Mereka adalah dua orang kakak
beradik yang suka membajak di sepanjang Sungai Kuning, maka nama julukan
merekapun Huang-ho Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Kuning). Yang berperut
gendut dengan wajah cerah akan tetapi sinar matanya kejam berusia empatpuluh
lima tahun dan bernama Can Kai, sedangkan yang kurus pendek berwajah bengis
adalah adiknya bernama Can Kui berusia empatpuluh tiga tahun.
Melihat cara tiga orang itu
berlompatan dari atas punggung kuda, Sui In terkejut juga. Ia tahu bahwa tiga orang
ini tidak boleh dipandang ringan, tidak seperti dua orang tukang pukul muda
yang dihajarnya di rumah makan tadi, maka iapun bersikap waspada.
Ia mulai meragukan sangkaannya
setelah mengetahui mereka sebagai tiga orang yang tadi ia lihat makan di restoran
itu pula. Kalau mereka ini membela empat orang pemuda yang dihajarnya tadi,
tentu mereka sudah bergerak tadi di sana, pikir Sui In.
Tidak, mereka mengejarnya
tentu karena alasan lain. Akan tetapi ia bersikap tenang saja ketika berdiri
berhadapan dengan mereka bertiga. Melihat mereka bertiga itu hanya memandang
kepadanya dengan penuh perhatian, sedangkan si perut gendut menyeringai dengan
sikap ceriwis. Sui In lalu menegur.
“Mau apa kalian bertiga
mengejarku?”
Pek-mau-kwi Ciong Hu
menggerakkan tangannya. “Nona, benarkah dugaan kami bahwa engkau seorang murid
Kun-lun-pai?”
Sui In mengerutkan alisnya.
“Kalau benar, mengapa?”
Akan tetapi pria berambut
putih itu tidak memperdulikan Sui In melontarkan balas tanya penuh tantangan
itu. “Dan engkau hendak berkunjung ke pondok Giam Sun?”
Sui In merasa tidak perlu
merahasiakan kunjungannya lagi karena agaknya mereka sudah mengenal susioknya.
“Memang aku akan berkunjung ke tempat pertapaan Giam Susiok. Kalian siapakah?”
Akan tetapi tiga orang itu
sudah tertawa bergelak. “Hemm, engkau murid keponakan Giam Sun?” kini Can Kai
si gendut tertawa. “Bagus sekali, kalau begitu engkau harus turut dengan aku!”
Setelah berkata demikian,
tanpa menanti jawaban lagi Can Kai sudah menubruk ke depan. Biarpun perutnya
gendut ternyata dia dapat bergerak dengan cepat sekali.
Sui In cepat mengelak dan
ketika lengan kanan si gendut itu masih berusaha meraihnya, ia menangkis sambil
mengerahkan tenaga.
“Plakk!” Can Kai mengeluarkan
seruan kaget karena lengannya yang tertangkis itu terpental keras, tanda bahwa
gadis itu memiliki sin-kang yang cukup kuat.
“A Kai, jangan main-main.
Cepat selesaikan ia, kita tidak mempunyai banyak waktu!” tiba-tiba Pek-mau-kwi
Ciong Hu berseru dan mendengar ini, si gendut sudah mencabut pedangnya, lalu
tanpa banyak cakap lagi diapun sudah langsung menerjang dengan ganas. Akan
tetapi, melihat lawan menggunakan senjata, Sui In juga, sudah cepat menghunus
pedang dan kini ia menangkis dengan gerakan kilat.
“Tranggg......!” Begitu kedua
pedang bertemu dan tangkisan itu membuat pedang Can Kai terpental, pedang di
tangan Sui In sudah meluncur dengan gerakan lingkaran yang amat cepat,
menyambar dari samping membabat ke arah leher Can Kai!
Si gendut ini terkejut dan
cepat melempar tubuh ke belakang, lalu berjungkir balik sambil memutar pedang
melindungi tubuhnya. Wajahnya berubah agak pucat karena nyaris lehernya putus!
Dia menjadi marah dan sudah menerjang lagi dengan dahsyat, sama sekali tidak
berani memandang rendah lagi.
Sui In juga segera memainkan
ilmu pedang Kun-lun-pai yang amat indah dan kuat. Pedang di tangannya itu
berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan dari gulungan sinar itu, yang selalu
menahan setiap serangan lawan, seringkali mencuat sinar yang merupakan serangan
balasan yang cepat dan berbahaya bagi lawan.
Dalam waktu duapuluh jurus
saja, Can Kai sudah terdesak hebat dan setiap lima kali serangan lawan dia
hanya mampu membalas satu kali saja! Tentu saja dia mundur terus dan
berputar-putar dan jelas bahwa kalau dilanjutkan, tak lama lagi dia pasti akan
roboh menjadi makanan pedang di tangan gadis Kun-lun-pai yang lihai itu!
Melihat kakaknya terdesak, Can
Kui sudah mencabut pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi diapun sudah terjun
membantu kakaknya. Ilmu pedang Can Kui tidak banyak berbeda dengan kakaknya,
maka kini Sui In dikeroyok dua dan kalau tadi Sui In dapat mendesak lawan, kini
ia harus berhati-hati karena setelah dikeroyok, tentu saja keadaan menjadi
berubah! Wanita perkasa ini memutar pedangnya melindungi diri, akan tetapi kini
serangan dua orang itu lebih cepat dan lebih sering dibandingkan serangan
balasan yang dapat ia lakukan.
Pek-mau-kwi Ciong Hu menjadi
tidak sabar. Tak disangkanya bahwa wanita ini demikian lihainya sehingga
dikeroyok oleh dua orang pembantunya pun agaknya mereka tidak akan mudah
memperoleh kemenangan,
“Hemm, perempuan yang sombong,
terimalah kematianmu!” bentaknya dan diapun sudah mencabut pedangnya. Begitu
pedangnya dicabut, nampak sinar berkilauan, tanda bahwa pedangnya itu adalah
sebuah senjata yang baik dan juga tajam sekali.
Pedang itu meluncur dan
merupakan segulung sinar terang menyerang ke arah Sui In yang sudah dikeroyok
oleh dua orang, Sepasang Harimau Sungai Kuning itu. Cepat dan kuat sekali
serangan itu sehingga Sui In menjadi terkejut bukan main karena pada saat itu
ia sedang didesak oleh dua orang pengeroyoknya. Pada saat yang amat berbahaya
bagi Sui In, tiba-tiba nampak sinar putih meluncur dari samping.
“Cringggg......!
Ahhhh......!!” Pek-mau-kwi Ciong Hu mengeluarkan seruan kaget dan cepat memeriksa
pedangnya yang hampir saja terlepas dari pegangannya ketika tadi tertangkis
oleh sinar putih itu.
Dia merasa lega bahwa
pedangnya tidak rusak, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia mengangkat muka
memandang kepada seorang pria muda yang berdiri di situ sambil tersenyum.
Seorang pria muda berpakaian serba putih, pakaian sederhana saja dan tentu dia
tidak akan menduga bahwa pemuda itu seorang ahli silat yang lihai kalau saja
dia tidak melihat pedang yang bersinar putih dan yang telah membuat pedangnya
terpental tadi.
“Pek-liong-eng........!”
serunya dengan mata terbelalak.
Tan C'in Hay tersenyum, “Dan
engkau tentu Pek-mau-kwi Ciong Hu!”
“Pek-liong-eng, selama ini di
antara kita tidak pernah ada permusuhan dan jalan kita selalu bersimpang. Harap
engkau tidak mencampuri urusan pribadiku!” kata Pek-mau kwi Ciong Hu, sementara
itu, dua orang kakak beradik Can itu masih berkelahi mengeroyok Sui In.
“Pek-mau-kwi, memang jalan
kita tidak pernah bertabrakan, akan tetapi sekali ini, secara pengecut sekali kau
mengeroyok seorang wanita murid Kun-lun-pai dengan dua orang kawanmu. Hal ini
tentu saja tidak dapat kubiarkan saja. Aku paling benci melihat laki-laki yang
curang dan pengecut!”
“Pek-liong-eng, orang lain
boleh takut kepada nama besarmu, akan tetapi aku tidak! Mampuslah!” Pek-mau-kwi
Ciong Hu sudah menyerang dengan pedangnya. Serangannya memang hebat dan dia
adalah seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya. Akan tetapi sekali ini
dia berhadapan dengan Si Naga Putih!
Sebelum dia menjadi rekan setia
dari Hek-liong-li, dia sudah merupakan seorang pendekar yang berilmu tinggi,
mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari mendiang Pek I Lojin. Apa lagi setelah dia
memiliki pedang pusaka Pek-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Putih), dan
bersama Hek-liong-li dia menciptakan ilmu pedang Sin-liong Kiam-sut, maka ilmu
pedangnya dahsyat bukan main. Begitu dia menggerakkan pedang pusakanya,
lenyaplah bentuk pedang itu dan yang nampak hanya sinar putih bergulung-gulung
yang menimbulkan bunyi berdesing-desing dan angin menyambar-nyambar dahsyat,
bagaikan seekor naga bermain-main di angkasa.
Pek-mau-kwi merasa terkejut
bukan main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu
pedangnya, memainkan jurus-jurus pilihan, namun tetap saja sinar pedangnya
terkurung dan terhimpit oleh sinar pedang lawannya. Masih untung baginya bahwa
diam-diam Pek-liong mengkhawatirkan keselamatan gadis Kun-lun-pai itu sehingga
perhatian Pek-liong terpecah, sebagian untuk menjaga kalau-kalau wanita perkasa
itu terancam babaya. Hal ini memberi kesempatan kepada Pek-mau-kwi untuk
meloncat jauh ke belakang.
“Kita pergi......!” teriaknya
kepada dua orang pembantunya.
Sebetulnya, Can Kai dan Can
Kui sudah mulai menghimpit lawannya. Wanita perkasa itu hanya mampu menangkis
dan melindungi tubuhnya saja dan kalau dilanjutkan, ia pasti akan roboh. Akan
tetapi, mendengar seruan Pek-mau-kwi, mereka terkejut.
Tadipun mereka sudah cemas
mendengar pemimpin mereka menyebut nama Pek-liong-eng. Maka, tanpa banyak pikir
lagi, keduanya sudah berloncatan meninggalkan Sui In dan di lain saat, mereka
bertiga sudah membalapkan kuda meninggalkan tempat itu.
Pek-liong tidak mengejar, juga
Sui In tidak mencoba untuk mengejar. Mereka berdiri saling pandang sejenak,
pandang mata yang mengandung kekaguman. Kemudian, Sui In yang teringat bahwa
baru saja ia dibebaskan dari ancaman maut, segera mengangkat kedua tangan ke
depan dada memberi hormat sambil berkata, “Terima kasih atas pertolongan yang
diberikan sehingga aku lolos dari ancaman maut di tangan mereka.”
Pek-liong-eng Tan Cin Hay
tersenyum dan membalas penghormatan itu dengan mengangkat kedua tangan depan
dada, “Tidak perlu berterima kasih, nona. Sudah sepatutnya kalau kita saling
membantu apa bila menghadapi ganguan orang-orang jahat.”
“Aku...... aku bukan seorang
nona......” Sui In tersipu mendengar ia dipanggil “siocia” (nona). Usianya
sudah duapuluh enam tahun dan ia seorang janda!
Pek-liong masih tersenyum dan
kembali mengangkat kedua tangan di depan dada memberi hormat, “Ah, maafkan aku,
nyonya......”
Sui In masih tersipu akan
tetapi iapun tersenyum, dan menggeleng kepalanya. “Akupun bukan seorang
nyonya......”
“Ehhh......?” Kini Pek-liong
terbelalak bingung. Bukan nona dan bukan nyonya, apakah ia banci......?
“Aku seorang janda,” Sui In
cepat menjelaskan.
“Ah, begitu......?”
Keduanya terdiam. Agaknya
pengakuan dirinya sebagai seorang janda itu membuat suasana menjadi canggung.
Akan tetapi akhirnya Sui In dapat menguasai hatinya. Ia tahu bahwa pria di
depannya itu menjadi rikuh maka tidak berani sembarangan bicara dan harus ia
yang lebih dahulu bicara.
Ia mengangkat muka. Kebetulan
Pek-liong juga sedang memandang kepadanya sehingga dua pasang mata bertemu,
bertaut sebentar lalu Sui In yang membuang pandang mata ke samping sambil
memerah muka di luar kesadarannya.
“Jadi...... engkau ini yang
dijuluki Pek-liong-eng itu? Namamu sudah terkenal sampai ke kota raja.”
“Ah, hanya nama kosong saja,
tidak pantas untuk disohorkan,” kata Pek-liong merendah.
“Bukan nama kosong. Baru saja
aku menyaksikan sendiri betapa hebatnya ilmu pedangmu, tai-hiap (pendekar
besar). Aku sudah mendengar pula nama Pek-mau-kwi yang kabarnya amat lihai dan
ilmu pedangnya amat berbahaya, namun dalam beberapa gebrakan saja, melawanmu,
dia telah melarikan diri. Sungguh engkau memiliki kesaktian hebat, tai-hiap.”
“Wah, engkau membikin aku dua
kali malu dan bingung. Engkau tidak mau disebut nona, juga tidak mau disebut
nyonya, akan tetapi sebaliknya engkau menyebut aku tai-hiap! Ini tidak adil
namanya. Karena malu dan canggung, aku rasanya ingin lari saja. Kalau kita
ingin melanjutkan perkenalan ini sebaiknya engkau menyebut aku toako saja.
Usiaku sudah duapuluh tujuh tahun, tentu jauh lebih tua darimu, maka sudah
sepatutnya kalau engkau menyebut toako (kakak) kepadaku.”
Sui In tersenyum. Hatinya
girang bukan main. Dahulu ia sudah mengagumi nama besar Pek-liong-eng. Tadi
ketika bertemu di restoran, iapun diam-diam kagum melihat pria ini karena
tampan dan jantan, kemudian ia semakin kagum melihat ilmu kepandaian dan sepak
terjangnya.
Dan kini, bukan saja ia
berhadapan dan berkenalan dengan pendekar itu, bahkan ia diperbolehkan menyebut
toako! Ia semakin kagum. Pria ini selain tampan dan gagah, jantan,
berkepandaian tinggi, juga ternyata sopan dan amat ramah dan jujur!
“Baiklah, toako, akan tetapi
engkaupun jangan menyebut aku nona atau nyonya, melainkan siauw-moi (adik
perernpuan). Usiaku sudah duapuluh enam tahun, setahun lebih muda darimu.”
“Ah, tidak mungkin!”
“Apanya, yang tidak mungkin,
toako?”
“Mana mungkin usiamu sudah
duapuluh enam tahun? Engkau kelihatan tidak lebih dari duapuluh tahun!” kata
Pek-liong dengan sikap sungguh-sungguh sehingga wanita itu tersenyum bangga,
maklum bahwa pendekar itu tidak sekedar merayu.
“Sungguh, toako. Eh, kita ini
sudah saling menyebut toako dan siauw-moi, akan tetapi belum mengetahui nama
masing-masing! Aku hanya pernah mendengar julukanmu, belum mengetahui namamu.
Aku bernama Cu Sui In, toako.”
“Cu Sui In nama yang bagus.
Namaku sendiri Tan Cin Hay, In-moi (adik In). Nah, kita telah berkenalan dan
menjadi sahabat. Maukah engkau menceritakan kepadaku mengapa tiga orang itu
tadi berusaha mati-matian untuk membunuhmu?”
Sui In menggeleng kepala. “Aku
sendiri pun tidak tahu mengapa mereka memusuhi aku, toako. Mereka tadi
mengejarku, setelah tiba di sini mereka hanya bertanya apakah aku murid
Kun-lun-pai. Setelah aku membenarkan, mereka segera menyerangku dan berusaha
sungguh-sungguh untuk membunuhku. Merekapun agaknya mengenal susiokku Giam Sun
yang bertapa di puncak bukit ini.”
“Susiokmu? Seorang tokoh
Kun-lun-pai bertapa di bukit ini? Heran sekali, mengapa aku tidak pernah
mendengar akan hal itu? Pada hal, aku tinggal tidak jauh sekali dari sini.”
“Giam Susiok (Paman Guru Giam)
memang bertapa mengasingkan diri dari dunia ramai, maka dia seperti orang
bersembunyi dan tidak ada yang tahu. Aneh sekali bagaimana tiga orang itu
mengetahuinya dan..... ah, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan
susiok....!” Wajah manis itu nampak khawatir sekali. “Aku harus cepat melihat
keadaannya!”
Setelah berkata demikian, Sui
In yang mengkhawatirkan paman gurunya segera berlari mendaki bukit. Pek-liong
juga tertarik sekali mendengar bahwa paman guru gadis itu bertapa di situ, maka
diapun mengikuti di belakang gadis itu tanpa bicara lagi.
Pondok itu sederhana saja,
tersembunyi di bawah pohon cemara dan semak belukar tumbuh di sekelilingnya
sehingga pondok itu tidak nampak dari bawah puncak.
“Giam susiok.......!” Sui In
memanggil beberapa kali di luar pondok.
Tidak ada jawaban. Sunyi
sekeliling dan perasaan hati wanita itu semakin gelisah. Ia saling pandang
dengan Pek-liong dan pendekar ini memberi isyarat dengan pandang matanya ke
arah pintu pondok, Sui In mengangguk dan mereka lalu menghampiri pintu pondok,
mendorongnya terbuka.
“Susiok......!” Sui In
terkejut bukan main melihat paman gurunya sudah rebah miring di atas lantai
tanah pondok itu. Ia meloncat masuk diikuti Pek-liong dan keduanya berlutut
dekat tubuh yang menggeletak miring.
“Dia sudah tewas,” kata
Pek-liong dan Sui In mengangguk, wajahnya pucat dan matanya terbelalak.
“Lihat ini......,” kata
Pek-liong menunjuk ke arah lantai dan ketika Sui In memandang sambil
mendekatkan mukanya, iapun melihat betapa dekat tangan yang terkulai itu, di
atas lantai tanah, terdapat tulisan. Huruf-hurufnya cukup jelas dan ia
membacanya.
“Pek-mau-kwi......
Kwi-eng-cu......!”
“Aih, Kwi-eng-cu......??”
Gadis itu nampak terkejut sekali sehingga Pek-liong cepat bertanya.
“Siapa itu Kwi-eng-cu (Si
Bayangan Iblis)?”
Sui In memandang dengan kedua
mata basah.
“Aku...... aku mencari paman
justeru...... justeru..... karena urusan Kwi-eng-cu dan ternyata paman guruku
telah menjadi korban Kwi-eng-cu pula!”
Gadis itu menangis, teringat
akan kematian suaminya dan kini kematian susioknya (paman gurunya), pada hal tadinya
ia mengharapkan bantuan paman gurunya untuk dapat membalas dendam kepada
Kwi-eng-cu.
Pek-liong membiarkan wanita
itu menangis sejenak, setelah Sui In dapat menguasai dirinya, dia lalu berkata,
“Sudahlah, In-moi. Susiokmu sudah tewas dan ditangisi bagaimanapun juga, tidak
ada gunanya. Jauh lebih baik kalau kita segera mengubur jenazahnya.”
Sui In mengangguk dan
Pek-liong lalu mencari sebuah cangkul di bagian belakang pondok itu, memilih
tempat yang baik dan diapun segera bekerja, menggali lubang kuburan. Dan tak
lama kemudian, jenazah Giam Sun, kakek berusia enampuluh tahun tokoh
Kun-lun-pai itu telah dikubur secara sederhana. Kemudian disembayangi secara
sederhana pula, tanpa alat sembahyang, hanya dengan berlutut di depan makam dan
berdoa di dalam hati, namun dua orang muda itu bersembahyang dengan khidmat.
Setelah penguburan selesai,
barulah Pek-liong berkata, “Nah, sekarang coba kauceritakan kepadaku siapa itu
Kwi-eng-cu dan apa hubungannya dengan kedatanganmu ke sini dan dengan semua
peristiwa ini, In-moi!”
Sui In menarik napas panjang,
terkenang akan semua peristiwa buruk yang menimpa dirinya.
“Aku tinggal di ibu kota,
toako. Selama beberapa bulan ini, di kota raja timbul peristiwa yang
menggegerkan, yaitu dengan terjadinya pembunuhan-pembunuhan gelap terhadap
beberapa orang pejabat penting. Tidak ada yang mengetahui siapa pembunuh itu,
hanya ada yang melihat bayangan yang bertanduk, seperti iblis. Karena itu maka
pembunuh itu hanya dinamakan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) tanpa ada yang menduga
siapa dia dan di mana sarangnya. Di antara banyak pejabat yang terbunuh itu,
termasuk juga suamiku ......”
“Ah......! Suamimu seorang
pejabat dan dia pun tewas oleh Kwi-eng-cu?”
Tentu saja Pek-liong terkejut
dan kini dia memandang wajah wanita itu dengan perasaan iba. Sui In melihat
pandang mata penuh iba itu, maka iapun berterima kasih dengan senyum kecil!
“Aku sudah dapat mengatasi
peristiwa itu, toako. Bukan hanya suamiku yang dibunuh, akan tetapi banyak
pejabat, bahkan ada pangeran yang dibunuh, pembantu menteri bahkan menteri!
Kota raja menjadi geger, dan aku sendiri setelah itu menjaga keselamatan
pamanku, yaitu Pembantu Menteri Pajak, karena setiap orang pejabat tinggi, apa
lagi yang dekat dengan kaisar, merasa terancam dan tidak aman.
“Karena aku ingin sekali
menangkap penjahat tukang bunuh itu, maka setelah paman mendatangkan rombongan
pengawal yang cukup tangguh, aku lalu pergi ke sini untuk menghadap paman guru
Giam Sun, untuk minta bantuannya bersamaku menangkap dan menghukum Kwi-eng-cu di
kota raja.
“Selanjutnya, engkau tahu apa
yang terjadi di sini, toako. Ahh, sungguh malang sekali nasibku. Bagaimana pula
susiok yang akan kumintai bantuan, tahu-tahu telah dibunuh orang? Dan apa
artinya tulisan yang agaknya sengaja dia tinggalkan di tanah itu?”
Pek-liong tertarik sekali dan
diapun mengerutkan alis, mengerjakan otaknya yang sehat, yang membuat dia
cerdik sekali dan waspada. Baru sekarang dia mendengar tentang
pembunuhan-pembunuhan aneh di kota raja itu dan biarpun dia tidak suka
mencampuri urusan pemerintah, namun peristiwa itu sungguh menarik hatinya.
Terjadi kejahatan yang luar biasa beraninya di kota raja.
“In-moi, kalau boleh aku
bertanya, bagaimana keadaan dan pendirian mendiang suamimu terhadap Sribaginda
Kaisar?“
Ditanya tentang suaminya itu,
Sui In terkejut sekali, karena hal ini tidak pernah disangkanya. Ia memandang
dengan mata terbelalak.
“Apa...... apa maksudmu,
toako?”
“Begini, In-moi. Aku ingin
mengetahui bagaimana sikap para pejabat tinggi yang terbunuh itu. Karena engkau
tentu tidak mengetahui keadaan mereka, maka aku bertanya tentang suamimu.
Diapun ikut pula terbunuh, berarti dia memiliki persamaan atau kepentingan yang
sama dengan para pejabat lain yang terbunuh. Nah, aku ingin tahu apakah suamimu
itu seorang pejabat yang...... maafkan pertanyaanku kalau kasar, apakah dia
seorang pejabat yang korup?”
Secara kontan Sui In
menggeleng kepala keras-keras.
“Sama sekali tidak! Baik
pamanku, Ciok Tai-jin Pembantu Menteri Pajak, dan juga mendiang suamiku, mereka
adalah pejabat-pejabat yang jujur dan setia, disiplin dan tidak sudi melakukan
penyelewengan demi keuntungan diri pribadi!”
Pek-liong mengangguk-angguk.
“Dan bagaimana sikapnya terhadap Sribaginda Kaisar? Setia sepenuhnyakah?
Ataukah ada sesuatu yang membuat suamimu merasa tidak suka akan kebijaksanaan
Kaisar? Secara terang-terangan atau secara sembunyi menentang Kaisar?”
Sui In menggelengkan kepalanya
dan kini ia mengerti ke arah mana tujuan pertanyaan Pek-liong, maka iapun
menerangkan.
“Akupun pernah melakukan penyelidikan
tentang pembunuhan-pembunuhan itu, toako, dan akupun sudah menyelidiki tentang
sikap mereka yang terbunuh. Suamiku sendiri adalah seorang yang setia dan taat
kepada kaisar. Akan tetapi, yang membingungkan adalah bahwa di antara mereka
yang terbunuh terdapat pula mereka yang memperlihatkan sikap tidak cocok dengan
kebijaksanaan Kaisar. Jadi, pembunuhan ini jelas bukan berdasarkan pro atau
anti kaisar.”
Pek-liong memandang wanita itu
dengan kagum. Seorang wanita yang cerdik pula, pikirnya.
“Apakah di kota raja sudah ada
usaha untuk menyelidiki pembunuhan-pembunuhan itu? Bagaimana dengan Kaisar
sendiri?”
“Kaisar sudah memerintahkan
semua petugas keamanan untuk melakukan penyelidikan. Namun tanpa hasil. Akan
tetapi, sungguh aku tidak mengerti apa hubungan semua pembunuhan di kota raja
itu dengan pembunuhan terhadap susiok?”
“Tentu ada kaitannya, In-moi.
Setidaknya, mereka itu jelas memusuhi Kun-lun-pai. Buktinya, setelah mereka
tahu bahwa engkau murid Kun-lun-pai engkaupun akan mereka bunuh. Tulisan itu
menyebutkan dua nama.
“Nama Pek-mau-kwi sudah jelas.
Dia adalah orang berambut putih yang memimpin pengeroyokan terhadap dirimu. Ini
berarti bahwa ketika paman gurumu terbunuh, dia mengenal Pek-mau-kwi sebagai
seorang di antara pembunuhnya. Melihat tingkat kepandaiannya, kiranya kalau
hanya seorang diri saja Pek-mau-kwi tidak akan mungkin dapat membunuh susiokmu
yang tentu lihai sekali.”
“Dalam hal kelihaian ilmu
silat, susiok hanya lebih menang sedikit dibandingkan aku, akan tetapi dia
berpengalaman dan cerdik, maka aku ingin minta bantuannya untuk menangkap
pembunuh di kota raja.”
“Lebih lihai dan engkau
berarti tidak kalah malawan Pek-mau-kwi. Mungkin dia dikeroyok oleh Pak-mau-kwi
bersama dua orang pembantunya itu. Akan tetapi, diapun menulis nama Kwi-eng-cu!
Apakah pembunuh misterius di kota raja itu datang pula ke sini, bersama
Pek-mau-kwi membunuhnya?”
“Mungkin juga begitu! Sayang
aku datang terlambat!” kata Sui In penuh penyesalan.
Pek-liong menggeleng kepala.
Otaknya sudah bekerja karena dia tertarik sekali oleh semua peristiwa yang
terjadi, baik di bukit itu maupun di kota raja seperti yang dia dengar dari Sui
In.
“Engkau terlambat satu hari,
In-moi. Pamanmu itu sudah tewas sedikitnya lima jam yang lalu, akan tetapi
melihat luka pedang di tengkuknya, tentu dia sudah diserang orang pada hari
kemarin. Dia tentu disangka mati dan ditinggalkan para pembunuhnya, maka dia
masih mampu menuliskan nama-nama itu. Dan melihat betapa kita bertemu dengan
Pek-mau-kwi pada hari ini, bersama dua orang pembantunya yang lihai pula itu,
maka kurasa yang membunuh pamanmu adalah tiga orang tadi. Kalau dikeroyok tiga,
sukar baginya untuk menang.”
“Akan tetapi, mengapa paman
guruku menuliskan nama Kwi-eng-cu pula?”
“Itulah yang menjadi
rahasianya. Apapun rahasianya itu, jelas bahwa antara Kwi-eng-cu dan
Pek-mau-kwi ada hubungan! Jadi, kalau kita hendak menyelidiki tentang
Kwi-eng-cu, kita dapat menyelidikinya melalui Pek-mau-kwi!”
“Kita......?” Sui In
mengangkat muka, memandang dengan sinar mata penuh harap.
Pek-liong mengangguk. “Ya, aku
akan pergi denganmu, In-moi. Perkara ini amat menarik hatiku. Secara kebetulan
saja kita saling melihat di rumah makan itu. Kalau saja tiga orang itu tidak
menimbulkan kecurigaanku dengan sikap mereka, tentu aku tidak akan membayangi
mereka dan kita mungkin tidak akan saling bertemu kembali.”
Bukan main girangnya rasa hati
Sui In. Ia mencari susioknya untuk membantunya menyelidiki pembunuh suaminya.
Susioknya tewas terbunuh orang dan sebagai gantinya, ia mendapat bantuan dari
orang yang lebih hebat dan lebih dapat dipercaya dari pada susioknya, yaitu
Pek-liong-eng Tan Cin Hay!
“Terima kasih, toako! Kalau
engkau yang melakukan penyelidikan, aku yakin rahasia pembunuh itu akan
terbongkar dan kita akan dapat menangkapnya! Biarpun aku berduka karena
kematian susiok, sebaliknya aku gembira sekali telah mendapatkan engkau sebagai
penggantinya untuk membantu aku membalas dendam kematian suamiku!”
“Maaf, In-moi. Kalau aku ingin
menyelidiki Kwi-eng-cu, hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan balas
dendam kematian suamimu, juga bukan sebagai seorang pendekar yang menentang
kejahatan lalu membela para pejabat. Aku bukan pendekar, aku seorang manusia
biasa yang bebas menentukan jalan hidupku sendiri. Kalau aku sekarang ikut denganmu
ke kota raja, hal itu adalah karena aku tertarik oleh semua ceritamu tadi,
In-moi.”
“Apapun alasanmu, aku girang
bahwa engkau suka pergi bersamaku ke kota raja, toako. Mari kita berangkat!”
ajak wanita itu dengan wajah berseri.
“Kita singgah dulu di rumahku,
In-moi. Tidak jauh dari sini. Aku harus membuat persiapan dan memberitahu orang
di rumah.”
“Aih, maafkan. Aku lupa. Tentu
saja engkau harus berpamit kepada keluargamu!” kata Sui In dan teringat akan
hal ini, seri di wajahnya menghilang.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay
tertawa. “Ha-ha-ha, aku hidup seorang diri di dunia ini, In-moi, sebatang kara,
tanpa keluarga. Hanya dengan para pembantu rumah tangga. Kalau aku pergi, aku
harus memberitahu mereka agar mereka tidak gelisah. Pula, aku harus membawa
bekal dan persiapan.”
“Tapi, toako. Seorang pria
seperti engkau ini, usiamu sudah cukup dewasa, engkau pandai, engkau gagah
perkasa dan wajahmu menarik, bagaimana mungkin sampai kini masih hidup
membujang? Maafkan, bukan maksudku mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi
seorang pria seperti engkau sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang isteri
yang cantik jelita dan bijaksana, dan mempunyai beberapa orang anak yang mungil
dan sehat.”
Ada bayangan gelap menyelimuti
wajah Pek-liong, namun hanya sebentar saja, seperti bayangan awan yang lewat.
Wajahnya sudah berseri kembali, matanya bercahaya dan mulutnya ramai oleh
senyum.
“Isteriku telah meninggal
dunia sembilan tahun yang lalu tanpa anak dan sejak itu, aku belum pernah
menikah lagi.”
“Ah, engkau... seorang......
duda? Siapa sangka!”
Wajah Sui In berubah merah
sekali karena ucapan itu tadi keluar begitu saja di luar kesadarannya dan baru
sekarang ia merasa betapa ucapan itu amat tidak pantas keluar dari mulutnya.
Untuk menutupi perasaan rikuh dan salah tingkah, ia cepat menyambung, “Isterimu
tentu meninggal dunia karena sakit.”
Pek-liong menggeleng kepala.
“Seperti juga suamimu, isteriku tewas dibunuh orang! Sudahlah, perlu apa kita
bicara tentang hal lalu. Mari engkau singgah dulu di rumahku. Tidak begitu jauh
dari sini.”
Menjelang sore, tibalah mereka
di dusun Pat-kwa-bun. Begitu memasuki pekarangan rumah Pek-liong, Sui In
merasa, kagum bukan main.
Tempat itu amat bersih dan
terpelihara rapi. Dari pagar temboknya yang tidak begitu tinggi dan dicat
merah, sampai pekarangan yang juga merupakan taman terpelihara indah, dengan
air mancur di depan di tengah kolam ikan emas, dan ada sebuah arca naga putih
di belakang kolam. Beberapa batang pohon membuat tempat itu sejuk dan nyaman,
dan hamparan rumput juga terpelihara sehingga merupakan permadani hijau yang
menyegarkan mata.
Rumah itu sendiri dari luar
nampak kokoh. Tidak begitu besar namun indah walaupun tidak nampak mewah dari
luar. Dindingnya putih bahkan jendela dari pintunya juga putih, dengan garis-garis
tipis merah muda dan kuning. Gentengnya kemerahan.
“Selamat datang, Tai-hiap,
Selamat datang, nona!” Dua orang pria yang berpakaian pelayan namun bersih dan
dengan sikap yang gagah, dengan tubuh tegak dan tegap, menyambut mereka dengan
salam hormat.
“Nona ini adalah Cu Li-hiap,
menjadi tamu kehormatanku malam ini. Suruh A- liok menyiapkan hidangan yang
lezat untuk tamu kita!” kata Pek-liong kepada mereka.
“Maafkan kami, Li-hiap,” kata
seorang di antara mereka sambil memberi hormat kepada Sui In yang tentu saja
merasa rikuh menerima penghormatan sebagai seorang pendekar wanita. Akan tetapi
ia hanya mengangguk dan Pek-liong mempersilakan ia ikut memasuki rumahnya.
Setelah masuk ke dalam rumah
itu, Sui In menjadi semakin kagum. Kiranya isi rumah itu berbeda sekali dengan
keadaan luarnya. Semua perabot rumah di situ nampak megah dan mewah, juga
terpelihara rapi. Sampai lantainya saja mengkilap seperti cermin!
Lukisan-lukisan indah, juga
tulisan-tulisan indah menghias dinding. Pot-pot bunga terukir naga dan burung
Hong, berdiri di sudut-sudut terisi tanaman yang segar. Sutera-sutera beraneka
warna menutupi lubang-lubang dan bergantungan seperti pelangi. Ruangan-ruangan
yang dilaluinya ditata secara nyeni sekali, tidak kalah indahnya dibandingkan
istana raja sekalipun!
Yang membuat Sui In semakin
kagum adalah ketika mereka memasuki setiap ruangan Pek-liong selalu memeriksa
apakah tombol rahasia menunjukkan bahwa ruangan itu bebas perangkap, jelas
bahwa rumah yang indah itu penuh jebakan dan perangkap. Karena ingin tahu ia
tanyakan hal ini kepada tuan rumah.
Pek-liong mengangguk,
tersenyum. “Hidup seperti aku ini selalu diancam bahaya, banyak orang yang
pernah kujatuhkan menaruh dendam dan setiap waktu mereka dapat datang menyerbu
ke rumahku. Karena aku tidak suka menggunakan pasukan pengawal, maka aku harus
mampu menjaga segala kemungkinan terhadap gangguan dari luar yang datang selagi
aku tidur.”
“Ah, menarik sekali, Toako,
aku tidak ingin mengetahui alat-alat rahasia di rumahmu ini yang tentu saja
harus dirahasiakan, akan tetapi kalau boleh aku ingin melihat bekerjanya satu
saja perangkap yang dipasang di ruangan depan itu.” Ia menuding ke depan, ke
sebuah ruangan yang dihias sutera-sutera merah muda.
Pek-liong tersenyum,
mengangguk dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.
“Engkau boleh buktikan
sendiri, In-moi. Coba kau masuki ruangan itu dengan sikap hati-hati. Engkau
seorang penyerbu yang sudah menduga bahwa kamar itu dipasangi jebakan, sehingga
engkau boleh berhati-hati sekali, akan tetapi engkau harus memasuki ruangan
itu, katakanlah untuk mengambil atau melakukan sesuatu.”
Sui In mengerutkan alisnya.
“Akan tetapi...... aku tidak mau terancam bahaya maut, toako!”
Pek-liong menggeleng kepala.
“Aku belum gila, In-moi. Masa aku akan mencelakaimu? Jangan khawatir, perangkap
yang kupasang di rumah ini bukan untuk membunuh, melainkan untuk membuat orang
yang berniat buruk tidak berdaya dan tertawan tanpa melukai atau menyakitinya.
Engkau boleh mencabut pedangmu untuk berjaga-jaga, seperti seorang musuh
tulen!”
Sui In menjadi tertarik sekali
dan iapun mengangguk, mencabut pedangnya dan dengan hati-hati menghampiri kamar
itu. Bahkan ia, merasa gembira karena ia seperti berada dalam suatu permainan
yang menarik untuk menguji diri sendiri dan menguji keampuhan alat yang
dipasang oleh Pendekar Naga Putih di dalam rumahnya.
Dengan penuh kewaspadaan, Sui
In menghampiri ruangan itu. Sebuah ruangan duduk yang indah, dengan pintunya
terbuka dan lantainya mengkilap, meja kursinya terukir indah ditilami bantalan.
Jendela-jendela yang berada di tiga penjuru tertutup, tentu dibuka kalau ada
tamu sehingga ruangan yang menembus di sebelah kiri pada sebuah taman itu tentu
akan sejuk dan nyaman sekali. Dindingnya yang bersih dihiasi lukisan dan
tulisan indah berbentuk syair-syair berpasangan.
Dengan pandang matanya yang
tajam Sui In mengamati seluruh bagian ruangan itu, mencari-cari tanda adanya
pesawat rahasia. Namun semua nampak bersih dan wajar, tidak ada yang
mencurigakan. Apakah lantainya yang mampu bergerak dan terdapat lubang sehingga
ia akan terperosok ke bawah kalau menginjaknya. Ataukah dari jendela-jendela
itu akan keluar senjata rahasia atau asap pembius yang akan membuatnya pingsan?
Apakah daun pintu akan menutup sendiri begitu ia memasuki ruangan?
Berbagai kemungkinan ini ia
perhitungkan ketika akhirnya berindap-indap ia melangkah memasuki ruangan itu
dengan pedang di tangan. Selangkah demi selangkah ia memasuki ruangan itu,
setiap bagian tubuhnya menegang penuh kesiap siagaan.
Pada langkah kelima, tiba-tiba
terdengar suara berderit di belakangnya. Ia cepat menoleh dan daun pintu yang
tadi terbuka lebar itu kini tertutup! Ia melangkah maju lagi dan setelah tiba
di tengah ruangan, tiba-tiba saja dari empat sudut ruangan itu menyambar
anak-anak panah yang ujungnya berbentuk bola, juga dari atas turun anak panah
bagaikan hujan.
Sui In cepat menggerakkan
pedangnya, diputar melindungi tubuhnya dan semua anak panah runtuh. Setelah
runtuh baru nampak olehnya bahwa anakpanah-anakpanah itu tumpul dan tidak akan
melukai orang yang menjadi sasaran.
Tiba-tiba saja dari lantai
yang mengkilap itu bermunculan tongkat-tongkat panjang yang menyambar-nyambar
ke arah kakinya. Sui In meloncat ke atas, dan pada saat itu, kain-kain sutera
merah muda yang bergantungan di langit-langit itu bergerak, menyambar-nyambar
sehingga mengaburkan pandangan matanya dan tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya
sudah terlibat-libat oleh kain sutera yang panjang dan banyak sekali, seperti
tidak ada habisnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di udara dalam
libatan banyak kain sutera, seperti seekor lalat tertangkap di sarang
laba-laba.
Akan tetapi, Sui In bukanlah
wanita lemah. Ketika tadi kain sutera yang tadinya bergantungan sebagai hiasan
itu tiba-tiba hidup dan menyambar-nyambar ke arahnya, tubuhnya terlibat-libat,
ia sudah cepat membebaskan tangan kanan yang memegang pedang.
Kini, biarpun tubuhnya sudah
terlibat-libat kain, lengan kanan dan pedangnya masih bebas. Ia menggerakkan
pedangnya dan putuslah semua libatan kain sutera dari tubuhnya.
Ia terlepas dan jatuh ke
bawah. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hebat, ia sudah berjungkir balik tiga
kali dan turun ke atas lantai dengan selamat dan dalam keadaan berdiri. Akan
tetapi, putusnya kain-kain sutera itu menimbulkan bunyi kelenengan nyaring
bertubi-tubi dan terdengar dari seluruh penjuru rumah itu.
Daun-daun jendela tiba-tiba
terbuka dan enam orang pelayan pria pembantu rumah tangga itu sudah berdiri di
luar jendela dengan pedang di tangan! Daun pintu yang tadi tertutup sendiripun
terbuka dan Pek-liong sudah berdiri di ambang pintu dengan tersenyum! Sui In
mendapatkan dirinya sudah terkepung di dalam ruangan itu!
Pek-liong bertepuk tangan
memuji. “Hebat, engkau hebat sekali, nona. Engkau sudah dapat menghindarkan
anak panah, toya dan bahkan jala kain sutera!”
Sui In menyarungkan pedangnya
dan menarik napas panjang. “Aihhh, sungguh ruangan ini berbahaya sekali!
Biarpun sudah dapat membebaskan diri dari semua itu, akhirnya aku terkepung di
ruangan ini! Ruangan yang satu ini saja sudah begini hebat, apa lagi yang
lainnya! Toako, aku mengaku kalah dan menyatakan kagum sekali. Maafkan kalau
aku merusak kain-kain sutera merah muda itu.”
“Ah, tidak mengapa, In-moi.”
Lalu kepada para pembantunya dia berkata, “Ganti kain¬kain sutera itu dengan
yang baru dengan warna biru laut!”
Kemudian dia mengajak Sui In
keluar dari ruangan itu dan mempersilakan janda muda itu ke sebuah kamar. Dia
sendiri berhenti di luar pintu kamar.
“In-moi, inilah kamar tamu
untukmu bermalam semalam ini. Besok pagi baru kita akan melakukan perjalanan ke
kota raja. Malam ini aku akan membuat persiapan untuk perjalanan besok pagi.
Makan malam nanti setelah siap dan engkau akan diberitahu oleh pembantu. Nah,
beristirahatlah, In-moi.”
Setelah berkata demikian,
Pek-liong meninggalkan wanita itu. Sampai beberapa lamanya Sui In berdiri di
pintu kamar itu, mengikuti bayangan Pek-liong sampai lenyap di tikungan.
Seorang pria yang bukan main, pikirnya. Gagah perkasa, berkepandaian tinggi,
tampan dan ganteng, duda dan bebas, ditambah lagi kaya-raya dan juga amat
sopan. Masuk ke kamar itupun dia tidak mau!
Hatinya semakin tertarik dan
dengan muka merah ia mendapatkan kenyataan betapa ia telah jatuh cinta kepada
pria muda yang ganteng itu! Betapa ia mengharapkan terjadi suatu mujijat, suatu
anugerah dari Tuhan. Ia seorang janda, dan Pek-liong-eng Tan Cin Hay seorang
duda. Sudah tepat, bukan? Dan jantungnya berdebar-debar ketika ia memasuki
kamar itu. Begitu masuk, hidungnya bertemu keharuman semerbak.
Sebuah kamar yang mewah
sekali. Ada dupa harum masih mengepul di atas meja, tanda bahwa dupa itu baru
saja dibakar oleh pelayan. Kamar itu tidak berapa besar, namun lengkap dan enak
sekali. Udaranya nyaman, masuk dari jendela yang menembus taman, dan dari
lubang-lubang hawa di atas jendela. Sebuah kamar kecil menyambung kamar itu.
Betapa mewahnya!
Ketika ia menjenguk ke dalam
kamar mandi, tersedia sudah air jernih yang cukup banyak. Setelah menutup pintu
kamar, Sui In lalu menyiram tubuhnya dengan air, mandi sekenyangnya sehingga
tubuhnya terasa segar kembali, kulit tubuhnya dari muka sampai kaki tangan,
menjadi kemerahan karena digosoknya dengan keras sehingga bersih dari debu.
Ia telah mengenakan pakaian
bersih ketika pinta kamar diketuk dari luar, dan seorang pelayan dengan sikap
hormat memberitahu bahwa makan malam telah siap, dan tamu yang dihormati itu
dipersilakan datang ke ruangan makan di mana “tai-hiap” telah menanti.
Ketika Sui In memasuki ruangan
makan, Pek-liong bangkit berdiri dan dia memandang kepada wanita itu dengan
sinar mata kagum. Harus diakuinya bahwa janda muda ini memang cantik manis dan
segar bagaikan setangkai bunga mawar di pagi hari, tersiram embun pagi dan
bersinar cahaya keemasan matahari. Dengan ramah dia lalu mempersilakan tamunya
duduk berhadapan dengannya, menghadapi sebuah meja.
Melihat pandang mata kagum
itu, Sui In merasa betapa jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya. Untuk
menenangkan hatinya, iapun segera bertanya setelah duduk.
“Sudahkah engkau membuat
persiapan, toako? Dan kapan kita berangkat?”
Pek-liong mengangguk. “Sudah
beres semua, In-moi. Besok pagi-pagi setelah terdengar bunyi ayam berkeruyuk,
kita berangkat.”
Sementara itu, dua orang
pelayan datang membawa hidangan yang masih mengepul panas. Sui In mencium bau
masakan yang lezat dan perutnya memberontak karena memang ia telah merasa
lapar. Tidak kurang dari sepuluh macam masakan dihidangkan, kesemuanya terdiri
dari masakan yang mewah dan mahal.
Mereka berdua lalu makan minum
dengan gembira, sambil bercakap-cakap. Sui In sama sekali tidak merasa canggung
biarpun pengalaman seperti ini merupakan pengalaman pertama sejak suaminya
terbunuh.
Makan malam berdua saja dengan
seorang pria yang tampan dan gagah! Di dalam rumah pria itu pula! Akan tetapi,
sedikitpun ia tidak merasa canggung dan kaku. Hal ini karena sikap Pek-liong
yang sopan dan ramah. Memang, kadang-kadang sinar mata yang tajam mencorong itu
membayangkan kekaguman, namun kekaguman yang wajar, tidak mengandung kecabulan
atau kekurangajaran yang biasa ia lihat dalam pandang mata kaum pria kalau
memandang kepadanya.
Setelah makan malam, mereka
berjalan-jalan di dalam taman bunga di belakang rumah itu. Juga taman bunga
ini, walaupun tidak sangat luas, diatur indah sekali.
Di tengah taman, di antara
beraneka macam bunga, terdapat sebuah tempat berteduh berbentuk payung,
bangunan tanpa dinding, hanya atap yang berbentuk payung dan di bawahnya
terdapat enam buah bangku dan sebuah meja.
Tempat itu enak sekali. Empat
lampu gantung menerangi tempat itu, dan di sana-sini, di ujung taman terdapat
pula lampu gantung dengan berbagai warna. Suasana amat hening dan indah,
semerbak harum bunga memenuhi taman itu.
“Aduh, bagus sekali taman
ini!” kata Sui In memuji.
“Mari kita duduk di sana.
Engkau belum mengantuk, bukan?” kata Pek-liong dan wanita itu tertawa.
“Aih, toako. Baru saja makan
kenyang, masa mengantuk dan tidur? Pula, malam baru saja tiba, belum larut.”
Mereka lalu duduk berhadapan
terhalang meja kecil. Suasana sungguh indah dan romantis sekali. Apa lagi
ketika di langit muncul bulan muda yang memandikan taman itu dengan cahayanya
yang lembut. Anginpun lembut sepoi-sepoi bercanda di antara bunga-bunga,
membuat udara yang penuh keharuman bunga itu menjadi nyaman dan sejuk.
Suasana yang romantis seperti
ini, cahaya bulan yang lembut mengandung daya yang mengairahkan, yang amat kuat
mengusik hati muda, menggelitik dan membangkitkan berahi. Hal ini terasa sekali
oleh Sui In ketika ia duduk dan menikmati keindahan itu, dan setiap kali
pandang matanya berhenti di wajah Pek-liong, ia terpesona.
Wajah itu nampak demikian
ganteng, demikian tampan sehingga hatinya luluh, rindu dendam dan gairahnya
bangkit. Kalau saja pada saat itu Pek-liong maju selangkah saja, mengulurkan
tangan, pasti ia tidak akan mampu menolak atau mengelak, dan akan terlena dalam
pelukan pria itu dengan hati penuh kerinduan!
Akan tetapi, Pek-liong sama
sekali tidak melakukan uluran tangan! Sama sekali tidak, bahkan pria
mengajaknya bercakap-cakap kembali tentang semua peristiwa yang terjadi di kota
raja, sehubungan dengan kemunculan Si Bayangan Iblis.
Bimbingan ke arah percakapan
itu tentu saja membuyarkan keindahan khayal yang muncul dari gairah berahi
tadi, apa lagi karena percakapan itu mengingatkan Sui In akan semua peristiwa
dan malapetaka yang menimpa dirinya. Iapun tertarik dan setelah mereka
barcakap-cakap, iapun menerangkan dan menceritakan segala hal yang diketahuinya
dan yang bertalian dengan pembunuhan-pembunuhan misterius yang dilakukan oleh
bayangan yang kemudian dinamakan Si Bayangan Iblis. Waktu berjalan cepat dan
tahu-tahu bulan sudah naik tinggi ketika Pek-liong mempersilakan tamunya untuk
tidur.
“Besok pagi-pagi kita
berangkat, maka sebaiknya kalau engkau mengaso dan tidur di kamar, In-moi.
Selamat malam dan selamat tidur!”
Sui In tidak menjawab dan ada
perasaan kecewa dan menyesal di dalam hatinya bahwa malam itu ia harus berpisah
dari Pek-liong. Muncul kembali kerinduannya akan suatu kemesraan yang sudah
lama lepas darinya, lama sebelum suaminya tewas dibunuh orang.
Dan ia ingin mendapatkan
kemesraan ittu dari Pek-liong! Akan tetapi, agaknya sedikitpun Pek-liong tidak
menanggapi perasaannya. Berulang tali ia menarik napas panjang penuh kekecewaan
dan penyesalan ketika ia melangkah perlahan menuju ke kamarnya, setelah tadi
Pek-liong meninggalkannya di taman.
Baru setelah ia merebahkan
diri di atas pembaringannya, ketika suasana romantis taman bunga bermandikan
cahaya bulan itu tidak mempengaruhinya, ia tersenyum! Diam-diam ia berterima
kasih kepada Pek-liong yang tidak mempergunakan kesempatan itu untuk merayunya
dari menjatuhkannya!
Kalau sampai hal itu terjadi,
tentu ia akan merasa menyesal sekali kemudian, karena ia sedang bertugas! Tugas
mencari Si Bayangan Iblis dan menumpas kejahatan itu sama sekali belum
terlaksana! Suaminya tewas di tangan penjahat, juga paman gurunya tewas di
tangan penjahat dan penjahat itu agaknya Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis).
Sungguh tidak pantas kalau
kini ia bersenang-senang mengumbar nafsu berahi. Selain tidak pantas karena
baru saja kematian suaminya, juga tidak patut karena dalam melaksanakan tugas
ia hanya mementingkan kesenangan sendiri, membiarkan diri menjadi budak nafsu!
Kalau musuh itu telah terhukum, kalau ia sudah bebas dari tugas, hal itu akan
lain lagi.
“Pek-liong, terima
kasih......” bisiknya tersenyum dan janda muda inipun terlena dalam kepulasan.
◄Y►
Gadis itu cukup manis walaupun
tidak dapat dibilang terlalu cantik, Bahkan wajah yang nampak membayangkan
kebodohan itu tidak akan menarik perhatian pria, walaupun harus diakui bahwa
bentuk tubuhnya amat indah. Rambutnya juga nampak kasar dan gerak geriknya
kaku. Juga ia kelihatan takut-takut dan gelisah.
Memasuki ruangan-ruangan yang
amat indah dari istana itu, ia bagaikan seekor ikan sungai yang kecil dilempar
masuk ke dalam samudera. Ia kebingungan, merasa dirinya kecil menghadapi segala
kemegahan dan kemewahan itu.
Melihat kegelisahan membayang
di wajah yang manis dan polos itu, pria berpakaian perwira yang berjalan di
sampingnya tersenyum.
“Akim, jangan takut.
Tenanglah. Asalkan engkau pandai membawa diri dan rajin bekerja juga jujur dan
taat, tentu engkau akan hidup senang di istana. Sekarang, Hong- houw
(Parmaisuri) ingin melihatmu sebagai seorang dayang baru, engkau harus
menghadap dan memberi hormat kepada beliau seperti yang sudah kuajarkan tadi.”
Gadis itu mengangguk-angguk
akan tetapi jelas nampak betapa ia gelisah dan ketakutan. Gadis yang jelas
sekali kelihatan sebagai seorang gadis dusun yang disebut Akim oleh perwira itu
bukan lain adalah Hek-liong-li Lie Kim Cu!
Dengan kepandaiannya menyamar
yang hebat, ia sudah dapat menyulap dirinya yang merupakan seorang wanita
berusia duapuluh lima yang amat cantik jelita, manis dan menarik hati, berubah
menjadi seorang gadis dusun berusia kurang lebih duapuluh tahun, kasar kaku,
tidak menarik walaupun cukup manis, dan wajahnya membayangkan kebodohan. Cian
Ciang-kun sendiri sampai terbalalak dan tertegun ketika pertama kali melihat
penyamaran ini, dan merasa yakin bahwa tak seorangpun akan dapat mencurigai
seorang gadis dusun bodoh seperti itu.
Perwira yang berjalan di
sampingnya dalam ruangan-ruangan istana itu adalah Kok Ciang-kun (Perwira Kok)
yang menjabat kepala pasukan pengawal thai-kam (orang- orang kebiri), yaitu
kenalan Cian Ciang-kun dan yang suka “menolong” Cian Hui untuk memasukkan
seorang “sanak jauh” dari dusun menjadi seorang dayang baru di istana.
Di istana bagian puteri ini,
tak seorangpun dari luar diperbolehkan masuk. Hanya keluarga Kaisar yang boleh
masuk, dan tentu saja para perajurit pengawal thai-kam. Untuk mencegah
terjadinya, penyelewengan dari para wanita dalam istana itu, maka sejak dahulu
kala sampai saat itu, para petugas pria di istana bagian-puteri haruslah
dikebiri lebih dahulu!
Pada saat itu, bukan hanya
karena kepandaian saja Liong-li yang kini menyamar menjadi Kim Siauw Hwa atau
biasa disebut Akim kelihatan gugup dan gelisah. Akan tetapi memang benar-benar
ada kegelisahan di hatinya.
Ia telah memasuki istana
dengan menyamar, dan ia tahu bahwa bahaya bukan hanya datang dari penjahat yang
dinamakan Kwi-eng-cu akan tetapi dari satu kekuatan yang mempunyai banyak orang
pandai! Dan ia merasa yakin bahwa sarang penjahat itu, atau pimpinannya, pasti
berada di istana. Kalau gerombolan penjahat itu berada di luar istana tentu
sudah lama diketahui tempatnya oleh Cian Hui yang cerdik dan memiliki banyak
mata-mata.
Selain merasa berada di
tengah-tengah pihak musuh yang belum diketahuinya siapa, dan betapa bahayanya
bagi dirinya kalau pihak musuh sampai mengetahui bahwa ia Hek-liong-li yang
menyamar, juga ia harus berhadapan dengan Hong-houw (Permaisuri) Bu Cek Thian!
Menurut keterangan dari Cian Hui, wanita itu cerdik bagaikan iblis! Ia teringat
akan kata-kata pesanan Cian Hui kepadanya ketika hendak berangkat tadi.
“BERHATI-HATILAH terhadap
Hong-houw, Li-hiap. Ia seorang wanita yang teramat cerdik seperti Iblis! Bahkan
saat ini boleh dibilang ia yang paling berkuasa di seluruh istana! Hong-siang
(Kaisar) sendiri seperti menjadi boneka di tangannya. Ia cerdik dan amat
berbahaya, oleh karena itu, berhati-hatilah engkau terhadap wanita ini.”
Tentu saja Liong-li tidak
merasa takut. Baginya, makin lihai dan makin cerdik orang¬orang yang berada di
pihak lawan, akan semakin gembira menghadapinya. Yang membuat ia gelisah adalah
mengingat betapa dirinya sama sekali tidak berdaya di dalam istana yang besar
dan megah itu.
Ia merasa seperti seekor lalat
memasuki sarang laba-laba! Dan begitu memasuki istana, diterima oleh Kok
Ciang-kun, perwira thai-kam yang gendut dan agak genit seperti wanita ini
membawanya menghadap Hong-houw, wanita yang agaknya bahkan ditakuti oleh Cian
Hui itu!
Kini mereka tiba di luar
sebuah pintu dan Kok Ciang-kun memberi isyarat kepada Akim untuk berhenti. Kok
Ciang-kun lalu menjatuhkan diri berlutut, diikuti oleh Akim yang sudah
diberitahu sebelumnya untuk mengikuti apa yang dilakukan perwira Thai-kam itu.
“Hamba Kok Tay Gu mohon
diperkenankan menghadap Hong-houw!” Dia berkata dengan suara nyaring.
Pintu dibuka dari dalam. Sebuah
pintu berukir yang indah dan ketika pintu dibuka, Akim mengangkat muka dan
iapun terpesona.
Bukan main indahnya ruangan di
balik pintu itu! Dan bau semerbak harum menyergap keluar begitu pintu dibuka
oleh seorang dayang muda yang cantik. Seluruh isi ruangan itu gemerlapan dengan
kemegahan dan kemewahan.
“Terima kasih, terima kasih
atas kemurahan hati Hong-houw!” kata pula Kok Ciang-kun.
Sungguh suatu sikap yang
berlebihan sehingga baginya seperti adegan dalam panggung wayang atau pelawak
saja. Akan tetapi, Akim tidak berani mengangkat muka lagi ketika tadi pandang
matanya bertemu dengan sepasang mata yang indah akan tetapi juga mencorong
tajam seperti mata kucing di tempat gelap!
“Kok Ciang-kun, yang mulia
Hong-houw memerintahkan engkau dan calon dayang ini masuk!” terdengar perintah
yang keluar dari mulut seorang dayang lain.
Kok Ciang-kun bangkit dengan
sikap hormat, diikuti oleh Akim, kemudian melangkah memasuki kamar. Akim hanya
mengikuti saja dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
“Ban-swe, ban-ban-swe (hidup
dan panjang usia)!” Kok Ciang-kun menjatuhkan diri berlutut lagi dan
membentur-benturkan dahinya di lantai yang bertilamkan permadani merah. Akim
juga berlutut dan membentur-benturkan dahinya.
“Kok Tay Gu, inikah gadis
dusun yang ingin menjadi dayang itu?” terdengar suara yang halus namun tajam
penuh wibawa.
Kok Ciang-kun memberi hormat
lagi sebelum menjawab, “Benar sekali, Yang Mulia. Ia seorang gadis dusun
bernama Kim Siauw Hwa, biasa disebut Akim, dan ia telah siap melakukan segala
macam pekerjaan yang diperintahkan untuknya, siap melayani paduka dengan
taruhan nyawa.”
Hemm, taruhan nyawa hidungmu!
Demikian Liong-li memaki dalam hatinya. Sungguh segala hal terlalu
dilebih-lebihkan di dalam istana ini. Penjilatan agaknya terjadi setiap saat,
oleh orang-orang yang amat rendah terhadap orang-orang yang gila hormat.
“Hemmm, namanya Akim? Lucu
juga. Akim, angkat mukamu untuk kami lihat!” kata pula suara yang lembut tajam
itu. Akim mengangkat mukanya dan ia melihat kepada seorang wanita yang amat
cantik dan anggun. Wanita itu usianya empatpuluh tahun lebih, namun pakaiannya
mewah bukan main, dan seluruh tubuhnya terawat dengan rapi. Agaknya setiap
helai rambutnya pun tidak terluput dari perawatan sehingga ia nampak seperti
hasil sebuah lukisan seorang ahli.
Sepasang matanya tajam
mencorong, dan bibir yang penuh gairah dan manis menantang itu dihias dagu yang
membayangkan kekerasan hatinya. Hidung kecil mancung itu kembang kempis,
pertanda bahwa ia seorang wanita yang memiliki gairah nafsu yang berkobar!
Seorang wanita yang amat berbahaya, cerdik seperti iblis, demikian keterangan
Cian Hui, kepadanya.
Cepat ketika ia mengangkat
mukanya, Akim memasang wajah bodoh dan ketakutan membayang pada pandang matanya
yang biasanya tidak kalah tajam dan mencorong dibandingkan sepasang mata
permaisuri itu. Wajah wanita itu masih cantik menarik, ditambah lagi dengan
riasan yang agak berlebihan sehingga alisnya dibuat melengkung seperti bulan
tanggal muda, bibirnya merah semringah, pipinya kemerahan dan kulit mukanya
lebih putih dari pada aselinya.
Sepasang alis melengkung yang
terlalu hitam itu agak berkerut ketika ia melihat wajah dayang baru itu.
“Hemm, engkau terlalu buruk
untuk menjadi dayang!” serunya. “Heh, Kok Tay Gu, kenapa engkau membawa seorang
gadis berwajah bodoh dan buruk ini untuk menjadi dayang baru? Apa engkau ingin
merusak keindahan sebuah taman bunga dengan ratusan aneka bunga jelita dengan
menyertakan setangkai bunga yang jelek di dalam taman?”
Kok Ciang-kun sambil berlutut
menjawab. “Mohon kemurahan hati paduka untuk mengampuni hamba, Yang Mulia.
Biarpun wajahnya tidak berapa cantik namun ia pandai masak, rajin dan besar
tenaganya. Iapun bersedia untuk bekerja di dapur atau di mana saja untuk
menghambakan diri kepada paduka yang mulia!”
“Hemm, benarkah ia pandai
masak dan rajin? Dan ia bertenaga besar dan kuat? Ingin aku melihatnya!”
Akim yang sudah menunduk
kembali, juga Kok Ciang-kun, tidak melihat betapa permaisuri itu memberi
isyarat dengan mata kepada seorang dayang pengawalnya. Gadis yang bertubuh
tegap itu mengambil sebatang cambuk pendek, menghampiri Akim dari belakang.
Biarpun Akim berlutut dan
menunduk, pendengarannya yang terlatih dan amat tajam sudah sejak tadi
menangkap gerakan orang di belakangnya. Bahkan ia seperti dapat melihat saja
ketika gadis dayang itu mengayun cambuknya ke arah punggungnya yang sedang
membungkuk. Tentu saja amat mudah baginya untuk mengelak atau menangkis kalau
ia kehendaki. Akan tetapi, Akim atau Liong-li adalah seorang wanita yang cerdik
bukan main, waspada dan dapat mengetahui keadaan seketika dengan perhitungan
yang tepat.
Ia sudah dapat menduga bahwa
tentu permaisuri yang cerdik dan berbahaya seperti iblis itu menaruh curiga
kepadanya dan kini mengutus seorang pembantunya untuk mengujinya. Kalau dalam
keadaan seperti itu ia mampu menghindarkan diri dari serangan cambuk itu,
berarti ia membuka rahasianya bahwa ia seorang yang memiliki ilmu kepandaian
silat tinggi, karena hanya orang yang memiliki ilmu silat yang sudah tinggi
tingkatannya saja mampu menghindarkan diri dari ancaman bahaya tanpa
dilihatnya. Sungguh ujian yang keluar dari otak yang cerdik luar biasa,
pikirnya dan iapun tidak mengerahkan tenaga sedikitpun ketika cambuk itu
menghantam punggung.
“Tarr! Tarrr!” Dua kali cambuk
itu menghantam punggungnya, demikian kerasnya sehingga baju di bagian punggung
robek-robek, berikut kulit punggungnya yang tidak ia lindungi dengan tenaga
sakti. Darah keluar dari kulit punggung yang pecah-pecah dan Akim mengeluarkan
jerit kesakitan yang ia lakukan bukan seperti permainan sandiwara, melainkan
sungguh-sungguh karena ia tidak menahan diri dan membiarkan naluri perasaannya
membuatnya menjerit kesakitan.
Kok Ciang-kun terkejut sekali,
akan tetapi tidak berani berkutik ketika permaisuri itu turun dari atas kursi
emasnya dan melangkah perlahan untuk memeriksa keadaan punggung gadis dusun
yang masih berlutut dan menangis lirih itu. Ia melihat punggung itu terluka
oleh cambuk, berdarah dan iapun mengangguk puas.
Benar seorang gadis dusun yang
tak begitu cantik, bodoh dan sama sekali tidak memiliki kepandaian yang
membahayakan, dan mungkin tenaganya lebih besar dari wanita lain. Hal ini tentu
saja wajar kalau mengingat bahwa ia seorang gadis dusun yang sejak kecil biasa
bekerja kasar dan keras.
“Kok Tay Gu, Akim ini kami
terima sebagai pelayan. Mundurlah, dan kami senang dengan jasamu ini.”
Bukan main girangnya hati Kok
Ciang-kun yang tadinya sudah gemetar ketakutan karena dia mengira bahwa
kehadiran Akim mendatangkan perasaan tidak senang di hati permaisuri itu. Dia
membentur-benturkan dahinya di lantai, menghaturkan terima kasih berulang kali,
kemudian merangkak mundur meninggalkan ruangan itu.
Permaisuri Bu Cek Thian
berkata kepada seorang dayang pengawal, “Bawa ia ke belakang, beri pakaian dan
obati punggungnya. Lalu serahkan ia kepada kepala dapur untuk menerimanya
sebagai pembantu di dapur.”
Akim yang sudah mempelajari
bagaimana ia harus bersikap di depan sang permaisuri, segera meniru apa yang
dilakukan Kok Ciang-kun tadi. Ia membentur-benturkan dahinya di lantai sambil
mengucap terima kasih berulang kali, walaupun hatinya mendongkol bukan main dan
hatinya ingin sekali menghajar wanita pesolek yang sewenang-wenang dan kejam
itu.
Tentu saja ia tidak berani
melakukan hal semacam itu, karena betapapun pandainya, kalau ia berani
melakukan hal itu, tentu nyawanya takkan dapat tertolong lagi! Wanita di
depannya ini adalah permaisuri kaisar, bahkan menurut Cian Hui, wanita ini
merupakan orang paling berkuasa di seluruh kerajaan, bahkan kaisar sendiri
menjadi seperti boneka dalam genggaman wanita ini.
Ia lalu ditarik berdiri dan
didorong secara kasar oleh dayang pengawal yang menerima perintah, diajak
keluar dari ruangan itu dan setelah menerima beberapa helai pakaian baru,
diobati punggungnya dengan obat bubuk. Ia lalu diajak ke dapur dan diserahkan
kepada kepala dapur, seorang laki-laki thai-kam gendut seperti bola yang dari
gerak geriknya saja sudah dapat diduga bahwa dia adalah seorang koki yang
pandai!
Mulailah Akim atau
Hek-liong-li Lie Kim Cu bekerja di dapur istana permaisuri yang menjadi satu
dengan dapur istana kaisar. Hanya saja para pekerja thai-kam sajalah yang
diperbolehkan masuk ke bagian puteri sedangkan para pekerja pria biasa sama
sekali dilarang dan mereka ini yang membawa masakan dan segala keperluan lain
ke istana bagian putera.
Karena pandai membawa diri,
dalam waktu sehari saja Akim yang rajin disuka oleh mereka yang bekerja di
dapur, apa lagi mendengar bahwa Akim diterima dan ditunjuk sendiri oleh
permaisuri bekerja di bagian dapur. Karena ia ditunjuk sendiri oleh Permaisuri,
maka ia dianggap “istimewa” dan tidak ada yang berani mengganggu. Pula, Akim
pandai sekali memperlihatkan sikap yang tidak menarik bagi pria, dan ia
kelihatan sebagai seorang gadis yang bodoh dan kaku walaupun rajin dan memiliki
bentuk tubuh yang elok.
Malamnya, Akim mendapatkan
sebuah kamar di antara deretan kamar para pelayan di bagian paling belakang,
dekat dapur. Karena ia dianggap istimewa pula, pekerja yang ditunjuk
permaisuri, maka ia mendapatkan sebuah kamar untuk dirinya sendiri. Pelayan
lain merasa enggan untuk tinggal sekamar dengannya, karena seorang yang
ditunjuk oleh permaisuri dianggap berbahaya. Siapa tahu ia mata-mata permaisuri
yang mencatat semua kegiatan mereka?
Permaisuri amat galak dan
siapa yang bersalah mendapatkan hukuman yang mengerikan. Pernah ada seorang
pelayan wanita di dapur yang wajahnya manis, tertangkap basah ketika ia
melakukan hubungan mesra dengan seorang pelayan pria dari bagian putera.
Permaisuri yang menganggap pelayan itu menodai “kesucian” istana bagian puteri,
dipaksa mati secara mengerikan.
Ia dipaksa duduk di atas
sebuah kursi, dengan kaki dan tangan terikat kepada kursi sehingga tak mampu
bergerak. Kemudian, sebuah kantung kain diselubungkan ke kepalanya dan diikat
tertutup rapat-rapat. Tentu saja setelah udara di dalam kantung itu habis,
wanita malang itu tidak dapat bernapas. Akan tetapi ia tidak mampu meronta,
hanya kepalanya saja yang meronta-ronta minta lepas, akan tetapi sebentar saja
kepala itu terkulai dan ia tewas. Mayatnya dikubur diam-diam dan semua hukuman
ini berlangsung secara rahasia tanpa diketahui orang luar, kecuali para pekerja
di istana.
Tentu saja Akim yang
“diasingkan” oleh para pekerja lain, merasa girang bukan main. Justeru inilah
yang ia kehendaki. Karena ia memiliki kamar tersendiri, dengan leluasa ia mampu
mengadakan penyelidikan.
Pada malam harinya, setelah
semua orang tidur, Akim mengganti pakaiannya dengan pakaian serba hitam yang
sudah ia persiapkan, menutupi mukanya dengan topeng kain, dan iapun menyelinap
keluar dari dalam kamarnya tanpa diketahui siapapun. Ia lalu mulai dengan
penyelidikannya.
Malam pertama itu ia tidak
bertemu dengan Bayangan Iblis seorangpun, hanya melihat seorang kebiri berjalan
mengiringkan seorang dayang pengawal menuju ke kamar Sang Permaisuri. Laki-laki
kebiri itu usianya kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya ganteng dengan kulit
putih bersih dan perawakannya jantan, tinggi besar dan kokoh kuat.
Hal ini membuat Akim tertegun
dan terheran-heran. Memang hanya para thai-kam (laki-laki kebiri) saja yang
diperbolehkan berkeliaran melakukan tugas masing-masing di istana bagian
puteri. Laki-laki kebiri dianggap “aman” karena tidak mungkin dapat melakukan
hubungan gelap dengan para wanita istana.
Kalau ia melihat thai-kam itu
memasuki kamar Sang Permaisuri pada siang hari, ia tidak akan merasa heran.
Akan tetapi malam hari? Dan ketika semua orang sudah tidur dan mengunci pintu
kamar mereka? Sungguh janggal! Apa lagi ketika ia melihat thai-kam itu memasuki
kamar sang permaisuri seorang diri saja, sedangkan dayang pengawal yang tadi
bersamanya tinggal di luar dan melakukan penjagaan dengan para dayang pengawal
lainnya, enam orang jumlahnya.
Apa saja yang dikerjakan
thai-kam itu di dalam kamar sang permaisuri? Ah, mungkin dia seorang ahli
pijat, pikir Akim. Ya, tentu saja. Thai-kam itu seorang ahli pijat dan kini
bertugas memijati tubuh sang permaisuri, untuk mengusir semua kelelahan dari
tubuh yang amat dimanja itu.
Tentu saja Akim tidak mau
menghabiskan waktu untuk menyelidiki persoalan pribadi Sang Permaisuri yang
agaknya tidak ada sangkut pautnya dengan Kwi-eng-cu, dan ia melakukan
penyelidikan ke bagian lain. Namun malam itu ia tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan.
Keesokan harinya, sambil
bekerja, iapun memasang mata dan telinga untuk mengamati setiap orang bahkan ia
berhasil memancing seorang pelayan kebiri yang setengah tua dan yang gemar
mengobrol untuk bicara tentang Kwi-eng-cu. Mereka berdua sedang mencabuti bulu
ayam.
Istana memang merupakan tempat
keroyalan dan kemewahan. Setiap hari tidak kurang dari seratus ekor ayam gemuk
dipotong, belum daging babi atau kambing atau sapi, juga ikan dan banyak macam
sayuran. Maka, mencabuti bulu ayam memakan waktu yang cukup lama sehingga Akim
dan thai-kam itu mempunyai waktu untuk mengobrol.
“Ketika aku datang dari dusun
ke kota raja, aku mendengar kabar angin tentang pembunuhan-pembunuhan yang
terjadi di kota raja. Aku menjadi ngeri. Siapakah yang dibunuh dan siapa pula
yang membunuh, paman?” Akim mulai memancing, dengan suara biasa dan sikap acuh,
sambil lalu saja.
Akan tetapi mendengar
pertanyaan itu, Akong, si thai-kam, nampak terkejut dan ketakutan. Dia menoleh
ke kanan kiri. Akan tetapi memang di situ tidak ada orang lain kecuali mereka
berdua. Tempat pencucian daging itu memang tidak sebersih bagian lain dan orang
enggan ke situ kalau tidak untuk bekerja. Akim tentu saja sudah yakin bahwa
tidak ada orang lain mendengarkan percakapan mereka.
“Kenapa, paman?”
“Hushhh, jangan keras-keras.
Kalau terdengar dia, salah-salah malam nanti lehermu atau leherku putus!”
Akim menjadi ketakutan dan ia
menggeser duduknya mendekati thai-kam itu, suaranya gemetar dan tubuhnya
menggigil. “Aih, paman, aku....... aku takut.....!” katanya lirih setengah
berbisik. “Akan tetapi...... kenapa tidak boleh keras-keras......? Dan......
siapa yang melarang kita bicara?” Ia sengaja memperlihatkan wajah ketakutan.
“Paman, kalau bersamamu, aku tentu akan selamat. Jangan takut-takuti aku,
paman.”
Akong menyeringai bangga.
“Boleh, bicara, akan tetapi jangan keras-keras. Kabarnya, Kwi-eng-cu (Si
Bayangan Iblis) memiliki seribu telinga dan kita tidak boleh bicara buruk
tentang dia. Bisa berbahaya!” katanya lirih pula.
“Ah, agaknya paman tahu
banyak. Aku ingin sekali mendengar, paman. Siapa sih Kwi-eng-cu itu?”
“Ssttt, berbisik saja,” kata
thai-kam itu sambil mendekat dan bicara kasak-kusuk berbisik. “Dia seorang yang
entah manusia entah dewa, akan tetapi semenjak terjadi pembunuhan, sudah
puluhan orang pejabat tinggi terbunuh, ada yang melihat munculnya Si Bayangan
Iblis itu. Tak seorangpun melihat dia yang melakukan pembunuhan, hanya timbul
dugaan karena dia muncul ketika terjadi pembunuhan-pembunuhan.......”
“Ih, betapa mengerikan! Apakah
tidak kelihatan orangnya, paman?”
Akong menggeleng. “Dia
bergerak cepat dan hanya nampak bayangannya saja. Bayangan tinggi besar dan
kepalanya bertanduk, karena itu dinamakan Si Bayangan Iblis.......”
“Hiiii, menakutkan sekali !”
Akim kembali menggigil. “Akan tetapi kita aman, paman, Sehebat-hebatnya dia,
tidak mungkin dia berani muncul di lingkungan istana ini!”
“Siapa bilang? Sstttt.......!”
Dia memperingatkan diri sendiri yang bicara terlampau keras. “Dia dapat muncul
di mana-mana. Di sini juga.”
“Tidak mungkin, paman. Jangan
paman membohongi aku dan hendak menakut-nakuti aku!”
“Eh, anak buruk! Siapa
berbohong?”
“Aku tanggung itu hanya kabar
angin saja. Siapa yang pernah melihat dia di sini?”
“Bukan kabar angin. Aku pernah
melihatnya sendiri.”
Akim merasa betapa jantungnya
berdebar penuh ketegangan. Tak disangkanya bahwa ia akan memperoleh keterangan
yang amat penting dari thai-kam ini.
“Aih, paman Akong, engkau
hanya main-main saja dan mencoba untuk menakut-nakuti aku!” Akim berkata
mengejek.
“Akim, jangan kurang ajar
engkau! Kau anggap aku berbohong? Engkau tidak percaya kepadaku?”
Akim mengangguk-angguk. “Maaf,
maaf, paman Akong yang baik. Sejak datang di sini bertemu denganmu, aku sudah
merasa seolah engkau ini pamanku sendiri. Engkau begini baik, paman. Aku tentu
saja percaya kepadamu, akan tetapi ceritamu terlalu aneh. Bagaimana mungkin
pembunuh itu dapat berkeliaran di dalam istana?”
“Sssttt, tutup mulutmu yang
lancang dan jangan keras-keras bicara. Dengar, aku tidak berbohong. Ketika aku
bertugas di bagian putera, pada suatu malam aku melihat bayangan berkelebat dan
bayangan itu berhenti sejenak di sudut dinding gudang di belakang. Jelas sekali
bayangan itu, dan menyeramkan. Bayangan tinggi besar dan kepalanya mempunyai
dua buah tanduk. Huuhhh, masih meremang bulu tengkukku kalau mengenangnya.”
“Dan paman tidak menceritakan
kepada siapapun sampai sekarang ini?“
“Mana aku berani? Baru
sekarang aku bercerita kepadamu untuk meyakinkan hatimu.”
“Hanya satu kali itu saja
paman melihatnya? Dan tidak pernah nampak di bagian puteri sini?”
“Baru satu kali itu, dan tidak
pernah ada yang melihat bayangan itu muncul di sini. Dan selain aku sendiri,
sebelum itu juga pernah ada ada seorang perajurit pengawal melihat, bahkan
mengejar bayangan itu di dalam istana bagian putera, akan tetapi bayangan itu
menghilang.
“Peristiwa itu terjadi ketika
Pangeran Kelima terbunuh di luar istana, maka pernah gegerlah istana. Akan
tetapi setelah diperiksa di seluruh pelosok, tidak ditemukan Si Bayangan Iblis
di istana.”
Tiba-tiba thai-kam itu memberi
isyarat agar Akim diam dan mereka melanjutkan pekerjaan mereka dengan tekun,
seolah-olah mereka tidak pernah bercakap-cakap tentang Si Bayangan Iblis.
Seorang pelayan lain masuk ke dapur bagian pencucian daging itu.
Diam-diam Akim mengenang
kembali semua percakapan tadi. Dugaannya kini semakin kuat bahwa sarang
gerombolan pembunuh itu, atau setidaknya pemimpin mereka, besar sekali
kemungkinannya bersembunyi di dalam istana ini, atau juga pemimpin itu
merupakan seorang anggauta keluarga kaisar sendiri, atan pejabat yang bertugas
di dalam lingkungan istana.
Jelas bukan Permaisuri atau
seorang di antara para selir atau puteri kaisar, karena bayangan itu tidak
pernah nampak di sini, melainkan di istana bagian putera. Akan tetapi, ia tidak
sama sekali melepaskan kemungkinan bahwa pemimpinnya seorang penghuni bagian
puteri, walaupun pemimpin itu bekerja “di belakang layar”. Siapa tahu?
Ia harus menyelidikinya di
bagian putera. Malam nanti! Tugas yang berbahaya memang, namun tanpa menempuh
bahaya itu, bagaimana mungkin ia akan mampu memecahkan rahasia Kwi-eng-cu?
Setelah mandi sore dan makan
malam, karena tidak ada lagi tugas untuknya, Akim duduk bersila di dalam
kamarnya, di atas pembaringan, mengatur pernapasan dan menghimpun tenaga. Siapa
tahu malam ini ia membutuhkan banyak tenaga. Ia sudah mengambil keputusan untuk
mengalihkan medan penyelidikannya di waktu malam. Tidak lagi di bagian puteri,
melainkan di istana induk, tempat tinggal Kaisar dan para pangeran yang masih
tinggal di istana.
Ia sudah mendengar keterangan
Cian Ciang-kun bahwa istana induk itu berbahaya, dijaga ketat oleh pasukan
pengawal thai-kam, dan ada tiga orang jagoan thai-kam yang amat lihai. Maka, ia
harus berhati-hati karena ia menyelidiki seorang yang rahasia sehingga ia tidak
tahu siapa kawan siapa lawan di dalam istana itu.
Segala kemungkinan ada.
Pemimpin para pembunuh itu mungkin saja seorang pangeran, mungkin seorang
thai-kam, mungkin pula permaisuri, bahkan mungkin kaisar sendiri! Mungkin pula
pejabat penting yang tinggal di istana karena pekerjaan dan tugasnya.
Ia menanti sampai keadaan di
istana menjadi sunyi. Kamarnya berada di antara kamar-kamar para pelayan,
pekerja yang paling rendah tingkatnya di istana itu, dan kebetulan sekali
setiap jam tentu peronda keamanan lewat di kebun belakang perumahan itu. Maka,
ia dapat menghitung waktu dan menjelang tengah malam ia sudah mengenakan
pakaian serba hitam dan memasang kedok kain hitam pula.
Sebetulnya bukan kedok, hanya
kain saputangan hitam yang lebar, diikatkan menutupi hidung dan mulutnya. Juga
kepalanya dibungkus kain hitam, bahkan menutupi dahinya sehingga yang nampak
hanya sepasang matanya saja. Bukan mata Akim lagi, melainkan mata Hek-liong-li
Lie Kim Cu, sepasang mata yang jeli, indah dan mencorong amat tajamnya!
Karena maklum bahwa tugasnya
amat berbahaya, iapun mengeluarkan pedang pusakanya, Hek-liong-kiam (Pedang
Naga Hitam) yang diselundupkan oleh Cian Ciang-kun dan kemudian disimpan di
tempat rahasia, yaitu di bawah atap kamarnya. Pedang itu ia selipkan di ikat
pinggang, tertutup oleh jubah hitamnya yang lebar.
Setelah ia mengintai dari
jendela kamarnya keluar, dan melihat bahwa malam telah larut dan suasana sudah
amat sunyi, dan juga rombongan peronda, yaitu para pengawal thai-kam baru saja
lewat. Ia lalu membuka daun jendela kamarnya dan seperti seekor kucing saja,
tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, tubuhnya sudah meloncat ke luar jendela.
Dari luar, daun jendela ditutupnya kembali dengan hati-hati, lalu cepat
tubuhnya sudah menyelinap ke dalam kebun di belakang perumahan para pelayan
itu. Di kebun ini terdapat banyak pohon, dan iapun menyusup di antara
pohon-pohon.
Ia sejak sore tadi sudah
memperhitungkan dan merencanakan bagaimana ia akan memasuki istana induk. Tentu
saja yang paling mudah dan aman melalui kebun itu. Kebun itu bersambung dengan
kebun di belakang istana induk, hanya dibatasi oleh pagar tembok yang tinggi
dan tidak terjaga ketat. Memang tidak perlu dijaga ketat karena orang-orang
biasa saja tidak akan dapat melewati tembok itu.
Setelah menanti beberapa menit
dan melihat bahwa keadaan sekeliling tetap sunyi, tidak nampak bayangan orang
dan tidak terdengar suara apapun, hatinya lega. Tangan kirinya memegang kedua
ujung jubah yang diselimutkan di tubuhnya, lalu ia menyelinap di antara
pohon-pohon di kebun itu, menuju ke tembok pemisah antara kebun istana puteri
dan kebun istana induk.
Ia memang sudah
memperhitungkan bahwa malam itu bulan bercahaya cukup terang karena bulan sudah
berusia sepuluh hari. Langit bersih dan cerah sehingga dengan mudah ia dapat
menyelinap di antara pohon-pohon yang tidak begitu gelap dengan adanya sinar
bulan.
Ketika ia tiba di bagian
terbuka, dan tembok pemisah kebun itu sudah nampak putih cerah tertimpa sinar
bulan, tiba-tiba ia terkejut bukan main karena bermunculan delapan bayangan
yang agaknya tadi bersembunyi di balik batang pohon yang tumbuh di sekitar
tempat itu!
Melihat gerakan mereka, Akim
memperhitungkan bahwa tidak mungkin mereka itu dapat membayanginya sejak tadi
tanpa ia dapat melihatnya. Kalau mereka membayanginya sejak tadi, sudah pasti
ia dapat melihat, atau setidaknya mendengar gerakan mereka.
Jelaslah bahwa mereka memang
sudah menanti di balik batang-batang pohon itu sehingga tentu saja ia tidak
tahu bahwa ada delapan orang yang agaknya sudah menghadangnya dan menanti kemunculannya!
Hal ini hanya berarti bahwa gerakannya sudah diketahui sejak ia meninggalkan
kamar, bahkan sudah diketahui bahwa ia akan lewat di tempat itu! Luar biasa
sekali.
Akan tetapi hatinya merasa
lega, juga sekaligus terheran-heran ketika melihat bahwa pengepungnya itu sama
sekali bukan orang-orang berkedok seperti Si Bayangan Iblis! Sama sekali bukan!
Mereka itu adalah pengawal-pengawal thai-kam!
“Bayangan Iblis! Menyerahlah,
engkau sudah terkepung!” bentak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi
besar dan tangannya memegang sebatang golok besar. Teman-temannya ada yang
memegang golok, ada yang bersenjata pedang dan mereka itu telah mengepungnya
dengan sikap mengancam. Mendengar bentakan ini, Akim merasa semakin heran. Ia
malah disangka Si Bayangan Iblis!
Hampir saja ia menyangkal.
Akan tetapi kalau ia menyangkal ia harus membuka saputangan hitam penutup
mukanya, dan ia tentu akan dicurigai dan ditangkap pula karena ia kini telah
menanggalkan penyamarannya sebagai Akim, dan wajahnya kini adalah wajah
Liong-li! Andaikata ia berada dalam penyamaranpun, tentu ia tetap akan
ditangkap sebagai Akim! Serba salah memang! Maka, begitu si tinggi besar itu
membentak, ia sudah membalik dan menerjang orang yang berdiri mengepung di
belakangnya.
Melihat gerakan ini, orang
yang memegang golok di belakang itu menyerang dengan bacokan golok. Akan
tetapi, dengan mudah Akim atau Liong-li mengelak dengan loncatan ke samping,
kemudian ia mengerahkan gin-kangnya dan ia sudah berlari oepat sekali
meninggalkan tempat itu!
“Berhenti! Hendak lari ke mana
kau?” bentak delapan orang perajurit pengawal itu dan mereka melakukan
pengejaran. Akan tetapi, bayangan orang berpakaian serba hitam itu sudah lenyap
ditelan bayangan pohon-pohon!
Dan pada saat delapan orang
itu mencari-cari, Liong-li sudah menyamar lagi sebagai Akim dan rebah di atas
pembaringannya. Pakaian serba hitam, juga pedang Hek-liong-kiam, sudah
tersimpan aman di bawah atap sehingga andaikata para perajurit pengawal
menggeledah kamarnya, mereka takkan dapat menemukan tanda-tanda bahwa ialah
yang tadi mereka kejar-kejar. Dan iapun merasa lega dan dapat tidur pulas
setelah tidak ada gangguan datang, walaupun ia masih menduga-duga dengan heran
bagaimana delapan orang pengawal itu tahu-tahu sudah menghadang di sana!
Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali Akim sudah bangun dan bekerja seperti biasa, membersihkan
dapur dan ia pura-pura acuh saja seperti tidak pernah terjadi sesuatu dengan
dirinya. Semalam Akim tidur nyenyak di kamarnya dan tidak melihat atau mendengar
sesuatu sampai bangun pagi hari ini, demikian ia meyakinkan penyamarannya. Akan
tetapi, diam-diam ia menaruh perhatian akan keadaan sekelilingnya.
Ia melihat betapa para pelayan
lainnya bekerja seperti biasa pula, menyalaminya seperti biasa. Hanya ada satu
hal yang dirasa aneh, atau hanya kebetulan saja, yaitu tidak adanya Akong. Ia
pura-pura acuh dan tidak berani bertanya, karena kalau ia bertanya, berarti ia
menaruh perhatian khusus untuk Akong dan hal itu akan dapat saja menimbulkan
kecurigaan. Ia menyapu lantai dapur dengan tenang dan tekun.
Tiba-tiba para pelayan yang
sedang sibuk bekerja itu berdiri dengan sikap hormat dan menunda pekerjaan
mereka. Akim menoleh dan iapun terheran melihat munculnya seorang perwira
thai-kam yang gendut dan yang dikenalnya sebagai Kok Ciang-kun, perwira yang
memasukkannya ke dalam istana! Tentu saja ia segera memberi hormat, akan tetapi
dengan sikap dingin Kok Ciang-kun memandang kepadanya dan berkata singkat.
“Bergantilah pakaian bersih
dan ikut dengan aku!”
“Ke..... ke mana, Ciang-kun?”
tanyanya dengan jantung berdebar tegang.
“Engkau dipanggil menghadap
oleh Hong-houw!”
Liong-li menekan perasaan
hatinya yang terguncang sehingga wajahnya hanya membayangkan keheranan, bukan
kegelisahan. Ia lalu pergi ke kamarnya dan berganti pakaian sambil
mengingat-ingat.
Adakah hubungannya panggilan
Permaisuri ini dengan peristiwa semalam? Ah, tidak mungkin ada hubungannya,
kalau ia dicurigai, andaikata ada sesuatu yang membocorkan rahasianya, tentu ia
akan ditangkap oleh pasukan pengawal, bukan dipanggil melalui Kok Ciang-kun,
orang yang membawanya masuk ke istana. Tidak, ia tidak perlu gelisah, harus
bersikap tenang.
Sebentar saja ia sudah
berjalan bersama Kok Ciang-kun meninggalkan ruangan dapur menuju ke istana
permaisuri. Di dalam perjalanan ini, ia mencoba memancing dan bertanya kepada
Kok Ciang-kun mengapa ia dipanggil oleh Hong-houw. Akan tetapi, Kok Ciang-kun
menggeleng kepalanya.
“Aku tidak tahu. Akupun baru
pagi ini, pagi-pagi sekali dipanggil menghadap, dan setelah menghadap, aku
diutus untuk menjemputmu dan bersama-sama menghadap.”
“Aku........ aku bekerja
dengan rajin dan sebaik mungkin, aku tidak pernah melakukan kesalahan,” kata
Akim dengan suara gelisah. “Apakah beliau kelihatan marah-marah?”
Perwira pengawal thai-kam itu
menggeleng kepala. “Menurut pengamatanku, beliau tidak marah, hanya nampak
kesal.”
Lega rasa hati Akim. Kalau
memang menyangkut urusan besar, tentu permaisuri sudah marah dan ia sudah
disuruh tangkap. Ia harus bersikap tenang saja.
Mereka berlutut di depan pintu
ruangan yang terbuka, agaknya memang sejak tadi dibuka menanti kedatangannya.
Seorang dayang pengawal memerintahkan mereka masuk dengan suara lantang,
menyampaikan perintah Hong-houw. Mereka lalu bangkit dan melangkah masuk dengan
kepala menunduk, kemudian di depan kursi emas Sang Permaisuri Bu Cek Thian, Kok
Ciang-kun dan Akim menjatuhkan diri berlutut.
“Ban-swe, ban-ban-swe......!”
Mereka berkata dengan khidmat sambil menempelkan dahi ke lantai.
“Bangkitlah kalian!” kata
Hong-houw. Keduanya mengangkat kepala dan tubuh mereka tegak, akan tetapi kaki
mereka masih berlutut.
“Kok Tay Gu, kepadamu kami
mengajukan sebuah saja pertanyaan yang harus kau jawab dengan sebenarnya. Kalau
jawabanmu bohong, sekarang juga kami akan perintahkan agar lehermu dipenggal!”
Bukan main keras dan tegasnya
ucapan itu dan ketika ia melirik, Akim melihat betapa perwira pengawal itu
gemetar seluruh tubuhnya, dan suaranya tergagap ketika dia berkata.
“Hamba...... hamba akan
menjawab dengan sebenarnya...... dan bersedia menerima hukuman kalau
berbohong.”
“Kenalkah engkau siapa gadis
ini dan dari siapa engkau menerimanya?”
Diam-diam Akim terkejut bukan
main. Kiranya, di luar dugaannya, memang ada sangkut pautnya dengan dirinya! Ia
telah dicurigai dan tentu permaisuri itu tidak bertanya tentang dirinya seperti
itu. Kini, kepala pengawal thai-kam itu mati kutu dan dia sudah lemas.
“Hamba...... hanya tahu... ia
bernama Kim Siauw Hwa dan biasa disebut Akim, dan hamba.... hamba dimintai
tolong oleh bekas Panglima Cian Hui untuk menerimanya sebagai..... dayang atau
pelayan di sini...... mohon beribu ampun kalau hamba bersalah......”
Hening sejenak. Keheningan
yang mencekik rasanya, karena seolah Akim menanti datangnya putusan mati atau
hidup! Kemudian terdengar suara itu, suara yang lembut namun mengandung
kekerasan seperti baja, akan tetapi suara itu terdengar lega.
“Engkau berkata sebenarnya.
Memang ia bernama Kim Siauw Hwa alias Akim dan engkau menerimanya dari Cian
Hui. Nah, keluarlah kamu dari sini, laksanakan tugasmu dengan baik. Perintahkan
pasukan pengawal untuk lebih ketat lagi menjaga istanaku.”
Akim seolah mendengar betapa
kepala pengawal itu bersorak dalam hatinya, dan ia sendiripun merasa lega,
seolah baru saja lepas dari himpitan batu besar yang berat. Kok Ciang-kun
menghaturkan terima kasih berulang kali, lalu memberi hormat dan benturan
dahinya pada lantai sampai menimbulkan kekhawatiran di hati Akim kalau-kalau
kepala pengawal menderita gegar otak karenanya.
Kok Ciang-kun mundur dan kini
tinggal Akim seorang diri masih berlutut. Karena yang diperintah mundur hanya
Kok Ciang-kun, maka ia tidak berani bergerak dan diam saja, walaupun hatinya
ingin sekali ia segera terbang dari situ.
Baru pertama kali ini selama
ia menjadi seorang wanita perkasa, Hek-liong-li Lie Kim Cu merasa gentar! Ia
merasa seperti menghadapi seorang lawan yang jauh lebih pandai dan lebih lihai
darinya, yang membuat ia merasa hampir tidak berdaya!
Kalau ia disuruh memilih, ia
memilih menghadapi dua orang datuk sesat yang lihai dari pada harus mengadapi
permaisuri ini sebagai musuh! Ia merasa seperti menghadapi seekor ular berbisa
yang amat berbahaya dan ia tidak tahu dari mana dan kapan ular berbisa itu akan
mematuk. Membuat ia ingin menghindar jauh-jauh dari tempat itu, sejauh mungkin!
Akim masih berlutut dan
menundukkan mukanya ketika ia mendengar suara Hong-houw, kini suaranya meninggi
dan penuh ejekan. “Engkau bernama Kim Siauw Hwa, ya? Akim? Hemmm, orang lain
boleh saja kaukelabui, akan tetapi jangan mengharap akan dapat mengelabui
kami.” Lalu terdengar perintahnya kepada para pengawal, “Ambil air dan sikat,
cuci bersih mukanya dan tarik rambut palsunya!”
Bukan main kagetnya rasa hati
Liong-li mendengar ini. Kalau ia meloncat, tentu para pengawal itu mengepungnya
dan sekali terdengar tanda bahaya, ratusan bahkan ribuan perajurit pengawal
akan datang dan ia tidak mungkin dapat lolos. Kalau ia menangkap dan menyandara
permaisuri itupun tidak mudah, karena para dayang pengawal nampaknya sudah siap
melindungi junjungan mereka.
“Ampun, Yang Mulia.
Perkenankan hamba menanggalkan penyamaran hamba sekarang juga!” katanya dan
cepat ia menggosok mukanya, melepaskan kedok tipis yang menutupi muka aselinya,
dan mencopot pula sedikit rambut palsu yang merubah bentuk sanggulnya.
Sanggulnya terlepas, rambut
aselinya yang hitam dan halus panjang itu terurai, mukanya yang asli nampak,
muka seorang yang cantik jelita dan manis. Bahkan sinar matanyapun kini
berubah, tidak lagi bodoh, melainkan mencorong dan tajam penuh kecerdikan!”
Kini permaisuri itu tersenyum.
“Hemm, sudah kuduga, engkau tentu seorang wanita yang cantik. Nah, sekarang
mengakulah, siapa engkau dan mengapa pula, engkau diseludupkan ke sini oleh
Cian Hui?”
Bagaimana pun juga hati
Liong-li merasa lega karena tidak terkandung kemarahan atau permusuhan di dalam
suara yang lembut dan berwibawa itu.
“Ampunkan hamba, Yang Mulia.
Akan tetapi sebelum hamba memberi penjelasan, hamba ingin sekali mengetahui
bagaimana paduka dapat mengetahui rahasia penyamaran hamba......”
Permaisuri itu tidak marah,
sungguh mengherankan hati para dayang pengawal yang menganggap pertanyaan
Liong-li itu kurang ajar. Sebaliknya malah permaisuri itu tertawa geli dan
senang. Memang hati permaisuri itu merasa senang dan bangga karena pertanyaan
Liong-li itu membuktikan bahwa wanita muda yang cerdik sekali dan pandai
menyamar sehingga mengelabui mata semua penghuni istana, kini kagum kepadanya
dan terheran akan kecerdikannya!”
“Engkau memang seorang
perempuan muda yang amat cerdik, akan tetapi bagi kami, kecerdikanmu itu belum
seberapa dan tidak ada artinya. Ketika kami mengujimu untuk melihat apakah
engkau benar seorang gadis dusun dan bukan seorang mata-mata berbahaya yang
menyelundup ke istana, engkau dengan cerdik berlagak bodoh dan bahkan
membiarkan punggungmu pecah kulitnya oleh cambuk. Akan tetapi ketika aku
mendekat, aku melihat dibalik kain baju yang robek dan kulit punggung yang
terluka, dekat luka itu kulitnya putih halus.
“Aku sudah menduga bahwa tentu
kulit tubuhmu yang aseli putih mulus, tidak kecoklatan dan kasar. Tentu engkau
telah memolesi seluruh kulit tubuhmu dengan semacam obat cairan. Aku sudah
mulai curiga dan engkau lihat siapa yang berdiri di sana itu!”
Karena sejak tadi Liong-li
tidak berani mengangkat muka, kini setelah diperintah, ia mengangkat muka dan
memandang ke arah yang ditunjuk permaisuri itu. Di sudut sana, berdiri dengan
sebatang tombak di tangan, adalah...... Akong! Pelayan thai-kam itu ternyata
adalah seorang perajurit pengawal yang menjadi kepercayaan sang permaisuri!
Kini mengertilah ia! Tentu
karena merasa curiga, permaisuri yang luar biasa cerdiknya itu telah diam-diam
menyelundupkan Akong ke bagian dapur, bekerja sebagai pelayan dapur sehingga
mendapat kesempatan bercakap-cakap dengannya!
Pada hal, ia merasa cerdik sudah
berhasil mengorek rahasia dan memancing keterangan dari Akong. Tidak tahunya,
ialah yang terkorek rahasianya. Karena sikapnya yang ingin tahu dan
bertanya-tanya tentang Kwi-eng-cu itu tentu saja dicatat oleh Akong dan pada
malam harinya diteruskan kepada Hong-houw.
Dan permaisuri yang seperti
dikatakan Cian Hui cerdik seperti iblis itu sudah memperhitungkan bahwa malam
itu ia tentu akan melakukan penyelidikan ke istana induk, maka sengaja menyuruh
delapan orang perajurit itu untuk menghadangnya dan mengepungnya. Dan biarpun
delapan orang itu tidak berhasil menangkapnya, namun kini ia yakin bahwa ketika
ia kembali ke dalam kamarnya, seperti ia keluar dari kamarnya, tentu sudah ada
beberapa pasang mata yang mengintainya. Agaknya permaisuri itu hanya ingin
merasa yakin bahwa “Akim” benar seorang mata-mata yang diselundupkan ke dalam
istana.
Melihat Akong, Liong-li segera
memberi hormat kembali. “Sungguh benar sekali apa yang diterangkan oleh Cian
Ciang-kun kepada hamba tentang paduka yang mulia......”
“Heh? Apa kata Cian Hui? Tentu
dia memperingatkan bahwa engkau harus berhati- hati menghadapi aku, bukan?
Heh-heh-hi-hik!”
Kembali Liong-li tertegun,
bukan pura-pura melainkan sungguh ia merasa heran dan kagum. Wanita ini
seolah-olah tahu segalanya!
“Aku mengenal siapa Cian Hui!
Dia seorang yang cerdik, kalau tidak begitu, tentu dia tidak diangkat menjadi
penyelidik. Kalau dia yang menyelundupkan kamu ke istana, tentu dia
memperingatkanmu untuk berhati-hati terhadap kami. Dia sudah tahu siapa aku!”
Suara ini mengandung kebanggaan hati yang besar terhadap diri sendiri.
“Sesungguhnya demikian, Yang
Mulia. Karena paduka sudah tahu segalanya, hamba kira hamba tidak perlu
menerangkannya lagi.”
“Hemm, Cian Hui memilih
engkau, itu berarti bahwa engkau tentu memiliki kelihaian dan kecerdikan. Akan
tetapi di sini, engkau kurang berhati-hati. Bayangkan saja seandainya aku ini
Kwi-eng-cu! Apa kau kira masih hidup saat ini?”
“Hamba beruntung sekali bahwa
Kwi-eng-cu bukan paduka. Akan tetapi hamba yang terkagum-kagum akan kecerdikan
dan kebijaksanaan paduka, hamba ingin sekali tahu apakah paduka sudah pula
mengetahui siapa hamba sebenarnya?”
Kembali para dayang
mengerutkan alisnya. Perempuan itu sungguh kurang ajar, seolah menantang sang
permaisuri, atau seperti mempermainkan saja. Bicaranya seolah permaisuri itu
sahabatnya, bukan junjungannya! Akan tetapi aneh, permaisuri tidak marah
melainkan tersenyum manis! Dan memang hati permaisuri itu senang sekali, merasa
ditantang kecerdikannya.
“Kami memang belum mengetahui
siapa kamu, akan tetapi kami dapat menduganya,” kata permaisuri itu dengan
suara yang tenang sekali.
Liong-li tertarik dan semakin
kagum, ia mengangkat muka memandang dan sejenak dua pasang mata yang sama
indahnya, sama jeli dan sama tajamnya bertemu dan bertaut. Selamanya belum
pernah Liong-li beradu pandang dengan seorang wanita yang memiliki pandang mata
seperti itu dan diam-diam ia bergidik. Juga agaknya Permaisuri Bu Cek Thian
mempunyai pendapat yang sama. Ia mengerutkan alisnya dan seperti mewakili suara
hati Liong-li ia berkata.
“Aihhh, matamu seperti mata
kucing atau harimau betina! Mengerikan sekali!”
Tepat sekali, pikir Liong-li.
Memang matamu seperti mata harimau betina kelaparan!
“Bolehkah hamba mengetahui,
paduka menduga hamba ini siapakah?” ia masih ingin mengetahui sampai di mana
kecerdikan permaisuri itu.
“Hek-liong-li Lie Kim Cu,
dibandingkan dengan kami, engkau seperti anak masih ingusan!”
Kini Liong-li menatap wajah
permaisuri itu dengan mata terbelalak. Ia benar takluk dan kagum bukan main,
permaisuri itu tentu tidak berbohong ketika mengatakan bahwa belum mengetahui
dirinya dan hanya menduga saja. Akan tetapi betapa tepatnya dugaan itu! Matanya
penuh pertanyaan, mewakili suara hatinya yang ingin sekali tahu bagaimana
permaisuri itu mampu menduganya demikian tepat!
Dan agaknya pertanyaan pada
sinar matanya itupun terbaca oleh Permaisuri Bu Cek Thian. Wanita ini kembali
tertawa dan menutupi mulut yang terbuka dengan sapu tangan sutera.
“Mudah saja menduga bahwa
engkau Hek-liong-li Lie Kim Cu. Biarpun kami belum pernah bertemu denganmu,
akan tetapi berita tentang dirimu sudah pernah kami dengar. Kami mendengar
bahwa di Lok-yang terdapat seorang wanita muda cantik jelita yang kabarnya
memiliki ilmu silat yang tinggi dan kecerdikan yang mengagumkan, namanya Lie
Kim Cu dan berjuluk Hek-liong-li. Bukan seorang penjahat, bahkan kadang-kadang
menentang kejahatan, kaya raya dan ditakuti dunia kang-ouw.
“Ketika Kaisar, atas dorongan
kami, memerintahkan Cian Hui untuk menyelidiki tentang pembunuhan-pembunuhan di
kota raja dan tentang Kwi-eng-cu, kami mendengar dari penyelidik kami bahwa
Cian Hui pergi seorang diri menuju Lok-yang. Tadinya kami kira bahwa mungkin
dia pergi ke sana ada hubungannya dengan penyelidikannya, atau untuk mengikuti jejak.
Nah, peristiwa itu saja sudah menunjuk kepadamu.
“Kemudian Kok Tay Gu
memasukkan seorang dayang yang mukanya buruk seperti penyamaranmu tadi. Kami
mulai curiga dan ternyata kecurigaan kami benar ketika kami melihat kulit
punggungmu ada yang putih mulus dekat luka. Dan ketika malam tadi engkau keluar
dari kamar sebagai seorang wanita bertopeng hitam dan berpakaian serba hitam,
kemudian melihat betapa engkau sedemikian lihainya sehingga mampu menghindarkan
diri dari kepungan delapan orang perajurit pengawal pilihan.
“Lalu sekarang melihat bahwa
engkau seorang wanita muda yang cantik jelita dan juga cerdik, bahkan mampu
menguji kecerdikanku dengan pertanyaan-pertanyaan yang amat cerdik, lalu siapa
lagi engkau, kalau bukan Hek-liong-li Lie Kim Cu? Dan kami yakin bahwa pedang
yang semalam katanya terselip di pinggangmu tentulah pedang pusakamu
Hek-liong-kiam yang terkenal itu. Entah di mana sekarang pusaka itu
kausembunyikan!”
Saking kagumnya, Long-li
memberi hormat dan menempelkan dahinya di lantai. “Ban-swe, ban-ban-swe......!
Sungguh hebat, sungguh luar biasa sekali! Paduka adalah seorang yang amat
cerdik, bijaksana dan hamba mengaku kalah!”
“Hek-liong-li, bangkitlah. Aku
sudah muak dengan penghormatan berlebihan seperti itu. Nah bangkit dan duduklah,
aku ingin bicara denganmu!” Lalu ia memberi isyarat kepada para dayang pengawal
agar mereka meninggalkan ruang itu!
Semua pengawal, kecuali dua
orang wanita muda yang wajahnya sama, masih berdiri di belakang kursi
permaisuri itu. Mereka adalah sepasang saudara kembar yang merupakan pengawal
pribadi yang tidak pernah meninggalkan Permaisuri Bu Cek Thian sejenak pun!
Juga Akong sudah keluar tanpa menoleh kepada Liong-li.
Pintu ruangan itu ditutup dan
di dalam ruangan yang luas dan amat indah itu, Permaisuri Bu Cek Thian duduk di
atas kursi emasnya yang agak tinggi. Kedua kakinya menginjak punggung sebuah
batu berukir yang berbentuk kura-kura, lambang panjang usia, seolah-olah
Permaisuri itu selalu menunggangi lambang yang membuat usianya menjadi panjang.
Dua orang saudara kembar yang
menjadi pengawal pribadi itu, keduanya mahir ilmu silat dan tangan kanan mereka
tak pernah meninggalkan gagang pedang yang tergantung di pinggang, berdiri di
belakang kursi emas itu.
Liong-li diperintahkan duduk
di atas sebuah bangku yang agak rendah. Hanya mereka berempat yang berada di
situ dan Liong-li yakin bahwa tidak ada seorangpun lainnya yang berani
mengintai atau ikut mendengarkan karena hal itu dapat mengakibatkan hukuman
mati! Dan iapun kini merasa lega karena jelas bahwa permaisuri yang amat cerdik
ini, yang dapat menjadi lawan yang amat berbahaya, kini nampaknya sudah percaya
benar kepadanya.
“Lebih dulu katakan, di mana
engkau menyembunyikan pedang pusakamu itu? Satu-satunya tempat persembunyian
adalah di bawah atap kamarmu!”
Liong-li tersipu. Akan sia-sia
sajalah membohongi wanita seperti ini!
“Memang benar di sana, Yang
Mulia.”
“Hemm, kalau begitu, engkau
pergilah dulu, ambil pedangmu itu lalu kembalilah kesini. Cepat! Berbahaya
kalau sampai didahului orang lain!”
Mendengar ini, Liong-li
terkejut, cepat memberi hormat dan keluar dari ruangan itu. Ternyata di dekat
ambang pintu, tentu ada alat rahasianya, karena sebelum ia tiba di pintu, daun
pintu itu telah terbuka dari luar. Agaknya para penjaga di luar tahu bahwa ada
orang hendak keluar!
Ia keluar dan cepat pergi ke
kamarnya setelah ia memasang kembali kedok tipisnya dan rambut palsunya sebagai
Akim! Setibanya di dalam kamar, ia menutupkan daun pintu dan meloncat ke atas,
mendorong langit-langit di sudut.
Cepat ia mengambil pedang dan
pakaian hitam, lalu melompat turun kembali. Pada saat itu, ia mendengar langkah
kaki dekat jendelanya. Cepat ia menyembunyikan pedang dan pakaian di bawah
kasur, lalu ia sendiri merebahkan diri di atas pembaringan. Daun jendela
terbuka dan sesosok bayangan melompat masuk.
“Heii, siapa itu?
Maliiingg......!” Ia berteriak.
Tentu saja ia harus
bersandiwara karena bukankah semua orang di situ mengira ia seorang gadis
dusun? Sudah sewajarnya kalau ia berteriak ada orang laki-laki memasuki
kamarnya lewat jendela.
Orang itu jangkung kurus,
mukanya tertutup lengan baju, terkejut dan meloncat keluar lagi. Liong-li tidak
mengejar dan kembali ia mengagumi sang permaisuri. Kalau tidak permaisuri itu
cepat memerintahkan ia mengambil pedang pusakanya, besar sekali kemungkinan
Hek-liong-kiam sudah diambil orang.
Ketika ia menghadapi kembali
permaisuri yang cantik berwibawa itu, Liong-li terus terang menceritakan apa
yang baru saja ia alami di kamarnya ketika ia mengambil pedang. Agaknya, terhadap
wanita yang satu ini, ia tidak boleh menyimpan rahasia karena segala peristiwa
agaknya dapat diketahuinya atau diduganya. Mendengar cerita Liong-li,
permaisuri Bu Cek Thian mengangguk-angguk.
“Bagaimana wajah bayangan
itu?” tanyanya singkat.
“Tidak nampak jelas, Yang
mulia. Hanya nampak bayangan yang bentuk badannya jangkung kurus, akan tetapi
dia memiliki gerakan yang gesit dan cepat sekali sehingga ketika hamba mengejar
keluar, dia telah lenyap.”
Permaisuri itu mengerutkan
alisnya. “Hemm, kehadiranmu sebagai penyelidik agaknya sudah dicurigai orang.
Biarlah untuk sementara engkau menjadi dayangku yang baru di sini. Bagaimana,
maukah engkau, Hek-liong-li?”
Liong-li menyambut tawaran ini
dengan gembira sekali. “Tentu saja hamba suka dan banyak terima kasih atas
bantuan paduka. Yang penting bagi hamba adalah dapat melakukan penyelidikan
sampai hamba berhasil menangkap, atau setidaknya membongkar rahasia Kwi-eng-cu
itu, seperti yang diminta oleh Cian Ciang-kun.”
“Bagus, aku senang sekali
engkau mau menjadi dayangku, Hek-liong-li. Dan mulai sekarang nama panggilanmu
di sini Siauw Cu (Mestika Kecil). Aku akan merasa lebih aman kalau engkau
menjadi dayangku dan engkau boleh menemaniku setiap saat membantu tugas Bi Cu
dan Bi Hwa ini,” katanya menunjuk kepada dua orang gadis kembar yang kelihatan
gagah perkasa dan yang berdiri di belakang kursinya.
“Hamba merasa terhormat
sekali, Yang Mulia, dan mudah-mudahan, berkat petunjuk paduka, hamba akan
berhasil membongkar rahasia si Bayangan Iblis.”
Permaisuri itu mengerutkan
alisnya dan senyumnya manis, akan tetapi juga mengandung ejekan. “Hemm, sekali
ini kepandaianmu akan diuji berat sekali, Hek-liong-li...... eh, Siauw Cu. Yang
kau hadapi adalah seorang yang amat lihai, amat berbahaya sekali.”
“Ah, ampunkan hamba, Yang
Mulia. Jadi kalau begitu paduka sudah mengetahui siapa adanya si Bayangan
Iblis? Lebih mudah bagi hamba untuk menghadapinya dan melaporkan kepada Cian
Ciang-kun!”
Permaisuri itu menatap tajam
wajah Liong-li, lalu menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
“Siauw Cu, kalau aku sudah
mengetahui dengan jelas siapa dia, apa kau kira dia akan mampu bernapas lagi
saat ini? Kami baru menduga-duga saja tanpa bukti. Yang jelas, dia tidak pernah
berani mencoba untuk mengganggu kami. Bagaimanapun juga, dia tetap merupakan
ancaman dan duri dalam daging yang harus dihancurkan. Aku sendiri akan memberi
hadiah besar kepadamu kalau engkau mampu menangkapnya, Siauw Cu.”
Diam-diam Liong-li merasa
girang dan lega. Akan lebih berbahaya dan lebih sukar rasanya kalau si Bayangan
Iblis menjadi kaki tangan wanita di depannya ini.
Berhadapan dengan permaisuri
ini, ia merasa dirinya kecil dan lemah, seperti menghadapi seekor naga betina
yang amat berbahaya, penuh rahasia dan sukar ditebak dari arah mana akan
menyerang. Kalau si Bayangan Iblis bukan anak buah permaisuri, berarti ia akan
menjadi sekutu permaisuri ini dan ia merasa yakin, dengan bantuan permaisuri
yang amat cerdik ini, ia pasti akan berhasil.
“Hamba tidak mengharapkan
imbalan jasa dan hadiah, Yang Mulia, melainkan hamba menganggapnya sebagai
suatu kewajiban untuk menghalau pengacau yang membahayakan ketenteraman kota
raja. Hamba akan berusaha sekuat tenaga untuk menangkap si Bayangan Iblis!”
“Bagus! Akan tetapi agar
hatiku lebih yakin akan kemampuanmu karena pihak lawan benar-benar tangguh,
kami harus menguji kemampuanmu dulu, Siauw Cu. Bersiaplah engkau untuk
menghadapi dua orang pengawalku ini. Beranikah engkau?”
Tidak ada tantangan yang
pernah ditolak oleh Liong-li, dari siapapun juga datangnya. Dan Bu Cek Thian
memang cerdik bukan main. Kalau ia mengatakan, “Maukah engkau?”, mungkin
Liong-li akan mencari alasan dan menolak. Akan tetapi dengan pertanyaan
“beranikah engkau?” tidak ada pilihan lain bagi Liong-li kecuali menerimanya!
“Hamba bersedia!” katanya
sambil menatap tajam kedua orang wanita yang selalu berdiri di belakang
permaisuri itu.
Mereka adalah dua orang wanita
yang serupa benar, baik bentuk mukanya, bentuk sanggul dan pakaiannya. Sukar
sekali membedakan antara dua orang gadis kembar ini. Usia mereka sekitar
duapuluh lima tahun, dengan bentuk tubuh yang tinggi langsing dan wajah yang
manis, dingin dan angkuh. Di punggung mereka terdapat pedang dengan ronce
berwarna biru. Pakaian mereka ringkas berwarna kuning sehingga rambut mereka
nampak semakin hitam.
“Bi Cu! Bi Hwa! Kalian boleh
uji kepandaian Siauw Cu dengan tangan kosong dan semua tidak boleh menggunakan
senjata. Kami ingin melihat sampai di mana kemampuan Siauw Cu! Mulailah!”
Gerakan dua orang wanita
kembar itu ringan sekali ketika mereka tiba-tiba saja meloncat ke depan
Liong-li setelah dengan suara halus menyanggupi perintah sang permaisuri.
Liong-li melangkah mundur,
agak menjauhi permaisuri itu karena tidak baik untuk bertanding silat terlalu
dekat wanita bangsawan tinggi itu. Pula, ia mencari tempat yang lebih luas agar
jangan sampai merusak perabot dan hiasan di ruangan yang luas dan amat mewah
itu.
Ketika mereka berdiri saling
berhadapan, Liong-li melihat bahwa tinggi badannya hanya sampai setinggi bawah
telinga kedua orang wanita kembar itu. Padahal, menurut ukuran wanita pada
umumnya, ia bukan termasuk pendek. Jadi, mereka itulah yang tergolong tinggi,
seperti para wanita dari daerah propinsi Shan-tung. Tinggi dan biarpun pinggang
mereka ramping, namun kaki tangan mereka kokoh kuat.
“Ketika kedua orang wanita itu
memasang kuda-kuda, ia melihat dasar kuda-kuda dari ilmu silat Bu-tong-pai. Ia
menduga bahwa mereka itu selain lihai dalam ilmu silat tangan kosong, tentu
mahir pula memainkan pedang kalau benar mereka itu murid Bu-tong-pai. Maka
iapun tidak berani memandang rendah dan berhati-hati. Dua orang wanita kembar
yang sudah terpilih menjadi pengawal pribadi permaisuri sudah pasti memiliki
ilmu kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
“Enci berdua, majulah, aku
sudah bersiap!” kata Liong-li, sikapnya tenang saja bahkan ia tidak memasang
kuda-kuda seperti mereka, namun biar ia berdiri santai, sesungguhnya di bawah
kulit tubuhnya, seluruh urat syarafnya sudah menegang dan siap siaga menghadapi
serangan dari mana pun datangnya.
Bi Cu dan Bi Hwa memang dua
orang gadis kembar yang pernah menjadi murid Bu-tong-pai, dan selain mahir ilmu
silat Bu-tong-pai, setelah dipilih menjadi pengawal pribadi Bu Cek Thian,
merekapun oleh permaisuri itu diperintahkan untuk memperdalam ilmu silat mereka
dengan mempelajarinya dari jagoan-jagoan istana. Oleh karena itu, tidak
mengherankan kalau mereka menjadi sepasang gadis kembar yang amat lihai.
Kelihaian mereka terutama
sekali terletak dalam kerja sama mereka yang amat kokoh dan erat. Mereka
memiliki kepekaan satu sama lain yang tidak dimiliki orang lain. Ada semacam
hubungan batin di antara mereka sehingga mereka itu seolah-olah dapat saling
mengerti kehendak dan dapat mengimbangi gerakan masing-masing seperti dua badan
yang dikendalikan oleh satu pikiran saja.
“Li-hiap, sambutlah serangan
kami!” seru Bi Hwa dan merekapun sudah bergerak maju.
“Tahan!” tiba-tiba terdengar
seruan Bu Cek Thian dan sungguh luar biasa sekali, begitu mendengar seruan ini,
dua orang gadis yang sudah mulai melakukan serangan itu tiba-tiba mencelat ke
belakang seperti dipagut ular berbisa. Demikian kuat dan penuh wibawa perintah
dari permaisuri itu sehingga Liong-li yang tadipun sudah siap siaga memandang
heran dan kagum.
“Bi Cu dan Bi Hwa, kalian
ingat. Sekali-kali tidak boleh menyebut li-hiap kepadanya, apalagi di depan
orang lain. Sebut saja namanya. Namanya Siauw Cu, mengerti?”
Dua orang wanita kembar itu
memberi hormat dengan menekuk sebelah lutut di depan permaisuri itu dan dengan
suara berbareng mereka berkata. “Baik, Yang Mulia. Hamba mentaati perintah.”
“Nah, sekarang seranglah, akan
tetapi yang sungguh-sungguh. Kalau kalian mampu mengalahkan Siauw Cu, kalian
akan kuberi hadiah!” kata sang permaisuri. yang duduk bersandar di kursinya dengan
sikap santai dan sinar matanya berseri tanda bahwa hatinya gembira.
Kembali dua orang wanita
kembar itu sudah menghadapi Liong-li dengan kuda-kuda mereka yang gagah.
Mula-mula kedua kaki mereka dipentang miring dan kedua tangan di pinggang, lalu
perlahan-lahan kaki kanan diangkat ke lutut kiri dan tubuh mereka tegak, lengan
kanan tetap ditekuk di pinggang dan tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan
telunjuk menuding ke arah atas lurus, kepala miring menghadapi lawan.
“Majulah, enci berdua!” kata Liong-li
dengan wajah berseri dan mulut tersenyum. Ia sama sekali tidak berani memandang
rendah, akan tetapi juga sikapnya amat tenang seolah-olah ia merasa yakin bahwa
dua orang pengeroyok itu tidak akan mampu mengalahkannya.
“Haiiittt......!” Bi Cu menyerang
dengan luncuran tubuhnya yang menerjang ke depan dari kiri, tangan kanannya
dengan jari terbuka menusuk ke arah dada kanan Liong-li.
“Hyaaattt......!” Bi Hwa juga
berteriak dan sudah menerjang dari depan kanan dengan tendangan kakinya ke arah
pinggang.
Menghadapi serangan dua orang
yang dilakukan dengan berbareng ini, Liong-li bersikap tenang, memutar kedua
lengan dari atas ke bawah untuk menangkis dua serangan itu.
“Plak! Plakk!” Kedua lengannya
dapat menangkis tangan dan kaki dua orang lawannya, akan tetapi dua orang
wanita kembar itu sudah memutar tubuh dan kembali menyerang dengan lebih cepat
dan lebih kuat lagi. Kini Bi Cu mencengkeram ke arah pundak dan Bi Hwa
menendang untuk membabat kaki lawan.
Liong-li meloncat
menghindarkan sabetan kaki dan terus menarik tubuh ke belakang untuk
menghindarkan cengkeraman, dan ketika tubuhnya meloncat ke atas itu, kedua
kakinya terpentang dan menyambar dengan kakinya ke arah dua orang lawannya yang
berada di depan kanan kiri. Sungguh merupakan serangan yang aneh dan tidak
terduga. Tidak mudah meloncat sambil melakukan tendangan kedua kaki pada saat
yang sama ke arah dua jurusan ini. Namun tendangan itu cepat dan kuat sekali.
Hal ini dapat diketahui oleh
dua orang wanita kembar itu yang tidak berani sembarangan menangkis, melainkan
cepat melangkah mundur ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran
sepatu yang di bawahnya dipasangi baja itu.
Karena tendangannya tidak
mengenai sasaran, tubuh Liong-li membuat pok-say (salto) sampai tiga kali di
udara dan begitu turun, tubuhnya sudah menerjang ke arah kedua orang lawannya
seperti seekor burung garuda menyambar!
“Bagus......!” seru Bu Cek
Thian yang merasa kagum bukan main. Permaisuri ini tidak bisa ilmu silat, akan
tetapi ia mengagumi keindahan gerakan Liong-li tadi, dari melayang ke udara,
berjungkir balik tiga kali di udara kemudian turun menyambar seperti seekor
burung garuda.
Dua orang wanita kembar juga
cukup waspada, dan mereka sudah mengelak lagi dengan gesitnya. Begitu tubuh
Liong-li turun, mereka sudah menyerang lagi dari kanan kiri dengan tenaga yang
kuat sehingga pukulan atau tamparan tangan mendatangkan angin bersiutan.
Liong-li menghindarkan diri
dengan mengelak atau menangkis, dan segera membalas dengan serangan yang tak
kalah dahsyatnya. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan menarik.
Demikian cepat gerakan tiga
orang wanita ini sehingga bagi pandang mata permaisuri Bu Cek Thian, sukarlah
mengikuti bayangan tiga orang yang berkelebatan itu. Yang dapat ia bedakan
hanyalah dua bayangan kuning berkelebatan di antara bayangan hijau karena
Liong-li mengenakan pakaian berwarna kehijauan. Ia tidak tahu siapa yang
mendesak, siapa pula yang terdesak.
Diam-diam dua orang gadis
kembar itu terkejut setengah mati. Mereka berdua sudah memiliki ilmu silat
tingkat tinggi dan kalau hanya para pengawal istana saja, jangan harap akan
mampu menandingi mereka kalau mereka maju bersama. Bahkan selama ini, keamanan
permaisuri terjamin karena mereka berdua tidak pernah meninggalkannya.
Akan tetapi sekarang, menghadapi
Hek-liong-li, mereka sungguh menjadi bingung. Wanita itu dapat bergerak dengan
kecepatan yang tak pernah mereka duga, bahkan juga tenaga Dewi Naga Hitam itu
demikian kuatnya sehingga setiap kali mengadu tangan, mereka tentu terdorong
dan terhuyung ke belakang!
Di lain pihak, Hek-liong-li
sendiri juga kagum. Dua orang wanita kembar ini memang pantas menjadi pengawal
kepercayaan permaisuri, karena mereka berdua merupakan lawan yang cukup tangguh
baginya. Kalau saja ia tidak memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang
ditunjang ilmu langkah ajaib Liu-seng-pouw, sukar baginya untuk dapat mengatasi
pengeroyokan dua orang kembar yang memiliki kerja sama demikian baiknya.
Langkah-langkah ajaibnya
membuat ia tidak pernah dapat tersentuh serangan mereka. Ia tidak berani
menggunakan ilmunya yang ampuh dan mematikan seperti Hiat-tok-ciang karena ia
tidak mau melukai atau membunuh mereka, maka kini ia merobah ilmu silatnya dan
mulai memainkan ilmu silat Bi-jin-kun (Silat wanita cantik). Begitu ia mainkan
ilmu silat ini, dengan gerakan diperlambat, sang permaisuri bertepuk tangan dan
memuji.
“Bagus! Indah sekali......!
Hei, Siauw Cu, engkau ini sedang berkelahi atau sedang menari?”
Memang Bi-jin-kun merupakan
ilmu silat tangan kosong yang gerakannya seperti orang menari, indah dan
lembut. Namun di balik kelembutan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat
sehingga ketika pada suatu saat ia mendorongkan kedua lengannya dengan gerakan
lemah gemulai, dua orang lawannya itu berseru kaget dan terhuyung ke belakang, hampir
saja terjengkang!
Melihat ini, Bu Cek Thian
segera bertepuk tangan dan berseru, “Sekarang kalian coba bermain pedang!”
“Singgg! Singgggg!” Nampak
sinar putih berkilat ketika sepasang saudara kembar itu mencabut pedang mereka
dari punggung dan mereka memasang kuda-kuda dengan menyilangkan pedangnya di
depan dada.
Melihat ini, Liong-li
tersenyum. Ia harus memperlihatkan kemampuannya, bukan saja untuk membuat sang
permaisuri percaya kepadanya, akan tetapi juga untuk menundukkan keangkuhan dua
orang saudara kembar ini agar kelak tidak lagi berlagak di depannya.
“Singgg!” Sinar hitam yang
menyilaukan mata nampak ketika ia mencabut pedangnya.
“Aihhh! Itukah
Hek-liong-kiam?” seru sang permaisuri kagum.
“Benar, Yang Mulia. Inilah
Pedang Naga Hitam!” jawab Liong-li sambil memberi hormat, lalu dengan pedang di
depan dada, menuding lurus ke atas ia menghadapi dua orang wanita kembar itu.
“Siauw Cu, sambutlah pedang
kami!” Bi Cu membentak dan bersama saudara kembarnya ia telah menggerakkan
pedangnya. Dua gulungan sinar putih menyambar-nyambar dengan ganasnya dan
terdengar suara kedua pedang itu mendesing-desing ketika meluncur dengan
ganasnya.
Namun sekali ini Liong-li
tidak mau main-main lagi. Ia dapat menduga bahwa pedang-pedang di tangan kedua
orang lawannya itu bukan pedang biasa. Sebagai pelindung atau pengawal pribadi
permaisuri, tentu saja mereka memiliki pedang pusaka yang ampuh dan kuat, maka
ia tidak khawatir bahwa Hek-liong-kiam akan merusak kedua pedang itu, asal ia
tidak mempergunakan tenaga sin-kang terlampau kuat.
Melihat gerakan pedang mereka,
ia semakin yakin bahwa mereka adalah ahli-ahli pedang dari Bu-tong-pai yang
hebat. Dilihat dari gerakan mereka dan ketika bertanding dengan tangan kosong
melawan tadi, ia tahu bahwa tingkat kepandaian dua orang kembar ini sudah cukup
tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan tingkat ilmu silat Cian Ciang-kun
agaknya.
“Trang-tranggg......!” Bunga
api berpijar ketika ketiga pedang itu saling bertemu.
Dua orang wanita kembar merasa
betapa lengan kanan mereka tergetar hebat dan mereka terkejut sekali, meloncat
ke belakang dan memeriksa pedang mereka. Sepasang pedang itu adalah pemberian
Hong-houw, merupakan pusaka istana, maka tentu saja merupakan pusaka yang
ampuh. Untung pedang mereka tidak rusak bertemu dengan pedang hitam di tangan
Liong-li. Mereka maju lagi dan menyerang dengan gerakan yang lebih dahsyat.
Akan tetapi, mereka segera
menjadi terkejut sekali menghadapi gulungan sinar pedang yang hitam dan amat
kuatnya, seolah-olah sinar pedang itu menggulung sinar putih dari kedua pedang
mereka dan membuat mereka sama sekali tidak ada kesempatan untuk menyerang.
Liong-li kini tidak main-main lagi dan ia sudah memainkan Sin-liong Kiam-sut
(Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu ilmu pedang yang diciptakannya bersama
Pek-liong-eng Tan Cin Hay.
Sebetulnya ilmu pedang ini
merupakan ilmu simpanan dari Liong-li dan tidak ia keluarkan kalau tidak perlu
sekali. Akan tetapi sekali ini, walaupun dengan ilmu yang lain ia masih sanggup
untuk menandingi dua orang gadis kembar, ia ingin memperlihatkan kepandaiannya
kepada sang permaisuri agar percaya penuh kepadanya. Maka, ia mengeluarkan
Sin-liong Kiam-sut itu dan begitu ia mainkan jurus-jurus ilmu ini, pedang
hitamnya seperti berobah menjadi seekor naga hitam yang menyambar-nyambar
dengan ganas dan dahsyatnya, seperti seekor naga hitam bermain-main di angkasa.
Dua gulungan sinar pedang
putih itu semakin menyempit dan akhirnya tergulung sama sekali.
“Trangg! Trangggg......!” Dua
orang gadis kembar itu terhuyung ke belakang dengan muka pucat karena
ronce-ronce pedang mereka telah terbabat putus, dan mereka mengerti bahwa kalau
tadi terjadi perkelahian yang sungguh, tentu mereka berdua sudah termakan
pedang hitam di tangan lawan yang jauh lebih pandai dari mereka itu.
“Kami mengaku kalah!” mereka
berdua menjura kepada Liong-li, lalu berlutut menghadap Bu Cek Thian. “Hamba
berdua telah kalah, siap menerima hukuman.”
Akan tetapi Bu Cek Thian tidak
marah, bahkan tersenyum lebar dengan wajah gembira.
“Kalian tidak perlu penasaran
dikalahkan oleh Hek-liong-li yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia
persilatan. Kembalilah ke tempat kalian!”
Dua orang itu menghaturkan
terima kasih lalu pergi kembali berdiri di belakang sang permaisuri itu,
pandang mata mereka kini tidak angkuh lagi dan bahkan mereka kini memandang
kagum kepada Liong-li.
“Siauw Cu, simpan pedangmu
baik-baik, agar jangan sampai diketahui orang lain. Berikan kepadaku, biar aku
yang menyembunyikannya dan engkau boleh menggunakan jika perlu saja.”
Liong-li tidak berani
membantah, lalu memberikan Hek-liong-kiam bersama sarungnya kepada permaisuri
itu. Bu Cek Thian menyimpan pedang itu di dalam lubang yang berada di bagian
bawah kursinya sehingga tidak nampak dari luar karena ada tutupnya.
Liong-li memandang kagum. Kiranya
kursi berukir yang indah itu mengandung alat-alat rahasia pula untuk melindungi
keselamatan sang permaisuri yang amat cerdik itu.
Baru saja Permaisuri Bu Cek
Thian menyimpan Hek-liong-kiam, dua orang dayang memasuki ruangan itu sambil
berlarian dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Cek Thian.
Permaisuri itu seketika
menjadi merah wajahnya dan matanya mengeluarkan sinar berapi ketika ia
memandang kepada dua orang dayang yang berlutut dengan tubuh gemetar dan muka
pucat itu.
“Apakah kalian sudah bosan
hidup? Berani masuk tanpa kami perintahkan?”
“Ampun, Yang Mulia, ampunkan
hamba...... di luar ada pangeran Souw Cun yang memaksa masuk. Para penjaga dan
dayang telah berusaha untuk menghalanginya, namun hamba semua mendapat pukulan
dan tendangan......”
Belum habis dayang itu
melapor, terdengar seruan marah di luar ruangan itu. “Kalian berani menghalangi
aku? Mau mati??”
Dan muncullah seorang pria
berpakaian mewah memasuki ruangan itu dengan sikap marah, akan tetapi begitu
dia melihat Permaisuri Bu Cek Thian, dia cepat merubah sikapnya. Dengan sikap
sopan dan lembut dia lalu menghampiri dan memberi hormat dengan membungkuk dan
merangkap kedua tangan di depan dada. Dia membungkuk sampai dalam di depan
wanita yang anggun dan berwibawa itu.
“Pangeran, apa artinya ini?
Engkau masuk begitu saja tanpa kupanggil dan memukuli para pengawal dan dayang
kami?” Bu Cek Thian menegur, namun suaranya tetap lembut.
Sementara itu, dalam keadaan
masih berlutut, diam-diam Liong-li memperhatikan pangeran itu. Seorang pemuda
yang usianya kurang lebih tigapuluh tahun, tinggi kurus, wajahnya tampan dan
pesolek, matanya tajam dan lagaknya congkak.
Dari gerak geriknya, Liong-li
menduga bahwa pangeran ini bukan seorang lemah, dan agaknya memiliki kepandaian
silat. Hal ini dapat diketahui dari langkahnya. Sinar mata yang tajam itu
membayangkan kecerdikan dan seketika Liong-li tahu bahwa ia harus berhati-hati
terhadap orang ini.
“Selamat pagi, Ibu
Permaisuri!” katanya dan suaranya juga lembut namun nyaring dan penuh semangat.
“Para pengawal dan dayang itu yang tidak tahu diri. Bagaimana mereka berani
mencegah saya masuk ke sini menghadap paduka? Ibunda adalah ibuku, dan sudah
selayaknya kalau saya sebagai puteranda datang pada pagi hari ini untuk
menghaturkan selamat pagi, bukan? Saya harus mematuhi pelajaran yang saya
dapatkan dari Bouw Sianseng (bapak guru Bouw)......”
“Hemmm, pelajaran apa yang
kaudapatkan dari Bouw Sianseng yang menjemukan itu?” Permaisuri Bu Cek Thian
bertanya, nada suaranya ingin tahu sekali.
“Bahwa seorang kun-cu
(budiman) mengenal tiga macam hauw (bakti), yaitu pertama berbakti kepada Thian
(Tuhan), kedua berbakti kepada Negara, dan ketiga berbakti kepada orang tua,
terutama ibu. Nah, kalau pagi-pagi saya mencari ibunda untuk menghaturkan selamat
pagi, itu adalah untuk memenuhi Hauw yang ketiga itulah.”
Diam-diam Liong-li
memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda yang amat cerdik, pikirnya, akan
tetapi juga ia merasa geli mendengar alasan yang jelas dicari-cari itu.
“Huh! Pelajaran dari orang yang
menjemukan itu bisa menyesatkanmu, Souw Cun! Buktinya, engkau ingin berbakti,
akan tetapi telah melanggar peraturan, menggangguku dengan hadir di sini tanpa
kupanggil!”
Pemuda itu membelalakkan mata
dan mengangkat sepasang alisnya, lalu memandang ke sekeliling. “Aih, kiranya
saya telah mengganggu paduka, ibunda Permaisuri? Akan tetapi saya tidak melihat
paduka sedang bercengkerama, tidak mengadakan rapat atau persidangan, bahkan
hanya ditemani si kembar dan ini...... ah, siapakah gadis jelita ini, ibunda?”
Kini Pangeran Souw Cun
memandang kepada Liong-li yang masih berlutut dan menundukkan mukanya.
Jantungnya berdebar tegang karena ia merasa seolah-olah sikap pangeran itu
dibuat-buat. Bukan tidak mungkin kalau pangeran ini sudah tahu atau dapat
menduga siapa ia, atau setidaknya menaruh curiga kepadanya!
“Ah, ia dayangku yang baru,
namanya Siauw Cu,” kata sang Permaisuri dengan sikap acuh.
“Siauw Cu? Mustika kecil? Wah,
nama yang cocok sekali dengan orangnya. Manis, coba kau angkat mukamu, aku
ingin melihatnya!” kata pangeran itu.
Dengan sikap seorang gadis
yang bodoh dan penakut, Liong-li semakin menundukkan mukanya dan suaranya
gemetar ketika ia menjawab lirih.
“Ampun...... hamba..... tidak
berani......”
“Hemm, berani engkau
membantah?” Tiba-tiba tangan kanan pangeran itu menangkap dagu Liong-li dan
wanita ini merasa betapa jari-jari tangan itu mengandung tenaga kuat dan kalau
ia mengerahkan tenaganya, tentu jari-jari tangan itu akan mencengkeram. Ia
bersikap wajar saja, nampak ketakutan dan menurut saja ketika dagunya didorong
naik sehingga mukanya tengadah.
“Hmm, cantik jelita......
manis sekali dayang ini, ibunda Permaisuri!” kata Pangeran Souw Cun sambil
tertawa.
“Souw Cun, lepaskan dayangku!”
teriak sang Permaisuri dengan suara marah.
Pangeran itu melepaskan
tangannya sehingga Liong-li menunduk kembali dan kini ibu tiri dan pangeran itu
saling pandang dengan sinar mata saling menentang.
“Ibunda, dayang yang satu ini
berikan saja kepada saya. Puteranda suka sekali melihat wajahnya,” kata
pangeran itu.
“Tidak! Tidak boleh! Siauw Cu
baru saja kuangkat menjadi dayang dan ia akan kujadikan dayang pribadiku. Dan
engkau tidak boleh mengganggunya, pangeran!”
Pangeran Souw Cun tertawa, dan
ketika dia tertawa, jelas bahwa sikap hormatnya tadi kepada sang permaisuri
hanya pura-pura saja. Ketika tertawa nampak bahwa sesungguhnya, di balik sikap
hormat itu dia tidak suka kepada ibu tirinya ini! Hal itu tampak jelas sekali
oleh Liong-li yang melirik dari bawah.
“Ha-ha, mohon paduka
mengampuni saya, ibunda. Kalau saya tadi meraba mukanya, hal itu hanya untuk
melihat kecantikannya, dan untuk membuktikan bahwa ia benar seorang wanita!”
“Pangeran! Apa maksud ucapanmu
itu?” sang permaisuri membentak.
“Ibunda permaisuri yang mulia,
seorang pemuda yang tampan dan lembut mudah saja menyamar aebagai seorang
gadis. Ibunda, Puteranda mohon mengundurkan diri!”
Dan tersenyum lebar pangeran
itu meninggalkan ruangan setelah menjura dengan sikap hormat sekali kepada
Permaisuri yang memandang dengan mata melotot dan muka merah karena marah.
“TUTUP pintu ruangan ini dan
jaga yang rapat. Jangan biarkan siapapun memasuki ruangan ini, biar kaisar
sendiripun sebelum kuberi ijin masuk!” teriak sang permaisuri dengan marah
sekali sehingga ucapannya itu sudah menyimpang dari peraturan.
Mana mungkin sang permaisuri
memerintahkan pengawalnya untuk melarang kaisar sendiri? Hal itu hanya
menunjukkan betapa besar kemarahannya.
Setelah pintu ditutup kembali,
kini yang berada di ruangan itu hanya sang Permaisuri Bu Cek Thian, dua orang
pengawal pribadi gadis kembar dan Liong-li.
Kini Bu Cek Thian menyandarkan
diri di kursinya dan menarik napas panjang. “Menyebalkan, sungguh menyebalkan.
Anak itu makin besar kepala dan semakin berbahaya saja!” katanya seperti kepada
dirinya sendiri.
“Yang Mulia, maaf pertanyaan
hamba. Nampaknya...... Pangeran Souw Cun kurang..... Eh, kurang suka kepada
paduka. Benarkah dugaan hamba?” tanya Liong-li dengan hati-hati.
Permaisuri itu memberi isyarat
kepada dua orang pengawal pribadinya dengan gerakan kepala ke arah jendela dan
pintu. Dua orang wanita kembar itu cepat berloncatan ke pintu dan jendela,
memeriksa semuanya dan segera kembali dan berdiri lagi di belakang sang
permaisuri setelah mengangguk memberi isyarat bahwa semua dalam keadaan terkunci
dan aman, tidak ada orang yang mendengarkan di luar jendela atau pintu.
Biarpun demikian, permaisuri
itu masih menggapai kepada Liong-li agar berlutut lebih dekat. Liong-li lalu
maju dan duduk bersimpuh di depan kursi sang permaisuri.
“Siauw Cu, engkau telah
kuangkat sebagai dayang pribadiku, juga pembantu dan pelindungku, membantu
tugas kedua orang pengawal pribadiku ini. Oleh karena itu engkau boleh
mengetahui semua rahasia yang kami ketahui atau kami duga.”
Liong-li merasa tidak enak. Ia
tidak ingin mengetahui rahasia istana kecuali rahasia Si Bayangan Iblis karena
adanya ia di istana adalah untuk menanggulangi kekacauan yang dilakukan oleh
Bayangan Iblis. Ia tidak ingin terlibat dengan urusan istana dan keluarga
kaisar.
“Mohon paduka ingat bahwa
tugas hamba adalah untuk menyelidiki si Bayangan Iblis seperti telah hamba
janjikan kepada Cian Ciang-kun. Oleh karena itu, hamba mohon petunjuk paduka
tentang semua hal yang mengenai kegiatan Si Bayangan Iblis.”
“Hemm, Siauw Cu! Berapa kali
engkau menekankan bahwa engkau adalah pembantu Cian Hui. Tahukah engkau
bagaimana Cian Hui sampai terlibat dalam urusan ini? Akulah yang mendesak
Kaisar untuk memanggil dia dan menyerahkan tugas ini kepadanya! Dan Kaisar
telah menyerahkan kepadaku untuk mengatur semua penyelidikan ini sampai
berhasil! Dengan demikian, maka engkau sebagai pembantu Cian Hui berarti juga
menjadi anak buahku. Mengerti?”
Diam-diam Liong-li terkejut.
Cian Ciang-kun tidak pernah bercerita tentang ini kepadanya. Ia belum pernah
selama ini membayangkan bahwa permaisuri kaisar ternyata seorang wanita yang
demikian luar biasa cerdiknya, juga agaknya memegang kekuasaan yang amat besar
di istana, dan ia tidak akan merasa heran kalau wanita seperti ini dapat
menguasai pula kaisar dan seluruh penghuni istana! Akan tetapi, juga agaknya
permaisuri ini menyimpan suatu rahasia yang kalau diketahui umum amat
merugikannya, dan agaknya ia dapat menduga apa rahasia itu.
Pertama ia pernah melihat
thai-kam muda berkeliaran di waktu malam di daerah yang dihuni sang permaisuri,
dan kedua, sindiran dari Souw Cun, pangeran tadi, membayangkan bahwa pangeran
itu agaknya mencurigai terjadinya penyelundupan pemuda tampan yang menyamar
sebagai dayang!
Dan melihat sinar mata tajam
dan jalang dari permaisuri ini, Liong-li dapat menduga bahwa permaisuri ini
memiliki gairah nafsu berahi yang amat besar sehingga besar sekali
kemungkinannya ia suka melampiaskan gairahnya itu di luar kamar sang kaisar! Ia
sudah banyak mendengar tentang kehidupan para wanita di dalam harem kaisar,
banyak wanita yang hanya melayani seorang pria saja, yang sudah tua dan lemah
pula sehingga banyak di antara para wanita itu tentu saja merasa tersiksa,
tidak terpenuhi kebutuhan gairah mereka sehingga walaupun selalu dijaga ketat,
mereka itu senantiasa mencari kesempatan untuk dapat menyalurkan gairah mereka
lewat penyelewengan.
“Hamba siap menerima perintah
paduka dan mendengar semua keterangan dari paduka,” akhirnya ia berkata.
“Duduklah di atas kursi itu
dan dekatkan kursinya ke sini, Siauw Cu. Tidak enak bicara kalau engkau
berlutut di situ.”
Siauw Cu atau Liong-li
mentaati perintah ini dan ia sudah duduk di atas sebuah kursi yang diangkatnya
dekat di depan sang permaisuri dan siap mendengarkan dengan menundukkan muka
dan dengan sikap hormat. Setelah duduk berhadapan dengan dekat, ia melihat
bahwa wanita yang usianya sudah empatpuluh tahun lebih ini masih memiliki kulit
muka, leher dan tangan yang putih mulus dan belum ada keriputnya. Wajah itu
terhias rapi sekali, pakaiannya juga amat mewah indah rapi, rambutnya mengkilap
dan dari pakaian dan rambutnya itu semerbak harum.
Seorang wanita yang cantik dan
pandai sekali merawat dirinya sehingga nampaknya baru berusia tigapuluh tahun
saja! Entah bagaimana, ia diam-diam merasa ngeri, seperti kalau berdekatan
dengan seekor ular cobra yang amat berbahaya, yang tidak diketahui kapan akan
menyerang, dan setiap serangannya mengandung cengkeraman. maut!
Dengan suara bisik-bisik,
Permaisuri Bu Cek Thian menceritakan keadaan di dalam istana yang amat menyeramkan
hati Liong-li. Menurut cerita itu, kiranya di dalam istana, di antara keluarga
kaisar, terdapat suatu pertentangan, suatu permusuhan diam-diam, kebencian dan
persaingan yang mengerikan. Walaupun semua itu tidak nampak sama sekali,
ditutup oleh sikap berkeluarga dan taat kepada kaisar!
“Engkau tentu tahu bahwa aku
adalah Permaisuri, juga calon Ibu Suri karena puteraku, Pangeran Tiong Cung,
adalah seorang Putera Mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan ayahnya,
yaitu Sribaginda Kaisar. Namun, di samping puteraku sebagai putera mahkota,
masih terdapat banyak lagi pangeran lain, juga puteri-puteri kaisar dan
mantu-mantu kaisar.
“Mereka semua itu saling
bersaing untuk mendapatkan kedudukan tertinggi, saling berlomba untuk mengambil
hati Sribaginda Kaisar dan untuk itu mereka tidak segan-segan untuk saling
melempar fitnah, bahkan saling serang secara terbuka, tentu saja tidak di depan
Sribaginda Kaisar. Sribaginda Kaisar terlalu sibuk dengan urusan negara
sehingga tidak ada waktu lagi untuk memusingkan diri tentang urusan keluarga
sehingga keadaan keluarga kami menjadi semakin kacau. Dan di dalam kekacauan
ini, tiba-tiba saja muncul peristiwa pembunuhan-pembunuhan yang misterius itu.”
Permaisuri Bu Cek Thian
menghela napas panjang dan ia nampak khawatir, dan baru sekarang Liong-li
melihat wanita yang cerdik dan pandai itu nampak gelisah, tidak disembunyikan
lagi.
“Akan tetapi, Yang mulia, apa
hubungannya pembunuhan-pembunuhan yang kabarnya dilakukan oleh si Bayangan
Iblis itu dengan persaingan di antara keluarga kerajaan?” Liong-li memancing.
“Memang tadinya kami
menganggap bahwa itu hanya merupakan persaingan yang terjadi di antara para
pejabat tinggi di kota raja yang saling memperebutkan kedudukan. Akan tetapi,
semakin lama keadaannya menjadi semakin mencurigakan. Bahkan keselamatan diriku
sendiri terancam!”
Kini wajah permaisuri itu
menjadi pucat dan hal ini tidak dilewatkan oleh pandang mata Liong-li yang
tajam.
“Pernahkah ada serangan yang
ditujukan kepada paduka?”
Sang Permaisuri menjebikan bibir
bawahnya yang merah dengan sikap menghina. “Mereka takkan mampu! Kalau saja
mereka berani memperlihatkan diri, pasti akan dapat tertangkap! Pasukan
pengawalku cukup kuat, ditambah pasukan rahasia, dan masih ada lagi Bi Cu dan
Bi Hwa. Akan tetapi pada suatu malam pernah Bi Cu dan Bi Hwa mendengar suara
mencurigakan di luar kamarku di taman. Mereka mengejar, akan tetapi bayangan
itu melarikan diri dan meninggalkan sebatang senjata rahasia beracun yang
agaknya tercecer.”
“Ah, kalau begitu menurut
paduka, Si Bayangan Iblis itu berada di dalam istana?”
Permaisuri itu menggeleng
kepalanya, “Aku tidak tahu. Mungkin pemimpinnya berada di istana, mungkin juga
yang berkeliaran di istana itu hanya anak buah saja. Siapa tahu? Tugasmulah
untuk menyelidikinya. Yang jelas, istana ini telah dijamah oleh tangan
gerombolan penjahat yang mungkin saja dipergunakan orang yang memperebutkan
kedudukan dan mereka memiliki orang-orang yang berkepandaian tinggi.”
“Hamba yakin bahwa setidaknya
pimpinan mereka, bahkan mungkin Si Bayangan Iblis sendiri, bersembunyi di dalam
istana, Yang Mulia.”
“Bagaimana engkau dapat
yakin?”
“Cian Ciang-kun bukan seorang
bodoh dan dia sudah menyebar para penyelidiknya di kota raja, namun tak pernah
dapat menemukan jejak Si Bayangan Iblis. Hal itu membuktikan bahwa Si Bayangan
Iblis tentu mempunyai tempat persembunyian yang tidak dapat dimasuki para
penyelidik, dan tempat seperti itu, di mana lagi kalau bukan dl istana? Dan
setelah mendengar keterangan paduka, hamba yakin bahwa dia berada di dalam
istana induk, di bagian putera!”
“Hemm, bagaimana engkau dapat
menduga begitu?”
“Yang Mulia, kalau kepala
penjahat itu berada di istana bagian puteri, bagaimana mungkin dia dapat lolos
dari pengamatan paduka yang arif bijaksana?”
Bersinar sepasang mata yang
indah itu karena ia yakin bahwa ucapan itu bukan sekedar pujian kosong belaka.
“Siauw Cu, engkau memang cerdik sekali. Dugaanmu sama dengan dugaanku, kalau Si
Bayangan Iblis benar bersembunyi di dalam istana, tentu dia berada di bagian
putera!”
“Hamba tahu dan yakin
kebijaksanaan dan kecerdikan paduka. Apakah paduka telah menemukan orang yang
paduka curigai, yang patut menjadi Si Bayangan Iblis?”
Permaisuri itu mengerutkan
alisnya. “Inilah yang membingungkan, dan ini pula yang membuat kami ingin
menahanmu di sini agar membantu kami. Di istana memang terdapat banyak orang
yang pandai ilmu silat tinggi, namun mereka adalah hamba-hamba yang setia dan
tidak mungkin mengacau. Bahkan merekapun giat membantu untuk menangkap
penjahat, namun tak pernah berhasil. Menurut penglihatanku, tidak ada yang
dapat dicurigai, dan tidak terdapat orang luar yang mungkin bersembunyi di
dalam istana.”
“Dia mungkin saja menyamar,
Yang Mulia. Mungkin menyamar sebagai perajurit pengawal biasa, sebagai pelayan,
tukang kebun, pekerja kasar, atau juga bukan tidak mungkin kalau anggauta
keluarga sendiri yang menjadi pemimpin. Maafkan pendapat hamba ini.”
“Tidak mengapa, Siauw Cu.
Memang pendapatmu itu masuk di akal. Dan jalan satu-satunya agar kita dapat
membongkar rahasia ini adalah bahwa engkau harus dapat diselundupkan ke dalam
istana induk bagian pria.”
Berdebar rasa jantung Liong-li
mendengar ini. “Akan tetapi. Yang Mulia. Bagaimana mungkin? Hamba seorang
wanita dan........”
“Aku tahu. Engkau wanita dan
cantik jelita lagi masih muda. Tak mungkin engkau menjadi hamba pekerja kasar,
karena engkau terlalu cantik. Satu-satunya jalan yalah bahwa engkau harus masuk
ke sana sebagai seorang dayang atau seorang selir.....”
“Tapi......!” Liong-li
terkejut.
“Menjadi selir Sribaginda
tidak mungkin karena hal itu tentu akan menyolok dan menarik perhatian. Akan
tetapi menjadi dayangpun engkau tetap akan diganggu oleh para pangeran dan para
pekerja pria di sana, dan engkau kurang dihormati karena setiap perajurit
pengawalpun akan berani menggoda dan mengganggumu. Kalau menjadi selir seorang
pangeran baru engkau akan terlindung. Eh, tadi Pangeran Souw Cun ingin
mengambilmu sebagai dayangnya. Bagaimana kalau aku minta agar engkau dijadikan
selirnya yang baru?”
Liong-li bergidik. Ia akan
dengan senang hati dan suka rela menyerahkan badannya kepada pria yang
disukanya, dan ia sama sekali tidak suka kepada Pangeran Souw Cun walaupun
pangeran itu cukup tampan. Yang menarik hati pendekar wanita ini bukan sekedar
ketampanan wajah saja. Bahkan ia condong membenci kepada pangeran itu yang
dianggapnya membayangkan kepalsuan dan kekejian.
“Ampun, Yang Mulia.
Hamba...... hamba mengabdikan diri dengan kepandaian hamba bukan dengan tubuh
hamba. Hamba...... tidak suka menjadi selir pangeran itu......” lalu
disambungnya oepat, “Hamba tidak akan menyerahkan diri kepada pria manapun yang
tidak hamba sukai......”
Tadinya Liong-li merasa
khawatir kalau-kalau permaisuri itu akan marah akan tetapi ternyata tidak.
Permaisuri Bu Cek Thian tersenyum dan wajahnya nampak semakin cantik, lalu ia
menoleh ke belakang.
“Bi Cu dan Bi Hwa, Siauw Cu
ini seorang wanita gagah yang bijaksana. Jangan engkau khawatir, Siauw Cu.
Kalau engkau tidak ingin tubuhmu dijamah pria yang tidak kausukai, biar
kuselundupkan engkau sebagai selir seorang pangeran yang aku percaya, seorang
pangeran yang baik sekali dan kalau engkau tidak menghendaki, aku yakin dia
tidak akan suka menyentuhmu.”
Liong-li hampir tidak percaya
akan keterangan ini. Mana mungkin di dunia ini ada seorang laki-laki, apa lagi
kalau dia pangeran, yang tidak akan mau menyentuh seorang wanita yang telah
menjadi selirnya, kalau wanita itu tidak mau menyerahkan diri dengan suka rela?
Sudah terlalu banyak ia
mendengar akan nasib para wanita yang dipaksa menjadi dayang atau selir para
bangsawan, kalau tidak diperkosa secara biadab, tentu ditundukkan dengan obat
bius, dengan obat perangsang, atau dengan alat lain. Namun, terhadap segala
macam obat atau cara lain itu ia tidak takut. Asal pangeran itu tidak
memaksanya, ia mampu menjaga diri.
“Siapakah pangeran itu, Yang
Mulia?”
“Dia Pangeran Souw Han,
usianya baru duapuluh tahun dan berbeda dengan para pangeran lain, sampai
sekarang dia belum mempunyai seorangpun selir. Bahkan beberapa orang gadis yang
menjadi dayang dan pelayannya, belum pernah ada yang diganggunya. Dia seorang
yang tekun mempelajari sastera dan seni dan tidak pernah mau memperebutkan
kedudukan sehingga tidak seorangpun membencinya di istana ini. Nah, dengan
menjadi selirnya, lain orang tidak akan berani mengganggumu dan engkau dapat
dengan leluasa melakukan penyelidikan. Dan dia sendiripun tidak akan
mengganggumu, Siauw Cu.”
“Tapi, Yang Mulia. Kalau
beliau tidak pernah mau mempunyai selir, bagaimana hamba dapat menjadi
selirnya? Tentu beliau akan menolak.”
“Hemm, kalau aku sendiri yang
menghadiahi seorang selir kepadanya, bagaimana dia berani menolaknya? Dia amat
sopan dan tahu aturan. Engkau akan menjadi selir pertamanya, akan tetapi aku
yakin, kalau engkau tidak mau dijamahnya, dia terlalu angkuh untuk merendahkan
diri memaksamu. Bagaimana?”
Liong-li tertarik sekali.
Kalau memang ada seorang pangeran yang seperti itu, tentu ia akan aman dan akan
mudah sekali melakukan penyelidikan. “Akan tetapi, bagaimana kalau beliau
curiga kepada hamba?”
“Tidak. Sudah kukatakan,
Pangeran Souw Han tidak mau mencampuri urusan persaingan. Kalau kujelaskan
kepadanya bahwa engkau kuselundupkan sebagai selirnya untuk menyelidiki Si
Bayangan Iblis, tentu dia tidak akan menaruh curiga lagi kepadamu.”
“Baiklah kalau begitu, Yang
Mulia.”
◄Y►
Hek-liong-li mengerling ke
arah pemuda itu dan jantungnya berdebar penuh kagum. Seorang pemuda yang masih
muda sekali, usianya paling banyak duapuluh tahun, namun sikapnya demikian
dewasa. Begitu tenang, begitu wibawa, begitu sopan santun ketika dia menghadap
Sang Permaisuri yang mengundangnya.
Pemuda itu begitu memasuki
ruangan, langsung saja menghampiri sang permaisuri, tidak sedikitpun melirik
kepadanya atau kepada Bi Cu dan Bi Hwa. Dengan sikap hormat dia berlutut dengan
sebelah kaki dan merangkap kedua tangan di depan dada.
“Semoga Thian selalu
melindungi Ibunda dalam keadaan sehat dan bahagia selalu,” katanya. Ucapannya
juga lembut dan halus, dengan kata-kata yang indah.
Bukan main pemuda ini, pikir
Liong-li. Amat menarik, amat mengagumkan, akan tetapi juga membuat orang merasa
canggung dan segan! Dengan sudut kerling matanya, tidak berani terlalu
menyolok, diam-diam Liong-li mempelajari pemuda yang kini sudah dipersilakan
duduk di atas kursi berhadapan dengan Sang Permaisuri itu.
Pangeran Souw Han yang
menghadap itu usianya kurang lebih duapuluh tahun, pakaiannya seperti pakaian
pangeran, akan tetapi tidak terlalu mewah, bahkan mirip pakaian seorang
sasterawan, hanya terbuat dari sutera halus dan topinya menunjukkan bahwa dia
seorang pangeran.
Pakaian itu rapi dan bersih,
akan tetapi tidak pesolek, bahkan sederhana. Juga ketika dia memasuki ruangan
itu, tidak tercium semerbak wangi seperti ketika Pangeran Souw Cun masuk tadi.
Nampaknya seperti seorang pemuda biasa, namun wajahnya dan pembawaannya sungguh
membuat Liong-li kagum bukan main.
Sudah banyak ia berteman pria,
akan tetapi belum pernah bertemu dengan seorang pria setampan ini, sehalus ini.
Seperti wanita berpakaian pria saja! Hanya sepasang alis berbentuk golok yang
hitam tebal itu saja yang menunjukkan dia seorang pria tulen, juga kalamanjing
di lehernya.
Wajahnya berkulit demikian
putih halus seperti dibedaki saja, dan kedua pipinya merah jambon seperti buah
tomat, segar seperti pipi gadis remaja saja. Hidungnya agak besar dan mancung,
sepasang matanya lebar dan lembut, dan mulutnya? Hampir Liong-li sukar
mengalihkan pandang matanya dari mulut itu. Bibir itu begitu merah seperti
dipoles gincu. Akan tetapi tidak, bibir itu memang merah karena segar dan
sehat.
Ih, kau mata keranjang,
Liong-li memaki diri sendiri dan iapun menundukkan pandang matanya yang tadi
melekat di pipi dan bibir itu. Ia bukan seorang yang gila sex, bukan budak
nafsu berahi. Ia hanya mau bermain cinta dengan pria yang benar-benar
disukanya, bukan sembarang lelaki asal tampan saja! Akan tetapi ketampanan
pangeran muda ini sungguh membuat ia terpesona, bukan membangkitkan gairah,
hanya membangkitkan kagum dan heran mengapa di dunia ada seorang pria yang
demikian tampannya! Seperti gambar saja!
“Anakku Pangeran Souw Han yang
baik, sungguh engkau menyenangkan sekali hatiku. Terima kasih, pangeran. Dan
engkau juga nampak sehat. Bagaimana dengan pelajaranmu? Aku mendengar engkau
rajin sekali mempelajari sastera dan seni.”
“Berkat doa Ibunda Permaisuri,
hamba memperoleh kemajuan dan dapat menikmati ilmu yang hamba pelajari.”
“Aihh, Souw Han. Lain
kesempatan ingin sekali aku mendengarkan permainanmu yang-kim dan suling, juga
ingin sekali mendengarkan engkau bersajak atau melukis. Akan tetapi sekarang,
aku mengundangmu untuk suatu urusan yang penting sekali.”
Wajah yang tadinya menunduk
dan hanya memandang ke arah sepatu ibu tirinya itu, kini diangkat dan sepasang
mata yang lembut itu menatap wajah sang permaisuri dengan penuh pertanyaan.
Belum pernah dia mempunyai urusan penting dengan Permaisuri atau dengan siapa
saja. Setiap hari dia hanya sibuk dengan urusan pelajaran sastera dan seni.
“Ada urusan yang penting
apakah, Ibunda?“
“Anakku, Souw Han, katakan
dulu. Maukah engkau menolong aku?”
“Paduka tentu mengetahui bahwa
hamba akan selalu mentaati perintah paduka, dan tentu saja suka membantu paduka
dengan segala kemampuan hamba, asal saja perintah paduka itu benar dan sudah
sepatutnya dilakukan oleh hamba sebagai putera paduka, Ibunda.”
Kembali Liong-li kagum.
Jawaban itu demikian tepat dan benar, akan tetapi juga halus sehingga tidak
akan menyinggung. Kalau permaisuri itu memiliki niat yang tidak patut, maka
niat itu akan lenyap sebelum dinyatakan oleh jawaban itu.
“Tentu saja, anakku. Dengar
baik-baik. Engkau tentu telah tahu akan kekacauan yang terjadi oleh ulah apa
yang dinamakan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis), bukan?”
Biarpun sikapnya tetap tenang,
namua Liong-li melihat betapa pangeran itu terkejut mendengar disebutnya nama
itu. “Ibunda Permaisuri, hamba sudah mendengar akan tetapi hamba tidak
mencampuri urusan itu yang seharusnya ditangani oleh para petugas keamanan.”
“Memang benar, anakku. Akan
tetapi sampai kini usaha para petugas keamanan itu belum juga berhasil dan
engkau tentu tahu berapa banyaknya korban yang telah jatuh. Apakah tidak sudah
sepantasnya kalau engkau sebagai seorang pangeran ikut pula membantu agar
penjahat yang membuat kekacauan itu tertangkap?”
Pangeran itu memandang heran,
sepasang matanya yang lebar itu terbelalak dan nampak indah. “Ibunda Yang
Mulia, bagaimana seorang seperti hamba dapat membantu penangkapan seorang
penjahat yang demikian lihainya?”
“Engkau bisa, anakku. Bahkan
justeru kepadamulah aku menggantungkan harapan akan berhasilnya usaha kami
untuk membongkar rahasia si Bayangan Iblis itu. Kau lihat wanita ini!” Sang
Permaisuri menunjuk ke arah Liong-li yang masih duduk dengan kepala tunduk.
“Ia adalah dayangku yang
kupercaya penuh bernama Siauw Cu. Ia seorang wanita yang memiliki ilmu
kepandaian silat tinggi dan ialah yang kutugaskan untuk menyelidiki si Bayangan
Iblis, bahkan menangkapnya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dapat ia lakukan
kalau ia tidak diselundupkan ke dalam istana induk, dibagian putera......”
“Ehhh? Jadi menurut
Ibunda...... Si Bayangan Iblis itu berada di dalam istana?” Sang Pangeran
benar-benar terkejut sekarang.
“Itu baru dugaan kami, anakku.
Oleh karena itu untuk menyelidiki benar tidaknya dugaan itu, kami ingin
menyelundupkan Siauw Cu ini ke sana. Dengan demikian, ia akan dapat melakukan
penyelidikan dengan leluasa.”
“Lalu apa hubungannya dengan
bantuan hamba, Ibunda?”
“Agar jangan menimbulkan
kecurigaan komplotan si Bayangan Iblis, ia akan kuselundupkan ke sana sebagai
selirmu, Pangeran!”
“Ahh......!” Wajah yang
berkulit putih kemerahan itu kini menjadi merah sekali dan pangeran itu menoleh
kepada Liong-li. Sejenak pandang mata mereka bertemu, akan tetapi melihat
betapa pangeran itu menjadi merah mukanya seperti seorang perawan dilamar,
Liong-li menjadi tidak tega dan iapun cepat menunduk.
“Bagaimana mungkin, Ibunda?
Paduka mengerti bahwa hamba.... hamba tidak mempunyai selir dan belum ingin
punya selir.....! Kenapa tidak Ibunda berikan saja kepada para kakak pangeran
lain yang mempunyai banyak selir?”
Permaisuri Bu Cek Thian menggeleng
kepala. “Aku tidak percaya kepada siapapun lagi di sana kecuali Sribaginda
Kaisar dan engkau, anakku. Kalau kuberikan kepada puteraku, Pangeran Tiong
Cung, akan lebih mencurigakan lagi. Hanya engkaulah satu-satunya orang dapat
kupercaya, Pangeran. Demi ketenteraman istana, bahkan kota raja dan negara,
bantulah kami. Terimalah Siauw Cu sebagai selirmu.”
“Tapi...... tapi..... ah,
Ibunda. Bukan hamba tidak ingin membantu. Akan tetapi....... selir? Bagaimana
kalau ia hamba terima sebagai dayang saja? Seorang dayang baru? Hamba sudah
mempunyai lima orang gadis dayang, kalau ditambah seorang lagi tentu tidak
mencurigakan.”
“Akan tetapi kalau menjadi
dayangmu, Siauw Cu harus tidur bersama para dayang lainnya dan hal ini membuat
ia tidak leluasa melakukan penyelidikan, anakku. Kalau sebagai selirmu, tentu
boleh tinggal di kamarmu, dan malamnya ia dapat melakukan penyelidikan tanpa
dicurigai orang lain.”
“Tapi...... tapi....
Ibunda.......”
“Dengar dulu, Souw Han anakku.
Aku sudah mendengar bahwa engkau tekun mempelajari sastra dan seni, dan
mendengar bahwa engkau sampai sekarang belum pernah dan belum suka bergaul
dengan wanita sehingga belum mempunyai seorangpun selir. Akan tetapi, jangan
engkau mengira bahwa Siauw Cu akan menjadi selirmu yang sungguh-sungguh!
“Kalau begitu, iapun tidak
akan mau. Kalau ia mau menjadi selir sungguh-sungguh, tentu persoalannya lebih
mudah dan ia sudah kuselundupkan menjadi selir Pangeran Souw Cun yang
menginginkannya. Akan tetapi ketahuilah, anakku, Siauw Cu ini adalah seorang
pendekar wanita.
“Ia bertugas menyelidiki dan
menangkap Si Bayangan Iblis dan iapun hanya mau diselundupkan sebagai selir
asal tidak diganggu pria manapun. Jadi, kalau menjadi selirmu sudah cocok.
Engkau tidak ingin menjamahnya, dan iapun tidak ingin disentuh pria. Engkau
hanya mengakuinya saja sebagai selir, menyembunyikannya di kamarmu dan malamnya
engkau biarkan ia melakukan penyelidikan. Nah, tepat, bukan?”
Kini pandang mata pangeran itu
mengamati Liong-li dengan penuh perhatian dan agaknya dia tertarik sekali.
Belum pernah selamanya dia mendengar ada seorang wanita yang tidak mau dijamah
pria, apa lagi pangeran! Dan di samping keheranannya, diapun kagum.
“Kalau begitu, tentu saja
hamba tidak berkeberatan, ibunda Permaisuri. Walaupun tentu hamba akan digoda
setengah mati oleh para pangeran lainnya.” Kemudian ditambahkannya sambil
mengerling ke arah Liong-li, “Dan asal saja ia tidak menganggu pelajaran
hamba!”
Liong-li menahan senyumnya,
mengangkat muka memandang pangeran itu dan berkata. “Harap paduka tenangkan
hati, Pangeran. Hamba berjanji tidak akan mengusik atau mengganggu paduka
sedetikpun!”
Kembali dua pasang mata
bertemu dan agaknya pangeran itu bergidik ketika melihat sepasang mata yang
demikian indah dan jelitanya, juga yang mempunyai sinar mencorong, seperti mata
harimau di malam hari!
“Nah, sekarang juga bawalah
Siauw Cu bersamamu Pangeran. Dan agar tidak menimbulkan kecurigaan, Siauw Cu
harus berdandan lebih dulu seperti layaknya seorang gadis yang baru saja
diboyong oleh seorang pangeran, dan biar diantar oleh enam orang dayang
pribadiku sehingga orang-orang akan tahu bahwa selir yang kau bawa merupakan
hadiahku untukmu.”
Liong-li diajak masuk ke dalam
kamar oleh seorang dayang yang dipanggil masuk dan ketika wanita ini merias
dirinya di depan cermin, jantungnya berdebar tegang. Ia akan hidup sekamar
dengan seorang pemuda yang demikian tampannya! Hemm, tentu membutuhkan
pengerahan tenaga batin yang kuat agar jangan sampai tergugah gairah
kewanitaannya.
Kalau pangeran ini bersikap lain,
misalnya seperti Pangeran Souw Cun yang mata keranjang itu, tentu ia tidak
perlu khawatir akan perasaan hatinya sendiri karena ia yakin bahwa sikap
seorang pria seperti itu, yang mata keranjang dan kurang ajar, tentu tidak
mungkin akan mampu menimbulkan gairahnya. Akan tetapi Pangeran Souw Han ini,
hemmmm...... jantungnya berdebar tegang juga dan ia harus berhati-hati sekali
menjaga dirinya sendiri.
Setelah Liong-li menyisir
rambutnya, mengenakan pakaian yang lebih indah dari pada pakaian pelayan ketika
ia menyamar Akim, lalu mengenakan bedak tipis dan membasahi kedua bibirnya
dengan lidah, dayang yang tadi mengantarnya berias, memandang kagum.
“Nona...... sungguh cantik
jelita......” kata dayang itu.
Liong-li tersenyum memandang
kepada dayang itu, seorang gadis yang usianya paling banyak delapanbelas tahun
dan berwajah manis sekali. Kalau berada di sebuah dusun, tentu gadis ini dapat
menjadi kembang dusun yang menjadi rebutan semua pemuda. Akan tetapi di sini,
di dalam istana ini, ia hanya seorang dayang, seperti benda hiasan, seperti
setangkai bunga yang sudah dipetik dan ditaruh di dalam gedung indah, entah
bagaimana nasibnya kelak.
Kalau ia bernasib baik, ia
akan dipilih menjadi selir seorang pangeran. Kalau tidak, ia hanya akan menjadi
dayang sampai akhirnya ia dipaksa melayani seorang pangeran atau diberikan
kepada seorang ponggawa, seperti setangkai bunga yang dibuang begitu saja
setelah dipetik, diremas dan menjadi layu.
“Engkau juga cantik,
mudah-mudahan engkau akan mampu menjaga kecantikanmu itu,” kata Liong-li dan
iapun bangkit setelah selesai berdandan. Ia lalu diantar oleh dayang itu
kembali ke dalam ruangan tadi di mana permaisuri dan Pangeran Souw Han masih
menantinya.
Permaisuri Bu Cek Thian
mengangkat mukanya dan jelas sekali nampak kekaguman pada matanya ketika ia
melihat Liong-li yang kini berdandan sebagai seorang selir, dengan pakaian yang
lebih mewah dan lebih indah dibandingkan pakaian seorang dayang.
“Siauw Cu, sungguh...... sudah
kuduga....., engkau cantik jelita sekali! Mata Pangeran Souw Cun sungguh tajam
bukan main, sekali lihat saja dia sudah tahu bahwa engkau seorang wanita yang
memiliki kecantikan luar biasa!”
Akan tetapi, Liong-li melihat
betapa Pangeran Souw Han hanya memandang kepadanya sepintas lalu saja,
seolah-olah ia hanya sebuah benda biasa saja yang tidak ada bedanya
dibandingkan sebuah meja atau sebuah kursi. Dan di lubuk hatinya, ia merasa
penasaran dan kecewa!
Baru sekarang ia merasakan
kekecewaan dan penasaran seperti ini. Kecewa karena tidak dihiraukan oleh seorang
pria! Pada hal biasanya, kalau ia terlalu diperhatikan pria, ia malah marah.
“Ibunda Permaisuri, hamba
hanya mentaati perintah paduka ibunda, hanya untuk memberi tempat persembunyian
kepada nona.... eh, Siauw Cu ini. Akan tetapi, hamba hanya dapat memberi waktu
seminggu saja. Kalau sudah seminggu, hamba harap paduka mengambilnya kembali
agar hamba tidak terlalu terganggu.”
Gemas juga perasaan hati
Liong-li mendengar ucapan yang walaupun halus namun jelas menyatakan betapa
pangeran itu merasa terganggu dan sebenarnya tidak suka kalau harus
mengambilnya sebagai selir, walaupun hanya sebutannya saja demikian.
“Yang Mulia, hamba hanya minta
waktu lima hari saja. Kalau selama lima hari hamba belum berhasil menemukan
atau membongkar rahasia Si Bayangan Iblis, hamba akan keluar saja dari istana
ini!” katanya kepada Sang Permaisuri, akan tetapi matanya mengerling ke arah
pangeran muda itu.
Akan tetapi, sang Pangeran itu
agaknya malah menyambut pernyataan Liong-li itu dengan gembira, “Bagus kalau
begitu, lebih cepat lebih baik bagiku! Mari kita pergi. Ibunda, sudah siapkah
para dayang yang akan menjadi pengikut?”
“Sudah,” kata Sang Permaisuri
karena memang di situ kini sudah berlutut enam orang gadis dayang, yang akan
menjadi “pengantar” Liong-li yang diangkat menjadi selir Pangeran Souw Han!
Dua orang perajurit thai-kam
yang gendut dan kuat dipanggil. Mereka datang membawa sebuah joli karena
seperti sudah menjadi kebiasaan, seorang selir adalah seorang wanita yang
mendapat kehormatan, maka sudah berhak diangkut dengan sebuah joli.
Berangkatlah rombongan itu, sang pangeran di depan dengan langkahnya yang
halus, di belakangnya joli yang ditumpangi Liong-li digotong dua orang
thai-kam, dan di belakangnya berjalan enam orang dayang permaisuri dalam
barisan dua-dua yang rapi.
Semua penjaga dan perajurit
pengawal mengenal Pangeran Souw Han, dan tahu pula bahwa enam orang dayang itu
adalah dayang-dayang permaisuri, maka tidak ada seorangpun yang berani
menghalangi atau bertanya ketika rombongan ini lewat, dari bagian puteri
memasuki istana induk.
Dan sebentar saja tersiarlah
berita di dalam istana bahwa pangeran Souw Han telah dihadiahi seorang selir
oleh Permaisuri. Berita ini mendatangkan perasaan gembira kepada semua orang,
di samping keheranan dan peristiwa ini tentu saja menjadi bahan pergunjingan
karena selama ini mereka mengenal Pangeran Souw Han sebagai seorang pemuda yang
sama sekali tidak mau berdekatan dengan wanita!
Tentu saja timbul keinginan
tahu dari mereka untuk melihat seperti apa gerangan wanita yang terpilih
menjadi selir pangeran yang disuka ini. Akan tetapi, selir itu jarang sekali
keluar dari dalam kamar. Hanya beberapa orang dayang saja yang pernah
melihatnya dan dari mulut merekalah tersiar berita, bahwa selir Pangeran Souw
Han adalah seorang wanita yang cantik jelita seperti bidadari!
◄Y►
Ketika enam orang dayang
permaisuri yang mengantar Liong-li kembali ke istana bagian puteri, dan
Liong-li sudah berada di dalam kamar Pangeran Souw Han, diperkenalkan kepada
beberapa orang dayang pangeran itu, Liong-li merasa canggung juga. Ia bukanlah
seorang perawan dusun yang pemalu. Ia seorang pendekar wanita yang sudah
menjelajah dunia kang-ouw, sudah banyak pengalaman. Namun, kini diperkenalkan
oleh “suaminya” yang lemah lembut itu kepada beberapa orang dayang, ia merasa
canggung bukan main.
Dan ia melihat betapa beberapa
orang dayang pelayan pangeran itu tidak ada yang cantik seperti dayang
permaisuri, hanya wanita biasa saja namun cekatan dan sopan. Tahulah ia bahwa
memang sang pangeran ini tidak suka diganggu wanita cantik! Ia merasa semakin
penasaran, merasa seperti ditantang kecantikannya sebagai wanita.
Selamanya belum pernah ada
secuwilpun ingatan dalam benaknya untuk memikat atau merayu pria. Dalam hal ini
ia tinggi hati. Akan tetapi, keadaan Pangeran Souw Han sungguh membuat ia
merasa rendah diri.
Kalau saja ia tidak ingat
bahwa ia sedang menghadapi tugas penting yang berat, ingin rasanya ia menyambut
keadaan yang dianggapnya sebagai tantangan terhadap kewanitaannya itu. Ingin
rasanya ia menjatuhkan hati pangeran yang tinggi hati terhadap wanita itu agar
pangeran itu tahu bahwa ia adalah seorang wanita sejati, seorang wanita cantik
jelita yang membuat banyak pria terpesona, dan agar pangeran itu tidak
memandangnya sebagai sebuah kursi atau meja saja!
Setelah Pangeran Souw Han
memerintahkan semua dayangnya untuk keluar dari kamar, kini mereka hanya berdua
saja di dalam kamar itu. Liong-li duduk di atas sebuah kursi, setelah tadi ia
pindah dari tepi pembaringan. di mana ia disuruh duduk ketika pertama kali
dibawa masuk kamar dan segera pindah ke kursi begitu para dayang keluar,
sedangkan Pangeran Souw Han kini nampak berjalan-jalan hilir mudik, nampaknya
bingung dam gelisah.
Dengan sudut matanya yang
mengerling Liong-li mengikuti gerakan pemuda bangsawan itu dan hatinya merasa
geli sekali, juga kasihan. Ia dapat membayangkan betapa kehadirannya di dalam
kamar pangeran itu membuat dia menjadi salah tingkah, bingung dan agaknya tidak
tahu apa yang harus dilakukannya.
“Pangeran,” ia memanggil
lirih.
Hanya lirih saja namun agaknya
mengejutkan pemuda itu karena dia tiba-tiba menghentikan langkahnya, membalik
dan memandang kepadanya. Tidak menjawab, hanya memandang dengan penuh selidik.
Mulutnya yang indah itu, dengan bibirnya yang merah segar, nampak agak
cemberut, membuat Liong-li menjadi semakin geli.
“Pangeran, saya...... saya
tidak ingin mengganggu paduka. Biarlah saya mengundurkan diri, di manakah saya
harus tinggal? Di mana kamar saya?”
“Di mana lagi?” Pangeran itu
berkata, bukan menjawab melainkan bertanya, dan mulutnya makin meruncing
cemberutnya. “Aku tidak seperti para pangeran lain yang mempunyai banyak kamar!
Kamarku hanya sebuah ini, kubikin cukup luas. Ini kamar tidurku, kamar kerjaku,
kamar belajarku, kamar makan, kamar bersantai. Di sebelah itu kamar para
dayang. Di mana lagi kau dapat tinggal?”
Pangeran itu menghela napas
panjang, lalu menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi. Mereka duduk
berhadapan, dalam jarak lima meter, saling pandang. Liong-li tersenyum simpul,
Pangeran Souw Han cemberut.
Liong-li mengerling ke kanan
kiri. Kamar itu memang luas, seperti empat buah kamar dijadikan satu, dan
karena ruangan yang luas itu maka hawanya sejuk dan menyenangkan. Hanya ada
sebuah tempat tidur di situ, yang didudukinya tadi. Tempat tidur yang bersih
dan cukup lebar, cukup untuk empat orang dan longgar sekali kalau hanya untuk
dua orang!
Ada meja kursi makan, meja
kursi duduk, almari penuh buku, almari pakaian, pot-pot kembang, lukisan dan
sajak-sajak dengan tulisan indah bergantungan. Lantainya bertilam permadani
tebal. Sebuah kamar yang enak ditinggali! Apa lagi berdua dengan seorang
pangeran seperti itu. Sayang muka yang tampan itu kini muram dan mulut yang
indah itu cemberut.
“Tempat tidurnya....... hanya
sebuah......?” Ia bertanya, hanya untuk memancing percakapan karena tanpa
bertanyapun sudah jelas bahwa di situ hanya ada sebuah tempat tidur.
Pangeran itu mengangguk.
“Tentu saja hanya sebuah! Hanya aku sendiri yang tidur di kamar ini, sejak aku,
remaja!”
“Kalau begitu, biarlah saya
tidur bersama para dayang di kamar sebelah saja, Pange- ran.”
“Itu baik sekali!” Pangeran
Souw Han berseru gembira sambil bangkit berdiri, akan tetapi, segera sepasang
alis yang tebal hitam itu berkerut dan dia jatuh terduduk kembali.
“Tidak mungkin! Ibunda
Permaisuri tentu akan marah kepadaku. Bagaimana mungkin seorang....... selir
tidur di kamar dayang? Tentu akan dibicarakan orang dan menimbulkan kecurigaan,
dan orang-orang akan tahu bahwa engkau hanya pura-pura saja menjadi selirku. Semua
rahasia akan terbuka dan Ibunda akan marah kepadaku!”
“Kalau begitu, jangan
khawatir, Pangeran. Biarlah kalau siang hari saya bersembunyi di sini. Dapat
kulakukan pekerjaan membersihkan semua perabot di kamar ini, mengaturnya
sehingga rapi. Kalau malam, diam-diam saya akan menyelinap keluar dan melakukan
penyelidikan.......”
“Tapi tentu tidak semalam
suntuk. Kalau engkau malam-malam kembali ke kamar ini.......”
“Tidak perlu paduka bingung.
Saya dapat tidur di sudut sana itu, di atas lantai yang sudah ditilami
permadani dan saya tidak akan mengganggu paduka. Paduka tidurlah seperti biasa
di atas pembaringan paduka dan......”
Tiba-tiba pangeran itu bangklt
berdiri dan memandang kepada Liong-li dengan mata bersinar dan alis berkerut.
“Siauw Cu! Kaukira aku ini orang apa?”
Liong-li terbelalak. “Paduka?
Paduka seorang pangeran yang terhormat......”
“Lebih dari itu, aku seorang
laki-laki! Seorang laki-laki sejati, tahu engkau?”
Liong-li memandang heran,
terkejut dan menelan ludah sambil mengangguk, tidak berani membuka mulut karena
khawatir salah bicara.
“Dan kaukira seorang laki-laki
sejati begitu tak tahu malu enak-enak tidur di atas pembaringan dan membiarkan
seorang wanita menggeletak di atas lantai begitu saja? Huh! Kau kira aku
seorang laki-laki yang tidak tahu tata susila, tidak tahu menghargai kaum
wanita yang lemah?”
Sepasang mata yang jeli dan
indah itu semakin terbelalak, akan tetapi bukan hanya karena kaget dan heran,
melainkan kini penuh kagum. Bukan main pangeran ini! Sungguh jauh melampaui segala
kekagumannya!
“Lalu...... lalu.... bagaimana
maksud paduka? Saya..... hamba... hanya menurut saja.....”
“Kalau engkau ingin tidur,
siang ataupun malam, engkau tidur di atas pembaringan ini, tidak boleh di atas
lantai! Mengerti?” Pangeran itu berkata, suaranya masih lembut akan tetapi
mengandung perintah yang tidak mau dibantah.
Liong-li mengangguk dan
jantungnya berdebar aneh. Kiranya pangeran ini tidaklah seaneh yang ia sangka,
kiranya masih sama saja dengan pemuda lainnya, menghendaki ia tidur bersamanya!
“Aku yang akan tidur di atas
lantai!”
Buyarlah semua renungan
Liong-li dan ia terkejut lagi, memandang aneh.
“Tapi...... tapi.... bagaimana
mungkin hamba tidur di atas pembaringan sedangkan paduka, seorang
pangeran...... tidur di lantai.....?” Liong-li benar-benar terkejut.
“Aku sudah biasa. Seringkali
kalau membaca kitab ketiduran di lantai. Kalau hawa udara panas akupun tidur di
lantai. Mengapa? Engkau wanita, sudah sepatutnya mendapat tempat terbaik.”
Liong-li menjadi bengong.
Kalau saja ia seorang wanita cengeng tentu ingin ia menangis saat itu. Akan
tetapi, ia tidak menangis, hanya mengamati wajah itu dan lupa bahwa ia
berhadapan dengan seorang putera kaisar ia berkata, “Pangeran, paduka.......
paduka adalah seorang jantan, seorang laki-laki yang...... hebat!”
Wajah yang berkulit putih
halus itu menjadi kemerahan, “Hushh, jangan coba merayuku! Engkau duduk yang
baik dan mari kita bicara. Engkau harus berterus terang karena aku harus
mengenal benar siapa wanita yang tidur di kamarku. Siapa namamu?”
Liong-li tersenyum. Kini ia
mengenal watak pangeran ini. Seorang pangeran yang berwatak halus, bukan saja
halus budi bahasanya, juga wataknya amat baik, dan kiranya di antara seribu
orang pangeran belum tentu dapat menemukan seorang yang seperti ini! Ia sudah
percaya seribu persen kepada Souw Han.
“Nama saya? Siauw Cu........”
ia masih mencoba.
“Huh, kaukira aku bisa
dibohongi begitu saja? Namamu Siauw Cu adalah nama yang diperkenalkan Ibunda
Permaisuri kepadaku. Sebenarnya, tentu engkau seorang gadis perkasa yang
berilmu tinggi, kalau tidak demikian, tak mungkin engkau disuruh menangkap Si
Bayangan Iblis. Hayo katakan, siapa namamu dan dari mana engkau datang?”
Bukan main, pikir Liong-li,
pangeran ini sungguh memiliki banyak segi yang mengagumkan. Sudah bertumpuk
semua hal yang mengagumkan hatinya, ditambah memiliki kecerdikan lagi.
“Baiklah, Pangeran. Saya
mengaku kalah. Nama saya Lie Kim Cu dan saya tinggal di kota Lok-yang.”
Kini pangeran itu bangkit
berdiri, menghampirinya dan mengamati wajah dan tubuh Liong-li dengan penuh
perhatian. Sepasang mata yang bersinar tajam namun lembut dan tidak mengandung
kecabulan atau kekurangajaran sama sekali.
“Hemm, kiranya engkau inilah
yang berjuluk Hek-liong-li?”
Liong-li semakin kagum dan
iapun bangkit dan memberi hormat dengan membungkuk. “Paduka memang hebat,
Pangeran. Benar, sayalah yang disebut Hek-liong-li. Akan tetapi, bagaimana
paduka dapat menerkanya? Kalau paduka mempelajari ilmu silat, bergaul dengan
para ahli silat, hal itu tidak mengherankan. Akan tetapi menurut yang saya
dengar dari Yang Mulia Permaisuri, paduka hanya suka mempelajari sastera dan
seni.”
Pangeran itu tersenyum dan
Liong-li merasa hatinya seperti ditarik-tarik. Belum pernah ia melihat senyum
sedemikian manisnya dari seorang pria!
“Aku juga banyak mendengarkan
berita yang menarik dari luar istana, li-hiap (pendekar wanita).”
“Ihhh......! Pangeran, harap
jangan menyebut saya li-hiap. Apa lagi kalau sampai terdengar orang. Ingat,
nama saya Siauw Cu!”
“Hemm, tidak enak rasanya
menyebutmu Siauw Cu. Biarlah kusebut Enci Cu saja. Engkau tentu lebih tua
dariku.”
“Tentu saja, Pangeran. Usia
saya sudah duapuluh lima tahun.”
“Ah, sukar dipercaya. Kukira
tadinya hanya lebih tua satu-dua tahun dari aku. Aku sudah duapuluh tahun.”
Bukan main, pikir Liong-li.
Sudah duapuluh tahun dan agaknya belum pernah bergaul dengan wanita! Masih
perjaka tulen!
“Pangeran, saya bukan sekedar
memuji. Biarpun paduka baru duapuluh tahun, akan tetapi paduka telah memiliki
kebijaksanaan yang dewasa, bahkan paduka lebih dewasa dari pada Pangeran Souw
Cun yang pernah saya lihat tadi di ruangan Yang Mulia Permaisuri.”
“Kakanda Souw Cun? Ahh! Engkau
harus berhati-hati terhadap pangeran yang satu itu, Cu cici!” Diam-diam
Liong-li girang sekali mendengar sebutan Cu cici (kakak Cu) ini, sebutan yang
amat akrab dari seorang pangeran!
“Dia kenapakah, Pangeran?”
Pangeran Souw Han menarik
napas panjang, lalu duduk di depan Liong-li. Kini mereka duduk berhadapan
dekat, hanya dalam jarak dua meter saja.
“Sebenarnya, tidak pantas
bagiku, seorang pangeran, untuk membicarakan keburukan keadaan keluargaku
sendiri. Akan tetapi mengingat akan terjadinya kekacauan dan mengingat pula
bahwa engkau diangkat oleh Ibunda Permaisuri untuk menangkap pengacau, biarlah aku
ceritakan semua keadaan di istana ini. Katakanlah dulu, Enci Cu, tugasmu ini
untuk menyelidiki dan menangkap Si Bayangan Iblis, ataukah untuk menyelidiki
perang dingin antar anggauta keluarga kerajaan?”
“Eh? Apa hubungannya Si
Bayangan Iblis dengan keluarga kerajaan, Pangeran?”
“Kukira hubungannya erat
sekali, enci. Ketahuilah, jauh hari sebelum muncul tokoh rahasia yang dikenal
dengan julukan Si Bayangan Iblis itu, di dalam istana telah terjadi semacam
perang dingin.”
“Perang Dingin?” tanya
Liong-li heran. “Maksud paduka......”
“Semacam permusuhan
terselubung, permusuhan dan kebencian karena persaingan yang tidak dilakukan
secara terbuka atau terang-terangan. Orang-orang saling membenci, ingin saling
menjatuhkan, memperebutkan kedudukan dan memperebutkan perhatian ayahanda
Sribaginda Kaisar. Aku jemu dengaa semua itu, enci. Maka aku tidak perduli akan
semua urusan istana, aku lebih menenggelamkan diriku ke dalam sastera dan
seni.”
“Maukah paduka memberi
penjelasan yang lebih terperinci? Siapa yang bermusuhan? Dan di pihak mana
kiranya Si Bayangan Iblis itu berdiri? Barangkali paduka tahu pula siapa
kiranya tokoh itu? Sungguh saya mengharapkan bantuan paduka dalam hal ini,
Pangeran.”
“Nanti dulu!” kata pangeran
itu dan kini pandang matanya penuh selidik. “Engkau memang didatangkan oleh
Ibunda Permaisuri dan dibayar untuk menangkapnya, untuk bekerja demi
kepentingan Ibunda Permaisuri?”
Liong-li menggeleng kepala.
“Tidak, Pangeran. Terus terang saja, saya dimintai bantuan oleh Perwira Cian
Hui, dan saya diselundupkan ke dalam istana, akan tetapi Yang Mulia Permaisuri
mengetahui rahasia saya.”
Ia lalu menceritakan semua
yang terjadi, kemudian menyambung, “Saya tidak berpihak kepada siapapun yang
bermusuhan di istana ini. Saya hanya ingin menangkap pengacau dan membantu agar
istana dan kota raja menjadi tenteram, tidak lagi terganggu oleh penjahat yang
melakukan pengacauan dengan pembunuhan-pembunuhan gelap.”
“Bagus! Kalau begitu, aku mau
memberitahu kepadamu segala yang kuketahui. Pertama-tama Ibunda Permaisuri
sendiri. Beliaulah yang sesungguhnya merupakan pengacau besar di istana!”
“Ehhh......??” Liong-li
terkejut dan terbelalak.
Pangeran itu menarik napas
panjang. “Aku merasa diriku sebagai seorang pengkhianat tak tahu malu, cici.
Akan tetapi entah mengapa kepadamu aku tidak ingin menyimpan rahasia, karena
aku percaya bahwa engkaulah agaknya orangnya yang akan mampu mendatangkan
ketenteraman di keluarga kami.
“Ibunda Permaisuri adalah
seorang yang memiliki ambisi besar sekali. Jelas bahwa ia kini telah menguasai
seluruh kekuasaan di kerajaan. Ayahku...... semoga Thian mengampuninya, ayahku
seperti...... boneka saja di tangan Ibunda Permaisuri.
“Memang harus kuakui bahwa
beliau amat pandai, akan tetapi...... kadang-kadang beliau dapat bersikap tegas
dan bahkan kejam terhadap siapa saja yang dianggap menjadi penghalang
ambisinya. Beliau juga mempunyai pasukan pengawal khusus, mempunyai
jagoan-jagoan........”
“Saya tahu bahwa Bi Cu dan Bi
Hwa, gadis kembar yang menjadi pengawal pribadi beliau itu, adalah dua orang
wanita yang lihai.”
“Mereka hanya dua di
antaranya. Masih banyak lagi dan siapa saja yang dianggap berbahaya oleh Ibunda
Permaisuri, jangan harap dapat hidup! Selain itu...... ah, bagaimana, ya?
Rasanya aku membongkar rahasia busuk di dalam keluarga sendiri.”
Liong-li adalah seorang wanita
yang cerdik bukan main. Ketika Pangeran Souw Can muncul pagi itu, ia sudah
menduga bahwa ada rahasia busuk pada diri permaisuri yang agaknya diketahui
bahkan disindirkan oleh pangeran itu.
Kini, Pangeran Souw Han juga
membayangkan adanya rahasia busuk dan pangeran ini merasa ragu untuk
menceritakan kepadanya. Memang bukan urusannya, akan tetapi siapa tahu bahwa
hal itu ada sangkut pautnya dengan si Bayangan Iblis. Kalau mungkin, ia ingin
mengetahui semua rahasia agar memudahkan ia melakukan penyelidikan terhadap Si
Bayangan Iblis.
“Pangeran, kalau memang paduka
merasa keberatan, lebih baik jangan diceritakan kepada saya. Apakah itu
menyangkut penyelundupan pemuda tampan yang secara diam-diam diselundupkan ke
istana bagian puteri?”
Pangeran itu membelalakkan
matanya, “Kau...... kau....... sudah tahu?”
Liong-li tersenyum. “Saya
hanya menduga saja, Pangeran.”
Pangeran Souw Han menghela
napas. “Sudahlah, engkau sudah tahu. Memang itulah kelemahan Ibunda Permaisuri.
Beliau...... ah, bagaimana, ya..... sungguh memalukan. Beliau suka kepada
pemuda pemuda tampan. Akan tetapi sudahlah, itu urusan pribadinya, kita tidak
perlu membicarakan hal itu. Hanya ia amat berambisi dan akan menempuh cara
apapun saja untuk melenyapkan mereka yang dianggap menentang kekuasaannya.”
“Tapi, Pangeran. Dari Cian
Ciang-kun saya mendengar bahwa korban pembunuhan rahasia yang dilakukan Si
Bayangan Iblis terdapat pula orang-orang yang dekat dengan Sribaginda Kaisar,
dekat dengan Yang Mulia Permaisuri. Bahkan ada pula korban yang menentang
beliau...... sungguh membingungkan.”
“Itulah! Tadinya, ketika jatuh
korban mereka yang menentang Ibunda Permaisuri, aku sendiri mencurigai Ibunda
Permaisuri. Akan tetapi setelah jatuh korban lain yang dekat dengan beliau, aku
menjadi bingung dan ragu. Memang sungguh aneh dan memang sebaiknya kalau engkau
dapat membongkar rahasia ini, Enci Cu.”
“Apakah selain Yang Mulia
Permaisuri masih ada lagi orang lain yang kiranya patut dicurigai?”
“Aih, banyak permusuhan di
sini. Di antara para pangeran juga banyak yang bersaingan memperebutkan
perhatian ayahanda Kaisar. Aku muak sekali, dan aku tidak sudi! Aku tidak
membutuhkan kedudukan!”
“Bagaimana dengan pangeran
Souw Cun?”
“Dia? Ah, diapun agaknya tidak
perduli akan kedudukan dan kekuasaan. Baginya, asal dia dapat hidup senang,
berfoya-foya, mengumpulkan selir sebanyaknya, berganti-ganti selir, berpesta
setiap hari. Dia seorang yang genit, mana dia mampu memikirkan urusan negara?”
“Tapi, bukankah dia seorang
pangeran yang pandai ilmu silat?”
“Kakanda Souw Cun? Aha, dia
hanya suka pelesir, mana mampu ilmu silat? Setahuku, dia tidak pernah berlatih
atau belajar ilmu silat.”
Diam-diam Liong-li merasa
heran. Ketika pangeran itu memegang dagunya, ia merasakan benar adanya kekuatan
yang terkandung dalam jari-jari tangan itu!
“Kalau begitu, dia lebih suka
mempelajari sastera seperti paduka?”
“Huh, Dia hanya belajar asal
bisa baca huruf saja! Gurunya pun kulihat brengsek! Sasterawan macam apa itu
yang disebut, Bouw Sianseng? Mungkin baru dapat menulis beberapa ribu macam
huruf saja, lagaknya seperti seorang mahaguru, akan tetapi tata susilanya
demikian kasar. Tidak enci Cu kurasa Pangeran Souw Cun boleh kau lewatkan dari
perhatianmu. Dia memang menjemukan, akan tetapi penyakitnya, hanyalah mata
keranjang dan berfoya-foya saja. Sukar menghubungkan dia dengan urusan Si
Bayangan Iblis.”
“Kalau dia tidak dapat
dicurigai, lalu siapakah kiranya yang patut saya selidiki, Pangeran?”
Pangeran itu menarik napas
panjang dan menggeleng kepalanya. “Keluarga kami berada dalam kemelut, enci Cu.
Terlalu ruwet, juga sukar untuk menduga siapa sebetulnya Si Bayangan Iblis. Aku
sendiri sudah tidak perduli. Biarkan mereka bersaing, saling memperebutkan
kekuasaan dan kedudukan, aku tidak butuh! Ah, benar, engkau bertugas
menyelidiki hal itu. Aku tidak dapat menduga siapa penjahat itu, akan tetapi
biarlah kuceritakan kepadamu semua keadaan keluarga kami dengan semua
rahasianya yang kotor.”
Dengan perlahan dan sikap
masih tenang sekali, Pangeran Souw Han lalu menceritakan keadaan keluarga
ayahnya, yaitu Kaisar Tang Kao Cung yang mempunyai banyak selir disamping
permaisurinya, yaitu Permaisuri Bu Cek Thian. Banyak hal-hal yang tadinya amat
rahasia, oleh pangeran itu diceritakan kepada Liong-li, rahasia yang amat
mengejutkan hati pendekar wanita itu.
Kiranya keadaan keluarga
kerajaan itu sungguh dipenuhi dengan persaingan yang kotor, kebencian dan iri
hati. Bahkan ada fitnah memfitnah, bunuh membunuh dengan menggunakan pembunuh
bayaran. Banyak pula gadis-gadis yang menjadi korban kejalangan nafsu para
pangeran yang tidak menghendaki keturunan dari para dayang dan selir sehingga
kalau ada selir atau dayang yang mengandung, maka wanita itu akan lenyap tanpa
ketahuan jejaknya!
Dari Pangeran Souw Han pula ia
tahu bahwa Sang Permaisuri mempunyai dua orang putera. Yang seorang adalah
Pangeran Mahkota Tiong Cung dan yang kedua adalah Pangeran Li Tan yang masih
kecil. Secara halus Pangeran Souw Han menyindirkan keraguannya bahwa Pangeran
Li Tan adalah putera ayahnya. Karena sudah lama sekali ayahnya jarang bermalam
di kamar permaisuri. Juga dia mencela sikap para pangeran yang kebanyakan
memiliki watak yang amat buruk, menjadi hamba nafsu yang kerjanya setiap hari
hanya mengejar kesenangan.
“Biarpun dengan perasaan malu,
terpaksa aku harus mengakui bahwa saudara-saudaraku itu sebagian banyak
hanyalah manusia-manusia yang tiada gunanya!”
“Aih, mengapa paduka demikian
pahit, Pangeran? Banyak rakyat yang menghormati keluarga Sribaginda Kaisar, sebagai
para bangsawan agung, dan banyak pula yang bermurah hati memberi derma kepada
kuil-kuil, kepada para miskin dalam jumlah besar.”
Liong-li sengaja memancing
dengan memuji atau menyatakan kebalikan dari apa yang diceritakan pangeran itu.
Akan tetapi ucapan ini bahkan membuat Pangeran Souw Han nampak penasaran.
“Palsu! Semua itu palsu!
Keagungan, kemuliaan dan kehormatan dapat dibeli! Kau bilang sokongan dan
dermaan itu tanda murah hati? Hemmm, enci Cu. Kalau engkau memiliki satu juta
lalu kaudermakan yang seribu, apakah artinya itu? Murah hatikah itu? Aku akan
jauh lebih menghargai seseorang yang memiliki duapuluh akan tetapi dengan rela
memberikan yang sepuluh kepada orang lain untuk menolongnya! Mereka itu
pura-pura, munafik, bangsawan pakaian saja!”
Diam-diam Liong-li menjadi
semakin bingung mendengar semua keterangan pangeran itu kepadanya. Ia hanya
merasa terharu bahwa pangeran itu sungguh percaya kepadanya sehingga membongkar
semua rahasia kebusukan keluarga istana yang sebelumnya tak pernah disangkanya.
Akan tetapi, semua keterangan
itu sama sekali tidak membantunya dalam penyelidikannya tentang Si Bayangan
Iblis. Bahkan makin mengacaukan, karena kalau mendengar keterangan itu, boleh
dibilang semua pangeran, semua selir, bahkan Permaisuri sendiri dan Kaisar
sendiri bisa saja dicurigai sebagai majikan dari Si Bayangan Iblis!
Biarlah, ia tidak akan
memusingkan semua itu. Yang dicarinya adalah Si Bayangan Iblis, dan ia merasa
yakin akan dapat menangkapnya kalau benar penjahat itu bersembunyi di istana.
Setiap malam ia akan melakukan pengintaian dan sekali penjahat itu keluar dari
tempat persembunyiannya, tentu akan dapat ditangkapnya!
“Terima kasih atas semua
keterangan paduka Pangeran. Mulai malam ini saya akan menyelinap keluar dari
dalam kamar ini dan melakukan pengintaian. Mudah-mudahan saja malam ini juga Si
Bayangan Iblis keluar sehingga dapat kutangkap dia!”
“Mudah-mudahan begitulah, enci
Cu. Akan tetapi harap engkau berhati-hati, karena menurut pendapatku, seorang
yang telah dapat menggegerkan kota raja dengan semua pembunuhan itu, pastilah
orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan berbahaya sekali.”
“Terima kasih, Pangeran. Tentu
saja saya akan berhati-hati sekali, terutama tidak akan melibatkan paduka.”
Pangeran itu menghela napas
panjang, lalu bangkit dari duduknya.
“Siang ini engkau boleh
mengaso dan tidur di pembaringan itu. Waktu makan nanti, dayang kepercayaanku
akan mengantarkan makanan ke dalam kamar. Aku ingin membaca kitab.” Diapun
melangkah menghampiri almari yang penuh kitab dan memilih-milih.
Liong-li juga bangkit dari
tempat duduknya. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk enak-enak tidur begitu
saja di pembaringan orang, apa lagi pangeran pemilik kamar itu berada di situ,
walaupun ia tahu bahwa, pangeran itu tidak akan mengganggunya, bahkan mungkin
sekali tidak akan pernah mau meliriknya. Menyakitkan hati sekali sikap acuh
itu!
Ia lalu melihat sebuah
yang-kim (semacam gitar) tergantung di dinding. Diambilnya yang-kim itu dan
iapun duduk di atas bangku lain dicobanya alat musik itu dengan jari-jari
tangannya yang mungil dan terlatih. Tali temali yang-kim itu sudah distel
dengan baik dan suaranya sungguh merdu. Sebuah alat musik yang amat baik
buatannya.
Dalam keadaan melamun, seperti
tanpa disengaja, dengan sendirinya jari-jari tangannya memainkan sebuah lagu.
Lagu yang dimainkannya itu sebuah lagu yang amat sukar, juga amat indah,
namanya lagu itu “Badai”.
Dawai (senar) yang-kim itu
berkentang-kenting, mula-mula membentuk serangkaian nada-nada yang indah, namun
makin lama menjadi semakin nyaring, cepat, makin mendesak-desak, nadanya naik
turun dan mengamuk bagaikan datangnya badai yang semakin mendahsyat.
Pangeran Souw Han yang tadinya
sudah memilih sebuah kitab sajak kuno, menoleh, tadinya acuh, namun akhirnya
dia terduduk dan memandang dengan penuh perhatian. Sepasang matanya tak pernah
berkedip memandang ke arah jari-jari tangan yang memainkan yang-kim itu,
telinganya menangkap semua nada itu dan segera dia mengenal lagunya.
Dia memandang kagum, sama
sekali tidak pernah mengira bahwa wanita yang amat terkenal sebagai seorang
ahli silat, seorang pendekar wanita yang ditakuti semua orang penjahat di dunia
hitam, ternyata adalah seorang gadis yang selain cantik jelita, halus tutur
sapanya, cerdik dan berani, juga ternyata pandai sekali memainkan alat musik
yang-kim!
Dia tidak jadi membaca kitab
sajak yang masih dipegangnya, bahkan lalu meletakkannya di atas meja, kemudian
dia melangkah maju mendekat, berhenti dalam jarak sepuluh meter dan memandang
dari samping.
Betapapun juga, Liong-li
hanyalah seorang wanita biasa. Sejak pertemuannya pertama dengan Pangeran Souw
Han, hatinya dipenuhi rasa penasaran dan marah terhadap pangeran yang sama
sekali acuh terhadap dirinya itu. Bukan ia minta disanjung dan dikagumi, akan
tetapi sebagai wanita wajarlah kalau ia ingin agar dirinya tidak dihadapi pria
dengan sikap demikian dinginnya. Apa lagi pria itu seperti Pangeran Souw Han!
Tadinya ia memainkan yang-kim
hanya untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, untuk menghibur diri sambil
menanti datangnya malam karena ia hanya dapat bekerja di waktu malam saja. Akan
tetapi, pendengarannya yang terlatih dan amat tajam itu dapat menangkap gerak
gerik Pangeran Souw Han yang melangkah perlahan menghampirinya dan kini berdiri
di sebelah kanannya, dalam jarak yang tidak begitu jauh lagi.
Hal ini membangkitkan
kegembiraan dan meningkatkan harga dirinya, maka setelah habis memainkan lagu
itu, jari-jarinya tidak berhenti, melainkan mengulang kembali dan kini iapun
menambah dengan nyanyian dari mulutnya, dengan suaranya yang merdu!
“Badai menderu
mengamuklah air dan salju
angin puyuh menyapu bumi
segala pohon dipaksa menari
betapa buas dan gagah
betapa indah!
Badai dahsyat di bukit itu
akhirnyapun, lewat, berlalu
sunyi, hening, sayu
kelu, lelah, lembut tenang
aman dan betapa indahnya!”
Lagu “Badai” itu memang indah
sekali, dimulai dengan suara yang menggegap gempita, yang gagah perkasa, buas
dan liar, akan tetapi kemudian perlahan-lahan makin melembut, dan akhirnya
terdengar demikian penuh damai, seperti keindahan alam hening setelah badai
lewat.
Begitu Liong-li berhenti
bernyanyi, tiba-tiba terdengar suara suling yang melengking lembut, maka
meninggi dan terdengarlah suling itu melagukan lagu yang sama, yaitu lagu
“Badai”. Suara suling itu ditiup dengan ahli, amat merdunya sehingga otomatis
jari-jari tangan Liong-li kembali bergerak, dan kembali ia memainkan lagu itu,
kini mengiringi suara suling dan di dalam kamar itu terdengarlah paduan suara
suling dan yang-kim yang amat serasi, yang cocok dan menghasilkan suara yang
amat indahnya.
Setelah lagu itu habis
dimainkan dan ke dua alat musik itu tidak bersuara lagi, keadaan di kamar itu
menjadi sunyi bukan main. Liong-li perlahan-lahan menengok dan kini dua pasang
mata itu bertemu, bertaut dan perlahan-lahan senyum indah merekah di bibir
Liong-li.
Ia mulai melihat sinar kagum
membayang di pandang mata pangeran itu! Sedikit saja kekaguman sudah cukup
baginya, menandakan bahwa pangeran itu adalah seorang manusia biasa, seorang
pria normal, bukan manusia berhati kayu.
“Tiupan sulingmu amat indah,
Pangeran.”
“Enci Cu, tidak kusangka
engkau begitu pandai bermain yang-kim, dan suaramu juga amat merdu. Sungguh
heran......”
“Kenapa paduka heran,
Pangeran?”
“Seorang wanita seperti
engkau, enci Cu, yang selalu berkecimpung dalam dunia kekerasan, yang pandai
bermain pedang, pandai membunuh lawan, bergelimang kekerasan, bagaimana mungkin
dapat memainkan yang-kim dan bernyanyi demikian merdunya, sedemikian
lembutnya......”
“Pangeran, bukankah segala hal
itu dapat saja dipelajari manusia? Dan bukankah di dalam segala keadaan itu
terdapat keindahannya kalau saja kita mau membuka mata dan melihat apa adanya?
Seperti lagu tadi, Pangeran. Ketika badai mengamuk dahsyat, menggegap gempita,
keras dan kasar, namun gagah perkasa dan penuh kebuasan, ada keindahan di sana.
Setelah badai lewat keheningan dan kedamaian tiba, juga terdapat keindahan di
sana.
“Apakah hanya taman bunga dan
gunung hijau yang tenang saja mengandung keindahan? Bukankah batu karang yang
kokoh kuat, lautan yang menggelora diamuk badai yang ganas, di sana terdapat
pula keindahan?”
“Engkau benar, enci Cu. Semua
itu adalah ciptaan Tuhan, dan apapun bentuknya, ciptaan Tuhan itu selalu
sempurna dan indah. Ehh, kiranya engkau pandai pula berfilsafat, enci? Apakah
engkau juga mempelajari dan pernah membaca kitab-kitab filsafat?”
Liong-li tersenyum. “Di dalam
kamar perpustakaanku di rumahku saja terdapat segala macam kitab filsafat dari
ke tiga agama (Budhisme, Taoisme, dan Khong-hu-cu), Pangeran.”
“Amboiii......! Jangan katakan
bahwa engkau pandai pula bersajak, pandai menari dan pandai melukis dan menulis
halus, enci Cu!”
“Pandai sih tidak, Pangeran,
akan tetapi saya pernah mempelajari itu semua.”
“Aih, kalau begitu engkau
seorang wanita serba bisa, enci Cu! Hebat!”
Liong-li tersenyum. Hatinya
girang. Pangeran Souw Han itu seorang manusia biasa, seorang pria biasa, bukan
dewa bukan pula pertapa!
“Dibandingkan dengan paduka,
saya bukan apa-apa, Pangeran.”
Pada saat itu, daun pintu
kamar itu dan pintu kamar itu didorong orang dari luar dan terbuka Pangeran
Souw Han membalikkan tubuh dengan cepat dan mukanya merah. Yang muncul adalah
seorang pemuda lain yang membuat jantung dalam dada Long-li berdebar tegang dan
merasa tidak enak sekali karena ia mengenal wajah itu. Pangeran Souw Cun!
Berubah sikap Pangeran Souw
Han ketika melihat siapa orangnya yang memasuki kamarnya tanpa ijin itu. Dia
tidak jadi marah, tersenyum dan dengan sikap hormat dia lalu memberi hormat
dengan merangkap kedua tangan depan dada.
“Ah, kiranya engkau yang
datang, kakanda Pangeran Cun. Kenapa tidak memberitahu lebih dulu akan
berkunjung? Membuat hatiku terkejut saja.”
Pangeran Souw Cun tertawa,
lalu maju dan merangkul adik tirinya. “Engkau tahu, adikku Souw Han. Di antara
semua saudara kita, engkaulah satu-satunya orang yang paling kukagumi dan
kusukai. Maka, perlukah kita berbasa-basi lagi? Aku tadi lewat dan ingin sekali
bertemu dan bicara denganmu, adikku.”
Sejak tadi Liong-li menunduk
sambil mengerling tajam, namun tak pernah pangeran itu memperhatikannya. Maka
iapun pura-pura tidak melihat dan sibuk membalik-balik kitab sajak yang tadi
diletakkan di atas meja oleh Pangeran Souw Han.
“Terima kasih, kakanda. Akan
tetapi, tidak seperti biasa kakanda datang berkunjung. Ada keperluan apakah?”
“Ha-ha-ha, engkau memang
selalu cerdik, belum orang bicara engkau sudah dapat menebak isi hati orang.
Memang ada keperluan, adikku. Aku datang terdorong oleh perasaan yang luar
biasa. Ada perasaan kaget, heran, girang, dan ingin sekali tahu.”
“Aku ikut merasa girang,
kakanda. Akan tetapi apakah itu yang mendatangkan bermacam perasaan?”
“Aku mendengar engkau diberi
hadiah seorang gadis untuk menjadi selirmu oleh Ibunda Permaisuri. Benarkah
berita luar biasa itu?”
Seketika wajah Pangeran Souw
Han menjadi kemerahan. ”Benar, kakanda. Apa anehnya itu?”
“Apa anehnya? Ha-ha-ha. Adinda
Pangeran! Berita itu merupakan berita yang paling aneh di dunia ini, juga amat
menggembirakan dan lucu! Engkau menerima hadiah seorang selir. Engkau? Ha-ha,
sejak kapan engkau belajar bergaul dengan wanita? Biasanya, melirik saja engkau
tidak mau. Para dayangmu pun tidak ada yang cantik dan tak pernah ada yang
kaujamah seorangpun.
“Dan tahu-tahu engkau kini
menerima seorang selir! Apa tidak aneh itu? Aku kaget, heran dan juga girang,
akan tetapi menjadi penasaran dan ingin sekali melihat seperti apa macamnya
wanita yang herhasil menjatuhkan hati adikku yang terkenal sebagai seorang
pertapa suci yang tak pernah tergiur kecantikan wanita itu.
“Dan ketika aku lewat tadi,
aku mendengar permainan suling, yang-kim dan nyanyian! Aih-aih, jadi engkau
malah sudah rukun dan bersenang-senang, bermain musik dengan selirmu? Itukah
selirmu yang hebat itu?” Dan kini Pangeran Souw Cun menoleh ke arah Liong-li
yang masih duduk menghadapi kitab yang dibuka di atas meja.
“Siauw Cu, ke sinilah dan
perkenalkan, ini adalah kakanda Pangeran Souw Cun, engkau harus memberi hormat
kepadanya,” kata Souw Han yang terpaksa memperkenalkan isteri atau selirnya
itu.
Liong-li meninggalkan kursinya
dan menghampiri sambil menundukkan mukanya, lalu menjura dengan sikap hormat.
“Maaf, Pangeran, karena saya tidak tahu maka saya tidak sempat menyambut
kunjungan paduka,” katanya dengan sikap halus, akan tetapi sama sekali tidak
merendahkan diri, dan melihat sikap ini, Pangeran Souw Han juga merasa senang.
Akan tetapi Pangeran Souw Cun
terbelalak menatap wajah yang cantik jelita itu. “Ah-ahhh...... kiranya engkau?
Bukankah engkau dayang pribadi Ibunda Permaisuri?”
Liong-li menundukkan mukanya
dan mengangguk. “Kami memang pernah bertemu satu kali, Pangeran.”
Tiba-tiba Pangeran Souw Cun
tertawa dan memandang kepada wajah adiknya. “Ha-ha- ha-ha, tadinya kusangka
engkau menerima hadiah seorang selir yang seperti bidadari. dan masih amat
muda. Kiranya dayang Ibunda Permaisuri ini? Ha-ha-ha, sungguh aku merasa
semakin heran, dan aku kasihan sekali kepadamu, adikku!”
“Hemm, mengapa kakanda berkata
demikian? Dan mengapa pula merasa kasihan kepadaku?”
“Adindaku, bagaimana mungkin
seorang seperti engkau dapat jatuh cinta kepada seorang gadis seperti ini?
Katakan, benarkah engkau telah jatuh jatuh cinta kepadanya?”
Selama hidupnya, Souw Han
tidak pernah berbohong. Akan tetapi sekali ini, bagaimana dia dapat berkata
lain? Kalau dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Liong-li, bukankah hal itu
akan menimbulkan suatu kecurigaan dan akan membahayakan rahasia gadis itu?
“Aku cinta padanya, kakanda.”
“Kau? Yang selama ini tidak
pernah bergaul dengan wanita? Bagaimana mungkin! Tentu bertemu pun baru sekali
itu, dan engkau sudah jatuh cinta? Lihat baik-baik, adinda. Biarpun aku tidak
dapat mengatakan bahwa wanita itu buruk, akan tetapi ia sungguh tidak cocok
untuk menjadi selirmu! Lihat, biarpun ia cantik manis, namun usianya tentu jauh
lebih tua darimu! Nona, siapakah namamu?”
“Siauw Cu......” jawab
Liong-li tanpa mengangkat mukanya, dan di dalam hatinya timbul perasaan panas
bukan main.
“Siauw Cu, katakan dengan
sejujurnya, berapa usiamu sekarang?”
Biarpun hatinya panas, namun
Siauw Cu menjawab sejujurnya dan di dalam suaranya yang lembut terkandung
ketegasan dan tantangan, seolah ia tidak takut mengemukakan usianya yang
sebenarnya.
“Usia saya sudah duapuluh lima
tahun, Pangeran.”
“Duapuluh lima tahun?
Ha-ha-ha, engkau dengar sendiri, adinda Souw Han! Dan engkau belum genap
duapuluh tahun! Dan seorang wanita berusia duapuluh lima tahun tidak mungkin
menjadi seorang dayang yang masih gadis. Hayo katakan, Siauw Cu. Engkau bukan
gadis lagi. Tidak benarkah begitu?”
Souw Han memandang kepada
“selirnya” dengan hati penuh iba. Dia tahu betapa pertanyaan seperti itu amat
menyakitkan perasaan seorang wanita, maka diapun berkata.
“Kakanda Souw Cun, harap
kakanda jangan bertanya hal-hal seperti itu kepada Siauw Cu. Siauw Cu, kalau
engkau tidak suka, aku membolehkan engkau tidak usah menjawab pertanyaan
kakanda Souw Cun tadi.”
“Ha-ha-ha, tentu saja ia tidak
mau menjawabnya, atau kalau menjawab pun tentu ia membohong, ha-ha-ha!” Souw
Cun tertawa.
Kini Liong-li mengangkat
mukanya, memandang kepada Pangeran Souw Cun dengan sikap angkuh dan menantang,
lalu keluarlah jawaban dari bibirnya.
“Saya tidak perlu berpura-pura
dan menyembunyikan kenyataan. Bukan saja saya tidak perawan lagi, bahkan ketika
saya menjadi dayang Yang Mulia Permaisuri, saya sudah janda......”
Liong-li mengerling ke arah
muka Pangeran Souw Han, akan tetapi pada wajah Pangeran itu tidak nampak
perubahan apapun. Hal ini tentu saja tidak mengherankan. Ia menjadi “selir”
Pangeran Souw Han hanya pura-pura saja. Bagi pangeran itu, ia masih perawan
atau sudah janda seratus kalipun apa bedanya? Akan tetapi Pangeran Souw Cun
tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, apa kukata tadi,
adinda? Ia bukan hanya tidak perawan, bahkan sudah janda. Dan engkau, seorang
pangeran yang masih perjaka tulen hendak menyerahkan keperjakaanmu kepada
seorang janda yang usianya sudah duapuluh lima tahun? Bodoh, adikku, bodoh
sekali dan itu rugi namanya. Juga memalukan keluarga! Aku ikut malu!”
Souw Han merasa tidak enak
sekali kepada Liong-li. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat sesuatu karena di
balik wanita itu terdapat suatu rahasia yang harus dilindunginya.
“Kakanda Souw Cun, mengapa
kakanda mencampuri urusan pribadiku? Harap kakanda jangan mengganggu kami lebih
lama lagi. Apa sih maksud kanda sebenarnya? Aku tidak pernah membikin malu keluarga!”
“Adinda! Engkau hendak
menyerahkan keperjakaanmu kepada seorang janda, dan kau bilang tidak membikin
malu keluarga?“
“Habis, apa maksud dan
kehendak kakanda sekarang?” Souw Han mulai marah.
“Begini, adinda. Aku sayang
padamu, dan aku tidak rela kalau engkau menyerahkan perjakamu kepada wanita tua
ini. Kutukar saja ia dengan seorang gadis yang remaja, usianya baru limabelas
tahun, jauh lebih cantik dari pada Siauw Cu, dan ia masih perawan. Nah, ialah
yang lebih pantas menjadi selirmu, atau bahkan isterimu sekalipun. Tentang
wanita ini, serahkan saja kepadaku untuk kujadikan dayang.”
“Mendengar ini, Pangeran Souw
Han terkejut bukan main. Dia bukan pemain sandiwara yang baik, tidak seperti
Liong-li yang sedikit pun tidak memperlihatkan perubahan pada air mukanya.
Ingin Pangeran Souw Han berteriak menolak usul itu, akan tetapi dia segera
teringat akan rahasia Liong-li, maka diapun berkata dengan suara gelisah.
“Ah, kakanda Souw Cun,
bagaimana mungkin aku dapat menukarnya dengan wanita lain? Ingat, kakanda,
Siauw Cu ini adalah hadiah dari Ibunda Permaisuri dan aku..... aku suka sekali
padanya.”
Tiba-tiba Liong-li menjatuhkan
diri berlutut di depan Pangeran Souw Han sambil menangis, menutupi mukanya
dengan ujung lengan bajunya yang lebar panjang dan suaranya terdengar penuh
isak ketika ia berkata, “Pangeran, hamba..... hamba lebih baik mati kalau harus
meninggalkan paduka......”
Diam-diam Pangeran Souw Han
menjadi semakin kagum. Dia tahu bahwa Liong-li hanya bersandiwara, akan tetapi
sandiwara itu dimainkannya dengan demikian cemerlang sehingga dia sendiripun
sedikit juga tidak akan menyangka bahwa wanita itu berpura-pura. Maka, diapun
memandang kepada Pangeran Souw Cun.
“Kakanda Pangeran, kakanda
lihat sendiri. Kami sudah saling mencinta. Tidak ada wanita yang dapat
menggantikannya. Aku hanya menghendaki Siauw Cu ini, bukan wanita lain.”
“Hem, benarkah itu?”
Ketika Liong-li mengerling
dari sudut matanya yang ia tutupi dengan tangan, ia melihat betapa sinar mata
Pangeran Souw Cun penuh kecurigaan dan selidik. Sungguh seorang pangeran yang
berbahaya, pikirnya, dan ia mulai menduga bahwa maksud pangeran itu menghalangi
ia diselir Pangeran Souw Han bukan semata karena cemburu atau iri, bukan semata
karena pangeran itu sendiri menginginkan dirinya. Mungkin ada alasan lain,
yaitu mencurigainya!
“Ah, jangan-jangan engkau kena
dipengaruhi guna-guna adikku.”
“Tidak, kakanda. Aku memang
cinta padanya, bukan hanya karena wajahnya, melainkan karena sikapnya, juga ia
pandai bermain yang-kim, pandai bernyanyi dan mungkin masih memiliki beberapa
macam kepandaian lagi yang belum kuketahui. Tentang usia dan tentang bukan
perawan, aku tidak perduli!”
“Hemm, banyak kepandaiannya,
ya? Eh, Siauw Cu, apakah engkau juga pandai ilmu silat?”
“Ah, kakanda!” seru Pangeran
Souw Han, terkejut dan kekagetannya ini memang bukan pura-pura. “Bagaimana
seorang wanita lembut seperti Siauw Cu ini pandai ilmu silat? Kalau menari
mungkin ia dapat. Bukankah begitu, Siauw Cu?”
Liong-li yang sudah menghapus
air matanya kini memandang kepada Pangeran Souw Han dengan sinar mata yang
jelas membayangkan kasih sayang besar. “Kalau untuk paduka...... apapun akan
hamba lakukan, Pangeran. Hamba pernah mempelajari ilmu menari.”
“TARIAN pedang ? “ tiba-tiba
Pangeran Souw Cun bertanya.
“Ah, bukan, Pangeran. Tarian
biasa,” jawab Siauw C'u atau Liong-li tanpa berani mengangkat mukanya.
“Bagus, kalau begitu, suruh ia
menari agar dapat kumelihatnya, adinda Souw Han!”
Pangeran Souw Han mengerutkan
alisnya. Dia ingin agar kakaknya itu cepat pergi saja supaya tidak mengganggu
Liong-li lebih lama lagi. Pula, diapun tidak yakin apakah benar Liong-li pandai
menari, dan jangan-jangan gerak tarinya akan mengandung gerak silat sehingga
akan menimbulkan kecurigaan pada kakaknya .
“Kakanda, ia baru saja datang,
masih lelah. Biarlah lain hari saja ia menari.”
“Tidak mengapa, Pangeran.
Hambapun senang sekali kalau paduka menggembirakan hati saudara tua paduka,”
kata Liong-li. Ucapan ini saja sudah cukup melegakan hati Pangeran Souw Han.
“Baiklah kalau begitu. Aku
akan mengiringi tarianmu dengan yang-kim. Engkau tentu mau meniup sulingnya,
bukan, kakanda?”
“Baik, Tapi, tarian apa yang
akan ditarikan selirmu itu?”
“Hamba akan menarikan tarian
rakyat dari daerah selatan, tarian para petani bekerja di sawah ladang,” kata
Liong-li.
Tak lama kemudian,
terdengarlah paduan suara suling dan yang-kim, dengan irama yang lambat dan
halus. Liong-li sudah mengambil sebuah sabuk sutera merah panjang dari almari
pakaian atas petunjuk Pangeran Souw Han dan iapun mulailah menari, seirama
suara suling dan yang-kim.
Dan kini kedua orang pangeran
itu terpesona! Jangan Souw Cun yang penuh curiga itu, bahkan Souw Han yang
sudah tahu bahwa “selirnya” itu seorang pendekar wanita, terbelalak kagum
melihat betapa tubuh wanita itu meliuk-liuk lemah gemulai, menarik dengan amat
indahnya! Bagaikan seorang bidadari saja selirnya itu!
Setelah selesai menari dan dua
orang pangeran itu menghentikan permainan alat musik mereka, Pangeran Souw Cun
bertepuk tangan memuji.
“Wah, sekarang aku mengerti
mengapa engkau suka kepada selirmu ini, adinda. Ternyata suaranya merdu,
permainan yang-kimnya pandai, dan tariannya pun indah. Dan tubuhnya itu! Amboi,
betapa akan nikmatnya malam nanti akan kaurasakan dalam pelukkannya, adindaku.”
“Kakanda! Harap jangan ganggu
kami lagi dan kupersilakan kakanda meninggalkan kami!” Pangeran Souw Han
berseru marah. Akan tetapi kakaknya hanya tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, hampir aku lupa!
Engkau belum pernah bergaul dengan wanita, tentu ia akan mengajarimu, atau
kalau engkau memang tidak suka, biarlah kalau malam ia bersamaku, kalau siang
ia bersamamu. Dan engkau pun boleh minta tukar untuk malam ini dengan beberapa
saja selirku. Boleh kau pilih dan berapa banyaknya pun boleh untuk ditukar
dengan ia!”
“Kakanda! Pergilah! Keluar
dari sini!” Pangeran Souw Han berteriak dan Pangeran Souw Cun tertawa, akan
tetapi meninggalkan kamar itu dengan langkah tenang dan berlenggang penuh gaya.
Setelah pangeran itu pergi,
Pangeran Souw Han menutup pintu kamar, lalu menjatuhkan diri duduk di atas
kursi. Dadanya bergelombang, mukanya merah dan napasnya memburu karena dia tadi
menahan amarahnya.
Sejak tadi Liong-li
mengamatinya, dan ia tersenyum lalu menghampiri dan duduk di atas kursi dekat
dengan pangeran itu.
“Sudahlah, Pangeran. Tenangkan
hati paduka. Bahaya telah lewat dan agaknya dia tidak mencurigai kita.
Pangeran Souw Han mengepal
tinju. “Akan tetapi penghinaan-penghinaan itu! Terutama sekali kepadamu!
Sungguh tidak patut!”
Liong-li tersenyum. Memang
tadi iapun merasa marah sekali. Pangeran Souw Cun tidak pantas menjadi
pangeran, pantasnya menjadi seorang berandal, seorang penjahat yang tidak tahu
malu, yang siap menukarkan selir-selirnya dengan selir adiknya, begitu cabul,
begitu jorok dan hina.
“Bagaimanapun juga, paduka telah
berhasil mengusirnya, Pangeran, dan kita aman sudah. Saya yakin dia tidak akan
berani lagi datang mengganggu.”
“Hemm, aku belum begitu yakin.
Engkau tidak mengenal siapa Pangeran Souw Cun itu, enci Cu. Kalau sudah
menginginkan seorang wanita, sebelum berhasil, akan dia lakukan segala daya,
segala muslihat untuk mendapatkan wanita itu! Dan dia memiliki tukang-tukang
pukul yang lihai. Engkau sekarang harus lebih berhati-hati, enci Cu, karena
kulihat bahwa kakanda Souw Cun itu sangat menginginkanmu tadi. Selain si
Bayangan Iblis, engkau akan menghadapi musuh lain, yaitu kakanda Souw Cun dan
kaki tangannya.”
Liong-li tersenyum. “Saya
tidak khawatir, Pangeran. Sudah terbiasa saya oleh kepungan orang-orang yang
menjadi hamba nafsu iblis, dan selalu saya dapat mengatasi mereka.”
“Mudah-mudahan begitulah.
Hanya pesanku, malam nanti, malam pertama engkau melakukan penyelidikan, engkau
harus berhati-hati. Bagaimanapun juga, aku takkan dapat tidur karena gelisah
sebelum engkau kembali ke kamar ini.”
“Aihh, kalau begitu, malam
nanti bukan saya saja yang bergadang, akan tetapi paduka juga rupanya!”
Liong-li berkelakar. “Sebaiknya sekarang paduka tidur mengaso agar malam nanti
tidak terlalu payah.”
“Dan engkau sendiri? Nanti
malam engkau akan melakukan tugas yang amat berat dan berbahaya! Engkaulah yang
perlu mengaso.”
Liong-li tersenyum. “Aku tidak
pernah tidur siang, Pangeran. Dan untuk memulihkan tenaga dan menguatkan tubuh,
cukup dengan samadhi beberapa jam saja sambil mengatur pernapasan.”
“Kalau begitu, lakukanlah
samadhimu, dan aku akan tiduran sambil membaca kitab.”
Liong-li tidak sungkan-sungkan
lagi, melepaskan sepatunya dan naik ke atas pembaringan, lalu duduk bersila dan
mengatur pernapasan. Pangeran Souw Han sendiri lalu membawa kitab sajak dan
membaca kitab sambil rebahan di atas lantai yang bertilamkan permadani dan
ditambah dengan beberapa buah bantal.
Mereka hanya berhenti ketika
dua orang dayang mengetuk pintu kamar dan mengantar hidangan makan siang.
Kemudian mereka melanjutkan kesibukan masing-masing dan sampai hari menjadi
malam, sedikitpun juga sang pangeran tidak pernah mengganggu Liong-li, baik
dengan perbuatan, kata-kata bahkan dengan pandang mata sekalipun.
Dan kembali ada perasaan
penasaran dan kecewa di dalam hati Liong-li. Ia merasa seperti menjadi sebuah
kursi atau meja kembali. Sebuah kitab sajak agaknya jauh lebih menarik bagi
pamgeran itu dari pada dirinya! Sungguh keterlaluan!
◄Y►
Malam tiba. Sejak sore tadi,
sejak mereka makan malam bersama, sang pangeran sudah nampak gelisah dan
berulang kali dia memperingatkan Liong-li agar berhati-hati. Kemudian, setelah
mendekati tengah malam, Liong-li mengenakan pakaian serba hitam, menutupi pula
mukanya dengan saputangan hitam, tidak lupa membawa Hek-liong-kiam yang
disembunyikan di balik jubah hitam.
Melihat dandanan wanita itu,
Pangeran Souw Han memandang dengan kagum, akan tetapi juga dengan sinar mata
gelisah. “Engkau nampak gagah sekali, enci Cu, dan....... dan mengerikan.
Kuharap engkau dapat segera menyelesaikan penyelidikanmu dan kembali ke kamar
ini dengan selamat.”
“Tenangkanlah hati paduka dan
tidurlah, Pangeran. Paling lambat besok pagi-pagi sebelum matahari terbit saya
sudah akan kembali ke sini.”
“Engkau keluar melaksanakan
tugas yang berat, menghadapi ancaman bahaya dan aku disuruh tidur enak-enak di
sini? Bagaimana mungkin, enci Cu?”
“Akan tetapi, bukankah
biasanya setiap malam paduka juga tidur seorang diri di sini dan tidak pernah
gelisah?”
“Ketika itu belum ada engkau
di sini enci Cu. Sudahlah, harap engkau berhati-hati dan aku ikut mendoakan.”
“Terima kasih, Pangeran. Aku
pergi!” kata Liong-li yang sudah membuka daun jendela, dan sekali berkelebat,
ia sudah lenyap dari depan pangeran itu, seperti seekor burung terbang saja
lewat jendela yang terbuka.
Pangeran Souw Han terbelalak,
sejenak hanya melongo memandang ke arah jendela, lalu menarik napas panjang dan
menutupkan kembali daun jendela. Sudah sering dia melihat jagoan-jagoan istana
bermain silat dan memamerkan kelihaian mereka, akan tetapi baru sekarang dia
melihat ada gadis dapat menghilang begitu saja dari depan matanya.
Dengan gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali, Liong-li melompat
ke luar jendela dan langsung saja tubuhnya melayang ke atas genteng, Begitu
kedua kakinya menginjak genteng bangunan, ia mendekam dan sepasang matanya yang
tajam menyapu keadaan sekelilingnya. Sunyi dan cuacanya remang-remang karena
bulan sepotong sudah naik tinggi.
Setelah merasa yakin bahwa
tidak ada orang di atas genteng bangunan-bangunan besar di kompleks istana itu,
ia lalu mengeluarkan sehelai saputangan hitam dan ditutupnya mukanya bagian
bawah. Hanya dahi yang putih halus dan sepasang mata yang tajam mencorong saja
yang nampak dan ia sengaja membiarkan sebagian anak rambut menutupi dahi.
Takkan ada orang yang mengenal wajahnya sekarang.
Bagaikan seekor burung walet
saja, Liong-li meronda di atas atap kelompok rumah besar itu. Tubuhnya
berkelebat dan karena ia memakai pakaian hitam, maka gerakannya sukar diikuti
pandang mata, apa lagi dari bawah.
Setiap kali meloncat dari satu
ke lain wuwungan, ia mendekam dan mengintai sampai puluhan menit lamanya. Hawa
udara malam itu dingin sekali, akan tetapi tidak dirasakan oleh Liong-li. Ia
mengintai dan menanti dengan penuh kesabaran. Beberapa kali ia mendengus lirih
dan mengomeli diri sendiri karena pikirannya selalu teringat kepada Pangeran
Souw Han! Gila benar, ia sudah tergila-gila kepada pangeran itu!
Bukan main pangeran itu, dan
kalau dipertimbangkan, tidak bisa ia terlalu menyalahkan perasaannya yang
tertarik kepada pangeran itu. Baru pertama kali berjumpa, melihat wajahnya yang
tampan, sikapnya yang halus dan sopan, budi bahasanya yang lembut itu saja
sudah membuat ia kagum. Ketika mereka lebih dekat, ia mendapat kenyataan bahwa
bukan itu saja kelebihan pangeran ini. Juga seorang sasterawan, seorang
seniman, dan baik budi, ramah dan penuh perhatian! Betapa mudahnya membiarkan
hati ini jatuh cinta kepada Pangeran Souw Han, ia, melamun.
Huh, engkau bertugas,
menghadapi urusan penting yang berbahaya, bukan waktunya untuk melamunkan yang
muluk-muluk dan yang mesra-mesra! Demikian ia menegur diri sendiri dan kembali
perhatiannya ia tujukan ke luar, pandang matanya mengamati dengan tajam keadaan
sekelilingnya.
Tiba-tiba jantungnya berdebar.
Sesosok bayanpan berkelebat jauh di depan sana, di atas wuwungan atap bangunan
lain. Sekarang saatnya menangkap Si Bayangan lblis, pikirnya dan dengan
mengerahkan gin-kangnya, Liong-li meloncat dan berlari cepat dengan
loncatan-loncatan jauh menuju ke atap itu.
Bayangan hitam itu agaknya
hendak membuka genteng untuk melakukan pengintaian ke bawah. Terkejutlah
bayangan itu ketika tiba-tiba ada angin menyambar dan sebuah tangan meluncur ke
arah pundaknya. Akan tetapi, ternyata bayangan itu memiliki gerakan yang cepat.
Tubuhnya sudah telentang dan
bergulingan, lalu meloncat berdiri dan memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Dia
seorang yang tubuhnya tinggi besar, pakaian serba hitam dan mukanya tertutup
topeng merah yang ada dua lubang kecil untuk matanya.
Sejenak Liong-li dan orang itu
berdiri saling pandang. Sepasang mata di balik kedok itu mencorong pula seperti
mata Liong-li. Kemudian, tanpa mengeluarkan suara, bayangan hitam berkedok itu
menerjang ke arah Liong-li.
Dalam cuaca yang remang-remang
itu, Liong-li masih dapat melihat kilauan sebatang pedang yang menusuk
perutnya. Iapun mengelak dengan loncatan ke samping dan begitu sebelah kakinya
turun ke atas genteng, kaki yang lain sudah melayang dengan tendangan layang ke
arah kepala lawan! Orang itu terkejut, namun dapat pula mengelak.
Melihat gerakan orang,
Liong-li maklum bahwa lawannya cukup lihai, namun tidak cukup untuk membuat ia
harus mencabut pokiamnya (pedang pusakanya). Kalau tidak perlu sekali, ia tidak
akan mencabut Hek-liong-kiam, karena sekali dicabut, ada kemungkinan lawan akan
mengenal pedang itu dan sekali pedangnya dikenal, maka dirinyapun pasti akan
dikenal sebagai Hek-liong-li! Iapun mendesak dengan pukulan dan tendangan di
antara kilatan pedang lawan.
Bayangan hitam yang tinggi
besar itu agaknya tidak begitu bernafsu untuk berkelahi terus. Memang besar
bahayanya kalau berkelahi terlalu lama di atas wuwungan, karena tentu akan
menarik perhatian para penjaga keamanan dan kalau mereka melihatnya, tentu
keadaan menjadi berbahaya.
Dengan gerakan cepat dan kuat
sekali, tiba-tiba pedang itu menyambar dengan ganasnya ke arah leher Liong-li.
Pendekar wanita ini terkejut. Ini merupakan serangan yang amat berbahaya, maka
terpaksa ia melempar tubuh ke belakang sambil meloncat dan berjungkir balik sampai
tiga kali sebelum tubuhnya turun kembali ke atas genteng. Akan tetapi, ketika
ia sudah turun, dilihatnya lawannya tadi melarikan diri dengan cepat ke arah
timur.
Iapun mengejar sambil
mengerahkan ginkangnya. Akan tetapi bayangan itu lenyap di balik pagar tembok
yang memisahkan istana bagian pria dengan istana bagian wanita. Bayangan itu
datang dari balik pagar, dari istana bagian wanita! Sejenak ia berdiri
termenung. Siapakah bayangan itu? Seorang wanitakah? Akan tetapi tubuhnya
begitu tinggi besar! Iapun teringat akan keterangan Pangeran Souw Han bahwa
Permaisuri mempunyai banyak jagoan yang lihai!
Ia lalu berloncatan lagi dan
bersembunyi di balik sebuah wuwungan yang tinggi sambil mengenang peristiwa
yang baru saja terjadi. Mungkin seorang anak buah permaisuri, pikirnya.
Bagaimanapun juga, harus dicatat bahwa ada orang mencurigakan di bagian puteri.
Bukan tidak mungkin pemimpin gerombolan, yaitu Kwi-eng-cu, berada di bagian
puteri, mungkin sang permaisuri sendiri! Siapa tahu?
Kini ia mendekam di atas
wuwungan tempat tinggal Pangeran Souw Cun. Ia sudah mempelajari letak tempat
tinggal para pangeran dari Pangeran Souw Han, maka kini ia dapat mengetahui
bahwa ia berada di atas atap bangunan tempat tinggal Pangeran Souw Cun.
Dengan sabar ia mendekam dan
mengintai di situ. Akhirnya, lewat tengah malam, dia melihat sesosok bayangan
meloncat keluar dari dalam bangunan itu! Sekali ini, bayangan yang juga
berpakaian serba hitam, bertubuh tegap tidak begitu tinggi, akan tetapi juga
mukanya ditutup kedok yang berwarna hitam pula walaupun berbeda modelnya dengan
yang tadi.
Liong-li cepat menyergap untuk
menangkapnya. Karena ia muncul dengan tiba-tiba dan penuh perhitungan karena
tidak mau gagal lagi, Liong-li berhasil mencengkeram pundak orang itu.
“Ihhh......!” Liong-li berseru
lirih saking kagetnya ketika jari-jari tangannya bertemu dengan pundak yang
keras dan licin seperti besi sehingga cengkeramannya hanya merobek baju dan
meleset!
“Ahhhh.......!” Orang itu
agaknya juga terkejut dan kakinya menendang ke arah perut Liong-li. Namun
Liong-li kini mengerahkan tenaga dan sengaja menangkis untuk mengukur tenaga
lawan.
“Dukkk......!” Orang itu
kembali mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Akan
tetapi dia sudah meloncat ke balik wuwungan dan ketika Liong-li cepat mengejar,
bayangan itu sudah lenyap, mungkin turun kembali ke dalam bangunan itu!
Liong-li termenung sejenak!
Orang itu jelas bukan yang pertama tadi, akan tetapi juga amat lihai! Kalau
yang pertama tadi menghilang di balik tembok istana bagian puteri, kini orang
kedua ini menghilang ke dalam bangunan tempat tinggal Pangeran Souw Cun! Hemm,
siapakah di antara mereka itu Kwi-eng-cu? Ataukah hanya anak buah saja?
Siapakah yang memiliki peran dalam urusan rahasia Si Bayangan Iblis ini? Sang
Permaisuri ataukah Pangeran Souw Cun?
Kembali Liong-li melakukan
perondaan dan pengintaian, Namun, tidak ada sesuatu terjadi, tidak ada bayangan
hitam muncul. Ketika dari atas wuwungan ia melihat di ufuk timur sana ada
cahaya merah sang matahari, masih amat lembut, ia mengambil keputusan untuk
kembali ke tempat tinggal Pangeran Souw Han sebelum fajar menyingsing. Akan
tetapi tiba-tiba ia menyelinap ke balik wuwungan.
Dari arah barat nampak sesosok
bayangan hitam, berlari cepat sekali, berloncatan dari wuwungan ke wuwungan
yang lain. Kini bayangan itu tubuhnya tinggi kurus, berbeda pula dengan yang
tadi. Liong-li tidak menyerang, hanya berniat membayangi. Akan tetapi, bayangan
yang satu inipun, lihai sekali. Agaknya tahu bahwa ada orang yang membayanginya,
maka tiba-tiba saja tubuhnya meluncur ke arah Liong-li yang membayangi sambil
bersembunyi dan menyelinap di bilik wuwungan, Tiba-tiba si bayangan hitam yang
tinggi kurus sudah menerjangnya dari atas seperti seekor burung garuda!
“Hemm.......!” Liong-li
menyambut pukulan kedua tangan terbuka itu dengan kedua tangannya sendiri yang
juga dibuka.
“Dessss.......!”Akibatnya,
tubuh Liong-li terjengkang dan untung ia masih mampu berjungkir balik sehingga
tidak terbanting! Akan tetapi lawannya yang tadi menyerangnya dari atas juga
terpental ke belakang dan seperti juga Liong-li, orang tinggi kurus ini
berjungkir balik dan dapat hinggap di atas genteng tanpa cidera. Keduanya
sejenak saling pandang dari balik topeng, kemudian orang tinggi kurus itu,
menggerakkan kedua tangan. Benda-benda kecil hitam menyambar ke arah tubuh
Liong-li, dari kepala sampai kaki!
Pendekar ini kembali terkejut
dan maklum betapa berbahayanya senjata-senjata rahasia yang menyambar dengan
cepat itu. Iapun menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak dengan loncatan
ke samping, akan tetapi tangannya menyambar, dan ia berhasil menangkap sebuah
benda hitam yang ternyata hanyalah pecahan genteng!
Senjata seperti ini dapat
dipergunakan setiap orang dan tidak dapat ia jadikan bukti untuk kelak mengenal
siapa lawannya.” Ia melihat tubuh lawan sudah melayang menjahuinya. Dengan
gemas ia lalu menggerakkan tangan, mengembalikan “senjata rahasia” itu ke arah
pemiliknya. Lalu ia mengejar.
Ternyata orang ketiga ini
malah lebih lihai dibandingkan dua orang pertama. Tanpa menoleh, sambil tetap
berlari, ia menjulurkan tangan ke belakang dan menangkis pecahan genteng yang
menyambarnya. Liong-li mengejar terus dan melihat orang itu lenyap di balik
wuwungan sebuah bangunan, yang ia tahu adalah tempat tinggal Pangeran Kim Ngo
Him, yaitu seorang di antara mantu kaisar!
Liong-li tertegun. Malam ini
ia bertemu tiga orang yang lihai dan ia tahu bahwa di istana ini berkeliaran
banyak jagoan yang lihai, orang-orang berkedok yang penuh rahasia. Akan tetapi
ia tidak tahu yang mana Si Bayangan Iblis dan di mana sembunyinya.
Betapapun juga, ia merasa puas
karena malam pertama ini ia dapat bertemu dengan tiga orang berkedok yang
melarikan diri ke arah tiga tempat yang berlainan. Iapun cepat pulang dengan
cara menyelinap ke sana-sini dan yakin bahwa tidak ada orang yang tahu ketika
ia melayang turun ke tempat tinggal Pangeran Souw Han. Ia membuka daun jendela
tanpa menimbulkan suara, meloncat ke dalam dengan hati-hati agar tidak
mengejutkan Pangeran Souw Han yang ia tahu pasti masih tidur nyenyak.
“Enci Cu.......! Akhirnya
engkau kembali juga......!”
“Ehhh......” Liong-li melepas
sapu tangan dari mukanya dan memandang kepada pangeran itu dengan mata
terbelalak. Kiranya pangeran itu masih duduk di atas lantai dengan sebuah kitab
di tangannya. “Pangeran, sepagi ini paduka sudah bangun dari tidur?”
Pangeran itu tersenyum. Masih
ada kegelisahan yang bersisa di sudut matanya, namun senyumnya cerah, wajahnya
membayangkan kegembiraan. “Enci Cu, bagaimana mungkin aku dapat tidur? Semalam
suntuk aku gelisah menanti-nanti kembalimu!”
“Aduh, pangeran! Paduka
bergadang pula semalam suntuk?” Ada rasa haru dan gembira menyelinap di dalam
hati wanita itu.
Bagaimana hatinya tidak akan
terharu dan bangga, juga gembira melihat kenyataan betapa pangeran yang ganteng
ini begitu mengkhawatirkan dirinya sehingga semalam suntuk tidak tidur untuknya
dan selalu mengharapkan kembalinya? Ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa
Pangeran Souw Han mencintanya!
Pangeran itu agak tersipu.
“Sudah kuusahakan untuk memejamkan mata, namun sia- sia. Bahkan membacapun
tidak dapat kucerna, karena pikiran ini selalu membayangkan engkau berada dalam
ancaman bahaya besar. Enci Cu, kini hatiku demikian lega dan aku merasa lelah
dan mengantuk sekali.”
“Pangeran, paduka harus tidur.
Kasihan sekali, tidurlah di atas pembaringan itu, pangeran, dan saya.......”
Liong-li tersenyum dan menghentikan ucapannya, lalu menghampiri.
Pangeran itu telah tertidur!
Tertidur dengan tarikan napas yang halus dan mulutnya masih mengembangkan
senyum, tangannya masih memegang sebuah kitab. Dengan lembut, Liong-li
mengambil kitab yang hampir terlepas di tangan kiri itu, lalu mengambil selimut
dari atas pembaringan karena hawa udara yang dingin menembus ke dalam kamar,
lalu dengan hati-hati ia menyelimuti tubuh pangeran itu dari kaki sampai ke
leher.
Melihat betapa pangeran itu
tidur pulas sekali, dan kepalanya tidak berbantal, ia lalu mengambil sebuah
bantal dari pembaringan, dan dengan hati-hati ia memasukkan lengan kiri ke bawah
leher sang pangeran, mengangkat kepala itu dan mendorongkan bantal ke bawah
kepala. Kepala yang berada di rangkulan lengan kiri itu ketika ia angkat,
berada dekat sekali dengan mukanya. Maka pangeran itu nampak demikian tampan,
demikian lembut.
Perasaan haru dan mesra
menyelinap di dalam hati Liong-li membuat ia makin menunduk dan hampir ia
mencium pipi atau bibir itu. Akan tetapi, keteguhan hatinya bergerak menolak
dan menentang. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang!
Ia perlahan-lahan menurunkan kepala
itu ke atas bantal, lalu cepat-cepat ia bangkit berdiri. Dadanya masih tergetar
oleh gairah dan ia cepat melangkah mundur. Ia tidak boleh berada di sini selagi
sang pangeran tidur, bukan saja ia tidak mau mengganggu pangeran yang kelelahan
dan kurang tidur itu, juga ia menganggap terlalu berbahaya. Ia juga takkan
dapat beristirahat kalau berada di kamar itu, harus selalu berjuang melawan
gairah nafsunya sendiri.
Setelah memandang sekali lagi
ke arah wajah itu dan tersenyum, dengan pandang mata menjadi lembut mengandung
kasih sayang. Liong-li berganti pakaian dan meninggalkan kamar itu, menutupkan
pintunya perlahan dan iapun pergi ke ruangan para dayang.
Pagi itu lima orang dayang
telah terbangun dan sedang sibuk bekerja. Ada yang menyiapkan sarapan pagi
untuk pangeran, ada yang mencuci pakaian, membersihkan lantai, membersihkan
semua perabot rumah, menyapu pekarangan dan sebagainya. Melihat sang “selir”
pangeran sudah terbangun sepagi itu, mereka merasa heran, akan tetapi menyambut
majikan baru ini dengan hormat dan ramah. Mereka menghaturkan selamat pagi dan
menawarkan sarapan pagi, tidak tahu apakah selir pangeran itu akan sarapan pagi
hersama pangeran nanti kalau sudah bangun tidur, atau makan pagi sendirian.
“Aku ingin sarapan di sini
saja, beberapa butir telur dan bubur, dan air teh panas. Juga tolong sediakan
air hangat, aku ingin mandi. Pangeran masih tidur, harap jangan membuat gaduh
dekat kamar.”
Liong-li mandi air hangat dan
merasa segar kembali walaupun semalam ia tidak tidur sama sekali. Dan sarapan
itu membuat kekuatan tubuhnya pulih, akan tetapi sehabis makan, datanglah rasa
kantuk.
Selagi ia berniat untuk
kembali ke kamar dan melepas kantuknya, tiba-tiba muncul Pangeran Souw Cun
bersama dua orang pengawalnya, dua orang laki-laki berusia empatpuluh tahunan
yang berpakaian ringkas dan bertubuh tegap.
Lima orang dayang tentu saja
terkejut dan mereka segera memberi hormat dengan membungkuk hampir berlutut.
Akan tetapi Souw Cun tidak memperdulikan mereka, melainkan memandang kepada
Liong-li yang sedang duduk. Sikapnya tidak seperti kemarin, ramah gembira. Kini
wajahnya berkerut marah.
“Nah ini ia orangnya! Tangkap
ia!” perintahnya kepada dua orang pengawal. Agaknya ia sudah memberitahu kepada
dua orang pengawalnya bahwa yang akan ditangkap adalah seorang wanita yang
memiliki kepandaian tinggi, agar mereka berdua berhati-hati.
Kini melihat bahwa yang harus
mereka tangkap itu seorang wanita yang cantik dan lembut, dua orang pengawal
itu saling pandang dan merasa heran. Akan tetapi mereka tidak berani melanggar
perintah majikan mereka dan sekali meloncat mereka sudah berada di kanan kiri
Liong-li dan sekali menggerakkan tangan mereka sudah menangkap lengan Liong-li.
Cengkeraman mereka itu kuat sekali.
Kalau Liong-li menghendaki,
tentu saja ia akan mampu membela diri, bahkan merobohkan dua orang laki-laki
itu, akan tetapi ia tidak berani membocorkan rahasia dirinya, karena hal itu
bukan saja akan membahayakan dirinya sendiri, bahkan juga membahayakan Pangeran
Souw Han. Maka, biarpun cengkeraman itu menyakitkan lengannya, ia tidak mau
mengerahkan tenaga sin-kang dan bahkan merintih kesakitan.
“Auhhh......, lepaskan... ah,
apa kesalahanku, Pangeran? Lepaskan saya!”
Ketika merasa betapa tangan
mereka mencengkeram sebuah lengan yang lunak dan tidak bertenaga, dua orang
pengawal itu merasa heran dan tentu saja mereka segera mengendurkan
cengkeraman. Mereka adalah jagoan-jagoan, tentu saja merasa malu kalau harus
menggunakan kepandaian untuk menghadapi seorang wanita yang lemah.
“Hemm, engkau mata-mata busuk!
Diam kau!” bentak Pangeran Souw Cun kepada. Liong-li, kemudian mengangguk
kepada dua orang pengawalnya, “Bawa ia!”
Liong-li meronta dan pura-pura
ketakutan, namun dua orang pengawal itu menarik dan setengah menyeretnya pergi
dari situ, diikuti oleh Pangeran Souw Cun. Diam-diam Liong-li merasa girang
karena ia mengharapkan terbongkarnya rahasia Kwi-eng-cu. Apakah pangeran
congkak ini yang memegang peran dalam rahasia Si Bayangan Iblis?
Ia tentu akan tahu nanti. Ia
tidak khawatir karena kalau tiba saat terakhir, di mana nyawanya terancam,
tentu ia akan memberontak dan membela diri. Bahkan sekarangpun kalau ia mau, ia
dapat menjerit dan tentu Pangeran Souw Han akan menolongnya. Akan tetapi ia
sengaja tidak menjerit, pura-pura tidak berani menjerit seperti halnya lima
orang dayang itu. Belum saatnya ia membutuhkan pertolongan Pangeran Souw Han.
Liong-li dibawa ke dalam
tempat tinggal Pangeran Souw Cun, dan ketika mereka memasuki ruangan dalam, dua
orang pengawal itu mendorongnya masuk. Dorongan itu cukup kuat dan Liong-li
terpaksa harus pura-pura tersungkur ke atas lantai ruangan itu, merintih dan
mengaduh.
“Heh-heh-heh, nona. Tidak
perlu lagi bermain sandiwara seperti itu, heh-heh!” terdengar suara parau.
Liong-li pura-pura terkejut
ketakutan, mengangkat mukanya dan memandang dalam keadaan masih terduduk di
atas lantai. Kiranya di dalam kamar itu terdapat seorang laki-laki tua berusia
enampuluh tahun lebih, berpakaian seperti seorang sasterawan. Tubuhnya tinggi
kurus dan agak bongkok. Kakek ini adalah Bouw Sian-seng, yaitu guru yang
mengajarkan sastera kepada Pangeran Souw Cun.
“Heh-heh, Pangeran. Ia hanya
pura-pura. Jangan paduka terkena tipuannya, heh-heh!” katanya lagi.
Kini dia sudah bangkit berdiri
dan menggerak-gerakkan kedua tangan yang berlengan lebar itu. Pakaiannya mewah,
bahkan ada hiasan emas pada kancing bajunya, dan juga pada rambutnya. Akan
tetapi Liong-li melihat betapa kumis dan jenggot orang ini kotor dan tidak
terawat baik, tanda bahwa di balik kemewahan pakaian itu, sebenarnya dia
seorang yang jorok.
“Ketika pertama kali bertemu,
akupun sudah menduga begitu, Sian-seng. Ia tentu berbahaya sekali, sudah
berhasil menyelundup ke istana!” Pangeran itu kini duduk di atas kursi, dan dua
orang pengawalnya berdiri di belakangnya, siap membela majikan mereka. Hanya
ada empat orang, pikir Liong-li yang masih menangis lirih. Dua orang pengawal
itu tidak ada artinya baginya. Yang perlu dihadapi dengan hati-hati adalah
pangeran itu sendiri dan agaknya kakek inipun menyembunyikan keadaan dirinya
yang sebenarnya.
Ia mengingat-ingat siapakah
gerangan kakek ini, apakah seorang tokoh kang-ouw, tokoh dunia sesat? Ia tidak
pernah bertemu dengan kakek ini. Dia inikah yang menjadi dalang keributan Si
Bayangan Iblis itu? Semua kemungkinan ada selama rahasia itu belum dapat ia
pecahkan.
“Sudah, tidak perlu
berpura-pura menangis, pura-pura sebagai seorang wanita lemah!” bentak Pangeran
Souw Cun. “Hayo mengaku saja terus terang siapa engkau sebenarnya, dan apa
maksudmu menyelundup ke dalam istana?”
Dengan air mata bercucuran,
Liong-li mengangkat muka memandang pangeran itu. “Saya..... hamba...... tidak
mengerti apa maksud paduka...? Hamba bernama Siauw Cu, hamba tadinya seorang
dayang Yang Mulia Permaisuri...... hamba lalu diberikan kepada Pangeran Souw Han.....
hamba hanya melaksanakan perintah.... dan semua sudah paduka ketahui.....”
“Bohong!” Pangeran Souw Cun
membentak marah. “Semua itu bohong! Engkau tentu mata-mata yang diselundupkan
ke sini!”
“Hamba tidak berbohong......!”
“Heh-heh, ia memang pandai
bersandiwara, Pangeran. Tentu ada hubungannya dengan gadis yang bekerja di
dapur istana itu....... heh-heh......”
Diam-diam Liong-li terkejut.
Kakek bongkok itu ternyata cerdik sekali. Menghubungkan ia sebagai dayang
dengan gadis di dapur yang tentu dimaksudkan Akim, gadis penyamarannya pula.
“Hayo katakan, engkau tentu
mengenal. Akim, gadis pelayan di dapur itu, bukan?”
“Hamba tidak...... tidak tahu,
hamba tidak mengenal siapapun di dapur istana.”
“Heh-heh-heh, Pangeran, tidak
ada cara yang lebih manjur untuk memaksa seorang wanita muda mengaku dosanya
dari pada mengancamnya dengan perkosaan!”
“Hayo mengaku kau! Kalau
tidak, aku akan menyuruh beberapa orang pengawalku untuk memperkosamu
bergiliran!” bentak pula Pangeran Souw Cun, lalu dia menghampiri Liong-li,
tangannya meraih dan mencengkeram baju wanita itu di bagian dada. Liong-li
mempertahankan bajunya, berlagak ketakutan.
“Jangan, Pangeran...... ah,
jangan......!”
Pangeran Souw Cun mengerahkan
tenaga menarik baju itu dengan sentakan kuat. “Brett......!” Baju itupun robek
dan nampaklah dada Liong-li yang sengaja tidak mempertahankan bajunya. Ia hanya
dapat menangis dan menutupi dada dengan kedua tangannya, menarik-narik baju
yang terobek itu untuk menutupi dadanya yang terbuka.
“Ampun, Pangeran. Jangan
perkosa saya...... ah, mengapa paduka melakukan ini kepada hamba? Hamba sudah
menjadi selir Pangeran Souw Han, beliau amat mencinta hamba...... dan hamba
bekas dayang kesayangan Yang Mulia Permaisuri. Kalau hamba diperkosa di sini,
kalau hamba dibunuh, tentu Pangeran Souw Han dan Permaisuri akan marah
sekali......, jangan hamba yang tidak berdosa ini disiksa......”
Pangeran Souw Cun bermain mata
dengan Bouw Sian-seng. Kakek itu memberi isyarat dengan gelengan kepala. Mereka
berdua tahu betapa benarnya ucapan wanita itu.
Kalau sampai ia diperkosa atau
dibunuh, tentu akan mereka hadapi akibatnya yang cukup hebat dan menambah kacau
keadaan. Tentu Pangeran Souw Han akan marah sekali, juga permaisuri takkan
tinggal diam. Hal itu amat merugikan.
“Huh, siapa yang mau
memperkosa seorang mata-mata, seorang wanita palsu seperti engkau? Aku hanya
ingin memberi hajaran agar engkau mengaku!” Lalu kepada dua orang pengawalnya,
Pangeran Souw Cun berkata, “Hajar ia dengan sepuluh kali cambukan!”
Dua orang pengawal yang sudah
biasa bertindak sebagai algojo itu cepat maju. Seorang dari mereka memaksa
Liong-li untuk berlutut dan bertiarap dengan punggung dan pinggul telanjang,
dan seorang lagi lalu mengayun sebatang cambuk.
“Tarrr......!“ Pecut panjang
itu untuk pertama kali menyambar dan menyengat punggung Liong-li.
Nampak guratan merah pada
kulit yang putih mulus itu. Liong-li menjerit dan merintih kesakitan. Akan
tetapi cambuk itu menyambar lagi, dua kali, tiga kali, mengenai pinggul,
punggung sampai lima kali! Liong-li terkulai, dan Pangeran Souw Cun mengangkat
tangan.
“Cukup!” Dan cambukan keenam
tidak dilakukan. Punggung dan pinggul yang berkulit putih mulus itu kini penuh
jalur-jalur merah, bahkan di sana-sini terluka, kulitnya pecah berdarah.
“Engkau masih belum mau
mengaku siapa dirimu sebenarnya dan siapa yang memperalat kamu menjadi
mata-mata. Kalau tidak mau mengaku, akan kusuruh cambuk lagi sampai engkau
mampus!” kata Pangeran Souw Cun, kini kata-katanya tidak “terpelajar” lagi,
melainkan kasar.
Liong-li tidak bermain
sandiwara kalau ia menyeringai kesakitan. Memang bukan main nyerinya dicambuki
seperti itu. Perih, panas dan rasa nyeri hampir tak tertahankan. Ia menggeleng
kepala. “Hamba tidak bohong, hamba Siauw Cu....... dayang permaisuri.......
selir Pangeran Souw Han.......”
“Heh-heh, Pangeran. Saya
mempunyai cara lain yang membuat ia harus mengaku. Ia tidak akan dapat menahan
rasa nyerinya!” Terbongkok-bongkok Bouw Sian-seng menghampiri Liong-li, lalu
menjambak rambut pada pelipis kanan kiri dengan kedua tangannya.
“Nona, kalau engkau tidak mau
mengaku, akan kucabut rambut ini dari pelipismu sampai kulitnya terkupas!
Katanya sambil menyeringai dan dia mulai menarik rambut di kedua pelipis itu.
Liong-li terbelalak saking
nyerinya. Kiut miut rasanya, rasa nyeri yang menyengat sampai ke ubun-ubun
kepalanya. Hampir saja ia menggerakkan tangan. Sekali pukul saja tentu ia akan
dapat membunuh kakek yang menyiksanya ini. Akan tetapi belum saatnya. Ia tahu
bahwa kakek itu hanya menggertak. Pelipisnya tidak akan robek. Mereka tidak
akan berani membunuhnya.
“Saya...... saya tidak.....
tidak bohong.......”
“Kanda Souw Cun......!”
Tiba-tiba terdengar teriakan di luar pintu.
Mendengar ini, Bouw Sian-seng
cepat melepaskan rambut di kedua pelipis Liong-li dan pendekar wanita inipun
jatuh terkulai, merintih lirih, akan tetapi hatinya lega bukan main mendengar
suara Pangeran Souw Han di pintu.
“Nah, dia datang......” bisik
Souw Cun, pangeran yang kini berbalik merasa khawatir.
“Katakan saja ia kurang ajar
terhadap paduka, memandang rendah......” bisik Bouw Sian-seng.
Daun pintu kamar itu didorong
dari luar dan masuklah Pangeran Souw Han dengan muka pucat. Dia segera melihat
Liong-li yang mendekam di atas lantai dengan tubuh bagian belakang telanjang
dan berdarah.
“Ya Tuhan! Kanda Souw Cun, apa
yang kaulakukan ini? Siauw Cu......!” Pangeran Souw Han menubruk dan merangkul
Liong-li. Wanita ini menangis tersedu-sedu.
“Pangeran.......”
Pangeran Souw Han menanggalkan
baju luarnya dan menyelimuti tubuh Liong-li dengan jubahnya, menariknya bangkit
berdiri. Dengan lunglai wanita itu bersandar kepadanya dan Pangeran Souw Han
merangkulnya, kemudian Pangeran Souw Han kembali memandang Pangeran Souw Cun
dengan mata bernyala karena marah.
“Kanda Souw Cun, apa artinya
ini? Engkau..... engkau sudah berani menghinaku! Siauw Cu ini selirku, kenapa
engkau berani menangkapnya dan...... dan apa yang kaulakukan kepadanya ini?
Jawab! Kenapa? Atau kulaporkan kepada Ibunda Permaisuri, kepada Sribaginda?”
Dan sinar matanya yang penuh
kemarahan itu juga memandang kepada Bouw Sian-seng yang berdiri agak jauh
sambil menundukkan mukanya. Dua orang pengawal Pangeran Souw Cun juga diam
seperti patung. Mereka tidak merasa khawatir karena mereka hanyalah pelaksana
perintah Pangeran Souw Cun.
Pangeran Souw Cun tersenyum.
“Adikku. yang baik, jangan salah paham. Aku sama sekali tidak bermaksud
menghinamu. Akan tetapi sudah kuperingatkan engkau. Wanita ini..... ia bersikap
kurang ajar kepadaku, bahkan ia berani merayuku......”
“...... tidak benar,
Pangeran.....!” Liong-li Membantah.
“Ha-ha-ha, tentu saja ia
ingkar dan tidak berani mengaku. Akan tetapi, Bouw Sian-seng, ini dan dua orang
pengawalku menjadi saksinya!”
Souw Han menegakkan kepalanya.
Kalau dia melaporkan kepada Permaisuri dan Kaisar tentu akan terjadi heboh, dan
kakak tirinya yang licik ini dapat mengajukan tiga orang itu sebagai saksi dan
dia akan tersudut.
“Hemm, kanda Souw Cun. Aku
mengenal selirku, ia tidak mungkin berani berbuat seperti itu! Siauw Cu,
katakan, apa yang telah dilakukan kanda Souw Cun kepadamu! Engkau tidak......
tidak dihina, di...... nodai, bukan? Aku tidak terima begitu saja!”
Liong-li maklum bahwa Pangeran
Souw Han marah sekali. Tidak baik kalau dibiarkan begini. Berbahaya sekali bagi
pangeran yang disayangnya itu.
“Tidak, Pangeran.....
saya....... saya hanya dicambuk... lima kali!” kata Liong-li lirih.
“Mana orangnya yang
mencambukmu?”
Liong-li memandang kepada dua
orang pengawal yang masih berdiri tegak.
“Mereka itu? Jahanam busuk,
kalian harus menerima pembalasan!” Pangeran Souw Han mengambil cambuk yang
masih terletak di situ, lalu menggunakan cambuk itu untuk mencambuki dua orang
pengawal.
Dua orang pengawal itu tidak
berani melawan, bahkan tidak berani mengelak, terpaksa menerima cambukan-cambukan
dari pangeran yang sedang marah dan mengamuk itu. Sampai cabik-cabik pakaian
mereka dan ada jalur-jalur merah di muka mereka.
“Cukup dinda Souw Han! Selirmu
dicambuk lima kali dan engkau sudah membalas belasan kali!”
Souw Han melempar cambuk itu
ke atas lantai. Mukanya merah karena marah dan dia menuding kepada kakaknya
dengan mata melotot.
“Untung bukan engkau yang
mencambuki Siauw Cu, kanda Souw Cun. Kalau engkau sekali pun, pasti akan
kubalas! Tak seorang pun boleh menghina Siauw Cu, berarti menghina aku. Kanda
tahu bahwa aku tidak pernah memusuhimu atau siapapun. Aku pura-pura tidak tahu
saja akan segala kebusukkan yang terjadi di sini! Aku tahu bahwa engkau juga
bersaing memperebutkan kekuasaan. Aku tidak perduli semua itu, akan tetapi mengapa
engkau berani mengganggu Siauw Cu?”
Liong-li melihat dari sudut
matanya betapa Pangeran Souw Cun bertukar pandang dengan Bouw Sian-seng. Ia
tidak perlu melapor kepada Pangeran Souw Han bahwa Bouw Sian-seng tadi
menyiksanya. Kakek itu berbahaya sekali.
“Adikku Souw Han. Engkau lebih
memberatkan selirmu dari pada kakakmu, aku? Aih, sudahlah. Maafkan. Kalau tadi
aku menghukumnya adalah karena aku merasa dihina, dan bukan karena ia hanya
seorang bekas dayang, seorang janda...... dan ah, terus terang saja tadinya
kami mencurigai selirmu ini. Kami mengira bahwa ia seorang mata-mata yang
menyelundup. Aku melakukannya karena sayang kepadamu adikku.
“Kalau ia mata-mata yang
menyelundup ke dalam istana dan menipu Ibunda Permaisuri dan juga menipumu,
bukankah itu berbahaya sekali, dinda? Karena itu, hukuman cambuk tadi
sesungguhnya hanya untuk mengujinya, apakah ia seorang mata-mata berbahaya yang
memiliki kepandaian tinggi dan berniat jahat atau bukan.”
“Hemm, betapa kejamnya! Dan
bagaimana kenyataannya? Lihat, punggung selirku luka-luka berdarah! Dan ia sama
sekali tidak berdosa. Ia wanita pertama dan satu-satunya yang kucinta, dan
engkau menyuruh algojo-algojomu mencambukinya.”
“Sudahlah, adinda yang baik.
Aku sudah minta maaf, bukan? Ini hanya kesalah pahaman saja. Biarlah lain hari
aku memberi hadiah untuk selirmu ini, untuk menyatakan penyesalan dan maafku.”
.
“Hemm......!” Pangeran Souw
Han menggandeng lengan dan merangkul pundak Liong-li lalu dipapahnya wanita itu
keluar dari situ, terus menuju ke tempat tinggalnya sendiri. Dia menyesal
sekali mengapa para dayangnya tadi terlambat membangunkannya.
Para dayang itu tadi
kebingungan melihat Liong-li ditangkap Pangeran Souw Cun. Untuk melaporkan hal
itu kepadanya, mereka tidak berani karena tidak berani mengganggu dia yang
sedang tidur.
Akhirnya, mereka itu setelah
saling dorong, memberanikan diri beramai-ramai memasuki kamarnya dan
membangunkannya, melaporkannnya. Dia terkejut sekali dan cepat berlari mengejar
ke tempat tinggal Pangeran Souw Cun. Namun sudah agak terlambat. Liong-li telah
dicambuk lima kali sampai leher, punggung dan pinggulnya luka-luka!
Setelah Souw Han dan selirnya
pergi, Pangeran Souw Cun mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. “Sialan,
ternyata perempuan itu orang lemah, bukan seorang perempuan yang berbahaya
seperti yang kita sangka!”
Bouw Sian-seng
mengangguk-angguk. “Biarpun tadinya mencurigakan, akan tetapi setelah kita
menyiksanya, jelas bahwa ia seorang yang lemah, sama sekali tidak melawan. Kita
telah salah sangka, Pangeran.”
“Hemmm, justeru itu celakanya.
Ia seorang perempuan biasa, akan tetapi peristiwa ini mendatangkan bahaya baru
yang hebat dan yang mengancam kita! Aku khawatir sekali......!”
“Heh-heh-heh, paduka bersikap
seolah-olah sudah tidak ada hamba di sini, Pangeran. Apa yang menggelisahkan
paduka, katakan saja dan hamba yang akan membereskan!”
“Kaudengar tadi ucapan dinda
Souw Han? Dia agaknya telah mengetahui semua rahasiaku!”
“Beliau tadi sedang marah,
Pangeran. Mungkin itu hanya gertakan saja karena sedang marah.”
“Hemm, dinda Souw Han bukan
seorang yang suka bicara bohong atau menggertak. Kalau dia bicara, tentu hal
itu benar. Sungguh tidak kuaangka, dia nampaknya tidak perduli dan tidak
memperhatikan, akan tetapi dia tahu semua rahasiaku. Ini berbahaya sekali!”
“Lalu, apa yang harus hamba
lakukan, Pangeran?”
Pangeran Souw Cun mengerutkan
alisnya dan menggeleng kepala. “Jangan lakukan apa-apa, hal ini harus
kupikirkan masak-masak lebih dulu. Orang seperti Souw Han lebih baik dijadikan
sekutu dari pada lawan. Dia disuka oleh semua pangeran, termasuk aku. Dan
ibunda Permaisuri juga amat suka kepadanya. Sulit....... sulit biar kupikirkan
masak-masak hal ini.”
◄Y►
“Aih, kasihan sekali engkau,
enci Cu.....!” kata Pangeran Souw Han ketika dia memapah Liong-li memasuki
kamarnya, disambut oleh lima orang dayang yang memandang dengan mata terbelalak
dan hati tegang. Pangeran Souw Han memapah Liong-li ke pembaringan. Akan
tetapi, ketika pendekar wanita itu duduk, ia mengeluh karena pinggulnya yang
terkena lecutan tadi perih.
“Sakitkah, enci Cu?Engkau
rebah dulu, aku akan memanggil tabib......” Dia membantu Liong-li merebahkan
diri, akan tetapi begitu telentang, Liong-li merintih, lalu terpaksa miringkan
tubuhnya agar bagian yang luka-luka tidak terhimpit.
“Auhhhh......”
“Kasihan engkau, kalau tidak
bisa untuk telentang, engkau miring atau telungkup, enci Cu. Aku akan memanggil
tabib sekarang.”
“Jangan, Pangeran. Tidak usah.
Lebih baik keadaan saya ini tidak diketahui orang luar, dan harap pesan kepada
para dayang agar merahasiakan peristiwa ini. Saya dapat mengobatinya sendiri,
saya mempunyai obat luka yang manjur......”
“Engkau benar, enci Cu. Akan
kupanggil mereka semua.” Pangeran Souw Han bertepuk tangan lima kali dan
bermunculanlah lima orang dayang itu memasuki kamar.
“Kalian berlima harus
melupakan semua yang terjadi tadi, dan tidak menceritakan kepada siapapun juga.
Peristiwa yang menimpa nyonya muda tadi tidak pernah terjadi. Mengerti?”
“Hamba mengerti, Pangeran,”
kata mereka.
“Tolong disediakan air hangat-hangat
kuku dalam sebuah panci dan bawa ke sini......” kata Liong-li kepada mereka.
Mereka izin pergi dan menutup kembali daun pintu kamar.
“Terima kasih, Pangeran.
Untung paduka cepat datang.”
“Enci Cu, kenapa engkau
membiarkan dirimu disiksa seperti itu? Engkau seorang yang berilmu tinggi,
kenapa tidak kau hajar saja mereka itu?”
Liog-li tersenyum. “Harap
paduka ingat bahwa tugas saya adalah melakukan penyelidikan, bukan mengamuk dan
membuat kacau di istana. Mereka agaknya mencurigai saya, kalau saya saya
memperlihatkan kepandaian, berarti rahasia saya akan terbuka. Kini mereka akan
menganggap saya seorang wanita biasa yang lemah, dan tidak akan mengganggu saya
lagi sehingga saya dapat bekerja dengan baik tanpa dicurigai dan diawasi.”
“Hemmm, tapi engkau membiarkan
kulit punggung dan pinggulmu pecah-pecah berdarah. Di mana obat luka itu?”
“Di dalam buntalan pakaian
saya di almari, Pangeran. Biar saya ambil sendiri dan akan saya obati setelah
nanti air panas itu tersedia......” Liong-li hendak bangkit, akan tetapi ia
menyeringai ketika bangkit duduk. Pangeran Souw Han cepat memegang pundaknya
dan dengan halus membantunya rebah miring kembali.
“Aih, enci Cu. Engkau terluka
dan menderita nyeri. Biarlah aku yang mengambilkan obat dalam buntalan itu.”
“Terima kasih, Pangeran.”
Pangeran Souw Han, mencari
buntalan dalam almari, membukanya dan atas petunjuk Liong-li dia mengeluarkan
sebuah bungkusan kertas di mana terdapat obat bubuk putih.
“Saya dapat mengobati sendiri
luka-luka ini, Pangeran.”
“Enci Cu, bagaimana mungkin
engkau akan dapat mengobati luka di punggung dan pinggulmu sendiri?
Melihatnyapun tidak dapat. Biar aku yang mengobati, enci Cu.”
“Ah, Pangeran. Saya hanya
membikin repot paduka saja......,” kata Liong-li, akan tetapi di dalam hatinya
ia memaki diri sendiri.
Engkau munafik! Sejak tadi ia
sudah bersandiwara. Kalau di depan Pangeran Souw Cun ia bersandiwara, hal itu
ia lakukan demi tugasnya, demi rahasia dirinya agar jangan terbongkar. Akan
tetapi setelah bersama Pangeran Souw Han, ia masih saja sejak tadi
bersandiwara.
Luka-luka lecutan seperti itu
saja bagi seorang pendekar wanita seperti Liong-li, sedikitpun tidak ada
artinya! Rasa nyeri seperti itu saja tidak akan terasa olehnya. Jangankan
sampai membuat ia mengeluh dan merintih, berkedip pun tidak!
Ia sudah mengalami bahaya dan
luka-luka yang lebih hebat lagi. Akan tetapi bukan saja ia mengeluh dan
merintih, juga ia pura-pura tidak dapat duduk dan tidak dapat rebah telentang!
Makin sering Pangeran Souw Han
memandangnya dengan sinar mata mengandung iba besar dan mulut mengacapkan
kata-kata “kasihan”, rintihan yang keluar dari mulut Liong-li semakin
mengenaskan! Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia berubah demikian! Ingin
rasanya ia menampar kepala sendiri, memaki diri sendiri.
“Jangan sungkan enci Cu. Nah,
itu air hangatnya datang.”
Seorang dayang, setelah
mengetuk pintu dan diperbolehkan masuk, membawa panci besar terisi air yang
masih mengepulkan uap.
“Taruh di atas bangku ini,
kemudian keluarlah dan jangan biarkan siapapun masuk,” kata Pangeran Souw Han
yang sudah mempersiapkan sebuah bangku dekat pembaringan. Dayang itu menaruh
panci di situ, kemudian memberi hormat dan pergi.
“Pangeran, air panas itu untuk
mencuci luka-luka, menggunakan sebuah kain bersih. Sesudah dicuci dan
dikeringkan, baru ditaburi obat luka yang ditekan-tekan dengan jari tangan agar
obat itu melekat dan memasuki bagian yang kulitnya pecah.”
Pangeran itu
mengangguk-angguk. “Engkau menelungkuplah, agar lebih mudah mencuci dan
mengobatinya,” katanya sambil mengambil sehelai kain putih bersih dari almari.
Liong-li menelungkup,
menggigit bibir menahan debaran jantungnya yang mengeras. Ia merasa betapa
pangeran itu duduk di tepi pembaringan, dan terdengar suaranya yang lembut dan
sopan.
“Enci Cu, maafkan aku kalau
terpaksa aku melihat tubuhmu bagian belakang bertelanjang dan maafkan kalau
jari-jari tanganku menyentuhnya.”
Liong-li merasa geli. Belum
pernah ia bertemu seorang pria yang sudah dewasa begini canggung dan kikuk,
begini pemalu. Sikap ini saja sudah membuktikan bahwa pangeran ini belum pernah
bergaul dekat, belum pernah bermesraan dengan wanita. Dugaan ini saja sudah
membuat jantungnya berdebar semakin kencang.
Hati-hati engkau, Liong-li,
katanya kepada diri sendiri. Engkau berada di tepi jurang yang akan
menenggelamkanmu. Tugasmu belum selesai, baru dimulai dan engkau hendak
membiarkan dirimu terbius keindahan dan kenikmatan nafsu?
“Pangeran, maafkan saya.
Sebaiknya kalau..... kalau saya mengobati sendiri luka-luka ini, atau......
menyuruh seorang dayang saja yang melakukannya. Tidak baik merepotkan paduka,
dan pula...... akan membuat paduka menjadi rikuh dan membuat saya menjadi malu
saja......”