Hati Kam Cian Li agak kecewa.
Selama hidupnya, sampai kini berusia sembilanbelas tahun, belum pernah ia jatuh
hati kepada seorang pria dan baru sekaranglah ia benar-benar amat kagum dan
tertarik kepada seorang pemuda. Biarpun ia dan kakaknya baru saja mengalami hal
yang amat berbahaya dan kini bahkan keselamatan dirinya terancam, namun ia
tidak merasa gentar sedikitpun juga. Ia bukan seorang gadis penakut.
Bahaya bukanlah hal asing
baginya. Pekerjaannya sebagai gadis penyelam selalu diliputi bahaya. Akan
tetapi sekarang ia merasa amat kecewa. Ia disuruh pulang seorang diri.
Kakaknya diberi tugas
mengundang seorang sababat yang lihai dari Pek-liong-eng, dan pendekar itu
sendiri katanya akan melakukan penyelidikan terhadap gerombolan penjahat yang
hendak membunuh ia dan kakaknya tadi. Akan tetapi ia sendiri, ia disuruh pulang
tanpa tugas apapun, disuruh bersikap seperti biasa. Ia merasa amat kecewa,
terutama sekali karena harus berpisah dari pendekar yang dikaguminya itu. Ia
telah jatuh cinta!
Ketika ia mendayung perahunya,
timbul rasa penasaran dalam hatinya. Kenapa ia tidak melakukan penyelidikan
sendiri? Lima orang penyerangnya tadi, yang semua telah dibikin pingsan dengan
perut kembung, mungkin masih menggeletak di atas perahu mereka.
Ia dapat menyelidiki mereka,
mengancam mereka agar mengaku dan menyebutkan nama semua orang yang berdiri di
belakang mereka, selain Po-yang Sam-liong! Kalau ia memperoleh keterangan
seperti itu, tentu hal itu amat berguna bagi Pek-liong-eng! Dan ia akan
berjasa, akan membikin senang hati pendekar itu. Mengapa tidak?
Dengan penuh semangat Cian Li
mendayung perahunya ke tengah, menuju ke arah ditinggalkannya perahu besar yang
ditumpangi lima orang penjahat yang sudah pingsan dengan perut kembung tadi.
Akan tetapi, ternyata perahu itu sudah tidak ada lagi.
Cian Li merasa penasaran dan
ia terus mendayung perahu berputar-putar di sekitar tempat itu. Agaknya tidak
mungkin kalau lima orang telah siuman dan dapat menyingkir dari tempat itu,
kecuali kalau mereka itu ditolong orang lain. Kemudian ia melihat berapa
perahu-perahu pesiar sudah mulai meninggalkan bandar, bahkan beberapa buah
perahu nelayan telah hilir mudik. Maka iapun segera mendayung perahunya menuju
pulang.
Matahari telah naik tinggi
ketika ia meninggalkan perahunya dan berjalan menuju ke rumahnya yang berada di
sebuah dusun kecil tak jauh dari telaga itu. Dari mendiang ayah mereka, ia dan
kakaknya menerima warisan sebuah rumah yang berada di ujung dusun itu, sebuah
rumah yang sederhana namun cukup baik.
Sambil membawa buntalan
pakaian dan hasil penyelaman mereka pagi tadi, tidak berapa banyak, Cian Li
melenggang dengan langkahnya yang gontai. Kedua kaki gadis ini berbentuk
panjang dan kuat sehingga kalau melangkah, ia melenggang dengan lemas sekali,
nampak menarik dan menggairahkan. Bentuk tubuh yang panjang ramping itu tentu
saja hasil dari pada pekerjaan menyelam dan renang itu.
Karena rumahnya memang tidak
dipenuhi barang berharga, maka pintu rumahnya ditutup begitu saja tanpa
dikunci. Ia mendorong daun pintu rumahnya dan melangkah masuk. Dengan hati
masih kecewa, ia melemparkan buntalan pakaian dan batu hasil penyelaman itu ke
atas meja, lalu memasuki kamarnya untuk membuka jendela. Rumah mereka mempunyai
dua buah kamar, sebuah untuknya dan sebuah lagi untuk kakaknya.
Begitu ia masuk ke dalam
kamarnya, tiba-tiba ia menjerit kecil dan matanya terbelalak, mukanya berubah
pucat sekali. Seorang laki-laki tinggi besar yang berhidung besar telah berada
di dalam kamarnya, dan orang itu menyeringai kepadanya. Mukanya demikian
menyeramkan, dengan hidung besar, mata melotot dan gigi yang besar-besar nampak
ketika dia menyeringai! Yang membuat ia terkejut adalah karena ia mengenal
orang ini sebagai seorang di antara lima penjahat tadi, bahkan si hidung besar
ini agaknya yang menjadi pemimpin para penjahat tadi!
“He-he-he, nona manis, engkau
baru datang? Sudah kesal aku menunggumu..... heh- heh-heh!”
Cian Li cepat membalikkan
tubuhnya hendak berlari keluar, akan tetapi ia terbelalak melihat betapa empat
orang penjahat lainnya sudah berdiri di depan pintu, menghadangnya sambil
menyeringai kejam.
“Ha-ha-ha, engkau tadi
menyiksaku, membenam-benamkan aku ke dalam air. Sekarang tiba saatnya kami
membalas dendam. Bersiaplah untuk menerima siksaan sampai mampus!” kata seorang
di antara mereka yang perutnya gendut.
Cian Li merasa bulu tengkuknya
meremang. Setankah mereka ini? Setan dari mereka yang telah mati dan kini hidup
kembali untuk mengganggunya, membuat pembalasan? Perut gendut ini, bukankah
karena perutnya kembung penuh air?
“Tidak...... tidaaaakk....!”
Ia menjerit dengan perasaan ngeri sekali.
Dari pada menghadapi empat
orang itu, lebih baik melawan yang seorang saja di dalam kamar, pikirnya dan
iapun membalik lagi ke dalam kamar dan dengan nekat ia menerjang si hidung
besar yang menyeringai lebar menyambut terjangannya dengan kedua lengan
dikembangkan!
Cian Li memang pernah belajar
silat dari mendiang ayahnya. Akan tetapi ilmu silatnya itu tidak ada artinya
dibandingkan dengan si hidung besar itu, seorang penjahat kawakan yang sudah
biasa mampergunakan kekerasan dan sudah seringkali berkelahi. Cian Li melakukan
dorongan dengan kedua tangannya, dengan maksud membuat si hidung besar itu
terpelanting agar ia dapat melarikan diri lewat jendela kamarnya yang tertutup.
“Plakk!” Si hidung besar
menangkis dari samping dengan maksud untuk menangkis dengan satu tangan lalu
tangannya yang lain mencengkeram dari samping: Akan tetapi, biarpun ilmu
silatnya tidak tinggi, Cian Li memiliki tenaga yang kuat sebagai hasil dari
kebiasaannya renang dan menyelam. Pertemuan kedua lengannya yang ditangkis itu
sempat membuat si hidung besar terdorong ke samping dan terhuyung! Kesempatan
ini dipergunakan oleh Cian Li untuk menggempur daun jendela dengan dorongan
kedua tangannya.
“Brakkkkk......!” Daun jendela
itu pecah berantakan dan Cian Li berusaha untuk menerobos keluar. Akan tetapi
hanya separuh tubuhnya saja yang sempat keluar karena tiba-tiba kedua
pergelangan kakinya ditangkap orang dari belakang! Kiranya yang menangkapnya
adalah si hidung besar!
Kini Cian Li hanya dapat
meronta karena tubuh bagian atas sebatas pinggang berada di luar jendela, akan
tetapi dari pinggang ke bawah masih berada di dalam kamar. Dengan mudah si
hidung besar sambil tertawa-tawa menarik tubuh Cian Li dan sebelum gadis itu
sempat melepaskan diri, kedua lengan dari si hidung besar yang panjang dan kuat
sekali itu telah memeluknya sehingga kedua tangannya tidak mampu bergerak.
Si hidung besar itu memeluknya
dari belakang. Ia meronta-ronta namun sia-sia belaka. Empat orang kawan si
hidung besar, memasuki kamar sambil tertawa-tawa pula melihat gadis itu meronta
dalam dekapan pemimpin mereka.
“Toako, biar kubedah dadanya
dan kukeluarkan jantungnya. Enak diganyang mentah- mentah, untuk obat kuat!”
kata yang berewokan dengan sikap bengis dan di tangan kanannya nampak sebatang
pisau tajam mengkilat.
“Ia menyiksaku dan membenamkan
kepalaku di air. Jangan dibunuh dulu, biar aku akan balas menyiksanya!” kata si
perut gendut, siap untuk mempergunakan tangannya mencengkeram gadis yang sudah
tidak berdaya itu. Akan tetapi si hidung besar membentak marah.
“Mundur kalian semua! Sebelum
aku selesai dengannya, kalian tidak boleh menyentuhnya! Gadis ini sekarang
milikku dan setelah aku selesai dengannya, baru kuberikan kepada kalian. Nah,
kalian cepat mencari benda itu sampai dapat. Geledah seluruh rumahnya, bawa
semua yang berharga dan bakar saja yang tidak ada artinya!”
Empat orang itu tidak berani
membantah dan merekapun keluar dari kamar itu, meninggalkan si hidung besar
berdua saja dengan gadis yang masih meronta-ronta dengan sia-sia dalam
rangkulannya yang seperti dekapan seekor biruang itu.
“Heh-heh, sejak di perahu itu
aku sudah tergila-gila padamu, nona manis. Engkau cantik manis dan tubuhmu
indah!” Si hidung besar melemparkan tubuh Cian Li ke atas pembaringan gadis
itu.
Cian Li terbanting ke atas
pembaringannya dan cepat ia bangkit untuk melompat, melawan atau melarikan
diri. Akan tetapi dengan cepat pula si hidung besar sudah menubruknya sehingga
ia terjengkang kembali dan mereka bergumul di atas pembaringan itu.
Cian Li melawan sekuat tenaga,
meronta dan sekali ini berkat pekerjaannya berenang dan menyelam, ia tertolong.
Tubuhnya telah menjadi kuat dan licin, dengan menggeliat-geliat ia selalu mampu
menghindar sehingga biarpun pakaiannya sudah robek di sana-sini, namun si
hidung besar tidak mampu menghimpitnya, bahkan beberapa kali Cian Li berhasil
mencakar, menampar bahkan menggigitnya.
Akhirnya si hidung besar
menjadi marah dan penasaran bukan main. Tubuhnya sakit-sakit karena ulah gadis
itu dan agaknya sampai habis tenaganya, akan sukar ia menundukkan gadis yang
seperti seekor kuda betina liar ini, atau seekor anak harimau yang mengamuk.
Dia melompat ke samping dan dicabutnya golok besarnya yang tadi dia taruh di atas
meja. Golok yang amat tajam itu kini menempel di leher Cian Li, dan si hidung
besar menghardik.
“Hayo diam dan jangan
bergerak! Kalau engkau tidak mau menyerahkan diri, terpaksa akan kusembelih
kau!”
Di sinilah letak kesalahan
perhitungan si hidung besar. Dia mengira bahwa gadis ini sama seperti para
korbannya yang sudah-sudah, yaitu merupakan seorang wanita yang takut mati dan
akan menyerah bulat-bulat karena takut mati! Akan tetapi, Cian Li bukan seorang
gadis penakut. Baginya, lebih baik ia mati dari pada harus menyerahkan
kehormatannya tanpa melawan mati-matian.
Melihat golok tajam itu
menempel di lehernya dan si hidung besar mengancam, tiba-tiba saja ia bergerak
ke depan dan kaki kanannya menendang sekuat tenaga. Yang diarahnya adalah bawah
pusar. Akan tetapi si hidung besar sempat menarik tubuh ke belakang.
“Bukk!” Yang kena tendang
adalah perutnya yang gendut. Hampir dia terjengkang, dan perutnya terasa nyeri
juga. Kemarahannya memuncak dan semua nafsu berahinya terbang entah ke mana,
terganti nafsu amarah dan kebencian yang hanya akan mereda kalau dia sudah
melihat darah tersembur dari tubuh yang sekarat.
“Perempuan keparat!
Mampuslah!” Bentaknya dan kini goloknya menyambar ganas ke arah leher Cian Li.
“Tukk!” Golok itu terlepas
dari pegangan ši hidung besar dan jatuh ke atas lantai ketika sebuah tangan
menangkis pergelangan lengan si hidung besar dari samping. Kemudian, tangan itu
dilanjutkan dengan sebuah tamparan dan si hidung besar terpelanting dan
terbanting keras.
“Hay koko......!” Cian Li
berseru girang sekali melihat munculnya pendekar muda berpakaian putih itu.
“Biar kubereskan yang lain!”
kata Pek-liong sambil berkelebat keluar dari kamar itu.
Akan tetapi, hanya seorang
penjahat lagi saja yang dia robohkan karena tiga orang yang lain sudah
melarikan diri, dan bagian belakang rumah itu sudah terbakar! Pek-liong
memadamkan kebakaran itu sebelum dia kembali ke kamar Cian Li dan matanya
terbelalak melibat betapa tubuh si hidung besar itu telah menjadi mayat dan
sebatang golok besar masih menancap dalam sekali di dadanya. Cian Li berdiri di
sudut kamar itu dengan termenung.
“Li-moi......!” Pek-liong
berseru, “Apa yang kaulakukan ini?”
Cian Li sadar dan terisak
menangis. “Kubunuh dia......! Dia... dia terlalu jahat. Ah, kalau engkau tidak
segera datang......”
Pek-liong menarik napas
panjang. “Sudahlah, Li-moi. Mungkin memang sudah tiba saatnya dia harus menebus
kejahatannya dengan kematian. Akan tetapi, sekarang engkau harus meninggalkan
rumah ini karena mereka tentu tidak akan tinggal diam.”
“Tapi...... tapi ke mana aku
harus pergi?”
“Untuk sementara kita tinggal
di rumah penginapan saja.”
“Kita...... berdua.....?”
Gadis itu mengerling dan wajahnya berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya
tersenyum.
“Ya, kita berdua. Mulai
sekarang aku harus selalu melindungimu.”
Senyum itu melebar. “Benarkah,
Hay-ko? Engkau tidak akan meninggalkan aku lagi seperti tadi?”
“Tadipun aku diam-diam
membayangimu, adik manis. Memang engkau sengaja kujadikan umpan agar mereka
datang. Tidak tahunya mereka sudah menunggumu di dalam rumahmu, sungguh hal
yang tidak kusangka-sangka. Untung aku tidak terlambat dan melihat ketika
mereka membakar rumahmu.”
“Kalau begitu, mari kita ke
kota Hay-ko.”
“Tentu saja kita akan
menggunakan dua buah kamar, Li-moi, sebuah untukmu dan sebuah untukku.”
Gadis itu diam saja, akan
tetapi senyumnya berubah masam. Ia sendiri merasa heran mengapa perasaannya
menjadi demikian tak tahu malu, ingin sekamar dengan pendekar itu dan hatinya
merasa kecewa mendengar bahwa mereka akan menggunakan dua buah kamar. Teringat
akan ini, wajahnya menjadi semakin merah.
Mereka lalu meninggalkan
perkampungan itu tanpa dilihat orang, pada saat para penghuni dusun lari
berdatangan melihat rumah kakak beradik itu kebakaran bagian belakangnya.
Mereka lalu memadamkan sisa api dan memeriksa ke dalam. Akan tetapi, mereka
terheran-heran melihat bahwa rumah itu kosong, kakak beradik penyelam batu itu
tidak ada dan mereka hanya menemukan keadaan kamar yang berserakan.
Mereka tidak tahu bahwa baru
saja seorang tinggi besar memondong sesosok mayat melarikan diri dari rumah
itu. Dia adalah penjahat yang tadi dirobohkan Pek-liong. Penjahat ini menemukan
mayat si hidung besar dan melarikan mayat itu tanpa diketahui orang.
Pek-liong mengajak Cian Li
pergi ke Telaga Po-yang. Dia bertekad untuk mencari keterangan tentang Po-yang
Sam-liong karena dia merasa yakin bahwa lima orang penjahat itu adalah anak
buah Po-yang Sam-liong, maka tentu tiga orang tokoh sesat itu yang menjadi
biang-keladi penyerangan terhadap kakak beradik Kam, juga mereka pula yang
mungkin sekali membunuh dua oraug pendeta, tentu saja dengan kawan-kawan mereka
yang tergabung sebagai para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi! Dari tiga orang itulah
dia mungkin akan dapat membuat kontak dengan beng-cu yang berjuluk Siauw-bin
Ciu-kwi itu.
Akan tetapi, setiap orang
nelayan atau pemilik perahu pelesir di telaga itu juga sama halnya dengan kakak
beradik Kam. Tak seorangpun di antara mereka yang tidak mengenal nama Po-yang
Sam-liong, akan tetapi tak seorangpun mengetahui di mana mereka tinggal.
Mungkin ada yang tahu, akan tetapi siapakah berani membuka rahasia tiga orang
tokoh sesat yang amat mereka takuti itu?
Penyelidikan yang dilakukan
Pek-liong sia-sia belaka.
“Mereka tidak pernah muncul
sendiri di sini,” kata seorang nelayan yang agak berani. “Mereka menagih pajak
melalui kaki tangan mereka yang banyak sekali. Kami tidak tahu dan tidak pernah
berani menanyakan di mana tempat tinggal mereka.”
Ah, tidak ada lain jalan
kecuali menanti munculnya seorang kaki tangan mereka, menangkap orang itu dan
memaksanya mengaku di mana dia dapat bertemu dengan mereka, pikir Pek-liong.
Karena hari mulai gelap, dia lalu mengajak Cian Li pergi ke kota Nan-cang dan
mereka menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan kecil agar tidak
menyolok dan tidak menarik perhatian.
Bagaimanapun juga, Pek-liong
masih mengharapkan bahwa Cian Li tetap merupakan “umpan” yang akan menarik
datangnya kakap yang dia kehendaki. Dengan tewasnya si hidung besar oleh gadis
itu, tidak mungkin mereka melupakan gadis itu demikian saja dan sekali waktu,
pasti mereka yang akan datang mencari Cian Li. Syukur kalau Po-yang Sam-liong
yang datang sendiri agar dia tidak usah bersusah payah mencari mereka.
Setelah mandi, makan di sebuah
restoran terdekat, mereka memasuki kamar masing-masing untuk beristirahat.
“Engkau tidurlah, Li-moi, dan jangan khawatir, aku selalu menjagamu. Kalau
engkau mendengar sesuatu yang tidak wajar, berdiam sajalah di kamar, jangan
membuka jendela atau daun pintu,” demikian pesan Pek-liong kepada gadis itu
yang kelihatan lesu dan sedih ketika memasuki kamarnya.
Bagaimana gadis itu tidak
berduka? Kakaknya pergi dan ia tidak dapat kembali ke rumahnya sendiri, selalu
terancam keselamatannya oleh gerombolan penjahat, dan pemuda yang diandalkannya
itu, yang melindunginya berpisah kamar!
Pek-liong-eng Tan Cin Hay
tidak merebahkan badannya, melainkan duduk bersila di atas pembaringan tanpa
melepas sepatunya. Dia tahu bahwa dia harus siap sedia menjaga keselamatan
gadis di kamar sebelah dan dia tidak boleh lengah. Dengan duduk bersila, dia
dapat melepaskan lelah, akan tetapi juga sekaligus dapat berjaga-jaga karena
biarpun dia beristirahat, namun pendengarannya menjadi peka dan kalau ada suara
yang tidak wajar sedikit saja pasti akan terdengar olehnya dan membuat dia
sadar.
Menjelang tengah malam, dia
membuka kedua matanya. Telinganya mendengar suara langkah kaki di luar
kamarnya. Cepat dia turun dari pembaringan dan mendekati jendela. Daun jendela
itu hanya dia tutup begitu saja, tidak dipalang agar memudahkan dia keluar
kalau perlu.
Kini dia mendorong sedikit
kedua daun pintu sehingga terdapat kerenggangan di antara dua buah daun pintu
itu. Kamarnya gelap, maka dia dapat mengintai ke luar di mana terdapat lampu
gantung.
Pek-liong menggigit giginya
dengan gemas ketika dia mengenal empat orang laki-laki tinggi besar berada di
luar kamar Cian Li! Mereka adalah empat orang penjahat yang tadi telah menyerbu
rumah gadis itu.
Betapa beraninya mereka itu!
Betapa keras kepala dan dia harus memberi hajaran yang keras sekarang,
menangkap mereka atau seorang di antara mereka untuk dipaksa mengaku di mana
dia dapat bertemu dengan Po-yang Sam-liong.
Jelas bahwa mereka itu datang
untuk mengganggu Cian Li. Kasihan gadis itu. Tidak perlu dibikin kaget lagi, Biarkan
ia tidur nyenyak, demikian pikir Pek-liong dan sekali dorong, daun jendela
terbuka dan di lain saat dia sudah meloncat keluar dari dalam kamarnya.
“Jahanam, kalian agaknya sudah
bosan hidup!” bentaknya lirih agar jangan membuat gaduh.
Empat orang itu menengok dan
melihat pemuda berpakaian putih itu, mereka lalu melompat dan melarikan diri!
Pek-liong tersenyum dan melakukan pengejaran. Memang dia ingin menggertak
mereka agar pergi dari situ dan dia akan menghajar mereka di tempat sunyi,
bukan di rumah penginapan itu yang akan mengejutkan semua orang, termasuk Cian
Li. Dia tidak ingin menjadi pusat perhatian orang.
Seperti yang diharapkannya,
empat orang tinggi besar itu melarikan diri keluar kota. Untung pada malam itu
udara bersih, bulan bersinar terang sehingga dia dapat terus membayangi empat
orang itu. Dia sudah cukup berhati-hati. Karena maklum bahwa dia bermain dengan
api yang besar, dan setiap saat ada bahaya mengancam, maka sejak meninggalkan
rumah Cian Li, dia selalu meninggalkan tanda rahasia sebagai jejaknya. Siapa
tahu, Hek-liong-li mungkin akan membutuhkan tanda-tanda itu!
Empat orang itu membelok
memasuki pekarangan sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Kuil itu
besar dan kuno, namun kotor karena memang sudah tidak terawat dan tidak
dipergunakan, merupakan bangunan kuno peninggalan sejarah.
Ketika Pek-liong tiba di
pekarangan kuil kuno itu, empat orang yang dibayanginya telah memasuki kuil.
Selagi dia mengamati ke arah kuil dengan hati-hati, tiba-tiba dari kanan kiri
bermunculan tujuh orang dan mereka itu bukan lain adalah empat orang penjahat
tadi, kini ditambah dengan tiga orang yang tubuhnya lebih besar dari pada
mereka berempat.
Tiga orang ini dapat disebut
sebagai raksasa-raksasa yang menyeramkan! Mereka bertiga berdiri di depan pintu
kuil dan seorang di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk dan berewok,
berseru kepada empat orang penjahat untuk menyerang.
Empat orang itu dengan penuh
semangat sudah menggerakkan senjata di tangan mereka, ada yang memegang pedang,
ada yang memegang golok dan ada pula yang membawa ruyung besi. Dari empat
jurusan, mereka membacok dan menusuk ke arah Pek-liong. Namun, Pek-liong-eng
sudah waspada. Gerakan mereka itu tidak ada artinya baginya, mereka hanya
mengandalkan tenaga otot saja.
Dengan amat mudahnya, dia
mengelak dari sambaran senjata itu, kemudian dengan gerakan amat cepat, dia
sudah berkelebatan ke empat penjuru dan empat orang pengeroyok itu terpelanting
roboh terkena tamparan dan tendangannya. Sekali ini, mereka roboh pingsan, ada
yang menderita tulang patah dan luka dalam yang cukup membuat mereka selama
beberapa hari tidak akan dapat berkelahi lagi!
Melihat ini, tiga orang
raksasa itu menjadi marah. “Bagus, kiranya engkau memiliki kepandaian lumayan
juga, orang muda! Pantas saja engkau berani menentang kami!” kata si berewok.
Mereka kini maju menghadapi Pek-liong dan pemuda ini memandang kepada mereka
penuh perhatian.
Sinar bulan cukup terang untuk
dapat mengamati wajah mereka. Seorang di antara mereka yang hrewok itu memegang
sebatang golok gergaji yang besar dan mengerikan. Orang kedua berkepala botak
dan memegang sebatang pedang pendek. Adapun orang ketiga yang menyeringai dan
memperlihatkan mulut ompong, memegang sebatang rantai baja. Ketiganya tinggi
besar dan usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun.
“Hemm, apakah kalian ini yang
berjuluk Po-yang Sam-liong?” tanya Pek-liong dengan sikap tenang.
“Benar sekali. Kamilah Po-yang
Sam-liong. Namaku Poa Seng, ini adikku Poa Leng dan itu adikku Poa Teng. Engkau
siapa, orang muda dan mengapa engkau membela kakak beradik penyelam itu dan
berani menentang kami di wilayah kami sendiri?”
“Namaku Tan Cin Hay. Tentu
saja aku menentang setiap perbuatan busuk dan jahat. Kakak beradik Kam itu
tidak berdosa, mengapa kalian hendak membunuh mereka? Dan mengapa pula Tiong
Tosu dan Yong Hwesio itu dibunuh? Bukankah kalian juga ikut campur dalam
pembunuhan itu? Bukankah kalian disuruh oleh majikan kalian, yaitu Beng-cu yang
berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi? Hayo katakan terus terang, atau aku akan memaksa
kalian mengaku!”
Tiga orang raksasa itu
terbelalak, saling pandang lalu si berewok tertawa bergelak, diikuti oleh dua
orang adiknya.
“Ah, kiranya engkau sudah tahu
terlampau banyak, karena itu engkau harus mampus! Engkau hendak memaksa kami
mengaku? Ha-ha-ha, alangkah lucunya! Seekor cacing hendak menggertak tiga ekor
naga!”
Tiga orang raksasa itu kini
mengepung dalam bentuk segi tiga, senjata mereka siap di tangan. Pek-liong-eng
maklum bahwa kini para pengepungnya tidak boleh disamakan dengan empat orang
tadi. Mereka ini telah membuat nama besar di Po-yang dan tentu mereka telah
memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi.
Dari gerakan mereka saja sudah
dapat diduga bahwa mereka setidaknya memiliki tenaga yang amat kuat, karena
itu, tiga macam senjata mereka itu cukup berbahaya. Sekarang belum waktunya
untuk membunuh mereka, pikirnya. Masih banyak yang harus dikorek dari mereka
untuk mengetahui rahasia itu. Rahasia beng-cu mereka dan rahasia peta Patung
Emas.
Dia menduga bahwa tentu ada hubungannya
dengan semua pembunuhan yang diceritakan oleh Yong Hwesio mengenai perebutan
peta Patung Emas dengan beng-cu mereka itu. Maka, dia hendak menggunakan
siasat. Kalau mereka maju bertiga, baginya terlalu berbahaya kalau tidak
merobohkan mereka dengan keras, kalau perlu membunuh mereka. Sukar menaklukkan
tiga orang kuat ini kalau hanya menundukkan saja.
“Hemm, kiranya yang bernama
besar Po-yang Sam-liong bukanlah naga-naga sejati, melainkan ular-ular belang
yang licik dan curang, beraninya hanya main keroyok seperti pencoleng-pencoleng
pasar saja!” katanya dengan nada mengejek.
Mendengar ini, tiga orang
tokoh sesat itu menjadi marah sekali. Marah dan malu. Muka mereka berubah merah
dan si berewok menghardik. “Siapa hendak mengeroyok? Sam-te, kautangkap bocah
sombong lancang mulut ini!” Si berewok memerintah adiknya, yaitu Poa Teng yang
bermulut ompong dan bersenjata rantai baja.
Si ompong ini segera melangkah
maju menghadapi Pek-liong. Rantai baja itu diputar-putar dan mengeluarkan suara
angin bersiutan. Makin lama, putaran rantai itu semakin kuat dan cepat, dan
rantai itupun diulur semakin panjang.
“Bocah sombong, mampuslah!”
tiba-tiba si ompong membentak dan ujung rantai bajanya menyambar ke arah muka
Pek-liong.
Pemuda ini cepat mengelak
dengan langkah ke belakang. Akan tetapi, rantai itu membalik dan kini menyambar
ke arah pinggangnya. Pek-liong kembali mengelak dengan loncatan ke samping,
ujung rantai yang lain kini menyambar, dari bawah ke atas mengarah perut!
Memang hebat sekali gerakan
Poa Teng itu. Rantai bajanya dapat bergerak cepat, menyerang secara bertubi
dari arah yang berlawanan dan tidak terduga-duga. Bukan hanya satu ujung rantai
saja yang bergerak, melainkan juga ujung yang lain.
Namun, Pek-liong cukup
waspada. Dengan langkah-langkah yang amat cepat, loncatan¬loncatan ringan, dia
selalu dapat mengelak. Sampai belasan jurus dia terus mengelak karena rantai
itu kini menyerang bergantian dengan kedua ujungnya. Tiba-tiba, ketika
Pek-liong melompat agak jauh ke belakang, rantai itu menyerang dan terulur
panjang! Saat inilah yang dinanti-nanti oleh Pek-liong.
Dengan terulur panjang,
berarti rantai itu hanya dapat dipergunakan satu ujungnya saja, sedangkan ujung
yang lain menjadi gagang atau tempat berpegang pemiliknya. Begitu melihat ujung
rantai panjang itu menyambar, Pek-liong kini tidak mengelak lagi melainkan
menangkis dengan lengannya!
“Plak!” Rantai itu melibat dan
memang ini dikehendaki oleh Pek-liong. Tangannya cepat ditekuk dan dia sudah
berhasil menangkap ujung rantai, lalu dia mengerahkan tenaga menarik! Betapapun
kuatnya Poa Teng, dia tidak mampu bertahan dan tubuhnya ikut tertarik ke depan!
Namun, dia mengerahkan tenaga dan bertahan.
Terjadilah tarik menarik dan
tubuh Poa Teng yang berat itu bergantung ke belakang agar tarikannya lebih kuat
lagi. Tiba-tiba Pek-liong melepaskan ujung rantai yang dipegangnya, bahkan
melontarkannya ke arah pemiliknya.
Tak dapat ditahan lagi, tubuh
Poa Teng terjengkang keras dan begitu dia terbanting, ujung rantai yang
dilontarkan Pek-liong datang menimpa dadanya.
“Bukkk!!” Poa Teng mengaduh
dan sejenak dia tidak mampu bangkit karena dadanya terasa nyeri bukan main dan
berdarah.
“Keparat, berani engkau
menghina adikku!” bentak Poa Leng.
Si botak ini sudah menyerang
dengan tombak pendeknya, tombak itu menusuk ke arah pelipis Pek-liong dan
ketika pemuda itu mengelak dengan menarik kepala ke belakang, tombak itu sudah
menyambar lagi ke arah tenggorokannya. Pek-liong terkejut, Si botak ini lihai
juga, pikirnya sambil merendahkan tubuhnya ke belakang lagi, kakinya bergeser
dan sekali melangkah, dia telah berada di sebelah kanan lawan. Namun, tombak
itu sudah menyambar lagi dan kini diikuti oleh gerakan tangan kiri yang
mencengkeram ke arah lambung!
Pek-liong meloncat ke kiri dan
tiba-tiba ada angin keras menyambar. Kiranya golok gergaji di tangan Poa Seng
si berewok telah menyambar. Dia cepat mengelak dan rantai baja Poa Teng kini
juga ikut mengeroyoknya. Dia dikeroyok tiga!
Dengan kelincahan tubuhnya,
Pek-liong berloncatan ke sana-sini dan mencari kesempatan untuk merobohkan
lawannya satu demi satu. Kalau dia menghendaki, tentu saja dia dapat
mempergunakan pukulan yang ampuh untuk membunuh mereka, atau kalau dia
mengeluarkan pedang pusaka Naga Putih yang disembunyikan di balik bajunya,
dengan sekali serang saja dia akan mampu membuat patah semua senjata di tangan
mereka. Akan tetapi dia tidak ingin membunuh karena dia masih membutuhkan
mereka, dan diapun merasa mampu menandingi mereka tanpa senjata.
Mendadak terdengar bentakan
nyaring, “Tahan semua senjata! Sam-liong, mundurlah! Pek-liong-eng,
menyerahlah! Lihat siapa yang berada di tanganku!”
Tiga orang raksasa itu menahan
senjata lalu mundur dengan patuh. Pek-liong menoleh dan dia terkejut melihat
Kam Cian Li sudah ditelikung kedua tangannya ke belakang oleh seorang pemuda
tampan, dan pemuda itu menempelkan pedangnya di leher gadis itu! Maklumlah dia
bahwa dia telah tertipu. Dia hendak memancing, malah terpancing!
Kiranya empat orang tinggi
besar tadi sengaja datang ke rumah penginapan untuk memancingnya keluar dari
rumah penginapan, meninggalkan Kam Cian Li seorang diri dan pemuda tampan itu
telah menawannya! Diapun menjadi lemas, merasa tertipu dan tidak berdaya! Akan
tetapi, dia teringat kepada Hek-liong-li dan tiba-tiba saja Pek-liong membuat
lompatan jauh dan diapun menghilang di samping kuil.
Para musuhnya menjadi terkejut
dan sejenak tidak tahu harus berbuat apa. Akan tetapi tak lama kemudian, pemuda
berpakaian putih tu telah muncul pula di atas wuwungan genteng kuil tua itu, berdiri
tegak sambil bertolak pinggang, suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia
berseru, “Kalian orang-orang rendah dan pengecut! Lepaskan gadis tak berdosa
itu dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!”
Po-yang Sam-liong diam saja,
juga empat orang pembantunya yang tadi dipukul roboh oleh Pek-liong dan kini
sudah bangkit kembali, hanya berdiri dan tidak banyak cakap. Pemuda yang
menawan Cian Li itulah yang menjawab setelah tertawa mengejek.
“Pek-liong-eng Tan Cin Hay,
tidak perlu bersikap gagah-gagahan. Turunlah dan mari kita bicara. Kalau engkau
menyerah dengan damai, baik sekali. Kalau tidak, apakah engkau ingin melihat
aku menyembelih gadis ini di depan matamu?”
Pek-liong mengukur dengan
matanya. Kalau dia menggunakan jurus dari Pek-liong Sin-kun dan menyambar dari
bawah menyerang pemuda yang menawan Cian Li itu, terlalu berbahaya bagi Cian
Li. Dia belum tahu sampai di mana kelihaian pemuda itu, dan dia tidak boleh
mempertaruhkan keselamatan nyawa Cian Li.
“Hay-koko, jangan mau
menyerah! Biar mereka membunuhku, jangan kau menyerah!” Gadis itu berteriak dan
mendengar teriakan ini, si pemuda itu lalu menggunakan tangan kirinya menotok.
Sekali totok, tubuh gadis itu
menjadi lemas dan ia tidak dapat meronta atau mengeluarkan suara lagi. Gerakan
totokan ini saja sudah cukup bagi Pek-liong untuk mengetahui bahwa pemuda itu
lihai bukan main! Akan celakalah keselamatan nyawa Cian Li kalau dia
mencoba-coba untuk menyerang. Diapun menarik napas panjang.
“Hemm, sobat. Engkau lihai
akan tetapi licik dan curang bukan main. Baiklah, aku akan turun dan bicara
denganmu!” Diapun melayang turun ke depan pemuda itu dan keduanya kini saling
berhadapan dan saling pandang dengan penuh perhatian.
Pek-liong tidak mengenal
pemuda itu. Seorang pemuda yang tidak begitu muda lagi, sedikitnya tentu ada
tigapuluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan, matanya tajam dan senyumnya
genit. Pakaiannya, sungguh aneh sekali, juga serba putih seperti pakaiannya
sendiri. Hanya bedanya, kalau pakaiannya yang putih itu terbuat dari kain yang
kuat dan kasar, berpotongan sederhana saja, sebaliknya pakaian putih pemuda itu
terbuat dari sutera halus dan disulam.
“Sobat, engkau sudah
mengenalku, akan tetapi aku belum pernah bertemu denganmu dan belum mengetahui
siapakah engkau ini, dan mengapa pula engkau mempergunakan akal busuk ini untuk
memaksa aku menyerah?” tanya Pek-liong dengan senyum mengejek. Orang itu
mengamatinya dan ada sinar kagum membayang di matanya.
“Sungguh mengagumkan sekali.
Kukira yang berjuluk Pek-liong-eng adalah seorang yang sudah matang dan sudah
cukup umur. Kiranya seorang pemuda yang belum dewasa benar! Pek-liong-eng, aku
bernama Ciong Koan dan orang menyebut aku Pek I Kongcu (Tuan Muda Pakaian
Putih).”
“Ah, kiranya murid Kun-lun-pai
yang murtad itu?” Pek-liong berseru karena dia sudah pernah mendengar nama ini,
“Seorang kongcu, yang curang dan tidak pantas disebut kongcu, juga wataknya
amat hitam walaupun pakaiannya dari sutera putih!”
Sepasang alis yang tebal hitam
itu berkerut dan mata itu kini memancarkan kemarahan. “Cukup, Pek-liong-eng!
Engkau menyerah dengan damai atau harus ku bunuh dulu gadis ini?”
Tahu bahwa orang itu marah dan
menjadi berbahaya sekali bagi keselamatan Cian Li, Pek-liong lalu menarik napas
panjang kembali. “Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi, apa artinya semua ini?
Aku berkenalan dengan Tiong Tosu dan Yong Hwesio, dan kalian membunuh mereka
tanpa sebab! Kemudian, aku berkenalan dengan gadis penyelam itu dan kalian juga
berusaha membunuhnya. Ada apakah di balik semua permainan kotor ini?” Pertanyaan
ini diajukan dengan suara penasaran seolah-olah dia memang merasa penasaran
sekali.
Kini Pek I Kongcu Ciong Koan
tersenyum mengejek. “Tidak perlu banyak cakap. Engkau menyerah saja, membiarkan
kedua tanganmu dibelenggu dan engkau bersama gadis ini akan kami hadapkan
kepada Beng-cu! Di sana baru engkau boleh bicara. Tugas kami hanya menawan
kalian berdua!”
Cian Li memandang pemuda yang
dikaguminya itu. Wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak seperti mata kelinci
yang dicengkeram harimau. Mata itu indah sekali, Pek-liong masih sempat kagum.
Dan gadis itu menggeleng-geleng kepalanya kepada Pek-liong, seolah-olah hendak
memintanya agar dia tidak mau menyerah.
Akan tetapi, kalau dia tidak
menyerah, belum tentu dia akan mampu menyelamatkan Cian Li, pikir Pek-liong.
Pula, kiranya hanya dengan jalan menyerahkan diri saja dia akan dapat
menyelidiki dengan baik untuk membongkar rahasia mereka.
“Baiklah, aku menyerah......
tapi......” Dia nampak meragu karena tiba-tiba dia teringat bahwa Pedang Naga
Putih berada di balik jubahnya. Kalau dia menyerahkan diri, sudah pasti sekali
orang-orang sesat itu akan merampasnya dan hal ini amatlah berbahaya.
“Nanti dulu, aku khawatir,
jangan-jangan kalian ini bertindak curang. Biar aku memberitahu dulu kawanku
sehingga kalau kalian curang dan membunuh aku dan nona Kam Cian Li, kawanku itu
yang akan membalas dendam dan menumpas kalian!”
Setelah berkata demikian,
tiba-tiba saja dia meloncat jauh dan dalam beberapa detik saja bayangannya
lenyap dari situ. Tentu saja Pek I Kongcu Ciong Koan menjadi terkejut, akan
tetapi diapun menjadi ragu-ragu karena tidak dapat menduga apa yang
sesungguhnya dikehendaki oleh Pek-liong-eng yang dia tahu amat lihai itu.
Untuk melakukan pengejaran dia
tidak berani. Maka dia hanya dapat mengerutkan alisnya dan memandang kepada Kam
Cian Li yang masih bersikap tabah dan tenang itu.
“Nona, kebohongan dan akal
busuk apakah yang sedang dilakukan oleh Pek-liong-eng itu?”
Gadis itu tersenyum mengejek.
“Pek-liong-eng tidak pernah berbohong dan tidak pernah menggunakan akal busuk!
Kalau dia mengatakan mempunyai kawan baik, hal itu memang benar. Kawan-kawannya
adalah bangsa malaikat dan dewa yang tentu kelak akan menumpas kalian kalau
kalian bertindak curang!”
Tentu saja Pek I Kongcu bukan
seorang bodoh dan tahyul yang mudah saja digertak dan dibohongi. Akan tetapi
sebelum dia bicara lagi, tiba-tiba terdengar suara Pek-liong-eng.
“Ucapan nona Kam Cian Li
memang benar!” Dan muncullah Pek-liong-eng yang tersenyum-senyum.
Pek I Kongcu memandang penuh
perhatian, akan tetapi tidak melihat perubahan apapun pada diri pendekar itu
yang dapat dicurigai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebatang pedang pusaka
ampuh yang tadinya tersembunyi di balik jubah, kini telah tidak ada lagi.
“Nah, aku menyerah dan cepat
bawa kami menghadap pemimpin kalian!” kata Pek-liong-eng Tan Cin Hay sambil
menjulurkan kedua lengannya ke depan.
Pek I Kongcu memberi isyarat
kepada Po-yang Sam-liong yang menjadi pembantunya, “Belenggu kedua lengannya,
satukan dengan gadis ini!” katanya.
Karena memang sudah diatur
terlebih dahulu, mereka sudah mempersiapkan pula sebuah rantai panjang yang
kuat dan di ujung rantai itu terdapat belenggu-belenggu yang kuat pula. Tanpa
melawan, Tan Cin Hay membiarkan kedua pergelangannya yang disatukan itu
dibelenggu, kemudian belenggu di ujung rantai yang lain dipergunakan
membelenggu kedua tangan Cian Li.
Gadis itu sama sekali tidak
kelihatan takut, bahkan ia tersenyum girang ketika ia berdiri berdampingan
dengan Pek-liong-eng. Rantai itu menyatukan mereka, membuat mereka tak dapat
saling berpisah jauh dan selalu berdampingan, seperti sepasang pengantin!
Pek-liong-eng sendiri sampai merasa heran sekali melihat gadis manis itu
tersenyum-senyum demikian gembiranya!
Setelah melihat Pek-liong-eng
dibelenggu, Ciong Koan sendiri lalu menggeledah dan memeriksa tubuh
Pek-liong-eng untuk mencari senjata yang disembunyikan. Akan tetapi dia tidak
menemukan apa-apa dan diam-diam Pek-liong-eng merasa bersyukur bahwa pada saat
terakhir dia teringat kepada pedang pusakanya dan masih sempat mengelabuhi
mereka dan menyimpan senjata itu di tempat persembunyian yang hanya dia sendiri
mengetahuinya.
“Ha-ha, orang she Ciong. Kalau
engkau mencari uang dan emas, engkau tidak akan mendapatkannya padaku!”
Pek-liong berkata sambil tersenyum mengejek.
Wajah Pek I Kongcu Ciong Koan
menjadi kemerahan. Ucapan itu sama dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang
yang suka mencopet atau merampas barang orang! Dia dianggap sebagai seorang
penjahat pasar yang kecil saja. Akan tetapi, dia tidak mampu membalas karena
bagaimanapun juga “kemenangannya” sekali ini adalah kemenangan yang tidak boleh
dibanggakan.
Dia memaksa Pek-liong menyerah
bukan dengan mengalahkannya dalam perkelahian, melainkan memaksanya dengan
menyandera gadis itu. Sebetulnya, diapun ingin sekali menguji kepandaian
pendekar itu sampai tuntas dan dia harapkan sekali waktu akan mampu membuat
pendekar itu menyerah di bawah todongan pedangnya yang ampuh.
“Mari kita pergi!” Hanya
demikian dia mendengus untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, memberi isyarat
kepada Po-yang Sam-liong. Dua orang tawanan itu digiring oleh Po-yang
Sam-liong, diikuti pula oleh Pek I Kongcu, dan empat orang anak buah mereka
yang telah luka-luka itu menyusul di belakang sambil terpincang dan terhuyung.
Kam Cian Li menengok ke kanan
kiri, ke belakang, dan ia tersenyum-senyum, nampak gembira sekali. Melihat ini,
tentu saja Pek-liong menjadi heran dan khawatir. Jangan-jangan saking takutnya
dan gelisahnya, gadis manis ini menjadi sinting, pikirnya.
“Cian Li. kenapa engkau
senyum-senyum begini gembira?” Tak dapat dia menahan keinginan tahunya dan dia
bertanya dengan suara berbisik.
Dengan wajah berseri dan mulut
tersenyum sehingga nampak semakin manis, gadis itu menoleh kepada Pek-liong
yang berjalan di samping kirinya. “Hay-ko, apakah engkau tidak merasa seperti
yang kurasakan?”
Berbalik ditanya, Pek-liong
mengerutkan alisnya dan menjawab. “Yang kurasakan sama sekali bukan
kegembiraan. Kita menjadi tawanan, tidak ada alasannya untuk bergembira. Apa
sih yang membuatmu begini gembira?”
“Koko, kita berjalan
bersanding seperti ini, di belakang kita ada para pengikut kita. Aku merasa
seperti menjadi sepasang pengantin! Bukankah menggembirakan sekali?”
Sejenak Pek-liong terbelalak,
akan tetapi dia lalu tersenyum, diam-diam dia memuji ketabahan hati gadis manis
ini dan ada keharuan karena dia dapat melihat bahwa gadis manis ini agaknya
telah jatuh cinta kepadanya. Hanya seorang gadis yang jatuh cinta saja yang
menjadi begitu gembira membayangkan dirinya menjadi pengantin dengan pria yang
dicintanya, tentu saja!
“Aih, engkau ini ada-ada saja,
Li-moi!” katanya sambil tertawa, akan tetapi dia berbisik lirih sekali,
menggunakan khi-kang sehingga suaranya hanya dapat didengar oleh telinga gadis
itu sendiri. “Engkau harus pandai mengulur waktu dan bersikap sabar sampai
munculnya kakakmu dan Liong-li......”
“Apakah...... ia akan
benar-benar muncul?” balas Cian Li berbisik lirih.
“Sudah pasti, jangan engkau
gelisah.”
“Siapa gelisah? Aku gembira
malah, koko!”
Pek-liong mengatupkan mulutnya
agar tidak bicara lagi. Gadis ini amat pemberani, dan saking beraninya,
jangan-jangan malah akan merusak siasat dan rencananya. Dia membiarkan diri
ditawan bukan semata untuk menyelamatkan Cian Li, melainkan terutama sekali
agar dia dapat mengetahui dengan jelas keadaan gerombolan yang dipimpin seorang
di antara Kiu Lo-mo itu.
Dia tahu bahwa dia telah
melakukan permainan berbahaya, mempertaruhkan nyawanya. Andaikata dia tidak
mengatur rencana siasat, tidak merasa yakin bahwa tentu Hek-liong-li akan
muncul, tentu dia tidak akan melakukan permainan gila ini. Menyerah kepada
seorang datuk sesat seperti Siauw-bin Ciu-kwi yang baru dikenal namanya saja,
seorang di antara datuk-datuk besar Kiu Lo-mo, sungguh merupakan suatu
kenekatan dan nyawanya berada dalam ancaman bahaya.
Setelah mereka tiba di kaki
Bukit Merak, tidak jauh dari Telaga Po-yang, Pek I Kongcu Ciong Koan menyuruh
Po-yang Sam-liong untuk mengikatkan kain hitam di depan mata kedua orang
tawanan itu. Selanjutnya, Poa Teng, orang ketiga dari Po-yang Sam-liong
memegang rantai diantara dua orang tawanan dan dengan demikian menarik dan
menuntun mereka yang tidak dapat melihat itu untuk mendaki Bukit Merak.
Biarpun kedua matanya ditutupi
kain hitam dan dia sama sekali tidak dapat melihat, namun diam-diam Pek-liong
memperhatikan jalan yang dilaluinya, tanjakan-tanjakannya, macam tanah yang
diinjaknya, baru tumbuh-tumbuhan di kanan kirinya dan mencatat semua itu dalam
ingatannya.
Dia tahu bahwa mereka melalui
tebing jurang sebanyak lima kali, memasuki hutan cemara dua kali, hutan
pohon-pohon liar dua kali dan menyeberang sungai kecil dua kali. Juga dia dapat
mengetahui dari pendengarannya yang tajam bahwa ada lima lapis penjagaan
sebelum mereka akhirnya tiba di depan rumah besar yang menjadi tempat tinggal
Siauw-bin Ciu-kwi.
Penutup mata hitam itu baru
dibuka setelah mereka memasuki sebuah ruangan. Biarpun mereka berada di dalam
ruangan, ketika tutup mata itu dibuka, Pek-liong dan Cian Li mengejap-ngejapkan
kedua mata beberapa kali sebelum mampu membukanya karena ruangan itu masih
terlalu terang bagi mata mereka yang untuk beberapa lamanya tadi ditutup kain
hitam. Mereka merasa silau melihat cahaya matahari masuk ruangan itu melalui
jendela-jendela ruangan yang dibuka lebar.
Pek-liong mengamati ruangan
itu. Mereka berada di sebuah ruangan yang luas sekali, dan tidak banyak perabot
terdapat di situ. Tentu sebuah lian-bu-thia (ruangan bermain silat), pikir
Pek-liong, melihat adanya sebuah rak besar terisi bermacam senjata di sudut
ruangan.
Dia dan Cian Li berdiri
berdekatan, dan mereka menghadapi beberapa orang yang duduk di atas kursi-kursi
berjajar, dengan meja di depan mereka. Banyak cawan dan beberapa guci arak
berada di atas meja.
Sepasang mata Pek-liong
mengamati orang-orang itu satu demi satu. Mula-mula pandang matanya bertemu
dengan pandang mata kekanak-kanakan dari seorang laki-laki berusia kurang lebih
limapuluh tahun. Tubuhnya gendut sekali, dan bentuknya pendek sehingga
nampaknya bulat seperti bola. Kepalanya yang botak gundul itu juga bulat
seperti bola. Mukanya lucu, seperti muka kanak-kanak yang lugu dan murni,
selalu tersenyum.
Kalau tidak melihat sinar
matanya yang kadang-kadang mencorong kejam itu, tentu orang akan merasa heran
melihat orang yang kelihatan begitu “baik budi” berada di sarang gerombolan
penjahat itu. Pek-liong tidak pernah mengenal orang ini dan sama sekali tidak
tahu bahwa justeru orang berwajah kekanak-kanakan itulah dia Siauw-bin Ciu-kwi,
seorang di antara Kiu Lo-mo.
Orang keduanya yang duduk di
sebelah kanan si gendut itu adalah seorang wanita cantik manis yang tubuhnya
menggiurkan, matanya genit penuh daya pikat, mulutnya dengan bibir yang merah
basah dan rongga mulut merah, deretan gigi putih dan ujung lidah merah jambu
yang kadang-kadang menjilat bibir itu penuh gairah. Pakaiannya juga pesolek
indah, tangan kiri mengebut-ngebutkan sebuah kipas bulu yang indah.
Wanita berusia kurang lebih
tigapuluh tahun ini memandang kepada Pek-liong dengan sinar mata penuh gairah
dan bibir tersenyum manis. Ialah Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dan Pek-liong
diam-diam dapat menduga siapa adanya wanita cantik ini. Ia pernah mendengar
tentang iblis betina ini, apa lagi melihat kipas bola itu, iapun menduga bahwa
mungkin wanita yang belum pernah dijumpainya inilah yang berjuluk Tok-sim
Nio-cu itu.
Ketika dia bertemu pandang
dengan Lim-kwi Sai-kong, diapun segera dapat menduga siapa adanya kakek berusia
enampuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi seperti muka
singa, penuh cambang bauk, matanya lebar, pakaian serba hitam ini. Maka
diam-diam dia mencatat dalam hatinya.
Dia sudah mendengar akan
kelihaian Tok-sim Nio-cu, juga Lim-kwi Sai-kong dan di samping kedua orang ini,
di situ masih ada Pek I Kongcu yang tentu amat lihai pula, yang dibantu oleh Po-yang
Sam-liong yang biarpun tidaklah selihai tokoh-tokoh sesat ini namun harus
diperhitungkan pula karena tiga orang raksasa itu amat kejam dan bertenaga
besar.
Dan di samping Pek I Kongcu
Ciong Koan, masih ada pula seorang pria tinggi kurus yang kulit mukanya hitam,
mukanya yang buruk bengis itu dingin seperti topeng dan usianya empatpuluh lima
tahun. Dia tidak tahu siapa orang ini, namun dapat menduga tentu lihai pula
mengingat dia duduk pula di situ, sejajar dengan yang lain.
Biarpun belum pernah mengenalnya,
dengan mudah Pek-liong-eng dapat menduga siapa adanya Siauw-bin Ciu-kwi. Siapa
lagi kalau bukan si gendut bundar itu, pikirnya. Dia sudah pernah mendengar
tentang keadaan diri datuk besar ini, namun setelah kini berhadapan, dia
diam-diam merasa terkejut dan heran.
Tak disangkanya bahwa seorang
di antara Kiu Lo-mo belum tua benar dan wajahnya seperti seorang kanak-kanak
yang berhati wajar dan bersih. Namun dia sudah mendengar bahwa seperti para
datuk lain yang disebut Kiu Lo-mo, si gendut ini amat lihai, memiliki kesaktian
dan merupakan lawan yang amat tangguh. Apa lagi di sampingnya terdapat demikian
banyaknya pembantu yang lihai. Yang nampak saja di situ empat orang tokoh
sesat, belum lagi Po-yang Sam-liong dan tentu saja banyak anak buah mereka. Sungguh
merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi apakah yang sedang mereka cari?
Rahasia Patung Emas?
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa terpingkal-pingkal. Yang tertawa adalah si gendut Siauw-bin Ciu-kwi. Dia
tertawa seperti melihat sesuatu yang lucu. Para pembantunya hanya ikut
tersenyum karena tidak tahu apa yang ditertawakan oleh Beng-cu mereka. Si
gendut mengakhiri ketawanya, lalu menuding ke arah Pek-liong-eng dan tertawa
lagi walaupun tidak separah tadi.
“Ha-ha-ha-ha, heh-heh, inikah
yang disebut Pek-liong-eng? Ha-ha-ha, seorang pemuda yang masih hijau! Lihat,
masih ada ingusnya di bawah hidungnya! Dan bocah ini yang membasmi Hek-sim
Lo-mo dan kawan-kawannya? Ha-ha-heh-heh-heh, sungguh sukar dipercaya. Tentu
Hek-sim Lo-mo kini sudah menjadi terlalu tua bangka dan sudah pikun dan lemah
sehingga mudah saja dikalahkan seorang bocah ingusan. Heh, Pek liong-eng Tan
Cin Hay! Benarkah engkau memiliki kemampuan untuk mengalahkan mendiang Hek-sim
Lo-mo?” Sepasang mata dari wajah kekanak-kanakan itu kini mencorong bengis
ketika memandang kepada Pek-liong.
Pek-liong maklum bahwa namanya
telah menggemparkan dunia kaum sesat dan agaknya mereka itupun menjadi gentar
pula kepadanya. Maka, dia lalu mengambil sikap angkuh, membusungkan dadanya dan
dia memandang kepada si gendut itu dengan pandang mata tajam penuh tantangan.
“Engkau agaknya Siauw-bin
Ciu-kwi yang disebut Beng-cu. Ciu-kwi, tidak perlu banyak bertanya, kalau
engkau ingin mencoba kepandaianku, silakan, aku sudah siap sedia!”
Mendengar ucapan yang nadanya
menantang ini, semua orang terbelalak, dan para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi
memandang marah. Akan tetapi si gendut itu sendiri tertawa geli walaupun sinar
matanya semakin mencorong berbahaya.
Cian Li kagum bukan main
kepada Pek-liong. Ia tentu saja merasa gelisah dan takut, akan tetapi karena di
dekatnya ada Pek-liong, semua rasa takut lenyap dan dara ini bahkan merasa
berbahagia sekali bahwa ia dapat menghadapi pengalaman berbahaya itu berdua
dengan Pek-liong.
“Hay-koko, engkau sungguh
hebat!” katanya tanpa mengecilkan suaranya, tidak perduli bahwa semua orang
mendengarnya. “Aku berani bertaruh seekor babi muda bahwa engkau yang akan
keluar sebagai pemenang!”
Melihat sikap yang luar biasa
tabahnya dari gadis itu, Pek-liong juga kagum. Gadis ini tidak berapa hebat
kepandaiannya, namun memiliki keberanian yang mengagumkan. Pada hal, ketika
pertama kali bertemu dia melihat gadis ini tidaklah begitu tabah.
“Li-moi, apakah engkau
mempunyai babi?” tanyanya, berkelakar, untuk mempertahankan wibawanya sebagai
seorang tawanan yang lain, yang sama sekali tidak takut bahkan menantang
pimpinan gerombolan!
“Tentu saja aku mempunyai
peliharaan seekor babi muda, dan belasan ekor ayam dan..... aihh, celaka, siapa
yang akan memberi makan mereka? Babiku dan ayam-ayamku tentu mati kelaparan!
Uh, mereka ini sungguh jahat, menyebabkan babi dan semua ayamku kelaparan!”
SIKAP kedua orang tawanan yang
sama sekali tidak menghormati Beng-cu mereka, bahkan pemuda itu berani secara
terbuka menantang Beng-cu mereka!
“Beng-cu, biarkan aku
mematahkan tulang punggung bocah sombong ini,” Lim-kwi Sai-kong berteriak
marah.
“Hemm, akupun ingin
menghancurkan kepala manusia sombong ini, Beng-cu. Serahkan saja kepadaku!”
Hek-giam-ong Lok Hun juga berseru garang.
“Aku yang lebih dulu menemukannya
dan membawanya ke sini. Beng-cu tentu akan membiarkan aku mewakilinya untuk
menghajar bocah lancang ini!” kata Pek I Kongcu.
Mendengar kesanggupan para
pembantunya, Siauw-bin Ciu-kwi tertawa gembira, lalu tiba-tiba dia menoleh
kepada Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si yang duduk di sebelahnya. Dia melihat betapa
wanita cantik itu sedang mengamati Pek-liong dengan penuh selidik, dan dia
merasa seolah-olah pembantu utamanya itu sedang menaksir seekor kuda jantan
untuk dibelinya.
“Dan engkau bagaimana, Nio-cu?
Sanggupkah engkau menandingi Pek-liong-eng?”
Tanpa menoleh kepada Beng-cu
itu, Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si masih mengamati Pek-liong dari kepala sampai ke
kaki, menjawab, “Hemm sebelum membunuhnya, aku ingin melihat kejantanannya
lebih dulu. Nampaknya dia jantan......”
Siauw-bin Ciu-kwi tertawa
bergelak. Biarpun pembantu utamanya ini juga menjadi kekasihnya, namun dia
mengenal benar watak pembantunya ini yang cabul, genit dan gila pria, maka dia
tidak pernah merasa cemburu kalau melihat pembantunya ini mengeram laki-laki
muda di dalam kamarnya. Dan wanita itupun tak pernah menyembunyikan “hobby” itu
dari siapa saja.
Bahkan dengan Pek I Kongcu
Ciong Koan iapun sudah melakukan hubungan mesra tanpa memperdulikan Beng-cu
yang juga hanya menyeringai saja. Kalau melihat seorang pria muda yang tampan
dan gagah, wanita ini seketika bangkit gairahnya, maka jawabannya itupun tidak
mengejutkan semua rekannya.
“Ha-ha-ha, kalau tiba saatnya
kita akan membunuh dia, tentu lebih dulu kau akan kuberi kesempatan untuk
menghisap darahnya sampai habis, Nio-cu. Ha-ha-ha!” kata Siauw-bin Ciu-kwi,
“Akan tetapi sekarang belum boleh, aku ingin bicara dengan dia. Hei,
Pek-liong-eng, aku minta engkau bicara terus terang atau terpaksa kami akan
membunuh engkau dan gadis itu setelah menyiksa kalian!”
Pek-liong membusungkan
dadanya. “Siauw-bin Ciu-kwi, engkau adalah seorang datuk besar yang amat
terkenal sebagai seorang di antara Kiu Lo-mo, dan engkau di sini dibantu pula
oleh banyak tokoh yang lihai, banyak pula memiliki anak buah. Akan tetapi
sungguh tidak kusangka bahwa engkau demikian penakut sehingga tidak berani
menerima aku tanpa membelenggu tanganku. Apakah engkau khawatir kalau aku
memberontak dan membunuh kalian semua?”
Kembali ucapan Pek-liong ini
membuat semua anak buah Beng-cu menjadi marah, kecuali Tok-sim Nio-cu yang
mengangguk-angguk kagum. Seorang pria segagah Pek-liong belum pernah terjatuh
ke dalam pelukannya dan kini ia memandang penuh kagum.
Diam-diam Cian Li sejak tadi
memperhatikan wanita itu, apa lagi setelah mendengar ucapannya tadi. Ia
cemberut dan marah bukan main, diam-diam membenci wanita cantik genit itu.
Perasaan cemburu meledak-ledak di hatinya dan kalau saja ia diberi kesempatan,
mau rasanya ia menyerang dan mencakar muka cantik yang genit itu!
“Beng-cu, dia terlalu menghina
Beng-cu. Biar kuhajar mampus dia!” kata Hek-giam-ong Lok Hun sambil
mengamangkan ruyungnya.
“Ha-ha, belum waktunya,
Hek-giam-ong. Pek I Kongcu, kau lepaskan belenggu tangan mereka berdua agar
Pek-liong-eng melihat bahwa aku sama sekali tidak takut kepadanya!”
Pek I Kongcu tentu saja juga
tidak takut. Kalau tadi dia mempergunakan Cian Li untuk memaksa Pek-liong
menyerah adalah karena dia tidak ingin repot-repot, pula dia tidak mempunyai
teman yang boleh diandalkan kecuali Po-yang Sam-liong.
Sekarang, rekan-rekannya
lengkap, ada pula Beng-cu, tentu saja dia tidak takut kalau tawanan itu akan
dapat lolos. Dia lalu memberi isyarat kepada Po-yang Sam-liong. Poa Seng, orang
tertua dari tiga raksasa Po-yang itu, segera melangkah maju dan menggunakan
kunci membuka belenggu tangan yang disambung rantai mempersatukan Cian Li dan
Pek-liong itu.
Pek-liong tersenyum, juga Cian
Li menjadi lega, menggosok-gosok pergelangan tangan bekas belenggu. “Terima
kasih, Siauw-bin Ciu- kwi. Sikapmu ini saja membuat engkau semakin pantas
menjadi Beng-cu, tidak berjiwa penakut,” kata Pek-liong.
Senyum ketua itu makin
melebar, agaknya senang juga dia kini dipuji oleh pendekar yang pernah membasmi
kelompok yang dipimpin seorang rekannya yang lebih tua, yaitu Hek-sim Lo-mo.
“Ha-ha-ha, duduklah,
Pek-liong, dan kau juga, nona penyelam! Kami dapat menjadi tuan rumah bagi
seorang tamu dan sahabat yang baik, Pek-liong, akan tetapi juga dapat menjadi
seorang musuh yang amat bengis. Terserah kepadamu engkau ingin menjadi tamu dan
sahabat, ataukah menjadi seorang musuh. Tergantung dari jawaban-jawabanmu.”
Dengan sikap tenang sekali
Pek-liong mengambil tempat duduk di atas kursi, dan Cian Li, walaupun hatinya
terasa kecut dan tidak senang, ikut pula duduk di samping kiri pemuda itu.
“Siauw-bin Ciu-kwi...... atau
lebih baik kusebut Beng-cu karena engkau telah diterima sebagai Beng-cu di
sini. Nah, Beng-cu, kau ajukanlah pertanyaan-pertanyaan itu, tentu akan kujawab
sebagaimana mestinya.”
“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Lebih
dulu terimalah ucapan selamat datang dari kami dengan secawan arak, Pek-liong!”
Akan tetapi sebelum Beng-cu
itu menuangkan secawan arak, lebih dahulu Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si bangkit dan
menghampiri Pek-liong, dengan gaya yang lembut dan menawan ia menuangkan arak
dari guci ke sebuah cawan. Kemudian dengan senyum manis sekali ia menyerahkan
cawan arak itu kepada Pek-liong sambil berkata dengan suara merdu seperti orang
bernyanyi.
“Pek-liong-eng, sudah lama
sekali aku mengagumi kegagahanmu. Terimalah secawan arak dari Tok-sim Nio-cu
Lui Cin Si!”
Pek-liong tak dapat menolak
dan ketika dia menerima cawan arak itu, tangannya bertemu dengan tangan wanita
itu yang sengaja memegang tangannya, dan terciumlah keharuman keluar dari dada
wanita itu ketika tangan Pek-liong bersentuhan dengan tangan yang berkulit
lembut dan hangat.
Cian Li bangkit dengan muka
merah dan gerakannya itu membuat kursi yang didudukinya terpelanting jatuh.
“Li-moi, engkau kenapakah?”
Pek-liong bertanya heran. Gadis itu bersungut-sungut lalu membuang muka dan
mendengus marah.
“Huh, muak aku......!”
Melihat ini, Beng-cu tertawa
bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya nona penyelam ini adalah pacarmu, Pek-liong?
Ha-ha-ha, bagus sekali......”
Pek-liong mengerutkan alisnya.
Diapun kini tahu bahwa Cian Li marah-marah karena sikap Tok-sim Nio-cu tadi,
kemarahan yang timbul dari cemburu. Dia tahu bahwa gadis itu agaknya telah
jatuh hati kepadanya. Akan tetapi andaikata hal ini henar, merupakan kenyataan
yang amat berbahaya kalau diketahui oleh Beng-cu, karena ikatan batin itu dapat
dipergunakan Beng-cu untuk memaksakan kehendaknya dengan mengancam seorang di
antara mereka.
“Beng-cu, harap jangan bicara
sembarangan! Aku baru saja mengenal nona Kam Cian Li ini, kami sama sekali
bukan pacaran!”
“Ha-ha, setidaknya ia
mencintamu, Pek-liong. Sudahlah, terimalah ucapan selamat datang dengan minum
cawan arak kita. Mari!”
Tuan rumah itu minum araknya
dan sebagai penerimaan penghormatan itu, mau tidak mau Pek-liong juga minum
habis arak yang disuguhkan Tok-sim Nio-cu. Cian Li sudah duduk kembali dengan
mulut cemberut.
“Pek-liong, kami tahu bahwa
engkau tinggal di daerah Telaga See-ouw. Akan tetapi kini engkau berada di
Po-yang? Nah, katakan kepadaku, apa keperluanmu berkeliaran di daerah Po-yang?
Engkau bersama-sama dengan Tiong Tosu dan Yong Hwesio, kemudian engkaupun
bersama-sama dengan kakak beradik Kam ahli penyelam. Nah, apa maksudmu berada
di sini!”
“Aku hanya melancong ke
Po-yang,” jawab Pek-liong dengan cepat dan jawabannya itu memang bukan bohong. “Hanya
secara kebetulan saja aku bertemu dengan tosu dan hwesio itu, juga kebetulan
saja aku bertemu dengan kakak beradik Kam. Sekarang, aku yang ingin berbalik
bertanya, Beng-cu. Kenapa engkau menyuruh bunuh Tosu dan Hwesio itu, dan kenapa
pula orang-orangmu mengganggu kakak beradik Kam? Aku tadi sudah menjawab
sejujurnya, maka kuharap engkaupun suka menjawab sejujurnya.”
Beng-cu itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, sikapmu memang angkuh sekali, Pek-liong. Engkau memancing keinginan
tahuku sampai di mana sesungguhnya kehebatan ilmu silatmu maka engkau berani
mengambil sikap seperti ini. Sekarang, jawablah, karena pertanyaanku belum
habis. Engkau sebagai tawanan tidak berhak mengajukan pertanyaan. Nah,
pertanyaan selanjutnya. Engkau selama ini bekerja sama dengan Hek-liong-li,
kenapa sekarang ia tidak ikut datang? Di mana Hek-liong-li?”
Pek-liong tersenyum. “Ha,
jangan khawatir, Beng-cu. Kalau aku terancam bahaya di sini, sudah pasti ia
akan muncul dan membasmimu.”
Beng-cu itu mengerutkan
alisnya. “Hemm, aku tahu. Kakak nona ini tidak nampak bersama kalian. Tentu dia
kausuruh memanggil Hek-liong-li, bukan?”
Diam-diam Pek-liong terkejut
juga dan memuji kecerdikan si gendut itu. Seorang lawan yang bukan saja
tangguh, akan tetapi juga amat cerdik, pikirnya.
“Kalau engkau sudah
menduganya, tentu engkau tidak akan berani sembarangan mengganggu kami,
Beng-cu. Dengar baik-baik. Engkau tentu tahu bahwa aku menyerah kepada
pembantumu yang tampan itu bukan karena aku telah dikalahkan, melainkan karena
dengan curang dia telah menawan nona Kam Cian Li. Akan tetapi, kalau aku
menghendaki, aku dapat saja melarikan diri dari sini. Paling-paling kalian akan
membunuh nona Kam. Akan tetapi kalian akan menerima pembalasan kami, yaitu aku
dan Liong-li! Sebaiknya, kau bebaskan kami karena sesungguhnya kami tidak
mempunyai urusan dengan kalian.”
“Hemm, Pek-liong. Engkaupun
dengar baik-baik. Saat ini engkau adalah tawanan kami. Tak perlu engkau
mengancam. Kalau aku menghendaki, sekarangpun kami akan dapat mengeroyok dan
membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku membutuhkan bantuanmu, membutuhkan bantuan
kalian. Pek-liong, katakan saja, bukankah engkau sudah mendapatkan sepotong
dari peta rahasia Patung Emas itu?”
Pek-liong mengerutkan alisnya
dan dia melihat betapa Cian Li memandang kepadanya dengan sinar mata penuh
pertanyaan. Dia menggeleng kepala. “Peta rahasia Patung Emas? Aku sama sekali
tidak tahu tentang itu, Beng-cu. Bagaimana engkau menduga bahwa aku sudah
mendapatkan sepotong dari peta itu?”
Kini mulut Beng-cu tidak
tersenyum, melainkan cemberut. “Semua orang memperebutkannya. Kalau engkau
berkeliaran di sini, apa lagi yang kaulakukan kalau tidak ikut memperebutkan?
Pek-liong, demi keselamatanmu dan keselamatan gadis ini, lebih baik engkau
bekerja sama dengan kami. Terus terang saja, yang sepotong lagi berada di
tanganku. Sudah lama aku mencari potongan yang lain dari peta itu.
“Mula-mula berada di tangan
Loan Khi Hwesio, hwesio tolol itu telah menyerahkan peta itu kepada Thio Kee
San. Akan tetapi, orang she Thio itupun menyerahkan lagi peta itu kepada
pelacur Bi Hwa. Sampai mampus, Bi Hwa tidak mengaku di mana adanya peta itu.
Kami mencurigai Tiong Tosu dan Yong Hwesio yang mengadakan penyelidikan
terhadap kami, dan kami mencurigai kakak beradik Kam yang pekerjaannya menyelam
dan mengumpulkan batu-batuan.
“Nah, karena engkau berada
bersama mereka, maka sudah pasti engkau telah menemukan peta itu. Mengakulah
saja, Pek-liong dan mari kita bekerja sama, kalau berhasil mendapatkan harta
karun itu, kita bagi rata......”
“Beng-cu, sungguh mati aku
tidak pernah menemukan peta itu, melihatnyapun belum pernah. Bagaimana aku
dapat menyerahkannya kepadamu?”
“Beng-cu, dia bohong! Kalau
dia muncul di sini, pantas saja peta itu lenyap. Tentu dia yang telah
mengambilnya dari tangan pelacur itu. Biarkan aku menyiksa dan memaksanya agar
dia mengaku!” Hek-giam-ong Lok Hun sudah meloncat ke depan dengan ruyung di
tangan.
Si gendut itu bangkit berdiri
dan tertawa pula, lalu melangkah mendekati Pek-liong. “Engkau keras kepala,
Pek-liong. Akan tetapi, kalau memang engkau memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi, engkau boleh menjadi pembantuku. Pasti engkau akan memperoleh bagian
kalau usahaku berhasil, seperti para pembantu lain. Maka, aku ingin sekali
mengujimu!”
Tiba-tiba saja, luar biasa
cepat gerakannya sehingga sama sekali tidak sepadan dengan tubuhnya yang gendut
bundar, dia sudah menerjang dan mengirim pukulan bertubi ke arah tubuh
Pek-liong. Pukulan berantai itu memang hebat, selain cepat sekali, juga
mengandung tenaga dahsyat. Pek-liong mengenal serangan berbahaya, maka diapun
cepat menggeser kakinya dan menghindarkan diri dengan mundur untuk memasang
kuda-kuda dan siap balas menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba saja si gendut
tertawa dan di lain saat, dia telah menangkap lengan Cian Li. Gadis ini
menjerit, meronta, namun sama sekali tidak mampu berkutik.
“Ha-ha-ha, Pek-liong. Sudah
kukatakan bahwa aku hanya ingin mengujimu, menguji kepandaianmu, oleh karena
itu engkau tidak boleh membunuh seorang di antara para pembantuku.
Hek-giam-ong, kini engkau boleh mencoba dia!” Berkata demikian, Beng-cu itu
duduk kembali dan mendorong Cian Li kearah Pek I Kongcu yang menyambutnya,
menotok tengkuknya dan mendudukkan gadis yang sudah lemas tak mampu meronta itu
ke atas sebuah kursi.
“Beng-cu, engkau selalu
curang!” bentak Pek-liong marah.
“Hem, tenanglah. Aku hanya
ingin menguji kepandaianmu. Kalau kuanggap pantas menjadi pembantuku, kau akan
kuangkat menjadi pembantu. Kalau tidak, engkau akan mati sekarang juga. Kalau
engkau membunuh orangku, gadis ini akan kami bunuh dulu sebelum kami keroyok
dan bunuh engkau!”
Hek-giam-ong Lok Hun sudah
mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang. Dia tidak khawatir,
karena kalau dia menang, dia boleh menyiksa dan membunuh pemuda berpakaian
putih itu. Sebaliknya, andaikata dia kalah, pemuda itu tentu tidak akan berani
membunuhnya.
Hatinya menjadi besar, apa
lagi memang dia memandang remeh kepada pemuda itu. Ruyung di tangannya diputar
sehingga membentuk lingkaran seperti payung, dan terdengar suara angin bersiutan
saking cepatnya senjata yang berat itu terputar.
Namun, Pek-liong menghadapinya
dengan sikap tenang saja. Sementara itu otaknya berputar keras. Melihat gerakan
lawan, dia merasa yakin bahwa tidak sukar baginya untuk membunuh si tinggi
kurus yang kulitnya hitam kasar ini. Bahkan dia dapat mengamuk dan membunuh
banyak orang di tempat itu. Akan tetapi dia maklum bahwa orang-orang jahat itu
tentu akan membunuh Cian Li dan dia tidak akan mampu mencegahnya.
Tidak, gadis itu tidak boleh
dibunuh. Dia terpaksa harus menyerah, sambil menanti munculnya Hek-liong-li.
Dia merasa tidak berdaya dan baru dia merasa betapa dia amat membutuhkan
Hek-liong-li. Wanita itu amat cerdik dan memiliki banyak akal dan muslihat.
Kalau ada Hek-liong-li tentu wanita itu akan mampu mencari akal yang baik
menghadapi penekanan Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya.
Kini, yang terpenting, menjaga
agar Cian Li tidak dibunuh. Dia harus dapat mengalahkan mereka semua tanpa
membunuh! Dan tentu saja hal ini membuat dia menghadapi tugas yang amat sukar.
Mereka itu menyerangnya dengan niat membunuh, sebaliknya dia tidak boleh
membunuh. Tentu akan amat sukar, namun dia tidak menjadi gentar dan merasa
yakin akan mampu menaklukkan lawan tanpa membunuh.
“Wirrrr......!” Ruyung itu
menyambar dari atas ke bawah. Kalau terkena sambaran ruyung yang amat berat dan
kuat itu, tentu akan pecah kepalanya. Diapun mengelak dengan mudahnya. Ruyung
menyambar lagi setelah menghantam lantai dan menimbulkan muncratnya bunga api,
kini memantul ke atas dan menyambar ke arah kakinya! Pek-liong melompat ke
samping dan ruyung itu lewat dengan cepat.
“Wuuuttt......!” Kembali
ruyung itu sudah menyambar lagi dengan dahsyatnya dan ketika Pek-liong
mengelak, tiba-tiba kaki Hek-giam-ong menendang dari samping.
“Siuuuuttt......!” Hampir saja
lambung Pek-liong terkena tendangan. Namun, pemuda ini memang sengaja
memperlambat gerakannya, namun dia sudah memperhitungkan sehingga tendangan
itupun luput. Sampai belasan kali dia tetap mengelak. Ketika ruyung itu
menyambar lagi, dia miringkan tubuh dan begitu ruyung lewat, dia menangkap
lengan kanan lawan yang memegang ruyung, memutarnya dan tangan kanannya
menampar pundak.
“Plakkk......!” Tubuh yang
tinggi kurus itu terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Akan tetapi,
Hek-giam-ong yang tidak terluka parah itu menjadi marah lalu meloncat lagi dan
menyerang membabi-buta!
Pek-liong mendongkol sekali.
Kalau dia menghendaki, tamparan itu menjadi lebih keras bahkan dapat naik
mengenai tengkuk atau kepala dan lawan itu akan mampus, akan tetapi dia hanya
menggunakan sedikit tenaga, hanya untuk menunjukkan bahwa Hek-giam-ong sudah
kalah.
Siapa kira, orang itu nekat,
bahkan kini menyerang dengan dahsyat, sedangkan Beng-cu juga diam saja. Pada
hal, sudah jelas bahwa dia tadi memperlihatkan keunggulannya!
“Lim-kwi Sai-kong, majulah!”
terdengar suara Beng-cu itu dan kini raksasa bermuka singa itu mengeluarkan
suara seperti harimau mengaum dan dia sudah meloncat ke dalam medan
pertandingan, tangan kanannya memegang sebatang golok besar yang gagangnya
diikat dengan sebatang rantai baja yang panjang.
Memang raksasa muka singa ini
memiliki senjata yang amat lihai dan ampuh. Golok itu dapat dimainkan dengan
tangan kanan, sedangkan tangan kiri memutar rantai baja. Atau, golok itu dapat
menjangkau jauh, seperti terbang kalau rantai itu dimainkan dan golok menjadi
ujung rantai. Dan raksasa ini lihai sekali dalam permainan senjata itu.
Pek-liong mengerutkan alisnya.
Beng-cu itu memang licik sekali. Dia yang bertangan kosong harus menghadapi dua
orang lawan yang bersenjata berat, dua orang yang seperti binatang haus darah,
yang menyerangnya untuk membunuh. Dan dia harus membela diri dengan syarat
tidak boleh membunuh lawan, dengan ancaman kalau dia membunuh, maka Cian Li
akan dibunuh lebih dulu sebelum dia dikeroyok!
Setelah Lim-kwi Sai-kong
menerjangnya dengan dahsyat, membantu Hek-giam-ong yang juga marah sekali
karena tadi dirobohkan, Pek-liong terpaksa harus memperlihatkan kepandaian yang
sesungguhnya! Tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuk tubuhnya berubah menjadi
bayangan yang amat gesitnya, bagaikan seekor burung walet beterbangan di antara
gulungan sinar senjata kedua orang pengeroyoknya! Melihat ini, Siauw-bin
Ciu-kwi mengangguk-angguk kagum dan berbisik, “Pantas saja Hek-sim Lo-mo kalah
olehnya......”
Dan diapun maklum betapa
berbahayanya mempunyai seorang musuh seperti Pek-liong-eng. Orang ini harus
ditarik sebagai sekutu atau...... dihancurkan sekarang juga! Terlalu berbahaya
kalau menjadi lawan, pikir Beng-cu yang cerdik itu.
“Pek I Kongcu, majulah
engkau!” katanya dan diapun berpindah ke kursi dekat Cian Li.
Gadis itu masih duduk tak
mampu berperak. Sekali si gendut menggerakkan jari tangan menyentuh tengkuk,
gadis itu dapat bergerak kembali, akan tetapi karena si gendut itu berada di
dekatnya, iapun tidak berani bergerak. Ia hanya memandang ke arah perkelahian
itu dan matanya terbelalak penuh kekhawatiran. Apa lagi setelah kini Pek I
Kongcu maju mengeroyok dengan pedangnya.
Pek-liong memang mulai repot
menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Pedang di tangan Pek I Kongcu Ciong
Koan amat berbahaya, bersama dua orang pengeroyok pertama, pedang itu sungguh
merupakan ancaman maut! Ilmu pedang Kun-lun-kiam-sut memang hebat dan Pek I
Kongcu sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baiknya. Pedang itu berubah
menjadi sinar bergulung-gulung, mengeluarkan suara berdesing.
“Singgg......!” Sebagian ujung
rambut kepala Pek-liong berhamburan terkena sambaran sinar pedang. Pek-liong
terkejut. Kalau dia memegang pedang pusakanya, walaupun dia tidak boleh
membunuh, kiranya dia akan dapat melindungi dirinya dengan baik dan membuat
para pengeroyoknya tidak berdaya dengan mematahkan senjata mereka. Akan tetapi,
jangankan Pek-liong-kiam yang sudah disembunyikannya itu, bahkan senjata
biasapun dia tidak punya.
Dia harus menghadapi
pengeroyokan tiga orang yang lihai ini dengan tangan kosong! Dan diapun dapat
melihat betapa Cian Li duduk dekat dengan Siauw-bin Ciu-kwi, maka dia tidak
berdaya, tidak mungkin dapat membawa lari gadis itu. Sekali dia melakukan
gerakan mencurigakan, betapa mudahnya si gendut itu membunuh Cian Li!
Menghadapi pengeroyokan tiga
orang tokoh sesat yang ilmunya sudah tinggi itu, dengan tangan kosong
menghadapi senjata-senjata mereka, dan tidak boleh membunuh, sungguh merupakan
hal yang amat sukar. Pek-liong sudah mengerahkan seluruh gin-kangnya,
mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk menyelinap di antara sinar
senjata yang menyambar-nyambar, namun dia tidak memperoleh kesempatan untuk
merobohkan mereka tanpa melukai parah atau membunuh.
“Crattt......!” Tiba-tiba
ujung pedang Pek I Kongcu menyerempet pangkal lengan kirinya dan bajunya
terobek berikut kulit dan sedikit daging bahunya. Darah mulai mengucur
membasahi bajunya. Melihat darah, agaknya tiga orang pengeroyoknya menjadi
semakin buas. Sambil bergerak cepat dan kuat, mereka menghujankan serangan
sambil kadang-kadang mengeluarkan gerengan atau teriakan dahsyat!
“Bukkk!” Ruyung itu menghantam
punggung Pek-liong.
Pemuda ini sempat melindungi
diri dengan sin-kang, akan tetapi hantaman yang amat kuat itu tetap saja
membuat dia terpelanting. Selagi dia roboh, golok berantai itu menyambar ke
arah lehernya. Pek-liong masih dapat menggulingkan tubuhnya sehingga terlepas
dari cengkeranan maut, namun kaki Pek I Kongcu menendang dan mengenai pahanya
sehingga tubuhnya bergulingan semakin cepat.
Melihat betapa pria yang
dikaguminya itu dikeroyok dan kini menjadi bulan-bulan serangan tiga orang
pengeroyoknya, lebih lagi melihat darah membasahi baju Pek-liong-eng, tiba-tiba
Cian Li menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan dan dengan suara merintih
iapun berseru,
“Cukup......! Hentikan
itu....! Aku tahu di mana peta itu......!”
Mendengar ini, Beng-cu itu
bangkit berdiri dan mengangkat tangan ke atas, suaranya mengguntur ketika memerintahkan
para pembantunya. “Berhenti! Jangan menyerang lagi!”
Lim-kwi Sai-kong, Hek-giam-ong
dan Pek I Kongcu tentu saja merasa kecewa sekali. Lawan mereka sudah mulai
terdesak hebat dan dalam waktu dekat tentu mereka bertiga akan dapat menyiksa
dan membunuhnya. Akan tetapi mereka tidak berani membangkang terhadap perintah
Beng-cu, apa lagi merekapun mendengar seruan gadis itu dan merasa tertarik
sekali. Mereka semua lalu mendekati Beng-cu, akan akan tetapi Beng-cu berkata
kepada mereka bertiga.
“Pek-liong harus dibelenggu
dulu kaki tangannya dengan belenggu rantai yang paling berat. Pek-liong, aku
sudah melihat kepandaianmu dan aku suka menerimamu sebagai pembantu. Akan
tetapi, karena kami belum percaya benar, terpaksa engkau kami belenggu dan
gadis ini menjadi jaminan bahwa engkau tidak akan melarikan diri dan
memberontak!”
Pek-liong hanya mengangguk dan
membiarkan kaki dan tangannya dibelenggu dengan belenggu rantai yang
memungkinkan dia berjalan dengan melangkah perlahan-lahan, juga kedua lengannya
dapat bergerak karena rantainya cukup panjang, akan tetapi tentu saja tidak
mungkin dia memberontak karena gerakan kaki tangannya akan terhalang oteh
belenggu-belenggu rantai. Dia lalu melangkah perlahan menghampiri sebuah kursi
dan duduk, matanya tiada hentinya menatap ke arah wajah Cian Li.
Diam-diam dia merasa menyesal
sekali mengapa gadis itu tidak dapat menahan diri dan mengaku. Kiranya, gadis
itu malah yang tahu akan rahasia peta itu! Sungguh sama sekali tidak
disangkanya!
“Nah, nona manis, sekarang
ceritakan yang betul tentang peta itu. Kami memang sudah menaruh kecurigaan
kepada engkau dan kakakmu, dan ternyata benar. Di mana peta itu? Serahkan
kepada kami! Ah, tidak, lebih dulu ceritakan tentang peta itu, dari mana engkau
mendapatkan peta itu?”
Wajah kekanak-kanakan itu
nampak kegirangan bukan main dan agaknya dia ingin menikmati kegirangan ini
sedikit demi sedikit, tidak langsung menerima peta itu dari Cian Li. Dia persis
seperti seorang kanak-kanak yang mendapatkan sebuah kembang gula, lalu makan
kembang gula itu sedikit demi sedikit, menjilat-jilati dan tidak langsung
memakannya.
Cian Li mengangkat muka,
memandang kepada Pek-liong. Ketika melihat pandang mata pemuda itu penuh
penyesalan, ia menarik napas panjang. Apa lagi hanya mengorbankan peta itu,
biar harus mengorbankan apapun ia tentu akan berikan untuk menyelamatkan
pendekar itu! Aih, tidak tahukah engkau betapa aku mau mengorbankan apapun
untukmu, betapa aku mencintaimu? Demikian hatinya berbisik. Akan tetapi sinar
mata pendekar itu tetap penuh penyesalan dan iapun menundukkan mukanya.
“Aku mendapatkan peta itu dari
seorang wanita cantik,” demikian ia berkata dengan muka menunduk.
“Pada suatu siang ketika aku
dan kakakku mencari batu-batu telaga, ketika kakakku menyelam dan aku berjaga di
perahu, lewat sebuah perahu lain. Seorang wanita cantik menyuruh tukang
perahunya mendekati perahuku, kemudian ia menyerahkan sebuah guci yang tertutup
rapat. Ia menyerahkan guci itu kepadaku dan berkata bahwa ia titip barang itu
kepadaku karena dikejar orang jahat hendak dirampas. Tentu saja aku bertanya
apa adanya benda itu. Ia berterus terang mengatakan bahwa barang yang berada di
dalam guci itu adalah sebuah peta rahasia Patung Emas......”
“Ah, tentu si pelacur Bi Hwa!”
seru Siauw-bin Ciu-kwi dengan girang sekali dan Pek-liong-eng yang ikut
mendengarkan menjadi semakin menyesal. Tak disangkanya bahwa datuk sesat itu
akan mendapatkan peta itu semudah itu! Dan semua itu karena seorang gadis
sederhana menaruh hati cinta kepadanya, suka menyerahkan benda berharga itu
demi untuk menyelamatkannya!
“Di mana sekarang guci itu?
Nona manis, di mana benda itu kausimpan?” Siauw-bin Ciu-kwi bertanya dengan
penuh nafsu, suaranya terdengar ramah dan manis.
“Kusimpan di dasar
telaga......” katanya lirih.
Mendengar ini, di dalam
hatinya Pek-liong bersorak. Bagus, Cian Li, teriaknya dalam hati. Keteranganmu
itu tentu akan memaksa mereka membawamu keluar dari tempat ini, dan kalau nasib
baik, diapun akan terbawa.
Kalau mereka berada di luar
sarang ini, tentu akan lebih mudah untuk meloloskan diri, dan lebih mudah lagi
untuk dapat herhubungan dengan Hek-liong-li. Menurut perhitungannya, paling
lambat besok siang Hek-liong-li tentu sudah tiba di Telaga Po-yang!
Mendengar keterangan itu,
Siauw-bin Ciu- kwi mengerutkan alisnya, dan senyumnya menghilang. Agaknya dia
seperti dapat membaca isi hati Pek-liong. Dia memegang kedua pundak gadis itu
dan membentak, “Engkau berani membohongi aku?”
Gadis itu terkejut karena
merasa betapa pundaknya seperti ditindih benda yang luar biasa beratnya. Ia
terbelalak, wajahnya pucat dan ia menggeleng kepala. “Aku tidak berbohong!”
Siauw-bin Ciu-kwi melepaskan
kedua tangannya. “Bagus, dan engkau tentu memberitahukan kakakmu?”
“Tidak! Wanita itu memesan
agar aku tidak memberitahukan siapapun dan aku sudah berjanji padanya. Aku
selalu memegang teguh janjiku.”
“Jadi jelas bahwa hanya engkau
sendiri yang tahu di mana tempat kausembunyikan guci itu?”
Cian Li mengangguk.
“Di mana tempatnya?”
“Di tengah telaga, di mana
kami suka mencari kerang hijau.”
“Bagus! Sekarang juga kita
pergi ke sana! Dan awas engkau, nona manis, kalau engkau berbohong kepada kami,
kalau engkau tidak berhasil mendapatkan guci itu, engkau akan menyesal bahwa
engkau pernah hidup! Kami akan menyiksamu dan membikin engkau mati
perlahan-lahan dalam keadaan tersiksa lahir batin! Mari kita berangkat!”
Dia mengangkat muka memandang
kepada para pembantunya. “Siapkan kereta dan perahu, kita berangkat sekarang
juga ke telaga!”
“Tidak mungkin diambil
sekarang!” tiba Pek-liong berkata, suaranya seperti sambil lalu dan acuh tak
acuh.
“Apa maksudmu?” Siauw-bin
Ciu-kwi yang gendut itu sekali menggerakkan tubuh sudah tiba di depan Pek-liong
yang terbelenggu dan duduk di kursi. Tangan kirinya bergerak menyambar,
“Plakkk!” Tamparan itu keras
sekali, membuat pipi kanan Pek-liong menjadi kebiruan dan ada sedikit darah di
ujung bibirnya. Cian Li mengeluarkan jeritan lirih melihat betapa pria yang
dikasihinya itu ditampar.
“Hati-hati kau dengan mulutmu,
Pek-liong, atau mungkin tangan ini menyeleweng ke arah kepalamu dan engkau akan
tewas seketika!” bentak Siauw-bin Ciu-kwi.
Biarpun hatinya mendongkol
bukan main, namun Pek-liong, masih dapat tersenyum ketika dia mengangkat
mukanya memandang kepada orang yang menamparnya.
“Tentu saja aku sudah
berhati-hati, Beng-cu. Sayang engkau yang bodoh. Kalau memang ingin mengadu
ilmu, lepaskan belenggu ini dan kita sama lihat siapa yang lebih lihai di
antara kita, jangan main tampar selagi aku tidak dapat melawan.
“Kalau engkau mendengarkan
omonganku, maka engkau juga yang akan mendapat untung. Kau tahu, orang menyelam
mencari sesuatu di dasar telaga haruslah di waktu siang hari, karena
membutuhkan sinar matahari yang cukup kuat sehingga sinar itu dapat menerangi
permukaan telaga.
“Sekarang sudah hampir sore,
bagaimana mungkin adik Kam Cian Li dapat menemukan benda itu di dasar telaga?
Pula, perlu apa tergesa-gesa. Besok siang baru bisa dilakukan penyelaman itu.
Pula, kakaknya baru pada hari lusa akan pulang, tidak perlu kau takut akan
kedatangan Hek-liong-li!” Ucapan itu sekaligus mengandung kebenaran akan tetapi
juga ejekan bahwa Beng-cu itu takut kalau kalau Hek-liong-li muncul sebelum dia
memperoleh peta itu.
Cian Li mendengar ucapan itu
berpikir. Pendekar itu pernah memberitahu kepadanya bahwa menurut
perhitungannya, kakaknya dan Hek-liong-li akan dapat tiba di telaga besok
siang! Kenapa pendekar itu mengatakan bahwa Hek-liong-li baru akan dapat muncul
lusa? Ia seorang gadis cerdik, dan tahu bahwa ucapan itu merupakan isyarat
baginya. Ia harus dapat mengulur waktu mendapatkan peta itu sampai Hek-liong-li
dan kakaknya muncul.
“Dia berkata benar, Beng-cu,”
kata gadis itu. “Memang penyelaman baru dapat dilakukan setelah matahari naik
tinggi, bahkan setelah lewat tengah hari karena tempat penyimpanan itu
menghadap ke barat dan tempatnya sukar, merupakan daerah yang berlubang-lubang.
Tanpa penerangan matahari yang kuat, sukar untuk menemukan tempat itu kembali.”
“Hemm, begitukah?” Sepasang
mata dari wajah kekanak-kanakan itu kini mengamati wajah Pek-liong dan Cian Li
dengan tajam penuh selidik. Akan tetapi karena Cian Li tidak berbobong, maka
iapun berani menentang pandang mata itu dengan tabah sehingga akhirnya Beng-cu
itu merasa puas.
“Baiklah, kalian malam ini
menjadi tamu kami dan besok baru kita lihat apakah keterangan nona ini benar,”
katanya lalu berkata kepada Tok-sim Nio-cu, “Kau persiapkan kamar untuk mereka.
Dan jangan engkau main gila dengan Pek-liong, Nio-cu. Sebelum urusan ini
selesai, aku tidak ingin melihat siapapun mempermainkan Pek-liong dan nona Kam
ini. Mereka harus dijamu dengan baik, dijaga ketat dan tidak boleh diganggu!”
Berkata demikian, sepasang
mata Beng-cu itu ditujukan dengan penuh ancaman kepada Tok-sim Nio-cu dan
Hek-giam-ong. Dia tahu benar bahwa wanita itu adalah seorang yang haus
laki-laki, sedangkan Hek-giam-ong memiliki suatu kekejaman istimewa terhadap
wanita. Tentu kedua orang tawanan itu bagi mereka merupakan daging-daging segar
yang menimbulkan gairah dan membangkitkan selera aneh mereka.
“Tidak perlu khawatir, Beng-cu.
Aku cukup sabar menanti. Akhirnya dia akan kuuji kejantanannya!” kata Tok-sim
Nio-cu sambil melirik ke arah Pek-liong dengan matanya yang genit. Sedangkan
Hek-giam-ong memandang ke arah Cian Li dengan senyum dingin menyeramkan.
“Marilah, Pek-liong dan kau
juga, nona penyelam. Mari kalian ikut dengan kami ke kamar kalian. Tapi tidak
boleh sekamar, ya? Berbahaya kalau sekamar!” kata Tok-sim Nio-cu sambil tertawa
genit.
Bukan hanya wanita ini yang
sudah bangkit dengan pedang terhunus di tangan untuk mengawal dua orang tawanan
itu, melainkan atas isyarat Beng-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu,
Hek-giam-ong dan tiga orang Po-yang Sam-liong juga ikut mengawal dengan senjata
siap di tangan. Pek I Kongcu cepat berjalan di antara Pek-liong dan Cian Li,
memisahkan kedua orang itu sehingga agak berjauhan. Hal ini saja menunjukkan
betapa cerdiknya pembantu Beng-cu itu.
Juga kamar mereka terpisah,
walaupun berdampingan dan biarpun kaki dan tangan Pek-liong sudah dibelenggu
kuat, namun para pembantu Beng-cu itu masih bergilir menjaga di depan kamarnya
bersama belasan orang anak buah. Yang berjaga di luar kamar Cian Li hanya
ketiga Po-yang Sam-liong, namun mereka itu sudah jauh melebihi cukup untuk
membuat gadis itu tidak berani keluar kamar walaupun ia tidak dibelenggu lagi.
Setelah mereka mendapatkan
hidangan makan dan minum yang cukup dan enak, keduanya merebahkan diri mengaso.
Pek-liong sengaja mengaso untuk memulihkan tenaga, karena dia tahu bahwa dia
membutuhkan tenaga yang segar untuk sewaktu-waktu menghadapi gerombolan
penjahat yang amat lihai itu.
◄Y►
“Kita berhenti di sini, malam
terlalu gelap untuk melanjutkan perjalanan,” kata Hek-liong-li sambil menahan
kudanya.
Kam Sun Ting juga menahan
kudanya dan dia memandang ke sekeliling. Mereka tiba di tepi hutan yang amat
sunyi. Memang malam gelap sekali. Langit merupakan dasar hitam yang ditaburi
bintang- bintang, seperti beledu hitam yang dihias jutaan buah permata. Indah
sekali. Tempat itu sunyi.
Tak nampak seorangpun manusia
kecuali mereka berdua. Tidak sebuahpun rumah di sekitarnya. Hawa udara teramat
dinginnya, sehingga dia sendiri sejak tadi sedang menggigil. Namun dia tahu,
perjalanan masih amat jauh, mungkin besok pagi atau siang baru tiba di Telaga
Po-yang.
“Akan tetapi, li-hiap.
Bagaimana mungkin kita melewatkan malam di tempat seperti ini?” tanyanya ragu
sambil menoleh ke arah gadis itu.
Biarpun cuaca hanya
remang-remang, namun dari garis-garis wajah dan tubuh gadis itu, dia dapat
melihat jelas wajah yang amat jelita, tubuh yang amat menggairahkan, yang sudah
amat dikenalnya karena telah tergores ke dalam kalbunya itu!
Gadis itu tersenyum.
Keremangan tidak mampu menyembunyikan kilatan gigi yang putih rapi itu. “Engkau
takut?”
Dengan tegas Sun Ting
menggeleng kepalanya. “Tidak, aku tidak takut, lihiap. Apa lagi, dengan adanya
lihiap di sini, apa yang harus kutakutkan? Akan tetapi...... tempat ini.....
tidak ada rumah, tidak ada tempat tidur, di tempat terbuka yang gelap, dan hawa
udara begini dinginnya, bagaimana lihiap dapat melewatkan malam di sini? Bagiku
sih tidak mengapa, aku laki-laki dan sudah biasa hidup menghadapi kesukaran.
Akan tetapi bagimu, seorang wanita muda belia yang......!”
Sun Ting tidak melanjutkan
kata-katanya karena Liong-li kini tertawa sambil melompat turun dari atas
punggung kudanya. “Hi-hi-hik, engkau lucu sekali, saudara Kam Sun Ting! Kaukira
aku ini orang macam apa? Seorang puteri istana yang tidak biasa menghadapi
kesukaran? Turunlah, kita mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam!”
Sun Ting terpaksa meloncat
turun dari atas kudanya. Tak lama kemudian mereka telah mendapatkan sebuah
tempat yang enak, di bawah sebatang pohon besar, bertilamkan rumput hijau yang
tebal. Mereka menambatkan tali dua ekor kuda mereka pada akar pohon dan
membiarkan kedua binatang itu makan rumput.
“Sekarang kita membagi tugas,”
kata Liong-li sambil tersenyum. “Engkau mengumpulkan kayu bakar untuk membuat
perapian, dan aku mengumpulkan daun kering untuk alas duduk dan tidur.”
“Sudahlah, lihiap. Engkau
duduk saja beristirahat, biar aku yang akan mengumpulkan semua itu. Ini
pekerjaan laki-laki!” kata Sun Ting gagah.
Tanpa menanti jawaban diapun
segera pergi mencari barang yang mereka butuhkan. Sebentar saja dia sudah
mengumpulkan kayu kering yang cukup banyak. Akan tetapi ketika dia tiba kembali
ke tempat itu, ternyata rumput yang tebal, lunak dan basah itu telah tertutup
daun-daun kering sehingga mereka dapat duduk di situ dengan enak. Seperti orang
duduk di atas kasur saja. Kiranya wanita jelita itu telah mengumpulkan daun kering
dan menutupi rumput hijau yang basah dengan daun-daun kering.
“Bagus, sebegini sudah cukup,”
kata Liong-li.
Dengan cekatan ia lalu membuat
api unggun, dibantu oleh Sun Ting dan melihat kecekatan wanita itu, percayalah
Sun Ting bahwa memang pendekar wanita itu agaknya tidak asing dengan kehidupan
di tempat terbuka seperti ini. Sebentar saja, mereka duduk di atas rumput yang
ditilami daun kering, menghadapi api unggun yang hangat, nyaman sekali rasanya
sehabis melakukan perjalanan jauh yang melelahkan.
Mereka duduk saling
berhadapan, terhalang api unggun, dapat saling pandang dengan jelas karena
wajah mereka diterangi cahaya api unggun yang kemerahan. Beberapa kali Sun Ting
terpesona. Cahaya api yang hidup itu, bermain pada wajah yang jelita, membuat wanita
itu nampak seperti bukan manusia, seperti seorang bidadari!
Rambut yang agak kusut itu,
mata yang bersinar-sinar, bibir yang merah basah, bagian kedua pipi di bawah
mata, nampak kemerahan. Betapa indahnya! Betapa cantik jelitanya!
Pada saat Liong-li mengangkat
muka, pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sun Ting yang kebetulan
menatap padanya dengan pandang mata terpesona.
“Hemm, kenapa engkau memandang
kepadaku seperti itu? Apa yang aneh pada mukaku?” tanya Liong-li sambil meraba
pipi dengan tangan kirinya, takut kalau-kalau mukanya terkena kotoran.
“Lihiap......, maafkan
aku.....” Sun Ting menundukkan lagi mukanya yang berubah kemerahan.
Dia tidak tahu betapa wanita
itu memandang kepadanya dengan senyum aneh, dan betapa sepasang mata itu memandang
kepadanya dengan kagum. Seorang pemuda yang hebat, pikir Liong-li. Begitu penuh
perhatian, begitu romantis, begitu sopan! Dan kekaguman yang terpancar dari
sepasang mata itu, kekaguman bercampur rasa sayang, begitu jelas membayang,
membuat hatinya berdebar kencang dan girang.
“Saudara Sun Ting, berapakah
usiamu sekarang, dan berapa pula usia adikmu itu? Bagaimana keadaan keluarga
kalian?” Ia bertanya dan diam-diam Sun Ting bersyukur karena pertanyaan itu
membuka jalan untuk percakapan, dan mengusir pergi perasaan tidak enak dan
salah tingkahnya tadi karena dia tertangkap basah ketika memandang penuh
pesona.
“Usiaku duapuluh dua......”
“Aih, kalau begitu, aku lebih
tua dua tahun darimu!” Liong-li memotong.
Kini Sun Ting memandang tajam,
lalu menggeleng kepalanya. “Aku tidak percaya, lihiap!”
Liong-li mengerutkan alisnya.
“Tidak percaya? Engkau tidak percaya padaku?”
“Eh, maksudku...... aku tidak
percaya bahwa usiamu sudah duapuluh empat tahun!”
Lenyap kerutan itu dan kini
Liong-li tersenyum semakin lebar, sehingga wajahnya menjadi cantik manis
sekali, gemilang di bawah timpaan cahaya api unggun yang bermain di wajahnya.
“Hemm, lalu kaukira berapa semestinya usiaku?”
“Menurut penglihatanku, engkau
tidak akan lebih dari sembilanbelas tahun, lihiap!”
Dan wanita itu tertawa.
Tertawa lepas bebas, tidak seperti wanita lain yang kalau tertawa menjadi
tersipu, menutupi mulut dan tertawa dengan sembunyi-sembunyi. Wanita ini
tertawa lepas, wajahnya agak tengadah, mulutnya terbuka sehingga nampak rongga
mulut yang kemerahan, gigi yang berderet putih, lidah yang ujungnya runcing dan
merah jambu, dan ketawanya mengeluarkan suara merdu seperti nyanyian.
Kembali Sun Ting terpesona.
Akan tetapi hanya sebentar Liong-li tertawa, lalu mulut itu tertutup kembali
akan tetapi masih tersenyum manis, dan mata itu semakin bercahaya dan berseri
penuh kegembiraan.
“Saudara Kam Sun Ting, apakah
engkau tidak tahu bahwa setiap orang wanita dewasa selalu menyembunyikan jumlah
usianya, dan kalau terpaksa mengaku selalu mengurangi jumlahnya? Tidak ada
wanita yang menambah jumlah usianya dalam pengakuannya, demikian pula aku.
Tidak mungkin aku menambah tua usiaku, walaupun aku tidak suka pula
menguranginya. Aku memang sudah berusia duapuluh empat tahun!”
“Sungguh sukar dipercaya,
lihiap!”
“Percaya atau tidak, itulah
kenyataannya. Dan sudah tiba saatnya engkau tidak menyebut lihiap kepadaku.
Ketahuilah bahwa aku dan Pek-liong-eng bukan hanya sahabat, melainkan lebih
erat dari pada saudara sekandung. Engkau sudah dipercaya olehnya, berarti kini
menjadi sahabat baik, maka sudah sepatutnya engkau menyebut enci (kakak
perempuan) padaku, dan aku menyebut engkau...... namamu saja karena engkau
pantas menjadi saudara mudaku!”
Akan tetapi Sun Ting
mengerutkan alisnya. Setelah saling pandang beberapa lamanya, diapun menarik
napas panjang dan tersenyum. “Baiklah...... enci, walaupun aku akan lebih suka
kalau boleh menyebutmu...... adik!”
Liong-li tersenyum lebar.
Pernyataan ini semakin menyenangkan hatinya. “Tidak boleh! Kalau engkau menyebut
aku moi-moi (adik perempuan), dalam pandanganku engkau menjadi agak kurang
ajar. Nah, apakah engkau ingin aku memandangmu sebagai seorang yang tidak tahu
aturan?”
Sun Ting terkejut, lalu cepat
bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Liong-li dengan merangkap kedua
tangan depan dada lalu membungkuk.
“Maafkan, maafkan aku, enci
yang baik.”
Melihat ini, Liong-li tertawa
lagi. Sun Ting juga tertawa dan mereka merasa semakin akrab. Ketika Sun Ting
duduk kembali, tiba-tiba Liong-li tertawa lagi, sekali ini tertawa geli sambil
menudingkan telunjuknya ke arah Sun Ting.
“Ih, engkau sungguh tidak tahu
malu, Sun Ting!”
“Ehh?” Pemuda itu mulai
terkejut. “Aku? Tidak tahu malu? Kenapa, li.... eh, enci?”
“Bukan engkau yang tidak tahu
malu, kumaksudkan perutmu!”
“Perutku? Mengapa
perutku......?” Sun Ting memandang ke arah perutnya.
“Perutmu berkeruyuk tadi,
sungguh tak tahu malu!”
Sun Ting terbelalak dan
mukanya lalu berubah merah. Memang perutnya tadi berkeruyuk akan tetapi
bagaimana wanita ini mampu mendengarnya? Melihat pemuda itu menjadi salah
tingkah karena malu, Liong-li tertawa lagi
“Bukan hanya perutmu yang
berkeruyuk Sun Ting. Perutku juga! Apakah engkau tidak mendengarnya? Hi-hik,
perut kita memang tak tahu malu!”
Tentu saja ucapan ini mengusir
rasa malu yang diderita Sun Ting, dan teringatlah dia bahwa sejak sebelum
tengah hari tadi sampai sekarang mereka belum makan apa-apa. Pantas saja
perutnya lapar, dan perut Liong-li juga! Kasihan sekali!
“Ah, aku tadi lupa membeli
bekal makanan. Bagaimana ini? Kalau saja kita berada di dekat telaga atau
sungai, tentu aku akan mampu menangkap beberapa ekor ikan untukmu, enci. Aku
lupa bahwa engkau belum makan malam. Bagaimana ini? Biar aku akan pergi mencari
makanan untukmu.” Dia bangkit berdiri, siap untuk pergi ke mana saja untuk
mencari makanan.
“Sstt...... jangan bergerak,
jangan berisik, Sun Ting! Duduklah lagi dan jangan bergerak......!”
Tentu saja pemuda itu terkejut
sekali dan diapun duduk kembali, memandang kepada pendekar wanita itu penuh pertanyaan.
Liong-li menunjuk ke atas
pohon. “Di sana ada makanan!”
Sun Ting terbelalak dan
memandang kepada gadis itu dengan sinar mata heran dan khawatir. Sintingkah
wanita ini, pikirnya. “Di mana? Di atas pohon?” bisiknya.
Liong-li mengangguk. “Ada daging
burung panggang di sana.... ssstt, diam saja kau.....”
Sepasang mata pemuda itu
menjadi semakin lebar, dan kekhawatirannya bahwa gadis ini menjadi sinting
semakin membesar. Mana mungkin ada daging burung panggang di atas pohon? Akan
tetapi tiba-tiba Liong-li memandang ke atas, kedua tangannya bergerak dan
nampak sinar-sinar hitam kecil berkelebat ke atas.
Kiranya ia sudah menyambitkan
beberapa potong kayu ke arah pohon besar itu. Sun Ting memandang heran
dan...... berbareng dengan suara ketawa Liong-li, dari atas pohon meluncur
jatuh dua ekor burung, sejenis burung kepodang yang besarnya seperti ayam muda,
dan dua ekor burung itu telah tewas dengan tubuh tertusuk kayu meruncing!
Kini mengertilah Sun Ting dan
dia kagum bukan main. Kiranya bukan daging burung panggang yang dimaksudkan
pendekar wanita itu, melainkan burung yang setelah tertangkap, tentu saja nanti
akan menjadi daging burung panggang!
Dia bersorak dan cepat
menyambar dua ekor burung itu, mengamatinya dengan penuh kagum. “Aih, lihiap......
eh, enci yang baik! Bagaimana engkau bisa tahu di sana ada burung dan bagaimana
pula dapat menyambit jatuh mereka ini, pada hal burung-burung itu tidak nampak
dari sini?”
Dia menengadah. Pohon itu
nampak gelap karena semua sinar bintang tertangkis oleh daun-daun lebat sebagai
perisai, juga sinar api unggun tidak mencapai ketinggian pohon.
Liong-li tersenyum,
“Pengalaman hidup di alam bebas yang mengajarkan aku, Sun Ting. Sudahlah, mari
kita cepat membuat daging burung panggang, perut kita sudah lapar, bukan?”
Mereka bekerja dengan gembira,
mencabuti semua bulu burung, kemudian mengeluarkan isi perutnya dan memanggang
dagingnya setelah Liong-li menyulap keluar bumbu-bumbu yang dibawanya dalam
buntalan pakaiannya. Segera tercium bau sedap yang membuat perut mereka kini
berkeruyuk tanpa malu-malu lagi?
Dan tak lama kemudian, perut
mereka itupun menjadi tenang dan lega setelah semua daging burung yang lunak,
segar dan sedap itu masuk ke dalamnya, didorong oleh anggur manis yang kembali
disulap keluar dari dalam buntalan pakaian pendekar wanita itu.
“Nah, sekarang engkau
beristirahatlah, Sun Ting. Biar aku yang berjaga di sini agar api unggun tidak
padam. Nyamuk dan mungkin binatang hutan akan datang mengganggu kalau api
unggunnya padam. Engkau beristirahat dan tidurlah.”
Pemuda itu mengerutkan
alisnya.” Aih, enci, sungguh engkau terlalu memanjakan aku, membuat aku malu
saja. Aku bukan seorang anak kecil yang perlu dilayani dan dijaga. Aku seorang
laki-laki, enci! Dan engkau biarpun engkau lebih tua sedikit dariku, dan
biarpun engkau seorang wanita perkasa yang berkepandaian tinggi, engkau tetap
saja seorang wanita, sehingga sudah sepatutnya kalau engkau yang beristirahat
dan tidur, sedangkan aku sebagai laki-laki yang berjaga!”
Melihat sikap tegas dan jantan
itu, mau tidak mau Liong-li memandang kagum lagi. Sun Ting ini memang seorang
laki-laki pilihan, pikirnya dengan hati senang. Iapun tersenyum manis sekali,
lalu mengangguk.
“Baiklah, Sun Ting. Aku akan
beristirahat sebentar dan nanti kugantikan engkau berjaga. Kita perlu mengaso
dan menyimpan tenaga karena siapa tahu, besok kita akan menghadapi pekerjaan
sukar dan lawan tangguh.”
Wanita itu lalu merebahkan
diri miring membelakangi api unggun dan Sun Ting, pemuda itu duduk menghadap
api unggun dan mengamati tubuh itu dengan hati penuh kekaguman. Sungguh seorang
wanita yang hebat! Belum pernah selama hidupnya dia merasa kagum terhadap
seorang wanita seperti perasaan hatinya terhadap Liong-li ini.
Dia tahu bahwa dia telah jatuh
cinta kepada pendekar wanita ini. Dan dia tahu pula bahwa dirinya sungguh tidak
berharga, sungguh tidak sepadan dengan Liong-li, bagaikan burung gagak
merindukan burung Hong!
Betapa mungkin seorang
laki-laki seperti dia, miskin dan yatim piatu, tidak memiliki apa-apa dan bahkan
hanya seorang laki-laki lemah kalau dibandingkan Liong-li, dapat mengharapkan
balasan cinta dari seorang pendekar wanita sehebat ini? Kenyataan ini membuat
dia berulang kali menarik napas panjang, sedih.
Hidup tak mungkin bebas dari
pada nafsu. Nafsu adalah pelengkap hidup. Nafsu adalah pemberian dan anugerah
Tuhan yang terbawa lahir oleh kita. Merupakan pelengkap karena hidup ini takkan
dapat berlangsung tanpa adanya nafsu. Nafsu yang memelihara badan ini sehingga
dapat menjadi sehat dan hidup.
Nafsu pula yang membuat kita
manusia mampu menemukan banyak rahasia alam, membuat barang-barang yang berguna
bagi kehidupan lahiriah. Nafsu yang kita dapat menikmati hidup melalui panca
indra kita. Bahkan nafsu pula yang mendorong manusia memungkinkan berkembang biakan.
Nafsu merupakan seorang
pembantu yang amat baik, merupakan kebutuhan hidup yang mutlak dan penting
sekali. Akan tetapi, nafsu juga dapat menjadi majikan yang amat jahat, kejam
dan menyeret kita ke dalam lumpur kesengsaraan!
Oleh karena itu, kita membutuhkan
berkah dan bimbingan Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta dan Sang Maha Kasih, agar
kita tidak sampai diperalat oleh nafsu, sebaliknya kitalah yang memperalat
nafsu demi kesejahteraan hidup, demi memenuhi semua kebutuhan hidup, yaitu
kepentingan lahiriah! Kalau sampai kita yang diperalat nafsu, maka mulailah
kita menjadi permainannya, dan timbullah segala macam kesengsaraan yang
menenggelamkan kita ke dalam duka!
Hati dan akal pikiran kita
sudah bergelimang nafsu yang timbul dari daya-daya rendah. Apapun yang menjadi
hasil pikiran, sudah pasti mengandung nafsu. Satu-satunya jalan untuk
membebaskan jiwa dari cengkeraman nafsu daya rendah hanyalah penyerahan diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa!
Pikiran, dengan sejuta
akalnya, tidak mungkin dapat membebaskan jiwa dari belenggu, karena pikiran
hanya alat, sama dengan nafsu. Hanya kekuasaan Tuhan jualah yang dapat
membebaskan jiwa dari belenggu. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu
membersihkan jiwa sehingga tidak lagi menjadi abdi nafsu, melainkan menjadi bebas,
sedangkan nafsu yang tadinya menjadi penguasa, lalu hanya sekadar menjadi alat
pelengkap saja.
Kembali Sun Ting menghela
napas panjang. Gairah berahinya bangkit ketika dia melihat lekuk lengkung tubuh
yang rebah miring itu. Betapa akan bahagianya dia kalau dapat mencurahkan cinta
kasihnya kepada wanita luar biasa itu! Tiba-tiba dia terkejut sendiri. Celaka,
ada hasrat yang demikian kuat mendorong agar dia mendekat, agar dia meraba,
membelai dan mendekap tubuh itu.
Dan kesadarannya
memperingatkannya bahwa kalau hal itu dia lakukan, maka dia akan menghadapi
seorang pendekar wanita yang tentu akan marah sekali. Mungkin dia akan
dihajarnya, bahkan mungkin dibunuhnya! Maka, dengan cepat dia membuang pandang
matanya, menunduk dan melupakan Liong-li dengan memikirkan keadaan adiknya yang
dia tinggalkan bersama Pek-liong.
Dia tidak tahu bahwa ucapan
terakhir dari Liong-li tadi, bahwa mungkin besok mereka akan menghadapi
pekerjaan sukar dan lawan tangguh, ternyata menjadi ramalan yang benar-benar
akan terjadi!
◄Y►
Perahu besar itu meluncur ke
Telaga Po-yang. Tidak ada perahu lain berani mendekat perahu besar itu, bahkan
perahu-perahu nelayan dan pelancong yang tadinya berada di tengah telaga,
segera menyingkir cepat-cepat, ketika perahu besar itu meluncur datang. Yang
membuat semua orang menyingkir ketakutan adalah ketika mereka melihat tiga
orang laki-laki bertubuh raksasa berdiri di kepala perahu.
Mereka itu bukan lain adalah
Po-yang Sam-liong, tiga orang tokoh sesat yang menguasai seluruh telaga itu.
Tidak ada orang yang tidak gentar melihat mereka, maka perahu-perahu lain
menyingkir karena mereka merasa lebih baik menjauhi tiga orang tokoh besar itu.
Karena ketakutan dan cepat menyingkir ini, maka tidak ada orang lain melihat
siapa yang berada di dalam perahu besar, yang terlindung oleh atap perahu.
Pada hal, yang berada di dalam
perahu besar itu adalah tokoh-tokoh yang lebih menyeramkan dari pada Po-yang
Sam-liong. Mereka adalah Siauw-bin Ciu-kwi sendiri bersama para pembantunya
lengkap, yaitu Tok-sim Nio-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu dan Hek-giam-ong.
Mereka berlima ini mengepung Pek-liong dan Cian Li.
Pek-liong masih dalam keadaan
dibelenggu kaki tangannya, sedangkan Cian Li duduk dengan bebas. Gadis itu
sejak tadi cemberut, mukanya sebentar pucat sebentar merah dan matanya tiada
hentinya melirik ke arah Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dengan penuh kebencian.
Wanita cantik genit ini memang
sejak tadi duduk di dekat Pek-liong. Tanpa menghirau- kan orang lain, wanita
ini duduk mepet dan lengannya merangkul pinggang atau kadang juga naik ke
pundak Pek-liong. Sikapnya merayu dan memikat, beberapa kali jari-jari
tangannya meraba leher dan dagu pendekar itu yang diam saja.
Sikap wanita ini tidak
dihiraukan oleh Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantu yang lain. Juga Pek-liong,
biarpun hatinya merasa mendongkol sekali atas sikap tak sopan dan tak tahu malu
wanita iblis itu, mendiamkannya saja karena dia tidak mau mencari keributan
hanya soal kecil seperti itu. Akan tetapi yang paling menderita karenanya
adalah Cian Li. Ia marah sekali, muak dan benci, akan tetapi iapun merasa tidak
berdaya dan hanya dapat bersikap cemberut saja.
“Kam Cian Li, sekali ini
engkau harus bekerja dengan benar-benar dan sama sekali tidak boleh membohongi
kami. Ingat, kalau engkau menyelam nanti, Pek-liong berada di sini bersama
kami. Engkau tidak ingin melihat dia disiksa sampai mati, bukan?” demikian
Tok-sim Nio-cu berkata sambil meraba ke arah leher terus turun ke dada
Pek-liong dengan sikap merayu dan membelai.
“Huhh!” Cian Li membuang muka,
mendengus marah.
Akhirnya perahu tiba di tempat
yang dimaksudkan oleh Cian Li dan perahu dihentikan, jangkar dilempar. “Nona
Kam, bersiaplah untuk menyelam, dan sekali lagi kuperingatkan, jangan engkau
membuat ulah yang bukan-bukan, jangan mencoba untuk melarikan diri atau menipu
kami, karena selain akhirnya engkau akan dapat kami tangkap, juga Pek-liong
akan tersiksa sampai mati kalau engkau melarikan diri!” kata Siauw-bin Ciu-kwi.
Gadis itu mengangguk dan sudah bangkit berdiri.
“Nanti dulu, Li-moi!”
Tiba-tiba Pek-liong berkata.
Gadis itu cepat menoleh
kepadanya, dan semua orang juga memandang pendekar itu, dan mereka sudah siap
dengan senjata mereka untuk menjaga kalau-kalau pendekar itu akan memberontak
walaupun kaki dan tangannya sudah terbelenggu dengan rantai yang kuat.
“Peraturan ini sungguh tidak
adil!” kata Pek-liong sambil memandang kepada Siauw-bin Ciu-kwi. “Li-moi,
jangan engkau mau menyelam sebelum Beng-cu berjanji bahwa engkau akan segera
dibebaskan begitu menemukan peta rahasia itu! Itu hakmu dan jangan takut.
Mereka ini membutuhkanmu, Li-moi. Mereka tidak akan mengganggumu sebelum engkau
memperoleh peta itu!”
Siauw-bin Ciu-kwi marah
sekali, akan tetapi tepat seperti yang dikatakan Pek-liong, dia tidak berani
bermain kasar, takut kalau-kalau gadis itu menjadi nekat dan tidak mau
mengambilkan petanya.
“Hemm, Pek-liong, engkau tidak
percaya kepada kami? Apa maksudmu mencegah nona Kam bekerja?”
“Tidak! Lebih dulu engkau
harus berjanji bahwa kalau nona Kam sudah mengambil peta itu dan menyerahkan
kepadamu, engkau akan membebaskannya! Beng-cu, hanya dengan janji itulah nona
Kan, mau menyelam!”
Pek-liong kini memandang
kepada Cian Li dan gadis itupun mengangkat muka dan berkata dengan sikap angkuh
dan tegas.
“Benar sekali! Biar kalian menyiksa
atau membunuh aku, aku tidak akan sudi mengambilkan peta itu sebelum kalian
berjanji bahwa setelah peta itu kuserahkan, kalian akan membebaskan aku dan
Pek-liong!”
Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan
alisnya. “Dengan Pek-liong? Tidak bisa! Engkau akan kubebaskan setelah tugasmu
selesai, nona, akan tetapi Pek-liong harus menebus kebebasannya dengan lebih
dulu mengalahkan kami!”
“Bagus! Tantangan itulah yang
kunanti-nanti, Beng-cu. Kalau memang engkau seorang laki-laki sejati, Beng-cu,
aku menantangmu sekarang juga!” kata Pek-liong, “Setidaknya, engkau harus
berani memberikan janjimu kepada nona Kam dan tidak akan melanggarnya, demi
nama baikmu!”
Wajah yang biasanya ramah
kekanak-kanakan itu kini nampat muram, “Hem, engkau sombong, Pek-liong. Sekali
waktu, pasti kita akan berhadapan sebagai lawan. Sekarang ada pekerjaan yang
lebih penting. Aku telah memberikan janjiku bahwa aku akan membebaskan nona Kam
tanpa mengganggunya setelah tugasnya selesai! Nah, nona Kam, engkau lakukanlah
tugasmu!”
Karena tidak ada janji bahwa
Pek-liong akan dibebaskan pula, Cian Li memandang kepada Pek-liong. Pendekar
ini mengangguk karena tidak mungkin dia dibebaskan begitu saja mengingat bahwa
dia pernah membasmi seorang di antara Kiu Lo-mo dan tentu saja hal ini
mendatangkan dendam di hati Siauw-bin Ciu-kwi.
Biarpun di situ banyak orang,
Cian Li tidak perduli dan ia lalu menanggalkan pakaiannya. Di sebelah dalam, ia
telah mengenakan pakaian yang pernah membuat Pek-liong mengira ia telanjang
bulat. Pakaian yang tipis ketat dan kini kembali Pek-liong memandang dengan
sinar mata penuh kagum. Lekuk lengkung tubuh gadis itu demikian sempurna,
demikian indahnya sehingga dia memandang terpesona. Dari kaki yang panjang itu
sampai kepala yang tegak dan anggun, sungguh merupakan pemandangan yang amat
indah dan menarik hati.
“Aih, Pek-liong, kenapa engkau
memandangnya seperti itu? Percayalah, tubuhku tidak kalah indah oleh tubuhnya.
Engkau tidak percaya? Biar sekarang juga aku berdiri telanjang bulat di
depanmu......” Tok-sim Nio-cu bangkit dan mulai menanggalkan kancing bajunya
sehingga mulai nampak kulit dada yang putih mulus.
“Sudahlah, Niocu. Mari kita
bekerja, nona Kam!” kata Siauw-bin Ciu-kwi tak sabar melihat tingkah Tok-sim
Nio-cu yang dianggapnya mengganggu pekerjaan penting itu.
Mereka semua bangkit dan
berdiri di kepala perahu. Tok-sim Nio-cu masih merangkul Pek-liong, bahkan kini
lengan kirinya melingkari pinggang Pek-liong dan jari-jari tangannya dengan
mesra meraba perut pemuda itu. Melihat ini, wajah Cian Li menjadi marah bukan
main.
“Nah, engkau menyelamlah, nona
Kam!” kata Beng-cu itu dengan hati tegang karena dia sudah membayangkan akan
dapat menemukan potongan peta yang akan membuat petanya lengkap, yaitu peta
tentang Patung Emas yang selain akan membuatnya kaya raya, juga akan memberi
obat panjang usia yang akan membuat dia dapat berusia sampai beratus ratus
tahun!
“Baik, aku akan menyelam!”
kata Cian Li dan gadis ini lari ke pinggir perahu, akan tetapi tanpa disangka
oleh siapapun juga, ia telah menabrak tubuh Tok-sim Nio-cu yang berdiri di tepi
perahu pula.
“Ihhh......!” Tok-sim Nio-cu
tidak sempat mengelak sehingga tubuhnya terjungkal bersama Cian Li keluar dari
perahu. Pada saat itu, Lim-kwi Sai-kong mengulur lengannya yang panjang,
mungkin untuk menyambar tubuh Tok-sim Nio-cu atau untuk menghantam ke arah
tubuh Cian Li. Melihat ini, Pek-liong menyambut dengan dorongan tangannya.
“Dukkk......!” Dua tangan
bertemu dan akibatnya, Pek-liong merasa tubuhnya tergetar dan sebaliknya,
Lim-kwi Sai-kong terdorong muodur dua langkah!
“Byuurrrr......!” Air telaga
muncrat ketika tertimpa tubuh dua orang wanita itu. Tok-sim Nio-cu boleh jadi
lihai sekali di atas daratan, akan tetapi begitu tubuhnya menimpa air, ia
gelagapan karena ia tidak pandai renang!
“Uuuppp...... tolong.....
aeppp... tolong......!!” Ia menjerit-jerit, akan tetapi tiba-tiba matanya
terbelalak karena kakinya ada yang menangkap dari bawah dan tubuhnya ditarik ke
bawah permukaan air!
Tentu saja yang melakukan
penyerangan ini bukan lain adalah Cian Li! Sejak tadi gadis ini menahan-nahan
perasaan cemburu, marah dan bencinya terhadap Tok-sim Nio-cu. Ia maklum bahwa
ia tidak berdaya di atas perahu atau di darat, akan tetapi begitu tiba di air,
ia memperoleh kesempatan untuk membalas dan melampiaskan semua kemarahan dan
kebenciannya kepada wanita genit itu!
Dipegangnya pergelangan kaki
Tok-sim Nio-cu dan dibawanya wanita itu menyelam! Ketika Tok-sim Nio-cu
meronta-ronta, ia lalu menangkap rambut yang riap-riapan itu dan menjambak
rambutnya, terus menarik ke bawah!
“Keparat!” Lim-kwi Sai-kong
marah dan sudah mencabut golok besarnya.
“Sudah, jangan berkelahi!”
Beng-cu itu membentak, lalu meneriaki Po-yang Sam-liong. “Kalian selamatkan
Nio-cu! Dan biarkan nona Kam bekerja, jangan ganggu dan bawa Nio-cu kembali ke
perahu!”
Tiga orang raksasa itu lalu
meloncat ke luar perahu. Mereka adalah tiga orang tokoh Telaga Po-yang, tentu
saja mereka pandai renang dan pandai menyelam, walaupun tidak sehebat Kam Cian
Li atau kakaknya. Mereka menyelam dan mereka melihat betapa Tok-sim Nio-cu
meronta-ronta, akan tetapi rambutnya yang panjang sudah dijambak oleh Cian Li
yang bergerak seperti ikan saja, dan tubuh Tok-sim Nio-cu terus ditarik ke
bawah!
Tiga orang ini cepat mengejar
dan dengan pengerahan tenaga tiga orang, barulah mereka dapat memaksa Cian Li
melepaskan rambut Tok-sim Nio-cu, Po-yang Sam-liong lalu menyeret Tok-sim
Nio-cu yang sudah mulai lemas itu naik ke permukaan air telaga.
Setibanya di permukaan air,
Tok-sim Nio-cu terengah-engah dalam keadaan setengah pingsan dan perutnya yang
ramping itu kini menggembung karena terlalu banyak minum air telaga! Ia lalu
ditolong, diangkat ke perahu dan ditelungkupkan, punggungnya ditekan-tekan
sehingga air dari perut keluar melalui mulutnya.
Melihat keadaan Tok-sim
Nio-cu, diam-diam Pek-liong tertawa geli. Sungguh Cian Li merupakan seorang
gadis yang hebat dan tabah sekali, pikirnya. Akan tetapi diapun khawatir karena
seorang wanita iblis macam Tok-sim Nio-cu tentu tidak akan membiarkan saja
dirinya dihina seperti itu, bahkan nyaris tewas konyol di dalam air!
Sementara itu, tak jauh dari
situ, dua pasang mata sejak tadi mengintai sejak perahu besar itu membuang
jangkar di tempat itu. Mereka adalah Kam Sun Ting dan Hek-liong-li!
Seperti telah diceritakan di
bagian depan, Sun Ting dan Liong-li melakukan perjalanan cepat dan setelah
terpaksa melewatkan malam di tepi hutan, pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali telah melanjutkan perjalanan membalapkan kuda mereka. Pada tengah hari,
mereka tiba di Telaga Po-yang.
“Kita berhenti di sini dan
titipkan kuda kita kepada seorang penduduk di sini yang kaukenal,” kata
Hek-liong-li. Ia sendiri tidak ikut menitipkan kuda karena ia tidak ingin
kehadirannya di Po-yang diketahui orang.
Setelah kuda dititipkan, ia
mengajak Sun Ting untuk mendekati telaga. Sun Ting menjadi petunjuk jalan dan
lebih dahulu mereka pergi ke rumah Sun Ting. Ketika tiba di rumah, Sun Ting
terkejut sekali melihat rumah itu dalam keadaan kacau, bahkan ada sebagian yang
bekas terbakar. Barang-barang dijungkir balikkan, dan yang membuat dia terkejut
dan khawatir adalah lenyapnya adiknya yang tidak meninggalkan bekas!
Melihat kebingungan dan
kegelisahan pemuda itu, Liong-li yang sejak tadi bersikap tenang saja lalu
berkata, suaranya tidak lagi ramah seperti biasa, melainkan tegas dan berwibawa
sehingga Sun Ting merasa terkejut.
“Sun Ting, bukankah ketika
engkau pergi, adikmu yang bernama Cian Li itu bersama dengan Pek-liong-eng?”
Walaupun terkejut melihat
perubahan sikap ini, Sun Ting menjawab dan merasa seolah-olah kini dia
berhadapan dengan seorang pemimpin. “Benar sekali......, enci Cu!”
Biasanya, sudah begitu enak
menyebut wanita itu enci Kim Cu atau enci Cu begitu saja, akan tetapi melihat
sikap wanita itu sekarang, dia merasa akan lebih enak kalau menyebutnya lihiap.
Mendengar jawaban itu,
Liong-li lalu melakukan penyelidikan, meneliti seluruh keadaan rumah itu,
kemudian ia keluar dan termenung di luar rumah. Ia melihat tanda-tanda
perkelahian di rumah itu, bahkan dia melihat bekas banyak sekali darah di
kamar. Ada yang luka parah atau terbunuh agaknya. Dan Cian Li lenyap. Bahkan
Pek-liong juga lenyap.
Kalau Pek-liong ada dan masih
bebas, tentu sekarang sudah menyambut kedatangannya. Tidak adanya Pek-liong
menyambut, berarti bahwa Pek-liong tidak mampu melakukannya, terhalang oleh hal
yang amat penting atau...... tertawan musuh!
“Mari kita selidiki di
rumah-rumah penginapan! Siapa tahu Pek-liong berada di sana atau setidaknya
pernah bermalam di sana,” katanya dengan sikap memerintah.
“Baik, ......lihiap.”
Mendengar sebutan ini,
Liong-li menatap wajah pemuda itu, akan tetapi tidak menegurnya. Agaknya ia
berpikir bahwa dalam keadaan serius seperti itu, sebaiknya kalau pemuda ini
menganggapnya sebagai seorang atasan atau pemimpin agar ada keseriusan di
antara mereka. Tidak sukar bagi Sun Ting untuk menyelidik dan menemukan rumah
penginapan di mana adiknya dan Pek-liong bermalam, malam kemarin.
“Mereka berdua pergi
meninggalkan kamar tanpa pamit,” kata pengurus rumah penginapan. “Entah ke
mana. Akan tetapi buntalan pakaian mereka masih ada.”
Mendengar ini, Sun Ting yang
sudah mengenal pemilik rumah penginapan, lalu mendekatinya dan bertanya dengan
suara lirih, “Toako, katakanlah terus terang, apakah pada hari-hari kemarin
engkau tidak melihat mereka?”
Pemilik rumah penginapan itu
mengamati wajah penanyanya, lalu balas berbisik, “Siapa yang kau maksudkan
dengan mereka?”
“Maksudku Po-yang
Sam-liong...... toako, jangan takut, engkau mengenal aku, bukan? Katakan apa
engkau atau orang-orangmu pernah melihat mereka......”
“Ada hubungannya dengan adikmu
yang kaucari-cari ini?” tanyanya, juga berbisik. “Jangan kau khawatir, adikmu
di sini bersama seorang pemuda tampan. Hemm, pacarnyakah itu? Kapan
menikahnya?” Suara pemilik rumah penginapan itu terdengar pahit. Kiranya dia
pernah tergila-gila kepada Kam Cian Li, mengajukan pinangan namun ditolak oleh
gadis itu.
“Tidak, hanya teman. Toako,
katakanlah tentang mereka itu......” Kam Sun Ting mendesak.
“Hemm, siapa memperdulikan
mereka? Akan tetapi pernah kemarin dulu aku melihat mereka di kuil tua di luar
kota itu.”
“Kuil tua tak terpakai di luar
kota sebelah utara?” tanya Sun Ting kepada si pemilik rumah penginapan.
Yang ditanya mengangguk dan
kini Liong-li segera berkata.
“Sun Ting, mari kita pergi!”
Dan ia mendahului pemuda itu pergi meninggalkan rumah penginapan. Sebelum Sun
Ting menyusul pergi, pemilik rumah penginapan itu memegang lengannya.
“Hei, Sun Ting, siapakah itu?
Pacarmukah? Begitu cantik jelita!” katanya kagum sambil memandang bayangan
gadis cantik berpakaian serba hitam itu.
“Hssss, hanya teman,” jawab
Sun Ting dan diapun berlari meninggalkan temannya yang masih bengong, mengejar
Liong-li.
Setelah tiba di luar kota,
payahlah Sun Ting yang harus mengerahkan seluruh tenaganya mengejar Liong-li
yang berjalan dengan cepat sekali. Sambil berjalan cepat, Liong-li
memperhatikan sekitar tempat itu, bahkan memperhatikan jalan yang dilaluinya.
Setibanya di luar kuil,
Liong-li tiba-tiba berhenti dan matanya memandang ke arah tembok kuil.
“Lihiap, bagaimana dengan
penyelidikanmu! Kaupikir apa yang telah terjadi dengan adikku! Ia tidak berada
dalam bahaya, bukan?”
Pendekar wanita itu
mengerutkan alisnya, tidak menjawab, bahkan ia lalu menghampiri kuil dan
mengamati bagian yang agak tersembunyi dari dinding kuil. Ada semak-semak di
dekat dinding, akan tetapi agaknya ia melihat sesuatu lalu menyingkap
semak-semak itu.
Sun Ting ikut pula melihat apa
yang terdapat di balik semak-semak itu. Hanya coretan dengan bata, coretan
kasar menggambarkan sebuah bukit yang ditumbuhi sebatang pohon dan di bawah
pohon ada garis menurun. Bagi orang lain, gambar itu tidak ada artinya, juga
bagi Sun Ting yang menganggap coretan itu hanya coretan yang dilakukan
anak-anak iseng, mungkin anak penggembala kerbau yang iseng. Akan tetapi pendekar
wanita berpakaian serba hitam itu mengamatinya dengan penuh perhatian.
“Ada apakah, lihiap?” Sun Ting
bertanya lirih.
Akan tetapi seperti juga tadi,
wanita itu tidak menjawab dan sungguh aneh, alisnya berkerut dan dahinya penuh
peluh! Dia sama sekali tidak tahu bahwa memang terdapat hubungan yang amat aneh
antara Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Seolah-olah jalan pikiran kedua orang
sakti ini memiliki jalur atau gelombang yang sama sehingga apa yang dimaksudkan
oleh seorang, mudah dimengerti yang lain.
“Sun Ting, adakah bukit
terdekat di sini?”
“Kita ini berada di lereng
sebuah bukit, lihiap.”
“Katakan cepat, apakah ada
sebatang pohon besar di sini, pohon besar yang berdiri sendiri, pohon tua dan
rindang daunnya?”
Biarpun merasa terheran-heran,
Sun Ting mengingat-ingat. Dia sudah hafal akan keadaan bukit itu, maka cepat
dia dapat menjawab, “Memang ada, lihiap. Pohon tua dan besar, tak jauh dari
sini, letaknya di belakang kuil, dari sini tidak nampak, terhalang rumpun
bambu.”
“Mari cepat antar aku ke
sana!”
Biarpun merasa heran dan tidak
mengerti, Sun Ting yang maklum bahwa semua itu tentu amat penting dan agaknya
ada hubungannya, dengan lenyapnya Cian Li, dia mengangguk dan cepat menjadi
penunjuk jalan. Tak lama kemudian tibalah mereka di bawah pohon besar itu.
Makin heran hati Sun Ting
ketika melihat bahwa gadis itu sama sekali tidak memperhatikan pohon, bahkan
melongok ke bawah, ke sebuah jurang yang berada di dekat pohon. Pohon raksasa
itu tumbuh di tebing jurang yang amat curam.
“Sun Ting, engkau menungguku
di sini dulu. Kalau ada orang melihatmu dan bertanya, kau cari alasan, akan
tetapi jangan katakan bahwa aku menuruni jurang ini.”
Sun Ting terbelalak. ”Menuruni
jurang? Lihiap, betapa bahayanya itu! Mau apa menuruni jurang?”
“PENTING! Belum saatnya bicara
sekarang. Kau tunggu di sini!” Dan tiba-tiba saja tubuh yang ramping itu sudah
bergantung pada akar pohon dan sebentar saja lenyap ke bawah tebing yang amat
curam!
Wajah Sun Ting menjadi pucat,
jantungnya berdebar penuh kekhawatiran. Akan tetapi dia tidak berani menjenguk
ke tepi tebing jurang, karena selain dia merasa terlalu ngeri, juga dia takut
kalau ada orang melihat dia menjenguk ke bawah. Maka, diapun pura-pura
kepanasan dan membuka baju, duduk seperti orang berteduh di bawah pohon itu.
Akan tetapi matanya hampir tak pernah berkedip memandang ke tepi jurang ke mana
pendekar wanita itu tadi lenyap.
Ternyata tidak lebih dari dua
menit Liong-li menuruni jurang. Dua menit yang bagi Sun Ting sama dengan dua
jam! Dan wajah pendekar wanita itu berseri, mulutnya terhias senyuman yang
membuat wajahnya menjadi semakin manis. Tanpa setahu Sun Ting, kini di
pinggangnya terselip dua batang pedang.
Kalau tadinya ketika menuruni
jurang ia hanya membawa pedangnya sendiri, yaitu Hek-liong-kiam (Pedang Naga
Hitam) yang agak pendek, kini setelah muncul dari jurang ia membawa pula
Pek-liong-kiam (Pedang Naga Putih) yang lebih panjang di pinggangnya. Selain
itu, juga ia mengantongi sehelai kertas yang memuat tulisan singkat. Bunyi
surat tulisan Pek-liong itu seperti berikut:
“Terpaksa menyerah karena
gadis itu mereka tawan.
Entah akan dibawa ke mana.
Cari Po-yang Sam-liong.”
Hanya itulah isi tulisan,
tanpa disehut namanya atau nama pengirim. Akan tetapi baginya sudah jelas
sekali. Sahabatnya itu dipaksa menyerah kepada pihak musuh karena mereka telah
menawan gadis she Kam adik Sun Ting itu! Dan ia harus mencari Po-yang
Sam-liong. Hal ini berarti bahwa di antara para musuh itu terdapat Po-yang
Sam-liong yang tentu akan dapat membawa ia ke sarang gerombolan musuh. Gawat!
“Bagaimana, lihiap?”
Melihat kekhawatiran dan
ketegangan membayang pada pandang mata pemuda itu, Liong-li berpendapat bahwa
sebaiknya pemuda itu diberitahu akan keadaan yang sebenarnya. Dia perlu
ketenangan agar dapat merupakan pembantu yang berguna.
“Mari kita berjalan menuju ke
telaga, Sun Ting. Benarkah dugaanku bahwa untuk mencari Po-yang Sam-liong,
sebaiknya kita pergi melakukan penyelidikan ke Telaga Po-yang?”
Pemuda itu mengangguk, hatinya
penuh ketegangan dan mereka lalu meninggalkan tempat itu, menuruni bukit menuju
ke telaga yang nampak dari lereng itu.
“Sun Ting, tenangkan hatimu.
Mereka, Pek-liong-eng dan adikmu itu, telah menjadi tawanan musuh.”
“Ah! Tentu Po-yang Sam-liong
dan kawan-kawannya!” Sun Ting mengepal tinju. “Akan tetapi Pek-liong-eng
demikian lihainya, bagaimana mungkin dia dapat tertawan?”
“Mereka lebih dulu menawan
adikmu dan memaksa Pek-liong-eng untuk menyerah. Kita tidak tahu mereka dibawa
ke mana, dan hanya Po-yang Sam-liong yang mengetahuinya. Maka, kita harus
mencari mereka secepat mungkin. Mari kita menyewa perahu.”
“Nanti dulu, lihiap. Untuk
melawan Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya amatlah berbahaya. Akan tetapi
kalau berada di air, biar dikeroyok mereka bertiga, aku sanggup mengalahkan
mereka. Lihiap sebaiknya membawa bekal perlengkapan renang dan menyelam, untuk
persiapan kalau-kalau semua itu lihiap perlukan.”
Karena ia sendiri bukan
seorang ahli renang yang hebat, hanya sekedar dapat mencegah tenggelam saja,
Liong-li menurut. Yang dibawa oleh Sun Ting adalah sepasang sepatu yang lebar
seperti cakar bebek, dan sebuah pipit lemas kecil yang panjang. Pipa lemas ini
dapat dipergunakan untuk bernapas di dalam air selagi menyelam, karena ujungnya
diberi pengapung sehingga pipa itu ujungnya akan selalu berada di atas
permukaan air dan dapat menyalurkan udara baru kepada si penyelam.
Setelah membawa perlengkapan
dan mengajarkan kepada Liong-li, bagaimana mempergunakan benda-benda itu,
mereka lalu naik sebuah perahu kecil, tidak menyewa, melainkan perahu milik Sun
Ting sendiri. Untuk menyembunyikan diri, mereka berdua mempergunakan caping
yang lebar sekali, yang biasa dipergunakan para nelayan untuk melindungi muka
mereka dari terik matahari kalau mereka mencari ikan di telaga.
Caping lebar itu diberi tali
yang dikalungkan di bawah dagu sehingga tidak terbang terbawa angin. Mereka
mendayung perahu sambil menyembunyikan muka di balik caping, berputar-putaran
dan akhirnya dari jauh mereka melihat perahu besar yang ditumpangi Po-yang
Sam-liong! Melihat mereka, Sun Ting cepat mendayung perahunya menjauh.
“Itulah mereka......!”
bisiknya kepada Liong-li.
Wanita perkasa ini melihat ke
arah Sun Ting menunjuk dan melihat perahu besar itu. Yang nampak dari situ
hanyalah tiga orang laki-laki raksasa yang berdiri di kepala perahu. Dengan
otaknya yang cerdik dan cekatan sekali, Liong-li bertanya.
“Mereka yang disebut Po-yang
Sam-liong?”
“Benar.”
“Hemm, tentu ada banyak orang
lain di sana. Mari kita mendekat, Sun Ting.”
Sun Ting menggelengkan
kepalanya. “Tidak mungkin mendekat. Mereka akan curiga dan kita akan ketahuan.”
“Ah, bukankah telaga ini
tempat umum dan kita sudah menyamar dalam pakaian nelayan? Caping ini dapat
menyembunyikan muka kita.”
“Engkau tidak mengerti, enci.”
Dia berhenti sebentar, tergagap dan Liong-li tersenyum dan dapat mengerti apa
yang menyebabkan pemuda itu tergagap. “Sun Ting, engkau boleh saja menyebut
lihiap atau enci, seenak mu sajalah, bagiku sama saja. Nah, teruskan
keteranganmu.”
Sun Ting bernapas lega.
Memang, dalam keadaan tegang, dia merasa sukar menyebut enci, lebih suka
menyebut lihiap karena sebutan ini selalu mengingatkan dia bahwa wanita ini
memiliki kesaktian, lihai sekali dan boleh dipercaya, boleh diandalkan. Namun,
dalam keadaan tenang, dia memang lebih sering menyebut enci, sebutan yang lebih
akrab.
“Begini, enci. Coba kaulihat
di sana itu. Semua perahu, besar atau kecil, yang bertemu dengan perahu besar
itu, pasti menyimpang dan menyingkir jauh-jauh. Kalau perahu kita mendekat, hal
itu akan nampak luar biasa sekali dan pasti menarik perhatian Po-yang
Sam-liong. Kita sama sekali tidak boleh mendekatkan perahu, hal itu akan
menggagalkan penyelidikan kita.”
Liong-li mengangguk girang.
Pemuda inipun pandai mempergunakan otaknya! “Habis, kalau tidak mendekatkan
perahu, bagaimana kita akan dapat melakukan penyelidikan?”
Pemuda itu tersenyum, senyum
kemenangan karena baru sekarang dia merasa “lebih” dibandingkan Liong-li. Dan
wanita perkasa itu, memandang dengan sinar mata kagum. Bukan main gantengnya
pemuda ini kalau sudah tersenyum seperti itu, pikirnya, akan tetapi segera
ditekannya gairah hatinya.
“Enci, sebaiknya kita
membayangi mereka dari jauh saja, pura-pura kita mencari ikan dengan demikian
mereka tidak mencurigai kita dan kita akan tahu ke mana perahu mereka pergi.
Kalau mereka sudah menghentikan perahu, barulah kita mendekat, akan tetapi
tanpa menggunakan perahu lagi. Kita dapat berenang mendekati mereka.”
Liong-li merasa kurang jelas.
“Kita sudah membawa perlengkapan sehingga dapat mengintai dengan berenang, akan
tetapi tentu mereka akan melihat kita?”
“Tidak, enci. Kita dapat
bersembunyi di situ.” Pemuda itu menunjuk ke kiri dan Liong- li melihat daun
dan bunga teratai yang lebat terapung di permukaan air. Ia tersenyum dan
memandang wajah pemuda itu dengan kagum.
“Engkau hebat, Sun Ting!”
Sun Ting menjadi gembira
sekali dan diapun cepat mengambil tumbuh-tumbuhan yang terapung di permukaan
air itu, memasukannya ke dalam perahunya. Kemudian, perlahan-lahan mereka
mendayung perahu, mengikuti perahu besar Po-yang Sam-liong itu dari kejauhan.
Setelah perahu besar itu berhenti dan melempar jangkar di tengah telaga, Sun
Ting bergumam lirih, dan menghentikan perahunya. “Aneh, mereka berhenti di
tempat yang biasa kami pergunakan untuk mencari batu dari dasar telaga!”
“Hemm, agaknya ada hubungannya
dengan pekerjaanmu itu, Sun Ting. Kita harus menyelidiki ke sana.”
“Memang sebaiknya kita
mendekat dengan berenang dan kita meninggalkan perahu di sini.”
Karena merasa bahwa di air
dialah yang dapat memimpin, Sun Ting dengan cekatan lalu melemparkan jangkar
untuk menahan perahu, dan dia membuka pakaian luarnya. Dengan hati bangga dia
melihat betapa pandang mata wanita jelita itu ditujukan kepada tubuhnya dengan
kekaguman yang tidak disembunyikan.
Memang, Liong-li memandang tubuh
pemuda itu dengan kagum. Tubuh yang biasa bermain dalam air itu memang tegap,
dengan otot-otot sempurna menggembung di balik kulit yang halus. Dadanya
bidang, dengan tonjolan-tonjolan sempurna, pinggang ramping dan perut kempis,
paha dan betisnya seperti kaki katak.
Ia sendiripun menanggalkan
pakaian luarnya dan ia tersenyum ketika kini tiba giliran Sun Ting untuk
mengamati tubuh yang padat dengan lekuk lengkung tubuh seorang wanita yang
masak itu.
Liong-li mengenakan tambahan
kaki katak untuk memudahkan ia bergerak dalam air, dan membawa pipa kecil untuk
dipakai mengambil napas ke permukaan air di waktu menyelam. Kemudian, keduanya
berenang sambil bersembunyi di bawah atau di antara daun-daun dari bunga
teratai, mendekati perahu besar.
Demikianlah. dengan
bersembunyi di balik bunga teratai mereka mengintai dan alangkah kaget hati
mereka ketika melihat Pek-liong dan Cian Li telah menjadi tawanan di perahu
itu. Dari tempat persembunyiannya, Liong-li mengamati orang-orang yang berada
di dalam perahu, maklum bahwa mereka itu tentulah orang-orang pandai dan
tokoh-tokoh dunia hitam. Ia melihat pula Pek-liong yang berdiri dengan sikapnya
yang tenang.
Melihat sahabat dan rekannya
ini, berdebar rasa jantung dalam dada Liong-li. Betapa sudah amat rindunya kepada
Pek-liong! Dan Pek-liong kelihatan sehat, bahkan lebih tegap dan lebih gagah
dari pada dahulu.
Sikapnya yang tenang itu,
walaupun kaki dan tangannya dibelenggu rantai, membuat hati Liong-li merasa
terharu bercampur bangga. Tidak ada orang kedua segagah dan setabah Pek-liong,
juga amat cerdik dan berani menghadapi ancaman maut tanpa berkedip mata! Iapun
melihat seorang gadis cantik manis yang kelihatan cemberut dan khawatir,
kemudian melihat gadis itu membuka pakaian luarnya. Liong-li memandang kagum. Seorang
gadis yang memiliki bentuk tubuh indah. Ia teringat akan keindahan bentuk tubuh
Sun Ting.
“Apakah gadis itu adikmu yang
bernama Kam Cian Li itu?”
“Benar, cici, dan aku merasa
heran sekali apa yang ia akan lakukan di sana itu. Ia menanggalkan pakaian,
mengenakan pakaian selam, itu berarti ia akan menyelam.” Sun Ting termenung
lalu melanjutkan dengan ragu dan khawatir. “Akan tetapi, kenapa......?”
Liong-li mengerutkan alisnya
yang berbentuk indah. “Mari kita renungkan sebentar,” bisiknya. “Pek-liong menyerah
karena Cian Li ditawan, dan kini mereka berdua dibawa ke sini oleh para
penjahat itu. Pek-liong dibelenggu dan kelihatan tidak melawan sedangkan adikmu
itu kini hendak menyelam. Hemm, agaknya ini ada hubungannya dengan rahasia peta
Patung Emas!”
“Peta Patung emas?” Sun Ting
bertanya heran.
“Itulah yang diperebutkan oleh
kawanan penjahat itu, demikian menurut isi surat Pek-liong. Agaknya kini adikmu
dipaksa untuk menyelam dan mencari sesuatu, dan Pek-liong tidak berdaya selama
adikmu menjadi tawanan mereka.”
“Kalau begitu, biar aku
menyelam dan menghubungi adikku di dalam air......”
“Jangan dulu. Lihat......!”
Pada saat itulah Cian Li
mendorong Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dan kedua orang wanita itu terjatuh ke
dalam air. Mereka melihat betapa Tok-sim Nio-cu kelabakan di dalam air kemudian
tenggelam seperti diseret ke bawah.
“Ha-ha, bagus adikku! Seret
mereka satu demi satu ke bawah air sampai mereka mati lemas!” Sun Ting berkata
girang. “Biar aku membantunya!”
Akan tetapi Liong-li menangkap
lengannya. “Jangan, kita lihat bagaimana perkembangannya. Kaulihat, biarpun
terbelenggu, Pek-liong mampu melindungi adikmu. Ketika raksasa pakaian hitam
itu tadi memukul ke arah adikmu yang menerjang wanita cantik itu, Pek-liong
menangkisnya. Dan raksasa itu bertenaga besar. Benar Pek-liong, mereka
mempunyai banyak kaki tangan yang pandai. Kita harus berhati-hati dan melihat
dulu perkembangannya sebelum turun tangan.”
Sementara itu, Pek-liong
tersenyum gembira melihat betapa Cian Li telah mampu melampiaskan amarahnya
kepada Tok-sim Nio-cu, wanita lihai itu tanpa si wanita sesat mampu membela
diri! Sungguh Cian Li amat hebat, penuh keberanian, pikirnya.
Melihat betapa Tok-sim Nio-cu
masih terengah-engah biarpun perutnya sudah kempis kembali, wajahnya pucat dan
matanya liar, dia tidak dapat menahan ketawanya. Apa lagi melihat rambut itu
basah awut-awutan, pupurnya luntur dan pakaiannya juga basah kuyup. Seperti
seekor kucing yang tadinya angkuh memamerkan kecantikannya, kini basah kuyup
dan jelek!
Akan tetapi, dia melihat sinar
maut berkilat di mata Tok-sim Nio-cu setiap kali wanita itu memandang ke arah
air. Berbahaya, pikirnya. Wanita ini bisa berbahaya sekali dan mungkin saja
dalam kemarahannya ia akan membunuh Cian Li begitu gadis itu muncul kembali ke atas.
“Beng-cu, kalau aku menjadi
engkau, aku akan berhati-hati agar jangan sampai namaku menjadi rusak sebagai
orang yang suka melanggar janjinya terhadap nona Kam Cian Li!” kata Pek-liong
sambil tersenyum mengejek.
Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan
alisnya. “Hemm, aku bukan seorang yang suka melanggar janjiku. Aku seorang
beng-cu, mengerti? Seorang beng-cu, seperti seorang raja, tidak akan melanggar
janji!”
“Akan tetapi ada orang lain
yang akan membuat engkau terpaksa melanggar janjimu, beng-cu. Aku khawatir
begitu nona Kam muncul, ia akan dibunuh oleh Tok-sim Nio-cu!”
Siauw-bin Ciu-kwi menoleh
kepada Tok-sim Nio-cu dan matanya berkilat. “Ia tidak akan berani!”
Ucapan ini sudah cukup bagi
Pek-liong, karena itu merupakan jaminan keselamatan bagi Cian Li. Tok-sim
Nio-cu jelas tidak akan berani turun tangan mengganggu Cian Li.
Tok-sim Nio-cu menyeringai dan
memandang kepada Pek-liong. Kemarahannya terhadap Cian Li lebih besar dari pada
gairahnya terhadap Pek-liong, “Pek-liong. kaukira aka tidak akan dapat membalasnya
kelak setelah ia dibebaskan oleh beng-cu? Hemmm, kelak akan kubikin hancur
seluruh tubuhnya, kulit mukanya akan kusayat-sayat!”
Di dalam batinnya, Pek-liong
berjanji, “Sebelum kaulakukan itu, engkau akan lebih dulu kubunuh!”
Akan tetapi pada saat itu,
semua orang memperhatikan munculnya sebuah kepala di permukaan air. Kepala Cian
Li! Gadis itu mengguncang kepala sehingga rambut yang basah kuyup dan menutupi
mukanya itu tersibak dan nampaklah mukanya yang cantik dan kemerahan. Ia
mengambil pernapasan panjang di atas permukaan air, lalu nampak tangan kanannya
yang memegang sebuah guci. Dari jauh, Sun Ting berbisik heran. “Aih, benda
apakah yang berada di tangan Cian Li itu? Aku tidak pernah melihatnya.”
“Sttt......, kulihat itu
sebuah guci. Dan adikmu menyerahkannya kepada si gendut kepala botak. Hemm,
agaknya dia itulah yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu
Lo-mo! Dan lihat, semua orang kini mengepung dan mengancam Pek-liong!”
Dua orang pengintai itu
memandang dengan khawatir. Memang kini setelah Cian Li naik ke atas perahu, ia
menyerahkan guci itu kepada Siauw-bin Ciu-kwi dan memang sudah diatur
sebelumnya, Siauw-bin Ciu-kwi yang menerima guci itu kini berdiri di belakang
Pek-liong sambil mendekatkan tangan, siap menyerang, sedangkan para pembantunya
juga semua telah menodongkan senjata kepada pendekar yang sudah dibelenggu kaki
tangannya itu.
“Heil! Apa artinya lelucon
ini, Siauw-bin Ciu-kwi?” bentak Pek-liong.
“Kalian memang tak tahu malu!”
tiba-tiba Cian Li membentak dengan suara nyaring. “Kalian sudah berjanji akan
membebaskan aku kalau aku menyerahkan peta itu, dan sekarang kalian malah
mengancam Hay-koko?”
Mendengar gadis itu menyebut
Hay-koko kepada Pek-liong, dan melihat sikapnya yang demikian beraninya untuk
membela Pek-liong, Liong-li tersenyum. Sikap dan kata-kata itu saja sudah jelas
baginya untuk menduga bahwa seperti banyak wanita lain, gadis penyelam yang
bertubuh indah dan berwajah manis itu telah jatuh cinta kepada Pek-liong-eng
Tan Cin Hay!
“Ha-ha-ha, aku memang sudah
berjanji untuk membebaskanmu, nona Kam dan aku Siauw-bin Ciu-kwi tidak akan
menarik kembali janjiku kepadamu! Akan tetapi aku tidak pernah berjanji untuk
membebaskan Pek-liong! Khawatir kalau-kalau dia akan membuat banyak ulah, maka
dia harus dijaga sebelum aku melihat apakah peta yang kauberikan kepadaku ini
tulen ataukah palsu!”
Setelah berkata demikian,
Siauw-bin Ciu-kwi yang membiarkan para pembantunya menodongkan senjata mereka
kepada Pek-liong, dia sendiri lalu membuka tutup guci dan mengeluarkan isinya.
Segulung peta yang sama benar dengan peta yang berada di tangannya, yaitu
bagian yang hilang.
Dia cepat membuka gulungan
peta itu, mencocokkan dengan bagian yang berada padanya dan ternyata memang
peta yang diserahkan Cian Li itu merupakan sambungan peta yang dia dapatkan!
Dan setelah disambung, baru mudah dimengerti bahwa peta itu menunjukkan di mana
adanya Patung Emas! Dengan sepasang matanya yang mencorong kejam itu, Siauw-bin
Ciu-kwi mempelajari peta dan wajahnya berseri. Dia sudah memperoleh petunjuk di
mana adanya Patung Emas!
Menurut petunjuk peta yang
sudah digabungkan itu, Patung Emas ternyata disembunyikan di dasar telaga itu,
di bagian barat dengan ukuran lima tombak dari pulau kecil yang menonjol keluar
selebar beberapa meter persegi. Tempat itu mudah dicari! Akan tetapi diapun
menyadari bahwa untuk mengambil patung itu, dibutuhkan tenaga seorang penyelam
yang pandai! Maka, dia masih membutuhkan tenaga nona Kam Cian Li! Pada hal, dia
telah berjanji membebaskannya.
Tiba-tiba saja Siauw-bin
Ciu-kwi meloncat dan tangan kanannya membuat gerakan seperti hendak
mencengkeram ke arah kepala Pek-liong. Melihat ini, Pek-liong terkejut.
“Siauw-bin Ciu-kwi, engkau hendak membunuhku secara pengecut?” Dia sudah siap
untuk melawan mati-matian.
Akan tetapi beng-cu itu tidak
melanjutkan serangannya, melainkan berkata kepada Cian Li. “Nona Kam Cian Li,
aku sudah berjanji bahwa engkau akan kubebaskan kalau sudah menyerahkan peta.
Peta ini memang tulen dan engkau boleh bebas. Akan tetapi, kalau engkau pergi
sekarang dan tidak mau membantu kami sekali lagi, terpaksa aku akan membunuh
Pek-liong di depanmu sebelum engkau pergi!”
Tentu saja Cian Li terkejut
bukan main dan matanya terbelalak memandang kepada Pek-liong. Ia tidak perduli
betapa ada beberapa pasang mata dari para pembantu beng-cu itu melotot penuh
gairah memandang kepadanya, terutama kepada tubuhnya yang seperti telanjang
bulat saja karena pakaian selam yang menempel di tubuhnya ketat seperti kulit
kedua karena basah.
“Apa...... apa maksudmu? Aku
akan membantu kalian, asal kalian sekali ini berjanji tidak akan membunuh
Hay-koko!”
“Bagus! Kuterima syaratmu itu,
nona Kam. Menurut peta ini, tempat penyimpanan Patung emas berada di dasar
telaga pula, di bagian lain dekat pulau kecil di sebelah barat. Nah, engkau
harus menyelam sekali lagi untuk mengambilkan patung emas itu untuk kami, dan
kami berjanji bahwa kami tidak akan membunuh Pek-liong!”
“Cian Li, jangan percaya
mereka......!” Pek-liong berseru akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Siauw-bin
Ciu-kwi bergerak menotok punggungnya dan Pek-liong roboh dengan tubuh lemas.
“Apa yang kaulakukan ini?”
Cian Li berteriak dan matanya terbelalak memandang kepada Pek-liong yang sudah
tidak berdaya dan terkulai itu.
“Aku hanya menotoknya agar dia
tidak dapat sembarangan memberontak dan membikin kacau. Sekali lagi kujanjikan,
nona Kam, bahwa kalau engkau suka membantu kami, sekali lagi menyelam untuk
mengambil patung emas dari dasar telaga, maka aku tidak akan membunuh
Pek-liong!”
“Engkau mau bersumpah bahwa
engkau tidak akan membunuh Hay-koko?” Cian Li mendesak.
Siauw-bin Ciu-kwi tersenyum
menyeringai. Kalau saja dia tidak membutuhkan bantuan gadis itu, tentu
pertanyaan itu saja sulah menjadi alasan cukup baginya untuk membunuh Cian Li!
“Aku bersumpah tidak akan
membunuh Pek-liong kalau engkau berhasil mengambil patung emas dari dasar
telaga!”
“Baik, mari bawa aku ke tempat
itu dan aku akan membantumu mengambil patung emas,” kata Cian Li dengan hati
lega.
Sementara itu, Pek-liong
maklum bahwa dia tentu saja tidak mungkin dapat mempercaya orang sejahat
Siauw-bin Ciu-kwi. Dia harus bertindak cerdik karena dia harus menyelamatkan
diri sendiri, juga menyelamatkan Cian Li. Kalau saja gadis itu sudah bebas, dia
tidak begitu khawatir lagi. Betapapun juga, dia harus berhati-hati karena dia
maklum bahwa selain lihai, juga Siauw-bin Ciu-kwi amat cerdik.
Ketika melihat perahu besar
itu mengangkat jangkar dan bergerak menuju ke barat, Liong-li dan Sun Ting juga
sudah berada di perahu kecil mereka dan mendayung perlahan-lahan membayangi
perahu besar itu dari jauh. Baru setelah perahu besar berhenti melempar jangkar
keluar mereka berdua juga menghentikan perahu mereka dan seperti tadi, mereka
mendekati perahu, bersembunyi di balik tumbuhan bunga teratai sampai mereka
berada dekat dan bukan hanya dapat melihat, akan tetapi juga dapat mendengar
percakapan di atas perahu besar.
Melihat daerah di mana perahu
besar berhenti, Cian Li terkejut dan ia segera berkata kepada Siauw-bin
Ciu-kwi. “Aih, daerah ini merupakan bagian paling dalam dari telaga! Tidak
mudah mencari barang di dasar yang amat dalam ini. Aku tidak akan dapat
bertahan lama di bawah sana. Terlalu dalam!”
Dengan mata terbelalak ngeri
Cian Li yang berdiri di kepala perahu melihat ke air yang nampak agak kehitaman
tanda bahwa bagian itu memang dalam sekali.
Tiba-tiba terdengar teriakan,
“Li-moi, jangan mau menyelam di situ. Berbahaya sekali......!”
Semua orang menengok dan
melihat seorang laki-laki berenang dengan gerakan kuat dan cepat sekali menuju
ke perahu besar. Melihat orang itu, Siauw-bin Ciu-kwi menyeringai, “Nona Kam,
bukankah dia itu kakakmu?”
Sementara itu, melihat
munculnya Sun Ting yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, Cian Li terkejut.
“Koko, kenapa kau ke sini? Pergilah cepat......!”
“Tidak, aku harus membantumu!”
kata Sun Ting dan dia sudah merayap naik ke perahu melalui rantai jangkar,
dengan gerakan yang cekatan.
Di lain saat dia telah berada
di atas perahu besar. Sedetik dia bertemu pandang dengan Pek-liong, akan tetapi
Sun Ting seperti tidak perduli kepada pendekar itu, Dia memandang kepada Cian
Li penuh kekhawatiran. Akan tetapi tiba-tiba, beberapa batang senjata telah
menodong tubuh Sun Ting. Pemuda ini membalik, memandang kepada Siauw-bin
Ciu-kwi dan berkata dengan suara lantang mengandung kemarahan.
“Kalian sungguh kejam! Kalian
hendak memaksa adikku menyelam di tempat yang amat dalam ini?”
Siauw-bin Ciu-kwi tersenyum
lebar, hatinya girang sekali melihat munculnya kakak gadis itu. “Ha-ha-ha, ia
sudah berjanji akan membantu kami mengambil patung emas di dasar telaga ini.”
“Koko, dia memaksaku, kalau
aku tidak mau, dia akan membunuh Hay-ko? Untuk keselamatan Hay-ko aku terpaksa
menyanggupi.”
“Benar ucapannya itu, orang
muda. Ia sudah berjanji dan akupun sudah berjanji tidak akan membunuh Pek-liong
kalau ia bisa mengambilkan patung emas yang berada di dasar telaga ini. Kalau
engkau melihat bahwa tempat ini dalam dan berbabaya, tentu saja engkau boleh
membantu adikmu, ha-ha!”
“Memang aku mau membantu
adikku dalam pekerjaan berbahaya ini. Akan tetapi aku minta agar aku mendengar
pula janji itu. Kalau kami berdua berhasil menemukan benda yang kalian cari,
maka kami berdua akan kalian bebaskan, dan juga Tan-taihiap akan kalian
bebaskan? Berjanjilah, atau, kalau tidak, kami tidak akan menyelam, biar kalian
bunuh sekalipun!”
Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan
alisnya. “Anak muda, jangan membuat kami marah! Aku sudah saling berjanji
dengan adikmu, kalau ia dapat mengambilkan patung emas itu, kami akan
membebaskan ia dan kami sudah berjanji tidak akan membunuh Pek-liong.”
“Tapi......” Sun Ting hendak
membantah karena dia tetap hendak menuntut agar Pek-liong dibebaskan. Melihat
ini, Pek-liong segera berkata.
“Saudara Kam Sun Ting,
sudahlah jangan engkau pikirkan lagi aku! Kalian penuhi permintaan Beng-cu,
ambil patung emas itu dari dasar telaga. Aku sudah pasti tidak akan mereka
bunuh, karena selain Beng-cu sudah berjanji kepada adikmu, juga aku kini yakin
bahwa tiada gunanya menentang Beng-cu. Aku ingin membantunya agar aku
mendapatkan bagian harta karun itu!”
Mendengar ucapan yang lantang
ini, Sun Ting terbelalak memandang kepada pendekar itu. “Apa? Engkau......
engkau akan membantu mereka ini, taihiap......?” tanyanya hampir tidak percaya.
Juga Cian Li memandang heran
kepada pendekar itu. Kalau ia membantu para penjahat itu mengambil peta dan
kini mengambil patung emas adalah karena terpaksa, karena ia ingin
menyelamatkan Pek-liong. Akan tetapi sekarang pendekar itu tiba-tiba berbalik
pikiran dan hendak membantu para penjahat dengan pamrih memperoleh bagian harta
karun!
“Hay-ko......!” Iapun berseru
heran.
Pek-liong melambaikan
tangannya dengan sikap tak sabar, akan tetapi ternyata tangannya itu lemas tak
bertenaga dan baru dia teringat bahwa dia masih belum pulih dari totokan
Siauw-bin Ciu-kwi yang lihai. “Sudahlah, kalian jangan mencampuri urusan
pribadiku. Penuhi saja permintaan beng-cu dan kalian segera pergi dengan bebas
dari sini dan selanjutnya jangan lagi mencampuri urusan kami.”
Mendengar ini, kakak beradik
itu memandang marah, dan Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. “Bagus, Pek-liong.
Aku akan senang sekali bekerja sama denganmu. Akan tetapi maksud baikmu itu
harus diuji dulu kebenarannya!”
Sun Ting dan Cian Li tidak
banyak cakap lagi. Biarpun di dalam hati mereka marah kepada Pek-liong, dan
merasa bahwa pendekar itu tidak pantas lagi dibela, akan tetapi Cian Li tetap
ingin menyelamatkannya. Bukan hanya karena ia telah berhutang budi kepada
Pek-liong, akan tetapi karena memang ia telah jatuh cinta. Kalau ia tidak
memenuhi permintaan beng-cu mengambilkan patung emas yang telah ia pelajari
dari peta dan ketahui di mana letaknya, tentu Pek-liong akan dibunuh!
“Mari, Ting-ko, bantu aku!”
katanya dan ia menggandeng tangan kakaknya, lalu diajak terjun ke air.
Mengagumkan sekali melibat betapa dua orang kakak beradik itu menimpa air
seperti dua batang tombak saja, tidak menimbulkan suara berisik dan tubuh
mereka segera lenyap di telan air.
Kalau saja tidak ada kakaknya,
biarpun terpaksa tentu akan sukar bagi Cian Li untuk menemukan patung emas itu
karena bagian ini memang dalam dan agak gelap. Hanya dengan meraba-raba,
akhirnya ia menemukan guha seperti yang dimaksudkan dalam petunjuk peta yang
sudah lengkap itu. Bersama Sun Ting ia memasuki guha dan benar saja, di sudut
guha kecil itu ia menemukan sebuah patung yang tingginya kurang lebih satu
kaki. Patung itu cukup berat dan Sun Ting lalu membawanya, dan mereka berdua
segera naik ke permukaan air.
Mereka yang berada di dalam
perahu besar, semua menjenguk ke air dengan penuh ketegangan hati, penuh
harapan dan kecemasan. Begitu nampak dua buah kepala itu muncul dan kakak
beradik itu terengah-engah memenuhi paru-paru dengan udara baru, Siauw-bin
Ciu-kwi segera berteriak dari atas.
“Sudah kalian temukan patung
emas itu?”
Sun Ting mengangkat tangan
kanannya dan nampaklah sebuah patung yang berkilauan karena terbuat dari emas
murni! Semua orang berseru kagum dan Siauw-bin Ciu-kwi segera berkata, “Cepat
naik ke perahu dan serahkan kepada kami!”
“Akan kulemparkan ke atas dan
kami berdua akan segera pergi dari sini!” kata Sun Ting.
“Baik, lemparkanlah!” teriak
Siauw-bin Ciu-kwi.
“Tapi jangan langgar sumpahmu!
Kalian tidak akan membunuh Tan-taihiap!” Cian Li berseru dan suaranya
mengandung isak karena hatinya kecewa sekali melihat betapa pendekar yang
dipuja dan dicintanya itu akhirnya merendahkan diri menjadi kaki tangan
penjahat.
“Ha-ha, jangan khawatir, nona.
Kami tidak akan membunuhnya, apa lagi dia kini menjadi sekutu kami. Nah,
lemparkan patung emas itu!”
Sun Ting melemparkan benda itu
ke atas perahu, disambar oleh tangan Siauw-bin Ciu-kwi. Semua orang mengagumi
patung emas itu yang tentu merupakan benda berharga, bukan saja berharga amat
mahal karena terbuat dari emas murni, akan tetapi juga berharga karena
merupakan benda kuno yang antik.
Biarpun tubuhnya masih belum
bebas dari pengaruh totokan dan dia belum dapat bergerak leluasa, namun
Pek-liong sudah dapat memutar tubuhnya yang rebah dan ia memandang ke arah
Siauw-bin Ciu-kwi yang sedang mengamati patung emas itu bersama para pembantunya.
Dia melihat bahwa patung emas
itu memang indah, sebuah patung emas Dewi Kwan Im Po-sat yang ukirannya amat
indah. Tentu patung itu amat mahal, akan tetapi belum cukup mahal untuk
diributkan dan dijadikan perebutan, dan dia tahu bahwa orang seperti Siauw-bin
Ciu-kwi tentu tidak akan sudi bersusah payah kalau hanya untuk mendapatkan
sebuah patung emas semacam itu. Dia juga melihat betapa wajah Siauw-bin Ciu-kwi
sudah mengandung kekecewaan, walaupun para pembantunya berseri-seri mengamati
patung emas itu.
Dugaannya benar. Dan dari
jauhpun dia tahu bahwa patung emas itu bukan sembarang patung. Dia sudah banyak
mempelajari tentang patung kuno dan diam-diam dia menduga bahwa tentu patung
itu menyimpan rahasia yang amat penting.
Kalau tidak demikian, kiranya
tidak mungkin orang jaman dahulu menyembunyikan patung itu dengan menyertai
petanya pula! Patung emas seperti itu bukan merupakan harta karun yang luar
biasa, dan orang seperti Siauw-bin Ciu-kwi tentu akan bisa mendapatkan dengan
mencuri simpanan hartawan besar atau bangsawan tinggi.
Sementara itu, kakak beradik
she Kam sudah menyelam kembali dan berenang dengan cepat bagaikan dua ekor ikan
saja, meninggalkan perahu besar, akan tetapi mereka tidak diperdulikan lagi
oleh para penjahat yang mengagumi patung emas.
Ada satu hal lain yang
diyakini oleh hati Pek-liong, yaitu kehadiran Liong-li. Dia tahu bahwa sudah
pasti Liong-li datang bersama Sun Ting dan sekarang entah berada di mana
rekannya itu. Dari sikap Sun Ting yang demikian tabahnya saja diapun sudah
menduga bahwa keberanian Sun Ting itu tentu ada penyebabnya, dan penyebab itu
kiranya bukan lain karena ada Liong-li di belakangnya! Akan tetapi di mana
adanya Liong-li?
Dia tahu bahwa biarpun
Liong-li pandai berenang, namun tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan
kakak beradik Kam dan tentu wanita perkasa itu tidak akan begitu sembrono untuk
mengandalkan kepandaian renangnya menghadapi kawanan penjahat itu. Baru Po-yang
Sam-liong saja sudah memiliki ilmu renang yang jauh lebih pandai dari Liong-li.
Namun, hatinya tetap yakin bahwa Liong-li tidak berada jauh dari situ, maka
diapun tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, Beng-cu! Apa
artinya kalau yang kaucari dengan susah payah itu ternyata hanya sebuah patung
emas seperti itu? Ha-ha, dalam semalam saja aku akan mampu mendapatkan beberapa
buah patung emas seperti itu untukmu! Itulah kalau engkau mempunyai
pembantu-pembantu yang tidak becus! Kalau kita berdua bekerja sama, tentu
hasilnya akan seratus kali lebih besar dari pada itu!”
Pek-liong berkata dengan suara
lantang, sengaja dikuatkan agar terdengar oleh Liong-li yang berada entah di
mana, akan tetapi diharapkannya tidak terlalu jauh sehingga dapat mendengar
ucapannya.
Kerut merut di antara alis
Siauw-bin Ciu-kwi makin mendalam. Memang dia merasa kecewa sekali melihat hasil
jerih payah selama ini. Hanya sebuah patung emas seperti itu! Memang mahal,
akan tetapi dia mengharapkan harta karun yang lebih berharga lagi. Dia dapat
membayangkan bahwa kalau dia mempunyai seorang pembantu seperti Pek-liong, tentu
hasil usaha mereka akan lebih hebat. Akan tetapi tentu saja dia masih belum
percaya akan kebenaran kata-kata pendekar itu.
Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring halus, “Pek-liong, engkau sungguh seorang manusia tidak tahu malu!”
Semua orang terkejut. Siauw-bin
Ciu-kwi sekali meloncat sudah mendekati Pek-liong, patung emas masuk ke dalam
jubahnya. Dia cerdik sekali dan siap menyerang Pek-liong yang dijadikan
sandera.
Dari bawah perahu, nampak
bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan Siauw-bin Ciu-kwi dan para
pembantunya telah berdiri seorang wanita cantik dengan pakaian serba hitam,
pakaian yang ringkas dan basah, ketat menempel pada tubuhnya yang padat ramping
dan matang itu. Begitu melihat wanita berpakaian hitam ini, Siauw-bin Ciu-kwi
dan para pembantunya dapat menduga siapa yang datang. Siauw-bin Ciu-kwi sudah
membentak garang.
“Apakah yang datang ini
Hek-liong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam)?” Sementara itu, para pembantunya
dengan senjatanya di tangan sudah siap untuk mengeroyok.
Liong-li tersenyum dan
muncullah sepasang lesung pipit yang membuat wajah itu menjadi semakin manis.
Pek I Kongcu Ciong Koan memandang dengan bengong. Dia terpesona oleh kecantikan
Liong-li, akan tetapi juga diam-diam merasa kagum dan gentar karena dia sudah
mendengar berita bahwa gadis jelita berjuluk Si Naga Hitam ini luar biasa
lihainya, juga bertangan baja, tidak segan membunuh lawannya.
“Siauw-bin Ciu-kwi, aku datang
bukan untuk kamu, melainkan untuk Pek-liong, manusia pengecut yang rendah ini!
Jangan kalian ikut campur, kelak kalau ada alasannya yang kuat, aku akan
mencari kamu! Hei, Pek-liong manusia tak tahu malu! Kiranya harga dirimu
demikian rendah dan murah. Engkau telah bermain gila dengan gadis penyelam itu,
dan untuk gadis itu engkau rela menjadi tawanan dan hinaan orang. Sungguh aku
kecewa sekali dan merasa menyesal pernah menjadi temanmu!”
Semua orang menoleh kepada
Pek-liong dan melihat betapa pemuda itu, walaupun masih setengah lumpuh oleh
totokan, memandang kepada Liong-li dengan mata melotot dan muka merah.
“Hek-liong-li, tutup mulutmu
yang kotor! Engkau sendiri bukan perempuan baik-baik, engkau melakukan
perjinaan dengan Kam Sun Ting, siapa yang tidak tahu? Engkau melihat kesalahan
orang sekecil-kecilnya tanpa melihat tengkukmu sendiri yang kotor! Memang aku
ingin bekerja sama dengan Siauw-bin Ciu-kwi yang menjadi beng-cu, habis engkau
mau apa? Aku sudah muak bekerja sama dengan kamu yang penuh cemburu, yang
selalu menghinaku dan tidak memandang sebelah mata! Engkau tidak pernah sadar
bahwa sebenarnya, tanpa aku, engkau tidak ada artinya!”
“Jahanam busuk! Kurobek
mulutmu!” bentak Liong-li marah.
“Coba saja kalau kau bisa!
Kalau aku tidak dalam pengaruh totokan, akulah yang akan merobek mulutmu!”
Siauw-bin Ciu-kwi yang sejak
tadi mengamati dua orang muda yang sedang bertengkar itu, tiba-tiba tertawa.
“Ha-ha, sungguh lucu. Pek-liong dan Hek-liong-li bertengkar dan saling cemburu!
Permainan apa pula ini? Pek-liong, biarlah kubebaskan totokanmu. Hendak kulihat
kejujuranmu, apakah benar engkau hendak bersekutu dengan kami atau tidak.
Engkau harus membunuh Liong-li untuk meyakinkan kami!”
Akan tetapi ketika Siauw-bin
Ciu-kwi hendak menggerakkan tangan, Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si berseru,
“Beng-cu, sabar dulu! Harap Beng-cu tidak sampai terkecoh oleh mereka Bagaimana
kalau setelah Beng-cu membebaskan touokannya, Pek-liong lalu bergabung dengan
Liong-li dan mereka menyerang kita? Setidaknya, mereka berdua tentu berusaha
untuk membebaskan diri!” Tentu saja wanita yang haus laki-laki ini akan merasa
kecewa sekali kalau Pek-liong sampai lolos karena pemuda perkasa itu telah
membangkitkan gairahnya.
“Ha-ha, aku bukanlah sebodoh
engkau, Tok-sim Nio-cu! Biarkan kalau mereka berdua hendak menipuku. Biar
mereka mengamuk, kita keroyok bersama. Biarkan mereka mencoba untuk meloloskan
diri. Apa yang kita takutkan? Kita berada di atas perahu, di tengah telaga.
Kemana mereka dapat melarikan diri? Betapapun lihainya mereka, di dalam air
mereka tidak dapat banyak bergerak. Dan kita mempunyai Po-yang Sam-liong dan
anak buahnya yang akan mudah menangkap mereka!”
Mendengar ini, Tok-sim Nio-cu
diam saja dan memang benar apa yang dikatakan Beng-cu itu. Juga diam-diam
Pek-liong dan Hek-liong-li harus mengakui kecerdikan si pendek gendut kepala
botak itu.
“Siauw-bin Ciu-kwi, tidak
perlu kalian khawatir. Aku datang untuk menghajar Pek-liong, bukan kalian!”
kata pula Liong-li.
Siauw-bin Ciu-kwi lalu
menggerakkan tangannya dan dua kali dia menotok punggung Pek-liong yang
seketika merasa tubuhnya bebas dari pengaruh totokan. Beng-cu itu memang sudah
memperhitungkannya dengan matang.
Selain mereka berada di tengah
telaga, juga dia yakin bahwa Liong-li muncul tanpa membawa senjata. Demikian
pula Pek-liong, tidak bersenjata, maka tentu saja dia dibantu para tokoh sesat
tidak perlu takut menghadapi mereka, andaikata mereka benar-benar hendak
menyerang mereka atau hendak meloloskan diri.
Pek-liong bangkit berdiri,
lalu menghampiri Liong-li. Kedua orang ini berdiri berhadapan dengan sikap
marah. Liong-li mencibir. “Huh, pendekar yang berjuluk Pek-liong-eng ternyata
hanyalah seorang laki-laki mata keranjang dan seorang pengecut!”
“Liong-li, mulutmu sungguh
busuk sekali! Engkaulah perempuan rendah, gila laki-laki, akan kurobek mulutmu
itu!” Berkata demikian, Pek-liong sudah menyerang dengan cengkeraman ke arah
Liong-li. Akan tetapi, gadis perkasa ini mengelak ke kiri dan dari kiri ia
membalas dengan pukulan maut ke arah lambung Pek-liong. Dia menangkis dengan
pengerahan tenaganya.
“Dukk!” Dua lengan bertemu dan
keduanya terhuyung ke belakang.
Liong-li mengeluarkan suara
lengkingan nyaring dan iapun kini menerjang dan menyerang dengan gerakan yang
amat cepat. Pukulan dan tendangan menyambar bertubi-tubi, akan tetapi Pek-liong
yang agaknya sudah menjadi marah sekali, mengelak, menangkis dap membalas tak
kalah sengitnya.
Para pembantu Siauw-bin
Ciu-kwi sudah siap dengan senjata di tangan, mengepung dua orang yang sedang
bertanding itu. Siauw-bin Ciu-kwi sendiri berdiri menonton dengan penuh
perhatian. Kalau dua orang itu hanya bersandiwara, tentu matanya yang tajam itu
akan dapat menangkapnya, Dia seorang ahli silat kelas tinggi, tentu akan dapat
membedakan mana yang perkelahian benar-benar dan mana yang pura-pura!
Dan apa yang disaksikannya
itu, tak dapat diragukan lagi merupakan suatu perkelahian sungguh-sungguh,
bahkan setiap pukulan mengandung ancaman maut bagi lawan! Tentu saja Siauw-bin
Ciu-kwi tidak pernah melihat kalau dua orang ini sedang melakukan latihan
pertandingan silat! Dua orang muda ini sudah mencapai tingkat yang sedemikian
tingginya sehingga mereka telah menguasai tenaga mereka sepenuhnya sehingga
andaikata kepalan tangan atau ujung pedang mereka sudah menyentuh kulit lawan,
mereka masih mampu menghentikan serangan mereka sampai di situ saja!
Kini Pek-liong nampak terdesak
hebat oleh Liong-li yang mempergunakan ilmu silat Bi-jin-kun yang selain amat
indah, juga mengandung banyak gerak tipu yang berbahaya. Pek-liong juga sudah
memainkan Pek-liong Sin-kun, namun agaknya dia masih kalah cepat sehingga
kecepatan gerakan Liong-li membuat dia sibuk juga. Karena kalah cepat, maka
perkelahian itu dikendalikan oleh Liong-li dan Pek-liong terseret, hanya mampu
mengelak dan menangkis saja untuk melindungi dirinya.
Melihat ini, Siauw-bin Ciu-kwi
lalu mengeluarkan sebatang pisau yang panjangnya dua jengkal, melemparkannya
kepada Pek-liong sambil berseru, “Pek-liong, kau pergunakan ini!”
Pek-liong menerima pisau yang
dilemparkan kepadanya itu dan kini dia menyerang dengan pisau itu. Gerakannya
mantap, cepat dan kuat. Setelah dia mempergunakan pisau itu, mulailah Liong-li
terdesak!
Wanita perkasa ini maklum akan
lihainya lawan kalau mempergunakan senjata tajam, maka ia hanya menghindarkan
diri dari desakan itu dengan ilmunya yang hebat, yaitu langkah ajaib
Liu-seng-pouw yang membuat tubuhnya selalu dapat mengelak secara otomatis
setiap kali pisau itu menyambar. Akan tetapi ia terdesak mundur sampai ke tepi
perahu dan anak buah Siauw-bin Ciu-kwi yang mengepung terpaksa menyingkir.
“Pek-liong, engkau pengecut
mengandalkan komplotanmu! Lain kali aku akan mencarimu lagi!” berkata demikian,
Liong-li membalikkan tubuh dan meloncat ke air. Akan tetapi, Pek-liong
membentak.
“Liong-li, hendak lari ke mana
kau?”
Dan pisau di tangannya itupun
meluncur lepas dari tangannya, dan semua orang melihat betapa dengan tepat
sekali pisau itu menancap pada pinggul kanan Liong-li. Wanita itu terbanting ke
permukaan air. Air muncrat tinggi dan semua orang lari ke tepi perahu, melihat
betapa tubuh itu tenggelam dan permukaan air nampak kemerahan, merah karena darah!
Agaknya, Liong-li yang terkena sambitan pisau itu tenggelam dan tewas!
Sampai lama mereka memandang
ke air. Jelas, tidak ada muncul lagi wanita perkasa itu, dan di sekitar perahu
besar itu tidak nampak adanya perahu lain. Perahu-perahu kecil para nelayan
berada jauh dari perahu itu, dan tidak nampak gerakan mencurigakan di
sekeliling tempat itu. Sampai lama keadaan sunyi dan hati mereka semua merasa
tegang. Kesunyian itu dipecahkan suara ketawa Siauw-bin Ciu-kwi.
“Ha-ha-ha, bagus sekali!
Kiranya engkau sungguh-sungguh ingin bergabung dengan kami, Pek-liong. Akan
tetapi, mengapa engkau sampai membunuhnya? Mengapa engkau yang terkenal sebagai
rekannya, kini tiba-tiba saja demikian membencinya? Hal ini agak aneh dan
mencurigakan!” Beng-cu itu memandang kepada Pek-liong dengan pandang mata penuh
selidik.
“Pertanyaan yang tepat sekali!
Mempunyai seorang rekan dan kawan yang sehebat itu, selain ilmu kepandaiannya
tinggi, juga amat cantik jelita dan menarik hati, kenapa tiba-tiba saja
dimusuhi bahkan dibunuh? Hal ini amat mencurigakan, Beng-cu!” kata Pek I
Kongcu.
“Hi-hik, aku tahu. Jawabannya
mudah sekali. Semua laki laki memang tidak ada bedanya, Kongcu, seperti engkau
juga. Semua laki-laki mempunyai penyakit yang sama, yaitu pembosan, apa lagi
setelah bertemu dengan wanita lain yang masih baru, Pek-liong juga bosan kepada
Hek-liong-li apa lagi setelah berjumpa dengan gadis penyelam itu, kemudian
bertemu pula dengan aku di sini! Hi-hik, bukankah begitu, Pek-liong yang
tampan?”
Pek I Kongcu cemberut, dan
Pek-liong tersenyum. “Dugaan kalian semua keliru,” jawabnya. “Memang aku benci
sekali kepadanya, dan iapun benci kepadaku, akan tetapi bukan karena bosan,
melainkan karena Hek-liong-li telah mencuri pedang pusakaku!”
“Hemm......!” Siauw-bin
Ciu-kwi mengerutkan alisnya. Tentu saja dia sudah mendengar bahwa Pek-liong-eng
memiliki pedang pusaka ampuh yang disebut Pek-liong-po-kiam, dan diapun
mendengar bahwa Hek-liong-li juga memiliki pedang pusaka Hek-liong-po-kiam.
“Akan tetapi, aku melihat ia datang tanpa pedang sama sekali, bahkan pedangnya
sendiripun tidak ada dibawanya!”
Pek-liong cemberut dan menarik
napas panjang karena hatinya merasa kesal sekali. “Itulah pandainya ia
berpura-pura! Tentu ia tidak mengira bahwa aku berada di antara beng-cu dan
kawan-kawan di sini. Terjadi beberapa bulan yang lalu. Pedang itu bersamaku,
dan aku tidur di rumahnya. Tapi pada keesokan harinya, pedangku telah lenyap
dan dengan muka tebal ia tidak mengakuinya, itulah permulaan kami saling
membenci!”
“Tapi ketika engkau mula-mula
kami tangkap, engkau membanggakan Hek-liong-li yang katanya akan muncul
menolongmu!” Pek I Kongcu mendesak untuk meyakinkan hatinya yang belum mau
percaya.
Pek-liong tersenyum mengejek.
“Lalu apa yang harus kulakukan dalam keadaan tidak berdaya itu? Aku hanya
menakut-nakuti kalian. Buktinya, wanita itu begitu datang memaki-maki dan ingin
membunuhku, dan akupun membalas sehingga kini ia tenggelam dan tewas. Sudahlah,
tidak perlu lagi kita membicarakan orang yang sudah mati. Beng-cu, tadi
kukatakan bahwa hasil usahamu itu sia-sia saja kalau hanya mendapatkan sebuah
patung seperti itu. Memang berharga, akan tetapi apakah sepadan dengan jerih
payahmu? Aku yakin patung itu merupakan rahasia pula.”
“Maksudmu? Rahasia apa pula
yang terdapat pada patung emas ini?” Siauw-bin Ciu-kwi mengamati patung itu
dengan alis berkerut.
“Hal itulah yang harus kita
selidiki, Beng-cu. Coba berikan patung emas itu, biar kuperiksa.” Berkata
demikian, Pek-liong menjulurkan tangannya. Dia tersenyum melihat betapa Pek I
Kongcu dan yang lain-lain, kecuali Tok-sim Nio-cu, siap dengan senjata mereka
untuk menyerang kepadanya. Siauw-bin Ciu-kwi juga memandang kepada para
pembantunya, lalu dia tertawa dan menyerahkan patung emas itu kepada Pek-liong.
“Ha-ha-ha, kalian memang terlalu
curiga. Seorang diri saja di sini, Pek-liong tidak akan dapat berbuat sesuatu
yang bodoh. Aku mulai percaya kepadamu, Pek-liong. Nah, coba kau periksa patung
itu, siapa tahu apa yang kau katakan itu benar.”
Pek-liong menerima patung emas
itu, memandang ke sekeliling dan tersenyum menyaksikan sikap mereka, juga
tersenyum manis kepada Tok-sim Nio-cu yang tidak mencurigainya. Wanita ini
membalas senyumnya, mendekat dan menyentuh pundaknya dengan sikap manja.
“Pek-liong, aku percaya
kepadamu. Rahasia apa sih yang terdapat pada patung emas ini?”
Dengan lembut Pek-liong
melepaskan diri dari sentuhan lembut mesra itu, lalu dia menghadap Siauw-bin
Ciu-kwi, menjawab kepada wanita itu sambil lalu saja, “Untuk itu aku harus
menyelidikinya dulu.”
Dan diapun melakukan
penyelidikan. Diamati patung emas itu, ditimang-timang dan semua gerakannya
diikuti oleh Siauw-bin Ciu-kwi, dan kaki tangannya dengan penuh perhatian.
Sekali ini Pek-liong tidak bersandiwara. Dia memang benar-benar melakukan
penyelidikan, mempergunakan segala kecerdikan akalnya.
Dia memang banyak tahu tentang
barang-barang pusaka kuno dan sudah mempelajarinya, maka dari ciri-ciri
ukirannya iapun dapat menduga bahwa patung emas ini sedikitnya berusia
limaratus tahun. Ada setengah jam dia meneliti patung emas itu sehingga semua
orang mulai menjadi tidak sabar lagi.
“Bagaimana, Pek-liong?”
Siauw-bin Ciu-kwi bertanya.
“Beng-cu, pergunakanlah pedang
dan memenggal leher patung emas ini!” kata Pek-liong.
Tentu saja semua orang
terkejut. Patung emas itu merupakan sebuah benda yang langka dan amat berharga,
bukan hanya karena emasnya, melainkan karena merupakan benda pusaka kuno dengan
ukirannya yang indah dan halus. Kalau dipenggal leher patung itu, sama saja
dengan merusak dan mengurangi nilainya! Akan tetapi, Siauw-bin Ciu-kwi yang
menginginkan harta yang lebih berharga lagi, segera berkata kepada Tok-sim
Nio-cu. “Nio-cu, pergunakan pedangmu memenggal leher patung itu seperti diminta
oleh Pek-liong!”
Tok-sim Nio-cu mencabut
pedangnya dan berkata kepada Pek-liong sambil tersenyum. “Pek-liong, tidak
sayangkah patung begini indah dipenggal lehernya?”
Pek-liong menjawab. “Lakukan
saja perintah Beng-cu. Buntungnya leher patung, dengan mudah dapat diutuhkan
kembali oleh tukang emas!” Mendengar ini barulah semua orang menyadari bahwa
memang kerusakan itu dapat diperbaiki dan kalau sudah disambung kembali oleh
tukang emas yang pandai tidak akan nampak bekasnya.
Pedang di tangan Tok-sim
Nio-cu berkilat menyambar dan buntunglah leher patung itu dengan sayatan yang
rapi. Pek-liong melihat, seperti yang sudah diduga, bahwa tubuh patung itu
berlubang dan dia melihat segulung kain di dalamnya.
“Berikan patung itu kepadaku!”
Siauw-bin Ciu-kwi yang juga melihat gulungan kain itu berseru.
Pek-liong tersenyum dan menyerahkan
patung emas. Dengan tangan yang jelas nampak gemetar saking tegang dan
gembiranya, Siauw-bin Ciu-kwi mengambil gulungan kain itu dari dalam perut
patung. Segera diperiksanya gulungan kain itu, dengan sikap hati-hati agar
orang lain tidak melihat tulisan yang terdapat dalam gulungan kain. Wajahnya
berubah, matanya terbelalak dan wajahnya berseri, lalu dia tertawa
bergelak-gelak.
„Ha-ha-ha, ha-ha-ha-ha......
jasamu besar sekali, Pek-liong. Benar seperti dugaanmu, patung ini
menyembunyikan rahasia besar. Ha-ha, kalau berhasil kita temukan harta karun
ini, aku berjanji bahwa patung emas ini akan kuberikan sebagai hadiah
kepadamu!”
“Terima kasih, Beng-cu. Sudah
kuduga bahwa bekerja sama denganmu memang menguntungkan sekali!”
Siauw-bin Ciu-kwi menyimpan
gulungan kain itu ke dalam jubahnya, lalu memandang kepada semua pembantunya
dan berkata dengan suara berwibawa. “Mulai saat ini, Pek-liong menjadi
pembantuku yang utama. Kalian tidak boleh mengganggunya! Peta rahasia Patung
Emas yang ditemukan di dalam patung ini amat penting. Kalian tidak usah tahu
dan ikuti saja aku untuk mendapatkan harta karun yang tak ternilai besarnya.
Jangan khawatir, setelah harta karun itu berada di tanganku, kalian tentu akan
memperoleh bagian masing-masing.”
Setelah berkata demikian,
tiba-tiba beng-cu itu memandang kepada Pek-liong dan berkata dengan suara
lantang.
“Pek-liong, jasamu besar
sekali. Akan tetapi aku masih merasa heran, bagaimana engkau dapat menduga
bahwa di dalam patung terdapat rahasianya. Hayo ceritakan agar menambah
pengertian rekan-rekanmu yang berada di sini, agar lain kali mereka mencoba
menggunakan otak, jangan hanya pandai menggunakan hati dan tangan kaki saja!”
Pek-liong tersenyum dan
memandang kepada para tokoh pembantu lainnya, sengaja berlagak tinggi hati
untuk membuat hati mereka merasa tidak senang.
“Ah, Beng-cu, sesungguhnya
tidak sukar untuk menduga hal itu kalau saja kita mau mempergunakan akal
pikiran kita. Melihat betapa penuh rahasia peta yang menunjukkan di mana adanya
patung emas itu, dan betapa patung itu disimpan di dasar telaga, maka tidak
mungkin kiranya kalau yang disembunyikan itu hanya sebuah patung emas sekecil
itu. Tentu ada barang lain yang jauh lebih berharga, yang rahasianya berada di
patung itu.
“Ketika aku menerima patung
itu, maka dugaanku semakin kuat. Patung itu ringan saja, berarti di dalamnya
berlubang, tidak seperti patung emas lainnya. Kalau pembuat patung emas membuat
dalamnya berlubang, hal ini hanya dengan satu maksud, yaitu untuk menyimpan
suatu benda yang teramat penting, yang jauh lebih berharga dari pada nilai
patung itu sendiri.
“Pula, setelah mengamati
secara teliti aku melihat ada guratan aneh pada leher patung, jelas itu
merupakan tanda bahwa leher itu sambungan dan dikerjakan kurang cermat. Maka,
sudah bulatlah dugaanku bahwa di dalam perut patung yang berlubang itu tentu
disembunyikan benda yang amat berharga.”
“Ha-ha-ha, hebat sekali! Bagus
sekali, kiranya engkau tidak hanya lihai ilmu silatmu, akan tetapi juga amat
cerdik pikiranmu. Aku girang sekali dapat bekerja sama denganmu, Pek-liong.”
“Dan aku juga gembira sekali
dapat membantumu, Beng-cu.”
“Dan akupun gembira kalau
dapat menjadi pacarmu yang baru, Pek-liong!” kata Tok-sim Nio-cu genit.
“Nah, kalian lihat! Baru saja
membantuku, jasa Pek-liong sudah jauh lebih besar dari pada jasa kalian selama
ini! Maka dalam mengambil harta karun ini, kalian harap bekerja keras sehingga
kalian pantas memperoleh bagian!”
Perahu besar lalu digerakkan
menuju ke pantai, dan kini Pek-liong ikut mendaki Bu- kit Merak, menuju ke
sarang yang dipergunakan oleh Siauw-bin Ciu-kwi. Sekali ini bukan lagi sebagai
tawanan, melainkan sebagai pembantu Siauw-bin Ciu-kwi.
Namun, Pek-liong yang cerdik
itu maklum bahwa sikap dan semua ucapan Siauw-bin Ciu-kwi kepadanya itu masih
palsu, dan dia tahu bahwa diam-diam Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya
mengamati semua gerak geriknya. Dia harus berhati-hati sekali!
◄Y►
“Keparat! Tan Cin Hay itu
sungguh jahat dan kejam bukan main!” Berulang kali Kam Sun Ting mengomel
panjang pendek mencaci maki Pek-liong ketika dia bersama adiknya menyeret tubuh
Liong-li yang lemas di balik tumbuh-tumbuhan teratai menuju ke perahu kecil
mereka di tempat yang agak jauh.
“Ih, sudahlah, koko. Sudahi
saja caci makimu yang tidak baik itu dan lebih baik kita memperhatikan keadaan
li-hiap ini. Mari cepat bawa ia ke perahu!” Cian Li mencela kakaknya, hatinya
merasa tidak enak mendengar kakaknya mencaci-maki Pek-liong.
Biarpun ia sendiri merasa
kecewa melihat ulah Pek-liong, namun hatinya masih tidak rela membiarkan
kakaknya mencaci maki seperti itu di depannya. Mereka lalu berenang dengan
cepat setelah jauh dari perahu besar sehingga tidak kelihatan lagi dan tak lama
kemudian, mereka sudah mengangkat tubuh Liong-li ke atas perahu.
“Li-moi, cepat dayung perahu
ini ke daratan yang sunyi, aku akan mencoba merawat dan menyadarkan
Liong-lihiap!” kata Sun Ting, khawatir melihat wajah pendekar wanita itu pucat
dan matanya terpejam, akan tetapi perutnya tidak menggembung.
Dia memang sudah siap siaga.
Sebelumnya telah diatur oleh pendekar wanita itu, yaitu dia disuruh membantu
adiknya agar Cian Li dapat berhasil dan selamat. Dan dia dipesan agar bersama
Cian Li siap di bawah permukaan air, bernapas melalui batang alang-alang yang
berlubang, dan menanti di situ, siap menolong kalau ia sampai terpaksa meloncat
ke air. Maka, dia dan adiknya dapat melihat perkelahian antara Pek-liong dan
Liong-li tadi, melihat pula betapa Liong-li meloncat ke air dan terkena
samba-an pisau.
Sun Ting mengajak adiknya
menyelam dan tepat seperti yang sudah direncanakan oleh Liong-li, mereka berdua
menyeret tubuh Liong-li ke bawah air sehingga tidak nampak oleh orang-orang di
dalam perahu pendekar wanita itu timbul kembali. Mereka menyelam dan berenang
di dalam air, lalu bersembunyi di balik tumbuhan teratai yang lebat, dan sambil
bersembunyi, perlahan-lahan mereka berenang di balik tumbuhan itu menuju ke
perahu yang cukup jauh dari situ. Yang membuat Sun Ting khawatir adalah karena
Liong-li sejak tadi pingsan dan ada pisau menancap di pinggulnya sebelah kanan.
Sun Ting tidak berani mencabut
pisau itu, dan melihat betapa Liong-li pingsan dan pucat, bahkan napasnya
hampir tidak ada, dalam kepanikannya, dia lalu membuka mulut pendekar wanita
itu dan menutup mulut itu dengan mulutnya sendiri lalu meniup sekuatnya untuk
membantu paru-paru gadis perkasa itu. Pada saat dia melakukan perawatan itu,
sedikitpun tidak ada perasaan apapun di hatinya kecuali ingin menyelamatkan
Liong-li, tidak timbul kemesraan atau nafsu walaupun diam-diam dia sudah jatuh
cinta kepada pendekar wanita itu.
Akhirnya, setelah melakukan
perawatan itu beberapa kali, Liong-li gelagapan, membuka matanya dan melihat
betapa pemuda penyelam itu meniup melalui mulutnya, dengan lembut ia mendorong
dada pemuda itu, lalu berbatuk-batuk.
“Cukup...... aduhh......!
Ketika ia miringkan tubuhnya, baru terasa olehnya bahwa ada pisau menancap di
pinggul kanannya. Dirabanya pinggul itu.
“Sun Ting, cepat ambilkan
buntalan obat, dalam buntalan pakaianku itu buntalan kuning......”
Sun Ting membuka buntalan
pakaian Liong-li yang memang ditinggalkan di perahu itu, dan mengambilkan
sebuah buntalan kuning kecil. Ketika buntalan ini dibukanya, maka terisi
bubukan kuning yang amat halus.
“Sun Ting, akan kucabut pisau
ini, lalu kau robek kain yang menutupi pinggul yang luka, taburkan obat itu di
atas luka, pergunakan jarimu untuk menekan-nekan agar obat itu masuk ke dalam
lukanya,” Liong-li lalu mencabut pisau itu yang ternyata masuk sedalam satu
jari panjang.
Darah keluar dari luka di
pinggul itu dan Sun Ting merobek celana yang menutupi pinggul. Dengan
tekanan-tekanan jarinya pada jalan darah tertentu, pendarahan itu berhenti dan
Liong-li menyuruh pemuda itu menaburkan obat bubuk kuning halus. Sun Ting
menaburkan obat dan menekan-nekan obat ke dalam luka. Juga dia tidak merasakan
apa-apa melihat pinggul yang putih mulus dan halus di depan matanya itu, karena
yang teringat olehnya hanyalah bahwa gadis perkasa itu terluka parah.
“Biarkan dulu sampai obat yang
berada di luar luka mengering, jangan ditutupi bagian yang terluka itu,” kata
Liong-li, kemudian kepada Cian Li ia berkata, “Adik manis, tolong kauambilkan
dua batang pedang yang kuikat di bawah perahu ini.”
Tadi sebelum ia dan Sun Ting
meninggalkan perahu, Liong-li yang selalu berhati-hati itu menyembunyikan
sepasang pedang pusaka, yaitu Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam di bawah
perahu.
Cian Li mengangguk dan tanpa
banyak cakap lagi ia sudah menghentikan perahu dan menyelam. Tak lama kemudian
ia sudah muncul kembali membawa dua batang pedang yang amat ampuh itu.
“Sekarang, dayunglah perahu ke
pantai yang sunyi, aku harus memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya.
Pek-liong masih berada dengan mereka dan aku tahu bahwa keselamatannya masih
terancam hebat.”
Sun Ting mengepal tinjunya
dengan gemas. “Ah, lihiap, mengapa masih memikirkan orang jahat itu? Dia telah
berubah menjadi seorang penjahat keji! Sungguh tidak tahu malu, dia telah
melukaimu dengan curang......”
“Tepat seperti yang
kukehendaki, Sun Ting. Memang Pek-liong seorang yang cerdik luar biasa dan dia
dapat membaca setiap isi hati dan pikiranku. Untung dia berlaku cepat dan dapat
melukai pinggulku, kalau tidak tentu mereka akan semakin mencurigainya.
Mudah-mudahan saja pengorbanan pinggulku ini tidak sia-sia!”
Tentu saja kakak beradik itu
terbelalak memandang kepada pendekar wanita itu. “Lihiap......! Apa maksudmu?
Benarkah bahwa Tan-taihiap tidak berkhianat, tidak bersekutu dengan penjahat
dan dengan kejam sekali telah melukaimu?”
Pendekar wanita itu masih
menelungkup. Pinggulnya terbuka dan bukit pinggul itu menjulang ke atas, indah
bentuknya dan putih mulus kemerahan. Ia menggeleng kepalanya sambil tersenyum.
“Sama sekali tidak! Sampai
dunia kiamat, Pek liong tidak akan mengkhianati aku, dan tidak akan sudi
menjadi kaki tangan penjahat.”
“Akan tetapi, lihiap! Bukankah
tadi dia memaki-makimu dengan kata-kata kotor, bahkan lalu menyerangmu? Dia
sudah mengaku dengan lantang bahwa dia ingin bekerja sama dengan Siauw-bin
Ciu-kwi untuk mendapatkan bagian harta karun. Bahkan dia telah memakimu dengan
kata-kata kotor, menuduhmu secara keji dan......”
Liong-li mengangkat tangannya
unluk menutupi mulut Sun Ting yang agaknya hendak memaki itu, dan ia tersenyum.
“Kalian adalah dua orang muda yang berjiwa bersih dan polos, tentu saja tidak mengerti
akan sepak terjang kami berdua. Menghadapi para penjahat keji dan lihai seperti
mereka, kita harus mempergunakan siasat pula.”
“Akan tetapi, lihiap. Kalau
taihiap tidak ingin bekerja sama dengan mereka, tadi dia dapat bersama lihiap
meloncat ke air dan kami berdua yang akan mampu melarikan kalian dengan
selamat. Kenapa dia tinggal di perahu itu?” Cian Li juga membantah, merasa
penasaran dan khawatir karena pendekar yang dikaguminya itu kini masih berada
bersama para penjahat keji itu.
“Tadinya aku memang bermaksud
untuk membebaskan engkau dan dia, adik manis. Akan tetapi ketika aku mendengar
ucapan Pek-liong kepadamu, ucapan keras yang sengaja dia keluarkan agar aku
dapat mendengarnya, bahwa dia ingin bekerja sama dengan Beng-cu untuk mendapat
bagian harta karun, aku tahu akan rencananya. Maka, aku harus bersandiwara
sesuai dengan rencananya agar dia berhasil.
“Aku harus berusaha agar dia
dapat diterima oleh gerombolan penjahat itu dan dipercaya. Ketika dia melukai
aku dengan pisau dan aku jatuh ke air terus kelihatan tenggelam dan tewas,
tentu dia diterima dengan gembira oleh Beng-cu, bahkan mungkin menjadi orang
kepercayaannya!”
“Ah, kalau begitu......
Tan-taihiap tadi.... dan lihiap, hanya bermain sandiwara saja? Semua itu
merupakan siasat ji-wi (kalian) agar Tan-taihiap dapat dipercaya dan diterima
sebagai sekutu gerombolan penjahat itu?” tanya Sun Ting dengan muka merah,
teringat betapa tadi dia telah memaki-maki Pek-liong.
“Sudah jelas begitu masih
bertanya lagi!” Cian Li berkata dengan mulut cemberut. “Dasar engkau yang tidak
mengenal budi orang, koko, belum apa-apa sudah mencela dan memaki-maki!”
“Ah, ah...... aku menyesal
sekali..... akan tetapi siapa tahu bahwa mereka itu bersandiwara? Melihat
betapa lihiap benar-benar terluka oleh pisau, siapa mengira bahwa hal itu
disengaja?” Sun Ting membela diri.
Liong-li tersenyum. “Sudahlah,
bukan salah Sun Ting. Memang bagi orang lain, kami berdua sukar dimengerti.
Serahkan saja kepada kami berdua untuk menghadapi gerombolan penjahat yang amat
lihai itu.”
“Tapi...... tapi, lihiap.
Mengapa taihiap harus menyerahkan diri, harus menjadi sekutu mereka walaupun
hanya berpura-pura? Mengapa pula lihiap harus mengorbankan diri seperti ini?
Apa perlunya bekerja sama dengan para penjahat itu?”
“Tentu ada alasannya bagi
Pek-liong untuk berbuat demikian. Hanya dia yang mengetahui dan aku hanya
melengkapi peranannya saja. Tentu ada hal yang amat penting, teramat penting
bagi kami berdua maka dia memainkan sandiwara itu. Karena itu, kita harus
waspada dan di darat, kalian tidak mungkin dapat membantu kami. Kepandaian
kalian jauh dari pada cukup untuk melawan mereka.
“Kalau kalian membantu, bahkan
kalian akan melemahkan kami, karena kami harus melindungi kalian. Belum lagi
kalau kalian ditawan dan dijadikan sandera, memaksa kami untuk menyerah. Kalian
tunggu saja di tepi telaga. Kalau kalian melihat perahu mereka berlayar baru
kalian boleh membayangi dari jauh, apa lagi kalau melihat ada Pek-liong di
perahu itu. Kalian siap sedia untuk menolong kalau kami sampai membutuhkan
pertolongan di air, seperti keadaanku tadi. Mengerti?”
“Baik, enci,” kata Sun Ting
dan kembali dia menyebut enci, hal ini menandakan bahwa ketegangan telah lewat
dan dia kembali bersikap mesra, “Akan tetapi, engkau masih terluka......”
“Aku akan beristirahat di
perahu ini. Dalam waktu beberapa jam saja luka ini akan mengering dan aku akan
dapat melakukan penyelidikan di Bukit Merak. Kuyakin bahwa tentu Pek-liong
diajak ke sana oleh mereka.”
Tiba-tiba Cian Li mengepal
tinju dan mukanya berubah marah. “Sayang aku tidak berhasil membuat perempuan
laknat itu mati tenggelam!”
Ia teringat kepada Tok-sim
Nio-cu dan merasa cemburu, apa lagi mengingat bahwa kini Pek-liong menjadi
sekutu mereka. Tentu hal ini akan dipergunakan sebagai kesempatan baik oleh
perempuan genit itu untuk memikat hati Pek-liong.
Liong-li tersenyum. Ia dapat
membaca jalan pikiran gadis penyelam yang manis itu, dan sambil mengamati wajah
dan tubuh orang ia berkata, “Jangan khawatir, adik manis. Aku mengenal benar
siapa Pek-liong. Dia tidak akan mudah jatuh oleh rayuan segala macam wanita
macam si genit itu. Aku tahu selera Pek-liong. Gadis seperti engkau inilah
kiranya akan memenuhi seleranya!”
Mendengar ucapan pendekar
wanita ini, seketika wajah Cian Li tersipu malu dan ketika perahu tiba di tepi
yang sunyi, ia lalu meloncat ke darat dan menalikan tali perahu pada sebatang
pohon. “Aku akan mencari kayu kering pembuat api unggun,” katanya dan iapun
pergi.
Sun Ting masih duduk menjaga
di dekat Liong-li yang masih menelungkup. Dengan penuh rasa iba dan sayang, dia
memandang bukit pinggul yang terluka itu. Obat bubuk kuning itu nampak telah
membuat luka itu mengering, akan tetapi di sekeliling luka itu masih nampak
betapa kulit yang halus mulus itu kemerahan.
“Enci, sakit benarkah rasanya
pinggulmu......?” tanya Sun Ting lirih dan seperti otomatis, jari-jari
tangannya mengelus-elus sekeliling luka, seolah-olah dengan jari jari tangannya
dia ingin mengusir perasaan nyeri yang ada. Mendengar pertanyaan itu dan merasa
betapa jari-jari tangan itu mengelus lembut, Liong-li merasa bulu tengkuknya
meremang.
“Ah, tidak berapa nyeri, Sun
Ting. Sebentar lagi tentu sembuh. Setelah cuaca gelap nanti, aku akan pergi
menyelidik ke Bukit Merak.”
Sun Ting tidak menjawab,
tangannya masih mengelus bukit pinggul itu di sekeliling luka. “Enci, bukit
pinggulmu indah sekali bentuknya, dan putih mulus......” katanya lirih.
Liong-li merasa betapa
jantungnya berdebar, maka ia lalu berkata cepat, “Lepaskan tanganmu, Sun Ting.
Aku akan duduk, tutupkan selimut itu pada pinggulku, lukanya sudah mengering.”
Biarpun dengan lambat, seolah
merasa tidak rela pinggul itu ditutupi Sun Ting melakukan perintah itu dan
sambil tersenyum Liong-li berkata kepadanya. “Engkau perayu nakal! Tugas masih
bertumpuk untuk kita, belum waktunya bersenang-senang. Nah, bantulah adikmu
mengumpulkan kayu kering, dan coba cari makanan karena sebelum pergi, aku ingin
makan dulu. Cepat pergi, jangan bengong saja, aku hendak berganti pakaian!”
Sun Ting meloncat ke darat dan
setelah melangkah belasan kaki dia menengok. Dia melihat betapa pendekar wanita
itu telah menanggalkan pakaiannya! Kalau menurut dorongan nafsunya, ingin dia
membalikkan tubuh dan menikmati penglihatan itu, akan tetapi kesopanan
memaksanya cepat membuang muka dan melanjutkan langkahnya.
Liong-li melihat semua ini dan
iapun tersenyum. Seorang pemuda yang amat baik, dan amat menyenangkan, pikirnya
dan kedua pipinya berubah merah, lesung pipitnya bermain di kanan kiri
bibirnya. Iapun cepat berganti pakaian kering, pakaian serba hitam yang ringkas
dan menyelipkan sepasang pedang pusaka di punggung.
Dengan cepat dibereskannya
rambutnya yang tadi basah dan awut-awutan. Disisirnya rapi dan digelung ke
atas, diikat saputangan sutera merah dam ditusuk dengan tusuk konde perak
berbentuk seekor naga kecil. Ia mengenakan sepatunya yang tadi dilepas di dalam
perahu kecil, dan lengkaplah sudah ia, siap untuk melakukan penyelidikan, siap
untuk bertempur!
Kakak beradik itu datang
membawa kayu kering yang cukup, dan Sun Ting membawa pula tiga ekor ikan yang
tadi didapatnya dengan menjala di tepi telaga. Mereka lalu duduk memghadapi api
unggun dan ketika matahari mulai tenggelam di barat, mereka makan panggang
ikan.
Setelah cuaca mulai gelap,
pergilah Liong-li meninggalkan kakak beradik itu di tepi telaga. Dengan tenang
Liong-li melakukan perjalanan menuju ke Bukit Merak setelah mendapat petunjuk
dari Sun Ting tentang letak Bukit Merak. Malam itu kebetulan bulan purnama,
maka setelah bulan muncul, pendekar wanita ini dapat melakukan perjalanan tanpa
banyak kesukaran.
Sun Ting dan adiknya lalu
kembali ke dusun mereka di luar kota Nan-cang. Mereka mengumpulkan pakaian dan
perbekalan di rumah mereka yang sudah diaduk-aduk oleh para penjahat ketika
mereka mencari peta dahulu itu. Malam itu mereka bermalam di rumah sendiri,
baru pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka kembali ke telaga, mendayung
perahu mereka dan mulai dengan pengamatan mereka kalau-kalau ada perahu
penjahat berlayar. Akan tetapi, sehari itu mereka tidak melihat ada perahu
penjahat, tidak melihat pula bayangan Pek-liong maupan Liong-li sehingga
diam-diam hati kedua orang kakak beradik ini diliputi penuh kekhawatiran.
◄Y►
Di bawah sinar bulan purnama,
Liong-li mendaki Bukit Merak. Ia menduga bahwa sarang penjahat itu tentu tidak
semudah itu didaki orang. Tentu di sana terkandung banyak perangkap dan juga
terdapat para penjaga. Dugaannya memang benar. Beberapa kali dia berhadapan
dengan perangkap-perangkap, seperti lubang jebakan yang ditutup rumput,
tali-tali yang kalau tersangkut kaki menurunkan jala atau membuat tombak dan
anak panah datang berhamburan dari kanan kiri.
Namun, Liong-li adalah seorang
wanita perkasa yang amat cerdik dan sudah banyak pengalamannya, maka ia selalu
berhati-hati dan setiap kali melihat ketidakwajaran di depan, ia selalu menguji
keamanan tempat itu dengan lemparan kayu atau batu. Maka, tak pernah ia
terperosok ke dalam jebakan atau terserang senjata rahasia yang dipasang di
jalan menuju ke sarang penjahat di lereng Bukit Merak.
Ketika ia melalui daerah yang
penuh pohon sehingga di bawah pohon terlalu gelap dan terlalu berbahaya untuk
dilalui, Liong-li lalu mempergunakan kepandaiannya dan iapun meloncat ke atas
pohon, kemudian bagaikan seekor tupai saja, ia berloncatan dari pohon ke pohon,
menuju ke lereng di mana sudah nampak sinar-sinar lampu dari perkampungan
penjahat.
Dan perhitungannya memang
tepat. Setelah ia melalui jalan atas di antara pohon- pohon, ia tidak pernah
berhadapan dengan perangkap lagi. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Siauw-bin
Ciu-kwi jauh lebih cerdik dari pada yang disangkanya. Biarpun tidak dipasangi
perangkap, namun di luar kesadarannya, ketika ia berloncatan dari pohon ke
pohon, kakinya menyangkut dan membikin putus tali halus yang berhubungan dengan
tanda bahaya yang dipasang di rumah tinggal Siauw-bin Ciu-kwi!
Beng-cu kaum penjahat ini tahu
bahwa ada tamu tak diundang datang berkunjung malam itu. Dia dapat menduga
bahwa tamu yang datang melalui pohon-pohon sudah pasti bukan kawan, maka cepat
dia memanggil para pembantunya.
“Ada musuh datang, entah
berapa orang banyaknya. Mereka lihai, datang berkunjung melalui pohon-pohon.
Cepat kalian hadang dan robohkan mereka, hidup atau mati!”
Siauw-bin Ciu-kwi merasa
khawatir sekali setelah peta rahasia dari Patung Emas berada di tangannya. Dia
merahasiakan isi peta itu dari para pembantunya, bahkan Tok-sim Nio-cu yang
merupakan pembantu utamanya, juga pacarnya pun tidak diberitahu. Hanya siang
tadi dia memerintahkan Po-yang Sam-liong untuk mengumpulkan bantuan tenaga
kasar sebanyak limapuluh orang.
Tak seorangpun di antara para
pembatunya dapat menduga untuk apa beng-cu mereka membutuhkan tenaga kasar
sebanyak limapuluh orang itu. Po-yang Sam-liong diberi tugas itu karena mereka
adalah tokoh-tokoh di sekitar daerah Telaga Po-yang sehingga tentu akan lebih
mudah mengumpulkan orang-orang yang dapat dipercaya. Mereka akan diberi gaji
besar, demikian beng-cu berjanji. Untuk mengumpulkan limapuluh orang, Po-yang
Sam-liong minta waktu selama tiga hari.
Demikianlah, sambil menanti
orang-orang yang dikumpulkan Po-yang Sam-liong, Siauw-bin Ciu-kwi selalu
berhati-hati dan memesan para pembantunya untuk berjaga-jaga. Diam-diam diapun
membisiki para pembantu lama untuk mengamati sepak terjang dan gerak-gerik
Pek-liong walaupun pada lahirnya Pek-liong seolah-olah sudah dianggap sebagai
seorang pembantu yang dipercaya pula.
Malam itu, ketika Beng-cu
memanggil mereka dan memberitahu adanya musuh yang datang berkunjung, Pek-liong
juga mendapat tugas untuk menyambut musuh.
PARA pembantu itu lalu berpencar,
memimpin anak buah Beng-cu yang berjumlah belasan orang. Tok-sim Nio-cu pergi
bersama Lim-kwi Sai-kong karena Beng-cu tidak memperbolehkan ia bersama
Pek-liong. Pek-liong ditemani Hek-giam-ong Lok Hun, sedangkan Pek I Kongcu
memimpin beberapa orang anak buah. Mereka berpencar dan masing-masing membawa
sebuah sempritan terbuat dari bambu untuk memberi tanda kepada kawan-kawan
kalau mereka bertemu bahaya atau bertemu musuh.
“Kita menghadang musuh dari
sini!” kata Pek-liong kepada Hek-giam-ong Lok Hun. Mendengar ajakan ini,
Hek-giam-ong mengerutkan alisnya dan matanya berkilat.
“Hemm, tidak akan ada musuh
berani datang melalui padang rumput yang diterangi sinar bulan seperti itu. Dia
pasti muncul dari semak belukar atau hutan!”
“Hek-giam-ong, bukankah tadi
Beng-cu menyuruh engkau membantu aku? Itu berarti bahwa aku yang menjadi
pimpinan dan aku yang bertanggung jawab. Engkau tinggal mematuhi saja. Mari!”
Pek-liong lalu melompat ke depan, menuju ke padang rumput yang berada di
sebelah kiri.
Si tinggi kurus muka hitam itu
mengeluarkan suara mengomel, akan tetapi dia tidak berani membantah karena tadi
memang dia yang harus membantu Pek-liong, dan Beng-cu tentu akan marah kalau
dia tidak mentaati Pek-liong. Biarlah, pikirnya, yang akan bertanggung jawab
adalah Pek-liong! Sambil bersungut-sungut dan memanggul ruyungnya yang berat,
diapun mengejar di belakang Pek-liong yang membawa sebatang pedang yang
dipinjamnya dari ruangan belajar silat.
Tentu saja hanya Pek-liong
yang sudah hafal akan kebiasaan Liong-li. Demikian pula Liong-li tahu bahwa
Pek-liong akan dapat menduga cara yang dipergunakannya. Pek-liong tahu bahwa
Liong-li cerdik sekali.
Tamu malam biasa, tentu akan
melakukan seperti yang dikatakan atau diduga oleh Hek-giam-ong tadi, yaitu
datang berkunjung melalui tempat-tempat gelap yang terlindung semak-semak atau
pohon-pohon. Akan tetapi justeru kebiasaan tamu malam ini dijauhi oleh
Liong-li. Wanita perkasa itu tentu akan memilih keadaan sebaliknya sehingga
tidak akan mudah diduga lawan. Ia tentu akan mengambil jalan yang melalui
padang rumput itu.
Ketika mereka tiba di padang
rumput yang rumputnya tebal dan subur itu, mereka berdua memandang dan tidak
melihat ada bayangan orang di sana. Sinar bulan sepenuhnya menyinari padang
rumput yang tidak ada pohonnya itu dan suasana sunyi, namun pemandangan amatlah
indahnya.
Padang rumput itu nampak hijau
kekuningan, segar dan angin semilir membuat ujung-ujung rumput bergoyang-goyang
seperti sekelompok penari. Namun tidak kelihatan ada orang di situ. Tiba-tiba
Pek-liong berteriak dengan lantang.
“Musuh yang bersembunyi di
sana! Cepat keluar memperlihatkan diri sebelum kami terpaksa menyerang dengan
senjata rahasia kami!”
Hek-giam-ong sudah hampir
tertawa, mentertawakan Pek-liong yang dianggap tolol itu ketika tiba-tiba dari
tengah padang rumput itu berkelebat bayangan hitam yang tadinya bertiarap
sehingga tidak nampak di antara rumput yang tebal dan tinggi. Begitu melompat,
bayangam hitam itu sudah langsung saja menerjang ke arah Hek-giam-ong yang bersenjata
ruyung karena si tinggi kurus muka hitam ini yang. terdekat dengannya.
Hek-giam-ong terkejut bukan
main. Di bawah sinar bulan purnama, dia tidak dapat melihat dengan jelas
keadaan musuh yang bergerak amat cepatnya itu, akan tetapi yang diketahuinya adalah
bahwa lawan ini berpakaian serba hitam dari kepala sampai mukanya dikerodongi
kain hitam pula, hanya memperlihatkan sepasang mata yang mencorong mengerikan!
Dia cepat menggerakkan ruyungnya menangkis,
“Trangggg......!” Pedang di
tangan orang itu terpental dan hampir terlepas. Orang itu terkejut sekali dan
meloncat untuk melarikan diri. Pada saat itu, Pek-liong sudah menyambitkan
pedangnya sambil berseru nyaring.
“Engkau hendak lari ke mana?”
Pedang di tangannya meluncur ke arah tubuh hitam yang melarikan diri itu.
“Aduhhhh......!” Orang
berkedok itu berteriak dengan suara parau dan tubuhnya terus berloncatan jauh
ke depan sambil membawa pedang yang dilemparkan Pek-liong tadi, yang agaknya
menancap di tubuhnya!
Pek-liong dan Hek-giam-ong
mengejar, akan tetapi orang itu sudah menghilang ke dalam hutan terdekat yang
gelap. Hek-giam-ong menjadi bingung karena tidak tahu harus mengejar ke mana.
Pada saat itu, terdengar suara sempritan nyaring sehingga mengejutkan
Hek-giam-ong.
Kiranya sempritan itu dibunyikan
oleh Pek-liong yang terus mengejar ke depan. Baru Hek-giam-ong teringat dan
diapun meniup sempritan yang berada di kantungnya. Sebentar saja, mereka semua
telah ikut mengejar ke situ. Tok-sim Nio-cu bersama Lim- kwi Sai-kong, dan Pek
I Kongcu bersama belasan orang anak buah.
“Kami bertemu dengan seorang
musuh!” kata Hek-giam-ong sambil mengamang-amangkan ruyungnya.
“Dia lari ke depan! Kejar!”
kata Pek-liong mendahului dan mereka semua melakukan pengejaran. Akan tetapi,
sampai jauh mereka mengejar dan memeriksa, ternyata si kedok hitam itu lenyap
tanpa meninggalkan bekas.
“Dia sudah terluka terkena
sambitan pedangku!” kata Pek-liong penasaran.
“Dia tidak berapa lihai.
Sekali tangkis dengan ruyungku, pedangnya hampir terlepas dari tangannya, dia
lari dan disambit pedang oleh Pek-liong. Jelas sambitan itu mengenai sasaran
karena dia mengaduh, akan tetapi masih mampu melarikan diri!” kata Hek-giam-ong
membanggakan kemenangannya.
Karena mereka tidak berhasil
menemukan Musuh itu, mereka lalu kembali ke markas untuk melaporkan hal itu
kepada Siauw-bin Ciu-kwi. Beng-cu ini mengerutkan alisnya.
“Jaga yang ketat. Ingatlah
bahwa kita memiliki benda yang amat berharga, yang perlu dijaga siang malam
dengan ketat. Jangan khawatir, bagian kalian kelak akan dapat kalian pergunakan
untuk selama hidup!”
Ucapan itu tentu saja
menggembirakan hati para pembantunya, dan Pek-liong berkata,
“Harap Beng-cu jangan
khawatir. Selama ada aku di sini tidak ada seorangpun musuh yang akan dapat
mengganggu!”
Biasanya, yang membenci
Pek-liong adalah Hek-giam-ong dan Pek I Kongcu. Kini, Hek-giaam-ong diam saja
karena tadi dia sudah membuktikan kebenaran pendapat Pek-liong. Hanya Pek I
Kongcu yang berkara lirih.
“Hemm, jangan menyombongkan
diri dulu, Pek-liong. Kesanggupanmu itu haruslah kita lihat dulu buktinya.”
Pek-liong tersenyum. “Mari
kita berlumba, Pek I Kongcu, berlumba untuk membuat jasa. Yang jelas saja, aku
sudah berhasil membunuh Hek-liong-li dan baru saja melukai seorang mata-mata
musuh.”
“Hemm, hal itupun harus dibuktikan
dulu, Pek-liong. Tidak ada bukti bahwa Hek-liong-li telah tewas, dan siapa tahu
tamu tak diundang yang muncul tadi adalah Hek-liong-li!”
Pek-liong menyembunyikan
perasaan kagetnya. Diam-diam dia memuji kecerdikan tokoh sesat yang tampan ini
dan dia harus berhati-hati karena orang ini ternyata lihai dan cerdik. Akan
tetapi, dia mendapatkan bantuan dari Hek-giam-ong yang tidak secerdik Pek I
Kongcu.
”Ah, tidak mungkin kalau orang
tadi Hek-liong-li. Bukankah ia telah terluka oleh sambitan pisau dan jelas
nampak ia tenggelam dan air telaga mengandung darah? Dan kalau orang tadi
Hek-liong-li, masa sekali tangkis saja aku dapat membuat ia melarikan diri?”
“Sudahlah, jangan kalian
ribut-ribut. Yang penting adalah bekerja sama untuk menjaga agar jangan sampai
ada musuh menyelundup masuk. Kita berjaga dan menanti sampai Po-yang Sam-liong
kembali membawa tenaga yang kubutuhkan,” kata Siauw-bin Ciu-kwi dan para
pembantunya tidak berani ribut-ribut lagi.
Pek-liong maklum bahwa biarpun
nampaknya dia diberi kebebasan oleh Siauw-bin Ciu-kwi, namun beng-cu itu masih
belum percaya sepenuhnya kepadanya dan para pembantu yang lihai dari beng-cu
itu selalu mengamati gerak-geriknya. Maka diapun tidak mau melakukan sesuatu
yang mencurigakan dan kalau tidak sedang bertugas jaga, dia berdiam saja di
dalam kamarnya.
Malam itu, ketika dia sedang
beristirahat di kamarnya, pintu kamarnya diketuk perlahan dari luar. Pek-liong
membuka daun pintu kamarnya dan Tok-sim Nio-cu menyelinap masuk tanpa permisi
lagi. Bagi wanita ini, ia tidak perduli kamar pria mana yang akan dimasukinya,
dan iapun tidak perduli apakah ada orang lain melihat ia memasuki kamar
Pek-liong!
Pek-liong mengerutkan alisnya,
akan tetapi wanita itu telah duduk di tepi pembaringannya. Diapun duduk di atas
kursi dan bertanya dengan suara tenang.
“Tok-sim Nio-cu, ada keperluan
apakah engkau datang mengunjungi aku!?” Dengan ha-lus dia lalu mengusirnya.
“Aku ingin beristirahat, kalau ada perlu, cepat katakan dan tinggalkan aku.”
Tok-sim Nio-cu tersenyum
manis. Ia tidak bangkit, bahkan lalu merebahkan diri telentang dengan gaya yang
memikat sekali.
“Aih, Pek-liong. Apa salahnya
kalau aku menemanimu beristirahat di sini? Aku kesepian dan hawa malam ini
dingin sekali. Mari, naiklah ke sini, Pek-liong, dan aku akan membuat engkau
senang!”
Pek-liong bangkit berdiri.
Tentu saja dia sudah mengenal wanita macam apa adanya Tok-sim Nio-cu ini.
Seorang wanita cabul, gila lelaki, hamba nafsu berahinya sendiri dan selalu
menggoda pria yang menarik hatinya.
“Tok-sim Nio-cu, dengar
baik-baik! Aku juga bukan seorang perjaka yang bersih dan alim, akan tetapi
ketahuilah bahwa aku datang ke sini bukan untuk bermain gila denganmu! Aku
datang ke sini untuk mencari keuntungan, untuk mendapatkan bagian dari harta
karun!” Lalu ditambahkannya dengan tekanan mantap, “Dan terus terang saja,
sebagai wanita engkau tidak menarik hatiku dan minatku!”
Tok-sim Nio-cu mengerutkan
alisnya dan pandang matanya jelas membayangkan kemarahan dan kekecewaan, akan
tetapi segera ia menutupi semua itu dengan senyum. “Pek-liong, engkau datang
untuk mencari harta karun, bukan? Mengapa harus menerima bagian sedikit saja
dari Beng-cu? Alangkah senangnya kalau kita berdua bisa mendapatkan seluruhnya,
dibagi dua saja antara kita!”
Pek-liong terkejut, akan tetapi
kecerdikannya bekerja. Dia melihat perbedaan, bahkan sikap yang sebaliknya dari
tadi Tok-sim Nio-cu berusaha merayunya, itu adalah Tok-sim Nio-cu yang
sebenarnya, yang sudah menjadi gila oleh nafsunya sendiri. Akan tetapi yang
kedua ini, sikap yang amat berbeda ini tentu bukan sikap yang wajar, melainkan
pura-pura, sandiwara!
Diapun mengerti bahwa tentu
Tok-sim Nio-cu yang gagal memikat hatinya, kini menggunakan siasat yang agaknya
sudah diatur oleh Siauw-bin Ciu-kwi untuk menguji dan menjebaknya! Dia menduga
bahwa tentu Siauw-bin Ciu-kwi hendak mengujinya melalui wanita palsu ini. Maka,
diapun memandang marah.
“Tok-sim Nio-cu, engkau
perempuan rendah tak tahu malu! Engkau pengkhianat yang layak dipukul!” Berkata
demikian, Pek-liong sudah maju dan tangan kirinya menampar ke arah pipi wanita
itu. Tentu saja Tok-sim Nio-cu mengelak dan iapun menjadi marah.
“Keparat yang tak tahu diri!”
Bagi wanita ini, setiap orang pria yang tidak menguntungkan dirinya, tidak mau
melayaninya, berubah menjadi orang dibencinya. Maka sambil mengelak ia sudah
mengeluarkan kipasnya, satu di antara senjatanya yang ampuh. Ia tidak membawa
pedangnya, karena niatnya juga bukan untuk berkelahi, melainkan untuk bermain
mata dengan pria yang ganteng dan gagah ini.
Kini, dengan kipas di tangan,
Tok-sim Nio-cu sudah menyerang dengan ganas, gagang kipasnya menjadi senjata
penotok yang ampuh. Namun, Pek-liong juga mengelak dan terjadilah perkelahian
di dalam kamar itu.
Pek-liong sengaja melayani
wanita itu karena diapun ingin menguji dan mengukur sampai di mana kepandaian
seorang di antara calon-calon lawannya ini. Kalau sudah tiba saatnya, tentu ita
akan bertanding sungguh-sungguh melawan Tok-sim Nio-cu. Dan dia mendapat
kenyataan bahwa ilmu permainan kipas wanita itu cukup hebat, walaupun belum
merupakan bahaya besar bagi dia maupun Liong-li. Dia mengelak atau menangkis
dan membalas dengan tangan kosong.
Tiba-tiba daun pintu kamar itu
terbuka dan muncullah Siauw-bin Ciu-kwi. “Hei, mengapa kalian ini? Hentikan!”
bentak Beng-cu itu dan dua orang yang sedang saling serang mati-matian itupun
menghentikan gerakan mereka.
Dengan wajah muram Pek-liong
segera melaporkan, “Beng-cu, harap tangkap wanita ini! Ia telah membujuk dan
mengajak aku untuk berkhianat, untuk mendapatkan harta karun berdua saja
dengannya!”
Beng-cu itu tertawa.
“Ha-ha-ha, sudahlah, Pek-liong. Ia memang sengaja untuk mengujimu, dan aku
menyuruhnya.”
Jawaban ini tentu saja sama
sekali tidak mengejutkan hati Pek-liong yang memang sudah menduganya, akan
tetapi dia berpura-pura terkejut dan memandang heran, juga penasaran.
“Akan tetapi, Beng-cu! Apa
artinya ini? Mengapa ia berbuat demikian kepadaku dan mengapa pula Beng-cu yang
menyuruh ia berbuat demikian?”
“Untuk menguji kesetiaanmu,
Pek-liong.” Dan hatinya puas sudah. “Sekarang, jangan lagi kalian saling
mendendam karena kalian berdua adalah pembantu-pembantuku yang paling utama dan
kalau harta karun itu sudah kita peroleh, kalian akan mendapatkan bagian yang
paling besar di antara semua pembantuku.”
“Terima kasih, Beng-cu, terima
kasih!” kata Pek-liong dengan sinar mata gembira dan wajah berseri.
Akan tetapi, Tok-sim Nio-cu
masih agak cemberut karena bagaimanapun juga, wanita ini merasa kecewa dan
merasa dipandang rendah oleh Pek-liong yang menolak cintanya! Dan Pek-liong
juga maklum bahwa seorang wanita yang terhina karena ditolak cintanya akan
merupakan musuh yang amat berbahaya dan amat membencinya.
Pada keesokan harinya,
mulailah Po-yang Sam-liong membawa tenaga-tenaga bantuan yang terdiri dari
pemuda-pemuda dari dusun yang bertubuh kekar. Mereka itu mau diajak oleh
Po-yang Sam-liong, bukan saja karena takut kepada tiga orang tokoh Telaga
Po-yang itu, akan tetapi juga tertarik oleh janji upah yang besar.
Dan mulailah Tok-sim Nio-cu
yang dikecewakan Pek-liong itu berpesta pora. Sambil menanti berkumpulnya
limapuluh orang, jumlah yang dibutuhkan, wanita ini seenaknya memilih beberapa
orang pemuda dan mengajak mereka ke kamarnya. Tentu saja para pemuda dusun itu
tidak menolak ajakan seorang wanita yang demikian cantiknya, apa lagi dibujuk
dengan hadiah berharga. Mereka bahkan berlumba untuk memuaskan nafsu Tok-sim
Nio-cu yang tak pernah mengenal puas itu!
Melihat ini, Pek I Kongcu juga
menjadi iseng dan dia mengajak para pelayan wanita muda yang manis-manis dari
Beng-cu. Bergantian para pelayan itu dengan senang hati melayani Pek I Kongcu.
Pek-liong melihat ini semua
dan dia hanya tersenyum. Selama masih memiliki kelemahan itu, diperhamba nafsu
berahi, dua orang itu berkurang bahayanya. Diapun bersembunyi saja dalam kamarnya,
kadang-kadang melihat kalau ada rombongan tenaga baru datang dan menduga-duga
apakah ada Liong-li menyelinap di antara mereka.
Dia merasa yakin bahwa
Liong-li takkan tinggal diam, tentu wanita perkasa itu telah membuat persiapan.
Entah bagaimana caranya, dia sendiri belum dapat menduga. Liong-li terlalu
cerdik dan banyak akal, lebih cerdik dari dia sendiri, dan dia tahu betapa
pandainya Liong-li melakukan penyamaran. Untuk ilmu penyamaran ini, Liong-li
berguru kepada tokoh pemain wayang di kota raja. Dia sendiri pernah
mempelajarinya, namun dibandingkan dengan Liong-li, dia masih hijau.
◄Y►
Di antara segala nafsu yang
berada dalam diri manusia, yang paling berbahaya dan amat kuatnya dalam
usahanya menguasai hati dan akal pikiran manusia adalah nafsu yang timbul dari
daya rendah benda! Hal ini adalah karena benda-benda mendatangkan banyak
kesenangan bagi manusia. Dan benda terjadi karena bekerjanya akal pikiran
manusia yang selalu berusaha untuk menjadikan kehidupan di dunia ini terasa
nikmat. Maka, tiada habis dan tiada hentinya pikiran menciptakan benda-benda
yang dapat membuat kita menikmati kehidupan.
Semua ini merupakan anugerah
dari Tuhan Maha Kasih, dan kita wajib bersyukur dan berterima kasih kepada
Tuhan atas anugerah ini. Namun, benda-benda buatan kita ini ternyata merupakan
pula musuh dalam selimut yang amat berbahaya.
Daya kekuatannya amat besar
dan daya rendah benda selalu berusaha untuk mencengkeram dan menguasai diri
kita sehingga kita dapat diperbudak olehnya. Kalau kita manusia sudah menjadi
hamba dari daya rendah kebendaan ini, maka nampaklah sikap dan perbuatan yang
amat rendah, seperti keinginan menumpuk harta kekayaan dengan cara apapun juga,
tidak perduli dengan cara yang halal maupun yang haram.
Terjadi pencurian, penipuan, perampokan,
korupsi dan tindak pidana lain. Nampak pula watak iri hati, murka, kikir.
Membuat orang menjadi budak nafsu amarah, karena dirinya telah lenyap, artinya
yang penting adalah benda-benda itu sendiri! Manusianya terlupa, yang teringat
hanya benda-benda berharga.
Segala macam benda yang ada,
memang diperuntukkan manusia. Demikian besarnya kemurahan dan kasih sayang
Tuhan kepada kita. Namun, diperuntukkan kepentingan manusia hidup, apa yang
diperlukan saja! Bukan untuk dijadikan makanan nafsu yang takkan pernah merasa
cukup.
Manusia boleh saja mencari
harta benda, boleh saja mencari uang, karena hal itu amat perlu bagi
kehidupannya. Akan tetapi, harta yang kita cari itu tetap menjadi alat
keperluan hidup, menjadi hamba yang melayani kita manusia, bukan lalu
didewa-dewakan, lalu disembah dan diangkat menjadi majikan, dan kita menjadi
hambanya!
Kita pergunakan harta yang
kita dapatkan untuk kepentingan hidup kita, keluarga kita, handai taulan dan
manusia lain yang memerlukannya. Kalau kita tidak diperbudak oleh harta, maka
tentu kita tidak akan menjadi kikir, kita tidak merasa sayang untuk
mempergunakan harta demi prikemanusiaan, menuruti dorongan hati, yaitu kasih
sayang antara manusia yang digerakkan oleh kasih sayang Tuhan
Kalau kita tidak diperbudak
oleh benda, tentu kita tidak suka melakukan hal-hal yang tidak baik, hal-hal
yang haram, untuk memperolehnya. Kalau kita mendapatkan benda atau harta dengan
cara yang halal, yang diridhoi Tuhan, maka harta itu akan mendatangkan nikmat
hidup yang luar biasa bagi kita.
Namun, sungguh kita harus
berhati-hati, harus selalu mohon petunjuk dari Tuhan Maha Kasih, untuk dapat
menjadi manusia yang utuh, yang tidak diperhamba oleh nafsu-nafsu kita,
terutama nafsu yang timbul dari daya rendah kebendaan. Daya rendah kebendaan
ini amatlah kuatnya, dan tanpa bantuan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, kita
manusia kiranya akan teramat sukarnya menanggulanginya. Karena kita amat
membutuhkan benda, kita sudah begini tergantung kepada benda dalam kehidupan
ini.
Makin maju dunia ini, majunya
adalah majunya kebendaan dan kita semakin terpengaruhi. Kita tidak mungkin
dapat membebaskan diri dari bantuan kebendaan. Asal kita selalu ingat bahwa
kita harus memperalat benda, bukan malah diperalat.
Kalau kita mau membuka mata
mengamati penuh kewaspadaan, akan nampak betapa kita ini tak berdaya tanpa
bantuan kebendaan, dan betapa nampak bahwa manusia ini sudah dijadikan
hamba-hamba yang menuruti segala kehendak setan itu, daya rendah kebendaan itu.
Lihat saja betapa di mana-mana terjadi perang, permusuhan, tipu menipu, segala
bentuk kejahatan hanya untuk saling memperebutkan kebendaan! Daya rendah
kebendaan yang sudah mencengkeram manusia, membuat manusia menjadi penjahat,
setidak-tidaknya menjadikan manusia kikir, tamak dan tidak mengenal
prikemanusiaan.
Agaknya Siauw-bin Ciu-kwi lupa
bahwa harta benda yang amat besar akan membuat mata para pembantunya menjadi
hijau! Dia terlalu percaya kepada para pembantunya, tentu saja mengandalkan
kepandaiannya. Seujung rambutpun dia tidak pernah menduga bahwa orang-orang
macam Po-yang Sam-liong berani untuk mengkhianatinya, menjadi nekat karena
terpengaruh oleh nafsu ingin menguasai atau memiliki harta karun yang peta
rahasianya telah berada di tangannya!
Ketika Po-yang Sam-liong
mendapat tugas untuk mengumpulkan limapuluh orang tenaga kasar, kesempatan ini
dipergunakan oleh Po-yang Sam-liong untuk mengatur siasat! Tiga orang raksasa
she Poa itu, tiga bersaudara yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah
terkenal sebagai penguasa daerah Telaga Po-yang, hanya karena terpaksa saja
mereka mau menjadi anak buah Siauw-bin Ciu-kwi yang menjadi beng-cu (pemimpin)
mereka.
Mereka telah dikalahkan oleh
Tok-sim Nio-cu dan mereka maklum bahwa ilmu kepandaian Siauw-bin Ciu-kwi dan
para pembantunya terlalu tinggi bagi mereka untuk menentang maka terpaksa
mereka menakluk dan menjadi anak buah. Namun, tentu saja di dalam hati, mereka
merasa penasaran. Mereka bukan orang-orang yang biasa menjadi anak buah,
melainkan biasanya menjadi pemimpin.
Ketika mereka melihat betapa
Siauw-bin Ciu-kwi mendapatkan patung emas, kemudian dari dalam patung emas itu
ditemukan peta yang mengandung rahasia penyimpanan harta karun, tentu saja hati
mereka terguncang oleh keinginan keras untuk dapat memiliki harta karun itu,
bukan sekedar menerima upah kelak dari beng-cu mereka. Dan melihat betapa
Siauw-bin Ciu-kwi membutuhkan limapuluh orang pekerja, mereka dapat menduga
bahwa tentu harta karun itu amat besar jumlahnya dan berada di tempat yang
sukar untuk dibongkar sehingga membutuhkan demikian banyaknya orang.
Ketika mereka bertiga diberi
kesempatan selama tiga hari untuk mengumpulkan limapuluh orang pekerja kasar,
Po-yang Sam-liong lalu menghubungi Yang-ce Ngo-kwi (Lima Iblis Sangai Yang-ce).
Yang-ce Ngo-kwi adalah lima orang kakak beradik seperguruan yang menjadi
pimpinan gerombolan bajak Sungai Yang-ce-kiang. Mereka itu merupakan sahabat
baik dari Po-yang Sam-liong, dan semenjak bertahun-tahun mereka itu saling
bantu.
Po-yang Sam-liong tidak pernah
mengganggu daerah Sungai Yang-ce yang dikuasai Yang-ce Ngo-kwi, yaitu di
sepanjang sungai itu di daerah yang panjangnya kurang lebih seratus lie. Tentu
saja bagian lain dari sungai yang teramat panjang itu dikuasai oleh tokoh-tokoh
sesat yang lain. Sebaliknya, Yang-ce Ngo-kwi dan anak buah mereka tidak pernah
mau mengganggu daerah Telaga Po-yang.
Mendengar cerita Po-yang
Sam-liong tentang patung emas, lima orang kepala bajak sungai itu merasa
tertarik sekali. Orang pertama bernama Coa Kun, berusia empatpuluh lima tahun
dan bertubuh tinggi kurus. Orang kedua dan ketiga kakak beradik, hanya dikenal
dengan nama A Kwan berusia empatpuluh tiga tahun yang berperawakan sedang dan A
Ban berusia empatpuluh satu tahun bertubuh pendek kecil.
Orang keempat dan kelima juga
kakak beradik, yang pertama bernama Ji Hok berusia empatpuluh tahun dengan
tubuh tinggi besar dan adiknya Ji Lok berusia tigapuluh delapan tahun bertubuh
pendek gendut. Mereka itu adalah kakak beradik seperguruan dan mereka terkenal
amat lihai dengan permainan golok mereka.
“Rahasia Patung Emas? Pernah
kami mendengar cerita tentang itu, akan tetapi karena cerita itu mengenai
Telaga Po-yang, kamipun tidak memperhatikan lagi. Kami tidak ingin mengganggu
Telaga Po-yang karena kami selalu bersahabat dengan kalian,” kata Coa Kun orang
tertua kepada tiga orang tamunya itu.
Poa Seng, orang pertama dari
Po-yang Sam-liong, mengangguk-angguk.
“Kami percaya sepenuhnya akan
kesetiakawanan Yang-ce Ngo-kwi. Kami sendiri tadinya hanya menganggap bahwa
cerita itu merupakan dongeng rakyat. Akan tetapi, kemudian kami mendengar akan
adanya peta rahasia tentang patung emas yang terjatuh ke dalam tangan Thio Kee
San, maka kami menangkapnya dan menghajarnya sampai mati. Dalam peristiwa
itulah kami bertemu dengan para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi dan kami
ditundukkan, dipaksa menakluk dan menjadi pembantu Siauw-bin Ciu-kwi yang
mengangkat diri menjadi beng-cu.”
Dia lalu menceritakan semua
keadaan, menceritakan pula tentang hasil yang dicapai Beng-cu sehingga bukan
saja patung emas dikuasainya, akan tetapi juga peta yang tersembunyi di dalam
patung itu, peta yang amat berharga!
“Peta itulah yang penuh
rahasia dan amat berharga!” Poa Seng melanjutkan ceritanya yang amat menarik
perhatian lima orang pemimpin bajak sungai itu. “Biarpun Beng-cu menyembunyikan
dan merahasiakan dari para pembantunya, namun kami dapat mengira-ngira bahwa
tentu harta karun itu amat besar. Buktinya, dia menyuruh kami untuk
mengumpulkan limapuluh orang tenaga kasar. Hal ini saja menunjukkan bahwa
selain tempat itu sulit ditemukan, melalui pembongkaran dan kerja keras, juga
sudah pasti harta karun itu banyak sekali!”
Yang-ce Ngo-kwi semakin
tertarik, akan tetapi mereka saling pandang dan bersikap hati-hati. “Hemm,
memang menarik sekali, Akan tetapi, saudara Poa, sedangkan kalian bertiga saja
takluk kepada mereka, apa lagi kami. Apakah kalian menyuruh kami menyerang
mereka dan mengalami kehancuran kami?”
“Wah, Yang-ce Ngo-kwi terlalu
merendahkan diri!” kata Poa Seng. “Terus terang saja, kalau mengenai ilmu
silat, memang mereka itu merupakan sekumpulan orang yang berkepandaian tinggi
dan lihai sekali. Apa lagi, seperti kuceritakan tadi, Pek-liong-eng juga
menjadi pembantu Beng-cu, bahkan orang seperti Hek-liong-li tewas di tangan
Pek-liong. Kalau kita hanya mempergunakan tenaga kekerasan menyerbu, memang hal
itu amat sukar. Ilmu kepandaian kalian berlima, biarpun lebih tinggi dari pada
kami, kiranya belum cukup untuk dapat mengalahkan mereka. Ingat, Siauw-bin
Ciu-kwi adalah seorang di antara Kiu Lo-mo, dia seorang datuk sesat yang sakti.
Akan tetapi, kalian mempunyai anak buah yang amat banyak!”
Coa Kun mengerutkan alisnya.
“Hemm, jadi maksudmu kita menyerbu mengandalkan anak buah kami? Memang, kami
dapat mengerahkan anak buah kami sampai duaratus orang banyaknya.”
“Tidak, bukan begitu maksudku.
Sebaiknya diatur begini. Kalian memilih sekitar duapuluh lima orang anak buah
pilihan. Mereka ini akan berbaur dengan para pemuda dusun yang kupilih untuk
melakukan pekerjaan membongkar tempat harta karun. Kita jadikan mereka sebagai
mata-mata.
“Sementara itu, kalian bersama
anak buah kalian bersembunyi tak jauh dari tempat dibongkarnya harta karun itu,
dan kalau harta itu sudah berhasil ditemukan, kalian menyerbu, kami dan
duapuluh lima orang anak buah, yang lebih dulu menyelundup itu membantu dari
dalam. Dengan demikian, tentu mereka yang tidak mempunyai anak buah akan
menjadi panik, dan kita berkesempatan untuk melarikan harta karun itu!”
Yang-ce Ngo-kwi
mengangguk-angguk, saling pandang, kemudian mereka tertawa, “Haha-ha, suatu
gagasan yang amat baik!” kata Coa Kun.
“Kita biarkan mereka mencari
harta karun itu, membiarkan mereka membongkarnya sampai dapat, setelah dapat
kita turun tangan merampasnya! Alangkah mudah kelihatannya. Akan tetapi engkau
sendiri yang mengatakan bahwa Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang di antara Kiu
Lo-mo yang sakti, belum lagi para pembantunya Pek-liong-eng, Tok-sim Nio-cu,
Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu dan Hek-giam-ong. Mereka semua adalah
orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi! Apakah tidak akan merupakan
bunuh diri dan kita akan mati konyol sebelum bisa mendapatkan harta karun itu,
Po-yang Sam-liong?”
“Yang-ce Ngo-kwi harap jangan
khawatir. Bukankah pepatah mengatakan bahwa yang kalah otot harus menang otak?
Kalau harta karun itu telah ditemukan, ada dua jalan yang dapat kita tempuh.
Pertama, kita mengandalkan banyak anak buah untuk menyerbu dan di dalam
kekacauan itu, kita tidak perlu ikut menyerbu, melainkan kita menggunakan saat
kacau balau itu untuk melarikan harta karun.”
“Hemm, berarti kita akan
mengorbankan nyawa banyak anak buah kita!”
“Apa artinya anak buah
dibandingkan harta karun? Biar kehabisan anak buah, kalau kita memiliki harta
karun, apa sukarnya menghimpun lagi anak buah yang lebih banyak dan lebih kuat?
Sebaliknya, memiliki banyak anak buah tanpa harta, malah merepotkan.”
“Hemm, akan kami pikirkan itu.
Akan tetapi apakah jalan yang kedua? Siapa tahu lebih baik.”
“Jalan kedua adalah membujuk
Siauw-bin Ciu-kwi untuk menyelamatkan harta karun ke atas perahu. Nah, kalau
sudah berada di perahu dan perahu berada di atas telaga, apa sukarnya bagi
kita? Ha-ha, betapapun lihainya Beng-cu itu bersama anak buahnya, kalau
perahunya tenggelam dan mereka berada di air, sama sekali bukan lawan kita yang
merupakan setan-setan air!”
“Bagus!” seru lima orang
Yang-ce Ngo-kwi, “Cara kedua ini jauh lebih baik!”
Mereka tentu saja menyetujui
karena memang di samping pandai ilmu silat golok dan tenaga besar, mereka
sebagai pimpinan bajak sungai juga memiliki ilmu di dalam air yang melebihi
orang biasa. Dan mereka tahu bahwa para ahli silat kenamaan menjadi mati kutu
setelah mereka terjatuh ke dalam air yang dalam karena mereka tidak begitu
pandai renang.
“Kita melihat perkembangannya
sajalah nanti,” kata Po-yang Sam-liong, “Yang penting sekali, apakah kalian
menyetujui dan mau bekerja sama dengan kami?”
“Kami setuju!” seru Coa Kun
gembira, “Dan pembagian hasilnya?”
“Kita bagi masing-masing pihak
setengahnya!”
“Setuju sekali!”
Demikianlah, selama tiga hari,
Po-yang Sam-liong berhasil mengumpulkan limapuluh orang pria dari usia duapuluh
sampai empatpuluh tahun. Duapuluh lima orang yang menyamar sebagai orang-orang
biasa adalah anak buah Yang-ce Ngo-kwi, sedangkan yang duapuluh lima orang
lainnya adalah penduduk dusun di sekitar Po-yang.
Mereka mau menerima ajakan
Po-yang Sam-liong karena janji upah yang cukup besar, jauh lebih besar
dibandingkan hasil tani atau hasil mencari ikan mereka. Bahkan banyak orang
yang datang untuk ikut bekerja terpaksa ditolak karena jumlahnya telah
mencukupi.
Di antara duapuluh lima orang
dusun itu terdapat seorang pemuda bertubuh sedang ramping yang gerakannya gesit
walaupun tubuhnya agak kecil. Pemuda ini memiliki wajah yang bentuknya tampan,
akan tetapi karena kulit mukanya penuh bopeng, atau tanda totol-totol hitam dan
kotor, juga kulit muka, leher, kaki dan tangannya nampak hitam kotor, maka dia
menjadi tidak menarik. Po-yang Sam-liong menerima pemuda ini yang dibawa oleh
pemuda-pemuda lainnya karena dia nampak gesit dan sehat.
Biar Pek-liong sekalipun kalau
berhadapan dengan pemuda ini tentu sama sekali tidak akan dapat menduga bahwa
pemuda ini bukan lain adalah Liong-li!
Seperti kita ketahui, Liong-li
pada malam pertama itu berhasil memasuki daerah markas gerombolan penjahat dan
kedatangannya telah diketahui oleh Pek-liong dan Hek-giam-ong. Andaikata tidak
ada Pek-liong di situ, Hek-giam-ong tentu tidak akan menduga bahwa tamu malam
yang tidak diundang itu telah bertiarap di antara rumput.
Ketika Liong-li yang mendekam
itu mendengar suara Pek-liong, ia merasa gembira sekali. Suara Pek-liong itu
jelas menandakan bahwa ia harus keluar dan dalam kesempatan itu tentu Pek-liong
dapat memberitahukan sesuatu yang penting. Maka iapun meloncat keluar dan
langsung menggunakan Hek-liong-kiam menyerang Hek-giam-ong Lok Hun.
Pada saat Hek-giam-ong Lok Hun
menangkis dengan ruyungnya, ia melihat Pek-liong menggerakkan tangan mencegah,
maka cepat ia miringkan pedangnya sehingga mata pedangnya yang tajam tidak
menyambut ruyung yang tentu akan membuat ruyung itu patah. Bahkan ia sengaja
mengendurkan tenaganya sehingga ia terpental dan meloncat jauh ke belakang,
membuat gerakan melarikan diri.
Pada saat itulah, Pek-liong
menyambitkan sebatang pedang. Liong-li menyambut pedang, menangkap pedang
dengan lagak terkena sambaran pedang, mengeluarkan teriakan mengaduh lalu
menghilang ke dalam kegelapan hutan.
Setelah ia tiba jauh di kaki
bukit, ia membaca surat yang tadi menempel di pedang yang disambitkan
Pek-liong. Surat itu singkat saja namun cukup jelas baginya.
“Peta rahasia dalam patung
emas dikuasai beng-cu. Po-yang Sam-liong diutus mencari limapuluh orang tenaga
untuk membongkar tempat penyimpanan harta karun. Menanti saat baik untuk turun
tangan.
Harap siap, kalau mungkin
menyelundup di antara para pekerja.”
Hanya itulah tulisan Pek-liong,
namun ia sudah dapat menggambarkan apa yang terjadi. Tentu harta pusaka itu
bukan berupa sebuah patung emas yang biarpun berharga namun tidak sepadan
dengan segala macam rahasia pada petanya. Tentu patung emas itu menyimpan
rahasia lain dan kini ternyata ada peta di dalam patung.
Peta harta karun! Peta itu
dikuasai Siauw-bin Ciu-kwi seorang, dan melihat betapa Ciu-kwi mencari
limapuluh orang pekerja, tentu harta karun itu disimpan di tempat yang yang
sukar didapat, mungkin membutuhkan banyak tenaga untuk membongkarnya.
Cepat Liong-li melakukan
persiapan. Ia menyamar sebagai seorang pria yang bermuka bopeng totol-totol
hitam, dengan kulit badan hitam kotor pula. Kemudian, ketika Po-yang Sam-liong
mencari tenaga dari dusun, iapun menyelinap masuk setelah menyogok beberapa
orang pemuda agar membawa ia ikut bekerja. Tentu saja para pemuda dusun itupun
tidak tahu bahwa pemuda buruk rupa itu adalah seorang gadis yang cantik jelita!
Ketika mencatatkan nama
sebagai pekerja, Liong-li mempergunakan nama Cu Kim, yaitu kebalikan dari
namanya sendiri. She Cu bernama Kim, dan orang-orang segera menyebut si buruk
rupa yang lincah ini A-kim! Ia mendengar bahwa dari dusun, Po-yang Sam-liong
hanya menggunakan duapuluh lima orang, sedangkan duapuluh lima orang lainnya
sudah ada dan tak seorangpun tahu dari mana mereka datang, juga tidak ada yang
mengenal mereka.
Dengan pengamatan matanya yang
tajam, Liong-li melihat betapa duapuluh lima orang yang lain itu rata-rata
memiliki sinar mata yang bengis dan kejam, juga mereka pendiam dan iapun
menarik kesimpulan bahwa mereka tentulah anak buah Po-yang Sam-liong sendiri.
Diam-diam ia menjadi tertarik dan menduga-duga, mengapa Po-yang Sam-liong yang
diutus mencari tenaga kerja sebanyak limapuluh orang itu agaknya menyelundupkan
duapuluh lima orang anak buahnya!
Dengan cerdik sekali, Liong-li
dapat menyelundupkan pedang Pek-liong-kiam dan Hek. liong-kiam di antara
perabot yang harus mereka bawa, yaitu linggis, cangkul dan sekop. Juga buntalan
pakaian karena menurut Po-yang Sam-liong, sebelum pekerjaan itu selesai, mereka
semua tidak boleh meninggalkan tempat pekerjaan, diharuskan tidur di sana dan
akan diberi makan.
Pada hari keempat, pagi-pagi
sekali mereka semua disuruh berjalan dalam barisan, menuruni lereng Bukit Merak
dan pergi ke sebuah bukit kecil di tepi Telaga Po-yang. Tempat ini sunyi sekali
karena bukit kecil itu merupakan bukit yang gersang, berbatu-batu dan tidak ada
tumbuh-tumbuhan kecuali rumput liar. Bukit ini penuh dengan ba- tu-batu besar
dan guha-guha batu.
Siauw-bin Ciu-kwi yang
memimpin perjalanan itu, dan berjalan di depan bersama Pek-liong dan Tok-sim
Nio-cu, sedangkan Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu, Hek-giam-ong dan tiga orang
Po-yang Sam-liong diharuskan berjalan di belakang pasukan pekerja. Juga anak
buah yang belasan orang banyaknya disuruh berjalan di belakang dan mereka ini
yang diharuskan mengusir setiap orang yang berani mendekati tempat mereka
bekerja.
Setelah tiba di lereng bukit
berbatu itu, Siauw-bin Ciu-kwi berhenti, memberi isyarat kepada semua orang
untuk duduk dan tidak boleh berkeliaran ke mana-mana. Dia sendiri mengeluarkan
peta dan memeriksa dengan seksama, keningnya berkerut dan telunjuknya menunjuk
ke sana-sini.
“Nio-cu, dan engkau Pek-liong,
coba periksa mana di antara guha-guha itu yang dalamnya tertutup oleh batu-batu
sebesar kepala orang,” katanya.
Tok-sim Nio-cu dan Pek-liong
yang sejak tadi, seperti yang lain, memandang dengan penuh perhatian dan hati
tegang, segera bangkit dan melakukan pemeriksaan. Para pekerja yang sudah siap
itu, sebagian tidak mengerti pekerjaan apa yang harus mereka lakukan, dan
mereka menanti dengan sabar. Yang penting bagi mereka bekerja dan mendapatkan
upah besar.
Sebaliknya, mereka yang
menjadi anak buah Yang-ce Ngo-kwi diam-diam merasa tegang. Mereka sudah
diberitahu bahwa mereka menyamar sebagai tenaga pekerja dari dusun yang akan
membongkar tempat harta karun, dan mereka harus mentaati isyarat yang diberikan
oleh Po-yang Sam-liong.
◄Y►
Sebuah perahu kecil meluncur
di tengah telaga. Yang berada di atas perahu itu adalah Kam Sun Ting dan Kam
Cian Li. Kemarin dulu mereka berada di dalam perahu, di tepi telaga sambil
meneliti kalau-kalau ada perahu penjahat berlayar.
Pada saat mereka mulai gelisah
karena tidak pernah mendengar berita dari Liong-li maupun Pek-liong, tiba-tiba
saja ada seorang laki-laki muka buruk lewat dan laki-laki itu melemparkan
sesuatu ke dalam perahu mereka. Ketika Sun Ting memungut benda itu, ternyata
sebuah batu yang dibungkus surat.
“Lusa kalau ada rombongan
limapuluh orang mengikuti Beng-cu dan kawan-kawannya, kalian bayangi dari jauh.
Kemudian persiapkan perahu di tempat terdekat. Jangan sekali-sekali mendekati
mereka. Berbahaya.”
Surat itu tanpa tanda tangan
dan mereka berdua merasa heran sekali, tidak tahu siapa pemuda muka buruk
totol-totol hitam yang mengirim surat itu, dan tidak tahu pula siapa penulis
surat. Namun melihat nadanya, tentu penulis surat itu Liong-li. Ataukah
Pek-liong? Siapapun juga penulis surat itu, jelas bukan pihak lawan. Bukankah
mereka diperingatkan agar jangan mendekati Beng-cu dan rombongannya karena
berbahaya?
“Kita ikuti saja petunjuk
dalam surat ini,” kata Sun Ting kepada adiknya dan demikianlah, pada hari itu,
pagi-pagi sekali mereka sudah siap siaga dengan perahu mereka.
Mereka bersembunyi di balik
pohon-pohon, di kaki Bukit Merak. Tak lama kemudian mereka melihat rombongan
itu menuruni Bukit Merak. Kakak beradik ini merasa heran. Banyak sekali
rombongan itu. Dan merekapun melihat Pek-liong berjalan di depan bersama
Siauw-bin Ciu-kwi dan melihat Tok-sim Nio-cu berjalan di samping Pek-liong,
Cian Li mengepal tangannya,
“Perempuan hina itu
lagi......!”
“Sssttt...... bukan waktunya
untuk ribut dan cemburu, Li-moi. Mari kita bayangi dari jauh.”
Dengan hati-hati sekali mereka
membayangi dari jauh dan tidak sukar membayangi rombongan orang sebanyak itu.
Akhirnya, rombongan itu berhenti di bukit kecil dekat pantai dan kakak beradik
inipun cepat mengambil perahu mereka dan kini mereka mendayung perahu hilir
mudik sambil tetap melihat ke arah orang-orang yang berada di bukit kecil
berbatu itu. Mereka merasa heran sekali. Mau apa para penjahat itu membawa
banyak orang ke bukit berbatu-batu yang jarang dikunjungi orang itu?
Sementara itu, Tok-sim Nio-cu
sudah menemukan guha yang penuh dengan batu-batu sebesar kepala orang, Dengan
girang ia lalu melapor kepada Beng-cu yang segera mendekati guha itu, diikuti
oleh para pembantunya. Juga Pek-liong yang mendengar seruan Tok-sim Nio-cu,
cepat mendekat.
“Inilah tempatnya. Tidak salah
lagi, ini tempatnya!” kata Siauw-bin Ciu-kwi berulang kali dengan mata
berkilat-kilat dan wajah berseri.
Dia memeriksa kembali peta di
tangannya, mulutnya berkemak-kemik, dan dia memandang ke empat penjuru, “Dari
depan guha dapat dilihat puncak Bukit Merak di belakang guha, telaga di depan
guha, padang rumput di kiri guha dan dinding batu di kanan guha. Tepat, inilah!
Po-yang Sam-liong, kerahkan orang-orang itu untuk membongkar batu-batu dan
mengeluarkannya dari dalam guha. Akan tetapi hati-hati, tidak perlu
tergesa-gesa. Kalau sudah nampak sebuah batu panjang seukuran manusia berdiri
menyangga langit-langit guha, berhenti dan lapor kepadaku!”
Po-yang Sam-liong lalu memberi
aba-aba dan limapuluh orang itu mulai bekerja. Tentu saja tidak semua orang
dapat memasuki guha yang lebarnya hanya kurang lebih tiga tombak itu. Mereka
bekerja dengan berbaris keluar, dan batu-batu sebesar kepala orang itu diangkut
keluar dari tangan ke tangan. Ternyata batu-batu itu banyak sekali dan setelah
bekerja setengah hari lamanya, barulah batu-batu di mulut guha itu bersih dan
mereka terus membongkar batu-batu yang berada di dalam guha.
Makin ke dalam, guha itu makin
melebar dan agaknya dalam sekali, hanya tertutup oleh banyak sekali batu besar
kecil. Menjelang sore, barulah nampak batu seperti yang dimaksudkan Beng-cu
tadi, yaitu batu yang berukuran manusia berdiri dan batu itu seperti menyangga
langit-langit guha karena mengganjal dan tidak dapat diambil. Segera Siauw-bin
Ciu-kwi diberi laporan dan bersama para pembantunya, dia memasuki guha yang
lebar itu.
“Bagus, tidak salah lagi. Akan
tetapi ingat jangan ada yang mendorong batu ini. Biarkan saja batu ini berdiri
di sini dan mulai besok pagi, kalian terus mengeluarkan batu-batu yang berada
di dalam itu. Kalau bertemu batu yang tertanam dan melekat, harus dibongkar!”
Seperti juga siang tadi, para
pekerja mendapat ransum makanan yang dipersiapkan oleh para pelayan wanita dan
belasan orang anak buah Beng-cu. Setelah makan malam, mereka semua
diperbolehkan mengaso dan malam itu mereka tidur di dalam tenda-tenda yang
dipasang di sekitar guha yang dibongkar. Penjagaan dilakukan dengan ketat.
Siang tadi, ada orang yang
tertarik melihat demikian banyaknya orang membongkar batu di situ, akan tetapi
setelah melihat bahwa di situ ada Po-yang Sam-liong yang menghardik,
orang-orang yang hendak menonton lari ketakutan dan tidak ada lagi orang berani
mendekati bukit kecil itu.
Malam itu, biarpun mereka
semua harus tidur di tempat yang demikian sederhana dan seadanya, tetap saja
tidak dilewatkan dengan sia-sia oleh Tok-sim Nio-cu. Ia memilih seorang pekerja
yang cukup tampan dan berkulit bersih, dan dibawanya pemuda itu ke balik sebuah
batu besar di mana ia mendirikan sebuah tenda kecil, bertilamkan rumput kering
yang dikumpulkannya.
Pemuda dusun itu ternyata
tidak kelihatan bodoh seperti yang lain, dan dengan gembira dia melayani wanita
cantik yang penuh gairah itu. Akan tetapi, menghadapi seorang wanita selihai
Tok-sim Nio-cu, sebentar saja pemuda itu jatuh ke dalam rayuannya dan menjadi
lunak seperti lilin, menurut apa saja yang dikehendaki Tok-sim Nio-cu dan
menjadi permainannya.
Pemuda yang kurang pengalaman
itu merasa yakin bahwa wanita itu benar-benar mencintanya, maka diapun tidak
lagi dapat menyimpan rahasia! Apa lagi ketika dengan suara manja, Tok-sim
Nio-cu menyatakan cintanya, bahwa ia tidak lagi dapat berpisah dari pemuda itu,
bahwa ia akan suka men jadi isterinya, pemuda itu mabok kepayang!
“Nio-cu, kekasihku, dengar
baik-baik. Kalau engkau benar mencintaiku seperti aku cinta padamu, kita dapat
menjadi suami isteri, bahkan kita dapat hidup bersama dalam keadaan yang kaya
raya. Akan tetapi, engkau harus bersiap-siap dan begitu selesai pekerjaan ini,
engkau harus lebih dulu melarikan diri dan bersembunyi......”
“Eh, apa maksudmu?” tanya
Tok-sim Nio-cu sambil memperkuat rangkulannya.
“Kami akan merampas harta
karun itu. Tentu akan terjadi pertempuran besar maka sebaiknya engkau
menyingkir. Setelah nanti selesai dan aku mendapatkan bagianku, kita dapat
menikah dan hidup senang!”
“Ih, apa sih yang kaumaksudkan?
Ceritakan dulu yang jelas agar aku dapat mentaati pesanmu. Aku harus tahu
keadaannya agar tidak kebingungan......”
Dengan pandainya Tok-sim
Nio-cu mempergunakan kepandaiannya untuk membelai dan merayu sehingga pemuda
itu makin menjadi lupa daratan! Maka, diceritakanlah semua rencana yang diatur
oleh Po-yang Sam-liong dan Yang-ce Ngo-kwi.
Dia mengaku bahwa dia bersama
duapuluh empat orang anggauta atau anak buah Yang-ce Ngo-kwi menyelundup
bersama para pekerja dari dusun, dan betapa Yang-ce Ngo-kwi dengan banyak anak
buahnya juga sudah siap dan mengepung tempat itu. Kalau sudah tiba saatnya,
mereka semua akan bangkit dan menyerang rombongan Siauw-bin Ciu-kwi, dan
merampas harta karun.
Mendengar cerita ini, tentu
saja Tok-sim Nio-cu terkejut setengah mati. Akan tetapi, ia tidak
memperlihatkan kekagetannya. Menurutkan hatinya, ingin sekali pukul ia membunuh
pemuda pengkhianat ini. Akan tetapi ia terlampau cerdik untuk melakukan hal
itu.
Bahkan ia memperhebat
permainan cintanya yang membuat pemuda itu semakin mabok dan keluarlah semua
rahasia dari mulutnya, betapa Po-yang Sam-liong yang hendak berkhianat itu yang
menghubungi Yang-ce Ngo-kwi. Dengan cerdiknya Tok-sim Nio-cu bersumpah bahwa ia
mencinta pemuda itu, dan memesan agar jangan sampai “rahasia” mereka yang akan
menikah itu diketahui orang lain.
“Aku akan menanti sampai tiba
saat itu. Kalau sekutumu sudah berhasil merampas harta karun dan terjadi
pertempuran, aku akan lari menyembunyikan diri, menanti sampai engkau keluar
sebagai pemenang, lalu kita kawin dan hidup berbahagia,” katanya pada keesokan
harinya ketika pagi-pagi ia melepas pemuda itu meninggalkan tendanya.
Tentu saja Tok-sim Nio-cu
cepat pergi menemui Siauw-bin Ciu-kwi di dalam tendanya.
Sepagi itu Siauw-bin Ciu-kwi
sudah minum arak sampai mukanya menjadi merah sekali. Hal ini menunjukkan bahwa
hatinya gembira bukan main. Dia telah membayangkan hasil pembongkaran guha itu,
membayangkan harta karun yang dijanjikan oleh peta itu.
Harta karun yang menjadi
simpanan Raja Cin-si Huang Ti, raja dari Dinasti Cin, delapanratus tahun lebih
yang lalu! Dia membayangkan bahwa dia akan menjadi seorang yang memiliki
kekayaan berlimpah dan dengan kekayaan itu dia akan mampu membeli kedudukan
raja muda sekalipun!
Ketika Tok-sim Nio-cu
menceritakan rahasia yang dibocorkan oleh pemuda yang dijadikan teman tidurnya
semalam, Siauw-bin Ciu-kwi terbelalak.
“Brakkk!” Guci arak itu
dicengkeram dan hancur lebur!
“Jahanam busuk Po-yang
Sam-liong!” bentaknya marah. “Kuhancurkan kepala mereka seperti guci ini......!”
“Beng-cu, sabarlah. Jangan
menuruti hati yang marah. Kalau kaulakukan itu, tentu timbul pemberontakan
sekarang. Hal itu memang tidak mengapa karena kita akan mampu membasmi mereka.
Akan tetapi pekerjaanmu menjadi terbengkalai dan tertunda. Sebaiknya kita
pura-pura tidak tahu dan membiarkan mereka bekerja sampai harta karun itu
didapatkan, baru kita mendahului mereka turun tangan.”
Siauw-bin Cu-kwi memandang
kepada wanita itu dengan sinar mata mencorong, lalu tiba-tiba dia tertawa.
Lengannya dijulurkan dan biarpun Tok-sim Nio-cu duduk agak jauh, namun lengan
kanannya itu dapat mulur dan tahu-tahu tangan itu telah memegang lengan Tok-sim
Nio-cu dan sekali tarik, tubuh wanita itu telah terjatuh ke atas pangkuannya.
Diam-diam Tok-sim Nio-cu terkejut dan kagum. Bukan main beng-cu ini, memiliki
ilmu yang amat tinggi.
“Engkau memang manis dan
pantas menjadi pembantu utamaku, engkau pandai dan cerdik!” kata Siauw-bin
Ciu-kwi sambil mencium pipi Tok-sim Nio-cu yang tertawa genit.
“Ih, Beng-cu. Apakah engkau telah
minum terlalu banyak?” katanya dengan manja.
Akan tetapi kedua lengan
beng-cu itu memeluknya dengan sikap menyayang. “Engkau memang manis, dan
kegilaanmu terhadap laki-laki sekali ini ada gunanya. Untung engkau dapat
membongkar rahasia itu, Nio-cu. Dan usulmu tadi memang baik sekali. Kita
pergunakan mereka, pura-pura tidak tahu, dan pada saat terakhir, aku akan
membasmi mereka! Ya, aku tahu bagaimana aku akan membasmi mereka, mengubur
mereka hidup-hidup!” Dia tertawa bergelak dan kembali menciumi Tok-sim Nio-cu
untuk memperlihatkan kegirangan dan terima kasihnya.
Pekerjaan menggali batu-batu
itu dilanjutkan dan ternyata guha itu dalam sekali, merupakan terowongan yang
makin ke dalam menjadi semakin lebar! Sehari itu mereka bekerja keras, namun
masih tetap saja belum sampai di bagian terakhir, dan masih ada saja sisa
batu-batu besar yang harus dikeluarkan dari dalam guha itu. Baru pada hari
ketiga, batu-batu habis dikeluarkan dan Siauw-bin Ciu-kwi sendiri memasuki guha
itu, diikuti semua pembantunya termasuk Po-yang Sam-liong.
Sesuai dengan petunjuk dalam
peta, beng-cu itu memeriksa keadaan bagian guha yang paling dalam. Dia lalu
memerintahkan agar semua pekerja menanti di luar guha dan dia hanya bersama
para pembantunya.
Diam-diam Pek-liong memperhatikan
para pekerja selama tiga hari itu dan diapun akhirnya atas bantuan Liong-li
yang memberi isyarat, tahu bahwa pemuda muka totol-totol hitam hitam buruk
itulah Liong-li! Hatinya menjadi besar, apa lagi ketika Liong-li, dengan
isyarat, memberitahu bahwa pedang mereka disembunyikan di bawah tumpukan batu
di dasar guha, sebelah kiri, dia merasa tenang.
Siauw-bin Ciu-kwi yang berdiri
di tengah ruangan terakhir itu, lalu melangkah ke kiri dan menghitung
langkahnya. Kemudian, dia berhenti dan berjongkok, meraba-raba dengan jari
tangannya.
“Po-yang Sam-liong, kalian
ambil linggis itu dan coba kalian bertiga gali lantai ini!” Tiba-tiba dia
berkata kepada tiga orang pembantunya itu. Seperti para pembantu yang lain,
pada saat itu hati tiga orang ini merasa tegang dan mendengar perintah itu,
dengan senang hati mereka segera mengambil linggis dan mulai menggali lantai
yang berbatu-batu.
Begitu linggis menggempur
batu, semua orang sudah memandang dengan hati tegang karena jelas terdengar
bahwa lantai itu bawahnya ada ruangannya. Batu yang terpukul linggis itu
berbunyi nyaring. Penggalian dilanjutkan dan tak lama kemudian, setelah
beberapa buah batu dibongkar, nanpaklah sebuah peti hitam! Semua orang
mengeluarkan seruan girang, dan kini semua orang membantu pembongkaran batu.
Ternyata di bawah batu
terdapat lubang yang cukup lebar dan di situ terdapat sebuah peti hitam yang
besarnya ada satu meter persegi. Peti hitam segera diangkat naik, dan Siauw-bin
Ciu-kwi menggunakan linggis untuk mencokel penutup peti yang berkarat.
Terdengar bunyi berkeratak dan tutup itupun terbuka. Kembali semua orang
mengeluarkan seruan kagum.
Begitu tutup dibuka, semua
mata seperti menjadi silau oleh barang-barang yang berada di dalam peti itu.
Emas permata yang amat indah, berkilauan dan batu-batu permata itu seperti
hidup berkedip-kedip. Akan tetapi Siauw-bin Ciu-kwi segera menutupkan peti itu.
“Harap kalian tenang. Peti ini
baru yang kecil. Ada sebuah lagi yang lebih besar dan isinya lebih banyak
menurut petunjuk peta. Tempatnya di balik dinding sebelah kanan. Dinding itu
harus dibongkar. Menurut petunjuk peta, batu-batu dinding yang harus dibongkar
setebal dua meter. Harus mengerahkan tenaga mereka yang di luar. Po-yang
Sam-liong, kalian kuserahi tugas untuk memimpin para pekerja membongkar dinding
itu sampat peti besar itu terdapat. Aku menanti di luar.” Berkata demikian,
Siauw-bin Ciu-kwi memberi isyarat kepada para pembantu lainnya untuk mengangkat
peti hitam itu keluar.
Lim-kwi Sai-kong yang
bertenaga besar lalu mengangkat peti hitam itu, dinaikkan ke atas pundaknya dan
diapun melangkah keluar diikuti oleh Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya.
Juga Po-yang Sam-liong melangkah keluar paling akhir dan mereka sempat saling
berbisik bahwa sebaiknya mereka menanti sampai “peti besar” itu dapat
dikeluarkan, baru mereka akan turun tangan dan memberi isyarat kepada Yang-ce
Ngo-kwi yang bersembunyi di luar bersama anak buah mereka.
Setelah Lim-kwi Sai-kong tiba
di luar guha, para pekerja yang sejak tadi menanti dengan hati tegang, bersorak
sorai penuh kegembiraan melihat peti hitam yang dipanggul keluar itu. Tentu
saja mereka bersorak gembira karena pekerjaan mereka berhasil baik dan mereka
tinggal menanti upah dan hadiah. Akan tetapi, Po-yang Sam-liong melangkah maju
dan mereka mengangkat tangan menyuruh para pekerja tenang, kemudian terdengar
suara Poa Seng. Dia sengaja berteriak lantang karena dia bermaksud agar
suaranya dapat pula didengar oleh Yang-ce Ngo-kwi.
“Saudara sekalian, dengar
baik-baik! Pekerjaan kita belum selesai! Memang sudah ditemukan sebuah peti,
akan tetapi itu hanya peti kecil, dan masih harus ditemukan lagi sebuah peti
yang jauh lebih besar. Untuk itu, kita harus membongkar dinding guha yang dua
meter tebalnya. Oleh karena itu, marilah kita masuk kembali ke dalam guha dan
kita kerahkan tenaga untuk membongkar dinding itu agar pada hari ini juga kita
akan dapat menemukan peti besar itu. Setelah ditemukan peti besar itu, barulah
pekerjaan selesai dan saudara sekalian akan diberi upah dan hadiah secukupnya!”
Mendengar teriakan ini, semua
pekerja bersorak gembira dan merekapun berbondong- bondong mengikuti Po-yang
Sam-liong memasuki guha. Diam-diam Pek-liong memperhatikan dan dia tidak
melihat pemuda bermuka totol-totol hitam. Hemm, Liong-li tidak ikut masuk,
pikirnya. Tentu ada alasannya yang kuat dan dia semakin waspada.
“Jaga peti ini baik-baik,”
kata Siauw-bin Ciu-kwi kepada lima orang pembantunya.
Lima orang itu merasa heran
karena seolah-olah beng-cu itu mengkhawatirkan peti harta karun itu, akan
tetapi mereka tidak bertanya dan dengan senjata siap di tangan, mereka berlima
mendekati peti hitam. Pek-liong juga berdiri dekat peti sambil memegang
sebatang pedang yang dia dapat dari beng-cu. Pedang yang cukup baik walaupun
bukan senjata pusaka ampuh seperti Pek-liong-kiam.
Setelah melihat lima orang
pembantunya itu berdiri mengelilingi peti harta karun, Siauw-bin Ciu-kwi lalu
memasuki mulut guha. Di depan guha, dia mengangkat sebuah batu yang besar
sekali, sebesar perut kerbau. Batu itu tentu berat bukan main, namun dengan
tenaganya yang hebat datuk sesat itu mengangkat batu itu ke atas kepalanya,
kemudian melemparkan batu ke arah batu seukuran orang yang berdiri menyangga
langit-langit guha di mulut guha sebelah dalam.
“Darrrr......!” Batu seukuran
manusia itu pecah berantakan ketika dihantam batu besar yang dilontarkan
Siauw-bin Ciu-kwi dan ledakan nyaring itu diikuti suara gemuruh. Kiranya
langit-langit yang tadi disangga oleh batu seukuran manusia itu runtuh dan
batu-batu besar jatuh dari atas, kemudian menggelinding masuk ke terowongan
guha karena memang terowongan itu menurun.
Ratusan batu besar
menggelundung masuk dan segera suara gemuruh itu diikuti suara
teriakan-teriakan mengerikan dari mereka yang berada di sebelah dalam
terowongan guha karena mereka itu tiba-tiba diserang oleh ratusan batu-batu
besar yang menggelinding dari luar!
Tok-sim Nio-cu tersenyum dan
diam-diam ia kagum bukan main. Kiranya itu yang dimaksudkan beng-cu untuk
membasmi Po-yang Sam-liong dan anak buahnya yang hendak berkhianat! Mereka itu
dikubur hidup-hidup dalam himpitan batu-batu besar! Dan iapun tahu bahwa
pemberitahuan tentang peti besar tadi hanya suatu siasat belaka agar memancing
Po-yang Sam-liong dan semua pekerja ke dalam terowongan untuk dikubur
hidup-hidup!
Pek-liong terkejut sekali
melihat peristiwa itu. Dia belum dapat menduga akan adanya pengkhianatan yang
dilakukan Po-yang Sam-liong, maka tentu saja dia merasa heran. Mengapa beng-cu
melakukan itu? Tidak mungkin karena merasa sayang atau karena kikir membayar
limapuluh orang itu. Apa lagi di dalam terdapat pula Po-yang Sam-liong, tiga
orang pembantunya.
Apakah beng-cu sengaja
membunuh mereka dan akan membunuh semua pembantunya untuk dapat memiliki
sendiri harta karun dalam peti itu? Harta karun itu amat besar jumlahnya, tak
mungkin dapat dinilai berapa besarnya. Apakah harta karun itu membuat beng-cu
menjadi tamak?
Para pembantu lainnya juga
merasa terheran-heran, kecuali Tok-sim Nio-cu, Siauw-bin Ciu-kwi tertawa
bergelak lalu berkata, “Ha-ha-ha, kalian ketahuilah bahwa Po-yang Sam-liong
berkhianat dan bersama anak buah yang diselundupkan di antara para pekerja,
mereka hendak merampas harta karun ini, Ha-ha-ha, mereka terbasmi habis di
dalam guha yang sudah kosong ini!”
Pada saat itu, terdengar
sorak-sorai dan puluhan orang dari berbagai penjuru datang berlari-lari ke
tempat itu dengan sikap mengancam, dan dengan senjata di tangan. Mereka itu
adalah Yang-ce Ngo-kwi dan kurang lebih limapuluh orang anak buah pilihan
mereka.
Mereka tadi masih menanti
tanda dari Po-yang Sam-liong. Ketika mendengar suara gemuruh dan tahu bahwa
Po-yang Sam-liong dan anak buah mereka itu terjebak di dalam terowongan guha,
Yang-ce Ngo-kwi yang sejak tadi sudah berliur melihat peti hitam itu, segera
mengajak anak buah mereka menyerbu!
“Nah, itu sekutu Po-yang
Sam-liong datang menyerbu. Mereka adalah Yang-ce Ngo-kwi dan anak buah mereka!”
kata Tok-sim Nio-cu.
“Hemm, kalian semua basmi
mereka. Aku akan menjaga peti ini. Habiskan anjing-anjing itu!” bentak
Siauw-bin Ciu-kwi dan dia sendiri duduk di atas peti dengan sikap tenang.
Pek-liong, Tok-sim Nio-cu,
Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu, dan Hek-giam-ong dengan senjata di tangan lalu
menyambut para penyerbu. Lima orang Yang-ce Ngo-kwi memecah pasukan menjadi
lima bagian dan masing-masing memimpin sepuluh orang mengeroyok seorang
pembantu Siauw-bin Ciu-kwi. Terjadilah pertempuran yang mati-matian.
Pek-liong diserang oleh Coa
Kun, orang pertama dari Yang-ce Ngo-kwi yang dibantu sepuluh orang anak
buahnya. Coa Kun yang tinggi kurus itu memegang sebatang golok yang lebar dan
tipis, gerakan goloknya cepat bukan main sehingga yang nampak hanya sinar putih
bergulung-gulung ketika Pek-liong menggunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak
dengan berloncatan.
Namun, gulungan sinar golok
itu mengejar terus dan terdengar suara berdesing-desing. Dan pada saat itu,
sepuluh orang anak buah Coa Kun juga sudah mengeroyok bagaikan serombongan
semut, mempergunakan senjata mereka yang bermacam-macam dan ternyata mereka
itupun semua memiliki ilmu silat yang lumayan.
Pek-liong menjadi agak ragu
karena dia tidak mengenal siapa mereka dan apa sebenarnya maksud mereka
menyerang Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya. Dia sendiri hanya merupakan
pembantu pura-pura saja dari beng-cu itu, bukan seorang yang benar-benar membelanya,
bahkan dia siap menentang Siauw-bin Ciu-kwi, seorang datuk besar kaum sesat,
seorang di antara Kiu Lo-mo yang terkenal amat jahat. Maka, menghadapi
pengeroyokan sebelas orang itu, dia lebih banyak mengelak dan menangkis, dan
belum pernah membalas. Oleh karena itu, maka dia nampak terdesak oleh
pengeroyokan mereka.
Pada saat itu, nampak bayangan
orang berkelebat dan pemuda yang mukanya totol-totol telah menerjang memasuki
medan pertempuran, dan begitu ia melompat masuk, dua kali tubuhnya bergerak dan
dua orang pengeroyok Pek-liong roboh terpelanting. Orang itu bukan lain adalah
Hek-liong-li dan ia segera melemparkan sebatang pedang kepada Pek-liong sambil
berkata cepat.
“Mereka ini Yang-ce Ngo-kwi
dan anak buah mereka yang membantu pengkhianatan Po-yang Sam-liong. Kita basmi
mereka dulu, baru nanti menghadapi beng-cu dan kaki tangannya!”
Ucapan ini cukup bagi
Pek-liong untuk mengusir keraguan hatinya. Kini dia tahu bahwa apa yang
dikatakan Beng-cu tadi memang benar. Po-yang Sam-liong rupanya mempergunakan
kesempatan ketika mengumpulkan pekerja itu, untuk mengadakan persekutuan dengan
Yang-ce Ngo-kwi untuk melakukan pengkhianatan dan mencoba untuk merampas harta
karun!
Kalau Liong-li sampai dapat
mengetahui rahasia mereka, sudah tentu Beng-cu, dengan satu dan lain cara,
dapat pula mengetahui rahasia itu maka Beng-cu telah menghadapi pemberontakan
itu dengan caranya yang amat kejam, yaitu membasmi anak buah itu bersama
Po-yang Sam-liong di dalam guha!
Setelah kini merasa yakin
bahwa yang dihadapinya adalah para penjahat yang mencoba untuk merampas harta
karun, Pek-liong yang kini sudah memegang pedangnya sendiri, lalu memutar
pedangnya dengan cepat. Nampak di situ kini dua sinar yang bergulung-gulung
dahsyat, sinar putih dan sinar hitam dari pedang pusaka Pek-liong-kiam di
tangan Pek-liong dan pedang pusaka Hek-liong-kiam di tangan Liong-li!
Dan dalam waktu beberapa menit
saja, Coa Kun yang sedang menyerang Pek-liong dengan sabetan goloknya, telah
roboh ketika Pek-liong menangkis dengan Pek-liong-kiam. Golok itu patah menjadi
dua dan sinar Pek-liong-kiam masih terus menyambar ke depan setelah menangkis.
Coa Kun yang terkejut melihat
goloknya patah, tidak sempat lagi mengelak dan pedang Pek-liong-kiam hampir
saja membabat lehernya menjadi buntung. Dia roboh dengan luka hebat di
lehernya, dan tewas tak lama kemudian. Sepuluh orang anak buahnya juga roboh
malang melintang diamuk oleh pemuda yang mukanya totol-totol hitam dan
Pek-liong.
Setelah semua pengeroyoknya
roboh, Pek-liong dan Liong-li lalu mengamuk, membantu para pembantu Siauw-bin
Ciu-kwi yang lain. Para pembantu itu sebetulnya tanpa dibantu oleh Pek-liong
dan Liong-li sekalipun tidak akan kalah menghadapi pengeroyokan seorang di
antara Yang-ce Ngo-kwi dan sepuluh orang anak buahnya.
Para pembantu itu rata-rata
memiliki kepandaian yang tinggi, lebih tinggi dari pada kepandaian Yang-ce
Ngo-kwi. Maka, begitu Pek-liong dan Liong-li membantu, sebentar saja kelima
orang Yang-ce Ngo-kwi roboh tewas dan limapuluh orang anak buah mereka itu,
sebagian besar roboh tewas atau terluka sedangkan sisanya melarikan diri cerai
berai ketakutan!
Melihat betapa semua musuh
sudah roboh atau melarikan diri, Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak dengan
gembira. Diapun melihat sepak terjang pemuda muka totol- totol itu yang membantu
anak buahnya, maka diapun berkata kepada mereka.
“Bagus sekali! Mari kita cepat
menyingkir dari sini karena tentu akan menarik perhatian banyak orang. Kita
pergi dengan perahu agar lebih cepat dan engkaupun ikutlah, orang muda. Engkau
telah membantu kami dan aku akan memberimu hadiah secukupnya!”
Akan tetapi, sebelum ada yang
menjawab, tiba-tiba pemuda yang mukanya totol-totol dan yang di punggungnya
tergantung sebatang pedang itu telah meloncat ke depan Siauw-bin Ciu-kwi dan
terdengar bentakannya nyaring.
“Siauw-bin Ciu-kwi, sudah
terlalu lama aku menanti saat ini. Serahkan harta karun itu kepadaku!”
Tentu saja semua orang menjadi
kaget dan memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Demikian hebat
penyamaran Liong-li sehingga tidak ada petunjuk sedikitpun bahwa pemuda itu
adalah Liong-li. Bahkan suaranya pun berbeda! Kalau para pembantu Beng-cu,
kecuali Pek-liong, memandang heran. Siauw-bin Ciu-kwi sendiri mengerutkan
alisnya dan dia membentak marah.
“Eh, bocah buruk, sudah
gilakah engkau? Siapakah engkau berani berkata demikian kepadaku?”
Pemuda itu menggunakan tangan
kiri untuk mengusap mukanya. Semacam kulit tipis sekali terkelupas dan begitu
tangannya turun, maka kini nampaklah wajah yang amat elok, dengan kulit muka
halus, putih kemerahan, dan ketika ia tersenyum, nampak dua lekuk lesung pipit
di kanan kiri mulutnya.
“Hek-liong-li......!”
Siauw-bin Ciu-kwi berseru kaget bukan main, juga para pembantunya terkejut
karena mereka semua telah melihat betapa Liong-li terkena sambitan pedang dan
terjatuh ke dalam air telaga, tidak nampak muncul kembali.
Tiba-tiba Pek-liong bergerak
meloncat ke dekat Liong-li dan diapun tersenyum. “Siauw-bin Ciu-kwi, sudah
terlalu lama kami menanti dan terlalu banyak kami berkorban. Serahkan harta
karun itu kepada kami, baru kami akan mempertimbangkan apakah engkau dapat
diperbolehkan hidup atau tidak!”
Kemarahan Siauw-bin Ciu-kwi
memuncak. Baru sekarang dia tahu bahwa semua sikap Pek-liong selama ini adalah
suatu permainan sandiwara saja! Dan kedua orang musuh besar ini, yang sudah
membunuh seorang rekannya yaitu Hek-sim Lo-mo, ternyata menunggu sampai dia
mendapatkan harta karun, baru turun tangan hendak membunuhnya dan merampas
harta karun!
“Keparat!” dia memaki.
“Kaukira kami tidak berani melawan kalian? Tok-sim Nio-cu, Lim-kwi Sai-kong,
Pek I Kongcu, dan Hek-giam-ong, sekaranglah saatnya untuk melihat apakah kalian
ini benar-benar setia kepadaku atau tidak, apakah kalian pantas menerima
masing-masing sepersepuluh bagian harta karun ini atau tidak, dan untuk melihat
apakah kalian berempat memiliki kegagahan untuk membunuh dua orang muda yang
sombong ini. Kepung dan bunuh mereka!”
Empat orang pembantu utama
Siauw-bin Ciu-kwi itu mengepung Pek-liong dan Liong-li yang sambil tersenyum
tenang berdiri saling membelakangi. Mereka berdua nampak tenang sekali, namun
seluruh urat syaraf dan otot dalam tubuh mereka tegang dan siap siaga karena
mereka maklum bahwa mereka menghadapi orang-orang yang lihai. Pedang pusaka
masing-masing masih tergantung di punggung, belum mereka cabut.
Empat orang pembantu utama
itupun merasa tegang. Mereka sudah merasakan kelihaian Pek-liong, dan mereka
sudah mendengar bahwa ilmu kepandaian Hek-liong-li juga amat tinggi, tidak
kalah oleh Pek-liong. Namun, mereka tidak merasa gentar karena mereka akan maju
berempat, bahkan di situ masih ada Siauw-bin Ciu-kwi yang mereka percaya akan
mampu menandingi dua orang muda yang perkasa itu.
“Singgg...... Wuuuttt.....!”
Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si sudah mencabut pedang dan kipasnya yang tadi sudah disimpannya.
Wanita cantik berusia
tigapuluh tahun lebih yang tubuhnya masih padat dan dengan lekuk lengkung
menggairahkan ini memasang kuda-kuda, tangan kanan yang memegang pedang
diangkat di atas kepala, pedangnya melintang ke kiri, tangan kiri yang memegang
kipas berada di depan dada dengan kipasnya berkembang, kedua kaki ditekuk
lututnya dan pinggulnya yang besar bulat itu menonjol ke belakang. Matanya yang
jeli dan penuh daya pikat itu kini nampak berkilat penuh kemarahan dan mulutnya
yang biasanya membayangkan nafsu penuh kegenitan yang menantang itu kini
merapat dan mengeras.
Dalam keadaan seperti itu,
Tok-sim Nio-cu berbahaya sekali. Ia marah dan sakit hati, bukan saja karena
melihat Pek-liong berkhianat dan hendak merampas harta karun, akan tetapi iapun
teringat bahwa cintanya ditolak Pek-liong, hal yang amat menyakitkan hati
karena belum pernah ada pria menolak rayuan mautnya. Rasa suka dan cintanya
kepada Pek-liong kini berubah menjadi kebencian besar dan hanya kematian
Pek-liong di ujung pedang dan kipasnya sajalah yang akan memuaskan hatinya pada
saat itu!
Lim-kwi Sai-kong juga merasa
penasaran. Kakek tinggi besar seperti raksasa yang bermuka singa ini memandang
dengan mata melotot lebar dan wajahnya yang ditumbuhi cambang bauk sehingga
mirip muka singa itu membayangkan kemarahan yang buas. Tadipun dia mengamuk
seperti seekor singa buas dan sepasang senjatanya masih berada di kedua
tangannya. Sebatang golok besar yang masih berlepotan darah di tangan kanan dan
sebatang rantai baja di tangan kiri.
Baju yang berlengan pendek
berwarna hitam itu memperlihatkan dua buah lengan yang memiliki otot yang besar
dan melingkar-lingkar, menunjukkan bahwa kakek ini memiliki tenaga yang amat
kuat. Dan memang demikianlah, Lim-kwi Sai-kong terkenal sebagai seorang yang
memiliki tenaga otot yang amat besar, dan juga memiliki ilmu mengaum seperti
singa yang mengandung getaran dahsyat dapat melumpuhkan lawan, ilmu yang
disebut Sai-cu Ho-kang (Tenaga Auman Singa), di samping pandai memainkan golok
dan rantai yang merupakan kombinasi senjata yang amat berbahaya bagi lawan.
Pembantu ketiga adalah Pek I
Kongcu Ciong Koan, pria berusia tigapuluh lima tahun yang tampan dan pesolek
itu. Pakaiannya serba putih namun terbuat dari sutera halus dan mahal, dengan
hiasan renda berkembang di tepinya. Sebatang pedang telah berada di tangan
kanannya.
Sikapnya tenang dan dia bahkan
tersenyum-senyum, namun pandang matanya berkilat, tanda bahwa dia juga marah.
Bekas murid Kun-lun-pai yang menyeleweng ini dan yang terkenal sebagai seorang
penjahat cabul, sudah siap pula untuk merobohkan dan membunuh Pek-liong dan
Hek-liong-li dan dia percaya bahwa dengan bekerja sama, mereka berempat akan
mampu mengalahkan dua orang muda yang hendak merampas harta karun itu. Apa lagi
di situ terdapat Beng-cu yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi.
Orang keempat yang menjadi
pembantu Siauw-bin Ciu-kwi juga telah siap siaga. Dia adalah Hek-giam-ong Lok
Hun. Pria berusia empatpuluh lima yang bertubuh tinggi kurus dengan kulit muka
dan lengan tangan menghitam ini memiliki wajah yang mengerikan. Wajah yang
seperti topeng. Bukan hanya karena kulitnya hitam, akan tetapi wajah itu
seperti wajah mati, dingin dan membayangkan kekejaman luar biasa.
Memang Hek-giam-ong ini sesuai
dengan julukannya, adalah seorang algojo yang selalu menerima tugas untuk
menyiksa atau membunuh orang sesuai dengan perintah Siauw-bin Ciu-kwi.
Hek-giam-ong Lok Hun sudah mengamang-amangkan senjatanya yang dahsyat, yaitu
sebatang ruyung besar yang berat.
Melihat betapa empat orang itu
telah mengepung mereka, Pek-liong dan Liong-li juga bersiap. Mereka berdiri
saling membelakangi, posisi yang terbaik untuk menghadapi pengeroyokan sehingga
tidak akan ada lawan yang dapat membokong dari belakang.
Dengan kedudukan seperti itu,
mereka dapat saling melindungi. Apa lagi di antara kedua orang jagoan ini
memang sudah terdapat saling pengertian yang luar biasa, seolah-olah ada kontak
batin yang demikian kuatnya sehingga mereka seperti dapat membaca pikiran
masing-masing dan dapat saling menduga dengan tepat segala gerakan mereka.
Memang terdapat hubungan yang amat erat di antara kedua orang ini, maka, begitu
mereka berdiri saling membelakangi, mereka demikian tenang dan saling percaya,
seolah-olah mereka merupakan dua badan satu hati dan satu pikiran.
Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si
bersama Pek I Kongcu Ciong Koan menghadapi Pek-liong, sedangkan Lim-kwi
Sai-kong dan Hek-giam-ong Lok Hun menghadapi Hek-liong-li.
Dua orang pendekar itu telah
siap siaga dan mereka sudah mencabut pedang mereka. Pek-liong-eng Tan Cin Hay
nampak tenang sekali, dengan wajahnya yang tampan, tubuh sedang, pakaian serba
putih. Wajahnya nampak jantan dengan dagunya yang berlekuk di tengah-tengah dan
di tangan kanannya nampak sebatang pedang yang bersinar putih seperti perak.
Adapun Hek-liong-li Lie Kim
Cu, dengan wajahnya yang bulat telur, dagu meruncing manis, mulutnya yang kecil
itu berbibir merah basah dengan lesung pipi yang menambah kejelitaannya, tahi
lalat kecil di bawah mata kiri juga menjadi pemanis. Ia tenang dan tersenyum
manis. Rambutnya digelung ke atas dan dihias tusuk konde perak berbentuk naga
kecil di atas setangkai bunga teratai. Seperti Pek-liong, ia juga sudah siap
dengan pedang pusaka Hek-liong-kiam di tangan kanan.
Tok-sim Nio-cu yang memimpin pengeroyokan
itu mengeluarkan teriakan melengking nyaring sebagai tanda dimulainya
penyerangan, dan suara yang melengking ini segera disusul suara mengaum yang
menggetarkan jantung keluar dari mulut Lim-kwi Sai-kong! Kalau, orang lain yang
menghadapi lengkingan suara Tok-sim Nio-cu dan auman suara Lim-kwi Sai-kong,
tentu akan merasakan jantung mereka terguncang hebat yang dapat membuat
semangat melayang atau mendatangkan perasaan takut dan gentar.
Lengkingan dan auman itu sudah
merupakan serangan yang mempergunakan tenaga khi-kang amat kuat. Namun,
Pek-liong dan Liong-li menghadapi suara itu sambil tersenyum saja. Diam-diam
mereka telah mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi diri mereka sehingga
suara itu lewat tanpa bekas dan tidak mempengaruhi mereka sama sekali.
“Haiiittt......!!” Tiba-tiba
Tok-sim Nio-cu sudah menggerakkan pedang dan kipasnya, pedangnya menusuk ke
arah dada sedangkan kipasnya dikebutkan ke arah muka Pek-liong.
Pemuda ini dengan tenangnya
mengelak ke kanan dan dia disambut bacokan pedang di tangan Pek I Kongcu.
Bacokan pedang amat cepat datangnya, menyambar bagaikan kilat saja! Pek-liong
menggerakkan Pek-liong-kiam menyambut. Akan tetapi, agaknya Pek I Kongcu sudah
pernah mendengar akan keampuhan Pek-liong-kiam, maka sebelum pedangnya
tertangkis, dia sudah menahan bacokannya, dan mengubah pedangnya yang kini
menusuk perut!
Sungguh cepat dan tidak
terduga sama sekali gerakan pemuda bekas murid Kun-lun-pai ini, maka Pek-liong
cepat meloncat kembali ke kiri. Mulailah pertandingan yang amat seru antara
Pek-liong yang dikeroyok dua orang lawan tangguh itu.
SEMENTARA ITU, setelah tadi
mengeluarkan suara auman dahsyat yang tidak mempengaruhi lawannya, Lim-kwi
Sai-kong juga sudah menyerang Liong-li dengan golok besar dan rantai bajanya.
Dua senjata yang besar dan berat itu menyambar dan mengeluarkan angin saking
cepat dan kuatnya.
Namun, hanya dengan beberapa
langkah kaki saja Liong-li telah dapat menghindarkan dirinya. Wanita cantik ini
mempergunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw untuk menghindarkan serangan golok
yang dikombinasikan dengan rantai itu. Akan tetapi, ruyung di tangan
Hek-giam-ong sudah menyambar pula dengan amat dahsyat dan ganasnya. Kembali
Liong-li mengelak dengan langkah ajaibnya. Ketika gook besar di tangan Lim-kwi
Sai-kong menyambar lagi ke arah lehernya, ia memapaki dengan Hek-liong-kiam
sambil mengerahkan.
Lim-kwi Sai-kong tidak seperti
Pek I Kongcu yang cerdik. Biarpun raksasa ini sudah pula mendengar bahwa
Liong-li amat lihai dengan pedang pusakanya yang ampuh, namun dia terlalu
percaya kepada diri sendiri, dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya, dia
membiarkan goloknya ditangkis, yakin bahwa kalau senjata itu bertemu, tentu
pedang gadis itu akan terlepas dari pegangannya. Tak mungkin seorang gadis muda
sanggup menahan kekuatan dahsyat yang mendorong goloknya.
“Trakkk......!!” Lim-kwi
Sai-kong mengeluarkan gerengan keras ketika melihat, bahwa pedang wanita itu
sama sekali tidak terpental, bahkan yang terpental adalah ujung goloknya yang
menjadi patah begitu bertemu dengan pedang hitam itu!
Masih untung bahwa yang
bertemu pedang adalah bagian golok agak di ujung sehingga sisa goloknya masih
cukup panjang untuk dapat dia pergunakan sebagai senjata dan dengan kemarahan
meluap, akan tetapi juga agak gentar, dia menyerang lagi.
Hek-giam-ong Lok Hun
membantunya dengan serangan ruyungnya yang besar dan hebat! Namun, Liong-li
menghadapi mereka dengan sikap tenang. Langkah ajaib Liu-seng-pouw cukup
tangguh untuk melindunginya. Dengan langkah-langkah itu, tubuhnya tak pernah
tersentuh senjata lawan, dan sebaliknya, pedang hitamnya kini mulai mendesak
lawan. Sinar pedang hitam yang bergulung-gulung mulai membuat kedua orang
lawannya kewalahan karena mereka berdua kini gentar terhadap pedang pusaka yang
luar biasa itu.
Sejak tadi Siauw-bin Ciu-kwi
nonton perkelahian itu. Tadinya diapun merasa yakin bahwa empat orang
pembantunya yang lihai akan mampu merobohkan Pek-liong dan Hek-liong-li. Akan
tetapi segera dia melihat betapa empat orang pembantunya itu mulai terdesak dan
mereka berempat jelas merasa gentar menghadapi pedang pusaka di tangan kedua
orang muda itu. Diapun mulai khawatir.
Kalau dia terjun ke dalam
pertempuran, peti harta karun yang tak ternilai harganya itu tidak ada yang
menjaganya. Dia khawatir kehilangan harta karun itu, lebih mengkhawatirkan
hilangnya harta karun itu dari pada hilangnya empat orang pembantunya. Maka,
dia mengambil keputusan untuk lebih dahulu menyingkirkan peti berisi harta
karun itu.
“Kalian berempat tahan dulu
dua orang muda sombong ini!” katanya lantang. “Setelah menyingkirkan peti ini,
aku akan kembali dan aku sendiri yang akan membunuh mereka!”
Setelah berkata demikian,
dengan cepat bagaikan terbang saja, Siauw-bin Ciu-kwi sudah lari meninggalkan
bukit itu sambil memanggul peti harta karun.
Melihat betapa pemimpin mereka
itu pergi membawa harta karun, empat orang tokoh sesat itu terkejut. Akan
tetapi, karena mereka sedang didesak oleh Pek-liong dan Liong-li, empat orang
itu tidak dapat mencegah beng-cu mereka meninggalkan mereka dan membawa pergi
harta karun.
Mereka percaya kepada
Siauw-bin Ciu-kwi, akan tetapi mereka bingung karena selagi mereka terdesak,
ketua itu bahkan pergi hendak menyingkirkan dulu harta karun. Terpaksa mereka
menggerakkan senjata dan melakukan perlawanan nekat, mengambil keputusan untuk
bertahan terus sampai beng-cu itu kembali dan membantu mereka.
Sementara itu, Pek-liong dan
Liong-li terkejut melihat kakek itu lari membawa peti harta karun. Peti itu
terlalu berharga buat mereka, sudah banyak mereka berkorban dan menderita hanya
untuk mendapatkan peti harta karun itu. Terutama sekali yang dirasakan berat
bagi Pek-liong adalah mengingat bahwa Liong-li sudah mengorbankan pinggulnya
terluka pedang untuk membiarkan Pek-liong dapat menyelundup sebagai pembantu
Siauw-bin Ciu-kwi dan dapat ikut menemukan harta karun itu.
Tentu saja mereka berdua tidak
mau kehilangan peti harta karun itu, maka keduanya segera mengeluarkan seluruh
kepandaian dan tenaga. Terdengar Liong-li mengeluarkan suara melengking nyaring
dibarengi bentakan Pek-liong yang dahsyat. Nampak dari gulungan sinar pedang
putih dan hitam itu mencuat sinar berkilauan dan pedang Hek-liong-kiam sudah
menerjang dahsyat ke arah Hek-giam-ong Lok Hun. Hek-giam-ong terkejut dan
menangkis dengan ruyungnya.
“Tranggg......!” Ruyung itu
patah dan sinar hitam masih meluncur terus ke arah leher iblis muka hitam itu.
Lok Hun mencoba untuk melempar tubuh ke belakang, namun terlambat. Lehernya
disambar ujung Hek-liong-kiam dan diapun mengeluarkan suara aneh, seperti
seekor babi disembelih dan tubuhnya roboh terjengkang, lehernya hampir putus
dan diapun tewas setelah berkelojotan.
Sementara itu, dalam waktu
yang hampir bersamaan, sinar pedang Pek-liong-kiam menyambar dengan dahsyatnya
ke arah Pek I Kongcu yang tentu saja merasa terkejut sekali. Tidak ada
kesempatan lagi baginya untuk mengelak, maka dia menangkis dengan pedangnya
sambil membuang diri ke belakang.
“Trakkk......!” Pedangnya
patah bertemu dengan Pek-liong-kiam, akan tetapi tubuhnya terhindar dari
sambaran Pek-liong-kiam.
Pada saat itu, Tok-sim Nio-cu
Lui Cin Si melihat kesempatan baik. Ia sudah menubruk maju dengan pedang
menusuk lambung Pek-liong, dan kipasnya yang tertutup menotok ke arah jalan
darah di pundak Pek-liong dengan gagangnya.
Melihat serangan maut ini,
Pek-liong tidak dapat menyusulkan serangan mematikan kepada Pek I Kongcu yang
sudah membuang diri ke belakang, terpaksa dia membalik sambil memutar
Pek-liong-kiam dengan kecepatan kilat.
“Trang...... trakkkk......!”
Tok-sim Nio-cu mengeluarkan seruan kaget.
Tadi, melihat Pek-liong
mendesak Pek I Kongcu, ia melihat kesempatan untuk menyerang dengan sepenuh
tenaganya, maka ketika tiba-tiba Pek-liong membalik dan memutar pedang bersinar
putih itu untuk menangkis, ia tidak sempat lagi mencegah bertemunya pedang dan
kipasnya dengan pedang di tangan Pek-liong.
Dan akibatnya, kedua buah
senjatanya itu patah! Ia marah sekali dan nekat menubruk maju dengan kedua
tangan membentuk cengkeraman, sedangkan dari belakang, Pek I Kongcu juga siap
menyerang dengan tangan kosong.
Pek-liong dapat mendengar
gerakan Pek I Kongcu, maka dia memutar pedang ke belakang untuk menghalangi
penjahat tampan cabul itu menyerangnya dan ketika Tok-sim Nio-cu menubruk, dia
menggeser kakinya ke samping kanan, membalik dan tangan kirinya menampar dengan
pengerahan tenaga sin-kang.
“Plakkk!” Tamparan itu tepat
mengenai kepala Tok-sim Nio-cu bagian samping, di pelipisnya, dan wanita itu
mengeluarkan suara keluhan lirih lalu tubuhnya terkulai roboh dan tidak bangkit
kembali. Tamparan itu cukup hebat membuat isi kepalanya terguncang hebat dan
iapun tewas seketika.
Robohnya Tok-sim Nio-cu ini
hampir bersamaan waktunya dengan robohnya Hek-giam-ong. Ketika Pek-liong siap
mengbadapi Pek I Kongcu, ternyata penjahat tampan berpakaian putih itu telah
melarikan diri bersama Lim-kwi Sai-kong yang juga lari cepat. Mereka lari
menuju ke arah larinya Siauw-bin Ciu-kwi.
Pek-liong dan Liong-li saling
pandang, kemudian mereka memandang ke bawah bukit. Nampak kedua orang lawan itu
melarikan diri dan jauh di kaki bukit nampak bayangan Siauw-bin Ciu-kwi yang
memanggul peti, menuju ke telaga.
“Hayo kejar mereka!” kata
Liong-li sambil meloncat dengan kecepatan seperti terbang.
“Terutama Siauw-bin Ciu-kwi
jangan sampai lolos!” kata pula Pek-liong dan diapun meloncat ke depan.
Keduanya mempergunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran.
Sementara itu, Siauw-bin
Ciu-kwi berlari cepat menuruni bukit. Baginya yang terpenting adalah
menyelamatkan harta karun itu lebih dahulu. Dia bukan takut kepada dua orang
muda itu, melainkan khawatir kalau-kalau peti harta karun itu sampai terampas
orang dari tangannya.
Dia lari ke pantai telaga dan
menuju ke sebuah tepi yang sunyi di mana terdapat sebuah perahu yang memang
sudah dipersiapkannya sebelumnya. Dibawanya peti harta karun itu ke perahu dan
diturunkannya ke dalam perahu,
“Beng-cu, tunggu kami......!”
tiba-tiba terdengar teriakan dan dia cepat membalik dan memandang. Dia melihat
Lim-kwi Sai-kong dan Pek I Kongcu berlari cepat menuju ke tempat itu dan tak
jauh di belakang mereka dia melihat Pek-liong dan Hek-liong-li!
Setelah kedua orang pembantu
itu tiba di depannya, dia mengerutkan alisnya. “Di mana Tok-sim Nio-cu dan
Hek-giam-ong?”
“Mereka...... mereka telah
tewas......! Beng-cu, bantulah kami......” kata Lim-kwi Sai-kong.
“Hemm, kalian berempat tidak
mampu membunuh dua orang muda sombong itu? Kalian hadapi Liong-li, aku yang
akan membunuh Pek-liong lebih dahulu!” katanya dan dia sudah melepaskan sabuk
sutera dari pinggangnya. Sabuk yang lemas itulah senjatanya!
“Beng-cu, pedangku rusak, aku
tidak mempunyai senjata lagi,” kata Pek I Kongcu, agak gugup.
“Huh, engkau sungguh tak ada
gunanya!” bentak Siauw-bin Ciu-kwi. “Pakailah pedang ini!” Dia melemparkan
sebatang pedang yang berada di dalam perahu kepada pembantu itu dan Pek I
Kongcu segera menangkap dan mencabut pedang itu dari sarungnya.
Sebatang pedang yang
berkilauan dan dia girang sekali. Biarpun belum tentu pedang ini mampu
menandingi pedang lawan, namun jelas yang dipegangnya adalah sebatang pedang
yang baik, maka diapun berdiri di samping Lim-kwi Sai-kong, siap untuk
mengeroyok Hek-liong-li. Sedangkan Siauw-bin Ciu-kwi juga melompat turun dari
perahu, lalu berlari ke depan menyambut datangnya dua orang muda yang melakukan
pengejaran itu.
Hal ini dia lakukan agar
pertandingan tidak dilakukan terlalu dekat dengan perahu di mana dia menyimpan
peti harta karun itu. Dua orang pembantunya yang kini berbesar hati karena di
situ terdapat Siauw-bin Ciu-kwi, juga berlari ke depan mengikuti pimpinan
mereka.
Ketika Pek-liong dan
Hek-liong-li tiba di depan mereka bertiga, jarak antara tempat itu dengan
perahu yang berada di tepi telaga ada duaratus meter sehingga kedua orang muda
itu tidak tahu di mana peti harta karun ita disembunyikan oleh Siauw-bin
Ciu-kwi.
“Siauw-bin Ciu-kwi, percuma
saja engkau melarikan diri. Sebelum kauberikan harta karun itu kepada kami,
sampai ke manapun engkau lari, kami akan menemukanmu!” kata Liong-li sambil
tersenyum mengejek, sedangkan Pek-liong memandang ke sana- sini untuk
menyelidiki di mana kiranya peti harta karun itu disembunyikan oleh kakek
pendek gendut yang kepalanya botak gundul itu.
Siauw-bin Ciu-kwi yang mukanya
kekanak-kanakan itu tersenyum mengejek, bahkan senyumnya makin lama berubah
menjadi suara ketawa dan perutnya yang gendut itu terguncang-guncang, kepalanya
yang botak gundul itu tergeleng-geleng.
“Ha-ha-ha, Pek-liong-eng dan
Hek-liong-li, kalian ini bocah-bocah sombong telah datang mengantarkan nyawa.
Bersiaplah kalian untuk mampus di tanganku!”
Setelah berkata demikian, tangannya
bergerak dan nampak sinar merah mencuat dan meluncur ke arah Pek-liong. Pemuda
ini cepat meloncat ke samping untuk mengelak.
Kiranya sinar merah itu adalah
sehelai sabuk sutera merah yang tadinya tergulung di dalam tangan Siauw-bin
Ciu-kwi dan begitu digerakkan tangan itu, sabuk itu meluncur bagaikan ular
hidup menyambar-nyambar. Pek-liong maklum akan kelihaian lawan, maka diapun
sudah mencabut Pek-liong-kiam dari punggungnya.
Lim-kwi Sai-kong dan Pek I
Kongcu yang sudah dipesan oleh Siauw-bin Ciu-kwi, tanpa banyak cakap lagi lalu
mengeroyok Hek-liong-li. Si raksasa muka singa itu sudah menggerakkan golok
besar dan rantai bajanya, sedangkan Pek I Kongcu menggerakkan pedang pemberian
Siauw-bin Ciu-kwi.
Mereka menyerang dengan
hati-hati, akan tetapi juga dengan jurus-jurus maut. Mereka tidak mau mengadu
senjata mereka dengan pedang Hek-liong-kiam, dan mereka mempergunakan kecepatan
dan keuntungan karena mereka mengeroyok untuk mendesak Liong-li sambil
berputar-putar mengitari gadis berpakaian hitam itu.
Pek-liong harus mengakui
kelihaian lawan. Begitu serangan pertama sabuk sutera merah tadi dapat dia
hindarkan dengan loncatan ke samping, sabuk itu bagaikan bermata saja sudah
menyeleweng dan mengejar, kini tiba-tiba benda lemas itu berubah menjadi kaku
seperti tongkat dan melakukan totokan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah
utama di bagian depan tubuhnya! Pek-liong mengelak sampai lima kali, dan dua
kali totokan terakhir disambutnya dengan sabetan pedangnya sebagai tangkisan
dan untuk mematahkan senjata yang sudah berubah kaku seperti tongkat itu.
Akan tetapi begitu pedangnya
bertemu senjata merah itu, tongkat itu telah berubah lemas lagi seperti sutera
kembali dan tentu saja pedang pusakanya tidak dapat merusak sabuk sutera itu.
Bahkan yang terakhir kalinya, ujung sabuk sutera itu dengan lemasnya membelit
pedangnya, seperti ekor ular. Belitan yang amat kuat dan sabuk itu ditarik oleh
Siauw-bin Ciu-kwi mempergunakan tenaga sin-kang yang kuat sekali!
Pek-liong tentu saja tidak
membiarkan pedangnya dirampas. Dia mempertahankan pedangnya sehingga terjadilah
adu tenaga tarik menarik. Dan ternyata, dalam adu tenaga ini keduanya sama
kuat!
Hal ini mengejutkan hati
Siauw-bin Ciu-kwi. Di antara Kiu Lo-mo (Sembilan lblis Tua), dia termasuk
seorang yang memiliki tenaga yang amat kuat. Akan tetapi bocah ini mampu
menandinginya! Sungguh hal ini mengejutkan hatinya dan dia tahu bahwa dia harus
berhati-hati sekali. Lawannya ini sungguh tak boleh dipandang ringan.
“Hohhhh......!” Tiba-tiba saja
dia melangkah dekat tanpa mengurangi tarikan terhadap sabuk sutera yang
membelit pedang, dan tangan kirinya sudah menghantam ke arah kepala Pek-liong.
Pemuda ini maklum bahwa selama pedangnya masih dibelit sabuk, dia tidak berdaya
dan kakek itu lihai bukan main. Maka, melihat kakek itu menggunakan tangan kiri
untuk menghantam kepalanya, dia mendapatkan kesempatan baik untuk melepaskan
pedangnya dari belitan.
Bagaimanapun juga, kakek itu
tentu memecah tenaga sin-kangnya untuk melakukan penyerangan itu. Maka, dia
berpura-pura menangkis dengan tangan kirinya. Gerakan ini hanya pura-pura saja
dan sama sekali dia tidak mengerahkan sin-kang pada tangan kirinya. Sebaliknya,
Siauw-bin Ciu-kwi yang melihat pemuda itu menangkis, tentu saja mengerahkan
tenaga pada tangan kiri yang memukul.
Pada saat itu, Pek-liong
mengerahkan semua tenaganya pada tangan kanan dan menarik pedangnya sambil
melempar tubuh ke kiri untuk menghindarkan pukulan tangan kiri lawan. Pedang
itu terlepas dari libatan dan Siauw-bin Ciu-kwi mengeluarkan suara gerengan
marah karena dia baru tahu bahwa dia telah diakali setelah pedang itu terlepas
dari libatan sabuk sutera, dan pukulannya sama sekali tidak ditangkis,
melainkan dielakkan dengan melempar tubuh ke kiri.
Pemuda itu bergulingan
beberapa kali lalu meloncat berdiri lagi dengan pedang Pek-liong-kiam siap di
depan dada!
Siauw-bin Ciu-kwi kini marah
bukan main. Dia adalah seorang datuk besar yang terkenal sebagai seorang di
antara Kiu Lo-mo, ditakuti oleh semua orang kang-ouw, dipuja oleh semua tokoh sesat
di dunia hitam. Kini ada seorang pemuda berani menentangnya, bahkan
menandinginya satu lawan satu. Kalau dia tidak mampu membunuh pemuda ini,
sungguh nama besarnya akan runtuh!
“Haiiiihh......!” Dia
berteriak dan tangan kanan yang memegang sabuk sutera itu bergerak lagi. Sinar
merah menyambar, mengeluarkan suara mencicit nyaring. Sabuk merah itu
panjangnya hanya dua meter, ditambah lengannya yang pendek, ketika menyerang
itu jangkauannya paling jauh hanya tiga meter.
Pek-liong berdiri dalam jarak
empat meter lebih dari kakek itu, maka ketika melihat sabuk merah menyambar,
Pek-liong tenang-tenang saja, tahu bahwa sabuk itu hanya menggertak dan tidak
akan dapat mencapainya karena terlalu jauh. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika
dia melihat sabuk merah itu terus maju dan meluncur ke arah lehernya!
Sabuk itu bukan saja mampu
mencapainya, bahkan ujungnya masih lebih dan akan dapat melibatnya seperti
ketika melibat pedangnya tadi! Dia cepat melempar tubuh ke belakang lalu
bergulingan dan luput dari serangan berbahaya itu. Dia meloncat berdiri lagi
dan tahulah dia kini bahwa Siauw-bin Ciu-kwi memiliki ilmu yang dapat membuat
lengannya memanjang! Lengan yang pendek itu dapat menjangkau sampai panjang,
dapat mulur seperti karet!
Pek-liong tidak merasa gentar,
bahkan gembira bahwa dia tahu akan hal ini dan dapat berjaga diri menghadapi
ilmu yang aneh itu. Kini dia meloncat ke depan dan memutar pedang
Pek-liong-kiam untuk menyerang sebagai balasan. Serangannya dapat dielakkan
oleh kakek pendek gendut itu yang ternyata dapat bergerak dengan gesit sekali.
Bahkan kakek itu menahan desakan pedang Pek-liong-kiam dengan totokan-totokan
sabuknya yang berbahaya.
Terjadilah perkelahian yang
amat hebat antara Siauw-bin Ciu-kwi dan Pek-liong. Tenaga mereka seimbang.
Pek-liong menang gesit dan menang ulet karena dia lebih muda, akan tetapi dia
kalah pengalaman, dan lawannya itu memiliki banyak sekali siasat yang aneh-aneh
dan curang dalam caranya bersilat dan berkelahi.
Sampai tigapuluh jurus mereka
saling serang dan tiba-tiba kakek itu memutar sabuknya. Sabuk sutera yang lemas
itu kini berputar seperti kitiran sehingga nampak lingkaran merah seperti
payung yang melindungi tubuh gendut pendek itu sebagai perisai. Ketika
Pek-liong mencoba untuk memecahkan “payung” itu, yang terbuat dari lingkaran
sinar merah, pedangnya membalik!
Pedang pusaka Pek-liong-kiam
memang ampuh dan tajam untuk mematahkan senjata dari baja dan besi yang
bagaimanapun, akan tetapi menghadapi senjata sutera yang lemas itu, senjata
pedang ini seperti kehilangan keampuhannya. Dan tiba-tiba dari balik ‘payung’
itu, tangan kiri Siauw-bin Ciu-kwi mencuat dan dada Pek-liong kena dihantam
oleh telapak tangannya.
“Bukk!!” Tubuh Pek-liong
terjengkang dan dia bergulingan sampai beberapa meter jauhnya untuk menghindarkan
diri dari serangan susulan. Dan untung saja dia melakukan hal itu karena sabuk
sutera itu, berubah menjadi sinar merah, telah menyerangnya berkali-kali dan
mengejarnya ketika dia bergulingan. Ketika ujung sinar merah itu mengenai tanah
karena luput mengenai tubuh Pek-liong, tanah itu berlubang-lubang seperti
ditusuk tombak!
Pek-liong dapat menghindar dan
meloncat berdiri. Mukanya berubah agak pucat. Dadanya kena dihantam telapak
tangan kiri lawan. Untung dia sudah melindungi dadanya dengan kekuatan sin-kang
yang tadi sempat dia kerahkan sehingga kini hanya terasa nyeri sedikit, tidak
sampai dia menderita luka dalam yang parah. Bagaimanapun juga, dadanya nyeri
dan napasnya menjadi agak sesak!
Bukan main hebatnya Siauw-bin
Ciu-kwi. Belum pernah selama hidupnya, sejak melawan Hek-sim Lo-mo dan berhasil
menewaskan datuk besar itu bersama Liong-li, dia bertemu dengan lawan setangguh
Siauw-bin Ciu-kwi ini!
Ketika dia mendesak dengan
pedangnya, dalam suatu kesempatan dia dapat melakukan tendangan dengan kaki
kirinya ke arah kaki kanan lawan, menyambar ke arah lutut. Kakinya menyentuh
kaki lawan dan kakek itupun terguling jatuh! Akan tetapi, pada saat dia
terguling itu, saat yang amat menyenangkan hati Pek-liong dan membuat hatinya
berdebar dan kewaspadaannya agak melemah, tiba-tiba saja kaki kakek itu
mencuat, melakukan tendangan sambil menjatuhkan diri. Gerakannya ini selain
cepat, juga aneh dan sama sekali tidak terduga.
“Desss!!” Tak dapat
dihindarkan lagi, paha Pek-liong tercium ujung sepatu dan untuk kedua kalinya,
Pek-liong menjadi korban serangan dan dia sampai terpental dan terbanting
roboh! Akan tetapi, tubuh pemuda ini memang kuat dan kebal. Pahanya hanya
membiru dan terasa nyeri, namun dia masih mampu meloncat dengan cepat dan
memutar pedangnya untuk melindungi diri ketika lawannya menyusulkan serangan
bertubi dengan sabuk sutera merahnya.
Kini Pek-liong berkelahi
dengan hati-hati sekali. Dua kali dia menjadi korban serangan dengan siasat
yang licik. Lawannya licik dan curang, memiliki berbagai gaya serangan yang
aneh, maka diapun tidak terlalu mendesak dan lebih memperhatikan pertahanannya
agar tidak mudah kecurian seperti tadi.
Sementara itu, perkelahian
antara Liong-li yang dikeroyok oleh dua orang lawan juga berlangsung dengan
seru dan mati-matian. Kedua orang lawannya juga bukan orang-orang sembarangan,
melainkan tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah terkenal sekali karena mereka
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Lim-kwi Sai-kong dengan golok
besar dan rantai bajanya memang buas dan liar bagaikan seekor singa, sedangkan
Pek I Kongcu, bekas murid Kun-lun-pai itu, selain telah mewarisi ilmu pedang
dari Kun-lun-pai yang indah dan juga dahsyat, juga dia memiliki banyak
ilmu-ilmu dari dunia sesat, ilmu silat yang penuh dengan daya tipu dan muslihat
berbahaya.
Namun, sekali ini kedua orang
itu menemukan lawan yang amat tangguh. Biarpun usianya masih muda sekali, baru
duapuluh empat tahun, namun Hek-liong-li Lie Kim Cu adalah seorang wanita
gemblengan.
Bukan saja tergembleng oleh
gurunya yang sakti, yaitu Huang-ho Kui-bo seorang datuk sesat pula yang
memiliki ilmu-ilmu hebat, akan tetapi juga tergembleng oleh
pengalaman-pengalaman pahit getir sehingga ia menjadi seorang wanita yang
gemblengan, tabah, penuh keberanian, cerdik luar biasa dan juga ia mampu
mengembangkan ilmu-ilmu silat yang dipelajarinya dari Huang-ho Kui-bo sehingga
ia menjadi lihai sekali, mungkin tidak kalah lihai dibandingkan nenek yang
menjadi gurunya!
Dengan pedang Hek-liong-kiam
di tangan, Liong-li menjadi semakin tangguh. Dua orang lawannya selalu
menghindarkan pertemuan senjata mereka dengan pedang di tangan wanita cantik
itu, dan hal ini membuat Liong-li memperoleh banyak kesempatan untuk mendesak.
Namun, pertahanan kedua orang
itu memang amat kuat. Mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik dan selalu
melindungi. Kalau Liong-li mendesak yang satu, yang lain tentu menyerangnya
dengan gencar sehingga terpaksa Liong-li harus membagi perhatiannya dan
karenanya, serangannya menjadi kurang terpusat dan kurang kuat.
Setelah lewat limapuluh jurus
dan hanya mampu mendesak kedua orang pengeroyoknya, tiba-tiba tubuhnya meloncat
jauh ke atas, ke sebuah pohon besar yang tumbuh tak jauh dari situ. Ketika
tubuhnya turun, tangan kirinya sudah memegang sebatang ranting pohon yang tadi
dibabatnya dengan pedang. Dan begitu tangan kirinya memegang ranting sebagai
senjata tongkat maka Liong-li bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayap. Memang
keahliannya adalah bermain pedang dan bermain tongkat.
Kini, Hek-liong-kiam dibantu
dengan gerakan tongkat yang menotok-notok ke arah jalan darah lawan. Diserang
oleh dua senjata yang ampuh itu, Lim-kwi Sai-kong dan Pet I Kongcu terkejut
bukan main dan merekapun menjadi gugup dan permainan mereka menjadi kacau.
“Tranggg......!” Pedang di
tangan Pek I Kongcu terlepas ketika pedang itu bertemu ranting yang digetarkan
dan sebelum Pek I Kongcu sempat menghindarkan diri, pedang Hek-liong-kiam telah
menyambar dan pemuda berpakaian putih itupun roboh mandi darah dengan dada
ditembusi pedang!
Lim-kwi Sai-kong terkejut dan
marah sekali. Dia mengeluarkan auman singa yang dahsyat, lalu menubruk maju
dengan kedua senjatanya diputar.
Melihat lawan yang marah dan
nekat itu, Liong-li tersenyum. Ia tadi melihat dengan sudut matanya betapa
rekannya, Pek-liong terdesak hebat oleh lawan. Bahkan ia tahu pula ketika
sampai dua kali Pek-liong terkena pukulan dan tendangan, maka ia ingin
cepat-cepat menyelesaikan perkelahiannya dengan kedua orang pengeroyoknya agar
ia dapat membantu Pek-liong.
Kini, melihat Lim-kwi Sai-kong
nekat dan menyerangnya dengan ganas, memutar kedua senjatanya, ia menjadi
girang dan cepat ia menyambut dengan putaran pedang di tangan kanannya. Nampak
gulungan sinar hitam yang menyeramkan, mengeluarkan angin berdesingan dan
begitu gulungan sinar ini bertemu dengan golok besar dan rantai baja, kedua
senjata itupun patah-patah dan beterbangan!
Barulah Lim-kwi Sai-kong
terkejut dan teringat. Dalam kemarahannya tadi, dengan penuh nafsu dia hendak
menyerang dan merobohkan wanita berpakaian hitam itu, menyerang dengan penuh
nafsu sambil mengerahkan seluruh tenaganya, dia terlupa akan keampuhan
Hek-liong-kiam.
Kini setelah kedua senjatanya
patah-patah, baru dia teringat dan hatinya menjadi gentar. Ingin dia meloncat
dan melarikan diri, akan tetapi tidak sempat lagi. Pedang bersinar hitam
menyambar ke arah lehernya. Lim-kwi Sai-kong masih mampu mengelak dengan
merendahkan dirinya, akan tetapi pada detik berikutnya, dia terjungkal roboh
karena totokan ranting di tangan kiri Hek-liong-li. Begitu dia roboh, sinar hitam
pedang Hek-liong-kiam menyambar dan Lim-kwi Sai-kong tewas tanpa sempat
mengeluarkan suara lagi karena lehernya putus disambar sinar hitam tadi!
Tanpa membuang waktu lagi,
Liong-li melompat dan membantu Pek-liong yang terdesak. Tentu saja Pek-liong merasa
gembira, sebaliknya Siauw-bin Ciu-kwi menjadi gelisah. Dia memaki diri sendiri
mengapa selama itu belum juga dia mampu merobohkan Pek-liong.
Kalau dia sudah mampu
merobohkan Pek-liong, tentu kini dia tidak gentar menghadapi Liong-li. Akan
tetapi dikeroyok dua? Mengalahkan Pek-liong seorang saja sudah amat sukar, apa
lagi ditambah Liong-li yang dia dengar tidak kalah lihainya dibandingkan
Pek-liong!
Dan segera dia melihat dan
merasakan buktinya ketika Liong-li terjun ke dalam perkelahian itu dan sinar
hitam menyambar-nyambar dahsyat ke arah tubuhnya! Dia mengira bahwa
Hek-liong-li belum tahu akan kelihaian sabuk sutera merahnya, maka diapun
menyambut pedang hitam itu dengan sabuk sutera merah, berniat untuk melibat
pedang itu seperti yang dilakukannya tadi terhadap pedang di tangan Pek-liong.
Begitu pedang hitam itu
bertemu sabuk sutera, pedang segera dilibat dengan amat kuatnya. Akan tetapi
justeru ini yang dikehendaki oleh Liong-li. Ia sudah memperhitungkan betapa
lihainya sabuk sutera yang lemas itu yang dapat dipergunakan menghadapi pedang
pusaka tanpa takut menjadi putus karena lemasnya.
Sabuk sutera itu baru dapat
dibikin putus kalau ia mengeras, maka iapun sengaja membiarkan pedangnya
dilibat. Kalau ia terlambat bergerak dan sabuk itu sudah melibat pedangnya,
akan sukarlah untuk melepaskan pedang dari libatan. Akan tetapi, ia telah
memperhitungkan, pada detik sabuk bertemu pedang dan mulai melibat, ia secepat
kilat menggetarkan pedangnya dan menariknya dengan gerakan menyayat.
“Bretttt......!” Tak dapat
dicegah lagi, ujung sabuk yang melibat itupun terobek pedang! Hal ini sungguh
tidak disangka-sangka oleh Siauw-bin Ciu-kwi. Dia menjadi terkejut, akan tetapi
juga marah sekali. Sambil mengeluarkan seruan seperti binatang buas marah, dia
memutar sisa sabuk suteranya, juga tangan kirinya menyerang dengan pukulan
tangan kosong yang mengeluarkan uap kemerahan!
Bukan main berbahayanya
pukulan tangan merah ini, karena selain mengandung tenaga sin-kang yang kuat,
juga mengandung hawa beracun. Lebih lagi, lengan kiri itu dapat memanjang,
mulur seperti karet sehingga gerakannya sukar diduga. Amukan tangan kiri dan
sabuk sutera merah yang sudah putus ujungnya ini masih dibantu kedua kakinya
yang menyeling serangan itu dengan tendangan-tendangan kilat.
Demikian bebatnya serangan
kakek datuk sesat ini sehingga betapapun lihainya Pek-liong dan Liong-li, tetap
saja mereka harus berhati-hati karena hampir saja perut Pek-liong kena
tendangan, sedangkan Liong-li sempat dibuat terhuyung oleh serangkaian serangan
ilmu tangan merah itu. Diam-diam Liong-li harus mengakui bahwa kakek ini lihai
bukan main dan andaikata ia seorang diri yang harus maju menandinginya, akan
sukarlah untuk dapat mengalahkan datuk sesat ini. Akan tetapi, kini mereka
berdua saja mengeroyok!
Bukan saja Liong-li dan
Pek-liong masing-masing sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga
mereka dapat bekerja sama dengan baik sekali. Di antara mereka terdapat kontak
batin yang jarang terdapat di antara manusia. Hubungan yang amat akrab dam erat.
Mereka selalu saling membantu,
saling melindungi, bahkan untuk saling menolong, mereka setiap saat bersedia
mengorbankan nyawa sendiri! Ada hubungan yang bahkan melebihi cinta kasih
antara dua orang kekasih. Mereka seolah-olah dapat saling menjenguk isi hati
dan pikiran masing-masing.
Dalam pengeroyokan menghadapi
Siauw-bin Ciu-kwi inipun, gerakan pedang mereka saling menolong, saling
melindungi seolah-olah gerakan mereka berdua itu dikendalikan oleh satu
kecerdasan saja! Menghadapi kerja sama yang demikian hebatnya, Siauw-bin
Ciu-kwi mulai menjadi bingung dan terdesak, walaupun dia sudah mengeluarkan
semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Biarpun demikian, baru setelah
hampir satu jam lamanya, tenaga dan kecepatan Siauw-bin Ciu-kwi menurun banyak
sekali dan biarpun dia berusaha mati-matian, tetap saja ujung pedang di tangan
Pek-liong menyentuh pundaknya dan nyaris mengakibatkan luka hebat.
Untung dia masih membuat
gerakan miringkan tubuhnya sehingga hanya baju dan kulitnya yang terobek. Akan
tetapi pada saat berikutnya, pedang Liong-li juga menggores paha kirinya. Tidak
hebat kedua luka itu, namun mendatangkan keyakinan dalam hati Siauw-bin Ciu-kwi
bahwa kalau perkelahian dilanjutkan, akhirnya dia akan roboh dan tewas di ujung
pedang kedua orang muda yang amat lihai itu.
“Singgg......!” Pedang Naga
Hitam di tangan Liong-li menyambar ke arah lehernya.
“Singgg......!” Pedang Naga
Putih di tangan Pek-liong juga menyambar ke arah perutnya.
Kalau pedang Hek-liong-kiam
menyambar dari kanan ke kiri, maka pedang Pek-liong-kiam menyambar dari kiri ke
kanan sehingga tubuh Siauw-bin Ciu-kwi seperti digunting. Siauw-bin Ciu-kwi
mengelebatkan sabuknya yang sudah buntung dan berbareng dia melempar tubuhnya
ke belakang, Dua batang pedang tidak mengenai sasaran, bahkan muka kedua orang
itu disambar ujung sabuk.
Keduanya mengelak dan melihat
lawan kini bergulingan, merekapun mengejar dan mengirim tusukan-tusukan. Akan
tetapi, ternyata cara bergulingan seperti merupakan suatu ilmu yang aneh, akan
tetapi juga berbahaya bagi lawan. Dengan bergulingan, Siauw-bin Ciu-kwi dapat
menghindarkan setiap tusukan, dan kedua orang lawannya pun kini hanya dapat
menyerang dari atas saja, dengan tusukan atau bacokan.
Sebaliknya, sambil bergulingan
mengelak, Siauw-bin Ciu-kwi membalas dengan luncuran sabuk merahnya dari bawah,
atau kadang-kadang dia mengirim tendangan kilat yang amat berbahaya. Tangan
kirinya juga mengirim pukulan jarak jauh dan kadang-kadang, secara tiba-tiba,
tangan kirinya juga sudah menyambar batu atau tanah, dilontarkan ke arah muka
lawan!
Kakek ini memang hebat.
Biarpun dia melawan dua orang lawan lihai dengan bergulingan saja, dia masih
berhasil melemparkan batu mengenai pundak Liong-li dan membuat wanita itu
terhuyung, dan hampir saja kedua mata Pek-liong kena disambar sambitan tanah
dan pasir. Pemuda ini masih sempat miringkan mukanya sehingga yang terkena
sambaran tanah dan pasir hanya pipinya, akan tetapi juga cukup menimbulkan
nyeri dan membuat pipinya kemerahan seperti menerima tamparan keras!
Liong-li dan Pek-liong menjadi
penasaran. Sejak tadi, mereka hanya mampu mendesak Siauw-bin Ciu-kwi, bahkan
mereka telah menerima akibat serangannya yang walaupun tidak mendatangkan luka
parah atau bahaya, namun cukup mengejutkan dan menyakitkan hati.
“Pek-liong, kita serang dari
kanan kiri!” Tiba-tiba Liong-li berseru dan Pek-liong yang maklum akan maksud
rekannya, sudah melompat ke sebelah sana tubuh yang bergulingan itu dan
mulailah mereka menyerang dari kanan kiri!
Sekarang, repotlah Siauw-bin
Ciu-kwi! Kalau tadi, dia bergulingan dan kedua orang lawannya mengejar dan
melakukan serangan dari satu jurusan. Akan tetapi, kini mereka menyerang dari
dua jurusan, membuat dia tidak mampu lagi bergulingan. Maka, dia lalu meloncat
berdiri dan kembali pangkal lengannya tergores ujung pedang Liong-li.
“Lihat senjata rahasiaku!”
bentaknya dan tangan kirinya melemparkan sebuah benda yang diambilnya dari
pinggang.
Liong-li dan Pek-liong tentu
saja menjadi waspada oleh bentakan itu dan mereka menahan pedang, siap menghadapi
serangan senjata rahasia dalam bentuk apapun juga. Mereka tadi sudah merasakan
betapa hebatnya lontaran kakek itu. Baru menggunakan kerikil, pasir dan tanah
yang berada di bawah saja, dia sudah amat berbahaya, apa lagi kalau menggunakan
senjata rahasia. Jarak antara mereka dan Siauw-bin Ciu-kwi harus agak jauh
sehingga mengurangi kecepatan serangan senjata rahasia.
Akan tetapi, Siauw-bin Ciu-kwi
tidak melontarkan senjata rahasianya itu kepada mereka, melainkan membantingnya
ke atas tanah. Terdengar ledakan keras dan asap hitam mengepul tebal sekali.
Karena khawatir kalau-kalau asap itu beracun, Liong-li dan Pek-liong
berlompatan menjauh. Ketika asap membuyar, Siauw-bin Ciu-kwi sudah lenyap.
“Celaka, kita ditipunya!”
teriak Liong-li dan mereka lalu cepat berloncatan mencari.
“Itu dia......!” Pek-liong
menuding. Kiranya Siauw-bin Ciu-kwi sudah mendayung perahu menuju ke tengah
telaga!
“Ah, tentu peti itu sudah
lebih dulu dia simpan di dalam perahu. Kita harus mengejarnya!” kata Liong-li.
Akan tetapi di situ sunyi
sekali, tidak ada perahu. Bagaimana mungkin dapat mengejar Siauw-bin Ciu-kwi
yang melarikan diri menggunakan perahu ke tengah telaga? Pada saat itu, sebuah
perahu meluncur cepat ke arah mereka.
“Tai-hiap......!”
“Li-hiap......!”
Dua orang muda perkasa itu
menengok dan mereka gembira bukan main.
“Sun Ting......! seru
Liong-li.
“Cian Li......! Pek-liong juga
berseru girang.
Setelah perahu mendekat,
mereka lalu meloncat ke atas perahu.
“Cepat, jangan bicara dulu.
Mari kita kejar perahu di depan itu!” kata Liong-li dan mereka berempat lalu
mendayung perahu itu sehingga meluncur cepat sekali mengejar perahu yang
didayung oleh Siauw-bin Ciu-kwi.
Mereka telah berada jauh dari
tempat ramai, tiba di bagian yang sepi dari telaga, di dekat pantai yang penuh
hutan dan bukit. Kalau Siauw-bin Ciu-kwi sudah mendarat di pantai itu, tentu
akan sukar untuk menemukannya. Akan tetapi, perahu mereka jauh lebih cepat dan
sebelum tiba di pantai, mereka sudah mengejar dekat.
“Siauw-bin Ciu-kwi, engkau hendak
lari ke mana?” bentak Pek-liong.
“Kakek iblis, harta karun itu
berikan saja kepada kami!” kata pula Liong-li sambil tersenyum.
Melihat bahwa tidak mungkin
melarikan diri lagi dan bahwa dia harus melawan mati- matian kalau ingin
menyelamatkan harta karun dan nyawanya, Siauw-bin Ciu-kwi menjadi marah bukan
main. Dia lalu mengangkat peti hitam itu ke atas kepalanya.
“Kalau aku tidak bisa
mendapatkan harta karun ini, maka orang lainpun tidak!” Berkata demikian, dia
melemparkan peti itu ke atas dan ketika peti meluncur turun, dia menyambutnya
dengan hantaman kedua tangannya.
“Brakkkk!!” Peti itu hancur
berantakan dan isinyapun berhamburan jatuh ke dalam telaga dan sebentar saja
semua isinya tenggelam dan lenyap.
“Engkau iblis keparat!”
Liong-li membentak.
“Siauw-bin Ciu-kwi, engkau
tidak akan terlepas dari tangan kami!” Pek-liong juga membentak.
Siauw-bin Ciu-kwi tertawa
bergelak. “Ha-ha-ha ha, kalian juga tidak kebagian apa-apa!”
Dua orang muda itu sudah
berloncatan ke atas perahu di mana Siauw-bin Ciu-kwi berdiri dan datuk sesat
inipun menyambut mereka dengan sabuk sutera merahnya. Liong-li dan Pek-liong
menggerakkan pedang, dan karena perahu itu tidak besar, maka tentu saja
Siauw-bin Ciu-kwi tidak dapat bergerak dengan leluasa. Perahupun terguncang dan
ketika Siauw-bin Ciu-kwi menangkis pedang Pek-liong yang menyerang dari depan,
dia tidak mampu menghindarkan diri lagi ketika dari belakangnya, Liong-li
menusukkan pedang Hek-liong-kiam!
“Cappp......!” Pedang itu
menembus punggung. Akan tetapi kakek yang amat kuat itu sudah membalik sehingga
pedang itu terlepas dari pegangan tangan Liong-li dan masih tertinggal di
punggung Siauw-bin Ciu-kwi!
Kini tangan kiri kakek itu
mulur dan hendak mencekik Liong-li. Gadis perkasa ini mengelak dengan loncatan
ke kiri, akan tetapi karena perahu itu kecil, loncatannya membuat ia jatuh ke
dalam air.
Pada saat itu, pedang
Pek-liong-kiam juga sudah meluncur dan menusuk lambung kakek itu, amblas sampai
tembus. Kembali kakek itu membalik dengan kekuatan yang luar biasa sehingga
pedang Pek-liong-kiam juga terlepas dari tangan Pek-liong dan tertinggal di
lambung kakek itu.
Kakek itu menggerakkan sabuk
suteranya, akan tetapi agaknya kini tenaganya sudah habis karena diapun
terkulai dan roboh ke dalam perahunya, tak berkutik lagi karena ternyata
nyawanya telah meninggalkan tubuhnya! Liong-li naik lagi ke perahu dengan
pakaian basah kuyup. Ia saling pandang dengan Pek-liong dan wanita itu menarik
napas panjang.
“Bukan main! Dia ini adalah
seorang lawan yang amat tangguh!”
“Benar,” kata Pek-liong.
“Sayang sekali kepandaian yang demikian tinggi itu dia pergunakan untuk
kejahatan.” Mereka mencabut pedang masing-masing dari tubuh yang sudah tak
mampu bergerak itu.
“Tai-hiap......!”
“Li-hiap......!”
Dua orang muda sakti itu
menoleh dan mereka melihat kakak beradik itu sudah mengenakan pakaian menyelam,
pakaian yang ketat mencetak tubuh mereka sehingga membuat Liong-li dan
Pek-liong memandang dengan kagum.
“Kami akan menyelam dan
mengumpulkan harta karun itu!” kata Sun Ting.
“Baiklah, dan kami akan
mengubur dulu jenazah ini,” kata Liong-li.
Pek-liong kagum, akan tetapi
tidak mengatakan sesuatu. Dia tahu bahwa di dasar hati wanita yang dipujanya
ini terdapat suatu kelembutan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kehidupannya
yang keras dan penuh bahaya. Mereka lalu mendayung perahu Siauw-bin Ciu-kwi itu
ke pantai, kemudian menggali lubang dan mengubur jenazah bekas lawan itu dengan
sederhana.
Kemudian mereka kembali ke
tempat tadi. Ternyata kakak beradik itu telah beberapa kali menyelam dan
berhasil mengumpulkan banyak barang berharga yang tadi berhamburan dari dalam
peti harta karun.
Seperti tidak disengaja saja,
kalau dia timbul dari menyelam dan membawa barang emas intan, Sun Ting tentu
berenang ke perahu di mana Liong-li berada. Adapun Cian Li, setelah muncul,
berenang ke perahu yang sebuah lagi, di mana Pek-liong menantinya dengan senyum
dan pandang mata kagum.
◄Y►
Pek-liong pergi membeli
makanan dan minuman karena penyelaman kakak beradik yang mengumpulkan harta
karun yang berhamburan itu akan makan waktu sedikitnya tiga hari! Pada hari
pertama itu, sudah terkumpul cukup banyak di dalam dua perahu.
Setelah matahari condong ke
barat, ketika Cian Li muncul sambil membawa kantung kain terisi beberapa buah
benda emas dan naik ke perahu di mana Pek-liong sudah menanti, Pek-liong
menerima kantung itu dan mengeluarkan isinya, ditumpuk di dalam perahu bersama
barang lain yang sudah terkumpul selama sehari itu. Ketika Cian Li hendak
meloncat lagi, dia memegang lengan gadis itu.
“Sudah cukup, Cian Li. Besok
masih ada hari. Engkau sudah bekerja sejak tadi dan hari sudah menjelang senja.
Kakakmu juga sudah mengaso,” kata Pek-liong tanpa melepaskan lengan yang
dipegangnya. Betapa lembut dan hangat lengan itu, dan betapa di bawah kulit
yang putih mulus itu tersembunyi kekuatan yang mengagumkan, kekuatan yang
terhimpun melalui gerakan renang.
Ketika merasa betapa jari-jari
tangan pendekar pujaannya itu tidak melepaskan lengannya, bahkan perlahan-lahan
membelai dan naik ke siku, Cian Li marasa betapa seluruh bulu di tubuhnya
meremang dan bangkit berdiri.
“Di mana dia? Mana kakakku?”
Ia mengalihkan perhatian sambil memandang ke arah perahu yang sebuah lagi,
beberapa puluh meter dari situ. Tidak nampak seorangpun di perahu itu! “Eh, di
mana kakakku dan di mana pula li-hiap?”
Pek-liong tertawa. “Mereka?
Mereka di perahu!”
“Tapi tidak kelihatan dari
sini!”
“Tentu saja, kalau kita berada
di bilik perahu inipun tentu tidak akan kelihatan dari perahu mereka.”
Cian Li memandang lagi. Perahu
yang di sana itu bergoyang-goyang, tanda bahwa me-mang ada orangnya, akan
tetapi orangnya berada di dalam bilik perahu yang sempit, maka tidak nampak.
Tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali, mulutnya menahan senyum dan ia
tersipu. Pek-liong menariknya dan ia tidak menolak, bahkan menyambut mesra
ketika Pek-liong mendekap tubuhnya yang masih basah itu dan membawanya ke dalam
bilik perahu.
Sementara itu, di perahu yang
lain, tadi Liong-li juga mencegah ketika Sun Ting menyelam lagi. “Besok saja
lagi, Sun Ting. Jangan engkau terlalu lelah karena barang yang harus diambil
dari dasar telaga masih banyak.”
Liong-li lalu masuk ke bilik
perahu dan merebahkan dirinya. Ia menghela napas panjang, kagum memandang
kepada Sun Ting. Bentuk tubuh pemuda itu membayang di balik pakaian renangnya
yang ketat dan basah.
Darah mudanya sudah sejak tadi
bergolak melihat betapa otot-otot tubuh Sun Ting bergerak-gerak di bawah
pakaian yang ketat itu, ketika pemuda itu naik turun perahu. Betapa indah dan
jantannya!
“Aih, enak istirahat di sini,
Sun Ting, terlindung dari panasnya matahari dan tidak kelihatan orang lain.”
Melihat wanita yang dipujanya
itu, Sun Ting yang memang sudah jatuh cinta, menelan ludah. Dia merangkak
menghampiri, dan suaranya gemetar ketika dia bertanya, “......enci bagaimana...
bagaimana dengan luka di pinggulmu......?”
Melihat betapa pemuda itu
sukar bicara, dan kedua tangan itu gemetar, Liong-li tersenyum manis. “Sudah
agak sembuh, Sun Ting. Coba kaulihat sendiri.” Berkata demikian, Liong-li
membalikkan tubuhnya, miring hampir menelungkup.
Dengan tangan gemetar Sun Ting
mendekat, lalu meraba, “......boleh... boleh aku melihatnya?”
“Tentu saja, bukankah engkau
yang dulu mengobatinya?”
Dengan kedua tangan gemetar
Sun Ting menarik celana itu agak turun sehingga nampak pinggul yang berkulit
putih mulus itu, pinggul yang membukit besar. Luka itu memang sudah sembuh dan
kering, hanya tinggal bekasnya saja. Akan tetapi Sun Ting sudah tidak kuat
menahan dirinya dan diapun menciumi pinggul itu, luka di pinggul itu.
“Enci...... ah, enci... betapa
indah pinggulmu......”
“Ih, anak nakal!” Liong-li
membalik, lalu merangkul dan menarik tubuh Sun Ting sehingga mereka berdekapan.
Ketika Pek-liong dan Cian Li
sudah saling dekap dan saling berciuman, Pek-liong merasa heran karena gadis
dalam pelukannya itu menangis!
“Cian Li, engkau kenapa?
Mengapa engkau menangis?”
Cian Li mempererat
rangkulannya dan menjawab lirih sambil menyembunyikan muka di leher pemuda itu,
“Tidak apa-apa...... aku.... aku menangis karena bahagia, Hay-ko. Aku..... aku
sejak bertemu denganmu... aku telah jatuh cinta dan betapa aku mengharapkan
dapat berada dalam pelukanmu seperti ini......”
Pek-liong menghela napas dan
mengelus rambut kepala Cian Li. “Cian Li, sebelum kita melangkah lebih jauh,
aku harus lebih dulu memperingatkanmu bahwa aku...... aku tidak seperti yang
kauharapkan, aku tidak seperti pria lain......”
Sekali ini Cian Li terkejut
dan bangkit duduk, memandang wajah pemuda yang rebah telentang itu. “Apa......
apa maksudmu, Hay-koko?”
“Engkau seorang gadis yang
baik, Cian Li maka aku harus berterus terang kepadamu. Aku memang suka
kepadamu, aku kagum kepadamu, akan tetapi hanya sampai di situ saja. Aku tidak
mungkin menjadi suamimu. Nah, aku harus memberitahukan hal ini lebih dulu
padamu. Aku tidak mau menghancurkan kebahagiaanmu. Nah, engkau sudah tahu
sekarang.
Sepasang mata itu terbelalak.
“Tapi...... tapi mengapa, koko? Kalau kita saling mencinta, kenapa kita tidak
dapat menjadi suami isteri?”
Pek-liong menggeleng kepala. “Tidak
mungkin! Aku tidak mau menikah, sekarang ini tidak dan belum! Hidupku masih
penuh bahaya, aku tidak mau membawa seorang isteri dalam bahaya maut.”
“Tapi aku...... aku mau, koko.
Aku tidak takut menghadapi bahaya maut, asal berada di sampingmu!”
“Tidak, Cian Li. Sudah
kujelaskan tidak dan harap jangan mendesakku. Aku sudah berterus terang, aku
tidak ingin melihat engkau nanti kecewa dan kehilangan kebahagiaanmu. Nah, kita
sudahi saja kemesraan ini dan kita menjadi saudara saja. Bagaimana?”
Pek-liong juga bangkit duduk.
Mereka duduk berhadapan, saling pandang dan mata gadis itu masih basah air
mata. Akan tetapi, tiba-tiba Cian Li menubruk dan merangkul Pek-liong sehingga
pemuda ini jatuh dan rebah telentang lagi, Cian Li di atasnya.
Gadis itu mencium mulut
Pek-liong dan ia berbisik, “Aku tidak perduli... biar engkau tidak menjadi
suamiku, aku tidak perduli...... engkaulah satu-satunya pria yang kukagumi dan
kucinta, aku...... aku ingin.... menjadi milikmu..... saat ini......”
Pek-liong balas merangkul.
“Engkau sungguh tidak akan menyesal?”
Cian Li memegang kepala pemuda
itu dengan kedua tangannya, agak dijauhkan agar mereka dapat saling
berpandangan. “Mengapa menyesal? Tidak! Aku ingin engkau yang menjadi pria
pertama yang memiliki diriku......” Mereka tidak bicara lagi.
Demikianlah, selama tiga hari
mereka berempat berada di perahu, masing-masing pasangan dalam sebuah perahu.
Makanan dan minuman yang dibeli Pek-liong cukup untuk mereka, dan sudah dibagi
menjadi dua.
◄Y►
Pada sore hari ketiga, Pek-liong
dan Liong-li menyuruh kakak beradik itu menghentikan penyelaman mereka. Biarpun
tidak mungkin mengumpulkan seluruh isi peti harta karun itu dan mungkin masih
ada yang tertinggal di dasar telaga, namun yang dapat dikumpulkan selama tiga
hari itu sudah lebih dari pada cukup. Tak ternilai harganya dan mereka menjadi
kaya raya!
Pada keesokan harinya, ketika
terbangun dari tidurnya karena merasa kedinginan, Cian Li membuka mata dan
berbisik lirih, “......Hay-koko......” tangannya merangkul akan tetapi tidak
merasakan apa-apa. Ia membuka matanya.
“Hay-ko......!”
Kosong dalam bilik perahu yang
sempit itu, yang setiap malam selama tiga hari ini menjadi tempat ia bersama
Pek-liong. Tidak ada jawaban. Bagaikan disengat laba-laba, karena menduga
sesuatu, Cian Li bangkit duduk.
“Hay-koko......??” Kini
suaranya terdengar mengandung kekhawatiran.
Ia bangkit berdiri dan keluar
dari dalam bilik perahu. Tidak nampak ada Pek-liong. Ia melihat sekeliling.
Sunyi. Perahu yang sebuah lagi nampak tak jauh dari situ, dan kedua perahu
mereka itu kini telah berada di pantai, tidak seperti kemarin, masih terapung
di tengah telaga.
“Hay-koko.....! Di mana
engkau......??” Ia berteriak dan meloncat ke daratan.
“Li-moi......!”
Ia membalik, penuh harapan.
Akan tetapi, yang memanggilnya adalah kakaknya sendiri, Kam Sun Ting yang
berada di atas perahunya.
“Li-moi, kau ke sinilah!” kata
pemuda itu sambil menggapai dengan tangan kiri, tangan kanannya memegang sebuah
surat yang agaknya sedang dibacanya, Cian Li berlari menuju ke perahu kakaknya
yang juga sudah menepi, lalu ia naik ke perahu.
“Bacalah surat ini, dan engkau
akan mengerti,” katanya dan Cian Li melihat betapa wajah kakaknya pucat sekali,
matanya mengandung kecewa dan duka, bahkan ia melihat kakaknya seperti orang yang
akan menangis! Ia merampas surat itu dan dibacanya.
Sun Ting dan Cian Li yang
tercinta.
Karena waktunya sudah tiba,
kami terpaksa meninggalkan kalian, untuk kembali ke tempat kami musing-masing
dan kami meninggalkan sebagian harta karun dalam kantung-kantung di perahu.
Pakailah untuk modal kalian hidup.
Maafkan kami, kami bukan jodoh
kalian. Carilah jodoh yang baik dan hiduplah berbahagia. jangan ingat kepada
kami lagi. Kami akan selalu mengingat kalian sebagai pemuda dan gadis yang
manis dan baik budi.
Selamat tinggal!
Hek-liong-li dan Pek-liong-eng
“Aiihh......!” Cian Li
mengeluh panjang dan iapun menubruk kakaknya. “Koko...... ah, koko..... jadi
dia benar meninggalkan aku.....!”
Ia menangis tersedu-sedu di
pundak kakaknya. Sun Ting hanya mengelus rambut kepala adiknya dan diapun
menangis, tidak terisak, melainkan air mata menetes-netes keluar dari kedua
matanya. Dia teringat akan kata-kata Liong-li semalam, ketika mereka berdua
sebagai jawaban ketika dia menyatakan ingin menikah dengan wanita itu.
“Sun Ting, jangan merusak
suasana. Ingatlah selalu hubungan kita selama tiga hari ini sampai kita mati,
dan akan selalu menjadi kenangan indah. Kalau kita menikah, kenangan itu akan
buyar dan lenyap. Aku tidak ingin terikat, tidak ingin menjadi isteri siapapun.
Aku sayang padamu, titik. Hanya sekian saja, tidak ingin terikat denganmu.
Kalau engkau ingin menikah, pilihlah seorang gadis yang baik. Aku tidak akan
menjadi isteri yang baik, aku seorang petualang, hidupku penuh bahaya maut.”
Sun Ting menepuk-nepuk pundak
adiknya. “Sudahlah, Li-moi. Mereka itu memang bukan orang-orang biasa. Sudah
beruntung bagi kita bahwa mereka menyayang kita dan kita akan mengingat dan
mengenang mereka sebagai sahabat-sahabat dan kekasih-kekasih yang amat kita
kagumi dan sayang.”
Karena memang ia tahu bahwa
Pek-liong pasti akan meninggalkannya, maka Cian Li dapat dihibur juga. Mereka
menemukan dua kantung harta karun itu, di dalam perahu. Biarpun bagian itu
hanya sepersepuluhnya, namun pada saat itu mereka telah menjadi orang-orang
yang kaya raya!
Dengan harta itu mereka akan
mampu membeli rumah besar, membuka toko yang besar. Atau kalau mereka
menghendaki, mereka dapat membeli tanah seluas dusun mereka! Dan di samping
harta karun itu, merekapun memiliki kenangan yang teramat manis, kenangan
selama tiga hari tiga malam bersama orang yang pernah mereka cinta, dan yang
takkan mungkin dapat mereka lupakan selama hidup mereka, biarpun kelak mereka
akan bertemu jodoh dan sampai mereka menjadi ayah, ibu, kakek dan nenek!
◄Y►
Sementara itu, jauh dari situ,
Pek-liong dan Liong-li menunggang kuda masing-masing yang mereka beli di dekat
telaga. Harta karun itu telah mereka bagi dan mereka simpan dalam kantung yang
kini mereka gendong di punggung. Tadinya Pek-liong menolak.
“Untuk apa kauberikan sebagian
harta karun itu padaku, Liong-li? Aku tidak membutuhkan harta karun! Kalau aku
membutuhkan sesuatu, tidak sukar bagiku untuk mendapatkannya!”
Liong-li tersenyum. “Mencuri
milik hartawan atau bangsawan? Hemm, memang baik saja akan tetapi kalau sampai
ketahuan, tentu akan tersiar ke mana-mana bahwa Pek-liong-eng, pendekar yang
terkenal menjadi pemberantas kejahatan itu ternyata hanyalah seorang pencuri
atau perampok. Ihh, aku akan ikut merasa malu, Pek-liong! Sebaiknya engkau
terima bagianmu dalam harta karun ini dan hidup berkecukupan. Dan ingat, kita
bersama sudah bersumpah untuk menentang kejahatan dan pekerjaan itu
kadang-kadang membutuhkan biaya yang cukup besar! Bawalah, belilah rumah yang
cukup besar agar aku menjadi betah di rumahmu kalau datang berkunjung.”
Akhirnya Pek-liong menerimanya
juga dan mereka membalapkan kuda meninggalkan Telaga Po-yang, telaga besar di
mana mereka mengalami petualangan yang amat berbahaya, akan tetapi juga amat
menguntungkan itu. Bukan hanya untung karena memperoleh harta karun yang tak
terhitung besarnya, akan tetapi bertemu pula dengan seorang pemuda dan seorang
gadis yang mereka sayang dan yang amat menyayang mereka pula.
Setelah tiba di jalan simpang,
mereka berhenti. Hari masih pagi sekali dan jalan itu masih sunyi. Keduanya
turun dari atas kuda, lalu saling berhadapan.
“Pek-liong, kita berpisah di
sini!”
Pek-liong mengerutkan alisnya.
“Liong-li, baru saja kita saling bertemu, haruskah sudah berpisahan lagi.
Apakah engkau tidak ingin berkunjung ke rumahku!”
“Hi-hik, nanti saja, kalau
engkau sudah membangun rumah yang besar! Dan belum waktunya engkau berkunjung
ke tempatku. Kita baru saja mengalami petualangan besar yang melelahkan dan
kita perlu beristirahat. Mudah-mudahan segera muncul suatu pekerjaan baru yang
akan dapat membawa kita bekerja sama pula menghadapinya. Nah, selamat berpisah,
Pek-liong!” kata Liong-li sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada.
“Selamat berpisah, Liong-li,”
jawab Pek-liong sambil memberi hormat pula.
Keduanya saling berpandangan
dan seperti ditarik besi semberani, keduanya melangkah maju dan di lain saat
mereka telah saling berpelukan. Tanpa berahi. Berpelukan seperti dua orang
sahabat yang enggan berpisah.
Pada saat mereka saling
rangkul itu, dalam lubuk hati masing-masing timbul perasaan bahwa sebetulnya,
pada perasaan yang paling mendalam, mereka itu saling memiliki! Betapa mudahnya
bagi mereka berdua untuk membiarkan diri terseret oleh perasaan sehingga timbul
nafsu yang akan menggelora, akan membakar segalanya.
Namun keduanya juga merasa
bahwa kalau hal ini mereka biarkan, maka perasaan kasih sayang yang amat
mendalam itu, saling memiliki itu, akan ikut pula terbakar. Oleh karena itu,
Liong-li yang lebih dulu melepaskan rangkulannya dan iapun sekali meloncat
sudah berada di atas punggung kudanya.
Pek-liong juga naik ke atas
punggung kudanya dan merekapun membalapkan kuda masing-masing, hanya menoleh
satu kali pada saat yang bersamaan! Kembali mereka heran dan juga gembira bahwa
dalam saat seperti itupun, kontak antara mereka itu masih demikian kuatnya
sehingga ketika menolehpun pada saat yang sama!
Mereka mengangkat tangan
sebagai selamat berpisah, lalu membalapkan kuda masing-masing dengan menuju
pulang ke tempat tinggal masing-masing. Pek-liong menuju dusun kecil di dekat
kota Hang-kauw, tak jauh dari Telaga See-ouw. Sedangkan Liong-li pulang ke kota
Lok-yang.
T A M A T