“Nah, sekarang mulailah kalian
membuat laporan dan hasil dari pekerjaan kalian selama sebulan ini. Harap cepat
karena aku merasa lelah, ingin beristirahat. Kalianpun tentu ingin beristirahat
dengan pasangan kalian yang sudah kalian pilih tadi, di kamar kalian
masing-masing seperti yang sudah-sudah.”
Mulailah para pembantu itu
membuat laporan seorang demi seorang. Kebanyakan di antara mereka memberi
pelaporan tentang hasil pemasukan uang “pajak” yang mereka tarik dari
rumah-rumah judi, rumah-rumah pelacuran, dan bingkisan dari mereka yang merasa
dan mengharapkan perlindungan, juga dari kepala-kepala perampok, bajak, copet,
maling yang merasa berada di bawah kedaulatan datuk ini dan sekedar mengirim
“bagi hasil”.
Di antara mereka, yang paling
banyak mengumpulkan uang hasil tarikan ini adalah He-nan Siang-mo sehingga
Hek-sim Lo-mo merasa girang sekali dan memuji dua orang pembantunya ini. Semua
hasil berupa emas perak dan barang berharga itu segera diangkut oleh He-nan
Siang-mo yang dipercaya oleh datuk itu untuk membuka gudang harta dan menyimpan
semua harta baru itu ke dalam gudang.
Kini tiba giliran Kui-bwe
Mo-li yang membuat laporan. “Laporan yang saya bawa agak tidak menyenangkan,
Beng-cu,” memang Hek-sim Lo-mo memerintahkan semua bawahannya untuk menyebut
dia beng-cu (pemimpin rakyat), membandingkan dirinya dengan para pahlawan
rakyat yang berjuang demi rakyat jelata!
“Seorang di antara bangsawan
yang berada di bawah perlindungan kita, telah disiksa orang, bahkan dibuntungi
kaki tangannya. Dia adalah Pangeran Coan Siu Ong! Bukan itu saja, juga orang
yang membuntunginya itupun telah mengadakan pengacauan di Lok-yang, menghajar
para jagoan dari rumah pelesir Bibi Ciok!”
Sepasang alis tebal Hek-sim
Lo-mo berkerut. ”Hemm, mengganggu orang-orang yang kita lindungi sama artinya
dengan mengganggu kita! Siapa orangnya demikian berani mati? Tentu dia bukan
orang sini dan tidak tahu akan kekuasaan kita!”
“Sudah saya selidiki, Beng-cu.
Ia adalah seorang gadis yang usianya sekitar duapuluh tiga tahun, cantik jelita
dan ilmu kepandaiannya tinggi, selalu mengenakan pakaian serba hitam dan
mengaku julukannya Hek-liong-li!”
“Dewi Naga Hitam? Hemmm,
betapa sombongnya. Cari dan segera bunuh ia, jangan beri ampun!” Bentak Hek-sim
Lo-mo. “Kuserahkan tugas ini kepadamu, Mo-li!”
“Harap Beng-cu jangan
khawatir. Saya akan mencarinya, kalau perlu dibantu anak buah, dan kalau sudah
dapat ditemukan, akan kupenggal kepalanya!” kata Kiu-bwe Mo-li sambil terkekeh
genit.
Yauw Ban, tangan kanan pertama
itu melaporkan bahwa dia telah berhasil menemukan seorang ahli pembuat pedang
yang amat pandai. “Namanya Thio Wi Han, usianya sudah tujuhpuluh tahun. Akan
tetapi dia tidak mau dibawa ke sini, Beng-cu.”
“Ehh? Kalau tidak mau, seret
saja!”
“Dia adalah seorang tua yang
kukuh. Katanya, dia hanya mampu membuat pedang pusaka kalau di rumahnya
sendiri, menggunakan alat-alatnya sendiri. Kalau disuruh membuat di luar
rumahnya, di tempat lain, dia tidak sanggup dan biar dibunuh mati sekalipun,
dia tidak sanggup mengerjakannya.”
“Keparat, keras kepala! Akan
tetapi sudahlah, yang penting adalah bahannya lebih dulu. Sudah mendapatkan
seorang ahli pembuat pedang, sudah baik, dan membuat di sanapun tidak mengapa.
Nah, Lui Teng, bagaimana dengan pelaksanaan tugasmu?”
“Sudah saya laksanakan,
Beng-cu. Dia memang keras kepala. Segala siksaan sudah saya lakukan, akan
tetapi dia tetap membungkam. Saya khawatir kalau dia akan mati oleh siksaan
yang lebih berat, maka saya lalu mencari akal yang baik sekali. Saya melakukan
penyelidikan dan mengetahui bahwa dia meninggalkan seorang anak gadis di
dusunnya. Saya lalu menangkap gadis itu dan membawanya ke sini, sekarang telah
saya masukkan kamar tahanan. Saya kira kalau dia melihat anaknya disiksa, dia
akan membuka mulut!”
Wajah yang hitam menyeramkan
dari Hek-sim Lo-mo berseri dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha, bagus, bagus
sekali! Engkau memang cerdik, Lui Teng! Aku ingin cepat mendapatkan Liong-cu
(mustika naga) itu. Bawa sasterawan kepala batu itu ke sini bersama anak
gadisnya. Ha-ha, kita nonton pertunjukan sambil menanti keluarnya rahasia
tempat penyimpanan Liong-cu itu!”
“Baik, Beng-cu,” kata Jai-hwa
Kongcu Lui Teng dengan gembira.
Dia lalu meninggalkan ruangan
itu dan tak lama kemudian dia datang kembali bersama seorang kakek yang
jalannya terpincang-pincang, dipapah oleh seorang gadis berusia tujuhbelas
tahun yang menuntun kakek itu sambil menangis. Kakek itu berpakaian sasterawan,
pakaiannya kotor dan dekil karena semenjak ditahan dan disiksa, dia tidak
pernah berganti pakaian.
Usianya kurang lebih enampuluh
tahun, tubuhnya tinggi kurus. Dia adalah seorang sasterawan yang amat pandai
dalam hal baca dan tulis, terkenal dengan sebutan Pouw Sianseng.
Dia ditangkap oleh Hek-sim
Lo-mo karena datuk ini juga merupakan seorang di antara mereka yang mencari-cari
Kim-san Liong-cu, mustika naga yang berada di kuburan tua seorang pangeran di
jaman dahulu. Ternyata kemudian bahwa mustika yang diperebutkan itu tidak ada
di dalam makam setelah makam dibongkar, sudah ada orang lain yang mendahului
para tokoh dunia persilatan yang memperebutkannya.
Hek-sim Lo-mo yang ingin
sekali mendapatkan mustika itu, tidak patah semangat dan dia terus melakukan
penyelidikan, dibantu oleh banyak anak buahnya. Akhirnya dia menemukan rahasia
kehilangan mustika itu. Kiranya seorang sastrawan yang terkenal amat pandai
dalam ilmu sastra kuno, terkenal dengan sebutan Pouw Sianseng, orang yang suka
melakukan penyelidikan mengenai sejarah dari peninggalan dan tulisan-tulisan
kuno, telah menemukan tulisan kuno rahasia.
Bagi orang lain yang tidak
mengerti, bahkan bagi ahli-ahli sastra kebanyakan saja, benda itu tidak ada
harga dan artinya. Namun, Pouw Sianseng dapat menterjemahkannya dan diapun
girang membaca bahwa tulisan kuno itu menunjukkan tempat penyimpanan mustika
yang disebut Kim-san Liong-cu yang ternyata telah diambil orang jauh sebelum
para tokoh persilatan memperebutkannya!
Pouw Sianseng lalu mencari
tempat rahasia itu dan berhasil menemukan mustika itu! Akan tetapi, rahasianya
ini akhirnya bocor ketika isterinya yang masih muda, jatuh cinta kepada seorang
laki-laki muda. Isterinya itu membisikkan rahasia ini kepada kekasihnya.
Perbuatan mereka tertangkap basah dan Pouw Sianseng membunuh isterinya, tidak
tahu bahwa rahasianya tentang mustika sudah diketahui oleh kekasih isterinya yang
melarikan diri.
Semenjak isteri yang melakukan
penyelewengan itu dibunuhnya, Pouw Sianseng hidup berdua dengan puterinya yang
kini berusia tujuhbelas tahun, bernama Pouw Bi Hwa. Ketika dia membunuh
isterinya, Bi Hwa baru berusia lima tahun dan selama belasan tahun ini, Pouw
Sianseng berhasil menyimpan rahasianya tentang mustika naga yang disimpannya di
tempat rahasia.
Celakanya, kekasih mendiang
isterinya itu tidak dapat menutup mulut dan dari mulut ke mulut, akhirnya
berita itu sampai juga ke telinga Hek-sim Lo-mo. Sudah beberapa kali Pouw
Sianseng diserbu pencuri, perampok, bahkan pernah diancam oleh tokoh- tokoh
sesat untuk menyerahkan mustika itu, namun Pouw Sianseng tetap menyangkal
sehingga akhirnya para tokoh itu berkesimpulan bahwa berita tentang mustika
naga yang berada dalam kekuasaan Pouw Sianseng itu hanya kabar bohong belaka.
Namun tidak demikian anggapan
Hek-sim Lo-mo. Dia lalu mengutus orang kepercayaannya yang ketiga, yaitu
Jai-hwa Kongcu Lui Teng, untuk menyiksa dan mengorek keterangan dari Pouw
Sianseng yang sudah diculiknya. Hasilnyapun sia-sia, dan seperti yang
sudah-sudah, Pouw Sianseng tetap menyangkal dan tidak mau membuka rahasia
tentang Liong-cu (mustika naga) yang disembunyikannya itu.
Hek-sim Lo-mo sudah demikian
yakin bahwa dia akan dapat menguasai mustika naga itu, maka diapun sudah
menyuruh pembantu utamanya, Tok-gan-liong Yauw Ban, untuk mencari seorang ahli
pembuat pedang yang berilmu tinggi dan akan membuatkan pedang dari mustika naga
itu!
Ternyata kemudian dari laporan
itu bahwa Pouw Sianseng benar-benar keras kepala sehingga Jai-hwa Kongcu Lui
Teng mempergunakan akal lain, yaitu menculik puteri Pouw Sianseng. Dan kini,
Jai-hwa Kongcu Lui Teng membawa Pouw Sianseng dan anak gadisnya ke dalam
ruangan itu.
Biarpun keadaan Pouw Sianseng
sudah payah karena mengalami siksaan yang mengerikan, namun ketika dia masuk
ruangan dipapah puterinya, dia menahan semua rasa nyeri dan menegakkan tubuh
dan kepalanya, dengan sikap gagah dia hendak menentang semua pemaksaan para
penculiknya.
Sementara itu, puterinya
memandang sekeliling dengan wajah pucat. Gadis berusia tujuhbelas tahun ini
berwajah manis, tidak terlalu cantik, berpakaian sederhana namun sepasang
matanya membayangkan kelembutan dan kecerdasan. Tubuhnya montok sebagai seorang
gadis yang mulai dewasa, seperti setangkai bunga yang mulai mekar. Namun, gadis
itu jelas kelihatan ketakutan dan gelisah sekali, juga berduka melihat keadaan
ayahnya.
Ayahnya menghilang sejak
beberapa hari lamanya dan selagi ia kebingungan, malam itu muncul laki-laki
tampan dan halus berpakaian pelajar itu yang mengatakan bahwa dia tahu di mana
adanya ayahnya yang bilang dan mengajak ia untuk pergi bersama mengunjungi
ayahnya. Karena khawatir akan keselamatan ayahnya, Pouw Bi Hwa terpaksa ikut dengan
laki-laki yang bukan lain adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng itu! Kalau saja ia
tahu bahwa pria tampan itu adalah seorang tukang perkosa wanita yang amat keji!
Akan tetapi, pria itu sama
sekali tidak mengganggunya. Hal ini adalah karena gadis itu diajak pergi bukan
untuk diperkosa, melainkan untuk keperluan lain lagi yang lebih penting, yaitu
memaksa ayah gadis itu mengaku di mana adanya Liong-cu! Pula, selera Lui Teng
dalam urusan wanita memang agak tinggi dan hanya wanita cantik jelita pilihan
saja yang dapat menggerakkan hati dan membangkitkan gairahnya. Sedangkan Bi
Hwa, biarpun tidak jelek, hanya memiliki kemanisan yang umum saja!
Melihat sikap Pouw Sianseng
yang angkuh, Hek-sim Lo-mo mengerutkan alisnya. Orang seperti ini memiliki
kegagahan tersendiri, pikirnya, dan kalau dipaksanya, tentu dia lebih baik mati
dari pada menyerahkan mustika itu. Kemudian dia memandang gadis itu dan dia pun
tersenyum. Memang pembantunya yang nomor tiga itu cerdik sekali.
Orang yang mempertahankan
kehormatan lebih dari pada nyawanya seperti Pouw Sianseng itu, harus dilawan
dengan ancaman terhadap kehormatannya pula. Dan kehormatan apakah yang lebih
tinggi bagi seorang ayah dari pada kehormatan diri anak gadisnya? Tentu tidak
lebih rendah dari pada kehormatan mempertahankan milik dan haknya, seperti
mustika naga itu!
Jai-hwa Kongcu mendorong ayah
dan anak itu ke depan Hek-sim Lo-mo. Ayah dan anak itu jatuh tersungkur di atas
lantai dan mereka berlutut di depan Hek-sim Lo-mo. Akan tetapi, Pouw Sianseng
sudah mengangkat mukanya lagi dan menegakkan kepala, memandang kepada Hek-sim
Lo-mo dengan penuh ketabahan.
Hek-sim Lo.mo menyeringai.
“Pouw Sianseng, keberanianmu mengagumkan hatiku. Biarlah aku tidak akan
membunuhmu dan aku menukar nyawamu dengan Liong-cu itu!”
Baru satu kali Pouw Sianseng
dibawa menghadap Hek-sim Lo-mo, sebelum dia disiksa dan diapun tahu bahwa
raksasa muka hitam inilah yang menjadi kepala di tempat itu, bahkan yang
menyuruh orang menangkap dan menyiksa untuk merampas Liong-cu. Kini, ucapan
Hek-sim Lo-mo disambutnya dengan senyum mengejek.
“Hek-sim Lo-mo, tidak perlu
banyak cakap lagi dan tidak perlu lagi membujuk atau mengancam aku. Aku tidak
takut mati dan biar kaubunuh sekalipun aku tidak akan bicara tentang Liong-cu!”
“Aku akan menukar puterimu
dengan Liong-cu!” Tiba-tiba Hek-sim Lo-mo berkata.
Sepasang mata kakek sastrawan
itu terbelalak sejenak, lalu diapun tersenyum.
“Anakkupun tidak takut mati.
Engkau tidak perlu mengancam. Biar kaubunuh kami berdua, Liong-cu tidak akan
kuserahkan kepadamu!”
“Orang she Pouw, jangan
sombong engkau! Ada yang lebih menyiksa dari pada sekedar kematian. Panggil
Hek-wan (Lutung Hitam) ke sini!” perintahnya kepada Jai-hwa Kongcu Lui Teng.
Pria tampan ini
tersenyum-senyum lalu keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian dia muncul
kembali dengan seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun yang
wajah serta tubuhnya amat menyeramkan. Dialah Tiat-pi Hek-wan (Lutung Hitam
Lengan Besi) yang terkenal sebagai tukang siksa yang kejam dan sadis. Mukanya
mirip seekor monyet, kulit tubuhnya hitam, dan kedua lengannya berbulu seperti
lengan lutung besar, tubuh atasnya tidak memakai pakaian sehingga nampak dada
yang lebar, membusung, hitam dan penuh otot-otot besar, juga ditumbuhi bulu
tebal.
Begitu memasuki ruangan,
Tiat-pi Hek-wan ini memandang ke sekeliling sambil tersenyum dan kelihatan
bangga bahwa dia dipanggil oleh Hek-sim Lo-mo, berarti dia dibutuhkan. Setelah
berada di depan datuk itu, dia memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya.
“Hek-wan, aku akan memberi
pekerjaan kepadamu, sekali ini pekerjaan yang amat menyenangkan!” kata Hek-sim
Lo-mo.
Si Lutung Hitam itu tertawa
bergelak dan dia membuka mulut selebarnya sehingga nampak gigi yang besar-besar
tidak rata dan kekuning-kuningan menjijikkan. “Ha-ha-ha, saya selalu siap
sedia, Beng-cu. Menyiksa dan membunuh orang adalah pekerjaanku, kesenanganku.
Siapa lagi yang harus saya patah-patahkan kaki tangannya, saya cabut lidah atau
matanya, atau saya puntir batang lehernya?”
Pouw Sianseng memandang kepada
raksasa berbulu itu dengan pandang mata acuh, akan tetapi puterinya terbelalak
dengan muka pucat dan jelas nampak bahwa ia merasa ngeri dan ketakutan.
“Sekali ini tidak yang seperti
itu, Hek-wan. Aku ingin memberi hadiah kepadamu. Lihat, gadis ini kuberikan
kepadamu, akan tetapi engkau harus memperkosanya di sini, kami dan ayah gadis
ini ingin sekali melihat bagaimana engkau akan melakukannya,” kata Hek-sim
Lo-mo dan para pembantunya tertawa dengan hati penuh ketegangan yang menggembirakan
karena mereka akan disuguhi pertunjukan yang mereka anggap amat menyenangkan
dan menarik hati.
Mendengar ini, Tiat-pi Hek-wan
menyeringai dan mengangguk-angguk, lalu dia menoleh kepada Bi Hwa yang sudah
merangkul ayahnya sambil menangis. Pouw Sianseng kini juga terbelalak dan
mukanya pucat, kedua lengannya merangkul puterinya seperti hendak melindunginya
dari bahaya yang mengerikan.
“Heh-heh, manis, engkau
mendengar perintah Beng-cu tadi? Ke sinilah manis, dan engkau akan mengalami
sesuatu yang selama hidupmu takkan pernah dapat kaulupakan! Marilah......”
Dia melangkah maju. Bi Hwa
menggeleng kepala keras-keras, menutupi mulut untuk menahan jeritnya saking
merasa ngeri dan takut, merangkul ayahnya semakin kuat. Akan tetapi, sekali
tangan kirinya menyambar, Tiat-pi Hek-wan sudah menangkap lengan kanan gadis
itu dan menariknya.
Ketika gadis itu menahan, dan
ayahnya mempertahankan puterinya dengan kedua tangan merangkul kuat-kuat. Akan
tetapi, Tiat-pi Hek-wan menendang dan tubuh kakek itupun terjengkang, dan
pegangan antara ayah dan anak itupun terlepas. Bi Hwa menjerit ketika tubuhnya
ditarik dan dipondong oleh raksasa itu. Ia meronta dan mencakar, menjerit-jerit
dan menangis.
Tiat-pi Hek-wan adalah seorang
manusia yang wataknya sudah seperti binatang buas. Menyiksa orang merupakan
kesenangan baginya, maka untuk menyenangkan majikannya, diapun hendak
memamerkan pertunjukan yang semenarik mungkin. Tanpa memperdulikan cakaran dan
pukulan kedua tangan Bi Hwa, seolah-olah cakaran dan pukulan itu bahkan merupakan
belaian dan elusan baginya, dia menciumi muka gadis itu, pipinya, hidungnya,
bibirnya barulah dia melepaskan Bi Hwa. Sengaja dilepaskan begitu saja.
Bi Hwa yang sudah ketakutan
setengah mati itu, dengan rambut riap-riapan karena terlepas dari sanggulnya
ketika meronta-ronta tadi, ketika merasa betapa dirinya terlepas, segera
bergegas hendak melarikan diri menuju ke pintu ruangan itu. Satu-satunya
keinginan hatinya adalah keluar dari tempat jahanam itu, seperti seekor burung
yang ingin sekali terbebas dari sebuah sangkar yang amat menakutkan.
Dan sambil tertawa-tawa
Tiat-pi Hek-wan membiarkan gadis itu lari! Setelah Bi Hwa lari sampai dekat
pintu, barulah dia berloncatan mengejar dan menangkap rambut gadis yang
berkibar itu. Bi Hwa terkejut sekali.
“Ihhhhh......! Lepaskan......
lepaskaaaaan......” Ia menjerit akan tetapi tubuhnya sudah terseret di atas
lantai, dibawa kembali oleh raksasa itu ke tempat tadi, di depan Hek-sim Lo-mo
dan para pembantunya yang menonton sambil tersenyum-senyum. Mereka tahu bahwa
Tiat-pi Hek-wan sengaja mempermainkan gadis itu, seperti seekor kucing
mempermainkan seekor tikus sebelum menerkam dan mengganyangnya.
Kembali Tiat-pi Hek-wan
merangkul dan menciumi gadis itu, meraba-raba dengan cara yang kurang ajar dan
kasar sekali. Kembali Bi Hwa meronta-ronta, mencakar dan memukul untuk
melepaskan diri. Dan seperti tadi, Hek-wan pura-pura kewalahan dan pegangannya
terlepas. Bi Hwa cepat melarikan diri, tidak tahu bahwa Hek-wan sudah
mengcengkeram bajunya bagian belakang. Ketika ia berlari, manusia berwatak
binatang itupun merenggut.
“Breeeeetttt......!” Baju
itupun koyak di bagian belakangnya.
Sambil menyeringai Hek-wan
sudah mengulur tangan, siap untuk merenggut sisa pakaian Bi Hwa. Pada saat itu,
terdengar teriakan Pouw Sianseng.
“Tahan......!!”
Inilah yang ditunggu-tunggu
oleh Hek-sim Lo-mo. Sejak tadi, semenjak Hek-wan mempermainkan Bi Hwa. Kalau
semua pembantunya menonton pertunjukan menarik itu, dia sendiri tak pernah
melepaskan pandang matanya dari Pouw Sianseng. Dengan hati gembira dia melihat
betapa kakek itu tersiksa batinnya. Hal ini mudah dilihat dari keadaan muka dan
pandang matanya dan pada saat baju puterinya direnggut terlepas, Pouw Sianseng
tidak kuat menahan lagi dan dia berteriak untuk minta siksaan itu dihentikan.
“Hek-wan, minggirlah dan aku
senang sekali dengan pekerjaanmu. Duduklah di sana bersama rekan-rekanmu.”
Hek-wan menyeringai, sama
sekali tidak memperlihatkan muka kecewa seperti yang nampak pada wajah para
pembantu yang gagal menyaksikan pertunjukan menarik. Hek-wan yang buas itu
memang setia kepada Hek-sim Lo-mo yang sudah menundukkannya.
“Bagaimana, Pouw Sianseng?
Mengapa engkau minta agar pertunjukan yang menarik ini dihentikan?” tanya
Hek-sim Lo-mo, membiarkan ayah dan anak itu kembali saling rangkul. Pouw
Sianseng melepas jubahnya yang kusut dan dekil, dia menyelimuti tubuh puterinya
dengan jubah itu, kemudian dia memandang kepada Hek-sim Lo-mo.
“Hek-sim Lo-mo, aku mengaku
kalah. Kehormatan puteriku lebih berharga dari apapun juga di dunia ini. Engkau
menang dan aku mau menukar Liong-cu dengan kebebasan anakku. Kalau aku
menyerahkan Liong-cu, maukah engkau melepaskan puteriku ini?”
“Heh-heh, tentu saja, Pouw
Sianseng. Berikan Liong-cu, dan aku akan melepaskan puterimu.”
“Lo-mo, aku tidak dapat
percaya kepada orang sepertimu. Bersumpahlah dulu sebagai seorang datuk, baru
aku mau percaya!”
Kalau saja dia tidak sangat
menginginkan Liong-cu, tentu ucapan Pouw Sianseng itu sudah merupakan alasan
yang cukup untuk dia turun tangan membunuh kakek itu. Wajahnya yang hitam
menjadi lebih hitam lagi dan matanya mencorong, akan tetapi dia menahan
kemarahannya, dia menyeringai.
“Ha-ha, baiklah. Aku, Hek-sim
Lo-mo, datuk dari segala datuk yang merajai seluruh wilayah He-nan dan
Shan-tung, bersumpah bahwa kalau Pouw Sianseng menyerahkan Liong-cu kepadaku,
maka aku akan melepaskan puterinya. Kalau aku melanggar sumpahku, biarlah Bumi
dan Langit yang akan menghukumku!”
Pouw Sianseng merasa lega
mendengar sumpah itu dan diapun berkata kepada puterinya. “Bi Hwa, anakku,
hentikan tangismu dan dengarlah baik-baik pesanku. Kalau nanti aku sudah
menyerahkan Liong-cu kepada Hek-sim Lo-mo, dan aku tidak dapat menemanimu,
engkau keluarlah dari sini, tinggalkan tempat ini dan pulanglah. Lalu kaucari
pamanmu di dusun Teng-cun dan ikutlah keluarganya. Mengertikah engkau?”
Sambil bercucuran air mata, Bi
Hwa mengangguk, Pouw Sianseng lalu melepaskan puterinya yang bangkit berdiri
sambil menyelimuti tubuh atas dengan jubah ayahnya, dan Pouw Sianseng bangkit
berdiri menghadapi Hek-sim Lo-mo.
Semua mata kini ditujukan
kepadanya, memandang dengan penuh perhatian karena mereka semua ingin mendengar
pengakuan kakek itu, di mana dia menyembunyikan Liong-cu yang diperebutkan oleh
hampir seluruh tokoh dunia kang-ouw itu sejak ratusan tahun yang lalu dan
kemudian lenyap tanpa bekas.
“Hek-sim Lo-mo, mustika naga
ini adalah milikku dan hakku, yang kudapatkan secara kebetulan melalui tulisan
dan peta rahasia yang kuno dan yang hanya dapat kubaca. Sejak dahulu sudah
diperebutkan orang, dan aku sudah mengambil keputusan untuk kubawa mati
bersama. Akan tetapi engkau yang curang dan licik telah mempergunakan puteriku
untuk memaksaku. Apa boleh buat, agaknya memang sudah ditentukan oleh Thian
bahwa Liong-cu akan jatuh ke tangan seorang datuk sesat sepertimu. Kalau aku
tidak membuat pengakuan, sampai dunia kiamat engkau tidak akan mampu menemukan
Liong-cu. Aku telah minta tolong kepada sahabatku, mendiang Yok-sian (Dewa
Obat) untuk menyimpan Liong-cu di sini, melalui pembedahan!”
Kakek itu lalu menanggalkan
bajunya dan menunjuk ke perutnya. Karena dia kurus, perutnya kecil, akan tetapi
di bagian kanan perutnya ada tonjolan aneh, seperti bengkak.
“Liong-cu itu kausimpan di
dalam perut?” tanya Hek-sim Lo-mo, hampir tak percaya.
Pouw Sianseng mengangguk.
Mendiang Yok-sian amat pandai, dia dapat menyimpan mustika ini ke dalam
perutku, membedah kulit perut lalu menjahitnya kembali. Dan karena Liong-cu
merupakan mustika yang ampuh, maka sama sekali tidak mengganggu kesehatan
badanku.”
“Dan untuk mengambilnya......”
“Harus memanggil seorang ahli
bedah untuk mengeluarkannya dari perutku.”
“Ah, akupun bisa
mengambilnya!” Tiba-tiba tangan Hek-sim Lo-mo meluncur dan sekali totok saja
tubuh kakek itu roboh terlentang dalam keadaan lumpuh.
“Ayah......?” Bi Hwa menjerit.
“Jangan mendekat, Bi Hwa,”
kata kakek itu dengan lemah. Dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan, akan
tetapi masih dapat bicara. “Sudah kuduga ini...... kalau aku mati...... kau
pulanglah sendiri dan hati-hatilah......”
Hek-sim Lo-mo lalu menggunakan
kuku jari tangannya menggores ke arah tonjolan pada perut kakek itu dan kulit
perut itupun tergores robek! Di saat lain, dia sudah mengeluarkan sebuah benda
bulat sebesar kepalan tangannya yang berlumuran darah, dan diapun membebaskan
totokannya.
“Ayah......!” Bi Hwa menubruk
ayahnya dan membantu ayahnya membalut luka pada perut itu dengan robekan kain
dari bawah bajunya sendiri setelah Yauw Ban, atas perintah Hek-sim Lo-mo,
memberi obat bubuk pada luka di perut dan menutupnya dengan koyok.
Semua orang tidak,
memperhatikan ayah dan anak itu karena semua memperhatikan sebuah benda bulat
yang sudah dibersihkan dari darah, yang berada di tangan Hek-sim Lo-mo. Benda
itu berwarna putih kebiruan, seperti batu, dan sukar dipercaya bahwa benda itu
adalah benda pusaka yang disebut Liong-cu (mustika naga) yang kabarnya terdapat
pada rongga dalam kepala seekor naga!
“Mustika ini harus diuji dulu
keasliannya! Mo-li, keluarkan senjata rahasiamu yang paling ampuh, hendak
kucoba khasiat mustika ini melawan racun yang bagaimana kuatpun!”
Kiu-bwe Mo-li mengeluarkan
sebuah paku yang kehitaman. Itulah senjata rahasia paku yang luar biasa
ampuhnya, karena telah direndam racun yang amat jahat sehingga sekali mengenai
tubuh lawan, tentu akan membuat lawan tewas dengan tubuh bengkak menghitam!
“Cobakan kepadanya!” kata
Hek-sim Lo-mo. “Hitung-hitung untuk menghukumnya kalau dia membohong!” Dia
menuding ke arah Pouw Sianseng yang sudah bangkit duduk, masih kesakitan karena
kulit perutnya dibedah secara paksa oleh datuk itu tadi.
Kiu-bwe Mo-li juga termasuk
seorang yang amat keji dan sadis. Mendapat perintah ini, ia menyeringai dan
secepat kilat, tangan kirinya yang memegang paku itu bergerak dan nampak sinar
hitam kecil menyambar ke arah Pouw Sianseng.
“Cappp! Aduhhh......!” Pouw
Sianseng memekik dan mendekap pundak kirinya yang terkena paku, lalu tubuhnya
berkelojotan karena merasa nyeri dan panas bukan main.
“Bagus, racunnya telah
bekerja!” kata Hek-sim Lo-mo. “Cabut kembali paku itu, biar kucobakan Liong-cu
ini!”
Kiu-bwe Mo-li menghampiri Pouw
Sianseng yang berkelojotan, mendorong tubuh Bi Hwa yang menangisi ayahnya ke
samping lalu mencabut paku itu. Begitu dicabut, rasa nyeri semakin menggigit
dan menusuk sehingga kakek itu merintih-rintih.
Hek-sim Lo-mo cepat memeriksa
luka itu. Hitam membengkak dan sebentar lagi racunnya akan terbawa aliran darah
ke seluruh tubuh dan akan matilah orang itu. Cepat dia lalu menempelkan mustika
naga itu ke atas pundak yang terluka dan terjadilah keanehan. Warna hitam pada
luka itu dalam waktu singkat saja lenyap dan pada permukaan benda itu nampak
cairan hitam!
Ternyata dengan mudahnya,
benda itu telah menyerap dan menghisap semua racun yang berada di dalam luka
itu sebelum menjalar ke seluruh tubuh! Bukan main! Belum pernah Hek-sim Lo-mo
menyaksikan keampuhan benda seperti yang terdapat pada Liong-cu itu.
Dan kini Pouw Sianseng tidak
mengeluh lagi karena sama sekali tidak lagi merasa nyeri. Pundaknya yang tadi
terkena paku kini hanya tinggal luka kecil kemerahan yang tidak ada artinya
lagi, sudah bersih sama sekali dari racun, bahkan seperti sudah sembuh!
“Hemm, sudah percayakah kau
sekarang, Lo-mo? Aku bukan orang yang suka menipu atau berbohong!” kata Pouw
Sianseng mendongkol.
Hek-sim Lo-mo girang luar
biasa dan seperti anak kecil memperoleh mainan baru, dia mendekap Liong-cu itu
ke dadanya.
“Liong-cu......! Aku telah
mendapatkan Liong-cu...... ha-ha-ha! Ini semua berkat jasamu, Tiat-pi Hek-wan.
Sebagai hadiah jasamu, kuberikan gadis ini kepadamu, boleh kauperbuat sesuka
hatimu!”
“Ha-ha-ha, terima kasih.
Bengcu!” Tiat-pi Hek-wan sekali sambar sudah merenggut tubuh Bi Hwa dari
ayahnya dan memondong gadis itu, lalu dibawa keluar, tanpa memperdulikan gadis
itu menjerit-jerit, mencakar dan menggigit, diikuti senyum dan pandang mata
rekan-rekannya.
Melihat ini Pouw Sianseng
terkejut sekali dan diapun memaksa diri bangkit dan berteriak kepada Hek-sim
Lo-mo. “Lo-mo, apa artinya ini? Engkau melanggar sumpahmu? Engkau telah
bersumpah akan melepaskan puteriku setelah......”
“Akupun melepaskannya. Siapa
melanggar sumpah? Aku tadi bersumpah bahwa kalau kau menyerahkan Liong-cu aku
akan melepaskan puterimu, bukan? Nah, ia sudah kulepaskan, tidak kutahan, tidak
kuganggu! Aku melepaskannya kepada Tiat-pi Hek-wan, dan kalau dia yang
mengganggunya, itu urusan dia, bukan urusanku. Aku tidak mengganggu puterimu,
sudah kulepaskan! Heh-heh!”
“Terkutuk kau, Hek-sim Lo-mo!”
Pouw Sianseng marah sekali dan dengan nekat dia menubruk ke depan, hendak
mencekik datuk itu. Akan tetapi, Hek-sim Lo-mo menggerakkan kakinya menyambut.
“Dukkk!” Ujung kaki datuk itu
mengenai ulu hati Pouw Sianseng dan tubuh tinggi kurus itupun terjengkang,
terbanting dan tewas seketika, mulutnya mengeluarkan darah, matanya terbelalak.
Dia mati dalam penasaran!
Agaknya Hek-sim Lo-mo masih
ingin membela diri dengan sikapnya itu kepada para pembantunya.
“Orang ini memang harus
dibunuh, kalau tidak, tentu dia akan membocorkan rahasia ini, akan memberitahu
bahwa Liong-cu sudah berada padaku dan kalau demikian, celaka! Tentu semua
orang dari dunia persilatan akan mencoba merampasnya dan kita menghadapi lawan
yang banyak sekali dan lihai pula. Beritahu kepada Hek-wan, kalau dia sudah
selesai dengan gadis itu, agar dibunuhnya pula. Buang mayat mereka ke dalam
jurang agar tidak ada yang dapat mengikuti jejak mereka!”
Hek-sim Lo-mo membubarkan
persidangan dan dia membawa Liong-cu yang selalu didekapnya itu ke kamarnya
setelah memesan kepada Yauw Ban bahwa besok pagi dia bersama Yauw Ban akan
berkunjung kepada ahli pembuat pedang itu. Para pembantu kini menyambar gadis
panggilan yang menjadi pilihan hati mereka tadi dan membawanya ke kamar
masing-masing.
Kalau dari kamar-kamar para
pembantu ini terdengar suara cekikikan dan senda gurau, di sebuah kamar di
belakang terdengar ratap tangis yang memilukan. Ratap tangis Bi Hwa yang
dipermainkan oleh Tiat-pi Hek-wan yang sadis. Dan menjelang tengah malam,
ketika ratap tangis itu akhirnya tidak terdengar lagi, gadis itupun telah tak
bernyawa lagi dan mayatnya menyusul mayat ayahnya, dilempar ke dalam jurang
yang amat curam, di mana kedua mayat itu akan hancur membusuk tanpa ada yang
mengetahuinya!
Manusia adalah mahluk
tertinggi derajatnya di antara semua mahluk yang hidup di dunia ini,
satu-satunya mahluk yang berakal budi, yang dikaruniai otak dan ingatan
sehingga dapat berpikir, mempunyai pengertian dan dapat membedakan antara baik
dan buruk. Akan tetapi, sekali manusia menjadi hamba nafsu, bukan sebaliknya
menguasai nafsu, maka dia menjadi mahluk yang sebuas-buasnya dan sekejam-kejamnya.
Binatang yang kita sebut
bagaimana buaspun, selalu mendasarkan semua perbuatannya pada kebutuhan hidup.
Binatang harimau menerkam kelinci dan dimakannya, nampaknya memang buas dan
kejam, akan tetapi sesungguhnya perbuatannya itu sama sekali tidak mengandung
kejahatan, melainkan karena kebutuhan hidupnya, tuntutan perutnya. Binatang
melakukan hubungan kelamin karena kebutuhan perkembangbiakan, tuntutan naluri
seksuilnya.
Akan tetapi manusia yang
menjadi hamba nafsunya sendiri, dia makan demi memuaskan nafsu aluamahnya,
ingin mencari kesenangan melalui makan, seolah-olah makan itu bukan suatu
kebutuhan hidup melainkan kebutuhan kenikmatan yang membuatnya menjadi loba,
tamak dan mau melakukan kejahatan apapun demi tercapainya pengejaran kesenangan
melalui makan dan apa saja. Juga seorang yang diperhamba nafsunya sendiri akan
mengejar kesenangan melalui seks, dan dia dapat melakukan kejahatan dan
kekejaman yang luar biasa demi pemuasan nafsunya itu.
◄Y►
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Hek-sim Lo-mo sudah mengajak pembantu utamanya nomor satu,
yaitu Tok-gan-liong Yauw Ban untuk pergi berkunjung ke rumah kakek Thio Wi Han,
ahli pembuat pedang yang tinggal di dusun Gi-ho-cung di kaki Pegunungan
Fu-niu-san.
Orang akan merasa heran kalau
melihat keadaan rumah tinggal Thio Wi Han ini. Dia seorang ahli pembuat pedang
yang kenamaan, bukan hanya pedang biasa seperti yang dapat dibeli di pasar,
melainkan pedang buatannya selalu merupakan senjata pilihan, bahkan banyak
sudah pedang-pedang pusaka dari bahan-bahan yang aneh-aneh dan langka dibuat
oleh kedua tangannya yang ahli.
Orang dengan keahlian seperti
dia ini sesungguhnya akan mudah saja menjadi kaya raya. Bahkan pernah dia
ditawari kedudukan di kota raja oleh istana, namun dia menolaknya! Dan dia
tidak menghargai keahliannya dengan harta benda. Dia seorang seniman sejati
yang melakukan pekerjaan membuat pedang itu sebagai sesuatu yang suci, sesuatu
yang membahagiakan hatinya, tiada bedanya dengan para seniman lain, seniman
sejati yang menganggap pckerjaan seninya itu sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupannya, merupakan sumber kebahagiaannya.
Dia hanya berdua dengan
isterinya yang berusia empatpuluh tahun lebih, jauh lebih muda dari Thio Wi Han
yang sudah berusia tujuhpuluh tahun. Di dalam sebuah rumah kecil sederhana
sekali, Thio Wi Han tinggal berdua saja tanpa pembantu dengan isterinya. Rumah
itu hanya mempunyai tiga ruangan, ruangan depan yang menjadi ruang tamu, lalu
kamar tempat tidur mereka, dan di belakang adalah dapur yang besar, tempat
isterinya masak dan tempat dia bekerja membuat pedang dan senjata lainnya,
merupakan bengkel tempat dia bekerja.
Thio Wi Han tidak pernah
membuat pedang atau pisau yang biasa di jual di pasar. Setelah tua ini, dia
hanya bekerja kalau ada pesanan, dan pesanan itu haruslah pesanan pembuatan
senjata yang istimewa. Pemesannya harus menyediakan bahan yang baik, baja
pilihan, dan harus memperlihatkan kemampuan memainkan senjata yang dipesan itu
dengan lebih dulu mendemonstrasikannya di depan Thio Wi Han! Kalau tidak
begini, dia tidak akan mau membuatkannya!
Dan biarpun dia sendiri belum
pernah memperlihatkan kepandaiannya, namun semua orang kang-ouw menduga bahwa
kakek ahli pembuat pedang ini tentu memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Hal
terbukti karena dia dapat mengetahui apakah benar pemesannya patut memegang
senjata yang dipesannya, sesuai dengan kepandaiannya.
Gi-ho-cung boleh jadi hanya
sebuah dusun yang kecil sekali di kaki Fu-niu-san, sebuah dusun yang tidak ada
artinya dengan penduduk hanya beberapa puluh rumah yang kesemuanya adalah
petani-petani sederhana. Namun bagi dunia kang-ouw, dusun ini amat terkenal dan
nama Thio Wi Han dikenal oleh semua tokoh kang-ouw, bahkan dia dihormati dan
disuka oleh semua golongan karena Thio Wi Han tidak pernah membeda-bedakan
golongan.
Bagi dia, tidak perduli orang
dari golongan apa, yang datang kepadanya akan dilayani asal memenuhi syaratnya,
yaitu pertama, harus membawa bahan yang benar-benar pilihan, dan kedua, harus
mampu memperlihatkan kepandaian yang sesuai untuk mempergunakan senjata ampuh
buatannya! Tanpa adanya dua syarat ini, biar diancam dan dibujuk bagaimanapun,
dijanjikan upah besar berapapun, atau diancam akan dibunuh sekalipun, jangan
harap dapat memaksanya bekerja!
Soal biaya pembuatan pedang,
dia tidak pernah membicarakan dan hal itu terserah kepada pemesan, bahkan tidak
diberi sekalipun dia tidak akan menagih! Memang Thio Wi Han seorang seniman
yang aneh. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan semua orang karena dia tidak
pernah memperlihatkannya, dia hidup berbahagia di samping isterinya karena ada
pertalian kasih sayang besar antara mereka!
Agaknya inilah yang menjadi
rahasia besar kehidupan Thio Wi Han. Cinta kasih yang amat mendalam yang
didapatkannya dari isterinya membuat dia tidak membutuhkan apa-apa lagi! Dalam
kehidupan sederhana sekalipun dia merasa berbahagia di samping isterinya!
Betapa menyedihkan kalau
dilihat kenyataan bahwa jarang ada pasangan suami isteri seperti Thio Wi Han
ini. Dia dan isterinya tidak mempunyai anak, selisih usia mereka hampir
tigapuluh tahun, keadaan hidup merekapun sederhana, hidup di dusun pegunungan
yang sunyi, namun mereka dapat hidup berbahagia karena ada ikatan tali kasih
sayang besar di antara mereka.
Bukan ikatan nafsu. Ikatan
nafsu akan luntur dan tak meninggalkan bekas kalau nafsu itu sendiri sudah
melemah. Dalam usia yang semakin tua, tentu saja nafsu tidak lagi memegang
peran besar dan kalau cinta yang ada antara suami isteri hanya cinta nafsu,
maka cinta itu akan hambar dan bahkan lenyap kalau mereka sudah menjadi tua.
Betapa banyak dapat dilihat
keadaan hubungan suami isteri seperti ini. Kehilangan kemesraan, kalaupun ada
kemesraan itu dibuat-buat, bukan timbul dari hati yang mencinta dan menyayang.
Bahkan tidak jarang timbul pertikaian, kejemuan yang membuat kedua suami isteri
seringkali bertengkar dan saling merasa betapa kehadiran kawan hidup hanya
merupakan gangguan yang menjengkelkan!
Ini adalah karena
ketidakadanya kasih sayang yang mendalam. Kalau ada kasih sayang antara
manusia, cahaya cinta kasih dalam dada, maka tentu perasaan kasih sayang itu
pertama-pertama terasa kepada orang lain yang paling dekat dengan dirinya,
suami atau isteri, anak-anak dan keluarga. Dan mengapakah tidak ada kasih
sayang ini? Mengapa tidak ada cinta kasih di dalam hati?
Cinta kasih bukanlah perasaan
dari seseorang kepada orang lain tertentu! Itu adalah cinta nafsu, tertarik
oleh sesuatu yang dianggap indah dan menyenangkan! Cinta kasih tidak mengenal
subyek, cinta kasih adalah sinar Tuhan yang menerangi batin. Cinta kasih ini
tidak nampak selama diri dikuasai oleh si-aku! Begitu si-aku ini merajalela
dalam batin, maka kasih sayang pun, cinta kasih yang murni itupun tidak ada,
yang ada hanyalah cinta nafsu karena cinta nafsu ini menyenangkan diri pribadi.
Mari kita periksa diri
sendiri, menjenguk isi hati dan pikiran, dan kita akan melihat kenyataan itu.
Tidak ada gunanya mencari cinta kasih yang tidak nampak di dalam batin. Cinta
kasih tidak pernah lenyap, selalu ada. Yang penting melihat ke akuan diri yang
demikian besar dan berkuasa. Begitu si aku berhenti berkuasa, maka cinta kasih
akan nampak bersinar terang!
Tuhan tidak pernah pergi
meninggalkan kita. Sesungguhnya kitalah yang pergi menjauhkan diri dan
meninggalkannya! Pementingan diri karena si aku yang merajalela dalam batin,
membuat mata batin kita buta dan tidak melihat Tuhan. Lenyapnya si-aku akan
membuka mata kita dan menyadarkan bahwa Tuhan selalu ada pada diri kita,
sedetikpun tak pernah meninggalkan kita!
Ketika Hek-sim Lo-mo dan
Tok-gan-liong Yauw Ban tiba di depan pondok sederhana tempat tinggal Thio Wi
Han, mereka melihat bahwa di pekarangan itu terdapat tigabelas orang yang
melihat pakaian, keadaan diri dan sikap mereka, sudah diketahui bahwa mereka
itu adalah orang-orang kang-ouw yang kasar dan biasa mempergunakan kekerasan.
Sambil berbisik Tok-gan-liong Yauw Ban memberitahu kepada Hek-sim Lo-mo yang
tidak mengenal mereka, bahwa tigabelas orang itu adalah Wei-ho Cap-sha-kwi
(Tigabelas Setan dari Sungai Wei) yang berkedudukan di sekitar kota Sian di
Propinsi Shensi.
Sungai Wei adalah sebatang
sungai yang menjadi anak sungai dari Sungai Kuning, dan nama Tigabelas Setan
ini terkenal sekali di seluruh wilayah itu, bahkan di seluruh Propinsi Shensi.
Mereka adalah tokoh-tokoh sesat yang mengepalai seluruh kaum bajak sungai dan
perampok. Dan mereka belum menyatakan takluk kepada kekuasaan Hek-sim Lo-mo,
maka kini datuk ini bersama pembantu utamanya memandang ke arah mereka dengan
alis berkerut.
Tigabelas orang itu ditemui
oleh tuan rumah di pekarangan depan karena ruangan tamunya tidak cukup lebar
untuk menerima tigabelas orang tamu itu, atau setidaknya, Thio Wi Han merasa
enggan menerima tigabelas orang yang kasar itu di dalam ruangan itu.
Kakek Thio Wi Han itu nampak
tenang sekali menghadapi mereka. Seorang kakek berusia tujuhpuluh tahun,
rambutnya sudah putih semua, akan tetapi mukanya bersih tidak memelihara kumis
atau jenggot. Sinar matanya lembut namun kadang mencorong penuh wibawa dan
mulutnya terhias senyuman penuh kesabaran ketika dia berhadapan dengan
tigabelas orang jagoan itu.
“Sudah kukatakan, aku hanya
mau membuatkan pedang dengan dua syarat utama, yaitu pertama pemesan harus
membawa bahan yang pilihan, dan kedua pemesan harus dapat membuktikan bahwa dia
pantas memiliki senjata yang baik buatanku. Kalian hanya datang membawa bahan
yang baik untuk sebuah golok saja, dan tidak mungkin aku membuatkan tigabelas
batang golok dari bahan yang hanya untuk sebatang saja itu. Bahan yang lain ini
tidak baik dan aku tidak mau membuat golok dari bahan ini. Nah, kalian tinggal
pilih. Kubuatkan sebatang golok setelah pemesannya memperlihatkan ilmu
goloknya, atau kalian boleh bawa pergi lagi saja dan menyuruh orang lain
membuatkannya.”
Kata-kata itu teratur dan
halus, namun juga mengandung ketegasan dan wibawa yang tidak dapat dibengkokkan
lagi. Tigabelas orang itu rata-rata bertubuh besar dan kuat, sikap mereka kasar
dan pakaian mereka dari kain yang tebal dan kuat, nampak kotor karena agaknya
mereka jarang bertukar pakaian. Namun ini bukan berarti bahwa mereka miskin.
Sebaliknya, Wei-ho Cap-sha-kwi adalah sekumpulan tokoh sesat yang sudah
berhasil mengepalai semua bajak dan perampok yang selalu memberi “bagian hasil”
kepada mereka.
Kalau mereka kini berpakaian
kotor adalah karena mereka sedang melakukan perjalanan jauh dan tidak membawa
ganti pakaian. Mereka terkenal sekali dengan Cap-sha Kwi-tin (Barisan Tigabelas
Setan) dan dengan golok di tangan, mereka merupakan lawan ampuh walaupun kalau
maju seorang demi seorang, mereka tidaklah sehebat kalau membentuk Cap-sha
Kwi-tin.
Seorang di antara tigabelas
jagoan itu, yang menjadi pemimpin mereka bernama Kwa Ti, tubuhnya juga tinggi
besar, dengan perut gendut sekali, mukanya bopeng dan hitam. Mendengar ucapan
tuan rumah, dia melangkah maju, lalu menghardik.
“Thio Wi Han! Tidak tahukah
engkau siapa yang kauhadapi ini? Kami adalah Wei-ho Cap-sha-kwi, dan kami tidak
biasa dibantah orang! Kami datang dengan baik, memesan tigabelas batang golok
dan kami juga tidak minta gratis, melainkan mau membayar berapa saja biaya
pembuatan tigabelas batang golok itu! Jangan engkau menolak, karena penolakanmu
sama dengan penghinaan dan siapa berani menghina Wei-ho Cap-sha-kwi, akan
mampus dengan tubuh hancur lebur dicacah golok kami!”
Thio Wi Han masih tetap tenang
dan memandang kepada kepala gerombolan itu dengan matanya yang halus namun
berwibawa. “Seorang manusia harus memiliki pendirian, kalau tidak dia hanya
akan menjadi seorang pengecut yang munafik. Syarat-syaratku itu sudah kupakai
selama puluhan tahun dan akan kupertahankan sampai mati.”
“Toa-ko (kakak), pukul saja
orang keras kepala ini, baru dia akan menurut perintah kita!” beberapa orang
anggauta gerombolan itu berkata dengan marah kepada Kwa Ti dan si gendut inipun
sudah marah sekali. Semua perampok dan bajak sungai di sepanjang Sungai Wei-ho,
siap untuk melakukan setiap perintahnya, dan kakek lemah ini berani membantah!
“Engkau memang minta dihajar
baru taat!” bentaknya dan diapun menggerakkan tangan kanan menampar ke arah
muka kakek itu sekedar untuk menakut-nakuti dan memaksanya agar mentaati
perintahnya. Akan tetapi, tangannya menampar tempat kosong karena dengan
gerakan halus namun tepat sekali, kakek Thio Wi Han sudah mundur selangkah dan
tamparan itupun hanya lewat di depan mukanya!
Melihat pukulannya luput
karena dielakkan orang, Kwa Ti yang tidak biasa dibantah dan dilawan ini
menjadi semakin marah dan penasaran.
“Engkau berani melawan aku,
ya?” bentaknya dengan sikap ingin benar dan menang sendiri. “Nah, rasakan ini!”
Dia kini menyerang dengan pukulan bertubi, dengan gerakan silat, bukan sekedar
menampar seperti tadi. Akan tetapi, alangkah herannya tigabelas orang jagoan
itu ketika melihat kakek itu hanya menggeser kaki dan melangkah ke sana-sini
dan semua pukulan Kwa Ti hanya mengenai tempat kosong saja!
Pada saat itu, dari dalam
pondok muncul seorang wanita. Usianya empatpuluh tahun lebih tetapi ia masih
nampak cantik dan tubuhnya masih padat dan ramping, pakaianaya sederhana namun
rapi, juga rambutnya yang masih hitam itu tersisir rapi. Seorang wanita yang
anggun. Begitu ia keluar dan melihat kakek Thio diserang orang, iapun cepat
maju dan menghadang di tengah.
Kwa Ti tertegun melihat
munculnya seorang wanita dan biarpun dia penasaran sekali melihat serangannya
tidak pernah mengenai sasaran, dia menahan diri dan memandang wanita itu dengan
alis berkerut.
“Engkau siapa berani
menghalangiku?”
Dengan sikap seperti
melindungi kakek itu, ia berkata. “Aku adalah isterinya! Kalian ini orang-orang
sungguh tidak tahu malu sama sekali. Bukankah kalian ini tamu-tamu yang tidak
diundang? Mengapa sikap kalian bukan seperti tamu melainkan seperti perampok
saja, hendak memaksakan kehendak sendiri? Tamu yang sopan semestinya memenuhi
peraturan tuan rumah!”
Setelah mendengar ucapan itu
dan tahu bahwa dia berhadapan dengan nyonya rumah, Kwa Ti menyeringai dan dia
menoleh kepada kawan-kawannya. “Kawan-kawan, kalau kita paksa si tua sampai
mati, kita tidak akan berhasil memiliki golok pusaka yang ampuh. Si tua itu
keras kepala, aku mempunyai akal untuk memaksanya tanpa membunuhnya!”
Duabelas orang kawannya
tertawa-tawa dan seorang di antara mereka bahkan berkata, “Benar, tangkap saja
isterinya, biarkan aku yang akan menemaninya. Heh-heh, ia masih manis dan
bahenol, heh-heh!”
Kwa Ti yang menjadi kepala dari
Cap-sha-kwi, bukan orang yang suka menggoda wanita, maka mendengar ini, dia
tertawa. Memang maksudnya untuk menangkap isteri Thio Wi Han dan menjadikannya
sebagai sandera agar kakek itu terpaksa memenuhi permintaan mereka membuatkan
tigabelas batang golok.
“Baiklah, kau tangkap wanita
itu!” katanya kepada kawan yang bicara tadi.
Orang itu matanya besar
sekali, hidungnya pesek dan mulutnya lebar dengan bibir tebal, juga mukanya
hitam dan kasar. Mendengar ucapan toakonya, dia tersenyum menyeringai dan melangkah.
maju, tubuhnya yang tinggi besar itu menyeramkan, langkahnya seperti langkah
seekor binatang buas.
“Heh-heh, nyonya manis, mari
ikut denganku sementara suamimu membuatkan golok untuk kami.” Berbareng dengan
habisnya kata-kata itu, kedua lengannya sudah menyambar dari kanan kiri hendak
menangkap kedua pundak isteri Thio Wi Han. Anehnya, Thio Wi Han yang dari
elakan-elakannya tadi jelas menunjukkan bahwa dia seorang yang memiliki
kepandaian silat, kini melihat isterinya diserang orang, bersikap diam saja dan
menonton dengan tenang.
“Wuuut! Wuuuttt!” Sambaran
kedua tangan yang berlengan panjang dan besar itu lewat dan sama sekali tidak
menyentuh pundak Nyonya Thio Wi Han yang sudah menggeser kaki dengan gerakan
indah dan ringan sekali.
Si penyerang yang tadinya
bermaksud menangkap dan merangkul nyonya itu, menjadi penasaran dan kini,
sambil mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas. kedua
tangannya mencengkeram dengan tubrukan, yang kanan mencengkeram leher, yang
kiri mencengkeram ke arah dada! Serangan yang berbahaya dan juga kurang ajar!
Wanita itu bersikap tenang,
akan tetapi secepat kilat kedua kakinya secara beruntun menyambar ke depan,
menyambut tubuh penyerangnya dan ujung sepatu kedua kakinya lebih dulu mengenai
tubuh lawan sebelum kedua tangan yang mencengkeram itu tiba.
“Dukkk......! Dessss.....!!”
Ujung sepatu kiri nyonya itu menyentuh sambungan lutut kaki kanan, sedangkan
ujung sepatu kanan dengan kerasnya menghantam ulu hati ketika tubuh tinggi
besar itu agak membungkuk karena lututnya tertendang. Tak dapat dihindarkan
lagi, tubuh tinggi besar itu terjengkang dan roboh terbanting!
“Kurang ajar.....!” bentak
orang kedua yang kepalanya besar sekali. Melihat kawannya roboh, dia sudah
menerjang ke depan, akan tetapi dia dihadapi Thio Wi Han sendiri yang sudah
menghadang dan melindungi isterinya. Karena marah, si kepala besar ini lalu
memukul ke arah kakek itu dengan kerasnya. Kepalan tangan sebesar kepala orang
itu menonjok ke arah dada Thio Wi Han. Akan tetapi, kakek itu hanya miringkan
tubuh dan ketika pukulan itu lewat, dia menampar dengan tangan miring ke arah
leher samping lawannya.
“Pergilah!” bentaknya lirih
dan orang pun terjungkal karena lehernya terkena “ba¬cokan” tangan miring yang
membuat napasnya sesak dan kepalanya pening.
Melihat betapa suami isteri
itu ternyata lihai, Kwa Ti terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan bentakan
sebagai aba-aba dan menyusul ini, nampak sinar berkilauan dan terdengar suara
berdesing ketika semua orang itu telah mencabut golok besar mereka dari
punggung! Juga mereka berdua yang tadi telah roboh, kini bangkit sambil
mencabut golok. Suami isteri itu dikepung oleh tigabelas orang Wei-ho
Cap-sha-kwi yang sudah membentuk barisan Cap-sha-kwi-tin dengan golok besar di
tangan!
SEMENTARA itu, sejak tadi
Hek-sim Lo-mo menonton saja dengan sikap tenang. Pembantunya, Tok-gan-liong
Yauw Ban juga diam saja. Orang ini tidak akan berani bergerak tanpa perintah
dari kepalanya dan dia hanya menanti saja sampai Hek-sim Lo-mo memberi perintah
dan petunjuk.
Tadi, melihat gerakan tuan dan
nyonya rumah, Hek-sim Lo-mo tertarik dan diam-diam mentertawakan tigabelas
orang yang agaknya tidak melihat kenyataan bahwa tuan dan nyonya rumah itu
tidak boleh dibuat main-main. Kini, melihat cara mereka membentuk barisan
mengepung, timbul kekhawatirannya kalau-kalau tigabelas orang kasar itu akan
mengeroyok dan membunuh Thio Wi Han yang amat dibutuhkan tenaganya untuk
membuatkan pedang pusaka. Hek-sim Lo-mo lalu berkata kepada pembantu utamanya.
“Cegah mereka membunuh kakek
itu!”
Mendengar perintah atasannya
ini, Tok-gan-liong Yauw Ban mengangguk dan sekali dia meloncat, tubuhnya sudah
melayang dan bagaikan seekor burung terbang saja, dia sudah melewati atas
kepala para pengepung lalu tubuhnya melayang turun di tengah kepungan, di depan
suami isteri yang siap menghadapi pengeroyokan itu.
Tigabelas orang itu terkejut
sekali melihat kehebatan gin-kang (Ilmu meringankan tubuh) dari orang ini.
Sementara itu, Yauw Ban menjura kepada Thio Wi Han dan isterinya sambil
berkata, “Harap Saudara Thio dan nyonya suka mundur, biarkan aku menghadapi
setan-setan ini!”
Tok-gan-liong Yauw Ban adalah
seorang tokoh sesat yang terkenal sekali, apa lagi orangnya mudah dikenal,
yaitu dari keadaan matanya yang tinggal sebuah saja. Maka, biarpun belum pernah
saling bertemu, melihat laki-laki tinggi kurus bermata satu, yang membawa
sebatang pedang di punggungnya dan memiliki gin-kang yang luar biasa itu, Kwa
Ti yang memimpin rombongan Cap-sha-kwi segera berkata dengan suaranya yang kasar.
“Benarkah dugaan kami bahwa
engkau adalah Tok-gan-liong Yauw Ban?”
Yauw Ban memandang tajam
dengan mata tunggalnya yang mengeluarkan sinar mencorong. “Benar, akulah Yauw
Ban. Sekali ini Cap-sha-kwi bertindak ngawur! Saudara Thio Wi Han adalah
seorang yang dihormati dan dibutuhkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan, dari
golongan manapun juga. Jasanya sudah amat banyak, kenapa kalian begitu rendah
untuk mengganggu dia dan isterinya? Kalau kalian tidak mampu memenuhi syarat
yang diajukannya, sepatutnya kalian mundur, tidak memaksanya seperti ini!”
Kwa Ti sudah mendengar akan
kelihaian Naga Mata Satu ini, akan tetapi dia berbesar hati karena dia bersama
duabelas orang saudaranya, dan kalau mereka maju bersama, mereka tidak gentar
menghadapi siapapun juga.
“Tok-gan-liong, jangan sombong
engkau! Di antara kita mempunyai wilayah kekuasaan sendiri-sendiri, dan selama
ini kita tidak saling mengganggu! Bagaimana sekarang engkau hendak mengganggu
kami dan menghalangi kami yang hendak memaksa orang she Thio itu membuatkan
golok untuk kami? Harap jangan engkau ikut-ikut! Kami tidak ingin bermusuhan
dengan orang segolongan, akan tetapi kalau engkau memaksa, jangan dikira kami
takut menghadapi Tok-gan-liong!”
“Singggg......!” Nampak sinar
berkilat dan tahu-tahu Tok-gan-liong Yauw Ban sudah mencabut pedangnya,
melintangkan pedang di depan dada dan dua jari tangan kirinya menuding ke arah
muka Kwa Ti sambil membentak, suaranya nyaring.
“Wie-ho Cap-sha-kwi, hari ini
kalian akan runtuh!”
Kwa Ti marah dan sambil memberi
isyarat kepada kawan-kawannya, diapun menyerang dengan goloknya. Golok itu
digerakkan dengan cepat dan kuat sekali, membacok ke arah leher lawan. Namun,
dengan gerakan ringan sekali Yauw Ban mengelak, menarik tubuh ke belakang lalu
cepat membalik sambil memutar pedang ketika mendengar suara angin dari
belakang. Benar saja, dua orang teman Kwa Ti sudah menyerang dengan golok
mereka secara berbareng, hampir bersamaan waktunya dengan serangan yang
dilakukan Kwa Ti tadi.
“Trang... tranggg......!”
Bunga api berpijar dan dua orang itu meloncat ke belakang karena merasa betapa
telapak tangan mereka tergetar hebat. Begitu mereka meloncat ke belakang,
tempat mereka sudah diduduki dua orang kawan dan merekapun memutar berganti
tempat. Sementara itu, empat batang golok sudah menyambar dari kanan kiri depan
dan belakang Yauw Ban!
Hebat bukan main kerja sama
dari Cap-sha-kwi itu, namun, Yauw Ban tidak memalukan menjadi pembantu pertama
Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Sembilan Setan Tua! Sambil berlompatan dia mengelak,
kadang-kadang tubuhnya mencelat ke atas dan setiap kali pedangnya menangkis,
tentu golok lawan terpental dan diapun masih sempat pula untuk membalas
serangan lawan dengan tusukan atau bacokan pedangnya!
Namun, penjagaan Cap-sha-kwi
amat rapat karena mereka saling membantu. Setiap serangan pedang Yauw Ban pasti
ditangkis oleh sedikitnya tiga batang golok dan empat batang yang lain sudah
menyerangnya dari berbagai sudut, masih dilapis oleh enam orang lain di
kepungan belakang yang siap menggantikan kepungan depan kalau sampai terdesak
atau terancam!
Golok-golok itu bersimpangan
dan menggunting dari kanan kiri dan depan belakang, makin lama semakin cepat
dan bertubi-tubi sehingga betapapun lihainya permainan pedang di tangan
Tok-gan-liong Yauw Ban, tetap saja dia mulai terdesak dan terhimpit, sukar
mendapatkan kesempatan untuk membalas serangan pihak pengeroyok yang
mendatangkan gelombang serangan bertubi-tubi dan susul menyusul itu.
Melihat betapa pembantu
utamanya terdesak, sepasang alis tebal di muka hitam Hek-sim Lo-mo berkerut,
dan sepasang mata yang besar itu mengeluarkan sinar merah.
“Yauw Ban, mundurlah!”
bentaknya.
Mendengar perintah ini, Yauw
Ban cepat meloncat ke belakang. Semua lawannya mendapat angin dan dengan garang
tigabelas orang Cap-sha-kwi memainkan golok mereka dan membentuk barisan tiga
lapis, setiap jajar empat orang dan Kwa Ti si gendut bopeng itu berada di
samping sebagai pemimpin dan pengatur barisan.
Memang Wei-ho Cap-sha-kwi ini
selain terkenal sebagai tigabelas orang yang masing-masing memiliki ilmu
kepandaian tinggi, juga kalau mereka maju berbareng, maka, mereka membentuk
barisan Cap-sha-kwi-tin (Barisan Tigabelas Setan) yang amat tangguh! Karena
barisan ini dapat bekerja sama dengan baik, maka Yauw Ban yang memiliki tingkat
lebih tinggi dari masing-masing anggauta Wei-ho Cap-sha-kwi juga tidak kuat
menahan pengeroyokan mereka.
Hek-sim Lo-mo diam-diam
mengerahkan tenaga sakti di tubuhnya dan mempergunakan pula kekuatan sihir yang
terkandung dalam suara dan pandang matanya. Datuk sesat peranakan Nepal ini
memang selain pandai ilmu silat, juga pandai ilmu sihir!
“Wei-ho Cap-sha-kwi!”
terdengar dia berkata, suaranya berwibawa dan sikapnya angkuh. “Apakah mata
kalian sudah buta maka tidak mau tunduk kepadaku? Berlututlah kalian dan minta
ampun sebelum aku turun tangan dan terlambat bagi kalian!”
Akan tetapi tigabelas orang
yang sudah biasa melakukan kekerasan itu tentu saja tidak memperdulikan ancaman
kakek tinggi besar muka hitam yang tidak mereka kenal ini. Di dalam dunia ini,
kalau mereka maju bersama, tidak ada yang mereka takuti, apa lagi hanya seorang
kakek asing yang mukanya jelas menunjukkan bahwa dia seorang dari barat itu.
“Siapakah engkau!” Si gendut
Kwa Ti membentak dan mengelebatkan goloknya dengan sikap mengancam. “Sombongmu
bukan main, berani menghina kami, berarti engkau akan mampus dengan tubuh
menjadi empatbelas potong!” Dengan ucapan ini Kwa Ti hendak mengatakan bahwa
masing-masing temannya akan membacok satu kali sehingga dengan tigabelas kali
bacokan, tubuh kakek hitam itu akan menjadi empatbelas potong.
Setelah berkata demikian, dia
memberi isyarat kepada para temannya dan merekapun menyerbu dengan teratur
karena bagaimanapun juga, melihat sikap sombong kakek hitam itu, Kwa Ti dan
teman-temannya dapat menduga hahwa kakek hitam itu tentu lihai. Maka, begitu
maju, Wei-ho Cap-sha-kwi sudah menyerang dengan bentuk barisan yang teratur dan
saling melindungi, juga saling melanjutkan atau menyambung serangan teman di
depan.
Akan tetapi, begitu Hek-sim
Lo-mo bergerak, terjadilah keanehan. Kakek ini berdiri tegak dengan kedua kaki
terbentang lebar, kedua lutut agak ditekuk, kepala ditegakkan dan kedua
lengannya saja yang bergerak. Kedua tangan terbuka dengan telapak tangan
menghadap ke depan, membuat gerakan-gerakan seperti mendorong-dorong dan dari
mulutnya keluar pekik yang dahsyat seperti gerengan binatang buas dan......
setiap orang anggauta Cap-sha-kwi yang menyerangnya, dimulai oleh Kwa Ti,
begitu terkena dorongan dari jauh ini, terpental dan terjengkang roboh seperti
ditumbuk kekuatan yang amat hebat!
Gerengan itu membuat jantung
mereka tergetar dan tubuh mereka seperti lumpuh, kemudian angin dorongan yang
menyambar keluar dari kedua telapak tangan kakek hitam itu membuat mereka
terjengkang dan terbanting keras! Berturut-turut, tigabelas orang itu
bergelimpangan dan tentu saja mereka terkejut bukan main.
Kwa Ti adalah seorang tokoh
sesat yang banyak pengalaman. Melihat kenyataan ini, diapun maklum bahwa dia
dan kawan-kawannya berhadapan dengan orang yang memiliki kesaktian luar biasa
sehingga kalau mereka masih nekat melakukan perlawanan, akhirnya mereka akan
mati konyol! Karena itu, diapun mendahului teman-temannya, bangkit dan berlutut
di depan kakek hitam itu dan tanpa ragu-ragu lagi diapun berkata dengan suara
lantang.
“Locianpwe, mohon ampun......,
kami takluk dan menyerah......, harap lociapwe sudi mengampuni kami.....”
Duabelas orang saudara
seperguruannya itu terkejut dan heran. Akan tetapi merekapun maklum bahwa kakek
hitam itu memang hebat, apa lagi orang selihai Tok-gan-liong Yauw Ban saja
agaknya hanya menjadi pembantu orang itu dan nampaknya demikian taat dan takut.
Merekapun ikut berlutut minta ampun.
Sejenak Hek-sim Lo-mo tidak
bergerak, kedua lengannya tetap diluruskan ke depan, kedua tangan terbuka, siap
untuk memukul. Akan tetapi dia memandang kepada tigabelas orang yang berlutut
itu dan perlahan-lahan kemarahannya mereda.
Bagaimanapun juga, dia
membutuhkan pembantu-pembantu yang pandai dan Wei-ho Cap-sha-kwi ini dapat
menjadi pembantu yang berguna. Dia lalu berdiri tegak kembali, kemudian
menurunkan kedua lengannya dan berkata kepada Tok-gan-liong Yauw Ban.
“Urus dan nasihati mereka
sebagai bawahanmu!”
Yauw Ban mengangguk dan diapun
melangkah maju, lalu berkata kepada Kwa Ti, “Kalian sungguh masih untung bahwa
Beng-cu mengampuni kalian. Ketahuilah bahwa Beng-cu adalah Hek-sim Lo-mo yang
kini menjadi Beng-cu di seluruh wilayah He-nan dan Shan-tung. Mulai sekarang,
kalian menjadi pembantunya dan bekerja di bawah perintahku. Nah, sekarang beri
hormat kepada Beng-cu kita!”
Yauw Ban memimpin mereka
menghadap ke arah Hek-sim Lo-mo dan memberi hormat sambil menyebut “Beng-cu”.
Cap-sha-kwi mentaati karena mereka terkejut dan takluk benar ketika mendengar
disebutnya nama Hek-sim Lo-mo. Tanpa dijelaskanpun mereka mengerti bahwa mereka
berhadapan dengan seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua).
“Bagus, sekarang menjauhlah
dan menanti perintah Beng-cu selanjutnya di bawah pohon-pohon di sana itu!”
kata Yauw Ban.
Tigabelas orang itupun memberi
hormat dan dengan taat mereka menjauh dan duduk di atas rumput di bawah
segerombolan pohon. Melihat ini, Hek-sim Lo-mo tersenyum puas. Pembantunya,
Yauw Ban, memang pandai dan dapat diandalkan.
Sementara itu, kakek Thio Wi
Han dan isterinya masih berdiri di pinggir dan sejak tadi mengikuti perkelahian
antara Wei-ho Cap-sha-kwi dengan dua orang pendatang baru itu. Ketika mendengar
bahwa kakek tinggi besar muka hitam itu adalah Hek-sim Lo-mo, seorang di antara
Sembilan Iblis Tua, diam-diam Thio Wi Han terkejut sekali walaupun tidak nampak
perubahan pada wajahnya. Apa lagi melihat cara kakek hitam itu menundukkan
Wei-ho Cap-sha-kwi, tahulah dia bahwa Iblis Tua ini benar-benar lihai bukan
main dan dia berada dalam kesulitan.
Namun, bukan watak Thio Wi Han
untuk merasa gentar menghadapi setiap kesulitan hidup, maka diapun bersikap
tenang saja ketika kini Hek-sim Lo-mo dan Yauw Ban menghadapi dia dan
isterinya, dan sepasang mata Iblis Tua yang tajam dan liar seperti mata
binatang buas itu memandang penuh selidik. Thio Wi Han diam saja, tidak
menegur, seolah-olah hendak memperlihatkan bahwa dia berada di rumah sendiri
dan dia tidak kalah berwibawa dibandingkan dua orang tamunya yang tidak
diundang.
Melihat betapa suami isteri di
depannya itu tidak bergerak dan tidak menyapa, kerut merut nampak di kening
Hek-sim Lo-mo. Akhirnya dia mengalah dan bertanya dengan suaranya yang berat
dan dalam.
“Engkau yang bernama Thio Wi
Han?”
“Benar, aku Thio Wi Han.”
Kerut merut di antara kedua
alis kakek hitam itu makin jelas. Dia yang selama beberapa tahun ini sudah
terbiasa ditaati dan dihormati orang, kini melihat sikap Thio Wi Han yang
begitu tenang bersahaja, sedikitpun tidak merendah, menjilat atau takut-takut,
merasa tidak enak hatinya.
“Engkau ahli pembuat senjata
pusaka?”
Thio Wi Han mengangguk, sekali
ini bahkan tidak menjawab.
Betapa angkuhnya! Melihat ini,
Yauw Ban merasa khawatir kalau ketuanya marah, dan dia sendiripun merasa
penasaran melihat sikap kakek itu, maka diapun membentak,
“Thio Wi Han! Tidak tahukah
engkau dengan siapa engkau berhadapan? Beliau ini adalah Beng-cu kami, Hek-sim
Lo-mo yang disembah oleh ribuan tokoh kang-ouw!”
Thio Wi Han tersenyum. “Tentu
saja aku tahu dengan siapa aku berhadapan, yaitu dengan seorang tamu yang tidak
diundang. Aku berada di rumahku sendiri, dan aku tidak mengundang kalian semua
untuk datang ke sini. Tidak perlu berbelit-belit, ada keperluan apakah kalian
datang berkunjung ke sini dan membikin ribut di tempatku ini?”
Sikapnya tenang sekali dan
diam-diam Hek-sim Lo-mo kagum. Bukan main kakek ini. Sikap yang dimilikinya itu
adalah sikap seseorang yang yakin akan kekuatan dirinya, dan dalam hal ini,
agaknya Thio Wi Han yakin akan kemampuannya membuat senjata pusaka dan tahu
pula bahwa orang-orang lain membutuhkan dia, sedangkan dia sama sekali tidak
membutuhkan kehadiran semua orang itu.
Tiba-tiba Hek-sim Lo-mo
tertawa bergelak. Memang watak datuk ini aneh sekali. Sukar menyelami wataknya
karena dia dapat berubah-ubah sesuai dengan jalan pikirannya di saat itu.
“Thio Wi Han, engkau memang
pantas menjadi seorang ahli. Aku kagum kepadamu dan kedatanganku ini adalah
untuk minta bantuanmu membuatkan sebuah pedang pusaka untukku.”
Diam-diam Tok-gan-liong Yauw
Ban mendengarkan dengan mata terbelalak keheranan. Belum pernah dia melihat
sikap dan mendengar kata-kata yang demikian halus merendah dari ketuanya
seperti sekarang ini! Dan agaknya Thio Wi Han bukan seorang sombong, melainkan
seorang yang memiliki harga diri tinggi dan tidak suka membedakan orang, tidak
suka merendahkan diri atau menghina terhadap siapapun. Kini, melihat sikap
tamunya ramah dan halus, diapun segera merobah sikap, tersenyum ramah.
“Hek-sim Lo-mo, aku suka
membuatkan pedang untuk siapa saja asal memenuhi syarat yang sudah kuadakan
selama puluhan tahun. Syarat pertama, pemesan pedang harus membawa bahan yang
baik dan dapat kuterima dan kunilai sebagai cukup berharga untuk kutangani.
Syarat kedua, pemesan harus memperlihatkan kemampuannya apakah dia patut
memiliki pedang pusaka buatanku!”
Kembali datuk itu tertawa
bergelak. “Ha-ha-ha, Thio Wi Han, syaratmu memang tepat. Dan sebaiknya kalau
lebih dulu engkau melihat apakah aku pantas memiliki sebuah pedang pusaka
buatanmu. Yauw Ban, beri pinjam pedangmu!”
Yauw Ban mencabut pedangnya
dan begitu dicabut, tangan Hek-sim Lo-mo bergerak dan tahu-tahu lengan kanannya
itu mulur sampai hampir dua meter panjang dan sebelum Yauw Ban sempat mengelak,
pedangnya sudah dapat dirampas oleh tangan kanan Hek-sim Lo-mo! Ini saja sudah
membuat Thio Wi Han mengangguk-angguk, maklum bahwa datuk itu memang sakti.
Yauw Ban sendiri yang biarpun
sudah maklum akan kesaktian ketuanya, namun baru pertama kali itu melihat
betapa lengan datuk itu dapat mulur demikian panjang dan pedangnya terampas
tanpa dia dapat berkutik sama sekali, terbelalak penuh kaget dan kagum.
“Thio Wi Han, lihatlah ilmu
pedangku!” Berkata demikian, Hek-sim Lo-mo lalu menggerakkan pedang di
tangannya. Pedang itu lenyap menjadi gulungan sinar pedang yang berkilauan,
makin lama gulungan sinar itu semakin lebar dan tiba-tiba gulungan itu berubah
menjadi sinar meluncur ke atas. Terdengar bunyi keras dan dahan sebatang pohon
di situ patah, sedangkan pedang yang sudah meluncur mematahkan dahan itu kini
turun kembali dan sudah disambut oleh Hek-sim Lo-mo.
“Bagaimana? Cukup memenuhi
syaratkah?” tanyanya kepada Thio Wi Han sambil tersenyum.
“Kiam-sut (ilmu pedang) yang
bagus, cukup memenuhi syarat!” kata Thio Wi Han dengan jujur karena diam-diam
diapun kagum sekali melihat ilmu pedang tadi, walaupun dia tahu bahwa ilmu pedang
itu merupakan ilmu pedang golongan sesat yang penuh dengan gerakan tipu
muslihat dan kecurangan. “Akan tetapi, syarat pertama harus dipenuhi, yaitu
bahan untuk membuat pedang pusaka, dan terus terang saja, Lo-mo, aku agak
cerewet dan pilihan dalam hal ini.”
Hek-sim Lo-mo kembali tertawa.
Agaknya dia gembira sekali karena dia bertemu dengan orang yang memang patut
berhubungan dengan dia. Seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, semangat
tinggi dan sikap yang gagah perkasa pula. Sungguh, Thio Wi Han patut
disejajarkan dengan para datuk dan mereka yang berkedudukan tinggi.
Dia tidak tahu bahwa Thio Wi
Han memang seorang yang mempunyai harga diri amat tinggi sehingga kalau ada
seorang pembesar tinggi tingkat menteri dari kota raja datang untuk pemesan
senjata, diapun menerimanya biasa saja! Bahkan diundang ke kota raja diapun
tidak mau pergi!
“Thio Wi Han, kalau engkau
menganggap bahan yang kubawa ini kurang pantas untuk dijadikan pedang pusaka,
maka aku percaya bahwa engkau sudah menjadi gila! Nah, lihatlah, bahan apakah
ini? Aku ingin mengujimu, apakah engkau mengenal benda ini!”
Dikeluarkannya sebuah benda
bulat sebesar kepalan tangannya. Benda itu warnanya abu-abu, seperti batu akan
tetapi agak berat dan ketika digerakkan mengeluarkan sinar aneh.
Melihat benda itu, Thio Wi Han
menahan seruannya. “Ahhh...... mungkinkah ini......?” bisiknya dan diapun
menerima benda itu di atas telapak tangannya. Diperiksanya benda itu,
diciumnya, bahkan didekatkan telinga kirinya sambil dipukul-pukul dengan kuku jari
tangannya. Sementara itu, Hek-sim Lo-mo, memandang sambil tersenyum bangga.
Akhirnya Thio Wi Han memandang
wajah kakek hitam itu yang menyeringai kepadanya. “Thio Wi Han, dapatkah engkau
mengenal benda ini?”
Thio Wi Han mengangguk. “Demi
Tuhan! Entah bagaimana benda ini dapat terjatuh ke tanganmu, Hek-sim Lo-mo.
Pada hal, seluruh pendekar dan tokoh kang-ouw memperebutkannya dan mencarinya
selama puluhan tahun! Ini adalah Liong-cu, kalau tidak salah inilah Kim-san
Liong-cu yang diperebutkan itu!”
“Hebat! Engkau sudah tua akan
tetapi penglihatanmu semakin tajam saja, Thio Wi Han. Hal ini menunjukkan bahwa
engkau memang ahli dan aku semakin percaya untuk menyerahkan benda ini kepadamu
agar dibuatkan sebatang pedang pusaka yang ampuh.” Dia berhenti sebentar lalu
menatap wajah kakek itu, “Katakanlah, apakah benda ini memenuhi syaratmu yang
pertama tadi?”
Thio Wi Han mengangguk-angguk.
“Tentu saja memenuhi syarat! Lebih dari itu malah. Aku merasa terhormat untuk
menangani benda mustika keramat ini! Akan tetapi, untuk menentukan benda ini
sebaiknya dibuat menjadi senjata apa, lebih dulu akan kuuji dia. Mari, ikutlah
dengan aku ke dalam tempat kerjaku, Lo-mo.”
Hek-sim Lo-mo mengangguk dan
berkata dengan lantang kepada pembantunya, “Yauw Ban, engkau tunggu di sini
saja!”
Yauw Ban mengangguk dan
Hek-sim Lo-mo mengikuti tuan rumah memasuki pondok itu, diantar pula oleh
isteri Thio Wi Han yang sejak tadi diam saja akan tetapi ikut mengagumi
Liong-cu (mustika naga) yang dibawa tamu itu untuk dibuatkan pedang pusaka.
Mereka memasuki bagian dapur atau bagian bengkel pembuatan senjata pusaka.
Alat-alatnya sederhana saja di tempat itu. Perapian, martil, landasan baja,
penjepit, dan lain-lain peralatan pandai besi.
“Liok Hwa, kaunyalakan api,”
kata kakek itu kepada isterinya.
Nyonya berusia empatpuluh dua
tahun yang masih cantik ini tanpa bicara mentaati perintah suaminya dan
menyalakan api di perapian. Sedangkan Thio Wi Han yang meletakkan mustika naga
itu dengan hati-hati di atas meja kerjanya, lalu mengambil sepanci air dingin.
Hek-sim Lo-mo hanya berdiri saja dan mengikuti semua gerak gerik suami isteri
itu dengan pandang matanya yang tajam.
Thio Wi Han lalu memegang
mustika naga itu dengan jepitan baja, dan menaruhnya di atas nyala api untuk
beberapa menit lamanya. Kemudian dia mengangkatnya kembali dan mendekatkan
benda itu di bawah hidungnya, dicium-ciumnya uap yang keluar dari situ. Lalu
dibenamkan benda itu ke dalam air di panci, dan kembali dia mencium-cium bau
benda itu. Setelah benda itu menjadi dingin, dipegangnya dan dikepal-kepal,
ditekan-tekan dan diperiksa di bawah sinar matahari yang menyorot masuk melalui
jendela.
Barulah dia menarik napas
panjang dan duduk di atas bangku, mempersilakan tamunya duduk pula di atas
bangku di depannya. Hek-sim Lo-mo duduk dan mereka berhadapan, sama-sama
memandang benda yang berada di atas telapak tangan kanan Thio Wi Han.
Kembali Thio Wi Han menarik
napas, lalu berkata lirih, suaranya seperti orang terharu. “Tepat seperti yang
pernah kubaca dalam kitab kuno mengenai benda yang disebut mustika naga ini,
Lo-mo. Entah dia terdapat dalam kepala naga atau tidak, tidak ada yang tahu,
akan tetapi kalau benar dia terdapat dalam kepala naga, maka tidak mengherankan
kalau naga menjadi mahluk suci yang sakti. Benda ini merupakan campuran dari
dua logam yang saling berbedaan, bahkan berlawanan, yaitu logam yang telah
menyerap kekuatan Im selama ribuan tahun dan mengandung warna hitam, dan logam
kedua telah menyerap kekuatan Yang selama ribuan tahun dan mengandung warna
putih. Untuk dijadikan sebatang pedang pusaka, logam ini terlalu banyak karena
harus dicampur dengan baja biru yang aseli. Pula, kalau dicampur, tidak akan
menjadi sebuah pusaka yang baik.”
“Lalu, bagaimana baiknya?”
tanya Hek-sim Lo-mo.
“Sebaiknya harus dipisahkan
dulu sehingga merupakan dua logam terpisah. Dan sebaiknya kalau dibuat menjadi
dua batang pedang, satu bersifat jantan dan yang kedua bersifat betina. Barulah
akan menjadi dua batang pedang pusaka yang amat ampuh dan baik sekali.”
“Bagus, kalau begitu, buatkanlah
dua pedang itu untukku!”
“Harus dicampur dengan baja
biru yang baik. Logam itu agak sukar didapat akan tetapi kau tentu bisa
memperolehnya, Lo-mo.”
“Baja biru?”
“Seperti yang dibawa oleh
Wei-ho Cap-sha-kwi tadi.”
Kakek hitam itu melompat keluar
dan beberapa lompatan saja membuat dia berdiri dekat tigabelas orang yang
menanti di bawah gerombolan pohon. Mereka terkejut melihat kakek hitam ita
tiba-tiba muncul dan berada di dekat mereka.
“Beng-cu, ada...... ada
perintah apakah?” Kwa Ti bertanya dengan muka agak pucat ketakutan.
“Kalian tadi membawa baja
biru? Keluarkan!”
Kwa Ti membuka sebuah buntalan
dan nampaklah lempengan baja yang warnanya kebiruan.
“Benda ini kuperlukan!” kata
Hek-sim Lo-mo sambil matanya memandang tajam kepada Kwa Ti dan kawan-kawan.
“Ah, kalau Beng-cu
memerlukannya, silakan ambil saja, Beng-cu.”
Hek-sim Lo-mo
mengangguk-angguk. “Bagus, kalian tidak akan menyesal telah membantu aku.”
Berkata demikian, dia
menyambar buntalan baja biru itu dan sekali berkelebat dia telah melompat ke
dalam rumah kembali, meletakkan buntalan itu di atas meja.
“Inikah benda itu?”
Thio Wi Han tidak perduli dari
mana kakek hitam itu mendapatkannya. Dia membukanya dan mengangguk-angguk,
“Benar, inilah baja biru dan sudah cukup untuk campuran dua batang pedang.
Baiklah, Lo-mo, aku akan membuatkan dua batang pedang itu dari benda keramat
ini.”
“Kapan selesainya?” tanya
Hek-sim Lo-mo penuh gairah.
Dia membayangkan betapa kalau
dia sudah memiliki sepasang pedang pusaka itu, bagaikan harimau dia akan
mendapatkan sayap! Kekuasaannya tentu akan semakin meluas dan kelihaiannya
bertambah. Tidak akan ada senjata lawan yang akan mampu menandingi dua batang
pedang yang dibuat dari Mustika Naga Gunung Emas!
Thio Wi Han mengerutkan
alisnya, berpikir sejenak lalu menjawab. “Sedikitnya tiga bulan, Lo-mo.”
“Begitu lamanya!” Hek-sim
Lo-mo nampak kecewa.
“Hemm, kaukira membuat dua
batang pedang pusaka seperti membuat dua batang pisau dapur saja yang akan
selesai dalam waktu beberapa jam? Baru menghancurkan mustika naga ini di atas
api membutuhkan waktu lama dan ramu-ramuan yang sukar didapatkan. Belum lagi
memisahkan dua logam Im dan Yang itu, dan mencampurinya dengan baja biru.
Setelah itu barulah membentuk dua batang pedang dan lain-lain. Kalau bagimu
terlalu lama, bawalah kembali benda ini dan cari saja orang lain yang akan
mampu membuatkan lebih cepat.”
Kalau saja orang lain yang
bicara kepadanya seperti itu, tentu Hek-sim Lo-mo akan menggunakan tangan
saktinya mencabut nyawa pembicara itu. Akan tetapi dia membutuhkan tenaga Thio
Wi Han, maka diapun tersenyum dan mengalah.
“Baiklah! Orang-orangku akan
berjaga di luar dan sekitar rumahmu untuk menjaga keamanan mustika naga yang
kuserahkan kepadamu. Dan awas kalau sampai benda milikku ini hilang atau kalau
sampai dua batang pedang yang kaujanjikan itu tidak jadi!”
“Huh, aku bukan orang yang
suka melanggar janji seperti kamu!” bentak Thio Wi Han dan isterinya lalu
berkata dengan sinar mata marah.
“Lo-mo, sudah cukup kau
bicara. Pergilah dan tinggalkan suamiku bekerja!”
Hek-sim Lo-mo menyeringai dan
mengangguk sambil bangkit berdiri. “Baiklah. Aku pergi sekarang. Tiga bulan
lagi aku datang ke sini untuk mengambil dua batang pedangku itu atau...... dua
batang nyawa kalian!” Tanpa berkata apa-apa lagi diapun meloncat keluar dan
Yauw Ban segera menyambutnya.
“Bagaimana, Beng-cu?”
“Suruh Wei-ho Cap-sha-kwi
berjaga di sekeliling rumah ini setiap hari, jangan sampai Thio Wi Han
terganggu pekerjaannya dan jangan sampai mustika naga itu dirampas orang.
Ingat, mereka harus tutup mulut dan tidak boleh banyak bicara tentang kunjungan
kita ke sini. Dan engkau sendiri, sedikitnya seminggu dua kali harus menjenguk
dan melihat keadaan di sini. Setelah tiga bulan, dua pedang itu selesai dan
barulah aku sendiri yang akan datang mengambilnya. Mengerti?”
“Baik, Beng-cu!” kata Yauw
Ban.
Hek-sim Lo-mo lalu berkelebat
lenyap dan Yauw Ban segera memanggil Wei-ho Cap-sha-kwi yang kini menjadi anak
buah Hek-sim Lo-mo, memerintahkan mereka untuk melaksanakan tugas pertama
mereka dengan baik.
“Ingat, menjadi
pembantu-pembantu Beng-cu hanya ada dua pilihan. Bekerja dengan baik akan
mendapatkan imbalan yang amat berharga dan kalian akan dapat hidup
berkecukupan, juga terhormat dan terpandang. Sebaliknya, kalau kalian berkhianat,
biar kalian lari ke dalam neraka sekalipun, Beng-cu akan dapat menangkap kalian
dan kalian akan mengalami siksaan yang akan membuat kalian merasa menyesal
telah hidup di dunia ini. Mengerti?”
Demikianlah, Wei-ho
Cap-sha-kwi membuat gubuk darurat tak jauh dari rumah Thio Wi Han dan mereka
itu setiap saat berjaga dengan bergiliran sehingga tidak pernah gerak gerik
suami isteri itu luput dari pengamatan mereka. Tiga-empat hari sekali, Yauw Ban
muncul dan menjenguk mereka dan baru pergi lagi setelah merasa puas bahwa tidak
terjadi sesuatu yang mencurigakan, dan bahwa Thio Wi Han setiap hari sibuk di
dalam bengkelnya.
◄Y►
Kita tinggalkan dulu Thio Wi
Han yang sedang sibuk memenuhi pesanan Hek-sim Lo-mo membuatkan dua batang
pedang dari benda keramat bernama Liong-cu itu dan mari kita mengikuti
perjalanan Lie Kim Cu atau yang kini dikenal di daerah Lok-yang sebagai
Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam)!
Setelah melakukan balas dendam
kepada musuh-musuhnya, Hek-liong-li meninggalkan Lok-yang dan hendak pergi ke
Kim-san (Bukit Emas) untuk mencari kuburan tua di mana menurut subonya dahulu
disimpan Kim-san Liong-cu yang diperebutkan.
Kim Cu melakukan perjalanan
dengan wajah cerah. Hatinya dipenuhi kegembiraan karena dengan hasil yang baik
sekali baginya, ia telah melakukan balas dendam dan menghajar orang-orang yang
dahulu membuat hidupnya sengsara.
Kini ia mengambil keputusan
untuk mencari mustika naga seperti yang dipesankan gurunya dan kalau sudah
mendapatkannya, ia akan menyuruh seorang ahli membuatkan sebatang pedang dari
mustika naga seperti yang pernah didengar dari subonya. Kalau sudah begitu, ia
benar-benar siap untuk menentang segala kejahatan di dunia ini. Ia sengsara,
kehilangan ayah ibu karena kejahatan yang dilakukan manusia. Kini ia tidak
mempunyai apa-apa lagi, tiada sanak keluarga, tiada rumah tinggal, hidup bebas
lepas seperti seekor burung di udara.
Dan ia akan menempuh segala
macam petualangan hidup dan akan selalu menentang penjahat-penjahat, juga untuk
menyenangkan dirinya yang sudah banyak mengalami pahit getir kehidupan dunia.
Wajahnya cerah dan langkahnya ringan karena kini tidak ada beban dalam
batinnya. Ia benar benar merasa seperti seekor burung yang beterbangan
melayang-layang di angkasa!
Kalau orang berjumpa di jalan
dengan wanita ini, tentu dia tidak akan menyangka sedikitpun juga bahwa ia
adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, seorang yang sakti, murid
tunggal Huang-ho Kui-bo, seorang datuk wanita yang namanya sudah hampir
dilupakan orang karena puluhan tahun wanita tua renta ini bertapa.
Siapa yang akan mengira bahwa
wanita cantik jelita, yang usianya baru duapuluh tiga tahun itu, memiliki ilmu
kepandaian yang hebat? Tubuh ramping dengan lekuk lengkung tubuh wanita yang
sudah matang, padat berisi, dengan kulit yang putih mulus dihias warna
kemerahan dan kekuningan.
Kulit yang nampaknya tipis dan
halus namun yang sesungguhnya kalau sudah dialiri sinkang yang dikuasai wanita
itu, akan menjadi kebal dan tidak akan mudah terluka oleh bacokan senjata
tajam! Rambutnya hitam panjang dan halus, agak ikal dan digelung secara
sederhana di atas kepala, ditusuk dengan tusuk sanggul dari perak yang dihias
ukiran naga kecil di antara bunga teratai.
Wajahnya berbentuk bulat
telur, dagunya agak meruncing dengan mulut yang kecil dan manis bentuknya.
Sepasang bibir itu, terutama yang bawah, nampak selalu merah membasah, merah
aseli bukan karena gincu pemerah bibir. Bibir yang selalu tersenyum itu dihias
lesung pipit yang menjadi semakin dalam dan jelas kalau senyumnya melebar, dan
di bawah mata kiri terdapat sebuah tahi lalat hitam kecil di atas pipi. Lesung
pipit dan tahi lalat kecil menjadi penambah kemanisan yang menggairahkan hati
setiap orang pria yang melihatnya.
Sepasang mata yang
kadang-kadang mencorong penuh wibawa dan kekuatan itu, hampir selalu nampak
bersinar dan jeli sehingga wajahnya seperti orang yang gembira, berseri-seri.
Namun, lekukan kecil di tengah dagu membayangkan betapa di balik semua
keramahan dan kemanisan itu terdapat kekerasan yang menggiriskan.
Ia tidak membawa senjata
apapun, maka orang takkan mengira bahwa ia adalah seorang ahli silat tingkat
tinggi, walaupun kenyataan bahwa seorang wanita muda cantik jelita melakukan
perjalanan seorang diri sudah menunjukkan bahwa wanita itu tentulah seorang
kang-ouw dan tentu pandai ilmu silat untuk menjaga diri.
Dari Lok-yang ia menuju ke
tepi Sungai Kuning dan dari sini ia lalu menyusuri sepanjang pantai sungai yang
besar dan panjang ini karena Kim-san atau Bukit Emas berada di lembah Sungai
Kuning. Tidak ada peristiwa penting terjadi selama ia melakukan perjalanan itu,
akan tetapi pada suatu hari, tibalah ia di dusun Cia-siang teng, sebuah dusun
yang menjadi bandar sungai karena di situ orang mengangkut segala macam
dagangan seperti rempa-rempa, kayu, bambu dan hasil pertanian lain yang
diangkut dengan perahu menuju ke kota-kota di sebelah hilir. Juga terdapat
banyak perahu nelayan karena di daerah itu terdapat banyak ikannya.
Karena kesibukan para
pengangkut barang dagangan dan para nelayan, maka dusun itu cukup ramai dan pada
hari itu, masih cukup pagi, ketika Kim Cu tiba di Cia-siang-teng. Orang-orang
sedang sibuk mengangkat barang dagangan ke dalam perahu-perahu dan para nelayan
juga sibuk mempersiapkan perahu mereka untuk pergi berlayar mencari ikan.
Karena perkampungan itu juga
merupakan perkampungan nelayan, maka ketika memasuki dusun itu, oleh Kim Cu
sudah tercium bau amis ikan membusuk, dan nampak banyak ikan-ikan kecil dijemur
di depan rumah untuk dijadikan ikan asin. Melihat ini, Kim Cu membayangkan
adanya ikan segar dan perutnya yang sejak kemarin siang tidak diisi itu
mendadak terasa lapar. Ia lalu pergi ke tepi sungai yang ramai dengan maksud
mencari dan membeli ikan segar yang baru ditangkap nelayan.
Begitu Kim Cu tiba di tempat
ramai, banyak pasang mata laki-laki melekat kepadanya, bahkan ada pula yang
berbisik-bisik dan mereka yang agak nakal dan berani ada yang mengeluarkan
suara suitan kagum. Namun, sambil tersenyum manis, Kim Cu tidak memperdulikan
mereka semua dan mencari-cari sampai akhirnya ia melihat seorang wanita tua
menghadap sekeranjang ikan-ikan segar.
Ketika Kim Cu melihat betapa
di dalam keranjang itu, selain ikan, juga terdapat belasan ekor udang besar,
timbul seleranya. Sudah lama ia tidak makan udang seperti itu dan ia tahu
betapa lezatnya daging udang itu, kalau pandai memasaknya.
Ia membungkuk untuk memeriksa
apakah udang-udang itu masih segar, disambut oleh nenek yang memuji-muji
dagangannya.
Pada saat itu, tak jauh dari
situ Kim Cu mendengar suara ribut-ribut. Ia memutar tubuh memandang dan
ternyata seorang laki-laki tinggi kurus sedang memukuli seorang laki-laki
setengah tua berpakaian nelayan. Laki-laki tinggi kurus itu berpakaian ringkas
seperti pakaian japo silat, dan melihat cara dia memukul dan menendang, Kim Cu
maklum bahwa orang itu sedikit banyak menguasai ilmu silat.
Laki-laki yang dipukuli itu
berusia kurang lebih limapuluh tahun dan dia kini berlutut dalam keadaan babak
belur sambil minta ampun. Laki-laki tinggi kurus yang usianya sekitar tigapuluh
lima tahun, berdiri di depannya, bertolak pinggang. Sebuah tas tergantung di
pinggangnya. Melihat orang yang dipukulinya berlutut minta ampun, dia
menyeringai.
“Heh-heh, setelah dihajar,
baru minta ampun, ya? Tidak ada ampun, engkau telah menipuku! Kaubilang semalam
hanya memperoleh dua keranjang ikan dan kau hanya menyerahkan harga sekeranjang
ikan kepadaku! Pada hal, menurut penyelidikanku, engkau semalam memperoleh tiga
keranjang! Engkau harus dihajar dan dipatahkan kaki tanganmu agar semua nelayan
melihatnya dan hukuman ini menjadi contoh!” Berkata demikian, si tinggi kurus
itu kembali menendang.
“Bukkk!” dada nelayan itu
tertendang, tubuhnya terjengkang dan terguling-guling. Nelayan itu merangkak
bangkit dan berlutut kembali. Dari mulutnya keluar darah segar.
“Ampunkan saya...... benar
memang saya telah menyembunyikan hasil yang sekeranjang itu. Akan tetapi......
saya butuh uang, anak saya sakit dan sekeranjang ikan itn untuk pembeli
obat......”
“Alasan! Sesudah mencuri dan
ketahuan baru mencari alasan!”
“Saya........ saya tidak
mencuri...... ikan itu hasil pekerjaan saya sendiri semalam suntuk.....”
“Mulut busuk! Semua hasil di
sungai ini, setengah bagian adalah milik Beng-cu, mengerti? Kami hanya petugas
untuk mengumpulkan hasil dan bagian itu, dan engkau berani sekali mencuri,
menipu!” Dan kini tangan kaki orang tinggi kurus itu bekerja dengan cepat,
memukul dan menendang sehingga nelayan setengah tua itu kembali
terguling-guling dan mukanya bengkak-bengkak.
Tiba-tiba terdengar jerit
wanita, “Ayaaahh......!” Seorang gadis berusia kurang lebih limabelas tahun
datang berlari-lari dan iapun menubruk ayahnya yang disiksa itu.
“Ayahhh.......! Ia merangkul ayahnya, lalu memandang kepada si tinggi kurus
yang menyiksa, “Jangan...... jangan pukuli ayahku! Sekeranjang ikan itu untuk
membeli obat karena aku sakit “
Si tinggi kurus memandang
gadis itu dan dia menyeringai. “Hemm, ini anakmu, ya? Hemm, manis juga!”
Memang gadis itu cukup manis,
dengan tubuh yang mulai menjadi dewasa, bagaikan setangkai bunga yang sedang
mulai mekar.
“Sudahlah, kulupakan
sekeranjang ikan itu, asal anakmu mau menemani aku, semalam!” Dia lalu
menangkap pergelangan tangan anak perempuan itu dan menariknya bangkit berdiri.
“Hayo, manis, ikut bersama aku, heh-heh!”
“Tidak......! Lepaskan
aku.....!” Gadis itu meronta, akan tetapi tak mampu menarik lepas tangannya.
“Ah, jangan...... jangan
ganggu anakku. Biarlah besok akan kuganti sekeranjang ikan itu!” Nelayan yang
sudah payah itu bangkit dan mencoba untuk melindungi anaknya. Akan tetapi
sebuah tendangan membuat dia terjungkal kembali.
Kim Cu melihat ini semua dan
alisnya berkerut. Ia merasa heran mengapa sedemikian banyaknya orang yang
berada di situ, tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani mencampuri,
seolah-olah semua orang takut belaka kepada si tinggi kurus itu. Pada hal
melibat gerakan-gerakannya, orang itu hanya memiliki kemampuan silat yang biasa
saja. Demikian pengecutkah semua orang itu sehingga membiarkan saja orang
disiksa, diperas, dan kemudian bahkan anak perempuannya hendak diganggu?
Dengan beberapa langkah saja
Kim Cu sudah berada di depan si tinggi kurus dan suaranya terdengar lantang
ketika ia membentak, “Lepaskan gadis itu!”
Si tinggi kurus yang tadinya
sudah hendak pergi sambil menyeret gadis yang meronta- ronta, terkejut mendengar
bentakan ini, terkejut dan heran karena sama sekali tidak disangkanya akan ada
orang berani membentaknya seperti itu. Dan dia lebih heran lagi melihat bahwa
yang membentaknya itu hanyalah seorang wanita!
Akan tetapi, ketika melihat
wajah dan bentuk tubuh wanita muda yang membentaknya, hilanglah rasa marahnya
dan dia menyeringai lebar, memandang wajah yang cantik jelita itu dengan penuh
perhatian dari kepala sampai ke kaki. Tentu saja wanita ini jauh lebih menarik
dari pada gadis muda yang ditangkapnya.
“Eh? Engkau melarangku? Hemm,
engkau tidak mengenal aku siapa, tentu kau datang dari luar daerah, nona manis.
Kausuruh aku melepaskan gadis ini? Baiklah, ia kulepaskan. Lihat, sudah
kubebaskan dara yang masih terlalu muda ini. Pergilah kamu dan ajak ayahmu!”
katanya kepada anak perempuan yang segera lari menghampiri ayahnya.
Kini si tinggi kurus kembali
menghadapi Kim Cu dan menyeringai penuh kagum. “Dan setelah ia kubebaskan,
engkau harus menjadi penggantinya, nona manis. Semalam menemaniku, engkau tidak
akan kecewa, heh-heh!”
Semua orang kini memandang
dengan hati tertarik dan tegang. Mereka semua memang takut kepada orang ini,
bukan takut kepada orangnya, melainkan kepada kekuasaan yang berdiri di
belakangnya. Si tinggi kurus itu adalah seorang di antara orang-orang anak buah
Twa-to Ngo-houw (Lima Harimau Bergolok Besar), yaitu lima orang bekas
bajak-bajak sungai yang amat kejam dan namanya ditakuti semua orang.
Sejak beberapa tahun ini,
Twa-to Ngo-houw tidak lagi menjadi bajak sungai, akan tetapi mereka memeras
dari semua pedagang dan nelayan untuk memberi “bagian keuntungan” kepada mereka
sebagai “balas jasa” karena Twa-to Ngo-houw merasa telah melindungi mereka dari
ancaman kejahatan! Karena sudah kerap kali terjadi orang yang membangkang
disiksa bahkan ada pula yang dibunuh, akhirnya peraturan semacam pajak paksaan
ini terpaksa diterima oleh semua orang.
Twa-to Ngo-houw sendiri
berhenti menjadi bajak setelah mereka ditundukkan dan takluk kepada Beng-cu,
yaitu Hek-sim Lo-mo! Mereka memungut “pajak” itupun untuk disetorkan kepada
Beng-cu, akan tetapi tentu saja tidak sebesar yang diambilnya secara paksa dari
para pedagang dan nelayan itu. Biasa, seperti selalu berlaku dalam kehidupan
orang-orang yang menjadi hamba nafsu mementingkan diri sendiri, penyalahgunaan
kekuasaan terjadi di mana-mana. Korupsi meraja lela.
Melihat seorang wanita asing
berani menegur si kurus yang kini malah jelas ingin mengganggunya, semua orang
merasa khawatir, akan tetapi tidak ada yang begitu berani mati untuk
mencampurinya.
Sementara itu, Kim Cu yang
mendengar ucapan si tinggi kurus, tetap tersenyum manis, lalu berkata dengan
suara merdu, “Bagaimana engkau dapat mengajak aku bersenang-senang kalau kedua
lenganmu patah tulangnya?”
“Ehh?” Si tinggi kurus
memandangi kedua lengannya. “Kedua lenganku sama sekali tidak patah, heh-heh!”
Dia tertawa memperlihatkan deretan gigi panjang dan kuning tak terpelihara.
“Sekarang belum, akan tetapi
aku akan mematahkan kedua lenganmu sebagai hukuman atas kekejamanmu terhadap
nelayan tua dan anak perempuannya tadi,” kata pula Kim Cu sikapnya tetap
tenang.
Semua orang terbelalak dan
merasa semakin tegang dan khawatir. Semua menghentikan pekerjaan mereka dan
menonton peristiwa yang akan terjadi di depan mata mereka. Tentu saja ada
banyak di antara mereka yang mengharapkan bahwa wanita cantik itu bukan hanya
berani bicara saja, melainkan juga mempunyai kekuatan untuk membuktikan sikap
dan kata-katanya.
Si tinggi kurus menjadi marah,
akan tetapi karena dia menghadapi seorang wanita cantik yang dia harapkan akan
dapat menghiburnya malam itu, dia menahan kemarahannya. Tentu saja dia
memandang rendah wanita cantik ini, yang kelihatan begitu lemah dan sama sekali
tidak kelihatan kasar seperti wanita kang-ouw kebanyakan. Tidak ada senjata
padanya, juga gerak geriknya lemah gemulai, lembut dan halus, tidak seperti
wanita kang-ouw yang biasanya kelihatan kokoh kuat dan kejantan-jantanan.
“Ha-ha, jangan main-main di
sini, nona manis. Marilah, kalau hendak main-main, nanti di kamarku, ha-ha-ha!”
“Plakkk!” Tiba-tiba suara
ketawa itu terhenti karena tangan kiri Kim Cu telah menyambar dengan amat
cepatnya, menampar pipi kanan orang itu.
Demikian kuat tamparannya
sehingga seketika pipi itu bengkak, membiru dan mulutnya mengeluarkan darah
karena selain bibir kanan pecah, juga semua gigi yang berada di sebelah kanan
mulutnya rontok dan tanggal semua! Dengan mata berapi saking marahnya dia
meludahkan gigi dan ludah merah, lalu membentak dengan suara yang kurang jelas
karena mulutnya membengkak, tangan kirinya sudah mencengkeram ke depan, ke arah
dada Kim Cu! Serangan yang berbahaya dan juga kurang ajar, seolah hendak
dicengkeramnya buah dada wanita itu.
Kim Cu bersikap tenang saja,
seperti membiarkan buah dadanya dicengkeram, akan tetapi setelah tangan orang itu
mendekati dadanya, tiba-tiba lengan kanannya membacok dari dalam keluar,
menangkis lengan kiri si tinggi kurus.
“Krekkk!” lengan kiri itu
seketika lumpuh karena tulang lengannya patah dibacok tangan Kim Cu yang
dimiringkan!
“Aughhhhh......!” Si tinggi
kurus mengaduh-aduh, akan tetapi karena dia seorang yang biasanya ditaati dan
tidak pernah dilawan, maka dia tidak tahu diri, tidak mau tahu bahwa wanita
yang dilawannya jauh lebih lihai darinya. Tangan kanannya mencabut sebatang
golok dari pinggang dan seperti orang gila mengamuk, dia membacokkan goloknya
ke arah kepala wanita itu! Dengan amat mudah, Kim Cu miringkan tubuhnya dan
ketika golok menyambar lewat, kembali ia membacokkan tangan yang dimiringkan ke
arah lengan kanan lawan.
“Krekkk!” Kembali ada tulang
lengan patah, sekali ini lengan kanan si tinggi kurus. Golok itu terlepas dan
si tinggi kurus sambil mengaduh-aduh dan menangis karena kesakitan, memutar
tubuh dan menjerit-jerit memanggil kawan-kawannya yang sedang mengumpulkan
hasil pungutan pajak di bagian lain tak jauh dari situ.
Tiga orang datang berlari-lari
dan mereka mencabut golok, langsung mengeroyok Kim Cu.
Wanita ini tersenyum. “Wah,
ada tiga ekor monyet lain lagi yang ingin merasakan patah lengannya!” katanya
dan tiba-tiba tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang berkelebatan di antara tiga
orang pengeroyoknya dan segera terdengar teriakan-teriakan kesakitan, tiga
batang golok beterbangan dan merekapun mengaduh sambil memegangi lengan kanan
dengan tangan kiri karena lengan kanan itu telah patah tulangnya! Kini tanpa
dikomando lagi, empat orang jagoan itu lalu melarikan diri dari tempat itu
seperti dikejar setan!
Setelah mereka pergi, barulah
terdengar orang bersorak dengan gembiranya. Semua dendam sakit hati mereka
terhadap anak buah Twa-to Ngo-houw yang selama ini mereka pendam dan mereka
tahan di lubuk hati, kini sedikit banyak telah terobati dengan melihat empat
orang anak buah Twa-to Ngo-houw itu mendapat hajaran keras sampai tulang lengan
mereka patah-patah! Wanita tua penjual ikan dan udang tadi segera menghampiri
Kim Cu dengan wajah berseri.
“Nona boleh mengambil semua
udang ini, kuberikan kepadamu, nona!” katanya.
Kim Cu menggeleng kepala dan
mengeluarkan uang. “Jangan, bibi. Engkau bukan orang kaya untuk memberi hadiah.
Aku hanya minta tolong agar engkau suka menunjukkan di mana ada warung yang mau
menggorengkan udang ini untukku.”
Seorang nelayan muda datang
menghampiri. “Nona, kiranya tidak akan ada orang yang mau atau berani
membantumu. Ketahuilah, bahkan kami mengharap agar engkau suka cepat-cepat
pergi sekarang juga dari sini, nona. Demi...... demi keselamatanmu sendiri.
Kami tidak ingin melihat nona celaka!”
Kim Cu memandang ke sekeliling
dan kiranya banyak orang sudah berkumpul di situ dan semua orang mengangguk.
Kini suasana menjadi gaduh karena banyak orang membujuk agar ia cepat pergi.
“Kenapa?” tanya Kim Cu
walaupun ia sudah menduga.
“Mereka tadi anak buah Twa-to
Ngo-houw, nona. Dan tentu sebentar lagi lima orang yang amat lihai itu akan
datang atau orang-orangnya akan datang untuk mencelakai nona. Mereka tak
mungkin tinggal diam saja melihat empat orang anak buah mereka dihajar tadi.”
“Biarlah kalau mereka datang.
Akan kuhajar satu demi satu! Hendak kulihat sampai di mana kelihaian Twa-to
Ngo-houw itu.”
“Akan tetapi, nona, Twa-to
Ngo-houw bukan pemimpin pertama. Mereka hanya anak buah dari Beng-cu!” kata
seorang pedagang yang agaknya lebih tahu akan urusan dunia kang-ouw.
Kim Cu tersenyum. “Kalau
begitu, biarlah Beng-cu itu yang datang, aku akan menghadapinya dengan
kepalanku!” Dengan gaya lucu Kim Cu mengepal tinju kanannya dan mengangkatnya
ke atas. Semua orang merasa lucu akan tetapi khawatir. Kepalan itu kecil
sekali, nampak lemah!
“Nona, kuharap engkau tidak
berkata demikian,” kata orang yang biasa melakukan perjalanan sebagai pedagang
dan yang sudah banyak mendengar itu. “Agaknya nona belum mengenal siapa itu
Beng-cu. Kabarnya, seluruh penjahat di Propinsi He-nan dan Shan-tung sudah
takluk kepadanya dan menjadi anak buahnya. Dan pernah aku mendengar bahwa beng-cu
itu berjuluk Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang memiliki kesaktian
seperti iblis sendiri.”
Kim Cu tertarik. Pernah ia
mendengar dari subonya tentang Kiu Lo-mo, Sembilan Iblis Tua yang kabarnya
turun ke dunia ramai dan yang merupakan sembilan orang datuk sesat yang amat
lihai. Kalau Beng-cu itu seorang di antara mereka, sungguh ia harus berusaha
menentangnya! Bukankah ia dengan susah payah mempelajari semua ilmu untuk
menentang orang-orang jahat seperti mereka yang pernah menghancurkan kehidupannya
dan membinasakan orang tuanya?
“Kalau begitu, biarlah Hek-sim
Lo-mo sendiri datang, aku tidak takut!” katanya.
Mendengar ini, semua orang
menjadi ketakutan, wajah mereka berobah pucat karena mereka tidak mengira bahwa
nona ini demikian keras kepala. Bagaimana mungkin akan melawan semua datuk
jahat yang mempunyai banyak anak buah dan juga kabarnya amat kejam dan berilmu
tinggi itu?
Takut kalau terbawa-bawa, maka
semua orang mulai mengundurkan diri cepat-cepat sehingga tempat itu menjadi
sunyi! Perahu-perahu ditinggalkan, bahkan barang-barang dagangan yang tadinya
sedang diangkut ke dalam perahu, kini ditinggalkan dan perahu-perahu ada yang
bergegas meninggalkan tempat itu.
Melihat ini, Kim Cu
mengerutkan alisnya. Betapa penakutnya rakyat jelata. Kalau rakyat jelata
bersatu menghadapi para penjahat, kiranya tidak akan ada penjahat yang hidup di
dunia ini. Tidak akan ada yang mampu melawan kekuatan rakyat apabila mereka
bersatu. Berapa sih jumlahnya penjahat? Kalau dikeroyok oleh rakyat jelata, mereka
itu akan dilindas habis! Sayang persatuan itu tidak ada, seperti nampak dalam
sikap para penduduk dusun Cia-siang-teng ini.
“Nona, mari kubantu nona untuk
masak udang-udang itu,” terdengar suara lirih.
Kim Cu menengok dan ia
tersenyum girang. Kiranya masih ada orang yang berani mendekatinya dan tinggal
di situ, yaitu bukan lain adalah nenek penjual ikan dan udang tadi!
“Bibi, apakah engkau tidak
ikut pergi seperti yang lain? Engkau berani menghadapi ancaman Twa-to
Ngo-houw?”
Nenek itu mengerutkan alisnya.
“Nona, apa lagi yang perlu kutakuti? Mereka itu paling banyak hanya dapat
membunuhku dan aku tidak takut mati. Suami dan anak tunggalku juga sudah tewas
setelah mereka pukuli. Biarlah mataku yang tua ini melihat mereka mendapat
lawan yang tangguh seperti nona, yang akan menghajar mereka yang jahat itu!
Mari, nona, mari ikut dengan aku ke rumahku dan aku akan membuatkan udang bakar
yang lezat untukmu.”
Kim Cu membantu nenek itu
membawa udang dan ikan, lalu mereka berdua menuju ke rumah nenek itu, sebuah
rumah gubuk terpencil di tepi sungai. Nenek itu hidup seorang diri dan keadaan
gubuknya miskin sekali sehingga Kim Cu merasa terharu.
Sebaliknya, nenek itu nampak
gembira sekali. “Nona, udang besar seperti ini paling enak kalau dibakar dalam
tanah liat, kemudian dagingnya dimakan dengan kecap dan saus. Biar kubuatkan
sausnya, dan tolong kaucarikan tanah liat di tepi sungai sebelah sana!”
Kim Cu juga merasa gembira. Ia
merasa seperti menjadi keponakan nenek itu dan iapun cepat mencarikan tanah liat.
Ia membantu nenek itu, atas petunjuk nenek itu, untuk membungkus udang-udang
besar itu, lima ekor banyaknya, dengan tanah liat, kemudian tanah liat itu
dibakar di dalam api membara, api arang yang panas.
“Setelah tanah liatnya
mengering dan pecah-pecah, baru boleh diangkat. Jangan lupa untuk
membolak-balik bungkusan udang itu, nona,” pesan sang nenek yang sibuk
membuatkan bumbu-bumbu, dan juga menanak nasi.
Setelah tanah liat yang
membungkus udang-udang itu kering dan pecah-pecah, udang bakar itu diangkat
dari api. Nenek itu lalu mengupas tanah liat yang sudah kering dan bersama
tanah liat itu, terkupas pula kulit udang! Kini yang tinggal hanyalah daging
udang yang putih kemerahan, berbau sedap dan nampak menantang mulut sehingga
Kim Cu terpaksa harus menelan air liurnya.
Nasipun sudah matang dan kini
ditemani oleh sang nenek, Kim Cu makan dan harus diakuinya bahwa selama
hidupnya belum pernah ia merasakan makan nasi sedemikian nikmat dan lezatnya.
Bakar udang itu memang lezat bukan main. Gurih dan manis, dan tidak berbau
amis. Daging udang sebesar empu jari kaki itu terasa kenyal dan gurih, apa lagi
diberi bumbu kecap dan saus. Sedap bukan main, dan ada rasa manis aseli dari
daging itu. Tanpa disadari, Kim Cu makan lebih banyak dari biasanya.
Baru saja mereka selesai makan
dan Kim Cu mencuci tangannya dengan daun jeruk untuk mengusir sisa bau amis,
terdengar suara gaduh dan ketika ia menengok, ternyata ada lima orang laki-laki
menunggang kuda datang ke tempat itu bersama dua di antara empat orang anak
buah Twa-to Ngo-houw yang dihajarnya tadi.
Melihat mereka, nenek itu
nampak berubah pucat wajahnya dan iapun menyelinap ke dalam gubuknya sambil
berkata, “Masa bodoh, nona. Itu Twa-to Ngo-houw sendiri muncul!”
“Jangan khawatir, bibi, aku
akan menghajar mereka untuk membalas sakit hatimu kehilangan suami dan anak,”
jawab Kim Cu yang sudah bangkit berdiri dan menanti mereka di pekarangan gubuk
itu yang terbuka dan luas.
Sunyi di sekitarnya.
Rumah-rumah para tetangga tertutup pintu dan jendelanya, akan tetapi Kim Cu
dapat menduga bahwa banyak mata penduduk mengintai dari tempat persembunyian
mereka. Iapun berdiri tegak dan dengan sikap tenang menanti datangnya lima
orang penunggang kuda itu sambil memandang penuh perhatian.
Mereka memang menyeramkan.
Lima orang laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan pantas kalau disebut Lima
Harimau. Usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun, dengan pakaian yang
mentereng, tubuh yang kokoh kuat dan ada sebatang golok besar terselip di
punggung masing-masing. Golok telanjang itu besar dan mengkilat tajam.
Juga kuda yang mereka
tunggangi adalah kuda-kuda pilihan yang tinggi dan kuat. Dua orang anak buah
mereka itu ikut berlari kecil di samping kuda dan melihat Kim Cu, keduanya
segera menuding dengan tangan yang masih sehat karena sebelah lengan yang lain
dibalut dan patah tulangnya.
“Itulah ia......!”
Dengan gerakan yang cekatan
sekali lima orang itu berloncatan turun dari atas kuda mereka dan kini dua
orang anak buah yang lengannya digantung sebelah itu mengurus lima ekor kuda,
dibawa ke bawah pohon-pohon, sedangkan lima orang itu melangkah lebar dan
dengan sikap mengancam menghampiri Kim Cu yang masih berdiri tegak dan tenang.
Puluhan pasang mata dari para penduduk dusun itu mengintai dari tempat
persembunyian mereka.
Mereka menahan napas dengan
hati tegang dan penuh kekhawatiran. Bagaimana mungkin nona yang cantik jelita
itu akan mampu menandingi Lima Harimau Bergolok Besar itu? Seorang saja di
antara mereka berlima sudah merupakan seorang lawan yang amat kuat, dan para penduduk
dusun itu pernah melihat seorang di antara mereka, yang rambut kepalanya botak
dan merupakan orang termuda di antara mereka, setahun yang lalu menawan seorang
wanita muda dari luar daerah yang kebetulan berkunjung bersama suaminya di
dusun itu.
Tentu saja sang suami dibantu
oleh belasan orang temannya, melakukan perlawanan. Terjadilah perkelahian,
namun si kepala botak itu merobohkan si suami bersama belasan orang temannya.
Mereka semua terluka dan si botak itu melarikan isteri orang seenaknya saja!
Baru orang yang termuda itu saja demikian kejam dan lihai, apa lagi kini mereka
berlima datang semua!
Orang termuda dari Twa-to
Ngo-houw memang seorang laki-laki mata keranjang yang suka mempermainkan wanita
mana saja yang menarik hatinya, tidak perduli ia itu perawan, janda ataukah
isteri orang. Kini, melihat betapa gadis yang menurut pelaporan anak buah tadi
telah melukai empat orang anak buah, ternyata adalah seorang gadis yang amat
cantik jelita dan manis, tentu saja seketika dia tertarik dan timbul gairahnya.
“Ha-ha-ha, twako, berikan
gadis ini kepadaku dan biarkan aku yang akan menghukumnya!” katanya sambil
meloncat ke depan menghadapi Kim Cu.
Orang pertama dari Twa-to
Ngo-houw bernama Boan Ke, bermuka hitam bopeng dan melihat Kim Cu, diapun memandang
rendah. Tentu akan memalukan kalau Twa-to Ngo-houw, lima jagoan yang merajalela
di sepanjang Sungai Kuning daerah itu, kini harus mengeroyok seorang gadis!
Maka, mendengar permintaan adiknya termuda, si botak yang bernama Su Leng,
diapun mengangguk.
Memang sebaiknya kalau gadis
yang telah lancang melukai empat orang anak buahnya ini diserahkan kepada Su
Leng, biar adik keempat ini menyiksa dan mempermainkannya sampai mati untuk
menghukumnya. Maka diapun mengangguk sambil tertawa, dan tiga orang adiknya
yang lainpun ikut tertawa. Mereka berempat tidak memiliki kesukaan yang sama
dengan Su Leng, akan tetapi mereka akan bergembira melihat betapa gadis itu
akan dipermainkan dan ditundukkan oleh adik mereka yang termuda.
Dengan lagak yang membuat hati
Kim Cu merasa jijik dan juga geli, kini Su Leng menghampiri Kim Cu.
Dipandangnya wanita itu dari kepala sampai ke kaki dan hatinya girang bukan
main karena dia mendapat kenyataan betapa wanita ini memang cantik jelita,
berkulit mulus dengan tubuh padat dan menggairahkan. Dia menyeringai lebar.
“Nona manis, engkaukah yang
telah main-main dengan empat orang anak buah kami tadi?”
Kim Cu tersenyum, demikian
manisnya senyum ini sehingga Su Leng hampir saja jatuh terkulai karena tubuhnya
terasa lemas seketika! “Benar, aku yang telah menghajar empat ekor anjing
peliharaanmu itu!”
Biarpun ia tersenyum dan nada
suaranya merdu dan halus, namun isi kata-katanya menusuk perasaan sehingga Su
Leng mengerutkan alisnya dan kemarahan menyelinap di hatinya, membuat dia
bicara dengan suara kasar.
“Nona, siapakah sebenarnya
engkau? Siapa namamu?”
“Namaku tidak perlu kalian
ketahui dan sebaiknya kalian lekas menggelinding pergi dari sini dan jangan
mengganggu aku dan penduduk dusun ini lebih lanjut!”
Su Leng kini tertawa bergelak,
merasa lucu bahwa seorang gadis cantik jelita dan lemah begini berani
mengeluarkan ucapan demikian besar dan mengusir mereka, Twa-to Ngo-houw!
“Aih, nona manis. Agaknya
engkau belum mengenal siapa kami, ya?”
“Tentu saja aku mengenal
kalian,” kata Kim Cu dan memperlebar senyumnya sehingga nampak deretan giginya
yang teratur rapi dan berkilauan putih seperti mutiara. “Kalian adalah Lima
Anjing Bergolok Tumpul, benarkah?”
Lima orang itu menjadi merah
mukanya dan Su Leng membentak marah. “Perempuan sombong! Aku akan mempermainkan
kamu sampai habis-habisan, kemudian kau akan kuserahkan kepada empat orang anak
buah kami tadi agar kau disiksa sampai mampus!” Berkata demikian, Su Leng sudah
menubruk ke depan, tangan kiri mencengkeram ke arah rambut kepala, tangan kanan
mencengkeram dada!
Su Leng masih belum
mengeluarkan goloknya karena dia masih memandang ringan lawannya. Pula, dia
ingin menangkap wanita itu hidup-hidup, dalam keadaan tidak terluka agar dia
akan dapat mempermainkan dan menikmatinya sepuas hatinya sebelum menyerahkan
wanita itu kepada empat orang anak buahnya. Gerakannya cepat dan kedua
tangannya mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat ketika dia menubruk ke
depan itu.
Namun, bagi Kim Cu, kecepatan
dan kekuatan serangan itu bukan apa-apa, bahkan baginya nampak lamban dan
lemah. Kalau ia menghendaki, tentu segebrakan saja ia akan mampu merobohkan
orang ini dan sekaligus membunuhnya. Tingkat kepandaian Kim Cu jauh lebih
tinggi dibandingkan tingkat kepandaian lima orang jagoan ini.
Dengan kecepatan kilat, kedua
tangan Kim Cu bergerak menyambut dan mendahului lawan dengan menotok ke arah
kedua siku. Totokan itu tidak nampak saking cepatnya dan tiba-tiba saja Su Leng
merasa betapa kedua lengannya menjadi lemas kehilangan tenaga, dan pada saat
itu, tangan kiri Kim Cu menampar ke depan, dengan punggung tangannya ia
menghajar ke arah hidung Su Leng.
“Prakkk!” Tamparan itu
demikian kuatnya sehingga Su Leng merasa kepalanya terputar dan untuk menjaga
agar lehernya tidak patah, diapun mengikuti dengan tubuhnya yang berpusing.
Ketika putaran tubuhnya terhenti, empat orang kakaknya melihat betapa muka itu
penuh darah dan ternyata hidung Su Leng telah remuk!
Su Leng mengeluarkan suara
aneh. Dia memaki-maki kalang kabut, akan tetapi karena bukit hidungnya remuk
dan lubangnya tersumbat, suaranya bindeng dan tidak karuan sehingga terdengar
lucu dan aneh. Dia lalu mencabut goloknya dan dengan kemarahan meluap dia sudah
menyerang Kim Cu dengan golok itu.
Golok besar di tangannya itu
memang berbahaya sekali. Golok itu besar dan berat, juga amat tajam, dan di
tangan Su Leng, golok itu seperti hidup, menyambar-nyambar dan bentuk goloknya
lenyap berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung! Kemarahan dan sakit hati
membuat gerakan golok di tangan Su Leng lebih dahsyat lagi dari pada biasanya.
Kini, nafsu berahinya yang
timbul karena melihat kecantikan Kim Cu lenyap sama sekali, terganti nafsu
amarah dan kebencian yang bagaikan api berkobar-kobar dan satu-satunya niat di
hatinya kini hanyalah mencincang tubuh wanita yang telah membikin remuk
hidungnya itu!
Namun, hujan serangan golok
itu disambut dengan tenang saja oleh Kim Cu. Ia segera mempergunakan
Liu-seng-pouw (Langkah Bintang Cemara), satu di antara ilmu yang dipelajarinya
dari Huang-ho Kui-bo. Liu-seng atau bintang Liu (semacam cemara) adalah
kedudukan enam bintang yang letaknya segi tiga melingkar dan ketika ia
mempergunakan langkah ajaib ini, maka tubuhnya nampak selalu menyelinap di
antara sambaran golok! Dengan langkah ajaib ini, golok di tangan Su Leng tidak
pernah mengenai sasaran, bahkan tak pernah mampu menyentuh ujung baju Kim Cu
sama sekali.
Enak saja gadis itu melangkah
ke depan belakang, ke kanan dan ke kiri sesuai dengan kedudukan kelompok
Bintang Liu. Hebatnya, ia bukan saja mampu menghindarkan semua serangan golok,
bahkan ia masih sempat memutar tubuhnya dan beberapa kali ia berada di belakang
lawan! Hal itu membuat Su Leng penasaran sekali. Dia mempercepat gerakan
goloknya, namun sia-sia belaka, bahkan tiba-tiba terdengar Kim Cu membentak
nyaring.
“Anjing busuk, pergilah!”
Ucapan ini disusul sebuah tendangan kilat yang mengenai pinggul Su Leng,
membuat tubuh si botak ini terlempar dan terpelanting, lalu jatuh terbanting
dengan keras. Karena dia terbanting dengan kepala lebih dulu, maka kepalanya
benjol besar dan diapun menjadi pening tujuh keliling, sampai lama tidak mampu
bangkit berdiri, hanya duduk sambil memegangi kepalanya yang berputaran.
Bintang-bintang nampak menari-nari di depan matanya!
Empat orang kakak Su Leng
menjadi terkejut, heran dan juga marah sekali. Bagaimana mungkin adik mereka
itu dengan golok di tangan demikian mudah dirobohkan oleh gadis yang tidak
terkenal, bahkan yang bertangan kosong itu? Tanpa menanti komando, empat orang
itu mencabut golok masing-masing dan merekapun mengepung Kim Cu dari empat
penjuru dan mulailah mereka menyerang dan mengeroyok!
Kim Cu maklum bahwa kalau
empat orang itu maju berbareng, ia harus lebih waspada. Bagaimanapun juga,
empat batang golok yang berat dan bergerak cepat menyambar-nyambar dari empat
penjuru itu tidak boleh dibuat main-main. Iapun cepat memainkan ilmu silat
tangan kosong yang disebut Bi-jin-kun (Silat Wanita Cantik), satu di antara
ilmu yang dipelajarinya dari subonya.
Bi-jin-kun merupakan ilmu
silat yang gerakannya lemas, halus dan indah sekali. Seorang wanita yang kurang
cantik sekalipun akan nampak menarik kalau pandai bermain silat ini, apa lagi
seorang wanita seperti Kim Cu! Ia memang sudah cantik jelita dan manis, maka
begitu ia bersilat Bi-jin-kun, ia nampak seperti seorang bidadari sedang
menari-nari dengan lemah gemulai dan amat indahnya!
Empat orang pengeroyoknya
terbelalak kagum dan mereka seperti menghadapi seorang wanita yang menari-nari
amat indah. Anehnya, tarian itu bukan sembarang tarian, melainkan mengandung
gerakan yang amat cekatan dan lemas, ditunjang tenaga yang amat kuat. Dari
manapun datangnya golok yang menyambar, selalu dapat dielakkan oleh wanita
cantik itu, dengan gerakan yang amat indah pula, seolah-olah mengejek empat
orang pengeroyoknya.
Kim Cu terus memainkan ilmu
silat aneh itu dan selain gerakannya indah sekali, juga ia tersenyum-senyum dan
melirik-lirik penuh daya pikat! Ini memang merupakan keharusan dalam memainkan
ilmu silat ini, dan akibatnya memang luar biasa sekali.
Empat orang itu kini kelihatan
bingung, gerakan mereka kacau balau. Biarpun mereka berempat bukan laki-laki
mata keranjang macam Su Leng, namun melihat wanita yang menari-nari demikian
indah dan cantiknya, entah bagaimana, mereka merasa betapa tenaga mereka berkurang,
bahkan gerakan mereka menjadi lemas. Senyum dan kerling mata wanita itu seperti
mengelus perasaan mereka!
Memang inilah kehebatan
Bi-jin-kun ciptaan Huang-ho Kui-bo. Bukan hanya gerakan ilmu silatnya yang
lihai, juga mengandung daya pikat yang luar biasa, yang dapat mengacaukan
gerakan lawan, membuyarkan pemusatan perhatian sehingga akan mudah mengalahkan
lawan yang sudah kacau itu.
Tiba-tiba Kim Cu mempercepat
gerakannya dan kini tubuhnya lenyap menjadi bayang¬bayang yang berkelebatan ke
empat penjuru. Terdengar teriakan berturut-turut dan empat orang itupun satu
demi satu roboh terkena tendangan atau tamparan tangan Kim Cu yang kecil halus
namun mengandung tenaga sinkang ampuh itu! Mereka bergulingan dan menjauhkan
diri, lalu berloncatan bangkit.
Su Leng juga sudah berdiri dan
memandang dengan mata terbelalak melihat betapa empat orang kakaknya juga roboh
oleh wanita itu, dengan menderita benjol-benjol atau matang biru, bahkan
seorang di antara mereka patah tulang pundaknya!
Boan Ke, orang pertama dari
Twa-to Ngo-houw, memandang dengan muka pucat dan dia berkata, “Apakah......
apakah engkau yang bernama Hek-liong-li dari...... dari Lok- yang itu?”
Kim Cu tersenyum. Tak
disangkanya bahwa nama julukannya yang baru saja dikenal orang di Lok-yang itu
demikian cepatnya sampai di tempat ini dan mereka ini mengenalnya. Ia
mengangguk.
“Benar, aku adalah
Hek-liong-li, lalu kalian mau apa?”
Boan Ke dan empat orang
adiknya menjadi pucat. Mereka memang sudah mendengar nama itu, bahkan mereka
dipesan oleh atasan mereka untuk mencari gadis dengan julukan Dewi Naga Hitam
itu, akan tetapi tadi sama sekali mereka tidak menyangka bahwa mereka
berhadapan dengan Hek-liong-li. Baru setelah mereka merasakan kelihaian gadis
berpakaian serba hitam itu, timbul dugaan bahwa jangan-jangan gadis berpakaian
hitam yang amat lihai ini adalah orang yang dicari oleh atasannya! Dan ternyata
memang benar!
“Hek-liong-li, kalau benar
engkau seorang gagah, jangan kau lari. Tunggu, kami akan segera datang kembali
untuk membuat perhitungan denganmu!” kata Boan Ke dan dia bersama empat orang
adiknya lalu berloncatan menuju ke lima ekor kuda mereka, meloncat ke atas
punggung kuda dan tanpa bicara apa-apa lagi mereka melarikan kuda dengan cepat
meninggalkan tempat itu!
Kasihan dua orang anak buah
mereka itu yang terpaksa harus berlari-lari dengan lengan dibalut dan digantung
karena kedua orang ini ketakutan setengah mati ditinggal oleh pimpinan mereka.
Kim Cu tidak mengejar, hanya
berdiri mengikuti mereka dengan pandang matanya sambil tersenyum mengejek. Dan
tak lama kemudian, bermunculanlah para penduduk dusun itu. Mereka tadi menonton
dari tempat persembunyian mereka dan dengan penuh kekaguman, akan tetapi juga
dengan penuh ketegangan. Mereka melihat betapa nona berpakaian hitam itu benar-benar
dapat mengalahkan Twa-to Ngo-houw dan membuat mereka yang kejam dan jahat
seperti setan itu melarikan diri terbirit-birit!
“Hidup Hek-liong-li......!”
Teriak beberapa orang di antara mereka yang tadi mendengar juga percakapan di
antara Twa-to Ngo-houw dan wanita cantik itu dan kini orang-orang dusun itu
menjatuhkan diri berlutut di depan Kim Cu.
Sementara itu nenek penjual
ikan tadi keluar dari dalam gubuknya dan langsung ia merangkul Kim Cu sambil
menangis! Begitu terharu hati wanita ini sehingga ia menangis.
“Terima kasih...... terima
kasih, nona......”katanya setelah ia dapat menguasai dirinya dan ikut pula
menjatuhkan diri berlutut.
Kim Cu merasa tidak enak.
“Harap kalian suka bangkit berdiri dan jangan berlutut seperti itu.”
Ia mengerti betapa hebat
penderitaan orang-orang ini, tanpa ada yang mampu membela atau melindungi
mereka, maka kini melihat ada orang berani menentang, bahkan telah menghajar
para penindas mereka, penduduk dusun ini menjadi kegirangan. Sekarang
katakanlah, siapa orang yang disebut Beng-cu dan menjadi atasan dari Twa-to
Ngo-houw tadi?”
Orang yang tadi pernah
bercerita tentang Beng-cu, yaitu orang yang biasa melakukan perjalanan sebagai
pedagang, lalu maju mendekat. “Seperti yang telah saya ceritakan tadi, nona.
Beng-cu itu kabarnya bernama atau berjuluk Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu
Lo-mo yang memiliki kepandaian yang amat tinggi, juga mempunyai banyak anak
buah yang lihai.”
“Di mana dia tinggal?” Kim Cu
bertanya cepat. Ia berpendapat bahwa semua kekejaman yang terjadi dan dilakukan
oleh anak buah Beng-cu itu baru akan dapat terhenti kalau kepalanya atau
pimpinannya yang paling tinggi dibinasakan.
“Kabarnya di Lok-yang, nona.
Kami sendiri tidak mengetahui......”
“Ahhh......!” Kim Cu
benar-benar tercengang karena tidak pernah disangkanya bahwa seorang di antara
Kiu Lo-mo berada di Lok-yang, kota yang baru saja ia tinggalkan. Kota di mana
ia untuk pertama kali memperlihatkan kepandaiannya dan nama julukannya dikenal
orang. “Kalau begitu aku akan mencarinya di Lok-yang. Kalian jangan khawatir,
aku akan mencari dan membinasakan iblis jahat itu!”
Berkata demikian, sekali
berkelebat tubuh gadis itu telah lenyap dan ketika semua orang memandang,
ternyata ia telah berada jauh dari situ, berlari seperti terbang cepatnya.
Semua orang terbelalak, lalu mereka kembali menjatuhkan diri berlutut ketika
nenek itu berseru, “Ia tentu Kwan-im Pouw-sat yang datang menolong kita......”
Ketika malam tiba, Kim Cu
bermalam di sebuah hutan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah
mendaki bukit di depan. Di balik bukit itulah kota Lok-yang. Ia akan kembali ke
kota itu, mencari Beng-cu yang berjuluk Hek-sim Lo-mo itu! Akan tetapi ketika
ia tiba di puncak bukit dan memandang ke belakang, ia terkejut bukan main
melihat asap keluar dari sebuah dusun, di tepi sungai.
Dari atas nampak jelas. Tentu
ada rumah terbakar! Hatinya merasa tidak enak karena ia mengenal dusun itu
sebagai dusun yang ditinggalkannya! Jangan-jangan terjadi sesuatu di sana!
Maka, tanpa meragu lagi, iapun turun gunung dan berlari cepat kembali ke dusun
itu!
Apa yang dikhawatirkan memang
terjadi. Ia melihat para penduduk dusun ketakutan dan mereka berkumpul di tepi
sungai. Ada dua buah rumah orang terbakar, ada pula yang telah habis dan
menjadi abu. Sekelompok orang, dikepalai seorang nenek yang pakaiannya pesolek,
sedang membentak-bentak semua orang dusun.
“Hayo katakan! Sekali lagi,
katakan siapa yang tahu ke mana perginya setan cilik itu! Hek-liong-li datang
untuk membantu kalian, bukan? Tentu ia memberitahu kalian ke mana ia pergi!
Hayo, kalau tidak ada yang mau mengaku, akan kubakar semua rumah di dusun ini,
dan akan kubunuh semua orang yang berada di sini!”
KIM CU memandang dengan alis
berkerut.
Hatinya terasa panas sekali
melihat betapa rumah gubuk nenek yang menjual ikan itu, telah habis menjadi abu
dan semakin panas rasa hatinya ketika ia mengenal lima orang Twa-to Ngo-houw
yang kini datang bersama seorang nenek. Ia memperhatikan nenek itu.
Usianya masih belum tua benar,
paling banyak empatpuluh dua tahun, akan tetapi, wajahnya seperti nenek-nenek
tua yang sudah keriputan! Tubuhnya memang masih padat berisi seperti seorang
gadis saja, akan tetapi, mukanya nampak tua sekali walaupun dilapisi bedak
tebal dan pemerah pipi dan bibir.
Wanita ini pesolek, pakaiannya
mewah, dan sikapnya genit, karena matanya melirik-lirik dan mulutnya
bergerak-gerak ke arah senyum genit, juga ketika melangkah lenggangnya
dibuat-buat sehingga pinggulnya menari-nari. Tangan kanannya memegang sebatang
cambuk yang ujungnya sembilan batang. Rambutnya panjang dikuncir dan dibiarkan
berjuntai di atas pundak terus ke depan. Rambut inilah yang nampak menggelikan.
Cara mengatur rambut itu seperti seorang gadis remaja saja!
Melihat betapa semua penduduk
menggigil ketakutan, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka mau mengaku,
diam-diam Kim Cu merasa terharu dan juga kagum. Bagaimana lemahpun, penduduk
dusun ini sungguh memiliki kesetiaan dan tidak ada yang mau memberitahu bahwa
ia pergi ke Lok-yang! Agaknya, wanita itu sudah marah dan tidak sabar lagi.
Telah beberapa buah rumah dibakarnya, akan tetapi tak seorangpun di antara
penduduk dusun itu mau membuka mulut.
“Kalian mengira aku menggertak
saja, ya? Ingin melihat seorang di antara kalian mampus?” Ia mengangkat
cambuknya dan terdengar suara meledak-ledak ketika ia menggerakkan cambuknya di
udara. Terdengar sembilan kali ledakan nyaring disusul bentakannya, “Aku
menghitung sampai tiga! Kalau tidak ada yang mengaku, berarti akan ada sembilan
orang yang tewas di ujung cambukku! Satu...:.. dua......”
“Iblis betina yang kejam,
engkau mencari Hek-liong-li? Inilah aku, jangan engkau memaksa penduduk dusun
tidak berdosa, yang memang tidak tahu aku berada di mana!”
Wanita itu adalah Kiu-bwe
Mo-li, satu di antara pembantu utama Hek-sim Lo-mo, usianya memang baru
empatpuluh tahun lebih, akan tetapi karena ia terlalu menurutkan nafsu dan
menjadi seorang wanita gila lelaki, maka wajahnya sudah penuh keriput seperti
seorang nenek-nenek berusia enampuluh tahun lebih! Ketika ia membalikkan tubuh
dan melihat siapa yang bicara, ia lalu tertawa genit seperti orang yang melihat
sesuatu yang amat lucu.
“Hi-hi-hi-hik, engkau yang
berjuluk Hek-liong-li? Heh-heh-hik-hik-hik! Kiranya hanya seorang bocah yang
masih ingusan!” Tiba-tiba muka yang penuh tawa itu berbalik menjadi beringas
dan ia menoleh ke arah Twa-to Ngo-houw lalu membentak, “Dan kalian tidak mampu
membunuh anak perempuan ingusan ini! Sungguh tak tahu malu memakai nama Twa-to
Ngo-houw! Hayo bunuh anak ini, hendak lihat sampai di mana kelihaiannya!”
Twa-to Ngo-houw sudah
merasakan kelihaian Kim Cu, maka mereka tidak berani memandang ringan. Juga
mereka tidak berani membangkang terhadap perintah Kiu-bwe Mo-li yang mereka
kenal baik sebagai seorang atasan yang amat kejam dan ringan tangan. Selain itu,
mereka juga malu. Biarlah wanita iblis itu melihat sendiri kelihaian
Hek-liong-li.
Boan Ke lalu mengeluarkah
bentakan nyaring yang juga menjadi isyarat bagi empat orang adiknya dan mereka
lalu mencabut golok masing-masing dan menerjang Kim Cu dengan golok di tangan.
Kembali, seperti kemarin, Kim Cu dikeroyok oleh lima orang yang kini bergerak
dengan nekat dan besar hati karena di situ terdapat Kiu-bwe Mo-li yang tentu
tidak akan membiarkan mereka kalah.
Sekali ini, biarpun mulutnya
masih dihias senyum yang amat manis, namun di dalam hatinya Kim Cu sudah marah
sekali. Orang-orang macam ini amatlah jahatnya, membakari rumah rakyat yang
tidak berdosa, bahkan mungkin saja penjahat-penjahat seperti mereka itu
membunuhi orang-orang tanpa dosa seenaknya.
Orang-orang seperti ini harus
dibasmi, karena kalau dibiarkan hidup hanya akan menyebar kejahatan dan
menyengsarakan rakyat. Maka, ketika melihat lima orang itu mengeroyoknya, iapun
segera memainkan ilmu silatnya yang luar biasa, yaitu Bi-jin-kun yang amat indah,
yang membuat tubuhnya seperti menari-nari, lemah gemulai namun juga amat
berbahaya karena dalam setiap gerakan kaki dan tangannya terkandung tenaga
sinkang lembut yang amat berbahaya, kaki dan tangan itu seakan-akan merupakan
empat buah senjata terbuat dari baja yang amat ampuh dan siap membunuh.
Tubuh Kim Cu atau Hek-liong-li
adalah tubuh seorang wanita yang sedang mekar dan matang, ramping dan lembut.
juga lemas sekali, maka ketika ia memainkan Ilmn Silat Bi-jin-kun yang indah
itu, ia seolah-olah menari-nari, namun hebatnya, gulungan sinar golok lima
orang itu tidak pernah dapat menyentuhnya. Apalagi menyentuh bagian tubuhnya,
baru menyentuh ujung pakaiannya pun sukar!
Hal ini adalah karena kedua
kaki wanita cantik dan gagah itu selalu memainkan Liu-seng-pouw, yaitu
langkah-langkah ajaib yang membuat semua serangan luput dari sasaran. Kedua
kakinya bergerak dengan lincah dan indahnya, bergeser ke depan, belakang, kanan
dan kiri, kadang-kadang melompat, kadang-kadang kedua kaki terpentang lebar dan
tubuh merendah. Karena gerakan ini dilakukan dengan lincah dan gesit, dengan
ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, maka tubuhnya seperti
berkelebatan di antara lima gulungan sinar golok.
Dari gurunya, Huang-ho Kui-bo,
Hek-liong-li mendapatkan pelajaran bermacam-macam ilmu silat, baik tangan
kosong maupun silat senjata seperti memainkan golok, tombak, rantai, dan
terutama sekali pedang dan tongkat. Akan tetapi, sampai kini ia tidak pernah
menyimpan senjata dan hanya mengandalkan kaki tangan saja, untuk melindungi
dirinya dan karena kini ia menghadapi pengeroyokan, lima orang yang cukup
berbahaya maka ia memainkan ilmu silat pilihannya, yaitu Bi-jin-kun dengan
dibantu langkah-langkah ajaib Liu-seng-pouw.
Sejak tadi Kiu-bwe Mo-li
berdiri dan memperhatikan gerakan gadis berjuluk Dewi Naga Hitam yang dikeroyok
oleh lima orang pembantunya itu dan mengertilah ia mengapa Twa-to Ngo-houw
sampai kalah. Ternyata Hek-liong-li memang lihai bukan main dan melihat gerakan
kaki gadis itu, wajah Kiu-bwe Mo-li berubah agak pucat. Ia pernah melihat
langkah-langkah dan gerakan kaki seperti itu!
Pandang matanya seperti
melekat pada kedua kaki gadis cantik itu, mengikuti semua gerakannya. Ia pernah
melihatnya, akan tetapi lupa lagi di mana. Begitu indah gerakan kaki itu, begitu
gesit dan ringan, dan begitu luar biasa karena gerakan kaki, setiap perubahan
membuat kedudukan tubuh gadis itu sukar untuk dapat tercium sinar golok,
biarpun ada lima batang golok yang menyambar-nyambar mengeroyoknya. Akan tetapi
ia tidak ingat lagi siapa yang pernah memainkan langkah-langkah ajaib seperti
itu.
Kemudian ia mengalihkan
perhatiannya dari gerakan kaki Hek-liong-li kepada gerakan tangannya, tubuhnya
yang lemah gemulai dalam gerakan seperti, orang menari-nari dengan indahnya.
Dan melihat gerakan silat seperti orang menari ini, Kiu-bwe Mo-li seperti
tersentak kaget.
“Bi-jin-kun......! Kalau
begitu...... itu Liu-seng-pouw dari...... bibi guru Huang-ho Kui-bo.....!”
bisiknya kepada diri sendiri dan ia terkejut bukan main.
Gadis berpakaian hitam ini
memainkan silat-silat sakti dari bibi gurunya yang amat lihai. Bibinya itu amat
lihai, lebih lihai dari mendiang gurunya, dan bibinya, Huang-ho Kui-bo, pernah
menjadi datuk sepanjang Sungai Huang-ho, ditakuti oleh semua orang golongan
kang-ouw.
Akan tetapi, sudah
bertahun-tahun lamanya, bibinya itu lenyap dari dunia ramai. Orang mengira
bahwa ia mengundurkan diri karena sudah tua dam mungkin sudah mati. Karena itu,
ketika Kiu Lo-mo muncul menguasai dunia kang-ouw, Huang-ho Kui-bo juga tidak
kelihatan. Dan kini, tiba-tiba saja ia melihat seorang gadis yang lihai sekali
memainkan Bi-jin-kun dan Liu-seng-pouw, ilmu-ilmu yang menjadi andalan Huang-ho
Kui-bo!
Lima orang Twa-to Ngo-houw
masih mengeroyok dan mereka yang merasa penasaran sekali, menyerang dengan
ganasnya. Lima batang golok itu membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata
dan tubuh Hek-liong-li dikepung oleh gulungan sinar, seolah-olah tidak mungkin
dapat keluar lagi dengan selamat.
Namun, Hek-liong-li yang ingin
cepat merobohkan lima orang pengeroyoknya yang ia tahu adalah manusia-manusia
yang jahat sekali, tiba-tiba mengeluarkan suara melengking panjang dan ia
merobah gerakannya. Kini tubuhnya menyambar dengan ganas, menyelinap di antara
gulungan sinar golok, kedua tangannya yang kini tiba-tiba berubah menjadi merah
itu menyambar-nyambar dan terdengarlah teriakan-teriakan susul menyusul diikuti
robohnya tiga orang di antara Twa-to Ngo-houw.
Orang pertama terpelanting
roboh dengan luka di dahinya, tertusuk jari-jari tangan kiri Hek-liong-li dan
di dahinya itu hanya nampak ada tapak tiga jari kemerahan, namun begitu
terpelanting roboh dia berkelojotan dan tewas seketika! Orang kedua roboh
terjungkal, kelihatannya tidak terluka karena tangan kanan Hek-liong-li tadi
mencengkeram ke dadanya, akan tetapi kalau bajunya dibuka, akan nampak dadanya
sebelah kiri luka akibat cengkeraman itu dan luka itupun berbekas telapak
tangan merah yang mengerikan. Dia roboh dan tewas seketika. Adapun orang
ketiga, roboh dengan lehernya tertotok tiga buah jari yang meninggalkan tanda
bekas kemerahan pula, dan dia pun terjungkal dan tewas.
Melihat ini, Kiu-bwe Mo-li
terbelalak. Ia pernah mendengar bahwa bibi gurunya, Huang-ho Kui-bo, pernah
menciptakan sebuah ilmu yang mengerikan, yang disebut Hiat-tok-ciang (Tangan
Racun Darah). Inikah ilmu itu? Sungguh mengerikan dan berbahaya sekali.
Melihat tiga di antara lima
orang pembantunya itu roboh dan tewas, Kiu-bwe Mo-li tidak dapat tinggal diam
lagi. Tubuhnya melayang ke depan, cambuk ekor sembilan di tangannya digerakkan
dan terdengarlah suara ledakan nyaring berkali-kali.
“Tar-tar-tar-tarrr......”
Cambuk itu meledak-ledak dan sembilan ekornya menyambar-nyambar ke arah jalan
darah maut di tubuh Hek-liong-li!
Gadis ini terkejut bukan main
dan cepat ia terpaksa menggulingkan dirinya ke atas tanah dan ketika cambuk itu
mengejarnya, iapun bergulingan sampai jauh sambil menyambar sebatang golok di
antara tiga batang golok lawannya yang telah tewas. Tahulah ia bahwa nenek itu
berbahaya sekali dilawan dengan tangan kosong, maka melihat adanya sebatang
pohon tumbuh tak jauh dari situ, tubuhnya mencetat ke atas, goloknya menyambar
dan ia sudah membabat putus sebatang cabang pohon yang besarnya selengan orang
dan panjangnya sama dengan tinggi tubuhnya.
Cepat ia membersihkan ranting
dan daun, dan di tangannya kini terdapat sebatang tongkat yang baik. Golok
itupun ia lemparkan ke atas tanah. Tongkat merupakan senjata kedua yang
disukanya di samping pedang. Memang gurunya, Huang-ho Kui-bo, terkenal sekali
dengan ilmu tongkatnya dan nenek itu ke manapun ia pergi selalu ia membawa
sebatang tongkat hitam berbentuk ular dan ia lihai sekali memainkan tongkatnya
itu. Tentu saja Hek-liong-li sudah mewarisi ilmu tongkat ular yang amat hebat
itu dan kini ia merasa kuat setelah memegang sebatang tongkat dari cabang
pohon.
Dua orang wanita itu kini
berdiri dan saling berhadapan, saling pandang seperti dua ekor ayam jago yang
sedang saling menilai sebelum keduanya bergebrak dalam perkelahian mati-matian.
Hek-liong-li atau Lie Kim Cu memandang penuh perhatian. Senyumnya tak pernah
meninggalkan mulutnya sehingga lesung pipit menghias pipinya, membuat ia nampak
manis sekali.
Diam-diam ia menilai wanita
yang berdiri di depannya. Seorang wanita yang sebetulnya belum tua benar, belum
pantas disebut nenek. Usianya baru empatpuluh tahun lebih, namun wajahnya sudah
penuh keriput dan tubuhnya sudah mulai kempot dan bagaikan setangkai bunga yang
selalu kepanasan dan kekurangan siraman air, ia nampak jauh lebih tua dari pada
usia sebenarnya. Hal ini adalah karena ia terlampau menurutkan.nafsu-nafsunya,
ia gila lelaki dan biarpun ia hendak menutupi ketuaannya dengan sikap pesolek
dan genit, namun tetap saja ia nampak tua.
Pakaiannya mewah, rambutnya
tersisir rapi dan mengkilap oleh minyak, pakaiannya yang berkembang dan
berwarna-warni itu terbuat dari sutera halus, dan dengan potongan yang mencetak
tubuhnya yang mulai peyot. Dari pakaiannya, tersiar bau yang wangi menyolok
hidung karena minyak wangi sebotol penuh dituangkannya habis-habisan di pakaiannya.
Rambutnya masih hitam dan
panjang, dikuncir tebal, dan dibiarkan tergantung di atas punggungnya, ujungnya
diikat dengan pita merah, seperti rambut seorang gadis remaja! Akan tetapi
rambut dengan kuncir seperti ini bukan sekedar untuk bersolek, melainkan di
samping itu, rambut ini dapat dipergunakan sebagi senjata yang amat ampuh!
Cambuk berekor sembilan yang
berada di tangannya itu amat ampuh, setiap ekor cambuk itu mengandung racun dan
di samping senjata ini, iapun pandai mempergunakan segala macam senjata rahasia
beracun seperti jarum dan paku. Memang Kiu-bwe Mo-li seorang ahli racun,
mewarisi ilmu tentang racun dari subonya yang sudah meninggal dunia. Gurunya
itu berjuluk Jeng-tok Kui-bo (Iblis Betina Seribu Racun) dan gurunya itu masih
terhitung su-ci (kakak seperguruan) dari Huang-ho Kui-bo! Akan tetapi, gurunya
itu lebih ahli tentang racun, adapun mengenai ilmu silat, kabarnya bibi gurunya
itu jauh lebih lihai. Dan untuk memperlengkapi ilmu silatnya, selain dari
mendiang gurunya, Kiu-bwe Mo-li juga belajar ilmu silat dari bermacam guru.
“Hek-liong-li, sebelum kita
bertanding, aku ingin bicara dulu denganmu,” kata Kiu-bwe Mo-li setelah
beberapa lamanya mereka saling pandang dengan sinar mata penuh penilaian.
“Mau bicara apa lagi?
Bicaralah!” kata Hek-liong-li dengan sikap tenang.
“Aku telah melihat ilmu
silatmu. Engkau pandai memainkan ilmu langkah Liu-seng-pouw dan ilmu silat
Bi-jin-kun, juga kalau tidak salah, engkau merobohkan tiga orang anak buahku
dengan Hiat-tok-ciang. Masih ada hubungan apakah engkau dengan Huang-ho
Kui-bo?”
Hek-liong-li mengerutkan
alisnya. Makin yakinlah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan tangguh
yang telah mengenal ilmu silatnya, bahkan mengenal pula nama gurunya.
“Sebelum kujawab pertanyaanmu,
katakanlah dulu siapa engkau dan mengapa engkau bertanya tentang Huang-ho
Kui-bo,” katanya dengan sikap angkuh.
”Aku disebut Kiu-bwe Mo-li,
dan Huang-ho Kui-bo adalah bibi guruku.”
Kim Cu mengangguk-angguk dan
senyumnya sinis. “Hemm, engkau tentu murid mendiang Jeng-tok Kui-bo, bukan?
Su-bo pernah bercerita tentang kau dan gurumu bahkan memperingatkan aku agar
berhati-hati terhadap engkau yang katanya amat jahat, keji dan licik, seorang
tokoh sesat yang sudah menumpuk banyak dosa.”
Kiu-bwe Mo-li, tidak marah,
bahkan tertawa dengan suara genit dan dibuat-buat: “Heh-heh-hi-hi-hik!
Kata-katamu menggelikan hatiku, Hek-liong-li. Engkau mengatakan aku tokoh sesat
yang jahat. Dan siapakah bibi guru Huang-ho Kui-bo? Seorang malaikat yang suci?
Heh-heh, ia adalah datuk nomor satu kaum sesat di sepanjang Sungai Huang-ho
sebelum ia menghilang!”
“Tidak kusangkal, akan tetapi
su-bo telah mengundurkan diri, bertapa untuk menebus dosanya, bahkan dengan
keras berpesan kepadaku agar aku tidak terjeblos ke dalam dunia kaum sesat, bahkan
aku harus menentang mereka,” kata Hek-liong-li.
“Hemm, Hek-liong-li. Engkau
adalah murid bibi guruku sendiri, dengan demikian engkau masih terhitung
su-moiku (adik seperguruanku). Oleh karena itu, tidak semestinya kita
bermusuhan. Kalau tadi engkau sudah terlanjur membunuh tiga orang anak buahku,
sudahlah, kuhabiskan sampai di sini saja. Mari kita bekerja sama dan kalau aku
yang membawamu, engkau tentu akan diterima dengan baik sekali oleh Beng-cu kami
dan mendapatkan kedudukan yang baik.”
“Kiu-bwe Mo-li, dengan
membujuk aku mengikuti jejakmu, engkau menambah dosamu saja. Sebaiknya kalau
engkau yang mendengar nasihatku, tinggalkan duniamu yang hitam, kembalilah ke
jalan benar agar dosa-dosamu tertebus dengan perbuatan yang baik dan bermanfaat
bagi kehidupan manusia lain.”
Wajah yang tertutup bedak
tebal itu berkerut dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar marah, cambuk di
tangannya bergoyang-goyang dan telunjuk kiri Kiu-bwe Mo-li menunjuk ke arah
muka Hek-liong-li.
“Hek-liong-li, agaknya engkau
memang sudah bosan hidup! Hari ini engkau akan mati di bawah cambukku!”
Kiu-bwe Mo-li berteriak marah
dan tubuhnya bergerak cepat sekali, dan terdengar bunyi meledak-ledak ketika
cambuknya sudah terayun ke atas, kemudian dari atas setelah mengeluarkan suara
seperti ledakan kecil lalu menyambar ke bawah. Sembilan ekor ujung cambuk itu
menjadi satu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Hek-liong- li. Setiap ekor
cambuk itu sudah merupakam senjata yang ampuh, apa lagi sekarang menjadi satu
maka kekuatan yang terkandung dalam serangan ini juga hebat sekali.
Si Dewi Naga Hitam tidak
gentar menghadapi serangan ini. Iapun tidak berani memandang ringan karena ia
memang pernah mendengar dari subonya tentang Jeng-tok Kui-bo, si ahli racun dan
muridnya ini yang kabarnya amat jahat melebihi gurunya, pandai ilmu silat dan
ahli tentang racun.
Melihat sambaran cambuk yang
demikian cepat dan kuat sehingga mendatangkan angin pukulan dan suara
bercuitan, ia lalu menggeser kakinya ke kanan, membalik lalu menangkis turunnya
sinar cambuk hitam itu dengan tongkatnya, menangkis dari samping, bukan dari
bawah sehingga ia tidak mengadu tenaga secara langsung.
“Takkkk!” Pertemuan antara
tongkat dam cambuk itu membuat keduanya meloncat ke belakang karena merasa
lengan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tenaga mereka seimbang. Akan tetapi,
tiba-tiba tongkat di tangan Liong-li menyambar, bergerak seperti seekor ular
berjalan, tidak meluncur dengan lurus melainkan, berlenggang-lenggok sehingga
sukar diduga ke mana tongkat itu akan menyerang! Ternyata kemudian bahwa ujung
tongkat itu menyerang ke arah perut Kiu-bwe Mo-li.
Wanita ini cepat mengelak ke
samping, akan tetapi sebelum cambuknya membalas serangan lawan, tongkat itu
sudah membalik dan ujung yang lain menghantam ke arah kepala Kiu-bwe Mo-li.
Wanita inipun maklum akan kelihaian lawannya yang muda, maka ia tidak memandang
ringan dan bersikap hati-hati. Maka kecepatan gerakan tongkat itu tidak
mengejutkannya dan iapun cepat meloncat ke belakang untuk mengelak, dan kini
cambuknya menyambar ke depan, ujungnya terpencar menjadi sembilan ekor seperti
ular-ular kecil panjang hidup, sembilan ekor ujung cambuk itu meledak-ledak dan
beterbangan ke depan, menyerang ke arah jalan darah Liong-li dengan
totokan-totokan maut!
Cambuk di tangan wanita ini
memang berbahaya sekali, lihai bukan main. Setiap ujung dari sembilan ekor itu
bukan saja dapat melakukan totokan pada jalan darah yang di antaranya ada yang
mematikan, akan tetapi juga masing-masing ujung mengandung racun yang amat
kuat. Tidak mengherankan apa bila ia terkenal sekali dengan senjatanya ini dan
dijuluki Kiu-bwe Mo-li (lblis Betina Ekor Sembilan).
Namun, Hek-liong-li telah
mewarisi ilmu tongkat yang amat hebat dari subonya. Senjata tongkat merupakan
senjata utama subonya, di samping pedang, dan begitu ada tongkat di tangannya,
Liong-li merasa seperti seekor harimau yang tumbuh sayap. Tongkat itu menjadi
hidup di kedua tangannya, dan menghadapi “pengeroyokan” sembilan ekor ujung
cambuk di tangan Kiu-bwe Mo-li, ia tidak menjadi. gentar atau gugup.
Tongkatnya digerakkan secara
aneh dan istimewa, dan ke mana pun ujung cambuk menyambar, selalu bertemu
dengan tongkat! Bahkan Liong-li mampu melakukan serangan balasan dengan tak
kalah dahsyatnya! Tongkat di tangannya itu, walaupun hanya sebatang cabang
pohon namun kini seolah-olah hidup. Senjata sederhana ini dapat membabat,
memukul, menusuk, dan kalau diputar menjadi seperti perisai besar yang
melindungi seluruh tubuh Liong-li!
Terjadilah perkelahian yang
amat seru antara kedua orang wanita itu. Kiu-bwe Mo-li adalah seorang di antara
para pembantu utama Hek-sim Lo-mo, pembantu yang dipercaya karena di samping
Tok-gan-liong Yauw Ban, ia merupakan pembantu yang memiliki ilmu kepandaian
paling tinggi dan amat diandalkan oleh Hek-sim Lo-mo. Karena itulah, ketika
datuk itu mendengar akan munculnya Hek-liong-li di Lok-yang, dia mengutus
Kiu-bwe Mo-li untuk mencari dan membunuh gadis lihai itu.
Kini, setelah bertemu dengan
Hek-liong-li, Kiu-bwe Mo-li tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang yang masih
terhitung adik seperguruannya, akan tetapi ternyata bahwa su-moi yang masih
amat muda itu telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga sukar
baginya untuk mendesak dengan cambuknya. Hal ini membuat Kiu-bwe Mo-li menjadi
penasaran sekali dan ia mengerahkan seluruh tenaganya, memutar cambuknya dan
menghujankan serangan-serangan maut dengan senjata istimewa itu.
Gerakan tongkat di tangan
Liong-li makin lama semakin mantap. Kalau tadi ia masih nampak repot karena
harus mengimbangi kecepatan sembilan ekor ujung cambuk, kini agaknya ia sudah
mampu menangkap inti gerakan senjata lawan dan ia bergerak lebih tenang dan
mantap, bahkan kini dapat membalas serangan lebih gencar dengan tongkatnya.
Tongkat panjang merupakan
senjata yang biarpun hanya sebatang, namun memiliki dua ujung yang dapat
dipergunakan secara bergantian untuk menyerang atau menangkis, bahkan bagian
tengahnya dapat pula melindungi tubuh sebagai perisai. Tongkat yang dimainkan
Liong-li penuh dengan tenaga sin-kang sehingga tongkat itu dalam gerakannya
mengeluarkan suara menderu-deru disertai angin yang menyambar-nyambar.
“Syuuuttt......!” Tongkat
menusuk ke arah dada Kiu-bwe Mo-li. Ketika iblis betina ini mengelak dengan
miringkan tubuh dan siap untuk membalas serangan, tiba-tiba tongkat itu membalik.
“Wuuuttt!!” Kini ujung lain
dari tongkat itu menghantam dari atas ke arah ubun-ubun kepala Kiu-bwe Mo-li.
Tentu saja wanita ini terkejut
bukan main oleh kecepatan gerakan lawan. Ia melompat ke belakang dan kembali
tongkat datang menyerang dengan putaran yang membuat ujung tongkat membentuk
gulungan sinar melebar seperti payung. Kiu-bwe Mo-li terpaksa mundur lagi
sambil memutar cambuknya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya. Cambuk itu
diputar menjadi gulungan sinar hitam yang menjadi semacam perisai yang amat
kuat.
Melihat betapa jagoan mereka
sampai sekian lamanya belum mampu mengalahkan Hek-liong-li, bahkan sempat pula
terdesak, Boan Ke dan Su Leng, dua orang di antara kelima Twa-to Ngo-houw yang
masih hidup, menjadi penasaran sekali. Mereka berdua merasa bersedih karena
kematian tiga orang saudara mereka dan mengharapkan agar Kiu-bwe Mo-li dapat
membalaskan kematian itu dan merobohkan Hek-liong-li.
Akan tetapi Si Dewi Naga itu
agaknya masih terlampau kuat bagi Kiu-bwe Mo-li, maka dua orang anggauta Twa-to
Ngo-houw, yang sejak tadi nonton, menjadi kecewa dan marah. Mereka selama ini
mengandalkan kelihaian Kiu-bwe Mo-li dan nama besar Hek-sim Lo-mo, akan tetapi
setelah bertemu lawan tangguh, ternyata Kiu-bwe Mo-li tidak mampu mengalahkan
seorang gadis muda!
Dan wanita genit itu selalu
menyombongkan dirinya sebagai pembantu utama dari Hek-sim Lo-mo yang katanya
tak pernah terkalahkan oleh siapapun juga kecuali Hek-sim Lo-mo! Mereka menjadi
kecewa dan penasaran, lalu tanpa minta ijin lagi mereka lalu terjun ke dalam
medan pertempuran itu dan mengeroyok Liong-li. Namun gadis ini sama sekali
tidak menjadi gentar, bahkan dengan penuh semangat ia menyambut dua batang
golok dari dua orang lawan baru itu dengan tongkatnya.
Tingkat kepandaian dua orang
dari Twa-to Ngo-houw ini memang masih jauh sekali dibandingkan tingkat Kiu-bwe
Mo-li, apa lagi dengan tingkat Liong-li. Maka, masuknya dua orang ini sebagai
pengeroyok, sama sekali tidak merepotkan Liong-li, bahkan membuat Kiu-bwe Mo-li
menjadi terhalang gerakan cambuknya, walaupun diam-diam wanita ini merasa lega
bahwa dalam keadaan terdesak tadi ia mendapat bantuan.
Kini ia menjadi agak longgar,
tidak terdesak lagi dan iapun melakukan serangan dengan lebih ganas,
mengandalkan bantuan dua orang anak buahnya itu.
Liong-li menggerakkan
tongkatnya dengan lebih cepat lagi, kini mendesak kepada dua orang dari Twa-to
Ngo-houw karena ia memang berniat untuk membasmi lima orang tukang pukul yang
sudah mendatangkan banyak kesengsaraan kepada rakyat dusun itu.
Akan tetapi, Kiu-bwe Mo-li
telah mendahuluinya. Wanita ini maklum bahwa kalau sampai dua orang pembantunya
itu roboh dan ia harus sendirian saja menghadapi Liong-li, keadaannya akan
menjadi berbahaya sekali. Harus diakuinya di dalam hati bahwa ilmu kepandaian
gadis yang masih terhitung sumoinya ini amat lihai dan ia merasa kewalahan.
Ilmu tongkat itu aneh dan juga amat kuat. Maka, selagi masih ada dua orang
pembantunya, ia harus menekan sedemikian rupa agar dapat merobohkan Liong-li.
Maka, iapun cepat menggerakkan tangan kirinya dan belasan batang paku beracun
menyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari gadis itu!
Liong-li sudah mendengar dari
subonya akan keahlian Jeng-tok Kui-bo dan muridnya itu dalam menggunakan
senjata rahasia beracun. Oleh karena itu, sejak tadi ia sudah siap siaga, sudah
menduga bahwa kalau terdesak, tentu wanita itu akan mempergunakan senjata
rahasia beracun itu. Maka, begitu Kiu-bwe Mo-li menggerakkan tangan kirinya,
iapun cepat melompat tinggi ke atas sambil memutar tongkatnya. Ketika ia
melihat sinar hitam menyambar ke bawah kakinya, ia lalu memukulnya dengan
tongkat dan mengarahkan senjata rahasia itu kepada Boan Ke dan Su Leng, dua
orang Twa-to Ngo-houw itu.
“Aduhhhh......!” Su Leng dan
Boan Ke terguling. Su Leng yang terkena paku beracun tepat pada pelipisnya itu
langsung berkelojotan dan tewas, sedangkan Boan Ke yang cepat mengelak akan
tetapi masih terkena pundak kirinya, merasa betapa pundak itu nyeri, panas dan
gatal.
Diapun marah bukan main, apa
lagi mengingat bahwa yang melukainya adalah paku yang dilepas oleh Kiu-bwe
Mo-li. Celaka, pikirnya, atasan yang amat diandalkan itu bahkan telah
mencelakainya dengan paku beracun itu! Dia menjadi nekat dan dengan golok
besarnya, dia menubruk ke arah Liong-li, hendak mengadu nyawa dengan gadis yang
amat lihai itu! Akan tetapi, tubrukan yang dahsyat ini dapat dielakkan oleh
Liong-li sehingga Boan Ke terbuyung ke depan.
Pada saat itu, kembali Kiu-bwe
Mo-li menggerakkan tangan kirinya dan kini jarum-jarum halus yang belasan
batang banyaknya menyambar-nyambar ke arah Liong-li. Gadis ini terkejut.
Jarum-jarum itu lembut dan lebih berbahaya dibandingkan paku-paku tadi, maka
iapun cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan menjauh.
Pada saat itu, Kiu-bwe Mo-li
maklum bahwa kalau dilanjutkan, hanya akan merugikan dirinya, maka melihat
lawan bergulingan, ia mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri
secepatnya!
“Kiu-bwe Mo-li pengecut!”
bentakan ini keluar dari mulut Boan Ke yang merasa penasaran dan marah melihat
betapa atasannya itu meninggalkannya setelah keadaan berbahaya. Dengan nekat
dia menggerakkan goloknya menyerang Liong-li.
“Singgg......!” Golok itu
menyambar ganas.
Liong-li miringkan tubuhnya
sehingga bacokan mengenai tempat kosong dan pada saat berikutnya, tongkatnya
menyambar ke arah tengkuk lawan.
“Kekkk!!” Tubuh Boan Ke
terjungkal, goloknya terlepas dan dia merintih-rintih kesakitan. Akan tetapi,
dia masih marah kepada Kiu-bwe Mo-li yang melarikan diri meninggalkannya.
“Kiu-bwe Mo-li pengecut
besar!” Dia masih mengeluarkan teriakan marah.
Liong-li memandang ke kanan
kiri, mencari ke mana perginya musuh utamanya, yaitu Kiu-bwe Mo-li, akan tetapi
tidak melihat bayangan orang itu. Selagi ia hendak pergi, terdengar Boan Ke,
orang pertama Twa-to Ngo-houw berseru memanggilnya.
“Hek-liong-li......!”
Kim Cu menahan langkahnya dan
membalik, lalu menghampiri orang itu yang disangkanya telah mati. Kuat juga
orang ini yang terpukul tengkuknya masih belum juga tewas. Setelah dekat ia
melihat bahwa keadaan orang itu sudah parah, dan kematian hanya soal waktu
saja, waktu yang tidak lama lagi. Akan tetapi daya tahan Boan Ke memang cukup
kuat sehingga dia masih mampu bicara, walaupun untuk itu dia harus mengerahkan
seluruh sisa tenaganya.
“Engkau mau apa?” tanya
Liong-li.
“Hek-liong-li, ia Kiu-bwe
Mo-li, seorang pengecut besar....., ia meninggalkan aku. Ia hanyalah
pembantunya......, yang berkuasa adalah Beng-cu, Hek-sim Lo-mo... kau cari
mereka, kau basmi mereka...... Lo-mo berada di Lok-yang..... kalau dia tidak
berada di sana, tentu...... dia di rumah ahli pembuat pedang Thio Wi Han, di
dusun Gi-ho-cung...... kaki gunung Fu-niu-san... dia telah..... telah
mendapatkan mustika naga...... ahhhh.....”
Orang pertama dari Twa-to
Ngo-houw itupun terkulai dan tewas. Liong-li memandang kepadanya, lalu kepada
empat orang saudaranya yang sudah lebih dulu tewas, dan wanita muda ini menarik
napas panjang.
Ah, kenapa manusia harus
melakukan semua kejahatan itu, menjadi seorang penjahat, mengandalkan
keberanian dan kenekatan, menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya
kepada orang lain, untuk mencuri, merampok, menipu, bahkan membunuh? Kenapa
mereka melakukan itu semua sehingga akhirnya tewas dalam keadaan seperti ini?
Kembali ia menarik napas
panjang, teringat akan nasib dirinya. Demikian banyaknya peristiwa hebat
sebagai akibat kejahatan manusia menimpa dirinya. Ia, puteri seorang bangsawan,
seorang pejabat tinggi pemerintah yang ketika kecilnya hidup serba kecukupan,
terhormat dan mulia, setelah dewasa harus mengalami banyak sekali hal yang amat
pahit, penghinaan-penghinaan dan kesengsaraan, banjir air mata, kehilangan ayah
bunda dan keluarga sehingga kini hidup sebatang kara, tidak memiliki apa-apa
lagi!
“Tidak!” katanya kepada diri
sendiri mengusir kelesuan karena duka melanda batinnya. “Aku masih punya ini!”
Ia meluruskan kedua lengannya, “dan punya ini lagi!” Ditendangkan kedua kakinya
bergantian, “dan dengan kaki tanganku ini, aku akan memerangi semua penjahat,
menantang kejahatan dan menikmati kehidupan ini! Enyahlah duka dan keluh
kesah!”
Ia meraba kedua pipinya yang
terasa halus, “Engkau masih muda, Kim Cu, masih banyak kesempatan untuk
menikmati hidup, melupakan masa lampau yang banyak kepahitan.”
Setelah berkata demikian iapun
melompat dan dengan wajah berseri iapun berlari cepat menuju ke Lok-yang. Ia
akan mencari Kiu-bwe Mo-li di sana, dan kalau ternyata Hek-sim Lo-mo merajalela
dan menyebar banyak kaki tangan untuk melakukan kejahatan, ia akan menentang
dan membasmi Hek-sim Lo-mo dengan komplotannya!
Dan hatinya tertarik sekali
mendengar Hek-sim Lo-mo telah memperoleh mustika naga! Dan datuk sesat itu
pergi ke dusun Gi-ho-cung di kaki Gunung Fu-niu-san untuk menemui ahli pembuat
pedang Thio Wi Han? Hemm, menarik sekali! Bukankah subonya pernah bercerita
bahwa mustika naga dari Gunung Emas, yaitu Kim-san Liong-cu itu juga dapat
dibuat menjadi pedang yang ampuh?
Tidak sukar bagi Liong-li
untuk mencari tempat kediaman Hek-sim Lo-mo yang bagi semua orang kang-ouw
disebut Beng-cu (Pemimpin Rakyat). Akan tetapi ketika ia tiba di sana, benar
saja seperti pemberitahuan orang pertama dari Twa-to Ngo-houw sebelum tewas,
Hek-sim Lo-mo tidak berada di tempatnya.
Rumah yang menjadi tempat
tinggal Hek-sim Lo-mo besar dan megah, seperti rumah seorang hartawan besar.
Rumah besar itu dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan selalu ada belasan
orang yang bertugas jaga di pinta gerbang, seperti rumah tinggal seorang
pembesar tinggi yang penting saja. Hanya bedanya, kalau para penjaga rumah
pembesar adalah perajurit-perajurit jaga yang mengenakan pakaian perajurit,
maka para penjaga di pintu gerbang rumah Hek-sim Lo-mo adalah orang-orang yang
mengenakan pakaian yang ringkas, pakaian ahli silat dan sikap itu galak dan
congkak.
Ketika belasan orang kasar ini
melihat seorang gadis cantik menghampiri pintu gerbang, mereka tercengang dan
sambil menyeringai dan menjual lagak mereka berlumba untuk menyambut.
“Hendak mencari akukah, nona
manis?”
“Siapakah namamu, sayang?”
“Aduh cantiknya, sudah
bersuamikah, atau masih perawan?”
“Kalau janda, mari ikut aku
saja, tanggung puas dan senang!”
Melihat wajah-wajah kasar
menyeringai kepadanya dan mendengar kata-kata rayuan kasar dan kurang ajar itu,
Liong-li hanya tersenyum. Senyumnya manis bukan main sehingga belasan orang
laki-laki itu menjadi semakin tergila-gila dan masing-masing mendapatkan suatu
harapan penuh khayal, seolah-olah senyum manis gadis itu ditujukan khusus
kepada setiap orang dari mereka!
Tentu saja sikap para pria ini
tidak mengejutkan hati Liong-li. Ia sudah terbiasa oleh rayuan-rayuan halus
kasar seperti itu dari kaum pria dan ia memandang rendah semua itu, maklum akan
kepalsuan yang tersembunyi di balik nafsu berahi itu.
“Kalian baik sekali,” katanya
dan senyumnya melebar, memperlihatkan kilatan gigi seperti mutiara berbaris,
dan lidahnya yang jambon menjilat bibirnya yang merah basah. “Akan tetapi aku
ingin bertemu dengan Kiu-bwe Mo-li dan Hek-sim Lo-mo.”
Mendengar betapa ringannya
gadis cantik jelita itu menyebut nama besar kedua orang tokoh yang mereka
takuti itu, para penjaga itu saling pandang dengan mata terbelalak. Kepala
jaga, seorang laki-laki berperut gendut sekali, kepalanya juga bundar dan
bulat, matanya sipit, segera melangkah maju dan dia tidak berani main-main
lagi, walaupun suaranya masih mengandung rayuan.
“Nona yang cantik manis,
siapakah engkau dan apakah engkau mengenal betul dua orang yang namanya kau
sebutkan tadi?”
“Tentu saja aku mengenal
mereka. Aku seorang tamu dan ingin sekali bertemu mereka. Harap kalian suka
berbaik hati untuk melaporkan ke dalam dan mengundang Mo-li dan Lo-mo keluar
untuk menemui aku!”
Si gendut itu mengerutkan
alisnya. Gadis ini sungguh lancang sekali, bicara tentang Beng-cu seolah-olah
datuk itu seorang teman baiknya saja! Ah, jangan-jangan gadis ini memang
“teman” Beng-cu. Biarpun Beng-cu selama ini tidak pernah kelihatan suka
bermain-main dengan wanita, akan tetapi siapa tahu? Gadis ini cukup cantik,
bahkan menarik sekali dan kiranya pantas kalau berhasil menundukkan hati datuk
yang ditakuti itu.
“Nanti dulu, nona,” kata si gendut
yang masih meragu karena dia tidak tahu siapa gadis ini, kawan ataukah lawan
dari Beng-cu. “Tidak semudah itu untuk menemui Kiu-bwe Mo-li, apa lagi Beng-cu
kami. Apakah engkau ini sahabat mereka? Katakan dulu apa keperluanmu agar kami
dapat melapor ke dalam.”
Pada hal kedua orang yang
disebut oleh gadis itu tidak berada di rumah, akan tetapi dia ingin tahu siapa
gadis ini dan apa keperluannya mencari Beng-cu dengan sikap yang demikian
lancang.
Liong-li masih tersenyum. Ia
tidak perlu banyak bicara dengan orang-orang seperti mereka ini, yang hanya
anak buah rendahan saja. Sebaiknya ia berterus terang untuk menarik perhatian
agar mereka segera melapor ke dalam.
“Ketahuilah bahwa aku datang
untuk menghajar Kiu-bwe Mo-li karena ia melarikan diri ketika kami berkelahi,
dan aku hendak menegur Hek-sim Lo-mo agar dia tidak melanjutkan tindakan jahat
yang dilakukan anak buahnya. Kalau mereka tidak menurut, akan kubasmi
gerombolan penjahat yang dipimpinnya.”
Mendengar ucapan itu, belasan
orang penjaga saling pandang, dan ketika seorang di antara mereka tertawa,
semua orang ikut pula tertawa. Ucapan Liong-li itu terdengar lucu oleh mereka.
Si gendut juga tertawa
bergelak sampai perutnya bergelombang. “Ha-ha-ha, nanti dulu, nona manis.
Siapakah engkau dan apakah engkau yakin benar bahwa engkau tidak gila?”
“Aku disebut Hek-liong-li
dan......”
Belasan orang itu terbelalak.
Tentu saja mereka sudah mendengar nama Dewi Naga Hitam yang menggemparkan
Lok-yang beberapa waktu yang lalu, bahkan mereka sudah mendengar bahwa Beng-cu
mengutus Kiu-bwe Mo-li untuk mencari dan membunuh Hek-liong-li. Tak mereka
sangka bahwa orangnya secantik dan semuda ini sungguhpun mereka sudah mendengar
berita angin bahwa yang namanya Hek-liong-li adalah seorang wanita muda yang
cantik.
Kini mereka memandang gadis
berpakaian serba hitam itu dengan mata terbelalak. Berbeda kini nampaknya.
Kalau tadi pakaian hitam yang mencetak bentuk tubuh yang menggairahkan itu
indah, kini keindahan itu mengandung sesuatu yang mengerikan.
“Bagus! Kami harus
menangkapmu!” bentak si gendut ketika mendengar wanita cantik itu
memperkenalkan diri sebagai Hek-liong-li dan tanpa ragu lagi diapun menubruk.
Teman-temannya juga bergerak, berlumba untuk menubruk tubuh yang padat mulus
itu, bukan saja untuk mencari jasa terhadap Beng-cu, juga mereka ingin sekali
merasakan hangatnya tubuh yang menggairahkan itu.
Liong-li tersenyum simpul,
senyum yang mengejek dibarengi pandang mata marah dan benci. Ia memang paling
benci kepada pria yang mata keranjang dan tidak sopan, kurang ajar terhadap
wanita dan tidak menghargai wanita. Maka, melihat orang-orang, kurang ajar ini
berlomba untuk menangkapnya, iapun cepat menggerakkan kaki tangannya.
Terdengar teriakan-teriakan
kesakitan dan empat orang roboh dengan gigi rontok dan mulut berdarah terkena
tamparan dan tendangan kaki Liong-li! Tentu saja yang lain menjadi terkejut dan
marah, lalu mereka semua menyambar senjata dan mengepung Liong-li dengan
senjata di tangan. Mereka melangkah mengitari gadis itu yang berdiri di tengah-tengah
dengan tenang saja dan senyumnya sejak tadi tidak pernah meninggalkan mulutnya.
Akan kuhajar mereka semua ini,
pikirnya. Akan kuhajar seluruh anak buah Hek-sim Lo-mo. Tidak perlu membunuh
mereka ini yang hanya merupakan kaki tangan. Yang perlu dibunuh adalah Hek-sim
Lo-mo dan para pembantu utamanya yang jahat dan berbahaya bagi kehidupan rakyat
jelata. Para anak buah rendahan ini hanyalah orang-orang yang tersesat dan
terpengaruh oleh para pimpinan mereka, cukup hanya menerima hajaran keras agar
bertobat.
Ada empatbelas orang penjaga
yang mengepungnya. Mereka memegang bermacam senjata, ada yang memegang golok,
pedang, tombak dan ruyung. Sikap mereka ganas dan penuh ancaman.
Kini mereka tidak lagi
memandang dengan mata penuh gairah berahi, sudah terganti dengan gairah
membunuh! Tiba-tiba si gendut yang memegang sebatang pedang itu menyerang
dengan dahsyat dan agaknya gerakannya ini merupakan aba-aba atau isyarat karena
serentak belasan orang itu menggerakkan senjata masing-masing dan menyerang
Liong-li yang terkepung itu dari segala jurusan.
Namun, mereka terkejut ketika
tiba-tiba tubuh gadis itu berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebatan
cepat sekali dan terdengarlah teriakan-teriakan beruntun, nampak segala macam
senjata beterbangan dan disusul robohnya empat orang lagi. Mereka, roboh tak
mampu bangkit kembali karena mengalami luka patah tulang yang cukup berat!
Hal ini membuat para
pengeroyok menjadi jerih dan mereka hanya mengepung dari jarak empat-lima meter
sambil mengacung-acungkan senjata untuk mengancam, akan tetapi tidak ada yang
berani menyerang setelah si gendut itu tadi juga roboh bersama tiga orang kawan
mereka.
Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring dari dalam rumah. “Heiii! Ada apa ribut-ribut itu?”
Mendengar bentakan itu, para
pengepung semakin mundur dan Liong-li segera membalikkan tubuh memandang ke
dalam rumah, mengharapkan munculnya orang yang disebut Hek-sim Lo-mo. Akan
tetapi, yang muncul adalah seorang laki-laki yang lebih mirip seekor lutung
atau kingkong dari pada seorang manusia.
Orang itu mukanya seperti
monyet, usianya empatpuluh tahun lebih, tinggi besar kedua lengannya, juga
dadanya yang terbuka, penuh dengan bulu seperti kera. Mukanya hitam dan nampak
otot melingkar-lingkar di tubuhnya. Sungguh seorang yang amat buruk dan
menyeramkan!
Liong-li tidak tahu siapa
orang itu, akan tetapi tidak mungkin orang ini yang disebut Hek-sim Lo-mo,
pikirnya. Tentu seorang di antara kaki tangannya dan agaknya orang ini, tidak
boleh dipandang ringan. Yang jelas, dia memiliki tenaga luar yang amat kuat,
kekuatan dari otot-otot terlatih.
Memang orang itu adalah
Tiat-pi Hek-wan (Lutung Hitam Berlengan Besi) dan bernama Lu Sek Kwa, seorang
di antara kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang berwatak kejam dan sadis, dijadikan
algojo tukang siksa orang oleh Hek-sim Lo-mo. Memang luar biasa sekali orang
yang satu ini. Dia mendapatkan kenikmatan dalam menyiksa orang! Makin tersiksa
orang itu, meratap, merintih dan menangis, makin gembiralah hatinya. Dia pula
yang menyiksa mendiang Pouw Bi Hwa, puteri mendiang Pouw Sianseng sasterawan
yang mendapatkan Kim-san Liong-cu yang dirampas oleh Hek-sim Lo-mo itu.
Hek-sim Lo-mo yang merasa
girang sekali berhasil merampas mustika naga itu dari tangan Pouw Sianseng,
membunuh sasterawan itu dan memberikan puterinya, Bi Hwa, kepada manusia
berwatak iblis ini. Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa girang sekali dan dia memperkosa
dan mempermainkan gadis itu sampai mati!
Dia melakukannya bukan karena
dia seorang yang suka memperkosa wanita, melainkan karena dia tahu bahwa itulah
cara menyiksa gadis yang paling hebat dan karenanya paling memuaskan hatinya
melihat betapa gadis itu meratap, merintih dan mati sedikit demi sedikit di
bawah pandang matanya yang menikmati kesengsaraan yang diderita korbannya!
Ketika Tiat-pi Hek-wan yang
bertugas menjaga rumah kediaman pemimpinnya mendengar suara ribut-ribut, dia
segera keluar. Matanya melebar dan alisnya berkerut ketika dia melihat delapan
orang penjaga roboh dan masih mengaduh-aduh kesakitan, sementara para penjaga
lain dengan senjata di tangan mengepung seorang gadis berpakaian hitam yang
agaknya mengamuk di situ.
“Lu-toako, ia adalah
Hek-liong-li yang dicari oleh Beng-cu!” teriak seorang di antara para penjaga.
“Aha, benarkah itu?”
Dengan dua kali loncatan,
Lutung Hitam itu sudah tiba di depan Liong-li dan dia mengamati gadis itu dari
kepala sampai ke kakinya. Dan dia menyeringai lebar, di dalam hatinya dia tidak
percaya bahwa gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau para
penjaga itu roboh adalah karena ketololan mereka.
“Ha-ha-ha, nona. Sebaiknya
engkau berlutut dan menyerah agar kubawa menghadap Beng-cu. Mungkin melihat
engkau begini cantik Beng-cu tidak akan membunuhmu. Kalau engkau tidak mau
menyerah, aku akan menyiksamu sampai setengah mati, baru akan kuhadapkan Beng-cu!
Nah, kau pilih yang mana?”
Liong-li melibat betapa sinar
mata orang yang buruk ini mengeluarkan pandang mata yang demikian buas dan
kejamnya sehingga ia bergidik. Orang ini tentu kejam setengah mati, pikirnya.
Entah sudah berapa banyak nyawa orang tak berdosa melayang karena tangan yang
berbulu dan berotot itu.
Baru melihat saja, ia sudah
merasa amat benci kepada orang itu, akan tetapi ia menahan diri dan masih
tersenyum. Pengalaman-pengalaman hebat dalam hidupnya, ditambah gemblengan yang
diperolehnya dari Huang-ho Kui-bo, membuat Lie Kim Cu kini menjadi Hek-liong-li
yang memiliki batin dan hati yang amat kuat, tidak mudab terguncang perasaan
apapun juga.
“Siapakah engkau?” tanyanya
singkat karena sebelum turun tangan ia ingin tahu dulu siapa lawannya dan apa
kedudukannya di bawah pimpinan “beng-cu” Hek-sim Lo-mo.
“Heh-heh-heh, engkau ingin
berkenalan dengan aku? Namaku Lu Sek Kwa dan orang lebih mengenal aku sebagai
Tiat-pi Hek-wan! Dan nama julukanku bukan kosong belaka, nona. Lihat ini!”
Dia mengambil sebatang golok
yang terlempar ke bawah, lalu menggunakan golok di tangan kanan itu untuk
membacok lengan kirinya sendiri. Terdengar bunyi “takkk!” nyaring sekali dan
lengan itu seperti besi saja, tidak luka sama sekali. Kemudian, sekali dia
menekuk golok itu dengan kedua tangan, maka golok itupun patah menjadi dua
potong dan sambil tertawa dia melemparkan dua potongan golok itu ke atas
lantai!
Melihat ini, tahulah Lioag-li
bahwa dugaannya benar. Orang ini seorang ahli gwakang (tenaga luar) yang amat
kuat dan mempunyai kekebalan, terutama pada kedua lengannya.
“Nona, sebaiknya engkau
menyerah saja!” seorang di antara para penjaga tadi berseru. “Sayang kalau
sampai orang secantik engkau menerima siksaannya. Dia adalah algojo dari
Beng-cu kami, nona dan kalau engkau sampai disiksanya, engkau akan merasa
menyesal hidup di dunia ini!”
Mendengar ucapan itu, Tiat-pi
Hek-wan Lu Sek Kwa tertawa bergelak, seolah merasa gembira sekali karena
mendapatkan pujian atas kekejamannya. Kini Liong-li sudah berhasil mengenal
orang itu, baik namanya maupun kedudukannya di dalam gerombolan penjahat itu.
Kiranya seorang algojo! Tentu sudah banyak sekali orang tidak berdosa yang
tewas di tangan orang ini, pikirnya. Sudah sepatutnya kalau orang macam ini,
seperti Twa-to Ngo-houw, dihukum mati!
“Bagus, kalau begitu biarlah
aku mewakili para korbanmu untuk membalaskan sakit hati mereka yang telah
kausiksa dan kaubunuh!” kata Liong-li sambil melangkah maju, mendekati manusia
iblis itu, dipandang oleh para penjaga dengan khawatir karena mereka seperti
melihat seekor kelinci yang menghampiri seekor harimau.
Kalau mereka merasa khawatir
akan keselamatan Liong-li, hal ini bukan karena kelemahan hati atau kebaikan
hati mereka. Sama sekali tidak! Mereka hanya merasa sayang kalau gadis secantik
itu akan disiksa habis-habisan oleh Tiat-pi Hek-wan! Akan lebih menyenangkan
kalau diserahkan kepada mereka!
Tiat-pi Hek-wan mengeluarkan
gerengan marah mendengar ucapan Liong-li itu. Dia mengembangkan kedua
lengannya, seperti seekor king-kong, lalu menerkam ke depan untuk menangkap
Liong-li.
“Wuuuuttt......!!”
Tubrukan itu dielakkan dengan
mudah oleh Liong-li sehingga mengenai angin saja. Namun, Tiat-pi Hek-wan Lu Sek
Kwa bukan hanya memiliki tenaga kuat, melainkan juga pandai ilmu silat. Dia
sudah membalik dan cepat tangan kanannya yang berlengan panjang itu meluncur ke
depan, mencengkeram ke arah kepala Liong-li, sedangkan tangan kirinya menyusul
dengan cengkeraman pula ke arah dada.
Kalau Liong-li menangkis
cengkeraman pertama, tentu cengkeraman kedua itu akan berubah dan menangkap
lengannya. Akan tetapi, Liong-li kembali mengelak. Ia tidak mau menangkis,
bukan karena takut kalah tenaga, melainkan ia enggan bersentuhan dengan orang
yang menjijikkan itu.
Lutung Hitam itu menjadi semakin
marah. Bertubi-tubi dia menyerang, kini bukan hanya mencengkeram dan menubruk
untuk menangkap, melainkan diseling dengan tamparan, pukulan dan tendangan
untuk merobohkan gadis itu! Namun, sampai lebih dari duapuluh kali dia
menyerang, selalu mengenai angin kosong saja!
“Perempuan setan, jangan harap
dapat lolos dari tanganku!” bentaknya dan tiba-tiba dia bergulingan dan
mengejar Liong-li. Sambil bergulingan, kaki dan tangannya menyerang, menendang,
mencengkeram dan gerakannya cepat sekali.
Liong-li sudah siap. Kalau ia
mau, dapat ia sekali hantam menewaskan orang ini. Akan tetapi ia teringat
betapa orang ini telah menyiksa banyak orang yang tidak berdosa, maka terlalu
enak kalau dia dibikin tewas seketika. Setidaknya dia harus mengalami
penderitaan siksaan!
Begitu tubuh itu mendekat dan
mencengkeram, ujung kaki Liong-li meluncur dan tepat mengenai pergelangan
tangan yang mencengkeram. Seketika lengan itu seperti lumpuh dan kembali ujung
sepatu Liong-li menendang dan mengenai pundak.
“Tukkk!” Tendangan itu
merupakan totokan pada jalan darah hong-hu-hiat di belakang pundak.
Sudah diatur tenaganya
sehingga tendangan yang seharusnya mematikan itu, kini hanya mendatangkan rasa
nyeri yang hebat. Terdengar Si Lutung Hitam meraung kesakitan. Akan tetapi memang
dia bandel dan kuat. Dia meloncat bangkit dan dengan muka beringas menahan
nyeri, dia sudah menyerang lagi, kedua lengannya kembali dikembangkan dan
menyambar dari kanan kiri!
Liong-li tidak mundur, bahkan
melihat kedua lengan itu berkembang dan dada orang itu terbuka, didahuluinyalah
lawan itu dengan kecepatan gerakannya yang luar biasa. Ia menerjang ke depan
dan sebelum kedua lengan itu sempat bergerak, ia sudah “memasuki” dada itu
dengan pukulan tangan kosong.
“Dessss......!”
Liong-li sengaja tidak
mempergunakan Hiat-tok-ciang. Kalau ia menggunakan ilmu ini, tentu lawannya
roboh dan tewas. Ia hanya menggunakan tenaga sin-kang, itupun dengan ukuran
agar jangan meremukkan isi dada lawan. Tubuh Si Lutung Hitam terjengkang dan
dia terbanting keras. Kembali dia mengaduh dan sebelum dia bangkit berdiri,
Liong-li sudah menyusulkan tendangan.
“Desss......!” Tubuh itu
terguling-guling, ketika hendak bangun, disambut tendangan lagi dan terguling
lagi sampai empat kali!
Melihat ini, belasan orang
penjaga tadi lalu berteriak-teriak mengepung dan menyerang lagi dengan senjata
mereka. Beberapa orang penjaga keluar dari dalam dan ikut mengeroyok sehingga
kembali Liong-li dikeroyok oleh kurang lebih duapuluh orang!
Liong-li sudah menyambar
sebatang tombak yang dapat dirampasnya, mematahkan bagian ujung yang runcing
dan kini ia memegang sebatang toya yang dapat dimainkannya sebagai tongkat.
Tentu saja ia tidak takut menghadapi mereka dengan tangan kosong, akan tetapi
ia tidak ingin membiarkan pakaiannya terancam robek oleh hujan senjata.
Dengan toya itu di tangan,
dengan mudah ia menangkis semua senjata yang menghujaninya, dan dengan kedua
ujung toyanya, ia merobohkan para pengeroyok satu demi satu. Akan tetapi yang
menjadi sasarannya adalah Si Lutung Hitam yang kini maklum akan kelihaian gadis
itu dan dia sudah mengambil sebatang ruyung besi yang berat dan besar. Karena
dibantu oleh banyak anak buah, Tiat-pi Hek-wan masih berani menerjang dengan
ruyungnya sambil menahan rasa nyeri di beberapa bagian tubuhnya yang tadi kena
dihantam dan ditendang oleh Liong-li.
Liong-li memutar toyanya
sedemikian rupa sehingga kembali ada dua orang pengeroyok terjungkal. Yang
seorang kena dihantam sambungan lututnya, yang seorang lagi tersodok perutnya.
Ketika ia merasakan angin pukulan yang amat dahsyat menyambar dari belakang,
tahulah ia bahwa Si Lutung Hitam yang menyerangnya dengan ruyung. Ruyung itu
menyambar dari atas, mengarah kepalanya yang tentu akan hancur lebur kalau
terkena. Liong-li miringkan tubuhnya, membiarkan ruyung lewat dan ujung toyanya
sudah menotok ke arah siku kanan dari tangan yang memegang ruyung.
“Tukkk..... auhhh.....” Ruyung
itu terlepas dan jatuh berdentang di atas lantai ketika Tiat-pi Hek-wan
melompat mundur sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kiri. Sambungan
siku kanannya terlepas dan lengan kanan itu menjadi lumpuh.
Maklum bahwa dia tidak akan
mungkin menang, walaupun dibantu banyak orang, Si Lutung Hitam lalu meloncat
dan melarikan diri hendak keluar dari pekarangan depan itu! Liong-li melihat
ini. Ia meloncat jauh menghindarkan diri dari pengeroyokan para penjaga, dan
melihat tubuh tinggi besar itu melarikan diri, iapun lalu melontarkan toya di
tangannya.
Toya itu meluncur seperti anak
panah terlepas dari busurnya dan tak dapat dihindarkan lagi, toya itu menusuk
punggung Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa.
Demikian kuatnya lontaran toya
itu sehingga menembus punggung sampai ke dada! Robohlah Si Lutung Hitam tanpa
dapat bersuara lagi, roboh dan tewas seketika, menelungkup akan tetapi dadanya
tidak menyentuh tanah karena terganjal oleh ujung toya yang menembus dadanya!
Melihat robohnya jagoan ini,
para anak buah yang berada di tempat itu menjadi ketakutan dan tanpa dikomando
lagi, merekapun melarikan diri, meninggalkan teman-teman mereka yang terluka
parah.
Hek-liong-li berdiri sambil
tersenyum memandang kepada mereka, lalu dengan tenang ia memasuki rumah itu
untuk mencari Kiu-bwe Mo-li, Hek-sim Lo-mo atau anak buahnya. Akan tetapi rumah
itu sudah kosong, kecuali wanita-wanita dan para pelayan yang sama sekali tidak
diganggu oleh Liong-li. Ia menangkap seorang pelayan wanita yang nampak
ketakutan, menghardiknya.
“Hayo katakan di mana adanya
Hek-sim Lo-mo, Kiu-bwe Mo-li dan yang lainnya lagi. Di mana mereka?”
Pelayan itu dengan muka pucat
dan tubuh gemetar menggelengkan kepalanya, dan hanya berkata, “Tidak tahu......
saya tidak tahu.......” berkali-kali.
Tahulah Liong-li bahwa semua
orang di situ tentu saja takut setengah mati kepada Hek-sim Lo-mo dan tidak
akan berani mengaku, atau memang benar tidak tahu karena mereka ini hanyalah
para pembantu rumah tangga dan para wanita yang agaknya menjadi para penghibur
tokoh-tokoh sesat itu. Ia teringat akan keterangan orang pertama Twa-to
Ngo-houw, maka tanpa banyak cakap lagi iapun meninggalkan tempat itu.
Untung bahwa ia cepat pergi
karena tidak lama kemudian, ada pasukan keamanan kota Lok-yang yang datang ke
tempat itu. Mereka ini menerima laporan dari anak buah Hek-sim Lo-mo bahwa ada
wanita “jahat” yang mengamuk dan membunuhi orang, maka pembesar setempat segera
mengirim perwira yang memimpin pasukan untuk menangkapnya.
Memang pengaruh Hek-sim Lo-mo
amat besar, bukan saja terhadap semua orang golongan hitam, bahkan diapun
dengan cerdik mengadakan hubungan baik dengan para pejabat dan pembesar setempat.
Tentu saja dia harus membeli hubungan baik ini dengan harta benda yang cukup
banyak. Dengan adanya hubungan baik ini maka kedudukannya terlindung.
Semua rumah pelesir, rumah
judi dan segala macam tempat maksiat di mana orang-orang bersenang-senang dan
membuang uang, dikuasai oleh Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya. Tempat-tempat
seperti itu menghasilkan banyak uang, maka tentu saja mudah baginya untuk
mengeluarkan harta benda yang cukup besar untuk dibagi-bagikan kepada para
pembesar, sekedar “bagi hasil”. Semua usahanya itu terlindung dan keadaan aman
baginya.
Dan kini, ketika Liong-li
melakukan penyerbuan, anak buah Hek-sim Lo-mo tanpa ragu-ragu lari melapor
kepada pembesar komandan keamanan Lok-yang dan pembesar ini cepat mengirim
pasukan untuk menangkap si “penjahat”. Keadaan seperti ini terjadi kapan saja
dan di mana saja selama manusia masih menjadi hamba dari pada nafsu
keinginannya sendiri yang selalu mengejar kesenangan melalui uang atau harta.
Pengejaran inilah yang
mendatangkan segala macam penyelewengan dalam kehidupan manusia, tidak perduli
apapun kedudukannya maupun pangkatnya. Pengejaran membuat kita menjadi buta,
tidak lagi melihat bahwa cara yang kita pergunakan adalah buruk dan tidak
sehat. Yang menentukan adalah caranya, bukan tujuannya, karena pelaksanaan cara
inilah isi kehidupan.
Cara yang buruk sudah pasti
mendatangkan hasil yang buruk pula, tidak perduli betapa mulukpun gambaran
cita-cita atau tujuan itu. Sayang sekali bahwa kebanyakan dari kita terlalu
mementingkan cita-cita, terlalu mementingkan tujuan sehingga dalam banyak hal
terjadi kepincangan di mana tujuan menghalalkan segala cara! Cita-cita dan
tujuan hanyalah permainan pikiran yang menggambarkan gagasan-gagasan muluk,
sebaliknya cara adalah derap langkah kehidupan sehari-hari. Derap langkah atau
perbuatan sehari-hari inilah yang penting, bukan gagasan dan lamunan yang
muluk- muluk. Kalau cara yang kita tempuh setiap saat ini baik, sudah tidak ada
persoalan lagi apakah hasilnya baik atau tidak baik yang hanya merupakan penilaian
saja, dan cara yang baik hanya satu, yaitu apabila berlandaskan cinta kasih.
Dan cinta kasih ini tak
mungkin ada selama si aku merajalela, selama yang ada hanya pementingan diri
pribadi, demi kesenangan diri pribadi. Pementingan diri pribadi ini menimbulkan
konflik, pertentangan, kemarahan, kekecewaan, kebencian dan permusuhan. Dan
dalam keadaan seperti itu, bagaimana mungkin ada cinta kasih? Tempayan air yang
kotor tidak mungkin dapat menampung air yang jernih. Bersihkan dulu tempayan
itu dari segala kotoran, dan air yang ditampungnya akan bersih dan jernih!
Lie Kim Cu atau Hek-liong-li
dengan cepat melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Fu-niu-san. Ia akan
pergi ke dusun Gi-bo-cung di kaki Fu-niu-san, seperti yang diceritakan oleh
orang pertama Twa-to Ngo-houw dalam pesan terakhirnya, bukan saja untuk mencari
Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya, akan tetapi juga untuk menyelidiki tentang
mustika naga yang kabarnya terjatuh ke tangan Hek-sim Lo-mo itu.
◄Y►
Kuburan itu kuno sekali, akan
tetapi masih nampak megah dan kokoh kuat. Tembok-temboknya sudah penuh lumut,
dan lantainya sudah banyak yang rusak, namun bangunan bong-pai dan empat tiang
penyangga bangunan yang bentuknya seperti kuil itu masih kokoh. Itulah kuburan
kuno yang amat terkenal di antara orang-orang dunia persilatan. Sudah puluhan
tahun lamanya, tempat ini menjadi sasaran pencarian sebuah benda ajaib yang
disebut mustika naga.
Kuburan itu terletak di bukit
Kim-san (Bukit Emas) di lembah Huang-ho dan terkenallah sebutan Kim-san Liong-cu
(Mustika Naga Gunung Emas) yang diperebutkan oleh semua orang gagah di dunia
persilatan. Dikabarkan dari mulut ke mulut bahwa mustika naga itu disembunyikan
di tempat itu, di sekitar kuburan kuno seorang pangeran itu.
Banyak sudah tokoh kang-ouw
yang tewas dalam perebutan ini, dan kuburan itu sendiri sudah dibongkar,
diobrak-abrik, tulang-tulang kerangka tua itupun diobrak-abrik, namun tidak ada
yang dapat menemukan benda pusaka itu! Tak seorangpun tahu siapa yang telah
menemukan benda itu, dan di mana tempatnya.
Cin Hay berjalan seorang diri
mendaki bukit Kim-san. Sunyi lengang saja di sekitar tempat itu dan ketika dia
tiba di puncak, dia melihat bangunan kuburan kuno itu berdiri megah dan tua,
juga amat sunyi. Cin Hay teringat akan dongeng dari mendiang gurunya, yaitu Pek
I Lojin yang menceritakan bahwa di tempat ini pernah terjadi perebutan mustika
itu antara orang-orang pandai sehingga banyak jatuh korban.
Sukar membayangkan tempat yang
kini amat sunyi itu pernah menjadi medan perkelahian antara orang-orang sakti
yang memperebutkan benda yang disebut Kim-san Liong-cu. Gurunya memesan agar
dia pergi ke tempat itu dan menyelidiki di mana adanya Kim-san Liong-cu!
Bagaimana mungkin? Bukankah sudah puluhan orang sakti di dunia persilatan
mencari dan hasilnya sia-sia belaka, bahkan banyak yang mengorbankan nyawa?
Cin Hay menarik napas panjang
kalau teringat gurunya yang amat baik itu. Dia dapat menduga bahwa tentu
gurunya ingin sekali mendapatkan Kim-san Liong-cu, dan karena tidak berhasil,
maka gurunya itu memesan kepada dia, murid tunggalnya, untuk melanjutkan
cita-citanya yang tidak tercapai itu! Dia sendiri tidak mempunyai keinginan
mendapatkan benda ajaib itu, akan tetapi mengingat akan pesan terakhir suhunya,
maka Cin Hay datang juga ke tempat ini.
Dengan perlahan-lahan Cin Hay
menghampiri bangunan kuburan yang seperti kuil bentuknya itu. Temboknya sudah
berlumut, gentengnya sudah banyak yang pecah dan bangunan itu nampak
menyeramkan. Akan tetapi ketika dia tiba di depan kuburan itu, cepat dia menyelinap
di balik dinding bangunan karena dia melihat seorang laki-laki muda sedang
berdiri menghadapi makam dengan kepala tunduk.
Tidak ada orang lain kecuali
laki-laki muda yang berpakaian sastrawan itu dan Cin Hay merasa heran sekali
apa yang akan dilakukan orang itu, seorang diri saja di tempat yang menyeramkan
ini. Apakah orang itupun mempunyai niat yang sama dengan dia, menyelidiki dan
berusaha mencari Kim-san Liong-cu yang kabarnya hilang itu? Dia menyelinap
mendekati dan mengintai, ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan orang itu.
Orang itu kini berubah
sikapnya, tidak lagi menunduk, melainkan mengangkat muka memandang ke arah
makam, mengepal tinju dan wajahnya yang tadi pucat itu kini nampak marah. Dia
seorang pemuda yang usianya sebaya dengan Cin Hay, kurang lebih duapuluh lima
tahun, tubuhnya tinggi kurus dan pakaian sastrawan yang menutupi tubuhnya itu
longgar dan kusut. Wajahnya agak pucat dan matanya tadi membayangkan kedukaan
walaupun kini mata itu bersinar marah.
“Kiang-sun-ong, engkau sungguh
orang yang terlalu banyak dosa! Setelah matipun engkau masih saja mendatangkan
malapetaka bagi orang-orang lain sehingga banyak sekali orang yang mati karena
engkau! Sungguh, aku kutuk engkau, semoga nyawamu mendapat hukuman yang paling
berat di alam sana!” Setelah mengeluarkan umpatan itu, dia nampak lemas lalu
menjatuhkan diri berlutut dan dia menangis, mulutnya mengeluh dan menyebut
nama, “Bi Hwa...... Bi Hwa......!”
Dia secara tiba-tiba bangkit
berdiri kembali, dan matanya menjadi beringas. “Bi Hwa, tunggulah, aku
menyusulmu......!” Tiba-tiba dia lari ke depan dan membenturkan kepalanya ke
arah dinding dengan jalan melompat ke depan.
“Plakkk!”
Kepala itu tidak mengenai
dinding dan tidak hancur seperti yang diharapkannya! Kepala itu bertemu dengan telapak
tangan dan pemuda berpakaian putih itu telah berdiri di depannya setelah
mendorongnya dengan halus ke belakang. Cin Hay yang tadi bersembunyi dan
mengintai, telah cepat meloncat dan menghalangi pemuda sastrawan itu membunuh
diri!
“Kau..... kau....., lancang
mencampuri urusanku!” bentak pemuda sastrawan itu dan diapun menyerang Cin Hay
dengan pukulan yang cukup dahsyat!
Cin Hay terkejut dan heran
sambil mengelak dengan cepatnya. Orang itu melanjutkan serangannya, mengirim
pukulan bertubi-tubi ke arah Cin Hay yang mempergunakan kelincahan gerakan
kakinya untuk mengelak dan juga menangkis sambil membatasi tenaganya. Dia tahu
bahwa orang ini sedang putus asa dan marah karena niatnya membunuh diri
dihalangi, maka dia tidak menjadi marah melihat orang itu menyerangnya, bahkan
merasa semakin kasihan.
“Nanti dulu, sobat. Tahan dulu
seranganmu. Orang pemarah seperti engkau ini, bagaimana bisa mempunyai
keinginan nekat membunuh diri? Engkau masih mempunyai keinginan besar membunuh
orang lain, kenapa ingin bunuh diri secara pengecut?”
“Keparat! Engkau lancang dan
berani memaki aku pengecut? Biarlah kubunuh dulu engkau, baru aku akan bunuh
diri!” bentak pemuda sastrawan itu dan dia sudah mencabut pedang dan menyerang
dengan pedangnya.
Seperti serangan tangan kosong
tadi, serangan pedangnyapun hebat! Cin Hay mengerutkan alisnya. Orang ini
memang sudah nekat dan agaknya kedukaan yang besar membuat jalan pikirannya
tidak sehat lagi dan kalau dibiarkan begitu akan berbahaya. Dia miringkan tubuh
dan dari samping dia menotok pergelangan tangan, terus merampas pedang dan
sebelum sastrawan muda itu bergerak, Cin Hay sudah merobohkan orang itu dengan
totokan yang melumpuhkan kaki tangannya!
“Bagus, kau lihai. Bunuh saja
aku! Aku tidak ingin hidup lebih lama lagi!” kata sastrawan muda itu, kini
kemarahan lenyap dan mukanya, terganti kedukaan seperti tadi.
Cin Hay menarik napas panjang,
lalu dia duduk di atas lantai di depan pria itu, meletakkan pedang rampasannya
di atas lantai dan dengan cepat dia membebaskan totokannya sehingga orang itu
dapat bergerak kembali.
“Nah, marilah kita bicara
baik-baik, sobat. Kulihat engkau memiliki ilmu silat yang lumayan, dan melihat
pakaianmu, tentu engkau seorang yang terpelajar pula. Sebagai seorang ahli
silat dan ahli sastra, mustahil engkau tidak tahu bahwa bunuh diri merupakan
perbuatan yang rendah, hina dan pengecut. Hidup adalah tantangan dan kita harus
menghadapinya, pahit maupun manis. Nah, mari kita bicara, siapa tahu, aku akan
dapat membantumu, sobat. Namaku Tan Cin Hay dan sebut saja aku Pek-liong-eng
(Pendekar Naga Putih) karena aku lebih suka dikenal dengan nama julukan itu.”
Pemuda sastrawan itu sejenak
mengamati wajah Cin Hay, lalu dia menggeleng kepalanya dan menarik napas
panjang. “Engkau boleh jadi seorang pendekar besar yang budiman, tai-hiap
(pendekar besar), akan tetapi aku sangsi apakah engkau akan mampu menolongku
untuk membalas semua dendam ini. Musuhku adalah orang yang menjadi datuk kaum
sesat dan biar ada seratus orang seperti aku masih belum cukup untuk dapat melakukan
balas dendam!”
Mendengar ini, diam-diam Cin
Hay terkejut. Kalau benar kata orang itu, tentu musuhnya itu sakti bukan main!
“Sobat, sudah menjadi
kewajibanku untuk membantu yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat.
Kalau memang engkau mempunyai penasaran dan patut dibela, percayalah, betapapun
saktinya musuhmu itu, aku tentu akan mencoba untuk menentangnya. Nah, maukah
engkau bercerita tentang keadaanmu?”
“Nanti dulu, tai-hiap.
Sebelumnya aku ingin bertanya, bagaimana engkau dapat berada di tempat ini dan
apa maksudmu datang ke kuburan Kiang-sun-ong ini?”
“Aku baru sekarang tahu bahwa
ini kuburan seorang yang bernama Kiang-sun-ong. Aku hanya memenuhi pesan
mendiang guruku untuk datang ke kuburan seorang pangeran yang kuno ini dan melakukan
penyelidikan tentang benda yang disebut Kim-san Liong-cu.”
“Ah, benda keparat itu! Dan
terkutuk Pangeran Kiang-sun-ong yang setelah mati masih menyimpan benda itu
sehingga .menimbulkan korban banyak orang, dan yang terakhir...... tunanganku
yang tercinta......”
Pemuda itu nampak berduka
sekali. Cin Hay membiarkan pemuda itu menghanyutkan diri dalam duka dan sejenak
dia mengamati wajah yang kini memejamkan mata dan nampak layu itu. Setelah
pemuda itu membuka mata kembali, Cin Hay segera berkata.
“Sobat, jangan mengira bahwa
hanya engkau seorang saja yang pernah menderita duka kehilangan seorang
tunangan yang tercinta! Banyak sekali manusia di dunia ini yang menderita
seperti engkau, bahkan lebih menderita lagi, akan tetapi jarang yang mengambil keputusan
pendek seperti engkau. Aku sendiri juga kehilangan isteriku yang tercinta dan
anak dalam kandungannya. Banyak teman sependeritaanmu, sobat, dan kurasa setiap
orang manusia mempunyai kesengsaraan dan penderitaan masing-masing.”
“Akan tetapi tentu isterimu
itu tidak terbunuh seperti tunanganku, ternoda dan terbunuh!”
“Hemm, siapa bilang tidak?
Isteriku juga menjadi korban perkosaan dan penghinaan sampai mati,” kata Cin
Hay dan mendengar ini, pemuda itu membelalakkan matanya lalu memegang lengan
Cin Hay.
“Maafkan aku...... ah, aku
memang pengecut dan terlalu besar iba diriku. Akan tetapi, engkau begini lihai,
kenapa tidak menuntut balas atas nasib yang menimpa isterimu?”
Cin Hay mengangguk. “Aku sudah
membalas dendam itu.”
“Ah, kalau begitu, mungkin
saja engkau akan mampu membantuku, tai-hiap. Aku bernama Song Tek Hin.
Tunanganku bernama Pouw Bi Hwa dan ayahnya bernama Pouw Sianseng, seorang
sastrawan yang pandai dan cukup terkenal. Calon mertuaku itu pada suatu hari
menemukan sebuah peta kuno di mana terdapat tulisan kuno yang sukar dibaca.
Ayah mertuaku itu dapat membacanya dan ternyata itu adalah peta rahasia
penyimpanan Kim-san Liong-cu.”
Cin Hay tertarik sekali, tak
disangkanya bahwa orang muda yang hampir membunuh diri ini membawa cerita yang
amat penting dan menarik mengenai Kim-san Liong-cu yang dicarinya seperti yang
dipesankan oleh mendiang suhunya.
“Menurut petunjuk peta,
akhirnya dia dapat menemukan mustika naga itu. Bukan di kuburan ini
disimpannya, melainkan di satu tempat di bukit ini. Karena maklum bahwa mustika
itu dijadikan rebutan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, maka ayah mertuaku itu
menyimpannya di bawah kulit perutnya! Akan tetapi malang baginya, rahasia itu
ketahuan oleh Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang kini menjadi datuk
sesat yang memiliki kekuasaan besar. Ayah mertuaku lalu diculik, dan tunanganku
juga diculik! Karena aku tidak mampu melawan mereka, aku hanya dapat melakukan
penyelidikan saja dan membayangi ke mana mereka dibawa pergi. Kiranya mereka
dihadapkan kepada Hek-sim Lo-mo seperti yang dapat kudengar dari hasil
penyelidikanku. Ah, untuk mengetahui tentang nasib mereka saja, aku harus
menyogok banyak anggauta penjahat sehingga menghabiskan semua harta bendaku,
baru aku dapat memperoleh keterangan yang jelas tentang mereka......” Dan wajah
itupun diliputi kedukaan kembali.
Cin Hay tertarik sekali.
Pantas para tokoh kang-ouw tidak berhasil menemukan Liong-cu di kuburan itu.
Kiranya telah didahului oleh Pouw Sianseng, seorang sastrawan yang berhasil
mendapatkannya melalui peta kuno yang menunjukkan di mana mustika itu
disembunyikan!
“Kemudian, apa yang terjadi
dengan mereka dan Liong-cu itu!”
“Datuk sesat yang seperti
iblis itu memaksa ayah mertuaku mengaku dengan jalan menyiksa tunanganku.
Mustika itu diambil dengan paksa dari perut ayah mertuaku, dan keparat jahanam
itu lalu menyuruh anak buahnya yang berjuluk Tiat-pi Hek-wan untuk memperkosa
Bi Hwa sampai mati...... ah, Bi Hwa.....” Pemuda itu menggigit bibir menahan
kepedihan hatinya membayangkan apa yang terjadi dengan tunangannya. “Dan ayah
mertuaku akhirnya juga dibunuh.”
“Hemm, lalu apa yang telah
kaulakukan selama ini?”
“Aku telah mencari Tiat-pi
Hek-wan di Lok-yang dan dalam perkelahian, aku kalah karena dikeroyok oleh dia
dan anak buah lain. Baru menghadapi dia saja aku kalah dan hampir mati, apa
lagi harus menghadapi Hek-sim Lo-mo dan para kaki tangannya yang kabarnya amat
lihai, jauh lebih lihai dari pada Tiat-pi Hek-wan. Aku menjadi putus asa dan
dari pada menanggung derita batin seperti ini, tadi aku...... aku......”
“Sudahlah, saudara Song Tek
Hin. Aku akan membantumu menghadapi mereka! Sudah menjadi kewajibanku untuk
menentang Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya dan terus terang saja kuberitahukan
padamu bahwa selain menentang mereka karena mereka jahat, juga aku akan mencoba
untuk merampas mustika naga itu, seperti dipesan oleh mendiang guruku.”
Wajah Song Tek Hin nampak
bercahaya, agaknya dia memperoleh harapan baru.
“Aku sama sekali tidak
menghendaki mustika naga yang hanya akan menimbulkan banyak gangguan dalam
hidup itu. Aku hanya ingin melihat orang-orang jahat itu tertumpas dan menerima
hukuman mereka. Marilah, tai-hiap. Aku tahu di mana adanya Hek-sim Lo-mo dan
kaki tangannya. Sudah kuselidiki dan mereka itu pergi ke dusun Gi-ho-cung di kaki
Gunung Fu-niu-san, di rumah seorang ahli pembuat pedang bernama Thio Wi Han.”
“Eh, kenapa mereka ke sana?”
“Apa lagi kalau bukan
membuatkan pedang dari mustika naga itu?”
Diam-diam Cin Hay dapat pula
menduga karena mendiang gurunya pernah bercerita tentang Liong-cu itu yang
dapat menjadi bahan senjata yang ampuh sekali. Berangkatlah mereka meninggalkan
Bukit Emas, menuju ke pegunungan Fu-niu-san, dan dalam perjalanan ini Cin Hay
mengenal Song Tek Hin sebagai seorang pemuda yang ahli dalam ilmu sastra dan
juga memiliki ilmu silat yang cukup lumayan, dan watak yang pendiam dan serius.
<<Y>>
Keterangan yang didapat Song
Tek Hin tentang Hek-sim Lo-mo memang benar. Pada waktu itu, Hek-sim Lo-mo
memang berada di dusun Gi-ho-cung di kaki Pegunungan Fu- niu-san. Hampir tiga
bulan telah lewat sejak dia menyerahkan Liong-cu kepada Thio Wi Han dan kini
mustika naga itu telah menjadi dua batang pedang yang sudah hampir selesai!
TOK-GAN-LIONG Yauw Ban,
pembantu utamanya, juga berada di dusun itu dan Yauw Ban inilah yang sering
mengunjungi pondok si ahli pembuat pedang, dan mengepalai Wei-ho Cap-sha-kwi
yang masih terus berjaga di dalam bangunan darurat yang mereka buat tak jauh
dari rumah kakek pembuat pedang. Selain Tok-gan-liong Yauw Ban dan Cap-sha-kwi,
juga para pembantu utama lain dari Hek-sim Lo-mo berada di situ.
Mereka adalah Jai-hwa Kongcu
Lui Teng, si pelajar sesat yang gila perempuan, dan He-nan Siang-mo (Sepasang
Iblis He-nan), dua orang saudara kembar yang lihai dengan golok mereka itu.
Mereka semua berada di situ atas perintah Hek-sim Lo-mo yang maklum betapa
pentingnya menjaga Liong-cu yang sedang dibuat pedang itu.
Dia tahu bahwa kalau sampai
rahasia pembuatan pedang itu bocor, seluruh jagoan dunia persilatan tentu akan
datang dan berusaha merampas mustika naga itu! Maka, dia tidak mau mengambil
resiko dan mengumpulkan para pembantu utamanya di dusun itu untuk berjaga-jaga.
Dan tak lama kemudian bahkan Kiu-bwe Mo-li muncul di dusun itu, menyusul
pemimpinnya.
Akan tetapi laporan wanita
iblis ini membuat Hek-sim Lo-mo marah sekali. Begitu Kiu-bwe Mo-li melaporkan
bahwa Hek-liong-li telah menewaskan Twa-to Ngo-houw dan bahwa Kiu-bwe Mo-li
terpaksa melarikan diri karena tidak mampu mengalahkan gadis itu, Hek-sim Lo-mo
mengeluarkan suara gerengan marah dan dia menggerakkan tangannya ke arah wanita
itu, dan angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah Kiu-bwe Mo-li. Wanita
iblis ini terkejut bukan main, berusaha mengelak akan tetapi tetap saja angin
pukulan membuat ia terpelanting keras sekali.
Untunglah bahwa Hek-sim Lo-mo
tidak melanjutkan serangannya karena segera teringat bahwa tidak ada gunanya
marah dan menghukum pembantunya yang diandalkan itu. Tadi dia hanya merasa
kecewa dan marah mendengar betapa ada gadis muda yang berani menentangnya,
bahkan sudah membunuh lima orang pembantunya, yaitu Twa-to Ngo-houw.
“Keparat kau, Kiu-bwe Mo-li!
Tidak malukah engkau melaporkan bahwa engkau kalah oleh seorang gadis muda
saja? Sungguh aku merasa ikut malu mempunyai seorang pembantu yang lemah macam
engkau! Disuruh membunuh seorang gadis saja tidak becus, bahkan kalah olehnya!
Hemm, apakah gadis itu memiliki tiga kepala dan enam tangan?”
“Maaf, Beng-cu, ia memang
lihai sekali bagiku, akan tetapi aku yakin bahwa ia bukan apa-apa kalau
berhadapan dengan Beng-cu. Ia adalah murid dari bibi guruku sendiri, yaitu
Huang-ho Kui-bo. Ia ahli ilmu langkah ajaib Liu-seng-pouw, ilmu silat tangan
kosong Bi-jin-kun, pukulan sakti Hiat-tok-ciang dan di samping itu, ia agaknya
mewarisi keahlian permainan tongkat dari bibi guru Huang-ho Kui-bo.”
“Hemm, sudahlah, kita lupakan
dulu gadis itu. Kalau sepasang po-kiam (pedang pusaka) itu telah selesai, baru
kita cari lagi gadis itu dan biarlah aku yang akan menangkapnya sendiri.”
”Beng-cu, serahkan saja nona
manis itu kepadaku, akan kutangkap ia dan akan kutaklukkan ia!” kata Jai-hwa
Kongcu Lui Teng sambil tersenyum. Wajahnya yang tampan nampak manis akan tetapi
juga kejam sekali sinar matanya,
“Biarkan kami yang akan
menghancurkan gadis sombong itu, Beng-cu!” kata pula Can Siang dan Can Siong,
dua orang kembar itu hampir berbareng.
“Kalian jangan tekebur,” kata
Tok-gan-liong Yauw Ban yang lebih berhati-hati. “Kalau ia dapat ntengalahkan
Kiu-bwe Mo-li, berarti ia memang lihai sekali dan kita lihat saja nanti kalau
sampai kita berhadapan dengannya. Bagaimanapun juga, kita harus membasminya
karena ia telah berani menentang dan melanggar wibawa Beng-cu kita.”
Demikianlah, Hek-sim Lo-mo
tidak mau diganggu oleh urusan lain lagi sebelum sepasang pedangnya itu selesai
dibuat dan dia bersama semua pembantu utamanya yang berkumpul di dusun
Gi-ho-cung, mengamati gerak-gerik kakek Thio Wi Han dan isterinya dan menjaga
dengan ketat agar jangan sampai sepasang pedang itu diganggu orang lain.
Memang terjadi hal yang amat
aneh di dusun Gi-ho-cung itu. Demikian banyaknya para tokoh sesat, bahkan
datuknya yang ditakuti semua orang kang-ouw, berada di dusun itu, akan tetapi
anehnya, tidak ada seorangpun penghuni dusun itu yang tahu bahwa di dusun
mereka terdapat seorang datuk sesat seperti raja setan dengan lima orang
pembantu utamanya seperti iblis, dan tigabelas orang anak buah seperti
binatang-binatang liar yang buas, yaitu Cap-sha-kwi! Hal ini adalah karena
mereka semua tidak pernah melakukan suatu kejahatan atau kekerasan dalam bentuk
apapun!
Dan hal ini tentu saja berkat
sikap Thio Wi Han! Kakek ahli pembuat pedang yang gagah perkasa dan tidak
mengenal takut ini memesan dengan sungguh kepada Hek-sim Lo-mo bahwa dia dan
anak buahnya tidak boleh sedikitpun mengganggu penduduk dusun itu. Kalau sampai
terjadi gangguan, pedang itu tidak akan diselesaikan bahkan akan dihancurkan!
Karena ancaman ini, betapupun
mendongkol rasa hati Hek-sim Lo-mo, namun dia khawatir kalau sampai kakek yang
keras hati itu akan melaksanakan ancamannya, maka dia pun mengancam semua anak
buahnya agar tidak mengganggu sedikitpun keamanan di dusun itu. Bahkan dilarang
memperkenalkan diri kepada mereka.
Larangan ini dipatuhi oleh
semua kaki tangan Hek-sim Lo-mo, akan tetapi amat menyiksa hati Jai-hwa Kongcu
Lui Teng. Penjahat muda yang amat lihai ini memang mempunyai satu kelemahan,
yaitu dia tidak tahan hidup tanpa wanita, dan sekali dia melihat wanita yang
menarik hatinya, dia tidak akan berhenti berusaha sebelum wanita itu jatuh ke
dalam pelukannya. Watak inilah yang membuat dia menjadi gila perempuan dan
entah berapa banyaknya wanita yang diganggunya, baik dengan halus maupun secara
kasar sehingga dia dijuluki Jai-hwa Kongcu (Pemuda Pemetik Bunga).
Larangan Hek-sim Lo-mo agar
dia tidak mengganggu penduduk dusun itu sama saja dengan melarangnya mengganggu
wanita dan dia mulai merasa gelisah. Boleh saja menyuruh dia menganggur
berbulan-bulan asal ada wanita di dekatnya! Tanpa adanya wanita, baru beberapa
hari saja dia sudah merasa tersiksa, apa lagi ketika pada suatu hari dia
melihat dua orang wanita dusun itu sedang mencuci pakaian di sungai kecil yang
mengalir bening di luar dusun.
Seorang wanita berusia
tigapuluh tahun lebih dan puterinya berusia limabelas tahun. Ibu muda dan
puterinya itu nampak menarik sekali dalam pakaian mereka yang basah dan dengan
jantung berdebar dan gairah mulai merangsang batinnya, Lui Teng menghampiri
mereka.
Dua orang wanita itu terkejut
melihat munculnya seorang laki-laki asing dan mereka tahu bahwa pria itu
tentulah seorang di antara beberapa orang asing yang kabarnya menjadi tamu
kakek Thio untuk memesan pembuatan senjata tajam. Karena selama ini mereka
tidak pernah mengganggu penduduk, dua orang wanita inipun tidak merasa takut,
hanya malu dan cepat mereka berusaha menutupi dada mereka dengan kain yang
mereka cuci karena basahnya baju mereka membuat pakaian itu melekat ketat dan
buah dada mereka nampak membayang.
Jai-hwa Kongcu Lui Teng
tersenyum dan memang dia berwajah tampan, bersikap halus dan senyumnya amat
menarik hati wanita. Dengan sopan dia memberi hormat kepada mereka.
“Maafkan, kedua nona-nona
manis yang baik budi, bukan maksudku untuk mengganggu kalian, akan tetapi aku
ingin mandi dan aku tidak akan mengganggu kalian. Teruskan saja pekerjaan
kalian, nona-nona manis......”
Dua orang wanita itu saling
pandang, kemudian yang lebih tua tersenyum geli dan menutupi muka dengan
tangan. Gerakan ini membuat pakaian yang menutupi dadanya pindah ke mulut dan
nampaklah buah dadanya membayang, membuat Jai-hwa Kongcu Lui Teng menelan ludah
dan memandang kagum.
“Hi-hi, kongcu, jangan panggil
aku nona. Aku sudah bersuami dan ini adalah A Kim, puteriku, anak tunggal
kami.”
Lui Teng bukan seorang
laki-laki bodoh yang tidak berpengalaman. Tentu saja dia tahu bahwa wanita ini
sudah bersuami walaupun dia tidak mengira bahwa yang remaja puteri itu anaknya.
Akan tetapi dia berpura-pura nampak terkejut dan heran, dan dengan pandang mata
penuh kagum diapun berseru.
“Aihhh......, sungguh mati!
Siapa dapat menyangka hal itu? Siapapun akan mengira bahwa engkau masih seorang
gadis yang sudah dewasa, dan usiamu tentu takkan lebih dari duapuluh tahun
lebih sedikit, enci! Siapa akan percaya kalau engkau sudah bersuami, bahkan
sudah mempunyai seorang anak seperti nona yang cantik manis ini?”
Sikap dan ucapan itu saja
sudah amat menarik hati kedua orang wanita itu. Mereka adalah dua orang wanita
dusun sederhana dan selamanya mereka belum pernah mendengar rayuan semanis itu
keluar dari mulut seorang pria, apa lagi pria ini seorang pemuda kota yang
demikian tampan dan berpakaian indah! Seketika wajah wanita itu menjadi
kemerahan, dan puterinya juga memandang dengan malu-malu.
“Ah, kongcu sungguh terlalu
memuji.....!” kata wanita itu dengan suara merdu dan kerling serta senyumnya
memberi tanda kepada Lui Teng yang berpengalaman bahwa umpannya mengena dan
kalau dia mau, “ikan” itu tinggal menariknya saja.
Akan tetapi dia tidak mau
tergesa-gesa, dan dia harus bermain dengan hati-hati dan aman agar jangan
sampai ada orang tahu, karena dia sungguh ngeri kalau membayangkan kemarahan
Hek-sim Lo-mo kepadanya kalau sampai dia melanggar larangannya.
Memang sudah memuncak
berahinya dan kalau saja menuruti suara hatinya, tentu sudah ditubruknya dua
orang wanita ibu dan anak itu untuk memuaskan hatinya, seperti seekor harimau
yang menerkam dua ekor kelinci gemuk. Akan tetapi, dia menahan diri. Dua orang
wanita ini harus ditundukkannya sehingga mereka tidak menolak, dan pula, dia
harus dapat memiliki mereka tanpa ada orang tahu, secara rahasia dan hal ini
baru mungkin dilakukan kalau mereka berdua itu sudah tunduk dan takluk
kepadanya!
“Ah, tidak, enci, aku tidak
terlalu memuji. Kalian seperti enci dan adik saja, dan memiliki persamaan,
keduanya cantik jelita seperti bunga yang mulai dan sudah mekar, kalau puteri
enci ini, adik A Kim ini, seperti buah yang ranum dan segar, maka enci seperti
buah yang sudah matang, keduanya membuat orang kegilaan. Bukan main seperti dua
orang dewi dari kahyangan yang sedang bermain-main di air.”
Sambil berkata demikian, Lui
Teng sudah menanggalkan bajunya dan mau tidak mau, dua orang wanita itu
memandangnya dengan kagum. Pemuda kota itu bukan saja tampan wajahnya, akan
tetapi juga memiliki tubuh yang indah, kekar berotot namun kulitnya putih
halus!
Akan tetapi ketika mereka
melihat betapa pemuda tampan itu hendak menanggalkan celana, sudah meraba ke
arah ikat pinggang, keduanya tergesa-gesa menyambar cucian mereka dan sambil
menahan ketawa karena geli, mereka lalu lari ke tepi dan hendak meninggalkan
anak sungai itu. Melihat betapa ibu dan anak itu melarikan diri karena malu
melihat dia hendak mandi telanjang, dengan beberapa langkah saja Lui Teng sudah
mengejar dan mendahului mereka, dan dua orang wanita itu terpaksa berhenti
ketika melihat Lui Teng sudah berdiri di depan mereka, dengan wajah
memperlihatkan penyesalan. Dia segera menjura kepada ibu dan anak itu dan
suaranya terdengar memelas.
“Aih, enci yang baik, dan kau
nona yang manis. Sungguh mati, aku merasa menyesal sekali telah mengganggu
kalian dan membuat kalian lari meninggalkan sungai ini. Aku mengaku telah
berdosa besar dan biarlah kalian menghukum aku kalau kalian menganggap aku
mengganggu dan kurang ajar.” Berkata demikian, Lui Teng menjatuh diri berlutut
di depan mereka!
Tentu saja dua orang wanita
itu terkejut dan si ibu muda cepat membalas penghormatan itu dengan gugup,
“Jangan, kongcu......, berdirilah dan jangan berlutut kepada kami seperti
itu......”
“Tidak, aku merasa berdosa dan
kalau kalian belum mau mengampuni aku, biar aku akan berlutut di sini sampai
mati! Sebagai tanda bahwa kalian benar-benar sudi mengampuni aku, hanya kalian
berdualah yang dapat membuat aku bangun dari sini......” Lui Teng lalu
mengulurkan kedua tangannya yang direntang ke kanan kiri.
Ibu dan anak itu saling
pandang, lalu sang ibu muda mengangguk dan kedua orang wanita itu menurunkan
keranjang cucian mereka, masing-masing memegang tangan Lui Teng dan menariknya
bangun. Lui Teng bangkit berdiri, matanya melahap pakaian bagian dada mereka
yang basah itu.
“Terima kasih...... ah, terima
kasih! Kalian adalah dewi-dewi cantik penolongku!” Dan dengan hati-hati dia
lalu menarik kedua tangan itu dan menciumi jari-jari tangan mereka itu
bergantian.
Ibu muda itu menjadi malu, dan
puterinya ketakutan. Mereka menarik kembali tangan mereka dan dilepas oleh Lui
Teng yang bersikap hati-hati.
“Aku telah berhutang budi
kepada kalian. Nah, sedikit tanda peringatan ini, tanda terima kasih dan tanda
cintaku kepada kalian, terimalah sedikit hadiah ini!” Dan diapun sudah
mempersiapkan dua buah hiasan rambut dari emas berbentuk bunga, memberikannya
kepada ibu dan anak itu, masing-masing sebuah.
Ibu dan puterinya itu,
wanita-wanita dusun yang belum pernah menerima pemberian seindah itu,
menerimanya dengan wajah berseri dan mereka sudah lupa lagi akan kekagetan
mereka ketika jari tangan mereka diciumi hergantian oleh pemuda itu.
“Terima kasih, kongcu......”
kata sang ibu muda yang diturut oleh puterinya.
“Tidak usah berterima
kasih...... malam nanti saja aku akan berkunjung ke kamar kalian dan aku akan
menerima terima kasih kalian. Usahakan agar kalian tinggal sekamar, tanpa ada
orang lain. Tunggulah kunjunganku, malam nanti......” Setelah membisikkan
kata-kata itu, Lui Teng lalu lari meninggalkan mereka, kembali ke sungai dan
menanggalkan semua pakaiannya lalu mandi.
Dua orang wanita itu
terbelalak, wajah mereka berubah merah sekali, dan mereka saling pandang. Kalau
ada sedikit rasa takut dan tidak setuju sehingga mereka ingin menolak, perasaan
itu dihilangkan oleh rasa malu kalau harus menghampiri pemuda yang mandi telanjang
itu.
Akhirnya, keduanya pulang
dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Di tengah jalan, sang ibu memesan
kepada puterinya agar peristiwa itu tidak diceritakan kepada siapapun juga,
bahkan kepada ayahnyapun jangan sekali-kali diceritakan.
Lui Teng merasa yakin akan
kemenangannya. Ketika dia menciumi tangan kedua orang wanita itu dan melihat
mereka tidak menjerit atau menolak, dia sudah tahu bahwa mereka itu sudah
bertekuk lutut, dan takkan menolak, atau setidaknya, takkan melawan kalau dia
mencurahkan rasa cinta berahinya kepada mereka!
Ketika A Kim dan ibunya tiba
di rumah mereka, ternyata suami ibu muda yang bernama Souw Kun sedang menerima
dua orang tamu. Mereka adalah dua orang laki-laki muda yang berwajah tampan dan
berpakaian seperti sastrawan. Perasaan ibu muda dan puterinya menjadi semakin
berdebar karena dua orang itu mengingatkan mereka akan orang muda yang mereka
jumpai di tepi sungai dan yang bersikap manis kepada mereka, bahkan telah
menghadiahkan hiasan rambut dari emas dan berjanji akan datang menjenguk mereka
malam nanti!
Akan tetapi, dua orang muda
ini bersikap amat sopan dan sinar mata mereka sama sekali tidak “nakal” seperti
sinar mata pemuda yang mereka jumpai di sungai. Dua orang pemuda ini cepat
bangkit dan memberi hormat kepada ibu dan anak itu, dan Souw Kun segera
memperkenalkan isteri dan anaknya kepada mereka, sebaliknya dia memberitahu
kepada isterinya untuk cepat mempersiapkan masakan dan menyembelih ayam untuk
hidangan dua orang tamu mereka.
Dia memperkenalkan dua orang
tamu itu kepada isterinya sebagai dua orang dari kota raja yang melakukan
perjalanan dan singgah di dusun itu. Karena di dusun itu tidak ada rumah
penginapan, maka mereka tadi bertanya kepada Souw Kun yang sedang bekerja di
ladang, berkenalan, kemudian mereka berdua menyatakan ingin bermalam di
rumahnya selama beberapa hari dengan membayar sewa secukupnya karena mereka
berdua tertarik oleh pemandangan indah dan hawa sejuk dusun di kaki Pegunungan
Fu-niu-san itu.
Dua orang itu bukan lain
adalah Cin Hay dan Tek Hin. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Cin Hay
mencegah Song Tek Hin yang membunuh diri, kemudian dia mendengar dari Tek Hin
tentang mustika naga yang dirampas oleh Hek-sim Lo-mo dari tangan calon mertua
pemuda pelajar itu, dan betapa tunangan Tek Hin yang bernama Bi Hwa diperkosa
sampai tewas, sedangkan ayahnya juga dibunuh Hek-sim Lo-mo.
Kemudian dua orang muda itu
menuju ke dusun Gi-ho-cung untuk mencari Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya yang
menurut hasil penyelidikan Tek Hin, kabarnya berada di dusun itu. Karena ingin
bersikap hati-hati, maklum akan kelihaian pihak lawan, Cin Hay mengajak Tek Hin
untuk memasuki dusun itu tanpa membuat banyak gaduh.
Mereka lalu berkenalan dengan
seorang petani yang sedang menggarap sawahnya, dan kebetulan petani itu adalah
Souw Kun. Dengan sikap yang sopan dan ramah, juga dengan memberikan uang muka
yang cukup banyak, mereka berhasil menarik simpati petani itu yang segera
mengajak mereka ke rumahnya dan menjamu mereka sebagai tamu-tamu agung.
Dalam percakapan antara
mereka, dengan cerdik Cin Hay menyinggung tentang keadaan di dusun itu.
“Dusun yang begini indah
dengan pemandangan alamnya dan sejuk nyaman hawanya, tentu sering dikunjungi
tamu dari luar daerah. Tidakkah begitu, Souw-toako?”
Souw Kun mengerutkan alisnya,
lalu mengangguk. “Memang seringkali ada tamu luar daerah datang berkunjung,
akan tetapi sama sekali bukan karena keindahan pemandangan alam atau kesejukan
hawa di dusun ini.”
“Ehh? Kalau bukan untuk itu,
lalu untuk apa mereka datang berkunjung ke sebuah dusun yang sunyi ini?” Song
Tek Hin yang mengerti akan pancingan Cin Hay, menyambung.
“Ah, yang datang bukanlah
pelancong-pelancong seperti ji-wi (anda berdua) yang suka akan tempat indah,
melainkan orang-orang kang-ouw, ahli-ahli silat dan orang-orang kasar.”
Jelas bahwa petani itu tidak
suka mereka yang suka berdatangan ke dusun mereka. Dia adalah seorang petani
sederhana yang usianya sudah empatpuluh tahun dan sudah banyak ulah orang-orang
kang-ouw yang merugikan penduduk dusun dengan tingkah laku mereka yang kasar
dan kadang-kadang sewenang-wenang dan kejam.
Tentu saja Souw Kun sama
sekali tidak tahu bahwa dua orang tamunya yang kelihatan demikian halus dan
seperti dua orang terpelajar yang tidak mengenal kekerasan, adalah dua orang muda
yang ahli dalam ilmu silat, apa lagi yang berpakaian serba putih itu! Mereka
berdua juga tidak membawa senjata apapun.
“Orang-orang kang-ouw?
Ahli-ahli silat? Mau apa mereka datang ke sini?” tanya Cin Hay pura-pura heran.
“Di dusun kami tinggal seorang
ahli pembuat senjata tajam yang amat terkenal, nama- nya Thio Wi Han. Dia
tinggal di tepi dusun, berdua saja dengan isterinya dan dialah yang seringkali
didatangi orang-orang kang-ouw yang hendak membuatkan senjata. Bahkan sekarang
inipun di dusun kami terdapat banyak orang kang-ouw yang agaknya sedang
menunggu senjata pesanan mereka. Sudah berpekan-pekan mereka tinggal di sini.”
Souw Kun lala menceritakan
tentang orang-orang kang-ouw yang berkeliaran di dusun itu, juga tentang adanya
tigabelas orang yang kelihatan buas, yang membuat pondok darurat tak jauh dari
rumah Thio Wi Han, juga tentang seorang kakek raksasa yang menyewa sebuah rumah
terbesar di dusun itu di mana dia tinggal bersama beberapa orang yang
kelihatannya aneh dan buas, akan tetapi yang tidak pernah mengganggu penghuni
dusun.
Dari mulut Souw Kun, Cin Hay
dan Tek Hin mendapatkan keterangan yang cukup jelas, akan tetapi petani itu
tidak tahu senjata apa yang dipesan oleh orang-orang kang-ouw itu. Juga dia
sama sekali tidak tahu tentang Hek-sim Lo-mo, apa lagi tentang mustika naga.
Dalam rumah sederhana dari
Souw Kun itu hanya terdapat dua buah kamar. Sebuah kamar besar dari Souw Kun
dan isterinya, dan sebuah kamar yang tidak begitu besar dari A Kim, puteri
mereka. Dengan adanya dua orang tamu itu, isteri Souw Kun mendapat alasan yang
cukup baik untuk tidur di kamar puterinya, bahkan hal ini dikehendaki oleh
suaminya karena kamar besar dipergunakan oleh Souw Kun dan dua orang tamunya.
Souw Kun memberikan
pembaringannya kepada dua orang tamunya sedangkan dia sendiri tidur di kursi
panjang di sudut kamarnya itu. Isterinya tidur bersama puterinya dan dua orang
wanita itu merasa tegang sekali, teringat akan pesan pemuda tampan yang memberi
hadiah kepada mereka.
Malam itu sunyi sekali. Malam
yang gelap dan hawa udara di luar rumah amatlah dinginnya. Cin Hay dan Tek Hin
yang sehari tadi melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah, sudah rebah di
atas pembaringan, bahkan Tek Hin segera jatuh pulas. Cin Hay masih belum dapat
pulas, rebah dengan gelisah. Dia melihat kehidupan tuan rumah dan diam-diam dia
merasa agak iri.
Betapa bahagianya kehidupan
keluarga petani dusun miskin seperti Souw Kun itu! Memang miskin sekali untuk
ukuran kota, akan tetapi jelas bahwa tidak banyak persoalan yang harus mereka
pikirkan kecuali bekerja setiap hari mencari makan, dan tidak ada kesulitan
apapun dalam kehidupan mereka. Tidak ada yang mereka butuhkan kecuali makan
kenyang setiap hari, pakaian yang setiap hari dapat diganti, tempat tinggal
yang cukup melindungi mereka dari panas, angin dan hujan. Apa lagi?
Di dusun tidak ada restoran
besar yang serba mahal, tidak ada toko-toko yang memamerkan barang-barang mewah
pakaian indah, tidak ada tontonan-tontonan yang menghamburkan uang, tidak ada
tempat perjudian dan lain kesenangan lagi yang hanya akan menambah besar
kebutuhan manusia hidup. Lalu dia ingat akan keadaannya sendiri. Diapun tidak
butuh apa-apa, akan tetapi juga tidak punya apa-apa! Tidak ada keluarga, tidak
ada orang-orang yang dicintanya, dan hidupnya terasa hampa.
Dia menoleh kepada Tek Hin
yang tidur pulas. Orang inipun tidak bahagia, pikirnya. Kehilangan orang yang
dicintanya, dan kini hatinya hanya penuh dengan dendam! Hanya dendam yang masih
membuat dia mempertahankan hidupnya, dendam dan harapan karena bertemu dengan
dia yang menimbulkan harapan akan dapat membalas dendamnya! Kasihan Song Tek
Hin ini, pikir Cin Hay, lupa akan keadaan dirinya sendiri.
Duka timbul dari iba diri
sebagai hasil dari pementingan diri pribadi. Karena itu, begitu pikiran ditujukan
kepada orang lain sehingga timbul rasa iba kepada orang lain, dengan sendirinya
duka yang timbul dari iba diri itupun menghilang atau menipis. Perubahan dan
jalan pikiran ini, ulah tingkah pikiran seperti ini, seyogianya selalu
diperhatikan, diamati tanpa pamrih, tanpa tindakan apapun, hanya pengamatan
saja yang ada.
Pengamatan inilah yang akan
mendatangkan suatu keadaan yang lain sama sekali, pengamatan tanpa si-aku yang
mengamati karena si-aku, yaitu pikiran, sudah lebur dan bersatu ke dalam
pengamatan itu, seluruh pikiran, hati dan perasaan menjadi satu dalam
pengamatan sehingga tidak ada lagi si-aku yang menimbang, yang menilai, yang
ingin menyenangkan dan ingin disenangkan yang keduanya berpamrih dan bersumber
kepada pementingan si-aku pula.
Tidak adanya si-aku ini bukan
berarti diri menjadi kosong dan tumpul. Sebaliknya malah! Tanpa adanya si-aku,
maka pengamatan itu murni dan penuh, tidak diselewengkan oleh si-aku yang
berpendapat. seperti penuhnya pengamatan seorang tukang jam yang sedang menyelidiki
kerusakan jam itu. Yang ada hanya pengamatan yang mendalam, yang menimbulkan
pengertian dan kewaspadaan.
Cin Hay menoleh kepada tuan
rumah. Juga sudah tidur pulas, bahkan dalam tidurnya pun, terdapat perbedaan
antara pulasnya Tek Hin dan pulasnya Souw Kun petani itu. Dari cahaya sinar
lilin, Cin Hay dapat melihat betapa garis-garis wajah Tek Hin yang tampan itu
masih dibayangi sisa keruwetan pikiran, dan mungkin saja dalam keadaan seperti
itu, di dalam tidurnya Tek Hin akan bermimpi sebagai sisa celoteh pikiran di
siang hari, tidak seperti Souw Kun yang tidur demikian nyenyak, dengan wajah
yang polos dan begitu bebas!
Malam semakin larut dan
akhirnya Cin Hay mulai diselimuti ketidaksadaran orang yang menyeberang ke alam
tidur. Akan tetapi, belum lama dia tertidur, dia yang memiliki pendengaran amat
tajam berkat latihan yang tekun, tergugah oleh suara yang tidak wajar. Kelopak
matanya tergetar, lalu terbuka dan kesadarannya mulai masuk. Dia tidak
bergerak, melirik ke arah dua orang kawan sekamar itu. Terdengar dengkur halus
Souw Kun, dan Tek Hin juga masih tidur pulas, kini miring ke kiri.
Kesadarannya sudah pulih dan
dia memasang telinganya. Terdengar isak tangis tertahan! Tangis wanita yang
ditahan-tahan, datangnya dari kamar sebelah! Memang lirih sekali, namun cukup
menembus dinding dan tertangkap oleh pendengarannya yang tajam.
Dua orang wanita, ibu dan anak
itu, sejak memasuki kamar sudah merasa gelisah dan tegang. Kalau mengenangkan
pesan pemuda yang menarik itu, mereka menjadi tegang, dan si ibu muda yang
merasa amat tertarik kepada orang muda tampan dan pandai merayu itu, diam-diam
mengharapkan kedatangannya. Akan tetapi kalau ia teringat akan suaminya dan dua
orang tamunya yang tidur di kamar sebelah, ia merasa ngeri kalau sampai
kedatangan pemuda tampan itu ketahuan dan diam-diam ia mengharapkan orang itu
agar jangan muncul dan bahwa pesannya tadi hanya bualan saja!
Adapun A Kim yang baru berusia
limabelas tahun, masih gadis remaja, hanya menduga-duga dengan jantung berdebar
tegang, apakah pemuda itu benar akan datang ke dalam kamarnya dan apa gerangan
yang akan dilakukan oleh pemuda itu kepadanya dan kepada ibunya.
Sampai tengah malam, keduanya
belum juga tidur, menanti dengan jantung berdebar. Akan tetapi, semakin larut
malam, hati mereka menjadi semakin lega karena pemuda itu tidak muncul. Tentu
hanya bualan saja, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba jendela kamar mereka
terbuka dari luar tanpa mengeluarkan suara! Dan sebuah kepala nampak di jendela
itu, diterangi lampu gantung di sudut rumah, dan terdengar suara.
“Sssssshhhh......!” isyarat
bagi mereka agar jangan bersuara.
Ibu muda dan gadisnya itu
terbelalak, dan A Kim merasa betapa jantungnya berdetak keras sampai terdengar
meledak-ledak di telinganya. Ia tidak tahu bahwa ibunya juga mengalami hal yang
sama ketika ia memegang tangan ibunya. Tangan mereka dingin dan gemetar! Mereka
mengenal kepala dan muka itu, muka pemuda tampan yang berjumpa dengan mereka di
sungai siang tadi! Wajah yang tampan tersenyum manis dan pandang matanya yang
nakal!
Bagaikan seekor kucing saja,
tanpa menimbulkan suara, pemuda yang bukan lain adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng,
sudah melompat ke dalam kamar itu.
“Sstttt, aku datang memenuhi
janji......” bisiknya lirih, “harap jangan mengeluarkan suara......”
Dan diapun langsung saja
menutupkan kembali daun jendela yang tadi dibukanya dari luar dengan mudah,
mempergunakan tenaga dan kepandaiannya. Kamar itu kembali menjadi gelap seperti
tadi, hanya remang-remang saja karena ada sedikit sinar lampu menyorot masuk dari
ruangan di luar kamar itu melalui celah-celah di atas daun pintu yang tinggi.
Nyonya Souw Kun, ibu A Kim,
dengan tubuh gemetar menurut saja seperti seekor domba digiring ke jagal ketika
Lui Teng merangkulnya dan menariknya ke pembaringan. Tangan ibu ini memegang
lengan A Kim yang ikut pula terbawa dan begitu mereka berada di atas
pembaringan, Lui Teng menerkam wanita itu dengan penuh gairah, namun juga
dengan kelembutan, disertai bisikan-bisikan merayu yang memang menjadi
keahliannya.
Ibu muda itu seperti lumpuh.
Bermacam perasaan membuatnya lumpuh. Perasaan gembira, malu, ingin tahu, juga
tegang dan takut, semua itu didorong oleh rangsangan yang timbul oleh rayuan
dan cumbuan Lui Teng yang berpengalaman, berubah menjadi penyerahan dengan
penuh kepasrahan seorang yang mabok nafsu! Ibu ini lupa keadaan, lupa di mana
ia berada, lupa siapa dirinya, dan lupa bahwa di dekatnya ada puterinya yang
masih remaja, yang menggigil karena ia sudah cukup besar untuk mengerti apa
yang sedang terjadi.
Dan Lui Teng tidak akan
dijuluki Jai-hwa Kongcu kalau dia merasa puas dengan hasil yang diperolehnya,
puas dengan penyerahan diri Nyonya Souw Kun penuh kepasrahan itu. Tidak, dia
sama sekali belum puas. Masih ada A Kim di situ, setangkai bunga yang sedang
mekar, belum tersentuh tangan, setangkai kembang yang belum tercium kumbang.
Setelah menaklukkan sang ibu,
diapun mulai menerkam puterinya! Dan ibu A Kim tidak dapat berbuat apapun,
tidak berani melarang karena khawatir kalau rahasianya terbuka. Terpaksa ia
harus merelakan puterinya digauli Jai-hwa Kongcu, bahkan ia membujuk-bujuk agar
puterinya tidak menangis terlalu keras, agar jangan sampai diketahui suaminya
bahwa di kamar itu, ibu dan anak sedang tidur bersama seorang laki-laki asing!
Dan tangis tertahan-tahan dari
A kim itulah yang terdengar oleh telinga Cin Hay yang peka terlatih. Setelah
dia merasa yakin bahwa yang merintih dan menangis lirih itu adalah suara
seorang wanita di kamar sebelah, Cin Hay lalu bangkit duduk, dengan hati-hati
dia turun dari atas pembaringan lalu menghampiri Souw Kun yang masih tidur
nyenyak. Dirabanya pundak orang itu dan diguncangnya perlahan sampai Souw Kun
terbangun. Cin Hay menaruh telunjuknya di depan mulut lalu berkata lirih,
“Souw-toako, aku mendengar
suara tangisan di kamar sebelah. Sebaiknya kalau engkau jenguk anak isterimu,
jangan-jangan ada yang sedang sakit. Tangis itu merintih seperti orang
kesakitan.”
Souw Kun bangkit duduk dan dia
mencoba mendengarkan, akan tetapi pendengarannya tidak setajam pendengaran Cin
Hay, maka dia menggeleng kepalanya.
“Aku tidak mendengar apa-apa,”
katanya.
“Coba kautempelkan telingamu
di dinding itu, mungkin kau akan mendengar juga,” kata Cin Hay.
Souw Kun lalu menghampiri
dinding yang memisahkan kamar itu dengan kamar puterinya, lalu menempelkan
telinganya. Benar saja lapat-lapat dia mendengar suara rintihan dalam tangisan
lirih, bahkan lapat-lapat dia mengenal tangis itu seperti suara puterinya.
“Ah, aku dapat mendengarnya
sekarang! Anakku tentu sakit......” katanya.
“Toako, sebaiknya kalau engkau
menjenguk mereka, siapa tahu anakmu membutuhkan pertolonganmu,” kata Cin Hay
yang merasa tidak enak hatinya.
Puteri tuan rumah itu jelas
menangis dengan tertahan-tahan, seolah-olah ia merasa malu untuk mengganggu
para tamunya. Hal ini membuat hatinya tidak enak, karena ia merasa telah
mengganggu keluarga tuan rumah yang demikian ramahnya. Mungkin gadis itu
mengalami sakit yang hebat, dan menahan tangisnya agar jangan mengganggu para
tamu.
Souw Kun merasa khawatir juga
mendengar ucapan Cin Hay. Dia lalu membuka pintu kamar itu dan keluar. Tak lama
kemudian Cin Hay yang masih berada di dalam kamar mendengar tuan rumah
menggedor daun pintu kamar sebelah dan memanggil-manggil isteri dan anaknya.
Dia tidak ikut karena merasa tidak patut untuk menjenguk ke kamar isteri dan
gadis tuan rumah.
Tiba-tiba Cin Hay terkejut.
Terdengar suara gaduh di kamar sebelah itu, dan yang terakhir terdengar
teriakan Souw Kun, disusul robohnya tubuh orang dan selanjutnya sunyi. Cin Hay
cepat melompat keluar dari dalam kamar dan dia masih melihat berkelebatnya
orang, cepat sekali, keluar dari ruangan itu. Dia hendak mengejar, akan tetapi
melihat tubuh Souw Kun menggeletak di ambang pintu kamar yang terbuka lebar,
sebuah lampu gantung yang agaknya tadi dibawa Souw Kun, menggeletak miring dan
hampir padam di sebelahnya.
Cin Hay tidak jadi mengejar,
melainkan cepat menyambar lampu gantung itu sehingga tidak jadi mati, dan
ketika dia mengangkat lampu itu mendekati tubuh Souw Kun, dia terkejut melihat
betapa orang itu telah tewas dengan leher terluka lebar hampir putus! Agaknya
leher itu terbabat senjata tajam yang dilakukan dengan tenaga besar sehingga
Souw Kun tewas seketika. Tentu teriakan tadi dilakukan Souw Kun sebelum dia
roboh, dan mungkin karena dia melihat sesuatu di dalam kamar.
Dengan hati berdebar tegang,
Cin Hay melangkah ke dalam kamar, mengangkat lampu itu tinggi-tinggi di
tangannya dan dia menahan teriakannya! Ibu dan gadis itu menggeletak di atas
pembaringan, dengan telanjang bulat dan tubuh mereka penuh berlepotan darah!
Sepintas lalu saja Cin Hay
tahu bahwa mereka telah tewas dengan dada tertusuk senjata tajam dan mungkin
menembus jantung dan mereka tewas seketika tanpa sempat mengeluarkan suara! Cin
Hay menjadi pening. Wajah ibu dan gadisnya itu nampak seperti wajah mendiang
isterinya, Ci Sian, yang juga tewas dalam keadaan yang tidak jauh berbeda dari
ibu dan anak itu!
“Keparat......!” bentaknya dan
tubuhnya berkelebat keluar dari rumah itu, untuk mengejar bayangan yang tadi
dilihatnya berlari keluar. Akan tetapi, sunyi saja di luar. Sunyi dan gelap.
Dia tidak tahu ke mana penjahat biadab itu melarikan diri.
Souw Kun telah tewas, demikian
pula isterinya dan puterinya. Mereka bertiga tewas terbunuh di depan hidungnya
tanpa dia mampu mencegahnya. Dalam sekelebatan saja dia tahu apa yang terjadi.
Tentu penjahat itu tadi
mengganggu ibu dan anak gadisnya itu di dalam kamar mereka, mungkin
memperkosanya. Kemudian Souw Kun menggedor daun pintu, mengejutkan penjahat itu
dan untuk menghilangkan jejak, penjahat keji itu membunuh dua orang wanita yang
menjadi korbannya, kemudian membunuh pula Souw Kun. Dengan demikian, tidak ada
orang yang sempat melihat mukanya dan tidak akan ada yang tahu siapa yang
memperkosa dua orang wanita itu dan melakukan pembunuhan atas diri mereka dan
Souw Kun.
Cin Hay kembali ke rumah Souw
Kun, lalu menyelinap ke dalam kamar di mana dia melihat Song Tek Hin baru saja
terbangun dan pemuda itu memandang kepadanya dengan heran.
“Tai-hiap, dari mana engkau
dan apakah yang terjadi? Aku seperti mendengar suara ribut-ribut di sebelah,”
katanya.
“Saudara Song, telah terjadi
hal yang hebat dalam rumah ini,” kata Cin Hay dan dengan singkat namun jelas
dia menceritakan apa yang terjadi.
“Ahhh! Souw-toako, isterinya,
dan puterinya dibunuh orang?” Song Tek Hin terbelalak. “Akan tetapi, mengapa?”
Lalu dia meloncat turun dari atas pembaringan dalam keadaan siap siaga, “Apakah
karena kita menginap di sini? Apakah penjahat itu sebetulnya menginginkan nyawa
kita?”
Cin Hay menggeleng kepala dan
menceritakan pendapatnya. “Agaknya penjahat itu memperkosa ibu dan anak itu.
Aku mendengar rintihan mereka dan aku membangunkan Souw-toako yang segera
menggedor pintu kamar mereka. Penjahat itu lalu membunuh dua orang wanita itu,
keluar dari kamar dan membunuh pula Souw-toako. Aku sempat melihat bayangannya
berkelebat melarikan diri. Tentu dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Ketika aku mencari jejaknya keluar, aku tidak menemukan lagi
bayangannya.”
“Ah, tidak salah lagi! Tentu
ini perbuatan kaki tangan Hek-sim Lo-mo! Mereka memang tokoh-tokoh sesat yang
jahat seperti iblis! Dan melihat kejahatan ini, tentu keselamatan kakek ahli
pembuat pedang itu terancam bahaya pula.”
“Memang sebaiknya kalau kita
pergi menemuinya, selain untuk menjaga keselamatannya, juga untuk melihat
apakah benar Hek-sim Lo-mo membawa mustika naga yang dirampas dari Pouw
Sianseng untuk dibuatkan senjata oleh kakek Thio Wi Han,” kata Cin Hay.
“Lalu mereka itu......” Song
Tek Hin menunjuk ke luar kamar, “Bagaimana dengan mayat-mayat mereka?”
Cin Hay menarik napas panjang.
“Tidak ada orang lain melihat kita di sini, sebaiknya kita pergi diam-diam agar
tidak mendatangkan banyak ribut dan prasangka buruk. Biarlah besok mayat mereka
ditemukan para tetangga. Kita sekarang juga pergi menyelidiki keadaan rumah
kakek Thio Wi Han.”
Song Tek Hin mengangguk dan
mereka lalu membawa semua bekal pakaian dan meninggalkan kamar itu. Mereka
berhenti sebentar di depan kamar sebelah dan Song Tek Hin mengerutkan alisnya
ketika melihat mayat-mayat itu, terutama keadaan mayat ibu dan anak yang
telanjang bulat itu. Diapun membayangkan keadaan tunangannya yang juga tewas
diperkosa oleh anak buah Hek-sim Lo-mo, maka sambil mengepal tinju dia
menyumpahi datuk sesat dan kaki tangannya.
Cin Hay dan Tek Hin menyelidiki
keadaan sekitar rumah tinggal kakek Thio Wi Han. Pondok itu sunyi dan gelap,
tanda bahwa penghuninya sedang tidur. Cin Hay dan Tek Hin melihat bahwa kaki
tangan Hek-sim Lo-mo yang membuat bangunan darurat yang tidak jauh dari pondok
ahli pembuat pedang itu berada di dalam pondok darurat mereka.
Ada dua orang yang duduk
berjaga, yang lain agaknya juga tertidur di sebelah dalam. Karena merasa tidak
enak mengganggu kakek Thio Wi Han dan isterinya yang masih tidur, dua orang
pemuda itu tidak mau berkunjung, melainkan menanti sampai pada pagi harinya.
Setelah kelihatan kesibukan di
pondok itu, barulah Cin Hay dan Tek Hin berjalan menuju ke pondok. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari belakang mereka.
“Haiiii! Siapa kalian?
Berhenti dan perkenalkan diri kepada kami lebih dulu!”
Cin Hay dan Tek Hin membalik
dan mereka melihat ada tigabelas orang yang bersikap kasar dan rata-rata
memiliki wajah bengis, berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun, telah
berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam. Pemimpin mereka yang berperut
gendut dan bermuka bopeng, maju menghampiri dan sikapnya angkuh sekali ketika
dia memandang Cin Hay dan Tek Hin. Agaknya, orang inilah yang tadi membentak
kepada mereka.
Song Tek Hin yang dapat
menduga bahwa dia berhadapan dengan kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang jahat dan
berbahaya, membiarkan Cin Hay maju melayani mereka. Dia hanya mengandalkan
kepada Pendekar Naga Putih ini untuk melawan Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya,
maklum betapa lihainya pendekar ini.
Cin Hay bersikap tenang,
mengamati tigabelas orang itu dan diapun maklum bahwa dia berhadapan dengan
orang-orang yang jahat namun tentu memiliki ilmu silat yang tangguh. Siapa
tahu, pembunuh Souw Kun dan anak isterinya mungkin juga seorang di antara
mereka ini.
“Kami berdua hendak berkunjung
kepada Thio Wi Han, ahli pembuat pedang,” kata Cin Hay, “Harap cu-wi (anda
sekalian) tidak melarang kami.”
“Tidak bisa! Siapapun yang
hendak berkunjung kepada Thio Wi Han, harus melalui kami dan memperoleh ijin
dari kami! Hayo katakan, siapa kalian?” Si gendut bopeng itu adalah Kwa Ti,
orang pertama dari Wei-ho Cap-sha-kwi dan dia bersikap congkak sekali.
Cin Hay mengerutkan alisnya,
namun dia tetap sabar. “Sebetulnya kami berdua sama sekali tidak ada urusan
dengan cu-wi, maka tidak semestinya kami memperkenalkan diri dan minta ijin.
Tidak tahu siapakah cu-wi dan ada hak apa cu-wi mengharuskan orang yang hendak
bertemu kepada paman Thio barus mendapat ijin dari cu-wi lebih dulu?”
“Pemuda sombong!” bentak
seorang di antara mereka.
“Kwa-toako, hantam saja bocah
lancang mulut itu!” bentak orang kedua.
Akan tetapi Kwa Ti tersenyum
menyeringai. “Daa orang bocah kutu buku, agaknya kalian tidak tahu siapa kami,
ya? Kami adalah Wei-ho Cap-sha-kwi dan kami yang pada saat ini menguasai
seluruh wilayah ini! Hayo kalian berlutut minta ampun, lalu berterus terang
siapa kalian dan apa perlunya kalian mencari Thio Wi Han, baru kami akan
mengampuni kalian.”
Tidak menjadi watak Kwa Ti
untuk bersikap demikian sabar terhadap orang lain. Hal ini adalah karena dia
teringat akan larangan keras dari Hek-sim Lo-mo agar selama mereka menanti
selesainya pedang pusaka yang dibuat Thio Wi Han, mereka tidak diperkenankan
mengganggu orang di daerah itu.
Cin Hay maklum bahwa dia
berhadapan dengan orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan untuk
bertindak sewenang-wenang, akan tetapi dia tetap dapat menguasai diri dan tidak
memperlihatkan kemarahan, melainkan menjawab dengan tenang. “Namaku Tan Cin Hay
dan urusanku dengan paman Thio Wi Han adalah urusan pribadi yang tidak dapat
kuceritakan kepada orang lain. Harap cu-wi membuka jalan dan tidak menghalangi
kami!”
“Toako, kutu buku ini kurang
ajar sekali, berani memandang rendah kepada kita. Biar kuhantam saja mulutnya!”
bentak seorang di antara Cap-sha-kwi, akan tetapi Song Tek Hin yang tidak sabar
melihat betapa pendekar yang diandalkannya itu bersikap demikian lemah dan
mengalah, segera membentak.
“Cap-sha-kwi atau Seribu Setan
sekalipun tidak ada artinya dan tidak berharga bagi Tan-taihiap! Kalian yang
tidak mengenal orang! Tan-taihiap ini adalah Pek-liong-eng (Pendekar Naga
Putih), sebaiknya kalian yang cepat berlutut minta ampun kepadanya!”
Mendengar teriakan Song Tek
Hin ini, Kwa Ti menjadi marah sekali dan melompat ke depan, siap menyerang pemuda
tunangan mendiang Pouw Bi Hwa itu. Song Tek Hin cepat meloncat ke belakang,
berlindung di belakang Cin Hay. Kwa Ti tidak perduli dan dia sudah mencabut
goloknya menyerang ke arah Song Tek Hin. Akan tetapi, Cin Hay menggerakkan
kakinya maju ke depan dan kaki kirinya menyambar ke arah lutut kaki kanan orang
pertama dari Wei-ho Cap-sha-kwi itu.
Kwa Ti melihat tendangan ke
arah lututnya, cepat dia menahan serangannya dan mengayun golok besar yang tadi
diangkat ke atas kepala itu ke bawah, membabat ke arah kaki Cin Hay yang
menendang. Gerakannya cepat dan amat kuat sehingga kini berbalik Cin Hay yang
terancam kakinya! Akan tetapi, tentu saja Cin Hay melihat ancaman bahaya ini
dan diapun sudah menarik kembali kakinya dan pada saat golok itu menyambar lewat,
secepat kilat kaki kanannya bergerak menendang ke arah lutut kaki kiri Kwa Ti.
Tendangan ini selain cepat
sekali, juga tidak terduga datangnya. Kwa Ti terkejut dan mencoba untuk
meloncat ke belakang, namun dia kalah cepat sehingga ujung sepatu Cin Hay masih
sempat mencium pinggir lututnya. Kwa Ti terhuyung dan hampir jatuh! Hal ini
membuat dia dan kawan-kawannya menjadi marah sekali. Mereka semua mencabut
golok dan segera tigabelas orang penjahat itu sudah mengepung Cin Hay dengan
golok di tangan dan sikap mengancam. Song Tek Hin sudah menjauhkan diri dan
hanya menjadi penonton karena dia maklum bahwa kepandaian silatnya belum
memadai untuk menghadapi pengeroyokan orang-orang yang lihai seperti Wei-ho
Cap-sha-kwi.
Tigabelas orang jagoan itu
baru saja mengalami kepahitan ketika mereka dikalahkan dengan mudah oleh
Hek-sim Lo-mo. Mereka itu adalah segerombolan orang yang terbiasa memaksakan
kehendak dan selama ini merasa diri mereka paling jagoan. Akan tetapi sungguh
mengejutkan hati mereka betapa mereka dengan amat mudahnya dibuat tak berdaya
oleh Hek-sim Lo-mo. Hal ini menyadarkan mereka bahwa di dunia ini terdapat
banyak orang yang lebih pandai dari pada mereka.
Pengalaman itu membuat mereka
kini lebih berhati-hati dan menghadapi pemuda yang katanya berjuluk Pendekar
Naga Putih ini, mereka mengepung ketat dan mempergunakan Cap-sha-tin (Barisan
Tigabelas) yang rapi dan kuat. Mereka membuat gerakan melingkari Cin Hay,
melangkah perlahan-lahan mengelilinginya, makin lama gerakan kaki mereka
semakin cepat dan mereka kini bahkan berlari-lari mengitari pemuda itu.
Lingkaran merekapun berubah-ubah, kadang-kadang melebar dan kadang-kadang
menyempit.
Cin Hay maklum bahwa dia
dikepung oleh tigabelas orang yang selain jahat dan kejam, juga amat pandai
mempergunakan golok, terutama sekali agaknya mereka sudah terlatih baik dalam
bekerja sama dan membentuk barisan golok. Dia dapat menduga akan bahayanya
barisan seperti ini, maka, diapun berdiri di tengah dengan tegak, sikapnya
tenang sekali dan dia membiarkan mereka itu mengelilinginya, tanpa bergerak,
hanya kedua matanya saja yang memandang ke kanan kiri dengan sikap waspada,
juga kedua telinganya dipasang dengan penuh perhatian untuk berjaga diri.
Dari mendiang gurunya, Pek I
Lojin, dia mempelajari berbagai ilmu silat yang tinggi, yang membuat dia tidak
khawatir menghadapi pengepungan tigabelas orang bersenjata golok itu walaupun
dia sendiri bertangan kosong. Dari gurunya dia memperoleh kepandaian yang
istimewa, yang membuat segala benda yang ada, bahkan pasir dan tanah, dapat
menjadi senjata yang ampuh. Juga kaki tangannya merupakan senjata yang ampuh.
Tiba-tiba Kwa Ti mengeluarkan
bentakan nyaring sebagai aba-aba untuk memulai serangan. Barisan itu membalik
dan menyerang Cin Hay secara tiba-tiba dan serentak. Tigabelas batang golok
menyambar-nyambar, setiap kali serangan maju tiga batang golok, bergelombang
sampai empat kali, didahului oleh gerakan bacokan golok di tangan Kwa Ti!
Sungguh merupakan gelombang serangan yang dahsyat dan teratur baik sekali.
Namun, Cin Hay bersikap
tenang. Dia melihat datangnya serangan-serangan itu dan dengan kelincahan
tubuhnya yang luar biasa, dia menggerakkan tubuhnya menyelinap di antara sinar
golok. Kaki tangannya tidak tinggal diam. Kecepatannya jauh melampaui gerakan
para pengeroyoknya dan diapun dapat mengelak, menangkis atau mendahului lawan
dengan sambaran kakinya. Gagallah gelombang serangan pertama itu, bahkan
sebaliknya, beberapa orang di antara mereka ada yang mengaduh karena paha atau
perut mereka kena dicium sepatu Cin Hay!
Serangan kedua datang dengan
cara yang lebih dahsyat lagi karena kini tigabelas batang golok itu menyerang
secara bertubi dan bersambung, juga mereka itu saling menjaga. Seorang
penyerang selalu dijaga oleh dua orang kawan sehingga mereka menyerang dengan
tenaga penuh tanpa membagi tenaga untuk berjaga diri karena dirinya telah
dilindungi dua orang kawan.
Cin Hay menghadapi gelombang
serangan kedua ini dengan cara lain. Dia mengelak dari serangan lawan dengan
loncatan-loncatan tinggi, kemudian dia membalas menyerang, bukan pada
penyerangnya melainkan kepada dua orang pelindung penyerang itu. Dengan
demikian, kembali barisan menjadi kacau balau, apa lagi gerakan Cin Hay
menyambar-nyambar dari atas sungguh mengejutkan mereka. Seolah-olah pemuda itu
berubah menjadi seekor naga yang melayang-layang dan menyerang dari angkasa.
Kini, gelombang serangan kedua
itu mengakibatkan Cap-sha-kwi menderita rugi lebih besar lagi karena dua orang
di antara mereka roboh dengan kesakitan dan untuk sementara tidak mampu melakukan
penyerangan lagi. Tentu saja barisan tigabelas orang ini menjadi pincang dan
kacau balau.
Tiba-tiba Wei-ho Cap-sha-kwi
mundur dan membuka kepungan, memberi jalan bagi mereka yang baru datang untuk
menghadapi Cin Hay. Pemuda baju putih ini mengangkat muka, memandang penuh
perhatian. Lima orang yang muncul dan perlahan-lahan melangkah maju
menghampirinya itu sungguh menarik sekali, mendatangkan perasaan seram dan Cin
Hay segera dapat menduga bahwa lima orang itu tentulah orang-orang yang lihai
dan merupakan calon-calon lawan yang tangguh sekali.
Dugaan Cin Hay memang tidak
keliru. Lima orang yang muncul itu adalah pembantu-pembantu utama dari Hek-sim
Lo-mo!
Di hari-hari terakhir
pembuatan pedang pusaka, para pembantu utama Hek-sim Lo-mo sudah berkumpul di
tempat itu, ikut melakukan penjagaan seperti yang diperintahkan oleh Hek-sim
Lo-mo. Mereka tadi mendengar akan keributan ketika Cap-sha-kwi mengeroyok Cin
Hay, dan mereka segera datang ke tempat itu. Diam-diam mereka terkejut juga
melihat betapa seorang pemuda berpakaian putih membuat kepungan Cap-sha-kwi
menjadi kacau balau.
Cin Hay mengamati mereka
dengan penuh perhatian. Yang melangkah di sudut kiri adalah seorang laki-laki
tinggi kurus, berusia kurang lebih limapuluh tahun, dan mata kirinya buta,
tertutup dan tidak ada biji matanya lagi. Itulah Yauw Ban yang berjuluk
Tok-gan-liong (Naga Mata Satu), seorang yang amat lihai dengan pedang
tunggalnya.
Di sampingnya berjalan Kiu-bwe
Mo-li. Wanita berusia empatpuluh dua tahun yang pesolek dan genit, akan tetapi
di balik bedak tebal itu terdapat wajah yang keriput. Sebatang cambuk ekor
sembilan nampak berjuntai di balik punggungnya, seperti sebuah panji. Ia
merupakan pembantu kedua yang amat tangguh, kejam dan dipercaya oleh Hek-sim
Lo-mo.
Orang ketiga adalah Jai-hwa
Kongcu Lui Teng, seorang pria berusia tigapuluh tahun lebih yang tampan dan
gagah, bersikap halus seperti seorang pelajar. Biarpun tingkat kepandaiannya
tidak setinggi Yauw Ban atau Kiu-bwe Mo-li, namun pria cabul yang sudah banyak mengganggu
wanita ini lihai bukan main. Adapun orang keempat dan kelima adalah sepasang
orang kembar yang terkenal dengan julukan He-nan Siang-mo (Sepasang Iblis
He-nan), terkenal sekali dengan golok mereka, apalagi kalau mereka maju
bersama.