Hemm, munafik, ia memaki diri
sendiri. Ia malu? Ia malah bangga dan girang!
“Enci Cu, dalam hal yang gawat
ini kita harus menyingkirkan segala perasaan sungkan yang tidak ada gunanya.
Engkau tidak mungkin mengobati luka-luka di tubuh bagian belakang, kedua
tanganmu takkan dapat mencapainya.
“Kalau menyuruh dayang, tentu
ia akan merasa heran sekali dan siapa tahu keheranannya melihat tubuh
belakangmu penuh luka itu akan membuat, ia kelepasan bicara. Dan aku...... aku
sama sekali tidak merasa direpotkan atau rikuh karena memang engkau membutuhkan
pertolongan. Nah, maafkan, aku akan membuka jubahku yang kuselimutkan padamu
ini.”
Liong-li menahan senyumnya,
menyembunyikan mukanya ke dalam bantal sambil menelungkup ketika merasa betapa
tangan pangeran itu menyingkap penutup tubuh belakangnya.
“Aduh, betapa
mengerikan......!” seru pangeran itu sambil mengamati punggung dan pinggul yang
penuh jalur-jalur merah dan di sana-sini kulitnya pecah dan luka berdarah itu.
“Amat burukkah tubuh
belakangku?”
Pangeran itu mengamati
punggung dan pinggul itu. “Sama sekali tidak buruk, enci Cu. Punggung dan
pinggulmu indah sekali, kulitnya putih halus. Ah, betapa kejamnya mencambuk
kulit yang putih mulus ini sampai pecah-pecah......!”
Pangeran itu mulai mencuci
darah dari punggung dan pinggul itu, menggunakan kain putih yang dicelupkan di
air panas. Lembut sekali tangan itu menggerakkan kain basah hangat di permukaan
kulit yang terluka, dan Liong-li merasakan kelembutan ini, dan kalau kebetulan
jari tangan itu menyentuh kulitnya, ia merasa pula betapa tangan pangeran itu
gemetar! Ia merintih lirih.
“Sakitkah, enci Cu?” tanya
Pangeran Souw Han dengan hati iba.
Tentu saja hampir tidak terasa
oleh Liong-li kalau hanya nyeri seperti itu, akan tetapi ia merintih dan
mengeluh seolah-olah menderita nyeri hebat.
“Perih, Pangeran......”
katanya lirih.
“Kasihan engkau, enci
Cu.......”
Entah berapa kali pangeran itu
mengatakan hal ini dan makin sering rintihan keluar dari mulut Liong-li! Gila
kau, ia memaki diri sendiri. Bahaya semakin dekat! Ia sudah berusaha untuk
tidak membiarkan pangeran ini merawatnya, ia membela diri sendiri.
“Sekarang akan kutaburkan obat
bubuk ini, enci Cu,” kata pangeran itu setelah mengeringkan punggung dan
pinggul dengan kain kering.
Kedua tangannya semakin keras
gemetar karena selama hidupnya, belum pernah Pangeran Souw Han melihat punggung
dan pinggul seperti ini, apa lagi tubuh wanita, dan yang demikian indahnya.
Obat bubuk itu buatan Liong-li
sendiri dan amat manjur. Selain luka akan segera mengering kalau diobati dengan
obat ini, juga begitu ditaburkan di atas luka, rasanya dingin dan sejuk,
menghilangkan rasa nyeri!
Akan tetapi Liong-li malah
merintih-rintih, bukan karena nyeri melainkan karena terbakar gairah yang makin
berkobar karena sentuhan-sentuhan tangan Pangeran Souw Han ketika pangeran itu
membalurkan obat bubuk itu. Akan tetapi pangeran itu mengira bahwa Liong-li
menderita nyeri yang hebat, maka dia merasa terharu dan kasihan sekali.
“Enci Cu kenapa engkau lakukan
ini? Kenapa engkau membiarkan dirimu dihina dan disiksa? Kalau engkau mau,
tentu dengan mudah engkau dapat menghajar mereka lalu melarikan diri.”
“Aih, pangeran. Bagaimana
paduka dapat mengatakan demikian? Kalau saya melarikan diri, tentu paduka akan
menghadapi tuntutan dan dakwaan hebat! Bagaimana mungkin saya dapat melakukan
itu, mencelakakan paduka? Dari pada mencelakakan paduka, biarlah tubuh saya ini
menderita, juga untuk menyembunyikan rahasia saya.”
“Hemm, enci Cu. Engkau begini
baik, engkau gagah perkasa, cantik jelita, dan engkau pandai menari, bernyanyi,
bermain musik, Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan wanita seperti
engkau. Enci Cu, sekarang aku tahu bahwa ketika tadi aku mengaku kepada kanda
Souw Cun bahwa engkau satu-satunya wanita yang kucinta, maka pengakuan itu
bukan sekedar membelamu. Aku memang cinta padamu, enci Cu!”
“Pangeran...... ah,
pangeran......!” Entah siapa yang bergerak lebih dulu, akan tetapi seperti
terdorong oleh kekuatan yang hebat mereka saling rangkul. Mereka berangkulan
dan ketika pangeran itu menciumnya, Liong-li tahu bahwa ia sudah kalah.
Sebaliknya, dalam rangkulan
wanita yang berpengalaman ini, Pangeran Souw Han yang masih hijau itupun
seperti mabok. Dia lupa bahwa kini Liong-li dapat bergerak, leluasa dan kuat,
dapat menelentang tanpa keluhan. Akan tetapi pada detik terakhir tiba-tiba
Liong-li bangkit duduk dan menarik pangeran itu untuk duduk pula.
Mereka duduk di atas
pembaringan dan ketika pangeran itu hendak merangkulnya, Liong-li menahannya
dengan lembut.
“Nanti dulu, Pangeran. Sebelum
terlanjur, saya mohon paduka suka mendengarkan dulu kata-kata saya.”
Pangeran Souw Han memandang
dengan sinar mata penuh kasih sayang dan kemesraan, “Katakanlah, enci Cu!”
“Pangeran, paduka adalah
Pangeran Souw Han yang selamanya belum pernah bergaul dengan wanita. Sekarang
paduka hendak menumpahkan cinta kasih kepada saya, sepatutnya paduka ketahui
siapa saya ini.
“Pangeran, saya adalah seorang
wanita yang mempunyai riwayat tidak bersih, Pangeran. Ketika gadis, oleh
mendiang ayah saya dijual kepada seorang bangsawan. Saya diperkosa, kemudian
saya dijual ke rumah pelacuran di mana saya dipaksa menjadi pelacur! Menjadi
pelacur, Pangeran! Kemudian setelah saya mendapatkan kepandaian, saya balas
semua orang keji dan jahat itu. Nah, saya bukan seorang wanita yang bersih.
Benar seperti dikatakan Pangeran Souw Cun, saya tidak pantas menjadi wanita
yang menerima kasih sayang paduka untuk pertama kalinya.......”
“Enci Cu, aku cinta padamu,
tidak perduli siapa engkau ini dan bagaimana masa lalumu. Aku tidak mencinta
riwayatmu, aku mencintai dirimu!” Pangeran itu hendak merangkul lagi, akan
tetapi dengan halus Liong-li memegang kedua lengannya.
“Masih belum habis apa yang
hendak saya katakan, Pangeran. Terus terang saja, begitu berjumpa dengan paduka,
hati saya terpikat. Saya suka sekali dan kagum kepada paduka dan tidak ada
kesenangan yang lebih saya inginkan sekarang ini kecuali melayani paduka,
saling menumpahkan kasih sayang dengan paduka. Akan tetapi, saya dapat dan
senang melakukan hal itu, hanya dengan satu syarat, Pangeran.”
“Syarat? Orang bercinta dengan
syarat?” Pangeran itu mengerutkan alisnya.
“Syaratnya, saya tidak dapat
menjadi isteri paduka, tidak dapat menjadi selir paduka. Apa yang akan kita
lakukan ini adalah suka rela, tidak ada ikatan. Setelah selesai tugas saya di
istana ini, saya akan pergi meninggalkan paduka, dan paduka jangan mengharapkan
saya kembali apa lagi memaksa saya untuk tinggal di sini. Nah, itulah
syaratnya!”
“Terserah...... apa saja
kehendakmu........ aku.... aku cinta padamu, enci Cu......!” Pangeran itu
merangkul dan Liong-li menyambutnya dengan senyum manis.
Nafsu berahi, seperti semua
nafsu memabokkan. Orang lupa akan segala yang lain kalau sudah dicengkeram
nafsu. Satu-satunya yang diinginkan hanyalah terpuaskannya nafsu yang sedang
menggelora. Dan di antara segala macam nafsu, nafsu berahi merupakan nafsu yang
amat kuat dan sukar diatasi. Bahkan banyak sudah tercatat dalam sejarah betapa
orang-orang besar bertekuk lutut kepada nafsu berahi.
Hek-liong-li Lie Kim Cu adalah
seorang pendekar wanita yang mampu melawan apa saja dan biasanya keluar sebagai
pemenang. Iapun bukan seorang budak nafsu. Akan tetapi, pada saat nafsu berahi
mencengkeramnya, iapun hanya seorang manusia dari darah daging yang lupa diri dan
lupa segala.
Biasanya, walaupun hatinya
tertarik kepada seorang pria, ia tidak akan begitu mudah menyerahkan diri, apa
lagi ia sedang berada di tengah-tengah tugas yang berat dan berbahaya. Kalau
tugas itu sudah selesai dan ia berada dalam keadaan santai, tentu ia tidak akan
menolak gairah berahinya yang hanya ditujukan kepada orang yang benar-benar
dikaguminya saja.
Pangeran Souw Han juga bukan
seorang hamba nafsu. Buktinya, biarpun dia seorang pangeran dan sudah dewasa,
dia selalu menahan diri dan tidak pernah mau menyerah, tidak pernah mau bergaul
dengan wanita walaupun akan mudah sekali baginya untuk mendapatkan wanita yang
cantik dan muda sekalipun. Akan tetapi kini dia benar-benar kagum sekali kepada
Liong-li sehingga dia menyerah terlena dalam pelukan wanita itu.
Mereka tenggelam dam berenang
dalam lautan madu asmara, meneguk madu yang memabokkan itu sepuas-puasnya
sehingga sehari itu mereka tidak pernah keluar kamar, bahkan lupa makan. Dalam
diri Liong-li, pangeran itu menemukan seorang guru yang pandai dan seorang
kekasih yang penuh gairah.
◄Y►
Pria dan wanita itu merupakan
pasangan yang serasi sekali. Yang pria berusia duapuluh tujuh tahun, berwajah
tampan dan gagah. Tubuhnya sedang dan pakaiannya yang serba putih itu bersih,
terbuat dari sutera yang halus. Dagunya yang berlekuk membayangkan keberanian
dan matanya mencorong tajam, akan tetapi lebih banyak menunduk. Yang wanita
berusia sebaya, hanya satu-dua tahun lebih muda, pakaiannya serba hijau, cantik
dengan mata dan mulut yang menggairahkan, tubuhnya ramping dan gerakannya
ketika melangkahkan kaki ringan dan tangkas.
Mereka itu Pek-liong dan Cu
Sui In. Mereka melakukan perjalanan cepat dan berjalan kaki ketika memasuki
pintu gerbang kota raja, agar jangan menarik perhatian. Para penjaga pintu
gerbang memandang penuh perhatian. Siapapun akan tertarik kepada mereka, karena
memang mereka itu nampak elok dan gagah. Akan tetapi tidak ada penjaga pintu
gerbang yang menghadang atau mengganggu.
“Kita langsung saja menghadap
paman Ciok,” kata Sui In. “Sekarang sudah lewat tengah hari, tentu dia sudah
pulang.”
Yang diajak bicara hanya
mengangguk. Sui In merasa semakin kagum kepada pendekar itu. Semenjak pendekar
itu menolongnya, kemudian mereka melakukan perjalanan bersama ke kota raja.
Setelah ia bermalam di rumah pendekar itu satu malam, sampai melakukan
perjalanan bersama, Pek-liong bersikap sebagai seorang pendekar sejati yang
mengagumkan!
Ia adalah seorang janda, dan
Pek-liong seorang duda. Ia kagum kepada duda itu dan mereka melakukan perjalanan
bersama. Akan tetapi, Pek-liong selalu bersikap sopan! Tak pernah pria muda itu
memperlihatkan perasaannya, baik melalui pandang mata atau kata-kata. Selalu
sopan, juga dia pendiam, tidak banyak bicara bahkan tidak bicara kalau tidak
ditanya.
Sikap seorang jantan sejati
dan sejak pertemuan pertama kali, hati janda muda itu sudah terusik dan ia
merasa kagum bukan main. Ia tentu tidak akan berani menyangkal kalau ada orang
mengatakan bahwa ia jatuh cinta kepada Si Naga Putih.
Mendengar bahwa keponakannya
pulang bersama seorang pemuda berpakaian putih, Ciok Tai-jin, pembantu Menteri
Pajak yang sudah berusia limapuluh lima tahun itu, segera memerintahkan penjaga
untuk mempersilakan mereka memasuki ruangan dalam di mana dia menanti seorang
diri.
Sui In masuk diikuti
Pek-liong. Setelah mereka masuk, penjaga yang sudah dipesan oleh tuan rumah
segera menutupkan daun pintu dan menjaga di luar agar pertemuan dan percakapan
majikannya dengan dua orang muda itu tidak terganggu. Sui In memberi hormat
kepada pamannya, lalu memperkenalkan Pek-liong.
“Paman, ini adalah
Pek-liong-eng Tan Cin Hay, pendekar sakti yang terkenal sekali dan yang telah
menolongku ketika aku dikeroyok oleh orang-orang jahat.”
“Tan tai-hiap......!” kata
pembesar itu ketika Pek-liong memberi hormat kepadanya. “Silakan duduk, silakan
duduk!” Kemudian dia memandang kepada keponakannya. “Sui In, mana susiokmu yang
katanya hendak kaupanggil dan mintai bantuan itu?”
Sui In mengerutkan alisnya.
“Susiok Giam Sun telah tewas terbunuh orang pula, paman.”
“Ahhh? Terbunuh?
Bagaimana....... oleh siapa......?”
Dengan singkat namun jelas Sui
In lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa ia dikeroyok oleh Huang-ho
Siang-houw dan Pek-mau-kwi, dan diselamatkan oleh Pek-liong. Kemudian betapa ia
dan Pek-liong menemukan susioknya itu telah tewas dan ada coret-coretan pesan
terakhir susioknya yang menuliskan dua buah nama yaitu Pek-mau-kwi dan
Kwi-eng-cu.
“Kwi-eng-cu........? Ah,
bagaimana mendiang susiokmu itu tahu tentang Si Bayangan Iblis?” Ciok Tai-jin
berseru heran.
“Menurut dugaan kami, paman,
susiok terbunuh oleh Pek-mau-kwi dan teman-temannya, dan mungkin sebelum
membunuhnya, Pek-mau-kwi menyebut Kwi-eng-cu. Bagaimanapun juga, tentu ada
hubungannya antara Pek-mau-kwi dan Kwi-eng-cu, mungkin saja Pek-mau-kwi itu
termasuk anak buahnya.”
Pembesar itu
mengangguk-angguk, lalu dia memandang kepada Pek-liong.
“Dan Tan tai-hiap ikut ke kota
raja untuk membantu agar Si Bayangan Iblis dapat ditangkap? Memang para
pendekar harus bangkit untuk menangkap pengacau yang amat berbahaya itu. Aku
sendiri hampir saja terbunuh oleh iblis.”
“Aihh...... paman. Kapan
terjadinya dan bagaimana?” Sui In terkejut bukan main.
“Tidak lama setelah engkau
pergi. Ada pembunuh yang datang untuk membunuhku tentu saja, akan tetapi ada
bayangan lain yang menyerangnya, sehingga Kwi-eng-cu gagal memasuki rumah ini.
Akan tetapi, para pengawal sudah siap dan andaikata dia berani masuk, tentu
kami akan mengepungnya.”
Pada saat itu, daun pintu
ruangan itu diketuk orang dari luar. Ciok Tai-jin mengerutkan alisnya, “Masuk!”
katanya dengan suara mengandung kemarahan.
“Hemm, berani engkau
mengganggu kami? Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin diganggu siapa pun juga
dan engkau berani mengetuk pintu?” katanya dengan nada suara marah kepada
pengawal itu. Pengawal itu memberi hormat.
“Harap Tai-jin suka memaafkan
saya. Saya dipaksa untuk memberitahu kepada Tai-jin bahwa Cian Hui Ciang-kun
minta menghadap Tai-jin. Katanya harus sekarang juga karena amat penting. Saya
tidak dapat dan tidak berani menolaknya lagi......!”
“Cian Ciang-kun? Persilakan
dia masuk!” Ciok Taijin berkata dan sikapnya berubah mendengar nama Cian Hui.
“Orang inilah yang diharapkan semua pihak akan dapat membongkar rahasia
Kwi-eng-cu, bahkan dia menerima tugas itu dari Sribaginda Kaisar sendiri,”
bisiknya kepada Pek-liong dan Sui In.
Mendengar nama ini, Sui In
juga menaruh perhatian, karena ia pernah pula mendengar nama besar Cian
Ciang-kun sebagai seorang perwira yang amat pandai dalam membongkar perkara
kejahatan. Hanya Pek-liong yang belum pernah mendengar nama itu dan dia
bersikap tenang saja.
Ketika pria itu masuk,
diam-diam Pek-liong memperhatikan. Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih
empatpuluh tahun dan yang memiliki wajah dan pembawaan yang amat gagah. Wajahnya
yang bentuk persegi itu jantan, dengan dagu berlekuk keras, alis yang tebal
sekali dan hitam berbentuk golok, hidungnya besar mancung, mulutnya
membayangkan keramahan!
Sepasang matanya jelas
membayangkan kecerdasan dan memiliki sinar yang hidup dan lincah. Tubuhnya
tegap dan kokoh, agak tinggi. Jenggot dan kumisnya terpelihara rapi menambah
kejantanan.
Dengan sikap gagah dan ramah
dia mengangkat kedua tangannya, memberi hormat kepada Ciok Tai-jin dan berkata.
“Ciok Tai-jin, harap maafkan saya yang datang mengganggu dan memaksa para
penjaga untuk melaporkan kedatangan saya menghadap Tai-jin.”
Ciok Tai-jin cepat membalas
penghormatan itu. “Ah, tidak mengapa, Ciang-kun. Bahkan kami merasa senang
sekali akan kunjungan Ciang-kun ini karena kami yakin bahwa ciang-kun tentu
membawa berita penting.”
Cian Hui kini memandang kepada
Sui In dan dia tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Berita yang didengarnya
bahwa keponakan pejabat tinggi ini cantik dan gagah perkasa, ternyata tidak
berlebihan. Wanita ini memang cantik jelita dan nampak gagah, dan sudah janda
pula.
Diapun mengangkat tangan
memberi hormat kepada wanita itu dan juga kepada Pek-liong yang sudah
diamatinya dengan penuh perhatian. Juga pandang matanya kepada Pek-liong tidak
menyembunyikan kekagumnnya.
“Nona Cu Sui In dan tai-hiap
Pek-liong-eng, selamat bertemu dan maafkan kalau aku mengganggu.”
Sui In terbelalak, dan
Pek-liong diam-diam juga memandang kaget.
“Bagaimana Ciang-kun dapat
mengenalku? Pada hal kita belum pernah saling bertemu, atau berkenalan,” tanya
Sui In.
“Hemm, juga kita baru saja
saling bertemu di sini, Ciang-kun. Bagaimana Ciang-kun dapat mengenalku?”
Cian Hui tersenyum. “Ah, itu
hanya permainan kanak-kanak. Ketika ji-wi lewat di pintu gerbang, seorang
penyelidikku yang berpengalaman telah melihat ji-wi, (kalian berdua) dan
setelah menyuruh seorang kawannya melapor kepadaku, dia membayangi kalian.
Karena itulah, aku tahu bahwa kalian berada di sini dan datang menyusul.”
“Silakan duduk, Cian
Ciang-kun,” kata Ciok Tai-jin. “Kami yakin hanya kedatangan Ciang-kun ini tentu
membawa suatu kepentingan besar.”
“Memang benar, Tai-jin.
Terutama sekali saya mempunyai kepentingan dengan tai-hiap Pek-liong-eng Tan
Cin Hay.”
Cin Hay merasa kagum. Orang
ini memang cerdik dan cekatan sekali. Cara kerjanya mengagumkan dan kalau hal
itu ditambah dengan ilmu silat yang tinggi, maka aneh kalau kekacauan di kota
raja tidak dapat diatasi olehnya.
“Kita baru saja saling jumpa,
Ciang-kun. Bagaimana Ciang-kun dapat mempunyai kepentingan dengan aku?” tanya
Pek-liong sambil memandang tajam penuh selidik.
“Sebelum kita bicara lebih
lanjut, sebaiknya kalau kusampaikan saja surat ini kepadamu, tai-hiap. Tadinya
aku memang hendak mencarimu di dusun Pat-kwa-bun, akan tetapi kebetulan
penyelidikku melapor akan kemunculanmu di kota raja, maka langsung saja aku
menyusul ke sini untuk menyerahkan surat ini kepadamu! Dari saku bajunya, Cian
Ciang-kun mengeluarkan surat dari Hek-liong-li yang dititipkan kepadanya.
Pek-liong menerima surat itu
dan membuka sampulnya. Begitu mengenal tulisan yang indah dan kuat itu, diapun
tersenyum. Kiranya pria yang gagah ini sudah lebih dulu mengadakan hubungan
dengan Liong-li! Dia segera membaca surat itu, dipandang oleh tiga orang yang
duduk di situ.
Pek-liong tercinta,
Kalau engkau membaca surat
ini, berarti aku berada dalam bahaya dan membutuhkan bantuanmu karena kupesan
kepada Cian Ciang-kun untuk menyerahkan surat ini kepadamu kalau aku berada
dalam bahaya. Selanjutnya engkau dapat berunding dengan dia.
Hek-liong-li.
Begitu membaca surat ini,
Pek-liong bagaikan seekor singa yang mencium adanya musuh berbahaya. Wajahnya
menjadi agak kemerahan, sepasang matanya kini mencorong dan bergerak-gerak
dengan lincah, penuh semangat bertempur dan lenyaplah semua sifat lain, yang tinggal
hanyalah kekerasan, ketenangan, dan kewaspadaan yang didukung semangat tempur
yang luar biasa kuatnya.
“Cian Ciang-kun, harap engkau
cepat menceritakan di mana adanya Liong-li dan bagaimana dapat bekerja sama
denganmu. Singkat saja namun jangan melewatkan sesuatu yang mungkin penting!”
Dalam suara itu terdapat
perubahan. Kini suara itu mengandung wibawa yang kuat, seperti seorang panglima
yang memberi perintah rahasia penting kepada seorang pembantunya. Cian Hui
dapat merasakan benar wibawa ini dan diapun menjadi serius.
Dengan singkat namun padat,
dia menceritakan tentang pembunuhan-pembunuhan rahasia yang terjadi di kota
raja dan tentang tugas yang diberikan kepadanya oleh Sribaginda Kaisar untuk
membongkar rahasia itu dan menangkap pengacaunya yang hanya dikenal dengan
sebutan Si Bayangan Iblis. Betapa kemudian dia minta bantuan Hek-liong-li untuk
melakukan penyelidikan di dalam istana.
“Atas prakarsanya, kami
berhasil menyelundupkaan Lie li-hiap ke dalam istana sebagai seorang dayang
dari Permaisuri, setelah li-hiap menduga bahwa tentu rahasia itu berpusat dalam
istana. Akan tetapi, kami mendengar berita mengejutkan dari istana, Hong-houw
(Permaisuri) demikian cerdiknya sehingga mengetahui rahasia penyamaran Lie
li-hiap.”
Dia berhenti sebentar dan tiga
orang pendengarnya menahan napas saking tegangnya. Mereka semua sudah mendengar
bahwa Hong-houw adalah seorang wanita luar biasa yang amat cerdik, bahkan kini
menjadi orang yang paling berkuasa di kerajaan karena Sribaginda Kaisar sendiri
seperti boneka lilin di tangannya.
“Bagaimana selanjutnya?” tanya
Pek-liong, sikapnya masih tenang biarpun hatinya dicekam kekhawatiran.
Dia percaya sepenuhnya kepada
Liong-li dan yakin akan kemampuan wanita yang paling dipujanya di seluruh dunia
itu. Akan tetapi sekarang Liong-li berada di dalam istana! Betapapun lihainya
seseorang, kalau berada di dalam istana bagaikan berada di dalam benteng baja
yang kokoh dan kuat dan di dalam istana terdapat banyak sekali orang-orang yang
cerdik pandai dan orang-orang yang berilmu tinggi, jagoan-jagoan yang amat
lihai.
“Entah bagaimana, dan entah
akal apa yang dipergunakan oleh li-hiap, akan tetapi menurut keterangan
penyelidik yang kutugaskan di sana, li-hiap tidak dihukum oleh Permaisuri,
bahkan oleh Permaisuri ia diberikan kepada Pangeran Souw Han sebagai seorang
selir.”
“Hemm, dan apa artinya
peristiwa itu?” tanya Pek-liong yang sama sekali tidak mengenal keadaan di
dalam istana kaisar.
“Peristiwa itu menarik sekali
untuk diselidiki,” kata Cian Hui, “Banyak kejanggalan terjadi di sini. Pertama,
semua orang tahu bahwa tidak ada orang yang akan dapat lolos dari hukuman mati
apabila Hong-houw memusuhinya atau menganggapnya berdosa. Kenyataannya bahwa
li-hiap tidak dihukum membuktikan bahwa Permaisuri tentu tidak memusuhinya
walaupun penyelundupannya diketahui.
“Dan kedua, li-hiap diserahkan
kepada Pangeran Souw Han sebagai selir, pada hal pangeran muda itu terkenal
sebagai seorang yang alim, yang sama sekali tidak pernah bergaul dengan wanita
seperti para pangeran lain. Kini tiba-tiba saja dia mau menerima seorang
selir!”
Kembali Cian Ciang-kun
berhenti dan pandang matanya mengamati wajah Pek-liong. Akan tetapi pendekar
ini tidak menunjukkan sesuatu pada wajahnya.
“Dan menurut Ciang-kun, apa
artinya kejanggalan-kejanggalan itu?”
“Kalau Hong-houw tidak
menghukumnya, hal itu berarti bahwa ada kerja sama antara li-hiap dan
Hong-houw, atau lebih tepat lagi Hong-houw, memanfaatkan kehadiran li-hiap di
istana untuk mengerjakan sesuatu. Agaknya, Hong-houw yang sengaja menyelundupkan
li-hiap ke dalam istana bagian pria dengan cara menghadiahkannya kepada
Pangeran Souw Han.”
“Kenapa kepada Pangeran Sauw
Han?”
“Karena pangeran itu merupakan
seorang yang paling disuka dan paling dapat dipercaya, yang bersih dari pada
persaingan yang terjadi di istana. Selain itu, juga dia terkenal tidak suka
bergaul dengan wanita, dan hal ini yang membuat li-hiap suka dihadiahkan
sebagai selir. Tentu hanya luarnya saja demikian, Pangeran Souw Han tidak akan
mau mengganggunya, sehingga li-hiap dapat leluasa mengadakan penyelidikan
dengan sembunyi di kamar pangeran itu sebagai selir, tidak menimbulkan
kecurigaan.”
Pek-liong mengangguk-angguk
dan merasa kagum. Benar dugaannya, orang she Cian ini memang cerdik sekali.
“Kalau begitu, kita boleh
menghapus nama Permaisuri sebagai orang yang boleh dicurigai memimpin komplotan
Si Bayangan Iblis?” tanyanya.
“Tentu saja! Sejak dulu akupun
yakin bahwa Si Bayangan Iblis itu bukan dikendalikan oleh Hong-houw. Beliau
memegang tampuk kekuasaan. Untuk melenyapkan orang yang tidak disukainya,
beliau tinggal menuding saja dan orang itu akan ditangkap dan dibunuh. Tidak
perlu beliau mempergunakan pembunuh gelap seperti Si Bayangan Iblis, karena hal
itu hanya akan merugikan beliau sendiri.”
“Sekarang katakan mengapa engkau
menyerahkan surat Liong-li kepadaku, Ciang-kun? Bahaya apakah yang mengancam
diri Liong-li?”
“Inilah yang mencemaskan
hatiku, tai-hiap. Dari penyelidik yang kutugaskan di sana, aku mendapat kabar
mengejutkan kemarin. Menurut penyelidik itu, Liong li-hiap ditangkap oleh
Pangeran Souw Cun dan diberi hukuman cambuk. Pangeran Souw Han datang
menyelamatkannya dan agaknya terjadi ketegangan antara kedua orang pangeran
itu. Kabar yang disampaikan penyelidik itu hanya mengatakan bahwa li-hiap
mengalami luka-luka di punggung karena lima kali cambukan, akan tetapi kini
telah diajak kembali oleh Pangeran Souw Han.”
“Ahhh......!” Sui In berseru
khawatir.
AKAN tetapi Pek-liong menerima
berita ini dengan tenang-tenang saja. Kalau hanya hukuman cambuk lima kali, tidak
ada artinya bagi Liong-li, dan kalau sampai punggungnya berdarah, hal itu tentu
disengaja oleh Liong-li yang hendak menyembunyikan kepandaiannya. Dia tahu
benar kecerdikan rekannya itu.
“Siapakah Pangeran Souw Cun
itu?”
Cian Ciang-kun mengerutkan
alisnya. “Hemm, bukan seorang pemuda yang baik, tai-hiap. Bahkan tidak akan
heran aku kalau kemudian ternyata bahwa dia yang menjadi majikan dari para
pembunuh itu. Dia memang bisa berbahaya sekali.”
“Hemmm..... tahukah engkau
kenapa dia menangkap dan mencambuki Liong-li yang sudah menjadi selir Pangeran
Souw Han?”
Perwira itu menggeleng kepala.
“Tidak ada, yang mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Tahu-tahu
li-hiap ditangkap Pangeran Souw Cun sendiri yang datang bersama pengawalnya
selagi Pangeran Souw Han tidur dan li-hiap berada di ruangan para dayang, lalu
li-hiap dibawa ke kamar Pangeran Souw Cun. Yang berada di sana hanya pangeran
itu bersama pengawalnya dan Bouw Sian-seng sehingga penyelidikku tidak dapat
tahu apa yang terjadi. Lalu Pangeran Souw Han datang dan membawa li-hiap
kembali ke tempat tinggalnya dalam keadaan luka-luka dari pencambukan itu.”
“Kalau begitu, berarti bahaya
sudah lewat. Liong-li tidak terancam bahaya lagi.”
“Kurasa tidak demikian,
tai-hiap. Hek-liong-lihiap memang memesan kepadaku untuk menyerahkan surat itu
kepada tai-hiap kalau ia terancam bahaya dan aku melihat bahaya besar
mengancamnya, bukan hanya karena pencambukan itu, melainkan akibatnya.
“Akibat dari peristiwa itu
dapat hebat dan amat berbahaya, tai-hiap. Jelas bahwa Pangeran Souw Cun
mencurigai li-hiap dan karena li-hiap secara resmi telah menjadi selir Pangeran
Souw Han, maka perbuatan Pangeran Souw Cun itu berarti penghinaan terhadap Pangeran
Souw Han. Hal ini dapat memancing permusuhan secara terbuka.
“Mengingat bahwa Pangeran Souw
Han adalah seorang pangeran yang bersih dari persaingan di istana dan beliau
tidak mempunyai pengawal atau jagoan, sebaliknya Pangeran Souw Cun amat kuat kedudukannya,
maka tentu saja amat berbahaya bagi li-hiap.”
Pek-liong mengerutkan alisnya.
Dia sudah membuat perhitungan, lalu tiba-tiba bertanya, “Cian Ciang-kun,
dapatkah engkau menyelundupkan aku ke istana, hari ini juga? Memang mungkin
sekali Liong-li membutuhkan bantuanku.”
“Hemm!”Cian Ciang-kun
meraba-raba jenggotnya yang rapi, alisnya berkerut. “Kurasa dapat, tai-hiap.
Akan tetapi agar tidak terlalu menyolok, tai-hiap dapat kuselundupkan sebagai
seorang tukang kuda yang bekerja di istal kuda istana yang letaknya di bagian
belakang kompleks istana bagian pria.”
“Bagus! Tolong buatkan gambar
atau peta mengenai keadaan di istana, di mana adanya istal itu dan di mana pula
tempat tinggal para pangeran, agar mudah bagiku untuk melakukan penyelidikan.”
Sui In lalu cepat mengambilkan
alat tulis dan tak lama kemudian, Cian Hui sudah membuatkan peta untuk
Pek-liong. Peta itu tidak dibawa Pek-liong, melainkan dipelajari dan
dihafalkan.
“Akupun ingin membantu,” kata
Sui In. “Sungguh tidak enak menunggu di rumah, sedangkan Hek-liong-lihiap dan
Tan Tai-hiap bekerja berat dan menghadapi bahaya di istana. Cian Ciang-kun,
dapatkah ciang-kun memberi saran bagaimana aku dapat memasuki istana dan
mengunjungi Lie li-hiap? Aku dapat mengaku sebagai saudara sepupu!”
Cian Hui memandang dan dia
melihat betapa wanita itu bersungguh-sungguh. Mata yang bening itu memandang
kepadanya dengan penuh harapan. Ia dapat menjenguk isi hati wanita ini.
Sebagai isteri seorang korban
pembunuhan misterius itu, tentu saja ia ingin membalas kematian suaminya dan
sedapat mungkin membantu agar pembunuh itu dapat tertangkap. Dan dia mendengar
bahwa Cu Sui In adalah seorang murid Kun-lun-pai yang lihai sehingga tenaganya
memang boleh diandalkan untuk membantu Hek-liong-li.
“Sui In, apakah tidak akan
terlalu berbahaya untukmu?” Ciok Tai-jin yang sejak tadi hanya menjadi
pendengar saja, kini bertanya dengan nada suara khawatir.
Dia tidak hanya
mengkhawatirkan keselamatan keponakan isterinya itu, akan tetapi juga
keselamatan keluarganya sendiri. Kalau sampai Sui In terlibat dalam keributan
di istana, kemudian ketahuan bahwa ia masih keponakannya, bukan tidak mungkin
seluruh keluarganya akan terlibat.
Agaknya Sui In dapat menjenguk
isi hati pamannya. “Harap paman tidak khawatir. Saya tidak akan menyebut nama
paman, juga tidak akan mengaku sebagai anggauta keluarga paman. Saya akan
mengaku sebagai seorang saudara sepupu dari Lie li-hiap...... ah, siapa tadi
nama samarannya Cian Ciang-kun?”
“Ketika kuselundupkan sebagai
dayang, namanya Akim, akan tetapi setelah menjadi selir Pangeran Souw Han, ia
diberi nama Siauw Cu oleh Permaisuri.”
“Siauw Cu....... hemm,
siapakah lebih tua antara kami, Ciang-kun? Berapa usianya?”
Cian Hui tersenyum. “Aku
sendiri tidak tahu berapa usianya. Sungguh tidak mudah menaksir usia wanita,
apa lagi Lie li-hiap.”
“Usianya duapuluh lima tahun,”
kata Pek-liong.
“Dan aku duapuluh enam tahun.
Biarlah aku akan mencari adik Siauw Cu saudara sepupuku. Tentu saja harus ada
surat pengantarnya dan kuharap Cian Ciang-kun suka membantuku.”
Cian Ciang-kun memandang
kepada Pek-liong seolah minta pertimbangan pendekar itu.
Pek-liong mengerti dan diapun
berkata, “Tingkat kepandaian adik Cu Sui In cukup tinggi sehingga diharapkan ia
akan mampu menjaga diri sendiri, juga mungkin saja dapat membantu Liong-li.”
“Bagus kalau begitu! Baiklah,
nona Cu, akan kuusahakan agar engkau dapat memasuki istana sabagai tamu dari
Lie li-hiap. Sebetulnya hal ini bahkan baik sekali karena Lie li-hiap dan Tan
tai-hiap dapat berhubungan dengan aku yang di luar istana melaluimu.
“Tan tai-hiap, jangan lupa
untuk segera memberi kabar kepadaku tentang keadaan di sana. Kalau ada bahaya,
cepat kabarkan sehingga aku dapat mengusahakan bantuan.”
“Hemm, kalau kami terancam
bahaya, siapa yang akan dapat membantu kami, Ciang-kun?” Pek-liong ingin tahu.
“Hanya ada satu orang yang
akan dapat membantumu, yaitu Sribaginda Kaisar sendiri! Kalau memang kalian
dapat mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan bahwa Si Bayangan Iblis berada di
istana, maka aku dapat menghadap Sribaginda Kaisar yang tentu akan mengerahkan
pasukan untuk mengadakan pembersihan di istana!”
“Baik sekali. Memang itu
satu-satunya jalan. Baiklah, Ciang-kun, mari kita membuat persiapan karena aku
harus berada di istana hari atau malam ini juga agar jangan sampai terlambat.”
“Aku juga ingin cepat-cepat
mengunjungi adik Siauw Cu,” kata Cu Sui In sambil memandang ke arah Pek-liong.
Pendekar yang amat dikaguminya
itu siap menempuh bahaya. Mengapa ia tidak berani? Bukan saja untuk membalas
kematian suaminya, akan tetapi juga dan ini terutama sekali, agar dia dapat
bekerja sama dengan Pek-liong!
◄Y►
Pek-liong berhasil dimasukkan
ke istana oleh Cian Hui dan diterima oleh kepala bagian pemeliharaan kuda
istana, seorang pejabat istana yang menjadi sahabat Cian Ciang-kun, sebagai
seorang tukang memelihara kuda. Pek-liong menggunakan nama A-cin dan dengan
penyamarannya yang sempurna, dia membuat mukanya yang tampan berubah menjadi
penuh bopeng yaitu totol-totol hitam seperti bekas penyakit cacar. Dan A-cin
segera diterima dengan baik oleh para pekerja di situ karena dia begitu datang
pada siang hari itu terus bekerja dengan rajinnya, tenaganya kuat dan diapun
cepat akrab dengan kuda-kuda yang dipelihara di situ, tanda bahwa dia memang
sudah biasa merawat kuda.
Ketika makan sore, diapun
makan hanya sedikit. Orang yang sederhana, tidak banyak bicara, tidak banyak
makan, akan tetapi banyak bekerja seperti inilah yang disukai kawan-kawan
sekerjanya.
Diapun pendiam sekali, tidak
bicara kalau tidak ditanya. Karena itu, dia tidak menimbulkan kecurigaan sama
sekali. Siapa yang akan curigai seorang laki-laki bermuka bopeng, sederhana dan
rajin bekerja seperti itu?
Ketika malam tiba, diapun
lebih suka tidur di kandang kuda, di atas rumput-rumput kering, dengan alasan
bahwa dia tidak biasa tidur di pembaringan yang lunak, apa lagi bersama orang
lain. Tentu saja kesederhanaannya itu ditertawakan orang, akan tetapi mereka
sama sekali tidak menaruh keberatan, bahkan girang karena kuda-kuda itu ada
yang menjaganya sehingga para pekerja yang lain boleh enak tidur tanpa
terganggu.
Biasanya, kalau ada kuda
meringkik tidak wajar, mereka terpaksa bangun untuk memerikaa kandang kuda.
Sekarang, ada A-cin tidur di istal, mereka tidak perlu bangun lagi kalau ada
keperluan di kandang itu.
Setelah malam sunyi dan semua
pekerja pulas, A-cin berubah menjadi sesosok bayangan yang berkelebat cepat.
Pek-liong selalu berpakaian serba putih, akan tetapi karena sekarang dia sedang
menyamar dan melakukan penyelidikan, dia menutupi pakaian putih itu dengan
jubah dan celana hitam, bahkan menutupi hidung dan mulutnya dengan saputangan
hitam pula. Dengan beberapa loncatan saja diapun berkelebat lenyap dari situ,
ia mengambil jalan yang sudah dihafalnya dari peta yang dibuat Cian Hui sebelum
mereka memasuki istana tadi.
Dia sudah mempelajari semua
keadaan keluarga Kaisar dari Cian Hui. Dia tahu bahwa Sribaginda Kaisar Tang
Kao Cung yang usianya kurang lebih limapuluh tahun itu adalah seorang kaisar
yang lemah karena seolah-olah menjadi boneka di tangan isterinya, Permaisuri Bu
Cek Thian!
Biarpun kaisarnya masih Kaisar
Tang Kao Cung, namun sudah menjadi rahasia umum bagi para pejabat bahwa segala
keputusan keluar dari mulut Permaisuri melalui Kaisar. Juga Putera Mahkota,
Tiong Cung, putera kandung Bu Cek Thian, tidak berbeda dari ayahnya, merupakan
boneka yang dimainkan oleh ibunya sehingga dia terkenal sebagai seorang
pangeran yang manja, malas dan tidak mempunyai semangat, tidak memiliki
prakarsa.
Segala keputusan penting yang
diambil Kaisar tentu lebih dulu melalui penyaringan Permaisuri. Karena itu,
kekuasaan Bu Cek Thian amat besarnya dan semua orang takut kepadanya. Dan
permaisuri ini terkenal keras dan kejam terhadap lawan-lawannya, yaitu mereka
yang menentang kekuasaannya, juga ia memelihara banyak jagoan yang lihai.
Namun, di samping itu semua,
Bu Cek Thian terkenal amat cerdik. Satu di antara kecerdikannya yang membuat ia
berhasil dalam ambisinya adalah cara ia mendekati para panglima perang. Ia
teramat royal bahkan memanjakan para panglima sehingga dapat dibilang semua
panglima merasa berhutang budi dan suka kepadanya, hal yang menimbulkan
kesetiaan, dan sekali para panglima mendukungnya, maka kekuasaan mutlak berada
di tangannya tanpa ada yang berani mengganggu gugat.
Di samping Pangeran Tiong Cung
yang menjadi Putera Mahkota dan yang menjadi seperti boneka di tangan ibunya,
ada lagi Pangeran Li Tan.Pangeran ini juga putera kandung Bu Cek Thian, baru
berusia tigabelas tahun. Pangeran ini lebih bersemangat dari pada kakaknya,
namun karena ia kehilangan perhatian dari ibu kandungnya, ia menjadi nakal
walaupun cerdik.
Pangeran Souw Cun adalah
pangeran yang paling berbahaya di antara semua pangeran, demikian Pek-liong
mendengar dari Cian Hui. Pangeran Souw Cun ini terkenal petualang dan mata
keranjang, bukan saja suka berkeliaran di luar istana dan mendatangi
tempat-tempat pelacuran, akan tetapi juga suka berburu, berjudi dan
mabok-mabokan. Akan tetapi diapun suka belajar ilmu silat dan bergaul di antara
orang-orang dari dunia persilatan. Maka, pangeran itu patut diawasi dan diamati
gerak geriknya karena orang seperti dia besar sekali kemungkinannya
bersekongkol dengan tokoh-tokoh sesat.
Sebaliknya, Pangeran Souw Han
terkenal sebagai pangeran yang lembut dan baik, jujur dan disuka karena tidak
memusuhi siapa pun, tidak berambisi dan tidak ikut bersaing memperebutkan
kekuasaan. Tokoh ini amat penting dan menarik bagi Pek-liong, terutama sekali
karena kepada pangeran inilah Liong-li diberikan sebagai selir! Dia dapat
menduga bahwa tidak mungkin Liong-li menjadi selir benar-benar. Tentu hal itu
hanya merupakan siasat saja dari Permaisuri untuk menyelundupkan Liong-li ke
dalam istana bagian pria dan hendak dijadikan mata-mata atau penyelidik demi
kepentingan Permaisuri sendiri tentunya.
Di antara banyak pangeran lain
yang tidak begitu penting, ada lagi seorang pangeran yang patut diperhatikan
menurut keterangan Cian Hui, yaitu Pangeran Kim Ngo Him, mantu dari Sribaginda
Kaisar. Menurut Cian Ciang-kun, pangeran yang menjadi mantu kaisar inipun
berambisi dan dia juga mempunyai jagoan-jagoan. Hanya mereka itulah yang perlu
mendapatkan perhatian utama dari Pek-liong.
Malam itu, Pek-liong
berlompatan sambil menyelinap di antara wuwungan bangunan istana yang luas,
menuju ke tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him yang berada di pinggir. Sebagai
seorang mantu kaisar, tentu saja kedudukannya agak lebih rendah dibandingkan
dengan pangeran putera kaisar.
Tiba-tiba dengan cepat sekali
dia mendekam di balik wuwungan karena dia melihat berkelebatnya bayangan hitam
dari arah kiri. Bayangan itu ringan sekali gerakannya dan kakinya tidak
mengeluarkan suara sedikitpun ketika menginjak genteng. Hal ini saja
membuktikan bahwa bayangan itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang
hebat. Dan bayangan itupun tiba-tiba berhenti, membalik dan begitu tangannya
bergerak, nampak benda-benda hitam kecil meluncur ke arah tubuh Pek-liong!
Pendekar ini cepat mengelak
dengan loncatan ke kanan, dan terdengar suara berkelentingan ketika paku-paku
itu jatuh ke atas genteng. Dan sebelum Pek-liong sempat melarikan diri,
bayangan itu seperti terbang saja sudah meloncat dan menyerangnya bagaikan
seekor burung rajawali menyambar mangsanya! Kedua tangannnya dijulurkan ke
depan, menyerang ke arah kepala Pek-liong.
Ketika ada angin menyambar membawa
hawa panas, Pek-liong maklum bahwa lawannya tidak boleh dipandang ringan.
Diapun mengerahkan tenaga sin-kang menyambut dengan kedua tangan terbuka.
“Dessss......!!” Dua pasang
telapak tangan bertemu di udara dan akibatnya, bayangan hitam itu terdorong dan
terlempar ke atas sedangkan Pek-liong sendiri harus mempertahankan diri untuk
tidak terhuyung jatuh.
Dia merasa betapa tenaga lawan
itu amat kuatnya, dan andaikata mereka berdua sama-sama berpijak di atas tanah,
belum tentu dia akan menang tenaga. Orang itu terpental karena tubuhnya masih
berada di udara. Dan hebatnya orang yang terpental ke atas itu berjungkir balik
beberapa kali dan tubuhnya melayang ke bawah.
Ketika Pek-liong mengejar ke
bawah, bayangan itu sudah lenyap. Melihat keadaan sekelilingnya, Pek-liong
merasa yakin bahwa orang itu tentu menyelinap masuk ke dalam bangunan itu,
tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him, mantu kaisar!
Tentu saja Pek-liong menjadi
heran dan curiga. Tentu ada hubungan antara si bayangan tadi, entah dia itu Si
Bayangan Iblis atau bukan, dengan Pangeran Kim Ngo Him. Kalau tidak begitu,
bagaimana mungkin orang tadi dapat bersembunyi di rumah itu. Diapun menyelinap
masuk pekarangan lalu memasuki taman di sebelah rumah, dengan cepat namun
hati-hati dia mendekati jendela rumah yang berada di samping.
“Tolong......! Ada
penjahat..........!!”
Tadinya Pek-liong terkejut dan
mengira bahwa dia yang diteriaki, maka dia sudah siap siaga kalau-kalau ada
yang akan menyerang atau mengeroyoknya. Akan tetapi tidak ada bayangan orang,
dan di dalam rumah itu terjadi keributan. Diapun meloncat ke atas genteng dan
melakukan pengintaian.
Di ruangan belakang dia
melihat seorang nenek yang usianya sudah enampuluh lima tahun lebih, kurus
kering, sedang berdiri gemetaran dan seorang pemuda tampan yang berpakaian
bangsawan bersama enam orang pengawal berdiri di depan nenek itu. Pangeran itu
agaknya marah kepada si nenek yang nampak ketakutan.
“Lo-ma, engkau membikin kaget
saja! Mana ada penjahat? Kenapa engkau berteriak-teriak membangunkan seisi
rumah dengan teriakan penjahat?” tanya bangsawan muda yang bukan lain adalah
Pangeran Kim Ngo Him seperti yang sudah diduga oleh Pek-liong itu.
Nenek kurus kering itu lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran. “Aduh, ampunkan hamba yang sudah
tua ini, pangeran. Bagaimana hamba berani mengacau dan membikin ribut? Hamba
berani bersumpah bahwa baru saja memang ada penjahat masukke sini. Hamba
terkejut melihat bayangan hitam itu meloncat ke sini. Agaknya diapun tidak
menduga bahwa hamba belum tidur dan berada di sini, maka dia meloncat lagi dan
lenyap. Hamba lalu menjerit saking kaget dan takut. Ampunkan hamba......”
“Sudahlah, Kui Lo-ma, jangan
ribut lagi. Hayo kalian cepat melakukan perondaan dan pemeriksaan!” kata
pangeran itu kepada para pengawalnya.
Mendengar ini, Pek-liong sudah
mendahului meloncat pergi meninggalkan tempat itu. Dia kini merasa yakin bahwa
memang ada penjahat yang lihai sekali berkeliaran di istana, dan agaknya
penjahat itu tidak mempunyai hubungan apapun dengan Kim Ngo Him.
Namun hal ini bukan berarti
bahwa nama Kim Ngo Him sudah semestinya dihapus dari daftar orang-orang yang
dia dicurigai. Tidak, dia akan tetap mengamati pangeran mantu kaisar ini. Dia
lalu melakukan penyelidikan ke bagian lain, kini hendak menyelidiki keadaan
tempat tinggal Pangeran Souw Cun. Karena Cian Ciang-kun sudah memperingatkan
bahwa di antara para pangeran, Pangeran Souw Cun ini yang paling berbahaya, dan
dia memiliki banyak jagoan lihai, maka Pek-liong bersikap hati-hati sekali.
Sementara itu, sejak sore
tadi, Liong-li sudah sadar dari keadaan mabok madu asmara sehari penuh ia dan
Pangeran Souw Han berenang dalam lautan madu asmara yang penuh kemesraan.
Biarpun ia sudah banyak bergaul dengan pria, harus diakuinya bahwa baru pertama
kali itu selama hidupnya ia merasakan kemesraan yang penuh kelembutan sehingga
amat mengharukan hati. Mendekap pangeran itu dalam pelukan rasanya seperti
mendekap seorang bayi yang mulus dan murni.
Hal ini tidak mengherankan
karena Pangeran Souw Han juga selamanya baru sekali itu berdekatan penuh mesra
dengan seorang wanita. Dia mencurahkan semua perasaan cintanya kepada Liong-li
sehingga keduanya terbuai dan lupa diri, tak pernah meninggalkan pembaringan,
bahkan lupa makan!
Baru setelah keadaan cuaca di kamar
itu gelap karena matahari tidak lagi meneroboskan cahayanya ke situ, dan
Pangeran Souw Han menyalakan lampu penerangan, mereka seakan terseret kembali
ke dunia sadar. Keduanya baru mendengar keruyuk perut mereka yang lapar.
“Aih, laparnya perutku!” Liong-li
tertawa dan Pangeran Souw Han merangkul perut yang kempes itu.
“Kasihan perutmu, enci Cu,”
katanya sambil membelai.
Liong-li menggelinjang dan
melompat turun dari pembaringan, menyambar pakaiannya.
“Cukup, Pangeran. Jangan
kaujamah lagi aku, tak kuat lagi aku......”
Pangeran Souw Han juga
tertawa. “Sehari kita tidak makan, enci Cu. Mari kita makan!”
Setelah mereka berpakaian
rapi, baru Pangeran Souw Han membuka daun pintu dan bertepuk tangan memanggil
para dayangnya. Lima orang dayang itu datang menghadap dan mereka saling
pandang dengan sinar mata penuh pengertian ketika mereka melihat betapa
kusutnya kedua orang majikan mereka itu, dan betapa wajah pangeran yang tampan
itu agak pucat, sedangkan wajah Liong-li kemerahan.
“Kami lapar, hidangkan makanan
yang paling lezat!” perintah Pangeran Souw Han.
Memang para dayang itu sudah
sejak tadi mempersiapkan makanan. Mereka menanti dengan hati gembira bercampur
tegang, karena pangeran dengan selirnya itu tidak pernah keluar dari dalam
kamar selama sehari penuh!
“Bagaimana dengan punggungmu,
sayang?” tanya Pangeran Souw Han sambil memegang kedua tangan Liong-li.
Liong-li tersenyum. “Sudah
sembuh, pangeran. Ternyata belaian tanganmu yang penuh kasih lebih manjur dari
pada obatku.”
Kembali keduanya tersenyum dan
Pangeran Souw Han merangkul dan mencium wanita yang merupakan wanita pertama
dalam hidupnya itu. Akan tetapi, ciumannya tidak dapat dipertahankan lama
karena terdengar langkah kaki para dayang yang memasuki kamar membawa hidangan
yang mereka atur di atas meja.
Tak lama kemudian, Liong-li
dan Pangeran Souw Han sudah makan minum dengan gembiranya. Sehari berenang di
lautan madu asmara membuat mereka merasa letih, lemas dan lapar sekali. Lauk
pauk yang paling lezat adalah hati senang, badan sehat dan perut lapar! Apa
lagi hidangan yang dibawa para dayang itu merupakan hidangan yang serba lezat.
Tidak aneh kalau kedua orang itu makan dengan gembulnya.
Setelah malam tiba, Liong-li
berkemas, berganti pakaian hitam, siap untuk melaksanakan tugasnya. Melihat
wanita yang dikasihinya itu, yang kini seolah sudah melekat di hatinya dan di
dagingnya, Pangeran Souw Han merangkulnya.
“Tidak, enci Cu! Tidak! Engkau
tidak boleh pergi. Engkau baru saja menderita cambukan, dan sekarang hendak
menghadapi bahaya? Engkau sudah dicurigai, tentu mereka itu lebih waspada dan
selalu akan mengintai semua gerak gerikmu!”
Liong-li merasa betapa
lembutnya rangkulan itu, betapa penuh perasaan kasih sayang, betapa mesranya
dan hatinya terharu. Akan tetapi ia bukan seorang wanita lemah. Ia mengusir
keharuannya dengan senyum, senyum bahagia. Ia merasa berbahagia sekali bahwa
dirinya, seorang wanita kang-ouw yang bahkan pernah dipaksa menjadi pelacur,
seorang wanita dengan tubuh yang sudah ternoda, kini bisa mendapatkan kasih sayang
yang demikian besarnya dari Pangeran Souw Han yang budiman dan bijaksana ini.
Kenyataan itu saja adalah
merupakan karunia yang amat besar baginya, yang membuatnya bangga menjadi
manusia! Akan tetapi ia tidak mau membiarkan .dirinya tenggelam ke dalam
kebahagiaan dan kenikmatan hidup itu. Ia tidak ingin menyeret pangeran yang
demikian berbudi ke dalam jalan hidupnya yang penuh kekerasan, penuh bahaya dan
petualangan.
Dengan lembut iapun melepaskan
diri dari rangkulan pangeran itu dan melangkah mundur. Ia membereskan ikat
pinggangnya, menyelipkan pedang Hek-liong-kiam di balik jubahnya, memperkuat
ikatan rambutnya dan tersenyum memandang kepada pangeran itu.
“Pangeran, ingatlah akan semua
peringatan saya pagi tadi. Kita memang telah minum anggur asmara bersama dan
harus kuakui bahwa saya sendiri hampir mabok, pangeran. Belum pernah saya
merasakan kebahagiaan yang demikian besar seperti tadi.”
“Itulah sebabnya mengapa kita
tidak boleh berpisah lagi, enci Cu. Engkau harus menjadi isteriku, hidup
bersamaku selamanya......” kata pangeran itu penuh semangat.
Senyum Liong-li melebar, akan
tetapi ia menggeleng kepala. “Ingat ucapan saya tadi, Pangeran. Saya, tidak
mungkin dapat menjadi isterimu, bahkan selirmu pun tidak, walaupun saya akan
berbohong kalau mengatakan bahwa hati saya tidak menginginkan hal itu.
“Hidup selamanya di sampingmu,
betapa akan indahnya! Akan tetapi tidak mungkin. Saya seorang tokoh kang-ouw,
seorang petualang yang terbiasa hidup bebas, hidup tanpa kekangan, terbiasa
menghadapi bahaya-bahaya maut, bermusuhan dengan tokoh-tokoh sesat yang lihai
dan berbahaya.
“Nah, saya harap paduka dapat
menginsafi hal ini. Nanti apa bila pengaruh anggur asmara tadi sudah agak
mereda, tentu paduka akan dapat melihat kebenaran pendapat saya, Betapapun juga,
Bumi dan Langit menjadi saksi bahwa selama hidup saya, saya tidak akan dapat
melupakan keindahan yang kita nikmati sehari tadi, Pangeran. Nah, saya pergi,
pangeran.”
Sekali berkelebat, Liong-li
sudah lenyap dari depan pangeran itu yang seketika merasa lemas dan dia pun
menjatuhkan diri di atas pembaringan yang masih kusut itu. Dipeluknya bantal
yang masih mencium bau badan yang khas dari Liong-li dan sejenak pangeran itu
seperti tertidur. Akan tetapi, akhirnya dia menarik napas panjang dan bangkit duduk,
termenung.
Semua ucapan wanita itu
terngiang di telinganya dan beberapa kali diapun mengangguk-angguk. Dia dapat
menyelami perasaaan wanita kang-ouw itu. Bagaikan seekor burung hutan, yang
akan mati lemas dan penuh duka kalau dikurung, walaupun dalam kurungan emas,
demikian pula Liong-li akan merana kalau harus hidup sebagai seorang puteri di
istana. Bunga mawar rimba yang liar, mungkin bahkan akan menjadi kurus kalau
dipindahkan ke dalam taman yang indah terpelihara baik-baik.
Dia mengeluh. Dia merasa ragu
apakah dia akan pernah dapat jatuh cinta kepada wanita lain. Agaknya tidak
mungkin di dunia ini dia akan dapat menemukan Liong-li kedua yang bersedia
menjadi isterinya atau selirnya. Dan sejak saat itu, Pangeran Souw Han merasa
kehilangan sekali, bahkan merasa betapa hidup ini akan menjadi sunyi dan tak
berarti tanpa adanya Liong-li di sampingnya.
Sementara itu, Liong-li keluar
dari rumah Pangeran Souw Han dengan hati-hati sekali. Sebelum ia memperlihatkan
diri di tempat terbuka di luar rumah, lebih dulu ia mengintai dan setelah
merasa yakin bahwa tidak ada orang yang mengetahuinya, baru ia melompat keluar
melalui taman bunga di belakang rumah. Ia menyusup-nyusup di antara pohon dalam
taman itu, kemudian melompati pagar tembok di belakang dan baru ia berani
melompat ke atas genteng bangunan di luar kompleks perumahan Pangeran Souw Han.
Sisa-sisa kemesraan yang masih
melekat di perasaannya ditanggalkannya setelah ia berada di udara terbuka,
setelah tubuhnya diterpa hawa dingin malam itu dan iapun sudah mampu sama
sekali melupakan bayangan Pangeran Souw Han, dan sepenuhnya seluruh
perhatiannya dicurahkan untuk pelaksanaan tugasnya. Malam ini ia harus berhasil
meringkus Kwi-eng-cu, Si Bayangan Iblis!
Malam ini ia akan menyelidiki
tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him, mantu kaisar itu. Ada pula bayangan
menghilang di rumah ini ketika ia melakukan penyelidikan yang lalu.
Untuk sementara ini agaknya
Pangeran Souw Cun tidak akan berani melakukan tindakan, setelah apa yang
terjadi pagi tadi. Kemarahan Pangeran Souw Han kepadanya, ancaman Pangeran Souw
Han untuk melapor kepada Kaisar dan Permaisuri, tentu akan membuat Pangeran
Souw Cun tidak berani banyak membuat ulah untuk sementara ini. Maka, yang
paling tepat untuk diselidiki adalah Pangeran Kim Ngo Him.
Ketika ia tiba di dekat tembok
pekarangan rumah tinggal Pangeran Kim Ngo Him, ia melihat sesosok bayangan
hitam muncul dari dalam. Dengan gerakan lincah, bayangan itu meloncat dari
dalam ke atas wuwungan rumah itu, berdiri tegak memandang ke sekeliling.
Bayangan itu mengenakan
pakaian serba hitam dan kepalanya dibungkus kain hitam pula. Ada dua ujung kain
itu mencuat ke atas sehingga nampaknya seperti tanduk. Bayangan itu memiliki
bentuk tubuh yang kurus agak jangkung.
Dengan jantung berdebar tegang
Liong-li menahan diri untuk tidak segera muncul turun tangan. Ia tidak ingin
gagal kali ini, tidak akan tergesa-gesa. Kalau ia muncul menyerang dan bayangan
itu lari lagi ke dalam gedung tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him, tentu ia
tidak akan melakukan pengejaran. Terlalu berbahaya, karena selain sukar
mencarinya di di dalam gedung yang tidak dikenalnya, juga mungkin malah
rahasianya akan terbuka. Ia harus menanti saat yang baik dan akan membayangi
dulu.
Bayangan itu memandang ke
sekeliling beberapa saat lamanya, kemudian tubuhnya melayang turun dari atas
genteng dengan cepat bagaikan seekor burung saja. Liong-li kagum dan iapun
cepat melayang turun dari samping rumah yang berlawanan, kemudian ia
menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon- pohon dan bangunan ketika
melihat bayangan itu keluar dari pagar gedung Pangeran Kim Ngo Him lalu lari
menuju ke bagian belakang kompleks istana.
Bayangan itu terus berlari
cepat menuju ke bagian paling belakang dari kompleks istana di mana terdapat
sebuah bukit kecil. Di atas bukit ini terdapat sebuah hutan buatan di mana
dipelihara binatang-binatang hutan yang jinak seperti kijang, kelinci dan
sebagainya. Juga di puncaknya terdapat kuil istana. Keluarga kaisar suka
berpesiar di dalam hutan yang indah dan tidak berbahaya ini dan kuil itu
merupakan tempat sembahyang dan pemujaan dari para anggauta keluarga kaisar.
Ketika tiba di tepi hutan,
Liong-li yang tidak ingin kehilangan orang yang dikejarnya itu, mempercepat
larinya agar jaraknya tidak terlampau jauh. Sejak tadi ia sudah kagum karena
orang itu harus diakuinya memiliki ilmu berlari cepat yang hebat. Ia harus
mengerahkan tenaganya untuk dapat membayangi terus orang itu dan hal ini saja
sudah memberi peringatan kepadanya bahwa ia menghadapi lawan yang lihai.
Tiba-tiba bayangan itu
membalikkan tubuhnya dan kedua tangannya bergerak. Terdengar bunyi berdesingan
dan Liong-li cepat mengelak dengan loncatan-loncatan ke kanan kiri karena ada
paku-paku yang menyambar-nyambar ke arahnya secara berturut-turut.
Sungguh berbahaya sekali
penyerangan itu. Paku pertama menyambar dan ketika ia mengelak ke kiri, paku
kedua menyambar ke tempat ia mengelak. Ketika ia mengelak dari sambaran paku
kedua, paku ketiga mengejarnya! Sampai berturut-turut ada tujuh buah paku
menyambar dan tentu saja, penyerangan ini amat berbahaya bagi orang yang tidak
memiliki kelincahan gerakan seperti Liong-li.
Orang itu telah melihatnya.
Inilah saatnya untuk turun tangan menangkapnya, pikir Liong-li, maka elakan
yang terakhir dari paku ketujuh dilakukan dengan melayang ke depan dan langsung
tubuhnya meluncur bagaikan seekor naga melayang di angkasa dan menubruk ke arah
penyerangnya!
“Ehhh......!” Orang itu
mengeluarkan seruan kaget dan agaknya bayangan itu tidak mengira bahwa orang
yang membayanginya demikian lihainya, bukan saja mampu menghindarkan diri dari
tujuh batang pakunya, akan tetapi bahkan berbalik menyerang sedahsyat itu!
Akan tetapi, tepat seperti
yang diduga oleh Liong-li, bayangan itu lihai sekali. Biarpun penyerangan
Liong-li yang dilakukan dengan tubuh melayang seperti itu amat berbahaya, namun
orang itu dengan lincahnya telah dapat menyingkir dengan loncatan ke kanan dan
begitu tubuh Liong-li turun ke atas tanah, dia malah menyerang dengan dahsyat,
kedua tangannya bergerak mencengkeram, yang kiri mencengkeram kepala, yang
kanan mencengkeram ke arah dada!
Liong-li menggerakkan kedua
tangannya menangkis dari samping dengan kedua lengan diputar melingkar ke atas
dan bawah sambil mengerahkan tenaga karena ia hendak mengukur kekuatan lawan.
Jelas bahwa lawan memiliki gin-kang yang hebat dan hanya sedikit di bawah
tingkatnya sendiri. Kini ia ingin mengukur tenaga lawan.
“Dukkkk!” Dua pasang lengan
ini bertemu dan akibatnya sungguh mengejutkan kedua pihak.
Liong-li terdorong mundur dua
langkah, akan tetapi orang itupun terjengkang dan terhuyung. Kiranya dalam hal
tenaga sinkang merekapun seimbang dan hal ini tentu saja membuat Liong-li amat
berhati-hati. Tentu Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) itu, melihat akan
kelihaiannya. Iapun mendesak dengan serangan-serangan kilat yang nampaknya
lemah lembut namun amat berbahaya karena ia telah memainkan ilmu silat
Bi-jin-kun (Silat Wanita Cantik) yang nampaknya seperti orang menari-nari indah
saja namun setiap tamparan tangan atau tendangan kaki merupakan serangan maut
yang amat berbahaya bagi lawan.
Namun lawan itu lihai dan
selain dapat menghindarkan semua serangan Liong-li, juga mampu membalas dengan
serangan balasan yang takkalah ampuhnya, bahkan ketika tangannya menyambar,
Liong-li dapat mencium bau amis, tanda bahwa tangan orang itu mengandung hawa
beracun!
“Plakk! Plakk!” Kembali tangan
mereka bertemu dan orang itu mengeluarkan seruan kaget dan melangkah mundur.
Liong-li tersenyum di balik
kedoknya. Tentu orang itu terkejut karena merasa betapa telapak tangannya
menjadi panas bertemu dengan tangannya. Ia tadi telah mengerahkan tenaga
Hiat-tok-ciang (Tangan Darah Beracun)! Akan tetapi agaknya orang itu mampu
menolak pengaruh hawa beracun dari tangannya. Buktinya orang itu tidak mundur,
bahwa kini mencabut sebatang pedang yang berkilauan dan mengamuk, menyerangnya
bertubi-tubi.
Liong-li belum mau mencabut
Hek-liong-kiam. Ia tahu bahwa sekali mencabutnya, tidak mungkin lagi ia
menyembunyikan keadaan dirinya. Wajahnya dapat ditutupi kedok, akan tetapi Hek-liong-kiam
pasti akan dikenal orang dan di dunia ini tidak ada dua Hek-liong-kiam.
Satu-satunya yang berada di tangan Hek-liong-li! Maka, iapun hanya melindungi
diri dengan ilmu Liu-seng-pouw (langkah Ajaib Bintang Cemara). Dengan ilmu ini,
sambaran pedang lawan selalu dapat ia elakkan dengan geseran-geseran kaki yang
melangkah secara aneh.
Sudah ada tigapuluh jurus
lebih mereka berkelahi dan tiba-tiba bayangan yang lihai itu meloncat ke dalam
hutan setelah terdengar suitan lirih dari dalam hutan. Liong-li tidak berani
mengejar. Bukan saja karena hutan itu gelap dan mengejar orang berbahaya dan
lihai di dalam hutan yang gelap amatlah berbahaya. Ia dapat dibokong dan
dijebak, juga suara suitan tadi membuktikan bahwa orang yang lihai itu masih
mempunyai kawan di dalam hutan!
Tiba-tiba wajah Liong-li
berubah pucat. Orang tadi jangan-jangan hanya memancing agar ia pergi lama
meninggalkan Pangeran Souw Han! Teringat ia akan peristiwa di pagi hari tadi.
Pangeran Souw Han telah mengeluarkan ancaman kepada Pangeran Souw Cun, berarti
bahwa pangeran yang disayangnya itu terancam bahaya.
Ia tidak akan ingat tentang
hal ini kalau saja ia tidak melihat sikap bayangan yang mencurigakan tadi.
Bayangan itu tidak melanjutkan perkelahian dengannya, pada hal bayangan itu belum
kalah, bahkan di dalam hutan masih ada kawannya. Dan suitan tadi, bukankah itu
merupakan isyarat agar bayangan yang melawannya itu pergi meninggalkannya?
Agaknya ia sengaja dipancing dengan akal “memancing harimau meninggalkan
sarang”, tentu untuk mengambil atau mengganggu anak harimau.
Pangeran Souw Han! Teringat
ini, Liong-li meloncat, meninggalkan tepi hutan itu dan kembali ke gedung
tempat tinggal Pangeran Souw Han. Jantungnya berdebar penuh ketegangan ketika
ia tiba di atas genteng rumah Pangeran Souw Han. Dengan ringan tubuhnya lalu
meluncur turun dan ia memasuki rumah melalui pintu samping.
Ketika ia tiba di depan pintu
kamar sang pangeran, hatinya lega karena nampaknya tidak ada terjadi sesuatu
dan sunyi saja di situ. Tentu pangeran telah pulas, juga lima orang pelayan di
belakang. Kasihan sang pangeran, pikirnya sambil tersenyum. Terlalu lelah dia
sehari tadi sehingga kini tentu sedang pulas dan bermimpi indah tentang
pengalamannya siang tadi.
Ia tidak tega untuk mengetuk
pintu menggugahnya, maka ia lalu mengambil jalan memutar ke samping, dan
mencoba untuk membuka jendela dengan dorongan. Akan tetapi, daun jendela itu
terbuka dengan mudah. Tidak dikunci! Betapa sembrononya sang pangeran, dan juga
para pelayan dayang itu. Jendela dibiarkan tidak dikunci dari dalam! Ia membuka
jendela dan melompat ke dalam.
Gelap di dalam. Ia lalu
menyalakan lilin dan ketika memandang ke arah pembaringan, tubuh pangeran
nampak tidur miring menghadap ke dinding. Kelambunya tertutup dan sepasang
sepatu pangeran itu berjajar rapi di bawah pembaringan.
Melihat tubuh pangeran itu
rebah miring, bergolak pula darah di tubuh Liong-li. Tidak, ia tidak akan
menuruti nafsu berahinya. Akan tetapi ia harus menjenguk sang pangeran, melihat
bahwa dia selamat dan setelah yakin, baru ia akan pergi lagi.
Dihampirinya pembaringan.
Disingkapnya kelambu dan...... ia terbelalak, mukanya berubah pucat sekali.
“Pangeran.......!” Ia menjerit
lirih sambil menubruk. Akan tetapi, ia terkulai lemas dan di lain saat ia telah
merebahkan mukanya di dada yang sudah tidak lagi berdetak atau bernapas itu.
Pangeran Souw Han telah tewas!
“Ya Tuhan.......! Pangeran
Souw Han......!”
Liong-li menggigit bibirnya
sendiri, menahan sekuatnya untuk tidak menjerit dan menangis. Beberapa menit
kemudian, setelah ia merebahkan kepalanya di dada yang tak bernapas lagi itu,
ia bangkit, mengusap kedua mata yang sempat basah, lalu memeriksa. Sebentar
saja ia menemukan sebab kematian pria itu. Pelipis kirinya retak oleh pukulan
yang amat kuat dan dia tentu tewas seketika tanpa mampu berteriak lagi. Dia
telah dibunuh secara kejam!
Ia bangkit berdiri, menatap
wajah yang tampan itu, wajah yang kini nampak lebih tenang dari pada biasanya,
dan bibir itupun mengembangkan senyum mati. “Pangeran, maafkan saya...... engkau
mati karena terlibat penyelidikan saya. Tenangkan dirimu, pangeran. Aku
bersumpah untuk membalas kematianmu, akan kubunuh orang yang telah
menewaskanmu!” Setelah berkata demikian, ia menyelimuti tubuh pangeran itu
sampai ke lehernya, kemudian ia mulai menyelidik.
Kamar itu jelas dimasuki orang
dan nampak barang berserakan. Terutama sekali lemari pakaian. Pakaian yang
biasa ia pakai terutama berserakan di luar lemari. Kemudian ia lari ke bagian
belakang dan makin gemaslah ia ketika melihat betapa lima orang dayang pelayan
itupun telah mati semua! Juga mati karena pukulan pada kepala mereka!
“Jahanam Pangeran Souw Cun!”
Liong-li mengepal tinju. Ia merasa pasti bahwa tentu pangeran jahanam itu yang
telah membunuh Pangeran Souw Han dan enam orang dayang pelayannya. Siapa lagi
kalau bukan Pangeran Souw Cun itu?
Pagi tadi mereka bertengkar.
Pangeran Souw Han telah mengeluarkan kata-kata ancaman. Dan untuk menjaga agar
tidak ada saksi bahwa dia pernah menculik selir Pangeran Souw Han, maka lima
orang dayang pelayan itupun dibunuh! Kalau ia berada di kamar itu, tentu akan
dibunuh pula. Dan kini, melihat bahwa ia tidak berada di kamar, tentu Pangeran
Souw Cun semakin curiga dan tahu bahwa ia adalah seorang penyelundup dan
penyelidik yang menyamar selir Pangeran Souw Han.
“Keparat engkau Pangeran Souw
Cun! Akan kubasmi engkau dan semua antek-antekmu!” katanya dengan suara
mendesis.
Biasanya Liong-li merupakan
seorang yang dapat menguasai perasaannya dan tidak mudah terseret oleh nafsu
amarah. Akan tetapi sekali ini, ia merasa demikian sedih dan marah sehingga ia
seperti lupa diri. Kedua matanya yang mencorong itu mengeluarkan sinar
berapi-api dan mata itu masih selalu basah air mata yang ditahan-tahannya
sehingga tidak sempat mengalir. Cuping hidungnya kembang kempis dan bibirnya
bergerak-gerak, dagunya mengeras. Ia saat itu berubah menjadi Dewi Maut
sendiri!
Tengah malam telah lama lewat
ketika bayangan Liong-li yang dibakar kemarahan itu berkelebat di atas wuwungan
rumah pangeran Souw Cun. Seorang ahli silat yang mempunyai banyak musuh, yang
hidupnya selalu dibayangi bahaya, haruslah selalu waspada. Dan perasaan duka
dan marah mengurangi kewaspadaan itu.
Demikianlah pula dengan
Liong-li. Karena hatinya dibakar dendam kemarahan, ia lupa akan keadaan
dirinya, lupa bahwa ia sedang dalam penyamaran, sedang melakukan tugas
penyelidikan. Yang memenuhi ingatannya hanyalah bahwa pangeran yang disayangnya
telah dibunuh secara kejam dan ia harus membalas dendam terhadap pembunuhnya!
Hal ini mengurangi
kewaspadaannya sehingga ia tidak tahu sama sekali bahwa ia seperti masuk dalam
perangkap yang dipasang orang-orang yang amat cerdik dan lihai. Tidak ada lagi
kecurigaan penuh kewaspadaan yang selalu menyertai dirinya, dan ia menjadi
semberono. Begitu saja ia melompat ke atas wuwungan rumah, kemudian dengan
penuh keberanian karena marah ia melayang turun ke pekarangan samping gedung
tempat tinggal Pangeran Souw Cun.
Begitu kedua kakinya turun
menginjak tanah, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dari
sekelilingnya dan bermunculan banyak sekali orang, ada belasan orang jumlahnya.
“Tangkap Kwi-eng-cu (Si
Bayangan Iblis)!”
“Dia telah membunuh Pangeran
Souw Han!”
“Tangkap penjahat!”
“Bunuh Si Bayangan Iblis!”
Liong-li yang tadinya marah
sekali, kini terkejut bukan main mendengar teriakan-terikan ini. Ia disangka Si
Bayangan Iblis! Bukan itu saja, ia malah dituduh pembunuh Pangeran Souw Han!
Ini merupakan perangkap yang berbahaya sekali! Jelas bahwa mereka sudah tahu
akan kematian Pangeran Souw Han dan ini membuktikan bahwa pembunuhnya adalah
Pangeran Souw Cun dan antek-anteknya.
Akan tetapi ia tidak sempat
banyak berpikir tentang ini karena pada saat itu dirinya sudah dikepung. Ketika
ia hendak meloncat kembali naik ke atas wuwungan, ia melihat di atas genteng
telah berdiri beberapa bayangan orang pula. Ia telah terkepung di
sekelilingnya, bahkan di atasnya! Dan pada saat itu, beberapa orang sudah mulai
menyerangnya dengan senjata tajam dan melihat gerakan mereka, ia tahu bahwa
mereka adalah orang-orang yang lihai.
Pakaian mereka menunjukkan
bahwa mereka adalah pengawal-pengawal dan jagoan- jagoan peliharaan Pangeran
Souw Cun, Di antara mereka terdapat pula dua orang yang pagi tadi menangkapnya,
bahkan kemudian mencambuknya. Masih nampak jalur-jalur merah di muka mereka ketika
Pangeran Souw Han membalas dengan mencambuki mereka itu. Ingatan ini saja
mendatangkan kembali kenangan manis betapa Pangeran Souw Han membelanya dan
menyayangnya. Timbullah kemarahannya lagi.
“Jahanam-jahanam busuk!”
bentaknya dan sekali tangannya bergerak, nampak sinar hitam berkelebat, disusul
sinar itu bergulung-gulung dan dua orang yang pagi tadi mencambukinya itu
mengeluarkan teriakan kesakitan dan mereka pun jatuh bergulingan, sengaja
menggulingkan tubuh menjauh sambil mengaduh-aduh karena lengan kanan yang
memegang pedang telah terbabat sinar hitam dan putus! Tentu saja hal ini
mengejutkan semua orang yang mengeroyoknya.
“Aha! Kiranya
Hek-liong-li......!”
Liong-li membalik dan melihat
siapa yang berseru itu. Sesosok bayangan tinggi kurus agak bongkok melayang
turun dari atas genteng dan ketika bayangan itu tiba di depannya, ia
mengenalnya sebagai Bouw Sian-seng, guru sastra yang nampak lemah dan tolol
itu, yang pagi tadi juga telah menyiksanya!
Karena agaknya para pengawal
terkejut dan gentar mendengar disebutnya Hek-liong-li, apa lagi melihat betapa
dua orang kawan mereka kehilangan lengan kanan dalam segebrakan saja begitu
Hek-liong-li menggerakkan pedangnya, kini mereka menahan serangan dan hanya
memandang dengan penuh perhatian kepada wanita yang mengenakan pakaian serba
hitam, bertopeng saputangan sutera hitam dan memegang sebatang pedang hitam
yang memiliki sinar mengiriskan itu.
“Dan kiranya engkau yang
menyamar sebagai guru tolol yang menjadi pemimpin para penjahat di istana!” Liong-li
berseru.
“Ha-ha! Yang menjadi Si
Bayangan Iblis ternyata Hek-liong-li. Kepung! Tangkap atau bunuh!” Bouw
Sian-seng dengan suaranya yang parau berteriak dan dia sendiri sudah melolos
sebatang rantai baja yang tadinya dijadikan sabuk, lalu memutar rantai baja
itu, menyerang dengan gerakan yang cepat dan kuat sekali.
Liong-li sudah menjadi marah
bukan main. Ia datang untuk membalas kematian Pangeran Souw Han kepada Pangeran
Souw Cun dan kaki tangannya, akan tetapi kini ia malah dituduh sebagai pembunuh
Pangeran Souw Han, dan juga dituduh sebagai Kwi-eng-cu!
“Keparat!” bentak Liong-li dan
iapun menggerakkan pedang Hek-liong-kiam untuk menangkis, mengerahkan tenaga
agar rantai baja terbabat putus.
“Tranggg......!!” Bunga api
berpijar dan Liong-li terkejut sekali. Rantai baja itu tidak putus, membuktikan
bahwa rantai itu terbuat dari baja pilihan yang dapat menahan Hek-liong-kiam,
juga ia merasa betapa lengan kanannya tergetar.
Kiranya si kurus agak bongkok
yang kelihatan sebagai seorang sasterawan lemah ini memiliki sin-kang yang
hebat, mengingatkan ia akan bayangan hitam yang pernah dilawannya dan yang
menyerangnya dengan paku! Jelas bahwa bayangan hitam yang tadi bertubuh kurus
pendek, tidak jangkung seperti ini. Akan tetapi, Bouw Sian-seng ini ternyata
lihai sekali dan kini rantai baja itu sudah menyambar-nyambar dengan ganas dan
dahsyatnya. Iapun memutar pedangnya menangkis dan balas menyerang.
Anak buah Bouw Sian-seng yang
datang mengeroyok rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi dan karena tingkat
kepandaian Bouw Sian-seng seimbang dengannya, maka dikeroyok belasan orang
lihai itu, Liong-li mulai terdesak. Akan tetapi begitu ia menggerakkan
pedangnya dan memainkan Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), belasan
orang pengeroyok itu terkejut karena kembali ada dua orang pengeroyok yang
terluka oleh sambaran sinar pedang.
Ilmu pedang ini memang hebat
sekali, apa lagi kalau dimainkan bersama Pek-liong karena ilmu ini adalah hasil
rekaan Liong-li dan Pek-liong yang mengambil inti sari dari ilmu pedang
masing-masing, mengambil yang kuat membuang atau menutupi yang lemah dan
menggabungkannya menjadi ilmu pedang itu.
“Kepung ketat, jangan sampai
lolos!” Bouw Sian-seng berseru dengan marah sekali dan diapun mempercepat
putaran rantai bajanya, menyerang dengan marah. Para pembantunya mendesak pula
dan kepungan mereka semakin rapat sehingga kembali Liong-li sibuk sekali karena
datangnya serangan seperti hujan membuat ia hampir tidak ada kesempatan sama
sekali untuk membalas.
“Trang-trang-tranggg.......!”
Pedang pusaka Naga Hitam menangkisi banyak senjata para pengeroyok dan dua
batang golok patah-patah ketika bertemu dengan Hek-liong-kiam. Akan tetapi
karena terpaksa menangkis banyak senjata, Liong-li tidak sempat lagi mengelak
dengan baik ketika rantai yang bergulung-gulung itu menghantam dengan totokan
maut ke arah dadanya. Ia hanya mampu merendahkan tubuh dan miring sedikit,
namun ini tidak cukup dan ujung rantai masih mengenai pangkal lengan kirinya
bagian luar sehingga bajunya terobek dan kulitnya terluka mengucurkan darah.
Liong-li terkejut dan
mengelebatkan pedangnya ke arah leher Bouw Sian-seng yang ternyata lihai sekali
itu. Bouw Sian-seng terpaksa harus mundur karena sambaran pedang itu dapat
memenggal lehernya dan dari belakang sebuah tendangan menyambar keras dan
biarpun sudah dielakkan tetap saja mengenai paha kanan Liong-li bagian
belakang.
Pendekar wanita itu terhuyung
dan untung ia masih sempat memutar pedangnya menghalau rantai yang kembali
sudah menyambar dahsyat. Akan tetapi, luka di pangkal lengannya terasa nyeri
dan juga bekas tendangan tadi cukup keras membuat ia tidak leluasa lagi
memainkan Liu-seng-pouw sehingga gerakannya tidaklah selincah tadi. Ia dalam
bahaya!
Melihat ini, Bouw Sian-seng
tertawa, “Ha-ha-ha, Hek-liong-li, sekali ini engkau tidak akan dapat lolos dari
tanganku! Engkau telah berani menjadi Kwi-eng-cu yang mengacaukan istana,
bahkan berani membunuh Pangeran Souw Han!”
Teriakan ini cukup lantang dan
terdengarlah para pengawal itu berteriak-teriak.
“Basmi Kwi-eng-cu!”
“Tangkap pembunuh Pangeran
Souw Han!”
“Bunuh saja siluman ini!”
Gawat keadaannya, pikir
Liong-li. Ia berada di situ untuk menyelidiki Kwi-eng-cu, dan iapun hendak
membalas dendam atas kematian Pangeran Souw Han. Akan tetapi sebaliknya ia malah
dituduh membunuh Pangeran Souw Han dan disangka Kwi-eng-cu. Sikap Bouw
Sian-seng dan para anak buahnya itu, pembantu-pembantu Pangeran Souw Cun,
sungguh membuat ia menjadi bingung. Sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka
tidak membunuh Pangeran Souw Han, juga Bouw Sian-seng bukan Kwi-eng-cu. Ataukah
semua itu hanya sandiwara belaka!
Pikirannya tidak dapat bekerja
banyak, karena seluruh perhatiannya harus ia curahkan kepada gerakan tubuhnya
untuk menyelamatkan diri dari pengepungan yang demikian ketatnya.
Tiba-tiba nampak sesosok
bayangan hitam lain menyambar turun dari atas genteng dan begitu bayangan ini
meluncur turun ketengah-tengah medan perkelahian, bagaikan seekor naga
menyambar turun dari angkasa, dua orang pengeroyok berseru kaget dan merekapun
roboh terpelanting ke kanan kiri oleh tamparan tangan orang itu. Kemudian,
orang itu sudah mencabut sebatang pedang, memutarnya dan nampaklah gulungan
sinar putih membantu sinar hitam pedang Hek-liong-kiam. Melihat ini, Bouw
Sian-seng terkejut bukan main.
“Pek-liong-eng (Pendekar Naga
Putih)......!”
Mendengar ucapan ini, semua
pengeroyok kembali terkejut. Tentu saja mereka pernah mendengar nama besar
Pek-liong-eng yang merupakan pasangan dari Hek-liong-li!
Akan tetapi hanya sebentar
saja Bouw Sian-seng terkejut. Kini terdengar lagi suaranya, dan suara itu
terdengar gembira bercampur tegang, seperti pemburu yang melihat masuknya dua
ekor harimau ke dalam perangkap.
“Kurung mereka, jangan sampai
lolos! Cepat pukul tanda bahaya umum. Cepat......!” Dan Bouw Sian-seng sendiri
menyerang Pek-liong dengan rantai bajanya. Gerakannya memang dahsyat sekali dan
melihat ini, Pek-liong menangkis dengan pedangnya.
“Tranggg......!” Bunga api
berpijar menyilaukan mata dan Bouw Sian-seng meloncat ke belakang, kaget karena
lengannya yang memegang rantai tergetar hebat. Juga Pek-liong maklum akan
kekuatan lawan, maka menggunakan kesempatan selagi lawan mundur, dia mendekati
Liong-li yang sudah mengamuk dan merobohkan dua orang pengeroyok lagi itu.
“Mari kita pergi dari sini!”
Liong-li tadi tentu saja
gembira bukan main melihat munculnya orang yang paling dipercaya di dunia ini.
Biarpun Pek-liong mengenakan pakaian serba hitam dan, menutupi muka dengan sapu
tangan, pada hal biasanya dia selalu berpakaian putih, namun belum juga pedang
Pek-liong-kiam dicabut, baru melihat gerakannya meluncur turun saja ia sudah
menduga siapa orangnya.
Tentu saja hatinya menjadi
besar. Dengan Pek-liong di sampingnya, ia berani menantang dan menentang
siapapun juga! Hatinya menjadi besar dan dengan bantuan Pek-liong, ia merasa
yakin akan mampu membasmi Pangeran Souw Cun dengan semua kaki tangannya untuk
membalaskan kematian Pangeran Souw Han.
“Tidak! Bantu aku membasmi
Pangeran Souw Cun dan semua anteknya! Aku harus membalaskan kematian Pangeran
Souw Han!” serunya dan Pek-liong terkejut dan heran sekali mendengar suara dan
melihat sikap rekannya itu. Baru sekarang ini dia melihat rekannya itu
kehilangan ketenangannya, kehilangan keseimbangannya dan dipengaruhi perasaan
dendam dan marah yang hebat!
“Heiiiii! Apa yang membuat
engkau menjadi lemah? Jangan tenggelam ke dalam perasaan, bangunlah dari mimpi
dan lihat bahwa kalau sampai tanda bahaya umum dipukul, kita berdua takkan
mampu menyelesaikan tugas dengan baik!”
Ucapan Pek-liong ini langsung
menembus jantung Liong-li. Kalau ia diingatkan akan ancaman bahaya, belum tentu
ia akan menjadi sadar. Akan tetapi, diingatkan bahwa ia menjadi lemah oleh
perasaannya, dan bahwa tugasnya belum selesai, Liong-li merasa seperti
kepalanya disiram air es! Ia segera menyadari kebodohannya yang timbul karena
emosi karena dendam dan amarah.
“Engkau benar, mari kita
pergi!” katanya pendek dan mereka berdua menggabungkan sinar pedang hitam dan
putih.
Begitu dua gulungan sinar
pedang ini menyambar-nyambar, Bouw Sian-seng dan para pembantunya terkejut dan
mundur. Ada kekuatan dahsyat dari dua gulungan sinar pedang yang bergabung itu
sehingga empat orang yang mencoba untuk menerjangnya terlempar dan terbanting
pingsan. Liong-li dan Pek-liong melompat dan menghilang ke dalam kegelapan yang
masih bersisa.
“Kejar! Jangan sampai lolos!”
Bouw Sian-seng berseru dan memimpin anak buahnya untuk mengejar. Akan tetapi ia
tidak berani mendahului anak buahnya, karena kalau dia hanya seorang diri saja
menghadapi Liong-li dan Pek-liong, dia merasa gentar.
Dan pada saat itu, tanda
bahaya umum berupa canang yang dipukul terdengar gencar, menggegerkan seluruh
kompleks istana di pagi buta itu.
Para jagoan dari semua
pangeran keluar, juga pengawal dan jagoan dari kaisar sehingga ramailah
kompleks istana pada saat itu. Akan tetapi mereka tidak melihat bayangan
penjahat, tidak melihat Si Bayangan Iblis walaupun semua orang menjadi geger
ketika mendengar bahwa yang menjadi Kwi-eng-cu atau Si Bayangan Iblis adalah
pasangan pendekar yang amat terkenal di dunia persilatan, yaitu Hek-liong-li
(Dewi Naga Hitam) dan Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih)!
Dan lebih gager lagi keadaan
di dalam istana ketika terdengar berita bahwa Pangeran Souw Han dan lima orang
dayang-dayangnya telah dibunuh orang, juga bahwa wanita cantik yang baru saja
dijadikan selir pangeran itu telah lenyap.
Berita bersimpang siur dan
kacau balau, akan tetapi mereka mendengar bahwa selir itu bukan lain adalah
Hek-liong-li atau juga seorang dari Bayangas Iblis! Tentu saja keadaan menjadi
gempar.
◄Y►
Karena tidak mungkin kembali
ke rumah Pangeran Souw Han setelah kini diketahui rahasianya bahwa ia adalah
Hek-liong-li, bahkan ia dituduh membunuh pangeran itu di samping tuduhan bahwa
ia adalah Si Bayangan Iblis, juga tidak mungkin melarikan diri ke luar dari
kompleks istana karena tanda bahaya umum, sudah dicanangkan dan semua jagoan
istana sudah keluar, maka terpaksa Liong-li menurut saja ketika Pek-liong
mengajaknya bersembunyi di bagian pemeliharaan kuda yang luas itu.
Di tempat itu dipelihara
puluhan ekor kuda, tempatnya luas sekali dan agak jauh dari istana karena
baunya yang tentu akan mengganggu para bangsawan.
Untung bahwa di tempat itu,
para pekerja masih belum bangun. Hari masih terlampau pagi. Liong-li diajak bersembunyi
ke dalam gudang ransum kuda di mana terdapat tumpukan jerami kering dan banyak
bahan makanan kuda. Setelah menutupkan daun pintu gudang itu, Pek-liong baru
mengajak Liong-li bercakap-cakap dengan berbisik, sambil duduk di atas jerami.
Sejenak mereka duduk
berhadapan dan saling berpandangan di bawah sinar lampu yang masuk dari luar
melalui lubang-lubang di atas pintu. Kemudian Pek-liong, mengeluarkan seguci
arak, menuangkan dalam dua cawan dan mereka minum sedikit arak untuk
menghangatkan badan.
“Engkau luka?” dengan singkat
Pek-liong bertanya.
“Luka kecil, tidak berarti.
Pangkal lengan kiriku lecet dan paha belakang yang kanan kena tendang.”
“Biar kuperiksa sebentar,”
kata Pek-liong dan dua orang yang sudah demikian akrab hubungan mereka secara
batiniah itu memang tidak pernah banyak bicara. Dari pandang mata dan gerak
gerik saja mereka seperti dapat mengetahui kehendak masing-masing.
Liong-li menghabiskan arak
dalam cawannya, lalu rebah menelungkup, Pek-liong memeriksa luka di pangkal
lengan kiri melalui baju yang robek. Kulit pangkal lengan yang putih mulus itu
tersobek sepanjang satu jari, akan tetapi untung tidak begitu dalam lukanya.
Pek-liong menggunakan obat
bubuk untuk luka, ditaburkan luka-luka itu sampai tertutup semua dan menekannya
sedikit, lalu membalut lengan itu dengan kain putih bersih setelah merobek baju
yang memang sudah robek bagian lengan itu. Ia mengeluarkan sebuah baju hitam
lain dan Liong-li segera bertukar baju, lalu menelungkup kembali setelah
melepaskan ikat pinggangnya.
Tanpa raga-ragu sedikitpun
nampak di antara keduanya, Pek-liong menurunkan celana panjang dari pinggang
yang ramping itu. Biarpun kini pinggul dan paha nampak, sedikitpun Pek-liong
tidak memperhatikan, penglihatan yang pada umumnya amat menarik hati pria itu.
Dia bahkan seperti tidak melihat pinggul itu dan yang kelihatan hanyalah luka
di belakang paha kanan.
Memang telah terjalin hubungan
yang amat aneh dan luar biasa antara kedua orang muda ini. Mereka ita saling
mencinta, saling menyayang, saling mengagumi dan menghormati. Bagi Pek-liong
tidak ada wanita di dunia ini yang lebih disayangnya dari pada Liong-li, dan
demikian sebaliknya. Akan tetapi, di dalam kasih sayang ini, sedikitpun tidak
pernah mereka membiarkan gairah nafsu berahi memasukinya!
Bahkan mereka seperti telah
merasa yakin bahwa sekali mereka membiarkan gairah itu masuk dalam kasih sayang
mereka, sekali mereka saling mencinta seperti dua orang kekasih dan menumpahkan
perasaan mereka dalam hubungan asmara, maka ikatan batin yang kokoh kuat itu
akan putus atau goyah! Karena itu, keduanya tidak pernah terjerumus. Lebih baik
mereka mencari pasangan lain untuk memenuhi kebutuhan gairah mereka, dari pada
mencemari hubungan mereka yang lebih dekat dari pada suami isteri, lebih dekat
dari pada saudara, lebih dekat dari pada sahabat itu.
Aneh memang! Karena itulah,
maka kini biarpun nampak pinggul telanjang Liong-li, sedikitpun Pek-liong tidak
tergerak gairahnya, tidak terangsang, bahkan hebatnya, tidak melihatnya!
Diapun memeriksa luka memar itu.
Kulit yang putih mulus di paha belakang itu nampak dihiasi tanda membiru bekas
tendangan. Dia cepat menggunakan jari-jari tangannya yang ahli untuk memijat
sana-sini, mengurut sana-sini di sekitar tempat yang tertendang, memperlancar
jalan darah sehingga darah segar dapat membanjiri daerah yang tertendang dan
dalam waktu singkat saja paha itupun pulih kembali, rasa nyeripun hilang.
“Terima kasih,” kata Liong-li
singkat sambil membetulkan kembali pakaiannya. “Sekarang ceritakan bagaimana
engkau dapat muncul di sini. Apakah Cian Ciang-kun yang menyampaikan suratku?”
Pek-liong mengangguk. “Baru
pagi kemarin aku diselundupkan masuk oleh Cian Ciang-kun sebagai pekerja di
bagian pemeliharaan kuda. Malam tadi aku melakukan penyelidikan dan bertemu
dengan bayangan hitam yang kemudian lari menyelinap ke dalam bangunan Pangeran
Kim Ngo Him.” Dengan singkat Pek-liong menceritakan pengalaman malam tadi.
“Ketika aku hendak kembali ke
istal, tadi aku melihat engkau dikeroyok. Keadaan tadi berbahaya sekali dan
terpaksa sehari ini engkau harus bersembunyi di sini.”
Liong-li mengangguk dan
menundukkan mukanya, menghela napas panjang untuk menekan perasaan duka yang
timbul ketika ia teringat akan Pangeran Souw Han.
Pek-liong kembali mengerutkan
alisnya. Belum pernah dia melihat wanita yang dikaguminya ini, wanita yang
diakuinya bahkan lebih cerdik dari padanya, mungkin lebih berani dan tabah,
menghela napas seperti itu.
“Liong-li, engkau tadi bicara
tentang kematian Pangeran Souw Han......?”
Liong-li mengangkat mukanya
dan benar saja. Melalui sinar yang masuk ke gudang itu, Pek-liong melihat
betapa sepasang mata yang biasanya penuh semangat itu, kini nampak sayu!
Ini hanya berarti bahwa
kematian pangeran itu amat mendukakan hati Liong-li, berarti pula bahwa wanita
luar biasa ini telah jatuh cinta kepada Pangeran Souw Han! Sungguh hebat
tentunya pangeran itu, yang telah dapat menjatuhkan hati seorang wanita seperti
Liong-li!
“Dia terbunuh, Pek-liong.
Pangeran itu...... ah, dia sama sekali bersih, tidak berdosa seperti anak bayi,
tidak ikut memperebutkan kekuasaan, bahkan tidak perduli dan tidak berat
sebelah, tidak memihak, dia begitu baik budi, bijaksana dan lembut. Dan orang
tega membunuhnya, bersama lima orang pelayannya!” Liong-li mengepal tinju tanda
bahwa hatinya masih merasa nyeri sekali.
“Pangeran Souw Cun yang
melakukannya?”
“Tadinya kusangka demikian.
Kini aku ragu-ragu. Mereka itu tadi mengenalku melalui pedang dan menuduh
akulah Kwi-eng-cu dan aku pula pembunuh Pangeran Souw Han.” Wanita itu
menggeleng kepala.
“Memang ada dua kemungkinan!
Mereka sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Pangeran Souw Han
atau mereka itu pura-pura tidak tahu?”
Liong-li mengangguk. Begitu
menyenangkan kalau ada Pek-liong di dekatnya. Tidak perlu bicara berbelit-belit.
Pria ini mampu menangkap semua isi hatinya tanpa kata sekalipun!
“Akan tetapi aku condong
dugaan kedua. Kematian Pangeran Souw Han baru kuketahui sendiri. Semua penghuni
rumah itu tewas dan tidak ada orang lain yang tahu. Dan begitu mereka mengeroyokku,
ada yang meneriakkan bahwa aku telah membunuh Pangeran Souw Han. Mereka telah
tahu!”
Pek-liong meraba-raba dagunya
dan Liong-li tahu bahwa gerakan itu menunjukkan bahwa rekannya ini sedang
berpikir keras. Iapun membiarkan dia berpikir mengasah otak dan ia terus saja
mengalirkan keterangan-keterangan yang diperolehnya selama ia melakukan
penyelidikan. Tentang Permaisuri Bu Cek Thian, tentang Pangeran Souw Han,
tentang Pangeran Souw Cun, dan tentang Pangeran Kim Ngo Him.
“Jadi kalau menurut pendapatmu,
yang patut dicurigai menjadi dalang semua kekacauan yang ditimbulkan
Kwi-eng-cu, semua pembunuhan, juga pembunuhan terhadap Pangeran Souw Han,
adalah dua orang, yaitu Pangeran Souw Cun atau Pangeran Kim Ngo Him?”
“Tepat. Tadinya juga aku
mencurigai Permaisuri, akan tetapi setelah melihat dari dekat, aku tidak yakin
bahwa ia terlibat. Jelas bahwa ia menentang Kwi-eng-cu yang menggelisahkan
hatinya pula. Itulah sebabnya ia mempergunakan aku untuk menyelidik dan
menyerahkan aku kepada Pangeran Souw Han.”
“Atau ada kemungkinan ke
tiga!”
Liong-li menatap wajah yang
tampan gagah itu dengan penuh selidik. Sinar matahari mulai muncul dan cuaca
dalam gudang itu semakin cerah. Melihat wajah pria ini saja sudah menimbulkan
ketenangan di hatinya dan mengingatkannya bahwa ia sedang berada di tengah
kancah pelaksanaan tugas yang berbahaya sehingga tidak ada waktu untuk
membiarkan diri terseret arus perasaan.
“Pihak dari luar istana yang
menyusup ke dalam?” tanyanya.
Pek-liong mengangguk. “Keadaan
di istana, menurut cerita Cian Ciang-kun sedang keruh. Menguntungkan sekali
bagi mereka yang suka mengail di air keruh.”
Liong-li mengangguk-angguk.
“Engkau mempunyai alasan untuk mencurigai sesuatu?”
“Nanti dulu. Coba jelaskan
siapa orang tinggi kurus yang memimpin pengeroyokkan terhadap dirimu tadi?”
“Yang bersenjata rantai baja?”
“Benar, dia lihai sekali.”
“Di hari-hari biasa, dia
menyamar sebagai guru sastera dari Pangeran Souw Cun. Namanya atau nama
panggilannya Bouw Sian-seng.”
“Jelas dia bukan orang biasa,
bukan pula tokoh biasa dalam dunia persilatan. Ilmu silatnya tinggi, tenaga
sin-kangnya juga amat kuat. Dia tentu seorang tokoh besar, seorang datuk! Coba,
kuingat-ingat. Siapa orang tua tinggi kurus yang agak bongkok, bersenjata
rantai baja dan..... pandai sastera......? Hemm, aku ingat sekarang!”
Pendekar itu menatap wajah
Liong-li penuh selidik sehingga Liong-li merasa seolah-olah sinar mata itu
menjenguk ke dalam dadanya dan mengaduk-aduk di sana mencari sesuatu.
“Liong-li, katakan, apakah
engkau mengenal suaranya? Katakan dari mana kiranya dia berasal, kalau didengar
dari logat bicaranya?”
“Nanti dulu........” Liong-li
mengerutkan alisnya dan tangan kirinya menggosok, mengelus dan menggosok batang
hidungnya yang mancung, tanda bahwa ia sedang tenggelam ke dalam pemikiran
mendalam.
“Kalimatnya yang terpanjang
hanya ketika tadi memerintahkan anak buahnya mengepung ketat, tidak membiarkan
aku lolos, dan untuk memukul tanda bahaya umum. Dalam keadaan tegang itu tentu
dia tidak dapat menyembunyikan logat bicaranya yang aseli. Ya, aku ingat! Dia
tentu datang dari selatan, jelas ketika tadi ia menyebut kata “kepung” dengan
kata “kurung”. Itu kebiasaan bahasa orang dari selatan!”
“Tepat dugaanku! Wah,
Liong-li, kalau tidak keliru perhitunganku, kita berhadapan dengan musuh besar.
Pantas dia berusaha mati-matian untuk membunuhmu. Keadaannya, senjatanya,
kelihaiannya, dan logat bicaranya mengingatkan aku akan Lam-hai Mo-ong (Raja
Iblis Laut Selatan)!”
Liong-li tertegun. “Aihhh!
Seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua)?”
Tentu saja wanita perkasa ini
terkejut bukan main mendengar dugaan Pek-liong bahwa Bouw Sian-seng itu mungkin
sekali Lam-hai Mo-ong Pada waktu itu, sejak beberapa tahun yang lalu di dunia
kang-ouw muncul Kiu Lo-mo yang menggemparkan dunia persilatan.
Mereka adalah sembilan orang
datuk sesat yang selama duapuluh tahun lebih menghilang dari dunia persilatan.
Akan tetapi, selama beberapa tahun ini mereka turun gunung dan menjadi
datuk-datuk sesat. Selama ini, Pek-liong dan Liong-li pernah bertentangan
dengan dua orang di antara mereka, yaitu pertama dengan Hek Sim Lo-mo (Baca
Sepasang Naga Penakluk Iblis) dan Siauw-bin Ciu-kwi (Baca Rahasia Patung Emas).
Masih ada tujuh orang lagi
yang sewaktu-waktu dapat saja muncul untuk memusuhi mereka karena tentu mereka
itu tidak akan tinggal diam saja mendengar bahwa Hek Sim Lo-mo dan Siauw-bin
Ciu-kwi, dua orang di antara mereka tewas di tangan Pek-liong dan Liong-li. Dan
kini, tiba-tiba saja dalam menyelidiki Kwi-eng-cu, mereka dihadapkan kepada
seorang di antara Kiu Lo-mo. Walaupun ini baru dugaan saja dari Pek-liong,
namun kalau pendekar ini menduga, maka dugaan itu bukan hanya ngawur belaka dan
biasanya tentu tidak keliru.
Tiba-tiba pendengaran mereka
yang tajam menangkap langkah kaki di depan gudang. Pek-liong hendak memberi
isyarat kepada Liong-ji, namun wanita itu sudah tahu pula apa yang harus ia
lakukan dan tubuhnya bergerak cepat menyusup ke dalam tumpukan jerami kering.
Juga ia sudah menyambar dua batang pedang Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam
yang tadi diletakkan di atas lantai, juga pakaian hitam yang tadi dipakai
Pek-liong, dibawa masuk ke dalam tumpukan jerami.
“A-cin! Haii, A-cin, di mana
kamu?” terdengar teriakan orang di luar gudang itu.
Pek-liong tadi sudah menyambar
sebatang garpu bergagang panjang yang biasa dipergunakan untuk mengumpulkan dan
mengatur jerami kering.
“Aku di sini......!” jawabnya
sambil menuju ke arah pintu gudang, lalu membukanya dengan tangan kanan masih
memegang gagang garpu.
Kiranya orang itu adalah
seorang mandor di bagian pemeliharaan kuda itu, tubuhnya gendut dan matanya
sipit, seperti mata babi. Dengan mata sipitnya dia memeriksa keadaan dalam
gudang itu, lalu mengangguk-angguk. Mulutnya yang tadinya cemberut kini
menyeringai senang. Kini sikapnya seperti orang yang penuh ketegangan akan
tetapi juga kegembiraan bahwa dia datang membawa berita yang mengejutkan.
“Kukira engkau masih tidur di
gudang ini, A-cin. Kiranya sepagi ini engkau telah menggarpu jerami!”
“Toako, kalau ingin maju orang
harus kerja keras,” kata Pek-liong dengan muka yang bodoh dan lugu. Untung dia
tidak pernah melepaskan penyamarannya sebagai seorang dusun yang bodoh, dengan
kulit badan yang kini berubah kecoklatan tanda sering terbakar sinar matahari.
“Engkau benar dan aku girang
memperoleh seorang pembantu seperti engkau. Nah, hari ini kita menghadapi
pekerjaan yang banyak! Kita harus kerja keras, pagi-pagi ini harus
mempersiapkan kuda, memberi makan dan membersihkan bulu mereka, mempersiapkan
pelananya karena setiap waktu kuda-kuda itu akan dipakai.”
“Eh? Apakah yang terjadi,
toako? Apakah istana hendak mengadakan pesta? Atau perburuan? Aku sering
mendengar bahwa kalau para bangsawan hendak pergi berburu, maka hampir semua
kuda di sini dipergunakan.”
“Pesta? Berburu? Ha-ha, memang
ada benarnya. Apa bedanya upacara kematian dengan upacara kelahiran atau
pernikahan dan yang lain? Ramai-ramai, makan-makan, perayaan dan upacara. Dan
memang ada perburuan besar, A-cin, bukan binatang buas yang diburu, melainkan
mahluk yang lebih menyeramkan lagi, mahluk pembunuh yang......“ Si gendut itu
menghentikan kata-katanya dan menengok keluar seperti orang yang tiba-tiba
teringat dan menjadi ketakutan.
“Eh, kenapa toako? Siapa yang
mati? Siapa pula yang diburu?”
“Sudahlah, A-cin. Aku tidak
berani banyak bercerita. Jangan-jangan kepalaku ini yang akan dipenggal kalau
banyak mengobrol. Akan tetapi, engkau orang baru dan tidak banyak tahu, maka
perlu kauketahui bahwa semalam, Pangeran Souw Han dibunuh orang, dan sekarang
seluruh jagoan dan pengawal istana akan mencari pembunuh itu yang diduga masih
bersembunyi di dalam kompleks istana. Nanti dilakukan upacara penguburan, maka
banyak kuda akan dipakai.”
“Toako, siapakah itu Pangeran
Souw Han; dan mengapa dia dibunuh orang? Siapa pembunuhnya?” Dengan lagak yang
bodoh dan jujur, Pek-liong memancing.
“Pangeran Souw Han adalah
pangeran yang paling baik di seluruh istana. Dia tampan sekali, halus budi
pekertinya, dermawan. Bahkan terhadap pekerja-pekerja kasar seperti kitapun dia
bersikap ramah dan halus, sering memberi hadiah. Entah kenapa ada orang yang
tega membunuhnya. Kabarnya yang membunuhnya adalah...... eh, Kwi- eng-cu yang
diketahui adalah seorang wanita cantik.”
“Ehhh.......?”
“Wanita itu kabarnya berjuluk
Hek-liong-li, dan ia telah menyusup ke dalam istana, bahkan menjadi seorang
selir Pangeran Souw Han yang selamanya belum pernah berdekatan dengan wanita.
Heran, sungguh heran, bagaimana seorang wanita tega membunuhnya....... eh,
sudahlah, A-cin, engkau banyak bertanya saja. Nah bekerjalah dengan baik.
Setelah selesai membersihkan gudang, cepat engkau bantu aku mempersiapkan
kuda-kuda itu bersama para pembantuku yang lain. Kita akan kekurangan tenaga!”
Setelah berkata demikian, si gendut meninggalkan Pek-liong.
Pek-liong menutupkan lagi
pintu gudang, lalu menghampiri Liong-li yang sudah keluar dari tumpukan jerami.
“Engkau sudah mendengar semua tadi?”
Liong-li mengangguk sambil
membersihkan pakaiannya dari jerami yang menempel. “Tentu berita tentang aku
menjadi Kwi-eng-cu dan membunuh Pangeran Souw Han sudah mereka sebar-sebarkan
secara luas. Anehnya namamu tidak disebut, pada hal mereka sudah mengenalmu
pula dari pedangmu, Pek-liong.”
“Mungkin juga si gendut itu
tidak mendengarnya. Bagaimanapun juga, untuk sementara ini engkau tidak boleh
memperlihatkan diri, Liong-li. Semua jagoan istana mencarimu. Di sini engkau
aman dan malam nanti kita lanjutkan penyelidikan kita. Kita menyelidiki Bouw
Sian-seng. Kalau benar dugaanku bahwa dia itu Lam-hai Mo-ong, kita harus
memperingatkan Pangeran Souw Cun, karena mungkin saja dia sengaja diperalat
oleh iblis tua itu.”
Liong-li mengangguk-angguk.
“Dia diperalat atau memperalat. Itu saja pilihannya. Betapapun juga, aku yakin
bahwa yang membunub pangeran Souw Han tentulah tidak ada bedanya dengan pelaku
pembunuhan yang terjadi selama ini.”
“Kwi-eng-cu?”
“Mungkin itu hanya nama palsu
belaka. Bayangan Iblis tidak pernah mengaku dengan nama itu. Nama itu hanya
pemberian mereka di kota raja saja. Siapa tahu dugaanmu benar? Lam-hai Mo-ong
menyamar sebagai Bouw Sian-seng di waktu siang, sedangkan malamnya dia menjadi
Si bayangan Iblis. Mungkin diperalat Pangeran Souw Cun, mungkin juga dia
memperalat pangeran itu untuk menimbulkan kekacauan di istana.”
“Hemmm, memang bisa saja
Pangeran Souw Cun ingin menjatuhkan para saingannya. Akan tetapi juga amat
mungkin Lam-hai Mo-ong menimbulkan kekacauan dan kekeruhan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi.”
“Bagaimanapun juga, kita harus
membongkar rahasia Si Bayangan Iblis ini!” kata Liong-li mengepal tinju karena
ia teringat lagi kepada Pangeran Souw Han yang menjadi korban.
“Engkau sehari ini bersembunyi
saja di gudang ini. Kalau ada orang masuk, engkau menyusup ke dalam tumpukan
jerami. Bawa pula pedangku, dan nanti kukirimkan makanan. Aku masih menanti
berita dari Cian Ciang-kun, dan juga dari Cu Sui In.”
“Siapa ia? Engkau belum
menceritakan.”
Dengan singkat Pek-liong
menceritakan tentang keponakan isteri Ciok Tai-jin itu, yang suaminya juga
menjadi korban pembunuhan Si Bayangan Iblis.
“Ia akan menyelundup ke dalam
istana pula, menyamar sebagai adik misanmu dan mencarimu, tadinya ia yang akan
bertugas menjadi perantara dari kita dan Cian Ciang-kun. Ia murid Kun-lun-pai.
Ilmu kepandaiannya lumayan, boleh diandalkan.”
“Bagus! Kalau begitu, kita
menanti berita dari mereka sebelum kita turun tangan. Malam nanti kita hanya
melakukan penyelidikan saja.”
“Aku juga ingin mencari,
apakah di antara para jagoan di istana ada Pek-mau-kwi Ciong Hu yang membunuh
Giam Sun, paman Cu Sui In itu. Dialah yang dapat menunjukkan siapa adanya Si
Bayangan Iblis karena sebelum mati, Giam Sun menuliskan dua nama, yaitu
Pek-mau-kwi dan Kwi-eng-cu. Nah, sekarang aku mau bekerja di luar membantu si
gendut agar jangan menimbulkan kecurigaan.”
Liong-li mengangguk, akan
tetapi ketika Pek-liong hendak pergi, ia memanggil lirih. Pek-liong menoleh.
“Pek-liong, kalau nanti
kebetulan engkau dapat melihat peti jenazah...... Pangeran Souw Han, tolong
engkau bersembahyang dalam hati untukku, katakan bahwa aku merasa menyesal dan
mohon maaf bahwa dia telah menjadi korban karena aku.”
Pek-liong memandang serius dan
mengangguk, di dalam hatinya merasa kasihan sekali kepada wanita yang paling
disayang dan dihormatinya itu. Diapun pergi dan Liong-li menyelinap di balik
tumpukan jerami, siap untuk sewaktu-waktu menyusup masuk ke dalam tumpukan
jerami itu kalau ada orang lain masuk gudang.
◄Y►
Cian Hui dan Cu Sui In
diterima oleh Kaisar sendiri yang didampingi Permaisuri Bu Cek Thian di dalam
sebuah ruangan khusus. Kaisar Tang Kao Cung dan Permaisuri Bu Cek Thian duduk
berdampingan di atas kursi gading berselaput emas dan tidak ada seorang pun
ponggawa diperkenankan hadir.
Hanya ada selosin pengawal
pribadi Kaisar yang merupakan orang-orang kepercayaan kaisar, lihai namun tuli
dan gagu dan yang tugasnya hanyalah menjaga keselamatan kaisar dan menerima
perintah melalui gerakan tangan, dan dua orang pengawal pribadi Bu Cek Thian,
yaitu gadis kembar Bi Cu dan Bi Hwa. Hanya mereka ini yang hadir, berdiri di
belakang kaisar dan permaisuri.
Kaisar nampak marah. Alisnya berkerut
dan mukanya merah, sedangkan Cian Hui dan Cu Sui In berlutut sambil menundukkan
mukanya.
“Sekali lagi kami tekankan,
Cian Hui!” kata Kaisar. “Kalau sekali ini engkau tidak mampu menangkap iblis
yang disebut Kwi-eng-cu itu, tidak dapat menangkap pembunuh Pangeran Souw Han,
kami akan memberi hukuman berat kepadamu! Kami beri waktu sampai tiga hari dan
selama tiga hari kami beri wewenang kepadamu untuk melakukan penggeledahan dan
penangkapan di komplek istana.
“CIAN CIANG-KUN,” kata pula
permaisuri itu yang sejak tadi mendengarkan saja. “Tindakan Kwi-eng-cu memang
sudah keterlaluan. Bahkan, usahamu menyelundupkan Hek-liong-li nampaknya
sia-sia belaka. Karena Hek-liong-li menyusup sebagai selir Pangeran Souw Han,
malah hal ini membuat Souw Han menjadi korhan dan kini Hek- liong-li entah
berada di mana. Engkau harus membongkar semua rahasia ini!”
“Mohon yang mulia Hong-siang
(Kaisar) dan Hong-houw (Permaisuri) sudi melimpahkan pengampunan kepada hamba.
Hamba akan mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan hamba untuk membikin terang
perkara ini. Hamba telah menyelundupkan Hek-liong-li, bahkan Pek-liong-eng, dan
hamba mengandalkan kemampuan mereka untuk membantu hamba menangkap Kwi-eng-cu.
“Di sini hamba menyertakan
nona Cu Sui In untuk membantu hamba. Biar ia yang akan mencari Hek-liong-li dan
mengaku sebagai saudara misan Liong-li yang menyamar sebagai Siauw Cu.
Sedangkan hamba sendiri bersama Pek-liong-eng akan melakukan penyelidikan
dengan seksama. Dan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan oleh paduka,
mohon hamba diberi wewenang untuk semua pasukan pengawal kalau saatnya tiba.”
“Permintaanmu kami kabulkan.
Kamu akan kami beri tek-pai (bambu bertulis tanda kekuasaan) dan dengan tanda
wewenang itu engkau boleh menghubungi para komandan pasukan pengawal yang tentu
akan melakukan semua perintahmu. Nah, laksanakanlah!”
“Biarkan Sui In bersamaku. Ia
dapat menyelundup ke bagian putera bersama para dayang yang kuperintahkan untuk
membantu pengurusan upacara pemakaman jenazah Pangeran Souw Han agar tidak
kentara. Ia dapat menyamar sebagai seorang di antara para dayangku,” kata sang
permaisuri.
Setelah diperkenankan keluar,
Cian Hui segera menghubungi para komandan pasukan pengawal, memperlihatkan
tek-pai itu dan semua komandan menyambutnya dengan hormat sebagai wakil kaisar
sendiri. Bersama mereka, Cian Hui mengatur siasat. Dia memerintahkan mereka
membuat barisan tersembunyi, tidak bergerak sebelum ada perintah khusus dan
selanjutnya bersiap siaga agar setiap saat dia dapat mengharapkan bantuan mereka.
Sementara itu, Cu Sui In
diajak oleh permaisuri ke bagian puteri dan setelah serombongan dayang ia
perintahkan pergi ke tempat tinggal Pangeran Souw Han untuk membantu segala
pekerjaan dalam upacara pemakaman jenazah pangeran itu, Sui In diikut sertakan dengan
nama baru Siauw In.
Biarpun tigabelas orang ini
hanya merupakan dayang, yaitu gadis-gadis pelayan, namun semua orang yang
sedang sibuk bekerja di rumah mendiang Pangeran Souw Han bersikap hormat.
Biarpun dayang-dayang, mereka adalah dayang yang dikirim oleh permaisuri, maka
tak seorangpun berani memandang rendah apa lagi menghina kepada mereka.
Demikian besar kekuasaan dan pengaruh Permaisuri Bu Cek Thian sehingga para
pangeranpun tidak berani bermain gila terhadap para dayang ini, takut kalau sampai
terdengar oleh sang permaisuri dan mendapat marah.
Mula-mula memang Sui In
membantu para dayang itu, ada yang membuatkan rangkaian bunga, melipati kertas
perak dan kertas emas untuk korban sembahyang dan sebagainya. Akan tetapi
setelah mendapatkan kesempatan, dengan dalih membersihkan rumah bekas tempat
tinggal Pangeran Souw Han, ia memasuki kamar pangeran itu dan sambil menyapu
dan membersihkan semua perabotan. Ia melakukan pemeriksaan dengan teliti,
mencari kalau-kalau ada petunjuk tentang pembunuhan itu atau tentang hilangnya
Hek-liong-li yang menyamar sebagai Siauw Cu, selir mendiang Pangeran Souw Han.
Ketika ia membersihkan tempat
tidur, tanpa disengaja ia menemukan sebuah kipas di bawah bantal dan di
permukaan kipas ini terdapat tulisan yang masih baru. Huruf-hurufnya amat indah
dan rapi.
“Enci Cu kekasihku tercinta
aku akan selalu berdoa
biar dalam kehidupan ini
kita tak dapat hidup bersama
dalam kehidupan mendatang
aku menjadi anjingmu setia.”
Sui In cepat menyimpan kipas
itu ke dalam balik bajunya dan hatinya merasa terharu sekali. Ia dapat menduga
bahwa tentu kipas ini milik mendiang Pangeran Souw Han dan tulisan inipun
tulisannya karena pangeran itu terkenal seorang sastrawan yang pandai. Dan
iapun mendengar bahwa Hek-liong-li menyamar sebagai selirnya dengan nama Siauw
Cu.
Kepada siapa lagi sajak itu
ditujukan kalau tidak kepadanya? Agaknya pangeran itu menyebut Liong-li sebagai
“enci Cu” dan kalau benar demikian ia menduga bahwa tentu sang pangeran amat
mencinta wanita itu!
Ketika ia membersihkan dalam
almari pakaian, ia menemukan sebuah gulungan kain dan ketika ia membuka
gulungan itu, ternyata itu merupakan sebuah peta yang lengkap dari kompleks
istana! Cepat ia mempelajarinya dan yang amat menarik perhatiannya adalah
gambaran sebuah bukit kecil penuh hutan di bagian belakang kompleks itu di mana
terdapat sebuah kuil. Kuil istana! Tempatnya di puncak bukit kecil yang penuh
hutan.
Menarik sekali. Tentu kalau ia
menjadi Hek-liong-li, ia akan tertarik untuk menyelidiki tempat itu. Sebuah tempat
yang amat baik untuk menjadi persembunyian orang-orang yang tidak ingin
kehadirannya diketahui orang lain. Seperti misalnya Si Bayangan Iblis dan anak
buahnya! Atau, seperti halnya Hek-liong-li sendiri yang sekarang dituduh
menjadi Si Bayangan Iblis dan membunuh Pangeran Souw Han.
Ia tidak percaya bahwa
Hek-liong-li yang membunuh Pangeran Souw Han. Dan tentang Si Bayangan Iblis,
penjahat itu sudah lama mengacau di kota raja sebelum Hek-liong-li dan
Pek-liong-eng mencampuri urusan itu!
Matahari telah condong ke
barat ketika Sui In berhasil menyelinap ke luar dari rumah Pangeran Souw Han.
Sebagai seorang dayang yang dikirim permaisuri, ia tidak pernah dicurigai orang
dan dengan leluasa ia dapat menyelinap keluar. Ia harus cepat mencari
Hek-liong-li seperti yang telah menjadi tugasnya.
Dan ia tidak takut karena ia
merasa bahwa yang menyuruhnya adalah Cian Ciang-kun, dan bahwa di belakangnya
selain terdapat Pek-liong-eng yang lebih dahulu menyelundup ke istana, juga ia
telah mendapat restu atau ijin dari Sribaginda Kaisar dan Permaisuri sendiri!
Siapa yang akan berani
mengganggunya? Apa lagi Permaisuri yang cerdik itu sudah membekalinya sebuah
tanda kebesaran berupa cincin yang menurut permaisuri itu akan dikenal oleh
semua petugas keamanan di istana dan semua orang akan tidak berani
mengganggunya, bahkan akan membantu dan mentaati perintahnya!
Setelah tadi mempelajari peta
yang didapatkannya di lemari pakaian di kamar Pangeran Souw Han, kini dengan
mudah Sui In dapat menemukan bukit yang dimaksudkan. Ketika ia tiba di luar
hutan di bukit itu, tiba-tiba saja dari kanan kiri bermunculan lima orang perajurit pengawal yang agaknya
melakukan perondaan sampai di situ.
“Berhenti!” bentak mereka dan
lima orang itu telah berdiri tegak di depan Sui In. Mereka saling pandang
ketika mengenal gadis ini berpakaian dayang, bahkan kemudian mengenal bentuk
sanggul dan hiasan rambutnya sebagai dayang dari Permaisuri. Sikap mereka
berubah. Kalau tadinya mereka senyum-senyum nakal, kini mereka bersikap hormat,
lalu seorang di antara mereka yang berkumis tipis berkata dengan hormat.
“Bukankah nona seorang dayang
dari Yang Mulia Permaisuri yang diperbantukan di rumah mendiang Pangeran Souw
Han?”
“Benar sekali,” jawab Sui In,
sikapnya angkuh, sesuai dengan sikap dayang Sang Permaisuri yang merasa
mempunyai kedudukan dan kehormatan.
“Kalau begitu, maafkan kami.
Kenapa nona berada di sini bukan di rumah mendiang Pangeran Souw Han? Hendaknya
nona ketahui bahwa di mana-mana pasukan pengawal sedang sibuk mencari penjahat.
Tempat seperti ini amat berbahaya bagi nona, karena sepi dan terdapat banyak
hutan.”
Sui In maklum bahwa ia
menghadapi kesulitan, maka iapun mengeluarkan cincin itu dari saku bajunya,
memperlihatkannya kepada mereka sambil berkata, “Aku membawa tugas dari Yang Mulia
Permaisuri!”
Melihat cincin itu, lima orang
perajurit Pengawal itu cepat memberi hormat dan melangkah mundur dengan sikap
segan. “Kami menanti perintah paduka!”
Cu Sui In adalah keponakan
seorang bangsawan tinggi, Ciok Tai-jin. Pamannya adalah Pembantu Menteri Pajak,
dan mendiang suaminya juga seorang pejabat, maka ia tidak asing dengan
kebiasaan ini, ketaatan orang-orang bawahan kepada atasan. Akan tetapi biarpun
demikian, melihat sikap lima orang ini, diam-diam ia merasa girang sekali.
Cincin itu sungguh merupakan pelindung yang ampuh sekali!
“Aku tidak memerlukan bantuan.
Minggirlah, biarkan aku lewat dan jangan kalian ceritakan kepada siapa pun
tentang kehadiranku di sini!”
Lima orang itu lalu bergerak
minggir dan memberi jalan. Sui In melewati mereka, lalu teringat akan sesuatu
dan berkata lagi kepada mereka sambil menahan langkahnya. “Oya, kalian tentu
mengenal Cian Ciang-kun, bukan?”
“Nona maksudkan perwira Cian
Hui? Tentu kami mengenalnya. Bahkan dia yang kini menjadi atasan kami.”
“Bagus. Kalau bertemu dengan
dia, katakan bahwa nona Siauw In, dayang Yang Mulia Permaisuri, sore hari ini
hendak menyelidiki ke kuil di puncak bukit. Mengerti?”
Mereka memberi hormat, “Baik,
nona!”
Dengan hati lapang dan bangga
Sui In melanjutkan perjalanannya, memasuki hutan itu dan mendaki bukit. Ada
sebuah jalan menuju ke puncak, jalan yang memang dibuat untuk para keluarga
Kaisar yang pesiar. Jalan itu indah dan di kanan kiri jalan terdapat tanaman
berbagai bunga, indah sekali. Juga pohon-pohon di hutan itu terpelihara.
Di sepanjang perjalanan, Sui
In melihat beberapa ekor kijang berkelompok dan beberapa ekor kelinci berlarian
menyelinap ke balik semak-semak ketika melihatnya. Tempat ini begini indah,
begini tenang dan penuh damai, mendatangkan perasaan tenteram.
Ia sudah mulai merasa kecewa
dan menyesal. Betapa bodohnya mencurigai tempat senyaman ini! Tempat termasuk
hutan buatan, penuh taman dan pohon yang terpelihara indah, juga di sana sini
tentu terdapat perajurit pengawal yang melakukan perondaan.
Tidak mungkin menjadi tempat
persembunyian penjahat. Paling-paling hanya menjadi tempat persembunyian
muda-mudi istana yang mengadakan pertemuan rahasia yang penuh kemesraan! Akan
tetapi ia sudah tiba di situ, harus dilanjutkan sampai ke puncak. Ia ingin
melihat bagaimana macamnya kuil istana yang sudah banyak didengarnya itu,
sebagai kuil yang indah dan dihuni oleh pendeta-pendeta yang alim dan pandai.
Kabarnya di luar istana, kuil
ini manjur sekali, dapat memberi obat yang mujarab bagi yang sakit, dan dapat
meramalkan nasib dengan tepat dan baik sekali. Orang luar istana tidak
diperkenankan masuk. Sekarang, setelah ia berada di situ, merupakan kesempatan
baik untuk mengunjungi kuil itu, di samping tugas penyelidikannya. Ia sudah
pernah mendengar bahwa kepala pendeta di kuil itu yang bernama Gwat Kong
Hosiang adalah seorang hwesio yang selain alim dan pandai, juga lihai ilmu
silatnya karena dia datang dari kuil Siauw-lim-si.
Ketika ia tiba di kuil itu, ia
disambut oleh beberapa orang hwesio yang memandang heran walaupun mereka itu
segera menyambut dengan sikap hormat karena tahu bahwa mereka berhadapan dengan
seorang dayang dari Permaisuri. Kekuasaan dan pengaruh Permaisuri Bu Cek Thian
bahkan sudah sampai ke kuil itu. Kuil itu sunyi, tidak ada pengunjung datang
bersembahyang, dan banyak di antara para hwesio kini sibuk pula di rumah
Pangeran Souw Han untuk melakukan sembahyang.
“Selamat datang, nona. Bantuan
apakah yang dapat kami berikan kepada nona?” tanya seorang di antara mereka
dengan sikap hormat.
“Aku ingin berjumpa dengan
Gwat Kong Hosiang, ketua kuil ini,” jawab Cu Sui In.
Empat orang hwesio itu saling
pandang, kemudian pembicara tadi menjawab, “Omituhud, toa-suhu Gwat Kong
Hosiang tidak dapat ditemui nona karena dia sedang sakit. Dan wakilnya, yaitu
suhu Kwan Seng Hwesio kini sedang bersiap-siap untuk pergi ke tempat kematian.”
“Kalau begitu biarkan aku
berjumpa dengan Kwan Seng Hwesio,” kata pula Sui In.
“Tapi, nona. Kwan-suhu sedang
sibuk dan pula..... dengan adanya peristiwa kematian itu, semua orang akan
berada di sana. Kenapa nona bahkan datang berkunjung dan......”
Hwesio itu berhenti bicara
ketika melihat Sui In mengeluarkan cincin wasiatnya, pemberian Permaisuri.
Melihat cincin itu, para hwesio itu membungkuk dalam-dalam dan penuh hormat.
“Antarkan aku kepada Kwan Seng
Hwesio sekarang juga,” kata Sui In dan sekali ini, para hwesio tidak ada yang
berani membantah. Mereka memberi jalan dan mempersilakan wanita cantik itu
masuk. Dengan sikap hormat seorang hwesio lalu mengantarkan Sui In memasuki
ruangan dalam dan mengetuk pintu ruangan itu.
Hwesio wakil kepala kuil itu
Kwan Seng Hwesio yang berusia limapuluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dan
bermuka gelap kehitaman, namun sepasang matanya lembut, sedang berkemas karena
dia akan segera pergi ke rumah kematian untuk memimpin sembahyangan pada
waktunya nanti.
Tentu saja dia terbelalak
heran ketika membuka pintu dan melihat hwesio penjaga pintu depan mengantar
seorang wanita muda yang cantik. Akan tetapi, diapun mengenal dayang
Permaisuri, maka biarpun alisnya berkerut, dia bangkit dan merangkap kedua
tangan di depan dada.
“Omitohud...... semoga nona
selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa. Ada keperluan apakah nona
berkunjung dan mengapa kepada pinceng? Bukankah di luar sudah banyak para murid
yang dapat melayani keperluan nona?”
Sui In segera mengeluarkan
cincinnya dan melihat benda itu, Kwan Seng Hwesio cepat memberi hormat dengan
membungkuk sampai dalam. Kini mengertilah dia mengapa para hwesio membiarkan
wanita ini masuk menemuinya. Kiranya dayang ini membawa tanda kekuasaan dari
Sang Permaisuri!
“Omitohud! Apakah yang dapat
pinceng lakukan untuk nona?”
“Kwan Seng Hwesio, aku ingin
bertemu dan bicara dengan Gwat Kong Hosiang.”
Hwesio tinggi kurus itu nampak
terkejut, lalu menoleh kepada hwesio penerima tamu dan berkata, “Cepat keluar
dan beri kabar bahwa pinceng sedang menerima tamu dari istana, katakan bahwa
sebentar lagi pinceng harus pergi ke rumah kematian!”
Hwesio itu memberi hormat dan
keluar, menutupkan kembali pintu ruangan itu yang tadi terbuka. Kwan Seng
Hwesio mempersilakan Sui In duduk, kemudian diapun bertanya, “Ada keperluan
apakah nona ingin bertemu dan bicara dengan suheng Gwat Kong Hosiang?”
“Aku membawa tugas dari Yang
Mulia Permaisuri untuk bicara dengan ketua kuil ini,” kata Sui In dengan
singkat.
Kwan Seng Hwesio mengembangkan
kedua lengannya. “Akan tetapi, Yang Mulia Permaisuri sendiri juga tahu bahwa
suheng sedang menderita sakit sejak lama dan tidak dapat menerima tamu! Nona,
kalau ada urusan mengenai kuil, semua merupakan tanggung jawab pinceng yang
mewakili, suheng! Bahkan Yang Mulia Sribaginda Kaisar sendiri sudah mengetahui
akan hal itu.”
“Begini, losuhu. Aku mendapat
tugas dari Yang Mulia Permaisuri untuk melakukan pelacakan dan penyelidikan, untuk
membongkar rahasia pembunuhan yang dilakukan si Bayangan Iblis. Dan aku ingin
memeriksa semua tempat, termasuk kuil ini, maka, aku minta persetujuan losuhu
untuk membiarkan aku melakukan pemeriksaan di seluruh pelosok di bukit ini.”
Kwan Seng Hwesio terbelalak
memandang kepada gadis itu. “Akan tetapi, nona. Tempat ini adalah tempat suci!
Tidak ada yang perlu diperiksa. Kuil ini diurus oleh suheng, pinceng dan para
hwesio. Sama sekali tidak mungkin ada penjahat bersembunyi di tempat seperti
ini!
“Bagaimanapun juga, aku harus
melakukan penggeledahan dulu, baru aku dapat percaya dan dapat melapor kepada
Yang Mulia Permaisuri dengan penuh keyakinan.”
“Tapi, apakah nona tidak
percaya kepada kami? Sedangkan Yang Mulia Sribaginda Kaisar sendiri percaya
kepada kami!”
“Maaf, losuhu. Tugas adalah
tugas, tidak ada sangkut pautnya dengan percaya atau tidak.”
Hwesio itu bangkit berdiri,
wajahnya yang biasanya tenang itu kini nampak gelisah. “Omitohud......, nona
sungguh memaksa pinceng, sungguh memaksa. Baiklah, mari pinceng antar nona
mengunjungi suheng Gwat Kong Hosiang yang sedang menderita sakit.”
Hwesio itu lalu membuka daun
pintu ruangan itu dan melangkah keluar, diikuti oleh Sui In. Wanita ini memang
merasa caaggung dan sungkan juga telah memaksakan kehendaknya kepada seorang
pendeta yang suci! Akan tetapi apa boleh buat. Ia harus mencari Hek-liong-li,
harus mencari jejak yang dapat membantu Cian Ciang-kun, atau lebih tepat lagi
membantu Pek-liong, pendekar yang dikaguminya itu.
Juga ia terdorong oleh perasaan
dendamnya kepada Si Bayangan Iblis yang bukan saja telah membunuh suaminya,
akan tetapi juga nyaris membunuh pamannya. Ia juga didorong perasaannya sebagai
seorang murid Kun-lun-pai, seorang pendekar yang harus menentang perbuatan
jahat dan kejam seperti telah dilakukan oleh Si Bayangan Iblis. Maka iapun
membuang semua perasaan sungkannya telah mengganggu wakil kepala kuil ini.
Ia mengikuti hwesio tinggi
kurus itu menuju ke bagian belakang kuil itu yang ternyata luas sekali. Dan di
ruangan belakang yang terdapat banyak kamar yang daun pintunya tertutup, Kwan
Seng Hwesio berhenti di depan sebuah pintu kamar.
“Di sinilah suheng Gwat Kong
Hosiang beristirahat, akan tetapi sungguh amat tidak enak mengganggu dia yang
sedang menderita sakit. Dia amat lemah dan sungguh tidak baik bagi kesehatannya
kalau diajak bicara.”
“Biarkan aku melihatnya saja
sebentar, losuhu.”
Kwan Seng Hwesio membuka daun
pintu dan Sui In melihat seorang hwesio tua yang bertubuh gemuk rebah telentang
di atas sebuah pembaringan dan hwesio tua itu nampak tertidur. Setelah
melihatnya sebentar, ia membiarkan Kwan Seng Hwesio menutupkan kembali daun
pintu itu dan Sui In sudah menghampiri sebuah pintu lain yang menuju ke
belakang dan hendak membukanya.
“Nona, harap jangan buka pinta
itu!” tiba-tiba Kwan Seng Hwesio berkata, nada suaranya tegas sehingga Sui In
menjadi terkejut.
“Eh? Kenapa? Rahasia apa yang
tersembunyi di balik pintu ini, losuhu?”
“Tidak ada rahasia! Hanya itu
merupakan tempat pribadi yang tidak boleh dibuka sembarangan orang!”
“Akan tetapi aku bukan
sembarangan orang, losuhu. Ingat, aku ini utusan Yang Mulia Permaisuri yang
telah diberi kekuasaan, dan aku berhak untuk memeriksa apa dan siapapun juga.”
Sui In sudah memegang daun
pintu itu, akan tetapi tiba-tiba daun pintu terbuka dan nampak seorang
laki-laki meloncat keluar dari dalam kamar itu. Dan Sui In terbelalak kaget.
Laki-laki itu berusia
limapuluh tahun, rambutnya putih semua dan wajahnya masih nampak muda, tubuhnya
jangkung dan tangan kanannya memegang sebatang pedang. Dia menyeringai lebar.
“Heh-heh, kiranya engkau lagi,
nona. Sekali ini engkau tidak akan mampu lolos!”
“Pek-mau-kwi.......!
Engkau......! Di sini? Bagaimana ini? Ahhh, tahu sekarang aku! Engkau pembantu
Si Bayangan Iblis dan kuil ini menjadi tempat persembunyian kalian! Bagus, Kwan
Seng Hwesio. Kiranya engkau seorang pengkhianat!”
“Omitohud......!” Kwan Seng
Hwesio berseru bingung dan Pek-mau-kwi Ciong Hu sudah menyerang Sui In dengan
pedangnya. Sui In cepat meloncat ke belakang dan iapun mencabut pedang yang ia
sembunyikan di balik bajunya dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang
seru di tempat itu.
Sui In menyerang dengan gemas
karena ia teringat akan susioknya, Giam Sun yang ketika tewas meninggalkan dua
buah nama, yaitu Pek-mau-kwi ini dan Kwi-eng-cu Si Bayangan Iblis. Ia tahu
bahwa tentu Pek-mau-kwi ini dan pembantu-pembantunya, yaitu Huang-ho Siang-houw
yang telah membunuh susioknya, atas perintah seorang tokoh rahasia yang
dijuluki Si Bayangan Iblis. Maka, dengan hati penuh dendam ia memainkan ilmu
pedang Kun-lun Kiam-sut dan menyerang dengan dahsyat.
Akan tetapi pria berambut
putih itu memang lihai. Kalau dulu Sui In terlepas dari tangannya adalah karena
muncul Pek-liong. Akan tetapi kini ia harus melawan sendiri dan biarpun ia mampu
menandingi ilmu pedang Pek-mau-kwi, akan tetapi iapun tidak mampu mendesaknya
dan pertandingan dengan pedang itu semakin seru dan mati-matian.
Tiba-tiba terdengar suara
wanita terkekeh dan muncullah seorang wanita tua yang usianya tidak kurang dari
enampuluh lima tahun, bertubuh kurus kering dan matanya mencorong seperti mata
kucing!
“Heh-heh-heh, Pek-mau-kwi.
Tidak malukah engkau, sejak tadi tidak mampu merobohkan seorang wanita muda?
Dan engkau, Kwan Seng Hwesio, kenapa diam menonton saja seperti patung dan
tidak membantu Pek-mau-kwi?”
“Omituhud......, maafkan
pinceng...... kita sudah berjanji bahwa pinceng tidak akan melibatkan diri
dalam perkelahian......, Omituhud!”
Nenek itu kembali terkekeh dan
ia meloncat ke dalam medan perkelahian dan sekali tangannya menyambar, ada
angin pukulan dahsyat sekali menyambar ke arah muka Sui In! Wanita ini
terkejut. Tamparan tangan ke arah mukanya itu kuat dan cepat bukan main. Ia
lalu mengelebatkan pedangnya untuk menyambut tangan yang menampar, menangkis
dan sekaligus menyerang untuk membikin buntung tangan yang menyerangnya itu.
“Dukkk!” Pedang itu terpental
lepas dari pegangan Sui In dan sebelum wanita ini tahu apa yang terjadi, tangan
nenek itu sudah menampar ke arah dada kanannya, di bawah pundak.
“Plakk!” Sui In terpelanting
roboh dan pingsan.
Wanita itu kembali terkekeh.
“Huh, segala macam budak ingusan berani mengacau ke sini? Keram ia dalam
ruangan bawah tanah!”
Sambil menyeringai,
Pek-mau-kwi Ciong Hu memondong tubuh Sui In yang pingsan dan melihat wajah anak
buahnya itu, nenek yang amat lihai itu menghardik, “Awas kau, Pek-mau-kwi.
Kalau engkau ganggu wanita itu, engkau akan kubunuh! Semua anak buahku harus
tertib dan taat, tidak boleh melakukan sesuatu tanpa diperintah, sehingga
menggagalkan semua rencana. Mengerti?”
Muka yang.tadinya menyeringai
senang itu tiba-tiba berubah masam, akan tetapi Pek-mau-kwi mengangguk. “Baik,
saya mentaati perintah, Kui-bo.”
Nenek itu kini menghadapi
hwesio yang bernama Kwan Seng Hwesio, wakil kepala kuil itu dan berkata dengan
nada mengancam.
“Kwan Seng Hwesio, ingat, tak
seorangpun hwesio di kuil ini pernah melihat wanita tadi. Mengerti! Kalau ada
yang lancang mulut, aku akan membawa kepala Gwat Kong Hwesio kepadamu, sebelum
membunuh kalian semua!”
Dengan wajah pucat, hwesio itu
merangkap kedua tangan di depan dada sambil membungkuk. “Omitohud, kami tidak
berani lancang mulut.”
Nenek itu tersenyum mengejek,
lalu ia menghilang di balik daun pintu menyusul perginya Pek-mau-kwi yang tadi
memondong tubuh Sui In. Daun pintu tertutup lagi dari dalam.
Setelah berada seorang diri,
Kwan Seng Hwesio berulang-ulang menyebut “Omitohud......” sambil memandang ke
arah tubuh suhengnya, Gwat Kong Hwesio, yang rebah tak sadarkan diri itu.
Suhengnya kini bukan disandera lagi melainkan diracuni dan obat penawar racun
itu ada pada nenek itu. Tanpa pertolongan nenek itu, suhengnya akan tewas.
Itulah sebabnya mengapa
belasan orang hwesio di kuil itu tidak berdaya sama sekali dan terpaksa
mentaati perintah gerombolan orang asing yang jahat, yang telah menawan Gwat
Kong Hwesio dan bersembunyi di kuil itu.
Rombongan penjahat itu terdiri
dari belasan orang, dipimpin oleh dua orang. Yang pertama adalah Bouw Sian-seng
yang sebetulnya adalah Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan) seperti yang
diduga oleh Pek-liong dan Hek-liong-li. Adapun orang kedua bukan lain adalah
Kui Lo-ma yang sebetulnya adalah Thian-thouw Kui-bo (Biang Setan Kepala Besi),
Kedua orang kakek dan nenek ini adalah dua orang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan
Iblis Tua).
Mula-mula Lam-hai Mo-ong yang
melihat persaingan di antara para pangeran. Hal ini membuat datuk sesat ini
girang sekali karena dia melihat kesempatan yang teramat baik untuk mengangkat
dirinya dengan membonceng kemelut yang timbul karena persaingan dan pertentangan
di antara para pangeran. Dengan cerdik dia menyelidiki keadaan para pangeran.
Pada suatu hari ketika
Pangeran Souw Cun, yang sudah lama diincernya untuk dapat diperalat, sedang
berburu. Lam-hai Mo-ong menyuruh anak buahya untuk menghadang dan menyerang
pangeran itu sebagai perampok. Para pengawal pangeran itu sudah roboh semua
oleh para “perampok” sehingga nyawa Pangeran Souw Cun terancam bahaya maut.
Muncullah Lam-hai Mo-ong sebagai bintang penyelamat dengan mengusir para
“perampok” itu.
Tentu saja Souw Cun berterima
kasih, juga kagum akan kelihaian kakek itu. Dan diapun mengakui kakek itu
sebagai gurunya, bahkan memboyongnya ke istananya. Atas nasehat Lam-hai Mo-ong,
pangeran itu memperkenalkan Lam-hai Mo-ong kepada orang-orang istana sebagai
Bouw Sian-seng yang menjadi gurunya dalam hal sastera!
Melihat betapa dia membutuhkan
bantuan untuk menyukseskan rencananya yang besar, dia lalu memberi kabar kepada
rekannya, yaitu Tiat-thouw Kui-bo dan menarik nenek iblis itu ke dalam istana
pula. Nenek itu menyamar sebagai seorang wanita ahli masak dan ahli pijat, dan
Bouw Sian-seng berhasil memasukkan rekannya yang memakai nama Kui Lo-ma bekerja
kepada Pangeran Kim Ngo Him, yaitu mantu kaisar yang juga berambisi untuk
memperebutkan kedudukan.
Demikianlah, Bouw Sian-seng
dan Kui Lo-ma, diam-diam mengadakan hubungan dan mereka berhasil pula
menyelundupkan anak buah mereka yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia kang-ouw
yang pandai ilmu silat dan kuat, sampai belasan orang ke dalam istana. Selain
itu, di kota raja mereka juga mempunyai puluhan orang anak buah yang mereka
sebar di luar istana sebagai mata-mata.
Dengan teratur, makin lama
kedua orang datuk sesat itu makin kuat menancapkan kuku mereka untuk menanam
pengaruh mereka di istana melalui dua orang pangeran itu. Bahkan Bouw Sian-seng
dan Kui Lo-ma telah menguasai kuil istana dengan menangkap kepala kuil dan
melihat betapa Gwan Kong Hwesio, kepala kuil itu, keras kepala dan tidak sudi
menyerah, Kui Lo-ma lalu membuat dia pingsan dengan racun.
Karena tidak ingin melihat
kepala kuil itu dibunuh, terpaksa Kwan Seng Hwesio dan teman-temannya menyerah
kepada dua orang datuk itu. Mereka merahasiakan kehadiran para penjahat itu di
istana, dengan janji bahwa mereka tidak akan membantu mereka dalam perkelahian,
juga bahwa setelah urusan mereka di istana selesai, mereka akan membebaskan dan
memberi obat penyembuh kepada Gwat Kong Hwesio.
Mulailah Lam-hai Mo-ong dan
Tiat-thouw Kui-bo menyebar maut. Merekalah yang menyamar sebagai Bayangan
Iblis, melakukan pembunuhan kepada mereka yang dianggap dapat menjadi
penghalang suksesnya cita-cita mereka. Ketika mereka tidak berhasil membunuh
Ciok Tai-jin yang dijaga ketat oleh Cu Sui In dan para pengawal, mereka
memasang mata-mata di situ. Maka, mereka tahu bahwa Sui In, janda yang murid
Kun-lun-pai itu, akan minta bantuan seorang susioknya bernama Giam Sun.
Mendengar ini Lam-hai Mo-ong
menyuruh para pembantunya, yaitu Pek-mau-kwi dan Huang-ho Siang-houw, untuk
mendahului wanita muda itu dan mereka berhasil membunuh Giam Sun! Bahkan hampir
mereka membunuh Sui In pula kalau tidak muncul Pek-liong-eng Tan Cin Hay yang
berhasil menyelamatkannya.
Apakah yang dikehendaki dua
orang datuk sesat itu? Mereka bercita-cita muluk dan melaksanakan permainan
besar tingkat tinggi. Mereka melihat persaingan dan perebutan kedudukan di
istana, memperebutkan kursi putera mahkota untuk kelak menggantikan kaisar.
Maka, mereka berdua melihat kesempatan yang amat baik.
Kalau mereka dapat membantu
seorang pangeran sehingga pangeran itu kelak menjadi kaisar, sudah pasti mereka
akan menerima kedudukan tinggi sebagai balas jasa. Mereka akan diangkat menjadi
kok-su (penasihat negara) atau setidaknya tentu kedudukan menteri akan menjadi
bagian mereka! Kemuliaan, kehormatan dan kekuasaan akan menjadi bagian mereka!
Mereka menjatuhkan pilihan
mereka kepada Pangeran Souw Kian. Pangeran dari selir yang usianya delapanbelas
tahun ini adalah seorang pemuda yang agak terbelakang, bodoh dan bebal, hanya
menyeringai saja dan tidak mempunyai semangat apa-apa.
Kalau sampai pangeran ini
dapat menjadi calon tunggal dan kelak menjadi kaisar, tentu dapat mereka
kuasai. Maka, diam-diam Bouw Sian-seng yang dikenal sebagai seorang sasterawan,
guru Pangeran Souw Cun, mulai mendekati ibu Pangeran Souw Kian, menjanjikan bahwa
dia sanggup membimbing dan mengajar pangeran itu agar kelak menjadi seorang
pandai. Karena janji yang muluk-muluk ini, ibu pangeran itu menaruh kepercayaan
dan harapan besar kepada Bouw Sian-seng.
Mulailah pembunuhan-pembunuhan
itu dilakukan dua orang datuk bersama kaki tangannya. Pembunuhan-pembunuhan itu
dilakukan untuk menyingkirkan orang-orang yang dapat menjadi halangan, juga
untuk menimbulkan pertentangan di antara para pangeran. Di dalam kemelut di
istana itu, nampaklah bahwa semua pangeran terlibat, bahkan Pangeran Souw Han
yang tadinya dianggap alim dan baik, terlibat pula dan bahkan terbunuh! Hanya
Pangeran Souw Kian seoranglah yang sama sekali tidak perduli, tidak mencampuri
dan nampak “bersih”, sama sekali tidak ikut bersaing.
Karena markas besar para
pengacau itu justeru berada di kuil istana, dan mereka menyamar sebagai
orang-orang yang sama sekali tidak mencurigakan, maka semua upaya untuk
menangkap Si Bayangan Iblis gagal selalu.
Cu Sui In merupakan orang
pertama yang menyelidiki ke dalam kuil itu, maka ia segera dirobohkan dan
ditawan oheh Kui Lo-ma. Wanita muda itu kalau sampai lolos, berbahaya sekali.
Ialah satu-satunya orang yang telah menemukan rahasia mereka.
Kalau nenek itu tidak segera
membunuh Sui In, hal itu hanya membuktikan kecerdikannya. Ia tahu bahwa bahaya
mulai membayangi komplotannya. Oleh karena itu, kalau ada orang penting
tertangkap, sebaiknya dijadikan sandera, tidak segera dibunuh. Kalau dibunuh,
sudah tidak ada harganya lagi, akan tetapi kalau masih dibiarkan hidup, sekali
waktu mungkin amat berharga! Ini sebabnya maka ia mengancam Pek-mau-kwi yang ia
tahu mata keranjang itu agar jangan mengganggu Sui In.
◄Y►
Cian Hui mengerutkan alisnya
yang tebal ketika dua orang perajuritnya datang menghadap dan melaporkan bahwa
mereka bertemu dengan Siauw In yang membawa cincin Hong-houw dan memesan kepada
mereka agar melapor kepada Cian Ciang-kun bahwa gadis itu melakukan
penyelidikan ke kuil istana di puncak bukit.
Mengapa Sui In melakukan
penyelidikan ke sana? Di sana hanya ada kuil dengan belasan orang hwesio yang
dapat dipercaya sepenuhnya. Para hwesio itu tidak mungkin terlibat dalam
pembunuhan. Mereka adalah orang-orang yang bersih, juga setia. Oleh karena itu,
dia tidak begitu tertarik ketika mendengar laporan anak buahnya tentang
penyelidikan yang dilakukan janda muda yang cantik itu.
Akan tetapi, hatinya mulai
merasa khawatir juga ketika malam tiba dan dia mendapat laporan dari anak
buahnya bahwa janda itu belum juga kembali ke rumah mendiang Pangeran Souw Han,
di mana ia ditugaskan bersama para dayang lainnya. Dia mengerahkan seregu
pasukan untuk mencari ke bukit itu. Namun, Sui In lenyap tanpa meninggalkan
jejak.
Para hwesio di kuil itu sudah
ditanya, akan tetapi tidak ada seorangpun yang mengaku pernah melihat wanita
muda itu. Cian Hui lalu keluar sendiri untuk ikut mencari, namun sia-sia.
Karena khawatir, diapun lalu pergi mengunjungi bagian istal kuda untuk
menjumpai Pek-liong. Karena Cian Hui memiliki kekuasaan dan dia dikenal oleh
semua pekerja, mereka itu mentaatinya ketika mereka disuruh pergi sehingga Cian
Hui dengan leluasa dapat mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Pek Liong
dan juga Hek-liong-li. Mereka bertiga bercakap-cakap di dalam gudang jerami,
duduk di lantai yang penuh jerami kering.
Cian Hui menceritakan tentang
lenyapnya Sui In setelah wanita itu melakukan penyelidikan ke kuil istana di
puncak bukit.
Mendengar ini, Liong-li
menepuk dahinya sendiri. “Aiihh, kenapa aku begini bodoh? Tentu saja! Tempat
yang paling tidak mungkin, yang sedikitpun tidak akan mendatangkan kecurigaan,
tempat seperti itulah merupakan tempat persembunyian yang paling baik! Di
seluruh istana ini, bukit itu dan kuil itu merupakan tempat yang amat aman
kalau dipakai melindungi diri. Siapa akan menyangka ke sana? Dan orang tentu
akan sungkan untuk menggeledah dan mengganggu para hwesio di kuil itu!
“Benar sekali, li-hiap,” kata
Cian Hui. “Aku sendiripun selama melakukan penyelidikan, belum pernah
mencurigai mereka. Memang meragukan sekali tempat seperti itu menjadi sarang
pembunuh. Para hwesio itu pasti tidak akan membiarkan begitu saja. Akan tetapi,
tempat itu tidak boleh dilewatkan, harus digeledah. Sekarang aku teringat bahwa
sejak terjadinya peristiwa kemelut di istana, ketua kuil itu jatuh sakit dan
sampai sekarang tidak dapat menemui tamu karena sakitnya.”
“Hemm, mencurigakan sekali.
Sebaiknya kita lebih dahulu menengok keadaan kepala kuil itu,” kata
Pek-liong-eng.
“Sebaiknya malam ini juga kita
berangkat ke sana. Mari, tai-hiap dan li-hiap, kita berangkat sekarang juga!”
ajak Cian Ciang-kun.
“Nanti dulu,” kata Liong-li.
“Kita menghadapi pembunuh-pembunuh jahat dan lihai. Kita tidak tahu bagaimana
keadaan mereka dan berapa banyak anak buah mereka. Oleh karena itu, membasmi
rumput harus dengan akar-akarnya, dan kalau kita menyerbu ke sana, mereka semua
harus dapat ditangkap. Sebaiknya kalau engkau kerahkan pasukan untuk mengepung
bukit itu agar jangan sampai ada penjahat yang mampu melarikan diri dan lolos.
Setelah itu baru kita menggeledah kuil itu.”
Cian Hui setuju dan Pek-liong
juga membenarkan. Malam itu juga Cian Ciang-kun mengerahkan pasukan dan
mengepung bukit itu dengan ketat.
Setelah itu barulah mereka
berangkat dan di lereng bukit kecil itu mereka berpencar. Pek-liong dan
Liong-li terus mendaki ke puncak di mana terdapat kuil itu, dan Cian Hui
tinggal di lereng untuk mengatur pengepungan pasukan-pasukannya.
◄Y►
Malam itu bulan masih terang
seperti siang. Hal ini memudahkan Pek-liong dan Liong-li yang mendaki ke
puncak. Bukit itu tidak besar, dan sebentar saja mereka telah tiba di puncak,
berdiri di luar pekarangan kuil yang dipagari tembok.
Kuil itu nampak sunyi dan
mati, seolah tidak ada penghuninya. Memang kalau malam kuil itu ditutup dan
tidak menerima tamu, akan tetapi biasanya dalam keadaan menganggur itu, para
hwesio membaca kitab atau berdoa sehingga terdengar suara mereka dari luar.
Setidaknya akan terdengar suara ketukan berirama yang menuntun doa mereka. Akan
tetapi malam itu sama sekali tidak terdengar suara apapun, seolah kuil itu
telah berubah menjadi kuburan.
Dengan mudah mereka melompati
pagar tembok dan berada di kebun samping kuil itu. Mereka menyelinap di antara
pohon-pohon dan semak, mendekati kuil yang besar sekali itu. Maklum, kuil itu
adalah kuil istana yang sudah ratusan tahun umurnya, dibuat kokoh kuat seperti
benteng karena tempat itu dianggap tempat suci yang tidak boleh dikunjungi
orang luar, kecuali bagian luarnya di mana disediakan meja-meja sembahyang dan
orang hanya boleh datang berkunjung di waktu pagi sampai sore saja. Di bagian
dalam kuil itu yang menjadi tempat tinggal atau asrama para hwesio, merupakan
tempat suci yang tidak boleh dikunjungi orang lain.
Biarpun tembok kuil itu tinggi
dan sama sekali tidak berjendela, bukan merupakan hal sukar bagi Pek-liong dan
Liong-li untuk memanjat dan berloncatan sehingga mereka dapat tiba di wuwungan
kuil yang bergenteng tebal sekali. Bagaikan dua ekor burung walet mereka
melayang dan berlompatan di atas wuwungan tanpa menimbulkan suara.
Mereka merasa aneh dan heran.
Setelah menyelidik ke sana-sini, mereka mendapat kenyataan bahwa di bawah
gelap, tidak ada penerangan sama sekali, seolah-olah orang-orang yang tinggal
di kuil itu dengan sengaja memadamkan semua penerangan. Pada hal, malam belum
larut benar. Tidak mungkin pada waktu itu semua hwesio sudah tidur dan
membiarkan kuil itu ditelan kegelapan seperti itu! Pantasnya ada unsur
kesengajaan dalam keadaan itu.
Setelah saling pandang dan
memberi isyarat dengan pandang mata mereka, Pek-liong dan Liong-li melayang ke
atap yang lebih rendah dan tiba-tiba di bagian samping kiri bangunan kuil besar
itu, mereka melihat sinar dari sebuah ruangan di bawah! Mereka cepat meloncat
ke atas ruangan yang merupakan satu-satunya ruangan yang ada penerangannya.
Begitu kaki mereka menginjak genteng, terdengar suara dari bawah.
“Omitohud......, penjahat dari
manakah begitu berani mengotori tempat suci ini?”
Pek-liong dan Liong-li
terkejut dan cepat mereka mengintai ke bawah. Mereka melihat seorang hwesio
duduk bersila di sudut ruangan kepalanya yang gundul licin itu menunduk
sehingga wajahnya tidak dapat menerima cahaya redup lilin yang dipasang di atas
meja di ruangan itu.
Sepasang pendekar ini terkejut
karena mereka tidak mengira bahwa gerakan mereka yang amat ringan dan yang
mereka lakukan dengan hati-hati itu dapat didengar orang. Tentu hwesio di bawah
itu lihai sekali. Dan Cian Hui dengan tegas mengatakan bahwa para hwesio di
kuil itu tidak ada yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi!
Kembali sepasang pendekar itu
saling pandang dan keduanya sudah setuju akan tindakan selanjutnya yang akan
mereka ambil. “Lo-suhu, maafkan kami berdua. Kami bukan penjahat dan kami ingin
menghadap lo-suhu!” kata Pek-liong.
“Omitohud......, masuklah
saja!” kata pula hwesio itu dengan suara yang dalam dan lembut.
Pek-liong dan Liong-li membuka
genteng. Keduanya memandang penuh perhatian, sebelum meloncat masuk, dan
mendapat kenyataan bahwa tidak ada hal yang perlu diragukan atau dicurigai.
Ruangan itu cukup luas, tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah pintu ke dalam
yang daunnya tertutup. Ruangan itu kosong, hanya ada sebuah dipan di sudut di
mana hwesio itu duduk bersila, dan sebuah meja kecil di mana terdapat lilin
menyala dan beberapa buah kitab. Selanjutnya, kosong.
Dinding yang menghadap ke
bagian luar tidak berjendela, sehingga jalan satu-satunya, masuk ke kamar itu
hanya melalui pintu yang menembus ke dalam tadi, dan melalui lubang di atap
yang mereka buat tentu saja. Tentu hwesio di bawah itu dapat memberi banyak
keterangan kepada mereka.
“Kita turun,” bisik Liong-li.
Pek-liong mengangguk dan
pendekar ini mendahului Liong-li, melompat turun. Liong-li maklum bahwa
Pek-liong, seperti biasa, tentu ingin menjadi orang pertama kalau memasuki
ruangan yang belum dikenal dan mungkin mengandung bahaya, agar kalau sampai
terjebak, dialah yang akan terjebak lebih dahulu. Dan Liong-li juga membiarkan
ini. Lebih baik seorang saja di antara mereka yang terjebak, dari pada keduanya
karena kalau yang seorang terjebak, yang lain dapat menolongnya.
Setelah ia melihat Pek-liong
tiba di lantai kamar itu dan tidak terjadi sesuatu, iapun melompat turun pada
saat Pek-liong memberi isyarat bahwa keadaan aman. Akan tetapi, begitu Liong-li
melayang turun ke dalam ruangan itu, tiba-tiba lilin di atas meja itu padam dan
keadaan menjadi gelap sama sekali. Liong-li mengerahkan gin-kangnya dan kedua
kakinya dapat hinggap di atas lantai dengan ringan. Pada saat itu, mereka
mendengar suara senjata rahasia menyambar-nyambar ke arah mereka!
Dua orang pendekar itu setiap
saat memang sudah siap siaga. Tidak pernah mereka itu lengah, apa lagi dalam
keadaan sedang melakukan penyelidikan seperti itu. Sejak tadi, seluruh syaraf
di tubuh mereka sudah dalam keadaan siap dan waspada, maka begitu mereka
menduga datangnya bahaya, keduanya sudah menggerakkan tangan kanan dan Liong-li
sudah mencabut Hek-liong-kiam, sedangkan Pek-liong sudah mencabut
Pek-liong-kiam. Ketika senjata-senjata rahasia itu menyambar ke arah mereka,
keduanya memutar pedang dan semua senjata rahasia kecil berbentuk paku-paku beracun
itu runtuh.
Liong-li meloncat ke arah di
mana tadi hwesio itu duduk. Akan tetapi, ternyata bukan hanya hwesio itu yang
lenyap, bahkan dipannya pun lenyap! Tahulah ia bahwa hwesio di atas dipan tadi
memang merupakan alat perangkap.
Ia melihat Pek-liong masih
terus menangkisi senjata rahasia yang terus menyambar ke arah pendekar itu.
Tahulah Hek-liong-li bahwa pakaian Pek-liong yang putih itulah yang merupakan
sasaran lunak di dalam kegelapan itu. Ia mengeluarkan segulung sutera hitam dan
melemparkannya ke arah Pek-liong.
“Kau pakailah ini!” sutera
hitam itu mengembang ketika meluncur ke arah Pek-liong. Pek-liong menyambar
sutera hitam itu dan di lain saat diapun lenyap ditelan kehitaman. Mereka
berdua sudah berdiri mepet dinding dan menahan napas agar tidak terlalu keras
bersuara.
“Kita pukul runtuh dinding di
kanan itu yang menembus keluar,” bisik Liong-li.
Wanita perkasa ini tidak perlu
membuat penjelasan lagi karena ia dan Pek-liong seolah telah memiliki satu hati
dan satu kecerdasan. Begitu ia berbisik, keduanya sudah menerjang, ke dua
tangan mendorong ke depan sambil mengerahkan tenaga sin-kang mereka.
“Brakkkkk......!” Dinding
kamar itupun jebol dan cahaya bulan menerjang masuk.
Dua sosok tubuh itu meluncur
keluar dan mereka tiba di tempat terbuka, di taman samping kuil itu. Akan
tetapi, baru saja mereka yang tadi meloncat keluar itu turun ke atas tanah,
nampak banyak orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi muka
mereka dengan topeng hitam, telah mengepung mereka.
Jumlah mereka tidak kurang
dari limabelas orang, semua mengenakan pakaian dan topeng yang sama dan
bermacam senjata berada di tangan mereka. Ada yang memegang pedang, atau
sepasang pedang, golok, tombak, rantai dan sebagainya. Gerakan mereka ketika
mengepung tadi ringan, tanda bahwa mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat
yang tangguh.
Pek-liong dan Liong-li
otomatis berdiri saling membelakang, hampir beradu punggung dengan pedang
pusaka di tangan masing-masing, tidak bergerak, akan tetapi mata mereka
mengikuti gerakan semua orang yang mengepung itu. Bulan bersinar terang
sehingga mereka dapat melihat semua pengepung dengan baik.
“Hemm, segerombolan Kwi-eng-cu
(Bayangan Iblis) lengkap di sini!” kata Liong-li.
“Hek-liong-li, engkaulah yang
menyamar sebagai Bayangan Iblis dan membuat kekacauan di istana. Kami akan
membunuhmu! Dan engkau juga, Pek-liong-eng!” kata seorang diantara mereka
dengan suara yang parau. Orang ini juga berpakaian hitam dan bertopeng hitam
seperti yang lain, akan tetapi Liong-li maklum siapa dia.
Siapa lagi kalau bukan Bouw
Sian-seng? Ia mengenal tubuh yang tinggi kurus itu. Kini tidak lagi bongkok,
tentu bongkok itu hanya pura-pura saja. Dan ditangannya nampak sebatang rantai
baja! Ini tentu Bouw Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong, akan tetapi Liong-li tidak
sempat banyak cakap karena pada saat itu belasan orang bertopeng hitam sudah
menyerang mereka dari segala jurusan.
Liong-li dan Pek-liong memutar
pedang mereka melakukan perlawanan. Dan keduanya terkejut. Sudah jelas bahwa
Bouw Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong itu lihai sekali karena dia adalah seorang
datuk di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua), akan tetapi yang lainnya juga
rata-rata amat lihai. Terutama sekali seorang di antara mereka yang kurus
kering, dengan sepasang mata kehijauan mencorong seperti mata kucing yang
mengintai dari balik topengnya.
Si kurus kering ini agaknya
sengaja menghadapi Liong-li dan ternyata pedangnya lihai bukan main. Adapun
Bouw Sian-seng menghadapi Pek-liong, dibantu beberapa orang temannya yang juga
lihai. Diam-diam Liong-li mengingat-ingat sambil memutar pedang melindungi
dirinya, siapa lawannya ini. Ia menduga bahwa tentu ia seorang wanita karena di
antara hujan senjata itu Liong-li masih sempat mencium keharuman yang menyambar
dari pakaian si kurus kering itu.
Seorang wanita? Begini lihai?
Siapa gerangan wanita ini? Dan iapun teringat akan pengalamannya ketika ia
melakukan penyelidikan di atas gedung tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him.
Ia pernah diserang seorang
bertopeng hitam yang kurus kering seperti ini, dan yang juga amat lihai, dan
bayangan itu lenyap ke dalam gedung Pangeran Kim Ngo Him. Lalu ia melihat
munculnya seorang nenek yang dipanggil Kui Lo-ma. Jangan-jangan, seperti halnya
Bouw Sian-seng, nenek Kui Lo-ma itupun seorang penjahat besar yang menyelundup
dan menyamar sebagai seorang pelayan di gedung Pangeran Kim Ngo Him.
Akan tetapi, Liong-li tidak
dapat terus mengingat-ingat karena hampir saja ia celaka karena perhatiannya
tidak terpusat. Pedang si kurus kering itu hampir saja membabat pundaknya.
Untung ia masih cukup cekatan untuk melempar tubuh ke samping dan bergulingan
menyelamatkan diri.
“Kita pergi!” tiba-tiba
Pek-liong berseru. `
Liong-li maklum bahwa
Pek-liong juga menghadapi pengeroyokan ketat yang amat membahayakan
keselamatannya. Lawan terlalu banyak dan rata-rata lihai, walaupun tidak
selihai Bouw Sian-seng dan si kurus kering itu. Dua orang ini saja memiliki
tingkat yang sebanding dengan mereka, maka kalau dilanjutkan, mereka tentu akan
terancam bahaya. Maka, sambil bergulingan, pedang di tangannya menyambar
menjadi gulungan sinar hitam.
Ketika pengeroyoknya mundur,
iapun meloncat keluar dari kalangan pertempuran, dan bersama Pek-liong iapun
mengerahkan gin-kang dan mereka berdua berlari cepat menuruni tempat itu,
melompati pagar tembok kuil dan terus melarikan diri.
Cian Hui menyambut dua orang
pendekar yang berlarian itu dan sebelum dia sempat bertanya, Liong-li sudah
cepat berkata,
“Ciang-kun, atur penjagaan
yang ketat, kalau perlu tambah lagi pasukan dan mengepungnya agak naik mendekati
kuil. Jangan sampai ada seorangpun di antara mereka lolos. Kami bertemu dengan
mereka, belasan orang banyaknya, mungkin masih ada lagi yang bersembunyi. Kami
kira tempat persembunyian mereka memang di dalam kuil itu!”
Cian Hui tidak banyak bertanya,
cepat dia mengumpulkan para jagoan istana, para perwira dan mereka menggerakkan
pasukan naik, lebih dekat ke puncak di mana kuil itu berada. Pengepungan tentu
saja menjadi lebih ketat dan takkan ada seorangpun manusia yang meninggalkan
tempat itu dapat lolos dari pengamatan mereka. Cian Hui juga mengirim utusan
untuk minta bala bantuan sehingga kini pengepungan itu berlapis-lapis!
Setelah mengatur pengepungan,
barulah Cian Hui dapat mengadakan perundingan dengan Pek-liong dan Liong-li.
Dia mendengarkan laporan dua orang pendekar itu tentang apa yang mereka alami
di kuil. Perwira ini mengerutkan alisnya dan merasa khawatir sekali.
“Tentu Cu Sui In terjatuh ke
tangan mereka!” katanya. “Kita harus cepat menyerbu kuil itu!”
“Tenanglah, Ciang-kun. Mereka
adalah orang-orang pandai, tidak akan membunuh tawanan begitu saja. Tawanan
orang penting bagi mereka amat berharga, untuk dijadikan sandera. Dan keadaan
para hwesio itupun amat mencurigakan. Tidak mungkin mereka itu bekerja sama
dengan gerombolan penjahat. Tentu ada sesuatu yang memaksa mereka mentaati
perintah para penjahat,” kata Liong-li.
“Kukira rahasianya terletak
pada sakitnya kepala kuil. Aku mempunyai dugaan bahwa mereka telah menyandera
pula kepala kuil itu, dan dengan disanderanya kepala kuil, maka semua hwesio
menjadi tidak berdaya dan terpaksa mentaati mereka untuk menyelamatkan kepala
kuil,” kata Pek-liong.
“Kita tidak boleh
tergesa-gesa. Bulan sudah hampir condong ke barat. Sebaiknya tunggu terang
matahari pagi baru kita menyerbu. Sekarang, kuharap Ciang-kun mengirim orang
untuk menyelidiki, apakah Bouw Sian-seng berada di gedung Pangeran Souw Cun dan
juga apakah nenek yang bernama Kui Lo-ma berada di gedung Pangeran Kim Ngo
Him.”
Biarpun dia merasa heran, Cian
Hui tidak banyak bertanya atau membantah, bahkan dia segera mengutus orang
kepercayaannya untuk melakukan penyelidikan. Tak lama kemudian utusan itupun
kembali, dengan berita bahwa kedua orang yang dicari Liong-li itu tidak berada
di gedung tempat mereka bekerja, dan tak seorang pun tahu ke mana mereka pergi
malam itu! Mendengar ini, Liong-li tersenyum.
“Sudah kuduga, dua orang
itulah pemimpin gerombolan yang disebut Bayangan Iblis!”
“Ehhh?” Kini Cian Ciang-kun
memandang heran.
“Hemm, Bouw Sian-seng itu
pasti Lam-hai Mo-ong, aku mengenal gerakan silatnya ketika bertanding denganku
tadi. Sedangkan yang kau namakan Kui Lo-ma itu kurasa tentu Tiat-thouw Kui-bo.
Bukankah begitu, Liong-li?”
“Engkau benar, Pek-liong.
Siapa lagi kalau bukan dua orang di antara Kiu Lo-mo itu?”
Cian Hui menjadi semakin kaget
dan heran, dan diapun kagum bukan main kepada sepasang pendekar itu setelah
menerima penjelasan. Mereka lalu membuat rencana penyerbuan sebentar lagi
setelah kegelapan disapu sinar matahari pagi.
◄Y►
Pagi-pagi sekali, Cian Hui
yang ditemani belasan orang jagoan istana dan seregu perajurit pengawal, sudah
mengetuk pintu depan kuil yang masih tertutup. Berulang-ulang pintu itu diketuk
dengan keras dan daun pintu itupun dibuka oleh para hwesio yang nampak pucat
ketakutan ketika melihat siapa yang mengetuk pintu kuil mereka. Apa lagi ketika
Cian Hui memperlihatkan tek-pai tanda kekuasaan yang diperolehnya dari kaisar,
para hwesio itu menjatuhkan diri berlutut karena tek-pai merupakan kekuasaan
tertinggi dan pemegangnya seolah menggantikan kaisar sendiri pada saat itu.
“Para hwesio keluar semua, tak
seorangpun boleh tinggal di kuil!” teriak Cian Hui.
Para hwesio tidak ada yang
berani membantah. Tak lama kemudian keluarlah semua hwesio yang tinggal di
kuil, kecuali seorang saja, yaitu Gwat Kong Hosiang, ketua kuil.
“Di mana Gwat Kong Hosiang?
Hayo katakan, di mana dia?” Cian Hui menghardik karena dia marah sekali
mendapat kenyataan bahwa kuil itu menjadi tempat persembunyian para penjahat,
atau setidaknya, para hwesio ini tentu tahu akan rahasia para penjahat dan
pembunuh itu.
“Omitohud......!” Kwan Seng
Hwesio melangkah maju dan memberi hormat. “Harap Ciang-kun suka memaafkan para
hwesio ini, karena kami terpaksa sekali bersikap seperti ini......”
“Kwan Seng Hwesio, kita berdua
telah bersama-sama mengabdi di istana dengan setia selama bertahun-tahun!
Sekarang aku tidak membutuhkan pembelaan diri kalian, melainkan membutuhkan
keterangan. Jawablah saja. Di mana adanya Gwat Kong Hosiang!“
“Dia sedang sakit......”
“Antarkan aku kepadanya!”
hardik pula Cian Hui dengan tak sabar.
”Omitohud...... baiklah,
Ciang-kun, Mari pinceng (saya) antarkan ke kamarnya......”
“Lo-suhu......!” Para hwesio
yang lain berseru dengan muka pucat dan khawatir. Perbuatan Kwan Seng Hwesio
itu pasti berakibat dibunuhnya ketua mereka seperti yang selalu diancamkan oleh
para penjahat.
“Omitohud, itulah kesalahan
kita,” kata Kwan Seng Hwesio. “Kita tidak cukup menyerah kepada kekuasaan Yang
Maha Kuasa sehingga kita takut menghadapi ancaman manusia. Kalau Yang Maha
Kuasa menghendaki seseorang mati, apapun juga di dunia ini tidak akan mampu
menghindarkannya, sebaliknya kalau Yang Maha Kuasa menghendaki seseorang tidak
mati, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang akan mampu membunuhnya.”
“Sudahlah, lo-suhu. Tidak
perlu berkhotbah di saat ini. Antarkan aku!” kata Cian Hui, kemudian dia
berkata kepada para pembantunya. “Geledah seluruh kuil!”
Kwan Seng Hwesio melangkah ke
dalam, diikuti oleh Cian Hui. Hwesio itu menuju ke kamar belakang setelah
melalui lorong yang berliku panjang. Kuil itu memang besar dan luas sekali.
Setelah tiba di depan pintu sebuah kamar, Kwan Seng Hwesio berhenti dan berkata
dengan suara gelisah.
“Di kamar inilah Gwat Kong
Hwesio rebah dalam keadaan sakit parah dan pingsan, Ciang-kun.”
Biarpun dia kini percaya
kepada hwesio itu, namun Cian Hui tetap bersikap hati-hati. “Tolong kau buka
pintu kamarnya, lo-suhu.”
Dengan sikap yang tegang dan
wajah yang pucat, Kwan Seng Hwesio membuka daun pintu kamar itu. Kamar itu agak
gelap, maka Cian Hui melangkah maju mendekati Kwan Seng Hwesio, menjenguk ke
dalam kamar. Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan sinar-sinar hitam kecil
menyambar ke arah mereka.
Cian Hui berusaha untuk
mengelak dengan loncatan, namun gerakannya kalah cepat. Sebuah di antara
paku-paku itu masih mengenai pangkal pahanya dan diapun roboh pingsan. Dia
tidak tahu betapa Kwan Seng Hwesio juga roboh dengan banyak paku mengenai
tubuhnya, dan wakil kepala kuil itupun roboh pingsan.
Beberapa orang muncul dari
samping, dari sebuah pintu rahasia dan mereka menyeret tubuh Cian Hui dan Kwan
Seng Hwesio memasuki pintu rahasia yang menembus ke ruangan-ruangan bawah
tanah. Dua orang itu lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Ketika dia membuka kedua
matanya, wanita itu membungkuk dan mengguncang pundaknya. “Cian Ciang-kun,
syukur engkau sudah sadar......”
Cian Hui memandang. Alangkah
cantiknya wajah itu, walaupun rambut itu kusut dan muka itu agak pucat, pandang
matanya penuh kegelisahan. Diapun bangkit duduk dan menyeringai kesakitan ketika
pahanya yang sebelah atas terasa amat nyeri. Akan tetapi hatinya merasa
kelegaan yang besar ketika dia mengenal wajah itu, wajah Cu Sui In! Wanita muda
itu masih hidup dan dalam keadaan selamat, walaupun nampaknya menderita.
“Nona Sui In......” akan tetapi
dia tidak melanjutkan kata-katanya karena rasa nyeri yang menusuk di pangkal
pahanya.
“Bagaimana rasanya. Ciang-kun?
Sakit benarkah? Engkau terkena paku beracun dari nenek iblis itu. Tadi aku
telah mencabutnya...... maafkan aku, Ciang-kun. Engkau masih pingsan dan aku
terpaksa mencabut paku itu karena kalau dibiarkan, tentu racunnya akan makin
banyak memasuki tubuhmu.”
Sekilas terlintas dalam
benaknya, bagaimana wanita muda itu dapat melakukannya. Lukanya berada, di
pangkal paha! Tempat yang...... agaknya tidak pantas dan tidak sopan dilihat
seorang wanita yang bukan apa-apanya, apa lagi wanita muda dan cantik seperti
Cu Sui In. Akan tetapi, keadaan menghapus bayangan itu dengan cepat dan diapun
memandang ke kanan kiri. Dia melihat Gwat Kong Hosiang rebah telentang di atas
dipan seperti mayat, dan Kwan Seng Hwesio juga rebah di atas lantai dalam
keadaan pingsan.
“Bagaimana dengan mereka?”
tanyanya.
Sui In memandang gelisah.
“Keadaan mereka sungguh mengkhawatirkan sekali. Gwat Kong Hosiang sudah pingsan
sejak aku ditawan, dan Kwan Seng Hwesio ada tiga batang paku menancap di
tubuhnya. Aku...... aku merasa ngeri dan tidak berani mencabut paku-paku itu.”
Cian Hui mencoba untuk
merangkak mendekati Kwan Seng Hwesio, dan melihat ini, Sui In cepat membantunya
walaupun wanita ini juga telah terluka cukup berat. Ia telah terkena tamparan
beracun dari Tiat-thouw Kui-bo dan sampai kini, dada sebelah kanan terasa nyeri
bukan main. Melihat wanita itu menyeringai menahan sakit, Cian Hui bertanya.
“Engkau...... terluka......?”
Sui In mengangguk. “Nenek
iblis itu memukul dadaku dan terasa nyeri bukan main.....”
Kwan Seng Hwesio menderita
luka terkena paku beracun, sebatang di pangkal lengan kanan, sebatang di pundak
dan sebatang di dada. Cian Hui mengumpulkan tenaganya dan mencabuti tiga batang
paku itu, dibantu oleh Sui In.
Pada saat itu terdengar
langkah kaki orang dan muncullah di situ seorang kakek dan seorang nenek.
Seorang kakek berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus bermuka lembut
seperti seorang pelajar tua, dan seorang nenek yang tubuhnya kurus kering,
wajahnya juga lembut akan tetapi matanya mencorong hijau.
“Cian Ciangkun,” kata kakek
itu dan suaranya juga lembut. “Kalau engkau menghendaki kalian berempat hidup,
engkau perintahkan semua pasukanmu untuk mundur dan lindungi kami keluar dari
istana.”
Cian Hui tidak dapat bangkit
berdiri. Dia duduk dan memandang kepada kakek itu dengan sinar mata penuh
kemarahan. Ini kiranya dua orang yang memimpin gerombolan Bayangan Iblis yang
melakukan pembunuhan- pembunuhan keji itu! Sui In juga duduk di dekatnya,
nampak penuh ketabahan dan juga wanita ini memandang kepada mereka dengan
berani dan penuh kemarahan.
Cian Hui tertawa. “Ha-ha-ha,
kalian seperti tikus-tikus yang sudah tersudut! Bagaimana mungkin aku dapat
memerintahkan pasukan untuk mundur? Tidak mungkin kulakukan itu, selain tidak
bisa, juga aku tidak sudi!”
“Cian Ciang-kun, engkau
pemegang tek-pai, dapat melakukan perintah apa saja dan pasti akan ditaati
siapa saja di istana ini!”
Sui In khawatir kalau Cian Hui
menyerahkan tek-pai, maka ia berkata lirih. “Tadi mereka mencari tek-pai dan
menggeledah semua pakaianmu tanpa hasil.”
Cian Hui tertawa lagi. Untung
bahwa dia tadi bersikap hati-hati sekali. Sebelum dia masuk bersama Kwan Seng
Hwesio, dia menitipkan tek-pai itu kepada seorang panglima kepercayaannya,
minta agar tek-pai itu diserahkan kepada Pek-liong kalau terjadi apa-apa dengan
dia.
“Tek-pai tidak ada padaku.
Andaikata adapun, sampai mati aku tidak akan sudi memenuhi permintaanmu, Lam-hai
Mo-ong.”
Kakek itu terbelalak. “Kau
sudah mengetahui siapa aku?”
“Ha-ha-hah tentu saja. Engkau
Lam-hai Mo-ong dan nenek ini tentu Tiat-thouw Kui-bo yang menyamar menjadi Kui
Lo-ma! Sudah habis riwayat kalian, dua orang datuk sesat dari Kiu Lo-mo!”
Kakek dan nenek itu saling
pandang dan kini si nenek yang berwajah lembut melangkah maju. Sekali tangannya
menyambar, ia telah menjambak rambut kepala Sui In dan menariknya lepas dari
dekat Cian Hui. Dengan nekat Sui In memukul, akan tetapi sekali jari tangan
nenek itu menotok, Sui In menjadi lemas tidak mampu bergerak lagi.
“Cian Hui, engkau sudah tahu
siapa kami, tentu tahu pula bahwa kami dapat menyiksa dan membunuh kalian
berempat tanpa berkedip!”
“Hemm, siapa takut mati, nenek
iblis? Lebih baik kami mati dari pada harus membebaskan kalian. Tempat ini
sudah dikepung pasukan, biar kalian mempunyai tiga kepala dan enam tangan
ditambah sayap sekalipun, kalian takkan dapat lolos dari sini. Kalianpun akan
mampus!”
“Keparat!” Lam-hai Mo-ong
menangkap dan mencengkeram pundak Cian Hui dan menariknya bangkit berdiri. “Aku
dapat mematahkan semua tulangmu, menyiksamu dengan hebat sebelum engkau mati!”
“Nanti dulu, Mo-ong!” kata
Tiat-thouw Kui-bo. “Jangan bunuh dia dulu. Biar dia melihat dengan matanya
sendiri bagaimana wanita ini mengalami siksaan yang lebih hebat dari pada maut.
Panggil ke sini empat-lima orang anak buah yang paling buas dan suruh mereka
memperkosa wanita ini di depan matanya. Hendak kulihat apakah Cian Ciang-kun
masih akan berkeras kepala!”
Mendengar ini, baik Sui In
sendiri maupun Cian Hui menjadi pucat. Kalau siksaan seperti itu dilaksanakan,
dan mereka percaya bahwa dua orang manusia iblis ini sanggup melakukan kekejian
bagaimanapun juga, tentu mereka berdua takkan dapat menahannya. Bagi mereka,
lebih baik mati dari pada harus mengalami ancaman itu. Akan tetapi mereka tidak
berdaya.
Pada saat itu, terdengarlah
suara melengking nyaring dari luar. Tentu suara itu didorong, tenaga khikang
yang amat kuat. Kalau tidak begitu, bagaimana dapat menerobos memasuki ruangan
bawah tanah itu?
“Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw
Kui-bo! Dengarlah baik-baik, ini kami Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang
bicara!”
Kakek dan nenek itu terkejut,
saling pandang dan nenek itu melemparkan tubuh Sui In ke sudut ruangan dan
kakek itupun mendorong tubuh Cian Hui sampai terlempar beberapa meter. Cian Hui
merangkak mendekati Sui In dan dengan susah payah berhasil membebaskan totokan
pada tubuh wanita itu.
Sui In yang merasa gelisah,
menggigil karena ngeri sehingga Cian Hui merangkulnya. Akan tetapi Sui In tidak
menangis, merasa aman dalam rangkulan perwira itu.
“Engkau gagah, Ciang-kun. Aku
senang dapat mati bersama engkau......”
“Engkaupun hebat, Sui In.
Jangan putus asa, kita belum mati......”
Kakek dan nenek itu tidak
memperdulikan mereka. Keduanya mendekati pintu terowongan untuk dapat
mendengarkan lebih baik, akan tetapi mereka tidak menjawab. Di luar ruangan
tahanan itu nampak belasan orang anak buah mereka bergerombol karena mereka
itupun kini menjadi gelisah setelah mengetahui bahwa kuil itu telah terkepung
pasukan.
“Tiat-thouw Kui-bo, dengarlah.
Aku Hek-long-li menantangmu. Kita bertanding satu lawan satu untuk menentukan
siapa yang lebih kuat. Engkau mendapat kesempatan untuk membalaskan anggauta
Kiu Lo-mo yang lain, yang telah kubunuh!” terdengar suara nyaring dan mendengar
suara yang amat dikenalnya itu, Cian Hui menjadi girang sekali. Itu adalah
suara Hek-liong-li!
Suara itu disusul suara lain
yang juga nyaring sekali karena dapat menembus ke ruangan bawah tanah dengan
jelas, “Lam-hai Mo-ong, aku Pek-liong-eng menantangmu untuk bertanding satu
lawan satu! Jangan menjadi pengecut dan menawan orang-orang yang tidak
bersalah.”
Lam-hai Mo-ong tertawa. Hanya
suaranya saja yang tertawa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak ikut
tertawa. Wajahnya membayangkan kegelisahan.
“Ha-ha-ha, Pek-liong-eng!
Engkau mengatakan kami pengecut, akan tetapi engkau dan Liong-li lebih pengecut
lagi. Kalian hanya berani menantang kami karena kalian membawa pasukan yang
besar jumlahnya! Kalian yang mengaku pendekar-pendekar yang gagah perkasa
sepatutnya merasa malu! Kalau kami keluar, tentu pasukan akan mengeroyok kami!”
“Dengar, kalian kakek dan
nenek busuk!” terdengar lagi suara Liong-li. “Kami bukan pengecut. Kami berdua
tantang kalian berdua, dan kami berjanji tidak akan melakukan pengeroyokan.
Kalau kalian berdua mampu mengalahkan kami berdua, kalian boleh pergi tanpa
kami ganggu. Akan tetapi kalianpun harus berjanji untuk tidak mengganggu Gwat
Kong Hosiang, dan Kwan Seng Hwesio, Cian Hui Ciang-kun, dan Cu Sui In!”
“Baik, kami berjanji.
Pek-liong dan Liong-li, ucapanmu didengar banyak orang. Nama kalian akan hancur
dan menjadi bahan ejekan dunia kang-ouw kalau kalian melanggar janji!” kata
Lam-hai Mo-ong dan diapun memberi isyarat kepada Tiat-thouw Kui-bo untuk
keluar.
Semua pengikut mereka juga
mengikuti dua orang pimpinan ini keluar, karena tentu saja, mereka tidak mau
ditinggalkan di ruangan bawah tanah itu dan setiap orang menginginkan
mendapatkan kebebasan. Kalau dua orang pimpinan mereka menang tentu mereka
semua akan diperbolehkan lolos dari lingkungan istana.
Cian Hui dan Sui In yang
ditinggalkan oleh gerombolan itu, hanya mampu menanti karena mereka menderita
luka keracunan yang cukup hebat, membuat mereka merasa nyeri dan lemah. Mereka
mencoba untuk bergerak keluar dari ruangan bawah tanah itu, akan tetapi baru
saja mereka tiba di pintu ruangan tahanan yang kini sudah terbuka, keduanya
tidak kuat menahan lagi dan mereka terguling roboh tak sadarkan diri.
◄Y►
Pek-liong-li, dan para perwira
dan jagoan istana yang jumlahnya belasan orang, memandang penuh perhatian
ketika kakek dan nenek itu keluar dari pintu rahasia dan diikuti oleh belasan
orang anak buah mereka. Kini, baik kakek dan nenek itu maupun para pengikutnya,
tidak lagi mengenakan topeng sehingga wajah mereka dapat dikenali.
Seperti yang telah diduga oleh
Pek-liong, di antara para pengikut itu terdapat Pek-mau-kwi Ciong Hu, si Iblis
Rambut Putih dan dua orang kakak beradik Huang-ho Siang-houw (sepasang Harimau
Sungai Huang-ho). Akan tetapi mudah diduga bahwa anak buah mereka itu adalah
orang-orang dunia hitam yang sesat dan rata-rata, memiliki ilmu kepandaian
tinggi.
Bukan hanya Pek-liong-liong-li
dan para perwira saja yang memandang gerombolan yang selama ini mengacau istana
sebagai Si Bayangan Iblis akan tetapi juga ratusan pasang mata dari para
perajurit pasukan pengawal yang telah mengepung kuil itu memandang dan
mengikuti gerak gerik gerombolan itu ketika mereka keluar dari kuil dan berada
di pekarangan depan kuil di mana Pek-liong dan Liong-li bersama para perwira
sedang menanti.
Pagi itu amat cerah. Sinar
matahari pagi telah menerangi seluruh pekarangan. Namun tidak ada wajah
seorangpun di situ yang cerah. Wajah sepasang pendekar dan semua jagoan istana,
juga para perajurit pengawal, membayangkan kemarahan. Adapun wajah gerombolan
pengacau itu dibayangi kegelisahan dan ketegangan.
Melihat mereka keluar tanpa
membawa empat orang yang mereka tawan, Liong-li membentak dengan suara tegas.
'“Mo-ong dan Kui-bo! Belum apa-apa kalian sudah hendak melanggar janji! Di mana
empat orang tawanan itu?”
“Mereka berada di dalam,
terluka. Kami tidak melanggar janji dan kami siap melawan kalian orang-orang
muda sombong!” kata Lam-hai Mo-ong.
Liong-li menoleh kepada seorang
perwira dan berkata, “Ciang-kun, tolong periksa dulu apakah benar empat orang
itu dalam keadaan selamat di dalam sana.”
“Baik,” jawab perwira itu yang
segera memasuki pintu rahasia yang kini sudah terbuka itu.
Liong-li tidak mau ditipu.
Kalau empat orang itu telah dibunuh oleh gerombolan Bayangan Iblis, iapun tidak
mau memegang janji, tidak mau bersusah payah mengadu ilmu melawan kakek dan
nenek datuk sesat itu! Ia akan mengerahkan semua jagoan istana untuk mengeroyok
dan menangkap gerombolan itu.
Tak lama kemudian, perwira itu
muncul kembali dan diapun melapor kepada Liong-li. “Li-hiap, mereka masih hidup
walaupun dalam keadaan terluka.”
“Hi-hi-hih, Hek-liong-li, kami
adalah datuk-datuk persilatan yang ternama. Kami tidak akan melanggar janji!” kata
Tiat-thouw Kui-bo.
“Kui-bo, seperti aku tidak
tahu saja akan watak curang Kiu Lo-mo! Kalian memenuhi janji hanya karena sudah
tersudut!”
“Hek-liong-li, tidak perlu
banyak cakap lagi. Apakah engkau ingin menjilat ludahmu sendiri yang sudah kaukeluarkan?
Masih berlakukah tantanganmu kepadaku tadi?”
“Tentu saja. Majulah, Kui-bo!”
kata Liong-li yang sudah siap siaga menandingi nenek yang ia tahu amat lihai
dan berbahaya itu.
Akan tetapi pada saat itu,
terdengar seruan-seruan nyaring dan nampaklah rombongan kaisar datang ke tempat
itu! Melihat kaisar muncul diiringi para pengawal, semua orang, kecuali
gerombolan penjahat, memberi hormat.
“Tangkap gerombolan Bayangan
Iblis dan penggal leher mereka semua!” bentak Kaisar dengan nada suara marah.
Kaisar memang marah sekali
karena baru saja dia mendengar laporan bahwa seorang puteranya, yaitu Pangeran
Souw Kian, bersama ibunya, telah tewas di dalam kamar pangeran itu karena
mereka membunuh diri dengan minum racun! Selir itu meninggalkan surat pengakuan
bahwa gerombolan Si Bayangan Iblis melakukan semua pembunuhan itu dengan maksud
agar kelak yang menjadi putera mahkota adalah Pangeran Souw Kian, dengan janji
bahwa kelak apabila Pangeran Souw Kian menjadi kaisar, pimpinan gerombolan itu
akan mendapatkan kedudukan tinggi.
Kiranya selir itu ketika
mendengar bahwa gerombolan itu gagal dan dikepung, ia meracuni puteranya dan
diri sendiri. Lebih baik mati dari pada menderita malu dan juga ngeri
menghadapi hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka.
Kaisar menjadi marah sekali
dan mendengar laporan bahwa kini gerombolan itu telah dikepung di sarang
mereka, yaitu kuil istana di puncak bukit. Kaisar lalu memerintahkan pasukan
pengawalnya untuk mengiringkannya naik ke bukit itu.
Ketika kaisar mengeluarkan perintah,
Hek-liong-li dan Pek-liong-eng terkejut sekali. Perintah itu pasti akan
dilaksanakan dan ini berarti mereka melanggar janji kepada dua orang datuk.
Maka, dua orang pendekar itu cepat maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan
kaisar.
“Ampunkan hamba berdua,
Sribaginda!” kata Hek-liong-li, “Hamba berdua sudah menantang dua orang
pimpinan Si Bayangan Iblis untuk bertanding dan sudah berjanji. Mohon paduka
memberi kesempatan kepada hamba berdua untuk bertanding dengan dua orang
pimpinan gerombolan Si Bayangan Iblis.”
Kaisar mengerutkan alisnya,
“Siapakah kalian?”
“Hamba bernama Lie Kim Cu,
Sribaginda.”
“Hamba bernama Tan Cin Hay,”
kata pula Pek-liong.
“Mereka adalah Pek-liong-eng
dan Hek-liong-li, Sribaginda,” seorang perwira melapor.
Kaisar mengangguk-angguk dan
menghelus jenggotnya. Diam-diam dia kagum. Tentu saja dia telah mendengar
laporan, bahkan dari Cian Hui sendiri bahwa dua orang pendekar inilah yang
diharapkan akan mampu menangkap Si Bayangan Iblis. Tak disangkanya bahwa
sepasang pendekar yang dikabarkan amat lihai itu ternyata hanyalah sepasang
orang yang masih muda.
“Mereka benar, Sribaginda.
Mohon diberi kesempatan kepada mereka untuk menandingi orang-orang jahat itu!”
tiba-tiba terdengar suara lembut dan muncullah Permaisuri Bu Cek Thian yang
dilindungi pasukan pengawal pribadinya, dipimpin oleh gadis kembar yang tak
pernah terpisah dari samping permaisuri itu, ialah Bi Cu dan Bi Hwa.
“Hamba sendiri yang mengutus
Hek-liong-li untuk menyelidiki dan menangkap Bayangan Iblis,” kata pula
permaisuri itu setelah memberi hormat kepada kaisar dan mereka berdua segera
menduduki kursi yang sudah dibawa datang oleh para pengawal. Kaisar dan
permaisuri itu sudah duduk seperti hendak menonton pertunjukan yang menarik.
“Baik, kami setuju diadakan
pertandingan itu. Akan tetapi, sekali para penjahat itu berbuat curang, segera
kepung dan robohkan mereka semua!” kata kaisar penuh wibawa.
“Terima kasih, Sribaginda,”
kata Liong-li dan Pek-liong berbareng dan merekapun kini menghadapi lagi kakek
dan nenek yang berdiri dengan wajah pucat dan gelisah, sedangkan belasan orang
anak buah mereka berdiri dengan muka membayangkan ketakutan.
“Nah, engkau beruntung sekali,
Kui-bo. Dalam kesempatan terakhir engkau masih diberi kesempatan untuk
memamerkan kepandaian, bahkan disaksikan oleh penonton agung!” kata Liong-li
sambil mencabut pedangnya dam nampaklah sinar hitam berkilauan. “Cabut
senjatamu dan mulailah!”
Tiat-thouw Kui-bo maklum bahwa
ia tidak dapat mengelak lagi, tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan
melawan Hek-liong-li yang sudah lama dianggapnya sebagai musuh besar.
Kesempatan baik untuk membalas dendam walaupun kedudukannya sungguh tidak
menguntungkan, seolah ia berada di dalam guha naga yang tidak memungkinkan ia
lolos lagi.
Andaikata ia dapat menang
melawan Liong-li, belum tentu kaisar akan mau membebaskannya begitu saja. Akan
tetapi kalau ia dan Mo-ong dapat mengalahkan Pek-liong dari Liong-li, masih ada
harapan bagi mereka untuk mengamuk dan melarikan diri. Musuh atau lawan terberat
bagi mereka hanyalah dua orang pendekar muda itu.
“Baik, Hek-liong-li, engkau
atau aku yang akan menjadi pemenang, Asal engkau tidak mengeroyokku saja!” kata
Tiat-thouw Kui-bo sambil mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang yang
berkilau saking tajamnya.
Pada saat itu, para pangeran
berdatangan untuk menyaksikan sendiri gerombolan Bayangan Iblis yang selama ini
mengacau dan melakukan banyak pembunuhan di dalam istana dan juga di luar
istana.
“Kui Lo-ma......! Apa yang
kaulakukan ini? Benar engkaukah ini?”
Pangeran Kim Ngo Him yang baru
tiba berseru dengan penuh keheranan sambil menghampiri nenek yang biasanya
dikenalnya sebagai tukang masak dan ahli pijat itu. Sikapnya ini membuktikan
bahwa pangeran mantu kaisar ini memang benar tidak tahu menahu tentang gerakan
gerombolan pembunuh Si Bayangan Iblis yang dipimpin oleh pelayannya itu.
“Mundurlah, pangeran. Pangeran
telah memelihara seekor srigala dalam gedung pangeran. Ia bukan Kui Lo-ma,
melainkan Tiat-thouw Kui-bo yang menyamar. Ia seorang datuk sesat, seorang di
antara Kiu Lo-mo yang jahat dan kejam,” kata Hek-liong-li.
Mendengar ini wajah pangeran
itu menjadi pucat dan segerti orang ketakutan diapun melangkah ke belakang
menjauhi nenek itu yang hanya menyeringai.
Ketika melihat munculnya
Pangeran Souw Cun, Liong-li segera teringat akan kematian Pangeran Souw Han,
dan teringat pula betapa ia pernah dihina bahkan dicambuki pangeran itu, maka
ia mempergunakan kesempatan itu untuk menudingkan telunjuknya ke arah Pangeran
Souw Cun dan berkata,
”Inilah dia pangeran yang
bersekongkol dengan gerombolan Bayangan Iblis! Dialah yang telah menyuruh bunuh
Pangeran Souw Han!”
Tentu saja ucapan Liong-li ini
membuat semua mata memandang kepada Pangeran Souw Cun, termasuk mata kaisar dan
permaisuri Bu Cek Thian.
“Bohong! Itu fitnah belaka.
Seperti juga pangeran Kim Ngo Him, aku tidak tahu menahu tentang
gerombolan......”
“Ha-ha-ha-ha!” Lam-hai Mo-ong
tertawa memotong ucapan Pangeran Souw Cun. “Kalau sudah begini, perlu apa
berpura-pura lagi, pangeran? Semua usaha dan cita-cita kita telah gagal,
digagalkan oleh Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Kalau saja pangeran tidak
menyuruh bunuh Pangeran Souw Han, belum tentu secepat ini kita mengalami
kegagalan!”
Mendengar ucapan ini, Pangeran
Souw Cun menjadi pucat sekali.
“Tangkap pengkhianat itu!”
Kaisar membentak marah dan Pangeran Souw Cun terkulai lemas menjatuhkan diri
berlutut minta-minta ampun kepada ayahnya. Namun, kaisar tetap memberi isyarat
kepada para pengawal yang segera menangkap dan menyeret pangeran itu untuk
ditawan. Bukan Pangeran Souw Cun saja yang dttangkap, bahkan seluruh
keluarganya termasuk ibunya juga ditangkap.
“Nah, sekarang majulah,
Kui-bo,” kata Liong-li.
Nenek itu memandang dengan
mata mencorong, mata kehijauan yang seperti mata kucing, kemudian, tiba-tiba
saja tangan kirinya bergerak dan beberapa batang paku beracun menyambar ke arah
tubuh Liong-li. Namun, wanita perkasa ini sudah tahu bahwa, Kui-bo mempunyai
senjata rahasia paku beracun yang amat berbahaya, maka ia sudah siap siaga dan
sekali Hek-liong-kiam di tangan kanan diputar, nampak gulungan sinar hitam dan
semua paku itupun runtuh.
SERANGAN paku ke arah tubuh
bagian atas lawan itu merupakan gertakan untuk mengalihkan perhatian saja,
karena begitu Liong-li memutar pedang menangkis, Kui-bo sudah meloncat ke
depan, tubuhnya merendah dan pedangnya meluncur, menyapu ke arah kedua kaki
Liong-li. Serangan tiba-tiba ini amat berbahaya karena pada saat itu, Liong-li
sedang memutar pedang menangkis paku-paku itu.
Namun, Liong-li tidak pernah
lengah dan begitu nampak sinar pedang menyapu ke arah kakinya, dengan gerakan
ringan sekali tubuhnya sudah meloncat ke atas, berjungkir balik di udara dan
tubuh itu meluncur turun bagaikan seekor naga, kepala di depan dan didahului
putaran pedangnya menyerang ke arah kepala Kui-bo. Nenek iblis terpaksa
menggerakkan pedangnya menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
“Tranggg......!” Tubuh
Liong-li terpental dam wanita ini berjungkir balik beberapa kali baru tubuhnya
meluncur turun kembali ke atas lantai di depan Tiat-thouw Kui-bo.
Nenek itu sendiri terhuyung ke
belakang dan dari akibat benturan pedang itu saja dapat diketahui bahwa dalam
hal kekuatan sin-kang, mereka berimbang! Hanya Liong-li lebih pandai mengatur
keseimbangan dirinya sehingga akibat benturan tenaga itu dapat diatasinya
dengan baik, membuat gerakannya nampak indah sedangkan nenek itu terhuyung
seperti hendak jatuh.
Tiat-thouw Kui-bo menjadi
semakin marah. Ia memang amat membenci Liong-li. Pendekar wanita itu bersama
Pek-liong telah membunuh dua orang rekannya, yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua
Berhati Hitam) di daerah Lok-yang, dan Siauw-bin Ciu-kwi (Iblis Arak Muka
Tertawa) di Bukit Merak daerah Po-yang. Seperti juga ia dan Lam-hai Mo-ong, dua
orang rekannya itu adalah anggauta Kiu Lo-mo, maka tentu saja, Kui-bo mendendam
kepada Liong-li.
Kalau selama ini ia dan
Lam-hai Mo-ong belum bertindak melakukan pembalasan, hal itu adalah karena ia
sedikit banyak merasa jerih terhadap pendekar wanita itu. Melakukan penyerangan
ke rumah pendekar wanita itu amat berbahaya karena rumah itu diperlengkapi
alat-alat rahasia dan perangkap yang sukar diatasi. Ia dan Mo-ong hanya menanti
kesempatan baik saja.
Ketika melihat Liong-li di
istana, kesempatan itu muncul, akan tetapi ia dan Mo-ong sibuk dengan urusan
yang lebih besar, yaitu mencari kekuasaan di istana. Kini, kesempatan itu tiba,
akan tetapi keadaannya terjepit dan terkepung, bahkan disaksikan oleh Kaisar
dan Permaisuri. Tiada jalan lain baginya kecuali melawan dengan nekat dan
mati-matian.
“Hyaaattt......!” Nenek itu
mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya diputar cepat, berubah
menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar ke arah Liong-li. Namun, wanita
cantik berpakaian serba hitam itu menyambut dengan gerakan tenang dan mantap. Berkali-kali
kedua pedang itu bertemu dan menimbulkan pijar bunga api.
Keduanya sudah saling serang
dengan hebatnya. Hanya ahli-ahli silat yang sudah tinggi tingkatnya dapat
mengikuti gerakan mereka yang amat cepat. Bagi mereka yang tidak mengenal ilmu
silat, dua orang .yang sedang bertanding itu seolah-olah merupakan dua bayangan
yang berkelebatan dan menjadi satu digulung dua sinar pedang, sukar dibedakan
mana Liong-li mana Kui-bo.
Pada suatu saat, ketika
Liong-li menyerang dengan bacokan pedangnya dari atas menyambar ke arah kepala
lawan. Kui-bo menyambutnya dengan tangkisan ke atas. Kedua pedang bertemu dan
melekat karena pengerahan sin-kang kedua pihak.
Saat kedua pedang melekat di
udara itu, Kui-bo menggerakkan tangan kirinya, memukul dengan telapak tangan
terbuka ke arah dada Liong-li. Pukulan maut ini berbahaya sekali karena
mengandung hawa beracun.
Namun, Liong-li sudah siap dan
ia sudah mengerahkan tenaga istimewa yang membuat tangan kirinya menjadi merah.
Itulah Hiat-tok-ciang (Tangan Racun Darah), satu diantara ilmu-ilmu yang
dikuasai Liong-li.
“Desss......!” Dua buah
telapak tangan bertemu, keduanya mengandung pukulan beracun dan akibatnya,
Kui-bo terhuyung ke belakang sambil menyeringai karena telapak tangan kirinya
terasa panas. Sebaliknya, Liong-li juga tergetar hebat dan keduanya kini sudah
siap untuk melanjutkan pertandingan mati-matian itu.
Melihat keadaan rekannya
agaknya tidak akan dapat menang dengan mudah, tentu saja Lam-hai Mo-ong merasa
khawatir sekali. Satu-satunya kawan yang dapat diandalkannya menghadapi
Pek-liong dan Liong-li hanyalah Kui-bo. Anak buahnya, walaupun memiliki
kepandaian cukup tinggi, bukanlah tandingan sepasang pendekar itu. Maka, diapun
sudah meloncat ke depan Pek-liong.
“Pek-liong-eng, mari kita
mengadu nyawa, bukan hanya menjadi penonton saja!” teriaknya dan diapun sudah
melolos rantai bajanya.
“Hemm, majulah, Mo-ong,” kata
Pek-liong dan sekali tangan kanannya bergerak, nampak sinar putih berkelebat
dan Pedang Naga Putih telah berada di tangannya.
Lam-hai Mo-ong tidak banyak
cakap lagi, segera mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang dan
diapun sudah memutar rantai bajanya dan menyerang dengan dahsyat. Namun,
Pek-liong sudah siap siaga dan dengan lincah sekali pendekar ini sudah mengelak
dari sambaran rantai dan membalas dengan tusukan pedangnya.
Namun, lawannya adalah seorang
datuk yang lihai, dan dapat pula menghindarkan tusukan pedang dengan mudah
sambil menggerakkan rantainya menyapu ke arah kaki Pek-liong yang meloncat ke
atas. Perkelahian mati-matian segera terjadi antara Lam-hai Mo-ong dan
Pek-liong-eng.
Kini para penonton mengagumi
dua perkelahian yang amat hebat. Kaisar sendiri walaupun pernah mempelajari
ilmu silat di waktu mudanya, menjadi pening juga menyaksikan gerakan empat
orang itu yang terlalu cepat baginya. Namun, para jagoan istana dan para
perwira memandang penuh kagum. Belum pernah mereka menyaksikan pertandingan
silat yang demikian hebatnya.
“Kui-bo, kita bertukar lawan!”
tiba-tiba Mo-ong berteriak, rantainya kini menyeleweng dan menyambar ke arah
Liong-li ketika dua orang wanita yang sedang bertanding itu tiba di dekatnya.
Tiat-thouw Kui-bo agaknya
sudah mengenal benar siasat rekannya itu, maka tubuhnya sudah mencelat ke kanan
dan pedangnya menyerang Pek-liong. Diserang secara mendadak oleh musuh yang
berganti tempat itu, baik Liong-li maupun Pek-liong menjadi agak bingung dan
hampir saja Liong-li terkena sambaran rantai baja.
Biarpun ia sudah mengelak
dengan cepat membanting tubuh ke belakang lalu bergulingan, tetap saja ia terhuyung
dan kini dikurung oleh gulungan sinar rantai yang panjang. Akan tetapi, wanita
perkasa itu segera dapat menguasai dirinya, memutar Hek-liong-kiam dan dapat
mengimbangi rangkaian serangan lawan. Demikian pula Pek-liong sempat terkejut
dan terdesak oleh pedang Kui-bo, namun diapun segera dapat mengembalikan
keseimbangannya.
Akan tetapi, beberapa kali
kakek dan nenek iblis itu bertukar tempat dan setiap mereka berganti tempat,
Pek-liong dan Liong-li dibuat bingung dari terdesak. Agaknya memang pertukaran
tempat yang berganti-ganti itu merupakan siasat kakek dan nenek itu.
“Pek-liong, sudah tiba saatnya
kita mainkan Sin-liong-kiam (Pedang Naga Sakti)!” tiba-tiba Liong-li berseru
dan iapun meloncat ke dekat Pek-liong dan mereka saling membelakangi.
Kini baru kakek dan nenek itu
tahu bahwa siasat mereka tadi hanya memancing dua orang itu mengeluarkan ilmu
pedang yang mereka ciptakan bersama, yang merupakan inti dari kehebatan
sepasang naga putih dan naga hitam itu! Kalau saja Mo-ong menantang Pek-liong
untuk bertanding pula, belum tentu mereka akan mengeluarkan ilmu ini.
Dan begitu Pek-liong dan
Liong-li memainkan Sin-liong-kiam yang mereka ciptakan bersama, dua orang kakek
dam nenek itupun menjadi terkejut dan terdesak hebat. Ilmu pedang itu memang merupakan
ilmu pedang gabungan dari semua kepandaian mereka, dan dengan bekerja sama
mereka itu seolah-olah hanya mempunyai satu hati, satu pikiran dan satu
perasaan!
Gulungan sinar pedang putih
dan hitam itu saling membantu, saling memperkuat dan mengisi kekosongan
masing-masing dan biarpun lawan mereka merupakan dua orang datuk yang lihai
sekali. Kini dua orang itu terdesak dan terkepung gulungan sinar pedang hitam
putih dan mereka hanya dapat menangkis saja tanpa sempat membalas karena mereka
masih bingung oleh gerakan dua batang pedang yang saling bantu dengan gerakan
aneh dan hebat itu.
Agaknya, kalau saja dua orang
pendekar ini tidak bekerja sama dengan ilmu pedang ciptaan mereka, kiranya
tidak akan mudah bagi mereka mengalahkan lawan masing-masing, karena kekuatan
mereka sesungguhnya seimbang. Mereka memang menang cepat karena memang masih
muda, akan tetapi kemenangan ini diimbangi oleh kemenangan pihak lawan dalam
hal pengalaman.
Setelah mereka bekerja sama,
kekuatan mereka menjadi berlipat ganda. Hal ini bukan hanya karena ilmu pedang
Sin-liong-kiam-sut, memang ciptaan mereka, namun antara Pek-liong dan Liong-li
memang terdapat hubungan yang amat aneh.
Mereka itu sekali saling
pandang saja seperti telah dapat membaca isi hati masing-masing, dan begitu
mereka berdekatan, mereka seperti sudah saling bantu dan jalan pikiran mereka
searah, juga perasaan mereka sama peka terhadap rekannya. Inilah kelebihan
Pek-liong dan Liong-li yang tidak ada pada kedua orang lawan mereka sehingga
mereka mampu membuat Kui-bo dan Mo-ong menjadi repot sekali.
Ketika Kui-bo terhuyung oleh
sambaran pedang Pek-liong, kesempatan itu dipergunakan oleh Liong-li untuk
menerjang ke depan. Pedangnya diputar cepat ketika ia melihat Kui-bo yang sudah
kewalahan itu menangkis sehingga tanpa dapat dicegah lagi, pedang di tangan
Kui-bo terlepas.
Kui-bo menjadi terkejut dan
marah, tangan kirinya bergerak dan tiga batang paku beracun terakhir yang masih
dimilikinya meluncur dan menyambar ke arah Liong-li. Liong-li sudah menduga
akan hal ini, pedangnya berkelebat menangkis dengan pukulan sehingga tiga
batang paku itu membalik dan menyambar ke arah Tiat-thouw Kui-bo sendiri.
“Aughhh......!” Nenek itu kena
disambar pakunya sendiri yang tepat mengenai lehernya. Ia terjengkang dan
berkelonjotan sekarat.
Sementara itu, melihat
rekannya roboh, Lam-hai Mo-ong menjadi gentar. Dia mencoba untuk meloncat ke
kiri, untuk melarikan diri, akan tetapi dia berhadapan dengan tombak para
perajurit pengawal. Dia memutar rantai mengamuk dan robohlah dua orang perajurit.
Akan, tetapi Pek-liong sudah menghadapinya lagi.
“Iblis tua, jangan pengecut!
Engkau hendak lari ke mana?” Pek-liong sudah mendesak dengan pedangnya.
Lam-hai Mo-ong menjadi semakin
panik. Dia telah membunuh dua orang perajurit, maka dia tahu bahwa tentu tidak
ada ampun baginya. Melihat Pek-liong menyerangnya, diapun meloncat ke belakang,
kemudian sambil mengambil ancang-ancang, dia bahkan melompat tinggi ke arah
Pek-liong dengan rantai baja diputar.
Melihat ini, Pek-liong juga
meloncat menyambutnya. Nampaknya ke dua orang itu hendak berbenturan di udara.
Akan tetapi, akhirnya tubuh kakek itu terpelanting dan ketika tiba di atas
tanah, dia terbanting keras. Rantainya terlempar dan kedua tangannya mendekap
perut, matanya terbelalak dan ternyata perutnya robek oleh pedang Pek-liong.
Hanya sebentar kakek itu sekarat, lalu tewas seperti rekannya, Tiat-thouw
Kui-bo yang telah tewas lebih dahulu karena paku beracun menancap di
tenggorokannya.
Melihat betapa dua orang
pimpinan mereka itu tewas, gerombolan penjahat itu menjadi ketakutan. Agaknya
tadi Pek-mau-kwi Ciong Hu dan dua orang bersaudara Huang-ho Siang-houw sudah
saling berbisik mengatur siasat untuk menyelamatkan diri.
Begitu melihat Lam-hai Mo-ong
roboh, mereka bertiga sudah mencabut pedang dan serentak mereka meloncat ke
arah tempat duduk permaisuri Bu Cek Thian! Mereka tadi sudah mengatur siasat
bahwa untuk dapat meloloskan diri, mereka harus dapat menyandera seorang
penting.
Kaisar sendiri terjaga kuat,
akan tetapi mereka melihat betapa permaisuri hanya dilindungi oleh dua orang
pengawal wanita, dua orang gadis kembar. Mereka mengira bahwa tentu mereka akan
dapat dengan mudah menyandera permaisuri dan mereka akan memaksa kaisar untuk
membebaskan mereka, menukar nyawa mereka dengan keselamatan sang permaisuri.
Akan tetapi, betapa kaget hati
mereka ketika mereka meloncat dekat Permaisuri Bu Cek Thian, dua orang gadis
kembar yang menjadi pengawal pribadi permaisuri itu, menyambut Huang-ho
Siang-houw dengan pedang mereka dan gerakan dua orang gadis kembar ini amat
cepat dan kuat! Segera Huang-ho Siang-houw terlibat dalam perkelahian pedang
melawan dua orang gadis kembar ini, sedangkan Pek-mau-kwi sendiri ternyata
tahu-tahu dihadang oleh Liong-li!
Pek-mau-kwi menyerang
mati-matian karena maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat tangguh, yang
baru saja merobohkan Tiat-thouw Kui-bo. Akan tetapi, memang tingkatnya kalah
jauh dibandingkan Liong-li, maka dalam beberapa gebrakan saja Pek-mau-kwi roboh
dengan dada tertembus pedang Naga Hitam. Dua orang Huang-ho Siang-houw juga
repot menghadapi sepasang gadis kembar murid-murid Bu-tong-pai yang lihai itu.
Merekapun roboh dan tewas oleh pedang Bi Cu dan Bi Hwa.
Sementara itu, melihat
robohnya tiga orang pembantu utama pimpinan mereka, belasan orang anak buah
gerombolan Si Bayangan Iblis sudah menjatuhkan diri berlutut dan menyerah.
Mereka semua ditangkap dan diseret ke dalam penjara untuk diadili kelak.
Pek-liong dan Liong-li segera
memasuki pintu rahasia, diikuti oleh para jagoan istana. Dan di dalam ruangan
di bawah tanah itu mereka melihat Cian Hui dan Sui In yang roboh pingsan, juga
dua orang hwesio Gwat Kong Hosiang dan Kwan Seng Hwesio yang terluka parah.
Seperti dengan sendirinya,
Liong-li menghampiri Cian Hui dan Pek-liong menghampiri Sui In. Setelah
memeriksa dan mendapatkan kenyataan bahwa Cian Hui dan Sui In menderita luka
dalam karena pukulan beracun, Liong-li dan Pek-liong menotok beberapa jalan
darah di tubuh mereka sehingga mereka siuman, lalu kedua orang pendekar itu
memapah mereka yang terluka keluar dari ruangan bawah tanah.
Melihat Kaisar dan Permaisuri
sendiri berada di kuil yang menjadi medan perkelahian itu, Cian Hui yang
terluka parah lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti Sui In dan juga Pek-liong
dan Liong-li. Kaisar tersenyum, gembira dan memuji-muji mereka berempat.
Ketika mendengar betapa Cian
Hui dan Sui In. terluka pukulan beracun dan bahwa Liong-li dan Pek-liong hendak
mengobati mereka, Kaisar memerintahkan untuk memberi kamar-kamar untuk tamu
agung bagi mereka. Juga dia memerintahkan permaisuri untuk membagi-bagi hadiah
yang layak bagi mereka berempat yang sudah berjasa membongkar rahasia
gerombolan Si Bayangan Iblis, bahkan telah membasmi gerombolan itu. Kemudian
Kaisar dan Permaisuri kembali ke istana.
◄Y►
Semalam suntuk, baik Pek-liong
maupun Liong-li, di kamar masing-masing dalam istana, kamar yang besar dan
indah, mengerahkan sin-kang mereka dan mengobati Cian Hui dan Sui In. Mereka
melakukan cara pengobatan yang sama. Cian Hui duduk bersila di atas pembaringan,
Liong-li duduk di belakangnya dan menempelkan telapak kedua tangannya di
punggung perwira itu dan menyalurkan sin-kang untuk mengusir hawa beracun dan
memulihkan tubuh yang terluka.
Demikian pula cara Pek-liong
mengobati Sui In di kamarnya. Bagi orang lain, tentu terasa janggal dan aneh
melihat betapa Pek-liong yang mengobati Sui In dan bukan Liong-li, dan demikian
sebaliknya Liong-li yang mengobati Cian Hui. Akan tetapi bagi sepasang pendekar
itu, hal ini tidak ada halangannya. Liong-li memang lebih dekat dengan Cian
Hui, sedangkan Pek-liong datang ke kota raja bersama Sui In.
Pada keesokan harinya, dua
orang yang terluka itu sudah hampir sembuh. Hawa beracun sudah dibersihkan dan
mereka tinggal beristirahat beberapa hari saja, maka mereka akan sembuh sama
sekali.
Di kamar Liong-li, Cian Hui
memegang kedua tangan Liong-li dengan pandang mata terharu. “Li-hiap, tanpa
bantuanmu bukan saja gerombolan Si Bayangan Iblis tidak mungkin dapat dibasmi,
bahkan akupun tentu sudah tewas. Bagaimana aku dapat membalas budimu selain
mengabdi kepadamu selama hidupku. Li-hiap, sekali lagi kuulangi permohonanku
kepadamu. Sudilah kiranya engkau menjadi teman hidupku selamanya, menjadi
isteriku, dan aku akan menumpahkan seluruh perasaan kasih sayang dan baktiku
kepadamu.”
Liong-li tersenyum dan dengan
lembut melepaskan kedua tangannya yang digenggam oleh perwira yang gagah
perkasa itu. Akan tetapi ia masih duduk di atas pembaringan berhadapan dengan
perwira itu. Senyumnya lembut dan manis sekali.
“Ciang-kun, sudah berkali-kali
sejak malam tadi engkau mengajukan lamaran dan sudah berkali-kali pula terpaksa
aku menolaknya. Aku tahu, setiap orang wanita yang bijaksana, akan merasa
bangga dan berbahagia sekali dapat menjadi isterimu. Engkau seorang pria yang
gagah perkasa dan setia, dan engkau seorang pria yang hebat. Akan tetapi
maafkan, aku tidak dapat mengikatkan diriku dalam suatu pernikahan. Aku ingin
bebas. Terus terang saja Ciang-kun, akupun kagum kepadamu, dan aku suka
kepadamu. Kalau engkau menghendaki diriku, Ciang-kun, akupun akan menyambutnya
dengan gembira. Akan tetapi pernikahan? Tidak! Aku tidak ingin terikat.”
Cian Hui mengerutkan alisnya
dan menatap wajah yang cantik jelita itu dan dalam pandang matanya terbayang
keheranan dan keraguan.
“Akan tetapi, mengapa, li-hiap?
Kalau engkau tidak menolakku, berarti engkau cinta pula kepadaku. Kenapa tidak
dengan pernikahan?”
Liong-li tersenyum lagi dan
menggeleng kepalanya. “Panjang ceritanya, akan tetapi cukup kalau kauketahui
bahwa aku tidak berharga menjadi isterimu, Cian Ciang-kun. Aku seorang
petualang, hidupku penuh musuh penuh ancaman bahaya......”
“Kalau aku menjadi suamimu,
aku akan melindungimu, li-hiap. Aku akan mengubah hidupmu, menjadi seorang ibu
rumah tangga yang hidup tenang dan tenteram, penuh kasih sayang dari suami dan
anak-anakmu......”
Liong-li tertawa, tertawa
lepas tanpa menutup mulutnya seperti biasanya para wanita bersopan-sopan. Akan
tetapi karena kewajarannya itu, dalam pandangan Cian Hui yang sudah
tergila-gila, Liong-li nampak semakin menarik dan menggairahkan.
“Ha-ha, Ciang-kun.
Membayangkan aku menjadi seperti itu sungguh membuat aku merasa ngeri! Rasanya
aku menjadi seperti boneka hidup. Hidup penuh damai dan tenteram, tanpa
tantangan tanpa ancaman. Aih, betapa menjemukan kehidupan seperti itu bagiku,
Ciang-kun!
“Tidak, terus terang saja, aku
suka padamu, aku suka bercintaan denganmu, akan tetapi hanya itu, tidak ada
ikatan cinta kasih yang membuat kita menjadi suami isteri. Tidak, aku tidak
dapat menikah dan menjadi isterimu, Ciang-kun. Aku tidak cinta padamu seperti
itu, aku hanya suka kepadamu sebagai seorang pria yang jantan dan
mengairahkan.”
Cian Hui terbelalak. “Kalau
begitu, engkau telah mencinta pria lain, Li-hiap!”
Sepasang alis Liong-li yang
indah itu berkerut. “Tidak tahulah.”
“Ah, sekarang aku mengerti!
Li-hiap, engkau tentu mencinta Pek-liong-eng! Dapat kurasakan itu, dapat
kulihat dari sikap kalian. Dan hal itu tidak aneh. Li-hiap kalian saling
mencinta!”
Kerut merut di antara sepasang
alis itu makin mendalam. “Pek-liong? Ah, tentu saja aku sayang padanya, aku dan
dia adalah satu hati satu pikiran, Ciang-kun. Aku mau mengorbankan nyawa
untuknya dan diapun demikian. Hal itu kami anggap wajar.”
“Kalau begitu kenapa li-hiap
tidak menikah dengan dia? Pasangan yang amat serasi! Benar, kalian saling
mencinta dan kalian harus menjadi suami isteri......”
“Cukup! Tidak ada yang
mengharuskan kami!! Dan hubungan kami bahkan lebih akrab dari pada hanya
sepasang kekasih. Sudahlah, engkau tidak perlu mencampuri urusan kami. Aku
masih bersedia menyambutmu kalau engkau hendak membuktikan kasih sayangmu
kepadaku, Ciang-kun.”
Wanita itu memandang dan
tersenyum dengan sikap menantang dan penuh daya pikat. Sejenak jantung dalam
dada Cian Hui terguncang dan ingin sekali dia menubruk dan mendekap wanita yang
amat menggairahkan hatinya itu. Namun, dia menahan diri, bahkan dia meloncat
turun dari atas pembaringan.
“Li-hiap, kauanggap aku ini
laki-laki yang tidak dapat menghargai wanita? Li-hiap, aku cinta kepadamu.
Cinta yang tumbuh dari sanubariku, bukan sekedar hendak melampiaskan nafsu
berahi saja. Aku cinta padamu, ingin membahagiakanmu, ingin berdampingan
selamanya denganmu, ingin menjadi ayah anak-anakmu. Aku menghormatimu, kagum
kepadamu dan lebih baik aku mati dari pada harus menghinamu dengan perbuatan
yang tidak sopan. Li-hiap, curahan cinta kasih hanya dapat kulakukan jika
li-hiap telah menjadi isteriku.”
Wajah Liong-li berubah merah.
Baru sekarang ia bertemu seorang pria yang menolak begitu saja, pada hal ia
melakukannya dengan suka rela, dengan senang hati. Sungguh perwira ini seorang
pria yang hebat dan ucapannya yang lembut itu seperti pedang menikam
perasaannya, membuat ia merasa malu, merasa rendah dan kotor. Akan tetapi, ia
menyimpan perasaan itu dan iapun tersenyum cerah.
“Lengkaplah sudah segala sifat
baik pada dirimu, Ciang-kun. Sungguh aku merasa kagum sekali dan ini juga
membuktikan betapa jauh bedanya antara kita, dan betapa aku sungguh tidak patut
menjadi isterimu. Nah, kalau begitu, selamat berpisah dan selamat tinggal, Cian
Ciang-kun. Hadiah dari Sribaginda untukku kuberikan kepadamu. Kauterimalah
sebagai tanda peringatan dariku. Aku pergi, Ciang-kun!”
“Li-hiap........!” Cian Hui
berseru, akan tetapi wanita itu hanya menoleh sambil tersenyum dan mengedipkan
matanya, tanda bahwa ia sama sekali tidak menyesal atau marah. Cian Hui
terhenyak di kursi dan termenung, berulang kali menghela napas panjang dan dia
merasa jantungnya kosong dan sunyi.
Sementara itu, di kamar lain
yang tidak begitu jauh dari situ, kamar yang sama indahnya, Pek-liong juga
duduk berhadapan di atas pembaringan dengan Cu Sui In. Janda muda ini sudah
sembuh dan kini ia memandang pendekar itu dengan sinar mata penuh kagum dan
terima kasih.
“Tai-hiap, sungguh besar budi
yang telah tai-hiap limpahkan kepadaku. Karena bantuan tai-hiap maka dendamku
dapat terbalas, dan kalau tidak ada tai-hiap yang menolongku berulang kali,
tentu aku sudah tewas di tangan orang jahat. Tai-hiap, bagaimana aku dapat
membalas budimu yang besar itu?”
Pek-liong menjulurkan lengan
dan tangannya menyentuh dagu yang halus meruncing manis itu. “Tidak ada budi
tidak ada balas, adik yang manis. Aku senang sekali dapat membantumu. Engkau
seorang wanita muda yang bernasib malang, masih muda sudah menjadi janda.
Engkau cantik jelita dan manis, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang cukup
tinggi, cerdik dan berani. Aku suka sekali kepadamu, adik Sui In.”
Wajah wanita itu menjadi
kemerahan. Memang sejak pertama kali bertemu dengan pendekar ini, ia sudah
jatuh hati. Pria ini terlalu hebat dan ia kagum sekali.
“Tai-hiap terlalu memuji.
Sebaliknya, tai-hiap adalah seorang pendekar besar yang amat mengagumkan.
Tai-hiap, aku ingin sekali membalas semua budimu. Kalau tai-hiap sudi
menerimaku, aku ingin melayanimu selama hidupku.”
“Aih, apa maksudmu, adik Sui
In?” Pek-liong menyentuh kedua pundak Sui In dan wanita itupun merebahkan diri
dalam dekapannya, menyandarkan muka di dada yang bidang itu.
“Tai-hiap, aku akan berbahagia
sekali untuk menjadi sisihanmu, menjadi isterimu, atau selirmu, atau pelayanmu......”
Pek-liong mengangkat muka yang
bersandar di dadanya itu dan mengecup bibirnya. Menerima ciuman ini, Sui In
memejamkan matanya dan langit bagaikan runtuh baginya. Ia sudah siap
menyerahkan segala-galanya untuk pria yang dikaguminya dan dicintanya itu.
“Adik Sui In, apa yang
kaukatakan itu, akupun kagum dan suka padamu, engkau seorang wanita yang hebat.
Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak mau terikat oleh siapapun. Kalau kita
berdua saling menyukai dan dengan suka rela menyerahkan diri untuk saling
mencinta, aku akan senang sekali. Akan tetapi aku tidak mau diikat dengan
pernikahan, atau dengan ikatan apapun. Setelah ini, kita harus berpisah dan
mengambil jalan masing-masing, dan semua ini hanya merupakan kenangan indah
saja bagi kita.”
Mendengar ini, Sui In merasa
seperti dilempar kembali ke bumi dari langit ke tujuh. Ia membelalakkan
matanya, memisahkan diri dari dada Pek-liong, menghadapi pemuda itu dan
memandang seperti orang yang tidak percaya akan pendengarannya sendiri.
“Tai-hiap, engkau tidak......
tidak cinta padaku........?”
Pek-liong tersenyum. “Aku suka
padamu, aku cinta padamu, akan tetapi bukan cinta yang harus dilanjutkan dengan
ikatan.”
“Ahhh...... ahhh......!”
Wanita muda itu terisak dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis
lirih.
Pek-liong mengerutkan alisnya
dan diapun turun dari atas pembaringan.
“Adik Sui In, kenapa engkau
menangis?”
Dari balik kedua tangannya,
Sui In menahan isaknya. “Tai-hiap, maafkan aku....... Kusangka tai-hiap
mencintaku seperti aku mencintamu. Aku mengharapkan untuk dapat menghabiskan
sisa hidupku di sampingmu. Aku dengan bahagia akan menyerahkan diri,
menyerahkan segalanya untukmu, bukan sekedar membalas budi, melainkan karena
aku...... aku cinta padamu. Akan tetapi tai-hiap tidak suka menerimaku.......”
Pek-liong mengangguk-angguk.
“Aku tahu sekarang, Sui In. Engkau memang seorang wanita yang amat baik, juga
terhormat. Dan aku akan mengutuk diri sendiri kalau menyeretmu melakukan hal
yang tidak kausukai, yang akan kauanggap sebagai suatu perbuatan aib. Aku
seorang petualang, adik In, aku tidak ingin terikat dengan pernikahan, aku
ingin hidup sendiri.
“Nah, selamat tinggal, adik
Sui In, dan jangan menangis. Aku semakin kagum dan hormat padamu. Sampaikan
hormatku kepada Sribaginda dan kalau aku diberi hadiah, biarlah hadiah itu
untuk engkau dan Cian Ciang-kun. Kalian lebih berhak menerimanya!”
“Tai-hiap......!” Akan tetapi
Pek-liong sudah meloncat keluar dan lenyap.
Sui In menangis sedih. Ia
merasa kehilangan. Ia tidak mengharapkan hadiah. Ia hanya ingin dapat hidup di
samping pendekar yang dikagumi dan dicintanya itu, untuk selamanya. Akan tetapi
pendekar itu menolaknya!
Pek-liong mau bermesraan
dengannya, akan tetapi tidak mau menikahinya. Dan pendekar itu demikian jujur,
berterus terang, dan sama sekali tidak mau menjamahnya lagi setelah ia
mengharapkan ikatan. Pada hal, sekali saja pendekar itu merangkulnya, ia akan
jatuh bertekuk lutut, dengan atau tanpa janji ikatan.
“Tai-hiap...... ah,
tai-hiap......” Ia terhuyung keluar dari dalam kamar itu, untuk mencarinya,
untuk mobon kepada Pek-liong agar mengasihani dirinya. Akan tetapi, ia tidak
melihat pendekar itu di luar.
Hatinya terasa perih dan
kosong, dan ia tentu akan terhuyung roboh kalau saja tidak ada lengan yang kuat
merangkul pinggangnya. Ia menoleh dan melihat bahwa yang merangkulnya sehingga
tidak sampai roboh itu adalah Cian Hui!
“Tenangkan hatimu,
In-moi...... kulihat Tan tai-hiap sudah pergi......”
Karena kepalanya terasa
pening, Sui In terpaksa bersandar kepada perwira itu dan membiarkan dirinya
dituntun masuk ke dalam kamarnya kembali.
“Duduklah dan tenangkan
dirimu, agaknya lukamu belum sembuh, In-moi,” kata perwira itu dan membantu Sui
In duduk di atas pembaringan. Dia sendiri duduk di atas kursi yang berdekatan.
“Dia...... dia menolakku.....
dia tidak mau menerima pengabdianku...... dia tidak cinta padaku........”
seperti mengigau Sui In berbisik.
Cian Hui tersenyum pahit.
Betapa sama nasib wanita ini dengan dia. Wanita ini seorang janda, diapun
seorang duda. Wanita ini agaknya tidak diterima ketika menyatakan ingin menjadi
isteri Pek-liong dan dia sendiri ditolak Liong-li yang tidak mau terikat
dengannya!
“In-moi, tenangkan hatimu.
Mereka itu bukanlah orang-orang biasa seperti kita. Mereka adalah
petualang-petualang, pendekar-pendekar yang tidak mau terikat dengan
pernikahan, tidak mau terkurung dalam rumah tangga.”
Sui In mengangkat muka menoleh
ke arah perwira itu sambil menyusut air matanya. “.......mereka......?”
tanyanya.
Sambil tersenyum pahit perwira
itu mengangguk. “Benar, mereka, In-moi. Li-hiap Hek-liong-li juga menolak
lamaranku untuk menjadi isteriku! Mereka orang-orang aneh, In-moi, berbeda
dengan kita......”
Sui In terbelalak, tidak tahu
harus tertawa atau menangis. “Ahhh......, betapa sama nasib kita. Kalau
begitu.... mereka itu, mereka saling mencinta!”
Cian Hui mengangguk. “Aku
yakin begitu. Akan tetapi mereka orang-orang aneh, cinta merekapun aneh.”
Dua orang yang bernasib sama
ini saling pandang, kemudian keduanya tersenyum. Mereka sama maklum dan mereka
merasa terhibur mendengar nasib yang lain, seolah-olah dalam penderitaan dan
kekecewaan mereka, ada teman yang senasib, ada kawan dan ini merupakan hiburan
besar.
Mereka saling menghibur dan
melihat betapa masa depan mereka cerah, karena mereka saling merasa kasihan dan
timbul suatu niat ingin saling mengisi kekosongan hati masing-masing. Yang
seorang duda, seorang lagi janda, keduanya tidak mempunyai anak. Apa lagi yang
menghalang?
Dua orang pengawal datang
mengetuk pintu dan menyampaikan perintah kaisar yang memanggil mereka berdua,
juga memanggil Pek-liong dan Liong-li. Mereka segera menghadap, melaporkan
tentang kepergian dua orang pendekar itu dan betapa mereka itu meninggalkan
pesan bahwa mereka tidak mengharapkan imbalan jasa.
Kaisar merasa kagum sekali dan
melimpahkan semua anugerahnya kepada Cian Hui dan Sui In. Duda dan janda ini
meninggalkan istana dengan hadiah mereka, dengan hati yang gembira dan penuh
harapan yang gemilang.
Mereka tidak tahu bahwa
hancurnya gerombolan Si Bayangan Iblis itu mendatangkan keuntungan yang besar
sekali kepada satu orang, yaitu Permaisuri Bu Cek Thian! Peristiwa itu membuat
para pangeran menjadi jera dan tidak ada lagi yang berani memperebutkan
pengaruh di istana. Dengan demikian maka kekuataan Bu Cek Thian menjadi semakin
besar.
Sementara itu, jauh di luar
kota raja, Pek-liong dan Liong-li menunggang kuda berdampingan. Mereka
menjalankan kuda dengan perlahan dan sejak mereka bertemu di pintu gerbang
istana, Liong-li melihat betapa wajah Pek-liong agak muram, tidak berseri
seperti biasanya. Akan tetapi mereka tidak banyak bicara dan mereka keluar
istana, membeli dua ekor kuda dan melanjutkan perjalanan naik kuda keluar dari
kota raja.
“Bagaimana dengan Cu Sui In?”
tiba-tiba Liong-li bertanya, untuk memancing omongan.
Tanpa menoleh Pek-liong balas
bertanya, “Ada apa dengannya?”
“Apakah ia merupakan seorang
kekasih yang menyenangkan?”
Pek-liong menoleh dan pandang
mata mereka bertemu sejenak, lalu Pek-liong menunduk kembali. “Ia seorang
wanita yang hebat, wanita yang terhormat, aku kagum padanya.”
Wajah Liong-li herseri dan
mulutnya membayangkan senyum ditahan, ia sudah mengenal isi hati rekannya itu
seperti mengenal telapak tangannya sendiri. Pek-liong menyebut Sui In wanita
terhormat, dan wajahnya muram, dan ia teringat akan pengalamannya sendiri
dengan Cian Hui.
“Ahh? Ia...... ia menolak
cintamu?”
“Tidak, ia hanya seorang
wanita terhormat. Ia ingin menjadi isteriku, terpaksa menolak dan kami berpisah
sebagai sahabat, bukan sebagai kekasih. Engkau tentu lebih berhasil.”
Liong-li tertawa sampai
terkekeh-kekeh dan mula-mula Pek-liong memandang heran dengan alis berkerut,
akan tetapi tidak lama kemudian diapun tertawa bergelak karena dari sikap
wanita itu diapun dapat menjenguk isi hatinya dan dapat menduga apa yang telah
terjadi,
“Ha-ha-ha, diapun menolak
karena ingin melamarmu menjadi isterinya?”
Liong-li mengangguk. “Nasib
kita sama. Baru sekali ini aku ditolak seorang pria.”
“Akupun demikian. Akan tetapi
sungguh mengagumkan. Dia pria dan dia sungguh cinta padamu. Akan tetapi dia
mampu menolakmu. Hebat!”
Liong-li menggeleng kepalanya,
“Tidak ada yang hebat. Dia pria yang terikat oleh hukum dan peraturan, tidak
bebas seperti kita. Hanya ada sedikit ucapannya yang sampai sekarang menjadi
pemikiran.”
“Ucapan apakah itu?”
“Dia bilang bahwa kita saling
mencinta......”
“Memang kita saling mencinta!”
kata Pek-liong cepat dan tegas tanpa keraguan.
“Tapi dia bilang semestinya
kita menikah!”
“Menikah?” Pek-liong menunduk
dan mengerutkan alisnya seperti orang yang sedang berpikir keras. Akan tetapi
dia melarikan kudanya sehingga Liong-li terpaksa juga harus melarikan kudanya.
Mereka berdiam diri, hanya melarikan kuda.
Dalam keadaan seperti itu,
keduanya tidak dapat mengetahui apa isi hati masing-masing. Tidak tahu akan
persamaan perasaan yang membuat mereka masing-masing menjadi bingung dan
melamun.
Setiap kali berada dalam
pelukan seorang pria, Liong-li selalu menganggap pria itu Pek-liong, atau
setidaknya, ada sedikit bagian dari Pek-liong berada pada pria itu! Sebaliknya,
setiap kali merangkul seorang wanita, Pek-liong juga selalu teringat kepada
Liong-li dan merasa bahwa seolah Liong-li yang dirangkulnya, bukan wanita lain!
Mereka membalapkan kuda dengan
lamunan masing-masing, untuk kemudian berpencar kembali ke tempat tinggal
masing-masing, namun lamunan itu masih akan berkepanjangan dan akan menimbulkan
lain kisah sepasang pendekar itu.
T A M A T