Sepasang Naga Penakluk Iblis Bagian 2

Baca Cersil Mandarin Online: Sepasang Naga Penakluk Iblis Bagian 2
“Nah, sekarang mulailah kalian membuat laporan dan hasil dari pekerjaan kalian selama sebulan ini. Harap cepat karena aku merasa lelah, ingin beristirahat. Kalianpun tentu ingin beristirahat dengan pasangan kalian yang sudah kalian pilih tadi, di kamar kalian masing-masing seperti yang sudah-sudah.”

Mulailah para pembantu itu membuat laporan seorang demi seorang. Kebanyakan di antara mereka memberi pelaporan tentang hasil pemasukan uang “pajak” yang mereka tarik dari rumah-rumah judi, rumah-rumah pelacuran, dan bingkisan dari mereka yang merasa dan mengharapkan perlindungan, juga dari kepala-kepala perampok, bajak, copet, maling yang merasa berada di bawah kedaulatan datuk ini dan sekedar mengirim “bagi hasil”.

Di antara mereka, yang paling banyak mengumpulkan uang hasil tarikan ini adalah He-nan Siang-mo sehingga Hek-sim Lo-mo merasa girang sekali dan memuji dua orang pembantunya ini. Semua hasil berupa emas perak dan barang berharga itu segera diangkut oleh He-nan Siang-mo yang dipercaya oleh datuk itu untuk membuka gudang harta dan menyimpan semua harta baru itu ke dalam gudang.

Kini tiba giliran Kui-bwe Mo-li yang membuat laporan. “Laporan yang saya bawa agak tidak menyenangkan, Beng-cu,” memang Hek-sim Lo-mo memerintahkan semua bawahannya untuk menyebut dia beng-cu (pemimpin rakyat), membandingkan dirinya dengan para pahlawan rakyat yang berjuang demi rakyat jelata!

“Seorang di antara bangsawan yang berada di bawah perlindungan kita, telah disiksa orang, bahkan dibuntungi kaki tangannya. Dia adalah Pangeran Coan Siu Ong! Bukan itu saja, juga orang yang membuntunginya itupun telah mengadakan pengacauan di Lok-yang, menghajar para jagoan dari rumah pelesir Bibi Ciok!”

Sepasang alis tebal Hek-sim Lo-mo berkerut. ”Hemm, mengganggu orang-orang yang kita lindungi sama artinya dengan mengganggu kita! Siapa orangnya demikian berani mati? Tentu dia bukan orang sini dan tidak tahu akan kekuasaan kita!”

“Sudah saya selidiki, Beng-cu. Ia adalah seorang gadis yang usianya sekitar duapuluh tiga tahun, cantik jelita dan ilmu kepandaiannya tinggi, selalu mengenakan pakaian serba hitam dan mengaku julukannya Hek-liong-li!”

“Dewi Naga Hitam? Hemmm, betapa sombongnya. Cari dan segera bunuh ia, jangan beri ampun!” Bentak Hek-sim Lo-mo. “Kuserahkan tugas ini kepadamu, Mo-li!”

“Harap Beng-cu jangan khawatir. Saya akan mencarinya, kalau perlu dibantu anak buah, dan kalau sudah dapat ditemukan, akan kupenggal kepalanya!” kata Kiu-bwe Mo-li sambil terkekeh genit.

Yauw Ban, tangan kanan pertama itu melaporkan bahwa dia telah berhasil menemukan seorang ahli pembuat pedang yang amat pandai. “Namanya Thio Wi Han, usianya sudah tujuhpuluh tahun. Akan tetapi dia tidak mau dibawa ke sini, Beng-cu.”

“Ehh? Kalau tidak mau, seret saja!”

“Dia adalah seorang tua yang kukuh. Katanya, dia hanya mampu membuat pedang pusaka kalau di rumahnya sendiri, menggunakan alat-alatnya sendiri. Kalau disuruh membuat di luar rumahnya, di tempat lain, dia tidak sanggup dan biar dibunuh mati sekalipun, dia tidak sanggup mengerjakannya.”

“Keparat, keras kepala! Akan tetapi sudahlah, yang penting adalah bahannya lebih dulu. Sudah mendapatkan seorang ahli pembuat pedang, sudah baik, dan membuat di sanapun tidak mengapa. Nah, Lui Teng, bagaimana dengan pelaksanaan tugasmu?”

“Sudah saya laksanakan, Beng-cu. Dia memang keras kepala. Segala siksaan sudah saya lakukan, akan tetapi dia tetap membungkam. Saya khawatir kalau dia akan mati oleh siksaan yang lebih berat, maka saya lalu mencari akal yang baik sekali. Saya melakukan penyelidikan dan mengetahui bahwa dia meninggalkan seorang anak gadis di dusunnya. Saya lalu menangkap gadis itu dan membawanya ke sini, sekarang telah saya masukkan kamar tahanan. Saya kira kalau dia melihat anaknya disiksa, dia akan membuka mulut!”

Wajah yang hitam menyeramkan dari Hek-sim Lo-mo berseri dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha, bagus, bagus sekali! Engkau memang cerdik, Lui Teng! Aku ingin cepat mendapatkan Liong-cu (mustika naga) itu. Bawa sasterawan kepala batu itu ke sini bersama anak gadisnya. Ha-ha, kita nonton pertunjukan sambil menanti keluarnya rahasia tempat penyimpanan Liong-cu itu!”

“Baik, Beng-cu,” kata Jai-hwa Kongcu Lui Teng dengan gembira.

Dia lalu meninggalkan ruangan itu dan tak lama kemudian dia datang kembali bersama seorang kakek yang jalannya terpincang-pincang, dipapah oleh seorang gadis berusia tujuhbelas tahun yang menuntun kakek itu sambil menangis. Kakek itu berpakaian sasterawan, pakaiannya kotor dan dekil karena semenjak ditahan dan disiksa, dia tidak pernah berganti pakaian.

Usianya kurang lebih enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus. Dia adalah seorang sasterawan yang amat pandai dalam hal baca dan tulis, terkenal dengan sebutan Pouw Sianseng.

Dia ditangkap oleh Hek-sim Lo-mo karena datuk ini juga merupakan seorang di antara mereka yang mencari-cari Kim-san Liong-cu, mustika naga yang berada di kuburan tua seorang pangeran di jaman dahulu. Ternyata kemudian bahwa mustika yang diperebutkan itu tidak ada di dalam makam setelah makam dibongkar, sudah ada orang lain yang mendahului para tokoh dunia persilatan yang memperebutkannya.

Hek-sim Lo-mo yang ingin sekali mendapatkan mustika itu, tidak patah semangat dan dia terus melakukan penyelidikan, dibantu oleh banyak anak buahnya. Akhirnya dia menemukan rahasia kehilangan mustika itu. Kiranya seorang sastrawan yang terkenal amat pandai dalam ilmu sastra kuno, terkenal dengan sebutan Pouw Sianseng, orang yang suka melakukan penyelidikan mengenai sejarah dari peninggalan dan tulisan-tulisan kuno, telah menemukan tulisan kuno rahasia.

Bagi orang lain yang tidak mengerti, bahkan bagi ahli-ahli sastra kebanyakan saja, benda itu tidak ada harga dan artinya. Namun, Pouw Sianseng dapat menterjemahkannya dan diapun girang membaca bahwa tulisan kuno itu menunjukkan tempat penyimpanan mustika yang disebut Kim-san Liong-cu yang ternyata telah diambil orang jauh sebelum para tokoh persilatan memperebutkannya!

Pouw Sianseng lalu mencari tempat rahasia itu dan berhasil menemukan mustika itu! Akan tetapi, rahasianya ini akhirnya bocor ketika isterinya yang masih muda, jatuh cinta kepada seorang laki-laki muda. Isterinya itu membisikkan rahasia ini kepada kekasihnya. Perbuatan mereka tertangkap basah dan Pouw Sianseng membunuh isterinya, tidak tahu bahwa rahasianya tentang mustika sudah diketahui oleh kekasih isterinya yang melarikan diri.

Semenjak isteri yang melakukan penyelewengan itu dibunuhnya, Pouw Sianseng hidup berdua dengan puterinya yang kini berusia tujuhbelas tahun, bernama Pouw Bi Hwa. Ketika dia membunuh isterinya, Bi Hwa baru berusia lima tahun dan selama belasan tahun ini, Pouw Sianseng berhasil menyimpan rahasianya tentang mustika naga yang disimpannya di tempat rahasia.

Celakanya, kekasih mendiang isterinya itu tidak dapat menutup mulut dan dari mulut ke mulut, akhirnya berita itu sampai juga ke telinga Hek-sim Lo-mo. Sudah beberapa kali Pouw Sianseng diserbu pencuri, perampok, bahkan pernah diancam oleh tokoh- tokoh sesat untuk menyerahkan mustika itu, namun Pouw Sianseng tetap menyangkal sehingga akhirnya para tokoh itu berkesimpulan bahwa berita tentang mustika naga yang berada dalam kekuasaan Pouw Sianseng itu hanya kabar bohong belaka.

Namun tidak demikian anggapan Hek-sim Lo-mo. Dia lalu mengutus orang kepercayaannya yang ketiga, yaitu Jai-hwa Kongcu Lui Teng, untuk menyiksa dan mengorek keterangan dari Pouw Sianseng yang sudah diculiknya. Hasilnyapun sia-sia, dan seperti yang sudah-sudah, Pouw Sianseng tetap menyangkal dan tidak mau membuka rahasia tentang Liong-cu (mustika naga) yang disembunyikannya itu.

Hek-sim Lo-mo sudah demikian yakin bahwa dia akan dapat menguasai mustika naga itu, maka diapun sudah menyuruh pembantu utamanya, Tok-gan-liong Yauw Ban, untuk mencari seorang ahli pembuat pedang yang berilmu tinggi dan akan membuatkan pedang dari mustika naga itu!

Ternyata kemudian dari laporan itu bahwa Pouw Sianseng benar-benar keras kepala sehingga Jai-hwa Kongcu Lui Teng mempergunakan akal lain, yaitu menculik puteri Pouw Sianseng. Dan kini, Jai-hwa Kongcu Lui Teng membawa Pouw Sianseng dan anak gadisnya ke dalam ruangan itu.

Biarpun keadaan Pouw Sianseng sudah payah karena mengalami siksaan yang mengerikan, namun ketika dia masuk ruangan dipapah puterinya, dia menahan semua rasa nyeri dan menegakkan tubuh dan kepalanya, dengan sikap gagah dia hendak menentang semua pemaksaan para penculiknya.

Sementara itu, puterinya memandang sekeliling dengan wajah pucat. Gadis berusia tujuhbelas tahun ini berwajah manis, tidak terlalu cantik, berpakaian sederhana namun sepasang matanya membayangkan kelembutan dan kecerdasan. Tubuhnya montok sebagai seorang gadis yang mulai dewasa, seperti setangkai bunga yang mulai mekar. Namun, gadis itu jelas kelihatan ketakutan dan gelisah sekali, juga berduka melihat keadaan ayahnya.

Ayahnya menghilang sejak beberapa hari lamanya dan selagi ia kebingungan, malam itu muncul laki-laki tampan dan halus berpakaian pelajar itu yang mengatakan bahwa dia tahu di mana adanya ayahnya yang bilang dan mengajak ia untuk pergi bersama mengunjungi ayahnya. Karena khawatir akan keselamatan ayahnya, Pouw Bi Hwa terpaksa ikut dengan laki-laki yang bukan lain adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng itu! Kalau saja ia tahu bahwa pria tampan itu adalah seorang tukang perkosa wanita yang amat keji!

Akan tetapi, pria itu sama sekali tidak mengganggunya. Hal ini adalah karena gadis itu diajak pergi bukan untuk diperkosa, melainkan untuk keperluan lain lagi yang lebih penting, yaitu memaksa ayah gadis itu mengaku di mana adanya Liong-cu! Pula, selera Lui Teng dalam urusan wanita memang agak tinggi dan hanya wanita cantik jelita pilihan saja yang dapat menggerakkan hati dan membangkitkan gairahnya. Sedangkan Bi Hwa, biarpun tidak jelek, hanya memiliki kemanisan yang umum saja!

Melihat sikap Pouw Sianseng yang angkuh, Hek-sim Lo-mo mengerutkan alisnya. Orang seperti ini memiliki kegagahan tersendiri, pikirnya, dan kalau dipaksanya, tentu dia lebih baik mati dari pada menyerahkan mustika itu. Kemudian dia memandang gadis itu dan dia pun tersenyum. Memang pembantunya yang nomor tiga itu cerdik sekali.

Orang yang mempertahankan kehormatan lebih dari pada nyawanya seperti Pouw Sianseng itu, harus dilawan dengan ancaman terhadap kehormatannya pula. Dan kehormatan apakah yang lebih tinggi bagi seorang ayah dari pada kehormatan diri anak gadisnya? Tentu tidak lebih rendah dari pada kehormatan mempertahankan milik dan haknya, seperti mustika naga itu!

Jai-hwa Kongcu mendorong ayah dan anak itu ke depan Hek-sim Lo-mo. Ayah dan anak itu jatuh tersungkur di atas lantai dan mereka berlutut di depan Hek-sim Lo-mo. Akan tetapi, Pouw Sianseng sudah mengangkat mukanya lagi dan menegakkan kepala, memandang kepada Hek-sim Lo-mo dengan penuh ketabahan.

Hek-sim Lo.mo menyeringai. “Pouw Sianseng, keberanianmu mengagumkan hatiku. Biarlah aku tidak akan membunuhmu dan aku menukar nyawamu dengan Liong-cu itu!”

Baru satu kali Pouw Sianseng dibawa menghadap Hek-sim Lo-mo, sebelum dia disiksa dan diapun tahu bahwa raksasa muka hitam inilah yang menjadi kepala di tempat itu, bahkan yang menyuruh orang menangkap dan menyiksa untuk merampas Liong-cu. Kini, ucapan Hek-sim Lo-mo disambutnya dengan senyum mengejek.

“Hek-sim Lo-mo, tidak perlu banyak cakap lagi dan tidak perlu lagi membujuk atau mengancam aku. Aku tidak takut mati dan biar kaubunuh sekalipun aku tidak akan bicara tentang Liong-cu!”

“Aku akan menukar puterimu dengan Liong-cu!” Tiba-tiba Hek-sim Lo-mo berkata.

Sepasang mata kakek sastrawan itu terbelalak sejenak, lalu diapun tersenyum.

“Anakkupun tidak takut mati. Engkau tidak perlu mengancam. Biar kaubunuh kami berdua, Liong-cu tidak akan kuserahkan kepadamu!”

“Orang she Pouw, jangan sombong engkau! Ada yang lebih menyiksa dari pada sekedar kematian. Panggil Hek-wan (Lutung Hitam) ke sini!” perintahnya kepada Jai-hwa Kongcu Lui Teng.

Pria tampan ini tersenyum-senyum lalu keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun yang wajah serta tubuhnya amat menyeramkan. Dialah Tiat-pi Hek-wan (Lutung Hitam Lengan Besi) yang terkenal sebagai tukang siksa yang kejam dan sadis. Mukanya mirip seekor monyet, kulit tubuhnya hitam, dan kedua lengannya berbulu seperti lengan lutung besar, tubuh atasnya tidak memakai pakaian sehingga nampak dada yang lebar, membusung, hitam dan penuh otot-otot besar, juga ditumbuhi bulu tebal.

Begitu memasuki ruangan, Tiat-pi Hek-wan ini memandang ke sekeliling sambil tersenyum dan kelihatan bangga bahwa dia dipanggil oleh Hek-sim Lo-mo, berarti dia dibutuhkan. Setelah berada di depan datuk itu, dia memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya.

“Hek-wan, aku akan memberi pekerjaan kepadamu, sekali ini pekerjaan yang amat menyenangkan!” kata Hek-sim Lo-mo.

Si Lutung Hitam itu tertawa bergelak dan dia membuka mulut selebarnya sehingga nampak gigi yang besar-besar tidak rata dan kekuning-kuningan menjijikkan. “Ha-ha-ha, saya selalu siap sedia, Beng-cu. Menyiksa dan membunuh orang adalah pekerjaanku, kesenanganku. Siapa lagi yang harus saya patah-patahkan kaki tangannya, saya cabut lidah atau matanya, atau saya puntir batang lehernya?”

Pouw Sianseng memandang kepada raksasa berbulu itu dengan pandang mata acuh, akan tetapi puterinya terbelalak dengan muka pucat dan jelas nampak bahwa ia merasa ngeri dan ketakutan.

“Sekali ini tidak yang seperti itu, Hek-wan. Aku ingin memberi hadiah kepadamu. Lihat, gadis ini kuberikan kepadamu, akan tetapi engkau harus memperkosanya di sini, kami dan ayah gadis ini ingin sekali melihat bagaimana engkau akan melakukannya,” kata Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya tertawa dengan hati penuh ketegangan yang menggembirakan karena mereka akan disuguhi pertunjukan yang mereka anggap amat menyenangkan dan menarik hati.

Mendengar ini, Tiat-pi Hek-wan menyeringai dan mengangguk-angguk, lalu dia menoleh kepada Bi Hwa yang sudah merangkul ayahnya sambil menangis. Pouw Sianseng kini juga terbelalak dan mukanya pucat, kedua lengannya merangkul puterinya seperti hendak melindunginya dari bahaya yang mengerikan.

“Heh-heh, manis, engkau mendengar perintah Beng-cu tadi? Ke sinilah manis, dan engkau akan mengalami sesuatu yang selama hidupmu takkan pernah dapat kaulupakan! Marilah......”

Dia melangkah maju. Bi Hwa menggeleng kepala keras-keras, menutupi mulut untuk menahan jeritnya saking merasa ngeri dan takut, merangkul ayahnya semakin kuat. Akan tetapi, sekali tangan kirinya menyambar, Tiat-pi Hek-wan sudah menangkap lengan kanan gadis itu dan menariknya.

Ketika gadis itu menahan, dan ayahnya mempertahankan puterinya dengan kedua tangan merangkul kuat-kuat. Akan tetapi, Tiat-pi Hek-wan menendang dan tubuh kakek itupun terjengkang, dan pegangan antara ayah dan anak itupun terlepas. Bi Hwa menjerit ketika tubuhnya ditarik dan dipondong oleh raksasa itu. Ia meronta dan mencakar, menjerit-jerit dan menangis.

Tiat-pi Hek-wan adalah seorang manusia yang wataknya sudah seperti binatang buas. Menyiksa orang merupakan kesenangan baginya, maka untuk menyenangkan majikannya, diapun hendak memamerkan pertunjukan yang semenarik mungkin. Tanpa memperdulikan cakaran dan pukulan kedua tangan Bi Hwa, seolah-olah cakaran dan pukulan itu bahkan merupakan belaian dan elusan baginya, dia menciumi muka gadis itu, pipinya, hidungnya, bibirnya barulah dia melepaskan Bi Hwa. Sengaja dilepaskan begitu saja.

Bi Hwa yang sudah ketakutan setengah mati itu, dengan rambut riap-riapan karena terlepas dari sanggulnya ketika meronta-ronta tadi, ketika merasa betapa dirinya terlepas, segera bergegas hendak melarikan diri menuju ke pintu ruangan itu. Satu-satunya keinginan hatinya adalah keluar dari tempat jahanam itu, seperti seekor burung yang ingin sekali terbebas dari sebuah sangkar yang amat menakutkan.

Dan sambil tertawa-tawa Tiat-pi Hek-wan membiarkan gadis itu lari! Setelah Bi Hwa lari sampai dekat pintu, barulah dia berloncatan mengejar dan menangkap rambut gadis yang berkibar itu. Bi Hwa terkejut sekali.

“Ihhhhh......! Lepaskan...... lepaskaaaaan......” Ia menjerit akan tetapi tubuhnya sudah terseret di atas lantai, dibawa kembali oleh raksasa itu ke tempat tadi, di depan Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya yang menonton sambil tersenyum-senyum. Mereka tahu bahwa Tiat-pi Hek-wan sengaja mempermainkan gadis itu, seperti seekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkam dan mengganyangnya.

Kembali Tiat-pi Hek-wan merangkul dan menciumi gadis itu, meraba-raba dengan cara yang kurang ajar dan kasar sekali. Kembali Bi Hwa meronta-ronta, mencakar dan memukul untuk melepaskan diri. Dan seperti tadi, Hek-wan pura-pura kewalahan dan pegangannya terlepas. Bi Hwa cepat melarikan diri, tidak tahu bahwa Hek-wan sudah mengcengkeram bajunya bagian belakang. Ketika ia berlari, manusia berwatak binatang itupun merenggut.

“Breeeeetttt......!” Baju itupun koyak di bagian belakangnya.
Sambil menyeringai Hek-wan sudah mengulur tangan, siap untuk merenggut sisa pakaian Bi Hwa. Pada saat itu, terdengar teriakan Pouw Sianseng.

“Tahan......!!”

Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Hek-sim Lo-mo. Sejak tadi, semenjak Hek-wan mempermainkan Bi Hwa. Kalau semua pembantunya menonton pertunjukan menarik itu, dia sendiri tak pernah melepaskan pandang matanya dari Pouw Sianseng. Dengan hati gembira dia melihat betapa kakek itu tersiksa batinnya. Hal ini mudah dilihat dari keadaan muka dan pandang matanya dan pada saat baju puterinya direnggut terlepas, Pouw Sianseng tidak kuat menahan lagi dan dia berteriak untuk minta siksaan itu dihentikan.

“Hek-wan, minggirlah dan aku senang sekali dengan pekerjaanmu. Duduklah di sana bersama rekan-rekanmu.”

Hek-wan menyeringai, sama sekali tidak memperlihatkan muka kecewa seperti yang nampak pada wajah para pembantu yang gagal menyaksikan pertunjukan menarik. Hek-wan yang buas itu memang setia kepada Hek-sim Lo-mo yang sudah menundukkannya.

“Bagaimana, Pouw Sianseng? Mengapa engkau minta agar pertunjukan yang menarik ini dihentikan?” tanya Hek-sim Lo-mo, membiarkan ayah dan anak itu kembali saling rangkul. Pouw Sianseng melepas jubahnya yang kusut dan dekil, dia menyelimuti tubuh puterinya dengan jubah itu, kemudian dia memandang kepada Hek-sim Lo-mo.

“Hek-sim Lo-mo, aku mengaku kalah. Kehormatan puteriku lebih berharga dari apapun juga di dunia ini. Engkau menang dan aku mau menukar Liong-cu dengan kebebasan anakku. Kalau aku menyerahkan Liong-cu, maukah engkau melepaskan puteriku ini?”

“Heh-heh, tentu saja, Pouw Sianseng. Berikan Liong-cu, dan aku akan melepaskan puterimu.”

“Lo-mo, aku tidak dapat percaya kepada orang sepertimu. Bersumpahlah dulu sebagai seorang datuk, baru aku mau percaya!”

Kalau saja dia tidak sangat menginginkan Liong-cu, tentu ucapan Pouw Sianseng itu sudah merupakan alasan yang cukup untuk dia turun tangan membunuh kakek itu. Wajahnya yang hitam menjadi lebih hitam lagi dan matanya mencorong, akan tetapi dia menahan kemarahannya, dia menyeringai.

“Ha-ha, baiklah. Aku, Hek-sim Lo-mo, datuk dari segala datuk yang merajai seluruh wilayah He-nan dan Shan-tung, bersumpah bahwa kalau Pouw Sianseng menyerahkan Liong-cu kepadaku, maka aku akan melepaskan puterinya. Kalau aku melanggar sumpahku, biarlah Bumi dan Langit yang akan menghukumku!”

Pouw Sianseng merasa lega mendengar sumpah itu dan diapun berkata kepada puterinya. “Bi Hwa, anakku, hentikan tangismu dan dengarlah baik-baik pesanku. Kalau nanti aku sudah menyerahkan Liong-cu kepada Hek-sim Lo-mo, dan aku tidak dapat menemanimu, engkau keluarlah dari sini, tinggalkan tempat ini dan pulanglah. Lalu kaucari pamanmu di dusun Teng-cun dan ikutlah keluarganya. Mengertikah engkau?”

Sambil bercucuran air mata, Bi Hwa mengangguk, Pouw Sianseng lalu melepaskan puterinya yang bangkit berdiri sambil menyelimuti tubuh atas dengan jubah ayahnya, dan Pouw Sianseng bangkit berdiri menghadapi Hek-sim Lo-mo.

Semua mata kini ditujukan kepadanya, memandang dengan penuh perhatian karena mereka semua ingin mendengar pengakuan kakek itu, di mana dia menyembunyikan Liong-cu yang diperebutkan oleh hampir seluruh tokoh dunia kang-ouw itu sejak ratusan tahun yang lalu dan kemudian lenyap tanpa bekas.

“Hek-sim Lo-mo, mustika naga ini adalah milikku dan hakku, yang kudapatkan secara kebetulan melalui tulisan dan peta rahasia yang kuno dan yang hanya dapat kubaca. Sejak dahulu sudah diperebutkan orang, dan aku sudah mengambil keputusan untuk kubawa mati bersama. Akan tetapi engkau yang curang dan licik telah mempergunakan puteriku untuk memaksaku. Apa boleh buat, agaknya memang sudah ditentukan oleh Thian bahwa Liong-cu akan jatuh ke tangan seorang datuk sesat sepertimu. Kalau aku tidak membuat pengakuan, sampai dunia kiamat engkau tidak akan mampu menemukan Liong-cu. Aku telah minta tolong kepada sahabatku, mendiang Yok-sian (Dewa Obat) untuk menyimpan Liong-cu di sini, melalui pembedahan!”

Kakek itu lalu menanggalkan bajunya dan menunjuk ke perutnya. Karena dia kurus, perutnya kecil, akan tetapi di bagian kanan perutnya ada tonjolan aneh, seperti bengkak.

“Liong-cu itu kausimpan di dalam perut?” tanya Hek-sim Lo-mo, hampir tak percaya.

Pouw Sianseng mengangguk. Mendiang Yok-sian amat pandai, dia dapat menyimpan mustika ini ke dalam perutku, membedah kulit perut lalu menjahitnya kembali. Dan karena Liong-cu merupakan mustika yang ampuh, maka sama sekali tidak mengganggu kesehatan badanku.”

“Dan untuk mengambilnya......”

“Harus memanggil seorang ahli bedah untuk mengeluarkannya dari perutku.”

“Ah, akupun bisa mengambilnya!” Tiba-tiba tangan Hek-sim Lo-mo meluncur dan sekali totok saja tubuh kakek itu roboh terlentang dalam keadaan lumpuh.

“Ayah......?” Bi Hwa menjerit.

“Jangan mendekat, Bi Hwa,” kata kakek itu dengan lemah. Dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan, akan tetapi masih dapat bicara. “Sudah kuduga ini...... kalau aku mati...... kau pulanglah sendiri dan hati-hatilah......”

Hek-sim Lo-mo lalu menggunakan kuku jari tangannya menggores ke arah tonjolan pada perut kakek itu dan kulit perut itupun tergores robek! Di saat lain, dia sudah mengeluarkan sebuah benda bulat sebesar kepalan tangannya yang berlumuran darah, dan diapun membebaskan totokannya.

“Ayah......!” Bi Hwa menubruk ayahnya dan membantu ayahnya membalut luka pada perut itu dengan robekan kain dari bawah bajunya sendiri setelah Yauw Ban, atas perintah Hek-sim Lo-mo, memberi obat bubuk pada luka di perut dan menutupnya dengan koyok.

Semua orang tidak, memperhatikan ayah dan anak itu karena semua memperhatikan sebuah benda bulat yang sudah dibersihkan dari darah, yang berada di tangan Hek-sim Lo-mo. Benda itu berwarna putih kebiruan, seperti batu, dan sukar dipercaya bahwa benda itu adalah benda pusaka yang disebut Liong-cu (mustika naga) yang kabarnya terdapat pada rongga dalam kepala seekor naga!

“Mustika ini harus diuji dulu keasliannya! Mo-li, keluarkan senjata rahasiamu yang paling ampuh, hendak kucoba khasiat mustika ini melawan racun yang bagaimana kuatpun!”

Kiu-bwe Mo-li mengeluarkan sebuah paku yang kehitaman. Itulah senjata rahasia paku yang luar biasa ampuhnya, karena telah direndam racun yang amat jahat sehingga sekali mengenai tubuh lawan, tentu akan membuat lawan tewas dengan tubuh bengkak menghitam!

“Cobakan kepadanya!” kata Hek-sim Lo-mo. “Hitung-hitung untuk menghukumnya kalau dia membohong!” Dia menuding ke arah Pouw Sianseng yang sudah bangkit duduk, masih kesakitan karena kulit perutnya dibedah secara paksa oleh datuk itu tadi.

Kiu-bwe Mo-li juga termasuk seorang yang amat keji dan sadis. Mendapat perintah ini, ia menyeringai dan secepat kilat, tangan kirinya yang memegang paku itu bergerak dan nampak sinar hitam kecil menyambar ke arah Pouw Sianseng.

“Cappp! Aduhhh......!” Pouw Sianseng memekik dan mendekap pundak kirinya yang terkena paku, lalu tubuhnya berkelojotan karena merasa nyeri dan panas bukan main.

“Bagus, racunnya telah bekerja!” kata Hek-sim Lo-mo. “Cabut kembali paku itu, biar kucobakan Liong-cu ini!”

Kiu-bwe Mo-li menghampiri Pouw Sianseng yang berkelojotan, mendorong tubuh Bi Hwa yang menangisi ayahnya ke samping lalu mencabut paku itu. Begitu dicabut, rasa nyeri semakin menggigit dan menusuk sehingga kakek itu merintih-rintih.

Hek-sim Lo-mo cepat memeriksa luka itu. Hitam membengkak dan sebentar lagi racunnya akan terbawa aliran darah ke seluruh tubuh dan akan matilah orang itu. Cepat dia lalu menempelkan mustika naga itu ke atas pundak yang terluka dan terjadilah keanehan. Warna hitam pada luka itu dalam waktu singkat saja lenyap dan pada permukaan benda itu nampak cairan hitam!

Ternyata dengan mudahnya, benda itu telah menyerap dan menghisap semua racun yang berada di dalam luka itu sebelum menjalar ke seluruh tubuh! Bukan main! Belum pernah Hek-sim Lo-mo menyaksikan keampuhan benda seperti yang terdapat pada Liong-cu itu.

Dan kini Pouw Sianseng tidak mengeluh lagi karena sama sekali tidak lagi merasa nyeri. Pundaknya yang tadi terkena paku kini hanya tinggal luka kecil kemerahan yang tidak ada artinya lagi, sudah bersih sama sekali dari racun, bahkan seperti sudah sembuh!

“Hemm, sudah percayakah kau sekarang, Lo-mo? Aku bukan orang yang suka menipu atau berbohong!” kata Pouw Sianseng mendongkol.

Hek-sim Lo-mo girang luar biasa dan seperti anak kecil memperoleh mainan baru, dia mendekap Liong-cu itu ke dadanya.

“Liong-cu......! Aku telah mendapatkan Liong-cu...... ha-ha-ha! Ini semua berkat jasamu, Tiat-pi Hek-wan. Sebagai hadiah jasamu, kuberikan gadis ini kepadamu, boleh kauperbuat sesuka hatimu!”

“Ha-ha-ha, terima kasih. Bengcu!” Tiat-pi Hek-wan sekali sambar sudah merenggut tubuh Bi Hwa dari ayahnya dan memondong gadis itu, lalu dibawa keluar, tanpa memperdulikan gadis itu menjerit-jerit, mencakar dan menggigit, diikuti senyum dan pandang mata rekan-rekannya.

Melihat ini Pouw Sianseng terkejut sekali dan diapun memaksa diri bangkit dan berteriak kepada Hek-sim Lo-mo. “Lo-mo, apa artinya ini? Engkau melanggar sumpahmu? Engkau telah bersumpah akan melepaskan puteriku setelah......”

“Akupun melepaskannya. Siapa melanggar sumpah? Aku tadi bersumpah bahwa kalau kau menyerahkan Liong-cu aku akan melepaskan puterimu, bukan? Nah, ia sudah kulepaskan, tidak kutahan, tidak kuganggu! Aku melepaskannya kepada Tiat-pi Hek-wan, dan kalau dia yang mengganggunya, itu urusan dia, bukan urusanku. Aku tidak mengganggu puterimu, sudah kulepaskan! Heh-heh!”

“Terkutuk kau, Hek-sim Lo-mo!” Pouw Sianseng marah sekali dan dengan nekat dia menubruk ke depan, hendak mencekik datuk itu. Akan tetapi, Hek-sim Lo-mo menggerakkan kakinya menyambut.

“Dukkk!” Ujung kaki datuk itu mengenai ulu hati Pouw Sianseng dan tubuh tinggi kurus itupun terjengkang, terbanting dan tewas seketika, mulutnya mengeluarkan darah, matanya terbelalak. Dia mati dalam penasaran!

Agaknya Hek-sim Lo-mo masih ingin membela diri dengan sikapnya itu kepada para pembantunya.

“Orang ini memang harus dibunuh, kalau tidak, tentu dia akan membocorkan rahasia ini, akan memberitahu bahwa Liong-cu sudah berada padaku dan kalau demikian, celaka! Tentu semua orang dari dunia persilatan akan mencoba merampasnya dan kita menghadapi lawan yang banyak sekali dan lihai pula. Beritahu kepada Hek-wan, kalau dia sudah selesai dengan gadis itu, agar dibunuhnya pula. Buang mayat mereka ke dalam jurang agar tidak ada yang dapat mengikuti jejak mereka!”

Hek-sim Lo-mo membubarkan persidangan dan dia membawa Liong-cu yang selalu didekapnya itu ke kamarnya setelah memesan kepada Yauw Ban bahwa besok pagi dia bersama Yauw Ban akan berkunjung kepada ahli pembuat pedang itu. Para pembantu kini menyambar gadis panggilan yang menjadi pilihan hati mereka tadi dan membawanya ke kamar masing-masing.

Kalau dari kamar-kamar para pembantu ini terdengar suara cekikikan dan senda gurau, di sebuah kamar di belakang terdengar ratap tangis yang memilukan. Ratap tangis Bi Hwa yang dipermainkan oleh Tiat-pi Hek-wan yang sadis. Dan menjelang tengah malam, ketika ratap tangis itu akhirnya tidak terdengar lagi, gadis itupun telah tak bernyawa lagi dan mayatnya menyusul mayat ayahnya, dilempar ke dalam jurang yang amat curam, di mana kedua mayat itu akan hancur membusuk tanpa ada yang mengetahuinya!

Manusia adalah mahluk tertinggi derajatnya di antara semua mahluk yang hidup di dunia ini, satu-satunya mahluk yang berakal budi, yang dikaruniai otak dan ingatan sehingga dapat berpikir, mempunyai pengertian dan dapat membedakan antara baik dan buruk. Akan tetapi, sekali manusia menjadi hamba nafsu, bukan sebaliknya menguasai nafsu, maka dia menjadi mahluk yang sebuas-buasnya dan sekejam-kejamnya.

Binatang yang kita sebut bagaimana buaspun, selalu mendasarkan semua perbuatannya pada kebutuhan hidup. Binatang harimau menerkam kelinci dan dimakannya, nampaknya memang buas dan kejam, akan tetapi sesungguhnya perbuatannya itu sama sekali tidak mengandung kejahatan, melainkan karena kebutuhan hidupnya, tuntutan perutnya. Binatang melakukan hubungan kelamin karena kebutuhan perkembangbiakan, tuntutan naluri seksuilnya.

Akan tetapi manusia yang menjadi hamba nafsunya sendiri, dia makan demi memuaskan nafsu aluamahnya, ingin mencari kesenangan melalui makan, seolah-olah makan itu bukan suatu kebutuhan hidup melainkan kebutuhan kenikmatan yang membuatnya menjadi loba, tamak dan mau melakukan kejahatan apapun demi tercapainya pengejaran kesenangan melalui makan dan apa saja. Juga seorang yang diperhamba nafsunya sendiri akan mengejar kesenangan melalui seks, dan dia dapat melakukan kejahatan dan kekejaman yang luar biasa demi pemuasan nafsunya itu.

Y

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hek-sim Lo-mo sudah mengajak pembantu utamanya nomor satu, yaitu Tok-gan-liong Yauw Ban untuk pergi berkunjung ke rumah kakek Thio Wi Han, ahli pembuat pedang yang tinggal di dusun Gi-ho-cung di kaki Pegunungan Fu-niu-san.

Orang akan merasa heran kalau melihat keadaan rumah tinggal Thio Wi Han ini. Dia seorang ahli pembuat pedang yang kenamaan, bukan hanya pedang biasa seperti yang dapat dibeli di pasar, melainkan pedang buatannya selalu merupakan senjata pilihan, bahkan banyak sudah pedang-pedang pusaka dari bahan-bahan yang aneh-aneh dan langka dibuat oleh kedua tangannya yang ahli.

Orang dengan keahlian seperti dia ini sesungguhnya akan mudah saja menjadi kaya raya. Bahkan pernah dia ditawari kedudukan di kota raja oleh istana, namun dia menolaknya! Dan dia tidak menghargai keahliannya dengan harta benda. Dia seorang seniman sejati yang melakukan pekerjaan membuat pedang itu sebagai sesuatu yang suci, sesuatu yang membahagiakan hatinya, tiada bedanya dengan para seniman lain, seniman sejati yang menganggap pckerjaan seninya itu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya, merupakan sumber kebahagiaannya.

Dia hanya berdua dengan isterinya yang berusia empatpuluh tahun lebih, jauh lebih muda dari Thio Wi Han yang sudah berusia tujuhpuluh tahun. Di dalam sebuah rumah kecil sederhana sekali, Thio Wi Han tinggal berdua saja tanpa pembantu dengan isterinya. Rumah itu hanya mempunyai tiga ruangan, ruangan depan yang menjadi ruang tamu, lalu kamar tempat tidur mereka, dan di belakang adalah dapur yang besar, tempat isterinya masak dan tempat dia bekerja membuat pedang dan senjata lainnya, merupakan bengkel tempat dia bekerja.

Thio Wi Han tidak pernah membuat pedang atau pisau yang biasa di jual di pasar. Setelah tua ini, dia hanya bekerja kalau ada pesanan, dan pesanan itu haruslah pesanan pembuatan senjata yang istimewa. Pemesannya harus menyediakan bahan yang baik, baja pilihan, dan harus memperlihatkan kemampuan memainkan senjata yang dipesan itu dengan lebih dulu mendemonstrasikannya di depan Thio Wi Han! Kalau tidak begini, dia tidak akan mau membuatkannya!

Dan biarpun dia sendiri belum pernah memperlihatkan kepandaiannya, namun semua orang kang-ouw menduga bahwa kakek ahli pembuat pedang ini tentu memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Hal terbukti karena dia dapat mengetahui apakah benar pemesannya patut memegang senjata yang dipesannya, sesuai dengan kepandaiannya.

Gi-ho-cung boleh jadi hanya sebuah dusun yang kecil sekali di kaki Fu-niu-san, sebuah dusun yang tidak ada artinya dengan penduduk hanya beberapa puluh rumah yang kesemuanya adalah petani-petani sederhana. Namun bagi dunia kang-ouw, dusun ini amat terkenal dan nama Thio Wi Han dikenal oleh semua tokoh kang-ouw, bahkan dia dihormati dan disuka oleh semua golongan karena Thio Wi Han tidak pernah membeda-bedakan golongan.

Bagi dia, tidak perduli orang dari golongan apa, yang datang kepadanya akan dilayani asal memenuhi syaratnya, yaitu pertama, harus membawa bahan yang benar-benar pilihan, dan kedua, harus mampu memperlihatkan kepandaian yang sesuai untuk mempergunakan senjata ampuh buatannya! Tanpa adanya dua syarat ini, biar diancam dan dibujuk bagaimanapun, dijanjikan upah besar berapapun, atau diancam akan dibunuh sekalipun, jangan harap dapat memaksanya bekerja!

Soal biaya pembuatan pedang, dia tidak pernah membicarakan dan hal itu terserah kepada pemesan, bahkan tidak diberi sekalipun dia tidak akan menagih! Memang Thio Wi Han seorang seniman yang aneh. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan semua orang karena dia tidak pernah memperlihatkannya, dia hidup berbahagia di samping isterinya karena ada pertalian kasih sayang besar antara mereka!

Agaknya inilah yang menjadi rahasia besar kehidupan Thio Wi Han. Cinta kasih yang amat mendalam yang didapatkannya dari isterinya membuat dia tidak membutuhkan apa-apa lagi! Dalam kehidupan sederhana sekalipun dia merasa berbahagia di samping isterinya!

Betapa menyedihkan kalau dilihat kenyataan bahwa jarang ada pasangan suami isteri seperti Thio Wi Han ini. Dia dan isterinya tidak mempunyai anak, selisih usia mereka hampir tigapuluh tahun, keadaan hidup merekapun sederhana, hidup di dusun pegunungan yang sunyi, namun mereka dapat hidup berbahagia karena ada ikatan tali kasih sayang besar di antara mereka.

Bukan ikatan nafsu. Ikatan nafsu akan luntur dan tak meninggalkan bekas kalau nafsu itu sendiri sudah melemah. Dalam usia yang semakin tua, tentu saja nafsu tidak lagi memegang peran besar dan kalau cinta yang ada antara suami isteri hanya cinta nafsu, maka cinta itu akan hambar dan bahkan lenyap kalau mereka sudah menjadi tua.

Betapa banyak dapat dilihat keadaan hubungan suami isteri seperti ini. Kehilangan kemesraan, kalaupun ada kemesraan itu dibuat-buat, bukan timbul dari hati yang mencinta dan menyayang. Bahkan tidak jarang timbul pertikaian, kejemuan yang membuat kedua suami isteri seringkali bertengkar dan saling merasa betapa kehadiran kawan hidup hanya merupakan gangguan yang menjengkelkan!

Ini adalah karena ketidakadanya kasih sayang yang mendalam. Kalau ada kasih sayang antara manusia, cahaya cinta kasih dalam dada, maka tentu perasaan kasih sayang itu pertama-pertama terasa kepada orang lain yang paling dekat dengan dirinya, suami atau isteri, anak-anak dan keluarga. Dan mengapakah tidak ada kasih sayang ini? Mengapa tidak ada cinta kasih di dalam hati?

Cinta kasih bukanlah perasaan dari seseorang kepada orang lain tertentu! Itu adalah cinta nafsu, tertarik oleh sesuatu yang dianggap indah dan menyenangkan! Cinta kasih tidak mengenal subyek, cinta kasih adalah sinar Tuhan yang menerangi batin. Cinta kasih ini tidak nampak selama diri dikuasai oleh si-aku! Begitu si-aku ini merajalela dalam batin, maka kasih sayang pun, cinta kasih yang murni itupun tidak ada, yang ada hanyalah cinta nafsu karena cinta nafsu ini menyenangkan diri pribadi.

Mari kita periksa diri sendiri, menjenguk isi hati dan pikiran, dan kita akan melihat kenyataan itu. Tidak ada gunanya mencari cinta kasih yang tidak nampak di dalam batin. Cinta kasih tidak pernah lenyap, selalu ada. Yang penting melihat ke akuan diri yang demikian besar dan berkuasa. Begitu si aku berhenti berkuasa, maka cinta kasih akan nampak bersinar terang!

Tuhan tidak pernah pergi meninggalkan kita. Sesungguhnya kitalah yang pergi menjauhkan diri dan meninggalkannya! Pementingan diri karena si aku yang merajalela dalam batin, membuat mata batin kita buta dan tidak melihat Tuhan. Lenyapnya si-aku akan membuka mata kita dan menyadarkan bahwa Tuhan selalu ada pada diri kita, sedetikpun tak pernah meninggalkan kita!

Ketika Hek-sim Lo-mo dan Tok-gan-liong Yauw Ban tiba di depan pondok sederhana tempat tinggal Thio Wi Han, mereka melihat bahwa di pekarangan itu terdapat tigabelas orang yang melihat pakaian, keadaan diri dan sikap mereka, sudah diketahui bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang kasar dan biasa mempergunakan kekerasan. Sambil berbisik Tok-gan-liong Yauw Ban memberitahu kepada Hek-sim Lo-mo yang tidak mengenal mereka, bahwa tigabelas orang itu adalah Wei-ho Cap-sha-kwi (Tigabelas Setan dari Sungai Wei) yang berkedudukan di sekitar kota Sian di Propinsi Shensi.

Sungai Wei adalah sebatang sungai yang menjadi anak sungai dari Sungai Kuning, dan nama Tigabelas Setan ini terkenal sekali di seluruh wilayah itu, bahkan di seluruh Propinsi Shensi. Mereka adalah tokoh-tokoh sesat yang mengepalai seluruh kaum bajak sungai dan perampok. Dan mereka belum menyatakan takluk kepada kekuasaan Hek-sim Lo-mo, maka kini datuk ini bersama pembantu utamanya memandang ke arah mereka dengan alis berkerut.

Tigabelas orang itu ditemui oleh tuan rumah di pekarangan depan karena ruangan tamunya tidak cukup lebar untuk menerima tigabelas orang tamu itu, atau setidaknya, Thio Wi Han merasa enggan menerima tigabelas orang yang kasar itu di dalam ruangan itu.

Kakek Thio Wi Han itu nampak tenang sekali menghadapi mereka. Seorang kakek berusia tujuhpuluh tahun, rambutnya sudah putih semua, akan tetapi mukanya bersih tidak memelihara kumis atau jenggot. Sinar matanya lembut namun kadang mencorong penuh wibawa dan mulutnya terhias senyuman penuh kesabaran ketika dia berhadapan dengan tigabelas orang jagoan itu.

“Sudah kukatakan, aku hanya mau membuatkan pedang dengan dua syarat utama, yaitu pertama pemesan harus membawa bahan yang pilihan, dan kedua pemesan harus dapat membuktikan bahwa dia pantas memiliki senjata yang baik buatanku. Kalian hanya datang membawa bahan yang baik untuk sebuah golok saja, dan tidak mungkin aku membuatkan tigabelas batang golok dari bahan yang hanya untuk sebatang saja itu. Bahan yang lain ini tidak baik dan aku tidak mau membuat golok dari bahan ini. Nah, kalian tinggal pilih. Kubuatkan sebatang golok setelah pemesannya memperlihatkan ilmu goloknya, atau kalian boleh bawa pergi lagi saja dan menyuruh orang lain membuatkannya.”

Kata-kata itu teratur dan halus, namun juga mengandung ketegasan dan wibawa yang tidak dapat dibengkokkan lagi. Tigabelas orang itu rata-rata bertubuh besar dan kuat, sikap mereka kasar dan pakaian mereka dari kain yang tebal dan kuat, nampak kotor karena agaknya mereka jarang bertukar pakaian. Namun ini bukan berarti bahwa mereka miskin. Sebaliknya, Wei-ho Cap-sha-kwi adalah sekumpulan tokoh sesat yang sudah berhasil mengepalai semua bajak dan perampok yang selalu memberi “bagian hasil” kepada mereka.

Kalau mereka kini berpakaian kotor adalah karena mereka sedang melakukan perjalanan jauh dan tidak membawa ganti pakaian. Mereka terkenal sekali dengan Cap-sha Kwi-tin (Barisan Tigabelas Setan) dan dengan golok di tangan, mereka merupakan lawan ampuh walaupun kalau maju seorang demi seorang, mereka tidaklah sehebat kalau membentuk Cap-sha Kwi-tin.

Seorang di antara tigabelas jagoan itu, yang menjadi pemimpin mereka bernama Kwa Ti, tubuhnya juga tinggi besar, dengan perut gendut sekali, mukanya bopeng dan hitam. Mendengar ucapan tuan rumah, dia melangkah maju, lalu menghardik.

“Thio Wi Han! Tidak tahukah engkau siapa yang kauhadapi ini? Kami adalah Wei-ho Cap-sha-kwi, dan kami tidak biasa dibantah orang! Kami datang dengan baik, memesan tigabelas batang golok dan kami juga tidak minta gratis, melainkan mau membayar berapa saja biaya pembuatan tigabelas batang golok itu! Jangan engkau menolak, karena penolakanmu sama dengan penghinaan dan siapa berani menghina Wei-ho Cap-sha-kwi, akan mampus dengan tubuh hancur lebur dicacah golok kami!”

Thio Wi Han masih tetap tenang dan memandang kepada kepala gerombolan itu dengan matanya yang halus namun berwibawa. “Seorang manusia harus memiliki pendirian, kalau tidak dia hanya akan menjadi seorang pengecut yang munafik. Syarat-syaratku itu sudah kupakai selama puluhan tahun dan akan kupertahankan sampai mati.”

“Toa-ko (kakak), pukul saja orang keras kepala ini, baru dia akan menurut perintah kita!” beberapa orang anggauta gerombolan itu berkata dengan marah kepada Kwa Ti dan si gendut inipun sudah marah sekali. Semua perampok dan bajak sungai di sepanjang Sungai Wei-ho, siap untuk melakukan setiap perintahnya, dan kakek lemah ini berani membantah!

“Engkau memang minta dihajar baru taat!” bentaknya dan diapun menggerakkan tangan kanan menampar ke arah muka kakek itu sekedar untuk menakut-nakuti dan memaksanya agar mentaati perintahnya. Akan tetapi, tangannya menampar tempat kosong karena dengan gerakan halus namun tepat sekali, kakek Thio Wi Han sudah mundur selangkah dan tamparan itupun hanya lewat di depan mukanya!

Melihat pukulannya luput karena dielakkan orang, Kwa Ti yang tidak biasa dibantah dan dilawan ini menjadi semakin marah dan penasaran.

“Engkau berani melawan aku, ya?” bentaknya dengan sikap ingin benar dan menang sendiri. “Nah, rasakan ini!” Dia kini menyerang dengan pukulan bertubi, dengan gerakan silat, bukan sekedar menampar seperti tadi. Akan tetapi, alangkah herannya tigabelas orang jagoan itu ketika melihat kakek itu hanya menggeser kaki dan melangkah ke sana-sini dan semua pukulan Kwa Ti hanya mengenai tempat kosong saja!

Pada saat itu, dari dalam pondok muncul seorang wanita. Usianya empatpuluh tahun lebih tetapi ia masih nampak cantik dan tubuhnya masih padat dan ramping, pakaianaya sederhana namun rapi, juga rambutnya yang masih hitam itu tersisir rapi. Seorang wanita yang anggun. Begitu ia keluar dan melihat kakek Thio diserang orang, iapun cepat maju dan menghadang di tengah.

Kwa Ti tertegun melihat munculnya seorang wanita dan biarpun dia penasaran sekali melihat serangannya tidak pernah mengenai sasaran, dia menahan diri dan memandang wanita itu dengan alis berkerut.

“Engkau siapa berani menghalangiku?”

Dengan sikap seperti melindungi kakek itu, ia berkata. “Aku adalah isterinya! Kalian ini orang-orang sungguh tidak tahu malu sama sekali. Bukankah kalian ini tamu-tamu yang tidak diundang? Mengapa sikap kalian bukan seperti tamu melainkan seperti perampok saja, hendak memaksakan kehendak sendiri? Tamu yang sopan semestinya memenuhi peraturan tuan rumah!”

Setelah mendengar ucapan itu dan tahu bahwa dia berhadapan dengan nyonya rumah, Kwa Ti menyeringai dan dia menoleh kepada kawan-kawannya. “Kawan-kawan, kalau kita paksa si tua sampai mati, kita tidak akan berhasil memiliki golok pusaka yang ampuh. Si tua itu keras kepala, aku mempunyai akal untuk memaksanya tanpa membunuhnya!”

Duabelas orang kawannya tertawa-tawa dan seorang di antara mereka bahkan berkata, “Benar, tangkap saja isterinya, biarkan aku yang akan menemaninya. Heh-heh, ia masih manis dan bahenol, heh-heh!”

Kwa Ti yang menjadi kepala dari Cap-sha-kwi, bukan orang yang suka menggoda wanita, maka mendengar ini, dia tertawa. Memang maksudnya untuk menangkap isteri Thio Wi Han dan menjadikannya sebagai sandera agar kakek itu terpaksa memenuhi permintaan mereka membuatkan tigabelas batang golok.

“Baiklah, kau tangkap wanita itu!” katanya kepada kawan yang bicara tadi.

Orang itu matanya besar sekali, hidungnya pesek dan mulutnya lebar dengan bibir tebal, juga mukanya hitam dan kasar. Mendengar ucapan toakonya, dia tersenyum menyeringai dan melangkah. maju, tubuhnya yang tinggi besar itu menyeramkan, langkahnya seperti langkah seekor binatang buas.

“Heh-heh, nyonya manis, mari ikut denganku sementara suamimu membuatkan golok untuk kami.” Berbareng dengan habisnya kata-kata itu, kedua lengannya sudah menyambar dari kanan kiri hendak menangkap kedua pundak isteri Thio Wi Han. Anehnya, Thio Wi Han yang dari elakan-elakannya tadi jelas menunjukkan bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian silat, kini melihat isterinya diserang orang, bersikap diam saja dan menonton dengan tenang.

“Wuuut! Wuuuttt!” Sambaran kedua tangan yang berlengan panjang dan besar itu lewat dan sama sekali tidak menyentuh pundak Nyonya Thio Wi Han yang sudah menggeser kaki dengan gerakan indah dan ringan sekali.

Si penyerang yang tadinya bermaksud menangkap dan merangkul nyonya itu, menjadi penasaran dan kini, sambil mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas. kedua tangannya mencengkeram dengan tubrukan, yang kanan mencengkeram leher, yang kiri mencengkeram ke arah dada! Serangan yang berbahaya dan juga kurang ajar!

Wanita itu bersikap tenang, akan tetapi secepat kilat kedua kakinya secara beruntun menyambar ke depan, menyambut tubuh penyerangnya dan ujung sepatu kedua kakinya lebih dulu mengenai tubuh lawan sebelum kedua tangan yang mencengkeram itu tiba.

“Dukkk......! Dessss.....!!” Ujung sepatu kiri nyonya itu menyentuh sambungan lutut kaki kanan, sedangkan ujung sepatu kanan dengan kerasnya menghantam ulu hati ketika tubuh tinggi besar itu agak membungkuk karena lututnya tertendang. Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh tinggi besar itu terjengkang dan roboh terbanting!

“Kurang ajar.....!” bentak orang kedua yang kepalanya besar sekali. Melihat kawannya roboh, dia sudah menerjang ke depan, akan tetapi dia dihadapi Thio Wi Han sendiri yang sudah menghadang dan melindungi isterinya. Karena marah, si kepala besar ini lalu memukul ke arah kakek itu dengan kerasnya. Kepalan tangan sebesar kepala orang itu menonjok ke arah dada Thio Wi Han. Akan tetapi, kakek itu hanya miringkan tubuh dan ketika pukulan itu lewat, dia menampar dengan tangan miring ke arah leher samping lawannya.

“Pergilah!” bentaknya lirih dan orang pun terjungkal karena lehernya terkena “ba¬cokan” tangan miring yang membuat napasnya sesak dan kepalanya pening.

Melihat betapa suami isteri itu ternyata lihai, Kwa Ti terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan bentakan sebagai aba-aba dan menyusul ini, nampak sinar berkilauan dan terdengar suara berdesing ketika semua orang itu telah mencabut golok besar mereka dari punggung! Juga mereka berdua yang tadi telah roboh, kini bangkit sambil mencabut golok. Suami isteri itu dikepung oleh tigabelas orang Wei-ho Cap-sha-kwi yang sudah membentuk barisan Cap-sha-kwi-tin dengan golok besar di tangan!

SEMENTARA itu, sejak tadi Hek-sim Lo-mo menonton saja dengan sikap tenang. Pembantunya, Tok-gan-liong Yauw Ban juga diam saja. Orang ini tidak akan berani bergerak tanpa perintah dari kepalanya dan dia hanya menanti saja sampai Hek-sim Lo-mo memberi perintah dan petunjuk.

Tadi, melihat gerakan tuan dan nyonya rumah, Hek-sim Lo-mo tertarik dan diam-diam mentertawakan tigabelas orang yang agaknya tidak melihat kenyataan bahwa tuan dan nyonya rumah itu tidak boleh dibuat main-main. Kini, melihat cara mereka membentuk barisan mengepung, timbul kekhawatirannya kalau-kalau tigabelas orang kasar itu akan mengeroyok dan membunuh Thio Wi Han yang amat dibutuhkan tenaganya untuk membuatkan pedang pusaka. Hek-sim Lo-mo lalu berkata kepada pembantu utamanya.

“Cegah mereka membunuh kakek itu!”

Mendengar perintah atasannya ini, Tok-gan-liong Yauw Ban mengangguk dan sekali dia meloncat, tubuhnya sudah melayang dan bagaikan seekor burung terbang saja, dia sudah melewati atas kepala para pengepung lalu tubuhnya melayang turun di tengah kepungan, di depan suami isteri yang siap menghadapi pengeroyokan itu.

Tigabelas orang itu terkejut sekali melihat kehebatan gin-kang (Ilmu meringankan tubuh) dari orang ini. Sementara itu, Yauw Ban menjura kepada Thio Wi Han dan isterinya sambil berkata, “Harap Saudara Thio dan nyonya suka mundur, biarkan aku menghadapi setan-setan ini!”

Tok-gan-liong Yauw Ban adalah seorang tokoh sesat yang terkenal sekali, apa lagi orangnya mudah dikenal, yaitu dari keadaan matanya yang tinggal sebuah saja. Maka, biarpun belum pernah saling bertemu, melihat laki-laki tinggi kurus bermata satu, yang membawa sebatang pedang di punggungnya dan memiliki gin-kang yang luar biasa itu, Kwa Ti yang memimpin rombongan Cap-sha-kwi segera berkata dengan suaranya yang kasar.

“Benarkah dugaan kami bahwa engkau adalah Tok-gan-liong Yauw Ban?”

Yauw Ban memandang tajam dengan mata tunggalnya yang mengeluarkan sinar mencorong. “Benar, akulah Yauw Ban. Sekali ini Cap-sha-kwi bertindak ngawur! Saudara Thio Wi Han adalah seorang yang dihormati dan dibutuhkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan, dari golongan manapun juga. Jasanya sudah amat banyak, kenapa kalian begitu rendah untuk mengganggu dia dan isterinya? Kalau kalian tidak mampu memenuhi syarat yang diajukannya, sepatutnya kalian mundur, tidak memaksanya seperti ini!”

Kwa Ti sudah mendengar akan kelihaian Naga Mata Satu ini, akan tetapi dia berbesar hati karena dia bersama duabelas orang saudaranya, dan kalau mereka maju bersama, mereka tidak gentar menghadapi siapapun juga.

“Tok-gan-liong, jangan sombong engkau! Di antara kita mempunyai wilayah kekuasaan sendiri-sendiri, dan selama ini kita tidak saling mengganggu! Bagaimana sekarang engkau hendak mengganggu kami dan menghalangi kami yang hendak memaksa orang she Thio itu membuatkan golok untuk kami? Harap jangan engkau ikut-ikut! Kami tidak ingin bermusuhan dengan orang segolongan, akan tetapi kalau engkau memaksa, jangan dikira kami takut menghadapi Tok-gan-liong!”

“Singggg......!” Nampak sinar berkilat dan tahu-tahu Tok-gan-liong Yauw Ban sudah mencabut pedangnya, melintangkan pedang di depan dada dan dua jari tangan kirinya menuding ke arah muka Kwa Ti sambil membentak, suaranya nyaring.

“Wie-ho Cap-sha-kwi, hari ini kalian akan runtuh!”

Kwa Ti marah dan sambil memberi isyarat kepada kawan-kawannya, diapun menyerang dengan goloknya. Golok itu digerakkan dengan cepat dan kuat sekali, membacok ke arah leher lawan. Namun, dengan gerakan ringan sekali Yauw Ban mengelak, menarik tubuh ke belakang lalu cepat membalik sambil memutar pedang ketika mendengar suara angin dari belakang. Benar saja, dua orang teman Kwa Ti sudah menyerang dengan golok mereka secara berbareng, hampir bersamaan waktunya dengan serangan yang dilakukan Kwa Ti tadi.

“Trang... tranggg......!” Bunga api berpijar dan dua orang itu meloncat ke belakang karena merasa betapa telapak tangan mereka tergetar hebat. Begitu mereka meloncat ke belakang, tempat mereka sudah diduduki dua orang kawan dan merekapun memutar berganti tempat. Sementara itu, empat batang golok sudah menyambar dari kanan kiri depan dan belakang Yauw Ban!

Hebat bukan main kerja sama dari Cap-sha-kwi itu, namun, Yauw Ban tidak memalukan menjadi pembantu pertama Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Sembilan Setan Tua! Sambil berlompatan dia mengelak, kadang-kadang tubuhnya mencelat ke atas dan setiap kali pedangnya menangkis, tentu golok lawan terpental dan diapun masih sempat pula untuk membalas serangan lawan dengan tusukan atau bacokan pedangnya!

Namun, penjagaan Cap-sha-kwi amat rapat karena mereka saling membantu. Setiap serangan pedang Yauw Ban pasti ditangkis oleh sedikitnya tiga batang golok dan empat batang yang lain sudah menyerangnya dari berbagai sudut, masih dilapis oleh enam orang lain di kepungan belakang yang siap menggantikan kepungan depan kalau sampai terdesak atau terancam!

Golok-golok itu bersimpangan dan menggunting dari kanan kiri dan depan belakang, makin lama semakin cepat dan bertubi-tubi sehingga betapapun lihainya permainan pedang di tangan Tok-gan-liong Yauw Ban, tetap saja dia mulai terdesak dan terhimpit, sukar mendapatkan kesempatan untuk membalas serangan pihak pengeroyok yang mendatangkan gelombang serangan bertubi-tubi dan susul menyusul itu.

Melihat betapa pembantu utamanya terdesak, sepasang alis tebal di muka hitam Hek-sim Lo-mo berkerut, dan sepasang mata yang besar itu mengeluarkan sinar merah.

“Yauw Ban, mundurlah!” bentaknya.

Mendengar perintah ini, Yauw Ban cepat meloncat ke belakang. Semua lawannya mendapat angin dan dengan garang tigabelas orang Cap-sha-kwi memainkan golok mereka dan membentuk barisan tiga lapis, setiap jajar empat orang dan Kwa Ti si gendut bopeng itu berada di samping sebagai pemimpin dan pengatur barisan.

Memang Wei-ho Cap-sha-kwi ini selain terkenal sebagai tigabelas orang yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga kalau mereka maju berbareng, maka, mereka membentuk barisan Cap-sha-kwi-tin (Barisan Tigabelas Setan) yang amat tangguh! Karena barisan ini dapat bekerja sama dengan baik, maka Yauw Ban yang memiliki tingkat lebih tinggi dari masing-masing anggauta Wei-ho Cap-sha-kwi juga tidak kuat menahan pengeroyokan mereka.

Hek-sim Lo-mo diam-diam mengerahkan tenaga sakti di tubuhnya dan mempergunakan pula kekuatan sihir yang terkandung dalam suara dan pandang matanya. Datuk sesat peranakan Nepal ini memang selain pandai ilmu silat, juga pandai ilmu sihir!

“Wei-ho Cap-sha-kwi!” terdengar dia berkata, suaranya berwibawa dan sikapnya angkuh. “Apakah mata kalian sudah buta maka tidak mau tunduk kepadaku? Berlututlah kalian dan minta ampun sebelum aku turun tangan dan terlambat bagi kalian!”

Akan tetapi tigabelas orang yang sudah biasa melakukan kekerasan itu tentu saja tidak memperdulikan ancaman kakek tinggi besar muka hitam yang tidak mereka kenal ini. Di dalam dunia ini, kalau mereka maju bersama, tidak ada yang mereka takuti, apa lagi hanya seorang kakek asing yang mukanya jelas menunjukkan bahwa dia seorang dari barat itu.

“Siapakah engkau!” Si gendut Kwa Ti membentak dan mengelebatkan goloknya dengan sikap mengancam. “Sombongmu bukan main, berani menghina kami, berarti engkau akan mampus dengan tubuh menjadi empatbelas potong!” Dengan ucapan ini Kwa Ti hendak mengatakan bahwa masing-masing temannya akan membacok satu kali sehingga dengan tigabelas kali bacokan, tubuh kakek hitam itu akan menjadi empatbelas potong.

Setelah berkata demikian, dia memberi isyarat kepada para temannya dan merekapun menyerbu dengan teratur karena bagaimanapun juga, melihat sikap sombong kakek hitam itu, Kwa Ti dan teman-temannya dapat menduga hahwa kakek hitam itu tentu lihai. Maka, begitu maju, Wei-ho Cap-sha-kwi sudah menyerang dengan bentuk barisan yang teratur dan saling melindungi, juga saling melanjutkan atau menyambung serangan teman di depan.

Akan tetapi, begitu Hek-sim Lo-mo bergerak, terjadilah keanehan. Kakek ini berdiri tegak dengan kedua kaki terbentang lebar, kedua lutut agak ditekuk, kepala ditegakkan dan kedua lengannya saja yang bergerak. Kedua tangan terbuka dengan telapak tangan menghadap ke depan, membuat gerakan-gerakan seperti mendorong-dorong dan dari mulutnya keluar pekik yang dahsyat seperti gerengan binatang buas dan...... setiap orang anggauta Cap-sha-kwi yang menyerangnya, dimulai oleh Kwa Ti, begitu terkena dorongan dari jauh ini, terpental dan terjengkang roboh seperti ditumbuk kekuatan yang amat hebat!

Gerengan itu membuat jantung mereka tergetar dan tubuh mereka seperti lumpuh, kemudian angin dorongan yang menyambar keluar dari kedua telapak tangan kakek hitam itu membuat mereka terjengkang dan terbanting keras! Berturut-turut, tigabelas orang itu bergelimpangan dan tentu saja mereka terkejut bukan main.

Kwa Ti adalah seorang tokoh sesat yang banyak pengalaman. Melihat kenyataan ini, diapun maklum bahwa dia dan kawan-kawannya berhadapan dengan orang yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga kalau mereka masih nekat melakukan perlawanan, akhirnya mereka akan mati konyol! Karena itu, diapun mendahului teman-temannya, bangkit dan berlutut di depan kakek hitam itu dan tanpa ragu-ragu lagi diapun berkata dengan suara lantang.

“Locianpwe, mohon ampun......, kami takluk dan menyerah......, harap lociapwe sudi mengampuni kami.....”

Duabelas orang saudara seperguruannya itu terkejut dan heran. Akan tetapi merekapun maklum bahwa kakek hitam itu memang hebat, apa lagi orang selihai Tok-gan-liong Yauw Ban saja agaknya hanya menjadi pembantu orang itu dan nampaknya demikian taat dan takut. Merekapun ikut berlutut minta ampun.

Sejenak Hek-sim Lo-mo tidak bergerak, kedua lengannya tetap diluruskan ke depan, kedua tangan terbuka, siap untuk memukul. Akan tetapi dia memandang kepada tigabelas orang yang berlutut itu dan perlahan-lahan kemarahannya mereda.

Bagaimanapun juga, dia membutuhkan pembantu-pembantu yang pandai dan Wei-ho Cap-sha-kwi ini dapat menjadi pembantu yang berguna. Dia lalu berdiri tegak kembali, kemudian menurunkan kedua lengannya dan berkata kepada Tok-gan-liong Yauw Ban.

“Urus dan nasihati mereka sebagai bawahanmu!”

Yauw Ban mengangguk dan diapun melangkah maju, lalu berkata kepada Kwa Ti, “Kalian sungguh masih untung bahwa Beng-cu mengampuni kalian. Ketahuilah bahwa Beng-cu adalah Hek-sim Lo-mo yang kini menjadi Beng-cu di seluruh wilayah He-nan dan Shan-tung. Mulai sekarang, kalian menjadi pembantunya dan bekerja di bawah perintahku. Nah, sekarang beri hormat kepada Beng-cu kita!”

Yauw Ban memimpin mereka menghadap ke arah Hek-sim Lo-mo dan memberi hormat sambil menyebut “Beng-cu”. Cap-sha-kwi mentaati karena mereka terkejut dan takluk benar ketika mendengar disebutnya nama Hek-sim Lo-mo. Tanpa dijelaskanpun mereka mengerti bahwa mereka berhadapan dengan seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua).

“Bagus, sekarang menjauhlah dan menanti perintah Beng-cu selanjutnya di bawah pohon-pohon di sana itu!” kata Yauw Ban.

Tigabelas orang itupun memberi hormat dan dengan taat mereka menjauh dan duduk di atas rumput di bawah segerombolan pohon. Melihat ini, Hek-sim Lo-mo tersenyum puas. Pembantunya, Yauw Ban, memang pandai dan dapat diandalkan.

Sementara itu, kakek Thio Wi Han dan isterinya masih berdiri di pinggir dan sejak tadi mengikuti perkelahian antara Wei-ho Cap-sha-kwi dengan dua orang pendatang baru itu. Ketika mendengar bahwa kakek tinggi besar muka hitam itu adalah Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Sembilan Iblis Tua, diam-diam Thio Wi Han terkejut sekali walaupun tidak nampak perubahan pada wajahnya. Apa lagi melihat cara kakek hitam itu menundukkan Wei-ho Cap-sha-kwi, tahulah dia bahwa Iblis Tua ini benar-benar lihai bukan main dan dia berada dalam kesulitan.

Namun, bukan watak Thio Wi Han untuk merasa gentar menghadapi setiap kesulitan hidup, maka diapun bersikap tenang saja ketika kini Hek-sim Lo-mo dan Yauw Ban menghadapi dia dan isterinya, dan sepasang mata Iblis Tua yang tajam dan liar seperti mata binatang buas itu memandang penuh selidik. Thio Wi Han diam saja, tidak menegur, seolah-olah hendak memperlihatkan bahwa dia berada di rumah sendiri dan dia tidak kalah berwibawa dibandingkan dua orang tamunya yang tidak diundang.

Melihat betapa suami isteri di depannya itu tidak bergerak dan tidak menyapa, kerut merut nampak di kening Hek-sim Lo-mo. Akhirnya dia mengalah dan bertanya dengan suaranya yang berat dan dalam.

“Engkau yang bernama Thio Wi Han?”

“Benar, aku Thio Wi Han.”

Kerut merut di antara kedua alis kakek hitam itu makin jelas. Dia yang selama beberapa tahun ini sudah terbiasa ditaati dan dihormati orang, kini melihat sikap Thio Wi Han yang begitu tenang bersahaja, sedikitpun tidak merendah, menjilat atau takut-takut, merasa tidak enak hatinya.

“Engkau ahli pembuat senjata pusaka?”

Thio Wi Han mengangguk, sekali ini bahkan tidak menjawab.

Betapa angkuhnya! Melihat ini, Yauw Ban merasa khawatir kalau ketuanya marah, dan dia sendiripun merasa penasaran melihat sikap kakek itu, maka diapun membentak,

“Thio Wi Han! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Beliau ini adalah Beng-cu kami, Hek-sim Lo-mo yang disembah oleh ribuan tokoh kang-ouw!”

Thio Wi Han tersenyum. “Tentu saja aku tahu dengan siapa aku berhadapan, yaitu dengan seorang tamu yang tidak diundang. Aku berada di rumahku sendiri, dan aku tidak mengundang kalian semua untuk datang ke sini. Tidak perlu berbelit-belit, ada keperluan apakah kalian datang berkunjung ke sini dan membikin ribut di tempatku ini?”

Sikapnya tenang sekali dan diam-diam Hek-sim Lo-mo kagum. Bukan main kakek ini. Sikap yang dimilikinya itu adalah sikap seseorang yang yakin akan kekuatan dirinya, dan dalam hal ini, agaknya Thio Wi Han yakin akan kemampuannya membuat senjata pusaka dan tahu pula bahwa orang-orang lain membutuhkan dia, sedangkan dia sama sekali tidak membutuhkan kehadiran semua orang itu.

Tiba-tiba Hek-sim Lo-mo tertawa bergelak. Memang watak datuk ini aneh sekali. Sukar menyelami wataknya karena dia dapat berubah-ubah sesuai dengan jalan pikirannya di saat itu.

“Thio Wi Han, engkau memang pantas menjadi seorang ahli. Aku kagum kepadamu dan kedatanganku ini adalah untuk minta bantuanmu membuatkan sebuah pedang pusaka untukku.”

Diam-diam Tok-gan-liong Yauw Ban mendengarkan dengan mata terbelalak keheranan. Belum pernah dia melihat sikap dan mendengar kata-kata yang demikian halus merendah dari ketuanya seperti sekarang ini! Dan agaknya Thio Wi Han bukan seorang sombong, melainkan seorang yang memiliki harga diri tinggi dan tidak suka membedakan orang, tidak suka merendahkan diri atau menghina terhadap siapapun. Kini, melihat sikap tamunya ramah dan halus, diapun segera merobah sikap, tersenyum ramah.

“Hek-sim Lo-mo, aku suka membuatkan pedang untuk siapa saja asal memenuhi syarat yang sudah kuadakan selama puluhan tahun. Syarat pertama, pemesan pedang harus membawa bahan yang baik dan dapat kuterima dan kunilai sebagai cukup berharga untuk kutangani. Syarat kedua, pemesan harus memperlihatkan kemampuannya apakah dia patut memiliki pedang pusaka buatanku!”

Kembali datuk itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Thio Wi Han, syaratmu memang tepat. Dan sebaiknya kalau lebih dulu engkau melihat apakah aku pantas memiliki sebuah pedang pusaka buatanmu. Yauw Ban, beri pinjam pedangmu!”

Yauw Ban mencabut pedangnya dan begitu dicabut, tangan Hek-sim Lo-mo bergerak dan tahu-tahu lengan kanannya itu mulur sampai hampir dua meter panjang dan sebelum Yauw Ban sempat mengelak, pedangnya sudah dapat dirampas oleh tangan kanan Hek-sim Lo-mo! Ini saja sudah membuat Thio Wi Han mengangguk-angguk, maklum bahwa datuk itu memang sakti.

Yauw Ban sendiri yang biarpun sudah maklum akan kesaktian ketuanya, namun baru pertama kali itu melihat betapa lengan datuk itu dapat mulur demikian panjang dan pedangnya terampas tanpa dia dapat berkutik sama sekali, terbelalak penuh kaget dan kagum.

“Thio Wi Han, lihatlah ilmu pedangku!” Berkata demikian, Hek-sim Lo-mo lalu menggerakkan pedang di tangannya. Pedang itu lenyap menjadi gulungan sinar pedang yang berkilauan, makin lama gulungan sinar itu semakin lebar dan tiba-tiba gulungan itu berubah menjadi sinar meluncur ke atas. Terdengar bunyi keras dan dahan sebatang pohon di situ patah, sedangkan pedang yang sudah meluncur mematahkan dahan itu kini turun kembali dan sudah disambut oleh Hek-sim Lo-mo.

“Bagaimana? Cukup memenuhi syaratkah?” tanyanya kepada Thio Wi Han sambil tersenyum.

“Kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus, cukup memenuhi syarat!” kata Thio Wi Han dengan jujur karena diam-diam diapun kagum sekali melihat ilmu pedang tadi, walaupun dia tahu bahwa ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang golongan sesat yang penuh dengan gerakan tipu muslihat dan kecurangan. “Akan tetapi, syarat pertama harus dipenuhi, yaitu bahan untuk membuat pedang pusaka, dan terus terang saja, Lo-mo, aku agak cerewet dan pilihan dalam hal ini.”

Hek-sim Lo-mo kembali tertawa. Agaknya dia gembira sekali karena dia bertemu dengan orang yang memang patut berhubungan dengan dia. Seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, semangat tinggi dan sikap yang gagah perkasa pula. Sungguh, Thio Wi Han patut disejajarkan dengan para datuk dan mereka yang berkedudukan tinggi.

Dia tidak tahu bahwa Thio Wi Han memang seorang yang mempunyai harga diri amat tinggi sehingga kalau ada seorang pembesar tinggi tingkat menteri dari kota raja datang untuk pemesan senjata, diapun menerimanya biasa saja! Bahkan diundang ke kota raja diapun tidak mau pergi!

“Thio Wi Han, kalau engkau menganggap bahan yang kubawa ini kurang pantas untuk dijadikan pedang pusaka, maka aku percaya bahwa engkau sudah menjadi gila! Nah, lihatlah, bahan apakah ini? Aku ingin mengujimu, apakah engkau mengenal benda ini!”

Dikeluarkannya sebuah benda bulat sebesar kepalan tangannya. Benda itu warnanya abu-abu, seperti batu akan tetapi agak berat dan ketika digerakkan mengeluarkan sinar aneh.

Melihat benda itu, Thio Wi Han menahan seruannya. “Ahhh...... mungkinkah ini......?” bisiknya dan diapun menerima benda itu di atas telapak tangannya. Diperiksanya benda itu, diciumnya, bahkan didekatkan telinga kirinya sambil dipukul-pukul dengan kuku jari tangannya. Sementara itu, Hek-sim Lo-mo, memandang sambil tersenyum bangga.

Akhirnya Thio Wi Han memandang wajah kakek hitam itu yang menyeringai kepadanya. “Thio Wi Han, dapatkah engkau mengenal benda ini?”

Thio Wi Han mengangguk. “Demi Tuhan! Entah bagaimana benda ini dapat terjatuh ke tanganmu, Hek-sim Lo-mo. Pada hal, seluruh pendekar dan tokoh kang-ouw memperebutkannya dan mencarinya selama puluhan tahun! Ini adalah Liong-cu, kalau tidak salah inilah Kim-san Liong-cu yang diperebutkan itu!”

“Hebat! Engkau sudah tua akan tetapi penglihatanmu semakin tajam saja, Thio Wi Han. Hal ini menunjukkan bahwa engkau memang ahli dan aku semakin percaya untuk menyerahkan benda ini kepadamu agar dibuatkan sebatang pedang pusaka yang ampuh.” Dia berhenti sebentar lalu menatap wajah kakek itu, “Katakanlah, apakah benda ini memenuhi syaratmu yang pertama tadi?”

Thio Wi Han mengangguk-angguk. “Tentu saja memenuhi syarat! Lebih dari itu malah. Aku merasa terhormat untuk menangani benda mustika keramat ini! Akan tetapi, untuk menentukan benda ini sebaiknya dibuat menjadi senjata apa, lebih dulu akan kuuji dia. Mari, ikutlah dengan aku ke dalam tempat kerjaku, Lo-mo.”

Hek-sim Lo-mo mengangguk dan berkata dengan lantang kepada pembantunya, “Yauw Ban, engkau tunggu di sini saja!”

Yauw Ban mengangguk dan Hek-sim Lo-mo mengikuti tuan rumah memasuki pondok itu, diantar pula oleh isteri Thio Wi Han yang sejak tadi diam saja akan tetapi ikut mengagumi Liong-cu (mustika naga) yang dibawa tamu itu untuk dibuatkan pedang pusaka. Mereka memasuki bagian dapur atau bagian bengkel pembuatan senjata pusaka. Alat-alatnya sederhana saja di tempat itu. Perapian, martil, landasan baja, penjepit, dan lain-lain peralatan pandai besi.

“Liok Hwa, kaunyalakan api,” kata kakek itu kepada isterinya.

Nyonya berusia empatpuluh dua tahun yang masih cantik ini tanpa bicara mentaati perintah suaminya dan menyalakan api di perapian. Sedangkan Thio Wi Han yang meletakkan mustika naga itu dengan hati-hati di atas meja kerjanya, lalu mengambil sepanci air dingin. Hek-sim Lo-mo hanya berdiri saja dan mengikuti semua gerak gerik suami isteri itu dengan pandang matanya yang tajam.

Thio Wi Han lalu memegang mustika naga itu dengan jepitan baja, dan menaruhnya di atas nyala api untuk beberapa menit lamanya. Kemudian dia mengangkatnya kembali dan mendekatkan benda itu di bawah hidungnya, dicium-ciumnya uap yang keluar dari situ. Lalu dibenamkan benda itu ke dalam air di panci, dan kembali dia mencium-cium bau benda itu. Setelah benda itu menjadi dingin, dipegangnya dan dikepal-kepal, ditekan-tekan dan diperiksa di bawah sinar matahari yang menyorot masuk melalui jendela.

Barulah dia menarik napas panjang dan duduk di atas bangku, mempersilakan tamunya duduk pula di atas bangku di depannya. Hek-sim Lo-mo duduk dan mereka berhadapan, sama-sama memandang benda yang berada di atas telapak tangan kanan Thio Wi Han.

Kembali Thio Wi Han menarik napas, lalu berkata lirih, suaranya seperti orang terharu. “Tepat seperti yang pernah kubaca dalam kitab kuno mengenai benda yang disebut mustika naga ini, Lo-mo. Entah dia terdapat dalam kepala naga atau tidak, tidak ada yang tahu, akan tetapi kalau benar dia terdapat dalam kepala naga, maka tidak mengherankan kalau naga menjadi mahluk suci yang sakti. Benda ini merupakan campuran dari dua logam yang saling berbedaan, bahkan berlawanan, yaitu logam yang telah menyerap kekuatan Im selama ribuan tahun dan mengandung warna hitam, dan logam kedua telah menyerap kekuatan Yang selama ribuan tahun dan mengandung warna putih. Untuk dijadikan sebatang pedang pusaka, logam ini terlalu banyak karena harus dicampur dengan baja biru yang aseli. Pula, kalau dicampur, tidak akan menjadi sebuah pusaka yang baik.”

“Lalu, bagaimana baiknya?” tanya Hek-sim Lo-mo.

“Sebaiknya harus dipisahkan dulu sehingga merupakan dua logam terpisah. Dan sebaiknya kalau dibuat menjadi dua batang pedang, satu bersifat jantan dan yang kedua bersifat betina. Barulah akan menjadi dua batang pedang pusaka yang amat ampuh dan baik sekali.”

“Bagus, kalau begitu, buatkanlah dua pedang itu untukku!”

“Harus dicampur dengan baja biru yang baik. Logam itu agak sukar didapat akan tetapi kau tentu bisa memperolehnya, Lo-mo.”

“Baja biru?”

“Seperti yang dibawa oleh Wei-ho Cap-sha-kwi tadi.”

Kakek hitam itu melompat keluar dan beberapa lompatan saja membuat dia berdiri dekat tigabelas orang yang menanti di bawah gerombolan pohon. Mereka terkejut melihat kakek hitam ita tiba-tiba muncul dan berada di dekat mereka.

“Beng-cu, ada...... ada perintah apakah?” Kwa Ti bertanya dengan muka agak pucat ketakutan.

“Kalian tadi membawa baja biru? Keluarkan!”

Kwa Ti membuka sebuah buntalan dan nampaklah lempengan baja yang warnanya kebiruan.

“Benda ini kuperlukan!” kata Hek-sim Lo-mo sambil matanya memandang tajam kepada Kwa Ti dan kawan-kawan.

“Ah, kalau Beng-cu memerlukannya, silakan ambil saja, Beng-cu.”

Hek-sim Lo-mo mengangguk-angguk. “Bagus, kalian tidak akan menyesal telah membantu aku.”

Berkata demikian, dia menyambar buntalan baja biru itu dan sekali berkelebat dia telah melompat ke dalam rumah kembali, meletakkan buntalan itu di atas meja.

“Inikah benda itu?”

Thio Wi Han tidak perduli dari mana kakek hitam itu mendapatkannya. Dia membukanya dan mengangguk-angguk, “Benar, inilah baja biru dan sudah cukup untuk campuran dua batang pedang. Baiklah, Lo-mo, aku akan membuatkan dua batang pedang itu dari benda keramat ini.”

“Kapan selesainya?” tanya Hek-sim Lo-mo penuh gairah.

Dia membayangkan betapa kalau dia sudah memiliki sepasang pedang pusaka itu, bagaikan harimau dia akan mendapatkan sayap! Kekuasaannya tentu akan semakin meluas dan kelihaiannya bertambah. Tidak akan ada senjata lawan yang akan mampu menandingi dua batang pedang yang dibuat dari Mustika Naga Gunung Emas!

Thio Wi Han mengerutkan alisnya, berpikir sejenak lalu menjawab. “Sedikitnya tiga bulan, Lo-mo.”

“Begitu lamanya!” Hek-sim Lo-mo nampak kecewa.

“Hemm, kaukira membuat dua batang pedang pusaka seperti membuat dua batang pisau dapur saja yang akan selesai dalam waktu beberapa jam? Baru menghancurkan mustika naga ini di atas api membutuhkan waktu lama dan ramu-ramuan yang sukar didapatkan. Belum lagi memisahkan dua logam Im dan Yang itu, dan mencampurinya dengan baja biru. Setelah itu barulah membentuk dua batang pedang dan lain-lain. Kalau bagimu terlalu lama, bawalah kembali benda ini dan cari saja orang lain yang akan mampu membuatkan lebih cepat.”

Kalau saja orang lain yang bicara kepadanya seperti itu, tentu Hek-sim Lo-mo akan menggunakan tangan saktinya mencabut nyawa pembicara itu. Akan tetapi dia membutuhkan tenaga Thio Wi Han, maka diapun tersenyum dan mengalah.

“Baiklah! Orang-orangku akan berjaga di luar dan sekitar rumahmu untuk menjaga keamanan mustika naga yang kuserahkan kepadamu. Dan awas kalau sampai benda milikku ini hilang atau kalau sampai dua batang pedang yang kaujanjikan itu tidak jadi!”

“Huh, aku bukan orang yang suka melanggar janji seperti kamu!” bentak Thio Wi Han dan isterinya lalu berkata dengan sinar mata marah.

“Lo-mo, sudah cukup kau bicara. Pergilah dan tinggalkan suamiku bekerja!”

Hek-sim Lo-mo menyeringai dan mengangguk sambil bangkit berdiri. “Baiklah. Aku pergi sekarang. Tiga bulan lagi aku datang ke sini untuk mengambil dua batang pedangku itu atau...... dua batang nyawa kalian!” Tanpa berkata apa-apa lagi diapun meloncat keluar dan Yauw Ban segera menyambutnya.

“Bagaimana, Beng-cu?”

“Suruh Wei-ho Cap-sha-kwi berjaga di sekeliling rumah ini setiap hari, jangan sampai Thio Wi Han terganggu pekerjaannya dan jangan sampai mustika naga itu dirampas orang. Ingat, mereka harus tutup mulut dan tidak boleh banyak bicara tentang kunjungan kita ke sini. Dan engkau sendiri, sedikitnya seminggu dua kali harus menjenguk dan melihat keadaan di sini. Setelah tiga bulan, dua pedang itu selesai dan barulah aku sendiri yang akan datang mengambilnya. Mengerti?”

“Baik, Beng-cu!” kata Yauw Ban.

Hek-sim Lo-mo lalu berkelebat lenyap dan Yauw Ban segera memanggil Wei-ho Cap-sha-kwi yang kini menjadi anak buah Hek-sim Lo-mo, memerintahkan mereka untuk melaksanakan tugas pertama mereka dengan baik.

“Ingat, menjadi pembantu-pembantu Beng-cu hanya ada dua pilihan. Bekerja dengan baik akan mendapatkan imbalan yang amat berharga dan kalian akan dapat hidup berkecukupan, juga terhormat dan terpandang. Sebaliknya, kalau kalian berkhianat, biar kalian lari ke dalam neraka sekalipun, Beng-cu akan dapat menangkap kalian dan kalian akan mengalami siksaan yang akan membuat kalian merasa menyesal telah hidup di dunia ini. Mengerti?”

Demikianlah, Wei-ho Cap-sha-kwi membuat gubuk darurat tak jauh dari rumah Thio Wi Han dan mereka itu setiap saat berjaga dengan bergiliran sehingga tidak pernah gerak gerik suami isteri itu luput dari pengamatan mereka. Tiga-empat hari sekali, Yauw Ban muncul dan menjenguk mereka dan baru pergi lagi setelah merasa puas bahwa tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan, dan bahwa Thio Wi Han setiap hari sibuk di dalam bengkelnya.

Y

Kita tinggalkan dulu Thio Wi Han yang sedang sibuk memenuhi pesanan Hek-sim Lo-mo membuatkan dua batang pedang dari benda keramat bernama Liong-cu itu dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Kim Cu atau yang kini dikenal di daerah Lok-yang sebagai Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam)!

Setelah melakukan balas dendam kepada musuh-musuhnya, Hek-liong-li meninggalkan Lok-yang dan hendak pergi ke Kim-san (Bukit Emas) untuk mencari kuburan tua di mana menurut subonya dahulu disimpan Kim-san Liong-cu yang diperebutkan.

Kim Cu melakukan perjalanan dengan wajah cerah. Hatinya dipenuhi kegembiraan karena dengan hasil yang baik sekali baginya, ia telah melakukan balas dendam dan menghajar orang-orang yang dahulu membuat hidupnya sengsara.

Kini ia mengambil keputusan untuk mencari mustika naga seperti yang dipesankan gurunya dan kalau sudah mendapatkannya, ia akan menyuruh seorang ahli membuatkan sebatang pedang dari mustika naga seperti yang pernah didengar dari subonya. Kalau sudah begitu, ia benar-benar siap untuk menentang segala kejahatan di dunia ini. Ia sengsara, kehilangan ayah ibu karena kejahatan yang dilakukan manusia. Kini ia tidak mempunyai apa-apa lagi, tiada sanak keluarga, tiada rumah tinggal, hidup bebas lepas seperti seekor burung di udara.

Dan ia akan menempuh segala macam petualangan hidup dan akan selalu menentang penjahat-penjahat, juga untuk menyenangkan dirinya yang sudah banyak mengalami pahit getir kehidupan dunia. Wajahnya cerah dan langkahnya ringan karena kini tidak ada beban dalam batinnya. Ia benar benar merasa seperti seekor burung yang beterbangan melayang-layang di angkasa!

Kalau orang berjumpa di jalan dengan wanita ini, tentu dia tidak akan menyangka sedikitpun juga bahwa ia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, seorang yang sakti, murid tunggal Huang-ho Kui-bo, seorang datuk wanita yang namanya sudah hampir dilupakan orang karena puluhan tahun wanita tua renta ini bertapa.

Siapa yang akan mengira bahwa wanita cantik jelita, yang usianya baru duapuluh tiga tahun itu, memiliki ilmu kepandaian yang hebat? Tubuh ramping dengan lekuk lengkung tubuh wanita yang sudah matang, padat berisi, dengan kulit yang putih mulus dihias warna kemerahan dan kekuningan.

Kulit yang nampaknya tipis dan halus namun yang sesungguhnya kalau sudah dialiri sinkang yang dikuasai wanita itu, akan menjadi kebal dan tidak akan mudah terluka oleh bacokan senjata tajam! Rambutnya hitam panjang dan halus, agak ikal dan digelung secara sederhana di atas kepala, ditusuk dengan tusuk sanggul dari perak yang dihias ukiran naga kecil di antara bunga teratai.

Wajahnya berbentuk bulat telur, dagunya agak meruncing dengan mulut yang kecil dan manis bentuknya. Sepasang bibir itu, terutama yang bawah, nampak selalu merah membasah, merah aseli bukan karena gincu pemerah bibir. Bibir yang selalu tersenyum itu dihias lesung pipit yang menjadi semakin dalam dan jelas kalau senyumnya melebar, dan di bawah mata kiri terdapat sebuah tahi lalat hitam kecil di atas pipi. Lesung pipit dan tahi lalat kecil menjadi penambah kemanisan yang menggairahkan hati setiap orang pria yang melihatnya.

Sepasang mata yang kadang-kadang mencorong penuh wibawa dan kekuatan itu, hampir selalu nampak bersinar dan jeli sehingga wajahnya seperti orang yang gembira, berseri-seri. Namun, lekukan kecil di tengah dagu membayangkan betapa di balik semua keramahan dan kemanisan itu terdapat kekerasan yang menggiriskan.

Ia tidak membawa senjata apapun, maka orang takkan mengira bahwa ia adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, walaupun kenyataan bahwa seorang wanita muda cantik jelita melakukan perjalanan seorang diri sudah menunjukkan bahwa wanita itu tentulah seorang kang-ouw dan tentu pandai ilmu silat untuk menjaga diri.

Dari Lok-yang ia menuju ke tepi Sungai Kuning dan dari sini ia lalu menyusuri sepanjang pantai sungai yang besar dan panjang ini karena Kim-san atau Bukit Emas berada di lembah Sungai Kuning. Tidak ada peristiwa penting terjadi selama ia melakukan perjalanan itu, akan tetapi pada suatu hari, tibalah ia di dusun Cia-siang teng, sebuah dusun yang menjadi bandar sungai karena di situ orang mengangkut segala macam dagangan seperti rempa-rempa, kayu, bambu dan hasil pertanian lain yang diangkut dengan perahu menuju ke kota-kota di sebelah hilir. Juga terdapat banyak perahu nelayan karena di daerah itu terdapat banyak ikannya.

Karena kesibukan para pengangkut barang dagangan dan para nelayan, maka dusun itu cukup ramai dan pada hari itu, masih cukup pagi, ketika Kim Cu tiba di Cia-siang-teng. Orang-orang sedang sibuk mengangkat barang dagangan ke dalam perahu-perahu dan para nelayan juga sibuk mempersiapkan perahu mereka untuk pergi berlayar mencari ikan.

Karena perkampungan itu juga merupakan perkampungan nelayan, maka ketika memasuki dusun itu, oleh Kim Cu sudah tercium bau amis ikan membusuk, dan nampak banyak ikan-ikan kecil dijemur di depan rumah untuk dijadikan ikan asin. Melihat ini, Kim Cu membayangkan adanya ikan segar dan perutnya yang sejak kemarin siang tidak diisi itu mendadak terasa lapar. Ia lalu pergi ke tepi sungai yang ramai dengan maksud mencari dan membeli ikan segar yang baru ditangkap nelayan.

Begitu Kim Cu tiba di tempat ramai, banyak pasang mata laki-laki melekat kepadanya, bahkan ada pula yang berbisik-bisik dan mereka yang agak nakal dan berani ada yang mengeluarkan suara suitan kagum. Namun, sambil tersenyum manis, Kim Cu tidak memperdulikan mereka semua dan mencari-cari sampai akhirnya ia melihat seorang wanita tua menghadap sekeranjang ikan-ikan segar.

Ketika Kim Cu melihat betapa di dalam keranjang itu, selain ikan, juga terdapat belasan ekor udang besar, timbul seleranya. Sudah lama ia tidak makan udang seperti itu dan ia tahu betapa lezatnya daging udang itu, kalau pandai memasaknya.

Ia membungkuk untuk memeriksa apakah udang-udang itu masih segar, disambut oleh nenek yang memuji-muji dagangannya.

Pada saat itu, tak jauh dari situ Kim Cu mendengar suara ribut-ribut. Ia memutar tubuh memandang dan ternyata seorang laki-laki tinggi kurus sedang memukuli seorang laki-laki setengah tua berpakaian nelayan. Laki-laki tinggi kurus itu berpakaian ringkas seperti pakaian japo silat, dan melihat cara dia memukul dan menendang, Kim Cu maklum bahwa orang itu sedikit banyak menguasai ilmu silat.

Laki-laki yang dipukuli itu berusia kurang lebih limapuluh tahun dan dia kini berlutut dalam keadaan babak belur sambil minta ampun. Laki-laki tinggi kurus yang usianya sekitar tigapuluh lima tahun, berdiri di depannya, bertolak pinggang. Sebuah tas tergantung di pinggangnya. Melihat orang yang dipukulinya berlutut minta ampun, dia menyeringai.

“Heh-heh, setelah dihajar, baru minta ampun, ya? Tidak ada ampun, engkau telah menipuku! Kaubilang semalam hanya memperoleh dua keranjang ikan dan kau hanya menyerahkan harga sekeranjang ikan kepadaku! Pada hal, menurut penyelidikanku, engkau semalam memperoleh tiga keranjang! Engkau harus dihajar dan dipatahkan kaki tanganmu agar semua nelayan melihatnya dan hukuman ini menjadi contoh!” Berkata demikian, si tinggi kurus itu kembali menendang.

“Bukkk!” dada nelayan itu tertendang, tubuhnya terjengkang dan terguling-guling. Nelayan itu merangkak bangkit dan berlutut kembali. Dari mulutnya keluar darah segar.

“Ampunkan saya...... benar memang saya telah menyembunyikan hasil yang sekeranjang itu. Akan tetapi...... saya butuh uang, anak saya sakit dan sekeranjang ikan itn untuk pembeli obat......”

“Alasan! Sesudah mencuri dan ketahuan baru mencari alasan!”

“Saya........ saya tidak mencuri...... ikan itu hasil pekerjaan saya sendiri semalam suntuk.....”

“Mulut busuk! Semua hasil di sungai ini, setengah bagian adalah milik Beng-cu, mengerti? Kami hanya petugas untuk mengumpulkan hasil dan bagian itu, dan engkau berani sekali mencuri, menipu!” Dan kini tangan kaki orang tinggi kurus itu bekerja dengan cepat, memukul dan menendang sehingga nelayan setengah tua itu kembali terguling-guling dan mukanya bengkak-bengkak.

Tiba-tiba terdengar jerit wanita, “Ayaaahh......!” Seorang gadis berusia kurang lebih limabelas tahun datang berlari-lari dan iapun menubruk ayahnya yang disiksa itu. “Ayahhh.......! Ia merangkul ayahnya, lalu memandang kepada si tinggi kurus yang menyiksa, “Jangan...... jangan pukuli ayahku! Sekeranjang ikan itu untuk membeli obat karena aku sakit “

Si tinggi kurus memandang gadis itu dan dia menyeringai. “Hemm, ini anakmu, ya? Hemm, manis juga!”

Memang gadis itu cukup manis, dengan tubuh yang mulai menjadi dewasa, bagaikan setangkai bunga yang sedang mulai mekar.

“Sudahlah, kulupakan sekeranjang ikan itu, asal anakmu mau menemani aku, semalam!” Dia lalu menangkap pergelangan tangan anak perempuan itu dan menariknya bangkit berdiri. “Hayo, manis, ikut bersama aku, heh-heh!”

“Tidak......! Lepaskan aku.....!” Gadis itu meronta, akan tetapi tak mampu menarik lepas tangannya.

“Ah, jangan...... jangan ganggu anakku. Biarlah besok akan kuganti sekeranjang ikan itu!” Nelayan yang sudah payah itu bangkit dan mencoba untuk melindungi anaknya. Akan tetapi sebuah tendangan membuat dia terjungkal kembali.

Kim Cu melihat ini semua dan alisnya berkerut. Ia merasa heran mengapa sedemikian banyaknya orang yang berada di situ, tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani mencampuri, seolah-olah semua orang takut belaka kepada si tinggi kurus itu. Pada hal melibat gerakan-gerakannya, orang itu hanya memiliki kemampuan silat yang biasa saja. Demikian pengecutkah semua orang itu sehingga membiarkan saja orang disiksa, diperas, dan kemudian bahkan anak perempuannya hendak diganggu?

Dengan beberapa langkah saja Kim Cu sudah berada di depan si tinggi kurus dan suaranya terdengar lantang ketika ia membentak, “Lepaskan gadis itu!”

Si tinggi kurus yang tadinya sudah hendak pergi sambil menyeret gadis yang meronta- ronta, terkejut mendengar bentakan ini, terkejut dan heran karena sama sekali tidak disangkanya akan ada orang berani membentaknya seperti itu. Dan dia lebih heran lagi melihat bahwa yang membentaknya itu hanyalah seorang wanita!

Akan tetapi, ketika melihat wajah dan bentuk tubuh wanita muda yang membentaknya, hilanglah rasa marahnya dan dia menyeringai lebar, memandang wajah yang cantik jelita itu dengan penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki. Tentu saja wanita ini jauh lebih menarik dari pada gadis muda yang ditangkapnya.

“Eh? Engkau melarangku? Hemm, engkau tidak mengenal aku siapa, tentu kau datang dari luar daerah, nona manis. Kausuruh aku melepaskan gadis ini? Baiklah, ia kulepaskan. Lihat, sudah kubebaskan dara yang masih terlalu muda ini. Pergilah kamu dan ajak ayahmu!” katanya kepada anak perempuan yang segera lari menghampiri ayahnya.

Kini si tinggi kurus kembali menghadapi Kim Cu dan menyeringai penuh kagum. “Dan setelah ia kubebaskan, engkau harus menjadi penggantinya, nona manis. Semalam menemaniku, engkau tidak akan kecewa, heh-heh!”

Semua orang kini memandang dengan hati tertarik dan tegang. Mereka semua memang takut kepada orang ini, bukan takut kepada orangnya, melainkan kepada kekuasaan yang berdiri di belakangnya. Si tinggi kurus itu adalah seorang di antara orang-orang anak buah Twa-to Ngo-houw (Lima Harimau Bergolok Besar), yaitu lima orang bekas bajak-bajak sungai yang amat kejam dan namanya ditakuti semua orang.

Sejak beberapa tahun ini, Twa-to Ngo-houw tidak lagi menjadi bajak sungai, akan tetapi mereka memeras dari semua pedagang dan nelayan untuk memberi “bagian keuntungan” kepada mereka sebagai “balas jasa” karena Twa-to Ngo-houw merasa telah melindungi mereka dari ancaman kejahatan! Karena sudah kerap kali terjadi orang yang membangkang disiksa bahkan ada pula yang dibunuh, akhirnya peraturan semacam pajak paksaan ini terpaksa diterima oleh semua orang.

Twa-to Ngo-houw sendiri berhenti menjadi bajak setelah mereka ditundukkan dan takluk kepada Beng-cu, yaitu Hek-sim Lo-mo! Mereka memungut “pajak” itupun untuk disetorkan kepada Beng-cu, akan tetapi tentu saja tidak sebesar yang diambilnya secara paksa dari para pedagang dan nelayan itu. Biasa, seperti selalu berlaku dalam kehidupan orang-orang yang menjadi hamba nafsu mementingkan diri sendiri, penyalahgunaan kekuasaan terjadi di mana-mana. Korupsi meraja lela.

Melihat seorang wanita asing berani menegur si kurus yang kini malah jelas ingin mengganggunya, semua orang merasa khawatir, akan tetapi tidak ada yang begitu berani mati untuk mencampurinya.

Sementara itu, Kim Cu yang mendengar ucapan si tinggi kurus, tetap tersenyum manis, lalu berkata dengan suara merdu, “Bagaimana engkau dapat mengajak aku bersenang-senang kalau kedua lenganmu patah tulangnya?”

“Ehh?” Si tinggi kurus memandangi kedua lengannya. “Kedua lenganku sama sekali tidak patah, heh-heh!” Dia tertawa memperlihatkan deretan gigi panjang dan kuning tak terpelihara.

“Sekarang belum, akan tetapi aku akan mematahkan kedua lenganmu sebagai hukuman atas kekejamanmu terhadap nelayan tua dan anak perempuannya tadi,” kata pula Kim Cu sikapnya tetap tenang.

Semua orang terbelalak dan merasa semakin tegang dan khawatir. Semua menghentikan pekerjaan mereka dan menonton peristiwa yang akan terjadi di depan mata mereka. Tentu saja ada banyak di antara mereka yang mengharapkan bahwa wanita cantik itu bukan hanya berani bicara saja, melainkan juga mempunyai kekuatan untuk membuktikan sikap dan kata-katanya.

Si tinggi kurus menjadi marah, akan tetapi karena dia menghadapi seorang wanita cantik yang dia harapkan akan dapat menghiburnya malam itu, dia menahan kemarahannya. Tentu saja dia memandang rendah wanita cantik ini, yang kelihatan begitu lemah dan sama sekali tidak kelihatan kasar seperti wanita kang-ouw kebanyakan. Tidak ada senjata padanya, juga gerak geriknya lemah gemulai, lembut dan halus, tidak seperti wanita kang-ouw yang biasanya kelihatan kokoh kuat dan kejantan-jantanan.

“Ha-ha, jangan main-main di sini, nona manis. Marilah, kalau hendak main-main, nanti di kamarku, ha-ha-ha!”

“Plakkk!” Tiba-tiba suara ketawa itu terhenti karena tangan kiri Kim Cu telah menyambar dengan amat cepatnya, menampar pipi kanan orang itu.

Demikian kuat tamparannya sehingga seketika pipi itu bengkak, membiru dan mulutnya mengeluarkan darah karena selain bibir kanan pecah, juga semua gigi yang berada di sebelah kanan mulutnya rontok dan tanggal semua! Dengan mata berapi saking marahnya dia meludahkan gigi dan ludah merah, lalu membentak dengan suara yang kurang jelas karena mulutnya membengkak, tangan kirinya sudah mencengkeram ke depan, ke arah dada Kim Cu! Serangan yang berbahaya dan juga kurang ajar, seolah hendak dicengkeramnya buah dada wanita itu.

Kim Cu bersikap tenang saja, seperti membiarkan buah dadanya dicengkeram, akan tetapi setelah tangan orang itu mendekati dadanya, tiba-tiba lengan kanannya membacok dari dalam keluar, menangkis lengan kiri si tinggi kurus.

“Krekkk!” lengan kiri itu seketika lumpuh karena tulang lengannya patah dibacok tangan Kim Cu yang dimiringkan!

“Aughhhhh......!” Si tinggi kurus mengaduh-aduh, akan tetapi karena dia seorang yang biasanya ditaati dan tidak pernah dilawan, maka dia tidak tahu diri, tidak mau tahu bahwa wanita yang dilawannya jauh lebih lihai darinya. Tangan kanannya mencabut sebatang golok dari pinggang dan seperti orang gila mengamuk, dia membacokkan goloknya ke arah kepala wanita itu! Dengan amat mudah, Kim Cu miringkan tubuhnya dan ketika golok menyambar lewat, kembali ia membacokkan tangan yang dimiringkan ke arah lengan kanan lawan.

“Krekkk!” Kembali ada tulang lengan patah, sekali ini lengan kanan si tinggi kurus. Golok itu terlepas dan si tinggi kurus sambil mengaduh-aduh dan menangis karena kesakitan, memutar tubuh dan menjerit-jerit memanggil kawan-kawannya yang sedang mengumpulkan hasil pungutan pajak di bagian lain tak jauh dari situ.

Tiga orang datang berlari-lari dan mereka mencabut golok, langsung mengeroyok Kim Cu.

Wanita ini tersenyum. “Wah, ada tiga ekor monyet lain lagi yang ingin merasakan patah lengannya!” katanya dan tiba-tiba tubuhnya lenyap menjadi bayangan yang berkelebatan di antara tiga orang pengeroyoknya dan segera terdengar teriakan-teriakan kesakitan, tiga batang golok beterbangan dan merekapun mengaduh sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kiri karena lengan kanan itu telah patah tulangnya! Kini tanpa dikomando lagi, empat orang jagoan itu lalu melarikan diri dari tempat itu seperti dikejar setan!

Setelah mereka pergi, barulah terdengar orang bersorak dengan gembiranya. Semua dendam sakit hati mereka terhadap anak buah Twa-to Ngo-houw yang selama ini mereka pendam dan mereka tahan di lubuk hati, kini sedikit banyak telah terobati dengan melihat empat orang anak buah Twa-to Ngo-houw itu mendapat hajaran keras sampai tulang lengan mereka patah-patah! Wanita tua penjual ikan dan udang tadi segera menghampiri Kim Cu dengan wajah berseri.

“Nona boleh mengambil semua udang ini, kuberikan kepadamu, nona!” katanya.

Kim Cu menggeleng kepala dan mengeluarkan uang. “Jangan, bibi. Engkau bukan orang kaya untuk memberi hadiah. Aku hanya minta tolong agar engkau suka menunjukkan di mana ada warung yang mau menggorengkan udang ini untukku.”

Seorang nelayan muda datang menghampiri. “Nona, kiranya tidak akan ada orang yang mau atau berani membantumu. Ketahuilah, bahkan kami mengharap agar engkau suka cepat-cepat pergi sekarang juga dari sini, nona. Demi...... demi keselamatanmu sendiri. Kami tidak ingin melihat nona celaka!”

Kim Cu memandang ke sekeliling dan kiranya banyak orang sudah berkumpul di situ dan semua orang mengangguk. Kini suasana menjadi gaduh karena banyak orang membujuk agar ia cepat pergi.

“Kenapa?” tanya Kim Cu walaupun ia sudah menduga.

“Mereka tadi anak buah Twa-to Ngo-houw, nona. Dan tentu sebentar lagi lima orang yang amat lihai itu akan datang atau orang-orangnya akan datang untuk mencelakai nona. Mereka tak mungkin tinggal diam saja melihat empat orang anak buah mereka dihajar tadi.”

“Biarlah kalau mereka datang. Akan kuhajar satu demi satu! Hendak kulihat sampai di mana kelihaian Twa-to Ngo-houw itu.”

“Akan tetapi, nona, Twa-to Ngo-houw bukan pemimpin pertama. Mereka hanya anak buah dari Beng-cu!” kata seorang pedagang yang agaknya lebih tahu akan urusan dunia kang-ouw.

Kim Cu tersenyum. “Kalau begitu, biarlah Beng-cu itu yang datang, aku akan menghadapinya dengan kepalanku!” Dengan gaya lucu Kim Cu mengepal tinju kanannya dan mengangkatnya ke atas. Semua orang merasa lucu akan tetapi khawatir. Kepalan itu kecil sekali, nampak lemah!

“Nona, kuharap engkau tidak berkata demikian,” kata orang yang biasa melakukan perjalanan sebagai pedagang dan yang sudah banyak mendengar itu. “Agaknya nona belum mengenal siapa itu Beng-cu. Kabarnya, seluruh penjahat di Propinsi He-nan dan Shan-tung sudah takluk kepadanya dan menjadi anak buahnya. Dan pernah aku mendengar bahwa beng-cu itu berjuluk Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang memiliki kesaktian seperti iblis sendiri.”

Kim Cu tertarik. Pernah ia mendengar dari subonya tentang Kiu Lo-mo, Sembilan Iblis Tua yang kabarnya turun ke dunia ramai dan yang merupakan sembilan orang datuk sesat yang amat lihai. Kalau Beng-cu itu seorang di antara mereka, sungguh ia harus berusaha menentangnya! Bukankah ia dengan susah payah mempelajari semua ilmu untuk menentang orang-orang jahat seperti mereka yang pernah menghancurkan kehidupannya dan membinasakan orang tuanya?

“Kalau begitu, biarlah Hek-sim Lo-mo sendiri datang, aku tidak takut!” katanya.

Mendengar ini, semua orang menjadi ketakutan, wajah mereka berobah pucat karena mereka tidak mengira bahwa nona ini demikian keras kepala. Bagaimana mungkin akan melawan semua datuk jahat yang mempunyai banyak anak buah dan juga kabarnya amat kejam dan berilmu tinggi itu?

Takut kalau terbawa-bawa, maka semua orang mulai mengundurkan diri cepat-cepat sehingga tempat itu menjadi sunyi! Perahu-perahu ditinggalkan, bahkan barang-barang dagangan yang tadinya sedang diangkut ke dalam perahu, kini ditinggalkan dan perahu-perahu ada yang bergegas meninggalkan tempat itu.

Melihat ini, Kim Cu mengerutkan alisnya. Betapa penakutnya rakyat jelata. Kalau rakyat jelata bersatu menghadapi para penjahat, kiranya tidak akan ada penjahat yang hidup di dunia ini. Tidak akan ada yang mampu melawan kekuatan rakyat apabila mereka bersatu. Berapa sih jumlahnya penjahat? Kalau dikeroyok oleh rakyat jelata, mereka itu akan dilindas habis! Sayang persatuan itu tidak ada, seperti nampak dalam sikap para penduduk dusun Cia-siang-teng ini.

“Nona, mari kubantu nona untuk masak udang-udang itu,” terdengar suara lirih.

Kim Cu menengok dan ia tersenyum girang. Kiranya masih ada orang yang berani mendekatinya dan tinggal di situ, yaitu bukan lain adalah nenek penjual ikan dan udang tadi!

“Bibi, apakah engkau tidak ikut pergi seperti yang lain? Engkau berani menghadapi ancaman Twa-to Ngo-houw?”

Nenek itu mengerutkan alisnya. “Nona, apa lagi yang perlu kutakuti? Mereka itu paling banyak hanya dapat membunuhku dan aku tidak takut mati. Suami dan anak tunggalku juga sudah tewas setelah mereka pukuli. Biarlah mataku yang tua ini melihat mereka mendapat lawan yang tangguh seperti nona, yang akan menghajar mereka yang jahat itu! Mari, nona, mari ikut dengan aku ke rumahku dan aku akan membuatkan udang bakar yang lezat untukmu.”

Kim Cu membantu nenek itu membawa udang dan ikan, lalu mereka berdua menuju ke rumah nenek itu, sebuah rumah gubuk terpencil di tepi sungai. Nenek itu hidup seorang diri dan keadaan gubuknya miskin sekali sehingga Kim Cu merasa terharu.

Sebaliknya, nenek itu nampak gembira sekali. “Nona, udang besar seperti ini paling enak kalau dibakar dalam tanah liat, kemudian dagingnya dimakan dengan kecap dan saus. Biar kubuatkan sausnya, dan tolong kaucarikan tanah liat di tepi sungai sebelah sana!”

Kim Cu juga merasa gembira. Ia merasa seperti menjadi keponakan nenek itu dan iapun cepat mencarikan tanah liat. Ia membantu nenek itu, atas petunjuk nenek itu, untuk membungkus udang-udang besar itu, lima ekor banyaknya, dengan tanah liat, kemudian tanah liat itu dibakar di dalam api membara, api arang yang panas.

“Setelah tanah liatnya mengering dan pecah-pecah, baru boleh diangkat. Jangan lupa untuk membolak-balik bungkusan udang itu, nona,” pesan sang nenek yang sibuk membuatkan bumbu-bumbu, dan juga menanak nasi.

Setelah tanah liat yang membungkus udang-udang itu kering dan pecah-pecah, udang bakar itu diangkat dari api. Nenek itu lalu mengupas tanah liat yang sudah kering dan bersama tanah liat itu, terkupas pula kulit udang! Kini yang tinggal hanyalah daging udang yang putih kemerahan, berbau sedap dan nampak menantang mulut sehingga Kim Cu terpaksa harus menelan air liurnya.

Nasipun sudah matang dan kini ditemani oleh sang nenek, Kim Cu makan dan harus diakuinya bahwa selama hidupnya belum pernah ia merasakan makan nasi sedemikian nikmat dan lezatnya. Bakar udang itu memang lezat bukan main. Gurih dan manis, dan tidak berbau amis. Daging udang sebesar empu jari kaki itu terasa kenyal dan gurih, apa lagi diberi bumbu kecap dan saus. Sedap bukan main, dan ada rasa manis aseli dari daging itu. Tanpa disadari, Kim Cu makan lebih banyak dari biasanya.

Baru saja mereka selesai makan dan Kim Cu mencuci tangannya dengan daun jeruk untuk mengusir sisa bau amis, terdengar suara gaduh dan ketika ia menengok, ternyata ada lima orang laki-laki menunggang kuda datang ke tempat itu bersama dua di antara empat orang anak buah Twa-to Ngo-houw yang dihajarnya tadi.

Melihat mereka, nenek itu nampak berubah pucat wajahnya dan iapun menyelinap ke dalam gubuknya sambil berkata, “Masa bodoh, nona. Itu Twa-to Ngo-houw sendiri muncul!”

“Jangan khawatir, bibi, aku akan menghajar mereka untuk membalas sakit hatimu kehilangan suami dan anak,” jawab Kim Cu yang sudah bangkit berdiri dan menanti mereka di pekarangan gubuk itu yang terbuka dan luas.

Sunyi di sekitarnya. Rumah-rumah para tetangga tertutup pintu dan jendelanya, akan tetapi Kim Cu dapat menduga bahwa banyak mata penduduk mengintai dari tempat persembunyian mereka. Iapun berdiri tegak dan dengan sikap tenang menanti datangnya lima orang penunggang kuda itu sambil memandang penuh perhatian.

Mereka memang menyeramkan. Lima orang laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan pantas kalau disebut Lima Harimau. Usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun, dengan pakaian yang mentereng, tubuh yang kokoh kuat dan ada sebatang golok besar terselip di punggung masing-masing. Golok telanjang itu besar dan mengkilat tajam.

Juga kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda pilihan yang tinggi dan kuat. Dua orang anak buah mereka itu ikut berlari kecil di samping kuda dan melihat Kim Cu, keduanya segera menuding dengan tangan yang masih sehat karena sebelah lengan yang lain dibalut dan patah tulangnya.

“Itulah ia......!”

Dengan gerakan yang cekatan sekali lima orang itu berloncatan turun dari atas kuda mereka dan kini dua orang anak buah yang lengannya digantung sebelah itu mengurus lima ekor kuda, dibawa ke bawah pohon-pohon, sedangkan lima orang itu melangkah lebar dan dengan sikap mengancam menghampiri Kim Cu yang masih berdiri tegak dan tenang. Puluhan pasang mata dari para penduduk dusun itu mengintai dari tempat persembunyian mereka.

Mereka menahan napas dengan hati tegang dan penuh kekhawatiran. Bagaimana mungkin nona yang cantik jelita itu akan mampu menandingi Lima Harimau Bergolok Besar itu? Seorang saja di antara mereka berlima sudah merupakan seorang lawan yang amat kuat, dan para penduduk dusun itu pernah melihat seorang di antara mereka, yang rambut kepalanya botak dan merupakan orang termuda di antara mereka, setahun yang lalu menawan seorang wanita muda dari luar daerah yang kebetulan berkunjung bersama suaminya di dusun itu.

Tentu saja sang suami dibantu oleh belasan orang temannya, melakukan perlawanan. Terjadilah perkelahian, namun si kepala botak itu merobohkan si suami bersama belasan orang temannya. Mereka semua terluka dan si botak itu melarikan isteri orang seenaknya saja! Baru orang yang termuda itu saja demikian kejam dan lihai, apa lagi kini mereka berlima datang semua!

Orang termuda dari Twa-to Ngo-houw memang seorang laki-laki mata keranjang yang suka mempermainkan wanita mana saja yang menarik hatinya, tidak perduli ia itu perawan, janda ataukah isteri orang. Kini, melihat betapa gadis yang menurut pelaporan anak buah tadi telah melukai empat orang anak buah, ternyata adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan manis, tentu saja seketika dia tertarik dan timbul gairahnya.

“Ha-ha-ha, twako, berikan gadis ini kepadaku dan biarkan aku yang akan menghukumnya!” katanya sambil meloncat ke depan menghadapi Kim Cu.

Orang pertama dari Twa-to Ngo-houw bernama Boan Ke, bermuka hitam bopeng dan melihat Kim Cu, diapun memandang rendah. Tentu akan memalukan kalau Twa-to Ngo-houw, lima jagoan yang merajalela di sepanjang Sungai Kuning daerah itu, kini harus mengeroyok seorang gadis! Maka, mendengar permintaan adiknya termuda, si botak yang bernama Su Leng, diapun mengangguk.

Memang sebaiknya kalau gadis yang telah lancang melukai empat orang anak buahnya ini diserahkan kepada Su Leng, biar adik keempat ini menyiksa dan mempermainkannya sampai mati untuk menghukumnya. Maka diapun mengangguk sambil tertawa, dan tiga orang adiknya yang lainpun ikut tertawa. Mereka berempat tidak memiliki kesukaan yang sama dengan Su Leng, akan tetapi mereka akan bergembira melihat betapa gadis itu akan dipermainkan dan ditundukkan oleh adik mereka yang termuda.

Dengan lagak yang membuat hati Kim Cu merasa jijik dan juga geli, kini Su Leng menghampiri Kim Cu. Dipandangnya wanita itu dari kepala sampai ke kaki dan hatinya girang bukan main karena dia mendapat kenyataan betapa wanita ini memang cantik jelita, berkulit mulus dengan tubuh padat dan menggairahkan. Dia menyeringai lebar.

“Nona manis, engkaukah yang telah main-main dengan empat orang anak buah kami tadi?”

Kim Cu tersenyum, demikian manisnya senyum ini sehingga Su Leng hampir saja jatuh terkulai karena tubuhnya terasa lemas seketika! “Benar, aku yang telah menghajar empat ekor anjing peliharaanmu itu!”

Biarpun ia tersenyum dan nada suaranya merdu dan halus, namun isi kata-katanya menusuk perasaan sehingga Su Leng mengerutkan alisnya dan kemarahan menyelinap di hatinya, membuat dia bicara dengan suara kasar.

“Nona, siapakah sebenarnya engkau? Siapa namamu?”

“Namaku tidak perlu kalian ketahui dan sebaiknya kalian lekas menggelinding pergi dari sini dan jangan mengganggu aku dan penduduk dusun ini lebih lanjut!”

Su Leng kini tertawa bergelak, merasa lucu bahwa seorang gadis cantik jelita dan lemah begini berani mengeluarkan ucapan demikian besar dan mengusir mereka, Twa-to Ngo-houw!

“Aih, nona manis. Agaknya engkau belum mengenal siapa kami, ya?”

“Tentu saja aku mengenal kalian,” kata Kim Cu dan memperlebar senyumnya sehingga nampak deretan giginya yang teratur rapi dan berkilauan putih seperti mutiara. “Kalian adalah Lima Anjing Bergolok Tumpul, benarkah?”

Lima orang itu menjadi merah mukanya dan Su Leng membentak marah. “Perempuan sombong! Aku akan mempermainkan kamu sampai habis-habisan, kemudian kau akan kuserahkan kepada empat orang anak buah kami tadi agar kau disiksa sampai mampus!” Berkata demikian, Su Leng sudah menubruk ke depan, tangan kiri mencengkeram ke arah rambut kepala, tangan kanan mencengkeram dada!

Su Leng masih belum mengeluarkan goloknya karena dia masih memandang ringan lawannya. Pula, dia ingin menangkap wanita itu hidup-hidup, dalam keadaan tidak terluka agar dia akan dapat mempermainkan dan menikmatinya sepuas hatinya sebelum menyerahkan wanita itu kepada empat orang anak buahnya. Gerakannya cepat dan kedua tangannya mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat ketika dia menubruk ke depan itu.

Namun, bagi Kim Cu, kecepatan dan kekuatan serangan itu bukan apa-apa, bahkan baginya nampak lamban dan lemah. Kalau ia menghendaki, tentu segebrakan saja ia akan mampu merobohkan orang ini dan sekaligus membunuhnya. Tingkat kepandaian Kim Cu jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian lima orang jagoan ini.

Dengan kecepatan kilat, kedua tangan Kim Cu bergerak menyambut dan mendahului lawan dengan menotok ke arah kedua siku. Totokan itu tidak nampak saking cepatnya dan tiba-tiba saja Su Leng merasa betapa kedua lengannya menjadi lemas kehilangan tenaga, dan pada saat itu, tangan kiri Kim Cu menampar ke depan, dengan punggung tangannya ia menghajar ke arah hidung Su Leng.

“Prakkk!” Tamparan itu demikian kuatnya sehingga Su Leng merasa kepalanya terputar dan untuk menjaga agar lehernya tidak patah, diapun mengikuti dengan tubuhnya yang berpusing. Ketika putaran tubuhnya terhenti, empat orang kakaknya melihat betapa muka itu penuh darah dan ternyata hidung Su Leng telah remuk!

Su Leng mengeluarkan suara aneh. Dia memaki-maki kalang kabut, akan tetapi karena bukit hidungnya remuk dan lubangnya tersumbat, suaranya bindeng dan tidak karuan sehingga terdengar lucu dan aneh. Dia lalu mencabut goloknya dan dengan kemarahan meluap dia sudah menyerang Kim Cu dengan golok itu.

Golok besar di tangannya itu memang berbahaya sekali. Golok itu besar dan berat, juga amat tajam, dan di tangan Su Leng, golok itu seperti hidup, menyambar-nyambar dan bentuk goloknya lenyap berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung! Kemarahan dan sakit hati membuat gerakan golok di tangan Su Leng lebih dahsyat lagi dari pada biasanya.

Kini, nafsu berahinya yang timbul karena melihat kecantikan Kim Cu lenyap sama sekali, terganti nafsu amarah dan kebencian yang bagaikan api berkobar-kobar dan satu-satunya niat di hatinya kini hanyalah mencincang tubuh wanita yang telah membikin remuk hidungnya itu!

Namun, hujan serangan golok itu disambut dengan tenang saja oleh Kim Cu. Ia segera mempergunakan Liu-seng-pouw (Langkah Bintang Cemara), satu di antara ilmu yang dipelajarinya dari Huang-ho Kui-bo. Liu-seng atau bintang Liu (semacam cemara) adalah kedudukan enam bintang yang letaknya segi tiga melingkar dan ketika ia mempergunakan langkah ajaib ini, maka tubuhnya nampak selalu menyelinap di antara sambaran golok! Dengan langkah ajaib ini, golok di tangan Su Leng tidak pernah mengenai sasaran, bahkan tak pernah mampu menyentuh ujung baju Kim Cu sama sekali.

Enak saja gadis itu melangkah ke depan belakang, ke kanan dan ke kiri sesuai dengan kedudukan kelompok Bintang Liu. Hebatnya, ia bukan saja mampu menghindarkan semua serangan golok, bahkan ia masih sempat memutar tubuhnya dan beberapa kali ia berada di belakang lawan! Hal itu membuat Su Leng penasaran sekali. Dia mempercepat gerakan goloknya, namun sia-sia belaka, bahkan tiba-tiba terdengar Kim Cu membentak nyaring.

“Anjing busuk, pergilah!” Ucapan ini disusul sebuah tendangan kilat yang mengenai pinggul Su Leng, membuat tubuh si botak ini terlempar dan terpelanting, lalu jatuh terbanting dengan keras. Karena dia terbanting dengan kepala lebih dulu, maka kepalanya benjol besar dan diapun menjadi pening tujuh keliling, sampai lama tidak mampu bangkit berdiri, hanya duduk sambil memegangi kepalanya yang berputaran. Bintang-bintang nampak menari-nari di depan matanya!

Empat orang kakak Su Leng menjadi terkejut, heran dan juga marah sekali. Bagaimana mungkin adik mereka itu dengan golok di tangan demikian mudah dirobohkan oleh gadis yang tidak terkenal, bahkan yang bertangan kosong itu? Tanpa menanti komando, empat orang itu mencabut golok masing-masing dan merekapun mengepung Kim Cu dari empat penjuru dan mulailah mereka menyerang dan mengeroyok!

Kim Cu maklum bahwa kalau empat orang itu maju berbareng, ia harus lebih waspada. Bagaimanapun juga, empat batang golok yang berat dan bergerak cepat menyambar-nyambar dari empat penjuru itu tidak boleh dibuat main-main. Iapun cepat memainkan ilmu silat tangan kosong yang disebut Bi-jin-kun (Silat Wanita Cantik), satu di antara ilmu yang dipelajarinya dari subonya.

Bi-jin-kun merupakan ilmu silat yang gerakannya lemas, halus dan indah sekali. Seorang wanita yang kurang cantik sekalipun akan nampak menarik kalau pandai bermain silat ini, apa lagi seorang wanita seperti Kim Cu! Ia memang sudah cantik jelita dan manis, maka begitu ia bersilat Bi-jin-kun, ia nampak seperti seorang bidadari sedang menari-nari dengan lemah gemulai dan amat indahnya!

Empat orang pengeroyoknya terbelalak kagum dan mereka seperti menghadapi seorang wanita yang menari-nari amat indah. Anehnya, tarian itu bukan sembarang tarian, melainkan mengandung gerakan yang amat cekatan dan lemas, ditunjang tenaga yang amat kuat. Dari manapun datangnya golok yang menyambar, selalu dapat dielakkan oleh wanita cantik itu, dengan gerakan yang amat indah pula, seolah-olah mengejek empat orang pengeroyoknya.

Kim Cu terus memainkan ilmu silat aneh itu dan selain gerakannya indah sekali, juga ia tersenyum-senyum dan melirik-lirik penuh daya pikat! Ini memang merupakan keharusan dalam memainkan ilmu silat ini, dan akibatnya memang luar biasa sekali.

Empat orang itu kini kelihatan bingung, gerakan mereka kacau balau. Biarpun mereka berempat bukan laki-laki mata keranjang macam Su Leng, namun melihat wanita yang menari-nari demikian indah dan cantiknya, entah bagaimana, mereka merasa betapa tenaga mereka berkurang, bahkan gerakan mereka menjadi lemas. Senyum dan kerling mata wanita itu seperti mengelus perasaan mereka!

Memang inilah kehebatan Bi-jin-kun ciptaan Huang-ho Kui-bo. Bukan hanya gerakan ilmu silatnya yang lihai, juga mengandung daya pikat yang luar biasa, yang dapat mengacaukan gerakan lawan, membuyarkan pemusatan perhatian sehingga akan mudah mengalahkan lawan yang sudah kacau itu.

Tiba-tiba Kim Cu mempercepat gerakannya dan kini tubuhnya lenyap menjadi bayang¬bayang yang berkelebatan ke empat penjuru. Terdengar teriakan berturut-turut dan empat orang itupun satu demi satu roboh terkena tendangan atau tamparan tangan Kim Cu yang kecil halus namun mengandung tenaga sinkang ampuh itu! Mereka bergulingan dan menjauhkan diri, lalu berloncatan bangkit.

Su Leng juga sudah berdiri dan memandang dengan mata terbelalak melihat betapa empat orang kakaknya juga roboh oleh wanita itu, dengan menderita benjol-benjol atau matang biru, bahkan seorang di antara mereka patah tulang pundaknya!

Boan Ke, orang pertama dari Twa-to Ngo-houw, memandang dengan muka pucat dan dia berkata, “Apakah...... apakah engkau yang bernama Hek-liong-li dari...... dari Lok- yang itu?”

Kim Cu tersenyum. Tak disangkanya bahwa nama julukannya yang baru saja dikenal orang di Lok-yang itu demikian cepatnya sampai di tempat ini dan mereka ini mengenalnya. Ia mengangguk.

“Benar, aku adalah Hek-liong-li, lalu kalian mau apa?”

Boan Ke dan empat orang adiknya menjadi pucat. Mereka memang sudah mendengar nama itu, bahkan mereka dipesan oleh atasan mereka untuk mencari gadis dengan julukan Dewi Naga Hitam itu, akan tetapi tadi sama sekali mereka tidak menyangka bahwa mereka berhadapan dengan Hek-liong-li. Baru setelah mereka merasakan kelihaian gadis berpakaian serba hitam itu, timbul dugaan bahwa jangan-jangan gadis berpakaian hitam yang amat lihai ini adalah orang yang dicari oleh atasannya! Dan ternyata memang benar!

“Hek-liong-li, kalau benar engkau seorang gagah, jangan kau lari. Tunggu, kami akan segera datang kembali untuk membuat perhitungan denganmu!” kata Boan Ke dan dia bersama empat orang adiknya lalu berloncatan menuju ke lima ekor kuda mereka, meloncat ke atas punggung kuda dan tanpa bicara apa-apa lagi mereka melarikan kuda dengan cepat meninggalkan tempat itu!

Kasihan dua orang anak buah mereka itu yang terpaksa harus berlari-lari dengan lengan dibalut dan digantung karena kedua orang ini ketakutan setengah mati ditinggal oleh pimpinan mereka.

Kim Cu tidak mengejar, hanya berdiri mengikuti mereka dengan pandang matanya sambil tersenyum mengejek. Dan tak lama kemudian, bermunculanlah para penduduk dusun itu. Mereka tadi menonton dari tempat persembunyian mereka dan dengan penuh kekaguman, akan tetapi juga dengan penuh ketegangan. Mereka melihat betapa nona berpakaian hitam itu benar-benar dapat mengalahkan Twa-to Ngo-houw dan membuat mereka yang kejam dan jahat seperti setan itu melarikan diri terbirit-birit!

“Hidup Hek-liong-li......!” Teriak beberapa orang di antara mereka yang tadi mendengar juga percakapan di antara Twa-to Ngo-houw dan wanita cantik itu dan kini orang-orang dusun itu menjatuhkan diri berlutut di depan Kim Cu.

Sementara itu nenek penjual ikan tadi keluar dari dalam gubuknya dan langsung ia merangkul Kim Cu sambil menangis! Begitu terharu hati wanita ini sehingga ia menangis.

“Terima kasih...... terima kasih, nona......”katanya setelah ia dapat menguasai dirinya dan ikut pula menjatuhkan diri berlutut.

Kim Cu merasa tidak enak. “Harap kalian suka bangkit berdiri dan jangan berlutut seperti itu.”

Ia mengerti betapa hebat penderitaan orang-orang ini, tanpa ada yang mampu membela atau melindungi mereka, maka kini melihat ada orang berani menentang, bahkan telah menghajar para penindas mereka, penduduk dusun ini menjadi kegirangan. Sekarang katakanlah, siapa orang yang disebut Beng-cu dan menjadi atasan dari Twa-to Ngo-houw tadi?”

Orang yang tadi pernah bercerita tentang Beng-cu, yaitu orang yang biasa melakukan perjalanan sebagai pedagang, lalu maju mendekat. “Seperti yang telah saya ceritakan tadi, nona. Beng-cu itu kabarnya bernama atau berjuluk Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang memiliki kepandaian yang amat tinggi, juga mempunyai banyak anak buah yang lihai.”

“Di mana dia tinggal?” Kim Cu bertanya cepat. Ia berpendapat bahwa semua kekejaman yang terjadi dan dilakukan oleh anak buah Beng-cu itu baru akan dapat terhenti kalau kepalanya atau pimpinannya yang paling tinggi dibinasakan.

“Kabarnya di Lok-yang, nona. Kami sendiri tidak mengetahui......”

“Ahhh......!” Kim Cu benar-benar tercengang karena tidak pernah disangkanya bahwa seorang di antara Kiu Lo-mo berada di Lok-yang, kota yang baru saja ia tinggalkan. Kota di mana ia untuk pertama kali memperlihatkan kepandaiannya dan nama julukannya dikenal orang. “Kalau begitu aku akan mencarinya di Lok-yang. Kalian jangan khawatir, aku akan mencari dan membinasakan iblis jahat itu!”

Berkata demikian, sekali berkelebat tubuh gadis itu telah lenyap dan ketika semua orang memandang, ternyata ia telah berada jauh dari situ, berlari seperti terbang cepatnya. Semua orang terbelalak, lalu mereka kembali menjatuhkan diri berlutut ketika nenek itu berseru, “Ia tentu Kwan-im Pouw-sat yang datang menolong kita......”

Ketika malam tiba, Kim Cu bermalam di sebuah hutan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah mendaki bukit di depan. Di balik bukit itulah kota Lok-yang. Ia akan kembali ke kota itu, mencari Beng-cu yang berjuluk Hek-sim Lo-mo itu! Akan tetapi ketika ia tiba di puncak bukit dan memandang ke belakang, ia terkejut bukan main melihat asap keluar dari sebuah dusun, di tepi sungai.

Dari atas nampak jelas. Tentu ada rumah terbakar! Hatinya merasa tidak enak karena ia mengenal dusun itu sebagai dusun yang ditinggalkannya! Jangan-jangan terjadi sesuatu di sana! Maka, tanpa meragu lagi, iapun turun gunung dan berlari cepat kembali ke dusun itu!

Apa yang dikhawatirkan memang terjadi. Ia melihat para penduduk dusun ketakutan dan mereka berkumpul di tepi sungai. Ada dua buah rumah orang terbakar, ada pula yang telah habis dan menjadi abu. Sekelompok orang, dikepalai seorang nenek yang pakaiannya pesolek, sedang membentak-bentak semua orang dusun.

“Hayo katakan! Sekali lagi, katakan siapa yang tahu ke mana perginya setan cilik itu! Hek-liong-li datang untuk membantu kalian, bukan? Tentu ia memberitahu kalian ke mana ia pergi! Hayo, kalau tidak ada yang mau mengaku, akan kubakar semua rumah di dusun ini, dan akan kubunuh semua orang yang berada di sini!”

KIM CU memandang dengan alis berkerut.

Hatinya terasa panas sekali melihat betapa rumah gubuk nenek yang menjual ikan itu, telah habis menjadi abu dan semakin panas rasa hatinya ketika ia mengenal lima orang Twa-to Ngo-houw yang kini datang bersama seorang nenek. Ia memperhatikan nenek itu.

Usianya masih belum tua benar, paling banyak empatpuluh dua tahun, akan tetapi, wajahnya seperti nenek-nenek tua yang sudah keriputan! Tubuhnya memang masih padat berisi seperti seorang gadis saja, akan tetapi, mukanya nampak tua sekali walaupun dilapisi bedak tebal dan pemerah pipi dan bibir.

Wanita ini pesolek, pakaiannya mewah, dan sikapnya genit, karena matanya melirik-lirik dan mulutnya bergerak-gerak ke arah senyum genit, juga ketika melangkah lenggangnya dibuat-buat sehingga pinggulnya menari-nari. Tangan kanannya memegang sebatang cambuk yang ujungnya sembilan batang. Rambutnya panjang dikuncir dan dibiarkan berjuntai di atas pundak terus ke depan. Rambut inilah yang nampak menggelikan. Cara mengatur rambut itu seperti seorang gadis remaja saja!

Melihat betapa semua penduduk menggigil ketakutan, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka mau mengaku, diam-diam Kim Cu merasa terharu dan juga kagum. Bagaimana lemahpun, penduduk dusun ini sungguh memiliki kesetiaan dan tidak ada yang mau memberitahu bahwa ia pergi ke Lok-yang! Agaknya, wanita itu sudah marah dan tidak sabar lagi. Telah beberapa buah rumah dibakarnya, akan tetapi tak seorangpun di antara penduduk dusun itu mau membuka mulut.

“Kalian mengira aku menggertak saja, ya? Ingin melihat seorang di antara kalian mampus?” Ia mengangkat cambuknya dan terdengar suara meledak-ledak ketika ia menggerakkan cambuknya di udara. Terdengar sembilan kali ledakan nyaring disusul bentakannya, “Aku menghitung sampai tiga! Kalau tidak ada yang mengaku, berarti akan ada sembilan orang yang tewas di ujung cambukku! Satu...:.. dua......”

“Iblis betina yang kejam, engkau mencari Hek-liong-li? Inilah aku, jangan engkau memaksa penduduk dusun tidak berdosa, yang memang tidak tahu aku berada di mana!”

Wanita itu adalah Kiu-bwe Mo-li, satu di antara pembantu utama Hek-sim Lo-mo, usianya memang baru empatpuluh tahun lebih, akan tetapi karena ia terlalu menurutkan nafsu dan menjadi seorang wanita gila lelaki, maka wajahnya sudah penuh keriput seperti seorang nenek-nenek berusia enampuluh tahun lebih! Ketika ia membalikkan tubuh dan melihat siapa yang bicara, ia lalu tertawa genit seperti orang yang melihat sesuatu yang amat lucu.

“Hi-hi-hi-hik, engkau yang berjuluk Hek-liong-li? Heh-heh-hik-hik-hik! Kiranya hanya seorang bocah yang masih ingusan!” Tiba-tiba muka yang penuh tawa itu berbalik menjadi beringas dan ia menoleh ke arah Twa-to Ngo-houw lalu membentak, “Dan kalian tidak mampu membunuh anak perempuan ingusan ini! Sungguh tak tahu malu memakai nama Twa-to Ngo-houw! Hayo bunuh anak ini, hendak lihat sampai di mana kelihaiannya!”

Twa-to Ngo-houw sudah merasakan kelihaian Kim Cu, maka mereka tidak berani memandang ringan. Juga mereka tidak berani membangkang terhadap perintah Kiu-bwe Mo-li yang mereka kenal baik sebagai seorang atasan yang amat kejam dan ringan tangan. Selain itu, mereka juga malu. Biarlah wanita iblis itu melihat sendiri kelihaian Hek-liong-li.

Boan Ke lalu mengeluarkah bentakan nyaring yang juga menjadi isyarat bagi empat orang adiknya dan mereka lalu mencabut golok masing-masing dan menerjang Kim Cu dengan golok di tangan. Kembali, seperti kemarin, Kim Cu dikeroyok oleh lima orang yang kini bergerak dengan nekat dan besar hati karena di situ terdapat Kiu-bwe Mo-li yang tentu tidak akan membiarkan mereka kalah.

Sekali ini, biarpun mulutnya masih dihias senyum yang amat manis, namun di dalam hatinya Kim Cu sudah marah sekali. Orang-orang macam ini amatlah jahatnya, membakari rumah rakyat yang tidak berdosa, bahkan mungkin saja penjahat-penjahat seperti mereka itu membunuhi orang-orang tanpa dosa seenaknya.

Orang-orang seperti ini harus dibasmi, karena kalau dibiarkan hidup hanya akan menyebar kejahatan dan menyengsarakan rakyat. Maka, ketika melihat lima orang itu mengeroyoknya, iapun segera memainkan ilmu silatnya yang luar biasa, yaitu Bi-jin-kun yang amat indah, yang membuat tubuhnya seperti menari-nari, lemah gemulai namun juga amat berbahaya karena dalam setiap gerakan kaki dan tangannya terkandung tenaga sinkang lembut yang amat berbahaya, kaki dan tangan itu seakan-akan merupakan empat buah senjata terbuat dari baja yang amat ampuh dan siap membunuh.

Tubuh Kim Cu atau Hek-liong-li adalah tubuh seorang wanita yang sedang mekar dan matang, ramping dan lembut. juga lemas sekali, maka ketika ia memainkan Ilmn Silat Bi-jin-kun yang indah itu, ia seolah-olah menari-nari, namun hebatnya, gulungan sinar golok lima orang itu tidak pernah dapat menyentuhnya. Apalagi menyentuh bagian tubuhnya, baru menyentuh ujung pakaiannya pun sukar!

Hal ini adalah karena kedua kaki wanita cantik dan gagah itu selalu memainkan Liu-seng-pouw, yaitu langkah-langkah ajaib yang membuat semua serangan luput dari sasaran. Kedua kakinya bergerak dengan lincah dan indahnya, bergeser ke depan, belakang, kanan dan kiri, kadang-kadang melompat, kadang-kadang kedua kaki terpentang lebar dan tubuh merendah. Karena gerakan ini dilakukan dengan lincah dan gesit, dengan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, maka tubuhnya seperti berkelebatan di antara lima gulungan sinar golok.

Dari gurunya, Huang-ho Kui-bo, Hek-liong-li mendapatkan pelajaran bermacam-macam ilmu silat, baik tangan kosong maupun silat senjata seperti memainkan golok, tombak, rantai, dan terutama sekali pedang dan tongkat. Akan tetapi, sampai kini ia tidak pernah menyimpan senjata dan hanya mengandalkan kaki tangan saja, untuk melindungi dirinya dan karena kini ia menghadapi pengeroyokan, lima orang yang cukup berbahaya maka ia memainkan ilmu silat pilihannya, yaitu Bi-jin-kun dengan dibantu langkah-langkah ajaib Liu-seng-pouw.

Sejak tadi Kiu-bwe Mo-li berdiri dan memperhatikan gerakan gadis berjuluk Dewi Naga Hitam yang dikeroyok oleh lima orang pembantunya itu dan mengertilah ia mengapa Twa-to Ngo-houw sampai kalah. Ternyata Hek-liong-li memang lihai bukan main dan melihat gerakan kaki gadis itu, wajah Kiu-bwe Mo-li berubah agak pucat. Ia pernah melihat langkah-langkah dan gerakan kaki seperti itu!

Pandang matanya seperti melekat pada kedua kaki gadis cantik itu, mengikuti semua gerakannya. Ia pernah melihatnya, akan tetapi lupa lagi di mana. Begitu indah gerakan kaki itu, begitu gesit dan ringan, dan begitu luar biasa karena gerakan kaki, setiap perubahan membuat kedudukan tubuh gadis itu sukar untuk dapat tercium sinar golok, biarpun ada lima batang golok yang menyambar-nyambar mengeroyoknya. Akan tetapi ia tidak ingat lagi siapa yang pernah memainkan langkah-langkah ajaib seperti itu.

Kemudian ia mengalihkan perhatiannya dari gerakan kaki Hek-liong-li kepada gerakan tangannya, tubuhnya yang lemah gemulai dalam gerakan seperti, orang menari-nari dengan indahnya. Dan melihat gerakan silat seperti orang menari ini, Kiu-bwe Mo-li seperti tersentak kaget.

“Bi-jin-kun......! Kalau begitu...... itu Liu-seng-pouw dari...... bibi guru Huang-ho Kui-bo.....!” bisiknya kepada diri sendiri dan ia terkejut bukan main.

Gadis berpakaian hitam ini memainkan silat-silat sakti dari bibi gurunya yang amat lihai. Bibinya itu amat lihai, lebih lihai dari mendiang gurunya, dan bibinya, Huang-ho Kui-bo, pernah menjadi datuk sepanjang Sungai Huang-ho, ditakuti oleh semua orang golongan kang-ouw.

Akan tetapi, sudah bertahun-tahun lamanya, bibinya itu lenyap dari dunia ramai. Orang mengira bahwa ia mengundurkan diri karena sudah tua dam mungkin sudah mati. Karena itu, ketika Kiu Lo-mo muncul menguasai dunia kang-ouw, Huang-ho Kui-bo juga tidak kelihatan. Dan kini, tiba-tiba saja ia melihat seorang gadis yang lihai sekali memainkan Bi-jin-kun dan Liu-seng-pouw, ilmu-ilmu yang menjadi andalan Huang-ho Kui-bo!

Lima orang Twa-to Ngo-houw masih mengeroyok dan mereka yang merasa penasaran sekali, menyerang dengan ganasnya. Lima batang golok itu membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata dan tubuh Hek-liong-li dikepung oleh gulungan sinar, seolah-olah tidak mungkin dapat keluar lagi dengan selamat.

Namun, Hek-liong-li yang ingin cepat merobohkan lima orang pengeroyoknya yang ia tahu adalah manusia-manusia yang jahat sekali, tiba-tiba mengeluarkan suara melengking panjang dan ia merobah gerakannya. Kini tubuhnya menyambar dengan ganas, menyelinap di antara gulungan sinar golok, kedua tangannya yang kini tiba-tiba berubah menjadi merah itu menyambar-nyambar dan terdengarlah teriakan-teriakan susul menyusul diikuti robohnya tiga orang di antara Twa-to Ngo-houw.

Orang pertama terpelanting roboh dengan luka di dahinya, tertusuk jari-jari tangan kiri Hek-liong-li dan di dahinya itu hanya nampak ada tapak tiga jari kemerahan, namun begitu terpelanting roboh dia berkelojotan dan tewas seketika! Orang kedua roboh terjungkal, kelihatannya tidak terluka karena tangan kanan Hek-liong-li tadi mencengkeram ke dadanya, akan tetapi kalau bajunya dibuka, akan nampak dadanya sebelah kiri luka akibat cengkeraman itu dan luka itupun berbekas telapak tangan merah yang mengerikan. Dia roboh dan tewas seketika. Adapun orang ketiga, roboh dengan lehernya tertotok tiga buah jari yang meninggalkan tanda bekas kemerahan pula, dan dia pun terjungkal dan tewas.

Melihat ini, Kiu-bwe Mo-li terbelalak. Ia pernah mendengar bahwa bibi gurunya, Huang-ho Kui-bo, pernah menciptakan sebuah ilmu yang mengerikan, yang disebut Hiat-tok-ciang (Tangan Racun Darah). Inikah ilmu itu? Sungguh mengerikan dan berbahaya sekali.

Melihat tiga di antara lima orang pembantunya itu roboh dan tewas, Kiu-bwe Mo-li tidak dapat tinggal diam lagi. Tubuhnya melayang ke depan, cambuk ekor sembilan di tangannya digerakkan dan terdengarlah suara ledakan nyaring berkali-kali.

“Tar-tar-tar-tarrr......” Cambuk itu meledak-ledak dan sembilan ekornya menyambar-nyambar ke arah jalan darah maut di tubuh Hek-liong-li!

Gadis ini terkejut bukan main dan cepat ia terpaksa menggulingkan dirinya ke atas tanah dan ketika cambuk itu mengejarnya, iapun bergulingan sampai jauh sambil menyambar sebatang golok di antara tiga batang golok lawannya yang telah tewas. Tahulah ia bahwa nenek itu berbahaya sekali dilawan dengan tangan kosong, maka melihat adanya sebatang pohon tumbuh tak jauh dari situ, tubuhnya mencetat ke atas, goloknya menyambar dan ia sudah membabat putus sebatang cabang pohon yang besarnya selengan orang dan panjangnya sama dengan tinggi tubuhnya.

Cepat ia membersihkan ranting dan daun, dan di tangannya kini terdapat sebatang tongkat yang baik. Golok itupun ia lemparkan ke atas tanah. Tongkat merupakan senjata kedua yang disukanya di samping pedang. Memang gurunya, Huang-ho Kui-bo, terkenal sekali dengan ilmu tongkatnya dan nenek itu ke manapun ia pergi selalu ia membawa sebatang tongkat hitam berbentuk ular dan ia lihai sekali memainkan tongkatnya itu. Tentu saja Hek-liong-li sudah mewarisi ilmu tongkat ular yang amat hebat itu dan kini ia merasa kuat setelah memegang sebatang tongkat dari cabang pohon.

Dua orang wanita itu kini berdiri dan saling berhadapan, saling pandang seperti dua ekor ayam jago yang sedang saling menilai sebelum keduanya bergebrak dalam perkelahian mati-matian. Hek-liong-li atau Lie Kim Cu memandang penuh perhatian. Senyumnya tak pernah meninggalkan mulutnya sehingga lesung pipit menghias pipinya, membuat ia nampak manis sekali.

Diam-diam ia menilai wanita yang berdiri di depannya. Seorang wanita yang sebetulnya belum tua benar, belum pantas disebut nenek. Usianya baru empatpuluh tahun lebih, namun wajahnya sudah penuh keriput dan tubuhnya sudah mulai kempot dan bagaikan setangkai bunga yang selalu kepanasan dan kekurangan siraman air, ia nampak jauh lebih tua dari pada usia sebenarnya. Hal ini adalah karena ia terlampau menurutkan.nafsu-nafsunya, ia gila lelaki dan biarpun ia hendak menutupi ketuaannya dengan sikap pesolek dan genit, namun tetap saja ia nampak tua.

Pakaiannya mewah, rambutnya tersisir rapi dan mengkilap oleh minyak, pakaiannya yang berkembang dan berwarna-warni itu terbuat dari sutera halus, dan dengan potongan yang mencetak tubuhnya yang mulai peyot. Dari pakaiannya, tersiar bau yang wangi menyolok hidung karena minyak wangi sebotol penuh dituangkannya habis-habisan di pakaiannya.

Rambutnya masih hitam dan panjang, dikuncir tebal, dan dibiarkan tergantung di atas punggungnya, ujungnya diikat dengan pita merah, seperti rambut seorang gadis remaja! Akan tetapi rambut dengan kuncir seperti ini bukan sekedar untuk bersolek, melainkan di samping itu, rambut ini dapat dipergunakan sebagi senjata yang amat ampuh!

Cambuk berekor sembilan yang berada di tangannya itu amat ampuh, setiap ekor cambuk itu mengandung racun dan di samping senjata ini, iapun pandai mempergunakan segala macam senjata rahasia beracun seperti jarum dan paku. Memang Kiu-bwe Mo-li seorang ahli racun, mewarisi ilmu tentang racun dari subonya yang sudah meninggal dunia. Gurunya itu berjuluk Jeng-tok Kui-bo (Iblis Betina Seribu Racun) dan gurunya itu masih terhitung su-ci (kakak seperguruan) dari Huang-ho Kui-bo! Akan tetapi, gurunya itu lebih ahli tentang racun, adapun mengenai ilmu silat, kabarnya bibi gurunya itu jauh lebih lihai. Dan untuk memperlengkapi ilmu silatnya, selain dari mendiang gurunya, Kiu-bwe Mo-li juga belajar ilmu silat dari bermacam guru.

“Hek-liong-li, sebelum kita bertanding, aku ingin bicara dulu denganmu,” kata Kiu-bwe Mo-li setelah beberapa lamanya mereka saling pandang dengan sinar mata penuh penilaian.

“Mau bicara apa lagi? Bicaralah!” kata Hek-liong-li dengan sikap tenang.

“Aku telah melihat ilmu silatmu. Engkau pandai memainkan ilmu langkah Liu-seng-pouw dan ilmu silat Bi-jin-kun, juga kalau tidak salah, engkau merobohkan tiga orang anak buahku dengan Hiat-tok-ciang. Masih ada hubungan apakah engkau dengan Huang-ho Kui-bo?”

Hek-liong-li mengerutkan alisnya. Makin yakinlah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan tangguh yang telah mengenal ilmu silatnya, bahkan mengenal pula nama gurunya.

“Sebelum kujawab pertanyaanmu, katakanlah dulu siapa engkau dan mengapa engkau bertanya tentang Huang-ho Kui-bo,” katanya dengan sikap angkuh.

”Aku disebut Kiu-bwe Mo-li, dan Huang-ho Kui-bo adalah bibi guruku.”

Kim Cu mengangguk-angguk dan senyumnya sinis. “Hemm, engkau tentu murid mendiang Jeng-tok Kui-bo, bukan? Su-bo pernah bercerita tentang kau dan gurumu bahkan memperingatkan aku agar berhati-hati terhadap engkau yang katanya amat jahat, keji dan licik, seorang tokoh sesat yang sudah menumpuk banyak dosa.”

Kiu-bwe Mo-li, tidak marah, bahkan tertawa dengan suara genit dan dibuat-buat: “Heh-heh-hi-hi-hik! Kata-katamu menggelikan hatiku, Hek-liong-li. Engkau mengatakan aku tokoh sesat yang jahat. Dan siapakah bibi guru Huang-ho Kui-bo? Seorang malaikat yang suci? Heh-heh, ia adalah datuk nomor satu kaum sesat di sepanjang Sungai Huang-ho sebelum ia menghilang!”

“Tidak kusangkal, akan tetapi su-bo telah mengundurkan diri, bertapa untuk menebus dosanya, bahkan dengan keras berpesan kepadaku agar aku tidak terjeblos ke dalam dunia kaum sesat, bahkan aku harus menentang mereka,” kata Hek-liong-li.

“Hemm, Hek-liong-li. Engkau adalah murid bibi guruku sendiri, dengan demikian engkau masih terhitung su-moiku (adik seperguruanku). Oleh karena itu, tidak semestinya kita bermusuhan. Kalau tadi engkau sudah terlanjur membunuh tiga orang anak buahku, sudahlah, kuhabiskan sampai di sini saja. Mari kita bekerja sama dan kalau aku yang membawamu, engkau tentu akan diterima dengan baik sekali oleh Beng-cu kami dan mendapatkan kedudukan yang baik.”

“Kiu-bwe Mo-li, dengan membujuk aku mengikuti jejakmu, engkau menambah dosamu saja. Sebaiknya kalau engkau yang mendengar nasihatku, tinggalkan duniamu yang hitam, kembalilah ke jalan benar agar dosa-dosamu tertebus dengan perbuatan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan manusia lain.”

Wajah yang tertutup bedak tebal itu berkerut dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar marah, cambuk di tangannya bergoyang-goyang dan telunjuk kiri Kiu-bwe Mo-li menunjuk ke arah muka Hek-liong-li.

“Hek-liong-li, agaknya engkau memang sudah bosan hidup! Hari ini engkau akan mati di bawah cambukku!”

Kiu-bwe Mo-li berteriak marah dan tubuhnya bergerak cepat sekali, dan terdengar bunyi meledak-ledak ketika cambuknya sudah terayun ke atas, kemudian dari atas setelah mengeluarkan suara seperti ledakan kecil lalu menyambar ke bawah. Sembilan ekor ujung cambuk itu menjadi satu menyambar ke arah ubun-ubun kepala Hek-liong- li. Setiap ekor cambuk itu sudah merupakam senjata yang ampuh, apa lagi sekarang menjadi satu maka kekuatan yang terkandung dalam serangan ini juga hebat sekali.

Si Dewi Naga Hitam tidak gentar menghadapi serangan ini. Iapun tidak berani memandang ringan karena ia memang pernah mendengar dari subonya tentang Jeng-tok Kui-bo, si ahli racun dan muridnya ini yang kabarnya amat jahat melebihi gurunya, pandai ilmu silat dan ahli tentang racun.

Melihat sambaran cambuk yang demikian cepat dan kuat sehingga mendatangkan angin pukulan dan suara bercuitan, ia lalu menggeser kakinya ke kanan, membalik lalu menangkis turunnya sinar cambuk hitam itu dengan tongkatnya, menangkis dari samping, bukan dari bawah sehingga ia tidak mengadu tenaga secara langsung.

“Takkkk!” Pertemuan antara tongkat dam cambuk itu membuat keduanya meloncat ke belakang karena merasa lengan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tenaga mereka seimbang. Akan tetapi, tiba-tiba tongkat di tangan Liong-li menyambar, bergerak seperti seekor ular berjalan, tidak meluncur dengan lurus melainkan, berlenggang-lenggok sehingga sukar diduga ke mana tongkat itu akan menyerang! Ternyata kemudian bahwa ujung tongkat itu menyerang ke arah perut Kiu-bwe Mo-li.

Wanita ini cepat mengelak ke samping, akan tetapi sebelum cambuknya membalas serangan lawan, tongkat itu sudah membalik dan ujung yang lain menghantam ke arah kepala Kiu-bwe Mo-li. Wanita inipun maklum akan kelihaian lawannya yang muda, maka ia tidak memandang ringan dan bersikap hati-hati. Maka kecepatan gerakan tongkat itu tidak mengejutkannya dan iapun cepat meloncat ke belakang untuk mengelak, dan kini cambuknya menyambar ke depan, ujungnya terpencar menjadi sembilan ekor seperti ular-ular kecil panjang hidup, sembilan ekor ujung cambuk itu meledak-ledak dan beterbangan ke depan, menyerang ke arah jalan darah Liong-li dengan totokan-totokan maut!

Cambuk di tangan wanita ini memang berbahaya sekali, lihai bukan main. Setiap ujung dari sembilan ekor itu bukan saja dapat melakukan totokan pada jalan darah yang di antaranya ada yang mematikan, akan tetapi juga masing-masing ujung mengandung racun yang amat kuat. Tidak mengherankan apa bila ia terkenal sekali dengan senjatanya ini dan dijuluki Kiu-bwe Mo-li (lblis Betina Ekor Sembilan).

Namun, Hek-liong-li telah mewarisi ilmu tongkat yang amat hebat dari subonya. Senjata tongkat merupakan senjata utama subonya, di samping pedang, dan begitu ada tongkat di tangannya, Liong-li merasa seperti seekor harimau yang tumbuh sayap. Tongkat itu menjadi hidup di kedua tangannya, dan menghadapi “pengeroyokan” sembilan ekor ujung cambuk di tangan Kiu-bwe Mo-li, ia tidak menjadi. gentar atau gugup.

Tongkatnya digerakkan secara aneh dan istimewa, dan ke mana pun ujung cambuk menyambar, selalu bertemu dengan tongkat! Bahkan Liong-li mampu melakukan serangan balasan dengan tak kalah dahsyatnya! Tongkat di tangannya itu, walaupun hanya sebatang cabang pohon namun kini seolah-olah hidup. Senjata sederhana ini dapat membabat, memukul, menusuk, dan kalau diputar menjadi seperti perisai besar yang melindungi seluruh tubuh Liong-li!

Terjadilah perkelahian yang amat seru antara kedua orang wanita itu. Kiu-bwe Mo-li adalah seorang di antara para pembantu utama Hek-sim Lo-mo, pembantu yang dipercaya karena di samping Tok-gan-liong Yauw Ban, ia merupakan pembantu yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi dan amat diandalkan oleh Hek-sim Lo-mo. Karena itulah, ketika datuk itu mendengar akan munculnya Hek-liong-li di Lok-yang, dia mengutus Kiu-bwe Mo-li untuk mencari dan membunuh gadis lihai itu.

Kini, setelah bertemu dengan Hek-liong-li, Kiu-bwe Mo-li tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang yang masih terhitung adik seperguruannya, akan tetapi ternyata bahwa su-moi yang masih amat muda itu telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga sukar baginya untuk mendesak dengan cambuknya. Hal ini membuat Kiu-bwe Mo-li menjadi penasaran sekali dan ia mengerahkan seluruh tenaganya, memutar cambuknya dan menghujankan serangan-serangan maut dengan senjata istimewa itu.

Gerakan tongkat di tangan Liong-li makin lama semakin mantap. Kalau tadi ia masih nampak repot karena harus mengimbangi kecepatan sembilan ekor ujung cambuk, kini agaknya ia sudah mampu menangkap inti gerakan senjata lawan dan ia bergerak lebih tenang dan mantap, bahkan kini dapat membalas serangan lebih gencar dengan tongkatnya.

Tongkat panjang merupakan senjata yang biarpun hanya sebatang, namun memiliki dua ujung yang dapat dipergunakan secara bergantian untuk menyerang atau menangkis, bahkan bagian tengahnya dapat pula melindungi tubuh sebagai perisai. Tongkat yang dimainkan Liong-li penuh dengan tenaga sin-kang sehingga tongkat itu dalam gerakannya mengeluarkan suara menderu-deru disertai angin yang menyambar-nyambar.

“Syuuuttt......!” Tongkat menusuk ke arah dada Kiu-bwe Mo-li. Ketika iblis betina ini mengelak dengan miringkan tubuh dan siap untuk membalas serangan, tiba-tiba tongkat itu membalik.

“Wuuuttt!!” Kini ujung lain dari tongkat itu menghantam dari atas ke arah ubun-ubun kepala Kiu-bwe Mo-li.

Tentu saja wanita ini terkejut bukan main oleh kecepatan gerakan lawan. Ia melompat ke belakang dan kembali tongkat datang menyerang dengan putaran yang membuat ujung tongkat membentuk gulungan sinar melebar seperti payung. Kiu-bwe Mo-li terpaksa mundur lagi sambil memutar cambuknya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya. Cambuk itu diputar menjadi gulungan sinar hitam yang menjadi semacam perisai yang amat kuat.

Melihat betapa jagoan mereka sampai sekian lamanya belum mampu mengalahkan Hek-liong-li, bahkan sempat pula terdesak, Boan Ke dan Su Leng, dua orang di antara kelima Twa-to Ngo-houw yang masih hidup, menjadi penasaran sekali. Mereka berdua merasa bersedih karena kematian tiga orang saudara mereka dan mengharapkan agar Kiu-bwe Mo-li dapat membalaskan kematian itu dan merobohkan Hek-liong-li.

Akan tetapi Si Dewi Naga itu agaknya masih terlampau kuat bagi Kiu-bwe Mo-li, maka dua orang anggauta Twa-to Ngo-houw, yang sejak tadi nonton, menjadi kecewa dan marah. Mereka selama ini mengandalkan kelihaian Kiu-bwe Mo-li dan nama besar Hek-sim Lo-mo, akan tetapi setelah bertemu lawan tangguh, ternyata Kiu-bwe Mo-li tidak mampu mengalahkan seorang gadis muda!

Dan wanita genit itu selalu menyombongkan dirinya sebagai pembantu utama dari Hek-sim Lo-mo yang katanya tak pernah terkalahkan oleh siapapun juga kecuali Hek-sim Lo-mo! Mereka menjadi kecewa dan penasaran, lalu tanpa minta ijin lagi mereka lalu terjun ke dalam medan pertempuran itu dan mengeroyok Liong-li. Namun gadis ini sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan dengan penuh semangat ia menyambut dua batang golok dari dua orang lawan baru itu dengan tongkatnya.

Tingkat kepandaian dua orang dari Twa-to Ngo-houw ini memang masih jauh sekali dibandingkan tingkat Kiu-bwe Mo-li, apa lagi dengan tingkat Liong-li. Maka, masuknya dua orang ini sebagai pengeroyok, sama sekali tidak merepotkan Liong-li, bahkan membuat Kiu-bwe Mo-li menjadi terhalang gerakan cambuknya, walaupun diam-diam wanita ini merasa lega bahwa dalam keadaan terdesak tadi ia mendapat bantuan.

Kini ia menjadi agak longgar, tidak terdesak lagi dan iapun melakukan serangan dengan lebih ganas, mengandalkan bantuan dua orang anak buahnya itu.

Liong-li menggerakkan tongkatnya dengan lebih cepat lagi, kini mendesak kepada dua orang dari Twa-to Ngo-houw karena ia memang berniat untuk membasmi lima orang tukang pukul yang sudah mendatangkan banyak kesengsaraan kepada rakyat dusun itu.

Akan tetapi, Kiu-bwe Mo-li telah mendahuluinya. Wanita ini maklum bahwa kalau sampai dua orang pembantunya itu roboh dan ia harus sendirian saja menghadapi Liong-li, keadaannya akan menjadi berbahaya sekali. Harus diakuinya di dalam hati bahwa ilmu kepandaian gadis yang masih terhitung sumoinya ini amat lihai dan ia merasa kewalahan. Ilmu tongkat itu aneh dan juga amat kuat. Maka, selagi masih ada dua orang pembantunya, ia harus menekan sedemikian rupa agar dapat merobohkan Liong-li. Maka, iapun cepat menggerakkan tangan kirinya dan belasan batang paku beracun menyambar ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari gadis itu!

Liong-li sudah mendengar dari subonya akan keahlian Jeng-tok Kui-bo dan muridnya itu dalam menggunakan senjata rahasia beracun. Oleh karena itu, sejak tadi ia sudah siap siaga, sudah menduga bahwa kalau terdesak, tentu wanita itu akan mempergunakan senjata rahasia beracun itu. Maka, begitu Kiu-bwe Mo-li menggerakkan tangan kirinya, iapun cepat melompat tinggi ke atas sambil memutar tongkatnya. Ketika ia melihat sinar hitam menyambar ke bawah kakinya, ia lalu memukulnya dengan tongkat dan mengarahkan senjata rahasia itu kepada Boan Ke dan Su Leng, dua orang Twa-to Ngo-houw itu.

“Aduhhhh......!” Su Leng dan Boan Ke terguling. Su Leng yang terkena paku beracun tepat pada pelipisnya itu langsung berkelojotan dan tewas, sedangkan Boan Ke yang cepat mengelak akan tetapi masih terkena pundak kirinya, merasa betapa pundak itu nyeri, panas dan gatal.

Diapun marah bukan main, apa lagi mengingat bahwa yang melukainya adalah paku yang dilepas oleh Kiu-bwe Mo-li. Celaka, pikirnya, atasan yang amat diandalkan itu bahkan telah mencelakainya dengan paku beracun itu! Dia menjadi nekat dan dengan golok besarnya, dia menubruk ke arah Liong-li, hendak mengadu nyawa dengan gadis yang amat lihai itu! Akan tetapi, tubrukan yang dahsyat ini dapat dielakkan oleh Liong-li sehingga Boan Ke terbuyung ke depan.

Pada saat itu, kembali Kiu-bwe Mo-li menggerakkan tangan kirinya dan kini jarum-jarum halus yang belasan batang banyaknya menyambar-nyambar ke arah Liong-li. Gadis ini terkejut. Jarum-jarum itu lembut dan lebih berbahaya dibandingkan paku-paku tadi, maka iapun cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan menjauh.

Pada saat itu, Kiu-bwe Mo-li maklum bahwa kalau dilanjutkan, hanya akan merugikan dirinya, maka melihat lawan bergulingan, ia mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri secepatnya!

“Kiu-bwe Mo-li pengecut!” bentakan ini keluar dari mulut Boan Ke yang merasa penasaran dan marah melihat betapa atasannya itu meninggalkannya setelah keadaan berbahaya. Dengan nekat dia menggerakkan goloknya menyerang Liong-li.

“Singgg......!” Golok itu menyambar ganas.

Liong-li miringkan tubuhnya sehingga bacokan mengenai tempat kosong dan pada saat berikutnya, tongkatnya menyambar ke arah tengkuk lawan.

“Kekkk!!” Tubuh Boan Ke terjungkal, goloknya terlepas dan dia merintih-rintih kesakitan. Akan tetapi, dia masih marah kepada Kiu-bwe Mo-li yang melarikan diri meninggalkannya.

“Kiu-bwe Mo-li pengecut besar!” Dia masih mengeluarkan teriakan marah.

Liong-li memandang ke kanan kiri, mencari ke mana perginya musuh utamanya, yaitu Kiu-bwe Mo-li, akan tetapi tidak melihat bayangan orang itu. Selagi ia hendak pergi, terdengar Boan Ke, orang pertama Twa-to Ngo-houw berseru memanggilnya.

“Hek-liong-li......!”

Kim Cu menahan langkahnya dan membalik, lalu menghampiri orang itu yang disangkanya telah mati. Kuat juga orang ini yang terpukul tengkuknya masih belum juga tewas. Setelah dekat ia melihat bahwa keadaan orang itu sudah parah, dan kematian hanya soal waktu saja, waktu yang tidak lama lagi. Akan tetapi daya tahan Boan Ke memang cukup kuat sehingga dia masih mampu bicara, walaupun untuk itu dia harus mengerahkan seluruh sisa tenaganya.

“Engkau mau apa?” tanya Liong-li.

“Hek-liong-li, ia Kiu-bwe Mo-li, seorang pengecut besar....., ia meninggalkan aku. Ia hanyalah pembantunya......, yang berkuasa adalah Beng-cu, Hek-sim Lo-mo... kau cari mereka, kau basmi mereka...... Lo-mo berada di Lok-yang..... kalau dia tidak berada di sana, tentu...... dia di rumah ahli pembuat pedang Thio Wi Han, di dusun Gi-ho-cung...... kaki gunung Fu-niu-san... dia telah..... telah mendapatkan mustika naga...... ahhhh.....”

Orang pertama dari Twa-to Ngo-houw itupun terkulai dan tewas. Liong-li memandang kepadanya, lalu kepada empat orang saudaranya yang sudah lebih dulu tewas, dan wanita muda ini menarik napas panjang.

Ah, kenapa manusia harus melakukan semua kejahatan itu, menjadi seorang penjahat, mengandalkan keberanian dan kenekatan, menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, untuk mencuri, merampok, menipu, bahkan membunuh? Kenapa mereka melakukan itu semua sehingga akhirnya tewas dalam keadaan seperti ini?

Kembali ia menarik napas panjang, teringat akan nasib dirinya. Demikian banyaknya peristiwa hebat sebagai akibat kejahatan manusia menimpa dirinya. Ia, puteri seorang bangsawan, seorang pejabat tinggi pemerintah yang ketika kecilnya hidup serba kecukupan, terhormat dan mulia, setelah dewasa harus mengalami banyak sekali hal yang amat pahit, penghinaan-penghinaan dan kesengsaraan, banjir air mata, kehilangan ayah bunda dan keluarga sehingga kini hidup sebatang kara, tidak memiliki apa-apa lagi!

“Tidak!” katanya kepada diri sendiri mengusir kelesuan karena duka melanda batinnya. “Aku masih punya ini!” Ia meluruskan kedua lengannya, “dan punya ini lagi!” Ditendangkan kedua kakinya bergantian, “dan dengan kaki tanganku ini, aku akan memerangi semua penjahat, menantang kejahatan dan menikmati kehidupan ini! Enyahlah duka dan keluh kesah!”

Ia meraba kedua pipinya yang terasa halus, “Engkau masih muda, Kim Cu, masih banyak kesempatan untuk menikmati hidup, melupakan masa lampau yang banyak kepahitan.”

Setelah berkata demikian iapun melompat dan dengan wajah berseri iapun berlari cepat menuju ke Lok-yang. Ia akan mencari Kiu-bwe Mo-li di sana, dan kalau ternyata Hek-sim Lo-mo merajalela dan menyebar banyak kaki tangan untuk melakukan kejahatan, ia akan menentang dan membasmi Hek-sim Lo-mo dengan komplotannya!

Dan hatinya tertarik sekali mendengar Hek-sim Lo-mo telah memperoleh mustika naga! Dan datuk sesat itu pergi ke dusun Gi-ho-cung di kaki Gunung Fu-niu-san untuk menemui ahli pembuat pedang Thio Wi Han? Hemm, menarik sekali! Bukankah subonya pernah bercerita bahwa mustika naga dari Gunung Emas, yaitu Kim-san Liong-cu itu juga dapat dibuat menjadi pedang yang ampuh?

Tidak sukar bagi Liong-li untuk mencari tempat kediaman Hek-sim Lo-mo yang bagi semua orang kang-ouw disebut Beng-cu (Pemimpin Rakyat). Akan tetapi ketika ia tiba di sana, benar saja seperti pemberitahuan orang pertama dari Twa-to Ngo-houw sebelum tewas, Hek-sim Lo-mo tidak berada di tempatnya.

Rumah yang menjadi tempat tinggal Hek-sim Lo-mo besar dan megah, seperti rumah seorang hartawan besar. Rumah besar itu dikelilingi pagar tembok yang tinggi dan selalu ada belasan orang yang bertugas jaga di pinta gerbang, seperti rumah tinggal seorang pembesar tinggi yang penting saja. Hanya bedanya, kalau para penjaga rumah pembesar adalah perajurit-perajurit jaga yang mengenakan pakaian perajurit, maka para penjaga di pintu gerbang rumah Hek-sim Lo-mo adalah orang-orang yang mengenakan pakaian yang ringkas, pakaian ahli silat dan sikap itu galak dan congkak.

Ketika belasan orang kasar ini melihat seorang gadis cantik menghampiri pintu gerbang, mereka tercengang dan sambil menyeringai dan menjual lagak mereka berlumba untuk menyambut.

“Hendak mencari akukah, nona manis?”

“Siapakah namamu, sayang?”

“Aduh cantiknya, sudah bersuamikah, atau masih perawan?”

“Kalau janda, mari ikut aku saja, tanggung puas dan senang!”

Melihat wajah-wajah kasar menyeringai kepadanya dan mendengar kata-kata rayuan kasar dan kurang ajar itu, Liong-li hanya tersenyum. Senyumnya manis bukan main sehingga belasan orang laki-laki itu menjadi semakin tergila-gila dan masing-masing mendapatkan suatu harapan penuh khayal, seolah-olah senyum manis gadis itu ditujukan khusus kepada setiap orang dari mereka!

Tentu saja sikap para pria ini tidak mengejutkan hati Liong-li. Ia sudah terbiasa oleh rayuan-rayuan halus kasar seperti itu dari kaum pria dan ia memandang rendah semua itu, maklum akan kepalsuan yang tersembunyi di balik nafsu berahi itu.

“Kalian baik sekali,” katanya dan senyumnya melebar, memperlihatkan kilatan gigi seperti mutiara berbaris, dan lidahnya yang jambon menjilat bibirnya yang merah basah. “Akan tetapi aku ingin bertemu dengan Kiu-bwe Mo-li dan Hek-sim Lo-mo.”

Mendengar betapa ringannya gadis cantik jelita itu menyebut nama besar kedua orang tokoh yang mereka takuti itu, para penjaga itu saling pandang dengan mata terbelalak. Kepala jaga, seorang laki-laki berperut gendut sekali, kepalanya juga bundar dan bulat, matanya sipit, segera melangkah maju dan dia tidak berani main-main lagi, walaupun suaranya masih mengandung rayuan.

“Nona yang cantik manis, siapakah engkau dan apakah engkau mengenal betul dua orang yang namanya kau sebutkan tadi?”

“Tentu saja aku mengenal mereka. Aku seorang tamu dan ingin sekali bertemu mereka. Harap kalian suka berbaik hati untuk melaporkan ke dalam dan mengundang Mo-li dan Lo-mo keluar untuk menemui aku!”

Si gendut itu mengerutkan alisnya. Gadis ini sungguh lancang sekali, bicara tentang Beng-cu seolah-olah datuk itu seorang teman baiknya saja! Ah, jangan-jangan gadis ini memang “teman” Beng-cu. Biarpun Beng-cu selama ini tidak pernah kelihatan suka bermain-main dengan wanita, akan tetapi siapa tahu? Gadis ini cukup cantik, bahkan menarik sekali dan kiranya pantas kalau berhasil menundukkan hati datuk yang ditakuti itu.

“Nanti dulu, nona,” kata si gendut yang masih meragu karena dia tidak tahu siapa gadis ini, kawan ataukah lawan dari Beng-cu. “Tidak semudah itu untuk menemui Kiu-bwe Mo-li, apa lagi Beng-cu kami. Apakah engkau ini sahabat mereka? Katakan dulu apa keperluanmu agar kami dapat melapor ke dalam.”

Pada hal kedua orang yang disebut oleh gadis itu tidak berada di rumah, akan tetapi dia ingin tahu siapa gadis ini dan apa keperluannya mencari Beng-cu dengan sikap yang demikian lancang.

Liong-li masih tersenyum. Ia tidak perlu banyak bicara dengan orang-orang seperti mereka ini, yang hanya anak buah rendahan saja. Sebaiknya ia berterus terang untuk menarik perhatian agar mereka segera melapor ke dalam.

“Ketahuilah bahwa aku datang untuk menghajar Kiu-bwe Mo-li karena ia melarikan diri ketika kami berkelahi, dan aku hendak menegur Hek-sim Lo-mo agar dia tidak melanjutkan tindakan jahat yang dilakukan anak buahnya. Kalau mereka tidak menurut, akan kubasmi gerombolan penjahat yang dipimpinnya.”

Mendengar ucapan itu, belasan orang penjaga saling pandang, dan ketika seorang di antara mereka tertawa, semua orang ikut pula tertawa. Ucapan Liong-li itu terdengar lucu oleh mereka.

Si gendut juga tertawa bergelak sampai perutnya bergelombang. “Ha-ha-ha, nanti dulu, nona manis. Siapakah engkau dan apakah engkau yakin benar bahwa engkau tidak gila?”

“Aku disebut Hek-liong-li dan......”

Belasan orang itu terbelalak. Tentu saja mereka sudah mendengar nama Dewi Naga Hitam yang menggemparkan Lok-yang beberapa waktu yang lalu, bahkan mereka sudah mendengar bahwa Beng-cu mengutus Kiu-bwe Mo-li untuk mencari dan membunuh Hek-liong-li. Tak mereka sangka bahwa orangnya secantik dan semuda ini sungguhpun mereka sudah mendengar berita angin bahwa yang namanya Hek-liong-li adalah seorang wanita muda yang cantik.

Kini mereka memandang gadis berpakaian serba hitam itu dengan mata terbelalak. Berbeda kini nampaknya. Kalau tadi pakaian hitam yang mencetak bentuk tubuh yang menggairahkan itu indah, kini keindahan itu mengandung sesuatu yang mengerikan.

“Bagus! Kami harus menangkapmu!” bentak si gendut ketika mendengar wanita cantik itu memperkenalkan diri sebagai Hek-liong-li dan tanpa ragu lagi diapun menubruk. Teman-temannya juga bergerak, berlumba untuk menubruk tubuh yang padat mulus itu, bukan saja untuk mencari jasa terhadap Beng-cu, juga mereka ingin sekali merasakan hangatnya tubuh yang menggairahkan itu.

Liong-li tersenyum simpul, senyum yang mengejek dibarengi pandang mata marah dan benci. Ia memang paling benci kepada pria yang mata keranjang dan tidak sopan, kurang ajar terhadap wanita dan tidak menghargai wanita. Maka, melihat orang-orang, kurang ajar ini berlomba untuk menangkapnya, iapun cepat menggerakkan kaki tangannya.

Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang roboh dengan gigi rontok dan mulut berdarah terkena tamparan dan tendangan kaki Liong-li! Tentu saja yang lain menjadi terkejut dan marah, lalu mereka semua menyambar senjata dan mengepung Liong-li dengan senjata di tangan. Mereka melangkah mengitari gadis itu yang berdiri di tengah-tengah dengan tenang saja dan senyumnya sejak tadi tidak pernah meninggalkan mulutnya.

Akan kuhajar mereka semua ini, pikirnya. Akan kuhajar seluruh anak buah Hek-sim Lo-mo. Tidak perlu membunuh mereka ini yang hanya merupakan kaki tangan. Yang perlu dibunuh adalah Hek-sim Lo-mo dan para pembantu utamanya yang jahat dan berbahaya bagi kehidupan rakyat jelata. Para anak buah rendahan ini hanyalah orang-orang yang tersesat dan terpengaruh oleh para pimpinan mereka, cukup hanya menerima hajaran keras agar bertobat.

Ada empatbelas orang penjaga yang mengepungnya. Mereka memegang bermacam senjata, ada yang memegang golok, pedang, tombak dan ruyung. Sikap mereka ganas dan penuh ancaman.

Kini mereka tidak lagi memandang dengan mata penuh gairah berahi, sudah terganti dengan gairah membunuh! Tiba-tiba si gendut yang memegang sebatang pedang itu menyerang dengan dahsyat dan agaknya gerakannya ini merupakan aba-aba atau isyarat karena serentak belasan orang itu menggerakkan senjata masing-masing dan menyerang Liong-li yang terkepung itu dari segala jurusan.

Namun, mereka terkejut ketika tiba-tiba tubuh gadis itu berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebatan cepat sekali dan terdengarlah teriakan-teriakan beruntun, nampak segala macam senjata beterbangan dan disusul robohnya empat orang lagi. Mereka, roboh tak mampu bangkit kembali karena mengalami luka patah tulang yang cukup berat!

Hal ini membuat para pengeroyok menjadi jerih dan mereka hanya mengepung dari jarak empat-lima meter sambil mengacung-acungkan senjata untuk mengancam, akan tetapi tidak ada yang berani menyerang setelah si gendut itu tadi juga roboh bersama tiga orang kawan mereka.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari dalam rumah. “Heiii! Ada apa ribut-ribut itu?”

Mendengar bentakan itu, para pengepung semakin mundur dan Liong-li segera membalikkan tubuh memandang ke dalam rumah, mengharapkan munculnya orang yang disebut Hek-sim Lo-mo. Akan tetapi, yang muncul adalah seorang laki-laki yang lebih mirip seekor lutung atau kingkong dari pada seorang manusia.

Orang itu mukanya seperti monyet, usianya empatpuluh tahun lebih, tinggi besar kedua lengannya, juga dadanya yang terbuka, penuh dengan bulu seperti kera. Mukanya hitam dan nampak otot melingkar-lingkar di tubuhnya. Sungguh seorang yang amat buruk dan menyeramkan!

Liong-li tidak tahu siapa orang itu, akan tetapi tidak mungkin orang ini yang disebut Hek-sim Lo-mo, pikirnya. Tentu seorang di antara kaki tangannya dan agaknya orang ini, tidak boleh dipandang ringan. Yang jelas, dia memiliki tenaga luar yang amat kuat, kekuatan dari otot-otot terlatih.

Memang orang itu adalah Tiat-pi Hek-wan (Lutung Hitam Berlengan Besi) dan bernama Lu Sek Kwa, seorang di antara kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang berwatak kejam dan sadis, dijadikan algojo tukang siksa orang oleh Hek-sim Lo-mo. Memang luar biasa sekali orang yang satu ini. Dia mendapatkan kenikmatan dalam menyiksa orang! Makin tersiksa orang itu, meratap, merintih dan menangis, makin gembiralah hatinya. Dia pula yang menyiksa mendiang Pouw Bi Hwa, puteri mendiang Pouw Sianseng sasterawan yang mendapatkan Kim-san Liong-cu yang dirampas oleh Hek-sim Lo-mo itu.

Hek-sim Lo-mo yang merasa girang sekali berhasil merampas mustika naga itu dari tangan Pouw Sianseng, membunuh sasterawan itu dan memberikan puterinya, Bi Hwa, kepada manusia berwatak iblis ini. Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa girang sekali dan dia memperkosa dan mempermainkan gadis itu sampai mati!

Dia melakukannya bukan karena dia seorang yang suka memperkosa wanita, melainkan karena dia tahu bahwa itulah cara menyiksa gadis yang paling hebat dan karenanya paling memuaskan hatinya melihat betapa gadis itu meratap, merintih dan mati sedikit demi sedikit di bawah pandang matanya yang menikmati kesengsaraan yang diderita korbannya!

Ketika Tiat-pi Hek-wan yang bertugas menjaga rumah kediaman pemimpinnya mendengar suara ribut-ribut, dia segera keluar. Matanya melebar dan alisnya berkerut ketika dia melihat delapan orang penjaga roboh dan masih mengaduh-aduh kesakitan, sementara para penjaga lain dengan senjata di tangan mengepung seorang gadis berpakaian hitam yang agaknya mengamuk di situ.

“Lu-toako, ia adalah Hek-liong-li yang dicari oleh Beng-cu!” teriak seorang di antara para penjaga.

“Aha, benarkah itu?”

Dengan dua kali loncatan, Lutung Hitam itu sudah tiba di depan Liong-li dan dia mengamati gadis itu dari kepala sampai ke kakinya. Dan dia menyeringai lebar, di dalam hatinya dia tidak percaya bahwa gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau para penjaga itu roboh adalah karena ketololan mereka.

“Ha-ha-ha, nona. Sebaiknya engkau berlutut dan menyerah agar kubawa menghadap Beng-cu. Mungkin melihat engkau begini cantik Beng-cu tidak akan membunuhmu. Kalau engkau tidak mau menyerah, aku akan menyiksamu sampai setengah mati, baru akan kuhadapkan Beng-cu! Nah, kau pilih yang mana?”

Liong-li melibat betapa sinar mata orang yang buruk ini mengeluarkan pandang mata yang demikian buas dan kejamnya sehingga ia bergidik. Orang ini tentu kejam setengah mati, pikirnya. Entah sudah berapa banyak nyawa orang tak berdosa melayang karena tangan yang berbulu dan berotot itu.

Baru melihat saja, ia sudah merasa amat benci kepada orang itu, akan tetapi ia menahan diri dan masih tersenyum. Pengalaman-pengalaman hebat dalam hidupnya, ditambah gemblengan yang diperolehnya dari Huang-ho Kui-bo, membuat Lie Kim Cu kini menjadi Hek-liong-li yang memiliki batin dan hati yang amat kuat, tidak mudab terguncang perasaan apapun juga.

“Siapakah engkau?” tanyanya singkat karena sebelum turun tangan ia ingin tahu dulu siapa lawannya dan apa kedudukannya di bawah pimpinan “beng-cu” Hek-sim Lo-mo.

“Heh-heh-heh, engkau ingin berkenalan dengan aku? Namaku Lu Sek Kwa dan orang lebih mengenal aku sebagai Tiat-pi Hek-wan! Dan nama julukanku bukan kosong belaka, nona. Lihat ini!”

Dia mengambil sebatang golok yang terlempar ke bawah, lalu menggunakan golok di tangan kanan itu untuk membacok lengan kirinya sendiri. Terdengar bunyi “takkk!” nyaring sekali dan lengan itu seperti besi saja, tidak luka sama sekali. Kemudian, sekali dia menekuk golok itu dengan kedua tangan, maka golok itupun patah menjadi dua potong dan sambil tertawa dia melemparkan dua potongan golok itu ke atas lantai!

Melihat ini, tahulah Lioag-li bahwa dugaannya benar. Orang ini seorang ahli gwakang (tenaga luar) yang amat kuat dan mempunyai kekebalan, terutama pada kedua lengannya.

“Nona, sebaiknya engkau menyerah saja!” seorang di antara para penjaga tadi berseru. “Sayang kalau sampai orang secantik engkau menerima siksaannya. Dia adalah algojo dari Beng-cu kami, nona dan kalau engkau sampai disiksanya, engkau akan merasa menyesal hidup di dunia ini!”

Mendengar ucapan itu, Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa tertawa bergelak, seolah merasa gembira sekali karena mendapatkan pujian atas kekejamannya. Kini Liong-li sudah berhasil mengenal orang itu, baik namanya maupun kedudukannya di dalam gerombolan penjahat itu. Kiranya seorang algojo! Tentu sudah banyak sekali orang tidak berdosa yang tewas di tangan orang ini, pikirnya. Sudah sepatutnya kalau orang macam ini, seperti Twa-to Ngo-houw, dihukum mati!

“Bagus, kalau begitu biarlah aku mewakili para korbanmu untuk membalaskan sakit hati mereka yang telah kausiksa dan kaubunuh!” kata Liong-li sambil melangkah maju, mendekati manusia iblis itu, dipandang oleh para penjaga dengan khawatir karena mereka seperti melihat seekor kelinci yang menghampiri seekor harimau.

Kalau mereka merasa khawatir akan keselamatan Liong-li, hal ini bukan karena kelemahan hati atau kebaikan hati mereka. Sama sekali tidak! Mereka hanya merasa sayang kalau gadis secantik itu akan disiksa habis-habisan oleh Tiat-pi Hek-wan! Akan lebih menyenangkan kalau diserahkan kepada mereka!

Tiat-pi Hek-wan mengeluarkan gerengan marah mendengar ucapan Liong-li itu. Dia mengembangkan kedua lengannya, seperti seekor king-kong, lalu menerkam ke depan untuk menangkap Liong-li.

“Wuuuuttt......!!”

Tubrukan itu dielakkan dengan mudah oleh Liong-li sehingga mengenai angin saja. Namun, Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa bukan hanya memiliki tenaga kuat, melainkan juga pandai ilmu silat. Dia sudah membalik dan cepat tangan kanannya yang berlengan panjang itu meluncur ke depan, mencengkeram ke arah kepala Liong-li, sedangkan tangan kirinya menyusul dengan cengkeraman pula ke arah dada.

Kalau Liong-li menangkis cengkeraman pertama, tentu cengkeraman kedua itu akan berubah dan menangkap lengannya. Akan tetapi, Liong-li kembali mengelak. Ia tidak mau menangkis, bukan karena takut kalah tenaga, melainkan ia enggan bersentuhan dengan orang yang menjijikkan itu.

Lutung Hitam itu menjadi semakin marah. Bertubi-tubi dia menyerang, kini bukan hanya mencengkeram dan menubruk untuk menangkap, melainkan diseling dengan tamparan, pukulan dan tendangan untuk merobohkan gadis itu! Namun, sampai lebih dari duapuluh kali dia menyerang, selalu mengenai angin kosong saja!

“Perempuan setan, jangan harap dapat lolos dari tanganku!” bentaknya dan tiba-tiba dia bergulingan dan mengejar Liong-li. Sambil bergulingan, kaki dan tangannya menyerang, menendang, mencengkeram dan gerakannya cepat sekali.

Liong-li sudah siap. Kalau ia mau, dapat ia sekali hantam menewaskan orang ini. Akan tetapi ia teringat betapa orang ini telah menyiksa banyak orang yang tidak berdosa, maka terlalu enak kalau dia dibikin tewas seketika. Setidaknya dia harus mengalami penderitaan siksaan!

Begitu tubuh itu mendekat dan mencengkeram, ujung kaki Liong-li meluncur dan tepat mengenai pergelangan tangan yang mencengkeram. Seketika lengan itu seperti lumpuh dan kembali ujung sepatu Liong-li menendang dan mengenai pundak.

“Tukkk!” Tendangan itu merupakan totokan pada jalan darah hong-hu-hiat di belakang pundak.

Sudah diatur tenaganya sehingga tendangan yang seharusnya mematikan itu, kini hanya mendatangkan rasa nyeri yang hebat. Terdengar Si Lutung Hitam meraung kesakitan. Akan tetapi memang dia bandel dan kuat. Dia meloncat bangkit dan dengan muka beringas menahan nyeri, dia sudah menyerang lagi, kedua lengannya kembali dikembangkan dan menyambar dari kanan kiri!

Liong-li tidak mundur, bahkan melihat kedua lengan itu berkembang dan dada orang itu terbuka, didahuluinyalah lawan itu dengan kecepatan gerakannya yang luar biasa. Ia menerjang ke depan dan sebelum kedua lengan itu sempat bergerak, ia sudah “memasuki” dada itu dengan pukulan tangan kosong.

“Dessss......!”

Liong-li sengaja tidak mempergunakan Hiat-tok-ciang. Kalau ia menggunakan ilmu ini, tentu lawannya roboh dan tewas. Ia hanya menggunakan tenaga sin-kang, itupun dengan ukuran agar jangan meremukkan isi dada lawan. Tubuh Si Lutung Hitam terjengkang dan dia terbanting keras. Kembali dia mengaduh dan sebelum dia bangkit berdiri, Liong-li sudah menyusulkan tendangan.

“Desss......!” Tubuh itu terguling-guling, ketika hendak bangun, disambut tendangan lagi dan terguling lagi sampai empat kali!

Melihat ini, belasan orang penjaga tadi lalu berteriak-teriak mengepung dan menyerang lagi dengan senjata mereka. Beberapa orang penjaga keluar dari dalam dan ikut mengeroyok sehingga kembali Liong-li dikeroyok oleh kurang lebih duapuluh orang!

Liong-li sudah menyambar sebatang tombak yang dapat dirampasnya, mematahkan bagian ujung yang runcing dan kini ia memegang sebatang toya yang dapat dimainkannya sebagai tongkat. Tentu saja ia tidak takut menghadapi mereka dengan tangan kosong, akan tetapi ia tidak ingin membiarkan pakaiannya terancam robek oleh hujan senjata.

Dengan toya itu di tangan, dengan mudah ia menangkis semua senjata yang menghujaninya, dan dengan kedua ujung toyanya, ia merobohkan para pengeroyok satu demi satu. Akan tetapi yang menjadi sasarannya adalah Si Lutung Hitam yang kini maklum akan kelihaian gadis itu dan dia sudah mengambil sebatang ruyung besi yang berat dan besar. Karena dibantu oleh banyak anak buah, Tiat-pi Hek-wan masih berani menerjang dengan ruyungnya sambil menahan rasa nyeri di beberapa bagian tubuhnya yang tadi kena dihantam dan ditendang oleh Liong-li.

Liong-li memutar toyanya sedemikian rupa sehingga kembali ada dua orang pengeroyok terjungkal. Yang seorang kena dihantam sambungan lututnya, yang seorang lagi tersodok perutnya. Ketika ia merasakan angin pukulan yang amat dahsyat menyambar dari belakang, tahulah ia bahwa Si Lutung Hitam yang menyerangnya dengan ruyung. Ruyung itu menyambar dari atas, mengarah kepalanya yang tentu akan hancur lebur kalau terkena. Liong-li miringkan tubuhnya, membiarkan ruyung lewat dan ujung toyanya sudah menotok ke arah siku kanan dari tangan yang memegang ruyung.

“Tukkk..... auhhh.....” Ruyung itu terlepas dan jatuh berdentang di atas lantai ketika Tiat-pi Hek-wan melompat mundur sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kiri. Sambungan siku kanannya terlepas dan lengan kanan itu menjadi lumpuh.

Maklum bahwa dia tidak akan mungkin menang, walaupun dibantu banyak orang, Si Lutung Hitam lalu meloncat dan melarikan diri hendak keluar dari pekarangan depan itu! Liong-li melihat ini. Ia meloncat jauh menghindarkan diri dari pengeroyokan para penjaga, dan melihat tubuh tinggi besar itu melarikan diri, iapun lalu melontarkan toya di tangannya.

Toya itu meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya dan tak dapat dihindarkan lagi, toya itu menusuk punggung Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa.

Demikian kuatnya lontaran toya itu sehingga menembus punggung sampai ke dada! Robohlah Si Lutung Hitam tanpa dapat bersuara lagi, roboh dan tewas seketika, menelungkup akan tetapi dadanya tidak menyentuh tanah karena terganjal oleh ujung toya yang menembus dadanya!

Melihat robohnya jagoan ini, para anak buah yang berada di tempat itu menjadi ketakutan dan tanpa dikomando lagi, merekapun melarikan diri, meninggalkan teman-teman mereka yang terluka parah.

Hek-liong-li berdiri sambil tersenyum memandang kepada mereka, lalu dengan tenang ia memasuki rumah itu untuk mencari Kiu-bwe Mo-li, Hek-sim Lo-mo atau anak buahnya. Akan tetapi rumah itu sudah kosong, kecuali wanita-wanita dan para pelayan yang sama sekali tidak diganggu oleh Liong-li. Ia menangkap seorang pelayan wanita yang nampak ketakutan, menghardiknya.

“Hayo katakan di mana adanya Hek-sim Lo-mo, Kiu-bwe Mo-li dan yang lainnya lagi. Di mana mereka?”

Pelayan itu dengan muka pucat dan tubuh gemetar menggelengkan kepalanya, dan hanya berkata, “Tidak tahu...... saya tidak tahu.......” berkali-kali.

Tahulah Liong-li bahwa semua orang di situ tentu saja takut setengah mati kepada Hek-sim Lo-mo dan tidak akan berani mengaku, atau memang benar tidak tahu karena mereka ini hanyalah para pembantu rumah tangga dan para wanita yang agaknya menjadi para penghibur tokoh-tokoh sesat itu. Ia teringat akan keterangan orang pertama Twa-to Ngo-houw, maka tanpa banyak cakap lagi iapun meninggalkan tempat itu.

Untung bahwa ia cepat pergi karena tidak lama kemudian, ada pasukan keamanan kota Lok-yang yang datang ke tempat itu. Mereka ini menerima laporan dari anak buah Hek-sim Lo-mo bahwa ada wanita “jahat” yang mengamuk dan membunuhi orang, maka pembesar setempat segera mengirim perwira yang memimpin pasukan untuk menangkapnya.

Memang pengaruh Hek-sim Lo-mo amat besar, bukan saja terhadap semua orang golongan hitam, bahkan diapun dengan cerdik mengadakan hubungan baik dengan para pejabat dan pembesar setempat. Tentu saja dia harus membeli hubungan baik ini dengan harta benda yang cukup banyak. Dengan adanya hubungan baik ini maka kedudukannya terlindung.

Semua rumah pelesir, rumah judi dan segala macam tempat maksiat di mana orang-orang bersenang-senang dan membuang uang, dikuasai oleh Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya. Tempat-tempat seperti itu menghasilkan banyak uang, maka tentu saja mudah baginya untuk mengeluarkan harta benda yang cukup besar untuk dibagi-bagikan kepada para pembesar, sekedar “bagi hasil”. Semua usahanya itu terlindung dan keadaan aman baginya.

Dan kini, ketika Liong-li melakukan penyerbuan, anak buah Hek-sim Lo-mo tanpa ragu-ragu lari melapor kepada pembesar komandan keamanan Lok-yang dan pembesar ini cepat mengirim pasukan untuk menangkap si “penjahat”. Keadaan seperti ini terjadi kapan saja dan di mana saja selama manusia masih menjadi hamba dari pada nafsu keinginannya sendiri yang selalu mengejar kesenangan melalui uang atau harta.

Pengejaran inilah yang mendatangkan segala macam penyelewengan dalam kehidupan manusia, tidak perduli apapun kedudukannya maupun pangkatnya. Pengejaran membuat kita menjadi buta, tidak lagi melihat bahwa cara yang kita pergunakan adalah buruk dan tidak sehat. Yang menentukan adalah caranya, bukan tujuannya, karena pelaksanaan cara inilah isi kehidupan.

Cara yang buruk sudah pasti mendatangkan hasil yang buruk pula, tidak perduli betapa mulukpun gambaran cita-cita atau tujuan itu. Sayang sekali bahwa kebanyakan dari kita terlalu mementingkan cita-cita, terlalu mementingkan tujuan sehingga dalam banyak hal terjadi kepincangan di mana tujuan menghalalkan segala cara! Cita-cita dan tujuan hanyalah permainan pikiran yang menggambarkan gagasan-gagasan muluk, sebaliknya cara adalah derap langkah kehidupan sehari-hari. Derap langkah atau perbuatan sehari-hari inilah yang penting, bukan gagasan dan lamunan yang muluk- muluk. Kalau cara yang kita tempuh setiap saat ini baik, sudah tidak ada persoalan lagi apakah hasilnya baik atau tidak baik yang hanya merupakan penilaian saja, dan cara yang baik hanya satu, yaitu apabila berlandaskan cinta kasih.

Dan cinta kasih ini tak mungkin ada selama si aku merajalela, selama yang ada hanya pementingan diri pribadi, demi kesenangan diri pribadi. Pementingan diri pribadi ini menimbulkan konflik, pertentangan, kemarahan, kekecewaan, kebencian dan permusuhan. Dan dalam keadaan seperti itu, bagaimana mungkin ada cinta kasih? Tempayan air yang kotor tidak mungkin dapat menampung air yang jernih. Bersihkan dulu tempayan itu dari segala kotoran, dan air yang ditampungnya akan bersih dan jernih!

Lie Kim Cu atau Hek-liong-li dengan cepat melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Fu-niu-san. Ia akan pergi ke dusun Gi-bo-cung di kaki Fu-niu-san, seperti yang diceritakan oleh orang pertama Twa-to Ngo-houw dalam pesan terakhirnya, bukan saja untuk mencari Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya, akan tetapi juga untuk menyelidiki tentang mustika naga yang kabarnya terjatuh ke tangan Hek-sim Lo-mo itu.

Y

Kuburan itu kuno sekali, akan tetapi masih nampak megah dan kokoh kuat. Tembok-temboknya sudah penuh lumut, dan lantainya sudah banyak yang rusak, namun bangunan bong-pai dan empat tiang penyangga bangunan yang bentuknya seperti kuil itu masih kokoh. Itulah kuburan kuno yang amat terkenal di antara orang-orang dunia persilatan. Sudah puluhan tahun lamanya, tempat ini menjadi sasaran pencarian sebuah benda ajaib yang disebut mustika naga.

Kuburan itu terletak di bukit Kim-san (Bukit Emas) di lembah Huang-ho dan terkenallah sebutan Kim-san Liong-cu (Mustika Naga Gunung Emas) yang diperebutkan oleh semua orang gagah di dunia persilatan. Dikabarkan dari mulut ke mulut bahwa mustika naga itu disembunyikan di tempat itu, di sekitar kuburan kuno seorang pangeran itu.

Banyak sudah tokoh kang-ouw yang tewas dalam perebutan ini, dan kuburan itu sendiri sudah dibongkar, diobrak-abrik, tulang-tulang kerangka tua itupun diobrak-abrik, namun tidak ada yang dapat menemukan benda pusaka itu! Tak seorangpun tahu siapa yang telah menemukan benda itu, dan di mana tempatnya.

Cin Hay berjalan seorang diri mendaki bukit Kim-san. Sunyi lengang saja di sekitar tempat itu dan ketika dia tiba di puncak, dia melihat bangunan kuburan kuno itu berdiri megah dan tua, juga amat sunyi. Cin Hay teringat akan dongeng dari mendiang gurunya, yaitu Pek I Lojin yang menceritakan bahwa di tempat ini pernah terjadi perebutan mustika itu antara orang-orang pandai sehingga banyak jatuh korban.

Sukar membayangkan tempat yang kini amat sunyi itu pernah menjadi medan perkelahian antara orang-orang sakti yang memperebutkan benda yang disebut Kim-san Liong-cu. Gurunya memesan agar dia pergi ke tempat itu dan menyelidiki di mana adanya Kim-san Liong-cu! Bagaimana mungkin? Bukankah sudah puluhan orang sakti di dunia persilatan mencari dan hasilnya sia-sia belaka, bahkan banyak yang mengorbankan nyawa?

Cin Hay menarik napas panjang kalau teringat gurunya yang amat baik itu. Dia dapat menduga bahwa tentu gurunya ingin sekali mendapatkan Kim-san Liong-cu, dan karena tidak berhasil, maka gurunya itu memesan kepada dia, murid tunggalnya, untuk melanjutkan cita-citanya yang tidak tercapai itu! Dia sendiri tidak mempunyai keinginan mendapatkan benda ajaib itu, akan tetapi mengingat akan pesan terakhir suhunya, maka Cin Hay datang juga ke tempat ini.

Dengan perlahan-lahan Cin Hay menghampiri bangunan kuburan yang seperti kuil bentuknya itu. Temboknya sudah berlumut, gentengnya sudah banyak yang pecah dan bangunan itu nampak menyeramkan. Akan tetapi ketika dia tiba di depan kuburan itu, cepat dia menyelinap di balik dinding bangunan karena dia melihat seorang laki-laki muda sedang berdiri menghadapi makam dengan kepala tunduk.

Tidak ada orang lain kecuali laki-laki muda yang berpakaian sastrawan itu dan Cin Hay merasa heran sekali apa yang akan dilakukan orang itu, seorang diri saja di tempat yang menyeramkan ini. Apakah orang itupun mempunyai niat yang sama dengan dia, menyelidiki dan berusaha mencari Kim-san Liong-cu yang kabarnya hilang itu? Dia menyelinap mendekati dan mengintai, ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan orang itu.

Orang itu kini berubah sikapnya, tidak lagi menunduk, melainkan mengangkat muka memandang ke arah makam, mengepal tinju dan wajahnya yang tadi pucat itu kini nampak marah. Dia seorang pemuda yang usianya sebaya dengan Cin Hay, kurang lebih duapuluh lima tahun, tubuhnya tinggi kurus dan pakaian sastrawan yang menutupi tubuhnya itu longgar dan kusut. Wajahnya agak pucat dan matanya tadi membayangkan kedukaan walaupun kini mata itu bersinar marah.

“Kiang-sun-ong, engkau sungguh orang yang terlalu banyak dosa! Setelah matipun engkau masih saja mendatangkan malapetaka bagi orang-orang lain sehingga banyak sekali orang yang mati karena engkau! Sungguh, aku kutuk engkau, semoga nyawamu mendapat hukuman yang paling berat di alam sana!” Setelah mengeluarkan umpatan itu, dia nampak lemas lalu menjatuhkan diri berlutut dan dia menangis, mulutnya mengeluh dan menyebut nama, “Bi Hwa...... Bi Hwa......!”

Dia secara tiba-tiba bangkit berdiri kembali, dan matanya menjadi beringas. “Bi Hwa, tunggulah, aku menyusulmu......!” Tiba-tiba dia lari ke depan dan membenturkan kepalanya ke arah dinding dengan jalan melompat ke depan.

“Plakkk!”

Kepala itu tidak mengenai dinding dan tidak hancur seperti yang diharapkannya! Kepala itu bertemu dengan telapak tangan dan pemuda berpakaian putih itu telah berdiri di depannya setelah mendorongnya dengan halus ke belakang. Cin Hay yang tadi bersembunyi dan mengintai, telah cepat meloncat dan menghalangi pemuda sastrawan itu membunuh diri!

“Kau..... kau....., lancang mencampuri urusanku!” bentak pemuda sastrawan itu dan diapun menyerang Cin Hay dengan pukulan yang cukup dahsyat!

Cin Hay terkejut dan heran sambil mengelak dengan cepatnya. Orang itu melanjutkan serangannya, mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah Cin Hay yang mempergunakan kelincahan gerakan kakinya untuk mengelak dan juga menangkis sambil membatasi tenaganya. Dia tahu bahwa orang ini sedang putus asa dan marah karena niatnya membunuh diri dihalangi, maka dia tidak menjadi marah melihat orang itu menyerangnya, bahkan merasa semakin kasihan.

“Nanti dulu, sobat. Tahan dulu seranganmu. Orang pemarah seperti engkau ini, bagaimana bisa mempunyai keinginan nekat membunuh diri? Engkau masih mempunyai keinginan besar membunuh orang lain, kenapa ingin bunuh diri secara pengecut?”

“Keparat! Engkau lancang dan berani memaki aku pengecut? Biarlah kubunuh dulu engkau, baru aku akan bunuh diri!” bentak pemuda sastrawan itu dan dia sudah mencabut pedang dan menyerang dengan pedangnya.

Seperti serangan tangan kosong tadi, serangan pedangnyapun hebat! Cin Hay mengerutkan alisnya. Orang ini memang sudah nekat dan agaknya kedukaan yang besar membuat jalan pikirannya tidak sehat lagi dan kalau dibiarkan begitu akan berbahaya. Dia miringkan tubuh dan dari samping dia menotok pergelangan tangan, terus merampas pedang dan sebelum sastrawan muda itu bergerak, Cin Hay sudah merobohkan orang itu dengan totokan yang melumpuhkan kaki tangannya!

“Bagus, kau lihai. Bunuh saja aku! Aku tidak ingin hidup lebih lama lagi!” kata sastrawan muda itu, kini kemarahan lenyap dan mukanya, terganti kedukaan seperti tadi.

Cin Hay menarik napas panjang, lalu dia duduk di atas lantai di depan pria itu, meletakkan pedang rampasannya di atas lantai dan dengan cepat dia membebaskan totokannya sehingga orang itu dapat bergerak kembali.

“Nah, marilah kita bicara baik-baik, sobat. Kulihat engkau memiliki ilmu silat yang lumayan, dan melihat pakaianmu, tentu engkau seorang yang terpelajar pula. Sebagai seorang ahli silat dan ahli sastra, mustahil engkau tidak tahu bahwa bunuh diri merupakan perbuatan yang rendah, hina dan pengecut. Hidup adalah tantangan dan kita harus menghadapinya, pahit maupun manis. Nah, mari kita bicara, siapa tahu, aku akan dapat membantumu, sobat. Namaku Tan Cin Hay dan sebut saja aku Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) karena aku lebih suka dikenal dengan nama julukan itu.”

Pemuda sastrawan itu sejenak mengamati wajah Cin Hay, lalu dia menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. “Engkau boleh jadi seorang pendekar besar yang budiman, tai-hiap (pendekar besar), akan tetapi aku sangsi apakah engkau akan mampu menolongku untuk membalas semua dendam ini. Musuhku adalah orang yang menjadi datuk kaum sesat dan biar ada seratus orang seperti aku masih belum cukup untuk dapat melakukan balas dendam!”

Mendengar ini, diam-diam Cin Hay terkejut. Kalau benar kata orang itu, tentu musuhnya itu sakti bukan main!

“Sobat, sudah menjadi kewajibanku untuk membantu yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat. Kalau memang engkau mempunyai penasaran dan patut dibela, percayalah, betapapun saktinya musuhmu itu, aku tentu akan mencoba untuk menentangnya. Nah, maukah engkau bercerita tentang keadaanmu?”

“Nanti dulu, tai-hiap. Sebelumnya aku ingin bertanya, bagaimana engkau dapat berada di tempat ini dan apa maksudmu datang ke kuburan Kiang-sun-ong ini?”

“Aku baru sekarang tahu bahwa ini kuburan seorang yang bernama Kiang-sun-ong. Aku hanya memenuhi pesan mendiang guruku untuk datang ke kuburan seorang pangeran yang kuno ini dan melakukan penyelidikan tentang benda yang disebut Kim-san Liong-cu.”

“Ah, benda keparat itu! Dan terkutuk Pangeran Kiang-sun-ong yang setelah mati masih menyimpan benda itu sehingga .menimbulkan korban banyak orang, dan yang terakhir...... tunanganku yang tercinta......”

Pemuda itu nampak berduka sekali. Cin Hay membiarkan pemuda itu menghanyutkan diri dalam duka dan sejenak dia mengamati wajah yang kini memejamkan mata dan nampak layu itu. Setelah pemuda itu membuka mata kembali, Cin Hay segera berkata.

“Sobat, jangan mengira bahwa hanya engkau seorang saja yang pernah menderita duka kehilangan seorang tunangan yang tercinta! Banyak sekali manusia di dunia ini yang menderita seperti engkau, bahkan lebih menderita lagi, akan tetapi jarang yang mengambil keputusan pendek seperti engkau. Aku sendiri juga kehilangan isteriku yang tercinta dan anak dalam kandungannya. Banyak teman sependeritaanmu, sobat, dan kurasa setiap orang manusia mempunyai kesengsaraan dan penderitaan masing-masing.”

“Akan tetapi tentu isterimu itu tidak terbunuh seperti tunanganku, ternoda dan terbunuh!”

“Hemm, siapa bilang tidak? Isteriku juga menjadi korban perkosaan dan penghinaan sampai mati,” kata Cin Hay dan mendengar ini, pemuda itu membelalakkan matanya lalu memegang lengan Cin Hay.

“Maafkan aku...... ah, aku memang pengecut dan terlalu besar iba diriku. Akan tetapi, engkau begini lihai, kenapa tidak menuntut balas atas nasib yang menimpa isterimu?”

Cin Hay mengangguk. “Aku sudah membalas dendam itu.”

“Ah, kalau begitu, mungkin saja engkau akan mampu membantuku, tai-hiap. Aku bernama Song Tek Hin. Tunanganku bernama Pouw Bi Hwa dan ayahnya bernama Pouw Sianseng, seorang sastrawan yang pandai dan cukup terkenal. Calon mertuaku itu pada suatu hari menemukan sebuah peta kuno di mana terdapat tulisan kuno yang sukar dibaca. Ayah mertuaku itu dapat membacanya dan ternyata itu adalah peta rahasia penyimpanan Kim-san Liong-cu.”

Cin Hay tertarik sekali, tak disangkanya bahwa orang muda yang hampir membunuh diri ini membawa cerita yang amat penting dan menarik mengenai Kim-san Liong-cu yang dicarinya seperti yang dipesankan oleh mendiang suhunya.

“Menurut petunjuk peta, akhirnya dia dapat menemukan mustika naga itu. Bukan di kuburan ini disimpannya, melainkan di satu tempat di bukit ini. Karena maklum bahwa mustika itu dijadikan rebutan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, maka ayah mertuaku itu menyimpannya di bawah kulit perutnya! Akan tetapi malang baginya, rahasia itu ketahuan oleh Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang kini menjadi datuk sesat yang memiliki kekuasaan besar. Ayah mertuaku lalu diculik, dan tunanganku juga diculik! Karena aku tidak mampu melawan mereka, aku hanya dapat melakukan penyelidikan saja dan membayangi ke mana mereka dibawa pergi. Kiranya mereka dihadapkan kepada Hek-sim Lo-mo seperti yang dapat kudengar dari hasil penyelidikanku. Ah, untuk mengetahui tentang nasib mereka saja, aku harus menyogok banyak anggauta penjahat sehingga menghabiskan semua harta bendaku, baru aku dapat memperoleh keterangan yang jelas tentang mereka......” Dan wajah itupun diliputi kedukaan kembali.

Cin Hay tertarik sekali. Pantas para tokoh kang-ouw tidak berhasil menemukan Liong-cu di kuburan itu. Kiranya telah didahului oleh Pouw Sianseng, seorang sastrawan yang berhasil mendapatkannya melalui peta kuno yang menunjukkan di mana mustika itu disembunyikan!

“Kemudian, apa yang terjadi dengan mereka dan Liong-cu itu!”

“Datuk sesat yang seperti iblis itu memaksa ayah mertuaku mengaku dengan jalan menyiksa tunanganku. Mustika itu diambil dengan paksa dari perut ayah mertuaku, dan keparat jahanam itu lalu menyuruh anak buahnya yang berjuluk Tiat-pi Hek-wan untuk memperkosa Bi Hwa sampai mati...... ah, Bi Hwa.....” Pemuda itu menggigit bibir menahan kepedihan hatinya membayangkan apa yang terjadi dengan tunangannya. “Dan ayah mertuaku akhirnya juga dibunuh.”

“Hemm, lalu apa yang telah kaulakukan selama ini?”

“Aku telah mencari Tiat-pi Hek-wan di Lok-yang dan dalam perkelahian, aku kalah karena dikeroyok oleh dia dan anak buah lain. Baru menghadapi dia saja aku kalah dan hampir mati, apa lagi harus menghadapi Hek-sim Lo-mo dan para kaki tangannya yang kabarnya amat lihai, jauh lebih lihai dari pada Tiat-pi Hek-wan. Aku menjadi putus asa dan dari pada menanggung derita batin seperti ini, tadi aku...... aku......”

“Sudahlah, saudara Song Tek Hin. Aku akan membantumu menghadapi mereka! Sudah menjadi kewajibanku untuk menentang Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya dan terus terang saja kuberitahukan padamu bahwa selain menentang mereka karena mereka jahat, juga aku akan mencoba untuk merampas mustika naga itu, seperti dipesan oleh mendiang guruku.”

Wajah Song Tek Hin nampak bercahaya, agaknya dia memperoleh harapan baru.

“Aku sama sekali tidak menghendaki mustika naga yang hanya akan menimbulkan banyak gangguan dalam hidup itu. Aku hanya ingin melihat orang-orang jahat itu tertumpas dan menerima hukuman mereka. Marilah, tai-hiap. Aku tahu di mana adanya Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya. Sudah kuselidiki dan mereka itu pergi ke dusun Gi-ho-cung di kaki Gunung Fu-niu-san, di rumah seorang ahli pembuat pedang bernama Thio Wi Han.”

“Eh, kenapa mereka ke sana?”

“Apa lagi kalau bukan membuatkan pedang dari mustika naga itu?”

Diam-diam Cin Hay dapat pula menduga karena mendiang gurunya pernah bercerita tentang Liong-cu itu yang dapat menjadi bahan senjata yang ampuh sekali. Berangkatlah mereka meninggalkan Bukit Emas, menuju ke pegunungan Fu-niu-san, dan dalam perjalanan ini Cin Hay mengenal Song Tek Hin sebagai seorang pemuda yang ahli dalam ilmu sastra dan juga memiliki ilmu silat yang cukup lumayan, dan watak yang pendiam dan serius.

<<Y>>

Keterangan yang didapat Song Tek Hin tentang Hek-sim Lo-mo memang benar. Pada waktu itu, Hek-sim Lo-mo memang berada di dusun Gi-ho-cung di kaki Pegunungan Fu- niu-san. Hampir tiga bulan telah lewat sejak dia menyerahkan Liong-cu kepada Thio Wi Han dan kini mustika naga itu telah menjadi dua batang pedang yang sudah hampir selesai!

TOK-GAN-LIONG Yauw Ban, pembantu utamanya, juga berada di dusun itu dan Yauw Ban inilah yang sering mengunjungi pondok si ahli pembuat pedang, dan mengepalai Wei-ho Cap-sha-kwi yang masih terus berjaga di dalam bangunan darurat yang mereka buat tak jauh dari rumah kakek pembuat pedang. Selain Tok-gan-liong Yauw Ban dan Cap-sha-kwi, juga para pembantu utama lain dari Hek-sim Lo-mo berada di situ.

Mereka adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng, si pelajar sesat yang gila perempuan, dan He-nan Siang-mo (Sepasang Iblis He-nan), dua orang saudara kembar yang lihai dengan golok mereka itu. Mereka semua berada di situ atas perintah Hek-sim Lo-mo yang maklum betapa pentingnya menjaga Liong-cu yang sedang dibuat pedang itu.

Dia tahu bahwa kalau sampai rahasia pembuatan pedang itu bocor, seluruh jagoan dunia persilatan tentu akan datang dan berusaha merampas mustika naga itu! Maka, dia tidak mau mengambil resiko dan mengumpulkan para pembantu utamanya di dusun itu untuk berjaga-jaga. Dan tak lama kemudian bahkan Kiu-bwe Mo-li muncul di dusun itu, menyusul pemimpinnya.

Akan tetapi laporan wanita iblis ini membuat Hek-sim Lo-mo marah sekali. Begitu Kiu-bwe Mo-li melaporkan bahwa Hek-liong-li telah menewaskan Twa-to Ngo-houw dan bahwa Kiu-bwe Mo-li terpaksa melarikan diri karena tidak mampu mengalahkan gadis itu, Hek-sim Lo-mo mengeluarkan suara gerengan marah dan dia menggerakkan tangannya ke arah wanita itu, dan angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah Kiu-bwe Mo-li. Wanita iblis ini terkejut bukan main, berusaha mengelak akan tetapi tetap saja angin pukulan membuat ia terpelanting keras sekali.

Untunglah bahwa Hek-sim Lo-mo tidak melanjutkan serangannya karena segera teringat bahwa tidak ada gunanya marah dan menghukum pembantunya yang diandalkan itu. Tadi dia hanya merasa kecewa dan marah mendengar betapa ada gadis muda yang berani menentangnya, bahkan sudah membunuh lima orang pembantunya, yaitu Twa-to Ngo-houw.

“Keparat kau, Kiu-bwe Mo-li! Tidak malukah engkau melaporkan bahwa engkau kalah oleh seorang gadis muda saja? Sungguh aku merasa ikut malu mempunyai seorang pembantu yang lemah macam engkau! Disuruh membunuh seorang gadis saja tidak becus, bahkan kalah olehnya! Hemm, apakah gadis itu memiliki tiga kepala dan enam tangan?”

“Maaf, Beng-cu, ia memang lihai sekali bagiku, akan tetapi aku yakin bahwa ia bukan apa-apa kalau berhadapan dengan Beng-cu. Ia adalah murid dari bibi guruku sendiri, yaitu Huang-ho Kui-bo. Ia ahli ilmu langkah ajaib Liu-seng-pouw, ilmu silat tangan kosong Bi-jin-kun, pukulan sakti Hiat-tok-ciang dan di samping itu, ia agaknya mewarisi keahlian permainan tongkat dari bibi guru Huang-ho Kui-bo.”

“Hemm, sudahlah, kita lupakan dulu gadis itu. Kalau sepasang po-kiam (pedang pusaka) itu telah selesai, baru kita cari lagi gadis itu dan biarlah aku yang akan menangkapnya sendiri.”

”Beng-cu, serahkan saja nona manis itu kepadaku, akan kutangkap ia dan akan kutaklukkan ia!” kata Jai-hwa Kongcu Lui Teng sambil tersenyum. Wajahnya yang tampan nampak manis akan tetapi juga kejam sekali sinar matanya,

“Biarkan kami yang akan menghancurkan gadis sombong itu, Beng-cu!” kata pula Can Siang dan Can Siong, dua orang kembar itu hampir berbareng.

“Kalian jangan tekebur,” kata Tok-gan-liong Yauw Ban yang lebih berhati-hati. “Kalau ia dapat ntengalahkan Kiu-bwe Mo-li, berarti ia memang lihai sekali dan kita lihat saja nanti kalau sampai kita berhadapan dengannya. Bagaimanapun juga, kita harus membasminya karena ia telah berani menentang dan melanggar wibawa Beng-cu kita.”

Demikianlah, Hek-sim Lo-mo tidak mau diganggu oleh urusan lain lagi sebelum sepasang pedangnya itu selesai dibuat dan dia bersama semua pembantu utamanya yang berkumpul di dusun Gi-ho-cung, mengamati gerak-gerik kakek Thio Wi Han dan isterinya dan menjaga dengan ketat agar jangan sampai sepasang pedang itu diganggu orang lain.

Memang terjadi hal yang amat aneh di dusun Gi-ho-cung itu. Demikian banyaknya para tokoh sesat, bahkan datuknya yang ditakuti semua orang kang-ouw, berada di dusun itu, akan tetapi anehnya, tidak ada seorangpun penghuni dusun itu yang tahu bahwa di dusun mereka terdapat seorang datuk sesat seperti raja setan dengan lima orang pembantu utamanya seperti iblis, dan tigabelas orang anak buah seperti binatang-binatang liar yang buas, yaitu Cap-sha-kwi! Hal ini adalah karena mereka semua tidak pernah melakukan suatu kejahatan atau kekerasan dalam bentuk apapun!

Dan hal ini tentu saja berkat sikap Thio Wi Han! Kakek ahli pembuat pedang yang gagah perkasa dan tidak mengenal takut ini memesan dengan sungguh kepada Hek-sim Lo-mo bahwa dia dan anak buahnya tidak boleh sedikitpun mengganggu penduduk dusun itu. Kalau sampai terjadi gangguan, pedang itu tidak akan diselesaikan bahkan akan dihancurkan!

Karena ancaman ini, betapupun mendongkol rasa hati Hek-sim Lo-mo, namun dia khawatir kalau sampai kakek yang keras hati itu akan melaksanakan ancamannya, maka dia pun mengancam semua anak buahnya agar tidak mengganggu sedikitpun keamanan di dusun itu. Bahkan dilarang memperkenalkan diri kepada mereka.

Larangan ini dipatuhi oleh semua kaki tangan Hek-sim Lo-mo, akan tetapi amat menyiksa hati Jai-hwa Kongcu Lui Teng. Penjahat muda yang amat lihai ini memang mempunyai satu kelemahan, yaitu dia tidak tahan hidup tanpa wanita, dan sekali dia melihat wanita yang menarik hatinya, dia tidak akan berhenti berusaha sebelum wanita itu jatuh ke dalam pelukannya. Watak inilah yang membuat dia menjadi gila perempuan dan entah berapa banyaknya wanita yang diganggunya, baik dengan halus maupun secara kasar sehingga dia dijuluki Jai-hwa Kongcu (Pemuda Pemetik Bunga).

Larangan Hek-sim Lo-mo agar dia tidak mengganggu penduduk dusun itu sama saja dengan melarangnya mengganggu wanita dan dia mulai merasa gelisah. Boleh saja menyuruh dia menganggur berbulan-bulan asal ada wanita di dekatnya! Tanpa adanya wanita, baru beberapa hari saja dia sudah merasa tersiksa, apa lagi ketika pada suatu hari dia melihat dua orang wanita dusun itu sedang mencuci pakaian di sungai kecil yang mengalir bening di luar dusun.

Seorang wanita berusia tigapuluh tahun lebih dan puterinya berusia limabelas tahun. Ibu muda dan puterinya itu nampak menarik sekali dalam pakaian mereka yang basah dan dengan jantung berdebar dan gairah mulai merangsang batinnya, Lui Teng menghampiri mereka.

Dua orang wanita itu terkejut melihat munculnya seorang laki-laki asing dan mereka tahu bahwa pria itu tentulah seorang di antara beberapa orang asing yang kabarnya menjadi tamu kakek Thio untuk memesan pembuatan senjata tajam. Karena selama ini mereka tidak pernah mengganggu penduduk, dua orang wanita inipun tidak merasa takut, hanya malu dan cepat mereka berusaha menutupi dada mereka dengan kain yang mereka cuci karena basahnya baju mereka membuat pakaian itu melekat ketat dan buah dada mereka nampak membayang.

Jai-hwa Kongcu Lui Teng tersenyum dan memang dia berwajah tampan, bersikap halus dan senyumnya amat menarik hati wanita. Dengan sopan dia memberi hormat kepada mereka.

“Maafkan, kedua nona-nona manis yang baik budi, bukan maksudku untuk mengganggu kalian, akan tetapi aku ingin mandi dan aku tidak akan mengganggu kalian. Teruskan saja pekerjaan kalian, nona-nona manis......”

Dua orang wanita itu saling pandang, kemudian yang lebih tua tersenyum geli dan menutupi muka dengan tangan. Gerakan ini membuat pakaian yang menutupi dadanya pindah ke mulut dan nampaklah buah dadanya membayang, membuat Jai-hwa Kongcu Lui Teng menelan ludah dan memandang kagum.

“Hi-hi, kongcu, jangan panggil aku nona. Aku sudah bersuami dan ini adalah A Kim, puteriku, anak tunggal kami.”

Lui Teng bukan seorang laki-laki bodoh yang tidak berpengalaman. Tentu saja dia tahu bahwa wanita ini sudah bersuami walaupun dia tidak mengira bahwa yang remaja puteri itu anaknya. Akan tetapi dia berpura-pura nampak terkejut dan heran, dan dengan pandang mata penuh kagum diapun berseru.

“Aihhh......, sungguh mati! Siapa dapat menyangka hal itu? Siapapun akan mengira bahwa engkau masih seorang gadis yang sudah dewasa, dan usiamu tentu takkan lebih dari duapuluh tahun lebih sedikit, enci! Siapa akan percaya kalau engkau sudah bersuami, bahkan sudah mempunyai seorang anak seperti nona yang cantik manis ini?”

Sikap dan ucapan itu saja sudah amat menarik hati kedua orang wanita itu. Mereka adalah dua orang wanita dusun sederhana dan selamanya mereka belum pernah mendengar rayuan semanis itu keluar dari mulut seorang pria, apa lagi pria ini seorang pemuda kota yang demikian tampan dan berpakaian indah! Seketika wajah wanita itu menjadi kemerahan, dan puterinya juga memandang dengan malu-malu.

“Ah, kongcu sungguh terlalu memuji.....!” kata wanita itu dengan suara merdu dan kerling serta senyumnya memberi tanda kepada Lui Teng yang berpengalaman bahwa umpannya mengena dan kalau dia mau, “ikan” itu tinggal menariknya saja.

Akan tetapi dia tidak mau tergesa-gesa, dan dia harus bermain dengan hati-hati dan aman agar jangan sampai ada orang tahu, karena dia sungguh ngeri kalau membayangkan kemarahan Hek-sim Lo-mo kepadanya kalau sampai dia melanggar larangannya.

Memang sudah memuncak berahinya dan kalau saja menuruti suara hatinya, tentu sudah ditubruknya dua orang wanita ibu dan anak itu untuk memuaskan hatinya, seperti seekor harimau yang menerkam dua ekor kelinci gemuk. Akan tetapi, dia menahan diri. Dua orang wanita ini harus ditundukkannya sehingga mereka tidak menolak, dan pula, dia harus dapat memiliki mereka tanpa ada orang tahu, secara rahasia dan hal ini baru mungkin dilakukan kalau mereka berdua itu sudah tunduk dan takluk kepadanya!

“Ah, tidak, enci, aku tidak terlalu memuji. Kalian seperti enci dan adik saja, dan memiliki persamaan, keduanya cantik jelita seperti bunga yang mulai dan sudah mekar, kalau puteri enci ini, adik A Kim ini, seperti buah yang ranum dan segar, maka enci seperti buah yang sudah matang, keduanya membuat orang kegilaan. Bukan main seperti dua orang dewi dari kahyangan yang sedang bermain-main di air.”

Sambil berkata demikian, Lui Teng sudah menanggalkan bajunya dan mau tidak mau, dua orang wanita itu memandangnya dengan kagum. Pemuda kota itu bukan saja tampan wajahnya, akan tetapi juga memiliki tubuh yang indah, kekar berotot namun kulitnya putih halus!

Akan tetapi ketika mereka melihat betapa pemuda tampan itu hendak menanggalkan celana, sudah meraba ke arah ikat pinggang, keduanya tergesa-gesa menyambar cucian mereka dan sambil menahan ketawa karena geli, mereka lalu lari ke tepi dan hendak meninggalkan anak sungai itu. Melihat betapa ibu dan anak itu melarikan diri karena malu melihat dia hendak mandi telanjang, dengan beberapa langkah saja Lui Teng sudah mengejar dan mendahului mereka, dan dua orang wanita itu terpaksa berhenti ketika melihat Lui Teng sudah berdiri di depan mereka, dengan wajah memperlihatkan penyesalan. Dia segera menjura kepada ibu dan anak itu dan suaranya terdengar memelas.

“Aih, enci yang baik, dan kau nona yang manis. Sungguh mati, aku merasa menyesal sekali telah mengganggu kalian dan membuat kalian lari meninggalkan sungai ini. Aku mengaku telah berdosa besar dan biarlah kalian menghukum aku kalau kalian menganggap aku mengganggu dan kurang ajar.” Berkata demikian, Lui Teng menjatuh diri berlutut di depan mereka!

Tentu saja dua orang wanita itu terkejut dan si ibu muda cepat membalas penghormatan itu dengan gugup, “Jangan, kongcu......, berdirilah dan jangan berlutut kepada kami seperti itu......”

“Tidak, aku merasa berdosa dan kalau kalian belum mau mengampuni aku, biar aku akan berlutut di sini sampai mati! Sebagai tanda bahwa kalian benar-benar sudi mengampuni aku, hanya kalian berdualah yang dapat membuat aku bangun dari sini......” Lui Teng lalu mengulurkan kedua tangannya yang direntang ke kanan kiri.

Ibu dan anak itu saling pandang, lalu sang ibu muda mengangguk dan kedua orang wanita itu menurunkan keranjang cucian mereka, masing-masing memegang tangan Lui Teng dan menariknya bangun. Lui Teng bangkit berdiri, matanya melahap pakaian bagian dada mereka yang basah itu.

“Terima kasih...... ah, terima kasih! Kalian adalah dewi-dewi cantik penolongku!” Dan dengan hati-hati dia lalu menarik kedua tangan itu dan menciumi jari-jari tangan mereka itu bergantian.

Ibu muda itu menjadi malu, dan puterinya ketakutan. Mereka menarik kembali tangan mereka dan dilepas oleh Lui Teng yang bersikap hati-hati.

“Aku telah berhutang budi kepada kalian. Nah, sedikit tanda peringatan ini, tanda terima kasih dan tanda cintaku kepada kalian, terimalah sedikit hadiah ini!” Dan diapun sudah mempersiapkan dua buah hiasan rambut dari emas berbentuk bunga, memberikannya kepada ibu dan anak itu, masing-masing sebuah.

Ibu dan puterinya itu, wanita-wanita dusun yang belum pernah menerima pemberian seindah itu, menerimanya dengan wajah berseri dan mereka sudah lupa lagi akan kekagetan mereka ketika jari tangan mereka diciumi hergantian oleh pemuda itu.

“Terima kasih, kongcu......” kata sang ibu muda yang diturut oleh puterinya.

“Tidak usah berterima kasih...... malam nanti saja aku akan berkunjung ke kamar kalian dan aku akan menerima terima kasih kalian. Usahakan agar kalian tinggal sekamar, tanpa ada orang lain. Tunggulah kunjunganku, malam nanti......” Setelah membisikkan kata-kata itu, Lui Teng lalu lari meninggalkan mereka, kembali ke sungai dan menanggalkan semua pakaiannya lalu mandi.

Dua orang wanita itu terbelalak, wajah mereka berubah merah sekali, dan mereka saling pandang. Kalau ada sedikit rasa takut dan tidak setuju sehingga mereka ingin menolak, perasaan itu dihilangkan oleh rasa malu kalau harus menghampiri pemuda yang mandi telanjang itu.

Akhirnya, keduanya pulang dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Di tengah jalan, sang ibu memesan kepada puterinya agar peristiwa itu tidak diceritakan kepada siapapun juga, bahkan kepada ayahnyapun jangan sekali-kali diceritakan.

Lui Teng merasa yakin akan kemenangannya. Ketika dia menciumi tangan kedua orang wanita itu dan melihat mereka tidak menjerit atau menolak, dia sudah tahu bahwa mereka itu sudah bertekuk lutut, dan takkan menolak, atau setidaknya, takkan melawan kalau dia mencurahkan rasa cinta berahinya kepada mereka!

Ketika A Kim dan ibunya tiba di rumah mereka, ternyata suami ibu muda yang bernama Souw Kun sedang menerima dua orang tamu. Mereka adalah dua orang laki-laki muda yang berwajah tampan dan berpakaian seperti sastrawan. Perasaan ibu muda dan puterinya menjadi semakin berdebar karena dua orang itu mengingatkan mereka akan orang muda yang mereka jumpai di tepi sungai dan yang bersikap manis kepada mereka, bahkan telah menghadiahkan hiasan rambut dari emas dan berjanji akan datang menjenguk mereka malam nanti!

Akan tetapi, dua orang muda ini bersikap amat sopan dan sinar mata mereka sama sekali tidak “nakal” seperti sinar mata pemuda yang mereka jumpai di sungai. Dua orang pemuda ini cepat bangkit dan memberi hormat kepada ibu dan anak itu, dan Souw Kun segera memperkenalkan isteri dan anaknya kepada mereka, sebaliknya dia memberitahu kepada isterinya untuk cepat mempersiapkan masakan dan menyembelih ayam untuk hidangan dua orang tamu mereka.

Dia memperkenalkan dua orang tamu itu kepada isterinya sebagai dua orang dari kota raja yang melakukan perjalanan dan singgah di dusun itu. Karena di dusun itu tidak ada rumah penginapan, maka mereka tadi bertanya kepada Souw Kun yang sedang bekerja di ladang, berkenalan, kemudian mereka berdua menyatakan ingin bermalam di rumahnya selama beberapa hari dengan membayar sewa secukupnya karena mereka berdua tertarik oleh pemandangan indah dan hawa sejuk dusun di kaki Pegunungan Fu-niu-san itu.

Dua orang itu bukan lain adalah Cin Hay dan Tek Hin. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Cin Hay mencegah Song Tek Hin yang membunuh diri, kemudian dia mendengar dari Tek Hin tentang mustika naga yang dirampas oleh Hek-sim Lo-mo dari tangan calon mertua pemuda pelajar itu, dan betapa tunangan Tek Hin yang bernama Bi Hwa diperkosa sampai tewas, sedangkan ayahnya juga dibunuh Hek-sim Lo-mo.

Kemudian dua orang muda itu menuju ke dusun Gi-ho-cung untuk mencari Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya yang menurut hasil penyelidikan Tek Hin, kabarnya berada di dusun itu. Karena ingin bersikap hati-hati, maklum akan kelihaian pihak lawan, Cin Hay mengajak Tek Hin untuk memasuki dusun itu tanpa membuat banyak gaduh.

Mereka lalu berkenalan dengan seorang petani yang sedang menggarap sawahnya, dan kebetulan petani itu adalah Souw Kun. Dengan sikap yang sopan dan ramah, juga dengan memberikan uang muka yang cukup banyak, mereka berhasil menarik simpati petani itu yang segera mengajak mereka ke rumahnya dan menjamu mereka sebagai tamu-tamu agung.

Dalam percakapan antara mereka, dengan cerdik Cin Hay menyinggung tentang keadaan di dusun itu.

“Dusun yang begini indah dengan pemandangan alamnya dan sejuk nyaman hawanya, tentu sering dikunjungi tamu dari luar daerah. Tidakkah begitu, Souw-toako?”

Souw Kun mengerutkan alisnya, lalu mengangguk. “Memang seringkali ada tamu luar daerah datang berkunjung, akan tetapi sama sekali bukan karena keindahan pemandangan alam atau kesejukan hawa di dusun ini.”

“Ehh? Kalau bukan untuk itu, lalu untuk apa mereka datang berkunjung ke sebuah dusun yang sunyi ini?” Song Tek Hin yang mengerti akan pancingan Cin Hay, menyambung.

“Ah, yang datang bukanlah pelancong-pelancong seperti ji-wi (anda berdua) yang suka akan tempat indah, melainkan orang-orang kang-ouw, ahli-ahli silat dan orang-orang kasar.”

Jelas bahwa petani itu tidak suka mereka yang suka berdatangan ke dusun mereka. Dia adalah seorang petani sederhana yang usianya sudah empatpuluh tahun dan sudah banyak ulah orang-orang kang-ouw yang merugikan penduduk dusun dengan tingkah laku mereka yang kasar dan kadang-kadang sewenang-wenang dan kejam.

Tentu saja Souw Kun sama sekali tidak tahu bahwa dua orang tamunya yang kelihatan demikian halus dan seperti dua orang terpelajar yang tidak mengenal kekerasan, adalah dua orang muda yang ahli dalam ilmu silat, apa lagi yang berpakaian serba putih itu! Mereka berdua juga tidak membawa senjata apapun.

“Orang-orang kang-ouw? Ahli-ahli silat? Mau apa mereka datang ke sini?” tanya Cin Hay pura-pura heran.

“Di dusun kami tinggal seorang ahli pembuat senjata tajam yang amat terkenal, nama- nya Thio Wi Han. Dia tinggal di tepi dusun, berdua saja dengan isterinya dan dialah yang seringkali didatangi orang-orang kang-ouw yang hendak membuatkan senjata. Bahkan sekarang inipun di dusun kami terdapat banyak orang kang-ouw yang agaknya sedang menunggu senjata pesanan mereka. Sudah berpekan-pekan mereka tinggal di sini.”

Souw Kun lala menceritakan tentang orang-orang kang-ouw yang berkeliaran di dusun itu, juga tentang adanya tigabelas orang yang kelihatan buas, yang membuat pondok darurat tak jauh dari rumah Thio Wi Han, juga tentang seorang kakek raksasa yang menyewa sebuah rumah terbesar di dusun itu di mana dia tinggal bersama beberapa orang yang kelihatannya aneh dan buas, akan tetapi yang tidak pernah mengganggu penghuni dusun.

Dari mulut Souw Kun, Cin Hay dan Tek Hin mendapatkan keterangan yang cukup jelas, akan tetapi petani itu tidak tahu senjata apa yang dipesan oleh orang-orang kang-ouw itu. Juga dia sama sekali tidak tahu tentang Hek-sim Lo-mo, apa lagi tentang mustika naga.

Dalam rumah sederhana dari Souw Kun itu hanya terdapat dua buah kamar. Sebuah kamar besar dari Souw Kun dan isterinya, dan sebuah kamar yang tidak begitu besar dari A Kim, puteri mereka. Dengan adanya dua orang tamu itu, isteri Souw Kun mendapat alasan yang cukup baik untuk tidur di kamar puterinya, bahkan hal ini dikehendaki oleh suaminya karena kamar besar dipergunakan oleh Souw Kun dan dua orang tamunya.

Souw Kun memberikan pembaringannya kepada dua orang tamunya sedangkan dia sendiri tidur di kursi panjang di sudut kamarnya itu. Isterinya tidur bersama puterinya dan dua orang wanita itu merasa tegang sekali, teringat akan pesan pemuda tampan yang memberi hadiah kepada mereka.

Malam itu sunyi sekali. Malam yang gelap dan hawa udara di luar rumah amatlah dinginnya. Cin Hay dan Tek Hin yang sehari tadi melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah, sudah rebah di atas pembaringan, bahkan Tek Hin segera jatuh pulas. Cin Hay masih belum dapat pulas, rebah dengan gelisah. Dia melihat kehidupan tuan rumah dan diam-diam dia merasa agak iri.

Betapa bahagianya kehidupan keluarga petani dusun miskin seperti Souw Kun itu! Memang miskin sekali untuk ukuran kota, akan tetapi jelas bahwa tidak banyak persoalan yang harus mereka pikirkan kecuali bekerja setiap hari mencari makan, dan tidak ada kesulitan apapun dalam kehidupan mereka. Tidak ada yang mereka butuhkan kecuali makan kenyang setiap hari, pakaian yang setiap hari dapat diganti, tempat tinggal yang cukup melindungi mereka dari panas, angin dan hujan. Apa lagi?

Di dusun tidak ada restoran besar yang serba mahal, tidak ada toko-toko yang memamerkan barang-barang mewah pakaian indah, tidak ada tontonan-tontonan yang menghamburkan uang, tidak ada tempat perjudian dan lain kesenangan lagi yang hanya akan menambah besar kebutuhan manusia hidup. Lalu dia ingat akan keadaannya sendiri. Diapun tidak butuh apa-apa, akan tetapi juga tidak punya apa-apa! Tidak ada keluarga, tidak ada orang-orang yang dicintanya, dan hidupnya terasa hampa.

Dia menoleh kepada Tek Hin yang tidur pulas. Orang inipun tidak bahagia, pikirnya. Kehilangan orang yang dicintanya, dan kini hatinya hanya penuh dengan dendam! Hanya dendam yang masih membuat dia mempertahankan hidupnya, dendam dan harapan karena bertemu dengan dia yang menimbulkan harapan akan dapat membalas dendamnya! Kasihan Song Tek Hin ini, pikir Cin Hay, lupa akan keadaan dirinya sendiri.

Duka timbul dari iba diri sebagai hasil dari pementingan diri pribadi. Karena itu, begitu pikiran ditujukan kepada orang lain sehingga timbul rasa iba kepada orang lain, dengan sendirinya duka yang timbul dari iba diri itupun menghilang atau menipis. Perubahan dan jalan pikiran ini, ulah tingkah pikiran seperti ini, seyogianya selalu diperhatikan, diamati tanpa pamrih, tanpa tindakan apapun, hanya pengamatan saja yang ada.

Pengamatan inilah yang akan mendatangkan suatu keadaan yang lain sama sekali, pengamatan tanpa si-aku yang mengamati karena si-aku, yaitu pikiran, sudah lebur dan bersatu ke dalam pengamatan itu, seluruh pikiran, hati dan perasaan menjadi satu dalam pengamatan sehingga tidak ada lagi si-aku yang menimbang, yang menilai, yang ingin menyenangkan dan ingin disenangkan yang keduanya berpamrih dan bersumber kepada pementingan si-aku pula.

Tidak adanya si-aku ini bukan berarti diri menjadi kosong dan tumpul. Sebaliknya malah! Tanpa adanya si-aku, maka pengamatan itu murni dan penuh, tidak diselewengkan oleh si-aku yang berpendapat. seperti penuhnya pengamatan seorang tukang jam yang sedang menyelidiki kerusakan jam itu. Yang ada hanya pengamatan yang mendalam, yang menimbulkan pengertian dan kewaspadaan.

Cin Hay menoleh kepada tuan rumah. Juga sudah tidur pulas, bahkan dalam tidurnya pun, terdapat perbedaan antara pulasnya Tek Hin dan pulasnya Souw Kun petani itu. Dari cahaya sinar lilin, Cin Hay dapat melihat betapa garis-garis wajah Tek Hin yang tampan itu masih dibayangi sisa keruwetan pikiran, dan mungkin saja dalam keadaan seperti itu, di dalam tidurnya Tek Hin akan bermimpi sebagai sisa celoteh pikiran di siang hari, tidak seperti Souw Kun yang tidur demikian nyenyak, dengan wajah yang polos dan begitu bebas!

Malam semakin larut dan akhirnya Cin Hay mulai diselimuti ketidaksadaran orang yang menyeberang ke alam tidur. Akan tetapi, belum lama dia tertidur, dia yang memiliki pendengaran amat tajam berkat latihan yang tekun, tergugah oleh suara yang tidak wajar. Kelopak matanya tergetar, lalu terbuka dan kesadarannya mulai masuk. Dia tidak bergerak, melirik ke arah dua orang kawan sekamar itu. Terdengar dengkur halus Souw Kun, dan Tek Hin juga masih tidur pulas, kini miring ke kiri.

Kesadarannya sudah pulih dan dia memasang telinganya. Terdengar isak tangis tertahan! Tangis wanita yang ditahan-tahan, datangnya dari kamar sebelah! Memang lirih sekali, namun cukup menembus dinding dan tertangkap oleh pendengarannya yang tajam.

Dua orang wanita, ibu dan anak itu, sejak memasuki kamar sudah merasa gelisah dan tegang. Kalau mengenangkan pesan pemuda yang menarik itu, mereka menjadi tegang, dan si ibu muda yang merasa amat tertarik kepada orang muda tampan dan pandai merayu itu, diam-diam mengharapkan kedatangannya. Akan tetapi kalau ia teringat akan suaminya dan dua orang tamunya yang tidur di kamar sebelah, ia merasa ngeri kalau sampai kedatangan pemuda tampan itu ketahuan dan diam-diam ia mengharapkan orang itu agar jangan muncul dan bahwa pesannya tadi hanya bualan saja!

Adapun A Kim yang baru berusia limabelas tahun, masih gadis remaja, hanya menduga-duga dengan jantung berdebar tegang, apakah pemuda itu benar akan datang ke dalam kamarnya dan apa gerangan yang akan dilakukan oleh pemuda itu kepadanya dan kepada ibunya.

Sampai tengah malam, keduanya belum juga tidur, menanti dengan jantung berdebar. Akan tetapi, semakin larut malam, hati mereka menjadi semakin lega karena pemuda itu tidak muncul. Tentu hanya bualan saja, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba jendela kamar mereka terbuka dari luar tanpa mengeluarkan suara! Dan sebuah kepala nampak di jendela itu, diterangi lampu gantung di sudut rumah, dan terdengar suara.

“Sssssshhhh......!” isyarat bagi mereka agar jangan bersuara.

Ibu muda dan gadisnya itu terbelalak, dan A Kim merasa betapa jantungnya berdetak keras sampai terdengar meledak-ledak di telinganya. Ia tidak tahu bahwa ibunya juga mengalami hal yang sama ketika ia memegang tangan ibunya. Tangan mereka dingin dan gemetar! Mereka mengenal kepala dan muka itu, muka pemuda tampan yang berjumpa dengan mereka di sungai siang tadi! Wajah yang tampan tersenyum manis dan pandang matanya yang nakal!

Bagaikan seekor kucing saja, tanpa menimbulkan suara, pemuda yang bukan lain adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng, sudah melompat ke dalam kamar itu.

“Sstttt, aku datang memenuhi janji......” bisiknya lirih, “harap jangan mengeluarkan suara......”

Dan diapun langsung saja menutupkan kembali daun jendela yang tadi dibukanya dari luar dengan mudah, mempergunakan tenaga dan kepandaiannya. Kamar itu kembali menjadi gelap seperti tadi, hanya remang-remang saja karena ada sedikit sinar lampu menyorot masuk dari ruangan di luar kamar itu melalui celah-celah di atas daun pintu yang tinggi.

Nyonya Souw Kun, ibu A Kim, dengan tubuh gemetar menurut saja seperti seekor domba digiring ke jagal ketika Lui Teng merangkulnya dan menariknya ke pembaringan. Tangan ibu ini memegang lengan A Kim yang ikut pula terbawa dan begitu mereka berada di atas pembaringan, Lui Teng menerkam wanita itu dengan penuh gairah, namun juga dengan kelembutan, disertai bisikan-bisikan merayu yang memang menjadi keahliannya.

Ibu muda itu seperti lumpuh. Bermacam perasaan membuatnya lumpuh. Perasaan gembira, malu, ingin tahu, juga tegang dan takut, semua itu didorong oleh rangsangan yang timbul oleh rayuan dan cumbuan Lui Teng yang berpengalaman, berubah menjadi penyerahan dengan penuh kepasrahan seorang yang mabok nafsu! Ibu ini lupa keadaan, lupa di mana ia berada, lupa siapa dirinya, dan lupa bahwa di dekatnya ada puterinya yang masih remaja, yang menggigil karena ia sudah cukup besar untuk mengerti apa yang sedang terjadi.

Dan Lui Teng tidak akan dijuluki Jai-hwa Kongcu kalau dia merasa puas dengan hasil yang diperolehnya, puas dengan penyerahan diri Nyonya Souw Kun penuh kepasrahan itu. Tidak, dia sama sekali belum puas. Masih ada A Kim di situ, setangkai bunga yang sedang mekar, belum tersentuh tangan, setangkai kembang yang belum tercium kumbang.

Setelah menaklukkan sang ibu, diapun mulai menerkam puterinya! Dan ibu A Kim tidak dapat berbuat apapun, tidak berani melarang karena khawatir kalau rahasianya terbuka. Terpaksa ia harus merelakan puterinya digauli Jai-hwa Kongcu, bahkan ia membujuk-bujuk agar puterinya tidak menangis terlalu keras, agar jangan sampai diketahui suaminya bahwa di kamar itu, ibu dan anak sedang tidur bersama seorang laki-laki asing!

Dan tangis tertahan-tahan dari A kim itulah yang terdengar oleh telinga Cin Hay yang peka terlatih. Setelah dia merasa yakin bahwa yang merintih dan menangis lirih itu adalah suara seorang wanita di kamar sebelah, Cin Hay lalu bangkit duduk, dengan hati-hati dia turun dari atas pembaringan lalu menghampiri Souw Kun yang masih tidur nyenyak. Dirabanya pundak orang itu dan diguncangnya perlahan sampai Souw Kun terbangun. Cin Hay menaruh telunjuknya di depan mulut lalu berkata lirih,

“Souw-toako, aku mendengar suara tangisan di kamar sebelah. Sebaiknya kalau engkau jenguk anak isterimu, jangan-jangan ada yang sedang sakit. Tangis itu merintih seperti orang kesakitan.”

Souw Kun bangkit duduk dan dia mencoba mendengarkan, akan tetapi pendengarannya tidak setajam pendengaran Cin Hay, maka dia menggeleng kepalanya.

“Aku tidak mendengar apa-apa,” katanya.

“Coba kautempelkan telingamu di dinding itu, mungkin kau akan mendengar juga,” kata Cin Hay.

Souw Kun lalu menghampiri dinding yang memisahkan kamar itu dengan kamar puterinya, lalu menempelkan telinganya. Benar saja lapat-lapat dia mendengar suara rintihan dalam tangisan lirih, bahkan lapat-lapat dia mengenal tangis itu seperti suara puterinya.

“Ah, aku dapat mendengarnya sekarang! Anakku tentu sakit......” katanya.

“Toako, sebaiknya kalau engkau menjenguk mereka, siapa tahu anakmu membutuhkan pertolonganmu,” kata Cin Hay yang merasa tidak enak hatinya.

Puteri tuan rumah itu jelas menangis dengan tertahan-tahan, seolah-olah ia merasa malu untuk mengganggu para tamunya. Hal ini membuat hatinya tidak enak, karena ia merasa telah mengganggu keluarga tuan rumah yang demikian ramahnya. Mungkin gadis itu mengalami sakit yang hebat, dan menahan tangisnya agar jangan mengganggu para tamu.

Souw Kun merasa khawatir juga mendengar ucapan Cin Hay. Dia lalu membuka pintu kamar itu dan keluar. Tak lama kemudian Cin Hay yang masih berada di dalam kamar mendengar tuan rumah menggedor daun pintu kamar sebelah dan memanggil-manggil isteri dan anaknya. Dia tidak ikut karena merasa tidak patut untuk menjenguk ke kamar isteri dan gadis tuan rumah.

Tiba-tiba Cin Hay terkejut. Terdengar suara gaduh di kamar sebelah itu, dan yang terakhir terdengar teriakan Souw Kun, disusul robohnya tubuh orang dan selanjutnya sunyi. Cin Hay cepat melompat keluar dari dalam kamar dan dia masih melihat berkelebatnya orang, cepat sekali, keluar dari ruangan itu. Dia hendak mengejar, akan tetapi melihat tubuh Souw Kun menggeletak di ambang pintu kamar yang terbuka lebar, sebuah lampu gantung yang agaknya tadi dibawa Souw Kun, menggeletak miring dan hampir padam di sebelahnya.

Cin Hay tidak jadi mengejar, melainkan cepat menyambar lampu gantung itu sehingga tidak jadi mati, dan ketika dia mengangkat lampu itu mendekati tubuh Souw Kun, dia terkejut melihat betapa orang itu telah tewas dengan leher terluka lebar hampir putus! Agaknya leher itu terbabat senjata tajam yang dilakukan dengan tenaga besar sehingga Souw Kun tewas seketika. Tentu teriakan tadi dilakukan Souw Kun sebelum dia roboh, dan mungkin karena dia melihat sesuatu di dalam kamar.

Dengan hati berdebar tegang, Cin Hay melangkah ke dalam kamar, mengangkat lampu itu tinggi-tinggi di tangannya dan dia menahan teriakannya! Ibu dan gadis itu menggeletak di atas pembaringan, dengan telanjang bulat dan tubuh mereka penuh berlepotan darah!

Sepintas lalu saja Cin Hay tahu bahwa mereka telah tewas dengan dada tertusuk senjata tajam dan mungkin menembus jantung dan mereka tewas seketika tanpa sempat mengeluarkan suara! Cin Hay menjadi pening. Wajah ibu dan gadisnya itu nampak seperti wajah mendiang isterinya, Ci Sian, yang juga tewas dalam keadaan yang tidak jauh berbeda dari ibu dan anak itu!

“Keparat......!” bentaknya dan tubuhnya berkelebat keluar dari rumah itu, untuk mengejar bayangan yang tadi dilihatnya berlari keluar. Akan tetapi, sunyi saja di luar. Sunyi dan gelap. Dia tidak tahu ke mana penjahat biadab itu melarikan diri.

Souw Kun telah tewas, demikian pula isterinya dan puterinya. Mereka bertiga tewas terbunuh di depan hidungnya tanpa dia mampu mencegahnya. Dalam sekelebatan saja dia tahu apa yang terjadi.

Tentu penjahat itu tadi mengganggu ibu dan anak gadisnya itu di dalam kamar mereka, mungkin memperkosanya. Kemudian Souw Kun menggedor daun pintu, mengejutkan penjahat itu dan untuk menghilangkan jejak, penjahat keji itu membunuh dua orang wanita yang menjadi korbannya, kemudian membunuh pula Souw Kun. Dengan demikian, tidak ada orang yang sempat melihat mukanya dan tidak akan ada yang tahu siapa yang memperkosa dua orang wanita itu dan melakukan pembunuhan atas diri mereka dan Souw Kun.

Cin Hay kembali ke rumah Souw Kun, lalu menyelinap ke dalam kamar di mana dia melihat Song Tek Hin baru saja terbangun dan pemuda itu memandang kepadanya dengan heran.

“Tai-hiap, dari mana engkau dan apakah yang terjadi? Aku seperti mendengar suara ribut-ribut di sebelah,” katanya.

“Saudara Song, telah terjadi hal yang hebat dalam rumah ini,” kata Cin Hay dan dengan singkat namun jelas dia menceritakan apa yang terjadi.

“Ahhh! Souw-toako, isterinya, dan puterinya dibunuh orang?” Song Tek Hin terbelalak. “Akan tetapi, mengapa?” Lalu dia meloncat turun dari atas pembaringan dalam keadaan siap siaga, “Apakah karena kita menginap di sini? Apakah penjahat itu sebetulnya menginginkan nyawa kita?”

Cin Hay menggeleng kepala dan menceritakan pendapatnya. “Agaknya penjahat itu memperkosa ibu dan anak itu. Aku mendengar rintihan mereka dan aku membangunkan Souw-toako yang segera menggedor pintu kamar mereka. Penjahat itu lalu membunuh dua orang wanita itu, keluar dari kamar dan membunuh pula Souw-toako. Aku sempat melihat bayangannya berkelebat melarikan diri. Tentu dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika aku mencari jejaknya keluar, aku tidak menemukan lagi bayangannya.”

“Ah, tidak salah lagi! Tentu ini perbuatan kaki tangan Hek-sim Lo-mo! Mereka memang tokoh-tokoh sesat yang jahat seperti iblis! Dan melihat kejahatan ini, tentu keselamatan kakek ahli pembuat pedang itu terancam bahaya pula.”

“Memang sebaiknya kalau kita pergi menemuinya, selain untuk menjaga keselamatannya, juga untuk melihat apakah benar Hek-sim Lo-mo membawa mustika naga yang dirampas dari Pouw Sianseng untuk dibuatkan senjata oleh kakek Thio Wi Han,” kata Cin Hay.

“Lalu mereka itu......” Song Tek Hin menunjuk ke luar kamar, “Bagaimana dengan mayat-mayat mereka?”

Cin Hay menarik napas panjang. “Tidak ada orang lain melihat kita di sini, sebaiknya kita pergi diam-diam agar tidak mendatangkan banyak ribut dan prasangka buruk. Biarlah besok mayat mereka ditemukan para tetangga. Kita sekarang juga pergi menyelidiki keadaan rumah kakek Thio Wi Han.”

Song Tek Hin mengangguk dan mereka lalu membawa semua bekal pakaian dan meninggalkan kamar itu. Mereka berhenti sebentar di depan kamar sebelah dan Song Tek Hin mengerutkan alisnya ketika melihat mayat-mayat itu, terutama keadaan mayat ibu dan anak yang telanjang bulat itu. Diapun membayangkan keadaan tunangannya yang juga tewas diperkosa oleh anak buah Hek-sim Lo-mo, maka sambil mengepal tinju dia menyumpahi datuk sesat dan kaki tangannya.

Cin Hay dan Tek Hin menyelidiki keadaan sekitar rumah tinggal kakek Thio Wi Han. Pondok itu sunyi dan gelap, tanda bahwa penghuninya sedang tidur. Cin Hay dan Tek Hin melihat bahwa kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang membuat bangunan darurat yang tidak jauh dari pondok ahli pembuat pedang itu berada di dalam pondok darurat mereka.

Ada dua orang yang duduk berjaga, yang lain agaknya juga tertidur di sebelah dalam. Karena merasa tidak enak mengganggu kakek Thio Wi Han dan isterinya yang masih tidur, dua orang pemuda itu tidak mau berkunjung, melainkan menanti sampai pada pagi harinya.

Setelah kelihatan kesibukan di pondok itu, barulah Cin Hay dan Tek Hin berjalan menuju ke pondok. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari belakang mereka.

“Haiiii! Siapa kalian? Berhenti dan perkenalkan diri kepada kami lebih dulu!”

Cin Hay dan Tek Hin membalik dan mereka melihat ada tigabelas orang yang bersikap kasar dan rata-rata memiliki wajah bengis, berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun, telah berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam. Pemimpin mereka yang berperut gendut dan bermuka bopeng, maju menghampiri dan sikapnya angkuh sekali ketika dia memandang Cin Hay dan Tek Hin. Agaknya, orang inilah yang tadi membentak kepada mereka.

Song Tek Hin yang dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang jahat dan berbahaya, membiarkan Cin Hay maju melayani mereka. Dia hanya mengandalkan kepada Pendekar Naga Putih ini untuk melawan Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya, maklum betapa lihainya pendekar ini.

Cin Hay bersikap tenang, mengamati tigabelas orang itu dan diapun maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang jahat namun tentu memiliki ilmu silat yang tangguh. Siapa tahu, pembunuh Souw Kun dan anak isterinya mungkin juga seorang di antara mereka ini.

“Kami berdua hendak berkunjung kepada Thio Wi Han, ahli pembuat pedang,” kata Cin Hay, “Harap cu-wi (anda sekalian) tidak melarang kami.”

“Tidak bisa! Siapapun yang hendak berkunjung kepada Thio Wi Han, harus melalui kami dan memperoleh ijin dari kami! Hayo katakan, siapa kalian?” Si gendut bopeng itu adalah Kwa Ti, orang pertama dari Wei-ho Cap-sha-kwi dan dia bersikap congkak sekali.

Cin Hay mengerutkan alisnya, namun dia tetap sabar. “Sebetulnya kami berdua sama sekali tidak ada urusan dengan cu-wi, maka tidak semestinya kami memperkenalkan diri dan minta ijin. Tidak tahu siapakah cu-wi dan ada hak apa cu-wi mengharuskan orang yang hendak bertemu kepada paman Thio barus mendapat ijin dari cu-wi lebih dulu?”

“Pemuda sombong!” bentak seorang di antara mereka.

“Kwa-toako, hantam saja bocah lancang mulut itu!” bentak orang kedua.

Akan tetapi Kwa Ti tersenyum menyeringai. “Daa orang bocah kutu buku, agaknya kalian tidak tahu siapa kami, ya? Kami adalah Wei-ho Cap-sha-kwi dan kami yang pada saat ini menguasai seluruh wilayah ini! Hayo kalian berlutut minta ampun, lalu berterus terang siapa kalian dan apa perlunya kalian mencari Thio Wi Han, baru kami akan mengampuni kalian.”

Tidak menjadi watak Kwa Ti untuk bersikap demikian sabar terhadap orang lain. Hal ini adalah karena dia teringat akan larangan keras dari Hek-sim Lo-mo agar selama mereka menanti selesainya pedang pusaka yang dibuat Thio Wi Han, mereka tidak diperkenankan mengganggu orang di daerah itu.

Cin Hay maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan untuk bertindak sewenang-wenang, akan tetapi dia tetap dapat menguasai diri dan tidak memperlihatkan kemarahan, melainkan menjawab dengan tenang. “Namaku Tan Cin Hay dan urusanku dengan paman Thio Wi Han adalah urusan pribadi yang tidak dapat kuceritakan kepada orang lain. Harap cu-wi membuka jalan dan tidak menghalangi kami!”

“Toako, kutu buku ini kurang ajar sekali, berani memandang rendah kepada kita. Biar kuhantam saja mulutnya!” bentak seorang di antara Cap-sha-kwi, akan tetapi Song Tek Hin yang tidak sabar melihat betapa pendekar yang diandalkannya itu bersikap demikian lemah dan mengalah, segera membentak.

“Cap-sha-kwi atau Seribu Setan sekalipun tidak ada artinya dan tidak berharga bagi Tan-taihiap! Kalian yang tidak mengenal orang! Tan-taihiap ini adalah Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), sebaiknya kalian yang cepat berlutut minta ampun kepadanya!”

Mendengar teriakan Song Tek Hin ini, Kwa Ti menjadi marah sekali dan melompat ke depan, siap menyerang pemuda tunangan mendiang Pouw Bi Hwa itu. Song Tek Hin cepat meloncat ke belakang, berlindung di belakang Cin Hay. Kwa Ti tidak perduli dan dia sudah mencabut goloknya menyerang ke arah Song Tek Hin. Akan tetapi, Cin Hay menggerakkan kakinya maju ke depan dan kaki kirinya menyambar ke arah lutut kaki kanan orang pertama dari Wei-ho Cap-sha-kwi itu.

Kwa Ti melihat tendangan ke arah lututnya, cepat dia menahan serangannya dan mengayun golok besar yang tadi diangkat ke atas kepala itu ke bawah, membabat ke arah kaki Cin Hay yang menendang. Gerakannya cepat dan amat kuat sehingga kini berbalik Cin Hay yang terancam kakinya! Akan tetapi, tentu saja Cin Hay melihat ancaman bahaya ini dan diapun sudah menarik kembali kakinya dan pada saat golok itu menyambar lewat, secepat kilat kaki kanannya bergerak menendang ke arah lutut kaki kiri Kwa Ti.

Tendangan ini selain cepat sekali, juga tidak terduga datangnya. Kwa Ti terkejut dan mencoba untuk meloncat ke belakang, namun dia kalah cepat sehingga ujung sepatu Cin Hay masih sempat mencium pinggir lututnya. Kwa Ti terhuyung dan hampir jatuh! Hal ini membuat dia dan kawan-kawannya menjadi marah sekali. Mereka semua mencabut golok dan segera tigabelas orang penjahat itu sudah mengepung Cin Hay dengan golok di tangan dan sikap mengancam. Song Tek Hin sudah menjauhkan diri dan hanya menjadi penonton karena dia maklum bahwa kepandaian silatnya belum memadai untuk menghadapi pengeroyokan orang-orang yang lihai seperti Wei-ho Cap-sha-kwi.

Tigabelas orang jagoan itu baru saja mengalami kepahitan ketika mereka dikalahkan dengan mudah oleh Hek-sim Lo-mo. Mereka itu adalah segerombolan orang yang terbiasa memaksakan kehendak dan selama ini merasa diri mereka paling jagoan. Akan tetapi sungguh mengejutkan hati mereka betapa mereka dengan amat mudahnya dibuat tak berdaya oleh Hek-sim Lo-mo. Hal ini menyadarkan mereka bahwa di dunia ini terdapat banyak orang yang lebih pandai dari pada mereka.

Pengalaman itu membuat mereka kini lebih berhati-hati dan menghadapi pemuda yang katanya berjuluk Pendekar Naga Putih ini, mereka mengepung ketat dan mempergunakan Cap-sha-tin (Barisan Tigabelas) yang rapi dan kuat. Mereka membuat gerakan melingkari Cin Hay, melangkah perlahan-lahan mengelilinginya, makin lama gerakan kaki mereka semakin cepat dan mereka kini bahkan berlari-lari mengitari pemuda itu. Lingkaran merekapun berubah-ubah, kadang-kadang melebar dan kadang-kadang menyempit.

Cin Hay maklum bahwa dia dikepung oleh tigabelas orang yang selain jahat dan kejam, juga amat pandai mempergunakan golok, terutama sekali agaknya mereka sudah terlatih baik dalam bekerja sama dan membentuk barisan golok. Dia dapat menduga akan bahayanya barisan seperti ini, maka, diapun berdiri di tengah dengan tegak, sikapnya tenang sekali dan dia membiarkan mereka itu mengelilinginya, tanpa bergerak, hanya kedua matanya saja yang memandang ke kanan kiri dengan sikap waspada, juga kedua telinganya dipasang dengan penuh perhatian untuk berjaga diri.

Dari mendiang gurunya, Pek I Lojin, dia mempelajari berbagai ilmu silat yang tinggi, yang membuat dia tidak khawatir menghadapi pengepungan tigabelas orang bersenjata golok itu walaupun dia sendiri bertangan kosong. Dari gurunya dia memperoleh kepandaian yang istimewa, yang membuat segala benda yang ada, bahkan pasir dan tanah, dapat menjadi senjata yang ampuh. Juga kaki tangannya merupakan senjata yang ampuh.

Tiba-tiba Kwa Ti mengeluarkan bentakan nyaring sebagai aba-aba untuk memulai serangan. Barisan itu membalik dan menyerang Cin Hay secara tiba-tiba dan serentak. Tigabelas batang golok menyambar-nyambar, setiap kali serangan maju tiga batang golok, bergelombang sampai empat kali, didahului oleh gerakan bacokan golok di tangan Kwa Ti! Sungguh merupakan gelombang serangan yang dahsyat dan teratur baik sekali.

Namun, Cin Hay bersikap tenang. Dia melihat datangnya serangan-serangan itu dan dengan kelincahan tubuhnya yang luar biasa, dia menggerakkan tubuhnya menyelinap di antara sinar golok. Kaki tangannya tidak tinggal diam. Kecepatannya jauh melampaui gerakan para pengeroyoknya dan diapun dapat mengelak, menangkis atau mendahului lawan dengan sambaran kakinya. Gagallah gelombang serangan pertama itu, bahkan sebaliknya, beberapa orang di antara mereka ada yang mengaduh karena paha atau perut mereka kena dicium sepatu Cin Hay!

Serangan kedua datang dengan cara yang lebih dahsyat lagi karena kini tigabelas batang golok itu menyerang secara bertubi dan bersambung, juga mereka itu saling menjaga. Seorang penyerang selalu dijaga oleh dua orang kawan sehingga mereka menyerang dengan tenaga penuh tanpa membagi tenaga untuk berjaga diri karena dirinya telah dilindungi dua orang kawan.

Cin Hay menghadapi gelombang serangan kedua ini dengan cara lain. Dia mengelak dari serangan lawan dengan loncatan-loncatan tinggi, kemudian dia membalas menyerang, bukan pada penyerangnya melainkan kepada dua orang pelindung penyerang itu. Dengan demikian, kembali barisan menjadi kacau balau, apa lagi gerakan Cin Hay menyambar-nyambar dari atas sungguh mengejutkan mereka. Seolah-olah pemuda itu berubah menjadi seekor naga yang melayang-layang dan menyerang dari angkasa.

Kini, gelombang serangan kedua itu mengakibatkan Cap-sha-kwi menderita rugi lebih besar lagi karena dua orang di antara mereka roboh dengan kesakitan dan untuk sementara tidak mampu melakukan penyerangan lagi. Tentu saja barisan tigabelas orang ini menjadi pincang dan kacau balau.

Tiba-tiba Wei-ho Cap-sha-kwi mundur dan membuka kepungan, memberi jalan bagi mereka yang baru datang untuk menghadapi Cin Hay. Pemuda baju putih ini mengangkat muka, memandang penuh perhatian. Lima orang yang muncul dan perlahan-lahan melangkah maju menghampirinya itu sungguh menarik sekali, mendatangkan perasaan seram dan Cin Hay segera dapat menduga bahwa lima orang itu tentulah orang-orang yang lihai dan merupakan calon-calon lawan yang tangguh sekali.

Dugaan Cin Hay memang tidak keliru. Lima orang yang muncul itu adalah pembantu-pembantu utama dari Hek-sim Lo-mo!

Di hari-hari terakhir pembuatan pedang pusaka, para pembantu utama Hek-sim Lo-mo sudah berkumpul di tempat itu, ikut melakukan penjagaan seperti yang diperintahkan oleh Hek-sim Lo-mo. Mereka tadi mendengar akan keributan ketika Cap-sha-kwi mengeroyok Cin Hay, dan mereka segera datang ke tempat itu. Diam-diam mereka terkejut juga melihat betapa seorang pemuda berpakaian putih membuat kepungan Cap-sha-kwi menjadi kacau balau.

Cin Hay mengamati mereka dengan penuh perhatian. Yang melangkah di sudut kiri adalah seorang laki-laki tinggi kurus, berusia kurang lebih limapuluh tahun, dan mata kirinya buta, tertutup dan tidak ada biji matanya lagi. Itulah Yauw Ban yang berjuluk Tok-gan-liong (Naga Mata Satu), seorang yang amat lihai dengan pedang tunggalnya.

Di sampingnya berjalan Kiu-bwe Mo-li. Wanita berusia empatpuluh dua tahun yang pesolek dan genit, akan tetapi di balik bedak tebal itu terdapat wajah yang keriput. Sebatang cambuk ekor sembilan nampak berjuntai di balik punggungnya, seperti sebuah panji. Ia merupakan pembantu kedua yang amat tangguh, kejam dan dipercaya oleh Hek-sim Lo-mo.

Orang ketiga adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng, seorang pria berusia tigapuluh tahun lebih yang tampan dan gagah, bersikap halus seperti seorang pelajar. Biarpun tingkat kepandaiannya tidak setinggi Yauw Ban atau Kiu-bwe Mo-li, namun pria cabul yang sudah banyak mengganggu wanita ini lihai bukan main. Adapun orang keempat dan kelima adalah sepasang orang kembar yang terkenal dengan julukan He-nan Siang-mo (Sepasang Iblis He-nan), terkenal sekali dengan golok mereka, apalagi kalau mereka maju bersama.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar