akan tetapi kini melihat mereka melakukan kejahatan di depan matanya, tentu saja Cin Hay tidak mau tinggal diam. Kedua kakinya berloncatan dan bagaikan seekor kijang muda, diapun berlari cepat melakukan pengejaran ke arah kereta yang dilarikan cepat meninggalkan bandar itu tanpa ada seorangpun yang berani melakukan pengejaran.

Kereta itu telah tiba di tengah hutan ketika tiba-tiba dua ekor kuda yang menarik kereta, meringkik kaget dan berhenti berlari, mengangkat kaki depan ketakutan. Kusir kereta itu terkejut, apa lagi melihat bahwa tiba-tiba saja nampak seorang pemuda berpakaian serba putih yang menahan kuda itu dari depan.

“Heii! Mau apa kau?” bentak kusir itu mengangkat cambuknya mengancam untuk memukul. Ketika cambuk menyambar, Cin Hay menyambut, menangkap ujung cambuk dan sekali tarik dengan sentakan kaget, kusir itu berteriak dan tubuhnya tertarik jatuh dari atas kereta!

“Ada apa......?” bentak suara dari dalam kereta. Tiba-tiba pintu kereta yang sudah berhenti itu terbuka dari luar dan tirainya tersingkap.

Cin Hay melihat seorang laki-laki setengah tua sedang menggeluti gadis tadi yang pakaiannya sudah tidak karuan. Gadis itu meronta dan menangis. Cin Hay tidak pangling melihat laki-laki ini, maka sekali sambar, tangannya sudah menangkap lengan Koan Ki Sek dan ditariknya orang itu keluar dari dalam kereta.

“Ehhh......! Ohhh......! Tolong......!” teriak Koan Ki Sek ketika tubuhnya terbanting ke atas tanah. Gadis itupun cepat turun, dengan ketakutan mencoba untuk membereskan pakaiannya yang cabik-cabik.

“Dukkk!” Kaki kiri Cin Hay melayang dan tepat menyambar dagu Koan Ki Sek yang sedang merangkak hendak bangun. Tendangan itu keras sekali, mematahkan tulang rahang dan membuat gigi di sebelah kiri copot semua. Koan Ki Sek menjerit dan hendak lari, akan tetapi sambaran kaki Cin Hay tepat mengenai lututnya dan diapun terjengkang dan terpelanting tak dapat bangkit kembali karena sambungan lututnya terlepas!

“Heiii......! Siapakah engkau berani mati memukul majikan kami? Apakah engkau sudah bosan hidup?” Tiga orang jagoan yang bukan lain adalah See-ouw Sam-houw sudah berloncatan turun dari atas kuda mereka dan mengepung Cin Hay.

Cin Hay memandang mereka dengan alis berkerut. Tiga orang ini jahat bukan main, pikirnya. Tujuh tahun yang lalu sudah menjadi penjahat kejam, sekarang sama sekali tidak berubah, bahkan semakin jahat, berani di tempat ramai menculik seorang gadis dusun! Koan Wan-gwe juga seorang yang berwatak jahat dan kejam, akan tetapi tanpa adanya jagoan-jagoannya seperti tiga orang ini, belum tentu hartawan itu berani melakukan kejahatan seperti itu.

“Hemm, tujuh tahun yang lalu kalian hampir membunuhku, dan kalian berhasil membunuh isteriku. Kini, setelah tujuh tahun, ternyata kalian semakin jahat saja. Entah berapa banyak sudah orang-orang tak berdosa menjadi korban kekejian kalian.”

“Siapa engkau?” bentak Hek-bin-houw Ban Sun yang bermuka hitam, masih memandang rendah lawannya. “Mengakulah sebelum kami mencabut nyawamu!”

Cin Hay tidak ingin memperkenalkan namanya. Dia ingin meniru gurunya yang hanya mempunyai nama julukan, seperti juga dia meniru gurunya yang suka mengenakan pakaian serba putih. Teringat akan pakaiannya yang serba putih, dan akan tugasnya mencari Mutiara Naga dari Gunung Emas, diapun segera memperkenalkan diri,

“Sebut saja aku Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) selagi kalian masih sempat, karena tugasku adalah melenyapkan manusia-manusia jahat macam See-ouw Sam-houw!”

“Wah, bukankah dia ini orang yang naik perahu kecil bersama isterinya beberapa tahun yang lalu itu?” Phang Ek berseru, “Ban-toako, apakah engkau lupa? Engkau melemparkan perahu kecilnya kepadanya setelah dia kulukai dengan pisau terbangku. Dan kita mengira dia mampus!”

“Ha-ha-ha, benar sekali!” Siang-kiam-houw Kim Lok tertawa. “Dan isterinya yang cantik dan seperti kuda binal, kuda yang bunting muda....., ha-ha, sayang sekali, ia tidak kuat dan......”

“Wuuuutttt, plakkk!” Kim Lok menangkis ketika Cin Hay maju menyerang dengan tamparan tangannya.

Tangkisan itu mengenai tangan Cin Hay, akan tetapi akibatnya, tubuh Kim Lok terpelanting saking kerasnya tamparan itu dan lengannya terasa seperti akan patah! Dia terbanting keras dan selain terkejut, diapun merasa heran bukan main melihat betapa kuatnya tamparan pemuda itu.

Melihat betapa dalam segebrakan saja Kim Lok terbanting keras, Ban Sun dan Phang Ek juga terkejut. Maklumlah tiga orang jagoan ini bahwa pemuda yang berada di depan mereka kini tidak boleh disamakan dengan ketika mereka menghajarnya tujuh tahun yang lalu.

“Singgg......!” Hek-bin-houw Ban Sun sudah mencabut golok besarnya.

“Srattt.......!” juga Siang-kiam-houw Kim Lok mencabut sepasang pedangnya dan Hui- to-houw Phang Ek mencabut dua batang pisau yang dipegang oleh kedua tangannya. Mereka mengepung Cin Hay dengan senjata di tangan, siap untuk mencincang tubuh lawan ini.

Sementara itu, Koan Ki Sek masih merintih-rintih, ditolong oleh kusirnya yang juga babak bundas ketika terlempar dari atas kereta tadi. Mereka hanya menonton, mengharapkan tiga orang jagoan mereka akan dapat membunuh pemuda berpakaian putih itu.

Cin Hay mengeraskan hatinya, menulikan telinganya yang masih saja mendengar ucapan-ucapan tiga orang jagoan itu tadi. Kini dia mengerti betapa isterinya dahulu tewas. Tentu setelah diperkosa oleh Koan-wangwe, lalu diberikan kepada tiga orang jagoan ini yang memperkosa isterinya sampai tewas, pada hal mereka tahu bahwa isterinya mengandung!

Dia mengusir dendamnya. Orang-orang ini amat jahat, kalau tidak disingkirkan, tentu kelak hanya akan mencelakakan kehidupan orang-orang lain yang tidak berdosa, demikian suara hatinya, sedikitpun tidak mengingat atau mengenang lagi akan perbuatan mereka terhadap dirinya dan terhadap isterinya.

“Mampus kau......!” Hek-bin-houw Ban Sun sudah menyerang dengan bacokan goloknya. Bacokannya itu cepat dan kuat sekali, dari atas ke bawah, mengarah kepala Cin Hay, agaknya dalam kemarahannya, si muka hitam itu ingin membacok kepala pemuda baju putih itu agar terbelah menjadi dua! Dan pada detik berikutnya, sepasang pedang di tangan Kim Lok juga menusuk ke arah leher dan lambung!

Cin Hay mengelak dengan mudah terhadap bacokan golok dan melihat tusukan dua batang pedang itu, kakinya menendang, mendahului tangan kanan lawan sehingga sebelum pedang datang menusuk, pergelangan tangan Kim Lok tertendang, tepat mengenai urat nadinya sehingga pedangnya terlepas, tepat pada saat Cin Hay mengelak dari tusukan kedua. Cepat tangan Cin Hay menyambar pedang yang terpental lepas dari tangan kanan Kim Lok.

Pada saat itu, Phang Ek datang menyerang dari belakangnya, menusukkan kedua batang pisaunya ke arah lambung dan punggung. Gerakannya cepat dan kuat sekali. Cin Hay mendengar gerakan ini dan dia memutar tubuh, mendahului dengan sambaran pedang rampasannya.

“Cring! Trang......!” Dua batang pisau di tangan Phang Ek itu terpental dan patah-patah ketika bertemu dengan sambaran pedang yang amat kuat itu. Phang Ek mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang dengan mata terbelalak.

Saat itu, Ban Sun sudah menyerang lagi dengan bacokan golok besarnya, membacok ke arah leher. Golok itu membabat dengan cepat, mengeluarkan suara berdesing saking kuatnya. Cin Hay menggerakkan pedang rampasannya, menangkis dan memutar pedang itu sambil mengerahkan sin-kangnya untuk menempel.

Ban Sun terkejut. Goloknya seperti melekat dan ikut terputar walaupun dia mencoba untuk mempertahankan sekuatnya. Tiba-tiba Cin Hay mengeluarkan bentakan pendek, pedangnya membuat gerakan memutar dan menyentak dan...... golok itu membalik, tidak dapat dikuasai oleh tangan Ban Sun dan tanpa dapat dicegah lagi, golok yang membalik itu menyambar ke arah perut yang gendut itu.

“Cappp......!” Ban Sun terbelalak memandang ke arah perutnya yang dimakan goloknya sendiri, lalu terjengkang!

Melihat ini, Kim Lok menusukkan pedangnya yang tinggal sebatang, akan tetapi tusukan itu dapat ditangkis oleh pedang Cin Hay yang membuat lengan Kim Lok tergetar hebat dan dia terpaksa melangkah mundur agar tidak sampai jatuh.

Phang Ek sudah mengambil dua batang pisau lagi dan kini dia menyambitkan dua batang pisau itu ke arah Cin Hay sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Cin Hay menangkis sebatang pisau sehingga runtuh ke atas tanah, dan pisau kedua disambarnya dengan tangan, kemudian, dengan tangan kiri yang menyambut pisau tadi, dia menyambit. Nampak sinar terang berkelebat dan tahu-tahu pisau itu telah menembus leher Phang Ek. Orang ini mengeluarkan suara aneh, mencoba untuk mencabut pissu itu, namun agaknya pisau itu terjepit tulang kerongkongan, dan diapun roboh terkulai!

Kim Lok terbelalak dengan muka pucat. Dalam satu dua gebrakan saja, dua orang kawannya telah roboh dan tewas, sedangkan majikannya masih mengerang kesakitan bersama kusir yang ketakutan. Dia maklum bahwa nyawanya terancam maut, maka tanpa banyak pikir lagi, secara pengecut Kim Lok lalu membalikkan tubuhnya dan mengambil langkah seribu, melarikan diri!

Akan tetapi baru saja kakinya melangkah beberapa kali, nampak sinar terang berkelebat dan sebatang pedang, pedangnya sendiri yang tadi terampas lawan, telah meluncur dan menghujam punggungnya sampai tembus ke dadanya! Dia tersentak, terbelalak, lalu jatuh menelungkup.

Melihat betapa tiga orang jagoannya tewas semua, Koan Ki Sek yang sudah menderita nyeri dan ketakutan itu hampir pingsan. Kusir kereta juga ketakutan dan dia sudah berdiri dan hendak melarikan diri, akan tetapi Cin Hay membentak.

“]angan lari!”

Kusir kereta itu berhenti dan celananya menjadi basah! Dia terkencing-kencing saking takutnya. Koan Wan-gwe sendiri lalu merangkak dan berlutut menghadap pemuda itu, mulutnya berkeluh kesah minta dikasihani dan diampuni.

Cin Hay tersenyum dingin. “Kau masih ingat padaku?” tanyanya.

Koan Ki Sek merasa mulutnya remuk dan nyeri sekali, akan tetapi dia memaksa diri mengangguk dan berkata, “......ampunkan...... aku...... ampunkan......”

“Engkau masih ingat isteriku...... wanita muda berpakaian kuning yang mengandung muda itu?”

Koan Ki Sek semakin ketakutan. “Ampun..... ampun...... bukan aku yang membunuhnya ...... ia... ia mencakari aku...... kuberikan kepada mereka bertiga dan... dan....... ampunkan aku......”

Hemm, orang semacam ini memang tidak ada gunanya diberi kesempatan hidup lagi. Paling-paling akan mengulangi perbuatannya yang sesat. Tidak akan sukar bagi hartawan itu untuk mencari pengganti jagoan yang lebih kuat lagi karena dia mampu membayar, dan makin merajalela mengumbar nafsu-nafsunya. Akan tetapi dia teringat akan keadaannya. Dia melakukan perjalanan jauh dan dia membutuhkan biaya. Dari mana dia akan memperoleh uang? Paling baik memperoleh dari hartawan kejam ini!

“Hayo naik ke kereta!” bentaknya, lalu menoleh kepada kusir. “Engkau juga! Bawa aku ke rumahmu, Koan Wan-gwe dan aku ingin menukar nyawamu dengan tigaratus tail emas!”

“Baik...... baik..... terima kasih......” Hartawan itu mengangguk, lalu dengan tubuh gemetar dia naik ke dalam kereta, seperti seekor tikus berdekatan dengan kucing ketika dia duduk berdampingan dengan Cin Hay yang nampak tenang saja. Kereta lalu dijalankan oleh kusir yang juga ketakutan itu.

Setelah kereta berhenti di depan gedung tempat tinggal Koan Ki Sek, Cin Hay memegang lengan pria berusia hampir enampuluh tahun itu dan berkata dengan nada suara mengancam, “Cepat suruh orang mengambilkan tigaratus tail emas. Kalau engkau banyak tingkah, akan kubunuh seketika!” Setelah berkata demikian, Cin Hay menarik hartawan itu turun dari keretanya.

Melihat betapa majikan mereka turun bersama seorang pemuda sederhana yang tampan, dan majikan itu nampak ketakutan, para penjaga dan pelayan saling pandang dengan heran dan bingung.

Setelah tiba di rumahnya sendiri, walaupun masih takut menghadapi Cin Hay, namun hartawan itu memperoleh kembali kegalakannya dan dia mendamprat para pelayannya.

“Kenapa kalian bengong saja seperti orang-orang tolol? Cepat panggil nyonya majikan!” Dengan muka manis dia mempersilakan Cin Hay ikut masuk ke ruangan depan.

Ketika seorang wanita berusia hampir limapuluh tahun yang berpakaian mewah, yaitu isteri dari hartawan itu muncul dari dalam, Koan Wan-gwe cepat berkata, “Kumpulkan tigaratus tail emas dan bawa ke sini. Cepat!”

Agaknya hartawan ini memang biasa bersikap keras, karena biarpun di wajah wanita itu jelas menunjukkan keheranan besar, namun ia tidak berani banyak bertanya, hanya mengangguk dan mengundurkan diri lagi.

Hartawan itu duduk dan menyusut keringatnya di muka dan lehernya dengan ujung lengan baju, sedangkan Cin Hay berdiri termenung, tidak memperdulikan penawaran tuan rumah yang mempersilakan dia duduk. Dia terkenang kepada isterinya dan kebenciannya terhadap Koan Ki Sek timbul. Akan tetapi kesadarannya membuat dia melihat kenyataan bahwa hartawan ini hanyalah seorang yang lemah, yang menjadi hamba nafsunya sendiri.

Tak lama kemudian, isteri hartawan itu muncul lagi, diikuti oleh dua orang pelayan pria yang menggotong sebuah karung yang agaknya terisi benda yang berat. Nyonya majikan itu berkata kepada suaminya, nada suaranya takut-takut. “Sudah kukumpulkan semua, hanya ada seratus enampuluh tail emas, tidak ada lagi......”

Koan Wan-gwe nampak pucat ketika dia menoleh kepada Cin Hay dan sambil mengangkat kedua tangan di depan dada diapun berkata. “Harap tai..... taihiap maafkan......, kami hanya mempunyai seratus enampuluh tail...... harap taihiap bersabar, akan kami usahakan...... dalam beberapa hari ini...... meminjam dari teman-teman di kota......”

Cin Hay merasa bahwa jumlah itu sudah lebih dari cukup untuk bekal hidupnya. Dia menghampiri karung itu, membukanya dan setelah memeriksa bahwa isinya memang benar potongan-potongan emas yang berkilauan, dia lalu memanggul karung itu dengan tangan kirinya. Benda yang beratnya duapuluh kati itu, nampak ringan saja baginya ketika dia mengangkat karung itu ke atas pundaknya, kemudian dia berkata, suaranya lantang.

“Koan Ki Sek, sekarang di depan isterimu, ceritakan apa yang telah kaulakukan terhadap isteriku, tujuh tahun yang lalu.”

Hartawan itu mengerutkan alisnya, memandang kepada isterinya dan kepada dua orang pelayannya, lalu menghardik dua orang pelayan itu, “Kalian pergilah dari sini!” Tentu saja dia tidak menghendaki ceritanya yang memalukan itu akan didengar oleh oleh dua orang pelayan itu.

“Tidak! Kalian juga mendengarkan di sini!” Cin Hay berkata kepada mereka.

Akan tetapi, dua orang pelayan itu tidak mengenal Cin Hay, tentu saja mereka lebih taat kepada majikan mereka dan mereka membalikkan tubuh hendak pergi dari ruangan itu. Cin Hay melompat dan kedua tangannya memegang pundak mereka, sekali tarik dia membuat mereka terpelanting dan di lain saat, dua orang itu sudah tidak mampu menggerakkan kaki karena telah ditotok oleh Cin Hay.

Barulah mereka ketakutan dan maklum bahwa pemuda itu lihai sekali, dan mereka kini dengan tubuh rebah miring terpaksa ikut mendengarkan. Nyonya Koan terkejut melihat kekerasan yang dilakukan Cin Hay dan iapun lari mendekati suaminya.

“Nah, Koan Ki Sek, sekarang berceritalah!” Cin Hay berkata lagi dengan suara keren.

Dengan suara gemetar dan muka pucat akan tetapi penuh keringat, Koan Wan-gwe lalu menceritakan peristiwa tujuh tahun yang lalu di Telaga See-ouw. Kadang-kadang dibantu dan diingatkan oleh Cin Hay, hartawan itu dengan singkat namun jelas menceritakan apa yang telah dilakukannya terhadap Cin Hay dan isterinya.

Betapa See-ouw Sam-houw atas perintahnya telah melukai dan melempar Cin Hay ke dalam telaga, dan merampas isterinya yang cantik. Betapa dia memperkosa wanita muda yang sedang mengandung muda itu di dalam bilik perahu, kemudian menyerahkan wanita yang melawan itu kepada See-ouw Sam-houw. Kemudian betapa tiga orang jagoannya itu memperkosa isterinya Cin Hay bergantian sampai mati dan menguburkan jenazah nyonya muda itu di lereng bukit dekat telaga.

Mendengar cerita yang mengerikan itu, Nyonya Koan menjerit dan menangis. Dia tahu betapa suaminya hidung belang dan mata keranjang, akan tetapi tidak pernah menyangka suaminya akan melakukan perbuatan yang demikian kejamnya.

“Dan tujuh tahun kemudian, baru tadi, dia telah menculik pula seorang gadis dusun yang hendak diperkosanya di dalam kereta!” kata Cin Hay yang kemudian bertanya, “Nyonya, apakah tidak adil namanya kalau sekarang aku datang, merampok hartanya dan mencabut nyawanya?”

Sambil menangis nyonya itu mengangguk-angguk. “Adil....... sudah adil...... akan tetapi ampunkanlah suamiku ini, tai-hiap......”

Cin Hay menghela napas panjang, lalu memandang hartawan itu. “Manusia tak kenal budi! Isterimu demikian setia dan baik, akan tetapi engkau melakukan perbuatan yang kejam dan jahat di luar rumah! Sepatutnya engkau kubunuh, akan tetapi mengingat isterimu, biarlah kuampuni nyawamu, akan tetapi engkau harus diberi hukuman yang setimpal dengan kejahatanmu!” Berkata demikian, dengan perhitungan yang tepat, Cin Hay menggerakkan kedua tangannya, menotok pinggang dan punggung Koan Ki Sek. Hartawan itu mengeluarkan teriakan panjang dan diapun roboh terpelanting, pingsan. Isterinya menjerit dan menubruknya sambil menangis.

“Nyonya, jangan khawatir, dia tidak akan mati, akan tetapi tidak akan mampu mengganggu wanita lagi. Selamat tinggal,” kata Cin Hay yang melangkah keluar sambil memanggul karung berisi duapuluh kati emas itu. Tak seorangpun penjaga berani menghalangi pemuda yang datang bersama majikan mereka itu.

Tubuh Koan Ki Sek lalu diangkat ke dalam kamarnya dan benar seperti yang diucapkan Cin Hay kepada isteri hartawan itu, Koan Ki Sek tidak mati melainkan jatuh sakit sampai hampir sebulan lamanya dan setelah sembuh, ternyata bahwa anggauta kelaminnya menjadi lumpuh!

Hal ini membuat dia terkejut dan berduka sekali, dan berusaha mengobati dirinya. Dipanggilnya semua tabib pandai, bahkan dia pergi ke kota raja untuk berobat, namun sia-sia saja karena urat syarafnya telah hancur dan rusak oleh totokan yang dilakukan Cin Hay. Selamanya dia tidak akan dapat lagi menggauli wanita dan akhirnya, hartawan inipun sadar akan semua dosanya dan dia merobah cara hidupnya sama sekali.

Semua jagoannya dia keluarkan, dan dia hidup damai dengan para penghuni dusun, bahkan dia kemudian terkenal sebagai seorang dermawan yang agaknya hendak menghabiskan hartanya untuk menolong sesama manusia. Perlahan-lahan, terhapuslah nama buruknya. Kalau tadinya dia ditakuti semua orang, kini mulai berubah pandang mata orang-orang kepadanya, tidak lagi takut, melainkan hormat dan segan, juga berterima kasih!

Sementara itu, Cin Hay melakukan perjalanan cepat keluar dari dusun Tiang-cin, memanggul emas dalam karung. Dia kini telah membalas kematian isterinya. Perhitungan dengan para pembunuh isterinya telah selesai dan kini diapun sudah memiliki modal yang cukup untuk hidup secara pantas. Akan tetapi pikiran ini segera dibuangnya. Dia mengambil harta dari Koan Ki Sek hanya untuk menghukum orang itu, dan kini dia bahkan mulai merasa repot dengan beban di pundaknya itu.

Untuk apa emas sebanyak itu? Dia teringat akan keluarga isterinya, maka kakinya lalu melangkah cepat menuju ke dusun tempat tinggal ibunya dan ayahnya. Dia akan pulang dulu ke rumah ayah bundanya, baru dia akan berkunjung kepada keluarga mertuanya. Mereka, orang tuanya sendiri dan mertuanya, tentu membutuhkan emas-emas ini! Setidaknya, setelah meninggalkan mereka selama tujuh tahun, kini dia dapat memberikan sesuatu kepada mereka, sebagai sekedar balas jasa atas segala kebaikan mereka, juga sebagai sekedar hiburan bagi orang tua isterinya yang telah kehilangan anak.

Ibunya menyambut kedatangan Cin Hay dengan tangis keharuan dan kebahagiaan. Ibunya hidup di rumah pamannya, adik ibunya, karena ayah Cin Hay telah meninggal dunia karena sakit. Melihat betapa pamannya itu baik hati, mau menampung ibunya dan bersikap amat baik terhadap ibunya, Cin Hay bersyukur dan dia lalu menyerahkan sepuluh kati emas kepada ibunya.

Uang sebanyak itu merupakan harta yang amat besar bagi orang dusun. Ibunya segera menyerahkan emas itu kepada adiknya dan mereka sekeluarga lalu membeli tanah dan membangun rumah, dan selanjutnya hidup sebagai petani yang beruntung dan serba cukup.

Cin Hay berpamit kepada ibuya untuk melanjutkan perantauannya. Tadinya, sang ibu menahannya, bahkan membujuk seorang gadis dusun untuk menjadi isteri Cin Hay, namun pemuda ini tersenyum dan menolak dengan halus.

“Ibu, bertahun-tahun aku mempelajari ilmu dan sekaranglah saatnya aku harus mempergunakan ilmu itu dalam dunia ramai. Aku hendak merantau dan tinggallah ibu bersama paman di sini.”

Ibunya tidak dapat menahannya lagi dan pergilah Cin Hay berkunjung ke rumah mertuanya. Seperti juga keluarga ibunya, keluarga mertuanya menerima Cin Hay dengan ramah dan baik. Biarpun kini anak mereka telah meninggal dan Cin Hay hanya merupakan bekas mantu saja, namun keluarga lurah Gu itu menganggap Cin Hay seperti anak sendiri.

Menerima penyambutan yang ramah Cin Hay merasa terharu dan girang sekali. Tidak percuma dia berniat baik memberi separuh emasnya kepada keluarga mertuanya, ka- rena ternyata keluarga mertuanya ini masih amat baik kepadanya. Dia lalu menceritakan betapa dia telah membalas dendam, membunuh See-ouw Sam-houw yang menyebabkan kematian Gu Ci Sian dan menghukum Koan Ki Sek.

Mendengar cerita ini, lurah Gu dan isterinya menangis, merasa bersyukur bahwa kematian anak mereka telah terbalas. Apa lagi ketika Cin Hay menyerahkan sepuluh kati emas kepada mereka, lurah Gu tadinya menolak.

“Anakku, mengapa kauberikan harta kepada kami! Sebaiknya kaubawa pulang saja, dan kauserahkan kepada ibumu. Bukankah setelah ayahmu meninggal dunia, ibumu tinggal bersama pamanmu? Belikan tanah dan rumah untuk ibumu dan uang ini dapat dipergunakan untuk modal.”

Cin Hay tersenyum dan semakin mantap hatinya untuk menyerahkan sebagian harta itu kepada mertua yang baik ini. “Saya sudah memberi kepada ibu, harap ayah mertua suka menerimanya.”

Akhirnya Cin Hay berpamit dan diantar oleh keluarga mendiang isterinya itu dengan hati terharu. Setelah meninggalkan dusun itu, Cin Hay teringat akan pesan mendiang gurunya. Kim-san Liong-cu (Mustika Naga dari Gunung Emas)! Dia harus memenuhi pesan gurunya itu. Berangkatlah dia untuk mencari Kim-san (Gunung Emas) di Lembah Huang-ho itu, dengan bekal pakaian secukupnya dan beberapa potong emas untuk biaya di perjalanan.

Y

Wanita itu sungguh cantik jelita. Usianya sekitar duapuluh tiga tahun, pakaiannya tidak sangat mewah, akan tetapi karena bentuk tubuhnya yang ramping padat, maka nampak pakaian itu serasi dan indah. Rambutnya hitam panjang dan halus, digelung di atas kepala dengan hiasan bunga teratai emas. Wajahnya bulat telur, dan kulit mukanya segar kemerahan, putih mulus seperti dibedaki pada hal jelas bahwa dia tidak memakai bedak.

Sepasang matanya jeli dan lebar, tajam sinarnya dan kerlingnya nampak tajam menikam. Sepasang alis matanya seperti dilukis. Hidung kecil mancung dan mulutnya merupakan bagian yang paling menarik dari mukanya. Mulut itu selalu terhias senyuman, dan bibir yang merah dan selalu segar basah itu seperti menantang. Lesung pipit menghias tepi mulutnya, dan lesung pipit itu menjadi semakin jelas kalau ia tersenyum lebar. Di bawah mata kiri, di bagian pipi atas nampak ada tahi lalat hitam kecil yang menjadi penambah kemanisan wajah itu. Seorang wanita yang memiliki daya tarik besar sekali, memberahikan setiap orang pria yang melihatnya.

Dan wanita itu pada suatu pagi melangkahkan kakinya masuk ke pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Dan perbuatannya inilah yang amat menarik perhatian orang, terutama kaum prianya, karena rumah itu adalah sebuah rumah pelesir, sebuah rumah pelacuran milik Bibi Ciok, seorang mucikari yang terkenal di Lok-yang karena rumah pelesirnya merupakan tempat pelesiran terbesar di Lok-yang.

Bibi Ciok terkenal sebagai mucikari yang biasa menyediakan pelacur-pelacur kelas tinggi! Langganannya terdiri dari para bangsawan dan hartawan di Lok-yang. Oleh karena itulah, masuknya wanita cantik menarik itu di pekarangan rumah ini membuat semua orang menengok dan memandang kepadanya dan segera tersiar berita desas-desus yang segera meluas bahwa di rumah pelesir Bibi Ciok terdapat seorang “anggauta baru” yang amat cantik jelita! Kedatangan orang baru merupakan berita paling menggemparkan dari sebuah rumah pelacuran dan dalam waktu singkat saja, para bangsawan dan hartawan yang menjadi langganan Bibi Ciok segera mencari tahu kebenaran berita itu.

Di dalam rumah besar itu sendiri terjadi hal-hal yang amat hebat. Wanita cantik itu langsung membuka pintu depan dan memasuki rumah itu seperti orang memasuki rumah sendiri saja!

Seorang penjaga pintu terkejut melihat kedatangannya dan berusaha menghadang. Dia mengenal semua pelacur yang menjadi langganan rumah pelesir itu dan wanita ini sama sekali tidak dikenalnya. Akan tetapi, penjaga ini tidak berani sembrono karena siapa tahu wanita ini adalah isteri seorang bangsawan yang mencari suaminya!

“Nona siapakah dan ada keperluan apa?” tanyanya sambil menghadang di depan wanita itu.

“Tak perlu engkau tahu siapa aku, lekas panggil Bibi Ciok agar ia keluar menemuiku!” kata wanita itu dengan sikap dingin.

Tentu saja penjaga itu tidak mau menuruti permintaan ini. Dia bertugas sebagai penjaga pintu dan tentu saja tidak dapat mengijinkan setiap orang masuk.

“Tapi...... harap jelaskan dulu nona ini siapa dan ada keperluan apa masuk......”

Tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangannya perlahan sambil berkata, “Jangan banyak cerewet kau!”

Sungguh luar biasa sekali. Ia hanya menggerakkan tangan seperti mendorong, akan tetapi tanpa menyentuh tubuh, penjaga itu sudah terjengkang dan tubuhnya, menabrak dinding. Penjaga itu berteriak-teriak dan muncullah lima orang laki-laki dari dalam. Mereka adalah lima orang jagoan yang menjadi tukang pukul di rumah pelacuran itu, jagoan-jagoan yang diandalkan oleh Bibi Ciok.

“Hai, siapa engkau, berani mati membikin ribut di sini dan memukul penjaga pintu?” Sentak seorang di antara mereka yang berkumis tebal dan yang menjadi kepala dari rombongan jagoan itu.

Wanita cantik itu berdiri tegak dan matanya melirik tajam ketika muncul lima orang itu. Senyumnya melebar sehingga nampak sedikit kilatan giginya yang putih berderet rapi. Kini ia mengangkat muka memandang laki-laki berkumis tebal itu.

“Kalau kalian berlima tidak ingin kuhajar seperti dia ini, cepat menggelinding pergi dam panggil Bibi Ciok ke sini!” katanya.

Tentu saja lima orang jagoan itu menjadi marah melihat sikap dan terdengar ucapan yang nadanya memerintah dan memandang rendah itu. Mereka adalah jagoan terkenal di daerah itu, bahkan Bibi Ciok sendiri yang menjadi majikan, sumber penghasilan mereka, tidak berani bersikap secongkak itu. Mereka dianggap sebagai kacung-kacung saja yang boleh disuruh seenaknya oleh wanita yang baru muncul ini.

Tadinya merekapun berhati-hati, khawatir kalau kalau wanita itu adalah isteri seorang bangsawan yang datang menyusul dan mencari suaminya. Akan tetapi melihat sikap wanita itu dengan congkak, merekapun lupa akan kekhawatiran itu.

“Hemm, perempuan sombong! Siapakah engkau ini? Mengaku dulu siapa engkau dan apa keperluanmu datang mencari Bibi Ciok, baru kami akan mempertimbangkan sikapmu yang congkak!” bentak si kumis tebal.

Wanita itu tersenyum. “Kalian ini tukang-tukang pukul murahan, masih banyak lagak? Cepat panggil Bibi Ciok ke sini atau terpaksa aku akan membuat kalian menguik- nguik seperti anjing-anjing dipukul!”

Habislah kesabaran si kumis tebal. “Kurang ajar!” bentaknya dan tangan kirinya menampar ke arah pipi wanita itu. Berapapun cantiknya wanita itu, tentu saja dia tidak sudi dihina seperti itu!

Akan tetapi, dengan mudah wanita itu hanya menarik tubuhnya bagian atas ke belakang dan tamparan itu luput, dan pada detik itu juga, kaki wanita itu sudah bergerak menendang dengan kecepatan kilat ke depan. Tendangan itu cepat bukan main sehingga tidak dapat dielakkan pula oleh si kumis tebal.

“Dukk!” Perutnya tercium ujung sepatu wanita itu dan si pemilik perutpun terjengkang dan terbanting keras. Dia merangkak bangun sambil memegangi perut karena merasa nyeri seolah-olah usus buntunya yang kena tendang. Dengan muka mengernyit karena nyeri, dia memerintahkan anak buahnya dengan suara penuh geram.

“Bunuh perempuan jahat ini!”

Empat orang jagoan yang lain merasa penasaran dan marah. Merekapun segera mencabut golok masing-masing dan mengepung wanita itu yang masih berdiri tegak sambil tersenyum mengejek. Si kumis tebal memaksa diri bangkit dan mencabut goloknya pula. Biarpun perutnya masih terasa mulas, dia yang menjadi marah karena malu, kini ikut mengepung.

Kalau saja lima orang jagoan itu tidak terlalu tekebur, tentu mereka dapat melihat bahwa sikap wanita itu sudah jelas menunjukkan bahwa ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dikepung lima orang jagoan yang memegang golok, wanita itu masih tersenyum, sedikitpun tidak gentar bahkan sikapnya memandang rendah! Akan tetapi lima orang itu sudah buta karena kesombongan mereka dan karena mereka sudah biasa mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka.

“Mampuslah!” bentak seorang di antara mereka yang berada di belakang wanita itu, goloknya menyambar ke arah tengkuk wanita itu dari belakang!

Tanpa menoleh, wanita itu mengelak, seolah-olah ada mata di tengkuknya. Ia mengelak ke kiri sehingga bacokan golok itu lewat dan seperti kilat saja, tubuhnya membalik ke kanan mengikuti tangannya yang sudah menyambar ke belakang,

“Krekkk!” tangan yang kecil mungil itu menyambar dan mengenai pundak si penyerang dan seketika orang itu terjungkal sambil mengaduh-aduh karena tulang pundaknya remuk diketuk oleh jari-jari tangan kecil mungil itu. Sebuah tendangan menyusul dan membuat tubuh itu terjengkang dan terlempar sampai ke sudut ruangan!

Empat orang jagoan, yang lain menjadi semakin marah dan mereka menyerang secara berbareng, mengeroyok wanita yang tidak bersenjata itu dengan bacokan golok mereka secara ganas sekali. Akan tetapi, wanita itu menyambut serangan empat batang golok itu dengan tenang saja.

Sikapnya tenang, namun gerakan tubuhnya demikian cepat sehingga tiba-tiba saja mata empat orang itu berkunang dan mereka telah kehilangan wanita itu. Demikian cepat gerakannya ketika melesat keluar dari kepungan sehingga ia seolah-olah pandai menghilang saja seperti iblis! Hanya nampak bayangan hitam karena pakaiannya yang serba hitam berbunga abu-abu itu.

Dan ketika empat orang itu menyadari bahwa wanita itu sudah keluar dari kepungan dan mereka membalik, tiba-tiba saja wanita itu menyerang. Tendangan dan tamparan kedua tangannya menyambar bertubi-tubi dan robohlah empat orang itu dengan tulang lengan atau tulang kaki patah-patah! Dalam waktu beberapa detik saja, lima orang itu telah roboh berserakan sambil mengaduh-aduh dan tidak mampu bangkit kembali karena kaki atau lengan yang patah tulangnya!

Pada saat itu, dari dalam muncul Bibi Ciok, wanita yang usianya sudah limapuluh lima tahun dan tubuhnya semakin gembrot itu. Ia mendengar suara ribut-ribut dan karena di tempat itu ia seperti seorang ratu atau majikan yang ditakuti, dan karena ia terlalu percaya bahwa lima orang jagoannya pasti akan mampu membereskan semua persoalan, maka iapun bergegas keluar dan matanya terbelalak melihat betapa lima orang jagoannya roboh dan mengaduh-aduh, sedangkan di tengah ruangan berdiri seorang wanita yang cantik sekali.

Ia memandang penuh perhatian. Wanita yang amat cantik manis, kulitnya menjadi lebih putih mulus karena pakaiannya yang serba hitam, dari sutera halus, namun dengan potongan sederhana itu.

Usianya kurang lebih duapuluh tiga tahun, seorang gadis yang sudah matang, dengan tubuh menggairahkan. Sebagai seorang mucikari yang pekerjaannya mengumpulkan wanita-wanita muda yang cantik, tentu saja Bibi Ciok pandai menilai kecantikan seorang gadis, baik bentuk wajahnya maupun keadaan tubuhnya. Gadis seperti itu akan menjadi sumber uang yang baik sekali baginya, pikir wanita tua ini. Akan tetapi, ketika ia memandang dengan teliti, tiba-tiba ia terbelalak.

“Kim Cu......!” teriaknya.

Ia mengenal wanita cantik berpakaian serba hitam itu. Tak salah lagi, ia adalah Lie Kim Cu, bekas selir Pangeran Coan Siu Ong yang dijual kepadanya. Gadis yang pernah menjadi pelacur di rumah pelesirnya, yang selama sebulan telah mendatangkan uang yang cukup banyak dan menjadi rebutan para kongcu hidung belang yang berani membayar mahal untuk dapat tidur semalam di kamar gadis itu! Dan gadis itu lalu melarikan diri ketika dibawa pesiar oleh Bhok-kongcu, mantu jaksa agung!

“Kim...... Kim Cu......?” Jagoan berkumis tebal berseru kaget bukan main, demikian pula teman-temannya. Kini baru mereka mengenal wanita cantik berpakaian serba hitam yang lihai itu dan mereka bergidik.

Teringat peristiwa tujuh tahun yang lalu ketika mereka mengepung gadis itu, muncul seorang nenek dan terjadi keanehan ketika mereka berempat ketika itu, dihajar habis-babisan oleh gadis ini, tanpa mereka mampu membalas sama sekali! Dan kini wanita itu muncul kembali dengan ilmu kepandaian yang hebat sekali!

Wanita itu memang Lie Kim Cu! Seperti telah kita ketahui, ketika ia dikejar-kejar kemudian dikeroyok empat orang jagoan, yaitu si kumis tebal dan tiga orang kawannya ketika ia melarikan diri dari kereta Bhok Hin, muncul Huang-ho Kuibo, nenek yang berpakaian serba hitam dan yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat itu. Ia kemudian menjadi murid datuk dunia kang-ouw itu dan selama tujuh tahun ia digembleng oleh Huang-ho Kuibo.

Setelah berkeliaran di sepanjang Sungai Huang-ho selama tujuh tahun dan menggembleng muridnya dengan semua ilmu yang dimilikinya, akhirnya Huang-ho Kuibo yang sudah amat tua itu hampir sembilanpuluh tahun usianya, memilih sebuah guha untuk tempat pertapaannya. Ia telah terlalu tua untuk berkeliaran lagi dan ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan bertapa di guha itu. Ia mengusir muridnya untuk mempergunakan ilmu-ilmunya di dunia ramai.

“Kalau engkau ingin menjadi seorang yang paling menonjol dalam dunia persilatan, pergilah ke Bukit Emas (Kim San). Engkau tentu masih ingat Kim-san yang pernah kutunjukkan kepadamu dari jauh dalam perantauan kita itu, bukan?”

“Maksud subo (ibu guru) Bukit Emas di sebelah selatan Sungai Kuning, yang dari jauh nampak kuning berkilauan itu di waktu senja?”

“Benar, itulah Kim San!”

“Kata subo, di sana pernah terjadi pertempuran besar di antara orang-orang pandai dan di sana banyak orang pandai di dunia persilatan roboh dan binasa.”

“Bagus kau masih ingat akan ceritaku itu. Memang, di sana kini menjadi kuburan banyak orang pandai, bahkan aku sendiri nyaris tewas di sana ketika ikut memperebutkan Kim-san Liong-cu.”

“Kim-san Liong-cu? Benda apakah itu, subo?” tanya Kim Cu ingin tahu sekali.

Nenek itu menarik napas panjang. “Siapa pernah melihatnya? Akan tetapi banyak sudah dunia kang-ouw mendengar nama benda itu. Sesuai dengan namanya, benda itu adalah sebutir liong-cu (mustika naga) yang kabarnya ratusan tahun yang lalu menjadi milik seorang pangeran dan kemudian benda itu ikut dikubur bersama jenazah pangeran itu. Kuburan kuno itu berada di puncak Kim-san.”

“Akan tetapi, kalau benda itu sudah dikubur dengan jenazah pangeran itu, mengapa untuk rebutan? Apa sih gunanya benda itu?”

“Aih, engkau sungguh tidak tahu. Di dunia ini terdapat banyak benda aneh, pusaka-pusaka yang mujijat dan Mustika Naga merupakan sebuah di antara pusaka-pusaka yang amat hebat khasiatnya. Kalau benda itu dikubur bersama jenazah, maka jenazah itu akan dapat bertahan dan tidak rusak sampai ratusan tahun! Kalau dibikin bubuk dan diminum, akan membuat orang menjadi kuat dan panjang usia sampai lebih dari seratus tahun.”

“Akan tetapi bagaimana kalau dia dibunuh orang?”

“Ah, kalau begitu tentu lain lagi. Akan tetapi, penyakit tidak akan dapat menyerangnya, dan selain itu, makan liong-cu akan membuat tubuh kuat dan mendatangkan tenaga sin-kang yang luar biasa. Juga dapat menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan sanggup menolak segala macam racun!”

“Ih, sungguh hebat!”

“Bukan hanya itu. Kalau mustika itu dilebur dan dicampur dengan logam yang akan dijadikan senjata, maka senjata itu akan menjadi senjata pusaka yang ampuh bukan main. Nah, karena banyak sekali khasiatnya, maka begitu terdapat berita bahwa di dalam kuburan kuno itu terdapat liong-cu, para tokoh dunia persilatan berdatangan dan berebutan.”

“Lalu bagaimana, subo?” Kim Cu mendesak karena ia tertarik sekali. “Siapa yang berhasil mendapatkan pusaka itu ketika terjadi perebutan di sana?”

Nenek itu menggeleng kepalanya. “Tidak ada seorangpun yang mendapatkan, dan sudah begitu banyak orang pandai yang tewas, ada puluhan orang yang mati dan akhirnya, tidak ada seorangpun yang berhasil mendapatkan Kim-san Liong-cu!”

Tiba-tiba Kim Cu dapat membayangkan keadaan yang amat lucu itu dan iapun tertawa.

Gurunya memandang kepadanya dengan alis berkerut. “Kenapa engkau tertawa?”

“Hi-hik, alangkah lucunya, subo. Setelah puluhan orang tewas dalam perebutan, kuburan itu dibongkar oleh mereka yang menang; dan tentu saja isinya hanya tengkorak karena mustika naga itu hanya dongeng bohong belaka.”

“Bodoh!” Nenek itu membentak sehingga Kim Cu terkejut dan kembali ia memusat perhatian. “Bukan begitu! Akan tetapi kuburan itu telah ada yang lebih dulu membongkarnya dan ada orang yang telah mengambil Kim-san Liong-cu itu sebelum para tokoh datang memperebutkannya! Pusaka itu memang ada, sebesar kepala bayi yang baru lahir, akan tetapi telah lebih dulu diambil orang!”

Kim Cu kembali tertarik sekali. “Siapa yang mengambilnya, subo?”

“Itulah! Tidak ada yang tahu. Karena itu engkau harus pergi ke Kim-san, melakukan penyelidikan dan siapa tahu engkau akan dapat mengetahui siapa orang yang mencuri pusaka itu, kemudian engkau harus merebutnya agar engkau, muridku, menjadi orang paling lihai di dunia ini!”

Tanpa disuruh sekalipun, setelah mendengar cerita yang amat menarik itu. Kim Cu sudah mengambil keputusan untuk menyelidiki dan mencari orang yang telah mengambil mustika itu. Ia mengangguk menyanggupi kemudian ia turun dari bukit di mana terdapat guha itu, meninggalkan gurunya. Iapun condong mengikuti kebiasaan gurunya, suka memakai pakaian yang serba hitam.

Demikianlah, setelah meninggalkan gurunya, Kim Cu langsung menuju ke Lok-yang dan tempat yang pertama kali dikunjunginya adalah rumah pelesir milik Bibi Ciok di mana ia pernah menjadi pelacur secara terpaksa. Dan terjadi keributan di mana ia merobohkan lima orang jagoan Bibi Ciok yang kini mengenalnya setelah Bibi Ciok menyebut namanya.

Melihat betapa Bibi Ciok dan lima orang jagoan yang telah dirobohkannya itu mengenalnya, Kim Cu lalu membentak dengan suara lirih namun penuh wibawa, “Hayo kalian cepat berlutut!”

Bibi Ciok sudah melihat betapa lima orang jagoannya roboh oleh Kim Cu. Iapun bukan orang bodoh dan tahulah ia bahwa wanita cantik itu kini menjadi seorang yang amat berbahaya maka iapun menjatuhkan diri berlutut seperti yang dilakukan oleh lima orang jagoannya yang kini memandang ketakutan.

“Ingat, dari sekarang jangan menyebut namaku yang lama lagi. Aku kini adalah Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam) dan kalian harus mentaati semua perintahku. Sekali saja melanggar akan kucabut nyawanya!”

Mendengar ucapan itu, enam orang itu bergidik, dan Bibi Ciok yang mengumpulkan seluruh keberaniannya, sambil berlutut menyembah-nyembah dan berkata dengan suara gemetar.

“Nona....... Liong-li......, harap ampunkan kami yang bodoh. Saya berjanji akan memenuhi semua perintah nona. Sebenarnya...... apakah yang nona kehendaki datang ke tempat yang buruk ini......?”

“Bibi Ciok, tujuh tahun yang lalu, ketika engkau memaksa aku melayani para pria hidung belang di sini, aku mempunyai langganan sebanyak duabelas orang. Aku ingin agar engkau mengundang mereka semua itu untuk datang ke sini, katakan bahwa aku telah kembali dan aku akan mengadakan pertunjukan yang manis untuk mereka, bahkan akan kutentukan, siapa yang boleh menemani aku tidur semalam di sini, yaitu dia yang membawa emas paling banyak.

“Nah, aturlah itu, agar tiga hari kemudian mereka semua datang ke sini, pada senja hari. Ruangan pertunjukan di belakang itu harus kauhias sebaik-baiknya, sediakan kursi-kursi untuk duabelas orang tamuku, dan aku akan menari di sana. Awas, kurang seorang saja berarti sekali tamparan untukmu, dan engkau sudah melihat sendiri akan kerasnya tamparanku. Mereka semua harus selengkapnya berada di sini! Untuk membuktikan kerasnya tamparanku, kaulihat ini!” Kim Cu menghampiri sebuah meja tebal dan sekali tangan kirinya bergerak membacok, meja itu telah pecah berantakan! Tentu saja lima orang jagoan dan Bibi Ciok memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.

“Akan kami usahakan...... akan kami lakukan perintah nona......” kata Bibi Ciok dengan tubuh gemetar.

“Bagus, dengan begitu nyawamu akan tetap tinggal dalam tubuhmu. Tiga hari lagi, pada sore hari aku datang ke sini. Mereka harus sudah berkumpul dan panggil serombongan pemain musik wanita untuk mengiringi aku menari!”

Setelah berkata demikian, Lie Kim Cu atau yang lebih baik kita sebut saja nama barunya, yaitu Hek-liong-li atau Liong-li saja, meninggalkan Bibi Ciok dan lima orang jagoannya yang masih berlutut ketakutan.

Baru setelah gadis itu pergi dan tidak nampak lagi, Bibi Ciok bangun dan sumpah serapah keluar dari mulutnya yang nyerocos memaki-maki lima orang jagoannya yang dianggapnya tidak becus! Akan tetapi, lima orang jagoan itu tidak mampu berbuat apa- apa lagi, karena mereka harus berobat untuk menyambung tulang kaki atau lengan yang patah-patah untuk beberapa bulan lamanya, lima orang jagoan ini tidak akan dapat berlagak jagoan lagi karena harus beristirahat.

Biarpun ia masih merasa heran atas sikap Lie Kim Cu yang kini beralih nama menjadi Hek-liong-li, nama yang menyeramkan itu, namun Bibi Ciok sama sekali tidak berani membangkang terhadap perintah gadis itu. Tadinya memang ada niat di hatinya untuk memanggil jagoan-jagoan yang lebih pandai, yang banyak terdapat di Lok-yang, akan tetapi lima orang jagoannya menasihati agar Bibi Ciok jangan melakukan hal itu. Mereka mengaku bahwa tingkat ilmu kepandaian Hek-liong-li luar biasa sekali dan guru merekapun tidak akan mampu menandingi gadis itu!

Mendengar ini, Bibi Ciok tidak berani mengambil resiko. Apa lagi, perintah itu tidak berbahaya, bahkan akan menguntungkan dirinya! Agaknya bekas anak buahnya itu masih teringat akan para langganannya yang menyayanginya maka kini hendak menjamu mereka dengan pesta dan tari. Dan menjanjikan tidur seorang di antara mereka yang membawa emas paling banyak! Hampir Bibi Ciok bersorak kalau membayangkan betapa Hek-liong-li akan suka melayani pria-pria hidung belang lagi di situ, karena hal ini berarti mengalirnya banyak emas ke dalam sakunya!

Tiga hari lewat dengan cepatnya. Bibi Ciok sibuk selama tiga hari itu, akan tetapi ia masih ingat kepada duabelas orang langganan Lie Kim Cu. Mereka adalah orang orang muda, ada yang putera hartawan, ada pula putera bangsawan. Memang dahulu, Lie Kim Cu tidak mau mengobral dirinya, dan setiap malam hanya melayani seorang pria sampai pagi. Dengan demikian, selama berada di situ sebulan lebih, gadis itu hanya mempunyai duabelas orang langganan yang kesemuanya tergila-gila kepadanya.

Oleh karena itu, ketika Bibi Ciok menghubungi mereka dan mengabarkan bahwa Lie Kim Cu yang cantik jelita dan pandai menghibur hati mereka dengan segala kehangatan dan kemesraan itu telah kembali, para pria hidung belang itu menjadi gembira sekali. Di antara mereka termasuk Bhok Hin! Mereka semua berjanji akan datang pada senja hari itu dan mereka akan berlumba memenangkan hati wanita cantik itu agar dipilih.

Pada hari yang ditentukan, sejak sore hari duabelas orang kongcu hidung belang itu sudah bergiliran datang dengan kereta mereka yang mewah. Mereka disambut dengan penuh keramahan oleh Bibi Ciok dan mereka dipersilakan langsung saja masuk ke ruangan belakang yang luas. Tempat ini memang biasa dipergunakan untuk pesta, tari-tarian dan sebagainya dan keadaan tempat itu kini amat meriah, dihias dengan rapi dan bersih.

Kursi-kursi berjajar merupakan setengah lingkaran menghadap ke sebuah panggung di mana wanita cantik yang mereka rindukan itu akan muncul. Rombongan musik yang terdiri dari gadis-gadis cantik sudah siap, bahkan atas isyarat dari Bibi Ciok, mereka sudah memainkan alat musik mereka perlahan-lahan untuk menyambut para tamu yang berdatangan.

Kini duabelas orang tamu itu sudah datang semua. Yang paling akhir adalah Bhok Hin dan begitu mantu jaksa agung itu hadir, langsung dia bertanya kepada Bibi Ciok, “Bibi Ciok, mana si cantik Kim Cu?”

Pertanyaan ini disambut oleh para tamu lainya yang juga sudah tidak sabar untuk cepat bertemu dan melihat bagaimana keadaan wanita yang pernah membuat mereka tergila-gila tujuh tahun yang lalu. Hal ini adalah karena pandainya Bibi Ciok berpromosi, mengabarkan bahwa kini wanita itu jauh lebih cantik, matang dan menarik dibandingkan tujuh tahun yang lalu!

Selagi mereka riuh-rendah bertanya kepada Bibi Ciok, tiba-tiba kain tirai sutera di belakang panggung itu tersibak dan semua mata ditujukan ke sana, percakapan pun seketika terhenti! Di sana, di atas panggung, muncul seorang wanita yang memang nampak cantik luar biasa. Kulitnya yang putih mulus kemerahan nampak lebih putih lagi karena ia mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera hitam.

Pakaian itu ringkas dan ketat sehingga tubuhnya yang padat langsing itu nampak jelas lekuk lengkungnya yang menggairahkan. Sepasang matanya jernih dan tajam, sedangkan mulut itu tersenyum-senyum ramah dan manis sekali, nampak lesung pipit di dekat mulut.

Semua tamu terpesona dan mereka mengenal wanita yang pernah membuat mereka mabok dan tergila-gila, hanya kini nampak lebih cantik dan lebih matang, tepat seperti yang dipromosikan Bibi Ciok! Seperti dikomando saja, duabelas orang itu bertepuk tangan sambil tersenyum-senyum, memasang lagak agar nampak tampan dan menarik.

Liong-li mengangkat kedua tangan ke atas, memberi isyarat agar mereka tidak gaduh. Mereka pun duduk diam dan memandang penuh kagum, dan suasana menjadi hening. Liong-li memperlebar senyumnya sehingga nampak deretan giginya berkilat.

Biarpun mulutnya tersenyum dan matanya mengerling tajam dan memikat, namun wanita ini merasa betapa hatinya panas. Teringat ia betapa tujuh tahun yang lalu, dengan hati menderita dan terpaksa menelan semua kejijikan dan penghinaan, ia harus melayani duabelas orang ini, menyerahkan dirinya dan segala-galanya, bahkan harus berpura-pura menikmatinya dan menyenanginya! Semua ingatan ini membuat hatinya terbakar oleh dendam dan kemarahan.

“Cu-wi Kong-cu (Tuan-tuan Muda Sekalian),” ia berkata dengan suara merdu merayu dan kerling mata penuh daya tarik, “selamat sore dan selamat berjumpa kembali! Sungguh saya merasa rindu sekali kepada cu-wi (anda sekalian). Tentu cu-wi telah melupakan saya, apa lagi rindu......” Ia berhenti dan senyumnya melebar.

“Wah, akupun rindu sekali!” teriak seseorang.

“Aku juga!”

“Aku rindu setengah mati!”

Bhok Hin berteriak, “Kim Cu, kami semua rindu kepadamu. Ke mana saja selama tujuh tahun ini engkau pergi?”

Liong-li mengerling tajam. “Hal itu akan saya ceritakan kepada cu-wi seorang demi seorang, bukan di sini akan tetapi di dalam kamar di mana kita berdua saja......”

Kembali mereka bersorak dan baru keadaan menjadi hening setelah Liong-li memberi isyarat.

“Akan tetapi karena cu-wi berjumlah belasan orang, tentu saja saya tidak dapat melayani semua. Satu malam untuk satu orangg seperti dulu, dan malam ini saya akan memilih seorang dengan melihat siapa di antara cuwi yang paling rindu kepada saya. Hal itu dapat saya lihat berapa besarnya hadiah yang cuwi berikan untuk saya! Harap cuwi menaruh hadiah itu di sini!” Ia mengeluarkan sehelai kain hitam yang lebar dan mengembangkan kain itu di atas panggung.

Mendengar ini, duabelas orang itu kembali tertawa-tawa dan suasana menjadi gaduh ketika mereka maju dam meletakkan bermacam barang berharga, kebanyakan potongan emas ke atas bentangan kain hitam itu. Liong-li sambil tersenyum memandang dan melihat betapa setiap orang memberi paling sedikit tiga tail emas dan paling banyak sepuluh tail emas sehingga menurut taksirannya, setelah semua orang menyerahkan hadiah, tidak kurang dari limapuluh tail emas terkumpul!

Setelah semua orang kembali dipersilakan duduk, Liong-li berkata lantang. “Sebelum saya umumkan siapa yang menang dan berhak menemani saya malam ini, saya akan mempersembahkan sebuah tarian untuk cuwi yang tercinta!”

Liong-li menyuruh para pemain musik membunyikan musik mereka lebih keras, dan iapun mulai dengan tariannya! Dikeluarkannya sebatang pedang dan iapun mulai menari pedang! Memang Liong-li tidak dapat disamakan dengan Lie Kim Cu. Ia kini seorang ahli silat yang hebat, dan kini ia dapat memainkan tari pedang yang lemah gemulai, namun di balik gerakan pedang yang nampak indah itu terkandung kekuatan dahsyat yang hanya akan dikenal oleh ahli silat tinggi.

Duabelas orang kongcu hidung belang itu mana mungkin mengenalnya? Mereka terpesona, bukan oleh tarian pedang, melainkan oleh tubuh yang bergerak-gerak amat menggairahkan dan seperti tertarik besi semberani, mereka bangkit dari tempat duduk mereka dan mendekati panggung agar dapat melihat lebih jelas. Melihat betapa duabelas orang itu kini berdiri membuat setengah lingkaran di depan panggung, senyum Liong-li melebar dan iapun sambil menari berkata-kata dengan suara lantang.

“Kalian adalah kongcu-kongcu hidung belang. Biarlah kusingkirkan hidung-hidung itu agar tidak nampak belangnya lagi!” berkata demikian tiba-tiba saja pedang itu lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyambar ke bawah panggung. Terdengar teriakan-teriakan dan nampak darah muncrat-muncrat.

Keadaan menjadi gaduh dan gempar. Para gadis penabuh musik menjerit ketakutan dan lari cerai berai. Hanya sebentar saja keributan itu terjadi. Ketika kegaduhan berhenti, keadaan sungguh mengerikan. Duabelas orang pria itu menggunakan tangan mendekap muka mereka, terutama di bagian hidung. Darah mengalir dari celah antara jari tangan yang mendekap dan mulut mereka merintih kesakitan.

Kiranya, duabelas orang itu benar-benar telah kehilangan batang hidung mereka. Bukit hidung itu disambar gulungan sinar pedang dan buntung! Dan di sudut nampak Bibi Ciok melolong dan menangis sambil menggunakan tangan kiri memegangi lengan kanannya yang buntung! Tadi sinar pedang itu menyambar ke arah tangan kanannya dan terdengar bentakan Liong-li.

“Engkau harus menebus dosamu kepadaku dengan menyerahkan tanganmu yang kotor!” Dan begitu sinar menyambar, tangan kanannya sebatas pergelangan menjadi buntung!

Dan ketika semua orang memandang ke arah panggung, Liong-li sudah tidak nampak bayangannya lagi, dan tumpukan emas di atas kain hitam yang terbentang tadipun lenyap. Liong-li telah pergi setelah menghukum orang-orang yang pernah menyakiti hatinya.

Tentu saja peristiwa itu mendatangkan geger di kota Lok-yang. Semua orang membicarakannya dan nama Hek-liong-li menjadi buah bibir orang. Dewi Naga Hitam menjadi terkenal di Lok-yang. Apa lagi setelah pada malam hari itu juga terjadi peristiwa lain di Lok-yang yang amat mengerikan pula. Terjadi di rumah gedung Pangeran Coan Siu Ong!

Malam itu sunyi meliputi rumah gedung yang seperti istana itu, milik Pangeran Coan Siu Ong. Pangeran yang kini usianya sudah limapuluh tujuh tahun itu, sudah tidur mendengkur kelelahan setelah menggilir selir barunya yang nomor lima!

Tengah malam telah lewat dan para peronda di gedung itu sudah mulai meronda. Mereka terdiri dari lima orang pengawal yang meronda di sekeliling gedung, memasuki taman dan memeriksa semua sudut. Seorang di antara mereka memegang sebuah lentera. Namun, sunyi saja dan nampaknya aman sehingga mereka setelah berkeliling lalu kembali ke gardu penjagaan mereka yang berada di pekarangan depan gedung itu.

Udara dingin dan mereka berlima lebih hangat kalau berada di dalam gardu. Tiga orang segera rebah di atas kursi panjang, yang dua orang sibuk bermain catur. Tak seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa sepasang mata jeli dari atas genteng sejak tadi mengamati gerak-gerik mereka ketika meronda.

Setelah mereka memasuki gardu, pemilik mata itu bangkit dari keadaannya yang mendekam tadi, lalu nampak bayangannya yang hitam ramping berloncatan di atas wuwungan, kemudian melayang turun di taman dalam gedung dan menyelinap di antara kamar-kamar gedung besar itu.

Beberapa menit kemudian, bayangan hitam itu sudah membuka jendela sebuah kamar dengan mudahnya, lalu bagaikan seekor burung saja ia melompat masuk ke dalam kamar itu. Di atas meja masih bernyala penerangan sebatang lilin yang dikerudung kain merah sehingga cuaca dalam kamar itu kemerahan remang-remang, romantis sekali.

Bayangan itu seorang wanita yang cantik, berpakaian serba hitam dan dalam penerangan lilin, nampaklah bahwa ia bukan lain adalah Hek-liong-li! Setelah menghajar para kongcu hidung belang yang pernah menjadi langganannya, yang pernah dilayaninya secara terpaksa dan dengan hati tersiksa, kini Liong-li memasuki kamar orang yang paling dibencinya, yaitu kamar Pangeran Coan Siu Ong! Pangeran inilah yang pertama kali memperkosanya, dan pangeran ini pula yang mengakibatkan ayah kandungnya membunuh diri dan ibu kandungnya meninggal dunia karena kedukaan.

Liong-li membuka kerudung lilin, bahkan memasang pula tiga buah lilin yang dipadamkan, di tempat lilin di atas meja. Kini kamar itu tidak remang-remang lagi, melainkan terang dan Liong-li yang menoleh ke arah tempat tidur, dapat melihat betapa di balik kelambu yang putih halus itu terdapat dua sosok tubuh manusia yang tidur pulas dalam keadaan saling berpelukan dan tertutup selimut merah.

Liong-li segera membayangkan keadaannya ketika itu, tujuh tahun yang lalu, di dalam kamar ini, bahkan di atas pembaringan itu. Betapa ia terbelenggu kaki tangannya, diperkosa oleh Pangeran Coan Siu Ong. Wajahnya menjadi merah, akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya dan ketika ia mengerling ke dinding, ia melihat bahwa pedang pendek yang dulu pernah ia pergunakan untuk mencoba membunuh pangeran itu kini masih juga tergantung di situ.

Ia mengambil pedang itu dan menghunusnya. Ia tidak pernah membawa pedang dan pedang yang dipergunakan untuk “menari” dan menghajar para pria hidung belang di rumah pelesir Bibi Ciok juga merupakan pedang biasa yang dibelinya dari penjual pedang di pasar.

“Brettt......, bretttt......!” Kelambu itu disambar pedang dan robek terkuak lebar, namun dua orang yang saling berpelukan di atas tempat tidur itu tidak bergerak. Mereka sudah tidur nyenyak sekali.

“Brukkkk......!” Liong-li membacok kaki pembaringan itu sehingga pembaringan itu roboh miring. Barulah dua orang itu terkejut, selimut tersingkap dan Liong-li memalingkan muka melihat bahwa mereka itu sama sekali tidak berpakaian.

“Apa...... apa...... siapa......?” Pangeran Coan Siu Ong yang terkejut itu gelagapan dan bersama selirnya, dia menyambar pakaian dan mengenakan pakaiannya secara tergesa-gesa, sejadinya saja.

Lalu dia meloncat turun dari pembaringan yang miring itu, matanya terbelalak kemerahan karena dia melihat seorang wanita berdiri membelakangi pembaringan. Dia mengira bahwa tentu seorang diantara selirnya yang sengaja datang membikin ribut karena iri hati dan panas melihat dia lebih sering tidur di kamar selir terbaru ini. Dia marah sekali dan siap untuk memaki dan menghajar selir kurang ajar itu.

KEPARAT, berani kau mengganggu aku......”

Tiba-tiba dia menghentikan kalimatnya itu ketika Liong-li membalikkan tubuh menghadapinya. Pangeran Coan Siu Ong terkejut dan bengong memandang kepada wanita berpakaian serba hitam yang amat cantik itu. Cantik dan menyeramkan karena kemunculannya yang tiba-tiba, pakaiannya yang serba hitam, dan tangannya yang memegang pedang telanjang.

“Siapa...... siapa kau......?” akhirnya dia bertanya, suaranya agak gemetar karena dia merasa seram. Sementara itu, selirnya yang juga sudah menutupi tubuh dengan pakaian sekenanya, turun dari pembaringan dan bersembunyi di sudut kamar, di balik lemari pakaian dengan muka pucat dan tubuh gemetar.

Liong-li tersenyum manis. “Pangeran Coan Siu Ong, sudah lupakah kau kepadaku? Ingat tujuh tahun yang lalu! Lupakah engkau kepada keluarga Lie, bawahanmu yang kaubikin hancur keluarganya itu? Engkau memperkosa aku, lalu menjualku ke rumah pelesir, engkau membuat ayahku membunuh diri dan ibuku mati karena duka.”

“Ahhh......!” mata pangeran itu terbelalak ketika dia teringat. “Kau...... Kim Cu......!”

“Sekarang bukan Lie Kim Cu lagi, melainkan Hek-liong-li yang datang untuk membasmi manusia-manusia jahat dan keji macam engkau!”

“Tolonggg......! Tolooongggg......!” Tiba-tiba selir yang bersembunyi di sudut dekat almari itu berteriak-teriak mendengar ucapan wanita baju hitam itu.

Sementara itu, Pangeran Coan Siu Ong sudah jatuh berlutut karena takutnya. Dia mengenal Kim Cu, gadis yang pernah dijadikan selir, dan karena gadis itu menolak untuk digauli, bahkan memukulnya, maka dia menyuruh pengawalnya untuk membelenggu gadis itu, kemudian diperkosanya! Dia sudah tahu bahwa gadis itu kuat sekali dan andaikata dia melawan pun akan sia-sia, maka saking takutnya, dia sudah jatuh berlutut dengan tubuh menggigil ketakutan.

“Ampun...... ampunkan aku......” katanya berulang kali dengan bibir gemetar. Akan tetapi diam-diam dia melirik ke arah pintu, mengharapkan munculnya para pengawalnya atas teriakan minta tolong selirnya tadi. Akan tetapi, Liong-li sama sekali tidak perduli akan teriakan selir yang ketakutan itu.

“Mintalah ampun kepada Tuhan!” kata Liong-li dan tangannya bergerak, pedangnya berkelebat menjadi sinar menyambar ke arah Pangeran Coan Siu Ong.

“Crak-crak-crak-crakk!” Nampak darah muncrat-muncrat dan tubuh pangeran itu terguling mandi darahnya sendiri yang bercucuran keluar dari kedua lengan dan kedua kakinya yang buntung! Buntung sebatas pergelangan, terbabat oleh pedang di tangan Liong-li!

Wanita itu lalu melontarkan pedang menancap pada dinding, tepat pada saat pintu kamar itu jebol karena dibuka secara paksa dari luar oleh para pengawal yang berdatangan karena teriakan selir yang ketakutan itu. Selir itu masih berteriak-teriak, bahkan semakin keras melihat betapa suaminya roboh mandi darah.

Liong-li berdiri di tengah kamar itu, bertolak pinggang dengan sikap tenang sekali, memandang kepada delapan orang pengawal yang memasuki kamar. Para pengawal terkejut bukan main melihat tubuh majikan mereka yang kehilangan kedua tangan dan kedua kaki itu, berkelojotan sambil merintih-rintih.

“Perempuan jahat berani mati dari mana yang membikin kacau di sini, berani menyerang Pangeran!” bentak seorang di antara mereka.

“Aku Dewi Naga Hitam, datang untuk menghukum orang yang jahat dan kejam seperti Pangeran Coan Siu Ong. Kalau kalian hendak membelanya, mari keluar, di sini terlalu sempit!” Berkata demikian, Liong-li meloncat dan tubuhnya sudah melayang keluar dari kamar itu melalui jendela. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya.

Liong-li menanti di pekarangan depan yang luas. Ia berdiri tegak, tanpa memegang senjata, menanti pengejaran para pengawal. Kini semua pengawal muncul, jumlah mereka ada duabelas orang. Mereka semua telah tahu bahwa majikan mereka dibuntungi kaki tangannya oleh wanita berpakaian hitam yang mengaku bernama Hek-liong-li itu, maka duabelas orang pengawal mengepungnya dengan senjata di tangan ketika melihat ia berdiri menanti di tengah pekarangan depan.

Liong-li menghadapi para pengawal itu dengan sikap tenang saja, dan ketika mereka mulai menyerbu dari depan belakang, kanan dan kiri, tubuhnya tiba-tiba bergerak amat cepatnya sehingga para pengepung itu kehilangan lawan, yang nampak hanya bayangan hitam berkelebatan di antara mereka dan berturut-turut, duabelas orang pengawal itu rebah malang melintang, ada yang patah lengannya, tulang pundak atau tulang kaki, ada pula yang pingsan. Ketika mereka yang terluka ini merangkak bangun, bayangan Dewi Naga itu sudah lenyap dari situ!

Tentu saja peristiwa hebat ini membuat nama Dewi Naga Hitam menjadi terkenal di seluruh Lok-yang dan daerahnya. Pangeran Coan Siu Ong tidak mati, akan tetapi dia hidup dalam keadaan yang sengsara sekali. Karena kakinya buntung sebatas pergelangan, untuk berjalan pun sukar dan dia harus memakai tongkat sebagai kaki ketiga! Dan kedua tangannya tidak ada. Dia menjadi seorang tapadaksa yang selalu harus dirawat dan dibantu orang.

Pangeran itu menjadi pemurung, hilang semua kesenangan dan dia lebih banyak termenung di atas pembaringan kamarnya seorang diri. Tidak lagi dia pernah mendekati wanita karena tidak tahan melihat pandang mata jijik mereka terhadap dirinya. Baru sekarang dia merasa menyesal dan seringkali membayangkan semua perbuatannya yang sesat di waktu lalu.

Dari kota Lok-yang inilah mulai dikenal nama Dewi Naga Hitam yang kemudian terkenal di dunia kang.ouw. Seorang wanita yang masih muda, cantik menarik, namun memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dengan pakaian yang serba hitam!

Bagi dunia persilatan, nama Dewi Naga Hitam yang baru muncul ini masih merupakan teka-teki, kecuali bahwa nama julukan itu adalah nama seorang wanita muda yang cantik jelita dan berilmu tinggi. Dunia kang-ouw tidak tahu orang macam apa adanya Hek-liong-li, apakah termasuk golongan pendekar yang menentang kejahatan pada umumnya, ataukah golongan sesat yang memaksakan keinginan hati demi keuntungan sendiri dengan mengandalkan kekerasan dan kekuatan.

Liong-li tidak pernah menentang kejahatan, tidak mencampuri urusan orang lain dan hanya menghajar orang yang berani menentang dan memusuhinya. Karena itu, namanya yang baru muncul itu disegani, baik oleh golongan pendekar, maupun oleh golongan hitam.

Y

Sejak sepuluh tahun yang lalu, dunia persilatan telah digemparkan oleh munculnya datuk-datuk sesat yang terkenal dengan nama julukan Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua)!

Mereka dikenal sebagai Sembilan Iblis Tua, akan tetapi sesungguhnya mereka itu bergerak secara terpisah, bahkan tidak ada hubungannya satu sama lain, kecuali beberapa orang di antara mereka yang ada hubungan saudara seperguruan atau sahabat. Bahkan di antara mereka ada yang tidak saling mengenal bahkan tak pernah saling berjumpa.

Kalau mereka disebut Sembilan Iblis Tua adalah karena pada jaman itu, mereka merupakan datuk-datuk kaum sesat yang paling tinggi ilmunya dan ditakuti lawan disegani kawan. Mereka mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, bahkan tidak ada yang tinggal di satu propinsi. Kelihaian sembilan orang datuk sesat ini ramai dibicarakan di dunia persilatan, bahkan di dunia hitam, mereka itu seperti tokoh-tokoh dalam dongeng saja!

Seorang di antara mereka berjuluk Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam). Seperti delapan orang rekannya yang lain, diapun baru muncul sejak sepuluh tahun yang lalu. Tadinya, Kiu Lo-mo tak pernah muncul di dunia ramai, bahkan nama mereka seperti sudah tenggelam di samudera luas atau melayang lenyap di langit yang lebih luas lagi. Dan mungkin sekali kemunculan mereka karena saling tertarik.

Mendengar yang seorang muncul, yang lainpun agaknya tidak mau kalah sehingga dunia hitam menyambut kemunculan mereka dengan hangat, merasa telah memperoleh pimpinan yang boleh diandalkan. Segera para tokoh sesat menyatakan diri sebagai pengagum dan “berlindung” di bawah pengaruh datuk sesat itu, di wilayah masing-masing.

Demikian pula dengan Hek-sim Lo-mo. Begitu dia muncul, para tokoh sesat, kepala-kepala perampok, ketua-ketua perkumpulan gelap, bahkan hartawan dan bangsawan, banyak yang berbondong-bondong menghadap atau mengirim utusan disertai barang bingkisan atau hadiah yang amat berharga. Tentu saja bingkisan atau hadiah itu bukan diberikan dengan hati rela dan berdasarkan persahabatan yang murni.

Sama sekali tidak. Pemberian itu adalah semacam sogokan atau suapan, diberikan dengan pamrih agar nama si pemberi dimasukkan dalam daftar orang-orang yang dilindungi oleh pengaruh dan kekuasaan Hek-sim Lo-mo. Dan sebentar saja, datuk yang berjuluk Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo, telah menjadi kaya raya! Perkumpulan-perkumpulan sesat yang menguasai tempat-tempat perjudian, pelacuran dan menyediakan tenaga bayaran untuk menjadi tukang-tukang pukul para hartawan, tergopoh-gopoh menyambut datuk ini, membuatkan rumah dan mencukupi segala keperluannya.

Hek-sim Lo-mo menjadi datuk yang wilayahnya meliputi dua propinsi, yaitu He-nan dan Shan-tung! Amat luas wilayah ini dan dia memilih Lok-yang sebagai tempat tinggalnya. Rumahnya besar dan mewah, seperti rumah seorang hartawan saja, di pinggir kota Lok- yang, di atas tanah yang luas. Rumah itu diperlengkapi dengan taman yang lebar dan indah, ruangan yang luas untuk tempat bermain silat, rekreasi, pesta dan sebagainya.

Rumah induknya menjadi tempat tinggalnya dan Hek-sim Lo-mo ditemani oleh lima orang selir, wanita-wanita muda yang cantik manis, berusia antara delapanbelas sampai duapuluh lima tahun, dan belasan orang pelayan! Hidupnya makmur dan penuh kesenangan dan dia boleh dibilang sama sekali tidak bekerja. Namanya saja yang dipergunakan oleh dunia kang- ouw sebagai pelindung.

Tentu saja Hek-sim Lo-mo mempunyai banyak sekali pembantu, yaitu tokoh-tokoh lihai yang menjadi pelaksana dari semua perintahnya. Jarang datuk ini turun tangan sendiri. Kalau ada sesuatu hal yang perlu diselesaikan dengan kekerasan, dia hanya menyuruh seorang di antara para pembantunya dan dia hanya tahu bares saja. Beberapa hari sekali, para pembantu itu datang menghadap dan membuat laporan-laporan kepada datuk itu, yang kemudian mengatur rencana dan menentukan apa yang harus dilakukan oleh mereka.

Setelah menjadi datuk yang kekuasaannya meliputi wilayah dua propinsi itu, hampir semua tokoh dunia hitam tunduk kepada Hek-sim Lo-mo. Ada memang beberapa orang tokoh yang belum pernah mengenal kelihaiannya, merasa kurang percaya dan enggan untuk tunduk atau takluk. Dan ada beberapa tokoh yang cukup tangguh sehingga terpaksa Hek-sim Lo-mo harus turun tangan sendiri menaklukkannya dengan ilmu kepandaiannya yang luar biasa!

Dan kabarnya, tidak ada seorangpun tokoh sesat pembangkang yang sanggup menandinginya lebih dari sepuluh jurus! Beberapa orang tokoh yang dinilai cukup lihai dan berharga untuk menjadi pembantunya, yang tadinya membangkang, tidak dibunuhnya melainkan ditundukkan dan diangkat menjadi pembantu yang boleh diandalkan.

Pada suatu malam, para pembantu Hek-sim Lo-mo datang menghadap seperti biasa. Pertemuan seperti itu diadakan sedikitnya sebulan sekali, dan malam itu, atas permintaan Hek-sim Lo-mo, mereka datang untuk membuat laporan. Hek-sim Lo-mo yang seolah-olah menjadi raja di antara kaum sesat itu, menerima paras pembantunya dengan gembira, dengan pesta pora.

Ruangan yang luas itu dipergunakan untuk menjamu para pembantunya, bahkan mengundang gadis-gadis panggilan, juga rombongan gadis pemain musik, tari dan nyanyi, untuk menghibur pertemuan antara dia dan para pembantunya itu. Memang, terhadap para pembantunya, Hek-sim Lo-mo bersikap royal, dan diapun melimpahkan banyak barang berharga untuk mereka.

Ruangan yang luas itu terang benderang karena banyaknya lampu yang dipasang. Juga ruangan itu dihias dengan kain sutera warna-warni, dan karena banyak gadis cantik melayani, maka pesta itu meriah bukan main. Seperti biasa, sebelum menerima laporan dan merundingkan urusan yang timbul dalam wilayah kekuasaan Hek-sim Lo-mo, datuk ini lebih dulu menjamu para pembantunya dengan makanan yang mewah, dan minum arak nomor satu, juga menghibur mereka dengan tarian dan nyanyian yang dilakukan oteh rombongan gadis penari yang muda-muda dan cantik.

Terjadilah pesta mabok-mabokan dan penuh kecabulan. Para tokoh sesat yang menjadi pembantu Hek-sim Lo-mo itu sebagian besar adalah tokoh-tokoh jahat terkemuka di dunia kang-ouw, dan mereka adalah orang-orang kasar yang tidak segan-segan melakukan perbuatan tanpa susila di depan siapa saja.

Melihat para gadis panggilan yang melayani mereka itu muda-muda dan cantik-cantik, maka merekapun tanpa malu-malu lagi menggoda dan mempermainkan mereka, mencubit, mencolek, meraba, bahkan ada yang memangku dan menciumi seorang gadis panggilan yang hanya terkekeh genit! Tentu saja tidak sampai berkelanjutan ke hubungan yang lebih intim.

Untuk kesempatan itu, akan diberikan oleh Hek-sim Lo-mo setelah rapat selesai sehingga pesta ini juga merupakan “pemanasan” bagi para pembantu yang diam-diam telah memilih gadis pilihan masing-masing untuk menemani mereka malam nanti. Kamar-kamar untuk para pembantu itu telah disediakan di bagian belakang, kamar-kamar yang cukup mewah untuk menyenangkan hati para pembantunya.

Setelah makan minum selesai, rapatpun dimulai. Tempat itu dibersihkan dari sisa-sisa pesta, meja-meja disingkirkan, diganti meja yang panjang di kelilingi kursi-kursi untuk para pembantu, sedangkan kursi besar berada di kepala meja, tempat duduk Hek-sim Lo-mo. Ruangan itu menjadi lega dan luas, dan para gadis itupun disuruh mundur.

Hek-sim Lo-mo nampak duduk di kepala meja. Dia seorang laki-laki yang usianya sudah lebih dari enampuluh tahun, sedikitnya enampuluh tiga tahun. Namun, tubuhnya yang tinggi besar itu masih nampak tegap dan kokoh kuat seperti batu karang. Wajahnya kasar, berbentuk segi empat dengan kulit muka kasar menghitam yang setengahnya, di bagian bawah, penuh dengan kumis jenggot dan cambang.

Sepasang matanya bulat dan besar, memiliki sinar tajam mencorong dan mulutnya selalu menyeringai karena bibirnya terlalu pendek untuk dapat menutup pintu mulutnya. Hidungnya juga besar dan bulat seperti buah terong muda. Bagian tubuh yang kelihatan seperti leher, sebagian lengan karena dia menggulung lengan bajunya, dilingkari otot-otot yang menonjol dan menggembung, membayangkan kekuatan yang dahsyat.

Pakaiannya seperti pakaian hartawan, mewah, dari sutera mahal beraneka warna, dan kepalanya ditutupi sebuah topi yang indah pula, sulaman bunga dan burung Hong. Di luar bajunya, dia mengenakan jubah panjang berwarna mortal seperti yang biasa dipakai oleh pendeta-pendeta. Dia tidak nampak membawa senjata, akan tetapi orang tidak tahu apa yang tersembuyi di balik jubah lebar itu. Sepatunya mengkilat, dari kulit tebal yang kuat. Biarpun usianya sudah enampuluh tiga tahun, namun kumis, jenggot dan rambut kepalanya masih hitam, kaku dan keras seperti kawat-kawat saja.

Tidak ada yang tahu dari mana asalnya Hek-sim Lo-mo dan tidak ada yang berani menanyakannya. Melihat bentuk muka dan kulitnya, mungkin dia peranakan India atau Nepal, setidaknya dia tentu berasal dari daerah barat. Namanya menjulang tinggi dan ditakuti ketika tersiar berita betapa Hek-sim Lo-mo pada puluhan tahun yang lalu, pernah bermusuhan dengan perkumpulan Kui-san-pang dan kabarnya, dalam perkelahian di mana Hek-sim Lo-mo dikeroyok oleh semua pimpinan dan anak buah Kui-san-pang, datuk ini telah menewaskan seluruh anggauta Kui-san-pang yang jumlahnya tidak kurang dari seratus limapuluh orang!

Belum ada yang membuktikan kebenaran berita ini, akan tetapi kenyataannya, Kui-san-pang terbasmi dan tidak tersisa lagi anggautanya, pada hal perkumpulan itu terkenal sekali sebagai perkumpulan yang memiliki banyak orang pandai! Kemudian, berulang kali tokoh-tokoh dunia persilatan menentang Hek-sim Lo-mo, namun seorang demi seorang roboh, tidak kuat menandingi datuk ini.

Di antara para pembantu Hek-sim Lo-mo yang dipercaya dan diandalkan, terdapat lima orang yang dianggap sebagai tangan kanan dan yang paling lihai di antara belasan orang itu. Yang pertama dan duduk di sebelah kanan Hek-sim Lo-mo adalah Yauw Ban yang berjuluk Tok-gan-liong (Naga Mata Satu).

Dia seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, tinggi kurus dengan leher panjang dan yang menarik adalah matanya yang tinggal sebelah. Mata sebelah kiri telah buta, tertutup dan tidak ada biji matanya. Mata itu tertusuk senjata lawan dan dia menjadi buta ketika masih muda dalam suatu perkelahian. Tok-gan-liong Yauw Ban ini lihai sekali, memiliki ilmu pedang tunggal yang sukar dicari tandingannya, dan diapun seorang ahli ginkang yang memiliki kecepatan gerakan seperti terbang saja. Dia pendiam dan berdarah dingin, dapat membunuh tanpa mengedipkan mata tunggalnya, dan cerdik sekali.

Dia menjadi pembantu nomor satu dari Hek-sim Lo-mo setelah dia dikalahkan oleh datuk itu karena tadinya diapun tidak sudi takluk sebelum menguji kepandaian datuk itu. Dan dalam perkelahian inilah Hek-sim Lo-mo dapat melihat kelihaian Naga Mata Satu ini, maka diapun menarik Yauw Ban menjadi pembantu utama, maklum bahwa para pembantu yang lain masih kalah dibandingkan dengan Yauw Ban.

Sebelum menjadi pembantu pertama Hek-sim Lo-mo, Tok-gan-liong Yauw Ban ini menjadi perampok tunggal yang dianggap sebagai datuk para perampok di wilayah Propinsi Shan-tung. Dia malang melintang dan para perampok lainnya selalu memberi semacam “upeti” kepadanya. Akan tetapi kemunculan Hek-sim Lo-mo menarik nama besarnya ke bawah sehingga dia penasaran dan menantang datuk itu untuk mengadu ilmu silat. Tanpa banyak kesukaran, Hek-sim Lo-mo yang memang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya, mengalahkan Yauw Ban dan Si Naga Mata Satu ini lalu takluk dan dengan senang hati menjadi pembantunya yang paling setia.

Bahkan Hek-sim Lo-mo berkenan memperdalam ilmu pembantunya ini sehingga Yauw Ban menjadi semakin setia karena menganggap Hek-sim Lo-mo selain atasannya, juga seperti gurunya sendiri. Dan datuk sesat itupun pandai menyenangkan hati Tok- gan-liong Yauw Ban sehingga pada waktu itu, andaikata disuruh menyeberangi lautan api sekalipun kalau yang memerintahnya Hek-sim Lo-mo, tentu Yauw Ban akan mentaatinya!

Pembantu kedua yang juga amat lihai dan duduk di sebelah kiri Hek-sim Lo-mo adalah seorang wanita! Ia juga seorang tokoh sesat yang amat terkenal di Propinsi He-nan dan Shan-tung, terutama sekali di sepanjang Sungai Kuning dan wanita ini terkenal ganas sekali. Ia terkenal dengan julukannya, yaitu Kiu-bwe Mo-li (Iblis Betina Ekor Sembilan) sehingga nama aselinya tak pernah diketahui orang.

Iapun suka disebut Mo-li (Iblis Betina) saja! Selain ganas, kejam dan sadis, wanita ini terkenal gila laki-laki, cabul dan setiap orang laki-laki yang disenanginya, diculik dan dipaksa untuk melayani gairah nafsu berahinya. Yang menolak, dibunuh seketika. Yang mau melayaninya, kalau memuaskan hatinya, ia beri hadiah yang royal sekali, akan tetapi kalau mengecewakan, juga dibunuhnya!

Tujuh tahun yang lalu, Kiu-bwe Mo-li berani menentang kekuasaan Hek-sim Lo-mo yang mengutus Tok-gan-liong Yauw Ban untuk menundukkannya. Dalam adu kepandaian yang amat seru, Tok-gan-liong Yauw Ban menemui kesulitan untuk mengalahkan wanita itu, walaupun kehebatan ilmu pedangnya juga membuat Kiu-bwe Mo-li kewalahan untuk dapat mendesak lawannya.

Melihat betapa wanita itu lihai, dapat mengimbangi kepandaian pembantu utamanya, timbul perasaan sayang pada Hek-sim Lo-mo dan dia lalu maju menggantikan Yauw Ban. Tanpa banyak kesulitan, akhirnya dia mampu menundukkan Kiu-bwe Mo-li yang kemudian takluk dan menjadi pembantunya yang nomor dua.

Wanita itu kini berusia empatpuluh dua tahun, akan tetapi karena terlampau menurutkan nafsu berahi yang diumbarnya tanpa batas, wajahnya nampak lebih tua dan keriputan. Wajahnya yang dulu cantik itu masih meninggalkan bekas, namun kulitnya keriputan dan rambutnya banyak yang putih. Kenyataan ini hendak disembunyikan dengan bedak tebal dan dandanan yang pesolek sekali, juga sikap yang amat genit!

Sesuai dengan nama julukannya, Kiu-bwe Mo-li (Iblis Betina Ekor Sembilan), wanita ini memiliki senjata yang istimewa, yaitu sebatang cambuk yang berekor sembilan. Ia pandai sekali memainkan senjata cambuk ekor sembilan ini dan julukannya pun diambil dari senjata itu.

Orang ketiga yang menjadi pembantu utama Hek-sim Lo-mo adalah seorang pria yang usianya kurang lebih tigapuluh tahun. Baru lima tahun dia menjadi pembantu Hek-sim Lo-mo. Dia bertubuh sedang dan wajahnya tampan dan menarik, gerak-geriknya halus lembut dan sopan peramah, pakaiannya seperti pakaian seorang terpelajar. Orang akan tidak percaya kalau mendengar bahwa dia adalah seorang yang memiliki hati yang amat kejam dan jahat, tidak percaya bahwa dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang suka memperkosa wanita dan membunuhnya!

Namanya Lui Teng dan dia dijuluki Jai-hwa Kongcu (Tuan Muda Pemetik Bunga). Sebenarnya, Jai-hwa Kongcu Lui Teng ini adalah seorang murid yang pandai dari perguruan Pek-tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih) yang berada di puncak Gunung Lu-san, sebuah perkumpulan para orang gagah. Akan tetapi, Lui Teng diperhamba oleh nafsu berahinya sendiri sehingga dia melakukan perbuatan jahat, yaitu memaksa wanita yang membangkitkan gairah berahinya dengan cara memperkosa, bahkan sering kali dia membunuh wanita yang menolaknya atau melawannya ketika dia memperkosanya.

Karena perbuatan ini, dia menjadi seorang pelarian, melarikan diri dari Pek-tiauw-pang. Bahkan setelah mendengar akan sepak terjang Lui Teng, para pimpinan Pek- tiauw-pang mengutuknya dan tidak lagi mengakuinya sebagai murid, walaupun hal ini dilakukan oleh para pimpinan dengan hati menyesal karena sesungguhnya Lui Teng adalah seorang murid yang mewarisi ilmu-ilmu perguruan itu dengan baik dan kepandaiannya yang tinggi dapat menjunjung tinggi nama perguruan Pek-tiauw-pang.

Lui Teng juga penasaran melihat munculnya Hek-sim Lo-mo sebagai datuk. Diapun menantangnya dan biarpun dengan susah payah, dia dapat dikalahkan oleh Tok-gan-liong Yauw Ban. Dia takluk dan diangkat menjadi pembantu ketiga oleh Hek-sim Lo-mo.

Pembantu keempat dan kelima adalah saudara kembar. Mereka bernama Gan Siang dan Gan Siong, dan keduanya selalu maju bersama. Oleh karena itu mereka mendapat julukan He-nan Siang-mo (Sepasang Iblis dari He-nan). Mereka berusia sekitar empatpuluh tahun dan baru dua tahun mereka menjadi pembantu-pembantu yang dipercaya oleh Hek-sim Lo-mo. Kedua orang kembar ini berwajah serupa benar sehingga sukarlah bagi orang lain untuk dapat membedakan antara mereka.

Wajah mereka bulat, dan bukan hanya bentuk wajah dan tubuh mereka yang serupa benar, akan tetapi bahkan pakaian merekapun sama, seolah-olah lipatan-lipatannya sama, bentuk rambut, kumis dan jenggot mereka tiada bedanya. Juga keduanya suka tertawa, suka memandang rendah orang lain dan berhati kejam.

Mereka terkenal sekali bukan hanya karena kekejaman mereka, melainkan terutama sekali karena kelihaian mereka memainkan sebatang golok. Kalau menghadapi bahaya atau lawan, jarang mereka maju satu demi satu, pasti mereka maju bersama, biar lawannya hanya seorang ataupun ada sepuluh orang. Dan kalau kedua orang kembar ini sudah memainkan golok mereka, dengan ilmu golok Siang-mo Sin-to (Golok Sakti Sepasang Iblis), maka dua batang golok itu seolah-olah digerakkan oleh satu orang saja yang memiliki dua pasang tangan dan dua pasang kaki!

Kerja sama mereka mengagumkan dan mengherankan sekali, karena masing-masing seperti dapat mengetahui apa yang berada di dalam hati dan pikiran saudara kembarnya. Inilah yang membuat mereka menjadi lihai dan berbahaya sekali. Kalau mereka itu maju seorang demi seorang, mereka masih kalah oleh Jai-hwa Kongcu Lui Teng, akan tetapi kalau mereka maju bersama, biar Tok-gan-liong Yauw Ban sendiri akan repot melawan mereka.

Di samping lima orang ini, masih ada sepuluh orang lain yang diangkat menjadi pembantu-pembantunya, akan tetapi yang menjadi tangan kanan hanyalah lima orang itu. Tentu saja tingkat kepandaian para pembantu lain juga tinggi dan mereka adalah tokoh-tokoh golongan hitam atau kaum sesat, namun masih kalah kalau dibandingkan dengan lima orang pembantu utama tadi.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar