DENGAN menunggang kuda, tampak
seorang tua tengah mendatangi sambil “bernyanti-nyanyi kecil. Dia berusia lebih
kurang enam puluh tahun. Rambutnya dan jengotnya masih kuat dan gagah
kelihatannya. Diatas pelana kuda, dia tampak makin keren.
Cuaca sudah hampir gelap. Pada
jalan diluar perbatasan yang di laluinya itu, selalu iring-iringan kereta dan
pengiring-pengiringnya, hanya rombongan burung gagak yang terbang kesarangnya.
Orang-orang berjalan lainnya sudah tak tampak lagi.
Setelah sesaat mengawasi alam
sekelilingnya, orang tua itu terus memecut kudanya untuk mengejar iring-iringan
kereta disebelah depan, siapa gerang dia itu ?
Untuk mengetahui sedikit
riwayatnya, baiklah kita mundur dulu untuk menengok kisah dibawah ini.
Pada musim rontok tahun ke-28
dari kerajaan Ceng (Kian Liong) karena berjasa mengamankan daerah itu (Inkiang)
maka pemerrintah Ceng. Adapun ciangkun-li khik siu, telah dinaikkan pangkat dan
dipindahkan ke Ciatkang.
Begitu menerima firman, khik
siu segera berangkat lebih dulu dengan barisan pengawalnya ke Ciatkang
belakangan barulah keluarganya menyusul.
Di dalam ilmu perang Li
Khik-siu sangatlah mahir. Maka tak heran kalau makin lama kedudukannya
menanjak, ibarat musim penghidupan khik siu adalah sedang berada dalam musim
semi yang gilang gemilang.
Tapi manusia tak luput dari
kedudukan, orang dalam kedudukan seperti dia pun masih ada juga hal yang
disusahkan, yakni tak dapat keturunan laki-laki. Dia hanya diberkahi seorang
puteri yang kini berusia sembilan belas tahun. Untuk memperingati tempat
kelahirannya, maka puterinya itu dinamakan Li Wan Ci, ketika anak itu lahir,
Khik siu masih menjabat sebagai Hu-Ciangkun di Siangse.
Walaupun begitu, Khik siu
sangat sayang putrinya seperti mustika, meskipun ayahnya seorang peperangan,
tetapi putrinya adalah seorang gadis yang cantik jelita. Makin remaja,
Li-siocia bertambah nyata keelokannya. Siocia itu wajahnya serupa sang ibu,
sedang wtaknya turun dari ayahnya.
Jika ayahnya sedang berlatih
memanah atau menunggang kuda, pasti Wan Ci selalu ikut. Melihat putrinya gemar
ilmu perang, khik-siu mengajarinya beberapa macam ilmu golok dan tombak.
Disamping itu, dia minta pada perwira-perwira sebawahannya yang pandai untuk
memberi pelajaran pada Wan Ci. Sudah tentu perwira-perwira itu
bersungguh-sungguh hati memberikan kepandaiannya pada putri dari atasannya itu.
Dalam usia tiga belas atau
empat belas tahun, kepandaian Wan Ci sudah boleh juga, sepuluh atau dua puluh
orang biasa, tak mudah dapat mendesak dia. Malah dalam waktu latihan, tak
jarang Wan Ci telah dapat menyampok jatuh senjata dari orang-orang bawahan
ayahnya. Dalam keadaan begitu dengan tertawa Khik siu mendamprat orangnya itu
yang dikatakan tak punya guna. Disamping itu diam-diam dia gembira dalam hati
melihat kemajuan putrinya itu.
Hanya saja kegirangan itu
lekas juga diganti dengan elahan nafas, dia merasa getun, bahwa anak yang
pandai dalam bun dan bu itu sayang lah bukan seorang pria.
Ketika menanjak pada usia
empat belas, mendadak sentak Wan Ci, tak mau datang ke tempat latihan lagi.
Sangka khik siu putrinya yang gundah menginjak dewasa itu mungkin sungkan untuk
gelang-gulung dengan lain kaum. Dala hal itu, diapun tak dapat menjalahkan
putrinya.
Tetapi hal yang sebenarnya
bukanlah demikian, ternyata Wan Ci dengan diam-diam telah belajar silat yang
lebih tinggi. Hingga dalam lima belas tahun lamanya, ia telah menjadi seorang
ahli iwekang yang lihay, sungguh bukan lain ialah Liok Hwi Cing, penunggang
kuda yang telah dituturkan diatas itu tadi.
Liok Hwi Cing adalah cianpwe
angkatan tua yang termasuk dalam golongan atas dari cabang Bu tong Pay. Mengapa
dia bisa menjadi suhu dari Li Wan Ci itu adalah karena suatu sebab yang terjadi
secara kebetulan saja.
Pada musim panas Kian Liong
tahun delapan belas genaplah Wan Ci berusia empat belas tahun. Ketika ayah nya
menjabat dinas di Shangse dia telah mengundang seorang guru sekolah untuk
memberi pelajaran surat pada putrinya, Liok Hwi Cing, demikian nama guru itu,
adalah seorang terpelajar yang luas pengetahuannaaya. Dia tinggal di tempat
kediaman Li Khik siu, Wan Ci sangat hormat pada gurunya, dan hubungan antara
guru dan murid sangat akrabnya.
Pada suatu hari, hawa terasa
panas sekali, sehabis tidur siang. Wan Ci pergi ke kamar gurunya untuk belajar.
Ketika dia melalui gang, ternyata keadan di sekeliling situ masih tampak sunyi.
Waktu sudah menunjukkan jam tiga lohor seharusnya pelajaran sudah dimulai.
Wan Ci tak mau sembarangan, ia
terus masuk kedalam kamarnya sang guru, ia menduga karena panasnya hawa,
mungkin gurunya itu keenakan tidur. Menghampiri jendela . tetapi begitu ia
mengintip kedalam, bukan main terkejutnya ia itu.
Ternyata gurunya tidak tidur,
tetapi sedang duduk bersila diatas kursi. Tangannya diayunkan pelan-pelan
keatas, dan terdengarlah semacam bunyi tepukan lemah, seperti suatu benda yang
terbentur pada tembok.
Wan Ci mengikutkan
pandangannya kearah bunyi itu. Ketika diawasi dengan seksama, ternyata pada
tembok dihadapan Liok losunya itu terdapat puluhan ekor lalat yang tampak
menempel tersusun rapi sekali.
Wan Ci merasa heran mengapa
lalat itu menempel tak bergerak pada tembok. Apalagi berjajar dengan rapinya.
Teringat ia, bahwa jajaran barisan lalat itu seperti susunan barisan yang
dilihatnya jika ayahnya sedang melatih orang-orangnya di lapangan.
Kembali ia memandang
tajam-tajam dan barulah diketahui bahwa pada badan setiap lalat ternyata
menancap sebatang jarum emas yang halus seperti rambut. Jarum itu sedemikian
lembutnya hingga hampir tak terlihat oleh Wan Ci dari tempat yang agak jauh
itu. Hanya karena dari sebelah jendela lainnya, sinar matahari menyorot masuk,
maka tampak sinar mengilau dari jarum yang terbuat daripada emas itu.
Sementara itu masih ada
beberapa ekor lalat yang beterbangan dalam kamar. Tapi setiap kali tangan
Liok-losu berayun terdengarlah suara “piok dan kembali pula seekor lalat
terpaku pada tembok.
Sifat itu kanak-kanak Wan Ci
segera timbul. Ia sangat tertarik dengan permainan itu, serentak melangkah ke
pintu, ia terus menerobos kedalam sambil berteriak.
“Liok-losu, ajarilah aku
permainan itu !”
Ditempat kediaman Lie khik
siu, dalam beberapa tahun ini Liok Hwi Ching telah berhasil menyembunyikan
diri, karena gangguan lalat, ketika itu dia gunakan Hoe yong ciam diam untuk
membasminya. Tapi tak dikira kalu perbuatannya itu telah kena diintip oleh
ineecu-nya murid perempuan. Dan ketahuanlah rahasianya.
“Ho, kalau sudah bangun. Hari
ini mari kuceritakan tentang riwayat dari Sing-ling koen!” demikian Hwi Cing
berseru dengan angker. Nyata dia akan berdaya untuk menutupi rahasianya.
“Liok-losu, kau ajarilah dulu
permainan tadi baru nanti mulai pelajaran.”
“permainan apa?” tanya Hwi
Cing berlagak pilon.
“Memukul lalat!”
Dengan berkata begitu, ia
sudah mengambil kursi, terus loncat keatas untuk memeriksa dengan tegas lalat
yang menempel ditempel ditembok itu. Jarum itu satu demi satu dicabutnya terus
digosok bersih dengan kertas untuk diberikan kembali pada gurunya seolah-olah
ia akan memaksa sang guru untuk mengajarinya seketika itu juga.
Wan Ci tergolong anak remaja,
anak-anak tidak, dewasapun bukan, ia seorang gadis cantik yang lincah dan
cerdas. Ayah bunda serta orang-orangnya. Ia berkeras minta diajari permainan
itu, belum mau sudah kalau gurunya belum meluluskan.
Liok Hwi-ehiong seorang pandai
yang matang dalam pengalaman. Lima puluh tahun lamanya dia mengarungi samudera
hidup yang penuh dengan gelombang percobaan, kini berhadapan dengan gadis
muridnya, yang lincah dan cerdas itu, dia kewalahan. Hati menolak, tapi mulut
berat untuk mengatakan.
“Baiklah, besok pagi-pagi, kau
datang kemari, nanti kuajari, siang ini kau tak usah belajar, pergilah
bermain-mai n. tapi ingat, sekali-kali jangan kau uarkan tentang permainanku
tadi. Kalau sampai bocor, aku tak mengajarnya!”
Akhirnya Hwi Ching berkata
dengan suara tak lempias.
Karena girang, dengan tak
mengucap apa-apa Wan Ci berlari keluar.
Liok Hwi Cing adalah seorang
Tayhiap dari cabang Bu Tong Pay semasa mudanya ia berkelana di wilayah Kanglam
menjalankan perbuatan mulia namanya sangat berkumandang dikalangan sungai
telaga (jangouw), dulunya dia adalah orang penting dari Cu Long Pang.
Cu long-pang adalah sebuah
persekutuan rahasia yang menentang kerajan Ceng, dalam pertengahan tahun Yong
Ceng, pengaruhnya sangat meluas, karena baginda Yong Ceng melakukan tindakan
tangan besi, maka pada permulaan pemerintahan baginda Kian Liong, keadan Cu
Liong-pang morat-marit tak karuan. Orang-orang penting banyak dibinasakan, atau
yang sempat lolos terus menyembunyikan diri sedari waktu itu hancurlah inti
kekuatan dari Cu liong-pang itu.
Liok Hwi Ching lolos ketapal
batas sebelah barat, ketika itu istana telah mengirimkan pahlawan-pahlawannya
untuk menangkapnya. Tapi berkat kecermatan dan kepandaian silat yang tinggi,
maka ia berhasil dapat meloloskan diri. Namun Pemerintah Ceng tak pernah
berhenti dari usahanya untuk menangkapnya.
“Tempat persembunyian yang
paling aman, pertama jalan lingkungan istana, kedua berada di kota besar dan
ketiga mengumpat di hutan”. Dia mengambil jalan yang pertama dan dengan
berkedok sebagai guru sekolah, dia umpatkan diri dikediaman Li Khik-su seorang
panglima.
Kawanan kuku garuda (kaki
tangan) pemerintah sengaja memusatkan penguberannya kekalangan lioklim (persilatan),
gereja-gereja, piauw-hang (kantor piaowkok) atau tempat-tempat perguruan silat.
Mana mereka dapat mengira, bahwa seorang guru sekolah ditempat perajurit
tinggi, adalah seorang buronan penting yang kepandaiannya tinggi.
Liok Hwi Ching mempunyai tiga
orang saudara sepeguruan. Tea Suheng bernama Ma Cin, Hwi Ching jatuh nomor dua
sutenya ialah Thio Ciauw ong Ma Cia adalah seumpama mega mengambang atau burung
Ho hutan, dia senang berkelana, maka walaupun dia itu adalah Ciang bu-jin ahli
waris dari Bu tong Pay, tapi dia seolaholah tak mau mengurus soal-soal dalam
kaumnya.
Sebaiknya, Thio Ciauw Cong
adalah seorang pemuda yang bersemangat, dan gagah berani, karena itulah suhunya
sangat menyayanginya. Hampir seluruh kepandaian dan rahasia ilmu silat cabang
Bu Tong Pay telah diturunkan padanya.
Liok Hwi Ching yang maju dalam
ilmu silat maupun ilmu surat. Dengan kecerdasan otaknya berpuluh-puluh tahun
dia pendam dirinya untuk meyakinkan sungguh-sungguh. Jerih payahnya itu
ternyata tak sia-sia. Dia merupakan seorang ahli iwekang yang jarang ada
tandingannya. Dengan ilmu silatnya “bu kok hian kun” senjata rahasia jarum hu
yong cim dan ilmu pedang cwan bun-kiam, namanya telah menggetarkan kalangan
sungai telaga.
Diantara ketiga saudara
seperguruan itu. Mo Cin lan yang paling kurang sendiri kepandaiannya. Thio
Ciauw Cong kemaruk dengan pangkat. Dia bekerja pada pemerintah Cheng. Berkat
kepandaiannya yang tinggi, dia telah peroleh tanda jasa.
Liok Hwi Ching adalah seorang
pecinta negeri. Biar bagaimana dia tidak mau berhamba pada pemerintah Ceng. Dan
karena berlainan pendirian itulah maka dia telah bentrok dengan sutenya dan
sedari saat itu putuslah tali persaudaraan mereka.
Kembali menceritakan Li Wan
Ci, ia betul-betul mentaati pesan suhunya untuk tidak sebarkan soal permainan
yang akan diajarkan padanya itu keesokan harinya pagi-pagi ia sudah berada
dimuka pintu kamar suhunya, tapi begitu masuk suhunya ternyata tidak ada, yang
kelihatan hanya secarik kertas yang diletakkan diatas meja.
Buru-buru Wan Ci memungut dan
membacanya.
“Wan Ci muridku, kau gemar
ilmu pedang disamping ilmu surat, mendengar suara khim kau dapat menyelami
setiap getaran talinya, sungguh aku beruntung mendapatkan murid secerdas kau
itu, hanya sayang kepandaianku terbatas, maka jodoh kitapun habis sampai disini
saja, mudah-mudahan dibelakang hari kita bisa berjumpa lagi, aku percaya masa
depanmu pasti gilang-gemilang, sekian dariku Liok Koo”
Liok Koo adalah nama samaran
dari Hwi Ching, Wan Ci masih memegang surat itu, ia tak dapat berkata suatu
apapun. Ketika tiba-tiba daun pintu terdorong lebar-lebar dan masuklah seorang
dengan langkah sempoyongan.
Betapa kaget Wan Ci ketika
didapti bahwa orang itu tak lain adalah gurunya yang disangka telah mengucapkan
selamat berpisah itu, wajah Hwi Ching pucat lesi seperti tak berdarah separoh
tubuhnya penuh berlepotan tanda darah, dengan paksakan diri dan pada lain saat
ia segera buang dirinya keatas kursi itu.
“Liok losu” seru Wan Ci dengan
kaget.
Hwi Ching tampaknya berusaha
untuk menguasai diri, katanya :
“Tutup pintu, jangan
bersuara!”
Hanya itu saja yang dia
ucapkan dan selanjutnya ia membisu lagi.
Wan-ci adalah seorang gadis
keturunan panglima perang, ketabhannya telah banyak diuji dalam permainan pedang
dan tombak, betapapun terkejutnya, ia tetap dapat melakukan perintah gurunya
untuk menutup pintu.
Hwi Ching tampak menghela
napas panjang lalu berkata lagi :
“Wan Ci kita telah menjadi
murid dan guru selama tiga tahun, selama itu kita telah mendapat kecocokan.
Kukira jodoh kita akan putus sampai disini saja tak tahunya aku telah terbentur
karang, soal ini menyangkut jiwaku, dapat kah kau berjanji untuk tidak
mengatakan pada orang lain?”
Dalam berkata-kata itu tampak
mata Hwi Ching bersinar-sinar menatap wajah muridnya.
“losu, aku patuh sahut Wan Ci”
“katakan pada ayahmu aku sakit
perlu beristirahat setengah bulan.”
Wan Ci mengiakan, maka sang
suhu lalu melanjutkan kata-katanya lagi.
“Bilang juga pada ayahmu bahwa
tak usah diundangkan sin she aku sendiri bisa mengobati.”
Sampai disitu kembali Hwi
Ching berhenti lagi, setelah berselang beberapa saat tiba-tiba dia berseru :
“sekarang tinggalkan aku
sendiri.”
Setelah Wan Ci keluar, Hwi
Ching cepat-cepat mengambil obat luka terus dibeberkan kepundak kirinya, lalu
dibalut dengan kain. Tapi ternyata dia terluka dalamnya, begitu pandangan
matanya dirasakan gelap, mulutnya segera muntahkan darah segar.
Sebagai seorang yang
berpengalaman, dia ketahui kecerdasan sang murid itu suatu tempo akan dapat
menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan. Karena itu dia telah peringatkan pada
muridnya supaya dapat berhati-hati dalam setiap langkahnya.
Hwi Ching tak punya barang
apa-apa. Kecuali beberapa potong pakaian dan sebatang pek liong kiam.
Kesemuanya itu dengan mudah dapat dia rngkas dalam sebuah pauhok. Nanti tengah
malam dia akan berangkat.
Selagi dia nantikan sang waktu
dengan bersemadhi tiba-tiba tanda waktu pukul dua kali, itulah waktu yang
dianggapnya tepat, maka dia nyalakan pelita untuk berkemas-kemas, tapi
sekonyong-konyong diluar jendela terdengar ada suara daun rontok dan menyusul
dengan itu, terdengar suara tertawa yang aneh.
Cepat dia tiup padam pelita
itu, terus meloloskan Pek-liong kiam dari pinggangnya.
Disaat Itu terdengarlah suara
orang berseru keras-keras dari luar jendela.
“Liok Loo haoji oarang tua,
makin tua makin tak genah. Kau kira dapat menghabiskan sisa hidupmu dengan
menyaru guru sekolah disini? Anak manis, hayo kau ikut kita ke kotaraja untuk
pangku jabatan yang mulia!”
Hwi Ching seorang jago
kenamaan yang banyak pengalaman. Dia tahu bahwa orang itu bukan lawan yang
empuk, dan bahwasanya jumlah mereka tentu banyak pula. Kalu dia gegabah
menerobos keluar, tentu celaka. Diam-diam dia gunakan bik-houw kang, ilmu cecak
merayap di tembok untuk menuju wuwungan. Dia sawut palang jendela terus
ditariknya putus. Membarengi jatuhnya genteng-genteng kebawah dia lantas loncat
keatas wuwungan.
Tiba-tiba pada sat itu
terdengar sebatang anak panh yang disabitkan dengan tangan berkesiuran
menyambar, disusul dengan keras.
“Bagus, jangan lari !”
Hwi Ching buang tubuhnya
kesamping, seraya dengan pelan-pelan ia menegur, “Sahabat mari ikut aku !”
Dia menggunakan ilmu berjalan
cepat lari kearah pinggir kota. Benar juga tiga sosok bayangan telah
mengikutinya.
Kira-kira berlarian tujuh li
jauhnya tiba-tiba seseorang pengejarnya berseru.
“He, orang tua she Liok, kau
kan seorang kangouw kenamaan mengapa berlaku begitu pengecut. Jangan mimpi
dapat melarikan diri kau.
Liok Hwi Ching tak mau
menyahut, dia mempunyai rencana sendiri, mengingat keadaan waktu waktu itu
adalah soal mati hidup, sengaja dia pancing musuh-musuhnya kesebuah bukit
karang yang terletak ditepi kota yang sepi.
Ternyata perhitungan Hwi Ching
itu tepat musuh terdiri dari tiga orang. Hwi Ching sengaja akan bawa mereka
ketempat yang sepi. Kedua kalinya ia akan jajal ilmu menentengi tubuh mereka
dan ketika kalinya, dia akan mengetahui jumlah musuh-musuhnya untuk menjaga
kemungkinan dibokong.
Ketika akan mulai menanjak
ketas Hwi Ching tetap kencangkan langkah. Dan sampai distu dapatlah dia
mengetahui sampai dimana kepandaian musuh-musuhnya itu, ternyata mereka ada
yang dapat tetap berlari cepat, ada yang terbelakang.
Ketika melihat Hwi Ching
merendek dan berputar dari ketiganyapun tak berani mendatangi dekat-dekat.
Mereka segera mengatur siasat diri dalam kedudukan segitiga, yang seorang
berada imuka dan kedua kawannya mengikuti dari belakang.
Dibawah sinar rembulan, Hwi
Ching dapat melihat jelas musuh-musuhnya, yang berada dimuka sendiri adalah
seorang tua yang pendek dan kurus. Dia memegang sepasang badi-badi yang ekor
burung seriti yang panjangnya kurang dari satu jengkal.
Dibelakangnya adalah seorang
yang tinggi dan kawannya lagi seorang yang gemuk pada saat itu berkatalah si
kurus tadi :
“Liok Loenghiong, sudah lama
kita bertemu adakah kau masih ingat kepada pecundangmu Ciao Bun Ki dulu itu ?”
Hwi Ching terkesiap. Dia tak
habis mengerti mengapa orang she Ciao itu mencari dia pada waktu begini.
Ciao Bun Ki adalah pemimpin
nomor tiga dari kwantong Liok Mo, enam iblis dari wilayah Kwanteng, sepuluh
tahun yang lalu bertengkar mulut, dia pernah bertempur dengan Liok Hwi Ching
masih kenal kasihan dengan tak mau membunuhnya dan hanya memukulnya saja, dia
tak menyangka kalau orang she Ciao akan menuntut balas padanya.
Sebenarnya Ciao bun ki sedang
diutus oleh Ceng untuk menjalankan suatu tugas ke Thian san. Dengan tak
disengaja dia dapat mendengar bahwa Liok Hw Cing musuhnya itu bersembunyi
ditempat kediaman keluarga Li Khik siu-ciangkun.
Dengan membawa dua jago kosen
dari kantor congtok Shan see dan kamsiok, tanpa memberitahukan pembesar
setempat, malam itu ia datangi tempat Hwa Ching bersembunyi.
Dalam beberapa tahun itu, Bun
ki telah berusaha keras untuk meyakinkan ilmu pukulan “Pi peh Chiu” ia
dipecundangi dalam pertempuran tangan kosong dan kinipun ia akan mencuci hinaan
itu dengan tangan kosong pula.
Maka berkatalah Hwi Ching
dengan merangkap kedua tangan selaku menghormat.
“Kiranya Ciao Bun Ki sampai
sepuluh tahun tak jumpa, hampir aku tak dapat mengenalinya. Kedua saudara ini
siap ? Dan nasehat apa yang Ciao-samko hendak berikan padaku?”
“Hmmm” bun Ki perdengarkan
suara hidung dan sambil menunjuk seorang gemuk ia berkata : itulah saudara
angkatku Lo sin, yang orang beri julukan yaitu sebagai Thiat Pi Lo Han orang
gagah tangan besi.
Dan menunjuk pada orang yang
tinggi, dia berkata : “dan ini adalah Giok poan-koan Ha jin-liong. Hayo kalian
mau lebih dekat kesini!”
Lo sin dan Ho jin liong
menghampiri seraya merangkapkan kedua tangan, katanya “maaf, Liok-cianpwe.”
“Sungguh tak mengira kalau
ditempat yang begini sepi telah menerima kedatangan kalian bertiga, entah
pengejaran apa yang samwie hendak berikan kepadaku?”
“Liok-loenghiong” sahut Bun Ki
dengan tawar, “lima belas tahun yang lalu aku telah menerima pelajaran darimu,
karena memang kepandaianku masih cetek, barrangkali karena aku orang yang
berkepala keras, maka dalam beberapa tahun ini aku telah belajar lagi beberapa
jurus ilmu silat, “kucing kaki tiga. Untuk itu aku akan minta petunjuk darimu
termasuk bantuan pribadi. Kedua kalinya, berkat namamu yang tersohor itu
pemerintah telah mengundang kau untuk sesuatu jabatan penting. Untuk ini lah
kita bertiga, sengaja datang buat menyampaiakan sekalian untuk memberi selamat
padamu, dan ini termasuk urusan negara.”
Sampai pada saat itu mengertilah
Hwi Ching kedudukan yang ia hadapi. Kalau hal itu terjadi pada beberapa puluh
tahun yang lalu mungkin ia takkan tahan lagi. Tapi keberangasannya itu telah
terbawa pergi dengan bertambahnyanya sang waktu. Dengan tenag ia kembali
merangkapkan kedua tangannya dan berkata :
“Ciao samya, kau dan akuadalah
orang-orang tua yang sudah berumur lima atau enam puluh tahun kesalahanku tempo
dulu itu dengan setuus hati bersama ini kuhaturkan maaf !”
Demi ucapannya itu Hwi Ching
membungkukan badan dihadapan orang she Ciao itu. Tiba-tiba si tinggi, Ho Jin
long perdengarkan suara hidung lalu memaki dengan kasarnya :
“Cis, tak tau malu!”
Mata Hwi Ching cepat
mengalihkan kearah orang she Ho itu, dipandangnya tajam-tajam.
“Aku Liok Hwi Ching,
sedikitpun tak ada nama dikalangan kangouw, selama itu belum pernah kuterima
hinaan dari siapapun juga, katanya, dan kembali menghadap kearah Ciao Bun Ki
dia lanjutkan kata-katanya.
“Ciao samya, tadi kau sebutkan
kunjunganmu ini untuk urusan pribadi dan negara. Apa yang terjadi dulu, Cuma
menuruti nafsu darah muda saja. Untuk untuk perbuatanku itu, telah kuhaturkan
maaf padamu. Mengenai urusan negara, aku Liok HwiChing bukanlah tergolong orang
yang berkulit tebal umau menjadi kaki tangan pemerintah Boan. Kalau kau
berkenan mau sekerat tulang tua ini menjadi hamba mereka, hmm…. Silakan
mengambilnya.
Ucapan itu membuat ketiga
orang itu menengak.
“kalian boleh serentak maju
bertiga, atau satu-satu, lanjut Hwi Ching dengan angker. Kemudian dia melirik
pada si tinggi dan berkata pula. “Kulihat lebih baik Ho Ya in yang maju lebih
dulu.”
“Kau terlalu banyak mulut.”
Demikian tiba-tiba si gemuk Lo
Sin berseru, terus lompat menonjok muka Hwi Ching. Hwi Ching tampaknya
tenang-tenang saja, tetap tak bergerak. Ketika kepalan seorang hampir mengenai
mukanya sebat luar biasa, tangan kanannya menghantam lawannya.
Lo sin terkejut sekali atas
gerakan orang yang demikian sebatnya itu. Buru-buru dia mundur tiga tindak. Hi
Ching tak mau mengejar, setelah menangkap semangat, Lo sin gunakan Ngo beng kun
untuk kembali menyerang.
Pada saat itu, Cio Bun Ai dan
Ho-jin liong sudah menyingkir kepinggir. Mereka telah mempunyai rencana Ciao
Bun ki telah bertekad untuk membalas sakit hati. Beberapa tahun dia rela
belajar mati-matian dalam ilmu Thiat pi peh tangan besi. Dia pernag dirubuhkan
Hwi Ching dengan Bukek hian kong-kun. Biar bagaimana, sakit hati itu tak pernah
dilupakan.
Dia suruh Lo sin Ho Jin liong
tempur Hwi Ching lebih dulu, agar tenaganya berkurang. Sedang dalam pikiran Ho
Jin Liong terbentang jasa besar yang akan diberikannya oleh cangtok, apabila
dia berhasil menangkap buronan yang penting itu.
Hwi Ching dan Lo sin telah
bertempur dengan seru. Ngo heng kun berdasarkan jurus-jurus menyerang. Serangan
pertama dilancarkan, disusul dengan kedua. Begitu seterusnya serangan
susul-menyusul tak putus-putusnya. Ngo heng kun merupakan ilmu silat gwakang yang
paling lihay!
Dengan ilmu itulah Liok-sin
berdaya merangsek lawannya.
Permainan ilmu silat Hwi Ching
tenang dan cepat. Dalam sekejap saja, keduanya telah bertempur puluhan jurus,
tiba-tiba Hwi Ching menghilang. Buru-buru dia berputar kebelakang, karena
ternyata Hwi Ching sudah berada disitu, dalam kegugupannya dia akan sambut
lengan Hwi Ching.
Lo sin sangat andalkan
tenaganya yang besar, dia tak kuatir bersampokkan dengan lawan. Namun hanya
dengan sekali berkibas tangan lagi
........ , sedang lengan bahu
Hwi Ching pun tidak dapat disentuhnya.
Lo sin mkin bingung. Dia robah
permainannya dengan ilmu silat “Lin na chiu”. Dengan sepasang tangan dia
menyerang. Tapi Hwi Ching tetap tak berganti permainan dan tetap pula dia
melesat kesana-kemari.
Beberapa jurus kemudian Lo-sin
menganggap mendapat kesempatan. Dia kirim pukulan tangan untuk itu dia pastikan
Hwi Ching akan mengegos kekiri, maka dia susulkan tangan kiri lawan. Dia untuk
kegirangannya pundak lawan telah kena tercengkeram.
Tapi kesudahannya ternyata
lain seperti yang diharapkannya. Kalau dia tadi luput mencengraman, itu malah
baik. Tapi setelah dia mencengram kena tubuhnya yang gemuk itu lantas seperti
“dum” begitulah kedatangan suara, ketika tubuhnya jatuh ditanah tiga tombak
jauhnya.
Seketika itu matanya
berkunang-kunang terus duduk numprah ditanah, seperti tak bertulang ia
terlongong-longong terpesona. Hanya mulut saja yang masih bisa memaki, “setan
alas kurang ajar, kau gunakan ilmu iblis apa ....?”
Ternyata tadi Hwi Ching
menggunakan ilmu iwekang yang disebut “cap-i sip pat-tiap” sentuh pakaian
delapan belas kali rubuh. Begitu musuh menjamah pakaiannya maka akan
terlemparlah dia, sebenarnya ilmu itu hanya berdasarkan pinjam kekuatan lawan
saja.
Meski Hwi Ching belum dapat
menyakinkan ilmu itu dengan sempurna sehingga begitu orang menyentuh pakaiannya
begitu dia akan rubuh, namun karena Lo-sin telah gunakan kekuatan besar untuk
mencengkeram, maka dengan mudah Hwi Ching dapat terjungkal dengan telak.
Melihat Lo sin numprah ketanah
segera Bun Ki kerutkan alis serunya perlahan-lahan :
“Lo hiante bangunlah
lekas-lekas!”
sebaiknyaHo Jin hong tanpa
berkata apa-apa terus maju menyerang Hwi Ching dengan gerakan “Song liong-jiang
cu” sepasang naga berebut mustika.
Kembali Hwi Ching perlihatkan
kegesitan dengan menghilang dari npandangan musuh. Dan berbarengan itu, Ho-jin
liong rasakan pundaknya ditepuk dari belakang dan satu suara berkata, “kau
belajar sepuluh tahun lagi.”
Dengan cepat Jin liong
berputar kebelakang tapi ternyata Hwi Ching tak tertampak disitu. Ketika Jin
Liong akan berbalik badan lagi, tahu-tahu kedua pipinya telah ditampar dari
belakang dan satu suara kembali berkata : “nih rasakan ......bocah kurang ajar,
sekali ini kuajar adat.”
Sebenarnya Ho jin liong lebih
diatas dari Lo sin. Tetapi karena dia tadi telah berlaku kurang ajar, Hwi Ching
tak mau kasih hati. Dia sengaja gunakan permainan istimewa untuk mempermainkan
Jin liong.
Melihat Jin liong babak belur
mukanya dan disana-sini terlihat benjot, Ciao Bun Ki melesat maju, belum
orangnya datang, angin pukulannya sudah tiba. Liok Hwi Ching mengetahui
sekarang dia berhadapan dengan orang ketiga dari Kwan-tung liok mo, yang
kepandaiannya jauh beberapa tingkat dari kawn-kawannya tadi. Dia tak berani
berlaku ayal lagi, lalu keluarkan ilmu silat dari cabangnya yakni Bu tek
hiat-kong kun, untuk melayani dengan hati-hati.
Ho jin liong mau membantu Bun
Ki tapi karena mereka bertarung dengan rapatnya terpaksa dia tak mendapat
kesempatan untuk menceburkan diri kedalam pertarungan itu.
Ciao Bun Ki keluarkan ilmu
andalannya “Thiat pi peh chiu” pukulan tangan besi...... dan hebatnya pukulan
ini, asal tersentuh maka cacatlah si korban.
“Thiat pi-peh chiu” dari Ciao
Bun Ki adalah warisan dari keluargaBan di Lok yang, kini dengan jurusnya yang
disebut “Chiu hoen ngo hian” tangan memetik senar kelima dia menyerang Hwi
Ching.
Gerak serangan nampaknya lemah
gemulai tak bertenaga, tapi kelemahan, tapi dibalik kelemahan itu terkandung
tenaga yang luar biasa kerasnya. Dan begitu dekat ke badan musuh jari-jarinya
itu berubah seperti besi kerasnya. Memang “Thiat pi peh chiu” ini adalah
gabungan antara “thiat-sat-ciung” pukulan pasir besi dengan “eng jiao kong”
cengkeraman kuku garuda.
“bagus....!” seru Hwi Ching
sambil gunakan houw jong-po” gerakan harimau melangkah untuk mengegos kesamping
sambil majukan langkah kesisi lwan. Disitu segara dia pakai tangan kanannya
untuk memukul lengan.
Bun ki buru-buru miringkan
tubuh sambil pentang tangannya, itulah gerakan “pi peh ci bun” pi poh (nari)
menutup muka. Tangan kiri melindungi badan tangan kanan dijulurkan, memakai
kedua jari untuk menotok.
Hwi Ching menurunkan tubuhnya
kebawah dalam pada itu dia gunakan pukulan Iwekang, in ciang untuk mebalas.
Hwi Ching akan menempuh jalan
kebajikan. Dia tak tega untuk menghapuskan jerih payah Bun ki puluhan tahun ini
dalam mempelajari ilmunya. Karenanya dia hanya gunakan separoh tenaga untuk
memukul. Maksudnya supaya orang she Ciao itu dapat insyaf, dan sampai disitu
akan mundur sendiri. Tapi justru maksud baik itu, telah berbalik mencelakakan
Hwi Ching sendiri.
Karena tak gunakan sepenuh
tenaga, gerakan Hwi Ching menjadi lambat, Ciao Bun ki mengerti bahwa lawan
telah berlaku murah hati, kesempatan ini takkan dilewatakan begitu saja. Ketika
tangan Hwi Ching masih belum ditarik untuk melindungi bagian dada yang terbuka.
Tba-tiba dengan gerakkan “liucwan-hee-san” air sumber mengalir kebawah gunung,
kelima jari Bun Ki telah menyodok kebawah pulung hati Hwi Ching dengan sekuat-kuatnya.
Dalam Keadaan tak yang terduga
sama sekali, Hwi Ching tak keburu menghindar. Dia telah terkena tangan jahat
dari thiat pi peh yang ganas. Namun dia adalah jago besar daru bu tong pay.
Walaupun menderita kerugian, tak menjadi gugup. Cepat dia tarik kedua tangannya
untuk menangkis serangan berikutnya dari Bun Ki.
Setelah itu dia mundur tiga
langkah. Dengan tak mengucapkan apa-apa, dia empos semangatnya. Dia tak berani
marah, karena tahu bahwa dia luka dalam parah. Kalau dia terlalu turutkan nafsu
tentu binasa!
Mendapat hati, Bun Ki tak mau
menyudahi sebelum musuhnya dapat mengaso untuk memulihkan tenaga, dia terjun
lagi dengan “botol perak pecah” dan “kudabesi kabur” serangan berantai dari
jurusjurus thiat pi-peh chiu yang lihay.
Dalam keadaan memaksa, apa
boleh buat lagi. Dengan bersuit keras, Hwi Ching mencabut pek lieng kiam. Bun
Ki cepat-cepat loncat kesamping dan berseru :
“Pundak rata, majulah ....! si
tua akan mengadu jiwa!”
“pundak rata” adalah sebutan
yang berarti “kawan” tak perlu diulang lagi Ho Jin liong dengan sepasang go kao
kiam, maju menyerang tenggorokan Hwi Ching.
Go-kao kiam, walaupun disebut
pedang, tapi bentuknya adalah sepasang gaetan. Hanya pada ujung gaetan itu
didampingi sebatang pedang. Maka dapat digunakan dalam permainan kao dan kiam.
Melihat orang menggunakan
sepasang gaetan, tahulah Hwi Cing bahwa kepandaian lawannya itu tentu tidak
lemah, segera diapun gunakan “heng hwa jun-houw” dan “sam boan-gwat” dua jurus
serangan dari ilmu pedang jwan-hun-kiam.
Pada saat itu, dengan melolos
chit ciat konpian, pian baja dari tujuh ros-rosan. Lo sin turut menyerang.
Ternyata dia sungguh-sungguh bertenaga kuat. Hwi Ching tak berani berbenturan
senjata menagkis, dia hanya menghindar sembari mencari lubang untuk memapas
jari seorang she Lo itu.
“Ah, yah!...” Lo sin
perdengarkan seruan kaget, terus loncat menghindar.
Dulu semasa belajar bugee pada
keluarga Han di Lok-Yang, ilmu senjata thiat pi-peh tersebut telah dipelajarinya
denga sempurna, pi-peh adalah semacam alat tetabuhan seperti harpa kedua
sisinyatajam. Di waktu melakukan penyerangan, bisadipergunakan sebagai kampak.
Untuk bertahan diri dapat sebagai perisai. Badan pi peh itu berlubang, disitu
terdapat dua belas biji pi peh ting paku yang ujungnya tajam sekali.
Setelah mendapat pelajaran
thiat pi peh dari keluarga Han, Ciao Bun Ki mendapat beberapa kesukaran. Pi peh
itu sebenarnya adalah tetabuhan yang biasanya dipetik oleh wanita? Di kalangan
kangouw, banyak mendapat cemoohan orang karena senjatanya itu, dia mencari akal
untuk mengganti pi peh itu. Dengan sebuah thiat-pay. Bentuknya meski berlainan
dengan pi-peh, tapi cara memainkannya tak ubah bedanya dengan pi-peh.
Merasa belakang kepalanya ada
sambaran angin, Hwi Ching melejit kesamping. Dan secepatnya dia kirim bacokan.
Ketika Bun Ki menggalangkan thiat-paynya untuk menangkis, pek liong kiam
melorot turun terus menyerang lagi.
Setiap ilmu silat tangan
kosong maupun dengan senjata apa saja apabila akan menyusuli serangan yang
kedua, tentu lebih dulu menarik serangan yang pertama. Tidak demikian dengan
ilmu Hwi Ching, disitulah letaknya kelebihan ilmu pedang Jwan hoen pian dari
Hwi Ching. Bagaimanapun musuh akan menangkisnya serangan kedua tetap akan
menyusul tanpa mesti menarik lebih dulu. Dalam tiga kali susul menyusul itu,
dilancarkan, musuh pasti terkurung dalam sinar pedang yang berkelebat.
Pada saat itu, jangankan dapat
membalas, sedang untuk menangkis saja tentu kewalahan.
Melihat Bun Ki kerepotan, Jin
liong dan lo sin segera maju menyerang dari belakang secara berbarengan.
Senjata sebatang pay dan sepasang siangkao maju bersamaan untuk mengurung Hwi
Ching.
Setelah sekian lama, dada Hwi
Ching terasa muali sakit, insyaf lah ia, bahwa luka dalamnya mulai menyerang.
Wlaupun jwan bun kiamnya sangat lihay, tetapi dikeroyok oleh tiga orang dia
agak repot, juga.
“tak nyana kalau Liok Hwi
Ching hari ini akan binasa ditangan kawanan tikus, pikirnya membatin.
Kalau mengingat bagaimana
kebaikanny, telah dibalas dengan kebusukan itu, marahlah di. Dengan
mengumpulkan seluruh semangat dia membuka jalan darah untuk lolos. Kelak
apabila lukanya sudah sembuh akan dicarinya Kwantung Liok mu untuk menuntut
balas.
Habis mengambil keputusan dia
tak mau bertempur mati-matian, hanya tenangkan semangatnya. Ketenangan inilah
yang menjadi pokok dari ilmu silat Iwekang. Juga sinar pek-liong kiam mengurung
dirinya rapat-rapat, sehingga musuh tak berani mendekati.
“Ciao samya, kita kepung dia
terus, biarkan dia mati kelelahan!” seru Lo sin.
“Benar, sebentar lagi Lo
hiatee boleh kutungi kepalanya untuk dipersembahkan pada contok sahut yang
diajak bicara.
Pedangnya sih bagus amat, Ciao
samnya berikan saja padaku, seru Ho jin liong.
Mereka bertiga salaing
“mengipasi hati” Hwi Ching, seakan-akan menggapnya sebagai seorang mati yang
diperebutkan warisannya. Memang mereka sengaja berkata-kata dengan keras agar
Hwi Ching panas hatinya.
Hwi Ching mengirim dua kali
serangan kearah Lo sin. Seketika lo sin mundur, terbukalah sebuah lubang. Dan
kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh Hwi Ching dengan gerakan “hujan
dicurahkan dari langit dan melesat keluar kalangan.
“Celaka, si tua akan lari”
seru Lo sin dengan kaget.
Hwi Ching terus keluar “pat
poh kam sian” ilmu lari cepat sembari berlompatan, meluncur ke bawah gunung.
“Pat poh-kam sian” telah diyakinkannya selama berpuluh-puluh tahun, maka begitu
sang kijang lepas dari jerat, jangan harap ketiga orang itu dapat memburunya.
Sebat sekali Ciao bun Ki
menekan alat diatas thiat-paynya, dan seketika itu, tiga batang pi poh ting
meluncur kearah Hwi Ching. Tapi dengan cekat Hwi Ching putar pek-liong kiamnya
untuk menyampok kedua batang pi peh-ting yang menjurus kemukanya, menyusul dia
enjot sepasang kakinya loncat keatas, kembali sebatang pi peh ting mengarah
kakinya dapat dihindari.
Sebagai seorang kangouw
kawakan, Hwi Ching cukup mengetahui bagaimana lihaynya paku pi peh ting itu,
paku itu ujungnya menurun kebelakang, begitu menyusup kedaging sukar untuk
dicabut. Kalu memaksa akan dicabut tentu dagingnyapu nikut terbetot keluar.
Karena itu pi peh ting tak boleh ditangkap dengan tangan berbahaya sekali,
senjata rahasia macam begini hanya dipakai oleh kaum persilatan dari golongan
hitam saja.
Setelah berhasil mengelit pi
peh ting, Hwi Ching berniat hendak meneruskan larinya. Tapi sekonyong-konyong
dia tergelincir terus sempoyongan, mulutnya terasa hendak muntah, dadanya sakit
sekali. Dan berbarengan itu, dia rasakan matanya berkunang-kunang.
Melihat orang yang jalannya
tak teratur, tahulah Ciao Bun Ki bahwa luka dalam Hwi Ching mulai menyerang.
Diam-diam dia menjadi girang, terus mengeroyoknya lagi. Demikianlah mereka
berempat segera bertempur lagi.
Terasa bagi Hwi Ching bahwa
gerakkan tangan kanannya itu tentu disusul dengan rasa sakit dada kirinya.
Untuk itu, buru-buru dia pindahkan pedangnya ke tangan kiri.
Justru inilah yang
membingungkan lawan, permainan pedang dengan tangan kiri dari Hwi Ching adalah
jurus-jurus kebalikan dari permainan tangan kanan. Karena bingung sat itu Bun
Ki mundur beberapa tindak.
Kesempatan itu tidak
dilewatkan oleh Hwi Ching, siap lalu dengan gerak “pek-hong koan jit” bianglala
menaungi matahari, dia serang Ho jin liong.
Nampak serangan yang berbahaya
itu Jin-liong menghindar kekanan. Inilah satu kelesalahan besar bagi orang yang
tak mengerti permainan pedang tangan kiri. Begitu dia loncat kekanan, pek
liongkiam sudah membabatnya, beruntung pada saat berbahaya itu, Jin liong tah
kehilangan akal, cepat dia buang diri ketanah, terus bergulung menyingkir.
Baru saja Hwi Ching akan
memburu, dara arah belakang terus ada angin menyambar, kon pian Lo-sin sudah
bergerak “Thay san jik ting” telah melayang datang.
Hwi Ching dengan tenang,
begitu pian hampir tiba dibadanya segera ia bergerak, sebat luar biasa
tangannya diulur untuk menotok jalan darah “hiat boen hiat” seraya tubuh
lawannya terasa lemas tak bertenaga, tangannya tak kuasa lagi mencekal kon
piannya lebih kencang pian menyerusuk kesamping menghantam batu terus membal
balik.
Justru pada saat itu, tiga
batang paku “pi peh ting” dari Bun ki menyambar dari arah belakang, jarak
dengan punggung Hwi Ching sudah demikian dekatnya, bagaimanapun ia akan
berkelit kekanan atau kekiri, sudah tak keburu, sebat luar biasa, ia sembat
tubuh Lo sin yang numprah ditanah, terus diputarnya sebagai perisai (tameng)
“Cieet ......” tanpa ampun lagi tiga batang anak panah pi-peh ting, dua menusuk
dada dan satunya menyusup perut, tanpa berkutik putuslah nyawa Lo-sin.
Melihat senjatanya berbalik
mencelakan kawan sendiri, meluaplah kemarahan Bun Ki, lalu ia memutar thiat pay
dan menyerang Hwi Ching dengan beringas.
Pada sat itu, Ho jin liong
sudah bangkit tapi Hwi Ching tak mau memberi kesempatan padanya. Dia serang
lagi dengan pek hong kiamnya, hingga buru-buru Jin liong mundur setindak.
Dan pada detik itu, thiat pay
Bun ki sudah melayang datang. Kalau memutar tubuh untuk menangkis thiat-pay,
tentu Ho Jin liong dapat kelonggaran bergerak menyerang. Walaupun musuh telah
berkurang satu, tapi belum berarti ancamannya itu sudah terhindar. Karenanya
pada lain saat ujung thiat-pay telah menowel pundak Hwi Ching dengan
meninggalkan lubang luka yang besar.
Tapi selagi Bun ki kegirangan
dengan hasil thiat paynya, dan pek liong kiam telah melayang-layang diudara,
langsung menyambar Jin liong.
Dalam kagetnya, Jin liong
sepat angkat go-kao kiamnya. Memang benar, dengan berbuat begitu dia dapat
menangkis pek liong kiam, tetapi Hwi Ching telah melemparkan sedemikian
hebatnya, dan tak dapat dicegah lagi pek liong kiam meluncur dengan pesatnya,
bersarung kedalam dada terus keluar dari punggung dan matilah Jin liong,
seolah-olah terpantek pada tanah.
Demikianlah kalau Liok Hwi
Ching, jago tua dari Bu Tong Pay sedang mengumbar nafsu.
Dan secepatnya dia balik
memutar diri, Bun ki belum sempat menarik thiat paynya seketika itu juga orang
she Ciao merasakan mukanya kesakitan hebat, sontak matanyapun menjadi gelap.
Ternyata ketika Hwi Ching
berbalik, dia telah sambitkan lima batang jarum emas hu yong ciam ke muka Bun
Ki. Pada jarak yang begitu dekat dan dengan kecepatan luar biasa, jarum yang
sehalus itu tak mungkin dapat dihindari, seketika itu juga sepasang mata Bun Ki
telah menjadi buta.
Sudah terlanjur dirasuki kebencian
membarengi, selagi Bun Ki mendekap mukanya dengan tangan Hwi ching menghampiri.
Sekali kepalan nya menghantam sepenuh tenaga, tak ampun lagi terpelantinglah
tubuh Bun Ki beberapa tindak terus roboh tak beryawa lagi.
Demikianlah Hwi Cing telah
tumplek seluruh kepandaiannya. menotok, menyambit pedang dan jarum emasnya hu
yang ciam. Dalam sekejap waktu saja, dia sikat ketiga lawannya.
Tapi ketika itu, dia sudah
tidak kuat lag, hampir dia kehabisan tenaga, karena lelah akibat luka dalamnya
yang makin menghebat sakitnya.
Angin diatas tegalan gunung
itu kini semakin menusuk tulang. Rembulan perlahan-lahan bersinar remang-remang
dilangit disana hanya tampak tiga mayat menggeletak.
Yang bergelimpangan diantara
batu-batu yang berserak-serakan, suara burung hantu menambah keseraman suasana
malam itu, sekalipun Hwi Ching jago kosen, tak urung dia ngeri juga.
Cepat dia sobek bajunya untuk
membalut luka dipundaknya. Dengan berdiri tegak, ia empos semangatnya. Dia
selalu berhati-hati dan cermat dicabutnya jarum-jarum bu yoang ciam pada muka
Bun Ki, lalu disimpannya baik-baik, setelah itu dia lempar ketiga mayat itu
kedalam jurang.
Sat itu Hwi Ching telah
kehabisan tenaga, apalagi badannya belumuran darah. Jika pergi ketempat
penginapan tentu menimbulkan kecurigaan orang. Diputuskan kembali lagi ke
gedung Ci Khik-siu, untuk tukar pakaian dan membersihkan noda-noda darah,
setelah itu ia akan berangkat lagi.
Tak disangkanya sepagi itu,
Wan Ci sudah berada di kamar Hwi Ching. Apa boleh buat, ia pesan buat sang
murid untuk jangan menceritakan apa-apa pada orang lain. Begitu Wan ci sudah
berlalu dari kamarnya. Hwi Ching segera merebahkan dirinya keatas ranjang.
Dadanya makin menghebat sakitnya dan sesaat itu juga dia pingsan tak ingat
orang.
Entah sudah beberapa lama,
ketika dia akan membuka mata, serasa badannya seperti didorong orang.
“Losu, .... losu ......”
Demikian terdengar suara
didekat telinganya, ternyata yang berdiri dimuka ranjang, adalah Wan Ci,
wajahnya sangat cemas. Disamping masih ada seorang, yang ternyata adalah
seorang sin she.
Setelah dirawat dua bulan dan
berkat pokok latihan Iwekang yang sempurna, serta atas desakan Wan Ci pada
ayahnya untuk mengundang sinshe pandai, luka dalam dari Hwi Ching jadi sembuh
kembali.
Selama dua bulan itu, boleh
dikata sehari penuh Wan Ci berada di kamar gurunya untuk merawat, orang-orang
memuji Wab Cisebagai siocia yang berbakti pada orang tua dan gurunya. Tapi
sebenarnya Wan Ci memang mengandung maksud lain.
Sedari ia mencuri lihat
permaianan jarum hu cong ciam dan keesokan harinya menyaksikan pemandangan yang
aneh itu, tahulah Wan Ci bahwa gurunya itu tentu bukan guru sekolah sewajarnya.
Karena itu dia rawat sang guru dengan luar biasa capeknya.
Setelah Hwi Ching sembuh, Wan
Ci tak mau menyinggung soal permintaannya mengenai ilmu Hu yong ciam, malah ia
hanaya bertanya.
“Liok losu, kapan kita mulai
pelajaran lagi? .... apakah losu masih menceriata sejarah pula.
“besok pagilah” jawab Hwi
Ching setelah termenung sejenak.
Keesokan harinya, Hwi Ching
suruh pelayan membelikan suatu barang, setelah benda itu dibuka.... ini jarum
hu yong siam, katanya pada sang murid.
“Wan Ci, kau betul pandai. Aku
ini orang apa, walaupun samar-samar kau sudah mengetahui, tapi belum semuanya.
Kali ini kumendapat halangan. Kau telah begitu sabar merawat tentu akupun
merasa juga, semula aku akan tinggalkan tempat ini, sekarang aaku berubah
pikiran, ilmu permainanku hu yong ciam itu sekarang akan kuajarkan padamu.”
Seperti dapat lotere,
kegirangan Wan ci tak terhingga. Cepat ia menjongkok ketanah kemudian memberi
hormat samapai tiga kali. Hwi Ching hanya nampak tersenyum. Tiba-tiba dia
berkata keren sekali :
“Kutahu kau ini tajam
perasannya. Beruntunglah kau dapat kesempatan untuk mempelajari ilmu dari
kaumku ini. Dalam beberapa tahun hatiku pun maju mundur saja. Bakat yang kau
miliki itu sebenarnya jarang sekali ada, kau telah mengangkatku guru. Apakah
kau sanggup mentati peraturan-peraturan kaumku, apakah kau sanggup melakukannya...?”
“Aku tentu tak berni melanggar
titah, suhu” sahut Wan Ci.
“Kalau kelak kau pergunakan
kepandaian itu ditempat yang salah tentu akan kuambil jiwamu!”
Kata-kata yang terakhir itu
diucapkan Hwi Ching dengan nada yang angker, hingga Wan Ci bergidik, tak berani
berkata sepatah katapun juga.
Begitulah, sejak saat itu Hwi
Ching lalu menurunkan ilmu Bu Tong Pay pada Wan Ci, banyak pelajaran yang
diterima Wab Ci. Bagaimana cara memusatkan tenaga dan pikiran, pokok dasar yang
penting dalam latihan, tiga puluh dua jurus ilmu silat Tong Kun, melatih
tenaga, pukulan dan akhirnya silat Bu tek hian kong kun yang lihay itu. Setelah
kesemuanya sempurna, lalu diberi latihan cara memusatkan pandangan mata,
pendengaran telinga, dan cara melepas berbagai senjata rahasia, seperti peluru
dan panah tangan dan sebagainya.
Dua tahun kemudian, berkat
ketekunan dan kecerdasan Wan Ci, iapun mendapat kemajuan yang sangat pesat sekali.
Diam-diam Hwi Ching merasa girang mendapat murid yang sedemikian cerdasnya,
selang dua tahun pula, dia turunkan ilmu pedang jwan bun kiam dan senjata
rahasia jarum huyong ciam.
Pada akhir tahun kelima, Wan
Ci telah dapat mempelajari kesemuanya itu. Yang kurang padanya, terletak pada
kelincahan dan kuranganaya pengalaman bertanding. Ternyata iapun pegang teguh
janjinya. Selama itu ia tidak pernah memberitahukan kepda orang lain. Setiap
hari pada waktu-waktu tertentu ia pergi ketaman untuk berlatih. Oleh karena
kegemaran belajar silat itu sudah diketahui orang banyak, maka tak ada orang
yang memperdulikannya.
Selama lima tahun itu, bintang
Khik-liu tetap cemerlang. Ia terus dinaikan pangkatnya menjadi ciangkun
jenderal. Sebagaimana telah diutara diatas, karena jasa dalam mengamankan
daerah Hi Sinkiang dia dipindah ke Ciatkang untuk memangku jabatan yang lebih
tinggi, begitulah dia berangkat dulu, baru kemudian keluarganya menyusul.
Wan ci dilahirkan dan
dibesarkan di perbatasan barat. Kini ia harus ikut sang ayah pindah ke Kanglam
yang indah pemandangannya, ia merasa girang sekali dan mohon suhunya supaya
suka ikut serta.
Hwi Ching sudah lama
tinggalkan daerah pedalaman Tionggoan, dan memang dia ada keinginan untuk
menengok kesana. Dia terima baik ajakan muridnya itu.
Begitulah dengan rombongan
yang terdiri dari sepuluh buah lebih kereta. Hwi Ching ikut boyong ke Kanglam
dengan keluarga LI. Li Thay-thay ibunyaWan Ci, duduk dalam sebuah tandu?
Wan Ci yang selama menempuh
perjalanan jauh itu terus duduk dalam tandu, lama-lama merasa jemu dan kesal
hatinya. Tapi sebagai seorang puteri seorang panglima, tentulah tak pantas
kalau menunggang kuda sendiri, mondar mandir kian kemari.
Ia terus berhenti, dan memakai
pakaian sebagai seorang pria. Sia-sia ibunya melarang karena wataknya memang
keras, apa yang dimaukan tak dapat dicegah. Berdandan sebagai pria, ternyata ia
sangat cakap tampaknya. Lie than thay hanya dapat menghela nafas dan terpaksa
menurutkan kemauan putrinya.
Li Khik siu telah mengirim
kira-kira dua puluh orang pengawal pribadinya, untuk mengawal keluarganya itu.
Pemimpin pengawal itu bernama Can Tho Lam, kira-kira berusia empat puluh tahun,
memelihara jengot pendek. Tubuhnya tegap dan sikapnya gagah sekali, senjatanya
adalah sebatang tombak hok hap jiang. Pangkatnya itu diperoleh berkat
kegagahannya. Dia orangnya jujur dan cakap bekerja, menjadi orang kepercayaan
dari Li Khik siu.
Sampai pada jalanan
dipegunungan, hari hampir gelap. Menurut keterangan kusir, sepuluh li lagi ada
sebuah kota yaitu Song Tat Loh, sebuah kota diluar perbatasan. Disitulah
rombongan keluarga Li akan bermalam.
Tiba-tiba dari depan, Hwi
Ching mendengar bunyi derap kuda, disusul dengan debu yang mengepul. Dua ekor
kuda putih lari menghampiri kearah itu, malah sesaat itu mereka mencongklang
dengan pesatnya. Kedua penunggangnya telah lewat disisi rombongan keluarga Li,
terus membalap hilang.
Diatas kudanya, Hwi Ching
sama-sama melihat keadan kedua orang itu, yang seorang berperawakan tinggi,
sedang kawannya seorang kate pendek.
Orang tinggi itu alisnya
panjang, hidungnya mancung. Wajahnya putih bersih. Sedang yang pendek nampaknya
bergegas-gegas sekali, mereka menunggang kuda dengan gagah.
Hwi Ching keprak kudanya untuk
menghampiri Wan Ci, katanya dengan berbisik-bisik.
“Wan Ci, kau melihat orang
itu.
“Bagaimana, apakah mereka itu
orang-oarang Hoklim shu..?”
Dengan ucapan itu Wan Ci
maksudkan bahwa itu tentu bangsa begal, dan ia ingin benar menjajal ilmu yang
telah dipelajarinya selama bertahun-tahun ini.
“Itu sih pasti, Cuma kalu
dilihat kepandaiannya, mereka itu bukan orang-orang Hoklim yang tak berarti,”
sebut Hwi Ching.
“Masa, mereka punya kepandaian
yang berarti?” menegasi Wan Ci.
“Dilaihat dari caranya naik
kuda, mereka bukan orang sembarangan, “ jawab suhunya.
Ketika rombongannya hampir
tiba di Song Tat Poh, tiba-tiba terdengar pula kuda menderap dan ternyata ada
lagi dua penunggang kuda lain yang menghampiri disisi kereta, terus kabur
dengan pesatnya.
:Eh, aneh juga” seru Hwi Ching
seorang diri.
Ketika itu hari sudah gelap,
jalanpun sudah sepi. Disebelah muka tampak terlihat Song Tat Poh. Dalam keadaan
begitu, aneh benar kalau masih ada orang yang keluar dari kota Song tat Poh
tersebut kecuali tidak ada urusan yang penting yang begitu serius.
Tak berselang berapa lama
rerotan rombongan sudah memasuki kota, Cam Tho Lun si Pemimpin Pengawal, segera
mencari rumah penginapan yang besar, ternyata rumah penginapan bernama “Hotel
An Thong.”
Beberapa pelayan menyambut
dengan sibuk sekali. Meliahat rombongan tamunya utu, keluarga pembesar negeri,
mereka berebutan mengunjuk perlakukan yang luar biasa hormatnya.
Hwi Ching mengambil sebuah
kamar sendiri, sedang Wan Ci tidur sekamar dengan Li Thay-thay. Sehabis makan,
Hwi Ching lalu mengasoh. Tiba-tiba diantara kesunyian malam itu, terdengarlah
gonggongan kawanan anjing. Dan sesaat kemudian samar-samar dia mendengarbunyi,
derap kaki kuda. Diam-diam ia berpikir.
“Dalam waktu beni larut malam,
mengapa ada orang naik kuda dengan sibuknya. Sebenarnya ada urusan penting
apakah mereka itu?”
Saat itu, teringatlah ia akan
keempat orang menunggang kuda yang dijumpainya sore tadi. Kelakuan mereka
benar-benar aneh. Memikir sampai disitu, derap kuda itu makin dekat
kedengarannya dan malahj nyata berhenti dimuka pint hotel itu dan sesaat kemudian
pintu terdengar diketok.
“Tuan tentu lelah, mari
silakan masuk. Arak dan makanan sudah tersedia semua!” demikian kedengaran
pelayan berkata setelah membukakan pintu, “Hayo lekas beri makan kudaku ini,
habis makan kita masih akan melanjutkan perjalanan lagi.” Seru seorang dengan
kasar.
Dengan ketakutan si pelayan
menyahut berulang-ulang. Segera terdengar derap tindakan kaki masuk kedalam
rumah. Nyata mereka itu terdiri dari dua orang.
Diam-diam Hwi Ching dapat
menaksir bahwa ditinjau dari caranya menaik kuda, orang-orang itu tentu
berkepandaian tinggi. Dia yang selama beberapa tahun tinggal diluar perbatasan,
diam-diam merasa heran juga dengan adanya perubahan-perubahan dalam daerah
Tionggoan.
Secara sembunyi, dia keluar
dari kamarnya, melalui ruangan Sam Hap Wan, ia berputar kearah belakang gedung
penginapan tersebut. Benar juga, disitu ia dengar si orang kasar yang berbicara
tadi itu, berkata.
“Thio samko, kau katakan Siao
Tocu itu masih muda belia, masa dia dapat mengatasi lain-lain saudara.
Pada saat itu, Hwi Ching telah
menyusup kebawah jendela, sebetulnya ia tak suka mencuri dengar urusan pribadi
orang lain. Hanya karena ia curiga atas sikap orang yang aneh itulah ia
terpaksa lakukn hal yang tak disukainya itu. Tak ada jeleknya kalau ia berlaku
hati-hati .
“Kalau terpaksa, tentu dapat
mengatasi? Habis kalu memang begitu, pesan lotenkeh mau tak mau siao tosu harus
menjalani. kita harus melindunginya, demikian terdengar seorang mengutarakan pendapatnya.
Suara orang itu sangat
lantang, kata-katanya mantap. Tahulah Hwi Ching, bahwa orang tersebut mahir
Iwekang, mengetahui kedua orang yang berada dalam kamar itu bukan orang
sembaranagan, Hwi Ching tak beranai membuat lubang pada kertas jendela, cukup
mendengar dari luar saja!
Kata si kasar pula! Udah
barang tentu, samko. Cuma saja kali ini apakah Siao tocu turun dari gunung?
“kali ini kiongcu pertama dan
kedua masing-masing dan Gwan-sam long sama keluar menyambut tentu Siao tocu
terpaksa masti keluar, kta yang seorang.
Mendengar suara tersebut, hati
Hwi Ching bergetar. Rasanya suara itu sangat dikenalinya, merenung sejenak,
segera ia teringat tentu orang itu Lo Pan San seorang sahabat karibnya dalam
perserikatan Cu-liong Pang dulu.
Orang tersebut lebih muda
sepuluh tahun darinya, dia toa tecu murid kepala ahli waris dari golongan Tay
kek bun. Pernah semasa masih sama di Cu Liong pang dia berlatih dengan orang
she Tio itu. Dan keduanya saling mengagumi kepandaian masing-masing.
Kalau sampai sekarang sudah
salaing berpisah belasan tahun, tentunya orang itu sudah hampir lima puluh
tahun umurnya sesudah Cu Liong pang bubar, entah orang she Tio itu berada
dimana. Tak dinyana kalau hari ini dia dapat menjumpai diluar perbatasan.
Bertemu dengan sahabat karib,
Hwi Ching girang tak terkira, tapi pada sat itu dia hendak menegurnya,
tiba-tiba lampu dalam kamar itu dipadamkan. Dan menyusul, sebatang panah kecil
Siu Ci melesat keluar dari dalam kamar.
Siu Ci terang tak ditujukan
pada Hwi Ching dan pada saat itu, tampak sesosok bayangan berkelebat. Dengan
mengulur tangan orang itu, telah menyanggapi dengan jitu sekali.
Tampak orang tersebut mengulur
tubuhnya seraya hendak berteriak, tapi Hwi Ching telah mendahului bergeser
menghampiri, katanya dengan berbisik-bisik.
“Jangan berisik, ayo ikut
aku!”
Ternyata orang itu Wan Ci, Li
Wan Ci liteecunya sendiri. Keadaan dalam kamar sunyi-sunyi saja. Tak ada orang
yang mengejarnya. Cepat Hwi Ching menarik tangan muridnya untuk menyelinap
pergi terus menuju ke kamar yasang murid. Ternyata liteecunya mengenakakan
pakaian untuk berjalan malam dan menyaru sebagai seorang pria.
Melihat itu Hwi Ching agak
mendongkol disamping geli juga dengan suara keren,
“Wan Ci, kau tahu orang apakah
dalam kamar itu. Kau kira akan gegabah untuk tempur mereka kah ... ?”
Pertanyaan shunya itu, membuat
Wan Ci termunung tak dapat menjawab apa-apa. Masa mereka berani melepas Siu Ci
padaku” akhirnya Wan Ci dapat menyahut setelah termenung beberapa saat.
Memang begitulah perangai
seorangnya, taunya hanya kesalahan orang lain, sedangkan kesalahannya mencuri
dengar pembicaraan orang lain itu tak disinggung-singgung. Padahal kesalahannya
sendiri merupakan pantangan besar di kalangan persilatan.
“kedua orang itu kalu bukan
dari golongan holim, tentulah orang-orang perserikatan salah seorang dari
mereka aku mengenalnya. Kepandaiannya tak dibawahku. Mereka tentu punya urusan
penting, maka begitu bergegas memburu perjalanan siang malam. Siu ciam itu tak
sungguh-sungguh akan mencelakan kau. Hanya untuk memperingati supaya kau jangan
usil dengar urusan orang lain, hayo .... kau lekas tidurlah.
Pada sat Hwi Ching berkata itu
terdengar suara pintu terbuka, menyusul dengan berderapnya kaki kuda, kedua
orang aneh itupun sudah kabur jauh. Karena Wan Ci telah berlaku sembrono, maka
Hwi Ching segera batalkan niatnya menemui sahabat lamanya itu agar tidak
menimbulkan kecurigaan orang.
Keesokan harinya, kembali
rombongan keluarga Li meneruskan perjalanannya. Berselang sejam kemudian,
mereka sudah meninggalkan kota Song Tat Poh itu.
“Losu, didepan kembali ada
orang mendatangi, “Tiba-tiba Wan Ci berseru.
Tepat pada saat itu, dua
penunggang kuda bulu merah tampak mendatangi dengan pesatnya. Karena kejadian
semalam Wan Ci dan suhunya bersukap hati-hati.
Kedua ekor kuda itu ternyata
bersamaan satu sama lain. Dan yang mengherankan kedua penunggangnyapun juga
serupa benar. Mereka sama-sama berusia empat puluh tahun, perawakannya tinggi.
Kurus, mukanya kuning, matanya menjolek kedalam! Nyata bahwa keduanya itu
adalah sepasang saudara kembar.
Jilid ; 2
KETIKA lewat disisi rerotan
kereta kedua orang itu melirik kearah Wan Ci, sebaliknya si nona pun malah
berbalik mengawasi dengan mata melotot. Ia menghentikannya kudanya, dana
bersikap seolah-olah seperti siap untuk berkelahi.
Tapi kedua orang tersebut
tidak memperdulikannya, begitu cambuknya dikeprakkan, kudanya terus kabur
kearah barat.
Huh, darimana munculnya
sepasang setan kuning itu berseru Wan Ci, sebaliknya tampak terkejut, lalu
mengawasi kebokong dari kedua penunggang kuda tersebut. Nyata benar mereka itu
tampaknya seperti dua batang bambu yang menancap diatas kuda.
“Ayo kiranya mereka, tiba-tiba
Hwi Ching berseru ketika ia teringat akan sesuatu.
“Liok losu, kau kenal mereka,
cepat-cepat Wan Ci bertanya.
“Mereka tentulah secihwan song
hiap, yang orang kongouw sebut Hek bu siang dan Pek bu-siang, setan gantung
hitam dan putih.
“Ha, orangnya aneh gelarnyapun
aneh, mengapa tak digelari saja sebagai Bu siang Kun” seru Wan Ci dengan
mengolok.
“Anak perempuan tak boleh
bicara sembarangan. Walaupun wujudnya aneh tapi kepandaiannya tak boleh dibuat
main-main, kata Hwi Ching. Aku belum pernah bertemu muka dengan mereka. Tapi
kabarnya mereka adalah sepasang saudara kembar. Mereka tidak pernah berpisah
satu sama lainnya. Malah untuk memelihara kerukunannya, keduanya tak mau kawin,
mereka berkelana untuk melakukan kebaikan. Orang yang orang yang taroh
perindahan memberi gelaran Seechwan siang hiap, sedang yang memberi poyokan
menyebutkan Hek bu siang dan Pek bu-siang.
“Kata orang keduanya itu mirip
satu sama lain. Namun ada cirinya, yakni yang tua itu tumbuh andeng-andeng
diekor matanya. Karenanya ia digelari orang sebagai Hek bu-siang, sedang
adiknya tak punya andeng-andeng dan dinamakan Pek bu-siang. Nama mereka sebenarnya
adalah siang ho co dan mereka adalah murid-murid dari Hwi lu tojin dari
golongan Heng seng pay.
Setelah Hwi Lo tojin
meninggal, mungkin di kangouw tak ada orang yang menandingi mereka dalam ilmu
Hek sat ciang. Pukulan pasir hitam. Keduanya adalah begal-begaldari seechwan
yang sangat terkenal mengambil harta si kaya untuk diberikan pada si miskin.
Hanya tangan mereka kelewat kejam sekali, karena mendapat julukan yang tak
sedap didengar itu.
“Untuk apakah mereka menuju
kperbatasan sini?” tanya Wan Ci.
“Akupun tak mengerti. Memang
selamanya mereka tak pernah berkunjung keperbatasan”, demikian Hwi Ching
menerangkan.
“Sepasang Bu-siang itu apabila
beranai mengganggu aku, biarkan mereka rasakan pek-liong kiam kepunyaan ssuhu
itu, kata Wan Ci.
Tadi kedua orang melirik pada
Wan Ci, untuk itu ia merasa dongkol, coba tak dicegah suhunya, tentu sudah
dimakinya orang itu.
“Kedua saudara itu jika
berkelahi selalu bersama, baik hanya melawan seorang musuh atau sepuluh orang.
Kata Hwi Ching!. Mungkin tulang tua dari suhumu ini, tak dapat melawan mereka.
Selagi Hwi Ching mengucap
begitu, dari arah depan kembali terdengar kaki kuda. Kembali ada lagi dua orang
penunggang kuda mendatangi, malah kali ini juga kukway lagi. Yang satu adalah
seorang tojin dan kawannya adalah seorang bongkok, tojin itu memanggul sebatang
tiang kiam pedang panjang, wajahnya putih pucat seperti orang yang habis sakit,
lengan bajunya sebelah kirinya diselipkan kedalam pinggang.
Sedangkan bongkok berpakaian
mentereng sekali. Melihat romannya begitu jelek, namun masih berlagak seperti
kongcu-koncuan, Wan Ci tak dapat menahan ketawanya, katanya :
“Suhu, lihat si bongkok tua
itu”
Untuk mencegah muridnya, Hwi
Ching terlambat. Begitu dengar orang mengejeknya, si bongkok segera melototkan
matanya. Begitu mengeprak kuda, ia lalu ulurkan tangan untuk menyambar si nona
centil itu.
Rupanya sitojin sudah menduga,
kalau kawann itu akan marah dan turun tangan, maka cepat sekali ia hadangkan
cambuk untuk menahan sang kawan, serunya :
“Ciong sutee, jangan membikin
onar.
Kesemuanya itu berlaku dalam
sekejap mata saja. Pada lain saat, kuda si tojin dan si bongkok sudah
menconglang jauh. Ketika Wan Ci menoleh kebelakang untuk melihatnya, ternyata
si bongkok sudah berusaha untuk lepaskan tangannya, dari hadangan si tojin. Dan
dengan gerak “To.cai-kim ciong” dia buang diri berjumpalitan kebelakang, teus
loncat ke tanah. Hanya tiga kali lncatan, tahu-tahu dia sudah dibelakang Wan
Ci.
Wan Ci sudah siap-siap dengan
pedangnya untuk memapaki tangan musuh. Tapi ternyata si bongkok itu berlaku
aneh. Dan tak langsung menyerang, hanya mengulurkan tangan kirinya untuk
menjambret bulu ekor kudanya Wan Ci.
Kuda yang tengah laridengan
kerasnya itu, tiba-tiba seperti terpaku tak bisa bergerak lagi. Kuda tersebut
mengangkat kakinya keatas, untuk berusaha berusaha menyeret si pengganggu.
Namun ternyata si bongkok itu
memilki tenaga sakti. Dia tetap tak bergeming, malah, berbarenga tangan
kanannya menebas, ekor kuda dan terpapas kutung seperti di potong pisau. Dan
barulah pada saat itu, kuda Wan Ci dapat berlari kemuka lagi.
Kaget si nona taak terkira.
Hampir saja ia dilempar jatuh oleh kudanya sendiri. Ketika ia hendak mengirim
tebasan pedang kebelakang ternyata jaraknya sudah jauh dengan si bongkok.
“dilain sat, secepat kilat si
bongkok lari mengejar kuda tunggangannya yang masih tetap lari sendirian itu,
sekali enjot ia sudah berada diatas pelana kudanya, terus lenyap tak berbekas
lagi.
Dipermainkan begitu, Wan Ci
panas sekali hatinya, saking gusarnya ia sampai menangis sembari mewek-mewek
seprti anak kecil ia menyerukan sang suhu.
Semua kejadian itu, ternjadi
didepan mata Hwi Ching, sebagai seorang kagouw ulung, ia cukup dapat menimbang.
Kesalahan ada dipihak muridnya sendiri, dan untuk itu sebenarnya ia akan
memberi teguran pedas. Tapi ketika melihat sang murid mengucurkan air mata, ia
dapat berlaku sabar, dan tidak jadi menyemprotnya.
Pada saat itu
sekonyong-konyong, dari arah depan terdengar seorang berteriak.
“Aku, Bu Wi Yang, Aku, Bu Wi
Yang.
Mendengar suara itu, Wan Ci
Heran, lalu bertanya.
“Suhu, apa artinya itu?
“itulah pengawal kantor
Piauw-kok yang sedang menjalankan tugasnya, setiap piauw-kok tentu mempunyai
pekerjaan yang tuganya untuk meneriakan pemimpin Piauw-koknya. Agar dengan
demikian sahabat-sahabt dari persilatan segera mengenalnya, dan tidak
mengganggu.
Pekerjaan Piauw-kok untuk
mengantar barang, dua apertiaga bagian mengandadalkan hubungan baik dengan
kalangan hoklim. Dan selebihnya baru mengandalkan pada kepandaian si piausu.
Makin luas pergaulan sipiauwthao makin terjaminlah keselamatan barang-barang
bawaannya. Karena kebanyakan, memandand muka sipiauwsu, kaum hoklim tentu segan
mengganggu.
Andai kata kau yang menjadi
piauwnya tentu banyak orang yang akan mengganggu, dan walaupun kau punya
kepandaian sepuluh kali lipat dari sekarang karena sikapmu tadi dan jangan
harap kau akan selamat mengantar barang, jelas Hwi Ching.
Demikianlah panjang lebar Hwi
Ching memberikan nasehat dan keterangan pada liteecunya, sekalian secara halus
ia menjewernya. Wan ci mengerti akan kata-kata suhunya itu, dan pikirnya tak
mau kalah !”
“Siapa sih yang sudi menjadi
pauwsu dalam hati, namun tak berani mengutarakan untuk membatah suhunya. Malah
ia unjuk ketawa seraya berkata :
“Suhu, massfkan aku yang
salah, Piauw-kok manakah yang diteriakkan oleh orang itu …?”
“Itu, Tin Wan Pauw kok dari
Pekkhia, dia daerah utara dia yang terbesar, cabang-cabangnya berada di kota
Hong Thian, Kee Lam, Khayhong dan Thay Gwan. Pemimpin piauwtao Ong Wi yang dari
Wi Tin Ho, usianya sudah hampir tujuh puluh tahun. Tin Wan piau-kok sudah
berdiri selama empat puluh tahun, tapi dia masih belum mau pensiun menikmati hari
tuannya !”
“Suhu kau kenal dengan cong
piauw thoanya, iyu ?” tanya Wan Ci.
“Aku pernah bertemu dia.
Dengan sebatang golok Pat Kwa too dan ilmu pukulan Pat Kwa-ciang, ketika itu ia
menjagoi dikalangan persilatan.”
“kalau begitu harap nanti suhu
suka perkenalkan aku dengannya, agar aku dapat berkenalan dengan loo enghiong
itu!” seru Wan Ci dengan bersemangat.
“Mana ia mau keluar mengantar.
Tolol betul kau ini!”
Merasa dirinya selalu
dipersalahkan oleh sang suhu. Wan Ci agak mendongkol, ia mengakui bahwa sangat
asing dengan keadaan di kangouw, justeru itulah dia kepingin mengetahuinya.
“”Aku tak mengerti, seharusnya
dikasih tahu kenapa masti disemprot?”
Begitulah ia mengerutu didalam
hati, cepat ia keprak kudanya, memburu kearah kereta yang ditumpangi ibunya,
disitu ia akan menghibur kemendongkolannya, ia menjadi kaget tak terkira,
sewaktu-waktu mengetahui separoh bulu ekor kudanya sudah kutung, sekalai
menebas dapat mematahkan sebatang tombak tak mengherankan, tapi mengapa bulu
ekor kuda yang sedemikian lemasnya itu, dapat dikibas kutung dengan tangan
kosong.
Sebenarnya akan ditanyakannya
hal ini pasa suhunya, namun ia masih mendongkol, maka segera ia keprak lagi
kudanya menghampiri pemimpin pengawal Can Tho Lam, katanya :
“Can Samciang, ekor kudaku
entah bagaimana tadi, kutung separoh, sungguh tak sedap dilihat mata.”
Tho Lam mengerti maksud si
nona.
“Entah bagaimana, kulakukan
ini sangat binal sekali, aku tak dapat mengatasinya, siocia punya kepandaian
naik kuda yang bagus sekali, bantulah aku untuk menjinakkan, sukakah socia?”
demikian tanyanya pura-pura.
“Dikuatirkan aku pun akan
gagal,” kata Wan Ci merendah.
Begitulah keduanya segera
saling tukar tunggangan. Ternyata kuda Thio Lam itu demi mendengar perintah,
sedikitpun tak berani membantah tidak seperti yang dikatakan Thio Lam tadi.
“Siocia kau sungguh hebat,
sedang kuda itu pun menurut padamu.” Kata Thio Lam memuji.
Orang piauw kok yang
berteriak-teriak itu makin dekat dan tak lama kemudian ternyata terlihat sebuat
rerotan yang terdiri dari lebih dari dua puluh buah. Kuatir kalau ada
kenalannya, buru-buru Hwi Ching bersembunyi kebelakang rombongan, ia pakai topi
rumput yang lebar untuk menutupi separoh mukanya, dan diam-diam ia pasang mata
pada rombongan piaukok itu.
Ketika saling bersimpangan,
ternyata dalam rombongan piuwkok itu tak kurang dari tujuh atau delapan orang
piuwsu. Kata salah seorang diantaranya :
“Kalau menurut omongan Han
Toako, Ciao Bun Ki samko sudah ada beritanya.”
Terkejut sekali Hwi Ching dan
cepat-cepat ia pandang lagi piawsu itu dengan tajam, muka orang itu brewok,
kulitnya kehitaman, dibelakang pinggannya mengendong sebuah pauwhok merah,
serta sepasang senjata yang aneh bentuknya, yaitu disebut Ngo beng Lun semacam
roda.
“Apakah mereka itu bukan
Kwantong Liok Mo” pikir Hwi Ching
Kwantong Liok Mo atau enam
iblis dari Timur tembok besar, yang disebut itu, selain Ciao Bun Ki, dia memang
belum pernah berjumpa. Kabarnya yang kelima iblis itu tinggi kepandaiannya,
yang kelima yakni bernama Giam See Cui dan yang keenam Giam See Ciang, keduanya
bersenjatakan roda Ngo heng lun. Mereka adalah dari golongan Siao Lim pay.
Terasalah pada Hwi Ching,
bahwa kali ini dia bakal bersamplokan dengan murid-murid siao lim pay yang
lihay. Diam-diam dia gelisah. Kalau saja mereka mengetahui tentang kematian
Ciao Bun Ki, tentu sangat berbahaya untuk dirinya. Apalagi kini dia sedang
mengantar rombongan keluarga Li dan terutama adalah Wan Ci muridnya yang
berwatak keras dan suka membikin keonaran. Itu. Tentu sukar untuk mengelakan
pertempuran dengan kawanan iblis kwantong itu.
Kalau dilihat glagatnya,
mereka untuk menangkap dirinya. Dianatara rombongan piawsu itu ada Tio Pan-san
salah seorang sahabat lamanya. Tentu orang itu takkan tega mencelakan dirinya.
Bertujuan apa mereka menuju ke barat, Hwi Ching tak mengerti.
Kalau Hwi Ching sedang memutar
otak untuk mencari tahu, sementara Wan Ci ketika itu, sudah bertukar kuda
dengan Thio Lam telah merasa geli melihat kuda yang kini dinaiki oleh orang she
Can itu, yang separoh ekornya hilang. Ia hentikan kudanya untuk menunggu sang
suhu lalu katanya dengan tertawa :
“Suhu mengapa dimuka sudah tak
ada orang yang mendatangi lagi. Dari kemarin samapai hari ini, sudah ada lima
pasang orang berilmu menuju ke Barat. Aku masih ingin melihat beberapa lagi.
Ucapan itu seperti menyadarkan
Hwi Ching dari lamaunan.
“Ah, aku sungguh tolol” seru
Hwi Ching sembari menpuk pahanya. “Mengapa aku sampai lupa, beribu li menyambut
san kepala naga itu!”
“Apa yang dimaksud dengan
beribu li menyambut kepala naga” itu, suhu? Tanya si murid.. ... “Itu, suatu
upacara besar-besaran di kalangan kangouw atau dalam suatu perkumpulan.
Biasanya terjadi atas diri enam orang pemimpin teratas, satu demi satu mereka
keluar untuk menyambut sang pemimpin dalam upacara yang besar dan lengkap.
Malah terdiri dari dua belas, sepasang demi sepasang mereka menyambutnya. Tadi
sudah keluar lima pasan, nanti tentu masih ada lagi sepasang.
“Mereka itu tergolong dalam
perkumpulan apa, shu....?”
“Entahlah, akupun belum
mengetahuinya, “ sahut Hwi Ching. “Tapi seechwan song hiap dan bongkok itu
orang-orang yang berkepandaian tinggi. Mereka anggota perkumpulan itu.
Pengaruhnya tentu besar jangan kau coba mengila dengan mereka, mengerti?”
Mulut mengiyakan, tapi hati
Wan Ci tak tunduk. Ia perhatikan betul-betul pasangan yang akan datang nanti.
Lewat tengah hari ternyata masih belum tampak orang yang diharapkan itu, Hwi
Ching diam-diam merasa aneh juga, karena hal itu sungguh diluar kebiasaan yang
pernah diketahui.
Tapi dia tak usah menunggu
terlalu lama, segera terdengar juga suara kaki kuda mendatangi. Anehnya mereka
itu tidak datang dari arah belakang. Menyusul bunyi kelenengan keledai, debu
tampak mengepul keatas dan rombongan besar dari kaum musafir atau
pedagang-pedagang di daerah gurun pasir tampak menghampiri.
Setelah dekat, tampak
berpuluh-puluh ekor keledai dan kira-kira tiga puluh ekor kuda dari suku bangsa
Wi. Rata-rata mereka berhidung tinggi dan matanya cekung kedalam, mukanya
brewokan dan kepalanya dibungkus dengan kain putih.
Pedagang-pedagang Wi datang
dari daerah Hwee, dimana penduduknya sebagian besar orang-orang muslim. Mereka
pergi ke daerah Tianggoan untuk berdagang. Hal ini adalah kejadian yang biasa
karenanya tak menarik perhatian Hwi Ching.
Tapi pada saat itu, tiba-tiba
dari rombongan tersebut namapak seorang gadis yang berpakaian kuning,
menunggang kuda putih. Gadis itu cantik sekali berseri-seri memikat mata.
Ia memakai topi tinggi,
diatasnya tersampir sebuah bulu burung. Menambah keanggunan semakin tampak.
Kalau Hwi Ching hanya sepintas
saja memandang gadis WI yang cantik itu, Wanci mengawasi dengan teliti penuh
pesona. Ia yang dilahirkan di daerah perbatasan itu, belum pernah melihat
wanita ayau, apalagi secantik gadis itu.
Usia gadis itu sebaya dengan
Wan Ci, kira-kira delapan belas atau sembilan belas tahun. Dibalik pinggangnya
terselip badi-badi, sedangkan rambutnya dikuncir dibiarkan menjulur keatas
bahunya. Warna pakaian kuning telur tepinya disulam dengan benang emas. Diatas
pelana seekor kudaputih, ia mirip dengan lukisan yang indah.
Seorang wanita cantik, tentu
menggundang perhatian pria. Tapi dalam pandangan sesama kaum wanita, hanya
menimbulkan kekaguman yang tak terhingga. Ketika gadis Wi itu lewat disisinya,
Wan Ci segera menguntit dengan mata tak terkesiap.
Si gadis Wi melihat dirinya
dikuntit dan diawasi oleh seorang pemuda Han. Wan Ci waktu itu menyamar sebagai
laki-laki, sontak mukanya menjadi merah, tiba-tiba berseru, “Ayah.”
Seorang Wi yang bertubuh tinggi
dan berewokan, cepat keprak kudanya untuk menghampiri. Begitu dekat ia lalu
tepuk pundak Wan Ci, katanya.
“Eh, sobat kecil, mau
kemana..sih?”
Wan Ci perdengarkan suara,
huh. Ia masih belum sadar kalau dirinya waktu itu berdan dan seperti seorang
pemuda. Dalam keadaan begitu, sudah tentu tak pantas kalau seorang gadis
diawasi sedemikian itu.
Si gadis mengira Wan Ci adalah
seorang pemuda yan tak tahu adat, segera ia pakai cambuk untuk mengaet bulu
suri kuda Wan Ci, begitu ia tarik sekeras-kerasnya , seketika kuda itu
kesakitan dan berjingkarak-jingkrak hingga Wan Ci hampir jatuh.
Menyusul cambuk ditangan si
gadis berkelebat diudara, jebolan bulu suri itu berhamburan kemana-mana. Wan Ci
panas hatinya, cepat ia ambil sebatang Piauw, lalu ditimpukan ke punggung si
gadis. Namun ia tak sungguh-sungguh hendak melukai si gadis, maka berbareng
dengan piauw itu melayang, cepatcepat ia berseru : “He, nona kecil, awas ada
piaw!”
Tubuh si gadis kelihatan
dimiringkan kekiri, maka lewtlah piauw itu disisi tubuhnya, begitu piauw
terpisah satu tombak dimukanya, cambuk si gadis Wi itu kembali disabetkan,
dengan secara mengagumkan ujung cambuk itu melilit piauw dan terus ditarik
kembali untuk disambut dengan tangan, segera ia pun menjadi gusar, bentaknya :
“He, bocah kurang ajar
terimalah piauwmu kembali.
Angin menderu, dan piauw itu
lurus menyambar kearah dada Wan Ci. Wan Ci juga tak mau memperlihatkan
kelemahan dengan tangan kosong, ia tangkap piauw itu. Kalau rombongan orang Wi
bersorak begitu melihat si gadis menangkap piauw dengan cambuknya, sebaliknya
wajah si ayah berubah cemas. Dia membisiki beberapa patah kata pada gadisnya,
dan gadisnya pun mengangguk mengiayakan beberapa kali.
Dengan demikian, ia tidak
memperdulikan Wan Ci Lagi, terus melarikan kudannya kemuka, diikuti oleh
rombongan keledai berpuluh-puluh itu. Tak beberapa lama, mereka dapat
mendahului rerotan kereta yang membawa keluarga Li Thay-thay itu.
“Sekarang belumkah kau merasa
bahwa diluar langit, diatas orang masih ada orang lagi. Gadis tadi umurnya sama
denganmu, bukankah kepandaiannya tadi harus kau akui?” demikian Hwi Ching mencemoohkan
muridnya.
“Anak Wi itu, siang dan malam
berada diatas pelana kuda, sudah barang tentu permainan cambuk sangat bagus,
tapi belum tentu kalau ia sungguh-sungguh mempunyai kepandaian bantah Wan Ci.
“Masa tidak?” sahut Hwi Ching
dengan mengoda
Menjelang sore, tibalah mereka
dikota Poh Liong Kit. Disitu hanya ada sebuah penginap besar, yaitu penginapan
“Tong Lat” dimuka pintunya tergantung sebuah papan yang bertuliskan “Lin Wan
Piauw kok” nyata bahwa rombongan piawsu itu tadi, menginap di penginapan itu.
Diinapi oleh dua rombongan
besar pelayan-pelayannya nampak sibuk sekali, sehabis cuci muka Hwi Ching
kelihatan membawa sebuah tempat teh masuk kedalam ruangan. Disitu dilihatnya
ada dua buah meja yang sedang dikepung beberapa orang yang tengah makan dan
minum, mereka adalah kawanan piuwsu tadi. Malah pauwsu yang mengendong pauw hok
merah itu tadi juga nampak duduk disitu.
Hwi Ching berlagak melihat
keatas, maka kedengaran salah seorang piawsu itu tertawa dan berkata :
“Giam ngo-ya, kalau kau dapat
membawa kitab itu dengan selamat sampai ke kota raja, maka Yaum Ciangkun akan
memberikan hadiah beberapa rtus tail kepadamu? Waktu itu harap jangan lupa
undang kami buat daharan yang besar!”
Mendengar itu diam-diam Hwi
Ching berpikir dalam hatinya.
“Betul dia adalah orang kelima
dari Kwan Tong Liok Mo si Giam sengui.
“Hadiah besar hah, siapun tak
berani memastikannya, demikian sahut she Giam itu.
Ucapan itu tiba-tiba diputus
oleh sebuah suara aneh dari sesorang : “Ya, yang dikuatirkan adalah hadiah itu
akan tenggelam pada si penerima terus.”
Hwi Ching melirik pada orang
itu. Orang itu mukanya menakutkan, badannya kurus kering, dia juga seorang piauwsu
rupanya.
“Hem, jengek she Gui dengan
kurang senang.”
“Tong Sii Ho, lidahmu itu
betul-betul beracun, kata piauwsu yang pertama-tama bicara tadi.
“Ya, deh, jika tak mau
dikatakan tenggelam, nah, biarlah aku bilang ganjalan itu nanti akan berwujud
si cantik manis yang sedia dipanggil sahut Tong Siu Ho yang ternyata bermoral
rendah.
Mendengar kata-kata orang
makin tak sopan Giam Se tak tahan lagi, kontan ia memaki, “Ibumu saja yang
kupanggil nanti”
“Baik, dan nanti aku nanti kau
sebut ayah anagkat, kata Tong Siu Ho yang bermuka tebal sambil cengar-cengir.
Hwi Ching menjadi sebal
mendengar kata-kata orang yang koor-kotor itu. Pikirnya lantas hendak
menyingkir, tapi tiba-tiba didengarnya Tong Siu Ho buka suara lagi.
“Giaw Ngo-ya tuan kelima kalau
bergurau biarlah kita bergurau, tapi bila sungguh-sungguh tentu juga
sungguh-sungguh. Nah, paling penting jagalah baik-baik pauw hok di punggungmu
itu saja, jangan terus kau ributi ganjaran. Yang belum kau terima itu kali ini
Tin Wanpiau kiok kita benar-benar sedang diuji!”
Mendengar orng menjadikan
“Pauwhok” atau buntalan sebagai barang cerita, waktu Hwi Ching menengas nyata
pauhok yang dimaksudkan tergemblok di punggung Giam Se-gui terbungkus kain
kuning dan tak seberapa besarnya maka dapat ditaksir barang didalamnya tentu
kecil-kecil saja.
Sementara itu didengarnya Giam
se-Gui itu telah menjawab.
“Tong siaocu, kau jangan
ngelantur terus. Kali ini hasil yang diperoleh Giam yaymu yang telah
mendapatkan kitab itu, bukankah cukup membikin mereka setengah mati. Aku Giam
se-gui, betul-betul memakai modal kepandaian buat mendapatkananya. Tak seperti
sebangasa cecurut yang menggamblok orang selain hanya dapat gegares makanan
biasanya Cuma berlagak saja!”
“Ya, ya, Kwantong Liok Mo, sih
memang terkenal hebat, hanya sayang sedikit sam mo iblis setelah telah dikerjai
orang, dengan tanpa diketahui siapakah adanya musuh itu, kata Tong siu-ho pula.
Seketika Giam See-gui
menggebrak meja.
“Siapa bialang aku tak tahu!
Itu tentu perbuatan orang Hong Hwa Bwee!” teriaknya sengit.
Kembali Hwi Ching merasa
heran. Yang membunuh Ciao Bun Ki salah seorang Kwantong Liok Mo, adalah dia.
Mengapa mereka timpakan kesalahan pada kaum Hong Hwa Bwee. Apakah perkumpulan
Hong Hwa Bwee – bunga merah itu?
Ketika itu Hwi Ching berjalan
sampai keruang dalam. Dia pura-pura mengagumi bunga-bunga yang tumbuh tak
seberapa jauh jaraknya dengan kawanan piauwsu itu.
Tong sin tak mau kalah mengadu
lidah katanya lagi :
“Sayang aku tak bertulang
keras bisaku hanya gegares makanan, kalu aku seorang pemberani tentu
siang-siang sudah aku bikin perhitungan dengan orang”
Dibikin panas begitu, tubuh
Giam see-gui gemetar, hingga tak dapat mengucap sepatah perkataan appun.
Melihat itu buru-buru salah seorang piauwsu menyelutuk.
“Cong-tho cu atau ketua umum,
Hong Hwa Bwee, Hong Hwa Bwee, si Le Ban Teng bulan yang lalu sudah meninggal
dunia di Bu-Sik. Setiap orang Hong Hwa Bwee itu, suatu hal yang tak ada
buktinya. Coba siapa yang pernah melihat dengan mata kepala sendiri? Kau cari
balas pada orang, tapi orang itu tak merasa melakaukan apa daya kita?”
Dengan sahautan begitu, Tong
sin-ho kemekmek, buru-buru ia menerangkan lagi.
“Hong Hwa Bwee sih kita tak
berani main gila. Tapi untuk orang-orang Bwee masa kita jerih. Kita sudah dapat
merampas kitab yang bagi mereka dianngap melebihi jiwanya itu. Kalau kelak Jauw
ciangkun minta tebusan uang atau ternak berapa saja, mereka tentu meluluskan.
Giam ngo ya, percaya Jauw ciangkun tentu akan menghadiahi kau seorang gadis
Bwee, yang cantik bukan main.
Baru saja orang she Tong yang
pandai bicara itu hendak menghabisi ucpannya, sepulung tanah malah melayang
tepat masuk kedalam mulutnya, belum sempat ia berteriak kesakitan, dua orang
piawsu sudah melesat memburu keluar.
Diam se-gui pun bangkit,
seraya meloloskan senjatanya mengikuti keluar. Tapi ternyata mereka hanya
hendak menjaga bungkusan pauwhok yang dibungkus dengan kain merah itu saja.
Mereka tak mau mengejar kuatir terkena tipu musuh yang disebut, memancing
harimau keluar gunung.
“Bajingan!” Bangsat.
Demikian Tong Sin ho
memuntahkan pulungan tanah tadi dari mulutnya, seraya tak putus-putusnya
memaki-maki.
“Selama ini kukira bangsa
anjing saja yang makan kotoran, tapi hari ini betul-betul aku tambah pengalaman
bahwa orangpun ternyata makan tanah! Seru Giam See Gui mengejek.
Pada saat itu, kedua piauwsu
yang mengejar tadi yakni Tee Ing Hing yang bersenjatakan Hwan pian dan Ci Ceng
Lun yang memegang golok, tampak masuk kedalam katanya :
“Bangsat itu lolos entah
kemana larinya!”
Semuanya telah dilihat dengan
mata kepala Hwi Ching. Bagaimana Teng Siu Ho yang bermulut tipis itu, kini
seperti monyet kena terasi. Untuk itu hampir-hampir Hwi Ching tak kuat menahan
gelinya. Tiba-tiba ia melihat sebuah bayangan berkelebat diatas ujung tembok. Ia
pura-pura tak melihatnya, dan berlagak orang yang sedang mencari angin
diserambi luar.
Ketika itu hari sudah gelap,
Hwi Ching sembunyi di pojok tembok sebelah barat dari ruang tamu. Pada saat
itu, tampak sebuah bayangan loncat turun dari pojok rumah. Begitu enteng
gerakannya, dan begitu menginjak tanah, terus melesat kesebelah timur.
Tadi ketika Tong siu ho
rasakan “daharan”istimewa, Hwi Ching sudah menduga bahwa sipelemparnya itu
tentu sangat lihay. Kuat dugannya bahwa bayangan itulah orangnya. Untuk mencari
tahu, Hwi Ching segera menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk menguntitnya.
Dia masih memegang porot
tempat teh. Berpuluh-puluh tahun dia yakinkan ilmu meringankan tubuhnya
sehingga tak tampak gerakannya berjalan. Maka orang yang diikutinyapun sampai
tak merasa.
Dalam sekejap saja, keduanya
sudah berlari sampai lima atau enam li. Bayangan itu tubuhnya ramping dan
gerakannya gemulai, mirip dengan seorang wanita. Tapi ilmu meringankan tubuhnya
tinggi juga.
Melewati sebuah tikungan
gunung sampai pada sebuah hutan dan bayangan itu menyusup kedalam. Hwi Ching
memburunya terus.
Di hutan itu ternyata penuh
dengan daun-daun layu yang sudah rontok ditanah, maka begitu kaki menginjak,
tentu timbulkan suara berkeresekan.
Takut kalau bayangan itu
sampai mengetahui, Hwi Ching kendorkan langkahnya. Tapi pada lain saat, dia
telah kehilangan arah bayangan itu. Ada sebuah larangan untuk kaum kangouw
bahwa “bertemu dengan hutan tak boleh memasuki” dan karena hutan itu sangat
lebatnya mudah sekali dibokong musuh.
Hwi Ching sangsi pikirnya akan
mundur saja. Tapi justeru ketika itu, rembulan muncul dari balik awan,
menerangi seluruh hutan itu. Tampak olehnya sesosok bayanagan kuning, sudah
melintasi keluar dari hutan sebelah sana.
Dengan tak berayal lagi, Hwi
Ching terus mengikuti. Dia bersembunyi dibelakang sebuah pohon besar.
Diseberang sana ternyata adalah sebuah lapangan rumput yang luas. Disitu
terdapat delapan atau sembilan buah tenda. Dia merasa aneh dan coba untuk maju
mengintip.
Tadi sekonyong-konyong tampak
dua orang penjaga menghampiri kejurusannya. Cepat-cepat ia menghindar. Dengan
gerakan, yan-sam co cun, burung seriti tiga kali menyelundup keair ia loncat
bersembunyi dibelakang seekor keledai yang berada diluar tenda. Untunglah
penjaga itu tak melihatnya.
Dengan ilmu yang tinggi dan
nyali besar, ia menyelonong kebelang kemah terbesar yang berada di
tengah-tengah. Disitu ia mendekam. Kedengaran didalam kemah tersebut ada orang
tengah bercakap-cakap dengan asyik sekali menggunakan bahasa Wi, yang diucapkan
dengan cepat sekali. Wlaupun Hwi Ching bertahun-tahun tinggal diperbatasan tapi
ia tak mengerti bahasa itu.
Pelahan-lahan ia singkap kain
tenda dibawah kakinya, lalu mengintip kedalam, tampak
Didalamnya dipasangi dua buah
pelita yang ditaruh ditengahnya. Orang-orang yang tengah bercakap-cakap didalam
itu, ternyata adalah pedagang-pedagang bangsa Wi yang ditemuinya siang tadi.
Yang tengah bicara ketika itu
ternyata adalah si nona baju kuning yang bukan lain adalah bayangan yang
diburunya tadi. Setelah merendek sebentar, nona itu tampak mengeluarkan sebilah
badi-badi dari pinggangnya.
Nona itu pakai badi-badinya
untuk menusuk jari telunjuknya. Maka bertetes-tetelah darah kelihatan
bercucuran. Perbuatan itu dituruti oleh kawanan orang Wi yang mengores jarinya
dengan goloknya masing-masing.
Orang yang dipanggil ayah oleh
si nona itu, segera mengangkat cawan araknya, serta dengan suara lantang dia
mengucapkan beberapa patah perkataan. Apa yang Hwi Ching dengar hanya dapat
menangkap perkataan “Qur’an” dan kampung halamannya.”
Juga nona baju kuning ikut
angkat bicara suaranya nyaring dan terang, untuk itu Hwi Ching bisa juga
sedikit-sedikit menangkapnya.
“Jika tak dapat merampas balik
Kitab Suci “Qur’an” aku bersumpah biar matipun aku tak mau balik ke kampung
halaman.”
Sumpah itu diikuti oleh
orang-orang Wi dibawah sinar pelita. Hwi Ching menyaksikan bagaimana
kesungguhan wajah mereka itu sehabis mengucapkan sumpahnya mereka
samamengangkat cawan dan mngeringkannya, mereka lalu berbisik-bisik seolah-olah
sedang berunding masalah yang penting.
Sampai disitulah Hwi Ching tak
dapat mendengar dengan jelas. Mungkin mereka merunding daya apa untuk dapat
merebut kembali kitab suci “Qur’an” itu.
Dugaan Hwi Ching ini ternyata
tidak salah. Rombongan orang-orang Wi itu ternyata kaum musafir dari daerah
utara gunung Thian san. Kali ini mereka datang dengan jumlah besar-besar
kira-kira ada dua ratus ribu orang. Mereka terdiri dari kira-kira dua puluh
orang Wi, orang tinggi yang dipanggil ayah oleh si gadis itu. Dia berkepandaian
tinggi, adil dan bijaksana. Ditaati dan dijunjung oleh bangsanya.
Nona baju kuning itu, adalah
puterinya namanya Hwee Cing Tong. Ia adalah murid kesayangan dari Kwan Bing
Bwee, isteri dari Thian san Ki Hiap Tan Ceng Tik. Karenanya ia telah dapat
mewarisi ilmu silat yang sejati dari cabang Thian San Pay.
Thian san Ki Hiap Tan Ceng Tik
dan isterinya Kwan Bing Bwee, adalah jago-jago Thian san pay sukar dicari
tandingannya, suami isteri itu digelari seperti Thian san siang eng, sepasang
garuda dari Thian san.
Kedua suami isteri itu aneh
sekali. Mereka sudah berusia enam puluh tahun lebih, tapi bila berjumpa, tentu
bercidera, sebaliknya kalau saling berpisah, mereka saling merindukan.
Seringkali Hwee Ceng Tong
datang sama tengah, tapi ternyata selalu tak digubris. Ia suka dengan pakaian
kuning. Kopiahnya selalu ditancapi bulu burung cuhung, karenanya ia mendapat
julukan bagus, Cu oh W sam, atau si Bulu hijau berbaju kuning.
Orang-orang Wi itu hidup
berkelana, tak punya tempat tinggal tetap. Ketika kekuasaan Pemerintah Ceng
meluas sampai kedaerah Wi, mereka dibebani dengan pajak yang memberatkan.
Bermula Bok tok loh masih mudah dan membayarnya. Tapi ternyata
pembesar-pembesar negeri itu telah menyalahkan gunakan kekuasaannya untuk
mengeduk keuntungan, hingga bangsa Wi itu, betul-betul menjadi payah.
Bok Toh Lon bermupakat dengan
bangsanya, merasa mereka betul-betul akan rudin. Beberapa kali merek mengirim
utusan kepembesar di Le-li guna minta keringanan yang didapat malah pemerintah
Ceng menaruh kecurigaan keras.
Jenderal besar Yauw Hwi Ceng
mengetahui adanya kitab Quran, yang menjadi pusaka suku bangsa Wi yang beragama
islam itu. Menggunakan kesempatan ketika Bok Tok lun sedang bepergian, beberapa
pengawal kelas satu telah dikirim untuk merampas kitab suci itu. Dengan kitab
itu ditangan pemerintah Ceng tak dikuatirkan akan terjadinya pemberontakan dari
suku itu.
Piauwhok yang dibungkus kain
merah dibelakang punggung Giam se-gui itu terisi kitab suci tersebut. Rapat
besar ditengah gurun yang diadakan Bok toh lun telah ambil keputusan bahwa
mereka telah bertekad bulat, untuk merampas kembali kitab pusaka itu.
Mengetahui bahwa gerak-gerik
orang Wi itu tak ada sangkaut pautnya dengan dirinya, Hwi Ching segera akan
berlalu. Tiba-tiba dilihatnya orang-orang Wi itu bersama-sama melakukan
sembayang (sholat). Buru-buru dia bangkit, gerakkannya ini tak luput dari
pengawasan mata Hwee Ceng tong yang tajam dan tampak berbisik diteklingga
ayahnya: “Ayah, diluar ada orang mengintai”
Omongannya itu diikuti dengan
loncatan keluar tenda. Nampak ada sesosok bayangan lari keluar hutan, ia segera
ayun tangannya untuk melepas sebuah thi lian cu senjata rahasia berbentuk
seperti biji teratai.
Mendengar sambaran angin dari
arah belakang, Hwi Ching mengegos tubuhnya kesamping sambil mencekal theekoan,
ia ulur ibu jari dan telunjuk untuk buka tutupnya, sesaat kemudian Thi-lian cu
itu meluncur masuk kedalam tekoan, tempat the.
Dengan tak menoleh sedikitpun,
Hwi Ching percepat larinya untuk kembali ke kamarnya, sampai disana semua orang
sudah tidur semua.
“Losianseng sampai begini
lama, kemana saja tadi, tanya seorang pelayan.
Hwi Ching hanya menjawab
sembarangan saja. Di kamar ia periksa Thi Lian-cu itu, yang terbuat dari baja
murni, diatasnya terdapat ukiran bulu burung, piauw itu dimasukkan dalam
sakunya.
Keesokan harinya, rombongan
piauwsu itu berangkat lebih dulu, si petugas yang berteriak Aku Bu Wi yang,
disepanjang jalan, kembali berteriak lagi, dimukanya ada bendera Pat-kwa can
Tin-wan paiaw-kok!
Barang-barang yang diantar
oleh kantor Piauw hang tersebut ternyata tak seberapa banyak, yang penting
piawsu itu dapat melindungi Thiam See Gui. Terang bahwa barang merah itulah
satu-satunya barang berharga yang harus di jaga.
Seleng setengah jam kemudian,
rombongan Can som ciang yang mengawasi Li thay-thay pun berangkat. Tengah hari
tibalah mereka di Oei yan-cu. Dari situ harus melalui jalan diatas gunung yang
menanjak dan berkelok-kelok. Mereka rencanakan sore harinya sudah dapat
melintasi jalan itu mencari penginapan di desa Sam to-ko yang terletak di kaki
gunung sebelah sana.
Jalanan gunung itu sangat
sukar dan berbahaya. Wan Ci dan Cian som ciang berada dibelakang di Thay-thay.
Mereka kuatir kalau keledai yang menarik kereta nyonya pembesar itu akan
terpeleset masuk ke jurang yang dalam.
Beberapa saat kemudian, mereka
sampai di mulut lembah Oh Kiem. Disitu kelihatan rombongan Piauwsu Tin Wan
Piuw-kok melepaskan lelah. Juga Cam som ciang perintahkan rombongannya untuk
beristirahat.
Kedua samping dari selat Oh
Kiem adalah gunung-gunung yang tinggi. Jalanan disitu sangat menanjak sekali.
Jadi orang harus berhenti diatas bukit. Hwi ching berada disebelah belakang
sendiri. Dia selalu membelakangi supaya jangan dilihat oleh kawanan piauwsu
iti.
Setelah memasuki mulut lembah
tampaklah barisan rombongan piuwhang dan rombongan keluarga Li itu seperti
seekor ular panjang, melingkar-lingkar keatas. Orang dan binatang-binatang sama
menahan napas untuk mengerahkan tenganya.
Segera mata Hwi Ching yang
jeli dapat melihat sebuah bayangan berkelebat diatas puncak gunung seperti
lakunya seorang mata-mata yang tengah menginti. Dan tepat pada saat itu
terdengar bunyi kelenengan keledai, serombongan orng Wi dengan menunggang kuda,
tampak berjalan turun dari arah depan dengan laju.
Orang-orang piuwhang
berteriak-teriak, supaya mereka orang Wi mempertahankan kudanya.
“Hai, sobat, mau cari mati, ya
?” seru Tong siu-ho
Sekejap saja orang-orang Wi
itu sudah berada didepan, tiba-tiba beberapa dari mereka kedengaran seperti
menyanyi dengan keras sekali suaranya jauh berkumandang dilembah, dari kedua
samping puncank gunung, kelihatan ada orang yang mendadak berdiri, maka
nyanyian itupun berhenti.
Belum habis orang-orang
piuwhang itu terkejut, tiba-tiba dari rombongan orang-orang wi itu terdengar
suitan, dan dua penunggang kuda segera kaburkan binatangnya kearah Giam See
Gui. Terang mereka hendak menyerang pada Giam See-gui dan menyusul empat penunggang
keledai dari Wi tampak mengepung Giam See-Gui dari empat jurusan.
Melihat gelagat kurang baik,
Kwantong hok-mo hendak meloloskan senjatanya, tapi sekonyong-konyong keempat
orang Wi itu mengayunkan senjatanya untuk menyerang Giam See-gui, senjata mereka
aialah gembolan besar yang tak kurang dari empat ratus kati beratnya. Nyata
bahwa keempat orang Wi sangatlah kuat.
Betapun lihaynya kepandaian
Giam see-gui, namun penyerang itu dilakukan dengan cara mendadak, empat buah
gembolan menghantam dari empat jurusan, andaikata ia keburu menangkis yang
dimuka, yang dibelakang dan kanan kirinya sukar dihindari, maka seketika itu
juga hancurlah kepala Giam see-gui.
Dari dalam rombongan orang Wi,
melesatlah seorang nona berbaju kuning, sebat luar biasa ia loncat turun dari
kudanya terus menyawut puhok dipunggung Giam see gui, tapi ketika ia gunakan
pedang untuk memotong tali pauhok itu, sebuah sambaran angin menyerangnya.
Nona itu ternyata Hwee ceng
tong, tak mau berpaling untuk menangkis, dengan hanya melejit kesamping ia
terus bekerja memotong tali, tapi penyerang itu sangat sebat juga, belum sempat
ceng liong mengulurkan tangan untuk menyambar piuwhok, kembali pedang
berkelebat menghantam pinggangnya.
Ceng tong tidak berdaya
berkelit, terpaksa ia putar pedangnya untuk menangkis segera letikan api
muncrat dari dua bilah pedang yang berhantaman itu. Diam-diam gadis Wi itu
mengakui lihaynya lawan. Dan dia makin berhati-hati.
Kembali ia ulur tangan kirinya
untuk betot pauwhok yng masih dipunggung Giam see-gui yang sudah jadi mayat
itu, tapi lagi-lagi pedang pnjang musuh menusuk lengannya cepat sekali. Ceng
tong menarik tangan kirinya untuk digerakkan menurut jurus serangan dan pedang
ditangan kanan menyusul sodokan.
Ketika ia mendongakkan kepala
untuk mengawasi penyerang yang telah tiga kali merintangi itu, ternyata orang
itu bukan lain dari anak muda cakap yang berlaku kurang adat kepadanya itu
dulu. Marahlah ia, lalu mengirimkan serangan yang bertubi-tubi.
Si penyerang bukan lain ialah
Li Wan-ci yang menyamar sebagai lelaki. Melihat rombongan pedagang Wi menyerang
rombongan Pauhang ia sebenarnya akan tinggal diam dan saling berkelahi. Tapi
tiba-tiba dilihatnya seorang gadis berpakaian kuning, loncat ketengah untuk
merampas pauhok Giam See-Gui.
Dia itu yang kemaren menjebol
bulu suri kudanya, dan ia pulalah yang dipuji setinggi langit oleh suhunya.
Darah remajanya, tak kenal kalah. Wan-ci sungguh penasaran sekali. Ia tak ambil
pusing siapa yang benar dan siapa yang salah diantara rombongan yang sedang
bertempur itu. Pokoknya ia maukan si gadis Wie itu. Dengan menggunakan ilmu
mengentengkan tubuh ia hampiri si gadis itu untuk diajak berkelahi.
Tiga serangan berantai dari
Ceng tong telah dapat dipunahkan oleh Wan Ci. Melihat itu, Ceng Tong heran juga
kaum Wie itu mengetahui juga bahwa pauwsu-pauwsu itu lihay-lihay semua. Dengan
kekerasan, mungkin gagalah rencannya untuk merampas kitab suci itu. Dipilihnya
mulut selat Oh Kimyang sangat berbahaya itu, untuk mengadakan sergapan yang tak
terduga begitu berhasil, mereka segera akan kembali ke daerahnya.
Tak dinyana, rencana yang
sudah kelihatan berhasil itu dikacau oleh Wan ci. Nampak permainan Wan ci itu
lihay. Ceng tong segera ambil keputusan cepat. Ia tak boleh hanyut terlalu
dalam pertempuran itu, sekonyong-konyong ia merubah permainan pedangnya. Ia
keluarkan ilmu simpanan Pedang Thian san Pay yang disebut Sam hu kiam. Dengan
itu ia desak wan-ci hingga beberapa kaki harus mundur.
Ilmu pedang “Sam hu-kiam”
adalah ilmu dari kaum Thian san-pay juga boleh dikata tak pernah diturunkan.
Dinamakan “Sam hu” tiga bagian ialah gerakan serangan hanya digunakan sepertiga
bagian dari sasarannya, setiap kali musuh akan menangkis gerakan pedang
tersebut sudah berganti setiap jurus terdiri dari tiga serangan, ruwet dan
sukar untuk ditangkis.
Ilmu pedang itu hanya terdiri
dari jurus-jurus dan serangan saja.
Ketika lawan gunakan serangan,
yaitu jurus salju sungai hendak meleleh, Wan-ci hendak congkelkan ujung
pedangnya keatas, pikirannya hendak gunakan “It tiok-liang” sebatang hio untuk
menangkis.
Tapi ternyata serangan musuh
hanya sepertiga bagian, belum lagi pedang itu sampai kesasarannya Ceng tong
sudah merubah gerakannya dengan Cian-li-liok-sat, pasir mengalir beribu li
pedang yang mulanya lurus menyerang kini berubah dilintangkan untuk memapas.
Wan-ci gugup buru-buru
jungkirkan pedangnya untuk melindungi diri. Tapi kembali ia dibingungkan oleh
gerakan serangan pedang lawan. Belum lagi papasannya sampai kembali gadis Wi
itu merubah gerakannya dalam “Angin menggulung rumput.” Dari ats pedangnya diturunkan
untuk menebas paha Wan-Ci.
Wan-ci kaget, terus mundur
selangkah. Tapi pada saat itu dengan gerakan “Angkat obor menyundul langit”
ceng tong mengibaskan pedangnya keatas maju menyerang pundak kiri sang lawan.
Ketika Wan-ci bergerak
menangkis, lagi-lagi lawan merubah gerakkannya dengan jurus “Swat tiong
ki-lian” bunga teratai ditengah-tengah salju, demikian hebat dan luar biasa
setiap gerak serangan dari “Sam hu kiam” hingga musuh bingung dibuatnya.
Walaupun kedua nona itu sudah
bertempur beberapa jurus, namun senjatanya tak pernah beradu, sepintas mereka
memainkan pedang seperti anak-anak sedang bermain. Ceng Tong menyabet dengan
cepat tetapi setiap sabetannya itu tak pernah diteruskan sampai kena, namun
Wan-ci sangat sibuk dibuatnya. Ia terus-menerus mundur sulit baginya untuk
menghadapi. Kalau ia tak menangkis kuatir lawan betul meneruskan serangannya,
tapi begitu ia menangkis, lawan batal menyerang dan ganti jurus. Ternyata ia
kalah jauh dalam kesebatan dengan lawan.
Wan ci terkejut dan bingung
sebenarnya ilmu pedangnya “Jwan-hun kiam” cukup sempurna asal saja ia
melawannya dengan hati yang mantap, dan tak akan kalah semudah itu. Tapi karena
ia baru saja mempelajarinya, jadi ia belum pengalaman dalam pertempuran tadi.
Melihat gerakan musuh tiga
kali lebih sebat dari dirinya, ia goyah hatinya. Karena tak mungkin melawan, ia
lantas loncat mundur dan Ceng tong sendiripun tak mau mengejar. Cepat-cepat ia
membalikan badan, ternyata dihadapannya ada seorang yang bertubuh kecil kurus.
Orang itu berdiri disamping
mayat Giam see-gui sambil mengenggam pauwhok merah berisi kitab suci itu. Tanpa
tanya ini itu, Ceng tong mengirimkan serangan pedangnya.
“Aya, Tong-toaya hendak
pulang.”
Demikian orang itu berteriak.
Dialah si mulut tipis Long siu Ho, ia tak mau melayani dan terus loncat. Namun,
ceng tong terus mengejar dan kembali pedangnya diayunkan. Tapi sebilah Ngo-heng
lun menyambut pedang Ceng Tong itu dan terus didorongnya, itulah Giam see
ciang.
Kiranya Bok Toh Lun mengatur
siasatnya dengan cerdik. Dibelakang dan muka ia gunakan onta-onta untuk
memisahkan orng-orang Piuwhang, agar mereka tak dapat berandeng berkelahi.
Pemimpin Wi itu sendiri naik
kuda dengan memutar golok panjang, ia serang Tee Ing Bing dan Chi Ceng Lun, dua
orang piuwsu. Menghadapi dua orang lawan, ia perhebat rengsekannya.
Tapi pada saat itu, Giam See
ciang mulai mengamuk, keenam Kwantong Liok-mo itu rata-rata berkepandaian
tinggi. Melihat kakaknya dibinasakan orang Wi, ia murka sekali. Dia meluncur
dari kudanya, loncat melewati onta. Ia sabetkan Ngo heng lunnya kepada seorang
Wi yang memegang gembolan. Begitu gencar hantamannya itu, sehingga seketika itu
orang Wi terjungkal dari ontanya.
Seorang wi lain maju
menghadang. Menunggu gembolannya melayang datang, Giam see ciang miringkan
tubuhnya. Ngo heng lun dipindahkan ketangan kiri, ia ulurkan tangan kanannya
untuk menyawut membokong siorang Wi, terus dibetotnya kebawah.
Gembolan itu beratnya hampir
seratus kati dan orang Wi itu tenaganya kuat sekali, justeru selagi orang Wi
itu mengerahkan seluruh kekuatannya. Giam see-ciang, meminjam kekuatan lawan,
terus dibantingnya ke tanah. Gembolan itu tepat jatuh kedada tuannya, dan
diiringi jeritan yang keras, terus muntah darah binasa lah saat itu juga.
Dengan mengunakan
kecerdikannya Tong-siu-ho memanfaatkan kekacauan itu, dia melihat suatu
kesempatan yang baik,. Dengan sebat dia loncat kearah mayat Giam see-gui
untugambil Pauwhok yang berharga itu. Ketika Hwee Ceng Tong, memburu Tong
siu-ho dengan cepat Giam see ciang menghadangnya.
Di tengah perlawannya dengan
Giam see ciang, Ceng Tong selalu waspada kalau-kalau pemuda tampan itu akan
datang lagi. Tiba-tiba dari arah celah gunung terdengar bunyi seruling yang
keras sekali itu pertanda untuk mundur dari pihak Wi.
Pada suatu kesempatan, Ceng
Tong nampak ia melirik kepada Tong siu-ho yang melarikan diri dengan cepatnya
kearah puncak gunung, dengan mengeluarkan ilmu pedang “Sam-hu-kiam, ia mendesak
Giam see ciang sampai mundur dua tindak, segera nona itu loncat dan terus
mengejar Tong siu Ho keatas puncak gunung.
Sementara itu suara seruling
terus bergema dengan kerasnya. Dan tiba-tiba terdengar ayahnya, Bok Toh Lun,
berseru keras :
“Ceng Tong lekas kemabali !”
Ceng tong berpaling mendegar
seruan ayahnya, lantas ia hentikan lagnkahnya, terus terus memerintah kawannya
untuk mengotong kawan-kawannya yang telah binasa untuk dinaikan keatas kuda.
Sekali lagi bunyi seuling terdengar keras, tiba-tiba rombongan orang wi itu
menerob turun.
Namun dibawah sana berpuluh
serdadu Ceng sudah siap menghadang ditengah jalan, dan Tho-lam sam ciang
larikan kudanya kemuka, dengan laintangkan tombaknya ia membentak.
“Berandal yang bernyali tikus
mau bikin huru-hara, ya ?”
Sebagai sahutan, si nona baju
kuning menimpukkan dua biji thi-lian-cu untuk mengarah kedua belah tangan
penghadangnya itu.
Begitu terdengar suara
berdering tombak can tho-lam cu lepas jatuh.
Bok Toh Lun membuka jalan
dengan pedangnya yang panjang. Orang-orangnya pun maju menyerang tentara Ceng
tersebut. Gelombang serangan orang-orang Wi itu ternyata dapat mematahkan
perintangnya. Tentara Ceng terpaksa menyingkir untuk memberi jalan.
Giam see ciang dan Tee ing
bing memburu lagi, terus berhantam dengan si nona baju kuning. Pada saat itu
sekonyong-konyong dari rombongan orang Wi menerobos keluar seorang penunggang
kuda, sambil berseru “
“I-moay, kau mundur dulu !”
Pemuda itu adalah kakak dari
Ceng Tong, bernama Hwee A lo. Dengan tombak, dia hadang kedua piauwsu yang akan
menyerang adiknya itu. Dengan begitu dapatlah Ceng Tong loncat keatas seekor
kuda.
Kedua kakak beradik itu
sembari bertempur sambil mundur, tiba-tiba dari dua puncak gunung kedengaran
seruling berbunyi lagi.
“Hwee A In dan adiknya putar
kudanya kebelakang terus lari Giam see ciang masih terus mengejar.
Karena gemes Ceng Tong
sambitkat dua biji Thi-lian-cu kemuka pengejarnya itu, giam see ciangpun
memutar ngo heng-lunnya untuk menangkis.
Berbarengan saat itu, dari
atas puncak gunung berglindingan batu-batu kebawah beberapa diantaranya tepat
mengenai rombongan tentara Ceng, hingga ada beberapa yang mengeluarkan darah.
Dalam kekacauan itu rombongan pedagang Wi berhasil meloloskan diri.
Begitu mereka sudah jauh, Giam
see ciang segera mendekakap mayat kakaknya itu, ia menangis tersedu-sedu,
setelah dibujuk oleh Chi ceng lun dan Tee Ing bing, barulah ia mau berhenti.
Orang-orang piauwhang lalu
menaruh mayat-mayat kawannya ke dalam kereta, kalau kawan ada yang bersedih
kehilangan saudara, adalah Tong siu ho yang nampak unjuk muka berseri-seri
kegirangan.
“Kalau bukan Tong-toaya yang
cekatan, dia matipun akan penasaran, “demikian ia membual.”
Ketika kedua rombongan tengah
bertempur dengan seru tadi Hwi Ching hanya mengawasi saja dipinggir. Ketika Wan
Ci didesak mundur oleh nona bangsa Wi tadi, dan karena turut campurnya anak itu
sehingga kitab Qur’an gagal dirampas orang-orang Wi, Hwi-Ching jadi
uring-uringan.
Setelah keadaan disitu mulai
sepi, dan tak ada seorangpun menghaturkan ucapan terima kasih kepada wan Ci
merasa kurang senang, sedang sewaktu Tong siushu nampak dandanan Can Tho Lam
seperti seorang bu-koan atau menghampiri untuk memperkenalkan diri. Sedikitpun
dia tak ambil perhatian pada Wan-ci. Sudah barang tentu Wan-ci makin mendelu.
Ditambah lagi suhunya memberi tegoran pedas.
“Orang-orang Piauwhang itu
banyak dari golongan jahat, yang tergolong baik-baik mengapa kau usil membantu
mereka !”
Benar-benar Hwi Ching murka,
Wanci yang didamprat tak berani angkat kepalanya.
Ketika sampai di puncak, di
waktu magrib nanti tentu sudah sampai di Sam To kao, sebuah kota yang
sedangsedang saja besarnya kata kusir.
“Hotel terbesar di Sam To kao
ialah hotel An Tong.”
Setelah masuk kota, baik rombongan
piauwhang maupun rombongan Li Thay-thay, sama-sama menuju hotel tersebut. Tapi
begitu sampai dimuka pintu seorang pelayanpun tak ada yang menyambut.
“Apakah semua pelayan-pelayan
disini semuanya mampus ?” demikian Tong siu-ho dari rombongan Piauwhang
berteriak dengan marah-marah.
Mendengar itu Wan-Ci kerutkan
jidatnya, karena selama ini, belum pernah melihat orang yang sedemikian
kasarnya.
Rupanya rombongan yang sudah
letih dalam perjalanan itu tak sabar lagi. Mereka terus mau memasukinya, tapi
tiba-tiba pada saat itu dari arah dalam terdengar suara beradu.
Wan ci adalah yang paling usl
dan selalu ingin mengetahui sesuatu lebih dulu, ia terus menerobos masuk. Tapi
ternyata ruangan hotel itu tak kelihatan manusia. Baru setelah masuk keruang
dalam, dilihatnya wanita muda dengan rambut terurai tengah bertempur dengan
empat lelaki. Dengan gelisah wanita itu memainkan golok panjang ditangan kiri
dan golok pendek ditangan kanan. Nampaknya ia berkelahi dengan mati-matian.
Jelas bagi Wan ci, bahwa
keempat orang lelaki itu berusaha keras memasuki sebuah kamr disitu, sedang
wanita itu coba menghalangi dengan nekad. Keempat orang lelaki itu tinggi
kepandaiannya, satunya memainkan tongkat, seorang lagi menyoren pedang sedang
yang lainnya menggunakan kui thao-to.
Waktu itu Hwi Ching pun sudah
menyusul masuk keruangan itu. Pada sat itu, orang yang bersenjatakan sepasang
tongkat itu tampak mengangkat senjatanya untuk dihajarkan di kepala si wanita.
Wanita muda tersebut tak mau
menyambutinya dan hanya menghindar kekiri, justeru saat itu Jwan pian musuh
mengarah pinggangnya, dengan ksebat luar biasa wanita itu memapak dengan golok
ditangan kirinya kearah jwan pian, seheingga seketika ituitu juga pian lalu
menggulung ke bawah.
Buru-buru wanita itu menarik
goloknya. Tapi justru dengan demikian sangat berbahaya, kui thao0to dari salah
seorang lawan menebas dan disusul pedang musuh lainnya mengarah kepunggung si
wanita.
Wanita itu cepat-cepat
menangkis serangan pedang tersebut. Tapi karena menghadapi dua macam serangan,
posisinya sangat berbahaya. Benar pedang dapat di tangkis tapi kui thao-to
sudah keburu datang. Sukarlah kiranya menghadapi kui thao-to yang menyambar
sebelah pundaknya.
Pundak wanita termakan golok
kui thao-to, namun ia tetap pentang mundur. Ketika lengannya bergerak-gerak
memainkan senjata, darah dilukanya bercucuran membasahi lantai.
“tangkap hidup-hidup! Jangan
sampai ia berlaku nekad, teriak orang yang bersenjatakan jwan-pian sambil terus
mempergencar serangannya.
Melihat keadan yang pincang
itu, Hwi Ching marah, timbulah hati keutamya. Tanpa mengingat tugas berat yang
sedang dijalankannya ia kan taan
Urun tangan.
Kini orang yang memegang
sepasang tongkat itu, tampak menyabetkan tongkatnya dan dalan gugupnya wanita
itu menangkis dengan golok pendek. Dan ketika pedang lawan datang, ia pakai
golok yang satunya unt menangkis
K menahan. Tapi ternyata si
penyerang yang memakai pedang itu sangat lihay. Apalagi karena pundaknya sudah
terluka berkuranglah tenaga si wanita itu.
Begitu pedang dan golong yang
saling bentur, tangan si wanita tergetar hebat dan goloknya panjang jatuh.
Musuh tak mau sia-siakan. Ketika terbuka, maka pedang terus disarangkan dengan
hebat.
Si wanita cepat-cepat berkelit
kekanan. Tusukan pedang dapat dihindari, tapi musuh yang bersenjatakan KKUi
–thao –to tadi segera melesat maju untuk menerobos masuk kedalam kamar itu.
Melihat keadaan yang begitu berbahaya, si wanita menjadi nekad. Dengan tak
memperdulikan senjata-senjata yang menyerangnya dari empat jurusan, ia merogoh
dadanya dan dengan sebat menawurkan dua batang hui-too kearah punggung seorang
musuh yang tengah menerobos masuk ke kamarnya utu. Orang tersebut mengira bahwa
wanita itu tentu masih sibuk menghadapi ketika lawannya, mana ia terus maju
dengan mantap.
Begitu terasa sambaran angin
dibelakangnya, ia coba berkelit, tapi sudah terlambat. Sebatang hui-too masih
dapat dia hindari dengan kepalan.. tapi hui-too yang lain tepat menyusup ke
punggungnya. Masih untung kekuatan wanita itu banyak berkurang karena luka
dipundaknya , tak urung orang itu menjerit hebat, terus melangkah mundur.
Pada saat itu kembali wanita
gagah mendapat hantaman tongkat dipahanya, sehingga dia terhuyung-huyung, namun
ia tetap nekad untuk menghadang di depan pintu kamarnya.
“Wan-ci, kau lekas bantu dia,
kalau kalah aku bantu !” Hwi Ching perintahkan muridnya
Tak usah diulang lagi, wan-ci
loncat dengan pedangnya.
“Empat orang laki-laki
mengerubuti seorang wanita, sungguh memalukan !” demikian teriaknya segera.
Melihat ada orang datang
menyelak, dan berbareng pada saat itu diruangan tampak banyak orang-orang piuwhang
dan tentara negeri, keempat orang itu buyar semangatnya, begitu terdengar
suitan berbunyi, mereka berempat segera loncat kabur.
Wajah wanita muda itu pucat
lesu, dengan menyandar pada pintu ia menggasoh npas. “Wan-ci menghampiri lalu
bertanya.
“Ada apakah?”
“Mengapa mereka menghina
Nyonya ?”
Tapi belum sempat wanita itu
menjawab, Gan Tho Lam telah menghampiri Wan-ci sambil berseru :
“Thay-thay menyuruh siocia
datang kesana,” lalu dengan setengah berbisik pemimpin barisan pengawal itu
berkata pula. Mendengar siocia kesana.
Nampak Can Tho lam mengenakan
pakaian opsir tinggi, wajah wanita itu bertambah pucat, tanpa perdulikan
pertanyaan Wan-ci terus masuk kedalam.
Terbentur dengan tembok, lunak
wan-ci kurang puas, ia berpaling pada Can tho lam dan katanya :
“baik, aku akan segera datang.
“tapi ia menghampiri suhunya
lebih dulu, ia lalu bertanya ?”
“Mengapa merek bertem dengan
sengit, suhu ?”
“Biasanya ada dendam,
pembalasan sakit hati, karena urusan belum putus, kiranya keempat orang itu
tentu akan datang lagi suhut sang guru.
Wan-ci hendak menegasi tetapi
tiba-tiba terdengar seseorang datang dengan memaki-maki kasar.
“Keparat, kau kata tak ada
kamar. Apa takut aku tak bayar, ya ?!”
Kalau menilik suara ialah Tong
siu-ho. Lantas terdengar pula seorang pelayan berkata “
“Long at koanya harap jangan
marah dulu.kita mana berani menghina koanya.tapi memang sungguh-sungguh ruangan
atas beberapa kamarnya, sudah orang lain.
“Siapa yang berada dikamar
atas coba kulihat seru orang itu dengan ketus. Dan sembari berkata dia terus
melangkah keruangan dalam. Justru pada saat itu si wanita muncul lagi dari
kamarnya dan sedang berkata pada seorang pelayan lain : Toako, tolong, bawakan
air panas kemari.
Begitu nampak rangnya,
semangat Tong-siu ho seperti terbelot, walaupun wajah sionya muda itu pucat
namun tak mengurangkan kecantikannya, tong siu-ho terpesona. Hanya matanya saja
yang kedap-kedip.
Si wanita cantik berbicara
dalam dialeg utra dengan tekukan orang selatan.
“Selama Ceng toaya lewat di
daerah ini berulang-ulang, belum pernah aku menginap di hotel kelas dua. Kalau
ruangan atas sudah penuh, biarlah kupakai ruangan ini saja !”
Sambil berkata itu Tong siu-ho
menghampiri kearah kamar si wanita. Dan selagi ia menutup pintu Siu-ho
menerobos masuk.
Jilid ; 3
“A D U H !” Si wanita menjerit
kesakitan ia coba menghadang, tapi luka dipahanya itu memaksa ia untuk duduk
kembali dengan rasa sakit yang hebat. Memang hantamana tongkat tadi menyebabkan
ia terluka berat.
Ketika Siu-Ho masuk,
didapatinya laki-laki berbaring diatas pembaringan. Karena kamar itu tak ada
penerangannya, wajah orang itu tak tampak jelas. Hanya kepalanya saja yang
tampak dibalut kain putih, begitu pula tangan kanannya dibalut dan diikat pada leher,
sedang sebelah kakinyapun dibalut juga. Jadi boleh dibilang orang seperti mayat
yang dibungkus kain puti, begitu melihat ada orang masuk dia segera menegur
dengan suara lemah.
“Siapa ?”
“Aku orang She Tong-piauwsu
dari Tin-wan Piauwkok. Karena kamar semua sudah penuh kumohon kau perbolehkan
aku tidur disini, wanita itu siapa, iasteri atau kenalanmu saja ?”
“kau pergi saja, kata orang
itu dengan nadahambar. To siu ho mengerti bahwa orang tersebut terluka berat,
sedang satunya tadi hanya seorang wanita. Dia tak mau sia-siakan kesempatan
itu, lalu cengar-cengir berkata :
“jangan gitu dong, biar kita
tidur bertiga. Jangan kuatir, tak nanti menyaplok lukamu !”
Karena murkanya itu sampai
gemetar badannya.
“Toako, jangan umbar nafsu,
kita tak boleh cari mush baru lagi, seru si wanita dengan lemah kemudian
katanya pada Tong siu-ho harap kau lekas keluar !”
“Apa keluar ?” menemani kau
kan lebih enak bukan ?” sahut siu-ho dengan lagak tengik
“kau kemarilah,” tiba-tiba
laki-laki itu berseru .
“Bagaimna, kau lihat aku ini
cakap tidak?” kata siu-ho sambil melangkah maju.
“Kurang jelas, mau lebih dekat
lagi!” kata lelaki itu
Dengan tertawa siu-ho maju
beberapa tindak lagi, katanya :
“lihat yang terang dong,
inilah yang dikatakan si bagus memboyong si cantik.”
Belum selesai ucapannya,
tiba-tiba laki-laki itu bangun dari pembaringan dansebat luar biasa tangan
kirinya dijulurkan menotok jalan darah, Khi ia hiat.dengan mengungang sisa
kekuatannya dalam Iwekang dia hantam pundak si ceriwis itu.
Seperti mega tertiup angin,
tubuh siu-ho melayang sisa terlempar keluar mengerusuk jatuh dilantai halaman.
Dia menjerit-jerit, tapi tak dapat berkutik, karena ditotok Tiam tadi, tak
dapat berkuti, karena ditotok tadi, sun loo-sam dan petugas yang
berteriak-teriak di sepanjang jalan buru-buru menghampiri untuk mengangkatnya.
“Tong Toaya, jangan mengganggu
mereka.”
Rupanya mereka adalah orang
Hong Hwa-Hwee kata Kun Lo sam bisik.
“A…..a ….. kakiku tak bisa
bergerak Hong Hwa Wee bagaimana kau tahu ?” seru Tong siu-ho dengan mengucurkan
keringat dinhgi.
Kata pemilik hotel, “Ini, tadi
empat orang dari kantor Pembesar sini akan mengkap mereka, tapi dapat dipukul
mundur, Loo sam memberi keterangan.
Ketika mendengar ribut-ribut
itu orang-orang piauwhang semua melihat keluar.
“Ada apa sih!” seru Giam See
ciang menghampiri.
“Giam liokko, aku ditikam oleh
orang Hong Hwa Bwee, kau tolonglah teriak Siu-ho sambil meringis sakit.”
“Giam See- ciang kerutkan
jidatnya. Dia tarik tangan siu-ho terus panggulnya, Lo-tong masuk kemari !”
See ciang akan menjaga nama
Tin-wan piauwkok maka ia tak mau orang ketawa ada piauwsu Tin wan piuwkok
dihajar orang sampai tak bisa bangun, tapi dia terkejut juga ketika didalam
kamar ia lepaskan Siu-ho turun ternyata masih saja ia numprah ditanah.
“Tubuh ku lemas tak bertenaga
sun loo sam kurang ajar, kau tak mau gendong aku ? teriak siu-ho pula.
Baru kini Giam see ciang tahu
bahwa kawannya itu terkena totokan orang, lalu ditanyainya.
“Kau berkelahi dengan siapa
tadi ?”
Dengan mata melotot dan muka
kecut, Siu-ho tunjuk kearah kamar wanita tadi, katanya
“Dengan seorang telur busuk
disitu !” kawanan Hong Hwa Hwee, belum sempat orang mengurus perbuatannmu
membunuh Cio Bun Ki samya kini kau coba main gila dengan Tong Toayamu ini.
Demikian sengaja siu-ho ingkit
kematian Cio-bun ki samya dari Kwantong Liok-mo di depan Giam see Ciang agar
panas hatinya.
“Tong-toaya, jangan
memaki-maki saja. Jangan cari perkara dengan orHong Hwa-Hwee sekali kita
kesalahan pada mereka sukar kiranya tugas kita sebagai piuwsu akan dapat aman.
Semula Giam see ciang termakan
akan bualan Siau-ho tadi, ia bermaksud akan menjajal orang tersebut. Tapi
ketika teringat bahwa musuh pandai menotok, apalagi kini ia seorang diri dan
telah ditinggal mati oleh kakaknya Giam See Gui, maka ia tarik mundur niatnya
itu.
Ketika itu tampak Chi Ceng lun
piauwsu mendatangi, segera dia bertanya pada Sun Loo sam si tukang teriak di
jalan itu.
“Apa kau tak salah lihat pada
orng Hong Hwa Hwee ?”
Sun Loo Sam mendekati Chi
piauwsu, lalu bisiknya :
“Setelah keempat pahlawan
kantor pembesar berlalu, maka kasir hotel ini menerangkan bahwa sepasang suami
isteri itu adalah pesakitan penting. Untuk mereka berdualah, kerajaan sengaja
mengurus beberapa jagoannya menangkapnya kemari. Kasir itu telah dipesan bila
sewaktu-waktu kedua orang itu hendak berlalu, supaya lekas-lekas melaporkan
kepada pembesar setempat, semuanya itu, telah kudengar tadi.”
Chi Ceng lun berusia lima
puluh tahun lebih. Lama dia terjunkan diri dikalangan piuwhang. Meskipun
bugeenya tak terlalu tinggi, tapi dia luas sekali pengalamannya, segera ia
memberi isyarat mata pada Giam See Ciang, lalu bersama-sama mengangkat Tong Siu
Ho.
“Golongan apa sih,” tanya She
Giam.
“Orang Hong Hwa Hwee, baik
mengalah. Nanti setelah menolong Tong Siu-ho, kita rundingkan lagi.” Balas Chi
piauwsu kemudian tanyanya pada sun Loo sam.
“Adakah kau saksikan pertempuran
tadi ?”
“Wah, hebat sekali, seorang
wanita muda memegang dua batang pedang, sebatang panjang ditangan kiri dan
sebatang yang pendek di tangan kanan. Keempat orang laki-laki itu tak dapat
mengalahkannya. Sebenarnya mereka berempat menang angin Cuma mereka sengaja
memperpanjang pertempuran untuk melelahkan si wanita.” Tutur Loo sam.
“itulah murid dari keluarga
Lou, yang digelari Sin To Lou Keh. Ia pandai melepas huito bukan ?”
“Ya, ya, benar, tangannya
sakti sekali,” kata Loo sam
“Ah, kiranya Sutangkeh ketua
keempat berada disini kata Chi piauwsu pada Giam See ciang. Habis itu mereka
tak bicara apa-apa lagi. Bertiga mereka menggotong Tong siu-ho masuk kedalam
kamar
Kali ini Hwi Ching menyaksikan
semua kejadian. Ketika ketiga piauwsu itu berunding, dia tak dapat mendengar
jelas. Tapi dua patah kata dari Chi piauwsu itu dapat didengarnya betul.
Pada saat itu Wan Ci muncul
disitu lalu mendekati suhunya seraya katanya :
“Suhu, kapan kau ajarkan ilmu
tiam hiat padaku ? coba itupun unjukkan kepandaian begitu”
Hwi Ching tak menggubris, dia
hanya berkata seorang diri :”Tentunya anak keturunan dari Sin to lou keh si
Golok sakti keluarga Lou. Ah aku tahu tak boleh tinggal diam.
“Siapa Sin To Lou Kee itu ?
tanya Wan-ci.
“Sin To Lou Goan Thong adalah
sahabat karibku, kabarnya ia sudah meninggal. Wanita yang bertempur itu tadi
gunakan jurus-jurus ilmu golok dari Lou Goan hong kalau bukan puterinya
tentulah muridnya.”
Dalam pada itu, Ci Ceng Lun
dan Tee Ing-Bing berdua piauwsu dengan mengotong Tong Siu-ho tampak menuju
kekamar si wanita tadi. Diluar kamar, Sun Loo sam lebih dulu batuk-batuk lalu
berseru keras-keras.
“Chi Tee dan Tong bertiga
piuwsu dari Tin wan-piauwkok mohon berkunjung pada Su-tong kee dari Hong Hwa
Hwee.
Begitu gerendel pintu terbuka,
si wanita muda berdiri diambang pintu ia mengawasi keempat tetamunya itu, sun
loo-sam buru-buru memberikan tiga buah kartu nama, namun si wanita tersebut tak
mau menerimanya, malah terus membalikkan diri masuk kedalam. Rupanya ia
berunding dengan suaminya, tak lama kemudian nampaka keluar lagi seraya
menyilahkan tetamunya masuk.
Selama di dalam, wanita itu
tetap berdiri disamping sang suami. Walaupun keempat tetamunya itu mengerahkan
jubah panjang dan tak membekal senjata apa-apa, tapi tuan rumah tetap curiga.
“Saudara kami ini, tadi telah
kesalahan pada tuan untuk itu datang menghaturkan maaf, demikian Thi Ceng Lun
membuka pembicaraan seraya menjura diikuti pula oleh Tee Ing Bing dan Sun-lo
sam.
Namun si lelaki itu tetap
berbaring ditempatnya, maka berbisiklah wanita itu padanya.
“Koko, orang-orang Tin-wan
piuwkok haturkan maaf padamu. Laki-laki itu tak menyahut apa-apa,.
“Bun Tia-hay-hay, meskipun aku
belum pernah bertemu padamu, tapi sudah lama dengar su tang-kah dan namamu yang
kesohor. Pemimpin piuwkok kita Win Tin-ho ni ong hui Thing dan ayahmu si to-lou
looya, mempunyai hubungan baik, saudara kita yang satu ini memang sembrono
sekali ..........
“Ssssst, dia terluka dan baru
teridur. Nanti jika sudah bangun akan kusampaikan maksud kunjungan kalian
padanya. Harap kau orang jangan anggap kita tak tahu adat, tapi karena ia
terluka hebat, sudah hampir dua hari ia tak bisa tidur, sahut si wanita
memutuskan omongan orang. Dan wajahnya mengunjuk seperti orang berduka.
Chi ceng lun dapat menerima
alasan itu, karena memang dilihatnya seluruh tubuh orang itu dibalut kain,
kemudian katanya :
“Bun su tang-keh lukanya
bagaimana ?” aku ada membawa obat kiem sana yok untuk segala macam luka,
demikian Chi cengn berkata untuk mengambil hati orang.
Si wanita rupanya mengerti
maksud orang, lalu berkata
“Terima kasih, kita sudah
punya obat. Tuan yang terkena tiam ini, tak terluka berat. Kalau nanti suamiku
sudah bangun, akan kusuruh pelayan memanggil tuan.”
Mendengar orang suka menolong,
keempat tamu itu lalu undurkan diri.
“Eh, nanti dulu. Mengapa
tuan-tuan tahu nama kami, tiba-tiba wanita itu bertanya
“Sepasang Wan-yang-to dan
golong terbangmu huito orang kangaouw manakah yan gtak mengetahuinya ? dan
lagi, kalau bukan Bun Su-tong kee, siapa lagi yang mempunyai kepandaian
Tiam-hiat itu. Serta pula kalian berdua berkumpul menjadi satu, maka tentulah
Pan-lui Chiu Bun Lay dan Wan yang to laou Ping adanya, “ sahut Ceng Lun.
Wanita muda tersebut tersenyum
simpul. Ia puas mendengar orang junjung dirinya dan suaminya.
Melihat mereka keluar kembali
Wan-ci kambuh penyakitnya untuk belajar ilmu Tiamhiat ia mendongkol karena
sampai sebegitu jauh suhunya masih belum mengajarnya ilmu tersebut, ia masuk
kedalam kamar untuk mencari akal bagaimana caranya agar sang suhu mau menurunkan
pelajaran itu.
Habis dahar pagi ia temani
ibunya berbincang-bincang sebentar, ibunya memperingatinya agar jangan nanti
dijalanan membuat keonaran lagi, dan melarang menyamar sebagaia laki-laki lagi,
tapi Wan-ci hanya ganda tertawa saja.
“Ma bukanlah kau sering
menggerutu tak punya anak lelaki ? kalau kini aku menjelma menjadi seorang
laki-laki mengapa kau tak bergirang ?”
Ibunya kalah separuh, lalu
masuk kekamar dan tidur. Ketika wan ci juga akan masuk tidur, tiba-tiba
didengarnya di halaman sana seperti ada orang mengetuk jendela dengan
perlahan-lahan dan menyusul terdengar seorang sedang bisik-bisk.
“Bocah, keluarlah aku ada yang
akan diomongkan denganmu.” Cepat-cepat Wan-ci menyambar pedang, terus loncat
kehalaman, dimana sebuah bayangan orang, kedengaran berseru pula.
“Anak setan, kalau kau ada
nyali, mari ikut aku.”
Wan-ci adalah ibarat anak
kambing yang tak takut harimau tanpa curiga apa-apa, dia loncat keluar tembok
buat mengikutinya.
Baru saja kakinya menginjak
tanah, sebuah pedang berkelabat menghantamnya. Cepat wan-ci hadangkan pedangnya
untuk menangkis dan cepat menanyai : “Siapa kau ?”
“Aku adalah Cui-ih Wi sam Hwee
Ceng Tong Eh, sahabat kita orang sebagai air
Sungai tak mengganggu air
sumur. Mengapa kau ganggu kami hingga urusan kami yang besar itu terlantar ?”
Kini baru Wan-ci tahu dengan
jelas bahwa bayangan yang melintangkan pedang ke tanah itu adalah si nona baju
Kuning yang pernah bertempur dia waktu tempo dulu.
Ia tak dapat menjawab teguran
si nona itu. Memang ia tak punya alasan, mengapa harus mengacau urusan itu.
Namun ia malu untuk mengaku salah, maka dicarinya alasan katanya :
“Urusan dunia adalah urusan
manusi semua, memang siaomaymu itu paling suka campur urusan orang lain kau tak
terima ? Baiklah aku akan mohon pelajaran pedangmu lagi.
Ucapan itu dibarengi dengan
serngan pedang kearah si nona. Dengan murka si nona segera angkat pedangnya
untuk menangkis.
Wan-ci sebenarnya tahu bahwa
ilmu pedangnya tak nempel dengan sang lawan, tapi ia sudah punya rencana,
sembari berkelahi ia terus mundur, sambil melihat letak tempat yang akan
dilaluinya. Ia terus mundur, hingga sampai kekamar suhunya. Dan pada saat itu
berteriaklah ia dengan kuat-kuat.
“Suhu, Suhu aku akan dibunuh
orang.”
“Hem, kedengaran si nona
mencemoohkannya.”
“Manusia tak punya guna, mana
aku sudi mengotori tanganku untuk membunuh manusia macam kau itu. Aku hanya
hendak memberi pelajaran padamu, agar selanjutnya kau jangan usilan dengan
urusan orang lain !”
Habis mengucap itu, Ceng Tong
segera balikkan diri terus berlalu.
Tetapi wan-ci tak mau
melepaskan, ia segera loncat menikam punggung lawannya. Maka Ceng tongpun
lantas putar tubuh dan pedangnya untuk bersilat lagi dengan sam hun kiamnya
karuan wan-ci kerepotan.
Tiba-tiba ia mendengar
tindakan kaki mendatangi dari arah belakang. Ia pastikan bahwa itu tentu
suhunya. Liok Hwi Ching, maka membarengi saat Ceng Tong menikamkan pedangnya
kearah dadanya. Wan-ci dengan sebat loncat bersembunyi dibelakang suhunya.
Melihat adanya bahaya mengancam apa boleh buat Hwi Ching angkat pedangnya buat
menangkis.
Ilmu pedang Ceng Tong sangat
cepatnya. Tanpa berkata apa-apa, ia kirim sepuluh jurus serangan bertubi-tubi.
Selama itu ia heran bahwa sekalipun permainan jago tua itu tak berbeda dengan
anak muda atau Wan-ci tadi, namun ia tak dapat berbuat apa-apa. Ia bergerak
makin seru lawan makin perlahan. Dan setelah beberapa jurus lagi. Kini ia
berbalik dari menerjang menjadi diserang.
Ketika itu wan-ci berada
disamping. Dengan seksama ia awasi jalannya pertempuran anatara suhunya dan
nona Baju Kuning itu. Dengan begitu tercapailah maksudnya mencuri lagi beberapa
kepandaian dari suhunya, apabila suhu itu betul-betul masih menyimpan beberapa
macam ilmu. Tapi ia menjadi kecele “Jwan hun kiam sut” yang dimainkan oleh sang
suhunya itu dapat bergerak dengan mantap dan mahir sekali. Betul-betul dia
dapat menguasai permainannya dengan sempurna sekali.
Pokok tujuan dari
“sam-hun-kiam” yakni untuk menghantam kelambatan musuh dengan kecepatan, agar
musuh menjadi kalang kabut. Namun Hwi Ching tak mau mengekor gerakan musuh
hingga setelah berselang beberapa jurus lagikedudukan mereka menjadi terbalik.
Sampai disini insyaflah Ceng
Tong bahwa kini ia menghadapi seorang angakatan tua yang kenamaan, ia harus
dapat bertindak sebat. Dengan asap digurun pasir dan meliwis jodoh dipadang
pasir ia merangsek hebat untuk menagkis, sebat luar biasa Ceng Tong memutar
diri untuk lari.
Namun Jwan hu-kiam sut dari
Hwi Ching bagaikan hujan yang tak kenal putus, sekali terlibat, jangan harap
dapat terlepas. Apa boleh buat Ceng Tong terpaksa melayani dengan mendelu hati.
Melihat kesempatan bagus itu.
Wan ci lalu masukkan pedangnya dan dengan ilmu silat tangan kosong
Bu-kekihian-kang-kun, ia terjunkan diri dalam kalangan, sudah barang tentu Ceng
Tong makin ripuh dibuatnya.
Wan ci memang nakal, ia tak
sungguh-sungguh mengarah serangannya dibagian yang berbahaya dari lawannya,
caranya berkelahi pun hanya seperti orang bercanda. Dengan tangan kosong, ia
jotos kesana, menpuk kesini. Ia memang hanya mau membalas hinaan ketika bulu
suri kudanya dijebol tempo hari itu.
Menurut kaum muslim, pergaulan
anatara laki-laki dan perempuan sangat dibatasi. Wanita yang keluar rumah
tentunya harus menggunakan kerudung untuk menutupi mukanya. Namun bagaimnapun
karena menjalankan tugas penting terpaksa aturan itu dikesampingkan oleh Ceng
Tong. Ceng tong adalah seorang gadis yang memegang teguh kesucian, ia gusar
sekali melihat kelakuan yang tak senonoh dari wan-ci yang dikiranya seorang
pemuda itu.
Karena marahnya kemudian ia
lengah. Dan hampir ujung pedang Hwi Ching menyambar kemukanya. Dengan
tersipu-sipu nona itu tundukkan kepalanya seraya menangkiskan pedang. Tapi
tiba-tiba dari arah belakang, wan-ci berseru keras-keras, liaht pukulan !”
Dengan gerak “Ayam liar
menotol beras” Wan-ci menghantam pundak kiri si nona. Dan ketika lawannya
berusaha untuk menggunakan tipu “Kim Na-hwat” untuk menyambut tangan Wan-ci
yadari belakang ini dengan sabetnya meneruskan jotosannya kearah dadanya, kalau
saja pukulan itu mengenai sasarannya, orangnya pasti akan terluka berat.
Walaupun Ceng Tong terkejut,
namun ia sudah tak berdaya untuk menarik kedua tangannya yang dipakai untuk
menangkis serangan Hwi Ching dan serangan Wan-ci. Namun Ceng Tong tak menjadi
gugup dan segera tarik tubuhnya kebelakang, walaupun tak dapat lolos sama
sekali dari musuh, tapi sedikitnya dapat mengurangi tenaga hantamannya.
Tapi ternyata wan-ci tak
sungguh-sungguh memakai tenaga, begitu tangannya tiba kedada ia terus
menjamahnya keras-keras bagian badan tersebut, habis itu dengan tertawa
terbahak-bahak ia buru menarik kembali tangannya.
Itulah hinaan besar bagi
seorang wanita, apa lagi seorang gadis suci seprti Ceng Tong, seumur hidup
belum pernah ia alami peristiwa yang sangat memalukan itu, dengan meluap-luap
ia tikam Wan-ci dan ketika anak jahil itu berkelit, ia barengi lagi membacok.
Betul-betul Ceng-tong umbar
kemarahannya ia tak pedulikan sama sekali akan seranga Hwi Ching, seluruh
perhatiannya dicurahkan untu merangsek Wan ci saja.
Untung Hwi Ching mempunyai
pikiran lain, ia mengetahui permainan pedang Ceng-tong tempo hari itu sangat
bagus, dia hendak mencobanya saja, ia tak ada niat sama sekali untuk melukai si
nona. Melihat orang tak pedulikan serangannya, iapun tak mau merangsek lagi
serta terus mearik balik serangannya.
Serangan Ceng Tong yang gencar
itu sampai tak memberi kesempatan bagi wan Ci untuk menarik pedangnya, ia
terus-menerus mundur, tapi pada saat itu ia masih sempat menggoda.
“Aku telah merabanya, kau mau
bunuhpun tak bergunalah !”
Ceng Tong keluarkan ilmu
simpanannya yang disebut Onta sakti berkaki ajaib begitu ujung pedang hampir
mengenai, secepatnya diganti dengan ilmu pedang istimewa dari Hian san pay,
yakni “hay-si sim lou,” Selekas itu juga hanya sinar pedang yang tampak
bergulunggulung sehingga mata wan-ci menjadi berkunang-kunang.
Nampak muridnya menghadapi
bahaya, Hwi Ching tak berayal lagi terus maju menyambut serangan itu, baru saja
wan-ci dapat mengasoh sebentar, ia sudah mulai tertawa dan menggoda lagi.
“Ah, sudahlah jangan
marah-marah, kau kawin sama aku, bereslah !”
Sampai disitu tak kuatlah Ceng
Tong menahan amarahnya saking gemasnya tak dapat melabrak wan-ci dia menjadi
kalap. Ketika Hwi Ching menusuk, ia tak mau menangkis tapi bahkan ajukan badan
untuk menubruknya.
Kaget Hwi Ching bua namapak si
nona hendak bunuh diri. Cepat-cepat dia tarik balik pedangnya dan mendorong
pundak Ceng Tong hingga sampai sempoyongan lima tindak kebelakang, dia loncat
memburu seraya berkata :
“Nona jangan kesal hati.”
Karena bingung dan mendongkol
Ceng Tong sampai mencucurkan air mata. Dengan tak berkata apa-apa ia terus
berlalu.
“Nona jangan buru-buru pergi.
Aku ada sedikit omongan seru Hwi Ching seraya memburu pada nona itu?” Perintah
Hwi Ching sambil berpaling kearah wan-ci.
Dengan cekikikan, Wan-ci
menghampiri tapi ketika dekat, Ceng Tong tiba-tiba mengirimkan tinjunya.
“Aduh, tak kena Wan-ci
berkelit dengan tertawa, sembari begitu ia tarik kopiahnya dan menjulurlah
rambutnya yang bagus.
“Lihatlah aku ini seorang pria
atau wanita ?”
Hampir saja Ceng Tong mati
terkejut ketika menyaksikan keadaan si pemuda yang sangat ia benci itu. Ia tak
tahu, mengungkapkan perasaannya apah ia girang atau kah harus marah lagi. Yang
nyata ia tak dapat mengeluarkan kata-kata lagi.
“Inilah Liteecuku murid
perempuan ia memang anak nakal sampai aku sendiripun kewalahan mengurusnya.
Urusan tadi sebenarnya akupun tak mengetahuinya, harap kau jangan salah
sangka.” Demikian Hwi Ching memperkenalkannya.
Sembari Berkata Itu, Hwi Ching
hendak menjura, tapi cepat-cepat Ceng Tong mengoskan muka tak mau menerimanya.
Ia tetap tak mau mengucapkan apa-apa, nyata kemarahannya masih belum padam sama
sekali.
“Thian San Siang Eng masih
apamu ?” tanya Hwi Ching tanpa pedulikan sikap orang kepadanya.
Ceng Tong kerutkan jidatnya,
tapi tetap membandel tak mau bicara.
“dengan Thian San Siang Eng
........, Tut ciu tan Ceng Tik dan Swat hu Kwan Bing Bwee aku mempunyai
hubungan yang rapat. Kata orang bukan tergolong orang luar.” Menneruskan Hwi
Ching.
“Twat Tiau adalah suhuku. Akan
kulaporkan pada suhu dan sukong, bahwa kau seorang cianpwe menghina orang muda.
Bukan saja menyuruh murid untuk mengganggu aku bahkan kau sendiri turun
tangan.” Kata Ceng Tong mengambek.
Sembari mengucapkan begitu,
Ceng Tong mengawasi tajam-tajam pada Hwi Ching dan wan-ci, lalu berjalan pergi.
Tapi baru saja ia berjalan beberapa tindak, didengarnya Hwi Ching berseru
lantang
“Eh, kau melapor suhumu, tapi
akan kau katakan bagaimana nanti ? siapakah orangnya yang menghina kau itu?”
Ceng tong seperti diguyur air.
Memang ia tak tahu she dan nama orang yang menghina itu. Ia terpaksa hentikan langkahnya,
lalu bertanya :
“nah, kalau begitu kau ini
siapa?”
Hwi Ching mengurut jenggotnya,
setelah itu dia tertawa dan bertanya.
“kamu berdua seperti anak-anak
saja, sudahlah, ini muridku, Li Wan Ci dan aku adalah Bian Li ciam Liok .....”
Mendaak Hwi Ching memutuskan
omongannya sendiri, ia teringat bahwa selama ini ia menyembunyikan diri dengan
cermatnya, sehingga Wan Ci sendiri belum mengetahui she dan namanya yang
sebenarnya, tapi segera sambungnya :
“Ah, kau bilang saja Cian Li
Ciam dari Bu tong pay menghaturkan selamat pada suhumu, yang telah beruntung
mendapatkan murid yang baik sekali.”
“Ah, seorang murid yang baik?
Aku telah dipermainkan orang secara begini, bukankah berarti menghilangkan suhu
dan sukongku itu, sahut Ceng Tong dengan gemas dan putus asa.
“Nona, jangan kau anggap
karena telah terkalahkan dalam tanganku tadi lalu merasa malu. Orang yang dapat
melayani aku sampai berpuluh-puluh jurus seperti kau tadi, jarang sekali ada,
sekalipun dikalangan kangouw, selama itu aku tahu bahwa Thian San Siang Eng tak
mau menerima murid. Tapi permainanmu yang kusaksikan tadi itu, betul-betul
warisan atau ajaran dari Siang Eng. Dan hal itu telah kubuktikan ketika kita
bertempur tadi, bagaimana dengan sukongmu, apakah dia masih sering minum cuka
dari suhumu?
Habis mengucap itu Hwi Ching
tertawa tergelak-gelak.
Karena sampaipun urusan
pribadi dari suhu dan sukongnya diketahuinya, insyaflah Ceng Tong bahwa jini ia
berhadapan dengan seorang cianpwe angkatan tua. Namun ia masih tak mau tunduk
katanya :
“kalau betul kau adalah
sahabat suhuku mengapa suruh muridmu mengganggu aku. Karena dialah hingga kitab
suci itu terlepas lagi. Ku tak percaya kau seorang yang baik.
Terus ia langkahkan kakinya
lagi, nyata ia tak mau kalah adu lidah. Dengan cerdiknya ia desak Hwi Ching.
“Adu pedang kalah, bukanlah
hal yang memalukan. Tapi kitab suci sampai tak dapat merampasnya kembali,
barulah yang dikatakan sebagai hinaan, kalah menang apalah faedahnya untuk
seseorang, itulah yang harus kita tempur mati-matian demikian kata Hwi Ching
tiba-tiba.
Ceng Tong seperti orang yang
disadarkan dari kehilapan. Dengan serta merta ia menuju kehadapan Hwi Ching
untk memberi hormat, katanya :
“Siuwtet seorang bodoh, mohon
locianpwe suka memberi petunjuk, sebagai jalan untuk merampas kembali kitab
suci itu dari genggaman anjing-anjing itu. Untuk budi locianpwe itu, pasti
seluruh bangsaku akan berterima kasih tak terhingga.”
Ceng Tong terus jatuhkan diri
untuk memberi penghormatan, tapi buru-buru dicegah oleh Hwi Ching.
“karena perbuatanku yang
ugal-ugalan itulah sampai membikin kapiran urusanmu. Cici kau jangan kuatir,
kubantu padamu untuk mendapatkan kitab suci itu kembali. Mari kita pergi
sekarang juga “Wan-ci mendesak.
Hwi Ching menyetujui ajakan
muridnya itu, untuk itu terlebih dahulu kita selidiki keberadaannya. Begitulah
diputuskan, Hwi Ching berada diluar sementara Ceng Tong dengan wan Ci masuk
kedalam hotel. Tadi wan Ci tampak Tong siu Ho masih menggendong bungkusan merah
itu dibelakangnya. Dia ajak Ceng tong menuju kamar si ornag seh Tong itu. Pintu
kamar itu menyala, maka kedua nona itu lalu lebih dulu sembunyi diri disudut
tembok untuk mendengarkan pembicaraan orang dalam kamar itu.
Terdengar jelas bagaimana Tang
Siu-ho mengoceh tak karuan dan sesaat kemudian menjadi diam kembali.
“Tio thay jin, “kau sungguh
hebat sebentar saja kau telah sembuhkan Tong He- see kita ini, tiba-tiba
kedengaran seorang piauwsu berkata.
“Sekalipun mati, tak akan aku
mau diobati oleh orang Hong Hwa hwee itu, kedengaran Tong siu-ho membual.
“kalau juh-jauh hari tahu Tio
thay-jin kita datang kemari, tak nanti kita sampai merendahkan diri meminta
pada dia, Hmmm, sungguh sial, seru Chi piauwsu.
Saat itu terdengar suara gagah
dari seorang lantas katanya :
“Coba tunjukkan aku sepasang
suami isteri itu. Besok pagi kalau Loo Go sudah datang, kita akan turun tangan,
orang-orang itu memang sebangsa kantong nasi saja, masa empat orang mengerubuti
seorang perempuan saja tak mampu mengalahkan.”
Saat itu wan ci tak sabar
lagi. Ia mencari lobang pada kertas jendela untuk mengintip kedalam. Ternyata
di kamart itu terdapat enam orang. Seoraang yang berusia empat puluh tahun
lebih, nampaknya sangat keren dan gagah sekali. Mungkin dialah yang dipanggil
Tio tayjin itu. Sepasang biji matanya bersinar tajam. Nyata orang itu sangat
lihay sekali iwekangnya. Diam-diam Wan-ci heran mengapa orang pemerintahan,
terdapat begituan
.
“Loo Tong serahkan pauwhok itu
padaku, kawanan orang islam itu tentu tak mau berhenti, mungkin di jalan nanti
kita mendapat rintangan.” Kata Giam See Ciang.
Dengan sikap ayal-ayalan
Siu-ho melepas pauwhoknya, nyata sekali ia segan untuk meyerahkannya.
“Ayo, kau tak perlu kuatir,
aku takkan merebut pahalamu, yang penting biarlah kitab itu dapat tiba di kota
raja dengan selamat dan nanti kita enak semua.” Kata See ciang pula.
Mendengar itu Wan ci kaget,
sekali piauwhok itu berada ditangan she Giam itu, sukarlah untuk merebutnya
karena ia itu ilmunya lihay sekali, cepat ia mengasah otak mencari akal ia
berbisik beberapa patah kata di dekat telinga Ceng Tong. Ia sendiri lalu
melepas kopiahnya, rambutnya diuraikan kemuka, lalu memakai sapu tangan untuk
menutupi separuh mukanya, setelah itu ia menjemput dua lembar genteng terus
ditimpukkan kearah jendela.
Genteng itu menyambar padamkan
pelita di dalam kamar, dan secepat itu tampak lima ososok tubuh loncat keluar,
malah salah seorang yang berada dimuka sendiri kedengaran berseru.
“Siapa yang bernyali besar
itu?”
Ceng Tong mengerti maksud
kawannya, dengan bersuit keras, ia loncat melewati temok. Mengira itulah sang
pengacau, piauwsu-piauwsu itu segera mengejarnya. Setelah piauwsu itu
menghilang, Wan ci menerobos masuk kedalam kamar.
Hampir setengah harian Siu-ho
menderita ditotok, dan kini baru saja ia sembuh, sudah tentu badanny lemas.
Dengan berlalunya kawan-kawannya tadi, tahu-tahu ada seorang sangat aneh
rambutnya terurai kemuka, setan bukan orang bukan. Malah makhluk itu
berjingkrak-jingkrak dengan mulut berkecat-kecat tk karuan artinya :
Saking takut dan kagetnya,
Siu-ho lemah lunglai tulang sendinya. Cepat sekali makhluk itu menyawut pauwhok
siu-ho, lalu dengan masih bersuit cuwat-cuwit dia berobot keluar.
Sekarang kita tengok kawanan
pauwsu yang tengah mengejar bayangan hitam tadi, di saat lain tiba-tiba Tio
tayjin hentikan larinya dan berkata :
“Celaka kita telah terjebak,
memancing harimau keluar sarang. Ayo, lekas kembali.!”
Kawan -kawannya pun seperti
tersadar. Ketika memburu kedalam kamar, didapatnya Siu-ho dalam keadaan yang
lucu. Dia jungkir balik dari atas pembaringan, terlongong-longong seperti
patung. Baru setelah dipaksa kawan-kawannya ia dapat menceritan tentang makhluk
seperti setan yang mengambil pauwhoknya tadi.
“Ngaco, berpuluh-puluh tahun
kuberkelana di kangouw, belum pernah kujumpai seorang setan, bentak Thio taijin
dengan gemasnya.
Wan-ci ketika itu sudah lompat
tembok, ia bersuit pelan-pelan dan dari tempat kegelapan muncul dua sosok
bayangan yang datang menyambutnya. Mereka adalah Hwi Ching dan Ceng Tong.
“Pauwhok telah kurampas
kembali, harap jangan disalahkan lagi .......”
Tapi belum habis Wan-ci
menyatakan kegirangannya itu, tiba-tiba Hwi- Ching berseru.
“Awas dibelakangmu!”
Baru wan-ci hendak kebelakang
pundaknya telah ditepuk orang, cepat ia pakai tangan kirinya untuk menangkap
penyerangnya,tapi ia kalah sebat dari orang itu yang lenih dulu telah menarik
tangannya. Wan ci terkejut hatinya. Insyaflah ia betapa lihay musuhnya itu
sehingga tak merasa dirinya dihunus dari belakang.
Buru-buru ia bernalik diri.
Tampak olehnya seorang setengah tua yang tinggi perawakannya tengah berdiri
dihadapannya begitu dekatorang itu berdiri dibelakangnya, karena terkejutnya
Wanci sampai mundur dua tindak dan berbarengan itu ia lemparkan pauwhok kepada
Ceng Tong sambil berseru “Terimalah barangmu, Cici !”
Habis itu ia menatap kepada si
orang tadi siap untuk menghadangnya. Tetapi tak disangka, kalau gerakan musuh
itu sedemikian sebatnya, pauwhok melayang dia membarengi mengenjot kakinya
untuk menyawut. Melihat itu wan-ci menjadi terkejut dan gusar, seketika itu
diserangnya orang itu, sedang dilain pihak, Ceng Tong segera menyerangnya dari
belakang.
Dengan tangan kiri menggengggam
pauwhok orang itu keluarkan ilmu silat “Koo Soe-ping” sebuah ilmu silat cabang
Voe Tong pay yang digerakan dengan tenaga yang berisi, sekejap saja Wan ci dan
Ceng Tong kena di desak mundur sampai beberapa tindak.
Wan ci segera mengetahui bahwa
musuhnya itu adalah orang mengobati Tong Siu-ho, yakni yang disebut Tio
Tai-jin, Ko su-pang. Adalah ilmu silat pertama yang dipelajari oleh wan Ci
selama ia berguru pada Hwi Ching, selama itu ia tak menyangka, bahwa ilmu silat
itu telah begitu mahir dan berbahaya sekali ketika dijalankan oleh orang she
Tio tersebut. Menghadapinya, sampai-sampai Wan Ci harus mengerahkan
kepandaiannya. Pada suatu kesempatan ia berpaling kearah suhunya, tapi ternyata
suhunya itu entah kemana perginya.
Juga Tio tayjin merasa terkejut
tampaknya jurus-jurus permainan Wan ci adalah serupa dengannya. Dia nantikan
sampai wan Ci memainkan jurus, To Ki-liong ia tak mau berkelit. Begitu
miringkan tubuh, ia juga gunakan gerak To ki-liong untuk menyambutnya.
Sama jurusnya, tapi lain
sekali kekuatan penggeraknya, kesemutan, sakitnya bukan kepalang. Kakinya
sempoyongan untuk mencegah jatuh terpaksa Wan Ci loncat kesamping.
Nampak kawannya menghadapi
bahaya, Ceng Tong cepat loncat menghampiri seraya mengulurkan tangan untuk
menahan tubuh sang kawan yang hampir saja rubuh itu, sembari berbuat begitu,
tangan kanannya mengacungkan pedang kearah musuh. Maksudnya untuk menjaga jika
musuh maju menyerang.
“He, bocah katakan .... suhumu
orang she Ma atau she Liok!” seru orang itu dengan lantang.
“Biarlah kutipu ia, pikir wan
Ci. Maka sahutnya
“Suhuku orang she Ma,
bagaimana kau bisa mengetahuinya?”
“Bagus betul perbuatanmu itu,
berjumpa dengan susiok tak mau menjalankan peradatan.”.
“Mendengar bahwa orang itu
ternyata adalah paman guru Wan Ci, maka hilanglah harapan Ceng Tong untuk dapat
merampas kembali kitab suci itu. Sekali kakinya mengenjot, ia loncat setombak
jauhnya, terus berlari.
Wan ci terkejut bukan main,
terus buru-buru mengejar. Tapi baru ia mengejar beberapa puluh tindak,
dilihatnya langit mendung sekali. Kilat pun berkelebat diudara. Ia ngeri
sekali, dan tak berani mengejar terus. Tapi ketika kembali ketempatnya tadi,
dilihatnya orang she itu sudah tak berada disitu lagi. Iapun cepat-cepat loncat
tembok terus masuk, dan baru saja ia melangkah kedalam kamarnya, hujan turun
dengan lebatnya.
Hujan ternyata t sampai pagi.
Nampak hujan masih turun lebat. Wan ci menuju ke kamar Li Thay-thay dan
mengatakan bahwa rombongan mereka terpaksa tak dapat berangkat.
Habis makan pagi, wan Ci
menghampiri kamr suhunya dan menuturkan tentang kejadian semalam. Menengar
penuturan muridnya, tampak Hwi Ching mengerut dan dahinya seperti berpikir
dalam-dalam.
“kau tak bilang kau muridku,
itulah baik-baik.” Katanya kemudian.
Melihat wajah gurunya berubah
serius wan Ci tak berani menanyakan lebih jauh.
Orang yang disebut Thio
–taijin itu, memang sutenya Hwi Ching yang bernama Thio Ciauw Tiong. Orang
kangouw menyebutnya “Lebih baik ditusuk tombak tiga kali, asal jangan berjumpa
dengan she Thio.”
Loo Ong, dimaksudkan
“Wi-tin-ho-ni” Ong Hwi Yang Poan-koan Thio Ciauw Tiong. Kedua orang itu yang
seorang menjadi piauwsu dan yang satunya menjadi pembesar negeri adalah
orang-orang yang memusuhi orang-orang gagah di kalangan Bu-lim. Mereka sangat
sombong, karena andalkan kepandaian yang tinggi.
Hwi Ching mempunyai tiga orang
saudara seperguruan, suhunya kelewat sayang pada murid yang bungsu, sehingga
Ciauw Tiong ilmunya lebih lihay dari suheng-suhengnya.
Sejak Hwi Ching putus
persaudaraan dengn sutenya itu, baru kali ini dia berjumpa. Ketika sutenya
bertempur dengan Wan Ci dan Ceng Tong, dia menyingkir ketempat gelap. Dia tak
menduga kalau dalam sepuluh tahun ilmu silat Ciauw tiong maju begitu pesat.
Diam-diam dia mengakui bukan tandingan sutee itu. Dengan adanya orang selihay
itu dalam barisan kuku garuda Pemerintahan Ceng, maka bertambah tangguh keadaan
mereka.
Sepanjang pendengaran Wan Vi
maka diketahuilah bahwa Ciauw Tiong datang kesitu untuk menangkap pesakitan
penting dari Pong Hwa Hwee. Bagaimana nanti mereka dapat lolos dari tangan
manusia kejam itu ?
Hawa udara pada permulaan
musim Chiu rontok sangatlah panasnya. Dan rupanya hujan terus-menerus tah
henti-hentinya sifat kanak-kanak masih belum terlepas dari Wan Ci. Untuk
mengeram diri dalam kamar saja sungguh menjemukan. Maka pergilah ia menengok
kamar orang Hong Hwa Hwee. Keadan disitu ternyata sepi-sepi saja, karena Tin
Wan Piauwkok juga belum juga berangkat. Beberapa orang piawsu tengah duduk
bercakap-cakap di ruangan tengah. Hanya orang she Thio yang katanya adalah
susioknya itu tak nampak. Tiba-tiba dari luar, terdengar derap kuda mendatangi.
Kuda itu ternyata berhenti
dimuka pintu hotel, dan seorang yang dandanannya seperti anak sekolahan,
bertindak kedalam. Oleh jongos ia disuruh masuk kedalam.
Perawakan anak sekolahan itu
tinggi kurus sepasang matanya bening sekali dinaungi oleh alis yang bagus. Di
daerah luar perbatasan jarang terdapat seorang pemuda tampan seperti dia itu.
Melamun sampai disitu, merahlah selebar muka Wan Ci, maka buru-buru ia melengoskan
kepala.
Dengan tenang dan nikmat
pemuda itu duduk menghadapi arak. Ketika itu kembali dari arah luar terdengar
derap kuda mendatangi lagi. Melongok dari jendela Wan Ci mengenali keempat
orang yang datang itu.
Mereka adalah pengeroyok Hou
ping, si wanita gagah pada beberapa hari yang lalu itu lekas Wan ci masuk
memberi tahukan suhunya, lalu mereka abersama-sama melihat dari jendela untuk
melihat perubahan apa yang akan terjadi.
Dari keempat orang tersebut,
yang bersenjatakan pookiam rupanya pemimpinnya, ia panggil pelayan dan
menanyakan dengan berbisik, setelah itu lalu meminta arak.
“Bangsat, Hong Hwe itu belum
pergi, kita makan dulu nanti baru bekerja!” kata orang yang membawa pookiam
itu.
Rupanya kata-kata itu
terdengar oleh si pemuda itu, wajahnya kelihatan berubah ia melirik pada
keempat orang itu tajam-tajam.
“Harus kita bantu wanita itu
tidak guru?” tanya Wan ci tiba-tiba.
“kau jangan sembarangan
bergerak, tunggu perintahku dulu,” jawab Hwi Ching sembari memandang si anak
sekolahan itu. Pada saat itu, pemuda tadi telah menghabiskan daharannya lalu
memindahkan bangkunya keserambi, kemudian mengeluarkan sebatang seruling, terus
ditiupnya nyaring-nyaring.
Wan ci kenal seruling itu
memainkan lagu “Thian cing-soa” atau sunyi senyap dipadang pasir.
Meniup seruling Wan ci
menganggap biasa saja tapi yang membuatnya heran, seruling itu bercahaya
keemasan, seperti terbuat daripada emas. Perjalanan di daerah utara sangatlah
tak aman, sebatang seruling mas cukup akan menarik perhatian penjahat. Wan ci
mengambil keputusan, akam memperingatkannya nanti.
Juga keempat orang itu, merasa
heran atas kelakuan si pemuda sekolahan itu. Habis makan tiba-tiba si pembawa
pookiam yang ternyata bertubuh kate itu loncat keatas meja lalu berteriak
keras-keras.
“Kami adalah hamba negeri yang
diutus oleh pemerintah agung untuk menangkap pesakitan penting dari Hong Hwa
Hwee, saudara-saudara sekalian harap menyingkir dulu.
Habis berpidato orang tersebut
loncat turun lagi, terus akan menuju ke kamar Lou Ping untuk kesitu, terus akan
menuju melalui jalan dimana si pemuda sekolahan itu sedang duduk menyuling,
dengan acuh tak acuh enak-enakan meniup serulingnya terus.
“He sahabat, jangan
menghalangi jalanan” kata si pendek itu, rupanya ia agak sungkan terhadap
seorang sekolahan, kalau saja orang biasa tentu sudah dilemparkannya.
Tampa pemuda itu tenang
menurunkan serulingnya dan berkata :
“Tuan-tuan mengatakan akan
menangkap pesakitan penting, sebenarnya apakah kesalahan mereka itu? Kikira
lebih baik dilepaskan saja, dari pada nanti tuan banyak repot.”
“Hayo enyahlah, jangan kau
campuri urusan orang!” bentak si pendek dengan marahnya sembari maju selangkah.
Pemuda itu masih tenang-tenang
saja, malah dengan ramahnya ia mengajak mereka minum bersama-sama , katanya :
“harap tuan-tuan jangan
buru-buru, aku sebagai tuan rumah, mengundang tuan-tuan minum bersama buat
mengikat tali apersahabatan, tentunya tuan takkaaana menampik, bukan?”
Orang itu tidak dapat bersabar
lagi, dengan mnjulurkan tangan ia dorong pemuda itu sambaiaal aaamembentak :
“Bangsat, sungguh menjemukkan!”
Ketika tangan hampir mengenai,
tahu-tahu pemuda itu menggeliat tubuh dan berteriak-teriak : “Aduh, jangan
turun tangan keras-keras, “ seperti orang sempoyongan kena pukulan, dia
gentayangan ngerusuk kemuka dengan serulingnya. Tibatiba serulingnya ditusukan
kedada kiri si pendek seketika itu juga si pendek jatuh numprah ke tanah.
“Astaga jangan, jangan lakukan
penghormatan begitu, aku tak berani menerimanya!” teriak pemuda sekolah itu
dengan lalu mencegah.
Bagi mata seorang ahli, tentu
segera mengerti bahwa pemuda itu telah gunakan ilmu menotok untuk mempermainkan
orang itu, kalau tadinya Wan ci menaruh kekuatiran, kini berbalik girang bukan
main melihat permainan sianak muda itu.
“Susiok, jangan-jangan dia si
kepala Hong Hwa Hwee!” bisik yang memgang Jwan-pian, seorang dari empat lelaki
tadi, pada kawanny.
Mendengar itu, kedua lawannya
itu terkejut sekali, terus mundur beberapa langkah. Pada saat itu, si kepala
hamba pergi yang kena tertotok tadi, tak dapat berkutik lagi oleh kawannya yang
memegang jwan-pian ia terus tarik kesamping.
“Adakah Tuan ini orang she
Tan? Siautocu dari Hong Hwa Hwee itu?” tanya seorang tua yang dipanggil susiok
tadi.
“Sungguh telingga kalian itu
tajam sekali hingga dapat mengetahui bahwa siautocu Hong Hwa Hwee itu orang she
Tan. Memang mata itu ada kalanya lebuh tajam dari pisau. Tapi kali ini
betul-betul kuberada, aku inilah orang She Le bernama Hi Tong. Le artinya, aku,
Hi ialah ikan didalam empang, sedang huruf Tong, berarti, sama. Aku yang rendah
ini hanya salah seorang yang tak berarti dari Hong Hwa Hwee. Kursiku hanya
keempat belas dari urutan kedudukannya. Pemuda itu dengan tertawa menerangkan
dirinya, setelah itu ia angkat keatas serulingnya dan berkata pula.
“Adakah kalian tak mengenal
diriku ini?”
“Oh, kau adalah Sim Liok siu
thay, bukan?” kata si hamba serdadu
“Jangan keliwat menjunjung
tinggi diriku itu, kepandaianku masih belum berarti apa-apa, jangan kalian
salah menganggap aku sebagai sautocu dari Hong Hwa Hwee, salah-salah diriku
bisa celaka nanti. Sudara bukankah Kepala Opas Pak Khia Go Kok Tong atau Go
jiya yang sangat kesohor itu?”
“Benarlah, karena ternyata
orang Hong Hwa Hwee, hayo tempurlah aku!” sahut orang tua tadi.
Seruan Go Kok Tong itu
dibarengi dengan melayangnya pedang. Nyata betul bahwa orang she Ho itu bukan
kosong namanya. Gerakannya, mengandung tenaga dalam yang hebat sekali.
Go Kok Tong adalah kepala
polisi dari Pak Khia. Telah banyak perkara pembunuhan gelap yang dapat dibikin
terang, sehingga tidak sedikit penjahat besar yang telah binasa dalam
tangannya, karena kuatir pembalasan dari mereka yang telah hutang jiwa itu. Beberapa
tahun yang lalu dia sudah undurkan diri.
Tapi ketika sutitnya yang
bernama Pang Hi, bersama beberapa siuwi atau pahlawan keraton, mendapat firma
untuk menangkap pesakitan penting dari Hong Hwa Hwee, dia tak dapat menolak
permintaan supaya membantunya. Orang yang bersenjatakan Jwan-pian itulah si
Pang Hwi. Orang yang memegang golok kui-tao-to bernama Ciang Thian siu sedang
yang membawa tongkat ialah Han Joeu Lim. Mereka adalah pentolan-pentolan polisi
dari Tan Ciu.
Sebenarnya antara polisi Pa
khia lam Ciu terdapat suatu persaingan halus, masing-masing berebut pahala.
Tapi ternyata hasilnya Ciang Thian siu diam-diam Pang Hwi yang baik itu merasa
girang karena saingannya roboh tapi dia kuatir juga akan dihajar musuhnya itu.
Pada saat itu, dengan sebatang
suling mas, Le Hi Tong melayani Go Kok Tong, Pang Hwi dan Ciang Thiau-siu. Ada
kalanya suling itu digunakan sebagai pian, tapi dilain saat digunakan untuk
menotok jalan darah. Malah dilain saat mirip dengan permainan pedang. Ketika
pentolan hamba negeri itu, tak dapat berbuat banyak. Malah mereka kelihatan
repot sekali menjaga diri.
Baik Hwi Ching maupun Wan-ci,
nampaknya girang dengan jalannya pertempuran itu, kata si nona.
“Dia gunakan ilmu pedang Jwan
hun-kiam.”
Hwi Ching anggukkan kepalanya
dan berpikir Jwan-hun kiam adalah ilmu tunggal dari cabang Boe tong pay. Pasti
dia murid dari Toa Suheng Ma Cin.
Memang dugaan Hwi Ching itu
tidak salah. Le Hi Tong adalah murid kesayangan dari Ma Cin. Dia anak dari
seorang ternama, karena terkena fitnahan orang dan meninggalkan penjara.
Dengan bertekad bulat Hi Tong
berguru pada Ma Cin setelah selesai dalam pelajaran ilmu silat dia pulan ke
kampungnya dan membunuh tuan tanah yang jahat itu. Dan sejak itu dia berkelana
di kangouw sampai akhirnya dia masuk dalam gerakan Hong Hwa Hwee.
Dia otaknya memang cerdas apa
saja dapat dipelajarinya dengan cepat. Karena kecerdasannya itu, di Hong Hwa
Hwee diserahi tugas penghubung dan pemberi warta. Kali ini sebenarnya dia
sedang menjalankan perintah Siaotocu ketua muda, untuk suatu urusan di
Lok-yang. Sama sekali dia tak mengetahui bahwa Pan Lui ciu Bun Thay-thay dan
Wan yang to Tao Ping telah kepergok musuh dan terluka beristirahat di hotel
tersebut. Karena kata-kata keras yang diucapkan Go Kok Tong akan menangkap
orang Hong Hwa Hwee, itulah yang mendesak ia untuk turun tangan melindungi
kawannya. Ketika mendengar tiupan seruling tadi, tahulah Lao ping bahwa Kim
Tiok siucay seruling emas, telah datang.
Le Hi Tong memberi perlawanan
seru pada ketiga pengeroyok itu. Orang-orang Piauwkok pun sama akeluar melihat
ramai-ranai itu.
“Kalau aku suruh dua orang
saja yang melayani sedang yang seorang bisa gunakan senjata rahasia Tong Siu
Ho,” si mulut usil itu berkata. Dia lihat pang Hwi mengendong busur maka secara
tak langsung ia mengingatkannya karena ia masih dendam dengan orang Hong Hwa
Hwee.
Pang Hwi seperti tersadar,
loncat keluar kalangan dia enjot kakinya keatas meja sekali menjambret busur
melayanglah beberapa biji pelor kearah Le Hi Tong.
Dengan Lincahnya Le Hi Tong
berkelit, namun kedudukannya berbahaya karena dia masih menangkis serangan
musuh, pedang dari Go Kok Tong dan Golok Ciang Tian siu berbarenan menyambar.
Ketika Hi Tong berusaha menangkisnya agaknya terlambat sedikit. Ujung pedang Go
Kok Tong menowel krowak jubahnya. Agak kesima Hi Tong dan kelalaian sesat itu
saja harus dibayar dengan benjol kening tersambar sebuah pelor.
Kesakitan itu telah
mengendorkan gerakannya, justeru sebaliknya kedua lawannya itu makin
memperhebat serangannya. Kini Hi Tong hanya kuasa membela diri, tak dapat
membalas menyerang. Namun Ia tak sampai gugup, ilmu silatnya cukup lihay,
sembari tangan kanan memegang seruling, dua jari tangan kirinya dipakai untuk
menotok jalan darah dibawah tetek Go kok tong.
Terkejut juga Go Kok Tong
melihat kepandaian yang mengagumkan dari sianak uda itu. Tapi secepat itu pula
Hi Tong mengganti totokan menjadi pukulan terus diayunkan kemuka Ciang Thian
siu. Malah golok dipakai untuk menangkis pukulan dari Hi Tong, seketika itu
juga Hi Tong berlaku lambat untuk menarik tangannya.
Melihat kesempatan yang bagus,
dari menangkis Thian siu teruskan goloknya untuk menyerang, tetapi ia baru
sadar ternyata musuh hanya melakukan pancingan sehingga ia terlambat, secepat
kilat si anak muda itu mengayunkan sulingnya kemuka, maka terjungkallah Thian
siu ke tanah.
Sebelum Hi tong menyusul
kemplangannya, lantas tercegah oleh datangnya Pedang Co kok tong dan pelor Pang
Hwi yang datang menyambar. Pertempuran terus berlangsung dengan serunya, ketika
itu Thian Siu sudah bagkit kembali. Selagi Hi Tong mencurahkan perhatian
menangkis pedang dan menghindari pelor, ia tumplek seluruh kekuatannya dalam
gerakan Tok hiat san, golok dihantamkan ke batok kepala orang, serangan itu
hebat sekali, sukar bagi Hi Tong untuk menghindarinya.
Tapi sekonyong-konyong tangan
Thian siu terasa sakit sekali. Berbarengan dengan terdengarnya suara mendering,
goloknya terpental jatuh ke tanah. Selagi ia masih bengong karena terkejutnya.
Tahu-tahu sebatang hui to telah bersarang di dadanya. Tanpa berkaok-kaok lagi,
ia roboh binasa seketika.
Ketika berpaling kebelakang,
tampak olehnya, Wan yang to Lau ping sudah berdiri disitu dengan menggenggam
sebatang Huito. Kini tumbuhlah semangatnya. Kalau ada Lou Ping tentunya sang suami
pun berada disekitar situ. Dengan Pat-lui chiu Bun thay-thay disampingnya,
mudahlah untuk membereskan kawanan kuku garuda ini. Demikian anggapan Kim Liok
siucay Le Hi Tong, sama sekali ia tak mengira kalau Bun Thay-thay dalam keadaan
luka berat, tak dapat bergerak apa-apa.
“Su-so, kau bereskan dulu
orang yang melepaskan pelor itu seru Hi-Tong.
Ucapan itu dituruti oleh Lau
Ping dengan kirimkan sebatang Huito. Dengan tergesa-gesa Pang Hwi pakai
busurnya untk menangkis.
“Trang !”
“Busur patah menjadi dua, tapi
Huito itu tetap masih ada kekuatannya menyambar lengan Pang Hwi, serasa terbang
semangatnya dan berseru keras-keras. Susiok, berhenti, angin keras!”
Itulah sandi pertanda untuk
mundur karena setelah itu Pang Hwi brbalik bahkan terus lari Go Kok Tong
merangsek hebat dan ketika Hi Tong terpaksa mundur, dia sambar han Jun Lim yang
terkapar ditanah, sambil memanggulnya terus dibawa pergi.
Le Hi tong tak mau mengejar,
hanya kembali menempelkan sulingnya kemulut lagi untuk ditiupnya. Dalam
pandangan wan Ci, siaucay itu aneh sekali. Tapi bukan demikian sebenarnya. Kali
ini Hi Tong tak meniup sulingnya dengan cara diaalangkan, tapi pegangnya secara
dilurskan kebawah.
Begitu mulut meniup, maka dari
lobang sulin itu melesatlah sebatang anak panah kecil lurus menyambar musuh
yang tengah lari tunggang langgang itu. Pang Hwi berkelit dengan tundukkan
kepalanya kebawah, tapi tidak demikian dengan Han Jun Lim, pantatnya telah
tertancap anak panah itu menjeritlah dia dengan kesakitan hebat.
Sehabis itu Hi Tong menanyakan
pada Lou Ping dimana suaminya sekarang.
“mari ikut aku, jawab lou
Ping. Dengan gunakan palang pintu sebagai tongkat untuk menahan pahanya yang
terluka itu, Lou ping membawa Hi Tong ke kamarnya.
Sedang di lain pihak, ketika
Go Kok Tong berlari-lari sembari memanggul han Joen Lim yang terluka itu sampai
diluar pintu hotel, tiba-tiba dia bertabrakan dengan seseorang. Berpuluh-puluh
tahun Co Kok Tong meyakinkan ilmunya, kekuatan kakinya teguh bagaikan besi.
Tapi bukan main terkejutnya ketika saling berbenturan dengan orang itu, dia
sampai terdorong mundur beberapa tindak. Untuk menyelamatkan diri supaya tidak
terjatuh terpaksa ia lemparkan kawan yang dipanggulnya itu.
Celaka bagi Han Joen Lim,
karena sudah terluka oleh huito ditambah lagi anak panah yang menancap
dipantatnya kini tubuhnya dilemparkan ketanah, karuan panah itu amblas masuk
dalam daging hingga ia menjerit-jerit kesakitan.
Ketika Kok-Tong mengawai,
ternyata orang itu adalah kepala Gi Lim-kun Thio Ciauw Cong. Dari marah, kini
ia berbalik menjadi girang bukan main.
“Astaga, Thio tay-jin.
Rombongan kita tak berguna, “ segera ia menyapa.
Adat Ciauw cong sangat tinggi.
Dia tak mu menyahu dengan kata-kata, hanya perdengarkan suara Hmmm saja, sekali
tangan kirinya kirinya ia sanggapi Han Joen Lim, tangan kanannya segera memijat
perutnya, lalu menepuk pahanya. Heran juga, seketika itu Joen Lim rasakan
kakinya leluasa bergerak lagi.
“Apakah buronan itu sudah
lari? Ciauw Cong bertanya
“Belum, masih disana,” sebut
Kok Tong.
“Hm, sungguh besar nyalinya.
Membunuh hamba negeri masih begitu berani tinggal di hotel, jengek Ciauw Cong.
Sambil berkata itu, Ciauw Cong
berjalan menuju ke ruangan dalam. Dihampirinya Ciang Thian Siu yang sudah tak
bernyawa itu. Huito yang menancap didadanya dicabut dan dimasukkan kedalam
kantongnya.
“Thio-tayjin tiamcu tinggal di
kamar itu.” Demikian Pang Hwi memberi keterangan, sambil menenteng jwan piannya
ia belaku sebagai penunjuk jalan.
Ketika rombongan Ciauw cong
sudah bersiap akan memasuki kamar Bun Thay-thay, sekonyong-konyong dari sebelah
kamar lain loncat keluar seorang pemuda dengan memegang sebuah pauwhok merah,
Pauwhok dia lambaikan pada Ciauw Cong, sambil berseru.
“He, sudah kurampas lagi !”
Tanpa melihat sikap orang,
pemuda itu terus berjalan keluar, sesaat itu terkejut juga hati Ciauw cong. Dia
anggap rombongan piawsu itu hanya seperti kantong nasi saja. Pauwhok yang
berisi Al-Qur’an itu dapat dia rampas dan diserahkan kepada mereka, tapi
ternyata mereka tak mampu menjaganya. Karena waktu sedang menghadapi urusan
penting, dia tak mau kejar si pemuda, terus akan melanjutkan serbuannya tadi.
“Entah pelajaran kucing
berkaki tiga darimna yang telah tak malu menyebut diri sebagai susiok itu.”
Cis, tak tahu malu tiba-tiba terdengar seseorang berseru keras-keras. Ternyata
itulah si pemuda. Kiranya ia berhenti disebelah sana, dan menghina Ciauw Cong.
Nama Ciauw Cong mengetarkan
dunia kangaouw. Baik golongan putih maupun golongan hitam, sangat menyegani,
selam itu belum pernah ia dihinakan orang. Seketika itu juga, meluaplah darah
Ciauw Cong, sekali loncat dia terjang si pemuda itu. Yang ternyata adalah wan
Ci, maksud Ciauw cong akan dibekuknya anak itu, untuk diberi hajaran lalu akan
diserahkannya pada Tao suhengnta, Ma Cin. Dia menduga anak itu tentu murid
Tao-suhengnya.
Bagai diuber setan, larilah
Wan-ci sekeras-kerasnya.
“Bocah edan kau mau lari
kemana,” seru Ciauw Cong sembari mengejar. Tapi si anak muda itu telah
melenyapkan diri, entah kemana. ketika Ciauw Cong berniat hendak menyelesaikan
urusannya tadi, dengan mengeluarkan kata-kata ejekan yang memerahkan kuping.
Apa boleh buat, dia mengejar
lagi. Dengan demikian semacam permainan kejar-kejaran. Kalau dia berhent juga,
dengan tak lupa mengeluarkan kata-kata yang mengejek.
“Akan kubekuk dulu si bangsat
itu, baru nanti kukejar urusan itu.” dem
Kian Ciauw Cong berpikir, dan
dia segera gunakan ilmunya berlari cepat untuk mengejarnya.
Karena bernafsu betul-betul,
maka jarak antara dia dengan wan-ci semakin dekat. Sampai disini wan Ci jadi
semakin bingung. Ia lari, lari terus kelereng gunung. Tapi sekali Ciauw Cong
enjot kakinya keras-keras dia sudah berada dibelakang wan ci. Punggungnya
segera ia jambret.
Saking kagetnya, Wan Ci
berontak sekuat-kuatnya. Dan karena itulah, maka telah kerowak sebagaian
sebagian, tergenggam dalam tangan Ciauw Cong. Cepat-cepat Wan ci mengambil
keputusan. Dilemparkannya pauwhok itu kedalam saluran air dibawah gunung,
sambil berseru : “Pergilah ambil sendiri.”
Yakin bahwa pauwhok itu berisi
kitab Al-Qur’an, Ciauw Cong sangat kuatair kalau sampai jatuh keair tentu
rusak. Tanpa pikir panjang lagi, dia loncat turun dari lamping gunung, untuk
mengambilnya. Melihat itu Wan Ci tertawa tergelak-gelak terus kembali pulang.
Ternyata pauwhok itu sudah
basah sebagian, maka tersipu-sipulah Ciauw Cong membukanya untuk melihat kitab
kena air tersebut. Alangkah terkejutnya ia ketika dilihat isinya, ternyata
bukan Al-Qur’an isinya melainkan dua buah buku hotel, yaitu daftar nama-nama
tamu dan catatan kas, seketika itu juga ia memaki-maki.
Saking marahnya, rambut Ciauw
Cong seperti berdiri. Kebesaran namanya berpuluh-puluh tahun itu, ditumpas
dengan olok-olok si anak muda seharai itu saja. Dengan gemas dilemparkannya
lagi Pauwhok itu kedalam salauran air. Karena kalau sampai ketahuan orang,
tentu hilanglah, mukanya. Dengan menahan kemarahan, ia bergegas kembali, setiba
di hotel dilihatnya Pauwhok berisi Qur’an itu masih menggemblok dibelakang
punggung Giam See Ciang. Betapa malunya, untung hanya dia sendiri tidak ada
orang lain yang mengetahuinya.
“Adakah pauwhok mu itu pernah
diganggu orang?” tanyanya untuk mencari kebenarannya.
“Tidak ada,” jawab See ciang.
Walaupun demikian, see ciang mengundang Ciauw Cong kekamar untuk bersama-sama
memeriksanya. Karena ia menduga, kalau sampai Tayjin tersebut sampai
menanyakan, tentulah ada sebabnya. Tapi teryata kitab itu masih terdapat
didalam pauwhok tak kurang suatu pun.
Ciauw Cong memanggil pelayan
untuk ditanya keterangan tentang orang-orang Hong Hwa Hwee seperti sudah tak
kelihatan disitu juga tak ada pertempuran apa-pa lagi.
“Percuma kerajaan memelihara
orang-orang itu. Baru kutinggal sebentar saja, orang-orang itu sudah dapat meloloskan
diri, seru Ciauw Cong dengan murkanya. “Giam laote” mari ikut aku dan saksikan
aku sendiri yang akan menagkap pesakitan itu.
Ciauw Cong segera menuju ke
kamar yang ditempati Bun Thay-thay, sedang Giam See Ciang menjadi serba sulit.
Karena terus terang saja dia jerih terhadap anggota Hong Hwa Hwee yang
pengaruhnya besar itu. Tapi diapun tak berani menolak ajakan Thio tayjin yang
lihay dan berpengaruh itu.
“Penjahat Hong Hwa Hwee, hayo
serahkan diri, tiba-tiba Ciauw Cong berseru dimuka pintu kamr prang tangkapan
itu.
Sampai beberapa sat lamanya
tak ada jawaban apa-apa.
“bangsat pengecut betul kau!”
Ciauw Cong mengulangi seruannya sambil ia memaki-maki. Dia ayunkan kakinya, dan
terbukalah pintu itu lebar-lebar. Kiranya pintu memang tidak dipalang dari
dalam. Didalamnya tak kelihatan seorangpun juga.
“Ha, buronan sudah kabur!”
seru Ciauw Cong dengan kaget. Langsung dia menerobos masuk masuk tapi kamar itu
kosong melompong. Hanya diatas pembaringan tampak segunduk selimut yang
menyerupai orang besarnya.
DENGAN ujung pedang, dia
singkap selimut itu. Dan untuk mengejarnya, disitu dua orang sudah menggeletak
saling berhadapan.
Dengan ujung pedang ia towel
orang tersebut, tetapi mereka tak bergerak. Ketika diawasi dengan seksama,
ternyata kedua orang itu tak bernyawa lagi dengan muka pucat pasi dan sepasang
biji matanya yang melotot. Kiranya kedua orang itu, adalah Han Joen Lim dan pak
Hwi anggota opas dari pak Khia.
Nyata mereka telah lama
menjadi mayat, karena baunya menusuk hidung Ciauw Cong, tubuh mereka tak
terdapat tanda-tanda luka ataupun bekas darah. Baru stelah diperiksa dengan
teliti dapat diketahui bahwa batok kepala telah hancur.
Tahulah Ciauw Cong bahwa
mereka dibinasakan oleh pukulan Iwekang dari seorang ahli yang berkepandaian
tinggi. Diam-diam dia kagum pada Pan Lui Chiu Bun Thay-Thay yang diduga adalah
pembunuhnya itu. Walaupun orang she Bun itu terluka berat namun dia masih dapat
menggerakkan tenga pukulan yang sedemikian dasyatnya itu “Pan Lui Chiu” si tangan
gledek itu betul-betul tak bernama kosong.
Tapi dimanakah Go Cok Tong?
Dan juga suami Bun Thay thay itu. Ciauw Cong panggil jagos untuk ditanyai tapi
mereka tak dapat memberi keterangan apa-apa.
Yang nyata Ciauw Cong salah
duga kali ini. Karena yang membinasakan Joen Lim dan Pang Hwi bukanlah Bun Thay
thay.
Pada waktu Le Hi Tong dalam
keadaan terjepit sukar baginya menghindari bahaya, Liok Hwi Ching diam-diam
telah melepaskan huyong tiam yang tepat mengenai tangan Ciang Thian siu hingga
goloknya sampai terpental jatuh. Dan disitulah Lou ping menyusuli dengan
huitonya untuk menamatkan riwayat orang she Chiang itu.
Juga ketika Go Kok Tong
memanggul Han Joen Lim lari tadi Hwi Ching yang dulunya mengira itu sang sutit
Hi Tong bakal terlepas dari ancaman ternyata dibikin kaget dengan munculnya
Ciauw Cong.
“Suhu yang merampas pauwhok
malam itu adalah dia apakah suhu mengenalnya?” tanya Wan Ci.
Hwi Ching hanya mengeluarkan
suara “hmm” saja karena dia sedang memikirkan suatu daya lalu katanya pada sang
murid.
“Kau lekas-lekas pancing dia
supaya meninggalkan tempat ini sejauh mungkin. Kalau-kau kembali lagi aku tak
berada disini, besok pagi kau teruskan saja perjalananmu nanti kususul.
Wan ci hendak bertanya lagi,
tapi buru-buru Hwi Ching mencegahnya dan serta merta disuruhnya cepat pergi.
Wan ci yang lincah dan cerdas itu segera mendapat akal bagaimana menjalankan
perintah suhunya itu. Ia ambil sehelai kain merah, dan dengan tak setahu pegawai
hotel segera ia ambil dua buah buku. Dengan itulah ia berhasil mengelabui Ciauw
Cong.
Hwi Ching cukup yakin dan
percaya akan kecerdasan muridnya itu. Dia tahu juga bahwa meskipun suteenya
mempunyai ilmu yang lihay, tetapi dalam kecerdasan masih kalah dengan litecunya
itu. Dia yakin tentu sang murid tidak sampai mengalami bahaya apa-apa.
Disamping itu, diapun tahu bahwa Ciauw Cong tak bakal mencelakai Wan ci,
mengingat bahwa Li Khik Siu adalah seorang pembesar tinggi. Dan yang paling
menentramkan hati, ialah tabiat Ciauw Cong apabila mengetahui bahwa musuhnya
adalah seorang wanita, tentunya ia akan berlalu tanpa menggangu.
Ternyata perhitngan Hwi Ching
itu sedikitpun tak melesat. Pada waktu itu Ciauw Cong tetap tak mau gunakan
senjata rahasia, karena dia masih menyangka Wan Ci adalah murid dari
toasuhengnya Ma Cin. Bagaimnapun dia tetap tak berlaku kejam.
Sewaktu Ciauw Cong keluar
untuk memburu Wan Ci, Hwi Ching segera menghampiri kamar Bun thay-thay dan
mengetok pintunya. Dari dalam kamar terdengar suara orang menanyakan.
“Siapa?”
“Aku seorng sahabat dari Lo
Gwan Tong Lou Ngoya akan menyampaikan sebuah kabar penting jawab Hwi Ching.”
Untuk beberapa saat, tak ada
jawaban apa-apa dari dalam juga pintunya tidak kelihatan dibuka. Rupannya
mereka tengah berunding. Selagi begitu, Go Kok Tong dengan ketiga kawannya
kelihatan menghampiri. Rupanya mereka menyelidiki letak kamar dari Bun
Thay-thay.
Heran mereka itu dibuatnya
ketika menampak ada seorang berdiri dimuka pintu kamar Bun Thay thay. Justeru
pada saat itu pintu tampak dibuka dan muncullah Le Hi Tong diambang pintu,
katanya
“Locianpwe ini siapa?”
“Aku ini sosiokmu Bian Li Ciam
Liok Hwi Ching.”
Agak bersangsi Hi Tong ketika
itu. Memang dia tahu bahwa dirinya mempunyai seorang susiok tapi selama itu belum
pernah ia mengenalnya.
Jangan bersuara, aku akan
bikin kau percaya ayo lekas sembunyi sana, seru Hwi Ching berbisik ketika
nampak orang masih sangsi kepadanya.
Mendengar itu, kecurian Hi
Tong makin bertambah, dia tetap menghadang diambang pintu. Nampak sikap bandel
itu, Hwi Ching ulurkan tangan kirinya untuk menepuk pundak Hi Tong, buru-buru
mengegos kesamping menjulur kearah lambung orang. Dengan gerak “Lan Ca-ih”
pelan-pelan didorongnya tubuh Hi Tong.
“Lan ca-ih” sebenarnya jurus
pertama dari ilmu silat Bu Tong pay, sama sekali Hi Tong tak mengira, bahwa
jurus itu ditangan Hwi Ching merupakan gerakan yang luar biasa kuatnya, hingga
dia sampai terdorong beberapa tindak. Dalam kekagetannya, berserulah Hi Tong
dalam hatinya.
“Betul, betul inilah susiokku.”
Justru ketika itu Lou Ping
dengan sepasang goloknya siap untuk menerjang, buru-buru Hi Tong membuat
gerakan tangan sambil mencegah.
“Suso, tahan!”
Pada saat itu, Hwi Ching
melambai-lambaikan tangannya kepada kedua orang itu, maksudnya menyurh mereka
menyingki. Habis itu, dia sendiri terus keluar untuk menyambut Go Kok Tong dan
kawan-kawannya.
“Hai, orang dalam kamar ini
sudah melarikan diri hayo kau periksa kemari!”
Tanpa curiga ap-apa, Go Kok
Tong menerobos masuk diikuti oleh Han Joen Lim dan Pang Hwi, sampai disitu,
barulah Hwi Ching turut masuk. Palang pintu dipasang. Pada waktu itu, ketika
melihat disudut kamar tampak Le Hi Tong dan kawan-kawannya, terkejutlah Kok
Tong bertiga. Dia serukan kedua kawannya untuk mundur segera.
Han Joen Lim dan pang Hwi
menurut, tapi baru mereka berputar diri, tiba-tiba kedua belah tinju Hwi Ching
menyambutnya. Dan seketika itu remuklah batok kepala keduanya.
Otak Kok Tong cepat bekerja,
dalam keadaan terkurung itu lekas ia mengambil keputusan. Sambil melindungi
batok kepalanya dengan kedua tangan, dia mengenjotkan diri loncat ke arah
jendela yang terbuka. Dan untuk itu, hampir saja ia berhasil.
Tapi celakanya, ketika hampir
lolos Bun Thay-thay yang dilewati diatas kepalanya cepat bangun dan mengirimkan
pukulannya yang terkenal itu. Tepat mengenai pundak lawan. Tenaga pukulan Pan
lui chiu itu luar biasa dasyatnya. Seketika itu juga, pundak kanan Kok Tong
telah putus.
Namun menahan kesakitan hebat
Kok Tong tetap berlaku nekad untuk loncat keluar jendela itu. Menyusul itu,
huito Lou Ping menyambar dari belakang., syukur Kok Tong sudah lebih dahulu
menjaganya. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, ia enjotkan lagi kesamping.
Walaupun tak sampai ia binasa, tak urung jua pundak kirinya terpapas juga.
Dengan mengerek gigi menahan
kesakitan hebat Kok Tong terus lari terbirit-birit.
Sampai disini, lenyaplah
kecurigaan Lou ping dan Hi Tong serta merta mereka berlutut dihadapan Hwi
Ching. Sedang Bun Thay-thay yang masih rebah dipembaringan, buru-buru berkata :
“Locianpwe, maafkanlah aku tak
dapat turun untuk menjalankan peradatan.”
“Ah, tak perlu banyak
peradatan. Apa hubunganmu dengan To Gwan Thong lau ngoya?” tanya Hwi Ching
sembari memandang kearah Lou Ping.
“Mendiang ayahku, locianpwe, “
sahut Lou Ping.
“Gwan Thong laote adalah
sahabat karibku, tak nyana kalau dia sudah mendahuluiku,” kata Hwi Ching dengan
suara rawan.
Mendengar itu, berlinanglah
air mata Lou Ping. Iapun terkenang akan ayahnya yang tercinta itu.
“kau adalah murid dari
Ma-suheng bukan ? bagaimna dengan suhumu itu? Tanya Hwi Ching pada Hi Tong.
“Atas berkah susiok dia tak
kurang suatu apa pun, memang suhu pernah mengatakan tentang diri susiok yang
katanya sudah saling berpisah berpuluh-puluh tahun lamanya. Dia selalu
terkenang dan mencari tahu kediaman susiok.”
“Suhumu adalah seorang yang
setia, akupun sangat terkenang. Tahukah kau bahwa susiokmu yang satunya lagi
kini mencari kau ajuga?”
“Thio Ciauw Cong susiok?”
tanya Hi Tong dengan membelalakan mata.
Hwi Ching menganggukan
kepalanya. Bun tahay lay ketika mendengar nama thio Ciauw Cong, terguncanglah
hatinya dan tak sengaja meluncurkan kata-kata, “Ah, ……”, melihat itu buru-buru
Lou ping memapaknya untuk mebelai-belaianya.
“Kalau aku mempunyai seorang
isteri sepertinya sekalipun sakit berat tak menjadi soal, diam-diam Hi Tong
melamun sendiri ketika melihat kelakuan Lou Ping yang nampak sangat terbuka
terhadap suaminya itu. Dia terus melamun yang bukan-bukan, ketika itu Hwi Ching
tiba-tiba membuyarkan lamunannya dan berkata :
“Suteku itu memang berwatak
rakus dan rendah. Dia merupakan titik hitam dalam cabang kita, hanya saja ilmu
silatnya terlampau lihay. Apalagi dia jauh datang dari Pekhia menuju kedaerah
perbatasan ini tentunya mempunyai tulang punggung penjagaan yang sangat kuat
sekali. Kini lebih baik menyingkir dari dia saja. Besok kita ajal lagi beberapa
kawan untuk mencarinya. Lohu sendiri juga tak dapat mencuci noda dari kalangan
ku biarlah rerangka tulang-tulang tua ini dihancurkan saja.”
Paras Hwi Ching terlihat
sungguh-sungguh dan sikap khasatria.
“Kita semua hanya menurut apa
yang Liok lopeh rasa baik.” Kata Lou ping seraya memandang Bun thay tay, yang
mengangguk setuju pula.
Hwi Ching angsurkan sepucuk
surat pada Lau Ping. Diatas sampulnya tertulis kata-kata : “dihaturkan yang
terhormat Thiat tan Cang ciu Ciu liong Ing lo enghiong.”
Membaca itu giranglah hi Lou
ping, terus menanyakan hubungan Hwi Ching dengan orang she Ciu tersebut. Belum
sempat Hwi Ching menjawab, berserulah Bun Thay lay : “Ciu long tiong yang
manakah itu?”
“Ciu Tiong Ing,” sahut
isterinya
“Adakah dia tinggal di daerah
ini?” tanya Thay lay pula
“Lohu dengan Ciau Lo-enghiong
belum pernah berjumpa, namun kita sama-sama mengenal nama masing-masing. Dia
adlah seorang gagah yang benar-benar bersifat jantan dan tinggi budi
pekertinya, dia tinggal didesa Thay tan Ching dua puluh lie dari sini. Maksudku
agar Bun Thay lay sementara ini beristirahat dulu kesitu, sembari kita suruh
menyampaikan berita pada kawan-kawan laute untuk selekasnya datang menjemput
laote,” kata Hwi Ching.
“Entah bagaiamna pendapat Bun
laote,” menegasi Hwi Ching ketika tampak muka orang menunjukkan kesangsian.
“jalan yaang locianpwe
tunjukkan itu, memang paling baik. Hanya saja diri siautit ini seumpama orang
yang mendukung lautan darah. Kalau Kian Liong Lojin belum menyaksikan kematian
Siautit, rasanya dia takkan makan tidur dengan enak. Ciu Lo enghiong telah lama
kita kenal namanya. Dia adalah pemimpin dari kalangan loklim daerah barat
utara. Kejujurannya tak dapat disangsikan lagi. Maka meskipun dengan kaum kita,
dia belum mengenalnya, tapi tentu akan menerima siautit dengan tangan terbuka.
Hanya saja, coba locianpwe pikir, bukankah dengan begitu dia akan
tersangkut-sangkut. Dia yang sudah aman dan tentram bertempat tinggal di daerah
sini, bukankah artinya kita akan mencelakakannya, jika sampai berurusan dengan
pembesar negeri?”
“harap Bun laote jangan
berpikiran begitu.” Sahut Hwi Ching
“Kita kaum persilatan hanya
menjunjung “CI” kebajikan. Untuk kepentingan sahabat, rela pula kita korbankan
jiwa, apalagi hanya harta benda. Kalau saja Lo-To enghiong kelak mengetahui
kita mendapat kesukaran disini dan tidak pergi kepadanya, bukankah sebaliknya
dia akan marah karena merasa dipandang rendah?”
“Selembar jiwa siutit ini
memang sudah kusediakan, biarlah kawanan kuku garuda itu mengambilnya,” masih
Bun Thay lay coba membantah. Locianpwe mungkin tak mengetahui “Dosa” yang
ditumpahkan pada siutit itu keliwat besar sekali. Makin orang itu sahabat karib
kita, makin kita tak mau merembet-rembetkan.”
“Baiklah, kini kusebutkan
seorang tentunya kau mengenalnya” kata Hwi Ching pula “Thay Kok lay yang
bernama Thio poa san itu pernah apa dengan mute?”
“Itulah sam-tong ke ketua
ketiga dari perkumpulan kita!: seru Thay Lay.
“Bagus. Memang apa yang
dikerjakan oleh orang-orang Hong Hwa Hwee, tidak kuketahui. Tapi nyata saja,
Thio Poa san hiante kawanan sehidup semati. Ketika zaman perjuangan antara
hidup dan mati dari Cu Liong Pang, kita berjuang bahu membahu melebihi saudara
sekandung. Kalau dia adalah salah seorang dari Hong Hwa Hwee, pastilah tujuan
perkumpulan itu mulia adanya, kau paling banyak hanya membunuh bangsa pembesar
saja. Ah, bukankah hari ini aku telah membunuh dua orang pembesar juga!”
Habis berkat itu Hwi Ching
menyepakkan kakinya ke mayat Pang Hwi.
“kalau diomongkan, urusan
siutit ini panjang sekali, kelak kalau siutit masih diberkahi bisa berjumpa
dengan Locianpwe lagi, pasti akan siutit ceritakan. Kali ini Kian Liong loji
telah mengirim delapan orang siwi kelas satu untuk menangkap kami suami isteri.
Di Ciucwan kami bertempur, dan siutit telah terluka parah. Berunyung titlimu
keponakan perempuan, dapat membinasakan dua orang musuh dengan huitonya, hingga
kami dapat lolos kemari. Tapi tak kusangka Pemimpin Ci-lim kun pengawal istana,
Thio Ciauw Cong juga datang kesini. Sekalipun siutit binasa, Kian Liang masih
takkan puas, selama masih belum mencapai maksudnya.”
Dari ucapan itu Hwi Ching
dapat menduga bahwa thay lay ini tentulah orang yang mengetahui sekitar rahasia
Kaisar Cang Tiauw itu. Karena kalau tidak begitu, masakan Kian Liong begitu
bernafsu sekali untuk menangkapnya.
Kagum juga hati Hwi Ching atas
sikap jantan dari orang she Bun itu, yang sekalipun dalam kesukatan besar,
masih tak mau membuat orang lain terlibat. Diam-diam Hwi Ching akan gunakan
siasat gertak, untuk memaksanya agat mau menyingkir ke Thiat tan Chung, katanya
:
“Bun laote kau tak mau
menyeret orang lain itu bagus. Behitulah sifat seorang satria, hanya saja aku
merasa sayang.
“Apa yang locianpwe sayangkan
itu? Buru-buru Bun Thay-tay bertanya.
“kau tak mau menyingkir,
apakah kau kira kita bertiga tega untuk tinggalkan kau? Bahkan aku hendak
memuji mereka serta memperkecil kekuatan kita, tapi yang nyata, dengan ikut
sertanya suteku itu, pasti bukan lawannya isterimu. Dan hengtemu meskipun aku
seorang tua yang bodoh, namun tak mau korban kan jiwaku, kalau kita bertiga
jatuh siapakah yang membawamu lari? Bagi seorang tua yang sudah hidup senam
puluh tahun seperti aku ini, mati tak perlu disayangkan. Tapi bagaimna dengan
Lou ping, sutitku yang menjadi istrimu itu? Hanya karena menurut sikapmu untuk
menunjukkkan kejantananmu itu, haruskan turut binasa sampai disini saja.
Keringat dingin membasahi
kepala Boan Thay Lay mendengar kata-kata jago tua itu, kata-kata itu menusuk
kehati, tapi memang benar tak dapat dibantahkan.
Melihat keadaan suaminya
buru-buru Lou ping mengeluarkan sapu tangan untuk mempesut keningnya, sembari
memegang sebelah tangana suaminya yang terluka aitu.
Sejak berumur lima belas tahun
Bun Thay lay sudah mulai berkelana dikalangan kangouw, sungai telaga. Selama
itu entah sudah berapa banyaak pembesar bangpak dan orang jahat yang
dibasminya. Tapi kini tangan ampuh itu serasa lemah lunglai, sewaktu berada
ddalam genggaman tangan isterinya yang halus itu, seketika berkatalah ia denga
patuhnya.
“Nasihat locianpwe itu memanng
benar, tadi siautit khilaf, selanjutnya terserah saja bagaimna locianpwe akan
mengaturnya.
Hwi ching mengunjukkan surat
yang akan diserahkan pada Ciu Cong Ing nanti. Disitu hanya dinyatakan ada
beberapa sahabat dari Hong Hwa Hwee yang akan minta berteduh dengan tak
menyebut nama Bun thay-lay dan kawan-kawannya.
Menyambuti surat itu, Bun Thay
lay lalu menghela napas, lalu berkata :
“Dengan kedatangan kita ke
Thiat tan chung ini, berarti Hon Hwa Hwee tambah seorang injin penolong lagi.
Kiranya ada sesuatu
anggar-anggar dalam Honh Hwa Hwee yang menyatakan bahwa, budi tentu dibalas,
sakit hati tentu dihimpas. Barang siapa yang melepas budi pada Hong Hwa Hwee
biar bagaimana juga tentu akan dibalas sampai akhir. Tapi celakalah bagi mereka
yang memusuhinya. Besar atau kecil, setiap dendam tentu akan diperhitungkan.
Karena itulah, orang-orang Tin
Wan piauwkok menjadi tergetar hatinya, sewaktu mengetahui dengan siapa mereka
berhadapan.
Atas pertanyaan Hwi Ching
siapa yang disuruh memberi warta pada Hong Hwa Hwee pusat, menjawablah Hi Tong.
“Dari tiga tempat dalam setiap
tiga daerah kita mempunyai dua belas orang Ceng dan Hohiangcu ketua dan wakil
ketua selagi Bun Sutongkeh dan Lou cap it tongkeh yang berada disini. Semua
hiangcu sudah berkumpul di Anse. Mereka akan menganjurkan Sao-tocu untuk segera
mengambil alih tampuk pimpinan. Dengan alasan masih muda kurang pengalaman,
saotocu tentu akan menolak dan meminta agar Hi tong ke Bu Tim totianglah yang
memegang pimpinan. Bu tim totiang juga dengan tegas menolaknya, sehingga mereka
kini masih berdebat disana. Tinggal menunggu kedatangan Bun Sutongkeh dan Lou
cap it tongkeh, pemilihan ketua umum itu akan segera dilangsungkan. Tak
dinyana, kalau kedua tongke ini terlibat kesulitan disini. Jadi sebenarnya para
hiangcu itu tengah mengharap kedatangan kedua Tongkeh ini.
Hi tong berhenti sejenak dan
berpaling pada Bun tahy lay, sambil berkata :
“sebenarnya aku diutus oleh
Saotocu ke Lok yang untuk menjelaskan kesalah pahaman ini kepada ahli waris
keluarganyaBan. Tapi berhubung tak ada orang lain, biarlah aku saja yang pergi
ke Anse untuk menyampaikan warta. Bagaimana pendapat Suko?”
Dalam Hong Hwa Hwee
kedudukannya jauh lebih rendah dari Bun Thay lay, setiap persoalan dia harus
tunduk kepada yang lebih tingkatannya.
Tapi sewaktu Bun Thay lay
belum sempat membuka mulut, Hwi Ching telah mendahului berkata :
“Menurut pendapatku, kamu
bertiga sebaliknya lekas-lekas berangkat ke Thiat Tan Chung, setelah itu, Le
Hiantit cepat menuju Lok-Yang . urusan memberi kabar ke Anse serahkan sajaa
padaku. Kini waktu sangat singkat dan mendesak, harap kalian segera berangkat
sekarang!”
Bun thay-lay menurut saja.
Dari dalam sakunya, dia mengeluarkan setangkai bungai sulaman warna merah
Honghwa terus diserahkan pada Hwi Ching, katanya:
“Locianpwe, setiba di Anse kau
pakailah bunga ini, tentu bakal aada orang yang akan mengantarkan locianpwe
nanti.”
Lou ping lalu membantu
suaminya bangun sementaraa Hi Tong meletakkan kedua mayat itu ditempat tidur
kemudian ditutupi dengan selimut, sedang Hwi Ching segera bertindak keluar
terus melarikan kudanya menuju ke barat. Karena tak keburu mencegah, pelayan
hanya mengawasi dengan melongo saja.
Dengan Hi Tong sebagai pembuka
jalan Lou Ping menyambar sebatang Palang pintu yang digenggamnya disebelah
tangan, sedang sebelah tangannya yang lain memegang suaminya keluar dari kamar.
Hi Tong lemparkan uang perak lima tail kearah meja pengurus hotel, lalu berseru
:
“Inilah uang kamar dan makan
kami. Dan dalam kamar ada benda yang sangat berharga sekali. Awas kalau kalian
sampai berani mengambilnya.
Si pengurus hotel tersipu
mengiayakan sedang pelayan mempersiapkan kuda, tangannya sampai gemetaran.
Tak berapa lama setelah tiga
orang Hong Hwa Hwee itu berlalu, muncullah Wan Ci sehabis menipu Ciauw Cong
dengan buntalan palsu tadi.
Baru saja ia melangkah masuk
pintu hotel, dilihatnya seorang penunggang kuda keluar dari hotel itu, orang
itu tentulah piawsudari Tin Wan Piauw kok Tong Siu Ho, Wan Ci terus saj
bertukar pakaian, lalu mengawani Li Thay-thay.
Sementara itu Le Hi Tong
bertiga dengan kencangnya melarikan kudanya menuju ke Thiat Tan Chung. Ketika
bertanya pada seseorang penduduk, barulah diketahui bahwa tempat tujuan itu
sudah tak berapa jauh lagi. Diam-diam Lou Ping terhibur hatinya, sekali meneduh
ke Thiat Tan Chung jiwa suaminya pasti tertolong.
Thiat tan Ciu-Tiong Ing
namanya harum di dunia persilatan. Di daerah barat utara, baik golongan hitam
maupun golongan putih, sama turuti perindahan, sedikitnya orang akan sungkan
menggeledah rumahnya, apalagi kalau bala bantuan Hong Hwa Hwee sudah datang,
sekalipun kawanan kuku garuda berjumlah besar, pasti dapat dilayani.
Selagi Lou Ping bergembira
dengan renungannya dari arah muka tampak tiga penunggang kuda mendatangi. Yang
dua ternyata muda-muda, tapi seorang sudah berjenggot putih, wajahnya kemerah-merahan
dan membawa sepasang Toa thiat tan semacam gempolan.
Di persimpangan, orang tua
gagah itu melepaskan pendangannya kearah Bun Thay lay dengan rupa heran. Tapi
karena kuda itu berlari cepat, maka sebentar saja mereka sudah terpisah jauh
satu dengan lain.
“Suku-susa, orang itu tadi
mungkin Thiat tan ciu tiong-ing! Tiba-tiba Hi Tong berseru.
“Bagaimna kau bisa
mengetahuinya?” tanya Lou Ping
“Bukankah dia membawa senjata
sepasang Thiat-tan tadi?”
“Sepertinya memang dia
orangnya, Bun Thay lay menyelak. Tapi kita belum pernah berjumpa dan dia
agaknya terburu-buru mungkin ada urusan penting. Menghadang dan menanyakan nama
orang ditengah jalan, kurang pantas. Kita terus saja pergi ke Thiat tan chung
dulu!”
Sekejap saja sampailah mereka
ke Thiat Tan chung. Ternyata desa itu sekelilingnya dilingkari sebuah sungai
kecil yang pada kedua tepinya ditumbuhi pohon itu. Diluar desa terdapat sebuah
benteng disitu terpampang sebuah jembatan gantung. Kesemuanya menambah
keangkeran desa tersebut.
Cong teng cepat menyambut
mereka dan mempersilakan masuk ke dalam, sesaat kemudian keluar seorang muda
yang kalu ditilik sikapnya seperti pengurus rumah tangga itu. Dia
memperkenalkan dirinya sebagai she Song nama San Beng.
Sewaktu diketahui bahwa ketiga
tetamunya itu adalah orang-orang penting dari Hong Hwa Hwee San Beng agak
terperanjat. Katanya :
“Kudengar perkumpulan Jiwi itu
berkedudukan di Cang-lam dan jarang sekali bergerak ke daerah ini. Entah samwi
ada keperluan apa hendak menemui lochungcu, sayang lochungcu kita sedang pergi.
Sengaja pengurus rumah itu
berlaku demikian tawar karena dia menyaksikan kedatangan ketiga tetamunya itu,
karena setahunya majikannya tak ada hubungan dengan perserikatan Hong Hwa Hwee.
Mendengar orang yang dicari
tak dirumah sedang sikap yang menyambut ia itu tak begitu mengasih Bun tahy lay
tak mau mengunjukkan surat dari Hwi Ching. Dan sedianya dia akan berlalu dari
situ, katanya :
“Karena Ciu Loenghiong tak
dirumah, kitapun akan kembali saja sebenarnya kita pun tak ada urusan penting
dan hanya sekedar akan mengunjungi Ciu loenghiong yang namnya sudah lama kami
dengar itu.”
Melihat orang itu sudah
bangkit dari kursinya buru-buru San Beng mencegahnya.
“Harap tuan jangan
tergesa-gesa dulu, tunggu setelah hidangan sekedarnya:”
Segera San Beng memerintahkan
seorang congceng untuk menyiapkan daharan.
“Mohon dengan sangat samwi
suka beristirahat sebentar lagi karena kalau samwi diketahui loenghiong tentu
aku dimarahi tak mau menjamu yang terhormat,” demikian kata San Beng ketika
dilihatnya Bun Thay-lay menolak dan sudah akan berlalu.
Berbarenan pada saat itu,
keluarlah conceng dengan embawa senampan “daharan” terdiri dari dua buah
kantong masing-masing terisi tiga puluh tail perak.
“Bun-nya harap kau tak
menampik barang yang tak berharga ini. Dari tempat yang begitu jauh samwi
berkunjung kemari,” sungguh menyesal kami tak dapat memberi pelayanan yang
memuaskan, maka haraplah suka terima ini sekedar ongkos perjalanan nanti, “
demikian kata San Beng.
Mendengar itu, hampir
meledaklah dada Bun Thay-lay karena gusarnya. Dia merasa terhina karena dikira
akan minta bantuan ongkos, selama dia merantau di kangouw orang selalu minta
bantuan kepadanya dan tak pernah dia minta pertolongan orang.
Melihat wajah suaminya
berubah, buru-buru Lou Ping menjawil tangan suaminya, memberi tanda agar jangan
umbar kemarahan. Bun Thay-lay dapat menguasai perasaannya, ia mengambil
potongan perak itu dan berkata :
“Kita datang kemari bukan
hendak minta bantuan ongkos, ong-pengyu terlalu memandang rendah orang.”
Buru-buru san Beng mengucap
kata-kata merendah. Tapi dalam hatinya dia tersenyum, melihat ucapan sang tamu
yang minta bantuan, tapi ternyata mengambil kantong uang. Dia tahu juga akan
kebesaran nama dari Hong Hwa Hwe maka kali ini uang pemberiannya itu, luar
biasa besarnya.
“terima kasih, kita minta
diri,” Kta Bun Thay-lay seraya menaroh kembali kantong uang kedalam nampan.
Bukan main terkejutnya san
Beng ketika melihat bagaimana uang perak itu telah berubah menjadi semacam kue
perak, insyaflah ia kan kehilagfannya melihat orang, jika saja sampai mencari
urusan. Cepat ia panggil seorang congteng dan disuruhnya lapor pada Toa naynay
nyonya besar didalam sedang ia sendiri terus mengantar sang tamu keluar dengan
tak putus-putusnya meurkan maaf.
Setelah ketiganya naik lagi
keatas kudanya, Lou Ping mengeluarkan eceran emas kira-kira sepuluh tail
ternyata untuk diberikan pada ketiga congteng yang telah mempersiapkan kudanya
itu.
“Bikin repot saja. Inilah
sekedar untuk samwi minum arak! Demikian kata Lou ping dengan sewajarnya.
Sepuluh tail eceran jauh lebih
besar jumlahnya dari pemberian San Beng tadi. Congteng itu keima, sekalipun
seumur hidupnya ia menghemat belanjanya, tak nanti dapat berjumlah sekian
banyak. Emas ditangannya, masih saja ia tak percaya pada dirinya. Sehingga
iapun lupa urkan terima kasih kepada yang memberi, sedang Lou ping hanya
tertawa saja, terus menaiki kudanya.
Melihat wajah suaminya
berubah, buru-buru Lou Ping menjawil tangan suaminya, memberi tanda agar jangan
umbar kemarahan. Bun Thay-lay dapat menguasai perasaannya, ia mengambil
potongan perak itu dan berkata :
“Kita datang kemari bukan
hendak minta bantuan ongkos, ong-pengyu terlalu memandang rendah orang.”
Buru-buru san Beng mengucap
kata-kata merendah. Tapi dalam hatinya dia tersenyum, melihat ucapan sang tamu
yang minta bantuan, tapi ternyata mengambil kantong uang. Dia tahu juga akan
kebesaran nama dari Hong Hwa Hwe maka kali ini uang pemberiannya itu, luar
biasa besarnya.
“terima kasih, kita minta
diri,” Kta Bun Thay-lay seraya menaroh kembali kantong uang kedalam nampan.
Bukan main terkejutnya san
Beng ketika melihat bagaimana uang perak itu telah berubah menjadi semacam kue
perak, insyaflah ia kan kehilagfannya melihat orang, jika saja sampai mencari
urusan. Cepat ia panggil seorang congteng dan disuruhnya lapor pada Toa naynay
nyonya besar didalam sedang ia sendiri terus mengantar sang tamu keluar dengan
tak putus-putusnya meurkan maaf.
Setelah ketiganya naik lagi
keatas kudanya, Lou Ping mengeluarkan eceran emas kira-kira sepuluh tail
ternyata untuk diberikan pada ketiga congteng yang telah mempersiapkan kudanya
itu.
“Bikin repot saja. Inilah
sekedar untuk samwi minum arak! Demikian kata Lou ping dengan sewajarnya.
Sepuluh tail eceran jauh lebih
besar jumlahnya dari pemberian San Beng tadi. Congteng itu keima, sekalipun
seumur hidupnya ia menghemat belanjanya, tak nanti dapat berjumlah sekian
banyak. Emas ditangannya, masih saja ia tak percaya pada dirinya. Sehingga
iapun lupa urkan terima kasih kepada yang memberi, sedang Lou ping hanya
tertawa saja, terus menaiki kudanya.
Tak lama Lou Ping lahir,
ibunya kemudian meninggal. Ayahnya Sin To, si golok sakti, Lou Gwan Thong
adalah seorang begal tunggal, seorang diri, ia menyatroni pembesar-pembesar
rakus.
Pernah pada suatu malam, dia
gedor rumah pembesar Ceng hingga namanya menggetarkan seluruh sungai telaga.
Setiap akan bekerja, lebih
dahulu dia selidiki keadan pembesar itu kejahatannya dan kerakusannya, sekali
turun tangan, hasilnya tentu memuaskan. Terhadap putrinya yang tunggal itu, dia
sangat sayang seperti mustika, sebenarnya dia berwatak kasar tapi karena
kecintaannya sedimikian besar, terpaksa Lou Gwan Thong, yang seperti air saja.
Mudah membuang mudah mencari. Karena itulah maka Lou Ping terdidik dengan
kebiasan gampang mengeluarkan uang untuk disedekahkan. Dalam kebebasan memakai
uang, mungkin putra-putri bangsawan tak akan dapat menyamai dengan putri dar
Raja begal itu.
Ciri khas Lou Ping, ialah
sejak kecil ia suka tertwa, apabila sedikit saja mendengar hal-hal yang lucu ia
akan tertawa terus hingga setengah harian. Justeru sifat-sifat itulah yang
menyenangkan hati setiap orang. Sekalipun sudah menikah dengan Bun Thay lay
tetap saja tak berubah. Bun thay lay lebih tua sepuluh tahun dari isterinya.
Adatnya kaku dan keras, selain pemimpin kaum Hong Hwa Hwe Le Ban Thing,
isterinyalah orang kedua yang dia mau dengar kata-katanya.
Maka seperti ditampar mukanya,
merah padamlah wajah San Beng melihat cara tamu perempuannya itu memberikan
hadiah. Ketika Bun Thay lay bertiga akan melarikan kudanya, tiba-tiba
terdengarlah bunyi lonceng bertalu-talu. Menyusul dengan itu, datanglah seorang
penunggang kuda dengan bergegas-gegas. Begitu loncat turun orang itu memberi
hormat pada Bun Thay lay katanya :
“Ternyata samwi benar-benar
datang ke Thiat tan chung, mari silakan masuk kedalam.”
“Tadi kami sudah banyak
merepotkan, lain hari saja kami berkunjung lagi.” Jawab Bun thay lay karena
heran atas sikap orang itu.
“Tadi sewaktu bertemu dijalan,
Locungchu mengatakan samwi pasti akan berkunjung ke Thiat Tan chung, malah saat
itu juga sebenarnya lochungcu sudah akan kembali pulang. Tapi karena ia sedang
mempunyai urusan yang sangat penting, maka disuruhnya siaute pulang dulu untuk
menyambut samwi. Lochungcu paling suka bergaul dengan para sahabat, dia cukup
mengetahui, bahwa samwi adalah enghiong-enghiong yang terhormat. Dia pesan,
biar bagaimna juga malam nanti tentu akan pulang dan memintanya agar samwi suka
beristirahat dulu disini. Juga Lochungcu menyampaikan maafnya, karena terpaksa
tak dapat menyambutnya sendiri, demikian kata orang itu dengan ramahnya.
Nampak bahwa orang itu,
betul-betul salah seorang dari ketiga penunggang kuda yang dijumpai tadi,
apalagi ucapannya sangat sungguh-sungguh, redalah kemarahan Bun Thay-lay.
Orang itu bernama Beng Kian
Hiong, teucu murid pertama dari Thiat tan Cu Tiong ing. Dengan laku hormat
sekali, ia segera memimpin ketiga tamunya masuk. Sedang San Beng hanya
mengawasi saja dengan perasaan tak enak.
Ketika sudah berduaan dan
menghidangkan teh. Seorang congteng berbisik kedekat telinga Kian Hiong, lalu
bangkit dan berkata :
“Sunio isteri suhu mengundang
Li henghiong ini untuk beristirahat keruangan dalam.”
Dengan diantar oleh cengteng,
Lou Ping masuk kedalam disambut oleh seorang bujang perempuan.
“Astaga, ada tetamu kita tak
menyambutnya” tiba-tiba seru dari arah muka.
Menyusul kemudian keluar
seorang wanita kira-kira berumur empat puluh tahun, lantas kemudian membimbing
tangan Lao Ping, sambil berkata dengan ramahnya.
“Tadi orangku mengatakan ada
tetamu dari Hong Hwa Hwe berkunjung kemari dan hanya sebentar saja lalu pergi,
sungguh aku menyesal, syukur kalian datang kembali. Hayo, tinggallah disini Habis
itu ia berpaling pada pelayannya dan berkata pula, Nyonya ini sungguh cantik
sekali bukan? Sampai siocianya kita semuanya ini ia tak bisa menempil dengan
dia.
Diam-diam Lou Ping berpikir
bahwa nyonya itu sungguh ceriwis, tapi sangat ramah, maka iapun menjawabnya :
“Toanay-nay ini, bagaimana
kuharus menjemputnya, saomay sendiri orang she Lou, kemudian menjadi anggota
keluarga she Bun.
Atas pertanyaan itu menyahuti
seoraang dayang. Inilah nyonya majikan kami.
Kiranya wanita itu adalah
isteri kedua dari Chiu Tiong Ing. Isteri Ciu Tiong Ing yang pertama telah
meninggal dan tinggalkan dua orang putera. Tapi putera-puteranya karena ada
perselisihan dalam kalangan kangouw, mereka juga telah meninggal. Isteri yang sekarang
ini memberikan Liong Ing seorang puteri. Ciu Ki namanya, kini sudah berusia
delapan belas tahun. Ciu Ki ini mewarisi adata ayahnya, suka membikin onar
diluaran. Urusan penting yang membuat Tiong Ing begitu terburu-buru juga karena
soal puterinya itu yang telah melukai orang. Maka Tiong Ing perlu untuk meminta
maaf.
Nay-nay itu karena hanya
mempunyai seorang puteri, tampaknya masih berduka. Mungkin Ciu Tiong yang sudah
lanjut usianya itu, takkan mempunyai keturunan putra lelaki lagi tapi dugaan
itu meleset. Dalam usia lima puluh empat tahun ternyata Tiong Ing masih
diberkahi seorang putera. Dapat dibayangkan bagaimna girangnya hati sepasang
suami isteri yang sudah mendekati tua itu.
Begitulah setelah semuanya
duduk, nyonya rumah lantas suruh Pelayan pergi memanggil sang putra. Tak selang
beberapa lama, keluar lah seorang anal lelaki yang berwajah bersih dengan
sepasang mata yang bundar bening, sedang gerakkannya lincah sekali
Lou Ping percaya bahwa anak
itu tentunya sudah mendapat didikan silat selama beberapa tahun. Begitu
menampak Lou Ping anak itu segera memberi hormat.
“Tahun ini aku berumur sepuluh
tahun dan namaku Ciu Ing Kiat,” sahut anak itu atas pertanyaan Lou Ping.
Lou ping meloloskan sebuah
mainan mutiara dari gelangnya diberikan pada Ing Kiat, katanya :
“Menyesal aku tak membawa
varang apa-ap, mainan mutiara ini kau pakailah diatas kopiahmu.
Melihat Mutiara itu sangat
besar, tentu berharga mahal sekali maka buru-buru Teonaynay suruh puteranya
mengahaturkan terima kasih. Justeru pada saat itu tiba-tiba seorang dayang
bergegas-gegas masuk sambil berseru :
“Bun Naynay, Bun-ya tak
sadarkan diri harap kau lekas menengoknya!”
Toanynay buru-buru perintahkan
or
Angnya untuk memanggil sinshe
sedangkan Lou Ping terus mengikuti dayang itu keluar.
Kiranya luka yang diderita Bun
Thay-lay itu sangan berat. Tadi karena gusar dia gunakan tenaganya untuk
memijat gepeng uang perak. Kala itu dia tidak merasa apa-apa tapi kini rasa
sakit mulai menyerang dengan hebat dan pingsanlah dia. Namun wajah suaminya
pucat tak berdarah menjeritlah Lou Ping. Kira-kira setengah jm lagi, barulah
Bun Thay-lay dapat membuka matanya.
Beng Kian Hiong cepat
memerintah Congteng naik kuda untuk memanggil sinse, setelah itu agar
memberikann kabar pada Locongchu, bahwa tetamunya itu sudah berada di rumah.
Sembari memberikan pesanan itu, Kian Hiong mengikuti samapai dimuka pintu
gerbang desa. Baru setelah Congteng itu lenyap dengan kudanya, dia merasa lega
hatinya. Tapi ketika dia hendak masuk ke rumah lagi, tiba-tiba dilihatnya dibalik
pohon, nampak ada sebuah bayangan berkelebat. Mungkin orang itu mengira bahwa
penghuni rumah telah mengetahui tempat persembunyiannya itu.
Kian Hiong berlaku tenang
saja, terus berjalan masuk. Tetapi secepatnya dia menuju kebelakang rumah, lalu
buru-buru lari keatas paseban untuk melihat pemandangan. Dari situ dia
mengawasi kearah pohon itu tadi. Tampaklah saat itu orang yang berada dibalik
pohon itu, kelihatan berendap-endap bertindak keluar. Ternyata orang itu
mondar-mandir diluar halaman pedesaan itu. Orang itu memiliki badan sangat
kurus. Melihat sikapnya yang takut diketahui orang, nyatalah bukan orang
baik-baik.
Buru-buru Kian Hiong turun
dari paseban itu, lalu mendapatkan Cu Ing Kiat. Kelihtan ia membisiki beberapa
patah kata pada anak itu. Ia pun berualng-ulang mengucapkan, bagus ......
bagus...... bagus sambil mengikuti dibelakang Kian Hiong.
Ketika Kian Hiong dan Ing Kiat
berada diluar desa, berkatalah Jian Liong dengan tertawa, Baiklah, sudara
cilik, aku takut padamu, jangan kejar lagi.
Sambil berkata begitu Kian
Hiong terus lari dan diburu Ing Kiat dengan teriakan yang keras.
“Ha, kau lari kemana? Mau nakal
urik Ya! Hati-hati kutampar kepalamu nanti? Kata Ing Kiat.
Kian hiong mengeluarkan
gerak-gerak untuk menggoda, sementara Ing Kiat terus mengejarnya, tingkh mereka
seperti anak-anak sedang mainpetak umpat. Kian Hiong lari menuju ketempat
persembunyian orang itu, hampir saja ia jingkrk karena terkejut. Orang itu
pura-pura kesasar jalan dan lekas-lekas tampakkan diri sambil bertanya :
“He, sahabat, dimana jalan ke
Sam To Kao ya ?”
Kian Hiong tak ambil perduli
terus menerjang orang itu hingga sampai terhuyung-huyung tiga empat tindah.
Karuan saja orang itu gusar dan membentak : “He, dimana matamu?”
Kiranya orang itu bukan lain
ialah piauwsu dari Tin Wan Piauwkok. Tong siu Ho. Rupanya ia masih terkenang
akan suara tertawa Lou Ping yang merdu itu. Sekalipun pernah mendapat pelajaran
dari Bun Thay-lay bertiga keluar dari hotel, dia segera menguntitnya dengan
diam-diam dari kejauhan. Iapun melihat, bagaimana Bun masuk ke Thiat tan chung,
sebentar sudah keluar dan lalu masuk lagi terus tak kembali keluar lagi.
Dia mengambil keputusan untuk
menyelidikinya, baru nanti pulang melaporkan. Dia tak mau lagi sebagai orang
yang tahu makan tak tahu kerja, selagi dia tengah melakukan pengintipan itu,
tiba-tiba dipergoki dan diseruduk oleh Kian Hiong. Serudukan itu sebenarnya
tidak berarti apa-apa baginya tapi dia orangnya licik. Dia tahu bahwa orang
akan menjajaki dirinya, karena itu dia pura-pura berlaku seperti orang tak
mengenal ilmu silat. Begitu sempoyongan kebelakang dia terus jatuhkan diri
berusaha bangun dengan susah payah kelihatannya.
Buru-buru Kian Hiong haturkan
maaf dan katanya
“Aku dengan saudara kecil ini
sedang bergurau main-main, dan tak sengaja telah menyeruduk jatuh tuan, tidak
sampai sakit bukan?”
"Tanganku yang sebelah
ini sakit sekali, aduh? Siu Ho mainkan Holanya"
Melihat itu buru-buru Kian
Hiong tarik lengan Siu-ho diiajak masuk untuk diberi obat. Dengan tetap
berpura-pura untuk kesakitan, siu bo ma¬suk kedalam desa itu.
Kian Hiong bawa siu-bo
kesebuah ruangan di sebelah timur. Habis itu lantas ia tanya orang-orang.
“Tuan akan pergi ke sam
to-kauw. mangapa me¬lalui sini?"
"Benar, memang aku hendak
mengatakan tentang itu. Tadi seorang pengembala kambing menunyukkan aku jalan
kesini nanti tentu ku¬hajar bangsat itu, sahut Siu ho
“Hola, sudahlah. Harap
singkapkan bajumu biar kuperiksa apa kau luka tidak! ujar Kiang-Hiong
Sampai disini, siu ho menyadi
kerupukan. dia tahu dengan alasan memeriksa luka, orang akan menggeledah
badannya Apa boleh buat ia kasihkan dirinya, syukur sebuah badi-badi yang
dise¬lipkan didalam kaus kakinya, tak sampai ketahuan.
Begitulah setelah diperiksa
ternyata tak ada apa apa. maka siu-ho dilepaskannya pulang selagi berada dalam
desa itu. Tong siu ho pasang mata untuk menoari jejak ou-ping, tapi ternya¬ta tak
dapat di ketahuinya!
Sahabat, kau tahu disini
temnpat apa? Tiba-tiba Kian-hiong bertanya karena curiga atas sikap orang yaug
jelilitan itu.
“Kalau ini Tang hui bio nama
kelenteng mengapa tak ada posatnya?” sahut siu ho berlagak pilon.
Setelah mengantar sampai ke
jembatan gantung berserulah Kian Hong kemudian, sahabat kalau ada waktu
datanglah kembali!"
Ketika itu Kuatkah Siu Ho
menahan perasaannya kembali mulutnya yang kotor itu membual pula, katanya
sungguh sial, seorang keponakanku yang baru saja belajar jadi tabib, sedikit
sedikit sudah suka buka baju dan periksa orang,
Mendengar ocehan yang tak
karuan artinya itu, Kian Hiong melengak. Dia merasa bahwa orang itu dengan tak
langsung memaki dirinya dengan tertawa-tawa dia gaplok pundak orang terus masuk
kembali. Digaplok begitu, tulang Siu Ho rasanya seperti lepas, Tak
putus-putusnya dia memaki panyang pendek, terus mcnyeplak kudanya pulang
kehotel.
Di hotel kelihatan Thio Ciauw
Cong, Go Kok Tong dan beberapa piauwsu sedang asik berun¬ding, disamping itu
masih ada tujuh atau dela¬pan orang yang Siu Ho belum kenal. Rupanya mereka
tengah menduga-duga kemana larinya Bun thay lay cs dan siapa orang tua yang
membunuh Hao lun Lim dan Pang Hwi itu.
Dengan bangga Siu ho ceritakan
hasil penyelidikannya tadi, suduh tentu bagian dimana ia dipale oleh Kian Hiong
itu. dilewatkan. Merdengar itu Ciouw Cong girang sekali.
"Lekas kita kesana,
Tong-toate harap kau tunyukkan jalan.”
Biasanya Ciauw Bong hanya
memanggil lotong, Tong tua, tapi kini, karena gembira, ia menyebut, laote.
Dengan bangga Siu-Ho melu¬luskannya.
Tangan Kok tong yang patah
itu. sudah di sambung oleh sinshe. Dia segera kenalkan Siu-ho pada kawan-kawan
baru itu. Mendengar nama-nama mereka bercekatlah siu ho dalam ha¬tinya, Kiranya
mareka adalah jaga jago tersohor dari kalangan peisilatan.
Orang yang memakai jubah
kuning itu, ialah si bin si wi Swi Tay lim, sedangkan lain lainnya ialah Cong
houw tauw dari The Lin onghu Pan Ging Lan cong-Teng dari kota raja seng-bing.
Ahli waris dari Gan keh pang di Holam. Gan Pek Kian dan beberapa kepala polisi
yang kenamaan dari Thiancin dan Paoting
Untuk menangkap Bun Tbay Lay,
para ahli Silat kenamaan bangsa boan munpun Han dan daerah utara sama berkumpul
dideaa sekecil se¬perti Sam tao hauw itu Dengan bersiap-siap rombongan
jago-jago kuku garuda itu menuju ke Thiat tan-cung.
Kini kita ganti menengok
keadaan Liok Hwi-ching Dengan menempuh hujan salju, besar, dia larikan kudanya
kearah barat. Melalui puncak gunung tersebut dia dapatkan bekas bekas darah dan
pertempuran orarg orang Wi dengan orang-orang dari piauwkok kemarin itu, sudah
hilang disapu hujan.
Dalam sekejap saja dia sudah
menempuh empat atau lima puluh li dan sampailah kesebuah pasar kecil, Karena
kudanya kelihatan sudah kelihatan lelah maka dengan pelan pelan masuklah dia
kesitu. Sebenarnya hari belum terlalu gelap, dapatlah ia meneruskan perjalanan
lagi, tapi ternyata kudanya mengeluarkan busa dan mulutnya, napas¬nya
kemas-kemis, tiba-tiba diujungdua ekor kuda teugah melongok kesana-kesini
seperti tengah menanti seseorang. Melihat kedua ekor kuda itu badannya tinggi
dan besar besar, bulunya mengkilap, timbulah. rasa kepingin dalam hati Hwi
Ching. segera ia menghampiri orang itu. adakah kuda itu dijualnya. Orang Wi
tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya. Dari kantong kejunya Hwi-ching merogoh
keluar uang kira-kira empat puluh tail, Namun orang Wi itu tetap
menggeleng-gelengkan, kepalanya, Hwi Ching penasaran, ditumplaknya seluruh isi
kantongnya yang ternyata berisi enam atau tujuh keping perak terus diangsurkau
semua pada orang itu.
Kini malah orang itu membuat
gerakan tangan menyuruh Hwi Ching pergi. Maksudnya kuda itu tak dijual. Dengan
putus asa Hwi ching kembali masukkan peraknya itu dalamKantongnya. Tiba-tiba
orang Wi itu dapat melihat diantara perak-perak itu sebuah thi lian ci. piaiw
biji teratai, segera tangan diulurkan untuk menyemputnya, dan bulu-bulu itu ban
ci itu diawasinya tajam-tajam
Thi lian ci itu adalah milik
Hwe Ceng tong yang dipakainya untuk menimpuk Hwi ching dan dapat ditangguhnya
dengan teh konya Dengan gerakan orang Wi itu bertanya dari mana Hwi Ching
memperoleh piauw tersebut. Dengan gerakan tangan pula, Hwi.chiag menyatakan ia
mendapatnya dari sahabatnya seorang nona bangsa Wi yang kepalanya tertancap
bulu burung dan memegang sebatang pokiam.
Orang Wi tersebut mengangguk
anggukan kepalanya, lalu menyerahkan, thi ban ci pada Hwi Ching lagi, habis itu
dia tuntun seekor kuda, terus diberikan pada Hwi-ching, sudah tentu Hwi ching
girang sekali, lalu merogoh uang peraknya lagi. Tapi orang itu tetap
Goyang-goyang tangannya dan hanya menuntun kuda Hwi-ching semula terus dituntunnya
pergi.
"Sungguh nona itu
mempunyai pengaruh besar sekali dikalangan suku Wi. sampaikan sebuah thi lian
cinya saja sudah dianggap sebagai tanda perintah demikian pikir Hwi Ching.
Memangnya orang tadi adalah seorang warta dari suku Wi yang dikepalai oleh ayah
Ceng tong dalam gerakkannya untuk merebut kembali kitab Al-Our'an, pada setiap
pos mereka menyiapkan orang yang membawa kuda, untuk alat-alat penmberian
warta. Dia mengira karena membawa thi lian ci dari Ceng Tong, tentulah Hwi
ching itu salah seorang pembantu mereka. Oleh karena itulah tanpa sangsi sangsi
lagi kudanya diberikan.
Dengan kuda baru itu Hwi Cbing
meneruskan perjalanannya lagi, sampai kekota disebelah depannya dia bertemu
lagi dengan seorang Wi yang yang membawa kuda. Ketika kembali dia unyukan thi
lian ci, dapatlah dia berganti kuda baru. apalagi pada setiap kaki belakang
kuda selalu terdapat cap tanda, maka pergantian kuda itu barjalan dengan
mudahnya.
Selama di atas pelana kuda
itu, Hwi Ching hanya makan ransum kering dan tidak tidur. Dalam sehari semalam,
ia dapat menempuh jarak enam ratus li lebih. Maka pada hari kedua sore tibalah
ia di Anse, pusat pertemuan anggauta-anggauta Hong-hwa-hwee. Begitu memasuki
kota, ia pasang bunga merah sulaman dari Lou Ping di lubang bajunya.
Bagaimanapun tinggi bugee Hwi
Ching, namun ia habis melakukan perjalanan nonstop dari jarak sedemikian
jauhnya itu, tak urung dia merasa lelah juga, baru saja dia berjalan beberapa
tindak, segera ada dua orang bercelana pendek mengundangnya makan ke ciulauw.
Dalam ciulauw, rumah minum,
yang seorang lalu temani Hwi Ching minum arak, sedang yang lainnya dengan laku
hormat sekali meminta diri. Orang yang menemani minum itu juga berlaku sangat
menghormat. Dia tak berani banyak bertanya, dan hanya pesan sayuran untuk kawan
arak.
Ketika habis menenggak tiga
cawan arak, tiba-tiba dari luar masuk seorang yang terus memberi hormat pada
Hwi Ching siapa buru-buru berbangkit untuk membalasnya.
Orang itu mengenakan jubah
kain hijau, kira-kira berumur tiga puluh tahun, sepasang matanya mengeluarkan
sorot berapi-api, sikapnya berkewibawaan. Mengetahui siapa adanya, Hwi Ching
berkatalah orang itu, “Oh, kiranya Liok-locianpwe dari Bu-tong-pay, sering
kudengar Tio Pan San samko sebut-sebut nama locianpwe, kini sungguh beruntung
dapat berjumpa.”
“Siapakah nama laoko yang
mulia?” tanya Hwi Ching.
“Aku yang rendah ialah Wi Jun
Hwa,” sahut orang itu.
Dalam pada itu, orang yang
menemani Hwi Ching minum tadi segera minta diri juga.
“Siautocu dan para hengte
kami, semua sama berkumpul di sini. Kalau diketahui locianpwe datang, pasti
siang-siang mereka akan menyambutnya. Entah apakah locianpwe sudi meringankan
kaki untuk menemui mereka,” kata Jun Hwa.
“Bagus, memang kedatanganku
ini perlu menyampaikan suatu hal yang penting pada saudara-saudara sekalian,”
sahut Hwi Ching.
Begitulah, Jun Hwa segera bawa
Hwi Ching keluar ciulauw. Anehnya pemilik ciulauw itu tak minta bayaran
padanya. Dengan menunggang kuda mereka menuju keluar kota.
“Bunga merah yang locianpwe
punya itu adalah milik Bun-suko, bunga itu mempunyai empat buah sumbar,” kata
Wi Jun Hwa di tengah jalan.
Ketika Hwi Ching periksa bunga
merah yang dipakainya, memang perkataan Jun Hwa itu benar.
Tak berapa lama, tibalah
mereka di sebuah biara. Yang menyolok pemandangan, di muka dan di belakang
biara itu tumbuh pohon-pohon tua yang menyulang ke langit, sehingga menambah
keangkeran tempat itu. Di muka biara tergantung sebuah papan yang tertulis
empat buah huruf “Giok-hi-to-wan”. Di muka itu tampak ada dua orang tojin
menyaganya. Begitu melihat Wi Jun Hwa, mereka bersikap menghormat sekali.
Oleh Jun Hwa, Hwi Ching
dipersilahkan masuk dan satu imam kecil segera membawa teh. Ketika Jun Hwa
membisiki telinganya, imam itu kelihatan mengangguk-angguk kepalanya lalu masuk
ke dalam, sesaat Hwi Ching mengangkat cawan akan diminum, tiba-tiba dari
ruangan dalam terdengar seseorang berseru, “Liok-toako, betul kau membuat mati
rindu.”
Belum kumandang ucapan itu
hilang, orangnya sudah muncul. Dia bukan lain ialah kawan seperjuangannya dulu
Tio Pan San, sobat lawas saling bertemu, sukar dilukiskan bagaimana
kegirangannya.
“Beberapa tahun ini toako
bersembunyi dimana, bagaimana bisa datang kemari?” demikian pertanyaan
susul-menyusul keluar dari mulut Pan San.
“Tio-hiante, baik kita
bicarakan dulu urusan penting yang menyadi tugasku ini,” tiba-tiba Hwi Ching
berkata dengan bersungguh-sungguh, kalian punya Bun-su-tangkeh ini berada dalam
kesulitan besar.”
Habis ini lantas Hwi Ching
ceritakan apa yang sudah terjadi. Dalam pada itu tiba-tiba diluar terdengar
suara seseorang yang sedang berteriak, “Suko, kakak keempat dalam bahaya, hayo
lekas kita menolongnya, biar aku yang berangkat dulu!”
“Yang an kau begini gegabah,
tunggu putusan siautocu dulu,” cegah Wi Jun Hwa.
Tapi orang itu tetap ngotot.
Begitu Pan San menarik tangan, Hwi Ching melihat, ternyata orang yang membuat
ribut-ribut itu adalah seorang bongkok, seketika itu teringatlah Hwi Ching pada
si Bongkok yang memapas ekor kuda Wan Ci dulu itu.
Sementara itu Jun Hwa telah
mendorong si Bongkok ke hadapan Hwi Ching dan berkata, “Hayo lekas kau temui
Liok-locianpwe!”
Menghampiri ke muka Hwi Ching,
si Bongkok mengawasinya dengan tak mengucap apa-apa. Mengira kalau orang masih
ingat akan hinaan Wan Ci tempo hari, Hwi Ching akan memintakan maaf. Tapi
tiba-tiba si Bongkok membuka mulut, “Kau tempuh jarak enam ratus li dalam
sehari hanya karena akan menyampaikan berita dari Bun-suko, sungguh aku oang
she Ciang merasa berterima kasih sebesar-besarnya!”
Berbareng dengan ucapannya, si
Bongkok segera jatuhkan diri ke tanah dengan berkui sampai empat kali. Karena
tak keburu menegahnya, Hwi Ching juga berlutut untuk membalas hormat.
Secepat-cepat habis memberi
hormat, si Bongkok lalu bangkit, katanya,
“Tio-samko, Wi-kiauko, aku
akan pergi dulu!”
Tio Pan San coba akan
mencegahnya, tapi si Bongkok terus menerobos keluar dan sudah berada di pintu
bundar yang berada di halaman. Tapi mendadak tangannya dipegang orang.
“Kau akan kemana?” demikian
tegur orang itu.
“Menengok suko dan suso, hayo
kau ikut aku,” sahut si Bongkok.
Anehnya orang itu betul-betul
mengikutinya. Kiranya si Bongkok adalah orang she Ciang nama Cin. Wataknya
berterus terang, sejak lahir dia bercacad namun memiliki tenaga luar biasa. Dia
seorang murid Siau-lim-pay yang jempolan. Karena cacadnya itu dia paling benci
orang memperolokkan bongkoknya. Tapi kalau berbicara dengan orang, selalu ia
menyebut dirinya “Ciang-thocu” atau Ciang si bongkok. Namun sekali-kali yang an
orang mengatakan “bongkok” dan memperolok-olokkannya, karena dia tentu akan
keluar tanduknya betul-betul nanti. Lebih-lebih kalau orang itu bisa bugee,
tentu diajaknya pibu (bertanding silat).
Di kalangan Hong-hwa-hwee
hanya pada Lou Ping yang dia mau dengar katanya. Karena lain-lain orang selalu
menertawakan, adalah Lou Ping yang paling mengerti hatinya, paling mengasihani
cacadnya itu. Begitu rupa Lou Ping merawati si Bongkok, sehingga seperti
saudaranya sendiri.
Maka begitu mendengar Bun Thay
Lay suami-isteri mendapat kecelakaan, meluaplah amarah Ciang bongkok, terus
akan pergi menengoki saja. Ciang bongkok dalam Hong-hwa-hwee, jatuh pada urutan
no. 10. Yang memegang tadi, yaitu Ci Thian Hong, orang nomor tujuh dalam
Hong-hwa-hwe. Meskipun dia orangnya pendek kecil, tapi banyak akal. Dialah
kunsu, juru pemikir, dari Hong-hwa-hwee. Di samping itu, lihay juga bugeenya,
lwekang maupun gwakang serta segala ilmu senyata. Kalangan kangouw memberi dia
sebuah julukan sebagai “Bu-cu-kat” atau si Khong Beng dari Hong-hwa-hwee.
Baru setelah Tio Pan San
menutur, tahulah Hwi Ching siapa kedua orang itu. Pada saat itu pun para
Tangkeh, pemimpin daerah, sama berturut-turut keluar. Mereka adalah para
orang-orang gagah yang sudah ternama. Semuanya banyak yang sudah dilihat Hwi
Ching di tengah perjalanan itu. Kepada mereka, Tio Pan San tuturkan perihal Bun
Thay Lay.
Ji-tangkeh, pemimpin kedua,
yang hanya berlengan satu, yaitu Bu Tin tojin berkata, “Mari kita temui
siautocu!”
Segera mereka menuju ke
halaman belakang, masuk ke sebuah rumah besar. Tembok di ruangan itu terukir
sebuah papan tioki, catur yang besar. Pada jarak dua tombak ada dua orang
sedang duduk di atas dipan, tengah minum teh sambil berkelakar. Kiranya mereka
tengah main tioki ke arah tembok papan catur yang seperti terpaku itu, biji-biji
tioki itu melekat di situ.
Selama ini, belum pernah Hwi
Ching melihat orang main tioki dengan cara begitu. Pada saat itu, biji-biji
tioki hitam dan putih tengah berpusat pada sebuah lingkaran. Rupanya pada
jurus-jurus yang menentukan, dimana putih dalam kedudukan menyerang.
Yang mainkan biji hitam adalah
seorang kongcu (pemuda) muda yang mengenakan jubah putih. Wajahnya berseri
terang, mengunyukkan masih berdarah bangsawan, sedang yang main biji putih,
adalah seorang tua yang dandanannya sebagai seorang desa.
Melihat kedua orang tersebut
sedang asyik main tioki, orang-orang Hong-hwa-hwee itu tak berani
mengganggunya. Sekali lihat, tahulah Hwi Ching bahwa kepandaian tioki dari
kongcu itu di atas si orang tua. Tapi entah karena apa koncu itu main mengalah
saja. Tiap kali si orang tua melontarkan biji tiokinya, biji-biji itu menancap
dalam-dalam ke papan tembok. Diam-diam Hwi Ching terkejut dalam hati, pikirnya,
“Orang itu entah enghiong
ternama siapa, kecepat-cepat annya melempar senyata rahasia belum pernah
kulihat ada yang melebihi.”
Berselang beberapa waktu lagi,
kini jelaslah Hwi Ching. Ternyata kongcu itu tak terlalu perhatikan posisi
ratunya, tetapi diam-diam dia perhatikan cara melempar biji tioki dari si orang
tua itu. Pada saat itu kedudukan putih payah sekali, sekali hitam jalan,
habislah putih. Dan ini pun diketahui oleh kongcu tersebut. Tapi ternyata
lemparan itu tak tepat, biji tiokinya agak miring tak dapat menancap dengan
betul.
“Ha, kau mengaku kalah
sajalah!” si orang tua tertawa terkekeh-kekeh sembari meletakkan biji tioki
terus berbangkit. Nyata ia takut kalah.
Kongcu itu juga tidak mau
berbantahan, dengan tersenyum ia berkata, “Besok kalau ada kesempatan, aku main
lagi dengan suhu.”
Melihat rombongan orang-orang
itu, si orang tua tersebut tak mau menegur atau memberi hormat, hanya dengan
langkah lebar terus melangkah keluar pintu. Setelah itu berkatalah Tio Pan San
pada si kongcu,“Siautocu, ketua muda, inilah orang yang pernah kukatakan itu,
Liok Hwi Ching toako,” habis ini katanya pula pada Hwi Ching, “Liok-toako, inilah
siautocu kita, mari sama-sama berkenalan saja.”
“Siaucit she Tan, nama Keh
Lok, harap lopeh suka kasih pengunyukan,” pemuda itu berkata dengan merendah.
Tersipu-sipu Hwi Ching
membalas juga dengan kata-kata merendah. Diam-diam ia perhatikan siautocu itu
jauh berbeda sikapnya dengan rombongan anak-anak buahnya yang kasar-kasar itu.
Tio Pan San lalu tuturkan
keadaan Bun Thay Lay dan minta pendapat dari siautocu tersebut. Tapi siautocu
hanya berpaling pada Bu Tim tojin dan berkata, “Harap totiang suka memberi
keputusan.”
Tiba-tiba dari sebelah
belakang Bu Tim, ada seorang gagah yang berseru dengan kerasnya,
“Bun-suko mendapat kesukaran,
seorang luar, telah begitu memerlukan memberi warta dari tempat yang begitu
jauh. Tapi sebaliknya kita sendiri masih tolak-menolak mengenai siapa yang
harus menyadi ketua. Apakah sesudah Bun-suko terlanyur hilang jiwanya, kau
orang baru tak main tolak-tolakan lagi? Pesan mendiang lotangkeh, siapa yang
berani membantahnya? Siautocu, kalau kau tak mengindahkan pesan gihu, ayah
angkatmu, nyata kau tak berbakti pada beliau. Juga sekiranya kau memandang
rendah pada kita orang, para hengte sekalian dan tak mau menyadi tocu, biarlah
Hong-hwa-hwee yang beranggautakan tujuh puluh ribu orang ini dibubarkan saja.”
Ternyata orang yang bersuara
keras ini, bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, dia adalah orang yang
menduduki kursi ke delapan dari pimpinan Hong-hwa-hwee, yakni Nyo Seng Hiap.
Mendengar itu, sekalian orang
pun turut meminta pada si kongcu.
“Kita adalah seumpama ular yang
tak punya kepala. Kalau siautocu tetap menolak lagi, kita semua tentu menyesal.
Dalam soal Bun-suko, kita menurut perintah siautocu.”
“Dalam tujuh puluh ribu
anggauta Hong-hwa-hwee ini, siapa yang tak mau dengar kata siautocu, biar dia
rasakan kelihayan pedangku,” seru Bu Tim dengan lantangnya.
Mendengar desakan dari orang
banyak, Tan Keh Lok tak enak hati, sepasang alisnya terangkat, seperti tengah
memikir sesuatu. Melihat itu, Siang Hek Ci adalah seorang dari Siang-hiap
berkata dengan suara berpengaruh pada adiknya,
“Hengte, betul-betul siautocu
tak menghargai kita. Mari kita berdua tolong dulu Bun-suko kemari, baru nanti
kita pulang ke Sechwan.”
“Koko benar, aku setuju,”
balas sang adik Siang Pek Ci.
Sampai di sini terdesaklah Keh
Lok. Kalau ia tetap berkeras menolak, pasti akan mengecewakan orang banyak. Apa
boleh buat, katanya.
“Bukan aku keras kepala, tapi
mengingat umurku begitu muda, kurang pengalaman, kurang pengetahuan, tentu tak
pantas memegang jabatan penting itu. Tapi karena kalian semua menghendaki
demikian, apalagi marhum gihuku pun telah meninggalkan pesan, apa boleh buat
terserah kehendak saudara sekalian.”
Seketika itu orang
Hong-hwa-hwee gempar karena girangnya, bahwa siautocu telah menerima angkatan
itu.
“Upacara pengangkatan, biar
nanti kita langsungkan di paseban Cong-hiang-tong di Thayouw. Sekarang harap
congtocu bersembahyang dulu pada couwsu, untuk menerima lenghoa, lencana
jabatan,” kata Bu Tim.
Hwi Ching cukup tahu bahwa
sesuatu pelantikan tentu mempunyai upacara istimewa. Sebagai orang luar dia tak
enak berada di situ. Habis memberi selamat pada Keh Lok, dia undurkan diri.
Oleh Tio Pan San dia dibawa ke kamarnya sendiri, supaya beristirahat dulu.
KETIKA bangun dari tidurnya,
ternyata hari sudah malam. Berkata Pan San.
“Tadi congtocu bersama
sekalian saudaraa sudah berangkat ke Thio-ke-poh. Karena toako masih tidur, aku
disuruh mengawani, besok pagi kita berangkat menyusul.”
Hampir lebih sepuluh tahun
saling berpisah, malam itu keduanya bicara dengan uplek sekali menuturkan
riwajatnya masing-masing selama itu. Berbicara tentang HONG HWA HWE bertanyalah
Hwi Ching:
“Kau orang punya congtocu itu
masih begitu muda usianya, tak ubah dengan seorang kongcu, bagaimana semua sama
tunduk?”
“Urusan itu agak panjang untuk
diceritakan. Toako, kau mengasuh lagi dulu, besok dalam perjalanan akan
kuceritakan,” sahut Pan Sin.
Sekarang marl kita tengok
keadaan rombongan Thio Ciauw Cong yang dibawa ke Thiat-san-chung oleh Tong Siu
Ho, itu piauwsu dari Tin Wan piauwkok. Tiba dimuka chung (desa) itu. Ciauw Cong
perintah seorang congteng melapor pada chungcu supaja keluar menyambut utusan
pemerintah. Congteng itu tak berani berajal, terus bertindak masuk. Tapi
dicegah oleh Ciauw Cong. Rupanya dia insjaf betapa kedudukan tuan rumah itu
sebagai pemimpin kaum persilatan daerah barat utara. Karenanya dia tak mau
gegabah, katanya pada congteng.
“Sahabat, tahan dulu.
Bilanglah pada chungcu bahwa kita datang dari kotaraja, perlu bertemu dengan
chungcu (kepala perkampungan) sendiri !”
Mengucap begitu, Ciauw Cong
mengerlingkan matanya pada Go Kok Tong, siapa cukup mengerti maksudnya. Dengan
membawa membawa beberapa orang polisi dia menuju ke belakang desa itu untuk
menyaga apabila Bun Thay Lay sampai lolos.
Mendengar laporan congteng,
Kian Hiong segera menge tahui bahwa rombongan kuku garuda itu tentu hendak meng
usut tempat persembunyian Bun Thay Lay. Segera dia suruh Song San Beng,
sipengurus rumah, untuk menemui dulu, sedang dia sendiri lalu Buru-buru
mendapatkan Bun Thay Lay.
“Bun-ya, diluar ada kuku
garuda dari golongan liok-san-mui. Apa boleh buat, kuminta samwi lekas-lekas
bersembunyi saja,” demikian tuturnya.
Dia lalu memapak Bun Thay Lay
menuju ke sebuah thia (paviljon) yang berada di kebun belakang. berdua dengan
Ie Hi Tong, Kian Hong menggeser sebuah meja batu yang berada di situ. Segera di
bawah situ tampak sebuah papan besi yang diikat dengan rantai. Ketika rantai
ditarik, papan besi itu terangkat dan ternyata disitu tampak sebuah gowa
dibawah tanah.
Melihat itu Bun Thay Lay marah
dan serunya : “Aku Bun Thay -Lay-bukan orang yang takut mati dan temaha hidup.
Bersembunyi didalam gowa ini, sekalipun da pat menyelamatkan diri, tapi tentu
tak luput akan diterta wakan orang nanti.”
“Mengapa Bun-ya berkata
begitu. Taytianghu bisa keras bisa lembek, menurut gelagat. Bun-ya menderita
luka parah dan sementara bersembunyi, siapa yang akan menertawakan nya?” ujar
Kian Hiong.
“Terima kasih, Beng-heng. Harap
saja kau bukakan pintu belakang. Biar kita berlalu dari sini, agar tak
merembet-rembet Beng-heng sekalian orang dalam rumah ini,” Bun Thay Lay tetap
berkeras.
Pada saat itu, diluar pintu
belakang terdengar tereakan orang minta dibukai pintu. Berbareng itu dari
depan, ter dengar suara berisik dari rombongan orang yang mengham piri. Ketika
mereka akan menobros masuk, San Beng coba akan menghalangi, tapi sia-sia saja.
Karena mengindahkan nama dari Ciu Tiong Ing, Ciauw Cong hanya memakai alasan
akan melihat-melihat kedalam chung yang dikatakan sangat indah pemandangannya
itu.
“Kita hanya ingin menyaksikan
sendiri betapa keindahan chung ini yang kesohor bagusnya itu. Harap saudara
Song suka mengantai kita,'' kata Ciauw Cong.
Mengetahui bahwa
Thiat-tan-chung sudah terkepung rapat, naiklah darah Bun Thay Lay, katanya pada
isteri dan saudaranya itu.
“Mari kita bahu membahu
menobros keluar!” Lou Ping nyatakan siap, ia terus memegang lengan tangan
suaminya yang terluka itu. Kctika itu dengan memegang golok dalam tafigan kiri,
Bun Thay Lay siap akan mener yang keluar. Tapi mendadak dia rasakan tubuh
isterinya gemetar. Dan ketika dipandangnya, ternyata sepasang mata nya pun
berlinang-linang air mata, wayahnya berduka sekali tampaknya. Seketika itu
luluhlah hati Bun Thay Lay, dan dengan serentak dia berkata: “Baiklah, kita
bersembunyi saja.”
Kian Hiong girang mendengar
keputusan yang tiba-tiba itu. Begitu ketiga tamunya itu masuk kedalam gowa,
cepat-cepat -cepat-cepat dia tutup papan besi itu dan dengan dua congteng
digesernya pula meja batu itu keatas. Ciu Ing Kiat, putera Ciu Tiong Ing yang
masih kecil itu, juga turut membantunya.
Setelah tak ada tandas yang
mencurigakan, Kian Hiong perintahkan congteng membuka pintu belakang. Tapi ter
nyata Go Kok Tong tak mau masuk dan hanya menunggu diluar pintu itu saja. Pada
saat itu, rombongan Ciauw Cong pun sudah masuk kesitu.
Melihat Tong Siu Ho juga
berada dalam rombongan itu, berkatalah Kian Hiong dengan menyindir :
“Oh, kiranya seorang koan-loya
(pembesar negeri), tadi aku sudah berlaku kurang adat.”
“Aku hanyalah seorang
piauwtauw dari Tin Wan piauw kok, loheng jangan salah kira,” sahut Siu Ho.
Setelah itu dia berpaling pada Ciauw Cong dan berkata :
“Dengan mata kepalaku sendiri,
kulihat mereka masuk kesini. Thio taijin, harap perintahkan menggeledah.”
“Kita adalah penduduk
baik-baik, Ciu lochungcu adalah seorang tuan tanah yang menuntut penghidupan
halal, mana berani menyembunyikan bangsa bersandal. Tong-ya ini sengaja
mempitenah saja,” San Bing Buru-buru memberikan bantahan tegas.
Dia tahu bahwa Bun Thay Lay
bersembunyi ditempat yang aman, maka sengaja dia keluarkan kata-kata yang
menantang itu. Juga bertanyalah Kian Hiong dengan berlagak pilon :
“Hong Hwa Hwe adalah sebuah
perkumpulan di Kang Lam, mengapa mereka berada diperbatasan sebelah barat utara
ini? Piauwtauw ini berkata dengan seenaknya sendiri saja, masa taijin sekalian
mau mempercayainya?”
Thio Ciauw Cong adalah seorang
kangouw kawakan. Dia tahu bahwa Bun Thay Lay tentu sembunyi di Thiat-tan-chung.
Kalau menggeledah berhasil, masih mendingan, tapi kalau sampai tak dapat
menemukannya, apakah Ciu Tiong Ing akan mau sudah? Jago she Ciu itu luas
pengaruhnya dikalangan rimba persilatan, dengan demikian, bukankah akan dapat
melakukan pembalasan? Memikir sampai disitu, Ciauw Cong menyadi ragu-ragu.
Sebaliknya Siu Ho berpikir,
kalau kali ini gagal, tentu dia akan diejek dan di-kata-katai oleh
kawan-kawannya. Tiba-tiba dia ter ingat akan Ciu Ing Kiat. Seorang anak kecil
tentu tak dapat berbohong. Cepat-cepat dia tarik lengan Ing Kiat. Tapi anak
itu, karena mengerti bahwa Siu Ho itu bukan orang baik-baik, dengan getas
segera menarik tangannya.
“Kau tarik aku mau apa?”
bentak bocah itu.
’Adik cilik, kau bilanglah,
dimanakah adanya ketiga te tamu itu, aku nanti beri ini untuk beli permen,”
kata Siu Ho sambil merogoh keluar beberapa biji uang perak.
Ing Kiat jebikan bibir,
memperlihatkan muka mengejek, katanya.
“Kau angg'ap aku ini siapa?
Ayahku adalah Thiat-tan Ciu Tiong Ing! Aku tak sudi terima uang'mu yang berbau
itu !” Karena malu, Siu Ho menyadi gusar, lalu berteriak : „Ayo kita geledah
saja rumah ini, dan ringkus sekali bocah ini !”
“Kau berani dengan ayahku,
Thiat-tan Ciu Tiong Ing?” kata Ing Kiat tak gentar.
Pada saat itu berobahlah air
muka Thio Ciauw Cong. Dia duga anak itu pasti mengetahui tempat persembunyian
Bun Thay Lay. Dia pikir, hanya dari mulut anak itulah akan bisa didapat
keterangan. Tapi meskipun kecil, anak itu sangat berani. Tak jerih digertak,
tak mempan dibujuk. Tapi akan coba dibujuknya juga.
“Ketiga tamu itu, bukankah
sahabat ayahmu?” Ciauw Cong mulai pasang perangkap.
Tapi Ing Kiat tak kena
diakali, sahutnya : “Aku tak tahu apa-apa.”
“Kalau sampai kita dapat menemukan
ketiga orang itu, t.idak saja ayahmu, juga kau sendiri dan mamahmu semua akan
dihukum mati !”
“Ha!” seru Ing Kiat dengan
kerutkan alisnya. „Ayahku adalah Thiat-tan Ciu Tiong Ing, masa dia jerih
padamu?”
Ciauw Cong tobat betul-betul.
Dia lalu merogoh sakunya, pikirnya akan mengambil uang mas untuk diberikan pada
anak itu. Tapi tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah benda bundar. Dengan
girang, cepat-cepat -cepat-cepat benda itu dikeluarkannya. Ternyata benda itu
ialah sebuah cian-li-king (teropong).
Ketika Ciauw Cong meninggalkan
kotaraja untuk me nangkap Bun Thay Lay, Hok Gong An, pemimpin Gi-lim-kun
(pengawal istana) menghadap padanya, untuk menyampai kan perintah istimewa dari
kaisar, bahwa bagaimana juga pesakitan itu harus dapat ditangkap dan dibawa
kekota raja. Untuk itu kaisar istimewa menghadiahkan sebuah teropong padanya.
Saat itu Ciauw Cong memasang
teropong dimatanya, untuk melihat sekeliling tempat itu, habis itu dia berkata
pada Ing Kiat :
“Kau pasanglah benda kemukamu,
dan cobalah lihat ke jurusan sana.”
Kuatir orang akan menipunya,
Ing Kiat cepat-cepat -cepat-cepat tarik tangannya. Tapi Ciauw Cong kembali
melihatnya sendiri, seraja tak putus-putusnya memuji: “Wah, alangkah indahnya,
sungguh bagus sekali !”
Biar bagaimana Ing Kiat tetap
seorang anak kecil. Hati nya melonyak-loyak ingin melihatnya juga. Maka begitu
Ciauw Cong mengangsurkan teropong itu untuk kedua kalinya, cepat-cepat
-cepat-cepat Ing Kiat menyambutnya. Begitu dipasang dimatanya, dia berjingkrakjingkrak
kaget. Gunung jauh disebelah muka itu seperti pindah dihadapannya. Pohon-pohon
jelas tampaknya.
“Kau naik dimeja situ untuk
melihat sana,” kata Ciauw Cong dengan ramahnya.
Ing Kiat loncat keatas meja
batu, untuk melihat dengan teropong. Orang yang sedang berjalan dijalanan,
tampaknya jelas berada dihadapannya. Sampaipun mulut dan mata mereka kelihatan
jelas juga. Ketika teropong itu diambil nya, oranga berjalan itu tampaknya
keciis dan samar-samar. Bolak-balik dia awasi benda ajaib itu sampai sekian
lama. Habis itu dengan merasa sayang , dia kembalikan lagi pada Ciauw Cong.
“Kau inginkan ini?” tanya
Ciauw Cong ketika menyam butinya.
Sambil berpaling kesamping
memandangi Kian Hiong dan San Beng, anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ciauw Cong seketika juga mengetahui bahwa pernyataan itu ber lawanan dengan
hatinya, karena takut pada kedua orang itu. Maka cepat-cepat ditariknya Ing
Kiat kesamping, lalu tanyanya: „Asal kau kasih tahu ketiga orang itu
bersembunyi dimana, benda itu akan menyadi kepunyaanmu !”
“Aku tak tahu,” sahut Ing Kiat
dengan berbisik.
“Kaubilanglah, aku tak nanti
katakan pada lain orang. Ayahmu pun tentu takkan mengetahuinya,” kata Ciauw
Cong dengan berbisik juga.
Hati Ing Kiat nampak guncang
tapi dia tetap gelengkan kepalanya.
“Siaosute, masuklah kedalam,
jangan main-main ditaman ini,” tiba-tiba kedengaran Kian Hiong berseru keras.
“Baiklah,” sahut Ing Kiat,
lalu katanya pula pada Ciauw Cong, “Beng suko panggil aku.”
Namun Ciauw Cong masih pegangi
tangan Ing Kiat, dan teropong itu disodorkan dihadapannya. Ing Kiat nampak gi
rang sekali dan segera bisiknya lagi: „Kalau aku sampai memberitahu, nanti ayah
tentu membunuh aku.”
“Kau tak usah menyahut, kalau
kuajukan pertanyaan, cukup kau memberi isjarat dengan manggut atau gelengkan
kepala saja”, Ciauw Cong makin mendesak. Dan habis berkata itu, dia serahkan
teropong pada Ing Kiat.
Mulanya anak itu agak sangsi
sesaat, tapi achirnya dite rimanya benda itu.
“Apakah mereka bersembunyi
dikamar mamahmu?” Ciauw Cong terus tak mau buang tempo dan mulai ajukan
pertanyaan. Ing Kiat gelengskan kepalanya. “Apakah mereka digudang padi?”
Kembali anak itu geleng-gelengkan kepala. “Dikebun sini?”
Kini tampak Ing Kiat
manggut2kan kepala dengan pelan-pelan .
Karena nampak Ciauw Cong
menyeret sutenya kesebelah samping dan terus tak putus-putusnya menanyai, Kian
Hiong kuatir jangana anak itu kelepasan omong, karena itu dia menghampirinya.
Melihat bahwa dalam taman itu
yang ada hanya gunung-gunungan palsu, empang dan sebuah rumah kecil, Ciauw Cong
segera mendesaknya :
“Dibagian mana mereka
bersembunyi?”
Ing Kiat tak menyawab, hanya
ekor matanya saja terus melirik kearah rumah gardu disebelah itu.
“Di gardu itu?” tanya Ciauw
Cong.
Ing Kiat anggukkan kepalanya.
Nampak itu, Ciauw Cong tak mau
bertanya lagi, terus menghampiri gardu itu. Setelah diperiksanya, ternyata
gardu itu hanya dikelilingi oleh langkan (pagar jeruji) bercat me rah. Mustahil
orang bersembunyi disitu. Loncat keatas langkan, Ciauw Cong memandang kepuncak
gardu, tapi disitu tak ada apa-apanya. Karenanya, dia terpaksa loncat turun
lagi dan untuk sesaat itu dia kelihatan berpikir. Tiba-tiba : ter gerak
pikirannya, segera dengan tersenyum dia berkata pada Kian Hiong :
“Beng-ya, aku yang rendah ini
meski berkepandaian rendah, tapi aku memiliki sedikit tenaga, harap Beng-ya
suka member! petunyuk !”
Mengira karena tak dapat
mencari orang lalu marah dan mengajak berkelahi, walaupun fihak musuh jumlahnya
banyak, Kian Hiong tak perlihatkan kelemahan, katanya :
“Sungguh aku tak berani
menerima kehormatan itu. Silakan loya memberi pengajaran tentang apa saja,
tangan kosong maupun berscnyata.”
Mendadak Ciauw Cong tertawa
keras, kemudian katanya: “Kita orang adalah sahabat baik. Dengan senyata maupun
tangan kosong, bukanlah akan merusak perhubungan. Biar kita pakai cara begini:
lebih dulu aku yang mengangkat meja batu itu, baru nanti Bun-ya juga
mencobanya. Ka lau aku sampai tak dapat mengangkatnya, harap Bun-ya tidak buat
tertawaan.”
Kian Hiong terkejut bukan
kepalang. Tapi dia tak berdaya untuk mencegahnya. Bahkan dari rombongan tetamu
itu sendiri, yaitu Swi Tay Lim, Seng Hing dan lain-lain. sama merasa heran
mengapa Thio taijin itu akan mengadu kekuatan dengan anak muda itu.
Malah pada saat itu, Ciauw
Cong sudah menyingkap lengan bajunya terus memegang meja batu yang berkaki
bundar itu. Dengan kerahkan tenaganya, sekali angkat, maka meja yang seberat
400 kati itu segera beralih keatas sebelah tangan dari pembesar kuku garuda
itu.
”Thio taijin sungguh mempunyai
kekuatan yang luar biasa!” demikian pujian berkumandang diantara rombongan kuku
garuda.
Belum lagi sorak pujian itu
lenyap kumandangnya, mereka segera bertereak kaget. Meja batu terangkat, maka
dibawahnya itu kelihatan sebuah papan besi.
Dalam pada itu Bun Thay Lay
bertiga yang berada dalam lobang dibawah tanah itu. Bermula didengarnya suara
berisik dari sejumlah orang yang mondar mandir diatasnya. Apa yang diucapkan
oleh orang itu tak dapat didengar jelas olehnya. Justeru dia gelisah, tiba-
terdengar sebuah benda jatuh yang mengeluarkan suara hebat, dan menyusul dengan
itu, sinar terang masuk kedalam gowa tersebut. Nyata papan besi penutup lobang
guwa itu telah diangkat orang.
Diantara hiruk pikuk suara
orang yang menyatakan keka getannya itu, terdengar seorang telah membentak
dengan suara berat: “Sahabat baik, keluarlah !”
Ternyata Ciauw Cong tak berani
gegabah masuk kedalam lobang. Karena menaati titan kaisarnya untuk menangkap
hidup orang buronan itu, sudah barang tentu tak boleh gu nakan senyata rahasia.
Dia hanya menyaga dimulut gowa, sembari siapkan senyatanya dan berseru
memerintahkau keluar, Saat itu berkatalah Bun Thay Lay pada isterinya :
”Kita telah dijual oleh orang
Thiat-tan-Chung. Maukah kau luluskan permintaanku ?”
”Koko, kau katakanlah,” sahut
Lou Ping cemas.
“Nanti apa saja yang kuminta,
kau lakukanlah,” kata Thay Lay.
Dengan berlinang-linang air
mata, Lou Ping memanggut.
”Aku, Pan-lui-chiu Bun Thay
Lay berada disini, kau orang ributi apa?” ben tak Thay Lay segera.
Mendengar suara gagah dari
orang tangkapannya, itu, kawanan kuku garuda terdiam sejenak.
”Pahaku terluka, Ayo kau beri
tali supaja kau dapat tarik aku keluar!” seru Bun Thay Lay pada orang-orang
diatas.
Ciauw Cong akan perintahkan
Kian Hiong mengambil tambang, tapi ternyata anak muda itu sudah tak tampak
disitu. Maka Buru-buru dia suruh cengteng yang mengambilkan nya.
Oleh Seng Hing sebelah ujung
tambang itu dilontarkan kedalam guwa, untuk menarik Bun Thay Lay. Tapi begitu
Bun Thay Lay kakinya menginyak tanah diluar guwa, dia segera sentak tambang itu
sekeras-kerasnya, hingga terlepas dari tangan Seng Hing. Menyusul dengan
bentakan menggeledek, tambang itu dikibaskan kedepan.
Aneh, tambang yang lemas itu,
seketika berobah kaku, menyului kemuka. Itulah gerak “lepas membalik jubah,”
salah suatu gerakan yang lihay dari ilmu jwan pian. Orang nya berputar kekanan,
tapi tambang dari arah kiri menyapu kekanan. Menderu-deru angin samberannya,
hebatnya bukan main.
Pian atau jwan-pian, adalah
senyata yang paling sukar dijakinkan. Untuk belajar ilmu golok hanya diperlukan
waktu setahun, tapi untuk ilmu pian orang harus: belajar sampai enam tahun.
Tapi ditangan Pan-lui-chiu Bun Thay Lay, tambang itu seakan-akan merupakan pian
yang berbahaja, me layang kearah orang banyak.
Karena tak menduga saraa
sekali kawanan kuku garuda itu tak keburu menangkis, dan hanya Buru-buru
merundukkan kepalanya untuk mengelit samberan tambang itu.
Si cumi-cumi Tong Siu Ho
adalah orang yang pernah merasakan tangan Bun Thay Lay. Dia sudah kapok
betul-betul. Maka begitu melihat Bun Thay Lay terangkat naik keatas, dia
tersipu-sipumenyelinap kebelakang rombongannya, agar jangan terlihat oleh si
Tangan Geledek itu. Pikirnya dia tentu akan aman. Tapi ternyata justeru
sebaliknya. Makin berada di belakang, makin celaka. Kawan-kawannya yang berada
dimuka begitu melihat tambang menyambar, terus menunyukkan kepala untuk
menghindari. Sebaliknya, bagi orang she Tong itu, tahu-tahu tambang sudah
berada dimukanya. Untuk me nyingkir terang sudah tak keburu, maka karena
gugupnya, dia Buru-buru membalikkan badan untuk lari. Namun sudah terlambat. Tambang
itu tepat menghantam punggungnya, dan seketika itu juga robohlah dia.
Jago bayang kari Swi Tay Lim
dan ketua cabang Can-khe-kun yaitu Gan Pek Kian, yang satu memegang golok dan
yang lain menggenggam sepasang gelangan besi, maju menyerbu Bun Thay Lay.
Nampak suasana sudah genting,
Ie Hi Tong segera seru kan Lou Ping untuk loncat keatas. Bagaikan seekor
meliwis, dia apungkan badannya keatas titian, terus menyerang pada congpeng
Seng Hing. Yang belakangan ini gunakan permai nan tongkat dari Siao Lim Pai. Tapi
berhadapan dengan kim-tiok (seruling mas) yang lebih pendek, tongkat congpeng
itu tak berdaya.
Lou Ping setindak demi
setindak, naik titian yang menuju keatas tanah. Tetapi mulut gowa terjaga oleh
seorang yang bertubuh tinggi besar, Lou Ping segera lepaskan sebuah huito.
Orang itu tampak diam saja. Baru ketika huito ham pir tiba dimukanya, dia
ulurkan tiga jari tangannya untuk menyumpit tangkai huito. Tepat sekali
sumpitannya itu, karena ujung huito hanya terpisah beberapa dim saja dimuka
hidungnya.
Menampak bag-aimana orang
menyambuti huitonya, Lou Ping terkesiap. Dengan memutar sepasang goloknya ia
meno bros keluar untuk menghampiri suaminya. Tapi siorang tadi, begitu nampak
pelepas huito itu ternyata ada seorang wanita yang cantik, dia terus maju menghadangnya.
Orang itu bukan lain ialah jago Bu Tong Pai yang kosen jakni, Thio Ciauw Cong.
Ciauw Cong beradat tinggi. Dia
tak mau gunakan pedang untuk berkelahi dengan seorang wanita. Ia hanya pakai
huito Lou Ping tadi untuk menyerangnya tiga kali berturut-turut.
Benar permainan kaki Lou Ping
tidak begitu lincah, tetapi permainan sepasang goloknya adalah warisan dari
keluarga nya yang telah dijakinkan dengan sempurna. Dalam jurus kelima, pundak
Ciauw Cong kelihatan dijulurkan kemuka untuk menyerang lengan lawannya. Dari
situ terus disapukan kekiri untuk menahan sepasang golok Lou Ping, lalu dengan
sekuat-kuat didorongnya.
”Dalam kedudukan tubuhnya
miring”, apalagi didorong oleh kekuatan yang mana dasyat dari Ciauw Cong,
seketika itu terlemparlah Lou Ping, jatuh kembali kedalam gowa.
Dilain fihak, menghadapi kedua
lawan yang tangguh itu, luka Bun Thay Lay kambuh lagi. Rasa sakit menyerang
dengan hebat, sehingga semangatnya serasa terbang. Bagai banteng ketaton ia
menyerang kesana-sini dengan kalapnya.
Sedang Hi Tong dengan
permainannya kim-tiok, segera berada diatas angin. Melihat jurus-jurus
permainan kim-tiok itu mengandung ilmu pedang jwan-hun-kiam, dan jurus-jurus
tutuk annya mirip dengan kaumnya, Ciauw Cong merasa heran. Ketika akan
ditanyainya, tiba-tiba dengan gerak “pek-hun-jong-kauw” Hi Tong desak mundur
Seng Hing terus loncat ke-dalam gowa.
Kiranya waktu bertempur dengan
Seng Hing tadi, Hi Tong tujukan perhatiannya pada Lou Ping. Dia kaget ketika
nampak Lou Ping jatuh kembali kegowa, sehingga dia Buru-buru loncat
menolongnya. Tapi ternyata Lou Ping sudah tegak berdiri tak kurang suatu apa.
„Bagaimana, apa terluka?”
tanya Hi Tong kuatir.
”Tidak apa-apa, kau lekas
keluar lagi membantu suko,” sahut Lou Ping.
”Mari kupimpin kau keatas,”
kata Hi Tong.
Pada saat itu Seng Hing sudah
menyaga di mulut gowa. Dengan membolang balingkan tongkat, dia cegah mereka
supaja tak bisa keluar. Melihat isterinya tak bisa keluar, sedang tenaganya.
rasanya sudah tak tahan lagi, Bun Thay
Lay buang dirinya kebelakang Seng
Hing dan secepat-cepat kilat ia ulurkan jarinya menotok pinggang siwi
(pahlawan, istana) tersebut. Begitu tubuh Seng Hing lemas ngusruk, Bun Thay Lay
barengi menubruk dan mendekap tubuh itu sambil berseru: “Ayo turunlah !”
Dua-duanya, Bun Thay Lay dan
Seng Hing sama-sama jatuh kedalam gowa. Seng Hing ternyata tertutuk jalan
darahnya “kian-ceng-hiat,” sehingga numprah seluruh kekuatannya. Kini dia
terlempar kedalam gowa, apalagi ditindihi Bun Thay Lay, sudah tentu keduanya
tak dapat bangun.
Buru-buru Lou Ping mengangkat
suaminya bangun. Wayah Bun Thay Lay pucat seperti tak berdarah, keringat mem
basahi seluruh kepalanya. Tapi begitu nampak wayah isteri nya, Bun Thay Lay
paksakan untuk bersenyum. Namun berbareng dengan suara batuknya, segumpal darah
segar muntah dari mulutnya, tepat menyembur kujup dada baju Lou Ping. Hi Tong
mengarti maksud Bun Thay Lay, maka dia berkaok keras-keraskesebelah atas :
“Kasih kita jalan keatas !”
Ciauw Cong melihat ilmu silat
Hi Tong terang adalah dari kaumnya, sedang dengan mata kepala sendiri dia
saksi-kan bagaimana dengan menderita luka berat, Bun Thay Lay masih dapat
melajani dua lawan yang tangguh, diam-diam timbul rasa sayangnya.
Sehingga setelah mendorong
jatuh Lou Ping, dia tak mau turun tangan lagi. Tapi rasa sayang nya itu
dibujarkan dengan rasa kaget yang besar, ketika melihat Seng Hing turut
terjerumus kedalam gowa. Ketika dia akan terjun kebawah, tiba-tiba terdengar
seruan Hi Tong tadi. Apa boleh buat, dia perintahkan orang-orang nya berhenti,
untuk mem beri jalan pada orang-orang tangkapannya.
Pertama-tama yang keluar dari
gowa, ialah Seng Hing itu pahlawan istana yang istimewa dikirim untuk menangkap
Bun Thay lay. Ujung leher bajunya dicengkeram oleh Lou Pin, dengan sebelah
tangannya memegang sebatang golok yang ditujukan pada punggung. Baru kemudian
Hi Tong yang memayang Bun Thay Lay.
”Siapa berani bergerak, dia
akan menyadi majat!” seru Lou Ping sembari mendorong Seng Hing keluar.
Diantara pagar senyata yang
lebat, keempat orang itu berjalan kearah pintu belakang. Melihat ada tiga ekor
kuda tertambat pada puhun liu disebelah sana, giranglah hati Lou Ping.
Diam-diam ia berSyukur pada langit dan bumi. Memang tiga ekor kuda itu adalah kepunyaan
Go Kok Tong tadi.
Melihat buronan penting akan
dapat meloloskan diri Ciauw Cong segera ambil putusan. Kematian Seng Hing tak
men jadi soal baginya, yang terutama Bun Thay Lay harus dapat ditangkap dan
dibafwa ke Pakkhia. Tentu dia mendapat pahala besar.
Diam-diam dia pungut tambang
yang dilemparkan ketanah oleh Bun Thay Lay tadi.
Dengan gunakan nuikang,
dilontarkan nya gulungan tambang itu kemuka, dan tepat menyirat badan Bun Thay
Lay. Sekali sentak, tertariklah Bun Thay Lay terlepas dari tangan Hi Tong.
Mendengar suaminya menggeram,
Lou Ping sampai lupa untuk menghabiskan jiwa Seng Hing. Cepat-cepat dia balik
untuk menolong Bun Thay Lay. Tapi betisnya tadi mendapat luka yang tak enteng.
Baru berjalan dua tindak, robohlah dia.
”Lekas lari, lekas lari!” Bun
Thay Lay menereaki isterinya.
”Koko, aku akan mati
didampingmu saja!” sahut Lou Ping.
Mendengar isterinya membandel,
marahlah Bun Thay Lay.
”Bukanlah tadi kau sudah
berjanyi akan menurut perintahku?”
Belum sempat dia mengachiri
kata-katanya, Swi Tay Lim dan orang-orang nya sudah maju meringkusnya. Hi Tong
cepat-cepat loncat memburu, dia pondong Lou Ping terus menobros keluar pintu.
Seorang hamba negeri yang coba menghadangnya, telah ditendang roboh oleh Ie Hi
Tong.
Nampak suaminya tertangkap,
luluhlah semangat Lou Ping, matanya berkunang-kunang dan seketika tak bisa
menguasai diri. Hi Tong cepat-cepat mengangkatnya dibawa lari ke arah puhun
Liu. Syukur Lou Ping sudah tersedar, maka begitu dinaikkan keatas pelana seekor
kuda. Hi Tong menyuruhnya lepaskan huito.
Gan Pek Kian dan dua orang
kepala polisi juga sudah memburu sampai keluar pintu taman, justeru pada saat
Lou Ping melepas tiga batang
huito. Sekali terdengar jeritan seram, seorang kepala polisi tadi terjungkal
roboh. Untuk sejenak, Gan Pek Kian kesima.
Menggunakan kesempatan ini, Hi
Tong dengan sebatnya melolos lis kuda yang diikatkan pada puhun. Setelah dia
sen diri sudah naik, lalu ketiga ekor kuda itu dilarikan keluar. Lebih dulu
yang seekor dia taruh dimuka pintu taman, dengan kepalanya dihadapkan kearah
taman. Sekali dia pukul bebokong kuda itu dengan kim-tioknya, kuda itu membinal
lari masuk kedalam lagi. Maka ketika Pek Kian hendak mengejar, dia harus
terpaksa menyingkir dulu dari ter jangan kuda itu. Pada lain saat dia sudah
dapat memburu keluar, Hi Tong dan Lou Ping sudah lari jauh-jauh.
Setelah kira-kira enam tujuh
li dan dibelakang tak ada yang mengejarnya, barulah Hi Tong dan Lou Ping
mengendorkan lari kudanya. Kira-kira tiga empat li lagi, tiba-tiba tampak tiga
empat penunggang kuda mendatangi dari arah muka. Yang dimuka sendiri adalah
seorang tua berjenggot putih, yang bukan lain adalah Thiat-tang Ciu Tiong Ing
sendiri. Begitu nampak Hi Tong berdua, Tiong Ing segera berseru : ”Liatwi
hohan, harap berhenti dulu, aku sudah mengun dang seorang sinshe.”
Sebagai jawaban, Lou Ping
menyabitkan sebatang huito. Sudah barang tentu tak terkira kaget Tiong Ing.,
Karena tak menyangka, dia sudah tak keburu menangkisnya. Syukur dia masih dapat
menengkurupkan badannya keatas pelana, hingga huito itu hanya lewat diatas
punggungnya saja.
An Kian Kong, murid kedua
Tiong Ing yang berada dibelakang, Buru-buru angkat goloknya untuk menangkis.
„Trang”, huito itu melayang kesamping, tepat menancap kesebuah puhun liu.
Baru saja Tiong Ing akan
bertanya, tiba-tiba ia telah dida hului Lou Ping lagi dengan dampratannya :
“Kau ini memang penyahat tua
yang berhati serigala! Kau telah membikin celaka suamiku, sekarang aku hendak
mengadu jiwa denganmu”.
Dengan memaki dan menangis,
Lou Ping ajukan kudanya untuk menyerang. Selagi Tiong Ing terlongong-longong
tak habis mengerti, adalah muridnya An Kian Kong yang men jadi marah lalu putar
goloknya untuk menyambut. Tapi burua dipegang lengannya oleh sang suhu, yang
melarangnya tak boleh gegabah dulu.
Juga difihak Sana, Hi Tong
mencegah perbuatan Lou Ping itu, katanya :
”Yang perlu ialah mencari
jalan untuk menolong suko. Baru setelah itu kita bakar Thiat-tan-chung nanti”.
Rupanya Lou Ping kena
diomongi, dan memutar balik ku danya. Sebelum pergi, ia sengaja meludah
keras-keras, untuk unyuk kemarahannya.
Selama mengangkat nama
dikalangan Sungai Telaga, Tiong Ing selalu mengutamakan budi dan kebajikan. Dia
selalu mengalah dan suka bergaul. Maka orang-orang dari golong an hek-to dan
pek-to memuji semua pada Tiong Ing. Kini mimpipun tidak, kalau dia sampai
dimaki habis-habisan dan di sabit hoeito oleh seorang wanita. Tapi dia dapat berpikir
panyang, tentu ada sebab-sebabnya wanita itu sampai berbuat begitu.
Dari congteng yang memanggil
sinshe kekota tadi, dia mendapat keterangan bahwa toa-naynay dan Kian Hiong
menyambut tetamunya itu dengan baik-baik . Karena tak mendapat jawaban yang memuaskan,
Tiong Ing terus keprak kudanya menuju ke Thiat-tan-chung.
Begitu tiba dirumah, seorang
conteng cepat-cepat memberi hormat dan menyambut. Nampak sikap dari orang-orang
dirumah beda dari biasanya, Tiong Ing segera menduga, tentu dirumah ada terjadi
hal2 yang luar biasa.
„Lekas panggll Kian Hiong
kemari,” perintah. Tiong Ing pada seorang cengteng.
„Beng-ya sedang melindungi
toa-naynay dan siaoya (tuan muda) yang bersembunyi disebuah gunung dibelakang,”
ja wab cengteng itu.
Mendengar itu, keheranan Tiong
Ing makin merangsang Syukur ada beberapa cengteng yang menuturkan tentang
tertangkapnya Bun Thay Lay. Mendengar itu terkejutlah Tiong Ing, tanyanya :
”Siapa yang telah membocorkan
tempat persembunyian itu pada orang-orang negeri?”
Centeng-centeng itu terdiam
sejenak, tak ada yang berani me nyahut, meluaplah kemarahan Tiong Ing, cambuk
diangkat dihajarkan kemuka mereka. Melihat suhunya sedang marah-marah An Kian
Kongpun tak berani mencegah. Setelah beberapa cambukan, Tiong Ing lalu jatuhkan
diri dikursi. Kedua gembolan thiat-tan, sampai berkerontangan, sedang
centeng-centeng itu diam membisu saja.
„Kau orang berada disini perlu
apa? Lekas panggil Kian Hiong!” teriak Tiong Ing gusar.
Berbareng ucapan itu, Kian
Hiong tampak sudah muncul disitu, dan memberi hormat pada suhunya.
“Siapa yang membocorkan
rahasia itu, bilanglah.”
Demikian pertanyaan yang
pertama-tama diajukan Tiong Ing dengan penuh kegusaran hingga tak dapat
melampiaskan kata-katanya. Menampak itu, Kian Hiong tak berani mengaku terus
terang. Setelah berpikir sebentar, berkatalah dia :
”Kawanan kuku garuda itu
sendiri yang ' mengetahuinya.”
“Ngaco! Gowa ditanah itu
sangat terahasia sekali tem patnya, bagaimana mereka dapat mengetahuinya?
Kian Hiong tak dapat menyawab.
Adalah pada saat itu, mendengar suaminya marah-marah, Ciu-naynay dengan
memimpin puteranya datang akan menasehatnya. Ketika Tiong Ing melihat puteranya
membawa sebuah teropong, timbullah ke curigaannya, terus dipanggilnya anak itu.
Dengan takut-takut Ing Kiat menghampiri ayahnya.
“Barang itu kau dapat dari
mana?” Ing Kiat tak berani menyahut.
”Ayo, lekas bilang!” seru
Tiong Ing seraja mengangkat cambuknya.
Saking takutnya, Ing Kiat mau
menangis tapi tak berani. Dia hanya memandang sang ibu, siapa segera maju
menghampiri sambil berkata :
”Harap loyacu jangan
marah-marah dulu. Puterimu yang mem bikin mendongkol hatimu, mengapa kau hardik
anak kecil yang tidak bersalah apa-apa ini?”
Tiong Ing tak ambil mumet
kata-kata isterinya itu, dia cam bukkan pecutnya itu keatas, dan berseru
keras-keras:
”Kalau kau tak menyahut, tentu
kubunuh kau, anak durhaka !”
”Loyacu, kau makin lama makin
tak keruan omonganmu. Dia kan anak kandungmu sendiri, mengapa kau maki-maki
anak durhaka?” Ciu naynay mulai sengit.
Kian Hiong dan semua orang
sama geli mendengarnya, tetapi mereka tak berani tertawa. Tiong Ing mendorong
isterinya, disuruh menyingkir, lalu mengulangi pertanyaannya lagi kepada Ing
Kiat.
“Anak, kau bilanglah. Kalau
kau ambil kepunyaan orang, kembalikanlah, besok kubelikan sendiri,” demikian
Ciu nay-nay turut menanyainya.
”Bukan aku mencuri milik
orang,” sahut Ing Kiat.
”Jadi diberi orang, ah itu
lebih2 tak mengapa. Ayo kau bilang pada ayahmu, siapa yang memberinya?” kata
sang ibu.
”Rombongan koanyin (pembesar
negeri) tadi yang mem beri,” sahut Ing Kiat dengan suara pelan.
Tiong Ing tahu bahwa teropong
adalah benda berharga buatan luar negeri. Kawanan pembesar negeri datang keru
mah penduduk, kalau tak merampas binatang ternak atau lain-lain barang, sudah
mendingan. Kalau sampai mereka meng hadiahkan benda yang berharga itu, tentu
ada maksudnya. Ditilik dari sikap sekalian cengteng dan Kian Hiong tadi,
tahulah Tiong Ing sekarang, siapa yang membocorkan ra hasia gowa persembunyian
dibawah tanah itu. Seketika kepalanya seperti digujur air dingin, sehingga bulu
romanya berdiri. Lalu katanya dengan suara tak lampias :
”Mari kau berikan itu padaku.”
Setelah teropong itu
disambutinya, dengan tanpa melihat lagi, Tiong Ing lemparkan teropong itu
sekuat-kuatpada tembok, sehingga seketika itu juga, teropong hancur ber
keping-keping.
“Mari ikut aku,” katanya
sembari menyeret tangan anaknya, terus dibawa ketempat ruangan peranti belajar
silat.
Ciu naynay mengikuti dari
belakang. Diam-diam ia heran, mengapa kali ini suaminya marah-marah sedemikian
besarnya. Setelah terdiam sejurus, bertanyalah Tiong Ing :
”Tetamu kita yang bersembunyi
didalam lubang dibawah tanah, bukankah kau yang memberitahukannya ?”
Dihadapan ayahnya, selamanya
Ing Kiat tak berani ber bohong. Saat itu diapun menganggukkan kepalanya.
Mendengar itu, Tiong Ing berpaling kearah isterinya sambil berkata :
“Kau sulut lilin dimeja tempat
arwah leluhur kita dan meja couwsu kita.”
Dengan tak mengerti maksudnya,
Ciu naynay mengerja kan perintah suaminya. Ciu Tiong Ing adalah murid Siao Lim
Pai, couwsu yang dipujanya ialah Tat Mo couwsu. Didepan meja couwsu, Tiong Ing
menyulut hio dan bersem bahyang . Juga puteranya disuruhnya bersembahyang .
Dibawah sinar lilin, tampaklah olehnya akan wayah sang putera yang berseri-seri
bagaikan rembulan itu, cakap dan menimbul kan rasa kasih. Diam-diam hatinya
terasa seperti diiris-iris sembilu.
„Apakah kau masih berhutang
uang pada orang, atau meminyam barang orang yang belum kau kembalikan?”
tanyanya pada sang putera.
”Tidak.”
“Adakah kau membuat sesuatu
janyi pada orang?”
“Aku telah menyanyikan pada
adik kecil dari keluarga Beng, untuk memberi telur burung Tadi dibelakang
gunung kutelah mendapatkan beberapa biji, masih belum kuberikan padanya.”
Sembari berkata itu, Ing Kiat
merogoh keluar sebuah bungkusan diberikan pada ayahnya. Oleh Tiong Ing barang
itu diletakkan diatas meja.
”Nanti biarlah aku sendiri
yang menyerahkannya, harap kau jangan kuatir.”
Kata-kata Tiong Ing pada, saat
itu, sangat lemah lembut. Ma-lah dielus-elusnya kepala puteranya itu dengan
penuh kasih sayang, katanya :
”Kau Pai (memberi hormat
dengan angkat kedua tangan) pada ibumu, untuk menghaturkan terima kasih bahwa
ia telah mengandungmu selama sepuluh bulan dan merawatmu sampai sepuluh tahun.”
Ing Kiat mengerjakan apa yang
diperintah ayahnya. Kini Ciu naynay baru insjaf apa yang akan diperbuat oleh
suami nya itu. Seketika ia menangis menggerung-gerung. Puteranya segera didekap,
biar bagaimana takkan dilepaskannya.
Tiong Ing senderkan diri
dikursi. Nampak isterinya me meluk sang putera dengan menangis tersedu-sedu
itu, hatinya seperti dibetot. Setelah beberapa waktu, Tiong Ing segera bangkit
menghampiri. Melihat itu Ciu naynay makin me meluk kencang-kencang, serunya :
”Kau bunuhlah kita, ibu dan
anak berdua saja. Tanpa dia, akupun tak mau hidup lagi.”
Setelah meremkan mata sejenak,
berkatalah Tiong Ing dengan suara sember: „Kau lepaskanlah dia.”
Tapi Ciu naynay halangkan badannya
kedepan pula.
“Masih sedemikian kecilnya dia
sudah temaha keuntungan, lupakan kebajikan. Apakah besok tidak bakal menyadi
orang yang melanggar pantangan Tuhan? Anak yang sema cam itu, makin berkurang
makin baik bagi kita,” kata Tiong Ing dengan keren.
Sembari. mengucap begitu, dia
tarik Ing Kiat, lalu diang katnya naik. Ciu naynay bergulung-gulung terus
berkui didepan suaminya, clan meratap :
”Loyacu, kau ampuni dialah.
Biarlah dia pergi dari Thiat-tan-chung sini, untuk selama-lamanya.”
Tanpa menyahut apa-apa, Tiong
Ing diam-diam kerahkan semangatnya, lalu menamparkan tangannya kearah jalan
darah “thian-ling-kay” pada batok kepala puteranya. Berbareng dengan suara
“plak,” kedua biji mata anak itu melotot keluar, dan putuslah jiwanya seketika
itu.
Melihat putera kandung yang
dikasihinya telah meninggal, Ciu naynay bagaikan seekor macan betina yang
kehilangan anak, terus menyerang suaminya. Tiong Ing mundur selang kah. Ciu
naynay lari ketempat rak senyata, menyembat sebatang golok, lalu dihajarkan
kekepala suaminya.
Saat itu hati Tiong Ing penuh
dengan rasa sesal dan duka. Dia tak mau berkelit atau menyingkir. Dengan
meramkan mata, berserulah ia: “Ya, biarlah. Kita semua mati, ada lebih baik.”
Melihat kelakuan suaminya itu,
tangan Ciu naynay ber balik lemas. Golok dilempar, terus lari keluar sambil
tekap mukanya.
Sekarang kita tengok keadaan
Lou Ping dan Ie Hi Tong yang telah meninggalkan Thiat-tan-chung itu. Karena
kuatir kesamplokan dengan kuku garuda, mereka ambil jalan di jalan kecil yang
sepi. Kira-kira berjalan sampai sepuluh li, haripun sudah gelap.
Daerah didekat perbatasan
situ, memang sunyi senyap. Jangankan rumah penginapan, sedangkan rumah
petanipun tak nampak barang sebuah. Syukur keduanya adalah orang-orang kangouw,
yang sudah biasa dengan keadaan begitu. Tidak ada rumah, sebuah batu karang
yang besarpun, boleh untuk tempat istirahat. Disekitar tempat itu, tumbuh
beberapa gundukan rumput. Hi Tong lepaskan kudanya untuk makan rumput, lalu
memakai golok Lou Ping untuk memotong beberapa genggam rumput, yang ditumpuknya
selaku kasur diatas tanah. Katanya :
”Kini tempat tidur sudah ada,
sayang masih kurang ran sumnya, dan tiada air pula. Maka untuk malam ini
terpaksa kita harus tidur dengan perut kosong”.
Pikiran dan hati Lou Ping
selalu pada suaminya. Sekalipun dihidangkan daharan yang lezat-lezat, juga tak
dapat ditelannya. Ia terus menerus menepas air mata. Sedapat mungkin Hi Tong
menghiburnya dengan mengatakan, bahwa Liok susiok nya tentu sudah sampai ke
Ansee, dan bahw.asanya bala ban tuan Hong Hwa Hwee akan segera tiba untuk
merampas kembali Bun Thay Lay.
Lama kelamaan terhibur jugalah
hati Lou Ping dan ter tidurlah ia. Malam itu ia bermimpi berjumpa dengan sua
minya, yang segera memeluk dan menciumnya dengan kasih mesra. Dengan penuh
kegirangan, Lou Ping biarkan suaminya memelukinya dan tanyanya :
“Betapa kuselalu pikirkan
dirimu, koko. Bagaimana de ngan lukamu?”
Bun Thay Lay makin memeluknya
kencang-kencang dan menciumnya dengan bernapsu. Selagi semangat Lou Ping me
layang 2, tiba-tiba ia terkejut dan bangun. Dibawah sinar kelap kelip dari
bintang-bintang, yang memeluk badannya ternyata bukan suaminya tetapi Ie Hi
Tong.
Bukan main kagetnya Lou Ping,
ia meronta se-kuatnya, namun Hi Tong tetap memeluknya kencang-kencang dan katanya
:
“0, betapa aku telah
merindukan dikau !”
Karena malu dan gusar, Lou
Ping segera menamparnya. Seketika itu Hi Tong termangu-mangu. Kembali Lou Ping
men jotos dadanya, serta berontak melepaskan diri dari pelukan nya. Dengan
gerak „lan-lu-bak-kun” keledai malas mengge lundungkan diri, ia bergelundungan
kesamping terus akan melolos sepasang goloknya dari pinggang. Tapi ternyata
golok itu telah diambil Hi Tong dan diletakkan disamping.
Kembali ia kaget, dan terus
merogoh kantong huitonya, yang untungnya masih ada dua batang. Dengan menggeng
gam ujung huito, ia berseru dengan kerennya: „Apakah maksudmu sebenarnya?”
“Suso, kau dengarlah
perkataanku,” sahut Hi Tong.
”Siapa yang kau sebut suso
itu? Pantangan dalam Hong Hwa Hwe itu bagaimana, coba kau bilang!” bentak Lou
Ping.
Hi Tong tundukkan kepala, tak
berani menyahut. Lou Ping walaupun biasanya selalu
tertawa riang, namun dia
selalu pegang aturan dengan keras. Mana ia mau sudah diperlaku kan begitu
macam, maka dengan suara bengis ia mendesak pula: „Locu dari Hong Hwa Hwe orang
she apa?”
”Hong Hwa Hwe locu sebenarnya
orang she Cu,” sahut Hi Tong.
“Apakah yang dijunyung oleh
para saudara-saudara?” tanya pula Lou Ping.
“Pertama, menyunyung azas Tho
Wan Kiat Gi (sumpah persaudaraan ditaman) dari Lauw Pi, Kwan Kong dan Thio Hwi.
Kedua, memuja pada Ngo-kong-say-siang Ciong-ji-long (sumpah setia kawan).
Ketiga, menghormat pada sepuluhdelapan orang gagah dari Liang-san,” sahut Hi
Tong.
Kiranya tanya jawab tersebut
adalah merupakan anggar2 yang penting dari Hong Hwa Hwe. Setiap ada anggauta
baru masuk, mengadakan pengangkatan sumpah atau menyatuh kan hukuman partai,
maka datanglah orang pimpinan atas untuk melakukan tanya jawab secara serieus.
Orahg-orang sebawahan yang tersangkut, harus menyawabnya.
Dalam HONG HWA HWE Lou Ping
menempati kedudukan yang lebih atas dari Hi Tong. Ia bertanya, sekalipun
bagaimana rasa hati Hi Tong, tapi dia tak boleh tidak harus memberi ja waban.
Kembali Lou Ping bertanya :
”Apakah keempat macam golongan
orang yang akan di basmi oleh HONG HWA HWE?”
“Kesatu: kawanan budak pem. Boanciu.
Kedua: pembesar rakus pemeras rakjat. Ketiga: segala okpa dan wangwe penindas.
Keempat: Orang yang temaha kekajaan dan melu pakan kebajikan.”
Lou Ping kerutkan jidatnya
sejenak, lalu serunya kembali :
“Apakah larangan (pantangan)
besar dari HONG HWA HWE ?”
“Siapa yang menakluk pada
Cengtiau, siapa yang meng hina pada pimpinan atas, siapa yang menghianati
kawan, siapa yang kemaruk harta gemar paras cantik
akan. menerima hukuman mati.”
“Kalau kau insjaf, lekas-lekas
jalankan „sam-to-liok-tong,” akan kuantarkan kau kepada saothocu. Kalau tidak
insjaf, kau melarikan diri saja, agar jangan sampai tertangkap oleh Cap-ji-long
Kwi Kian Chiu,” kata Lou Ping kembali.
Menurut peraturan HONG HWA HWE,
barang siapa yang berbuat kesalahan besar, dan telah menginsjafinya, dimuka
sidang dewan pimpinan boleh menyalankan hukuman: tusuk paha tiga kali. Tusukart
itu harus menembus kedaging. Inilah yang dinamakan sam-to-liok-tong, tiga golok
enam lubang. Habis itu harus menghaturkan maaf pada tho-cu daerah dan hiang-cu
yang menyalankan hukuman itu. Apabila dosanya me mang besar sekali, pun sukar
untuk mendapat keampunan.
Kwi Kian Chiu sebenarnya orang
she Ciok nama Siang Ing. Dalam HONG HWA HWE dia menduduki tempat ke duabelas.
Tugasnya chusus untuk memimpin sidang pemeriksaan hukuman. Hati nya dingin tak
kenal kasihan, tangannya kejam. Seorang yang berdosa, takkan lolos dari
tangannya, sekalipun dia hendak lari keudiung langit. Karenania berouluh ribu
ang gauta HONG HWA HWE (Hong Hwa Hwe) bila mendengar nama Kwi Kian Chiu atau
setanpun takut melihatnya, tentu merasa seram.
Boleh dikata anggauta HONG HWA
HWE semua adalah orang-orang gagah dari kalangan Sungai Telaga. Kalau mereka
tidak mengada
kan aturan-aturan partai yang
keras, tentu tak dapat menguasai sekean banyak anggautanya.
Tatkala itu berkatalah Hi Tong
dengan serta merta : “Kau bunuh sajalah aku! Aku akan puas mati ditanganmu.”
Mendengar itu, makin meluaplah
kemarahan Lou Ping. Ia anggap Hi Tong tetap ngelantur.
”Kau tak meng'etahui
bag'aimana dalam lima enam tahun ini, aku selalu menderita karena kau. Pada
waktu aku mengangkat sumpah dipeseban Cong-hiang-tong, begitu pertama kali
kumelihat kau, hatiku sudah bukan menyadi milikku lagi,” kata Hi Tong, lebih
jauh.
”Itu waktu masa kau tak tahu
bahwa aku sudah menyadi kepunyaan Bun suko?” tanya Lou Ping.
”Memang benar. Namun aku tak
dapat menguasai diriku lagi. Karena itulah maka aku selalu jauhkan diri. Ada
apa saja, tentu aku minta cong-tho-cu untuk menyuruh aku saja yang mengerjakan.
Lain-lain saudara anggap betuis aku menyual jiwa untuk perkumpulan, karenanya
aku mendapat banyak penghargaan. Tapi hal yang sebenarnya, aku hanya berusaha
menyauhkan diri darimu. Namun dimana saja kuberada, pikiranku selalu ada
padamu.”
Habis berkata itu, Hi Tong
menyingkap lengan bajunya yang kiri, sembari maju
selangkah, dia berkata pula :
“Aku benci diriku, mengutuknya
pula mengapa hatiku seperti binatang. Pada saat aku marah itu, segera kupaksa
badis untuk menusuk lenganku ini. Kau lihatlah.”
Diantara sinar remang-remang
dari bintang-bintang, tampak lengan Hi Tong itu penuh dengan bekas luka
tusukan. Demi menampak itu, lemaslah hati Lou Ping.
Melihat bagaimana bibir Lou
Ping ber-gerak-gerak, seperti sukar untuk mengucap, tahulah Hi Tong bahwa
wanita pujaannya itu tergerak hatinya. Dia ulurkan tangan untuk menarik tangan
Lou Ping, tapi yang tersebut belakangan ini cepat-cepat mundur selangkah, dan
tundukkan kepala tak berkata apa-apa.
„Seringkali aku sesalkan
Tuhan, mengapa tak memper temukan kita pada sebelum kau menikah. Dan mengapa
kini menitahkan aku bertemu padamu? Baik usia dan rupa, kita berdua sembabat
sekali. Kiranya jauh lebih baik kau ikut aku daripada Bun suko,” Hi Tong
meraju.
Sebenarnya Lou Ping
mengasihani penderitaan anak muda itu, tapi waktu dengar nama suaminya
dibawa-bawa, marahlah ia.
”Bun suko? Dalam hal apa kau
nempil dengan Bun suko?
Dia adalah seorang hohan yang
berambekan tinggi, tidak seperti kau begini “
Lou Ping tak mau lanyutkan
kata-kata untuk memaki orang. Dengan perdengarkan suara jemu, dengan
berpincangan ia menghampiri kudanya, terus naik keatasnya. Hi Tong Buru-buru
menghampiri untuk bantu menaikkannya, tapi dibentak Lou Ping yang menyuruhnya
menyingkir.
“Suso, kau hendak kemana ?'“
tanya Hi Tong hampa.
“Tak perlu kau tahu. Suko
sudah tertangkap, akupun tak mau hidup lagi kembalikan golokku itu,” kata Lou
Ping.
Dengan tundukkan kepala, Hi
Tong serahkan golok wan yang-to pada Lou Ping. Melihat sikap Hi Tong yang
seperti orang hilang pikiran itu, timbullah rasa kasihan Lou Ping, lalu katanya
:
“Asal selanyutnya kau bekerja
sungguh-sungguh untuk perkum puian, soal tadi takkan kuceritakan pada siapapun
juga. Akupun akan berusaha sekuat-kuat untuk bantu mencarikan seorang nona yang
cantik dan kosen untukmu !”
Habis mengucap, dengan
perdengarkan ketawanya, Lou Ping terus keprak kudanya. Memang sifat suka ketawa
dari Lou Ping sukar dirobah, dan inilah yang membikin celaka Hi Tong. Dia kira,
dengan ketawa itu Lou Ping masih memberi kemungkinan harapan. Lama dia awasi
bajangan orang yang dipujanya dengan tegak berdiri. Pikirannya
me-layang-layangjauh tak keruan.
Setelah berjalan sementara
jauhnya, bimbanglah hati Lou Ping. Menuju kebarat untuk menggabungkan diri
dengan bala bantuan HONG HWA HWE, atau ketimur untuk menolong suaminya. Dalam
keadaan menderita luka, terang ia tak kan dapat menolong suaminya. Tapi kalau
ia menuju keba rat, sedang suaminya dibawa makin lama makin jauh kearah timur,
hatinya tak tega. Dalam kebimbangannya itu, ia melarikan kudanya tanpa tujuan
tertentu. Kira-kira berjalan dapat delapan li jauhnya, karena percaya Hi Tong
bakal tak sampai dapat mengganggu, ia lalu cari tempat meneduh dan tidur disitu.
Sejak kecil mengikut ayahnya
Lou Gwan Thong, dan setelah menikah turut suaminya Bun Thay Lay, keduanya jago-
yang bugenya menggetarkan orang, dan begitu sayang padanya. Karena itu selama
di Rimba Persilatan, Lou Ping hanya selalu mengalami pertempuran dan menang,
tak per nah ia menderita kekalahan. Kali ini betul-betul ia mengalami
kegoncangan hati yang hebat. Suami tertangkap, ia sendiri terluka, tambahan
pula dipermainkan Ie Hi Tong. Memikir sampai disitu, ia menangis tersedu-sedu.
Sampai sekean lama, barulah ia tertidur. Malam itu badannya panas, dan tak
putus-'nya menggigau minta minum.
Keesokan harinya, penyakitnya
tambah berat. Ia paksakan diri untuk bangun, tapi rasanya kepala seperti mau
pecah, maka terpaksa berbaring lagi. Sampai matahari selam, ia merasa haus dan
lapar, namun ia tak kuasa untuk naik keatas kudanya.
Kalau mesti mati disini masih
tak mengapa, tapi sungguh kecewa sekali, aku tak dapat berjumpa dengan Bun
toako lagi. Demikian ratapnya.
Tiba-tiba matanya terasa
berkunang-kunang dan terus jatuh pingsan. Entah sudah berselang berapa lama,
ketika tersedar didengarnya orang berkata : “Ah, sudah mendusinlah seka-rang !”
Seorang gadis yang matanya
lebar, kehitam-hitaman kulitnya, alisnya tebal dan kira-kira berusia 1delapan
tahun nampak girang ketika tahu Lou Ping sudah bangun. Ia suruh seorang buyang
nya untuk memberikan bubur pada Lou Ping, siapa pun terus memakannya. Setelah
semangatnya sudah banyak segaran, Lou Ping haturkan terima kasih serta
menanyakan nama penolongnya.
”Aku she Ciu, kau mengasohlah
lagi. nanti kita omong-omong pula,” sahut gadis itu sambil meninggalkan ruangan
itu.
Ketika Lou Ping bangun lagi
ternyata hari sudah malam. Tiba-tiba didengarnya ada seorang wanita berkata :
“Mereka sangat tak pandang
mata pada kita, begitu berani menggeledah Thiat-tan chung, biarlah aku yang
memberi hajaran dulu”.
Mendengar itu, terkejutlah Lou
Ping. Masa ia berada di Thiat-tan-chung lagi? Saat itu masuklah dua orang, yang
ternyata adalah gadis itu dan seorang buyang . Ketika gadis itu menyingkap
kelambu, Lou Ping pura-pura meremkan mata. Gadis itu segera menuju ketembok
untuk mengambil golok. Lou Ping kaget, tapi segera ia girang setelah mengetahui
wan-yang-tonya terletak diatas meja dekat pembaringannya situ. Kalau gadis itu
berani menyerang, ia akan dului dengan sebuah tabasan, dan terus akan merat
pergi.
”Siocia kau tak boleh
meneryang bahaja lagi, loyacu (majikan tua) kini lagi bersusah hati, jangan kau
mem buat ia marah”, tiba-tiba buyang itu berkata.
Kini tahulah Lou Ping, bahwa
siocia itu adalah puterinya. Ciu Tiong Ing. Memang benar dialah puteri Tiong
Ing yang bernama Ciu Ki. Tabiatnya seperti sang ayah, gemar belajar bugee, dan
suka memberantas hal2 yang tidak adil. Kalangan bulim (persilatan) daerah barat
utara memberinya gelaran sebagai „Kiu Li Kui.” Li Kui adalah salah seorang
pahlawan Liangsan yang berangasan adatnya. Hari itu setelah memukul roboh
seseorang, ia tak berani pulang. Baru besoknya setelah kemarahan ayahnya sudah
reda, pulanglah ia. Ditengah jalan dilihatnya Lou Ping terlantar ditanah, maka
terus dibawanya pulang.
Mendengar kata-kata buyang nya
itu, Ciu Ki merandek seben tar, tapi ia tak ambil perduli, terus lari keluar,
diikuti oleh sang buyang . Lou Ping karena merasa semangatnya sudah pulih
kembali, terus bergegas-gegas turun dari pembaringan dan mengenakan pakaian.
Lebih dulu ia “gasak” sebiji bahpao yang berada diatas meja, dan dua biji lagi
ia masukkan kedalam kantong, lalu menyelinap keluar.
Mengetahui tempat itu
berbahaja, Lou Ping mengambil
Thiat-tan-chung sudah akan
menghadapi kemusnaan, mengapa masih mau berlagak,” kata Siu Ho dengan tertawa
dingin.
Memang sedari Bun Thay Lay
tertangkap, hati Beng Kian Hiong selalu kuatirkan Thiat-tan-chung akan terembet.
Kini mendengar ucapan Siu Ho itu, dia Buru-buru memberita hukan pada Tiong Ing.
Dengan menenteng senyata thiat-tan, keluarlah Tiong Ing dengan gusarnya.
“Siapa yang bilang
Thiat-tan-chung akan musna, lohu akan minta pengajaran padanya,” teriak jago
tua. itu segera sesudah berhadapan dengan tamunya.
Ban Khing Lan Buru-buru
mengeluarkan sehelai surat lalu diletakkan diatas meja, lalu katanya :
“Ciu lounghiong, silahkan
baca.”
Sembari berkata itu, orang She
Ban tersebut. masih menekan ujung surat itu, seakan-akan dia kuatir Tiong- Ing
akan me rampasnya. Begitu melihatnya, ternyata Tiong Ing mengetahui bahwa surat
itu adalah surat Liok Hwi Ching kepadanya yang meminta pertolongan supaja
sukte. memberi perlindung an pada Bun Thay Lay bertiga. Surat itu didapatinya
dari dalam baju Bun Thay Lay, sewaktu dia digeledah.
Swi Tay Lim sebagai orang
kangouw kawakan, segera tahu siapa Liok Hwi Ching itu. Dialah” juga seorang
pesa kitan negara yang penting. Kini ternyata mempunyai hubung an dengan
orang-orang Thiat-tan-chung. Kaki tangan penjajah itu, orang-orang yang termaha
uang dan banyak akal, mereka tak mau laporkan pada fihak atasan, tapi akan
mendatangi Ciu Tiong Ing untuk memerasnya. Dan uang itu akan dibaginya rata.
Mereka jakin tentu Tiong Ing mudah dikeruk uangnya.
Oleh karena Seng Hing, Swi
Thay Lim dan lain-lain. adalah orang-orang yang ada nama pada pemerintah, maka
mereka segan untuk menonyolkan diri. Dan untuk keperluan itu, disuruhnya Ban
Khing Lan dan Tong Siu Ho berdua yang mengerjakan.
Melihat surat itu, agak
terkesiap juga Tiong Ing, tanya nya: „Bagaimana maksud kalian ?”
“Kita sangat hargakan akan
nama Cioe loenghiong yang harum itu. Apabila surat ini sampai jatuh ketangan
fihak atasan, tentunya loenghiong akan maklum sendiri akibatnya.
Kawan-kawan kita berpendapat,
akan mengikat tali persahabatan dengan loenghiong. Pertama akan membakar surat
ini, ke dua takkan melaporkan pada fihak atasan bahwa loenghiong ternyata bantu
melindungi Bun Thay Lay”, Ban Khing Lan mulai mainkan lidahnya.
“Sungguh aku merasa berterima
kasih pada saudara-saudara sekalian,” Buru-buru Tiong Ing berkata.
Setelah omong-omong beberapa
hal lagi, maka dengan secara tak langsung berkatalah Ban Khing Lan:
„Hanya kali ini kita keluar,
telah menggunakan banyak sekali ongkos-ongkos perjalanan sehingga kita
tertindih dengan hutang. Kita harap dengan memandang pada sesama golo ngan
persilatan, loenghiong suka memberi sedikit bantuan. Untuk itu sungguh kita
berSyukur sekali.”
”Hm,” jengek Tiong Ing sembari
menangkat alisnya demi mengetahui apa maksud orang.
„ltu tak berjumlah banyak,
hanya enam atau tujuh laksa tail perak. Di tempat ini Ciu loenghiong mempunyai
sawah dan tanah yang luas sekali. Jumlah yang sedemikian kecil itu, dirasa
tentu tak menyadi soal,” demikian Ban Khing Lan menambahi pula.
Mengetahui dirinya akan
dipelecet, marahlah Tiong Ing seketika, serunya :
“Jangan lagi memang aku tak
punya uang begitu banyak, sekalipun punya juga akan kuperuntukkan mengikat tali
persahabatan dengan orang-gagah yang mempunyai ambek perwira.”
Dengan kata-katanya itu, bukau
saja menolak, tapi pun ber arti mendamprat orang. Tong Siu Ho hanya tertawa dan
katanya :
“Memang kita ini golongan
siaojin (kaum rendah) yang tak punya guna. Untuk membangun sebuah daerah
semacam
Thiat-tan-chung, terang kita
tak mampu. Namun kalau disuruh membumi hanguskan “
Belum habis kata-kata itu
diucapkan, seseorang menobros masuk dan membentak nyaring : “Ayolah, nonamu
justru ingin melihat cara bagaimana kau hendak menghancurkan Thiat-tan-chung
ini.”
Orang ini ternyata adalah Kiao
Li-Kui Ciu Ki adanya.. Tiong Ing mengedipkan mata, terus menuju keluar ruangan
diikuti oleh puterinya. Dia membisiki beberapa patah kata didekat telinga Ciu
Ki :
“Kau bisiki Kian Hiong dan
Kian Kong, kedua kuku garuda ini jangan sampai bisa keluar dari
Thiat-tan-chung.”
“Bagus, makin mendengarkan
pembicaraan mereka, makin menarik,” Ciu Ki tampak gembira karena bakal bisa
melabrak orang.
Setelah Tiong Ing kembali
kedalam, berkatalah Ban Khing Lan :
“Karena Ciu loenghiong tak
menyukai kedatangan kita, maka kitapun akan berlalu.”
Habis berkata begitu, dia
segera robek- surat Liok Hwi Ching tadi. Ciu Tiong Ing tertegun dibuatnya,
karena tak mengira orang she Ban itu akan berbuat begitu, Malah orang tersebut
berkata dengan tenang :
”Ini sebenarnya hanya
turunannya saja. Biar kurobek saja, agar jangan dilihat orang. Aselinya berada
ditangan Thio taijin.”