Si Bayangan Iblis Bagian 2

Baca Cersil Mandarin Online: Bagian 2
Mereka adalah dua orang kakak beradik yang suka membajak di sepanjang Sungai Kuning, maka nama julukan merekapun Huang-ho Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Kuning). Yang berperut gendut dengan wajah cerah akan tetapi sinar matanya kejam berusia empatpuluh lima tahun dan bernama Can Kai, sedangkan yang kurus pendek berwajah bengis adalah adiknya bernama Can Kui berusia empatpuluh tiga tahun.

Melihat cara tiga orang itu berlompatan dari atas punggung kuda, Sui In terkejut juga. Ia tahu bahwa tiga orang ini tidak boleh dipandang ringan, tidak seperti dua orang tukang pukul muda yang dihajarnya di rumah makan tadi, maka iapun bersikap waspada.

Ia mulai meragukan sangkaannya setelah mengetahui mereka sebagai tiga orang yang tadi ia lihat makan di restoran itu pula. Kalau mereka ini membela empat orang pemuda yang dihajarnya tadi, tentu mereka sudah bergerak tadi di sana, pikir Sui In.

Tidak, mereka mengejarnya tentu karena alasan lain. Akan tetapi ia bersikap tenang saja ketika berdiri berhadapan dengan mereka bertiga. Melihat mereka bertiga itu hanya memandang kepadanya dengan penuh perhatian, sedangkan si perut gendut menyeringai dengan sikap ceriwis. Sui In lalu menegur.

“Mau apa kalian bertiga mengejarku?”

Pek-mau-kwi Ciong Hu menggerakkan tangannya. “Nona, benarkah dugaan kami bahwa engkau seorang murid Kun-lun-pai?”

Sui In mengerutkan alisnya. “Kalau benar, mengapa?”

Akan tetapi pria berambut putih itu tidak memperdulikan Sui In melontarkan balas tanya penuh tantangan itu. “Dan engkau hendak berkunjung ke pondok Giam Sun?”

Sui In merasa tidak perlu merahasiakan kunjungannya lagi karena agaknya mereka sudah mengenal susioknya. “Memang aku akan berkunjung ke tempat pertapaan Giam Susiok. Kalian siapakah?”

Akan tetapi tiga orang itu sudah tertawa bergelak. “Hemm, engkau murid keponakan Giam Sun?” kini Can Kai si gendut tertawa. “Bagus sekali, kalau begitu engkau harus turut dengan aku!”

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi Can Kai sudah menubruk ke depan. Biarpun perutnya gendut ternyata dia dapat bergerak dengan cepat sekali.

Sui In cepat mengelak dan ketika lengan kanan si gendut itu masih berusaha meraihnya, ia menangkis sambil mengerahkan tenaga.

“Plakk!” Can Kai mengeluarkan seruan kaget karena lengannya yang tertangkis itu terpental keras, tanda bahwa gadis itu memiliki sin-kang yang cukup kuat.

“A Kai, jangan main-main. Cepat selesaikan ia, kita tidak mempunyai banyak waktu!” tiba-tiba Pek-mau-kwi Ciong Hu berseru dan mendengar ini, si gendut sudah mencabut pedangnya, lalu tanpa banyak cakap lagi diapun sudah langsung menerjang dengan ganas. Akan tetapi, melihat lawan menggunakan senjata, Sui In juga, sudah cepat menghunus pedang dan kini ia menangkis dengan gerakan kilat.

“Tranggg......!” Begitu kedua pedang bertemu dan tangkisan itu membuat pedang Can Kai terpental, pedang di tangan Sui In sudah meluncur dengan gerakan lingkaran yang amat cepat, menyambar dari samping membabat ke arah leher Can Kai!

Si gendut ini terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, lalu berjungkir balik sambil memutar pedang melindungi tubuhnya. Wajahnya berubah agak pucat karena nyaris lehernya putus! Dia menjadi marah dan sudah menerjang lagi dengan dahsyat, sama sekali tidak berani memandang rendah lagi.

Sui In juga segera memainkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang amat indah dan kuat. Pedang di tangannya itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan dari gulungan sinar itu, yang selalu menahan setiap serangan lawan, seringkali mencuat sinar yang merupakan serangan balasan yang cepat dan berbahaya bagi lawan.

Dalam waktu duapuluh jurus saja, Can Kai sudah terdesak hebat dan setiap lima kali serangan lawan dia hanya mampu membalas satu kali saja! Tentu saja dia mundur terus dan berputar-putar dan jelas bahwa kalau dilanjutkan, tak lama lagi dia pasti akan roboh menjadi makanan pedang di tangan gadis Kun-lun-pai yang lihai itu!

Melihat kakaknya terdesak, Can Kui sudah mencabut pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi diapun sudah terjun membantu kakaknya. Ilmu pedang Can Kui tidak banyak berbeda dengan kakaknya, maka kini Sui In dikeroyok dua dan kalau tadi Sui In dapat mendesak lawan, kini ia harus berhati-hati karena setelah dikeroyok, tentu saja keadaan menjadi berubah! Wanita perkasa ini memutar pedangnya melindungi diri, akan tetapi kini serangan dua orang itu lebih cepat dan lebih sering dibandingkan serangan balasan yang dapat ia lakukan.

Pek-mau-kwi Ciong Hu menjadi tidak sabar. Tak disangkanya bahwa wanita ini demikian lihainya sehingga dikeroyok oleh dua orang pembantunya pun agaknya mereka tidak akan mudah memperoleh kemenangan,

“Hemm, perempuan yang sombong, terimalah kematianmu!” bentaknya dan diapun sudah mencabut pedangnya. Begitu pedangnya dicabut, nampak sinar berkilauan, tanda bahwa pedangnya itu adalah sebuah senjata yang baik dan juga tajam sekali.

Pedang itu meluncur dan merupakan segulung sinar terang menyerang ke arah Sui In yang sudah dikeroyok oleh dua orang, Sepasang Harimau Sungai Kuning itu. Cepat dan kuat sekali serangan itu sehingga Sui In menjadi terkejut bukan main karena pada saat itu ia sedang didesak oleh dua orang pengeroyoknya. Pada saat yang amat berbahaya bagi Sui In, tiba-tiba nampak sinar putih meluncur dari samping.

“Cringggg......! Ahhhh......!!” Pek-mau-kwi Ciong Hu mengeluarkan seruan kaget dan cepat memeriksa pedangnya yang hampir saja terlepas dari pegangannya ketika tadi tertangkis oleh sinar putih itu.

Dia merasa lega bahwa pedangnya tidak rusak, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia mengangkat muka memandang kepada seorang pria muda yang berdiri di situ sambil tersenyum. Seorang pria muda berpakaian serba putih, pakaian sederhana saja dan tentu dia tidak akan menduga bahwa pemuda itu seorang ahli silat yang lihai kalau saja dia tidak melihat pedang yang bersinar putih dan yang telah membuat pedangnya terpental tadi.

“Pek-liong-eng........!” serunya dengan mata terbelalak.

Tan C'in Hay tersenyum, “Dan engkau tentu Pek-mau-kwi Ciong Hu!”

“Pek-liong-eng, selama ini di antara kita tidak pernah ada permusuhan dan jalan kita selalu bersimpang. Harap engkau tidak mencampuri urusan pribadiku!” kata Pek-mau kwi Ciong Hu, sementara itu, dua orang kakak beradik Can itu masih berkelahi mengeroyok Sui In.

“Pek-mau-kwi, memang jalan kita tidak pernah bertabrakan, akan tetapi sekali ini, secara pengecut sekali kau mengeroyok seorang wanita murid Kun-lun-pai dengan dua orang kawanmu. Hal ini tentu saja tidak dapat kubiarkan saja. Aku paling benci melihat laki-laki yang curang dan pengecut!”

“Pek-liong-eng, orang lain boleh takut kepada nama besarmu, akan tetapi aku tidak! Mampuslah!” Pek-mau-kwi Ciong Hu sudah menyerang dengan pedangnya. Serangannya memang hebat dan dia adalah seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan Si Naga Putih!

Sebelum dia menjadi rekan setia dari Hek-liong-li, dia sudah merupakan seorang pendekar yang berilmu tinggi, mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari mendiang Pek I Lojin. Apa lagi setelah dia memiliki pedang pusaka Pek-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Putih), dan bersama Hek-liong-li dia menciptakan ilmu pedang Sin-liong Kiam-sut, maka ilmu pedangnya dahsyat bukan main. Begitu dia menggerakkan pedang pusakanya, lenyaplah bentuk pedang itu dan yang nampak hanya sinar putih bergulung-gulung yang menimbulkan bunyi berdesing-desing dan angin menyambar-nyambar dahsyat, bagaikan seekor naga bermain-main di angkasa.

Pek-mau-kwi merasa terkejut bukan main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, memainkan jurus-jurus pilihan, namun tetap saja sinar pedangnya terkurung dan terhimpit oleh sinar pedang lawannya. Masih untung baginya bahwa diam-diam Pek-liong mengkhawatirkan keselamatan gadis Kun-lun-pai itu sehingga perhatian Pek-liong terpecah, sebagian untuk menjaga kalau-kalau wanita perkasa itu terancam babaya. Hal ini memberi kesempatan kepada Pek-mau-kwi untuk meloncat jauh ke belakang.

“Kita pergi......!” teriaknya kepada dua orang pembantunya.

Sebetulnya, Can Kai dan Can Kui sudah mulai menghimpit lawannya. Wanita perkasa itu hanya mampu menangkis dan melindungi tubuhnya saja dan kalau dilanjutkan, ia pasti akan roboh. Akan tetapi, mendengar seruan Pek-mau-kwi, mereka terkejut.

Tadipun mereka sudah cemas mendengar pemimpin mereka menyebut nama Pek-liong-eng. Maka, tanpa banyak pikir lagi, keduanya sudah berloncatan meninggalkan Sui In dan di lain saat, mereka bertiga sudah membalapkan kuda meninggalkan tempat itu.

Pek-liong tidak mengejar, juga Sui In tidak mencoba untuk mengejar. Mereka berdiri saling pandang sejenak, pandang mata yang mengandung kekaguman. Kemudian, Sui In yang teringat bahwa baru saja ia dibebaskan dari ancaman maut, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil berkata, “Terima kasih atas pertolongan yang diberikan sehingga aku lolos dari ancaman maut di tangan mereka.”

Pek-liong-eng Tan Cin Hay tersenyum dan membalas penghormatan itu dengan mengangkat kedua tangan depan dada, “Tidak perlu berterima kasih, nona. Sudah sepatutnya kalau kita saling membantu apa bila menghadapi ganguan orang-orang jahat.”

“Aku...... aku bukan seorang nona......” Sui In tersipu mendengar ia dipanggil “siocia” (nona). Usianya sudah duapuluh enam tahun dan ia seorang janda!

Pek-liong masih tersenyum dan kembali mengangkat kedua tangan di depan dada memberi hormat, “Ah, maafkan aku, nyonya......”

Sui In masih tersipu akan tetapi iapun tersenyum, dan menggeleng kepalanya. “Akupun bukan seorang nyonya......”

“Ehhh......?” Kini Pek-liong terbelalak bingung. Bukan nona dan bukan nyonya, apakah ia banci......?

“Aku seorang janda,” Sui In cepat menjelaskan.

“Ah, begitu......?”

Keduanya terdiam. Agaknya pengakuan dirinya sebagai seorang janda itu membuat suasana menjadi canggung. Akan tetapi akhirnya Sui In dapat menguasai hatinya. Ia tahu bahwa pria di depannya itu menjadi rikuh maka tidak berani sembarangan bicara dan harus ia yang lebih dahulu bicara.

Ia mengangkat muka. Kebetulan Pek-liong juga sedang memandang kepadanya sehingga dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar lalu Sui In yang membuang pandang mata ke samping sambil memerah muka di luar kesadarannya.

“Jadi...... engkau ini yang dijuluki Pek-liong-eng itu? Namamu sudah terkenal sampai ke kota raja.”

“Ah, hanya nama kosong saja, tidak pantas untuk disohorkan,” kata Pek-liong merendah.

“Bukan nama kosong. Baru saja aku menyaksikan sendiri betapa hebatnya ilmu pedangmu, tai-hiap (pendekar besar). Aku sudah mendengar pula nama Pek-mau-kwi yang kabarnya amat lihai dan ilmu pedangnya amat berbahaya, namun dalam beberapa gebrakan saja, melawanmu, dia telah melarikan diri. Sungguh engkau memiliki kesaktian hebat, tai-hiap.”

“Wah, engkau membikin aku dua kali malu dan bingung. Engkau tidak mau disebut nona, juga tidak mau disebut nyonya, akan tetapi sebaliknya engkau menyebut aku tai-hiap! Ini tidak adil namanya. Karena malu dan canggung, aku rasanya ingin lari saja. Kalau kita ingin melanjutkan perkenalan ini sebaiknya engkau menyebut aku toako saja. Usiaku sudah duapuluh tujuh tahun, tentu jauh lebih tua darimu, maka sudah sepatutnya kalau engkau menyebut toako (kakak) kepadaku.”

Sui In tersenyum. Hatinya girang bukan main. Dahulu ia sudah mengagumi nama besar Pek-liong-eng. Tadi ketika bertemu di restoran, iapun diam-diam kagum melihat pria ini karena tampan dan jantan, kemudian ia semakin kagum melihat ilmu kepandaian dan sepak terjangnya.

Dan kini, bukan saja ia berhadapan dan berkenalan dengan pendekar itu, bahkan ia diperbolehkan menyebut toako! Ia semakin kagum. Pria ini selain tampan dan gagah, jantan, berkepandaian tinggi, juga ternyata sopan dan amat ramah dan jujur!

“Baiklah, toako, akan tetapi engkaupun jangan menyebut aku nona atau nyonya, melainkan siauw-moi (adik perernpuan). Usiaku sudah duapuluh enam tahun, setahun lebih muda darimu.”

“Ah, tidak mungkin!”

“Apanya, yang tidak mungkin, toako?”

“Mana mungkin usiamu sudah duapuluh enam tahun? Engkau kelihatan tidak lebih dari duapuluh tahun!” kata Pek-liong dengan sikap sungguh-sungguh sehingga wanita itu tersenyum bangga, maklum bahwa pendekar itu tidak sekedar merayu.

“Sungguh, toako. Eh, kita ini sudah saling menyebut toako dan siauw-moi, akan tetapi belum mengetahui nama masing-masing! Aku hanya pernah mendengar julukanmu, belum mengetahui namamu. Aku bernama Cu Sui In, toako.”

“Cu Sui In nama yang bagus. Namaku sendiri Tan Cin Hay, In-moi (adik In). Nah, kita telah berkenalan dan menjadi sahabat. Maukah engkau menceritakan kepadaku mengapa tiga orang itu tadi berusaha mati-matian untuk membunuhmu?”

Sui In menggeleng kepala. “Aku sendiri pun tidak tahu mengapa mereka memusuhi aku, toako. Mereka tadi mengejarku, setelah tiba di sini mereka hanya bertanya apakah aku murid Kun-lun-pai. Setelah aku membenarkan, mereka segera menyerangku dan berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhku. Merekapun agaknya mengenal susiokku Giam Sun yang bertapa di puncak bukit ini.”

“Susiokmu? Seorang tokoh Kun-lun-pai bertapa di bukit ini? Heran sekali, mengapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu? Pada hal, aku tinggal tidak jauh sekali dari sini.”

“Giam Susiok (Paman Guru Giam) memang bertapa mengasingkan diri dari dunia ramai, maka dia seperti orang bersembunyi dan tidak ada yang tahu. Aneh sekali bagaimana tiga orang itu mengetahuinya dan..... ah, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan susiok....!” Wajah manis itu nampak khawatir sekali. “Aku harus cepat melihat keadaannya!”

Setelah berkata demikian, Sui In yang mengkhawatirkan paman gurunya segera berlari mendaki bukit. Pek-liong juga tertarik sekali mendengar bahwa paman guru gadis itu bertapa di situ, maka diapun mengikuti di belakang gadis itu tanpa bicara lagi.

Pondok itu sederhana saja, tersembunyi di bawah pohon cemara dan semak belukar tumbuh di sekelilingnya sehingga pondok itu tidak nampak dari bawah puncak.

“Giam susiok.......!” Sui In memanggil beberapa kali di luar pondok.

Tidak ada jawaban. Sunyi sekeliling dan perasaan hati wanita itu semakin gelisah. Ia saling pandang dengan Pek-liong dan pendekar ini memberi isyarat dengan pandang matanya ke arah pintu pondok, Sui In mengangguk dan mereka lalu menghampiri pintu pondok, mendorongnya terbuka.

“Susiok......!” Sui In terkejut bukan main melihat paman gurunya sudah rebah miring di atas lantai tanah pondok itu. Ia meloncat masuk diikuti Pek-liong dan keduanya berlutut dekat tubuh yang menggeletak miring.

“Dia sudah tewas,” kata Pek-liong dan Sui In mengangguk, wajahnya pucat dan matanya terbelalak.

“Lihat ini......,” kata Pek-liong menunjuk ke arah lantai dan ketika Sui In memandang sambil mendekatkan mukanya, iapun melihat betapa dekat tangan yang terkulai itu, di atas lantai tanah, terdapat tulisan. Huruf-hurufnya cukup jelas dan ia membacanya.

“Pek-mau-kwi...... Kwi-eng-cu......!”

“Aih, Kwi-eng-cu......??” Gadis itu nampak terkejut sekali sehingga Pek-liong cepat bertanya.

“Siapa itu Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis)?”

Sui In memandang dengan kedua mata basah.

“Aku...... aku mencari paman justeru...... justeru..... karena urusan Kwi-eng-cu dan ternyata paman guruku telah menjadi korban Kwi-eng-cu pula!”

Gadis itu menangis, teringat akan kematian suaminya dan kini kematian susioknya (paman gurunya), pada hal tadinya ia mengharapkan bantuan paman gurunya untuk dapat membalas dendam kepada Kwi-eng-cu.

Pek-liong membiarkan wanita itu menangis sejenak, setelah Sui In dapat menguasai dirinya, dia lalu berkata, “Sudahlah, In-moi. Susiokmu sudah tewas dan ditangisi bagaimanapun juga, tidak ada gunanya. Jauh lebih baik kalau kita segera mengubur jenazahnya.”

Sui In mengangguk dan Pek-liong lalu mencari sebuah cangkul di bagian belakang pondok itu, memilih tempat yang baik dan diapun segera bekerja, menggali lubang kuburan. Dan tak lama kemudian, jenazah Giam Sun, kakek berusia enampuluh tahun tokoh Kun-lun-pai itu telah dikubur secara sederhana. Kemudian disembayangi secara sederhana pula, tanpa alat sembahyang, hanya dengan berlutut di depan makam dan berdoa di dalam hati, namun dua orang muda itu bersembahyang dengan khidmat.

Setelah penguburan selesai, barulah Pek-liong berkata, “Nah, sekarang coba kauceritakan kepadaku siapa itu Kwi-eng-cu dan apa hubungannya dengan kedatanganmu ke sini dan dengan semua peristiwa ini, In-moi!”

Sui In menarik napas panjang, terkenang akan semua peristiwa buruk yang menimpa dirinya.

“Aku tinggal di ibu kota, toako. Selama beberapa bulan ini, di kota raja timbul peristiwa yang menggegerkan, yaitu dengan terjadinya pembunuhan-pembunuhan gelap terhadap beberapa orang pejabat penting. Tidak ada yang mengetahui siapa pembunuh itu, hanya ada yang melihat bayangan yang bertanduk, seperti iblis. Karena itu maka pembunuh itu hanya dinamakan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) tanpa ada yang menduga siapa dia dan di mana sarangnya. Di antara banyak pejabat yang terbunuh itu, termasuk juga suamiku          ......”

“Ah......! Suamimu seorang pejabat dan dia pun tewas oleh Kwi-eng-cu?”

Tentu saja Pek-liong terkejut dan kini dia memandang wajah wanita itu dengan perasaan iba. Sui In melihat pandang mata penuh iba itu, maka iapun berterima kasih dengan senyum kecil!

“Aku sudah dapat mengatasi peristiwa itu, toako. Bukan hanya suamiku yang dibunuh, akan tetapi banyak pejabat, bahkan ada pangeran yang dibunuh, pembantu menteri bahkan menteri! Kota raja menjadi geger, dan aku sendiri setelah itu menjaga keselamatan pamanku, yaitu Pembantu Menteri Pajak, karena setiap orang pejabat tinggi, apa lagi yang dekat dengan kaisar, merasa terancam dan tidak aman.

“Karena aku ingin sekali menangkap penjahat tukang bunuh itu, maka setelah paman mendatangkan rombongan pengawal yang cukup tangguh, aku lalu pergi ke sini untuk menghadap paman guru Giam Sun, untuk minta bantuannya bersamaku menangkap dan menghukum Kwi-eng-cu di kota raja.

“Selanjutnya, engkau tahu apa yang terjadi di sini, toako. Ahh, sungguh malang sekali nasibku. Bagaimana pula susiok yang akan kumintai bantuan, tahu-tahu telah dibunuh orang? Dan apa artinya tulisan yang agaknya sengaja dia tinggalkan di tanah itu?”

Pek-liong tertarik sekali dan diapun mengerutkan alis, mengerjakan otaknya yang sehat, yang membuat dia cerdik sekali dan waspada. Baru sekarang dia mendengar tentang pembunuhan-pembunuhan aneh di kota raja itu dan biarpun dia tidak suka mencampuri urusan pemerintah, namun peristiwa itu sungguh menarik hatinya. Terjadi kejahatan yang luar biasa beraninya di kota raja.

“In-moi, kalau boleh aku bertanya, bagaimana keadaan dan pendirian mendiang suamimu terhadap Sribaginda Kaisar?“

Ditanya tentang suaminya itu, Sui In terkejut sekali, karena hal ini tidak pernah disangkanya. Ia memandang dengan mata terbelalak.

“Apa...... apa maksudmu, toako?”

“Begini, In-moi. Aku ingin mengetahui bagaimana sikap para pejabat tinggi yang terbunuh itu. Karena engkau tentu tidak mengetahui keadaan mereka, maka aku bertanya tentang suamimu. Diapun ikut pula terbunuh, berarti dia memiliki persamaan atau kepentingan yang sama dengan para pejabat lain yang terbunuh. Nah, aku ingin tahu apakah suamimu itu seorang pejabat yang...... maafkan pertanyaanku kalau kasar, apakah dia seorang pejabat yang korup?”

Secara kontan Sui In menggeleng kepala keras-keras.

“Sama sekali tidak! Baik pamanku, Ciok Tai-jin Pembantu Menteri Pajak, dan juga mendiang suamiku, mereka adalah pejabat-pejabat yang jujur dan setia, disiplin dan tidak sudi melakukan penyelewengan demi keuntungan diri pribadi!”

Pek-liong mengangguk-angguk. “Dan bagaimana sikapnya terhadap Sribaginda Kaisar? Setia sepenuhnyakah? Ataukah ada sesuatu yang membuat suamimu merasa tidak suka akan kebijaksanaan Kaisar? Secara terang-terangan atau secara sembunyi menentang Kaisar?”

Sui In menggelengkan kepalanya dan kini ia mengerti ke arah mana tujuan pertanyaan Pek-liong, maka iapun menerangkan.

“Akupun pernah melakukan penyelidikan tentang pembunuhan-pembunuhan itu, toako, dan akupun sudah menyelidiki tentang sikap mereka yang terbunuh. Suamiku sendiri adalah seorang yang setia dan taat kepada kaisar. Akan tetapi, yang membingungkan adalah bahwa di antara mereka yang terbunuh terdapat pula mereka yang memperlihatkan sikap tidak cocok dengan kebijaksanaan Kaisar. Jadi, pembunuhan ini jelas bukan berdasarkan pro atau anti kaisar.”

Pek-liong memandang wanita itu dengan kagum. Seorang wanita yang cerdik pula, pikirnya.

“Apakah di kota raja sudah ada usaha untuk menyelidiki pembunuhan-pembunuhan itu? Bagaimana dengan Kaisar sendiri?”

“Kaisar sudah memerintahkan semua petugas keamanan untuk melakukan penyelidikan. Namun tanpa hasil. Akan tetapi, sungguh aku tidak mengerti apa hubungan semua pembunuhan di kota raja itu dengan pembunuhan terhadap susiok?”

“Tentu ada kaitannya, In-moi. Setidaknya, mereka itu jelas memusuhi Kun-lun-pai. Buktinya, setelah mereka tahu bahwa engkau murid Kun-lun-pai engkaupun akan mereka bunuh. Tulisan itu menyebutkan dua nama.

“Nama Pek-mau-kwi sudah jelas. Dia adalah orang berambut putih yang memimpin pengeroyokan terhadap dirimu. Ini berarti bahwa ketika paman gurumu terbunuh, dia mengenal Pek-mau-kwi sebagai seorang di antara pembunuhnya. Melihat tingkat kepandaiannya, kiranya kalau hanya seorang diri saja Pek-mau-kwi tidak akan mungkin dapat membunuh susiokmu yang tentu lihai sekali.”

“Dalam hal kelihaian ilmu silat, susiok hanya lebih menang sedikit dibandingkan aku, akan tetapi dia berpengalaman dan cerdik, maka aku ingin minta bantuannya untuk menangkap pembunuh di kota raja.”

“Lebih lihai dan engkau berarti tidak kalah malawan Pek-mau-kwi. Mungkin dia dikeroyok oleh Pak-mau-kwi bersama dua orang pembantunya itu. Akan tetapi, diapun menulis nama Kwi-eng-cu! Apakah pembunuh misterius di kota raja itu datang pula ke sini, bersama Pek-mau-kwi membunuhnya?”

“Mungkin juga begitu! Sayang aku datang terlambat!” kata Sui In penuh penyesalan.

Pek-liong menggeleng kepala. Otaknya sudah bekerja karena dia tertarik sekali oleh semua peristiwa yang terjadi, baik di bukit itu maupun di kota raja seperti yang dia dengar dari Sui In.

“Engkau terlambat satu hari, In-moi. Pamanmu itu sudah tewas sedikitnya lima jam yang lalu, akan tetapi melihat luka pedang di tengkuknya, tentu dia sudah diserang orang pada hari kemarin. Dia tentu disangka mati dan ditinggalkan para pembunuhnya, maka dia masih mampu menuliskan nama-nama itu. Dan melihat betapa kita bertemu dengan Pek-mau-kwi pada hari ini, bersama dua orang pembantunya yang lihai pula itu, maka kurasa yang membunuh pamanmu adalah tiga orang tadi. Kalau dikeroyok tiga, sukar baginya untuk menang.”

“Akan tetapi, mengapa paman guruku menuliskan nama Kwi-eng-cu pula?”

“Itulah yang menjadi rahasianya. Apapun rahasianya itu, jelas bahwa antara Kwi-eng-cu dan Pek-mau-kwi ada hubungan! Jadi, kalau kita hendak menyelidiki tentang Kwi-eng-cu, kita dapat menyelidikinya melalui Pek-mau-kwi!”

“Kita......?” Sui In mengangkat muka, memandang dengan sinar mata penuh harap.

Pek-liong mengangguk. “Ya, aku akan pergi denganmu, In-moi. Perkara ini amat menarik hatiku. Secara kebetulan saja kita saling melihat di rumah makan itu. Kalau saja tiga orang itu tidak menimbulkan kecurigaanku dengan sikap mereka, tentu aku tidak akan membayangi mereka dan kita mungkin tidak akan saling bertemu kembali.”

Bukan main girangnya rasa hati Sui In. Ia mencari susioknya untuk membantunya menyelidiki pembunuh suaminya. Susioknya tewas terbunuh orang dan sebagai gantinya, ia mendapat bantuan dari orang yang lebih hebat dan lebih dapat dipercaya dari pada susioknya, yaitu Pek-liong-eng Tan Cin Hay!

“Terima kasih, toako! Kalau engkau yang melakukan penyelidikan, aku yakin rahasia pembunuh itu akan terbongkar dan kita akan dapat menangkapnya! Biarpun aku berduka karena kematian susiok, sebaliknya aku gembira sekali telah mendapatkan engkau sebagai penggantinya untuk membantu aku membalas dendam kematian suamiku!”

“Maaf, In-moi. Kalau aku ingin menyelidiki Kwi-eng-cu, hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan balas dendam kematian suamimu, juga bukan sebagai seorang pendekar yang menentang kejahatan lalu membela para pejabat. Aku bukan pendekar, aku seorang manusia biasa yang bebas menentukan jalan hidupku sendiri. Kalau aku sekarang ikut denganmu ke kota raja, hal itu adalah karena aku tertarik oleh semua ceritamu tadi, In-moi.”

“Apapun alasanmu, aku girang bahwa engkau suka pergi bersamaku ke kota raja, toako. Mari kita berangkat!” ajak wanita itu dengan wajah berseri.

“Kita singgah dulu di rumahku, In-moi. Tidak jauh dari sini. Aku harus membuat persiapan dan memberitahu orang di rumah.”

“Aih, maafkan. Aku lupa. Tentu saja engkau harus berpamit kepada keluargamu!” kata Sui In dan teringat akan hal ini, seri di wajahnya menghilang.

Pek-liong-eng Tan Cin Hay tertawa. “Ha-ha-ha, aku hidup seorang diri di dunia ini, In-moi, sebatang kara, tanpa keluarga. Hanya dengan para pembantu rumah tangga. Kalau aku pergi, aku harus memberitahu mereka agar mereka tidak gelisah. Pula, aku harus membawa bekal dan persiapan.”

“Tapi, toako. Seorang pria seperti engkau ini, usiamu sudah cukup dewasa, engkau pandai, engkau gagah perkasa dan wajahmu menarik, bagaimana mungkin sampai kini masih hidup membujang? Maafkan, bukan maksudku mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi seorang pria seperti engkau sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang isteri yang cantik jelita dan bijaksana, dan mempunyai beberapa orang anak yang mungil dan sehat.”

Ada bayangan gelap menyelimuti wajah Pek-liong, namun hanya sebentar saja, seperti bayangan awan yang lewat. Wajahnya sudah berseri kembali, matanya bercahaya dan mulutnya ramai oleh senyum.

“Isteriku telah meninggal dunia sembilan tahun yang lalu tanpa anak dan sejak itu, aku belum pernah menikah lagi.”

“Ah, engkau... seorang...... duda? Siapa sangka!”

Wajah Sui In berubah merah sekali karena ucapan itu tadi keluar begitu saja di luar kesadarannya dan baru sekarang ia merasa betapa ucapan itu amat tidak pantas keluar dari mulutnya. Untuk menutupi perasaan rikuh dan salah tingkah, ia cepat menyambung, “Isterimu tentu meninggal dunia karena sakit.”

Pek-liong menggeleng kepala. “Seperti juga suamimu, isteriku tewas dibunuh orang! Sudahlah, perlu apa kita bicara tentang hal lalu. Mari engkau singgah dulu di rumahku. Tidak begitu jauh dari sini.”

Menjelang sore, tibalah mereka di dusun Pat-kwa-bun. Begitu memasuki pekarangan rumah Pek-liong, Sui In merasa, kagum bukan main.

Tempat itu amat bersih dan terpelihara rapi. Dari pagar temboknya yang tidak begitu tinggi dan dicat merah, sampai pekarangan yang juga merupakan taman terpelihara indah, dengan air mancur di depan di tengah kolam ikan emas, dan ada sebuah arca naga putih di belakang kolam. Beberapa batang pohon membuat tempat itu sejuk dan nyaman, dan hamparan rumput juga terpelihara sehingga merupakan permadani hijau yang menyegarkan mata.

Rumah itu sendiri dari luar nampak kokoh. Tidak begitu besar namun indah walaupun tidak nampak mewah dari luar. Dindingnya putih bahkan jendela dari pintunya juga putih, dengan garis-garis tipis merah muda dan kuning. Gentengnya kemerahan.

“Selamat datang, Tai-hiap, Selamat datang, nona!” Dua orang pria yang berpakaian pelayan namun bersih dan dengan sikap yang gagah, dengan tubuh tegak dan tegap, menyambut mereka dengan salam hormat.

“Nona ini adalah Cu Li-hiap, menjadi tamu kehormatanku malam ini. Suruh A- liok menyiapkan hidangan yang lezat untuk tamu kita!” kata Pek-liong kepada mereka.

“Maafkan kami, Li-hiap,” kata seorang di antara mereka sambil memberi hormat kepada Sui In yang tentu saja merasa rikuh menerima penghormatan sebagai seorang pendekar wanita. Akan tetapi ia hanya mengangguk dan Pek-liong mempersilakan ia ikut memasuki rumahnya.

Setelah masuk ke dalam rumah itu, Sui In menjadi semakin kagum. Kiranya isi rumah itu berbeda sekali dengan keadaan luarnya. Semua perabot rumah di situ nampak megah dan mewah, juga terpelihara rapi. Sampai lantainya saja mengkilap seperti cermin!

Lukisan-lukisan indah, juga tulisan-tulisan indah menghias dinding. Pot-pot bunga terukir naga dan burung Hong, berdiri di sudut-sudut terisi tanaman yang segar. Sutera-sutera beraneka warna menutupi lubang-lubang dan bergantungan seperti pelangi. Ruangan-ruangan yang dilaluinya ditata secara nyeni sekali, tidak kalah indahnya dibandingkan istana raja sekalipun!

Yang membuat Sui In semakin kagum adalah ketika mereka memasuki setiap ruangan Pek-liong selalu memeriksa apakah tombol rahasia menunjukkan bahwa ruangan itu bebas perangkap, jelas bahwa rumah yang indah itu penuh jebakan dan perangkap. Karena ingin tahu ia tanyakan hal ini kepada tuan rumah.

Pek-liong mengangguk, tersenyum. “Hidup seperti aku ini selalu diancam bahaya, banyak orang yang pernah kujatuhkan menaruh dendam dan setiap waktu mereka dapat datang menyerbu ke rumahku. Karena aku tidak suka menggunakan pasukan pengawal, maka aku harus mampu menjaga segala kemungkinan terhadap gangguan dari luar yang datang selagi aku tidur.”

“Ah, menarik sekali, Toako, aku tidak ingin mengetahui alat-alat rahasia di rumahmu ini yang tentu saja harus dirahasiakan, akan tetapi kalau boleh aku ingin melihat bekerjanya satu saja perangkap yang dipasang di ruangan depan itu.” Ia menuding ke depan, ke sebuah ruangan yang dihias sutera-sutera merah muda.

Pek-liong tersenyum, mengangguk dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.

“Engkau boleh buktikan sendiri, In-moi. Coba kau masuki ruangan itu dengan sikap hati-hati. Engkau seorang penyerbu yang sudah menduga bahwa kamar itu dipasangi jebakan, sehingga engkau boleh berhati-hati sekali, akan tetapi engkau harus memasuki ruangan itu, katakanlah untuk mengambil atau melakukan sesuatu.”

Sui In mengerutkan alisnya. “Akan tetapi...... aku tidak mau terancam bahaya maut, toako!”

Pek-liong menggeleng kepala. “Aku belum gila, In-moi. Masa aku akan mencelakaimu? Jangan khawatir, perangkap yang kupasang di rumah ini bukan untuk membunuh, melainkan untuk membuat orang yang berniat buruk tidak berdaya dan tertawan tanpa melukai atau menyakitinya. Engkau boleh mencabut pedangmu untuk berjaga-jaga, seperti seorang musuh tulen!”

Sui In menjadi tertarik sekali dan iapun mengangguk, mencabut pedangnya dan dengan hati-hati menghampiri kamar itu. Bahkan ia, merasa gembira karena ia seperti berada dalam suatu permainan yang menarik untuk menguji diri sendiri dan menguji keampuhan alat yang dipasang oleh Pendekar Naga Putih di dalam rumahnya.

Dengan penuh kewaspadaan, Sui In menghampiri ruangan itu. Sebuah ruangan duduk yang indah, dengan pintunya terbuka dan lantainya mengkilap, meja kursinya terukir indah ditilami bantalan. Jendela-jendela yang berada di tiga penjuru tertutup, tentu dibuka kalau ada tamu sehingga ruangan yang menembus di sebelah kiri pada sebuah taman itu tentu akan sejuk dan nyaman sekali. Dindingnya yang bersih dihiasi lukisan dan tulisan indah berbentuk syair-syair berpasangan.

Dengan pandang matanya yang tajam Sui In mengamati seluruh bagian ruangan itu, mencari-cari tanda adanya pesawat rahasia. Namun semua nampak bersih dan wajar, tidak ada yang mencurigakan. Apakah lantainya yang mampu bergerak dan terdapat lubang sehingga ia akan terperosok ke bawah kalau menginjaknya. Ataukah dari jendela-jendela itu akan keluar senjata rahasia atau asap pembius yang akan membuatnya pingsan? Apakah daun pintu akan menutup sendiri begitu ia memasuki ruangan?

Berbagai kemungkinan ini ia perhitungkan ketika akhirnya berindap-indap ia melangkah memasuki ruangan itu dengan pedang di tangan. Selangkah demi selangkah ia memasuki ruangan itu, setiap bagian tubuhnya menegang penuh kesiap siagaan.

Pada langkah kelima, tiba-tiba terdengar suara berderit di belakangnya. Ia cepat menoleh dan daun pintu yang tadi terbuka lebar itu kini tertutup! Ia melangkah maju lagi dan setelah tiba di tengah ruangan, tiba-tiba saja dari empat sudut ruangan itu menyambar anak-anak panah yang ujungnya berbentuk bola, juga dari atas turun anak panah bagaikan hujan.

Sui In cepat menggerakkan pedangnya, diputar melindungi tubuhnya dan semua anak panah runtuh. Setelah runtuh baru nampak olehnya bahwa anakpanah-anakpanah itu tumpul dan tidak akan melukai orang yang menjadi sasaran.

Tiba-tiba saja dari lantai yang mengkilap itu bermunculan tongkat-tongkat panjang yang menyambar-nyambar ke arah kakinya. Sui In meloncat ke atas, dan pada saat itu, kain-kain sutera merah muda yang bergantungan di langit-langit itu bergerak, menyambar-nyambar sehingga mengaburkan pandangan matanya dan tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya sudah terlibat-libat oleh kain sutera yang panjang dan banyak sekali, seperti tidak ada habisnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di udara dalam libatan banyak kain sutera, seperti seekor lalat tertangkap di sarang laba-laba.

Akan tetapi, Sui In bukanlah wanita lemah. Ketika tadi kain sutera yang tadinya bergantungan sebagai hiasan itu tiba-tiba hidup dan menyambar-nyambar ke arahnya, tubuhnya terlibat-libat, ia sudah cepat membebaskan tangan kanan yang memegang pedang.

Kini, biarpun tubuhnya sudah terlibat-libat kain, lengan kanan dan pedangnya masih bebas. Ia menggerakkan pedangnya dan putuslah semua libatan kain sutera dari tubuhnya.

Ia terlepas dan jatuh ke bawah. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hebat, ia sudah berjungkir balik tiga kali dan turun ke atas lantai dengan selamat dan dalam keadaan berdiri. Akan tetapi, putusnya kain-kain sutera itu menimbulkan bunyi kelenengan nyaring bertubi-tubi dan terdengar dari seluruh penjuru rumah itu.

Daun-daun jendela tiba-tiba terbuka dan enam orang pelayan pria pembantu rumah tangga itu sudah berdiri di luar jendela dengan pedang di tangan! Daun pintu yang tadi tertutup sendiripun terbuka dan Pek-liong sudah berdiri di ambang pintu dengan tersenyum! Sui In mendapatkan dirinya sudah terkepung di dalam ruangan itu!

Pek-liong bertepuk tangan memuji. “Hebat, engkau hebat sekali, nona. Engkau sudah dapat menghindarkan anak panah, toya dan bahkan jala kain sutera!”

Sui In menyarungkan pedangnya dan menarik napas panjang. “Aihhh, sungguh ruangan ini berbahaya sekali! Biarpun sudah dapat membebaskan diri dari semua itu, akhirnya aku terkepung di ruangan ini! Ruangan yang satu ini saja sudah begini hebat, apa lagi yang lainnya! Toako, aku mengaku kalah dan menyatakan kagum sekali. Maafkan kalau aku merusak kain-kain sutera merah muda itu.”

“Ah, tidak mengapa, In-moi.” Lalu kepada para pembantunya dia berkata, “Ganti kain¬kain sutera itu dengan yang baru dengan warna biru laut!”

Kemudian dia mengajak Sui In keluar dari ruangan itu dan mempersilakan janda muda itu ke sebuah kamar. Dia sendiri berhenti di luar pintu kamar.

“In-moi, inilah kamar tamu untukmu bermalam semalam ini. Besok pagi baru kita akan melakukan perjalanan ke kota raja. Malam ini aku akan membuat persiapan untuk perjalanan besok pagi. Makan malam nanti setelah siap dan engkau akan diberitahu oleh pembantu. Nah, beristirahatlah, In-moi.”

Setelah berkata demikian, Pek-liong meninggalkan wanita itu. Sampai beberapa lamanya Sui In berdiri di pintu kamar itu, mengikuti bayangan Pek-liong sampai lenyap di tikungan. Seorang pria yang bukan main, pikirnya. Gagah perkasa, berkepandaian tinggi, tampan dan ganteng, duda dan bebas, ditambah lagi kaya-raya dan juga amat sopan. Masuk ke kamar itupun dia tidak mau!

Hatinya semakin tertarik dan dengan muka merah ia mendapatkan kenyataan betapa ia telah jatuh cinta kepada pria muda yang ganteng itu! Betapa ia mengharapkan terjadi suatu mujijat, suatu anugerah dari Tuhan. Ia seorang janda, dan Pek-liong-eng Tan Cin Hay seorang duda. Sudah tepat, bukan? Dan jantungnya berdebar-debar ketika ia memasuki kamar itu. Begitu masuk, hidungnya bertemu keharuman semerbak.

Sebuah kamar yang mewah sekali. Ada dupa harum masih mengepul di atas meja, tanda bahwa dupa itu baru saja dibakar oleh pelayan. Kamar itu tidak berapa besar, namun lengkap dan enak sekali. Udaranya nyaman, masuk dari jendela yang menembus taman, dan dari lubang-lubang hawa di atas jendela. Sebuah kamar kecil menyambung kamar itu. Betapa mewahnya!

Ketika ia menjenguk ke dalam kamar mandi, tersedia sudah air jernih yang cukup banyak. Setelah menutup pintu kamar, Sui In lalu menyiram tubuhnya dengan air, mandi sekenyangnya sehingga tubuhnya terasa segar kembali, kulit tubuhnya dari muka sampai kaki tangan, menjadi kemerahan karena digosoknya dengan keras sehingga bersih dari debu.

Ia telah mengenakan pakaian bersih ketika pinta kamar diketuk dari luar, dan seorang pelayan dengan sikap hormat memberitahu bahwa makan malam telah siap, dan tamu yang dihormati itu dipersilakan datang ke ruangan makan di mana “tai-hiap” telah menanti.

Ketika Sui In memasuki ruangan makan, Pek-liong bangkit berdiri dan dia memandang kepada wanita itu dengan sinar mata kagum. Harus diakuinya bahwa janda muda ini memang cantik manis dan segar bagaikan setangkai bunga mawar di pagi hari, tersiram embun pagi dan bersinar cahaya keemasan matahari. Dengan ramah dia lalu mempersilakan tamunya duduk berhadapan dengannya, menghadapi sebuah meja.

Melihat pandang mata kagum itu, Sui In merasa betapa jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya. Untuk menenangkan hatinya, iapun segera bertanya setelah duduk.

“Sudahkah engkau membuat persiapan, toako? Dan kapan kita berangkat?”

Pek-liong mengangguk. “Sudah beres semua, In-moi. Besok pagi-pagi setelah terdengar bunyi ayam berkeruyuk, kita berangkat.”

Sementara itu, dua orang pelayan datang membawa hidangan yang masih mengepul panas. Sui In mencium bau masakan yang lezat dan perutnya memberontak karena memang ia telah merasa lapar. Tidak kurang dari sepuluh macam masakan dihidangkan, kesemuanya terdiri dari masakan yang mewah dan mahal.

Mereka berdua lalu makan minum dengan gembira, sambil bercakap-cakap. Sui In sama sekali tidak merasa canggung biarpun pengalaman seperti ini merupakan pengalaman pertama sejak suaminya terbunuh.

Makan malam berdua saja dengan seorang pria yang tampan dan gagah! Di dalam rumah pria itu pula! Akan tetapi, sedikitpun ia tidak merasa canggung dan kaku. Hal ini karena sikap Pek-liong yang sopan dan ramah. Memang, kadang-kadang sinar mata yang tajam mencorong itu membayangkan kekaguman, namun kekaguman yang wajar, tidak mengandung kecabulan atau kekurangajaran yang biasa ia lihat dalam pandang mata kaum pria kalau memandang kepadanya.

Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di dalam taman bunga di belakang rumah itu. Juga taman bunga ini, walaupun tidak sangat luas, diatur indah sekali.

Di tengah taman, di antara beraneka macam bunga, terdapat sebuah tempat berteduh berbentuk payung, bangunan tanpa dinding, hanya atap yang berbentuk payung dan di bawahnya terdapat enam buah bangku dan sebuah meja.

Tempat itu enak sekali. Empat lampu gantung menerangi tempat itu, dan di sana-sini, di ujung taman terdapat pula lampu gantung dengan berbagai warna. Suasana amat hening dan indah, semerbak harum bunga memenuhi taman itu.

“Aduh, bagus sekali taman ini!” kata Sui In memuji.

“Mari kita duduk di sana. Engkau belum mengantuk, bukan?” kata Pek-liong dan wanita itu tertawa.

“Aih, toako. Baru saja makan kenyang, masa mengantuk dan tidur? Pula, malam baru saja tiba, belum larut.”

Mereka lalu duduk berhadapan terhalang meja kecil. Suasana sungguh indah dan romantis sekali. Apa lagi ketika di langit muncul bulan muda yang memandikan taman itu dengan cahayanya yang lembut. Anginpun lembut sepoi-sepoi bercanda di antara bunga-bunga, membuat udara yang penuh keharuman bunga itu menjadi nyaman dan sejuk.

Suasana yang romantis seperti ini, cahaya bulan yang lembut mengandung daya yang mengairahkan, yang amat kuat mengusik hati muda, menggelitik dan membangkitkan berahi. Hal ini terasa sekali oleh Sui In ketika ia duduk dan menikmati keindahan itu, dan setiap kali pandang matanya berhenti di wajah Pek-liong, ia terpesona.

Wajah itu nampak demikian ganteng, demikian tampan sehingga hatinya luluh, rindu dendam dan gairahnya bangkit. Kalau saja pada saat itu Pek-liong maju selangkah saja, mengulurkan tangan, pasti ia tidak akan mampu menolak atau mengelak, dan akan terlena dalam pelukan pria itu dengan hati penuh kerinduan!

Akan tetapi, Pek-liong sama sekali tidak melakukan uluran tangan! Sama sekali tidak, bahkan pria mengajaknya bercakap-cakap kembali tentang semua peristiwa yang terjadi di kota raja, sehubungan dengan kemunculan Si Bayangan Iblis.

Bimbingan ke arah percakapan itu tentu saja membuyarkan keindahan khayal yang muncul dari gairah berahi tadi, apa lagi karena percakapan itu mengingatkan Sui In akan semua peristiwa dan malapetaka yang menimpa dirinya. Iapun tertarik dan setelah mereka barcakap-cakap, iapun menerangkan dan menceritakan segala hal yang diketahuinya dan yang bertalian dengan pembunuhan-pembunuhan misterius yang dilakukan oleh bayangan yang kemudian dinamakan Si Bayangan Iblis. Waktu berjalan cepat dan tahu-tahu bulan sudah naik tinggi ketika Pek-liong mempersilakan tamunya untuk tidur.

“Besok pagi-pagi kita berangkat, maka sebaiknya kalau engkau mengaso dan tidur di kamar, In-moi. Selamat malam dan selamat tidur!”

Sui In tidak menjawab dan ada perasaan kecewa dan menyesal di dalam hatinya bahwa malam itu ia harus berpisah dari Pek-liong. Muncul kembali kerinduannya akan suatu kemesraan yang sudah lama lepas darinya, lama sebelum suaminya tewas dibunuh orang.

Dan ia ingin mendapatkan kemesraan ittu dari Pek-liong! Akan tetapi, agaknya sedikitpun Pek-liong tidak menanggapi perasaannya. Berulang tali ia menarik napas panjang penuh kekecewaan dan penyesalan ketika ia melangkah perlahan menuju ke kamarnya, setelah tadi Pek-liong meninggalkannya di taman.

Baru setelah ia merebahkan diri di atas pembaringannya, ketika suasana romantis taman bunga bermandikan cahaya bulan itu tidak mempengaruhinya, ia tersenyum! Diam-diam ia berterima kasih kepada Pek-liong yang tidak mempergunakan kesempatan itu untuk merayunya dari menjatuhkannya!

Kalau sampai hal itu terjadi, tentu ia akan merasa menyesal sekali kemudian, karena ia sedang bertugas! Tugas mencari Si Bayangan Iblis dan menumpas kejahatan itu sama sekali belum terlaksana! Suaminya tewas di tangan penjahat, juga paman gurunya tewas di tangan penjahat dan penjahat itu agaknya Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis).

Sungguh tidak pantas kalau kini ia bersenang-senang mengumbar nafsu berahi. Selain tidak pantas karena baru saja kematian suaminya, juga tidak patut karena dalam melaksanakan tugas ia hanya mementingkan kesenangan sendiri, membiarkan diri menjadi budak nafsu! Kalau musuh itu telah terhukum, kalau ia sudah bebas dari tugas, hal itu akan lain lagi.

“Pek-liong, terima kasih......” bisiknya tersenyum dan janda muda inipun terlena dalam kepulasan.

Y

Gadis itu cukup manis walaupun tidak dapat dibilang terlalu cantik, Bahkan wajah yang nampak membayangkan kebodohan itu tidak akan menarik perhatian pria, walaupun harus diakui bahwa bentuk tubuhnya amat indah. Rambutnya juga nampak kasar dan gerak geriknya kaku. Juga ia kelihatan takut-takut dan gelisah.

Memasuki ruangan-ruangan yang amat indah dari istana itu, ia bagaikan seekor ikan sungai yang kecil dilempar masuk ke dalam samudera. Ia kebingungan, merasa dirinya kecil menghadapi segala kemegahan dan kemewahan itu.

Melihat kegelisahan membayang di wajah yang manis dan polos itu, pria berpakaian perwira yang berjalan di sampingnya tersenyum.

“Akim, jangan takut. Tenanglah. Asalkan engkau pandai membawa diri dan rajin bekerja juga jujur dan taat, tentu engkau akan hidup senang di istana. Sekarang, Hong- houw (Parmaisuri) ingin melihatmu sebagai seorang dayang baru, engkau harus menghadap dan memberi hormat kepada beliau seperti yang sudah kuajarkan tadi.”

Gadis itu mengangguk-angguk akan tetapi jelas nampak betapa ia gelisah dan ketakutan. Gadis yang jelas sekali kelihatan sebagai seorang gadis dusun yang disebut Akim oleh perwira itu bukan lain adalah Hek-liong-li Lie Kim Cu!

Dengan kepandaiannya menyamar yang hebat, ia sudah dapat menyulap dirinya yang merupakan seorang wanita berusia duapuluh lima yang amat cantik jelita, manis dan menarik hati, berubah menjadi seorang gadis dusun berusia kurang lebih duapuluh tahun, kasar kaku, tidak menarik walaupun cukup manis, dan wajahnya membayangkan kebodohan. Cian Ciang-kun sendiri sampai terbalalak dan tertegun ketika pertama kali melihat penyamaran ini, dan merasa yakin bahwa tak seorangpun akan dapat mencurigai seorang gadis dusun bodoh seperti itu.

Perwira yang berjalan di sampingnya dalam ruangan-ruangan istana itu adalah Kok Ciang-kun (Perwira Kok) yang menjabat kepala pasukan pengawal thai-kam (orang- orang kebiri), yaitu kenalan Cian Ciang-kun dan yang suka “menolong” Cian Hui untuk memasukkan seorang “sanak jauh” dari dusun menjadi seorang dayang baru di istana.

Di istana bagian puteri ini, tak seorangpun dari luar diperbolehkan masuk. Hanya keluarga Kaisar yang boleh masuk, dan tentu saja para perajurit pengawal thai-kam. Untuk mencegah terjadinya, penyelewengan dari para wanita dalam istana itu, maka sejak dahulu kala sampai saat itu, para petugas pria di istana bagian-puteri haruslah dikebiri lebih dahulu!

Pada saat itu, bukan hanya karena kepandaian saja Liong-li yang kini menyamar menjadi Kim Siauw Hwa atau biasa disebut Akim kelihatan gugup dan gelisah. Akan tetapi memang benar-benar ada kegelisahan di hatinya.

Ia telah memasuki istana dengan menyamar, dan ia tahu bahwa bahaya bukan hanya datang dari penjahat yang dinamakan Kwi-eng-cu akan tetapi dari satu kekuatan yang mempunyai banyak orang pandai! Dan ia merasa yakin bahwa sarang penjahat itu, atau pimpinannya, pasti berada di istana. Kalau gerombolan penjahat itu berada di luar istana tentu sudah lama diketahui tempatnya oleh Cian Hui yang cerdik dan memiliki banyak mata-mata.

Selain merasa berada di tengah-tengah pihak musuh yang belum diketahuinya siapa, dan betapa bahayanya bagi dirinya kalau pihak musuh sampai mengetahui bahwa ia Hek-liong-li yang menyamar, juga ia harus berhadapan dengan Hong-houw (Permaisuri) Bu Cek Thian! Menurut keterangan dari Cian Hui, wanita itu cerdik bagaikan iblis! Ia teringat akan kata-kata pesanan Cian Hui kepadanya ketika hendak berangkat tadi.

“BERHATI-HATILAH terhadap Hong-houw, Li-hiap. Ia seorang wanita yang teramat cerdik seperti Iblis! Bahkan saat ini boleh dibilang ia yang paling berkuasa di seluruh istana! Hong-siang (Kaisar) sendiri seperti menjadi boneka di tangannya. Ia cerdik dan amat berbahaya, oleh karena itu, berhati-hatilah engkau terhadap wanita ini.”

Tentu saja Liong-li tidak merasa takut. Baginya, makin lihai dan makin cerdik orang¬orang yang berada di pihak lawan, akan semakin gembira menghadapinya. Yang membuat ia gelisah adalah mengingat betapa dirinya sama sekali tidak berdaya di dalam istana yang besar dan megah itu.

Ia merasa seperti seekor lalat memasuki sarang laba-laba! Dan begitu memasuki istana, diterima oleh Kok Ciang-kun, perwira thai-kam yang gendut dan agak genit seperti wanita ini membawanya menghadap Hong-houw, wanita yang agaknya bahkan ditakuti oleh Cian Hui itu!

Kini mereka tiba di luar sebuah pintu dan Kok Ciang-kun memberi isyarat kepada Akim untuk berhenti. Kok Ciang-kun lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Akim yang sudah diberitahu sebelumnya untuk mengikuti apa yang dilakukan perwira Thai-kam itu.

“Hamba Kok Tay Gu mohon diperkenankan menghadap Hong-houw!” Dia berkata dengan suara nyaring.

Pintu dibuka dari dalam. Sebuah pintu berukir yang indah dan ketika pintu dibuka, Akim mengangkat muka dan iapun terpesona.

Bukan main indahnya ruangan di balik pintu itu! Dan bau semerbak harum menyergap keluar begitu pintu dibuka oleh seorang dayang muda yang cantik. Seluruh isi ruangan itu gemerlapan dengan kemegahan dan kemewahan.

“Terima kasih, terima kasih atas kemurahan hati Hong-houw!” kata pula Kok Ciang-kun.

Sungguh suatu sikap yang berlebihan sehingga baginya seperti adegan dalam panggung wayang atau pelawak saja. Akan tetapi, Akim tidak berani mengangkat muka lagi ketika tadi pandang matanya bertemu dengan sepasang mata yang indah akan tetapi juga mencorong tajam seperti mata kucing di tempat gelap!

“Kok Ciang-kun, yang mulia Hong-houw memerintahkan engkau dan calon dayang ini masuk!” terdengar perintah yang keluar dari mulut seorang dayang lain.

Kok Ciang-kun bangkit dengan sikap hormat, diikuti oleh Akim, kemudian melangkah memasuki kamar. Akim hanya mengikuti saja dengan jantung berdebar penuh ketegangan.

“Ban-swe, ban-ban-swe (hidup dan panjang usia)!” Kok Ciang-kun menjatuhkan diri berlutut lagi dan membentur-benturkan dahinya di lantai yang bertilamkan permadani merah. Akim juga berlutut dan membentur-benturkan dahinya.

“Kok Tay Gu, inikah gadis dusun yang ingin menjadi dayang itu?” terdengar suara yang halus namun tajam penuh wibawa.

Kok Ciang-kun memberi hormat lagi sebelum menjawab, “Benar sekali, Yang Mulia. Ia seorang gadis dusun bernama Kim Siauw Hwa, biasa disebut Akim, dan ia telah siap melakukan segala macam pekerjaan yang diperintahkan untuknya, siap melayani paduka dengan taruhan nyawa.”

Hemm, taruhan nyawa hidungmu! Demikian Liong-li memaki dalam hatinya. Sungguh segala hal terlalu dilebih-lebihkan di dalam istana ini. Penjilatan agaknya terjadi setiap saat, oleh orang-orang yang amat rendah terhadap orang-orang yang gila hormat.

“Hemmm, namanya Akim? Lucu juga. Akim, angkat mukamu untuk kami lihat!” kata pula suara yang lembut tajam itu. Akim mengangkat mukanya dan ia melihat kepada seorang wanita yang amat cantik dan anggun. Wanita itu usianya empatpuluh tahun lebih, namun pakaiannya mewah bukan main, dan seluruh tubuhnya terawat dengan rapi. Agaknya setiap helai rambutnya pun tidak terluput dari perawatan sehingga ia nampak seperti hasil sebuah lukisan seorang ahli.

Sepasang matanya tajam mencorong, dan bibir yang penuh gairah dan manis menantang itu dihias dagu yang membayangkan kekerasan hatinya. Hidung kecil mancung itu kembang kempis, pertanda bahwa ia seorang wanita yang memiliki gairah nafsu yang berkobar! Seorang wanita yang amat berbahaya, cerdik seperti iblis, demikian keterangan Cian Hui, kepadanya.

Cepat ketika ia mengangkat mukanya, Akim memasang wajah bodoh dan ketakutan membayang pada pandang matanya yang biasanya tidak kalah tajam dan mencorong dibandingkan sepasang mata permaisuri itu. Wajah wanita itu masih cantik menarik, ditambah lagi dengan riasan yang agak berlebihan sehingga alisnya dibuat melengkung seperti bulan tanggal muda, bibirnya merah semringah, pipinya kemerahan dan kulit mukanya lebih putih dari pada aselinya.

Sepasang alis melengkung yang terlalu hitam itu agak berkerut ketika ia melihat wajah dayang baru itu.

“Hemm, engkau terlalu buruk untuk menjadi dayang!” serunya. “Heh, Kok Tay Gu, kenapa engkau membawa seorang gadis berwajah bodoh dan buruk ini untuk menjadi dayang baru? Apa engkau ingin merusak keindahan sebuah taman bunga dengan ratusan aneka bunga jelita dengan menyertakan setangkai bunga yang jelek di dalam taman?”

Kok Ciang-kun sambil berlutut menjawab. “Mohon kemurahan hati paduka untuk mengampuni hamba, Yang Mulia. Biarpun wajahnya tidak berapa cantik namun ia pandai masak, rajin dan besar tenaganya. Iapun bersedia untuk bekerja di dapur atau di mana saja untuk menghambakan diri kepada paduka yang mulia!”

“Hemm, benarkah ia pandai masak dan rajin? Dan ia bertenaga besar dan kuat? Ingin aku melihatnya!”

Akim yang sudah menunduk kembali, juga Kok Ciang-kun, tidak melihat betapa permaisuri itu memberi isyarat dengan mata kepada seorang dayang pengawalnya. Gadis yang bertubuh tegap itu mengambil sebatang cambuk pendek, menghampiri Akim dari belakang.

Biarpun Akim berlutut dan menunduk, pendengarannya yang terlatih dan amat tajam sudah sejak tadi menangkap gerakan orang di belakangnya. Bahkan ia seperti dapat melihat saja ketika gadis dayang itu mengayun cambuknya ke arah punggungnya yang sedang membungkuk. Tentu saja amat mudah baginya untuk mengelak atau menangkis kalau ia kehendaki. Akan tetapi, Akim atau Liong-li adalah seorang wanita yang cerdik bukan main, waspada dan dapat mengetahui keadaan seketika dengan perhitungan yang tepat.

Ia sudah dapat menduga bahwa tentu permaisuri yang cerdik dan berbahaya seperti iblis itu menaruh curiga kepadanya dan kini mengutus seorang pembantunya untuk mengujinya. Kalau dalam keadaan seperti itu ia mampu menghindarkan diri dari serangan cambuk itu, berarti ia membuka rahasianya bahwa ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, karena hanya orang yang memiliki ilmu silat yang sudah tinggi tingkatannya saja mampu menghindarkan diri dari ancaman bahaya tanpa dilihatnya. Sungguh ujian yang keluar dari otak yang cerdik luar biasa, pikirnya dan iapun tidak mengerahkan tenaga sedikitpun ketika cambuk itu menghantam punggung.

“Tarr! Tarrr!” Dua kali cambuk itu menghantam punggungnya, demikian kerasnya sehingga baju di bagian punggung robek-robek, berikut kulit punggungnya yang tidak ia lindungi dengan tenaga sakti. Darah keluar dari kulit punggung yang pecah-pecah dan Akim mengeluarkan jerit kesakitan yang ia lakukan bukan seperti permainan sandiwara, melainkan sungguh-sungguh karena ia tidak menahan diri dan membiarkan naluri perasaannya membuatnya menjerit kesakitan.

Kok Ciang-kun terkejut sekali, akan tetapi tidak berani berkutik ketika permaisuri itu turun dari atas kursi emasnya dan melangkah perlahan untuk memeriksa keadaan punggung gadis dusun yang masih berlutut dan menangis lirih itu. Ia melihat punggung itu terluka oleh cambuk, berdarah dan iapun mengangguk puas.

Benar seorang gadis dusun yang tak begitu cantik, bodoh dan sama sekali tidak memiliki kepandaian yang membahayakan, dan mungkin tenaganya lebih besar dari wanita lain. Hal ini tentu saja wajar kalau mengingat bahwa ia seorang gadis dusun yang sejak kecil biasa bekerja kasar dan keras.

“Kok Tay Gu, Akim ini kami terima sebagai pelayan. Mundurlah, dan kami senang dengan jasamu ini.”

Bukan main girangnya hati Kok Ciang-kun yang tadinya sudah gemetar ketakutan karena dia mengira bahwa kehadiran Akim mendatangkan perasaan tidak senang di hati permaisuri itu. Dia membentur-benturkan dahinya di lantai, menghaturkan terima kasih berulang kali, kemudian merangkak mundur meninggalkan ruangan itu.

Permaisuri Bu Cek Thian berkata kepada seorang dayang pengawal, “Bawa ia ke belakang, beri pakaian dan obati punggungnya. Lalu serahkan ia kepada kepala dapur untuk menerimanya sebagai pembantu di dapur.”

Akim yang sudah mempelajari bagaimana ia harus bersikap di depan sang permaisuri, segera meniru apa yang dilakukan Kok Ciang-kun tadi. Ia membentur-benturkan dahinya di lantai sambil mengucap terima kasih berulang kali, walaupun hatinya mendongkol bukan main dan hatinya ingin sekali menghajar wanita pesolek yang sewenang-wenang dan kejam itu.

Tentu saja ia tidak berani melakukan hal semacam itu, karena betapapun pandainya, kalau ia berani melakukan hal itu, tentu nyawanya takkan dapat tertolong lagi! Wanita di depannya ini adalah permaisuri kaisar, bahkan menurut Cian Hui, wanita ini merupakan orang paling berkuasa di seluruh kerajaan, bahkan kaisar sendiri menjadi seperti boneka dalam genggaman wanita ini.

Ia lalu ditarik berdiri dan didorong secara kasar oleh dayang pengawal yang menerima perintah, diajak keluar dari ruangan itu dan setelah menerima beberapa helai pakaian baru, diobati punggungnya dengan obat bubuk. Ia lalu diajak ke dapur dan diserahkan kepada kepala dapur, seorang laki-laki thai-kam gendut seperti bola yang dari gerak geriknya saja sudah dapat diduga bahwa dia adalah seorang koki yang pandai!

Mulailah Akim atau Hek-liong-li Lie Kim Cu bekerja di dapur istana permaisuri yang menjadi satu dengan dapur istana kaisar. Hanya saja para pekerja thai-kam sajalah yang diperbolehkan masuk ke bagian puteri sedangkan para pekerja pria biasa sama sekali dilarang dan mereka ini yang membawa masakan dan segala keperluan lain ke istana bagian putera.

Karena pandai membawa diri, dalam waktu sehari saja Akim yang rajin disuka oleh mereka yang bekerja di dapur, apa lagi mendengar bahwa Akim diterima dan ditunjuk sendiri oleh permaisuri bekerja di bagian dapur. Karena ia ditunjuk sendiri oleh Permaisuri, maka ia dianggap “istimewa” dan tidak ada yang berani mengganggu. Pula, Akim pandai sekali memperlihatkan sikap yang tidak menarik bagi pria, dan ia kelihatan sebagai seorang gadis yang bodoh dan kaku walaupun rajin dan memiliki bentuk tubuh yang elok.

Malamnya, Akim mendapatkan sebuah kamar di antara deretan kamar para pelayan di bagian paling belakang, dekat dapur. Karena ia dianggap istimewa pula, pekerja yang ditunjuk permaisuri, maka ia mendapatkan sebuah kamar untuk dirinya sendiri. Pelayan lain merasa enggan untuk tinggal sekamar dengannya, karena seorang yang ditunjuk oleh permaisuri dianggap berbahaya. Siapa tahu ia mata-mata permaisuri yang mencatat semua kegiatan mereka?

Permaisuri amat galak dan siapa yang bersalah mendapatkan hukuman yang mengerikan. Pernah ada seorang pelayan wanita di dapur yang wajahnya manis, tertangkap basah ketika ia melakukan hubungan mesra dengan seorang pelayan pria dari bagian putera. Permaisuri yang menganggap pelayan itu menodai “kesucian” istana bagian puteri, dipaksa mati secara mengerikan.

Ia dipaksa duduk di atas sebuah kursi, dengan kaki dan tangan terikat kepada kursi sehingga tak mampu bergerak. Kemudian, sebuah kantung kain diselubungkan ke kepalanya dan diikat tertutup rapat-rapat. Tentu saja setelah udara di dalam kantung itu habis, wanita malang itu tidak dapat bernapas. Akan tetapi ia tidak mampu meronta, hanya kepalanya saja yang meronta-ronta minta lepas, akan tetapi sebentar saja kepala itu terkulai dan ia tewas. Mayatnya dikubur diam-diam dan semua hukuman ini berlangsung secara rahasia tanpa diketahui orang luar, kecuali para pekerja di istana.

Tentu saja Akim yang “diasingkan” oleh para pekerja lain, merasa girang bukan main. Justeru inilah yang ia kehendaki. Karena ia memiliki kamar tersendiri, dengan leluasa ia mampu mengadakan penyelidikan.

Pada malam harinya, setelah semua orang tidur, Akim mengganti pakaiannya dengan pakaian serba hitam yang sudah ia persiapkan, menutupi mukanya dengan topeng kain, dan iapun menyelinap keluar dari dalam kamarnya tanpa diketahui siapapun. Ia lalu mulai dengan penyelidikannya.

Malam pertama itu ia tidak bertemu dengan Bayangan Iblis seorangpun, hanya melihat seorang kebiri berjalan mengiringkan seorang dayang pengawal menuju ke kamar Sang Permaisuri. Laki-laki kebiri itu usianya kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya ganteng dengan kulit putih bersih dan perawakannya jantan, tinggi besar dan kokoh kuat.

Hal ini membuat Akim tertegun dan terheran-heran. Memang hanya para thai-kam (laki-laki kebiri) saja yang diperbolehkan berkeliaran melakukan tugas masing-masing di istana bagian puteri. Laki-laki kebiri dianggap “aman” karena tidak mungkin dapat melakukan hubungan gelap dengan para wanita istana.

Kalau ia melihat thai-kam itu memasuki kamar Sang Permaisuri pada siang hari, ia tidak akan merasa heran. Akan tetapi malam hari? Dan ketika semua orang sudah tidur dan mengunci pintu kamar mereka? Sungguh janggal! Apa lagi ketika ia melihat thai-kam itu memasuki kamar sang permaisuri seorang diri saja, sedangkan dayang pengawal yang tadi bersamanya tinggal di luar dan melakukan penjagaan dengan para dayang pengawal lainnya, enam orang jumlahnya.

Apa saja yang dikerjakan thai-kam itu di dalam kamar sang permaisuri? Ah, mungkin dia seorang ahli pijat, pikir Akim. Ya, tentu saja. Thai-kam itu seorang ahli pijat dan kini bertugas memijati tubuh sang permaisuri, untuk mengusir semua kelelahan dari tubuh yang amat dimanja itu.

Tentu saja Akim tidak mau menghabiskan waktu untuk menyelidiki persoalan pribadi Sang Permaisuri yang agaknya tidak ada sangkut pautnya dengan Kwi-eng-cu, dan ia melakukan penyelidikan ke bagian lain. Namun malam itu ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.

Keesokan harinya, sambil bekerja, iapun memasang mata dan telinga untuk mengamati setiap orang bahkan ia berhasil memancing seorang pelayan kebiri yang setengah tua dan yang gemar mengobrol untuk bicara tentang Kwi-eng-cu. Mereka berdua sedang mencabuti bulu ayam.

Istana memang merupakan tempat keroyalan dan kemewahan. Setiap hari tidak kurang dari seratus ekor ayam gemuk dipotong, belum daging babi atau kambing atau sapi, juga ikan dan banyak macam sayuran. Maka, mencabuti bulu ayam memakan waktu yang cukup lama sehingga Akim dan thai-kam itu mempunyai waktu untuk mengobrol.

“Ketika aku datang dari dusun ke kota raja, aku mendengar kabar angin tentang pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja. Aku menjadi ngeri. Siapakah yang dibunuh dan siapa pula yang membunuh, paman?” Akim mulai memancing, dengan suara biasa dan sikap acuh, sambil lalu saja.

Akan tetapi mendengar pertanyaan itu, Akong, si thai-kam, nampak terkejut dan ketakutan. Dia menoleh ke kanan kiri. Akan tetapi memang di situ tidak ada orang lain kecuali mereka berdua. Tempat pencucian daging itu memang tidak sebersih bagian lain dan orang enggan ke situ kalau tidak untuk bekerja. Akim tentu saja sudah yakin bahwa tidak ada orang lain mendengarkan percakapan mereka.

“Kenapa, paman?”

“Hushhh, jangan keras-keras. Kalau terdengar dia, salah-salah malam nanti lehermu atau leherku putus!”

Akim menjadi ketakutan dan ia menggeser duduknya mendekati thai-kam itu, suaranya gemetar dan tubuhnya menggigil. “Aih, paman, aku....... aku takut.....!” katanya lirih setengah berbisik. “Akan tetapi...... kenapa tidak boleh keras-keras......? Dan...... siapa yang melarang kita bicara?” Ia sengaja memperlihatkan wajah ketakutan. “Paman, kalau bersamamu, aku tentu akan selamat. Jangan takut-takuti aku, paman.”

Akong menyeringai bangga. “Boleh, bicara, akan tetapi jangan keras-keras. Kabarnya, Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) memiliki seribu telinga dan kita tidak boleh bicara buruk tentang dia. Bisa berbahaya!” katanya lirih pula.

“Ah, agaknya paman tahu banyak. Aku ingin sekali mendengar, paman. Siapa sih Kwi-eng-cu itu?”

“Ssttt, berbisik saja,” kata thai-kam itu sambil mendekat dan bicara kasak-kusuk berbisik. “Dia seorang yang entah manusia entah dewa, akan tetapi semenjak terjadi pembunuhan, sudah puluhan orang pejabat tinggi terbunuh, ada yang melihat munculnya Si Bayangan Iblis itu. Tak seorangpun melihat dia yang melakukan pembunuhan, hanya timbul dugaan karena dia muncul ketika terjadi pembunuhan-pembunuhan.......”

“Ih, betapa mengerikan! Apakah tidak kelihatan orangnya, paman?”

Akong menggeleng. “Dia bergerak cepat dan hanya nampak bayangannya saja. Bayangan tinggi besar dan kepalanya bertanduk, karena itu dinamakan Si Bayangan Iblis.......”

“Hiiii, menakutkan sekali !” Akim kembali menggigil. “Akan tetapi kita aman, paman, Sehebat-hebatnya dia, tidak mungkin dia berani muncul di lingkungan istana ini!”

“Siapa bilang? Sstttt.......!” Dia memperingatkan diri sendiri yang bicara terlampau keras. “Dia dapat muncul di mana-mana. Di sini juga.”

“Tidak mungkin, paman. Jangan paman membohongi aku dan hendak menakut-nakuti aku!”

“Eh, anak buruk! Siapa berbohong?”

“Aku tanggung itu hanya kabar angin saja. Siapa yang pernah melihat dia di sini?”

“Bukan kabar angin. Aku pernah melihatnya sendiri.”

Akim merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tak disangkanya bahwa ia akan memperoleh keterangan yang amat penting dari thai-kam ini.

“Aih, paman Akong, engkau hanya main-main saja dan mencoba untuk menakut-nakuti aku!” Akim berkata mengejek.

“Akim, jangan kurang ajar engkau! Kau anggap aku berbohong? Engkau tidak percaya kepadaku?”

Akim mengangguk-angguk. “Maaf, maaf, paman Akong yang baik. Sejak datang di sini bertemu denganmu, aku sudah merasa seolah engkau ini pamanku sendiri. Engkau begini baik, paman. Aku tentu saja percaya kepadamu, akan tetapi ceritamu terlalu aneh. Bagaimana mungkin pembunuh itu dapat berkeliaran di dalam istana?”

“Sssttt, tutup mulutmu yang lancang dan jangan keras-keras bicara. Dengar, aku tidak berbohong. Ketika aku bertugas di bagian putera, pada suatu malam aku melihat bayangan berkelebat dan bayangan itu berhenti sejenak di sudut dinding gudang di belakang. Jelas sekali bayangan itu, dan menyeramkan. Bayangan tinggi besar dan kepalanya mempunyai dua buah tanduk. Huuhhh, masih meremang bulu tengkukku kalau mengenangnya.”

“Dan paman tidak menceritakan kepada siapapun sampai sekarang ini?“

“Mana aku berani? Baru sekarang aku bercerita kepadamu untuk meyakinkan hatimu.”

“Hanya satu kali itu saja paman melihatnya? Dan tidak pernah nampak di bagian puteri sini?”

“Baru satu kali itu, dan tidak pernah ada yang melihat bayangan itu muncul di sini. Dan selain aku sendiri, sebelum itu juga pernah ada ada seorang perajurit pengawal melihat, bahkan mengejar bayangan itu di dalam istana bagian putera, akan tetapi bayangan itu menghilang.

“Peristiwa itu terjadi ketika Pangeran Kelima terbunuh di luar istana, maka pernah gegerlah istana. Akan tetapi setelah diperiksa di seluruh pelosok, tidak ditemukan Si Bayangan Iblis di istana.”

Tiba-tiba thai-kam itu memberi isyarat agar Akim diam dan mereka melanjutkan pekerjaan mereka dengan tekun, seolah-olah mereka tidak pernah bercakap-cakap tentang Si Bayangan Iblis. Seorang pelayan lain masuk ke dapur bagian pencucian daging itu.

Diam-diam Akim mengenang kembali semua percakapan tadi. Dugaannya kini semakin kuat bahwa sarang gerombolan pembunuh itu, atau setidaknya pemimpin mereka, besar sekali kemungkinannya bersembunyi di dalam istana ini, atau juga pemimpin itu merupakan seorang anggauta keluarga kaisar sendiri, atan pejabat yang bertugas di dalam lingkungan istana.

Jelas bukan Permaisuri atau seorang di antara para selir atau puteri kaisar, karena bayangan itu tidak pernah nampak di sini, melainkan di istana bagian putera. Akan tetapi, ia tidak sama sekali melepaskan kemungkinan bahwa pemimpinnya seorang penghuni bagian puteri, walaupun pemimpin itu bekerja “di belakang layar”. Siapa tahu?

Ia harus menyelidikinya di bagian putera. Malam nanti! Tugas yang berbahaya memang, namun tanpa menempuh bahaya itu, bagaimana mungkin ia akan mampu memecahkan rahasia Kwi-eng-cu?

Setelah mandi sore dan makan malam, karena tidak ada lagi tugas untuknya, Akim duduk bersila di dalam kamarnya, di atas pembaringan, mengatur pernapasan dan menghimpun tenaga. Siapa tahu malam ini ia membutuhkan banyak tenaga. Ia sudah mengambil keputusan untuk mengalihkan medan penyelidikannya di waktu malam. Tidak lagi di bagian puteri, melainkan di istana induk, tempat tinggal Kaisar dan para pangeran yang masih tinggal di istana.

Ia sudah mendengar keterangan Cian Ciang-kun bahwa istana induk itu berbahaya, dijaga ketat oleh pasukan pengawal thai-kam, dan ada tiga orang jagoan thai-kam yang amat lihai. Maka, ia harus berhati-hati karena ia menyelidiki seorang yang rahasia sehingga ia tidak tahu siapa kawan siapa lawan di dalam istana itu.

Segala kemungkinan ada. Pemimpin para pembunuh itu mungkin saja seorang pangeran, mungkin seorang thai-kam, mungkin pula permaisuri, bahkan mungkin kaisar sendiri! Mungkin pula pejabat penting yang tinggal di istana karena pekerjaan dan tugasnya.

Ia menanti sampai keadaan di istana menjadi sunyi. Kamarnya berada di antara kamar-kamar para pelayan, pekerja yang paling rendah tingkatnya di istana itu, dan kebetulan sekali setiap jam tentu peronda keamanan lewat di kebun belakang perumahan itu. Maka, ia dapat menghitung waktu dan menjelang tengah malam ia sudah mengenakan pakaian serba hitam dan memasang kedok kain hitam pula.

Sebetulnya bukan kedok, hanya kain saputangan hitam yang lebar, diikatkan menutupi hidung dan mulutnya. Juga kepalanya dibungkus kain hitam, bahkan menutupi dahinya sehingga yang nampak hanya sepasang matanya saja. Bukan mata Akim lagi, melainkan mata Hek-liong-li Lie Kim Cu, sepasang mata yang jeli, indah dan mencorong amat tajamnya!

Karena maklum bahwa tugasnya amat berbahaya, iapun mengeluarkan pedang pusakanya, Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) yang diselundupkan oleh Cian Ciang-kun dan kemudian disimpan di tempat rahasia, yaitu di bawah atap kamarnya. Pedang itu ia selipkan di ikat pinggang, tertutup oleh jubah hitamnya yang lebar.

Setelah ia mengintai dari jendela kamarnya keluar, dan melihat bahwa malam telah larut dan suasana sudah amat sunyi, dan juga rombongan peronda, yaitu para pengawal thai-kam baru saja lewat. Ia lalu membuka daun jendela kamarnya dan seperti seekor kucing saja, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, tubuhnya sudah meloncat ke luar jendela. Dari luar, daun jendela ditutupnya kembali dengan hati-hati, lalu cepat tubuhnya sudah menyelinap ke dalam kebun di belakang perumahan para pelayan itu. Di kebun ini terdapat banyak pohon, dan iapun menyusup di antara pohon-pohon.

Ia sejak sore tadi sudah memperhitungkan dan merencanakan bagaimana ia akan memasuki istana induk. Tentu saja yang paling mudah dan aman melalui kebun itu. Kebun itu bersambung dengan kebun di belakang istana induk, hanya dibatasi oleh pagar tembok yang tinggi dan tidak terjaga ketat. Memang tidak perlu dijaga ketat karena orang-orang biasa saja tidak akan dapat melewati tembok itu.

Setelah menanti beberapa menit dan melihat bahwa keadaan sekeliling tetap sunyi, tidak nampak bayangan orang dan tidak terdengar suara apapun, hatinya lega. Tangan kirinya memegang kedua ujung jubah yang diselimutkan di tubuhnya, lalu ia menyelinap di antara pohon-pohon di kebun itu, menuju ke tembok pemisah antara kebun istana puteri dan kebun istana induk.

Ia memang sudah memperhitungkan bahwa malam itu bulan bercahaya cukup terang karena bulan sudah berusia sepuluh hari. Langit bersih dan cerah sehingga dengan mudah ia dapat menyelinap di antara pohon-pohon yang tidak begitu gelap dengan adanya sinar bulan.

Ketika ia tiba di bagian terbuka, dan tembok pemisah kebun itu sudah nampak putih cerah tertimpa sinar bulan, tiba-tiba ia terkejut bukan main karena bermunculan delapan bayangan yang agaknya tadi bersembunyi di balik batang pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu!

Melihat gerakan mereka, Akim memperhitungkan bahwa tidak mungkin mereka itu dapat membayanginya sejak tadi tanpa ia dapat melihatnya. Kalau mereka membayanginya sejak tadi, sudah pasti ia dapat melihat, atau setidaknya mendengar gerakan mereka.

Jelaslah bahwa mereka memang sudah menanti di balik batang-batang pohon itu sehingga tentu saja ia tidak tahu bahwa ada delapan orang yang agaknya sudah menghadangnya dan menanti kemunculannya! Hal ini hanya berarti bahwa gerakannya sudah diketahui sejak ia meninggalkan kamar, bahkan sudah diketahui bahwa ia akan lewat di tempat itu! Luar biasa sekali.

Akan tetapi hatinya merasa lega, juga sekaligus terheran-heran ketika melihat bahwa pengepungnya itu sama sekali bukan orang-orang berkedok seperti Si Bayangan Iblis! Sama sekali bukan! Mereka itu adalah pengawal-pengawal thai-kam!

“Bayangan Iblis! Menyerahlah, engkau sudah terkepung!” bentak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok besar. Teman-temannya ada yang memegang golok, ada yang bersenjata pedang dan mereka itu telah mengepungnya dengan sikap mengancam. Mendengar bentakan ini, Akim merasa semakin heran. Ia malah disangka Si Bayangan Iblis!

Hampir saja ia menyangkal. Akan tetapi kalau ia menyangkal ia harus membuka saputangan hitam penutup mukanya, dan ia tentu akan dicurigai dan ditangkap pula karena ia kini telah menanggalkan penyamarannya sebagai Akim, dan wajahnya kini adalah wajah Liong-li! Andaikata ia berada dalam penyamaranpun, tentu ia tetap akan ditangkap sebagai Akim! Serba salah memang! Maka, begitu si tinggi besar itu membentak, ia sudah membalik dan menerjang orang yang berdiri mengepung di belakangnya.

Melihat gerakan ini, orang yang memegang golok di belakang itu menyerang dengan bacokan golok. Akan tetapi, dengan mudah Akim atau Liong-li mengelak dengan loncatan ke samping, kemudian ia mengerahkan gin-kangnya dan ia sudah berlari oepat sekali meninggalkan tempat itu!

“Berhenti! Hendak lari ke mana kau?” bentak delapan orang perajurit pengawal itu dan mereka melakukan pengejaran. Akan tetapi, bayangan orang berpakaian serba hitam itu sudah lenyap ditelan bayangan pohon-pohon!

Dan pada saat delapan orang itu mencari-cari, Liong-li sudah menyamar lagi sebagai Akim dan rebah di atas pembaringannya. Pakaian serba hitam, juga pedang Hek-liong-kiam, sudah tersimpan aman di bawah atap sehingga andaikata para perajurit pengawal menggeledah kamarnya, mereka takkan dapat menemukan tanda-tanda bahwa ialah yang tadi mereka kejar-kejar. Dan iapun merasa lega dan dapat tidur pulas setelah tidak ada gangguan datang, walaupun ia masih menduga-duga dengan heran bagaimana delapan orang pengawal itu tahu-tahu sudah menghadang di sana!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Akim sudah bangun dan bekerja seperti biasa, membersihkan dapur dan ia pura-pura acuh saja seperti tidak pernah terjadi sesuatu dengan dirinya. Semalam Akim tidur nyenyak di kamarnya dan tidak melihat atau mendengar sesuatu sampai bangun pagi hari ini, demikian ia meyakinkan penyamarannya. Akan tetapi, diam-diam ia menaruh perhatian akan keadaan sekelilingnya.

Ia melihat betapa para pelayan lainnya bekerja seperti biasa pula, menyalaminya seperti biasa. Hanya ada satu hal yang dirasa aneh, atau hanya kebetulan saja, yaitu tidak adanya Akong. Ia pura-pura acuh dan tidak berani bertanya, karena kalau ia bertanya, berarti ia menaruh perhatian khusus untuk Akong dan hal itu akan dapat saja menimbulkan kecurigaan. Ia menyapu lantai dapur dengan tenang dan tekun.

Tiba-tiba para pelayan yang sedang sibuk bekerja itu berdiri dengan sikap hormat dan menunda pekerjaan mereka. Akim menoleh dan iapun terheran melihat munculnya seorang perwira thai-kam yang gendut dan yang dikenalnya sebagai Kok Ciang-kun, perwira yang memasukkannya ke dalam istana! Tentu saja ia segera memberi hormat, akan tetapi dengan sikap dingin Kok Ciang-kun memandang kepadanya dan berkata singkat.

“Bergantilah pakaian bersih dan ikut dengan aku!”

“Ke..... ke mana, Ciang-kun?” tanyanya dengan jantung berdebar tegang.

“Engkau dipanggil menghadap oleh Hong-houw!”

Liong-li menekan perasaan hatinya yang terguncang sehingga wajahnya hanya membayangkan keheranan, bukan kegelisahan. Ia lalu pergi ke kamarnya dan berganti pakaian sambil mengingat-ingat.

Adakah hubungannya panggilan Permaisuri ini dengan peristiwa semalam? Ah, tidak mungkin ada hubungannya, kalau ia dicurigai, andaikata ada sesuatu yang membocorkan rahasianya, tentu ia akan ditangkap oleh pasukan pengawal, bukan dipanggil melalui Kok Ciang-kun, orang yang membawanya masuk ke istana. Tidak, ia tidak perlu gelisah, harus bersikap tenang.

Sebentar saja ia sudah berjalan bersama Kok Ciang-kun meninggalkan ruangan dapur menuju ke istana permaisuri. Di dalam perjalanan ini, ia mencoba memancing dan bertanya kepada Kok Ciang-kun mengapa ia dipanggil oleh Hong-houw. Akan tetapi, Kok Ciang-kun menggeleng kepalanya.

“Aku tidak tahu. Akupun baru pagi ini, pagi-pagi sekali dipanggil menghadap, dan setelah menghadap, aku diutus untuk menjemputmu dan bersama-sama menghadap.”

“Aku........ aku bekerja dengan rajin dan sebaik mungkin, aku tidak pernah melakukan kesalahan,” kata Akim dengan suara gelisah. “Apakah beliau kelihatan marah-marah?”

Perwira pengawal thai-kam itu menggeleng kepala. “Menurut pengamatanku, beliau tidak marah, hanya nampak kesal.”

Lega rasa hati Akim. Kalau memang menyangkut urusan besar, tentu permaisuri sudah marah dan ia sudah disuruh tangkap. Ia harus bersikap tenang saja.

Mereka berlutut di depan pintu ruangan yang terbuka, agaknya memang sejak tadi dibuka menanti kedatangannya. Seorang dayang pengawal memerintahkan mereka masuk dengan suara lantang, menyampaikan perintah Hong-houw. Mereka lalu bangkit dan melangkah masuk dengan kepala menunduk, kemudian di depan kursi emas Sang Permaisuri Bu Cek Thian, Kok Ciang-kun dan Akim menjatuhkan diri berlutut.

“Ban-swe, ban-ban-swe......!” Mereka berkata dengan khidmat sambil menempelkan dahi ke lantai.

“Bangkitlah kalian!” kata Hong-houw. Keduanya mengangkat kepala dan tubuh mereka tegak, akan tetapi kaki mereka masih berlutut.

“Kok Tay Gu, kepadamu kami mengajukan sebuah saja pertanyaan yang harus kau jawab dengan sebenarnya. Kalau jawabanmu bohong, sekarang juga kami akan perintahkan agar lehermu dipenggal!”

Bukan main keras dan tegasnya ucapan itu dan ketika ia melirik, Akim melihat betapa perwira pengawal itu gemetar seluruh tubuhnya, dan suaranya tergagap ketika dia berkata.

“Hamba...... hamba akan menjawab dengan sebenarnya...... dan bersedia menerima hukuman kalau berbohong.”

“Kenalkah engkau siapa gadis ini dan dari siapa engkau menerimanya?”

Diam-diam Akim terkejut bukan main. Kiranya, di luar dugaannya, memang ada sangkut pautnya dengan dirinya! Ia telah dicurigai dan tentu permaisuri itu tidak bertanya tentang dirinya seperti itu. Kini, kepala pengawal thai-kam itu mati kutu dan dia sudah lemas.

“Hamba...... hanya tahu... ia bernama Kim Siauw Hwa dan biasa disebut Akim, dan hamba.... hamba dimintai tolong oleh bekas Panglima Cian Hui untuk menerimanya sebagai..... dayang atau pelayan di sini...... mohon beribu ampun kalau hamba bersalah......”

Hening sejenak. Keheningan yang mencekik rasanya, karena seolah Akim menanti datangnya putusan mati atau hidup! Kemudian terdengar suara itu, suara yang lembut namun mengandung kekerasan seperti baja, akan tetapi suara itu terdengar lega.

“Engkau berkata sebenarnya. Memang ia bernama Kim Siauw Hwa alias Akim dan engkau menerimanya dari Cian Hui. Nah, keluarlah kamu dari sini, laksanakan tugasmu dengan baik. Perintahkan pasukan pengawal untuk lebih ketat lagi menjaga istanaku.”

Akim seolah mendengar betapa kepala pengawal itu bersorak dalam hatinya, dan ia sendiripun merasa lega, seolah baru saja lepas dari himpitan batu besar yang berat. Kok Ciang-kun menghaturkan terima kasih berulang kali, lalu memberi hormat dan benturan dahinya pada lantai sampai menimbulkan kekhawatiran di hati Akim kalau-kalau kepala pengawal menderita gegar otak karenanya.

Kok Ciang-kun mundur dan kini tinggal Akim seorang diri masih berlutut. Karena yang diperintah mundur hanya Kok Ciang-kun, maka ia tidak berani bergerak dan diam saja, walaupun hatinya ingin sekali ia segera terbang dari situ.

Baru pertama kali ini selama ia menjadi seorang wanita perkasa, Hek-liong-li Lie Kim Cu merasa gentar! Ia merasa seperti menghadapi seorang lawan yang jauh lebih pandai dan lebih lihai darinya, yang membuat ia merasa hampir tidak berdaya!

Kalau ia disuruh memilih, ia memilih menghadapi dua orang datuk sesat yang lihai dari pada harus mengadapi permaisuri ini sebagai musuh! Ia merasa seperti menghadapi seekor ular berbisa yang amat berbahaya dan ia tidak tahu dari mana dan kapan ular berbisa itu akan mematuk. Membuat ia ingin menghindar jauh-jauh dari tempat itu, sejauh mungkin!

Akim masih berlutut dan menundukkan mukanya ketika ia mendengar suara Hong-houw, kini suaranya meninggi dan penuh ejekan. “Engkau bernama Kim Siauw Hwa, ya? Akim? Hemmm, orang lain boleh saja kaukelabui, akan tetapi jangan mengharap akan dapat mengelabui kami.” Lalu terdengar perintahnya kepada para pengawal, “Ambil air dan sikat, cuci bersih mukanya dan tarik rambut palsunya!”

Bukan main kagetnya rasa hati Liong-li mendengar ini. Kalau ia meloncat, tentu para pengawal itu mengepungnya dan sekali terdengar tanda bahaya, ratusan bahkan ribuan perajurit pengawal akan datang dan ia tidak mungkin dapat lolos. Kalau ia menangkap dan menyandara permaisuri itupun tidak mudah, karena para dayang pengawal nampaknya sudah siap melindungi junjungan mereka.

“Ampun, Yang Mulia. Perkenankan hamba menanggalkan penyamaran hamba sekarang juga!” katanya dan cepat ia menggosok mukanya, melepaskan kedok tipis yang menutupi muka aselinya, dan mencopot pula sedikit rambut palsu yang merubah bentuk sanggulnya.

Sanggulnya terlepas, rambut aselinya yang hitam dan halus panjang itu terurai, mukanya yang asli nampak, muka seorang yang cantik jelita dan manis. Bahkan sinar matanyapun kini berubah, tidak lagi bodoh, melainkan mencorong dan tajam penuh kecerdikan!”

Kini permaisuri itu tersenyum. “Hemm, sudah kuduga, engkau tentu seorang wanita yang cantik. Nah, sekarang mengakulah, siapa engkau dan mengapa pula, engkau diseludupkan ke sini oleh Cian Hui?”

Bagaimana pun juga hati Liong-li merasa lega karena tidak terkandung kemarahan atau permusuhan di dalam suara yang lembut dan berwibawa itu.

“Ampunkan hamba, Yang Mulia. Akan tetapi sebelum hamba memberi penjelasan, hamba ingin sekali mengetahui bagaimana paduka dapat mengetahui rahasia penyamaran hamba......”

Permaisuri itu tidak marah, sungguh mengherankan hati para dayang pengawal yang menganggap pertanyaan Liong-li itu kurang ajar. Sebaliknya malah permaisuri itu tertawa geli dan senang. Memang hati permaisuri itu merasa senang dan bangga karena pertanyaan Liong-li itu membuktikan bahwa wanita muda yang cerdik sekali dan pandai menyamar sehingga mengelabui mata semua penghuni istana, kini kagum kepadanya dan terheran akan kecerdikannya!”

“Engkau memang seorang perempuan muda yang amat cerdik, akan tetapi bagi kami, kecerdikanmu itu belum seberapa dan tidak ada artinya. Ketika kami mengujimu untuk melihat apakah engkau benar seorang gadis dusun dan bukan seorang mata-mata berbahaya yang menyelundup ke istana, engkau dengan cerdik berlagak bodoh dan bahkan membiarkan punggungmu pecah kulitnya oleh cambuk. Akan tetapi ketika aku mendekat, aku melihat dibalik kain baju yang robek dan kulit punggung yang terluka, dekat luka itu kulitnya putih halus.

“Aku sudah menduga bahwa tentu kulit tubuhmu yang aseli putih mulus, tidak kecoklatan dan kasar. Tentu engkau telah memolesi seluruh kulit tubuhmu dengan semacam obat cairan. Aku sudah mulai curiga dan engkau lihat siapa yang berdiri di sana itu!”

Karena sejak tadi Liong-li tidak berani mengangkat muka, kini setelah diperintah, ia mengangkat muka dan memandang ke arah yang ditunjuk permaisuri itu. Di sudut sana, berdiri dengan sebatang tombak di tangan, adalah...... Akong! Pelayan thai-kam itu ternyata adalah seorang perajurit pengawal yang menjadi kepercayaan sang permaisuri!

Kini mengertilah ia! Tentu karena merasa curiga, permaisuri yang luar biasa cerdiknya itu telah diam-diam menyelundupkan Akong ke bagian dapur, bekerja sebagai pelayan dapur sehingga mendapat kesempatan bercakap-cakap dengannya!

Pada hal, ia merasa cerdik sudah berhasil mengorek rahasia dan memancing keterangan dari Akong. Tidak tahunya, ialah yang terkorek rahasianya. Karena sikapnya yang ingin tahu dan bertanya-tanya tentang Kwi-eng-cu itu tentu saja dicatat oleh Akong dan pada malam harinya diteruskan kepada Hong-houw.

Dan permaisuri yang seperti dikatakan Cian Hui cerdik seperti iblis itu sudah memperhitungkan bahwa malam itu ia tentu akan melakukan penyelidikan ke istana induk, maka sengaja menyuruh delapan orang perajurit itu untuk menghadangnya dan mengepungnya. Dan biarpun delapan orang itu tidak berhasil menangkapnya, namun kini ia yakin bahwa ketika ia kembali ke dalam kamarnya, seperti ia keluar dari kamarnya, tentu sudah ada beberapa pasang mata yang mengintainya. Agaknya permaisuri itu hanya ingin merasa yakin bahwa “Akim” benar seorang mata-mata yang diselundupkan ke dalam istana.

Melihat Akong, Liong-li segera memberi hormat kembali. “Sungguh benar sekali apa yang diterangkan oleh Cian Ciang-kun kepada hamba tentang paduka yang mulia......”

“Heh? Apa kata Cian Hui? Tentu dia memperingatkan bahwa engkau harus berhati- hati menghadapi aku, bukan? Heh-heh-hi-hik!”

Kembali Liong-li tertegun, bukan pura-pura melainkan sungguh ia merasa heran dan kagum. Wanita ini seolah-olah tahu segalanya!

“Aku mengenal siapa Cian Hui! Dia seorang yang cerdik, kalau tidak begitu, tentu dia tidak diangkat menjadi penyelidik. Kalau dia yang menyelundupkan kamu ke istana, tentu dia memperingatkanmu untuk berhati-hati terhadap kami. Dia sudah tahu siapa aku!” Suara ini mengandung kebanggaan hati yang besar terhadap diri sendiri.

“Sesungguhnya demikian, Yang Mulia. Karena paduka sudah tahu segalanya, hamba kira hamba tidak perlu menerangkannya lagi.”

“Hemm, Cian Hui memilih engkau, itu berarti bahwa engkau tentu memiliki kelihaian dan kecerdikan. Akan tetapi di sini, engkau kurang berhati-hati. Bayangkan saja seandainya aku ini Kwi-eng-cu! Apa kau kira masih hidup saat ini?”

“Hamba beruntung sekali bahwa Kwi-eng-cu bukan paduka. Akan tetapi hamba yang terkagum-kagum akan kecerdikan dan kebijaksanaan paduka, hamba ingin sekali tahu apakah paduka sudah pula mengetahui siapa hamba sebenarnya?”

Kembali para dayang mengerutkan alisnya. Perempuan itu sungguh kurang ajar, seolah menantang sang permaisuri, atau seperti mempermainkan saja. Bicaranya seolah permaisuri itu sahabatnya, bukan junjungannya! Akan tetapi aneh, permaisuri tidak marah melainkan tersenyum manis! Dan memang hati permaisuri itu senang sekali, merasa ditantang kecerdikannya.

“Kami memang belum mengetahui siapa kamu, akan tetapi kami dapat menduganya,” kata permaisuri itu dengan suara yang tenang sekali.

Liong-li tertarik dan semakin kagum, ia mengangkat muka memandang dan sejenak dua pasang mata yang sama indahnya, sama jeli dan sama tajamnya bertemu dan bertaut. Selamanya belum pernah Liong-li beradu pandang dengan seorang wanita yang memiliki pandang mata seperti itu dan diam-diam ia bergidik. Juga agaknya Permaisuri Bu Cek Thian mempunyai pendapat yang sama. Ia mengerutkan alisnya dan seperti mewakili suara hati Liong-li ia berkata.

“Aihhh, matamu seperti mata kucing atau harimau betina! Mengerikan sekali!”

Tepat sekali, pikir Liong-li. Memang matamu seperti mata harimau betina kelaparan!

“Bolehkah hamba mengetahui, paduka menduga hamba ini siapakah?” ia masih ingin mengetahui sampai di mana kecerdikan permaisuri itu.

“Hek-liong-li Lie Kim Cu, dibandingkan dengan kami, engkau seperti anak masih ingusan!”

Kini Liong-li menatap wajah permaisuri itu dengan mata terbelalak. Ia benar takluk dan kagum bukan main, permaisuri itu tentu tidak berbohong ketika mengatakan bahwa belum mengetahui dirinya dan hanya menduga saja. Akan tetapi betapa tepatnya dugaan itu! Matanya penuh pertanyaan, mewakili suara hatinya yang ingin sekali tahu bagaimana permaisuri itu mampu menduganya demikian tepat!

Dan agaknya pertanyaan pada sinar matanya itupun terbaca oleh Permaisuri Bu Cek Thian. Wanita ini kembali tertawa dan menutupi mulut yang terbuka dengan sapu tangan sutera.

“Mudah saja menduga bahwa engkau Hek-liong-li Lie Kim Cu. Biarpun kami belum pernah bertemu denganmu, akan tetapi berita tentang dirimu sudah pernah kami dengar. Kami mendengar bahwa di Lok-yang terdapat seorang wanita muda cantik jelita yang kabarnya memiliki ilmu silat yang tinggi dan kecerdikan yang mengagumkan, namanya Lie Kim Cu dan berjuluk Hek-liong-li. Bukan seorang penjahat, bahkan kadang-kadang menentang kejahatan, kaya raya dan ditakuti dunia kang-ouw.

“Ketika Kaisar, atas dorongan kami, memerintahkan Cian Hui untuk menyelidiki tentang pembunuhan-pembunuhan di kota raja dan tentang Kwi-eng-cu, kami mendengar dari penyelidik kami bahwa Cian Hui pergi seorang diri menuju Lok-yang. Tadinya kami kira bahwa mungkin dia pergi ke sana ada hubungannya dengan penyelidikannya, atau untuk mengikuti jejak. Nah, peristiwa itu saja sudah menunjuk kepadamu.

“Kemudian Kok Tay Gu memasukkan seorang dayang yang mukanya buruk seperti penyamaranmu tadi. Kami mulai curiga dan ternyata kecurigaan kami benar ketika kami melihat kulit punggungmu ada yang putih mulus dekat luka. Dan ketika malam tadi engkau keluar dari kamar sebagai seorang wanita bertopeng hitam dan berpakaian serba hitam, kemudian melihat betapa engkau sedemikian lihainya sehingga mampu menghindarkan diri dari kepungan delapan orang perajurit pengawal pilihan.

“Lalu sekarang melihat bahwa engkau seorang wanita muda yang cantik jelita dan juga cerdik, bahkan mampu menguji kecerdikanku dengan pertanyaan-pertanyaan yang amat cerdik, lalu siapa lagi engkau, kalau bukan Hek-liong-li Lie Kim Cu? Dan kami yakin bahwa pedang yang semalam katanya terselip di pinggangmu tentulah pedang pusakamu Hek-liong-kiam yang terkenal itu. Entah di mana sekarang pusaka itu kausembunyikan!”

Saking kagumnya, Long-li memberi hormat dan menempelkan dahinya di lantai. “Ban-swe, ban-ban-swe......! Sungguh hebat, sungguh luar biasa sekali! Paduka adalah seorang yang amat cerdik, bijaksana dan hamba mengaku kalah!”

“Hek-liong-li, bangkitlah. Aku sudah muak dengan penghormatan berlebihan seperti itu. Nah bangkit dan duduklah, aku ingin bicara denganmu!” Lalu ia memberi isyarat kepada para dayang pengawal agar mereka meninggalkan ruang itu!

Semua pengawal, kecuali dua orang wanita muda yang wajahnya sama, masih berdiri di belakang kursi permaisuri itu. Mereka adalah sepasang saudara kembar yang merupakan pengawal pribadi yang tidak pernah meninggalkan Permaisuri Bu Cek Thian sejenak pun! Juga Akong sudah keluar tanpa menoleh kepada Liong-li.

Pintu ruangan itu ditutup dan di dalam ruangan yang luas dan amat indah itu, Permaisuri Bu Cek Thian duduk di atas kursi emasnya yang agak tinggi. Kedua kakinya menginjak punggung sebuah batu berukir yang berbentuk kura-kura, lambang panjang usia, seolah-olah Permaisuri itu selalu menunggangi lambang yang membuat usianya menjadi panjang.

Dua orang saudara kembar yang menjadi pengawal pribadi itu, keduanya mahir ilmu silat dan tangan kanan mereka tak pernah meninggalkan gagang pedang yang tergantung di pinggang, berdiri di belakang kursi emas itu.

Liong-li diperintahkan duduk di atas sebuah bangku yang agak rendah. Hanya mereka berempat yang berada di situ dan Liong-li yakin bahwa tidak ada seorangpun lainnya yang berani mengintai atau ikut mendengarkan karena hal itu dapat mengakibatkan hukuman mati! Dan iapun kini merasa lega karena jelas bahwa permaisuri yang amat cerdik ini, yang dapat menjadi lawan yang amat berbahaya, kini nampaknya sudah percaya benar kepadanya.

“Lebih dulu katakan, di mana engkau menyembunyikan pedang pusakamu itu? Satu-satunya tempat persembunyian adalah di bawah atap kamarmu!”

Liong-li tersipu. Akan sia-sia sajalah membohongi wanita seperti ini!

“Memang benar di sana, Yang Mulia.”

“Hemm, kalau begitu, engkau pergilah dulu, ambil pedangmu itu lalu kembalilah kesini. Cepat! Berbahaya kalau sampai didahului orang lain!”

Mendengar ini, Liong-li terkejut, cepat memberi hormat dan keluar dari ruangan itu. Ternyata di dekat ambang pintu, tentu ada alat rahasianya, karena sebelum ia tiba di pintu, daun pintu itu telah terbuka dari luar. Agaknya para penjaga di luar tahu bahwa ada orang hendak keluar!

Ia keluar dan cepat pergi ke kamarnya setelah ia memasang kembali kedok tipisnya dan rambut palsunya sebagai Akim! Setibanya di dalam kamar, ia menutupkan daun pintu dan meloncat ke atas, mendorong langit-langit di sudut.

Cepat ia mengambil pedang dan pakaian hitam, lalu melompat turun kembali. Pada saat itu, ia mendengar langkah kaki dekat jendelanya. Cepat ia menyembunyikan pedang dan pakaian di bawah kasur, lalu ia sendiri merebahkan diri di atas pembaringan. Daun jendela terbuka dan sesosok bayangan melompat masuk.

“Heii, siapa itu? Maliiingg......!” Ia berteriak.

Tentu saja ia harus bersandiwara karena bukankah semua orang di situ mengira ia seorang gadis dusun? Sudah sewajarnya kalau ia berteriak ada orang laki-laki memasuki kamarnya lewat jendela.

Orang itu jangkung kurus, mukanya tertutup lengan baju, terkejut dan meloncat keluar lagi. Liong-li tidak mengejar dan kembali ia mengagumi sang permaisuri. Kalau tidak permaisuri itu cepat memerintahkan ia mengambil pedang pusakanya, besar sekali kemungkinan Hek-liong-kiam sudah diambil orang.

Ketika ia menghadapi kembali permaisuri yang cantik berwibawa itu, Liong-li terus terang menceritakan apa yang baru saja ia alami di kamarnya ketika ia mengambil pedang. Agaknya, terhadap wanita yang satu ini, ia tidak boleh menyimpan rahasia karena segala peristiwa agaknya dapat diketahuinya atau diduganya. Mendengar cerita Liong-li, permaisuri Bu Cek Thian mengangguk-angguk.

“Bagaimana wajah bayangan itu?” tanyanya singkat.

“Tidak nampak jelas, Yang mulia. Hanya nampak bayangan yang bentuk badannya jangkung kurus, akan tetapi dia memiliki gerakan yang gesit dan cepat sekali sehingga ketika hamba mengejar keluar, dia telah lenyap.”

Permaisuri itu mengerutkan alisnya. “Hemm, kehadiranmu sebagai penyelidik agaknya sudah dicurigai orang. Biarlah untuk sementara engkau menjadi dayangku yang baru di sini. Bagaimana, maukah engkau, Hek-liong-li?”

Liong-li menyambut tawaran ini dengan gembira sekali. “Tentu saja hamba suka dan banyak terima kasih atas bantuan paduka. Yang penting bagi hamba adalah dapat melakukan penyelidikan sampai hamba berhasil menangkap, atau setidaknya membongkar rahasia Kwi-eng-cu itu, seperti yang diminta oleh Cian Ciang-kun.”

“Bagus, aku senang sekali engkau mau menjadi dayangku, Hek-liong-li. Dan mulai sekarang nama panggilanmu di sini Siauw Cu (Mestika Kecil). Aku akan merasa lebih aman kalau engkau menjadi dayangku dan engkau boleh menemaniku setiap saat membantu tugas Bi Cu dan Bi Hwa ini,” katanya menunjuk kepada dua orang gadis kembar yang kelihatan gagah perkasa dan yang berdiri di belakang kursinya.

“Hamba merasa terhormat sekali, Yang Mulia, dan mudah-mudahan, berkat petunjuk paduka, hamba akan berhasil membongkar rahasia si Bayangan Iblis.”

Permaisuri itu mengerutkan alisnya dan senyumnya manis, akan tetapi juga mengandung ejekan. “Hemm, sekali ini kepandaianmu akan diuji berat sekali, Hek-liong-li...... eh, Siauw Cu. Yang kau hadapi adalah seorang yang amat lihai, amat berbahaya sekali.”

“Ah, ampunkan hamba, Yang Mulia. Jadi kalau begitu paduka sudah mengetahui siapa adanya si Bayangan Iblis? Lebih mudah bagi hamba untuk menghadapinya dan melaporkan kepada Cian Ciang-kun!”

Permaisuri itu menatap tajam wajah Liong-li, lalu menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

“Siauw Cu, kalau aku sudah mengetahui dengan jelas siapa dia, apa kau kira dia akan mampu bernapas lagi saat ini? Kami baru menduga-duga saja tanpa bukti. Yang jelas, dia tidak pernah berani mencoba untuk mengganggu kami. Bagaimanapun juga, dia tetap merupakan ancaman dan duri dalam daging yang harus dihancurkan. Aku sendiri akan memberi hadiah besar kepadamu kalau engkau mampu menangkapnya, Siauw Cu.”

Diam-diam Liong-li merasa girang dan lega. Akan lebih berbahaya dan lebih sukar rasanya kalau si Bayangan Iblis menjadi kaki tangan wanita di depannya ini.

Berhadapan dengan permaisuri ini, ia merasa dirinya kecil dan lemah, seperti menghadapi seekor naga betina yang amat berbahaya, penuh rahasia dan sukar ditebak dari arah mana akan menyerang. Kalau si Bayangan Iblis bukan anak buah permaisuri, berarti ia akan menjadi sekutu permaisuri ini dan ia merasa yakin, dengan bantuan permaisuri yang amat cerdik ini, ia pasti akan berhasil.

“Hamba tidak mengharapkan imbalan jasa dan hadiah, Yang Mulia, melainkan hamba menganggapnya sebagai suatu kewajiban untuk menghalau pengacau yang membahayakan ketenteraman kota raja. Hamba akan berusaha sekuat tenaga untuk menangkap si Bayangan Iblis!”

“Bagus! Akan tetapi agar hatiku lebih yakin akan kemampuanmu karena pihak lawan benar-benar tangguh, kami harus menguji kemampuanmu dulu, Siauw Cu. Bersiaplah engkau untuk menghadapi dua orang pengawalku ini. Beranikah engkau?”

Tidak ada tantangan yang pernah ditolak oleh Liong-li, dari siapapun juga datangnya. Dan Bu Cek Thian memang cerdik bukan main. Kalau ia mengatakan, “Maukah engkau?”, mungkin Liong-li akan mencari alasan dan menolak. Akan tetapi dengan pertanyaan “beranikah engkau?” tidak ada pilihan lain bagi Liong-li kecuali menerimanya!

“Hamba bersedia!” katanya sambil menatap tajam kedua orang wanita yang selalu berdiri di belakang permaisuri itu.

Mereka adalah dua orang wanita yang serupa benar, baik bentuk mukanya, bentuk sanggul dan pakaiannya. Sukar sekali membedakan antara dua orang gadis kembar ini. Usia mereka sekitar duapuluh lima tahun, dengan bentuk tubuh yang tinggi langsing dan wajah yang manis, dingin dan angkuh. Di punggung mereka terdapat pedang dengan ronce berwarna biru. Pakaian mereka ringkas berwarna kuning sehingga rambut mereka nampak semakin hitam.

“Bi Cu! Bi Hwa! Kalian boleh uji kepandaian Siauw Cu dengan tangan kosong dan semua tidak boleh menggunakan senjata. Kami ingin melihat sampai di mana kemampuan Siauw Cu! Mulailah!”

Gerakan dua orang wanita kembar itu ringan sekali ketika mereka tiba-tiba saja meloncat ke depan Liong-li setelah dengan suara halus menyanggupi perintah sang permaisuri.

Liong-li melangkah mundur, agak menjauhi permaisuri itu karena tidak baik untuk bertanding silat terlalu dekat wanita bangsawan tinggi itu. Pula, ia mencari tempat yang lebih luas agar jangan sampai merusak perabot dan hiasan di ruangan yang luas dan amat mewah itu.

Ketika mereka berdiri saling berhadapan, Liong-li melihat bahwa tinggi badannya hanya sampai setinggi bawah telinga kedua orang wanita kembar itu. Padahal, menurut ukuran wanita pada umumnya, ia bukan termasuk pendek. Jadi, mereka itulah yang tergolong tinggi, seperti para wanita dari daerah propinsi Shan-tung. Tinggi dan biarpun pinggang mereka ramping, namun kaki tangan mereka kokoh kuat.

“Ketika kedua orang wanita itu memasang kuda-kuda, ia melihat dasar kuda-kuda dari ilmu silat Bu-tong-pai. Ia menduga bahwa mereka itu selain lihai dalam ilmu silat tangan kosong, tentu mahir pula memainkan pedang kalau benar mereka itu murid Bu-tong-pai. Maka iapun tidak berani memandang rendah dan berhati-hati. Dua orang wanita kembar yang sudah terpilih menjadi pengawal pribadi permaisuri sudah pasti memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

“Enci berdua, majulah, aku sudah bersiap!” kata Liong-li, sikapnya tenang saja bahkan ia tidak memasang kuda-kuda seperti mereka, namun biar ia berdiri santai, sesungguhnya di bawah kulit tubuhnya, seluruh urat syarafnya sudah menegang dan siap siaga menghadapi serangan dari mana pun datangnya.

Bi Cu dan Bi Hwa memang dua orang gadis kembar yang pernah menjadi murid Bu-tong-pai, dan selain mahir ilmu silat Bu-tong-pai, setelah dipilih menjadi pengawal pribadi Bu Cek Thian, merekapun oleh permaisuri itu diperintahkan untuk memperdalam ilmu silat mereka dengan mempelajarinya dari jagoan-jagoan istana. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau mereka menjadi sepasang gadis kembar yang amat lihai.

Kelihaian mereka terutama sekali terletak dalam kerja sama mereka yang amat kokoh dan erat. Mereka memiliki kepekaan satu sama lain yang tidak dimiliki orang lain. Ada semacam hubungan batin di antara mereka sehingga mereka itu seolah-olah dapat saling mengerti kehendak dan dapat mengimbangi gerakan masing-masing seperti dua badan yang dikendalikan oleh satu pikiran saja.

“Li-hiap, sambutlah serangan kami!” seru Bi Hwa dan merekapun sudah bergerak maju.

“Tahan!” tiba-tiba terdengar seruan Bu Cek Thian dan sungguh luar biasa sekali, begitu mendengar seruan ini, dua orang gadis yang sudah mulai melakukan serangan itu tiba-tiba mencelat ke belakang seperti dipagut ular berbisa. Demikian kuat dan penuh wibawa perintah dari permaisuri itu sehingga Liong-li yang tadipun sudah siap siaga memandang heran dan kagum.

“Bi Cu dan Bi Hwa, kalian ingat. Sekali-kali tidak boleh menyebut li-hiap kepadanya, apalagi di depan orang lain. Sebut saja namanya. Namanya Siauw Cu, mengerti?”

Dua orang wanita kembar itu memberi hormat dengan menekuk sebelah lutut di depan permaisuri itu dan dengan suara berbareng mereka berkata. “Baik, Yang Mulia. Hamba mentaati perintah.”

“Nah, sekarang seranglah, akan tetapi yang sungguh-sungguh. Kalau kalian mampu mengalahkan Siauw Cu, kalian akan kuberi hadiah!” kata sang permaisuri. yang duduk bersandar di kursinya dengan sikap santai dan sinar matanya berseri tanda bahwa hatinya gembira.

Kembali dua orang wanita kembar itu sudah menghadapi Liong-li dengan kuda-kuda mereka yang gagah. Mula-mula kedua kaki mereka dipentang miring dan kedua tangan di pinggang, lalu perlahan-lahan kaki kanan diangkat ke lutut kiri dan tubuh mereka tegak, lengan kanan tetap ditekuk di pinggang dan tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan telunjuk menuding ke arah atas lurus, kepala miring menghadapi lawan.

“Majulah, enci berdua!” kata Liong-li dengan wajah berseri dan mulut tersenyum. Ia sama sekali tidak berani memandang rendah, akan tetapi juga sikapnya amat tenang seolah-olah ia merasa yakin bahwa dua orang pengeroyok itu tidak akan mampu mengalahkannya.

“Haiiittt......!” Bi Cu menyerang dengan luncuran tubuhnya yang menerjang ke depan dari kiri, tangan kanannya dengan jari terbuka menusuk ke arah dada kanan Liong-li.

“Hyaaattt......!” Bi Hwa juga berteriak dan sudah menerjang dari depan kanan dengan tendangan kakinya ke arah pinggang.

Menghadapi serangan dua orang yang dilakukan dengan berbareng ini, Liong-li bersikap tenang, memutar kedua lengan dari atas ke bawah untuk menangkis dua serangan itu.

“Plak! Plakk!” Kedua lengannya dapat menangkis tangan dan kaki dua orang lawannya, akan tetapi dua orang wanita kembar itu sudah memutar tubuh dan kembali menyerang dengan lebih cepat dan lebih kuat lagi. Kini Bi Cu mencengkeram ke arah pundak dan Bi Hwa menendang untuk membabat kaki lawan.

Liong-li meloncat menghindarkan sabetan kaki dan terus menarik tubuh ke belakang untuk menghindarkan cengkeraman, dan ketika tubuhnya meloncat ke atas itu, kedua kakinya terpentang dan menyambar dengan kakinya ke arah dua orang lawannya yang berada di depan kanan kiri. Sungguh merupakan serangan yang aneh dan tidak terduga. Tidak mudah meloncat sambil melakukan tendangan kedua kaki pada saat yang sama ke arah dua jurusan ini. Namun tendangan itu cepat dan kuat sekali.

Hal ini dapat diketahui oleh dua orang wanita kembar itu yang tidak berani sembarangan menangkis, melainkan cepat melangkah mundur ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran sepatu yang di bawahnya dipasangi baja itu.

Karena tendangannya tidak mengenai sasaran, tubuh Liong-li membuat pok-say (salto) sampai tiga kali di udara dan begitu turun, tubuhnya sudah menerjang ke arah kedua orang lawannya seperti seekor burung garuda menyambar!

“Bagus......!” seru Bu Cek Thian yang merasa kagum bukan main. Permaisuri ini tidak bisa ilmu silat, akan tetapi ia mengagumi keindahan gerakan Liong-li tadi, dari melayang ke udara, berjungkir balik tiga kali di udara kemudian turun menyambar seperti seekor burung garuda.

Dua orang wanita kembar juga cukup waspada, dan mereka sudah mengelak lagi dengan gesitnya. Begitu tubuh Liong-li turun, mereka sudah menyerang lagi dari kanan kiri dengan tenaga yang kuat sehingga pukulan atau tamparan tangan mendatangkan angin bersiutan.

Liong-li menghindarkan diri dengan mengelak atau menangkis, dan segera membalas dengan serangan yang tak kalah dahsyatnya. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan menarik.

Demikian cepat gerakan tiga orang wanita ini sehingga bagi pandang mata permaisuri Bu Cek Thian, sukarlah mengikuti bayangan tiga orang yang berkelebatan itu. Yang dapat ia bedakan hanyalah dua bayangan kuning berkelebatan di antara bayangan hijau karena Liong-li mengenakan pakaian berwarna kehijauan. Ia tidak tahu siapa yang mendesak, siapa pula yang terdesak.

Diam-diam dua orang gadis kembar itu terkejut setengah mati. Mereka berdua sudah memiliki ilmu silat tingkat tinggi dan kalau hanya para pengawal istana saja, jangan harap akan mampu menandingi mereka kalau mereka maju bersama. Bahkan selama ini, keamanan permaisuri terjamin karena mereka berdua tidak pernah meninggalkannya.

Akan tetapi sekarang, menghadapi Hek-liong-li, mereka sungguh menjadi bingung. Wanita itu dapat bergerak dengan kecepatan yang tak pernah mereka duga, bahkan juga tenaga Dewi Naga Hitam itu demikian kuatnya sehingga setiap kali mengadu tangan, mereka tentu terdorong dan terhuyung ke belakang!

Di lain pihak, Hek-liong-li sendiri juga kagum. Dua orang wanita kembar ini memang pantas menjadi pengawal kepercayaan permaisuri, karena mereka berdua merupakan lawan yang cukup tangguh baginya. Kalau saja ia tidak memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang ditunjang ilmu langkah ajaib Liu-seng-pouw, sukar baginya untuk dapat mengatasi pengeroyokan dua orang kembar yang memiliki kerja sama demikian baiknya.

Langkah-langkah ajaibnya membuat ia tidak pernah dapat tersentuh serangan mereka. Ia tidak berani menggunakan ilmunya yang ampuh dan mematikan seperti Hiat-tok-ciang karena ia tidak mau melukai atau membunuh mereka, maka kini ia merobah ilmu silatnya dan mulai memainkan ilmu silat Bi-jin-kun (Silat wanita cantik). Begitu ia mainkan ilmu silat ini, dengan gerakan diperlambat, sang permaisuri bertepuk tangan dan memuji.

“Bagus! Indah sekali......! Hei, Siauw Cu, engkau ini sedang berkelahi atau sedang menari?”

Memang Bi-jin-kun merupakan ilmu silat tangan kosong yang gerakannya seperti orang menari, indah dan lembut. Namun di balik kelembutan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat sehingga ketika pada suatu saat ia mendorongkan kedua lengannya dengan gerakan lemah gemulai, dua orang lawannya itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, hampir saja terjengkang!

Melihat ini, Bu Cek Thian segera bertepuk tangan dan berseru, “Sekarang kalian coba bermain pedang!”

“Singgg! Singgggg!” Nampak sinar putih berkilat ketika sepasang saudara kembar itu mencabut pedang mereka dari punggung dan mereka memasang kuda-kuda dengan menyilangkan pedangnya di depan dada.

Melihat ini, Liong-li tersenyum. Ia harus memperlihatkan kemampuannya, bukan saja untuk membuat sang permaisuri percaya kepadanya, akan tetapi juga untuk menundukkan keangkuhan dua orang saudara kembar ini agar kelak tidak lagi berlagak di depannya.

“Singgg!” Sinar hitam yang menyilaukan mata nampak ketika ia mencabut pedangnya.

“Aihhh! Itukah Hek-liong-kiam?” seru sang permaisuri kagum.

“Benar, Yang Mulia. Inilah Pedang Naga Hitam!” jawab Liong-li sambil memberi hormat, lalu dengan pedang di depan dada, menuding lurus ke atas ia menghadapi dua orang wanita kembar itu.

“Siauw Cu, sambutlah pedang kami!” Bi Cu membentak dan bersama saudara kembarnya ia telah menggerakkan pedangnya. Dua gulungan sinar putih menyambar-nyambar dengan ganasnya dan terdengar suara kedua pedang itu mendesing-desing ketika meluncur dengan ganasnya.

Namun sekali ini Liong-li tidak mau main-main lagi. Ia dapat menduga bahwa pedang-pedang di tangan kedua orang lawannya itu bukan pedang biasa. Sebagai pelindung atau pengawal pribadi permaisuri, tentu saja mereka memiliki pedang pusaka yang ampuh dan kuat, maka ia tidak khawatir bahwa Hek-liong-kiam akan merusak kedua pedang itu, asal ia tidak mempergunakan tenaga sin-kang terlampau kuat.

Melihat gerakan pedang mereka, ia semakin yakin bahwa mereka adalah ahli-ahli pedang dari Bu-tong-pai yang hebat. Dilihat dari gerakan mereka dan ketika bertanding dengan tangan kosong melawan tadi, ia tahu bahwa tingkat kepandaian dua orang kembar ini sudah cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan tingkat ilmu silat Cian Ciang-kun agaknya.

“Trang-tranggg......!” Bunga api berpijar ketika ketiga pedang itu saling bertemu.

Dua orang wanita kembar merasa betapa lengan kanan mereka tergetar hebat dan mereka terkejut sekali, meloncat ke belakang dan memeriksa pedang mereka. Sepasang pedang itu adalah pemberian Hong-houw, merupakan pusaka istana, maka tentu saja merupakan pusaka yang ampuh. Untung pedang mereka tidak rusak bertemu dengan pedang hitam di tangan Liong-li. Mereka maju lagi dan menyerang dengan gerakan yang lebih dahsyat.

Akan tetapi, mereka segera menjadi terkejut sekali menghadapi gulungan sinar pedang yang hitam dan amat kuatnya, seolah-olah sinar pedang itu menggulung sinar putih dari kedua pedang mereka dan membuat mereka sama sekali tidak ada kesempatan untuk menyerang. Liong-li kini tidak main-main lagi dan ia sudah memainkan Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu ilmu pedang yang diciptakannya bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay.

Sebetulnya ilmu pedang ini merupakan ilmu simpanan dari Liong-li dan tidak ia keluarkan kalau tidak perlu sekali. Akan tetapi sekali ini, walaupun dengan ilmu yang lain ia masih sanggup untuk menandingi dua orang gadis kembar, ia ingin memperlihatkan kepandaiannya kepada sang permaisuri agar percaya penuh kepadanya. Maka, ia mengeluarkan Sin-liong Kiam-sut itu dan begitu ia mainkan jurus-jurus ilmu ini, pedang hitamnya seperti berobah menjadi seekor naga hitam yang menyambar-nyambar dengan ganas dan dahsyatnya, seperti seekor naga hitam bermain-main di angkasa.

Dua gulungan sinar pedang putih itu semakin menyempit dan akhirnya tergulung sama sekali.

“Trangg! Trangggg......!” Dua orang gadis kembar itu terhuyung ke belakang dengan muka pucat karena ronce-ronce pedang mereka telah terbabat putus, dan mereka mengerti bahwa kalau tadi terjadi perkelahian yang sungguh, tentu mereka berdua sudah termakan pedang hitam di tangan lawan yang jauh lebih pandai dari mereka itu.

“Kami mengaku kalah!” mereka berdua menjura kepada Liong-li, lalu berlutut menghadap Bu Cek Thian. “Hamba berdua telah kalah, siap menerima hukuman.”

Akan tetapi Bu Cek Thian tidak marah, bahkan tersenyum lebar dengan wajah gembira.

“Kalian tidak perlu penasaran dikalahkan oleh Hek-liong-li yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia persilatan. Kembalilah ke tempat kalian!”

Dua orang itu menghaturkan terima kasih lalu pergi kembali berdiri di belakang sang permaisuri itu, pandang mata mereka kini tidak angkuh lagi dan bahkan mereka kini memandang kagum kepada Liong-li.

“Siauw Cu, simpan pedangmu baik-baik, agar jangan sampai diketahui orang lain. Berikan kepadaku, biar aku yang menyembunyikannya dan engkau boleh menggunakan jika perlu saja.”

Liong-li tidak berani membantah, lalu memberikan Hek-liong-kiam bersama sarungnya kepada permaisuri itu. Bu Cek Thian menyimpan pedang itu di dalam lubang yang berada di bagian bawah kursinya sehingga tidak nampak dari luar karena ada tutupnya.

Liong-li memandang kagum. Kiranya kursi berukir yang indah itu mengandung alat-alat rahasia pula untuk melindungi keselamatan sang permaisuri yang amat cerdik itu.

Baru saja Permaisuri Bu Cek Thian menyimpan Hek-liong-kiam, dua orang dayang memasuki ruangan itu sambil berlarian dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Cek Thian.

Permaisuri itu seketika menjadi merah wajahnya dan matanya mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada dua orang dayang yang berlutut dengan tubuh gemetar dan muka pucat itu.

“Apakah kalian sudah bosan hidup? Berani masuk tanpa kami perintahkan?”

“Ampun, Yang Mulia, ampunkan hamba...... di luar ada pangeran Souw Cun yang memaksa masuk. Para penjaga dan dayang telah berusaha untuk menghalanginya, namun hamba semua mendapat pukulan dan tendangan......”

Belum habis dayang itu melapor, terdengar seruan marah di luar ruangan itu. “Kalian berani menghalangi aku? Mau mati??”

Dan muncullah seorang pria berpakaian mewah memasuki ruangan itu dengan sikap marah, akan tetapi begitu dia melihat Permaisuri Bu Cek Thian, dia cepat merubah sikapnya. Dengan sikap sopan dan lembut dia lalu menghampiri dan memberi hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan di depan dada. Dia membungkuk sampai dalam di depan wanita yang anggun dan berwibawa itu.

“Pangeran, apa artinya ini? Engkau masuk begitu saja tanpa kupanggil dan memukuli para pengawal dan dayang kami?” Bu Cek Thian menegur, namun suaranya tetap lembut.

Sementara itu, dalam keadaan masih berlutut, diam-diam Liong-li memperhatikan pangeran itu. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih tigapuluh tahun, tinggi kurus, wajahnya tampan dan pesolek, matanya tajam dan lagaknya congkak.

Dari gerak geriknya, Liong-li menduga bahwa pangeran ini bukan seorang lemah, dan agaknya memiliki kepandaian silat. Hal ini dapat diketahui dari langkahnya. Sinar mata yang tajam itu membayangkan kecerdikan dan seketika Liong-li tahu bahwa ia harus berhati-hati terhadap orang ini.

“Selamat pagi, Ibu Permaisuri!” katanya dan suaranya juga lembut namun nyaring dan penuh semangat. “Para pengawal dan dayang itu yang tidak tahu diri. Bagaimana mereka berani mencegah saya masuk ke sini menghadap paduka? Ibunda adalah ibuku, dan sudah selayaknya kalau saya sebagai puteranda datang pada pagi hari ini untuk menghaturkan selamat pagi, bukan? Saya harus mematuhi pelajaran yang saya dapatkan dari Bouw Sianseng (bapak guru Bouw)......”

“Hemmm, pelajaran apa yang kaudapatkan dari Bouw Sianseng yang menjemukan itu?” Permaisuri Bu Cek Thian bertanya, nada suaranya ingin tahu sekali.

“Bahwa seorang kun-cu (budiman) mengenal tiga macam hauw (bakti), yaitu pertama berbakti kepada Thian (Tuhan), kedua berbakti kepada Negara, dan ketiga berbakti kepada orang tua, terutama ibu. Nah, kalau pagi-pagi saya mencari ibunda untuk menghaturkan selamat pagi, itu adalah untuk memenuhi Hauw yang ketiga itulah.”

Diam-diam Liong-li memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda yang amat cerdik, pikirnya, akan tetapi juga ia merasa geli mendengar alasan yang jelas dicari-cari itu.

“Huh! Pelajaran dari orang yang menjemukan itu bisa menyesatkanmu, Souw Cun! Buktinya, engkau ingin berbakti, akan tetapi telah melanggar peraturan, menggangguku dengan hadir di sini tanpa kupanggil!”

Pemuda itu membelalakkan mata dan mengangkat sepasang alisnya, lalu memandang ke sekeliling. “Aih, kiranya saya telah mengganggu paduka, ibunda Permaisuri? Akan tetapi saya tidak melihat paduka sedang bercengkerama, tidak mengadakan rapat atau persidangan, bahkan hanya ditemani si kembar dan ini...... ah, siapakah gadis jelita ini, ibunda?”

Kini Pangeran Souw Cun memandang kepada Liong-li yang masih berlutut dan menundukkan mukanya. Jantungnya berdebar tegang karena ia merasa seolah-olah sikap pangeran itu dibuat-buat. Bukan tidak mungkin kalau pangeran ini sudah tahu atau dapat menduga siapa ia, atau setidaknya menaruh curiga kepadanya!

“Ah, ia dayangku yang baru, namanya Siauw Cu,” kata sang Permaisuri dengan sikap acuh.

“Siauw Cu? Mustika kecil? Wah, nama yang cocok sekali dengan orangnya. Manis, coba kau angkat mukamu, aku ingin melihatnya!” kata pangeran itu.

Dengan sikap seorang gadis yang bodoh dan penakut, Liong-li semakin menundukkan mukanya dan suaranya gemetar ketika ia menjawab lirih.

“Ampun...... hamba..... tidak berani......”

“Hemm, berani engkau membantah?” Tiba-tiba tangan kanan pangeran itu menangkap dagu Liong-li dan wanita ini merasa betapa jari-jari tangan itu mengandung tenaga kuat dan kalau ia mengerahkan tenaganya, tentu jari-jari tangan itu akan mencengkeram. Ia bersikap wajar saja, nampak ketakutan dan menurut saja ketika dagunya didorong naik sehingga mukanya tengadah.

“Hmm, cantik jelita...... manis sekali dayang ini, ibunda Permaisuri!” kata Pangeran Souw Cun sambil tertawa.

“Souw Cun, lepaskan dayangku!” teriak sang Permaisuri dengan suara marah.

Pangeran itu melepaskan tangannya sehingga Liong-li menunduk kembali dan kini ibu tiri dan pangeran itu saling pandang dengan sinar mata saling menentang.

“Ibunda, dayang yang satu ini berikan saja kepada saya. Puteranda suka sekali melihat wajahnya,” kata pangeran itu.

“Tidak! Tidak boleh! Siauw Cu baru saja kuangkat menjadi dayang dan ia akan kujadikan dayang pribadiku. Dan engkau tidak boleh mengganggunya, pangeran!”

Pangeran Souw Cun tertawa, dan ketika dia tertawa, jelas bahwa sikap hormatnya tadi kepada sang permaisuri hanya pura-pura saja. Ketika tertawa nampak bahwa sesungguhnya, di balik sikap hormat itu dia tidak suka kepada ibu tirinya ini! Hal itu tampak jelas sekali oleh Liong-li yang melirik dari bawah.

“Ha-ha, mohon paduka mengampuni saya, ibunda. Kalau saya tadi meraba mukanya, hal itu hanya untuk melihat kecantikannya, dan untuk membuktikan bahwa ia benar seorang wanita!”

“Pangeran! Apa maksud ucapanmu itu?” sang permaisuri membentak.

“Ibunda permaisuri yang mulia, seorang pemuda yang tampan dan lembut mudah saja menyamar aebagai seorang gadis. Ibunda, Puteranda mohon mengundurkan diri!”

Dan tersenyum lebar pangeran itu meninggalkan ruangan setelah menjura dengan sikap hormat sekali kepada Permaisuri yang memandang dengan mata melotot dan muka merah karena marah.

“TUTUP pintu ruangan ini dan jaga yang rapat. Jangan biarkan siapapun memasuki ruangan ini, biar kaisar sendiripun sebelum kuberi ijin masuk!” teriak sang permaisuri dengan marah sekali sehingga ucapannya itu sudah menyimpang dari peraturan.

Mana mungkin sang permaisuri memerintahkan pengawalnya untuk melarang kaisar sendiri? Hal itu hanya menunjukkan betapa besar kemarahannya.

Setelah pintu ditutup kembali, kini yang berada di ruangan itu hanya sang Permaisuri Bu Cek Thian, dua orang pengawal pribadi gadis kembar dan Liong-li.

Kini Bu Cek Thian menyandarkan diri di kursinya dan menarik napas panjang. “Menyebalkan, sungguh menyebalkan. Anak itu makin besar kepala dan semakin berbahaya saja!” katanya seperti kepada dirinya sendiri.

“Yang Mulia, maaf pertanyaan hamba. Nampaknya...... Pangeran Souw Cun kurang..... Eh, kurang suka kepada paduka. Benarkah dugaan hamba?” tanya Liong-li dengan hati-hati.

Permaisuri itu memberi isyarat kepada dua orang pengawal pribadinya dengan gerakan kepala ke arah jendela dan pintu. Dua orang wanita kembar itu cepat berloncatan ke pintu dan jendela, memeriksa semuanya dan segera kembali dan berdiri lagi di belakang sang permaisuri setelah mengangguk memberi isyarat bahwa semua dalam keadaan terkunci dan aman, tidak ada orang yang mendengarkan di luar jendela atau pintu.

Biarpun demikian, permaisuri itu masih menggapai kepada Liong-li agar berlutut lebih dekat. Liong-li lalu maju dan duduk bersimpuh di depan kursi sang permaisuri.

“Siauw Cu, engkau telah kuangkat sebagai dayang pribadiku, juga pembantu dan pelindungku, membantu tugas kedua orang pengawal pribadiku ini. Oleh karena itu engkau boleh mengetahui semua rahasia yang kami ketahui atau kami duga.”

Liong-li merasa tidak enak. Ia tidak ingin mengetahui rahasia istana kecuali rahasia Si Bayangan Iblis karena adanya ia di istana adalah untuk menanggulangi kekacauan yang dilakukan oleh Bayangan Iblis. Ia tidak ingin terlibat dengan urusan istana dan keluarga kaisar.

“Mohon paduka ingat bahwa tugas hamba adalah untuk menyelidiki si Bayangan Iblis seperti telah hamba janjikan kepada Cian Ciang-kun. Oleh karena itu, hamba mohon petunjuk paduka tentang semua hal yang mengenai kegiatan Si Bayangan Iblis.”

“Hemm, Siauw Cu! Berapa kali engkau menekankan bahwa engkau adalah pembantu Cian Hui. Tahukah engkau bagaimana Cian Hui sampai terlibat dalam urusan ini? Akulah yang mendesak Kaisar untuk memanggil dia dan menyerahkan tugas ini kepadanya! Dan Kaisar telah menyerahkan kepadaku untuk mengatur semua penyelidikan ini sampai berhasil! Dengan demikian, maka engkau sebagai pembantu Cian Hui berarti juga menjadi anak buahku. Mengerti?”

Diam-diam Liong-li terkejut. Cian Ciang-kun tidak pernah bercerita tentang ini kepadanya. Ia belum pernah selama ini membayangkan bahwa permaisuri kaisar ternyata seorang wanita yang demikian luar biasa cerdiknya, juga agaknya memegang kekuasaan yang amat besar di istana, dan ia tidak akan merasa heran kalau wanita seperti ini dapat menguasai pula kaisar dan seluruh penghuni istana! Akan tetapi, juga agaknya permaisuri ini menyimpan suatu rahasia yang kalau diketahui umum amat merugikannya, dan agaknya ia dapat menduga apa rahasia itu.

Pertama ia pernah melihat thai-kam muda berkeliaran di waktu malam di daerah yang dihuni sang permaisuri, dan kedua, sindiran dari Souw Cun, pangeran tadi, membayangkan bahwa pangeran itu agaknya mencurigai terjadinya penyelundupan pemuda tampan yang menyamar sebagai dayang!

Dan melihat sinar mata tajam dan jalang dari permaisuri ini, Liong-li dapat menduga bahwa permaisuri ini memiliki gairah nafsu berahi yang amat besar sehingga besar sekali kemungkinannya ia suka melampiaskan gairahnya itu di luar kamar sang kaisar! Ia sudah banyak mendengar tentang kehidupan para wanita di dalam harem kaisar, banyak wanita yang hanya melayani seorang pria saja, yang sudah tua dan lemah pula sehingga banyak di antara para wanita itu tentu saja merasa tersiksa, tidak terpenuhi kebutuhan gairah mereka sehingga walaupun selalu dijaga ketat, mereka itu senantiasa mencari kesempatan untuk dapat menyalurkan gairah mereka lewat penyelewengan.

“Hamba siap menerima perintah paduka dan mendengar semua keterangan dari paduka,” akhirnya ia berkata.

“Duduklah di atas kursi itu dan dekatkan kursinya ke sini, Siauw Cu. Tidak enak bicara kalau engkau berlutut di situ.”

Siauw Cu atau Liong-li mentaati perintah ini dan ia sudah duduk di atas sebuah kursi yang diangkatnya dekat di depan sang permaisuri dan siap mendengarkan dengan menundukkan muka dan dengan sikap hormat. Setelah duduk berhadapan dengan dekat, ia melihat bahwa wanita yang usianya sudah empatpuluh tahun lebih ini masih memiliki kulit muka, leher dan tangan yang putih mulus dan belum ada keriputnya. Wajah itu terhias rapi sekali, pakaiannya juga amat mewah indah rapi, rambutnya mengkilap dan dari pakaian dan rambutnya itu semerbak harum.

Seorang wanita yang cantik dan pandai sekali merawat dirinya sehingga nampaknya baru berusia tigapuluh tahun saja! Entah bagaimana, ia diam-diam merasa ngeri, seperti kalau berdekatan dengan seekor ular cobra yang amat berbahaya, yang tidak diketahui kapan akan menyerang, dan setiap serangannya mengandung cengkeraman. maut!

Dengan suara bisik-bisik, Permaisuri Bu Cek Thian menceritakan keadaan di dalam istana yang amat menyeramkan hati Liong-li. Menurut cerita itu, kiranya di dalam istana, di antara keluarga kaisar, terdapat suatu pertentangan, suatu permusuhan diam-diam, kebencian dan persaingan yang mengerikan. Walaupun semua itu tidak nampak sama sekali, ditutup oleh sikap berkeluarga dan taat kepada kaisar!

“Engkau tentu tahu bahwa aku adalah Permaisuri, juga calon Ibu Suri karena puteraku, Pangeran Tiong Cung, adalah seorang Putera Mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan ayahnya, yaitu Sribaginda Kaisar. Namun, di samping puteraku sebagai putera mahkota, masih terdapat banyak lagi pangeran lain, juga puteri-puteri kaisar dan mantu-mantu kaisar.

“Mereka semua itu saling bersaing untuk mendapatkan kedudukan tertinggi, saling berlomba untuk mengambil hati Sribaginda Kaisar dan untuk itu mereka tidak segan-segan untuk saling melempar fitnah, bahkan saling serang secara terbuka, tentu saja tidak di depan Sribaginda Kaisar. Sribaginda Kaisar terlalu sibuk dengan urusan negara sehingga tidak ada waktu lagi untuk memusingkan diri tentang urusan keluarga sehingga keadaan keluarga kami menjadi semakin kacau. Dan di dalam kekacauan ini, tiba-tiba saja muncul peristiwa pembunuhan-pembunuhan yang misterius itu.”

Permaisuri Bu Cek Thian menghela napas panjang dan ia nampak khawatir, dan baru sekarang Liong-li melihat wanita yang cerdik dan pandai itu nampak gelisah, tidak disembunyikan lagi.

“Akan tetapi, Yang mulia, apa hubungannya pembunuhan-pembunuhan yang kabarnya dilakukan oleh si Bayangan Iblis itu dengan persaingan di antara keluarga kerajaan?” Liong-li memancing.

“Memang tadinya kami menganggap bahwa itu hanya merupakan persaingan yang terjadi di antara para pejabat tinggi di kota raja yang saling memperebutkan kedudukan. Akan tetapi, semakin lama keadaannya menjadi semakin mencurigakan. Bahkan keselamatan diriku sendiri terancam!”

Kini wajah permaisuri itu menjadi pucat dan hal ini tidak dilewatkan oleh pandang mata Liong-li yang tajam.

“Pernahkah ada serangan yang ditujukan kepada paduka?”

Sang Permaisuri menjebikan bibir bawahnya yang merah dengan sikap menghina. “Mereka takkan mampu! Kalau saja mereka berani memperlihatkan diri, pasti akan dapat tertangkap! Pasukan pengawalku cukup kuat, ditambah pasukan rahasia, dan masih ada lagi Bi Cu dan Bi Hwa. Akan tetapi pada suatu malam pernah Bi Cu dan Bi Hwa mendengar suara mencurigakan di luar kamarku di taman. Mereka mengejar, akan tetapi bayangan itu melarikan diri dan meninggalkan sebatang senjata rahasia beracun yang agaknya tercecer.”

“Ah, kalau begitu menurut paduka, Si Bayangan Iblis itu berada di dalam istana?”

Permaisuri itu menggeleng kepalanya, “Aku tidak tahu. Mungkin pemimpinnya berada di istana, mungkin juga yang berkeliaran di istana itu hanya anak buah saja. Siapa tahu? Tugasmulah untuk menyelidikinya. Yang jelas, istana ini telah dijamah oleh tangan gerombolan penjahat yang mungkin saja dipergunakan orang yang memperebutkan kedudukan dan mereka memiliki orang-orang yang berkepandaian tinggi.”

“Hamba yakin bahwa setidaknya pimpinan mereka, bahkan mungkin Si Bayangan Iblis sendiri, bersembunyi di dalam istana, Yang Mulia.”

“Bagaimana engkau dapat yakin?”

“Cian Ciang-kun bukan seorang bodoh dan dia sudah menyebar para penyelidiknya di kota raja, namun tak pernah dapat menemukan jejak Si Bayangan Iblis. Hal itu membuktikan bahwa Si Bayangan Iblis tentu mempunyai tempat persembunyian yang tidak dapat dimasuki para penyelidik, dan tempat seperti itu, di mana lagi kalau bukan dl istana? Dan setelah mendengar keterangan paduka, hamba yakin bahwa dia berada di dalam istana induk, di bagian putera!”

“Hemm, bagaimana engkau dapat menduga begitu?”

“Yang Mulia, kalau kepala penjahat itu berada di istana bagian puteri, bagaimana mungkin dia dapat lolos dari pengamatan paduka yang arif bijaksana?”

Bersinar sepasang mata yang indah itu karena ia yakin bahwa ucapan itu bukan sekedar pujian kosong belaka. “Siauw Cu, engkau memang cerdik sekali. Dugaanmu sama dengan dugaanku, kalau Si Bayangan Iblis benar bersembunyi di dalam istana, tentu dia berada di bagian putera!”

“Hamba tahu dan yakin kebijaksanaan dan kecerdikan paduka. Apakah paduka telah menemukan orang yang paduka curigai, yang patut menjadi Si Bayangan Iblis?”

Permaisuri itu mengerutkan alisnya. “Inilah yang membingungkan, dan ini pula yang membuat kami ingin menahanmu di sini agar membantu kami. Di istana memang terdapat banyak orang yang pandai ilmu silat tinggi, namun mereka adalah hamba-hamba yang setia dan tidak mungkin mengacau. Bahkan merekapun giat membantu untuk menangkap penjahat, namun tak pernah berhasil. Menurut penglihatanku, tidak ada yang dapat dicurigai, dan tidak terdapat orang luar yang mungkin bersembunyi di dalam istana.”

“Dia mungkin saja menyamar, Yang Mulia. Mungkin menyamar sebagai perajurit pengawal biasa, sebagai pelayan, tukang kebun, pekerja kasar, atau juga bukan tidak mungkin kalau anggauta keluarga sendiri yang menjadi pemimpin. Maafkan pendapat hamba ini.”

“Tidak mengapa, Siauw Cu. Memang pendapatmu itu masuk di akal. Dan jalan satu-satunya agar kita dapat membongkar rahasia ini adalah bahwa engkau harus dapat diselundupkan ke dalam istana induk bagian pria.”

Berdebar rasa jantung Liong-li mendengar ini. “Akan tetapi. Yang Mulia. Bagaimana mungkin? Hamba seorang wanita dan........”

“Aku tahu. Engkau wanita dan cantik jelita lagi masih muda. Tak mungkin engkau menjadi hamba pekerja kasar, karena engkau terlalu cantik. Satu-satunya jalan yalah bahwa engkau harus masuk ke sana sebagai seorang dayang atau seorang selir.....”

“Tapi......!” Liong-li terkejut.

“Menjadi selir Sribaginda tidak mungkin karena hal itu tentu akan menyolok dan menarik perhatian. Akan tetapi menjadi dayangpun engkau tetap akan diganggu oleh para pangeran dan para pekerja pria di sana, dan engkau kurang dihormati karena setiap perajurit pengawalpun akan berani menggoda dan mengganggumu. Kalau menjadi selir seorang pangeran baru engkau akan terlindung. Eh, tadi Pangeran Souw Cun ingin mengambilmu sebagai dayangnya. Bagaimana kalau aku minta agar engkau dijadikan selirnya yang baru?”

Liong-li bergidik. Ia akan dengan senang hati dan suka rela menyerahkan badannya kepada pria yang disukanya, dan ia sama sekali tidak suka kepada Pangeran Souw Cun walaupun pangeran itu cukup tampan. Yang menarik hati pendekar wanita ini bukan sekedar ketampanan wajah saja. Bahkan ia condong membenci kepada pangeran itu yang dianggapnya membayangkan kepalsuan dan kekejian.

“Ampun, Yang Mulia. Hamba...... hamba mengabdikan diri dengan kepandaian hamba bukan dengan tubuh hamba. Hamba...... tidak suka menjadi selir pangeran itu......” lalu disambungnya oepat, “Hamba tidak akan menyerahkan diri kepada pria manapun yang tidak hamba sukai......”

Tadinya Liong-li merasa khawatir kalau-kalau permaisuri itu akan marah akan tetapi ternyata tidak. Permaisuri Bu Cek Thian tersenyum dan wajahnya nampak semakin cantik, lalu ia menoleh ke belakang.

“Bi Cu dan Bi Hwa, Siauw Cu ini seorang wanita gagah yang bijaksana. Jangan engkau khawatir, Siauw Cu. Kalau engkau tidak ingin tubuhmu dijamah pria yang tidak kausukai, biar kuselundupkan engkau sebagai selir seorang pangeran yang aku percaya, seorang pangeran yang baik sekali dan kalau engkau tidak menghendaki, aku yakin dia tidak akan suka menyentuhmu.”

Liong-li hampir tidak percaya akan keterangan ini. Mana mungkin di dunia ini ada seorang laki-laki, apa lagi kalau dia pangeran, yang tidak akan mau menyentuh seorang wanita yang telah menjadi selirnya, kalau wanita itu tidak mau menyerahkan diri dengan suka rela?

Sudah terlalu banyak ia mendengar akan nasib para wanita yang dipaksa menjadi dayang atau selir para bangsawan, kalau tidak diperkosa secara biadab, tentu ditundukkan dengan obat bius, dengan obat perangsang, atau dengan alat lain. Namun, terhadap segala macam obat atau cara lain itu ia tidak takut. Asal pangeran itu tidak memaksanya, ia mampu menjaga diri.

“Siapakah pangeran itu, Yang Mulia?”

“Dia Pangeran Souw Han, usianya baru duapuluh tahun dan berbeda dengan para pangeran lain, sampai sekarang dia belum mempunyai seorangpun selir. Bahkan beberapa orang gadis yang menjadi dayang dan pelayannya, belum pernah ada yang diganggunya. Dia seorang yang tekun mempelajari sastera dan seni dan tidak pernah mau memperebutkan kedudukan sehingga tidak seorangpun membencinya di istana ini. Nah, dengan menjadi selirnya, lain orang tidak akan berani mengganggumu dan engkau dapat dengan leluasa melakukan penyelidikan. Dan dia sendiripun tidak akan mengganggumu, Siauw Cu.”

“Tapi, Yang Mulia. Kalau beliau tidak pernah mau mempunyai selir, bagaimana hamba dapat menjadi selirnya? Tentu beliau akan menolak.”

“Hemm, kalau aku sendiri yang menghadiahi seorang selir kepadanya, bagaimana dia berani menolaknya? Dia amat sopan dan tahu aturan. Engkau akan menjadi selir pertamanya, akan tetapi aku yakin, kalau engkau tidak mau dijamahnya, dia terlalu angkuh untuk merendahkan diri memaksamu. Bagaimana?”

Liong-li tertarik sekali. Kalau memang ada seorang pangeran yang seperti itu, tentu ia akan aman dan akan mudah sekali melakukan penyelidikan. “Akan tetapi, bagaimana kalau beliau curiga kepada hamba?”

“Tidak. Sudah kukatakan, Pangeran Souw Han tidak mau mencampuri urusan persaingan. Kalau kujelaskan kepadanya bahwa engkau kuselundupkan sebagai selirnya untuk menyelidiki Si Bayangan Iblis, tentu dia tidak akan menaruh curiga lagi kepadamu.”

“Baiklah kalau begitu, Yang Mulia.”

Y

Hek-liong-li mengerling ke arah pemuda itu dan jantungnya berdebar penuh kagum. Seorang pemuda yang masih muda sekali, usianya paling banyak duapuluh tahun, namun sikapnya demikian dewasa. Begitu tenang, begitu wibawa, begitu sopan santun ketika dia menghadap Sang Permaisuri yang mengundangnya.

Pemuda itu begitu memasuki ruangan, langsung saja menghampiri sang permaisuri, tidak sedikitpun melirik kepadanya atau kepada Bi Cu dan Bi Hwa. Dengan sikap hormat dia berlutut dengan sebelah kaki dan merangkap kedua tangan di depan dada.

“Semoga Thian selalu melindungi Ibunda dalam keadaan sehat dan bahagia selalu,” katanya. Ucapannya juga lembut dan halus, dengan kata-kata yang indah.

Bukan main pemuda ini, pikir Liong-li. Amat menarik, amat mengagumkan, akan tetapi juga membuat orang merasa canggung dan segan! Dengan sudut kerling matanya, tidak berani terlalu menyolok, diam-diam Liong-li mempelajari pemuda yang kini sudah dipersilakan duduk di atas kursi berhadapan dengan Sang Permaisuri itu.

Pangeran Souw Han yang menghadap itu usianya kurang lebih duapuluh tahun, pakaiannya seperti pakaian pangeran, akan tetapi tidak terlalu mewah, bahkan mirip pakaian seorang sasterawan, hanya terbuat dari sutera halus dan topinya menunjukkan bahwa dia seorang pangeran.

Pakaian itu rapi dan bersih, akan tetapi tidak pesolek, bahkan sederhana. Juga ketika dia memasuki ruangan itu, tidak tercium semerbak wangi seperti ketika Pangeran Souw Cun masuk tadi. Nampaknya seperti seorang pemuda biasa, namun wajahnya dan pembawaannya sungguh membuat Liong-li kagum bukan main.

Sudah banyak ia berteman pria, akan tetapi belum pernah bertemu dengan seorang pria setampan ini, sehalus ini. Seperti wanita berpakaian pria saja! Hanya sepasang alis berbentuk golok yang hitam tebal itu saja yang menunjukkan dia seorang pria tulen, juga kalamanjing di lehernya.

Wajahnya berkulit demikian putih halus seperti dibedaki saja, dan kedua pipinya merah jambon seperti buah tomat, segar seperti pipi gadis remaja saja. Hidungnya agak besar dan mancung, sepasang matanya lebar dan lembut, dan mulutnya? Hampir Liong-li sukar mengalihkan pandang matanya dari mulut itu. Bibir itu begitu merah seperti dipoles gincu. Akan tetapi tidak, bibir itu memang merah karena segar dan sehat.

Ih, kau mata keranjang, Liong-li memaki diri sendiri dan iapun menundukkan pandang matanya yang tadi melekat di pipi dan bibir itu. Ia bukan seorang yang gila sex, bukan budak nafsu berahi. Ia hanya mau bermain cinta dengan pria yang benar-benar disukanya, bukan sembarang lelaki asal tampan saja! Akan tetapi ketampanan pangeran muda ini sungguh membuat ia terpesona, bukan membangkitkan gairah, hanya membangkitkan kagum dan heran mengapa di dunia ada seorang pria yang demikian tampannya! Seperti gambar saja!

“Anakku Pangeran Souw Han yang baik, sungguh engkau menyenangkan sekali hatiku. Terima kasih, pangeran. Dan engkau juga nampak sehat. Bagaimana dengan pelajaranmu? Aku mendengar engkau rajin sekali mempelajari sastera dan seni.”

“Berkat doa Ibunda Permaisuri, hamba memperoleh kemajuan dan dapat menikmati ilmu yang hamba pelajari.”

“Aihh, Souw Han. Lain kesempatan ingin sekali aku mendengarkan permainanmu yang-kim dan suling, juga ingin sekali mendengarkan engkau bersajak atau melukis. Akan tetapi sekarang, aku mengundangmu untuk suatu urusan yang penting sekali.”

Wajah yang tadinya menunduk dan hanya memandang ke arah sepatu ibu tirinya itu, kini diangkat dan sepasang mata yang lembut itu menatap wajah sang permaisuri dengan penuh pertanyaan. Belum pernah dia mempunyai urusan penting dengan Permaisuri atau dengan siapa saja. Setiap hari dia hanya sibuk dengan urusan pelajaran sastera dan seni.

“Ada urusan yang penting apakah, Ibunda?“

“Anakku, Souw Han, katakan dulu. Maukah engkau menolong aku?”

“Paduka tentu mengetahui bahwa hamba akan selalu mentaati perintah paduka, dan tentu saja suka membantu paduka dengan segala kemampuan hamba, asal saja perintah paduka itu benar dan sudah sepatutnya dilakukan oleh hamba sebagai putera paduka, Ibunda.”

Kembali Liong-li kagum. Jawaban itu demikian tepat dan benar, akan tetapi juga halus sehingga tidak akan menyinggung. Kalau permaisuri itu memiliki niat yang tidak patut, maka niat itu akan lenyap sebelum dinyatakan oleh jawaban itu.

“Tentu saja, anakku. Dengar baik-baik. Engkau tentu telah tahu akan kekacauan yang terjadi oleh ulah apa yang dinamakan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis), bukan?”

Biarpun sikapnya tetap tenang, namua Liong-li melihat betapa pangeran itu terkejut mendengar disebutnya nama itu. “Ibunda Permaisuri, hamba sudah mendengar akan tetapi hamba tidak mencampuri urusan itu yang seharusnya ditangani oleh para petugas keamanan.”

“Memang benar, anakku. Akan tetapi sampai kini usaha para petugas keamanan itu belum juga berhasil dan engkau tentu tahu berapa banyaknya korban yang telah jatuh. Apakah tidak sudah sepantasnya kalau engkau sebagai seorang pangeran ikut pula membantu agar penjahat yang membuat kekacauan itu tertangkap?”

Pangeran itu memandang heran, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak dan nampak indah. “Ibunda Yang Mulia, bagaimana seorang seperti hamba dapat membantu penangkapan seorang penjahat yang demikian lihainya?”

“Engkau bisa, anakku. Bahkan justeru kepadamulah aku menggantungkan harapan akan berhasilnya usaha kami untuk membongkar rahasia si Bayangan Iblis itu. Kau lihat wanita ini!” Sang Permaisuri menunjuk ke arah Liong-li yang masih duduk dengan kepala tunduk.

“Ia adalah dayangku yang kupercaya penuh bernama Siauw Cu. Ia seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi dan ialah yang kutugaskan untuk menyelidiki si Bayangan Iblis, bahkan menangkapnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dapat ia lakukan kalau ia tidak diselundupkan ke dalam istana induk, dibagian putera......”

“Ehhh? Jadi menurut Ibunda...... Si Bayangan Iblis itu berada di dalam istana?” Sang Pangeran benar-benar terkejut sekarang.

“Itu baru dugaan kami, anakku. Oleh karena itu untuk menyelidiki benar tidaknya dugaan itu, kami ingin menyelundupkan Siauw Cu ini ke sana. Dengan demikian, ia akan dapat melakukan penyelidikan dengan leluasa.”

“Lalu apa hubungannya dengan bantuan hamba, Ibunda?”

“Agar jangan menimbulkan kecurigaan komplotan si Bayangan Iblis, ia akan kuselundupkan ke sana sebagai selirmu, Pangeran!”

“Ahh......!” Wajah yang berkulit putih kemerahan itu kini menjadi merah sekali dan pangeran itu menoleh kepada Liong-li. Sejenak pandang mata mereka bertemu, akan tetapi melihat betapa pangeran itu menjadi merah mukanya seperti seorang perawan dilamar, Liong-li menjadi tidak tega dan iapun cepat menunduk.

“Bagaimana mungkin, Ibunda? Paduka mengerti bahwa hamba.... hamba tidak mempunyai selir dan belum ingin punya selir.....! Kenapa tidak Ibunda berikan saja kepada para kakak pangeran lain yang mempunyai banyak selir?”

Permaisuri Bu Cek Thian menggeleng kepala. “Aku tidak percaya kepada siapapun lagi di sana kecuali Sribaginda Kaisar dan engkau, anakku. Kalau kuberikan kepada puteraku, Pangeran Tiong Cung, akan lebih mencurigakan lagi. Hanya engkaulah satu-satunya orang dapat kupercaya, Pangeran. Demi ketenteraman istana, bahkan kota raja dan negara, bantulah kami. Terimalah Siauw Cu sebagai selirmu.”

“Tapi...... tapi..... ah, Ibunda. Bukan hamba tidak ingin membantu. Akan tetapi....... selir? Bagaimana kalau ia hamba terima sebagai dayang saja? Seorang dayang baru? Hamba sudah mempunyai lima orang gadis dayang, kalau ditambah seorang lagi tentu tidak mencurigakan.”

“Akan tetapi kalau menjadi dayangmu, Siauw Cu harus tidur bersama para dayang lainnya dan hal ini membuat ia tidak leluasa melakukan penyelidikan, anakku. Kalau sebagai selirmu, tentu boleh tinggal di kamarmu, dan malamnya ia dapat melakukan penyelidikan tanpa dicurigai orang lain.”

“Tapi...... tapi.... Ibunda.......”

“Dengar dulu, Souw Han anakku. Aku sudah mendengar bahwa engkau tekun mempelajari sastra dan seni, dan mendengar bahwa engkau sampai sekarang belum pernah dan belum suka bergaul dengan wanita sehingga belum mempunyai seorangpun selir. Akan tetapi, jangan engkau mengira bahwa Siauw Cu akan menjadi selirmu yang sungguh-sungguh!

“Kalau begitu, iapun tidak akan mau. Kalau ia mau menjadi selir sungguh-sungguh, tentu persoalannya lebih mudah dan ia sudah kuselundupkan menjadi selir Pangeran Souw Cun yang menginginkannya. Akan tetapi ketahuilah, anakku, Siauw Cu ini adalah seorang pendekar wanita.

“Ia bertugas menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis dan iapun hanya mau diselundupkan sebagai selir asal tidak diganggu pria manapun. Jadi, kalau menjadi selirmu sudah cocok. Engkau tidak ingin menjamahnya, dan iapun tidak ingin disentuh pria. Engkau hanya mengakuinya saja sebagai selir, menyembunyikannya di kamarmu dan malamnya engkau biarkan ia melakukan penyelidikan. Nah, tepat, bukan?”

Kini pandang mata pangeran itu mengamati Liong-li dengan penuh perhatian dan agaknya dia tertarik sekali. Belum pernah selamanya dia mendengar ada seorang wanita yang tidak mau dijamah pria, apa lagi pangeran! Dan di samping keheranannya, diapun kagum.

“Kalau begitu, tentu saja hamba tidak berkeberatan, ibunda Permaisuri. Walaupun tentu hamba akan digoda setengah mati oleh para pangeran lainnya.” Kemudian ditambahkannya sambil mengerling ke arah Liong-li, “Dan asal saja ia tidak menganggu pelajaran hamba!”

Liong-li menahan senyumnya, mengangkat muka memandang pangeran itu dan berkata. “Harap paduka tenangkan hati, Pangeran. Hamba berjanji tidak akan mengusik atau mengganggu paduka sedetikpun!”

Kembali dua pasang mata bertemu dan agaknya pangeran itu bergidik ketika melihat sepasang mata yang demikian indah dan jelitanya, juga yang mempunyai sinar mencorong, seperti mata harimau di malam hari!

“Nah, sekarang juga bawalah Siauw Cu bersamamu Pangeran. Dan agar tidak menimbulkan kecurigaan, Siauw Cu harus berdandan lebih dulu seperti layaknya seorang gadis yang baru saja diboyong oleh seorang pangeran, dan biar diantar oleh enam orang dayang pribadiku sehingga orang-orang akan tahu bahwa selir yang kau bawa merupakan hadiahku untukmu.”

Liong-li diajak masuk ke dalam kamar oleh seorang dayang yang dipanggil masuk dan ketika wanita ini merias dirinya di depan cermin, jantungnya berdebar tegang. Ia akan hidup sekamar dengan seorang pemuda yang demikian tampannya! Hemm, tentu membutuhkan pengerahan tenaga batin yang kuat agar jangan sampai tergugah gairah kewanitaannya.

Kalau pangeran ini bersikap lain, misalnya seperti Pangeran Souw Cun yang mata keranjang itu, tentu ia tidak perlu khawatir akan perasaan hatinya sendiri karena ia yakin bahwa sikap seorang pria seperti itu, yang mata keranjang dan kurang ajar, tentu tidak mungkin akan mampu menimbulkan gairahnya. Akan tetapi Pangeran Souw Han ini, hemmmm...... jantungnya berdebar tegang juga dan ia harus berhati-hati sekali menjaga dirinya sendiri.

Setelah Liong-li menyisir rambutnya, mengenakan pakaian yang lebih indah dari pada pakaian pelayan ketika ia menyamar Akim, lalu mengenakan bedak tipis dan membasahi kedua bibirnya dengan lidah, dayang yang tadi mengantarnya berias, memandang kagum.

“Nona...... sungguh cantik jelita......” kata dayang itu.

Liong-li tersenyum memandang kepada dayang itu, seorang gadis yang usianya paling banyak delapanbelas tahun dan berwajah manis sekali. Kalau berada di sebuah dusun, tentu gadis ini dapat menjadi kembang dusun yang menjadi rebutan semua pemuda. Akan tetapi di sini, di dalam istana ini, ia hanya seorang dayang, seperti benda hiasan, seperti setangkai bunga yang sudah dipetik dan ditaruh di dalam gedung indah, entah bagaimana nasibnya kelak.

Kalau ia bernasib baik, ia akan dipilih menjadi selir seorang pangeran. Kalau tidak, ia hanya akan menjadi dayang sampai akhirnya ia dipaksa melayani seorang pangeran atau diberikan kepada seorang ponggawa, seperti setangkai bunga yang dibuang begitu saja setelah dipetik, diremas dan menjadi layu.

“Engkau juga cantik, mudah-mudahan engkau akan mampu menjaga kecantikanmu itu,” kata Liong-li dan iapun bangkit setelah selesai berdandan. Ia lalu diantar oleh dayang itu kembali ke dalam ruangan tadi di mana permaisuri dan Pangeran Souw Han masih menantinya.

Permaisuri Bu Cek Thian mengangkat mukanya dan jelas sekali nampak kekaguman pada matanya ketika ia melihat Liong-li yang kini berdandan sebagai seorang selir, dengan pakaian yang lebih mewah dan lebih indah dibandingkan pakaian seorang dayang.

“Siauw Cu, sungguh...... sudah kuduga....., engkau cantik jelita sekali! Mata Pangeran Souw Cun sungguh tajam bukan main, sekali lihat saja dia sudah tahu bahwa engkau seorang wanita yang memiliki kecantikan luar biasa!”

Akan tetapi, Liong-li melihat betapa Pangeran Souw Han hanya memandang kepadanya sepintas lalu saja, seolah-olah ia hanya sebuah benda biasa saja yang tidak ada bedanya dibandingkan sebuah meja atau sebuah kursi. Dan di lubuk hatinya, ia merasa penasaran dan kecewa!

Baru sekarang ia merasakan kekecewaan dan penasaran seperti ini. Kecewa karena tidak dihiraukan oleh seorang pria! Pada hal biasanya, kalau ia terlalu diperhatikan pria, ia malah marah.

“Ibunda Permaisuri, hamba hanya mentaati perintah paduka ibunda, hanya untuk memberi tempat persembunyian kepada nona.... eh, Siauw Cu ini. Akan tetapi, hamba hanya dapat memberi waktu seminggu saja. Kalau sudah seminggu, hamba harap paduka mengambilnya kembali agar hamba tidak terlalu terganggu.”

Gemas juga perasaan hati Liong-li mendengar ucapan yang walaupun halus namun jelas menyatakan betapa pangeran itu merasa terganggu dan sebenarnya tidak suka kalau harus mengambilnya sebagai selir, walaupun hanya sebutannya saja demikian.

“Yang Mulia, hamba hanya minta waktu lima hari saja. Kalau selama lima hari hamba belum berhasil menemukan atau membongkar rahasia Si Bayangan Iblis, hamba akan keluar saja dari istana ini!” katanya kepada Sang Permaisuri, akan tetapi matanya mengerling ke arah pangeran muda itu.

Akan tetapi, sang Pangeran itu agaknya malah menyambut pernyataan Liong-li itu dengan gembira, “Bagus kalau begitu, lebih cepat lebih baik bagiku! Mari kita pergi. Ibunda, sudah siapkah para dayang yang akan menjadi pengikut?”

“Sudah,” kata Sang Permaisuri karena memang di situ kini sudah berlutut enam orang gadis dayang, yang akan menjadi “pengantar” Liong-li yang diangkat menjadi selir Pangeran Souw Han!

Dua orang perajurit thai-kam yang gendut dan kuat dipanggil. Mereka datang membawa sebuah joli karena seperti sudah menjadi kebiasaan, seorang selir adalah seorang wanita yang mendapat kehormatan, maka sudah berhak diangkut dengan sebuah joli. Berangkatlah rombongan itu, sang pangeran di depan dengan langkahnya yang halus, di belakangnya joli yang ditumpangi Liong-li digotong dua orang thai-kam, dan di belakangnya berjalan enam orang dayang permaisuri dalam barisan dua-dua yang rapi.

Semua penjaga dan perajurit pengawal mengenal Pangeran Souw Han, dan tahu pula bahwa enam orang dayang itu adalah dayang-dayang permaisuri, maka tidak ada seorangpun yang berani menghalangi atau bertanya ketika rombongan ini lewat, dari bagian puteri memasuki istana induk.

Dan sebentar saja tersiarlah berita di dalam istana bahwa pangeran Souw Han telah dihadiahi seorang selir oleh Permaisuri. Berita ini mendatangkan perasaan gembira kepada semua orang, di samping keheranan dan peristiwa ini tentu saja menjadi bahan pergunjingan karena selama ini mereka mengenal Pangeran Souw Han sebagai seorang pemuda yang sama sekali tidak mau berdekatan dengan wanita!

Tentu saja timbul keinginan tahu dari mereka untuk melihat seperti apa gerangan wanita yang terpilih menjadi selir pangeran yang disuka ini. Akan tetapi, selir itu jarang sekali keluar dari dalam kamar. Hanya beberapa orang dayang saja yang pernah melihatnya dan dari mulut merekalah tersiar berita, bahwa selir Pangeran Souw Han adalah seorang wanita yang cantik jelita seperti bidadari!

Y

Ketika enam orang dayang permaisuri yang mengantar Liong-li kembali ke istana bagian puteri, dan Liong-li sudah berada di dalam kamar Pangeran Souw Han, diperkenalkan kepada beberapa orang dayang pangeran itu, Liong-li merasa canggung juga. Ia bukanlah seorang perawan dusun yang pemalu. Ia seorang pendekar wanita yang sudah menjelajah dunia kang-ouw, sudah banyak pengalaman. Namun, kini diperkenalkan oleh “suaminya” yang lemah lembut itu kepada beberapa orang dayang, ia merasa canggung bukan main.

Dan ia melihat betapa beberapa orang dayang pelayan pangeran itu tidak ada yang cantik seperti dayang permaisuri, hanya wanita biasa saja namun cekatan dan sopan. Tahulah ia bahwa memang sang pangeran ini tidak suka diganggu wanita cantik! Ia merasa semakin penasaran, merasa seperti ditantang kecantikannya sebagai wanita.

Selamanya belum pernah ada secuwilpun ingatan dalam benaknya untuk memikat atau merayu pria. Dalam hal ini ia tinggi hati. Akan tetapi, keadaan Pangeran Souw Han sungguh membuat ia merasa rendah diri.

Kalau saja ia tidak ingat bahwa ia sedang menghadapi tugas penting yang berat, ingin rasanya ia menyambut keadaan yang dianggapnya sebagai tantangan terhadap kewanitaannya itu. Ingin rasanya ia menjatuhkan hati pangeran yang tinggi hati terhadap wanita itu agar pangeran itu tahu bahwa ia adalah seorang wanita sejati, seorang wanita cantik jelita yang membuat banyak pria terpesona, dan agar pangeran itu tidak memandangnya sebagai sebuah kursi atau meja saja!

Setelah Pangeran Souw Han memerintahkan semua dayangnya untuk keluar dari kamar, kini mereka hanya berdua saja di dalam kamar itu. Liong-li duduk di atas sebuah kursi, setelah tadi ia pindah dari tepi pembaringan. di mana ia disuruh duduk ketika pertama kali dibawa masuk kamar dan segera pindah ke kursi begitu para dayang keluar, sedangkan Pangeran Souw Han kini nampak berjalan-jalan hilir mudik, nampaknya bingung dam gelisah.

Dengan sudut matanya yang mengerling Liong-li mengikuti gerakan pemuda bangsawan itu dan hatinya merasa geli sekali, juga kasihan. Ia dapat membayangkan betapa kehadirannya di dalam kamar pangeran itu membuat dia menjadi salah tingkah, bingung dan agaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

“Pangeran,” ia memanggil lirih.

Hanya lirih saja namun agaknya mengejutkan pemuda itu karena dia tiba-tiba menghentikan langkahnya, membalik dan memandang kepadanya. Tidak menjawab, hanya memandang dengan penuh selidik. Mulutnya yang indah itu, dengan bibirnya yang merah segar, nampak agak cemberut, membuat Liong-li menjadi semakin geli.

“Pangeran, saya...... saya tidak ingin mengganggu paduka. Biarlah saya mengundurkan diri, di manakah saya harus tinggal? Di mana kamar saya?”

“Di mana lagi?” Pangeran itu berkata, bukan menjawab melainkan bertanya, dan mulutnya makin meruncing cemberutnya. “Aku tidak seperti para pangeran lain yang mempunyai banyak kamar! Kamarku hanya sebuah ini, kubikin cukup luas. Ini kamar tidurku, kamar kerjaku, kamar belajarku, kamar makan, kamar bersantai. Di sebelah itu kamar para dayang. Di mana lagi kau dapat tinggal?”

Pangeran itu menghela napas panjang, lalu menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi. Mereka duduk berhadapan, dalam jarak lima meter, saling pandang. Liong-li tersenyum simpul, Pangeran Souw Han cemberut.

Liong-li mengerling ke kanan kiri. Kamar itu memang luas, seperti empat buah kamar dijadikan satu, dan karena ruangan yang luas itu maka hawanya sejuk dan menyenangkan. Hanya ada sebuah tempat tidur di situ, yang didudukinya tadi. Tempat tidur yang bersih dan cukup lebar, cukup untuk empat orang dan longgar sekali kalau hanya untuk dua orang!

Ada meja kursi makan, meja kursi duduk, almari penuh buku, almari pakaian, pot-pot kembang, lukisan dan sajak-sajak dengan tulisan indah bergantungan. Lantainya bertilam permadani tebal. Sebuah kamar yang enak ditinggali! Apa lagi berdua dengan seorang pangeran seperti itu. Sayang muka yang tampan itu kini muram dan mulut yang indah itu cemberut.

“Tempat tidurnya....... hanya sebuah......?” Ia bertanya, hanya untuk memancing percakapan karena tanpa bertanyapun sudah jelas bahwa di situ hanya ada sebuah tempat tidur.

Pangeran itu mengangguk. “Tentu saja hanya sebuah! Hanya aku sendiri yang tidur di kamar ini, sejak aku, remaja!”

“Kalau begitu, biarlah saya tidur bersama para dayang di kamar sebelah saja, Pange- ran.”

“Itu baik sekali!” Pangeran Souw Han berseru gembira sambil bangkit berdiri, akan tetapi, segera sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan dia jatuh terduduk kembali.

“Tidak mungkin! Ibunda Permaisuri tentu akan marah kepadaku. Bagaimana mungkin seorang....... selir tidur di kamar dayang? Tentu akan dibicarakan orang dan menimbulkan kecurigaan, dan orang-orang akan tahu bahwa engkau hanya pura-pura saja menjadi selirku. Semua rahasia akan terbuka dan Ibunda akan marah kepadaku!”

“Kalau begitu, jangan khawatir, Pangeran. Biarlah kalau siang hari saya bersembunyi di sini. Dapat kulakukan pekerjaan membersihkan semua perabot di kamar ini, mengaturnya sehingga rapi. Kalau malam, diam-diam saya akan menyelinap keluar dan melakukan penyelidikan.......”

“Tapi tentu tidak semalam suntuk. Kalau engkau malam-malam kembali ke kamar ini.......”

“Tidak perlu paduka bingung. Saya dapat tidur di sudut sana itu, di atas lantai yang sudah ditilami permadani dan saya tidak akan mengganggu paduka. Paduka tidurlah seperti biasa di atas pembaringan paduka dan......”

Tiba-tiba pangeran itu bangklt berdiri dan memandang kepada Liong-li dengan mata bersinar dan alis berkerut. “Siauw Cu! Kaukira aku ini orang apa?”

Liong-li terbelalak. “Paduka? Paduka seorang pangeran yang terhormat......”

“Lebih dari itu, aku seorang laki-laki! Seorang laki-laki sejati, tahu engkau?”

Liong-li memandang heran, terkejut dan menelan ludah sambil mengangguk, tidak berani membuka mulut karena khawatir salah bicara.

“Dan kaukira seorang laki-laki sejati begitu tak tahu malu enak-enak tidur di atas pembaringan dan membiarkan seorang wanita menggeletak di atas lantai begitu saja? Huh! Kau kira aku seorang laki-laki yang tidak tahu tata susila, tidak tahu menghargai kaum wanita yang lemah?”

Sepasang mata yang jeli dan indah itu semakin terbelalak, akan tetapi bukan hanya karena kaget dan heran, melainkan kini penuh kagum. Bukan main pangeran ini! Sungguh jauh melampaui segala kekagumannya!

“Lalu...... lalu.... bagaimana maksud paduka? Saya..... hamba... hanya menurut saja.....”

“Kalau engkau ingin tidur, siang ataupun malam, engkau tidur di atas pembaringan ini, tidak boleh di atas lantai! Mengerti?” Pangeran itu berkata, suaranya masih lembut akan tetapi mengandung perintah yang tidak mau dibantah.

Liong-li mengangguk dan jantungnya berdebar aneh. Kiranya pangeran ini tidaklah seaneh yang ia sangka, kiranya masih sama saja dengan pemuda lainnya, menghendaki ia tidur bersamanya!

“Aku yang akan tidur di atas lantai!”

Buyarlah semua renungan Liong-li dan ia terkejut lagi, memandang aneh.

“Tapi...... tapi.... bagaimana mungkin hamba tidur di atas pembaringan sedangkan paduka, seorang pangeran...... tidur di lantai.....?” Liong-li benar-benar terkejut.

“Aku sudah biasa. Seringkali kalau membaca kitab ketiduran di lantai. Kalau hawa udara panas akupun tidur di lantai. Mengapa? Engkau wanita, sudah sepatutnya mendapat tempat terbaik.”

Liong-li menjadi bengong. Kalau saja ia seorang wanita cengeng tentu ingin ia menangis saat itu. Akan tetapi, ia tidak menangis, hanya mengamati wajah itu dan lupa bahwa ia berhadapan dengan seorang putera kaisar ia berkata, “Pangeran, paduka....... paduka adalah seorang jantan, seorang laki-laki yang...... hebat!”

Wajah yang berkulit putih halus itu menjadi kemerahan, “Hushh, jangan coba merayuku! Engkau duduk yang baik dan mari kita bicara. Engkau harus berterus terang karena aku harus mengenal benar siapa wanita yang tidur di kamarku. Siapa namamu?”

Liong-li tersenyum. Kini ia mengenal watak pangeran ini. Seorang pangeran yang berwatak halus, bukan saja halus budi bahasanya, juga wataknya amat baik, dan kiranya di antara seribu orang pangeran belum tentu dapat menemukan seorang yang seperti ini! Ia sudah percaya seribu persen kepada Souw Han.

“Nama saya? Siauw Cu........” ia masih mencoba.

“Huh, kaukira aku bisa dibohongi begitu saja? Namamu Siauw Cu adalah nama yang diperkenalkan Ibunda Permaisuri kepadaku. Sebenarnya, tentu engkau seorang gadis perkasa yang berilmu tinggi, kalau tidak demikian, tak mungkin engkau disuruh menangkap Si Bayangan Iblis. Hayo katakan, siapa namamu dan dari mana engkau datang?”

Bukan main, pikir Liong-li, pangeran ini sungguh memiliki banyak segi yang mengagumkan. Sudah bertumpuk semua hal yang mengagumkan hatinya, ditambah memiliki kecerdikan lagi.

“Baiklah, Pangeran. Saya mengaku kalah. Nama saya Lie Kim Cu dan saya tinggal di kota Lok-yang.”

Kini pangeran itu bangkit berdiri, menghampirinya dan mengamati wajah dan tubuh Liong-li dengan penuh perhatian. Sepasang mata yang bersinar tajam namun lembut dan tidak mengandung kecabulan atau kekurangajaran sama sekali.

“Hemm, kiranya engkau inilah yang berjuluk Hek-liong-li?”

Liong-li semakin kagum dan iapun bangkit dan memberi hormat dengan membungkuk. “Paduka memang hebat, Pangeran. Benar, sayalah yang disebut Hek-liong-li. Akan tetapi, bagaimana paduka dapat menerkanya? Kalau paduka mempelajari ilmu silat, bergaul dengan para ahli silat, hal itu tidak mengherankan. Akan tetapi menurut yang saya dengar dari Yang Mulia Permaisuri, paduka hanya suka mempelajari sastera dan seni.”

Pangeran itu tersenyum dan Liong-li merasa hatinya seperti ditarik-tarik. Belum pernah ia melihat senyum sedemikian manisnya dari seorang pria!

“Aku juga banyak mendengarkan berita yang menarik dari luar istana, li-hiap (pendekar wanita).”

“Ihhh......! Pangeran, harap jangan menyebut saya li-hiap. Apa lagi kalau sampai terdengar orang. Ingat, nama saya Siauw Cu!”

“Hemm, tidak enak rasanya menyebutmu Siauw Cu. Biarlah kusebut Enci Cu saja. Engkau tentu lebih tua dariku.”

“Tentu saja, Pangeran. Usia saya sudah duapuluh lima tahun.”

“Ah, sukar dipercaya. Kukira tadinya hanya lebih tua satu-dua tahun dari aku. Aku sudah duapuluh tahun.”

Bukan main, pikir Liong-li. Sudah duapuluh tahun dan agaknya belum pernah bergaul dengan wanita! Masih perjaka tulen!

“Pangeran, saya bukan sekedar memuji. Biarpun paduka baru duapuluh tahun, akan tetapi paduka telah memiliki kebijaksanaan yang dewasa, bahkan paduka lebih dewasa dari pada Pangeran Souw Cun yang pernah saya lihat tadi di ruangan Yang Mulia Permaisuri.”

“Kakanda Souw Cun? Ahh! Engkau harus berhati-hati terhadap pangeran yang satu itu, Cu cici!” Diam-diam Liong-li girang sekali mendengar sebutan Cu cici (kakak Cu) ini, sebutan yang amat akrab dari seorang pangeran!

“Dia kenapakah, Pangeran?”

Pangeran Souw Han menarik napas panjang, lalu duduk di depan Liong-li. Kini mereka duduk berhadapan dekat, hanya dalam jarak dua meter saja.

“Sebenarnya, tidak pantas bagiku, seorang pangeran, untuk membicarakan keburukan keadaan keluargaku sendiri. Akan tetapi mengingat akan terjadinya kekacauan dan mengingat pula bahwa engkau diangkat oleh Ibunda Permaisuri untuk menangkap pengacau, biarlah aku ceritakan semua keadaan di istana ini. Katakanlah dulu, Enci Cu, tugasmu ini untuk menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis, ataukah untuk menyelidiki perang dingin antar anggauta keluarga kerajaan?”

“Eh? Apa hubungannya Si Bayangan Iblis dengan keluarga kerajaan, Pangeran?”

“Kukira hubungannya erat sekali, enci. Ketahuilah, jauh hari sebelum muncul tokoh rahasia yang dikenal dengan julukan Si Bayangan Iblis itu, di dalam istana telah terjadi semacam perang dingin.”

“Perang Dingin?” tanya Liong-li heran. “Maksud paduka......”

“Semacam permusuhan terselubung, permusuhan dan kebencian karena persaingan yang tidak dilakukan secara terbuka atau terang-terangan. Orang-orang saling membenci, ingin saling menjatuhkan, memperebutkan kedudukan dan memperebutkan perhatian ayahanda Sribaginda Kaisar. Aku jemu dengaa semua itu, enci. Maka aku tidak perduli akan semua urusan istana, aku lebih menenggelamkan diriku ke dalam sastera dan seni.”

“Maukah paduka memberi penjelasan yang lebih terperinci? Siapa yang bermusuhan? Dan di pihak mana kiranya Si Bayangan Iblis itu berdiri? Barangkali paduka tahu pula siapa kiranya tokoh itu? Sungguh saya mengharapkan bantuan paduka dalam hal ini, Pangeran.”

“Nanti dulu!” kata pangeran itu dan kini pandang matanya penuh selidik. “Engkau memang didatangkan oleh Ibunda Permaisuri dan dibayar untuk menangkapnya, untuk bekerja demi kepentingan Ibunda Permaisuri?”

Liong-li menggeleng kepala. “Tidak, Pangeran. Terus terang saja, saya dimintai bantuan oleh Perwira Cian Hui, dan saya diselundupkan ke dalam istana, akan tetapi Yang Mulia Permaisuri mengetahui rahasia saya.”

Ia lalu menceritakan semua yang terjadi, kemudian menyambung, “Saya tidak berpihak kepada siapapun yang bermusuhan di istana ini. Saya hanya ingin menangkap pengacau dan membantu agar istana dan kota raja menjadi tenteram, tidak lagi terganggu oleh penjahat yang melakukan pengacauan dengan pembunuhan-pembunuhan gelap.”

“Bagus! Kalau begitu, aku mau memberitahu kepadamu segala yang kuketahui. Pertama-tama Ibunda Permaisuri sendiri. Beliaulah yang sesungguhnya merupakan pengacau besar di istana!”

“Ehhh......??” Liong-li terkejut dan terbelalak.

Pangeran itu menarik napas panjang. “Aku merasa diriku sebagai seorang pengkhianat tak tahu malu, cici. Akan tetapi entah mengapa kepadamu aku tidak ingin menyimpan rahasia, karena aku percaya bahwa engkaulah agaknya orangnya yang akan mampu mendatangkan ketenteraman di keluarga kami.

“Ibunda Permaisuri adalah seorang yang memiliki ambisi besar sekali. Jelas bahwa ia kini telah menguasai seluruh kekuasaan di kerajaan. Ayahku...... semoga Thian mengampuninya, ayahku seperti...... boneka saja di tangan Ibunda Permaisuri.

“Memang harus kuakui bahwa beliau amat pandai, akan tetapi...... kadang-kadang beliau dapat bersikap tegas dan bahkan kejam terhadap siapa saja yang dianggap menjadi penghalang ambisinya. Beliau juga mempunyai pasukan pengawal khusus, mempunyai jagoan-jagoan........”

“Saya tahu bahwa Bi Cu dan Bi Hwa, gadis kembar yang menjadi pengawal pribadi beliau itu, adalah dua orang wanita yang lihai.”

“Mereka hanya dua di antaranya. Masih banyak lagi dan siapa saja yang dianggap berbahaya oleh Ibunda Permaisuri, jangan harap dapat hidup! Selain itu...... ah, bagaimana, ya? Rasanya aku membongkar rahasia busuk di dalam keluarga sendiri.”

Liong-li adalah seorang wanita yang cerdik bukan main. Ketika Pangeran Souw Can muncul pagi itu, ia sudah menduga bahwa ada rahasia busuk pada diri permaisuri yang agaknya diketahui bahkan disindirkan oleh pangeran itu.

Kini, Pangeran Souw Han juga membayangkan adanya rahasia busuk dan pangeran ini merasa ragu untuk menceritakan kepadanya. Memang bukan urusannya, akan tetapi siapa tahu bahwa hal itu ada sangkut pautnya dengan si Bayangan Iblis. Kalau mungkin, ia ingin mengetahui semua rahasia agar memudahkan ia melakukan penyelidikan terhadap Si Bayangan Iblis.

“Pangeran, kalau memang paduka merasa keberatan, lebih baik jangan diceritakan kepada saya. Apakah itu menyangkut penyelundupan pemuda tampan yang secara diam-diam diselundupkan ke istana bagian puteri?”

Pangeran itu membelalakkan matanya, “Kau...... kau....... sudah tahu?”

Liong-li tersenyum. “Saya hanya menduga saja, Pangeran.”

Pangeran Souw Han menghela napas. “Sudahlah, engkau sudah tahu. Memang itulah kelemahan Ibunda Permaisuri. Beliau...... ah, bagaimana, ya..... sungguh memalukan. Beliau suka kepada pemuda pemuda tampan. Akan tetapi sudahlah, itu urusan pribadinya, kita tidak perlu membicarakan hal itu. Hanya ia amat berambisi dan akan menempuh cara apapun saja untuk melenyapkan mereka yang dianggap menentang kekuasaannya.”

“Tapi, Pangeran. Dari Cian Ciang-kun saya mendengar bahwa korban pembunuhan rahasia yang dilakukan Si Bayangan Iblis terdapat pula orang-orang yang dekat dengan Sribaginda Kaisar, dekat dengan Yang Mulia Permaisuri. Bahkan ada pula korban yang menentang beliau...... sungguh membingungkan.”

“Itulah! Tadinya, ketika jatuh korban mereka yang menentang Ibunda Permaisuri, aku sendiri mencurigai Ibunda Permaisuri. Akan tetapi setelah jatuh korban lain yang dekat dengan beliau, aku menjadi bingung dan ragu. Memang sungguh aneh dan memang sebaiknya kalau engkau dapat membongkar rahasia ini, Enci Cu.”

“Apakah selain Yang Mulia Permaisuri masih ada lagi orang lain yang kiranya patut dicurigai?”

“Aih, banyak permusuhan di sini. Di antara para pangeran juga banyak yang bersaingan memperebutkan perhatian ayahanda Kaisar. Aku muak sekali, dan aku tidak sudi! Aku tidak membutuhkan kedudukan!”

“Bagaimana dengan pangeran Souw Cun?”

“Dia? Ah, diapun agaknya tidak perduli akan kedudukan dan kekuasaan. Baginya, asal dia dapat hidup senang, berfoya-foya, mengumpulkan selir sebanyaknya, berganti-ganti selir, berpesta setiap hari. Dia seorang yang genit, mana dia mampu memikirkan urusan negara?”

“Tapi, bukankah dia seorang pangeran yang pandai ilmu silat?”

“Kakanda Souw Cun? Aha, dia hanya suka pelesir, mana mampu ilmu silat? Setahuku, dia tidak pernah berlatih atau belajar ilmu silat.”

Diam-diam Liong-li merasa heran. Ketika pangeran itu memegang dagunya, ia merasakan benar adanya kekuatan yang terkandung dalam jari-jari tangan itu!

“Kalau begitu, dia lebih suka mempelajari sastera seperti paduka?”

“Huh, Dia hanya belajar asal bisa baca huruf saja! Gurunya pun kulihat brengsek! Sasterawan macam apa itu yang disebut, Bouw Sianseng? Mungkin baru dapat menulis beberapa ribu macam huruf saja, lagaknya seperti seorang mahaguru, akan tetapi tata susilanya demikian kasar. Tidak enci Cu kurasa Pangeran Souw Cun boleh kau lewatkan dari perhatianmu. Dia memang menjemukan, akan tetapi penyakitnya, hanyalah mata keranjang dan berfoya-foya saja. Sukar menghubungkan dia dengan urusan Si Bayangan Iblis.”

“Kalau dia tidak dapat dicurigai, lalu siapakah kiranya yang patut saya selidiki, Pangeran?”

Pangeran itu menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Keluarga kami berada dalam kemelut, enci Cu. Terlalu ruwet, juga sukar untuk menduga siapa sebetulnya Si Bayangan Iblis. Aku sendiri sudah tidak perduli. Biarkan mereka bersaing, saling memperebutkan kekuasaan dan kedudukan, aku tidak butuh! Ah, benar, engkau bertugas menyelidiki hal itu. Aku tidak dapat menduga siapa penjahat itu, akan tetapi biarlah kuceritakan kepadamu semua keadaan keluarga kami dengan semua rahasianya yang kotor.”

Dengan perlahan dan sikap masih tenang sekali, Pangeran Souw Han lalu menceritakan keadaan keluarga ayahnya, yaitu Kaisar Tang Kao Cung yang mempunyai banyak selir disamping permaisurinya, yaitu Permaisuri Bu Cek Thian. Banyak hal-hal yang tadinya amat rahasia, oleh pangeran itu diceritakan kepada Liong-li, rahasia yang amat mengejutkan hati pendekar wanita itu.

Kiranya keadaan keluarga kerajaan itu sungguh dipenuhi dengan persaingan yang kotor, kebencian dan iri hati. Bahkan ada fitnah memfitnah, bunuh membunuh dengan menggunakan pembunuh bayaran. Banyak pula gadis-gadis yang menjadi korban kejalangan nafsu para pangeran yang tidak menghendaki keturunan dari para dayang dan selir sehingga kalau ada selir atau dayang yang mengandung, maka wanita itu akan lenyap tanpa ketahuan jejaknya!

Dari Pangeran Souw Han pula ia tahu bahwa Sang Permaisuri mempunyai dua orang putera. Yang seorang adalah Pangeran Mahkota Tiong Cung dan yang kedua adalah Pangeran Li Tan yang masih kecil. Secara halus Pangeran Souw Han menyindirkan keraguannya bahwa Pangeran Li Tan adalah putera ayahnya. Karena sudah lama sekali ayahnya jarang bermalam di kamar permaisuri. Juga dia mencela sikap para pangeran yang kebanyakan memiliki watak yang amat buruk, menjadi hamba nafsu yang kerjanya setiap hari hanya mengejar kesenangan.

“Biarpun dengan perasaan malu, terpaksa aku harus mengakui bahwa saudara-saudaraku itu sebagian banyak hanyalah manusia-manusia yang tiada gunanya!”

“Aih, mengapa paduka demikian pahit, Pangeran? Banyak rakyat yang menghormati keluarga Sribaginda Kaisar, sebagai para bangsawan agung, dan banyak pula yang bermurah hati memberi derma kepada kuil-kuil, kepada para miskin dalam jumlah besar.”

Liong-li sengaja memancing dengan memuji atau menyatakan kebalikan dari apa yang diceritakan pangeran itu. Akan tetapi ucapan ini bahkan membuat Pangeran Souw Han nampak penasaran.

“Palsu! Semua itu palsu! Keagungan, kemuliaan dan kehormatan dapat dibeli! Kau bilang sokongan dan dermaan itu tanda murah hati? Hemmm, enci Cu. Kalau engkau memiliki satu juta lalu kaudermakan yang seribu, apakah artinya itu? Murah hatikah itu? Aku akan jauh lebih menghargai seseorang yang memiliki duapuluh akan tetapi dengan rela memberikan yang sepuluh kepada orang lain untuk menolongnya! Mereka itu pura-pura, munafik, bangsawan pakaian saja!”

Diam-diam Liong-li menjadi semakin bingung mendengar semua keterangan pangeran itu kepadanya. Ia hanya merasa terharu bahwa pangeran itu sungguh percaya kepadanya sehingga membongkar semua rahasia kebusukan keluarga istana yang sebelumnya tak pernah disangkanya.

Akan tetapi, semua keterangan itu sama sekali tidak membantunya dalam penyelidikannya tentang Si Bayangan Iblis. Bahkan makin mengacaukan, karena kalau mendengar keterangan itu, boleh dibilang semua pangeran, semua selir, bahkan Permaisuri sendiri dan Kaisar sendiri bisa saja dicurigai sebagai majikan dari Si Bayangan Iblis!

Biarlah, ia tidak akan memusingkan semua itu. Yang dicarinya adalah Si Bayangan Iblis, dan ia merasa yakin akan dapat menangkapnya kalau benar penjahat itu bersembunyi di istana. Setiap malam ia akan melakukan pengintaian dan sekali penjahat itu keluar dari tempat persembunyiannya, tentu akan dapat ditangkapnya!

“Terima kasih atas semua keterangan paduka Pangeran. Mulai malam ini saya akan menyelinap keluar dari dalam kamar ini dan melakukan pengintaian. Mudah-mudahan saja malam ini juga Si Bayangan Iblis keluar sehingga dapat kutangkap dia!”

“Mudah-mudahan begitulah, enci Cu. Akan tetapi harap engkau berhati-hati, karena menurut pendapatku, seorang yang telah dapat menggegerkan kota raja dengan semua pembunuhan itu, pastilah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan berbahaya sekali.”

“Terima kasih, Pangeran. Tentu saja saya akan berhati-hati sekali, terutama tidak akan melibatkan paduka.”

Pangeran itu menghela napas panjang, lalu bangkit dari duduknya.

“Siang ini engkau boleh mengaso dan tidur di pembaringan itu. Waktu makan nanti, dayang kepercayaanku akan mengantarkan makanan ke dalam kamar. Aku ingin membaca kitab.” Diapun melangkah menghampiri almari yang penuh kitab dan memilih-milih.

Liong-li juga bangkit dari tempat duduknya. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk enak-enak tidur begitu saja di pembaringan orang, apa lagi pangeran pemilik kamar itu berada di situ, walaupun ia tahu bahwa, pangeran itu tidak akan mengganggunya, bahkan mungkin sekali tidak akan pernah mau meliriknya. Menyakitkan hati sekali sikap acuh itu!

Ia lalu melihat sebuah yang-kim (semacam gitar) tergantung di dinding. Diambilnya yang-kim itu dan iapun duduk di atas bangku lain dicobanya alat musik itu dengan jari-jari tangannya yang mungil dan terlatih. Tali temali yang-kim itu sudah distel dengan baik dan suaranya sungguh merdu. Sebuah alat musik yang amat baik buatannya.

Dalam keadaan melamun, seperti tanpa disengaja, dengan sendirinya jari-jari tangannya memainkan sebuah lagu. Lagu yang dimainkannya itu sebuah lagu yang amat sukar, juga amat indah, namanya lagu itu “Badai”.

Dawai (senar) yang-kim itu berkentang-kenting, mula-mula membentuk serangkaian nada-nada yang indah, namun makin lama menjadi semakin nyaring, cepat, makin mendesak-desak, nadanya naik turun dan mengamuk bagaikan datangnya badai yang semakin mendahsyat.

Pangeran Souw Han yang tadinya sudah memilih sebuah kitab sajak kuno, menoleh, tadinya acuh, namun akhirnya dia terduduk dan memandang dengan penuh perhatian. Sepasang matanya tak pernah berkedip memandang ke arah jari-jari tangan yang memainkan yang-kim itu, telinganya menangkap semua nada itu dan segera dia mengenal lagunya.

Dia memandang kagum, sama sekali tidak pernah mengira bahwa wanita yang amat terkenal sebagai seorang ahli silat, seorang pendekar wanita yang ditakuti semua orang penjahat di dunia hitam, ternyata adalah seorang gadis yang selain cantik jelita, halus tutur sapanya, cerdik dan berani, juga ternyata pandai sekali memainkan alat musik yang-kim!

Dia tidak jadi membaca kitab sajak yang masih dipegangnya, bahkan lalu meletakkannya di atas meja, kemudian dia melangkah maju mendekat, berhenti dalam jarak sepuluh meter dan memandang dari samping.

Betapapun juga, Liong-li hanyalah seorang wanita biasa. Sejak pertemuannya pertama dengan Pangeran Souw Han, hatinya dipenuhi rasa penasaran dan marah terhadap pangeran yang sama sekali acuh terhadap dirinya itu. Bukan ia minta disanjung dan dikagumi, akan tetapi sebagai wanita wajarlah kalau ia ingin agar dirinya tidak dihadapi pria dengan sikap demikian dinginnya. Apa lagi pria itu seperti Pangeran Souw Han!

Tadinya ia memainkan yang-kim hanya untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, untuk menghibur diri sambil menanti datangnya malam karena ia hanya dapat bekerja di waktu malam saja. Akan tetapi, pendengarannya yang terlatih dan amat tajam itu dapat menangkap gerak gerik Pangeran Souw Han yang melangkah perlahan menghampirinya dan kini berdiri di sebelah kanannya, dalam jarak yang tidak begitu jauh lagi.

Hal ini membangkitkan kegembiraan dan meningkatkan harga dirinya, maka setelah habis memainkan lagu itu, jari-jarinya tidak berhenti, melainkan mengulang kembali dan kini iapun menambah dengan nyanyian dari mulutnya, dengan suaranya yang merdu!

“Badai menderu
mengamuklah air dan salju
angin puyuh menyapu bumi
segala pohon dipaksa menari
betapa buas dan gagah
betapa indah!

Badai dahsyat di bukit itu
akhirnyapun, lewat, berlalu
sunyi, hening, sayu
kelu, lelah, lembut tenang
aman dan betapa indahnya!”

Lagu “Badai” itu memang indah sekali, dimulai dengan suara yang menggegap gempita, yang gagah perkasa, buas dan liar, akan tetapi kemudian perlahan-lahan makin melembut, dan akhirnya terdengar demikian penuh damai, seperti keindahan alam hening setelah badai lewat.

Begitu Liong-li berhenti bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara suling yang melengking lembut, maka meninggi dan terdengarlah suling itu melagukan lagu yang sama, yaitu lagu “Badai”. Suara suling itu ditiup dengan ahli, amat merdunya sehingga otomatis jari-jari tangan Liong-li kembali bergerak, dan kembali ia memainkan lagu itu, kini mengiringi suara suling dan di dalam kamar itu terdengarlah paduan suara suling dan yang-kim yang amat serasi, yang cocok dan menghasilkan suara yang amat indahnya.

Setelah lagu itu habis dimainkan dan ke dua alat musik itu tidak bersuara lagi, keadaan di kamar itu menjadi sunyi bukan main. Liong-li perlahan-lahan menengok dan kini dua pasang mata itu bertemu, bertaut dan perlahan-lahan senyum indah merekah di bibir Liong-li.

Ia mulai melihat sinar kagum membayang di pandang mata pangeran itu! Sedikit saja kekaguman sudah cukup baginya, menandakan bahwa pangeran itu adalah seorang manusia biasa, seorang pria normal, bukan manusia berhati kayu.

“Tiupan sulingmu amat indah, Pangeran.”

“Enci Cu, tidak kusangka engkau begitu pandai bermain yang-kim, dan suaramu juga amat merdu. Sungguh heran......”

“Kenapa paduka heran, Pangeran?”

“Seorang wanita seperti engkau, enci Cu, yang selalu berkecimpung dalam dunia kekerasan, yang pandai bermain pedang, pandai membunuh lawan, bergelimang kekerasan, bagaimana mungkin dapat memainkan yang-kim dan bernyanyi demikian merdunya, sedemikian lembutnya......”

“Pangeran, bukankah segala hal itu dapat saja dipelajari manusia? Dan bukankah di dalam segala keadaan itu terdapat keindahannya kalau saja kita mau membuka mata dan melihat apa adanya? Seperti lagu tadi, Pangeran. Ketika badai mengamuk dahsyat, menggegap gempita, keras dan kasar, namun gagah perkasa dan penuh kebuasan, ada keindahan di sana. Setelah badai lewat keheningan dan kedamaian tiba, juga terdapat keindahan di sana.

“Apakah hanya taman bunga dan gunung hijau yang tenang saja mengandung keindahan? Bukankah batu karang yang kokoh kuat, lautan yang menggelora diamuk badai yang ganas, di sana terdapat pula keindahan?”

“Engkau benar, enci Cu. Semua itu adalah ciptaan Tuhan, dan apapun bentuknya, ciptaan Tuhan itu selalu sempurna dan indah. Ehh, kiranya engkau pandai pula berfilsafat, enci? Apakah engkau juga mempelajari dan pernah membaca kitab-kitab filsafat?”

Liong-li tersenyum. “Di dalam kamar perpustakaanku di rumahku saja terdapat segala macam kitab filsafat dari ke tiga agama (Budhisme, Taoisme, dan Khong-hu-cu), Pangeran.”

“Amboiii......! Jangan katakan bahwa engkau pandai pula bersajak, pandai menari dan pandai melukis dan menulis halus, enci Cu!”

“Pandai sih tidak, Pangeran, akan tetapi saya pernah mempelajari itu semua.”

“Aih, kalau begitu engkau seorang wanita serba bisa, enci Cu! Hebat!”

Liong-li tersenyum. Hatinya girang. Pangeran Souw Han itu seorang manusia biasa, seorang pria biasa, bukan dewa bukan pula pertapa!

“Dibandingkan dengan paduka, saya bukan apa-apa, Pangeran.”

Pada saat itu, daun pintu kamar itu dan pintu kamar itu didorong orang dari luar dan terbuka Pangeran Souw Han membalikkan tubuh dengan cepat dan mukanya merah. Yang muncul adalah seorang pemuda lain yang membuat jantung dalam dada Long-li berdebar tegang dan merasa tidak enak sekali karena ia mengenal wajah itu. Pangeran Souw Cun!

Berubah sikap Pangeran Souw Han ketika melihat siapa orangnya yang memasuki kamarnya tanpa ijin itu. Dia tidak jadi marah, tersenyum dan dengan sikap hormat dia lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.

“Ah, kiranya engkau yang datang, kakanda Pangeran Cun. Kenapa tidak memberitahu lebih dulu akan berkunjung? Membuat hatiku terkejut saja.”

Pangeran Souw Cun tertawa, lalu maju dan merangkul adik tirinya. “Engkau tahu, adikku Souw Han. Di antara semua saudara kita, engkaulah satu-satunya orang yang paling kukagumi dan kusukai. Maka, perlukah kita berbasa-basi lagi? Aku tadi lewat dan ingin sekali bertemu dan bicara denganmu, adikku.”

Sejak tadi Liong-li menunduk sambil mengerling tajam, namun tak pernah pangeran itu memperhatikannya. Maka iapun pura-pura tidak melihat dan sibuk membalik-balik kitab sajak yang tadi diletakkan di atas meja oleh Pangeran Souw Han.

“Terima kasih, kakanda. Akan tetapi, tidak seperti biasa kakanda datang berkunjung. Ada keperluan apakah?”

“Ha-ha-ha, engkau memang selalu cerdik, belum orang bicara engkau sudah dapat menebak isi hati orang. Memang ada keperluan, adikku. Aku datang terdorong oleh perasaan yang luar biasa. Ada perasaan kaget, heran, girang, dan ingin sekali tahu.”

“Aku ikut merasa girang, kakanda. Akan tetapi apakah itu yang mendatangkan bermacam perasaan?”

“Aku mendengar engkau diberi hadiah seorang gadis untuk menjadi selirmu oleh Ibunda Permaisuri. Benarkah berita luar biasa itu?”

Seketika wajah Pangeran Souw Han menjadi kemerahan. ”Benar, kakanda. Apa anehnya itu?”

“Apa anehnya? Ha-ha-ha. Adinda Pangeran! Berita itu merupakan berita yang paling aneh di dunia ini, juga amat menggembirakan dan lucu! Engkau menerima hadiah seorang selir. Engkau? Ha-ha, sejak kapan engkau belajar bergaul dengan wanita? Biasanya, melirik saja engkau tidak mau. Para dayangmu pun tidak ada yang cantik dan tak pernah ada yang kaujamah seorangpun.

“Dan tahu-tahu engkau kini menerima seorang selir! Apa tidak aneh itu? Aku kaget, heran dan juga girang, akan tetapi menjadi penasaran dan ingin sekali melihat seperti apa macamnya wanita yang herhasil menjatuhkan hati adikku yang terkenal sebagai seorang pertapa suci yang tak pernah tergiur kecantikan wanita itu.

“Dan ketika aku lewat tadi, aku mendengar permainan suling, yang-kim dan nyanyian! Aih-aih, jadi engkau malah sudah rukun dan bersenang-senang, bermain musik dengan selirmu? Itukah selirmu yang hebat itu?” Dan kini Pangeran Souw Cun menoleh ke arah Liong-li yang masih duduk menghadapi kitab yang dibuka di atas meja.

“Siauw Cu, ke sinilah dan perkenalkan, ini adalah kakanda Pangeran Souw Cun, engkau harus memberi hormat kepadanya,” kata Souw Han yang terpaksa memperkenalkan isteri atau selirnya itu.

Liong-li meninggalkan kursinya dan menghampiri sambil menundukkan mukanya, lalu menjura dengan sikap hormat. “Maaf, Pangeran, karena saya tidak tahu maka saya tidak sempat menyambut kunjungan paduka,” katanya dengan sikap halus, akan tetapi sama sekali tidak merendahkan diri, dan melihat sikap ini, Pangeran Souw Han juga merasa senang.

Akan tetapi Pangeran Souw Cun terbelalak menatap wajah yang cantik jelita itu. “Ah-ahhh...... kiranya engkau? Bukankah engkau dayang pribadi Ibunda Permaisuri?”

Liong-li menundukkan mukanya dan mengangguk. “Kami memang pernah bertemu satu kali, Pangeran.”

Tiba-tiba Pangeran Souw Cun tertawa dan memandang kepada wajah adiknya. “Ha-ha- ha-ha, tadinya kusangka engkau menerima hadiah seorang selir yang seperti bidadari. dan masih amat muda. Kiranya dayang Ibunda Permaisuri ini? Ha-ha-ha, sungguh aku merasa semakin heran, dan aku kasihan sekali kepadamu, adikku!”

“Hemm, mengapa kakanda berkata demikian? Dan mengapa pula merasa kasihan kepadaku?”

“Adindaku, bagaimana mungkin seorang seperti engkau dapat jatuh cinta kepada seorang gadis seperti ini? Katakan, benarkah engkau telah jatuh jatuh cinta kepadanya?”

Selama hidupnya, Souw Han tidak pernah berbohong. Akan tetapi sekali ini, bagaimana dia dapat berkata lain? Kalau dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Liong-li, bukankah hal itu akan menimbulkan suatu kecurigaan dan akan membahayakan rahasia gadis itu?

“Aku cinta padanya, kakanda.”

“Kau? Yang selama ini tidak pernah bergaul dengan wanita? Bagaimana mungkin! Tentu bertemu pun baru sekali itu, dan engkau sudah jatuh cinta? Lihat baik-baik, adinda. Biarpun aku tidak dapat mengatakan bahwa wanita itu buruk, akan tetapi ia sungguh tidak cocok untuk menjadi selirmu! Lihat, biarpun ia cantik manis, namun usianya tentu jauh lebih tua darimu! Nona, siapakah namamu?”

“Siauw Cu......” jawab Liong-li tanpa mengangkat mukanya, dan di dalam hatinya timbul perasaan panas bukan main.

“Siauw Cu, katakan dengan sejujurnya, berapa usiamu sekarang?”

Biarpun hatinya panas, namun Siauw Cu menjawab sejujurnya dan di dalam suaranya yang lembut terkandung ketegasan dan tantangan, seolah ia tidak takut mengemukakan usianya yang sebenarnya.

“Usia saya sudah duapuluh lima tahun, Pangeran.”

“Duapuluh lima tahun? Ha-ha-ha, engkau dengar sendiri, adinda Souw Han! Dan engkau belum genap duapuluh tahun! Dan seorang wanita berusia duapuluh lima tahun tidak mungkin menjadi seorang dayang yang masih gadis. Hayo katakan, Siauw Cu. Engkau bukan gadis lagi. Tidak benarkah begitu?”

Souw Han memandang kepada “selirnya” dengan hati penuh iba. Dia tahu betapa pertanyaan seperti itu amat menyakitkan perasaan seorang wanita, maka diapun berkata.

“Kakanda Souw Cun, harap kakanda jangan bertanya hal-hal seperti itu kepada Siauw Cu. Siauw Cu, kalau engkau tidak suka, aku membolehkan engkau tidak usah menjawab pertanyaan kakanda Souw Cun tadi.”

“Ha-ha-ha, tentu saja ia tidak mau menjawabnya, atau kalau menjawab pun tentu ia membohong, ha-ha-ha!” Souw Cun tertawa.

Kini Liong-li mengangkat mukanya, memandang kepada Pangeran Souw Cun dengan sikap angkuh dan menantang, lalu keluarlah jawaban dari bibirnya.

“Saya tidak perlu berpura-pura dan menyembunyikan kenyataan. Bukan saja saya tidak perawan lagi, bahkan ketika saya menjadi dayang Yang Mulia Permaisuri, saya sudah janda......”

Liong-li mengerling ke arah muka Pangeran Souw Han, akan tetapi pada wajah Pangeran itu tidak nampak perubahan apapun. Hal ini tentu saja tidak mengherankan. Ia menjadi “selir” Pangeran Souw Han hanya pura-pura saja. Bagi pangeran itu, ia masih perawan atau sudah janda seratus kalipun apa bedanya? Akan tetapi Pangeran Souw Cun tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, apa kukata tadi, adinda? Ia bukan hanya tidak perawan, bahkan sudah janda. Dan engkau, seorang pangeran yang masih perjaka tulen hendak menyerahkan keperjakaanmu kepada seorang janda yang usianya sudah duapuluh lima tahun? Bodoh, adikku, bodoh sekali dan itu rugi namanya. Juga memalukan keluarga! Aku ikut malu!”

Souw Han merasa tidak enak sekali kepada Liong-li. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat sesuatu karena di balik wanita itu terdapat suatu rahasia yang harus dilindunginya.

“Kakanda Souw Cun, mengapa kakanda mencampuri urusan pribadiku? Harap kakanda jangan mengganggu kami lebih lama lagi. Apa sih maksud kanda sebenarnya? Aku tidak pernah membikin malu keluarga!”

“Adinda! Engkau hendak menyerahkan keperjakaanmu kepada seorang janda, dan kau bilang tidak membikin malu keluarga?“

“Habis, apa maksud dan kehendak kakanda sekarang?” Souw Han mulai marah.

“Begini, adinda. Aku sayang padamu, dan aku tidak rela kalau engkau menyerahkan perjakamu kepada wanita tua ini. Kutukar saja ia dengan seorang gadis yang remaja, usianya baru limabelas tahun, jauh lebih cantik dari pada Siauw Cu, dan ia masih perawan. Nah, ialah yang lebih pantas menjadi selirmu, atau bahkan isterimu sekalipun. Tentang wanita ini, serahkan saja kepadaku untuk kujadikan dayang.”

“Mendengar ini, Pangeran Souw Han terkejut bukan main. Dia bukan pemain sandiwara yang baik, tidak seperti Liong-li yang sedikit pun tidak memperlihatkan perubahan pada air mukanya. Ingin Pangeran Souw Han berteriak menolak usul itu, akan tetapi dia segera teringat akan rahasia Liong-li, maka diapun berkata dengan suara gelisah.

“Ah, kakanda Souw Cun, bagaimana mungkin aku dapat menukarnya dengan wanita lain? Ingat, kakanda, Siauw Cu ini adalah hadiah dari Ibunda Permaisuri dan aku..... aku suka sekali padanya.”

Tiba-tiba Liong-li menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Souw Han sambil menangis, menutupi mukanya dengan ujung lengan bajunya yang lebar panjang dan suaranya terdengar penuh isak ketika ia berkata, “Pangeran, hamba..... hamba lebih baik mati kalau harus meninggalkan paduka......”

Diam-diam Pangeran Souw Han menjadi semakin kagum. Dia tahu bahwa Liong-li hanya bersandiwara, akan tetapi sandiwara itu dimainkannya dengan demikian cemerlang sehingga dia sendiripun sedikit juga tidak akan menyangka bahwa wanita itu berpura-pura. Maka, diapun memandang kepada Pangeran Souw Cun.

“Kakanda Pangeran, kakanda lihat sendiri. Kami sudah saling mencinta. Tidak ada wanita yang dapat menggantikannya. Aku hanya menghendaki Siauw Cu ini, bukan wanita lain.”

“Hem, benarkah itu?”

Ketika Liong-li mengerling dari sudut matanya yang ia tutupi dengan tangan, ia melihat betapa sinar mata Pangeran Souw Cun penuh kecurigaan dan selidik. Sungguh seorang pangeran yang berbahaya, pikirnya, dan ia mulai menduga bahwa maksud pangeran itu menghalangi ia diselir Pangeran Souw Han bukan semata karena cemburu atau iri, bukan semata karena pangeran itu sendiri menginginkan dirinya. Mungkin ada alasan lain, yaitu mencurigainya!

“Ah, jangan-jangan engkau kena dipengaruhi guna-guna adikku.”

“Tidak, kakanda. Aku memang cinta padanya, bukan hanya karena wajahnya, melainkan karena sikapnya, juga ia pandai bermain yang-kim, pandai bernyanyi dan mungkin masih memiliki beberapa macam kepandaian lagi yang belum kuketahui. Tentang usia dan tentang bukan perawan, aku tidak perduli!”

“Hemm, banyak kepandaiannya, ya? Eh, Siauw Cu, apakah engkau juga pandai ilmu silat?”

“Ah, kakanda!” seru Pangeran Souw Han, terkejut dan kekagetannya ini memang bukan pura-pura. “Bagaimana seorang wanita lembut seperti Siauw Cu ini pandai ilmu silat? Kalau menari mungkin ia dapat. Bukankah begitu, Siauw Cu?”

Liong-li yang sudah menghapus air matanya kini memandang kepada Pangeran Souw Han dengan sinar mata yang jelas membayangkan kasih sayang besar. “Kalau untuk paduka...... apapun akan hamba lakukan, Pangeran. Hamba pernah mempelajari ilmu menari.”

“TARIAN pedang ? “ tiba-tiba Pangeran Souw Cun bertanya.

“Ah, bukan, Pangeran. Tarian biasa,” jawab Siauw C'u atau Liong-li tanpa berani mengangkat mukanya.

“Bagus, kalau begitu, suruh ia menari agar dapat kumelihatnya, adinda Souw Han!”

Pangeran Souw Han mengerutkan alisnya. Dia ingin agar kakaknya itu cepat pergi saja supaya tidak mengganggu Liong-li lebih lama lagi. Pula, diapun tidak yakin apakah benar Liong-li pandai menari, dan jangan-jangan gerak tarinya akan mengandung gerak silat sehingga akan menimbulkan kecurigaan pada kakaknya .

“Kakanda, ia baru saja datang, masih lelah. Biarlah lain hari saja ia menari.”

“Tidak mengapa, Pangeran. Hambapun senang sekali kalau paduka menggembirakan hati saudara tua paduka,” kata Liong-li. Ucapan ini saja sudah cukup melegakan hati Pangeran Souw Han.

“Baiklah kalau begitu. Aku akan mengiringi tarianmu dengan yang-kim. Engkau tentu mau meniup sulingnya, bukan, kakanda?”

“Baik, Tapi, tarian apa yang akan ditarikan selirmu itu?”

“Hamba akan menarikan tarian rakyat dari daerah selatan, tarian para petani bekerja di sawah ladang,” kata Liong-li.

Tak lama kemudian, terdengarlah paduan suara suling dan yang-kim, dengan irama yang lambat dan halus. Liong-li sudah mengambil sebuah sabuk sutera merah panjang dari almari pakaian atas petunjuk Pangeran Souw Han dan iapun mulailah menari, seirama suara suling dan yang-kim.

Dan kini kedua orang pangeran itu terpesona! Jangan Souw Cun yang penuh curiga itu, bahkan Souw Han yang sudah tahu bahwa “selirnya” itu seorang pendekar wanita, terbelalak kagum melihat betapa tubuh wanita itu meliuk-liuk lemah gemulai, menarik dengan amat indahnya! Bagaikan seorang bidadari saja selirnya itu!

Setelah selesai menari dan dua orang pangeran itu menghentikan permainan alat musik mereka, Pangeran Souw Cun bertepuk tangan memuji.

“Wah, sekarang aku mengerti mengapa engkau suka kepada selirmu ini, adinda. Ternyata suaranya merdu, permainan yang-kimnya pandai, dan tariannya pun indah. Dan tubuhnya itu! Amboi, betapa akan nikmatnya malam nanti akan kaurasakan dalam pelukkannya, adindaku.”

“Kakanda! Harap jangan ganggu kami lagi dan kupersilakan kakanda meninggalkan kami!” Pangeran Souw Han berseru marah. Akan tetapi kakaknya hanya tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, hampir aku lupa! Engkau belum pernah bergaul dengan wanita, tentu ia akan mengajarimu, atau kalau engkau memang tidak suka, biarlah kalau malam ia bersamaku, kalau siang ia bersamamu. Dan engkau pun boleh minta tukar untuk malam ini dengan beberapa saja selirku. Boleh kau pilih dan berapa banyaknya pun boleh untuk ditukar dengan ia!”

“Kakanda! Pergilah! Keluar dari sini!” Pangeran Souw Han berteriak dan Pangeran Souw Cun tertawa, akan tetapi meninggalkan kamar itu dengan langkah tenang dan berlenggang penuh gaya.

Setelah pangeran itu pergi, Pangeran Souw Han menutup pintu kamar, lalu menjatuhkan diri duduk di atas kursi. Dadanya bergelombang, mukanya merah dan napasnya memburu karena dia tadi menahan amarahnya.

Sejak tadi Liong-li mengamatinya, dan ia tersenyum lalu menghampiri dan duduk di atas kursi dekat dengan pangeran itu.

“Sudahlah, Pangeran. Tenangkan hati paduka. Bahaya telah lewat dan agaknya dia tidak mencurigai kita.

Pangeran Souw Han mengepal tinju. “Akan tetapi penghinaan-penghinaan itu! Terutama sekali kepadamu! Sungguh tidak patut!”

Liong-li tersenyum. Memang tadi iapun merasa marah sekali. Pangeran Souw Cun tidak pantas menjadi pangeran, pantasnya menjadi seorang berandal, seorang penjahat yang tidak tahu malu, yang siap menukarkan selir-selirnya dengan selir adiknya, begitu cabul, begitu jorok dan hina.

“Bagaimanapun juga, paduka telah berhasil mengusirnya, Pangeran, dan kita aman sudah. Saya yakin dia tidak akan berani lagi datang mengganggu.”

“Hemm, aku belum begitu yakin. Engkau tidak mengenal siapa Pangeran Souw Cun itu, enci Cu. Kalau sudah menginginkan seorang wanita, sebelum berhasil, akan dia lakukan segala daya, segala muslihat untuk mendapatkan wanita itu! Dan dia memiliki tukang-tukang pukul yang lihai. Engkau sekarang harus lebih berhati-hati, enci Cu, karena kulihat bahwa kakanda Souw Cun itu sangat menginginkanmu tadi. Selain si Bayangan Iblis, engkau akan menghadapi musuh lain, yaitu kakanda Souw Cun dan kaki tangannya.”

Liong-li tersenyum. “Saya tidak khawatir, Pangeran. Sudah terbiasa saya oleh kepungan orang-orang yang menjadi hamba nafsu iblis, dan selalu saya dapat mengatasi mereka.”

“Mudah-mudahan begitulah. Hanya pesanku, malam nanti, malam pertama engkau melakukan penyelidikan, engkau harus berhati-hati. Bagaimanapun juga, aku takkan dapat tidur karena gelisah sebelum engkau kembali ke kamar ini.”

“Aihh, kalau begitu, malam nanti bukan saya saja yang bergadang, akan tetapi paduka juga rupanya!” Liong-li berkelakar. “Sebaiknya sekarang paduka tidur mengaso agar malam nanti tidak terlalu payah.”

“Dan engkau sendiri? Nanti malam engkau akan melakukan tugas yang amat berat dan berbahaya! Engkaulah yang perlu mengaso.”

Liong-li tersenyum. “Aku tidak pernah tidur siang, Pangeran. Dan untuk memulihkan tenaga dan menguatkan tubuh, cukup dengan samadhi beberapa jam saja sambil mengatur pernapasan.”

“Kalau begitu, lakukanlah samadhimu, dan aku akan tiduran sambil membaca kitab.”

Liong-li tidak sungkan-sungkan lagi, melepaskan sepatunya dan naik ke atas pembaringan, lalu duduk bersila dan mengatur pernapasan. Pangeran Souw Han sendiri lalu membawa kitab sajak dan membaca kitab sambil rebahan di atas lantai yang bertilamkan permadani dan ditambah dengan beberapa buah bantal.

Mereka hanya berhenti ketika dua orang dayang mengetuk pintu kamar dan mengantar hidangan makan siang. Kemudian mereka melanjutkan kesibukan masing-masing dan sampai hari menjadi malam, sedikitpun juga sang pangeran tidak pernah mengganggu Liong-li, baik dengan perbuatan, kata-kata bahkan dengan pandang mata sekalipun.

Dan kembali ada perasaan penasaran dan kecewa di dalam hati Liong-li. Ia merasa seperti menjadi sebuah kursi atau meja kembali. Sebuah kitab sajak agaknya jauh lebih menarik bagi pamgeran itu dari pada dirinya! Sungguh keterlaluan!

Y

Malam tiba. Sejak sore tadi, sejak mereka makan malam bersama, sang pangeran sudah nampak gelisah dan berulang kali dia memperingatkan Liong-li agar berhati-hati. Kemudian, setelah mendekati tengah malam, Liong-li mengenakan pakaian serba hitam, menutupi pula mukanya dengan saputangan hitam, tidak lupa membawa Hek-liong-kiam yang disembunyikan di balik jubah hitam.

Melihat dandanan wanita itu, Pangeran Souw Han memandang dengan kagum, akan tetapi juga dengan sinar mata gelisah. “Engkau nampak gagah sekali, enci Cu, dan....... dan mengerikan. Kuharap engkau dapat segera menyelesaikan penyelidikanmu dan kembali ke kamar ini dengan selamat.”

“Tenangkanlah hati paduka dan tidurlah, Pangeran. Paling lambat besok pagi-pagi sebelum matahari terbit saya sudah akan kembali ke sini.”

“Engkau keluar melaksanakan tugas yang berat, menghadapi ancaman bahaya dan aku disuruh tidur enak-enak di sini? Bagaimana mungkin, enci Cu?”

“Akan tetapi, bukankah biasanya setiap malam paduka juga tidur seorang diri di sini dan tidak pernah gelisah?”

“Ketika itu belum ada engkau di sini enci Cu. Sudahlah, harap engkau berhati-hati dan aku ikut mendoakan.”

“Terima kasih, Pangeran. Aku pergi!” kata Liong-li yang sudah membuka daun jendela, dan sekali berkelebat, ia sudah lenyap dari depan pangeran itu, seperti seekor burung terbang saja lewat jendela yang terbuka.

Pangeran Souw Han terbelalak, sejenak hanya melongo memandang ke arah jendela, lalu menarik napas panjang dan menutupkan kembali daun jendela. Sudah sering dia melihat jagoan-jagoan istana bermain silat dan memamerkan kelihaian mereka, akan tetapi baru sekarang dia melihat ada gadis dapat menghilang begitu saja dari depan matanya.

Dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali, Liong-li melompat ke luar jendela dan langsung saja tubuhnya melayang ke atas genteng, Begitu kedua kakinya menginjak genteng bangunan, ia mendekam dan sepasang matanya yang tajam menyapu keadaan sekelilingnya. Sunyi dan cuacanya remang-remang karena bulan sepotong sudah naik tinggi.

Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang di atas genteng bangunan-bangunan besar di kompleks istana itu, ia lalu mengeluarkan sehelai saputangan hitam dan ditutupnya mukanya bagian bawah. Hanya dahi yang putih halus dan sepasang mata yang tajam mencorong saja yang nampak dan ia sengaja membiarkan sebagian anak rambut menutupi dahi. Takkan ada orang yang mengenal wajahnya sekarang.

Bagaikan seekor burung walet saja, Liong-li meronda di atas atap kelompok rumah besar itu. Tubuhnya berkelebat dan karena ia memakai pakaian hitam, maka gerakannya sukar diikuti pandang mata, apa lagi dari bawah.

Setiap kali meloncat dari satu ke lain wuwungan, ia mendekam dan mengintai sampai puluhan menit lamanya. Hawa udara malam itu dingin sekali, akan tetapi tidak dirasakan oleh Liong-li. Ia mengintai dan menanti dengan penuh kesabaran. Beberapa kali ia mendengus lirih dan mengomeli diri sendiri karena pikirannya selalu teringat kepada Pangeran Souw Han! Gila benar, ia sudah tergila-gila kepada pangeran itu!

Bukan main pangeran itu, dan kalau dipertimbangkan, tidak bisa ia terlalu menyalahkan perasaannya yang tertarik kepada pangeran itu. Baru pertama kali berjumpa, melihat wajahnya yang tampan, sikapnya yang halus dan sopan, budi bahasanya yang lembut itu saja sudah membuat ia kagum. Ketika mereka lebih dekat, ia mendapat kenyataan bahwa bukan itu saja kelebihan pangeran ini. Juga seorang sasterawan, seorang seniman, dan baik budi, ramah dan penuh perhatian! Betapa mudahnya membiarkan hati ini jatuh cinta kepada Pangeran Souw Han, ia, melamun.

Huh, engkau bertugas, menghadapi urusan penting yang berbahaya, bukan waktunya untuk melamunkan yang muluk-muluk dan yang mesra-mesra! Demikian ia menegur diri sendiri dan kembali perhatiannya ia tujukan ke luar, pandang matanya mengamati dengan tajam keadaan sekelilingnya.

Tiba-tiba jantungnya berdebar. Sesosok bayanpan berkelebat jauh di depan sana, di atas wuwungan atap bangunan lain. Sekarang saatnya menangkap Si Bayangan lblis, pikirnya dan dengan mengerahkan gin-kangnya, Liong-li meloncat dan berlari cepat dengan loncatan-loncatan jauh menuju ke atap itu.

Bayangan hitam itu agaknya hendak membuka genteng untuk melakukan pengintaian ke bawah. Terkejutlah bayangan itu ketika tiba-tiba ada angin menyambar dan sebuah tangan meluncur ke arah pundaknya. Akan tetapi, ternyata bayangan itu memiliki gerakan yang cepat.

Tubuhnya sudah telentang dan bergulingan, lalu meloncat berdiri dan memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Dia seorang yang tubuhnya tinggi besar, pakaian serba hitam dan mukanya tertutup topeng merah yang ada dua lubang kecil untuk matanya.

Sejenak Liong-li dan orang itu berdiri saling pandang. Sepasang mata di balik kedok itu mencorong pula seperti mata Liong-li. Kemudian, tanpa mengeluarkan suara, bayangan hitam berkedok itu menerjang ke arah Liong-li.

Dalam cuaca yang remang-remang itu, Liong-li masih dapat melihat kilauan sebatang pedang yang menusuk perutnya. Iapun mengelak dengan loncatan ke samping dan begitu sebelah kakinya turun ke atas genteng, kaki yang lain sudah melayang dengan tendangan layang ke arah kepala lawan! Orang itu terkejut, namun dapat pula mengelak.

Melihat gerakan orang, Liong-li maklum bahwa lawannya cukup lihai, namun tidak cukup untuk membuat ia harus mencabut pokiamnya (pedang pusakanya). Kalau tidak perlu sekali, ia tidak akan mencabut Hek-liong-kiam, karena sekali dicabut, ada kemungkinan lawan akan mengenal pedang itu dan sekali pedangnya dikenal, maka dirinyapun pasti akan dikenal sebagai Hek-liong-li! Iapun mendesak dengan pukulan dan tendangan di antara kilatan pedang lawan.

Bayangan hitam yang tinggi besar itu agaknya tidak begitu bernafsu untuk berkelahi terus. Memang besar bahayanya kalau berkelahi terlalu lama di atas wuwungan, karena tentu akan menarik perhatian para penjaga keamanan dan kalau mereka melihatnya, tentu keadaan menjadi berbahaya.

Dengan gerakan cepat dan kuat sekali, tiba-tiba pedang itu menyambar dengan ganasnya ke arah leher Liong-li. Pendekar wanita ini terkejut. Ini merupakan serangan yang amat berbahaya, maka terpaksa ia melempar tubuh ke belakang sambil meloncat dan berjungkir balik sampai tiga kali sebelum tubuhnya turun kembali ke atas genteng. Akan tetapi, ketika ia sudah turun, dilihatnya lawannya tadi melarikan diri dengan cepat ke arah timur.

Iapun mengejar sambil mengerahkan ginkangnya. Akan tetapi bayangan itu lenyap di balik pagar tembok yang memisahkan istana bagian pria dengan istana bagian wanita. Bayangan itu datang dari balik pagar, dari istana bagian wanita! Sejenak ia berdiri termenung. Siapakah bayangan itu? Seorang wanitakah? Akan tetapi tubuhnya begitu tinggi besar! Iapun teringat akan keterangan Pangeran Souw Han bahwa Permaisuri mempunyai banyak jagoan yang lihai!

Ia lalu berloncatan lagi dan bersembunyi di balik sebuah wuwungan yang tinggi sambil mengenang peristiwa yang baru saja terjadi. Mungkin seorang anak buah permaisuri, pikirnya. Bagaimanapun juga, harus dicatat bahwa ada orang mencurigakan di bagian puteri. Bukan tidak mungkin pemimpin gerombolan, yaitu Kwi-eng-cu, berada di bagian puteri, mungkin sang permaisuri sendiri! Siapa tahu?

Kini ia mendekam di atas wuwungan tempat tinggal Pangeran Souw Cun. Ia sudah mempelajari letak tempat tinggal para pangeran dari Pangeran Souw Han, maka kini ia dapat mengetahui bahwa ia berada di atas atap bangunan tempat tinggal Pangeran Souw Cun.

Dengan sabar ia mendekam dan mengintai di situ. Akhirnya, lewat tengah malam, dia melihat sesosok bayangan meloncat keluar dari dalam bangunan itu! Sekali ini, bayangan yang juga berpakaian serba hitam, bertubuh tegap tidak begitu tinggi, akan tetapi juga mukanya ditutup kedok yang berwarna hitam pula walaupun berbeda modelnya dengan yang tadi.

Liong-li cepat menyergap untuk menangkapnya. Karena ia muncul dengan tiba-tiba dan penuh perhitungan karena tidak mau gagal lagi, Liong-li berhasil mencengkeram pundak orang itu.

“Ihhh......!” Liong-li berseru lirih saking kagetnya ketika jari-jari tangannya bertemu dengan pundak yang keras dan licin seperti besi sehingga cengkeramannya hanya merobek baju dan meleset!

“Ahhhh.......!” Orang itu agaknya juga terkejut dan kakinya menendang ke arah perut Liong-li. Namun Liong-li kini mengerahkan tenaga dan sengaja menangkis untuk mengukur tenaga lawan.

“Dukkk......!” Orang itu kembali mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Akan tetapi dia sudah meloncat ke balik wuwungan dan ketika Liong-li cepat mengejar, bayangan itu sudah lenyap, mungkin turun kembali ke dalam bangunan itu!

Liong-li termenung sejenak! Orang itu jelas bukan yang pertama tadi, akan tetapi juga amat lihai! Kalau yang pertama tadi menghilang di balik tembok istana bagian puteri, kini orang kedua ini menghilang ke dalam bangunan tempat tinggal Pangeran Souw Cun! Hemm, siapakah di antara mereka itu Kwi-eng-cu? Ataukah hanya anak buah saja? Siapakah yang memiliki peran dalam urusan rahasia Si Bayangan Iblis ini? Sang Permaisuri ataukah Pangeran Souw Cun?

Kembali Liong-li melakukan perondaan dan pengintaian, Namun, tidak ada sesuatu terjadi, tidak ada bayangan hitam muncul. Ketika dari atas wuwungan ia melihat di ufuk timur sana ada cahaya merah sang matahari, masih amat lembut, ia mengambil keputusan untuk kembali ke tempat tinggal Pangeran Souw Han sebelum fajar menyingsing. Akan tetapi tiba-tiba ia menyelinap ke balik wuwungan.

Dari arah barat nampak sesosok bayangan hitam, berlari cepat sekali, berloncatan dari wuwungan ke wuwungan yang lain. Kini bayangan itu tubuhnya tinggi kurus, berbeda pula dengan yang tadi. Liong-li tidak menyerang, hanya berniat membayangi. Akan tetapi, bayangan yang satu inipun, lihai sekali. Agaknya tahu bahwa ada orang yang membayanginya, maka tiba-tiba saja tubuhnya meluncur ke arah Liong-li yang membayangi sambil bersembunyi dan menyelinap di bilik wuwungan, Tiba-tiba si bayangan hitam yang tinggi kurus sudah menerjangnya dari atas seperti seekor burung garuda!

“Hemm.......!” Liong-li menyambut pukulan kedua tangan terbuka itu dengan kedua tangannya sendiri yang juga dibuka.

“Dessss.......!”Akibatnya, tubuh Liong-li terjengkang dan untung ia masih mampu berjungkir balik sehingga tidak terbanting! Akan tetapi lawannya yang tadi menyerangnya dari atas juga terpental ke belakang dan seperti juga Liong-li, orang tinggi kurus ini berjungkir balik dan dapat hinggap di atas genteng tanpa cidera. Keduanya sejenak saling pandang dari balik topeng, kemudian orang tinggi kurus itu, menggerakkan kedua tangan. Benda-benda kecil hitam menyambar ke arah tubuh Liong-li, dari kepala sampai kaki!

Pendekar ini kembali terkejut dan maklum betapa berbahayanya senjata-senjata rahasia yang menyambar dengan cepat itu. Iapun menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak dengan loncatan ke samping, akan tetapi tangannya menyambar, dan ia berhasil menangkap sebuah benda hitam yang ternyata hanyalah pecahan genteng!

Senjata seperti ini dapat dipergunakan setiap orang dan tidak dapat ia jadikan bukti untuk kelak mengenal siapa lawannya.” Ia melihat tubuh lawan sudah melayang menjahuinya. Dengan gemas ia lalu menggerakkan tangan, mengembalikan “senjata rahasia” itu ke arah pemiliknya. Lalu ia mengejar.

Ternyata orang ketiga ini malah lebih lihai dibandingkan dua orang pertama. Tanpa menoleh, sambil tetap berlari, ia menjulurkan tangan ke belakang dan menangkis pecahan genteng yang menyambarnya. Liong-li mengejar terus dan melihat orang itu lenyap di balik wuwungan sebuah bangunan, yang ia tahu adalah tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him, yaitu seorang di antara mantu kaisar!

Liong-li tertegun. Malam ini ia bertemu tiga orang yang lihai dan ia tahu bahwa di istana ini berkeliaran banyak jagoan yang lihai, orang-orang berkedok yang penuh rahasia. Akan tetapi ia tidak tahu yang mana Si Bayangan Iblis dan di mana sembunyinya.

Betapapun juga, ia merasa puas karena malam pertama ini ia dapat bertemu dengan tiga orang berkedok yang melarikan diri ke arah tiga tempat yang berlainan. Iapun cepat pulang dengan cara menyelinap ke sana-sini dan yakin bahwa tidak ada orang yang tahu ketika ia melayang turun ke tempat tinggal Pangeran Souw Han. Ia membuka daun jendela tanpa menimbulkan suara, meloncat ke dalam dengan hati-hati agar tidak mengejutkan Pangeran Souw Han yang ia tahu pasti masih tidur nyenyak.

“Enci Cu.......! Akhirnya engkau kembali juga......!”

“Ehhh......” Liong-li melepas sapu tangan dari mukanya dan memandang kepada pangeran itu dengan mata terbelalak. Kiranya pangeran itu masih duduk di atas lantai dengan sebuah kitab di tangannya. “Pangeran, sepagi ini paduka sudah bangun dari tidur?”

Pangeran itu tersenyum. Masih ada kegelisahan yang bersisa di sudut matanya, namun senyumnya cerah, wajahnya membayangkan kegembiraan. “Enci Cu, bagaimana mungkin aku dapat tidur? Semalam suntuk aku gelisah menanti-nanti kembalimu!”

“Aduh, pangeran! Paduka bergadang pula semalam suntuk?” Ada rasa haru dan gembira menyelinap di dalam hati wanita itu.

Bagaimana hatinya tidak akan terharu dan bangga, juga gembira melihat kenyataan betapa pangeran yang ganteng ini begitu mengkhawatirkan dirinya sehingga semalam suntuk tidak tidur untuknya dan selalu mengharapkan kembalinya? Ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Pangeran Souw Han mencintanya!

Pangeran itu agak tersipu. “Sudah kuusahakan untuk memejamkan mata, namun sia- sia. Bahkan membacapun tidak dapat kucerna, karena pikiran ini selalu membayangkan engkau berada dalam ancaman bahaya besar. Enci Cu, kini hatiku demikian lega dan aku merasa lelah dan mengantuk sekali.”

“Pangeran, paduka harus tidur. Kasihan sekali, tidurlah di atas pembaringan itu, pangeran, dan saya.......” Liong-li tersenyum dan menghentikan ucapannya, lalu menghampiri.

Pangeran itu telah tertidur! Tertidur dengan tarikan napas yang halus dan mulutnya masih mengembangkan senyum, tangannya masih memegang sebuah kitab. Dengan lembut, Liong-li mengambil kitab yang hampir terlepas di tangan kiri itu, lalu mengambil selimut dari atas pembaringan karena hawa udara yang dingin menembus ke dalam kamar, lalu dengan hati-hati ia menyelimuti tubuh pangeran itu dari kaki sampai ke leher.

Melihat betapa pangeran itu tidur pulas sekali, dan kepalanya tidak berbantal, ia lalu mengambil sebuah bantal dari pembaringan, dan dengan hati-hati ia memasukkan lengan kiri ke bawah leher sang pangeran, mengangkat kepala itu dan mendorongkan bantal ke bawah kepala. Kepala yang berada di rangkulan lengan kiri itu ketika ia angkat, berada dekat sekali dengan mukanya. Maka pangeran itu nampak demikian tampan, demikian lembut.

Perasaan haru dan mesra menyelinap di dalam hati Liong-li membuat ia makin menunduk dan hampir ia mencium pipi atau bibir itu. Akan tetapi, keteguhan hatinya bergerak menolak dan menentang. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang!

Ia perlahan-lahan menurunkan kepala itu ke atas bantal, lalu cepat-cepat ia bangkit berdiri. Dadanya masih tergetar oleh gairah dan ia cepat melangkah mundur. Ia tidak boleh berada di sini selagi sang pangeran tidur, bukan saja ia tidak mau mengganggu pangeran yang kelelahan dan kurang tidur itu, juga ia menganggap terlalu berbahaya. Ia juga takkan dapat beristirahat kalau berada di kamar itu, harus selalu berjuang melawan gairah nafsunya sendiri.

Setelah memandang sekali lagi ke arah wajah itu dan tersenyum, dengan pandang mata menjadi lembut mengandung kasih sayang. Liong-li berganti pakaian dan meninggalkan kamar itu, menutupkan pintunya perlahan dan iapun pergi ke ruangan para dayang.

Pagi itu lima orang dayang telah terbangun dan sedang sibuk bekerja. Ada yang menyiapkan sarapan pagi untuk pangeran, ada yang mencuci pakaian, membersihkan lantai, membersihkan semua perabot rumah, menyapu pekarangan dan sebagainya. Melihat sang “selir” pangeran sudah terbangun sepagi itu, mereka merasa heran, akan tetapi menyambut majikan baru ini dengan hormat dan ramah. Mereka menghaturkan selamat pagi dan menawarkan sarapan pagi, tidak tahu apakah selir pangeran itu akan sarapan pagi hersama pangeran nanti kalau sudah bangun tidur, atau makan pagi sendirian.

“Aku ingin sarapan di sini saja, beberapa butir telur dan bubur, dan air teh panas. Juga tolong sediakan air hangat, aku ingin mandi. Pangeran masih tidur, harap jangan membuat gaduh dekat kamar.”

Liong-li mandi air hangat dan merasa segar kembali walaupun semalam ia tidak tidur sama sekali. Dan sarapan itu membuat kekuatan tubuhnya pulih, akan tetapi sehabis makan, datanglah rasa kantuk.

Selagi ia berniat untuk kembali ke kamar dan melepas kantuknya, tiba-tiba muncul Pangeran Souw Cun bersama dua orang pengawalnya, dua orang laki-laki berusia empatpuluh tahunan yang berpakaian ringkas dan bertubuh tegap.

Lima orang dayang tentu saja terkejut dan mereka segera memberi hormat dengan membungkuk hampir berlutut. Akan tetapi Souw Cun tidak memperdulikan mereka, melainkan memandang kepada Liong-li yang sedang duduk. Sikapnya tidak seperti kemarin, ramah gembira. Kini wajahnya berkerut marah.

“Nah ini ia orangnya! Tangkap ia!” perintahnya kepada dua orang pengawal. Agaknya ia sudah memberitahu kepada dua orang pengawalnya bahwa yang akan ditangkap adalah seorang wanita yang memiliki kepandaian tinggi, agar mereka berdua berhati-hati.

Kini melihat bahwa yang harus mereka tangkap itu seorang wanita yang cantik dan lembut, dua orang pengawal itu saling pandang dan merasa heran. Akan tetapi mereka tidak berani melanggar perintah majikan mereka dan sekali meloncat mereka sudah berada di kanan kiri Liong-li dan sekali menggerakkan tangan mereka sudah menangkap lengan Liong-li. Cengkeraman mereka itu kuat sekali.

Kalau Liong-li menghendaki, tentu saja ia akan mampu membela diri, bahkan merobohkan dua orang laki-laki itu, akan tetapi ia tidak berani membocorkan rahasia dirinya, karena hal itu bukan saja akan membahayakan dirinya sendiri, bahkan juga membahayakan Pangeran Souw Han. Maka, biarpun cengkeraman itu menyakitkan lengannya, ia tidak mau mengerahkan tenaga sin-kang dan bahkan merintih kesakitan.

“Auhhh......, lepaskan... ah, apa kesalahanku, Pangeran? Lepaskan saya!”

Ketika merasa betapa tangan mereka mencengkeram sebuah lengan yang lunak dan tidak bertenaga, dua orang pengawal itu merasa heran dan tentu saja mereka segera mengendurkan cengkeraman. Mereka adalah jagoan-jagoan, tentu saja merasa malu kalau harus menggunakan kepandaian untuk menghadapi seorang wanita yang lemah.

“Hemm, engkau mata-mata busuk! Diam kau!” bentak Pangeran Souw Cun kepada. Liong-li, kemudian mengangguk kepada dua orang pengawalnya, “Bawa ia!”

Liong-li meronta dan pura-pura ketakutan, namun dua orang pengawal itu menarik dan setengah menyeretnya pergi dari situ, diikuti oleh Pangeran Souw Cun. Diam-diam Liong-li merasa girang karena ia mengharapkan terbongkarnya rahasia Kwi-eng-cu. Apakah pangeran congkak ini yang memegang peran dalam rahasia Si Bayangan Iblis?

Ia tentu akan tahu nanti. Ia tidak khawatir karena kalau tiba saat terakhir, di mana nyawanya terancam, tentu ia akan memberontak dan membela diri. Bahkan sekarangpun kalau ia mau, ia dapat menjerit dan tentu Pangeran Souw Han akan menolongnya. Akan tetapi ia sengaja tidak menjerit, pura-pura tidak berani menjerit seperti halnya lima orang dayang itu. Belum saatnya ia membutuhkan pertolongan Pangeran Souw Han.

Liong-li dibawa ke dalam tempat tinggal Pangeran Souw Cun, dan ketika mereka memasuki ruangan dalam, dua orang pengawal itu mendorongnya masuk. Dorongan itu cukup kuat dan Liong-li terpaksa harus pura-pura tersungkur ke atas lantai ruangan itu, merintih dan mengaduh.

“Heh-heh-heh, nona. Tidak perlu lagi bermain sandiwara seperti itu, heh-heh!” terdengar suara parau.

Liong-li pura-pura terkejut ketakutan, mengangkat mukanya dan memandang dalam keadaan masih terduduk di atas lantai. Kiranya di dalam kamar itu terdapat seorang laki-laki tua berusia enampuluh tahun lebih, berpakaian seperti seorang sasterawan. Tubuhnya tinggi kurus dan agak bongkok. Kakek ini adalah Bouw Sian-seng, yaitu guru yang mengajarkan sastera kepada Pangeran Souw Cun.

“Heh-heh, Pangeran. Ia hanya pura-pura. Jangan paduka terkena tipuannya, heh-heh!” katanya lagi.

Kini dia sudah bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan kedua tangan yang berlengan lebar itu. Pakaiannya mewah, bahkan ada hiasan emas pada kancing bajunya, dan juga pada rambutnya. Akan tetapi Liong-li melihat betapa kumis dan jenggot orang ini kotor dan tidak terawat baik, tanda bahwa di balik kemewahan pakaian itu, sebenarnya dia seorang yang jorok.

“Ketika pertama kali bertemu, akupun sudah menduga begitu, Sian-seng. Ia tentu berbahaya sekali, sudah berhasil menyelundup ke istana!” Pangeran itu kini duduk di atas kursi, dan dua orang pengawalnya berdiri di belakangnya, siap membela majikan mereka. Hanya ada empat orang, pikir Liong-li yang masih menangis lirih. Dua orang pengawal itu tidak ada artinya baginya. Yang perlu dihadapi dengan hati-hati adalah pangeran itu sendiri dan agaknya kakek inipun menyembunyikan keadaan dirinya yang sebenarnya.

Ia mengingat-ingat siapakah gerangan kakek ini, apakah seorang tokoh kang-ouw, tokoh dunia sesat? Ia tidak pernah bertemu dengan kakek ini. Dia inikah yang menjadi dalang keributan Si Bayangan Iblis itu? Semua kemungkinan ada selama rahasia itu belum dapat ia pecahkan.

“Sudah, tidak perlu berpura-pura menangis, pura-pura sebagai seorang wanita lemah!” bentak Pangeran Souw Cun. “Hayo mengaku saja terus terang siapa engkau sebenarnya, dan apa maksudmu menyelundup ke dalam istana?”

Dengan air mata bercucuran, Liong-li mengangkat muka memandang pangeran itu. “Saya..... hamba...... tidak mengerti apa maksud paduka...? Hamba bernama Siauw Cu, hamba tadinya seorang dayang Yang Mulia Permaisuri...... hamba lalu diberikan kepada Pangeran Souw Han..... hamba hanya melaksanakan perintah.... dan semua sudah paduka ketahui.....”

“Bohong!” Pangeran Souw Cun membentak marah. “Semua itu bohong! Engkau tentu mata-mata yang diselundupkan ke sini!”

“Hamba tidak berbohong......!”

“Heh-heh, ia memang pandai bersandiwara, Pangeran. Tentu ada hubungannya dengan gadis yang bekerja di dapur istana itu....... heh-heh......”

Diam-diam Liong-li terkejut. Kakek bongkok itu ternyata cerdik sekali. Menghubungkan ia sebagai dayang dengan gadis di dapur yang tentu dimaksudkan Akim, gadis penyamarannya pula.

“Hayo katakan, engkau tentu mengenal. Akim, gadis pelayan di dapur itu, bukan?”

“Hamba tidak...... tidak tahu, hamba tidak mengenal siapapun di dapur istana.”

“Heh-heh-heh, Pangeran, tidak ada cara yang lebih manjur untuk memaksa seorang wanita muda mengaku dosanya dari pada mengancamnya dengan perkosaan!”

“Hayo mengaku kau! Kalau tidak, aku akan menyuruh beberapa orang pengawalku untuk memperkosamu bergiliran!” bentak pula Pangeran Souw Cun, lalu dia menghampiri Liong-li, tangannya meraih dan mencengkeram baju wanita itu di bagian dada. Liong-li mempertahankan bajunya, berlagak ketakutan.

“Jangan, Pangeran...... ah, jangan......!”

Pangeran Souw Cun mengerahkan tenaga menarik baju itu dengan sentakan kuat. “Brett......!” Baju itupun robek dan nampaklah dada Liong-li yang sengaja tidak mempertahankan bajunya. Ia hanya dapat menangis dan menutupi dada dengan kedua tangannya, menarik-narik baju yang terobek itu untuk menutupi dadanya yang terbuka.

“Ampun, Pangeran. Jangan perkosa saya...... ah, mengapa paduka melakukan ini kepada hamba? Hamba sudah menjadi selir Pangeran Souw Han, beliau amat mencinta hamba...... dan hamba bekas dayang kesayangan Yang Mulia Permaisuri. Kalau hamba diperkosa di sini, kalau hamba dibunuh, tentu Pangeran Souw Han dan Permaisuri akan marah sekali......, jangan hamba yang tidak berdosa ini disiksa......”

Pangeran Souw Cun bermain mata dengan Bouw Sian-seng. Kakek itu memberi isyarat dengan gelengan kepala. Mereka berdua tahu betapa benarnya ucapan wanita itu.

Kalau sampai ia diperkosa atau dibunuh, tentu akan mereka hadapi akibatnya yang cukup hebat dan menambah kacau keadaan. Tentu Pangeran Souw Han akan marah sekali, juga permaisuri takkan tinggal diam. Hal itu amat merugikan.

“Huh, siapa yang mau memperkosa seorang mata-mata, seorang wanita palsu seperti engkau? Aku hanya ingin memberi hajaran agar engkau mengaku!” Lalu kepada dua orang pengawalnya, Pangeran Souw Cun berkata, “Hajar ia dengan sepuluh kali cambukan!”

Dua orang pengawal yang sudah biasa bertindak sebagai algojo itu cepat maju. Seorang dari mereka memaksa Liong-li untuk berlutut dan bertiarap dengan punggung dan pinggul telanjang, dan seorang lagi lalu mengayun sebatang cambuk.

“Tarrr......!“ Pecut panjang itu untuk pertama kali menyambar dan menyengat punggung Liong-li.

Nampak guratan merah pada kulit yang putih mulus itu. Liong-li menjerit dan merintih kesakitan. Akan tetapi cambuk itu menyambar lagi, dua kali, tiga kali, mengenai pinggul, punggung sampai lima kali! Liong-li terkulai, dan Pangeran Souw Cun mengangkat tangan.

“Cukup!” Dan cambukan keenam tidak dilakukan. Punggung dan pinggul yang berkulit putih mulus itu kini penuh jalur-jalur merah, bahkan di sana-sini terluka, kulitnya pecah berdarah.

“Engkau masih belum mau mengaku siapa dirimu sebenarnya dan siapa yang memperalat kamu menjadi mata-mata. Kalau tidak mau mengaku, akan kusuruh cambuk lagi sampai engkau mampus!” kata Pangeran Souw Cun, kini kata-katanya tidak “terpelajar” lagi, melainkan kasar.

Liong-li tidak bermain sandiwara kalau ia menyeringai kesakitan. Memang bukan main nyerinya dicambuki seperti itu. Perih, panas dan rasa nyeri hampir tak tertahankan. Ia menggeleng kepala. “Hamba tidak bohong, hamba Siauw Cu....... dayang permaisuri....... selir Pangeran Souw Han.......”

“Heh-heh, Pangeran. Saya mempunyai cara lain yang membuat ia harus mengaku. Ia tidak akan dapat menahan rasa nyerinya!” Terbongkok-bongkok Bouw Sian-seng menghampiri Liong-li, lalu menjambak rambut pada pelipis kanan kiri dengan kedua tangannya.

“Nona, kalau engkau tidak mau mengaku, akan kucabut rambut ini dari pelipismu sampai kulitnya terkupas! Katanya sambil menyeringai dan dia mulai menarik rambut di kedua pelipis itu.

Liong-li terbelalak saking nyerinya. Kiut miut rasanya, rasa nyeri yang menyengat sampai ke ubun-ubun kepalanya. Hampir saja ia menggerakkan tangan. Sekali pukul saja tentu ia akan dapat membunuh kakek yang menyiksanya ini. Akan tetapi belum saatnya. Ia tahu bahwa kakek itu hanya menggertak. Pelipisnya tidak akan robek. Mereka tidak akan berani membunuhnya.

“Saya...... saya tidak..... tidak bohong.......”

“Kanda Souw Cun......!” Tiba-tiba terdengar teriakan di luar pintu.

Mendengar ini, Bouw Sian-seng cepat melepaskan rambut di kedua pelipis Liong-li dan pendekar wanita inipun jatuh terkulai, merintih lirih, akan tetapi hatinya lega bukan main mendengar suara Pangeran Souw Han di pintu.

“Nah, dia datang......” bisik Souw Cun, pangeran yang kini berbalik merasa khawatir.

“Katakan saja ia kurang ajar terhadap paduka, memandang rendah......” bisik Bouw Sian-seng.

Daun pintu kamar itu didorong dari luar dan masuklah Pangeran Souw Han dengan muka pucat. Dia segera melihat Liong-li yang mendekam di atas lantai dengan tubuh bagian belakang telanjang dan berdarah.

“Ya Tuhan! Kanda Souw Cun, apa yang kaulakukan ini? Siauw Cu......!” Pangeran Souw Han menubruk dan merangkul Liong-li. Wanita ini menangis tersedu-sedu.

“Pangeran.......”

Pangeran Souw Han menanggalkan baju luarnya dan menyelimuti tubuh Liong-li dengan jubahnya, menariknya bangkit berdiri. Dengan lunglai wanita itu bersandar kepadanya dan Pangeran Souw Han merangkulnya, kemudian Pangeran Souw Han kembali memandang Pangeran Souw Cun dengan mata bernyala karena marah.

“Kanda Souw Cun, apa artinya ini? Engkau..... engkau sudah berani menghinaku! Siauw Cu ini selirku, kenapa engkau berani menangkapnya dan...... dan apa yang kaulakukan kepadanya ini? Jawab! Kenapa? Atau kulaporkan kepada Ibunda Permaisuri, kepada Sribaginda?”

Dan sinar matanya yang penuh kemarahan itu juga memandang kepada Bouw Sian-seng yang berdiri agak jauh sambil menundukkan mukanya. Dua orang pengawal Pangeran Souw Cun juga diam seperti patung. Mereka tidak merasa khawatir karena mereka hanyalah pelaksana perintah Pangeran Souw Cun.

Pangeran Souw Cun tersenyum. “Adikku. yang baik, jangan salah paham. Aku sama sekali tidak bermaksud menghinamu. Akan tetapi sudah kuperingatkan engkau. Wanita ini..... ia bersikap kurang ajar kepadaku, bahkan ia berani merayuku......”

“...... tidak benar, Pangeran.....!” Liong-li Membantah.

“Ha-ha-ha, tentu saja ia ingkar dan tidak berani mengaku. Akan tetapi, Bouw Sian-seng, ini dan dua orang pengawalku menjadi saksinya!”

Souw Han menegakkan kepalanya. Kalau dia melaporkan kepada Permaisuri dan Kaisar tentu akan terjadi heboh, dan kakak tirinya yang licik ini dapat mengajukan tiga orang itu sebagai saksi dan dia akan tersudut.

“Hemm, kanda Souw Cun. Aku mengenal selirku, ia tidak mungkin berani berbuat seperti itu! Siauw Cu, katakan, apa yang telah dilakukan kanda Souw Cun kepadamu! Engkau tidak...... tidak dihina, di...... nodai, bukan? Aku tidak terima begitu saja!”

Liong-li maklum bahwa Pangeran Souw Han marah sekali. Tidak baik kalau dibiarkan begini. Berbahaya sekali bagi pangeran yang disayangnya itu.

“Tidak, Pangeran..... saya....... saya hanya dicambuk... lima kali!” kata Liong-li lirih.

“Mana orangnya yang mencambukmu?”

Liong-li memandang kepada dua orang pengawal yang masih berdiri tegak.

“Mereka itu? Jahanam busuk, kalian harus menerima pembalasan!” Pangeran Souw Han mengambil cambuk yang masih terletak di situ, lalu menggunakan cambuk itu untuk mencambuki dua orang pengawal.

Dua orang pengawal itu tidak berani melawan, bahkan tidak berani mengelak, terpaksa menerima cambukan-cambukan dari pangeran yang sedang marah dan mengamuk itu. Sampai cabik-cabik pakaian mereka dan ada jalur-jalur merah di muka mereka.

“Cukup dinda Souw Han! Selirmu dicambuk lima kali dan engkau sudah membalas belasan kali!”

Souw Han melempar cambuk itu ke atas lantai. Mukanya merah karena marah dan dia menuding kepada kakaknya dengan mata melotot.

“Untung bukan engkau yang mencambuki Siauw Cu, kanda Souw Cun. Kalau engkau sekali pun, pasti akan kubalas! Tak seorang pun boleh menghina Siauw Cu, berarti menghina aku. Kanda tahu bahwa aku tidak pernah memusuhimu atau siapapun. Aku pura-pura tidak tahu saja akan segala kebusukkan yang terjadi di sini! Aku tahu bahwa engkau juga bersaing memperebutkan kekuasaan. Aku tidak perduli semua itu, akan tetapi mengapa engkau berani mengganggu Siauw Cu?”

Liong-li melihat dari sudut matanya betapa Pangeran Souw Cun bertukar pandang dengan Bouw Sian-seng. Ia tidak perlu melapor kepada Pangeran Souw Han bahwa Bouw Sian-seng tadi menyiksanya. Kakek itu berbahaya sekali.

“Adikku Souw Han. Engkau lebih memberatkan selirmu dari pada kakakmu, aku? Aih, sudahlah. Maafkan. Kalau tadi aku menghukumnya adalah karena aku merasa dihina, dan bukan karena ia hanya seorang bekas dayang, seorang janda...... dan ah, terus terang saja tadinya kami mencurigai selirmu ini. Kami mengira bahwa ia seorang mata-mata yang menyelundup. Aku melakukannya karena sayang kepadamu adikku.

“Kalau ia mata-mata yang menyelundup ke dalam istana dan menipu Ibunda Permaisuri dan juga menipumu, bukankah itu berbahaya sekali, dinda? Karena itu, hukuman cambuk tadi sesungguhnya hanya untuk mengujinya, apakah ia seorang mata-mata berbahaya yang memiliki kepandaian tinggi dan berniat jahat atau bukan.”

“Hemm, betapa kejamnya! Dan bagaimana kenyataannya? Lihat, punggung selirku luka-luka berdarah! Dan ia sama sekali tidak berdosa. Ia wanita pertama dan satu-satunya yang kucinta, dan engkau menyuruh algojo-algojomu mencambukinya.”

“Sudahlah, adinda yang baik. Aku sudah minta maaf, bukan? Ini hanya kesalah pahaman saja. Biarlah lain hari aku memberi hadiah untuk selirmu ini, untuk menyatakan penyesalan dan maafku.” .

“Hemm......!” Pangeran Souw Han menggandeng lengan dan merangkul pundak Liong-li lalu dipapahnya wanita itu keluar dari situ, terus menuju ke tempat tinggalnya sendiri. Dia menyesal sekali mengapa para dayangnya tadi terlambat membangunkannya.

Para dayang itu tadi kebingungan melihat Liong-li ditangkap Pangeran Souw Cun. Untuk melaporkan hal itu kepadanya, mereka tidak berani karena tidak berani mengganggu dia yang sedang tidur.

Akhirnya, mereka itu setelah saling dorong, memberanikan diri beramai-ramai memasuki kamarnya dan membangunkannya, melaporkannnya. Dia terkejut sekali dan cepat berlari mengejar ke tempat tinggal Pangeran Souw Cun. Namun sudah agak terlambat. Liong-li telah dicambuk lima kali sampai leher, punggung dan pinggulnya luka-luka!

Setelah Souw Han dan selirnya pergi, Pangeran Souw Cun mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. “Sialan, ternyata perempuan itu orang lemah, bukan seorang perempuan yang berbahaya seperti yang kita sangka!”

Bouw Sian-seng mengangguk-angguk. “Biarpun tadinya mencurigakan, akan tetapi setelah kita menyiksanya, jelas bahwa ia seorang yang lemah, sama sekali tidak melawan. Kita telah salah sangka, Pangeran.”

“Hemmm, justeru itu celakanya. Ia seorang perempuan biasa, akan tetapi peristiwa ini mendatangkan bahaya baru yang hebat dan yang mengancam kita! Aku khawatir sekali......!”

“Heh-heh-heh, paduka bersikap seolah-olah sudah tidak ada hamba di sini, Pangeran. Apa yang menggelisahkan paduka, katakan saja dan hamba yang akan membereskan!”

“Kaudengar tadi ucapan dinda Souw Han? Dia agaknya telah mengetahui semua rahasiaku!”

“Beliau tadi sedang marah, Pangeran. Mungkin itu hanya gertakan saja karena sedang marah.”

“Hemm, dinda Souw Han bukan seorang yang suka bicara bohong atau menggertak. Kalau dia bicara, tentu hal itu benar. Sungguh tidak kuaangka, dia nampaknya tidak perduli dan tidak memperhatikan, akan tetapi dia tahu semua rahasiaku. Ini berbahaya sekali!”

“Lalu, apa yang harus hamba lakukan, Pangeran?”

Pangeran Souw Cun mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Jangan lakukan apa-apa, hal ini harus kupikirkan masak-masak lebih dulu. Orang seperti Souw Han lebih baik dijadikan sekutu dari pada lawan. Dia disuka oleh semua pangeran, termasuk aku. Dan ibunda Permaisuri juga amat suka kepadanya. Sulit....... sulit biar kupikirkan masak-masak hal ini.”

Y

“Aih, kasihan sekali engkau, enci Cu.....!” kata Pangeran Souw Han ketika dia memapah Liong-li memasuki kamarnya, disambut oleh lima orang dayang yang memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang. Pangeran Souw Han memapah Liong-li ke pembaringan. Akan tetapi, ketika pendekar wanita itu duduk, ia mengeluh karena pinggulnya yang terkena lecutan tadi perih.

“Sakitkah, enci Cu?Engkau rebah dulu, aku akan memanggil tabib......” Dia membantu Liong-li merebahkan diri, akan tetapi begitu telentang, Liong-li merintih, lalu terpaksa miringkan tubuhnya agar bagian yang luka-luka tidak terhimpit.

“Auhhhh......”

“Kasihan engkau, kalau tidak bisa untuk telentang, engkau miring atau telungkup, enci Cu. Aku akan memanggil tabib sekarang.”

“Jangan, Pangeran. Tidak usah. Lebih baik keadaan saya ini tidak diketahui orang luar, dan harap pesan kepada para dayang agar merahasiakan peristiwa ini. Saya dapat mengobatinya sendiri, saya mempunyai obat luka yang manjur......”

“Engkau benar, enci Cu. Akan kupanggil mereka semua.” Pangeran Souw Han bertepuk tangan lima kali dan bermunculanlah lima orang dayang itu memasuki kamar.

“Kalian berlima harus melupakan semua yang terjadi tadi, dan tidak menceritakan kepada siapapun juga. Peristiwa yang menimpa nyonya muda tadi tidak pernah terjadi. Mengerti?”

“Hamba mengerti, Pangeran,” kata mereka.

“Tolong disediakan air hangat-hangat kuku dalam sebuah panci dan bawa ke sini......” kata Liong-li kepada mereka. Mereka izin pergi dan menutup kembali daun pintu kamar.

“Terima kasih, Pangeran. Untung paduka cepat datang.”

“Enci Cu, kenapa engkau membiarkan dirimu disiksa seperti itu? Engkau seorang yang berilmu tinggi, kenapa tidak kau hajar saja mereka itu?”

Liog-li tersenyum. “Harap paduka ingat bahwa tugas saya adalah melakukan penyelidikan, bukan mengamuk dan membuat kacau di istana. Mereka agaknya mencurigai saya, kalau saya saya memperlihatkan kepandaian, berarti rahasia saya akan terbuka. Kini mereka akan menganggap saya seorang wanita biasa yang lemah, dan tidak akan mengganggu saya lagi sehingga saya dapat bekerja dengan baik tanpa dicurigai dan diawasi.”

“Hemmm, tapi engkau membiarkan kulit punggung dan pinggulmu pecah-pecah berdarah. Di mana obat luka itu?”

“Di dalam buntalan pakaian saya di almari, Pangeran. Biar saya ambil sendiri dan akan saya obati setelah nanti air panas itu tersedia......” Liong-li hendak bangkit, akan tetapi ia menyeringai ketika bangkit duduk. Pangeran Souw Han cepat memegang pundaknya dan dengan halus membantunya rebah miring kembali.

“Aih, enci Cu. Engkau terluka dan menderita nyeri. Biarlah aku yang mengambilkan obat dalam buntalan itu.”

“Terima kasih, Pangeran.”

Pangeran Souw Han, mencari buntalan dalam almari, membukanya dan atas petunjuk Liong-li dia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas di mana terdapat obat bubuk putih.

“Saya dapat mengobati sendiri luka-luka ini, Pangeran.”

“Enci Cu, bagaimana mungkin engkau akan dapat mengobati luka di punggung dan pinggulmu sendiri? Melihatnyapun tidak dapat. Biar aku yang mengobati, enci Cu.”

“Ah, Pangeran. Saya hanya membikin repot paduka saja......,” kata Liong-li, akan tetapi di dalam hatinya ia memaki diri sendiri.

Engkau munafik! Sejak tadi ia sudah bersandiwara. Kalau di depan Pangeran Souw Cun ia bersandiwara, hal itu ia lakukan demi tugasnya, demi rahasia dirinya agar jangan terbongkar. Akan tetapi setelah bersama Pangeran Souw Han, ia masih saja sejak tadi bersandiwara.

Luka-luka lecutan seperti itu saja bagi seorang pendekar wanita seperti Liong-li, sedikitpun tidak ada artinya! Rasa nyeri seperti itu saja tidak akan terasa olehnya. Jangankan sampai membuat ia mengeluh dan merintih, berkedip pun tidak!

Ia sudah mengalami bahaya dan luka-luka yang lebih hebat lagi. Akan tetapi bukan saja ia mengeluh dan merintih, juga ia pura-pura tidak dapat duduk dan tidak dapat rebah telentang!

Makin sering Pangeran Souw Han memandangnya dengan sinar mata mengandung iba besar dan mulut mengacapkan kata-kata “kasihan”, rintihan yang keluar dari mulut Liong-li semakin mengenaskan! Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia berubah demikian! Ingin rasanya ia menampar kepala sendiri, memaki diri sendiri.

“Jangan sungkan enci Cu. Nah, itu air hangatnya datang.”

Seorang dayang, setelah mengetuk pintu dan diperbolehkan masuk, membawa panci besar terisi air yang masih mengepulkan uap.

“Taruh di atas bangku ini, kemudian keluarlah dan jangan biarkan siapapun masuk,” kata Pangeran Souw Han yang sudah mempersiapkan sebuah bangku dekat pembaringan. Dayang itu menaruh panci di situ, kemudian memberi hormat dan pergi.

“Pangeran, air panas itu untuk mencuci luka-luka, menggunakan sebuah kain bersih. Sesudah dicuci dan dikeringkan, baru ditaburi obat luka yang ditekan-tekan dengan jari tangan agar obat itu melekat dan memasuki bagian yang kulitnya pecah.”

Pangeran itu mengangguk-angguk. “Engkau menelungkuplah, agar lebih mudah mencuci dan mengobatinya,” katanya sambil mengambil sehelai kain putih bersih dari almari.

Liong-li menelungkup, menggigit bibir menahan debaran jantungnya yang mengeras. Ia merasa betapa pangeran itu duduk di tepi pembaringan, dan terdengar suaranya yang lembut dan sopan.

“Enci Cu, maafkan aku kalau terpaksa aku melihat tubuhmu bagian belakang bertelanjang dan maafkan kalau jari-jari tanganku menyentuhnya.”

Liong-li merasa geli. Belum pernah ia bertemu seorang pria yang sudah dewasa begini canggung dan kikuk, begini pemalu. Sikap ini saja sudah membuktikan bahwa pangeran ini belum pernah bergaul dekat, belum pernah bermesraan dengan wanita. Dugaan ini saja sudah membuat jantungnya berdebar semakin kencang.

Hati-hati engkau, Liong-li, katanya kepada diri sendiri. Engkau berada di tepi jurang yang akan menenggelamkanmu. Tugasmu belum selesai, baru dimulai dan engkau hendak membiarkan dirimu terbius keindahan dan kenikmatan nafsu?

“Pangeran, maafkan saya. Sebaiknya kalau..... kalau saya mengobati sendiri luka-luka ini, atau...... menyuruh seorang dayang saja yang melakukannya. Tidak baik merepotkan paduka, dan pula...... akan membuat paduka menjadi rikuh dan membuat saya menjadi malu saja......”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar